CITRA PEREMPUAN DALAM SYAIR JAHILIYAH

OLEH: DR. CAHYA BUANA, MA

Mocopat Offset-Yogyakarta

1

CITRA PEREMPUAN DALAM SYAIR JAHILIYAH 2010 © DR. CAHYA BUANA ISBN 9799888972-2

2

PENGANTAR

Eporia dan semangat keislaman untuk membedakan kondisi bangsa Arab sebelum dan setelah kedatangan Islam, membuat sebagian kelompok buta dan menutup mata dari realitas yang sebenarnya, sehingga terkesan pada masa Jahiliyah perempuan sama sekali tak bermakna baik secara individu maupun sosial. Perlakuan bangsa Arab Jahiliyah yang sangat buruk terhadap kaum perempuan, terkesan di blow up oleh umat Islam tanpa memperdulikan kenyataan-kenyataan lain yang terjadi. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan fanatisme keagamaan yang berlebihan, sehingga bila ada informasi baru yang berbeda, dianggap bertentangan dengan nilai-nilai religi tanpa kompromi dan konfirmasi. Agama Islam sendiri sudah bersikap sangat netral, al-Qur’an tidak hanya memberitakan hal negatif tentang perempuan pada masa Jahiliyah, namun juga sisi positifnya. Di dalam al-Qur’an al-Karîm sebagai sebuah data yang paling otentik, ada dua versi tentang perempuan pada masa Jahiliyah yang merupakan fakta dan realita yang tidak dapat disanggah kebenarannya. Pertama, perempuan-perempuan yang memiliki kedudukan dan peranan yang mulia dan terhormat dalam struktur sosial masyarakat saat itu, seperti, ratu Balqis dari kerajaan Saba’, kedua istri Nabi Ibrahim as, dan lainnya. Bahkan di dalam al-Qur’an al-Karim, Saba’, kerajaan yang dipimpin oleh ratu Balqis, diabadikan sebagai nama sebuah surat. Hal ini sebuah indikasi, bahwa pada masa Jahiliyah, perempuan tidak selalu sebagai kaum yang tertindas, namun juga di antaranya memiliki peranan yang sangat besar. Fakta yang kedua yang juga tidak dapat disanggah kebenarannya adalah fakta yang menceritakan tentang nasib serta image buruk yang dialami kaum perempuan. Salah satu contoh nasib buruk yang dialami perempuan Jahiliyah adalah tidak adanya hukum yang melarang wa’d al-banât yaitu kebiasaan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Sedangkan Image buruk perempuan

3 Jahiliyah, salah satunya ditunjukkan lewat tingkah laku dan perilaku Umu Jamil istri Abu Lahab yang suka mengadu domba dan memfitnah.

Di sisi lain, syair dalam lintasan sejarah sastra Arab, memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem sosial budaya bangsa Arab. Syair selain berfungsi sebagai media untuk mengekspresikan imajinasi dan emosi, oleh bangsa Arab digunakan juga untuk menginformasikan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan mereka, seperti untuk melukiskan peperangan yang mereka alami, kondisi lingkungan yang mereka tempati, hal-hal yang membanggakan, dan lain sebagainya, sehingga selain disebut dengan istilah syair ia juga dinamakan dengan dîwan al-Arab atau catatan sejarah bangsa Arab. Syair adalah karya sastra dan sastra adalah cermin dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat. Sastra juga cermin dari sistem ide dan sistem nilai, serta gambaran tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak oleh masyarakat. Syair Jahiliyah sebagai karya sastra pada hakekatnya adalah gambaran tentang kehidupan masyarakat termasuk perempuan yang hidup pada masa itu, sehingga dengan mengkaji syair Jahiliyah diharapkan citra dan realita tentang perempuan Jahiliyah yang sesungguhnya dapat terungkap. Sebagai gambaran, buku ini dibagi ke dalam 5 bab. Bab I secara khusus berbicara tentang syair Jahiliyah dan kritik sastra feminis. Bab II berbicara tentang citra perempuan istana (hadlari) pada masa Jahiliyah. Bab III berbicara tentang citra perempuan badawi pada masa Jahiliyah. Bab IV berbicara tentang peran dan kontribusi perempuan pada masa Jahiliyah. Bab V Penutup. Demikian buku ini disusun, semoga dapat memberi manfaat.

Wassalam Penulis

4 DAFTAR ISI Halaman PENGANTAR………………………………………………………………...... …… DAFTAR ISI …………………………………………………………………………..

BAB I : SEKILAS TENTANG KRITIK SASTRA FEMINIS DAN SYAIR JAHILIYAH A. Kritik Sastra Feminis …………………………………………. B. Syair Jahiliyah Antara Karya Sastra dan Fakta Sejarah ...…….. C. Bahasa Sebagai Simbol ……………………………………….

BAB II : CITRA PEREMPUAN ISTANA (HADLARI) A. Latar Balakang Sosial Politik (Tiga Kerajaan Kecil) ………… B. Penyair Istana ………………………………………………… C. Citra Perempuan Istana (High Class Women) …………..…….

BAB III : CITRA PEREMPUAN BADAWI A. Konstruksi Sosial Masyarakat Badawi ………………………. B. Penyair Badawi: Sha`âlîk dan Ghair Sha`âlîk ……………….. C. Citra Perempuan Sha’âlîk ……………………………………. D. Citra Perempuan Ghair Sha’âlîk ……………………………..

BAB IV : CITRA DIRI PEREMPUAN JAHILIYAH: PERAN DAN KONTRIBUSI A. Perempuan Jahiliyah dalam Konstruksi Sejarah ………..…… B. Citra Diri Perempuan dalam Syair …………………………... C. Peran dan Kontribusi Perempuan Jahiliyah dalam Syair …..... D. Citra Perempuan Merdeka (al-hurrah) ……………………….

BAB V : PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………... DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS......

5

BAB I SEKILAS TENTANG KRITIK SASTRA FEMINIS DAN SYAIR JAHILIYAH

A. Kritik Sastra Feminis 1. Feminisme dan Gender Feminisme dan gender adalah dua istilah yang satu sama lain saling berkaitan, dan merupakan sebuah fenomena kausalitas. Gender sebagai sebab, sedangkan feminisme merupakan akibat. Kaum feminis membedakan antara istilah seks dan gender, meskipun dalam kamus kedua kata tersebut adalah sinonim. Menurut Ensiklopedia Feminisme, gender adalah kelompok atribut yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan.1 Sedangkan seks adalah jenis kelamin yakni kondisi biologis seseorang apakah dia secara anatomi laki-laki atau perempuan.2 Jenis kelamin adalah suatu hal yang bersifat alamiah (takdir) yang seharusnya tidak menimbulkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, sedangkan gender pada hakekatnya adalah persoalan sudut pandang dan penilaian sosial budaya masyarakat yang berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya.3 Untuk itu Kamla Bahsin menegaskan bahwa gender lebih bersifat sosial budaya dan merupakan produk manusia, merujuk pada tanggung jawab peran, pola perilaku, kualitas, kapabilitas, dan lain-lain yang bersifat maskulin dan feminine. Selain itu, gender juga bersifat tidak tetap, ia berubah dari waktu ke waktu, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari

1 Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, terjemah Mundi Rahayu, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. 158 2 Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, hal.421 3 Menurut konsep gender, jenis kelamin dan gender adalah dua hal yang berbeda. Setiap orang lahir sebagai laki-laki dan perempuan, namun setiap kebudayaan memiliki cara pandang tersendiri dalam menilai laki-laki dan perempuan, serta cara memberikan mereka peran. Semua proses ‘pengemasan’ sosial dan budaya yang dilakukan terhadap perempuan dan laki-laki semenjak lahir itulah yang dinamakan dengan pengenderan (gendering). Kamla Bhasin, Memahami Gender, (Jakarta: Teplok Press, 2001), hal. 1-2

6 satu keluarga ke keluarga lainnya. Suatu hal yang pasti adalah bahwa gender merupakan sesuatu hal yang dapat dirubah.4 Menurut Mansur Fakih, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki- laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan sifatnya yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan di sisi lain laki-laki selalu dianggap kuat, rasional, gagah, dan perkasa..5 Perbedaan perlakuan akibat penggenderan (gendering) tersebut kemudian menjadi persoalan karena menimbulkan banyak ketidakadilan bagi kaum perempuan, sehingga selanjutnya menimbulkan reaksi menentang fenomena tersebut. Muncullah kemudian sebuah gerakan yang diberi nama feminisme. Untuk itu yang dimaksud dengan feminisme, menurut Moelino ialah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.6 Sedangkan menurut Goefe, feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial, atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.7 Untuk itu di dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa semua varian teori feminis cenderung mengandung tiga unsur atau tiga asumsi pokok, pertama, gender adalah suatu konstruksi yang menekan kaum perempuan, sehingga cenderung menguntungkan kaum laki-laki. Kedua, konsep patriarkhi atau dominasi laki-laki dalam lembaga sosial, dianggap sebagai landasan utama konstruksi tersebut. Ketiga, untuk itu, pengalaman dan pengetahuan kaum perempuan harus dilibatkan dalam mengembangkan suatu masyarakat non-seksis di masa mendatang.8 Berdasarkan hal tersebut, maka yang dimaksud dengan feminisme secara umum adalah ideologi pembebasan perempuan. Hal ini terlihat dari semua pendekatan yang

4 Kamla Bhasin, Memahami Gender, (Jakarta: Teplok Press, 2001), hal. 1-2 5 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 8 6 Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, (Bandung: Nuansa, 2000), hal. 37 7 Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. 37 8 Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: PT Rajawali Grafindo Persada, 2000), cet. 1, jilid 2, hal. 354

7 digunakannya yang berkeyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan akibat jenis kelaminnya.9 Dengan demikian, feminisme pada intinya adalah gerakan untuk menuntut persamaan gender. 2. Sastra feminis dan kritik sastra Sebelum membahas secara detail tentang kritik sastra feminis, perlu dipahami terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan sastra feminis itu sendiri. Menurut A. Teww sebagaimana dikutip oleh Atmazaki, istilah sastra itu sendiri tidak memiliki definisi yang baku, definisi-definisi yang dibuat terkadang hanya menekankan pada satu aspek karya sastra saja, atau hanya berlaku pada sastra tertentu, atau sebaliknya batasan yang dibuat terlalu luas dan longgar, sehingga masuk ke dalamnya hal-hal yang sebenarnya bukan termasuk unsur sastra.10 Namun demikian Syauqi Dlaif, memberikan definisi sastra dengan “ungkapan (kalâm) yang bagus (balîgh),11 yang mampu mempengaruhi perasaan pembaca maupun pendengar, baik dalam bentuk puisi maupun prosa.12 Dari definisi tersebut, dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan sastra secara spesifik adalah puisi dan prosa sebagai karya cipta manusia. Berdasarkan definisi tersebut, Ibrâîhim Mahmûd Khalîl mengklasifikasikan sastra feminis (al-adab al-nisa’i) ke dalam dua kategori. Pertama, sastra (puisi atau prosa) yang dibuat oleh penulis perempuan yang mengilustrasikan penilaiannya tentang dirinya sendiri, pandangannya terhadap laki-laki, serta keterkaitannya dengan laki-laki, atau yang menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik fisik maupun mental, maupun problem personal sebagai seorang perempuan. Kedua, sastra (puisi atau prosa) yang ditulis laki-laki namun di dalamnya membicarakan perempuan serta bagaimana ia memperlakukan perempuan dalam karyanya tersebut.13

9 Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. 158 10 Atmazaki, Ilmu Sastra; Teori dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990), hal. 16 11 Istilah balîgh dalam sastra Arab biasanya mengacu pada makna fasih dan juga sesuai dengan situasi dan kondisi. 12 Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi, (Kairo: tp, 1960), hal. 10 13 Ibrâîhim Mahmûd Khalîl, al-Naqd al-Adabi al-Hadîts; min al-Muhâkah ila al-Tafkîk, (Oman: Dâr al-Masîrah, 1424 H / 2003 M), cet.1, hal. 134-135. Lihat juga Yûsuf `Izzuddîn, Fi al-Adab al-`Arabi al-Hadîts: Buhûts wa Maqâlât Naqdiyah, (Riyâdl: Dâr al-`Ulûm, 1401 H / 1981 M), cet. 3, hal. 261. Bandingkan pengertian al-Adab al-nisâ’i (sastra feminis) di atas dengan al-shahâfah al-nisâ’iyah (media

8 Adapun yang dimaksud dengan kritik secara terminologi berasal dari bahasa Yunani yaitu krinein yang artinya menghakimi, membanding, dan menimbang.14 Maka kegiatan menilai, menghakimi, menimbang sebuah karya sastra itulah yang dimaksud dengan kritik sastra. Sedangkan menurut Ahmad al-Syâyib, kritik sastra adalah menimbang atau mengukur suatu karya sastra secara akurat, serta menjelaskan nilai dan kualitas karya sastra tersebut. Untuk itu menurutnya, proses penilaian sebuah karya sastra adalah dimulai dengan memahaminya, menafsirkannya, menganalisanya, menimbangnya, dan yang terakhir adalah memberikan penilaian tentang baik buruknya karya tersebut secara objektif dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar sastra dan kritik sastra, baik secara umum, maupun berdasarkan pada jenis sastra tertentu.15 Untuk menilai apakah sebuah karya sastra berpihak pada perempuan atau tidak, dibutuhkan sebuah tolak ukur yang mengacu pada prinsip-prinsip dasar feminisme. Namun demikian, keterkaitan sastra feminis dengan banyak aspek lainnya, membuat kritik sastra feminis tidak memiliki definisi tunggal dan baku. Banyak definisi kritik sastra feminis yang diberikan oleh para pakar. Masing-masing definisi tergantung dari sudut pandang mana ia membidik perempuan dalam karya sastra. Ibrahim Muhammad Khalil misalnya, ia mendefinisikan kritik sastra feminis dengan sebuah kritik yang secara khusus mengkaji sejarah perempuan yang terdapat dalam karya sastra. Kritik ini bertujuan guna mengungkap perbedaan perlakuan terhadap perempuan dalam tradisi dan budaya di samping untuk mengungkap peranannya dalam berkarya.16

feminis) yang digambarkan oleh Farûq Abu Zaid sebagaimana dikutip oleh Ridlâ `Abd al-Wâhid, bahwa yang dimaksud dengan al-shahâfah al-nisâ’iyah menurutnya adalah media yang menyajikan secara khusus berbagai problematika perempuan dan eksistensinya dalam semua aspek kehidupan, baik yang disajikan oleh perempuan itu sendiri maupun oleh laki-laki, dan bukan media yang dikelola oleh perempuan namun menyajikan problematika secara umum. Untuk itu Najwâ Kâmil membedakan media feminis ke dalam dua kategori, yaitu majallât taqlîdiyah / womens magazines (majalah perempuan) yang di dalamnya membicarakan tentang makanan, keluarga, fashion, dan furniture. Dan yang kedua adalah majallât ghair taqlîdiyah/feminist magazines (majalah feminis), yang di dalamnya membicarakan tentang hal-hal yang ada hubungannya dengan gerakan perempuan (feminisme). Ja`far Abd al-Salâm (editor), Shûrat al-Mar’ah fi al-I`lâm, (Kairo: Râbithat al-Jâmi`at al-Islâmiyah, 1427 H/2006 M), hal. 107-108 14 Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 1989), hal. 7 15 Ahmad al-Syâyib, Ushul al-Naqd al-Adabi, (tth: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, 1964), cet. 7, hal. 16 16 Ibrâhîm Muhmud Khalîl, al-Naqd al-Adabî al-Hadîts min al-Muhâkah ilâ al-Tafkîk, (Oman: Dâr al-Masîrah, 1424 H / 2003 M), hal. 135

9 James Romesburg dalam Definitions of Feminist Literary Criticism, menyajikan tidak kurang dari lima belas definisi maupun pendapat tentang kritik sastra feminis yang ia rangkum dari berbagai pakar sastra feminis. Di antaranya, kritik sastra feminis adalah sebuah metode analisis sastra dengan cara mengkaji perempuan, peran dan kedudukannya dari balik karya sastra. Secara umum kajian ini bertujuan untuk mengkounter dan menentang, atau bahkan berupaya menghapus pemikiran, tradisi, budaya, dan ideologi patriarkhi, juga dominasi dan superioritas kaum adam terhadap kaum hawa baik dalam konteks pribadi maupun publik dalam karya sastra.17 Maggie Humm, dalam Ensiklopedia Feminisme memberikan definisi bahwa kritik sastra feminis adalah sebuah kajian dengan cara membaca tulisan, ideologi, serta kultur dengan perspektif yang berpusat pada perempuan. Untuk itu, suatu kritik dinilai berperspektif feminis jika mengkritik disiplin yang ada, paradigma tradisional mengenai perempuan, peran sosial atau alamiah, atau dokumen-dokumen karya feminis lain dari sudut pandang perempuan.18 Dari gambaran di atas, dapat dipastikan bahwa kritik sastra feminis pada dasarnya adalah perpanjangan tangan dari gerakan feminisme. Untuk itu, ada tiga tujuan utama dari kritik ini, pertama mengkaji karya sastra yang ditulis oleh penulis-penulis perempuan untuk menampilkan inferioritasnya sebagai perempuan, dan yang kedua adalah untuk menampilkan citra (stereotype) perempuan dalam karya penulis-penulis laki-laki untuk menampilkan superioritasnya sebagai laki-laki. Sedangkan yang terakhir adalah mengetahui peranan dan perjuangan perempuan yang tersirat dalam karya sastra. 3. Kritik Ideologi: gender, kelas (class), dan kekuasaan (power) Tidak adanya acuan baku dalam kritik sastra feminis, memotivasi munculnya beragam metode analisis. Soenarjati Djayanegara dalam bukunya Kritik Sastra Feminis menyebutkan sebanyak enam corak kritik sastra feminis yang biasa digunakan para peneliti untuk menganalisis, yaitu ideologis, ginokritik, sosialis-Marxis, psikoanalitik,

17James Romesburg, Definitions of Feminist Literary Criticism, (hubcap.clemson.edu/~spark/f/c/flitcrit,html), link update in July 2003 18 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hal. 84

10 ras, dan lesbian.19 Keenam ragam kritik tersebut terkadang memiliki keterkaitan satu sama lain, dan saling melengkapi. Kritik ideologis, adalah sebuah kritik yang melibatkan perempuan sebagai pembaca atau dikenal dengan istilah reading as women20 (membaca sebagai perempuan). Dalam kritik ini yang menjadi pusat perhatian adalah citra serta stereotipe perempuan yang terkandung dalam karya sastra. Kritik ini juga digunakan untuk meneliti kesalahpahaman tentang perempuan, dan faktor penyebab mengapa perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan dalam kritik sastra. Kritik ideologis ini dengan sendirinya berbeda dengan male critical theory atau teori kritik laki-laki yang merupakan suatu konsep kreativitas sastra, sejarah sastra, serta penafsiran sastra yang seluruhnya didasarkan pada pengalaman laki-laki yang disodorkan sebagai suatu teori semesta yang berlaku secara universal.21 Kritik sastra feminis yang kedua adalah kritik yang secara khusus mengkaji penulis-penulis perempuan. Dalam kritik ini, termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan perempuan. Di samping itu, dikaji juga kreativitas penulis perempuan, profesi dan juga adat istiadat, tradisi dan budaya yang mempengaruhi pola pikir penulis perempuan tersebut. Jenis kritik ini dinamakan dengan gynocritics yang berbeda dari kritik ideologis. Ginokritik bertujuan untuk mencari perbedaan antara tulisan laki-laki dan perempuan.22 Ragam kritik ketiga adalah kritik sastra feminis sosialis atau disebut juga dengan kritik sastra feminis Marxis. Kritik ini digunakan untuk meneliti tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam sastra ditinjau dari sudut pandang sosialis, yakni

19 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 27-39, menjelaskan secara singkat kelima ragam kritik tersebut. Akan tetapi sangat disayangkan, penulis tidak memuat secara rinci metode analisis dari masing-masing teori. Hal ini mungkin dikarenakan setiap peneliti memiliki persepsi yang berbeda tentang teori-teori tersebut, sehingga yang ia gambarkan hanya kerangka umumnya saja. 20 Konsep reading as women yang diperkenalkan oleh Culler digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkhal, yang hingga kini diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan dalam dunia sastra. Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. 37 21 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 28-29. lihat juga James Romesburg, Definitions of Feminist Literary Criticism, link update in July 2003 22 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 29-30

11 berdasarkan kelas-kelas dalam masyarakat. Menurut teori ini, perempuan dimasukkan ke dalam kubu rumah yang kehidupannya hanya ada dalam lingkungan rumah, sedangkan laki-laki menguasai kubu umum, yaitu lingkungan dan kehidupan di luar rumah. Kritik sastra feminis-sosialis ini berupaya menunjukkan bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra lama adalah manusia-manusia yang tertindas, yang tenaganya dimanfaatkan untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa memiliki hak untuk menerima imbalan.23 Kritik sastra feminis lainnya adalah kritik sastra feminis-psikoanalitik. Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan yang dianggap sebagai cermin kepribadian penulisnya. Ragam kritik ini berawal dari penolakan kaum feminis terhadap teori-teori Sigmund Freud yang menyatakan bahwa perempuan iri pada laki-laki karena tidak memiliki penis (penis-envy). Lalu perempuan melahirkan bayi yang kemudian dianggap sebagai pengganti penis yang dirawat dan diasuh dengan penuh kasih sayang. Maka secara natural, perempuan bersifat affective (penyayang), emphatic (ikut merasakan perasaan orang lain), dan nurturant (peduli). Bagi kaum feminis, perempuan tidaklah iri pada penis yang dimiliki kaum laki-laki, namun pada kekuasaan yang mereka miliki. Selain itu, karakter yang melekat pada perempuan, bukanlah sesuatu yang bersifat alami, bukan pula takdir, sebab karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu masyarakat patrialkal.24 Ragam kritik sastra feminis yang kelima adalah kritik sastra feminis-ras atau kritik sastra feminis etnik. Kaum feminis-etnik di Amerika menganggap dirinya berbeda dari kaum feminis kulit putih. Mereka bukan saja mengalami diskriminasi seksual dari kaum laki-laki kulit putih dan kulit hitam, tetapi juga diskriminasi rasial dari kelompok mayoritas kulit putih baik laki-laki maupun perempuan.25

23 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 30-31. Aliran Sosialis-Marxis terkenal dengan teorinya yang disebut teori pertentangan kelas. Teori ini pula yang melandasi aliran Sosialis dalam sastra. Menurut Marxisme, sastra adalah refleksi masyarakat yang secara terus menerus berusaha mencerminkan masyarakat. Setiap karya sastra mencerminkan cara pandang dan kepriabadian kelas tertentu, karena itu karya sastra dapat dijadikan sebagai alat perjuangan. Atmazaki, Ilmu Sastra; Teori dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990), hal. 45-46 24 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 31-32 25 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 36

12 Corak kritik sastra feminis yang terakhir adalah kritik sastra feminis lesbian. Jenis kritik ini menekankan kajian pada penulis dan tokoh perempuan yang bersifat individual. Karena berbagai faktor, kritik jenis ini masih terbatas kajiannya. Pertama, para feminis rupanya kurang menyukai kelompok perempuan homoseksual, dan memandang mereka sebagai kelompok feminis radikal. Kedua, tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada awal tahun 1970-an, sedangkan jurnal-jurnal kajian perempuan untuk kurun waktu yang cukup panjang tidak memuat tulisan tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri belum menemukan kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat, banyak kendala yang dihadapi oleh kritikus sastra lesbian. Sikap antipati para feminis dan masyarakat misogini26 terhadap kaum lesbian, membuat penulis lesbian terpaksa menulis dunia lesbian dalam bahasa yang terselubung, menggunakan simbol-simbol, serta menyensor dirinya sendiri. Bagi penulis lesbian, menulis secara terang-terangan berarti mengundang problem dan konflik.27 Di antara keenam ragam kritik tersebut, kritik ideologis atau lebih dikenal dengan reading as women adalah ragam kritik yang paling banyak digunakan untuk menganalisis karya satra. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa salah satu makna dari ideologi adalah cara berfikir seseorang atau suatu golongan.28 Maka yang dimaksud dengan kritik ideologis dalam kajian ini adalah cara pandang penulis dalam membaca perempuan yang terdapat dalam syair Jahiliyah. Konsep

26 Kebencian terhadap kaum perempuan 27 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 33-36 28 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, 1995), hal. 366. Dalam The Ensyclopedia of Philosophy disebutkan bahwa kata ideology pada mulanya bukanlah sebuah terma yang bersifat abuse (salah pakai) seperti yang dipahami saat ini, yaitu sebuah terma yang selalu dikaitkan dengan keyakinan tentang sesuatu, seperti kekuasaan, agama, dan lainnya. Istilah ideologi yang original, diperkenalkan pertama kalinya oleh Destutt de Tracy pada tahun 1796. Destutt dan kawan-kawannya menggulirkan istilah tersebut dengan sebuah harapan bahwa ide-ide ilmiahnya, yaitu sebuah program untuk mereduksi analisis berbasis semantik, diakui secara institusi dan disosialisasikan ke sekolah-sekolah yang ada di Perancis. Konsep ini lalu diadopsi oleh Marx dalam teori-teori ekonomi marxisnya. Paul Edward, The Ensyclopedia of Philosophy, (New York: The Free Press, 1967), vol. 3&4, hal. 124-125

13 reading as women itu sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Culler29 dan digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkhal, yang hingga kini diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan dalam dunia sastra.30 Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dalam kritik ideologis yang menjadi pusat perhatian adalah citra serta stereotipe perempuan yang terkandung dalam karya sastra. Berdasarkan hal tersebut, penulis dalam hal ini -sebagaimana Culler- ingin menjadikan ragam kritik ini sebagai alat untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkhal dalam budaya Arab yang tercitrakan dalam syair Jahiliyah yang kemudian menjadikan perempuan sebagai kelompok inferior dan subordinasi. Kritik sastra feminis yang diartikan sebagai reading as women, berpandangan bahwa kritik ini tidak mencari metodologi atau model konseptual tunggal, tetapi sebaliknya bersifat pluralis, baik dalam teori maupun praktiknya. Untuk itu, kritik ini menggunakan kebebasan dalam metodologi maupun pendekatannya, disesuaikan dengan tujuan dari penelitian.31 Maka untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki, penulis menggunakan teori gender, class dan power. Gender, sebagaimana disebutkan di atas, yaitu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun cultural32 yang kemudian berubah menjadi seksisme (sexism), yaitu suatu ideologi bahwa jenis kelamin tertentu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding dengan jenis kelamin lainnya yang kemudian membentuk superioritas dan inferioritas antara dua jenis kelamin

29 Nama lengkapnya Jonathan Culler. Ia memperkenalkan istilah tersebut dalam bukunya yang berjudul Stucturalist Poetics pada tahun 1977. Menurutnya yang dimaksud dengan ‘membaca sebagai perempuan’ adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. 30 Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. 37 31 Sugihastuti Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, hal. 10 32 Lih. definisi sebelumnya, Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, terjemah Mundi Rahayu, hal. 158. lih. juga, Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, hal. 8. Elizabeth Fox- Genovese, Gender, Class and Power: Some Theoretical Consedirations, (http://www.jstor.org/stable/493546: Society for the History of Education, accessed: 28/04/2008 01:12)

14 tersebut dalam kehidupan sosial. Istilah ini secara umum terkait erat dengan praduga laki-laki (male prejudice) dan diskriminasi perempuan.33 Dalam teori feminisme, ideologi seksisme atau konstruksi gendering ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, di antaranya disebabkan oleh sistem stratifikasi sosial (class) yang biasa dianut oleh masyarakat, serta ideologi kekuasaan (power) yang mewarnainya. Ketiga istilah (gender, class dan power) tersebut menurut Elizabeth Fox, semuanya merujuk pada konteks hubungan sosial, hanya saja jika gender dan class merujuk pada peta hubungan sosial, power adalah unsur yang mempengaruhi seluruh pola hubungan sosial tersebut.34 Berkaitan dengan kelas, dalam teori sosiologi, dikenal tiga sistem stratifikasi sosial, yaitu slavery (perbudakan), castes (kasta) dan class (kelas). Menurut Amin Nurdin dan Ahmad Abrari, stratifikasi sosial adalah tingkatan kedudukan sosial dalam masyarakat yang ditentukan oleh perbedaan privilege/property (kekayaan), pertige (kehormatan), dan power (kekuasaan).35 Perbudakan merupakan sistem sosial yang paling ekstrim karena melegalkan seorang manusia dimiliki dan dikuasai oleh manusia lain layaknya barang. Sedangkan kasta merupakan sistem stratifikasi sosial tertutup dan biasanya berhubungan dengan konteks ideologi. Seseorang yang lahir dalam kasta tertentu, secara otomatis menjadi anggota dari kasta tersebut, dan tidak dapat berpindah status ke dalam kasta yang lain. Kasta biasanya diasosiasikan dengan penganut agama Hindu di India. 36 Adapun yang dimaksud dengan kelas dalam sosiologi pada dasarnya adalah perbedaan status seseorang yang ditentukan oleh kedudukan ekonomi yang kemudian memberi pengaruh terhadap mobilisasi sosial, sehingga terkait erat dengan kekuasaan

33 Richard T. Schaefer, Sociology, (New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003), edisi 8, hal. 310 34 Elizabeth Fox-Genovese, Gender, Class and Power: Some Theoretical Consedirations, hal. 255 35 Amin Nurdin dan , Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Press, 2006, cet. 1, hal. 126. Tidak berbeda dengan Amin NurdinRichard T. Schaefer menyebutkan dua buah tolak ukur status sosial seseorang, yaitu proverty (jumlah kekayaan) dan prestige (prestise). 36 Richard T. Schaefer, Sociology, (New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003), edisi 8, hal. 213-214

15 (power).37 Menurut Marx sebagai perintis teori ini, perbedaan kelas yang disebabkan oleh hasil produksi ini menimbulkan inequality antara kelas borjuis sebagai upper class dan proletar sebagai lower class.38 Sedangkan bagi kaum feminis adanya kelas-kelas dalam masyarakat tersebut menjadikan perempuan sebagai manusia-manusia yang tertindas, yang tenaganya dimanfaatkan untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa memiliki hak untuk menerima imbalan.39 Menurut Max Weber, kelas maupun stratifikasi sosial lainnya, secara umum merupakan repleksi dari kekuasaan (power). Kekuasaan itu sendiri diartikan sebagai kemampuan seseorang mempengaruhi orang lain sesuai dengan kehendaknya.40 Bila kekuasaan itu melembaga dan diakui masyarakatnya maka disebut dengan wewenang (authority).41 Dalam sosiologi diakui bahwa kekuasaan sebagai bagian penolong dalam kehidupan masyarakat, namun bagi kaum feminis kekuasaan (power) terkadang berubah fungsi dari yang semula dimaknai sebagai hegemoni legitimasi atau fungsi pengaturan menjadi semacam penindasan (violence) atau upaya ke arah penindasan (threat of violence). 42 Perwujudan dan sumber kekuasaan itu sendiri beragam, ada yang berdasarkan properti, kedudukan sosial, birokrasi dan intelektualitas. Sedangkan unsur-unsur pokok yang mendasari keberadaan kekuasaan biasanya berupa rasa takut, rasa cinta, kepercayaan, pemujaan, maupun sugesti. 43 Untuk itu menurut Barret, perkembangan

37 Richard T. Schaefer, Sociology, (New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003), edisi 8, hal. 214. Munandar Sulaiman, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung: PT. Eresco, 1995), hal. 91. Elizabeth Fox- Genovese, Gender, Class and Power: Some Theoretical Consedirations, hal. 255 38 Richard T. Schaefer, Sociology, (New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003), edisi 8, hal. 217. Lihat juga Atmazaki, Ilmu Sastra: Teori dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990), cet. 10, hal. 45 39 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 30-31 40 Richard T. Schaefer, Sociology, (New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003), edisi 8, hal. 218. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 35 41 Syahrial Syarbaini, dkk., Sosiologi dan Politik, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 48 42 Elizabeth Fox-Genovese, Gender, Class and Power: Some Theoretical Consedirations, hal. 255 43 Syahrial Syarbaini, dkk., Sosiologi dan Politik, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 48. Menurut Miriam Budiardjo, sumber kekuasaan terdapat dalam pelbagai aspek, bisa bersumber pada kekerasan fisik, seperti seorang polisi yang dapat memaksa penjahat untuk mengakui kejahatannya karena dari segi persenjataan polisi lebih kuat. Selain itu dapat juga bersumber pada kedudukan, seperti

16 konsep kekuasaan tidak terbatas pada negara, individu, ekonomi, dan lainnya, namun istilah tersebut merupakan sebuah konsep mikro, bahkan termasuk di dalamnya strategi dan teknologi kekuasaan.44 Dengan demikian konsep kekuasaan dapat dipahami secara beragam, dari menguasai kekayaan atau produktivitas seperti yang diajarkan Marx, kemampuan mempengaruhi dan menguasai orang lain (Weber), hingga konstitusi hubungan sosial, baik yang bersifat lembaga maupun individu. Kekuasaan bukan hanya eksis dalam sistem institusi, namun menjangkau seluruh aspek kehidupan dan interaksi sosial.45 Sistem kelas dalam tradisi dan budaya menurut Max Weber selalu terkait erat dengan dimensi politik. 46 Untuk itu menurut kaum feminis, kelas (class) terkait erat dengan kekuasaan (power) antara kelompok superior dan inferior. Dan superioritas laki- laki di satu sisi, dan inferioritas perempuan di sisi lain pada hakekatnya menunjukkan adanya kekuasaan (power) yang memainkan peranan di antara keduanya. Di samping itu, perempuan sebagai kelompok inferior dan laki-laki sebagai kelompok superior juga menjelaskan tentang adanya kelas yang membedakan antara keduanya. Power dalam kajian ini dijadikan sebagai alat untuk menganalis kelas-kelas sosial yang terdapat dalam tradisi dan budaya bangsa Arab Jahiliyah serta akibatnya terhadap kontruksi gender yang tersirat dalam syair Jahiliyah. Konstruksi gender yang terjadi dalam sistem sosial masyarakat adalah salah satu problem sosiologi yang mengakibatkan terjadinya marginalisasi terhadap perempuan. Menurut teori konflik –sebagaimana disampaikan Tim Curry dkk- tidak adanya

kedudukan komandan dengan bawahannya, kepala kantor dengan pegawainya, dan lainnya. Sumber lainnya adalah kekayaan, kepercayaan dan lain sebagainya. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hal. 36 44 Nickie Charles dan Felicia Hughes (editor), Practising Feminism; Identity, Difference, Power, (London and New York: Routledge, 1996), hal. 14, dikutip dari Michele Barret dan Mary McIntosh, Feminist Review, (tp: Etnhocentrism and Socialist Feminist Theory, 1985), hal. 25-47 45 Nickie Charles dan Felicia Hughes (editor), Practising Feminism; Identity, Difference, Power, hal. 13 dan 15 46 Richard T. Schaefer, Sociology, hal. 218

17 persamaan antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh lemahnya posisi perempuan dalam sistem stratifikasi sosial.47 Teori class dan power oleh Nickie Charles dijadikan sebagai landasan teoritis untuk menganalisis praktek politik perempuan Amerika, sedangkan oleh Chistine Griffin teori kekuasaan dijadikan alat untuk menganalisis dimensi gender, ras dan kelas dalam berbagai aspek kehidupan perempuan.48 Tokoh-tokoh peneliti tersebut menggunakan teori class dan power untuk menganalisis fenomena sosial yang tampak dalam kehidupan secara rill, namun dalam kajian ini, power dan class dijadikan sebagai landasan teoritis untuk mengetahui pengaruh kedua konsep ideologis tersebut terhadap citra perempuan Jahiliyah yang tersirat dalam syair. Ideologi, bahwa power dan class adalah dua faktor yang turut mempengaruhi konstruksi gendering dalam tradisi dan budaya Arab Jahiliyah, oleh penulis dijadikan sebagai landasan reading as women, atau membaca syair Jahiliyah berdasarkan kaca mata dan sudut pandang perempuan.

D. Syair Jahiliyah Antara Karya Sastra dan Fakta Sejarah Syair dalam tradisi dan budaya Arab Jahiliyah, selain sebagai karya sastra juga sebagai fakta sejarah yang tak terbantahkan, sebab syair bagi bangsa Arab bukan semata-mata sebagai media untuk mengekspresikan perasaan dan fikiran, lebih dari itu syair adalah kebanggaan dan identitas mereka selama berabad-abad lamanya, sehingga tidak salah bila ada yang menyatakan bahwa bangsa Arab Jahiliyah tidak memiliki seni dan budaya apapun selain dari syair. Syair –sebagaimana dinyatakan oleh Umar ibnu al- Khathâb- adalah pengetahuan bangsa Arab dan tidak ada ilmu lain selain syair yang melebihi kebenarannya.49 Maka syair selain sebagai karya sastra, bagi masyarakat Arab Jahiliyah adalah representasi dari pola fikir, sikap, sejarah dan realitas kehidupan. Untuk itu, maka untuk mengetahui citra perempuan Jahiliyah dalam syair, maka pembahasan tentang syair Jahiliyah itu sendiri adalah hal yang sangat urgen.

47 Tim Curry dkk, Sociology for the Twenty First Century, hal. 244 48 Nickie Charles dan Felicia Hughes (editor), Practising Feminism; Identity, Difference, Power, hal. 1 & 180 49 Badawi Thabâbah, Dirâsat fi al-Naqd al-Adabî, (Kairo: Maktabah al-Enjelo al-Mishriyah, 1965), cet. 4, hal. 43, dikutip dari Ibnu Salâm al-Jamahi, Thabaqât al-Syu’arâ, hal. 17

18 1. Syair Jahiliyah sebagai karya sastra a. Pengertian Syair Jahiliyah Syair adalah sebuah seni yang menggunakan bahasa sebagai medianya, sebagaimana musik dengan iramanya, gambar dengan aneka warnanya, tarian dengan gerakannya, dan lain-lain.50 Banyak definisi diberikan oleh para kritikus sastra agar dapat memahami syair dengan benar. Definisi klasik yang diberikan para sastrawan Arab terhadap syair selalu merujuk pada makna yang diberikan para ahli Arûdh,51 sebagai contoh definisi yang diberikan oleh Qudâmah ibn Ja’far, yaitu ‘al-kalâm al- mauzûn al-muqaffâ’, yakni untaian kata yang disusun dengan berdasarkan wazan52 dan qâfiyah53.54 Definisi ini pada dasarnya dibuat untuk membedakan antara jenis puisi dan prosa dalam sastra Arab, sehingga hanya menampilkan aspek fisik semata. Bila pada awal perkembangannya, definisi syair hanya mengacu pada bentuk fisiknya saja, Setelah mengalami perkembangan, definisi tersebut ditambahkan dengan aspek lainnya yang turut mempengaruhi syair. Definisi klasik oleh para fakar sastra Arab dianggap kurang representatif, karena tidak menunjukkan makna syair yang

50 Muhammad Zaghlûl Sallâm, Târikh al-Naqd al-Adabi wa al-Balâghah, (al-Iskandariyah: Mansya’ah al-Ma’ârif, 1996), hal. 34 51 Arudh adalah ilmu yang mempelajari tentang wazan-wazan yang benar dan yang salah dalam syair. Chatîb al-Umam, al-Muyassar fi ‘Ilm al-‘Arûdl, (Jakarta: Syirkat Hikmat Syahîd Indah, 1992), cet.2, hal. 4 52 Wazan dan qâfiyah biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan metre dan rhyme, atau dalam bahasa Indonesianya matra dan rima. Keduanya merupakan unsur pembentuk fisik syair. Wazan adalah kumpulan taf`îlah (Pola-pola kata yang terdapat dalam bahr). Wazan dinamakan juga dengan bahr atau al-buhûr al-syi’riyah, yakni bentuk-bentuk pola irama yang membentuk corak musik yang beranekaragam dalam syair Arab. Wazan dinamakan dengan bahr karena menyerupai lautan yang tidak pernah kehabisan air meskipun terus dikuras, demikian pula halnya dengan syair. 53 Adapun yang dimaksud dengan qâfiyah dalam syair Arab adalah lafaz terakhir pada bait syair, yang dihitung dari huruf akhir bait sampai dengan huruf hidup sebelum huruf mati yang ada di antara keduanya. Sebagai contoh: فمنها ضياء الح ليلة مولد # أضاءت به بُ ْصرى وسائر أَ ْك َوا ن والحت قصور الشام من أرض مكة # رأت أمه منها شوامخ بنياَ ن Kedua akhir kata yang digaris bawahi adalah contoh qâfiyah. Seperti kata ‘kuat’ dan ‘buat’ yang terdapat dalam bahasa Indonesia. 54 Muhammad Zaghlûl Salâm, Târikh al-Naqd al-Adabi wa al-Balâghah, (Iskandariah: Mansya’ah al-Ma’ârif, 1996), hal. 34. Definisi ini juga diadopsi oleh Emil Badi’ Ya’qub dalam al- Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-‘Arûdl wa al-Qûfiyah wa Funûn al-Syi’r, (Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyah, 1991 M/1411 H), hal. 376. Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Adab fi Adabiyât wa Insyâ wa Lughât al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1978 M / 1398 H), hal. 250

19 sebenarnya, namun hanya mengacu pada aspek bentuk semata. Untuk itu, beberapa fakar sastra merumuskan definisi lain untuk menyempurnakannya, sehingga tidak terbatas pada makna performa saja. Seperti menurut Ahmad Hasan al-Zayyat, syair adalah ungkapan (kalâm) yang disusun dengan berdasarkan wazan dan qâfiyah, untuk menggambarkan imajinasi dengan cara yang indah dan menarik”.55 Untuk itu dalam kesusateraan Arab, syair adalah ucapan atau susunan kata-kata yang fasih yang terikat pada rima (pengulangan bunyi) dan matra (unsur irama yang berpola tetap) dan biasanya mengungkapkan imajinasi yang indah, berkesan dan memikat.56 Definisi lain yang lebih rinci dikemukakan oleh al-Âmadi, menurutnya syair tidak lain adalah ungkapan yang bagus, mudah dipahami, menggunakan diksi yang tepat, meletakkan lafaz sesuai dengan maknanya, dan meletakkan makna sesuai dengan konteksnya, serta menggunakan metafora (isti’ârah) dan perumpamaan (tamtsîl) secara tepat. Untuk itu, sebuah syair tidak dianggap bagus dan elegan bila belum memenuhi persyaratan tersebut.57 Definisi syair seperti di atas, tidak jauh berbeda dengan definisi yang diberikan pakar sastra Indonesia, misalnya Herman J. Waluyo, menurutnya, puisi adalah salah satu bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa yakni dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan stuktur batinnya. Untuk itu puisi terdiri atas dua unsur pokok pembentuk yakni struktur fisik dan struktur batin. Kedua bagian itu terdiri atas unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan semua unsur tersebut membentuk totalitas makna yang utuh.58

55 Ahmad Hasan al-Zayyât, Târikh al-Adab al-‘Arabi, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1422 H / 2001 M), cet. 7, hal. 25. Hal senada diungkapkan oleh Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Adab fi Adabiyât wa Insyâ wa Lughât al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1978 M / 1398 H), hal. 250. Ahmad al- Iskandari dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, (Mesir: Dâr al-Mâ’arif , tth), hal. 42 56 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), jilid 4, hal. 340 57 Muhammad Zaghlûl Sallâm, Târikh al-Naqd al-Adabi wa al-Balâghah, hal. 34 58 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, ttp: Erlangga, 1995, hal. 28-29

20 Secara garis besar ada dua unsur pembangun sebuah puisi, yaitu unsur fisik dan unsur batin. Adapun yang dimaksud dengan unsur fisik yaitu unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Unsur-unsur estetik tersebut pada dasarnya dapat dikaji secara terpisah, meskipun merupakan satu kesatuan utuh. Menurut Herman J. Waluyo, yang termasuk unsur-unsur fisik sebuah puisi, yaitu: diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa piguratif (majas), ferifikasi, dan tata wajah puisi.59 Dengan demikian, syair dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek bentuk dan aspek kandungan. Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa syair terbentuk dari beberapa unsur, yaitu: wazan, qâfiyah, al-ghardh (tujuan) dan khayâl (imajinasi). Wazan dan qafiyah, keduanya adalah unsur pembentuk syair dari aspek fisik atau performace, sedangkan al-ghardh atau tema dan unsur khayâl merupakan unsur pembangun batin atau kandungan syair. Unsur-unsur inilah yang membangun sebuah syair dan menjadi karakteristiknya. Adapun yang dimaksud dengan Jahiliyah adalah periode sejarah bangsa Arab sebelum datangnya agama Islam.60 Definisi ini dijumpai di hampir setiap buku yang

59 .Keterangan lengkap lih. Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, hal. 71-101 60 Terjadi perbedaan pendapat ketika istilah Jahiliyah diartikan sebagai masa kebodohan dan kebiadaban (time of ignorance and barbarism) sebagaimana dipahami dari maknanya secara leksikologi yang berasal dari kata ja-hi-la yang berarti bodoh dan tidak berperadaban. Pemahaman seperti ini menjadikan masyarakat Arab Jahiliyah secara umum identik dengan masyarakat yang bodoh, biadab dan tanpa peradaban. Padahal menurut Philip K. Hitti sebagaimana dikutip oleh Ismail Hamid, istilah Jahiliyah adalah masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. menjadi Rasul dan belum memiliki Kitab suci sebagai pedoman hidup. Apabila Jahiliyah dimaknai sebagai jaman kebodohan, hal itu jelas tidak relevan dengan situasi dan kondisi Arab bagian selatan (Yaman) yang sangat maju dan memiliki peradaban yang tinggi. Ismail Hamid, and Islamic Literary Tradtion, (Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn. Berhad, 1982), hal. 1. Menurut Goldziher, mengartikan zaman Jahiliyah dengan zaman kebodohan adalah sebuah konsepsi yang salah dan tidak beralasan, sebab apa yang diekpresikan oleh Nabi Muhammad dengan istilah tersebut tidak lebih dari kondisi masyarakat Arab sebagaimana yang terdokumentasi dalam puisi- puisi Arab Jahili. Nabi Muhammad saw. diutus bukan untuk menghapus tradisi dan budaya bangsa Arab, namun untuk memperbaiki moral mereka, seperti kesombongan kabilah, permusuhan yang terus menerus, memuja dendam, tidak mau memaafkan dan watak buruk lainnya sebelum kedatangan Islam. Menurut Goldziher, istilah Jahiliyah diberikan oleh Nabi Muhammad saw. hanya untuk membedakan waktu sebelum dan sesudah kedatangan agama Islam. Untuk mendukung pendapatnya tersebut, Goldziher memberikan argumentasi lain dari sisi kebahasaan. Menurutnya dalam dokumen bahasa Arab klasik terdapat kata ilm (knowladege) yang dikonfrontasikan dengan kata jahl (ignorance), sehingga jahl merupakan antonim dari ilm. Namun istilah ilm hanyalah makna antonim kedua dari suku kata ja-hi-la, sebab makna antonim yang pertama adalah hilm, yang berarti tegas, kuat, kekuatan fisik, sehat, integritas

21 membahas tentang sejarah Islam maupun sejarah sastra Arab. Istilah Jahiliyah itu sendiri muncul setelah agama Islam datang. Definisi ini disimpulkan dari beberapa ungkapan yang beredar di kalangan masyarakat Arab sendiri, seperti ungkapan Umar aku bernazar pada saat Jahiliyah“ , إنى نذرت فى الجاهلية أن أعتكف ,.Ibn al-Khathab ra كان النكاح ,.untuk melaksanakan i’tikaf61 ”. Ungkapan lain disampaikan oleh Aisyah ra Nikah pada masa Jahliyah dilakukan dengan empat “ ,فى الجاهلية على أربعة أنحاء cara”, dan lain sebagainya. Dalam al-Qur’an sendiri banyak ayat yang menyebutkan Apa hukum Jahiliyah yang kamu ,“ أفحكم الجاهلية تبغون“ kata jahiliyah seperti inginkan?. Istilah yang muncul tersebut selanjutnya disimpulkan bahwa Jahiliyah adalah sebuah masa di mana bangsa Arab tidak mengenal Tuhan dan ajaran Agama dengan benar.62 Menurut penulis, kesimpulan ini pada dasarnya bersifat generalisasi dari tradisi bangsa Arab yang mayoritas menganut ideologi watsaniyah (kepercayaan terhadap berhala) dan benda-benda kongkrit lainnya, seperti matahari, bintang, dan lainnya.63

moral, stabil, matang, sikap yang halus. Maka seorang halîm secara singkat diartikan sebagai seseorang yang berperadaban. Dikutip oleh Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradtion, hal. 1-2 Namun Ibrâhîm Ali al-Khasyab dan Ahmad Abd. Al-Mun’im al-Bahâ berpendapat, bahwa sama saja apakah Jahiliyah itu diartikan sebagai antonim kata ilm (knowledge), hilm (firmness) atau diartikan langsung dengan kebodohan, karena hal tersebut memang pantas untuk orang-orang yang hidup di sebuah jazirah, menyembah berhala, mengotori akidah, dan menyekutukan Allah, memuja hawa nafsu, senang menumpahkan darah, fanatik kesukuan yang amat berlebihan, dan sifat biadab lainnya. Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al- ‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 11 Menurut penulis kedua pendapat tersebut adalah benar, hanya persepsi sejarah dan sudut pandang mereka yang berbeda. Jika istilah Jahiliyah diberlakukan kepada bangsa Arab secara luas, meliputi semua keturunan Semit (Qahthân dan Adnân), jelas kata Jahiliyah itu tidak tepat, karena salah satu keturunannya yaitu Qahthan yang lebih dikenal dengan bangsa Arab Selatan menempati suatu wilayah yang memiliki peradaban yang tinggi yaitu Yaman dan sebagian dari mereka sudah memeluk agama Samawi. Sedangkan argumen yang menyatakan bahwa istilah Jahiliyah adalah tepat bagi bangsa Arab, maka sesungguhnya bangsa Arab yang dimaksud adalah bangsa Arab Utara keturunan Adnan yang menempati Jazirah Arab dan wilayah Hijaz lainnya tempat Nabi Muhammad saw. dilahirkan. Kedua ras besar tersebut memiliki garis kehidupan yang berbeda satu sama lain, baik secara sosiologi, ekonomi, politik, maupun tingkat intelektual. 61 I’tikaf adalah mengasingkan diri dengan tujuan beribadah 62 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 12. 63 Berdasarkan fakta sejarah, bangsa Arab bukanlah sebuah bangsa yang tidak mengenal Tuhan dan ajaran agama sama sekali, sebab terbukti di antara mereka ada yang memeluk agama Nasrani,

22 Berdasarkan hal itu, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan syair Jahiliyah adalah syair yang digubah sebelum datangnya agama Islam. Meskipun, sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa secara historis sangat sulit menentukan kapan syair Arab Jahiliyah mulai lahir dalam tradisi masyarakat Arab. Jika yang dimaksud dengan syair Jahiliyah adalah syair yang digubah sebelum datangnya agama Islam, maka yang dimaksud dengan perempuan Jahiliyah adalah perempuan yang hidup pada periode tersebut. b. Tema Syair Jahiliyah (aghrâd al-syi’r al-jâhili) Para ahli sastra Eropa, biasanya membagi puisi ke dalam tiga jenis, yang pertama adalah puisi kepahlawanan (syi’r a/-malhamah atau heroic poem) atau disebut juga dengan epik (al-syi’r al-qashasi atau epic poetry) 64. Kedua adalah puisi lirik (al-

Yahudi, ataupun agama Ibrahim yang hanîf. Sebagaimana banyak dilansir dalam buku-buku sejarah Islam, bahwa pemeluk agama Yahudi menempati kota Yatsrib yang kemudian dinamakan Madinah. Mereka terdiri dari Bani Nadhîr, Bani Qainuqâ, dan Bani Quraizhah. Mereka menempati kota Madinah bersama-sama dengan suku Aus dan Khazraj. Hubungan mereka terkadang bersahabat, namun juga terkadang bermusuhan. Adapun Agama Nasrani tersebar di kabilah Rabi’ah dan Ghassan, serta sebagian kabilah Qudla’ah, hal ini karena mereka sering berhubungan dengan bangsa Romawi. Di kerajaan Hirah sendiri dari berbagai suku yang mendiaminya terdapat sebuah kabilah Arab yang biasa dipanggil dengan ‘al- ‘’, yang merupakan keturunan Bani yang memeluk agama Nasrani. Kota yang paling terkenal yang tempati pemeluk Nasrani adalah Nejran yang terletak di Yaman. Di antara penyair yang terkenal dari wilayah ini yaitu Qiss, ‘Adi ibnu Zaid dan Umayah ibnu abi al-Shilat. Dari sekian banyak penduduk Arab, terdapat kelompok yang mempercayai adanya Tuhan dan menyembahnya secara murni tanpa menyekutukannya, seperti Waraqah ibn Naufal. Bahkan sebagaimana diungkapkan Philip K. Hitti, bahwa salah satu konsep keagamaan penting yang dikenal di kawasan Hijaz adalah konsep tentang Tuhan. Bagi masyarakat Hijaz, Allah adalah Tuhan yang paling utama, meskipun bukan satu-satunya. Al- Ilah itu sendiri berasal dari bahasa kuno. Tulisannya banyak muncul dalam tulisan-tulisan Arab Selatan, yaitu tulisan orang Minea di al-Ula, dan tulisan orang Saba, tetapi nama tersebut mulai berbentuk dengan untaian huruf HLH dalam tulisan-tulisan Lihyan pada abad ke-5 S.M. Philip K. Hitti., History of The , (terjemah), hal. 126. Bandingkan dengan Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 26. Kisah beberapa penyair religi Arab Jahiliyah dapat dilihat pada pembahasan kategorisasi syair Jahiliyah. 64 Epik (epic, epique) adalah sajak kisahan panjang yang bercerita tentang seorang pahlawan, biasanya berdasarkan peristiwa dalam sejarah. Ada yang termasuk tradisi lisan, ada yang termasuk sastra tulisan. Beberapa cirri khasnya, tokoh utama yang harum namanya dan luar biasa sifatnya, petualangan yang berbahaya, pengaruh adikodrati yang menyelamatkan atau menghukum, pengulangan dalam uraian, digresi, gaya yang melambung. Istilah lain: epos dan wiracarita. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: UI-Press, 1990), hal. 28

