LAPORAN AKHIR PELAKSANAAN KEGIATAN PENELITIAN DOSEN MUDA

MASKULINITAS TOKOH TARŌ DALAM MUKASHI BANASHI

TIM PENELITI 1. Ida Ayu Laksmita Sari, S.Hum. M.Hum. (0003048404) 2. Ni Putu Luhur Wedayanti, S.S.,M.Hum. (0830118301)

Dibiayai Dari Dana DIPA PNBP Universitas Udayana Dengan Surat Perjanjian Penugasan Dalam Rangka Pelaksanan Penelitian Dosen Muda Tahun Anggaran 2014 Nomor:237-67/UN14.2/PNL.01.03.00/2014 Tanggal 14 Mei 2014

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA 2014

i

ii

RINGKASAN

MASKULINITAS TOKOH TARŌ DALAM MUKASHI BANASHI

Ida Ayu Laksmita Sari Ni Putu Luhur Wedayanti Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana

Tarō 太郎 adalah salah satu nama yang paling banyak diberikan kepada anak laki-laki di Jepang. Nama Tarō terdiri atas dua huruf kanji yaitu huruf “ta” 太 yang berarti ‘besar’ dan “rō” 郎 yang berarti ‘laki-laki’. Nama ini biasanya diberikan oleh orang tua Jepang kepada anak laki-laki pertama mereka dengan harapan bahwa anak laki-laki yang bernama Tarō kelak menjadi anak yang kuat. Nama Tarō juga banyak digunakan sebagai nama tokoh utama di berbagai cerita Jepang, khususnya mukashi banashi. Mukashi banashi adalah dongeng Jepang. Tokoh Tarō dalam dalam mukashi banashi umumnya digambarkan sebagai anak laki-laki yang kuat, dan memiliki tanggung jawab yang tinggi. Tujuan penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah memperkaya khazanah penelitian sastra, khususnya penelitian kesusastraan Jepang dan lebih memahami mukashi banashi yang merupakan salah satu jenis sastra tradisional Jepang. Tujuan khusus penelitian ini adalah Mendeskripsikan pengambaran tokoh laki laki yang bernama Tarō dalam mukashi banashi. mendeskripsikan fungsi, serta penggambaran nilai budaya Jepang dalam mukashi banashi. Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah buku seri dongeng bergambar (e hon) Manga Nippon Mukashi Banashi Setto Vol 1-15 dengan editor Sayumi Kawauchi yang diterbitkan oleh Futami Shobo. Dari 15 Volume yang tersedia terdapat 5 buah mukashi banashi yang memiliki judul sekaligus tokoh utama dengan nama Tarō,

iii

yaitu: Momotarō, Kintarō, Kotarō to Haharyū, Sannen Netarō, dan Urashima Tarō. Sumber data sekunder adalah buku mengenai kebudayaan dan masyarakat Jepang. Metode yang digunakan dalam tahap pengumpulan data adalah metode kepustakaan. Metode yang digunakan pada tahap analisis data adalah metode deskriptif analisis. Penyajian hasil analisis data dilakukan secara sistematis dari bab pendahuluan hingga simpulan. Kelima tokoh Tarō yaitu Momotarō, Kintarō, Kotarō, Sannen Netarō, dan Urashima Tarō memiliki maskulinitas yang menonjol berupa kekuatan fisik. Pada mukashi banashi juga dapat diketahui sisi maskulin kelima tokoh melalui 6 dari 7 ajaran bushidō, yaitu gi (kejujuran dan keadilan), yuu (keberanian), jin (kebajikan), makoto (ketulusan hati), meiyo (kehormatan) dan chūgi (kesetiaan). Melalui bushidō anak laki-laki Jepang dituntut untuk bertanggung jawab dan berani terhadap apa pun, termasuk kematian. Dari keseluruhan ciri maskulin yang dimiliki kelima tokoh, terdapat beberapa sifat yang dapat dikatakan jauh dari kata maskulin, yaitu sifat pemalas, sifat ketergantungan terhadap seorang ibu, dan sifat gemar bermimpi. Pada penelitian ini ditemukan pula 4 fungsi tradisi lisan, yaitu sebagai sistem proyeksi, sebagai alat legitimasi pranata kebudayaan, sebagai alat pendidikan, dan sebagai norma pengontrol masyarakat. Pada analisis diketahui ternyata masyarakat Jepang sejak lama telah mengenal hukuman pengasingan jika seseorang atau sebuah keluarga melanggar perturan atau norma yang telah disepakati sebelumnya, norma ini disebut murahachibu. Nilai budaya Jepang yang terdapat dalam mukashi banashi adalah bahasa, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, dan sistem religi. Terdapat sebuah persamaan yang mencerminkan kehidupan kelima tokoh Tarō, yaitu sistem mata pencaharian sebagai samurai. Walaupun pekerjaan sebagai samurai hanya tersirat pada cerita tetapi melalui kelima tokoh Tarō pencipta mukashi banashi berusaha menanamkan nilai-nilai positif seorang samurai kepada pembaca khususnya anak-anak.

iv

SUMMARY

MASCULINITY OF THE FIGURE OF TARŌ IN MUKASHI BANASHI

Ida Ayu Laksmita Sari Ni Putu Luhur Wedayanti Japanese Literature Departement, Faculty of Letters and Culture, Udayana University

Tarō 太郎 is one of the name mostly given to boys in Japan. Name of Tarō consists of two (2) kanji, those are “ta” 太 means ‘big’ and “rō” 郎 means ‘boy’. This name is usually given by the Japanese parent to their first son expecting that their son named Tarō would become a strong child. Name of Tarō is also widely used as the name of main character in various Japanese stories, particularly mukashi banashi. Mukashi banashi is a Japanese fairy tale. The figure of Tarō in mukashi banashi is generally described as a strong boy and having high responsibility. The purpose of this study can be divided into two (2), namely general purpose and special purpose. The general purpose of this study is to enrich the wealth of literature study, especially the Japanese literature study and better understand mukashi banashi which is one type of traditional Japanese literature. The special purpose is to describe the character of man named Tarō in mukashi banashi, describing function, and Japanese cultural value in mukashi banashi. This study used two data sources, namely primary and secondary data sources. The primary data source is an illustrated fairy tale book series (e hon) Manga Nippon Mukashi Banashi Setto Vol 1-15 by the editor of Sayumi Kawauchi published by Futami Shobo. Of those 15 volumes, there are available five (5) mukashi banashi having the title and main character using the name of Tarō, namely Momotarō, Kintarō, Kotarō to Haharyū, Sannen Netarō, and Urashima Tarō. The secondary data source is a book containing the Japanese culture and society. The method used in data collection phase is method of literature. The method used in data analysis phase is v

descriptive method of analysis. Presentation of data analysis result is conducted systematically from introductory chapter to a conclusion. Five characters of Tarō namely Momotarō, Kintarō, Kotarō, Sannen Netarō, and Urashima Tarō have prominent masculinity that is physical strength. In mukashi banashi, it can be known the masculine side of those five characters through 6 of 7 bushidō precepts namely gi (honesty and fairness), yuu (courage), jin (benefaction), makoto (sincerity), meiyo (courtesy) and chūgi (loyalty). Through bushido, the Japanese boy is required to be responsible and dare to anything, including death. From overall the masculine traits possessed by those five characters, there are some properties that can be said far from masculine character namely the slacker nature, dependence on mother nature, and nature fond of dreaming. In this study, we found out four (4) oral traditional functions namely as projection system, as means of legitimation for cultural institution, as educational tool, and as community controller norms. In this analysis, it is found that the Japanese people are familiar with the penalty of exile if a person or family breaks the rules or norms that have been agreed in advance, this norm is called murahachibu. The Japanese cultural values contained in mukashi banashi are language, social organization, life equipment system and technology, livelihood system, and religious system. There is an equation reflecting the lives of those five Tarō characters namely the livelihood system as a samurai. Though a job as a samurai is only implied in the story but through those five characters of Tarō, the creator of mukashi banashi is trying to inculcate the positive values of a samurai to the readers, especially the children.

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas Asung Wara Nugraha-Nya, penelitian ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu.

Terima kasih kami ucapkan kepada Rektor Universitas Udayana dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Udayana, atas kesempatan dan dukungan yang diberikan dalam menyelesaikan penelitian ini. Terimakasih kepada Universitas udayana atas dan Dana PNBP tahun anggaran 2014 yang telah diberikan guna menunjang penelitian ini.

Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, Ketua Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sasatra dan Budaya Universitas Udayana beserta seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian ini. Terimakasih kepada Kazue san dan Ito San yang telah menyediakan waktu di tengah kesibukannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai mukashi banashi. Terimakasih kepada Ida Bagus Indra yang selalu memberikan semangat walaupun dari jauh. Terimakasih untuk Ida Bagus Andra Maheswara dan Ida Ayu Rani Maheswari yang selalu mendukung ibunya dalam menyelesaikan penelitian ini.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian penelitian ini. Terima kasih.

Denpasar, Nopember 2014

Penulis

vii

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN PENGESAHAN ...... ii RINGKASAN ...... iii SUMMARY ...... v UCAPAN TERIMA KASIH ...... vii DAFTAR ISI ...... viii DAFTAR GAMBAR ...... x

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI ...... 4 2.1 Tinjauan Pustaka ...... 4 2.2 Konsep ...... 6 2.2.1 Maskulinitas ...... 6 2.2.2 Bushidō ...... 7 2.3 Teori ...... 7 2.3.1 Teori Sosiologi Sastra ...... 8 2.3.2 Teori Maskulinitas ...... 9

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...... 11 3.1 Tujuan ...... 11 3.1.1 Tujuan Umum ...... 11 3.1.2 Tujuan Khusus ...... 11 3.2 Manfaat Penelitian ...... 11 3.2.1 Manfaat Teoretis ...... 12 3.2.2 Manfaat Praktis ...... 12

BAB IV METODE PENELITIAN ...... 13 4.1 Ruang Lingkup ...... 13 4.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ...... 13 4.2 Instrumen Penelitian ...... 14 4.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...... 14 4.4 Metode dan Teknik Analisis Data ...... 14 4.5 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ...... 14

viii

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 16 5.1 Penggambaran Tokoh Tarō dalam Mukashi Banashi ...... 16 5.1.1 Penggambaran Fisik Tokoh Tarō ...... 16 5.1.1.1 Momotarō ...... 16 5.1.1.2 Kintarō ...... 19 5.1.1.3 Kotarō ...... 21 5.1.1.4 Sannen Netarō ...... 23 5.1.1.5 Urashima Tarō ...... 25 5.1.2 Bushidō Tokoh Tarō ...... 27 5.1.2.1 Gi ...... 28 5.1.2.2 Yuu ...... 29 5.1.2.3 Jin ...... 30 5.1.2.4 Makoto ...... 33 5.1.2.5 Meiyo ...... 34 5.1.2.6 Chūgi ...... 35 5.1.3 Sisi Lain Tokoh Tarō ...... 36 5.2 Fungsi Mukashi Banashi ...... 40 5.2.1 Sebagai Sistem Proyeksi ...... 41 5.2.2 Sebagai Alat Legitimasi Pranata Kebudayaan ...... 42 5.2.3 Sebagai Alat Pendidikan ...... 43 5.2.4 Sebagai Norma Pengontrol Masyarakat ...... 45 5.3 Nilai Budaya Jepang dalam Mukashi Banashi ...... 47 5.3.1 Bahasa ...... 47 5.3.2 Organisasi Sosial ...... 50 5.3.3 Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi ...... 51 5.3.4 Sistem Mata Pencaharian Hidup ...... 54 5.3.5 Sistem Relegi ...... 55

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ...... 60 6.1 Simpulan ...... 60 6.2 Saran ...... 61

DAFTAR PUSTAKA ...... 62 DAFTAR UNDUHAN ...... 63 LAMPIRAN ...... 64

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Gambar 1 Momotarō ...... 17 2. Gambar 2 Kintarō ...... 20 3. Gambar 3 Kotarō ...... 22 4. Gambar 4 Sannen Netarō ...... 24 5. Gambar 5 Urashima Tarō 1 ...... 26 6. Gambar 6 Urashima Tarō 2 ...... 27

x

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Tarō 太郎 adalah salah satu nama yang paling banyak diberikan kepada anak laki-laki di Jepang. Nama Tarō terdiri atas dua huruf kanji yaitu huruf “ta” 太 yang berarti ‘besar’ dan “rō” 郎 yang berarti ‘laki-laki’. Nama ini biasanya diberikan oleh orang tua Jepang kepada anak laki-laki pertama mereka dengan harapan bahwa anak laki-laki yang bernama Tarō kelak menjadi anak yang kuat. Sungai atau benda lain yang diberikan nama Tarō dibelakangnya menunjukkan bahwa ukuran sungai atau benda tersebut lebih besar dibandingkan lainnya. Nama Tarō juga menjadi nama tokoh utama di berbagai cerita Jepang, khususnya mukashi banashi. Mukashi banashi adalah dongeng Jepang yang muncul pada zaman Joodai (sekitar abad ke-5 sampai abad ke-7). Kesusastraan pada zaman ini adalah kesusastraan lisan yang pada proses penyebarannya mengandalkan media dari mulut ke mulut (Asoo, 1983: 1—4). Tokoh Tarō dalam dalam mukashi banashi umumnya digambarkan sebagai anak laki-laki yang kuat dan memiliki tanggung jawab yang tinggi. Objek dalam penelitian kali ini adalah lima buah dongeng Jepang yang memiliki tokoh utama yang bernama Tarō, yaitu Momotarō, Kintarō, Kotarō, Sannen Netarō, dan Urashima Tarō. Kelima mukashi banashi yang menjadi objek penelitian ini termasuk folklor anak. Folklor anak umumnya bersifat (1) tradisional, tumbuh dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu, (2) idealistis, pantas dan universal, dalam arti didasarkan pada bahan yang terbaik pada masa kini, (3) popular, yaitu bersifat hiburan, menyenangkan anak-anak, dan teoritis, yaitu yang dikonsumsikan kepada anak-anak dengan bimbingan dan arahan orang dewasa. Hal-hal yang ingin ditonjolkan dalam kelima mukashi banashi yaitu peranan laki-laki di Jepang dalam kehidupan bermasyarakat. Zaman dahulu sistem patriakat di Jepang sangat kuat dan diatur dalam sistem ie. Ie adalah satuan unit rumah tangga yang kesinambungannya tergantung pada garis keturunan seorang ayah kepada anak laki-laki, atau sebagai sistem ekonomi yang menekankan pada

1

kesinambungan pekerjaan rumah tangga. Dahulu, sebuah ie sedikitnya terdiri dari sebuah keluarga batih yang dipimpin oleh seorang kepala ie (kachō) yang memiliki peranan baik di dalam maupun di luar ie. Posisi kepala ie diduduki oleh ayah pada sebuah rumah tangga di mana ia akan menjalankan pertanian atau perusahaan, menjaga atau mengontrol kekayaannya, dan secara eksternal ia akan mewakili rumah tangga tersebut (Sudjianto, 2002: 29). Dalam sistem ie, Tarō sebagai anak laki-laki pertama memiliki tanggung jawab yang besar atas ie. Ia harus bertanggung jawab kepada orang tua, adik-adiknya, maupun leluhurnya yang telah lama meninggal. Hukum warisan Jepang dahulunya bersifat patrilineal-primogetur dimana seluruh harta, tanah, rumah, serta perabot rumah diwariskan kepada anak laki-laki tertua. Anak-laki-laki lainnya jika tidak merantau maka mereka bisa menggarap tanah pusaka yang dikuasai kakak mereka, membeli tanah sendiri atau bahkan menjadi samurai, menjadi buruh tani bayaran di tempat yang jauh dari desa asal mereka (Fathoni, 2006: 82). Sejak dahulu anak laki-laki Jepang memiliki hak dan kewajiban yang lebih tinggi jika dibandingkan perempuan Jepang. Pemilihan kelima mukashi banashi ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain karena dominasi laki-laki dalam kelima cerita ini cukup melimpah. Dalam cerita Momotarō dan Kotarō to Haharyū begitu terlihat orang tua di Jepang sangat mendambakan kehadiran anak laki-laki. Dalam cerita Kintarō diceritakan bagaimana anak laki-laki tumbuh kuat dan menjadi seorang samurai. Dalam cerita Sannen Netarō dan Urashima Tarō terlihat rasa kepedulian yang tinggi tokoh Tarō kepada sesama. Nilai-nilai Bushido yang harus dimiliki laki-laki Jepang juga digambarkan dengan cukup jelas pada kelima dongeng tersebut.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana pengambaran tokoh laki laki yang bernama Tarō dalam mukashi banashi? 2. Bagaimana fungsi dari mukashi banashi? 3. Bagaimana penggambaran nilai budaya Jepang dalam mukashi banashi?

