SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN DALAM SYAIR JAHILIYAH (KAJIAN HERMENEUTIK SASTRA)

Oleh: Dr. Cahya Buana, MA

KATA PENGANTAR

Sebagai manusia biasa, terkadang kesibukan selalu menjadi alasan kita agar diberi maaf untuk menunda atau bahkan meninggalkan kewajiban. Di sisi lain, kita juga terkadang tidak menyadari bahwa ada kekuatan lain di luar batas kemanusiaan yang membantu kita dalam menyelesaikan segala beban kehidupan, selagi kita tetap mau berusaha dan berdoa. Sebuah kekuatan supranatural yang diyakini oleh hampir semua makhluk di muka bumi ini, kekuatan yang disebut dengan keyakinan Ilahiyah. Untuk itulah puji dan syukur kami panjatkan pada Sang Empunya kekuatan Allah SWT yang tidak pernah segan untuk membantu manusia yang dikehendakiNya sehingga penulisan buku ini akhirnya dapat diselesaikan, meski jauh dari kesempurnaan. Kebahagiaan dan kesejahteraan yang abadi semoga selalu tercurah untuk hamba terbaikNya, Nabi Muhammad saw. yang telah membawa pesan dari langit melalui simbol-simbol yang kita maknai sebagai ajaran agama. Penelitian ini pada dasarnya tidak mungkin terealisasikan, tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih pada Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, MA selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora dan seluruh jajaran dekanat periode 2010-2014 yang telah memberikan motivasi, baik secara mental maupun financial pada kami untuk melakukan penelitian sebagai salah satu wujud dari tridharma perguruan tinggi. Ucapan terima kasih ini juga kami sampaikan untuk semua karyawan perpustakaan Utama dan fakultas yang telah membantu memperlancar proses penelitian. Dan semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap simbol-simbol agama yang terdapat dalam syair-syair Jahiliyah, serta sejauh mana simbol-simbol tersebut mampu mengungkap realitas kehidupan beragama masyarakat Arab pada masa Jahiliyah. Melalui kajian tafsir sastra atau yang lebih dikenal dengan istilah hermeneutik sastra, penelitian ini berhasil mengungkapkan beberapa realitas kehidupan beragama pada masa Jahiliyah, di antaranya, masyarakat Arab pada masa Jahiliyah sudah memiliki keyakinan terhadap wujud supranatural, hal ini dibuktikan dengan banyaknya simbol-simbol lafaz Allah yang digunakan dalam berbagai konteks dalam syair mereka, seperti untuk bersumpah, mencela, berdoa, maupun sebagai kekuatan ghaib yang mampu menolong mereka di saat sulit. Namun demikian, mereka khususnya masyarakat Arab Badawi baru sampai pada tahap keyakinan dan emosional keagamaan belum pada makna agama yang sebenarnya. Lafaz Allah yang sering mereka ucapkan sepertinya hanya sebuah simbol bahasa yang mereka gunakan untuk wujud supranatural yang dianggap memberikan kekuatan pada mereka, atau bila melihat dari aspek sejarah, lafaz Allah telah familier di telinga mereka dengan telah masuknya agama Yahudi dan Nasrani di wilayah Jazirah Arab, tanpa mereka bermaksud untuk menganut kedua agama tersebut. Di sisi lain, simbol-simbol kehidupan beragama dalam karya penyair Nasrani dan Yahudi tampak jelas, dan membuktikan bahwa mereka adalah penganut ajaran samawi. Hal ini terbukti dari simbol-simbol keagamaan yang mereka ungkapkan dalam syair yang pada dasarnya hanya dapat diketahui melalui wahyu-wahyu ilahi, seperti pemahaman akan takwa, akhirat, malaikat dan tugasnya, wahyu dan lain sebagainya. Kepercayaan bangsa Arab Jahiliyah adalah sebuah kepercayaan yang sangat sederhana, sesederhana kehidupan mereka. Namun demikian, mereka adalah manusia-manusia yang berakal yang mampu menangkap bahwa ada kekuatan lain di luar kekuatan mereka. Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi yang membacanya. Amiiin!!!

Wassalam

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR…………………………………………………………... DAFTAR ISI ………………………………………………………………….....

BAB I : PENDAHULUAN

BAB II : AGAMA DAN HERMENEUTIKA SASTRA A. Agama: Pengertian dan Ruang Lingkup ……………………… B. Hermeneutika dalam Kajian Sastra ………………………...... C. Bahasa Agama sebagai simbol……………………………..…. D. Posisi Hermeneutik dalam penelitian ini ……………………..

BAB III : SYAIR DALAM STRUKTUR SOSIAL BANGSA ARAB JAHILIYAH A. Syair Jahiliyah Sebagai Teks Sejarah ……………………………. B. Definisi dan Karakteristik Syair Jahiliyah …………………….....

BAB IV : SEJARAH SOSIAL BANGSA ARAB JAHILIYAH A. Makna Jahiliyah ………………………………………………... B. Letak dan Kondisi Geografi Bangsa Arab …………………..…. C. Asal Usul Bangsa Arab dan Bahasanya ……………………..…. D. Sistem Sosial Politik Bangsa Arab Jahiliyah ……………………. E. Kontak bangsa Arab dengan bangsa asing ……………………….. F. Tradisi Perang (Ayyâm al-Arab)………………………………... G. Konstruksi Ekonomi dan Keilmuan pada Masa Jahiliyah ……...

BAB V : SIMBOL-SIMBOL AGAMA DALAM SYAIR JAHILIYAH A. Kategorisasi Syair Jahiliyah………………………...………. B. Simbol-simbol Agama Dalam Syair Badawi ………………. C. Simbol-simbol Agama dalam syair Nasrani ……………..... D. Simbol-simbol Agama dalam Syair Yahudi …………….....

BAB VI : PENUTUP DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………....

BAB I PENDAHULUAN

Menelusuri sejarah agama, tidak ubahnya dengan menelusuri kembali sejarah penciptaan manusia. Sepertinya ada kesepakatan tidak tertulis, bahwa manusia tercipta dan lahir dengan sebuah agama, meski tanpa disebutkan jenis agamanya. Bahkan sejak penciptaan Adam sebagai manusia pertama, tercatat bahwa ia terlempar ke dunia dengan berbekal sebuah keyakinan akan adanya sang Pencipta yang harus ia sembah. Lalu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan agama itu sendiri? Kata agama pada dasarnya adalah sebuah kata yang sangat mudah diucapkan, namun sulit untuk didefinisikan. Hal tersebut menurut W.H.Clark oleh karena pengalaman beragama pada dasarnya lebih bersifat subyektif, intern dan individual, sehingga setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dengan orang lain.1 Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa agama bukanlah hak mutlak suatu golongan atau kelompok, namun merupakan hak universal setiap manusia di setiap masa. Pada saat membicarakan tentang sejarah agama, maka bagi umat Islam masa Jahiliyah adalah sebuah masa yang tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah Islam. Dan mungkin yang terlintas pertama kali dalam benak kita tentang realitas keagamaan pada masa Jahiliyah adalah sebuah masa di mana manusia tidak mengenal Tuhan dengan baik. Hal ini dapat kita lihat dari ungkapan beberapa penulis seperti Philip K. Hitti yang menyatakan bahwa berdasarkan syair-syair Jahiliyah, orang Arab Badawi tidak banyak yang memeluk agama. Mereka kurang antusias, atau bahkan bersikap tidak peduli terhadap nilai-nilai religius-spiritual. Ritual-ritual yang mereka lakukan hanyalah untuk menuruti tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun

1 Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN Press, 2007), hal. 3, dari Walter Housten Clark, The Psychology of Religion, (America: Macmilan Company). Meskipun kata agama itu sulit untuk didefinisikan, namun beberapa ahli teologi tetap berusaha memberikan pengertian dan batasan-batasan agama. Pembahasan ini akan dibahas pada bab berikutnya, sebagai batasan dari pengertian agama.

1 temurun.2 Selain itu penulis buku Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, menganalogikan masyarakat Arab Jahili dengan lautan yang bergelombang, atau bagai gunung berapi yang mendidih, mereka tidak memeluk satu agama atau ideologi yang menjadi pegangan. Sebagian menyembah matahari3, sebagian lainnya menyembah bulan4 dan bintang5, ada juga yang menyembah malaikat atau dewa dan lain sebagainya, atau bahkan ada yang tidak memegang kepercayaan apapun seperti atheis. Namun demikian yang paling dominan adalah kepercayaan mereka terhadap berhala (watsaniyah). Kehidupan bangsa Arab sangat dipengaruhi oleh berhala-berhala tersebut. Untuk itu mereka rela memberinya persembahan dan kurban, dan bersumpah atas namanya. Hal itu berlangsung hingga kedatangan Islam. 6 Agama masyarakat Arab Badawi mempresentasikan pola keyakinan bangsa Semit paling awal dan primitif. Sebagaimana keyakinan bangsa primitif, maka mereka sesungguhnya adalah pemeluk kepercayaan animisme. Perbedaan yang nyata antara kehidupan oasis dan gurun pasir, telah memberikan mereka konsep ideologi awal yang paling penting, yaitu kepercayaan mereka terhadap dewa yang dianggap sebagai penentu. Roh pemilik tanah yang subur kemudian dipandang sebagai dewa pemberi kebajikan, sementara roh pemilik tanah yang gersang dipuja sebagai dewa jahat yang harus ditakuti.7 Kondisi ideologi yang terdapat dalam masyarakat Arab ini tidak banyak diceritakan dalam syair-syair Jahiliyah. Hal itu menurut penulis buku Buhûts fi al-Adab al-Jâhili disebabkan para penyair lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat konkrit dan kasat mata dan sulit untuk mempercayai hal-hal yang di luar kemampuan akal mereka. Biasanya mereka menyebut berhala dalam syair untuk bersumpah, dan itu pun

2 Philip K. Hitti., History of The , (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 120 3 Terkadang di dalam masyarakat Arab seseorang diberi nama Abd. Al-Syams (hambanya matahari) 4 kabilah yang terkenal dengan menyembah bulan adalah Kinanah 5 Sebagian dari kabilah Lakhm, Khuza’ah dan Quraisy menyembah bintang Sirius (Dog Star) 6 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26. lih. Juga Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 34 7 Philip K. Hitti., , (terjemah), hal. 121

2 jumlahnya tidak banyak, seperti menyebut nama Latta dan Uzza dalam syair Aus ibn Hajar berikut ini: وباللتا والعزى ومن دان دينها وبالله إن الله منهن أكبر

Demi Latta dan Uzza dan orang yang mempercayainya Demi Allah, sesungguhnya Allah lebih agung dari mereka (berhala-berhala itu) 8

Atau syair yang diungkapkan al-Nâbighah al-Dzubyâni berikut ini: حلفت فلم أترك لنفسك ريبة وليس وراء الله للمرء مذهب

Aku bersumpah tidak pernah aku ragu padamu Karena tidak ada yang bisa diyakini seseorang selain Allah9

Bait syair tersebut menunjukkan bahwa bersumpah dengan nama Allah tidak berarti seseorang beriman dan mengesakan Allah, serta mengeluarkan mereka dari kekafiran dan kemusyrikan. Untuk itu, sebagaimana diungkapkan Philip K. Hitti, salah satu konsep keagamaan penting yang dikenal di kawasan Hijaz adalah konsep tentang Tuhan. Bagi masyarakat Hijaz, Allah adalah Tuhan yang paling utama, meskipun bukan satu-satunya. Al-Ilah itu sendiri berasal dari bahasa kuno. Tulisannya banyak muncul dalam tulisan-tulisan Arab Selatan, yaitu tulisan orang Minea di al-Ula, dan tulisan orang Saba, tetapi nama tersebut mulai berbentuk dengan untaian huruf HLH dalam tulisan-tulisan Lihyan pada abad ke-5 S.M.10 Di samping kepercayaan yang telah disebutkan tersebut, ada juga beberapa orang yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani, hanya saja jumlah mereka sangat sedikit dan jarang muncul di tengah khalayak. Pemeluk agama Yahudi menempati kota

8 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26 9 `Abbâs `Abd al-Sâtir, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1416 H/1996 M), cet. 3, hal. 27 10 dikutip oleh Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 126 dari Winnet

3 Yatsrib yang kemudian dinamakan Madinah. Mereka terdiri dari Bani Nadhîr, Bani Qainuqâ, dan Bani Quraizhah. Mereka menempati kota Madinah bersama-sama dengan suku Aus dan Khazraj. Hubungan mereka terkadang bersahabat, namun juga terkadang bermusuhan.11 Agama Nasrani tersebar di kabilah Rabi’ah dan Ghassan, serta sebagian kabilah Qudla’ah, hal ini karena mereka sering berhubungan dengan bangsa Romawi. Di kerajaan Hirah sendiri dari berbagai suku yang mendiaminya terdapat sebuah kabilah Arab yang biasa dipanggil dengan ‘al-‘’, yang merupakan keturunan Bani yang memeluk agama Nasrani. Kota yang paling terkenal yang tempati pemeluk Nasrani adalah Nejran yang terletak di Yaman. Di antara penyair yang terkenal dari wilayah ini yaitu Qiss, ‘Adi ibnu Zaid dan Umayah ibnu abi al-Shilat. Dari sekian banyak penduduk Arab, terdapat kelompok yang mempercayai adanya Tuhan dan menyembahnya secara murni tanpa menyekutukannya, seperti Waraqah ibn Naufal. 12 Menurut Zurji Zaedân ada tiga sumber rujukan (mashâdir akhbâr al-`Arab) yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk menelusuri sejarah bangsa Arab Jahiliyah, pertama syair Jahiliyah, kedua peninggalan-peninggalan bangsa Himyar, ketiga sejarah kaum Yahudi di Hijaz dan Yaman, serta gereja-gereja kristiani yang terdapat di Irak. Dalam hal ini Jurji Zaedan menempatkan syair Arab Jahiliyah sebagai sumber rujukan pertama sejarah bangsa Arab Jahiliyah. 13 Hal itu karena syair pada masa Jahiliyah menempati posisi penting di kalangan masyarakat Arab, sehingga pada masa itu penyair memperoleh penghormatan dari masyarakat lebih dari seorang orator (khâtib).14 Meskipun dalam paparan sebelumnya dijelaskan, bahwa bangsa Arab Jahiliyah tidak begitu mengenal Tuhan dengan baik, namun hal itu bukan berarti mereka sama sekali tidak menganut sistem ideologi, sebab berdasarkan contoh syair tersebut dan juga

11 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 26 12 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 27

13 Jurzi Zaedân, al-`Arab Qabla al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Hilâl, tth), hal. 19. Sesuai dengan judul bukunya yang membahas tentang kondisi bangsa Arab sebelum Islam, dalam bukunya pun Jurji Zaedân tidak mencantumkan dalil-dalil al-Qur’an sebagai sumber informasi sejarah bangsa Arab Jahiliyah. 14 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, hal. 340

4 syair sebelumnya, dapat dipastikan bahwa mereka memiliki sebuah keyakinan akan sesuatu hal yang bersifat ghaib. Maka syair Jahiliyah, dalam hal ini adalah sebuah media informasi yang dapat digunakan untuk meneliti berbagai aspek kehidupan bangsa Arab termasuk aspek agama.

5 BAB II AGAMA DAN HERMENEUTIKA SASTRA

A. Agama: Pengertian dan Ruang Lingkup Para peneliti agama maupun para ahli agama, sepertinya sepakat untuk mengatakan sulit ketika harus memberikan definisi yang tepat pada kata agama. Menurut penulis Psikologi Agama, kesulitan tersebut disebabkan oleh karena, pertama agama itu bersifat sangat etnosentris, yaitu selalu diterima dan dialami secara subyektif. Oleh karena itu, orang sering mendefinisikan agama sesuai dengan pengalaman dan penghayatannya pada agama yang dianutnya. Kedua, agama bersifat kompleks, artinya setiap definisi agama selalu tidak pernah komprehensif. Definisi-definisi yang ada hanya menangkap sebagian dari realitas agama, sedangkan definisi adalah batasan sesuatu, dan istilah agama sangat sulit untuk dibatasi.15 Dalam bahasa Indonesia, kata agama itu sendiri berasal dari bahasa Sangsakerta yang pada mulanya masuk ke Indonesia sebagai nama kitab suci golongan Hindu Syiwa yang diberi nama Agama. Akan tetapi saat ini, kata tersebut tidak lagi mengacu pada kitab suci tersebut, namun dipahami sebagai nama jenis bagi keyakinan hidup tertentu yang dianut oleh suatu masyarakat, sebagaimana kata dharma yang juga dari bahasa Sangsakerta, dỉ n dari bahasa Arab, dan religi dari bahasa Latin. Kata agama diambil dari dua akar suku kata yakni a yang bertarti tidak dan gama yang berarti kacau. Untuk itu, secara etimologi kata agama dalam bahasa Indonesia memiliki tiga arti, yaitu tidak kacau16, tidak pergi17, dan jalan bepergian atau jalan hidup.18

15 Heni Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, (Ciputat: Lemlit UIN Jakarta, 2007), hal. 4-5. 16 Hal itu mengandung arti bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Rosdakarya, 2002), cet. 2, hal. 13 17 Yang dimaksud dengan tidak pergi yakni bersifat diwariskan secara turun temurun. Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 63 18 Ensiklopedi Islam Indonesia, hal. 63. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 13

6 Dalam bahasa Arab kata agama dikenal dengan istilah al-din dan al-millah. Dalam kamus, kata al-din mengandung banyak arti, seperti: hukum, peraturan, undang- undang, tuntunan, disiplin, tunduk, patuh, taat, tingkah laku, adat kebiasaan, perhitungan, hutang, balasan, dan ibadat kepada Tuhan.19 Secara terminologi, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan agama sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada yang Tuhan Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia dengan lingkungannya.20 Tidak jauh berbeda dengan Kamus Besar bahasa Indonesia, Amsal Bahtiar dalam bukunya Filsafat Agama, menyebutkan bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi denganNya. Adapun pokok persoalan yang dibahas adalah eksistensi Tuhan, manusia, dan hubungan manusia dengan Tuhan.21 Sedangkan Mahmud Syaltut menyatakan bahwa agama adalah ketetapan-ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada Nabinya untuk menjadi pedoman hidup manusia.22 Definisi-definisi tersebut pada dasarnya lebih bersifat theo-oriented, sehingga apa yang telah disebutkan sebelumnya bahwa definisi agama biasanya sesuai dengan pengalaman dan penghayatan si pembuat adalah benar. Maka ada baiknya juga penulis mengemukakan definisi agama yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia sebelum revisi terakhir pada tahun 2008, edisi cetak 1995, menurutnya agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.23 Definisi lain yang lebih universal adalah definisi yang biasa diberikan oleh para sosiolog. Menurut mereka agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh

19 Ensiklopedi Islam Indonesia, hal. 218. Sa’di Abu Jaib, al-Qamus al-Fiqhi Lughatan wa ishthilahan, (Beirut: Dar al-Fikr: 1988), cet. 2, hal. 132. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 13 20 Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hal. 12 21 Amsal Bahtiar, Filsafat Agama, (Ciputat: Logos, 1999), hal. 2 22M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 209 23 Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 10

7 penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumnya.24 Dua definisi agama yang terakhir, baik yang dilontarkan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi lama maupun definisi yang diberikan para sosiolog, tampaknya lebih bersifat terbuka dan tidak bersifat primordial. Meskipun definisi agama sulit dipastikan, The Encyilopedi of Philoshophy menyebutkan ciri-ciri dari agama sebagai berikut: 1. Kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan) 2. Perbedaan antara obyek sakral dan profane 3. Tindakan ritual yang berpusat pada obyek sakral 4. Tuntutan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan 5. Perasaan yang khas agama (ketakjuban, perasaan misteri, rasa bersalah, pemujaan) yang cenderung bangkit di tengah-tengah obyek sakral atau ketika menjalankan ritual, dan yang dihubungkan dengan gagasan ketuhanan 6. Sembahyang dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan. 7. Pandangan dunia atau gambaran umum tentang dunia secara keseluruhan dan tempat individu di dalamnya. 8. Pengelolaan kehidupan yang bersifat menyeluruh yang didasarkan pada pandangan dunia tersebut. 9. Kelompok sosial yang diikat bersama oleh hal-hal di atas.25 Berdasarkan hal tersebut, maka hampir semua agama mengandung empat (4) unsur penting berikut: 1. Pengakuan bahwa ada kekuatan ghaib yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia. 2. Keyakinan bahwa keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya hubungan baik antara manusia dengan kekuatan ghaib itu. 3. Sikap emosional pada hati manusia terhadap kekuatan ghaib itu, seperti sikap takut, hormat, cinta, penuh harapan, pasrah, dan lain-lain.

24 Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 34 25 Heny Narendrany, Psikologi Agama, hal. 5

8 4. Tingkah laku tertentu yang dapat diamati seperti shalat, sembahyang, doa, puasa, suka menolong, tidak korupsi dan lain-lain, sebagai buah dari tiga unsur pertama. Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia, tiga unsur pertama itu merupakan jiwa agama, sedangkan unsur keempat merupakan bentuk lahiriahnya.26 Pada intinya, manusia perlu beragama karena manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami- Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.27 Keyakinan atau pengakuan adanya kekuatan ghaib, merupakan keyakinan pokok dalam semua agama, kecuali dalam agama Budha Hinayana. Masyarakat primitive umumnya meyakini adanya tiga macam kekuatan ghaib, yaitu: kekuatan sakti (mana), roh-roh (terutama roh-roh manusia yang telah wafat), dan dewa-dewa atau Tuhan. Mereka dapat sekaligus berfaham dinamisme, yakni mempercayai bahwa tiap-tiap benda dapat ditempati oleh kekuatan sakti, yang bias memberikan manfaat atau malapetaka kepada manusia; berfaham animisme, yakni mempercayai bahwa tiap-tiap benda dapat ditempati oleh ro-roh, terutama roh-roh manusia yang dapat menolong atau mengganggu manusia; dan berfaham politeisme, yakni mempercayai dan menyembah banyak dewa yang mereka anggap mempunyai kekuatan yang lebih besar dari roh-roh; atau berfaham monoteisme, yakni menyembah satu dewa atau satu Tuhan, tapi tidak mengingkari adanya para dewa atau Tuhan-tuhan lain yang menjadi saingan bagi dewa atau Tuhan yang mereka sembah. Pada masyarakat primitive, sebenarnya juga terdapat keyakinan tentang adanya dewa atau Tuhan tertinggi, yang menciptakan para dewa dan alam semesta semuanya; akan tetapi sebagian mereka cenderung 26 Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 63 27 Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. Halaman terakhir diubah pada 20:16, 20 Agustus 2010

9 menyembahnya dan sekaligus menyembah dewa-dewa yang lain, bahkan sebagian lagi cenderung tidak menyembahnya, karena dianggap terlalu jauh untuk disembah, seperti perlakuan masyarakat Arab Jahiliyah terhadap Allah.28 Masyarakat maju atau modern yang beragama, pada umumnya cenderung pada faham monoteisme, yakni meyakini hanya ada satu Tuhan yang menciptakan segenap alam; tidak ada Tuhan selain Dia, seperti rumusan Syahadat Umat Islam. Umat Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha Mahayana, mengaku bahwa agama masing-masing adalah agama monoteisme. Secara teologis, ulama Islam membagi agama-agama yang ada di dunia ini menjadi dua kelompok. Pertama, adalah agama wahyu, yakni agama yang diwahyukan Tuhan kepada para Rasulnya yang banyak seperti kepada Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, Isa, dan terakhir pada Nabi Muhammad SAW. Keyakinan sentral dalam agama wahyu yang diajarkan para Rasul Tuhan itu, pada masa hidup masing-masing, tidak lain dari Tauhidullah (mengesakan Allah), yakni mengakui tidak ada Tuhan selain Allah, dan hanya kepadanya saja ubudiyah serta ketaan ditunjukkan secara langsung. Kedua adalah bukan wahyu, yakni agama-agama yang muncul sebagai hasil budaya imajinasi, perasaan, atau fikiran manusia.29 Setiap agama, tentu saja memiliki cara atau dalam istilah Islam syariat tersendiri dalam menjalankannya. Berdasarkan hasil penelitian, ada empat cara yang biasa digunakan para penganut agama, yaitu: 1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya. 2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama.

28 Ensiklopedi Islam Indonesia, hal. 63-64 29 Ensiklopedi Islam Indonesia, hal. 64

10 Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya. 3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun. 4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.30 Menurut Prof. Dr. Koetjaraningrat yang dikutip oleh Rusmin Tumanggor, ada beberapa komponen yang terkait dengan sistem religi, yaitu (1) emosi keagamaan, (2) sistem keyakinan, (3) sistem ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan upacara, dan (5) umat beragama.31 Hal-hal yang terkait dengan agama ini, sangat penting untuk dibahas oleh peneliti, untuk dijadikan sebagai landasan teoritis dalam penelitian selanjutnya.

B. Hermeneutika dalam Kajian Sastra a. Pengertian Hermeneutika dan Tokoh-tokohnya Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani “hermeneuein” atau Ερμηνεύω hermēneuō yang berarti menerangkan, atau menafsirkan, atau mengungkapkan pikiran seseorang ke dalam kata-kata. Semula Hermeneutik digunakan untuk menafsirkan

30 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama, Halaman terakhir diubah pada 20:16, 20 Agustus 2010 31 Heny Narendrany, Psikologi Agama, hal. 6

11 Alkitab, sehingga lebih banyak berkembang di kalangan Gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegesis atau penafsiran teks-teks agama. Secara historis, kata hermeneutik terkait erat dengan dewa Hermes, salah seorang dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas mentransfer pesan-pesan Tuhan yang notabene berbahasa langit kepada manusia yang berbahasa bumi.32 Tuhan oleh masyarakat Yunani disimbolkan dengan nama Jupiter. Tugas Hermes adalah menterjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manausia. Oleh karena itu, fungsi Hermes sangat penting sebab bila terjadi kesalahfahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Dan sejak itu, Hermes menjadi Simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi tersebut, sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.33 Menurut Seyyed Hossein Nasr, Hermes tersebut tiada lain adalah Nabi Idris as sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun, kedokteran dan astrologi.34 Dari latar belakang historis tersebut ditarik sebuah kesimpulan awal, bahwa hermeneutik adalah proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan umum ini menurut Richard E. Palmer selalu dianggap benar, baik dalam pandangan hermeneutik klasik maupun modern.35 Menurut Palmer definisi hermeneutika hingga saat ini masih terus berkembang. Definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam:

32 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), hal. 307 . http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika dari Bernard Ramm, Protetant Biblical Interpretation, trans. Silas C.Y. Chan (Monterey Park, Ca.: Living Spring, 1983), hal. 10. Arndt and Gingrich, A Greek-English Lexicon of The New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago: The Univ, of Chicago Press, 1957), hal. 309-310. Petura Manuaba, Hermeneutika dan Interpretasi Sastra, (FSU: in the Limelight Vol. 8, No. 1, Juli 2001). Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian; Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hal. 88 33 E. Sumaryono, Hermeneutik; sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 24 34 Pembahasan panjang mengenai hubungan Hermes dan Nabi Idris as, baca Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 221, dikutip dari Abdul Hadi WM, Hermeneutik, Estetika, dan Religiusitas, (Yogayakarta: Matahari, 2004), hal. 70-89 35 E. Sumaryono, Hermeneutik; sebuah Metode Filsafat, hal. 24

12 1) Pengertian yang paling populer adalah ilmu tentang penafsiran (science of interpretation) atau lebih spesifik lagi yaitu teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis). 2) Hermeneutika didefinisikan sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology). 3) Hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding). 4) Hermeneutika sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of Geisteswissenschaften). 5) Hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of existential understanding). 6) Hermeneutika sebagai sistem penafsiran (system of interpretation).36 Keenam definisi tersebut bukan sebatas urutan fase sejarah hermeneutika, namun masing-masing menunjukkan pendekatan yang sangat penting dalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun demikian dapat dipertanggungjawabkan pada saat seseorang menafsirkan sesuatu, terutama dalam penafsiran teks.37 Definisi lain yang lebih konkrit diungkapkan oleh Habermas sebagaimana dikutip MudjiaRahadjo, bahwa hermeneutika adalah suatu seni memahami makna komunikasi linguistik dan menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami untuk kemudian dibawa ke masa sekarang.38 Berdasarkan pengertian tersebut, maka syair Jahiliyah termasuk salah satu objek kajian dalam dunia hermeneutika. E. Sumaryono dalam bukunya Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, menyebutkan sebanyak enam tokoh hermeneutik lengkap dengan konsep pemikiran masing-masing, seperti F.D.E. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Hans-Georg Gadamer,

36 Reza Antonius Wattimena, Definisi Hermeneutika, (rezaantonius.multiply.com./jurnal/item/46) Rabu, 4 Nopember 2009. 37 Reza Antonius Wattimena, Definisi Hermeneutika, Rabu, 4 Nopember 2009 38 MudjiaRahardjo, Hermeneutika Gadamerian; Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hal. 88

13 Jurgen Habermas, Paul Ricouer, dan Jacques Derrida. F.D.E. Schleiermacher39 yang dianggap sebagai Bapak hermeneutik menggunakan hermeneutik sebagai landasan filsafat dan teologi. Untuk itu bagi Schleiermacher hermeneutik adalah sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks-teks mengenai konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma. Ia menerapkan metode philologi untuk membahas tulisan-tulisan biblis40 dan menerapkan metode hermeneutik teologis untuk teks-teks yang tidak berhubungan dengan Injil (Bible).41 Tokoh hermeneutik lainnya Wilhelm Dilthey42 seorang filsuf yang cukup terkenal di Jerman lebih menekankan aspek historis dalam teori hermeneutiknya. Untuk itu, ia berambisi untuk menyusun sebuah dasar epistemologis baru bagi pertimbangan sejarah. Hermeneutik Dilthey meliputi interpretasi tentang objek dan subjek sejarah, peristiwa dan pelaku sejarah, serta interpreter dan yang dinterpretasikannya. Menurut Sumaryono, hal-hal tersebut semuanya dalam keadaan tumpang tindih dalam pengertian dan pemahaman manusia.43 Hans-Georg Gadamer44 adalah tokoh hermeneutik yang cukup terkenal. Karyanya Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode) menegaskan bahwa hermeneutik bukanlah sebuah metode namun pemahaman. Pemahaman yang ia inginkan adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Untuk itu, hermeneutik lebih merupakan usaha memahami dan menginterpretasi sebuah teks. Hermeneutik merupakan bagian dari keseluruhan pengalaman mengenai dunia. Hermeneutik berhubungan dengan suatu teknik atau teche tertentu, dan berusaha kembali ke susunan tata bahasa, aspek kata-kata retorik dan aspek dialektik sesuatu bahasa. Untuk itu pemahaman pada dasarnya berkaitan dengan hubungan antar makna

39 Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher dilahirkan di Breslau pada tanggal 21 November1768 dari keluarga yang taat dalam agama Protestan. Di bawah bimbingan Johann August Eberhard, ia mempelajari filsafat Kant melalui tulisannya yang berjudul Kritik atas Akal Murni dan mengevaluasinya. E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, hal. 35 40 Biblis adalah segala hal yang terkait dengan kitab suci Bible. 41 E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, hal. 37 42 Wilhelm Dilthey lahir pada tanggal 19 November 1833. Ayahnya seorang pendeta Protestan di Biebrich dan ibunya seorang putri dirigen yang mewarisinya bakan di bidang musik. 43 Lebih lengkap tentang pemikiran Wilhelm Dilthey, lih. E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, hal. 45-65 44 Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900.

14 dalam sebuah teks, serta pemahaman tentang realitas yang kita perbincangkan. Sumaryono menyebut Gademer dengan hermeneut sejati.45 Tokoh hermeneutik lainnya yang juga terkenal adalah Paul Ricoeur. Tokoh ini banyak berbicara tentang teori simbol dalam hermeneutik. Untuk itu, peneliti membahas secara khusus teori dan pemikirannya dalam ruang tersendiri. b. Teori Simbol dalam hermeneutik Sastra Penelitian ini diberi judul Simbol-simbol agama dalam syair Jahiliyah, untuk itu kajian tentang simbol merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dikemukakan terlebih dahulu sebagai landasan teoritis. Sebagaimana diungkapkan Mudjirahardjo, istilah hermeneutika sebagai ilmu tafsir pertama kali diperkenalkan oleh seorang teolog Jerman bernama Johann Konrad Dannhauer (1603-1666), sekitar abad ke-17 dengan dua pengertian, yaitu hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutik sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami.46 Hermeneutik yang pada mulanya berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegesis atau penafsiran teks-teks agama, kemudian berkembang menjadi ‘filsafat penafsiran’ kehidupan sosial. Di kemudian hari F.D.E. Schleiermacher yang dianggap sebagai Bapak Hermeneutika, membangkitkan kembali hermeneuitik dan membakukannya sebagai metode interpretasi yang tidak hanya terbatas pada kitab suci, tetapi juga seni, sastra dan juga sejarah.47 Sebagai bagian ilmu humaniora, sastra termasuk salah satu bidang yang sangat membutuhkan konsep hermeneutika ini. Sebab, kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, terkait erat dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra, terutama dalam prosesnya, pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, 45 Lebih lengkap tentang pemikiran Hans-Georg Gadamer, lih. E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, hal. 67-85 46 MudjiaRahardjo, Hermeneutika Gadamerian; hal. 89 47 MudjiaRahardjo, Hermeneutika Gadamerian; Ibid

15 hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan dalam penafsiran teks sastra.48 Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, hermeneuitika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut, yakni horison teks, pengarang dan pembaca. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yakni teks, konteks, dan upaya kontekstualisasi. Berdasarkan hal tersebut, hermeneutika menempatkan bahasa sebagai bagian sangat penting dalam kajiannya. Sebab, bahasa dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.49 Menurut Paul Ricoeur50, Bahasa pada hakekatnya adalah simbol-simbol, karena menggambarkan hal lain yang sifatnya tidak langsung, tidak begitu penting serta figuratif dan hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol tersebut. Oleh karena itu, simbol-simbol dan interpretasi merupakan konsep-konsep yang mempunyai pruralitas makna yang terkandung di dalam simbol-simbol atau kata-kata, sehingga setiap kata pada hakekatnya adalah sebuah simbol yang penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Untuk itu, menurut Ricoeur hermeneutik bertujuan untuk menghilangkan misteri yang terdapat dalam simbol-simbol tersebut. 51 Menurut Ricoeur, salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah “perjuangan melawan distansi kultural” yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik. Kita baru bisa mengkritik jika kita membuat jarak dengan objek kritik. Namun demikian, orang yang mengajukan kritik itu, tetap harus memiliki bekal awal yang berupa hipotesa sementara,

48 Putera Manuaba, Hermeneutika dan Interpretasi Sastra, (FSU in the Limelight), vol. 8, No. 1, Juli 2001 49 MudjiaRahardjo, Hermeneutika Gadamerian; Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur, hal. 90-91 50 Paul Ricoeur lahir di Valence, Prancis Selatan pada tahun 1913. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dipandang sebagai cendekiawan Protestan terkemuka di Prancis. 51 E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, hal. 106

16 sehingga sebagaimana dikatakan Gadamer, pengkritik tidak sepenuhnya absurd atau bahkan menipu.52 Syair sebagai sebuah seni yang menggunakan bahasa sebagai medianya atau menurut para pencinta sastra Arab adalah untaian kata (kalâm) yang fasih yang berdasarkan pada wazan dan qâfiyah, dan biasanya mengungkapkan tentang gambaran- gambaran imajinasi yang indah, pada hakekatnya adalah simbol-simbol yang dibuat oleh penyair yang sarat akan makna dan membutuhkan penafsiran-penafsiran.

C. Bahasa Agama sebagai simbol Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa definisi keenam dari hermeneutika menurut Richard E. Palmer adalah sebagai sistem penafsiran (system of interpretation). Dan hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol. Menurut Mudjahirin Thohir, agama dapat didefinisikan sebagai “seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia, dan mengatur manusia dengan lingkungannya”. Sebagai seperangkat aturan dan peraturan, agama menjadi pedoman moral dan etika yang terwujud sebagai nilai-nilai budaya, yang mengintegrasikan dan menjiwai setiap upaya pemenuhan kebutuhan biologi dan sosial dari warga masyarakat. Aturan dan peraturan itu diturunkan dan diperkenalkan ke dalam sistem-sistem simbol.53 Simbol-simbol keagamaan itu menjadi perantara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luarnya. Sebagai perantara, simbol-simbol keagamaan itu diperlukan dan diperlakukan sebagai “model dari” (model of) dan “model untuk” (model for). Sebagai “model dari”, simbol-simbol itu berisi nilai-nilai yang menyelimuti perasaan-perasaan emotif, kognitif, dan evaluatif manusia sehingga mereka menerima kenyataan. Berdasarkan pada pengetahuan dan keyakinan keagamaan seperti itu, maka

52 E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, hal. 107 53 Mudjahirin Thohir, Agama dan Simbol, Posted on April 19th, 2009

17 agama lantas menjadi “model untuk” manusia mengekspresikan nilai-nilai keagamaan. Apa yang diekspresikan dan bagaimana mengekspresikan, adalah melalui suatu proses sembolik.54 Untuk itu, menurut Thohior, kajian mengenai simbol-simbol dan bagaimana simbol-simbol itu dimanfaatkan untuk mengkaji masalah agama dan keagamaan, sangat menarik dan penting. Menarik karena pendekatan sembolik terhadap masalah agama dan keagamaan ternyata menghadirkan peluang yang sangat besar untuk lebih bisa memahami makna-makna yang tersembunyi di balik simbol-simbol agama, baik yang ada di balik isi teks-teks agama maupun dalam perilaku keagamaan. Penting karena ternyata pendekatan semiotik ini bisa memberi suatu model pemecahan baru yang berbeda dengan ketika agama dan keagamaan didekati secara normatif yang cenderung doktriner. Kesalahan terbesar manusia dalam memahami simbol adalah menganggap bahwa simbol adalah substansi. Sehingga mereka kerap kali terjebak pada pembenaran terhadap semua hal yang hanya bersifat kasat mata sebagai kebenaran hakiki. Muara dari kesalahan itu adalah fanatisme. Contoh kasus: Agama X menyebut kata Tuhan dengan sebutan X1, sedangkan agama Y menyebutnya dengan Y1. Masing-masing agama mengklaim bahwa penyebutan yang benar adalah menurut cara mereka masing- masing. Di luar penyebutan itu, dianggap sebagai ajaran sesat. Begitu pula dengan bahasa yang dipakai. Agama A menggunakan bahasa A1 baik dalam kitab sucinya, maupun dalam tata cara ibadah. Di lain pihak, agama B memilih menggunakan bahasa B1. Perbedaan simbolik yang hanya terletak pada permukaan itu dijadikan alasan untuk saling membenci, dan memusuhi satu sama lain.55 Agama memberi lambang-lambang kepada manusia. Dengan lambang-lambang tersebut mereka dapat mengungkapkan hal-hal yang susah diungkapkan, meskipun hakikat pengalaman keagamaan selamanya tidak dapat diungkapkan. Ide tentang Tuhan telah membantu member semangat kepada manusia dalam menjalankan tugas-tugasnya

54 Mudjahirin Thohir, Agama dan Simbol, Staff.undip.ac.id weblog 55 Mudjahirin Thohir, Ibid

18 sehari-hari, menerima nasibnya yang tidak baik, atau bahkan berusaha mengatasi kesukaran-kesukaran yang banyak dan berusaha mengakhirinya.56 Karena inti emosi keagamaan dipandang tidak dapat diekspresikan, maka semua upaya untuk itu semata-mata merupakan perkiraan-perkiraan yang bersifat simbolik. Salah satu cara menghidupkan benda-benda dan makhluk sacral yang ghaib dalam fikiran dan jiwa para pemeluk agama, maka simbolisme memiliki tempat yang istimewa. Karena lambaing-lambang itu mampu membangkitkan perasaan dan keterikatan lebih sekedar formulasi verbal dari benda-benda yang mereka percayai sebagai lambing tersebut. Lambang-lambang tersebut sepanjang sejarah sampai sekarang merupakan pendorong-pendorong yang paling kuat bagi timbulnya perasaan manusia. Karena itu tidak sukar untuk difahami bahwa dimilikinya lambang bersama merupakan cara yang sangat efektif untuk empererat persatuan di antara pemeluk.57 Terkait dengan bahasa agama, Komaruddin Hidayat membaginya ke dalam dua bagian, pertama bersifat teologis (theo-oriented), bahwa yang dimaksud dengan bahasa Agama adalah kalam ilahi yang kemudian terabadikan ke dalam Kitab suci. Dalam teori ini, term Tuhan dan Kalamnya lebih ditekankan, sehingga pengertian bahasa Agama yang paling mendasar adalah bahasa kitab suci. (h. 50) kedua, bersifat antropologis (antropo-oriented), bahwa yang dimaksud dengan bahasa agama adalah ungkapan serta perilaku keagamaan dari seseorang atau sebuah kelompok social. Dalam pengertian yang kedua, bahasa agama merupakan wacana keagamaan yang dilakukan oleh umat beragama maupun sarjana ahli agama, meskipun tidak selalu menunjuk serta menggunakan ungkapan-ungkapan kitab suci.58 Hampir tidak berbeda dengan Komarudin Hidayat, Akhmad Muzakki membuat karakterisasi tentang bahasa agama, sebagai berikut, pertama, obyek bahasa agama adalah metafisis, berpusat pada Tuhan dan kehidupan baru di balik kematian dunia. Kedua, sebagai implikasi dari yang pertama, format dan materi pokok narasi keagamaan

56 Elizabeth K Nottingham (terjemah Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 4 57 Elizabeth K Nottingham (terjemah Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat, hal. 16- 17 58 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hal. 50

19 adalah kitab suci. Ketiga, bahasa agama mencakup ungkapan dan ekspresi keagamaan secara pribadi maupun kelompok, meskipun ungkapannya menggunakan bahasa ibu.59 Adapun yang dimaksud bahasa metafisik adalah bahasa ataupun ungkapan serta pernyataan yang digunakan untuk menjelaskan obyek yang bersifat metafisikal, terutama tentang Tuhan. Karena berbagai pernyataan tentang Tuhan tidak bisa diverfikasi atau difalsivikasi secara obyektif dan empiris, maka dalam memahami kitab suci seseorang cenderung menggunakan standar ganda. Yaitu, seseorang berfikir dalam kapasitas dan berdasarkan pengalaman kemanusiaan namun diarahkan untuk suatu obyek yang diimani yang berada di luar jangkauan nalar dan inderanya. Dengan kata lain, ia berfikir dengan kerangkan iman dan dia beriman sambil mencoba mencari dukungan dari pikirannya.60 Bahasa agama memiliki hakikat yang khusus, berbeda dengan bahasa-bahasa lainnya. Bahasa agama bukan hanya mengacu pada dunia melainkan melampaui ruang dan waktu, sehingga bahasa agama mengacu pada: 1. Dunia, yang meliputi dua hal, pertama dunia human, yang meliputi dunia kemanusiaan. Kedua dunia infra human, yaitu yang berkaitan dengan dunia binatang, tumbuhan dan dunia fisik lainnya, dengan segala hukum dan sifat masing-masing. 2. Aspek metafisik, yaitu suatu hakikat makna di balik hal-hal yang bersifat fisik. Aspek metafisik ini tidak terjangkau oleh indera manusia, sehingga hanya dapat dipahami, dipikirkan dan dihayati. 3. Adikodrati, yaitu suatu wilayah di balik dunia manusia yang hanya diinformasikan oleh Tuhan, melalui wahyu, misalnya surga, neraka, ruh, hari kiamat, dan sebagainya. 4. Ilahiyah, yaitu aspek yang berkaitan dengan hakikat Allah, bahwa Allah itu memiliki asma al-husna, seperti al-‘Aziz, al-Hakim, al-Ghani, dan lain sebagainya.