23 syi’r al-ghinâ’i/lyric, lirique)65, yaitu puisi dalam bentuk nyanyian yang digubah penyair untuk mengekspresikan perasaannya dan segala emosi yang berkecamuk di dadanya, seperti puisi ghazal (percintaan) dan fakhr (narsisisme)66 yang terdapat dalam sastra Arab. Ketiga adalah puisi drama atau teatrikal (al-syi’r al-tamtsîli / dramatic poetry), yaitu puisi yang digunakan untuk menggambarkan suatu peristiwa yang diperankan oleh berbagai tokoh atau lakon dengan menggunakan puisi sebagai alat komunikasinya.67 Sebagaimana kita ketahui sebelumnya, bahwa kehidupan masyarakat Arab Jahiliyah tidak pernah terlepas dari peperangan antar kabilah, namun demikian, di dalam khazanah sastra Arab tidak ditemukan puisi-puisi heroik (malhamah) yang panjang. Hal ini menurut al-Iskandari dkk., disebabkan keterbatasan daya imajinasi dan pengetahuan mereka, di samping peradaban mereka yang masih rendah, sehingga tidak semua orang mampu mengungkapkan perasaan mereka ke dalam susunan puisi yang indah dan berkesinambungan. Namun berdasarkan bentuknya yang lebih mengutamakan matra dan rima, maka bisa dipastikan bahwa mayoritas syair Arab Jahiliyah masuk ke dalam kategori puisi lirik (al-syi’r al-ghinâ’i), yaitu puisi yang lebih mengutamakan aspek keindahan irama dan musik.68 Para ahli sastra Arab biasanya membagi jenis syair Arab ke dalam beberapa bagian yang dikenal dengan istilah aghrâdl al-syi’r. Adapun yang dimaksud dengan aghrâd al-syi’r di dalam syair Jahiliyah adalah tema yang dibuat para penyair yang berkaitan dengan tujuan mereka dalam menggubah syairnya atau secara singkat tujuan pembuatan syair. Sebagai contoh, jika penyair menggubah syairnya dengan tujuan untuk mengagung-agungkan dirinya atau sukunya, maka syairnya disebut dengan fakhr, namun bila penyair menggubah syairnya untuk menyanjung dan mengagumi seseorang,

65 Lirik (lyric, lirique) adalah (1) sajak yang merupakan susunan kata yang berbentuk nyanyian. (2) karya sastra yang berisi curahan perasaan pribadi yang mengutamakan lukisan perasaan. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, hal. 49 66 Narsisisme (narcissism) adalah kekaguman yang berlebih-lebihan akan sifat fisik atau watak diri sendiri. Narcissus adalah nama seorang pemuda –dalam mitologi Barat klasik- yang tertarik sekali kepada bayangannya sendiri dalam sebuah kolam. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, hal. 54 67 al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 43 68 al-Iskandari dkk, al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 43 dan 45

24 baik keberaniannya, kedermawanannya, atau sifat lainnya, maka syairnya tersebut disebut madh, dan lainnya.69 Tema-tema tersebut terkait erat dengan kondisi sosiologi dan budaya bangsa Arab saat itu. Ada beberapa tema yang biasanya digemari oleh penyair Jahiliyah, di antaranya; ghazal70, madh, hijâ, hamâsah, ritsâ, fakhkhar, dan washaf. Ghazal71 merupakan salah satu tema syair Jahiliyah yang sangat terkenal. Ghazal, menurut Husein ‘Athwan merupakan muqadimah syair Jahiliyah yang paling populer. Oleh sebab itu, setiap penyair dianggap kurang afdal bila belum mengucapkan ghazal dalam pembukaan syairnya.72 Ghazal sendiri secara bahasa mengandung arti menyebut atau membicarakan tentang perempuan73, yang kemudian di dalam istilah sastra Arab lebih cenderung pada rayuan, cinta dan asmara. Ghazal sangat erat kaitannya dengan nasîb atau tasybîb. Ketiga istilah tersebut, sering kali dipadankan artinya. Ketiga istilah tersebut secara semantik memiliki keterkaitan makna yaitu sama- sama membicarakan berbagai hal tentang perempuan, baik kecantikannya maupun tingkah lakunya, lahir maupun batin. Namun sebagian para kritikus berupaya membedakan kedua istilah tersebut, sebagai contoh Qudâmah ibn Ja’far memberikan definisi ghazal dengan trik-trik merayu perempuan dengan menggunakan elemen- elemen perempuan itu sendiri sebagai mediatornya. Rayuan tersebut dimaksudkan untuk menarik perhatian perempuan, sehingga akhirnya menyukainya. Adapun yang dimaksud dengan nasîb adalah berbagai upaya yang dilakukan seorang laki-laki untuk memperoleh cinta perempuan dengan menunjukkan bukti-bukti kecintaannya tersebut, seperti dengan cara menyebutkan hal-hal yang berhubungan dengan kerinduan,

69 Nabilah Lubis, al-Mu’în fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, (Jakarta: Kuliyyat al-Adab wa al- ‘Ulûm al-Insâniyah Jâmiah Syarîf Hidâyatullah, 2005), hal. 27 70 Dalam kamus Istilah Sastra disebutkan bahwa ghazal adalah salah satu jenis puisi lirik asmara terdiri dari delapan larik, tiap lariknya berakhir dengan kata yang sama. Gazal berasal dari sastra Persia dan berpengaruh pada sastra Melayu Lama. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: UI-Press, 1990), hal. 33 71 Menurut Abu al-Faraj al-Ishfahâni, al-Muhalhil ibn Rabî’ah adalah orang yang pertama kali menggunakan ghazal sebagai mukadimah dalam syairnya. Pendapat ini juga didukung oleh ‘Abd al-Qâdir al-Baghdâdi. Husein ‘Athwân, Muqaddimah al-Qasîdah al-‘Arabiyah fi al-‘Ashr al-Jâhili, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, tth), hal. 92 72 Husein ‘Athwân, Muqaddimah al-Qasîdah al-‘Arabiyah fi al-‘Ashr al-Jâhili, hal. 92 73 Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lâm, hal. 550

25 mengingat tempat-tempat percintaan dengan semilir angin, kilat yang berkilau, burung merpati pembawa kabar, mimpi-mimpi yang hadir, puing-puing bangunan yang masih tersisa, serta benda-benda lainnya yang mulai menghilang.74 Nasîb dalam literature sastra Arab Jahiliyah memiliki peranan yang sangat penting, dan menempati posisi awal dalam tema-tema syair lainnya. Sehingga meskipun yang diinginkan adalah tema-tema lain, namun nasîb akan disajikan terlebih dahulu sebagai prolog75. Nasîb dianggap sebagai hiburan hati dan kesenangan jiwa, karena spiritnya adalah cinta, dan cinta adalah rahasia dalam setiap kehidupan manusia. Dan masyarakat Badawi adalah kelompok manusia yang paling merindukan cinta, karena perasaan sepi yang selalu meliputi mereka, pertemuan dengan beraneka macam suku baik pada saat musim panas maupun musim semi. Maka pada saat perpisahan terjadi, setiap pecinta menguntai kata cintanya, lalu di kemudian hari mereka kembali ke tempat tersebut dan membangkitkan perasaan duka akibat perpisahan, lalu kembali menguntai kata dengan syair untuk mengingat kembali hal yang telah terjadi di antara mereka pada saat melihat jejak-jejak dan puing-puing yang ditinggalkan kekasihnya.76 Berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam syair Jahiliyah, al-Iskandari dkk., dalam bukunya al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi menyatakan bahwa, penyair Jahiliyah, selain dalam syair ritsâ, biasanya hanya menggunakan satu metode dalam menyusun kasidahnya, yaitu selalu diawali dengan tasybîb, yakni menyebutkan terlebih dahulu dalam kasidahnya perempuan dan segala hal yang berkaitan dengannya, seperti menyebutkan kepergian mereka dari satu tempat ke tempat lain, berhenti di atas puing- puing peninggalan mereka, menangisi rumah sepeninggal mereka, kecantikannya, perasaan cintanya pada perempuan, kendaraan atau unta yang dikendarainya, cepat dan lambatnya cara mereka berjalan, dan lain sebagainya.77

74 Muhammad Ridla Marawwah, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1411 H/ 1990 M), cet. 1, hal. 45-46 75 Prolog (prologue) adalah pembukaan atau permulaan yang mengantarkan karya sastra dan yang merupakan bagian karya sastra tersebut, namun sifatnya berbeda dari prakata. Dalam bahasa Arab disebut dengan mukadimah. 76 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inani, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 47 77 Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 112- 113

26 Untuk itu menurut Yûsuf Khalîf, perempuan menempati posisi yang sangat penting dalam tradisi sastra Arab Jahiliyah, sehingga dalam budaya tersebut, ia ibarat ruh yang menghidupkan sebuah syair. Tasybîb78 dalam syair Jahiliyah sudah dianggap sebagai tardisi sakral yang tidak boleh terlewatkan.79 Syair dalam bentuk seperti ini sangat disukai para penyair Arab Jahiliyah bahkan hingga saat ini.80 Berikut ini contoh ghazal dari penyair Badawi terkenal ‘Antarah ibn Syaddad untuk sang kekasih ‘Ablah: َر َم ْت الفُ َؤادَ مليحةٌ عذرا ُء 81 بِ ِس َها ِم َل ْح ٍظ َم ا َل ُه َّن دَ َوا ٌء 82 Gadis cantik nan rupawan itu memanah hatiku Dengan panah (kerlingan) matanya yang tidak ada obatnya

م ّر ْت أوا َن العيد بين نواهد 83َ مثل الشموس ِلحا ُظهن ظباء Pada hari raya ia berjalan di antara gadis-gadis Bagai mentari-mentari, kerlingan mata mereka bagaikan kijang

Tradisi ghazal, nasîb ataupun tasybîb ini, biasanya hanya dilakukan oleh para penyair pria, untuk itu saya (penulis) menganggap bahwa inilah salah satu corak syair feminis yang terdapat dalam syair Jahiliyah, yaitu syair hasil karya kaum laki-laki yang secara khusus berbicara tentang perempuan, sikap dan cara pandang mereka terhadap perempuan, baik mewakili individu masing-masing ataupun hal-hal yang menggambarkan perilaku sosial secara umum. Tema lainnya yang disukai penyair Jahiliyah adalah madh. Madh adalah sejenis syair yang dibuat dengan tujuan untuk memuji sesuatu atau seseorang. Pada dasarnya ada kemiripan antara syair madh dan fakhr, yaitu keduanya sama-sama berisikan pujian.

78 Yusuf Khalif menyebut al-tasybib dengan sebutan al-muqaddimat al-gharamiyah yang artinya pendahuluan puisi cinta. 79 Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al-Syi’r al-Jâhili, (ttp: Maktabah Gharîb, tth), hal. 74 80 Muhammad Sa’ad ibnu Husain, al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, (al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’udiyah: Wuzarat al-Ta’lim al-‘Ali, 1410 H), hal. 81 ‘Adzrâ adalah gadis yang belum disentuh laki-laki (virgin) 82 Bahr kâmil: mutafâ’ilun-mutafâ’ilun, dengan qâfiyah mutawâtir 83 Nawâhid adalah bentuk jamak dari nâhid atau nâhidah yang artinya anak gadis dengan payudara yang bulat dan membusung, artinya gadis remaja yang sedang ranum.

27 Akan tetapi jika madh merupakan pujian untuk orang lain, fakhr adalah pujian yang digunakan untuk membanggakan diri sendiri (narsis).84 Di dalam syair Jahiliyah, tradisi madh biasanya tidak dilakukan kecuali jika orang yang dijadikan objek pujian itu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari sang penyair. Untuk itu, madh seperti ini, biasanya dibuat secara berlebih-lebihan dengan tujuan untuk mengambil hati seseorang atau mencari muka agar orang tersebut tertarik dan memberikan imbalan padanya. Corak syair seperti ini, mayoritas dilakukan oleh para penyair istana.85 Sebagai contoh, syair madh yang dibuat al-Nâbighah al-Dzubyâni penyair istana (penyair komersil) yang ditujukan untuk al-Nu’mân ibn al-Mundzir saat ia mohon pengampunan atas kesalahan yang ia lakukan, yang salah satunya bait berikut ini: أل ْم تر أن هللا أعطاك سورة ترى ك ّل ملك، دونها يتذبذب86 Tidakkah engkau melihat, bahwa Allah telah memberikan kedudukan yang tinggi padamu, yang dengan itu engkau dapat menyaksikan semua raja yang ada di bawahnya merasa tergoncang

فإنك شمس والملوك كواكب إذا طلع ْت لم يبد منه ّن كوكب87 Sesungguhnya engkau adalah mentari, dan raja-raja itu bintangnya Jika mentari terbit, tidak ada satupun bintang yang tampak

Tema yang ketiga adalah hijâ’ atau syi’ir ejekan88. Syair hijâ adalah syair yang dibuat untuk membangkitkan permusuhan, kemarahan, kebencian, kedengkian,

84 Ibrâhîm ‘Alî Abu al-Khasyâb dan Ahmad ‘Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, hal. 54 85 Ibrâhîm ‘Alî Abu al-Khasyâb dan Ahmad ‘Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili, hal. 55-56 86 Bahr Thawîl: fa`ûlun - mafâ`îlun - fa`ûlun - mafâ`ilun 87 ‘Abbâs ‘Abd al-Sâtir, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1416 H/1996 M), hal. 28 88 Di dalam sastra Barat hija’ mungkin yang dikenal dengan istilah sarkasme (sarcasm, sarcasme), sebuah bentuk ironi yang mengandung kepahitan serta kekasaran. Sarkasme bersifat mencemoohkan, menyakitkan hati, selalu ditujukan kepada pribadi tertentu. Kamus Istilah Sastra, hal. 71

28 perselisihan, perpecahan, fanatisme kesukuan, membela seseorang, dan yang paling popular pada masa Jahiliyah adalah untuk mengobarkan api peperangan.89 Penulis buku al-Hija, membagi jenis syair ini ke dalam lima bagian, yaitu al- hijâ al-syakhshî, al- hijâ al-akhlâqî, al- hijâ al-siyâsî, al- hijâ al-dînî, dan al- hijâ al- ijtimâ’î. Al- hijâ al-syakhshî adalah syair yang dibuat untuk mengejek pribadi seseorang dari segi fisik seperti mulut, gigi, mata, jenggot, rambut, kulit yang hitam, suara, dan lain sebagainya. Al- hijâ al-akhlâqî digunakan untuk mengejek seseorang dari segi mental, seperti sifat pengecut, pelit, dungu, dan sifat-sifat negative lainnya. Al- hijâ al- siyâsî adalah syair yang dibuat untuk kepentingan politik. Pada masa Jahiliyah syair seperti ini sangat digemari oleh masyarakat karena terkait erat dengan fanatisme kesukuan sebagai salah satu sistem politik yang mereka anut, di samping itu tentu saja untuk membangkitkan semangat peperangan dan balas dendam di antara mereka. Al- hijâ al-dînî adalah bentuk syair yang dibuat dalam rangka membela dan mempertahankan agama. Jenis ini lebih banyak dilakukan pasca kedatangan agama Islam, sebab pada masa Jahiliyah, agama bukanlah suatu elemen yang dapat memicu suatu peperangan. Sebagaimana kita ketahui, peperangan pada masa itu biasanya lebih disebabkan oleh persoalan ekonomi. Al- hijâ al-ijtimâ’î adalah syair yang dibuat untuk mengkritisi kondisi sosial yang tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan dan harapkan. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Arab Jahiliyah memiliki tradisi yang mengagungkan keberanian, kedermawanan, memelihara kehormatan tetangga, dan membalas dendam, maka jika ada anggota masyarakat yang tidak melakukan hal-hal seperti itu, inilah yang kemudian menjadi sasaran dari Al- hijâ al-ijtimâ’î (kritik sosial).90 Sebagai contoh syair yang diucapkan oleh Ubaid ibn al-Abrash untuk Umru al- Qais, setelah kaumnya membunuh ayah Ubaidh:

89 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 56 90 Keterangan lengkap tentang syair hijâ , lih., Tim Penulis, al-Hijâ, (ttp: Dâr al-Ma’arif, tth), hal. 5-91

29 نحن األلى فاجمع جمو # عك ثم و ّجههم إلينا91 Kamilah yang terbaik, maka kumpulkanlah pasukanmu Lalu hadapkan pada kami

ولقد أبحنا ما حميـ # َت وال ُمبي َح لما حمينا92 Kami halalkan yang kamu lindungi Namun tidak halal (bagimu) apa yang kami lindungi

Syair ini adalah salah satu contoh dari al-hija al-siyasi yang dibuat oleh penyair untuk menantang seseorang atau kelompoknya yang dalam hal ini adalah kaum dari Umru al-Qais untuk berperang. Hamâsah (heroic poems). Secara umum yang dimaksud dengan hamâsah adalah syair kepahlawanan. Di dalam sastra Arab yang dimaksud dengan hamâsah adalah salah satu jenis syair yang bertemakan tentang peristiwa peperangan yang sangat terkenal, tempat peristiwa peperangan, kisah kepahlawanan yang fenomenal, kemenangan yang terus menerus, kekuatan dan keberanian, intrik dan strategi perang, pertahanan dan perlindungan terhadap kabilah, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dunia perang. Dunia padang pasir yang sangat keras juga tradisi mereka yang suka berperang, menjadikan hamâsah sebagai salah satu corak syair yang digemari di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah.93 Syair hamâsah terkait erat dengan syair fakhr, bedanya adalah jika fakhr merupakan syair yang digunakan untuk membanggakan diri secara umum, sedangkan hamâsah digubah secara khusus sebagai spirit saat maju ke medan perang, mengahadapi marabahaya. Sebagai contoh syair Shafiyyah binti Tsa’labah al-Syaibâniyah yang

91 Bahr Kâmil: mutafâ`ilun - mutafâ`ilun - mutafâ`ilun 92 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 57 93 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 61

30 bergelar al-Hujajiyah94, saat ia datang pada Kabilah Dzuhl mengajak mereka untuk memerangi Kisrâ95 berikut ini: اليو َم يو ُم ال ِع ّز ال يو ُم النَدَم يوم َر َّماح وجياد و َخدَ ْم 96 Hari ini adalah hari kemenangan, bukan hari penyesalan Hari bagi orang-orang yang bersenjata lembing, para pahlawan, dan prajurit

يو ٌم به األرواح جهرا تصطلم سوف ترى البي َض غداة ال ُم ْبتَ َس ْم Hari di mana para arwah terpisah dengan jelas Kalian pasti akan melihat bangsa ini esok pagi tersenyum bahagia

إن صبر ْت ذ ْه ُل فع ّزى اليوم ت َّم Andai Bani Dzuhl bersabar, pasti kemenangan hari ini akan sempurna Jenis syair lainnya yang sangat digemari terutama oleh penyair perempuan adalah ritsâ. Jenis syair ritsâ telah dikenal lama di dalam perjalanan sastra Arab Jahiliyah. Di dalam sastra dunia, ritsâ dikenal dengan istilah elegi, yaitu sajak atau lagu yang mengungkapkan rasa duka atau keluh kesah karena sedih, rindu, atau murung, terutama karena kematian seseorang.97 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ritsâ dalam syair Arab adalah syair ratapan. Syair ini biasanya digubah sebagai ungkapan bela sungkawa atas kejadian yang menyedihkan. Menurut tim penulis buku al-Ritsâ98, ada tiga jenis ritsâ yang biasanya dibuat oleh penyair, yaitu al-nadb, al-ta’bîn, dan al-‘azâ. Al-nadb adalah ritsâ yang dibuat untuk meratapi dan menangisi orang yang meninggal dunia sebagai ungkapan duka cita, dengan menggunakan kata-kata yang menyayat hati, sehingga mampu membuat luluh hati yang keras dan melelehkan air mata yang beku. Bagaimana tidak, sebab biasanya ritsâ ini diungkapkan secara berlebihan, diucapkan dengan suara yang keras dan

94 al-Hujajiyyah berasal dari kata hujjah yang berarti argumen. Gelar ini diberikan pada Shafiyyah karena kemampuannya dalam berdiplomasi politik, sehingga ia mampu mempersatukan kabilah-kabilah Arab untuk menyerang raja Persia. 95 Gelar bagi raja Persia 96 Bahr Rajaz: mustaf`ilun - mustaf`ilun - mustaf`ilun 97 Istilah lain dalam bahasa Indonesia adalah puisi ratapan atau sajak ratap. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, hal. 27 98 Tim Penulis, al-Ritsâ, (ttp: Dâr al-Ma’ârif, tth). Penjelasan lengkap mengenai ritsâ, dapat dilihat dalam buku tersebut.

31 menyayat hati, disertai dengan cucuran air mata yang tiada henti. Al-nadb banyak dijumpai dalam syair-syair Jahiliyah. Biasanya para perempuan sengaja berkumpul untuk meratapi mayat, tradisi ini masih dilakukan setelah datangnya Islam. Pada masa Jahiliyah, para penyair perempuan biasa membuat syair jenis ini untuk meratapi kematian seseorang.99 Secara umum ada lima objek ratapan dalam al-nadb, yaitu sanak keluarga dan kerabat, diri sendiri, Rasulullah saw dan keluarganya, juga kerajaan dan kota yang hilang. Dalam syair Jahiliyah yang paling terkenal adalah ratapan yang pertama, yaitu ratapan untuk sanak keluarga dan kerabat. Pada masa Jahiliyah, jenis ini didominasi oleh para penyair perempuan, mereka terbiasa meratapi ayahnya maupun saudara- saudaranya yang meninggal dunia, baik meninggal secara biasa, ataupun yang disebabkan oleh peperangan, seperti tertembak panah dan tertusuk pedang. Penyair perempuan yang sangat terkenal dengan ritsâ al-nadb adalah al-Khansa. Selain untuk keluarga, ratapan lain yang berkembang sejak masa Jahiliyah adalah ratapan untuk diri sendiri. Ratapan ini dibuat menjelang kematian seseorang.100 Jenis ritsâ yang kedua adalah al-ta’bîn yaitu pujian terhadap orang yang telah meninggal dunia. Makna dasar dari al-ta’bîn pada dasarnya adalah pujian untuk seseorang, baik yang masih hidup ataupun sudah meninggal. Lalu istilah tersebut mengalami penyempitan makna, menjadi pujian yang khusus untuk orang yang telah meninggal. Salah satu tradisi yang biasa dilakukan masyarakat Arab Jahiliyah adalah berhenti di depan kuburan seseorang untuk mengingat perbuatan dan tingkah lakunya semasa hidup, serta kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, lalu memujinya. Hal itu mereka lakukan agar kenangan tentang si mayit terus terjaga sepanjang masa.101 Jenis ratapan al-ta’bîn, biasanya ditujukan untuk raja dan menteri, para bangsawan, pembesar, dermawan, panglima perang, tokoh-tokoh agama maupun sastrawan. Jenis syair yang terkenal pada masa Jahiliyah adalah al-ta’bîn untuk raja dan menteri yang digunakan mengenang mereka ketika telah meninggal dunia. Selain itu,

99 al-Ritsâ, hal. 12 100 lih. al-Ritsâ, hal. 13-53 101 al-Ritsâ, hal. 54

32 jenis lainnya yang tidak kalah penting adalah al-ta’bîn untuk para bangsawan, dermawan, para panglima perang, dan tentu saja untuk para penyair itu sendiri.102 Ratapan pujian ini, terkait erat dengan kondisi sosiologi bangsa Arab saat itu, yang sangat menghormati unsur-unsur masyarakat tersebut. Jenis ritsâ yang terakhir adalah al-‘azâ. Makna dasar dari al-‘azâ itu sendiri adalah sabar. Istilah ini lalu dipersempit artinya menjadi sabar dan ikhlas atas cobaan yang disebabkan kematian. Pada zaman Jahiliyah, penyair dalam syairnya biasanya menyabarkan terlebih dahulu dirinya sendiri, lalu keluarga, para pemimpin kabilah, dan terakhir untuk orang-orang yang ada di sekitarnya. Intinya adalah bahwa para penyair Jahiliyah biasanya menggubah ratapan al-‘azanya, pertama kali ditujukan untuk dirinya, lalu untuk orang lain. 103 Pada masa Jahiliyah, syair ritsâ terutama al-nadb, lebih banyak digubah oleh penyair perempuan. Hal ini terkait erat dengan perasaan perempuan yang sangat sensitif, sehingga ketika ia mengalami sebuah tragedi kematian, ia lebih emosional dibanding dengan kaum laki-laki. Namun demikian, ini tidak berarti penyair pria tidak menyukai jenis ritsâ, hanya saja kondisi dan tradisi yang mengelilingi mereka, menuntutnya untuk selalu berjiwa besar, pemberani dan tidak cengeng, sehingga terkesan maskulin. Sedangkan ritsâ bagi kaum perempuan biasanya bersumber dari rasa cinta dan sayang, sehingga terkesan bersifat feminin.104 Adapun fakhr105 adalah jenis syair yang digubah untuk tujuan membanggakan diri, nasab, keluarga, maupun kabilah, serta sifat-sifat istimewa yang mereka miliki. Sebagai contoh syair fakhr ‘Antarah ibn Syaddad, saat membanggakan dirinya sebagai prajurit yang gagah berani:

102 al-Ritsâ, hal. 55, 62, dan 70 103 al-Ritsâ, hal. 86 104 Hal ini senada dengan apa yang diutarakan oleh`Abd al-Rahmân Al-Dabbâsi pada saat menggambarkan hubungan syair dengan kehidupan sosial` penduduk Yamamah. Abd al-Rahmân ibn Ibrâhîm Al-Dabbâsi, al-Syi`r fi Hâdlirat al-Yamâmah hattâ Nihâyat al-`Ashr al-Umawi, (Riyâdl: Maktabah al-Malik `Abd al-`Azîz, 1416), hal. 272 105 Di dalam satra dunia dikenal dengan istilah narsisisme (narcissism), yaitu kekaguman yang berlebihan akan sifat fisik atau watak diri sendiri. Narcissus adalah nama pemuda dalam mitologi Barat klasik yang tertarik sekali pada bayangannya sendiri dalam sebuah kolam. Kamus Istilah Sastra, hal. 54

33 وكم من فارس أضحى بسيفى هشي َم الرأس مخضو َب اليدين Berapa banyak prajurit yang remuk kepalanya dan terpenggal tangannya karena pedangku

يحوم عليه عقبان المنايا وتح ُجل حوله غربان بين106 Dikelilingi rajawali kematian Dan sekelilingnya berlalu lalang gagak-gagak kematian

Washf adalah jenis syair yang dibuat untuk mendeskripsikan atau menggambarkan sesuatu, seperti keindahan alam, pemandangan, kehancuran, peperangan, dan lain sebagainya. Pada masa Jahiliyah, selain alam, objek lain yang paling dominan dalam washf adalah perempuan.107 Tema ini termasuk tema yang sangat disukai dan biasanya dijadikan sebagai mukadimah (prolog) syair, sebelum membicarakan tema-tema lainnya. Syair ini banyak berkembang dari waktu ke waktu karena lebih imajinatif dan inspiratif. Untuk itu, gaya bahasa pada syair washf banyak menggunakan tasybih, majas dan isti’arah. Sebagai contoh, syair Amru al-Qais berikut ini: ُم َه ْف َه َفةٌ بيضاء غير مفاضة ترائبها مصقولة كالس َج ْن َجل108 Langsing, putih, ramping Dadanya berkilau bagai cermin

تصدّ وتبدى عن أسيل وتتقى بناظرة من وحش وجرة ُمط ِفل Ia berpaling, menampakan pipinya yang ranum, dan ia jauhkan pandangannya dari buasnya mata sapi ( yang telah beranak)109

وجي ٍد كجيد الرئم ليس بفاحش إذا هى نصته وال بمع َّطل Lehernya bagaikan leher kijang yang putih tanpa noda, Saat ia biarkan terbuka dengan perhiasan yang menghiasinya

106 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 172-173 107 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 64 108 Sajanjal: Kaca (Yunani) 109 dalam bait ini perempuan diumpamakan bagai kijang yang sedang melihat sapi yang galak, lalu dengan perlahan-lahan ia memalingkan lehernya darinya.

34 Itulah beberapa tema syair Jahiliyah yang sangat poluler. Tema-tema tersebut, terkait erat dengan situasi dan kondisi sosiologis dan psikologis bangsa Arab saat itu, juga mencerminkan tingkah laku, watak dan cara pandang bangsa Arab Jahiliyah. c. Karakteristik dan kategorisasi syair Jahiliyah Syair Arab Jahiliyah dianggap sebagai catatan sejarah (dîwan) bangsa Arab pada masa Jahiliyah yang menggambarkan perjalanan hidup mereka, dari tradisi, norma maupun budaya. Secara bahasa, syair Arab Jahiliyah memiliki karakteristik tersendiri, seperti bersifat natural dan tidak terkesan dipaksakan. Hal ini merupakan cermin kehidupan masyarakat badawi yang biasa hidup bebas tanpa ada aturan yang mengikatnya. Untuk itu jarang sekali didapati suatu syair yang terlihat dipaksakan, kalau pun ada hanyalah untuk mubâlaghah (hiperbola). Penyair Arab Jahiliyah cenderung memilih kata-kata yang simpel, singkat, dan padat (ijâz). Untuk menggambarkan suatu objek, biasanya mereka mengambil kata yang terdekat maknanya sehingga tidak terasa asing di telinga. Jika ditemukan kata-kata asing di telinga kita, hal itu disebabkan jarak waktu yang memisahkan antara masa itu dengan masa sekarang, di samping kita tidak mengetahui dengan pasti kehidupan yang bagaimana yang mereka jalani selama ini, selain dari peninggalan yang mereka tinggalkan yang tidak mungkin bisa dipahami secara utuh. Syair Jahiliyah tidak banyak yang memperdulikan aksesoris-aksesoris seni yang menambah keindahan, untuk itu tidak banyak digunakan jinas110 maupun aksesoris badi’ lainnya. 111 Ciri khas lainnya yang tedapat dalam syair Jahiliyah adalah hampir selalu didahului dengan kata-kata rayuan untuk perempuan atau menyebutkan hal-hal yang berbau perempuan (tasybîb), dengan melukiskan perempuan saat bepergian dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, kemudian penyair berhenti di atas puing- puing yang ditinggalkannya dan menangisinya. Terkadang tasybîb tersebut digunakan untuk melukiskan kecantikan perempuan dan perasaan cinta sang penyair pada perempuan tersebut. Selanjutnya penyair melukiskan kuda dan unta yang dikendarai

110 Penggunaan lafaz yang sama atau serupa, namun untuk makna yang berbeda (homonim), seperti kata sâ’ah yang bermakna waktu dan hari kiamat. 111 al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 47

35 perempuan, serta cepat maupun mudahnya perjalanan mereka. Terkadang para penyair tersebut mengibaratkan perempuan dengan binatang-binatang liar seperti kambing hutan, kijang dan lain sebagainya. Untuk itu mereka terbiasa membuat perumpamaan- perumpamaan untuk perempuan sesuai dengan tradisi dan adat istiadat mereka. Penulis buku Buhuts fi al-Adab al-Jahili secara singkat menyebutkan karakteristik bahasa yang terdapat pada syair Jahiliyah sebagai berikut, pertama menggunakan bahasa yang simpel terutama pada syair-syair hamâsah (patriotisme), fakhr (membanggakan diri) dan tawa’ud (ancaman). Kedua, konten pembicaraan didominasi tentang kehidupan badawi, seperti, binatang buruan, kijang, binatang buas, gunung, di samping itu hal-hal yang berkaitan dengan kedermawanan, perlindungan, bepergian, dan lain sebagainya. Ketiga, dari segi gaya bahasa, banyak digunakan kosakata-kosakata asing jika dibandingkan dengan bahasa saat ini. Keempat daya imajinasi mereka yang masih sangat minim, menjadikan makna yang mereka gunakan mudah untuk dipahami. Selain hal tersebut, syair Jahiliyah adalah syair yang natural tidak banyak yang dipaksakan seperti pada syair-syair setelahnya. Hal ini mencerminkan kehidupan mereka yang bebas alamiah.112 Sedangkan penulis al-Wasîth mendeskripsikan secara singkat beberapa kriteria khusus syair Arab Jahiliyah, seperti makna yang terkandung dalam syair sangat jelas sesuai dengan fakta dan realita, tidak banyak hiperbola atau makna-makna yang berlebihan, sehingga menjadi tidak logis dan tidak natural, selain itu makna yang digunakan juga tidak asing113 dan tidak banyak mengandung metafora.114 Syair Jahiliyah itu sendiri dibagi menjadi beberapa kategorisasi. Penulis buku Al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi membagi penyair Jahiliyah ke dalam enam

112 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 47 113 Yang dimaksud tidak asing di sini bukan berarti mudah dipahami saat ini, namun bahasa yang digunakan lebih bersifat kongkrit tidak banyak mengandung metafora. Sebab jika dibandingkan dengan bahasa Arab kontemporer tentu saja bahasa syair Jahiliyah lebih rumit untuk dipahami karena jauhnya masa yang memisahkan. 114 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, tth), hal. 50. Pendapat penulis yang menyatakan bahwa syair Jahiliyah tidak banyak mengandung metafora dan makna asing perlu dibuktikan lagi melalui penelitian.

36 kategori, yaitu: penyair Badawi yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu Sha’âlîk dan ghair Sha’âlîk, penyair aristokrat, penyair istana atau penyair komersil (bilâth wa takassub)115, penyair filsuf (hikmah), penyair religi (madzhab), dan penyair perempuan.116 Kategorisasi syair ini dijadikan sebagai landasan penelitian, untuk itu penyair istana, (penyair aristokrat dan penyair komersil), penyair Badawi (Sha’âlîk dan ghair Sha’âlîk), dan penyair perempuan akan dibahas secara khusus dalam bab analisis. Namun untuk penyair hikmah dan madzhab akan dibahas secara ringkas dalam pembahasan ini, meski dalam analisis keduanya dimasukan dalam penyair Badawi. Secara literal, hikmah berarti mengetahui yang benar, meletakan sesuatu pada tempatnya, selalu objektif dalam berfikir, matang dalam berfikir, atau dalam bahasa yang singkat adalah sikap bijaksana. Untuk itu yang dimaksud dengan hikmah dalam syair adalah ungkapan yang indah dan menarik sehingga mampu menyentuh hati pendengarnya. Atau dengan kata lain adalah kata-kata bijak yang diungkapkan lewat syair dengan menggunakan bahasa yang sangat indah dan menarik.117 Penyair yang banyak menggubah syair-syair seperti ini disebut dengan penyair hikmah atau mungkin sederajat dengan filsuf karena besarnya pengaruh yang ia miliki bagi masyarakat umum. Di dalam syair Jahiliyah, ada dua nama yang biasanya dikategorikan sebagai penyair hikmah, yaitu Zuhair ibn Abî Sulmâ dan Labîda ibn Rabî’ah al-‘Âmirî118. Di antara keduanya yang paling terkenal adalah Zuhair ibn Abi Sulma. Zuhair Ibn Abi Sulma oleh para sejarawan dianggap sebagai penyair komersil. Hal ini disebabkan karena ia banyak memperoleh keuntungan pribadi dari syair-syairnya. Pujian-pujiannya yang abadi yang ia ciptakan untuk Harim ibn Sinân al-Murrî dan al-Hârits ibn `Auf dua

115 Penyair kerajaan yang secara khusus dibayar demi kepentingan istana dan para raja. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada bab III. 116 Karl Brookman, dikutip oleh Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 64. Pembagian yang dilakukan oleh Karl Brookman tersebut cenderung mengacu pada kondisi sosial dan budaya Arab saat itu. 117 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 70

118 Nama lengkapnya adalah Abu ‘Uqail Labida ibn Rabi’ah al-‘Amiri, satu dari tujuh ashab al- mu’allaqat. Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang terhormat, suka menolong orang yang lemah. Pada saat Islam datang, ia memeluk agama Islam pada tahun 629, lalu pindah ke Kufah dan menghabiskan waktunya di sana hingga akhir hayatnya.

37 dari pemuka-pemuka kabilah Ghatfan119 yang sangat ia banggakan karena kepemimpinannya yang sangat peduli terhadap kaumnya, menjadikannya memiliki banyak harta.120 Namun bagi sebagian sejarawan yang mengikuti perkembangan dan kehidupannya, serta berdasarkan karakter yang ia miliki, mereka sangat percaya bahwa syair-syair Zuhair meskipun dibuat untuk mencari rizki dan dijadikan sebagai mata pencaharian hingga membuatnya hidup senang, namun mereka tidak menganggapnya sebagai penyair komersil atau dikategorikan sebagai penyair yang hanya mencari keuntungan semata tanpa memperdulikan kualitas yang hanya menghasilkan karya kacangan. Zuhair menggubah syair-syairnya dan memuji Harim bukan semata-mata untuk memperoleh uang dan kekayaan, namun didorong oleh rasa salut dan takjub akan segala kebaikan dan kemulian akhlaknya, serta kehebatannya. Haram selalu menganjurkan umat manusia untuk saling menghargai dan mengasihi, serta menyebarkan perdamaian melalui aturan-aturan yang ia buat di saat memerintah.121 Berikut gambaran syair hikmah Zuhair ibn Abi Sulma: فال تكت ُم َّن هللاَ ما فى نفوسكم ليَ ْخ َفى ومهما يُ ْكتَ ِم ْْ، هللا يعلم Janganlah kalian sembunyikan apa yang terdapat dalam hatimu dari Allah Agar tersembunyi, sebab apapun yang disembunyikan, Allah pasti mengetahuinya

يُ َؤ َّخ ْر فيُ ْو َض ْع فى كتاب فيُدَّ َخ ْر ليوم الحساب أو يُعَ َّج ْل فيُ ْنقَم

119 Bani Ghathfân adalah kabilah besar tempat dibesarkannya Zuhair ibn Abi Sulma, sedangkan paman-pamannya berasal dari Kabilah Dzubyân. Untuk itu, ia pada dasarnya memiliki keturunan yang sama dengan penyair al-Nabighah al-Dzubyâni. Muhammad Yûsuf Farran, Zuhair ibn Abi Sulmâ; Hayâtuhu wa Syi`ruhu, hal. 33 120 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 188. Muhammad Yûsuf Farran, Zuhair ibn Abi Sulmâ; Hayâtuhu wa Syi`ruhu, (Beirut: Dâr al-Kutub al- `Ilmiyah, 1411 H / 1990 M), cet. 1, hal. 35 121 Kehidupan Zuhair sendiri tidak banyak diketahui para sejarawan. Namun sebagaimana diriwayatkan bahwa Zuhair ibn Abi Sulma merupakan keturunan kabilah Mudlar, sekaligus penyair kabilah ini. Zuhair dan kabilahnya tinggal di wilayah Ghatfan. Ia lahir dari sebuah keluarga penyair, sebab sebagaimana diketahui bahwa pamannya dari ayah yang bernama Busyamah ibn al-Ghadir terkenal dengan syair-syair dan hikmahnya juga kecerdasannya. Bila kabilah Ghatfan ingin berperang, sebelumnya mereka mendatangi terlebih dahulu Busyamah untuk bermusyawarah dan meminta pendapatnya. Dan jika pulang dari peperangan, mereka tidak lupa membagi penghasilannya untuk Busyamah dengan jumlah yang sama dengan para pimpinan kabilah. Hal ini diikuti oleh Zuhair, baik dari kepandaiannya membuat syair maupun kecerdasannya. Selain itu suami ibunya yaitu Aus ibn Hajar juga seorang penyair, ayah kandungnya juga seorang penyair, demikian pula saudara perempuannya Salma, dan dua orang saudara laki-lakinya Ka’ab dan Bajîr.Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al- Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 91

38 Ditunda lalu di simpan dalam Kitab (catatanTuhan) Untuk hari pembalasan, atau dipercepat lalu dibalas (di dunia)

ومن يك ذا فضل فيبخل بفضله على قومه يُ ْستَ ْغ َن عنه ويُذ َم ْم Siapa yang memiliki kelebihan, lalu kikir dengan kelebihannya tersebut Terhadap kaumnya, ia tidak dibutuhkan dan terhina

ومن يُ ْو ِف ال يَ ْذ ُم ْم ومن يُ ْهدَ قلبُه إلى مطمئن ال ِب ِْ ِْ ّر ال يت َج ْم َج ْم 122 Siapa yang menepati janji, ia tidak terhina, dan siapa yang hatinya dibimbing Pada kebaikan yang menenangkan, ia tak akan merasa cemas

Berangkat dari syair-syairnya yang seperti inilah, sepertinya para satrawan Arab memasukkan Zuhair ibn Abi Sulma ke dalam kategori penyair hikmah. Adapun tentang penyair religi, tim penulis al-Mûjaz fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, sebagaimana pada kategorisasi sebelumnya, sama sekali tidak menyebutkan alasan mengapa ada kategorisasi penyair religi. Namun berdasarkan nama-nama yang disebutkan, latar belakang kehidupan mereka, serta contoh-contoh syairnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan penyair madzhab adalah para penyair yang berasal dari kalangan ahli agama, seperti Yahudi, Nasrani, maupun agama hanîf (Ibrahim). Ada tiga nama yang disebutkan dalam buku tersebut, yaitu; al- Samual123, ‘Iddi ibn Zaid124, dan Umayyah ibn Abi al-Shalt.125 Agar lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan penyair madzhab oleh penulis, sebagai sampel, berikut gambaran salah seorang penyair madzhab, yaitu Umayyah ibn Abi al-Shalt wafat pada tahun 624 M. Umayyah ibn Abi al-Shalt ibn Abi

122 Syair lengkap dapat dilihat pada, Syarah al-Mu’allaqat al-Sab’, hal. 62-76 123 Al-Samual ibn Gharîdl ibn ‘Âdiyâ’, seorang penyair beragama Yahûdi, pemilik kuda pacuan yang diberi nama Ablaq yang sangat terkenal di Taimâ. Ia sangat terkenal dengan sifatnya yang selalu menjaga amanah, sehingga namanya menjadi perumpamaan bagi orang yang selalu menjaga amanah (al- wafa’). Ia wafat sekitar tahun 560 M. al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 191 124 ‘Addi ibn Zaid ibn Hamâd ibn Ayyûb, dari keturunan Zaid Munât ibn Tamîm. Ia seorang penyair yang beragama Nasrani dan tinggal di kerajaan Hirah. Ia sering berhubungan dengan kerajaan Persia dan banyak mempelajari bahasa Persia, sehingga syair-syairnya banyak terkontaminasi bahasa Persia. Untuk itu para ulama bahasa Arab, biasanya tidak menjadikan syair-syair ‘Addi sebagai argumen kebahasaan. al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 195 125 Keterangan lengkap mengenai penyair-penyair tersebut, lih. Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 191-204

39 Rabî`ah dari Qais ‘Ailan, seorang penyair Jahili yang banyak mendedikasikan hidupnya untuk mengkaji buku-buku klasik terutama Kitab Taurat. Ia adalah orang yang sangat terbuka terhadap agama, hal itu terbukti pada saat ia melakukan perjalanan niaga ke Syam dan bertemu dengan sejumlah ahli agama, yang menganjurkannya agar menjauhi dunia. Ia akhirnya memilih jalan zuhud (hidup sederhana), mensucikan diri dan mengabdi pada Tuhan. Dalam syair-syairnya ia menyebutkan nama-nama seperti Ibrahim, Isma’il, dan agama hanîf, selain itu ia juga menyebutkan hal-hal seperti surga dan neraka, larangan untuk meminum khamr, meragukan keberadaan berhala-berhala, dan juga rindu akan nubuwwat (kenabian).126 Sebagai contoh syair religi Umayyah ibn Abi al-Shalt: الحمد هلل ممسانا ومصبحنا بالخير صبحنا ربّى وم ّسنا127 Segala puji bagi Allah di pagi hari dan sore hari Wahai Tuhanku, berikan kami kebajikan di pagi dan sore hari

ر ّب الحنيفة لم تنفذ خزائنها مملوءة طبق اآلفاق سلطانا Tuhan (agama) Hanif yang kekayaannya tidak pernah habis Kuasanya meliputi seluruh lapisan cakrawala

لك الحمد والنَّعماء والملك ربّنا فال شيء أعلى منك مجدا وأمجد Segala puji bagi-Mu, begitu juga segala kenikmatan dan kekuatan, wahai Tuhanku Tak ada sesuatu pun yang lebih tinggi dan mulia dari-Mu

Berdasarkan biografi singkat penyair dan juga syairnya, diharapkan dapat memberi gambaran tentang apa yang dimaksud dengan penyair religi. Kategorisasi penyair yang terakhir adalah penyair perempuan. Dalam kajian ini, karya-karya penyair perempuan adalah salah satu unsur dalam sastra feminis. Sayangnya, dalam buku al-Mûjaz hanya ada satu nama penyair perempuan yang disebutkan yaitu al-Khansa. Sebagai bagian penting dari kritik sastra feminis, satu penyair tidak cukup memberi gambaran tentang citra perempuan Jahiliyah melalui syair-syairnya. Al-Khansa memang memiliki sebuah dîwan syair, hanya saja ia lebih

126 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 201 127 Bahr Basîth: Mustaf`ilun – fâ`ilun - Mustaf`ilun - fâ`ilun

40 banyak bercerita tentang kesedihannya saat ditinggalkan kedua saudara laki-laki yang mati terbunuh dalam peperangan. Untuk itu, penulis mengambil beberapa sampel lain yang termuat dalam Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm yang banyak menulis tentang syair-syair perempuan Jahiliyah, seperti Shafiyyah binti Tsa’labah al- Syaibaniyah yang bergelar al-Hujaijah128 (ahli debat), dua bersaudara Jum’ah dan Hindun binti al-Khuss yang juga banyak menggubah syair-syair hikmah, dan lain sebagainya. Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, yang ditulis oleh ‘Abd Mehanna129, memuat ratusan syair-syair karya penyair perempuan pada masa Jahiliyah dan Islam, dan yang paling banyak adalah penyair Jahiliyah, bahkan jumlahnya mencapai ratusan. Dari kamus tersebut terbukti, bahwa tradisi bersyair tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki, namun juga banyak dilakukan oleh kaum perempuan dalam rangka mengekspresikan perasaannya. Kiprah mereka tidak hanya sebatas menjadi perempuan-perempuan peratap seperti al-Khansâ’, namun lebih jauh dari itu terbukti bahwa mereka juga memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa ghazal, nasîb, dan tasybîb adalah syair Jahiliyah yang digubah secara khusus oleh penyair laki-laki dengan menggunakan perempuan sebagai mediumnya, oleh sebab itu penulis mengkategorikannya sebagai syair feminis.130 Namun demikian, bukan berarti tema-tema lainnya seperti, ritsâ’, madah, hija’, hamâsah, maupun washaf, tidak termasuk dalam objek kajian ini. Sebab dalam tradisi syair Jahiliyah, tema-tema tersebut terkait erat dengan kondisi sosial masyarakat Arab saat itu. Oleh karena itu, tema-tema tersebut dapat dijadikan sebagai

الحجيجة 128 129 ‘Abd Mahannâ, Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1990 M/1410 H) 130 Dalam konteks ini, makna feminis yang dimaksud oleh penulis bukan feminis sebagai sebuah gerakan yang berusaha untuk mengkounter pelecehan dan penindasan terhadap perempuan, namun merujuk pada definisi sastra feminis sebelumnya, yaitu sastra yang di dalamnya membicarakan tentang perempuan, baik yang ditulis oleh perempuan ataupun laki-laki.

41 pintu masuk bagi kritik sastra feminis dalam rangka menemukan citra perempuan Jahiliyah. Selain tema-tema tersebut, sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa syair Jahiliyah juga dibagi ke dalam enam kategori, yaitu: syair Badawi yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu Sha’âlîk dan ghair Sha’âlîk, syair aristokrat, syair komersil (takassub), syair bijak (hikmah), syair religi (madzhab), dan syair perempuan. Kategorisasi ini selain berdasarkan pertimbangan kandungan syair, sepertinya cenderung berdasarkan pada konstruksi sosial bangsa Arab Jahiliyah. Berdasarkan hal itu, penulis membagi citra perempuan Jahiliyah ke dalam tiga bagian, tanpa menghilangkan unsur yang lainnya sehingga dapat mewakili keenam unsur tersebut, yaitu; penyair istana termasuk di dalamnya penyair aristokrat dan penyair komersil, penyair badawi termasuk di dalamnya penyair ghair Sha`âlîk dan Sha`âlîk, serta penyair perempuan sebagai bagian yang tidak kalah penting dalam rangka memahami citra perempuan Jahiliyah. Adapun penyair religi dan filsuf, selain datanya kurang lengkap, mereka dianggap sudah masuk dalam kategori badawi ghair Sha’âlîk, karena mayoritas dari mereka berasal dari kelompok tersebut. Kajian ini pada hakikatnya tidak terpaku pada satu ragam kritik, sebab semua ragam kritik sastra feminis, selain kritik lesbian, pada hakikatnya dapat diaplikasikan dalam kajian ini, tentu saja dengan mempertimbangkan kekhasan dari syair Jahiliyah itu sendiri. Hanya saja penulis lebih cenderung pada kritik ideologis, yang melibatkan perempuan sebagai pembaca atau dikenal dengan istilah reading as women.131 (membaca sebagai perempuan) yang dipadukan dengan teori power (kekuasaan), class (kelas) dan gender, sebab dalam kritik ini yang menjadi pusat perhatian adalah citra atau stereotipe perempuan yang terkandung dalam karya sastra sesuai dengan objek penelitian. Adapun ragam kritik lainnya, penulis menempatkannya sebagai ilmu bantu analisis.