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai maskulinitas cukup banyak mendapatkan perhatian dari peneliti di Indonesia. Penelitian sebelumya antara lain, Darwin (1999) dalam penelitiannya yang berjudul “Maskulinitas: Posisi laki-laki dalam masyarakat Partriakis”. Penelitian Darwin menggunakan pendekatan dekonstruksi dan rekonstruksi maskulinitas. Dalam penelitiannya Darwin menjelaskan realitas sosial di mana budaya patriaki menjadi ciri kebanyakan masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia. Proses modernisasi, individualisasi, dan demokratisasi yang melanda masyarakat di berbagai belahan dunia membuat terdapat banyak koreksi terhadap budaya ini. Budaya patriarki perlu dibedah dengan melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi konsep maskulinitas sehingga pada akhirnya lahirlah konsep baru maskulinitas yang lebih fleksibel dan egalitarian. Penelitian Darwin digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini terutama mengenai perkembangan maskulinitas yang dalam kekiniannya menjadi maskulinitas yang fleksibel. Suprapto, 2010 dalam penelitiannya yang berjudul “Representasi Maskulinitas Hegemonik dalam Iklan Rokok Gudang Garam”. Objek kajian adalah iklan-iklan rokok Gudang Garam yang dirilis sekitar tahun 2006 – 2010. Penelitian Suprapto bersifat kualitatif deskriptif. Teori yang digunakan adalah teori maskulinitas hegemonik Connell, teori ideologi Althusser, hegemoni Gramsci, dan teori representasi Hall. Hasil penelitian Suprapto menunjukkan bahwa 1) adanya pergeseran bentuk-bentuk maskulinitas hegemonik dari macho ke metroseksual, yang dipengaruhi oleh kapitalisme dan konsumerisme. Perubahan tersebut ternyata hanya pada tampilan fisiknya saja, tetapi esensinya tidak berubah karena masih adanya dominasi budaya patriarki dalam masyarakat. 2) ditemukan pula bahwa bentuk maskulintas dominan di Indonesia harus memenuhi tiga unsur yaitu mapan, matang, dan menarik. Ditemukan pula dua buah penelitian mengenai maskulinitas dalam karya sastra. Penelitian pertama adalah penelitian dari Uliyah (2014) yang berjudul “Maskulinitas Laki- laki dalam The King is Dead (The Island) karya A. Alberts; Sebuah Kajian Postkolonial 3

Karya Sastra Hindia Belanda”. Penelitian Uliyah menggunakan teori poskolonial. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa karya Sastra Hindia-Belanda merupakan sebuah karya yang lahir berkenaan dengan Hindia-Belanda beserta seluruh praktik kekuasaan yang diterapkan oleh kolonial terhadap koloninya. Dalam merepresentasikan kondisi Hindia-Belanda, maka karya sastra Hindia-Belanda cenderung menemui fenomena persilangan budaya, di mana persilangan tersebut kerap menampilkan relasi kekuasaan dan pandangan soal Barat-Timur sebagaimana yang dipersoalkan dalam Orientalisme Edward Said. Karena itu, karya sastra Hindia-Belanda cenderung masuk ke dalam kajian paskakolonial, sebagai kajian yang memfokuskan pada terjadinya ketimpangan kuasa yang dialami Barat-Timur. Hal ini juga yang kemudian tergambar dalam cerita The King Is Dead dan The House of The Grandfather sebagai bagian awal dari Novel The Island karya A. Alberts. Ketimpangan yang dicurigai muncul dalam cerita ini adalah bahwa semacam upaya mengukuhkan maskulinitas Barat lewat tokoh laki-laki dengan sudut pandang pengarang laki-laki Barat. Penelitian kedua adalah penelitian dari Elfira (2008). Dalam penelitiannya yang berjudul Vasilisa Maligina Karya A.M. Kollontai, Elfira menganalisis hubungan tokoh laki- laki yaitu Vladimir dan tokoh perempuan Vanya dalam ruang publik. Vladimir sebagai laki- laki tinggal dirumah untuk melakukan urusan rumah tangga, sebaliknya istrinya, Vanya dapat keluar berhari-hari untuk mengurusi partai politik yang dipimpinnya. Elfira menggunakan teori gender oleh Ann Oakley dan teori maskulinitas oleh Connell. Hasil analisis ditemukan bahwa penulis novel, yaitu Kollontai ingin melahirkan citra baru perempuan Rusia yang berbasiskan budaya patriaki. Novel ini pada akhirnya menggambarkan rekonstruksi konsep maskulinitas pada masyarakat Rusia di zaman pemerintahan Uni Soviet. Penelitian Uliyah dan Elfira digunakan sebagai acuan dan perbandingan dalam menganalisis maskulinitas dalam karya sastra.

2.2 Konsep 2.2.1 Maskulinitas Konsepsi mengenai maskulinitas dan feminitas dilahirkan oleh ekspektasi kultural terhadap gender. Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Laki-laki adalah seseorang yang kuat, rasional, jantan, perkasa. Sedangkan perempuan memiliki sifat lemah lembut, cantik, 4

emosional, atau keibuan (Fakih, 2008: 8—9). Konsepsi tersebut merupakan pandangan dan ekspektasi masyarakat terhadap sifat dan karakteristik yang membedakan laki-laki dan perempuan, walaupun sebenarnya hal tersebut dapat dipertukarkan. Gender berperan dalam bagaimana seorang laki-laki atau perempuan harus berpikir dan bersikap yang mewujudkan perbedaan prilaku, kemampuan, kepribadian, dan juga sifat. Gender tidak didapatkan sejak lahir, diperoleh melalui tahapan kehidupan. Perbedaan gender mengakibatkan fenomena hierarkis antara laki-laki dengan perempuan. Maskulinitas dapat berbeda pada setiap negara sesuai dengan pengaturan sosial masyarakat di negara tersebut. Pola maskulinitas telah diidentifkasi dalam banyak studi, dalam berbagai negara, dan dalam berbagai kelembagaan, bahkan telah menjadi budaya. Maskulinitas lebih berhubungan pada pusat sosial atau otoritas dan kekuasaan sosial dari pada yang lain. Di banyak negara termasuk Jepang. laki-laki pemilik sifat maskulin berada pada hierarki yang lebih tinggi dibanding perempuan yang feminin. Jepang yang menganut budaya Patriaki sejak dahulu begitu kental perbedaan maskulinitas dengan feminitasnya. Sejarah mengatakan, bahwa tugas laki-laki sebagai samurai sangatlah berat, dibutuhkan sisi maskulin yang kuat untuk mempertahankan daerah kekuasaan mereka. Sisi maskulin juga tercermin dalam berbagai karya sastra, khususnya mukashi banashi yang telah lahir sejak zaman dahulu.

2.2.2 Bushidō Bushidō 武士道 secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘jalan ksatria’. Bushidō meupakan tata cara ksatria, atau sebagai kode etik golongan samurai pada masa feodalisme Jepang. Bushidō pada masa itu memiliki arti bahwa seorang ksatria memiliki sikap rela mati demi negara dan kaisar (Azhari, 2011: 16). Bushidō masih memotivasi pemikiran dan perilaku rakyat Jepang modern. Faktanya, beberapa kritik mempertimbangkan bushidō sebagai jiwa dari Jepang. Akar bushido menjelaskan nilai-nilai dan peraturan perilaku prajurit, perang, kemampuan bertahan, keberanian dan yang lebih penting lagi, yakni kebenaran dan kesetiaan terhadap Tuhan diagung-agungkan. Dalam bushidō terdapat perpaduan antara filosofi dari berbagai macam sumber seperti agama Shinto, Budha, Konghucu, dan ajaran Mencius. Bushidō adalah milik dari era sejarah Jepang yang berakhir lebih dari satu abad yang lalu. Namun, saat ini cita-cita bushidō tersirat dalam sebagian besar kehidupan Jepang modern,

5

khususnya dalam berbagai hubungan bisnis dan kehidupan akademik. Di rumah, di sekolah, di tempat kerja, dan bahkan di tempat bermain lapangan baseball, kesetiaan, ketabahan, pengabdian terhadap kerja keras, dan perhatian yang lebih besar terhadap kelompok dibandingkan dengan individu lebih ditekankan (Sosnoski, 1996: 72).

2.3 Teori Terdapat dua teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori sosiologi sastra sebagai payung besar teori dalam penelitian ini, dan sebagai teori penunjang digunakan teori maskulinitas.

2.3.1 Teori Sosiologi Sastra Teori sosiologi sastra digunakan untuk memahami bagaimana kehidupan masyarakat Jepang dalam teks mukashi banashi, serta mengetahui kebudayaan Jepang secara umum. Kajian sosiologi sastra merupakan kajian yang mengaitkan hubungan karya sastra dengan sosial budaya masyarakat yang diceritakan di dalamnya. Sosiologi sastra bersifat reflektif yang menampilkan kejadian-kejadian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sebuah karya sastra dianggap berhasil jika mampu merefleksikan zamannya. Mukashi banashi tentunya merupakan salah satu karya yang berhasil karena dapat menggiring penikmat karya sastra untuk kembali kemasa lalu, beratus-ratus atau bahkan mungkin beribu tahun yang lalu. Meskipun karya yang sangat lampau, tetapi tetap dapat dinikmati hingga saat ini. Laurenson dan Swingewood dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature (1972: 31) menyatakan terdapat tiga perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu 1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai sebuah dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa satra tersebut diciptakan, 2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan 3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya. Pada penelitian ini dipergunakan perspektif pertama dan ketiga, dimana melalui mukashi banashi dapat diketahui refleksi pada saat karya sastra itu diciptakan dan berbagai peristiwa sejarah maupun sosial budaya masyarakat Jepang pada zaman dahulu. Karya sastra yang dapat bertahan lama dapat disebut sebagai moral. Oleh karena itu mukashi banashi dapat disebut sebagai suatu moral, baik dalam hubungannya dengan 6

kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang-seorang. Menurut Grebstein (dalam Damono 1978: 5) karya sastra dapat disebut sebagai eksperimen moral abadi. Analisis terhadap aspek sosial dalam mukashi banashi dilakukan untuk memahami dan memaknai hubungannya dengan keadaan sosial masyarakat Jepang zaman dahulu. Hal yang dilakukan terlebih dahulu adalah mengkaji struktur karya sastra, dalam penelitian ini struktur utama yang dianalisis adalah penokohan, bagaimana tokoh Tarō merepresentasikan laki-laki Jepang pada masa itu. Setelah itu menentukan bagian yang termasuk unsur sosial karya sastra. Langkah selanjutnya adalah merelevansikan struktur sosial karya sastra tersebut dengan struktur sosial masyarakat Jepang yang sebenarnya. Sehingga pada akhirnya dapat diketahui mukashi banashi yang tercipta dalam konteks fenomena masyarakat, benar-benar mendapat pemaknaan yang seharusnya dan tidak terpisah dengan konteks sosial yang melahirkannya (Kurniawan, 2009: 108).

2.3.2 Teori Maskulinitas Maskulinitas adalah suatu steriotipe tentang laki-laki yang dapat dipertentangkan dengan feminimitas sebagai steriotipe perempuan. Steriotipe maskulinitas mencakup berbagai aspek karakteristik individu, seperti karakter atau kepribadian, perilaku peranan, okupasi, penampakan kasar, atau pun orientasi seksual. Laki-laki dianggap memiliki ciri watak yang terbuka, kasar, agresif, dan rasional (Darwin, 1999: 3). Menurut Endraswara (2009: 163) perbedaan folklor maskulin dan feminin adalah sebagai berikut. Maskulin Feminin Folklor bernilai tinggi `Folklor bernilai rendah Produksi Konsumsi Subjek bersifat aktif, agresif Objek bersifat pasif Cerdas Emosional Teori maskulinitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori maskulinitas menurut Connell (1995: 77). Menurutnya maskulinitas dapat dibagi menjadi dua yaitu maskulinitas secara budaya atau hegemonik dan maskulinitas tersubordinasi. Maskulinitas hegemonik adalah pengaruh sosial yang dicapai bukan karena kekuatan melainkan karena 7

pengaturan kehidupan pribadi dan proses-proses budaya. Maskulinitas tersubordinasi adalah maskulinitas dimana kekerasan adalah kunci untuk memaksakan sebuah cita-cita kekuasaan bagi maskulintas tersebut. Dalam mengetahui maskulinitas dari tokoh Tarō dalam mukashi banashi dipergunakan maskulinitas hegemonik, di mana diketahui bahwa keseharian dalam kehidupan laki–laki di Jepang diperkuat melalui proses-proses budaya. Salah satunya adalah sikap bushido sebagai sebuah tuntunan seorang laki-laki dalam menjalani kehidupannya sebagai laki-laki sejak zaman dahulu. Melalui teori maskulinitas pada akhirnya diketahui bagaimana posisi tokoh Tarō sebagai anak laki-laki pertama, apa saja yang menjadi hak dan kewajibannya dalam sistem patriakat yang begitu kental di Jepang.

8

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan ini dijelaskan sebagai berikut.

3.1.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah memperkaya khazanah penelitian sastra, khususnya penelitian kesusastraan Jepang dan lebih memahami mukashi banashi yang merupakan salah satu jenis sastra tradisional Jepang. Di samping itu, penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman mengenai masyarakat dan kebudayaan Jepang yang tercermin melalui karya sastra tradisional.

3.1.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan pengambaran tokoh laki laki yang bernama Tarō dalam mukashi banashi. 2. Mendeskripsikan fungsi mukashi banashi. 3. Mendeskripsikan penggambaran nilai budaya Jepang dalam mukashi banashi.

3.2 Manfaaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis dan praktis yang dideskripsikan sebagai berikut.

3.2.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini bertujuan untuk memberikan sumbangan sekaligus menambah penelitian khazanah kesusastraan Jepang. Penelitian terhadap dongeng Jepang belum banyak dilakukan sehingga diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dalam bidang sastra ataupun masyarakat dan kebudayaan Jepang. Teori sosiologi sastra dan maskulinitas 9

yang digunakan untuk menganalisis dongeng diharapkan dapat menyumbangkan pengetahuan di dalam penggunaan pendekatan multidisiplin.

3.2.2 Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini memiliki dua manfaat. Pertama, menambah wawasan mengenai kesusastraan tradisional Jepang. Kedua, memperkenalkan salah satu bentuk kebudayaan Jepang melalui cerita rakyat. Masyarakat Indonesia nantinya diharapkan dapat memahami kebudayaan dan watak dasar masyarakat Jepang melalui dongeng (mukashi banashi).

10

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Ruang Lingkup Penelitian ini dibatasi untuk menganalisis penggambaran sisi maskulinitas tokoh laki-laki yang bernama Tarō dalam mukashi banashi. Kemudian dilanjutkan dengan menganalisis fungsi dari mukashi banashi dan diakhiri dengan nilai budaya Jepang dalam mukashi banashi

4.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian Jenis data penelitian adalah kualitatif, berupa narasi, ungkapan, dan tanda yang terdapat dalam buku yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah buku seri dongeng bergambar (e hon) Manga Nippon Mukashi Banashi Setto Vol 1-15 dengan editor Sayumi Kawauchi yang diterbitkan oleh Futami Shobo. Dari 15 Volume yang tersedia terdapat 5 buah mukashi banashi yang memiliki judul sekaligus tokoh utama dengan nama Tarō, yaitu: 1. Momotarō 2. Kintarō 3. Kotarō to Haharyū 4. Sannen Netarō 5. Urashima Tarō Sumber data sekunder adalah buku mengenai kebudayaan dan masyarakat Jepang. Selain itu, juga digunakan buku, majalah, dan catatan-catatan dari informan yang berhubungan dengan penelitian ini.

4.3 Instrumen Penelitian Instrumen adalah alat bantu yang digunakan untuk mendapatkan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu data. Kartu data berguna untuk mempermudah analisis setiap data.

11

4.4 Metode dan Teknik Pengumpulan data Metode yang digunakan dalam tahap pengumpulan data ini adalah metode kepustakaan, yaitu metode pengumpulan data dengan menggunakan buku atau referensi yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Teknik pengumpulan data adalah teknik catat, yaitu mencatat hal-hal yang diperlukan dalam analisis data.

4.5 Metode dan Teknik Analisis Data Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode deskriptif analisis, yaitu metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta, setelah itu disusul dengan melakukan analisis. Dalam metode ini, tidak hanya diuraikan, tetapi ia juga harus diberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Data diterjemahkan (transliterasi) dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia oleh penulis. Langkah selanjutnya dilakukan analisis dan interpretasi untuk memahami nilai-nilai dan fungsi yang terkandung dalam mukashi banashi (Ratna, 2009: 53).

4.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data dilakukan secara sistematis dari bab pendahuluan hingga simpulan dan daftar pustaka. Bab I, yaitu bab pendahuluan terdiri atas subbab latar belakang dan rumusan masalah, dan manfaat penelitian. Bab II terdiri atas kajian pustaka, konsep, dan landasan teori. Bab III membahas tujuan dan manfaat penelitian. Bab IV berisi metode penelitian. Pada Bab V disajikan hasil analisis dan pembahasan dari rumusan masalah yaitu maskulinitas tokoh Tarō, fungsi mukashi banashi, dan representasi budaya Jepang yang tercermin dalam mukashi banashi. Hasil analisis disajikan secara informal, yaitu melalui kata-kata, kalimat, dan bentuk-bentuk narasi yang lain. Bab VI adalah simpulan dan saran.

12

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penggambaran Tokoh Tarō dalam Mukashi Banashi Tokoh Tarō yang terdapat dalam mukashi banashi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah Momotarō, Kintarō, Kotarō, Sannen Netarō, dan Urashima Tarō. Penggambaran tokoh Tarō dalam mukashi banashi diawali oleh analisis penggambaran fisik kelima tokoh. Kemudian dianalisis mengenai sifat kesatria masing-masing tokoh yang menunjukkan maskulinitas seorang anak laki-laki melalui 7 ajaran bushidō. Terdapat pula analisis mengenai beberapa sifat lain dari kelima tokoh Tarō tersebut.

5.1.1 Penggambaran Fisik Tokoh Tarō 5.1.1.1 Momotarō Momotarō adalah tokoh utama dalam mukashi banashi Momotarō. Nama Momotarō berasal dari kata (桃) yang berarti ‘buah persik’ dan Tarō (太郎) yang berarti anak laki-laki. Jadi arti nama Momotarō adalah anak laki-laki yang lahir dari buah persik. Dalam dongeng ini diceritakan, nenek menemukan buah momo yang sangat besar di sungai, kemudian ia membawa pulang dan menunjukkannya kepada kakek. Buah momo pun dibelah, tapi tiba-tiba melompatlah keluar seorang anak laki-laki. Anak tersebut kemudian diberi nama Momotarō. Momotarō dalam beberapa waktu belum bisa bicara sehingga membuat kakek dan nenek kebingungan. Namun, ketika untuk pertama kalinya dia membuka mulut, yang diucapkannya adalah, “aku ingin pergi kepulau Onigashima untuk menangkap oni (setan)!”. Diceritakan bahwa oni telah membuat kegaduhan di desa tempat tinggal Momotarō, mereka merampok barang-barang penduduk desa. Kakek dan nenek dengan berat hati mengijinkan Momotarō untuk pergi menangkap oni, mereka juga membuatkan Momotarō pakaian dan kue kibidango yang enak. Ditengah perjalanan Momotarō bertemu anjing, monyet, dan burung pegar yang meminta kibidango yang dibawanya. Sebagai imbalan atas pemberian Momotarō, mereka pun bersedia menjadi anak buah Momotarō dan membantu Momotarō menangkap oni. Sesampainya di Onigashima mereka berempat melawan oni. Oni

13

akhirnya kalah dan mengembalikan harta penduduk dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan mereka lagi. Berikut adalah penggambaran fisik tokoh Momotarō.

