PENDIDIKAN ANTIKORUPSI

Edisi Revisi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 : 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 : 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan per­­buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). PENDIDIKAN ANTIKORUPSI

Edisi Revisi

Dr. Eko Handoyo, M.Si.

www.penerbitombak.com 2013

PENDIDIKAN ANTIKORUPSI Copyright©Dr. Eko Handoyo, M.Si., 2013

Cetakan I: Fakultas Ilmu Sosial UNNES dan Widya Karya, Semarang, 2009

Diterbitkan kembali oleh Penerbit Ombak (Anggota IKAPI), 2013 Perumahan Nogotirto III, Jl. Progo B-15,Yogyakarta 55292 Tlp. (0274) 7019945; Fax. (0274) 620606 e-mail: [email protected] facebook: Penerbit Ombak Dua website: www.penerbitombak.com

PO.***.**.’13

Penulis: Dr. Eko Handoyo, M.Si. Tata letak: Nanjar Tri Mukti Sampul: Dian Qamajaya

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) PENDIDIKAN ANTIKORUPSI Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013 ** + *** hlm.; 14,5 x 21 cm ISBN: 978-602-258-***-* DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN PENDIDIKAN ANTIKORUPSI PERLUKAH?

BAB II KORUPSI, ANTIKORUPSI, DAN PENDIDIKAN ANTIKORUPSI A. Pengertian dan Ciri-Ciri Korupsi B. Penyakit Korupsi C. Pengertian Antikorupsi D. Nilai-Nilai Antikorupsi 1. Kejujuran 2. Tanggung Jawab 3. Keberanian 4. Keadilan 5. Keterbukaan 6. Kedisiplinan 7. Kesederhanaan 8. Kerja keras 9. Kepedulian E. Pendidikan Antikorupsi

v vi Dr. Eko Handoyo, M.Si.

F. Sekolah dan Perguruan Tinggi sebagai Agen G. Metode Pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan Antikorupsi 1. Diskusi di dalam Kelas (In-Class Discussion) 2. Studi Kasus (Case Study) 3. Skenario Sistem Pengembangan (Improvement System Scenario) 4. Kuliah Umum (Generale Lecture) 5. Diskusi Film (Film Discussion) 6. Laporan Investigasi (Investigative Report) 7. Eksplorasi Tematik (Thematic Exploration) 8. Prototipe (Prototype) 9. Pembuktian Kebijakan Pemerintah (Prove The Government Policy) 10. Alat-Alat Pendidikan (Education Tools) 11. Pembelajaran Keterampilan Menulis Terpadu (Integrated Writing) 12. Pembelajaran Keterampilan Pemecahan Masalah Sosial (Social Problem Solving) H. Rangkuman

BAB III BENTUK DAN JENIS-JENIS KORUPSI A. Bentuk Korupsi B. Jenis-Jenis Korupsi C. Rangkuman

BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK KORUPSI A. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi Pendidikan Antikorupsi vii

B. Dampak Korupsi C. Rangkuman

BAB V LEMBAGA-LEMBAGA ANTIKORUPSI DI INDONESIA A. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) B. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) C. Indonesian Corruption Watch (ICW) D. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) E. Transparency International Indonesia (TII) F. Rangkuman

BAB VI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA DALAM LINTASAN SEJARAH A. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Lama B. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Baru C. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Reformasi D. Rangkuman

BAB VII STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI DI BERBAGAI NEGARA A. Pemberantasan Korupsi di Australia B. Pemberantasan Korupsi di Finlandia C. Pemberantasan Korupsi di China D. Pemberantasan Korupsi di Hongkong E. Pemberantasan Korupsi di Malaysia F. Pemberantasan Korupsi di Singapura G. Pemberantasan Korupsi di Thailand H. Rangkuman viii Dr. Eko Handoyo, M.Si.

BAB VIII PERAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI A. Visi, Misi dan Strategi KPK B. Kedudukan, Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPK C. Susunan Organisasi KPK D. Kode Etik Pimpinan KPK E. Sekilas Keberhasilan KPK 1. Mulyana Wira Kusuma (anggota KPU periode 1999- 2004) 2. Said Agil Husin Al Munawar 3. Ahmad Sujudi 4. Wafid Muharam 5. Abdullah Puteh 6. Bambang Guritno 7. Taufik Hidayat, Sjamsul Arifin, Sjamsul Qamar, Mahyani Diris, Hayatus Solohin, dan Sayuti Enggok 8. Probosutedjo 9. Harini Wijoso 10. Roesdihardjo dan Arihken Tarigan 11. Rokhmin Dahuri 12. Hendy Boedoro 13. Miranda Goeltom 14. Satono 15. Mochtar Mohammad 16. M. Yaeni 17. Soemarmo 18. Wa Ode Nurhayati 19. Muhamad Nazaruddin Pendidikan Antikorupsi ix

20. Angelina Sondakh 21. Lukman Abas F. Rangkuman

BAB IX PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI A. Hak dan Tanggung Jawab Masyarakat B. Pemberian Penghargaan C. Rangkuman

BAB X BELAJAR DARI ORANG-ORANG BERSIH A. Joko Widodo (Jokowi) B. Tri Rismaharini C. Yusuf Wally D. La Tinro La Tunrung E. Amran Nur F. Muda Mahendrawan G. Abdul Kholiq Arif H. Herman Sutrisno I. Rangkuman

DAFTAR PUSTAKA GLOSARIUM DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

DAFTAR TABEL 1. Jenis-jenis Korupsi 2. Potensi Kerugian Negara karena Kasus Korupsi 3. Peringkat Korupsi di Asia Pasifik Tahun 2010 4. Faktor-faktor Pemicu Keberhasilan dan Kegagalan Lembaga Antikorupsi 5. Data Korupsi Pejabat Versi Depdagri (2004-2006) 6. Bidang dan Subbidang dalam KPK 7. Laporan Masyarakat dan Gratifikasi yang ditindaklanjuti oleh KPK

DAFTAR GAMBAR 1. Segitiga Kecurangan 2. Penanganan Pengaduan Masyarakat 3. Penanganan Kasus/Perkara TPK 4. Perkara TPK Yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht) 5. Uang Negara Yang Berhasil Dikembalikan

x KATA PENGANTAR

orupsi merupakan perbuatan amoral yang dilakukan oleh Ksiapa pun, kapanpun, dan di manapun yang menyalahguna­ kan wewenang atau kekuasaan dan menyimpang dari aturan yang berlaku yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, orang lain, atau kelompok. Banyak yang mengatakan bahwa kemiskinan menjadi biang keladi bagi tumbuhnya perilaku korupsi, tetapi pendapat tersebut terbantahkan karena banyak juga korupsi terjadi di negara-negara yang masyarakatnya sudah makmur. Bahkan tidak jarang korupsi yang mereka lakukan lebih rapi dan sistematis, sehingga seolah-olah yang dilakukan bukan perbuatan korupsi, apalagi jika hasilnya dibagi-bagikan kepada semua pihak. Dampak korupsi sungguh luar biasa. Ia bisa membuat orang mati kelaparan gara-gara akses dan aset dikuasai oleh koruptor. Kriminalitas merajalela, karena sumber-sumber formal tertutup bagi orang-orang yang kalah (looser), sehingga apapun caranya, termasuk mencuri dan merampok sekalipun mereka lakukan. Kinerja perekonomian merosot demikian pula keuangan negara tergerogoti gara-gara ulah para koruptor. Gara-gara korupsi, tanah-tanah beralih fungsinya sehingga tidak mampu mendukung keseimbangan ekosistem. Demikian pula, hutan-hutan digunduli dan rusak karenanya, sehingga menghilangkan devisa negara. Penduduk hutan yang biasanya menyambung hidup dari kebaikan

xi xii Dr. Eko Handoyo, M.Si. alam, tergeser, terpinggirkan, dan cukup banyak di antaranya yang mati. Pendek kata, korupsi telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Ulasan singkat di atas merupakan ringkasan kecil dari isi buku yang berjudul Pendidikan Antikorupsi (Edisi Revisi). Buku yang tidak banyak halamannya ini, menyediakan pembaca untuk memahami seluk beluk korupsi yang terjadi di Indonesia, mulai dari konsep tentang korupsi, antikorupsi, pendidikan antikorupsi, bentuk- bentuk korupsi, sebab-sebab dan dampak korupsi, lembaga- lembaga antikorupsi, sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, strategi pemberantasan korupsi di berbagai negara, peran KPK dalam pemberantasan korupsi, hingga partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Selain menyajikan data-data tentang korupsi, baik dari nilai rupiahnya maupun pelakunya, juga diuraikan analisis secukupnya tentang fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia. Jika sebagian besar isi buku lebih banyak mengetengahkan informasi tentang persoalan korupsi dan bahayanya, maka dalam edisi revisi ini ditambahkan materi pada bab terakhir tentang sepak terjang para kepala daerah terpilih yang memberi inspirasi bagi siapa pun dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dan tentu yang lebih penting adalah komitmen mereka untuk membuat kebijakan yang jauh dari unsur korupsi. Itu semua memberi pelajaran bahwa di negeri ini masih banyak individu dan tokoh politik yang pro rakyat sekaligus antikorupsi, yang dapat menjadi teladan bagi generasi muda untuk mengelola kehidupannya lebih baik demi kemajuan masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan Antikorupsi xiii

Perspektif hukum lebih banyak mewarnai analisis tentang berlangsungnya perbuatan korupsi, sehingga tidak heran jika dalam buku ini banyak disajikan undang-undang, peraturan- peraturan, pasal-pasal, dan ayat-ayat yang mungkin membosankan bagi pembaca yang tidak biasa membaca naskah buku berbasis hukum. Penggunaan perspektif hukum ini, hendak meyakinkan pembaca bahwa perbuatan korupsi benar-benar bertentangan dengan hukum. Selain itu, ada misi suci, yakni mengajak semua orang untuk berkata “tidak” terhadap korupsi dan melawannya. Buku ini lebih banyak ditujukan kepada generasi muda, khususnya mahasiswa, karena merekalah calon pemimpin bangsa di masa depan yang harus pertama kali mengerti dan memahami bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus diperangi. Dengan idealisme dan kemampuan intelektualisme yang dimiliki para mahasiswa, gerakan antikorupsi akan dapat berjalan lancar, mampu menembus sekat-sekat etnis, ras, agama, kelompok, dan golongan, serta akan mampu menciptakan kebiasaan berperilaku antikorupsi yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini untuk menjadi bangsa yang unggul, mandiri, maju, adil, dan makmur.

Semarang, Maret 2013 Penulis,

BAB I PENDAHULUAN PENDIDIKAN ANTIKORUPSI PERLUKAH?

ejak reformasi bergulir tahun 1998 yang lalu hingga kini, berita Stentang korupsi makin gencar. Berbagai harian (surat kabar) di Indonesia hampir tiap hari dalam terbitannya memberitakan peristiwa korupsi. Dalam berita tersebut, korupsi tidak hanya melanda kehidupan politik, tetapi juga ekonomi dan sosial. Pelaku yang ditindak oleh aparat tidak hanya para pelaku bisnis, tetapi juga mereka yang berasal dari kalangan birokrasi dan pemerintahan, DPR, DPRD, bahkan pula kalangan kampus perguruan tinggi dan sekolah. Rakyat kecil pun, seperti pedagang beras, pedagang buah, kondektur bus, sopir angkutan, dan tukang becak pun turut melakukan korupsi kecil-kecilan. Korupsi tampaknya sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Korupsi sesungguhnya bukan merupakan penyakit di luar diri bangsa. Ia adalah penyakit bawaan, sebab benih-benih korupsi sudah ada dalam tubuh bangsa Indonesia tidak hanya pada masa- masa ketika Indonesia dijajah bangsa kolonial, tetapi juga sudah berlangsung pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara. Upaya untuk mencegah meluasnya perbuatan korupsi dan tindakan hukum untuk mengatasinya pun telah dilakukan pada

1 2 Dr. Eko Handoyo, M.Si. masa kerajaan-kerajaan nusantara. Azra (2006: viii) menulis bahwa pada masa kerajaan Islam nusantara, Undang-Undang Melaka yang digunakan sebagai rujukan hukum di beberapa kerajaan Islam di wilayah Sumatera, secara eksplisit memuat hukum larangan suap- menyuap. Bahkan segala macam hadiah yang diperuntukkan bagi hakim termasuk pemberian makanan dan uang yang bersumber dari baitul mal dianggap sebagai suap dan tegas-tegas haram hukumnya. Korupsi menjadi salah satu masalah yang serius di tubuh pemerintahan. Ia tidak hanya merupakan masalah lokal, tetapi sudah menjadi fenomena internasional yang memengaruhi seluruh masyarakat dan merusak seluruh sendi kehidupan. Perhatian masyarakat internasional sangat tinggi terhadap fenomena korupsi ini. Komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi didukung oleh lembaga-lembaga pembiayaan dunia, seperti World Bank, ADB, IMF, dan organisasi internasional lainnya seperti OECD dan APEC. PBB dalam sidang umum pada tanggal 16 Desember 1996 mendeklarasikan upaya pemberantasan korupsi dalam dokumen United Nation Declaration Against Corruption and Bribery In International Commercial Transaction yang dipublikasikan sebagai resolusi PBB Nomor A/RES/51/59 tanggal 28 Januari 1997. Semangat antikorupsi terus berlanjut, ketika wakil-wakil dari masyarakat 93 negara menyatakan Declaration of 8th International Conference Against Corruption di Lima Peru pada tanggal 11 September 1997. Dalam konferensi tersebut disepakati bahwa untuk memerangi korupsi diperlukan kerjasama antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Butir-butir kesepakatan lainnya yang penting, Pendidikan Antikorupsi 3 diantaranya adalah semua penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel serta harus menjamin independensi, integritas, dan depolitisasi sistem peradilan sebagai bagian penting dari tegaknya hukum yang akan menjadi tumpuan dari semua upaya pemberantasan korupsi secara efektif. PBB terus berupaya menebar semangat antikorupsi kepada semua bangsa di dunia, hingga pada tahun 2003 menetapkan konvensi melawan korupsi (United Nations Convention Against Corruption). United Nations Convention Against Corruption 2003 tersebut oleh pemerintah Indonesia disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Dalam preambul konvensi tersebut diungkapkan adanya keprihatinan atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum. Konvensi juga prihatin terhadap hubungan antara korupsi dan bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi dan kejahatan ekonomi termasuk pencucian uang. Korupsi yang sudah berlangsung lama sejak Indonesia kuno, madya, hingga modern tampaknya telah membudaya. Bahkan Azra (2006: viii) memandang kultur korupsi telah sampai pada level yang membahayakan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Bahkan secara universal boleh dikata korupsi sama tuanya dengan umur manusia atau paling tidak sejak adanya organisasi negara, korupsi muncul mengiringinya. Korupsi muncul menyertai kelahiran negara, sebab negara memiliki 4 Dr. Eko Handoyo, M.Si. kekuasaan (power) yang jika tidak amanah akan dengan mudah diselewengkan. Persoalan ini sudah diungkap oleh Lord Acton dalam pernyataannya yang terkenal “power tend to corrupt and absolute power tend corrupts absolutely”. Indonesia bukannya tidak berupaya memberantas korupsi. Sejak era orde lama, orde baru, hingga era reformasi, pemerintah berusaha keras melakukan pemberantasan korupsi. Pada masa orde baru bahkan telah dikeluarkan TAP MPR mengenai pemberantasan korupsi dan puncaknya pada tahun 1971 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Meskipun sudah ada undang-undang dan tim khusus yang dibentuk Presiden Soeharto untuk menangani kasus- kasus korupsi, perbuatan korupsi masih saja dilakukan oleh para pengkhianat bangsa. Bahkan Soeharto turun dari jabatan, karena disinyalir ada indikasi KKN. Agenda pemberantasan KKN yang diusung oleh para mahasiswa pada tahun 1998 telah mendorong Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Masyarakat mengira bahwa korupsi sebagai penyakit kronis orde baru bakal hilang seiring dengan lengsernya Soeharto beserta kroni-kroninya. Dugaan masyarakat ternyata meleset, karena penyakit korupsi tersebut ternyata telah bermutasi menjadi neokorupsi pada masa reformasi. Bahkan boleh dibilang korupsi makin menjadi-jadi pada masa reformasi. Jika pada masa orde baru, orang melakukan korupsi secara sembunyi-sembunyi atau di bawah meja, sedangkan pada masa reformasi, korupsi dilakukan secara terang-terangan atau dilakukan di atas meja. Makin kronisnya tindak korupsi ini mendorong MPR mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pendidikan Antikorupsi 5

Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Salah satu dasar pertimbangan (konsiderans) dikeluarkannya TAP MPR ini adalah bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktik-praktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional. Sebagai tindak lanjut dari TAP MPR tersebut, Pemerintah bersama DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 adalah bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan antarpenyelenggara negara, melainkan juga antara penyelenggara negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya (Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK 2006: 153). Upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi dalam UU Nomor 28 tersebut dituangkan dalam pasal 5 mengenai kewajiban penyelenggara negara. Beberapa kewajiban tersebut diantaranya: bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat (ayat 2), melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat (ayat 3), tidak 6 Dr. Eko Handoyo, M.Si. melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (ayat 4), dan melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ayat 6). Dengan pengaturan yang jelas mengenai kewajiban penyelenggara negara terutama yang bersinggungan dengan masalah KKN tersebut, diharapkan para penyelenggara negara dapat menjalankan tugas dan kewajibannya secara profesional disertai rasa tanggung jawab yang tinggi, sehingga pada gilirannya masyarakat dapat menikmati hak-haknya secara baik dan roda pembangunan berjalan lancar. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan juga merupakan kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dalam konsideransnya menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi menurut UU Nomor 20 Tahun 2001 cukup berat. Misalnya, jika seseorang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, maka yang bersangkutan dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling Pendidikan Antikorupsi 7 lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (pasal 6 ayat (1) a). Sanksi yang dijatuhkan bagi koruptor tersebut, dalam realitasnya tidak menyurutkan langkah dan kenekatan para koruptor atau calon koruptor baru. Itulah sebabnya, Pemerintah bersama DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Pembuat Undang-Undang KPK menyadari bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi saat ini, seperti kepolisian dan kejaksaan, belum berfungsi secara efekti dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Tidak jarang oknum-oknum dari kedua lembaga tersebut berlepotan oli hitam korupsi yang melumuri wajah, tangan, badan, dan kaki mereka, sehingga tidak mungkin mereka mampu membersihkan diri dengan sabun antikorupsi. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau disingkat KPK. Lembaga yang dibentuk dengan menelan biaya tidak kurang dari Rp 6,4 miliar tersebut kehadirannya tidak sia-sia. Kenyataannya, sejak KPK dibentuk, banyak pejabat negara seperti menteri, anggota DPR/MPR, pejabat kepolisian dan kejaksaan, gubernur, bupati/wali kota, politisi, dan para pengusaha kelas kakap, ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Prestasi tersebut tidak pernah dicapai oleh kepolisian dan kejaksaan meskipun mereka sudah lama eksis. Perhatian dan dukungan yang besar dari masyarakat dan lembaga-lembaga antikorupsi kepada 8 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

KPK, makin memantapkan tekat dan langkah KPK memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya bahwa keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum terhadap tindak pidana korupsi ternyata belum menyurutkan nyali koruptor untuk mencuri atau merampok harta negara dan rakyat demi kepentingan diri, keluarga, dan kelompok mereka. Upaya-upaya kuratif memang memberikan hasil seketika dan memberi efek jera yang hebat, namun karena spektrum perilaku korupsi yang demikian luas, maka diperlukan upaya lain yang hasilnya tidak bisa dilihat sekarang, yakni melalui pendidikan antikorupsi. Pendidikan antikorupsi yang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ditangani oleh Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat merupakan pilar penting dari Bidang Pencegahan KPK. Adanya Bidang Pencegahan KPK yang membawahi Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat akan memperkuat tugas KPK terutama dalam hal melakukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam kaitan persoalan di atas, muncul pertanyaan apakah pendidikan antikorupsi efektif untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi, mengingat korupsi sudah seperti tulang dan daging dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa sudah ada lembaga penegak hukum andal seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK serta sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku pun berat baik dari sisi lama pidananya maupun jumlah denda yang harus dibayar, namun korupsi tetap ada di mana-mana bahkan menyebar dan meluas ke relung-relung kehidupan yang dulu tidak pernah Pendidikan Antikorupsi 9 dibayangkan akan masuk. Masih perlukah tindakan pencegahan, berupa pendidikan antikorupsi? Pendidikan antikorupsi mutlak diperlukan untuk memperkuat pemberantasan korupsi yang sedang berjalan, di antaranya melalui reformasi sistem (constitutional reform) dan reformasi kelembagaan (institutional reform) serta penegakan hukum (law enforcement). Menurut Azra (2006: viii), pendidikan antikorupsi merupakan upaya reformasi kultur politik melalui sistem pendidikan untuk melakukan perubahan kultural yang berkelanjutan, termasuk untuk mendorong terciptanya good governance culture di sekolah dan perguruan tinggi. Sekolah atau perguruan tinggi dapat mengambil peran strategis dalam melaksanakan pendidikan antikorupsi terutama dalam membudayakan perilaku antikorupsi di kalangan siswa dan mahasiswa. Melalui pengembangan kultur sekolah, diharapkan siswa-siswa memiliki modal sosial untuk membiasakan berperilaku antikorupsi. Pendidikan antikorupsi seyogyanya diberikan kepada anak-anak paling tidak sejak mereka duduk di bangku SD. Anak- anak SD yang berusia antara 7 hingga 12 tahun dapat berpikir transformasi revesible atau dapat dipertukarkan dan kekekalan (Disiree 2008: 2). Mereka dapat mengerti adanya perpindahan benda. Mereka mampu membuat klasifikasi dalam level konkret. Anak-anak dapat memahami persoalan sebab akibat yang bersifat konkret. Itulah sebabnya, kepada mereka dapat dikenalkan suatu tindakan dengan akibat yang baik dan yang tidak baik. Berikut ini merupakan alasan (reasoning) mengapa pendidikan antikorupsi perlu diberikan sejak dini, terutama kepada anak-anak yang duduk di bangku SD. 10 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

1. Siswa belum mendapatkan informasi dan sosialisasi tentang antikorupsi. Untuk itu, mereka perlu dikenalkan terlebih dahulu nilai-nilai konkret yang diyakini akan dapat melawan tindakan korupsi; 2. Kurangnya keteladanan dari lingkungan (orang tua, guru, orang dewasa di sekitar, dan media). Keteladanan dari orang- orang terdekat dan di sekitarnya akan sangat membantu dalam proses penanaman nilai atau budi pekerti yang diharapkan dapat diterapkan dalam kegiatan mereka sehari- hari; 3. Adanya kompetisi yang kurang sehat antarsiswa. Upaya menghindari kompetisi yang kurang sehat dalam pergaulan mereka di sekolah dapat dilakukan dengan menanamkan nilai- nilai sekolah, seperti saling menghargai, saling menghormati, kesederhanaan, dan tidak pamer. Bahkan jika perlu sekolah dapat memberi penghargaan kepada siswa yang berperilaku terpuji; 4. Sekolah tidak menerapkan aturan yang jelas dan konsisten. Itulah sebabnya, aturan sekolah harus dibuat bersama antara guru, orang tua, dan siswa, supaya siswa merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadapnya. Sementara itu, guru dan orang tua berperan sebagai fasilitator dan pengawas. Jika ada yang melanggar aturan sekolah, yang bersalah harus diberi hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya; 5. Pembelajaran di sekolah masih didominasi oleh aspek kognitif. Pembelajaran seperti ini kurang mampu membentuk karakter siswa. Untuk itu, perlu dikembangkan pembelajaran afektif yang bersifaf aplikatif dengan model-model pembelajaran Pendidikan Antikorupsi 11

yang dikuasai guru, sehingga pembelajaran kognitif akan dapat dikawal untuk mewujudkan tujuan pendidikan sekolah dasar. Metode dongeng, permainan (games), dan simulasi/ sosiodrama dapat diterapkan dalam pembelajaran afektif di sekolah.

Bagaimana membangun nilai-nilai antikorupsi di kalangan siswa-siswa SMP. Siswa-siswa SMP yang berusia antara 13 hingga 15 memiliki karakter yang tidak jauh berbeda dengan anak- anak SD kelas V dan VI. Proses pembelajaran antikorupsi kepada mereka diarahkan untuk mempersiapkan siswa menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dalam setiap sikap dan perilakunya. Itulah sebabnya, KPK bersama guru-guru SMP di dan sekitarnya menyusun modul pendidikan antikorupsi untuk SMP/MTs. Melalui modul ini, diharapkan siswa dapat menjadi agen perubahan sosial (masyarakat) yang kelak akan mampu mengubah masyarakat Indonesia menjadi masyarakat antikorupsi. Materi yang diangkat dalam pendidikan antikorupsi di SMP/ MTs dikenal dengan 9 karakter pelajar, yaitu tanggung jawab, disiplin, jujur (merupakan nilai inti bagi pelajar), sederhana, kerja keras, mandiri (sebagai etos atau gaya hidup yang harus dimiliki oleh generasi penerus), adil, berani, dan peduli (sebagai sikap kepada orang lain). Sesuai dengan modul yang disusun tersebut, hasil akhirnya adalah siswa: (1) mempunyai karakter yang luhur yang menjunjung tinggi nilai-nilai tanggung jawab, disiplin, jujur, sederhana, kerja keras, mandiri, adil, berani, dan peduli; (2) mampu memenuhi komitmen sebagai pelajar yang menjunjung tinggi nilai-nilai tanggung jawab, disiplin, jujur, sederhana, kerja keras, mandiri, adil, berani, dan peduli dalam masyarakat dan 12 Dr. Eko Handoyo, M.Si. menjadi suri teladan dalam menciptakan masyarakat antikorupsi (Bahri, 2008: 6). Pendidikan antikorupsi pada jenjang pendidikan dasar pun dilaksanakan di berbagai negara baik di daratan Eropa, Afrika, Asia, Amerika maupun Australia. Di dunia telah dibentuk pula jaringan kerjasama antarnegara untuk mengenalkan program pendidikan antikorupsi. Salah satu contoh pendidikan antikorupsi adalah apa yang telah dilaksanakan oleh China. Melalui China on line, seluruh siswa pada jenjang pendidikan dasar diberikan mata pelajaran pendidikan antikorupsi, yang tujuannya adalah memberikan vaksin kepada pelajar dari bahaya korupsi. Dalam jangka panjang generasi muda China bisa melindungi diri di tengah gempuran pengaruh kejahatan korupsi (Suyanto, 2005: 42). Pendidikan antikorupsi dilakukan secara berkesinambungan dan pada tingkat sekolah dilaksanakan hingga SMA/SMK/MA. Fokus awal dari pendidikan antikorupsi adalah siswa menghayati, memahami nilai moral, dan membentuk perilaku hingga nilai- nilai tersebut terbentuk secara internal melalui kebiasaan. Tujuan akhirnya adalah perilaku yang berdasarkan nilai-nilai positif tersebut ditularkan dan diterapkan di lingkungan sosial kemasyarakatan. Mengapa pendidikan antikorupsi juga perlu diberikan kepada siswa-siswa SMA/SMK/MA? Sebagaimana diketahui siswa- siswa SMA dan sederajat berada tahap perkembangan remaja pertengahan, dimana perkembangan intelektualnya menurut Piaget berada pada tahap formal operations, saat dimana siswa memiliki kemampuan berpikir abstrak dengan berpikir hipotetis, sehingga mereka mampu membayangkan berbagai kemungkinan penyelesaian masalah (Tamrin, 2008: 1). Pendidikan Antikorupsi 13

Siswa-siswa SMA seperti halnya kebanyakan anak-anak pada tahap remaja pertengahan memiliki karakteristik khusus dalam proses pembentukan moral, yaitu: (1) mengembangkan idealisme, (2) memiliki tokoh sebagai contoh, (3) lebih konsisten berbuat sesuai prinsip yang diyakini, dan (4) lebih mampu menetapkan tujuan sesuai ketertarikannya pada moral (Tamrin, 2008: 4). Seperti halnya alasan yang dikemukakan berkaitan dengan perlunya pendidikan antikorupsi diberikan kepada anak- anak SD, kondisi berikut juga menjadi alasan pembenar mengapa pendidikan antikorupsi perlu juga ditanamkan kepada siswa-siswa SMA. 1. Pembelajaran afektif belum diterapkan dengan benar dan optimal. Umumnya pembelajaran di SMA cenderung bersifat kognitif, sehingga dalam pembelajaran atau pascapembelajaran siswa tidak mampu membiasakan diri berperilaku baik dan benar; 2. Kurangnya keteladanan dari lingkungan (orang tua, guru, orang dewasa di sekitar, pejabat pemerintahan, public figure, dan media). Itulah sebabnya, perkataan, sikap, dan perilaku dari orang-orang terdekat harus dapat menjadi contoh keteladanan bagi siswa atau anak. Jika tidak, maka anak-anak akan bertindak tanpa arah dan bahkan dapat menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku, meskipun kadang-kadang hal tersebut tidak disadarinya; 3. Adanya kompetisi yang tidak sehat di kalangan anak-anak SMA. Anak-anak berasal dari keluarga dengan latar belakang status, kedudukan, dan lapisan yang beraneka ragam. Gaya hidup siswa-siswa dari golongan kaya bukan tidak mungkin 14 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

akan menimbulkan kecemburuan dari mereka yang berasal dari golongan di bawahnya. Hal ini jika tidak dikendalikan akan dapat menimbulkan suasana pergaulan yang tidak sehat dan kondisi ini akan dapat merusak nilai-nilai moral anak; 4. Sekolah belum dapat menerapkan aturan secara jelas, tegas, dan konsisten. Jika sekolah tidak menerapkan aturan secara tegas, kondisi seperti ini akan melahirkan kebiasaan berperilaku menyimpang. Oleh karena itu, untuk memupuk nilai-nilai ketaatan pada diri siswa, sekolah harus menerapkan aturan secara konsisten. Bagi mereka yang salah harus segera ditindak sesuai dengan tingkat kesalahannya; 5. Siswa-siswa SMA mempunyai bobot tanggung jawab yang lebih besar daripada siswa-siswa di bawahnya, seperti materi pelajaran yang makin sulit, tugas-tugas pekerjaan rumah yang makin banyak, dan keterlibatannya dalam kegiatan OSIS. Sistem pengawasan sekolah terhadap kegiatan siswa baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler kurang berjalan sebagaimana mestinya. Hal tersebut dapat mengakibatkan perilaku siswa tidak terkontrol, misalnya melakukan kecurangan dalam tes atau ujian. Itulah sebabnya, pendidikan antikorupsi melalui pengembangan nilai-nilai luhur perlu disemaikan kepada mereka, baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler; 6. Belum banyak sekolah, baik SMP maupun SMA yang memperoleh informasi dan sosialisasi tentang pendidikan antikorupsi. Pada level SMA, melalui pendidikan antikorupsi, siswa-siswa diharapkan mampu melakukan analisis, mencari berbagai alternatif pemecahan masalah, menghindari dan Pendidikan Antikorupsi 15

melawan perilaku korupsi yang terjadi di sekitarnya.

Upaya pemberantasan korupsi, terutama dalam hal pencegahan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disambut positif oleh Departemen Pendidikan Nasional. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, substansi materi pendidikan antikorupsi dirumuskan dalam kurikulum kelas V semester I, kelas VIII semester I dan kelas X semester I. Meskipun tidak dicantumkan ke seluruh semester dari jenjang sekolah dasar hingga menengah, tetapi upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan patut diapresiasi karena hal tersebut dapat memberikan landasan moral dan sosial kepada siswa agar mereka memiliki kebiasaan berperilaku antikorupsi. Dalam sejarah Indonesia, kehadiran mahasiswa tidak pernah lepas dari peran sentral yang dimainkan. Mulai dari Soetomo, Soekarno, Hatta, Akbar Tanjung, Rachman Tolleng, Fahmi Idris, Hariman Siregar, hingga Rama Pratama menjadi pelopor pada zamannya masing-masing dalam menggerakkan perubahan sosial politik di Indonesia. Sebagaimana diungkapkan oleh Saidi (1989: 20), bahwa sejak Indonesia mempunyai mahasiswa berkat dibukanya pendidikan tinggi pada awal abad ke-20, mereka sudah mempunyai kesadaran politik. Kesadaran politik ini tidak ditujukan untuk meraih kekuasaan politik, tetapi dimaksudkan untuk menggugah kesadaran kaum pribumi akan pentingnya roh keindonesiaan dan sekaligus meningkatkan harkat martabat dan derajat kaum pribumi. Betapa mulia tujuan gerakan mahasiswa dan pemuda pada masa itu. Sepanjang sejarah Indonesia, mahasiswa berpolitik karena 16 Dr. Eko Handoyo, M.Si. lemahnya lembaga politik atau karena lembaga tersebut memerlukan mahasiswa sebagai kader pemimpin. Banyak di antara aktivis-aktivis gerakan mahasiswa yang selanjutnya menjadi pemimpin, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun di dalam partai-partai politik. Tidak sembarang mahasiswa dapat menjadi pemimpin. Mereka sudah berbekal pengalaman organisasi yang cukup matang, dilandasi oleh nilai-nilai tanggung jawab, kejujuran, solidaritas, keberanian, kepedulian, dan lain-lain. Nilai-nilai inilah yang mengantarkan mereka menjadi pemimpin yang disegani pada masanya. Mahasiswa pada masa kini pun semestinya mewarisi jiwa kepemimpinan mahasiswa dan pemuda generasi sebelumnya. Kepemimpinan sangat dibutuhkan mahasiswa, karena bangsa dan negara ini memerlukan kehadirannya. Selain itu, kompleksitas permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia ke depan, sangat membutuhkan mahasiswa yang memiliki karakter unggul, baik karakter intelektual, emosional, spiritual, maupun moral. Dalam situasi bangsa dan negara yang mengalami krisis kepercayaan, krisis moralitas, dan krisis kepemimpinan, maka sudah selayaknya mahasiswa mendapatkan pendidikan antikorupsi. Pendidikan antikorupsi dibutuhkan, karena akan dapat membentuk karakter mahasiswa yang unggul, sekaligus juga diharapkan pada saatnya nanti ketika menjadi pemimpin dapat dipertanggungjawabkan kepemimpinannya. Apalagi pada diri mahasiswa terdapat 3 (tiga) dimensi yang harus diasah secara berkelanjutan, yaitu: (1) intelektual, (2) jiwa muda, dan (3) idealisme (Saidi, 1989: 27). Ketiga dimensi atau karakter tersebut Pendidikan Antikorupsi 17 sangat diperlukan agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi penting dalam menciptakan Indonesia yang unggul, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Perlunya pendidikan antikorupsi diberikan di perguruan tinggi baik sebagai mata kuliah tersendiri maupun terintegrasi dengan mata kuliah yang lain, secara khusus ditujukan untuk memberi bekal pengetahuan sekaligus mentransformasikan mahasiswa sebagai agen antikorupsi yang memiliki kompetensi dan komitmen moral yang tinggi (Azra, 2006: viii). Kompetensi dan komitmen ini selanjutnya ditransformasikan lagi ke dalam bentuk nilai-nilai dan gerakan antikorupsi kepada masyarakat dan generasi di bawahnya. BAB II KORUPSI, ANTIKORUPSI, DAN PENDIDIKAN ANTIKORUPSI

anyak tindakan korupsi terjadi tidak karena pelaku Bsengaja melakukannya, tetapi juga karena banyak anggota masyarakat atau kelompok sosial yang tidak memahami bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan perbuatan korupsi. Dalam bagian ini diuraikan konsep korupsi, yang meliputi pengertian dan ciri-ciri korupsi, korupsi sebagai penyakit, perilaku antikorupsi (termasuk di dalamnya dielaborasi nilai-nilai antikorupsi, seperti kejujuran, tanggung jawab, keberanian, keadilan, kedisiplinan, kesederhanaan, dan lain-lain). Setelah itu dijelaskan konsep pendidikan antikorupsi, meliputi pengertian, tujuan, pendekatan dan metode serta sekolah dan perguruan tinggi sebagai agen pendidikan antikorupsi.

A. Pengertian dan Ciri-Ciri Korupsi Dalam sejarah kehidupan manusia, korupsi bukan hal baru. Sejak manusia hidup bermasyarakat, sudah tumbuh perilaku koruptif atau menyimpang, yang tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Manusia dan kelompok sosial yang hidup dalam

18 Pendidikan Antikorupsi 19 persaingan memperebutkan tanah dan sumber daya alam untuk keperluan hidup, telah mendorongnya bertindak menyimpang, memanipulasi, menipu, dan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Perilaku koruptif manusia yang dimaksudkan untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya memiliki variasi yang beranekaragam, sehingga pola-pola tindakan korupsi juga banyak variasinya. Itulah sebabnya, dipahami bahwa korupsi bukan konsep sederhana. Korupsi merupakan konsep yang kompleks, sekompleks persoalan yang dihadapi oleh suatu masyarakat atau pemerintahan. Demikian pula, mendefinisikan korupsi bukan pekerjaan yang mudah. Sebagaimana dinyatakan oleh Phil Williams, meningkatnya ragam korupsi akibat kecanggihan para pelaku yang menyebabkan pendefinisian korupsi terus dikaji ulang agar mendapat pemahaman yang sistematis (Sitepu, 2004: 1). Perlu dikemukakan akar kata korupsi dan pengertian secara etimologis, sebelum diketengahkan definisi korupsi dari para pemerhati masalah korupsi. Korupsi berasal dari bahasa Latin corruption atau corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa, seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yakni corruption dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata corruptie diserap ke dalam bahasa Indonesia, yaitu korupsi. Dalam bahasa Muangthai, korupsi dinamakan gin moung, artinya makan bangsa; dalam bahasa China, tanwu, artinya keserakahan bernoda; dan dalam bahasa Jepang, oshuku, yang berarti kerja kotor (KPK, 2007: 2). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi berasal dari kata korup artinya: buruk, rusak, busuk; suka memakai barang 20 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

(uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 596-596). Dalam kamus tersebut, korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 597). Dari istilah-istilah tesebut, korupsi dipahami sebagai perbuatan busuk, rusak, kotor, menggunakan uang atau barang milik lain (perusahaan atau negara) secara menyimpang yang menguntungkan diri sendiri. Korupsi melibatkan penyalahgunaan kepercayaan, yang umumnya melibatkan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Johnson (2005: 12) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan peran, jabatan publik atau sumber untuk keuntungan pribadi. Dalam definisi tersebut, terdapat empat komponen yang menyebabkan suatu perbuatan dikategorikan korupsi, yaitu penyalahgunaan (abuse), public (public), pribadi (private), dan keuntungan (benefit). Dalam pandangan Johnson (2005: 16), dalam negara yang melaksanakan liberalisasi dan privatisasi dalam kegiatan ekonomi, akan muncul kecenderungan terjadinya pertukaran antara kesejahteraan (wealth) dan kekuasaan (power). Inilah yang oleh Johnson disebut dengan corruption syndromes. Lambsdorff (2007: 35) mengajukan definisi korupsi tidak jauh berbeda dengan Johnson, yakni “the misuse of public power for private benefit”. Definisi singkat tersebut bermakna penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Istilah private benefit menunjuk pada penerimaan uang atau aset-aset yang bernilai, termasuk juga di dalamnya peningkatan Pendidikan Antikorupsi 21 kekuasaan atau status. Menerima janji-janji untuk kesenangan masa depan atau keuntungan-keuntungan relatif dan teman-teman juga dapat dipandang sebagai private benefit. Keuntungan yang berkaitan dengan teman-teman diistilahkan sebagai nepotisme dan favoritisme. Kekuasaan publik (public power) biasanya diselenggarakan oleh birokrat, termasuk juga para pegawainya dan politisi. Dalam perspektif yang luas, termasuk juga mereka yang bekerja di kehakiman, pengadaan barang publik, regulasi-regulasi bisnis dan pemberian izin, privatisasi, pertukaran luar negeri atau bagian devisa, perpajakan, kepolisian, bagian subsidi, pelayanan atau utilitas publik dan pelayanan-pelayanan pemerintah lainnya. Istilah penyalahgunaan (misuse) merujuk pada perilaku yang menyimpang, baik dari tugas-tugas formal kedinasan dari peran publik maupun yang bertentangan dengan aturan-aturan informal (yang dibangun melalui harapan-harapan publik atau kode etik yang telah baku) atau pada umumnya adalah kepentingan- kepentingan sempit yang diikuti oleh pengeluaran kepentingan publik dalam skala besar dan luas. Webster’s Third New International Dictionary mengartikan korupsi sebagai ajakan dari seorang pejabat politik dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas (Klitgaard, 2005: 29). Oxford English Dictionary mengartikan korupsi sebagai perbuatan tidak wajar dari integritas melalui penyuapan atau penyogokan. Korupsi juga bermakna pervert, defile, make venal, bribe (Tarling, 2005: 5). Dalam konteks ini, korupsi diartikan sebagai perbuatan tidak wajar, kotor, cemar, dapat disogok dan menyogok. 22 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Pope (2007: 6) memaknai korupsi sebagai menyalahgunakan kekuasaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Dalam bukunya berjudul Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Jeremy Pope (2007:6-7) mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka. Joseph Nye mengartikan korupsi sebagai behavior which deviates from the normal duties of a public role because of private- regarding (personal, close family, private clique) pecuniary or status gains or vialotes rule against the exercise of certain types of private-ragarding influence (Wibowo, 2006: 5). Definisi tersebut menjelaskan bahwa korupsi merupakan perilaku menyimpang dari tugas-tugas normal pejabat publik. Kuper dan Kuper sebagaimana dikutip Nugroho D dan Tri Hanurita S (2005: 113) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah atau politisi bagi keuntungan mereka sendiri. Tidak jauh berbeda dengan pengertian tersebut, Senturia memberi batasan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi (Nugroho D dan Tri Hanurita S., 2005: 113). Klitgaard (2005: 31) mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku Pendidikan Antikorupsi 23 pribadi. Definisi tersebut mengandung tingkah laku politik, karena menyangkut penyimpangan jabatan negara. Ada muatan moral pada kata “korupsi”, sebab korupsi yang berasal dari kata latin corruptus mengesankan serangkaian gambaran jahat, yang bermakna apa saja yang merusak keutuhan. Senada dengan apa yang dikemukakan Klitgaard, Bracking (2007: 4) memaknai korupsi dalam konteks administrative corruption atau bureaucratic corruption, petty corruption, dan graft. Korupsi administrasi atau birokrasi adalah pembayaran haram yang diterima oleh pegawai negeri dari pengguna dalam menerapkan peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan, dan hukum. Dalam kaitannya dengan korupsi administrasi, Pope (2007: 8) melihat ada dua kategori berbeda mengenai korupsi administrasi. Pertama, korupsi terjadi dalam situasi, misalnya jasa atau kontrak diberikan sesuai peraturan yang berlaku. Kedua, korupsi terjadi dalam situasi transaksi berlangsung secara melanggar peraturan yang berlaku. Masih dalam hubungannya dengan perilaku pegawai negeri, petty corruption juga merupakan korupsi, berupa tindakan- tindakan mengambil uang sewa atau tindakan-tindakan kecil lainnya yang dilakukan oleh pegawai negeri. Sementara itu, graft adalah pemanfaatan sumber-sumber publik untuk kepentingan individu atau pribadi. Sir Arthur Lewis secara singkat memaknai korupsi sebagai pembayaran untuk memperoleh pelayanan (just a payment for service). Pemahaman korupsi dalam konteks politik di atas berbeda dengan konsep korupsi dalam pandangan ekonomi. Teori ekonomi klasik dari korupsi memandang korupsi sebagai salah satu cara dari beberapa alokasi sumber-sumber langka, dimana perilaku rasional 24 Dr. Eko Handoyo, M.Si. dari aktor-aktor pasar berhubungan dengan insentif dan sewa (Bracking, 2007: 10). Dalam pendekatan klasik, optimal amount of corruption adalah mungkin dan diterima pula pandangan tentang biaya sosial marginal. Karenanya, korupsi merupakan varian pilihan ekonomi dan seperti kebanyakan pilihan ekonomi lainnya, ditentukan oleh harga pasar. Dalam pandangan antropologi ekonomi, korupsi mencakupi perbuatan menegosiasi aturan-aturan permainan secara fleksibel (cair), sistem norma ganda, banyak pedagang perantara atau makelar, praktik-praktik pemberian hadiah, jaringan solidaritas dan kolusi, solidaritas keluarga luas, dan bentuk-bentuk kewenangan neopatrimonial atau predator (Bracking, 2007: 12). Di China terdapat perluasan definisi korupsi yang mencakupi: (1) tanwu, yakni pencurian, (2) shouhui atau menerima suap, (3) nuoyong artinya menyalahgunakan kedudukan, (4) huihuo langfei bermakna menghamburkan uang, (5) yiquan mousi yang berarti mencari kemudahan bagi kerabat, teman dan diri sendiri, (6) feifa shouru, artinya menerima pemberian ilegal, (7) duzhi, mengandung arti tidak menjalankan tugas dengan baik, (8) touji daoba, mengandung makna mengambil untung secara berlebihan, (9) weifan caijing jilu, yaitu melanggar prosedur pembukuan, (10) zouji, berarti penyelundupan, dan (11) daode duoluo, artinya keruntuhan moral (Wibowo, 2006: 6). Guna mempermudah pemahaman mengenai korupsi, Klitgaard, Maclean-Abaroa dan Parris membuat rumus korupsi sebagai berikut. C = M + D – A, dimana korupsi (Corruption = C) sama dengan kekuasaan monopoli (monopoly power atau M) plus wewenang pejabat (discretion by officials atau D) minus Pendidikan Antikorupsi 25 akuntabilitas (accountability atau A) (Klitgaard, Maclean-Abaroa dan Parris, 2005: 29). Dari rumus tersebut dapat dijelaskan bahwa jika seseorang memegang monopoli atas barang dan atau jasa dan memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang berhak mendapat barang atau jasa itu dan berapa banyak serta tidak ada akuntabilitas, dalam arti orang lain dapat menyaksikan apa yang diputuskan oleh pemegang wewenang tersebut, maka kemungkinan besar akan dapat ditemukan perilaku korupsi. Perbuatan korupsi berkaitan erat dengan kecurangan atau penipuan yang dilakukan. Berbuat curang atau menipu, berarti orang tersebut tidak jujur. Kejujuran memang merupakan suatu sikap dan perilaku yang langka di negeri ini. Dalam kenyataannya, tidak setiap orang jujur dalam kehidupan sehari-harinya. Ada4 (empat) katagori kejujuran. Pertama, sejumlah orang jujur untuk setiap saat. Kedua, sejumlah orang tidak jujur untuk setiap saat. Ketiga, sebagian besar orang jujur untuk setiap saat. Keempat, sejumlah orang jujur hampir setiap saat. Dari empat tipe perilaku yang berkaitan dengan kejujuran tersebut, perilaku keempat yang paling baik dan relevan untuk menumbuhkan perilaku antikorupsi. Dalam kaitan dengan korupsi, kecurangan bisa mendorong perbuatan korupsi. Hal ini dapat terjadi karena adanya 3 (tiga) tiang penyangga korupsi, yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalize). Tekanan seperti mengikuti gaya hidup modern, kerugian materi atau uang, terbelit hutang, akan menyebabkan seseorang berbuat curang atau korupsi. Orang yang memiliki kedudukan, jabatan, pangkat, dan pendidikan yang lebih tinggi biasanya memiliki kesempatan untuk berbuat korupsi. Kesempatan itu dimiliki karena pihak 26 Dr. Eko Handoyo, M.Si. koruptor memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kondisi departemen, kantor, atau lingkungannya. Selain itu, karena mereka memiliki otoritas untuk mengendalikan kegiatan atau pekerjaan. Demikian pula, mereka mengetahui kelemahan di lingkungan departemen, kantor, dan pekerjaannya, sehingga dapat dimanipulasi yang menyebabkan pihak lain tidak tahu bahwa mereka telah melakukan korupsi. Perbuatan curang atu korupsi dikemas sedemikian rupa, sehingga apa yang dilakukan seolah bukan tindakan korupsi. Inilah yang disebut dengan rasionalisasi perilaku korupsi. Ditambah oleh tidak adanya moral atau etika yang baik dari pelaku korupsi, menyebabkan perbuatan curang tersebut mempermudah orang melakukan korupsi. Albrecht dan Chad O. Albrecht (2003) menyebut tiga penyangga kecurangan yang mampu mendorong seseorang bertindak korupsi sebagai segitiga kecurangan. Gambaran tentang segitiga kecurangan dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Segitiga Kecurangan

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi telah diuraikan panjang lebar dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Pendidikan Antikorupsi 27

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebanyak 13 buah pasal. Dari pasal-pasal tersebut, korupsi dirinci lebih lanjut ke dalam 30 bentuk tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menjelaskan secara rinci tentang perbuatan-perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena kasus korupsi. Uraian tentang bentuk- bentuk korupsi dapat dicermati dalam Bab III. Untuk memahami konsep korupsi secara komprehensif, Alatas (1986: 12-14) mengemukakan ciri-ciri korupsi sebagai berikut. (1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang; (2) Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan; (3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik; (4) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum; (5) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum; (6) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan; (7) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif; dan (8) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat. Kata-kata kunci untuk memahami konsep korupsi di atas adalah: serba rahasia, keuntungan timbal balik, selubung, penipuan, pengkhianatan kepercayaan, dan melanggar norma.