131 Konsep reading as women yang diperkenalkan oleh Culler digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkhal, yang hingga kini diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan dalam dunia sastra. Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. 37

42 2. Syair Jahiliyah sebagai fakta sejarah Syair Jahiliyah lahir dari atas punggung unta dan kuda, di bawah bayang-bayang oase pohon kurma, di atas debu gurun pasir, di bawah naungan langit yang kering, serta irama alam padang sahara lainnya.132 Menurut penulis buku al-Mufashshal fi Târikh al- Adab al-Arabi, secara historis sangat sulit menentukan kapan syair Arab Jahiliyah mulai muncul dalam tradisi masyarakat Arab, sebab biasanya setiap ilmu atau suatu kreatifitas seni, muncul pertama kalinya dalam ketidaksempurnaan dan banyak kekurangan yang kemudian secara perlahan-lahan berproses menuju kesempurnaan, sedangkan syair Jahiliyah sampai ke tangan kita dengan performa dan gaya bahasa yang matang dan sempurna, baik dari aspek wazan (matra), lafaz, maupun maknanya.133 Namun demikian, sebagaimana diungkapkan sebelumnya pada Bab I, bahwa tradisi bersyair di kalangan masyarakat Arab, diduga telah ada jauh sebelum agama Islam lahir, sekitar dua abad sebelum Hijriyah, yang saat ini lebih dikenal dengan istilah syair Jahiliyah.134 Menurut penulis al-Mufashshal, syair pertama yang sampai ke tangan kita adalah syair Ayyâm Harb al-Basûs atau kisah perang Basûs135. Dari data tersebut,

132 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 56. Dalam suasana gurun pasir yang sangat gersang dan tandus, unta bagi bangsa Arab Jahiliyah adalah hewan yang selalu mewarnai hampir setiap aspek kehidupan mereka. Selain berfungsi sebagai sumber makanan dan juga minuman, unta juga merupakan kendaraan yang dapat diandalkan karena daya tahan tubuhnya yang sangat kuat dan tidak banyak memerlukan air. Unta adalah problem solver bagi bangsa Arab Jahiliyah, baik untuk kehidupan sosial, ekonomi maupun politik. Dan syair Jahiliyah lahir tidak jauh dari kehidupan unta. Irama langkah unta yang harmoni saat menapaki gurun pasir memberi inspirasi tersendiri bagi para penyair Jahiliyah untuk menciptakan nada- nada yang indah yang kemudian dikenal dengan istilah bahr al-sy`r yang beraneka macam dan menjadi cikal bakal musik irama padang pasir. Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24 133 Al-Iskandari dkk, al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 41 134 .Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), jilid 4, hal. 340 135 Basûs adalah nama perempuan penyebab perang. Perang Basus itu sendiri adalah salah satu perang paling terkenal yang pernah terjadi di Zaman Jahiliyah di dalam Kabilah Rabi’ah. Perang ini terjadi antara Kabilah Bakr dan Taghlib, dua kabilah besar dalam rumpun Rabi’ah. Perang ini berlangsung hampir empat puluh tahun lamanya pada akhir abad ke-5 Masehi. Adapun faktor penyebab perang ini, diceritakan bahwa Kulaib ibn Rabi’ah pemuka Bani Taghlib karena kebesarannya, ia memiliki sebuah tempat terlarang (himâ) yang disebut dengan al-‘Âliyah yang tidak boleh diinjak tanpa seijinnya. Tidak seorang pun diperbolehkan minum dari ontanya dan tidak boleh menyalakan api dari apinya. Kulaib menikahi seorang perempuan dari Bani Syaibân salah seorang keturunan Bâkr. Basûs bibi dari Jassas ibn Murrah al-Syaibâni memiliki seekor unta yang diberi nama Sarâbi. Pada suatu ketika Kulaib ibn Wâ’il melihat unta tersebut berada di himânya dan menghancurkan telur burung merpati yang telah ia

43 syair Jahiliyah diperkirakan lahir sekitar 130 tahun sebelum Hijrah sebelum munculnya syair tersebut.136 Para penyair Arab Jahiliyah biasanya menggubah syair untuk mengungkapkan peristiwa yang terjadi, atau mengekspresikan emosi yang mereka rasakan. Menurut sebagian riwayat, penyair pertama Arab Jahiliyah yang melakukan hal itu adalah al- Muhalhil ibn Rabî’ah paman Umru al-Qais dan Umru al-Qais sendiri pada akhir abad ke-5 Masehi.137 Al-Muhalhil sendiri menggubah syairnya untuk mengekspresikan perasaannya saat ditinggal saudaranya Kulaib dan korban lainnya yang mati terbunuh pada perang yang terjadi antara Bani Bakr dan Taghlib. Menurut pendapat lain, syair Jahiliyah awal menggunakan bahr Rajaz yang dianggap sebagai performa syair yang paling sederhana, yaitu menggunakan wazan mustaf’ilun-mustaf’ilun-mustaf’ilun, lalu setelah itu para penyair bereksplorasi dengan bahr-bahr lainnya.138 Syair, selain berfungsi sebagai media untuk mengekspresikan imajinasi dan emosi, oleh bangsa Arab digunakan juga untuk menginformasikan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan mereka, seperti untuk melukiskan peperangan yang mereka alami, kondisi lingkungan yang mereka tempati, hal-hal yang membanggakan, dan lain sebagainya, sehingga selain disebut dengan istilah syair ia juga dinamakan dengan dîwan al-Arab atau catatan sejarah bangsa Arab.139

selamatkan. Lalu ia pun melepaskan anak panahnya tepat di susu unta tersebut. Pada saat Jassas melihat kejadian tersebut, ia meloncat dan membunuh Kulaib. Semenjak itu perang antara kedua kabilah tersebut terus berkecamuk, sehingga menjadi legenda dalam sejarah bangsa Arab dan peristiwa tersebut dijadikan sebuah perumpamaan. Keterangan lengkap mengenai sejarah perang Basus, lih. Yusuf Khalif, Dirâsat fi al-syi’r al-Jâhili, (Kairo: Maktabah Gharib, 1981), hal. 200-202, atau lih. Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 22 136 Al-Iskandari dkk, al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 41 137 Al-Iskandari dkk, al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.41 138 Dalam sastra Arab ilmu tentang bahr dibahas secara khusus oleh ilmu `Arudl, yaitu ilmu yang membahas prinsip-prinsip dasar atau kaidah-kaidah pembuatan syair, juga untuk mengetahui ketepatan dan kesalahan sebuah syair. Ilmu ‘Arûdl termasuk hal paling penting untuk diketahui oleh sastrawan maupun penyair yang ingin membaca atau menggubah syair Arab, terutama syair multazim (klasik). Ada dua belas bahr yang sangat terkenal dalam syair Arab, yaitu: basîth, rajaz, sarî`, raml, khafîf, madîd, mutadârik, thawîl, mutaqârib, wâfir, hajaz, dan kâmil. 139 Zaghlûl Salâm, Atsâr al-Qur’an fi Tathawwur al-Naqd al-Arabi ila Âkhir al-Qarn al-Râbi’ al-Hijri, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif , 1961), hal. 193

44 Sangat disayangkan, bahwa dalam sejarah sastra Arab tidak banyak dokumen yang membahas peranan penyair wanita pada masa Jahiliyah. Hal itu diduga karena berbagai faktor, di antaranya budaya patrialkal yang mendominasi kehidupan bangsa Arab sehingga memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap lemahnya peranan perempuan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk bidang sastra. Budaya patrialkal itu sendiri muncul akibat dinamika kondisi sosiologi yang mereka hadapi, seperti kondisi geografi yang menimbulkan ketidakadilan ekonomi, dan menimbulkan peperangan antar suku, dan lain sebagainya. Dalam tradisi masyarakat Arab Jahiliyah, pasar memiliki peranan sosial yang sangat besar. Selain dijadikan sebagai tempat transaksi, pasar juga dijadikan sebagai tempat untuk unjuk kebolehan, seperti untuk berorasi, berdebat, bermusyawarah, dan yang paling penting adalah unjuk kebolehan dalam mendeklamasikan syair, sehingga mirip dengan pasar seni dan budaya. Salah satu pasar yang sangat terkenal saat itu adalah pasar `Ukâzh. Pasar ‘Ukâzh adalah satu tempat pertemuan terpenting yang diselenggarakan oleh bangsa Arab untuk berbagai kepentingan. Diselenggarakan setiap awal bulan Dzul Qa`dah hingga hari kedua puluh. Pasar ini didirikan setelah tahun Gajah,140 mampu bertahan hingga lima belas tahun lamanya, hingga datangnya Islam, meskipun kemudian fungsinya tidak seperti semula lagi. Biasanya di Pasar ini berkumpul para pembesar Arab, baik untuk berniaga, menebus tawanan, menyelesaikan pertikaian, mendeklamasikan dan memamerkan syair, orasi tentang harta, keturunan, kehormatan, kefasihan, kecantikan dan keberanian. Hal itu baru akan berhenti bila sudah ada pemenangnya. Juri syair (muhâkim) yang paling terkenal saat itu adalah al-Nâbighah al-Dzubyâni, sedangkan orator paling handal adalah Qissa bin Sâ’adah al-Iyâdi.141

140 Tahun Gajah adalah tahun yang bertepatan dengan dilahirkannya Nabi Muhammad saw., 571 M, saat Abrahah raja kerajaan Habasyah menyerang Mekah untuk menghancurkan Ka’bah. 141 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, (Mesir: Dâr al-Mâ’arif , tth), hal.12-13

45 Pasar `Ukazh memiliki hubungan erat dengan syair Al-Mu’allaqât.142 Adapun yang dimaksud dengan al-Mu’allaqât dalam terminologi sastra Arab adalah syair-syair pemenang festival yang biasa diadakan setiap tahun di pasar `Ukazh pada bulan Haram. Syair-syair yang menang ditulis dengan tinta emas lalu digantungkan di dinding Ka’bah. Syair-syair karya ketujuh orang penyair yang menjadi juara, dikenal dengan al- sab’ al-mu’allaqât atau tujuh syair yang digantung.143 Dengan demikian Al-Mu’allaqât adalah julukan yang diberikan untuk syair papan atas dan berkualitas pada masa Jahiliyah. Menurut sebagian riwayat, istilah tersebut diberikan, karena kebiasaan bangsa Arab saat itu untuk memilih sebanyak tujuh syair yang berkualitas lalu ditulis dengan tinta emas di atas kain Qibthi yang bagus, lalu digantungkan di tirai Ka’bah. Maka timbullah istilah al-Mudzahhabât (karya emas) Umru al-Qais, al-Mudzahhabât Zuhair dan al-Mudzahhabât tujuh lainnya.144 Al-Sab’ al-Mu’allaqât adalah syair-syair karya emas dari tujuh penyair Arab Jahiliyah, dan menjadi simbol kebesaran syair pada masa itu. Adapun penyair-penyair tersebut adalah; Umru’ al-Qais, Tharfah ibn al-Abd, Zuhair ibn Abi Sulma, Labîd ibn Rabî’ah, Amr ibn Kaltsûm, ‘Antarah ibn Syaddâd, dan al-Hârits ibn Halzah.145 Syair bagi bangsa Arab memiliki pengaruh yang sangat kuat, untuk itu keberadaan penyair merupakan sebuah keharusan bagi setiap kabilah. Fungsinya adalah untuk menginformasikan segala hal yang berhubungan dengan kabilah. Selain itu syair juga biasa digunakan untuk membalas intrik-intrik yang dilakukan musuh, menjadi

142 Al-Mu’allaqât, secara etimologis berarti yang tergantung. Al-Mu’allaqât itu sendiri memiliki banyak nama, seperti; al-Mudzahhabât (karya-karya emas atau yang tertulis dengan tinta emas), al-Sab’u al-Thiwâl (tujuh yang panjang), dan al-Samûth (yang tergantung, benang, dan tali yang bermutiara). namun nama yang paling terkenal adalah al-Mu’allaqât. Ada beberapa pendapat tentang penamaan al- Mu’allaqât itu sendiri, sebagian berpendapat bahwa dinamakan demikian syair-syair yang terbaik diumpamakan dengan benang mutiara yang tergantung di leher. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Abd. Rabbah penulis al-‘Aqd al-Farid, Ibn al-Rasyiq penulis al-‘Umdah, dan Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya. Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhuhu; al-Adab al-Jâhili, hal. 61. lih. juga al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 49 143 Philip K. Hitti., , (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006), footnot, hal. 100 144 al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 49. lih. al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 61-62 145 Kumpulan dari tujuh syair al-Mu’allaqât dapat dilihat pada Syarah al-Mu’allaqât al-Sab’ yang ditulis oleh Ibnu ‘Abdillah al-Husein ibn Ahmad ibn al-Husein al-Zauzani, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1405 H/1985 M)

46 penyemangat dalam peperangan, dan juga untuk misi perdamaian. Kedudukan syair pada masa Jahiliyah tidak ubahnya dengan media propaganda yang biasa digunakan saat ini oleh partai-partai dalam rangka membentuk opini publik. Setiap media menjelaskan pandangan partai masing-masing, mempertahankan pendapatnya, dan juga membantah serangan lawan.146 Syair dalam budaya Arab Jahiliyah ibarat musik heroik yang mampu membangkitkan semangat juang seorang prajurit, oleh karena itu, syair memberi effek yang luar biasa, sebab ia mampu mengendalikan fikiran para prajurit untuk senantiasa maju berperang, membunuh musuh-musuh lalu kembali dengan membawa kemenangan. Untuk itu setiap kabilah pasti mengharapkan lahir darinya seorang penyair yang kelak akan melindungi dan membela kabilahnya. Ibnu Rasyîq dalam kitab al- Umdahnya menyatakan bahwa bila lahir seorang penyair dari suatu kabilah, maka kabilah-kabilah lainnya akan berdatangan untuk merayakannya dan memberinya selamat, lalu disedikan berbagai makanan untuk berpesta. Para gadis memainkan rebana (semacam alat tabuh), seperti biasa mereka lakukan dalam pesta perkawinan. Kaum laki-laki dan anak-anak laki-laki mereka bersuka ria dan bergembira dengan lahirnya seorang penyair yang akan membela kabilahnya, melindungi keturunannya, mengabadikan segala yang mereka miliki, serta menebar pujian untuk kabilahnya. Untuk itu, masyarakat Arab Jahiliyah berlomba-lomba untuk menghormati dan memuliakan para penyairnya. 147 Selain itu, para penyair juga dianggap sebagai manusia yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan juga memiliki sensitivitas yang tinggi, karena dipercaya mampu mengetahui realitas kehidupan, dan merasakan apa yang mereka rasakan. Para penyair pada masa itu, bagaikan filsuf dan cendekiawan pada masa modern yang dapat membuka mata seseorang untuk mengetahui kebenaran dan realitas kehidupan di sekitarnya.148

146 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.42 147 Al-Iskandari dkk, al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.42 148 Al-Iskandari dkk, al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.43

47 Hal lain yang tidak kalah urgen yang membuat seorang penyair Jahiliyah amat dihormati dan dihargai adalah karena ia dianggap sebagai orang yang memiliki kekuatan supernatural yang mereka yakini berasal dari Jin. Untuk itu mereka yakin bahwa setiap penyair telah dibekali dengan kekuatan magis yang ia peroleh dari para Jin dan melalui kemampuan seninya tersebut ia diberi tanggung jawab untuk menyampaikan pesannya bagi manusia. Jika yang menguasainya merupakan Jin yang baik, maka sang penyair akan mampu menggubah syair yang bagus dan menakjubkan, namun sebaliknya bila yang menguasainya adalah jin yang jahat, maka yang dihasilkannya pun syair-syair yang tidak bermutu dan buruk. Berdasarkan keyakinan inilah yang kemudian menjadikan para penyair memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam tradisi masyarakat Jahiliyah, yang bahkan saking tingginya kedudukannya terkadang melebihi pemimpin kabilah itu sendiri. Penyair adalah tempat bertanya tentang segala hal, baik persoalan publik maupun individu. 149 Dari penjelasan tersebut, terlihat jelas kedudukan dan fungsi syair Jahiliyah bagi bangsa Arab saat itu, maka selain sebagai karya sastra, syair Jahiliyah pada dasarnya adalah fakta sejarah yang tidak terbantahkan lagi eksistensinya.

E. Bahasa sebagai simbol Bahasa merupakan fondasi semua budaya. Bahasa merupakan sistem arti kata yang bersifat abstrak dan menjadi simbol seluruh aspek kebudayaan. Bahasa dapat berbentuk lisan, tulisan150, angka-angka, simbol, gerak dan isyarat, maupun ekspresi lainnya yang bersifat nonverbal.151 Menurut Edward Sapir, bahasa adalah bentuk jasmani (material) atau medium dari sebuah karya sastra.152 Dan syair adalah ungkapan

149 Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradtion, (Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn. Berhad, 1982), hal. 19-20, dari Hannâ al-Fakhûrî, Târikh al-Adab, (Beirut: Maktabah al-Buhutsiyah, 1965), hal. 65 150 Sudarno dan Eman A. Rahman, membagi tulisan ke dalam dua kategori, yaitu ideografi dan fonografi. Tulisan ideografi adalah tulisan yang melambangkan ide atau pengertian, bukan melambangkan ucapan seperti tulisan Cina. Sedangkan fonografi adalah tulisan yang melambangkan suara dan ucapan (lafal). Sudarno dan Eman A. Rahman, Terampil Berbahasa Indonesia, (Jakarta: PT Hikmat Syahid Indah, tth), hal. 12-14 151 Schaefer, Richard T., Sociology, (New York: McGraw-Hill, 2003), hal. 66. Sudarno dan Eman A. Rahman, Terampil Berbahasa Indonesia, (Jakarta: PT Hikmat Syahid Indah, tth), hal. 1, 11, dan 152 Edward Sapir, Language, (ttp: tp, tth), hal. 222

48 (kalâm) yang terikat, baik dari segi aransemen, jenis, wazan, maupun qâfiyahnya, di samping unsur imajinasi yang digunakan untuk mengilustrasikan ide dan fikiran penyair.153 Dan kalam pada hakekatnya adalah bahasa. Menurut J. Waluyo, secara garis besar ada dua unsur pembangun sebuah puisi (syair), yaitu unsur fisik dan unsur batin. Adapun yang dimaksud dengan unsur fisik yaitu unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Unsur-unsur estetik tersebut pada dasarnya dapat dikaji secara terpisah, meskipun merupakan satu kesatuan utuh. Menurut Herman J. Waluyo, yang termasuk unsur-unsur fisik sebuah puisi, yaitu: diksi154, pengimajian, kata konkret, bahasa piguratif (majas), ferifikasi, dan tata wajah puisi.155 Bila struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan oleh penyair, maka struktur batin puisi adalah makna yang terdapat dalam puisi itu sendiri. Untuk itu I.A. Richard, menurut J.Waluyo menyebutnya dengan hakikat puisi dan hakikat puisi tersebut terdiri dari empat unsur, yaitu: tema (sense)156, perasaan penyair (feeling)157, nada dan suasana (tone), serta pesan (intention). Keempat unsur tersebut selanjutnya menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair.158 Bahasa dalam puisi adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh J. Waluyo yang terdiri dari diksi atau pemilihan kata yang tepat, pengimajian, kata konkret, dan bahasa

153 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 5 154 Lihat definisi sebelumnya dalam syair Jahiliyah sebagai sebuah karya sastra. 155 Keterangan lengkap lih. Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (ttp: Erlangga, 1995), hal. 71-101 156 Yang dimaksud dengan tema adalah gagasan, ide, ataupun pikiran utama di dalam karya sastra baik yang terungkap ataupun tidak. Tema tidak sama dengan pokok masalah atau topik. Tema dapat dijabarkan dalam beberapa topik. Di dalam syair Arab tema lebih dikenal dengan istilah tujuan atau al-aghrahdh. Maka tema puisi disebut dengan aghrâdh al-syi’r. Dalam puisi Jahiliyah tema yang sangat terkenal adalah pujian, cercaan, rayuan, depiksi (lukisan tentang sesuatu), dan nasihat. 157 Unsur perasaan, lebih dikenal dengan istilah makna emotif. Yaitu makna kata atau frase yang ditautkan dengan perasaan, dan ditentukan oleh perasaan. Karena unsur perasaan inilah yang kemudian akan membedakan satu penyair dengan penyair lainnya, sebab perbedaan sikap penyair dalam menghadapi suatu objek akan menentukan puisi yang ia ciptakan. Meskipun objeknya sama, misalnya, namun sikap yang muncul bisa beraneka ragam, bisa simpati, antipati, senang, cinta, benci, rindu, sedih dan lain sebagainya. 158 Herman J. Waluyo,Teori dan Apresiasi, hal. 106

49 piguratif seperti kiasan dan simbol/pelambangan. Kiasan bisa berbentuk metafora,159 perbandingan,160 personifikasi,161 hiperbola,162 sinekdok,163 dan ironi164. Sedangkan pelambangan bisa menggunakan lambang warna, benda, bunyi, suasana, dan lain sebagainya sesuai dengan keadaan atau peristiwa yang dialami oleh penyair.165 Unsur-unsur fisik yang disebutkan oleh J. Waluyo tersebut terangkum jelas dalam kajian ilmu Balaghah. Diksi atau pemilihan kata yang tepat, pengimajian (tasybîh, majâz, dan isti’ârah), serta tata wajah, semuanya merupakan kajian dari ilmu Ma’ani, Bayan, Badi’.166 Sebagaimana diketahui bahwa secara umum ada dua jenis karya sastra, yaitu puisi (syi’r) dan prosa (natsr). Dari gambaran tersebut, sangat jelas korelasi antara kritik sastra feminis dengan syair. Selain itu, disebutkan sebelumnya bahwa salah satu tujuan dari kritik sastra feminis adalah membaca tulisan, ideologi, serta kultur dengan perspektif yang berpusat pada perempuan yang salah satunya dengan cara menafsirkan simbol-simbol tulisan yang berorientasi perempuan, sehingga tidak terjadi kesalahan

159 Metafora adalah bentuk kiasan langsung, yang artinya benda yang dikiaskan tidak lagi disebutkan, seperti wahai matahariku! Engkau pujaanku. Di dalam sastra Arab, gaya bahasa seperti ini disebut dengan isti’ârah. 160 Kiasan yang bandingannya disebutkan secara langsung, artinya benda yang dikiaskan kedua- duanya disebutkan dengan disebutkan alat kias yang digunakan, seperti kata: bagaikan, laksana, bak, bagai, seumpama, dan lain sebagainya. Di dalam sastra Arab perbandingan seperti ini disebut dengan tasybîh tepatnya tasybîh mursal. 161 Personifikasi disebut juga dengan insanan, yaitu majas yang mengibaratkan sifat-sifat kemanusiaan pada benda-benda yang tidak bernyawa. Personifikasi di dalam sastra Arab adalah bagian dari majaz seperti dalam bahasa Indonesia. Majaz merupakan istilah serapan dari bahasa dan sastra Arab. 162 Bagian dari majas yang dalam ungkapannya melebih-lebihkan apa yang sebenarnya dimaksudkan. 163 Sinekdok merupakan bagian dari majas juga. Yaitu majas yang menggambarkan pertautan dengan menyebutkan nama bagian sebagai pengganti dari kesuruhan (pars pro toto). Model ini di dalam majas sastra Arab disebut majâz mursal juz’i. Selain itu ada juga pertautan dengan menyebutkan keseluruhan sebagai pengganti nama bagian (totum pro parte) atau dalam sastra Arab majâz mursal kulli. 164 Majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan makna yang sesungguhnya. 165 Herman J. Waluyo,Teori dan Apresiasi, hal. 110 166 Ilmu Ma’âni yaitu ilmu yang secara khusus mengkaji kalâm Arab ditinjau dari aspek muqtadlal hâl yakni apakah ucapan seseorang sesuai dengan situasi dan kondisi atau tidak. Adapun ilmu Bayân adalah ilmu yang digunakan untuk memahami perbedaan suatu makna karena perbedaan konteks kalimat (kalâm), yang disertai indikasi logis yang dapat menjelaskan makna yang diinginkan. Sedangkan ilmu Badî’ adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui unsur-unsur keindahan sebuah kalam, baik dari segi lafaz maupun maknanya. Ilmu Badî’ pada dasarnya adalah pelengkap dari Ma’âni dan Bayân. Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’, hal. 46, 244, dan 360

50 perspektif yang disebabkan sudut pandang kaum pria.167 Salah satu metode penafsiran simbol di dalam satra Arab adalah ilmu Balâghah, terutama ilmu Bayan, seperti tasybîh, majâs dan isti’ârah. Untuk itu, di dalam literatur sastra Arab, balâghah dikenal juga sebagai salah satu metode kritik sastra. Dengan demikian, sangat jelas korelasi antara syair, balâghah dan kritik sastra feminis. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa syair adalah al-kalâm al-mauzûn al- muqaffâ yaitu untaian kata yang disusun berdasarkan matra dan rima. Definisi tersebut memberi gambaran bahwa unsur utama sebuah syair adalah kalâm yang pada hakekatnya adalah bahasa itu sendiri168. Hal ini senada dengan apa yang diutarakan Panuti Sudjiman, bahwa dalam menelaah unsur intrinsik sebuah karya sastra, bahasa sebagai medium karya sastra tidak dapat diabaikan, sebab karya sastra pada hakekatnya adalah bahasa.169 Sedangkan Teew menyatakan bahwa sastra adalah penggunaan bahasa yang khas yang hanya dapat dipahami dengan pengertian atau konsepsi bahasa yang tepat. Untuk itu menurut Teew dalam menganalisis dan memberi makna sebuah teks sastra, selain diperlukan kode budaya dan kode sastra, juga diperlukan pengetahuan tentang kode bahasa.170 Apa yang diungkapkan oleh kedua ahli sastra Indonesia tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara kritik sastra dengan linguistik. Untuk menjembatani keduanya menurut Panuti Sudjiman diperlukan stilistika karena ilmu ini mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik.171 Di dalam kajian sastra Arab yang dimaksud dengan stilistika adalah ilmu Balâghah. Pusat perhatian keduanya adalah sama yaitu

167 Lihat definisi-definisi kritik sastra feminis sebelumnya. 168 Abdul Chaer menyebutkan sebanyak tiga belas ciri atau sifat hakiki bahasa, yaitu; (1) bahasa adalah sebuah sistem, (2) bahasa adalah lambang, (3) bahasa adalah bunyi, (4), bahasa bersifat arbitrer (mana suka), (5) bahasa memiliki makna, (6) bahasa bersifat konvensional (kesepakatan), (7) bahasa bersifat unik, (8) bahasa bersifat universal, (9) bahasa bersifat produktif, (10) bahasa bervariasi, (11) bahasa bersifat dinamis, (12) bahasa berfungsi sebagai alat interaksi sosial, (13) bahasa merupakan identitas penuturnya. Abd. Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 33 169 Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, (Jakarta: Pustakan Utama Grafiti, 1993), hal. 1-2, dikutip oleh Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2005), cet. 2, hal. 55 170 A. Teew, Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: Gramedia, 1983), hal. 1&2, dikutip oleh Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi, hal. 55 171 Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, hal. 13, dikutip oleh Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi, hal. 56

51 gaya bahasa (style / uslûb). Gaya bahasa adalah cara yang digunakan untuk menyatakan maksud dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya.172 Adapun menurut Ahmad al- Hâsyimi dalam Jawâhir al-Balâghah yang dimaksud dengan uslûb adalah makna yang diformulasikan dalam lafaz (bahasa) yang dibuat untuk menyampaikan maksud pembicaraan dengan cara yang tepat dan effektif sehingga sampai pada tujuan.173 Kedua definisi tersebut pada hakikatnya adalah sama. Bila berbicara tentang uslûb dalam ilmu Balâghah, pada dasarnya berkaitan dengan semua cabang ilmu Balâghah, yaitu Ma`âni, Bayân, dan Badî`. Namun demikian sebagaimana yang dikemukakan Sugihastuti bahwa dalam kritik sastra feminis tidak semua gaya bahasa dianalisis. Yang dianalisis hanyalah gaya bahasa yang berhubungan dengan masalah prasangka gender, emansipasi perempuan, dan feminisme, seperti repetisi174, erotesis175, eufimisme176, pleonasme177, hiperbol178, simile179, metafora, ironi180 dan satire181, yang dalam bahasa Indonesia semuanya adalah

172 Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, hal. 13, dikutip oleh Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi, hal. 56 173 Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma`âni, wa al-Bayân wa al-Badî`, hal. 32-33. Al-Hâsyimi membagi Uslûb ke dalam tiga bagian, yaitu; al-uslûb al-ilmi atau gaya bahasa ilmiyah, al- uslûb al-adabi atau gaya bahasa sastra, dan al-uslûb al-khithâbi atau gaya bahasa orasi. 174 Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberikan tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Dalam ilmu Balâghah dikenal dengan istilah takrîr dan termasuk dalam pembahasan ithnâb (menambahkan lafaz dalam makna karena tujuan tertentu) dalam ilmu Ma`âni. 175 Erotesis adalah pertanyaan retoris, semacam pertanyaan yang digunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menghendaki jawaban. Erotesis dalam Balâghah adalah salah satu jenis istifhâm (pertanyaan) yang terdapat dalam pembahasan ilmu Ma`ani. 176 Eufemisme adalah gaya bahasa berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang atau ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau menyugestikan sesuatu yang tidak meyenangkan. 177 Pleonasme adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata yang lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyampaikan suatu pikiran bila kata yang berlebihan itu dihilangkan artinya tetap utuh. 178 Hiperbol adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal. 179 Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit yang menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata pembanding. Dalam ilmu Balâghah gaya bahasa ini sama dengan tasybîh. 180 Ironi berasal dari kata eironeia yang berarti penipuan atau pura-pura. Ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata- katanya. Ironi merupakan suatu upaya literer yang efektif karena ia menyampaikan impresi yang

52 bagian dari pembahasan majas.182 Dalam ilmu balâghah, uslub-uslub yang disebutkan oleh Sugihastuti tersebut beberapa di antaranya adalah kajian ilmu Bayân. Dalam ilmu Bayân pembahasannya dibagi ke dalam tiga kerangka besar, yaitu; tasybîh, majâz dan kinâyah yang masing-masing memiliki macam dan karakteristik tersendiri. Tasybîh sendiri dibagi ke dalam beberapa bagian, seperti tasybîh mursal, mujmal, mu’akkad, mufashal, dan lain sebagainya. Majas terdiri dari majas `aqli, majas lughawi, majas mursal, dan isti`ârah. Sedangkan kinâyah misalkan kinâyah qarîbah dan ba`îdah.183 Uslûb-uslûb inilah di antaranya yang biasanya dijadikan objek analisis dalam kritik sastra feminis. Tasybîh adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal atau lebih karena adanya persamaan sifat antara keduanya sesuai dengan tujuan pembicara. Ada empat unsur yang membangun sebuah tasybîh yaitu al-musyabbah (sesuatu yang dibandingkan), al-musyabbah bih (unsur pembanding), wajh syibh (unsur atau sifat yang mempersatukan musyabbah dan musyabbah bih), dan adât al-tasybîh (alat pembanding) yang mengikat musyabbah dan musyabbah bih, seperti, bagaikan, laksana, bak, dan lain sebagainya. Tasybîh ini dibagi ke dalam beberapa macam, tergantung dari sudut pandang pembagian. Sebagai contoh, bila sebuah ungkapan menggunakan wajh syibh dan adat tasybîh sekaligus, maka dinamakan dengan tasybîh mursal mufashal, namun sebaliknya jika tidak menggunakan keduanya maka dinamakan dengan tasybîh balîgh.184 Demikian seterusnya.

mengandung penekanan yang besar. Disengaja atau tidak, rangkaian kata yang digunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya. Terkadang digunakan istilah lain yaitu sinisme, yaitu sebuah kritikan yang lebih keras dari ironi. Di atas sinisme ada tahapan yang lebih keras lagi bahkan terkesan kasar yang disebut dengan sarkasme. Sarkasme adalah gaya bahasa yang sangat pedas, menyakiti hati dan perasaan, dan tidak enak didengar. 181 Satire adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mencemooh sesuatu atau orang lain yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan muak terhadap penyalahgunaan dan kebodohan manusia dan pranatanya. 182 Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi, hal. 57 183 pembahasan lengkap mengenai ilmu Bayan, lih. Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma`âni, wa al-Bayân wa al-Badî`, hal. 244-359 184 Pembahasan mengenai tasybîh lih. Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma`âni, wa al-Bayân wa al-Badî`, hal. 247-286

53 Tasybîh itu sendiri pada dasarnya merupakan dasar-dasar majas. Majas adalah ungkapan yang digunakan seseorang namun yang diinginkan bukan makna yang sebenarnya karena adanya indikasi (qarînah) yang memalingkannya dari makna yang sebenarnya. Untuk itu dalam majaz disyaratkan adanya sesuatu yang menghubungkan (`alâqah) antara makna hakiki (sebenarnya) dengan makna majâzi (kiasan). Jika `alâqah (sesuatu yang menghubungkan makna haqîqi dan majâzi) tersebut ada unsur tasybîhnya, maka disebut dengan isti`ârah, namun bila korelasi tersebut tidak ada unsur tasybîhnya maka disebut dengan majas mursal. Sebagai contoh, dalam al-Qur’an maka merdekakanlah leher seorang mukmin”. Dalam “ فتحرير رقبة مؤمنة ,disebutkan ayat tersebut yang dimaksud bukan hanya memerdekakan leher seorang mu’min, namun sebuah gaya bahasa yang menyebutkan sebagian untuk keseluruhan. Inilah yang dalam ilmu bayan disebut dengan majas dengan `alâqah juz’iyah atau dalam sastra dunia disebut dengan pars pro toto, kebalikannya adalah totum pro parte185 atau dalam ilmu balâghah disebut dengan majas dengan `alâqah kulliyah. Apabila di dalam majas mengandung makna tasybîh, maka gaya bahasa tersebut dinamakan dengan isti`ârah. Isti`ârah itu sendiri dibagi ke dalam beberapa bagian, sesuai dengan jenis masing-masing. Sebagai contoh, bila di dalam ungkapan yang disebutkan adalah unsur pembanding, maka isti`arah dinamakan dengan tashrîhiyyah. Contoh: “mutiara itu menetes dari matanya”, dalam ungkapan tersebut mengandung isti`arah tashrîhiyyah kerena yang disebutkan adalah unsur pembanding (musyabbah bih), padahal makna yang sebenarnya dari mutiara itu sendiri adalah air mata. Adanya kesamaan unsur antara mutiara (musyabbah bih) dengan air mata (musyabbah) menjadikan kalimat tersebut dapat diartikan dengan “air matanya bak mutiara” menetes dari matanya. `Alâqahnya adalah sama-sama berkilau pada saat tampak. Kata “menetes dari matanya” itu sendiri sebuah indikator (qarînah) bahwa yang diinginkan oleh pembicara bukan makna yang sesungguhnya, namun makna kiasan. Indikator inilah

185 kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Latin.

54 yang disebut dengan istilah qarînah lafzhiyyah186 yang menjadikan gaya bahasa ini disebut dengan isti`arah tashrîhiyyah. Selain majas mursal dan isti`arah dalam majas dikenal juga istila majas `aqli. Adapun yang dimaksud dengan majas `aqli yaitu menyandarkan lafaz tertentu seperti kata kerja (fi`il), isim fâ`il187, isim maf`ûl188 dan mashdar189 kepada hal yang bukan semestinya, karena adanya indikasi yang memalingkan dari makna yang sebenarnya.190 mengalir di bawahnya “ تجرى من تحتهم األنهار ,Sebagai contoh dalam al-Qur’an sungai-sungai”. Dalam ayat tersebut terdapat makna yang bukan sebenarnya, yaitu kata “mengalir” dan kata “sungai”, karena yang mengalir sesungguhnya bukanlah sungai melainkan air. Inilah yang disebut dengan gaya bahasa penyandaran kata kerja pada tempat sebagai salah satu jenis dari majâz `aqlî. Adapun yang dimaksud dengan kinâyah adalah mengucapkan sebuah lafaz namun yang dimaksud bukan makna yang sebenarnya, tanpa menutup kemungkinan untuk diartikan dengan makna yang sebenarnya. Artinya dalam satu lafaz ada dua kemungkinan, bisa makna sesungguhnya atau mungkin makna kiasannya. Sebagai contoh dalam bahasa Indonesia adalah kata ‘bermulut besar’ yang dapat diartikan dengan gemar membual atau makna sebenarnya yaitu memiliki mulut yang besar. Di dalam sastra Arab ada beberapa jenis kinayah, di antaranya kinâyah shifat yang menunjukkan watak dan kepribadian seseorang, dan kinâyah maushûf yang menunjukkan aspek yang disifati, dan lain sebagainya.191 Selain unsur-unsur yang terdapat dalam ilmu bayan, pada hakekatnya semua aspek linguistik yang ada kaitannya dengan kritik sastra feminis bisa dijadikan sebagai bahan untuk menganalisis teks-teks sastra. Hal ini untuk mengungkap perilaku

186 Inikator dalam bentuk lafaz (tersurat) 187 Ism al-fâ`il secara derivatif (ilmu sharf) adalah lafaz yang mengandung makna subjek atau pelaku. 188 Ism al-maf`ûl adalah lafaz yang mengandung makna objek. 189 Mashdar adalah kata benda sebagai derivasi dari sebuah kata kerja, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan gerund. 190 Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma`âni, wa al-Bayân wa al-Badî`, hal. 296 191 Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma`âni, wa al-Bayân wa al-Badî`, hal. 363

55 berbahasa yang ada dalam masyarakat yang cenderung merendahkan perempuan. Itulah beberapa ilmu yang ada korelasinya dengan kritik sastra yang ada dalam kajian ini. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sastra feminis (al-adab al-nisa’i) pada dasarnya adalah sastra (puisi atau prosa), baik karya sastrawan laki-laki maupun perempuan yang di dalamnya mengilustrasikan penilaiannya tentang perempuan, serta keterkaitannya dengan laki-laki, ataupun segala hal yang menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik fisik, mental, maupun problem personal sebagai seorang perempuan. Syair sebagai salah satu genre sastra, bagi masyarakat Arab Jahiliyah, selain sebagai karya sastra, ia juga representasi dari pola fikir, sikap, sejarah dan realitas kehidupan. Untuk itu kritik sastra feminis sebagai sebuah metode analisis sastra dengan cara mengkaji perempuan, peran dan kedudukannya dari balik karya sastra, meskipun sebagai sebuah kritik modern, namun dapat diaplikasikan ke dalam semua jenis sastra tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, sebab yang ingin diungkap pada hakekatnya adalah sejarah perempuan itu sendiri serta peranannya dalam struktur sosial suatu masyarakat. Kritik ideologis sebagai salah satu ragam dalam kritik sastra feminis, dalam hal ini digunakan sebagai alat untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki- laki yang androsentris atau patrialkhal dalam budaya Arab yang tercitrakan dalam syair Jahiliyah yang kemudian menjadikan perempuan sebagai kelompok inferior dan subordinasi.

56 BAB II CITRA PEREMPUAN ISTANA (HADLARI)

Sejarah perkembangan sastra setiap bangsa erat kaitannya dengan sejarah sosial dan politik yang menyertainya, yang satu sama lain saling mempengaruhi.192 Atar Semi menggambarkan hubungan antara sastra, masyarakat dan budaya sebagai berikut, pertama, bahwa sastra adalah cermin dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, dan sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Kedua bahwa sastra juga merupakan cermin dari sistem ide dan sistem nilai, serta gambaran tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak oleh masyarakat. Ketiga bahwa sastra juga mencerminkan sarana yang digunakan masyarakat dalam mengekspresikan karya sastranya tersebut.193 Persoalan gender dalam dunia sastra merupakan bagian dari persoalan budaya dan sistem sosial lainnya yang turut mempengaruhinya. Sebab gender menurut Kamla Bhasin pada hakekatnya adalah persoalan sudut pandang dan penilaian sosial budaya masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan yang berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya.194 Dengan demikian tampak ada hubungan yang kuat antara isu gender sebagai bagian dari budaya, masyarakat sebagai lembaga sosial yang memberikan citra terhadap perempuan dan perempuan sebagai komponen dari masyarakat itu sendiri, dengan sastra sebagai representasi dari keduanya. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk mengetahui bagaimana perempuan diperlakukan dan dicitrakan dalam sebuah karya sastra, perlu pula ditelusuri latar belakang sosial-budaya yang mempengaruhinya saat itu hingga terlahir karya sastra tersebut.

192 Ahmad Hasan al-Zayyât, Târikh al-Adab al-‘Arabî, (Kairo: Dâr al-Nahdhah, tth), hal. 5 193 Atar Semi, Kritik Sastra, Bandung: Angkasa, 1989, hal. 55-56 194 Kamla Bhasin, Memahami Gender, (Jakarta: Teplok Press, 2001), hal. 1-2.

57

A. Latar Balakang Sosial Politik (Tiga Kerajaan Kecil) Jazirah Arab195, demikian bangsa Arab menamakan negeri mereka atau terkadang mereka cukup menyebutnya dengan ‘al-Jazîrah’. Istilah Jazirah pada dasarnya kurang tepat diberikan pada negeri ini, sebab ia bukanlah sebuah pulau melainkan hanya sebuah semenanjung, karena sebelah utara negeri ini tidak dibatasi oleh perairan (laut). 196 bangsa Arab197 menamakannya demikian hanya sekedar

195 Jazirah Arab terletak di sebelah selatan benua Asia. Sebelah Utara negeri ini berbatasan dengan negeri Syam, Jazirah, dan Irak, sedangkan bagian Timur berbatasan dengan Teluk Persia (the Persian Gulf) dan Laut Oman, sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Hindia, dan bagian Barat dibatasi oleh Teluk Arab atau yang dikenal dengan Laut Merah. Luasnya sekitar seperempat luas Eropa, atau sepertiga wilayah Amerika, atau dua setengah kali lipat luas Mesir. Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibn Abi Sulmâ; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 7. Al- Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 5. Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 7. Philip K. Hitti, History of the Arabs, (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006), cet. 1, hal. 3. Jurji Zaedân, al-`Arab Qabla al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Hilâl, tth), hal. 37 196 .Jazirah sebenarnya adalah terjemahan dari pulau yang biasanya seluruh wilayahnya dibatasi perairan/laut. Oleh karena itu sebenarnya wilayah Arab tidak dapat disebut sebagai pulau (jazirah) melainkan hanya sebuah peninsula (semenanjung) yang menyerupai pulau, karena sebelah Utara tidak dibatasi oleh laut melainkan berbatasan dengan negeri lain (Syam, Jazirah dan Irak). Lih. Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 5 197 Yang dimaksud dengan Bangsa Arab yaitu sebuah bangsa yang berasal dari dua orang keturunan Semit (Sam), yaitu Qahthan dan Ismail. Untuk itu dalam catatan sejarah, bangsa Arab terbagi menjadi dua bagian yaitu Arab Qahthan (Qahthâniyyin) atau disebut juga dengan Arab ‘Âribah, dan Arab keturunan Ismail atau Arab Musta’ribah yang disebut juga dengan Arab Adnaniyah. Keturunan Qahthan menempati sebelah selatan semenanjung Arab, sehingga mereka dinamakan juga dengan Arab Selatan. Dua dari keturunannya sangat terkenal yakni Bani Jurhum dan Bani Ya’rub. Sebagian riwayat mengatakan bahwa kata Arab dinisbatkan pada Ya’rub, dan Ya’rub merupakan moyang dari Arab Yaman, yang kemudian regenerasi dan melahirkan Yasyjub. Yasyjub melahirkan Saba yang kemudian berkembang darinya seluruh kabilah Arab Qahthan. Adapun keturunan Ismail, dinamakan Bani Adnan dinisbatkan pada ‘Adnan bin Udad. Dari ‘Adnan lahir ‘Akk dan Ma’add. Dari Ma’add lahir delapan orang anak dan yang paling terkenal adalah Nizâr. Dari Nizâr lahir Iyâd, Anmâr, Rabî’ah dan Mudhar. Dari Rabî’ah lahir di antaranya Dhabî’ah dan Asad. Dari Asad lahir di antaranya Wâ’il bin Qâsith, dari Wa’il lahir Bakr dan Taghlib. Sedangkan dari Mudhar yang terkenal adalah Khindif, Qais ‘Ailan. Dari keduanya lahir Ghathfan yang melahirkan ‘Abas, Dzubyan, Tamim, Hudzail, dan Kinanah. Dari Kinanah inilah lahir suku Quraisy yang melahirkan seorang Nabi yang agung Muhammad saw. Berdasarkan hal itu, bangsa Arab terbagi ke dalam dua ras besar, yaitu Arab bagian Utara atau disebut juga dengan bangsa Hijaz dan Arab bagian Selatan atau disebut dengan bangsa Yaman. Arab bagian Utara biasanya disebut juga dengan kaum Adnan karena mereka –sebagaimana disebutkan para genealogis- berasal dari keturunan Adnan, dan Adnan keturunan Ismail bin Ibrahim as. Selain itu dinamakan juga dengan Arab musta’ribah (Arabist), karena Ismail bukan keturunan asli bangsa Arab dan bahasanya pun bukan bahasa Arab original. Ia mulai berbahasa Arab pada saat melakukan perjalanan bersama ayahnya ke Hijaz dan menikahi keturunan Jurhum yang berasal dari Kabilah Yamâniyah, lalu mempelajari bahasa mereka dan berkomunikasi dengan bahasa mereka. Adapun Arab bagian Selatan dinamakan dengan kaum Qahthan. Hal ini berdasarkan keterangan para geneologis yang menyebutkan

58 tajâwuz (melebih-lebihkan). Jazirah adalah satu-satunya tempat yang dihuni oleh bangsa Arab asli.198 Para sejarawan Arab biasanya membagi Jazirah Arab ke dalam dua wilayah besar, yakni Hijaz di sebelah Utara199, dan Yaman di sebelah selatan200. Hijaz dinamakan demikian, karena di dalamnya terdapat gunung Sarah yang terbentang mulai dari Yaman hingga ujung kota Syam, sehingga orang Arab menyebutnya dengan hijâz yang berarti pembatas, karena gunung tersebut membatasi negeri-negeri Mekah. Gunung tersebut terbentang hingga tepi pantai, menjulang tinggi, mengelilingi Hijaz dan kota-kota sekitarnya yang berada di dataran rendah, yang disebut dengan negeri Mekah (Tihâmah).201

bahwa Arab Yaman seluruhnya berasal dari keturunan Qahthan, dan mereka juga menyebutnya dengan ‘Arab Âribah’(Arab murni), karena bahasa Arab pada dasarnya adalah bahasa asli dan alat komunikasi mereka. Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 10 198 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, (Beirut: Dâr al- Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 7. 199 Hijâz. Terletak antara Najed dan Tihâmah. Kotanya yang sangat terkenal adalah Yatsrib (Madinah), Thâif, dan Khaibar. Selain itu juga terdapat pasar ‘Ukâzh yang terkenal dan Sumur Badar. Hijaz merupakan kota yang gersang, tidak subur dan jarang hujan, namun terkadang muncul air bah memenuhi lembah-lembah, lalu mengalir dan selanjutnya tumpah ke laut. Salah satu kota yang sangat terkenal di Hijaz adalah Mekah yang terletak di sebuah lembah tanpa tumbuhan. Panjang antara utara dan selatan sekitar dua mil, sedangkan lebarnya sekitar satu mil, sebelah timur dimulai dari kaki gunung Abi Qubais hingga gunung Qu’aiqi’an di sebelah barat. Selain Mekah, kota lain yang terletak di Hijaz adalah Madinah yang sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan Yatsrib. Kota ini terletak di tengah-tengah lembah yang sangat luas. Sebelah Utaranya gunung Uhud. Berdasarkan sejarah, Hijaz termasuk wilayah yang tidak pernah dijajah oleh bangsa lain, baik karena lokasinya yang sulit dijangkau, maupun karena kondisi mereka yang sangat miskin dan tandus. Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 5. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), cet. 3, hal. 13 200 Negeri Yaman (Selatan), disebut juga dengan al-Khadlra’ (negeri Hijau) dan al-Sa’îdah (negeri menyenangkan) karena banyak ladang, perkebunan, pepohonan, padang rumput, dan mata air. Wilayah ini terdiri dari Hadramaut, Mehra, Syahr, Oman, dan Nejran. 201 Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 5. Selain berdasarkan sistem hadlari dan badawi, para geolog Arab juga membagi Jazirah ke dalam lima bagian, yang berbeda satu dengan lainnya, baik dari segi kondisi geografi, iklim, maupun tradisi penduduknya. Pertama, Yaman di sebelah Selatan, disebut juga dengan al-Khadlra’ (negeri Hijau) dan al-Sa’îdah (negeri menyenangkan) karena banyak ladang, perkebunan, pepohonan, padang rumput, dan mata air. Wilayah ini terdiri dari Hadramaut, Mehra, Syahr, Oman, dan Nejran. Kedua, al-Arudl, meliputi Yamamah dan Bahrain. Wilayah ini dinamakan al-‘Arudl karena terletak memanjang membentang antara Yaman dan Najed. Wilayah ini memiliki banyak sumber air, terutama di daerah Ihsa’. Penduduknya terkenal sebagai penambak garam dan penyelam mutiara. Ketiga, Tihamah. Terletak di tepi pantai Laut Merah antara Yaman dan Hijâz. Di wilyah ini terdapat sebuah jalan yang biasa dilintasi Kafilah dagang menuju Syam. Kotanya yang terkenal adalah Mekah yang di dalamnya terdapat Ka’bah dan Gua Hira yang sangat terkenal dalam sejarah Islam. Wilayah ini memiliki tanah yang sangat gersang dan penuh dengan pasir dengan cuaca yang sangat panas. Keempat, Hijâz. Terletak antara Najed dan Tihâmah. Kotanya yang

59 Bagian Selatan Jazirah Arab adalah Yaman sebuah negeri lama yang terkenal dengan kekayaan dan peradabannya. Kota ini seperti juga Hijaz terdiri dari dataran- dataran rendah yang terletak di tepi pantai, yang terkadang disebut juga dengan Tihâmah (negeri Mekah), sedangkan dataran tingginya disebut dengan Najed al-Yaman. Di antara kota-kotanya adalah Nejran sebelah Timur Yaman yang dikenal pada masa Jahiliyah sebagai tempat pemeluk agama kristiani. Di sana terdapat uskup-uskup dan juga Ka’bah yang mereka agungkan menyerupai Ka’bah yang ada di Mekah. Tersebarnya agama Nasrani di Nejran menjadi salah satu faktor terjadinya hubungan bilateral antara Habasyah dan Nejran, hal itu dikarenakan keduanya merasa disatukan oleh ideologi yang sama.202 Di Yaman terdapat sebuah kota yang disebut Ma’rab, terletak di sebelah Timur Laut kota Shan’â’ bernama Sabâ’. Penduduknya dinamakan juga dengan Saba. Kota lainnya yang terkenal adalah Shan’â’ itu sendiri.203 Kota ini terletak di tengah-tengah dekat dengan istana yang megah yang disebut Ghumdan. Sejarah menyebutkan bahwa Saef ibn Dzi Yazn pada masa Jahiliyah meminta istana tersebut dikembalikan dari Habasyah, pada saat mereka menguasai negeri Yaman.204

sangat terkenal adalah Yatsrib (Madinah), Thâif, dan Khaibar. Selain itu juga terdapat pasar ‘Ukazh yang terkenal dan Sumur Badar. Kelima, Najed. Terletak antara Irak di sebelah Timur, gurun Syâm di sebelah Utara, Hijâz sebelah Barat dan Yamâmah sebelah Selatan. Najed adalah sebuah wilayah yang terletak di dataran tinggi dengan kondisi hawa yang sejuk. Sedangkan Ptholemeus (90-168 M) seorang ahli geografi Yunani, membagi negeri Arab (Jahili) ke dalam tiga bagian, yaitu; Arabia Petra (al-`Arab al-Shakhriyah), Arabia Deserta (al-`Arab al-Shahrawiyah) dan Arabia Felix (al-`Arab al-Sa`idah). Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibn Abi Sulma; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 7-8, lihat juga Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 7-8. Jurji Zaedân, al-`Arab Qabla al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Hilâl, tth), hal. 38 202 Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 6-7 203 Di sebelah selatan kota Shan’a terdapat reruntuhan kota yang diduga sebagai peninggalan kaum Himyar. Reruntuhan ini dinamakan dengan Zhaffâr. Dari istilah tersebut muncul sebuah peribahasa yang artinya ‘siapa yang masuk ke Zhaffâr maka ia telah menjadi ’من دخل ظفار حم ر ‘ amtsâl) terkenal) Himyar’, atau berarti ia mampu berbahasa Himyar. Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 7 204 Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 7. Disebutkan dalam al-`Arab Qabla al-Islâm, berdasarkan pendapat Hamdâni dan Yâqût yang dikutip oleh Jurji Zaedân, bahwa istana Ghundam dibangun pada awal abad ke-1 Masehi dan tetap berdiri hingga awal abad ke-1 Hijriyah pada masa kepemimpinan Khalifah Utsmân ibn `Affân, sehingga diperkirakan istana tersebut mampu bertahan hingga 620 tahun lamanya. Menurut Hamdâni, sisa-sisa peninggalan istana tersebut tampak seperti gunung yang sangat besar. Keterangan lengkap tentang istana ini, lihat Jurji Zaedân, al-`Arab Qabla al- Islâm, hal. 165

60 Berdasarkan hal itu, bahasa Arab, secara garis besar terbagi dua bagian juga, yaitu bahasa Arab Selatan yang terdapat di Yaman dan bahasa Arab Utara yaitu yang terdapat di Hijâz.205 Bahasa Arab Selatan meliputi bahasa Saba dan Himyar, namun untuk memudahkan biasanya cukup menyebutnya dengan bahasa Himyar. Bahasa ini dianggap lebih dulu eksis dibandingkan dengan bahasa Utara. Fakta adanya bahasa ini ditemukan pertama kali di Yaman melalui prasasti yang bertuliskan bahasa Himyar tahun 80 SM dengan tulisan (khat) Musnad. Bahasa Himyar memiliki huruf yang berbeda dengan bahasa Arab yang selama ini dikenal. Bangsa Yaman menggunakan bahasa ini sebagai alat komunikasi baik lisan maupun tulisan hingga kedatangan Islam.206