59 Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (Malang: UIN Malang Press, 2007), hal. 51 60 Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (Malang: UIN Malang Press, 2007), hal. 51

20 5. Mengatasi dimensi ruang dan waktu, seperti yang berkaitan dengan waktu, contohnya sejarah para Nabi dan RasulNya, atau yang berkaitan dengan dimensi ruang seperti dunia jin, alam kubur, alam ruh, dan lain sebagainya.61 Teks-teks keagamaan pada hakekatnya adalah simbol-simbol yang dibuat untuk membuat sesuatu yang dianggap absurd menjadi sesuatu yang dapat dirasa dan dimakna. Dan kajian tentang simbol sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, adalah bagian dari kajian hermeneutik. Dan syair adalah bagian dari Sastra, sehingga kajian ini dinamakan dengan kajian hermeneutik Sastra.

D. Posisi Hermeneutik dalam penelitian ini Berdasarkan pemaparan teori-teori di atas, dapat disimpulkan beberapa kaidah umum tentang hermeneutik yang akan dijadikan landasan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Secara umum hermeneutik adalah ilmu yang secara khusus mengkaji teks. Teks dalam penelitian ini adalah syair-syair hasil karya para penyair pada masa Jahiliyah. 2. Pembacaan teks dalam teori hermeneutik adalah dengan cara menafsirkan teks-teks tersebut. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. 3. Dalam hermeneutik ada beberapa cara untuk memahami kandungan makna literal teks. Dalam kajian teks puisi Arab, bahasa tentu saja menjadi unsur penting dalam memahami makna. Untuk itu pemahaman makna secara gramatikal, leksikal dan juga kontekstual adalah sebuah keharusan dalam kajian ini. 4. Di sisi lain, antara teks, pengarang dan pembaca dalam kajian hermeneutik memiliki hubungan yang sangat erat. Teks dalam kajian ini adalah syair Jahiliyah, sedangkan pengarang adalah penyair Arab Jahiliyah, adapun yang

61 Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, hal. 52-53

21 dimaksud dengan pembaca adalah peneliti sendiri yang bertugas sebagai penafsir. Jika pemahaman terhadap teks dapat dilakukan melalui pemahaman secara gamatikal, leksikal dan kontekstual, maka pemahaman terhadap pengarang dapat dilakukan melalui kajian sejarah yang melingkupinya. Dan pembaca yang dalam hal ini peneliti memiliki peran besar dalam menafsirkan teks yang dalam hal ini adalah teks-teks syair yang mengandung simbol agama di dalamnya. 5. Syair adalah seni yang menggunakan bahasa sebagai media. Bahasa sendiri terdiri dari rangkaian kata. Setiap kata pada hakekatnya adalah sebuah simbol yang penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Untuk itu, hermeneutik bertujuan untuk menghilangkan misteri yang terdapat dalam simbol-simbol tersebut. 6. Hermeneutik pada dasarnya adalah interpretasi tentang objek dan subjek sejarah, peristiwa dan pelaku sejarah, serta interpreter dan yang dinterpretasikannya. Dari pointer-pointer tersebut, hermeneutika dianggap sebagai metode yang tepat untuk menfasirkan simbol-simbol keagamaan yang terdapat pada masa Jahiliyah yang terdapat dalam teks sastra yang ada saat itu yakni syair Jahiliyah yang dianggap sebagai cermin kehidupan bangsa Arab saat itu.

22 BAB III SYAIR DALAM STRUKTUR SOSIAL BANGSA ARAB JAHILIYAH

Syair dalam tradisi dan budaya Arab Jahiliyah, selain sebagai karya sastra juga sebagai fakta sejarah yang tak terbantahkan, hal ini semakin mengukuhkan bahwa syair Jahiliyah selain sebagai karya sastra, juga sebagai teks sejarah bagi bangsa Arab Jahiliyah. Meskipun demikian, wacana tentang kehidupan beragama dalam syair Jahiliyah bukanlah suatu hal yang mudah ditemukan. Fenomena tersebut menunjukkan dan menjadi simbol bahwa kehidupan mereka saat itu kurang bersentuhan dengan nilai- nilai religius. Namun demikian, sampai sejauh mana kondisi kehidupan beragama mereka saat itu, perlu dibuktikan melalui penelitian yang mendalam. Pentingnya kedudukan syair sebagai media untuk menggali informasi kehidupan beragama pada masa Jahiliyah, dalam bab ini secara khusus dibahas tentang berbagai hal yang terkait dengan syair Jahiliyah, dimulai dari latar belakang sejarah, kedudukan dan fungsi syair bagi bangsa Arab dan lain sebagainya.

E. Syair Jahiliyah Sebagai Teks Sejarah Syair bagi bangsa Arab bukan semata-mata sebagai media untuk mengekspresikan perasaan dan fikiran, lebih dari itu syair adalah kebanggaan dan identitas mereka selama berabad-abad lamanya, sehingga tidak salah bila ada yang menyatakan bahwa bangsa Arab Jahiliyah tidak memiliki seni dan budaya apapun selain dari syair. Syair, sebagaimana dinyatakan oleh Umar ibnu al-Khathâb, adalah pengetahuan bangsa Arab dan tidak ada ilmu lain selain syair yang melebihi kebenarannya.62 Maka syair selain sebagai karya sastra, bagi masyarakat Arab Jahiliyah adalah representasi dari pola fikir, sikap, sejarah dan realitas kehidupan. Sehingga untuk mengetahui kondisi keagamaan pada masa Jahiliyah, pembahasan tentang syair Jahiliyah itu sendiri adalah hal yang sangat urgen. 62 Badawi Thabâbah, Dirâsat fi al-Naqd al-Adabî, (Kairo: Maktabah al-Enjelo al-Mishriyah, 1965), cet. 4, hal. 43, dikutip dari Ibnu Salâm al-Jamahi, Thabaqât al-Syu’arâ, hal. 17

23 Syair selain berfungsi sebagai media untuk mengekspresikan imajinasi dan emosi, oleh bangsa Arab digunakan juga untuk menginformasikan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan mereka, seperti untuk melukiskan peperangan yang mereka alami, kondisi lingkungan yang mereka tempati, hal-hal yang membanggakan, dan lain sebagainya, sehingga selain disebut dengan istilah syair ia juga dinamakan dengan dîwan al-Arab atau catatan sejarah bangsa Arab.63 Zurji Zaedân, sebagaimana disebutkan dalam Pendahuluan, bahkan menempatkan syair Jahiliyah sebagai mashâdir akhbâr al-`Arab (sumber rujukan sejarah bangsa Arab) yang pertama, di samping peninggalan-peninggalan bangsa Himyar, sejarah kaum Yahudi di Hijaz dan Yaman, serta gereja-gereja kristiani yang terdapat di Irak.64

a. Sejarah perkembangan Syair Jahiliyah dan kedudukannya bagi bangsa Arab Syair Jahiliyah lahir dari atas punggung unta dan kuda, di bawah bayang-bayang oase pohon kurma, di atas debu gurun pasir, di bawah naungan langit yang kering, serta irama alam padang sahara lainnya.65 Menurut penulis buku al-Mufashshal fi Târikh al- Adab al-Arabi, secara historis sangat sulit menentukan kapan syair Arab Jahili mulai muncul dalam tradisi masyarakat Arab, sebab biasanya setiap ilmu atau suatu kreatifitas seni, muncul pertama kalinya dalam ketidaksempurnaan dan banyak kekurangan yang kemudian secara perlahan-lahan berproses menuju kesempurnaan, sedangkan syair Jahiliyah sampai ke tangan kita dengan performa dan gaya bahasa yang matang dan sempurna, baik dari aspek wazan (matra), lafaz, maupun maknanya.66 Tradisi bersyair di kalangan masyarakat Arab ini, diduga telah ada jauh sebelum agama Islam lahir, sekitar dua abad sebelum Hijriyah, yang saat ini lebih dikenal dengan istilah syair Jahiliyah.67 Menurut penulis al-Mufashshal, syair pertama yang

63 Zaghlûl Salâm, Atsâr al-Qur’an fi Tathawwur al-Naqd al-Arabi ila Âkhir al-Qarn al-Râbi’ al-Hijri, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif , 1961), hal. 193, lih. Juga Ensiklopedi Islam, , hal. 340 64 Jurzi Zaedân, al-`Arab Qabla al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Hilâl, tth), hal. 19. Sesuai dengan judul bukunya yang membahas tentang kondisi bangsa Arab sebelum Islam, dalam bukunya pun Jurji Zaedân tidak mencantumkan dalil-dalil al-Qur’an sebagai sumber informasi sejarah bangsa Arab Jahiliyah. 65 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 56 66 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 41 67 .Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), jilid 4, hal. 340

24 sampai ke tangan kita adalah syair Ayyâm Harb al-Basûs atau kisah perang Basus. Dari data tersebut, syair Jahiliyah diperkirakan lahir sekitar 130 tahun sebelum Hijrah sebelum munculnya syair tersebut.68 Para penyair Arab Jahiliyah biasanya menggubah syair untuk mengungkapkan peristiwa yang terjadi, atau perasaan yang mereka alami yang kemudian mereka dendangkan. Menurut sebagian riwayat, penyair pertama Arab Jahiliyah yang melakukan hal itu adalah al-Muhalhil ibn Rabî’ah paman Umru al-Qais dan Umru al- Qais sendiri pada akhir abad ke-5 Masehi.69 Al-Muhalhil sendiri menggubah syairnya untuk mengekspresikan perasaannya saat ditinggal saudaranya Kulaib dan korban lainnya yang mati terbunuh pada perang yang terjadi antara Bani Bakr dan Taghlib. Menurut pendapat lain, syair Jahiliyah awal menggunakan bahr Rajaz yang dianggap sebagai performa syair yang paling sederhana, yaitu menggunakan wazan mustaf’ilun- mustaf’ilun-mustaf’ilun, lalu setelah itu para penyair bereksplorasi dengan bahr-bahr lainnya.70 Syair Arab selain berfungsi sebagai media untuk mengekspresikan imajinasi dan emosi, oleh bangsa Arab digunakan juga untuk menginformasikan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan mereka, seperti untuk melukiskan peperangan yang mereka alami, kondisi lingkungan yang mereka tempati, hal-hal yang membanggakan, dan lain sebagainya, sehingga sebagaimana telah disebutkan di atas, selain disebut dengan istilah syair ia juga dinamakan dengan dîwan al-Arab atau catatan sejarah bangsa Arab.71 Syair bagi bangsa Arab memiliki pengaruh yang sangat kuat, untuk itu keberadaan penyair merupakan sebuah keharusan bagi setiap kabilah. Fungsinya adalah untuk menginformasikan segala hal yang berhubungan dengan kabilah. Selain itu syair

68 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 41 69 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.41 70 Wazan dinamakan juga dengan bahar atau al-buhûr al-syi’riyah, yakni bentuk-bentuk pola irama yang membentuk corak musik yang beranekaragam dalam syair Arab. Wazan dinamakan dengan bahr karena menyerupai lautan yang tidak pernah kehabisan meskipun terus dikuras, demikian pula halnya dengan syair Arab. Ibrâhîm Anîs, Mûsiqâ al-Syi’r, hal. 50 71 Zaghlûl Salâm, Atsâr al-Qur’an fi Tathawwur al-Naqd al-Arabi ila Âkhir al-Qarn al-Râbi’ al-Hijri, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif , 1961), hal. 193

25 juga biasa digunakan untuk membalas intrik-intrik yang dilakukan musuh, menjadi penyemangat dalam peperangan, dan juga untuk misi perdamaian. Kedudukan syair pada masa Jahiliyah tidak ubahnya dengan media propaganda yang biasa digunakan saat ini oleh partai-partai dalam rangka membentuk opini publik. Setiap media menjelaskan pandangan partai masing-masing, mempertahankan pendapatnya, dan juga membantah serangan lawan.72 Syair dalam budaya Arab Jahiliyah ibarat musik heroik yang mampu membangkitkan semangat juang seorang prajurit, oleh karena itu, syair memberi effek yang luar biasa, sebab ia mampu mengendalikan fikiran para prajurit untuk senantiasa maju berperang, membunuh musuh-musuh lalu kembali dengan membawa kemenangan. Untuk itu setiap kabilah pasti mengharapkan lahir darinya seorang penyair yang kelak akan melindungi dan membela kabilahnya. Ibnu Rasyîq dalam kitab al- Umdahnya menyatakan bahwa bila lahir seorang penyair dari suatu kabilah, maka kabilah-kabilah lainnya akan berdatangan untuk merayakannya dan memberinya selamat, lalu disedikan berbagai makanan untuk berpesta. Para gadis memainkan rebana (semacam alat tabuh), seperti biasa mereka lakukan dalam pesta perkawinan. Kaum laki-laki dan anak-anak laki-laki mereka bersuka ria dan bergembira dengan lahirnya seorang penyair yang akan membela kabilahnya, melindungi keturunannya, mengabadikan segala yang mereka miliki, serta menebar pujian untuk kabilahnya.73 Untuk itu, masyarakat Arab Jahili berlomba-lomba untuk menghormati dan memuliakan para penyairnya. Selain itu, para penyair juga dianggap sebagai manusia yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan juga memiliki sensitivitas yang tinggi, karena dipercaya mampu mengetahui realitas kehidupan, dan merasakan apa yang mereka rasakan. Para penyair pada masa itu, bagaikan filsuf dan cendekiawan pada masa modern yang dapat membuka mata seseorang untuk mengetahui kebenaran dan realitas kehidupan di sekitarnya.74

72 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.42 73 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.42 74 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.43

26 Hal lain yang tidak kalah urgen yang membuat seorang penyair Jahiliyah amat dihormati dan dihargai adalah karena ia dianggap sebagai orang yang memiliki kekuatan supernatural yang mereka yakini berasal dari Jin. Untuk itu mereka yakin bahwa setiap penyair telah dibekali dengan kekuatan magis yang ia peroleh dari para Jin dan melalui kemampuan seninya tersebut ia diberi tanggung jawab untuk menyampaikan pesannya bagi manusia. Jika yang menguasainya merupakan Jin yang baik, maka sang penyair akan mampu menggubah syair yang bagus dan menakjubkan, namun sebaliknya bila yang menguasainya adalah jin yang jahat, maka yang dihasilkannya pun syair-syair yang tidak bermutu dan buruk. Berdasarkan keyakinan inilah yang kemudian menjadikan para penyair memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam tradisi masyarakat Jahili, yang bahkan saking tingginya kedudukannya terkadang melebihi pemimpin kabilah itu sendiri. Penyair adalah tempat bertanya tentang segala hal, baik persoalan publik maupun individu. 75

b. Peranan pasar ‘Ukâzh dan al-mu’allqât al-Sab’ah dalam Syair Jahiliyah Sebagai media apresiasi dan ekspresi terhadap syair, pada masa tersebut dibuka sebuah pasar sebagai ajang pentas syair. Pasar dalam tradisi masyarakat Arab Jahili memiliki peranan sosial yang sangat besar. Selain dijadikan sebagai tempat transaksi, pasar juga dijadikan sebagai tempat untuk unjuk kebolehan, seperti untuk berorasi, berdebat, bermusyawarah, dan yang paling penting adalah unjuk kebolehan dalam mendeklamasikan syair, sehingga mirip dengan pasar seni dan budaya. Sûq (pasar) ‘Ukâzh adalah satu tempat pertemuan terpenting yang selenggarakan oleh bangsa Arab untuk berbagai kepentingan. Diselenggarakan setiap awal bulan Dzul Qa’dah hingga hari kedua puluh. Pasar ini didirikan setelah tahun Gajah,76 mampu bertahan hingga lima belas tahun lamanya, hingga datangnya Islam, meskipun kemudian fungsinya tidak seperti semula lagi. Biasanya di Pasar ini berkumpul para pembesar Arab, baik untuk berniaga, menebus tawanan, menyelesaikan pertikaian,

75 Ismail Hamid, and Islamic Literary Tradtion, (Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn. Berhad, 1982), hal. 19-20, dari Hannâ al-Fakhûrî, Târikh al-Adab, (Beirut: Maktabah al-Buhutsiyah, 1965), hal. 65 76 Tahun Gajah adalah tahun yang bertepatan dengan dilahirkannya Nabi Muhammad saw., 571 M, saat Abrahah raja kerajaan Habasyah menyerang Mekah untuk menghancurkan Ka’bah.

27 mendeklamasikan dan memamerkan syair, orasi tentang harta, keturunan, kehormatan, kefasihan, kecantikan dan keberanian. Hal itu baru akan berhenti bila sudah ada pemenangnya. Juri syair (muhâkim) yang paling terkenal saat itu adalah al-Nâbighah al-Dzubyâni, sedangkan orator paling handal adalah Qissa bin Sâ’adah al-Iyâdi.77 Pasar ‘Ukazh sangat terkait erat dengan istilah al-Mu’allaqât78 yakni syair-syair pemenang festifal yang biasa diadakan setiap tahun di pasar tersebut pada bulan Haram. Syair-syair yang menang ditulis dengan tinta emas lalu digantungkan di dinding Ka’bah. Syair-syair karya ketujuh orang penyair yang menjadi juara, dikenal dengan al- sab’ al-mu’allaqât atau tujuh syair yang digantung.79 Dengan demikian Al-Mu’allaqât adalah julukan yang diberikan untuk syair papan atas dan berkualitas pada masa Jahiliyah. Menurut sebagian riwayat, istilah tersebut diberikan, karena kebiasaan bangsa Arab saat itu untuk memilih sebanyak tujuh syair yang berkualitas lalu ditulis dengan tinta emas di atas kain Qibthi yang bagus, lalu digantungkan di tirai Ka’bah. Maka timbullah istilah al-Mudzahhabât (karya emas) Umru al-Qais, al-Mudzahhabât Zuhair dan al-Mudzahhabât tujuh lainnya.80 Al-Sab’ al-Mu’allaqât adalah syair-syair karya emas dari tujuh penyair Arab Jahili, dan menjadi simbol kebesaran syair pada masa itu. Adapun penyair-penyair tersebut adalah; Umru’ al-Qais, Tharfah ibn al-Abd, Zuhair ibn Abi Sulma, Labîd ibn Rabî’ah, Amr ibn Kaltsûm, ‘Antarah ibn Syaddâd, dan al-Harits ibn Halzah.81

F. Definisi dan Karakteristik Syair Jahiliyah

77 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, (Mesir: Dâr al-Mâ’arif , tth), hal.12-13 78 Al-Mu’allaqâh, secara etimologis berarti yang tergantung. Al-Mu’allaqât itu sendiri memiliki banyak nama, seperti; al-Mudzahhabât, al-Sab’u al-Thiwâl, dan al-Samûth, namun nama yang paling terkenal adalah al-Mu’allaqât. Ada beberapa pendapat tentang penamaan al-Mu’allaqât itu sendiri, sebagian berpendapat bahwa dinamakan demikian syair-syair yang terbaik diumpamakan dengan benang mutiara yang tergantung di leher. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Abd. Rabbah penulis al-‘Aqd al-Farid, Ibn al-Rasyiq penulis al-‘Umdah, dan Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya. 79 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 100, footnot 80 al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 49. lih. al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 61-62 81 Kumpulan dari tujuh syair al-Mu’allaqât dapat dilihat pada Syarah al-Mu’allaqât al-Sab’ yang ditulis oleh Ibnu ‘Abdillah al-Husein ibn Ahmad ibn al-Husein al-Zauzani, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1405 H/1985 M)

28 a. Pengertian Syair Syair adalah sebuah seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya, sebagaimana musik dengan iramanya, gambar dengan aneka warnanya, tarian dengan gerakannya, dan lain-lain.82 Banyak definisi diberikan oleh para kritikus sastra agar dapat memahami syair dengan benar. Definisi klasik yang diberikan para sastrawan Arab terhadap syair selalu merujuk pada makna yang diberikan para ahli Arûdh,83 sebagai contoh definisi yang diberikan oleh Qudâmah ibn Ja’far, yaitu ‘al-kalâm al- mauzûn al-muqaffâ’, yakni untaian kata yang disusun dengan berdasarkan wazan dan qâfiyah.84 Definisi ini pada dasarnya dibuat untuk membedakan antara jenis puisi dan prosa dalam sastra Arab, sehingga hanya menampilkan aspek fisik semata. Bila pada awal perkembangannya, definisi syair hanya mengacu pada bentuk fisiknya saja, Setelah mengalami perkembangan, definisi tersebut ditambahkan dengan aspek lainnya yang turut mempengaruhi syair. Definisi klasik oleh para fakar sastra Arab dianggap kurang representatif, karena tidak menunjukkan makna syair yang sebenarnya, namun hanya mengacu pada aspek bentuk semata. Untuk itu, beberapa fakar sastra merumuskan definisi lain untuk menyempurnakannya, sehingga tidak terbatas pada makna performa saja. Sebagai contoh, menurut al-Âmadi, syair tidak lain adalah ungkapan yang bagus, mudah dipahami, pemilihan kata yang tepat, meletakkan lafaz sesuai dengan maknanya, dan meletakkan makna sesuai dengan konteksnya, di samping menggunakan metafora (isti’ârah) dan perumpamaan (tamtsîl) secara tepat. Untuk itu, sebuah syair tidak dianggap bagus dan elegan bila belum memenuhi persyaratan tersebut.85 Menurut Ahmad Hasan al-Zayyat, syair adalah ungkapan yang

82 Muhammad Zaghlûl Sallâm, Târikh al-Naqd al-Adabi wa al-Balâghah, (al-Iskandariyah: Mansya’ah al-Ma’ârif, 1996), hal. 34 83 Arudh adalah ilmu yang mempelajari tentang wazan-wazan yang benar dan yang salah dalam syair. Chatîb al-Umam, al-Muyassar fi ‘Ilm al-‘Arûdl, (Jakarta: Syirkat Hikmat Syahîd Indah, 1992), cet.2, hal. 4 84 Muhammad Zaghlûl Salâm, Târikh al-Naqd al-Adabi wa al-Balâghah, (Iskandariah: Mansya’ah al-Ma’ârif, 1996), hal. 34. Definisi ini juga diadopsi oleh Emil Badi’ Ya’qub dalam al- Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-‘Arûdl wa al-Qûfiyah wa Funûn al-Syi’r, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991 M/1411 H), hal. 376 85 Muhammad Zaghlûl Sallâm, Târikh al-Naqd al-Adabi wa al-Balâghah, hal. 34

29 disusun dengan berdasarkan wazan dan qâfiyah, untuk menggambarkan imajinasi dengan cara yang indah dan menarik”.86 Hal senada diungkapkan oleh penulis buku al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, bahwa syair adalah untaian kata (kalâm) yang fasih yang berdasarkan pada wazan dan qâfiyah, dan biasanya mengungkapkan tentang gambaran-gambaran imajinasi yang indah.87 Untuk itu menurut kesusateraan Arab, syair adalah ucapan atau susunan kata-kata yang fasih yang terikat pada rima (pengulangan bunyi) dan matra (unsur irama yang berpola tetap) dan biasanya mengungkapkan imajinasi yang indah, berkesan dan memikat.88 Definisi syair seperti di atas, tidak jauh berbeda dengan definisi yang diberikan fakar sastra Indonesia, misalnya Herman J. Waluyo, menurutnya, puisi adalah salah satu bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa yakni dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan stuktur batinnya. Untuk itu puisi terdiri atas dua unsur pokok pembentuk yakni struktur fisik dan struktur batin. Kedua bagian itu terdiri atas unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan semua unsur tersebut membentuk totalitas makna yang utuh.89 Secara garis besar ada dua unsur pembangun sebuah puisi, yaitu unsur fisik dan unsur batin. Adapun yang dimaksud dengan unsur fisik yaitu unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Unsur-unsur estetik tersebut pada dasarnya dapat dikaji secara terpisah, meskipun merupakan satu kesatuan utuh. Menurut Herman J. Waluyo, yang termasuk unsur-unsur fisik sebuah puisi, yaitu: diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa piguratif (majas), ferifikasi, dan tata wajah puisi.90

86 Ahmad Hasan al-Zayyât, Târikh al-Adab al-‘Arabi, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1422 H / 2001 M), cet. 7, hal. 25 87 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, (Mesir: Dâr al-Mâ’arif , tth), hal. 42 88 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), jilid 4, hal. 340 89 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (ttp: Erlangga, 1995), hal. 28-29 90 .Keterangan lengkap lih. Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, hal. 71-101

30 Dengan demikian, syair dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek bentuk dan aspek kandungan. Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa syair terbentuk dari beberapa unsur, yaitu: wazan, qâfiyah, al-ghardh (tujuan) dan khayâl (imajinasi). Wazan dan qafiyah, keduanya adalah unsur pembentuk syair dari aspek fisik atau performace, sedangkan al-ghardh atau tema dan unsur khayal merupakan unsur pembangun batin atau kandungan syair. Unsur-unsur inilah yang membangun sebuah syair dan menjadi karakteristiknya. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan syair Jahiliyah adalah ucapan atau susunan kata-kata yang fasih yang terikat pada rima (pengulangan bunyi) dan matra (unsur irama yang berpola tetap) dan biasanya mengungkapkan imajinasi yang indah, berkesan dan memikat yang ada pada masa Jahiliyah.

b. Tema Dalam Syair Jahiliyah (Aghrâd al-Syi’r) Para ahli sastra Eropa, biasanya membagi puisi ke dalam tiga jenis, yang pertama adalah puisi kepahlawanan (syi’r a/-malhamah atau heroic poem) atau disebut juga dengan epik (al-syi’r al-qashasi atau epic poetry) 91. Kedua adalah puisi lirik (al- syi’r al-ghinâ’i / lyric, lirique)92, yaitu puisi dalam bentuk nyanyian yang digubah penyair untuk mengekspresikan perasaannya dan segala emosi yang berkecamuk di dadanya, seperti puisi ghazal (percintaan) dan fakhr (narsisisme)93 dalam sastra Arab. Ketiga adalah puisi drama atau teatrikal (al-syi’r al-tamtsîli / dramatic poetry), yaitu

91 Epik (epic, epique) adalah sajak kisahan panjang yang bercerita tentang seorang pahlawan, biasanya berdasarkan peristiwa dalam sejarah. Ada yang termasuk tradisi lisan, ada yang termasuk sastra tulisan. Beberapa cirri khasnya, tokoh utama yang harum namanya dan luar biasa sifatnya, petualangan yang berbahaya, pengaruh adikodrati yang menyelamatkan atau menghukum, pengulangan dalam uraian, digresi, gaya yang melambung. Istilah lain: epos dan wiracarita. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: UI-Press, 1990), hal. 28 92 Lirik (lyric, lirique) adalah (1) sajak yang merupakan susunan kata yang berbentuk nyanyian. (2) karya sastra yang berisi curahan perasaan pribadi yang mengutamakan lukisan perasaan. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, hal. 49 93 Narsisisme (narcissism) adalah kekaguman yang berlebih-lebihan akan sifat fisik atau watak diri sendiri. Narcissus adalah nama seorang pemuda –dalam mitologi Barat klasik- yang tertarik sekali kepada bayangannya sendiri dalam sebuah kolam. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, hal. 54

31 puisi yang digunakan untuk menggambarkan suatu peristiwa yang diperankan oleh berbagai tokoh atau lakon dengan menggunakan puisi sebagai alat komunikasinya.94 Sebagaimana kita ketahui sebelumnya, bahwa kehidupan masyarakat Arab Jahili tidak pernah terlepas dari peperangan antar kabilah, namun demikian, di dalam khazanah sastra Arab tidak ditemukan puisi-puisi heroik (malhamah) yang panjang. Hal ini menurut al-Iskandari dkk., disebabkan keterbatasan daya imajinasi dan pengetahuan mereka, di samping peradaban mereka yang masih rendah, sehingga tidak semua orang mampu mengungkapkan perasaan mereka ke dalam susunan puisi yang indah dan berkesinambungan. Namun berdasarkan bentuknya yang lebih mengutamakan matra dan rima, maka bisa dipastikan bahwa mayoritas syair Arab Jahili masuk ke dalam kategori puisi lirik (al-syi’r al-ghina’i), yaitu puisi yang lebih mengutamakan aspek keindahan irama dan musik.95 Para ahli sastra Arab biasanya membagi jenis syair Arab ke dalam beberapa bagian yang dikenal dengan istilah aghradl al-syi’r. Adapun yang dimaksud dengan aghrâd al-syi’r di dalam syair Jahili adalah tema yang dibuat para penyair yang berkaitan dengan tujuan mereka dalam menggubah syairnya atau secara singkat tujuan pembuatan syair. Sebagai contoh, jika penyair menggubah syairnya dengan tujuan untuk meagung-agungkan dirinya atau sukunya, maka syairnya disebut dengan fakhr, namun bila penyair menggubah syairnya untuk menyanjung dan mengagumi seseorang, baik keberaniannya, kedermawanannya, atau sifat lainnya, maka syairnya tersebut disebut madh, dan lainnya.96 Tema-tema tersebut terkait erat dengan kondisi sosiologi dan budaya bangsa Arab saat itu. Ada beberapa tema yang biasanya digemari oleh penyair Jahili, di antaranya; ghazal, madh, hijâ, hamâsah, ritsâ, fakhkhar, dan washaf.

94 al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 43 95 al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 43 dan 45 96 Nabilah Lubis, al-Mu’în fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, (Jakarta: Kuliyyat al-Adab wa al-‘Ulûm al-Insâniyah Jâmiah Syarîf Hidâyatullah, 2005), hal. 27

32 Ghazal97 merupakan salah satu tema syair Jahili yang sangat terkenal. Ghazal, menurut Husein ‘Athwan merupakan muqadimah syair Jahili yang paling populer. Oleh sebab itu, setiap penyair dianggap kurang afdal bila belum mengucapkan ghazal dalam pembukaan syairnya.98 Ghazal sendiri secara bahasa mengandung arti menyebut atau membicarakan tentang perempuan99, yang kemudian di dalam istilah sastra Arab lebih cenderung pada rayuan, cinta dan asmara. Ghazal sangat erat kaitannya dengan nasîb atau tasybîb. Ketiga istilah tersebut, sering kali dipadankan artinya. Ketiga istilah tersebut secara semantik memiliki keterkaitan makna yaitu sama-sama membicarakan berbagai hal tentang perempuan, baik kecantikannya maupun tingkah lakunya, lahir maupun batin. Namun sebagian para kritikus berupaya membedakan kedua istilah tersebut, sebagai contoh Qudâmah ibn Ja’far memberikan definisi ghazal dengan trik- trik merayu perempuan dengan menggunakan elemen-elemen perempuan itu sendiri sebagai mediatornya. Rayuan tersebut dimaksudkan untuk menarik perhatian perempuan, sehingga akhirnya menyukainya. Adapun yang dimaksud dengan nasîb adalah berbagai upaya yang dilakukan seorang laki-laki untuk memperoleh cinta perempuan dengan menunjukkan bukti-bukti kecintaannya tersebut, seperti dengan cara menyebutkan hal-hal yang berhubungan dengan kerinduan, mengingat tempat-tempat percintaan dengan semilir angin, kilat yang berkilau, burung merpati pembawa kabar, mimpi-mimpi yang hadir, puing-puing bangunan yang masih tersisa, serta benda-benda lainnya yang mulai menghilang.100 Nasîb dalam literature sastra Arab Jahili memiliki peranan yang sangat penting, dan menempati posisi awal dalam tema-tema syair lainnya. Sehingga meskipun yang diinginkan adalah tema-tema lain, namun nasîb akan disajikan terlebih dahulu sebagai

97 Menurut Abu al-Faraj al-Ishfahâni, al-Muhalhil ibn Rabî’ah adalah orang yang pertama kali menggunakan ghazal sebagai mukadimah dalam syairnya. Pendapat ini juga didukung oleh ‘Abd al-Qâdir al-Baghdâdi. Husein ‘Athwân, Muqaddimah al-Qasîdah al-‘Arabiyah fi al-‘Ashr al-Jâhili, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, tth), hal. 92 98 Husein ‘Athwân, Muqaddimah al-Qasîdah al-‘Arabiyah fi al-‘Ashr al-Jâhili, hal. 92 99 Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lâm, hal. 550 100 Muhammad Ridla Marawwah, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1411 H/ 1990 M), cet. 1, hal. 45-46

33 prolog101. Nasîb dianggap sebagai hiburan hati dan kesenangan jiwa, karena spiritnya adalah cinta, dan cinta adalah rahasia dalam setiap kehidupan manusia. Dan masyarakat Badawi adalah kelompok manusia yang paling merindukan cinta, karena perasaan sepi yang selalu meliputi mereka, pertemuan dengan beraneka macam suku baik pada saat musim panas maupun musim semi. Maka pada saat perpisahan terjadi, setiap pecinta menguntai kata cintanya, lalu di kemudian hari mereka kembali ke tempat tersebut dan membangkitkan perasaan duka akibat perpisahan, lalu kembali menguntai kata dengan syair untuk mengingat kembali hal yang telah terjadi di antara mereka pada saat melihat jejak-jejak dan puing-puing yang ditinggalkan kekasihnya.102 Untuk itu menurut Yusuf Khalif, perempuan menempati posisi yang sangat penting dalam tradisi sastra Arab Jahili, sehingga dalam budaya tersebut, ia ibarat ruh yang menghidupkan sebuah syair. Tasybîb103 dalam syair Jahili sudah dianggap sebagai tardisi sakral yang tidak boleh terlewatkan.104 Syair dalam bentuk seperti ini sangat disukai para penyair Arab Jahili bahkan hingga saat ini105 Tradisi ghazal, nasîb ataupun tasybîb ini, biasanya hanya dilakukan oleh para penyair pria, untuk itu saya (penulis) menganggap bahwa inilah salah satu corak syair feminis yang terdapat dalam syair Jahili, yaitu syair hasil karya kaum laki-laki yang secara khusus berbicara tentang perempuan, sikap dan cara pandang mereka terhadap perempuan, baik mewakili individu masing-masing ataupun hal-hal yang menggambarkan perilaku sosial secara umum. Berikut ini contoh ghazal dari penyair Badawi terkenal ‘Antarah ibn Syaddad untuk sang kekasih ‘Ablah:

101 Prolog (prologue) adalah pembukaan atau permulaan yang mengantarkan karya sastra dan yang merupakan bagian karya sastra tersebut, namun sifatnya berbeda dari prakata. Dalam bahasa Arab disebut dengan mukadimah. 102 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inani, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 47 103 Yusuf Khalif menyebut al-tasybib dengan sebutan al-muqaddimat al-gharamiyah yang artinya pendahuluan syair cinta. 104 Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al-Syi’r al-Jâhili, (ttp: Maktabah Gharîb, tth), hal. 74 105 Muhammad Sa’ad ibnu Husain, al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, (al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’udiyah: Wuzarat al-Ta’lim al-‘Ali, 1410 H), hal.

34 رم تت الفؤاد مليحة عذراء106 بسهام لح ظ ما له نن دواء107 Gadis cantik nan rupawan itu memanah hatiku Dengan panah (kerlingan) matanya yang tidak ada obatnya

108 م نرتا أوا نن العيد بين نواهد مثل

الشموس للحا ظظهن ظباء

Pada hari raya ia berjalan di antara gadis-gadis Bagai mentari-mentari, kerlingan mata mereka bagaikan kijang

Madh adalah sejenis syair yang dibuat dengan tujuan untuk memuji sesuatu atau seseorang. Pada dasarnya ada kemiripan antara syair madh dan fakhr, yaitu keduanya sama-sama berisikan pujian. Akan tetapi jika madh merupakan pujian untuk orang lain, fakhr adalah pujian yang digunakan untuk membanggakan diri sendiri (narsis).109 Di dalam syair Jahili, tradisi madh biasanya tidak dilakukan kecuali jika orang yang dijadikan objek pujian itu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari sang penyair. Untuk itu, madh seperti ini, biasanya dibuat secara berlebih-lebihan dengan tujuan untuk mengambil hati seseorang atau mencari muka agar orang tersebut tertarik dan memberikan imbalan padanya. Corak syair seperti ini, mayoritas dilakukan oleh para penyair istana.110 Sebagai contoh, syair madh yang dibuat al-Nâbighah al-Dzubyâni penyair istana (penyair komersil) yang ditujukan untuk al-Nu’mân ibn al-Mundzir saat ia mohon pengampunan atas kesalahan yang ia lakukan, yang salah satunya bait berikut ini:

106 ‘Adzrâ adalah gadis yang belum disentuh laki-laki (virgin) 107 Bahr kâmil: mutafâ’ilun-mutafâ’ilun, dengan qâfiyah mutawâtir 108 Nawâhid adalah bentuk jamak dari nâhid atau nâhidah yang artinya anak gadis dengan payudara yang bulat dan membusung, artinya gadis remaja yang sedang ranum. 109 Ibrâhîm ‘Alî Abu al-Khasyâb dan Ahmad ‘Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, hal. 54 110 Ibrâhîm ‘Alî Abu al-Khasyâb dan Ahmad ‘Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, hal. 55-56

35 ألم تر أن الله أعطاك سورة ترى ك نل ملك، دونها يتذبذب

Tidakkah engkau melihat, bahwa Allah telah memberikan kedudukan yang tinggi padamu, Sehingga dengan itu semua, engkau dapat menyaksikan semua raja yang lebih rendah merasa tergoncang

فإنك شمس والملوك كواكب إذا طلع تت لم يبد منه نن كوكب111 Sesungguhnya engkau adalah mentari, dan raja-raja itu bintangnya Jika mentari terbit, tidak ada satupun bintang yang tampak

Syair hijâ adalah syair yang dibuat untuk membangkitkan permusuhan, kemarahan, kebencian, kedengkian, perselisihan, perpecahan, fanatisme kesukuan, membela seseorang, dan yang paling popular pada masa Jahiliyah adalah untuk mengobarkan api peperangan.112 Penulis buku al-Hija, membagi jenis syair ini ke dalam lima bagian, yaitu al- hijâ al-syakhshî, al- hijâ al-akhlâqî, al- hijâ al-siyâsî, al- hijâ al-dînî, dan al- hijâ al- ijtimâ’î. Al- hijâ al-syakhshî adalah syair yang dibuat untuk mengejek pribadi seseorang dari segi fisik seperti mulut, gigi, mata, jenggot, rambut, kulit yang hitam, suara, dan lain sebagainya. Al- hijâ al-akhlâqî digunakan untuk mengejek seseorang dari segi mental, seperti sifat pengecut, pelit, dungu, dan sifat-sifat negative lainnya. Al- hijâ al- siyâsî adalah syair yang dibuat untuk kepentingan politik. Pada masa Jahiliyah syair seperti ini sangat digemari oleh masyarakat karena terkait erat dengan fanatisme kesukuan sebagai salah satu sistem politik yang mereka anut, di samping itu tentu saja untuk membangkitkan semangat peperangan dan balas dendam di antara mereka.

111 ‘Abbâs ‘Abd al-Sâtir, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1416 H/1996 M), hal. 28 112 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 56

36 Al- hijâ al-dînî adalah bentuk syair yang dibuat dalam rangka membela dan mempertahankan agama. Jenis ini lebih banyak dilakukan pasca kedatangan agama Islam, sebab pada masa Jahiliyah, agama bukanlah suatu elemen yang dapat memicu suatu peperangan. Sebagaimana kita ketahui, peperangan pada masa itu biasanya lebih disebabkan oleh persoalan ekonomi. Al- hijâ al-ijtimâ’î adalah syair yang dibuat untuk mengkritisi kondisi sosial yang tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan dan harapkan. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Arab Jahili memiliki tradisi yang mengagungkan keberanian, kedermawanan, memelihara kehormatan tetangga, dan membalas dendam, maka jika ada anggota masyarakat yang tidak melakukan hal-hal seperti itu, inilah yang kemudian menjadi sasaran dari Al- hijâ al-ijtimâ’î (kritik sosial).113 Sebagai contoh syair yang diucapkan oleh Ubaid ibn al-Abrash untuk Umru al- Qais, setelah kaumnya membunuh ayah Ubaidh: نحن اللى فاجمع جمو عك ثم و نجههم إلينا Kamilah yang terbaik, maka kumpulkanlah pasukanmu Lalu hadapkan pada kami

ولقد أبحنا ما حميـ نتا ول ظمبيح لما حمينا114

Kami halalkan yang kamu lindungi Namun tidak halal (bagimu) apa yang kami lindungi

Syair ini adalah salah satu contoh dari al-hija al-siyasi yang dibuat oleh penyair untuk menantang seseorang atau kelompoknya yang dalam hal ini adalah kaum dari Umru al-Qais untuk berperang.