B. Penyakit Korupsi Dalam dunia kesehatan, korupsi ibarat sebuah penyakit. Sebagai sebuah penyakit, tidak beralasan kiranya jika ada sementara pihak yang mengatakan bahwa praktik korupsi memberi manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Sudjana 28 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

(2008: 37) sampai pada kesimpulan bahwa korupsi merupakan penyakit sosial yang harus dikikis betapapun banyak orang yang terjangkit olehnya. Berkaitan dengan hal ini, ada kisah bagus dari China mengenai betapa bahayanya korupsi. Ceritera tersebut berjudul Tikus di Kuil (Tang 2005: 222). Bangsawan Huan dari Qi bertanya kepada Guan Zhong, perdana menterinya: “Apakah ancaman terbesar bagi negara? “Ancaman itu adalah mereka yang menyerupai tikus-tikus di kuil,” jawab Guan Zhong. “Tolong Anda jelaskan”. Tuanku, Anda tentunya sudah melihat tikus-tikus di dinding kuil”. Kuil adalah tempat sakral. Tetapi jika dipenuhi tikus, sangat sedikit yang dapat kita lakukan. Jika kita mencoba mengasapinya agar mereka keluar, kita bisa jadi malah membakar kuil itu; jika kita menuangkan air di lubang-lubang di dinding, kita bisa jadi merusak lapisan dan cat dinding itu.” Orang-orang yang dekat dengan penguasa, kata Guan Zhong, adalah seperti tikus-tikus itu. Mereka menggunakan pengaruh mereka untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka menerima suap dan berkolusi dengan kelompok-kelompok yang punya kepentingan yang sama untuk merongrong negara. Mereka mendukung orang-orang yang mendengarkan mereka dan mempersulit hidup orang-orang yang tidak mendengarkan mereka. Sepanjang waktu sang penguasa berada dalam kegelapan. Orang-orang seperti ini harus dihukum, tetapi sayangnya mereka mempunyai tempat di hati penguasa. Jika segalanya terus berjalan seperti ini, negara akan hancur. Dalam ceritera di atas, kuil adalah negara, sedangkan tikus adalah para pejabat atau pegawai negeri yang seolah-olah setia kepada negara dengan bekerja sungguh-sungguh, tetapi di balik itu mereka menggerogoti keuangan negara dengan melakukan Pendidikan Antikorupsi 29 pemerasan, penggelapan, kecurangan, penggelembungan harga, dan perbuatan-perbuatan kotor lainnya. Terkait dengan hal ini, menarik sekali pernyataan seorang pejabat Thailand yang merasakan bahwa apa yang selama ini dilakukan tidak termasuk perbuatan korupsi.

“Apa yang anda namakan korupsi, bagi saya adalah bertahan hidup. Anak buah saya mengharapkan saya untuk membantu mereka dengan cara apapun. Saya suka pekerjaan saya. Saya punya keluarga besar. Mungkin ada cara-cara lain, tetapi saya tidak melihatnya, dan selain itu saya tidak merugikan siapapun. Coba katakan, apakah ada pilihan lain? Anda mau tahu berapa gaji saya? Saya tidak bodoh. Saya tahu tugas saya dan saya kira semua orang tahu tugas masing-masing. Korupsi memang suatu masalah di Thailand, tetapi tidak ada jalan yang lebih baik sekarang. Selain itu, setiap orang di bagian ini sudah bertahun- tahun melakukan korupsi.” (Pope, 2007: 18).

Dalam agama Hindu, korupsi merupakan perbuatan adharma atau menyimpang dari ajaran agama (Kuntoro, 2006: 16). Dharma yang benar adalah jika segala perbuatan manusia bertujuan untuk memberi kesejahteraan, sebab sebagaimana dalam ajaran Hindu, kesentosaan umat manusia dan kesejahteraan masyarakat datang dari dharma. Dalam ajaran agama Hindu, korupsi merupakan perbuatan menyimpang dari nilai-nilai agama (dharma), nilai- nilai kebenaran dan kejujuran (satyam), kebajikan (siwam), dan keharmonisan atau keindahan hidup (sundaram). Oleh karenanya, ajaran Hindu mengingatkan, mereka yang tertipu sifat guna (seperti rajas dan tamas) terikat pada keinginan yang dihasilkan olehnya; tetapi yang mengerti jangan sampai menyesatkan mereka yang pengetahuannya tidak sempurna (Warta, 2006: 60). 30 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Orang sudah tahu apa yang dilakukannya salah dan merugikan pihak lain, tetapi tetap saja dilakukan. Karena akibat yang ditimbulkan luar biasa mengerikan bagi kehidupan rakyat, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Keputusan Fatwa Musyawarah Nasional VI MUI Nomor 4/MUNAS VI/MUI/2000 tentang risywah (suap), ghulul (korupsi), dan hadiah kepada pejabat (KPK, 2007: 4). Ini artinya, MUI sebagai lembaga resmi pemerintah tegas-tegas telah melarang dan mengharamkan suap, korupsi, dan pemberian hadiah kepada pejabat. Dengan demikian, sesungguhnya umat Islam yang merupakan penduduk terbesar di Indonesia sudah diberi rambu-rambu tentang keharaman perbuatan korupsi. Kalau rambu-rambu tersebut tetap saja dilanggar, berarti korupsi telah menjadi penyakit bagi umat Islam. Tampaknya penyakit korupsi yang menjangkiti para koruptor sudah demikian parah. Mengapa korupsi masih saja berlangsung? Nugroho dan Tri Hanurita (2005: 116) mencatat 7 alasan mengapa korupsi tumbuh dan berkembang terutama di negara berkembang. Pertama, kemiskinan. Kemiskinan membuat pegawai pemerintah mau melakukan apapun juga asal mendapatkan tambahan penghasilan untuk membuat keluarganya selamat. Isu tentang kemiskinan menjadi pembenar mengapa pegawai negeri sering korupsi. Demikian pula, kemiskinan membuat rakyat kecil bersedia menyuap pejabat pemerintah untuk mendapatkan pelayanan yang seharusnya. Kedua, kekuasaan yang berlebihan atau yang berasal dari keserakahan. Kekuasaan yang memusat atau monopolistik memberi peluang kepada pemerintahan Soeharto di era Orde Baru untuk membuat keputusan-keputusan yang menguntungkan lingkaran kekuasaannya. Bahkan Enron, Pendidikan Antikorupsi 31 perusahaan raksasa di USA tahun 2001 menjadi bangkrut gara- gara mark-up yang dilakukannya. Ketiga, budaya. Kinoshita melaporkan hasil penelitiannya bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat keluarga besar, yakni sebuah masyarakat yang mempunyai nilai bahwa kesuksesan seseorang anggota keluarga harus pula dinikmati oleh seluruh anggota keluarga besar. Keempat, ketidaktahuan. Ini alasan yang paling mengada- ada. Dalam pertemuan Asosiasi DPRD Kota se-Indonesia tanggal 7 Desember 2004, pimpinan DPRD kota Depok dan Cirebon mengungkapkan bahwa dipenjarakannya sebagian anggota DPRD berkaitan dengan persoalan korupsi karena telah melakukan penyimpangan peraturan anggaran sesungguhnya tidak adil. Yang terjadi, dengan adanya perubahan kebijakan pemerintah pusat tentang anggaran pembangunan dalam waktu cepat dimana anggota DPRD menggunakan aturan yang ada namun diperiksa dengan aturan anggaran yang baru. Dikemukakan pula bahwa pihak eksekutif sering memberi dana yang tidak diketahui dari mana sumbernya dan digunakan untuk keperluan apa. Kelima, rendahnya kualitas moral masyarakat. Gaji rendah sering dijadikan alasan untuk mencari tambahan penghasilan meskipun dengan cara yang tidak benar. Keenam, lemahnya kelembagaan politik suatu negara, baik menyangkut sistem hukumnya, birokrasi maupun sistem interaksi antarlembaga yang cenderung melahirkan perilaku dan budaya korup. Ketujuh, korupsi terjadi karena penyakit bersama. Seperti dikatakan oleh Kimberley Ann Elliott, bahwa korupsi menjadi gejala baru dalam globalisasi. Dalam dunia yang serba terkoneksi, 32 Dr. Eko Handoyo, M.Si. maka penyakit korupsi dengan cepat menular dari satu kawasan ke kawasan lain.

C. Pengertian Antikorupsi Antikorupsi merupakan kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi berkembangnya korupsi (Maheka, t.th: 31). Pencegahan yang dimaksud adalah bagaimana meningkatkan kesadaran individu untuk tidak melakukan korupsi dan bagaimana menyelamatkan uang dan aset negara. Menurut Maheka (t.th: 31), peluang bagi berkembangnya korupsi dapat dihilangkan dengan cara melakukan perbaikan sistem (hukum dan kelembagaan) dan perbaikan manusianya. Dalam hal perbaikan sistem, langkah-langkah antikorupsi mencakupi: 1. Memperbaiki peraturan perundangan yang berlaku untuk mengantisipasi perkembangan korupsi dan menutup celah hukum atau pasal-pasal karet yang sering digunakan koruptor melepaskan diri dari jerat hukum; 2. Memperbaiki cara kerja pemerintahan (birokrasi) menjadi sederhana (simpel) dan efisien; 3. Memisahkan secara tegas kepemilikan negara dan kepemilikan pribadi serta memberikan aturan yang jelas tentang penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan umum dan penggunaannya untuk kepentingan pribadi; 4. Menegakkan etika profesi dan tata tertib lembaga dengan pemberian sanksi secara tegas; 5. Penerapan prinsip-prinsip good governance; 6. Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi dan memperkecil terjadinya human error. Pendidikan Antikorupsi 33

Berkaitan dengan perbaikan manusia, langkah-langkah antikorupsi meliputi: 1. Memperbaiki moral manusia sebagai umat beriman, yaitu dengan mengoptimalkan peran agama dalam memberantas korupsi. Artinya bahwa pemuka agama berusaha mempererat ikatan emosional antara agama dengan umatnya, menyatakan dengan tegas bahwa korupsi merupakan perbuatan tercela, mengajak masyarakat untuk menjauhkan diri dari segala bentuk perilaku korupsi, dan menumbuhkan keberanian masyarakat untuk melawan korupsi; 2. Memperbaiki moral bangsa, yakni mengalihkan loyalitas keluarga, klan, suku, dan etnik ke loyalitas bangsa; 3. Meningkatkan kesadaran hukum individu dan masyarakat melalaui sosialisasi dan pendidikan antikorupsi; 4. Mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan kesejahteraan; 5. Memilih pemimpin (semua level) yang bersih, jujur, antikorupsi, peduli, cepat tanggap (responsif) dan dapat menjadi teladan bagi yang dipimpin.

Upaya-upaya antikorupsi di berbagai negara seringkali mengalami kegagalan. Karena itulah, Pope (2007: xxxi) menyarankan hal-hal berikut agar upaya antikorupsi dapat mencapai keberhasilan. 1. Kemauan yang teguh di pihak pemimpin politik untuk memberantas korupsi dimanapun terjadi dan untuk diperiksa; 2. Menekankan pencegahan korupsi di masa datang dan perbaikan sistem; 3. Adaptasi undang-undang antikorupsi yang menyeluruh 34 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

dan ditegakkan oleh lembaga-lembaga yang mempunyai integritas; 4. Identifikasi kegiatan-kegiatan pemerintahan yang paling mudah menimbulkan rangsangan untuk korupsi dan meninjau kembali undang-undng terkait dan prosedur administrasi; 5. Program untuk memastikan bahwa gaji pegawai negeri dan pemimpin politik mencerminkan tanggung jawab jabatan masing-masing dan tidak jauh berbeda dari gaji di sektor swasta; 6. Penelitian mengenai upaya perbaikan hukum dan administrasi yang memastikan upaya hukum dan administrasi bersangkutan cukup mampu berfungsi sebagai penangkal korupsi; 7. Menciptakan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat sipil; 8. Menjadikan korupsi sebagai perbuatan beresiko tinggi dan berlaba rendah, 9. Mengembangkan gaya manajemen yang selalu berubah yang memperkecil resiko bagi orang-orang yang terlibat dalam korupsi “kelas teri”, dan yang mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh politik, namun dilihat oleh masyarakat luas sebagai program yang adil dan masuk akal bagi situasi yang ada.

D. Nilai-Nilai Antikorupsi Upaya untuk melawan atau memberantas korupsi tidak cukup dengan menangkap dan menjebloskan koruptor ke penjara, sebab peluang untuk berbuat korupsi terhampar luas di hadapan para calon koruptor, terlebih lagi banyak tersedia arena bagi koruptor- koruptor baru untuk melampiaskan hasrat korupsinya. Itulah Pendidikan Antikorupsi 35 sebabnya diperlukan penanaman nilai-nilai antikorupsi sebagai upaya pencegahan kepada generasi muda. Mengapa nilai-nilai antikorupsi perlu disemaikan ke dalam jiwa dan roh generasi muda? Ada keyakinan bahwa generasi sekarang ini adalah generasi yang lahir, tumbuh, dan berkembang di dalam sistem dan budaya yang korup. Hal ini berakibat pada sikap permisif generasi sekarang terhadap perbuatan korupsi. Secara lahiriah mereka mengutuk dan mencela perbuatan korupsi, tetapi hati mereka tidak tega terhadap para koruptor, sehingga mereka cenderung membiarkan dan memaafkan para koruptor. Jika demikian halnya, selamanya korupsi tidak akan dapat diberantas. Untuk itulah, generasi yang akan datang atau yang saat ini disebut generasi muda harus didorong untuk mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap bentuk korupsi. Perubahan dari sikap membiarkan dan menerima korupsi ke sikap tegas menolak korupsi tidak akan pernah terwujud jika generasi sekarang yang masih memiliki hati nurani tidak mau dan mampu membina generasi muda untuk mengevaluasi dan memperbarui nilai-nilai yang diwarisi dari generasi terdahulu dan sekarang sesuai dengan tuntutan, perkembangan dan kebutuhan bangsa. Nilai yang dimaksudkan di sini adalah sesuatu yang menarik, sesuatu yang dicari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai atau sesuatu yang baik (Bertens, 2001: 139). Nilai-nilai antikorupsi yang perlu disemaikan kepada generasi muda, terutama mereka yang masih duduk di bangku TK, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi antara lain: 1. Kejujuran Kejujuran adalah sifat (keadaan) jujur, ketulusan hati, dan kelurusan hati (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 479). Kejujuran 36 Dr. Eko Handoyo, M.Si. adalah mengungkapkan sesuatu sesuai dengan kenyataan yang dilakukan, dialami dan dirasakan (Sutrisno dan Sasongko, t.th.: 40). Kejujuran merupakan dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral (Suseno, 1987: 142). Tanpa kejujuran, manusia tidak dapat maju selangkah pun, karena ia tidak berani menjadi diri sendiri. Tanpa kejujuran, keutamaan-keutamaan moral lainnya akan kehilangan nilainya. Bersikap baik kepada orang lain, tetapi tidak dilandasi kejujuran adalah kemunafikan dan racun bagi diri sendiri. Tidak jujur berarti tidak seiya-sekata dan itu berarti orang yang tidak jujur belum sanggup mengambil sikap yang lurus. Orang yang tidak lurus, tidak menempatkan dirinya sebagai titik tolak, tetapi lebih mengutamakan apa yang diperkirakan diharapkan oleh orang lain. Kejujuran dimulai dari lingkungan yang terdekat, yakni dari diri sendiri, keluarga, kelas, sekolah dan tempat tinggal. Ibarat bola salju, pribadi jujur akan menggelinding terus membentuk keluarga yang jujur. Keluarga yang jujur menggelinding terus membentuk lingkungan tempat tinggal terdekat yang jujur. Lingkungan yang jujur menggelinding terus tak tertahankan akan membentuk masyarakat yang jujur dan masyarakat jujur seperti itu pada akhirnya akan mampu membangun karakter bangsa yang jujur. Contoh dalam hal ini adalah bangsa Finlandia. Kata-kata kunci kejujuran adalah berkata dan bertindak benar, lurus hati, terhormat, terbuka, menghargai diri sendiri, dapat dipercaya, memiliki niat yang lurus terhadap setiap tindakan (Bahri, 2008: 15; Tamrin, 2008: 16). Dalam kehidupan sekolah maupun kampus, nilai kejujuran dapat diwujudkan oleh siswa dan mahasiswa, dengan tidak melakukan kecurangan akademik, seperti tidak berbohong kepada Pendidikan Antikorupsi 37 guru dan dosen, tidak mencontek saat ujian, tidak melakukan plagiarisme, dan tidak memalsukan nilai. 2. Tanggung Jawab Kata tanggung jawab berasal dari kata tanggung dan kata jawab. Kata tanggung bermakna beres, tidak perlu khawatir (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 1138). Tanggung jawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikap pihak sendiri atau orang lain (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 1139). Tanggung jawab adalah melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh dari orang lain atau diri sendiri hingga selesai atau sanggup menanggung resiko dari apa yang telah dikerjakan atau diperbuat (Surono (ed), t.th: 16). Tanggung jawab berarti bahwa orang tidak boleh mengelak bila diminta penjelasan tentang perbuatannya (Bertens, 2001: 125). Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita, dimana kita merasa terikat untuk menyelesaikannya demi tugas itu sendiri (Suseno, 1987: 145). Dalam tanggung jawab terdapat pengertian penyebab, artinya orang bertanggung jawab terhadap sesuatu sikap dan perbuatan yang disebabkan olehnya. Setiap orang harus bertanggung jawab terhadap apa yang diniatkan, dikatakan, dan dilakukan, terlebih mereka yang mengaku dirinya pemimpin. Seorang pemimpin yang bertanggung jawab terlahir dari individu yang bertanggung jawab. Seorang belum dapat memimpin orang lain kalau ia tidak mampu memimpin dirinya sendiri. Seorang pemimpin adalah orang yang pertama kali mengerjakan tugas dan orang yang paling akhir mengambil hak atau bagiannya (Bahri, 2008: 3). Kata kunci tanggung jawab adalah komitmen, siap menanggung resiko, menjaga amanah, berani menghadapi resiko, tidak mengelak, 38 Dr. Eko Handoyo, M.Si. ada konsekuensi yang harus ditanggung, dan berbuat yang terbaik (Bahri, 2008: 14; Tamrin, 2008: 18). Wujud nilai tanggung jawab di antaranya adalah belajar sungguh- sungguh, mengerjakan tugas tepat waktu, memelihara amanah ketika mendapat tugas atau menempati posisi tertentu dalam kegiatan (kepanitiaan), dan lulus tepat waktu dengan meraih nilai baik. 3. Keberanian Keberanian berasal dari kata berani, yang artinya mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan sebagainya (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 138). Keberanian adalah tindakan untuk memperjuangkan sesuatu yang diyakini kebenarannya (Sutrisno dan Sasongko (ed), t.th.: 30). Orang yang berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah, merupakan agen penting dalam mengembangkan nilai-nilai antikorupsi. Mengatakan kebenaran adalah pahit dan buahnya adalah manis, yaitu terwujudnya pribadi dan masyarakat yang baik dan benar. Kata kunci keberanian adalah mantap, tegar, hadapi, tekat, semangat, target, fokus, perjuangan, percaya diri, tak gentar, tidak takut, dan pantang mundur (Bahri, 2008: 17; Tamrin, 2008: 23). Nilai keberanian dalam kehidupan sekolah dan kampus dapat diwujudkan dengan indikator berani bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat, berani membela kebenaran dan keadilan betapa pun pahitnya, dan berani mengakui kesalahan. 4. Keadilan Keadilan berasal dari kata adil, artinya sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak; berpihak kepada yang benar, Pendidikan Antikorupsi 39 berpegang pada kebenaran; sepatutnya, tidak sewenang-wenang (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 8). Kata keadilan juga memiliki makna yang beragam. Cephalus, seorang hartawan terkemuka Athena, memaknai keadilan sebagai bersikap fair dan jujur dalam membuat kesepakatan (Rasuanto, 2005: 8). Plato, seorang filsuf Yunani terkenal, memahami keadilan sebagai keseimbangan atau harmoni. Dalam bahasa Arab, kata adil berasal dari kata adl, yang kata kerjanya adalah adala, yang berarti: (1) meluruskan atau duduk lurus, mengamandemen atau mengubah, (2) melarikan diri, berangkat atau mengelak dari satu jalan (yang keliru) menuju jalan lain (yang benar), (3) sama atau sepadan atau menyamakan, (4) menyeimbangkan atau mengimbangi, sebanding atau berada dalam keadaan yang seimbang (Khadduri, 1999: 8). Keadilan adalah memperlakukan seseorang sesuai dengan kebutuhan dan haknya (Surono, t.th.: 47). Kata kunci keadilan adalah objektif, sesuai, netral, proporsional, tidak memihak, berpikiran terbuka, dan penuh pertimbangan (Bahri, 2008: 16; Tamrin, 2008: 21). Nilai keadilan dalam kehidupan sekolah dan kampus dapat diwujudkan dengan sikap dan perilaku tidak memilih teman dalam bergaul, memberikan pujian kepada teman yang berprestasi, serta tidak menyepelekan atau merendahkan teman. 5. Keterbukaan Keterbukaan berasal dari kata terbuka, artinya tidak tertutup, tersingkap, tidak dirahasiakan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 171). Nilai keterbukaan berkaitan erat dengan kejujuran. Terbuka tidak berarti bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab selengkap-lengkapnya atau orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Terbuka berarti kita selalu muncul 40 Dr. Eko Handoyo, M.Si. sebagai diri sendiri (Suseno, 1987: 142). Terbuka berarti pula kita tidak menyembunyikan wajah kita yang sebenarnya. Pendek kata, terbuka adalah orang boleh tahu siapa kita ini. Nilai keterbukaan dalam kehidupan sekolah dan kampus dapat diwujudkan dengan sikap dan perilaku mengungkapkan sesuatu tanpa ditutup-tutupi, apa yang dikatakan sama dengan apa yang dilakukan, apa yang dikerjakan dapat diakses oleh siapa pun, serta memberikan informasi yang dibutuhkan tanpa ada yang disembunyikan. 6. Kedisiplinan Kedisiplinan berasal dari kata disiplin, artinya tata tertib, ketaatan kepada peraturan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 268). Disiplin merupakan kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh sifat yang teguh dalam memegang prinsip, pantang mundur dalam menyatakan kebenaran, dan pada akhirnya mau berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara (Bahri, 2008: 3). Hidup disiplin tidak berarti harus hidup seperti pola militer dengan hidup di barak bagai robot, tetapi hidup disipilin dipahami siswa atau mahasiswa dengan cara mengatur dan mengelola waktu sebaik-baiknya untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan. Manfaat hidup disiplin adalah siswa atau mahasiswa dapat mencapai tujuan atau mengejar kepentingan secara lebih efisien dan efektif. Kata kunci kedisiplinan adalah komitmen, tepat waktu, prioritas, perencanaan, taat, fokus, tekun, dan konsisten (Tamrin, 2008: 17). Wujud dari kehidupan disiplin dalam kegiatan di sekolah dan kampus, di antaranya adalah belajar sesuatu dengan cermat, mengerjakan sesuatu berdasarkan perencanaan yang matang, serta menyelesaikan tugas tepat waktu. Pendidikan Antikorupsi 41

7. Kesederhanaan Kesederhanaan berasal dari kata sederhana, artinya bersahaja, tidak berlebih-lebihan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 1008). Kesederhanaan adalah sikap dan perilaku yang tidak berlebihan terhadap suatu benda, tetapi lebih mementingkan tujuan dan manfaatnya (Surono (ed), t.th: 3). Hidup sederhana berarti hidup bersahaja dan tidak berlebih-lebihan yang didasari oleh suatu sikap mental rendah hati. Kata kunci sederhana adalah bersahaja, tidak berlebihan, sesuai kebutuhan, apa adanya, dan rendah hati (Tamrin, 2008: 19). Wujud dari nilai kesederhanaan dalam kehidupan sekolah dan kampus, di antaranya adalah rendah hati dalam pergaulan di sekolah dan kampus, berpakaian dan menggunakan asesoris tidak berlebihan, tidak boros dalam memenuhi kebutuhan hidup, tidak suka pamer kekayaan, serta hemat dalam menggunakan air, listrik, dan energi lainnya. 8. Kerja keras Kata “kerja” bermakna kegiatan melakukan sesuatu; sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 554). “Keras” berarti gigih atau sungguh-sungguh hati (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 550). Dengan demikian, bekerja keras berarti melakukan sesuatu secara bersungguh-sungguh. Pribadi pekerja keras akan muncul dari sosok yang memiliki motivasi tinggi untuk berubah dan pantang menyerah dalam segala keadaan. Pribadi pekerja keras dapat diwujudkan dengan selalu melakukan tanggung jawab secara sungguh-sungguh serta melakukan segala sesuatu dengan upaya terbaik, sekuat tenaga, penuh kecerdasan tinggi, dan sepenuh hati. Menurut Alma (2008: 106), kerja keras 42 Dr. Eko Handoyo, M.Si. merupakan salah satu dari delapan anak tangga untuk mencapai keberhasilan. Anak tangga lainnya adalah mencapai tujuan dengan menggunakan orang lain, penampilan yang baik, keyakinan diri, membuat keputusan, pendidikan, dorongan ambisi, dan pandai berkomunikasi. Karena pentingnya kerja keras, sampai-sampai Nabi Muhammad saw., secara simbolik memberi hadiah kapak dan tali kepada seorang laki-laki agar dapat digunakan untuk bekerja. Kata kunci kerja keras adalah semangat, gigih, usaha, keyakinan, tabah, keras pendirian, pantang menyerah, terus berharap, dan mempunyai impian (Bahri, 2008: 16; Tamrin, 2008: 20). Wujud dari nilai kerja keras dalam kehidupan di sekolah dan kampus, di antaranya adalah tidak mengambil jalan pintas dalam mencapai tujuan, menghargai proses tidak sekadar mencapai hasil akhir, menggunakan waktu yang sebaik-baiknya untuk mengejar suatu target atau tujuan, serta tidak terlalu memikirkan apa yang akan diperoleh, tetapi memikirkan apa yang harus dapat dihasilkan. 9. Kepedulian Kepedulian berasal dari kata “peduli”, artinya mengindahkan, memperhatikan, menghiraukan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002:841). Kepedulian bermakna berperilaku dan memperlakukan orang lain dan lingkungan sekitarnya, sehingga bermanfaat bagi semua pihak (Surono, t.th.: 57). Peduli merupakan sifat yang dapat membuat segala kesulitan dapat dihadapi, segala keadaan dapat ditanggung bersama, dan keterbatasan pun dapat dicarikan solusinya. Kata kunci peduli adalah memahami, menghargai, mendukung, menghormati, dan menolong (Bahri, 2008: 17). Wujud dari nilai kepedulian dalam kehidupan di sekolah dan Pendidikan Antikorupsi 43 kampus di antaranya adalah mematuhi peraturan sekolah dan tata tertib kampus, membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi teman, merawat tanaman di sekitar sekolah dan kampus, tidak merusak fasilitas umum, serta merawat dan menjaga barang- barang milik umum.

E. Pendidikan Antikorupsi Tidak banyak yang memahami apa itu pendidikan antikorupsi. Untuk itu dalam uraian berikut dijelaskan apa dan untuk apa pendidikan antikorupsi. Secara umum, pendidikan antikorupsi diartikan sebagai pendidikan koreksi budaya yang bertujuan untuk mengenalkan cara berpikir dan nilai-nilai baru kepada peserta didik (Suyanto, 2005: 43). Cara berpikir dan nilai-nilai baru penting disosialisasikan atau ditanamkan kepada peserta didik karena gejala korupsi di masyarakat sudah membudaya dan dikhawatirkan para generasi muda menganggap korupsi sebagai hal biasa. Pendidikan antikorupsi dapat dipahami juga sebagai usaha sadar dan sistematis yang diberikan kepada peserta didik berupa pengetahuan, nilai-nilai, sikap dan keterampilan yang dibutuhkan agar mereka mau dan mampu mencegah dan menghilangkan peluang berkembangnya korupsi. Sasaran akhir bukan hanya menghilangkan peluang, tetapi juga peserta didik sanggup menolak segala pengaruh yang mengarah pada perilaku koruptif. Setiap upaya pendidikan memiliki tujuan tertentu, demikian pula pendidikan antikorupsi. Tujuan pendidikan antikorupsi adalah: (1) pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai berbagai bentuk korupsi dan aspek-aspeknya, (2) perubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi, dan (3) pembentukan 44 Dr. Eko Handoyo, M.Si. keterampilan dan kecakapan baru yang dibutuhkan untuk melawan korupsi. Berdasarkan tujuan tersebut, dapat dicermati bahwa pendidikan antikorupsi melibatkan 3 domain penting yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pertama, aspek kognitif menekankan pada kemampuan mengingat dan mereproduksi informasi yang telah dipelajari, bisa berupa mengkombinasikan cara-cara kreatif atau mensintesiskan ide-ide dan materi baru. Kedua, domain afektif menekankan pada aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai atau pada level menerima atau menolak sesuatu. Ketiga, yaitu domain psikomotorik menekankan pada tujuan melatih kecakapan dan keterampilaUntuk membekali peserta didik agar terbiasa berperilaku antikorupsi, maka dalam penyelenggaraan pendidikan antikorupsi ketiga domain di atas harus diselaraskan atau diintegrasikan dalam target kurikulum baik yang eksplisit maupun implisit. Dengan demikian, arah pendidikan antikorupsi menjadi jelas berdasarkan kriteria-kriteria yang dapat diukur.

F. Sekolah dan Perguruan Tinggi sebagai Agen Pendidikan antikorupsi dapat dilaksanakan di semua jalur pendidikan baik formal, nonformal maupun informal. Namun karena otoritas yang dimiliki dan kultur yang dipunyai, jalur formal atau sekolah dipandang efektif untuk menyiapkan generasi muda berperilaku antikorupsi. Nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab, kerja keras, keberanian, kesederhanaan, keadilan, kedisiplinan dan komitmen dapat disemaikan secara subur melalui kebudayaan sekolah. Karena inilah, para orang tua masih percaya dan menyerahkan kepada sekolah untuk mendidik dan mengajar anaknya. Mungkin karena fungsinya yang sangat strategis sehingga Pendidikan Antikorupsi 45 sampai saat ini sekolah masih dipercaya masyarakat. Dalam kaitan ini, Nasution (1995: 14-17) mencatat ada beberapa fungsi sekolah, yaitu: (1) sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan, (2) sekolah memberikan keterampilan dasar, (3) sekolah membuka kesempatan memperbaiki nasib, (4) sekolah menyediakan tenaga pembangunan, (5) sekolah membantu memecahkan masalah- masalah sosial, (6) sekolah mentransmisi kebudayaan, (7) sekolah membentuk manusia sosial, (8) sekolah sebagai sarana social engineering, dan (9) sekolah juga dapat dipandang sebagai tempat menitipkan anak terutama anak-anak pra-sekolah. Pendidikan yang diselenggarakan sekolah berbeda dengan jalur pendidikan yang lain. Pendidikan yang dikembangkan oleh sekolah lebih dititikberatkan pada pendidikan intelektual, yakni mengisi otak anak dengan berbagai macam pengetahuan (Nasution, 1995: 13). Jalur pendidikan informal atau keluarga lebih berfungsi membentuk manusia atau memuliakan manusia. Seluruh proses pemuliaan atau pembentukan moral manusia muda hanya mungkin lewat interaksi informal antara anak dengan lingkungan hidupnya dan itu adalah keluarga. Dalam menunaikan tugasnya, orang tua dibantu oleh masyarakat. Salah satu bantuan yang diberikan masyarakat kepada orang tua adalah berupa pembentukan manusia muda pada bidang intelektual dan proses pembentukan hal tersebut berlangsung dalam lembaga sekolah (Drost, 1999: 2). Baik Nasution maupun Drost sama-sama sependapat bahwa sekolah berfungsi sebagai pengembang pendidikan intelektual. Namun demikian, sekolah atau pendidikan formal sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional secara 46 Dr. Eko Handoyo, M.Si. komprehensif tidak hanya berorientasi pada pengembangan intelektual, tetapi juga bertujuan membangun karakter atau membangun nilai-nilai kemanusiaan siswa. Pendek kata, sekolah tidak hanya berfungsi sebagai wahana pendidikan intelektual, tetapi juga sebagai lingkungan subur berkembangnya pendidikan nilai. Hal ini sejalan dengan fungsi pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nilai secara sederhana dapat diartikan sebagai penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Mulyana (2004: 119) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar mereka menyadari nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. Dalam konteks yang lebih luas, nilai-nilai yang dikembangkan melalui pendidikan sekolah tidak hanya menyentuh nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan sebagaimana dikemukakan oleh Mulyana, tetapi lebih dari itu juga nilai kejujuran, nilai tanggung jawab, nilai kedisiplinan, nilai kebebasan, nilai kesamaan, nilai kepemimpinan, nilai toleransi, nilai kesetiaan, nilai kerjasama, nilai persahabatan, nilai cinta-kasih dan nilai- nilai lainnya yang bermanfaat bagi pengembangan karakter dan kepribadian siswa. Pendidikan antikorupsi dalam konteks ini termasuk dalam kategori pendidikan nilai. Hal ini dapat dimengerti karena yang ingin dikejar oleh pendidikan antikorupsi tidak lain adalah membentengi anak-anak dari perilaku koruptif dengan membekali Pendidikan Antikorupsi 47 nilai-nilai luhur sebagaimana dikembangkan oleh pendidikan nilai. Dalam upaya mengimplementasikan pendidikan antikorupsi di sekolah dapat dipilih tiga strategi, yaitu strategi inklusif, strategi eksklusif dan strategi studi kasus (Suyanto, 2005: 43). Dengan mempertimbangkan kematangan berpikir dan emosional anak serta padatnya jam pelajaran, strategi inklusif dapat dipilih dengan cara menyisipkan nilai-nilai antikorupsi ke dalam sejumlah mata pelajaran terkait. Pendekatan eksklusif dapat digunakan untuk jenjang pendidikan menengah, yakni dengan cara memasukkan pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum lokal (muatan lokal) atau melalui kegiatan ekstra-kurikuler yang lebih bernuansakan kesiswaan. Substansi pendidikan antikorupsi dimasukkan sebagai salah satu atau beberapa kompetensi dasar dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagaimana dilegalisasi oleh Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006. Pada jenjang SD kelas V semester 1, kompetensi dasar yang berkaitan dengan pendidikan antikorupsi adalah: “memberi contoh peraturan perundang- undangan tingkat pusat dan daerah seperti pajak, antikorupsi, lalu lintas dan larangan merokok”. Pada jenjang SMP kelas VIII semester 1 terdapat dua kompetensi dasar yang menunjang perilaku antikorupsi yaitu: (1) mengidentifikasi kasus korupsi dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, (2) mendeskripsikan pengertian antikorupsi dan instrumen (hukum dan kelembagaan) antikorupsi di Indonesia. Kompetensi dasar yang dikembangkan untuk pendidikan antikorupsi pada jenjang SMA kelas X semester 1 adalah: (1) menganalisis upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, (2) menampilkan peran serta dalam upaya 48 Dr. Eko Handoyo, M.Si. pemberantasan korupsi di Indonesia. Kompetensi dasar yang dikembangkan tersebut memberi warna baru bagi substansi materi dan pembelajaran mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan baik pada jenjang, SD, SMP maupun SMA. Cukup banyak model pembelajaran yang dapat dipilih untuk pelaksanaan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan dengan kompetensi dasar pemberantasan korupsi. Dalam kompetensi dasar “Memberi contoh peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan daerah seperti pajak, antikorupsi, lalu lintas, dan larangan merokok” di Sekolah Dasar kelas V semester 1, guru dapat mencoba model pembelajaran “siklus belajar”. Langkah-langkah pembelajaran siklus belajar menurut Karli dan Yuliariatiningsih (2003: 41) adalah sebagai berikut.

Pada tahap awal model ini, guru dapat mengajukan pertanyaan atau menggali informasi yang dimiliki siswa. Pertanyaan itu misalnya: apakah anak-anak tahu apa itu korupsi, perilaku manakah yang termasuk korupsi, undang-undang apa saja yang mengatur tentang pemberantasan korupsi, apakah ada peraturan daerah yang mendukung perilaku antikorupsi dan pertanyaan lain yang berkaitan dengan konsep perilaku korupsi maupun perilaku antikorupsi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan secara Pendidikan Antikorupsi 49 lisan atau tertulis dan bisa bersifat individual maupun kelompok. Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk membantu siswa dalam memanipulasi materi pelajaran yang disampaikan guru terutama dengan cara mencari dan mengumpulkan fakta-fakta tentang korupsi dan antikorupsi. Dalam tahap ini guru berusaha menggali konsepsi awal siswa mengenai perilaku korupsi dan antikorupsi sebagaimana dirumuskan dalam peraturan perundang- undangan. Tahap kedua dari siklus belajar adalah pengenalan konsep. Dalam hal ini, guru mengumpulkan informasi dari para siswa yang berkenaan dengan pengalaman mereka dalam tahap eksplorasi. Guru mengajak anak-anak untuk menyampaikan pendapatnya tentang perilaku korupsi dan atau antikorupsi sebagaimana diketahui anak-anak. Pada awal tahap ini, guru berusaha menunda penilaian atau komentar terhadap pendapat siswa. Setelah semua pendapat atau jawaban disampaikan, barulah guru melakukan klarifikasi, mencocokkan jawaban siswa dengan konsep yang dimiliki guru dan guru akhirnya memberi penjelasan sekaligus menyampaikan konsep-konsep baru tentang korupsi dan antikorupsi sebagaimana dirumuskan oleh ketentuan undang- undang maupun peraturan daerah. Tahap terakhir, yaitu aplikasi konsep di mana guru menyiapkan situasi yang dapat mendorong dan merangsang anak berdasarkan pengalaman mereka pada tahap eksplorasi dan pengenalan konsep. Dalam tahap ini, guru meminta para siswa untuk menerapkan konsep yang sudah dipahami pada contoh kejadian lain terutama kejadian sehari-hari yang mereka lihat, mereka alami dan mereka rasakan. Anak-anak bisa diberi pertanyaan atau 50 Dr. Eko Handoyo, M.Si. tugas untuk memberi contoh undang-undang, peraturan daerah atau peraturan lain yang memuat rumusan perilaku korupsi atau mengajukan fakta-fakta baru tentang perilaku antikorupsi. Model pembelajaran siklus belajar tersebut di atas juga dapat diterapkan dosen pengampu mata kuliah pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi, sesuai dengan tingkat kematangan dan perkembangan mahasiswa. Sebenarnya masih banyak model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk menjelaskan substansi pendidikan antikorupsi, terutama untuk siswa-siswa SD. Teknik-teknik tersebut, misalnya teknik mencari pasangan, teknik bertukar pasangan, teknik berpikir berpasangan berempat, teknik berkirim salam dan soal, teknik kepala bernomor, teknik dua tinggal dua tamu, teknik keliling kelompok, teknik keliling kelas, teknik kancing gemerincing, teknik jigsaw dan teknik-teknik lainnya yang relevan dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai. Demikian pula untuk pembelajaran antikorupsi di kelas VIII SMP dan kelas X SMA dapat dipilih, misalnya model penelitian sosial, simulasi, brainstorming, studi kasus, silang pendapat, problem-centered group, seminar group, syndicate group, debat, team-quiz, poster dan model-model lain yang relevan dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai. Di Perguruan Tinggi, pendidikan antikorupsi dapat diintegrasikan ke dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar, Kuliah Kerja Nyata (KKN), atau dapat dijadikan sebagai mata kuliah tersendiri, seperti yang dilakukan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Paramadina, dan Universitas Pendidikan Antikorupsi 51

Negeri Semarang. Sebelum keluarnya edaran dari Dirjen Dikti Kemekdikbud tentang kewajiban perguruan tinggi untuk melaksanakan pendidikan antikorupsi, ketiga perguruan tinggi tersebut sudah memiliki kurikulum pendidikan antikorupsi dengan substansi materi antikorupsi yang tidak jauh berbeda. Aplikasi pendidikan antikorupsi pada tiga perguruan tinggi tersebut bervariasi. UIN Syarif Hidayatullah dan Universitas Paramadina mewajibkan mahasiswanya (mahasiswa baru) untuk mengikuti kuliah pendidikan antikorupsi, sedangkan pendidikan antikorupsi di Universitas Negeri Semarang baru diberikan kepada mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) FIS Unnes. Namun berdasarkan kurikulum 2012, mata kuliah Pendidikan Antikorupsi juga diberikan di semua program studi yang ada di Fakultas Ilmu Sosial, serta diberikan kepada mahasiswa Fakultas Hukum. Di Fakultas Ilmu Sosial, khususnya pada program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Pendidikan Antikorupsi berstatus sebagai mata kuliah wajib, sedangkan pada program studi lainnya di Fakultas Ilmu Sosial dan di Fakultas Hukum, Pendidikan Antikorupsi merupakan mata kuliah pilihan. Apa yang diuraikan di atas adalah contoh penerapan pendidikan antikorupsi di sekolah dan perguruan tinggi melalui jalur intrakurikuler atau strategi yang khas kurikuler. Pendidikan antikorupsi tentu saja tidak hanya dapat dilaksanakan secara formal melalui kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Melalui kegiatan ekstra-kurikuler, tujuan pendidikan antikorupsi dapat diwujudkan. Sekolah dapat menggelar kegiatan lomba tulis dan baca puisi antikorupsi, lomba poster antikorupsi, lomba 52 Dr. Eko Handoyo, M.Si. pidato antikorupsi, lomba geguritan antikorupsi, lomba dongeng antikorupsi, lomba kisah antikorupsi, lomba tulis cerpen antikorupsi, drama antikorupsi, happening-art antikorupsi, lomba fotografi antikorupsi, debat antikorupsi, dan kegiatan atau wahana lain yang lebih cair, segar, menyenangkan, bebas, menarik, menantang dan mendidik. Pada tingkat perguruan tinggi, selain disisipkan dalam mata kuliah yang relevan atau menjadi mata kuliah tersendiri, pendidikan antikorupsi dapat diwujudkan dalam kegiatan ekstrakurikuler, seperti pelatihan antikorupsi pada aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Jurusan/Program Studi, rubrik antikorupsi di koran atau majalah mahasiswa (pers kampus), siaran antikorupsi pada radio atau televisi kampus, pergelaran tari atau musik antikorupsi, gelar lukis antikorupsi, atau pengembangan nilai-nilai luhur yang mendukung sikap antikorupsi pada aktivis UKM Kepramukaan dan Resimen Mahasiswa.

G. Metode Pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan Antikorupsi Sebagaimana sudah diuraikan dalam bagian sebelumnya bahwa untuk menjelaskan materi dari mata kuliah Pendidikan Antikorupsi, dapat digunakan model pembelajaran Siklus Belajar. Model ini banyak diterapkan di sekolah dasar maupun sekolah menengah. Dalam bagian ini akan dipaparkan metode pembelajaran lainnya yang dapat digunakan di perguruan tinggi dan dipilih oleh dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Antikorupsi, di antaranya adalah metode in-class discussion, case study, improvement system scenario, generale lecture, film Pendidikan Antikorupsi 53 discussion, investigative report, thematic exploration, prototype, prove the government, education tools, integrated writing, dan social problem solving (Ditnaga Dikti Depdiknas, 2007; Puspito, dkk. (ed), 2011). 1. Diskusi di dalam Kelas (In-Class Discussion) Pembelajaran in-class discussion ditujukan untuk menumbuhkan kepekaan atau keasadaran dan kerangka berpikir. Proses atau langkah-langkahnya, seperti halnya langkah-langkah diskusi pada umumnya. Dosen bertindak sebagai fasilitator, yang mendorong mahasiswa mendiskusikan konsep-konsep korupsi dan antikorupsi. Diusahakan mahasiswa menyimpulkan sendiri apa yang telah didiskusikan di bawah bimbingan dosen. Diharapkan dari cara diskusi ini, pengetahuan dan pemahaman mahasiswa tentang persoalan korupsi makin meningkat. Demikian pula, kemampuan mereka dalam menganalisis permasalahan korupsi makin baik. 2. Studi Kasus (Case Study) Tujuan case study adalah untuk meningkatkan kepekaan mahasiswa terhadap kasus korupsi dan mampu melakukan analisis terhadap kasus tersebut berdasarkan konsep korupsi yang telah disampaikan oleh dosen. Kasus disisipkan oleh dosen setiap sesi pertemuan perkuliahan. Kasus bisa diperoleh dari koran, majalah, atau internet, lalu dibahas oleh mahasiswa secara berkelompok atau pun mandiri. Diupayakan kasus yang dibahas tidak kasus besar (grand corruption), tetapi juga petty corruption dan dilema korupsi yang dihadapi masyarakat maupun mahasiswa. Tidak hanya hal- hal negatif, seperti kasus korupsi yang dapat didiskusikan oleh 54 Dr. Eko Handoyo, M.Si. mahasiswa, tetapi juga best practice dari penanganan kasus atau pencegahan korupsi yang dilakukan oleh suatu instansi, swasta, atau pun masyarakat. 3. Skenario Sistem Pengembangan (Improvement System Scenario) Tujuan metode ini adalah memberikan rangsangan kepada mahasiswa agar memikirkan penyelesaian masalah secara nyata. Hampir mirip dengan metode studi kasus, dosen memberikan satu bahan diskusi atau bisa juga mahasiswa diminta mencari sendiri kasus korupsi yang akan dibahas. Bedanya dengan case study, metode ini mengharuskan mahasiswa untuk membuat skenario sistem perbaikan atau penyelesaian atas kasus yang dikaji. Dengan model ini, mahasiswa akan makin meningkat kemampuannya dalam menganalisis permasalahan korupsi sekaligus berkembang pula kapasitasnya dalam mencari solusi terhadap persoalan korupsi. 4. Kuliah Umum (Generale Lecture) Generale lecture bertujuan untuk mempelajari suatu bahan atau konsep tentang korupsi dan bagaimana pemberantasannya dari seorang praktisi atau orang-orang lapangan yang berkiprah dalam kaitannya dengan persoalan korupsi. Kegiatannya adalah menghadirkan seorang pembicara tamu untuk berbagi informasi dan pengalaman tentang cara memberantas dan mencegah korupsi. Pembicara tamu dapat berasal dari tokoh-tokoh berpengalaman, seperti pimpinan KPK, pemuka agama, pejabat pemerintah yang bersih, pengusaha bersih, politisi bersih, dan yang lain. Pendidikan Antikorupsi 55

5. Diskusi Film (Film Discussion) Metode ini menggunakan media film sebagai media pembelajaran. Kegiatannya adalah dosen memutar film dokumenter tentang kasus korupsi atau antikorupsi, selanjutnya mahasiswa memberikan komentar atau membahas secara berkelompok atau individual. Hal-hal yang dapat didiskusikan di antaranya adalah bentuk atau jenis korupsi, dilema yang dihadapi koruptor atau orang yang membantu berlangsungnya suatu tindakan korupsi. Diskusi dapat juga diperkaya dengan menghadirkan pengalaman serupa yang dihadapi oleh mahasiswa. 6. Laporan Investigasi (Investigative Report) Tujuan metode ini adalah mahasiswa memiliki kompetensi untuk mengidentifikasi dan menganalisis sebuah kasus korupsi yang riil terjadi di lingkungan sekitar atau di suatu daerah serta mampu membuat laporan kasus korupsi secara efektif. Kegiatan yang dilakukan adalah mahasiswa dalam beberapa minggu turun ke lapangan untuk melakukan investigasi. Langkah-langkahnya adalah (a) dosen membentuk kelompok, (b) kelompok mahasiswa menentukan tindakan korupsi dan lokasi terjadinya korupsi, (c) kelompok mahasiswa melakukan investigasi dengan teknik yang benar, (d) kelompok menyusun laporan yang sudah merekam kasus, data, dan analisis kasus, dan (e) kelompok mempresentasikan laporannya di depan kelas. Untuk mengumpulkan data dan informasi, mahasiswa dapat menggunakan tape recorder, kamera, video, dan alat perekam lainnya. Agar tercipta kesadaran masyarakat bahwa korupsi merupakan musuh bersama, mahasiswa dapat mengundang wakil masyarakat dan media massa dalam diskusi yang mereka lakukan. 56 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

7. Eksplorasi Tematik (Thematic Exploration) Metode ini bertujuan untuk membangun cara berpikir yang komprehensif dalam menggali sebuah kasus. Kegiatan yang dilakukan adalah mahasiswa melakukan observasi sebuah kasus korupsi atau perilaku koruptif lainnya, selanjutnya menganalisisnya dari berbagai sudut pandang atau perspektif sosial, budaya, hukum, ekonomi, politik dan sebagainya. Untuk memperkaya pemahaman, mahasiswa dapat menganalisis suatu kasus dengan menggunakan perspektif dari penanganan kasus yang dilakukan di negara lain. Melalui metode ini, kemampuan analisis mahasiswa akan semakin tajam. 8. Prototipe (Prototype) Tujuan metode prototype adalah penerapan keilmuan atau ciri khas perguruan tinggi atau ciri khas lokal dalam mengembangkan teknik antikorupsi. Kegiatan yang dilakukan adalah membuat prototype teknologi terkait dengan cara-cara penanggulangan korupsi. Teknologi tersebut bisa berbasis IT maupun non IT. Hasil- hasil dari prototipe ini dapat dipamerkan di kelas atau pun di tempat lain yang dapat diperkenalkan kepada mahasiswa lain atau pelajar. 9. Pembuktian Kebijakan Pemerintah (Prove The Government Policy) Dalam metode ini mahasiswa memantau realisasi janji pemerintah, sebagai wujud dari integritas pemerintah. Kegiatannya adalah kelompok mahasiswa melakukan pengamatan (observasi), terjun ke lapangan untuk melihat sejauhmana kesesuaian antara janji pejabat pemerintah ketika mereka melakukan kampanye Pendidikan Antikorupsi 57 politik selama pemilihan dengan realisasi program kegiatan yang diterima masyarakat. 10. Alat-Alat Pendidikan (Education Tools) Tujuan metode ini adalah menciptakan media pembelajaran yang kreatif untuk segmen pendidikan formal maupun publik dalam rangka kegiatan antikorupsi. Kegiatannya adalah mahasiswa dapat mewujudkan kreasi dan inovasinya dengan menciptakan produk yang dapat menjadi media pembelajaran antikorupsi. Produk tersebut bisa berupa peraga antikorupsi yang bersifat animasi maupun nonanimasi. Animasi dapat dibuat dengan memanfaatkan komputer, sedangkan nonanimasi dapat berupa cerita gambar, komik, kartun, boneka, wayang, dan lain-lain. 11. Pembelajaran Keterampilan Menulis Terpadu (Integrated Writing) Model pembelajaran ini biasa diterapkan dalam pengajaran bahasa Inggris. Dalam model ini, mahasiswa dibekali dengan keterampilan berbahasa yang terpadu, dengan harapan mereka mampu meringkas, mensintesis, dan mengembangkan bahan- bahan yang didengar, dibaca, dan didiskusikan untuk selanjutnya menuangkannya dalam suatu karya tulis dengan tata bahasa, kosa kata, dan kaidah penulisan yang benar (Ditnaga Dikti Depdiknas, 2007). Pendek kata, melalui pembelajaran ini, mahasiswa memiliki keterampilan menulis secara terpadu berdasarkan fakta dan gagasan yang diperolehnya dari membaca dan mendengarkan bahan-bahan tentang korupsi. Kompetensi yang diharapkan dimiliki mahasiswa agar mereka dapat menghasilkan karya tulis yang baik, di antaranya: (a) 58 Dr. Eko Handoyo, M.Si. memahami ide pokok dari bacaan akademis atau bahan kuliah dalam diskusi kelompok atau kelas, (2) menemukan informasi tertentu dari kuliah atau diskusi kelas yang berkaitan dengan bahan bacaan, dan (3) menghubungkan dengan tepat informasi yang dapat diperoleh dari bacaan dan perkuliahan atau diskusi (Ditnaga Dikti Depdiknas, 2007). Materi kuliah dapat berupa materi mendengarkan kuliah singkat, membaca bahan kuliah atau artikel kuliah yang berkaitan dengan persoalan korupsi serta mendiskusikan dalam kelompok tentang materi yang didengar dan dibaca. Oleh karena model ini khas model pembelajaran bahasa, maka perkuliahan ini juga mencakupi pengenalan konsep keterpaduan antarketerampilan berbahasa dan komponen bahasa, cara-cara membuat ringkasan, catatan dan parafrasa yang benar dari bahan audio dan bahan tertulis. Kegiatan pembelajaran keterampilan menulis terpadu meliputi langkah-langkah berikut. Pertama, mahasiswa mencari atau memperoleh fakta dan gagasan dari sumber atau bahan lisan tentang fenomena korupsi. Kedua, mahasiswa mencari atau memperoleh fakta dan gagasan dari sumber atau bahan tertulis tentang fenomena korupsi. Ketiga, mahasiswa membandingkan dan mengkontraskan fakta dan gagasan baik yang terdapat dalam sumber lisan maupun sumber tertulis. Keempat, mahasiswa menyusun wacana deskriptif tentang fenomena korupsi (misalnya korupsi di kalangan elit partai politik) Pendidikan Antikorupsi 59 berdasarkan fakta dan gagasan yang diperoleh dari berita televisi atau artikel di koran atau majalah. Evaluasi dari pembelajaran keterampilan menulis terpadu dilakukan dengan penilaian otentik yang bersifat berkelanjutan atau yang biasa disebut penilaian proses. Dalam hal ini, mahasiswa dinilai dengan performance assessment, yakni menggunakan instrumen rubrik, check list, dan portofolio. Ini artinya, setiap kegiatan mahasiswa dinilai, mulai dari saat berdiskusi, membuat catatan dan ringkasan, dan mempresentasikan hasil kerja kelompok di depan kelas. 12. Pembelajaran Keterampilan Pemecahan Masalah Sosial (Social Problem Solving) Individu merupakan aktor sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai aktor sosial, ia harus dapat mengambil keputusan secara bernalar. Kemampuan tersebut tercermin melalui proses pembelajaran yang memungkinkan individu terlibat dalam berbagai bentuk kegiatan pemecahan masalah sosial baik secara individual maupun secara kolektif (Ditnaga Dikti Depdiknas, 2007). Pembelajaran keterampilan pemecahan masalah sosial merupakan strategi tepat untuk menempa kemampuan mahasiswa sebagai aktor sosial. Melalui strategi ini dikembangkan pembelajaran yang melibatkan peserta didik dalam praktik pemecahan masalah sosial, khususnya yang berkenaan dengan kebijakan publik. Pembelajaran keterampilan pemecahan masalah sosial menerapkan pendekatan fungsional atau pendekatan berbasis masalah (problem-based learning). Pembelajaran ini bertolak dari strategi inquiry learning, discovery learning, problem solving learning, dan research oriented learning. 60 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Langkah-langkah pembelajaran keterampilan pemecahan masalah sosial adalah: (a) mengidentifikasi masalah kebijakan publik, khususnya masalah korupsi yang terjadi di dalam tubuh pemerintah, lembaga legislatif atau pun di masyarakat, (b) memilih satu masalah sosial (korupsi) untuk dikaji di dalam kelas, (c) mahasiswa mengumpulkan informasi yang terkait dengan masalah tersebut, (d) mengembangkan portofolio kelas, (e) menyajikan portofolio, dan (f) melakukan refleksi pengalaman belajar (Ditnaga Dikti Depdiknas, 2007).