205 Bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan oleh bangsa Arab untuk berkomunikasi baik lisan maupun tulisan. Bahasa Arab merupakan salah satu cabang bahasa Semit (Sâmiyah). Menurut penulis al-Mufashshal dinamakan bahasa Semit untuk membedakannya dari bahasa Hamiyah dan Ariyah. Karena bahasa-bahasa Semit berasal dari satu rumpun –sebagaimana diperkirakan- banyak di antara lafaz-lafaznya yang sama, atau terkadang hanya berbeda sedikit saja, seperti yang terdapat dalam bahasa Ibrani (Ibriyah) dan Arab. Sebagian lafaz yang menggunakan syin dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan sin, sedangkan alîf yang ada dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan waw. Kata salâm dalam bahasa Arab menjadi syalûm dalam bahasa Ibrani, dan tsa menjadi syin, sehingga kata tsaur menjadi syaur. Sedangkan yang di dalam bahasa Arab menggunakan dlad, di dalam bahasa Ibrani menggunakan shad, seperti ardh menjadi arsh, dan lain sebagainya. Akibat kedekatan genetik tersebut terjadi asimilasi antar bahasa. Maka oleh karena berdekatan dan sering berinteraksi, penduduk Yaman terpengaruh oleh bahasa Habsyi, seperti halnya penduduk Hijaz terpengaruh oleh bahasa Ibrani. Bahasa Semit memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dari bahasa lainnya, seperti; tulisannya yang bersifat limited yaitu hanya berupa huruf tanpa harakat, tanpa fathah, kasrah ataupun dhammah, seperti yang terdapat dalam bahasa Aria. Selain itu bahasa Arab juga memiliki jumlah huruf yang lebih banyak dibandingkan dengan bahasa Aria, selain memiliki bentuk derivasi (isytiqâq) yang lebih banyak. Namun demikian, bahasa-bahasa Semit tersebut memiliki persamaan dalam gaya bahasa, struktur kalimat, dan kosakata yang berhubungan dengan anggota badan dan kata ganti orang (dhamîr).Al-Iskandari dkk, al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 15 206 Perlu diketahui bahwa syair Jahiliah yang sampai ke tangan kita, semuanya menggunakan bahasa Adnan, dan tidak ada satupun yang menggunakan bahasa Yaman. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa bahasa Adnan sangat berbeda dengan bahasa Yaman dalam segala hal. Penyeragaman bahasa ini diduga terjadi oleh karena pusat-pusat syair Jahiliah terletak di bagian Utara Jazirah, sedangkan Yaman terletak di bagian Selatan. Selain itu, jauh sebelum Islam lahir, terdapat faktor- faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya penyeragaman dialek ini, sehingga mengerucut pada dialek Quraisy. Di antara faktor-faktor tersebut adalah pertama, hijrahnya sebagian besar bangsa Yaman (selatan) ke dalam Kabilah Mudlar (utara) yang kemudian menggunakan bahasa Mudlar sebagai bahasa komunikasi. Kabilah-kabilah yang beragam tersebut, terbiasa datang ke Mekah untuk mengunjungi Ka’bah. Kedua, kabilah-kabilah yang datang dari seluruh penjuru Jazirah tersebut terbiasa berkumpul di pasar-pasar, selain untuk berniaga juga untuk memperdengarkan syair-syair dan orasi-orasi dari masing- masing kabilah. Pasar terbesar dan sangat terkenal yaitu pasar Ukazh yang letaknya tidak jauh dari Mekah. Ketiga, tidak adanya atensi terhadap periwayatan syair berbahasa Yaman, karena bahasanya

61 Berdasarkan konstruksi geografis tersebut, masyarakat Arab Jahili memiliki dua struktur sosial yang sangat kontradiktif satu sama lain. Pertama penduduk perkotaan (hadhari) yang hidup menetap, dan memiliki kehidupan yang mapan dan menyenangkan, kurang memiliki keberanian, dan lebih mencintai kekayaan, mereka terutama penduduk Yaman yang menurut sejarawan lebih suka bersenang-senang dan berpoya-poya, bangga menggunakan kain sutra, makan di piring emas dan perak, yang biasa mereka peroleh dari hasil berbisnis dan pertanian.207 Bangsa Arab Yaman pada dasarnya adalah masyarakat holtikultural yaitu masyarakat yang sudah menetap dan menggunakan sistem bercocok tanam di ladang.208 Kedua adalah masyarakat nomaden (badawi), yang memiliki kehidupan sebaliknya, mereka selalu berpindah-pindah tempat, dengan kehidupan yang tidak pernah lepas dari gejolak. Hal itu disebabkan oleh karena kondisi tanah Arab yang tandus, tidak ada mata air maupun sungai yang mengalir, sehingga tidak cocok untuk bercocok tanam. 209 Namun demikian, bila dilihat dari tradisi kaum badawi yang sudah biasa menggembala sekawanan binatang seperti unta dan domba untuk mempertahankan hidup mereka, secara sosiologis kelompok ini dianggap tidak mencerminkan bahasa al-Qur’an, dan dianggap tidak bermanfaat ketika menjadikannya sebagai argumen kebahasaan, sebab bahasa Himyar (Yaman) oleh bangsa Arab Utara dianggap sebagai bahasa asing termasuk oleh kabilah Mudlar sendiri yang menampung mereka saat migrasi. Sedangkan وإن ) :syair orang-orang Yaman tidak terlepas dari bahasa Himyar, seperti ucapan Imru al-Qais, berikut ini Himyar), sedangkan dalam) هراق (kata muharâqah berasal dari kata kerja (fi’il ,(شفائى عبرة مهراقة Faktor-faktor tersebut perlahan tapi pasti membawa bahasa Arab pada satu .أراق bahasa Mudlar adalah dialek. Untuk itu, bisa dipastikan bahwa bahasa yang digunakan di dalam syair Jahiliyah, adalah gabungan dialek yang ada di Jazirah Arab, dan yang paling banyak digunakan adalah dialek Quraisy. Al- Iskandari dkk, al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 15 dan 48, lihat juga Nabilah Lubis, al-Mu’in fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, (Jakarta: Kuliyyah al-Adab wa al-‘Ulum al- Insaniyah Jami’ah Syarif Hidayatullah, 2005), hal. 15 207 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24 208 Bangsa Arab Yaman (Selatan) seluruhnya dinasabkan pada Qahthan. Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 18-20, lih. Juga Nabilah Lubis, al-Mu’in fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, hal. 20 209 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24. Menurut K.Hitti, pada dasarnya tidak ada garis tegas yang memisahkan antara kelompok nomad dan kelompok urban, sebab selalu ada tahapan seminomaden dan tahapan semi urban. Masyarakat perkotaan tertentu yang sebelumnya merupakan orang-orang Badui menyangkal asal usul nomaden mereka, sementara di sisi lain, beberapa kelompok Badui lainnya berusaha menuju tahap masyarakat perkotaan. Sehingga dengan demikian, darah orang-orang perkotaan terus mendapat penyegaran dari darah-darah orang nomad. Philip K. Hitti, History of the Arabs, (terjemah), hal. 28

62 dapat dikategorikan sebagai kelompok pastoral.210 Kondisi geografis dan sistem sosial tersebut, sangat berpengaruh terhadap iklim perpolitikan bangsa Arab saat itu. Bangsa Arab Yaman pada mulanya terbagi ke dalam beberapa kelompok yang tersebar di beberapa wilayah. Setiap kelompok menempati sebuah wilayah semacam propinsi yang disebut dengan “mikhlâf”, yaitu wilayah yang terdiri dari beberapa kota kecil (qura) dan desa-desa. Setiap mikhlaf dipimpin oleh seorang pemimpin yang mereka sebut dengan qail. Masing-masing qail tidak ada hubungannya dengan qail-qail lainnya. Terkadang jika ada qail yang kuat, ia akan menyerang qail lainnya dan mengalahkannya lalu merampas kekayaannya, dan kembali ke wilayahnya semula sebagaimana kehidupan badawi lainnya.211 Seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban, atau mungkin juga hasil seleksi alam siapa yang kuat dia yang menang, di Yaman kemudian muncul sebuah kerajaan yang dikenal dengan nama Saba’. Kerajaan ini banyak diberitakan baik dalam Taurat, maupun dalam buku-buku geografi Yunani dan Romawi, bahkan diceritakan juga dalam al-Qur’an. Kerajaan ini mengalami masa kejayaannya sekitar beberapa abad sebelum masehi tepatnya pada abad ke-8 sebelum masehi, sebagaimana terdapat dalam prasasti peninggalan masa itu.212 Selain kerajaan Saba’, di Yaman juga muncul kerajaan Himyar dengan Zhafar sebagai pusat ibukotanya. Bangsa Himyar pada dasarnya adalah pecahan atau cabang dari kaum Sabâ’. Kerajaan ini berlangsung dari akhir abad kedua sebelum Masehi hingga awal abad keenam Masehi. Kerajaan ini sangat terkenal dengan ekspansi dan serbuannya ke kerajaan Persia dan Habasyah.213 Kerajaan Himyar di dalam sejarah dikenal juga dengan sebutan al-Tabâbi’ah (jamak dari Tubba’). Rajanya yang terakhir

210 Dalam ilmu Sosiologi, tipe-tipe masyarakat dan cara mereka bertahan hidup dibagi dalam beberapa bagian, yaitu; masyarakat pemburu dan pengumpul buah-buahan, masyarakat pastoral dan holtikultural, masyarakat pertanian, dan masyarakat industri. M. Amin Abrori, Mengerti Sosiologi, hal. 36-44 211 Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 18 212 Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 18 213 Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 20

63 bernama Dzû Nuwâs seorang Yahudi yang sangat fanatik dan hidup pada masa Jahiliyah menjelang datangnya Islam.214 Pada masa kepemimpinannya tersebut agama Kristen sudah mulai tersebar di Jazirah Arab terutama di Nejran. Untuk mengantisipasi tersebarnya agama Kristen lebih jauh, ia memerintahkan agar mengusir pemeluknya, membakar buku-bukunya, serta menyiksa para pemeluknya dengan cara dibakar. Dialah yang dimaksud dalam al- Qur’ân al-Karîm dengan Shâhib al-Ukhdûd.215 Habasyah kemudian menyerang Yaman (kerajaan Himyar) untuk membantu kaum Nasrani, dan akhirnya Dzû Nuwâs dapat dikalahkan dan Yaman dikuasai kerajaan Habasyah. Kerajaan mereka pun akhirnya dihancurkan. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 525 M.216 Bila Yaman (hadlari) sempat memiliki beberapa kerajaan dan sistem pemerintahan yang permanen, tidak demikian halnya dengan bangsa Arab Utara (badawi), mereka sama sekali tidak memiliki sistem pemerintahan. Masyarakat Arab badawi selain berdampingan dengan kerajaan Habasyah di Yaman dan sekitarnya, juga berdampingan dengan dua kerajaan besar lainnnya, yaitu kerajaan Romawi yang berkedudukan di Syam dan sekitarnya dan kerajaan Persia di Irak dan sekitarnya. Untuk itu arus politik mereka tergantung pada angin yang berhembus, terkadang masuk di bawah kekuasaan Irak, namun terkadang masuk di bawah kekuasaan Syam sesuai dengan kepentingan masing-masing. Hal itu disebabkan karena Jazirah Arab saat itu tidak memiliki pemerintahan yang permanen yang bisa memimpin, mengarahkan, dan menyatukan keanekaragaman mereka. Tidak adanya pemerintahan yang permanen dalam kehidupan mereka disebabkan banyak faktor, di antaranya adalah kehidupan mereka yang bersifat kesukuan, persaingan antar suku, dan senang memamerkan kekuatan satu sama lain, sehingga siapa kuat dia menang dan pada akhirnya timbul dendam yang berkepanjangan.217

214 Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 20, lih. Juga Nabilah Lubis, al- Mu’in fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, hal. 20. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), cet. 3, hal. 13 215 Nabilah Lubis, al-Mu`în fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 20 216 Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 20-21 217 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, , hal. 26

64 Meskipun demikian, beberapa kabilah yang berada di sekitar Hijaz memiliki sebuah pemerintahan kecil, yang dikenal dengan pemerintahan Quraisy. Pemerintahan ini berfungsi untuk mengatur pemeliharaan Masjid al-Haram, menjaga berhala dan patung mereka, mengatur ibadah haji, serta menjaga Baitullah. Hanya saja pemerintahan ini tidak terlalu kuat untuk dapat mempengaruhi kehidupan bangsa Arab. Bahkan ketidakberdayaannya tersebut tampak nyata pada saat kerajaan Habasyah bermaksud menyerang dan menghancurkan Ka’bah. Meskipun pada akhirnya peristiwa ini memberi dampak politik yang positif bagi bangsa Arab, sebab dengan adanya kejadian tersebut mereka berbondong-bondong menuju al-Haram demi mempertahankan Ka’bah dari serangan Abrahah. Kekuasaan dalam pemerintahan Quraisy yang berada di Mekah ini terbagi menjadi dua bagian yang pertama bagian yang mengurus masalah keagamaan dan yang kedua bagian yang mengurus urusan umum (duniawi).218 Perkembangan sosial politik bangsa Arab Jahili pada dasarnya tidak terlepas dari kontak mereka dengan bangsa lain. Pada saat membicarakan latar belakang sosial politik serta kontak bangsa Arab dengan bangsa lainnya, maka pembahasan tidak bisa terlepas dari tiga kerajaan kecil (imârah), yang terletak di wilayah Utara dan Tengah Jazirah Arab, yaitu; kerajaan Ghassan yang merupakan aliansi dari Binzantium (Romawi), kerajaan Manâdzirah/Lakhmi (Hirah) di Irak yang merupakan protektorat kerajaan Persia, serta kerajaan yang merupakan protektorat kerajaan Himyar di Yaman.219 Bangsa Arab kontak dengan bangsa asing melalui berbagai cara, pertama, melalui jalur perdagangan, terutama bangsa Yaman dan suku Quraisy di Mekah. Bangsa Yaman telah lama mengenal sistem perdagangan, mereka mengangkut hasil pertanian dari Hadramaut dan Zhaffar, dan menyalurkan produk-produk India ke Syam dan Mesir. Dari India, mereka biasanya mengangkut emas, batu mulia, kayu cendana, rempah-rempah, dan bahan-bahan pewangi. Selain itu mereka juga mengangkut minyak

218 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, , hal. 26 219 Muhammad Ridla Marawwah, Imru al-Qais; al-Malik al-Dlalil, hal. 7. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), cet. 3, hal. 14

65 wangi, kayu hitam, dan emas dari pinggir kota Afrika. Di samping itu, mereka juga menjual hasil produksi negerinya seperti kemenyan dan minyak wangi, serta mutiara yang mereka datangkan dari Bahrain. Begitulah bangsa Yaman berinteraksi dengan bangsa lain yang ada di sekitarnya.220 Pada saat perekonomian Arab Yaman mengalami kemunduran, posisi tersebut diambil alih oleh Arab Hijaz. Hal ini terjadi pada abad ke-6 Masehi. Kabilah Quraisy pun akhirnya mengambil alih jalur perdagangan tersebut, mereka mulai membeli barang-barang dari Yaman dan Habasyah, lalu menjualnya kembali di pasar-pasar yang ada di Mesir dan Syam. Pada saat permusuhan antara Romawi dan Persia semakin memuncak – menjelang datangnya Islam- Mekah telah menjadi pusat perdagangan yang besar. Pada saat itu roda pemerintahan bangsa Romawi sangat mengandalkan hasil perniagaan kerajaan hingga hal-hal yang menyangkut persoalan kemewahan. Kaum Quraisy memiliki dua corak perniagaan, yaitu perjalanan musim dingin ke negeri Yaman dan perjalanan musim panas ke Syam. Kaum Quraisy selalu merasa nyaman dan aman dalam melakukan perjalanan niaganya, hal ini disebabkan karena kaum Quraisy sebagai ahl al-harâm (keluarga Bait al-Haram) dan penjaga Ka’bah merupakan kabilah yang sangat dihormati oleh bangsa Arab.221 Perdagangan inilah yang menjadi faktor utama terjadinya kontak bangsa Arab dengan bangsa asing di sekitarnya. Dari sinilah, para pedagang Arab akhirnya banyak mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan urusan kerajaan dan pemerintahan. Untuk itu, selain membawa barang dagangan, mereka juga kembali dengan membawa bahasa asing seperti Persia, Romawi, Mesir, dan Habasyah yang kemudian diserap ke dalam bahasa Arab dan disesuaikan dengan kaidahnya.222 Kedua, kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar perbatasan merupakan faktor kedua terjadinya kontak bangsa Arab dengan bangsa asing, seperti kerajaan Lakhmi di Hirah yang bertetangga dengan Persia dan kerajaan Gassan di Syam yang

220 Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 25 221 Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 25 222 Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 25

66 berdampingan dengan Romawi. Kedua kerajaan tersebut (Lakhmi dan Gassan) menurut para geneolog223 adalah keturunan bangsa Yaman.224 Dibangunnya kedua kerajaan tersebut bukan tanpa alasan. Sebagaimana diketahui bahwa kerajaan Persia dan Romawi berbatasan dengan bangsa Arab. Bangsa Arab ini selalu mengancam kedua kerajaan tersebut dengan peperangan yang dirancang secara teratur, tiba-tiba menyerang, lalu merampas dan kembali. Tidak mudah bagi kedua kerajaan tersebut menghadapi serangan-serangan bangsa Arab yang seperti itu dan menaklukkannya, karena sulitnya perjalanan di atas gurun pasir. Selain itu kedua kerajaan tersebut tidak tertarik untuk menaklukkannya, karena di dalamnya tidak ada kekayaan yang menarik yang menguntungkan bagi mereka. Untuk itu, mereka beranggapan bahwa dengan membangun kerajaan Arab di perbatasan akan dapat menghalangi kedua kerajaan tersebut dari serangan-serangan mereka dan akan aman dari tipu dayanya, lalu membuat perjanjian dengan kabilah-kabilah di sekitarnya. Untuk itulah kemudian Persia membangun kerajaan Hirah, dan Romawi membangun kerajaan Gassan.225 Kerajaan Hirah terletak sekitar tiga mil dari Kufah, di ujung kota Irak. Irak pada masa pemerintahan kerajaan Lakhmi merupakan kota yang sangat ramai. Di sana terdapat istana-istana yang megah. Kota ini terkenal dengan udaranya yang sejuk, karena dekat dengan padang pasir. Raja pertama yang menduduki tahta kerajaan Lakhmi di Hirah adalah Umar ibn ‘Addi sekitar tahun 268 M pada masa Sabur ibn Ordesyir pertama. Kerajaan ini bertahan hingga tahun 633 M, berakhir dengan penaklukan Khâlid ibn al-Walîd.226 Raja Hirah didukung oleh raja-raja Persia dari kabilah Lakhm. Kerajaan Lakhmi bersifat semi independen, sebab sistem pemerintahan Persia mirip dengan sistem

223 Ahli nasab 224 Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 25-26 225 Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 26. Jurji Zaedan dalam bukunya al-`Arab Qabla al-Islâm membahas secara detail kedua kerajaan tersebut, seperti asal usulnya, raja-raja yang pernah berkuasa, dan jejak-jejak peninggalannya. Lihat Jurji Zaedan, al-`Arab Qabla al-Islâm, (tp: Dar al-Hilâl, tth), hal. 207-241 226 Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 26

67 feodalisme. Kerajaan Arab Hirah dalam hal ini dijadikan sebagai connecting link (penghubung) antara Persia dan bangsa Arab Jazirah, menghubungkan perdagangan antara keduanya, memperkenalkan Persia dengan segala kebudayaannya, serta menceritakan informasi dan kisah-kisah tentang mereka. Dan hal ini menjadikan sastra Arab sangat terpengaruh oleh segala hal yang berkaitan dengan kerajaan Hirah. Salah seorang raja Hirah yang sangat terkenal adalah al-Nu’mân kelima, suami dari Hindun yang bergelar Abu Qabûs yang banyak dipuji oleh al-Nâbighah al-Dzubyâni dalam syair-syairnya.227 Bangsa Arab banyak membicarakan tentang al-Khawarnaq dan al- Sadir, keduanya adalah istana yang mirip benteng yang terletak di dekat kerajaan Hirah, sebagaimana mereka juga sering membicarakan tentang kisah Sinimar arsitek dari istana al-Khawarnaq,228 yang kemudian dijadikan sebagai perumpamaan oleh bangsa Arab. Mereka juga mengenal dua hari al-Nu’man (gelar raja Hirah), yaitu hari keberuntungan dan hari sial, sebagaimana bangsa Hirah juga yang mengajarkan suku Quraisy untuk berbuat zindik (ingkar terhadap agama) pada masa Jahiliyah, di samping

227 Di antara syair al-Nâbighah al-Dzubyâni pada saat memuji al-Nu`mân yang bergelar Abu Qâbûs: فتلك تُ ْبلغنى النعما َن، إن له # فضال على الناس فى األدنى وفى البَعَ ِد Dan itu semua, semakin membuatku yakin, bahwa al-Nu`man memiliki banyak keistimewaan dibanding manusia lainnya yang dekat maupun yang jauh. Dalam syair madah lainnya yang sangat terkenal sebagai permintaan maaf atas segala kekhilafannya atas al-Nu`man: فإنك شمس، والملوك كواكب # إذا ط َلعَ ْت لم يبدُ منه ّن كوكب Engkaulah Mataharinya, dan raja-raja itu bintang-bintangnya Jika matahari muncul, tak tampak satu bintang pun. Dalam syair tersebut, al-Nu`man oleh al-Nâbighah al-Dzubyâni dimetaforakan dengan matahari, sedangkan raja-raja yang ada di sekitarnya dimetaforakan dengan bintang-bintang. Maka pada saat matahari muncul di siang hari, bintang-bintang biasanya tidak tampak lagi, demikian pula halnya pada saat al-Nu`man raja yang agung muncul, raja-raja kecil di sekitarnya tampak tidak memiliki arti lagi. Syair lengkap lihat `Abbâs `Abd al-Sâtir (syarah dan taqdîm), Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1416 H/1996 M), hal. 12 & 28 228 Balasan untuk Sinnimar (Jazâ’ Sinnimar) adalah sebuah perumpamaan (matsal) Arab yang berasal dari sebuah kisah tentang pengkhianatan seorang raja terhadap arsitek yang bernama Sinnimar yang telah membangun istana yang teramat megah untuknya. Karena ia merasa takut akan ada yang menyainginya, maka arsitek tersebut dibunuhnya dengan cara dilemparkan dari atas puncak istana tersebut, agar tidak ada seorang pun yang mampu membangun istana seperti miliknya. Sebuah kisah yang mengumpakan tentang perbuatan baik seseorang yang dibalas dengan kejahatan. Kisah ini dapat dilihat dalam buku al-`Arabiyah li al-Nâsyi’în, (al-Mamlakah al-`Arabiyah al-Su`ûdiyah: Wuzârah al-Ma`ârif, tth), hal. 146-147

68 mereka pula yang mengajarkan tulisan pada masa awal Islam.229 Penyair yang terkenal dari Hirah adalah ‘Addi ibn Zaid al-‘Ibadi yang dinasabkan pada ‘Ibad, salah satu kabilah yang ada di Hirah yang menyebarkan agama Nasrani. Jika Persia mendirikan kerajaan Hirah, Romawi mendirikan sebuah kerajaan di perbatasan Syam yang dinamakan dengan kerajaan Gassan. Kekuasaan kerajaan ini mencakup dua wilayah, yaitu Hauran dan Balqa. Dibandingkan dengan sejarah bangsa Lakhmi, sejarah kerajaan Gassan lebih kabur lagi, sebab bangsa Persia banyak merampas sejarah setiap wilayah yang berdekatan dengannya. Namun dari ungkapan para penyair terkadang disebutkan bahwa ibukota kerajaan ini adalah Joulan atau Jayyah, namun terkadang mereka menyebutkan nama Jilq sebuah wilayah dekat Damaskus.230 Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-enam Masehi. Pada abad ini, al-Harits II yakni Ibnu Jabalah dari kerajaan Gassan, dan Ibn al-Mundzir III yakni Ibn Mâ’ al-Sama’ dari Hirah (Alamundarus, w. 554 M) mendominasi sejarah Arab. Al-Harits yang dijuluki dengan al-A’raj (si cacat) oleh para sejarawan Arab adalah nama pertama yang otentik dan hingga kini dianggap nama yang paling terkenal dalam catatan sejarah Jafna. Sebagai hadiah atas keberhasilannya mengalahkan musuh besarnya dari kerajaan Lakhmi (al-Mundzir III), Justine melantiknya (529) sebagai penguasa atas seluruh suku Arab di Suriah dan mengangkatnya sebagai patrik dan raja kecil (jabatan tertinggi setelah raja), yang dalam bahasa Arab gelar ini sederajat dengan malik.231 Kerajaan Gassan, berdasarkan riwayat Hamzah berlangsung hingga 600 tahun, yaitu dari abad ke-1 Masehi hingga munculnya Islam.232 Jika kerajaan Gassan menjadi sekutu dan protektorat Binzantium (Romawi) dan kerajaan Lakhmi menjadi sekutu Persia, kerajaan Kindah yang terletak di bagian tengah

229 Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 26-27 230 Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 27. Jurji Zaedân, al-`Arab Qabla al-Islâm, hal. 207 231 Philip K. Hitti, History of The Arabs, (terjemah), hal. 97 232 Pendapat lain menyebutkan bahwa bahwa penduduk Gassan pada pertengahan abad ke-2 M masih menempati Tihamah. Sehingga berlangsungnya kerajaan Gassan seperti disebutkan di atas bukan suatu kepastian yang absolute. Jurji Zaedân, al-`Arab Qabla al-Islâm, (tp: Dâr al-Hilâl, tth), hal. 208

69 Arab, menjalin hubungan politik dengan kerajaan Tubba’, kerajaan terakhir di Yaman. Kerajaan Kindah dipimpin seorang raja yang bergelar malik. Kindah satu-satunya kerajaan yang menggunakan gelar malik untuk para penguasanya, biasanya gelar malik digunakan oleh bangsa Arab untuk para penguasa asing.233 Meskipun berasal dari Arab Selatan dan –menjelang masa kelahiran Islam- mendiami kawasan sebelah barat Hadramaut, bangsa Kindah yang kuat itu tidak disebutkan dalam berbagai tulisan-tulisan Arab Selatan paling awal; mereka pertama kali disebutkan dalam sejarah pada abad keempat Masehi. Pendirinya yang terkenal, Hujr, yang dijuluki Akil al-Murar, menurut sebuah riwayat adalah saudara tiri Hassan ibn Tubba` dari Himyar, dan diangkat olehnya pada 480 M. sebagai penguasa suku- suku tertentu yang telah ditaklukkan oleh Tubba` di Arab bagian tengah.234 Hujr kemudian digantikan oleh anaknya, `Amr. Selanjutnya anak `Amr, al-Harits, raja Kindah paling bengis, menjadi raja yang setelah meninggalnya raja Persia, Qubadz, segera mengangkat dirinya sebagai penguasa Hirah, yang kemudian (sekitar 529) jatuh ke tangan al-Mundzir II dari kerajaan Lakhmi. Al-Mundzir menghukum mati al-Harits (529) beserta sekitar 50 anggota keluarga kerajaan, yang kemudian menjadi pukulan mematikan terhadap kekuasaan Kindah. Al-Harits mungkin pernah menetap di al- Anbar, sebuah kota di kawasan Efrat sekitar 40 mil sebelah barat laut Baghdad.235 Sengketa di antara anak-anak al-Harits, yang masing-masing memimpin suku, mengakibatkan pecahnya konfederasi dan jatuhnya kerajaan itu. Sisa-sisa kekuatan kerajaan Kindah terpaksa mundur ke pemukiman mereka semula di Hadramaut. Peristiwa itu menandai berakhirnya salah satu kerajaan pesaing Hirah dalam perebutan supremasi antara tiga kerajaan di kawasan Arab Utara; pesaing lainnya adalah kerajaan Gassan. Penyair terkenal, Umru` al-Qays, salah satu penyair emas,236 adalah keturunan keluarga kerajaan Kindah, yang berkali-kali gagal untuk memperoleh kembali warisannya. Puisi-puisi bernada pedas, memancarkan nuansa perlawanan pada kerajaan

233 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 105. Lihat juga Jurji Zaedân, al-`Arab Qabla al-Islâm, hal. 242-247. 234 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 105 235 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 105 236 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 106

70 Lakhmi. Dalam rangka mencari bantuan, ia pergi ke Konstantinopel, berharap memperoleh simpati Justine, musuh Hirah. Dalam perjalanan pulang, demikian menurut riwayat, ia di racun (sekitar 540) di Ankara oleh seorang utusan kaisar.237 Pada awal Islam, sejumlah orang Kindah memiliki peran penting. Salah seorang yang paling penting di antara mereka adalah al-Asy`ats ibn Qays, seorang pemimpin suku Hadramaut yang kondang pada masa penaklukan Suriah dan Irak. Berkat jasa- jasanya ia diangkat sebagai gubernur di salah satu provinsi Persia. Keturunan al-Asy`ats menduduki jabatan penting pada pemerintahan Dinasti Umayah di Suriah. Al- Muqanna`,238 seorang Khurasan yang mengaku nabi, dan inkarnasi dewa, serta selama bertahun-tahun menentang khalifah Abbasiyah, al-Mahdi, kemungkinan adalah orang Persia, bukan orang Kindah. Selain itu, suku ini juga melahirkan seorang filsuf Arab paling awal yaitu Ya`kub ibn Ishaq al-Kindi. Pada 1962, satu millenium kelahirannya diperingati di Baghdad. 239 Menurut K. Hitti, kemunculan Kindah dianggap menarik tidak hanya karena sejarahnya sendiri, tetapi juga menggambarkan upaya pertama orang-orang Arab untuk menyatukan sejumlah suku ke dalam sebuah kepemimpinan tunggal yang terpusat. Dengan demikian, pengalaman itu menjadi contoh bagi Hijaz dan Muhammad. 240 Ketiga kerajaan kecil (imârat) tersebut, yakni; kerajaan Ghassan yang merupakan aliansi dari Binzantium (Romawi), kerajaan Manâdzirah/Lakhmi (Hirah) di Irak yang merupakan protektorat kerajaan Persia, serta kerajaan Kindah yang merupakan protetorat kerajaan Himyar di Yaman, sangat penting dikemukakan dalam kajian ini, sebagai gambaran tentang bagaimana kaum perempuan diperlakukan di dalam lingkungan istana, dan secara tidak langsung kita juga dapat mengetahui kondisi perempuan dalam lingkungan dua kerajaan besar masa itu, Romawi dan Persia. Selain itu, berdasarkan uraian di atas, hal lain yang perlu ditegaskan di sini sebelum membahas

237 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 106. Jurji Zaedân, al-`Arab Qabla al- Islâm, (tp: Dâr al-Hilâl, tth), hal. 246. Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 76-79 238 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 107. 239 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 107. 240 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 108

71 citra perempuan Jahiliyah dalam syair adalah bahwa ada dua hal yang membatasi makna perempuan Jahiliyah itu sendiri, yaitu pembatasan berdasarkan ruang dan waktu. Ditinjau dari segi waktu, perempuan Jahiliyah adalah perempuan yang hidup pada masa sebelum Islam sebagaimana dijelaskan dalam makna Jahiliyah sebelumnya. Berdasarkan ruang, perempuan Jahiliyah adalah perempuan yang hidup dalam lingkaran geografi yang telah dijelaskan di atas. Maka perempuan-perempuan yang hidup sebelum Islam, namun tidak berada dalam batasan wilayah yang disebutkan di atas, jelas tidak termasuk dalam kategori perempuan Jahiliyah dalam kajian ini.

B. Penyair Istana 1. Umru al-Qais penyair aristokrat Penyair aristokrat, yaitu penyair yang berasal dari kalangan atas dan keturunan kerajaan, bukan penyair kerajaan yang biasanya menjadikan syair sebagai alat mencari nafkah. Para ahli sastra biasanya hanya menyebutkan satu nama untuk kategori ini, yaitu Umru al-Qais (500-540 M). Meskipun kurang representatif241, Umru al-Qais dapat mewakili satu sisi kehidupan kelompok hadlari. Ia mewakili sisi gelap kehidupan istana yang serba gemerlap dan hidup bersenang-senang. Umru al-Qais satu-satunya penyair yang berasal dari kalangan istana atau keturunan penguasa, ia seorang pangeran yang tidak sempat menikmati tampuk kepemimpinan, karena kerajaannya terlanjur hancur akibat kelalaiannya. Umru al-Qais, dalam kajian ini dianggap sangat penting untuk ditampilkan karena ia mewakili sisi kehidupan borjuis yang ada dalam lingkungan istana pada masa Jahiliyah. Kehidupan yang dipenuhi dengan kemewahan dan kesenangan, meski pada akhirnya ia mengalami nasib yang sebaliknya. Untuk mengetahui citra perempuan Jahiliyah dalam lingkungan istana dan bagaimana kalangan istana memperlakukan dan memandang perempuan,

241 Umru al-Qais -menurut penulis - tidak bisa mewakili cara pandang seluruh unsur kelompok high class (kerajaan), karena berdasarkan biografinya, ia termasuk salah seorang raja yang kurang baik, bahkan ia dijuluki sebagai al-Malik al-Dlillil, yaitu raja yang sesat, karena banyak melakukan banyak kesalahan, dan semasa hidupnya selalu dihabiskan untuk bersenang-senang dan berpoya-poya, namun demikian semua perilakunya yang terungkap dalam syair, diharapkan dapat mengungkap kehidupan perempuan Arab Jahiliyah yang ada di sekitar istana.

72 maka syair-syair Umru al-Qais adalah satu-satunya bahan yang dapat dijadikan sebagai objek kajian. Nama lengkapnya adalah Umru al-Qais242 ibn Hujr ibn al-Harits ibn ‘Amr ibn Hujr Âkil al- Murâr ibn Mu’awiyah ibn al-Harits al-Akbar (yang agung) ibn Ya’rab ibn Tsaur ibn Murti’ ibn Mu’awiyah ibn Kindah. Sebagian mengatakan bahwa namanya adalah Hunduj ibn Hujr, namun nama Umru al-Qais lebih dikenal di masyarakat baik dulu maupun sekarang. Ia dijuluki dengan al-Malik al-Dlillîl atau raja yang banyak melakukan kasalahan. Selain itu ia juga dijuluki dengan Abu Wahab, Abu Zaid, Abu Harits, dan Dzu al-Qurûh. 243 Umru al-Qais ibn Hujr ibn ‘Amr al-Kindi lahir di lingkungan Bani Asad, tepatnya di Najed, dan merupakan keturunan asli Yaman.244 Ibunya bernama Fathimah binti Rabi’ah saudara Kulaib dan al-Muhalhil. Keduanya adalah anak laki-laki Rabi’ah dari Kabilah Taghlib. Ayahnya adalah Raja dari kerajaan Kindah (Bani Asad). 245 Meskipun Umru al-Qais merupakan keturunan Yaman, namun ia lahir dan tumbuh di Najed di tengah-tengah bangsa Adnan dan berkomunikasi dengan bahasa mereka. Kehidupan Kerajaan Kindah selalu diselimuti peperangan dengan kerajaan Hirah.246 Kerajaan Kindah terletak sebelah Barat Hadramaut, dan masih eksis sebelum lahirnya agama Islam. Kerajaan ini masih ada kaitannya dengan kerajaan Himyar II di Yaman.247 Sebagai pangeran, Umru al-Qais kecil hidup di lingkungan istana. Masa remajanya ia habiskan untuk bersenang-senang dan berpoya-poya, ia hidup dalam dunia gemerlap (dugem), hingga di saat ayahnya terbunuh dalam peperangan, Umru al-Qais

242 Umru al-Qais artinya pria yang tangguh 243 Dzu al-Qurûh adalah julukan bagi Umru al-Qais yang memiliki penyakit kulit (lepra) menjelang akhir hayatnya. Muhammad Ridla Murawwah, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 17. 244 Kindah merupakan keturunan Qahthan, oleh karena itu ia merupakan penduduk asli Yaman. Karena berbagai faktor, ia hijrah ke sebelah Utara Jazirah Arab dan berasimilasi dengan keturunan Adnan yang menempati wilayah tersebut. Selanjutnya mereka mendirikan kerajaan kecil. 245 Lajnah (Tim Penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 112 , Nabilah Lubis, al-Mu’in fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi, (Jakarta: Kuliyat al-Adab Jami’ah Syarif Hidayatullah, 2005), hal. 35 246 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 50 247 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 50

73 tidak ada di sampingnya.248 Sejarah mencatat bahwa Umru al-Qais masa remajanya hidup jauh dari kedua orang tuanya, karena diusir ayahnya. Sebagian mengatakan bahwa Ayahnya mengusir Umru al-Qais karena ia merayu salah seorang istri ayahnya, namun pada intinya ia diusir karena sifatnya yang kurang baik seperti mabuk- mabukkan, main-main dengan perempuan, berpoya-poya, dan lain sebagainya.249 Kematian ayahnya merupakan titik balik kehidupan Umru al-Qais. Perasaan dendam dan ambisinya untuk mengembalikan kerajaan yang terampas, membuat ia berubah haluan dalam menjalankan kehidupannya. Untuk itu penulis buku ‘Buhûts fi al- Adab al-Jâhili’, membagi kehidupan Umru al-Qais ke dalam tiga fase; pertama, masa remaja yang diliputi kesenangan. Kehidupannya tidak jauh dari minuman keras, hura- hura, perempuan, dan perbuatan nista lainnya. Fase kedua, adalah seorang laki-laki dewasa yang jiwanya dipenuhi perasaan dendam yang sangat gila, dan kemarahan yang bodoh, karena ingin membalaskan dendam dan sakit hatinya atas kematian ayahnya, tanpa mampu membedakan mana kawan dan mana lawan. Pembalasannya yang membabi buta dan tanpa perhitungan, membuat kawan di sekelilingnya lari menjauhinya, sehingga musuh-musuhnya dengan mudah mengalahkannya. Fase ketiga adalah seorang laki-laki yang berpindah-pindah dari satu kabilah-ke kabilah lain dengan perasaan husnu dzan, penuh harapan dan keyakinan, bahwa akan ada yang membantunya dalam mengembalikan kerajaannya yang hilang.250 Pada akhir hayatnya, Umru al-Qais mencoba meminta bantuan pada kabilah- kabilah Bani Asad terutama kabilah Bakr dan Taghlib, untuk membalaskan dendamnya atas kematian ayahnya. Mereka akhirnya berhasil membalaskan dendamnya, namun karena ambisi Umru al-Qais yang ingin menguasai kembali Bani Asad, akhirnya kedua kabilah pelindungnya tersebut berbalik menyerang. Umru al-Qais akhirnya meminta bantuan kepada keluarganya yang ada di kerajaan Yaman. Kisah panjang selanjutnya mengiringi perjalanan Umru al-Qais dalam mengembalikan kerajaannya yang hilang,

248 Muhammad Ridla Murawwah, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 23, 249 Muhammad Ridla Murawwah, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, hal. 41-42 250 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 79

74 namun pada akhirnya ia mengalami kegagalan demi kegagalan dan akhirnya meninggal dunia251 sekitar tahun 540 M. Dalam dunia sastra, Umru al-Qais memiliki sejumlah syair yang terangkum dalam Dîwan Umru al-Qais. Syair-syair Umru al-Qais sendiri banyak yang dijadikan sebagai syair al-mu’allaqat. Dalam syairnya Umru al-Qais memiliki karakteristik tersendiri seperti, banyak menggunakan tasybîh, isti’ârah, dan kinâyah252. Syair-syair yang digubah oleh Umru al-Qais tersebut oleh penulis dijadikan sebagai pintu masuk untuk meneropong kehidupan perempuan yang ada sekitar istana kerajaan-kerajaan kecil (Hirah, Gassan dan Kindah) yang secara tidak langsung ketiganya juga mencerminkan gaya hidup kerajaan-kerajaan besar, seperti Romawi dan Persia atau kerajaan-kerajaan Yaman yang telah punah. Rayuan maut (ghazal) Umru al- Qais berikut ini mengindikasikan bahwa ia mengenal dengan baik berbagai karakter perempuan yang berasal dari berbagai suku dan bangsa termasuk Romawi dan Persia: لمن طل ٌل بين ال ُجدّيّة والجب ْل # مح ّل قديم العهد طالت به الطيِّل253 Siapakah pemilik jejak-jejak yang terdapat antara gunung Jud dan Aja’254 ini? Sebuah tempat kuno yang telah lama berlalu … تعلق قلبى طفلة 255 عربية # تنعّم فى الديباج256 وال َح ْلي وال ُحلل257 Hatiku terpaut pada gadis Arab yang manis bergaun sutra, bertabur perhiasan, bergaun panjang … فلو لو ولو لو ثم لو لو ولو ولو # دنا دا ُر َس ْل َمى كن ُت أ ّو َل من وص ْل Andai, andai dan andai, lalu andai… (andai) rumah Salma semakin dekat, maka akulah orang yang pertama kali tiba

(قرح) Dalam riwayat diceritakan bahwa ia meninggal dunia akibat penyalit kulit atau lepra 251 yang dideritanya. 252 Kinâyah adalah gaya bahasa sejenis kiasan yang tidak menutup kemungkinan untuk diartikan sebagaimana makna aslinya, seperti kata panjang tangan yang dapat diartikan sebagai kebiasaan seseorang yang suka mencuri atau makna yang sesungguhnya yaitu seseorang yang memiliki tangan yang panjang. 253 Bahr Thawîl: fa`ûlun – mafâ`îlun - fa`ûlun – mafâ`îlun 254 Dalam diwan Imri al-Qais dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jabal (gunung) di sini salah satu gunung yang terletak di Thayy Najed. Dîwân Imri al-Qais, hal. 145 (أجأ) ’adalah gunung Aja 255 Gadis cantik yang sedap dipandang mata 256 Sutra yang berlukiskan gambar-gambar 257 al-hulal jamak dari hullah yang artinya baju yang menutupi seluruh tubuh (gamis).

75

وعن عن وعن وعن ثم عن عن وعن وعن # أسائل عنها ك ّل من سار وارتحل Tentang, tentang, dan tentang, lalu tentang ….. Kutanyakan tentang dia pada siapapun yang bepergian

وفى فى وفى فى ثم فى وفى # وفى ُو ْجنَتَى َسلمى أقبِّل لم أم ْل Dan di, di, dan di, lalu di… Kedua pipi Salma kudaratkan ciuman, yang tak pernah kubayangkan

و َس ْل سل وسل سل ث ّم سل سل وسل وسل # وسل دار سلمى والربو َع 258 فكم أس ْل Tanyakan, tanyakan dan tanyakan, lalu tanyakanlah.. Tanyakanlah tentang rumah Salma dan juga semua hal di sekitarnya

و َش ْن ِص ْل و َش ْن ِص ْل ثم َش ْن ِص ْل ع َش ْن ِص ْل 259 # على حاجبَى سلمى يزين مع المق ْل 260 Dan akan sampai, akan sampai, lalu akan sampai Pada kedua alis Salma berikut bola mata yang menghiasi

حجازية العين مكية الحشا261 # عراقية األطراف روميّة ال َك َف ْل Mata Hijaz, pinggang Mekah

258 Al-Rubû` jamak dari al-rab` yang artinya segala sesuatu yang ada di sekitar rumah 259 Berdasarkan penjelasan asal-usul bahasa sebelumnya, kata-kata tersebut sepertinya tidak murni bahasa Arab namun masih dalam rumpun bahasa yang sama, namun demikian penulis yakin ada yang artinya akan. Karena bahasa-bahasa Semit berasal dari satu َش dengan َس kesamaan makna antara rumpun –sebagaimana diperkirakan- banyak di antara lafaz-lafaznya yang sama, atau terkadang hanya berbeda sedikit saja, seperti yang terdapat dalam bahasa Ibrani (Ibriyah) dan Arab. Sebagian lafaz yang menggunakan syin dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan sin, sedangkan alîf yang ada dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan waw. Kata salâm dalam bahasa Arab menjadi syalûm dalam bahasa Ibrani, dan tsa menjadi syin, sehingga kata tsaur menjadi syaur. Sedangkan yang di dalam bahasa Arab menggunakan dlad, di dalam bahasa Ibrani menggunakan shad, seperti ardh menjadi arsh, dan lain sebagainya. Akibat kedekatan genetik tersebut terjadi asimilasi antar bahasa. Maka oleh karena berdekatan dan sering berinteraksi, penduduk Yaman terpengaruh oleh bahasa Habsyi, seperti halnya penduduk Hijaz terpengaruh oleh bahasa Ibrani. Al-Iskandari dkk, al-Mufashshal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal.15 260 Penulis buku Dîwân Imri al-Qais. Hal. 149 menyatakan bahwa sebagian besar bait-bait di atas tidak perlu penjelasan, karena kata-katanya mudah dipahami ataupun jika dijelaskanpun tidak memberikan faidah. Namun demikian bagaimana mungkin memahami syair tanpa memahami maknanya. Al-maqal itu sendiri adalah bentuk jamak dari al-muqlah yang artinya biji mata. 261 Penulis sulit menentukan makna yang tepat untuk kata al-hasyâ, karena kata dasar hasya itu sendiri memiliki makna yang tidak sedikit, namun demikian penulis tidak mendapatkan makna yang cocok untuk kata tersebut dalam syair di atas. Di antara makna hasya yang terdapat dalam kamus adalah sesuatu yang terdapat dalam tulang rusuk, untuk itu penulis mengartikannya dengan pinggang yang secara langsung berkaitan dengan tulang yang menjadi unsur penegak tubuh dan biasanya menjadi salah satu unsur tubuh perempuan yang dikagumi laki-laki.

76 Kerling mata Iraq, pantat Romawi

تهامية األبدان عبسية الل َمى # خزاعية األسنان درية القب ْل Tubuh Tihamah262,Bibir merah 263 kabilah `Abas Gigi kabilah Khuza`ah, vagina kabilah Duriyah

وقلت لها أ ّي القبائل تنسبي # لعلى بين الناس فى الشعر كى أُس ْل Dan aku berkata padanya: dari kabilah manakah (sesungguhnya) dikau? Agar aku dapat memberitahukan pada orang-orang lewat syair

فقال ْت أنا كندية عربية # فقل ُت لها حاشا وكال وهل وبل Iapun berkata: Aku Arab Kindah Lalu kukatakan padanya: oh ya…, begitukah…, apakah…, tapi..264

فقالت أنا روميّة عجميّة # فقل ُت لها ورخيز بياخوز من قزل Lalu iapun berkata: aku adalah gadis asing dari Romawi Lalu kukatakan padanya: rahîz bayâkhûz265 dari Qazal

فلما تالقينا وجد ُت بنانها # مخضبة تحكى الشواعل بال ُّشعل Saat kami bersua, kudapati ujung-ujung jarinya Dicat, ibarat bara api yang menyala … وقد كان لُ ْعبِى ك ّل د ْس ُت بقبلة # أقبِّل ثغرا كالهالل إذا أف ْل Air liur pun menetes, saat aku mendaratkan ciuman Kucium bibirnya, yang laksana bulan sabit saat terbenam

فقب ْلتُها تسعا وتسعين قبلة # وواحدة أيضا وكن ُت على عج ٍل Kucium dia sebanyak sembilan puluh sembilan kali Ditambah satu kali, dengan cepat وعانقتُها حتى تقطع ِعقدُها # وحتى فصوص الطوق من جيدها انفصل Kupeluk ia, hingga terputus kalungnya hingga butir-butir permata kalungnyapun turut terlepas dari lehernya

262 Negeri Tihamah sudah dijelaskan pada latar belakang sosial politik sebelumnya. 263 Makna asli dari al-Lamâ warna kemerah-kemerahan cenderung hitam yang ada di bibir. 264 Kata-kata tersebut biasanya adalah kata-kata yang terdapat dalam pembicaraan antara dua orang yang sedang berbincang-bincang. Adapun kata-kata yang disebutkan oleh penyair hanyalah untuk menyingkat isi dari pembicaraan tanpa harus memperpanjang kata. 265 Kedua kata tersebut menurut penulis Dîwân Imri al-Qais, hal. 149, menggunakan bahasa Romawi, dan penulis Dîwân tidak memiliki data tentang arti yang dimaksud oleh penyair.

77

كأ َّن فصوص الطوق لما تناثر ْت # ضياء مصابيح تطاير َن عن شعُ ْل Saat butir-butir permata itu bertaburan, bagai sinar lampu yang menebarkan cahaya

وآخر قولى مثل ما قل ُت أوال # لمن طل ٌل بين الجدّيّة والجب ْل 266 Akhir kata yang kuucapkan seperti halnya yang kukatakan di awal Siapakah pemilik jejak-jejak yang terdapat di antara gunung Jud dan Aja’ ini?

Bait-bait syair di atas membuktikan bahwa Umru al-Qais mengenal baik kehidupan kerajaan-kerajaan lain di luar kerajaannya, termasuk dua kerajaan besar Persia dan Romawi. Syair-syairnya mengungkapkan dengan jelas, bahwa ia sangat mengenal berbagai karakteristik perempuan terutama secara fisik dari masing-masing kerajaan maupun kabilah-kabilah yang sangat terkenal saat itu. Hal ini cukup menjadi alasan mengapa syair Umru al-Qais dijadikan sebagai tolak ukur untuk meneropong citra perempuan Istana pada masa Jahiliyah.

2. Al-Nâbighah al-Dzubyâni penyair komersil (syâ`ir al-bilâth wa al- takassub) Bagi sebagian penyair Jahiliyah, komersialisasi syair (al-takassub bi al-syi’r) dan kehidupan mewah dalam istana (al-bilâth) adalah keuntungan lain yang dapat diperoleh dari kemahiran mereka dalam menggubah syair. Hal ini terjadi, karena tingginya nilai jual syair dalam tradisi dan budaya bangsa Arab Jahiliyah. Syair pada saat itu dianggap mampu menunjukkan kehebatan dan kewibawaan para raja, sekaligus menjadi alat propaganda dan media diplomasi kerajaan. Damai atau perang, maju atau mundur, kalah atau menang, semuanya tergantung dari kehebatan para penyair. Kebutuhan akan adanya penyair dalam setiap kabilah, adalah suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian penyair untuk mengais rizki dari kepandaian mereka dalam bersyair. Adanya hubungan komersialisme

266 Dîwân Imri al-Qais, hal. 145-150. Dalam Dîwân Imri al-Qais disebutkan, bahwa syair-syair di atas dinisbatkan pada Umru al-Qais, yang artinya secara riwayat perawinya tidak bisa dipastikan validitasnya, namun demikian penulis menjadikannya sebagai argumen pembahasan karena yakin akan validitasnya berdasarkan kandungan syair. Sebab dari sekian banyak penyair Jahiliyah yang berbicara vulgar tentang perempuan hanyalah Umru al-Qais. Dan hal ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

78 antara penyair dan para pejabat kerajaan, sebagian penyair memilih syair sebagai profesi yang menjanjikan.267 Sebanyak lima nama disebutkan oleh tim penulis al-Mûjaz fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, yaitu Tharfah ibn al-‘Abd268, ‘Ubeid ibn al-Abrash269, al-Nâbighah al- Dzubyâni, al-A’syâ al-Akbar270, dan al-Huthai’ah271.272 Secara kuantitatif jumlah penyair istana yang disebutkan relative lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok penyair lainnya. Al-Nâbighah al-Dzubyâni adalah penyair yang sangat terkenal dalam kelompok ini. Namun sangat disayangkan, ia tidak banyak bercerita tentang perempuan dalam syair-syairnya. Namun sebagai gambaran tentang kehidupan penyair istana (bilâth) dan komersil (takassub), ada baiknya jika dibahas secara singkat tentang kehidupannya dan juga kiprahnya sebagai penyair istana. Abu Umâmah Ziyâd ibn Mu’âwiyah al-Dzubyânî atau dikenal dengan nama al- Nâbighah al-Dzubyânî, seorang penyair dari kabilah Dzubyân273 yang menghabiskan hidupnya dengan mondar mandir antara kabilahnya dan dua istana kerajaan, Hîrah dan Ghassan. Memiliki penampilan yang menawan, cerdas dan berbakat. Ia adalah salah

267 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 74 268 Nama aslinya adalah ‘Amr ibn al-‘Abd al-Bakri. Lahir di Bahrain, keturunan dari kabilah Bakr ibn Wâ’il dari Rabî’ah. Tharfah merupakan penyair andalan kabilah Rabî’ah. 269 ‘Ubeid ibn al-Abrash al-Asadi, sebagai penyair istana, semasa hidupnya ia hilir mudik antara istana Hujr al-Kindi ayah Umru al-Qais dan istana kerajaan Hirah. Ia mati terbunuh sekitar tahun 554 M oleh al-Mundzir ibn Mâ’ al-Samâ’ pada saat perang Bu’sah. 270 Al-A’sya al-Akbar, nama lengkapnya adalah Abu Bushair Maimun ibn Qais al-Bikri yang lebih dikenal dengan julukan al-A’sya. Ia lahir di sebuah kampung kecil di Yamamah. Masa remajanya ia habiskan untuk bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Al-A’sya adalah penyair yang memiliki diwan syair yang banyak di samping al-Nabighah al-Dzubyani. Ia juga salah seorang dari al-Sab’ al-Mu’allaqat. 271 Nama lengkapnya Abû Malîkah Jarwal, lebih dikenal dengan julukan al-Huthai’ah. Ia merupakan keturunan dari kabilah Abas. Lahir dari seorang budak perempuan bernama al-Dlarra, sehingga ia akhirnya menjadi seorang budak pula. 272 Keterangan lengkap tentang para penyair, lih. Lajnah (tim penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al- Arabi wa Târikhihi, hal. 127-171 273 Kabilah Dzubyân merupakan turunan dari kabilah Qais, dan Qais adalah turunan dari kabilah Mudlar.

