Sensasi Seru Jalan-Jalan Di Korea Selatan 한국 산책: 문화와 풍물
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Sensasi Seru Jalan-Jalan di Korea Selatan 한국 산책: 문화와 풍물 Penulis <필진> Aris Budianto Alfiana Amrin Rosyadi Alfindo Putra Perdana Benn Sohibul Munir Dita Oktamaya Fahrozy Febriani Elfida Hadi Jazhulee Karnadinata Hari Putrawa Hastangka Kim, Young Soo Lenny Dianawati Margareth Theresia Mohamad Rokhmani Muhamad Sodiq Nafiah Hidayatun Oni Zakkia A Ony Jamhari Phisca Aditya Rosyady Rizqi Adri Muhammad Slamet Zaenusi Sudirman Yuris Mulya Saputra Diterbitkan atas kerjasama INAKOS (International Association of Korean Studies in Indonesia) Pusat Studi Korea Universitas Gadjah Mada Universitas Terbuka Indonesia di Korea 1 한국 산책: 문화와 풍물 Sensasi Seru Jalan-Jalan di Korea Selatan Tim Editor <편집진> Dr. Mukhtasar Syamsuddin Suray Agung Nugroho, M.A. Min Seonhee, M.A. Penerbit <공동발간> INAKOS (International Association of Korean Studies in Indonesia) Pusat Studi Korea Universitas Gadjah Mada Universitas Terbuka Indonesia di Korea Alamat <발간처> c/o Pusat Studi Korea Universitas Gadjah Mada Bulaksumur B-9 Yogyakarta 55281 Indonesia Telepon: 62-274-554323 Fax: 62-274-554323 Cetakan: Maret 2016 ISBN 978-979-25-8822-4 Ketentuan Pidana Pasal 72 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.0000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau didenda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 2 CONGRATULATORY REMARK PRESIDENT, SENIOR PUBLIC DIPLOMACY GROUP, MINISTRY OF FOREIGN AFFAIRS, REPUBLIC OF KOREA I still remember vividly the hardships Koreans must endure during its national development in the early 60s until early 70s. One of which is the dispatch of 7,968 Korean men to work at coal mines in West Germany. The money sent back home by those workers was an important foundation for Korea to develop its nation. Even though it has become a part of modern Korean history, younger generation must not simply forget that Korea was once a poverty-stricken country with per capita income at around $120. In the notoriously difficult working condition in a foreign land, Korean coal miners did not forget their Eastern decorum. They tried to mingle and associate themselves with German communities, and as a result up to now Korean Diaspora in Germany are the second largest group of Korean descendants in any countries in Europe—after England. By looking back into this historical background, I want to point out the fact that the experiences of Korean migrant workers in Germany are somewhat similar to the ones experienced by thousands of migrant workers currently residing in South Korea, including Indonesian migrant workers who pursue their dream of a better future. I am fully aware that being migrant workers is not an easy feat. Speaking of which, I truly want to praise Indonesian migrant workers for having a vigorous spirit to work hard in Korea. From what I have learned, apart from working, some of them have striven to improve their self-capacity by studying at Indonesia Open University. This also reminded me of some Korean coal miners who made the best use their time at night to study to improve their capability upon returning to Korea. Incorporating Korea‘s historical background and looking into the current Indonesia, I would like to share my three perspectives. First, Korean coal workers in West Germany were Korean ambassadors within German society; likewise, Indonesian migrant workers in Korea are Indonesian ambassadors within Korean society. Second, through interaction with Korean workers, German society came into contact with Koreans and learned more about Korean culture up to the present. Similarly, Koreans can learn a lot about Indonesia through their interaction with Indonesian workers residing in Korea. At this point, I want to emphasize that the existence of Indonesian migrant workers who also study at a university is something worth-acknowledging. Third, I am sure that Indonesian workers and students can play an important role in bridging many aspects of our bilateral ties. 3 In relation with the launching of this 2nd book, I am thrilled and truly happy to learn that Indonesian migrant worker/students have managed to explore Korea in spite of their tight schedule of working and studying. I do appreciate their efforts to share their stories as this will be of importance to spread the different sides of Korea as viewed through their first-hand experiences. On behalf of the members of Senior Public Diplomacy Group, Ministry of Foreign Affairs, the Republic of Korea, I am more than pleased to say that it has been our honor to be a part of this endeavor. We