H. Rangkuman Korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi dipahami sebagai perbuatan busuk, rusak, kotor, serta menggunakan uang atau barang milik lain (perusahaan atau negara) secara menyimpang yang menguntungkan diri sendiri. Korupsi melibatkan penyalahgunaan kepercayaan, yang umumnya melibatkan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Korupsi juga dimaknai sebagai penyalahgunaan peran, jabatan publik atau sumber untuk keuntungan pribadi. Ada dua cara untuk mengatasi korupsi, yaitu dengan pencegahan (pendidikan antikorupsi) dan pemberantasan korupsi dengan penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Pendidikan antikorupsi adalah usaha sadar dan sistematis yang diberikan kepada peserta didik berupa pengetahuan, nilai-nilai, sikap dan keterampilan yang dibutuhkan agar mereka mau dan mampu mencegah dan menghilangkan peluang berkembangnya Pendidikan Antikorupsi 61 korupsi. Sasaran akhir bukan hanya menghilangkan peluang, tetapi juga peserta didik sanggup menolak segala pengaruh yang mengarah pada perilaku koruptif. Pendidikan antikorupsi dilakukan dengan cara menanamkan nilai-nilai antikorupsi kepada anak-anak, siswa, mahasiswa, dan generasi muda, guna membentuk sikap antikorupsi dan menghilangkan peluang berkembangnya tindak pidana korupsi maupun perilaku koruptif lainnya. Nilai-nilai antikorupsi yang ditanamkan tersebut, yaitu nilai kejujuran, tanggung jawab, keberanian, keadilan, keterbukaan, kedisiplinan, kesederhanaan, kerja keras, dan kepedulian. Nilai-nilai antikorupsi tersebut secara formal ditanamkan di sekolah dan perguruan tinggi melalui kurikulum yang dikembangkan. Nilai-nilai tersebut dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum, misal dalam silabi, satuan acara pembelajaran (perkuliahan), dan kontrak pembelajaran (perkuliahan) atau pun diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah tersendiri. Metode pembelajaran yang dapat dipilih untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi di antaranya adalah metode in-class discussion, case study, improvement system scenario, generale lecture, film discussion, investigative report, thematic exploration, prototype, prove the government, education tools, integrated writing,dan social problem solving. BAB III BENTUK DAN JENIS-JENIS KORUPSI

entuk dan jenis-jenis korupsi di berbagai negara tidak sama, Btergantung pada pengalaman atau sejarah negara tersebut dan dapat dikembangkan berdasarkan praktik-praktik korupsi atau kreativitas dari para perampok harta rakyat dan negara.

A. Bentuk Korupsi Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab II, definisi korupsi diuraikan panjang lebar dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Sebanyak 13 pasal menjelaskan bentuk-bentuk korupsi di Indonesia yang dapat dilakukan penindakan terhadapnya. Dari pasal-pasal tersebut, korupsi dirinci lebih lanjut ke dalam 30 bentuk tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menjelaskan secara rinci tentang perbuatan-perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena kasus korupsi. Ketiga puluh bentuk tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut. 1. Kerugian keuangan negara: pasal 2 dan 3. 2. Suap menyuap: pasal 5 ayat (1) huruf a, pasal 5 ayat (1) huruf b, pasal 5 ayat (2), pasal 6 ayat (1) huruf a, pasal 6 ayat (1)

62 Pendidikan Antikorupsi 63

huruf b, pasal 6 ayat (2), pasal 11, pasal 12 huruf a, pasal 12 huruf b, pasal 12 huruf c, pasal 12 huruf d dan pasal 13. 3. Penggelapan dalam jabatan: pasal 8, pasal 9, pasal 10 huruf a, pasal 10 huruf b, dan pasal 10 huruf c. 4. Pemerasan: pasal 12 huruf e, pasal 12 huruf f, pasal 12 huruf g. 5. Perbuatan curang: pasal 7 ayat (1) huruf a, pasal 7 ayat (1) huruf b, pasal 7 ayat (1) huruf c, pasal 7 ayat (1) huruf d, pasal 7 ayat (2) dan pasal 12 huruf h. 6. Benturan-benturan dalam pengadaan: pasal 12 huruf i. 7. Gratifikasi: pasal 12 B jo pasal 12 C (KPK, 2006: 4-5).

Selain definisi tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan di atas, masih terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yakni sebagaimana diatur di dalam pasal 21, 22 jo 28, 22 jo 29, 22 jo 35, 22 jo 36 dan 24 jo 31. Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang sebagian berbunyi: setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (KPK, 2006: 25). Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara ini tergolong perbuatan atau tindak pidana korupsi. Demikian pula rumusan pasal 3 juga tergolong tindak pidana korupsi, yaitu: setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (KPK, 2006: 27). Pasal 2 dan 3 ini adalah korupsi dalam bentuk merugikan keuangan negara. 64 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Suap-menyuap diatur dalam 5 pasal dari UU Korupsi. Pasal 5 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa: setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya termasuk perbuatan suap-menyuap. Demikian pula pasal 5 ayat (1) huruf b yang berbunyi: memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, termasuk juga kategori suap- menyuap. Suap-menyuap terdapat pula dalam rumusan pasal 5 ayat (2), yaitu bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dalam ayat (1) huruf a dan b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pidana penjara yang dikenakan kepada pihak yang menerima suap tersebut adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. Pasal 11, 12, dan 13 berkaitan dengan pasal 5 mengenai suap yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara. Rumusan suap dalam pasal 11 berbunyi: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya. Pasal 12 huruf a berunsurkan suap, berbunyi: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau Pendidikan Antikorupsi 65 janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Demikian pula pasal 12 huruf b yang menyatakan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, tergolong tindakan suap- menyuap. Pasal 13 yang berbunyi: setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, termasuk rumusan suap yang berkaitan dengan posisi pegawai negeri. Pasal 12 huruf c dan d memuat ketentuan suap yang menimpa hakim dan advokat. Pasal 12 huruf c berbunyi: hakim yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Sementara itu, pasal 12 d menyatakan: seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan 66 Dr. Eko Handoyo, M.Si. kepada pengadilan untuk diadili. Masih terkait dengan suap yang diterima hakim dan advokat, pasal 6 pun mengindikasikan hal ini. Pasal 6 ayat (1) huruf a menyatakan: setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, dapat digolongkan perbuatan penyuapan. Demikian pula, pasal 6 ayat (1) huruf b yang menyatakan: setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili, termasuk perbuatan menyuap. Baik hakim maupun advokat yang menerima suap akan dipidana sedikitnya 3 tahun dan paling lama 15 tahun, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 6 ayat (2): bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Penggelapan dalam jabatan dirumuskan dalam 3 pasal, yaitu pasal 8, 9, dan 10 huruf a, b, dan c. Pasal 8 menyatakan: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh Pendidikan Antikorupsi 67 orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut, tergolong perbuatan penggelapan. Senada dengan rumusan pasal 8, pasal 9 menyatakan: pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, dapat digolongkan ke dalam tindak pidana penggelapan. Perbuatan penggelapan dirumuskan lebih jelas lagi dalam pasal 10. Huruf a pasal ini menyatakan: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang yang dikuasai karena jabatannya. Huruf b pasal 10 berbunyi: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. Huruf c pasal 10 menyatakan: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. 68 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Pemerasan termasuk dalam perbuatan korupsi. Pasal 12 huruf e menyatakan: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Pasal 12 huruf f berbunyi: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah- olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang. Huruf g pasal 12 menyatakan: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang. Selain pemerasan, perbuatan curang juga dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana korupsi. Hal ini diatur secara rinci dalam pasal 7 dan 12. Pasal 7 ayat (1) huruf a menyatakan: pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang. Pasal 7 ayat (1) huruf b berbunyi: setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, Pendidikan Antikorupsi 69 sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a, termasuk kategori perbuatan curang. Perbuatan curang dirumuskan juga dalam huruf c dari pasal tersebut, yang bunyinya sebagai berikut: setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. Terkait dengan pasal tersebut, huruf d yang menyatakan: setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c, termasuk pula perbuatan curang. Hukuman yang dikenakan kepada mereka yang berbuat curang cukup berat, yaitu pidana penjara minimal 2 tahun dan maksimal 7 tahun dengan denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 350 juta. Pasal 7 ayat (2) menunjukkan hal tersebut, yaitu : bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Menyerobot tanah negara juga termasuk perbuatan curang yang pidana dendanya bisa mencapai maksimal Rp 1 miliar. Siapa yang dikenai pidana seperti ini. Mereka adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut 70 Dr. Eko Handoyo, M.Si. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (pasal 12 huruf h). Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan diatur dalam pasal 12 huruf i. Siapa mereka? Mereka adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung atau tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. Gratifikasi merupakan fenomena korupsi yang dulu belum tersentuh oleh hukum karena dianggap hal biasa dan lumrah. Hal ini diatur dalam pasal 12 B jo. Pasal 12 C. Ketentuan selengkapnya pasal tersebut adalah sebagai berikut. Huruf B ayat (1): setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan sebagai berikut: (a) yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi, (b) yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Pasal 12 C mempertegas rumusan pasa 12 B. Ayat (1) menetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ayat (2) menentukan bahwa penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja Pendidikan Antikorupsi 71 terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Pada ayat (3) dinyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. Selain yang dikemukakan di atas, terdapat jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu: 1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (pasal 21); 2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (pasal 22 jo. Pasal 28); 3. Bank yang tidak memberi keterangan rekening tersangka (pasal 22 jo. Pasal 29); 4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu (pasal 22 jo. Pasal 35); 5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu (pasal 22 jo. Pasal 36); 6. Saksi yang membuka pelapor (pasal 24 jo. Pasal 31) (KPK, 2006: 21).

B. Jenis-Jenis Korupsi Banyak jenis korupsi yang dapat diidentifikasi. Haryatmoko mengutip pendapat Yves Meny membagi korupsi ke dalam empat jenis, yaitu: (1) korupsi jalan pintas, (2) korupsi upeti, (3) korupsi kontrak, dan (4) korupsi pemerasan (Al-Barbasy, 2006: 2-3). Korupsi jalan pintas, terlihat dalam kasus-kasus penggelapan uang negara, perantara ekonomi dan politik, pembayaran untuk 72 Dr. Eko Handoyo, M.Si. keuntungan politik atau uang balas jasa untuk partai politik, dan money politik. Korupsi upeti merupakan bentuk korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis. Karena jabatan yang disandangnya, seseorang mendapatkan persentase keuntungan dari berbagai kegiatan, baik ekonomi maupun politik, termasuk pula upeti dari bawahan dan kegiatan-kegiatan lain atau jasa dalam suatu perkara. Korupsi kontrak, yaitu korupsi yang diperoleh melalui proyek atau pasar. Termasuk dalam kategori ini adalah usaha untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Korupsi pemerasan, terkait dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan gejolak intern dan ekstern. Perekrutan perwira menengah TNI atau Polisi menjadi manajer human resources department atau pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan komisaris perusahaan merupakan contoh korupsi pemerasan. Termasuk pula dalam korupsi jenis ini adalah membuka kesempatan kepemilikan saham kepada orang kuat tertentu untuk menghindarkan akuisisi perusahaan yang secara ekonomi tak beralasan. Dalam literatur fikih ada 6 jenis korupsi yang haram dilakukan, yaitu: (1) ghulul atau penggelapan, (2) risywah atau penyuapan, (3) ghashab atau perampasan, (4) ikhtilas atau pencopetan, (5) sirqah atau pencurian, dan (6) hirabah atau perampokan (KPK, 2007: 7) Widodo membagi korupsi ke dalam tiga bentuk, yaitu graft, bribery dan nepotism (Azhari, 2006: 8). Graft merupakan korupsi yang dilakukan tanpa melibatkan pihak ketiga, seperti menggunakan atau mengambil barang kantor, uang kantor, dan jabatan kantor untuk kepentingan diri sendiri. Korupsi tipe ini bisa Pendidikan Antikorupsi 73 berlangsung karena seseorang memiliki jabatan atau kedudukan di kantor. Bribery adalah pemberian sogokan, suap, atau pelicin agar dapat memengaruhi keputusan yang dibuat yang menguntungkan sang penyogok. Nepotism adalah tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pertimbangan objektif, tetapi atas pertimbangan kedekatan karena kekerabatan, kekeluargaan atau pertemanan. Dilihat dari sifatnya, Kurniawan, dkk. (2006: 62-63) membagi korupsi ke dalam tiga bentuk, yaitu: Tabel 1 Jenis-jenis Korupsi No. Jenis Pelaku Wujud Korupsinya Korupsi 1. Korupsi • Merasa kebutuhannya tidak terpenuhi, Individual sehingga korupsi menjadi kebutuhan atau korupsi adalah jalan satu-satunya untuk membiayai kebutuhan (need corruption). • Adanya keinginan untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya atau adanya motif serakah (greed corruption). 2. Korupsi • Telah terjadi dalam waktu sekian lama Terlembagakan melalui media administrasi dan birokrasi yang ada, sehingga terjadi dalam proses yang lama dan telah berurat berakar dalam lingkungan birokrasi. Situasi ini melibatkan hampir semua komponen yang ada dalam birokrasi, sehingga situasi ini dimaklumi bahwa korupsi adalah sesuatu yang lumrah. • Pelaku korupsi kemudian enggan dan kehilangan semangat untuk melakukan pemberantasan korupsi di lingkungannya bahkan mereka melakukan legitimasi dan toleransi atas praktik korupsi yang terjadi. 74 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

3. Korupsi Politis · Ada praktik konspiratif dan kolutif diantara para pemegang otoritas politik dengan pengambil kebijakan dan penegak hukum. · Adanya praktik pembiaran (ignoring) terhadap praktik korupsi yang diketahui, baik yang terjadi di lingkungannya maupun di tempat lain.

Mashal (2011) menunjukkan bahwa pada masyarakat demokrasi, dapat diidentifikasi 3 (tiga) tipe korupsi, yaitu grand corruption, bureaucratic corruption, dan legislative corruption. Grand corruption adalah tindakan elit politik (termasuk pejabat-pejabat terpilih) dimana mereka menggunakan kekuasaannya untuk membuat kebijakan ekonomi. Elit politik yang korup dapat mengubah kebijakan nasional atau implementasi kebijakan nasional untuk melayani kepentingan mereka. Dengan kewenangannya, mereka juga dapat menggelapkan belanja publik demi kepentingan mereka. Tipe korupsi ini yang paling sulit diidentifikasi, karena para elit dapat memanfaatkan celah peraturan atau kebijakan yang mereka buat untuk memenuhi kepentingan mereka dan kroni-kroninya. Bureaucratic corruption adalah tindakan korupsi yang dilakukan para birokrat yang diangkat, yang dilakukan demi dan untuk kepentingan elit politik atau pun kepentingan mereka sendiri. Dalam bentuknya yang kecil, korupsi birokrasi terjadi ketika masyarakat (publik) memerlukan pelayanan cepat dari birokrat, dengan imbalan uang atau materi tertentu. Dalam konteks ini, penyuapan (bribery) dilakukan untuk memperlancar urusan tertentu. Korupsi jenis ini juga terjadi di lembaga peradilan, utamanya untuk memengaruhi keputusan pengadilan yang Pendidikan Antikorupsi 75 menguntungkan pihak yang berperkara. Legislative corruption menunjuk pada perilaku voting dari legislator yang mungkin dapat dipengaruhi. Dalam korupsi ini, legislator disuap oleh kelompok kepentingan tertentu membuat legislasi yang dapat mengubah rente ekonomi yang berkaitan dengan aset. Amin Rais membagi korupsi dalam empat tipologi yang harus diwaspadai, yaitu: (1) korupsi ekstortif, (2) korupsi manipulative, (3) korupsi nepotistic, dan (4) korupsi subversif (Al-Barbasy, 2006: 3). Korupsi ekstortif merujuk pada situasi dimana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atau perlindungan atas hak-hak dan kebutuhannya. Sebagai contoh, seorang pengusaha terpaksa memberikan sogokan (bribery) kepada pejabat tertentu agar mudah mendapatkan izin usaha atau memperoleh perlindungan terhadap usaha yang dijalankan. Korupsi manipulative merujuk pada usaha kotor seseorang untuk memengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan sebesar- besarnya. Contohnya, sekelompok konglomerat memberi uang kepada bupati, wali kota atau gubernur agar peraturan yang dibuatnya dapat menguntungkan mereka. Korupsi nepotistic merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan kepada anak, keponakan dan saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa ini, para kroni pejabat tadi dapat menangguk keuntungan yang besar. Korupsi jenis ini umumnya berjalan dengan cara melanggar aturan main 76 Dr. Eko Handoyo, M.Si. yang sudah ada. Pelanggaran tersebut tidak dapat dihentikan karena di belakang korupsi nepotistic ini berdiri seorang pejabat yang biasanya merasa kebal hukum. Korupsi subversive berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh pejabat negara. Berbekal kekuasaan dan wewenang yang dimiliki, mereka dapat membobol kekayaan negara yang seharusnya diselamatkan. Korupsi ini bersifat subversif terhadap negara, karena negara telah dirugikan besar- besaran dan dalam jangka panjang dapat mengganggu jalannya roda negara. Secara lebih rinci, Syed Hussain Alatas membedakan jenis-jenis korupsi ke dalam tujuh bentuk, yaitu: (1) transactive corruption, (2) exortive corruption, (3) investive corruption, (4) nepotistic corruption, (5) defensive corruption, (6) antogenic corruption, dan (7) supportive corruption (Al-Barbasy, 2006: 3-4). Korupsi transaksi (transactive corruption) muncul karena adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha dengan pemerintah atau antara masyarakat dan pemerintah. Pihak pemberi dipaksa menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam diri, kepentingan, orang dan hal-hal yang dihargai, termasuk dalam kategori exortive corruption. Investive corruption adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang. Pendidikan Antikorupsi 77

Nepotistic corruption adalah penunjukan yang tidak sah kepada teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan atau tindakan yang memberikan perlakuan yang istimewa dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain kepada mereka secara bertentangan atau melawan hukum yang ada. Defensive corruption adalah pemerasan yang dilakukan para korban korupsi dengan dalih untuk mempertahankan diri. Antogenic corruption adalah korupsi yang dilakukan seorang diri tanpa melibatkan orang lain. Misalnya, pembuatan laporan keuangan yang tidak benar atau membocorkan informasi mengenai kebijakan pembangunan wilayah baru kepada kerabat terdekat. Supportive corruption adalah korupsi berupa tindakan- tindakan yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada. Misalnya, menyewa preman untuk mengancam pemeriksa (auditor) atau menghambat pejabat yang jujur dan cakap agar tidak dapat menempati posisi atau menduduki jabatan tertentu.

C. Rangkuman Korupsi memiliki bentuk dan jenis yang beranekaragam. Masing-masing negara dengan kultur masing-masing memahami korupsi dengan cara yang berbeda. Pemberian atau gratifikasi dimaknai secara berbeda di tiap-tiap negara. Hal ini memengaruhi pula sikap masyarakat terhadap gratifikasi. Di negara yang tingkat korupsinya tinggi biasanya memahami gratifikasi sebagai sesuatu hal yang lumrah, karena kebiasaan dan budaya mengatakan 78 Dr. Eko Handoyo, M.Si. demikian. Sementara itu, negara-negara makmur dengan tingkat korupsi rendah cenderung menyikapi gratifikasi sebagai salah satu bentuk korupsi yang harus dihindari dan untuk itu harus diatur dalam suatu ketentuan undang-undang. Di Indonesia, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, korupsi dapat mengambil bentuk berupa suatu tindakan melawan hukum yang (1) merugikan keuangan negara, (2) berupa suap-menyuap, (3) berupa penggelapan, (4) berupa pemerasan, (5) berupa perbuatan curang, (6) benturan- benturan dalam pengadaan, dan (7) gratifikasi. Bentuk korupsi lainnya, diatur lebih lanjut dalam undang-undang tersebut. Di berbagai negara, jenis-jenis korupsi bermacam-macam. Meny misalnya, menyebutkan ada 4 jenis korupsi, yaitu korupsi jalan pintas, korupsi upeti, korupsi kontrak, dan korupsi pemerasan. Islam mengenal juga korupsi, yakni berupa ghulul atau penggelapan, risywah atau penyuapan, ghashab atau perampasan, ikhtilas atau pencopetan, sirqah atau pencurian, dan hirabah atau perampokan. Graft, bribery, dan nepotism, sebagaimana dikemukakan Widodo juga merupakan jenis korupsi yang sudah umum. Sementara itu, dilihat dari pelaksananya, korupsi dapat juga dibedakan dalam tiga hal, yaitu korupsi individual, korupsi terlembagakan, dan korupsi politis. BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK KORUPSI

orupsi terjadi karena berbagai sebab atau faktor. Faktor- Kfaktor itu diantaranya politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam korupsi yang bersifat sistemik, faktor-faktor tersebut terjalin berkelindan menentukan terjadinya korupsi. Meskipun dalam beberapa hal perbuatan korupsi mendatangkan manfaat, tetapi dampak negatif korupsi lebih besar daripada kegunaannya. Dampak negatif korupsi tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga menyengsarakan rakyat dan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

A. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi Dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi, ICW (2000) mengidentifikasi empat faktor penyebab korupsi, yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi, dan faktor transnasional. Faktor politik menjadi salah satu penyebab terjadinya korupsi, karena banyak peristiwa politik yang dipengaruhi oleh money politic. Terkait dengan hal ini, Terrence Gomez (1994), seorang

79 80 Dr. Eko Handoyo, M.Si. pengkaji politik Malaysia menggambarkan politik uang (money politic) sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence. Politik uang merupakan tingkah laku negatif karena uang digunakan untuk membeli suara atau menyogok para pemilih atau anggota-anggota partai politik supaya memenangkan si pemberi uang. Praktik politik uang ini tidak bisa dihilangkan karena undang-undang politik tidak memberikan aturan yang tegas tentang dana kampanye. Demikian pula ketika ada indikasi politik uang, pihak penegak hukum tampaknya ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Korupsi yang berkaitan dengan politik sering disebut dengan korupsi politik. Dalam pandangan De Asis (2000), korupsi politik terjadi, misalnya money politic dalam pemilihan anggota legislatif dan pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang. Faktor hukum menjadi penyebab korupsi, dikarenakan banyak produk hukum yang tidak jelas aturannya, pasal-pasalnya multitafsir, dan ada kecenderungan aturan hukum dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu meskipun orang awam tidak bisa melihatnya. Demikian pula, sanksi yang tidak ekuivalen dengan perbuatan yang dilarang, sehingga tidak tepat sasaran dan dirasa terlalu ringan atau terlalu berat. Selaras dengan hal ini, Susila (dalam Hamzah, 2004), menyatakan bahwa tindakan korupsi mudah timbul, karena ada kelemahan dalam perundang- undangan yang mencakupi: (1) adanya peraturan perundang- undangan yang bermuatan kepentingan pihak-pihak tertentu, (2) kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai, Pendidikan Antikorupsi 81

(3) peraturan kurang disosialisasikan, (4) sanksi terlalu ringan, (5) penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, dan (6) lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang- undangan. Lemahnya penegakan hukum, rendahnya mental aparatur, rendahnya kesadaran masyarakat, serta kurangnya political will pemerintah, menurut Saleh (2006) juga menjadi pemicu terjadinya korupsi. Dari aspek hukum, penelitian Ezung (2012) juga memberikan kesimpulan yang tidak jauh berbeda, bahwa terjadinya korupsi disebabkan oleh lemahnya peraturan yang dibuat dan lemahnya penegakan hukum. Faktor ekonomi menjadi penyebab korupsi, terutama di negara-negara yang sistem ekonominya sangat monopolistik. Kekuasaan negara dirangkai dengan informasi orang dalam turut menciptakan kesempatan-kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk mempertinggi kepentingan mereka beserta sekutu- sekutunya. Serangkaian faktor tersebut berkaitan dengan faktor birokrasi, di mana dalam suasana demikian kebijakan ekonomi pemerintah diimplementasikan, dikembangkan, dan dimonitor dengan cara yang tidak partisipatif, tidak transparans dan tidak akuntabel. Kenyataan juga menunjukkan bahwa korupi tidak hanya dilakukan oleh orang yang ekonominya pas-pasan untuk bertahan hidup, tetapi saat ini korupsi juga dilakukan oleh orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi (Sulistyantoro, 2004). Rendahnya pendapatan dan gaji tidak serta merta mendorong orang untuk melakukan korupsi. Banyaknya pemimpin nasional dan daerah, serta para anggota legislatif di tingkat nasional dan di level daerah 82 Dr. Eko Handoyo, M.Si. yang dipidana, karena telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi. Mereka korupsi tidak karena kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan yang kurang (by need). Mereka melakukan korupsi karena mental buruk, tidak bermoral, sehingga berjiwa serakah (by greed) untuk mengambil harta negara guna menambah pundi-pundi kekayaannya. Faktor transnasional amat terkait dengan perkembangan hubungan ekonomi lintas negara yang tidak jarang menambah lahan sumber bagi tumbuhnya korupsi di kalangan birokrasi pemerintahan. Korupsi mudah terjadi, karena perusahaan- perusahaan asing (transnasional) dapat beroperasi di suatu negara tanpa harus masuk ke lini birokrasi pusat. Mereka bisa masuk ke lini birokrasi pemerintah daerah dengan cara memberi uang pelicin agar dapat berinvestasi di daerah. Korupsi berlangsung bagai simbiosis mutualisme, di mana pengusaha asing memiliki uang yang dapat digunakan untuk menyogok pejabat agar memperoleh izin untuk melakukan usaha di daerah, sedangkan elit daerah mempunyai otoritas untuk memutuskan. Organisasi juga dapat menjadi alasan pembenar untuk melakukan korupsi. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di mana korupsi biasa terjadi, akan memberi andil terjadinya korupsi, karena membuka peluang atau kesempatan untuk berlangsungnya korupsi (Tunggal, 2000). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi, yaitu: (1) kurangnya keteladanan dari pemimpin, (2) tidak adanya kultur organisasi yang benar, (3) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, dan (4) manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya. Pendidikan Antikorupsi 83

ICW memaparkan faktor politik, hukum, ekonomi, dan transnasional sebagai faktor penyebab korupsi. Mashal (2011) memberikan pandangan yang tidak jauh berbeda mengenai penyebab korupsi. Mengutip pandangan Mauro, Mashal (2011) menyebutkan enam hal yang menyebabkan korupsi bisa berlangsung. 1. Motivasi untuk mencari penghasilan dengan cara yang ekstrim, berhubungan dengan kondisi kemiskinan, upah yang rendah, dan resiko tinggi dari pekerjaan (karena penyakit, kecelakaan, dan pengangguran). 2. Kesempatan untuk terlibat dalam korupsi, karena disebabkan oleh banyak regulasi yang mendorong kesempatan tinggi untuk melakukan korupsi. 3. Sistem legislatif dan peradilan yang lemah. 4. Penduduk sedikit dengan jumlah sumber daya alam yang melimpah. 5. Hukum dan prinsip-prinsip etik yang lemah. 6. Instabilitas politik dan lemahnya kemauan politik.

Kata sebagian orang, kemiskinan merupakan akar masalah korupsi. Hal ini tidak benar sepenuhnya, sebab banyak negara kaya dan makmur penuh dengan skandal yang sedikit sekali melibatkan orang yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok miskin atau kekurangan. Banyak korupsi dilakukan oleh para pemimpin Asia dan Afrika, dan mereka tidak tergolong orang miskin. Jadi, korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan, tetapi justru sebaliknya, kemiskinan disebabkan oleh korupsi (Pope, 2007: 17). Jika ada pihak-pihak tertentu yang memojokkan kemiskinan sebagai penyebab korupsi, meskipun sesungguhnya hal ini tidak 84 Dr. Eko Handoyo, M.Si. benar, ada pula orang yang menyatakan bahwa korupsi merupakan bagian dari kebudayaan. Di banyak negara berkembang, muncul pandangan bahwa korupsi merupakan bagian dari kebudayaan. Rakyat mau membayar uang semir (pelicin) yang jumlahnya tidak besar dengan senang hati, misalnya untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan lainnya. Perbuatan tersebut dipandang sebagai sebuah kebiasaan. Hal ini tidak berarti bahwa mereka menyetujui tindakannya, sebab memberi uang semir bagi mereka dipandang sebagai cara yang paling praktis untuk memperoleh apa yang mereka inginkan dan butuhkan. Anggapan ini lama kelamaan akan berubah jika jumlah uang semir yang diminta makin besar atau barangkali konsumen tahu bahwa kelangkaan yang melandasi uang semir sengaja diciptakan atau juga proses-proses yang lebih baik sebenarnya bisa saja diciptakan. Namun demikian ada kebudayaan tertentu yang disalahgunakan menjadi salah satu bentuk korupsi. Di Afrika, terdapat penjelasan kebudayaan yang menyatakan bahwa pemberian hadiah yang berlimpah atas budi baik yang diberikan adalah sah-sah saja. Hal ini ditolak oleh Olusegun Obasanjo, aktivis antikorupsi Nigeria. Kata Olusegun:

“Saya terkejut sekali bahwa bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan kita digunakan sebagai alasan untuk membenarkan perilaku yang sangat terkutuk. Dalam konsep Afrika, mengenai hormat-menghormati dan sopan santun, hadiah biasanya kecil saja. Memberi hadiah tidak harus. Nilainya terletak pada semangatnya, bukan dari harganya. Beri-memberi hadiah biasanya dilakukan secara terbuka, tidak pernah secara rahasia. Bila nilainya terlalu berlebihan, itu akan membuat orang malu Pendidikan Antikorupsi 85

dan biasanya hadiah yang bersangkutan dikembalikan. Korupsi telah menyalahgunakan dan menghancurkan salah satu aspek dari kebudayaan kita.” (Pope, 2007: 21-22).

Mencari akar penyebab terjadinya korupsi dapat ditelusuri dengan memahami sejumlah teori yang terkait dengannya. Pertama, adalah teori means-ends scheme yang diperkenalkan oleh Robert Merton. Menurut teori ini, korupsi merupakan suatu perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial, sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma. Sebagaimana lazimnya setiap sistem sosial memiliki tujuan dan manusia berusaha untuk mencapainya melalui cara-cara (means) yang telah disepakati. Mereka yang menggunakan cara-cara yang telah disepakati bersama untuk mencapai tujuan bersama termasuk dalam golongan kompromis. Selain memberikan ruang bagi anggota-anggotanya untuk dan mewujudkan tujuan, sistem sosial tidak jarang juga menimbulkan tekanan yang menyebabkan banyak orang tidak memiliki akses atau kesempatan di dalam struktur sosial, karena adanya pembatasan-pembatasan atau diskriminasi rasial, etnik, kapital, keterampilan, dan sebagainya. Golongan marginal ini kemudian mencari berbagai cara untuk mendapatkan pengakuan dan akses terhadap sumber-sumber yang ada di masyarakat. Cara-cara kotor atau menyimpang dari norma masyarakat terpaksa mereka lakukan demi menyambung kehidupan mereka atau melawan ketidakadilan yang menimpa mereka. Dalam teori Merton ini ditunjukkan bagaimana kebudayaan terlalu menekankan sukses ekonomi tetapi membatasi kesempatan-kesempatan untuk mencapainya, akan menyebabkan 86 Dr. Eko Handoyo, M.Si. tingkat korupsi yang tinggi. Teori ini bisa menjelaskan mengapa di negara yang kurang makmur tetapi warga negaranya memiliki motivasi untuk maju yang sangat tinggi cenderung besar tingkat korupsinya, sedangkan negara dengan motivasi yang rendah untuk maju, tetapi akses untuk mencapai kemajuan itu tinggi, cenderung memiliki tingkat korupsi yang rendah seperti halnya yang dialami negara-negara Skandinavia. Teori kedua, adalah teori partikularisme yang dikembangkan oleh Edward Banfeld. Teori tersebut berkaitan erat dengan keluarga, dimana korupsi merupakan ekspresi dari partikularisme. Sikap partikularisme merupakan suatu perasaan kewajiban untuk membantu dan membagi-bagi sumber kepada pribadi-pribadi yang dekat dengan seseorang. Bantuan tersebut merupakan suatu kewajiban personal kepada keluarga, sahabat, atau anggota kelompoknya. Inilah yang disebut nepotisme. Nepotisme merupakan suatu sikap loyal terhadap kewajiban partikularistik yang merupakan ciri dari suatu masyarakat prakapitalis atau masyarakat feodal. Partikularisme bertentangan dengan universalisme, yaitu komitmen untuk bersikap sama dengan yang lain. Universalisme merupakan ciri-ciri yang terdapat pada masyarakat modern yang berorientasi pada pasar. Pendapat Banfeld senada dengan pandangan Weber tentang etika Protestan. Menurut Weber, nilai-nilai yang berkembang di masyarakat Barat sebelum Protestantisme adalah nilai-nilai gereja Katolik yang mementingkan masyarakat, keluarga, dan golongan masyarakat yang dominan dalam membantu golongan miskin. Dengan lahirnya Kalvinisme (suatu aliran Protestantisme), nilai- nilai komunitarian tersebut menghilang dan diganti oleh sifat Pendidikan Antikorupsi 87 mementingkan diri sendiri, sehingga kondusif bagi akumulasi kapital. Lahirlah kapitalisme dengan norma-normanya. Teori Banfeld menekankan pada konsep amoral familiism, yaitu budaya yang kurang mengandung nilai-nilai komunitarian, tetapi sangat memperkuat hubungan keluarga. Familiisme yang tidak bermoral tersebut memberi kesempatan untuk tumbuh suburnya perilaku korupsi dan memperkokoh tingkah laku menyimpang dari nilai-nilai universalisme dan sistem merit. Inilah yang ditemukan Banfeld pada sistem mafia di Italia. Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia membenarkan teori Banfeld, di mana korupsi banyak terjadi di negara-negara Asia, karena di negara-negara tersebut keterikatan terhadap keluarga sangat tinggi, sedangkan di negara-negara Skandinavia korupsi cukup rendah karena negara-negara tersebut kurang mementingkan ikatan keluarga. Syed Hussein Alatas (1986: 46) mengungkapkan faktor-faktor berikut sebagai penyebab korupsi: (1) ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan memengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi, (2) kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika, (3) kolonialisme, (4) kurangnya pendidikan, (5) kemiskinan, (6) tiadanya tindak hukuman yang keras, (7) kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku antikorupsi, (8) struktur pemerintahan, dan (9) perubahan radikal. Berbagai upaya untuk memberantas korupsi telah dilakukan oleh banyak negara, namun korupsi telah menjadi penyakit yang sistemik. Godaan untuk melakukan korupsi kiranya sulit dihindari. Torres sebagaimana dikutip Klitgaard, Maclean-Abaroa dan 88 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Parris (2005: 37) mencatat faktor-faktor yang menyebabkan hal itu, diantaranya faktor keluarga, tingkat pendidikan, sikap pada pekerjaan, dunia usaha, negara dan situasi internasional. Di Indonesia, korupsi demikian gencar dan makin sulit dibendung terutama sejak berlalunya era . Gus Dur bahkan punya seloroh menarik, “Di zaman orde lama, orang takut korupsi sehingga korupsi dilakukan di bawah meja. Di zaman orde baru, orang berani korupsi sehingga korupsi dilakukan di atas meja dan pada zaman reformasi lebih gila lagi, mejanya pun dikorupsi.” (Nugroho D dan Hanurita S., 2005: 115). Meskipun banyak lembaga antikorupsi dan komitmen pemerintah cukup tinggi untuk memberantas korupsi, namun kenyataannya tindak pidana korupsi sukar diberantas. Mengapa korupsi di Indonesia sukar diberantas? Menurut Amir Santoso (2006: 2-4) ada lima pandangan yang dapat menjelaskan hal ini. Pertama, kurang adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah, para tokoh pemerintahan dan DPR untuk memberantas korupsi. Kedua, korupsi yang terjadi di Indonesia sering disebut sebagai korupsi yang sistemik, maksudnya praktik korupsi tersebut memang terjadi secara sistemik melalui pemanfaatan kelemahan dalam sistem administrasi negara beserta aturan-aturannya. Ketiga, masalah budaya. Pemberian dari penguasa kepada anggota keluarga atau rakyat meskipun diambil dari kas negara bukanlah korupsi, tetapi dipandang sebagai upaya mengayomi (memberi perlindungan) dan ngayemi (membuat tenteram). Keempat, akibat dari tidak mencukupinya gaji pegawai negeri Pendidikan Antikorupsi 89 yang berlangsung lama. Dalam rangka memenuhi kebutuhan yang makin bertambah sementara gaji atau penghasilan pas-pasan, PNS terpaksa menyalahgunakan wewenang (abuse of power) di kantornya baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang- terangan. Kelima, sejak reformasi bergulir tahun 1998, korupsi bukannya berkurang tetapi makin meningkat dari segi jumlah pelaku dan jumlah uang yang dikorupsi.

B. Dampak Korupsi Korupsi memiliki dampak positif maupun negatif. Namun jika dikalkulasi, dampak negatifnya tentu lebih banyak atau dengan kata lain, pengaruh buruk korupsi jauh lebih besar ketimbang manfaatnya. Sebuah studi korupsi di Maroko menyimpulkan bahwa korupsi di dalam sistem Maroko tidak banyak membantu efisiensi kaum pengusaha dan pembentukan modal. Dalam sistem ini, korupsi hanya menguntungkan satu fungsi, yaitu kelangsungan rezim (Klitgaard, 2005: 49). Studi lain memperlihatkan bahwa korupsi telah memperhebat konflik etnik, menghancurkan efisiensi pemerintahan kota dan badan-badan federal, melumpuhkan sistem penilaian dalam prestasi kerja dan kenaikan pangkat, menimbulkan suasana ketidakpercayaan yang meresapi semua tingkat pemerintahan dan menggerogoti falsafah sosialisme di Afrika (Klitgaard, 2005: 49). Hasil riset di Philipina menemukan bahwa korupsi menimbulkan penganakemasan produsen yang tidak efisien, distribusi sumber-sumber alam negara yang langka secara tidak 90 Dr. Eko Handoyo, M.Si. adil dan tidak merata, dan kebocoran pendapatan pemerintah dari kas negara ke tangan perorangan (Klitgaard, 2005:50). Korupsi memiliki dampak hebat, utamanya terhadap ekonomi. Sebagaimana dituturkan Mashal (2011), bahwa korupsi menyebabkan 6 (enam) hal berikut. Pertama, investasi menjadi rendah, termasuk investasi langsung dari luar negeri. Kedua, mengurangi pertumbuhan ekonomi. Ketiga, mengubah komposisi belanja pemerintah dari aktivitas sangat produktif menjadi aktivitas kurang produktif. Keempat, ketidaksamaan dan kemiskinan menjadi lebih besar. Kelima, mengurangi efisiensi bantuan. Keenam, menyebabkan negara mengalami krisis. Dalam kaitannya dengan ekonomi, FATF dan OECD (2011) melaporkan bahwa korupsi mengganggu kinerja ekonomi, misalnya dengan berkurangnya investasi swasta, mengurangi penyediaan infrastruktur publik, mengurangi penerimaan pajak, sistem finansial menjadi tidak efisien, bahkan dapat merusak formasi modal manusia. Korupsi bahkan seperti pasir bagi roda pertumbuhan ekonomi. Artinya, korupsi menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi. Korupsi juga melanggar dan mengganggu hak asasi manusia, khususnya hak yang seharusnya dimiliki oleh anak. ICHRP dan Transparency International (2009) mencatat bahwa korupsi berdampak pada terlanggarnya hak anak untuk hidup, khususnya hak untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan. Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh AIPI pada tahun 2006, Silalahi (2006: 3) memberi kesimpulan bahwa korupsi merusak perekonomian, merendahkan martabat hukum dan Pendidikan Antikorupsi 91 melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Karena korupsi, usaha mengikis kemiskinan pun terhambat, sebab kira- kira 30% dana publik diambil secara tidak sah oleh pejabat dan birokrat publik untuk kepentingan dan memperkaya diri. Menurut Susilo (2006: 93), korupsi di Indonesia merupakan persoalan nyata yang menggerogoti seluruh sendi kehidupan bangsa. Rusaknya kualitas lingkungan hidup, berkurangnya taman kota, mutu pendidikan yang dipertanyakan, infrastruktur yang tidak terawat, dan banyaknya pengangguran merupakan segelintir saja dari begitu banyak dampak korupsi. Korupsi yang dilakukan secara sistemik memiliki dampak langsung dan tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat (Sudjana, 2008: 86-87). Dampak langsung dari perbuatan korupsi, misalnya rakyat harus membayar mahal untuk jasa pelayanan publik yang buruk dan ekonomi biaya tinggi; sedangkan dampak korupsi tidak langsung di antaranya pencemaran dan kerusakan lingkungan, penumpukan aset negara di tangan segelintir orang, ketimpangan dalam pemerataan hasil-hasil pembangunan ekonomi, diskriminasi hukum, demokratisasi tertunda dan kehancuran moral. Dalam kaitan ini, Husein Alatas menyatakan, “tidak ada penyebab ketidakadilan dan kekejaman yang lebih besar daripada korupsi, karena penyuapan menghancurkan baik iman maupun negara” (Sudjana, 2008: 87). Korupsi memiliki daya rusak yang cukup tinggi. Korupsi itu merusak, alasannya sederhana, yakni karena keputusan-keputusan penting diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pribadi tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya bagi publik (Pope, 2007: 9). Dieter Frisch, mantan Direktur Jenderal Pembangunan Komisi 92 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Eropa, menyatakan bahwa korupsi memperbesar pengeluaran untuk barang dan jasa, memperbesar utang negara, menurunkan standar, dan menyebabkan proyek-proyek dipilih berdasarkan modal. Dalam kesempatan lain, Frisch menunjukkan bahwa bila sebuah negara memperbesar utangnya agar dapat melaksanakan proyek-proyek yang tidak layak dari sisi ekonomi, utang tambahan itu tidak saja mencakup 10 hingga 20 persen biaya tambahan yang timbul karena korupsi, tetapi seluruh investasi, dalam arti 100% investasi, dilakukan atas dasar keputusan yang tidak jujur untuk melaksanakan proyek-proyek yang tidak produktif dan tidak perlu (Pope, 2007: 9). Jika tidak dapat dikendalikan, korupsi dapat mengancam lembaga-lembaga demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam lingkungan yang korup, sumber daya akan disalurkan ke bidang-bidang tidak produktif. Kelompok elit akan selalu melindungi kedudukan dan harta kekayaan aparat kepolisian, tentara, lembaga-lembaga kontrol sosial, dan kelompok penindas lainnya. Untuk itu, undang-undang dibuat dan sumber daya yang seharusnya digunakan untuk pembangunan sosial ekonomi dibelokkan untuk meningkatkan keamanan. Pada gilirannya hal tersebut dapat melemahkan lembaga-lembaga demokrasi, karena korupsi, bukan investasi, yang menjadi sumber utama untuk memperoleh keuntungan uang. Pada tahap berikutnya, korupsi dapat menggoyahkan landasan keabsahan pemerintah dan akhirnya bisa menggoyahkan keabsahan negara. Korupsi tidak hanya merusak sendi-sendi kehidupan negara. Akibat salah urus yang dilakukan oleh elit pemerintah, pihak swasta mendapatkan akibat yang tidak kecil. Korupsi menimbulkan ketidakpastian bagi swasta. Hal ini dapat dipahami karena swasta Pendidikan Antikorupsi 93 tidak dapat meramalkan keputusan-keputusan apa yang dihasilkan para pejabat yang korup. Mereka juga tidak yakin apakah hakim yang memutuskan perselisihan mereka dapat bertindak benar dan adil. Selain karena masalah ketidakpastian, swasta juga menghadapi persoalan resiko. Seiring dengan membesarnya resiko, semakin besar dan cepat pula uang kembali yang harus dikejar oleh para investor (Pope, 2007: 11). Hubungan yang korup ini akan menutup pintu bagi pendatang baru ke dalam sektor swasta dan hal ini dapat menghambat laju pertumbuhan sektor swasta. Korupsi juga menimbulkan biaya-biaya lain, terutama yang dialami sektor swasta. Bayle sebagaimana dikutip Nugroho D dan Hanurita S (2005: 126-128) menginventarisasi biaya-biaya yang terjadi sebagai akibat perilaku korupsi, yaitu: (1) tindak korupsi mencerminkan kegagalan mencapai tujuan yang ditetapkan pemerintah, (2) korupsi akan segera menular ke sektor swasta dalam bentuk upaya mengejar laba dengan cepat dalam situasi yang sulit diramalkan, (3) korupsi mencerminkan kenaikan harga administrasi, (4) jika korupsi merupakan bentuk pembayaran yang tidak sah, tentu hal ini akan mengurangi jumlah dana yang disediakan untuk publik, (5) korupsi merusak mental aparat pemerintah dan melunturkan keberanian yang diperlukan untuk mematuhi standar etika yang tinggi, (6) korupsi dalam pemerintahan menurunkan rasa hormat kepada kekuasaan dan akhirnya menurunkan legitimasi pemerintah, (7) jika elit politik dan pejabat tinggi pemerintah secara luas dianggap korup, maka publik akan menyimpulkan tidak ada alasan bagi publik untuk tidak boleh korup juga, (8) seorang pejabat atau politisi yang korup adalah pribadi yang hanya memikirkan diri sendiri, tidak mau berkorban 94 Dr. Eko Handoyo, M.Si. demi kemakmuran bersama di masa mendatang, (9) korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar dari sisi produktivitas karena waktu dan energi habis untuk menjalin hubungan guna menghindari atau mengalahkan sistem daripada untuk meningkatkan kepercayaan dan memberikan alasan yang objektif mengenai permintaan layanan yang diperlukan, (10) korupsi akan menimbulkan perkara yang harus dibawa ke pengadilan dan tuduhan-tuduhan palsu yang digunakan pada pejabat yang jujur untuk tujuan pemerasan, dan (11) bentuk korupsi yang paling menonjol di beberapa negara yaitu uang pelicin atau uang rokok menyebabkan keputusan ditimbang berdasarkan uang bukan berdasarkan kebutuhan manusia. Nugroho (2006: 5) mencatat pula bahwa korupsi yang terjadi di banyak tingkatan birokrasi pusat dan daerah serta di kalangan DPR merupakan awal dari keruntuhan sistem politik. Hal ini dapat dipahami, karena kepercayaan publik kepada bangunan sistem politik akan runtuh dan legitimasi politik dengan sendirinya akan berada pada titik kritis tatkala rakyat tidak lagi percaya kepada elit yang memerintah. Sebagai penyakit kronis, maka dampak korupsi terhadap kinerja birokrasi dapat berupa hilangnya kepercayaan publik, inefisiensi anggaran, gangguan atas pelayanan publik dan pembangunan, serta ambruknya citra institusi demokrasi sipil yang dibangun selama era reformasi. Dalam perspektif ekonomi politik, korupsi merupakan kejahatan yang secara langsung menggerogoti sendi-sendi bangunan ekonomi dan politik suatu bangsa (Sudjana, 2008: 89). Virus korupsi yang menyerang suatu negara atau pemerintahan membuat daya tahan dan daya hidup suatu negara menjadi lemah. Pendidikan Antikorupsi 95