113 Keterangan lengkap tentang syair hijâ , lih., Tim Penulis, al-Hijâ, (ttp: Dâr al-Ma’arif, tth), hal. 5-91 114 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, hal. 57

37 Secara umum yang dimaksud dengan hamâsah adalah syair kepahlawanan. Di dalam sastra Arab yang dimaksud dengan hamâsah adalah salah satu jenis syair yang bertemakan tentang peristiwa peperangan yang sangat terkenal, tempat peristiwa peperangan, kisah kepahlawanan yang fenomenal, kemenangan yang terus menerus, kekuatan dan keberanian, intrik dan strategi perang, pertahanan dan perlindungan terhadap kabilah, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dunia perang. Dunia padang pasir yang sangat keras juga tradisi mereka yang suka berperang, menjadikan hamâsah sebagai salah satu corak syair yang digemari di kalangan masyarakat Arab Jahili.115 Syair hamâsah terkait erat dengan syair fakhr, bedanya adalah jika fakhr merupakan syair yang digunakan untuk membanggakan diri secara umum, sedangkan hamâsah digubah secara khusus sebagai spirit saat maju ke medan perang, mengahadapi marabahaya. Sebagai contoh syair Shafiyyah binti Tsa’labah al-Syaibâniyah yang bergelar al-Hujajiyah116, saat ia datang pada Kabilah Dzuhl mengajak mereka untuk memerangi Kisrâ117 berikut ini: اليوم يوم الع نز ل يوم الندم يوم رماح وجياد وخد تم Hari ini adalah hari kemenangan, bukan hari penyesalan Hari bagi orang-orang yang bersenjata lembing, para pahlawan, dan prajurit

يوم به الرواح جهرا تصطلم سوف ترى البي نض غداة ال ظمبتتن نس تم Hari di mana para arwah terpisah dengan jelas Kalian pasti akan melihat bangsa ini esok pagi tersenyum bahagia

115 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, hal. 61 116 al-Hujajiyyah berasal dari kata hujjah yang berarti argumen. Gelar ini diberikan pada Shafiyyah karena kemampuannya dalam berdiplomasi politik, sehingga ia mampu mempersatukan kabilah-kabilah Arab untuk menyerang raja Persia. 117 Gelar bagi raja Persia

38 إن صبر تتا ذهت ظل فع نزى اليوم ت مم Andai Bani Dzuhl bersabar, pasti kemenangan hari ini akan sempurna Jenis syair ritsâ telah dikenal lama di dalam perjalanan sastra Arab Jahili. Di dalam sastra dunia, ritsâ dikenal dengan istilah elegi, yaitu sajak atau lagu yang mengungkapkan rasa duka atau keluh kesah karena sedih, rindu, atau murung, terutama karena kematian seseorang.118 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ritsâ dalam syair Arab adalah syair ratapan. Syair ini biasanya digubah sebagai ungkapan bela sungkawa atas kejadian yang menyedihkan. Menurut tim penulis buku al-Ritsâ119, ada tiga jenis ritsâ yang biasanya dibuat oleh penyair, yaitu al-nadb, al-ta’bîn, dan al-‘azâ. Al-nadb adalah ritsâ yang dibuat untuk meratapi dan menangisi orang yang meninggal dunia sebagai ungkapan duka cita, dengan menggunakan kata-kata yang menyayat hati, sehingga mampu membuat luluh hati yang keras dan melelehkan air mata yang beku. Bagaimana tidak, sebab biasanya ritsâ ini diungkapkan secara berlebihan, diucapkan dengan suara yang keras dan menyayat hati, disertai dengan cucuran air mata yang tiada henti. Al-nadb banyak dijumpai dalam syair-syair Jahili. Biasanya para perempuan sengaja berkumpul untuk meratapi mayat, tradisi ini masih dilakukan setelah datangnya Islam. Pada masa Jahiliyah, para penyair perempuan biasa membuat syair jenis ini untuk meratapi kematian seseorang.120 Fakhr121 adalah jenis syair yang digubah untuk tujuan membanggakan diri, nasab, keluarga, maupun kabilah, serta sifat-sifat istimewa yang mereka miliki. Sebagai contoh syair fakhr ‘Antarah ibn Syaddad, saat membanggakan dirinya sebagai prajurit yang gagah berani: 118 Istilah lain dalam bahasa Indonesia adalah puisi ratapan atau sajak ratap. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, hal. 27 119 Tim Penulis, al-Ritsâ, (ttp: Dâr al-Ma’ârif, tth). Penjelasan lengkap mengenai ritsâ, dapat dilihat dalam buku tersebut. 120 al-Ritsâ, hal. 12 121 Di dalam satra dunia dikenal dengan istilah narsisisme (narcissism), yaitu kekaguman yang berlebihan akan sifat fisik atau watak diri sendiri. Narcissus adalah nama pemuda dalam mitologi Barat klasik yang tertarik sekali pada bayangannya sendiri dalam sebuah kolam. Kamus Istilah Sastra, hal. 54

39 وكم من فارس أضحى بسيفى هشيم الرأس مخضوب اليدين

Berapa banyak prajurit yang kubunuh dengan pedangku Dengan kepala yang remuk dan tangan terpenggal

يحوم عليه عقبان المنايا وتح ظجل حوله غربان بين122

Ia dikelilingi rajawali kematian Dan sekelilingnya berlalu lalang gagak-gagak kematian

Washf adalah jenis syair yang dibuat untuk mendeskripsikan atau menggambarkan sesuatu, seperti keindahan alam, pemandangan, kehancuran, peperangan, dan lain sebagainya. Pada masa Jahiliyah, selain alam, objek lain yang paling dominan dalam washf adalah perempuan.123 Tema ini termasuk tema yang sangat disukai dan biasanya dijadikan sebagai mukadimah (prolog) syair, sebelum membicarakan tema-tema lainnya. Syair ini banyak berkembang dari waktu ke waktu karena lebih imajinatif dan inspiratif. Untuk itu, gaya bahasa pada syair washf banyak menggunakan tasybih, majas dan isti’arah. Sebagai contoh, syair Amru al-Qais berikut ini: ظم نهتف نهنف ة بيضاء غير مفاضة رائبها مصقولة كالس نجنت نجل124 Langsing, putih, ramping Dadanya berkilau bagai cermin

122 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 172-173 123 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, hal. 64 124 Sajanjal: Kaca (Yunani)

40 تصدن وتبدى عن أسيل وتتقى بناظرة من وحش وجرة ظمط لفل Ia berpaling, menampakan pipinya yang ranum, dan ia jauhkan pandangannya dari buasnya mata sapi ( yang telah beranak)125

وجيدظ كجيد الرئم ليس بفاحش ذا هى نصته ول بمع مطل

Lehernya bagaikan leher kijang yang putih tanpa noda, Saat ia biarkan terbuka dengan perhiasan yang menghiasinya

c. Bahasa Dan Karakteristik Syair Jahiliyah Lainnya. Pada saat membicarakan bahasa yang digunakan dalam syair Jahiliyah, maka hal yang perlu diketahui adalah, bahwa syair Jahiliyah yang sampai ke tangan kita, semuanya menggunakan bahasa Adnan, dan tidak ada satupun yang menggunakan bahasa Yaman. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa bahasa Adnan sangat berbeda dengan bahasa Yaman dalam segala hal. Penyeragaman bahasa ini diduga terjadi oleh karena pusat-pusat syair Jahiliyah terletak di bagian Utara Jazirah, sedangkan Yaman terletak di bagian Selatan. Selain itu, jauh sebelum Islam lahir, terdapat faktor-faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya penyeragaman dialek ini, sehingga mengerucut pada dialek Quraisy. Di antara faktor-faktor tersebut adalah: 1. Hijrahnya sebagian besar bangsa Yaman (selatan) ke dalam Kabilah Mudlar (utara) yang kemudian menggunakan bahasa Mudlar sebagai bahasa komunikasi. Kabilah-kabilah yang beragam tersebut, terbiasa datang ke Mekah untuk mengunjungi Ka’bah. 2. Kabilah-kabilah yang datang dari seluruh penjuru Jazirah tersebut terbiasa berkumpul di pasar-pasar, selain untuk berniaga juga untuk

125 dalam bait ini perempuan diumpamakan bagai kijang yang sedang melihat sapi yang galak, lalu dengan perlahan-lahan ia memalingkan lehernya darinya.

41 memperdengarkan syair-syair dan orasi-orasi dari masing-masing kabilah. Pasar terbesar dan sangat terkenal yaitu pasar Ukazh yang letaknya tidak jauh dari Mekah. 3. Tidak adanya atensi terhadap periwayatan syair berbahasa Yaman, karena bahasanya dianggap tidak mencerminkan bahasa al-Qur’an, dan dianggap tidak bermanfaat ketika menjadikannya sebagai argumen kebahasaan, sebab bahasa Himyar (Yaman) oleh bangsa Arab Utara dianggap sebagai bahasa asing termasuk oleh kabilah Mudlar sendiri yang menampung mereka saat migrasi. Sedangkan syair orang-orang Yaman tidak terlepas dari bahasa

وإن شفائى عبرة) :Himyar, seperti ucapan Imru al-Qais, berikut ini

,(Himyar) هراق (kata muharâqah berasal dari kata kerja (fi’il ,(مهراقة

.أراق sedangkan dalam bahasa Mudlar adalah Faktor-faktor tersebut perlahan tapi pasti membawa bahasa Arab pada satu dialek.126 Untuk itu, bisa dipastikan bahwa bahasa yang digunakan di dalam syair Jahili, adalah gabungan dialek yang ada di Jazirah Arab, dan yang paling banyak digunakan adalah dialek Quraisy. Syair Arab Jahili dianggap sebagai catatan sejarah (dîwan) bangsa Arab pada masa Jahiliyah yang menggambarkan perjalanan hidup mereka, dari tradisi, norma maupun budaya. Secara bahasa, syair Arab Jahili memiliki karakteristik tersendiri, seperti bersifat natural dan tidak terkesan dipaksakan. Hal ini merupakan cermin kehidupan masyarakat badawi yang biasa hidup bebas tanpa ada aturan yang mengikatnya. Untuk itu jarang sekali didapati suatu syair yang terlihat dipaksakan, kalau pun ada hanyalah untuk mubâlaghah (hiperbola). Penyair Arab Jahili cenderung memilih kata-kata yang simpel, singkat, dan padat (ijâz). Untuk menggambarkan suatu objek, biasanya mereka mengambil kata yang terdekat maknanya sehingga tidak terasa asing di telinga. Jika ditemukan kata-kata

126 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.48

42 asing di telinga kita, hal itu disebabkan jarak waktu yang memisahkan antara masa itu dengan masa sekarang, di samping kita tidak mengetahui dengan pasti kehidupan yang bagaimana yang mereka jalani selama ini, selain dari peninggalan yang mereka tinggalkan yang tidak mungkin bisa dipahami secara utuh. Syair Jahiliyah tidak banyak yang memperdulikan aksesoris-aksesoris seni yang menambah keindahan, untuk itu tidak banyak digunakan jinâs127 maupun aksesoris badi’ lainnya. 128 Ciri khas lainnya yang tedapat dalam syair Jahili adalah hampir selalu didahului dengan kata-kata rayuan untuk perempuan atau menyebutkan hal-hal yang berbau perempuan (tasybîb), dengan melukiskan perempuan saat bepergian dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, kemudian penyair berhenti di atas puing-puing yang ditinggalkannya dan menangisinya. Terkadang tasybîb tersebut digunakan untuk melukiskan kecantikan perempuan dan perasaan cinta sang penyair pada perempuan tersebut. Selanjutnya penyair melukiskan kuda dan unta yang dikendarai perempuan, serta cepat maupun mudahnya perjalanan mereka. Terkadang para penyair tersebut mengibaratkan perempuan dengan binatang-binatang liar seperti kambing hutan, kijang dan lain sebagainya. Untuk itu mereka terbiasa membuat perumpamaan-perumpamaan untuk perempuan sesuai dengan tradisi dan adat istiadat mereka. Penulis buku Buhuts fi al-Adab al-Jahili secara singkat menyebutkan karakteristik bahasa yang terdapat pada syair Jahili sebagai berikut, pertama menggunakan bahasa yang simpel terutama pada syair-syair hamasah (patriotisme), fakhr (membanggakan diri) dan tawa’ud (ancaman). Kedua, konten pembicaraan didominasi tentang kehidupan badawi, seperti, binatang buruan, kijang, binatang buas, gunung, di samping itu hal-hal yang berkaitan dengan kedermawanan, perlindungan, bepergian, dan lain sebagainya. Ketiga, dari segi gaya bahasa, banyak digunakan kosakata-kosakata asing jika dibandingkan dengan bahasa saat ini. Keempat daya imajinasi mereka yang masih sangat minim, menjadikan makna yang mereka gunakan mudah untuk dipahami. Selain hal tersebut, syair Jahili adalah syair yang natural tidak

127 Penggunaan lafaz yang sama atau serupa, namun untuk makna yang berbeda (homonim), seperti kata sâ’ah yang bermakna waktu dan hari kiamat. 128 al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 47

43 banyak yang dipaksakan seperti pada syair-syair setelahnya. Hal ini mencerminkan kehidupan mereka yang bebas alamiah.129

129 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, hal. 47

44 BAB IV SEJARAH SOSIAL BANGSA ARAB JAHILIYAH

Mengkaji simbol-simbol agama yang terdapat dalam syair Jahiliyah, pada hakekatnya adalah mengkaji bahasa yang terdapat dalam syair itu sendiri. Komaruddin Hidayat, mengutip dari apa yang dikatakan Trigg menyatakan bahwa dunia di sekitar kita mempunyai makna karena diberi makna oleh sistem bahasa yang dimiliki manusia. Untuk itu, bahasa dan pemikiran membentuk kategori-kategori untuk membangun dan kemudian menafsirkan realitas di sekeliling kita. Konsekuensinya, jika bahasa dan pemikiran menentukan pemaknaan terhadap dunia sekelilingnya, maka memahami sebuah teks mensyaratkan untuk juga memahami tradisi di mana teks itu dilahirkan.130 Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penulis dalam bab ini secara khusus mengkaji tradisi dan kondisi sosiologis bangsa Arab pada masa Jahiliyah.

A. Makna Jahiliyah Para sejarawan sepakat bahwa yang dimaksud dengan Jahiliyah adalah periode sejarah bangsa Arab sebelum datangnya agama Islam. Definisi ini dijumpai di hampir setiap buku yang membahas tentang sejarah Islam maupun sejarah sastra Arab. Istilah Jahiliyah itu sendiri muncul setelah agama Islam datang. Definisi ini disimpulkan dari beberapa ungkapan yang beredar di kalangan masyarakat Arab sendiri, seperti ungkapan aku bernazar“ , إنى نذرتا فى الجاهلية أن أعتكف ,.Umar Ibn al-Khathab ra pada saat Jahiliyah untuk melaksanakan i’tikaf131 ”. Ungkapan lain disampaikan oleh

Nikah pada masa “ ,كان النكاح فى الجاهلية على أربعة أنحاء ,.Aisyah ra Jahliyah dilakukan dengan empat cara”, dan lain sebagainya. Dalam al-Qur’an sendiri

,“ أفحكم الجاهلية تبغون“ banyak ayat yang menyebutkan kata jahiliyah seperti

130 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hal. 128 131 I’tikaf adalah mengasingkan diri dengan tujuan beribadah

45 Apa hukum Jahiliyah yang kamu inginkan?. Istilah yang muncul tersebut selanjutnya disimpulkan bahwa Jahiliyah adalah sebuah masa di mana bangsa Arab tidak mengenal Tuhan dan ajaran-ajaran Agama yang benar.132 Namun demikian, terjadi perbedaan pendapat ketika istilah tersebut lalu diartikan sebagai masa kebodohan dan kebiadaban (time of ignorance and barbarism) sebagaimana dipahami dari maknanya secara leksikologi yang berasal dari kata ja-hi-la yang berarti bodoh dan tidak berperadaban. Pemahaman seperti ini menjadikan masyarakat Arab Jahiliyah secara umum identik dengan masyarakat yang bodoh, biadab dan tanpa peradaban. Padahal menurut Philip K. Hitti sebagaimana dikutip oleh Ismail Hamid, istilah Jahiliyah adalah masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. menjadi Rasul dan belum memiliki Kitab suci sebagai pedoman hidup. Apabila Jahiliyah dimaknai sebagai jaman kebodohan, hal itu jelas tidak relevan dengan situasi dan kondisi Arab bagian selatan yang sangat maju dan memiliki peradaban yang tinggi.133 Menurut Goldziher, mengartikan zaman Jahiliyah dengan zaman kebodohan adalah sebuah konsepsi yang salah dan tidak beralasan, sebab apa yang diekpresikan oleh Nabi Muhammad dengan istilah tersebut tidak lebih dari kondisi masyarakat Arab sebagaimana yang terdokumentasi dalam puisi-puisi Arab Jahili. Nabi Muhammad saw. diutus bukan untuk menghapus tradisi dan budaya bangsa Arab, namun untuk memperbaiki moral mereka, seperti kesombongan kabilah, permusuhan yang terus menerus, memuja dendam, tidak mau memaafkan dan watak buruk lainnya sebelum kedatangan Islam. Menurut Goldziher, istilah Jahiliyah diberikan oleh Nabi Muhammad saw. hanya untuk membedakan waktu sebelum dan sesudah kedatangan agama Islam.134 Untuk mendukung pendapatnya tersebut, Goldziher memberikan argumentasi lain dari sisi kebahasaan. Menurutnya dalam dokumen bahasa Arab klasik terdapat kata ilm (knowladege) yang dikonfrontasikan dengan kata jahl (ignorance), sehingga jahl merupakan antonim dari ilm. Namun istilah ilm hanyalah makna antonim kedua dari

132 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 12 133 Yang dimaksud dengan Arab bagian selatan adalah negeri Yaman. Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradtion, (Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn. Berhad, 1982), hal. 1 134 Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradtion, hal. 2

46 suku kata ja-hi-la, sebab makna antonim yang pertama adalah hilm, yang berarti tegas, kuat, kekuatan fisik, sehat, integritas moral, stabil, matang, sikap yang halus. Maka seorang halîm secara singkat diartikan sebagai seseorang yang berperadaban.135 Namun Ibrâhîm Ali al-Khasyab dan Ahmad Abd. Al-Mun’im al-Bahâ berpendapat, bahwa sama saja apakah Jahiliyah itu diartikan sebagai antonim kata ilm (knowledge), hilm (firmness) atau diartikan langsung dengan kebodohan, karena hal tersebut memang pantas untuk orang-orang yang hidup di sebuah jazirah, menyembah berhala, mengotori akidah, dan menyekutukan Allah, memuja hawa nafsu, senang menumpahkan darah, fanatik kesukuan yang amat berlebihan, dan sifat biadab lainnya.136 Menurut penulis kedua pendapat tersebut adalah benar, hanya persepsi sejarah dan sudut pandang mereka yang berbeda. Jika istilah Jahiliyah diberlakukan kepada bangsa Arab secara luas, meliputi semua keturunan Semit (Qahthân dan Adnân), jelas kata Jahiliyah itu tidak tepat, karena salah satu keturunannya yaitu Qahthan yang lebih dikenal dengan bangsa Arab Selatan menempati suatu wilayah yang memiliki peradaban yang tinggi yaitu Yaman dan sebagian dari mereka sudah memeluk agama Samawi. Sedangkan argumen yang menyatakan bahwa istilah Jahiliyah adalah tepat bagi bangsa Arab, maka sesungguhnya bangsa Arab yang dimaksud adalah bangsa Arab Utara keturunan Adnan yang menempati Jazirah Arab dan wilayah Hijaz lainnya tempat Nabi Muhammad saw. dilahirkan. Kedua ras besar tersebut memiliki garis kehidupan yang berbeda satu sama lain, baik secara sosiologi, ekonomi, politik, maupun tingkat intelektual. B. Letak dan Kondisi Geografi Bangsa Arab Jazirah Arab, demikian Bangsa Arab menamakan negeri mereka atau terkadang mereka cukup menyebutnya dengan ‘al-Jazîrah’. Istilah Jazirah pada dasarnya kurang tepat diberikan pada negeri ini, sebab ia bukanlah sebuah pulau melainkan hanya sebuah semenanjung, karena sebelah utara negeri ini tidak dibatasi oleh perairan (laut).

135 Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradtion, hal. 1 136 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 11

47 Bangsa Arab menamakannya demikian hanya sekedar tajâwuz (melebih-lebihkan).137 Jazirah adalah satu-satunya tempat yang dihuni oleh bangsa Arab asli.138 Jazirah Arab terletak di sebelah selatan benua Asia. Sebelah Utara negeri ini berbatasan dengan negeri Syam, Jazirah, dan Irak, sedangkan bagian Timur berbatasan dengan Teluk Persia (the Persian Gulf) dan Laut Oman, sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Hindia, dan bagian Barat dibatasi oleh Teluk Arab atau yang dikenal dengan Laut Merah. Luasnya sekitar seperempat luas Eropa, atau sepertiga wilayah Amerika, atau dua setengah kali lipat luas Mesir.139 Para geolog Arab membagi Jazirah ke dalam lima bagian, yang berbeda satu dengan lainnya, baik dari segi kondisi geografi, iklim, maupun tradisi penduduknya. yaitu: a. Yaman di sebelah Selatan, disebut juga dengan al-Khadlra’ (negeri Hijau) dan al-Sa’îdah (negeri menyenangkan) karena banyak ladang, perkebunan, pepohonan, padang rumput, dan mata air. Wilayah ini terdiri dari Hadramaut, Mehra, Syahr, Oman, dan Nejran. b. al-Arudl140, meliputi Yamamah dan Bahrain. Wilayah ini dinamakan dengan al-‘Arudl karena terletak memanjang membentang antara Yaman dan Najed. Wilayah ini memiliki banyak sumber air, terutama di daerah Ihsa’. Penduduknya terkenal sebagai penambak garam dan penyelam mutiara. c. Tihamah. Terletak di tepi pantai Laut Merah antara Yaman dan Hijâz. Di wilyah ini terdapat sebuah jalan yang biasa dilintasi Kafilah dagang menuju Syam. Kotanya yang terkenal adalah Mekah yang di dalamnya terdapat

137 .Jazirah sebenarnya adalah terjemahan dari pulau yang biasanya seluruh wilayahnya dibatasi perairan/laut. Oleh karena itu sebenarnya wilayah Arab tidak dapat disebut sebagai pulau (jazirah) melainkan hanya sebuah peninsula (semenanjung) yang menyerupai pulau, karena sebelah Utara tidak dibatasi oleh laut melainkan berbatasan dengan negeri lain. Lih. Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al- Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 5 138 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, (Beirut: Dâr al- Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 7 139 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibn Abi Sulma; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, (Beirut: Dâr al- Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 7, lih. Juga Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 5. lihat juga Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 7, lih. juga Philip K. Hitti, History of the Arabs, (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006), cet. 1, hal. 3 140 Secara bahasa Arudl berarti sesuatu yang lebar dan memanjang

48 Ka’bah dan Gua Hira yang sangat terkenal dalam sejarah Islam. Wilayah ini memiliki tanah yang sangat gersang dan penuh dengan pasir dengan cuaca yang sangat panas. d. Hijâz. Terletak antara Najed dan Tihâmah. Kotanya yang sangat terkenal adalah Yatsrib (Madinah), Thâif, dan Khaibar. Selain itu juga terdapat pasar ‘Ukazh yang terkenal dan Sumur Badar. e. Najed. Terletak antara Irak di sebelah Timur, gurun Syâm di sebelah Utara, Hijâz sebelah Barat dan Yamâmah sebelah Selatan. Najed adalah sebuah wilayah yang terletak di dataran tinggi dengan kondisi hawa yang sejuk.141 Secara umum, para sejarawan Arab biasanya membagi Jazirah Arab ke dalam dua wilayah besar, yakni Hijaz di sebelah Utara, dan Yaman di sebelah selatan. Hijaz dinamakan demikian karena di dalamnya terdapat gunung Sarah yang terbentang mulai dari Yaman hingga ujung kota Syam, sehingga orang Arab menyebutnya dengan hijâz yang berarti pembatas, karena gunung tersebut membatasi negeri-negeri Mekah. Gunung tersebut terbentang hingga tepi pantai, menjulang tinggi, mengelilingi Hijaz dan kota-kota sekitarnya yang berada di dataran rendah, yang disebut dengan negeri Mekah (Tihâmah).142 Hijaz merupakan kota yang gersang, tidak subur dan jarang hujan, namun terkadang muncul air bah memenuhi lembah-lembah, lalu mengalir dan selanjutnya tumpah ke laut. Di Hijaz juga terdapat beberapa padang pasir- terutama sekitar Mekah- di mana cahaya matahari langsung menyengatnya sehingga memberi efek panas yang sangat luar biasa. Selain itu terdapat pula lembah-lembah kering yang terkadang ditumbuhi rerumputan tempat digembalakannya binatang ternak. Ada juga tempat yang sangat subur dan biasanya dijadikan tempat tinggal oleh kelompok tertentu. Di tempat seperti ini tumbuh tumbuh-tumbuhan, seperti pohon tin, anggur, delima dan zaitun.143 Salah satu kota yang sangat terkenal di Hijaz adalah Mekah yang terletak di sebuah lembah tanpa tumbuhan. Panjang antara utara dan selatan sekitar dua mil, 141 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibn Abi Sulma; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 7-8, lihat juga Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 7-8 142 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 5 143 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 5-6

49 sedangkan lebarnya sekitar satu mil, sebelah timur dimulai dari kaki gunung Abi Qubais hingga gunung Qu’aiqi’an di sebelah barat.144 Di kota Mekah terdapat Ka’bah (Baitul Haram) tempat ibadah haji masyarakat Arab Jahili, yang kemudian diwajibkan dalam Islam dan menjadi kiblat shalat kaum muslimin. Di Mekah juga terdapat sebuah sumur yang memancarkan air Zamzam yang sangat terkenal. Di situ pula lahir nabi Muhammad saw. Tempat yang sangat terkenal yang ada di kota Mekah adalah Shafa dan Marwah, keduanya merupakan tempat tinggi yang terletak di gunung Qubais. Kota lainnya adalah Wadi Mina, Jabal Arafat, dan Muzdalifah. Semuanya merupakan tempat yang biasa disebut-sebut dalam ibadah haji.145 Selain Mekah, kota lain yang terletak di Hijaz adalah Madinah yang sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan Yatsrib. Kota ini terletak di tengah-tengah lembah yang sangat luas. Sebelah Utaranya gunung Uhud. Kota ini banyak ditumbuhi pohon korma dan memiliki banyak sumur yang dijadikan sebagai sumber air mereka. Madinah adalah tempat yang dituju Nabi saw saat hijrah dari Mekah dan juga tempat Nabi menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sebelah Barat kota Madinah adalah kota Khaibar yang didiami oleh kaum Yahudi, sebagaimana terdapat di sebagian kota Madinah lainnya.146 Dengan demikian, Hijaz ditempati oleh beberapa kabilah Arab, di Madinah ditempati oleh Kabilah Arab dari suku Aus dan Khazraj, sedangkan di Mekah oleh suku Quraisy, di Thaif oleh suku Tsaqif, sedangkan suku Hudzail menempati bukit-bukit di sebelah selatan kota Mekah. Suku Hudzail ini terkenal dengan syair-syairnya yang halus.147 Bagian selatan Jazirah Arab adalah Yaman sebuah negeri lama yang terkenal dengan kekayaan dan peradabannya. Kota ini seperti juga Hijaz terdiri dari dataran- dataran rendah yang terletak di tepi pantai, yang terkadang disebut juga dengan Tihâmah (negeri Mekah), sedangkan dataran tingginya disebut dengan Najed al-Yaman. 144 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 6 145 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 6 146 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 6 147 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 6

50 Di antara kota-kotanya adalah Nejran sebelah timur Yaman yang dikenal pada masa Jahiliyah sebagai tempat pemeluk agama kristiani. Di sana terdapat uskup-uskup dan juga Ka’bah yang mereka agungkan menyerupai Ka’bah yang ada di Mekah. Tersebarnya agama Nasrani di Nejran menjadi salah satu faktor terjadinya hubungan bilateral antara Habasyah dan Nejran, hal itu dikarenakan keduanya merasa disatukan oleh ideologi yang sama.148 Di Yaman terdapat sebuah kota yang disebut Ma’rab, terletak di sebelah Timur Laut kota Shan’a bernama Saba’. Penduduknya dinamakan juga dengan Saba. Kota lainnya yang terkenal adalah Shan’a itu sendiri. Kota ini terletak di tengah-tengah dekat dengan istana yang megah yang disebut Ghumdan. Sejarah menyebutkan bahwa Saef ibn Dzi Yazn pada masa Jahiliyah meminta istana tersebut dikembalikan dari Habasyah, pada saat mereka menguasai negeri Yaman.149 Di sebelah selatan kota Shan’a terdapat reruntuhan kota yang diduga sebagai peninggalan kaum Himyar. Reruntuhan ini dinamakan dengan Zhaffar. Dari istilah yang ’من دخل ظفار حم نر‘ tersebut muncul sebuah peribahasa (amtsâl) terkenal artinya ‘siapa yang masuk ke Zhaffar maka ia telah menjadi Himyar’, atau berarti ia mampu berbahasa Himyar.150 Kabilah terbesar bangsa Arab yang mendiami negeri Yaman adalah Hamdan yang terkenal pada masa Jahiliyah karena menyembah dua berhala yang bernama Yagûts dan Ya’ûq sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an al-Karim. Selain kabilah Hamdan, kabilah lainnya yang mendiami Yaman adalah kabilah Madzhij dan Murâd.151 Sebelah selatan Jazirah Arab terdapat negeri Hadramaut. Sebuah daerah pegunungan yang di sela-selanya terdapat banyak lembah. Penduduknya dinamakan dengan al-Hadhâramah yang terkenal dengan keuletan dan kegigihannya dalam berdagang. Pada saat penaklukan Islam (al-fath al-islâmi) di antara mereka banyak yang

148 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 6-7 149 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 7 150 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 7 151 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 7

51 datang ke Mesir. Penduduk yang paling terkenal pada masa Jahiliyah yang menempati wilayah ini adalah keturunan yang dikenal dengan sebutan ‘Tujîb’.152 Perbatasan sebelah Utara Hadramaut adalah negeri Ahqâf yang didiami oleh kaum ‘Âd. Kisah tentang Negeri ini diceritakan dalam al-Qur’an berulang kali, di antaranya “ dan ceritakanlah tentang (Hud) saudara ‘Âd pada saat ia memberi peringatan pada kaumnya di al-Ahqâf”.153 Dan salah satu surat dalam al-Qur’an diberi nama al-Ahqaf.154 Di sudut bagian tenggara al-Jazirah adalah Oman, sebuah wilayah pegunungan di pinggir pantai. Penduduknya terkenal sebagai nelayan. Diceritakan bahwa setelah hancurnya Saddama’rab, sebagian kabilah bani Azad masuk ke Oman dan mendiaminya. Selain kabilah Azad wilayah ini juga ditempati oleh sebagian bangsa Thoyy, dan yang paling terkenal adalah kabilah Nabhân.155 Bagian yang terbentang di timur al-Jazirah yang dimulai dari Oman hingga perbatasan Irak dinamakan ‘Bahrain’. Di antara kotanya yang terkenal adalah Hajar. Kota ini banyak menghasilkan korma, sehingga muncul ungkapan ‘laksana orang yang membawa korma ke kota Hajar’.156 Selain Hajar, kota lainnya adalah Qatar. Penduduknya terkenal sebagai penyelam dan penghasil mutiara. Bahrain itu sendiri didiami oleh kabilah-kabilah dari Bani Abd al-Qais dan Tamîm.157 Di sisi lain, berbicara tentang kondisi geografi Jazirah Arab, berarti membicarakan situasi dan kondisi tanah dan cuaca yang dimilikinya. Jazirah bagian tengah terdiri dari gurun pasir (sahara) yang jarang dicurahi hujan, sehingga sedikit sekali tumbuhan yang tumbuh. Di sela-sela padang pasir tersebut banyak dijumpai wahah yakni tanah subur di tengah padang pasir. Di tanah seperti ini dalam bulan-bulan tertentu tumbuh rerumputan yang biasanya dijadikan sebagai tempat menggembalakan ternak. Ada beberapa jenis padang pasir, setiap jenis memiliki nama tersendiri. Padang

152 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 7 153 QS. Al-Ahqaf ayat 21 154 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 7 155 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 8 156 Istilah ini mungkin berarti pekerjaan yang sia-sia atau kurang bermanfaat. 157 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 8

52 pasir yang terletak antara Timur Yaman dan Barat Laut Hadramaut dinamakan ‘Shaihada’, sedangkan yang terletak di utara Hadramaut dinamakan ‘al-Ahqâf’, dan yang ada di utara Mehra dinamakan ‘al-Dahnâ’.158 Sebelah utara gurun pasir terbentang dataran tinggi yang disebut ‘Najda’, sebuah tempat terbaik yang dimiliki bangsa Arab karena udaranya yang sejuk dan pemandangannya yang indah. Bagian lain yang terletak di sebelah tenggara Najed adalah Yamamah, sebuah tempat yang paling subur di wilayah Arab. Diriwayatkan bahwa tempat ini adalah tempat tinggal Thasm dan Jadwis. Jika Yamamah dan Bahrain keduanya digabungkan, namanya menjadi ‘al-Arûdh’.159 Gurun pasir bagian utara yang letaknya berdekatan dengan Syam dinamakan dengan Gurun Syam, sedangkan yang berdekatan dengan Irak dinamakan Gurun Irak, dan yang berdekatan dengan al-Jazirah (Utara Irak) dinamakan dengan Gurun Jazirah.160 Adapun cuaca, sebagian besar Jazirah Arab memiliki cuaca yang sangat panas. Namun demikian, di dataran-dataran tinggi meskipun musim panas pada malam harinya udara terasa sejuk dan pada musim dingin udara sangat dingin sehingga terkadang disertai turunnya salju di sebagian puncak gunung seperti di Thaif. Puncak-puncak gunung diselimuti salju dan air pun membeku. Selanjutnya panas melelehkan kembali gumpalan salju tersebut, dan terciptalah dari balik gunung-gunung tersebut aliran-aliran sungai kecil yang mengairi kebun dan sawah mereka.161 Adapun angin, para penyair membaginya ke dalam dua tipe, yakni angin Timur (shabâ) dan angin panas (samûm). Adapun yang dimaksud angin shaba yakni angin sejuk yang berhembus dari arah Timur. Para penyair sangat suka menjadikannya sebagai bahan rayuan karena kesejukkan dan kelembutan semilirnya. Dari kata tersebut

صبت الريح-تصـبو :terbentuk sebuah derivasi, untuk itu mereka mengatakan

158 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 8 159 menurut Muhammad Ali Shabbah dinamakan dengan ‘Arudl (penghalang) karena kedua kota ini jika disatukan menjadi pembatas antara Yaman dan Najed. Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 8 160 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 8 161 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 9

53 ,Angin Timur bertiup meniupkan kasih sayang”. Bila shabâ adalah angin sejuk “صبونا sebaliknya samûm, ia adalah angin panas. Dari kata tersebut muncul derivasi dalam Hari yang berangin panas”.162 “يوم سا نم و مسموم :bentuk ungkapan Wilayah Arab sama sekali tidak memiliki sungai besar yang mengalir, kecuali anak-anak sungai yang airnya terkadang mengalir namun terkadang kering. Untuk itu mereka sangat tergantung pada curah hujan, yang mereka sebut dengan ‘al-ghaits’163. Musim semi adalah saat-saat terbaik mereka, pada saat di mana tumbuh-tumbuhan mulai bersemi setelah musim hujan berlalu. Pada saat seperti itu, mereka keluar menuju ke ghaits (tempat subur yang ditumbuhi banyak pepohonan) dengan unta dan binatang ternak lainnya. Beberapa gunung dan lembah tampak terlihat indah setelah mendapat curahan hujan. Di atasnya tumbuh phon-pohon dan rerumputan. Di antara nama pohon yang terkenal adalah ‘al-thalh164, al-atsl165, al-sidr (bidara), al-hinâ’ (pacar), al-rummân (delima), al-tuffâh (apel), al-Lemûn (lemon), dan yang paling banyak adalah pohon korma yang biasa mereka konsumsi.166 Adapun daerah yang paling subur tanahnya adalah Yaman, hal itu sebabkan oleh karena Yaman memiliki curah hujan yang banyak dan kondisi tanah yang subur, oleh karena itu pula orang Yunani dan Romawi menyebutnya dengan negeri hijau (al- Hadhrâ) atau ‘negeri Arab yang menyenangkan (al-sa’îdah) untuk membedakannya dengan negeri-negeri Arab Timur lainnya yang tandus.167 Dari gambaran tersebut tampak perbedaan-perbedaan yang nyata antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, di mana sebagian wilayah berada di lokasi dataran dan yang lainnya berada di daerah pegunungan, bagian lain memiliki tanah yang subur dan

162 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 9 163 Ada dua makna dari al-ghaits, yaitu hujan dan rerumputan yang tumbuh setelah turun hujan. 164 Thalh adalah sebangsa pohon besar yang berduri. Thalhah: sepohon thalh. 165 Atsl, atslah jamak Atslât, âtsâl, atsûl adalah sejenis tumbuhan yang banyak tumbuh dekat air di daerah-daerah padang pasir, daunnya tipis dengan bunga yang berbentuk gugusan atau serangkai, biasanya dijadikan sebagai hiasan. Kayunya sangat keras dan bagus, dan biasanya digunakan untuk membuat pasu atau piring dan mangkuk besar. 166 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 9 167 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 9, lihat juga Muhammad ‘Ali al- Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 7

54 yang lainnya tandus, sebagian beriklim panas dan sebagian dingin, beberapa wilayah terletak di tepi pantai dan sebagian lainnya jauh dari lautan, sebagian negeri berbatasan dengan penduduk berperadaban dan berinteraksi dengan mereka, sedangkan lainnya tertahan di padang pasir, ataupun bila ada interaksi dengan wilayah yang berperadaban itu pun dengan alasan tertentu. Dan perbedaan-perbedaan ini pada akhirnya sangat berpengaruh terhadap kondisi intelektual, cara pandang, tradisi, bahasa, dialek, agama serta sistem politik penduduknya. C. Asal Usul Bangsa Arab dan Bahasanya Adapun yang dimaksud dengan Bangsa Arab yaitu sebuah bangsa yang berasal dari dua orang keturunan Semit (Sam),168 yaitu Qahthan dan Ismail. Untuk itu dalam catatan sejarah, bangsa Arab terbagi menjadi dua bagian yaitu Arab Qahthan (Qahthâniyyin) atau disebut juga dengan Arab ‘Âribah, dan Arab keturunan Ismail atau Arab Musta’ribah yang disebut juga dengan Arab Adnaniyah. Keturunan Qahthan menempati sebelah selatan semenanjung Arab, sehingga mereka dinamakan juga dengan Arab Selatan. Dua dari keturunannya sangat terkenal yakni Bani Jurhum dan Bani Ya’rub. Sebagian riwayat mengatakan bahwa kata Arab dinisbatkan pada Ya’rub, dan Ya’rub merupakan moyang dari Arab Yaman, yang kemudian regenerasi dan melahirkan Yasyjub. Yasyjub melahirkan Saba yang kemudian berkembang darinya seluruh kabilah Arab Qahthan.169 Berdasarkan hal itu, bangsa Arab terbagi ke dalam dua ras besar, yaitu Arab bagian Utara atau disebut juga dengan bangsa Hijaz dan Arab bagian Selatan atau

168 Menurut Philip K. Hitti, istilah Semit berasal dari kata Syem yang tertera pada perjanjian lama (Kitab Kejadian, 10: 1) dengan menggunakan bahasa Latin dalam Vulgate. Menurut al-Iskandari dkk., Sam sendiri adalah nama yang diberikan oleh para sejarawan bagi keturunan Sam bin Nuh. Ras ini mencakup etnik Babilonia, Suriah, Ibrani, Poenik, Armenia, Habsyi, Saba dan Arab, Sebenarnya para ahli sejarah masih berbeda pendapat tentang keturunan Sam ini, sebagaimana mereka juga berbeda pendapat tentang di mana letak geografi sesungguhnya dari masing-masing ras tersebut sebelum mereka terpisah- pisah. Sebagian berpendapat bahwa mereka pertama kali tinggal di wilayah Asia. Asia sendiri masih diperselisihkan apakah yang dimaksud adalah jazirah Arab, Armenia, ataukah di bagian paling bawah Euphrat. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa mereka berdomisili di Afrika lalu berimigran ke Asia. Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 10, lihat juga Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 7 169 Tim penulis (Lajnah), al-Mâjaz fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 9