79 seorang penyair yang diuntungkan akibat terjadinya pertikaian yang berkepanjangan antara kerajaan Hirah dan Gassan.274 Pada mulanya al-Nâbighah berhubungan dengan kerajaan Hirah. Ia menjalin hubungan dengan para sultannya, terutama Amr ibn Hind dan al-Nu’mân Abu Qâbûs ibn al-Mundzir keempat (580-602 M). Berkat kecerdasannya dalam bersyair, Sultan yang terakhir ini menjadikannya sebagai kawan minum, dan banyak menghadiahinya dengan harta kekayaan. Namun hal ini menjadikan orang-orang dekat sekitar sultan iri dan mulai membuat konsfirasi untuk menjatuhkan al-Nabighah dengan cara memfitnahnya. Al-Nabighah akhirnya dituduh berselingkuh dengan istri al-Nu’man. Sejak peristiwa itu, ia mulai memuji-muji kerajaan Gassan dengan syair-syairnya, sedangkan saat itu ia masih berada di kerajaan Hirah. Hal ini memicu kemarahan al- Nu’man lalu terjadilah permusuhan yang sengit antara keduanya, hingga akhirnya al- Nu’man berniat untuk membunuhnya. Sang penyair pun akhirnya melarikan diri ke kabilahnya yang dilanjutkan ke kerajaan Gassan. Di Gassan, sang penyair memperoleh sambutan dan penghormatan yang luar biasa. Sambutan tersebut ia balas dengan syair- syair madah untuk mereka. Pada saat terjadi perselisihan antara kabilahnya dengan kerajaan Gassan, Al-Nabighah berdiri sebagai penengah. Pada saat masih berada di kerajaan Gassan, ia merasa rindu pada al-Nu’man, dan memohon maaf padanya, hingga akhirnya al-Nu’man memaafkannya dan mengajaknya kembali ke Hirah. Al-Nabighah akhirnya menetap kembali di Hirah hingga al-Nu’man mati terbunuh, lalu ia kembali ke kabilahnya dan menetap di sana hingga kematian menjemputnya sekitar tahun 604 M.275 Syair-syair al-Nabighah terkenal sangat elegan dan indah, bahasa yang padat berisi, dan tidak banyak takalluf (dipaksakan). Syair-syairnya merupakan cermin dari perjalanan hidupnya. Di kalangan para penyair, syair i’tidzâr276 al-Nâbighah sangat

274 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dar al-Ma’arif, 1962), hal. 143 275 Berdasarkan riwayat yang terpercaya, ia wafat pada masa Nabi Muhammad saw sebelum diutus menjadi Rasul. Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al- Jâhili, hal. 143, lih. juga Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 78 276 Syair i’tidzâr adalah salah satu jenis syair yang digunakan untuk memohon pengampunan dan maaf seseorang. Di dalam syair Jahiliyah, corak ini tidak terlalu disukai, karena menunjukkan kelemahan

80 terkenal dan dianggap tidak ada yang menyamainya. Selain itu ia juga terkenal dengan syair washfnya.277 Demikian sekilas tentang gambaran penyair istana dan penyair komersil.

C. Citra Perempuan Istana (High Class Women) Perempuan dalam tradisi sastra Arab Jahiliyah terutama syair, memiliki arti tersendiri, bahkan ia adalah bagian terpenting dalam sebuah syair. Hal ini terbukti dari tradisi mereka yang selalu menyebutkan terlebih dahulu perempuan-perempuan yang memiliki arti bagi penyair dalam mukadimah syair, yang biasa mereka sebut dengan istilah al-nasîb. Namun demikian, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan, bahwa perempuan pada masa Jahiliyah memiliki peranan yang sangat tinggi dalam struktur sosial. Dalam syair-syair Umru al-Qais yang sangat terkenal dengan ghazal-ghazalnya, misalnya, kita dapat menemukan ungkapan-ungkapan penyair tentang perempuan di sekitarnya. Umru al-Qais adalah sebuah simbol laki-laki istana atau aristokrat yang kehidupannya tidak pernah lepas dari perempuan. Meskipun kita juga tidak dapat menggeneralisir kehidupan pria istana melalui kehidupan Umru al-Qais, namun demikian ia tetap memberikan gambaran pada kita bagaimana perempuan diperlakukan dalam kehidupan mereka, meskipun dari satu sudut kehidupan. 1. Fisis, erotisme dan kekuasaan Sebagaimana diungkapkan oleh Suwardi Endraswara bahwa karya sastra sejak zaman dahulu kala telah menjadi culture regime dan memiliki daya pikat kuat terhadap persoalan gender. Persepsi perempuan sebagai makhluk yang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya laki-laki sebagai kaum yang cerdas, aktif, kuat dan sejenisnya- selalu mewarnai di hampir semua sastra di dunia. Citra perempuan seperti itu seakan- akan telah mengakar dalam benak penulis dari masa ke masa. Dan paham yang sangat sulit dihilangkan hingga kini adalah terjadinya hegemoni laki-laki terhadap perempuan.

dan kekurangan seseorang, sehingga tidak sesuai dengan watak bangsa Arab yang keras. Satu-satunya penyair yang memiliki banyak syair i;tidzar adalah al-Nâbighah al-Dzubyâni saat ia memohon pengampunan pada al-Nu’mân al-Mundzir. Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al- Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 67 277 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 79

81 Hampir seluruh karya sastra, baik yang dihasilkan oleh penulis laki-laki maupun perempuan, dominasi laki-laki selalu lebih kuat. Figur laki-laki terus menjadi the authority, sehingga memberikan asumsi bahwa perempuan adalah impian, the second sex, warga kelas dua dan tersubordinasi”.278 Ukuran ideal antara satu orang dengan yang lain tentu saja tidak sama. Ada yang mengukur idealisme dengan kecerdasan, ada pula yang mengukurnya dengan kecantikan, baik fisik ataupun psikis. Sebagai contoh, ciri perempuan ideal menurut nilai-nilai Victoria yaitu harus mencerminkan ‘the cult of true womanhood’ atau pemujaan terhadap kewanitaan sejati. Untuk itu sifat-sifat yang harus dimiliki perempuan ideal menurut aliran ini yaitu kesalehan, kemurnian, sikap menyerah, domestisitas (selalu tinggal di rumah). Satu-satunya kegiatan yang boleh dilakukan perempuan hanyalah kegiatan agama, karena ranah ini termasuk ranah perempuan.279 Lain Victoria, lain pula Umru al-Qais, baginya perempuan ideal adalah perempuan yang memiliki kecantikan fisis280 yang sempurna. Citra perempuan secara fisis sangat digemari dalam syair-syair Jahiliyah terutama dalam syair-syair aristokrat seperti Umru al-Qais. Dalam menggambarkan perempuan secara fisis, gaya bahasa yang digunakan dalam syair-syair Jahili, pada dasarnya bukanlah gaya bahasa yang rumit untuk dipahami maknanya, sebab biasanya diksi yang digunakannya sangat sederhana dan bersifat hissi (kongkrit), di samping itu, unsur imajinasi dalam syair juga masih sangat sederhana, sehingga tidak banyak memerlukan penafsiran yang mendalam. Hal ini menunjukkan tingkat intelektual mereka yang masih sederhana, sehingga orientasi mereka lebih bersifat fisik dan indrawi. Hal ini sebagaimana yang terjadi dalam keyakinan ideologi mereka yang lebih cederung pada penyembahan benda-benda yang bersifat konkrit.

278 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003, hal. 143 279 William L. O’ Neill, Everyone Was Brave, A History of Feminism in American: Chicago: tp, 1969), hal. 7, Soenardjati Djayanegara, hal. 19 280 Citra perempuan secara fisis yaitu semua gambaran perempuan dari sudut pandang fisik atau jasmani atau lawan dari psikis.

82 Umru al-Qais yang dianggap sebagai tokoh pelopor syair Arab Jahiliyah yang berasal dari kalangan istana dan bangsawan, sangat terkenal dengan syair-syair percintaannya. Di dalam syair-syairnya, nuansa pencitraan perempuan secara fisik terasa sangat kental. Untuk itu ia memiliki konsep tersendiri tentang perempuan ideal. muhafhafah) yang berarti) ُم َه ْف َه َفة ٌ Baginya, perempuan ideal haruslah seorang yang bertubuh langsing dengan kulit perut yang tipis, tidak tebal dan tidak juga kendor. baidlâ’), memiliki perut yang lembut atau) بيضاء Selain itu, ia juga harus berkulit putih ghair mufâdlah, dada yang menawan dan tampak bersinar, memiliki pipi yang ranum, berleher jenjang, rambut hitam mayang mengurai dengan berbagai hiasan, pinggang yang ramping, berbetis bak buluh tebu, berjari lentik, berambut hitam dan lebat, bertubuh harum, dan lain sebagainya yang semuanya merupakan kecantikan fisik semata. Hal ini tampak dalam syair mu`allaqatnya yang sangat terkenal: 281 ُم َه ْف َه َفةٌ بيضاء غير مفاضة ترائبها مصقولة كالس َج ْن َجل Langsing, putih, ramping Dadanya berkilau bagai cermin

تصدّ وتبدى عن أسيل وتتقى بناظرة من وحش وجرة ُمط ِفل Ia pun berpaling, menampakan pipinya yang ranum, menghindari buasnya tatapan mata sapi ( setelah beranak)282

Pada bait kedua, penyair mengumpamakan dirinya dengan wajrah muthfil yaitu sapi yang baru melahirkan. Biasanya sapi yang baru melahirkan tampak galak dan liar, siap menerkam siapapun yang mengganggunya. Dengan ungkapan tersebut, ia ingin menyatakan bahwa, ia pun mampu berbuat laksana sapi yang baru melahirkan terhadap perempuan yang ia sukai. Di sisi lain, perempuan hanya mampu menghindar dari pandangan mata yang liar tadi, meskipun pada saat menghindarpun ia tetap menjadi objek pelecehan seksual penyair. Hal ini terlihat dari ungkapan penyair, ‘Ia pun

281 Sajanjal: Kaca (Yunani) 282 Dalam bait ini perempuan diumpamakan bagai kijang yang sedang melihat sapi yang galak, lalu dengan perlahan-lahan ia memalingkan lehernya dari sapi itu.

83 berpaling, menampakan pipinya yang ranum’. Pipi yang ranum yang dimiliki perempuan menjadi objek erotis kaum laki-laki yang melihatnya.

وجي ٍد كجيد الرئم ليس بفاحش إذا هى نصته وال بمع َّطل Lehernya bagaikan leher kijang yang putih tanpa noda, Saat ia biarkan terbuka dengan perhiasan yang menghiasinya

وفرع يزين المت َن أسود فاحم أثيث ك َق ْنو النخلة المتعثكل Rambutnya yang sempurna menghiasi punggungya, hitam kelam Lebat, bagai rangkaian buah kurma غدائره مستشزرات إلى العال تض ّل المدارى فى مثنّى ومرسل Kepang rambutnya menjulang ke atas Terselip madari (sisir hias) saat dikepang atau diurai و َك ْشحٍ لطي ٍف كالجديل ُم َخ َّص ٍر وسا ٍق كأنبوب السق ّيِ المذلّل Pinggang yang ramping bagai ikat pinggang yang melilit Betisnya bagai buluh tebu yang subur وتَ ْعطو برخص غبر شثن كأنه أساريع ظبي أو مساويك أسح ِل Menggigit ujung jarinya yang lentik dengan lembut, bagaikan Garis-garis yang terdapat dalam tubuh kijang, atau bagaikan pohon siwak كبِ ْكر مقاناة البياض بصفرة غذاها نمير الماء غير المحلَّل Bagaikan telur burung unta yang baru menetas putih kemerah-merahan bercampur kuning, dialiri air yang sangat bening (tanpa keruh sedikitpun) تضىء الظالم بالعشاء كأنها نارة ُم ْم َسى راه ٍب متبتِّل Menyinari gelapnya malam, bagaikan Pelita yang bersinar dari tempat peribadatan rahib وتضحى فتيت المسك فوق فراشها ئؤوم الضحا لم تنتطق عن تفضل Terbangun di pagi hari dengan taburan minyak kesturi di atas kasur Melewati pagi tanpa harus disibukan dengan baju tidur

Konsep penyair tentang perempuan ideal yang hanya diukur lewat kecantikan fisik semata, pada akhirnya membentuk konsep cinta yang berorientasi seksual (desire) bukan pada bentuk kasih dan sayang (emphatic). Hal ini terlihat dalam syair selanjutnya:

84 إلى مثلها يرنو الحلي ُم صبابة إذا ما اسبك ّرت بين درعٍ و َم ْج ِو ٍل Pada perempuan seperti dia, terpana mata setiap pemimpi karena jatuh cinta Di saat ia berada dalam kesempurnaan, antara dewasa dan kanak-kanak (remaja) تسلّت َع َمايات الرجال عن الصبا وليس فؤادى عن هواها بم ْنسل Terperosok kedunguan laki-laki dalam cinta Dan hatiku pun tak mampu menghindarinya

Menurut penyair –meminjam istilah Alice Deignan- desire is falling (in to container), hasrat diibaratkan dengan sesuatu yang terjatuh ke dalam kontainer. Itulah salah satu metaphor hasrat seksual laki-laki283. Ungkapan lain yang menarik dari bait di atas adalah adanya konsep lain tentang perempuan ideal selain ciri fisik yang telah disebutkan sebelumnya. Bagi penyair istana, perempuan ideal selain harus cantik secara fisik, ia juga perempuan yang sedang dalam tahap perkembangan antara kanak-kanak dan dewasa (ABG). Hal ini membuktikan bahwa perempuan yang sangat digemari oleh kalangan istana adalah perempuan yang sedang menuju proses kedewasaan secara fisik. Hal ini sangat jelas membuktikan bahwa perempuan dalam istana hanya menjadi objek seksual semata. Kedua bait di atas, selain menggambarkan tentang konsep perempuan ideal, ungkapan ‘terpana mata setiap pemimpi karena jatuh cinta’ (fall in love) dan kata ‘terperosok kedunguan laki-laki dalam cinta’ adalah sebuah metaphor hasrat seksual yang mengkiaskan cinta dengan sesuatu yang jatuh ke dalam sesuatu. Kata ‘kedunguan’ itu sendiri menjelaskan bahwa desire is madness, bahwa hasrat bercinta itu telah membuat seseorang menjadi gila.

أال ر ّب خ ْصم في ِك ألوى رددته نصيح على ت ْعذاله غير مؤتل284 Betapapun banyaknya orang yang membenci dan mencelamu, tak kan ku perdulikan

وليل كموج البحر أرخى سدوله عل َّى بأنواع الهموم ليبتلى

283 Keith Harvey and Celia Shalom (editor), Languange and Desire, (London and New York: Routledge, 1997), hal. 26 284 Muhammad Ridla Murawwah, Imru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, hal. 63-64, dikutip dari Jamâ’ah min al-Udabâ’, Dîwan Umru al-Qais, hal. 110-111

85 Dan malam bagaikan ombak lautan yang menguraikan tirainya, untukku, dengan berbagai kesedihan untuk memberiku pelajaran … Kedua bait syair tersebut semakin menguatkan, bahwa hasrat bercinta seseorang selain membuat orang gila, ia juga mampu membuat si empunya merasakan sakit (desire is pain), berbuat gila, dan juga kehilangan kontrol rasionalnya. Ia mampu berkorban apapun, bahkan jika harus dibenci orang lain sekalipun. Syair-syair di atas menggambarkan secara jelas citra perempuan istana secara fisik dengan kesempurnaan yang mereka miliki. Dan hal ini juga memberi kita sebuah gambaran yang nyata, tentang bagaimana seorang pria istana mengagumi seorang perempuan hanya karena sifat-sifat fisik yang ia miliki. Hal seperti inilah yang oleh Sugihastuti dinamakan dengan pencitraan perempuan secara visual.285 Berdasarkan syair tersebut, terbukti bahwa perempuan sejak jaman dahulu kala selalu menjadi impian dan menjadi the second sex dalam dunia kesusasteraan.286 Kecantikan fisik yang dimiliki perempuan-perempuan istana, memperoleh balasan yang setimpal dengan tidur dan bangun di pagi hari di atas kasur yang empuk dengan semerbak harum wewangian, dikelilingi para inang dan pengawal yang siap menjaga dan melayaninya, hidup dalam kemewahan dan kenyamanan bertaburkan perhiasan, tidak perlu bekerja keras dan mengerjakan urusan-urusan rumah tangga. Inilah balasan dari pengorbanan yang telah mereka lakukan. Dalam menggambarkan sosok perempuan secara fisik, Umru al-Qais banyak menggunakan tasybîh287 (perumpamaan). Bila dilihat dari segi tharf al-tasybîh (musyabbah dan musyabbah bih), penyair menggunakan metode yang sama dalam

285 Konsep citraan, citra, dan citra wanita, lih. Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, (Bandung: Nuansa, 2000). 286 Lihat juga Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), hal. 143. 287 Tasybih adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal atau lebih karena adanya persamaan sifat antara keduanya sesuai dengan tujuan pembicara. Ada empat unsur yang membangun sebuah tasybih yaitu al-musyabbah (sesuatu yang dibandingkan), al-musyabbah bih (unsur pembanding), wajh syibh (unsur atau sifat yang mempersatukan musyabbah dan musyabbah bih), dan adat al-tasybih (media tasybih) yang mengikat musyabbah dan musyabbah bih, seperti, bagaikan, laksana, bak, dan lain sebagainya.

86 setiap tasybîh-tasybîhnya, yaitu selalu menggunakan metode hissi,288 sebuah metode perbandingan yang bersifat konkrit (indrawi) antara yang dibandingkan dengan unsur pembadingnya. Seperti contoh di atas: “Dadanya berkilau bagai cermin” atau “Lehernya bagaikan leher kijang, putih tanpa noda” dan “Rambutnya yang sempurna menghiasi punggungya, hitam kelam, tebal, bagai rangkaian buah kurma”. Dada perempuan (musyabbah) dan cermin (musyabbah bih) keduanya adalah lafaz yang mengandung makna kongkrit, dapat dilihat, disentuh dan diraba. Tidak berbeda dengan contoh kedua dan ketiga, kata leher perempuan (musyabbah) yang dibandingkan dengan leher kijang (musyabbah bih) atau rambut perempuan (musyabbah) dengan rangkaian buah kurma (musyabbah bih) kedua perumpamaan tersebut bersifat kongkrit (hissi), keduanya dapat dilihat, disentuh dan diraba. Hal lain yang perlu diperhatikan dari kedua contoh tersebut adalah bahwa penyair selalu menyertakan wajh syibh (aspek persamaan) dan adat tasybîh (media pembanding) secara eksplisit dalam kalimat tasybîh nya, gaya bahasa inilah yang oleh ahli balaghah disebut dengan tasybîh mursal mujmal. Dalam ilmu Balâghah, gaya bahasa yang seperti ini, termasuk gaya bahasa perumpamaan yang paling dasar dan dianggap paling rendah kualitasnya.289 Dari gaya bahasa yang digunakan penyair tersebut, ada tiga hal yang dapat disimpulkan, pertama bila melihat pada istilah yang menyatakan bahwa pembicaraan harus sesuai dengan muqtadla al-hâl (sesuai dengan situasi dan kondisi), maka bisa dipastikan bahwa kemampuan berbahasa penyair sebagai mutakallim (pembicara) maupun kemampuan mustami` (pendengar) pada saat itu masih sangat natural, jika tidak

288 Fenomena gaya bahasa hissi (kongkrit) atau bersifat madiyah (materi) yang lebih dominan pada syair Jahili dibanding ma`nawi (abstrak) pada dasarnya tidak hanya terjadi pada syair-syair Umru al- Qais, namun mayoritas penyair Jahili menggunakan metode ini dalam bersyair. Hal ini menunjukkan daya imajinasi dan nalar mereka yang masih saderhana. Selain itu, menurut Abd Rahmân al-Dabbâsi, hal ini juga sangat dipengaruhi oleh gaya hidup dan kondisi sosiologis bangsa Arab yang berorientasi materi (fisik). `Abd al-Rahmân ibn Ibrâhîm Al-Dabbâsi, al-Syi`r fi Hâdlirat al-Yamâmah hattâ Nihâyat al-`Ashr al-Umawi, (Riyâdl: Maktabah al-Malik `Abd al-`Azîz, 1416), hal. 522-525 289 Di dalam ilmu Balâghah, tasybîh adalah dasar dari perumpamaan-perumpamaan lainnya yang lebih tinggi kualitasnya seperti isti’ârah dan majâz. Namun demikian, gaya bahasa ini juga untuk sebagian orang dianggap sangat berguna dalam menjelaskan makna yang ingin disampaikan dengan menggunakan contoh lain yang mungkin lebih dimengerti oleh pendengar. Artinya gaya bahasa ini disampaikan sesuai dengan kemampuan mutakalimm (pembicara) dan juga mukhâthab (pendengar). Lih. Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma`âni wa al-Bayân, wa al-Badî`, (Indonesia: Maktabah Dar Ihya’ al-Kitab al-`Arabiyah, 1379 H/1960 M), hal. 247

87 dikatakan masih dalam taraf yang sangat rendah. Kedua, gaya bahasa tersebut mendukung pendapat yang menyatakan bahwa bangsa Arab Jahiliyah cenderung pada hal-hal yang bersifat kongkrit (materi), termasuk soal keyakinan yang mereka apresiasikan lewat simbol-simbol. Ketiga dan yang paling penting adalah bahwa gaya bahasa tersebut memberi indikasi tentang orientasi dan cara pandang masyarakat Jahili terutama kalangan istana terhadap perempuan. Orientasi dan cara pandang mereka yang lebih cenderung pada penilaian-penilain fisik sangatlah kuat. Untuk itu, bagi mereka yang dimaksud dengan perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki tubuh yang molek dan indah yang dapat membangkitkan selera seksual kaum laki-laki, bukan yang lainnya. Standar kecantikan yang dibuat oleh bangsa Arab Jahiliyah terutama kaum aristokrat untuk perempuan, tampak bersifat orientasi seksual. Menurut para sastrawan, Umru al-Qais adalah penyair Jahiliyah yang paling banyak menggunakan tasybih dalam syair-syairnya terutama dalam syair ghazalnya. Dalam kitab al-Aghâni bahkan dinyatakan, bahwa ia adalah penyair Jahiliyah terbaik dalam menggunakan tasybîh.290 Namun dari penjelasan di atas tampak jelas, bahwa ia baru menggunakan bentuk tasybîh yang paling sederhana. Ia sama sekali tidak menggunakan tasybîh aqli (abstrak) yang memerlukan pemikiran yang mendalam. Baginya tasybîh adalah suatu hal yang sangat dekat, mudah, terlihat, terdengar, atau dirasakan langsung dalam kehidupan sehari-hari.291 Objek-objek tasybîh yang digunakannya adalah alam dengan semua fenomenanya yang bersifat fisik, yang ada hubungannya dengan irama padang pasir. Sebagai contoh, salah satu simbol perempuan dalam syair di atas adalah kijang292. Bagi bangsa Arab kijang adalah binatang yang dijadikan sebagai objek buruan saat berburu. Hal ini terkait erat dengan kehidupan yang dianut mereka saat itu. Mengutip dari apa yang diungkapkan oleh Yûsuf Khalîf, bahwa kehidupan bangsa Arab saat itu tidak pernah terlepas dari tiga hal yaitu bepergian dan berburu ke padang sahara,

290 Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al-Syi`r al-Jâhili, (ttp: Maktabah Gharîb, tth), hal. 74 291 Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al-Syi`r al-Jâhili, (ttp: Maktabah Gharîb, tth), hal. 75 292 Ada beberapa nama dalam bahasa Arab yang artinya kijang, seperti; al-zhabî, al-ghazâlah, dan al-ra’m seperti dalam syair Umru al-Qais di atas.

88 berkumpul-kumpul dengan teman di kedai minuman, atau mengiringi ke mana perempuan pergi untuk merayu dan memohon cintanya.293 Ketiga tradisi tersebut satu sama lain saling berkaitan dan saling mempengaruhi kehidupan mereka. Maka pada saat mereka berburu dan melihat kijang, yang tergambar dalam benak mereka adalah sosok perempuan cantik yang sedang menunggu kepulangan mereka. Dalam teori feminisme, beauty (cantik) diartikan sebagai penampilan yang menarik. Kebutuhan perempuan untuk selalu tampil cantik, menurut teori feminisme menciptakan objek-diri semu. Untuk itu menurut De Beauvoir, fungsi objektivikasi itu sendiri adalah untuk mengabadikan supremasi laki-laki. Sementara Susan Griffin berpendapat, bahwa objektivikasi perempuan pada dasarnya adalah pornografis. Berdasarkan penelitian Joseph dan Lewis, feminis kulit hitam menuding bahwa dalam segala hal sebagian konsep kecantikan perempuan selalu didasarkan pada nilai-nilai laki-laki kulit putih.294 Bila melihat pada syair-syair Umru al-Qais di atas seperti dalam bait,” Langsing, putih, ramping, dadanya berkilau bagai cermin, maka tuduhan bahwa definisi cantik selalu dihubung-hubungkan dengan adanya supremasi laki-laki, pornografis, bahkan berdasarkan penilaian seorang laki-laki kulit putih adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan. Kecantikan, sebagaimana digambarkan di atas, terkait erat dengan tubuh (body). Untuk itu teori-teori tentang seksualitas tubuh, kekuasaan, dan politik terhadap tubuh perempuan oleh patriarkhi merupakan tema sentral dalam feminisme. Untuk itu Robin Morgan memperluas definisi tubuh yaitu sebagai alat untuk memuja insting hidup yang penting dan erotik dari tubuh perempuan.295 Dari penjelasan tersebut tampak ada korelasi yang kuat antara perempuan, tubuh dan seksualitas. Menurut Endraswara, hampir setiap sastra di belahan bumi ini, menempatkan perempuan sebagai obyek seksualitas dan erotisme. Sebagai contoh, dalam sastra Jawa klasik, perempuan sangat jelas dijadikan sebagai obyek erotik bagi laki-laki, terutama

293 Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al-Syi`r al-Jâhili, hal. 110 294 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, terjemah Mundi Rahayu, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), cet. 1, hal. 35 295 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, hal 44

89 jika sastrawan itu sendiri seorang laki-laki, tentu saja obsesinya bercampur dengan bayangan-bayangan erotis.296 Hal ini juga tampak jelas dalam syair-syair Umru al-Qais berikut ini: وبيضة خد ٍر ال يرام خباؤها تمتّعت من لهو بها غير مع َج ِل Perempuan dalam sekedup yang tidak perlu disembunyikan Menikmati kesenangannya tanpa ada rasa takut

تجاوزت أحراسا إليها و َمعشرا عل ّى ِحراصا لو يس ّرون َم ْقتلى Untuknya, kulewati penjaga dan keluarganya Aku terlalu menginginkannya (tamak), meski mereka senang dengan kematianku

إذا ما الثريا فى السماء تع ّرضت تعرض أثناء الوشاح المفصل Jika bintang tujuh muncul di langit Muncul di antara selendang yang terpisah

فجئ ُت وقد ن ّضت لنوم ثيابها لدى الستر إال لبسة المتفضل Maka aku datang, dan ia telah menanggalkan bajunya untuk tidur Di balik kelambu, dengan hanya memakai baju dalam

Ghazal (puisi cinta), bagi Umru al-Qais bukan semata-mata rayuan laki-laki terhadap perempuan, namun sudah mengandung orientasi seksual dan erotisme.

فقالت يمين هللا ما لك حيلة وما إن أرى عنك الغواية تنجلى Lalu ia berkata: demi Tuhan, tidak perlu kau lakukan itu! Menurutku, kau ini tampak sangat keterlaluan

خرجت بها أمشى تج ّر وراءنا على أثرينا ذيل مرط مرحل Aku keluar bersamanya, untuk berjalan-jalan, dan dia mengikuti di belakang kami sambil menarik ekor bajunya yang dihiasi lukisan unta

فلما أجزنا ساحة الح ّي وانتحى بنا بطن خبت ذى حقاف عقنقل Ketika kami tinggalkan kediaman kabilah, dan menuju tempat tinggi lainnya yang menyenangkan dengan pasirnya yang meliuk-liuk

296 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), hal. 143-144

90

هصر ُت بفَ ْودَى رأسها فتمايلت عل ّى هضيم الكشح ريّا المخلخل Kurengkuh kedua tepi kepalanya hingga mendekat padaku Perempuan berperut ramping, berbetis indah

إذا التفتت نحوي تضوع ريحها نسيم الصبا جاءت برياّ القرنفل Bila ia berpaling padaku, tercium wanginya yang menyebar Bagai semilir angin semi yang menebarkan wangi bunga cengkeh

إذا قل ُت هاتى نولّينى تمايلت عل ّى هضيم الك ْشح ريّا المخلخل Bila kukatakan padanya, kemarilah, berikanlah aku, Maka mendekatlah si perut langsing dan berbetis indah itu padaku

يضيء الفراش وجهها لضجيعها كمصباح زيت فى قناديل ذبّال Wajahnya menyinari tempat tidur kawan berbaringnya Bagai lampu minyak dalam pelita bersumbu كأن على لبّاتها مصط ٍّ ل أصابت غض ى جزال و ُك َّف بأجذ ِل Seakan-akan di lehernya ( tempat kalung) ada api yang membakar mengenai pohon yang cepat terbakar, membesar, hingga sampai ke akar

وهب ْت له ريح بمختلف الصوى صبا وشما ٌل فى منازل قفّال297 lalu ditiup beragam angin kering angin timur dan utara, di tempat-tempat kering بأسود متل ٍّف الغدائروار ٍد وذى أشر تشوفه وتشوص Demi rambut hitam lebat terurai Demi pemilik gigi tajam nan indah yang selalu digosok dan dipelihara منابته مثل السدوس ولونه كشوك السيال فهو عذب يفيض298 Gusinya bagai jubah kebesaran, dan warnanya Bagai duri pohon299yang rasanya lezat mengalir ke bumi

Dalam puisi tersebut penyair (Umru al-Qais) tampak sangat mengagumi bahkan tergila-gila dengan kecantikan perempuan. Hati dan perasaannya ia curahkan untuk

297 Muhammad Ridla Murawwah, Amru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, hal. 50, dikutip dari Jamâ’ah min al-Udabâ, Diwan Amru al-Qais, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyat, 1983), hal. 123-124 298 Muhammad Ridla Murawwah, Amru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, hal. 51, dikutip dari Jamâ`ah min al-Udabâ, Diwan Amru al-Qais, hal. 91 299 Perumpamaan ini diambil dari pohon yang memiliki duri yang sangat mirip dengan gigi

91 perempuan, di manapun dan kapanpun kesempatan itu tiba. Hatinya selalu berontak saat melihat gadis cantik dan terobsesi terhadap setiap gadis remaja. Bahasa yang digunakannya pun sangatlah vulgar, bahkan terkesan seronok. Hal ini terkait erat dengan kebiasaannya mempermainkan perasaan perempuan. Baginya perempuan hanyalah pemuas nafsu belaka. Demi nafsunya tersebut, ia rela melakukan apa saja, hingga hal-hal yang membahayakan seperti mengendap-endap melewati punggawa yang sedang berjaga-jaga, bahkan dalam syairnya tersebut ia rela mengorbankan nyawa demi kepuasan jiwanya. Kata-katanya yang menyatakan “Bila kukatakan padanya, kemarilah, berikanlah aku, maka mendekatlah si perut langsing dan berbetis indah itu padaku” dalam bait ini, tampak sangat jelas apa yang diinginkan oleh sang penyair, tiada lain yang diinginkannya hanyalah bercinta, bercinta secara fisik antara dua anak manusia. “Maka aku datang, dan ia telah menanggalkan bajunya untuk tidur di balik kelambu, dengan hanya memakai baju dalam” Ungkapan ini jelas menempatkan perempuan sebagai objek citraan yang lezat, sensual, memabukkan, bahkan diselimuti bayangan-bayangan seksual. Kondisi seperti inilah yang dalam istilah feminisme disebut dengan hasrat birahi (desire), yaitu sebuah kebutuhan mendasar yang konstruksi sosialnya disebut seksualitas yang erat kaitannya dengan nafsu erotis (erotic passion).300 Definisi cinta yang dipahami Umru al-Qais di atas, pada dasarnya tidak ada bedanya dengan apa yang dilukiskan dalam Symposium301, sebuah definisi yang dirumuskan oleh Diotima seorang pendeta perempuan dan dilegitimasi oleh Sokrates. Menurut teori ini, persoalan cinta yang paling dekat dimulai dari tingkat hasrat erotis dan bersenang-senang lalu menuju tingkat kesadaran pengetahuan. Garis yang menyatukan kedua level tersebut adalah kecantikan (beauty), sebuah bentuk apresiasi yang lebih condong pada kecantikan tubuh dibanding kecantikan jiwa.302

300 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, hal. 101 & 135 301 Symposium adalah kumpulan lukisan yang terdapat dalam museum yang dijadikan sebagai peninggalan bersejarah 302 Georges Duby and Michelle Perrot, A. History of Women; From Ancient Goddesses to Christian Saint, (London: The Belknap Press Combridge, 2000), cet. 6, hal. 216

92 Berdasarkan hal tersebut tampak korelasi yang kuat antara kecantikan fisik yang dimiliki perempuan, kekuasaan yang dimiliki laki-laki dan citra perempuan sebagai objek seksual. Kekuasaan yang dimiliki Umru al-Qais tampaknya bukan hanya kekuasaan jabatan semata, namun juga bersumber dari kekayaan yang dimilikinya yang ia gunakan sebagai alat kekuasaan. Ketiga hal tersebut tampak dari rangkaian syair- syairnya ‘Langsing, putih, ramping, dadanya berkilau bagai cermin’ menunjukkan bahwa laki-laki hanya menghargai perempuan dari bentuk fisik semata. Dalam bait lainnya ‘Bila kukatakan padanya, kemarilah, berikanlah aku, maka mendekatlah si perut langsing dan berbetis indah itu padaku‘ mengilustrasikan bahwa betapa perempuan itu hanya diciptakan untuk memuaskan kehendak laki-laki kapanpun laki- laki menginginkannya. Lehernya bagaikan leher kijang yang putih tanpa noda, saat ia biarkan terbuka dengan perhiasan yang menghiasinya. Terbangun di pagi hari dengan taburan minyak kesturi di atas kasur. Melewati pagi tanpa harus disibukan dengan baju tidur. Kemewahan dan limpahan materi adalah sumber kekuasaan yang ditawarkan laki- laki untuk perempuan agar dapat menguasainya. Kecantikan perempuan dan juga kekuasaan laki-laki telah menciptakan konsep gender yang mencitrakan perempuan sebagai objek seksual bagi kaum adam.303 Cinta buta yang dirasakan penyair tersebut, tentu saja harus ia bayar mahal dengan rasa yang menyakitkan hati. Rasa cemburu tampak jelas dalam syairnya berikut ini: أال ليت ِشعرى304 كيف حاد ُث وص ِلها وكيف تراعى ُو ْص َلةَ المتغيِّب Amboi, semoga aku tahu apa yang terjadi padanya Bagaimana ia bisa menjaga kesetiaannya saat kepergiannya

أدامت على ما بيننا من مودة أميمة أم صارت لقول المخبَّب305 Apa yang terjadi di antara kita akan mengabadikan cinta Umaimah306

303 Lihat teori-teori kekusaan pada bab II. Syahrial Syarbaini, dkk., Sosiologi dan Politik, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 48. Nickie Charles dan Felicia Hughes (editor), Practising Feminism; Identity, Difference, Power, (London and New York: Routledge, 1996), hal. 14, yang artinya semoga ليتنى كن ُت أدرى dalam Dîwan Imri al-Qais diartikan dengan ليت ِش عرى 304 saja aku tahu 305 Dîwan Imri al-Qais, hal. 30

93 Atau hanya akan menjadi cerita yang menyakitkan

Dalam syair tersebut, sang penyair pada akhirnya mempertanyakan kembali kesetiaan seorang perempuan di saat jauh dari pandangannya, tanpa peduli terhadap perasaan mereka. Yang ia tahu hanyalah rasa takut akan dikhianati, tanpa pernah menyadari bagaimana sakitnya saat dihianati. Untuk itu menurut penulis inilah pendapat Umru al-Qais yang sesungguhnya tentang perempuan: أراه ّن ال يحبِ ْبن من ق ّل ماله وال من رأين الشيب فيه وقوسا307 Aku melihat bahwa mereka (perempuan-perempuan yang ada di sekelilingnya) tidaklah mencintai orang yang melarat, tidak juga orang tua yang sudah beruban lagi bungkuk

Hal seperti ini disadari betul oleh Umru al-Qais, bahwa di saat kekuasaan dan kekayaan telah musnah, para perempuan yang mengelilinginya pun pasti menghilang untuk meninggalkannya. Bait syair di atas adalah sebuah refleksi kekecewaan terhadap kisah percintaannya, yang kemudian memicunya untuk mendeklamasikan sebuah penilaian akhir tentang perempuan, bahwa perempuan hanyalah orang-orang yang gila akan harta benda dan hanya mencintai ketampanan seorang laki-laki. Dari syair tersebut, tampak nyata bahwa sesungguhnya tiada ketulusan dari seorang laki-laki dalam mencintai perempuan, yang ada adalah bagaimana ia dapat menaklukkan perempuan dan bersenang-senang dengan mereka. Ia dapat membeli perempuan dengan kekayaan yang ia miliki, sehingga di kala kekayaan itu sudah berkurang dan usia tidak lagi muda, baru disadari bahwa mereka hanya mencintai kekayaan dan ketampanannya. Untuk itu, di matanya tidak ada cinta sejati, yang ada hanyalah ‘ada uang ada kenikmatan’, abang tampan eneng datang. Perempuan baginya hanyalah sebatas barang yang bisa dinikmati tapi tidak dihargai. Syair di atas akhirnya menciptakan citra negatif lain dari seorang perempuan Jahiliyah, bahwa selain sebagai objek seksualitas kaum laki-laki, perempuan juga menjadi simbol ketidaksetiaan dan materialistis, kedua sifat yang pada hakekatnya terbentuk akibat budaya yang menempatkan perempuan sebagai simbol kenikmatan

306 Nama dari Ummu Jundub 307 Diwan Imri al-Qais, hal. 86

94 yang dapat diperoleh dengan kekayaan dan kekuasaan layaknya barang, sehingga pada saat kedua sumber tersebut telah tiada yang muncul adalah penilaian bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak setia dan matrelialistis. Inilah citra gender yang terbentuk akibat perbedaan kelas antara laki-laki dan perempuan serta kekuasaan yang dimiliki laki-laki yang pada akhirnya membentuk citra buruk bagi perempuan. Dan hal ini pada dasarnya tidak hanya terjadi pada perempuan Jahiliyah semata, namun telah mendarah daging dan menjadi pola fakir dan cara pandang manusia dari dulu bahkan hingga sekarang. Dan cara pandang warisan Jahiliyah ini hingga kini masih menguasai pola fikir sebagian masyarakat Indonesia yang memiliki kekuasaan baik yang sumbernya dari kekayaan maupun jabatan, sehingga masih dijumpai kasus-kasus yang merendahkan harkat dan martabat perempuan dan menganggap perempuan bagai barang yang dapat dibeli dan dimanfaatkan demi kepuasan hasrat semata.308 Sebagian orang mungkin hanya mengira, bahwa gambaran tentang perempuan- perempuan istana yang hanya dijadikan sebagai objek seksual oleh kaum laki-laki, semata-mata dilakukan oleh Umru al-Qais yang notabene penyair nakal yang kehidupannya ia abdikan untuk bersenang-senang. Namun ternyata asumsi tersebut tidaklah benar, ternyata setali tiga uang dengan Umru al-Qais yang menempatkan perempuan sebatas objek seksual, al-Nâbighah al-Dzubyâni309 sebagai seorang penyair istana yang kehidupannya sangat dekat dengan keluarga kerajaan, bahkan dianggap sebagai orang yang spesial di mata al-Nu`mân (raja) pun, dalam menggambarkan perempuan istana (istri al-Nu`mân) tidak jauh berbeda dengan Umru al-Qais. Pada saat ia mendapati istri sahabatnya tersebut dalam keadaan setengah telanjang, ia bahkan secara vulgar menvisualisasikannya lewat syair-syairnya berikut ini: والبط ُن ذو عك ٍن لطي ٌف طيُّه واإلتْب تنفجه بثديٍ مقع ِد Perutnya sedikit terlipat, lipatan yang sangat halus Dan diangkatnya kutang itu dengan payudara yang membusung

308 Kasus yang masih hangat dan sangat melekat dalam benak kita adalah kasus Syekh Puji yang memanfaatkan kekuasaannya sebagai orang yang disegani di wilayahnya untuk menguasai perempuan di bawah umur yang notabene memiliki kecantikan fisik yang menarik. 309 Sejarah singkat al-Nâbighah al-Dzubyâni dapat dilihat pada bab IV hal. 45

95 محطوطة ال َمتْنَين غير مفاضة ريّا الرواد ِف بِ ّضة المتج ّرد Punggungnya halus, tanpa lemak Menebarkan wewangian, lembut tanpa busana

قامت تراءى بين سجفَي كلّة كالشمس يوم طلوعها باألسعد310 Ia pun berdiri, tampak di antara dua tirai yang tipis Bagai mentari saat terbit dengan segala pesonanya

Bila melihat pada syair al-Nâbighah al-Dzubyâni tersebut, dapat dipastikan bahwa seksisme adalah sesuatu yang sangat akrab dan lekat dengan kehidupan istana. Dalam lingkungan istana, perempuan selalu jadi sasaran erotisme tanpa peduli siapa dan apa kedudukannya dalam istana. Hal ini tentu saja ada hubungannya dengan cara pandang kaum laki-laki istana terhadap perempuan, sebab tidak mungkin seorang penyair istana sanggup menyatakan hal-hal yang tidak senonoh terhadap istri seorang raja, andai saja sang raja memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan terhormat, melindungi dan memuliakannya. Melihat fakta tersebut, sepertinya seorang perempuan di dalam lingkungan istana biasa dijadikan sebagai konsumsi publik, bagai pajangan yang bisa dinikmati oleh siapa saja. Menurut Nawal el-Sadawi ada kekeliruan yang dilakukan oleh para peneliti Barat dalam menilai image perempuan Arab, karena mereka selalu menjadikan kisah 1001 malam yang meletakkan perempuan sebagai subordinasi, the second sex, pemuas birahi, dan image buruk lainnya, sebagai pintu masuk untuk menilai citra perempuan Arab, padahal 1001 malam bukanlah jalan satu-satunya untuk membuktikan citra perempuan Arab pada masa lalu.311 Namun berdasarkan syair-syair Umru al-Qais maupun al-Nâbighah al-Dzubyâni di atas, tampaknya tidak ada kekeliruan sama sekali dengan persepsi para peneliti Barat tersebut, sebab apa yang digambarkan oleh Umru al-Qais maupun al-Nâbighah al-Dzubyâni tentang perempuan-perempuan istana yang ada di sekitar keduanya tidak jauh berbeda dengan apa yang digambarkan oleh kisah

310 `Abbâs `Abd al-Sâtir, Dîwan Al-Nâbighah al-Dzubyâni, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1416 H/1996 M), hal. 107 311 Nawal el-Sadawi, The Hidden Face of Eve, (terjemah), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 252

96 1001 malam yang memang sama-sama menggambarkan tentang realitas kehidupan istana. Namun hal itu tentu saja menjadi sebuah kekeliruan yang besar ketika menggunakan perempuan-perempuan istana untuk memotret citra perempuan Arab Jahiliyah secara keseluruhan. 2. Kecantikan, kekuasaan dan poligami Salah satu momok yang sangat menakutkan dan selalu menjadi perbincangan hangat hingga kini terutama di kalangan feminis adalah persoalan poligami yang selalu menuai kontroversial, terlebih lagi, poligami selalu disangkutpautkan dengan ajaran- ajaran Islam yang dianggap sebagai agama yang memberikan legitimasi penuh untuk melakukan praktek perkawinan seperti ini. Poligami adalah salah satu target pembahasan dalam feminisme, karena dianggap tidak manusiawi dan melukai perasaan perempuan, serta menunjukkan terjadinya dominasi laki-laki terhapap perempuan.312 Banyaknya penekanan yang dilakukan kaum feminis terhadap ajaran-ajaran Islam yang dianggap melegitimasi praktek poligami, memaksa sebagian kalangan untuk menelusuri kembali asal-usul, sejarah dan praktek poligami yang dilakukan bangsa Arab sebelum kedatangan agama Islam atau pada masa Jahiliyah. Benarkah poligami itu murni bersumber dari ajaran Islam, ataukah ia sesungguhnya adalah bagian dari tradisi dan budaya masyarakat Jahiliyah yang kemudian dilegitimasi oleh Islam? Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut dan dalam rangka memahami citra perempuan Jahiliyah serta posisinya di hadapan seorang laki-laki, penulis akan menelusurinya berdasarkan syair-syair Jahiliyah yang dianggap sebagai dokumentasi yang sah dalam menilai sejarah bangsa Arab. Pada saat membicarakan poligami dalam tradisi dan budaya istana di zaman Jahiliyah, maka pembicaraan tidak dapat dipisahkan dari pembahasan sebelumnya tentang kecantikan dan seksualitas perempuan. Kecantikan perempuan, kekuasaan (jabatan ataupun kekayaan) laki-laki, dan juga poligami, merupakan tiga unsur yang

312 Poligami berasal dari bahasa Yunani yang berasal dari dua penggalan kata, poli atau polus yang berarti banyak, dan kata gamein atau gamos yang artinya kawin atau perkawinan. Kedua kata tersebut bila digabungkan maknanya menjadi perkawinan yang banyak, atau perkawinan dalam jumlah yang tak terbatas.

97 tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan dokumentasi syair Jahiliyah, poligami tak terbatas dalam tradisi bangsa Arab saat itu adalah suatu hal yang tidak dapat dibantah. Hal ini terbukti dari syair-syair yang digubah oleh Umru al-Qais, yang menyebutkan sejumlah perempuan yang memiliki hubungan spesial dengan dirinya semasa ia hidup, bahkan dalam buku Umru al-Qais al-Malik al-Dlillîl, disebutkan sekitar 19 nama perempuan yang menjadi kekasih maupun pasangan hidup Umru al-Qais yang ditemukan dari balik syair-syairnya, di antaranya; Umu al-Huwairits, Umu Ribâb, ‘Anîzah, Fâtimah, Salma, Sulaima, Basbâsah, Umu Jundub, Asma, Anaknya ‘Afzar, Harr, Salamah, Qadûr, Raqqâsy, Su’âd, Hind, Ribâb, Fartana, dan Lamîs.313 Untuk membuktikan hal tersebut, penulis menelusurinya melalui syair-syair yang terdapat dalam Dîwan Imri al-Qais. Berikut di antaranya syair-syair yang menyebutkan nama-nama perempuan tersebut: خليلى م ّرا بى على أم جندب لتقضي لبانات الفؤاد المعذب Sahabatku, bawalah daku pada Umi Jundub, agar ia memuaskan dahaga hatiku yang tersiksa

فإنكما إن تنظرانى ساعة من الدهر تنفعنى لدى أم جندب314 Jika kalian memberiku kesempatan walau hanya sebentar Sungguh hal itu sangat bermanfaat bagiku di hadapan Umi Jundab

ألم تريانى كلما جئ ُت طارقا وجد ُت بها طيّبا وإن لم تطيِّ ِب

Tidakkah kalian melihat, saat aku tiba di malam hari Kudapati ia dalam keadaan harum, meski tanpa menggunakan pewangi

Ummu Jundub sebagaimana diriwayatkan oleh al-Ashma’i dalam Dîwan Imri al-Qais, seorang perempuan dari Kabilah Thay yang dinikahi oleh Umru al-Qais.315

313 Muhammad Ridla Murawwah, Imru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 46 314 Mushtafâ ‘Abd al-Syâfi, Dîwân Imri al-Qais, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tth), hal. 29 315 Diriwayatkan oleh al-Ashma’i, bahwa Umru al-Qais menikahi seorang gadis keturunan kabilah Thay yang bernama Ummu Jundub. Namun ketika ia tidur bersamanya, ia tidak mau memuji Umru al-Qais. Namun pada suatu malam, Ummu Jundub terbangun dan berkata: Aku terbangun dari tidur wahai pemuda paling baik, bangunlah! Sebelum malam berlalu, ia tidak berhenti berkata-kata padanya; apa yang membuatmu berkata demikian? Ummu Jundub pun terdiam, namun Umru al-Qais terus

98 Dalam syair lainnya, ia bahkan menyebutkan empat nama perempuan dalam satu bait sekaligus: دار لهند والرباب وفرتنا ولميس قبل حوادث األيام316 Rumah Hind, Ribab, Fartana, juga Lamis, sebelum peristiwa-peristiwa (yang terjadi) beberapa hari ini.