Virus tersebut mengancam integrasi dan kohesivitas nasional, sehingga konflik sosial mudah meletup dan sulit dikendalikan. Fundamen ekonomi pun dibuatnya rapuh dan rentan terhadap goncangan sekecil apa pun. Secara politik, korupsi telah meruntuhkan wibawa dan kredibilitas pemerintah di mata rakyat, sehingga partisipasi rakyat menjadi rendah. Korupsi memengaruhi persepsi rakyat, di mana rakyat percaya bahwa produk perundang- undangan lahir memang untuk dilanggar karena adanya berbagai kesepakatan di bawah tangan baik dengan pendekatan kekuasaan maupun uang. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap produk hukum, menyebabkan rendahnya kepatuhan mereka terhadap hukum yang berlaku. Dirampoknya uang rakyat dan negara membuat rakyat putus asa, lahirlah konflik, kekerasan, dan kriminalitas pun merajalela (Sudjana, 2008: 91). Dampak negatif korupsi juga dikemukakan Harman (2012), “Rusaknya sistem demokrasi dan rule of law, rusaknya sendi- sendi kehidupan bermasyarakat, terhambatnya ekonomi dan daya saing, serta terhambatnya upaya pengentasan kemiskinan dan penegakan hak asasi manusia, merupakan dampak negatif dari tindak pidana korupsi,” demikian ungkap Harman. Dalam kaitannya dengan rusaknya demokrasi dan rule of law, Harman mencatat bahwa sejak penyelenggaraan pemilu 1999, politik uang telah merebak dan memainkan perannya dalam merusak format politik pascareformasi. Tanpa kejelasan dana partai dan elit politik yang berlaga dalam pemilu, realitas politik dan demokrasi makin memburuk. Politik uang sebagaimana ditengarai Harman, berlangsung mulai masa pra kampanye, kampanye, minggu tenang, hingga pada hari pencoblosan (yang 96 Dr. Eko Handoyo, M.Si. sering disebut dengan serangan fajar). Hal ini dibuktikan dengan keterangan Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa hampir semua pemilihan kepala daerah sepanjang tahun 2010 diwarnai oleh praktik politik uang (Harman, 2012). Buruknya perilaku pejabat publik yang terpilih dalam pemilihan umum juga menciderai kualitas demokrasi dan rule of law. Harman (2012) melaporkan bahwa hingga tahun 2011 sebanyak 155 kepala daerah menjadi tersangka korupsi terkait kesenjangan antara dana kampanye dengan gaji mereka. Sebagaimana diketahui, dana yang dihabiskan calon gubernur untuk kampanye berkisar antara Rp 60 miliar hingga Rp 100 miliar, padahal selama masa jabatan lima tahun secara normal gubernur terpilih hanya mampu mengumpulkan gaji mereka sebesar Rp6 miliar. Pertanyaannya adalah dari mana kekurangannya harus dicari. Korupsi merupakan jawabannya. Pada tahun 2011, Harman (2012) menginformasikan bahwa KPK telah memproses hukum 20 orang kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun wali kota yang tersangkut korupsi pengadaan barang. Rusaknya kualitas demokrasi dan rule of law juga dipicu oleh buruknya moralitas pejabat BUMN (baik pusat maupun daerah), yang menjadikan BUMN sebagai sarana kotak penyedia uang atau ATM bagi mereka yang memegang otoritas di BUMN. Beberapa perusahaan yang ditengarai sumber korupsi di antaranya Badan Urusan Logistik (BULOG) dan Pertamina zaman Pemerintahan Orde Baru. Sumber penerimaan pajak juga menjadi lahan untuk korupsi, sebagaimana kasus Gayus yang sangat menghebohkan. Sistem banyak partai yang tidak disertai mekanisme transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik juga dipandang sebagai persoalan dalam manajemen sistem politik demokratis. Partai Pendidikan Antikorupsi 97 politik diduga menjadi mesin politik untuk berkorupsi yang paling ganas. Bukan hal aneh ketika calon kepala daerah untuk meminta rekomendasi dari parpol sebagai calon yang direstui parpol harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menjalankan mesin partai yang konon katanya untuk kegiatan kampanye bagi calon yang diberi rekomendasi. Ujung-ujungnya parpol akan meminta sesuatu kepada calon ketika mereka terpilih sebagai kepala daerah. PKS ketika mengusung Adang Daradjatun dan Dani dalam pilkada DKI 2012 telah menerima mahar politik Rp 40 miliar untuk kepentingan kampanye calon gubernur tersebut. Mahar politik yang diberikan sebelum kepala daerah mencalonkan diri dirasa belum cukup. Setelah calon terpilih dalam pilkada, partai masih juga merecoki kepala daerah tersebut, apalagi jika kepala daerah tersebut merupakan kader partai. Harman (2012) juga melaporkan bahwa ada menteri yang harus menyetor ke partainya sebesar Rp 500 juta per bulan. Penarikan upeti politik ini menyebabkan partai lebih banyak berfungsi sebagai penggerak pencarian sumber-sumber dana ilegal. Korupsi juga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Dampak korupsi terhadap rusaknya sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, menurut Harman (2012) dapat dicermati dari tujuh hal berikut. Pertama, kondisi negara dalam berbagai bentuk korupsi, suap, dan pemerasan merupakan bentuk dari penyelewengan, yang merupakan bagian dari warisan Orde Baru. Elemen-elemen negara era reformasi dipercaya mewarisi praktik bisnis oligarki yang telah dibesarkan pada masa Orde Baru. Kedua, sistem politik yang terbuka, yang ditunjukkan dengan meningkatnya peran partai politik, pemilu, pemilukada, dan 98 Dr. Eko Handoyo, M.Si. parlemen dengan berbagai kelemahan dan celahnya malah dimanfaatkan oleh oligarki dan elit politik. Patronase yang berkembang dalam sistem oligarki telah membayangi proses pemilu dan pemilukada menjadi tidak bersih. Ketiga, pada musim pemilihan, elit politik dan partai politik berperan menjadi penggelontor dana, baik berbentuk uang maupun barang kepada masyarakat calon pemilih. Pengumpulan dan pemberian dana politik ini ditengarai untuk mendanai politik uang dan untuk mendapatkan kembali uang yang telah dikeluarkan ketika kampanye. Keempat, sebagai bagian dari masyarakat politik, banyaknya dugaan korupsi atas elit dan partai politik dapat merusak pembentukan dan pertumbuhan karakter dalam kaderisasi politik. Kelima, posisi elit politik dan elit negara berpengaruh terhadap masyarakat sebagai figur yang diikuti. Elit yang korupsi, tetapi dermawan kepada konstituennya tetap dibela mati-matian oleh sekelompok masyarakat. Masyarakat menjadi permisif terhadap apa yang dilakukan elit koruptor, karena jasa mereka terhadap masyarakat. Keenam, sikap dan perilaku permisif dari masyarakat justru mendukung elit politik untuk melakukan korupsi. Dampaknya, selain masyarakat menjadi tidak peduli lagi terhadap perilaku elit politik, para elit politik juga menjadi lebih berani melakukan korupsi dalam skala besar. Ketujuh, merosotnya moral dan nilai-nilai budaya yang luhur beriringan dengan meluasnya korupsi yang berimplikasi juga pada perilaku koruptif masyarakat. Aliran dana bansos yang diterima oleh sejumlah ormas, merupakan indikasi dari sikap koruptif masyarakat. Masyarakat pun menjadi lebih terang-terangan Pendidikan Antikorupsi 99 dalam melakukan korupsi, misalnya memotong dana bantuan dari pemerintah, mengelola lahan parkir ilegal, menarik kutipan (uang masuk) ketika memasuki jalan tertentu, dan lain-lain. Korupsi juga dapat menghambat ekonomi dan daya saing. Hasil audit BPK menunjukkan bahwa sejumlah Rp 300 triliun dana bansos telah disalahgunakan selama tahun 2007-2010, yang diduga mengalir ke partai politik (Harman, 2012). Menkeu Agus Martowardojo juga memperkirakan bahwa aliran dana subsidi pangan dan energi sebesar Rp 200 triliun rawan penyimpangan dan salah sasaran. Harman (2012) juga melaporkan potensi kerugian dari menguapnya penerimaan pajak yang diperkirakan mencapai Rp 300 triliun per tahun. BPK juga mengungkapkan bahwa indikasi korupsi selama tahun 2009-2010 mencapai angka Rp 132 triliun. KPK juga mencatat potensi kerugian negara mencapai angka ratusan triliun rupiah karena kasus-kasus korupsi yang berhasil diungkap. Berikut potensi kerugian negara karena korupsi menurut data KPK. Tabel 2. Potensi Kerugian Negara karena Kasus Korupsi No. Kasus Korupsi Nilai (Triliun Rupiah) 1. Pajak 50,0 2. Minyak dan Gas 40,1 3. Kehutanan 2,3 4. Perbankan 1,8 5. Keuangan Daerah 1,3 6. Infrastruktur 597,5 7. Pendidikan 204,2 8. Kesehatan 113,4 Sumber: Harman (2012). Potensi kerugian negara akibat tindak pidana korupsi angkanya bisa lebih besar, karena: (1) pihak yang berhasil mengungkapkan baru beberapa instansi, seperti BPK, BPKP, PPATK serta KPK, dan 100 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

(2) perbuatan korupsi tidak seluruhnya bisa ditelusuri, karena para korupstor pandai menyembunyikan perbuatannya, baik dengan berlindung pada hukum, melakukan pencucian uang (money laundry) maupun dengan cara berkolusi dengan kroni dan kelompok-kelompok masyarakat yang dengan berbagai cara seolah-olah perbuatan mereka bukan korupsi. Daya saing Indonesia merosot sebagai akibat dari perilaku tercela aparat negara yang seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat. TII dalam survei sebagaimana diungkap dalam Barometer Korupsi Global 2007 menempatkan aparat kepolisian, kejaksaan dan peradilan sebagai lembaga terkorup, sedangkan pada tahun 2009 kepolisian menempati urutan pertama sebagai lembaga terkorup (Harman, 2012). Tahun 2010, kepolisian juga menempati urutan pertama sebagai lembaga terkorup, disusul lembaga pemungut pajak, pengadilan dan kejaksaan. Dalam hal rule of law tahun 2011 dilaporkan bahwa Indonesia menempati peringkat 47 dari 65 negara pada tingkat global. Survey yang dilakukan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang melibatkan 2.147 eksekutif ekspatriat di 16 negara menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup. Data berikut menunjukkan posisi Indonesia dalam hal korupsi. Tabel 3. Peringkat Korupsi di Asia Pasifik Tahun 2010 No. Negara Nilai 1. Singapura 1,42 2. Australia 2,28 3. Hongkong 2,67 4. Amerika Serikat 3,42 5. Jepang 3,49 6. Makau 4,96 Pendidikan Antikorupsi 101

7. Korea Selatan 5,98 8. Taiwan 6,28 9. Malaysia 6,47 10. China 6,52 11. India 7,18 12. Thailand 7,60 13. Filipina 8,06 14. Vietnam 8,07 15. Kamboja 9,10 16. Indonesia 9,27 Sumber: Harman (2012). Selain merugikan keuangan negara, korupsi juga mengakibatkan terjadinya hambatan dan ketertinggalan ekonomi. Korupsi yang marak secara politik dan birokratik menjadi sasaran kampanye global terhadap ekonomi Indonesia. Kondisi yang mengkhawatirkan akibat dari maraknya korupsi adalah lemahnya posisi Indonesia sebagai arena investasi global (Harman, 2012). Para investor asing tampaknya enggan menanamkan modal mereka dalam jangka panjang di Indonesia karena tidak adanya kepercayaan bisnis atau jaminan yang memadai untuk memetik keuntungan dalam jangka panjang. Maraknya korupsi juga mengakibatkan Indonesia berada dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi iklim investasi. Korupsi yang sistemik di Indonesia juga menyebabkan ekonomi biaya tinggi yang juga menghambat pertumbuhan industri nasional. Daya saing produk-produk Indonesia juga makin melemah karena korupsi. Daya saing Indonesia dalam percaturan global mengalami penurunan, yakni dari urutan 44 menjadi 46 sebagaimana dilaporkan oleh The Global Competitiveness Report 2011-2012 (Harman, 2012). 102 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Selain sebagaimana telah dikemukakan Harman (2012) di atas, korupsi juga berdampak pada upaya mengatasi kemiskinan dan pemenuhan hak asasi manusia. Banyak keluarga miskin yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara layak. Demikian pula, banyak di antara mereka yang anak-anaknya tidak bisa meneruskan pendidikan, utamanya di sekolah dasar dan sekolah menengah. Itulah sebabnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan afirmatif untuk membantu keluarga miskin. Namun demikian, dana-dana untuk masyarakat miskin, seperti dana bantuan langsung tunai (BLT), BOS, Jamkesmas, dan Askeskin diselewengkan oleh pelaksananya. Di Muara Talang Sumatera Selatan dilaporkan telah terjadi korupsi BLT yang merugikan keuangan negara dan program pemberantasan kemiskinan sebesar Rp 5 miliar. Bahkan KPK mencatat adanya dugaan korupsi dalam pengelolaan BLT, jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas), dan asuransi kesehatan warga miskin (askeskin) sebesar Rp 1,1 triliun (Harman 2012). Beberapa sekolah, baik sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama di berbagai daerah telah melakukan korupsi terhadap dana BOS. Hasil riset ICW menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terdapat 233 kasus korupsi di mana dana alokasi khusus dan dana alokasi umum menduduki peringkat satu dan dua yang paling banyak dikorupsi. Dana beras miskin (raskin) pun dikorupsi oleh petugas dan aparat pemerintah. Sebagai contoh, camat Muaradua di kabupaten OKU Selatan Sumsel divonis 1 tahun penjara karena telah melakukan korupsi dana raskin sebesar Rp 188 juta (Harman, 2012). Dana yang diselewengkan tidak hanya untuk masyarakat miskin pedesaan, tetapi juga dana yang harus diterima untuk masyarakat miskin perkotaan (melalui program Pendidikan Antikorupsi 103

P2KP dan PNPM). Di Bandarlampung misalnya telah ditahan dua tersangka korupsi dana P2KP senilai Rp 500 juta. Demikian pula, Kejaksaan Sukabumi telah menyidik dugaan korupsi senilai Rp 1,3 miliar di kecamatan Caringin Sukabumi. Korupsi juga menghambat pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya. Berdasarkan laporan Human Development Index (HDI) tahun 2009 yang dikeluarkan oleh UNDP, Indonesia menempati urutan 111 dari 180 negara yang disurvei (Harman 2012). Kondisi ini diperkuat oleh data yang menunjukkan bahwa 13 juta anak terancam putus sekolah. Bahkan hingga tahun 2010 terdapat 12 juta anak yang masih belum tuntas hak belajar 9 tahun. Dalam kaitan dengan hak ekonomi, akibat praktik ilegal logging dan ilegal fishing, banyak penduduk yang kehilangan matapencahariannya, karena selama ini mereka sangat tergantung hidupnya pada hutan dan laut. Kolusi dan pungutan liar yang terjadi di beberapa instansi dalam hal rekrutmen pegawai negeri, menyebabkan banyak orang berkualitas tidak bisa bekerja karena praktik kolusi dan pungutan liar tersebut. Banyaknya pengangguran juga merupakan indikasi terlanggarnya hak ekonomi penduduk. Pada tahun 2009, jumlah pengangguran terbuka mencapai 9,43 juta, tahun 2010 turun sedikit menjadi 8,59 juta atau 7,41% dari total angkatan kerja sebanyak 116 juta orang (Harman 2012). Ini belum termasuk jumlah penduduk yang berada dalam kategori setengah pengangguran dan pengguran terselubung. Data KADIN dan APINDO menunjukkan bahwa pengangguran di Indonesia menjadi ancaman bagi ASEAN, di mana pengangguran di Indonesia 104 Dr. Eko Handoyo, M.Si. menyumbang 60% angka pengangguran ASEAN. Korupsi yang berlangsung sistemik juga telah mengancam hak-hak lain yang harus diterima penduduk miskin, seperti hak atas upah yang layak, hak atas kesehatan, hak atas perumahan yang layak, dan hak-hak para pengungsi sebagai akibat bencana alam maupun konflik sosial. Dalam bidang budaya, hak penduduk juga terancam. Yang memprihatinkan, dana ibadah haji pun dikorupsi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. ICW melaporkan bahwa potensi kerugian jemaah dalam musim haji tahun 2010 mencapai angka Rp 859,4 miliar (Harman, 2012). Muhammad Hatta pernah menyampaikan bahwa sejak tahun 1970-an, korupsi telah menjadi budaya. Pelaku korupsi tidak hanya para pejabat di pemerintahan dan lembaga formal kenegaraan lainnya, tetapi juga pengusaha dan anggota masyarakat. Masa reformasi yang seharusnya korupsi bisa diminimalisasi, kenyataannya justru makin tumbuh dan berkembang, bahkan dilakukan secara terang-terangan dan berjamaah. Buktinya, banyak pelaku korupsi di kalangan parlemen yang rama-ramai ditahan KPK. Meskipun disadari bahwa korupsi telah merusak sendi-sendi kehidupan politik, ekonomi dan sosial, namun beberapa kalangan masih memandang adanya sisi positif atau manfaat dari korupsi. Korupsi dapat mempercepat proses birokrasi dan menjaga hubungan paternalistik dan klientelistik antar-individu maupun antar-lembaga (Nugroho D dan Hanurita S., 2005: 128). Selain korupsi mengakibatkan biaya atau punishment, seperti hukuman penjara, malu jika tertangkap, perasaan tidak tenang (berdosa), kehilangan pekerjaan dan karir, serta patah semangat Pendidikan Antikorupsi 105 untuk bekerja dalam lingkungan kompetitif, namun pada sisi lain, korupsi diduga memberikan manfaat, di antaranya adalah tambahan pendapatan, pujian dan ucapan terima kasih dari klien, dan menempati posisi sosial yang tinggi (Wijayanto, 2009). Ada tiga peringatan yang dikemukakan oleh para ahli tentang aspek positif atau manfaat korupsi, yakni: (1) dari ahli ekonomi, (2) dari ilmuwan politik, dan (3) dari manajer (Klitgaard, Maclean-Abaroa dan Parris, 2005: 40-43). Menurut ahli ekonomi, pembayaran-pembayaran tak halal memasukkan sejenis mekanisme pasar. Dalam sistem ini, barang-barang dan jasa dialokasi menurut antrian, politik, pemilihan acak atau budi baik; di mana korupsi dapat berperan mengalokasikan barang-barang menurut kesediaan maupun kemampuan membayar dan mereka yang berani menawar tinggi yang memperolehnya. Karena korupsi inilah, barang dan jasa dialokasikan secara lebih efisien dalam arti ekonomi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Nathaniel Leff: “korupsi dapat memasukkan unsur kompetisi ke dalam apa yang merupakan industri monopolistik, sekaligus kecenderungan untuk investasi dan pembaruan ekonomi dapat menjadi lebih tinggi di luar pemerintah daripada di dalamnya” (Klitgaard, 2005: 41). Pembayaran, penunjukan dan kebijakan yang korup mempunyai manfaat politik. Para politisi dapat menggunakan korupsi untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan politik berbagai macam suku, wilayah, elit, atau partai-partai yang pada gilirannya dapat menciptakan suatu keselarasan politik dalam menghadapi otoritas politik yang terpecah-pecah, tidak bulat dan bermusuhan. Banyak pemimpin politik yang menggunakan cara tersebut untuk memelihara loyalitas pendukungnya, sebut saja 106 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Marcos dari Philipina dan Soeharto (Indonesia). Demikian pula, korupsi dapat dipandang sebagai pengaturan balas jasa politik seperti jual beli suara di DPR, kuota preferensi bagi berbagai wilayah, kelompok etnis atau partai-partai. Manajemen berkaitan dengan organisasi. Bila peraturan birokrasi menjadi penghalang, organisasi mungkin mendapat untung dari korupsi para pegawainya yang bermain di antara celah-celah peraturan. Sejumlah dana cair di dalam organisasi dapat berfungsi sebagai dana darurat yang barangkali secara luwes bisa dialokasikan oleh pucuk pimpinan untuk memajukan tujuan-tujuan organisasi. Cara-cara ini yang kerap kali digunakan oleh pemimpin partai politik di Indonesia untuk membiayai organisasi. Pencalonan gubernur, bupati, wali kota, dan anggota legislatif menjadi sarana bagi partai politik untuk mencari dana bagi kelancaran roda organisasi. Korupsi betapapun menimbulkan akibat yang merusak bagi sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Itulah sebabnya, pelakunya harus dihukum secara maksimal. Pada zaman Nabi Muhammad saw, Rasulullah memerintahkan agar orang yang melakukan ghulul atau penggelapan, disiksa dan kekayaannya dibakar. Hal ini dapat dicermati dari hadits riwayat Abu Daud dari Umar r.a, Nabi bersabda: “jika kamu menemui orang yang melakukan ghulul, maka bakarlah kekayaannya dan pukullah ia” (KPK, 2007: 8). Umar bin Abdul Azis penerus kesalehan Nabi, karena takut untuk berbuat korupsi, hal-hal kecil ia hindari supaya tidak tersandung pada perbuatan korupsi. Pada suatu waktu, Khalifah Umar bin Abdul Azis saat menerima tamu di rumah dinasnya, Pendidikan Antikorupsi 107 segera mematikan lampu minyak yang dipakainya tatkala sang tamu membicarakan sesuatu hal yang tidak berkaitan dengan urusan dinas. Karena tindakan tersebut, ia ditanya mengapa ia berbuat demikian. Umar menjawab, karena pengadaan minyak didanai oleh negara, maka pemanfaatannya sebatas pada urusan dinas. Jika tetap ia nyalakan, padahal urusan yang dibicarakan bukan urusan negara, berarti ia telah berbuat korupsi yang merugikan kepentingan negara. Terlepas dari manfaat-manfaat korupsi, dalam konteks yang lebih luas, bagaimanapun korupsi tetap merupakan kejahatan manusia yang tertua, lebih banyak merugikan, tidak dapat ditoleransi, dan patut dilawan.

C. Rangkuman Korupsi bersifat multidimensional. Korupsi disebabkan oleh banyak faktor, baik politik, hukum, ekonomi, organisasi, maupun budaya. Faktor ekonomi, seperti gaji rendah, kerugian yang diderita, kemiskinan, dan yang lain sering dianggap sebagai faktor dominan. Padahal, faktor politik, utamanya perselingkuhan antara elit politik dan pengusaha, merupakan faktor kunci yang menyebabkan terjadinya korupsi. Korupsi menimbulkan pemahaman berbeda di kalangan pelaku (prokorupsi) dan pihak penentang korupsi. Pihak prokorupsi, yaitu para koruptor yang menikmati hasil korupsi pasti akan menyatakan korupsi positif bagi upaya pembangunan, karena dengan pembangunan, para koruptor dapat memanipulasinya untuk kepentingan mereka. Sebaliknya, bagi masyarakat yang merugi karena tindakan koruptor jelas memandang korupsi 108 Dr. Eko Handoyo, M.Si. bersifat negatif dan merupakan penyakit yang harus diberantas. Dampak korupsi mengenai siapa saja, tidak hanya orang dewasa, tua renta, tetapi juga anak-anak. Anak-anak dirugikan karena mereka tidak bisa sekolah dan menikmati layanan kesehatan secara baik. Tidak tersedianya atau buruknya infrastruktur publik, baik jalan raya, taman kota, bendungan, transportasi, dan lainnya, menyebabkan banyak orang hidup dalam kemiskinan, bahkan banyak di antaranya yang mengalami kemiskinan akut. BAB V LEMBAGA-LEMBAGA ANTIKORUPSI DI INDONESIA

ksistensi korupsi di Indonesia bertalian dengan sistem dan kultur Eyang tidak memberikan ruang gerak yang cukup bagi upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Hal ini terutama tampak pada konteks sistem pemerintahan. Indonesia dengan kultur birokrasi patrimonial dengan sistem jabatan patrimonial, dalam praktiknya tidak mengenal perbedaan birokratis antara lingkup pribadi dan lingkup resmi/dinas. Menurut Alkaf (2006: 105-106), implementasi birokrasi pemerintahan dianggap sebagai urusan pribadi sang penguasa dan kekuasaan politik dianggap sebagai bagian dari milik pribadinya yang dapat dieksploitasi dengan cara menarik berbagai sumbangan dan pungutan. Sistem patrimonial ini dalam era modern berkembang menjadi sistem neo-patrimonial yang dalam sejarahnya melahirkan sistem kapitalis. Sistem terakhir inilah yang memposisikan elit politik maupun ekonomi sebagai penguasa tak tersentuh (untouchtable ruler) dari pengawasan publik. Dalam penyelenggaraan urusan negara, mereka menjadi dominan, hegemonik, semau gue, dan sama sekali tidak mempedulikan kepentingan rakyat. Sejak kejatuhan pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto pada tahun 1998 yang lalu, kondisi

109 110 Dr. Eko Handoyo, M.Si. bangsa dan negara menjadi terpuruk. Akibat krisis dan kejatuhan Soeharto, kemiskinan meningkat tajam, jumlah karyawan yang di- PHK meningkat, pengangguran bertambah, penggusuran menjadi- jadi, kelaparan meningkat, dan moralitas pemimpin makin merosot terutama diperlihatkan dari meningkatnya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pemangku jabatan negara atau publik. Di sela-sela kegagalan pemerintahan orde baru dan merosotnya sendi-sendi kehidupan politik, ekonomi, sosial-budaya dan keamanan masyarakat dan bangsa Indonesia, muncul lembaga- lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-pemerintah yang memiliki perhatian (concern) terhadap persoalan kemiskinan, pengangguran, penggusuran, hak azasi manusia, penyerobotan tanah, dan korupsi. Beberapa LSM yang memiliki perhatian terhadap masalah-masalah tersebut, di antaranya yang menonjol adalah ICW, YLBHI dan KONTRAS. Dalam kaitannya dengan upaya melawan korupsi, peran strategis LSM atau ORNOP didasarkan pada dua asumsi. Pertama, secara nominal struktural, independensi LSM/ ORNOP dari pemerintah atau masyarakat kalangan bisnis relatif memungkinkan mereka lebih banyak memiliki kebebasan untuk mengkritisi kebijakan negara dan sektor bisnis. Kedua, pemerintah dan bisnis tidak dapat mengendalikan, mengontrol atau mendikte LSM/ORNOP karena mereka tidak tergantung kepada lembaga negara atau pun masyarakat bisnis dalam hal sumber dana. Selain munculnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kepedulian tinggi terhadap upaya pemberantasan korupsi, pada level negara telah dibentuk lembaga independen, yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Pendidikan Antikorupsi 111

A. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 pada tanggal 29 Desember 2003. KPK ini dibentuk karena lembaga pemerintah yang selama ini menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. KPK memiliki struktur organisasi sebagai berikut. Pimpinan, tim penasihat, deputi bidang pencegahan, deputi bidang penindakan, deputi bidang informasi dan data, deputi bidang pengawsan internal dan pengaduan masyarakat, serta sekretariat jenderal. KPK hadir sebagai solusi atas permasalahan korupsi selama ini. KPK hadir bak air di tengah gurun padang pasir yang tandus. KPK adalah lembaga negara yang independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga manapun (pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002). KPK dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada prinsip-prinsip kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Keberhasilan memberantas korupsi memberikan fondasi kokoh bagi terwujudnya pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance). Untuk mewujudkan good governance tersebut, KPK menetapkan visi: mewujudkan Indonesia yang bersih, sedangkan misinya adalah sebagai penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang antikorupsi. Dalam mewujudkan visi dan misinya, KPK mengembangkan tiga strategi pokok, yaitu strategi jangka pendek, strategi jangka menengah, dan strategi 112 Dr. Eko Handoyo, M.Si. jangka panjang. Strategi jangka pendek KPK mencakupi: (1) kegiatan penindakan, (2) membangun nilai etika, dan (3) membangun sistem pengendalian terhadap lembaga pemerintahan agar terwujud suatu perubahan yang berlandaskan efisiensi dan profesionalisme (KPK, t.th: 157). Strategi jangka menengah KPK meliputi: (1) membangun beberapa proses kunci dan infrastruktur terkait lainnya di instansi pemerintah yang mendorong efisiensi dan efektivitas, (2) memberikan motivasi untuk terbangunnya suatu kepemimpinan yang mengarah pada efisiensi dan efektivitas, dan (3) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan pemerintah dan meningkatkan akses publik terhadap pemerintah (KPK, t.th: 157). Strategi jangka panjang KPK yaitu: (1) membangun dan mendidik masyarakat pada berbagai tingkat dan jenjang kehidupan untuk mampu menangkal korupsi yang terjadi di lingkungannya, (2) membangun suatu tata pemerintahan yang baik sebagai bagian penting dalam sistem pendidikan nasional, dan (3) membangun sistem kepegawaian yang berkualitas, mulai dari perekrutan, sistem penggajian, sistem penilaian kinerja, dan sistem pengembangannya (KPK, t.th: 158).

B. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) YLBHI mulanya bernama Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang didirikan berdasarkan idea tau gagasan yang berkembang dalam kongres ketiga Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) pada tahun Pendidikan Antikorupsi 113

1969. Gagasan tersebut mendapat persetujuan dari DPP Peradin berdasarkan SK No. 001/Kep/10/1970 tanggal 26 Oktober 1970 yang isinya menetapkan pendirian LBH/Lembaga Pembela Umum yang mulai berlaku pada tanggal 28 Oktober 1970. Pada tanggal 13 Maret 1980 LBH ditingkatkan statusnya menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Pada awalnya lembaga ini didirikan untuk memberikan bantuan hukum kepada orang-orang yang tidak mampu memperjuangkan hak-haknya, terutama rakyat miskin korban penggusuran atau korban PHK (Alkaf, 2006 : 170). Organisasi YLBHI diselenggarakan berdasarkan prinsip bahwa setiap manusia berhak mendapatkan keadilan hukum, sosial, ekonomi, dan politik. Atas dasar prinsip tersebut, YLBHI mengembangkan misinya sebagai berikut: (1) menanamkan, menumbuhkan, dan menyebarluaskan nilai-nilai negara hukum yang berkeadilan, demokratis, serta menjunjung tinggi HAM kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa kecuali, (2) menanamkan dan menumbuhkan sikap kemandirian serta memberdayakan potensi lapisan masyarakat yang lemah dan miskin sedemikian rupa sehingga mereka mampu merumuskan, menyatakan, memperjuangkan serta mempertahankan hak-hak dan kepentingan mereka baik secara individual maupun kolektif, (3) mengembangkan sistem, lembaga-lembaga, dan instrumen- instrumen pendukung untuk meningkatkan efektivitas upaya- upaya pemenuhan hak-hak lapisan masyarakat yang lemah dan miskin, (4) memelopori, mendorong, mendampingi, dan mendukung program pembentukan hukum, penegakan keadilan hukum dan pembaharuan hukum nasional sesuai dengan konstitusi yang berlaku dan deklarasi umum hak–hak asasi manusia, dan 114 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

(5) memajukan dan mengembangkan program-program yang mengandung dimensi keadilan dalam bidang politik, sosial- ekonomi, budaya, dan jender utamanya bagi lapisan masyarakat yang lemah dan miskin (Alkaf, 2006: 171). YLBHI merupakan lembaga non-pemerintah yang secara spesifik melakukan advokasi dan pembelaan hukum kepada golongan lemah dan tertindas. YLBHI juga merupakan satu- satunya LSM terbesar di Indonesia yang memfokuskan diri pada perjuangan penegakan hukum, demokrasi, HAM, keadilan sosial dan pembelaan terhadap kaum buruh, miskin, dan marjinal Sepanjang dekade 1980-an dan 1990-an, YLBHI memposisikan diri sebagai LSM yang secara tegas melawan ketidakadilan struktural yang dibangun rezim orde baru. Perjuangan YLBHI ini mendapatkan dukungan dari berbagai daerah di seluruh Indonesia dan hingga tahun 2006, YLBHI telah memiliki 14 kantor cabang LBH yang tersebar dari Aceh hingga Papua (Alkaf, 2006: 171).

C. Indonesian Corruption Watch (ICW) Sesuai dengan manifesto gerakan antikorupsi, ICW adalah lembaga nirlaba yang terdiri dari sekumpulan orang-orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha- usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat atau berpartisipasi aktif melakukan perlawanan terhadap praktik korupsi (Alkaf, 2006: 174). ICW lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di tengah derasnya gerakan reformasi. Sebagai tindak lanjut dari manifesto antikorupsi tersebut, ICW menetapkan visi yaitu: menguatnya posisi tawar rakyat untuk mengontrol negara dan turut serta dalam keputusan untuk Pendidikan Antikorupsi 115 mewujudkan tata kelola pemerintahan yang demokratis, bebas dari korupsi, berkeadilan ekonomi, sosial, serta jender (Alkaf, 2006: 175). Untuk mendukung visi tersebut, ICW menetapkan misi sebagai berikut. (1) Merjuangkan terwujudnya sistem politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi yang bersih dari korupsi dan berlandaskan keadilan sosial dan jender, (2) Memperkuat partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan dan pengawasan kebijakan publik. Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut di atas, ICW merumuskan program dan agenda kerja sebagai berikut. 1. Memfasilitasi penyadaran dan pengorganisasian rakyat di bidang hak-hak warga negara dan pelayanan publik. 2. Memfasilitasi penguatan kapasitas rakyat dalam proses pengambilan dan pengawasan kebijakan publik. 3. Mendorong inisiatif rakyat untuk membongkar kasus-kasus korupsi yang terjadi dan melaporkan pelakunya kepada penegak hukum serta ke masyarakat luas untuk diadili dan mendapatkan sanksi sosial. 4. Memfasilitasi peningkatan kapasitas rakyat dalam penyelidikan dan pengawasan korupsi. 5. Menggalang kampanye publik guna mendesakkan reformasi hukum, politik dan birokrasi yang kondusif bagi pemberantasan korupsi. 6. Memfasilitasi penguatan good governance di masyarakat sipil dan penegakan standar etika di kalangan profesi (Alkaf, 2006: 175).

Prinsip yang dikembangkan ICW yang digunakan oleh para aktivisnya dalam menjalankan roda organisasi adalah integritas, 116 Dr. Eko Handoyo, M.Si. akuntabilitas, independen, objektivitas, kerahasiaan, dan antidiskriminasi. ICW sudah bergerak selama 11 tahun. Daya tawar, daya gedor, dan radius pengaruhnya sangat luas. Masyarakat selalu menantikan kiprah ICW. Melalui para aktivisnya yang sangat berani, ICW mampu menyuntikkan motivasi dan semangat antikorupsi kepada segenap lapisan masyarakat. Tidak tanggung-tanggung, ICW juga berani memberitakan kasus-kasus korupsi yang terjadi di seluruh pelosok tanah air.

D. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) MTI beralamatkan di jalan Polombangkreng Nomor 11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Fokus MTI adalah penegakan transparansi di semua lini masyarakat, mulai dari persoalan social, politik, ekonomi, hingga pertahanan keamanan. Dalam pandangan aktivis MTI, transparansi merupakan kunci masuk terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Visi MTI adalah menjadi pelopor terwujudnya sistem integritas nasional dengan mendorong praktik-praktik yang bersih dan sehat di bidang bisnis, pemerintahan, dan masyarakat dalam arti seluas- luasnya (Alkaf, 2006: 177). Strategi yang dikembangkan oleh MTI untuk mewujudkan visinya meliputi: (1) mensosialisasikan pengertian dan hakikat transparansi kepada masyarakat luas dan menanamkan keyakinan tentang pentingnya transparansi dalam berbagai bidang kehidupan, (2) melakukan berbagai penelitian dan pengkajian mengenai segala hal yang berkaitan dengan konsepsi transparansi, (3) menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dalam berbagai bentuk untuk mengkaji dan merumuskan strategi Pendidikan Antikorupsi 117 pelaksanaan transparansi di bidang hukum, politik, sosial-budaya, ekonomi-bisnis, dan hankam, (4) mengkomunikasikan berbagai konsep tentang transparansi kepada pusat-pusat pengambilan keputusan baik bisnis, pemerintah, maupun kelompok-kelompok masyarakat sipil, (5) secara cermat memantau berbagai kebijakan publik untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat (Alkaf, 2006 : 177). Tiga materi pokok yang harus disosialisasikan MTI adalah korupsi, good governance, dan otonomi daerah. Pemahaman yang benar mengenai tiga materi pokok tersebut, akan mampu mendorong terciptanya masyarakat transparan.

E. Transparency International Indonesia (TII) TII beralamatkan di jalan Senayan Bawah Nomor 17 Jakarta. TII merupakan lembaga cabang nasional dari Transparency International (TI) yang merupakan gerakan global menentang korupsi yang berkantor di Berlin Jerman. TI memiliki cabang di 80 negara dan merupakan satu-satunya organisasi internasional yang secara khusus bekerja untuk menghapus korupsi dari muka bumi. Sebagai bagian dari TI, Transparency International Indonesia (TII) bertujuan mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan dan sektor usaha (Alkaf, 2006: 179). Prinsip- prinsip yang dianut TII adalah: (1) merupakan perkumpulan berbentuk asosiasi yang didirikan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia, (2) merupakan organisasi nonpemerintah yang independen, nirlaba, tanpa kekerasan dan nonpartisan, (3) berdomisili di Jakarta dan akan membuka kantor-kantor daerah di seluruh Indonesia, (4) berafiliasi pada Transparency International yang berkedudukan di Berlin Jerman, dengan status otonom, (5) 118 Dr. Eko Handoyo, M.Si. mempunyai kode etik yang mengacu pada kode etik Transparency International (Alkaf, 2006: 180). Prinsip-prinsip tersebut digunakan oleh TII untuk melaksanakan kegiatan strategisnya, yaitu: (1) mempromosikan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana publik yang dikutip dari masyarakat, seperti pajak, jamsostek, ONH, zakat, dan pendapatan negara dari pengelolaan sumber daya alam, (2) mempromosikan integritas (harkat dan martabat) dan sistem politik yang demokratis, yang dilaksanakan lewat berbagai kegiatan, seperti sistem kegiatan keuangan partai politik dan pola pengambilan keputusan di DPR, (3) mempromosikan pulau- pulau integritas di berbagai lembaga pemerintahan, terutama di dalam pengadaan barang dan jasa, (4) meningkatkan kesadaran masyarakat tentang akibat negative dari korupsi melalui kampnye yang dilakukan dengan cara-cara yang popular dan komunikasi aktif di lapis akar rumput, dan (5) mempromosikan tata kelola perusahaan yang baik (Alkaf, 2006: 180). Salah satu visi TII adalah menciptakan budaya antikorupsi di kalangan masyarakat Indonesia, antara lain dilakukan dengan cara menggalang opini publik bahwa pelaku korupsi pasti akan ditemukan, ditangkap, diadili, dihukum, dan dinista masyarakat. Berdasarkan visi tersebut, TII memiliki misi yang sangat tegas, yaitu memperjuangkan terbentuknya sistem pencegahan korupsi secara nasional dengan dukungan masyarakat luas. Melalui kegiatan sosialisasi, advokasi, seminar, lokakarya, pelatihan, bedah buku, penelitian dan lain-lain, peran lembaga- lembaga antikorupsi, sebagaimana dilakukan oleh KPK (mewakili negara) dan YLBHI, ICW, MTI, dan TII (mewakili masyarakat) Pendidikan Antikorupsi 119 memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat. Dampak tersebut diantaranya: (1) cita-cita penegakan demokratisasi, HAM, dan keadilan sosial menjadi terarah, sekaligus memberi harapan baru bagi berkurangnya perilaku korupsi, (2) masyarakat menjadi lebih sadar dan kritis, karena banyak mendapat informasi seputar korupsi, (3) masyarakat makin mengetahui tata cara dan prosedur dalam menyampaikan kritik dan protes atas tindakan sewenang-wenang dan tidak adil yang mungkin dilakukan oleh aparatur pemerintah atau pihak- pihak yang memiliki otoritas dan kekuasaan baik politik maupun ekonomi, dan (4) mendukung terwujudnya masyarakat sipil (civil society) yang berdaya, kritis, dan mandiri sebagai penyangga utama tegaknya peradaban bangsa (Alkaf, 2006: 185). Lembaga-lembaga antikorupsi yang ada di Indonesia dipercaya dapat mendorong percepatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. ICW sebagai contohnya sangat gencar memberikan tekanan kepada pemerintah Indonesia untuk menindak para pelaku korupsi. Namun demikian, diakui pula bahwa selain adanya faktor-faktor yang mampu mendorong upaya percepatan pemberantasan korupsi, juga ditengarai adanya faktor-faktor yang dapat memicu kegagalan lembaga antikorupsi. Faktor-faktor pemicu keberhasilan dan kegagalan lembaga antikorupsi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 120 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Tabel 4. Faktor-faktor Pemicu Keberhasilan dan Kegagalan Lembaga Antikorupsi Faktor yang mendorong Faktor yang memicu Kegagalan Keberhasilan • Adanya dukungan politik. • Tidak adanya komitmen politik. • Lembaga antikorupsi berada • Kontra produktif terhadap dalam strategi antikorupsi yang pertumbuhan ekonomi. komprehensif dan mendapat dukungan yang efektif dan komplementer dari lembaga publik. • Ekonomi yang stabil dan program • Secara umum pemerintah gagal pembangunan selalu fokus dalam membangun institusi di pada pengurangan kesempatan negaranya. korupsi. Contoh: mengelola program privatisasi secara hati- hati. • Ditunjang oleh sumber keuangan • Penerapan hukum terhadap yang baik dan staf terlatih. korupsi yang kurang mendorong, tidak efektif, dan ambigu. • Memiliki visi dan misi yang jelas. • Tidak fokus, banyak tekanan, Visi dan misi ini ditunjang oleh tidak ada prioritas, dan tidak perencanaan bisnis, pengelolaan punya struktur organisasi yang anggaran, dan pengukuran memadai. kinerja yang baik. • Mempunyai kerangka hukum • Lembaga pemberantas korupsi yang kuat, termasuk “rule dianggap gagal ketika terlihat of law”nya dan dibekali oleh sebagai organisasi yang tidak kekuatan yang kuat yang dapat efisien dan tidak efektif, yang menunjang kegiatan penindakan tidak sesuai dengan harapan dan pencegahan. banyak pihak. • Bekerja secara independen dan • Rendahnya kepercayaan publik. bebas dari pengaruh segala kepentingan. • Semua staf dan pimpinan memiliki standar integritas yang tinggi. Sumber: Ditlitbang Deputi Pencegahan KPK (2006). Pendidikan Antikorupsi 121

F. Rangkuman Sejak era reformasi telah berdiri lembaga-lembaga antikorupsi yang memiliki peran besar dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai lembaga pemerintah yang bersifat independen mampu memerankan diri sebagai lembaga extraordinary dalam melakukan pemberantasan korupsi. Dukungan dari lembaga-lembaga nirlaba, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dan Transparency International Indonesia (TII), upaya pencegahan dan pemberantasan makin efektif dan terbukti banyak pejabat dan lembaga pemerintah yang dapat diawasi perilakunya secara efektif. Kampanye, sosialisasi, dan penyadaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga nirlaba tersebut juga mampu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya upaya bersama untuk melawan dan menghentikan korupsi. BAB VI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA DALAM LINTASAN SEJARAH

alam Bab ini akan diuraikan sejarah pemberantasan Dkorupsi pada masa pemerintahan orde lama, orde baru, dan reformasi. Pembahasan difokuskan pada produk perundang- undangan dan kebijakan pemerintah yang telah dikeluarkan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Kasus-kasus korupsi yang terjadi pada tiga periode pemerintahan tersebut tidak akan diungkap karena terlalu banyaknya tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh para pejabat negara maupun elit politik. Belum lagi korupsi yang dilakukan oleh kalangan swasta dan masyarakat yang tidak terungkap, tetapi diduga kasusnya bagaikan gunung es, sedikit yang muncul di permukaan, tetapi yang berada di dalam atau di dasar laut tak terhitung jumlahnya.

A. Pemberantasan Korupsi Masa Orde Lama Sejarah pemberantasan korupsi khususnya sejarah perundang- undangan antikorupsi di Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Bahkan Andi Hamzah dengan meyakinkan mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara pertama di Asia yang memiliki

122 Pendidikan Antikorupsi 123 undang-undang antikorupsi (Muslimin, 2006: 138). Pada tahun 1957 penguasa militer mengeluarkan Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Satu tahun kemudian, Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution mengeluarkan peraturan antikorupsi, yaitu Peraturan Penguasa Perang Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Prt/Peperpu/C13/1958 tertanggal 16 April 1958. Sehari setelah keluarnya peraturan tersebut, muncul peraturan serupa yang dikeluarkan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Prt/Z.I./1/7. Peraturan antikorupsi yang dikeluarkan penguasa perang tersebut relatif bersifat progresif dengan memperlakukan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang harus ditangani berdasarkan hukum materiil dan formil secara luar biasa juga. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang digunakan oleh KPK untuk melakukan pencegahan korupsi di kalangan pejabat negara baik pusat maupun di daerah, juga diatur dalam peraturan penguasa militer tersebut. Dalam peraturan tersebut, diatur tentang pendaftaran harta benda pejabat oleh Badan Penilik Harta Benda (BPHB) sebagai bagian dari sistem penegakan hukum preventif. Peraturan tersebut juga dilengkapi dengan proses pengajuan gugatan perdata berdasarkan prinsip perbuatan melanggar hukum bagi pejabat yang memiliki harta benda tidak seimbang dengan gaji dan pendapatannya tetapi sulit korupsi tersebut diajukan langsung kepada pengadilan tinggi tanpa harus melalui pengadilan tingkat pertama yaitu pengadilan negeri. 124 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Yang menarik dari semua itu, mengapa bukan pemerintah yang mengambil inisiatif dengan mengeluarkan undang-undang atau peraturan antikorupsi, justru penguasa militer yang notabene karakternya cenderung otoriter dan tertutup yang dengan berani menetapkan peraturan antikorupsi. Tidak ada jawaban terhadap hal ini, tetapi yang patut dicatat bahwa TNI telah menorehkan prestasi tentang obsesinya untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih. Pada waktu itu muncul kasus besar ketika Jaksa Agung waktu itu, yaitu Agung Suprapto untuk membawa Menlu Roslan Abdul Gani ke meja hijau karena adanya dugaan korupsi (Muslimin, 2006: 139). Meskipun akhirnya upaya Jaksa Agung gagal, namun ketegasan sikap dan tekad pantang menyerah dari Suprapto selaku Jaksa Agung pantas dicatat dengan tinta emas dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Menjelang berakhirnya kekuasaan orde lama, keluar peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (Muslimin, 2006: 139). Selain peraturan antikorupsi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dan penguasa militer, pemerintah atas dasar saran dari penguasa militer membentuk lembaga antikorupsi sebanyak dua kali. Pertama, dibentuklah Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Lembaga tersebut dibentuk melalui perangkat aturan UU Keadaan Bahaya yang dipimpin oleh A.H. Nasution dengan dibantu 2 orang anggota, yaitu Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Gani. Berdasarkan aturan tersebut, semua pejabat negara harus mengisi formulir tentang harta kekayaannya. Upaya tersebut ditentang Pendidikan Antikorupsi 125 keras oleh pejabat yang korup. Karena kekacauan politik, paran tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan menyerahkan pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Kedua, dibentuk Operasi Budhi berdasarkan Keppres Nomor 275 Tahun 1963. A.H. Nasution mantan Ketua Paran ditunjuk oleh pemerintah menjadi ketua operasi Budhi, dibantu Wirjono Prodjodikoro untuk menjalankan tugas menyeret pelaku korupsi ke pengadilan. Sasaran utama lembaga ini adalah perusahaan negara dan lembaga-lembaga negara dianggap rawan praktik korupsi. Seperti halnya yang dialami oleh Paran, lembaga ini juga mengalami kesulitan untuk menangkap pelaku korupsi. Perlawanan koruptor, seperti yang dilakukan oleh Direktur Utama Pertamina dengan menolak diperiksa, menyebabkan lembaga ini mandul. Meskipun Operasi Budhi berhasil menyelamatkan uang negara senilai kurang lebih Rp 11 miliar, namun tidak urung dibubarkan pemerintah dan sebagai gantinya dibentuk Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno dengan dibantu 2 orang anggota, yaitu Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.

B. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Baru Dibandingkan dengan hasil yang dicapai, peraturan antikorupsi pada masa orde lama tidak signifikan sebagai senjata pamungkas dalam memberantas korupsi. Sistem kepemimpinan yang otoriter, buruknya kinerja pemerintah dalam hubungan luar negeri, ditambah kompetisi tidak sehat antarpartai politik pada masa itu menyebabkan pemerintah lebih berkonsentrasi untuk mengendalikan situasi politik dan keamanan dalam negeri. Hal ini berdampak pada lemahnya pengendalian terhadap perilaku 126 Dr. Eko Handoyo, M.Si. aparat pemerintah dan elit politik. Peraturan antikorupsi yang dibuatnya pun menjadi tidak efektif. Berangkat dari buruknya kinerja pemerintah orde lama, pemerintah orde baru yang mengklaim diri sebagai orde pengoreksi bertekad melakukan perubahan-perubahan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara secara mendasar, termasuk melaksanakan pemberantasan korupsi. Pada tahun 1967, pemerintah orde baru membentuk Tim Pemberantas Korupsi berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967 (Muslimin, 2006: 140; Sudjana, 2008: 182). Tim tersebut diketuai oleh Jaksa Agung Sugiharto, dilengkapi dengan satuan tugas dari unsur kejaksaan, TNI dan Polri, ahli ekonomi, keuangan dan perbankan, pers, dan kesatuan-kesatuan aksi. Tim ini memiliki penasihat, yaitu Menteri Kehakiman, Panglima ABRI, Kepala Staf Angkatan, dan Kapolri. Tim yang dibentuk Soeharto tersebut tidak efektif, karenanya pada tanggal 31 Januari 1970 berdasarkan Keppres Nomor 12 Tahun 1970 dibentuk Komisi Empat. Tugas utama komisi ini adalah memberantas korupsi (Muslimin, 2006: 140). Tugas rincinya adalah menghubungi pejabat atau instansi pemerintah, swasta, sipil atau militer, meminta dokumen-dokumen administrasi pemerintah, swasta, dan lain-lain dengan meminta bantuan kepada aparatur negara pusat dan daerah (Sudjana, 2008: 183). Ketua Komisi ini dijabat oleh Mr. Wilopo, dengan anggota IJ. Kasimo, Prof. Johannes dan Anwar Cokroaminoto. Sekretaris Komisi dijabat oleh Mayjen Sutopo Yuwono. Mantan Wapres, Drs. M. Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi. Pada tahun yang sama dibentuk Komite Antikorupsi (KAK) oleh para mahasiswa (angkatan 66). Komite ini merupakan lembaga Pendidikan Antikorupsi 127 hasil insiatif mahasiswa dan masyarakat, sehingga eksistensinya tidak dipayungi hukum, baik berupa keppres maupun peraturan lainnya. Namun demikian, karena tujuannya mulia, komite ini didukung dan direstui pemerintah. Hal ini ditunjukkan oleh sikap Soeharto yang berkenan menerima delegasi komite di istana negara yang sedang mempersoalkan korupsi yang dilakukan oleh Pertamina (Sudjana, 2008: 183). Satu tahun setelah dibentuk Komisi Empat, pemerintah bersama DPR berhasil menetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dasar pertimbangan dikeluarkannya UU tersebut adalah: (1) perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, (2) UU Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubung dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan (KPK, t.th.: 99). Dalam UU tersebut, yang termasuk perbuatan korupsi adalah: (1) seseorang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau badan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, (2) seseorang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, (3) barangsiapa yang melakukan kejahatan sebagaimana tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP, (4) seseorang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri, (5) seseorang tanpa alasan yang wajar menerima 128 Dr. Eko Handoyo, M.Si. pemberian atau janji yang diberikan kepadanya sebagaimana disebut dalam pasal 418,419, dan 420 KUHP tidak melapor kepada yang berwajib, dan (6) seseorang melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana pada nomor 1, 2, 3, 4, dan 5 di atas. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 termasuk keras, karena pelaku korupsi dapat dipidana maksimal penjara seumur hidup dengan denda setinggi-tingginya Rp 30 juta. Hal ini belum termasuk hukuman tambahan, seperti perampasan barang-barang terhukum dan pembayaran uang pengganti, sebagaimana diatur dalam pasal 34 dan 35. Hukuman tersebut menurut pakar hukum pidana, termasuk yang paling berat di Asia Tenggara (Muslimin, 2006: 141). Pada tahun 1974 meletus pemberontakan mahasiswa sebagai reaksi atas parahnya praktik korupsi di Indonesia dan penolakan terhadap modal asing. Sebagai respon atas desakan mahasiswa melalui peristiwa Malapetaka Januari 1974 atau dikenal dengan nama Malari, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1977 mengenai Operasi Ketertiban (Opstib) yang tugasnya memberantas korupsi dan berbagai pungutan liar yang semakin merajalela, terutama yang terjadi di jalan-jalan dan pelabuhan. Tim ini diketuai oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dengan pelaksana operasional adalah Pangkopkamtib. Ketua 1 adalah Kapolri dan Ketua 2 adalah Jaksa Agung. Tim ini semula hanya menertibkan pungli di jalan-jalan dan pelabuhan, tetapi dalam perkembangannya meningkatkan sasaran kepada korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintah daerah dan departemen. Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Tim ini masih Pendidikan Antikorupsi 129 tergolong dalam skala mikro dengan lingkup terbatas. Meskipun dinilai berhasil, hasil capaian Tim masih rendah bila dibandingkan dengan luas dan dalamnya korupsi pada tubuh pemerintahan dan departemen. Sebagai upaya meningkatkan citra orde baru, pemerintah pada tahun 1982 membentuk Tim Pemberantasan Korupsi dengan pelaksana adalah Menpan JB Sumarlin, Pangkopkamtib Sudomo, Ketua MA Mudjono, Menteri Kehakiman Ali Said, Jaksa Agung Ismail Saleh, dan Kapolri Awaloeddin Djamin. Pada masa orde baru, peraturan antikorupsi yang dikeluarkan dan badan-badan antikorupsi yang dibentuk cukup banyak. Dibandingkan dengan kinerja KPK yang umurnya kurang dari 20 tahun, namun prestasinya luar biasa, karena mampu mengungkap ribuan kasus korupsi dan menjebloskan pelaku tindak pidana korupsi lebih dari seratus orang. Para mantan menteri, mantan gubernur, mantan bupati/wali kota, mantan kepala departemen pemerintah, dan pengusaha kelas kakap berhasil digiring ke penjara. Hal ini tidak terjadi pada badan-badan antikorupsi buatan pemerintah orde baru yang selama puluhan tahun tidak berhasil memenjarakan pejabat pemerintah beserta kroni-kroninya. Hal ini dapat dipahami karena: (1) anggota badan antikorupsi masa orde baru adalah orang pemerintah yang ditunjuk oleh Presiden, (2) rakyat sipil pada masa orde baru sangat lemah atau boleh dibilang mengalami ketakutan secara sistemik, (3) para penegak hukum tidak memiliki nyali untuk menyeret pejabat pemerintah, bahkan mereka sendiri terlibat dalam kasus hukum, (4) undang-undang antikorupsi hanya menjadi pemanis bagi cita rasa pemerintah yang seolah-olah antiKKN. 130 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Keempat faktor inilah yang diduga menyebabkan gerakan pemberantasan korupsi pada masa orde baru berjalan di tempat. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Mulimin (2006: 142) bahwa kehadiran perangkat perundang-undangan dan berbagai institusi yang dibentuk pada masa orde baru tidak lebih dari orkhestra, drama, dan teater pelengkap dari suatu komunikasi dan diplomasi politik hukum antikorupsi yang dilakukan oleh rezim orde baru.

C. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Reformasi Pada masa orde baru, pemerintah mencanangkan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Idealisasi pembangunan tersebut diwujudkan dalam rencana-rencana pembangunan nasional. Untuk mencapai cita-cita, tujuan nasional, dan sebagai realisasi pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, pemerintah orde baru menetapkan rancangan pembangunan dalam dua tahap. Setiap tahap memakan waktu 25 hingga 30 tahun. Pembangunan Jangka Panjang Tahap (PJPT) Pertama sampai dengan pertengahan tahun 1997 telah menunjukkan hasil yang dapat dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Namun malapetaka menimpa Indonesia, yakni dengan munculnya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997. Krisis keuangan tersebut meluas menjadi krisis ekonomi, dan pada tahun-tahun berikutnya meluas dan membesar menjadi krisis multidimensi, tidak hanya ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, politik, dan keamanan. Bahkan dalam sewindu sejak krisis 1997, moralitas dan nasionalisme bangsa Indonesia mengalami penurunan sangat tajam. Rusaknya Pendidikan Antikorupsi 131 tatanan ekonomi dan keuangan pun mengakibatkan meluasnya pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan, menurunnya daya tahan masyarakat, dan melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Pemerintahan Habibie sebagai pengganti Soeharto, pemerintahan Gus Dur, dan pemerintahan Megawati tak kuasa menghadapi permasalahan fundamental bangsa Indonesia saat itu. Sejak krisis, jumlah penduduk miskin makin meningkat, pengangguran bertambah, konflik dan kekerasan terjadi dimana- mana, terorisme bagai hantu yang mengintai mangsa setiap saat, free sex merajalela, penyalahgunaan narkoba bertambah banyak, jumlah penderita HIV/AIDS berkembang, dan korupsi makin menjadi-jadi. Menyadari carut marutnya kehidupan nasional tersebut, para wakil rakyat yang berada di MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR pada tanggal 10 hingga 13 November 1998. Ada 12 ketetapan yang dihasilkan dari sidang tersebut. Untuk menormalisasi kehidupan nasional yang telah mencapai titik rendah sejak krisis moneter, dikeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara. Sebagai respon terhadap tuntutan mahasiswa dan masyarakat tentang perlunya penghapusan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), MPR mengeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya TAP MPR Nomor XI karena dalam 132 Dr. Eko Handoyo, M.Si. penyelenggaraan negara telah terjadi praktik-praktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu, yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional. Pasal 3 ayat (1) ketetapan tersebut menyatakan bahwa “untuk menghindarkan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai agamanya, harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.” Pasal 4 menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia. Ketetapan MPR tersebut terutama pada pasal 4 menunjukkan keberanian luar biasa dari rakyat Indonesia melalui wakil-wakilnya di MPR, karena secara tegas menunjuk nama Soeharto untuk diadili sebagai orang yang diduga melakukan korupsi selama 32 tahun menjabat sebagai Presiden. Seperti halnya undang-undang antikorupsi pada masa orde baru, TAP MPR tersebut ternyata sama saja tidak dapat digunakan, karena berkas-berkas kasus korupsi yang melibatkan Soeharto hingga meninggalnya tidak dapat menjadi bukti yang sah dan meyakinkan untuk mengadili Soeharto. Ini menunjukkan bahwa Pendidikan Antikorupsi 133

Soeharto memang sakti, tak tersentuh oleh hukum. Sedang sakit dan tidak lagi menjabat, Soeharto tidak dapat digiring ke meja hijau, apalagi ketika Soeharto masih menjabat presiden. Mungkin karena senyumnya yang menawan atau karena power- nya yang membuat Soeharto sebagai sosok yang tidak tersentuh (untouchtable). Empat presiden, dari Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono tidak berani mengusik Soeharto. KPK yang digadang-gadang akan mampu memasukkan Soeharto ke hotel prodeo juga tidak dapat menampakkan gigi taringnya. Semuanya melempem. Barangkali Tuhan menentukan lain terhadap nasib Soeharto. Untungnya keluarga dan kroni-kroni Soeharto berhasil diseret ke meja hijau. Tommy anak kesayangan Soeharto sempat masuk bui karena kasus korupsi dan dugaan pembunuhan dan Probosutedjo juga menginap di hotel prodeo karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Masuknya Tommy dan Probosutedjo ke dalam jerat hukum menjadi obat pelipur lara bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Sebagai pengejawantahan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, Pemerintah bersama DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Yang dimaksud penyelenggara negara menurut UU ini adalah pejabat negara yang menjalankan tugas eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mereka adalah pejabat negara pada lembaga tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara lain sesuai 134 Dr. Eko Handoyo, M.Si. dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelenggara negara yang bersih adalah penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya (Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK, 2006: 154). Asas-asas umum penyelenggaraan negara tersebut meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas. Ketentuan tentang asas-asas tersebut sejalan dengan karakteristik good governance dari UNDP, yaitu: participation, rule of law, transparency, responsiveness, concensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, and strategic vision (Romli, 2006: 6; Widodo, 2008: 116-117; Syakrani dan Syahriani, 2009: 134). Ini artinya asas-asas umum penyelenggaraan negara yang ditetapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tersebut sejalan dengan visi dunia/global untuk mewujudkan pemerintahan yang baik. Yang menarik dari UU tersebut adalah ditentukannya sebuah Komisi Pemeriksa sebagai upaya untuk menciptakan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN. Komisi ini merupakan lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden sebagai Kepala Negara. Fungsi utama komisi ini adalah mencegah praktik KKN dalam penyelenggaraan negara. Setelah keluar Undang-Undang Pendidikan Antikorupsi 135

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemeriksa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 ditiadakan dan digantikan fungsinya oleh KDalam rangka meningkatkan efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah reformasi mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU ini sebagai pengganti UU Nomor 3 Tahun 1971 yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Seiring dengan pesatnya praktik-praktik perbuatan menyimpang dalam tubuh pemerintah dan masyarakat, maka pengertian tindak pidana korupsi pun makin beragam, mulai dari perbuatan merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, hingga gratifikasi. UU Nomor 31 Tahun 1999 menetapkan pidana maksimal, yaitu penjara seumur hidup dan denda paling banyak Rp 1 miliar bagi pelaku korupsi. Pidana tambahan yang dikenakan kepada pelaku korupsi juga berat, misalnya perampasan barang milik terhukum, pembayaran uang pengganti, penutupan perusahaan, dan pencabutan hak-hak tertentu. Untuk lebih menjamin kepastian hukum dan menghindari keanekaragaman penafsiran hukum, pemerintah bersama DPR mengubah beberapa pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 dengan menetapkan berlakunya UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal-pasal yang diubah diantaranya adalah pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12. Mengenai perlunya sebuah badan atau komisi yang 136 Dr. Eko Handoyo, M.Si. secara khusus diadakan untuk melakukan tugas pemberantasan korupsi, UU Nomor 31 Tahun1999 mengamanatkannya dalam pasal 43 yang berbunyi “dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau disingkat KPK secara eksplisit dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. UU tersebut dikeluarkan karena adanya kesadaran bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi selama ini belum berfungsi secara efektif dan efisien. Jika tidak diadakan lembaga baru yang lebih independen, dikhawatirkan korupsi makin merajalela serta keuangan dan ekonomi negara makin merosot. Pengalaman menunjukkan, lembaga-lembaga antikorupsi yang dibentuk oleh pemerintah selama masa orde lama dan orde baru tidak dapat menghasilkan apa-apa. Kegagalan demi kegagalan selalu menghantui upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama terjadi pada masa sebelum reformasi datang menggantikan era orde baru yang sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kegagalan tersebut tidak membuat surut langkah badan antikorupsi, terutama KPK untuk melawan korupsi. Bahkan bangsa ini sudah bertekad untuk melawan korupsi dan menyatakan bahwa korupsi adalah musuh bersama (corruption is common enemy) yang harus diperangi. UU Nomor 30 Tahun 2002 memberikan kewenangan luar biasa besar kepada KPK untuk melakukan kegiatan, tidak terbatas pada upaya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, tetapi juga melakukan tindakan pencegahan korupsi yang melibatkan banyak segmen masyarakat, dan yang tidak kalah Pendidikan Antikorupsi 137 urgen adalah melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Ini artinya, jangkauan atau ruang lingkup kerja KPK dapat dikatakan luar biasa (extra-ordinary), karena ia bisa masuk ke semua segmen administrasi lembaga negara dan pemerintah serta dapat bergandengan tangan dengan semua elemen masyarakat demi terwujudnya pemerintahan dan masyarakat yang baik dan bersih. Selain UU Nomor 30 Tahun 2002 yang memperkokoh kinerja KPK dalam memberantas korupsi, upaya pemberantasan korupsi pada masa reformasi menjadi keniscayaan setelah pemerintah meratifikasi United Nation Convention Against Corruption 2003 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Dalam UU tersebut, disadari bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan tetapi merupakan fenomena transnasional yang memengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian, sehingga dipandang penting adanya kerja sama internasional untuk pencegahan dan pemberantasannya. Hal ini perlu didukung oleh integritas, akuntabilitas, dan manajemen pemerintahan yang baik. Itulah sebabnya bangsa Indonesia dengan KPK sebagai promotornya ikut aktif menggalang kerjasama internasional dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Tema antikorupsi yang ditawarkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang kemudian popular disebut SBY-JK dalam pemilihan umum 2004 yang lalu berhasil menaikkan popularitas SBY-JK sebagai penantang kuat pasangan Megawati SP dan Hasyim Muzadi. Berkat isu yang diangkat tersebut, pasangan SBY-JK memperoleh dukungan suara 60% dalam pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali diadakan di republik tercinta ini. 138 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Setelah dilantik sebagai Presiden pada tanggal 20 Oktober 2004, Susilo Bambang Yudhoyono dengan gencar mengeluarkan pernyataan dan menjalankan kebijakan pemberantasan korupsi. Tim Imparsial mencatat, selama kurun waktu 1 tahun memerintah sejak 2004, Presiden SBY telah mengeluarkan pernyataan tentang pemberantasan korupsi 36 kali (Marpaung dan J. Heri Sugianto, 2006: 31). Kebijakan pertama yang dikeluarkan SBY adalah ditetapkannya Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres tersebut ditujukan kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Jaksa Agung, Panglima TNI, para Kepala Lembaga Pemerintahan Non- Departemen, Gubernur, Bupati, dan Wali kota seluruh Indonesia. Isi Inpres tersebut antara lain: dukungan terhadap kerja KPK, terutama dalam hal pelaporan harta kekayaan dan penanganan kasus korupsi oleh KPK, meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik, baik dalam bentuk jasa atau perijinan, menetapkan program dan wilayah bebas korupsi, melaksanakan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, menerapkan kesederhanaan, baik dalam kedinasan maupun dalam kehidupan pribadi serta pengehematan pada penyelenggaraan kegiatan yang berdampak langsung pada keuangan negara serta peningkatan terhadap kualitas kerja dan pengawasan di tiap departemen atau institusi (Marpaung dan J. Heri Sugianto, 2006: 31). Dalam upaya pemberantasan korupsi, tim pertama yang dibentuk oleh SBY adalah Tim Terpadu Pemburu Koruptor, yang dibentuk melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada tanggal 17 Desember 2004. Selain Menko Polkumkam, tim ini beranggotakan Kapolri, Jaksa Agung, Deplu dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK). Tim Pendidikan Antikorupsi 139 tersebut memiliki dua tugas, yaitu memburu koruptor yang bebas berkeliaran di luar negeri dan mengembalikan aset milik negara yang dibawa kabur oleh koruptor ke luar negeri. Sebagai tindak lanjut dari Inpres Nomor 5 Tahun 2004, pemerintah menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009 atau disingkat RAN-PK 2004-2009. Dalam RAN- PK tersebut terdapat bidang pencegahan dan bidang penindakan dalam rangka pemberantasan korupsi. Bidang pencegahan diprioritaskan pada: (1) mendesain ulang pelayanan publik, terutama dalam bidang-bidang yang berhubungan langsung dengan kegiatan pelayanan kepada masyarakat, (2) memperkuat transparansi, pengawasan dan sanksi pada kegiatan-kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan sumber daya manusia, dan (3) meningkatkan pemberdayaan perangkat- perangkat pendukung dalam pencegahan korupsi. Berbeda dengan langkah-langkah pencegahan, bidang penindakan diprioritaskan pada percepatan penegakan dan kepastian hukum dalam penanganan perkara korupsi yang besar dan menarik perhatian masyarakat, serta pengembalian aset hasil korupsi kepada negara. Enam bulan setelah memerintah, tepatnya pada tanggal 28 April 2005, Presiden SBY menetapkan delapan langkah pemberantasan korupsi, yaitu: 1. Membersihkan istana negara dari korupsi dalam rangka menggugah dan mengajak rakyat melakukan langkah yang sama; 2. Mencegah besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh penyimpangan pengadaan barang dan korupsi pengadaan barang; 140 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

3. Mencegah penyimpangan termasuk dalam tender proyek- proyek rekonstruksi Aceh yang cukup besar selama empat tahun; 4. Mencegah penyimpangan tender bagi pembangunan infrastruktur lima tahun ke depan; 5. Berdasarkan bukti-bukti permulaan dan dugaan kuat terjadi korupsi dan penyimpangan di berbagai lembaga pemerintah dan swasta, pemerintah akan melakukan langkah-langkah hukum; 6. Mencari dan menemukan terpidana yang telah dijatuhi hukuman atau yang sedang menjalani proses hukum yang diduga kuat berada di luar negeri; 7. Melakukan peningkatan intensitas pemberantasan penebangan liar; 8. Pemerintah akan melakukan penelitian terhadap pembayaran pajak dan cukai tahun 2004 (Marpaung dan J. Heri Sugianto, 2006: 33).

Pada tahun 2005 berdasarkan Perpres Nomor 11, SBY membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Tugas utama tim ini adalah: (1) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi, (2) mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya dalam rangka pengembalian keuangan secara optimal. Kebijakan SBY dalam pemberantasan korupsi membuahkan hasil cukup menggembirakan. Sejak Januari hingga April 2005, perkara korupsi yang disidik sebanyak 961 perkara dan baru Pendidikan Antikorupsi 141 diselesaikan sebanyak 149 perkara. Dalam hal penuntutan, Kejagung melaporkan telah mnerima pengaduan tentang korupsi sebanyak 1.336 perkara, 525 diantaranya sudah disidik, dan dari jumlah tersebut 450 diantaranya sudah dituntaskan dan sisanya 15 perkara dihentikan. Inilah sebagian prestasi yang berhasil ditorehkan oleh SBY pada awal jabatan pertama sebagai presiden. Meskipun pada masa reformasi cukup banyak dikeluarkan peraturan perundang-undangan dan penetapan kebijakan tentang pemberantasan korupsi, namun demikian bukannya surut jumlah orang yang berkorupsi. Data pejabat koruptor yang dihimpun oleh Kurniawan, dkk. (2006: 5) betul-betul nggegirisi (menakutkan). Data tersebut dapat dilihat di bawah ini. Tabel 5. Data Korupsi Pejabat Versi Depdagri (2004-2006) No. Pejabat Jumlah (orang) 1. Gubernur 7 2. Bupati/Wali kota 60 3. DPRD Provinsi 327 4. DPRD Kabupaten/Kota 735 Seiring dengan meningkatnya jumlah koruptor dan lahan subur bagi korupsi pada era reformasi ini, perlawanan dari masyarakat juga makin hebat. Lagi-lagi, KPK tidak sendirian dalam fungsinya memberantas korupsi. Di berbagai daerah dari berbagai lapisan masyarakat tumbuh subur lembaga-lembaga antikorupsi, baik yang organisasinya sudah demikian rapi dan besar maupun yang belum terorganisasi. Tidak hanya YLBHI, ICW, TII, dan MTI yang menemani KPK dalam memberantas korupsi, tetapi juga lembaga-lembaga serupa yang ada di pusat maupun daerah turut mengawal daerahnya agar bersih dari perilaku korupsi, misalnya 142 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Parlemen Watch, Police Watch, Semarang Corruption Watch, Demak Corruption Watch, dan yang lainnya. Dukungan kepada KPK masih saja mengalir baik dari kalangan LSM, musisi, artis, maupun perguruan tinggi, meskipun pada semester kedua tahun 2009 banyak mengalami masalah, terutama terkait dengan ditetapkannya ketua dan dua wakil ketua KPK sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan dan korupsi.

D. Rangkuman Korupsi merupakan musuh bersama masyarakat dan bangsa Indonesia. Pemerintah dalam hal ini menyadari betapa korupsi merupakan penyakit yang harus diberantas. Oleh karenanya, sejak pemerintahan orde lama hingga era reformasi, telah diupayakan berbagai cara untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Pada masa orde lama, Tentara Nasional Indonesia (TNI) memiliki peran besar dalam melakukan pemberantasan korupsi. Hal ini dibuktikan dengan inisiatif penguasa militer pada saat itu dengan mengeluarkan peraturan antikorupsi (PAK) yang diketuai A.H. Nasution. Untuk mendukung sikap tegas tentara terhadap korupsi, tahun 1960 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960. Pada tahun-tahun berikutnya dibentuk PARAN dan Operasi Budhi guna mendukung upaya percepatan pemberantasan korupsi. Pada masa orde baru dibentuk lembaga uang bertugas memberantas korupsi. Demikian pula, dikeluarkan berbagai peraturan untuk memberantas korupsi. Berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967 dibentuk Tim Pemberantas Korupsi yang Pendidikan Antikorupsi 143 diketuai Jaksa Agung Sugiharto. Setelah itu dibentuk Komisi Empat yang diketuai Wilopo dan juga dibentuk Komisi Antikorupsi. Untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi dikeluarkan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Guna meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, Presiden Soeharto juga membentuk tim operasi tertib, yang salah satunya berfungsi untuk melakukan pemberantasan korupsi. Era reformasi merupakan era emas pemberantasan korupsi, utamanya pada masa pemerintahan SBY. Jauh sebelum SBY menjadi presiden, telah ditetapkan TAP MPR Nomor XI/ MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Setahun berikutnya, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Dalam UU ini ditetapkan adanya suatu Komisi Pemeriksa, yang tugasnya melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi. Komisi ini bubar setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi dikeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini kemudian diperbarui lagi dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sebagai bukti keseriusan pemerintah SBY, pemerintah menetapkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Korupsi Tahun 2004-2009, yang kemudian ditindaklanjuti dengan ditetapkannya RAN pemberantasan korupsi tahun 2010-2015. 144 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Dari berbagai fakta dan data tentang aktivitas pemberantasan korupsi di Indonesia sejak era orde lama hingga reformasi, menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam melakukan pemberantasan korupsi. Masyarakat pada era reformasi memberikan dukungan penuh terhadap upaya pemberantasan korupsi. Buktinya, banyak berdiri lembaga-lembaga nirlaba yang bergerak pada bidang pemberantasan korupsi. BAB VII STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI DI BERBAGAI NEGARA

ntuk mendesain strategi yang jitu dalam melakukan Upencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia, perlu dipelajari bagaimana negara-negara lain melakukan upaya pemberantasan korupsi. Negara-negara yang akan dikaji dalam tulisan ini, yaitu Australia, Finlandia, China, Hongkong, Malaysia, Singapura, dan Thailand.

A. Pemberantasan Korupsi di Australia Korupsi menurut pandangan Australia adalah tingkah laku oleh setiap orang yang memberi dampak menentang atau memberi dampak menentang kejujuran atau pelaksanaan fungsi yang adil oleh pejabat publik (Hamzah, 2005: 9). Perbuatan dipandang korup jika dapat dibuktikan sebagai bagian dari bentuk delik atau perbuatan kriminal, delik atau pelanggaran disiplin, dan menjadi dasar untuk memecat, membebaskan dari dinas atau mengakhiri dinas seorang pejabat publik. Pada awal sejarahnya, Australia tergolong negara korup, terutama pada saat pemerintahan dikendalikan oleh kelompok

145 146 Dr. Eko Handoyo, M.Si. militer. Karena seriusnya persoalan korupsi di kalangan pemerintah, maka berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 1988, Australia membentuk sebuah lembaga pemberantasan korupsi, yaitu Independent Commission Against Corruption (ICAC). ICAC merupakan sebuah komisi yang khusus menangani masalah korupsi. Selain melakukan penyelidikan, ICAC juga membantu mencegah korupsi di sektor publik dan mendidik masyarakat pada sektor publik tersebut. ICAC memiliki struktur organisasi berjenjang yang sangat efektif dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Commissioner merupakan ketua ICAC yang memimpin rapat dengan pejabat teras dua minggu sekali, meninjau interaksi dengan badan- badan ekstern, menerima laporan kemajuan dan menentukan kebijakan organisasi. Masih dalam level pimpinan, ICAC memiliki Komite Manajemen Operasi yang diketuai oleh commissioner atau assistant commissioner. Komite ini bersidang sekali dalam dua minggu untuk meninjau kemajuan operasionalisasi organisasi yang dilakukan oleh komisi dan memberi rekomendasi yang sesuai dengan prioritas. Anggota pimpinan lainnya, yaitu assistant commissioner, memiliki tugas melakukan pengambilan keputusan operasi strategis, penelitian, dan bantuan eksekutif. Level di bawah pimpinan adalah Direktur Unit Penyidikan, yang tugasnya adalah melakukan penyidikan, intelijen dan analisis, penilaian, bantuan penyidikan dan pelayanan teknis. Orang keempat dalam ICAC adalah solicitor, yaitu komisi yang memimpin unit hukum dengan tugas melakukan peninjauan operasi dan penghubung ICAC dengan parlemen. Selain solicitor tersebut, diangkat Direktur Pencegahan dan Pendidikan Korupsi, yang tugasnya Pendidikan Antikorupsi 147 adalah melakukan pencegahan, pendidikan dan mengembangkan media untuk pendidikan antikorupsi. Pejabat teras ICAC lainnya adalah Direktur Pelayanan Komisi, yang tugasnya berkaitan dengan teknologi informasi, pelayanan informasi, perekaman dan properti, pengembangan SDM, keuangan, pelayanan kantor, dan keamanan. ICAC memiliki 8 fungsi yang berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi, yaitu: (1) kepentingan publik, (2) fungsi utama, (3) fungsi lain komisi, (4) satuan tugas, (5) kerjasama dengan badan lain, (6) bukti dan prosedur, (7) proses pengadilan, dan (8) wewenang insidental (Hamzah, 2005: 12). Dari sekian fungsi tersebut, fungsi utama komisi dipandang paling strategis dalam upaya pemberantasan korupsi. Fungsi utama komisi mencakupi: (1) menyidik setiap tuntutan, pengaduan atau setiap keadaan yang menurut pandangan komisi terdapat perbuatan korupsi, perbuatan yang membolehkan, menganjurkan atau menyebabkan terjadinya perbuatan korupsi, dan perbuatan yang berkaitan dengan perbuatan korupsi, mungkin telah terjadi, mungkin sedang terjadi, atau kira-kira akan terjadi; (2) menyidik setiap hal yang diajukan oleh parlemen kepada komisi; (3) menghubungi pejabat yang bersangkutan tentang hasil penyidikan; (4) mempelajari undang-undang yang mengatur praktik dan prosedur otoritas publik dan pejabat publik dalam usaha untuk menemukan perbuatan korupsi, (5) menginstruksikan, menasihati, dan membantu setiap otoritas publik, pejabat publik atau orang lain mengenai cara-cara yang dapat meniadakan perbuatan korupsi; (6) memberi nasihat otoritas publik atau pejabat publik mengenai perubahan praktik atau prosedur yang sesuai dengan 148 Dr. Eko Handoyo, M.Si. pelaksanaan fungsi yang efektif menurut pemikiran komisi perlu untuk mengurangi terjadinya perbuatan korupsi; (7) bekerjasama dengan otoritas publik dan pejabat publik dalam merevisi undang-undang, praktik, dan prosedur dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya korupsi; (8) mendidik dan memberi nasihat kepada otoritas publik dan pejabat publik serta masyarakat mengenai strategi memberantas korupsi; (9) mendidik dan menyebarkan informasi kepada publik mengenai dampak yang merugikan dari perbuatan korupsi serta pentingnya untuk mempertahankan integritas administrasi publik; (10) mendapat bantuan dan mendorong dukungan publik dalam memberantas korupsi; (11) mengembangkan, mengatur, mensupervisi, dan ikut serta dalam atau melaksanakan program-program pendidikan dan nasihat yang dapat dijelaskan dalam acuan yang dibuat kepada komisi oleh kedua kamar parlemen (Hamzah, 2005: 12-13). Kerja keras ICAC membuahkan hasil, yakni mengubah citra Australia dari negara korup menjadi negara relatif bersih. Hal ini dapat terjadi, karena enam hal, yaitu: 1. Pemilihan yang jujur oleh politisi yang jujur; 2. Pejabat publik yang jujur, netral, dan berkualitas; 3. Audit dan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran pemerintah; 4. Penyidikan yang independen dan pengajuan pengaduan terhadap pemerintah sendiri; 5. Akses bebas kepada informasi; 6. Penuntutan kejahatan yang independen dan adanya hakim yang independen, tidak bias dan jujur. Pendidikan Antikorupsi 149

B. Pemberantasan Korupsi di Finlandia Finlandia merupakan negara industri dengan sistem ekonomi pasar bebas. Produksi perkapita hampir sama dengan Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia. Sektor kunci ekonomi Finlandia adalah produksi telekomunikasi. Sulit menemukan praktik korupsi di negara Finlandia yang terkenal sebagai negara seribu danau. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh majalah The Economist pada tahun 2003 menempatkan Finlandia pada peringkat pertama negara paling tidak korup (Suryadi, 2003: 207). Pada tahun 2011, Finlandia bersama Denmark menempati peringkat kedua sebagai negara terbersih. Pada tahun 2012, Finlandia juga menempati urutan kedua negara terbersih atau bebas dari korupsi. Pertanyaan pokok yang perlu dikaji adalah apa yang menyebabkan Finlandia relatif bersih dari korupsi. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan Finlandia bersih dari korupsi. Pertama, obedience, yaitu sikap taat atau patuh pada hukum. Kedua, honesty, yaitu sikap jujur pada diri sendiri dan orang lain. Ketiga, life style atau gaya hidup sederhana dan tidak konsumtif. Di Finlandia, sikap bohong tidak disukai oleh rakyat. Pengunduran diri Perdana Menteri Finlandia, Anneli Jaatteenmaki pada bulan Juni 2003, karena ia dituduh berbohong kepada parlemen dan rakyat berkaitan dengan kebocoran informasi politik yang peka selama kampanye. Orang Finlandia juga bukan orang konsumeristis. Mereka berbelanja disesuaikan dengan ukuran penghasilan mereka dan mengutamakan kebutuhan pokok sehari- hari daripada kebutuhan akan barang-barang mewah. Pola hidup sederhana tidak hanya dipraktikkan oleh rakyat pada umumnya, tetapi juga oleh kalangan pejabat pemerintah. 150 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Presiden Tarja sangat sederhana dalam berpakaian. Presiden sebelumnya pun heran memiliki rumah tidak semewah rumah anggota DPR Indonesia. Kota Helsinki yang berpenduduk 500.000 orang jauh dari kesan glamour. Hanya sedikit tempat-tempat belanja, tidak seperti halnya di kota-kota besar di Indonesia. Itulah sebabnya, tidak mengherankan jika daya saing bisnis Finlandia pada tahun 2005 nomor dua sedunia setelah Amerika Serikat.

C. Pemberantasan Korupsi di China Di China dan Hongkong pusat praktik korupsi ada pada tubuh kepolisian. Jajaran kepolisian China memperoleh hasil korupsi dari memungut pungutan yang berasal dari aktivitas perjudian, pelacuran dan sindikat narkotika. Salah satu sebab mengapa kepolisian China menjadi pusat praktik korupsi karena kebudayaan China yang menggunakan kedudukan pemerintah untuk keuntungan pribadi (Suryadi, 2006: 192). Korupsi kepolisian di China telah menjadi mafia. Muncullah istilah- istilah menarik dalam praktik korupsi di China. Misalnya, “masuk dalam bus”, artinya kalau mau menerima korupsi bergabunglah bersama kami. “Berlarilah di samping bus”, artinya seandainya Anda tidak ingin menerima korupsi tidak mengapa, tetapi jangan mengganggu. Yang lebih seram adalah istilah “jangan pernah berdiri di depan bus”, artinya kalau Anda mencoba melaporkan korupsi, bus ini akan menabrak dan mungkin Anda akan mati. Parahnya praktik korupsi sebagaimana ditunjukkan oleh istilah-istilah di atas, menjadikan pemerintah berjuang keras untuk memberantas perilaku korupsi. Usaha tersebut berhasil meredakan korupsi. Keberhasilan pemberantasan korupsi tidak Pendidikan Antikorupsi 151 lepas dari dua faktor utama yang menyebabkannya: (1) adanya good will, political will, integritas, dan komitmen yang ditunjukkan oleh pemimpin dan aparatur pemerintah dalam menegakkan hukum, (2) adanya lembaga atau badan antikorupsi yang dibentuk oleh pemerintah dengan wewenang yang sangat luas untuk memberantas praktik korupsi (Suryadi, 2006: 193). Tekad pemimpin China untuk memberantas korupsi dapat dicermati dari ungkapan Perdana Menteri China Zhu Rongji pada pelantikannya bulan Maret 1998 yang lalu. Kata Zhu Rongji: “untuk melenyapkan korupsi, saya menyiapkan 100 peti mati. Sembilan puluh sembilan untuk para koruptor dan satu untuk saya jika saya berbuat sama” (Suryadi, 2006: 193). Usaha Rongji membuahkan hasil dalam memberantas korupsi, paling tidak membuat jera pelaku atau calon pelaku korupsi. Pada bulan Maret tahun 2000 pengadilan di China memutuskan menghukum mati Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Chang Ging yang terbukti telah menerima suap sebesar 600.000 dollar AS. Pada tanggal 16 Januari 2002, hukuman mati dijatuhkan pula kepada Deputi Wali kota Leshan, Li Yushu, karena terbukti secara sah menerima suap senilai 1 juta dollar AS, dua mobil mewah, dan sebuah jam tangan Rolex. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan China memberantas korupsi adalah adanya penegakan hukum yang tegas. Sebagaimana diyakini Zhu bahwa ketegasan membersihkan pemerintah dari tindak korupsi plus penegakan akan dapat memutar roda ekonomi bersemangat pasar sosial sebagai bagian dari transformasi modern China pada pasar dunia. Selain penegakan hukum yang tegas, China memiliki badan antikorupsi, yaituAnti Corruption Branch (ACB) yang ditangani oleh 152 Dr. Eko Handoyo, M.Si. kepolisian. Oleh karena ACB dikelola oleh kepolisian yang sudah mendapatkan stigma korup, maka ACB tidak direspon masyarakat. Itulah sebabnya, ACB diganti menjadiAnti Corruption Office (ACO) yang dipimpin oleh pemimpin baru yang betul-betul jujur. ACO memiliki tiga bagian, yaitu: (1) bagian pengumpul keterangan intelijen yang telah lama ada, (2) bagian penyidikan tuduhan korupsi sehari-hari, dan (3) bagian penyidikan terhadap pegawai pemerintah yang mempunyai kekayaan yang jauh melampaui gaji mereka (Suryadi, 2006: 195).

D. Pemberantasan Korupsi di Hongkong Sejarah Hongkong tidak dapat dilepaskan dari persoalan candu, opium atau narkotika. Sejak abad ke-19, Hongkong menjadi tempat transit opium dari segitiga emas ke bagian lain di dunia melalaui daratan China. Karena akibatnya yang merusak, Kaisar China melarang impor opium sejak tahun 1796 dan 1800. Pemerintah China memerintahkan menyita semua opium yang dimiliki oleh orang asing. Hal ini menimbulkan ketegangan atau konflik antara China dengan Britania Raya (Inggris) hingga berujung pada pecahnya Perang Candu pada tahun 1839-1842. China kalah perang dan dipaksa menandatangani Konvensi Chuenpi pada tanggal 20 Januari 1841, yang isinya adalah China harus menyerahkan Hongkong kepada Inggris. Hal ini dipertegas lagi dalam perjanjian Nanking. Sejak tahun 1997 Hongkong kembali kepada kedaulatan China dan berdasarkan deklarasi bersama antara China dan Inggris, Hongkong menjadi wilayah khusus China yang disebut Special Administrative Region. Berdasarkan pasal 31 UUD China menganut Pendidikan Antikorupsi 153 prinsip satu negara dua sistem (Hamzah, 2005: 21). Hongkong memiliki hukum dasar atau basic law yang mengatur prinsip umum, hubungan antara pemerintah pusat di Peking dan Hongkong, hak-hak dasar dan kewajiban penduduk, struktur politik, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, olah raga, agama, tenaga kerja, tugas sosial, masalah luar negeri, interpretasi dan perubahan basic law serta ketentuan tambahan (Hamzah, 2005: 21). Korupsi merajalela di Hongkong pada tahun enam puluhan hingga tahun tujuh puluhan. Hongkong menjadi tempat transit para pengedar narkotika yang berkolaborasi dengan Kepolisian Hongkong. Setiap hari polisi Hongkong menerima 10.000 dollar Hongkong dari para anggota sindikat narkotika. Uang haram juga diperoleh polisi Hongkong dari sindikat perjudian dan pelacuran. Kasino yang memiliki omzet 600.000 dollar Hongkong menyetor 10.000 dollar kepada Kepolisian Hongkong. Klitgaard mencatat bahwa setiap hari ada uang 65.000 dollar Hongkong yang dibagi secara rapi dan terorganisasi dalam tubuh kepolisian (Hamzah, 2005: 22). Secara rinci, Klitgaard menyebut angka 50 dollar Hongkong untuk polisi berpangkat kopral, 150 dollar untuk sersan, 500 dollar untuk inspektur, 1000 dollar untuk inspektur kepala, 3000 dollar bagi letnan kolonel, dan 5000 dollar bagi kolonel. Dalam upaya pemberantasan korupsi yang sangat akut di tubuh kepolisian, Hongkong membentuk sebuah badan antikorupsi yang dinamakan Independent Commission Against Corruption (ICAC) pada tanggal 17 Oktober 1973. ICAC dibentuk oleh Gubernur MacLehose dan diketuai oleh Jack Carter. Pada awal dibentuk, Jack Carter sebagai ketua ICAC berhasil memenjarakan Peter Godber seorang kolonel polisi yang 154 Dr. Eko Handoyo, M.Si. melakukan korupsi senilai 4,3 juta dollar Hongkong. ICAC dipimpin oleh seorang commissioner dan dibantu oleh 3 kepala divisi atau departemen. Departemen itu adalah Departemen Operasi yang tugasnya adalah menyidik, menahan, dan membantu menuntut orang yang melakukan korupsi; Departemen Pencegahan Korupsi yang berfungsi memberikan penilaian terhadap titik-titik rawan organisasi; dan Departemen Hubungan Masyarakat yang berfungsi mengumpulkan dukungan dan informasi dari masyarakat dan mengubah sikap mental masyarakat terhadap korupsi. ICAC sangat dipercaya masyarakat, karena pegawainya merupakan orang-orang yang kredibel, memiliki integritas yang tinggi, profesional, dan tidak dapat disuap. Seleksi terhadap calon pegawai ICAC sangat ketat dan selesai diseleksi mereka diberi pelatihan khusus. Sistem penggajiannya berbasis kinerja dan rata- rata karyawan ICAC di atas rata-rata gaji pegawai biasa. Jumlah pegawainya cukup banyak, hingga tahun 1999 mencapai 1.299 orang yang terbagi dalam 943 pegawai bidang operasi, 58 pegawai bidang prevensi, 212 pegawai bidang hubungan masyarakat, dan 86 pegawai bidang administrasi (Hamzah, 2005: 23). Sebagai ketua ICAC, Carter telah melakukan berbagai langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja ICAC, yaitu: 1. Mengangkat pejabat-pejabat yang bersih, yakni diangkat dari tenaga-tenaga profesional dari Kerajaan Inggris yang memiliki integritas tinggi; 2. Gaji yang diberikan kepada pejabat ICAC 10% lebih tinggi daripada gaji pegawai negeri biasa di Hongkong dengan pangkat yang setara; Pendidikan Antikorupsi 155

3. Menentukan imbalan dan hukuman yang berat (Suryadi, 2006: 196).

ICAC merupakan lembaga independen dan terlepas dari struktur kepolisian. Sebagai lembaga independen, wewenang ICAC sangat luas. Lembaga ini memiliki wewenang yang sangat luas, terutama untuk menyidik orang yang diduga melakukan korupsi dan melakukan penindakan kepadanya. Wewenang ICAC selengkapnya adalah sebagai berikut. (1) Menahan seseorang yang dicurigai melakukan korupsi; (2) ICAC berwenang menyidik dan menyita suatu barang tanpa membutuhkan membutuhkan surat perintah terhadap kasus-kasus yang bersifat istimewa; (3) ICAC dapat meminta setiap orang untuk memberikan informasi apa pun yang dirasa perlu oleh komisaris; (4) ICAC dapat mengeluarkan perintah untuk membekukan aset dan harta benda; dan (5) Atas nama kemandirian, ICAC dapat melaporkan langsung tugas- tugasnya kepada gubernur, tidak melalui badan legislatif atau pun eksekutif (Suryadi, 2006: 197). Selama tahun 1970-an ICAC mencapai keberhasilan luar biasa dalam melakukan pemberantasan korupsi. Pada tahun 1974-1975, ICAC berhasil memeriksa 2.466 keluhan korupsi dari 6.368 laporan korupsi yang diterima dari masyarakat. Jumlah kasus korupsi yang berhasil disidangkan meningkat dari 108 pada tahun 1974 menjadi 218 pada tahun 1975. ICAC tidak mampu menghapus korupsi dari Hongkong, namun ia berhasil menurunkan korupsi dari 3.189 kasus pada tahun 1974 menjadi 1.234 kasus pada tahun 1975. Keberhasilan menurunkan korupsi di Hongkong yang dilakukan ICAC menurut Hamzah (2005: 36) karena 5 faktor. Pertama, adanya kemauan politik (political will) pemerintah baik pada masa 156 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Pemerintah Kolonial Inggris maupun pada zaman Hongkong. Kedua, masih terjaminnya integritas dan kejujuran hakim pada waktu ICAC dilahirkan. Ketiga, adanya dukungan anggaran (budget) yang besar. Keempat, adanya pemanfaatan teknologi canggih dalam melaksanakan kegiatan ICAC. Kelima, masyarakat diikutsertakan dalam upaya pemberantasan korupsi.

E. Pemberantasan Korupsi di Malaysia Malaysia semula adalah negara dengan sistem feodal agraris. Sejak dijajah Inggris, sistem feodal tersebut berubah menjadi perserikatan berbasis demokrasi dengan model Inggris. Meskipun menggunakan model Inggris, sisa-sisa feodalisme di Malaysia masih tampak, yakni adanya praktik pemberian upeti yang menjadi lahan subur berkembangnya korupsi. Dalam rangka membangun negara modern yang bebas korupsi, sejak tahun 1961 Malaysia mengeluarkan Undang-Undang Antikorupsi yang dikenal dengan nama Prevention of Corruption Act atau Akta Pencegahan Rasuah 57 (Hamzah, 2005: 38). Pada tahun 1970 dikeluarkan Emergency (Essential Powers Ordinance) Nomor 22 dan berdasarkan Anti Corruption Agency Act tahun 1982 dibentuklah Badan Pencegah Rasuah (BPR). Sejak tahun 1997, ketiga UU dan ordonansi tersebut digabung ke dalam Anti Corruption Act (ACA). BPR Malaysia memiliki visi dan misi yang jelas dalam melakukan pemberantasan korupsi. Visi BPR adalah: (1) mewujudkan masyarakat Malaysia yang bebas dari gejala korupsi, berdasarkan nilai-nilai kerohanian dan moral yang tinggi dan dipimpin oleh pemerintah yang bersih, efisien, dan amanah, (2) menjadikan BPR sebagai badan pemberantasan korupsi yang profesional Pendidikan Antikorupsi 157 serta terunggul di dunia berasaskan keadilan, ketegasan, dan amanah (Hamzah, 2005: 38). Berdasarkan visi tersebut, misi pemberantasan korupsi di Malaysia dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan dengan cara: (1) semua badan dan lembaga pemerintah yang terlibat secara total dalam menegakkan UU dan peraturan dengan adil dan tegas untuk menjamin supremasi UU serta melindungi kepentingan umum dan negara, (2) semua tingkat kepemimpinan politik, administrasi, korporasi, agama, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) terlibat dalam usaha-usaha penghayatan dan penerapan nilai-nilai murni, sehingga terjadi konsensus di kalangan masyarakat Malaysia yang membenci korupsi dan adanya komitmen untuk memberantas gejala korupsi. Berdasarkan visi dan misi di atas, fungsi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh BPR mencakupi: 1. Mengenal dan memastikan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan wewenang didasarkan pada informasi dan pengaduan yang diperoleh secara teliti, menyeluruh, dan efisien melalui intelijen dan penyidikan; 2. Memperoleh dan mengumpulkan bukti-bukti secara teliti dan lengkap untuk membuktikan terjadinya perbuatan korupsi, penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran disiplin melalui penyidikan yang rapi, cepat, dan efektif; 3. Memastikan keadilan dan kepentingan umum secara berkelanjutan dijamin dengan undang-undang dan peraturan nasional serta penuntutan yang bijaksana dalam kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang. 4. Membantu ketua-ketua sektor publik dan swasta dalam mengambil tindakan tata tertib terhadap pegawai mereka 158 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

yang melanggar peraturan serta kode etik kerja berdasarkan laporan BPR yang lengkap; 5. Memotong akar dan peluang untuk melakukan korupsi dan penyalahgunaan wewenang akibat kelemahan sistem manajemen di sektor publik dan swasta yang dipastikan dari hasil penyidikan laporan BPR; 6. Membantu dalam menentukan calon-calon yang tidak terlibat dalam perbuatan korupsi dan penyalahgunaan wewenang serta dipastikan berdasarkan saringan yang cepat dan tepat bagi: (a) kenaikan pangkat, pensiun awal, penganugerahan bintang dan gelar kebesaran, serta pengisian jabatan-jabatan penting dalam sektor publik, (b) pengisian jabatan-jabatan yang penting dalam institusi tertentu serta penganugerahan bintang dan gelar kebesaran dalam sektor swasta; 7. Meningkatkan penyertaan dukungan yang terpadu dari kalangan pemimpin, kelompok berpengaruh, dan masyarakat umum dalam usaha-usaha menentang korupsi dan penyalahgunaan wewenang; 8. Memastikan tindakan yang diambil oleh BPR dalam intelijen, penyidikan dan pencegahan korupsi serta penyalahgunaan wewenang dapat dilakukan dengan disiplin melalui hubungan dan kerja sama dengan badan-badan terkait baik pada tingkat nasional maupun internasional; 9. Mewujudkan nilai-nilai unggul, meningkatkan kepakaran dan profesionalisme serta memupuk semangat kerjasama di kalangan pejabat BPR melalui kepemimpinan yang berdedikasi dan dinamis; 10. Meningkatkan kemampuan kepemimpinan dan kualitas Pendidikan Antikorupsi 159

manajemen pejabat BPR pada semua tingkat melalui program pembangunan sumber daya manusia, teknologi informasi, dan proses kerja yang sistematis (Hamzah, 2005: 38-39).