Gambar (1): Momotarō (Momotarō, 2009: 2)

Gambar (1) adalah penggambaran tokoh Momotarō, jika dibandingkan dengan buku cerita lainnya, tokoh Momotarō pada buku Manga Nippon Mukashi Banashi karya Sayumi Kawauchi digambarkan dengan lebih unik. Momotarō perawakannya kecil dan kepalanya hanya ditumbuhi tiga helai rambut. Momotarō mengenakan pakaian atasan berwarna putih, bawahan berwarna biru, memakai hachimaki atau ikat kepala yang bergambar buah momo, membawa dua buah pedang, dan bendera yang bertuliskan 日本一 “Nippon ichi”, yang berarti ‘nomer satu di Jepang’. Kata Nippon ichi pada bendera yang selalu dibawanya menggambarkan bahwa dia adalah Momotarō, laki-laki terkuat urutan pertama di Jepang. Kekuatan Momotarō digambarkan lebih jelas melalui data berikut. (1). もっとびっくらこいたのは、このおとこの子のげんきのよさ。そして、 そのたべっぷり。たべるわ、たべるわ。ごはんもさかなも、むしゃむし ゃ、むしゃむしゃ、ぺろり、ぺろぺろ、みごとにたいらげる。…みるみ るうちに、たべたぶんだけおおきくなった (Momotaro, 2009: 5). Terjemahan: ‘Hal yang lebih mengagetkan kakek dan nenek adalah kekuatan dari anak laki- laki itu. Ia makan dengan sangat lahap, baik nasi maupun ikan, Ia menyantap habis semua makanan. …Hanya dengan makan bagiannya ia pun menjadi besar dalam sekejap.’

14

(2).おじいさん、おばあさんのねがいかなって桃太郎、ひとなみはずれた ちからもち。おおきくなるにつれて、その怪力ぶりをはっきした。おも いツボでも、ひょいの、ぽん。ちからもつよいが、あたまもつよい (Momotaro, 2009: 5). Terjemahan: ‘Doa nenek dan kakek terkabul, Momotarō memiliki tenaga yang lebih dari orang pada umumnya. Semakin besar, tenaganya pun semakin kuat. Guci yang berat pun dapat ia angkat dengan mudah. Selain memiliki tenaga yang kuat, ia pun pintar.’

(3).ちからをだせば、かなうものなし。オニを目よりもたかくもちあげて、 ズシーンとばかり、たたきつけた(Momotaro, 2009: 23). Terjemahan: ‘Ketika Momotarō mengeluarkan kekuatannya, tidak ada yang dapat menandinginya. Ia mengangkat oni tinggi-tinggi, kemudian membantingnya.’

(4). ところがー、桃太郎のあたまにてつぼうが、カキーん!あたったとた ん、ポキッとおれた (Momotaro, 2009: 28). Terjemahan: ‘Bersamaan dengan itu, ada besi yang mengenai tepat di atas kepala Momotarō. Besi itu pun terbelah.’

Dari keempat data tersebut tokoh Momotarō digambarkan sebagai anak laki-laki yang sangat kuat. Semakin banyak ia makan semakin cepat ia tumbuh besar, dapat dikatakan ia tumbuh besar dalam sekejap mata. Momotarō sangat sehat dan selera makannya pun sangat baik, ia sangat menyukai nasi dan ikan. Kekuatan yang ia miliki pun bukan kekuatan anak- anak pada umumnya, pada mukashi banashi diceritakan Momotarō dapat mengangkat guci yang berat, bahkan mengangkat tinggi-tingi tokoh oni yang bertubuh besar dan berat kemudian membantingnya ke tanah. Tidak hanya badannya yang memiliki kekuatan luar biasa, kepalanya pun digambarkan dapat membuat besi menjadi terbelah dua. Selain kuat pada fisiknya Momotarō pun memiliki kekuatan lain yaitu pada kepintarannya.

5.1.1.2 Kintarō Nama Kintarō terdiri atas kanji 金 kin dan 太郎 tarō. Nama Kin 金 pada Kintarō diperkirakan berasal dari nama seorang samurai yang bernama Sakata Kintoki 坂田金時. Sakata Kintoki adalah seorang samurai pada zaman Heian (794—1185). Kintarō digambarkan sebagai anak laki-laki yang sangat kuat. Ibunya membuatkan Kintarō baju yang kedodoran karena tahu kalau anaknya akan tumbuh besar dengan cepat. Teman-teman 15

Kintarō adalah para binatang di hutan, yaitu kelinci, rakun, monyet, rusa, dan rubah. Kintarō yang sangat menyukai sumō mengajak teman-teman untuk menjadi lawannya. Pada saat musim gugur, Kintaro dan teman-temannya mengumpulkan buah kuri atau ‘kastanye’. Di tengah hutan ia bertemu dengan beruang, binatang yang paling ganas di hutan tersebut. Teman-temannya ketakutan, tetapi Kintarō malah mengajak beruang berduel sumō. Pertandingan itu dimenangkan oleh Kintarō dan beruang pun menjadi sahabat Kintarō. Diceritakan Kintarō tumbuh menjadi pemuda dan samurai yang hebat. Cerita ini merupakan cerita yang mengisahkan masa kecil samurai Sakata no Kintoki. Berikut adalah gambaran fisik dari Kintarō.

Gambar (2): Kintarō (Kintarō, 2009: 1)

Pada gambar (2) diketahui bahwa Kintarō adalah seorang anak laki-laki berambut pendek yang memiliki tubuh padat berisi. Ia mengenakan haragake (gurita) berwarna merah yang bertuliskan “金” (kin) pada bagian depan. Kintarō identik dengan kapak yang ia gunakan untuk membuat jembatan, dan persahabatanya dengan beruang yang merupakan makhluk yang paling ditakuti di hutan. (5). 金太郎といえば、「すこやかでたくましい男の子」ということになり ました。…とにかく、たいへん強い人だったのでしょう(Kintarō, 2009: 1). Terjemahan: ‘Kintarō adalah anak laki-laki yang sehat dan tangguh… Bagaimana pun juga ia adalah orang yang sangat kuat.’

16

(6). 金太郎があんまりつよいので、動物たちは、みんな、かないません (Kintarō, 2009: 13). Terjemahan: ‘Karena Kintarō sangat kuat, para bintang pun tidak ada yang dapat menyainginya.’

(7). やがて、冬になりました。山の冬は、とてもさむいので、動物たちは、 ブルブル、ガタガタ…でも、金太郎だけは、へっちゃらです。大きな雪 だるまをこしらえたりして、げんきにあそんでおりました。力もちの金 太郎は、あらしがきたって、へいきです。ひとりでお家を、ささえます (Kintarō, 2009: 15). Terjemahan: ‘Tidak lama kemudian, datanglah musim salju. Salju di gunung sangat dingin, oleh karena itu para binatang menggigil kedinginan…Tapi, Kintarō tidak terpengaruh. Ia membuat boneka salju yang sangat besar, dan bermain dengan riang. Kintarō yang kuat merasa baik-baik saja ketika datang badai. Ia sendirian menopang rumahnya.’

Dari ketiga data tersebut dapat diketahui Kintarō adalah anak laki-laki yang sangat kuat, tidak satu pun binatang di hutan yang dapat mengalahkannya, tak terkecuali beruang yang dianggap sebagai raja hutan. Kintarō juga digambarkan sebagai anak yang sehat dan gemar bermain bersama teman-temannya. Selain kuat, ia terbiasa menghadapi musim salju di gunung. Musim salju di atas gunung lebih dingin dari pada di daratan, tetapi Kintarō tidak merasakannya. Ia dengan riang membuat boneka salju yang besar sendirian, ketika teman- temannya yang lain memilih berlindung di dalam rumah untuk menghangatkan diri. Bahkan ketika badai datang, sanggup menopang rumahnya sendirian agar tidak roboh dari amukan badai salju.

5.1.1.3 Kotarō Kotarō adalah tokoh utama dalam mukashi banashi Kotarō to Haha Ryū. Nama Kotarō terdiri dari kanji 小 Ko yang berarti ‘kecil’ dan 太郎 Tarō yang berarti anak laki-laki. Jadi nama Kotarō dapat diartikan sebagai anak laki-laki yang kecil. Walaupun memiliki arti demikian namun tokoh Kotarō dalam mukashi banashi ini memiliki tenaga yang kuat seperti dua tokoh dogeng sebelumnya. Ayah Kotarō di waktu mudanya adalah seorang pemimpin sebuah desa. Ia bekerja keras bersama warganya untuk membuka lahan. Ibu Kotarō adalah seekor naga. Bayi Kotarō ditemukan oleh nenek yang sedang mencuci di sungai. Nenek itu mengira bahwa bayi tersebut adalah anak dari dewa air, ia tidak mengetahui bahwa bayi 17

tersebut adalah anak pemimpin desa dan naga. Setiap hari kegiatan Kotarō hanya makan dan tidur. Namun, nenek tetap menyayanginya seperti anak sendiri. Ketika beranjak dewasa, Kotarō membantu nenek mencari kayu bakar. Kotarō dalam sekejap mengumpulkan kayu bakar disekeliling bukit. Nenek keheranan, tidak mungkin Kotarō memiliki kekuatan seperti itu. Tiba-tiba sebatang kayu bakar terlepas dari ikatannya dan mengenai dada nenek. Sebelum nenek meninggal, ia berpesan kepada Kotarō untuk mencari orang tua kandungnya di hulu sungai. Di hulu sungai ia bertemu dengan penduduk desa yang sedang berbincang, “Seandainya sungai ini adalah sawah, pasti kehidupan kita akan semakin membaik”. Kotarō memikirkan apa yang dikatakan penduduk desa tersebut. Tapi ia tidak tahu harus berbuat apa. Kotarō pada akhirnya dapat bertemu dengan ibu kandungnya yang ternyata wujud aslinya adalah seekor naga. Kotarō menceritakan keinginannya untuk menjadikan daerah tersebut menjadi lahan pertanian. Ibunya sedih karena sungai tersebut adalah tempat tinggalnya. Namun, ibunya memutuskan untuk membantu Kotarō dan ia akan pindah mencari sungai yang lain. Kotarō naik ke punggung ibu naganya, dan mereka berdua mulai memecahkan batu-batu dan mengalirkan airnya. Mereka berdua tidak mengenal lelah pagi dan malam bekerja keras hingga sampailah pada batu yang terakhir. Pada akhirnya air dapat dialirkan dan desa pun memiliki dataran yang luas. Kotarō dan ibu naganya pergi ke laut utara. Tapi jasa mereka tidak akan pernah dilupakan penduduk desa.

Gambar (3): Kotarō (Kotarō to Haharyū, 2006: 11—12)

18

Tokoh Kotarō melalui gambar (3) digambarkan sebagai anak laki-laki yang memiliki rambut yang panjang. Ia mengenakan baju berwarna coklat dan ikat pinggang berwarna oranye. Pada gambar diketahui Kotarō sedang menguap, hal ini mengambarkan bahwa ketika kecil ia adalah anak yang malas. (8).それは、あのかしらと、竜の女とのあいだにできた、男の子だったの です (Kotarō to Haharyū, 2006: 10). Terjemahan: ‘Anak itu adalah anak laki-laki dari pemimpin desa dan naga perempuan.’

(9).「よし。それなら、山へ、たきぎをとりに、いってくるだ」 さすがは竜の子です。そういって、とびだしていった小太郎は、あっと いうまに、山じゅうのたきぎを刈りあつめると、ひとたばにまとめて、 かえってきたではありませんか (Kotarō to Haharyū, 2006: 13). Terjemahan: ‘「Baiklah. Kalau begitu aku akan pergi ke gunung mencari kayu bakar」. Namanya anak seekor naga, ketika diberitahu demikian, Kotarō langsung melompat. Dalam sekejap ia berhasil mengumpulkan kayu bakar di seluruh penjuru gunung. Ia mengikatnya dan pulang.’

Dari kedua data tersebut diketahui ayah dari Kotarō adalah pemimpin desa sedangkan ibunya adalah seekor naga. Fisik Kotarō digambarkan sangat kuat dibuktikan dengan ia dapat mengumpulkan kayu bakar yang terdapat di seluruh penjuru gunung seorang diri dalam sekejap.

5.1.1.4 Sannen Netarō Sannen Netarō berasal dari kata sannen 三年 yang berarti ‘tiga tahun’, ne 寝 yang berarti ‘tidur’, dan Tarō 太郎 yang berarti ‘anak laki-laki’. Tokoh Tarō ini mendapat julukan Sannen Netaro setelah ia tidur selama tiga tahun berturut-turut. Saat penduduk desa sibuk dengan kegiatan menanam padi, Sannen Netarō tetap tidur tanpa membantu apapun. Penduduk desa mengatakan Sannen Netarō sebagai anak pemalas dan mengolok-oloknya. Siapapun tidak ada yang bisa membangunkannya dengan cara apa pun. Kotarō bangun kira-kira setiap tiga hari sekali untuk buang air. Ia memanjat bukit sambil melihat sekeliling. Penduduk yang melihatnya terkesan aneh. Musim berganti musim, tahun berganti tahun tapi Sannen Netarō tetap melanjutkan tidurnya. Tibalah pada tahun ketiga. Di tahun tersebut kekeringan melanda desa, penduduk desa mengira bahwa hal tersebut disebabkan oleh Sannen Netarō yang dikutuk oleh dewa karena kemalasannya. Penduduk desa berniat mengusir Sannen Netarō 19

dari desa tersebut. Pada suatu hari ketika penduduk desa berangkat untuk mengusir Sannen Netarō, ia pun bangun dari tidurnya, dengan langkah yang lain dari biasanya ia menuju kepuncak bukit. Penduduk heran melihat tingkah lakunya dan bertanya-tanya apa yang akan dilakukan oleh Sannen Netarō. Sannen Netarō berusaha mendorong batu besar yang ada dipuncak bukit dengan sekuat tenaga. Awalnya sangat sulit, tapi ia tidak pantang menyerah. Akhirnya jatuhnya batu itu diikuti dengan jatuhnya batu-batu yang lain dan membelah aliran sungai sehingga desapun dapat dialiri air sungai. Penduduk yang melihat hal tersebut pun berteriak gembira “Air..” Penduduk pada akhirnya melupakan apa yang telah dilakukan Sannen Netarō selama tiga tahun ini. Mereka sangat berterimakasih kepada Sannen Netarō karena berkat pemikirannya, desa mereka tidak kekeringan lagi dan hasil kebun pun melimpah. Para penduduk kini membiarkan Sannen Netarō tidur seharian, mereka menganggap bahwa Sannen Netarō tidak hanya sekedar tidur, ia pasti sedang memikirkan hal yang baik untuk kemajuan desanya. Penduduk desa pun menyayangi Sannen Netarō.

Gambar (4): Sannen Netarō (Sannen Netarō, 2009: 5)

Melalui gambar (4) tokoh Netarō digambarkan sebagai remaja yang memiliki tubuh yang tambun. Ia mengenakan pakaian yang lusuh. Kumis serta janggutnya pun terlihat tidak rapi. Ia digambarkan sedang tertidur pulas. (10).それでも寝太郎は、力をこめて、いっしんに、おしておして、おし まくりました (Sannen Netarō, 2009: 30). Terjemahan: ‘Meskipun demikian Kotarō tetap mengumpulkan tenaganya, dengan sungguh- sungguh mendorong, mendorong, dan mendorong batu tersebut.’

20

Meskipun dalam gambar tokoh Netarō digambarkan sebagai laki-laki yang memiliki hobi tidur, tetapi dalam data diketahui bahwa ia juga memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia sendirian berhasil mendorong batu yang sangat besar yang terletak di puncak bukit. Awalnya memang ia mengalami kendala, batu yang didorongnya tidak berpindah sedikit pun. Namun dengan pantang menyerah dan tekad yang kuat, ia pun berusaha sekuat tenaga dan akhirnya, batu besar itu terjatuh dan dapat memecah aliran sungai sehingga desanya mendapatkan aliran air.