Hind, Ribâb, Fartanâ dan Lamîs, dalam Dîwan Imri al-Qais disebutkan bahwa keempatnya adalah nama-nama perempuan istri Umru al-Qais. Dalam syair lainnya, ويوم دخلت الخدر خدر عنيزة فقالت لك الويالت إنك مرجلى Pada hari, di mana aku masuk ke dalam sekedup, sekedup ‘Unaizah Lalu ia berkata, celaka, engkau berjalan kaki!317

Syair Amru al-Qais lainnya yang menyebutkan nama perempuan dalam kehidupannya adalah;

كدأبك من أم ال ُح َوي ِر ِث قبلها وجارتها أم ال َّرباب بمأسل Seperti kebiasaan Umi al-Huwairits sebelumnya Dan juga Umi al-Ribab di Ma’sal (nama mata air)

إذا قامتا تض ّوع المس ُك منها نسيم الصبا جاءت ب َريا ال َق َرنفُل318 Jika keduanya berdiri, menyebar wewangian darinya Bagai angin shiba (semilir) yang membawa semerbak bunga cengkeh

Masih banyak syair-syair lain yang berbicara tentang perempuan-perempuan di sekeliling Umru al-Qais. Berdasarkan riwayat sahih, dapat dipastikan bahwa nama- nama yang disebutkan oleh Umru al-Qais dalam syair-syairnya tersebut adalah perempuan-perempuan yang berada di sampingnya selama ia hidup. Dari cuplikan- memaksanya untuk menjawabnya. Akhirnya ia mengatakan: Aku benci padamu karena kamu memiliki dada yang besar, namun pantat tepos, cepat tidur, namun susah bangun. Lalu datang padanya ‘Alqamah ibn ‘Abdah (penyair) dan mereka berbincang-bincang dengan menggunakan syair. ‘Alqamah lalu berkata: buatlah sebuah syair madh (pujian) untuk kendaraanmu dan juga tentang berburu, dan akupun akan membuat hal yang sama. Dan ini hanya antara aku dan kamu, lalu Umru al-Qais menggubah syair di atas. 316 Diwan Imri al-Qais, hal. 155 317 Celaka dalam syair ini adalah untuk menunjukkan simpatik. 318 Dîwan Imri al-Qais, hal. 8

99 cuplikan syair tersebut, bisa dipastikan bahwa nasib perempuan pada masa Jahiliyah ibarat barang dagangan yang dapat dimiliki laki-laki tanpa batas, asalkan ia sanggup membelinya. Di dalam tradisi istana, perempuan layaknya sebuah barang yang hanya digunakan untuk memuaskan hawa nafsu laki-laki. Sebuah bentuk penindasan psikis yang dilakukan oleh kaum pria terhadap perempuan. Laki-laki dengan bebas memiliki sejumlah istri untuk melampiaskan hasrat birahinya. Menurut Musdah Mulia, faktor yang mendorong timbulnya praktek poligami berakar pada mentalitas dominasi (merasa berkuasa) dan sifat despotis (semena-mena) kaum pria. Selain kedua hal tersebut, faktor lainnya berasal dari perbedaan kecenderungan alami antara perempuan dan laki-laki dalam hal fungsi-fungsi reproduksi.319 Berdasarkan pendapat tersebut, maka praktek poligami yang dilakukan oleh masyarakat Jahiliyah, cenderung disebabkan oleh faktor kekuasaan (dominasi) dan despotis (semena-mena), karena lebih banyak dilakukan oleh individu-individu yang memiliki kekuasaan dalam sistem sosial saat itu, seperti halnya yang dilakukan oleh Umru al-Qais ataupun penguasa lainnya. Bila melihat pada syair-syair sebelumnya, tentang bagaimana cara pandang dan perlakuan Umru al-Qais terhadap perempuan yang hanya menilai perempuan tidak lebih dari sekedar pemuas hawa nafsu, maka dengan disebutkannya sejumlah perempuan dalam syair-syair Umru al-Qais dan diyakini oleh para peneliti sebagai istri dan kekasih Umru al-Qais, membuktikan bahwa perempuan bagi kaum aristokrat tidak ubahnya dengan budak-budak seks yang bisa dimanfaatkan kapanpun mereka menginginkannya dan poligami adalah salah satu media yang tepat untuk melampiaskan hasrat tersebut. Inilah sesungguhnya citra perempuan istana pada masa sebelum datangnya agama Islam. Poligami yang digambarkan oleh Umru al-Qais di atas, jelas tidak sama dengan apa yang dipraktekkan Rasulullah saw. Bila Umru al-Qais melakukan poligami lebih didasarkan pada orientasi seksualnya, sedangkan apa yang dilakukan Nabi Muhammad

319 Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, Kerjasama Lembaga Kajian Agama & Jender, Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, hal. 7, dikutip oleh Yayan Sofyan dkk., Isu-isu Gender Dalam Islam, (Jakarta: PSW (Pusat Studi Wanita) UIN Syarif Hidayatullah, 2002), cet. 1, hal. 40

100 saw. cenderung pada nilai-nilai kemanusiaan, meskipun keduanya adalah seorang penguasa. Namun demikian, poligami adalah satu dari sekian aspek ajaran Islam yang mendapat sorotan tajam dalam gerakan feminisme. Poligami dianggap sebagai bentuk penindasan psikis yang dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap perempuan. Legalisasi poligami dalam Islam itu sendiri, pada dasarnya bukan sebuah legitimasi mutlak, karena disertai dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi laki-laki terutama }فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلث وربع{menyangkut persoalan keadilan. Ayat , 320 “maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang baik bagimu, dua, tiga, dan empat” menjadi kontroversi tersendiri dalam ajaran Islam, meskipun ayat tersebut pada }وإن خفتم أن ال تقسطوا فى hakekatnya berkaitan dengan kalimat sebelumnya yaitu -jika kamu merasa khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap (perempuan“ ,اليتمى{ perempuan) yatim” maka jawabannya adalah ayat di atas. Namun demikian, ada syarat atau tidak, dikaitkan dengan anak yatim atau tidak, pada hakekatnya Islam telah menetapkan legalisasi praktek poligami bagi laki-laki. Aturan yang diberlakukan al- Qur’an terhadap poligami, maupun apa yang dipraktekkan Nabi Muhammad saw semasa hidupnya, jelas sangat jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kaum bangsawan Jahiliyah yang menjadikan poligami sebagai alat pemuas birahi semata. }فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى Ada hal lain yang sangat menarik pada ayat ditinjau dari aspek bahasa dan feminisme. Ayat tersebut menggunakan kata وثلث وربع{ .sebagai ism al-maushul (kata sambung) dan menjadi objek dari kata nikahilah ما dalam bahasa Arab identik dengan benda karena dimaknai dengan ما Padahal kata sesuatu. Secara sepintas ayat tersebut tampak bias gender, sebab menempatkan perempuan layaknya barang yang dapat miliki oleh laki-laki. Padahal untuk manusia, baik laki-laki ataupun perempuan kata sambung yang biasa digunakan dalam bahasa }فانكحوا من طاب لكم من النساء sehingga ayat tersebut akan menjadi ,من Arab adalah kata -maka kawinilah siapapun yang baik bagimu, dari perempuan“ مثنى وثلث وربع{

320 Al-Nisa ayat 3

101 perempuan itu, dua, tiga, dan empat”. Namun bila dicermati lebih dalam, ayat tersebut maka ,من justru memberikan tawaran yang lebih baik, sebab bila diganti dengan kata yang menjadi penekanan dalam perkawinan adalah perempuan secara fisik, sebab kata .identik dengan sesuatu, fisik atau non-fisik ما identik dengan orang, sedangkan kata من Maka apa yang ditawarkan oleh ayat tersebut sesungguhnya adalah menikahi sesuatu yang baik yang dimiliki perempuan, bukan semata-mata menikahi kecantikan fisik semata. Di sinilah letaknya perbedaan poligami yang biasa dilakukan para penguasa, kaum bangsawan, dan laki-laki berduit pada masa Jahiliyah dengan konsep yang ditawarkan Islam. Sayangnya apa yang dilakukan oleh kaum aristokrat Jahiliyah yang hanya memuja perempuan dari kecantikan fisik semata, hingga kini tetap tidak berubah, sehingga pada akhirnya poligami tetap saja hanya dijadikan sebagai pemuas hawa nafsu laki-laki bukan sebagai solusi hidup seperti yang ditawarkan Nabi Muhammad saw. Dalam kajian ini, penulis pada dasarnya tidak bermaksud untuk membahas poligami dalam tinjauan agama Islam, namun ingin memberikan gambaran tentang bagaimana sesungguhnya praktek poligami dilakukan sebelumnya pada masa Jahiliyah, sehingga kita bisa memahami mengapa poligami perlu digulirkan dan dijadikan sebagai wacana dalam kajian ini sebagai bahan pertimbangan dalam menyikapi silang pendapat tentang poligami. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, tampaknya poligami dalam tradisi bangsa Arab Jahiliyah memiliki korelasi yang sangat kuat dengan kekayaan (privilege/property), kehormatan (pertige), dan kekuasaan (power) yang dimiliki, sehingga menganggap perempuan bagai barang yang pantas untuk dimiliki dan dinikmati. Untuk itu penulis berpendapat bahwa ayat “fankihû mâ thâba lakum min al- nisâ’…”, pada hakekatnya adalah upaya pembatasan poligami (selirisasi) yang biasa dilakukan kelompok aristokrat (papan atas) terhadap perempuan, karena biasanya kelompok ini menjadikan perempuan semata-mata demi prestise dan kesenangan. Sehingga dengan demikian ayat tersebut merupakan kebijakan yang tepat untuk meminimalisir praktek-praktek poligami di kalangan atas yang sudah membudaya dan terbiasa memperlakukan perempuan laiknya barang yang hanya dijadikan sebagai objek

102 seksualitas. Karena hal itu pula, akan menjadi tidak bijak, bila ayat tersebut mengekang secara tiba-tiba tradisi yang sudah sedemikian menahun di kalangan aristokrat, lalu menggantinya dengan keharusan seorang laki-laki melakukan monogami dalam perkawinannya.321 3. Simbol ‘impian’ dan ‘kenangan’ Simbolisme (symbolism) adalah corak sastra yang menggunakan citraan yang konkret untuk mengungkapkan perasaan atau ide yang abstrak.322 Umru al-Qais melalui syair-syairnya menyimbolkan perempuan sebagai makhluk ‘impian’ dan sumber ‘kenangan’. Sebagai sebuah simbol, istilah ‘impian’ dan ‘kenangan’ ini tentu saja mengandung makna konotasi,323 namun apakah konotasi tersebut bersifat positif atau negatif, dan apakah makna konotasi tersebut menjadikan perempuan sebagai makhluk terhormat atau sebaliknya. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara syair, penyair dan faktor yang melatarbelakangi diciptakannya karya tersebut. Bagi laki-laki Jahiliyah, biasanya ada dua bentuk kesepian yang berhubungan dengan perempuan, yang pertama kesepian saat ia pergi meninggalkan perempuan, yang

321 Persoalan poligami dalam perspektif agama telah banyak dibahas, baik secara hukum maupun dalam perspektif feminisme. Sebagai contoh pendapat Mushtafa al-Ghalayaini sebagai ulama masa lalu dan Qasim Amin tokoh feminisme. Mushthafa al-Ghalâyaini melihat bahwa tradisi poligami adalah warisan masa lalu jauh sebelum Islam datang. Maka menurutnya membatalkan tradisi berpoligami bukanlah suatu hal yang mudah, karena tradisi tersebut juga dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang terkadang memberi hikmah tersendiri, meski tidak dipungkiri terkadang banyak memberi madlarat. Demikian pula halnya dengan Qâsim Amîn yang memberi batasan yang sangat ketat terhadap praktek poligami, seperti kondisi istri yang sakit dan sulit untuk sembuh dan mandul. Ahmad Muhammad Salim, al-Mar’ah fi Fikr al-`Arabi al-Hadits, (Mesir: al-Hai’at al-Mishriyat al-`Amah li al-Kitab, 2003), hal. 346-347. Pendapat tersebut adalah poligami dalam perspektif laki-laki, namun demikian, pendapat tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Aminah Muhammad Nashir guru besar Universitas al-Azhar dalam tulisannya yang berjudul al-Islâm wa Ta`adud al-Zaujât (Islam dan poligami). Dalam tulisannya tersebut bahkan ia memberikan sejumlah argumen bahwa di antara sekian Nabi yang diutus Tuhan melakukan praktek poligami, seperti; Ibrahim, Ya`qub, Dawud, Sulaiman, hingga Nabi terakhir Muhammad saw. Untuk itu ia meyakini bahwa ada hikmah besar yang tersimpan dibalik legalisasi langit terhadap praktek poligami. Selanjutnya ia memberikan sejumlah hikmah dibalik legalisasi poligami, dan ia juga membahas konteks poligami dalam budaya sebelum Islam datang. Ja`far Abd al-Salam (editor), al-Islâm wa Huqûq al-Mar’ah, (Kairo: Râbithat al-Jâmi`at al-Islâmiyah, 1425 H/2004 M), hal. 135-155 322 Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: UI-Press, 1990), hal. 73 323 Panuti Sudjiman mamaknai konotasi dengan nilai rasa atau makna tautan sebuah kata. Pengarang biasanya mengandalkan konotasi untuk mengungkapkan efek keindahan dan makna. Kamus Istilah Sastra, hal. 45

103 kemudian dilampiaskan dengan meratapi dan mengenang puing-puing bekas persinggahan mereka, pasir, jalan-jalan yang dilaluinya, hingga kotoran binatang yang tertinggal yang mereka temui dalam perjalanan dan memiliki kaitann dengan perempuan yang dikasihinya. Sedangkan bentuk kesepian yang kedua diekspresikan pada saat mereka menunggu kepulangan perempuan dari bepergian. Kedua bentuk kesepian itu erat kaitannya dengan psikologis laki-laki yang tidak bisa terlepas dari perempuan. Contoh yang pertama tampak dalam syair: قفا نبك من ذكرى حبيب ومنزل ب ِس ْقط اللوى بين الدخول فحومل324 Berhentilah325, temani aku menangis, mengenang kekasih dan tempatnya berhenti Di Siqt al-Liwa, antara Dakhul dan Haumal

Contoh yang kedua, misalnya: تب َّصر خليلى هل ترى من ظغائن سوالك نَقبا بين َح ْز ِمى َشعَ ْبعَب Lihatlah sahabatku, tidakkah kau melihat perempuan-perempuan dalam sekedup326 Melintasi jalan antara bukit Sya`ab`ab327

علون بأنطاكيَّة فوق ِع ْق َم ٍة كجرمة نخل أو كجنة يثرب328 Tampak anggun dengan baju Anthakiyah329 yang bergambar Bagai serpihan-serpihan pohon kurma atau taman kota

Syair ini menunjukkan betapa merananya sang penyair saat ditinggal kekasihnya. Dalam penantiannya itu, yang ada hanyalah kenangan-kenangan bersamanya, baju yang dikenakannya, juga kendaraan yang membawanya, sambil

324 Syair ini merupakan syair Umru al-Qais yang sangat terkenal dan menjadi salah satu syair mu`allaqat. dalam syair tersebut menggunakan dlamîr tatsniyah (kata ganti untuk (قفا) Kata berhentilah 325 dua orang), ada yang mengartikan bahwa Umru al-Qais mengatakan hal tersebut pada dua pengawalnya, namun ada juga yang menyatakan bahwa dlamir tatsniyah tersebut ditujukan untuk satu orang. Mengucapkan dlamir tastniyah di dalam bahasa Arab terkadang tidak konsisten, sebab terkadang yang diinginkan adalah satu atau jamak. 326 Al- zha`a’in adalah bentuk jamak dari al-zha`inah yang artinya sesuatu yang dikendarai oleh perempuan, bisa berbentuk punggung unta atau sekedup yang di dalamnya perempuan. Secara isti`ârah, kata tersebut lalu diartikan dengan perempuan. 327 Sya`ab`ab adalah nama mata air yang terletak di Yamâmah milik Bani Qusyair. 328 Dîwan Imri al-Qais, hal. 30 329 Anthakiyah adalah baju yang ditenun di Anthakiyah, sehingga namanya dinisbatkan pada daerah tersebut.

104 berharap akan segera melihat sekedup yang membawa mereka kembali dari kepergiannya. Dari syair-syair di atas, ada satu hal yang perlu diperhatikan bahwa ternyata bepergian, baik untuk kepentingan bisnis atau yang lainnya, pada masa itu, tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki, namun ternyata biasa juga dilakukan oleh perempuan, tidak ada larangan bagi perempuan untuk pergi meninggalkan keluarga, meski hanya sekedar untuk bersenang-senang. Perempuan, meski dalam tanda kutip, bagi kalangan aristokrat adalah simbol ‘cinta’ dan ‘kerinduan’. Cinta dan rindu sesuai dengan makna yang mereka inginkan. Minimnya aktivitas dan kurangnya fasilitas untuk bersenang-senang, adalah salah satu alasan mengapa kehidupan laki-laki pada masa Jahiliyah sangat lekat dengan perempuan. Terkadang kondisi yang memaksa mereka untuk berpisah dengan keluarga, membuat mereka merasa kesepian dan membuat perempuan selalu ada dalam kenangan. Sebagai contoh syair Imru al-Qais yang sangat terkenal dan menjadi satu dari sekian banyak syair mu`allaqat berikut ini: قفا نبك من ذكرى حبيب ومنزل ب ِس ْقط اللوى بين الدخول فحومل330 Berhentilah331, temani aku menangis, mengenang kekasih dan tempatnya berhenti Di Siqt al-Liwa, antara Dakhul dan Haumal

فتوضح فالمقراة لم يعف رسمها لما نسجتها من جنوب وشمأ ِل Lalu di Tudlih dan Miqrat, jejak-jejaknya belumlah terhapus Meski diterpa angin dari selatan dan utara

ترى بعر اآلرآم فى عرصاتها وقيعانها كأنه ح ّب فلفل Kau lihat kotoran kijang berserakan di atas hamparan pasir, bagaikan biji lada كأنى غداةَ البين يوم تحملوا لدى سمرات الحي ناقف حنظل Aku bagaikan orang yang membelah labu332

330 Syair ini merupakan syair Umru al-Qais yang sangat terkenal dan menjadi salah satu syair mu`allaqat. dalam syair tersebut menggunakan dlamîr tatsniyah (kata ganti untuk (قفا) Kata berhentilah 331 dua orang), ada yang mengartikan bahwa Umru al-Qais mengatakan hal tersebut pada dua pengawalnya, namun ada juga yang menyatakan bahwa dlamir tatsniyah tersebut ditujukan untuk satu orang. Mengucapkan dlamir tastniyah di dalam bahasa Arab terkadang tidak konsisten, sebab terkadang yang diinginkan adalah satu atau jamak.

105 di pagi perpisahan, pada hari mereka berangkat di antara rombongan kafilah,

وقوفا بها صحبى عل ّى مطيّه ُم يقولون ال تَه ِلك أس ى وتج َّم ِل Berhentilah di tempa-tempat kenangan para sahabatku!, dan aku di atas kendaraan mereka, dan mereka pun berkata, janganlah kau hancur karena bersedih, dan bersabarlah

وإن شفائى عبرة ُمهراقة فهل عند رسم دارس من مع َّو ِل Kesembuhanku adalah air mata yang tercurah Adakah yang menangisi jejak-jejak yang hilang ini

Dalam syairnya tersebut, Umru al-Qais mengumpamakan (tamtsil) dirinya dengan orang yang sedang membelah labu. Suatu perumpamaan bagi seseorang yang sangat tersiksa dan bingung karena harus melakukan sesuatu hal yang sangat menyebalkan atau menyakitkan. Bagi Umru al-Qais yang selalu dikelilingi perempuan, berpisah dengan kekasih hatinya merupakan hal yang sangat menyakitkan dan menyiksa. Untuk itu dalam syair yang terpisah, Umru al-Qais menggambarkan derita rindunya saat terpisah dari kekasih saat bepergian: ففاضت دموع العين منى صبابة على النحر حتى ب ّل دمعى ِمح َملى333 Air mata kerinduan pun mengalir deras di dada, hingga membasahi sarung pedangku Menurut penulis, tangisan dan air mata (ritsâ’) yang disebutkan oleh penyair, bukanlah tangisan dan air mata yang sesungguhnya, namun sebuah gaya bahasa hiperbola untuk menyatakan bahwa betapa ia sangat menderita karena rindu ketika ditinggalkan kekasihnya. Hal ini tampak pada saat menyebutkan air mata yang mengalir membasahi sarung pedangnya yang juga suatu hal yang sangat janggal dan bernada hiperbola, dan bagaimana mungkin seorang laki-laki Jahiliyah dengan pedang di tubuh harus mengalirkan air mata untuk seorang perempuan, padahal laki-laki Jahiliyah secara umum, pantang menangisi seseorang yang meninggal, namun untuk seorang perempuan penyair secara berulang kali menyebutkan kata-kata cengeng seperti tangisan, air mata, kerinduan dan lainnya, padahal masih banyak perempuan lain di sekelilingnya.

332 Lih. Ibn ‘Abdillah al-Husein ibn Ahmad ibn al-Husein al-Zauzani, Syarh al-Mu’allaqât al- Sab’, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1985 M/ 1405 H), hal. 6-7 333

106 Ketergantungan kaum laki-laki Jahiliyah terhadap perempuan menurut Husein `Athwan, bukanlah timbul tanpa sebab. Kehidupan Jahiliyah yang sangat minim dari aktivitas dan banyaknya waktu luang yang mereka miliki, adalah salah satu motivasi mengapa kaum laki-laki sangat gemar mengikuti kaum perempuan ke mana saja mereka pergi. Untuk mengisi kekosongan tersebut, biasanya ada empat cara yang mereka lalukan, yaitu pertama pergi berburu, pergi ke kedai minuman untuk minum arak, berjudi, bertaruh dalam pacuan kuda, atau mengikuti ke mana perempuan pergi.334 Nemun menurut penulis, dilihat dari syair-syair Umru al-Qais sebelumnya, rasa kesepian, kerinduan, maupun rasa sedih yang diutarakannya tersebut tidak lebih dari sekedar kenangan palsu yang bukan bersumber dari cinta yang murni, namun lebih pada kenangannya tentang hasrat seksualnya dan petualangan-petualangan cintanya yang amat menjijikan. Sebagai contoh, ketika ia mengenang sebuah tempat yang dinamakan dengan Darat al-Jul-jul berikut ini: أال رب يوم لك منه ّن صالح وال سيّما يوم بدارة جلجل Ahai, berapa banyak waktu yang kau habiskan untuk bersenang-senang dengan mereka, terutama pada saat di Darat al-Juljul

ويوم عقرت للعذارى مطيتى فيا عجبا من رحلها المتحمل Pada hari aku menyembelih tungganganku (unta) yang kupersembahkan untuk gadis- gadis, alangkah menyenangkan pada saat-saat seperti itu

ويا عجبا من حلها بعد رحيلها ويا عجبا للجازر المتب ِذّل Alangkah menyenangkan saat-saat setelah pulang dari beperegian bersama mereka, sungguh menyenangkan bagi penyembelih yang baik hati

فظ ّل العذارى يرتمين بلحمها وشحم كهدّاب الدم ْقس المفتل Gadis-gadis itu terus saling melempar-lemparkan dagingnya, dan gajihnya bagai rumbai-rumbai sutra putih yang terpintal

تدار علينا بالسديف صحافنا ويؤتى إلينا بالعبيط المث ّمل Kita dikelilingi piring-piring yang dipenuhi daging, kita nikmati daging yang sangat empuk

334 Husein `Athwân, Muqaddimah al-Qashîdah al-`Arabiyah fi al-Syi’r al-Jâhili, hal. 62

107 ويوم دخلت الخدر خدر عنيزة فقالت لك الويالت إنك مرجلى Pada hari aku masuk ke dalam sekedup ‘Unaizah, dan ia berkata: celaka, engkau berjalan kaki335

تقول وقد مال الغبيط بنا معا عقر َت بعيرى يا امرأ القيس فانزل Ia berkata, pada saat sekedup kami telah berangkat Hai Imru al-Qais, kau memotong untaku, turunlah

فقلت لها سيرى وأرخى زمامه وال تبعدينى عن جناك المعلل Lalu kukatakan padanya (setelah turun), berjalanlah dan longgarkanlah tali kekangnya, dan jangan jauh dariku agar aku dapat mengecupmu

دعى البكر وال ترثى له من ردافنا وهاتى أذيقينا جناة الق َر ْنفل336 Biarkanlah unta itu, jangan biarkan ia meratapi orang yang mengikutinya Mendekatlah, berikan kami wewangian bunga cengkeh (mulutmu)

Kisah tentang Dârat al-Juljul erat kaitannya dengan kisah cinta Umru al-Qais dengan seorang gadis cantik bernama `Unaizah. ‘Unaizah adalah perempuan yang memiliki kisah tersendiri dalam kehidupan Umru al-Qais. Diriwayatkan, bahwa Umru al-Qais jatuh cinta pada seorang gadis anak dari pamannya Syarhabil yang bernama ‘Unaizah, namun pamannya tersebut tidak mengijinkannya untuk bertemu dengannya. Untuk itu, suatu ketika ia menunggu iring-iringan sekedup kabilah dan ia memisahkan diri dari rombongan laki-laki, hingga ketika ia melihat iring-iringan sekedup perempuan, ia mendahuluinya hingga sampai di sungai kecil yang mereka namakan dengan Dârat al-Juljul dan ia bersembunyi di sekitarnya. Ketika gadis-gadis tersebut yang salah satunya adalah Unaizah tiba, mereka langsung membuka baju, mandi dan berenang di sungai. Pada saat itulah Umru al-Qais muncul dan mengambil semua baju yang tergeletak di pinggir sungai dan mendudukinya.337 Lalu ia bersumpah tidak akan menyerahkan baju-baju tersebut, hingga mereka datang padanya dalam keadaan telanjang. Untuk beberapa saat mereka saling berdebat, namun Umru al-Qais tidak

335 diceritakan, karena untanya sudah dipotong dan dibuat untuk berpesta, Umru al-Qais akhirnya harus pulang dengan berjalan kaki. 336 Bait ini diragukan sebagai al-Mu’allaqat Umru al-Qais 337 Kisah Umru al-Qais ini sepertinya hampir mirip dengan dongeng Jaka Tarub dan tujuh bidadari dalam legenda sastra Indonesia.

108 memperdulikannya kecuali mereka memenuhi keinginannya tersebut. Setelah sekian lama, dengan terpaksa gadis-gadis tersebut menurutinya dan keluar satu persatu dengan bertelanjang untuk mengambil bajunya, hingga yang tersisi hanyalah ‘Unaizah. Umru al-Qais lalu berkata padanya; wahai anak gadis yang terhormat, engkau harus melakukan seperti apa yang mereka lakukan! Dengan terpaksa Unaizah keluar, namun dengan membalikkan badannya. Setelah mereka semua mengenakan pakaian, mereka mulai mengumpatnya, dan berkata: engkau telah membuat kami kelaparan dan terpisah dari rombongan. Umru al-Qais lalu berkata, jika kendaraanku (unta) ini dipotong, apakah kalian mau memakannya? Lalu mereka menjawab: tentu saja. Lalu ia menyembelih unta tersebut, sedangkan para gadis mengumpulkan kayu-kayu untuk memasak dan memanggangnya, lalu mereka makan hingga kenyang. Ia juga membawa sebuah kendi yang terbuat dari kulit yang berisi khamr, dan ia mengajak perempuan- perempuan tersebut untuk berpesta minuman. Karena kendaraannya sudah disembelih, maka pada saat mereka ingin melanjutkan perjalanan, barang-barang yang dibawa Imru al-Qais dibagi-bagikan ke dalam sekedup mereka, hingga yang tertinggal hanyalah Umru al-Qais, dan ia berkata pada Unaizah, wahai gadis yang terhormat, hendaknya engkau membawaku. Teman-teman gadisnya pun memaksanya untuk mengajak Umru al-Qais di dalam sekedupnya, dan ia pun akhirnya membawanya. Imru al-Qais pun memasukkan kepalanya ke dalam sekedup dan mulai menciumi dan memeluk ‘Unaizah.338 Dari kisah tersebut, maka kita dapat melihat sebuah gambaran yang nyata bahwa kesedihan, tangisan dan ratapan Umru al-Qais saat mengenang jejak-jejak (rasm) perempuan, tidak lebih dari sekedar kenangan atas semua ekspedisi-ekspedisi sesksualnya bersama perempuan-perempuan yang disukainya. Bahkan berdasarkan kisah tersebut, tampak ada sebuah pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan Umru al-Qais melalui intrik-intrik yang menjijikan dalam rangka mencapai hasrat seksualnya tersebut. Dari gambaran kisah tersebut, bisa dipastikan bahwa nama-nama tempat yang disebutkan dalam syair-syair sebelumnya seperti Siqth al-Liwâ, Tûdlih, Miqrât, dan lain

338 Diwan Imri al-Qais, hal. 3-4.

109 sebagainya adalah nama-nama tempat kenangan yang biasa dijadikan Umru al-Qais untuk melampiaskan hasrat seksualnya terhadap perempuan. Hal ini tersirat dari ungkapannya ‘ Ahai, berapa banyak waktu yang kau habiskan untuk bersenang-senang dengan mereka, terutama pada saat di Darat al-Juljul’ dan bait tersebut merupakan sambungan dari bait sebelumnya, ‘Berhentilah, temani aku menangis, mengenang kekasih dan tempatnya berhenti Di Siqt al-Liwa, antara Dakhul dan Haumal. Lalu di Tudlih dan Miqrat, jejak-jejaknya belumlah terhapus Meski diterpa angin dari selatan dan utara.339 Kata-kata ‘terutama pada saat di Darat al-Juljul’, membuktikan bahwa tempat-tempat sebelumnya pun adalah tempat-tempat yang memberi kenangan seperti halnya Darat al-Juljul, meski kenangan tersebut tidak sedahsyat kenangan di Darat al- Juljul. Namun hal itu membuktikan bahwa tangisan dan kenangan yang diungkapkan oleh penyair tentang perempuan, hanyalah sebuah kenangan falsu, khayalan nafsu dan fatamorgana yang diciptakannya untuk mengabadikan citra perempuan sebagai budak nafsu, second sex, dan ‘impian’ kaum laki-laki . Agar lebih meyakinkan, penulis sajikan nama tempat lain yang menjadi kenangan Umru al-Qais bersama perempuan dengan orientasi yang tidak jauh berbeda dengan syair sebelumnya: لمن طل ٌل بين ال ُجدّيّة والجب ْل # مح ّل قديم العهد طالت به الطيِّل Siapakah pemilik jejak-jejak yang terdapat antara gunung Jud dan Aja’340 ini? Sebuah tempat kuno yang telah lama berlalu … تعلق قلبى طفلة341 عربية # تنعّم فى الديباج342 والحلي وال ُحلل343 Hatiku terpaut pada gadis Arab yang manis bergaun sutra, bertabur perhiasan, bergaun panjang … فلو لو ولو لو ثم لو لو ولو ولو # دنا دا ُر َس ْل َمى كن ُت أ ّو َل من وص ْل Andai, andai dan andai, lalu andai…

339 Bait-bait ini adalah penggalan dari syair mu`allaqât Umru al-Qais yang sangat terkenal. 340 Dalam diwan Imri al-Qais dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jabal (gunung) di sini salah satu gunung yang terletak di Thayy Najed. Dîwân Imri al-Qais, hal. 145 (أجأ) ’adalah gunung Aja 341 Gadis cantik yang sedap dipandang mata 342 Sutra yang berlukiskan gambar-gambar 343 al-hulal jamak dari hullah yang artinya baju yang menutupi seluruh tubuh (gamis).

110 (andai) rumah Salma semakin dekat, maka akulah orang yang pertama kali tiba

وعن عن وعن وعن ثم عن عن وعن وعن # أسائل عنها ك ّل من سار وارتحل Tentang, tentang, dan tentang, lalu tentang ….. Kutanyakan tentang dia pada siapapun yang bepergian

وفى فى وفى فى ثم فى وفى # وفى ُو ْجنَتَى َسلمى أقبِّل لم أم ْل Dan di, di, dan di, lalu di… Di pipinya Salma kudaratkan kecupan yang tak pernah kubayangkan

و َس ْل سل وسل سل ث ّم سل سل وسل وسل # وسل دار سلمى والربو َع 344 فكم أس ْل Tanyakan, tanyakan dan tanyakan, lalu tanyakanlah.. Tanyakanlah tentang rumah Salma dan juga semua hal di sekitarnya

و َش ْن ِص ْل و َش ْن ِص ْل ثم َش ْن ِص ْل ع َش ْن ِص ْل 345 # على حاجبَى سلمى يزين مع المق ْل 346 Dan akan sampai, akan sampai, lalu akan sampai Pada kedua alis Salma berikut bola mata yang menghiasi … وقد كان لُ ْعبِى ك ّل د ْس ُت بقبلة # أقبِّل ثغرا كالهالل إذا أف ْل Air liur pun menetes, saat kudaratkan ciuman Kucium bibirnya, yang laksana bulan sabit saat terbenam

فقب ْلتُها تسعا وتسعين قبلة # وواحدة أيضا وكن ُت على عج ٍل

344 Al-Rubû` jamak dari al-rab` yang artinya segala sesuatu yang ada di sekitar rumah 345 Berdasarkan penjelasan asal-usul bahasa sebelumnya, kata-kata tersebut sepertinya tidak murni bahasa Arab namun masih dalam rumpun bahasa yang sama, namun demikian penulis yakin ada yang artinya akan. Karena bahasa-bahasa Semit berasal dari satu َش dengan َس kesamaan makna antara rumpun –sebagaimana diperkirakan- banyak di antara lafaz-lafaznya yang sama, atau terkadang hanya berbeda sedikit saja, seperti yang terdapat dalam bahasa Ibrani (Ibriyah) dan Arab. Sebagian lafaz yang menggunakan syin dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan sin, sedangkan alîf yang ada dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan waw. Kata salâm dalam bahasa Arab menjadi syalûm dalam bahasa Ibrani, dan tsa menjadi syin, sehingga kata tsaur menjadi syaur. Sedangkan yang di dalam bahasa Arab menggunakan dlad, di dalam bahasa Ibrani menggunakan shad, seperti ardh menjadi arsh, dan lain sebagainya. Akibat kedekatan genetik tersebut terjadi asimilasi antar bahasa. Maka oleh karena berdekatan dan sering berinteraksi, penduduk Yaman terpengaruh oleh bahasa Habsyi, seperti halnya penduduk Hijaz terpengaruh oleh bahasa Ibrani. Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal.15 346 Penulis buku Dîwân Imri al-Qais. Hal. 149 menyatakan bahwa sebagian besar bait-bait di atas tidak perlu penjelasan, karena kata-katanya mudah dipahami ataupun jika dijelaskanpun tidak memberikan faidah. Namun demikian bagaimana mungkin memahami syair tanpa memahami maknanya. Al-maqal itu sendiri adalah bentuk jamak dari al-muqlah yang artinya biji mata.

111 Kucium dia sebanyak sembilan puluh sembilan kali Ditambah satu kali, dengan cepat وعانقتُها حتى تقطع ِعقدُها # وحتى فصوص الطوق من جيدها انفصل Kupeluk ia, hingga terputus kalungnya hingga butir-butir permata kalungnyapun turut terlepas dari lehernya

كأ َّن فصوص الطوق لما تناثر ْت # ضياء مصابيح تطاير َن عن شعُ ْل Saat butir-butir permata itu bertaburan, bagai sinar lampu yang menebarkan cahaya

وآخر قولى مثل ما قل ُت أوال # لمن طل ٌل بين الجدّيّة والجب ْل 347 Akhir kata yang kuucapkan seperti halnya yang kukatakan di awal Siapakah pemilik jejak-jejak yang terdapat di antara gunung Jud dan Aja’ ini?

Dalam kisah ini yang dijadikan kenangan oleh penyair adalah sebuah tempat yang terletak antara gunung Jûd dan Aja’. Kisah ini tidak ubahnya dengan kisah sebelumnya yaitu kisah ‘cinta’ antara penyair dengan gadis bernama `Unaizah, sedangkan pada syair ini adalah kisah ‘cinta’ antara penyair dengan Salma seorang gadis cantik dari kabilah Kindah keturunan Romawi.348 Kedua kisah ‘cinta’ dalam syair di atas membuktikan bahwa perempuan dalam tradisi istana pada masa itu, dipuja dan dipuji bukan semata-mata karena memiliki kedudukan yang terhormat, bukan pula bersumber dari cinta yang murni namun semata-mata karena orientasi seksual kaum laki-laki. Dan hal ini disebabkan kekuasaan (power) laki-laki yang menempatkan perempuan dalam kelas yang rendah dan tertindas. Perempuan ditempatkan pada kelas yang sangat rendah, yakni hanya dijadikan sebagai pemuas nafsu kaum laki-laki, yang kemudian melekatkan citra yang buruk padanya yakni sebagai ‘impian’ dan budak nafsu kaum laki-laki. Berdasarkan hal tersebut, penulis melihat bahwa cinta yang diperlihatkan oleh Umru al-Qais dalam ghazal di atas, tidaklah bersumber dari cinta yang murni, namun lebih dari sekedar pelampiasan dari banyaknya waktu yang kosong yang dirasakannya,

347 Dîwân Imri al-Qais, hal. 145-150 348 Syair lengkap lihat pada halaman sebelumnya, tentang kerajaan Kindah dan akses penyair dengan kerajaan luar.

112 sehingga ia merasakan kesepian yang sangat mendalam pada saat tidak ada perempuan yang menemaninya. Sebagaimana kita tahu, bahwa ia adalah seorang pangeran yang kehidupannya selalu diliputi kesenangan dan kemewahan. Berburu perempuan bagi Umru al-Qais, tak ubahnya dengan berburu binatang, berjudi, dan minum-minuman keras, yang semuanya ia lakukan demi mengisi kekosongan waktu dan bersenang- senang. Dari syair-syair di atas tampak nyata bahwa perempuan pada masa itu terutama dalam kelompok gedongan, meskipun di satu sisi ia didominasi oleh laki-laki, namun pada dasarnya mereka memiliki kebebasan beraktivitas termasuk bersenang-senang di luar lingkungan istana, mereka mewakili sisi kehidupan dunia gemerlap kaum jetset pada masa itu. Perempuan-perempuan istana adalah simbol dari perempuan-perempuan bebas (hurrah), senang berpesta, menikmati kesenangan hidup, dan mengagungkan kecantikan fisik dan kemolekan tubuh. Dalam budaya patrialkal dan dominasi laki-laki yang sangat kuat, citra perempuan istana yang cenderung mengagungkan kecantikan fisik, adalah salah satu bentuk eksploitasi kecantikan seksual perempuan. Tradisi party di atas tidak lebih dari sekedar kisah tentang pelecehan seksual penguasa laki-laki terhadap perempuan. Bila melihat pada maknanya, kata al-hurrah berarti perempuan merdeka, dan jika melihat dari struktur sosial yang dianut bangsa Arab Jahiliyah, al- hurrah lawan dari al-imâ’ juga dimaknai dengan perempuan kelas atas yang memiliki kebebasan penuh akan dirinya, namun melihat pada syair-syair yang digubah Umru al- Qais di atas, tentang bagaimana ia memandang dan memperlakukan perempuan di sekelilingnya, maka benarkah ‘al-hurrah’ itu berarti perempuan merdeka, atau memang hanya lawan kata dari al-imâ’ (hamba sahaya), namun pada hakekatnya tetap berada di bawah kekuasaan dan dominasi laki-laki.

113

114 BAB III CITRA PEREMPUAN BADAWI

A. Konstruksi Sosial Masyarakat Badawi Sebagaimana disebutkan pada bab III, bahwa masyarakat Arab Jahiliyah secara umum terbagi ke dalam dua struktur sosial yang satu sama lain sangat kontradiktif, yaitu komunitas hadhari (perkotaan) dan badawi (nomaden). Komunitas hadlari sendiri identik dengan penduduk Yaman yang memang secara politik maupun finansial lebih stabil dan mapan.349 Adapun yang dimaksud dengan badawi yaitu bangsa Arab bagian Utara atau dikenal juga dengan kaum Hijaz.350 Komunitas badawi ini, secara umum terbagi ke dalam dua bagian yang biasa mereka sebut dengan ahl al-wabar351 dan ahl al-madar352. Ahl al-wabar pada dasarnya adalah badawi tulen yang hidup secara nomaden, atau yang biasa disebut dengan al-A`rabi. Sedangkan ahl al-madar pada dasarnya adalah penduduk kota (semi hadlari) yang biasanya memiliki kehidupan yang

349 Pembahasan tentang negeri Yaman yang merupakan asal mula kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Jazirah Arab dapat dilihat pada bab III yang membahas secara khusus kehidupan perempuan- perempuan istana, atau lih. Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24 350 Arab bagian Utara biasanya disebut juga dengan kaum Adnan karena mereka –sebagaimana disebutkan para genealogis- berasal dari keturunan Adnan, dan Adnan keturunan Ismail bin Ibrahim as. Selain itu dinamakan juga dengan Arab musta’ribah (Arab keturunan atau arabist), karena Ismail bukan keturunan asli bangsa Arab dan bahasanya pun bukan bahasa Arab original. Ia mulai berbahasa Arab pada saat melakukan perjalanan bersama ayahnya ke Hijaz dan menikahi keturunan Jurhum yang berasal dari Kabilah Yamâniyah, lalu mempelajari bahasa mereka dan berkomunikasi dengan bahasa mereka 351 Wabar secara bahasa berarti bulu unta. Bangsa Arab biasanya menggunakan bulu binatang untuk membuat kemah. Kemah biasanya digunakan oleh komunitas badawi tulen yang kehidupannya selalu berpindah-pindah dari satu wâhah (sumur air) ke wâhah yang lain. Untuk itu mereka dinamakan dengan ahl al-wabar (penghuni kemah). 352 Madar itu sendiri arti sebenarnya adalah tanah liat yang tidak tercampur dengan pasir. Ia juga memiliki arti perkampungan (qaryah/qura) dan perkotaan (madinah/mudun). Kedua arti tersebut memiliki korelasi makna yang kuat, karena biasanya penduduk kampung atau kota menggunakan bahan bangunan untuk tempat tinggal mereka dari tanah liat (madar) tersebut. Jika ahl al-wabar diartikan sebagai badawi, maka ahl al-madar itu sendiri adalah sinonim dari hadlari. Dalam kamus al-Munjidi (hal. 752), ahl al-madar itu sendiri disebutkan sebagai antonim hadlari. Namun demikian, yang dimaksud dengan hadlari di sini jelas bukan hadlari yang disebutkan pada bab III yaitu penduduk negeri Yaman, namun hadlari sebagai salah satu sistem sosial yang dianut bangsa Arab Utara (Hijaz) yang pada dasarnya adalah penduduk badawi. Al-Qur`an al-Karim sendiri lebih suka menyebutnya dengan istilah al- A`râbi dan al-`Arabi untuk menggambarkan kedua komunitas tersebut.

115 semi permanen, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Mereka biasanya menyebut ahl al-madar ini dengan sebutan al-`Arabi. Al-Qur’an sendiri lebih suka untuk ahl al-madar العرب untuk ahl al-wabar (badawi nomaden) dan األعراب menyebut (badawi yang menetap).353 Saya sendiri (penulis) menyebutnya dengan istilah semi hadlari, karena secara sosial, politik, maupun ekonomi, mereka belum memiliki sistem yang permanen seperti Yaman. Hal ini tampak dari gambaran yang diberikan oleh Muhammad `Ali Shabbah yang menyatakan bahwa, masyarakat Arab badawi selain berdampingan dengan kerajaan Habasyah di Yaman dan sekitarnya, juga berdampingan dengan dua kerajaan besar lainnnya, yaitu kerajaan Romawi yang berkedudukan di Syam dan sekitarnya dan kerajaan Persia di Irak dan sekitarnya. Untuk itu arus politik mereka tergantung pada angin yang berhembus, terkadang masuk di bawah kekuasaan Irak, namun terkadang masuk di bawah kekuasaan Syam sesuai dengan kepentingan masing-masing. Hal itu disebabkan karena Jazirah Arab saat itu tidak memiliki pemerintahan yang permanen yang bisa memimpin, mengarahkan, dan menyatukan keanekaragaman mereka. Tidak adanya pemerintahan yang permanen dalam kehidupan mereka disebabkan banyak faktor, di antaranya adalah kehidupan mereka yang bersifat kesukuan, persaingan antar suku, dan senang memamerkan kekuatan satu sama lain, sehingga siapa kuat dia menang dan pada akhirnya timbul dendam yang berkepanjangan. Meskipun demikian, beberapa kabilah yang berada di sekitar Hijaz354 memiliki sebuah pemerintahan kecil, yang dikenal dengan pemerintahan Quraisy.355 Pemerintahan ini berfungsi untuk mengatur pemeliharaan Masjid al-Haram, menjaga berhala dan patung mereka, mengatur ibadah haji, serta menjaga Baitullah. Hanya saja pemerintahan ini tidak terlalu

353 Yûsuf Khalîf, Dirâsât fi al-Syi`r al-Jâhili, (tp: Maktabah Gharîb, tth), hal. 9 354 Hijaz ditempati oleh beberapa kabilah Arab, di Madinah ditempati oleh Kabilah Arab dari suku Aus dan Khazraj, sedangkan di Mekah oleh suku Quraisy, di Thaif oleh suku Tsaqif, sedangkan suku Hudzail menempati bukit-bukit di sebelah selatan kota Mekah. Suku Hudzail ini terkenal dengan syair-syairnya yang halus. Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 6 355 Pemerintahan ini secara resmi dimulai sekitar akhir abad ke-4 Masehi atau awal abad ke-5 Masehi. Qushay ibn Kilâb adalah orang pertama dari kabilah Quraisy yang secara resmi menjadi pemimpin yang ditaati oleh penduduk Mekah. Di tangannya terletak segala keputusan perang dan pemeliharaan Ka`bah. Kisah lengkap tentang asal mula terjadinya pemerintahan ini, lihat Jurji Zaedân, al- `Arab Qabla al-Islâm, (ttp: Dâr al-Hilâl, tth), hal. 277

116 kuat untuk dapat mempengaruhi kehidupan bangsa Arab. Bahkan ketidakberdayaannya tersebut tampak nyata pada saat kerajaan Habasyah bermaksud menyerang dan menghancurkan Ka’bah. Meskipun pada akhirnya peristiwa ini memberi dampak politik yang positif bagi bangsa Arab, sebab dengan adanya kejadian tersebut mereka berbondong-bondong menuju al-Haram demi mempertahankan Ka’bah dari serangan Abrahah. Kekuasaan dalam pemerintahan Quraisy yang berada di Mekah ini terbagi menjadi dua bagian yang pertama bagian yang mengurus masalah keagamaan dan yang kedua bagian yang mengurus urusan umum (duniawi).356 Adapun aspek perekonomian, Arab badawi (nomaden) sangat bergantung pada pemeliharaan unta, selain dari mengandalkan hasil perang, berburu, dan mengawal kafilah (rombongan pedagang). Sedangkan penduduk badawi perkotaan, mata pencaharian mereka lebih luas lagi, karena pada dasarnya mereka telah mengenal tiga prinsip dasar ekonomi, yakni: perdagangan (tijârah), pertanian (zirâ’ah) dan industri/profesi keahlian (shinâah). Di Mekah sendiri terdapat beberapa pasar yang biasa diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu. Pasar tersebut biasa digunakan untuk transaksi jual beli dan demonstrasi puisi. Pasar terbesar adalah Pasar ‘Ukâzh357, Daumat al- Jandal, Dzû Majâz, dan al-Majnah. Di pasar-pasar tersebut bangsa Arab Hirah biasanya bertransaksi dengan pedagang Persia atau menawarkan jasa untuk menjadi pengawal kafilah dalam menghadapi kerasnya gurun pasir.358 Pertanian juga merupakan andalan sebagian penduduk Arab perkotaan bagian utara seperti, Thaif, Yatsrib, Khaibar, Wadi al-Qura, dan Tîma’. Adapun profesi keahlian, penduduk badawi sangat minim dan terbatas, bahkan menurut Ibnu Khaldun mereka adalah bangsa yang sangat jauh dari hal-hal seperti itu. Namun meskipun

356 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, , hal. 26 357 Pasar Ukazh selain digunakan sebagai tempat transaksi jual beli, ia juga berfungsi sebagai tempat untuk berorasi dan mendeklamasikan puisi. Tempat ini adalah tempat pertemuan para pembesar Arab dalam membicarakan berbagai persoalan mereka. Tidak jauh dari pasar Ukazh terdapat pasar Dzu al-Majâz. Muhammad Ridla Marwah, Umru al-Qais al-Malik al-Dlillil, hal. 13 358 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 21

117 demikian mereka telah mengenal pandai besi, seni pahat, menjahit dan pandai emas. Hal itu bisa ditemui di beberapa lokasi yang ramai seperti Mekah, Yatsrib dan Thaif.359 Dengan demikian maka bisa dipastikan bahwa kondisi perekonomian dan peradaban penduduk Arab Utara secara global tidak sama dengan penduduk Arab Selatan (Yaman). Faktor penyebabnya adalah tingkat kemakmuran yang sangat berbeda antara keduanya. Untuk itu, masyarakat Arab Badawi berusaha mengatasi dengan jalan perang, merampas, menawan, dan memelihara unta dengan sebaik mungkin. Karena unta bagi penduduk Arab Badawi adalah problem solver yang membantu menyelesaikan setiap persoalan, seperti digunakan sebagai alat transportasi, dikonsumsi daging dan susunya, bulunya digunakan untuk membuat pakaian dan membangun kemah-kemah, menebus tawanan, transaksi jual beli, sebagai mahar perkawinan, membayar diyat serta untuk membayar utang.360 Kondisi seperti itu mengharuskan mereka untuk selalu membangun perkemahan-perkemahan sebagai tempat tinggal sementara yang selalu mereka bawa setiap berpindah tempat. Kemah-kemah tersebut biasanya terbuat dari bulu unta dan kambing. Dalam syair Jahiliyah, tema tentang kemah menjadi topik yang banyak dibicarakan, seperti pada saat mereka menangisi bakas-bekas yang mereka tinggalkan atau puing-puing yang memberikan mereka kenangan.361 Selain itu, menurut Ahmad Hasan al-Zayyât, kondisi alam yang kering dan jarang tersentuh hujan turut membentuk gaya hidup, karakter serta sistem sosial bangsa Arab yang keras, dan menjadikan sebagian dari mereka menjadi masyarakat badawi hidup di bawah kemah-kemah dan berpindah-pindah. Permusuhan dan peperangan yang terjadi antar kabilah menjadikan mereka tidak memiliki sistem pemerintahan, sosial, politik, kekuatan militer, maupun falsafah hidup dan agama. Siapa yang kuat dialah

359 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 21-22 360 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 22 361 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24

118 yang menang, dan perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, dianggap tidak berguna dalam kehidupan keras yang mereka jalani. 362 Karena mereka selalu berpindah-pindah tempat, maka unta merupakan tonggak kehidupan bangsa Arab Badawi, baik sebagai kendaraan maupun untuk dikonsumsi susunya. Mereka dalam istilah sosiologi termasuk dalam kategori masyarakat pastoral, yaitu masyarakat yang menggembala sekawanan binatang ternak.363 Unta termasuk binatang yang paling tahan haus dan lapar, untuk itu dibandingkan binatang lainnya, unta memiliki makna tersendiri bagi bangsa Arab, karena selain digunakan sebagai kendaraan, unta juga digunakan untuk aktivitas kehidupan mereka sehari-hari lainnya, seperti untuk menebus tawanan, membayar diyat dalam kasus pembunuhan, dijadikan sebagai mahar perkawinan, dan lain sebagainnya. Untuk itu bangsa Arab dalam syair- syairnya juga banyak berbicara tentang unta, perjalanan bersamanya, menggembalakannya, atau juga tentang kesetiaannya. Selain unta mereka juga memiliki kuda, hanya saja hewan ini jarang dimiliki karena termasuk kendaraan mewah yang mungkin hanya bisa dimiliki oleh kaum bangsawan saja. Untuk itu wacana tentang kuda tidak banyak didapati dalam bahasa dan sastra Arab, seperti halnya wacana unta.364 Masyarakat pastoral biasanya tetap hidup secara nomadik, sementara masyarakat holtikultural menjalani kehidupannya dengan cara menetap.365 Baik kelompok semi hadlari maupun nomad, keduannya menganut sistem sosial politik yang sama yaitu, sistem kabilah. Kabilah adalah kelompok atau unit yang dibentuk berdasarkan sistem sosial masyarakat Arab. Kabilah merupakan keluarga besar

362 Ahmad Hasan al-Zayyat, Târikh al-Adab al-‘Arabî, (Kairo: Dâr al-Nahdhah, tth), cet. 25, hal. 8-9. `Abd al-Rahmân ibn Ibrâhîm Al-Dabbâsi, al-Syi`r fi Hâdlirat al-Yamâmah hattâ Nihâyat al-`Ashr al- Umawi, (Riyâdl: Maktabah al-Malik `Abd al-`Azîz, 1416), hal. 194 363 Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Press, 2006), cet. 1, hal. 39 364 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 25 365 Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Press, 2006), cet. 1, hal. 117

119 yang meyakini bahwa mereka berasal dari ayah dan ibu yang sama.366 Biasanya kabilah diberi nama dengan nama ayah seperti Rabî`ah, Mudhar, Aus, dan Khazraj. Mereka adalah nama-nama laki-laki yang dari mereka muncul generasi-generasi baru sebagai keturunan untuk kemudian dinasabkan kepadanya, dan hanya sedikit kabilah yang dinasabkan pada ibu seperti kabilah Khindaf dan Bajilah. Terkadang nama kabilah juga diambil dari suatu kejadian tertentu. Sebagai contoh, kabilah yang menetap dekat sumur air bernama Ghassan, ia dipanggil dengan kabilah Ghassan. Akan tetapi secara mayoritas mereka menasabkan kabilahnya pada ayah.367 Terkadang pemimpin kabilah memiliki banyak anak, sehingga kemudian muncul darinya kabilah-kabilah baru dengan nama lain namun tetap dinasabkan padanya. Kemudian antara kabilah inti dan kabilah cabangnya tersebut terjalin hubungan kekerabatan yang erat. Adapun faktor yang menjadikan terbentuknya nama baru dalam kabilah adalah popularitas yang dimiliki bapak dari cabang tersebut, baik karena kepemimpinannya, keberaniannya, ataupun karena banyak melahirkan anak.368 Di dalam kabilah itu sendiri terdiri dari beberapa stratifikasi369, pertama; abnâ al-qabîlah, yaitu anggota kabilah yang memiliki ikatan darah dan keturunan. Kelompok ini merupakan ujung tonggak suatu kabilah. Kedua, Al-`abîd, yaitu hamba sahaya yang biasanya sengaja didatangkan dari negeri tetangga terutama dari Habasyah. Kelompok ketiga, al-mawâli370, yaitu hamba sahaya yang sudah dimerdekakan, termasuk dalam

366 Dalam ilmu sosiologi pola hubungan antar masyarakat seperti ini disebut dengan kinship (kekerabatan) yaitu ikatan sosial di antara individu yang terbentuk karena adanya hubungan perkawinan atau karena adanya pertalian darah melalui garis keturunan. 367 Berdasarkan hal itu maka bangsa Arab Jahili pada dasarnya merupakan sebuah bangsa penganut patrialkal murni yaitu sebuah keyakinan bahwa suami atau anak laki-laki tertua adalah penentu kebijakan keluarga 368 Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11 369 Stratifikasi sosial adalah tingkatan kedudukan sosial dalam masyarakat yang ditentukan oleh perbedaan privilege/property (kekayaan), pertige (kehormatan), dan power (kekuasaan). Sistem stratifikasi seperti ini hampir sama dengan sistem stratifikasi kasta yang bersifat tertutup dan berdasarkan prestise. Stratifikasi tertutup biasanya membuat sebagian golongan kehilangan hak-hak politik, ekonomi, pendidikan dan lainnya, seperti halnya yang terjadi pada minoritas kulit putih yang berkuasa karena prestise rasial, di sisi lain mayoritas kulit hitam kehilangan hak-hak politik, ekonomi, dan pendidikan. Sistem seperti ini dikenal dengan istilah apartheid. Lih. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Press, 2006), cet. 1, hal. 117 370 Mawâlî adalah bentuk jamak dari maulâ. Istilah ini memiliki banyak pengertian, di antaranya: sayyid (tuan) lawan dari `abd (hamba sahaya), mu`tiq (orang yang memerdekakan), mu`taq