Dalam rangka menjalankan fungsi tersebut, BPR memiliki tiga strategi utama, yaitu: 1. Strategi pengukuhan, dimana untuk meningkatkan efektivitas BPR, strategi pengukuhan memberi kekuatan kepada profesionalisme BPR dan meningkatkan kerjasama dengan penegak hukum antikorupsi internasional dan media massa; 2. Strategi penggalakan dan pencegahan, yang menekankan pada usaha-usaha penghayatan nilai-nilai murni, pencegahan korupsi, dan peningkatan sistem supervisi yang tegas dalam penegakan peraturan perundang-undangan; 3. Strategi penegakan hukum, yaitu melalui pembalikan beban pembuktian kepada tersangka yang terbukti memiliki harta benda yang berlebihan dibandingkan dengan pendapatannya, perampasan harta yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya, dan meningkatkan ketegasan penegakan undang-undang yang memberi dampak pada pencegahan korupsi (Hamzah, 2005: 39-40).

BPR memiliki prestasi luar biasa dalam melakukan pemberantasan korupsi. Hal itu ditunjukkan dari laporan mengenai perbuatan korupsi. Laporan-laporan yang disampaikan bervariasi, melalui berbagai media dan cara, seperti surat kaleng sebanyak 3.121 atau 33%, 2.260 atau 24% merupakan laporan resmi dari individu, temuan pejabat BPR sebanyak 1.865 atau 19,8%, melalui telepon sebanyak 829 atau 8,8%, laporan dari sukarelawan 160 Dr. Eko Handoyo, M.Si. sebanyak 718 atau 7,6%, dan lain-lain sebanyak 640 atau 6,8% (Hamzah, 2005: 44).

F. Pemberantasan Korupsi di Singapura Singapura merupakan negara pulau sekaligus negara kota yang terletak di Semenanjung Malaysia, berhimpitan dengan Johor Malaysia dan Riau Indonesia. Singapura merupakan negara paling kaya di kawasan ASEAN. Pelabuhan di Singapura merupakan pelabuhan tersibuk nomor 6 se-dunia yang mampu melakukan bongkar muat ribuan ton. Walaupun Singapura merupakan negara yang tergolong makmur, paling aman, tertib, dan kecil korupsinya, namun tetap membentuk badan antikorupsi yangh dinamakan Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB) pada tahun 1950-an. Singapura memiliki UU antikorupsi sejak tahun 1960 dan UU tersebut telah diamandemen berkali-kali (1963, 1966, 1972, 1981, 1989, 1991). Undang-Undang tersebut dikenal dengan nama Prevention of Corruption Act (PCA). Munculnya badan antikorupsi dan UU tersebut dipicu oleh adanya penyelundupan dan korupsi di kalangan bea cukai. Barang-barang ilegal bebas masuk ke Singapura karena petugas bea cukai yang korup. Mereka mudah disuap, sehingga kaset video, film porno dan majalah-majalah hiburan dapat dengan mudah diperoleh di sana. Selain adanya UU dan badan antikorupsi, upaya pemberantasan korupsi diperkuat oleh kepemimpinan Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Lee Kuan Yew memiliki obsesi yang kuat untuk menciptakan pemerintah dan masyarakat yang taat hukum sebagai dasar menuju kemakmuran Singapura. Pendidikan Antikorupsi 161

CPIB memiliki struktur hierarkis dimana posisi puncak dijabat oleh seorang direktur, deputi direktur dan asisten direktur. Di bawahnya ada bidang operasi, bantuan operasi, administrasi, perwira staf, dan pencegahan. Bagian operasi membawahi tim penyidik khusus, unit I, II, dan III. Bagian bantuan operasi membawahi intelijen, penelitian lapangan, dan bantuan teknik. Bagian administrasi membawahi keuangan, records dan screening, sumber daya manusia serta computer info systems unit. Perwira staf dan pencegahan tidak membawahi subbagian. Berbeda dengan badan antikorupsi yang ada di Thailand, organisasi CPIB lebih sederhana, efisien dan efektif. CPIB memiliki wewenang cukup luas. Wewenang yang dimiliki meliputi wewenang penahanan, wewenang penyidikan, wewenang khusus penyidikan, dan wewenang penggeledahan. Direktur atau penyidik khusus dapat menangkap setiap orang yang melakukan delik korupsi tanpa surat perintah. Direktur atau penyidik khusus juga dapat menangkap atau menahan orang, menggeledahnya, dan menyita semua harta benda yang ditemukan padanya jika ia diduga terbukti melakukan perbuatan korupsi. Delik korupsi yang dapat disidik adalah delik yang tercantum dalam pasal 165 KUHP (mengatur tentang penerimaan suap atau gratifikasi) atau pasal 213-215 KUHP (mengatur mengenai penerimaan hadiah dan melindung pelaku delik dari pengenaan pidana), delik yang ditentukan oleh PCA, dan semua delik yang terungkap berdasarkan undang-undang pada waktu dilakukan penyidikan. Dalam hal wewenang khusus penyidikan, penuntut umum jika merasa cukup adanya alasan berdasarkan PCA dapat dengan perintah memberi kuasa kepada direktur atau perwira polisi yang 162 Dr. Eko Handoyo, M.Si. pangkatnya di atas assistant superintendent atau penyidik khusus untuk melakukan penyidikan dengan cara atau modus sesuai yang tertera dalam surat perintah. Dalam surat perintah ini, pejabat yang ditunjuk dapat menyidik rekening bank, account saham, account pembelian, account pengeluaran, atau account apa saja. Seseorang yang tidak memberi informasi atau account yang diminta dapat dinyatakan bersalah telah melakukan delik, dapat dipidana penjara paling lama satu tahun atau denda tidak lebih dari 2.000 dollar Singapura. Berkaitan dengan wewenang penggeledahan, direktur CPIB setelah memperoleh informasi dan sesudah pemeriksaan seperlunya serta adanya cukup alasan untuk percaya bahwa di suatu tempat ada dokumen berisi bukti atau suatu benda berkaitan dengan dilakukannya delik berdasarkan ketentuan PCA atau pasal 161-165 dan pasal 213-215 KUHP serta adanya persekongkolan untuk melakukan, percobaan untuk melakukan, dan membantu melakukan delik tersebut, maka direktur dapat dengan suatu surat perintah kepada penyidik khusus atau perwira khusus tidak berpangkat di bawah inspektur memberikan wewenang kepada penyidik khusus atau perwira polisi untuk memasuki tempat dengan paksa dan jika perlu menggeledah, menyita, dan menahan dokumen, benda, atau harta benda yang disidik. Sesuai dengan ketentuan pasal 26 PCA, jika pihak yang disidik menghalangi penggeledahan dapat diancam pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak 10.000 dollar Singapura. Demikian pula, mereka yang memberi keterangan palsu atau menyesatkan tentang suatu delik tertentu sebagaimana diatur dalam PCA atau dalam pasal 165, 213,214 dan 215, maka mereka dapat diancam Pendidikan Antikorupsi 163 pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak 10.000 dollar Singapura.

G. Pemberantasan Korupsi di Thailand Thailand merupakan negara di kawasan ASEAN yang tidak pernah dijajah oleh bangsa manapun, termasuk bangsa Barat. Di bawah kepemimpinan Raja Mongkut, Thailand berhasil lolos dari upaya Inggris dan Perancis untuk mencengkeramkan kuku kolonialismenya. Chulalongkorn, putra raja Mongkut, yang menggantikan ayahnya, berhasil memasuki abad ke-20 dengan pembangunan besar-besaran, seperti jalan raya, jaringan rel kereta api, telepon, dan listrik. Masa keemasan Thailand meredup sejak elit militer menguasai pemerintah sepeninggal Dinasti Chulalongkorn. Korupsi merajalela sejak awal kediktatoran pemerintahan militer. Pihak yang melaporkan korupsi akan ditindas oleh penguasa. Bahkan pihak yang seharusnya memberantas korupsi justru terlibat dalam perkara korupsi. Atas inisiasi Profesor Sanya Dhamasakti, Perdana Menteri, Mayor Jenderal Polisi Atthasit Sitthisunthorn, dan Menteri Dalam Negeri, bersama-sama dengan anggota parlemen, ditetapkan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yang dikenal dengan nama Counter Corruption Act tahun 1975. Berdasarkan UU tersebut, dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi bernama Counter Corruption Commission (CCC). Komisi ini bertanggung jawab kepada Perdana Menteri. Karena komisi ini dipandang belum efektif, maka berdasarkan Organic Act on Counter Corruption tahun 1999, CCC diganti lembaga baru bernama The National Counter Corruption Commission (NCCC). 164 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Komisi baru ini terdiri atas seorang ketua dan delapan anggota, yang diangkat oleh raja atas nasihat senat. Tidak sembarang orang dapat menjadi anggota komisi. Mereka yang dapat diangkat sebagai anggota NCCC adalah: (1) warga negara Thailand karena Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan, Ombudsman, anggota Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Komisi Audit Negara, sedang menjabat atau mantan tidak lebih rendah dari Jaksa Agung Muda, Direktur Jenderal atau setingkat, atau menjabat tidak lebih rendah dari guru besar (Hamzah, 2005: 69). NCCC memiliki kewenangan yang luar biasa dalam melakukan pemberantasan korupsi. Kewenangan itu meliputi: 1. Memeriksa fakta-fakta, membuat ringkasan kasus, dan mempersiapkan pendapat untuk diserahkan kepada Senat dalam melepaskan seseorang dari jabatan; 2. Memeriksa fakta-fakta, membuat ringkasan kasus, dan mempersiapkan pendapat yang diajukan kepada Jaksa Agung untuk tujuan penuntutan kepada Mahkamah Agung Divisi Kriminal bagi mereka yang memegang posisi politik berdasarkan pasal 308 Konstitusi; 3. Memeriksa dan memutus apakah seorang pejabat negara telah menjadi kaya luar biasa atau telah melakukan delik korupsi, penyalahgunaan jabatan atau penyalahgunaan wewenang di badan kehakiman; 4. Memeriksa secara akurat adanya aset aktual dan tanggung jawab pejabat negara serta memeriksa perubahan aset dan tanggung jawab orang-orang yang memegang posisi politik, memeriksa aset dan pertanggungjawaban; 5. Menentukan aturan mengenai penentuan posisi, kelas, atau Pendidikan Antikorupsi 165

tingkat pejabat negara yang diwajibkan menyerahkanaccount yang menunjukkan aset dan tanggung jawab secara khusus; 6. Menentukan aturan dan prosedur untuk penyerahan account yang menunjukkan aset dan tanggung jawab khusus pejabat negara serta pengungkapan account yang menunjukkan aset dan tanggung jawab secara khusus memangku jabatan perdana menteri; 7. Menyerahkan laporan inspeksi dan laporan mengenai kinerja bersama dengan catatannya kepada Dewan Menteri, DPR, dan Senat setiap tahun mempublikasikan laporan ini untuk disebarkan; 8. Mengusulkan tindakan, pendapat, atau rekomendasi kepada Dewan Menteri, DPR, dan Senat setiap tahun serta mempublikasikan laporan untuk disebarkan; 9. Menunjukkan beberapa hal kepada badan yang berkaitan dengan tujuan memohon kepada suatu pengadilan atas suatu perintah atau putusan untuk membatalkan atau mencabut hak atau dokumen milik atas tanah yang sudah diberi persetujuan oleh pejabat negara atau memberikan izin yang menunjukkan hak-hak dan keuntungan atau mengeluarkan dokumen hak atas tanah kepada orang tertentu yang bertentangan dengan undang-undang atau aturan resmi yang merugikan pelayanan pemerintah; 10. Mengambil tindakan untuk mencegah korupsi dan membangun sikap dan rasa berkaitan dengan integritas dan kejujuran serta mengambil tindakan demikian untuk memberi bantuan publik dan kelompok orang untuk mengambil bagian dalam memberantas korupsi; 166 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

11. Memberi persetujuan untuk pengangkatan sekretaris jenderal; 12. Mengangkat orang-orang atau kelompok untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya; 13. Melaksanakan tindakan lain yang ditentukan oleh undang- undang organik (NCCC) atau undang-undang lain yang menjadi tanggung jawab NCCC (Hamzah, 2005: 70-71).

Dalam melaksanakan tugasnya, NCCC diberikan wewenang: (1) memberikan perintah kepada pejabat pemerintah, pejabat atau pegawai suatu badan, badan negara, perusahaan negara, atau pemerintah lokal untuk melaksanakan semua tindakan yang perlu untuk melaksanakan tugas NCCC, atau meminta semua dokumen yang relevan atau bukti-bukti dari setiap orang atau memanggil setiap orang untuk memberikan keterangan atau kesaksian untuk tujuan pemeriksaan fakta, (2) mengajukan permohonan kepada pengadilan yang berwenang untuk mengeluarkan surat perintah izin memasuki tempat tinggal, tempat bisnis, atau tempat lain, termasuk kendaraan setiap orang dari matahari terbit sampai matahari penyitaan, atau pengambilan dokumen, benda atau bukti lain yang berkaitan dengan pemeriksaan, dan (3) mengirim surat permintaan kepada badan pemerintah, badan negara, perusahaan negara, pemerintah lokal atau badan privat dalam melaksanakan tindakan khusus untuk tujuan pelaksanaan tugas atau tindakan pemeriksaan fakta atau melaksanakan yang ditentukan oleh NCCC (Hamzah, 2005: 72). Seperti halnya di Indonesia, dimana setiap orang yang akan memangku jabatan sebagai penyelenggara negara diwajibkan melaporkan harta kekayaannya dengan mengisi formulir LHKPN, maka di Thailand, pejabat-pejabat di bawah ini wajib menyerahkan Pendidikan Antikorupsi 167 account yang menunjukkan aset dan tanggung jawab, termasuk harta suami/istri/anak-anak. 1. Presiden Mahkamah Agung; 2. Presiden Mahkamah Konstitusi; 3. Presiden Mahkamah Agung Administratif; 4. Jaksa Agung; 5. Komisi Pemilihan; 6. Ombudsman; 7. Hakim Mahkamah Konstitusi; 8. Anggota Komisi Audit Negara; 9. Wakil Presiden Mahkamah Agung; 10. Wakil Presiden Mahkamah Agung Administratif; 11. Ketua Mahkamah Militer; 12. Hakim pada Mahkamah Agung; 13. Hakim Mahkamah Agung Administratif; 14. Deputi Jaksa Agung; 15. Orang-orang yang memegang posisi tinggi.

H. Rangkuman Hampir semua negara di dunia memiliki undang-undang dan lembaga atau badan pemberantas korupsi. Beberapa negara hebat, seperti Finlandia, Denmark, Selandia Baru, dan Singapura memiliki undang-undang yang ketat dan lembaga antikorupsi yang berperan sangat baik, sehingga negara-negara tersebut terkenal sebagai negara bersih dari perbuatan korupsi. Indeks persepsi korupsi negara-negara tersebut juga tinggi, yang berarti tingkat korupsi pejabat publik mereka tergolong rendah. 168 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Tahun 2012 Finlandia menempati peringkat kedua sebagai negara terbersih di dunia, sedangkan Singapura berada pada urutan kelima. Kedua negara ini juga memiliki kinerja ekonomi yang bagus. Meskipun belum ada penelitian komprehensif tentang kaitan antara kondisi korupsi di suatu negara dengan tingkat perkembangan ekonomi negara, namun dapat diduga bahwa jika di negara tertentu tingkat korupsinya rendah, maka ada kemungkinan kinerja dan perkembangan ekonominya baik. Peringkat korupsi Finlandia rendah, karena bangsa Finlandia terkenal dengan sikap taat, jujur dan sederhana. Singapura juga tersohor dengan kedisiplinan dan kuat dalam penegakan hukumnya. Lembaga antikorupsi, seperti CPIB dan PCA terbukti mampu meredam tingkat korupsi di Singapura. China, Malaysia, dan Thailand, meskipun tidak sehebat Finlandia dan Singapura juga memiliki aturan dan lembaga antikorupsi yang konsisten dalam memberantas korupsi. China memiliki Anti Corruption Office (AOC). Perdana Menteri China yang sangat terkenal dengan janjinya, Zhu Rongji, siap dimasukkan peti mati jika terbukti korupsi. Sikap keras Rongji membuat China cukup bersih dan mampu menjadikan China sebagai negara kekuatan ekonomi dunia di masa mendatang. Malaysia memiliki Badan Pencegah Rasuah, yang juga berperan penting dalam pemberantasan korupsi. Malaysia juga memiliki potensi ekonomi yang baik dibandingkan Indonesia, Myanmar, Kamboja, dan negara-negara ASEAN lainnya, kecuali Singapura. Thailand memiliki undang-undang pemberantasan korupsi sejak tahun 1975 dan mempunyai lembaga antikorupsi yang dinamakan NCCC. Tidak berbeda dengan Malaysia, Thailand juga mempunyai catatan cukup baik dalam perkembangan ekonominya. BAB VIII PERAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

ejak dibentuk tahun 2003 yang lalu, sudah begitu besar Speran dan prestasi Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) dalam melakukan pemberantasan korupsi, utamanya dalam bidang penindakan. Sepuluh tahun KPK berkiprah dalam upaya pemberantasan korupsi, tetapi jumlah pelaku yang berhasil ditangkap dan disidangkan sudah banyak. Pelaku kelas kakap pun dengan mudah ditangkap, tidak seperti halnya yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum lainnya, seperti kepolisian, kejaksaan, bahkan pengadilan itu sendiri. Sebelum disajikan secara deskriptif keberhasilan yang telah dicapai oleh KPK, akan diuraikan terlebih dahulu secara berturut-turut visi dan misi KPK, kedudukan dan tugas KPK, wewenang dan kewajiban KPK, susunan organisasi KPK, dan kode etik KPK.

A. Visi, Misi dan Strategi KPK Visi KPK adalah mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi (Maheka, t.th.: 52). Mengacu pada visi tersebut, misi KPK adalah sebagai penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa

169 170 Dr. Eko Handoyo, M.Si. yang antikorupsi. Berdasarkan visi dan misi tersebut, rencana strategis KPK meliputi strategi berdasarkan waktu (strategi jangka pendek, strategi jangka menengah, dan strategi jangka panjang) dan strategi berdasarkan tugasnya (strategi pembangunan kelembagaan, strategi pencegahan, strategi penindakan, dan strategi penggalangan keikutsertaan masyarakat). Strategi jangka pendek KPK, yakni strategi yang segera dapat memberi manfaat, meliputi penindakan, membangun nilai etika, membangun sistem pengendalian terhadap lembaga pemerintahan agar menjadi lebih efisien dan profesional. Strategi jangka menengah, yakni strategi yang secara sistematis mampu mencegah tindak pidana korupsi, meliputi kegiatan membangun proses perbankan, penganggaran, pengadaan dan infrastruktur informasi di instansi pemerintah yang mendorong efisiensi dan efektivitas, memotivasi terciptanya kepemimpinan yang efisien dan efektif, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan pemerintah serta meningkatkan akses masyarakat terhadap pemerintahan. Strategi jangka panjang, yang diharapkan dapat mengubah persepsi dan budaya masyarakat, mencakupi aktivitas membangun dan mendidik masyarakat untuk menangkal korupsi yang terjadi di lingkungannya, membangun tata pemerintahan yang baik sebagai bagian penting dalam sistem pendidikan nasional, dan membangun sistem kepegawaian (perekrutan, penggajian, penilaian kinerja dan pengembangan) yang berkualitas. Tujuan strategi pembangunan kelembagaan adalah terbentuknya suatu lembaga KPK yang efektif. Untuk mencapai tujuan tersebut, aktivitas yang dilakukan meliputi penyusunan Pendidikan Antikorupsi 171 struktur organisasi, kode etik, rencana strategis, rencana kinerja, anggaran, prosedur operasi standar, dan penyusunan sistem manajemen SDM, rekrutmen penasihat dan pegawai serta pengembangan pegawai, penyusunan manajemen keuangan, penyusunan teknologi informasi pendukung, penyediaan fasilitas dan peralatan, dan penyusunan mekanisme pengawasan internal. Strategi pencegahan bertujuan membangun sistem pencegahan tindak pidana korupsi yang handal. Aktivitas yang dilakukan meliputi peningkatan efektivitas sistem pelaporan kekayaan penyelenggara negara, penyusunan sistem pelaporan gratifikasi dan sosialisasi, penyusunan sistem pelaporan pengaduan masyarakat dan sosialisasi, pengkajian dan penyampaian saran perbaikan atas sistem administrasi pemerintahan dan pelayanan masyarakat yang berindikasikan korupsi, penelitian dan pengembangan teknik dan metode yang mendukung pemberantasan korupsi. Strategi penindakan memiliki tujuan untuk meningkatkan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi. Untuk itu, ada lima hal yang dilakukan, yaitu: (1) pengembangan sistem dan prosedur peradilan pidana korupsi yang ditangani langsung oleh KPK, (2) penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi oleh KPK, (3) pengembangan mekanisme, sistem, dan prosedur supervisi oleh KPK atas penyelesaian perkara korupsi yang dilaksanakan oleh kepolisian dan kejaksaan, (4) identifikasi kelemahan undang- undang dan konflik antar undang-undang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi, dan (5) pemetaan aktivitas-aktivitas yang berindikasikan korupsi. Penggalangan keikutsertaan masyarakat bertujuan terbentuknya suatu keikutsertaan dan partisipasi aktif dari 172 Dr. Eko Handoyo, M.Si. segenap komponen bangsa dalam memberantas korupsi. Lima aktivitas berikut merupakan langkah untuk menggalang partisipasi masyarakat, yaitu: (1) kerjasama dengan lembaga-lembaga publik, lembaga-lembaga publik, lembaga-lembaga kemasyarakatan, sosial, keagamaan, profesi, dunia usaha, swadaya masyarakat, dan perumusan peran masing-masing dalam pemberantasan korupsi, (2) kerjasama dengan mitra pemberantasan korupsi di luar negeri secara bilateral maupun multilateral, (3) kampanye antikorupsi nasional secara terintegrasi untuk membentuk budaya antikorupsi, (4) pengembangan database profil korupsi, dan (5) pengembangan dan penyediaan akses informasi korupsi kepada publik.

B. Kedudukan, Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPK Dalam pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK berkedudukan sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (KPK, t.th.: 3). KPK dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada nilai-nilai kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas (KPK, t.th.: 3). Berdasarkan kedudukannya, KPK mempunyai lima tugas pokok, yaitu: (1) koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, (2) supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, (3) melakukan penyelidikan, penyidikan, Pendidikan Antikorupsi 173 dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, (4) melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan (5) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara (Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama AntarKomisi dan Instansi KPK, 2006: 97). Dalam melaksanakan tugas pokok yang pertama (koordinasi), KPK memiliki wewenang: mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas kedua, yaitu supervisi, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang melaksanakan pelayanan publik. Dalam melaksanakan wewenang tersebut, KPK berwenang pula mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK. 174 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Dalam hal melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK berwenang: 1. Melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan; 2. Memerintahkan kepada instansi terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; 3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa; 4. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; 5. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait; 6. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindk pidana korupsi yang sedang diperiksa; 7. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk, melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri; 8. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani (Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama AntarKomisi dan Instansi KPK, 2006: 99).

Dalam melaksanakan tugas pencegahan, KPK berwenang untuk: (1) melakukan pendaftaran dan pemeriksaan laporan Pendidikan Antikorupsi 175 harta kekayaan penyelenggara negara, (2) menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi, (3) menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan, (4) merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, (5) melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum, dan (6) melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK berwenang: 1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah; 2. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; 3. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan (Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama AntarKomisi dan Instansi KPK, 2006: 99).

Berdasarkan tugas dan wewenangnya, KPK berkewajiban untuk: (1) memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi, (2) memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan 176 Dr. Eko Handoyo, M.Si. hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya, (3) menyusunm laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, (4) menegakkan sumpah jabatan, dan (5) menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 (Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK, 2006: 99).

C. Susunan Organisasi KPK Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002, susunan KPK terdiri atas seorang ketua dan empat orang wakil ketua. KPK membawahi empat bidang, yaitu bidang pencegahan, bidang penindakan, bidang informasi dan data, serta bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat. Masing-masing bidang membawahi subbidang sebagaimana tersaji dalam tabel di bawah ini. Tabel 6. Bidang dan Subbidang dalam No. Bidang Sub Bidang 1. Pencegahan • Subbidang pendaftaran dan pemeriksaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara; • Subbidang gratifikasi; • Subbidang pendidikan dan pelayanan masyarakat; • Subbidang penelitian dan pengembangan. 2. Penindakan • Subbidang penyelidikan; • Subbidang penyidikan; • Subbidang penuntutan. Pendidikan Antikorupsi 177

3. Informasi dan Data • Subbidang pengolahan informasi dan data; • Subbidang pembinaan jaringan kerja antarkomisi dan instansi; • Subbidang monitor. 4. Pengawasan Internal • Subbidang pengawasan internal; dan Pengaduan • Subbidang pengaduan masyarakat. Masyarakat

Organisasi KPK berikut tata kerjanya diatur lebih lanjut dalam Keputusan Pimpinan KPK Nomor KEP-07/P.KPK/02/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan keputusan KPK tersebut, susunan organisasi KPK terdiri dari pimpinan, tim penasihat, deputi bidang pencegahan, deputi bidang penindakan, deputi bidang informasi dan data, deputi bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat, serta sekretariat jenderal. Pimpinan KPK adalah pejabat negara yang bekerja secara kolektif dan menjadi penanggung jawab tertinggi dalam KPK. Ini membawa implikasi, semua keputusan yang bersifat strategis diambil dalam rapat yang dihadiri oleh ketua dan empat wakil ketua KPK. Jika ketua atau salah satu wakil ketua berhalangan sementara atau tetap, tidak berarti KPK berhenti dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Tugas-tugas kepemimpinan dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya tetap berjalan. Hal ini seperti yang dialami KPK di bawah kepemimpinan Antasari Azhar. Meskipun ketua KPK tersebut sedang bermasalah dengan pihak penegak hukum karena diduga terlibat dalam kasus pembunuhan, kegiatan KPK tetap berjalan sesuai dengan ketentuan undang- undang yang berlaku. Karena sifat kepemimpinan kolektif, maka 178 Dr. Eko Handoyo, M.Si. aktivitas KPK dijalankan bersama-sama oleh empat wakil ketua secara kolektif. Sebagai pemegang puncak tertinggi organisasi, pimpinan KPK memiliki tugas: (1) memimpin KPK sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, (2) menyiapkan kebijakan nasional dan kebijaksanaan umum yang berhubungan dengan kegiatan pencegahan, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, (3) menetapkan kebijaksanaan teknis pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, (4) membina dan melaksanakan kerjasama dengan instansi dan organisasi lain, dan (5) mengangkat dan memberhentikan kepala bidang, kepala sekretariat, kepala subbidang, dan pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, t.th.: 131). Tim Penasihat KPK terdiri atas 4 orang dengan tugas utama: (1) membantu pimpinan dalam menyiapkan kebijaksanaan nasional dan kebijaksanaan umum yang berhubungan dengan kegiatan pencegahan, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, (2) membantu pimpinan dalam menetapkan kebijaksanaan teknis pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, dan (3) membantu pimpinan dalam membina dan melaksanakan kerjasama dengan instansi dan organisasi lain. Masing-masing deputi yang ada di tubuh KPK memiliki tugas dan fungsi yang berlainan, meskipun diantara mereka ada fungsi koordinasi supaya dapat mendukung pimpinan KPK dalam menjalankan tugasnya. Deputi Bidang Pencegahan KPK meliputi Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, Direktorat Gratifikasi, Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, Direktorat Penelitian dan Pendidikan Antikorupsi 179

Pengembangan, serta Sekretariat Deputi Bidang Pencegahan. Deputi Bidang Pencegahan bertugas untuk melakukan upaya- upaya atau tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Deputi Pencegahan menyelenggarakan fungsi: 1. Pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara; 2. Penerimaan laporan dan penetapan status gratifikasi; 3. Penyelenggaraan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan; 4. Sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; 5. Kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum; 6. Kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Berbeda dengan Deputi Bidang Pencegahan, Deputi Bidang Penindakan memiliki tugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan perundang- undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pimpinan KPK. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Deputi Bidang Penindakan melaksanakan fungsi: (1) perumusan kebijaksanaan teknis kegiatan justisial berupa pemberian bimbingan dan pembinaan dalam bidang tugasnya, (2) perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian kegiatan penyelidikan, penyidikan , penuntutan, dan tindakan hukum lain serta pengadministrasiannya, (3) pembinaan kerjasama, pelaksanaan koordinasi, dan pemberian bimbingan, serta petunjuk teknis dalam penanganan tindak pidana korupsi dengan instansi dan lembaga terkait mengenai penyelidikan, 180 Dr. Eko Handoyo, M.Si. penyidikan, dan penuntutan berdasarkan peraturan perundang- undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pimpinan KPK, (4) pemberian saran, pendapat dan/atau pertimbangan hukum kepada pimpinan KPK mengenai perkara tindak pidana korupsi, pengambilalihan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan kepolisian atau kejaksaan, dan masalah hukum lainnya, (5) pembinaan dan peningkatan kemampuan, keterampilan dan integritas kepribadian para petugas pelaksana penyelidik, penyidik, dan penuntut umum, dan (6) pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas dan wewenang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pimpinan KPK. Dalam melaksanakan tugasnya, Deputi Bidang Penindakan dibantu oleh Direktorat Penyelidikan, Direktorat Penyidikan, Direktorat Penuntutan, dan Sekretariat Deputi Bidang Penindakan. Deputi Bidang Informasi dan Data mempunyai tugas melaksanakan pengolahan data dan informasi serta pengembangan sistem informasi yang mendukung kegiatan pencegahan, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi serta melakukan monitor terhadap upaya pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Mengacu pada tugas tersebut, Deputi Bidang Informasi dan Data menyelenggarakan fungsi: 1. Penyusunan rencana dan program pengelolaan data dan informasi serta pengembangan sistem informasi; 2. Pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data dan informasi serta administrasi basis data; Pendidikan Antikorupsi 181

3. Penyiapan analisis hasil pelaksanaan program dan kegiatan KPK; 4. Pengembangan sistem informasi dan pembinaan terhadap pengguna, 5. Pengembangan jaringan informasi dengan instansi pemerintah dan masyarakat; 6. Monitor terhadap upaya pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi yang terjadi pada instansi pemerintahan negara (KPK, t.th.: 139).

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Deputi Bidang Informasi dan Data dibantu oleh Direktorat Pengolahan Informasi dan Data, Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi, Direktorat Monitor, dan Sekretariat Deputi Bidang Informasi dan Data. Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat memiliki 2 Direktorat, yaitu Direktorat Pengawasan Internal dan Direktorat Pengaduan Masyarakat serta Sekretariat Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Deputi ini memiliki tugas melaksanakan pengawasan fungsional terhadap unit kerja yang berada di bawah KPK dan memproses pengaduan masyarakat. Fungsinya meliputi: (1) penyiapan bahan perumusan kebijakan pengawasan di lingkungan KPK, (2) perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian kegiatan pengawasan internal dan pemrosesan pengaduan masyarakat serta pengadministrasiannya, dan (3) pemberian saran dan pendapat kepada pimpinan KPK mengenai hasil pengawasan internal dan pemrosesan pengaduan masyarakat (KPK, t.th.: 142). KPK memiliki sekretariat jenderal yang bertugas mengakomodasikan perencanaan, pembinaan, pengendalian 182 Dr. Eko Handoyo, M.Si. administrasi, dan sumber daya di lingkungan KPK. Fungsi sekretariat jenderal meliputi: (1) koordinasi dan penyusunan kebiakan dan program kerja KPK serta evaluasi pelaksanaannya di liongkungan KPK, (2) pengelolaan sumber daya manusia, penataan organisasi, dan ketatalaksanaan serta keuangan, (3) pemberian bantuan hukum di lingkungan KPK, dan (4) pelaksanaan urusan tata usaha, perlengkapan, dan rumah tangga. Di lingkungan Setjen KPK terdapat 3 biro, yaitu Biro Perencanaan dan Keuangan, Biro Umum, dan Biro Sumber Daya Manusia.

D. Kode Etik Pimpinan KPK Pimpinan KPK menempati posisi strategis dalam menentukan arah sekaligus mewujudkan visi, misi, rencana strategis, serta memastikan terlaksananya tugas dan kewajiban KPK. Oleh karenanya diperlukan kode etik tersendiri bagi mereka agar dapat menjadi teladan bagi bawahannya dan menjadi landasan komitmen mereka untuk bekerja demi lembaga, bangsa dan negara. Menurut Keputusan Pimpinan KPK tentang Kode Etik Pimpinan KPK RI, kode etik pimpinan KPK merupakan norma yang harus dilaksanakan oleh pimpinan KPK dalam menjalani kehidupan pribadinya dan mengelola organisasi KPK. Kode etik pimpinan KPK diterapkan tanpa ada toleransi sedikitpun atas penyimpangannya atau zero tolerance dan mengandung sanksi tegas bagi mereka yang melanggarnya. Nilai-nilai dasar yang harus dianut pimpinan KPK dalam menjalankan tugasnya meliputi: (1) terbuka (transparan) baik dalam pergaulan internal dan eksternal, (2) kebersamaan, yaitu melaksanakan tugas memimpin KPK secara kolektif, (3) berani, yakni mengambil sikap tegas dan rasional dalam membuat Pendidikan Antikorupsi 183 keputusan sulit dan atau tidak populis demi kepentingan jangka panjang KPK dan negara, (4) integritas, yaitu mewujudkan perilaku yang bermartabat, (5) tangguh, artinya tegar dalam menghadapi berbagai godaan, hambatan, tantangan, ancaman, dan intimidasi dalam bentuk apapun dan dari pihak manapun, dan (6) unggul, artinya selalu meningkatkan pengetahuan dan kapasitas pribadinya (KPK, t.th.: 151). Nilai-nilai dasar pribadi tersebut dilaksanakan dalam bentuk sikap, tindakan, perilaku, dan ucapan pimpinan KPK. Dalam kode etik ini, pimpinan KPK memiliki kewajiban sebagai berikut. 1. Melaksanakan ibadah dan ajaran agama yang diyakininya; 2. Taat terhadap aturan hukum dan etika; 3. Menggunakan sumber daya publik secara efisien, efektif, dan tepat; 4. Tegas dalam menerapkan prinsip, nilai, dan keputusan yang telah disepakati; 5. Menarik garis tegas tentang apa yang patut, layak, dan pantas dilakukan dengan apa yang tidak patut, tidak layak, dan tidak pantas dilakukan; 6. Tampil ketika keputusan sulit harus diambil; 7. Tidak berpihak dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya; 8. Berani menghadapi dan menerima konsekuensi keputusan; 9. Tidak berhenti belajar dan mendengar; 10. Mampu bertindak tegas tanpa beban; 11. Meningkatkan kinerja yang berkualitas; 12. Menanggalkan kebiasaan kelembagaan masa lalu yang negatif; 184 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

13. Menghilangkan sifat arogansi individu dan sektoral; 14. Mengidentifikasi setiap benturan kepentingan yang timbul atau kemungkinan benturan kepentingan yang akan timbul dan memberitahukan kepada pimpinan lainnya sesegera mungkin; 15. Memberikan komitmen dan loyalitas kepada KPK di atas komitmen dan loyalitas kepada teman sejawat; 16. Mengesampingkan kepentingan pribadi atau golongan demi tercapainya tujuan yang ditetapkan bersama; 17. Menahan diri terhadap godaan yang berpotensi memengaruhi substansi keputusan; 18. Memberitahukan kepada pimpinan lainnya mengenai pertemuan dengan pihak lain yang akan dan telah dilaksanakan, baik sendiri atau bersama, baik dalam hubungan dengan tugas maupun tidak; 19. Menolak dibayari makan, biaya akomodasi, dan bentuk kesenangan lainnya oleh atau dari siapa pun; 20. Independensi dalam penampilan fisik, antara lain diwujudkan dalam bentuk tidak menunjukkan kedekatan dengan siapa pun di depan publik; 21. Membatasi pertemuan di ruang publik, seperti di hotel, restoran, atau lobi kantor atau hotel atau di ruang publik lainnya; 22. Memberitahukan kepada pimpinan yang lain mengenai keluarga, kawan, dan pihak-pihak lain yang secara intensif masih berkomunikasi (KPK, t.th.: 153).

Sejalan dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, pimpinan KPK dilarang: Pendidikan Antikorupsi 185

1. Menggunakan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi atau golongan; 2. Menerima imbalan yang bernilai uang untuk kegiatan yang berkaitan dengan fungsi KPK; 3. Meminta kepada atau menerima bantuan dari siapapun dalam bentuk apapun yang memiliki potensi benturan kepentingan dengan KPK; 4. Bermain golf dengan pihak atau pihak-pihak yang secara langsung atau tidak langsung berpotensi menimbulkan benturan kepentingan sekecil apapun.

Pelanggaran terhadap isi kode etik pimpinan KPK dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Antasari Azhar, ketua KPK setelah Taufiequrachman Ruki, merupakan salah satu contoh dari pimpinan yang telah melanggar kode etik pimpinan KPK, di antaranya tidak mampu menahan diri dari godaan dan bermain golf dengan pihak-pihak yang diduga akan memengaruhi tugasnya sebagai pimpinan KPK, sehingga setelah diduga melakukan pembunuhan terhadap Nasarudin dan bermain api dengan Lani, istri siri Nasarudin, oleh KPK ia diberhentikan sementara atau dibebastugaskan dari kedudukannya sebagai pimpinan KPK. Ini merupakan bukti betapa hebatnya lembaga KPK yang secara konsisten menerapkan aturan meskipun harus memakan korban anggota atau pimpinannya sendiri dan hal ini tidak terjadi pada lembaga negara atau instansi lainnya di negeri ini. Selain Antasari, KPK pascakepemimpinan Taufiequrachman juga mengalami persoalan internal yang tidak kalah gawat, yaitu dijadikannya Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, Wakil Ketua KPK yang membidangi Penindakan sebagai tersangka 186 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

(Tempo, 2009: 82). Polri menetapkan keduanya sebagai tersangka karena dugaan penyalahgunaan wewenang terkait pencekalan terhadap pengusaha Anggoro Widjojo dan pencegahan dan pencabutan pencegahan (larangan ke luar negeri) terhadap pengusaha Djoko S. Tjandra (Kompas, 2009: 2). Sedikit banyak tugas pimpinan KPK menjadi terganggu karena dari lima pimpinan, tinggal 2 orang saja yang harus menjalankan tugas berat KPK. Meskipun akhirnya dibebaskan, karena dinyatakan tidak bersalah, namun kriminalisasi terhadap dua dari 4 orang wakil ketua KPK menyebabkan tugas dan kewajiban KPK untuk memberantas korupsi di negeri kleptokrasi ini menjadi terhambat.

E. Sekilas Keberhasilan KPK Apa yang telah diuraikan panjang lebar mengenai tugas, wewenang, dan kewajiban KPK serta kewajiban pimpinan KPK secara khusus dapat dikatakan sebagai peran normatif atau peran yang diharapkan dimainkan oleh KPK sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mencermati ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan internal KPK sebagaimana sudah dijelaskan di atas, tampaknya ada jaminan dan kepercayaan yang kuat bahwa KPK merupakan aktor paling kuat diantara kepolisian dan kejaksaan, terutama dalam melaksanakan fungsi memberantas tindak pidana korupsi. Sebagai satu-satunya lembaga independen dalam pemberantasan korupsi, KPK memiliki strategi jitu. Dalam strategic map KPK, M. Yasin dalam Seminar dan Sosialisasi LHKPN menuju Peningkatan Mutu Pelayanan yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja (POKJA) Antikorupsi Universitas Negeri Semarang Pendidikan Antikorupsi 187 pada tanggal 10 Desember 2008, menyampaikan bahwa tujuan perumusan strategi baru KPK adalah berkurangnya korupsi di Indonesia, dengan sasaran meningkatnya efektivitas koordinasi dan supervisi bidang penindakan, meningkatnya efektivitas koordinasi dan supervisi bidang pencegahan, meningkatnya keberhasilan penegakan hukum kasus korupsi, meningkatnya kepercayaan publik kepada KPK, terbentuknya sikap masyarakat antikorupsi, dan percepatan reformasi layanan sektor publik (Yasin, 2008: 9). Dalam tugas pemberantasan korupsi, KPK melakukannya secara komprehensif, konsisten, dan berkesinambungan, dengan melibatkan semua pihak. Itulah sebabnya, metode yang digunakan adalah metode holistik, mencakupi komponen kenegaraan dengan melahirkan good public governance, komponen swasta dengan melahirkan good corporate governance, komponen masyarakat dengan melahirkan good civil society governance. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengatur bahwa upaya pemberantasan korupsi meliputi upaya pencegahan dan penindakan. KPK lebih mengedepankan upaya kuratif, berupa penangkalan atau penanganan hulu permasalahan dan upaya pencegahan (preventif), sehingga mampu menekan kebocoran keuangan negara. Karena kasus-kasus korupsi demikian masif dan dampaknya sangat merugikan sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, maka KPK melakukan upaya represif untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi dan dapat mengembalikan kerugian keuangan negara secara optimal. Dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian, KPK memiliki nilai lebih. 188 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Pertama, struktur organisasinya tidak terlalu hierarkis, luwes, dan demokratis. Kedua, organisasi KPK lebih rapi dan lini pengendalian dan pengawasan vertikal dan horizontal lebih terjaga dibandingkan kepolisian dan kejaksaan. Ketiga, sistem penggajiannya berbasis kinerja. Keempat, KPK sebagai institusi negara lebih otonom dan independen dibandingkan dua lembaga lainnya, sehingga dalam proses pengambilan keputusan tidak dapat dipengaruhi oleh pihak lain. Kelima, landasan etika dan kode etik KPK lebih konkret, sehingga memudahkan pejabat atau personil KPK dalam menjalankan tugasnya secara professional. Keenam, KPK tidak hanya melaksanakan tugas dalam memberantas tindak pidana korupsi, tetapi juga turut mempromosikan penerapan praktik-praktik good governance pada tubuh pemerintahan, swasta (dunia usaha), dan masyarakat dan mendorong reformasi pelayanan publik. Ketujuh, inilah yang menjadi energi sosial, yakni masyarakat memberikan dukungan penuh terhadap kinerja KPK. Karena beberapa nilai tambah inilah, setiap upaya menggoyang atau mengurangi peran KPK dalam memberantas korupsi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang merasa KPK sebagai kompetitornya atau terusik dan terancam oleh keberadaan dan sepak terjang KPK, selalu muncul perlawanan dari masyarakat. Tantangan yang dihadapi KPK tergolong berat, selain karena lembaga ini dianggap kompetitor bagi lembaga penegak hukum lainnya, juga disebabkan apa yang dipromosikan dan dilakukan KPK dipandang oleh sementara penyelenggara negara mengancam eksistensi mereka. Hal ini seperti diungkapkan oleh Insan Fahmi, salah seorang aktivis KPK, bahwa keengganan sebagian penyelenggara negara untuk berkomitmen melakukan perubahan Pendidikan Antikorupsi 189 dan pemberantasan korupsi dikarenakan kondisi saat ini yang telah membuat dirinya nyaman (Fahmi, 2009: 5). Perbaikan sistem, menurut Fahmi, justru ditanggapi dengan resistensi tinggi, karena dianggap akan menjadi ancaman dan gangguan bagi dirinya yang telah berada pada zona nyaman (comfort zone). Hal ini juga terbukti dari adanya keinginan dari pihak tertentu untuk mempreteli kewenangan KPK. Rubrik Hukum Majalah Tempo Edisi 21-27 September 2009 menulis dengan meyakinkan: “hilang sudah kekuatan Komisi Pemberantasan Korupsi menangani perkara- perkara korupsi, karena Forum Lobi Panja RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia dan Jaksa Agung menyepakati dicabutnya kewenangan penuntutan dari tangan KPK” (Tempo, 2009: 80). Menurut sumber yang layak dipercaya, pasal 1 angka 4 dari RUU Pengadilan Tipikor menyatakan bahwa hak penuntutan ada pada tangan kejaksaan, sedangkan KPK hanya berwenang pada aspek penyidikan. Emerson Yuntho, aktivis Indonesian Corruption Watch, sampai pada kesimpulan, “ada tiga pihak yang berhasrat menggunting kewenangan KPK, yaitu: (1) anggota Dewan yang berlatar belakang pengacara, (2) kejaksaan, (3) anggota parlemen atau pribadi-pribadi yang sakit hati dan terancam oleh KPK” (Tempo, 2009: 80). Ini artinya, pelan tetapi pasti KPK lambat laun digiring ke pinggir untuk menjadi penonton terhadap perselingkuhan penyelenggara negara nakal dengan pengusaha kotor dalam melakoni drama “nikmatnya berkorupsi”. Menghadapi kendala dan tantangan yang berat tersebut, bukannya membuat KPK surut langkah. Sebagai pelaksana undang-undang, KPK tetap konsisten dan fokus pada jalur yang 190 Dr. Eko Handoyo, M.Si. telah ditetapkan. Oleh karenanya KPK melakukan pemberantasan korupsi secara proporsional dan profesional. Menurut Fahmi (2009: 8), KPK menyadari bahwa mengubah perilaku manusia dan sistem yang korup tidaklah semudah membalik telapak tangan. Ada keyakinan kuat di kalangan orang-orang KPK bahwa dengan kesungguhan dan upaya terus-menerus tanpa kenal lelah, perubahan ke arah yang lebih baik niscaya akan dapat diraih. Kerja keras KPK sejak dibentuknya tahun 2003 yang lalu membuahkan hasil. Catatan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun awal dibentuknya KPK pada tahun 2003, indeks persepsi korupsi Indonesia adalah 1,9. Angka ini berturut-turut naik, dari tahun 2004 hingga 2006, yaitu 2,0; 2,2 dan 2,4. Pada tahun 2007 turun lagi menjadi 2,3 dan pada tahun 2008 naik lagi menjadi 2,6. Tahun 2009 naik lagi menjadi 2,8 dan tahun 2010 indeks persepsi korupsi bertahan di angka 2,9. Pada tahun 2011 naik angkanya menjadi 3,0 dan tahun 2012 naik sedikit menjadi 3,2. Untuk mencapai IPK 3,2 yang angkanya belum terlalu signifikan bagi perkembangan pemberantasan korupsi, membutuhkan waktu 9 tahun. Kuatnya komitmen pemerintah reformasi dan menguatnya kelompok masyarakat sipil, seharusnya IPK Indonesia bisa mencapai angka 5,0. Namun demikian, naiknya IPK Indonesia meskipun tidak terlalu besar, menandakan bahwa dibentuknya KPK tidaklah sia- sia. Memang kenaikan IPK tersebut bukanlah prestasi semata- mata KPK, tetapi paling tidak kehadiran KPK turut menyumbang secara signifikan kenaikan IPK Indonesia akibat dari sikap KPK yang sangat tegas dan tanpa kompromi melawan korupsi.Pada tahun 2005, KPK melaporkan telah menerima surat pengaduan adanya Pendidikan Antikorupsi 191 dugaan korupsi dari masyarakat sebanyak 3.922 surat. Dari jumlah tersebut, laporan yang telah ditelaah sebanyak 2.761 surat, yang sedang ditelaah 1.161 surat, laporan yang ditindaklanjuti dari hasil telaah sebanyak 1.063 surat, sedang direview 991 surat, dari hasil tindak lanjut 207 surat diteruskan ke kepolisian, 438 surat diteruskan ke kejaksaan, 111 surat diteruskan ke BPKP, 152 surat diteruskan ke Irjen dan badan lain di luar BPKP, 31 surat diteruskan ke BPK, 36 surat diteruskan ke MA, 88 surat diteruskan ke Bawasda, dan 10 surat ditangani sendiri oleh KPK (Susilo, 2006: 97). Kinerja KPK pada tahun 2007 menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini dapat dicermati pada tabel di bawah ini. Tabel 7. Laporan Masyarakat dan Gratifikasi yang ditindaklanjuti oleh KPK Nomor H a l Keterangan 1. Laporan Jumlah 15.861 laporan, 96,27% sudah Masyarakat ditelaah. Dari jumlah tersebut, hanya 3000 laporan yang berindikasikan tipikor, 223 diproses lebih lanjut, dan sisanya diteruskan kepada aparat lainnya. 2. Laporan Harta Dari total wajib lapor 111.759 Kekayaan penyelenggara negara, sebanyak 57,75% Penyelenggara telah melaporkan harta kekayaannya. Negara (LHKPN) 3. Laporan 129 laporan (termasuk parcel) masuk ke Gratifikasi KPK. Jumlah yang dilaporkan Rp 1,4 miliar, 1.300 dollar AS, Sin $ 47.000, dan dalam bentuk barang senilai Rp 331,4 juta. Dari jumlah tersebut, Rp 829 juta, AS $ 650 dan Sin $ 47.000 ditetapkan sebagai milik Negara. 192 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

4. Perkara KPK berhasil menyelesaikan penyidikan 26 kasus, sedang dalam tahap penyelidikan 35 kasus, yang digulirkan ke Pengadilan Negeri 11 kasus, banding 1 kasus, dan kasasi 11 kasus. (Sudjana, 2008: 207). Data lain menunjukkan keberhasilan KPK, terutama menyangkut keberhasilan dalam menangani pengaduan masyarakat, menangani kasus atau perkara tindak pidana korupsi, menangani perkara TPK yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, dan keberhasilan dalam mengembalikan uang negara. Data selengkapnya dapat dicermati pada grafik atau gambar berikut.