5.1.1.5 Urashima Tarō Nama Urashimatarō terdiri dari empat buah huruf kanji, yaitu ura 浦 ‘tepi laut’, shima 島 ‘pulau’, dan Tarō 太郎 ‘anak laki-laki’. Urashima Tarō dapat diartikan sebagai seorang anak laki-laki yang tinggal di sebuah pulau yang terletak di tepi laut. Urashima Tarō adalah seorang nelayan, yang sangat suka bermimpi. Dibandingkan dengan memancing ikan, ia lebih senang berkhayal bagaimana jika ia menjadi ikan. Suatu hari Urashima Tarō berusaha menyelamatkan kura-kura dari gangguan anak-anak kecil. Urashima Tarō pun berpesan agar kura-kura tersebut lebih berhati-hati dan jangan sampai tertangkap untuk kedua kalinya. Beberapa tahun berlalu, ketika Urashima Tarō memancing datanglah kura-kura yang pernah ditolongnya. Kura-kura tersebut mengajak Urashima Tarō untuk berkunjung ke istana bawah laut sebagai ucapan terimakasih. Urashima Tarō naik ke punggung kura-kura dan berangkat menuju istana bawah laut. Urashima Tarō terkejut dengan keindahan istana bawah laut, ia merasa mimpinya selama ini terwujud. Urashima Tarō sangat bahagia, ia disambut Tuan Putri, dapat menikmati tarian, makanan enak dan pemandangan yang indah. Namun, setelah beberapa lama ia teringat akan ibunya, kampung halamannya dan kehilangan keceriaannya. Putri yang melihatnya pun memberikan Urashima Tarō sebuah kotak yang bernama tamatebako. Urashima Tarō pulang diantar kura-kura. Sesampainya ia di daratan, Urashima Tarō terkejut karena ia tidak menemukan rumahnya, ibunya, bahkan ia sudah tidak mengenali orang-orang disekitanya lagi. Ia kebingungan dan akhirnya membuka kotak pemberian Putri. Namun, seketika Urashima Tarō memiliki jenggot putih dan menjadi kakek-kakek. Ternyata walaupun hanya terasa dua sampai tiga hari berada di istana laut tetapi pada dunia nyata sudah berlangsung seratus tahun. Urashima Tarō menjadi bingung yang manakah sebenarnya mimpi. Apakah keberadaannya di istana bawah laut atau keberadaannya di darat saat ini yang merupakan khayalannya.

21

Gambar (5): Urashima Tarō 1 (Urashima Tarō, 2005: 3)

Pada gambar (5) diketahui kondisi fisik tokoh Urashima Tarō. Kepala Urashima Tarō hanya ditumbuhi rambut pada bagian belakang, sedangkan bagian atasnya tidak ada sehelai rambut pun. Pada gambar Urashima Tarō mengenakan baju merah dengan motif bunga dan bawahan yang dikenakannya berwarna coklat berbahan jerami. Ia juga digambarkan sedang berkhayal, membayangkan kondisi bawah laut.

Gambar (6): Urashima Tarō 2 (Urashima Tarō, 2005: 33)

(11). そして、あっというまに、浦島太郎は、しろいひげの、おじいさん になってしまいました (Urashima Tarō, 2005: 32). Terjemahan:

22

‘Kemudian, dalam sekejap Urashima Tarō ditumbuhi jenggot putih, dan ia menjadi kakek-kakek.’

Melalui gambar (6) dan data (11) diketahui penggambaran fisik tokoh Urashima Tarō setelah tua. Urashima Tarō berubah menua secara tiba-tiba setelah membuka kotak pemberian tuan Putri. Dalam sekejap ia berubah menjadi kakek-kakek yang sangat tua dengan ditumbuhi jenggot berwarna putih yang panjang dan lebat.

5.1.2 Bushido Tokoh Tarō Selain dari segi fisik, maskulinitas tokoh Tarō dalam mukashi banashi dapat diketahui melalui sifat dan sikap masing-masing tokoh. Terdapat sebuah ajaran yang dipegang teguh oleh laki-laki Jepang yaitu bushidō 武士道. Dalam bushidō yang terlibat tidak hanya semangat bela diri dan keterampilan dengan senjata, tetapi juga loyalitas mutlak untuk seorang atasan, rasa yang kuat dalam menjunjung kehormatan pribadi, pengabdian kepada tugas, dan keberanian, jika diperlukan, untuk mengorbankan hidup seseorang dalam pertempuran atau dalam ritual bunuh diri. Sisi maskulinitas tokoh dapat diketahui melalui 7 ajaran bushidō yaitu, gi (kejujuran dan keadilan), yuu (keberanian), jin (kebajikan), rei (sopan santun), makoto(ketulusan hati), meiyo(kehormatan), dan chūgi (kesetiaan). Kelima tokoh Tarō dalam mukashi banashi diketahui memiliki 6 dari 7 ajaran bushidō yang telah disebutkan, yaitu sebagai berikut.

5.1.2.1 Gi Gi 儀 adalah kejujuran dan keadilan. Gi merupakan hal yang utama yang harus dimiliki oleh seorang samurai. Kejujuran adalah kekuatan untuk mengambil keputusan secara adil. Seorang samurai harus mampu membuat keputusan yang benar. Keputusan diambil bukan berdasarkan pendapat kebanyakan yang menyatakan bahwa hal tersebut benar. Namun kebenaran disini adalah kebenaran yang diyakini dirinya pribadi dengan prinsip moralitas. Keputusan apa pun yang diambil adalah keputusan tanpa ragu dengan didasarkan alasan yang kuat dan rasional (Nitobe, 2008: 19—23). Dalam mukashi banashi para tokoh Tarō juga dituntut siaga dan langsung mengambil sikap dalam memutuskan sesuatu. 23

(12). 「やるぞぉ!」すっくとたった桃太郎、はじめて口をきいた (Momotarō, 2009: 7). Terjemahan: ‘「Baik akan aku lakukan!」 Momotarō pun membuka mulutnya untuk pertama kali.’

Pada mukashi banashi Momotarō, tokoh Momotarō digambarkan tidak menangis bahkan tidak mengeluarkan sepatah kata pun sejak lahir. Namun, ketika mengucapkan kata pertamanya bukanlah “mama” atau “papa” yang ia panggil, tetapi ia mengatakan “yaruzo!” yang berarti ‘baik akan aku lakukan!’. Melalui kata “yaruzo!” tergambar keputusan bulat tokoh Momotarō untuk pergi menangkap oni (setan) ke pulau onigashima (pulau setan). Ia mengetahui bahwa perbuatan oni yang telah membuat kekacauan di desanya hingga merampas harta kekayaan penduduk desa adalah hal yang salah sehingga ia memutuskan untuk segera pergi agar kekacauan tidak bertambah parah dan masyarakat desa dapat kembali hidup tentram seperti sedia kala. (13). こうして、寝太郎は、大きな岩のある、山のてっぺんにたどりつい て、つぶやきました。 「うーん。やっぱり、わしのかんがえは、まちがっちょらん。そうじゃ、 はようせんと、稲がかれてしまう。。。」(Sannen Netarō, 2009: 26). Terjemahan: ‘Kemudian, Netarō tiba di puncak bukit yang terdapat batu besar diatasnya. Ia pun berguman 「Ya, benar. Apa yang saya pikirkan tidak mungkin salah. Kalau begitu saya harus segera… kalau tidak benih padi yang telah ditanam akan mati…」’

Tokoh Netarō setelah tidur selama tiga tahun memutuskan untuk pergi ke puncak gunung dan melakukan sesuatu. Ia berkata “Un, Yappari, Washi no kangae wa, machigcachoran”, yang berarti ‘Ya, benar. Apa yang saya pikirkan tidak mungkin salah’. Setelah berfikir cara terbaik mengatasi kekeringan yang melanda desanya sambil tertidur, bangunlah Netarō dari tidurnya yang panjang. Kata “Un, Yappari”, merupakan kata penegas bahwa ia yakin dengan keputusannya, apa yang ada dipikiran memanglah ide terbaiknya dan telah dipikirkan secara matang. Ia mengambil keputusan untuk mendorong batu besar yang ada di puncak bukit sebagai pemecah aliran sungai agar air mengalir ke sawah di desanya. Penduduk desa pun bisa menanam padi dan mendapatkan hasil panen yang melimpah.

24

5.1.2.2 Yuu Yuu 勇 adalah keberanian. Samurai dituntut untuk berani melakukan yang benar. Dalam situasi apapun, ia harus mampu menangani situasi dengan gagah berani dan percaya diri. Samurai tidak boleh takut sakit ataupun terluka apalagi menangis karena hal kecil. Bushidō mengajarkan seseorang untuk berani walaupun ketika harus menghadapi kematian. (14). はなも、あらしもふみこえて—こころにちかったオニたいじ、鬼ガ 島めざして、まっしぐら。おそれをしらぬ、桃太郎 (Momotarō, 2009: 13). Terjemahan: ‘Meskipun melewati bunga-bunga yang indah, meskipun melewati badai yang hebat, mereka tidak peduli, hati mereka tetap di satu tujuan yaitu pergi ke pulau onigashima. Momotarō tidak mengenal takut sedikit pun.’

(15). けれども、金太郎は、へいきです。にげるどころか、はんたいに、 クマにけっとうを、もうしこみました。「よーし、クマくん、ぼくがあい てだ!さあ、こい!!」(Kintarō, 2009: 27). Terjemahan: ‘Tetapi, Kintarō sangat tenang. Ia tidak melarikan diri, sebaliknya Ia mengajak beruang untuk berduel. 「Ayo beruang lawanlah aku! Ayo, datanglah!!」’

Tokoh Momotarō dan Kintarō adalah dua tokoh yang sangat berani dalam mukashi banashi. Momotarō tidak takut sedikitpun terhadap oni (setan), sebaliknya Momotarō mendatangi pulau tempat tinggal para setan yaitu onigashima. Tokoh Kintarō pun tidak kabur ketika bertemu dengan binatang yang paling buas di hutan yaitu beruang, ia malah mengajak beruang “Yoshi, Kuma Kun, Boku ga Aite da! Saa, koi!!”, ‘Ayo beruang, lawan aku, Ayo datang kemari!!”. Kintarō tidak berlari tetapi malah mengajak beruang menjadi lawan mainnya dalam pertandingan sumō. Kedua tokoh ini digambarkan tidak takut sedikitpun walau sedang menghadapi lawan yang berbahaya yang dapat membahayakan nyawa mereka. Mereka tidak takut akan kematian.

5.1.2.3 Jin Jin 仁 adalah kebajikan. Kebajikan disebut sebagai sisi lembut atau feminin dari seorang samurai. Samurai dituntut memiliki rasa cinta kebesaran jiwa, kasih sayang kepada sesama manusia. Simpati dan rasa iba merupakan kebajikan yang paling mulia yang dimiliki manusia (Nitobe, 2008: 30). Akar dari kebajikan adalah empati terhadap penderitaan orang lain.

25

Seseorang dapat dikatakan bijaksana apa bila benar-benar memikirkan orang-orang yang menderita dalam kesusahan. (16). そのころ、村にはしばしば、おそろしいオニがあらわれて、ものと り、火つけ、こうとう、ひとさらい… ひどいらんぼうをくりかえして、 村びとたちをくるしめておりました。ちからのつよい桃太郎。これをみ ては、もうとても、がまんができなかった。ゆるしておいてなるものか (Momotarō, 2009: 10). Terjemahan: ‘Pada waktu itu, di desa sering kali kedatangan oni (setan) yang menyeramkan. Ia mengambil barang, membuat rusuh, merampok, bahkan menculik penduduk desa. Mereka berkali-kali mengamuk, sehingga penduduk desa menderita karenanya. Momotaro yang kuat, tidak tinggal diam mengetahui hal tersebut. Apakah ia akan memaafkan mereka?’

(17).「この湖が、畑だったら…?」小太郎は、つぶやきました。 「そうだ、この湖の水を流して、畑をつくればいい!! うん、そう だ!そうするだ!」小太郎は、けっしんしました (Kotarō to Haharyū, 2006: 15). Terjemahan: ‘Kotarō berguman, 「Seandainya danau ini adalah ladang…?」「Kalau begitu, Aiir danau ini dialirkan, dan lebih baik kita membuat ladang!! Ya, begitu! Ayo kita buat seperti itu!」Kotarō pun bertekad demikian.’

(18). 寝太郎はけっして、ただ寝てばかりいたのではなかったのです。寝 ながらも、村を日照りからすくことを、ずうっと、かんがえていたので す(Sannen Netarō, 2009: 31). Terjemahan: ‘Netarō tidak hanya sekedar tidur saja. Sambil tertidur, ia memikirkan bagaimana cara menyelamatkan desa dari bencana kekeringan.’

Dari data (16), (17), dan (18) diketahui bahwa tokoh Momotarō, Kotarō, dan Sannen Netarō masing-masing memikirkan penduduk desa sekitar tempat tinggal mereka. Ketiga tokoh tersebut memiliki empati yang sangat tinggi terhadap penderitaan orang lain. Tokoh Momotarō bersimpati terhadap penduduk desa yang sering diganggu oleh kedatangan oni ke desa mereka. Oni membuat kegaduhan seperti mencuri, merampok, bahkan menculik. Oleh karena itu, Momotarō tidak tinggal diam dengan pergi ke pulau Onigashima untuk menangkap setan. Kotarō juga memikirkan penduduk desa sekitarnya, selama ini ia tinggal di daerah yang dikelilingi gunung dan danau, sehingga lahan untuk menanam sangat sempit, penduduk desa pun sering kekurangan hasil pertanian. Ia berfikir bagaimana jika air danau

26

yang mengelilingi desa mereka dialirkan, sehingga lahan bekas aliran danau tersebut dapat dijadikan ladang untuk ditanami tanaman pertanian sehingga penduduk desa tidak mengalami kekurangan bahan makanan. Netarō juga demikian, ia memikirkan bagaimana caranya agar desanya terbebas dari bencana kekeringan, walaupun caranya sedikit unik, yaitu berfikir sambil tidur. Pada awalnya, cara Sannen Netarō berfikir membuat penduduk desa salah paham, ia dikira sebagai pemalas. Namun, ketika tertidur, sebenarnya Sannen Netarō memikirkan cara terbaik agar desa mereka dapat dialiri air. Pada akhirnya ia menemukan sebuah cara yaitu dengan mendorong batu besar yang ada di pucak gunung sehingga batu tersebut dapat memecah aliran sungai yang ada di bawahnya, dan desa pun dapat dialiri air sungai dan terbebas dari kekeringan. (19).「さあ、いこう。でもね、虫をふんじゃあ、だめだよ」気はやしく て、力もち。金太郎は、ケムシ一匹にも、やさしいこころを、もってい ました (Kintarō, 2009: 23). Terjemahan: ‘Kintarō yang baik hati dan kuat berkata, 「Ayo berangkat. Tapi jangan sampai kalian menginjak serangga ya」. Kintarō memiliki hati yang lembut bahkan untuk seekor serangga sekali pun.’

(20).「この、あくたれぼうずども!よわいものを、いじめちゃいけない ぞ」太郎は、子ガメをたすけて、海へ、はなしてやりました。「きをつ けて、かえれやぁ。もう、二度と、つかまらないようになぁ」(Urashima Tarō, 2005: 5). Terjemahan: ‘「Kalian, anak laki-laki yang nakal! Jangan menyakiti orang yang lemah」Tarō menolong anak kura-kura dan mengantarnya ke laut. 「Hati-hati pulangnya ya. Jangan sampai kamu tertangkap untuk yang kedua kalinya」’

Pada tokoh Kintarō pada data (19) dan Urashima Tarō pada data (20) diketahui bahwa tokoh tersebut tidak hanya memikirkan teman-teman dan keluarganya. Mereka sangat peduli terhadap para binatang. Tokoh Kintarō bahkan sangat memikirkan hidup seekor serangga. Ia menyuruh teman-temannya untuk jalan dengan berhati-hati agar jangan sampai menginjak seekor serangga pun. Tokoh Urashima Tarō pun digambarkan sangat peduli terhadap seekor anak kura-kura yang lemah. Urashima Tarō menyelamatkan anak kura-kura tersebut dari gangguan beberapa anak laki-laki yang nakal. Anak laki-laki menangkap kura-kura kecil dan memukul-mukulnya dengan sebatang tongkat. Urashima Tarō yang melihat hal tersebut tidak

27

tinggal diam Ia menolong anak kura-kura dan mengusir anak laki-laki nakal tersebut. Kelima tokoh digambarkan sebagai tokoh yang sangat kuat tetapi tetap memiliki sifat kebajikan yang luar biasa.

5.1.2.4 Makoto Makoto 真 berarti ketulusan hati. Ketulusan hati seorang samurai lebih mengarah kepada bersikap jujur terhadap diri sendiri. Samurai harus bertindak benar dan melakukan suatu hal dengan kemampuan terbaik. Jika seorang samurai mengatakan sesuatu, maka orang yang mendengarnya akan berkeyakinan bahwa hal tersebut pasti terlaksana. Kata-kata yang diucapkan dari mulut samurai dikenal dengan istilah “Bushi no Ichigon” artinya ‘ucapan samurai adalah kejujuran’, sehingga janji seorang samurai harus ditepati walaupun tidak terdapat pernyataan tertulis. Oleh karena itu, jika janji tersebut dilanggar maka harus ditebus dengan nyawa. Berbohong dianggap suatu bentuk tindakan pengecut. Ucapan seorang samurai adalah kejujuran yang hampir sama nilainya dengan harga diri (Nitobe, 2008: 54). (21). それが、おとこのいきるみち(Momotarō, 2009: 13). Terjemahan: ‘Ini adalah jalan hidup seorang laki-laki.’

Data tersebut termasuk salah satu bushi no ichigon, janji samurai yang diucapkan tokoh Momotarō. Ia mengatakan “Sore ga, Otoko no ikiru michi” yang berarti ‘ini adalah jalan hidup seorang laki-laki’. Momotarō yang merasa dirinya mampu, berjanji kepada dirinya sendiri dan penduduk desa untuk menangkap oni. Setelah sampai di onigashima ia pun dengan tidak gentar melawan dan berhasil mengalahkan para oni. Tidak ada ketakutan sedikit pun terhadap apa yang akan dihadapi, apapun yang terjadi ia tidak menyerah, menepati janjinya menangkap oni dan mengembalikan barang-barang penduduk desa yang telah dicuri. Desa pun kembali aman dan tentram seperti sediakala.

5.1.2.5 Meiyo Meiyo 名誉 yang berarti ‘kehormatan’. Kehormatan para samurai dilandasi perasaan malu. Anak-anak samurai sedari kecil dididik untuk menghadapi berbagai kekurangan dan mengalami ujian baik fisik maupun mental yang berat. Kehormatan yang diraih sejak dini akan terus berkembang hingga mereka beranjak tua. Samurai akan bersungguh-sungguh dan penuh kerelaan untuk mengorbankan hidup mereka demi kehormatan diri (Nitobe, 2008: 63). 28

(22). 桃太郎たちは、わきめもふらずに、ずんずんすすむ(Momotarō, 2009: 22). Terjemahan: ‘Momotarō bersama kawan-kawannya maju terus tanpa menoleh ke kiri dan kanan.’