120 kategori ini al-khulâ`a yaitu orang-orang yang dikeluarkan dari kabilah karena melanggar norma-norma kabilah, seperti kelompok Sha`âlik yang sangat terkenal.371 Untuk itu, mawâlî secara status sosial berbeda dengan budak dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Golongan ini tetap dianggap sebagai manusia meredeka, hanya saja mereka dibebani beberapa kewajiban kepada pelindungnya. Dalam struktur sosial bangsa Arab Jahiliyah, kelompok mawâlî hanya berada setingkat di atas budak, dan tetap dianggap rendah statusnya di dalam masyarakat. Untuk itu mereka tidak diperkenankan untuk mengawini keluarga pelindungnya.372 Di dalam kabilah terdapat seorang tetua (syaikh) yang diangkat sebagai pemimpin kabilah. Ia bertanggungjawab dalam menyelesaikan setiap perbedaan atau pertikaian yang terjadi dengan berdasarkan kepada adat dan tradisi yang dibuat kabilah. Pemimpin diangkat berdasarkan kemuliaan dan rasa hormat dari anggota kelompok. Sedikit sekali yang dibangun dengan berdasarkan pemaksaan dan penindasan. Oleh karena itu sikap berpura-pura para pemimpin lebih banyak dibanding sikap berpura- pura anggota terhadap para pemimpinnya. Dalam bingkai sistem seperti ini, kebebasan individu terhadap sistem kepemimpinan menjadi lebih leluasa. Selain ketua, terdapat hakim-hakim agung dari kaum pria yang memiliki kecerdasan dan kecermatan. Terkadang mereka juga dihadapkan pada persoalan pertikaian di dunia sastra, seperti saling membanggakan keturunan dan lain sebagainya.373

(orang yang dimerdekakan), dan masih banyak lagi. Akan tetapi makna yang paling terkenal adalah orang yang memerdekakan budak (mu`tiq) dan budak yang telah dimerdekakan (mu`taq). Berkaitan dengan situasi politik, pada masa Abbasiyah istilah ini dimaknai berbeda, yaitu golongan umat Islam yang berasal dari non Arab terutama dari Persia, Armenia, dan lain sebagainya yang pada masa Bani Umayah dianggap sebagai warga kelas dua. Al-Munjid, hal. 919. `Abd al-Rahmân ibn Ibrâhîm Al-Dabbâsi, al- Syi`r fi Hâdlirat al-Yamâmah hattâ Nihâyat al-`Ashr al-Umawi, (Riyâdl: Maktabah al-Malik `Abd al- `Azîz, 1416), H, hal. 64. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 46 371 Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, (tp: Dâr al-Ma’ârif, 1965), cet. 2, hal. 67. lih. Juga Muhammad Ridla Marwah, Amru al-Qais al-Malik al-Dlillil, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 9 372 Rueben Levy, The social Structure of Islam, (New York: Cambridge University Press, 1979), hal. 59. Dikutip oleh Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 115 373 Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11

121 Setiap kabilah mempunyai penyair tersendiri yang secara khusus mendendangkan puji-puijian untuk kabilahnya serta menginformasikan sifat-sifat dan kebaikan yang dimiliki kabilahnya. Dan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa hubungan yang terjadi di antara mereka adalah hubungan darah, oleh karena itu mereka sangat fanatik terhadap kabilah masing-masing, untuk itu mereka selalu memuji dan membanggakannya serta menyebarkan berbagai kebaikan yang mereka miliki. Setiap anggota kabilah wajib menjaga anggota kabilah lainnya, dan mempertahankannya, serta berhak menuntut dengan darahnya. Mereka juga berhak meminta perlindungan terhadap kabilahnya di saat mengahadapi marabahaya dan kesulitan. Terkadang di antara anggota kabilah didapati seseorang yang banyak melakukan kesalahan (dosa-dosa), sehingga menimbulkan berbagai persoalan bagi kabilahnya. Untuk anggota seperti itu, kabilah segera mengambil tindakan dengan tidak mengakui lagi sebagai anggota. Anggota kabilah yang mendapat sangsi seperti itu disebut dengan ‘al-khalî’, atau yang terbuang. Terkadang orang seperti ini meminta perlindungan kepada kabilah lain, sehingga dinamakan dengan ‘halîf (yang bersekutu) atau ‘maulâ’ (sekutu).374 Bila hubungan di dalam kabilah adalah hubungan darah, maka hubungan yang terjadi antar kabilah biasanya hubungan permusuhan. Kemungkinan yang terjadi antara kabilah tersebut hanya dua, menyerang atau diserang, kecuali kabilah-kabilah yang mengadakan perjanjian dan kesepakatan perdamaian. Oleh karena itu kisah peperangan antar kabilah ini menyita sebagian besar sejarah bangsa Arab, sehingga diriwayatkan bahwasanya Duraid ibn al-Shamah berusia hingga seratus tahun dan ia mengalami peperangan sebanyak seratus kali pula. Oleh karena itu pula tema-tema tentang perang, kemenangan, penyerangan, dan lain sebagainya, mendominasi sebagian besar syair- syair Jahiliyah. Oleh karena itu pula, untuk memahami syair dan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi pada masa Arab Jahiliyah seseorang harus memahami benar

374 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11-12

122 kabilah-kabilah yang ada di wilayah Arab, termasuk semua bentuk permusuhan dan perjanjian perdamaian antar mereka.375 Perang bagi bangsa Arab Jahiliyah adalah tradisi. Tiada hari tanpa perang antar kabilah. Tercatat dalam sejarah mereka bermacam-macam perang yang dipicu oleh berbagai faktor, seperti perang Basûs376, Dâhis wa al-Ghabrâ’377, dan Fijar378. Untuk itu, sebelum datangnya Islam, perang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Arab Jahiliyah. Diriwayatkan bahwa, Duraid yang berumur hingga seratus tahun menyatakan bahwa ia ikut berperang sebanyak hampir seratus kali pula. Perang telah menyita

375 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 12 376 Perang Basus adalah salah satu perang paling terkenal yang pernah terjadi di Zaman Jahiliyah di dalam Kabilah Rabi’ah. Perang ini terjadi antara Kabilah Bakr dan Taghlib, dua kabilah besar dalam rumpun Rabi’ah. Perang ini berlangsung hampir empat puluh tahun lamanya pada akhir abad ke-5 Masehi. Adapun faktor penyebab perang ini, diceritakan bahwa Kulaib ibn Rabi’ah pemuka Bani Taghlib karena kebesarannya, ia memiliki sebuah tempat terlarang (himâ) yang disebut dengan al-‘Âliyah yang tidak boleh diinjak tanpa seijinnya. Tidak seorang pun diperbolehkan minum dari ontanya dan tidak boleh menyalakan api dari apinya. Kulaib menikahi seorang perempuan dari Bani Syaibân salah seorang keturunan Bâkr. Basûs bibi dari Jassas ibn Murrah al-Syaibâni memiliki seekor onta yang diberi nama Sarâbi. Pada suatu ketika Kulaib ibn Wâ’il melihat onta tersebut berada di himânya dan menghancurkan telur burung merpati yang telah ia selamatkan. Lalu ia pun melepaskan anak panahnya tepat di susu onta tersebut. Pada saat Jassas melihat kejadian tersebut, ia meloncat dan membunuh Kulaib. Semenjak itu perang antara kedua kabilah tersebut terus berkecamuk, sehingga menjadi legenda dalam sejarah bangsa Arab dan peristiwa tersebut dijadikan sebuah perumpamaan. Keterangan lengkap mengenai sejarah perang Basus, lih. Yusuf Khalif, Dirâsat fi al-syi’r al-Jâhili, (Kairo: Maktabah Gharib, 1981), hal. 200- 202, atau lih. Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 22 377 Perang Dâhis wa al- Ghabrâ’ adalah peristiwa peperangan yang terjadi dalam kabilah Mudlar, yaitu antara Bani ‘Abas dan Dzubyân. Faktor penyebabnya adalah Qais ibn Zuhair bertaruh dengan Hudzaifah ibn Badr al-Fazari dalam sebuah perlombaan semacam pacuan kuda. Al-Fazari melepaskan kudanya yang bernama al- Ghabrâ’, sedangkan al-‘Absi melepaskan kudanya yang bernama Dâhis. Pada pertandingan tersebut, Dahis seharusnya memenangkan perlombaan, kalau saja bukan karena jebakan yang dipasang oleh Bani Fazarah sebelum mencapai garis finis. Masing-masing pihak akhirnya mengaku sebagai pemenang, dan sejak itu peperangan antar dua kabilah mulai berlangsung hingga 40 tahun lamanya. Perang ini diabadikan oleh Zuhair ibn Abi Sulma dalam syair Mu`allaqatnya. Salah seorang pahlawan yang terkenal dalam peperangan ini adalah `Antarah ibn Syaddad al-`Abbasi yang syairnya dibahas dalam kajian ini. Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 22-23, atau Yusuf Khalif, Dirâsat fi al-syi’r al-Jâhili, (Kairo: Maktabah Gharib, 1981), hal. 203. Lois dan Ferdinand, Al- Munjid fi al-A`lâm, hal. 237 378 Selain perang Dâhis wa al- Ghabrâ’, perang lainnya yang terjadi di dalam kabilah Mudlar adalah perang Fijâr. Perang ini terjadi antara suku Quraisy dengan Kinanah yang terjadi menjelang lahirnya Islam. Perang ini terjadi selama empat kali, pertama disebabkan oleh peristiwa saling membangga-banggakan diri antara keduanya di Pasar Ukazh. Kedua terjadi akibat seorang pemudi Quraisy menyindir perempuan lain dari Bani ‘Âmir ibn Sha’sha’ah di Pasar Ukazh. Penyebab ketiga masih di Pasar Ukzh, seseorang menagih hutang dengan disertai hinaan. Penyebab terakhir yaitu bahwa Urwah al-Rahhal (orang yang biasa bepergian), menjamin barang dagangan al-Nu’man ibn al-Mundzir tiba di Pasar Ukazh dengan selamat, namun pada kenyataannya di jalan ia dibunuh oleh al-Barâdl. Al- Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 24

123 separuh dari hidupnya. Setiap tahun ia ikut berperang sebanyak dua kali.379 Namun demikian, dalam bulan-bulan tertentu yang dianggap suci mereka menghentikan peperangan, meski terkadang kesepakatan ini mereka langgar sendiri.380 Untuk itu, menurut Philip K. Hitti, salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran agama Islam adalah apa yang dikenal dengan sebutan Ayyâm al-Arab (catatan perang bangsa Arab). Ayyâm al-Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang-orang Badui yang biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jati diri dan watak sosial. Berkat ayyâm al-Arab itulah pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka.381 Tidak adanya stabilitas kehidupan, ketentraman dan keamanan yang selalu mengancam, kesulitan dan kekurangan yang mengintai, serta rintangan dan tantangan yang selalu mereka hadapi, maka demi mempertahankan eksistensi kehidupannya, bangsa Arab Badawi hidup dengan cara saling menyerang dan merampas. Hubungan yang terjadi antar kabilah adalah hubungan permusuhan dan peperangan, meskipun terkadang ada angin segar yang menghembuskan perdamaian, sebagaimana terdapat dalam mu’alaqahnya syair Zuhair ibnu Abi Sulma. Oleh karena itu syair-syair yang mereka gubah biasanya tidak terlepas dari gambaran-gambaran peristiwa yang terjadi antar mereka, seperti menuntut balas, bangga karena menang, memberi julukan pada senjata-senjata yang digunakan perang, seperti panah, baju besi, dan pedang. Pola hidup yang seperti ini sangat mempengaruhi karakteristik mereka dan membuat mereka bangga dengan watak-watak peperangan, seperti kekuatan, keberanian, menepati janji, dan menjaga harga diri. Hal itu juga menjadikan sebagian dari mereka hobi berburu.382

379 Sebagaimana dikutip oleh K. Hitti dari Charles James Lyall, Ancient Arabian Poetry, (London: William & Norgate, 1985), hal. xxii 380 Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradition, (Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors SDN. BHD, 1982), hal. 7 381 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 110 382 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 25

124 Adanya masyarakat hadlari dan badawi dalam sistem sosial bangsa Arab Utara (Hijaz), serta stratifikasi sosial dalam kabilah, juga tradisi perang yang mereka anut, memegang peranan penting terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa Arab Jahiliyah, termasuk cara pandang mereka terhadap kaum perempuan.

B. Penyair Badawi: Sha`âlîk dan Ghair Sha`âlîk Secara mayoritas, penyair badawi berasal dari kelompok ghair Sha’âlîk, karena kelompok ini pada dasarnya adalah komunitas inti dari bangsa Arab Jahiliyah. Sedangkan komunitas Sha’âlîk, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hanyalah komunitas kecil yang merupakan sempalan dari al-khulâ`â’ yaitu orang-orang yang tersingkir dari kabilah inti, dan menjadi kaum pinggiran. Namun untuk memudahkan pembahasan, penulis terlebih dahulu meletakkan penyair Sha’âlîk sebelum ghair Sha’âlîk. 1. Penyair Sha’âlîk Secara terminologi kata Sha’lakah berarti fakir atau kondisi di bawah garis kemiskinan. Sha’lûk (singular) atau Sha’âlîk (plural) dalam Lisân al-Arab diartikan sebagai orang-orang fakir yang tidak memiliki harta benda.383 Dalam sejarah sastra Arab kata Sha’âlîk bukan semata-mata diartikan sebagai orang-orang fakir, namun di samping itu ia juga memiliki makna tambahan yaitu orang-orang yang fakir namun memiliki keberanian dan kekuatan yang luar biasa serta perasaan dan fikiran yang sangat sensitif yang timbul karena faktor perbedaan antara kehidupan mereka yang sangat miskin di satu sisi dengan orang-orang kaya di sisi lain. Hal inilah yang kemudian menjadikan mereka berada dalam perasaan sakit dan teraniaya yang tumbuh karena ketiadaan harta benda dan tidak mampu memperoleh kehidupan yang mereka impikan.384

383 al-tasha`luk diartikan dengan al-faqr (kefakiran). Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, materi -dikutip oleh Yûsuf Khalîf, al-Syu`arâ al-Sha`âlîk fi al-`Ashr al-Jâhili, (Mesir: Dâr al ,صعلك pembahasan Ma`ârif, tth), cet. 2, hal. 21 384 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, (Beirut: Dâr al- Kutub al-Ilmiyah, 1412 H/1992 M), cet. 1, hal. 34 . Fenomena kehidupan Sha`âlîk pada bangsa Arab, sebenarnya tidak hanya terjadi pada masa Jahiliyah saja, namun masih berlangsung hingga masa Bani Umayyah. Demikian halnya pada dunia sastranya yang tetap eksis meski tidak sepopuler pada masa

125 Kondisi ini memotivasi mereka untuk melakukan sebuah revolusi ekonomi dengan cara merampas yang sebenarnya mereka haramkan. Mereka adalah penguasa padang pasir, berlalu lalang untuk merampas dan merampok kabilah dagang yang melewati jalan tersebut. Sebuah kehidupan yang sangat keras, namun bukan berarti mereka sama sekali tidak memiliki sisi kemanusiaan. Tercatat dalam sejarah maupun syair, bahwa mereka selain memiliki sisi negatif, juga memiliki banyak sisi positif. Dalam buku Dîwan Urwah ibn al-Ward disebutkan bahwa ada beberapa hal yang menjadi karakteristik dari kelompok Sha’âlîk, yaitu: pertama bahwa mereka sangat membenci orang-orang kaya namun kikir. Orang-orang seperti inilah yang menjadi target serangan dan rampasan mereka, sedangkan orang-orang yang kaya namun dermawan, mereka tidak mau mendekati harta bendanya. Cerita ini sangat mirip dengan Robinhood dan Zorro yang merampok demi rakyat miskin dan keadilan. Kedua menjadikan keadilan sebagai landasan mereka dalam membagikan hasil rampasan perang, karena mereka tidak membeda-bedakan pembagian hasil rampasan antara satu dengan yang lainnya, bahkan seorang pemimpin pun memperoleh bagian yang sama. Sebagai contoh pada saat ‘Urwah dan kelompoknya menyerang dan memperoleh ghanîmah (rampasan perang) yang sangat banyak, di antara ghanîmah tersebut terdapat seorang perempuan, lalu Urwah menentukan perempuan tersebut untuk dirinya dan menentukan harganya sendiri, lalu kelompoknya menolak dan berkata: Kami tentukan harga perempuan tersebut seharga satu ekor unta, dan masing-masing dari kita bebas untuk memilikinya bila menginginkannya. Ketiga, memiliki kepedulian sosial yang sangat tinggi, karena itu hasil rampasan yang mereka peroleh selalu ada bagian untuk orang-orang miskin di sekitarnya. Keempat, mereka tidak menganggap perbuatan mereka sebagai sebuah aib namun sebaliknya mereka menganggapnya sebagai sebuah kebanggaan, sikap ksatria, hukuman bagi orang-orang yang kikir, pemaksaan sosial, dan solidaritas sosial.385

Jahiliyah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad `Arafah al-Magribi, Dirâsât fi al-Adab al- Umawîwa al-`Abbâsî, (Kairo: Mathba`ah al-Husein al-Islâmiyah, tth), hal. 81 385 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, hal. 39-40

126 Dari gambaran tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan syair Sha’âlîk adalah syair Jahiliyah yang lahir dari para penyair Sha’âlîk. Menurut penulis buku Dîwan Urwah ibn al-Ward, ada beberapa karakteristik yang tercermin dari syair Sha’âlîk yang sekaligus mencerminkan pribadi dan kehidupan mereka. Dari segi isi misalnya, syair Sha’âlîk adalah gambaran tingkah laku, sikap, kepribadian, serta ambisi komunitas Sha’âlîk, di samping gambaran aspek-aspek psikologis yang mereka rasakan. Selain itu, syair mereka juga menggambarkan realitas kehidupan baik pekerjaan maupun perbuatan yang mereka jalani. Syair mereka juga terkenal dengan tema tunggal, atau kesatuan tema. Di dalamnya tidak terdapat muqadimah (pendahuluan syair), seperti ghazal (rayuan), bukâ’ al-athlal (menangisi puing-puing kenangan), washaf li al-rahîl (menggambarkan orang yang sedang bepergian), dan lainnya. Mayoritas syair Sha’âlîk berbentuk maqtha`ât (penggalan- penggalan), bukan qashîdah (rangkaian syair). Hal ini memberi gambaran tentang kehidupan mereka yang tidak suka bertele-tele, namun lugas sesuai sasaran. Mayoritas syair yang berbicara tentang perempuan, adalah pembicaraan suami terhadap istrinya.386 Beberapa penyair Sha’âlîk yang sangat terkenal adalah Urwah ibn al-Warad dikenal sebagai Amîr al-Sha’âlîk atau pemimpin kaum Sha’âlîk sekaligus seorang prajurit perang, Ta’abbath Syarran, dan Syanfara. `Urwah ibn al-Warad ibn Zaid (menurut sebagian ibn ‘Amr ibn Zaid) ibn `Abdillah ibn Nâsyib ibn Hurrayim ibn Ludaim ibn ‘Ûdz ibn Ghâlib ibn Quthai`ah ibn `Abas. Nasabnya berakhir pada kabilah ‘Abas, sebuah kabilah yang sangat terkenal saat itu.387 Berdasarkan hal tersebut, maka tampak jelas bahwa ia sesungguhnya berasal dari sebuah kabilah yang sangat terhormat, akan tetapi ayahnya mengalami nasib naas karena dianggap sebagai pemicu perang antara kabilahnya dengan kabilah Fazârah karena mengadakan taruhan dengan Hudzaifah.388 Sedangkan mengenai ibunya, tidak banyak informasi yang dapat digali kecuali sebagaimana yang Urwah sebutkan dalam

386 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Warad; Amîr al-Shâ’alîk, hal., 40-41 387 Bani `Abas adalah kabilah yang sangat terkenal yang juga kabilah dari `Antarah ibn Syaddad al-`Abbasi. 388 Yusûf Khalîf, al-Syu`arâ’ al-Sha`âlîk fi al-`Ashr al-Jâhili, (Mesir: Dâr al-Ma`ârif, tth), cet. 2, hal. 322, dari Abu al-Faraj al-Ishfahâni, al-Aghânî, jilid 3, hal. 88

127 syairnya bahwa ia berasal dari kabilah Nahd garis keturunan Qudlâ`ah. Namun suatu hal yang menarik perhatian adalah kebencian Urwah terhadap hubungan keluarga antara ayah dan ibunya, bahkan ia banyak mencerca saudara-saudaranya dengan pedas, hal ini mungkin disebabkan karena ibunya berasal dari kabilah Nahd yang kedudukannya lebih rendah dari kabilah ayahnya `Abas atau mungkin juga karena ada alasan lain. Dengan demikian, secara psikologis Urwah ibn al-Warad tumbuh di antara perasaan benci dan marah, sebab ayahnya adalah penyebab ia dikeluarkan dari kabilahnya, sedangkan ibunya berasal dari kabilah yang kurang terhormat.389 Dari hal tersebut, Urwah sepertinya mengambil pelajaran bahwa siapa berkuasa ia akan dihormati, dan siapa yang lemah, maka akan menjadi hina. Selain kedua hal tersebut, hal lain yang mempengaruhi cara pandang Urwah adalah perlakuan ayahnya yang lebih menghargai kakaknya yang kaya, tanpa peduli pada dirinya yang miskin. Kondisi ini kemudian mempengaruhi cara pandangnya terhadap kehidupan, di mana masyarakat ternyata terbiasa menghargai orang karena kekayaannya, dan di sisi lain masyarakat juga mengganggap hina orang karena kemiskinannya. Hal ini kemudian menjadi landasan dirinya sebagai seorang Sha`âlîk yang sangat mengagungkan keadilan.390 Dalam syair-syairnya, Urwah tidak banyak berbicara tentang kehidupan rumah tangganya maupun perempuan-perempuan di sekitarnya. Menurut penulis Diwan `Urwah ibn al-Warad, hal ini disebabkan karena `Urwah lebih banyak mencurahkan hidupnya untuk kelompoknya Sha’âlîk. Ta’abbath Syarran adalah Tsabit ibn Jabir al-Fahmi. Fahm adalah salah satu kabilah keturunan Qais ‘Aylan al-Mudlariyah. Banyak mitos seputar kehidupannya, namun yang pasti ia adalah seorang Arab Badawi dari kelompok Sha’âlîk yang sangat terkenal karena sifat-sifat antagonisnya. Ia satu dari sekian perampok Sha’âlîk yang paling licin, kejam, bengis dan sangat berbahaya yang terkenal dengan permusuhan- permusuhannya. Ta’abbath Syarran sendiri adalah nama julukan yang diberikan oleh

389 Yusûf Khalîf, al-Syu`arâ’ al-Sha`âlîk fi al-`Ashr al-Jâhili, hal. 322 390 Keterangan lengkap mengenai kehidupan Urwah ibn al-Warad, lihat Yusûf Khalîf, al- Syu`arâ’ al-Sha`âlîk fi al-`Ashr al-Jâhili, hal. 322-330

128 kelompoknya. Diceritakan bahwa pada suatu hari seseorang menanyakan keberadaan Ta’abbath Syarran pada ibunya, lalu si ibu menjawab, bahwa ia tidak tahu, namun ia menyatakan bahwa anaknya sedang menjalankan kejahatan yang dalam bahasa Arab ta’abbath syarran391. Setelah pernyataan ibunya tersebut, berdasarkan riwayat, ia mulai dipanggil dengan nama tersebut. Tabbath Syarran mati terbunuh di wilayah Hudzail dan jasadnya dibuang ke dalam sebuah gua.392 Syair-syair Tabbath Syarran tersebar dalam buku-buku sastra. Sebagian besar syair-syairnya menerangkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan dirinya dan kehidupannya yang keras. Selain menggambarkan kehidupannya yang keras, dari balik syair-syairnya juga terungkap sisi lain kepribadian seorang Sha’âlîk. Sebagaimana penyair-penyair Sha`âlîk lainnya, di balik kehidupan badawi yang keras, kejam, tanpa aturan, dan penuh dengan kesulitan, terlihat kepriadian lain yang menonjol dan menjadi karakter tersendiri bagi kelompok Sha’âlîk. Ta’abbath Syarran adalah seorang Sha’âlîk yang sangat terkenal dengan kemandiriannya, tidak ada yang menemaninya selain sebuah pedang yang tumpul (al-yamâni al-âfil), ia adalah seorang laki-laki yang kuat yang memadukan antara keberanian dan kecerdasan. Di samping itu, ia juga seorang laki-laki yang bijaksana, dermawan dan suka menolong kaum yang lemah. Itulah gambaran singkat tentang seorang putra asli Arab Jahiliyah.393 Contoh syairnya : إِذا المر ُء لم يَ ْحتَ ْل وقد جدّ جدّه أضاع وقاسى أمره و ْهو مدبر Bila seseorang tidak pandai (mengurus suatu masalah) namun ia meminta bagian, sesungguhnya dia telah menghilangkan dan merusak haknya sendiri, dan ia lari (dari tanggung jawab.

ولكن أخو الحزم الذى ليس نازال به ال َخ ْط ُب إالّ و ْهو للقصيد مبصر Namun orang yang bijak adalah orang yang siap menghadapi kesulitan dan tahu apa yang dilakukannya.

391 ta’abbath adalah kata kerja dalam bahasa Arab yang berarti meletakkan sesuatu dalam ketiak, sedangkan syarran berarti kejahatan, sehingga ta’abbath syarran secara bahasa dipahami dengan melakukan kejahatan. 392 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 65 393 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 70- 71

129

فذاك قريع الدهر ما عاش ُح َّو ٌل إذا سدَّ منه َم ْن ِخ ٌر جاش منخر394 Itulah penyakit zaman yang tidak mungkin dilakukan oleh orang yang melek, Jika lobang yang satu ditutup, muncul lobang yang lain. Adapun Syanfara (diperkirakan hidup pada akhir abad ke-5 hingga awal abad ke-6 Masehi). Namanya adalah Tsâbit ibn Aus al-Azadi yang bergelar al-Syanfara395. Hidup sebagai Sha’lûk dan perampok yang ditakuti. Ia tidak memiliki tempat perlindungan kecuali gunung-gunung, menyerang lalu berlindung di baliknya. Diriwayatkan bahwa ia pernah bersumpah untuk membunuh 100 orang laki-laki dari Bani Salâmân. Ia berhasil membunuh sebanyak 99 orang, namun Bani Salâmân kemudian menjebaknya dan berhasil ditangkap oleh salah seorang musuhnya, yaitu Asîd ibn Jâbir yang kemudian membunuhnya. Pada suatu ketika lewat seorang laki-laki dari Bani Salâmân ke tempat itu dan menyepak tengkorak Syanfara. Tiba-tiba salah satu pecahan tulangnya menusuk kakinya, sehingga membuatnya meninggal dunia, maka genaplah 100 orang yang dibunuh olehnya.396 Syanfara adalah salah seorang penyair dari kelompok Sha`âlîk. Syair-syairnya mayoritas berbicara tentang fakhr dan hamâsah. Syairnya yang paling popular, dikenal dengan nama “Lamiyat al-Arab” yang artinya ‘cercaan Arab’. Syair tersebut berbentuk kasidah terdiri dari 68 bait syair. Kehidupan kaum Sha’âlîk sebagai minority group yang selalu memberontak dan melawan kesewenang-wenangan, adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap diskriminasi dan dominasi yang dilakukan oleh majority group yang bersumber dari tidak adanya keadilan (inequality) yang mereka rasakan, sehingga pada akhirnya mereka menentukan sendiri nilai-nilai keadilan dengan cara mereka sendiri. Menurut Christopher Bates Doob dalam bukunya Sociology: An Introduction, ada empat bentuk respon yang biasanya muncul dari kelompok minoritas, pertama avoidance (menghindar), Acceptance (menerima), Assimilation (membaur), dan Aggression

394 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 66 395 Syanfara adalah anak keturunan dari al-Iwâs ibn al-Hijr ibn al-Hanw ibn al-Azad. Yûsuf Khalîf, al-Syu`arâ al-Sha`âlîk fi al-`Ashr al-Jâhili, (Mesir: Dâr al-Ma`ârif, tth), cet. 2, hal. 331 396 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 72

130 (melawan). 397 Pada komunitas Sha’âlîk, respon yang muncul adalah selain avoidance (menghindar), mereka juga melakukan agresi guna menuntut keadilan yang mereka yakini. Itulah beberapa gambaran tentang Sha’âlîk, tokoh maupun falsafah hidup yang mereka anut. Penjelasan tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran tentang cara pandang dan perlakuan komunitas Sha’âlîk terhadap perempuan dalam syair-syair mereka. Tidak banyaknya syair-syair karya Sha`âlîk terutama yang berbicara tentang perempuan, mengharuskan penulis mengambil sampel syair dari semua penyair di atas, meskipun pada dasarnya hanya Urwah ibn al-Warad yang agak banyak berbicara tentang perempuan meskipun tidak sebanyak penyair kelompok lain. Minimnya penyair Sha`âlîk dalam menyebut dan menyinggung nama perempuan dalam syair mereka ini, perlu dikaji secara khusus dalam analisis. 2. Penyair Ghair Sha`âlîk: `Antarah ibn Abi Syaddâd Berdasarkan penjelasan di atas dan juga klasifikasi syair sebelumnya yang membagi penyair Jahiliyah ke dalam enam kategori, yaitu; penyair Badawi yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu Sha’âlîk dan ghair Sha’âlîk, penyair bangsawan, penyair istana atau penyair komersil, penyair filsuf (hikmah), penyair religi (madzhab), dan penyair perempuan, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan syair ghair Sha`âlîk adalah syair-syair yang lahir dari kelompok badawi murni, yang bukan berasal dari kelompok kerajaan, Sha`âlîk, para penyair kerajaan, penyair hikmah, maupun penyair perempuan. Biasanya penyair ghair Sha`âlîk berasal dari abnâ’ al-qabîlah yakni anggota kabilah murni. Tim penulis buku al-Mûjaz fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, menyebutkan sebanyak empat orang penyair Badawi Ghair Sha`âlîk, yaitu; al-Muhalhil398, al-Harits

397 Christopher Bates Doob, Sociology: An Introduction, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1985), hal. 243-245 398 Al-Muhalhil (wafat sekitar tahun 531 M), ia adalah ‘Addi ibn Rabî’ah al-Taghlibi, paman dari Umru al-Qais. Ia dijuluki dengan al-Muhalhil398 karena syair-syairnya dianggap mudah. Selain al- Muhalhil, julukan lain yang diberikan untuknya adalah al-Zir (orang yang lancung dan banyak berbuat maksiat), karena hobinya yang berlebihan bersama perempuan di kedai-kedai minuman. Ia juga terkenal sebagai pahlawan dalam perang Basus yang terjadi antara kabilah Taghlib dan Bakr.

131 ibn Halzah399, Amr ibn Kaltsum400 dan ‘Antarah ibn Syaddad.401 Keempatnya adalah Shâhib al-Mu’allaqât (tokoh syair Mu’allaqat) yang syairnya digantungkan di atas Ka’bah.402 Di antara keempat penyair badawi tersebut, Antarah adalah penyair yang paling terkenal dan memiliki dîwan syair. Antarah403 ibn ‘Amr ibn Syaddâd al-‘Abasi adalah seorang panglima perang dan penyair Arab yang sangat terkenal. Lahir di Najed. Ayahnya, adalah salah seorang tetua Bani Abas404, sedangkan ibunya seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habasyah bernama Zabibah. Karena itu ‘Antarah memiliki kulit hitam legam seperti ibunya, sehingga ia dijuluki dengan “aghrabah al- arab’ (burung Jalak dari Arab). Sebagaimana tradisi Arab, jika ada seorang anak lahir dari budak perempuan, anak tersebut tidak diperkenankan untuk menasabkan dirinya pada ayahnya, kecuali ia telah membuktikan dirinya sebagai seorang laki-laki yang istimewa karena itu ia hidup sebagai anak yang terbuang di tengah-tengah para budak lainnya, menggembala kuda dan unta. Namun jiwanya yang besar menentang keadaan tersebut, ia selalu mendambakan kebebasan dan penghargaan. Lalu ia bergabung dengan pasukan perang, sehingga iapun menjadi seorang panglima perang yang sangat disegani karena keberaniaannya. 405 Dan karena itu, ia akhirnya berhak menjadi seorang manusia yang merdeka dan menjadi abnâ’ al-qabîlah seutuhnya.

399 Harits ibn Halzah al-Yasykuri al-Bakri diperkirakan wafat pada akhir abad ke 6 M. Diriwayatkan bahwa saat ia mendendangkan syair mu’allaqahnya ia berusia 135 tahun. 400 Ia adalah Abu al-Aswad ‘Amr ibn Kaltsum ibn Malik al-Taghlibi. Ibunya Lalila binti al- Muhalhil saudara dari Kulaib. Ia adalah salah seorang panglima perang dan termasuk pemuka kabilah yang disegani. Ia diperkirakan wafat pada tahun 600 M di usianya yang ke-150. 401 Lajnah (tim penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 80 402 Keempat penyair tersebut dapat dilihat dalam Syarah al-Mu’allaqat al-Sab’ yang ditulis oleh Ibn `Abdillah al-Husein al-Zauzani, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1985 M) seperti ia menyebutkan (ة) Sebagian orang menyebutnya dengan Antara tanpa ta marbuthah 403 .lebih valid (ة) dirinya dalam syair, namun mayoritas menyatakan bahwa menggunakan ta marbuthah 404 Bani Abas merupakan salah satu kabilah yang sangat disegani di Jazirah Arab. Di kabilah inilah Antarah dilahirkan dan dibesarkan. Bani Abas adalah saudara dari bani Dzubyan kabilah dari penyair Arab terkenal al-Nabighah al-Dzubyani. Keduanya adalah keturunan dari Bani Ghathfan ibn Sa’ad ibn Qais ‘Ailân. Qais ‘Ailan adalah suku kedua dari kabilah Mudhar yang sangat besar. (Muhammad Ali al-shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ru, (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiya, 1411 H/ 1990 M), hal. 45 405 Lajnah (tim penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 97, lih. Juga Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ruhu, hal.

132 Dalam dunia sastra, Antarah termasuk dalam jajaran penyair Badawi yang sangat terkenal dan disegani. Syair-syairnya banyak berbicara tentang hamâsah (spirit dalam berperang), fakhr, peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan ghazl yang menceritakan penderitaannya dalam bercinta yang sangat halus. Syair-syairnya banyak yang menjadi syair Mu`allaqah. Keberanian dan kepahlawan Antarah telah membawanya ke dalam kemuliaan dan kebesaran yang membebaskannya dari keterhinaan seorang budak. Ia akhirnya memperoleh nasab dari ayahnya dengan nama Antarah ibn Syaddad, bukan ‘Antarah ibn Zabibah. Hal itu bukan berarti ia tidak menghormati ibunya, namun kondisi mengharuskannya demikian, demi kehormatan dan kemuliaan, serta perasaan ingin diakui dan dihargai, sesuai dengan tradisi dan budaya bangsa Arab saat itu yang mengagungkan budaya patrialkhal. Perasaan seperti ini kemudian mendorongnya untuk dapat berbagi kebahagiaan dengan saudara laki-laki seibunya yang bernama Hanbala yang selama ini tidak diakui sebagai manusia merdeka seperti dirinya.406 Meskipun antarah berkulit hitan legam namun hatinya putih seputih kapas. Ada beberapa alasan mengapa Antarah diangkat sebagai sampel dalam kajian ini, yaitu; pertama, bahasanya yang elegan dan natural mencerminkan gaya bahasa badawi murni. Kedua, `Antarah adalah representasi kelas sudra yang berasal dari budak berkulit hitam. Ketiga, ia prajurit sekaligus panglima perang yang sangat dihormati dan disegani kaumnya, meskipun berasal dari keturunan budak hitam. Keempat, ia adalah simbol budak yang kemudian menjadi manusia merdeka. Untuk itu, selain representasi kelas bawah, ia juga representasi kelas menengah, bahkan sebagai penyair kabilah, ia juga dapat dikategorikan sebagai anggota kabilah kelas atas.

C. Citra Perempuan Sha`âlîk Sebagaimana disebutkan pada bab II tentang syair Jahiliyah, bahwa salah satu karakteristik syair Jahiliyah yang paling populer adalah terletak pada mukadimahnya

50, atau Abd. Al-Mun’im Abd. Al-Ra’uf Sulma dan Ibrahim al-Ibyari, Syarh Dîwan Antarah ibn Syaddâd, (Libanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1400 H/1980 M), hal. tha 406 Muhammad Ali al-Shabbâh, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 66

133 yang selalu menyebutkan terlebih dahulu berbagai hal yang ada hubungannya dengan perempuan yang biasa mereka sebut dengan istilah ghazal atau nasîb. Ghazal-ghazal tersebut pada hakikatnya bukan semata-mata berbicara tentang perempuan, namun dijadikan sebagai prolog setiap tema syair, baik dalam duka maupun suka, dalam damai maupun perang. Namun karakteristik tersebut tampaknya tidak berlaku bagi kaum Sha`âlîk, mereka tidak terbiasa menyebutkan perempuan dalam syairnya sebagai prolog, jika pun berbicara tentang perempuan, pada hakekatnya memang sedang berbicara tentang itu. Sebagai kelompok minoritas, bagaimana sesungguhnya kaum Sha`âlîk mamandang dan memperlakukan perempuan, serta peran apakah yang dimainkan para perempuan Sha`âlîk bagi kaumnya? Inilah beberapa citra perempuan Badawi yang tersirat dalam syair-syair Sha`âlîk. 1. Antara tawanan dan kehormatan kabilah ‘Urwah ibn al-Ward salah seorang penyair yang sangat terkenal dari kelompok ini, bercerita dalam syair-syairnya tentang perempuan-perempuan yang ada disekitarnya dan bagaimana ia memperlakukan mereka, sebagai contoh:

بين أسماء وليلى Antara Asma dan Laila

إن تأخذوا أسماء، موق َف ساعة فمأخذُ ليلى، وهى عذراء، أعجب Jika kalian menawan Asma hanya sebentar saja Sesungguhnya menawan Laila yang masih perawan lebih menakjubkan

لبسنا زمانا حسنها وشبابها وردت إلى شعواء، والرأس أشيب Sekian lama kami pakai kecantikan dan masa mudanya Lalu ia kami kembalikan pada keluarganya dengan kepala beruban

كمأخذنا حسنا َء ُكرها، ودمعُها، غداةَ َْ اللوى، مغصوبة ، يتصبب407 Sebagaimana kami menawan Hasna’ dengan paksa, sehingga air matanya

407 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, (Beirut: Dâr al- Kutub al-Ilmiyah, 1412 H/1992 M), cet. 1, hal. 47

134 terpaksa bercucuran sepanjang hari

Syair ini menceritakan tentang sebuah kisah di mana Bani ‘Âmir menawan seorang perempuan dari Bani Abas yang bernama Asma. Asma berada di tangan mereka hanya selama satu hari karena kelompoknya segera dapat membebaskannya. Namun demikian ‘Urwah mendengar bahwa ‘Âmir ibn Thufail membangga-banggakan dirinya atas kejadian tersebut. Cerita tersebut ia dengar langsung dari Asma saat ia ditawan mereka. Untuk menjatuhkan ‘Âmir, Urwah membalasnya dengan menawan Laila binti Sya’wa al-Halaliyah (anak gadis dari Bani ‘Âmir). Lalu muncullah syair tersebut sebagai balasan atas perbuatan Bani Amir.408 Ada dua nama perempuan yang disebutkan dalam syair tersebut, yang pertama Asma dan yang kedua Laila. Secara status sosial kedua perempuan tersebut tidak berbeda keadaannya, yaitu sama-sama menjadi tawanan kabilah yang menang dalam peperangan. Keduanya adalah perempuan yang direnggut kebebasannya demi memuaskan harga diri kaum laki-laki. Tampak sangat jelas dalam syair tersebut, bagaimana seorang laki-laki dengan bangga menceritakan keperkasaannya dalam merampas hak asasi seorang perempuan yaitu hak kemerdekaannya dan memperlakukannya tidak jauh berbeda dengan harta rampasan lainnya seperti hewan, maupun benda lainnya tanpa ada rasa peduli sedikitpun dengan perasaan mereka.409 Hal ini terlihat jelas dari ungkapan penyair, ‘Jika kalian menawan Asma hanya sebentar saja, sesungguhnya menawan Laila yang masih perawan lebih menakjubkan,’. Syair ini, bukanlah sebuah bentuk misogini410 yang ditunjukkan oleh laki-laki terhadap

408 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, hal. 47 409 Safia Iqbal menyebutkan hak-hak asasi manusia yang mutlak harus dimiliki perempuan, seperti hak memperoleh kemerdekaan (Rights to freedom) dalam berbagai aspek, termasuk bebas bekerja di luar rumah, hak memperoleh persamaan (right to equality) antara laki-laki dan perempuan, hak bebas berekspresi (Rights to freedom of expression), baik perasaan, opini, maupun ide, hak memperoleh stabilitas ekonomi (right to economic stability), hak-hak yang bersifat pribadi (right to individuality) seperti hak waris, memiliki, hak-hak sosial (social rights), hak memperoleh rasa aman (right to security), dan hak berpoliti (political rights). Hak-hak ini tentu saja tidak mungkin dijadikan sebagai barometer kesetaraan perempuan pada masa Jahiliyah. Namun paling tidak untuk hal yang paling asasi sekalipun yaitu hak untuk hidup dan memiliki kebebasan pun perempuan Jahiliyah sulit untuk mendapatkannya. Lihat. Safia Iqbal, Women and Islamic Law, (Delhi: Adam Pulishers & Distributors, 1994), hal. 5-134 410 Misogini adalah istilah yang digunakan dalam kritik sastra feminis yang mengacu pada kebencian laki-laki terhadap perempuan.

135 perempuan, namun lebih pada sebab-akibat dari kondisi peperangan yang memaksa manusia untuk melakukan hal-hal yang sebetulnya berada di luar batas kemanusiaan. Menjadi tawanan ataupun dibebaskan, kedua-duanya bagi perempuan sama saja hanya dijadikan sebagai alat supremasi kekuasaan dan kekuatan kaum laki-laki dan dominasi mereka dalam setiap aspek kehidupan. Kondisi ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Elizabeth Fox pada saat menggambarkan hubungan kekuasaan dan kekuatan (power) dengan gender, bahwasanya power yang dimiliki kaum laki-laki terkadang berubah fungsi dari yang semula sebagai alat legitimasi lalu berubah menjadi media kekerasan (violence).411 Ungkapan penyair ‘Sesungguhnya menawan Laila yang masih perawan lebih menakjubkan’ membuktikan bahwa menawan seorang ‘adzrâ yaitu gadis yang masih perawan, sebagaimana dilukiskan oleh penyair, dianggap sebagai suatu hal yang sangat menakjubkan dan menjadi prestise tersendiri jika dibandingkan dengan menawan perempuan biasa. Syair di atas membuktikan bahwa laki-laki dari zaman dahulu kala, sangat memuja virginitas perempuan. Untuk itu, bagi komunitas Sha`âlîk merenggut virginitas seorang tawanan perempuan, memiliki arti tersendiri sekaligus menjadi prestasi dan prestise untuk membuktikan terhadap kelompok lain, bahwa mereka memiliki power yang tidak bisa disepelekan. Terkait virginitas perempuan, banyak mitos yang diyakini oleh kaum laki-laki sejak zaman dahulu kala, sebagai contoh apa yang diungkapkan oleh Simone De Behavior, bahwa tubuh perawan menyimpan kesegaran rahasia musim semi, cahaya pagi dalam kelopak bunga yang belum terbuka, kemilau mutiara yang belum tersentuh sinar matahari. Laki-laki seperti halnya anak kecil, sangat terpesona pada tempat-tempat teduh tertutup yang belum tersentuh apapun, menunggu pengorbanan jiwa, yang dapat ia ambil dan jelajahi seolah-olah ialah pemiliknya.412 Mitos ini mungkin tidak dapat dibuktikan oleh syair di atas, namun ungkapan pada bait berikutnya, ‘Sekian lama kami

411 Http://www.jstor.org./stable/493546, Elizabeth Fox-Genovese, Gender Class and Power; Some Theoretical Considerations, (Society for the History of Education, accesed: 28/04/2008, 01:12) 412 Simone De Beauvior, Second Sex: Fakta dan Mitos, (terjemah Toni B. Febriantono), (New York: Pustaka Promothea, 2003), hal. 230-231

136 pakai kecantikan dan masa mudanya, lalu ia kami kembalikan pada keluarganya dengan kepala beruban, menguatkan pendapat Behaviour yang menyebutkan bahwa, keperawanan menjadi daya tarik erotis hanya bila dihubungkan dengan kemudaan, jika tidak, maka misteri dibalik keperawanannya itu menjadi sesuatu yang tidak menarik.413 Maka ungkapan ‘kami pakai kecantikan dan masa mudanya’ terkait erat dengan ‘sesungguhnya menawan Laila yang masih perawan itu lebih menakjubkan’. Hal ini membuktikan bahwa mitos seputar virginitas perempuan telah lama diyakini sehingga banyak diabadikan dalam karya-karya sastra. Meyakini ataupun tidak bangsa Arab Badawi (Sha`âlîk) mitos seputar keperawan tersebut, tetap saja membuktikan bahwa ada perbedaan cara pandang laki-laki terhadap keperawanan perempuan. Hal ini tampak pada saat kedua mashra` syair ini dikonfrontasikan, yang pertama Jika kalian menawan Asma hanya sebentar saja, dan ‘maka sesungguhnya menawan Laila yang masih perawan lebih menakjubkan’. Mashra` yang pertama menunjukkan bahwa Asma yang ditawan oleh musuh sudah tidak dalam keadaan perawan adalah hal yang biasa saja, sedangkan menawan Laila adalah hal yang sangat luar biasa dan membanggakan karena pada saat ditawan terbukti dalam keadaan perawan. Maka dalam hal ini, merampas virginitas perempuan merupakan salah satu bentuk perwujudan kekuasaan yang ditunjukkan laki-laki Jahiliyah terhadap perempuan yang dilakukan dengan sewenang- wenang tanpa peduli terhadap perasaan perempuan itu sendiri. Perampasan virginitas perempuan pada masa Jahiliyah adalah sebuah wujud penindasan fisik dan psikis yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan sebagai konsekuensi tradisi dan budaya perang yang merupakan pengejawantahan dari kekuasaan yang dimiliki kaum laki-laki. Untuk itu bagi kelompok Sha`âlîk, menganiaya tawanan perempuan adalah suatu kebanggaan, dan hal ini mereka lakukan demi melampiaskan perasaan dendam dan ambisi mereka terhadap lawan sebagai konsekuensi peperangan. Meskipun syair ini menceritakan tentang kisah sang penyair, namun tampak jelas bahwa sikap yang ia ambil sesungguhnya merupakan paduan suara dari kabilah yang dipimpinnya. Perlakuan kelompok Sha`âlîk yang tanpa perasaan terhadap tawanan perempuan, bila dilihat dari

413 413 Simone De Beauvior, Second Sex: Fakta dan Mitos, hal. 231

137 aspek sosiologi berkaitan erat dengan tradisi dan budaya mereka yang keras yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil merampas dan menyerang orang lain, sehingga pada akhirnya mereka menjadikan perempuan sebagai alat komoditi dalam mencapai tujuan mereka yang kedudukannya sama dengan harta rampasan lainnya. Perlakuan kejam yang dilakukan kaum Sha`âlîk terhadap perempuan yang menjadi tawanannya tergambar dalam bait, “Sekian lama kami pakai kecantikan dan masa mudanya, lalu ia kami kembalikan pada keluarganya dengan kepala beruban”. Dalam bait tersebut kecantikan dan keremajaan perempuan diumpamakan dengan sebuah baju. Kedua-duanya bagi penyair memiliki kedudukan yang sama, yaitu sesuatu yang diambil untuk dipakai, dilepaskan atau dibuang saat telah usang. Maka pada saat kecantikan telah hilang dan berganti dengan uban, perempuan tidak memiliki makna lagi bagi seorang laki-laki. Hal ini dapat kita pahami dari gaya bahasa penyair yang yang secara leksikal لبسنا زمانا حسنها وشبابها dalam bait ‘لبس‘ menggunakan kata kata berarti memakai baju, lalu digunakan untuk memakai kecantikan dan keremajaan perempuan. Gaya bahasa perumpamaan seperti ini dalam ilmu balaghah disebut dengan isti`ârah makniyah414, yaitu gaya bahasa yang hanya menyebutkan musta`âr lah (yang diumpamakan) yang dalam hal ini adalah al-husn (kecantikan) dan al-syabab (keremajaan), tanpa menyebut musta`âr minhu (unsur pembanding) yaitu pakaian, namun demikian perumpamaan tersebut dapat dipahami dari takhyîl (kata yang menunjukkan pada makna yang diinginkan) yang terdapat dalam kata labisa yang artinya memakai baju. Berdasarkan hal itu, tampak jelas bahwa penyair menggunakan gaya bahasa perumpamaan (metafora) yang sangat kasar. Gaya bahasa yang bersifat sarkasme415 dan kurang elegan dalam syair-syair Sha`âlîk tersebut, seolah-olah ingin menunjukkan tentang jati diri mereka sebagai kaum Sha`âlîk yang terkenal dengan

414 Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah fi al-Ma`ani wa al-Bayan wa al-Badi`, hal. 305 415 Sarkasme adalah sejenis majas yang menggunakan kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang lain, arti lainnya adalah cemoohan atau ejekan kasar. Sarkastis artinya bersifat mengejek. Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 881. Dalam bahasa Arab jenis puisi dengan kata-kata yang mengandung sarkasme seperti di atas lebih dekat pada makna hijâ atau puisi ejekan.