Sumber: (Handoyo, 2009) Gambar 2. Penanganan Pengaduan Masyarakat Pendidikan Antikorupsi 193

Sumber: (Handoyo, 2009) Gambar 3. Penanganan Kasus/Perkara TPK

Sumber: (Handoyo 2009) Gambar 4. Perkara TPK yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht) 194 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Sumber: (Handoyo, 2009) Gambar 5. Uang Negara Yang Berhasil Dikembalikan

Salah seorang karyawan KPK, Fahmi, melaporkan keberhasilan KPK dalam menangani korupsi dan mengembalikan uang kepada negara. Fahmi menginformasikan bahwa pada tahun 2008 KPK berhasil menyelamatkan uang negara sebesar 600 miliar rupiah, menangani tipikor senilai 406,38 miliar rupiah, menangani gratifikasi sebesar 3,87 miliar rupiah, dan lainnya 190 miliar rupiah (Fahmi, 2009: 16). Dalam kaitannya dengan penyelamatan keuangan negara, secara akumulatif KPK berhasil menyelamatkan potensi kerugian keuangan negara, sebagai berikut. • Rp 1.969.904.438.000,00 dari penyelamatan potensi kerugian negara sebagai akibat pengalihan hak Barang Milik Negara (BMN) di 13 K/L, yaitu Depkumham, Depag, Setneg, Perum Bulog, PT. KAI, BKKBN, Deplu, Depkes, Ditjen Pajak Pendidikan Antikorupsi 195

Depkeu, Perum Pegadaian, Asuransi Jiwasraya, dan Unibraw (Depdiknas). • Rp 2.509.304.573.609,00 (USD216,173,218.33) dari penyelamatan potensi kerugian keuangan negara pada sektor migas, yaitu Rp 1.239.611.100,00 dari koreksi investment credit dan Rp 1.269.693.473.609,00 dari penyetoran dana Abandonment & Site Restoration ke Joint Account di bank pemerintah

Dalam kaitannya dengan fungsi KPK dalam mempromosikan praktik-praktik good governance di kalangan pemerintahan dan reformasi pelayanan publik, terdapat perubahan yang cukup signifikan dengan diterapkannya one stop service (OSS) atau pelayanan satu atap di berbagai daerah. Awalnya hanya beberapa daerah yang mempraktikkan, misalnya pemerintah provinsi Gorontalo, pemerintah kota Riau, pemerintah kabupaten Jembrana Bali dan pemerintah kabupaten Sragen. Tetapi dengan keberhasilan 4 daerah tersebut memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan kepada masyarakat, akhirnya praktik OSS diterapkan juga di berbagai daerah di seluruh Indonesia dengan potensi dan ciri khas masing-masing. Dari praktik good governance di berbagai daerah tertangkap kesan adanya kompetisi sehat untuk memberikan layanan yang sebaik- baiknya kepada masyarakat, misalnya waktu mengurus perizinan yang makin pendek, pelayanan berbasis internet (on-line), serta layanan pendidikan dan kesehatan gratis. Ini menunjukkan bahwa kehadiran KPK meskipun hanya sebagai pemantik (trigger), telah mampu mendorong terciptanya good governance dalam tubuh pemerintahan di daerah. 196 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Keberhasilan KPK lainnya yang dapat ditunjukkan kepada publik adalah banyaknya pejabat eksekutif (mantan menteri, pejabat departemen pemerintahan, gubernur, wali kota, bupati), kalangan legislatif (anggota DPR dan DPRD), anggota KPU, dan kalangan swasta yang diseret ke pengadilan karena akibat perbuatannya melakukan tindak pidana korupsi. Berikut ini dikemukakan beberapa kasus atau tindak pidana korupsi yang dilakukan para pejabat di atas yang berhasil diungkap dan diajukan ke meja pengadilan oleh KPK. 1. Mulyana Wira Kusuma (anggota KPU periode 1999-2004) Dalam kapasitasnya sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mulyana Wira Kusuma telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam dua kasus yang sama namun berbeda kapasitas. Yang pertama adalah melakukan penyuapan kepada auditor investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Khariansyah Salman dan yang kedua, melakukan korupsi pengadaan kotak suara pemilihan umum (Yuwono, 2008: 8). Akibat perbuatannya, Mulyana divonis hukuman 2 tahun 7 bulan penjara karena terbukti melakukan penyuapan kepada auditor investigatif BPK dan dijatuhi hukuman 1 tahun 3 bulan karena terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan kotak suara pemilu. Dibekuknya Mulyana ini menjadi titik awal diseretnya anggota-anggota KPU lainnya, seperti Nazaruddin Sjamsudin, Rusadi Kantaprawira, Daan Dimara, Achmad Rojadi, Bambang Budiarto, Safder Yusacc dan Hamdani Amin, yang telah merampok harta negara untuk kepentingan pribadi. 2. Said Agil Husin Al Munawar Said Agil, Menteri Agama Kabinet Gotong Royong 2001-2004 divonis hukuman 5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pendidikan Antikorupsi 197

Pusat, karena terbuki korupsi dana BPIH senilai Rp 35,7 miliar dan Dana Alokasi Umum 2002-2004 sebesar Rp 240,22 miliar (Harman, 2012). 3. Ahmad Sujudi Ahmad Sujudi adalah mantan Menteri Kesehatan, yang divonis 2 tahun 3 bulan penjara atas kesalahannya menyalahgunakan kewenangan dalam kasus alat kesehatan, karena penunjukan langsung rekanan dan pengajuan usulan anggaran tambahan senilai Rp 463 miliar (Harman, 2012). Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutus hukumannya menjadi 4 tahun penjara. 4. Wafid Muharam Wafid Muharam adalah mantan Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga, yang disangka KPK atas suap yang dilakukan sebesar Rp 3,2 miliar untuk pemenangan tender PT. DGI dengan anggaran pembangunan Rp 200 miliar (Harman, 2012). 5. Abdullah Puteh Korupi yang dilakukan oleh Abdullah Puteh, Gubernur Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), berawal dari pembelian helikopter MI-2 merek PLC Rostov buatan Rusia. Dana yang digunakan untuk membeli helikopter tersebut merupakan patungan dari 13 kabupaten dan kota di Provinsi NAD yang masing-masing menyumbang dana 700 juta rupiah. Korupsi yang dilakukan oleh Puteh terkuak setelah terdapat selisih harga antara pembelian helikopter terdahulu yang dilakukan oleh TNI-AL dan helikopter yang dibeli oleh Pemerintah Provinsi NAD. Dengan kualifikasi dan merek yang sama, TNI-AL membeli helikopter 198 Dr. Eko Handoyo, M.Si. seharga Rp 6,5 miliar, sedangkan Puteh membelinya dengan harga dua kali lipat, yaitu Rp 12,6 miliar. Perbedaan harga tersebut diselidiki KPK dan terbukti Puteh bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi. Itulah sebabnya, majelis hakim menyatakan Puteh terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana disebutkan dalam dakwaan primer dan kepadanya dijatuhi pidana penjara 10 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, Puteh juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 6,564 miliar. Pembayaran tersebut harus dilakukan dalam waktu satu bulan setelah putusan hakim berkekuatan hukum tetap. 6. Bambang Guritno Bambang Guritno, Bupati Semarang, terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 3 juncto pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) KUHP. Ia ditahan LP Ambarawa pada hari Senin, 28 Mei 2007 terkait perkara dugaan korupsi pengadaan buku ajar SD/MI kabupaten Semarang tahun 2004 senilai Rp 3,95 miliar. Bambang terbukti menerima fee dari tiga rekanan proyek pengadaan buku. Selain itu, rekanan juga memberikan uang tanda terima kasih. Dalam pengadaan buku tersebut diketahui ada mark-up. Total nilai proyek sesungguhnya hanya Rp 2 miliar, digelembungkan hingga mencapai angka Rp 5,8 miliar (Yuwono, 2008: 45). Dari hasil audit BPKP, negara dirugikan sebesar Rp 3,6 miliar. Berkaitan dengan pemeriksaan terhadap Bambang tersebut, Mendagri melalui SK Nomor 131.33/304/2007 memberhentikan Pendidikan Antikorupsi 199 untuk sementara Bambang Guritno sebagai Bupati Semarang agar dapat menjalani proses hukum secara baik. Siti Ambar Fathonah, wakil bupati, berdasarkan SK tersebut, menggantikan untuk sementara waktu sebagai pelaksana tugas dan kewajiban sebagai Bupati Semarang. Selama pemberhentian sementara tersebut, pemerintah kabupaten Semarang menarik kembali rumah dinas, mobil dinas, dan fasilitas lain, termasuk ajudan bupati. Atas kesalahan Bambang, majelis hakim memvonisnya dengan hukuman penjara 2 tahun dipotong masa tahanan, denda Rp 50 juta subsider 3 bulan, dan harus mengganti kerugian negara sebesar Rp 321 juta. 7. Taufik Hidayat, Sjamsul Arifin, Sjamsul Qamar, Mahyani Diris, Hayatus Solohin, dan Sayuti Enggok Taufik Hidayat, ketua DPRD Banjarmasin bersama 5 orang terdakwa lainnya diduga telah melakukan korupsi atas pembayaran premi asuransi pribadi menggunakan dana APBD dari pos tak terduga. Akibat perbuatan korupsi berjamaah tersebut, negara dirugikan Rp 7,9 miliar. Untungnya dari tangan terdakwa berhasil dikumpulkan uang sebesar Rp 4,6 miliar yang dapat dikembalikan kepada negara. Meskipun demikian, Taufik dan kawan-kawan dijatuhi hukuman penjara 1 tahun oleh pengadilann negeri setempat. Selain itu, mereka dikenakan denda sebesar Rp 25 juta per orang. Hukuman yang dijatuhkan kepada enam terdakwa, termasuk ketua DPRD Banjarmasin, merupakan babak awal dari 17 orang mantan anggota dewan yang semuanya terlibat dalam kasus korupsi tersebut. 8. Probosutedjo Pada tanggal 22 April 2003, Majelis Hakim PN Jakpus menjatuhkan vonis kepada Probosutedjo berupa hukuman 200 Dr. Eko Handoyo, M.Si. penjara 4 tahun (Yuwono, 2008: 59). Ia dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus dana reboisasi Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 50 ribu hektare yang dibangunnya di Kalimantan. Nilainya mencapai Rp 100,9 miliar. Probo dinilai tidak memenuhi kewajiban melakukan penanaman di atas lahan proyek hutan tanaman industri di Kalimantan Selatan sesuai dengan perjanjian, yaitu seluas 71.000 hektar sebagai realisasi kerja dinilai melanggar perjanjian, sebab proyek HTI dibiayai oleh negara melalui dana reboisasi, namun dari survei ditemukan lahan terbuka tidak ada tanamannya seluas 29.675 hektare. Dana yang tidak terpakai, oleh Probosutedjo disimpan dalam bentuk deposito di Bank Exim dan Bank Jakarta. Kenakalan Probo bertambah dengan menjual saham HTI kepada pihak asing, yaitu PT. Antof Singapore Ltd., dan Shining Spring Resources, tanpa mengembalikan dulu dana milik negara. Karena perbuatannya, negara dirugikan Rp 100,9 miliar. Atas kesalahannya, Probo diganjar hukuman penjara 4 tahun, ditambah membayar denda Rp 30 juta. 9. Harini Wijoso Harini Wijoso dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi dengan menyuap lima pegawai Mahkamah Agung, yaitu Pono Waluyo, Sudi Ahmad, Sriyadi, Malam Pagi Sinuhadji, dan Suhartoyo, sebesar Rp 5 miliar. Uang tersebut berasal dari Probosutedjo, dimaksudkan untuk dapat mengubah keputusan hakim atas hukuman yang dijatuhkan kepada Probosutedjo. Harini dinyatakan secara sah bersalah karena berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf a, pasal 6 ayat (1) huruf a, pasal 13 dan 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001, telah berusaha memengaruhi para penyelenggara negara dengan cara memberi Pendidikan Antikorupsi 201 hadiah kepada pejabat atau penyelenggara negara tersebut. Atas kesalahan Harini, Majelis Hakim menjatuhkan vonis 4 tahun penjara kepada Harini dan denda Rp 150 juta subsider 6 bulan kurungan. 10. Roesdihardjo dan Arihken Tarigan Roesdihardjo adalah mantan Duta Besar RI untuk Malaysia, sedangkan Ahriken adalah mantan Kepala Bidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur. Mereka berdua didakwa bersekongkol melakukan tindakan pungli dalam pengurusan keimigrasian WNI semenjak tahun 2004. Pungli yang dilakukan oleh Roesdihardjo dan Ahriken bermula dari ketika Ahriken memberikan informasi kepada Roesdihardjo bahwa sejak tahun 1999 dalam pengurusan keimigrasian WNI diterapkan tarif ganda berdasarkan SK Nomor 021/SK-DB/0799 tertanggal 20 Juli 1999. Sejak itulah, WNI yang mengurus surat keimigrasian dikenakan tarif lebih tinggi, sedangkan yang disetor ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) lebih rendah sesuai dengan tarif aslinya. Uang sisa dari pembayaran pengurusan surat keimigrasian tidak disetor ke negara, tetapi digunakan oleh dua orang tersebut. Menurut penuturan Ahriken, dari hasil pungli tersebut, setidaknya Roesdihardjo dapat mengantongi uang sebesar Rp 100 juta per bulan. Majelis hakim menyatakan bahwa keduanya terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 3 dan 55 ayat (1) ke-1 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 tahun 2001 serta pasal 64 KUHP. Sampai dengan bulan Mei 2005, Roesdihardjo telah mengantongi uang hasil pungli sebesar Rp 815,6 juta (Yuwono, 2008: 97). Atas kesalahan tersebut, Roesdihardjo dijatuhi hukuman 2 tahun penjara, denda Rp 100 juta subsider dua bulan kurungan, dan wajib membayar uang pengganti sebesar 202 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Rp 815,6 juta. Sementara itu, Ahriken dijatuhi hukuman penjara 4 tahun, denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan, dan diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 6,95 miliar. 11. Rokhmin Dahuri Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2001-2004, ditahan karena terbukti secara sah telah melakukan pungutan tidak sah selama kepemimpinannya. Dana tidak sah dikumpulkan melalui 2 rekening Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebesar Rp 31 miliar, yakni Rp 12 miliar dipungut dari internal DKP dan Rp 19,7 miliar dari pihak eksternal (Yuwono, 2008: 114). Atas kesalahannya, Rokhmin Dahuri dijatuhi hukuman penjara 7 tahun. 12. Hendy Boedoro Mantan Bupati Kendal ini dihukum penjara selama 7 tahun karena terbukti melakukan korupsi APBD kabupaten Kendal tahun 2003-2005, yang merugikan keuangan negara (Konstan, 2012). Selain dipenjara, Hendy juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian keuangan negara sebesar Rp 13 miliar. 13. Miranda Goeltom Miranda Goeltom atau nama lengkapnya adalah Miranda Swaray Goeltom adalah mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, yang juga guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Miranda yang ditahan KPK dan dijadikan tersangka sejak 26 Januari 2012, diduga turut membantu Nunun Nurbaetie menyuap sejumlah anggota parlemen dengan traveller’s cheque. Tujuannya adalah agar Miranda terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Nunun sendiri telah dinyatakan terbukti bersalah dan divonis hakim Pendidikan Antikorupsi 203 dengan hukuman penjara dua setengah tahun (Gatra, 2012). Meskipun berdalih tidak mengulangi perbuatan, tidak menghilangkan barang bukti, dan tidak melarikan diri, Miranda tidak bisa mengelak dari dakwaan karena pada tahun 2011, sebanyak 26 anggota DPR dari Fraksi PDIP, Golkar, PPP, dan TNI/ Polri telah dinyatakan terbukti bersalah oleh hakim karena menerima suap berkaitan dengan kasus Miranda (Gatra, 2012). 14. Satono Satono adalah Bupati Lampung Timur nonaktif, yang divonis hakim 15 tahun penjara. Pelaku dinyatakan bersalah, karena telah melakukan tindak pidana korupsi APBD kabupaten Lampung Timur sebesar Rp 119 miliar (Konstan, 2012). Selain dihukum penjara, Satono juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp 10 miliar. 15. Mochtar Mohammad Mochtar Mohammad merupakan wali kota Bekasi nonaktif, oleh Mahkamah Agung majelis kasasi dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang merugikan keuangan negara, sehingga harus mendekam di hotel prodeo selama enam tahun (Konstan, 2012). Atas kesalahannya, Mochtar juga diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan bila denda tersebut tidak dibayar. Selain itu, Mochtar diwajibkan pula membayar uang pengganti sebesar Rp 639 juta. 16. M. Yaeni M. Yaeni adalah ketua DPRD nonaktif kabupaten Grobogan yang menjadi terdakwa kasus korupsi pemeliharaan mobil 204 Dr. Eko Handoyo, M.Si. dinas DPRD. Ia ditahan oleh Kejari Purwodadi pada tanggal 23 Februari 2012 di Lapas Kedungpane Semarang. M. Yaeni diduga telah memakai Rp 609 juta dari anggaran pemeliharaan mobil dinas tahun 2005-2006 dan anggaran 2007-2008. Pembelian asesoris dan perawatan mobil pribadi yang mengantarkan M. Yaeni ke Lapas Kedungpane diduga menggunakan anggaran DPRD Grobogan. BPKP Jateng menghitung kerugian negara kurang lebih Rp 1,95 miliar. 17. Soemarmo Soemarmo adalah wali kota Semarang yang disangka telah melakukan penyuapan terhadap anggota DPRD kota Semarang, dengan tujuan untuk memperlancar pembahasan RAPBD kota Semarang tahun 2012 (Konstan, 2012). Atas dugaan kesalahan tersebut, Soemarmo ditahan oleh KPK di rumah tahanan KPK di Jakarta. Selain Soemarmo, ditahan pula mantan Sekda Semarang Akhmad Zaenuri dan dua anggota DPRD, Agung Purna Sarjono dan Sumartono. 18. Wa Ode Nurhayati Wa Ode Nurhayati, politikus dari Partai Amanat Nasional dituntut penjara 14 tahun, karena telah menerima uang suap dari Fahd A. Rafiq, ketua Angkatan Muda Partai Golkar dan dituntut 10 tahun penjara karena melakukan pencucian uang sebesar Rp 50,5 miliar di rekeningnya sendiri (Tempo, 2012). 19. Muhamad Nazaruddin Muhamad Nazaruddin adalah mantan bendahara DPP Demokrat di bawah kepemimpinan Anas Urbaningrum. Ia dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor atas Pendidikan Antikorupsi 205 kasus suap Wisma Atlet, sehingga ia dijatuhi hukuman 4 tahun 10 bulan penjara serta denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan. Melalui Nazaruddin inilah kasus proyek Hambalang terkuak. Tidak hanya ia dan Angie yang dihukum. Istrinya, Neneng Sri Wahyuni serta mantan Menpora Andi Malarangeng dan Anas Urbaningrum mantan ketua DPP Demokrat juga ikut tersandung karena kasus proyek Hambalang. 20. Angelina Sondakh Angelina Sondakh (Angie) adalah anggota DPR dari fraksi Demokrat, yang dijatuhi hukuman penjara 4,5 tahun oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Januari 2013. Dia dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap dari perusahaan terdakwa suap Wisma Atlet SEA Games Muhammad Nazaruddin, Rp 12,5 miliar, karena mengupayakan alokasi anggaran proyek di dua kementerian tersebut. Angie diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Selain itu, Angie juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 12 miliar dan USD 2.000. 21. Lukman Abas Lukman Abas adalah mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Riau, dituntut hukuman 8 tahun penjara dalam persidangan tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Pekanbaru pada hari Kamis, tanggal 21 Februari 2013. Atas kesalahannya, Lukman juga diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider kurungan selama 4 bulan (Kompas, 22 Februari 2013). Hukuman tersebut pantas diterima Lukman, karena ia memiliki peran besar dalam kasus dugaan suap Pekan Olahraga Nasional sebesar Rp 206 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

900 juta. Uang tersebut digunakan untuk menyuap anggota DPRD dengan maksud memuluskan revisi Perda Riau Nomor 6 Tahun 2010 dan Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang Penambahan Anggaran Pembangunan Arena PON. Jumlah tersangka korupsi yang berhasil ditangkap dan diseret KPK ke meja hijau tentu lebih banyak dari yang telah ditulis di atas, mulai dari pejabat tingkat atas hingga pegawai level bawah. Mantan Menpora, Andi Malarangeng dan Anas Urbaningrum, ketua DPP Partai Demokrat, disebut-sebut terlibat dalam proyek Hambalang yang penuh dengan aroma korupsi. Karena dijadikan tersangka oleh KPK, Andi Malarangeng mengundurkan diri sebagai Menpora; sedangkan Anas Urbaningrum menyatakan mundur sebagai ketua Partai Demokrat sesaat setelah ia dinyatakan sebagai tersangka. Kolega Anas, ketua Partai Keadilan Sejahtera, Lutfi Hasan, juga diselidiki oleh KPK karena diduga melakukan korupsi impor daging sapi. Atas dugaan tersebut, Lutfi Hasan mengundurkan diri dari posisinya sebagai ketua PKS. Demikian pula, Inspektur Djoko Susilo, petinggi POLRI, dijadikan tersangka atas dugaan korupsi pengadaan mesin simulator kemudi untuk SIM (Tempo, 2012). Atas kesalahannya, Djoko Susilo diberhentikan dari tugasnya dan beberapa aset miliknya yang ditengarai hasil korupsi disita oleh KPK. Hampir semua lapisan, instansi pemerintah, swasta, di dalam negeri maupun di luar negeri tidak luput dari bidikan KPK. Bahkan Aulia Pohan, pejabat Bank Indonesia yang juga besan Presiden SBY berhasil dijebloskan ke penjara. Ini artinya, KPK mampu menembus dinding tebal hukum untuk memasukkan para pelaku korupsi siapa pun dia ke balik jeruji besi. Masa reformasi di mana KPK menjadi Pendidikan Antikorupsi 207 salah satu pengawalnya, berhasil menjungkirbalikkan pandangan pelaku korupsi bahwa di negeri Indonesia saat ini koruptor bebas berkeliaran. KPK berhasil menjebol pandangan tersebut, sehingga di negeri ini tidak ada lagi orang yang kebal hukum.

F. Rangkuman Setiap negara di dunia memiliki suatu komisi atau badan yang bertugas melakukan pemberantasan korupsi. Beberapa lembaga antikorupsi yang sukses, seperti ICAC di Hongkong dan lembaga antikorupsi di Denmark, Finlandia, Selandia Baru, dan Singapura, terbukti mampu menekan angka korupsi. Bahkan negara-negara yang disebut tersebut memiliki indeks persepsi yang bagus. Itu artinya, korupsi di negara-negara tersebut tergolong rendah. Indonesia memiliki lembaga antikorupsi, yang disebut dengan Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK). Lembaga ini diatur dalam Undang-undang Nomnor 20 Tahun 2002. Dalam pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK berkedudukan sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada nilai-nilai kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Berdasarkan kedudukannya, KPK mempunyai lima tugas pokok, yaitu: (1) koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, (2) supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan 208 Dr. Eko Handoyo, M.Si. tindak pidana korupsi, (3) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, (4) melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan (5) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Sejak kelahirannya hingga saat ini, KPK telah berhasil melakukan tugas memberantas korupsi. Miliaran rupiah uang hasil korupsi berhasil disita dari para koruptor dan dikembalikan kepada negara. Para koruptor yang berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara sudah banyak. Mereka tidak hanya berasal dari kalangan partai politik dan para pengusaha, tetapi juga para pejabat di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika pada masa orde baru tabu untuk menyidik koruptor dari kalangan pejabat, pada masa reformasi sejak kehadiran KPK, banyak tahanan dan tersangka korupsi yang berasal dari pejabat tingkat tinggi, seperti menteri, anggota parlemen, jaksa, hakim, gubernur, bupati, dan wali kota. Kehadiran KPK meskipun banyak yang menyangsikan kemampuannya, tetap diperlukan oleh negara ini, guna memberikan pemantik api bagi gerakan melawan korupsi betapa pun kecilnya. BAB IX PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

PK menyadari bahwa sumber daya dan infrastruktur yang Kmereka miliki tidak memungkinkan untuk menggarap semua kasus korupsi yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Jumlah hakim pengadilan khusus tindak pidana korupsi juga relatif sangat kurang. Kondisi ini tentu berimplikasi pada sedikitnya kasus korupsi yang dapat ditangani oleh KPK dibandingkan jumlah kasus yang masuk ke KPK atau jumlah pengaduan dari masyarakat. Kinerja KPK tahun 2008 menunjukkan hal ini. Pengaduan dari masyarakat mengenai korupsi ada 8.000 kasus, yang diselidiki 70 kasus dengan penuntutan 7 kasus diputuskan mempunyai kekuatan hukum tetap dan 21 kasus telah dieksekusi (Fahmi, 2009:17). Dari kasus yang berhasil ditangani KPK tersebut tidaklah sebanding dengan jumlah kasus yang masuk ke KPK. Itu artinya, kepercayaan masyarakat terhadap KPK cukup tinggi terlihat dari jumlah kasus yang cukup besar, tetapi di sisi lain sumber daya KPK yang relatif kecil belum mampu menangani kasus yang banyak tersebut. Karena kondisi inilah, dalam bidang penindakan, KPK memilih untuk mengefektifkan koordinasi dan supervisi dengan kejaksaan dan kepolisian untuk memastikan bahwa penyelidikan, penyidikan,

209 210 Dr. Eko Handoyo, M.Si. dan penuntutan telah berjalan sebagaimana mestinya (Fahmi, 2009: 18). Namun dalam hal melakukan pencegahan korupsi, KPK menyadari tidak mampu melakukannya sendirian. Itulah sebabnya, KPK harus menggandeng tangan semua komponen bangsa ini, terutama dari kalangan swasta dan masyarakat.

A. Hak dan Tanggung Jawab Masyarakat Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam upaya pemberantasan korupsi. Sebagai pihak eksternal, kehadiran masyarakat sangat dibutuhkan, sebab biasanya mata luar lebih awas daripada mata yang ada di dalam. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat merupakan strategi kunci bagi upaya pemberantasan korupsi (Sudjana, 2008: 168). Masyarakat yang berdaya dapat melakukan kontrol secara efektif terhadap lembaga negara yang bertugas memberantas korupsi. Bahkan masyarakat dapat menjadi mitra strategis bagi lembaga antikorupsi dalam melakukan kegiatan pencegahan dan penindakan terhadap pelaku korupsi. Mengapa masyarakat perlu dilibatkan dalam upaya pemberantasan korupsi. Hal ini beralasan, karena masyarakat pun memiliki kontribusi dan memberikan peluang bagi tumbuh suburnya korupsi. Seperti dikatakan Pope (2007: 59), kegiatan- kegiatan publik tidak dilakukan dalam situasi vakum. Masyarakatlah yang sering memberi suap. Titik singgung antara sektor swasta dan sektor publik juga sering menjadi tempat terjadinya korupsi dan suap-menyuap. Contoh yang paling telanjang adalah penyuapan yang dilakukan oleh pengendara motor atau mobil kepada polisi lalu lintas ketika mereka melakukan pelanggaran lalu lintas. Upaya antikorupsi tanpa melibatkan masyarakat, akan Pendidikan Antikorupsi 211 sia-sia karena masyarakat merupakan salah satu pendukung yang paling berpotensi dan ampuh dalam memberantas korupsi. Itulah sebabnya, pemerintah juga memiliki kewajiban turut memberdayakan masyarakat agar mereka semakin sadar dan tidak terlibat korupsi (Sudjana, 2008: 171). Partisipasi atau keikutsertaan masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi memiliki landasan hukum yang jelas. Partisipasi tersebut tidak hanya diatur dalam UU Korupsi, tetapi juga diatur dalam UU tentang Penyelenggara Negara. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme dijelaskan bahwa peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggara negara yang bersih. Dalam pasal 9 ayat (1) UU tersebut disebutkan bahwa peran serta masyarakat untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih diwujudkan dalam bentuk: 1. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggara negara; 2. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara; 3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan penyelenggara negara; 4. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal: melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam nomor 1, 2, dan 3 serta diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di siding pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan 212 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

perundang-undangan yang berlaku (Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK, 2006: 156).

Dalam kaitannya dengan upaya pemberantasan korupsi, peran serta masyarakat diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peran tersebut diwujudkan dalam bentuk: 1. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; 2. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; 3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; 4. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; 5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal: (a) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam angka 1, 2, 3, dan (b) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di siding pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (KPK, t.th.: 67).

Peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pendidikan Antikorupsi 213

Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam PP tersebut, yang dimaksud peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut PP tersebut, setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi. Masyarakat juga berhak dan bertanggung jawab menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum atau KPK mengenai adanya tindak pidana korupsi. Penyampaian informasi, saran, dan pendapat atau permintaan informasi harus dilakukan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, norma agama, kesusilaan, dan kesopanan. Informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus disampaikan secara tertulis, disertai dengan: (a) data mengenai nama dan alamat pelapor, pimpinan organisasi masyarakat, atau pimpinan lembaga swadaya masyarakat dengan melampirkan foto kopi kartu tanda penduduk atau identitas diri lain, (b) keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan (KPK, t.th.: 120). Setiap informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus diklarifikasi dengan bukti- bukti permulaan. Ketentuan di atas menyangkut partisipasi masyarakat dalam hal mencari, memperoleh, dan memberikan informasi, saran, dan pendapat tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi. Ketentuan mengenai hak dan tanggung jawab masyarakat dalam memperoleh pelayanan dan jawaban dari penegak hukum, diatur dalam pasal 214 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

4 PP tersebut. Dalam pasal 4 tersebut diatur bahwa setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat berhak memperoleh pelayanan dan jawaban dari penegak hukum atau KPK atas informasi, saran, atau pendapat yang disampaikan kepada penegak hukum atau komisi. Penegak hukum atau komisi wajib memberikan jawaban secara lisan atau tertulis atas informasi, saran, atau pendapat dari setiap orang, oranisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal informasi, saran atau pendapat tersebut diterima. Dalam hal tertentu, penegak hukum atau komisi dapat menolak memberikan isi informasi atau memberikan jawaban atas saran atau pendapat yang disampaikan perorangan, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat dalam partisipasinya berhak atas perlindungan hukum, baik mengenai status hukum maupun rasa aman. Perlindungan mengenai status hukum tersebut tidak diberikan apabila dari hasil penyelidikan atau penyidikan terdapat bukti yang cukup, yang memperkuat keterlibatan pelapor dalam tindak pidana korupsi yang telah dilaporkannya. Perlindungan hukum juga tidak diberikan tatkala pelapor dikenakan tuntutan dalam perkara lain. Namun demikian, kerahasiaan dan rasa aman diberikan kepada pelapor yang murni bersih dari perkara korupsi. Dalam pasal 6 ayat (1) dinyatakan, “penegak hukum atau komisi wajib merahasiakan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor atau isi informasi, saran, atau pendapat yang disampaikan” (KPK, t.th.: 121). Selanjutnya dalam ayat Pendidikan Antikorupsi 215

(2) disebutkan, “apabila diperlukan, atas permintaan pelapor, penegak hukum atau komisi dapat memberikan pengamanan fisik terhadap pelapor maupun keluarganya.” Agar peran serta masyarakat berjalan efektif, maka partisipasi tersebut harus dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan menciptakan koalisi strategis antar-elemen masyarakat. Sejumlah tokoh masyarakat dan figur dari berbagai kalangan yang berpengaruh, seperti pekerja seni, artis, musisi, guru, dosen, pekerja sosial, pendeta, ulama, mahasiswa, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya dapat bekerjasama untuk menjadi kekuatan penekan (pressure power) terhadap keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi atau setidaknya sebagai kekuatan sipil dalam mengembangkan benih-benih perilaku antikorupsi yang dalam jangka panjang dapat menciptakan generasi dan masyarakat berbudaya antikorupsi.

B. Pemberian Penghargaan Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi (Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK, 2006: 149). Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000, setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat yang telah berjasa dalam usaha membantu upaya pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi berhak mendapat penghargaan. Penghargaan tersebut berupa 216 Dr. Eko Handoyo, M.Si. premi atau piagam. Dalam pasal 9 Peraturan Pemerintah tersebut, besar premi ditetapkan paling banyak sebesar dua permil dari nilai kerugian keuangan negara yang dikembalikan. Premi diberikan kepada pelapor setelah putusan pengadilan yang memidana terdakwa memperoleh kekuatan hukum tetap. Penyerahan premi dilakukan oleh Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk. Sementara itu, piagam diberikan kepada pelapor setelah perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (pasal 10). Penyerahan piagam tersebut dilakukan oleh penegak hukum atau KPK. Pemberian penghargaan kepada masyarakat yang berjasa baik dalam kegiatan penindakan maupun pencegahan, tentu saja tidak terbatas pada apa yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut di atas. KPK bisa mengembangkan 1.001 cara untuk mendorong masyarakat agar membantu pemerintah dan KPK dalam memberantas korupsi. Misalnya dengan memberikan penghargaan melalui ajang KPK Award. Kategori penghargaan dapat bervariasi, misalnya kategori anggota Dewan terbersih, menteri terbersih, gubernur terbersih, bupati atau wali kota terbersih, guru terjujur, dosen terjujur, pengusaha terjujur, LSM antikorupsi tergiat, pokja antikorupsi perguruan tinggi tergiat, dan sebagainya. Dengan pemberian penghargaan tersebut, akan mendorong mereka yang bekerja tanpa pamrih tersebut untuk berbuat lebih baik dan lebih banyak lagi kepada nusa, bangsa, dan negara. Yang paling penting pula adalah sel-sel antikorupsi tetap hidup dan bermutasi lebih banyak lagi menyebarkan virus antikorupsi di semua lapisan masyarakat. Pendidikan Antikorupsi 217

C. Rangkuman Korupsi terjadi di berbagai bidang dan berbagai level masyarakat, sehingga dalam pemberantasannya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, utamanya lembaga penegak hukum dan keadilan, tetapi juga harus didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat dapat menjadi mitra strategis bagi lembaga antikorupsi dalam melakukan kegiatan pencegahan dan penindakan terhadap pelaku korupsi. Masyarakat perlu dilibatkan dalam upaya pemberantasan korupsi, karena masyarakat memiliki kontribusi dan memberikan peluang bagi tumbuh suburnya korupsi. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat juga menjadi pelaku dan lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya korupsi. Tidak jarang masyarakatlah yang sering memberi suap. Titik singgung antara sektor swasta dan sektor publik juga sering menjadi tempat terjadinya korupsi dan suap-menyuap. Contoh yang paling telanjang adalah penyuapan yang dilakukan oleh pengendara motor atau mobil kepada polisi lalu lintas ketika mereka melakukan pelanggaran lalu lintas. Upaya antikorupsi tanpa melibatkan masyarakat, akan sia-sia karena masyarakat merupakan salah satu pendukung yang paling berpotensi dan ampuh dalam memberantas korupsi. Itulah sebabnya, pemerintah juga memiliki kewajiban turut memberdayakan masyarakat agar mereka semakin sadar dan tidak terlibat korupsi. BAB X BELAJAR DARI ORANG-ORANG BERSIH

alam bab ini akan dipaparkan profil orang-orang bersih atau Dtokoh-tokoh pemerintahan yang dapat diteladani, tidak dalam arti apakah mereka benar-benar bersih dari tindakan korupsi dan perilaku koruptif, tetapi utamanya dilihat dari sejauhmana peran mereka sebagai pemimpin daerah atau masyarakat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tokoh-tokoh yang dapat diteladani, di antaranya adalah Joko Widodo, mantan wali kota Surakarta; Tri Rismaharini, wali kota Surabaya; Yusuf Wally, bupati Keerom; La Tinro La Tunrung, bupati Enrekang; Amran Nur, bupati Sawahlunto; Muda Mahendrawan, bupati Kubu Raya; Abdul Kholiq Arif, bupati Wonosobo; dan Herman Sutrisno, wali kota Banjar.

A. Joko Widodo (Jokowi) Joko Widodo atau yang akrab dipanggil Jokowi, lahir di Solo Jawa Tengah pada tanggal 21 Juni 1961. Jokowi bukan berasal dari keluarga kaya atau keturunan pejabat. Masa kecilnya penuh dengan perjuangan. Semula orang tua Jokowi tinggal di kampung Srambatan Banjarsari Solo, tetapi karena pada tahun 1965 Bengawan Solo meluap dan merendam hampir sepertiga wilayah

218 Pendidikan Antikorupsi 219

Solo termasuk kediaman orang tua Jokowi, maka Jokowi beserta orang tua pindah ke daerah Pasar Kayu dan Bambu di Gilingan Banjarsari Solo. Dari sinilah orang tua Jokowi memulai usaha berjualan kayu (Wijoyo, 2012). Ketika Jokowi duduk di bangku kelas IV SD, keluarganya pindah numpang di rumah keluarga Miyono, kakak kandung Jokowi. Namun genap satu tahun, keluarga Jokowi pindah lagi ke rumah baru di Jalan Ahmad Yani dekat Manahan Solo. Keluarga Jokowi hidup pas-pasan. Ayahnya, Notomiharjo menghidupi keluarganya dari usaha mebel. Dari orang tuanya inilah Jokowi belajar tentang perkayuan, yang kelak membawanya menjadi eksportir mebel. Untuk mengikuti jejak ayahnya, selepas SMA Jokowi meneruskan kuliah di UGM Yogyakarta dengan mengambil program studi Teknologi Kayu di Fakultas Kehutanan. Sebelum menjadi eksportir kayu, Jokowi sempat bekerja di PT. Kertas Kraft Aceh. Sepulang dari Aceh, Jokowi bekerja pada perusahaan kayu milik pamannya. Di CV. Roda Jati, perusahaan kayu milik pamannya ini, Jokowi langsung diangkat menjadi direktur. Setelah satu tahun bekerja di perusahaan pamannya, Jokowi membuka usaha sendiri. Berbekal modal Rp 80 juta dan mobil pick-up pinjaman pamannya Jokowi memulai usaha kayu. Jokowi mendirikan CV. Rakabu untuk memayungi usaha permebelannya (Thayrun, 2012). Awal mulanya, ia hanya mempunyai satu pabrik dengan sedikit karyawan. Setelah jatuh bangun, usaha Jokowi berkembang. Pabriknya yang semula hanya 1 berkembang menjadi 8; dan jumlah karyawan yang semula hanya 3 orang meningkat menjadi 1200 orang (Thaiyun, 2012). Delapan pabrik itu terletak di Surakarta, Sragen, Boyolali, dan Sukoharjo. 220 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Berkat bantuan dan fasilitasi dari Perusahaan Gas Negara, Jokowi berhasil mengekspor mebel ke berbagai negara, seperti Singapura, dan beberapa negara di Eropa, Amerika, dan Timur Tengah. Kesuksesannya sebagai eksportir mebel, membuat Jokowi dipercaya menjadi ketua Asosiasi Mebel dan Industri Kerajinan Indonesia (Asmindo) Surakarta periode 2002-2007. Kesuksesan Jokowi membuat DPC PDIP meminang dirinya untuk berpasangan dengan FX. Hadi Rudyatmo sebagai calon wali kota dan wakil wali kota Surakarta untuk maju dalam pilkada tahun 2005. Jokowi bersedia menerima pinangan tersebut, setelah ibunya memberi restu. Jika pasangan lain berlomba-lomba memasang gambar billboard sebanyak-banyaknya, ia dan Hadi Rudyatmo berkampanye secara sederhana yaitu mendatangi warga kota Solo (door to door) dengan menawarkan visi dan misinya, utamanya visi ekonomi kerakyatan. Selain itu, pasangan Jokowi dan FX. Hadi Rudyatmo juga menawarkan tiga hal dalam kampanyenya, yaitu perbaikan kesehatan, pendidikan dan penataan kota (Taufani, 2012). Dalam pilkada tersebut, pasangan Jokowi dan FX. Hadi Rudyatmo berhasil menjadi pemenang dengan perolehan suara lebih dari 37% (Wijoyo, 2012; Thaiyun, 2012). Kemenangan Jokowi ini tidak disangka-sangka, mengingat Jokowi tidak mempunyai persiapan apa pun untuk menjadi wali kota. Maju sebagai wali kota saja karena ia didorong teman- temannya di Asmindo. Baginya, menjadi wali kota merupakan sebuah kecelakaan (Wijoyo, 2012), tetapi tentu merupakan kecelakaan manis. Memimpin sebuah kota merupakan hal baru bagi Jokowi. Pada awal jabatannya, banyak pihak meragukan kemampuannya, Pendidikan Antikorupsi 221 karena selama ini Jokowi tidak memiliki rekam jejak pada bidang birokrasi pemerintahan. Kalau dilihat secara fisik pun, pak Jokowi tidak memiliki postur yang meyakinkan sebagai wali kota. Tubuhnya kurus, kerempeng, dan kering, yang tidak menunjukkan kewibawaan sama sekali. Bahkan beberapa kali dalam sebuah acara, Jokowi mengeluh pada petugas protokoler dan sekretariat kantor wali kota, karena ia sering tidak diperlakukan seperti halnya seorang wali kota. Anak buah Jokowi, yaitu Suryadi yang lebih ganteng, gagah, dan tubuh atletis, justru yang acap kali diperlakukan seperti seorang wali kota. Lantaran postur tubuh Suryadi tersebut, tidak jarang tamu dan warga masyarakat menyalami lebih dulu Suryadi ketimbang Jokowi, karena mengira Suryadi adalah wali kota Surakarta. Itulah sebabnya, Jokowi minta agar anak buahnya diganti supaya tidak menyaingi dirinya sebagai wali kota. “saya senang usul saya diterima, ajudan saya tidak seganteng saya”, cetus pak Jokowi. Meskipun semula diragukan kemampuannya, Jokowi menunjukkan gebrakan luar biasa, yang menjadikan kota Surakarta menjadi salah satu kota yang diperhitungkan tidak hanya pada tingkat Indonesia, tetapi juga pada level dunia. Gebrakan pertama adalah pembenahan sistem pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), yakni dengan melakukan pemangkasan waktu pembuatan KTP dari dua minggu menjadi hanya satu jam (Wijoyo, 2012; Taufani, 2012). Pembuatan KTP ini merupakan program tiga bulan pertama ia memimpin kota Surakarta. Dalam hal perizinan, Jokowi juga melakukan reformasi, dari yang semula memakan waktu 6 hingga 8 bulan, diperpendek menjadi enam hari. Reformasi yang dilakukan Jokowi tidak mudah 222 Dr. Eko Handoyo, M.Si. dilakukan. Sikap resisten dan menentang kebijakan tersebut datang dari lurah, camat, bahkan juga kepala dinas. Lurah dan camat yang tidak sejalan dengan kebijakan tersebut dicopot oleh Jokowi. Bahkan di sektor pelayanan perizinan tersebut, Jokowi juga sempat mengganti kepala dinas hingga dua kali. Sebagaimana visi dan misinya saat disampaikan dalam kampanye, Jokowi juga melakukan penataan kota. Belajar dari kota- kota di Eropa yang pernah dikunjungi Jokowi tatkala melakukan perjalanan dalam rangka bisnis mebelnya, Jokowi merapikan kota, memperindah kota dengan taman-taman, menyediakan hotspot di jalan protokol, dan merelokasi para pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini membuat ruwet dan tidak indah kota Surakarta. Jokowi terkenal sebagai wali kota pedagang kaki lima (PKL), karena kedekatannya dengan para pedagang kecil. Aspirasi warga masyarakat Surakarta agar kota ini bersih dan indah serta bebas dari PKL, ditanggapi Jokowi dengan kepala dingin. Jokowi memiliki strategi khusus dalam menata PKL di Surakarra. Tidak seperti halnya kepala daerah lain yang main gusur dan tidak memedulikan lagi nasib para PKL, Jokowi menggunakan pendekatan kemanusiaan dan kebudayaan dalam menangani persoalan PKL. Komunikasi yang digunakan Jokowi dalam merelokasi PKL adalah lobi meja makan (Taufani, 2012). Para koordinator PKL Monjari yang akan dipindah ke Notoharjo diundang dan diajak makan di Loji Gandrung, rumah dinas wali kota. Hingga pertemuan ke-53, Jokowi belum satu kalimat pun menyebut tentang relokasi PKL. Baru pertemuan ke- 54, Jokowi mengutarakan niatnya untuk merelokasi PKL Monjari ke Notoharjo. Di luar dugaan, tidak ada satu pun tokoh PKL yang menolak keinginan wali kota. Pendidikan Antikorupsi 223

Relokasi PKL Monjari dilakukan Jokowi dengan sangat cermat. Semua direncanakan dengan baik, mulai dari penyusunan rencana induk pengembangan PKL (dalam bentuk buku panduan), pembangunan gedung pasar Notoharjo yang akan ditempati PKL, pembangunan prasarana dan sarana pasar, pembangunan terminal, pembangunan jalan, promosi tempat berdagang baru, hingga kepindahan PKL yang dilakukan dengan arak-arakan budaya. Perasaan diuwongke atau diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat dan adanya jaminan ekonomi dari wali kota, membuat tidak ada satu pun dari 989 PKL yang dipindah menolak kebijakan wali kota Surakarta. Keberhasilan relokasi PKL Monumen Banjarsari ke Pasar Klitikan Notoharjo Semanggi merupakan langkah awal dari penataan PKL di kota Solo. Bagi Jokowi, keberhasilan penataan PKL Monumen Banjarsari tidak berarti penataan PKL di kota Solo telah paripurna, tetapi justru keberhasilan penataan PKL Monumen Banjarsari dijadikan sebagai momentum, pengalaman, dan pembelajaran yang berharga dalam menata PKL di tempat lainnya, yang jumlahnya juga tidak sedikit. Apalagi pemerintah kota dan masyarakat memiliki tekad yang sama, yaitu ingin menjadikan kota Solo tetap BERSERI, yakni bersih, sehat, rapi, dan indah. Komitmen Jokowi, sang wali kota yang penampilannya sederhana dan penuh kesantunan ini, untuk tetap membela kepentingan usaha mikro, kecil, dan menengah, termasuk di dalamnya PKL memberi kontribusi bagi keberhasilan penataan PKL. Keberpihakan wali kota kepada rakyat kecil, utamanya para pedagang kaki lima, ditunjukkan secara terang-terangan, seperti dalam ungkapan berikut. 224 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

“Saya membela PKL, karena mereka merupakan aset ekonomi bagi kota Solo pak…dengan dididik dan diberdayakan, mereka akan tumbuh menjadi pengusaha yang tidak kalah hebatnya dari pengusaha kaya yang memiliki mall-mall di Solo. Saya sendiri tidak antimall, juga tidak antipengusaha…tetapi kita harus cermat dalam memberikan izin mendirikan mall…jangan sampai karenanya, kegiatan ekonomi pedagang kecil mati” (wawancara dengan Joko Widodo, wali kota Solo, Kamis, 28 April 2011).