will try our best to support Indonesia Open University in Korea. Kamsahamnida. ∼∽∼∽∼∽∼∽∼∽ Masih teringat dengan jelas bagaimana Korea Selatan pada masa-masa awal pembangunan negerinya, yaitu pada sekitar tahun tahun 1960an hingga awal 1970an mengirimkan para tenaga kerjanya ke Jerman Barat untuk dipekerjakan sebagai penambang batu bara di berbagai penambangan di sana. Itulah masa-masa sulit yang harus dihadapi Korea yang pada dekade 1960an yang saat itu tergolong negara miskin dengan pendapatan per kapita sekitar 120 dolar AS. Itulah sejarah modern Korea yang tidak boleh dilupakan oleh generasi muda Korea yang sebagian besar lahir dan tumbuh besar pada saat Korea telah disejajarkan dengan negara-negara berkembang dan maju di dunia pada abad ke-21. Di tengah kerasnya kondisi kerja mereka demi devisa negara, mereka tidak pernah melupakan adat ketimuran mereka. Mereka berusaha bersosialisasi dengan masyarakat Jerman dan akhirnya hingga kini jumlah diaspora Korea di Jerman bisa dikatakan sebagai yang terbanyak kedua di Eropa—setelah Inggris. Yang ingin saya tekankan dengan menengok kembali sejarah Korea tersebut adalah bahwa apa yang dialami para pekerja migran Korea saat itu sepertinya ada kemiripan dengan apa yang dialami oleh para tenaga migran dari berbagai negara termasuk dari Indonesia yang ingin mengubah masa depannya dengan bekerja di Korea saat ini. Saya sadar bahwa bekerja di Korea sebagai pekerja migran bukanlah hal yang ringan. Tidak bisa saya tutupi juga kegembiraan dan rasa salut saya pada mereka yang di tengah kerasnya hidup di negeri lain pun tetap penuh semangat bekerja dan meningkatkan kapasitas dirinya, salah satunya adalah dengan menjadi mahasiswa di Universitas Terbuka Indonesia. Hal ini pun mengingatkan saya pada bagaimana para penambang batubara Korea di Jerman yang pada malam hari dan waktu senggangnya juga mengambil kursus dan pelatihan- pelatihan untuk meningkatkan kemampuan diri sebelum kembali ke Korea. Dengan melihat sejarah Korea saat itu dan Indonesia saat ini, saya belajar tiga makna. 4 Pertama, sama halnya dengan para pekerja Korea yang saat itu menjadi duta Korea di Jerman, saya pun memandang bahwa para pekerja Indonesia di Korea pun adalah duta Indonesia di Korea. Kedua, lewat para pekerja Korea di Jerman, masyarakat Jerman menjadi tahu dan lebih dekat dengan Korea hingga saat ini. Dalam konteks yang sama, saya pun melihat bahwa rakyat Korea bisa melihat dan belajar tentang Indonesia lewat para pekerja migran Indonesia di Korea. Terutama, keberadaan sebagian pekerja Indonesia yang menuntut ilmu adalah hal yang harus diketahui oleh banyak warga negara Korea juga. Ketiga, para pekerja dan pelajar Indonesia bisa menjadi penjaga gerbang dan titik awal upaya saling mempelajari budaya dan masyarakat kedua negara kita. Terkait pengalaman bertamasya di Korea yang dikembangkan oleh para penulis di buku ini, saya mengucapkan terima kasih karena saya yakin bahwa inilah salah satu cara tepat untuk saling menyebarkan sisi-sisi lain dari Korea kepada lebih banyak orang. Saya berharap kisah para pekerja dan pelajar yang tertuang di buku ini bisa bermanfaat. Atas nama Senior Public Diplomacy Group, Ministry of Foreign Affairs Korea, kami senang bisa turut serta untuk kedua kalinya dalam penerbitan buku seperti ini. Walaupun tidaklah besar, kami akan mencari cara untuk terus mendukung kegiatan UT Korea. Terima kasih dan sukses untuk kita semua. Seoul, February 2016 Choi Ha-kyung President Senior Public Diplomacy Group, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Korea 5 KATA SAMBUTAN KEPALA UPBJJ - UNIVERSITAS TERBUKA LAYANAN LUAR NEGERI Korea memang penuh dengan pesonanya tersendiri. Karena itu, tidaklah mengherankan jika jumlah turis mancanegara yang tertarik untuk mengunjungi Negeri Ginseng ini melampaui jumlah 14 juta orang pada tahun 2014 lalu. Itu adalah suatu rekor yang perlu kita gali dan pelajari mengapa dan bagaimana Korea bisa mencapainya. Saya yang telah beberapa kali mengunjungi Korea pun mengakui bahwa pemerintah Korea nampaknya menaruh perhatian yang sungguh-sungguh dalam mengelola potensi wisatanya. Dalam kaitan dengan itu, saya merasa bangga karena saya mengetahui bahwa para mahasiswa Indonesia yang mengenyam ilmu di Korea ternyata bukan saja telah menikmati langsung alam dan budaya Korea, namun mereka pun menorehkan kisah dan pengalamannya dalam bentuk buku seperti ini. Saya yakin pasti banyak di antara mereka yang memiliki buku harian atau blog-blog pribadi untuk menuangkan semua itu. Namun, kehadiran buku berupa kumpulan esai kisah mereka menikmati dan belajar tentang Korea ini sangat memiliki makna tersendiri.