55 disebut dengan bangsa Yaman. Arab bagian Utara biasanya disebut juga dengan kaum Adnan karena mereka –sebagaimana disebutkan para genealogis- berasal dari keturunan Adnan, dan Adnan keturunan Ismail bin Ibrahim as. Selain itu dinamakan juga dengan Arab musta’ribah170 (Arabist), karena Ismail bukan keturunan asli bangsa Arab dan bahasanya pun bukan bahasa Arab original. Ia mulai berbahasa Arab pada saat melakukan perjalanan bersama ayahnya ke Hijaz dan menikahi keturunan Jurhum yang berasal dari Kabilah Yamâniyah, lalu mempelajari bahasa mereka dan berkomunikasi dengan bahasa mereka.171 Adapun Arab bagian Selatan dinamakan dengan kaum Qahthan. Hal ini berdasarkan keterangan para geneologis yang menyebutkan bahwa Arab Yaman seluruhnya berasal dari keturunan Qahthan, dan mereka juga menyebutnya dengan ‘Arab Âribah’(Arab murni), karena bahasa Arab pada dasarnya adalah bahasa asli dan alat komunikasi mereka.172 Secara garis besar dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa bangsa Arab berasal dari dua ras besar yakni keturunan Adnan dan Qahthan. Kaum Adnan kemudian terbagi menjadi dua cabang besar, yaitu: Rabi’ah dan Mudhar, dan dari keduanya lahir kabilah- kabilah. Antara kedua suku tersebut yakni Rabî’ah dan Mudhar terjadi permusuhan yang sangat tajam selama berabad-abad lamanya, sampai-sampai suku Rabî’ah mengadakan persekutuan dengan Yaman demi mengalahkan suku Mudhar. Kelompok ini dinamakan Bani Adnan dinisbatkan pada ‘Adnan bin Udad. Dari ‘Adnan lahir ‘Akk dan Ma’add. Dari Ma’add lahir delapan orang anak dan yang paling terkenal adalah Nizâr. Dari Nizâr lahir Iyâd, Anmâr, Rabî’ah dan Mudhar. Dari Rabî’ah lahir di antaranya Dhabî’ah dan Asad. Dari Asad lahir di antaranya Wâ’il bin Qâsith, dari Wa’il lahir Bakr dan Taghlib. Sedangkan dari Mudhar yang terkenal adalah Khindif, Qais ‘Ailan. Dari keduanya lahir Ghathfan yang melahirkan ‘Abas, Dzubyan,

170 Orang di luar Arab yang masuk ke dalam lingkungan Arab atau disebut Arab keturunan. 171 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 10 172 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 10, lihat juga Muhammad ‘Ali al- Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 10

56 Tamim, Hudzail, dan Kinanah. Dari Kinanah inilah lahir suku Quraisy. Suku Yaman dan Qahthan pun terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Kahlan dan Himyar. Semua suku tersebut menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Bahasa Arab merupakan salah satu cabang bahasa Semit (Sâmiyah). Menurut penulis al-Mufashshal dinamakan bahasa Semit untuk membedakannya dari bahasa Hamiyah dan Ariyah.173 Berdasarkan ras di atas, bahasa Arab secara garis besar terbagi dua bagian, yaitu bahasa Arab Selatan yang terdapat di Yaman dan bahasa Arab Utara yaitu yang terdapat di Hijâz. Bahasa Arab Selatan meliputi bahasa Saba dan Himyar, namun untuk memudahkan biasanya mereka cukup menyebutnya dengan bahasa Himyar. Bahasa ini dianggap lebih dulu eksis dibandingkan dengan bahasa Utara. Fakta adanya bahasa ini ditemukan pertama kali di Yaman melalui prasasti yang bertuliskan bahasa Himyar tahun 80 SM dengan tulisan (khat) Musnad. Bahasa Himyar memiliki huruf yang berbeda dengan bahasa Arab yang selama ini dikenal. Bangsa Yaman menggunakan bahasa ini sebagai alat komunikasi baik lisan maupun tulisan hingga kedatangan Islam.174 Karena bahasa-bahasa Semit berasal dari satu rumpun –sebagaimana diperkirakan- banyak di antara lafaz-lafaznya yang sama, atau terkadang hanya berbeda sedikit saja, seperti yang terdapat dalam bahasa Ibrani (Ibriyah) dan Arab. Sebagian lafaz yang menggunakan syin dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan sin, sedangkan alîf yang ada dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan waw. Kata salâm dalam bahasa Arab menjadi syalûm dalam bahasa Ibrani, dan tsa menjadi syin, sehingga kata tsaur menjadi syaur. Sedangkan yang di dalam bahasa Arab menggunakan dlad, di dalam bahasa Ibrani menggunakan shad, seperti ardh menjadi arsh, dan lain sebagainya. Akibat kedekatan genetik tersebut terjadi asimilasi antar bahasa. Maka oleh karena berdekatan dan sering berinteraksi, penduduk Yaman

173 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 15 174 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 15, lihat juga Nabilah Lubis, al-Mu’in fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, (Jakarta: Kuliyyah al-Adab wa al-‘Ulum al-Insaniyah Jami’ah Syarif Hidayatullah, 2005), hal. 15

57 terpengaruh oleh bahasa Habsyi, seperti halnya penduduk Hijaz terpengaruh oleh bahasa Ibrani.175 Bahasa Semit memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dari bahasa lainnya, seperti; tulisannya yang bersifat limited yaitu hanya berupa huruf tanpa harakat, tanpa fathah, kasrah ataupun dhammah, seperti yang terdapat dalam bahasa Aria. Selain itu bahasa Arab juga memiliki jumlah huruf yang lebih banyak dibandingkan dengan bahasa Aria, selain memiliki bentuk derivasi (isytiqâq) yang lebih banyak. Namun demikian, bahasa-bahasa Semit tersebut memiliki persamaan dalam gaya bahasa, struktur kalimat, dan kosakata yang berhubungan dengan anggota badan dan kata ganti orang (dhamîr).176 Bahasa Arab itu sendiri terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu bahasa Arab Yaman yang ada di sebelah Selatan, dan bahasa Arab Hijaz yang terdapat di Utara. Bahasa Selatan (Yaman) meliputi bahasa Saba dan Himyar. Untuk mempermudah penyebutan mereka cukup menyebutnya dengan bahasa Himyar. Bahasa Himyar dianggap lebih dulu keberadaannya dibanding bahasa Utara (Hijaz). Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya lukisan yang bertuliskan bahasa Himyar. Bahasa Himyar memiliki huruf-huruf yang berbeda dengan bahasa Arab yang kita kenal sekarang. Selain itu ia juga memiliki pola tanwîn, jama’mudzakar salîm, adât ma’rifah, dan lain sebagainya yang berbeda dengan bahasa Arab Hijaz. Contoh lainnya adalah adanya di sebagian (أفعل) perbedaan pada huruf-huruf kata, seperti, hamzah pada kata af’ala Keberadaan bahasa Himyar dan Saba ini .(هـ) bahasa Himyar menggunakan ha diketahui melalui hasil penemuan para ilmuwan modern yang diperoleh dari hasil tulisan dan tempat tinggal mereka, sehingga diketahui struktur bahasa masing-masing.177 Adapun bahasa Utara (Hijaz) merupakan bahasa kabilah Adnan. Bahasa ini lebih muda keberadaannya dibandingkan bahasa Himyar. Perlu diketahui bahwa bahasa yang digunakan dalam syi’ir-syi’ir Arab Jahili yang sampai ke tangan kita menggunakan bahasa ini. Hal ini diketahui dari ungkapan para penyair yang menyatakan bahwa syair

175 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.15 176 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.15 177 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.15-16

58 ini berasal dari Rabi’ah atau Mudhar. Sebagaimana kita ketahui sebelumnya bahwa kedua nama tersebut adalah cabang dari Kabilah Adnan. Atau juga yang berasal dari kabilah-kabilah Yaman yang rihlah ke Utara seperti kabilah Tha’i, Kindah dan Tanukh.178 Bahasa Arab Adnani –sebagaimana dikemukakan oleh para ahli bahasa Semit- merupakan cabang bahasa Semit yang tingkat orisinilitas paling dekat dibandingkan cabang-cabang lainnya. Hal itu disebabkan oleh karena bangsa Arab adalah bangsa yang tidak banyak terkontaminasi oleh bangsa lainnya, tidak pernah dijajah dan diperintah bangsa lain seperti yang terjadi pada bangsa-bangsa Semit lainnya, seperti kaum Ibrani, Babilonia, dan Assyiria. Bangsa Arab dilindungi oleh gurun pasir dari serbuan musuh dan penjajahan bangsa asing, sehingga bahasa mereka pun tetap terjaga tanpa banyak dipengaruhi bahasa asing lainnya. Bahasa Arab juga dianggap sebagai bahasa Semit yang sangat progresif, karena memiliki karakteristik yang fleksibel, derivatif, dan kaya akan makna. Mereka tidak hanya membuat satu kata untuk satu makna, namun banyak kata. Mereka ciptakan kata baru setiap mendapatkan makna baru. Kondisi seperti ini dilegitimasi dan dikembangkan dengan diturunkannya al-Qur’an al-Karim, yang kemudian eksistensinya mulai meluas ke seluruh penjuru dunia.179 Berkaitan dengan tulisan, berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ditemukan, maupun argumentasi-argumentasi logis pada masa kenabian, maka bisa dipastikan bahwa pada dasarnya bangsa Arab Jahili telah mengenal tulisan secara baik.180 Untuk mendukung pendapat tersebut, penulis kemukakan syair berikut ini:

178 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.16 179 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.16 180 Ada tiga pendapat tentang asal usul tulisan Arab, pertama berpendapat bahwa tulisan tersebut didapat secara tauqifi (wahyu Ilahi) yang diajarkan langsung oleh Allah pada Adam as. lalu mengenai Nabi isma`il as., setelah terjadinya bencana yang menenggelamkan kaum Nuh. Ibn Fâris, al- Shâhibi, hal. 7. kedua berpendapat bahwa bahasa Arab merupakan hasil kreativitas bangsa Arab, namun ia juga dipengaruhi oleh tulisan kerajaan Hîrah, Hîrah mengadopsi dari Anbar, dan Anbar dari Yaman. Hal ini berarti bahasa Arab diadopsi dari bahasa Arab `Aribah yang penduduknya eksodus ke negeri Adnan. Ibn Nadm, al-Fahrasât, hal. 6-7. Pendapat terakhir yang diusung oleh kaum orientalis adalah bahwa bahasa Arab adalah pecahan dari Khath Arami dan khat Nabathi. Nâshir al-Dîn al-Asad, Mashâdir al- syi`r al-Jâhili wa Qîmatuhâ al-Târikhiyyah, (Beirut: Dâr al-Jail, 1988), hal. 24

59 أبا منذر! كانت غرورا صحيفتى ولم أعطكم بالطوع مالى ول عرضى181

Wahai Abu Mundzir, suratku ini adalah bukti penipuan Dan aku tak akan menuruti perintah kalian, tidak dengan harta maupun kehormatanku

Syair ini digubah oleh Tharfah ibn al-`Abd dan ditujukan kepada `Amr ibn Hind yang bergelar Abu Mundzir. Shahîfah yang terdapat dalam syair tersebut adalah surat yang dititipkan Abu Mundzir pada Tharfah untuk Mak`abar Abu Karb Rabi’ah ibn al- Harits, pemimpin salah satu wilayah kekuasaannya yang terletak di Bahrain. Di dalam surat tersebut, Abu Mundzir menyuruh bawahannya tersebut untuk membunuh Tharfah setibanya di tempat. Tharfah mengetahui isi surat tersebut dan membuat syair yang ia tujukan kepada ibn Mundzir yang salah satu baitnya tertulis di atas. Dari bukti tersebut, maka dapat dipastikan bahwa tulisan pada masa Jahiliyah telah dikenal luas terutama di kalangan kerajaan.

D. Sistem Sosial Politik Bangsa Arab Jahiliyah Di sisi lain, masyarakat Arab Jahili memiliki dua struktur sosial yang sangat kontradiktif satu sama lain. Pertama penduduk perkotaan (hadhari) yang hidup menetap, dan memiliki kehidupan yang mapan dan menyenangkan, kurang memiliki keberanian, dan lebih mencintai kekayaan, mereka terutama penduduk Yaman yang menurut sejarawan lebih suka bersenang-senang dan berpoya-poya, bangga menggunakan kain sutra, makan di piring emas dan perak, yang biasa mereka peroleh dari hasil berbisnis dan pertanian.182 Bangsa Arab Yaman pada dasarnya adalah masyarakat holtikultural yaitu masyarakat yang sudah menetap dan menggunakan sistem bercocok tanam di ladang. Kedua adalah masyarakat nomaden (badawi), yang memiliki kehidupan sebaliknya, mereka selalu berpindah-pindah tempat, dengan kehidupan yang tidak

181 Mahdi Muhammad Nâshir al-Dîn, Dîwan Tharfah ibn al-`Abd, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1407 H/1987 M), hal. 53 182 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24

60 pernah lepas dari gejolak. Hal itu disebabkan oleh karena kondisi tanah Arab yang tandus, tidak ada mata air maupun sungai yang mengalir, sehingga tidak cocok untuk bercocok tanam. Kondisi seperti ini memaksa penduduk Arab Badawi untuk selalu mencari sungai-sungai dan daerah-daerah yang dicurahi hujan yang terdapat di gurun pasir, yang banyak ditumbuhi rerumputan, sehingga pada saat menemukan tempat seperti itu, seluruh kabilah keluar untuk mendapatkannya. Bila sudah habis, mereka mulai mencari tempat lain sebagai penggantinya. Kondisi seperti ini banyak digambarkan dalam syair-syair Arab Jahili. Para penyair banyak menyenandungkan tentang tumbuh-tumbuhan, musim semi, rerumputan, dan bunga, yang mampu membakar semangat bagaikan rasa panas yang menyengat.183 Kondisi seperti itu mengharuskan mereka untuk selalu membangun perkemahan-perkemahan sebagai tempat tinggal sementara yang selalu mereka bawa setiap berpindah tempat. Kemah-kemah tersebut biasanya terbuat dari bulu unta dan kambing. Dalam syair Jahili, tema tentang kemah menjadi topik yang banyak dibicarakan, seperti pada saat mereka menangisi bakas-bekas yang mereka tinggalkan atau puing-puing yang memberikan mereka kenangan.184 Karena mereka selalu berpindah-pindah tempat, maka unta merupakan tonggak kehidupan bangsa Arab Badawi, baik sebagai kendaraan maupun untuk dikonsumsi susunya. Mereka dalam istilah sosiologi termasuk dalam kategori masyarakat pastoral, yaitu masyarakat yang menggembala sekawanan binatang ternak.185 Unta termasuk binatang yang paling tahan haus dan lapar, untuk itu dibandingkan binatang lainnya, unta memiliki makna tersendiri bagi bangsa Arab, karena selain digunakan sebagai

183 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24. Menurut K.Hitti, pada dasarnya tidak ada garis tegas yang memisahkan antara kelompok nomad dan kelompok urban, sebab selalu ada tahapan seminomaden dan tahapan semi urban. Masyarakat perkotaan tertentu yang sebelumnya merupakan orang-orang Badui menyangkal asal usul nomaden mereka, sementara di sisi lain, beberapa kelompok Badui lainnya berusaha menuju tahap masyarakat perkotaan. Sehingga dengan demikian, darah orang-orang perkotaan terus mendapat penyegaran dari darah-darah orang nomad. Philip K. Hitti, History of the Arabs, (terjemah), hal. 28 184 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24 185 Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Press, 2006), cet. 1, hal. 39

61 kendaraan, unta juga digunakan untuk aktivitas kehidupan mereka sehari-hari lainnya, seperti untuk menebus tawanan, membayar diyat dalam kasus pembunuhan, dijadikan sebagai mahar perkawinan, dan lain sebagainnya. Untuk itu bangsa Arab dalam syair- syairnya juga banyak berbicara tentang unta, perjalanan bersamanya, menggembalakannya, atau juga tentang kesetiaannya. Selain unta mereka juga memiliki kuda, hanya saja hewan ini jarang dimiliki karena termasuk kendaraan mewah yang mungkin hanya bisa dimiliki oleh kaum bangsawan saja. Untuk itu wacana tentang kuda tidak banyak didapati dalam bahasa dan sastra Arab, seperti halnya wacana unta.186 Masyarakat pastoral biasanya tetap hidup secara nomadik, sementara masyarakat holtikultural menjalani kehidupannya dengan cara menetap.187 Selain sistem sosial hadlari dan badawi, sistem sosial lainnya yang tidak kalah penting dalam struktur sosial bangsa Arab adalah sistem kabilah. Kabilah adalah kelompok atau unit yang dibentuk berdasarkan sistem sosial masyarakat Arab. Kabilah merupakan keluarga besar yang meyakini bahwa mereka berasal dari ayah dan ibu yang sama.188 Biasanya kabilah diberi nama dengan nama ayah seperti Rubai’ah, Mudhar, Aus, dan Khazraj. Mereka adalah nama-nama laki-laki yang dari mereka muncul generasi-generasi baru sebagai keturunan untuk kemudian dinasabkan kepadanya, dan hanya sedikit kabilah yang dinasabkan pada ibu seperti kabilah Khindaf dan Bajilah. Terkadang nama kabilah juga diambil dari suatu kejadian tertentu. Sebagai contoh, kabilah yang menetap dekat sumur air bernama Ghassan, ia dipanggil dengan kabilah Ghassan. Akan tetapi secara mayoritas mereka menasabkan kabilahnya pada ayah.189 Terkadang pemimpin kabilah memiliki banyak anak, sehingga kemudian muncul darinya kabilah-kabilah baru dengan nama lain namun tetap dinasabkan padanya.

186 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 25 187 Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Press, 2006), cet. 1, hal. 117 188 Dalam ilmu sosiologi pola hubungan antar masyarakat seperti ini disebut dengan kinship (kekerabatan) yaitu ikatan sosial di antara individu yang terbentuk karena adanya hubungan perkawinan atau karena adanya pertalian darah melalui garis keturunan. 189 Berdasarkan hal itu maka bangsa Arab Jahili pada dasarnya merupakan sebuah bangsa penganut patrialkal murni yaitu sebuah keyakinan bahwa suami atau anak laki-laki tertua adalah penentu kebijakan keluarga

62 Kemudian antara kabilah inti dan kabilah cabangnya tersebut terjalin hubungan kekerabatan yang erat. Adapun faktor yang menjadikan terbentuknya nama baru dalam kabilah adalah popularitas yang dimiliki bapak dari cabang tersebut, baik karena kepemimpinannya, keberaniannya, ataupun karena banyak melahirkan anak.190 Di dalam sistem kabilah itu terdiri dari beberapa stratifikasi191, yaitu: 1. Abnâ al-Qabîlah, yaitu anggota kabilah yang memiliki ikatan darah dan keturunan. Kelompok ini merupakan ujung tonggak suatu kabilah. 2. Abîd, yaitu hamba sahaya yang biasanya sengaja didatangkan dari Negeri tetangga terutama dari Habasyah. 3. al-Mawâli, yaitu hamba sahaya yang sudah dimerdekakan termasuk al-Khulâ`a (orang-orang yang dikeluarkan dari kabilah) seperti kelompok Sha`âlik yang sangat terkenal.192 Adanya masyarakat hadlari dan badawi, serta stratifikasi sosial dalam kabilah, memegang peranan penting terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa Arab Jahili, termasuk cara pandang mereka terhadap kaum perempuan.193 Stratifikasi sosial tersebut sangat mempengaruhi sistem Politik Masyarakat Arab Jahiliyah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Bangsa Arab adalah sebuah bangsa yang berasal dari dua orang keturunan Semit (Sam), yaitu Qahthan dan Ismail atau lebih dikenal dengan keturunan Adnan. Dari Adnan dan Qahthan selanjutnya terbagi menjadi beberapa kabilah seperti telah dijelaskan sebelumnnya.

190 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11 191 Stratifikasi sosial adalah tingkatan kedudukan sosial dalam masyarakat yang ditentukan oleh perbedaan privilege/property (kekayaan), pertige (kehormatan), dan power (kekuasaan). 192 Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, (tp: Dâr al-Ma’ârif, 1965), cet. 2, hal. 67. lih. Juga Muhammad Ridla Marwah, Amru al-Qais al-Malik al-Dlillil, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 9 193 Sistem stratifikasi seperti ini hampir sama dengan sistem stratifikasi kasta yang bersifat tertutup dan berdasarkan prestise. Stratifikasi tertutup biasanya membuat sebagian golongan kehilangan hak-hak politik, ekonomi, pendidikan dan lainnya, seperti halnya yang terjadi pada minoritas kulit putih yang berkuasa karena prestise rasial, di sisi lain mayoritas kulit hitam kehilangan hak-hak politik, ekonomi, dan pendidikan. Sistem seperti ini dikenal dengan istilah apartheid. Lih. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Press, 2006), cet. 1, hal. 117

63 Di dalam kabilah terdapat seorang tetua (syaikh) yang diangkat sebagai pemimpin kabilah. Ia bertanggungjawab dalam menyelesaikan setiap perbedaan atau pertikaian yang terjadi dengan berdasarkan kepada adat dan tradisi yang dibuat kabilah. Pemimpin diangkat berdasarkan kemuliaan dan rasa hormat dari anggota kelompok. Sedikit sekali yang dibangun dengan berdasarkan pemaksaan dan penindasan. Oleh karena itu sikap berpura-pura para pemimpin lebih banyak dibanding sikap berpura- pura anggota terhadap para pemimpinnya. Dalam bingkai sistem seperti ini, kebebasan individu terhadap sistem kepemimpinan menjadi lebih leluasa. Selain ketua, terdapat hakim-hakim agung dari kaum pria yang memiliki kecerdasan dan kecermatan. Terkadang mereka juga dihadapkan pada persoalan pertikaian di dunia sastra, seperti saling membanggakan keturunan dan lain sebagainya. 194 Setiap kabilah mempunyai penyair tersendiri yang secara khusus mendendangkan puji-puijian untuk kabilahnya serta menginformasikan sifat-sifat dan kebaikan yang dimiliki kabilahnya. Dan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa hubungan yang terjadi di antara mereka adalah hubungan darah, oleh karena itu mereka sangat fanatik terhadap kabilah masing-masing, untuk itu mereka selalu memuji dan membanggakannya serta menyebarkan berbagai kebaikan yang mereka miliki. Setiap anggota kabilah wajib menjaga anggota kabilah lainnya, dan mempertahankannya, serta berhak menuntut dengan darahnya. Mereka juga berhak meminta perlindungan terhadap kabilahnya di saat mengahadapi marabahaya dan kesulitan. Terkadang di antara anggota kabilah didapati seseorang yang banyak melakukan kesalahan (dosa-dosa), sehingga menimbulkan berbagai persoalan bagi kabilahnya. Untuk anggota seperti itu, kabilah segera mengambil tindakan dengan tidak mengakui lagi sebagai anggota. Anggota kabilah yang mendapat sangsi seperti itu disebut dengan ‘al-khalî’, atau yang terbuang. Terkadang orang seperti ini meminta perlindungan kepada kabilah lain, sehingga dinamakan dengan ‘halîf (yang bersekutu) atau ‘maulâ’ (sekutu).195

194 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11 195 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11-12

64 Bila hubungan di dalam kabilah adalah hubungan darah, maka hubungan yang terjadi antar kabilah biasanya hubungan permusuhan. Kemungkinan yang terjadi antara kabilah tersebut hanya dua, menyerang atau diserang, kecuali kabilah-kabilah yang mengadakan perjanjian dan kesepakatan perdamaian. Oleh karena itu kisah peperangan antar kabilah ini menyita sebagian besar sejarah bangsa Arab, sehingga diriwayatkan bahwasanya Duraid ibn al-Shamah berusia hingga seratus tahun dan ia mengalami peperangan sebanyak seratus kali pula. Oleh karena itu pula tema-tema tentang perang, kemenangan, penyerangan, dan lain sebagainya, mendominasi sebagian besar syair- syair jahili. Oleh karena itu pula, untuk memahami syair dan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi pada masa Arab Jahili seseorang harus memahami benar kabilah-kabilah yang ada di wilayah Arab, termasuk semua bentuk permusuhan dan perjanjian perdamaian antar mereka.196 Tidak adanya stabilitas kehidupan, ketentraman dan keamanan yang selalu mengancam, kesulitan dan kekurangan yang mengintai, serta rintangan dan tantangan yang selalu mereka hadapi, maka demi mempertahankan eksistensi kehidupannya, bangsa Arab Badawi hidup dengan cara saling menyerang dan merampas. Hubungan yang terjadi antar kabilah adalah hubungan permusuhan dan peperangan, meskipun terkadang ada angin segar yang menghembuskan perdamaian, sebagaimana terdapat dalam mu’alaqahnya syair Zuhair ibnu Abi Sulma. Oleh karena itu syair-syair yang mereka gubah biasanya tidak terlepas dari gambaran-gambaran peristiwa yang terjadi antar mereka, seperti menuntut balas, bangga karena menang, memberi julukan pada senjata-senjata yang digunakan perang, seperti panah, baju besi, dan pedang. Pola hidup yang seperti ini sangat mempengaruhi karakteristik mereka dan membuat mereka bangga dengan watak-watak peperangan, seperti kekuatan, keberanian, menepati janji, dan menjaga harga diri. Hal itu juga menjadikan sebagian dari mereka hobi berburu.197

196 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 12 197 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 25

65 Gambaran tersebut adalah gambaran umum bangsa Arab Jahiliyah, namun demikian gambaran tersebut cenderung pada kehidupan masyarakat Badawi atau kelompok Bani Adnan. Lalu bagaimana sistem politik bangsa Arab Yaman. Bangsa Arab Yaman (Selatan) seluruhnya dinasabkan pada Qahthan. Bangsa Arab Yaman ini pada mulanya terbagi ke dalam beberapa kelompok yang tersebar di beberapa wilayah. Setiap kelompok menempati sebuah wilayah semacam propinsi yang disebut dengan “mikhlâf”, yaitu wilayah yang terdiri dari beberapa kota kecil (qura) dan desa-desa. Setiap mikhlaf dipimpin oleh seorang pemimpin yang mereka sebut dengan qail. Masing-masing qail tidak ada hubungannya dengan qail-qail lainnya. Terkadang jika ada qail yang kuat, ia akan menyerang qail lainnya dan mengalahkannya lalu merampas kekayaannya, dan kembali ke wilayahnya semula sebagaimana kehidupan badawi lainnya.198 Seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban, atau mungkin juga hasil seleksi alam siapa yang kuat dia yang menang, di Yaman kemudian muncul sebuah kerajaan yang dikenal dengan nama Saba’. Kerajaan ini banyak diberitakan baik dalam Taurat, maupun dalam buku-buku geografi Yunani dan Romawi, bahkan diceritakan juga dalam al-Qur’an. Kerajaan ini mengalami masa kejayaannya sekitar beberapa abad sebelum masehi tepatnya pada abad ke-8 sebelum masehi, sebagaimana terdapat dalam prasasti peninggalan masa itu.199 Selain kerajaan Saba’, di Yaman juga muncul kerajaan Himyar dengan Zhafar sebagai pusat ibukotanya . Bangsa Himyar pada dasarnya adalah pecahan atau cabang dari kaum Saba’. Kerajaan ini berlangsung dari akhir abad kedua sebelum Masehi hingga awal abad keenam Masehi. Kerajaan ini sangat terkenal dengan ekspansi dan serbuannya ke kerajaan Persia dan Habasyah.200 Kerajaan Himyar di dalam sejarah dikenal juga dengan sebutan al-Tabâbi’ah (jamak dari Tubba’). Rajanya yang terakhir

198 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 18 199 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 18 200 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 20

66 bernama Dzû Nuwâs seorang Yahudi yang sangat fanatik dan hidup pada masa Jahiliyah menjelang datangnya Islam.201 Pada masa kepemimpinannya tersebut agama Kristen sudah mulai tersebar di Jazirah Arab terutama di Nejran. Untuk mengantisipasi tersebarnya agama Kristen lebih jauh, ia memerintahkan agar mengusir pemeluknya, membakar buku-bukunya, serta menyiksa para pemeluknya dengan cara dibakar. Dialah yang dimaksud dalam al- Qur’ân al-Karîm dengan Shâhib al-Ukhdûd.202 Habasyah kemudian menyerang Yaman (kerajaan Himyar) untuk membantu kaum Nasrani, dan akhirnya Dzû Nuwâs dapat dikalahkan dan Yaman dikuasai kerajaan Habasyah. Kerajaan mereka pun akhirnya dihancurkan. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 525 M.203 Bila bangsa Arab Selatan yang merupakan keturunan Qahthan dan lebih dikenal dengan bangsa Yaman sempat memiliki beberapa kerajaan dan sistem pemerintahan yang permanen, tidak demikian halnya dengan bangsa Arab Utara yang merupakan keturunan ‘Adnan mereka sama sekali tidak memiliki sistem pemerintahan. Masyarakat Arab badawi selain berdampingan dengan kerajaan Habasyah di Yaman dan sekitarnya, juga berdampingan dengan dua kerajaan besar lainnnya, yaitu kerajaan Romawi yang berkedudukan di Syam dan sekitarnya dan kerajaan Persia di Irak dan sekitarnya. Untuk itu arus politik mereka tergantung pada angin yang berhembus, terkadang masuk di bawah kekuasaan Irak, namun terkadang masuk di bawah kekuasaan Syam sesuai dengan kepentingan masing-masing. Hal itu disebabkan karena Jazirah Arab saat itu tidak memiliki pemerintahan yang permanen yang bisa memimpin, mengarahkan, dan menyatukan keanekaragaman mereka. Tidak adanya pemerintahan yang permanen dalam kehidupan mereka disebabkan banyak faktor, di antaranya adalah kehidupan mereka yang bersifat kesukuan, persaingan antar suku, dan senang memamerkan kekuatan satu sama lain, sehingga siapa kuat dia menang dan pada akhirnya timbul dendam yang berkepanjangan.204

201 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 20, lih. Juga Nabilah Lubis, al- Mu’in fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, hal. 20 202 Nabilah Lubis, al-Mu`în fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 20 203 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 20-21 204 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, , hal. 26

67 Meskipun demikian, beberapa kabilah yang berada di sekitar Hijaz memiliki sebuah pemerintahan kecil, yang dikenal dengan pemerintahan Quraisy. Pemerintahan ini berfungsi untuk mengatur pemeliharaan Masjid al-Haram, menjaga berhala dan patung mereka, mengatur ibadah haji, serta menjaga Baitullah. Hanya saja pemerintahan ini tidak terlalu kuat untuk dapat mempengaruhi kehidupan bangsa Arab. Bahkan ketidakberdayaannya tersebut tampak nyata pada saat kerajaan Habasyah bermaksud menyerang dan menghancurkan Ka’bah. Meskipun pada akhirnya peristiwa ini memberi dampak politik yang positif bagi bangsa Arab, sebab dengan adanya kejadian tersebut mereka berbondong-bondong menuju al-Haram demi mempertahankan Ka’bah dari serangan Abrahah.205 Kekuasaan dalam pemerintahan Quraisy yang berada di Mekah ini terbagi menjadi dua bagian yang pertama bagian yang mengurus masalah keagamaan dan yang kedua bagian yang mengurus urusan umum (duniawi).

E. Kontak bangsa Arab dengan bangsa asing Pada saat membahas kontak bangsa Arab dengan bangsa lainnya, maka pembahasan tidak bisa dilepaskan dari tiga kerajaan kecil (imârah), yang terletak di wilayah Utara dan Tengah, yaitu; kerajaan Ghassan yang merupakan aliansi dari Binzantium (Romawi), kerajaan Manâdzirah/Lakhmi (Hirah) di Irak yang merupakan protektorat kerajaan Persia, serta kerajaan Kindah yang merupakan protetorat kerajaan Himyar di Yaman.206 Bangsa Arab kontak dengan bangsa asing melalui berbagai cara, pertama, melalui jalur perdagangan, terutama bangsa Yaman dan suku Quraisy di Mekah. Bangsa Yaman telah lama mengenal sistem perdagangan, mereka mengangkut hasil pertanian dari Hadramaut dan Zhaffar, dan menyalurkan produk-produk India ke Syam dan Mesir. Dari India, mereka biasanya mengangkut emas, batu mulia, kayu cendana, rempah- rempah, dan bahan-bahan pewangi. Selain itu mereka juga mengangkut minyak wangi, kayu hitam, dan emas dari pinggir kota Afrika. Di samping itu, mereka juga menjual

205 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, , hal. 26 206 Muhammad Ridla Marawwah, Imru al-Qais; al-Malik al-Dlalil, hal. 7

68 hasil produksi negerinya seperti kemenyan dan minyak wangi, serta mutiara yang mereka datangkan dari Bahrain. Begitulah bangsa Yaman berinteraksi dengan bangsa lain yang ada di sekitarnya.207 Pada saat perekonomian Arab Yaman mengalami kemunduran, posisi tersebut diambil alih oleh Arab Hijaz. Hal ini terjadi pada abad ke-6 Masehi. Kabilah Quraisy pun akhirnya mengambil alih jalur perdagangan tersebut, mereka mulai membeli barang-barang dari Yaman dan Habasyah, lalu menjualnya kembali di pasar-pasar yang ada di Mesir dan Syam. Pada saat permusuhan antara Romawi dan Persia semakin memuncak – menjelang datangnya Islam- Mekah telah menjadi pusat perdagangan yang besar. Pada saat itu roda pemerintahan bangsa Romawi sangat mengandalkan hasil perniagaan kerajaan hingga hal-hal yang menyangkut persoalan kemewahan. Kaum Quraisy memiliki dua corak perniagaan, yaitu perjalanan musim dingin ke negeri Yaman dan perjalanan musim panas ke Syam. Kaum Quraisy selalu merasa nyaman dan aman dalam melakukan perjalanan niaganya, hal ini disebabkan karena kaum Quraisy sebagai ahl al-harâm (keluarga Bait al-Haram) dan penjaga Ka’bah merupakan kabilah yang sangat dihormati oleh bangsa Arab.208 Perdagangan inilah yang menjadi faktor utama terjadinya kontak bangsa Arab dengan bangsa asing di sekitarnya. Dari sinilah, para pedagang Arab akhirnya banyak mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan urusan kerajaan dan pemerintahan. Untuk itu, selain membawa barang dagangan, mereka juga kembali dengan membawa bahasa asing seperti Persia, Romawi, Mesir, dan Habasyah yang kemudian diserap ke dalam bahasa Arab dan disesuaikan dengan kaidahnya.209 Kedua, kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar perbatasan merupakan faktor kedua terjadinya kontak bangsa Arab dengan bangsa asing, seperti kerajaan Lakhmi di Hirah yang bertetangga dengan Persia dan kerajaan Gassan di Syam yang berdampingan dengan Romawi. Kedua kerajaan tersebut (Lakhmi dan Gassan) menurut para geneolog adalah keturunan bangsa Yaman.210 207 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 25 208 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 25 209 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 25 210 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 25-26

69 Dibangunnya kedua kerajaan tersebut bukan tanpa alasan. Sebagaimana diketahui bahwa kerajaan Persia dan Romawi berbatasan dengan bangsa Arab. Bangsa Arab ini selalu mengancam kedua kerajaan tersebut dengan peperangan yang dirancang secara teratur, tiba-tiba menyerang, lalu merampas dan kembali. Tidak mudah bagi kedua kerajaan tersebut menghadapi serangan-serangan bangsa Arab yang seperti itu dan menaklukkannya, karena sulitnya perjalanan di atas gurun pasir. Selain itu kedua kerajaan tersebut tidak tertarik untuk menaklukkannya, karena di dalamnya tidak ada kekayaan yang menarik yang menguntungkan bagi mereka. Untuk itu, mereka beranggapan bahwa dengan membangun kerajaan Arab di perbatasan akan dapat menghalangi kedua kerajaan tersebut dari serangan-serangan mereka dan akan aman dari tipu dayanya, lalu membuat perjanjian dengan kabilah-kabilah di sekitarnya. Untuk itulah kemudian Persia membangun kerajaan Hirah, dan Romawi membangun kerajaan Gassan.211 Kerajaan Hirah terletak sekitar tiga mil dari Kufah, di ujung kota Irak. Irak pada masa pemerintahan kerajaan Lakhmi merupakan kota yang sangat ramai. Di sana terdapat istana-istana yang megah. Kota ini terkenal dengan udaranya yang sejuk, karena dekat dengan padang pasir. Raja pertama yang menduduki tahta kerajaan Lakhmi di Hirah adalah Umar ibn ‘Addi sekitar tahun 268 M pada masa Sabur ibn Ordesyir pertama. Kerajaan ini bertahan hingga tahun 633 M, berakhir dengan penaklukan Khâlid ibn al-Walîd.212 Raja Hirah didukung oleh raja-raja Persia dari kabilah Lakhm. Kerajaan Lakhmi bersifat semi independen, sebab sistem pemerintahan Persia mirip dengan system feodalisme. Kerajaan Arab Hirah dalam hal ini dijadikan sebagai connecting link (penghubung) antara Persia dan bangsa Arab Jazirah, menghubungkan perdagangan antara keduanya, memperkenalkan Persia dengan segala kebudayaannya, serta menceritakan informasi dan kisah-kisah tentang mereka. Dan hal ini menjadikan sastra Arab sangat terpengaruh oleh segala hal yang berkaitan dengan kerajaan Hirah. Salah seorang raja Hirah yang sangat terkenal adalah al-Nu’mân kelima, suami dari Hindun

211 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 26 212 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 26

70 yang bergelar Abu Qabûs yang banyak dipuji oleh al-Nâbighah al-Dzubyâni dalam syair-syairnya. Bangsa Arab banyak membicarakan tentang al-Khawarnaq dan al-Sadir, keduanya adalah istana yang mirip benteng yang terletak di dekat kerajaan Hirah, sebagaimana mereka juga sering membicarakan tentang Sinimar arsitek dari istana al- Khawarnaq, yang kemudian dijadikan sebagai perumpamaan oleh bangsa Arab. Mereka juga mengenal dua hari al-Nu’man (gelar raja Hirah), yaitu hari keberuntungan dan hari sial, sebagaimana bangsa Hirah juga yang mengajarkan suku Quraisy untuk berbuat zindik (ingkar terhadap agama) pada masa Jahiliyah, di samping mereka pula yang mengajarkan Tulisan pada masa awal Islam.213 Penyair yang terkenal dari Hirah adalah ‘Addi ibn Zaid al-‘Ibadi yang dinasabkan pada ‘Ibad, salah satu kabilah yang ada di Hirah yang menyebarkan agama Nasrani. Jika Persia mendirikan kerajaan Hirah, Romawi mendirikan sebuah kerajaan di perbatasan Syam yang dinamakan dengan kerajaan Gassan. Kekuasaan kerajaan ini mencakup dua wilayah, yaitu Hauran dan Balqa. Dibandingkan dengan sejarah bangsa Lakhmi, sejarah kerajaan Gassan lebih kabur lagi, sebab bangsa Persia banyak merampas sejarah setiap wilayah yang berdekatan dengannya. Namun dari ungkapan para penyair terkadang disebutkan bahwa ibukota kerajaan ini adalah Joulan atau Jayyah, namun terkadang mereka menyebutkan nama Jilq sebuah wilayah dekat Damaskus.214 Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-enam Masehi. Pada abad ini, al-Harits II yakni Ibnu Jabalah dari kerajaan Gassan, dan Ibn al-Mundzir III yakni Ibn Mâ’ al-Sama’ dari Hirah (Alamundarus, w. 554 M) mendominasi sejarah Arab. Al-Harits yang dijuluki dengan al-A’raj (si cacat) oleh para sejarawan Arab adalah nama pertama yang otentik dan hingga kini dianggap nama yang paling terkenal dalam catatan sejarah Jafna. Sebagai hadiah atas keberhasilannya mengalahkan musuh besarnya dari kerajaan Lakhmi (al-Mundzir III), Justine melantiknya (529) sebagai penguasa atas seluruh suku Arab di Suriah dan mengangkatnya sebagai patrik dan raja

213 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 26-27 214 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 27

71 kecil (jabatan tertinggi setelah raja), yang dalam bahasa Arab gelar ini sederajat dengan malik.215 Jika kerajaan Gassan menjadi sekutu dan protektorat Binzantium (Romawi) dan kerajaan Lakhmi menjadi sekutu Persia, kerajaan Kindah yang terletak di bagian tengah Arab, menjalin hubungan politik dengan kerajaan Tubba’, kerajaan terakhir di Yaman. Kerajaan Kindah dipimpin seorang raja yang bergelar malik. Kindah satu-satunya kerajaan yang menggunakan gelar malik untuk para penguasanya, biasanya gelar malik digunakan oleh bangsa Arab untuk para penguasa asing.216 Meskipun berasal dari Arab Selatan dan –menjelang masa kelahiran Islam- mendiami kawasan sebelah barat Hadramaut, bangsa Kindah yang kuat itu tidak disebutkan dalam berbagai tulisan-tulisan Arab Selatan paling awal; mereka pertama kali disebutkan dalam sejarah pada abad keempat Masehi. Pendirinya yang terkenal, Hujr, yang dijuluki Akil al-Murar, menurut sebuah riwayat adalah saudara tiri Hassan ibn Tubba` dari Himyar, dan diangkat olehnya pada 480 M. sebagai penguasa suku-suku tertentu yang telah ditaklukkan oleh Tubba` di Arab bagian tengah.217 Hujr kemudian digantikan oleh anaknya, `Amr. Selanjutnya anak `Amr, al-Harits, raja Kindah paling bengis, menjadi raja yang setelah meninggalnya raja Persia, Qubadz, segera mengangkat dirinya sebagai penguasa Hirah, yang kemudian (sekitar 529) jatuh ke tangan al-Mundzir II dari kerajaan Lakhmi. Al-Mundzir menghukum mati al-Harits (529) beserta sekitar 50 anggota keluarga kerajaan, yang kemudian menjadi pukulan mematikan terhadap kekuasaan Kindah. Al-Harits mungkin pernah menetap di al- Anbar, sebuah kota di kawasan Efrat sekitar 40 mil sebelah barat laut Baghdad.218 Sengketa di antara anak-anak al-Harits, yang masing-masing memimpin suku, mengakibatkan pecahnya konfederasi dan jatuhnya kerajaan itu. Sisa-sisa kekuatan kerajaan Kindah terpaksa mundur ke pemukiman mereka semula di Hadramaut. Peristiwa itu menandai berakhirnya salah satu kerajaan pesaing Hirah dalam perebutan supremasi antara tiga kerajaan di kawasan Arab Utara; pesaing lainnya adalah kerajaan 215 Philip K. Hitti, History of The Arabs, (terjemah), hal. 97 216 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 105 217 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 105 218 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 105

72 Gassan. Penyair terkenal, Umru` al-Qays, salah satu penyair emas,219 adalah keturunan keluarga kerajaan Kindah, yang berkali-kali gagal untuk memperoleh kembali warisannya. Puisi-puisi bernada pedas, memancarkan nuansa perlawanan pada kerajaan Lakhmi. Dalam rangka mencari bantuan, ia pergi ke Konstantinopel, berharap memperoleh simpati Justine, musuh Hirah. Dalam perjalanan pulang, demikian menurut riwayat, ia di racun (sekitar 540) di Ankara oleh seorang utusan kaisar.220 Pada awal Islam, sejumlah orang Kindah memiliki peran penting. Salah seorang yang paling penting di antara mereka adalah al-Asy`ats ibn Qays, seorang pemimpin suku Hadramaut yang kondang pada masa penaklukan Suriah dan Irak. Berkat jasa- jasanya ia diangkat sebagai gubernur di salah satu provinsi Persia. Keturunan al-Asy`ats menduduki jabatan penting pada pemerintahan Dinasti Umayah di Suriah. Al- Muqanna`,221 seorang Khurasan yang mengaku nabi, dan inkarnasi dewa, serta selama bertahun-tahun menentang khalifah Abbasiyah, al-Mahdi, kemungkinan adalah orang Persia, bukan orang Kindah. Selain itu, suku ini juga melahirkan seorang filsuf Arab paling awal yaitu Ya`kub ibn Ishaq al-Kindi.222 Pada 1962, satu millenium kelahirannya diperingati di Baghdad. Kemunculan Kindah dianggap menarik tidak hanya karena sejarahnya sendiri, tetapi juga menggambarkan upaya pertama orang-orang Arab untuk menyatukan sejumlah suku ke dalam sebuah kepemimpinan tunggal yang terpusat. Dengan demikian, pengalaman itu menjadi contoh bagi Hijaz dan Muhammad. F. Tradisi Perang (Ayyâm al-Arab) Menurut Philip K. Hitti, salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran agama Islam adalah apa yang dikenal dengan sebutan Ayyâm al- Arab. Ayyâm al-Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang-orang Badui yang biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jati diri dan watak sosial. Berkat ayyâm al-Arab itulah

219 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 106 220 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 106. 221 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 107. 222 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 107.