(23). こうして…、なんにちも、なんにちも、母竜と小太郎は、まわりの 山にむかって、たいあたりをくりかえしたのです。 きずついた母竜のからだからは、血がながれましたが、それでも二人は、 けっしてやめようとは、しませんでした (Kotarō to Haharyū, 2006: 30). Terjemahan: ‘Kemudian, beberapa hari pun berlalu. Kotarō dan ibu naganya berulang kali menubrukkan diri pada gunung yang terdapat disekitarnya. Meskipun darah keluar dari badan ibu naga yang terluka, mereka berdua sedikit pun tidak ingin berhenti.’

Tokoh Momotarō dan Kotarō sama-sama memiliki kehormatan yang tinggi. Mereka berdua tidak gentar menghadap ujian fisik maupun mental yang sedang menanti di hadapan mereka. Kedua tokoh tersebut memiliki rasa malu untuk menyerah pada apa yang awalnya telah mereka perjuangkan. Momotarō melangkah yakin bersama teman-teman binatangnya ketika telah sampai di onigashima (pulau setan) tidak ada keinginan untuk menoleh ke kanan maupun ke kiri, mereka yakin akan tujuannya walaupun onigashima dihuni oleh banyak setan yang bertubuh lebih besar dibandingkan mereka. Sedangkan tokoh Kotarō bersama ibunya yang telah berhari-hari berjuang untuk menghancurkan gunung, agar air danau mengalir dan danau tersebut dapat dijadikan sebagai lahan pertanian. Walaupun lelah dan darah mengucur tetapi mereka tidak sedikit pun berniat untuk berhenti berjuang. Kedua tokoh ini menjaga kehormatan mereka dengan tidak ingkar janji dan putus asa, mereka tetap mengambil langkah maju ke depan dengan sangat yakin dan tanpa keraguan sedikitpun. Seorang samurai merasa malu jika tidak dapat memenuhi janji mereka walaupun harus berkorban nyawa untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

5.1.2.6 Chūgi Chūgi 忠義 adalah kesetiaan. Kesetiaan seorang samurai dilandasi oleh hutang budi, kepatuhan, dan ketulusan hati. Ciri khas dari golongan samurai yang mungkin tidak ditemukan pada golongan lain atau pun ksatria di negara lain adalah kesetiaan yang tinggi kepada atasannya. Ketaatan terhadap panggilan tugas, kepatuhan sepenuhnya terhadap

29

perintah atasan. Para ibu di Jepang juga tidak ragu mengajarkan anaknya untuk mengorbankan segala-galanya bagi pemimpin tertinggi mereka yaitu Tenno, ‘kaisar Jepang’. Istri seorang samurai juga sejalan dengan suaminya akan mengorbankan anak-anak mereka demi kesetiaan terhadap pimpinan. Samurai diajarkan untuk mempertaruhkan segala-galanya hidup dan mati mereka demi negara atau bagi yang memegang kekuasaan negara tersebut secara sah. Dalam kesetiaan, samurai dituntut untuk siap menerima perintah tuannya, menghabiskan waktu untuk menjalankan tugas dan kewajibannya (Nitobe, 2008: 72). (24).さて、桃太郎は、鬼ガ島めざしていっちょくせん。そのときイヌが でてきて、桃太郎のキビだんごをねだった。「くれたら、けらいになる よ」イヌは、キビだんごをたべてけらいになった。 そこへサルもでてきて、キビだんごをたべて、けらいになった。キジも、 でてきた。これまた、キビだんごをねだって、けらいになった。 イヌ、サル、キジをともにして、ゆくは、われらが桃太郎 (Momotarō, 2009: 12). Terjemahan: ‘Kemudian, Momotarō melanjutkan perjalanan menuju Onigashima (pulau Setan). Saat itu, Momotarō dihampiri seekor anjing yang meminta kue kibidango. 「Kalau kamu memberikannya, aku akan menjadi bawahanmu」. Anjing pun memakan kibidango dan menjadi bawahan Momotarō. Kemudian datanglah seekor monyet yang juga meminta kibidango, kemudian menjadi bawahan Momotarō. Burung Pegar pun demikian, ia meminta kibidango dan menjadi bawahan Momotarō.’

Sikap kesetiaan, dalam hal ini tidak ditunjukkan oleh tokoh Tarō kepada atasannya. Tetapi ditunjukkan oleh binatang, yaitu anjing, monyet, dan burung pegar yang di tengah jalan bertemu dengan Momotarō. Mereka bertiga berjanji jika diberikan masing-masing sebuah kue kibidango maka mereka bersedia mengikuti kemana pun Momotarō pergi. Kesetiaan dalam dongeng dicerminkan ketika ketiga binatang mengikuti Momotarō pergi ke pulau Onigashima. Tidak hanya mengikuti tetapi mereka bertiga bahu membahu membantu Momotarō melawan oni. Pada mukashibanashi diceritakan burung pegar bertugas terbang mendahului untuk mengintai keberadaan oni. Burung pegar melaporkan bahwa para oni sedang berpesta sake. Monyet berugas memanjat tembok dan membuka kunci pintu gerbang dari dalam, sedangkan anjing menunjukkan arah. Mereka berempat bekerja sama sehingga oni pun dapat dikalahkan.

30

5.1.3 Sisi Lain Tokoh Tarō Pada sub bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai ciri fisik serta sifat ksatria kelima tokoh Tarō yang tercermin dalam ajaran bushidō. Namun, terdapat pula beberapa sikap maupun sifat dari tokoh Tarō yang tidak mencerminkan sisi maskulinitas mereka, di antaranya adalah sikap pemalas, ketergantungan terhadap seorang ibu, dan suka bermimpi.

(25). 食べては、ねむり、食べては、ねむり…の、ものぐさ太郎。小太郎 は、まいにち、あくびばかり、しておりました。それでも、おばあさん は、小太郎を、わが子のように、かわいがりました。 …そんなある日のこと、おばあさんが、「おまえも、そろそろ、一人ま えの男だて。たまには、ばばのてつだいも、してくれや」小太郎に、こ ごとをいいますと…. (Kotarō to Haharyū, 2006: 11—13). Terjemahan: ‘Makan, tidur, makan, tidur... Kotarō yang pemalas. Kotarō setiap hari kerjanya hanya menguap. Meskipun demikian nenek tetap menyayanginya seperti anak sendiri. …Sampai pada suatu hari, Nenek menegur Kotarō, 「 Kamu akan segara beranjak dewasa, sekali-sekali bantulah nenek」’

(26).この男は、なまけものなんかじゃなかったのです。ところが、いつ のころからか、ふいと寝たきり、おきてこなくなってしまったのです (Sannen Netarō, 2009: 5). Terjemahan: ‘Laki-laki ini sebenarnya bukanlah anak yang pemalas. Tetapi, entah sejak kapan, tiba-tiba ia hanya tertidur dan tidak terbangun.’

Tokoh Kotarō dan Sannen Netarō digambarkan sebagai tokoh yang pemalas. Masa kanak-kanak tokoh Kotarō dalam mukashi banashi dihabiskan dengan hanya makan tidur, makan tidur dan menguap. Sampai suatu saat nenek menegur agar Kotarō membantu pekerjaan nenek karena ia bukanlah anak kecil lagi. Setelah dinasehati, Kotarō remaja pun berubah menjadi anak yang rajin, bahkan ia dapat memikirkan masa depan desanya. Tokoh Netarō diceritakan pada awalnya bukanlah lelaki pemalas. Tidak diketahui kapan tepatnya, tapi tiba-tiba ia menjadi pemalas dan tidur selama tiga tahun berturut-turut. Orang-orang desa sampai memberinya julukan namake mono ‘pemalas” dan bachi atari ‘orang terkutuk’. Sebenarnya Netarō tidak sekedar tidur tetapi memikirkan nasib desanya. Setelah mengetahui hal tersebut, penduduk desa pun memujinya.

31

(27).「おっかあ!おら、おっかあとなら、どこへでも、いくだ!」小太 郎は、なみだにむせびながら、さけびました。「さあ、おのり。岩にぶ つかって、山をくずすんだよ」そこで小太郎は、母竜のせなかに、また がりました (Kotarō to Haharyū, 2006: 25). Terjemahan: ‘Kotarō berteriak sambil terisak-isak「Ibu! Aku akan ikut ke mana pun ibu pergi!」. 「 Kalau begitu naiklah. Ayo kita menabrakkan diri ke batu besar dan meruntuhkan gunung itu 」 . Disanalah Kotarō duduk diatas punggung ibu naganya.’

Tokoh Kotarō digambarkan memiliki ketergantungan terhadap ibunya yang seorang naga. Sejak kecil ia dibesarkan oleh seorang nenek yang memungutnya dari hulu sungai. Ketika untuk pertama kali bertemu dengan ibu kandungnya, ia pun terisak-isak “Okka! Ora, okka ato nara, iku da!” yang berarti ‘Ibu, aku akan ikut kemana pun ibu pergi’, menggambarkan sifat seorang anak yang tidak bisa terpisah jauh dari ibunya. Sifat ini jauh dari sifat maskulin, walaupun Kotarō digambarkan sosok yang kuat dalam memecahkan masalah untuk membantu penduduk, tetapi sebagai seorang anak ia tidak mau hidup terpisah dari ibu yang baru pertama kali ditemuinya. Ketakutan terpisah dari ibunya dikarenakan danau tempat tinggal ibunya adalah danau yang ingin ia alirkan airnya agar beralih fungsi menjadi lahan pertanian. Namun, konsekuensinya adalah ibunya, yang seekor naga harus pergi mencari tempat tinggal lain. Pada akhirnya setelah Kotarō dan ibunya mengalirkan air danau tersebut, dalam mukashi banashi diceritakan mereka pergi bersama menuju Laut Utara Jepang (Lihat Kotarō, 2006: 33).

(28). さかなをとることよりも、海をながめて、「おさかなに、なってみ たいなぁ」なんて、かんがえているほうが、ずっと、ずっと、すきでし た。ほんとうに、そうなったら、どんなにたのしいことでしょう。太郎 はいつも、そんなゆめばかり、みていました (Urashima Tarō, 2005: 4). Terjemahan: ‘Dibandingkan memancing ikan, ia jauh lebih suka memadang jauh kea rah laut sambil berfikir 「Bagaimana ya jika aku menjadi ikan」. Jika benar hal tersebut terjadi, pasti ia akan sangat menyenangkan. Tarō selalu memimpikan hal tersebut.’

Tokoh Urashima Tarō digambarkan sebagai tokoh yang sangat suka bermimpi. Pekerjaan utamanya adalah nelayan, meskipun demikian, ia lebih suka menghabiskan hari-harinya 32

dengan berkhayal menjadi seekor ikan dan hidup di bawah laut dibandingkan dengan memancing ikan. Impiannya pun terwujud setelah diundang ke istana bawah laut, oleh kura- kura yang pernah ditolongnya, tetapi sifat pemimpi ini jauh dari sifat laki-laki yang selalu dianggap rasional. Selain itu tokoh Urashima Tarō juga merasakan rindu yang teramat sangat pada kampung halamannya setelah beberapa hari berada di istana laut.

(29). けれども、このゆめのようなまいにちも、ながくはつづきませんで した。「おいらの村は、どうなったろう」「おっかさんは、げんきでお るじゃろか」いつしか、太郎のこころは、ふるさとをなつかしくおもう ように、なっていたのです。それで、太郎は、だんだんげんきが、なく なっていきました (Urashima Tarō, 2005: 22). Terjemahan: ‘Tetapi walaupun keseharian bagai hidup di alam mimpi, hal tersebut tidak bertahan lama. 「Bagaimana ya keadaan kampung halaman」「Apakah ibu sehat-sehat saja」Entah kapan Tarō menjadi rindu akan kampung halamannya. Oleh karena itu, perlahan-lahan keceriaan Tarō pun menghilang.’

Pada mukashi banashi diceritakan bahwa tokoh Urashima Tarō tiba-tiba merindukan kampung halaman tempat tinggalnya, dan mengkhawatirkan kesehatan ibunya. Ia pun perlahan-lahan kehilangan keceriaannya, bahkan ia menjadi tidak bahagia lagi karena rindu kepada orang-orang yang dikasihinya, meskipun selama ini impiannya adalah hidup di bawah laut menjadi ikan. Sikap ini tidak bisa disebut maskulin, karena tokoh Urashima Tarō masih merindukan tempat tinggal dan orang tuanya. Jika seorang samurai pergi bertugas maka ia harus melupakan segalanya termasuk tempat tinggal dan orang yang dicintainya. Ia harus fokus terhadap tujuannya pergi bertugas. Ingatan terhadap kampung halaman akan menghambat tugas seseorang laki-laki, terutama jika mereka merantau jauh dari tempat tinggal mereka.

5.2 Fungsi Mukashi Banashi Mukashi Banashi adalah bagian dari tradisi lisan Jepang. Seorang ahli tradisi lisan Amerika, yaitu William R. Bascom berbendapat bahwa secara umum tradisi lisan mempunyai empat fungsi (1) berfungsi sebagai sistem proyeksi (cerminan), (2) berfungsi sebagai alat legitimasi pranata-pranata kebudayaan, (3) berfungsi sebagai alat pendidikan, dan (4) berfungsi sebagai alat pemaksa atau pengontrol agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi

33

anggota kelompok masyarakatnya (dalam Sukatman, 2009: 7). Berikut adalah fungsi tradisi lisan yang terdapat dalam mukashi banashi Momotarō, Kintarō, Kotarō to Haharyū, Sannen Netarō, dan Urashima Tarō.

5.2.1 Sebagai Sistem Proyeksi Dongeng sebagai sistem proyeksi, yaitu melalui sebuah dongeng pembaca dapat mengetahui cerminan atau angan-angan suatu kelompok masyarakat. Keinginan individu dalam sebuah masyarakat umumnya dapat tercermin melalui sebuah dongeng. Dari kelima objek mukashi banashi diketahui cerminan masyarakat yang menginginkan kehadiran seorang buah hati yaitu pada mukashi banashi Momotarō dan Kotarō to Haharyū. (30). 桃からうまれた桃太郎(Momotarō, 2009: 5). Terjemahan: ‘Momotarō yang lahir dari buah momo (persik).’

(31). 家へつれてかえって、たいせつに、そだてることにしたのです。や がて、男の子は、小太郎と名づけられて(Kotarō to Haharyū, 2006:10). Terjemahan: ‘Nenek membawa anak tersebut pulang dan mengasuhnya dengan baik. Anak laki-laki tersebut kemudian diberi nama Kotarō.’

Dalam cerita Momotarō dan Kotarō to Haharyū diketahui cerminan masyarakat Jepang yang sangat menginginkan keturunan seorang anak laki-laki. Sistem keluarga Jepang disebut sistem ie, yaitu keluarga berdasarkan patrilineal, dimana tanggung jawab terhadap keluarga maupun leluhur harus diemban oleh anak laki-laki tertua yang disebut dengan istilah Chounan. Chounan harus bertanggung jawab terhadap keberlangsungan ie tersebut, dengan merawat orang tua, meneruskan usaha keluarga, dan melakukan upacara-upacara yang ditujukan kepada leluhur. Mengingat tugas seorang chounan yang berat tidak jarang chounan menyerahkan tugas tersebut kepada anak laki-laki kedua (jinan), dan begitu seterusnya. Hanya mereka yang mewarisi harta keluarga berhak tinggal di rumah orang tuanya, sedangkan anak-anak yang lain akan membentuk keluarga cabang dan tinggal di tempat yang lain. Asal-usul sistem ie adalah dari keluarga samurai pada zaman Edo (1600-1868). Perempuan dalam sistem Ie sangat tidak dihargai keberadaannya. Anak perempuan tidak berhak mewarisi apapun harta keluarga ayahnya. Oleh karena itu, jika keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka ia akan mengangkat anak laki-laki (yōshi) atau mengangkat

34

menantunya sebagai anaknya, yang dikenal dengan istilah mukoyōshi. Namun sistem ie telah dihapus oleh undang-undang nasional Jepang sejak tahun 1946. Dalam undang-undang tersebut juga diatur kesetaraan hak waris antara laki-laki maupun perempuan (Hirota, 2010: 83). (32). 竜宮での、たのしいまいにちが、つづきました。ほっぺたがおちそ うなほど、おいしいごちそうをたべて。さかなのおどりをみて。それに、 やさしい乙姫さまがいて… 太郎にとっては、ほんとうに、ゆめのような まいにちでありました (Urashima Tarō, 2005: 20).

Terjemahan: ‘Hari-hari bahagia di istana surga laut pun berlajut. Bagaikan pipi yang hampir terjatuh, setiap hari ia makan makanan yang enak, melihat tarian ikan. Selain itu juga, ditemani Tuan Putri yang baik hati… Bagi Tarō, hari-hari yang dilaluinya benar-benar seperti mimpi.’

Data tersebut terdapat dalam mukashi banashi Urashima Tarō. Pada cerita digambarkan keseharian Urashima Tarō di kerajaan surga laut. Setiap hari ia disuguhkan makanan yang enak, tarian yang indah, dan ditemani oleh putri yang baik hati. Cerminan keinginan manusia yang dapat diketahui melalui dongeng tersebut adalah, manusia selalu ingin hidup yang enak, makan-makanan yang lezat, mendapatkan hiburan, serta ditemani dengan pasangan hidup yang berparas menarik. Namun, hal tersebut didapat harus dengan susah payah dan bekerja keras, bukan hanya dengan bermimpi seperti yang dilakukan oleh Urashima Tarō.