Kepemimpinan Jawa yang dihayati Jokowi, diduga memengaruhi sikapnya terhadap pedagang kaki lima selama ini. Dalam kepemimpinan Asthabrata, Jokowi termasuk tipe pemimpin yang berwatak matahari. Matahari diyakini memiliki manfaat yang besar, sehingga ia diambil sebagai tamsil dalam ajaran Asthabrata (Suratno, 2006: 79). Sebagai sang surya, matahari menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk, baik makhluk hidup maupun makhluk tidak hidup. Pemimpin berwatak matahari memiliki karakter yang sama dengan matahari, yaitu menerangi dunia, memberikan kehidupan kepada semua makhluk, sabar dalam menjalankan tugas, dan ikhlas memberikan miliknya kepada orang lain (Suratno, 2006: 79). Penampilannya yang sederhana dan tutur katanya yang halus, menunjukkan bahwa Jokowi orang yang tidak arogan, sok kuasa; justru sebaliknya, Jokowi adalah tipe wali kota ideal, yang kehalusan budi dan kesederhanaannya, patut menjadi teladan bagi masyarakatnya. Sifat tidak tega melihat rakyatnya menderita, membuat pak Jokowi dicintai oleh masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan rakyat, pemimpin Jawa juga memiliki tiga prinsip hidup yang selalu melekat pada dirinya, yaitu ngayomi, ngayemi, dan ngayani (memberi perlindungan, Pendidikan Antikorupsi 225 membuat tenteran dan nyaman, serta memberi kesejahteraan) atau dikenal dengan prinsip 3N. Seseorang dijadikan atau dipilih sebagai pemimpin, sesuai dengan prinsip 3N di atas, harus mampu memberikan perlindungan kepada rakyat, siapa pun juga, apakah mereka rakyat jelata yang tidak memiliki apa-apa hingga rakyat berada atau mempunyai harta berlebih. Demikian pula, pemimpin dengan ucapan, sikap, dan perilakunya tidak menyakiti hati rakyat atau membuat mereka menderita. Justru dengan kepemimpinannya, rakyat harus dibuat tenteram dan nyaman hidupnya. Pemimpin Jawa juga harus berjiwa memberi, memiliki sikap dermawan, peduli kepada rakyatnya, dan tidak senang hatinya jika rakyatnya hidup dalam penderitaan dan kemiskinan. Apapun akan dilakukan pemimpin untuk menyenangkan dan membuat bahagia rakyatnya. Jokowi adalah tipikal pemimpin Jawa yang njawani, karena mampu menerjemahkan prinsip 3N, dengan memberikan apa yang terbaik bagi rakyat Solo, khususnya mereka yang ada pada lapisan menengah ke bawah. Strategi komprehensif yang dilakukan oleh pemkot Surakarta dalam menata PKL menunjukkan keberhasilan, terutama dilihat dari tidak adanya resistensi dari para pedagang, bahkan mereka sangat antusias merespons kebijakan relokasi yang ditentukan pemkot. PKL Monjari yang pindah ke pasar Notoharjo Semanggi, merasa dirinya diuwongke (dimanusiakan), sehingga kepindahannya ke Pasar Notoharjo Semanggi tidak menimbulkan gejolak. Akseptabilitas yang tinggi, ditunjukkan oleh ekspresi mereka dalam merespon kebijakan wali kota, menjadi preseden yang bagus sekaligus bisa menjadi contoh bagi daerah lain yang memiliki kebijakan dalam penataan pedagang kaki lima. 226 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Dari uraian keberhasilan relokasi PKL Monjari ke Notoharjo Semanggi, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan penataan PKL Monjari oleh pemkot Surakarta. Pertama, kepemimpinan wali kota Surakarta Joko Widodo yang njawani, yang lebih berpihak kepada kepentingan wong cilik, sehingga ia diterima dengan baik oleh masyarakat Surakarta, utamanya rakyat kecil. Kedua, pendekatan kebudayaan (berbasis budaya Jawa) dalam kebijakan penataan PKL menjadikan apa yang dikehendaki wali kota Surakarta juga merupakan keinginan PKL, sehingga relokasi ke Pasar Notoharjo tidak menemui hambatan. Ketiga, relokasi PKL Monjari ke Pasar Notoharjo berjalan dengan baik, karena adanya blue print penataan PKL Surakarta, mulai dari sosialisasi sampai dengan kegiatan relokasi dan pascarelokasi (Handoyo, 2012). Karena kedekatannya dengan rakyat dan program nyata yang dapat dirasakan masyarakat, Jokowi dan pasangannya, FX. Hadi Rudyatmo dalam pemilihan kepala daerah tahun 2010 kembali menang, bahkan dengan jumlah suara yang mengagumkan, yaitu 90,09% (Thaiyun, 2012). Jokowi orangnya sederhana dan pekerja keras. Kesederhanaan Jokowi ditunjukkan tatkala ia harus menginap di hotel bersama ajudannya, ia tidak memesan dua kamar tetapi justru hanya pesan 1 kamar untuk tidur berdua bersama ajudannya. Tindakan Jokowi ini dilandasi oleh kesadarannya sebagai pemimpin yang tidak ingin menghambur-hamburkan uang rakyat. Ia bukannya pemimpin tanpa prestasi. Berbagai penghargaan telah ia raih, di antaranya: penghargaan kota ramah anak terbaik dari Menteri Pemberdayaan Perempuan RI (2006), penghargaan UNICEF Pendidikan Antikorupsi 227 mengenai perlindungan anak (2006), Jokowi dinobatkan sebagai salah satu dari 10 tokoh 2008, yakni sebagai pemimpin terbaik versi majalah Tempo (2008), Surakarta memperoleh penghargaan Indonesia MICE sebagai kota pariwisata terbaik, penghargaan dari Kementerian Keuangan atas keberhasilan dalam pengelolaan keuangan terbaik (2009), penghargaan Manggala Karya Bhakti Husada Arutala dari Kementerian Kesehatan RI, piala dan piagam penghargaan Citra Bhakti Abdi Negara dari Presiden (2009), penghargaan Wahana Tata Nugraha Kencana karena 5 kali berturut-turut sebagai kota tertib berlalu lintas (2010), penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award dari Bung Hatta Institut (2010), Surakarta terpilih sebagai tiga besar kota paling bersih dari korupsi versi Transparency International Indonesia (2010), kota terbaik penyelenggara layanan Kota Layak Anak (2011), penghargaan Satya Lencana Pembangunan dan Bhakti Koperasi (2011), Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama (2011), dan pada tahun 2012 Jokowi juga terpilih sebagai wali kota terbaik ketiga di dunia, sebuah prestasi yang mungkin sulit dicapai kepala daerah lainnya di Indonesia. Jokowi sesungguhnya bukan orang yang ambisius, tetapi karena banyak pihak mendorongnya untuk maju dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta, akhirnya dengan berbagai pertimbangan, ia maju berpasangan dengan Ahok yang juga berpengalaman sebagai seorang kepala daerah. Melalui 2 kali (putaran) pilkada, Jokowi dan Ahok berhasil mengalahkan incumbent, yaitu Foke. Banyak pengamat tidak mengira, orang desa dari Solo nglurug ke Jakarta yang bukan basisnya, berhasil mengalahkan Foke yang saat pemilihan masih menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Jokowi memang benar-benar tokoh fenomenal, karena sudah dua kali ia mengalahkan incumbent, yakni pertama, ketika memenangkan 228 Dr. Eko Handoyo, M.Si. pemilihan wali kota Surakarta, mengalahkan Slamet Suryanto wali kota sebelumnya dan kedua, mengalahkan Foke gubernur DKI sebelumnya dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012. Sesuai dengan janjinya dalam kampanye bersama Ahok, pada awal jabatan sebagai gubernur, Jokowi membuat Kartu Pintar dan Kartu Jakarta Sehat yang diperuntukkan bagi warga masyarakat miskin. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi sendiri yang membagikan kartu tersebut. Dari kartu pintar ini, banyak anak-anak dari keluarga tidak mampu dapat meneruskan pendidikannya. Demikian pula, berkat Kartu Jakarta Sehat inilah, terjadi lonjakan pasien di rumah sakit yang ada di Jakarta. Kreativitas pemerintahan Jokowi-Ahok berlanjut dengan pencanangan layanan 119 di bidang kesehatan, seperti halnya layanan 911 di Amerika Serikat. Melalui layanan 119 ini, warga masyarakat dapat memperoleh informasi mengenai hal-hal pokok yang berkaitan dengan layanan kesehatan, misalnya informasi tentang kamar di rumah sakit tertentu, ambulans, jarak tempuh, dan lain-lain. Sejak uji coba sistem layanan 119 pada tanggal 22 Pebruari 2013, call center 119 sudah menerima 2.185 panggilan (Kompas, 2 Maret 2013). Bukan Jokowi kalau tidak bertindak aneh-aneh dan fenomenal. Ia juga merancang pembangunan transportasi bawah tanah yang oleh banyak pihak ditentang, tetapi tetap diteruskan. Pembangunan monorail yang beberapa waktu sempat tertunda pada masa pemerintahan gubernur sebelumnya, ia teruskan. Demikian pula, ia kembangkan pembangunan transportasi air, utamanya untuk melayani penduduk dari kawasan Marunda. Pada tahun 2012 Jokowi juga melontarkan gagasan aneh, yaitu lelang jabatan lurah dan camat di DKI Jakarta. Yang tidak kalah mencengangkan Pendidikan Antikorupsi 229 adalah kebijakan mutasi jabatan. Sebanyak 20 orang pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dimutasi (The Politic, 2013). Pejabat yang dimutasi di antaranya adalah Ery Basworo, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Anas Effendi, wali kota Jakarta Selatan. Sebelum dimutasi, ada juga pejabat yang mengundurkan diri, yaitu Novizal, kepala Dinas Perumahan. Apa yang dilakukan oleh Jokowi, yang terkenal sebagai pemimpin antikorupsi, barangkali didasari oleh pertimbangan adanya informasi bahwa Provinsi DKI Jakarta tercatat sebagai daerah yang menempati posisi pertama adanya dugaan korupsi sebesar 46,7% (The Politic, 2013). Hal ini beralasan, sebagaimana ditelusuri oleh ICW, ada banyak pos anggaran dinas di pemerintah Provinsi DKI yang tidak masuk akal. Sebagai contoh, Dinas Pekerjaan Umum menganggarkan pemeliharaan flyover sebesar Rp 25 miliar, Dinas Perhubungan menganggarkan pengadaan busway sebesar Rp 330 miliar, dan Dinas Perumahan dan Gedung Pemda menganggarkan penataan ruang gedung DPRD lama sebesar Rp 60 miliar. Ketika Jakarta dilanda banjir, Jokowi juga tidak canggung mengunjungi para korban banjir. Dengan berbasah-basah, Jokowi dengan senyuman yang khas menyapa warga dan membagi- bagikan beras dan uang kepada para korban. Inilah tipe pemimpin ideal yang dicintai rakyat. Tidak duduk manis sambil nyeruput teh di kantor dan tinggal memberi perintah kepada bawahannya. Jokowi bukan tipe pemimpin ongkang-ongkang dan suka memerintah.

B. Tri Rismaharini Tri Rismaharini dilahirkan di Kediri, tanggal 20 November 1961. Risma, panggilan akrab Tri Rismaharini, menjadi wali kota Surabaya 230 Dr. Eko Handoyo, M.Si. pada tahun 2010 melalui PDI Perjuangan. Sebelum menjadi wali kota Surabaya, lulusan S1 dan S2 ITS Surabaya ini, pernah menjadi Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Badan Perencanaan Pembangunan kota Surabaya pada tahun 1997-2000. Tahun 2001 menjadi Kepala Seksi Pendataan dan Penyuluhan Disbang. Tahun 2002 beralih menjadi Kepala Cabang Dinas Pertamanan. Tahun 2002 menjadi Kepala Bagian Bina Bangunan. Tahun 2005 menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan. Tahun 2005 menjabat sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Sebelum menjadi wali kota periode 2010-2015, Tri menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan kota Surabaya. Risma seorang pekerja keras. Pukul 05.30 sebelum kasuk kantor, ia menyusuri pelosok kota. Tidak jarang warga kota, memergokinya sedang memungut sampah di pinggir jalan atau di pinggir sungai. Ia juga pernah turut mengatur lalu lintas, ketika jalanan macet. Birokrasi pemerintah ia rampingkan, misalnya Divisi Kebersihan dan Divisi Pertamanan, ia satukan menjadi divisi Kebersihan dan Pertamanan. Untuk mengintensifkan komunikasi dengan warga masyarakat, Risma membuka saluran komunikasi secara online dengan warga kota, misalnya dengan dikembangkan program e-sapawarga, situs yang memuat e-toko dan e-health. Dibukanya saluran ini membuat banyak warga, termasuk anak sekolah dapat berkomunikasi dengan wali kota. Berkat ide kreatif ini, Surabaya dinobatkan sebagai kota berpartisipasi publik terbaik di kawasan Asia Pasifik pada tahun 2012 (Tempo, 2012). Selama kepemimpinannya, pertumbuhan ekonomi kota Surabaya mengalami peningkatan, yakni pada tahun 2007 sebesar Pendidikan Antikorupsi 231

6,31%, 2008 sempat turun menjadi 6,23%, tahun 2009 turun lagi menjadi 5,30%, tahun 2010 sejak Risma memimpin, naik drastis menjadi 7,09% dan tahun 2011 naik lagi menjadi 7,52% (Tempo, 2012). Indeks Pembangunan Manusia Surabaya juga mengalami kenaikan signifikan, yakni 77,18 pada tahun 2010 menjadi 77,61 pada tahun 2011. Anggaran belanja kota Surabaya juga mengalami kenaikan, dari 3,75 triliun pada tahun 2011 menjadi 5,16 triliun pada tahun 2012. Pendapatan asli daerah (PAD) sebagai salah satu ukuran kinerja wali kota, juga mengalami kenaikan, dari 1,88 triliun pada tahun 2011 menjadi 2,35 triliun pada tahun 2012. Keluar masuk wilayah atau blusukan seperti halnya yang dilakukan Jokowi, juga dilakukan bu Risma. Blusukan ini ia lakukan di kompleks pelacuran Gang Dolly Surabaya. Hal itu ia lakukan untuk membujuk para pelacur agar mau beralih profesi. Berkat kesabaran dan keramahannya, Risma telah berhasil menutup 22 tempat pelacuran. Mereka yang kehilangan pekerjaan, dikembalikan ke daerah asalnya dengan diberi keterampilan dan modal sebesar Rp 3 juta. Sementara itu, warga masyarakat yang kehilangan rezeki karena tempat pelacuran ditutup, disiapkan lapangan kerja baru. Risma terkenal juga sebagai “bu Giman”, yaitu “ibu wali kota yang gila taman.” Sejak kepemimpinannya, ia telah membangun ratusan taman kota. Kota menjadi lebih hijau, asri, dan nyaman untuk tempat berteduh dan beristirahat bagi warga kota. Berkat dibangunnya taman kota ini, ruang terbuka hijau (RTH) Surabaya mencapai angka 31,6% melebihi standar RTH yang ditentukan Kementerian Lingkungan Hidup sebesar 30%. Untuk menunjang kota yang nyaman ini, Risma membuat kebijakan dengan 232 Dr. Eko Handoyo, M.Si. membatasi pertumbuhan industri. Hanya perusahaan yang berteknologi tinggi, rendah polusi dan ramah lingkungan saja yang ia beri izin untuk beroperasi. Ia juga menolak pembangunan jalan tol yang membelah kota Surabaya. Alasannya, takut menambah ruwet dan macet kota Surabaya. Gara-gara kebijakan drastis ini, suatu ketika wali kota ramah ini pernah dimakzulkan oleh tujuh fraksi di DPRD Surabaya, termasuk PDIP yang mengusungnya menjadi wali kota. Untung saja, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menolak pemakzulan tersebut.

C. Yusuf Wally Yusuf Wally adalah bupati Keerom, Papua. Ia dilahirkan 25 Desember 1948 dan menjabat sebagai bupati sejak tahun 2010. Sebelum menjadi bupati, ia adalah Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Irian Jaya tahun 2002-2003 dan menjadi Pejabat Bupati Keerom tahun 2006-2008. Sejak kepemimpinannya (termasuk menjadi pejabat bupati), pertumbuhan ekonomi Keerom memang sempat turun dari 11,89% pada tahun 2008 menjadi 9,73% pada tahun 2009 (Tempo, 2012). Namun demikian, indeks pembangunan manusia kabupaten Keerom, mengalami kenaikan signifikan, yakni pada tahun 2008 sebesar 68,55 naik menjadi 68,8 pada tahun 2009 dan naik lagi menjadi 69,26 pada tahun 2010. Yusuf yang pembawaannya lembut, tenang dan penuh senyuman, terkenal sebagai sinterklas dari Keerom, karena kesukaannya membagi-bagi uang (Tempo, 2012). Sesuai janjinya dalam kampanye, setelah menjabat bupati, tiap kampung di Pendidikan Antikorupsi 233

Keerom diberi bantuan dana sebesar Rp 1 miliar. Dari anggaran Rp 1 miliar tersebut, 70% digunakan untuk kegiatan pembangunan, sedangkan 30% dipakai untuk mendanai operasional aparat kampung. Berkat keberpihakannya kepada masyarakat, dalam satu tahun saja (2010), kenaikan pembangunan infrastruktur cukup signifikan. Sebanyak 34,8% jalan sudah beraspal dari total jalan kabupaten yang sudah terbuka sepanjang 867,31 kilometer. Seluruh rumah di Keerom sudah teraliri listrik. Selain itu, lebih dari 2.000 rumah siap direnovasi pada tahun 2013. Yusuf juga terkenal sebagai tokoh multikultural, karena dalam memberi pelayanan kepada masyarakat tidak membeda-bedakan dari suku mana dan daerah asal. Tidak peduli mereka asli Papua, orang Sulawesi, Sumatera atau pun Jawa, semuanya ia rangkul layaknya seorang ayah. “Saya ingin menjadi ayah bagi semua warga masyarakat Kerom,” kata pak Yusuf.

D. La Tinro La Tunrung La Tinro, bupati Enrekang, tidak memiliki jejak rekam sebagai abdi negara. Sebelum menjadi bupati, Tinro merupakan Direktur Utama PT. Haji La Tunrung L&K. Pada tahun 2009, kekayaan yang dimiliki senilai Rp 23 miliar. Tinro termasuk orang yang terbuka kepada warga masyarakat. Buktinya, ia mengumumkan nomor handphone melalui spanduk di semua kantor pemerintah. Hal ini dilakukan supaya ia dapat menerima langsung keluhan atau pun masukan dari warga masyarakat. Jika rapat di kantor belum tuntas, Tinro meneruskan 234 Dr. Eko Handoyo, M.Si. di rumah dinasnya dan tidak jarang berlangsung hingga larut malam. Kebijakan pembangunan Tinro difokuskan pada pembangunan infrastruktur desa. Daerah Enrekang termasuk miskin dan terbelakang, kontur tanah sebagian besar curam dikelilingi 10 gunung, sehingga antara desa yang satu dengan lainnya terisolasi tidak ada jalan penghubung, karenanya prioritas Tinro adalah membangun jalan raya dari beton. Tinro mengalokasikan 30% anggaran untuk membangun jalan beton, karena jalan ini merupakan infrastruktur terbaik untuk membuka akses hingga ke pelosok. Hingga akhir jabatannya, Tinro menargetkan jalan beton selesai 90%. Ironisnya, kota utamanya ibu kota kabupaten tidak terurus. Kalau malam hari gelap dan sehabis hujan banyak walang sangit menyerbu kota. “Tahun terakhir ini saya baru berfokus pada pembangunan kota,” kata Tinro. Tinro termasuk orang yang suka blusukan ke daerah-daerah. Tidak jarang, sekali seminggu ia tidur di desa berbeda untuk melihat dari dekat kondisi masyarakat. Para pejabat daerah di Enrekang, ia minta juga untuk blusukan di desa-desa dan membina 1 kepala keluarga hingga memiliki penghasilan yang memadai. Orang miskin yang sebelum ia menjabat sejumlah 70%, setelah memasuki jabatan kedua, tinggal 10%. Sebuah prestasi yang membanggakan. Untuk pembangunan kesehatan, Tinro menyediakan satu ambulans untuk tiap kecamatan. Guna meningkatkan pendidikan dan tingkat melek huruf masyarakat, Tinro menyediakan mobil perpustakaan keliling untuk menyambangi sekolah di kampung- kampung guna meminjami buku pengetahuan umum. Pendidikan Antikorupsi 235

Tinro termasuk bupati kreatif. Enrekang yang sering terputus aliran listriknya, karena pasokan dari PLN terbatas, telah berubah, setelah Tinro membuat pembangkit tenaga air mikro dan menyediakan 793 pembangkit matahari. Dana untuk membangun instalasi tersebut ia dapatkan dari bantuan pemerintah provinsi, pusat, DPR, maupun LSM dari luar negeri. Berkat ketekunan dan kerja kerasnya, anggaran pendapatan dan belanja daerah Enrekang naik dari 561,85 miliar pada tahun 2011 menjadi 598,90 pada tahun 2012. Indeks pembangunan manusia mengalami kenaikan, dari 73,76 pada tahun 2008 menjadi 74,60 pada tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi pun mengalami peningkatan, yakni dari 6,15% pada tahun 2008 menjadi 6,62% pada tahun 2009.

E. Amran Nur Amran Nur dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 13 Oktober 1945. Lulusan Teknologi Lingkungan ITB Bandung ini, sebelum menjadi wali kota Sawalunto, Amran merupakan seorang pengusaha. Begitu terpilih sebagai wali kota, Amran berkeinginan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Cara yang digunakan adalah membagi bibit kakao, karet, serai wangi dan setek nilam kepada masyarakat. Masyarakat juga dibantu bibit padi. Dengan program padi tanam sebatang, yang dimulai sejak tahun 2005, Sawahlunto surplus beras. Kalau sebelum program tersebut dicanangkan, petani hanya panen 4 ton gabah kering per hektare, maka sejak program tersebut digulirkan, petani bisa panen hingga 10 ton per hektare (Tempo, 2012). 236 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Di bidang peternakan, Amran mendorong masyarakat untuk beternak sapi. Cara yang ditempuh adalah pemerintah menyediakan sapi dan warga masyarakat mengangsurnya tanpa bunga. Bunga pinjaman ditanggung oleh pemerintah. Salah satu kelompok masyarakat yang diberi bantuan sapi adalah bekas penambang liar yang jumlahnya sekitar 600 kepala keluarga. Program-program lainnya yang dikembangkan Amran untuk mendukung ekonomi masyarakat adalah jalan 10 menit, artinya petani cukup membutuhkan waktu 10 menit untuk pergi ke ladang atau kebun dengan mengendarai sepeda motor guna menengok tanamannya. Dalam bidang pariwisata, Amran yang memiliki naluri bisnis, membuka terowongan tambang yang sudah tidak terurus dan merenovasi bangunan tua peninggalan Belanda untuk dijadikan objek wisata. Selain itu, juga dibangun water boom. Semua proyek ini dikembangkan berdasarkan gaya perusahaan, hanya bedanya, keuntungan (benefit) dikembalikan kepada masyarakat. Berkat ketekunan dan kerja kerasnya, anggaran pendapatan dan belanja daerah Sawahlunto naik menjadi Rp 503,9 miliar pada tahun 2012, yang sebelumnya hanya Rp 117 miliar pada tahun 2003. Indeks pembangunan manusia juga mengalami peningkatan, yakni 73,74 pada tahun 2007 menjadi 75,41 pada tahun 2011. Demikian pula, pertumbuhan ekonomi mengalami lonjakan yang cukup signifikan, yaitu 3,43% pada tahun 2008 menjadi 5,8% pada tahun 2011. Sejak ditutupnya area penambangan liar, banyak penduduk yang meninggalkan kota Sawahlunto untuk mencari pekerjaan baru. Tidak adanya lahan pekerjaan baru menyebabkan angka Pendidikan Antikorupsi 237 kemiskinan tinggi. Pada tahun 2005 tercatat 17,18% penduduk miskin, namun sejak Amran hadir di Sawahlunto, maka pada tahun 2009, angka kemiskinan turun drastis menjadi 2,42% (Tempo, 2012).

F. Muda Mahendrawan Muda lahir di Pontianak pada tanggal 17 Agustus 1970. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura dan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM Yogyakarta ini sebelum menjadi bupati Kubu Raya adalah seorang notaris. Muda adalah seorang pemimpin yang peka kepada warga masyarakatnya. Meskipun Muda seorang birokrat, namun ia melakukan debirokratisasi dengan lebih banyak berkantor di rumah, menerima tamu tiap hari tidak kurang mencapai 10 rombongan, dan lebih suka mendatangi berbagai acara yang diselenggarakan masyarakat di seluruh penjuru Kubu Raya. Muda termasuk orang yang sederhana. Ia mencoret Rp 21 miliar untuk pembangunan kantor bupati dari biaya total Rp 36 miliar. Kekurangan anggaran ia mintakan ke pemerintah pusat. Muda juga menolak pembangunan rumah dinas senilai Rp 11 miliar. Pengadaan mobil dinas bupati dan wakil bupati, yang masing-masing seharga Rp 1 miliar ia tolak pula. Untuk menghemat belanja pegawai, Muda menyeleksi ketat pembentukan tim kerja SKPD, yang ia pandang sebagai salah satu sumber pemborosan anggaran pemerintah. Dengan pemangkasan tersebut, Muda bisa menghemat anggaran rutin pemerintah daerah sebesar Rp 30 miliar pertahun. Anggaran 238 Dr. Eko Handoyo, M.Si. pemerintah daerah pun memiliki proporsi yang bagus, yakni 46% untuk anggaran belanja pegawai dan 54% untuk anggaran belanja rutin (Tempo, 2012). Penghematan anggaran tersebut, Muda alihkan untuk pengembangan program kesehatan dan pendidikan. Berkat penghematan tersebut, pemerintah daerah dapat membelikan 60 sepeda motor untuk operasional bidan desa. Pembatalan anggaran rumah dinas dialihkan untuk pembelian seragam siswa. Puskesmas yang ada di Kubu Raya ditingkatkan fasilitasnya. Sebanyak 937 unit pelayanan kesehatan terfasilitasi dengan baik. Angka ini naik dari junlah sebelumnya yang hanya 674 unit. Sebanyak 9 Puskesmas naik levelnya dari layanan rawat jalan ke layanan rawat inap, setara rumah sakit tipe D. Gerakan debirokratisasi Muda berlanjut dengan pencabutan kewenangan perizinan di setiap SKPD. Kewenangan ini dilimpahkan kepada Badan Pelayanan Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT). Dengan model layanan ini, beban masyarakat untuk membayar biaya perizinan menjadi berkurang. Berkat kerja kerasnya, anggaran belanja daerah Kubu Raya naik dari Rp 466,7 miliar menjadi Rp 790,3 miliar. Indeks pembangunan manusia naik dari 66,77 pada tahun 2009 menjadi 67,56 pada tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi meningkat dari 5,02% pada tahun 2006 menjadi 6,51% pada tahun 2009.

G. Abdul Kholiq Arif Abdul Kholiq Arif dilahirkan di Wonosobo pada tanggal 16 September 1968. Lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini Pendidikan Antikorupsi 239 sebelum menjadi bupati Wonosobo adalah seorang wartawan Jawa Pos. Pada tahun 2005, kekayaan pribadinya sebesar Rp 114,5 juta dan pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp 315,4 juta (Tempo, 2012). Kholiq termasuk pemimpin yang menghargai keanekaragaman budaya di Wonosobo. Ia juga seorang yang toleran. Selain Islam dan Kristen, di Wonosobo juga terdapat penganut agama Buddha, Konghucu, dan Tao. Bahkan di Wonosobo juga terdapat tidak kurang dari 6.000-an penganut Ahmadiah. Dalam kegiatan keagamaan, Kholiq melibatkan para preman agar mereka insyaf kembali ke jalan Tuhan. Untuk itu, bupati menggandeng Komando Distrik Militer untuk memberikan terapi kepada para preman. Kholiq melakukan reformasi birokrasi, di antaranya yang dilakukan adalah kemudahan perizinan kepada masyarakat. Sebagai contoh, untuk mengurus izin usaha katering, memakan waktu sebulan tanpa dipungut biaya satu rupiah pun. Wonosobo terkenal dengan tanaman kentang. Semua area pegunungan hingga tanah miring dan berbukit terjal pun ditanami kentang. Padahal kentang tidak baik untuk pelestarian lingkungan. Tanah mudah longsor. Karenanya, Bupati membatasi pertanian kentang. Sebagian tanah lainnya dihijaukan kembali bekerjasama dengan Yayasan Kehati pimpinan Emil Salim. Dalam rangka mendukung pelestarian lingkungan, Kholiq yang cinta lingkungan ini, juga menerapkan kurikulum penyelamatan lingkungan (kurikulum hijau) di sekolah sejak tahun 2010. Anak- anak usia TK hingga SD diajari mengenali lingkungan dengan cara membentuk kelompok kebun bibit di sekolah masing-masing. Anak-anak dikenalkan berbagai macam bibit tanaman, supaya 240 Dr. Eko Handoyo, M.Si. mereka bisa mengenal dan mencintai lingkungan sejak dini. Aris Fathoni, kepala dusun Sidorejo kecamatan Kejajar mengikuti jejak bupati, dengan mendirikan Kelompok Tani Konservasi Margo Rukun Desa Tieng. Kelompok tani ini mengampanyekan gerakan menanam pohon untuk mengganti tanaman kentang. Sejak kepemimpinan Kholiq, anggaran belanja daerah Wonosobo naik dari Rp 672,54 miliar menjadi Rp 679,9 miliar. Indeks pembangunan manusia pun naik dari 68,91 menjadi 70,52.

H. Herman Sutrisno Herman Sutrisno dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 3 April 1951. Doktor lulusan Universitas Pasundan ini memperoleh 92,17% suara untuk memenangi pemilihan wali kota Banjar. Sebelum menjadi wali kota Banjar, Herman pernah menjabat ketua DPRD Ciamis dan Direktur Rumah Sakit Umum Ciamis dan Banjar. Herman termasuk pecinta olah raga bersepeda. Hampir tiap hari Herman mengelilingi kota sepanjang 35 kilometer. Cara ini ia gunakan untuk melihat dari dekat kondisi sarana umum dan kondisi masyarakat. Selain fokus pada pengembangan infrastruktur kota, seperti pembangunan jalan dan jembatan, Herman juga mengembangkan program bidang kesehatan dan pendidikan. Pada bidang pendidikan, sebelum pemerintah pusat mencanangkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Herman sudah memelopori dengan memberi bantuan Rp 250 ribu perbulan bagi siswa dari Pendidikan Antikorupsi 241 keluarga tidak mampu. Hingga tahun 2012 sudah 8.000 siswa yang menikmati dana BOS ala wali kota. Untuk pelayanan kesehatan, wali kota membebaskan bea perawatan bagi penduduk yang dapat menunjukkan kartu penduduk. Hal ini berlaku di Puskesmas. Bagi masyarakat miskin, juga dibebaskan berobat di rumah sakit daerah. Untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang jaraknya jauh dari Puskesmas dan rumah sakit, wali kota membangun 42 pos kesehatan desa di 25 desa dan kelurahan. Setiap pos disediakan tenaga medis bidan dan perawat. Dokter datang tiga kali dalam seminggu. Di bidang ekonomi, wali kota memprogramkan “Rp 1 miliar 1 desa” pertahun sejak tahun 2007. Dana Rp 1 miliar tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur desa (Rp 350 juta), membangun usaha ekonomi produktif (Rp 300 juta), dan sisanya Rp 350 juta untuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa. Berkat program tersebut, pendapat asli daerah meningkat dari Rp 3 miliar pada tahun 2003 menjadi Rp 41 miliar pada tahun 2012. Meskipun kota Banjar membutuhkan investasi yang besar, wali kota tidak serta merta mudah menerima investor. Guna melindungi pedagang tradisional, wali kota melarang masuknya pasar retail modern, seperti Alfamart dan Indomart sejak tahun 2008. Untuk menambah kedekatan dengan warga masyarakat, Herman membuka lebar-lebar pendopo kota untuk menerima tamu dan siapa pun yang ingin bertemu wali kota. Sejak kepemimpinannya, anggaran belanja daerah naik dari Rp 311,82 miliar pada tahun 2008 menjadi Rp 387,84 miliar pada tahun 2012. 242 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Indeks pembangunan manusia meningkat dari 74,25 pada tahun 2009 menjadi 75,63 pada tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi pun mengalami kenaikan signifikan, yaitu naik dari 4,82% pada tahun 2008 menjadi 5,74% pada tahun 2011. Jika ditelusuri secara mendalam sejatinya masih banyak tokoh pemerintahan dan juga tokoh masyarakat yang memiliki sikap antikorupsi dan jiwa pelayanan yang tinggi. Salah satu yang layak disebut adalah Dahlan Iskan, Menteri BUMN. Orang yang satu ini tergolong menteri nyentrik. Seperti halnya Jokowi, Dahlan juga tidak menggunakan gajinya untuk keperluan pribadi, baik itu gaji saat menjadi Direktur Utama PLN maupun ketika menjabat Menteri BUMN. Orang biasa pasti tidak mungkin tidak akan menerima gaji yang menggiurkan. Di PLN, gaji Dahlan perbulan sekitar Rp 150 juta dan konon gaji yang terkumpul hingga miliaran rupiah disumbangkan untuk pembangunan Pondok Pesantren Sabilil Muttaqin di Magetan dan untuk riset mobil listrik (The Politic, 2013). Gaji Dahlan sebagai Menteri BUMN adalah Rp 19.320.000,00, yang semuanya tiap bulan diberikan kepada Ricky, seorang ahli motor listrik yang sedang bekerja di Jepang, dengan harapan Ricky mau kembali ke Indonesia untuk mengembangkan teknologi motor listrik (The Politic, 2013). Penghasilan lainnya, yakni dana operasional sebagai Menteri sebesar Rp 100 jutaan dan honor rapat di kementerian sebesar kira-kira Rp 70 jutaan, juga tidak dipergunakan Dahlan. Semua uang tersebut diserahkan sekretarisnya untuk dimanfaatkan dalam kegiatan atau keperluan sosial, misalnya untuk dana sosial, tambahan gaji satpam, cleaning Pendidikan Antikorupsi 243 service, staf di sekretariat BUMN, dan karyawan outsourching. Dahlan tidak menerima gaji bulanan sebagai menteri, karena ia masih memiliki banyak perusahaan dan tabungan.

I. Rangkuman Di negeri yang konon dijuluki negeri kleptokrasi, ternyata masih cukup banyak tokoh pemerintahan yang berhati malaikat. Meskipun banyak setan haus uang, yang menggerogoti anggaran APBN dan APBD, masih ditemukan orang-orang bersih yang masih memiliki hati nurani untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Tokoh-tokoh bersih tersebut di antaranya adalah Jokowi, Tri Rismaharini, Yusuf Wally, La Tinro, Amran Nur, Muda Mahendrawan, Abdul Kholiq Nur, Herman Sutrisno, dan Dahlan Iskan. Jika tokoh-tokoh ini mampu menularkan virus antikorupsi dan bakteri pelayanan prima kepada elit pemerintahan dan tokoh- tokoh masyarakat, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi salah satu negara besar pada waktu yang tidak terlalu lama sebagaimana diramalkan banyak lembaga riset internasional. Kesejahteraan yang didamba masyarakat juga bukan impian kosong jika makin banyak lagi tokoh-tokoh bersih, selain tokoh- tokoh bersih sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. DAFTAR PUSTAKA

BUKU Alatas, Syed Hussein. 1986. Sosiologi Korupsi. Terjemahan Al Ghozie Usman. Jakarta: LP2ES. Al-Barbasy, Ma’mun Murod. 2006. “Teologi Kritis Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006. Alma, Buchari. 2008. Kewirausahaan untuk Mahasiswa dan Umum. Bandung: Alfabeta. Alkaf, Halid. 2006. “Lembaga-lembaga Anti Korupsi di Indonesia”. Dalam Karlina Helmanita dan Sukron Kamil (ed). Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Azra, Azyumardi. 2006. “Kata Pengantar Pendidikan Anti Korupsi Mengapa Penting”. Dalam Karlina Helmanita dan Sukron Kamil (ed). Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bahri, Syamsul. 2008. Buku Panduan Guru Modul Pendidikan Anti Korupsi Tingkat SMP/MTs. Jakarta: KPK. Bertens, K. 2001. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bracking, Sarah. 2007. “Political Development And Corruption: Why ‘Right Here’, Right Now’!” in Sarah Bracking (ed). Corruption And Development The Anti Corruption Campaigns. New York: Palgrave MacMillan. De Asis, Maria Gonzales. 2000. “Coalition Building to Fight Corruption”. Paper. Prepared for the Anti Corruption Summit. World Bank Institute.

244 Pendidikan Antikorupsi 245

Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK. 2006. Kumpulan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK. Ditlitbang Deputi Pencegahan KPK. 2006. Komisi Anti Korupsi di Luar Negeri (Deskripsi Singapura, Hongkong, Thailand, Madagascar, Zambia, Kenya, dan Tanzania). Jakarta: KPK. Drost, J. 1999. Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Ezung, T. Zarenthung. 2012. “Corruption and Its Impact on Development: A Case Study of Nagaland”. in International Journal of Rural Studies. Vol. 19 No. 1, April 2012. Pp. 1-7. Fahmi, Insan. 2009. “Peran Serta Penyelenggara Negara Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi”. Makalah. Disampaikan dalam Workshop Forum Komunikasi Wartawan Jawa Tengah (FKWJT) di Hotel Santika Semarang pada tanggal 26 Pebruari 2009. FATF and OECD. 2011. Laundering the Proceeds of Corruption. Paris. Hamzah, Andi. 1991. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: Gramedia. Hamzah, Andi. 2005. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika. Handoyo, Eko. 2009. Pendidikan Anti Korupsi. Semarang: Widya Karya. Handoyo, Eko. 2012. “Eksistensi Pedagang Kaki Lima Studi tentang Kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL Semarang”. Disertasi. Doktor Studi Pembangunan PPS UKSW Salatiga. Harman, Benny K. 2012. Negeri Mafia Republik Koruptor Menggugat Peran DPR Reformasi. Yogyakarta: Lamalera. Jasin, Moch. 2009. “Kebijakan dan Langkah-langkah Pemberantasan Korupsi dan Peran KPK dalam Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar dan Sosialisasi LHKPN kepada Pejabat di Lingkungan Universitas Negeri Semarang pada tanggal 10 Desember 2008. 246 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Johnson, Michael. 2005. Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and Democracy. Cambridge: Cambridge University Press. Karli, Hilda dan Margaretha Sri Yuliariatiningsih. 2003.Impementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Bina Media Informasi. Khadduri, Majid. 1999. Teologi Keadilan Perspektif Islam. Terjemahan Mokhtar Zoerni dan Joko S. Kahhar. Surabaya: Risalah Gusti. Klitgaard, Robert. 2005. Membasmi Korupsi. Terjemahan Hermojo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Klitgaard, Robert, Ronald Maclean-Abaroa dan H. Lindsey Parris. 2005. Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah. Terjemahan Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami untuk Membasmi. Jakarta: KPK. KPK. 2007. Buku Saku untuk Memahami Pandangan Islam terhadap Korupsi: Koruptor, Dunia Akhirat Dihukum. Jakarta: KPK. KPK. T.th. UU No. 30/2002, UU No. 20/2001, UU No. 31/1999, UU No. 28/1999, UU No. 3/1971, PP No. 71/2000, Organisasi dan Tata Kerja KPK, Kode Etik Pimpinan KPK, Ringkasan Draft Rencana Strategis KPK, dan Gratifikasi. Jakarta. Kuntoro, Suharso Bayu. 2006. “Penanggulangan Korupsi Dalam Perspektif Hindu”. Dalam Ida Bagus Agung, dkk (ed). Menuju Masyarakat Anti Korupsi Perspektif Agama Hindu. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika. Kurniawan, Luthfi J.,dkk. 2006. Peta Korupsi di Daerah. Jakarta: MCW dan Yappika. Lambdorff, Johann Graf. 2007. The institutional Economics of Corruption and Reform Theory, Evidence and Policy. Cambridge: Cambridge University Press. Maheka, Arya. T.th. Mengenali dan Memberantas Korupsi. Jakarta: KPK RI. Marpaung, Rusdi dan J. Heri Sugianto (ed). 2006. Demokrasi yang Pendidikan Antikorupsi 247

Selektif terhadap Penegakan HAM Laporan Kondisi HAM Indonesia 2005. Jakarta: Imparsial. Mashal, Ahmad M. 2011. “Corruption and Resource Allocation Distortion For “ESCWA” Countries”. in International Journal of Economics and Management Sciences. Vol. 1 No. 4, 2011. Pp. 71-83. Mulyana, Rahmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Muslimin, JM. 2006. “Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi Dalam Lintasan Sejarah”. Dalam Karlina Helmanita dan Sukron Kamil (ed). Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Nasution, S. 1995. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Nugraha D, Riant dan Tri Hanurita S. 2005. Tantangan Indonesia Solusi Pembangunan Politik Negara Berkembang. Jakarta: Elex Media Komputindo. Pope, Jeremy. 2007. Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional. Terjemahan Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pusat Bahasa Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Puspito, Nanang T., et al. 2011. Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Ditjen Dikti Kemdikbud RI. Rasuanto, Bur. 2005. Keadilan Sosial Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas Dua Teori Filsafat Politik Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Romli, Lili. 2006. “Reformasi Birokrasi Lokal dan Perwujudan Good Governance”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006. Saidi, Ridwan. 1989. Mahasiswa dan Lingkaran Politik. Jakarta: Mapindo Mulathama. Saleh, Abdul Rahman. 2006. “Korupsi tergolong Extraordinary”. http://.arsip.pontianakpost.com/berita/index. 248 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

asp?Berita=Pinyuh&id=129619. Santoso, Amir. 2006. “Korupsi: Birokrasi Pemerintah dan Budaya Masyarakat”. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006. Setyawati, Deni. 2008. KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Memberangus Korupsi. Yogyakarta: Pustaka Timur. Silalahi, Ulber. 2006. “Manajemen Pencegahan Korupsi di Sektor Publik: Kerangka Analisis Sebab-Respon”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006. Sitepu, Dewi Sinorita. 2006. “Peran Masyarakat Sipil dan Pemberantasan Korupsi di India: Pembelajaran bagi Indonesia”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006. Steve, Albrecht W. and Chad O. Albrecht. 2003. Fraud Examination. New York: Thompson South Western. Sudjana, Eggi. 2008. Republik Tanpa KPK Koruptor Harus Mati. Surabaya: JP Books. Suratno, Pardi. 2006. Sang Pemimpin menurut Asthabrata, Wulangreh, Tripama, dan Dasa Darma Raja. Yogyakarta: Adi Wacana. Surono, Yustinus. T.th. Pendidikan Nilai-Nilai Anti Korupsi Untuk Kelas 6 SD. Jakarta: KPK dan GTZ. Suryadi, Bambang. 2006. “Belajar dari Pemberantasan Korupsi di Negara Lain”. Dalam Karlina Helmanita dan Sukron Kamil (ed). Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. Susilo, NB. 2006. Indonesia Bubar. Yogyakarta: Pinus. Sutrisno, V dan Eva Sasongko. T.th. Pendidikan Nilai-Nilai Anti Korupsi Untuk Kelas 5 SD. Jakarta: KPK dan GTZ. Suyanto, Totok. 205. “Pendidikan Anti Korupsi dan Pengembangan Pendidikan Antikorupsi 249

Budaya Sekolah”. JPIS. Nomor 23 tahun XIII Edisi Juli – Desember 2005. Syakrani dan Syahriani. 2009. Implementasi Otonomi Daerah Dalam Perspektif Good Governance. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tamrin, Rustika. 2008. Buku Panduan Guru Modul Pendidikan Anti Korupsi Tingkat SLTA/MA. Jakarta: KPK. Tang, Michael C. 2005. Kisah-kisah Kebijaksanaan China Klasik Refleksi bagi Pemimpin. Terjemahan Vivi Sutanto. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tarling, Nicholas. 2005. “Introduction”. In Nicholas Tarling (ed). Corruption and Good Governance in Asia. New York: Routledge. Taufani, Bernard. 2012. Jokowi From Zero to Hero. Jakarta: Buku Pintar. Thaiyun, Yon. 2012. Jokowi Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker. Jakarta: Noura Books. Tunggal I.S. dan Tunggal A.W. 2000. Audit Kecurangan dan Akuntansi Forensik. Jakarta: Harvarindo. Warman, Adi. 2006. “Menyingkap Tabir Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum dan Yayasan Diponegoro Jateng di Semarang pada tanggal 27 April 2006. Warta, I Nyoman. 2006. “Mengapa Korupsi”. Dalam Ida Bagus Agung, dkk (ed). Menuju Masyarakat Antikorupsi Perspektif Agama Hindu. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika. Wibowo, I. 2006. “Pemberantasan Korupsi di Cina: Apa yang Bisa Kita Pelajari”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006. Widodo, Joko. 2008. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Malang: Bayumedia Publishing. Wijayanto. 2009. “Memahami Korupsi”. Dalam Wijayanto dan 250 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Ridwan Zachri (ed). Korupsi Mengorupsi Indonesia Sebab, Akibat dan Prospek Pemberantasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Wijoyo, Bagus D. 2012. Pesona dan Karisma Jokowi. Yogyakarta: Sinar Kejora. Yuwono, Ismantoro Dwi. 2008. Para Pencuri Uang Rakyat Daftar 59 Koruptor Versi KPK 2003-2008. Yogyakarta: Pustaka Timur.

MAJALAH Gatra. No. 31. Tahun XVIII. 13 Juni 2012. Konstan. Nomor 126. April 2012. Tempo. Edisi 21-27 September 2009 halaman 80. Tempo. Edisi 15-21 Oktober 2012 halaman 34. Tempo. Edisi 10-16 Desember 2012.

SURAT KABAR Kompas. Edisi Sabtu Tanggal 26 September 2009 halaman 1. Kompas. Edisi Jumat, Tanggal 22 Februari 2013 halaman 4. Kompas. Edisi Sabtu, Tanggal 2 Maret 2013 halaman 26.

TABLOID The Politic. Edisi 09. Tahun II. 01-14 Maret 2013 halaman 12. GLOSARIUM

Amoral : Budaya yang kurang mengandung nilai-nilai Familiisme komunitarian, tetapi sangat memperkuat hubungan keluarga. Antogenic : Korupsi yang dilakukan seorang diri tanpa corruption melibatkan orang lain. Antikorupsi : Kebijakan atau kegiatan untuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi berkembangnya korupsi. Devensive : Pemerasan yang dilakukan para korban korupsi corruption dengan dalih untuk mempertahankan diri. Good : Tata kelola pemerintahan yang baik. governance Graft : Pemanfaatan sumber-sumber publik untuk kepentingan individu atau pribadi. Hukuman : Siksa yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang. Investive : Pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian corruption langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang. ICAC : Komisi yang secara khusus menangani korupsi. Ilegal : Tidak menurut hukum. Keadilan : Memperlakukan sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak; berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran; sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang. Keberanian : Tindakan untuk memperjuangkan sesuatu yang diyakini kebenarannya. Kedisiplinan : Tertib dan taat kepada peraturan.

251 252 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Kejujuran : Mengungkapkan sesuatu sesuai dengan kenyataan yang dilakukan, dialami dan dirasakan. Kepedulian : .Berperilaku dan memperlakukan orang lain dan lingkungan sekitarnya, sehingga bermanfaat bagi semua pihak. Kerja Keras : Melakukan sesuatu secara bersungguh-sungguh. Kesederhanaan : Hidup bersahaja dan tidak berlebih-lebihan yang didasari oleh suatu sikap mental rendah hati. Keterbukaan : Tidak tertutup, tersingkap, tidak dirahasiakan. Kleptokrasi : Sistem Pemerintahan yang di dalamnya banyak atau didominasi oleh aktivitas pencurian harta negara. Kolusi : Persekongkolan dan kerjasama rahasia untuk maksud tidak terpuji. Korupsi : Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah atau politisi bagi keuntungan mereka sendiri, keluarga, teman, atau orang lain. Korupsi birokrasi : Pembayaran haram yang diterima oleh pegawai negeri dari pengguna dalam menerapkan peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan, dan hukum. Kuliah umum : Ceramah tentang masalah tertentu yang boleh dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai jurusan. Kurungan : Hukuman yang berupa penyekapan di dalam penjara. Marginal : Kelompok yang berada di pinggir atau posisi yang tidak menguntungkan. Nepotisme : Kecenderungan untuk mengutamakan kerabat atau sanak saudara sendiri terutama dalam kaitan dengan perolehan jabatan dan pangkat dalam pemerintahan. Nepotistic : Penunjukan yang tidak sah kepada teman atau corruption sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan atau tindakan yang memberikan perlakuan yang istimewa dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain kepada mereka secara bertentangan atau melawan hukum yang ada. Pendidikan Antikorupsi 253

Nilai : Sesuatu yang menarik, sesuatu yang dicari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai atau sesuatu yang baik. Oligarki : Pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Parafrasa : Penguraian kembali suatu teks atau karangan dalam bentuk susunan kata-kata yang lain dengan maksud untuk dapat menjelaskan makna yang tersembunyi. Partikularisme : Perasaan kewajiban untuk membantu dan membagi-bagi sumber kepada pribadi-pribadi yang dekat dengan seseorang. Penahanan : Proses, cara, atau perbuatan menahan. Pendidikan : Usaha sadar dan sistematis yang diberikan Antikorupsi kepada peserta didik berupa pengetahuan, nilai- nilai, sikap dan keterampilan yang dibutuhkan agar mereka mau dan mampu mencegah dan menghilangkan peluang berkembangnya korupsi. Penggeledahan : Proses, cara, atau perbuatan menggeledah untuk mencari sesuatu. Penyelidikan : Proses, cara, perbuatan menyelidiki serta pengusutan terhadap sesuatu. Penyidikan : Serangkaian tindakan penyidik yang diatur oleh undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. Penyitaan : Pengambilan milik pribadi oleh pemerintah tanpa ganti rugi. Petty corruption : Tindakan-tindakan mengambil uang sewa atau tindakan-tindakan kecil lainnya yang dilakukan oleh pegawai negeri. Prototipe : Model yang mula-mula (model asli) yang menjadi contoh. Publik : Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan komunitas atau negara. 254 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Pungli : Pungutan liar, dengan meminta sesuatu kepada seseorang atau lembaga tanpa mengacu pada peraturan yang lazim. Relokasi : Pemindahan tempat. Rule of law : Aturan hukum. Solicitor : Komisi yang memimpin unit hukum dengan tugas melakukan peninjauan operasi dan penghubung ICAC dengan parlemen. Supportive : Korupsi berupa tindakan-tindakan yang corruption dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada. Studi Kasus : Pendekatan untuk meneliti gejala sosial dengan menganalisis satu kasus secara mendalam dan utuh. Subsider : Hukuman sebagai pengganti apabila hal pokok tidak terjadi, seperti hukuman kurungan sebagai pengganti hukuman denda apabila terhukum tidak membayarnya. Tanggung jawab : Keadaan wajib menanggung segala sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikap pihak sendiri atau orang lain Transparan : Jernih, nyata, jelas, dan terbuka. Universalisme : Komitmen untuk bersikap sama dengan yang lain. TENTANG PENULIS

Eko Handoyo dilahirkan di Pati 49 tahun yang lalu. Selepas SMA, Eko melanjutkan studi ke IKIP Semarang pada tahun 1983. Gelar Sarjana Pendidikan Moral Pancasila dan Kewargaan Negara (PMP-KN) diraihnya pada tahun 1987. Sejak tahun 1988 diangkat oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi dosen di almamaternya, IKIP Semarang (kini menjadi Universitas Negeri Semarang). Pada tahun 1995 Eko melanjutkan kuliah S2 dengan mengambil program studi Ketahanan Nasional dan lulus pada bulan Februari 1998. September tahun 2009, Eko, panggilan akrabnya, meneruskan studi S3 di Program Pascasarjana UKSW Salatiga mengambil program Doktor Studi Pembangunan dan diselesaikannya pada bulan Mei 2012. Eko adalah seorang pengajar mata kuliah Etika Politik, Pendidikan Politik, Pendidikan Antikorupsi, Sosiologi Politik, Kebijakan Publik, Studi Masyarakat Indonesia, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan pada program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan program studi Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas

255 256 Dr. Eko Handoyo, M.Si.

Negeri Semarang. Jabatan fungsional sebagai dosen adalah lektor kepala, dengan golongan pangkat IV-C. Buku yang ditulis ini adalah buku keduabelas sebagai hasil revisi dari buku sebelumnya. Buku lain yang pernah ditulis adalah Bunga Rampai Politik dan Hukum (2006), Studi Masyarakat Indonesia (2007), Sosiologi Politik (2008), Integrasi Sosial Dalam Negara Bermasyarakat Majemuk Pada Era Global (2009), Pendidikan Anti Korupsi (2009), Pengantar Ilmu Sosial (2010), Pancasila dalam Perspektif Kefilsafatan & Praksis (2010), dan Model Pendidikan Karakter Berbasis Konservasi Pengalaman Universitas Negeri Semarang (2010), Pendidikan IPS (2011), Etika Politik dan Pembangunan (2011), dan Kebijakan Publik (2012).