73 pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka.223 Perang bagi bangsa Arab Jahili adalah tradisi. Tiada hari tanpa perang antar kabilah. Tercatat dalam sejarah mereka bermacam-macam perang yang dipicu oleh berbagai faktor. Untuk itu, sebelum datangnya Islam, perang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Arab Jahili. Diriwayatkan bahwa, Duraid yang berumur hingga seratus tahun menyatakan bahwa ia ikut berperang sebanyak hampir seratus kali pula. Perang telah menyita separuh dari hidupnya. Setiap tahun ia ikut berperang sebanyak dua kali.224 Namun demikian, dalam bulan-bulan tertentu yang dianggap suci mereka menghentikan peperangan, meski terkadang kesepakatan ini mereka langgar sendiri.225 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa bangsa Adnan terbagi menjadi beberapa kelompok yang disebut kabilah. Kabilah terbesar adalah cabang dari Rabî’ah dan Mudhar. Kabilah Rabî’ah dan Mudhar adalah dua kabilah terkuat sepanjang dua abad terakhir sebelum datangnya Islam. Antara kedua kabilah besar ini terjadi perseteruan yang berkepanjangan. Perseteruan tersebut bisa terjadi antara kabilah Rabi’ah dan Mudhar atau pun sesama cabang kabilah, baik dalam rumpun kabilah yang sama atau pun berbeda.226 Perang Basus adalah salah satu perang paling terkenal yang pernah terjadi di Zaman Jahiliyah di dalam Kabilah Rabi’ah. Perang ini terjadi antara Kabilah Bakr dan Taghlib227, dua kabilah besar dalam rumpun Rabi’ah. Perang ini berlangsung hampir empat puluh tahun lamanya pada akhir abad ke-5 Masehi. Adapun faktor penyebab perang ini, diceritakan bahwa Kulaib ibn Rabi’ah pemuka Bani Taghlib karena kebesarannya, ia memiliki sebuah tempat terlarang (himâ) yang disebut dengan

223 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 110 224 Sebagaimana dikutip oleh K. Hitti dari Charles James Lyall, Ancient Arabian Poetry, (London: William & Norgate, 1985), hal. xxii 225 Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradition, (Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors SDN. BHD, 1982), hal. 7 226 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 22 227 Taghlib ibn Wâ’il adalah anak keturunan dari Rabi’ah dari Adnan. Ia adalah saudara kandung dari Bakr. Di antara penyair kabilah Taghlib yang sangat terkenal adalah al-Muhalhil, Amr ibn Kultsum dan al-Akhthal. Kabilah ini menganut agama Nasrani. Ferdinand, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alâm, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986), hal. 177

74 al-‘Âliyah yang tidak boleh diinjak tanpa seijinnya. Tidak seorang pun diperbolehkan minum dari ontanya dan tidak boleh menyalakan api dari apinya. Kulaib menikahi seorang perempuan dari Bani Syaibân salah seorang keturunan Bâkr. Basûs bibi dari Jassas ibn Murrah al-Syaibâni memiliki seekor onta yang diberi nama Sarâbi. Pada suatu ketika Kulaib ibn Wâ’il melihat onta tersebut berada di himânya dan menghancurkan telur burung merpati yang telah ia selamatkan. Lalu ia pun melepaskan anak panahnya tepat di susu onta tersebut. Pada saat Jassas melihat kejadian tersebut, ia meloncat dan membunuh Kulaib. Semenjak itu perang antara kedua kabilah tersebut terus berkecamuk, sehingga menjadi legenda dalam sejarah bangsa Arab dan peristiwa tersebut dijadikan sebuah perumpamaan.228 Selain perang-perang tersebut, masih banyak perang-perang lainnya yang terjadi di dalam kabilah Rabi’ah dan Mudlar, atau antara Tamim (Mudlar) dan Bakr ibn Wa’il (Rabi’ah). Perang tersebut saling bergantian, sehari untuk kabilah Tamim dan hari lainnya untuk kabilah Bakr. Peperangan yang terjadi di dalam kabilah-kabilah Arab ini didokumentasikan dalam buku-buku sejarah dan sastra, dan banyak cerita yang dilebih- lebihkan. Dalam sastra Arab Jahili, kisah tentang perang mendominasi tema-tema yang terdapat dalam syair.229 Selain perang Basus, perang yang sangat terkenal lainnya adalah perang Dâhis wa al- Ghabrâ’, yakni peristiwa peperangan yang terjadi dalam kabilah Mudlar, antara Bani ‘Abs dan Dzubyân. Faktor penyebabnya adalah Qais ibn Zuhair bertaruh dengan Hudzaifah ibn Badr al-Fazari dalam sebuah perlombaan semacam pacuan kuda. Al- Fazari melepaskan kudanya yang bernama al- Ghabrâ’, sedangkan al-‘Absi melepaskan kudanya yang bernama Dâhis. Pada pertandingan tersebut, Dahis seharusnya memenangkan perlombaan, kalau saja bukan karena jebakan yang dipasang oleh Bani Fazarah sebelum mencapai garis finis. Masing-masing pihak akhirnya mengaku sebagai

228 Keterangan lengkap mengenai sejarah perang Basus, lih. Yusuf Khalif, Dirâsat fi al-syi’r al- Jâhili, (Kairo: Maktabah Gharib, 1981), hal. 200-202, atau lih. Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 22 229 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 23

75 pemenang, dan sejak itu peperangan antar dua kabilah mulai berlangsung hingga empat puluh tahun lamanya.230 Selain perang Dâhis wa al- Ghabrâ’, perang lainnya yang terjadi di dalam kabilah Mudlar adalah perang Fijâr. Perang ini terjadi antara suku Quraisy dengan Kinanah yang terjadi menjelang lahirnya Islam. Perang ini terjadi selama empat kali, pertama disebabkan oleh peristiwa saling membangga-banggakan diri antara keduanya di Pasar Ukazh. Kedua terjadi akibat seorang pemudi Quraisy menyindir perempuan lain dari Bani ‘Âmir ibn Sha’sha’ah di Pasar Ukazh. Penyebab ketiga masih di Pasar Ukzh, seseorang menagih hutang dengan disertai hinaan. Penyebab terakhir yaitu bahwa Urwah al-Rahhal (orang yang biasa bepergian), menjamin barang dagangan al-Nu’man ibn al-Mundzir tiba di Pasar Ukazh dengan selamat, namun pada kenyataannya di jalan ia dibunuh oleh al-Barâdl.

G. Konstruksi Ekonomi dan Keilmuan pada Masa Jahiliyah Kehidupan sosial bangsa Arab Jahiliyah yang terbagi ke dalam masyarakat perkotaan (hadlari) dan masyarakat pedesaan (badawi), turut mempengaruhi sistem perekonomian yang mereka jalani. Perekonomian Arab Badawi sangat bergantung pada pemeliharaan unta, selain dari mengandalkan hasil perang, berburu, dan mengawal kafilah (rombongan pedagang). Adapun penduduk perkotaan, mata pencaharian mereka lebih luas. Mereka telah mengenal tiga prinsip dasar ekonomi, yakni: perdagangan (tijârah), pertanian (zirâ’ah) dan industri/profesi keahlian (shinâah). Pada saat itu, Yaman adalah negeri yang paling maju dan makmur. Sedangkan penduduk Arab Utara meskipun kehidupan mereka nomaden dan keras, namun mereka tidak menghindar dari aktivitas perdagangan. Untuk itu Mekah yang terletak di tengah- tengah dan menjadi pusat keagamaan, menjadi tempat persinggahan para kafilah yang berasal dari Syam maupun Yaman dan juga menjadi pasar yang menguntungkan untuk dijadikan ajang pameran barang dagangan. Suku Quraisy sebagai penduduk asli kota Mekah sangat terkenal dengan perjalanan niaga mereka. Dalam setahun mereka memiliki dua macam perjalanan niaga yang dikenal dengan istilah rihlah al-Syitâ’

230 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 22-23

76 (perjalanan niaga di waktu musim hujan) dan rihlah al-Shaif (perjalanan niaga di musim panas). Begitu pula halnya dengan penduduk Madinah, terutama kaum Yahudinya.231 Di Mekah sendiri terdapat beberapa pasar yang biasa diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu. Pasar tersebut biasa digunakan untuk transaksi jual beli dan demonstrasi puisi. Pasar terbesar adalah Pasar ‘Ukâzh232, Daumat al- Jandal, Dzû Majâz, dan al-Majnah. Di pasar-pasar tersebut bangsa Arab Hirah biasanya bertransaksi dengan pedagang Persia atau menawarkan jasa untuk menjadi pengawal kafilah dalam menghadapi kerasnya gurun pasir.233 Pertanian juga merupakan andalan sebagian penduduk Arab perkotaan bagian utara seperti, Thaif, Yatsrib, Khaibar, Wadi al-Qura, dan Tîma’. Adapun profesi keahlian penduduk badawi sangat minim dan terbatas, bahkan menurut Ibnu Khaldun mereka adalah bangsa yang sangat jauh dari hal-hal seperti itu. Namun meskipun demikian mereka telah mengenal pandai besi, seni pahat, menjahit dan pandai emas. Hal itu bisa ditemui di beberapa lokasi yang ramai seperti Mekah, Yatsrib dan Thaif.234 Dengan demikian maka bisa dipastikan bahwa kondisi perekonomian dan peradaban penduduk Arab Utara secara global tidak sama dengan penduduk Arab Selatan (Yaman). Faktor penyebabnya adalah tingkat kemakmuran yang sangat berbeda antara keduanya. Untuk itu, masyarakat Arab Badawi berusaha mengatasi dengan jalan perang, merampas, menawan, dan memelihara unta dengan sebaik mungkin. Karena unta bagi penduduk Arab Badawi adalah problem solver yang membantu menyelesaikan setiap persoalan, seperti digunakan sebagai alat transportasi, dikonsumsi daging dan susunya, bulunya digunakan untuk membuat pakaian dan membangun kemah-kemah, menebus tawanan, transaksi jual beli, sebagai mahar perkawinan, membayar diyat serta untuk membayar utang.235

231 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 21 232 Pasar Ukazh selain digunakan sebagai tempat transaksi jual beli, ia juga berfungsi sebagai tempat untuk berorasi dan mendeklamasikan puisi. Tempat ini adalah tempat pertemuan para pembesar Arab dalam membicarakan berbagai persoalan mereka. Tidak jauh dari pasar Ukazh terdapat pasar Dzu al-Majâz. Muhammad Ridla Marwah, Umru al-Qais al-Malik al-Dlillil, hal. 13 233 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 21 234 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 21-22 235 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 22

77 Bebicara tentang kondisi intelektualitas bangsa Arab, pada hakekatnya adalah hal yang aneh dan mengherankan. Karena konstruksi intelektualitas suatu bangsa erat kaitannya dengan ilmu dan wawasan yang mereka miliki. Dan hal itu biasanya hanya dimiliki oleh bangsa yang berperadaban. Menurut Muhammad Hasyim ‘Athiyyah: Para peneliti memastikan bahwa penduduk Utara dari kerajaan Ghasâsinah, Manâdzirah, dan penduduk Yaman seperti kerajaan tababi’ah, mereka memiliki peradaban sesuai dengan kerajaan yang mereka dirikan. Mereka memiliki ilmu arsitektur, pengairan, bangunan- bangunan, kedokteran, matematika, pertanian, kedokteran hewan, meskipun tidak banyak peninggalan peradaban tersebut yang dapat disaksikan. Penulis al-Wasîth fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, menyebutkan beberapa ilmu yang berkembang di masyarakat Arab Jahili, yaitu: 1. Ilmu Nujum, yaitu ilmu perbintangan yang digunakan dengan cara mengetahui kondisi bintang pada saat terbit dan terbenam, warna dan jenisnya, posisi dan hubungannya dengan yang lain, juga pada saat sendiri maupun berkumpul dengan yang lainnya. Kondisi bintang tersebut kemudian dihubungkan dengan kondisi negeri saat itu, dari panas dan dingin, hujan dan angin, ketenangan dan kedamaian, binatang melahirkan, dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan mereka. Dibandingkan dengan ilmu lainnya, ilmu Nujum adalah ilmu yang paling menonjol di kalangan masyarakat Arab dan hampir dikuasai oleh semua orang, namun yang paling terkenal adalah Banu Hâritsah ibn Kalb dan Banu Murrah ibn Hammâm al-Syaibani. 2. Ilmu kedokteran dan ilmu Kesehatan hewan (al-thibb wa al- baitharah). Ilmu ini banyak dikuasai oleh bangsa Arab yang mereka peroleh dari kecerdasan dan eksperimen mereka sendiri atau dari bangsa lainnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya kosakata yang berkaitan dengan dunia kesehatan seperti nama-nama obat, nama-nama penyakit, nama-nama anggota tubuh bagian luar maupun dalam, serta bagian masing-masing anggota tersebut. Mereka terbiasa mengobati pasien dengan ramuan

78 tumbuhan, benda pusaka atau azimat, mantera atau ruqiyyah, bekam, dan dipanaskan dengan api. Tokoh pengobatan yang paling terkenal adalah al- Harits ibn Kildah al-Tsaqafi dan Ibnu Hudzaim al-Taimi. 3. Ilmu Nasab (Genealogi), yaitu ilmu yang secara khusus mempelajari silsilah keluarga atau keturunan dalam kabilah untuk mengetahui asal usul suatu kabilah. Tujuannya adalah untuk menjaga fanatisme kabilah, sehingga satu sama lain bias saling membantu dalam peperangan. Tokoh yang paling terkenal dalam ilmu nasab adalah Daghfal ibn Hanzhalah al-Syaibâni, Zaid ibn al-Kabsy al-Namari, dan Ibnu Lisân al- Hummarah. 4. Ilmu sejarah dan kisah, yaitu ilmu yang digunakan untuk mengetahui hal ihwal orang-orang terdahulu dan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada para leluhurnya. Namun, sebagaimana sejarah klasik lainnya, beritanya terkadang benar namun terkadang hanyalah sebuah khurafat atau dongeng belaka. Hal ini terbukti dengan banyaknya puisi, prosa, maupun amtsal yang berbicara tentang hal tersebut. Seperti kisah al- fîl (gajah) yang sangat terkenal, perang Dâhis dan Ghubarâ, perang Basûs, kisah hari Dzî Qâr, dan perang Fijâr. 5. Ilmu bumi (geografi). Ilmu ini mereka gunakan untuk mengetahui kondisi tanah yang subur dan cara mencapainya. Hal ini terlihat dari syair-syair yang mereka buat yang menceritakan tentang musim hujan, tumbuhan, puing-puing yang mereka singgahi dan lain sebagainya. 6. Ilmu firasat atau physiognomi, yaitu mencari petunjuk dari kondisi manusia, bentuk, warna, dan ucapan yang dihubungkan dengan tingkah lakunya baik yang positif maupun negatif. Bangsa Arab sangat menyukai ilmu ini, sehingga tidak terhitung jumlahnya yang menguasai ilmu ini. 7. ilmu qiyafah. Ilmu ini pada dasarnya adalah bagian dari ilmu firasat, hanya saja lebih mengandalkan kekuatan imajinasi, ingatan dan

79 kecerdasan. Seperti mencari petunjuk dari jejak kaki pemiliknya, atau mengidentifikasi seseorang dari cirri-ciri yang dimiliki keluarganya. Tokohnya yang terkenal adalah Bani Mudlaj dan Bani Lahab. Ilmu ini hingga kini masih bertahan, terutama di Arab Bawadi. 8. Ramalan (kahânah dan ‘arâfah), yaitu mengetahui hal-hal yang gaib. Kahânah ramalan untuk masa yang akan datang, sedangkan ‘arâfah terawang terhadap hal-hal yang sudah berlalu. Tokoh kahânah yang terkenal adalah Tharifah al-Khair dan Salma al-Hamdaniyah, sedangkan tokoh ‘arâfah adalah al-Ablaq al-Asadi dari Najed dan Rabbâh ibn ‘Ajalah dari Yamamah. 9. al-Jazar, yaitu meramal dengan suara dan gerakan binatang, atau segala hal yang berkaitan dengan tingkah laku binatang yang kemudian dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi dengan kekuatan imajinasi. Tokoh yang terkenal adalah bani Lahab, Abu Dzuaib al-Hudzaili, dan Murrah al-Asadi.236 Demikian, sekilas tentang pembahasan kondisi sosiologis bangsa Arab Jahiliyah yang dimulai dari makna Jahiliyah, latar belakang sosial politik, kondisi keilmuan mereka. Hal ini perlu diungkapkan di sini sebagai gambaran awal dari kehidupan bangsa Arab Jahiliyah.

236 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-“Arabi wa Târikhihi, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, tth), hal. 38-41

80 BAB V SIMBOL-SIMBOL AGAMA DALAM SYAIR JAHILIYAH

Bagi bangsa Arab Jahiliyah, persoalan agama mungkin bukan termasuk persoalan yang sangat urgen dalam kehidupan mereka, sehingga tidak banyak, atau bahkan jarang sekali syair-syair Jahiliyah yang berbicara tentang kehidupan beragama. Kemungkinan lainnya adalah, ajaran agama saat itu belum sampai ke tangan mereka. Namun demikian, hal ini tidak berarti mereka sama sekali tidak menganut sistem kepercayaan terhadap sesuatu yang bersifat ghaib, sebab terbukti dalam syair mereka dijumpai beberapa simbol keagamaan meski dalam bentuk yang paling sederhana. Namun sebelum membahas lebih lanjut tentang simbol-simbol keagamaan dalam syair Jahiliyah, terlebih dahulu dibahas tentang kategorisasi syair Jahiliyah. Masing-masing kategori mewakili struktur sosial yang berkembang di kehidupan masyarakat Arab Jahiliyah saat itu.

A. Kategorisasi Syair Jahiliyah Berdasarkan struktur sosial, masyarakat Arab Jahiliyah terbagi ke dalam dua unsur yang satu sama lain sangat kontradiktif. Pertama penduduk perkotaan (Hadhari) yang hidup menetap, dan memiliki kehidupan yang mapan dan menyenangkan.237 Kedua adalah masyarakat pedesaan (Badawi), yang memiliki kehidupan sebaliknya. Mereka selalu berpindah-pindah tempat, dengan kehidupan yang tidak pernah lepas dari gejolak.238 Sedangkan secara genealogis239 dan geografis, bangsa Arab terbagi ke dalam

237 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24 238 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24. Menurut K.Hitti, pada dasarnya tidak ada garis tegas yang memisahkan antara kelompok nomad dan kelompok urban, sebab selalu ada tahapan seminomaden dan tahapan semi urban. Masyarakat perkotaan tertentu yang sebelumnya merupakan orang-orang Badui menyangkal asal usul nomaden mereka, sementara di sisi lain, beberapa kelompok Badui lainnya berusaha menuju tahap masyarakat perkotaan. Sehingga dengan demikian, darah orang-orang perkotaan terus mendapat penyegaran dari darah-darah orang nomad. Philip K. Hitti, History of the Arabs, (terjemah), hal. 28 239 Genealogis atau ilmu nasab, yaitu Ilmu yang digunakan untuk mengetahui silsilah atau keturunan seseorang.

81 dua ras besar, yaitu Arab bagian Utara yang disebut juga dengan bangsa Hijaz dan Arab bagian Selatan yang disebut dengan bangsa Yaman. Arab bagian Utara biasanya disebut juga dengan kaum Adnan karena mereka berasal dari keturunan Adnan, dan Adnan keturunan Ismail bin Ibrahim as.240 Bangsa Yaman (Arab Selatan) inilah yang oleh penulis buku ‘Buhûts fi al-Adab al-Jâhili’ dikategorikan sebagai kelompok hadlari dalam struktur sosial bangsa Arab.241 Sedangkan bangsa Arab Utara (Hijaz) meskipun di dalamnya terdapat beberapa kerajaan kecil (keturunan Adnan) seperti; kerajaan Gassan di Syam (protektorat kerajaan Romawi), kerajaan Hirah di Irak (protektorat kerajaan Persia), dan kerajaan Kindah di Hadlramaut (Arab Tengah), menurut Jurji Zaidan sebagian besar kabilahnya masih bersifat badawi, kecuali yang berada di pusat-pusat kerajaan.242 Berdasarkan hal tersebut, maka bisa dipastikan bahwa mayoritas penduduk Arab Jahili, selain bangsa Yaman adalah masyarakat yang hidup secara nomaden (badawi). Penduduk badawi sendiri, oleh sejarawan dibagi menjadi dua bagian, yaitu Ghair Sha`âlîk dan Sha`âlîk. Pembagian seperti ini terkait erat dengan sistem kabilah yang mereka anut, yaitu adanya stratifikasi sosial antara satu golongan dengan golongan lainnya, yang terdiri dari; abnâ’ al-qabîlah243, abîd244, dan al-mawâlî.245 Al-mawâlî sendiri terdiri dari hamba sahaya yang sudah dimerdekakan dan juga al-Khulâ’â (orang- orang yang dikeluarkan dari kabilah) yang di antaranya adalah kelompok Sha’alik.246 Berdasarkan kategorisasi-kategorisasi sosiologi di atas, para ahli sastra Arab akhirnya mengklasifikasikan para penyair Jahili ke dalam beberapa kelompok, sebagai

240 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 10 241 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24 242 Keterangan lengkap mengenai ketiga kerajaan tersebut, lih. Jurji Zaidan, Al-‘Arab Qabla al- Islam, (tp: Dar al-Hilal, tth), hal. 185-248 243 Kelas tertinggi dalam struktur kabilah, dan menjadi ujung tombak setiap kabilah. 244 Abîd atau hamba sahaya merupakan kelas paling rendah dalam struktur kabilah, karena kelompok ini tidak memiliki kemerdekaan dan berhak diperjual belikan, biasanya mereka diimpor dari negeri Habasyah (Ethiopia). Sedangkan dari Arab sendiri, biasanya budak berasal dari hasil tawanan perang. 245 Keterangan lengkap lih. bab III, hal. 21 246 Syauqi Dlaif, Tarikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jahili, (tp: Dar al-Ma’arif, 1965), cet. 2, hal. 67. lih. Juga Muhammad Ridla Marwah, Imru al-Qais al-Malik al-Dlalil, (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 9

82 contoh penulis buku Al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi menyebutkan sebanyak delapan belas penyair Arab Jahili yang kemudian ia bagi ke dalam enam kategori, yaitu: penyair Badawi yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu Sha’âlîk dan ghair Sha’âlîk, penyair bangsawan, penyair istana atau penyair komersil, penyair filsuf (hikmah), penyair religi (madzhab), dan penyair perempuan.247 Selain berdasarkan pertimbangan kandungan syair, tampak jelas bahwa pembagian tersebut juga terutama didasarkan pada aspek-aspek sosial dan budaya. Adapun yang dimaksud dengan penyair bangsawan atau Raja, yaitu penyair yang berasal dari kalangan atas dan keturunan kerajaan, bukan penyair kerajaan yang biasanya menjadikan syair sebagai alat mencari nafkah. Para ahli sastra biasanya hanya menyebutkan satu nama untuk kategori ini, yaitu Umru al-Qais248 (500-540 M). Meskipun kurang representatif249, Umru al-Qais dapat mewakili satu sisi kehidupan kelompok hadlari. Ia mewakili sisi gelap kehidupan istana yang serba gemerlap dan hidup bersenang-senang. Dalam dunia sastra, Umru al-Qais memiliki sejumlah syair yang terangkum dalam Dîwan Umru al-Qais. Syair-syair Umru al-Qais sendiri banyak yang dijadikan sebagai syair al-mu’allaqat. Dalam syairnya Umru al-Qais memiliki karakteristik tersendiri seperti, banyak menggunakan tasybîh, isti’ârah, dan kinâyah250. Kategori penyair yang kedua adalah penyair Sha’alik. Masyarakat Badawi merupakan mayoritas penduduk bangsa Arab Jahiliyah. Mereka adalah kabilah yang

247 Karl Brookman, dikutip oleh Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 64 248 Nama lengkapnya adalah Umru al-Qais ibn Hujr ibn al-Harits ibn ‘Amr ibn Hujr Âkil al- Murâr ibn Mu’awiyah ibn al-Harits al-Akbar (yang agung) ibn Ya’rab ibn Tsaur ibn Murti’ ibn Mu’awiyah ibn Kindah. Sebagian mengatakan bahwa namanya adalah Hunduj ibn Hujr, namun nama Umru al-Qais lebih dikenal di masyarakat baik dulu maupun sekarang. Ia dijuluki dengan al-Malik al- Dlillîl atau raja yang banyak melakukan kasalahan. Selain itu ia juga dijuluki dengan Abu Wahab, Abu Zaid, Abu Harits, dan Dzu al-Qurûh. 249 Umru al-Qais -menurut penulis - tidak bisa mewakili cara pandang seluruh unsur kelompok high class (kerajaan), karena berdasarkan biografinya, ia termasuk salah seorang raja yang kurang baik, bahkan ia dijuluki sebagai al-Malik al-Dlillil, yaitu raja yang sesat, karena banyak melakukan banyak kesalahan, dan semasa hidupnya selalu dihabiskan untuk bersenang-senang dan berpoya-poya. 250 Kinayah adalah gaya bahasa sejenis kiasan yang tidak menutup kemungkinan untuk diartikan sebagaimana makna aslinya, seperti kata panjang tangan yang dapat diartikan sebagai kebiasaan seseorang yang suka mencuri atau makna yang sesungguhnya yaitu seseorang yang memiliki tangan yang panjang.

83 biasa hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya yang dianggap subur dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Kondisi seperti ini menimbulkan fanatisme kesukuan yang sangat berlebihan, sehingga ketika bersentuhan dengan kabilah lain dan merasa dirugikan yang terjadi adalah perang antar kabilah. Perang bagi mereka adalah makanan sehari-hari. Di antara masyarakat Badawi ini muncul kelompok baru yang disebut dengan al- Sha’âlîk yang memiliki norma dan aturan tersendiri. Sebagaimana disebutkan dalam bab tiga sebelumnya bahwa, di suatu kabilah terdiri dari beberapa stratifikasi sosial, yaitu: abnâ al-qabîlah, yakni anggota kabilah yang memiliki ikatan darah dan keturunan dan merupakan pilar kabilah, Abîd atau hamba sahaya, al-Mawâlî yaitu hamba sahaya yang sudah dimerdekakan dan termasuk dalam kelompok ini al-Khulâ`â yaitu orang-orang yang dikeluarkan atau diusir dari kabilah karena melanggar norma- norma yang ditetapkan kabilah. Di antara al-Khula’a adalah kelompok Sha’âlîk yang sangat terkenal.251 Secara terminologi kata Sha’lakah berarti fakir atau kondisi di bawah garis kemiskinan. Sha’lûk (singular) atau Sha’âlîk (plural) dalam Lisân al-Arab diartikan sebagai orang-orang fakir yang tidak memiliki harta benda.252 Dalam sejarah sastra Arab kata Sha’âlîk bukan semata-mata diartikan sebagai orang-orang fakir, namun di samping itu ia juga memiliki makna tambahan yaitu orang-orang yang fakir namun memiliki keberanian dan kekuatan yang luar biasa serta perasaan dan fikiran yang sangat sensitif yang timbul karena faktor perbedaan antara kehidupan mereka yang sangat miskin di satu sisi dengan orang-orang kaya di sisi lain. Hal inilah yang kemudian menjadikan mereka berada dalam perasaan sakit dan teraniaya yang tumbuh karena ketiadaan harta benda dan tidak mampu memperoleh kehidupan yang mereka impikan.253

251 Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, (tp: Dâr al-Ma’arif, 1965), cet. 2, hal. 67. lih. Juga Muhammad Ridla Marwah, Umru al-Qais al-Malik al-Dlillil, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 9 -dikutip oleh Yûsuf Khalîf, al ,صعلك Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, materi pembahasan 252 Syu`arâ al-Sha`âlîk fi al-`Ashr al-Jâhili, (Mesir: Dâr al-Ma`ârif, tth), cet. 2, hal. 21 253 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H/1992 M), cet. 1, hal. 34

84 Penulis buku Dîwan Urwah ibn al-Ward menyebutkan beberapa karekateristik syair Sha’âlîk, seperti: 1. Dari segi isi, syair Sha’âlîk adalah gambaran dari tingkah laku, sikap dan kepribadian, serta tendensi mereka. 2. Syair Sha’âlîk menggambarkan aspek psikologis yang dirasakan oleh kaum Sha’alik 3. Syair Sha’âlîk menggambarkan realitas kehidupan mereka dari aspek pekerjaan dan perbuatan. 4. Syair mereka terkenal dengan tema tunggal, atau kesatuan tema. Di dalamnya tidak terdapat muqadimah (pendahuluan syair), seperti ghazal (rayuan), bukâ’ al-athlal (menangisi puing-puing kenangan), washaf li al- rahîl (menggambarkan orang yang sedang bepergian), dan lainnya. 5. Mayoritas syair Sha’âlîk berbentuk maqtha`ât (penggalan-penggalan), bukan qashîdah (rangkaian syair). Hal ini memberi gambaran tentang kehidupan mereka yang tidak suka bertele-tele, namun lugas sesuai sasaran. 6. Dalam syair Sha’âlîk tidak terdapat ghazal atau rayuan terhadap perempuan. 7. Mayoritas syair yang berbicara tentang perempuan, adalah pembicaraan suami terhadap istrinya.254 Beberapa penyair Sha’âlîk yang sangat terkenal adalah Ta’abbath Syarran255, Syanfara256, dan ‘Urwah ibn al-Ward. Selain penyair sha’alik, kategori yang juga tidak kalah terkenalnya adalah penyair Badawi Ghair Sha`âlîk. Berdasarkan kategorisasi sosial yang membagi masyarakat Arab Jahili ke dalam kelompok hadlari (perkotaan) dan badawi (nomaden) dan juga komponen kabilah yang terdiri dari abnâ’ al-qabîlah, abd, dan mawâlî, juga klasifikasi syair sebelumnya, maka bisa dipastikan bahwa yang dimaksud dengan syair

254 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Warad; Amîr al-Shâ’alîk, hal., 40-41 255 Ta’abbath Syarran adalah Tsabit ibn Jabir al-Fahmi. Fahm adalah salah satu kabilah keturunan Qais ‘Aylan al-Mudlariyah. Banyak mitos seputar kehidupannya, namun yang pasti ia adalah seorang Arab Badawi dari kelompok Sha’âlîk yang sangat terkenal karena sifat-sifat antagonisnya. 256 Syanfara (diperkirakan hidup pada akhir abad ke-5 hingga awal abad ke-6 Masehi). Namanya adalah Tsâbit ibn Aus al-Azadi yang bergelar al-Syanfara.

85 ghair Sha`âlîk adalah syair-syair yang lahir dari kelompok badawi murni, bukan berasal dari kelompok kerajaan, Sha`âlîk, maupun para penyair kerajaan dan juga penyair filsuf. Biasanya penyair Ghair Sha`âlîk merupakan abnâ’ al-qabîlah (anggota kabilah papan atas). Tim penulis buku al-Mûjaz fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, menyebutkan sebanyak empat orang penyair Badawi Ghair Sha`âlîk, yaitu; al-Muhalhil257, al-Harits ibn Halzah258, Amr ibn Kaltsum259 dan ‘Antarah ibn Syaddad.260 Keempatnya adalah Shâhib al-Mu’allaqât (tokoh syair Mu’allaqah) yang syairnya digantungkan di atas Ka’bah.261 Di antara keempat penyair badawi tersebut, Antarah adalah penyair yang paling terkenal dan memiliki dîwan syair. Antarah262 ibn ‘Amr ibn Syaddâd al-‘Abasi adalah seorang panglima perang dan penyair Arab yang sangat terkenal. Lahir di Najed. Ayahnya, adalah salah seorang tetua Bani Abas263, sedangkan ibunya seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habasyah bernama Zabibah. Karena itu ‘Antarah memiliki kulit hitam legam seperti ibunya, sehingga ia dijuluki dengan “aghrabah al- arab’ (burung Jalak dari Arab).264

257 Al-Muhalhil (wafat sekitar tahun 531 M), ia adalah ‘Addi ibn Rabî’ah al-Taghlibi, paman dari Umru al-Qais. Ia dijuluki dengan al-Muhalhil karena syair-syairnya dianggap mudah. Selain al-Muhalhil, julukan lain yang diberikan untuknya adalah al-Zir (orang yang lancung dan banyak berbuat maksiat), karena hobinya yang berlebihan bersama perempuan di kedai-kedai minuman. Ia juga terkenal sebagai pahlawan dalam perang Basus yang terjadi antara kabilah Taghlib dan Bakr. 258 Harits ibn Halzah al-Yasykuri al-Bakri diperkirakan wafat pada akhir abad ke 6 M. Diriwayatkan bahwa saat ia mendendangkan syair mu’allaqahnya ia berusia 135 tahun. 259 Ia adalah Abu al-Aswad ‘Amr ibn Kaltsum ibn Malik al-Taghlibi. Ibunya Lalila binti al- Muhalhil saudara dari Kulaib. Ia adalah salah seorang panglima perang dan termasuk pemuka kabilah yang disegani. Ia diperkirakan wafat pada tahun 600 M di usianya yang ke-150. 260 Lajnah (tim penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 80 261 Keempat penyair tersebut dapat dilihat dalam Syarah al-Mu’allaqat al-Sab’ yang ditulis oleh Ibn `Abdillah al-Husein al-Zauzani, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1985 M) seperti ia menyebutkan (ة) Sebagian orang menyebutnya dengan Antara tanpa ta marbuthah 262 .lebih valid (ة) dirinya dalam syair, namun mayoritas menyatakan bahwa menggunakan ta marbuthah 263 Bani Abas merupakan salah satu kabilah yang sangat disegani di Jazirah Arab. Di kabilah inilah Antarah dilahirkan dan dibesarkan. Bani Abas adalah saudara dari bani Dzubyan kabilah dari penyair Arab terkenal al-Nabighah al-Dzubyani. Keduanya adalah keturunan dari Bani Ghathfan ibn Sa’ad ibn Qais ‘Ailân. Qais ‘Ailan adalah suku kedua dari kabilah Mudhar yang sangat besar. (Muhammad Ali al-shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ru, (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiya, 1411 H/ 1990 M), hal. 45 264 Lajnah (tim penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 97, lih. Juga Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ruhu, hal.

86 Dalam dunia sastra, Antarah termasuk dalam jajaran penyair Badawi yang sangat terkenal dan disegani. Syair-syairnya banyak berbicara tentang hamasah (spirit dalam berperang), fakhr, peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan ghazl yang menceritakan penderitaannya dalam bercinta yang sangat halus. Syair-syairnya banyak yang menjadi syair Mu’allaqah. Pada masa Jahiliyah, keberadaan penyair Istana merupakan suatu keharusan. Bagi sebagian penyair Jahiliyah, komersialisasi syair (al-takassub bi al-syi’r) dan kehidupan mewah dalam istana (al-bilâth) adalah keuntungan lain yang dapat diperoleh dari kemahiran mereka dalam menggubah syair. Hal ini terjadi, karena tingginya nilai jual syair dalam tradisi dan budaya bangsa Arab Jahili. Syair pada saat itu dianggap mampu menunjukkan kehebatan dan kewibawaan para raja, sekaligus menjadi alat propaganda dan media diplomasi kerajaan. Damai atau perang, maju atau mundur, kalah atau menang, semuanya tergantung dari kehebatan para penyair. Kebutuhan akan adanya penyair dalam setiap kabilah, adalah suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian penyair untuk mengais rizki dari kepandaian mereka dalam bersyair. Adanya hubungan komersialisme antara penyair dan para pejabat kerajaan, sebagian penyair memilih syair sebagai profesi yang menjanjikan.265 Sebanyak lima nama disebutkan oleh tim penulis al-Mûjaz fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, yaitu Tharfah ibn al-‘Abd266, ‘Ubeid ibn al-Abrash267, al-Nâbighah al-

50, atau Abd. Al-Mun’im Abd. Al-Ra’uf Sulma dan Ibrahim al-Ibyari, Syarh Dîwan Antarah ibn Syaddâd, (Libanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1400 H/1980 M), hal. tha 265 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, hal. 74 266 Nama aslinya adalah ‘Amr ibn al-‘Abd al-Bakri. Lahir di Bahrain, keturunan dari kabilah Bakr ibn Wâ’il dari Rabî’ah. Tharfah merupakan penyair andalan kabilah Rabî’ah. 267 ‘Ubeid ibn al-Abrash al-Asadi, sebagai penyair istana, semasa hidupnya ia hilir mudik antara istana Hujr al-Kindi ayah Umru al-Qais dan istana kerajaan Hirah. Ia mati terbunuh sekitar tahun 554 M oleh al-Mundzir ibn Mâ’ al-Samâ’ pada saat perang Bu’sah.