5.2.2 Sebagai Alat Legitimasi Pranata Kebudayaan

Dongeng sebagai alat legitimasi pranata kebudayaan, umumnya mengatur agar masyarakat mencintai lingkungan sekitarnya. Kepercayaan mengenai suatu lingkungan sekitar yang dihuni makhluk halus atau makhluk menyeramkan disahkan oleh masyarakat sekitar agar manusia tidak merusak alam. (33). そこには、山いちばんのあばれもの、クマがすんでいました (Kintarō, 2009: 25). Terjemahan: ‘Disana, hiduplah beruang, makhluk yang paling ganas di hutan.’

Zaman dahulu, masyarakat Jepang membuat batas-batas wilayah dengan sangat ketat, anak-anak diajarkan untuk tidak sembarangan melintasi wilayah-wilayah tertentu karena

35

bahaya akan menanti mereka di luar sana. Melalui mukashi banashi Kintarō diceritakan bahwa di hutan yang dilalui oleh Kintarō dan kawan-kawannya dihuni oleh seekor beruang yang sangat ganas. Hal ini mengajarkan kepada manusia agar tidak pergi kehutan dan merusak hutan, tanaman beserta ekosistem yang hidup disana. Manusia diajarkan melestarikan alam sekitarnya.

(34). こまりきった村人たちは、雨ごいの火をたいてみたり、水神さまを まつってみたりしました。けれども、雨は、ちょっともふってくれませ ん (Sannen Netarō, 2009: 15). Terjemahan: ‘Masyarakat desa yang kesusahan. Menyalakan api amagoi, memuja dewa air. Tetapi, tidak sedikitpun hujan turun.’

Data tersebut terdapat dalam mukashi banashi Sannen Netarō. Melaui data diketahui bahwa penduduk desa memuja dewa air, sekaligus mengadakan upacara amagoi, agar hujan turun dan kekeringan yang melanda desa mereka dapat dihentikan. Amagoi adalah ritual di masa lalu berupa doa untuk meminta hujan. Ritual ini telah ada sejak masyarakat Jepang menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian. Doa ini dipanjatkan di kuil, disertai persembahan tarian pemanggil hujan yang umumnya disertai dengan suara drum Jepang (taiko) sebagai tiruan suara gemuruh. Masyarakat desa memohon kepada dewa air agar menurunkan hujan. Hingga kini Amagoi odori, ‘tarian hujan’ termasuk salah satu kesenian rakyat Jepang (Hirota, 2010: 211).

5.2.3 Sebagai Alat Pendidikan Fungsi kelima mukashi banashi sebagai alat pendidikan sebelumnya telah tercermin dalam 7 jalan bushidō yang telah dibahas sebelumnya. Konsep bushidō telah ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak Jepang. Mulai dari ajaran mengenai kejujuran dan keadilan, keberanian, kebajikan, kesopansantunan, ketulusan hati, kehormatan, hingga kesetiaan. Berikut adalah data mukashi banashi lainnya yang berfungsi sebagai alat pendidikan. (35).「よーし!この木をたおして、橋をつくろう」(Kintarō, 2007: 22) Terjemahan: ‘「Kalau begitu, ayo kita tebang pohon ini dan kita jadikan jembatan!」’

Data tersebut terdapat pada mukashi banashi Kintarō. Tokoh Kintarō bersama teman- temannya berniat pergi kehutan untuk mencari buah kuri. Ketika sampai di hutan, terdapat 36

jembatan putus sehingga mereka tidak dapat menyeberang. Anak-anak diajarkan untuk memiliki banyak akal untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapinya. Dalam dongeng Kintarō menebang pohon untuk dijadikan jembatan. Akhirnya mereka pun dapat melanjutkan perjalanannya. (36). 村人たちは、いまでは、「寝太郎のおかげじゃ、寝太郎はかしこ い」といって、よろこんでいます。でも、寝太郎のほうは、またもやゴ ロゴロと、寝てばっかり。しかし、村人たちは、もう、バチあたりなん ていいません。「寝太郎がまた、ええことを、かんがえちょるんじゃ」 そういって、寝太郎を、だいじにだいじにしましたとさ(Sannen Netarō, 2009: 33). Terjemahan: ‘Penduduk desa, berkata dengan gembira “ini adalah berkat Netarō, Netarō pintar”. Di pihak lain, Netaro masih dengan kebiasaannya tetap bersantai dan tidur saja. Namun, penduduk desa tidak menyebutnya orang terkutuk lagi. Penduduk berkata “Netarō pasti sedang memikirkan ide bagus lainnya”, penduduk pun menjaga Netarō dengan baik.’

Data tersebut adalah ungkapan para penduduk desa mengenai Sannen Netarō. Penduduk desa dahulu menyebut Sannen Netarō dengan sebutan bachi atari ‘manusia terkutuk’, hal ini karena penduduk desa menganggap Sannen Netarō yang kerjanya hanya tidur selama tiga tahun telah dikutuk oleh Tuhan sehingga mengakibatkan desa mengalami musim kemarau berkepanjangan. Tapi setelah jasa Netarō, akhirnya penduduk pun memuji Netaro sebagai anak yang pintar. Melalui mukashi banashi Sannen Netarō anak-anak diajarkan untuk menilai orang tidak hanya dari luarnya saja. Sifat malas Netarō yang hanya terlihat dari luar, sebenarnya tidak demikian. Dalam tidurnya ternyata Netarō berfikir keras bagaimana caranya mengatasi kekeringan desanya. Ia pergi kepuncak gunung, mendorong batu besar ke arah sungai. Batu besar tersebut memecah aliran sungai sehingga desa Sannen Netarō pun dapat dialiri air sungai.

(37).「太郎さん。あのときは、ほんとうに、ありがとう。おれいに、海 のそこの、うつくしごてんへ、ごあんないしましょう。そこは、竜宮と いいましてね。きれいな海の花にかこまれた、とてもすばらしいところ ですよ。さあ、いきましょう。どうぞ、わたしのせなかに、のってくだ さい」(Urashima Tarō, 2005: 8). Terjemahan: ‘「Tuan Tarō. Terimakasih karena anda pernah menolong saya. Sebagai ucapan terimakasih, saya akan mengantarmu ke istana bawah laut yang indah. Istana

37

tersebut istana surga laut. Istana yang dikelilingi bunga laut, benar-benar tempat yang sangat menakjubkan. Ayo, kita pergi. Silahkan naik ke atas badan saya」’

Data tersebut adalah percakapan antara kura-kura dengan Urashima Tarō. Pada dongeng ini anak-anak diajarkan untuk mengucapkan terimakasih dan membalas hutang budi kepada orang yang telah membantu. Seperti pada data diketahui bahwa kura-kura mengucapkan terima kasih kepada Urashima Tarō karena telah menyelamatkan nyawanya beberapa tahun yang lalu dari kejahilan anak-anak kecil yang telah mengganggunya. Sebagai ucapan terimakasih kura-kura mengajak Urashima Tarō pergi untuk melihat keindahan istana surga laut. Di Jepang hutang budi dikenal dengan istilah on. On adalah hutang sosial dan psikologis yang dimiliki seseorang setelah menerima karunia atau hadiah yang besar (Hirota, 2010: 65). Kura-kura merasa wajib membalas hutang budi Urashima Tarō, kewajiban membayar hutang budi disebut ongaeshi. Ongaeshi dapat berupa bentuk sikap hormat, layanan, maupun loyalitas kepada seseorang yang telah berjasa.

5.2.4 Sebagai Norma Pengontrol Masyarakat Manusia sebagai makhluk sosial tentunya memiliki kecenderungan untuk hidup dalam sebuah kelompok. Agar tidak terjadi masalah, maka norma-norma dalam hidup secara berkelompok perlu diatur dalam norma-norma atau peraturan yang telah disepakati bersama. Masyarakat pertanian di Jepang memiliki norma yang disebut murahachibu yang terdapat dalam mukashi banashi Sannen Netarō. (38).人々はたがいに協力しあい、助けあって暮らさなければならなかっ たのです。もし村のなかにルールをやぶるものがいれば、こらしめなけ ればなりません。そこでうまれたのが「村八分」という制度でした。村 八分にされると、口もきいてもらえなければ、ときに人間あつかいされ ないこともありました。グーグー寝てばかりの三年寝太郎も、誤解され て、あやうく村八分にされるところでした (Sannen Netarō, 2009: 1). Terjemahan: ‘Penduduk harus hidup saling bekerja sama dan saling membantu. Jika ada seseorang yng melanggar aturan maka akan dihukum. Dari sanalah lahir sistem yang disebut murahachibu. Melihat Sannen Netarō yang kerjanya hanya tidur penduduk desa pun salah paham dan ia hampir terkena murahachibu.’

Tokoh Sannen Netarō kesehariaannya hanya tidur tanpa pernah membantu masyarakat sekitar dalam mengembangkan pertanian di desanya. Penduduk desa pun menjadi salah paham dan hampir mengusir Sannen Netarō. Aturan demikian dibuat atas kesepakatan 38

bersama, yang disebut murahachibu. Murahachibu dapat diartikan diasingkan dari desa. Pada prakteknya, pembatasan rumah tangga dari partisipasi penuh di kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan. Rumah tangga yang dikucilkan disebut juga sebagai murahachibu. Anggota rumah tangga secara rutin melakukan ritual keagamaan komunal dan saling bantu-membantu serta bekerja sama, khususnya untuk tujuan produksi beras dan irigasi. Tindakan seperti memotong kayu bakar di hutan tanpa izin atau melakukan tindakan ilegal menjadi alasan munculnya tuduhan kesalahan terhadap rumah tangga di sebuah pertemuan dewan dusun. Jika telah disepakati bahwa tuduhan tersebut sah, maka pemberitahuan resmi untuk pengucilan akan dikirimkan ke rumah. Perpindahan penduduk desa ke kota menjadi pegawai kantoran menggantikan posisi pertanian membuat insiden pengucilan telah berkurang secara bertahap (Hirota, 2010: 125—127). Dalam mukashi banashi, tokoh Sannen Netarō tidak jadi dikucilkan penduduk desa, karena sebenarnya ia tidak hanya tertidur tetapi memikirkan nasib desanya. Selama tiga tahun ia tertidur sambil memikirkan bagaimana cara mengatasi kekeringan yang melanda desanya.

5.3 Nilai Budaya Jepang dalam Mukashi Banashi Koentjaraningrat berpendapat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 2009: 165). Berikut adalah unsur kebudayaan Jepang yang dapat ditemukan dalam kelima mukashi banashi.

5.3.1 Bahasa Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi manusia satu dengan yang lain. Bahasa merupakan salah satu unsur budaya yang dapat membantu manusia dalam memahami simbol, khusunya simbol verbal dalam berkomunikasi. Kosakata bahasa Jepang tentunya mencerminkan budaya Jepang itu sendiri. Berikut terdapat tiga kosakata bahasa Jepang yang memiliki filosofi khusus dalam penggunaannya. Kata tersebut adalah banzai, ganbaru, dan san.

39

(39).「やったー!!ばんざーい」とうとう、金太郎は、木をたおして、 橋をつくってしまったのです(Kintarō, 2009: 22). Terjemahan: ‘「Berhasil!! Banza—i」, Akhirnya Kintarō dapat merobohkan pohon untuk membuat jembatan.’

(40).「うわーっ、水だあ!たすかったぞ、ばんざーい!」 (Sannen Netarō, 2009: 31). Terjemahan: ‘「Wah, air! Kami terbantu, Banza—i!」’

Pada kedua data tersebut terdapat kosakata banzai. Kata banzai terdiri dari dua buah kanji yaitu 万 yang berarti‘sepuluh ribu’ dan 歳 ‘usia’. Jika di terjemahkan secara harfiah berarti hidup sepuluh ribu tahun. Kata banzai digunakan orang Jepang untuk bersorak ‘umur panjang!’ atau ‘Hore!’. Sorakan banzai biasanya diulang sebanyak tiga kali untuk mengekspresikan antusiasme, merayakan kemenangan, tepuk tangan dan mendukung pada kesempatan bahagia sambil mengangkat kedua lengan. Bersorak “banzai’ umumnya dilakukan bersama-sama dengan kelompok besar orang . Awal mula kata banzai sangat sering diucapkan pada waktu Perang Dunia II. Tentara Jepang yang sedang berjuang di medan perang, bahkan yang sekarat sekalipun meneriakkan ”Tennouheika Banzai !” (天皇 陛下 万 歳! ) Dalam konteks ini apa yang mereka maksudkan adalah “Hidup Kaisar” atau “Salut Kaisar” (Abe, 2014). Pada mukashi banashi Kintarō maupun Sannen Netarō, sorak sorai para tokoh ketika mengatakan banzai memiliki arti ‘Hore!’. Pada dongeng Kintarō, para binatang berteriak “banzai!”, karena merasa gembira akhirnya mereka dapat menyeberangi sungai setelah Kintarō menebang pohon yang ia jadikan jembatan. Sedangkan pada dongeng Sannen Netarō, penduduk desa besorak “banzai!” setelah tokoh Sannen Netarō berhasil mencari cara untuk mengairi kembali sawah di desa mereka.

(41).「わーい、金太郎さん、がんばれえ!まけるなよー」動物たちはみ んな、金太郎を、おうえんしました (Kintarō, 2009: 30). 40

Terjemahan: ‘ 「 Hei, Tuan Kintarō, ganbaree! Jangan sampai kalah 」 , para binatang menyemangati Kintarō.’

Kosakata yang terdapat pada data tersebut adalah ganbare. Kata dasar ganbare adalah ganbaru ‘lakukan sebaik mungkin, jangan menyerah, atau berikan usaha terbaikmu’. Para binatang menyemangati Kintarō yang sedang bertanding sumō dengan beruang. Mereka menyemangati Kintarō agar tidak menyerah karena lawannya adalah binatang yang paling ganas di hutan. Ganbaru merupakan sebuah kata yang penting dalam hubungan interpersonal Jepang. Filosofi ganbaru sudah sangat mengakar dalam kehidupan masyarakat Jepang sejak dahulu kala. Ganbaru juga berarti berusaha keras sampai tugas itu selesai atau dengan kata lain, berusaha keraslah hingga meraih kesuksesan. Sejak kecil anak-anak Jepang saling menyemangati rekan-rekannya dengan kata ganbaru. Mengatakan “ganbaru!” ketika ujian, ketika mengikuti lomba, berangkat kesekolah, dan lain sebagainya. Contoh lain, ketika seorang pemuda desa meninggalkan daerah asalnya untuk pekerjaan baru di kota, dia berjanji kepada teman-teman, orang tua, dan gurunya bahwa ia akan ganbaru. Implikasinya adalah bahwa ia akan mencoba untuk tidak mengecewakan mereka. Kata ganbaru menyuruh bangsa Jepang untuk selalu berusaha dan tidak menyerah sampai saat terakhir. Ganbaru adalah kata- kata penyemangat, membuat masyarakat Jepang menunjukkan bahwa bangsa Jepang bukanlah bangsa yang cengeng apalagi jika mereka sedang dilanda musibah. Berkat filosofi ganbaru mereka akan melewati musibah dengan tabah dan tetap semangat (Hirota, 2010: 111).

(42). やがて夏がすぎ、秋がすぎ、年があけて、今年も、いそがしい田植 えのじきになりました…でも、やっぱり寝太郎は、おきてきません。一 年めには、一年寝太郎、二年めには、二年寝太郎…そして、三年めのい まは、三年寝太郎と、村人たちはよびました (Sannen Netarō, 2009: 13). Terjemahan: ‘Tidak lama kemudian musim panas berganti, musim gugur pun berganti, hingga tahun berganti, Tahun ini pun menjadi tahun yang sibuk untuk menanam padi… Tetapi Netarō tetap saja tidak bangun dari tidurnya. Tahun pertama ia dijuluki Ichinen Netarō (Tarō yang tidur satu tahun), tahun kedua Ninen Netarō (Tarō yang tidur dua tahun)… Sampai tahun ketiga ia pun dijuluki Sannen Netarō (Tarō yang tidur tiga tahun) oleh penduduk desa.’

41

Sannen Netaro adalah nama tokoh sekaligus judul dongeng yang memiliki arti ‘Tarō yang tertidur selama tiga tahun’. Angka tiga atau ‘san’ adalah angka yang penting dalam mukashi banashi. Banyak judul mukashi banashi yang menggunakan angka tiga pada judulnya, salah satunya adalah Sannen Netarō. Umumnya tokoh-tokoh dalam mukashi banashi mengulang kegiatan yang sama hingga tiga kali. Hal yang diulang sampai tiga kali akan membuat cerita dapat diingat seumur hidup, dan pada pengulangan ketiga menandakan bahwa telah sampai pada klimaks cerita (Inada dan Inada, 2010: 210—211). Pada mukashi banashi diceritakan bahwa tokoh Sannen Netarō tidur selama tiga tahun untuk memikirkan cara terbaik memecahkan masalah kekeringan yang melanda desanya. Penggunaan waktu selama tiga tahun juga terdapat pada peribahasa Jepang, yaitu 石の上に も三年 ”ishi no ue ni mo sannen yang berarti ‘di atas batu pun selama tiga tahun” (Hideo dan Haruo, 2006: 23). Diibaratkan jika sebuah batu yang dingin pun jika diduduki terus menerus selama tiga tahun maka akan menjadi hangat. Peribahasa tersebut memiliki arti, bagaimana pun sulitnya yang penting adalah kesabaran dan proses kemajuan. Jika berusaha keras pasti akan berhasil. Melalui kata sannen ‘tiga tahun’, diketahui masyarakat Jepang menganggap waktu tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk memahami sesuatu.

5.3.2 Organisasi Sosial

Salah satu cermin organisasi sosial Jepang terdapat dalam mukashi banashi Momotarō.

(43).こぶんをやられて、いかりくるったオニおやぶん(Momotarō, 2009: 28). Terjemahan: ‘Melihat oyabun (anak buahnya) diganyang, oyabun (raja) oni sangat marah.’