87 Dzubyâni, al-A’syâ al-Akbar268, dan al-Huthai’ah269.270 Secara kuantitatif jumlah penyair istana yang disebutkan relative lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok penyair lainnya. Al-Nâbighah al-Dzubyâni adalah penyair yang sangat terkenal dalam kelompok ini. Nama lengkapnya Abu Umâmah Ziyâd ibn Mu’âwiyah al-Dzubyânî atau dikenal dengan nama al-Nâbighah al-Dzubyânî, seorang penyair dari kabilah Dzubyân271 yang menghabiskan hidupnya dengan mondar mandir antara kabilahnya dan dua istana kerajaan, Hîrah dan Ghassan. Memiliki penampilan yang menawan, cerdas dan berbakat. Ia adalah salah seorang penyair yang diuntungkan akibat terjadinya pertikaian yang berkepanjangan antara kerajaan Hirah dan Gassan.272 Syair-syair al-Nabighah terkenal sangat elegan dan indah, bahasa yang padat berisi, dan tidak banyak takalluf (dipaksakan). Syair-syairnya merupakan cermin dari perjalanan hidupnya. Di kalangan para penyair, syair i’tidzâr273 al-Nâbighah sangat terkenal dan dianggap tidak ada yang menyamainya. Selain itu ia juga terkenal dengan syair washfnya.274 Demikian sekilas tentang gambaran penyair istana dan penyair komersil. Kategori yang erat hubungannya dengan kajian ini sebenarnya ada pada kategori penyair filsuf (hikmah) dan penyair madzhab (religi). Di dalam syair Jahiliyah, ada dua 268 Al-A’sya al-Akbar, nama lengkapnya adalah Abu Bushair Maimun ibn Qais al-Bikri yang lebih dikenal dengan julukan al-A’sya. Ia lahir di sebuah kampung kecil di Yamamah. Masa remajanya ia habiskan untuk bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Al-A’sya adalah penyair yang memiliki diwan syair yang banyak di samping al-Nabighah al-Dzubyani. Ia juga salah seorang dari al-Sab’ al-Mu’allaqat. 269 Nama lengkapnya Abû Malîkah Jarwal, lebih dikenal dengan julukan al-Huthai’ah. Ia merupakan keturunan dari kabilah Abas. Lahir dari seorang budak perempuan bernama al-Dlarra, sehingga ia akhirnya menjadi seorang budak pula. 270 Keterangan lengkap tentang para penyair, lih. Lajnah (tim penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al- Arabi wa Târikhihi, hal. 127-171 271 Kabilah Dzubyân merupakan turunan dari kabilah Qais, dan Qais adalah turunan dari kabilah Mudlar. 272 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dar al-Ma’arif, 1962), hal. 143 273 Syair i’tidzâr adalah salah satu jenis syair yang digunakan untuk memohon pengampunan dan maaf seseorang. Di dalam syair Jahili, corak ini tidak terlalu disukai, karena menunjukkan kelemahan dan kekurangan seseorang, sehingga tidak sesuai dengan watak bangsa Arab yang keras. Satu-satunya penyair yang memiliki banyak syair i;tidzar adalah al-Nâbighah al-Dzubyâni saat ia memohon pengampunan pada al-Nu’mân al-Mundzir. Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al- Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 67 274 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 79

88 nama yang biasanya dikategorikan sebagai penyair hikmah, yaitu Zuhair ibn Abî Sulmâ dan Labîda ibn Rabî’ah al-‘Âmirî275. Di antara keduanya yang paling terkenal adalah Zuhair ibn Abi Sulma. Sedangkan pada penyair madzhab (penyair religi)276, ada tiga nama yang disebutkan dalam buku tersebut, yaitu; al-Samual277, ‘Iddi ibn Zaid278, dan Umayyah ibn Abi al-Shalt.279 Agar lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan penyair madzhab oleh penulis, sebagai sampel, berikut gambaran salah seorang penyair madzhab, yaitu Umayyah ibn Abi al-Shalt wafat pada tahun 624 M. Umayyah ibn Abi al-Shalt ibn Abi Rabî`ah dari Qais ‘Ailan, seorang penyair Jahiliyah yang banyak mendedikasikan hidupnya untuk mengkaji buku-buku klasik terutama Kitab Taurat. Ia adalah orang yang sangat terbuka terhadap agama, hal itu terbukti pada saat ia melakukan perjalanan niaga ke Syam dan bertemu dengan sejumlah ahli agama, yang menganjurkannya agar menjauhi dunia. Ia akhirnya memilih jalan zuhud (hidup sederhana), mensucikan diri dan mengabdi pada Tuhan. Dalam syair-syairnya ia menyebutkan nama-nama seperti Ibrahim, Isma’il, dan agama hanif, selain itu ia juga menyebutkan hal-hal seperti surga

275 Nama lengkapnya adalah Abu ‘Uqail Labida ibn Rabi’ah al-‘Amiri, satu dari tujuh ashab al-mu’allaqat. Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang terhormat, suka menolong orang yang lemah. Pada saat Islam datang, ia memeluk agama Islam pada tahun 629, lalu pindah ke Kufah dan menghabiskan waktunya di sana hingga akhir hayatnya. 276 Tim penulis al-Mûjaz fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, sebagaimana pada kategorisasi sebelumnya, sama sekali tidak menyebutkan alasan mengapa ada kategorisasi penyair religi. Namun berdasarkan nama-nama yang disebutkan, latar belakang kehidupan mereka, serta contoh-contoh syairnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan penyair madzhab adalah para penyair yang berasal dari kalangan ahli agama, seperti Yahudi Nasrani maupun agama hanîf (Ibrahim). 277 Al-Samual ibn Gharîdl ibn ‘Âdiyâ’, seorang penyair beragama Yahûdi, pemilik kuda pacuan yang diberi nama Ablaq yang sangat terkenal di Taimâ. Ia sangat terkenal dengan sifatnya yang selalu menjaga amanah, sehingga namanya menjadi perumpamaan bagi orang yang selalu menjaga amanah (al- wafa’). Ia wafat sekitar tahun 560 M. al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 191 278 ‘Addi ibn Zaid ibn Hamâd ibn Ayyûb, dari keturunan Zaid Munât ibn Tamîm. Ia seorang penyair yang beragama Nasrani dan tinggal di kerajaan Hirah. Ia sering berhubungan dengan kerajaan Persia dan banyak mempelajari bahasa Persia, sehingga syair-syairnya banyak terkontaminasi bahasa Persia. Untuk itu para ulama bahasa Arab, biasanya tidak menjadikan syair-syair ‘Addi sebagai argumen kebahasaan. al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 195 279 Keterangan lengkap mengenai penyair-penyair tersebut, lih. Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 191-204

89 dan neraka, larangan untuk meminum khamr, meragukan keberadaan berhala-berhala, dan juga rindu akan nubuwwat (kenabian).280 Kategorisasi penyair yang terakhir adalah penyair perempuan. Dalam buku al- Mûjaz ada satu nama penyair perempuan yang disebutkan yaitu al-Khansa. Al-Khansa memang memiliki sebuah dîwan syair, hanya saja ia lebih banyak bercerita tentang kesedihannya saat ditinggalkan kedua saudara laki-laki yang mati terbunuh dalam peperangan. Untuk itu, penulis mengambil beberapa sampel lain yang termuat dalam Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm yang banyak menulis tentang syair-syair perempuan Jahiliyah, seperti Shafiyyah binti Tsa’labah al-Syaibaniyah yang bergelar al-Hujaijah281 (ahli debat), dua bersaudara Jum’ah dan Hindun binti al-Khuss yang juga banyak menggubah syair-syair hikmah, dan tidak kalah penting adalah Aminah binti Abd al-Wahab Ibunda dari Rasulullah saw, dan masih banyak lagi. Berdasarkan kategorisasi tersebut, agar penelitian ini lebih komprehensif dan mendalam, penulis berusaha mengambil sampel dari masing-masing kelompok yang berbeda latar belakang sosialnya dan menjadikan karya mereka sebagai pintu masuk untuk menganalis kehidupan beragama saat itu.

B. Simbol-simbol Agama Dalam Syair Badawi a. Latar Belakang sejarah agama masyarakat Arab Jahiliyah Sebelum Islam lahir, di Jazirah Arab telah berkembang berbagai jenis agama, baik agama asli maupun agama yang berasal dari pengaruh wilayah lain, seperti Yahudi dan Nasrani. Namun demikian, bedasarkan data sejarah, kedua agama tersebut tidak berpengaruh banyak pada sistem kepercayaan bangsa Arab Jahiliyah yang tinggal di Mekah tempat agama Islam lahir. Masyarakat Arab pada masa Jahiliyah mempercayai agama pagan, yakni penyembahan berhala. Kepercayaan asli mereka pada dasarnya adalah gabungan antara pengkultusan nenek moyang, fetisisme, totemisme, dan animisme.282

280 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 201 الحجيجة 281 282 Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Akar dan Awal, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal. 27

90 Fetisisme adalah suatu kepercayaan yang diwujudkan dalam bentuk penyembahan terhadap benda, seperti kayu dan batu. Oleh bangsa Arab, batu diyakini mempunyai kekuatan berupa roh yang menempati batu. Rohlah yang disembah mereka, bukan batunya. Batu dan benda lainnya, hanyalah tempat bersemayam roh. Maka dapat dipahami ketika Aus ibn Hajar dalam syairnya menyebut nama Latta dan Uzza dengan didahului kata Allah: وباللتا والعزى ومن دان دينها وبالله إن الله منهن أكبر283

Demi Latta dan Uzza dan orang yang mempercayainya Demi Allah, sesungguhnya Allah lebih agung dari mereka (berhala-berhala itu) 284

Hal ini membuktikan bahwa pada dasarnya mereka percaya pada kekuatan yang ada dalam batu (berhala-berhala), bukan pada berhala itu sendiri. Fetisisme adalah kepercayaan Arab kuno yang paling banyak berkembang di Jazirah Arab. Selain fetisisme, kepercayaan lain yang juga berkembang di Jazirah Arab kuno adalah totemisme. Totemisme adalah pengkultusan terhadap hewan dan tumbuhan yang dianggap suci. Pengkultusan ini mungkin disebabkan oleh ketergantungan mereka terhadap hewan dan tumbuhan-tumbuhan yang dianggap suci. Oleh karena itu, mereka melarang membunuh, memotong, atau makan daging hewan dan tmbuh-tumbuhan tersebut. Salah satu bentuk pengkultusan mereka terhadap binatang dan tumbuhan, tampak pada pemberian nama Kabilah yang disandarkan pada hewan dan tumbuhan, seperti Bani Asad (keturunan Singa), Bani Fahd (singa), Bani Namir (harimau), Bani Dhabbah (Biawak), Bani Kalb (anjing), Bani Handalah (Timun) dan lain sebagainya.285 Kepercayaan lainnya yang dianut masyarakat Arab Kuno adalah animisme, yakni kepercayaan terhadap roh. Mereka percaya bahwa roh itu ada yang baik dan ada

283 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26 284 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26 285 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Akar dan Awal, hal. 28

91 yang jahat, sehingga baik air, udara, api, kayu, dan lainnya memiliki roh baik dan buruk. Keyakinan lainnya adalah percaya terhadap Jin, bintang, matahari, dan bulan.286 Namun apakah yang digambarkan dalam Ensiklopedi Dunia Islam tersebut, seluruhnya benar dan terbukti dalam syair-syair Jahiliyah, maka perlu sebuah kajian mendalam terhadap syair-syair yang berkembang saat itu. b. Simbol-simbol ketuhanan Dalam syair Jahiliyah Bila di atas, bebicara banyak mengenai kondisi keagamaan dan keyakinan masyarakat Jazirah Arab pada masa Pra Islam, dalam syair-syair Jahiliyah sendiri tidak banyak simbol keagamaan yang bisa kita temukan, padahal sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa syair adalah satu dari tiga bukti sejarah yang tertinggal dari masa pra Islam. Hal ini membuktikan, bahwa kehidupan beragama pada saat itu belum banyak dikenal oleh bangsa Arab. Namun demikian, hal ini bukan berarti bangsa Arab Jahiliyah sama sekali tidak memiliki kepercayaan terhadap wujud supranatural. (الله) Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya ungkapan yang menggunakan kata Allah dalam syair mereka. Menurut ibnu .(أله) dalam bahasa Arab berasal dari kata a-la-ha (الله) Kata Allah ) berarti Allah (الله) al-Manzhur dalam kitab Lisan al-‘Arab disebutkan bahwa al-Ilah dan setiap yang disembah oleh selainnya, maka ia adalah Tuhan bagi ,(الله (اللهة) Dan al-Alihah .(آلهة) adalah alihah (إله) penyembahnya. Jamak dari Ilah Dinamakan demikian, karena .(الصنام) diartikan oleh Ibnu al-Manzhur dengan berhala keyakinan bangsa Arab saat itu, bahwa yang berhak disembah adalah berhala. Nama tersebut mengikuti keyakinan mereka, bukan pada makna yang ada dalam hakekatnya. (ألهانية) Kata Allah menurut Ibnu Atsir diambil dari kata Ilah dari wazan ulhaniyah Kata tersebut .(تح نير) yang berarti tahayyara ,(أله - يأله) dengan asal kata aliha ya’lahu berarti apabila seseorang terjatuh dalam pengagungan Allah atau sifat-sifat ketuhanan sehingga hatinya tidak pernah berpaling (أبغض) lainnya, atau seseorang yang abghadha pada yang lain.287

286 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Akar dan Awal, hal. 28-29 287 Lebih lengkap tentang asal-usul dan makna kata Allah, lih. Ibnu al-Mazhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tth), Jilid, 13, hal. 467-470

92 Dalam syair Jahiliyah, kata Allah cukup banyak ditemukan di hampir setiap kategorisasi sebagaimana disebutkan di atas. Penggunaan lafaz Allah digunakan untuk berbagai konteks, di antaranya: 1. Alat sumpah. Ada beberapa jenis sumpah yang diidhafatkan (disandarkan) pada lafaz Allah, seperti yang terdapat dalam syair Imru al-Qais berikut ini: نظر ظتا إليها والنجوم كأنها مصابيح رهبان تظ نش بب لقنفال Kutatap dia, bintang-bintangpun bagaikan pelita para Rahib yang menerangi mereka yang kembali dari perang نس نموت ظتا إليها بعد ما نام أهلها س ظمون حباب الماء حال على حال

Akupun bangkit menuju padanya, setelah keluarganya terlelap seperti buih air yang semakin meninggi

فقالت سباك الله إنك فاضحى ألس نت السمار والناس أحوالى

Iapun berkata, semoga Allah melemparmu, engkau sungguh memalukan Bukankah engkau salah seorang sumar288, dan orang-orang ada di sekitarku

فقل ظت يمين الله أبرح قاعدا ولو قطعوا رأسى لديك أوصالى

Akupun berkata; Demi Allah aku masih duduk di sini Andai mereka memotong kepalaku, pasti tidak sampai

288 Samar adalah percakapan yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab di malam hari, juga diartikan sebagai tempat melakukan percakapan. Sedangkan Summar adalah orang yang bercakap-cakap dalam kelompok tersebut.

93 حلف ظت لها بالله حلفة فاجر لناموا فما إن من حديث ول صال289

Aku bersumpah padanya layaknya sumpah orang fasiq290 Bahwa mereka semua telah terlelap, dan tak ada seorangpun yang bercakap- cakap dan berdiang291

Dalam syair tersebut, sebanyak tiga kali kata Allah digunakan. Yang pertama diungkapkan oleh seorang tokoh perempuan yang terdapat dalam syair Imru al-Qais yang artinya semoga Allah menjauhkanmu dariku dan سباك الله dalam ungkapannya melemparkanmu. Tokoh perempuan dalam syair tersebut sepertinya tahu betul karakteristik Imru al-Qais yang selalu tergila-gila dan bermain-main dengan perempuan. 292 Untuk itu penyebutan kata Allah dalam ungkapan tersebut pada hakekatnya adalah sebuah wujud kejijikan dan keheranannya akan kenekatan Imru al-Qais dalam mendekati perempuan. Untuk itu, penyebutan kata Allah dalam ungkapan tersebut sepertinya hanyalah retorika percakapan yang biasa mereka gunakan dalam ungkapan- ungkapan hiperbola, tanpa merujuk pada makna metafisik, seperti halnya ungkapan dalam bahasa Inggris oh my God, yang tidak memiliki tendensi pada makna baik atau buruk. Berikutnya, masih dalam syair yang sama, kita menemukan dua ungkapan yang حلف ظت بالله dan يمين الله sumpah yang disandarkan pada kata Allah yaitu ,سباك الله artinya sama-sama sumpah demi Allah. Tidak jauh berbeda dari kata kedua ungkapan inipun hanyalah sebuah retorika bahasa yang tidak memiliki makna spiritual bagi penggunanya, selain untuk meyakinkan lawan bicaranya. Dan hal ini lebih ditegaskan lagi oleh ungkapan penyair sendiri, bahwa sumpahnya tidak lebih dari

289 Musthafa ‘Abd al-Syafi, Diwan Imri al-Qais, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), hal 124-125 290 sumpah yang dilakukan oleh orang fasiq atau orang-orang yang banyak melakukan dosa dan kebohongan, bukan sumpah yang sebenarnya. 291 Berdiang atau menghangatkan tubuh di depan perapian 292 Untuk memahami latar belakang gaya kehidupan Imru al-Qais dapat dilihat pada penjelasan sebelumnya.

94 sumpah seorang keparat yang biasa berdusta dan berbuat dosa. Hal ini berarti, bahwa lafaz Allah dalam syair tersebut, bukanlah sebuah simbol keagungan Tuhan, namun lebih merujuk pada makna budaya berbahasa yang biasa menjadikan kata Allah sebagai media untuk bersumpah. Selain itu, masih banyak lagi syair Imru al-Qais yang menggunakan lafaz Allah sebagai media sumpahnya, seperti yang terdapat dalam syair berikut ini: يا لهف هند إذ خطئن كاهل تالله ل يذهب شيخى باطل

Sungguh engkau rugi hai Hindun293, karena telah menyerang Bani Kahil Demi Tuhan, masa tuaku tidak akan berlalu dengan sia-sia حتى أبير مالكا وكاهل القاتلين الملك الحلحل294

Hingga Raja dari Bani Kahil yang menyerang sang Raja yang mulia295 hancur Bait syair di atas, diungkapkan oleh Imru al-Qais pada saat menyerang Bani (suku) Asad yang menyerang Bani Kinanah. Ketika Bani Asad mengetahui, bahwa Imru al-Qais sangat menginginkan mereka untuk membalaskan dendam, mereka kabur pada malam harinya, sehingga Imru al-Qais tidak menemukan seorang pun di antara mereka. Maka iapun melampiaskan kemarahannya melalui bait syair di atas.296 tallahi) sebagai) تالله Dalam bait syair tersebut, Imru al-Qais menggunakan kata alat sumpah. Ia menggunakan lafaz Allah sebagai alat untuk melampiaskan segala bentuk kekecewaan, kekesalan dan kemarahannya atas semua kenyataan yang tidak diinginkannya. Tuhan dalam hal ini menjadi simbol kemarahan dan kekecewaan

293 Dalam syarah diwan Imri al-Qais dijelaskan bahwa Hindun adalah nama saudara perempuan Imru al-Qais, namun ada juga yang menyatakan bahwa ia adalah istri dari ayahnya. 294 Musthafa ‘Abd al-Syafi, Diwan Imri al-Qais, hal. 136 295 Yang dimaksud denga Al-Halahil (Raja yang mulia nan suci) oleh Imru al-Qais adalah ayanya sendiri. 296 Musthafa ‘Abd al-Syafi, Diwan Imri al-Qais, hal. 136

95 Bentuk sumpah lainnya yang disandarkan pada lafaz Allah adalah kata wallahi ( :sebagaimana yang terdapat dalam syair Antarah berikut ini (واللهل واجهدى فى عدواتى وعنادى أن لت والل ه لم

297 تل ممى ببالى Teruslah memusuhiku dan menentangku Engkau (Ablah) 298 Demi Allah tak akan pernah menyakiti perasaanku

Ada kemiripan antara sumpah yang dibuat oleh Imru al-Qais dengan sumpah yang dibuat oleh Antarah, yaitu kedua-duanya sama-sama menggunakan sumpah atas nama Tuhan untuk meyakinkan perasaan mereka terhadap perempuan. Namun demikian apabila kita merujuk pada latar belakang historis kedua penyair tersebut, maka diketahui perbedaan makna dari kedua sumpah tersebut. Imru al-Qais menggunakan sumpah hanya sebatas retorika sebagai seorang playboy, sedangkan Antarah menjadikan sumpah sebagai wujud kesungguhan perasaannya yang mendalam terhadap kekasihnya. Lepas dari persoalan apakah sumpah atas nama Allah yang dilakukan oleh bangsa Arab pada masa Jahiliyah adalah sebuah bentuk keseriusan tentang apa yang disampaikannya, atau hanya sebatas retorika dalam percakapan, namun demikian kita dapat menyimpulkan bahwa ada 4 bentuk sumpah yang biasa digunakan oleh bangsa يمين الله, Arab pada masa Jahiliyah yang disandarkan pada lafaz Allah, yaitu kata .yang semuanya berarti sumpah demi Allah واللهل dan ,بالله , تالله atau cukup حلف ظت بالله 2. Simbol do’a dan cerca. Selain digunakan untuk bersumpah, lafaz Allah oleh bangsa Arab Jahiliyah juga biasa digunakan dalam retorika bersyair. Lafaz ini ada yang mengandung makna do’a, namun tidak sedikit yang mengandung makna cerca. Artinya lafaz tersebut digunakan tergantung dari niat pembicara. Hal ini tampak dalam beberapa syair di bawah ini:

297 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 136 298 Ungkapan ini ditujukan Antarah untuk seorang gadis yang sangat ia cintai yang bernama ‘Ablah

96 نديمى -رعاك الله- قم غ من لى على كؤوس 299 المنايا من دم ظ حين أشرب Kawanku –semoga Allah menjagamu- bangunlah, bernyanyilah untukku Di atas gelas-gelas kematian dari darah yang kuminum

ألم تعلم -لحاك الله300 - أنى أ نج بم301 إذا لقي ظت ذوى الرماح302 Tidakkah engkau tahu –semoga Allah menghancurkanmu dan melaknatmu- bahwa aku, tak perlu bersenjata saat bertemu dengan mereka yang bersenjata

فقالت -سباك الله- إنك فاضحى ألس نت السمار والناس أحوالى303

Iapun berkata - semoga Allah melemparmu- engkau sungguh memalukan Bukankah engkau salah seorang sumar304, dan orang-orang ada di sekitarku

Pada ketiga syair di atas ada tiga lafaz Allah yang disandarkan pada kata kerja (

Yang pertama diartikan .سباك الله dan ,رعاك الله, لحاك الله yaitu (فعل sebagai (semoga) Allah menjagamu, yang kedua (semoga) Allah menghancurkanmu dan malaknatimu, dan yang ketiga (semoga) Allah menjauhkanmu (dari) dan melemparkanmu. Arti sesungguhnya dari ketiga istilah tersebut, pada dasarnya terlepas

299 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 15 أهللك diartikan dengan لحاك الله Dalam Syarah Diwan ‘Antarah dijelaskan bahwa kata 300 .yang artinya semoga Allah menghancurkanmu dan melaknatimu ولعنه 301 Kata dalam Syarah Diwan ‘Antarah diartikan dengan seseorang yang tanpa senjata saat berperang. Penyair dalam hal ini ingin menegaskan bahwa dirinya adalah seorang pemberani yang tak perlu senjata untuk maju ke medan perang. 302 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 41 303 Musthafa ‘Abd al-Syafi, Diwan Imri al-Qais, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), hal 124-125 304 Samar adalah percakapan yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab di malam hari, juga diartikan sebagai tempat melakukan percakapan. Sedangkan Summar adalah orang yang bercakap-cakap dalam kelompok tersebut.

97 dari kata semoga. Kata ini diartikan oleh penulis dengan menggunakan semoga berdasarkan pada konteks kalimat pada syair tersebut. Dalam struktur tata bahasa Arab ketiga istilah tersebut dikategorikan sebagai al- jumlah al-I’tiradhiyyah yaitu kalimat yang menyelip di antara dua unsur kalimat yang tidak dapat dipisahkan seperti antara subjek dengan predikat, syarat dan jawab, subjek dan objek, dan lain sebagainya. Ketiga ungkapan jumlah I’tiradhiyyah di atas yang di dalamnya terdapat lafaz Allah, oleh para penyair Arab Jahiliyah digunakan sebagai simbol-simbol do’a dan cerca. Artinya bisa dijadikan sebagai simbol do’a dan harapan yang baik untuk lawan bicara atau juga sebagai alat untuk melaknatnya. 3. Simbol keyakinan dan pengakuan akan adanya kekuatan ghaib yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia. Bangsa Arab Jahiliyah memang dikenal sebagai bangsa yang belum banyak tersentuh ajaran-ajaran agama Samawi. Namun demikian, sebagaimana dituliskan oleh para sejarawan muslim, bahwa di antara mereka sudah ada yang menganut suatu keyakinan ilahiyah. Namun demikian, syair-syair di bawah ini bukan berarti sebuah bukti bahwa para penyairnya adalah para penganut agama samawi (wahyu), akan tetapi hal ini membuktikan akan adanya suatu keyakinan pada suatu hal yang ghaib yang mereka panggil dengan nama Allah. Berikut ini beberapa syair إذا كان أمر الله أمر يق ندر فكيف يف نر المرء منه ويحذر

Jika ketentuan Allah itu suatu hal yang pasti Lalu mengapa seseorang harus lari dan takut darinya ومن ذا يردن الموتا أو يدفع المرء منه القضا وض تربته محتومة ليس تعثر305

305 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 82

98 Siapa yang dapat menolak kematian atau menghalangi qadhanya (ketentuannya) Terjadinya adalah sebuah kepastian yang tidak dapat dihindari وكان أج بل الناس قدرا وقد غدا أج نل قتيل زار أهل المقابر306

Ajal manusia adalah sebuah takdir Seorang yang terbunuh (pada hakekatnya) mengunjungi kuburan lebih dahulu

Ada dua hal penting dalam bait-bait syair di atas yang menyangkut simbol keagamaan, yaitu istilah qadla dan qadar. Sepertinya penyair paham betul tentang qadla dan qadar sebagaimana diimani oleh kaum muslimin. Penyair dalam syairnya jelas-jelas menyandarkan kepastian akan kematian dengan ketentuan Tuhan, sehingga manusia tidak perlu untuk merasa takut atau menghindar darinya. Qadla secara bahasa berarti menentukan, memutuskan dan memerintahkan sesuatu. Istilah qadla dalam agama Islam didapati dalam dua terma, yakni terma ibadat khususnya di bidang fikih307 dan terma aqidah (keyakinan). Syair di atas terkait erat dengan keyakinan yang ada masyarakat Arab pra Islam, sehingga term Qadla dalam hal ini lebih pada makna akidah. Yang dimaksud dengan qadla dalam akidah keagamaan adalah ketentuan Tuhan. Kata ini menurut Ensiklopedi Aqidah Islam, sering digandengkan dengan kata qadar atau lebih popular dengan kata takdir.308 Berdasarkan pada makna qadha tersebut, maka makna qadar sebenarnya merupakan sinonim dari kata qadha. Namun demikian, dalam aqidah Islam kedua istilah tersebut dibedakan, qadha adalah keputusan Tuhan dan ketetapannya, yang berarti manusia tidak punya harapan untuk campur tangan di dalamnya. Sedangkan qadar atau takdir adalah rencana atau keadaan yang dikehendaki Allah kepada umat manusia. Sehingga qadha adalah sebuah istilah yang dimaksudkan untuk ketentuan

306 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 84 307 Salah satu ibadah yang menggunakan terma qadha dalam fikih adalah puasa. 308 Tim penyusun, Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution (Editor), Ensiklopedi Aqidah Islam, (Jakarta: Kencana: 2003), hal. 325

99 Tuhan yang tidak akan berubah, sedangkan qadar adalah ketentuan Tuhan yang sewaktu-waktu dapat berubah. Merujuk pada apa yang dijelaskan dalam Ensiklopedi tersebut, maka dalam syair di atas tampak jelas penggunaan kata qadla, qadar, dan yuqaddir yang bergandengan antara satu dengan yang lainnya, merujuk pada kata al-maut (kematian) dan ajal al-nas (ajal manusia). Kedua kata ini kemudian ditegaskan dalam bait yang yang berarti sesuatu yang dipastikan. Hal ini محتومــة lainnya dengan kata membuktikan bahwa keyakinan akan adanya ketentuan dari yang Maha Kuasa (Tuhan) telah ada sejak masa sebelum Islam datang. Namun demikian, baik pemahaman terhadap qadha maupun qadar dalam syair tersebut adalah sama, belum pada makna seperti yang dipahami dalam aqidah Islam. Dalam syair di atas, kematian manusia (maut atau ajal) merupakan qadha sekaligus qadar Tuhan. Namun, demikian ada hal penting yang perlu dicermati, berdasarkan latar belakang kehidupan penyair, Antarah ibn Abi Syadad, meskipun Ayahnya tetua Bani Abas309 seorang Arab tulen, namun ibunya yang bernama Zabibah seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habasyah. Dan dari fakta sejarah, Habasyah (sekarang Ethopia) saat itu sudah memeluk agama Nasarani. Sehingga bukan suatu hal yang mustahil, jika kemudian anaknya diajarkan nilai-nilai agama Nasrani oleh ibunya, meskipun kemudian tidak menjadikannya sebagai penganut agama Nasrani, namun nilai-nilai kristiani pada dasarnya telah sampai pada sebagian masyarakat Arab Badawi. Hal ini tampak dalam syair-syair lainnya, seperti: لله د نر بنى عب ظس لقد نسلوا من الكارم ما قد تن ظسل العرب Kabilah Bani Abas adalah milik Allah, terlahir

309 Bani Abas merupakan salah satu kabilah yang sangat disegani di Jazirah Arab. Di kabilah inilah Antarah dilahirkan dan dibesarkan. Bani Abas adalah saudara dari bani Dzubyan kabilah dari penyair Arab terkenal al-Nabighah al-Dzubyani. Keduanya adalah keturunan dari Bani Ghathfan ibn Sa’ad ibn Qais ‘Ailân. Qais ‘Ailan adalah suku kedua dari kabilah Mudhar yang sangat besar. (Muhammad Ali al-shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ru, (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiya, 1411 H/ 1990 M), hal. 45

100 dari orang-orang mulia yang darinya bangsa Arab lahir

لئن يعيبوا سوادى فهو لى نسب يوم النزا لل إذا ما فاتنى النسب310

Jika mereka menghina kehitamanku, aku ini punya nasab Saat aku dilahirkan, meskipun nasab itu meninggalkanku311 ل نى فل تكفر ال ظنعمى واث لن بفضلها ول تأمنن تن ما يحدث الله فى غد

Janganlah kamu mengingkari nikmat, tapi syukurilah Dan janganlah kamu berharap pada apa yang akan Allah berikan esok hari فإن يك عبد الله لقى فوارسا يردون خال العارض المتوقد312

Jika seorang hamba Allah bertemu dengan pasukan perang Mempertahankan bendera pasukan simbol semangat

Makna pada bait syair di atas, pada hakekatnya adalah sama dengan ajaran Islam yang menyuruh manusia untuk selalu mensyukuri nikmat yang dianugerahkan pada mereka dan tidak mengingkarinya, sebab dengan itu seseorang tidak berfikir tentang apa yang akan Tuhan berikan esok hari. Pada bait selanjutnya, Antarah lebih menegaskan keyakinannya dengan menamakan dan mengibaratkan dirinya sebagai abdullah yang berarti hamba Allah, dan hal ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang meyakini akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan.

310 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 10 311 Antarah Ibn Syadad meski dilahirkan dari seorang ayah yang asli keturunan Arab, namun ibunya adalah seorang budak yang berkulit hitam yang diimpor dari Habasyah. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka ketika ia diejek sebagai seorang kulit hitam yang juga konotasinya adalah budak, ia membalas ejekan tersebut dengan menyebutkan asal usul keturunannya yang dianggap oleh bangsa Arab sebagai kabilah yang terhormat yakni Bani Abbas. Lebih jelas lagi lihat biografi antarah sebelumnya. 312 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 46

101 Bila dalam Ensiklopedi Islam Indonesia disebutkan empat (4) unsur penting dalam agama, yaitu: 5. Pengakuan bahwa ada kekuatan ghaib yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia. 6. Keyakinan bahwa keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya hubungan baik antara manusia dengan kekuatan ghaib itu. 7. Sikap emosional pada hati manusia terhadap kekuatan ghaib itu, seperti sikap takut, hormat, cinta, penuh harapan, pasrah, dan lain-lain. 8. Tingkah laku tertentu yang dapat diamati seperti shalat, sembahyang, doa, puasa, suka menolong, tidak korupsi dan lain-lain, sebagai buah dari tiga unsur pertama. Maka sesungguhnya sebagian dari masyarakat Arab pada masa Jahiliyah baru sampai pada tahapan yang ketiga, yakni timbulnya sikap emosional pada hati mereka terhadap kekuatan ghaib itu, seperti sikap takut, hormat, cinta, penuh harapan, pasrah, dan lain-lain. Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia, tiga unsur pertama itu merupakan jiwa agama, sedangkan unsur keempat pada dasarnya merupakan bentuk lahiriahnya.313 Bentuk keempat ini pada dasarnya hanya bisa dilakukan bila wahyu telah sampai pada manusia. Salah satu contoh sikap emosional yang ada pada hati manusia terhadap kekuatan ghaib sebagaimana diungkapkan oleh Antarah dalam syairnya: إلى الله أشكو جور قومى وظلمهم إذ لم

314 أجد خل ن على البعد يعضد

Kuadukan semua perlakuan jahat kaumku pada Tuhan Tak kutemukan seorang pun teman yang dapat menolong

313 Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 63 314 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 74

102 pada Allah aku mengadu) yang dilontarkan) إلى الله أشكو Pernyataannya penyair adalah suatu simbol kelemahan yang dimiliki manusia, dan juga simbol akan kebutuhan pada sesuatu yang gaib yang dapat menolongnya dan memberinya kekuatan yang tidak dapat diberikan oleh manusia. Dalam syair Antarah, sangat jelas kalau penyair merasa sangat lemah dan butuh terhadap kekuatan gaib atas segala persoalan yang ia hadapi dan ia merasa bahwa hanya kekuatan gaib yang ia seru yang dapat merasakan penderitaannya. Menurut Harun Nasution dalam bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekuatan ghaib adalah kondisi manusia yang merasa lemah dan butuh pada kekuatan gaib sebagai tempat meminta tolong. Oleh karena itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik itu dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib tersebut.315 Bangsa Arab Jahiliyah sebagaimana tersirat dalam syair tersebut, tampaknya baru sampai pada tahapan lemah dan butuh pada kekuatan gaib, namun belum sampai pada tahap mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut yang diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib tersebut, karena wahyu pada hakikatnya belum sampai pada mereka. 4. Alat pujian dan simbol-simbol agama Samawi Selain digunakan untuk bersumpah, berdoa, dan juga mencerca, lafaz Allah dalam syair Jahiliyah juga dijadikan sebagai alat untuk memuji seseorang. Sebagai contoh syair yang digubah oleh al-Nabighah al-Dzubyani berikut ini: فتلك تبلغنى النعمان، إن له فضل على الناس فى الدنى وفى البعد

Semua itu telah sampai kepadaku, bahwa yang Mulia (raja) punya keistimewaan di banding manusia lainnya, (di kalangan) dekat maupun jauh

315 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1985), hal. 11

103 ول أرى فاعل فى الناس يشبهه ول أحاشى من القوام من أحد Dan aku tidak menemukan seorang pun yang menyamainya Dari kaum manapun tanpa kecuali إل سليمان إذ قال الله له قم فى البرية فأحددها عن الفند

Selain Nabi Sulaiman, saat Tuhan bersabda padanya Jadilah pemimpin manusia, maka Aku jauhkan meraka dari kufur nikmat

وخيس الجن! إنى أذنت لهم يبنون تدمر بالصفاح والعمد

Tundukkankah jin! Telah Kuijinkan mereka membangun Tadmur dengan Dengan rusuk dan tiang316

فمن أطاعك فانفعه بطاعته كما أطاعك وادلـ تلــــه على الرشد

Siapa yang taat padamu, manfaatkanlah ketaatannya Dan tunjukkanlah ia pada jalan kebenaran ومن عصاك فعاقبه معاقبة تنهى الظلوم ول تقعد على ضمد317

Dan bagi yang mendurhakaimu, hukumlah ia dengan hukuman yang Dapat mencegahnya dari berbuat jahat, dan janganlah kamu merendahkan diri

316 Yang dimaksud dengan rusuk di sini adalah batu-batu yang disusun dengan rapid an kokoh layaknya tulang rusuk manusia. 317 ‘Abbas Abd al-Satir (Penghimpun dan pensyarah), Diwan al-Nabighah al-Dzubyani, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), hal. 12-13

104 Jika dianalisis berdasarkan aghrad al-syi’ir (tujuan syair), bait-bait syair al- Nabighah al-Dzubyani di atas jelas dibuat untuk memuji al-Nu’man. 318Maka kata Ilâh (Tuhan) dalam syair tersebut jelas-jelas digunakan sebagai alat untuk memuji penguasa saat itu, meskipun penyair menggunakannya dalam gaya bahasa perumpamaan. Sang penyair mengumpamakan al-Nu’man (Sang raja) dengan Nabi Sulaiman as dengan segala keistimewaan yang diberikan oleh Allah. Selain lafaz Allah, hal lain yang menarik dalam bait-bait syair di atas adalah kisah tentang Nabi Sulaiman as yang juga banyak disebutkan dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an kisah Nabi Sulaiman as selalu dibahas dengan keistimewaannya sebagai seorang raja yang juga juga mampu menundukkan bangsa Jin. Dan apa yang disampaikan dalam al-Qur’an tentang Nabi Sulaiman as, pada hakekatnya sama dengan apa yang disampaikan al-Nabighah al-Dzubyani penyair Arab Jahiliyah, meskipun ia menceritakannya sebagai perumpamaan bagi al-Nu’man. Berdasarkan hal tersebut, timbul dalam benak kita pertanyaan besar, jika demikian mungkinkah bangsa Arab Jahiliyah itu telah mengenal Tuhan dan juga cerita- cerita tentang kenabian? Jawabannya tidak dapat dijawab secara langsung, namun harus ditelusuri berdasarkan latar belakang penyair itu sendiri. Apakah ia seorang Arab Badawi tulen ataukah bukan. Berdasarkan riwayat hidup al-Nabighah al-Dzubyani sebelumnya, diketahui bahwa ia termasuk ke dalam kategori penyair kerajaan yang kehidupannya ia habiskan untuk mondar-mandir antara dua kerajaan besar yaitu Hîrah dan Ghassan. Menurut para sejarawan, sebagian dari raja Hirah memeluk agama Nasrani. Dan Ghassan menurut para sejarawan adalah pintu masuk agama Kristiani di Jazirah Arab.319 Berdasarkan hal tersebut, bukanlah suatu hal yang mustahil bila ternyata al-Nabighah al-Dzubayani banyak mengenal ajaran-ajaran Nasrani, meskipun ia tidak menobatkan dirinya sebagai seorang penganut agama Nasrani, namun ia banyak bergaul dengan para penganut agama Nasrani terutama di kalangan pembesar kerajaan. Dan sebagai seorang penyair komersil, ia harus benar-benar memahami apa yang diinginkan

318 Al-Nu’man adalah gelar raja pada kerajaan Hirah di zaman Pra Islam. 319 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 31

105 oleh para penguasa saat itu, sehingga ketika ia menggubah syairnya, mengenai sasaran dengan tepat. Syair lainnya yang menggunakan lafaz Allah sebagai alat pujian, tampak dalam bait-bait berikut ini: ألم تر أن الله أعطاك سورة ترى ك نل ملك دونها يتذبذب

Tidakkah engkau menyadari bahwa Allah telah memberimu kekuasaan Dengan itu engkau melihat setiap raja di bawah kekuasaanmu terguncang

فإنك شمس والملوك كواكب إذا طلع تت لم يبد منهن كوكب320

Engkau itu ibarat matahari, dan raja-raja itu adalah bintang Jika matahari muncul, maka tak satupun bintang yang tampak لهم شيمة لم يعطها الله غيرهم من الجود والحلم غير عوازب

Mereka memiliki sifat mulia yang tidak dimiliki orang lain Kedermawan dan kecerdasan مجلتهم ذاتا الله ودينهم قويم فما يرجون غير العواقب321

Kitab sucinya berasal dari Tuhan dan agama mereka Lurus, dan mereka tidak berharap selain pahala

Pada bait syair yang pertama dan kedua, lafaz Allah jelas digunakan oleh penyair sebagai alat untuk memuji penguasa. Namun pada bait keempat yaitu: 320 ‘Abbas Abd al-Satir (Penghimpun dan pensyarah), Diwan al-Nabighah al-Dzubyani, hal. 27-28 321 Diwan al-Nabighah al-Dzubyani, hal. 32

106 مجلتهم ذاتا الله ودينهم قويم فما يرجون غير العواقب322

Kitab sucinya berasal dari Tuhan dan agama mereka Lurus, dan mereka tidak berharap selain balasan

Tampak dalam bait tersebut istilah tertentu yang menunjuk pada sebuah simbol keagamaan. Kata majallah dalam syair tersebut dalam syarah diwan al-Nabighah dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah kitab suci para penguasa. Dan sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa para penguasa tempat al-Nabighah mencari nafkah beragamakan Nasrani. Meskipun dalam syair tersebut, entah dengan alasan apa tidak disebutkan secara jelas kitab sucinya, namun mengisyaratkan bahwa ada kitab suci yang dianut oleh bangsa Arab Jahiliyah terutama kaum Nasrani. Simbol agama lainnya adalah kata din yang berarti keyakinan atau agama yang dianut. Hal penting yang patut dicermati adalah baik pada penyebutan majallah (kitab suci) maupun din (agama), penyair menggabungkannya dengan dhamir (kata ganti yang artinya mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Sang penyair dalam hal هم (orang ini al-Nabighah menganut keyakinan di luar keyakinan yang dianut oleh para penguasa di mana ia berada, atau dengan kata lain ia bukanlah seorang Nasrani, namun demi kepentingan profesi ia banyak mengenal ajaran Nasrani. yang kami العواقب Dalam syair yang sama, penyair juga menyebutkan kata adalah العواقب artikan dengan balasan atau pahala. Bentuk tunggal dari kata yang artinya akibat atau balasan dari suatu perbuatan. Dalam syair tersebut عاقبة dinyatakan bahwa mereka tidak mengharapkan selain pahala. Konotasi dari ungkapan tersebut adalah mereka dalam melakukan segala hal hanya dilandasi oleh keyakinan pada sang Maha kuasa (Allah) dan hanya mengharap balasan dariNya. Dan keyakinan ini hanya ada pada penganut agama Samawi, atau dalam hal ini lebih tepatnya penganut

322 Diwan al-Nabighah al-Dzubyani, hal. 32

107 agama Kristiani yang sudah meyakini akan adanya Tuhan melalui wahyu yang dalam syair tersebut diistilahkan dengan kata majallah. Dan masih banyak lagi syair-syair al- Nabighah yang menyebutkan lafaz Allah di dalamnya. Dan hampir semua lafaz Allah yang ia sebutkan dalam syairnya berhubungan dengan keyakinan para penguasa atau raja-raja di sekitarnya, yaitu raja-raja dari kerajaan Hirah dan Gassaniah yang menurut para sejarawan beragama Nasrani. Di dalam syair-syairnya, al-Nabighah tidak pernah menisbatkan kata Allah untuk keyakinannya sendiri, melainkan selalu dirangkai dengan ungkapan-ungkapan lain terutama pujian untuk para pembesar kerajaan. Itulah beberapa ungkapan syair tentang ketuhanan yang ada pada masa Jahiliyah yang di dalamnya menggunakan lafaz Allah.