Pada data tersebut diketahui bahwa di Jepang terdapat salah satu sistem organisasi yang disebut oyabun-kobun. Konsep oyabun-kobun secara harafiah berarti “peran orang tua- peran anak”. Sebuah hubungan antara orang tua fiktif (oyabun) dan anak (kobun), memberikan manfaat ekonomi timbal balik maupun dukungan sosial. Pada zaman sekarang oyabun-kobun dapat diartikan hubungan atasan-anak buah. Oyabun memiliki kekuatan ekonomi, kekuatan politik, maupun kekuatan sosial. Oyabun bertanggung jawab atas kesejahteraan, perilaku, dan bimbingan kobun. Kobun menerima kewenangan dari oyabun dan dengan demikian, dia berkewajiban untuk mematuhinya, setia, dan memberikan layanan 42

tertentu sebagai pembayaran atas manfaat-manfaat yang telah dia terima. Oyabun (pemimpin) oni sangat marah ketika mengetahui anak buahnya diserang oleh Momotarō. Oyabun oni pun berusaha melindungi anak buahnya dengan cara melawan Momotarō dengan memukulkan besi ke arah kepala Momotarō, tapi tetap tidak berhasil. Pada akhirnya, oyabun oni mengalami kekalahan dan bersedia mengembalikan barang-barang berharga yang telah dirampas olehnya dan anak buahnya. Hubungan oyabun-kobun telah menurun pada abad terakhir, namun istilah oyabun dan kobun sendiri tetap sering terdengar saat ini yang mengacu pada hubungan yang menyerupai pola tradisional. Sebuah contoh organisasi yang masih menerapkan pola oyabun-kobun dapat dilihat dalam kelompok gangster atau yakuza Jepang. Terdapat ungkapan individu yang berkuasa dalam bidang apapun dan dapat disebut sebagai oyabun. Hubungan oyabun-kobun telah menjadi tema yang populer dalam drama dan film Jepang (Hirota, 2010: 121).

5.3.3 Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi

Dalam sistem peralatan hidup dan teknologi tradisional, dikenal delapan macam sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik, yang meliputi alat produksi; senjata; wadah; alat-alat menyalakan api; makanan, minuman, jamu, dan bahan pembangkit gairah; pakaian dan perhiasan; tempat berlindung dan perumahan, serta alat-alat transportasi (Koentjaraningrat, 2005: 23). Dalam kelima dongeng terdapat beberapa peralatan hidup yang muncul, yaitu senjata, makanan, minuman . (44).それでもおじいさんとおばあさんは、かわいい桃太郎のためならば と、おいしいキビだんごや、すてきなべべをつくってやった (Momotarō, 2009:10). Terjemahan: ‘Meskipun demikian, untuk Momotarō yang manis kakek dan nenek membuatkan kue kibidango yang lezat dan pakaian yang bagus.’ Kue kibidango menjadi bekal Momotarō ketika menghadapi oni. Kibidango termasuk atau kue tradisional Jepang daerah khas . Kibidango adalah jenis yang terbuat dari tepung millet, atau terigu. Kibidango berbentuk bulat kecil, dimasak dengan cara dikukus atau di rebus. Dango memiliki berbagai macam variasi dalam proses pembuatan, penyajian, atau musim. Terdapat dango manis, atau tidak manis. Dango dapat dimakan dengan menambahkan taburan bubuk kacang kedelai (kinako), dimasukkan ke dalam

43

mitsumame (agar-agar) atau selai kacang merah. Dango umumnya disajikan bersama teh hijau hangat. Selain kibidango terdapat berbagai jenis dango lainnya yaitu, shiratama dango (dango berbentuk bulat putih), chichi dango (dango manis berbentuk persegi), (dango yang dibuat dengan cara dipanggang), Chadango (dango rasa teh hijau), Kusadango (dango yang dibalur tepung kedelai), goma dango (dango yang dibalur wijen), anko dango (dango dengan toping kacang merah), Botchan dango (dango tiga rasa, yaitu rasa kacang merah telur, dan teh hijau, dan masih banyak jenis dango yang lainnya (Mila, 2012). Kibidango yang dibuatkan kakek dan nenek sebagai bekal untuk Momotarō adalah kibidango yang sangat spesial. Jika memakan kibidango tersebut maka kekuatan seseorang yang telah mengkonsumsinya akan menjadi 1000 kali lipat kekuatan orang biasa. Dalam dongeng, Momotarō memakan kibidango bersama anjing, kera dan burung pegar. Mereka akhirnya dapat mengalahkan para oni ‘setan’ yang memiliki badan jauh lebih besar dari mereka berempat. (45).山に秋がきて、金太郎は動物たちといっしょに、クリひろいにでか けました (Kintarō, 2009: 22 ). Terjemahan: ‘Di gunung sudah datang musim gugur, Kintarō bersama para binatang pergi mencari buah kuri (kastanye).’

Pada mukashi banashi Kintarō diceritakan bahwa tokoh Kintarō bersama para binatang mencari buah kuri (kastanye) ketika musim gugur. Kuri adalah salah satu buah yang sangat dicintai oleh masyarakat Jepang di musim gugur, selain buah kesemek. Kuri melambangkan musim gugur. Biji-bijian ini dapat dimakan hanya dengan direbus atau dimasak dengan beras untuk membuat nasi kastanye. Biji-bijian juga dapat digunakan sebagai bahan kembang gula di Jepang seperti jelly bean yang manis (yōkan) dan roti dengan selai kacang (manjū). Di Jepang, warna coklat tua disebut dengan warna kastanye (Sugiura dan Gillespie, 2004: 315). (46).「オニたちは、いま酒もりしてますよ」(Momotarō, 2009: 20). Terjemahan: ‘「Para oni (setan) sekarang sedang berpesta sake lho!」’

Pada mukashi banashi Momotarō tokoh oni sedang mengadakan pesta sake. Sake adalah minuman khas Jepang yang terbuat dari beras, ragi, dan air. Sake memiliki beberapa golongan, nikyū adalah sake kelas dua, yang memiliki rasa yang sangat manis. Golongan yang terbaik atau istimewa adalah ikkyū dan tokkyū (Ghozally, 2004: 66). Sake di produksi di beberapa daerah di Jepang, masing-masing daerah memiliki karakteristik rasa yang berbeda. 44

Sake diminum di banyak acara-acara resmi dan perayaan sepanjang tahun, upacara pernikahan, upacara kematian, upacara kelahiran anak, pada saat matsuri (festival), dan bahkan di acara-acara seperti pembukaan sebuah perusahaan baru. Dengan konsentrasi alkohol sekitar 15 %, sake relatif mudah untuk minum, sehingga semakin wanita yang menyukai sake. Sake dapat diminum langsung atau dipanaskan terlebih dahulu sehingga dapat menghangatkan badan. Kualitas sake ditentukan oleh bahan dasar serta cara penyulingannya (Sudjianto, 2002: 87).

(47). 金太郎が、おかあさんと、山のおんせんにはいっていますと… (Kintarō, 2009: 10). Terjemahan: ‘Ketika Kintaro bersama ibunya masuk kedalam onsen yang terletak di gunung…’

Pada data diketahui bahwa Kintarō mandi di sebuah onsen yang terletak di gunung bersama ibunya. Onsen adalah pemandian air panas di Jepang. Onsen menjadi tempat wisata yang banyak digemari orang Jepang. Onsen biasanya terdapat pada sumber air panas di pegunungan. Banyaknya sumber air panas di Jepang tidak terlepas dari kondisi geografis Jepang yang merupakan jalur gunung berapi. Onsen pada masa kini sudah sangat modern. Wisatawan yang berkunjung ke onsen akan dimanjakan agar merasa senang, gembira dan kembali segar sambil menikmati makanan dan minuman yang lezat. Air onsen sangat baik untuk kesehatan. Untuk menarik minat pengunjung, di daerah yang terdapat sumber air panas dibangun hotel ataupun penginapan (Sudjianto, 2002: 81).

5.3.4 Sistem Mata Pencaharian Hidup

Mata pencaharian yang digambarkan dalam kelima mukashi banashi yaitu, pencari kayu bakar pada mukashi banashi Momotarō dan Kotarō to Haharyū, petani pada mukashi banashi Kotarō to Haharyū dan Sannen Netarō, dan nelayan pada mukashi banashi Urashima Tarō. Sesungguhnya terdapat pekerjaan yang tersirat pada kelima cerita yaitu pekerjaan sebagai samurai terutama pada mukashi banashi Momotarō dan Kintarō. Pada mukashi banashi Kintarō bahkan dipercaya bahwa tokoh Kintaro adalah cerita masa kecil dari seorang samurai pada zaman Heian yang bernama Sakata Kintoki.

(48).このおはなしの主人公、坂田金時は、実在の人物です(Kintarō, 2009: 1). Terjemahan:

45

‘Tokoh utama dalam cerita ini adalah Sakata Kintoki, tokoh yang benar-benar ada.’

Samurai adalah istilah untuk menyebut kelas prajurit yang menangani bidang kemiliteran pada zaman dahulu. Pada zaman Kamakura, samurai berperan sebagai pembantu pengendali pemerintahan. Pada zaman muromachi sebagai abdi pada keluarga Ashikaga. Pada zaman Edo merupakan kelas tertinggi pada pembagian masyarakat feudal Jepang. Golongan tersebut adalah shinōkōshō. Samurai (shi=bushi) adalah golongan tertinggi, disusul petani (nō=nōmin), pengrajin (kō=kōjin), dan terakhir pedagang (shō=shōnin) (Sudjianto, 2002: 89). (49). 力もちの金太郎は、おすもうがだいすき(Kintarō, 2009: 13). Terjemahan: ‘Kintarō yang memiliki tenaga kuat, sangat menyukai sumō.’

Selain samurai tokoh Kintarō juga digambarkan sebagai pesumo yang tangguh. Pesumo dalam istilah bahasa Jepang adalah rikishi. Rikishi memiliki penampilan yang khas, rambut ditata dengan gaya yang disebut chonmage. Rikishi memiliki tenaga yang luar biasa juga bobot yang sangat berat, beratnya antara 100 hingga 200 kg. Sumō adalah olah raga tradisional Jepang yang usianya lebih dari 1000 tahun, diresmikan sebagai olah raga nasional Jepang sejak tahun 1909. Dahulunya sumō adalah kegiatan ritual Shinto yang diadakan ketika upacara panen sebagai rasa syukur atas hasil yang melimpah. Pemenang adalah mereka yang dapat menggiring keluar ring atau mendorong lawannya hingga menyentuh lantai dengan salah satu bagian tubuhnya selain telapak kaki. Juara bertahan disebut yokozuna. Asosiasi sumō Jepang atau yang disebut dengan Azumo menyelanggarakan enam kali turnamen sumō dalam setahun yang diadakan di Tokyo, Osaka, Nagoya, dan Fukuoka. Turnamen ini disiarkan langsung melalui televisi maupun radio (Haryanti, 2013: 143—144). Pada mukashi banashi dikisahkan Kintarō sangat menyukai olah raga sumō. Ia selalu mengajak teman- teman binatangnya untuk bertarung sumō, tetapi tidak ada yang dapat mengalahkannya termasuk beruang, binatang yang paling ganas di hutan tersebut.

5.3.5 Sistem Religi

Sistem religi suatu kelompok masyarakat memiliki empat unsur penting, yaitu emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan umat yang menganutnya (Koentjaraningrat, 2009: 295). Melalui kelima mukashi banashi diketahui bahwa masyarakat 46

Jepang percaya adanya dewa air, serta percaya dengan keberadaan makhluk supranatural, yaitu oni, yamanba dan ryū. (50). こまりきった村人たちは、雨ごいの火をたいてみたり、水神さまを まつってみたりしました。けれども、雨は、ちょっともふってくれませ ん(Sannen Netarō, 2009: 15).

Terjemahan: ‘Masyarakat desa yang kesusahan. Menyalakan api amagoi, memuja dewa air. Tetapi, tidak sedikitpun hujan turun.’

(51).「これはきっと、水神さまの子に、ちがいない」と、家へつれてか えって、たいせつに、そだてることにしたのです(Kotarō to Haharyū, 2006: 10). Terjemahan: “Tidak salah lagi, ini pasti anak dari dewa air”, nenek pun memutuskan membawa bayi itu pulang dan merawatnya dengan baik.

Melalui mukashi banashi Sannen Netarō dan Kotarō to Haharyū diketahui bahwa masyarakat Jepang percaya dengan keberadaan suijin (水神) ‘dewa air’. Masyarakat desa dalam dongeng Sannen Netarō, percaya jika mereka melakukan upacara memohon hujan, maka dewa air akan mendengar dan menganugrahi hujan di lahan mereka yang kering. Sedangkan tokoh nenek pada mukashi banashi Kotarō to Haharyū, menemukan bayi di sungai, menurut nenek bayi itu adalah anak dari dewa air. Suijin atau dewa air dikenal dengan berbagai sebutan, diataranya dewa sungai, dewa air terjun, dewa sumur, dan lain sebagainya. Dalam kepercayaan Jepang, naga dan ular juga dipercaya sebagai perwujudan dewa air. Masyarakat pertanian Jepang sangat memuja dewa air. Dalam beberapa rumah dipajang patung batu perwujudan dewa air dan ditempatkan di dekat sumur. Festival menghormati dewa air di Jepang diadakan pada bulan Juni dan Desember. Pada beberapa daerah di Jepang, masyarakatnya mempunyai kepercayaan untuk melempar kue beras ke sungai untuk menangkal banjir dan bencana lainnya (Hirota, 2010: 199). (52). つづいて怪力、桃太郎が—あかオニをぽかり、あおオニをぽかり、 きいろオニをぽかり (Momotaro, 2009: 5). Terjemahan: ‘Kemudian dengan sekuat tenaga Momotarō memukul oni merah, memukul oni biru, terakhir memukul oni kuning’.

47

Tokoh oni sangat sering muncul dalam dongeng Jepang sebagai tokoh pengganggu. Pada dongeng Momotarō, tokoh oni mengganggu dan merampas harta penduduk desa. Momotarō pun marah, dan bertarung dengan para oni. Oni akhirnya mengaku kalah dan bersedia mengembalikan barang yang telah mereka rampas. Oni pada umumnya diterjemahkan sebagai setan. Oni adalah simbol imajiner kejahatan. Bentuk aslinya pertama kali digambarkan dalam Kojiki (Catatan tentang Hal-hal Kuno ) (712 SM). Oni telah lama muncul dalam banyak tulisan sejarah dan cerita rakyat. Kepercayaan terhadap keberadaan oni di Jepang dipengaruhi oleh ajaran Agama Buddha. Wujud mereka digambarkan memiliki badan seperti manusia dengan tanduk dan taring. Wajah mereka digambarkan menakutkan. Pada perayaan setsubun yang dirayakan pada hari pertama musim semi dilakukan mamemaki, yaitu kepercayaan untuk menghilangkan bala atau oni setan yang berada di dalam rumah. Salah satu anggota keluarga memakai topeng oni yang mengibaratkan kejahatan, kemudian anggota keluarga lain melemparinya dengan kacang. Pada saat melempar kacang, disertai dengan ucapan oni wa soto, fuku wa uchi, ‘menyingkirlah keburukan-keburukan dan datanglah kebahagiaan’ (Parastuti, 2001: 24). (53). 山姥と赤竜の子で,「だから体が赤かったのだ」ともいわれています (Kintarō, 2007: 1). Terjemahan: ‘Kintarō disebut-sebut sebagai anak dari yamanba dan akaryū (naga merah), oleh karena itu badan kintarō berwarna merah.’

Pada mukashi banashi Kintarō diketahui bahwa tokoh Kintarō adalah anak yamanba bersama akaryū (naga merah), menyebabkan Kintarō memiliki badan yang berwarna merah. Kata yamanba mengacu kepada iblis wanita yang tinggal di pegunungan. Yamanba umumnya digambarkan sebagai setan perempuan yang suka memakan manusia. Yamanba Ibu Kintarō adalah yamanba yang menghuni Gunung Ashigara di Provinsi Sagami. Menurut Konjaku Monogatarishu, Seorang samurai yang bernama Minamoto no Yorimitsu menemukan Kintarō yang memiliki nama lain Sakata Kintoki ketika sedang dalam perjalanan pindah dari Provinsi Kazusa ke ibu kota pada tahun 976. Ketika melewati Gunung Ashigara, Yorimitsu melihat awan merah di gunung sebelah sana. Di bawah awan merah tinggallah wanita tua yang merupakan yamanba bersama anaknya berumur kira-kira dua puluh tahun yang bernama Kintarō (Hirota, 2010: 247).

48

(54).「小太郎や、よーくごらん。これがわたしの、ほんとうのすがただ よ」 「りゅ、竜だ!おっかあ…」(Kotarō to Haharyū, 2006: 23). Terjemahan: ‘「Kotarō perhatikan baik-baik, ini adalah wujudku yang sebenarnya」 「Na.. naga! Ibu…」’

Pada mukashi banashi Kotarō to Haharyū diceritakan, ternyata bahwa wujud asli ibu Kotarō adalah ryū atau seekor naga. Naga tampak seperti ular raksasa, ia terbang mengelilingi langit, dan menyemburkan api. Naga melambangkan dewa awan dan hujan dan merupakan salah satu tanda dari dua belas zodiak yang ada (Saitou, 1988: 104). Pada umumnya naga tinggal di istana bawah laut atau di danau dekat gunung berapi yang sudah tidak aktif. Pada mukashi banashi Kotarō to Haharyū, ibunya tinggal di gua dan sungai. Ryū muncul disejumlah mitos Jepang, dapat sebagai pahlawan, kadang-kadang sebagai penjahat. Sifat bipolar dari ryu baik sebagai pelindung maupun pengganggu dikaitkan dengan elemen laut, yang membawa manfaat yang besar tetapi juga menyebabkan kematian dan kerusakan (Ashkenazi, 2003: 240—241).

(55). 金太郎といえば、「すこやかでたくましい男の子」ということにな りました。五月人形に作られたりしているのも、そのためです(Kintarō: 2009: 1). Terjemahan: ‘Kalau menyebut nama Kintarō, ia adalah anak laki-laki yang sehat dan perkasa. Oleh karena itu, Kintarō diwujudkan dalam gogatsu ningyō ‘boneka bulan ke lima’.

Selain kepercayaan terhadap dewa dan makhluk supranatural, melalui mukashi banashi juga diketahui sebuah festival untuk merayakan hari anak nasional Jepang yang dikenal dengan istilah Kodomo no Hi. Pada mukashi banashi Kintarō diketahui bahwa tokoh Kintarō diwujudkan sebagai boneka gogatsu ningyou. Gogatsu ningyō merujuk pada boneka yang dipajang pada bulan ke lima, bulan Mei. Boneka yang dimaksud adalah boneka pada perayaan hari anak di Jepang, yaitu kodomo no hi atau dahulunya disebut tango no sekku. Bagian dalam rumah dihiasi boneka, sedangkan diluar rumah dipasang umbul-umbul ikan koi. Tokoh Kintarō sebagai boneka dalam perayaan hari anak memakai pakaian perang, kabuto atau topi perang, dan membawa pedang katana. Hal ini merupakan harapan para oang tua 49

agar anak laki-lakinya sekuat dan sehebat tokoh dalam dongeng, Kintarō. Umumnya terdapat tiga tingkatan pada saat memajang boneka gogatsu ningyō, di tempat paling atas diletakkan boneka samurai, di bawahnya diletakkan miniatur taiko, ‘drum Jepang’ dan pada undakan terakhir diletakkan barang-barang lain yang diperlukan pada saat berperang (Saitou, 1988: 86). Selain memajang boneka di dalam rumah, keluarga yang memiliki anak laki-laki juga memajang umbul-umbul ikan koi di luar rumah. Pemasangan umbul-umbul ini mempunyai arti agar anak laki laki dalam keluarga itu memliki kekuatan seperti ikan koi, di mana ikan koi dianggap ikan yang kuat yang dapat bertahan hidup di aliran deras sekalipun, dan agar anak tumbuh sehat dan kuat seperti ikan koi. Kegiatan anak laki-laki pada kodomo no hi antara lain origami membuat topi perang dari kertas bekas, memakan kue , kasiwamochi. Kebiasaan lainnya adalah memasukkan bunga irish ke dalam bak madi, yang dipercaya dapat mengusir roh-roh jahat. Melalui beberapa kegiatan dalam perayaan hari anak di Jepang diharapkan anak laki-laki tumbuh sehat dan dapat menjadi penerus generasi. Anak laki-laki tertua diharapkan dapat menjaga rumah warisan dan berkewajiban menjaga nama baik keluarga (Parastuti, 2001: 39—41).

50

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan Tokoh Tarō yang terdapat dalam kelima mukashi banashi adalah Momotarō, Kintarō, Kotarō, Sannen Netarō, dan Urashima Tarō. Maskulinitas yang menonjol berupa kekuatan fisik tercermin pada empat tokoh, yaitu Momotarō, Kintarō, Kotarō, dan Sannen Netarō. Dari 7 jalan bushidō, Pada mukashi banashi juga dapat diketahui sisi maskulin kelima tokoh melalui 6 dari 7 ajaran bushidō, yaitu gi, yuu, jin, makoto, meiyo, dan chūgi. Melalui bushidō anak laki-laki Jepang dituntut untuk bertanggung jawab dan berani terhadap apa pun, termasuk kematian. Namun, terdapat salah satu ajaran bushidō yang disebut sisi feminin dari bushidō, yaitu jin, ‘kebajikan’. Kebajikan adalah cinta kasih, dan empati terhadap penderitaan orang lain. Tokoh Momotarō, Kotarō, dan Sannen Netarō sangat memikirkan nasib penduduk desa di sekitar tempat tinggal mereka. Mereka selalu memikirkan cara bagaimana agar penduduk desa tidak hidup menderita lagi. Sedangkan tokoh Kintarō dan Urashima Tarō sangat peduli terhadap nyawa seekor binatang sekali pun. Dari keseluruhan ciri maskulin yang dimiliki kelima tokoh, terdapat beberapa sifat yang dapat dikatakan jauh dari kata maskulin, yaitu sifat pemalas tokoh Kotarō dan Sannen Netaro, sifat ketergantungan terhadap seorang ibu tokoh Kotarō, dan sifat gemar bermimpi oleh tokoh Urashima Tarō. Pada penelitian ini ditemukan pula 4 fungsi tradisi lisan, yaitu sebagai sistem proyeksi, sebagai alat legitimasi pranata kebudayaan, sebagai alat pendidikan, dan sebagai norma pengontrol masyarakat. Salah satu keunikan fungsi yang telah diketahui, terletak pada fungsi sebagai norma pengontrol masyarakat. Pada analisis diketahui ternyata masyarakat Jepang sejak lama telah mengenal hukuman pengasingan jika seseorang atau sebuah keluarga melanggar perturan atau norma yang telah disepakati sebelumnya, norma ini disebut murahachibu. Nilai budaya Jepang yang terdapat dalam mukashi banashi adalah bahasa, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, dan sistem religi. Dari kelima nilai budaya yang telah disebutkan, terdapat sebuah persamaan yang mencerminkan kehidupan kelima tokoh Tarō, yaitu sistem mata pencaharian sebagai samurai. Walaupun pekerjaan sebagai samurai hanya tersirat pada cerita tetapi melalui kelima tokoh Tarō dalam 51

ke lima dongeng yang telah dianalisis berusaha menanamkan nilai-nilai positif seorang samurai kepada pembaca khususnya anak-anak.

6.2 Saran Penelitian ini mengkaji lima buah mukashi banashi yang berjudul Momotarō, Kintarō, Kotarō to Haharyū, Sannen Netarō, dan Urashima Tarō. Pada penelitian kali ini dikaji mengenai maskulinitas tokoh Tarō yang terdapat dalam kelima mukashi banashi tersebut. Diketahui pula fungsi dan nilai budaya yang menyertainya. Mengingat Jepang memiliki ratusan mukashi banashi, maka penelitian yang menggunakan mukashi banashi sebagai objeknya masih terbuka sangat luas. Pengetahuan penikmat sastra Jepang di Indonesia masih minim mengenai mukashi banashi, hal ini dikarenakan masih sangat sedikit mukashi banashi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tidak hanya terbatas pada maskulinitas, mukashi banashi dapat juga dikaji dari sisi feminitas tokohnya atau tema lain yang cocok dianalisis melalui mukashi banashi.

52

DAFTAR PUSTAKA

Ashkenazi, Michael. 2008. Handbook of Japanese Mythology. New York: Oxford University Press. Asoo, Isoji dkk. 1983. Sejarah Kesusatraan Jepang: Nihon Bungakushi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Azhari, A.A. 2011. Ganbatte! Meneladani Karakter Tangguh Bangsa Jepang. Bandung: Grafindo. Connell, Raewyn. 1995. Masculinities. Berkeley: University of California Press. Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Darwin, Muhadjir. 1999. “Posisi Laki-laki dalam Masyarakat Patriakis”. Yogyakarta: Center for Population and Policy Studies; Universitas Gadjah Mada. Elfira, Mina. 2008. “Vasilisa Maligina Karya A.M. Kollontai”. Wacana, Vol 10 April 2008, hlm 39-49. Jakarta: Universitas Indonesia. Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo. Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: INSISTPress Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Antropologi Sosial Budaya; Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta. Hideo, Kuriiwa dan Haruo Saito. 2006. Kotowaza Jiten. Tokyo: Shogakukan. Hirota, Kouji. 2010. Keys to the Japanese Heart and Soul. Tokyo: Kondansha International Ltd. Inada, Kouji dan Kazuko Inada. 2010. Nihon Mukashi Banashi Hando Bukku. Tokyo: Sanseido. Kawauchi, Sayumi. 2005. Mangga Nippon Mukashi Banashi:Urashima Tarō. Tokyo: Futami Shobou. Kawauchi, Sayumi. 2006. Mangga Nippon Mukashi Banashi:Kotarō to Haharyū. Tokyo: Futami Shobou. Kawauchi, Sayumi. 2009a. Mangga Nippon Mukashi Banashi:Kintarō. Tokyo: Futami Shobou. Kawauchi, Sayumi. 2009b. Mangga Nippon Mukashi Banashi: Momotarō. Tokyo: Futami Shobou. Kawauchi, Sayumi. 2009c. Mangga Nippon Mukashi Banashi: Sannen Netarō. Tokyo: Futami Shobou. Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi II: Pokok-Pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak: dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

53

Laurenson, Diana dan Alan Swingewood. 1972. The Sociology of Literature. London: Paladin. Nitobe, Inazo. 2008. Bushido: Jiwa Jepang. Terjemahan Antonius R. Pujo Purnomo. Bushido The Soul of Japan; An Exposition of Japanese Thought. M.A. Surabaya: Era Media. Parastuti. 2001. Mengenal Budaya Negeri Matahari Terbit: Seri Alam, Perayaan Tahunan, Festival. Surabaya: Unesa University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Saitou, Akio. 1988. Illustrated A Look Into Japan. Tokyo: JTB. Sudjianto. 2002. Kamus Istilah Masyarakat dan Kebudayaan Jepang. Jakarta: Kesaint Blanc. Sugiura, Youichi dan John K. Gillespie. 2004. Nihon Bunka o Eigo de Shoukaisuru Jiten. Tokyo: Natsume. Sukatman. 2009. Butir-butir Tradisi Lisan Indonesia; Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. Suprapto, Deddy. 2010. “Representasi Maskulinitas Hegemonik dalam Iklan Rokok Gudang Garam. Yogyakarta: Program Studi Kajian Budaya dan Media, Pasca Sarjana, Uniersitas Gadjah Mada. Uliyah, Imas. 2014. “Maskulinitas Laki-laki dalam The King is Dead (The Island) karya A. Alberts; Sebuah Kajian Postkolonial Karya Sastra Hindia Belanda”. Jakarta: Universitas Indonesia.

DAFTAR UNDUHAN

Abe, Nomiko. Serangan Banzai (http://japanese.about.com/library/blqow41.htm 2014., diakses 07-07-2014). Mila, Faemom. Home Cooking Recipes For Healthy Families. (http://oishidesuyo. blogspot.com /2012/07/dango.html, diakses 08-08-2014).

54

LAMPIRAN

BIODATA KETUA TIM PENELITI

A. Identitas Diri 1. Nama Lengkap (dengan Ida Ayu Laksmita Sari, P gelar) S.Hum.,M.Hum. 2. Jabatan Fungsional Asisten Ahli 3. Jabatan Struktural - 4. NIP/NIK/No.Identitas lainnya 198404032008012005 5. NIDN 0003048404 6. Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar, 3 April 1984 7. Alamat Rumah Jl. Badak Sari I no.11ª 8. Nomor Telepon/Faks /HP 081916769609 9. Alamat Kantor Jl. Pulau Nias No.13 10. Nomor Telepon/Faks 11. Alamat e-mail [email protected] S-1= 21 orang; S-2= …Orang; S-3= 12. Lulusan yang telah dihasilkan Orang … 13. Mata Kuliah yg diampu 1. Pengantar Kebudayaan Jepang 1 2. Pengantar Kebudayaan Jepang 2 3. Pranata Masyarakat Jepang 4. Sakubun 1 5. Kaiwa 4

B. Riwayat Pendidikan

Program S-1 S-2 S-3 Nama Perguruan Universitas Indonesia Universitas Udayana Tinggi Bidang Ilmu Sastra Jepang Wacana Sastra Tahun Masuk 2002 2010 Tahun Lulus 2007 2012 Judul Masa Depan Seorang Mitos Youkai dalam Buku Skripsi/Thesis/ Furiitaa: Studi Kasus Kumpulan Dongeng: Disertasi Pada Furiitaa Tipe “Manga Nippon Mukashi “Pengejar Impian” Banashi Youkai ga Deruzo—“

Nama Ferry Rustam, S.S. 1. Prof. Dr. Nyoman Pembimbing/ Kutha Ratna, S.U. Promotor 2. Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt. 55

C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi) Pendanaan No. Tahun Judul Penelitian Sumber *) Jml (Juta Rp.) 1. 2012 Kontinuitas Karya Sastra DIPA BLU Rp. 7.500.000 Jepang Sebagai Penyemangat Universitas Hidup Masyarakat Jepang Udayana 2 2013 Refleksi Sosial Budaya DIPA BLU Rp. 7.500.000 Masyarakat Jepang dalam Universitas Anime “Tokyo Godfathers” Udayana Karya Satoshi Kon 3 2013 Penerapan SCL dalam Mata Pribadi Rp. 2.000.000 Kuliah Pengantar Pengkajian Sastra Prodi Sastra Jepang, Fakultas Sastra, Universitas Udayana 4 2014 Pemerolehan Kosakata Pribadi Rp. 2000.000 Sekaligus Pemahaman Budaya Melalui Mukashi Banashi

D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir

Judul Pengabdian Kepada Pendanaan No. Tahun Masyarakat Sumber *) Jml (Juta Rp.) 1. 2011 Meningkatkan Kualitas Pelayanan DIPA BLU Rp. 4.000.000 Terhadap Wisatawan Jepang Melalui Uninersitas Pelatihan Bahasa dan Budaya Masyarakat Udayana Jepang Bagi Guide Lokal di Obyek Wisata Alas Kedaton

2. 2012 Pelatihan Intensif Bahasa Jepang Dasar DIPA BLU Rp. 4.000.000 Sekehe Teruna-Teruni Masyarakat Desa Universitas Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Udayana Kabupaten Badung 3. 2012 Meningkatkan Kualitas Pelayanan DIPA BLU Rp. 4.000.000 Terhadap Wisatawan Melalui Pelatihan Universitas Bahasa Jepang Bagi Penduduk Lokal Desa Udayana Wisata Pangsan 4. 2013 Pelatihan lntensif Bahasa Jepang Bagi BOPTN Rp. 4.000.000 Penjual Jasa Kepang Rambut dan Pijat di Universitas Kawasan Wisata di Pantai Kuta, Udayana Kabupaten Badung

56

Denpasar, 10 Nopember 2014

(Ida Ayu Laksmita Sari, S,Hum.,M.Hum.) NIP. 198404032008012005

BIODATA ANGGOTA TIM PENELITI (1)

A. Identitas Diri 1. Nama Lengkap Ni Putu Luhur Wedayanti, S.S.,M.Hum. P (dengan gelar) 2. Jabatan Fungsional Asisten Ahli 3. Jabatan Struktural - 4. NIP/NIK/No.Identitas 19831130 200801 2 009 lainnya 5. NIDN 0830118301 6. Tempat dan Tanggal Singaraja, 30-11-1983 Lahir 7. Alamat Rumah Perum Darmasaba blok A no 2 Badung, Bali 8. Nomor Telepon/Faks +6281323154215 /HP 9. Alamat Kantor Jl. Pulau Nias No.13, Sanglah Denpasar 10. Nomor Telepon/Faks 0361-249458 / 0361-249458 11. Alamat e-mail [email protected] Lulusan yang telah 12. S-1= 15 orang; S-2= 0 orang; S-3= 0 orang dihasilkan 13. Mata Kuliah yg diampu 1. Bunpo 2 2. Kaiwa 4 3. Kesusastraan Jepang 1 4. Kesusastraan Jepang 2 5. Sakubun 3 B. Riwayat Pendidikan

Program S-1 S-2 S-3 Nama Perguruan Universitas Padjadjaran Universitas Udayana - Tinggi Bidang Ilmu Sastra Jepang Linguistik Murni - Tahun Masuk 2002 2011 - Tahun Lulus 2007 2014 - 57

Judul Skripsi/Tesis/ Analisis Hozosetsuzokushi Ungkapan Tabu Disertasi Nao, Tada, Tadashi, dan Komunitas Matagi - Mottomo Nama Pembimbing/ 1. Jonjon Johana, M.Ed. 1. Prof. Dr. I Nyoman Promotor 2. Nandang Rahmat, P.hD. Suparwa - 2. Prof. Dr. Kt. Darma Laksana C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi)

Pendanaan No. Tahun Judul Penelitian Jml Sumber *) (Juta Rp) 1. 2012 Kontinuitas Karya Sastra DIPA BLU Rp 7.500.000 Jepang Sebagai Penyemangat Universitas Hidup Masyarakat Jepang Udayana 2 2013 Pembentukkan Karakter Anak DIPA BLU Rp 7.500.000 Jepang Melalui Puisi Universitas Udayana D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir

Pendanaan Judul Pengabdian Kepada Jml No. Tahun Masyarakat Sumber *) (Juta Rp) 1. 2011 Meningkatkan Kualitas Pelayanan DIPA BLU Rp Terhadap Wisatawan Jepang Melalui Uninersitas 4.000.000 Pelatihan Bahasa dan Budaya Masyarakat Udayana Jepang Bagi Guide Lokal di Obyek Wisata Alas Kedaton 2. 2012 Pelatihan Intensif Bahasa Jepang Dasar DIPA BLU Rp Sekehe Teruna-Teruni Masyarakat Desa Universitas 4.000.000 Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Udayana Kabupaten Badung 3. 2012 Meningkatkan Kualitas Pelayanan DIPA BLU Rp Terhadap Wisatawan Melalui Pelatihan Universitas 4.000.000 Bahasa Jepang Bagi Penduduk Lokal Udayana Desa Wisata Pangsan 4. 2013 Pelatihan lntensif Bahasa Jepang Bagi BOPTN Rp Penjual Jasa Kepang Rambut dan Pijat di Universitas 4.000.000 Kawasan Wisata di Pantai Kuta, Udayana Kabupaten Badung

58

Denpasar, 10 Nopember 2014

(Ni Putu Luhur Wedayanti, S.S.,M.Hum.) 1. NIP. 198311302008012009

59