Selain kata Allah, kata lainnya yang terkait dengan keyakinan pada masa

Namun apakah kata ini sebagaimana diyakini oleh .(ر نب) Jahiliyah adalah kata rabb kaum Muslimin berarti sama dengan Tuhan, ataukah pada masa Jahiliyah memiliki konotasi lain, atau menjadi simbol selain symbol Tuhan. (الله) oleh Ibnu Manzhur diartikan sebagai Allah SWT (ر نب) Kata Rabb pemiliknya, memiliki sifat memiliki terhadap seluruh ciptaannya, tidak ada sekutu (الر نب) Kata Rabb khusus bagi Allah, namun kata al-Rabb .الله baginya, dan dia adalah tanpa alif dan lam digunakan untuk selain Allah. Pada masa Jahiliyah istilah ini sering digunakan untuk Raja atau para pembesar lainnya.323 Berikut ini beberapa syair yang menggunakan kata rabb di dalamnya: سجدتا تعظم ربها فتمايلت لجللها أربابنا العظماء324

Ia (Ablah)325 bersujud mengagungkan Tuhannya, dan karena keaggunannya itu para penguasa kami yang agung berpaling

323 Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, hal. 398-399 324 ‘Abdul al-Mun’im ‘Abd al-Rauf Syulma (Tahqiq) dan Ibrahim al-Abyari, Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 6 325 Ablah adalah nama perempuan yang sangat dicintai oleh Antarah ibnu Abi Syaddad

108 Dalam syair tersebut kata rabb disebutkan sebanyak dua kali, yang pertama dalam bentuk mufrad (tunggal) yaitu kata rabb sendiri, dan yang kedua dalam bentuk jamak yaitu kata arbâb. Dalam kamus bahasa Arab, kata rabb diartikan dengan pemilik atau penguasa. Untuk itu dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa Allah adalah penguasa sekalian alam (rabb al-‘Alamin). Dalam syair di atas, kata rabb dalam bentuk tunggal diartikan dengan Tuhan, hal ini berdasarkan pada konteks kalimat yang menyertainya yaitu kata sajadat yang artinya bersujud. Dalam bentuk jamak kami artikan sebagai makna aslinya yaitu para penguasa, hal ini terkait dengan keanggunan atau kecantikan yang dimiliki oleh Ablah, perempuan yang ada dalam syair tersebut sebagaimana digambarkan oleh penyair. Dalam syair berikutnya tampak makna rabb yang sesungguhnya: إذا كن نت ر نبا للنقلوص ل تدعت رفيقك يمشى 326 خلفها غير راكب

Jika kamu mengaku sebagai pemilik unta tersebut Jangan biarkan kawanmu berjalan di belakangmu, tanpa ikut mengendarainya

Dalam masyarakat Arab Jahiliyah, Hatim al-Tha’i dikenal sebagai pribadi yang sangat dermawan dan memiliki rasa solidaritas yang sangat tinggi. Hal ini lahir dari latar belakang kehidupannya sebagai seorang sha’alik. Ia tidak membedakan antara yang kaya dengan yang miskin. Hal ini tampak pada syairnya di atas, yang melarang seseorang mengendarai kendaraannya (unta), sedangkan orang lain berjalan di belakangnya dengan kelelahan. Kata rabb di atas jelas-jelas mengandung makna pemilik sesuatu yang dalam hal ini adalah pemilik unta yang masih muda dan kuat (al- qalûsh). Kata rabb yang terkait erat dengan makna ketuhanan tampak dalam bait-bait syair berikut ini:

326 Diwan Hatim al-Tha’i, hal. 9

109 إلههم ربى وربى إلههم فأقسم ظت ل أرسو ول أتم نعد327 Tuhan mereka adalah Tuhanku, juga Tuhanku adalah Tuhan mereka Untuk itu aku bersumpah akan tetap seperti ini dan tidak akan memakai pakaian khusus ور نب عليه الله أحسن صنعه وكان له على البرية ناصرا328 Allah memelihara ciptaan terbaikNya Dan Dia adalah penolong bagi manusia

Kata rabb dalam kedua bait syair di atas terkait erat dengan simbol keyakinan terhadap Tuhan. Pada bait pertama kata rabb disandingkan dengan kata ilah. Dalam syair tersebut, penyair menyampaikan keyakinannya bahwa manusia di mata Tuhan adalah sama. Untuk itu, ia tidak akan memperlakukan seseorang secara khusus dengan berpenampilan di luar kebiasaannya. Pada bait pertama, kata rabb sudah memiliki makna khusus yaitu sama dengan ilâh (Tuhan), dan pada bait kedua, kata rabb terkait erat dengan fungsi ketuhanan yaitu menjaga, memelihara, dan menolong makhlukNya. Makna dari kata rabb lainnya yang juga digunakan oleh masyarakat Arab Jahiliyah tampak dalam syair berikut ini: نزور يزيد وعبد المسيح وقيسا هم خير أربابها329

Kami mengunjungi Yazid, Abdul Masih, dan Qais Mereka para pemimpin terbaik kami

Dalam syair tersebut, penyair menggunakan kata arbâb sebagai bentuk jamak dari rabb. Makna Arbâb dalam syair tersebut jelas merujuk pada para penguasa yang

327 Diwan Hatim al-Tha’i, hal. 16 328 Diwan al-Nabighah al-Dzubyani, hal.45 dan 48 329 Diwan al-‘A’sya al-Kabir, hal.30

110 disebutkan oleh penyair. Pengagungan yang sangat luar biasa terhadap para penguasa, membuat masyarakat Arab pada masa Jahiliyah banyak menggunakan kata rabb sebagai simbol penguasa yang mengatur kehidupan mereka. Berdasarkan hal tersebut, Allah SWT menegaskan dalam al-Qur’an surat al- Fatihah dengan pernyataaNya: Alhamdulillah Rabb al-Alamin. Bahwa Allahlah pengatur dan penguasa seluruh alam. Ayat tersebut berisikan penegasan Tuhan tentang eksistensiNya. Yang pertama adalah pengakuan mutlak akan namaNya yakni melalui kata Allah, dan yang kedua menegaskan tentang sifat dann fungsinya. Sehingga makna yang tepat adalah segala puji bagi Allah, Penguasa sekalian Alam. Adapun simbol keyakinan lainnya yang dianut oleh bangsa Arab pada masa Jahiliyah adalah kepercayaan pada hal-hal ghaib seperti terdapat dalam fakhr330 Antarah berikut ini: وكم من فارس أضحى بسيفى هشيم الرأس مخضوب اليدين

Berapa banyak prajurit yang kubunuh dengan pedangku Dengan kepala yang remuk dan tangan terpenggal

يحوم عليه عقبان المنايا وتح ظجل حوله غربان بين331

Ia dikelilingi rajawali kematian Dan sekelilingnya berlalu lalang gagak-gagak kematian Dalam syair di atas, terlihat kepercayaan lain dari masyarakat Arab pada masa Jahiliyah, yaitu kepercayaan pada tanda-tanda yang tampak oleh mata yang dalam hal ini kepercayaan pada burung gagak. Burung gagak dalam hal ini diyakini sebagai

330 Fakhr adalah jenis syair yang digubah untuk tujuan membanggakan diri, nasab, keluarga, maupun kabilah, serta sifat-sifat istimewa yang mereka miliki. Di dalam sastra dunia dikenal dengan istilah narsisisme (narcissism), yaitu kekaguman yang berlebihan akan sifat fisik atau watak diri sendiri. Narcissus adalah nama pemuda dalam mitologi Barat klasik yang tertarik sekali pada bayangannya sendiri dalam sebuah kolam. Kamus Istilah Sastra, hal. 54 331 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 172-173

111 symbol kematian bagi seseorang. Kepercayaan seperti ini, sepertinya sama saja dengan kepercayaan yang dianut sebagian masyarakat Indonesia dulu dan sekarang yang tetap percaya pada tanda-tanda atau ramalan-ramalan tentang sesuatu. Selain itu juga, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa bangsa Arab juga meyakini matahari, bintang dan benda-benda lainnya sebagai kekuatan yang disembah. Namun berdasarkan pengamatan terhadap beberapa syair Jahailiyah, tampaknya istilah-istilah syams (matahari), kaukab (planet atau benda angkasa lainnya), nujum (bintang), dan lain-lain yang terdapat dalam syair Jahiliyah, bukanlah sebuah bentuk penyembahan terhadap benda-benda tersebut, namun lebih pada simbol kekaguman pada hal-hal yang dikagumi, seperti perempuan, pemimpin, orang tua, dan lain sebagainya. Sebagai contoh tampak dalam syair al-Nabighah al-Dzubyani berikut ini: فإنك شمس والملوك كواكب إذا طلع تت لم يبد منهن كوكب332

Engkau itu ibarat matahari, dan raja-raja itu adalah bintang Jika matahari muncul, maka tak satupun bintang yang tampak Atau dalam syair Antarah ibn Syaddad berikut ini: م نرتا أوان العيد بين نواهد مثل الشموس لحاظهن ظباء

Di hari raya, ia berlalu di antara gadis-gadis bagai mentari-mentari, kerlingan mereka bagai kijang

وبد تتا فقل ظت البدر ليلة ت نمه فقد ق نلدتت ظه نجو نمها الجوزاء

Ia (Ablah) pun muncul, lalu aku katakan, rembulan saat purnama

332 ‘Abbas Abd al-Satir (Penghimpun dan pensyarah), Diwan al-Nabighah al-Dzubyani, hal. 27-28

112 Bintang kejorapun melingkari bintang-bintangnya

Dalam syair di atas, ada beberapa simbol alam yang disebutkan oleh penyair, yaitu syams (matahari), kaukab (planet), badr (bulan purnama), nujum (bintang-bintang) dan al-jauza (bintang kejora). Kata syams pada syair al-Nabighah digunakan untuk memuji (madh) orang yang dikaguminya yakni al-Nu’mân al-Mundzir raja dari kerajaan Hirah. Ia menggunakan kata syams sebagai perumpamaan (tasybih) orang yang dipujinya. Adapun kata kaukab ia gunakan sebagai perumpamaan bagi raja-raja kecil yang tunduk di bawah kekuasaan al-Nu’man, sehingga ketikan matahari muncul dengan sinarnya yang sangat terang dan kuat, benda-benda angkasa seperti bulan, bintang dan planet lainnya (kaukab) yang semula terlihat, jadi tidak tampak. Pada syair Antarah, kata al-syumûs yang merupakan jamak dari syams adalah simbol perumpamaan dari perempuan-perempuan cantik. Dan al-badr (bulan purnama) adalah simbol dari kekasih hatinya yang bernama Ablah. Oleh karena itu, kata al-badr ia rangkai dengan kata nujûm dan al-jauzâ. Al- jauzâ adalah bintang yang paling terang di antara bintang-bintang yang lainnya atau biasa diterjemahkan dengan bintang kejora. Bintang ini biasanya tampak mencolok dibandingkan dengan bintang-bintang lainnya yang ada di sekitarnya. Semua simbol-simbol alam tersebut oleh penyair dijadikan sebagai perumpamaan bagi perempuan-perempuan cantik yang dikaguminya. Dari contoh-contoh tersebut, maka pendapat yang menyatakan bahwa bangsa Arab pada masa Jahiliyah adalah penyembah matahari, bulan, bintang dan lain sebagainya diragukan, sebab simbol-simbol tersebut lebih banyak digunakan sebagai bentuk kekaguman terhadap sesuatu, dan kagum bukan berarti menyembah. Maka ketika ada nama yang disandarkan pada simbol-simbol tersebut, mungkin saja hanya berupa kekaguman pada benda tersebut karena memberikan manfaat yang sangat luar biasa dalam kehidupan mereka. C. Simbol-simbol Agama dalam Syair Nasrani a. Asal-usul Agama Nasrani di Jazirah Arab Agama Nasrani adalah satu di antara agama yang berkembang pada masa Jahiliyah di Jazirah Arab. Agama Nasrani pertama kali muncul di Palestina pada

113 pertengahan abad ke-1 Masehi. Dari Palestina, agama ini menyebar ke Yunani dan Italia, melalui para penyebar agama. Pada mulanya, penganut agama Nasrani terdiri dari lapisan masyarakat fakir miskin. Kemudian lapisan atas ikut memeluk agama ini, termasuk para pembesar Negara. Salah satu alas an kenapa kaum papa memeluk agama Nasrani adalah karena agama ini mengajarkan kasih dan damai di dalamnya.333 Pada awal abad ke-4 M, imperium Palestina memproklamirkan agama Nasrani sebagai agama resmi Negara. Mulailah agama Nasrani yang semula sebagai agama yang dianut oleh golongan tertindas menjadi institusi yang digunakan oleh kaum imperium untuk bertindak sesuai dengan kemauan mereka atas nama agama.334 Berdasarkan catatan sejarah agama Yahudi masuk ke Jazirah Arab melalui imigrasi dan perdagangan, sedangkan agama Nasrani masuk ke Jazirah Arab melalui misionaris, pedagang dan budak, terutama yang diimpor dari wilayah Binzantium dan Sasaniah. Hal ini terkait erat dengan ambisi imperium Romawi dan Sasaniah untuk melebarkan kekuasaannya ke wilayah Arabia Timur yang pada mulanya terkonsentrasi pada Iran dengan misi untuk menguasai perdagangan sutra. Salah satu upaya yang mereka lakukan agar tercapai misinya adalah dengan cara mengirim para misionaris dan mengirim berbagai bantuan guna mendirikan geraja yang megah seperti yang terdapat di Aden dan Hormuz.335 Pada akhirnya Nasrani menemukan jalan di antara Arabia, Syam dan Irak, sehingga agama ini kemudian muncul di Ghassaniah, Bahra, dan Taghlib. Syam sendiri saat itu berada di bawah kekuasaan Binzantium, dan Nasrani menjadi agama resmi di wilayah tersebut. Untuk itu, penduduk Syam ikut menyebarkan agama Nasrani di kalangan masyarakat yang berada di bawah kekuasaan Binzantium maupun di luar itu. Orang Syam menganut Nasrani yang beraliran Monofizi (Monofisit), yaitu aliran alam (kodrat) yang satu (esa). Aliran ini mengatakan bahwa Isa al-Masih itu esa, dan al- Masih itu sendiri adalah Allah. Di sisi lain, sebagian orang Hirah memeluk aliran al- Nasthuriyah (Nestorian), yang dinisbahkan kepada Nestorius seorang patriakh (kepala 333 Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal. 30 334 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 30 335 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 30

114 agama) untuk wilayah Konstantinopel yang hidup pada tahun 428-451 M. Aliran ini mengatakan bahwa al-Masih adalah dua karakter yang berbeda yang terpisah satu dengan yang lainnya, yang satu karakter Ilahiyah (ketuhanan) dan yang kedua karakter basyariyah (kemanusiaan).336 Menurut para sejarawan, sebagian dari raja Hirah memeluk agama Nasrani, dengan alasan di Hirah terdapat gereja. Di antara penganut agama tersebut adalah Hani bin Qabisyah al-Syaibani, salah seorang pemuka Bani Syaiban. Ia meninggal sebagai penganut Nasrani. Di Irak salah satu penganut agama Nasrani adalah Bani Ajam bin Lujaim dari kabilah Bakr bin Wail. Pemimpin suku ini adalah Handalah bin Tsa’labah bin Sayyar al-Ajali. Agama Nasrani kemudian menyusup ke Jazirah Arabia melalui Syam, Irak, dan Ethiopia melalui misionaris, pedagang, para kafilah baik di darat maupun di laut yang memeluk Nasrani. Di antara tempat yang memungkinkan untuk menjadi jalan ke Arabia adalah Ailah dan Dumat al-Jandal. Mayoritas penduduk Dumat al-Jandal adalah dari Bani Suhun dan Bani Kalb yang mayoritas beragama Nasrani.337 Di Yatsrib yang kemudian dinamakan Madinah, terdapat sejumlah kecil pemeluk agama Yahudi. Mereka terdiri dari Bani Nadhîr, Bani Qainuqâ, dan Bani Quraizhah. Mereka menempati kota Madinah bersama-sama dengan suku Aus dan Khazraj. Hubungan mereka terkadang bersahabat, namun juga terkadang bermusuhan.338 Sedangkan di Mekah terdapat sejumlah besar penganut agama Nasrani, terutama di kalangan budak. Budak-budak ini diimpor dari Ethiopia untuk bekerja bagi kepentingan saudagar Mekah. Di antara penganut Nasrani dari kalangan Mekah ialah sebagian suku quraisy dari Bani Asad bin abdul ‘Uzza. Di Thaif terdapat beberapa orang budak yang menganut agama Nasrani. Di daerah Najed, suku Ta’I dan Kindah tercatat oleh sejarah sebagai pemeluk agama Nasrani. Kemudian agama inipun berhasil masuk ke Yamamah, daerah yang sangat terkenal dengan kemajuan pertanian dan industrinya, juga peradaban penduduknya yang relative tinggi. 339

336 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 31 337 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 31 338 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, hal. 26 339 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 31

115 Salah satu suku yang menempati wilayah Yamamah dan menganut ajaran Nasrani menjelang kedatangan Islam adalah Bani Hanifah. Dalam syair al-A’sya salah seorang penyair pada masa itu disebutkan beberapa bait syair yang mengandung pujian terhadap Hamzah bin Ali al-Hanafi salah seorang pemuka kabilah Bani Hanifah yang juga memeluk agama Nasrani.340 Berdasarkan hal ini, untuk memudahkan proses penelitian tentang simbol- simbol keagamaan pada masa Jahiliyah terutama yang berhubungan dengan ajaran Nasrani, penulis mengambil sampel dari bait-bait syair yang digubah oleh al-A’sya al- Kabir salah seorang penyair Nasrani yang hidup pada masa Jahiliyah menjelang kelahiran agama Islam. Selain al-A’sya, penulis juga memberikan contoh dari syair- syair Hatim al-Tha’I yang meskipun tidak didaulat sebagai penyair Nasrani, namun dari latar belakang sejarahnya, ia banyak mengenal ajaran Nasrani. b. Simbol-simbol agama Nasrani Sebagaimana disebutkan dalam kategorisasi syair Jahiliyah di atas, bahwa pada masa Jahiliyah muncul beberapa penyair madzhab Nasrani341 atau penyair-penyair keagamaan Nasrani, seperti ‘Iddi ibn Zaed dan Umayyah ibn al-Shult. Di samping kedua penyair tersebut, penyair lainnya yang juga dikenal sebagai penganut Nasrani adalah al-A’sya al-Kabir. Bila melihat pada latar belakang kehidupan Al-A’sya al- Kabir342, sebenarnya ia lebih tepat masuk pada katergori penyair kerajaan sebagaimana dikategorikan oleh kitab al-Mujaz. Namun berdasarkan latar belakang agama yang

340 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 31 341 Istilah yang digunakan dalam kitab al-Mujaz fi al-Adab al-‘Arabi; al-Adab al-Jahili, hal. 191 342 Nama lengkapnya Maimun ibnu Qais ibn Jandal ibn Syarahabil ibn ‘Auf ibn Sa’ad ibn Dhabi’ah ibn Qais ibn Tsa’labah. Lahir di sebuah kampung bernama Manfûhah di wilayah Yamamah. Ia dikenal dengan nama al-A’sya sebagai julukannya, karena keterbatasannya dalam penglihatan, hingga pada akhirnya mengalami kebutaan. Gambaran tentang kondisi fisik dirinya ini dapat ditemukan dalam beberapa bait syairnya, seperti: فلس ظت بمبصر شيئا يراهوليس بسامع منى حوارى Aku tidak melihat sesuatupun yang ia lihat Dan ia juga tidak mendengar apa yang saya perbincangkan Atau dalam bait lainnya: رأ تتا رجل غائب الوافديـ ن مختلف الخلق أعشى ضريرا Ia melihat seorang laki-laki yang kehilangan penglihatan Makhluk yang berbeda, A’sya yang buta

116 dianutnya, tidak ada salahnya kalau dalam kajian ini dimasukkan dalam kategori penyair religi. Selain itu, dalam syair-syairnya pun ia banyak menggunakan simbol- simbol keagamaan, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan analisis. Berdasarkan hal tersebut, penulis menganalisis simbol-simbol agama Nasrani yang ada pada masa Jahiliyah berdasarkan pada simbol-simbol yang terdapat dalam syair al-A’sya al-Kabir berikut ini: 1. Simbol-simbol Keyakinan Sebagai penganut agama Kristiani dan juga sebagai penyair kerajaan, merupakan sebuah kewajaran bila al-A’sya memiliki banyak informasi dan juga wawasan yang lebih dari yang lainnya. Sebab sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bagi bangsa Arab penyair dianggap bagai dewa yang tahu segalanya. Hal ini pun tampak pada syair al-A’sya yang banyak berbicara tentang informasi keagamaan yang pernah ada sebelum Nabi Isa diutus. Seperti yang terdapat dalam syair berikut ini: أولن ترى فى الز تبر بيـ ن ة بحسن كتابها Tidakkah kau lihat segala penjelasan yang ada pada kitab Zabur Dengan segala kebaikan Kitabnya

إن القرى يوما ستهـ نلك قبل حقن عذابها Bahwa kota ini suatu hari akan musnah, Sebelum azab yang sebenarnya datang وتصير بعد عمارة يوما لمر خرابها

Lalu (kota) itu yang semula ramai Menjadi hancur أولم ترى حجرا – وأنـ لتا حكيمة ولما بها Tidakkah kamu melihat kota Hijr Dan kamu adalah seorang pemimpin di sana

117 (ال ظز تبر) Pada mashra’343 pertama, penyair dengan jelas menyebutkan kata al-Zubr yang kemudian ia tegaskan dengan mashra’ yang kedua dengan kata Kitab pada ujungnya. Dari rangkaian bait tersebut, makna al-zubr berorientasi pada kitab suci yang dikenal dengan nama Zabur. Zabur sebagaimana yang disebutkan dalam bait syair al- A’sya adalah sebuah nama kitab suci yang diberikan kepada nabi Daud as. Zabur زبن نر-) berasal dari kata zabûr yang diambil dari kata kerja (fi’il) zabara-yazburu-zabr Secara etimologi kata zabur dalam bentuk mufrad (tunggal), berarti kitab .(يز ظبر - ز تبرا tertulis. Jamak dari kata zabur adalah zubur. Dalam al-Qur’an kata zabur dan jamaknya zubur disebutkan pada sembilan ayat, sedangkan yang disebutkan mufradnya saja terdapat dalam tiga ayat.344 Berdasarkan hasil analisa, ayat yang merujuk pada kitab Zabur yang diturunkan Tuhan pada Nabi Daud as, ternyata hanya yang berbentuk mufradnya (tunggal). Sedangkan dalam bentuk zamak, istilah zabur lebih merujuk pada seluruh kitab suci yang diwahyukan pada nabi-nabi terdahulu. Adapun Zabur dengan arti kitab yang diwahyukan kepada Nabi Daud as, dalam bahasa Arab disebut dengan Mazmur dalam bahasa Ibrani disebut .(مزامير) dan jamaknya mazâmîr (مزمور) mazmûr Mizmor, dalam bahasa Suriani disebut Mazmor, dan dalam bahasa Ethiopia disebut mazmûr.345 Berdasarkan hal tersebut, Zabur Nabi Daud as adalah kumpulan mazmur, nyanyian rohani yang dianggap suci346 yang berasal dari Nabi Daud as. Zabur Nabi Daud as berisikan nyanyian rohani yang berkaitan dengan pengalaman hidupnya, dosa- dosanya, kejatuhannya, pengampunan dosanya oleh Allah, sukacita kemenangannya atas musuh Allah, dan kemuliaa Mesiah yang akan datang. Zabur yang merupakan mazmur berisikan lima macam nyanyian, yaitu, nyanyian liturgi untuk memuji Tuhan, nyanyian perorangan sebagai rasa syukur, ratapan-ratapan jemaat, ratapan dan do’a individu, serta nyayian untuk raja.347

343 Bagian pertama dalam bait 344 Nama-nama surat dan ayatnya yang mengandung kata zabur dan jamaknya zubur lihat di Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), jilid. 5, hal. 219 345 Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, hal. 219 346 Kumpulan nyanyian rohani dalam bahasa Inggris disebut dengan Psalms. 347 Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, hal. 219

118 Berdasarkan pada penjelasan di atas, syair di atas menggunakan kata Zabur dalam bentuk tunggal, sehingga makna yang diinginkan lebih dekat pada kitab Zabur yang diturunkan pada Nabi Daud as. Hal ini juga ditegaskan oleh bait berikutnya yang menjelaskan sebagian isi dari kitab Zabur tentang ramalannya terhadap kota –pada bait selanjutnya kota ini disebutkan namanya yaitu Hijr- yang ditempatinya, bahwa kota tersebut suatu hari akan musnah, sebelum azab yang sesungguhnya datang. Artinya kehancuran kota Hijr sudah di ambang pintu yang diakibatkan oleh ulah mereka sendiri, bukan diakibatkan oleh azab yang sudah dijanjikan Tuhan. Berdasarkan hal ini, maka dapat dipastikan bahwa kaum Nasrani pada masa Jahiliyah telah mengenal kitab Zabur, sebagai salah satu kitab suci agama Samawi sebelum agama Nasrani. Penyebutan kata Zabur pada syair tersebut menjadi simbol, bahwa umat Nasrani pada masa Jahiliyah telah mengenal ajaran-ajaran Samawi melalui kitab Zaburnya, penyebutan kitab Zabur dalam syair tersebut juga menunjukkan akan adanya sistem keyakinan terhadap kitab suci yang dianutnya. Hal menarik lainnya dalam rangkaian bait syair di atas adalah disebutkannya kata Hijr, nama sebuah kota yang juga disebutkan dalam al-Qur’an: ولقد ك نذب أصحاب الحجر المرسلين

Dan sungguh, penduduk negeri Hijr itu telah mendustakan para Rasul. Ramalan yang ada dalam kitab Zabur, sebagaimana disebutkan dalam syair al- A’sya tidak jauh berbeda dengan apa yang disebutkan dalam al-Qur’an. Tentang pendustaan kaum Hijr terhadap para utusan Tuhan di negeri tersebut. Penyebutan kata Hijr dalam syair tersebut menjadi simbol akan adanya pengingkaran terhadap ajaran agama yang disampaikan oleh para utusan Tuhan yang dilakukan oleh kaum terdahulu, yang mungkin juga dilakukan oleh kaum setelahnya yang kemudian menjadi penyebab kehancuran suatu bangsa. Hijr adalah simbol pengingkaran manusia masa lalu terhadap Tuhan yang dijelaskan baik dalam kitab Zabur, maupun ayat al-Qur’an. Berita tentang kaum Hijr hanyalah salah satu symbol keyakinan tentang berita masa lalu yang diyakini oleh penyair.

119 2. Peralatan ritus dan upacara Simbol lainnya yang terkait dengan kehidupan beragama kaum Nasrani tampak pada peralatan ritus yang digunakan saat itu. Hal ini tampak pada bait syair berikut ini: إن الثعالب بالضحى يلعب نن فى محرابها Di pagi hari, orang Bani Tsa’labah 348 bermain-main Di mihrabnya فخل لذلك ما خل من وقتها وحسابها349 Untuk itu ia berkhalwat (mengasingkan diri) Menghindar dari saatnya dan hisabnya

Dalam bait syair yang pertama, terdapat kata mihrab, sebuah istilah yang identik dengan tempat beribadat, baik dalam agama Nasrani, Yahudi, maupun Islam. Tempat ini biasanya menjadi arah kiblat dalam beribadah, atau tempat imam berdiri saat memimpin jama’ah. 350 Mihrab dalam syair tersebut merupakan simbol ritus agama Nasrani. Adapun simbol upacara atau tata cara peribadatan penganut agama Nasrani tampak pada syair berikutnya: والجن تعزف حولها كال ظحبش فى محرابها Dan Jin bernyanyi di sekelilingnya Seperti kaum Habasyah di Mihrabnya

Syair ini merupakan lanjutan bait sebelumnya. Pada bait sebelumnya penyair menggambarkan ritual yang dilakukan oleh Bani Tsa’labah di mihrab. Dalam bait ini, tampak penyair menggambarkan situasi ritual di dalam mihrab tersebut, di mana di

348 Kata tsa’alib adalah jamak dari tsa’labah. Dalam bahasa kamus kata ini diartikan dengan kancil, namun selain kata tersebut dalam sejarah bangsa Arab dikenal juga nama Bani Tsa’labah, sebuah nama kabilah yang ada di Jazirah Arab. Arti yang kedua mungkin lebih dekat, penegasan kata ini dapat kita lihat pada bait setelahnya: وجميع ثعلب نة بن سعــد بعد حول قبابها sedangkan semua Bani Tsa’labah, setelah itu Di sekeliling kubah-kubahnya

349 Mahdi Muhammad Nashiruddin (penyusun dan pensyarah), Diwan al-‘A’sya al-Kabir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987 M/1407 H), hal. 16 350 Lois Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, hal. 124-125

120 dalamnya para jin ikut bernyanyi. Namun hal penting dari bait syair tersebut adalah perumpamaan (tasybih) yang digunakan penyair untuk menggambarkan ritual kaum Habasyah yang notabene beragama Nasrani dengan ibadat yang dilakukan oleh para jin yang mungkin kita kenal (تعزف) dari Bani Tsa’labah, yaitu sama-sama menyanyi dengan istilah nyanyian kebaktian. Simbol ritus dan ajaran Nasrani lainnya dapat dilihat dalam syair berikut ini: وجميع ثعلب نة بن سعـ ـد بعد حول قبابها

sedangkan semua Bani Tsa’labah, setelah itu Di sekeliling kubah-kubahnya

من شربها الم نزانء ما اسـ ـتبطن ظت من إشرابها

Sambil meminum khamr (arak) yang aku sendiri Tak ingin meminumnya351

وعلم ظت أن الله عمـ ـدا ح نسها وأرى بها352 Sebab aku tahu bahwa Allah telah dengan sengaja menetapkan hina (najis) pada arak itu

Selain kata Mihrab, simbol peralatan ritual lainnya yang juga ada hubungannya dengan mihrab adalah kata qibbab yang merupakan jamak dari qubbah. Dalam kamus kata tersebut diartikan dengan kata yang sama yaitu kubah, sebuah atap bangunan berbentuk bundar dan melengkung. Berdasarkan syair di atas, kubah ini dijadikan sebagai tempat berkumpul masyarakat Arab saat itu, sambil berpesta minuman arak.

351 Kandungannya syair ini sangat bertentangan dengan kebiasaan al-A’sya yang menurut beberapa riwayat adalah orang yang gemar mabuk. Hal ini bisa dipahami, karena ia adalah seorang penyair kerajaan yang banyak bergaul dengan kalangan atas yang menjadikan minum arak sebagai sebuah tradisi. Namun demikian, syair di atas bisa dipahami bila berbicara berbicara dalam konteks agama yang melarang umatnya untuk meminum arak. 352 Diwan al-‘A’sya al-Kabir, hal. 18-19

121 Berkaitan dengan minum arak, penyair sebagai penganut agama Nasrani dengan tegas menyatakan bahwa ia sendiri tidak meminumnya. Alasan ketidakikutsertaan penyair dalam minum arak sangat jelas termaktub dalam syairnya, “Sebab aku tahu bahwa Allah telah dengan sengaja menetapkan hina (najis) pada arak itu”. Landasan keyakinan akan agama yang dianutnya jelas menjadi alasan penyair untuk tidak meminum arak. Ungkapan ini juga menjadi simbol salah satu ajaran Nasrani yang mengharamkan umatnya untuk meminum minuman keras yang dalam syair disebut

.(شرب الم نزانء ) dengan istilah syurb al-muza وردتا على سعيد بن قيـ س ناقتى ولما بها

Untaku datang pada Sa’id bin Qais Dengan segala tujuannya353 فإذا عبيد عك ن ةف مسك على أنصابها

Tiba-tiba seorang ahli ibadah (pendeta) melarang memberikan apapun pada berhala-berhalanya

Pada bait-bait syair di atas terdapat banyak simbol keagamaan nasrani, baik yang bersifat materi maupun dalam bentuk ajaran agama. Sebagai contoh pada bait

Keduanya .(عكف) yang dirangkai dengan ‘ukkaf (عبيد) pertama terdapat kata ‘abîd menunjukkan simbol keagamaan, sebab ‘abid bila diartikan adalah seorang ahli ibadah atau dalam agama Nasarani lebih tepatnya pendeta. Kata ‘ukkaf diambil dari suku kata ‘a-ka-fa yang artinya beri’tikaf atau berdiam diri dengan sengaja di tempat ibadah untuk untuk beribadah. Kata ‘ukkaf sendiri merupakan isim fa’il (pelaku) dari I’tikaf. Kedua kata tersebut berarti ahli ibadah yang sedang beribadah. Dari kedua kata ini muncul symbol lain yang berbentuk ajaran Nasrani. Ajaran ini tampak pada apa yang dilakukan oleh ahli ibadah Nasrani tersebut yang terlihat dalam ungkapan mumsik ‘ala anshabiha

353 Dhamir (kata ganti) nya dalam syair tersebut adalah untuk tokoh perempuan yang bernama Sulma yang ada dalam syair al-A’sya sebagaimana yang terdapat dalam muqadimah syairnya.

122 yang dalam syarah diwan al-A’sya diartikan dengan (مسك علــى أنصــابها) seseorang yang melarang orang lain dari memberi makanan atau sesaji pada berhala- berhala. Dari syair di atas, tampak jelas bahwa agama Nasrani pada saat itu telah berupaya untuk menghilangkan tradisi bangsa Arab yang suka menyembah berhala. Anshab atau berhala sebagaimana digambarkan dalam syair tersebut jelas menjadi salah satu peralatan ritus bangsa Arab pada masa Jahiliyah.

3. Simbol Keyakinan Selain simbol-simbol yang berbentuk fisik dan ajaran, dalam syair al-A’sya juga terdapat simbol-simbol keyakinan yang tampak dalam konteks syairnya seperti berikut ini: شباب وشيب وافتقار وثروة فلله هذا الدهر كيف تر نددا Muda dan Tua, miskin dan kaya Semua (masa) itu milik Allah, bagaimana engkau bisa ragu

وما زل ظت أبغى المال مذ أنا يافع وليدا وكهل حين شب ظت وأمردا Aku akan tetap mencari harta (bekerja), selagi masih muda Ketika rambut bercampur uban maka aku telah tua (tak mampu bekerja)

Dalam syair tersebut terlihat simbol-simbol keyakinan yang dianut oleh penyair, bahwa segala hal yang terjadi pada manusia, baik masa muda, menjadi tua, keadaan miskin, maupun kaya, pada hakekatnya adalah takdir Tuhan dan kehendaknya yang tidak boleh diragukan lagi. Namun demikian, meskipun semua yang disebutkan tersebut adalah kehendak Tuhan, bukan berarti manusia harus berpangku tangan tanpa usaha. Untuk itu ia tegaskan dengan bait “Selagi masih muda, Aku akan tetap mencari harta (bekerja), dan ketika rambut bercampur uban itu berarti aku telah tua (tak mampu

123 bekerja lagi)”. Berdasarkan syair tersebut, kita tentu ingat apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW pada umat Islam: اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا واعمل لخيرتك كأنك تموتا غدا

Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya Dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok hari

Berdasarkan hal tersebut, maka tampak persamaan ajaran antara kedua agama Samawi, Islam dan Nasrani. Al-A’sya adalah penyair Nasrani Jahiliyah, namun sempat mengalami hidup semasa dengan Rasulullah SAW.354 Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa ia sempat hendak memeluk Islam, namun dihalangi oleh kaum kafir Quraisy, sehingga ia memutuskan untuk tidak meneruskan keinginannya tersebut. Namun demikian, ia mengakui akan kebenaran ajaran Muhammad SAW.355 Beberapa pengakuannya terhadap kebenaran ajaran Islam dapat kita saksikan dalam syair-syairnya berikut ini: متى ما تناخى عند باب ابن هاشم تريحى وتلقى من فواضله يدا

Kapan saja kamu memohon keberkahan di depan pintu Ibnu Hasyim (Muhammad Saw) Pasti kamu merasa damai dan memperoleh keberkahan tangannya.

نب ني يرى ما لترون وذكره أغار، ل نعمرى فى البلد وأنجدا

Seorang Nabi yang dapat melihat apa yang tidak dapat kalian lihat dan –demi agamaku- menyebut-nyebutnya adalah sebuah kemuliaan di kota ini

354 Al-A’sya al-Kabir wafat pada tahun 629 M, sedangkan Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 632 M. 355 Diwan al-‘A’sya al-Kabir, hal. 8

124 له صدقاتا ما تغ بب ونائل وليس عطاء اليوم مانعه غدا

Shadaqahnya tak pernah berhenti Memberi hari ini tidah menghalanginya untuk bersedekah esok hari

أج ندك لم تسمع وصاة محمد نب ني الله حين أوصى وأشهدا

Sungguh engkau belum mendengar ajaran Muhammad Seorang Nabi Allah ketika ia berwasiat dan bersaksi

إذا أن نت لم ترحل بزاد من التقى ولقي نت بعد الموتا من قد تز نودا Jika kamu hidup tidak berbekal takwa Lalu setelah mati berjumpa dengan orang yang bertakwa

ندم نت على أن تكون كمثله وأنك لم ترصد لما كان أرصدا

Kamu pasti menyesal karena tidak seperti dia Dan kamu tidak bersiap-siap seperti yang ia lakukan فإيك والميتاتا ل تأكل منها ول تأخذ تن سهما حديدا لتفصدا

Jauhilah bangkai dan janganlah kamu sekali-kali memakannya Dan jangan pula melempar panah besi untuk mengundi nasib

125 وذا النصب المنصوب ل ظتنسك منه ول تعبد الوثان والله فاعبدا

Patung yang disembah-sembah itu, janganlah kamu sembah Dan janganlah menyembah berhala, namun sembahlah Allah وص مل على حين العش نياتا والضحى ول تحمد الشيطان والله فاحمدا356

Shalatlah pada waktu malam dan siang hari Dan janganlah memuji Syetan, pujilah Allah

Dalam rangkaian syair madah (pujian) yang ditujukan pada Nabi Muhammad SAW tersebut, terdapat beberapa simbol keagamaan yang ia utarakan, seperti kemuliaan dan keistimewaan Nabi Muhammad SAW, pengakuan akan kenabian Muhammad SAW, keistimewaan sedekah, anjuran untuk hidup berbekal takwa, larangan memakan bangkai dan mengundi nasib (judi), larangan menyembah berhala, dan keharusan untuk menyembah Allah SWT, perintah untuk menjalankan shalat dan memuji Tuhan, serta larangan untuk memuji syetan. Dari syair tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa semua hal yang diungkapkan penyair, pada dasarnya adalah simbol-simbol ajaran Islam yang mungkin ia yakini kebenarannya, sebab pada prinsipnya adalah sama. Dari keyakinan tersebut, sebagaimana terdapat dalam syair-syair Jahiliyah yang lain, al-A’sya pun sebagai penyair Nasrani terbiasa menggunakan sumpah atas nama Allah untuk menegaska sesuatu yang diyakininya. Hal ini membuktikan bahwa tradisi bersumpah dengan nama Allah sudah menjadi budaya masyarakat Jahiliyah. Hal tersebut dapat kita saksikan dalam contoh syair berikut ini: ك نل، يمين الله حتى تظ تنزلوا من رأس شاهقة إلينا "السودا"

356 Diwan al-‘A’sya al-Kabir, hal. 50-51

126 Ingatlah, Demi Allah, hingga kalian melepaskan “Aswad” 357dari ketinggian

لنقاتلنكم على ما خ نيل تت ولنجعل من لمن بغى وتم نردا358 Akan kuperangi kalian, seperti yang dibayangkan Kuperuntukkan bagi yang menentang dan melawan dalam syair di atas adalah salah satu gaya bahasa dalam يمين الله Kata bersumpah yang biasa dilakukan oleh masyarakat Arab di samping wallahi, tallahi, halaftu billahi, dan lain sebagainya. Persoalannya apakah lafaz Allah tersebut, berasal dari bahasa Arab atau diadopsi dari bahasa Agama sebelumnya, hal ini perlu argumentasi yang lebih banyak lagi. Simbol keyakinan pada Yang Maha pemberi rizki tampak dalam syair di bawah ini:

وجعل الله طعامنا فى مالنا رزقا تضمنه لنا لن ينفدا359

Allah telah menjadikan makanan dalam harta kita Sebagai rizki yang tak pernah salah نزور يزيد وعبد المسيح وقيسا هم خير أربابها360

Kami mengunjungi Yazid dan Abdul Masih Juga Qais, mereka semua pemimpin kami yang terbaik

357 Dalam Diwan al-‘A’sya al-Kabir dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Aswad adalah saudara kandung Haufzan yang sedang ditawan oleh Kisra (raja). 358 Diwan al-‘A’sya al-Kabir, hal.54 359 Diwan al-‘A’sya al-Kabir, hal.54 360 Diwan al-‘A’sya al-Kabir, hal.30

127 Syair pertama menyatakan adanya keyakinan pada Sang pemberi rizki dengan menyandarkannya pada lafaz Allah, sedangkan pada bait kedua, menjadi bukti adanya keyakinan umat Nasrani atas ketuhanan Isa al-Masih. Hal ini terbukti dari nama yang disebut oleh penyair yaitu Abd al-Masih yang artinya hamba al-Masih, dan al-Masih adalah nama lain dari nabi Isa as. Dalam bahasa Arab, pengidhafatan (penyandaran) kata abd (hamba) biasanya dirangkai dengan sesuatu yang dianggap sakral dan suci atau memiliki makna penyembahan, seperti Abdullah yang artinya hamba Allah, abd al- syams (hamba matahari), abd al-Uzza (hamba Uzza/berhala bernama Uzza), dan lain sebagainya. Selain al-A’sya al-Kabir yang sudah dikenal sebagai penganut Nasrani, simbol- simbol agama Kristiani juga tampak pada bait-bait syair yang digubah oleh Hatim al- Tha’i361. Hatim al-Tha’I, memang dalam buku-buku sejarah Sastra Arab tidak dikategorikan sebagai penyair religi, namun demikian sebagaiman disebutkan di atas bahwa suku Tha’i dan Kindah yang terletak di daerah Najed, tercatat sebagai pemeluk agama Nasrani. Hatim sebagaimana julukan populernya al-Tha’I, adalah penyair kelahiran Najed dari suku Tha’i yang mayoritas adalah pemeluk agama Nasrani. Hal ini juga diperkuat dengan bukti sejarah lainnya yang mengatakan ia juga tinggal di wilayah Syam karena menikah dengan Mawiyah binti Hajar seorang putrid dari kerajaan Sasaniah (Ghasaniah). Dan Syam sebagaimana disebutkan di atas salah satu pusat perkembangan agama Kristiani. Untuk itu, besar kemungkinan Hatim telah banyak mengenal ajaran-ajaran Kristiani dan menjadi salah seorang penganutnya. Hal ini tampak dalam beberapa bait syairnya yang mengandung jaran-ajaran agama: فلو كان ما يعطى رياء لمسكت به جنبا ظتا اللوم يجذبنه جذبا Andai apa yang diberikan ini sebuah bentuk keriyaan (pamer), maka sesungguhnya celaan itu akan menahannya dengan kuat

361 Nama lengkapnya Hatim ibn Abdillah ibn Sa’ad ibn al-Hasyraj al-Tha’I al-Qahthani. Seorang penyair Jahiliyah yang terkenal dengan kedrmawannya.

128 Yakni apabila seseorang memberikan sesuatu hanya untuk tujuan riya (pamer), maka yang ia dapatkan sesungguhnya hanyalah sebuah kehinaan. ولكنما يبغى به الله وحده فأعط فقد أربح نت فى البيعة الكسبا362 Akan tetapi hendaklah berbuat karena Allah semata (Jika sudah berniat seperti itu), berikanlah, maka engkau sesungguhnya telah beruntung dalam perniagaan.

Bila diperhatikan, sungguh erat kaitannya antara penyebutan kata Allah pada bait kedua dengan sikap riya pada bait sebelumnya. Sikap riya dalam berderma sepertinya sangat ditentang oleh penyair, bahkan pada bait selanjutnya ia tegaskan bahwa segala perbuatan khususnya berderma hendaknya hanya karena Allah semata dan mencari keridhaanNya. Syair tersebut menjadi simbol bahwa agama Nasrani pada hakekatnya telah mengajarkan nilai-nilai keikhlasan dalam beramal sebagaimana juga yang diajarkan oleh agama Islam. Bait syair ini sungguh mengingatkan kita pada ajaran-ajaran Islam tentang nilai- nilai shadaqah. Sebuah ajaran yang sama-sama mengajarkan kasih dan keikhlasan

,yang berarti berbuat sesuatu karena Allah يبغى به الله dalam beramal. Istilah dalam al-Qur’an disebutkan secara berulang-ulang, dengan berbagai ungkapan, seperti يبتغون فضل من الله , لتبتغوا فضــل مــن ربكــم , ابتغــاء وجــه اللــه dan masih banyak lagi yang semuanya menunjukkan pada ,ابتغاء مرضاة الله makna perbuatan yang hanya dilakukan atas nama Allah dan hanya mencari keridhaanNya. كلوا الن من رزق الله وأيسروا فإن على الرحمان رزقكم غدا363

362 Ahmad Rasyad (Penghimpun dan pesyarah), Diwan Hatim al-Tha’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 1986 M/1406 H), hal. 9 363 Diwan Hatim al-Tha’i, hal. 18

129 Nikmatilah rizki Allah saat ini, dan permudahlah Karena sang Maha pengasihlah yang akan memberi kalian rizki esok Hari

Sebuah konsep keyakinan yang biasa diyakini oleh pemeluk agama Samawi bahwa Allahlah pemberi rizki makhluknya, sekarang dan esok hari. Tidak perlu ada ada rasa ketakutan akan lapar yang akan menimpa esok hari, karena rizki itu di atur oleh sang Maha kasih (al-Rahman). Nama al-Rahman sebagaimana yang kita ketahui adalah salah satu Nama Allah yang ada dalam al-asma al-husna (Nama-nama Allah yang baik). Selain yang terkait dengan ajaran-ajaran di atas, lafaz Allah juga seperti penduduk Arab lainnya, dalam syair Hatim juga digunakan untuk bersumpah. Bersumpah dengan menggunakan lafaz Allah sepertinya sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyah dan menjadi retorika dalam percakapan bahasa Arab. Terbukti sumpah-sumpah dengan diidhafatkan pada nama Allah dilakukan oleh semua kalangan masyarakat Arab pada masa itu, seperti halnya juga dilakukan oleh penganut agama Nasrani seperti dalam syair Hatim al-Tha’i beirikut ini: وتواعدوا وردن القر نية غدو ة وحلف تت بالله العزيز ل ظنح نبس Mereka saling berjanji di sebuah sumur air di pagi hari Dan aku bersumpah atas nama Allah yang Maha Agung, kami akan menahan diri والله يعلم لو أتى بسلفهم طرف الجريض

364 لظ مل يو ةم مشكس Dan Allah tahu, jika datang para pembawa kehancuran dengan membawa arak- arak mereka Hari-hari akan terus dalam kesulitan

Sungguh menarik syair Hatim al-Tha’i ini, dan hal ini semakin membuat kita yakin kalau ia adalah seorang yang religius. Maka tidak salah jika ia kemudian

364 Diwan Hatim al-Tha’i, hal. 33

130 dimasukkan dalam kategori penyair religi Nasrani. Dalam syairnya tersebut ia bersumpah atas nama Allah bahwa ia akan menahan diri dari minum-minuman keras yang ia sebut dengan nama sulâf,365 meskipun di tempat pertemuan yang ia sebut dengan wird al-qaryah semua orang meminum arak. Larangan meminum khamr tersebut, sangat jelas dinyatakan oleh Hatim al-Thai’I bahwa landasannya adalah agama, meski tidak dinyatakan secara inplisit bahwa agama Nasranilah yang melarangnya. Dari caranya menyandarkan sebuah ajaran atau prinsip hidup dengan atas nama Allah adalah sebuah bukti bahwa meminum khamr bukan hanya dilarang bagi umat Islam, namun juga sudah dilarang oleh agama sebelum Islam, terutama oleh agama samawi seperti agama Nasrani. Dalam syair tersebut juga jelas disebutkan akibat yang akan terjadi jika mereka tetap tidak berhenti meminum-minuman keras, yakni akan muncul berbagai kesulitan yang ia namakan dengan kata musykis. أأفضح جارتى وأخون جارى معاذ الله أفعل ما حيي ظت366 Apakah aku pantas membuka aib tetangga perempuanku dan menghianati tetangga laki-lakiku Aku berlindung pada Allah dari melakukan hal seperti itu

Selain ajaran tentang larangan meminum arak, dalam syairnya, Hatim juga yang artinya aku mohon perlindungan dari (معاذ الله) mengucapkan kata ma’adzallah Allah. Kata tersebut ia ucapkan sebagai permohonan kepada Allah agar ia tidak pernah menyebarkan aib seseorang atau juga menghianatinya. Dua ajaran moral yang juga menjadi ajaran Nabi Muhammad SAW yang sangat ditekankan, bahkan dalam al- Qur’an dinyatakan bahwa siapapun yang menyebarkan aib orang lain, ibarat memakan bangkai saudaranya sendiri. Dan perintah untuk selalu menjaga amanat dan larangan untuk tidak melanggar perjanjian, dalam al-Qur’an ditekankan secara berulang-ulang, begitu pula dalam berbagai hadis Nabi Muhammad SAW. Jika semua ini syair di atas

365 Dalam Diwan Hatim al-Tha’I disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sulâf adalah khamrah atau arak. 366 Diwan Hatim al-Tha’i, hal. 10

131 adalah sebuah kebenaran, maka sesungguhnya ajaran agama Samawi pada hakekatnya satu. Menurut Prof. Dr. Koetjaraningrat yang dikutip oleh Rusmin Tumanggor, ada beberapa komponen yang terkait dengan sistem religi, yaitu (1) emosi keagamaan, (2) sistem keyakinan, (3) sistem ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan upacara, dan (5) umat beragama.367 Dari simbol-simbol agama yang telah disebutkan di atas, maka Nasrani pada masa Jahiliyah sudah memenuhi semua persyaratan untuk menjadi sebuah agama karena di dalamnya sudah tercermin emosi keagamaan, keyakinan, ritus dan peratalannya, serta penganut agama itu sendiri

367 Heny Narendrany, Psikologi Agama, hal. 6

132 D. Simbol-simbol keagamaan dalam syair Yahudi a. Latar Belakang Sejarah Agama Yahudi pada Masa Jahiliyah Yahudi adalah salah satu agama Samawi yang berkembang di Jazirah Arab. Penganut agama Yahudi yang masuk ke Jazirah ini berasal dari Suriah, Paletina, dan Irak. Agama yahudi akhirnya mendapatkan penganut yang kuat di Yaman. Perpindahan orang Yahudi ke Yaman ini disebabkan oleh adanya peperangan yang terus-menerus di Pelastina pada abad pertama Masehi. Hal tersebut mendorong pindahnya orang Yahudi dari tanah air mereka untuk menyelamatkan diri. Meskipun demikian, di Yaman mereka juga mendapatkan kesulitan karena Yaman tetap menjadi ajang pertikaian antara dua kekuatan besar, yakni Binzantium yang beragama Nasrani dan Sasaniah yang beragama Zoroaster. Kedua imperium ini menggunakan agama sebagai alat pembenaran bagi ekspansi mereka ke Yaman, wilayah yang memiliki sumber alam potensial.368 Di samping Yaman, daerah yang menjadi tujuan pengikut Yahudi ialah Madinah, Lembah al-Qura’, Khaibar dan Taima. Penganut agama Yahudi juga terdapat di Bahrein. Ketika Nabi Muhammad SAW mengajak penduduk wilayah ini untuk masuk Islam, ternyata mereka beragama Yahudi. Pengikut Yahudi bekerja di sektor perdagangan, pertanian, dan industri, di samping sebagai rentenir di kalangan masyarakat miskin. Di Nejran sebuah wilayah pertanian yang subur, para penganut Yahudi mendirikan pemukiman dan tempat tinggal bersama penduduk Arab asli yang menyembah berhala, dan pemeluk agama Nasrani. Berbeda dengan orang Nasrani, orang Yahudi tidak menekankan bimbingan agama untuk sesama Yahudi atau menyebarkan agamanya bagi masyarakat lain. Mereka juga tidak memiliki fasilitas khusus untuk kepentingan agama Yahudi. Oleh karena itu, orang Yahudi biasanya hanya mendiami tempat-tempat yang dapat dijangkau transportasi. Mereka lebih mementingkan pengumpulan harta sebanyak-banyaknya.369 Hal yang paling penting yang perlu diketahui bahwa meskipun kaum Yahudi itu lebih mementingkan materi, namun demikian berkat tangan mereka, pemikiran tentang

368 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 30 369 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 30

133 ketuhanan, termasuk ajaran-ajaran tentang kejadian alam, kebangkitan, perhitungan amal di akhirat, surga, neraka, setan dan iblis di Jazirah Arab mulai dikenal.370 Kaum Yahudi pada masa Jahiliyah tidak mengembangkan karakteristik tertentu dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu, nama orang, keluarga, maupun kabilah diambil dari nama-nama Arab. Dan syair yang digubah oleh penyair Yahudi pun memiliki cirri- ciri khas Arab pada masa itu.Begitu juga halnya dalam kehidupan sosial politik, tidak terdapat perbedaan yang menonjol antara kaum Yahudi dengan bangsa Arab pada umumnya. Untuk itu, banyak orang Arab yang memeluk agama Yahudi, sehingga istilah Yahudi pada saat itu lebih berkonotasi agama.371

b. Simbol-simbol Agama dalam syair Umayyah Ibn Abi al-Shult372 Agama Yahudi adalah agama yang sempat berkembang pada masa Jahiliyah, seperti halnya agama Kristen. Pemeluk agama Yahudi menempati kota Yatsrib yang kemudian dinamakan Madinah. Mereka terdiri dari Bani Nadhîr, Bani Qainuqâ, dan Bani Quraizhah. Mereka menempati kota Madinah bersama-sama dengan suku Aus dan Khazraj. Hubungan mereka terkadang bersahabat, namun juga terkadang bermusuhan. Sebagaimana agama Samawi lainnya, simbol-simbol keagamaan dalam kehidupan mereka tampak jelas. Sebagai contoh syair religi yang digubah oleh Umayyah ibn Abi al-Shult Penyair Yahudi berikut ini: الحمد لله ظممسانا و ظمصب نحنا بالخير صبحنا ر نبى وم نسنا Segala puji bagi Allah di pagi hari dan sore hari Wahai Tuhanku, berikan kami kebajikan di pagi dan sore hari

370 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 30 371 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 30 372 Umayyah ibn Abi al-Shult ibn Abi Rabi’ah berasal dari suku Qais ‘Ailan. Ia banyak mempelajari kitab-kitab kuno terutama Taurat. Untuk itu ia termasuk penyair yang sangat religius, bahkan termasuk seorang zahid.

134 ر نب الحنيفة لم تنفذ خزائنها مملوءة طبق الفاق سلطانا

Tuhan (pemilik agama) Hanif yang kekayaannya tidak pernah habis Kuasanya meliputi seluruh lapisan cakrawala

Pada bait pertama, tampak nyata simbol keyakinan yang dianut oleh penyair, yaitu keyakinan pada Allah SWT yang mengatur roda kehidupan alam ini. Silih bergantinya siang dan malam, adalah sebuah bukti akan kekuasaan Allah yang harus disyukuri. Dalam syair tersebut juga terselip sebuah doa pada Allah agar senantiasa memberikan kebaikan dari setiap pergantian masa, baik pagi hari maupun sore hari. Sebagai seorang muslim, mungkin hapal atau miminimal pernah mendengar doa dari Rasulullah berikut ini: اللهــم بــك أصــبحنا وبــك أمســينا وبــك نحيــا وبــك نموتا وإليك النشور

Ya Allah bersamaMu kami jalani pagi ini dan bersamaMu pula kami jalani sore ini bersamaMu hidup dan mati kami, dan padaMulah kami kembali

Inti dari do’a tersebut hampir sama dengan syair Umayyah Ibn Abi al-Shult sebelumnya, bahkan dari segi bahasa ada beberapa kemiripan antara keduanya, yaitu pada kata pagi dan sore hari yang dirangkai dengan permohonan pada Tuhan untuk mendapat kebaikan di dalamnya. Hal yang membedakan antara keduanya terletak pada penambahan kata akhir sebagai penyempurna do’a bagi umat Islam, yaitu pada kata denganMu hidup dan mati kami, serta padaMu kami kembali. Pada bait berikutnya, kata hanifah yang terdapat dalah syair tersebut adalah simbol agama samawi. Hanifah secara bahasa berarti condong ke jalan yang lurus (benar). Yakni sikap yang berpihak pada kebenaran yang datang dari Allah SWT melalui ajaran agama Islam yang dibawa Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad SAW.

135 Di dalam al-Qur’an terdapat 12 kata hanif dan kata-kata lain yang berasal dari derivasi yang sama. Dari syair Abu al-Shult di atas, terbukti bahwa istilah hanif sudah dikenal sejak zaman pra Islam. Memang dalam bait tersebut tidak disebutkan apakah yang ia maksudkan dengan kata hanifah adalah agama Nabi Ibrahim as atau bukan, namun dari mashra’ berikutnya dapat diketahui bahwa ada sebuah keyakinan agung dari sang penyair akan adanya penguasa yang menguasai jagat raya ini, sebagaimana keyakinan agama hanif yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Sebagaimana terdapat dalam bait syair: أل نب ي لنا منا فيخبرنا ما بعد غايتنا من رأس محيانا (ingatlah Ia telah mengutus) Seorang Nabi dari (golongan) kita untuk kita, untuk memberitahukan kita, tentang tujuan akhir kehidupan kita. بينا يرب نبنا آباءنا هلكوا وبينما تقتنى الولد افنانا Apa yang diajarkan oleh nenek moyang kita pasti hancur Dan apa yang didapat oleh anak-anak akan berkembang وقد علمنا لو أن العلم ينفعنا أن سوف يلحق أخرانا بأولنا373 Kita tahu, bahwa ilmu itu bermanfaat (dengan itu pasti kita juga tahu), bahwa kehidupan akhir adalah awal perjumpaan dengan kehidupan awal lainnya.

Dari bait-bait syair di atas, tampak jelas bahwa kata rabb al-hanifah (Tuhan pemiliki agama yang lurus), terkait erat dengan kata nabi yang diutus untuk umat manusia yang berasal dari kelompoknya masing-masing. Untuk itu perlu diperhatikan syair ini: أل نب ي لنا منا فيخبرنا ما بعد غايتنا من رأس محيان

373 Al-Mujaz fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 202

136 (ingatlah Ia telah mengutus) Seorang Nabi dari (golongan) kita untuk kita, untuk memberitahukan kita, tentang tujuan akhir kehidupan kita.

Kata nabi pada bait syair tersebut tidak ditujukan pada satu nama nabi, tidak Ibrahim, tidak Isa, tidak juga Muhammad. Hal ini terlihat dari kata Nabi yang menggunakan isim nakirah bukan ma’rifah.374 Hal ini sudah ditegaskan dalam syair sebelumnya bahwa rabb al-hanifah (Tuhan pemilik agama yang hanif), Dialah yang mengutus Nabi kepada setiap umat yang akan menyampaikan ajaran-ajaran Tuhan yang sebenarnya, yang akan memberitahukan tentang akhir tujuan hidup ini. Pada bait selanjutnya disebutkan: وقد علمنا لو أن العلم ينفعنا أن سوف يلحق أخرانا بأولنا375 Kita tahu, bahwa ilmu itu bermanfaat (dengan itu pasti kita juga tahu), bahwa kehidupan akhir adalah awal perjumpaan dengan kehidupan awal lainnya.

Syair ini menunjukkan adanya keyakinan pada penyair tentang adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini yang dinyatakan dengan kata ukhrâna dan ulâna. Yang pertama berarti akhir dari kehidupan (dunia) dan yang kedua awal dari kehidupan (akhirat). Pada syair berikutnya, Abu al-Shult menyebutkan berbagai simbol keyakinan seperti terdapat pada bait-bait berikut ini: الله وملئاكته

لك الحمد والنعماء والملك ربنا فل شيء أعلى منك مجدا وأمجدظ Wahai Tuhan kami, bagiMu segala puji, kenikmatan dan kekuasaan

374 Nakirah adalah isim (kata benda) yang belum pasti, biasanya ditandai dengan tanwin pada akhir katanya, sedangkan ma’rifah adalah isim yang sudah jelas. Dalam bahasa inggris nakirah biasanya ditandai dengan artikel a atau an, sedangkan untuk ma’rifah diberi tanda artikel the. 375 Al-Mujaz fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 202

137 Tak ada sesuatu pun yang lebih tinggi dan mulia dari-Mu

وملئك ة أقدامهم تحت عرشه بكفيه لول الله

ك نلوا وأبلدوا

Di bawah ArsyNya kaki-kaki Malaikat Demi kedua telapak tanganNya, jika bukan karena Allah, mereka pasti letih dan lemah قيا ةم على القدام عانين تحته فرائصهم

من شدة الخوف ترعد

Tampak nyata berdiri dengan kaki di bawah Arasy Tubuhnya bergetar karena sangat takut376

وسبط صفوف ينظرون قضاءه يصيخون بالسماع للوحي ظر مكد Berbaris dengan rapi, menunggu keputusannya Mendengarkan wahyu dengan tenang

أمي ةن لوحي الق تدس جبريل فيهم وميكا ظل ذو الروح القوين المسدندظ Yang dapat dipercaya untuk (mengemban) wahyu yang suci, di antara mereka Jibril dan Mikail yang memiliki ruh yang sangat kuat lagi benar

376 Fara’ish jamak dari farishah artinya bagian tubuh (daging) antara bahu dan ketiak. Ungkapan ini digunakan untuk ketakutan atau keterkejutan yang hebat.

138 و ظح نراس أبواب السمواتا دونهمقيام عليها بالمقاليد ر نصدظ377 Dan para Malaikat penjaga pintu-pintu langit di bawahnya Berdiri di atasnya, mengawasi dengan cermat

Pada syair di atas, selain menyebutkan keyakinan penyair terhadap adanya Tuhan dan kekuasaanNya, penyair juga menyebutkan simbol lainnya yang terkait dengan keyakinan, terutama keyakinan pada hal-hal yang bersifat gaib, seperti keyakinan akan adanya malaikat dan tugas-tugasnya serta Arsy (singgasana Tuhan). Ada dua nama malaikat yang secara jelas dinyatakan dalam syair tersebut, yaitu Jibril dan Mikail. Adapun di antara tugas malaikat disebutkan di antaranya sebagai penopang Arsy, melaksanakan titah Tuhan, mendengarkan wahyu-wahyu Tuhan, serta menjaga pintu-pintu langit dan mengawasinya. Menurut Fazlur Rahman sebagaimana dikutip oleh Ensiklopedi Islam, malaikat yang sering dinyatakan dalam al-Qur’an adalah makhluk-makhluk langit yang mengabdi kepada Allah SWT. Mereka melakukan berbagai kewajiban, dari mencabut nyawa hingga memikul arsy Allah SWT. Di dalam ensiklopedi Islam juga disebutkan bahwa di antara ciri-ciri malaikat adalah tidak pernah mengingkari Allah SWT atau berbuat dosa kepadanya, mereka juga hanya mengerjakan apa yang diperintahkan tanpa ada inisiatif untuk berbuat yang lain, dan mereka secara khusus diciptakan Allah untuk melakukan tugas-tugas tertentu.378 Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan penyair di atas bahwa ada malaikat yang secara khusus memikul singgasana Allah SWT yang karena kuasa-Nya tidak merasa letih dan lelah, setia mendengarkan titah-titah-Nya (wahyu), serta selalu takut pada-Nya. Dalam ajaran Islam, percaya akan adanya malaikat adalah salah satu rukun Iman. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an: Kebaktian itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat, namun kebaktian yang sebenarnya

377 Tim Penyusun, al-Mujaz fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu: al-Adab al-Jahili, hal. 202 378 Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, hal. 135

139 adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, …(QS.2:177). Sebagaimana agama samawi lainnya, istilah malaikat dalam agama Yahudi telah sangat dikenal pada masa Jahiliyah. Hal ini terbukti dengan disebutkannya di dalam syair dua nama malaikat yang juga sangat dikenal dalam ajaran Islam, yaitu Jibril dan Mikail. Jibril dan Mikail sebagaimana disebutkan dalam syair, adalah dua dari sepuluh malaikat yang wajib diimani keberadaannya dalam agama Islam. Jibril, sebagaimana diyakini oleh umat Islam selain bertugas mengepalai seluruh malaikat, ia juga bertugas menyampaikan wahyu pada para nabi. Tugasnya berakhir hingga kenabian Muhammad SAW. Adapun malaikat Mikail adalah malaikat yang bertugas membagi rizki pada seluruh makhluk, memberi makanan, minuman, dan menurunkan hujan.379 Dalam al- Qur’an kedua malaikat ini disebutkan secara berulang kali, terutama malaikat Jibril yang bertugas menyampaikan wahyu Allah SWT melalui lisan Nabi Muhammad SAW. Simbol agama lainnya yang terdapat dalam syair Jahiliyah yang juga sangat familier di telinga umat Islam adalah kata arasy. Kata Arasy secara bahasa berarti singgasana. Di dalam al-Qur’an banyak ditemukan kata arsyuhu yang artinya singgasana Tuhan. Para ulama sepakat bahwa arasy atau singgasana Tuhan itu tidaklah sama dengan singgasana apapun yang dipunyai makhlukNya. Namun demikian, sebagian ulama meyakini bahwa arasy yang dimaksud terkait dengan kekuasaan Tuhan, sehingga Rabb al-arsy al-azhim diartikan dengan pengatur kerajaan yang agung. 380 Namun melihat pada apa yang diungkapkan dalam syair Abu al-Shult penyair Yahudi di atas, tampak jelas bahwa istilah arasy bukanlah semata-mata milik umat Islam dan hanya diinformasikan pada kaum Muslimin. Sebab sangat jelas dalam syair tersebut, bahwa kaum Yahudi pun sebagai penganut agama samawi telah terlebih dahulu mengetahui informasi tentang arasy Tuhan dengan segala hal yang ada di sekitarnya, persis sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam al-Qur’an. Berdasarkan fakta tersebut, maka dari segi ideologi tidak tampak perbedaan antara Islam dan Yahudi.

379 Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, hal. 136 380 Tim Penulis, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 126

140 Yahudi sebagai sebuah agama, tampak telah menganut suatu kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan) dan berbagai hal gaib lainnya, serta telah memiliki nilai-nilai emosi keagamaan seperti pengagungan pada yang Maha Kuasa, keyakinan akan adanya kehidupan setelah ini, dan lainnya. Sayangnya, karena berbagai keterbatasan, penulis belum sempat menyajikan secara menyeluruh simbol-simbol lainnya yang pada dasarnya masih banyak lagi. Berdasarkan pada penjelasan-penjelasan sebelumnya, terlihat jelas bahwa pada masa Jahiliyah, sebagian dari ajaran agama Nasrani maupun Yahudi pada dasarnya telah sampai ke Jazirah Arab, sayangnya, karena berbagai hal, ajaran kedua agama ini masih belum menyentuh bagian dalam masyarakat Arab terutama masyarakat badawi. Untuk itu Allah SWT mengutus nabi Muhammad SAW yang berasal dari golongan mereka sendiri untuk menyampaikan wahyu-wahyu Ilahi sebagai pesan dari langit yang disebut dengan agama hanif (agama yang lurus) Berdasarkan fakta yang terdapat dalam syair-syair di atas, maka apa yang dinyatakan dalam Ensiklopedi Dunia Islam bahwa masyarakat Arab sesungguhnya telah memiliki bentuk kepercayaan asli yang bersifat sederhana, sesederhana kehidupan mereka381 adalah benar. Hanya saja sampai sejauh mana keyakinan sederhana tersebut, sebagiannya tampak pada syair-syair yang telah disebutkan di atas. Demikianlah beberapa fakta tentang simbol-simbol keagamaan yang ada pada masa Jahiliyah yang terungkap dari syair-syair Jahiliyah. Karena keterbatasan penulis, data tersebut mungkin hanya sebagian kecil saja, sebab masih banyak simbol-simbol keagamaan lainnya yang masih belum terungkap ke permukaan. BAB VI PENUTUP

Sudah menjadi kayakinan umum, bahwa bangsa Arab Jahiliyah adalah sebuah bangsa yang tidak begitu mengenal Tuhan dengan baik. Namun berdasarkan

381 Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal. 27

141 pembahasan sebelumnya, beberapa syair Jahiliyah terbukti menggunakan simbol-simbol agama dalam-syair-syairnya. Dalam syair Badawi, ada beberapa simbol agama yang digunakan yaitu kata Allah, rabb, qadha, qadar, nabi Sulaiman, majallah, dîn, dan awâqib. Kata Allah dalam syair Jahiliyah digunakan dalam berbagai konteks kalimat, seperti dijadikan alat sumpah, berdoa, mencerca, memuji, sumber kepasrahan, dan lain sebagainya. Sedangkan kata rabb, selain digunakan sebagai makna lain dari Allah, juga digunakan dalam makna asalnya yaitu pemilik, dan juga pemimpin. Dua istilah yang juga menjadi rukun iman bagi umat Islam, yakni kata qadhâ dan qadar juga telah diyakini adanya oleh bangsa Arab Jahiliyah, meski dengan makna yang sama yakni ketentuan Tuhan yang tidak bisa dirubah. Penyebutan nama nabi Sulaiman dalam syair Jahiliyah adalah simbol bahwa telah sampai pada mereka berita kenabian pada masa lalu. Sedangkan istilah majallah digunakan oleh penyair sebagai simbol kitab suci yang diyakini penganut agama saat itu. Selain itu, mereka juga sudah mengenal istilah dîn yaitu keyakinan tertentu yang biasanya mengacu pada agama samawi. Simbol agama lainnya yang juga terkait dengan keyakinan adalah kata awâqib yang berarti balasan atau pahala dari Tuhan. Semua simbol keagamaan tersebut hanya dapat dipahami dari konteks kalimat yang terdapat dalam syair. Jika yang dinamakan agama itu adalah terpenuhinya unsur-unsur seperti; emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara, peralatan ritus dan upacara, dan penganut agama itu sendiri, maka masyarakat Arab Badawi baru berada pada tahap emosi keagamaan yakni sikap-sikap emosional terhadap kekuatan ghaib dan keyakinan pada kekuatan ghaib itu sendiri. Lafaz Allah yang sering mereka ucapkan sepertinya hanyalah sebuah simbol bahasa yang mereka gunakan untuk wujud supranatural yang dianggap memberikan kekuatan pada mereka, atau bila melihat dari aspek sejarah, lafaz Allah sepertinya telah familier di telinga mereka dengan telah masuknya agama Yahudi dan Nasrani di wilayah Jazirah Arab. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa pasar Ukazh sebagai pasar sastra adalah tempat bertemunya semua sastrawan Arab dan juga masayarakat lainnya pada masa Jahiliyah. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya

142 unsur keterpengaruhan dalam penggunaan bahasa, sehingga beberapa symbol agama samawi yang notabene adalah wahyu telah sampai ke hadapan mereka, meski tidak menjadikan mereka sebagai penganutnya. Di sisi lain, para penyair biasanya adalah manusia luar biasa yang memiliki wawasan yang lain dari yang lain, sehingga mereka pada dasarnya lebih mudah beradaptasi dengan sesuatu hal yang baru. Selain itu, pergaulan mereka juga lebih luas, dan hal ini memudahkan mereka terkontaminasi dengan keyakinan-keyakinan baru yang sering mereka lihat. Sedangkan pada syair Nasrani, selain lafaz Allah, juga ditemukan simbol-simbol keagamaan lainnya yang cukup banyak, seperti kata zabur, Hijr, mihrab, nyanyian kebaktian (al-‘azf), qubbah, pengharaman khamr, ‘abîd, ‘ukkaf, anjuran untuk selalu berusaha dan bekerja, ibn Hasyim (Muhammad), keistimewaan Muhammad, makna taqwa, larangan untuk riya, sifat Tuhan sebagai al-Rahman, dan lain sebagainya. Dari simbol-simbol agama yang ditemukan dalam syair Jahiliyah, maka Nasrani pada masa Jahiliyah pada dasarnya sudah memenuhi semua persyaratan untuk menjadi sebuah agama karena di dalamnya sudah tercermin emosi keagamaan, keyakinan, ritus dan peratalannya, serta penganut agama itu sendiri. Dalam syair-syair karya penyair Yahudi, simbol-simbol agama pada dasarnya tidak kalah banyak dari syair Badawi dan Nasrani, namun karena keterbatasan waktu, penulis hanya menyajikan sedikit dari simbol-simbol tersebut, seperti penggunaan lafaz Allah yang dihubungkan dengan kehidupan ghaib lainnya seperti malaikat, arasy, akhirat, dan lainnya. Dalam syair-syair Yahudi, gaya bahasa yang mengandung simbol- simbol agama tampak lebih tegas dan jelas dibandingkan dengan syair-syair Nasrani. Dari penelitian ini, kami meyakini bahwa sesungguhnya lafaz Allah pada hakekatnya adalah wahyu bukan persoalan bahasa. Adapun sebagian masyarakat Arab sebelum Islam sudah menggunakan istilah tersebut, kemungkinannya adalah karena mereka sudah mendengar dari kaum Nasrani dan Yahudi hidup dan bergaul bersama mereka dan selalu mengucapkan lafaz Allah untuk keyakinan mereka terhadap wujud supranatural. Fakta sejarah ini semakin mengukuhkan firman-Nya bahwa sesungguhnya Aku adalah Allah. Yang artinya penamaan diri Tuhan dengan Allah adalah sebuah

143 wahyu Ilahi. Demikian kesimpulan akhir dari penelitian ini. Wallâhu a’lam bi al- Shawâb!!!!

144 DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’ân al-Karîm dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1989 Abdullah, Muhammad Hasan, Muqaddimah fi al-Naqd al-Adabi, ttp: Dâr al-Buhûts al- Ilmiyah, tth. Abd Al-Bâqi, Zaedan, Qawâid al-Bahtsi al-Ijtimâ’i, Kairo: Mathba’ah al-Sa’âdah, 1980 M/1400 H, cet. 3 Abu al-Khasab, Ibrâhîm ‘Ali dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961 Abd al-Lathîf al-Sahratî, Mushtafâ, Dirâsât Naqdiyyah fi al-Adab al-Mu`âshir, Mesir: al-Hai’at al-Mishriyat al-`Âmah li al-Kitâb, 1979 `Abd al-Ra’ûf Syulmâ, `Abd al-Mun`im, dan Ibrâhîm al-Ibyâri, Syarh Dîwân `Antarah ibn Syaddâd, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1400 H / 1980 M, cet. 1 `Abd al-Sâtir, `Abbâs, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, Beirut: Dâr al-Kutub al- `Ilmiyyah, 1416 H/1996 M, cet. 3 ‘Ali al-Shabbah, Muhammad, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M ‘Abd al-Syafi’, Musthafa, Diwan Imri al-Qais, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth Allen, Roger, An Introduction to Arabic Literature, Cambridge: University Press, 2000 Amîn, Ahmad, al-Naqd al-Adabi, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1972, cet. 4 Anshari, Endang Saefuddin, Wawasan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993 Al-Asad, Nâshir al-Dîn, Mashâdir al-Syi`r al-Jâhili wa Qîmatuhâ al-Târikhiyah, Beirut: Dâr al-Jail, 1988, cet. 8 `Athwân, Husein, Muqaddimah al-Qashîdah al-`Arabiyah fi al-Syi`r al-Jâhili, Mesir: Dâr al-Ma`ârif, tth Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, Padang: Angkasa Raya, 1990 Bahtiar, Amsal, Filsafat Agama, Ciputat: Logos, 1999

145 Bennet, Andrew and Royle, Nocholas, Literature, Criticism and Theory, Longman: Pearson, 2004 Chaer, Abdul, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999 Djoko Damono, Sapardi, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984 Dlaif, Syauqi, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, tp: Dâr al-Ma’ârif, 1965 Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama 2003 al-Fakhûrî, Hannâ, Târikh al-Adab, (Beirut: Maktabah al-Buhutsiyah, 1965 Farkhan, Muhammad, An Introduction To Linguistik, Jakarta: UIN Press, 2006 Farran, Yusuf, Zuhair ibn Abi Sulma; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1411 H/1990 M Fâ`ûr, `Ali Hasan (syarah), Dîwân Zuhair ibn Abî Sulmâ, Beirut: Dâr al-Kutub al- `Ilmiyyah, 1408 H/ 1988 M, cet. 1 Hamid, Ismail, Arabic and Islamic Literary Tradition, Kuala Lumpur: Tass Sdn Bhn, 1982 Al-Hamid, Abdullah, al-Syi`r al-Islâmi fi Shadr al-Islâm, (penerbit pribadi, 1980) Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 Harahap, Syahrin, dan Hasan Bakti Nasution (Editor), Ensiklopedi Aqidah Islam, Jakarta: Kencana: 2003 Al-Hâsyimi, Ahmad, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’, (Indonesia: Maktabah Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1379 H/ 1960 M Al-Haufi, `Abd al-Salâm, Dîwan al-Khansâ, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1405 H/1985 M http://id.wikipedia.org/wiki/Agama Hendropuspito, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2000

146 Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Hidayati, Heny Narendrany dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, Jakarta: UIN Press, 2007 Hitti, Philip K., History of the Arabs, (terjemah), Jakarta: Serambi, 2006, cet. 1 Husein, ibnu Muhammad ibnu Sa’id, al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, al-Mamlakah al- Arabiyah al-Su’udiyah: Jami’ah al-Imam Muhammad ibnu Su’ud al-Islamiyah, 1410 H Kamil, Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, cet. 1 Ibrâhîm, Rajab ‘Abd al-Jawâd, Fi al-Dilâlah wa al-Mu’jam, Kairo: Maktabah al-Adab, 2001 Al-Iskandari, Ahmad, dkk., al-Mufashshal fi Târikh al-Adab al-‘Arabî, tp: Maktabah al- adab, tth Al-Iskandari, Ahmad dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, Mesir: Dâr al-Mâ’arif , tth Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, Bandung: Rosdakarya, 2002 Kamil, Sukron, Teori Kritik Sastra Arab, Jakarta: Rajawali Pers, 2009 Khalîf, Yûsuf, al-Syu’arâ al-Sha’âlîk fi al-‘Ashr al-Jâhili, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1966 ------, Dirâsat fi al-Syi`r al-Jâhili, Kairo: Maktabah Gharib, tth Kuper, Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Pt Raja Grafindo, 2000 Lajnah (Tim Penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, Libanon: Dâr al- Ma’arif, 1962, jilid 1-6 Lois & Ferdinand, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘A’lâm, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1992 Nabilah Lubis, al-Mu’în fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, Jakarta: Kuliyyat al-Adab wa al-‘Ulûm al-Insâniyah Jâmiah Syarîf Hidâyatullah, 2005 Mahhana, Abd, Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, Beirut: Dâr al- Kutub al-Ilmiyah, 1990 M/1410 H

147 Mahayana, Maman S., Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007 Mahmud Khalil, Ibrahim, al-Naqd al-Hadits min al-Muhakah ila al-Tafkik, Oman: Dar al-Masira, 1424 H/ 2003 M Manuaba, Petura, Hermeneutika dan Interpretasi Sastra, FSU: in the Limelight Vol. 8, No. 1, Juli 2001 al-Mazhur, Ibnu, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tth Marwah, Muhammad Ridla, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/ 1990 M Muhammad, Asmâ’ Abu Bakr, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H/1992 M Muzakki, Akhmad, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, Malang: UIN Malang Press, 2007 Narendra Hidayati, Heny dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, Jakarta: UIN Press, 2007 Nâshif, Mushthafâ, Dr., Dirâsat al-Adab al-Arabî, Kairo: al-Dâr al-Qawmiyah, tth Nâshir al-Dîn, Mahdi Muhammad, Dîwan Tharfah ibn al-`Abd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1407 H/1987 M Nashr, Muhammad Ibrahim, al-Naqd al-Adabi fi al-`Ashr al-Jâhili wa Shadr al-Islâm, Riyadh: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1398 H Al-Nawaihi, Muhammad, al-Syi’r al-Jahili; Manhaj fi Dirâsatihi wa Taqwîmihi, Kairo: al-Dar al-Qaumiyah li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, tth. Nottingham, Elizabeth K, (terjemah Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994 Nurdin, Amin, dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Press, 2006 Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Kajian Islam 2007/2008, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007 Pateda, Mansoer, Sosiolinguistik, Bandung: Angkasa, 1992

148 Rahardjo, Mudjia, Hermeneutika Gadamerian; Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur, Malang: UIN-Malang Press, 2007 Sa’ad ibnu Husain, Muhammad, al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’udiyah: Wuzarat al-Ta’lim al-‘Ali, 1410 H Salâm, Zaghlûl, Atsâr al-Qur’an fi Tathawwur al-Naqd al-Arabi ila Âkhir al-Qarn al- Râbi’ al-Hijri, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif , 1961 Semi, Atar, Kritik Sastra, Bandung: Angkasa, tth ------, Metode penelitian Sastra, Bandung: Angkasa, tth Shihab, Quraish M., Membumikan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1993 Sudjiman, Panuti, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: UI-Press, 1990 Sumaryono, E., Hermeneutik; sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2003 Thabâbah, Badawi, Dirâsat fi al-Naqd al-Adabî, Kairo: Maktabah al-Enjelo al- Mishriyah, 1965 Thohir, Mudjahirin, Agama dan Simbol, Posted on April 19th, 2009 Tim Penulis, al-Ritsâ, ttp: Dâr al-Ma’ârif, tth Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, 1995, edisi ke-2, cet. 5 Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Akar dan Awal, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002 Wâfî, `Alî Abd al-Wâhid, al-Lughah wa al-Mujtama`, Kairo: Dâr al-Nahdlah Mashra` al-Mathba` wa al-Nasyr, 1971 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, ttp: Erlangga, 1995 Wattimena, Reza Antonius, Definisi Hermeneutika, rezaantonius.multiply.com./jurnal/item/46 Wellek, Renne dan Austin Warren, Teori kesusastraan, Jakarta: Gramedia, 1995 WM, Abdul Hadi, Hermeneutik, Estetika, dan Religiusitas, Yogayakarta: Matahari, 2004

149 Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, cet. 3 Yusuf Farran, Muhammad, Zuhair ibn Abi Sulma; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M Al-Zauzani, Ibn `Abdillah al-Husein, Syarh al-Mu`allaqât al-Sab`, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah Al-Zayyât, Ahmad Hasan, Târikh al-Adab al-‘Arabi, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1422 H / 2001 M Zaedân, Jurzi, al-`Arab Qabla al-Islâm, Kairo: Dâr al-Hilâl, tth

150 DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Cahya Buana, lahir di desa Sirnasari kecamatan Agrabinta kabupaten Cianjur pada tanggal 30 Juni 1975 dari seorang ayah berprofesi guru dan ibu petani. SDN Sirnasari adalah pendidikan formal pertama yang dikecap oleh penulis antara tahun 1982-1988. Pada tahun yang 1988 penulis melanjutkan pendidikan tingkat menengah di MTsN Tanggeung yang masih terletak di kabupaten Cianjur dan menjadi alumni pada tahun 1991. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Daarul Ulum Bantar Kemang Bogor selama empat tahun dan menjadi alumni pada tahun 1995. Pada tahun 1995, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Bahasa dan Sastra Arab dan menyelesaikan studi selama 8 semester atau tepatnya hingga tahun 1999 dengan predikat terbaik fakultas. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan ke tingkat Magister (S2) di Pascasarjana UIN Syairif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab hingga tahun 2003. Pada tahun 2003 pula penulis mulai mengajar sebagai tenaga honorer di Fakultas Adab dan Humaniora dan pada akhir tahun 2003 diangkat menjadi CPNS di fakultas yang sama. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi Doktoral (S3) di Sekolah Pasacasarja UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi yang sama selama 5 semester dan lulus pada tahun 2009 sebagai mahasiswa tercepat studi. Saat ini penulis aktif sebagai salah seorang pengajar dan Sekretaris Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

303