138 kekejaman dan kebengisan mereka. Sebuah gaya bahasa yang sengaja dibuat guna merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan. Kata-kata seperti `adzrâ (kegadisan), husn (kecantikan), syabâb (masa muda), dan dumû’ (air mata), adalah sekian dari beberapa aspek yang dikorbankan kaum perempuan Jahiliyah akibat peperangan, ambisi dan egoisme kaum laki-laki. Istilah- istilah tersebut adalah simbol-simbol keterampasan hak asasi manusia dari perempuan yang mengalami nasib buruk sebagai tawanan. Tidak ada simbol-simbol misogini (kebencian terhadap perempuan) dalam syair-syair Sha`âlîk. Perlakuan yang kejam terhadap perempuan lebih disebabkan faktor pembalasan dendam terhadap kelompok lain sebagai konsekuensi peperangan yang mereka jalani. Dan inilah cara pandang dan perlakuan kaum Sha`âlîk terhadap perempuan yang berasal dari luar komunitas mereka. Tokoh Laila dalam syair di atas adalah simbol perempuan yang teraniaya dan dirampas hak kemerdekaan hidupnya. Jika sikap kelompok Sha`âlîk terhadap tawanan perempuan yang dalam hal ini adalah Laila amat sangat kejam dan tanpa perasaan, namun hal ini justru menampilkan sosok perempuan lain yang bernama Asma yang juga sempat ditawan oleh kelompok lainnya. Asma dalam syair ini, adalah simbol perempuan yang sangat dilindungi dan dijaga kehormatannya oleh kabilahnya. Ini memberikan indikasi bahwa perempuan dalam interen kelompok sangat dilindungi, bahkan demi membebaskannya dari tawanan mereka rela untuk berperang dan mengorbankan nyawa. Penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan di dalam komunitas Sha’alik juga terlihat dalam syair Urwah berikut ini: لكل أناس سيد يعرفونه وسيدنا حتى الممات ربيع Setiap orang pasti punya seorang pemimpin yang ditaatinya Dan pemimpin kami hingga ajal tiba adalah Rabî’416

إذا أمرتنى بالعقوق خليلتى فلم أعصها، إنى إذا لمضيع417 Namun jika engkau menyuruhku untuk mendurhakai istriku Aku tak akan pernah mentaatinya, sebab jika aku lakukakan itu, aku akan hancur

416 al-Rabi’ ibn Ziyad al-‘Abbasi salah seorang pemimpin kabilah Bani Abas 417 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Warad; Amîr al-Shâ’alîk, hal. 84

139 Dalam syair tersebut, penyair mensejajarkan kedudukan perempuan (istri) dengan pimpinan kabilah dalam hal kesetiaan kepada keduanya. Hal ini terlihat pada ungkapannya yang menyatakan, bahwa jika pemimpinnya sekalipun menyuruhnya untuk mengkhianati dan menyakiti istrinya, ia tidak akan pernah menuruti perintahnya, karena ia menyadari betul, bahwa betapa berharganya kedudukan seorang istri dan tanpa seorang istri kehidupannya pun tidak berarti lagi. Bagi bangsa Arab Jahiliyah, keberhasilan menawan perempuan dari kabilah lain, ataupun kesuksesan mereka dalam melindungi perempuan yang ada dalam kabilah, pada hakekatnya sama saja. Keduanya sama-sama sebuah prestise yang sangat membanggakan kaum laki-laki. Namun demikian, secara faktual, apapun alasannya, dalam interen kabilah, perempuan tetap menjadi sosok yang diidolakan dan dihargai keberadaannya, bahkan kabilah siap melindungi kehormatannya sampai titik darah penghabisan, sebab bila para perempuan tersebut tertawan, hal itu tentu saja akan menghancurkan kehormatan yang selalu mereka banggakan. Di sisi lain, perang selain merampas hak hidup dan kemerdekaan perempuan, juga memberi pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk citra perempuan Sha`âlîk secara psikis. Hal ini tampak jelas dalam syair yang diungkapkan oleh Urwah ibn a- Warad saat berbicara terhadap istrinya: أقلّى عل ّى اللو َم يا بن َت منذ ْر، ونامى وإن لم تشتهى النوم فاسهرى Wahai putri Mundzir, janganlah kau terlalu banyak mencercaku Tidurlah, meski kau tak menginginkannya, lalu bangunlah ذرينى ونفسى، أم حسن، إننى بها، قبل أن ال أملك البيع، مشترى Relakanlah diriku, wahai Umu Hasan, sesungguhnya aku hanya membeli dengan ini, sebelum aku tidak mampu memjualnya. أحادي َث تبقى، والفتى غير خالد إذا هو أمسى هامة فوق ُصيَّر418 Peristiwa-peristiwa itu akan tetap abadi, sedangkan pemuda ini (aku) tidaklah abadi Jika ia kemudian menjadi serangga yang terbang di atas kandang batu (kuburan)

Cuplikan bait syair di atas, merupakan mukadimah syair Urwah ibn al-Warad yang ia ungkapkan ketika istrinya secara berulang kali memohon padanya (ngeyel) agar

418 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Warad; Amîr al-Shâ’alîk, hal. 67-68

140 tidak pergi untuk berperang. Ada ketakutan yang tersirat dalam syair tersebut, ketakutan seorang istri yang tidak rela bila harus kehilangan suami yang dicintainya. Sebaliknya, tampak dalam syair tersebut sikap seorang suami yang juga sangat menyayangi istrinya, namun tak kuasa untuk melaksanakan keinginannya. Untuk itu ia mengatakan ‘Tidurlah, meski kau tak menginginkannya, lalu bangunlah’ sebuah ucapan yang ditujukan kepada istrinya untuk meredakan ketakutan yang dirasakannya. Sang suami berharap dengan tidur tersebut, istrinya dapat menghilangkan kegelisahannya meski hanya sejenak saja. Konstruksi gendering yag membentuk citra perempuan Jahiliyah yang tampak lemah dan penuh ketakutan, dalam hal ini tidaklah muncul secara natural, namun lebih disebabkan oleh kondisi peperangan yang selalu mereka rasakan yang dapat merenggut nyawa siapapun yang mereka cintai. Rasa takut itu sendiri pada dasarnya tidak selalu hadir dalam jiwa perempuan, sebab ketakutan itu sendiri dirasakan oleh kaum laki-laki, hanya saja laki-laki lebih menampilkan sisi maskulinitasnya, sehingga yang tampak adalah keberanian mereka dalam menghadapi lawan. Hal ini tampak dalam syair Urwah: أرى أم حسان، الغداة، تلومنى تخوفنى األعداء، والنفس أخوف Kulihat Ummu Hasan, di pagi hari, mencercaku Menakutiku dengan musuh-musuh, padahal jiwa ini lebih takut

تقول سليمى: لو أقم َت لس ّرنا ولم تدر أنى للمقام أُط ِّوف419 Sulaima berkata: jika kau tinggal, pasti membahagiakan kami! Dan ia tidak tahu, bahwa aku tidak mungkin diam saja

Perang memberi dampak psikologis yang tidak sedikit bagi kaum perempuan Jahiliyah. Ungkapan Sulaima istri Urwah, Jika kau tinggal (tidak pergi ke medan perang), pasti membahagiakan kami! Sangat menonjolkan sisi feminitas perempuan yang penyayang (affective), dan di sisi lain ungkapan Urwah, ‘Dan ia tidak tahu, bahwa aku tidak mungkin diam saja’ menampilkan kesempurnaan maskulinitas seorang laki-laki. Feminitas perempuan maupun maskulinitas seorang laki-laki, dalam

419 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Warad; Amîr al-Shâ’alîk, hal. 87

141 hal ini tidak terlepas dari budaya perang yang lebih mementingkan kekuatan dibanding aspek kemanusian lainnya. Syair di atas mengungkapkan citra psikis perempuan Jahiliyah yang penuh kasih dan sayang terhadap orang yang dikasihinya. Dalam teori kritik sastra feminis, disebutkan bahwa karakter yang melekat pada perempuan, bukanlah sesuatu yang bersifat alami, bukan pula takdir, sebab karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu masyarakat patrialkal. Syair di atas membuktikan bahwa karakter perempuan Jahiliyah yang penyayang (affective) secara tidak langsung terbentuk oleh budaya perang yang sangat mengagungkan kekuatan fisik, dan kakuatan fisik hanya lahir dari seorang laki-laki, sehingga tidak salah bila dinyatakan bahwa ada konstruksi gendering yang sangat kuat terhadap citra psikis perempuan Jahiliyah sebagai perempuan-perempuan yang lemah, ketakutan, dan penyayang.420 2. Ibu di mata seorang Sha`alik أمى تريعة Ibuku seorang yang banyak berbuat salah أعرتمونى أن أمى تريعة وهل ينجبن فى القوم غير الترائع Apakah kalian menghinaku, hanya karena ibuku seorang yang mudah berbuat salah Adakah dalam suatu kelompok seorang ibu yang tidak pernah berbuat salah

وما طالب األوتار إال ابن ح ّرة طويل نجاد السيف عارى األشجاع421 Tidak akan menghunus panah, kecuali ia seorang anak dari orang yang merdeka, Yang kuat, gagah dan pemberani.

Syair tersebut menurut riwayat ditujukan Urwah untuk paman-pamannya dari pihak ayahnya yang selalu merendahkan dan menghina ibunya yang berasal dari kabilah Nahd yang status sosialnya lebih rendah dibandingkan kabilah Abas. Kedua bait syair tersebut menggambarkan pembelaan seorang anak terhadap ibunya yang meskipun terus dihina dan direndahkan tetap dianggap sebagai manusia yang mulia, bahwa pada intinya

420 Menurut Suwardi Endrasiswara, salah satu dari tujuan analisis feminisme adalah untuk mengungkap aspek psikoanalisis feminis, yaitu mengapa perempuan, baik tokoh maupun pengarang, lebih suka pada hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang, dan sebagainya. Suwardi Endrasiswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi, hal. 146 421 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Warad; Amîr al-Shâ’alîk, hal. 85

142 tidak ada seorang pun di dunia ini yang suci dari kesalahan dan kekurangan, lalu mengapa mereka harus menghina ibunya dengan segala kesalahan dan kekurangan yang ia miliki. Selanjutnya Urwah dengan bangga menyatakan bahwa tidak akan lahir ke dunia ini seorang laki-laki yang gagah berani kecuali di belakangnya ada seorang ibu yang hurrah. Dalam tradisi dan budaya Arab Jahiliyah, perempuan secara status sosial terbagi ke dalam dua strata, yakni hurrah (perempuan merdeka) dengan status sosial yang tinggi dan ima (perempuan sahaya) yang memiliki status sosial yang rendah. Untuk itu Hurrah yang dimaksud oleh penyair di sini adalah bukan semata-mata perempuan merdeka dan memiliki status sosial yang tinggi, namun juga wanita perkasa yang mampu menjadikan seorang sosok yang gagah berani dan perkasa seperti Urwah ibn al-Ward yang sangat terkenal. Perlakuan Urwah yang sangat membela dan menghargai ibunya, didukung oleh sikap Syanfara422 yang terekspresikan dalam syair hamâsahnya berikut ini: أقيموا بنى أ ّمى صدور مطيِّكم فإنى إلى قو ٍم سواكم ألميل Wahai kabilah ibuku siapkanlah kendaraan kalian Karena selain kabilah kalian, aku pasti akan memeranginya

Berdasarkan riwayat ibu Syanfara hanyalah seorang tawanan yang kemudian dinikahi ayahnya, sehingga berdasarkan nasab ibunya bukanlah perempuan terhormat dalam kelompoknya. Meskipun ayah Syanfara bukanlah termasuk tokoh kabilah, bahkan termasuk dalam kategori rendah, namun dalam tradisi masyarakat Arab Jahiliyah yang mengagungkan budaya patrialkal, nama ibu sangat jarang disebutkan apalagi dihubungkan dengan kabilah. Namun demikian, terbukti bahwa dalam tradisi kelompok Sha`âlîk, perempuan terutama dalam hal ini adalah ibu, sangat dihargai dan dibanggakan, bahkan dalam syair tersebut kata bani ummi dibuat sebagai mukadimah syair yang digunakan untuk menyemangati kelompok untuk mempersiapkan suatu peperangan.

422 Riwayat hidup Syanfara tidak banyak diketahui oleh sejarawan, namun demikian penulis buku al-Syu’âra al-Sha’âlik fi al-‘Ashr al-Jâhili menyatakan bahwa nasabnya adalah al-Iwâs ibn al-Hijr ibn al-Hanw ibn al-Azad. Bapaknya termasuk dalam jajaran kelompok menengah ke bawah dalam kabilahnya, sedangkan ibunya adalah seorang tawanan perang. Yûsuf Khalîf, al-Syu’âra al-Sha’âlik fi al- ‘Ashr al-Jâhili, (Mesir: Dâr al-Ma’âif, tth), cet. 2, hal. 331

143 Sekejam apapun perlakuan kaum laki-laki terhadap perempuan dari masa ke masa, namun kisah ibu dan segala pengorbanannya untuk anaknya tetap menjadi sebuah legenda yang abadi. Tidak ada seorang laki-laki yang perkasa dan dikagumi kecuali berdiri di belakangnya seorang perempuan yang perkasa pula. 3. Simbol perempuan ideal Bila pada syair-syair lain, citra visual tubuh perempuan lebih mendominasi, lain halnya dengan citra perempuan Jahiliyah yang diungkapkan oleh penyair Sha`âlîk Syanfara. Dalam syairnya ini Syanfara lebih banyak menggambarkan inner beauty seorang perempuan. Mukadimah syair Syanfara oleh Yûsuf Khalîf dalam bukunya Dirâsat fi al-Syi’r al-Jâhili bahkan dianggap sebagai syair ghazal yang paling memukau dalam menggambarkan sosok perempuan ideal. أال أ ُّم عمر ٍو أجمعت فاستقلّت وما ودع ْت جيرانها إذ تولّ ِت Ahai, Umu Amr telah berniat, maka iapun pergi Tidaklah ia tinggalkan tetangganya saat bepergian

وقد سبقتْنا أ ّم عمرو بأمرها وكانت بأعناق الط ّي أظلَّ ِت Umu Amr meninggalkan kami dengan segala urusannya Ia pun terhalang dibalik punggung unta

بعين ّي ما أمست فباتت فأصبحت فق ّضت أمورا فاستقلت فولّ ِت Dengan kedua mataku (kusaksikan) apa yang ia lakukan disore hari, malam hari, hingga ia terbangun di pagi hari Lalu ia selesaikan semua urusan, kemudian pergi dan berlalu

فواكبدَا على أميمة بعدما طعم َت فه ْبها نعمة العيش زلّ ِت 423 Aduhai Umaimah!424, setelah engkau (penyair) puas, curahkan untuknya kenikmatan hidup, ia pun pergi

لقد أعجبتنى ال َسقوطا قناعها إذا ما مشت وال بذات تلفّ ِت Ia membuatku kagum, tak pernah terjatuh kain penutup dari kepalanya

423 Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al-Syi’r al-Jâhili, (ttp: Maktabah Gharîb, tth), hal. 152 424 Ungkapan ini disampaikan penyair kepada istrinya saat pergi meninggalkannya, setelah mereka puas menikmati kebersamaannya dalam rumah tangga. Maka pada saat istrinya pergi untuk melakukan urusannya, ia tidak sanggup berbuat banyak selain melepaskannya meski dengan perasaan sedih dan menyesal.

144 Saat ia berjalan, tidak juga banyak bertingkah (berlenggak-lenggok)

تبينت بعيد النوم تهدى غبوقها لجارتها إذا لهدية قلّ ِت Bangun tidur, tampak ia memberikan minuman (ghabûq)425 Untuk tetangganya, meski hanya sekedarnya

تح ّل بمناجاةٍ من اللوم بيتَها إذا ما بيو ٌت بالمذمة ُحلّ ِت Ia selalu turun tangan untuk menyelamatkan rumah dari kenistaan Jika rumah sedang tertimpa musibah

كأن لها فى األرض نسيا تق ّصه على أمها، وإن تكل ْمك تَ ْب َل َْ ِت Seakan-akan di dunia ini ia memiliki sebuah cerita yang ingin dikisahkannya pada ibunnya, yang jika diceritakan padamu, akan memberi suatu pelajaran

أميمة ال يخزى نثاها حليلها إذا ذكر النسوان عفّت وجلّ ِت Umaimah, kebaikannya tidak menjadikan suaminya hina Jika disebutkan padanya sejumlah perempuan, ia selalu memaafkan dan berbesar hati

اذا هو أمسى آب ق ّرة عينه مآب السعيد لم يسل426 أين ظل ِت Jika ia (suami) pulang pada buah hatinya Ia kembali dengan bahagia, tidak perlu bertanya-tanya di mana ia (istrinya) berada

فدقت وجلت واسبك ّرت وأُ ْك ِمل ْت فلو ُج ّن إنسان من الحسن ُجنَّ ِت Lembut, anggun, murah hati, sempurna Jika saja ada seseorang yang diliputi kebaikan, maka ialah orangnya

فبتنا كأن البيت ُح ِّجر فوقنا بريحانة ِريح ْت عشا ء و ُطلَّت Kami pun terlelap, rumah bagai diselimuti di atasnya wewangian yang semerbak di malam hari dan seterusnya

بريحانة من بطن َح ْليةَ ن ّورت لها أرج، ما حولها غير ُم ْسنِت Wewangian dari lembah Halyah, yang membuatnya semakin wangi, juga sekitarnya, tanpa henti

425 Ghabûq adalah minuman berupa susu dan sejenisnya yang khusus disajikan pada malam hari menjelang tidur, lawannya adalah shabûh yaitu minuman yang khusus diminum pada pagi hari. yang ditakhfîf (diringankan), artinya سأل - يسأل berasal dari ,سال- يسال- ُس واال- و َسواال 426 bertanya-tanya.

145 Bait-bait syair tersebut menceritakan tentang seorang perempuan berkualitas tinggi yang ada dalam kehidupan penyair. Ia salah satu simbol high quality women yang ada dalam lingkungan kelompok Sha’âlîk. Ada tiga citra ideal yang ingin divisualisasikan oleh penyair melalui syair tersebut, yaitu citra individual, citra marital (hubungan suami istri), dan citra sosial. Secara individu, perempuan digambarkan sebagai seorang yang selalu menjaga kehormatannya. Ini ditunjukkan dengan sikapnya yang tidak pernah melepaskan penutup kepalanya pada saat berjalan, juga tidak suka berlenggak-lenggok sehingga dapat memancing syahwat kaum laki-laki. Bila ia berbicara, tidak keluar dari mulutnya kecuali hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain, sebagaimana yang tercermin dalam ucapan penyair, ’Ia membuatku kagum, tak pernah terjatuh kain penutup dari kepalanya. Saat ia berjalan, tidak juga banyak bertingkah (berlenggak- lenggok)’. Citra perempuan dalam kehidupan rumah tangga paling banyak dilukiskan oleh penyair, hal ini terkait erat dengan faktor psikologis yang dirasakan olehnya sebagai seorang suami. Simbol perempuan yang setia dan pemaaf adalah dua dari sikap mulia lainnya yang dimiliki sang istri. Hal ini dapat dilihat dari sikap Umaimah (istri) pada saat disebutkan nama-nama perempuan di hadapannya, ia bersedia memaafkan dan berbesar hati, bahkan kemulian yang ia miliki tidak menjadikannya tinggi hati dan menganggap rendah sang suami. Hal ini sebagaimana yang tergambar dalam bait, ‘Umaimah, kebaikannya tidak menjadikan suaminya hina. Jika disebutkan padanya sejumlah perempuan, ia selalu memaafkan dan berbesar hati. Sikap tersebut menunjukkan bahwa betapa seorang perempuan memiliki jiwa yang besar. Sikapnya yang penyayang, ikut merasakan perasaan orang lain, dan peduli, merupakan kehebatan tersendiri bagi seorang perempuan, meskipun bagi kaum feminis sifat-sifat tersebut terkadang dianggap sebagai sikap Victoria427 yang dapat menyeret perempuan berada di

427 Istilah Victoria diambil oleh para feminis dari tradisi perempuan Inggris, yaitu sebuah tradisi yang dicetuskan oleh Ratu Victoria yang mengharuskan perempuan menjaga kehormatan dan kemurnian mereka, bersikap pasif dan menyerah, rajin mengurus keluarga, atau dengan kata lain hanya mengurus kepentingan domestic semata. Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 5

146 bawah dominasi kaum laki-laki. Namun dalam syair di atas terbukti, bahwa sikap yang ditunjukkan oleh perempuan Sha`âlîk tidak membuatnya menjadi seorang perempuan yang tertindas, namun menjadikannya sebagai wanita yang patut untuk dikagumi oleh laki-laki. Citra lainnya yang tersirat adalah citra istri yang peduli terhadap segala urusan rumah tangga, baik urusan yang bersifat fisik maupun mental. Secara fisik hal ini terlihat dari ungkapan penyair bahwa sebelum istrinya pergi meninggalkan rumah untuk urusan yang tidak dapat ditinggalkan, terlebih dahulu ia menyelesaikan semua urusan rumah tangganya, sedangkan secara mental terlihat dari peranannya dalam menyelesaikan berbagai problematika yang menghampiri keluarganya, di samping itu ia juga selalu menjaga kehormatan keluarga dari berbagai kehinaan. Selain sebagai simbol perempuan, setia, pemaaf dan peduli, ia juga sebagai simbol perempuan yang sangat menyenangkan dan sempurna bagi suami. Hal ini tampak dari ungkapan penyair yang menyebut Umaimah sang istri dengan kata qurrata ‘ain (penyedap pandangan mata). Dalam al-Qur’an sendiri terdapat tiga ayat yang menyebutkan kata tersebut yang pada dasarnya bukan dikhususkan bagi perempuan, namun segala hal yang membuat senang seseorang, baik anak, perhiasan, istri maupun suami, seperti yang biasa dijadikan do’a: Ya Tuhan kami, anugerahilah kami pasangan) ربنا هب لنا من أزواجنا وذريتنا ق ّرة أعين dan keturunan yang menyenangkan hati). Selain itu, jika dilihat dari banyaknya jumlah kata kerja (fi’il) yang menceritakan berbagai aktivitas yang dilakukan perempuan, tampak bahwa ia adalah seorang perempuan pekerja keras, namun tetap mengerti akan kedudukan dan peranannya sebagai seorang istri.428 Adapun citra sosial ditunjukkan oleh Umaimah melalui kepeduliannya terhadap sahabat dan tetangganya, yang diceritakan oleh penyair dengan cara memberikan tetangganya minuman malam, yang meskipun tidak banyak namun mampu menyenangkan orang lain. Seperti dalam ungkapan penyair, ‘Bangun tidur, tampak ia memberikan minuman (ghabûq), untuk tetangganya, meski hanya sekedarnya’.

428 Bandingkan dengan penjelasan Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al-Syi’r al-Jâhili, hal. 153

147 Hal lain yang menarik adalah ungkapan tulus seorang suami untuk istrinya adalah ‘Umaimah, kebaikannya tidak menjadikan suaminya hina, Jika disebutkan padanya sejumlah perempuan, ia selalu memaafkan dan berbesar hati. Sebuah pengakuan yang tulus yang diungkapkan oleh seorang suami untuk istrinya. Dari ungkapan tersebut terkesan bahwa perbuatan apapun yang dilakukan oleh istri, bukanlah dengan tujuan untuk membuat suami merasa terhina dan tidak berguna ataupun berusaha untuk menyaingi suami, akan tetapi ia tetap dalam posisinya sebagai seorang istri, meski terkadang ada hal-hal yang membuatnya marah, ia tetap berjiwa besar. Umaimah dalam lingkungan kaum Sha’âlîk adalah simbol perempuan merdeka yang selalu menjaga kehormatannya, simbol perempuan yang bebas menentukan pilihan namun tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai seorang perempuan, baik sebagai individu, istri, maupun sebagai anggota masyarakat, ia juga bebas bepergian ke mana ia suka, namun tanpa melanggar rambu-rambu serta batas-batas kesusilaan. Meski Umaimah hidup pada masa Jahiliyah, namun apa yang dilakukannya menjadi bukti bahwa hakikat dan nilai-nilai perjuangan feminisme yaitu adanya persamaan hak dan kewajiban antara kaum perempuan dan laki-laki telah ada sejak dulu meski tanpa harus dilandasi dengan teori.429 Dari apa yang diungkapkan penyair di atas tentang citra perempuan ideal, maka secara ideologis, perempuan Jahiliyah tidaklah termasuk dalam kriteria istri tradisional seperti teori Gopher Praire yang menyatakan bahwa istri ideal harus memiliki sifat-sifat tradisional, dengan demikian ia harus mematuhi suaminya, sesuai dengan agama, hukum, dan moralitas, dan hanya suamilah yang memiliki hak memegang kewibawaan. Di samping itu, seorang istri harus bersikap lemah lembut, pasif dan emosional, serta memiliki sifat nurturant.430 Syair di atas membuktikan

429 lih. Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, (Bandung: Nuansa, 2000), hal. 37 430 Jessie Bernard, The Future of Marriage, (New York: tp, 1972), hal. 129, Soenardjati Djayanegara, hal. 120. Gambaran tentang perempuan Sha`âlîk di atas juga menentang teori victoria yang menyatakan bahwa ciri perempuan ideal menurut nilai-nilai Victoria harus mencerminkan ‘the cult of true womwnhood’ atau pemujaan terhadap kewanitaan sejati. Untuk itu sifat-sifat yang harus dimiliki perempuan ideal menurut aliran ini yaitu kesalehan, kemurnian, sikap menyerah, domestisitas (selalu tinggal di rumah). Satu-satunya kegiatan yang boleh dilakukan perempuan hanyalah kegiatan agama,

148 adanya peran yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, adanya sikap saling menghargai, dan tidak menjadikan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan mutlak. Berdasarkan hasil analisis di atas, ada dua kesimpulan besar tentang kedudukan dan citra perempuan dalam komunitas Sha’âlîk, pertama, perempuan tawanan dalam tradisi dan budaya Sha’âlîk tidak ada bedanya dengan harta rampasan lainnya, yang hanya digunakan lalu dicampakkan bila sudah tidak berguna, tidak ada baginya belas kasihan ataupun suatu penghargaan. Berbeda dengan perempuan tawanan, nasib kaum perempuan di dalam kelompok Sha’âlîk sendiri tampak memiliki jati diri, ia sangat dilindungi dan dihargai, bahkan dapat dijadikan sebagai alasan berperang demi membela kehormatannya. Dalam internal kelompok Sha’âlîk, perempuan memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk melakukan suatu pekerjaan. Bila kita melihat pada latar belakang kelompok Sha’âlîk sebagai kelompok yang terbuang, hal ini dapat dimengerti, tentang mengapa mereka berlaku kejam tehadap perempuan lain yang ada di luar kabilahnya, namun sebaliknya sangat menyanjung perempuan dalam kabilah, hal ini tiada lain sebagai bentuk rasa solidaritas yang tinggi dan ikatan sosial431 yang kuat di antara sesama anggota kabilah, termasuk bagaimana mereka harus memperlakukan kaum perempuan. Berdasarkan syair-syair di atas, terlihat bahwa perempuan bagi kelompok Sha’âlîk terkait erat dengan pertige (kehormatan) dan power (kekuatan)432. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa cara pandang dan perlakuan kaum Sha’âlîk terhadap perempuan terbagi ke dalam dua bentuk, pertama, terhadap perempuan di luar kabilah (lawan), mereka memperlakukan perempuan dengan sangat kejam sesuai dengan kedudukan mereka sebagai tawanan dan harta karena ranah ini termasuk ranah perempuan. William L. O’ Neill, Everyone Was Brave, A History of Feminism in American: Chicago: tp, 1969), hal. 7, Soenardjati Djayanegara, hal. 19 431 Ikatan sosial adalah cerminan dari perasaan memiliki, menyatu, dan loyal, pada diri individu terhadap latar belakang sosial yang membesarkannya. (Mengerti Sosiologi), hal. 58 432 Menurut Amin Nurdin dan Ahmad Abrari, Stratifikasi sosial adalah tingkatan kedudukan sosial dalam masyarakat yang ditentukan oleh perbedaan privilege/property (kekayaan), pertige (kehormatan), dan power (kekuasaan). Nurdin, Amin, M., MA dan Abrori, Ahmad, M.Si., Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Press, 2006, cet. 1, hal. 126

149 rampasan perang. Kedua, bagi perempuan dalam kabilah, kaum Sha’âlîk memperlakukan perempuan sebagai sosok yang sangat dilindungi dan dihormati, baik sebagai istri, saudara, ibu, ataupun sebagai sesama komunitas Sha’âlîk. Bila merujuk pada teori-teori sosiologi yang membagi kelompok masyarakat pada primer dan sekunder433, maka apa yang dilakukan oleh komunitas Sha`âlîk terhadap perempuan sangatlah dimengerti, sebab menurut teori ini, komunitas Sha`âlîk termasuk dalam kategori primer, yaitu sebuah kelompok kecil yang hubungan antar anggotanya memiliki kedekatan personal dan bersifat langgeng. Keluarga dan teman sebaya adalah dua di antaranya yang termasuk ke dalam kelompok primer. Baik keluarga maupun teman sebaya, keduanya adalah institusi yang menjadi agensi sosialisasi primer yang akan membentuk sikap dan perilaku seseorang, menanamkan identitas sosial, dan menyediakan keamanan dan kenyamanan. Untuk itu, di antara anggotanya selalu mempersepsikan diri sebagai kami atau kita.434 Berdasarkan hal tersebut, maka tidak salah bila kemudian komunitas Sha`âlîk sebagai sebuah kelompok primer bersikap selalu melindungi dan menghormati kaum perempuannya, sebab di antara ciri-ciri kelompok ini adalah adanya komitmen dan ikatan emosional antar anggotanya tanpa membedakan laki-laki ataupun perempuan. Lamanya tinggal bersama, serta ikatan sosial antara komunitas ini, membentuk perasaan yang kuat, membentuk nilai-nilai dan juga membentuk perilaku, sehingga di dalam kehidupan mereka tumbuh rasa kasih sayang dan berusaha untuk mempertahankan pengalaman mereka selama tinggal bersama.435

433 Kelompok primer adalah kelompok kecil yang hubungan antar anggotanya memiliki kedekatan personal dan langgeng. Sedangkan kelompok sekunder adalah kelompok yang memiliki hubungan yang kurang akrab di antara sesama anggotanya bila dibandingkan dengan kelompok primer, bersifat temporal, interaksi tatap mukanya kurang, dan lebih terikat karena adanya tanggung jawab yang harus dikerjakan bersama. Nurdin Amin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Press, 2006), hal. 94 & 95 434 M. Nurdin Amin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Press, 2006), hal. 94, dikutip dari Jhon J. Macionis, Society: The Basic, (New Jersey: Prentice Hall, 2000), hal. 94 435 M. Nurdin Amin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, hal. 95

150

D. Citra Perempuan Ghair Sha’âlîk Di antara sekian banyak penyair Ghair Sha`âlîk, Antarah436 ibn ‘Amr ibn Syaddâd al-‘Abasi437 adalah satu-satunya penyair yang memiliki dîwan syair yang paling banyak. Ia seorang prajurit yang sangat populer di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah.438 Dalam dunia sastra, Antarah termasuk dalam jajaran penyair Badawi yang sangat terkenal dan disegani. Syair-syairnya banyak berbicara tentang hamâsah (spirit dalam berperang), fakhr, peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan terutama ghazal- ghazalnya yang menghiasi hampir semua syairnya. Syair ‘Antarah sendiri banyak yang menjadi syair Mu’allaqah. Dari syair ‘Antarah, banyak hal yang dapat diungkap tentang

seperti ia menyebutkan (ة) Sebagian orang menyebutnya dengan Antara tanpa ta marbuthah 436 .lebih valid (ة) dirinya dalam syair, namun mayoritas menyatakan bahwa menggunakan ta marbuthah Antarah ibn ‘Amr ibn Syaddad al-‘Abasi adalah seorang panglima perang dan penyair Arab Jahiliyah yang sangat terkenal. Lahir di Najed. Ayahnya, adalah salah seorang petinggi Bani Abas, sedangkan ibunya seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habasyah bernama Zabibah. Karena itu ‘Antarah memiliki kulit hitam legam seperti ibunya, sehingga ia dijuluki dengan “aghrabah al-arab’ (burung gagak dari Arab). Sebagaimana tradisi Arab, jika ada seorang anak lahir dari budak perempuan, anak tersebut tidak diperkenankan untuk menasabkan dirinya pada ayahnya, kecuali ia telah membuktikan dirinya sebagai seorang laki-laki yang istimewa dalam kabilahnya. Tradisi ini menyeret Antarah menjadi hamba sahaya (abîd). Oleh karena itu ia hidup sebagai anak yang terbuang di tengah-tengah para budak lainnya, menggembala kuda dan unta. Namun jiwanya yang besar menentang keadaan tersebut, ia selalu mendambakan kebebasan dan penghargaan. Lalu ia bergabung dengan pasukan perang, sehingga iapun menjadi seorang panglima perang yang sangat disegani karena keberaniaannya. Lajnah (tim penulis), al- Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 97, lih. Juga Muhammad Ali al-Shabbâh, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 50, atau Abd. Al-Mun’im Abd. Al- Ra’uf Sulma dan Ibrâhîm al-Ibyâri, Syarh Dîwan Antarah ibn Syaddâd, (Libanon: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1400 H/1980 M), hal. tha 437 Bani Abas merupakan salah satu kabilah yang sangat disegani di Jazirah Arab. Di kabilah inilah Antarah dilahirkan dan dibesarkan. Bani Abas adalah saudara dari bani Dzubyân kabilah dari penyair Arab terkenal al-Nabighah al-Dzubyani. Keduanya adalah keturunan dari Bani Ghathfân ibn Sa’ad ibn Qais ‘Ailân. Qais ‘Ailan adalah suku kedua dari kabilah Mudhar yang sangat besar. Muhammad Ali al-Shabbâh, `Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 45 438 Keberanian dan kepahlawan Antarah telah membawanya ke dalam kemuliaan dan kebesaran yang membebaskannya dari keterhinaan seorang budak. Ia akhirnya memperoleh nasab dari ayahnya dengan nama Antarah ibn Syaddad, bukan ‘Antarah ibn Zabîbah. Hal itu bukan berarti ia tidak menghormati ibunya, namun kondisi mengharuskannya demikian, demi kehormatan dan kemuliaan, serta perasaan ingin diakui dan dihargai, sesuai dengan tradisi dan budaya bangsa Arab saat itu yang mengagungkan budaya patrialkhal. Perasaan seperti ini kemudian mendorongnya untuk dapat berbagi kebahagiaan dengan saudara laki-laki seibunya yang bernama Hanbala yang selama ini tidak diakui sebagai manusia merdeka seperti dirinya. Muhammad Ali al-Shabbâh, `Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 66

151 citra perempuan dalam tradisi dan budaya masyarakat Badawi khususnya kelompok Ghair Sha’alik. 1. Budak perempuan (imâ’), kedudukan dan peran 439 Syair-syair ‘Antarah, selain mengisahkan tentang patriotisme seorang prajurit Badawi, hal lain yang menonjol adalah kisah cinta sang penyair. Cinta, rindu, duka, dan lara, selalu menjadi topik utama dalam setiap syair-syairnya sebelum beralih pada tema lainnya, seperti fakhr, madh, ighâr (hija), hamâsah, dan lainnya. Kisah cinta ‘Antarah dengan seorang gadis yang bernama ‘Ablah binti Malik anak dari pamannya yang sangat cantik rupawan yang berasal dari kalangan elite (petinggi kabilah), adalah kisah cinta yang penuh romansa namun menyedihkan. ‘Antarah adalah simbol laki-laki Badawi yang cintanya kandas karena nasib yang tidak berpihak padanya. Ayah Ablah dan saudara-saudaranya tidak pernah mengijinkan keduanya untuk bersatu dalam cinta.440 Kisah cinta ‘Antarah-Ablah yang tidak mulus, bahkan terkesan menyakitkan, bukan lahir tanpa sebab, namun banyak faktor yang memicunya yang semuanya terkait erat dengan tradisi dan budaya serta cara pandang masyarakat Jahiliyah saat itu, seperti persoalan ras antara kulit putih dan hitam, juga stratifikasi sosial yang mengkotak- kotakkan manusia ke dalam kelas-kelas yang mirip dengan kasta dimulai dari abnâ’ al- qabilah sebagai kelompok elite, al-mawâli sebagai kelas menengah dan al-`abd sebagai kelas terendah. Hal ini, secara eksplisit terlihat dari balik syair-syair ‘Antarah berikut ini: ما ساءنى لونى وال اسم زبيبة إذ ق ّصرت عن همتى أعدائى441 Kulitku ataupun nama Zabibah tak pernah membuatku terhina Saat musuh-musuhku meremehkan ambisiku

439 Perbudakan adalah salah satu bentuk penindasan manusia terhadap manusia lainnya. Praktek perbudakan dianggap menyalahi hak asasi manusia yang seharusnya dijunjung, yaitu hak kemerdekaan (liberty). Untuk itu perbudakan menjadi satu objek pembahasan yang sangat krusial dalam kajian feminisme. Banyak fakta dikemukakan oleh sejarawan, mengenai keterlibatan bangsa Arab Jahiliyah dalam praktek-praktek perbudakan. Hal ini dibenarkan oleh al-Qur’an, namun demikian, dalam kajian ini penulis sekali lagi ingin membuktikan hal tersebut melalui syair-syair. 440 Kisah cinta Antarah-‘Ablah dibahas secara singkat oleh Muhammad Ali al-Shabbâh, `Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 77 441 Bahr kâmil: mutafâ’ilun-mutafâ’ilun, dengan qâfiyah mutawâtir

152 فلئن بقي ُت ألصنع َّن عجائبا وألبكم ّن بالغة الفصحاء442 Andai aku tetap hidup, akan kubuat keajaiban Dan kubungkam kehebatan orang-orang yang fasih (ahli bicara)

يعيبون لونى بالسواد وإنما فعالهم بالخبث أسود من جلدى443 Mereka mengejekku karena kulitku yang hitam Padahal kejahatan mereka lebih buruk dari kelamnya kulitku

تعيرنى العدا بسواد جلدى وبيض خصالى تمحو السوادا444 Musuh-musuh menghinaku karena hitamnya kulitku Padahal putihnya sifat-sifatku menghapus kehitamanku

أنا الهجين عنترة كل امرئ يحمى ِح ّره445 Akulah si hajîn446 Antarah Setiap laki-laki melindungi (kehormatan) perempuannya

يق ّومه فتى من بنى عبس أبوه وأمه من آل حام447 Ia dibesarkan oleh seorang pemuda dari bani abas Yang menjadi Ayahnya, dan ibunya dari keluarga Ham448

أنا العبد الذى خبّر ْت عنه رعي ُت ِجمال قومى من فطامى Akulah si budak yang diceritakannya Kujaga kehormatan bangsaku dari cerai berai

Dari bait-bait syair di atas, ada beberapa kata kunci yang akan mengungkap cara pandang bangsa Arab terhadap seseorang baik laki-laki maupun perempuan, pertama hitam), yang dipadankan oleh) سواد kulit), dan) جلد ,(warna) لون :kata-kata seperti

442 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 7 443 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 62 444 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 57 445 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 92 446 Yang dimaksud dengan Hajîn adalah seorang anak yang lahir dari seorang Ayah keturunan Arab dan ibunya seorang hamba sahaya. Al-Munjid, hal. 856 447 Muhammad Ali al-Shabbâh, `Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 76. Kata yang artinya diperlihatkan atau يقدّمه dalam Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 159 tertulis يق ّو مه diberikan, sesuai dengan bait sebelumnya. 448 Hâm, yakni keluarga ibunya seorang budak berkulit hitam. Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 159

153 تعير mencela, menghina), dan) يعيبون ,(membuat hina) ساء penyair dengan kata-kata

mereka menghinaku‘ يعيبون لونى بالسواد mencela, menghina). Ungkapan seperti) karena hitam kulitku’ dengan menggunakan dlamîr (kata ganti) untuk jamak, menunjukkan, bahwa persoalan diskriminasi rasial antara kulit-putih dan hitam, bukan persoalan individu, namun menggambarkan perilaku sosial yang terjadi saat itu di dalam masyarakat Jahiliyah. Dari kata-kata tersebut, bisa dipastikan bahwa masyarakat Arab Jahiliyah saat itu telah melakukan diskriminasi rasial antara kulit putih dan kulit hitam, yang kemudian menempatkan kaum kulit hitam pada posisi yang sangat rendah dan hina.449 Ada ungkapan yang menarik yang berkaitan dengan Black women (perempuan kulit hitam) dalam dunia feminisme, seperti yang diutarakan oleh Joseph yang dikutip oleh Ensiklopedi Feminisme, “Saya memakai huruf besar pada kata ‘Hitam’, karena saya menganggap kata tersebut bukan sekedar warna, namun sebagai identitas kultural, personal, dan politis”. Maka menjadi kulit hitam dan perempuan merupakan peran ganda yang harus dihadapi dalam kehidupan nyata.450 Ungkapan ini membuktikan, bahwa betapa persoalan rasial yang dihadapi perempuan kulit hitam sangat berpengaruh terhadap kehidupannya baik individual maupun sosial. Hal ini terbukti dalam kasus dan kisah `Antarah. Bila pilihan kata di atas merupakan indikasi adanya diskriminasi rasial antara kulit putih dan hitam, yaitu bangsa Arab murni dengan Arab keturunan, maka pilihan akan mengungkapkan perilaku ,نسب dan ,عبد ,الهجين ,آل حام ,أم ,زبيبة :kata seperti adalah (زبيبة) diskriminatif lainnya yang terjadi pada masyarakat Jahiliyah. Zabibah dari ‘Antarah sang (أم) nama seorang perempuan, kedudukannya adalah ibu kandung

449 Persoalan ras adalah salah satu ragam kritik sastra feminis yang menyoroti terjadinya diskriminasi terhadap kaum perempuan yang disebabkan oleh perbedaan ras, yang dalam hal ini antara kulit putih dan kulit hitam. Terbukti bahwa persoalan ras telah ada sejak zaman dahulu, dan upaya penentangan terhadap ideologi ini juga telah lama diupayakan oleh manusia. Lih. Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 36 450 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, terjemah Mundi Rahayu, hal. 43

154 yang ,(آل حام)penyair. Zabibah adalah keturunan dari keluarga Ham si budak hitam451 kemudian menikah dengan seorang laki-laki Arab tulen dan melahirkan seorang hajîn yaitu anak yang lahir dari seorang laki-laki Arab tulen dengan istri seorang ,(الهجين) yang diberi nama (عبد) budak. Akibat dari perkawinan tersebut lahir seorang budak ,ayahnya yang merdeka (نسب) Antarah. Antarah tidak dapat mengikuti garis keturunan‘ karena ia lahir dari seorang ibu budak, kecuali ia dapat membuktikan dirinya sebagai seorang kesatria dan pahlawan besar bagi kabilahnya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa budak dalam stratifikasi sosial masyarakat Jahiliyah, menempati posisi yang sangat rendah dan terhina. Inilah salah satu tradisi sosial yang terjadi dalam masyarakat Jahiliyah. Seorang ibu yang berasal dari kalangan budak, bisa menjerumuskan anaknya menjadi seorang budak pula, bahkan seorang ayah yang terhormat pun tidak dapat mengangkat derajat anaknya menjadi seorang yang merdeka, kecuali karena perjuangannya sendiri.452 Inilah bentuk diskriminasi bangsa Arab Jahiliyah yang kedua setelah diskriminasi rasial, yaitu adanya perbudakan dalam sistem sosial yang sangat merugikan dan melukai hak-hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup secara merdeka. Praktek-praktek perbudakan yang menjadikan manusia layaknya harta benda yang dapat dimiliki dan diperjualbelikan adalah salah satu bentuk dari

451 Penulis yakin bahwa yang dimaksud dengan keluarga Hâm oleh penyair adalah keluarga ibunya yang merupakan keturunan budak berkulit hitam, sebab salah satu makna dari kata hamma di dalam kamus adalah hitam. Selain itu, dalam Syarah Dîwân `Antarah maupun dalam buku `Antarah ibn selain budak آل حام Abi Syaddâd: Hayâtuhu wa Syi`ruhu, tidak didapat penjelasan makna lain dari kata berkulit hitam. 452 Kondisi `Antarah seperti ini, sama dengan apa yang disampaikan oleh Sugihastuti dalam kasus novel Siti Nurbaya, menurutnya kebangsawanan seorang anak adalah warisan dari kedua orang tuanya. Jika bapak ibunya berbangsa tinggi, anaknya juga akan berbangsa tinggi. Akan tetapi yang paling menentukan sesungguhnya adalah status sosial ibu. Jika ayah ibunya berbangsa tinggi, anaknya pun akan berbangsa tinggi. Sebaliknya jika ayahnya berbangsa tinggi, sedangkan ibunya tidak, maka anaknya akan turun (berbangsa rendah). Untuk itu Sugihastuti mengambil contoh tokoh Samsulbahri dalam kisah Siti Nurbaya, di mana ayahnya seorang yang berbangsa tinggi, tetapi kawin dengan perempuan dari kalangan rendah yang hanya seorang sitti. Akibatnya Samsulbahri pun turun bangsanya, hanya menjadi seorang marah (gelar anak sutan yang menikah dengan perempuan biasa atau anak putri hasil perkawinan dengan laki-laki biasa). Sugihastuti Suharto, kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, hal. 80-81. Marah dalam adat Minangkabau atau hajîn dalam tradisi Arab Jahiliyah, keduanya adalah sama, hanya saja gelar hajîn khusus bagi laki-laki, sedangkan marah berlaku bagi laki-laki maupun perempuan.

155 social violence (kekerasan sosial) yang banyak dilakukan bangsa-bangsa kuno, termasuk bangsa Arab Jahiliyah.453 Kondisi inilah yang kemudian membawa kisah cintanya bersama `Ablah kandas. Kulitnya yang hitam legam, serta kedudukannya sebagai hamba sahaya telah membawanya ke dalam sebuah penderitaan yang berkepanjangan. Sebagai seorang budak perempuan, secara individu Zabibah memiliki kedudukan yang sangat rendah di mata masyarakat. Sebab secara status sosial ia sangat berbeda dengan perempuan merdeka (al-Hurrah) yang memiliki kedudukan yang tinggi, 454 namun tidak demikian halnya sebagai seorang ibu, dari bait-bait syair di atas sangat jelas bahwa Antarah sebagai seorang anak sangat mengagumi ibunya, dan tidak merasa minder karena terlahir dari seorang hamba sahaya berkulit hitam. Ungkapan salah satu bait syairnya ‘Akulah si hajîn (anak yang lahir dari ibu budak dan ayah Arab) Antarah, dan setiap laki-laki pasti melindungi (kehormatan) perempuannya’, menunjukkan bahwa betapa ia menghormati dan bangga terhadap ibunya, meskipun dalam kata al-hajin itu sendiri terdapat makna ayahnya, namun bukan ia yang dibanggakannya, sebab ayahnya sendiri tidak mampu menariknya dari lembah perbudakan. Ungkapan senada terlihat dalam syair-syairnya berikut ini: لئن يعيبوا سوادى فهو لى نسب يوم النزال إذا ما فاتنى النسب455 Jika mereka menghinaku karena aku hitam, sesungguhnya hitam itu membuktikan siapa nasabku saat dilahirkan, jika suatu ketika keluarga meninggalkanku.

453 Dalam feminisme ada sebuah definisi yang telah disepakati secara internasional tentang kekerasan terhadap perempuan (gender based violence), yaitu: segala tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat pada kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Lih. Euis Amalia dkk., Isu-isu Gender Dalam Islam, hal. 18 454 Berdasarkan hasil penelitian sejarawan, terbukti bahwa dalam struktur sosial masyarakat Arab Jahiliyah, perempuan dibagi ke dalam dua kelas, pertama hamba sahaya (Ima’), yaitu mereka yang memiliki kedudukan yang sangat rendah, seperti penyanyi bar atau pelayan. Kedua adalah perempuan merdeka (al-Hurrah) yang memiliki kedudukan yang tinggi, seperti juru masak, penjahit, dan tukang servis kemah. Termasuk ke dalam kelompok ini perempuan bangsawan yang biasanya memiliki beberapa pelayan, dan mereka ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam struktur sosial masyarakat Arab Jahiliyah. Muhammad Ridla Marwah, Umru al-Qais al-Malik al-Dlillil, hal. 12 455 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 10

156 وإن عابت سوادى ف ْهو فخرى ألنى فارس من نسل حام456 Jika ia (‘Ablah) menghina kulit hitamku, maka sesungguhnya hitam itu kebanggaanku, karena aku prajurit perang dari keturunan Ham

عجوز من بنى حام بن نوح كأن جبينها حجر المقام457 Perempuan tua dari keturunan Ham (budak hitam) ibn Nuh Parasnya bagaikan batu mulia

Nasab memiliki kedudukan yang sangat penting dalam tradisi bangsa Arab, karena ia membuktikan garis keturunan seseorang, apakah dari keturunan terhormat atau keturunan rendah. Namun demikian, ‘Antarah tampak dengan bangga menyebut nama Ham yang merupakan nasab ibunya yang berasal dari kaum budak, tanpa ada rasa rendah diri, bahkan disertai madah (pujian) untuk ibunya. Seorang ibu, tampaknya memiliki kedudukan yang mulia dalam tradisi dan budaya masyarakat Arab Jahiliyah. Pujian yang dilontarkan ‘Antarah untuk ibunya berikut ini membuktikan hal itu: وقتل ُت فارسهم ربيعة عنوة والهيذبان وجابر بن مهلهل Ku bunuh prajurit mereka, (prajurit) Rabi’ah dengan sangat kejam Begitu juga al-Haidzuban dan Jabir ibn al-Muhalhil

وأنا ابن سوداء الجبين كأنها َضبُ ٌع ترعرع فى رسوم المنزل Padahal aku hanyalah anak dari perempuan berwajah hitam, ia bagai Serigala yang tumbuh di atas puing-puing rumah

الساق منها مثل ساق نعامة والشعر منها مثل ح ّب الفلفل Betisnya bagaikan kaki burung unta Rambutnya bagai biji lada

والثغر من تحت اللثام كأنه برق تألأل فى الظالم المسدل458 Dan giginya, dari balik cadar (terlihat) bagaikan Kilat yang menyambar di gelapan

456 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 169 457 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 159 458 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 135

157 Dalam syair tersebut, tampak ada suatu kebanggaan dari `Antarah sebagai seorang prajurit yang kuat dan disegani, karena selalu menang dalam peperangan, padahal ia hanyalah seorang anak yang lahir dari seorang hamba sahaya berkulit hitam. Untuk menggambarkan sosok ibunya, penyair menggunakan gaya bahasa majâz, dan tasybîh. Misalnya, kata sawâd al-jabîn yang berarti berwajah hitam atau berdahi hitam, ia gunakan untuk menggambarkan tubuh ibunya yang hitam legam, padahal yang hitam bukan hanya wajah atau dahinya, namun seluruh tubuhnya berkulit hitam. Untuk itu ia gunakan majâz459 mursal460 dengan alâqah461 juz’iyah462 dan qarînah463 isytimâlah464 atau dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah pars pro toto, sebuah majas yang menyebutkan sebagian untuk menyatakan keseluruhan. Selain menggunakan majas, untuk mengilustrasikan sosok ibunya, penyair juga menggunakan banyak tasybîh465, contoh, ibunya bagai serigala yang ada di atas puing-puing reruntuhan rumah. Sebuah kiasan bahwa ibunya, bukanlah sosok yang anggun nan cantik, namun terlihat garang bak binatang buas. Betisnya bagai betis burung unta, yakni besar dan kuat, sedangkan rambutnya bagai biji lada. Habb al-fulful (biji lada) adalah sebuah kiasan bagi seseorang yang berambut kribo (sangat keriting). Adapun giginya, karena sangat putih dan berkilau, penyair mengumpamakannya bak kilat yang menyambar di malam hari. Malam itu sendiri adalah sebuah kiasan dari kulit ibunya yang hitam legam ibarat gelapnya malam. Maka secara fisik, ilustrasi `Antarah tentang ibunya menunjukkan bahwa ia bukanlah perempuan ideal bagi kaum laki-laki Arab Jahiliyah yang lebih mengagungkan kecantikan fisik dibanding kecantikan dalam, terutama perempuan yang

459 Majaz adalah penggunaan kata bukan pada makna yang sesungguhnya, karena adanya alaqah dan qarinah yang tidak menghendaki untuk diartikan sebenarnya. 460 Dikatakan majaz mursal apabila alaqah yang menghubungkan antara makna yang sebenarnya dengan makna yang dipindahkan bukan bersifat perumpamaan. 461 Alaqah adalah kesesuaian antara makna yang sebenarnya dengan makna yang dipindahkan. 462 Alaqah Juz’iyah adalah menyebutkan bagian namun yang diinginkan adalah keseluruhan 463 Qarînah adalah indikasi yang menunjukkan bahwa pembicara bukan menghendaki makna yang sesungguhnya. 464 Qarinah istimâlah adalah qarînah yang menunjukkan bahwa yang diucapkan mencakup keseluruhan. 465 Gaya bahasa kiasan

158 berkulit putih, langsing dan ramping seperti yang digambarkan oleh Umru al-Qais dalam bab sebelumnya. Apa yang diilustrasikan `Antarah tentang ibunya yang seorang perempuan kulit hitam, senada dengan apa yang diutarakan oleh Mary Helen Washington bahwa dalam sastra, ada citra yang kuat mengenai ibu kulit hitam yang perkasa. Untuk itu, hubungan ibu kulit hitam dengan anaknya, hanya bisa ditemukan ketika seseorang sampai pada terma-terma sejarah.466 Hal ini terlihat jelas dalam syair `Antarah di atas yang semuanya merujuk pada sebuah penggambaran tentang seorang ibu kulit hitam yang perkasa dan kuat yang melakukan perannya sebagai seorang ibu dengan sangat baik. Bagi ‘masyarakat Arab Jahiliyah, ibu memiliki peranan yang besar dalam kehidupan yang sangat keras, hal ini terbukti dalam syair Antarah berikut ini: تعنّفنى زبيبة فى المالم على اإلقدام فى يوم الزحام Zabibah mengingatkanku agar jangan maju pada saat perang terjadi تخاف عل ّى أن ألقى حمامى بطعن ال ُرمح أو ضرب الحسام467 Ia takut kalau nanti aku mati terkena tusukan tombak atau tebasan pedang Dalam syair tersebut, Zabibah adalah sosok ibu yang sangat menyayangi dan mengasihi anaknya, selalu membimbingnya, dan mengingatkan agar tetap waspada. Peperangan selalu membuat seorang ibu takut akan kehilangan anak yang amat dikasihinya. Sikap affective (penyayang) yang ditunjukkan oleh Zabibah terhadap anaknya, bukan seperti yang digambarkan oleh Betty Friedan, dalam The Feminine Mystique468 yang beranggapan bahwa peran istri, ibu, dan ibu rumah tangga hanyalah merupakan peran subsider atau peran pembantu, sebab terbukti dalam syair `Antarah bahwa ibunya adalah seorang yang memegang peranan penting dalam kehidupannya. Dari ungkapan penyair sebelumnya, ‘Ku bunuh prajurit mereka, (prajurit) Rabi’ah dengan sangat kejam, begitu juga al-Haidzuban dan Jabir ibn al-Muhalhil, padahal

466 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, hal. 43 467 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 162 468 Betty Friedan, The Feminine Mystique, (New York: Garden City, 1977), hal. 271, dikutip oleh Soenardjati Djayanegara, Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika, (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1995), 91

159 aku hanyalah anak dari perempuan berwajah hitam, ia bagai serigala yang tumbuh di atas puing-puing rumah’, menunjukkan bahwa ada peran besar dalam diri seorang ibu. Ibu, dalam hal ini bukan lagi sebagai peran subsider atau pembantu, sebab justru ialah yang memegang peran utama membimbing dan mendidik anaknya, sebab karena tradisi ayahnya justru tidak dapat mengangkatnya dari kehinaan sebagai seorang budak. Ibu adalah sosok yang ada dibelakang `Antarah yang siap mendukungnya dalam susah dan senang, dan menjadikannya sebagai seorang prajurit perang yang gagah berani. Sebagai seorang prajurit sekaligus penyair kabilah, `Antarah pada dasarnya adalah seorang laki- laki yang terhormat dalam kabilahnya, meski karena status sosialnya ia menjadi rendah, namun hal itu tidak menjadikannya rendah diri namun berjuang hingga akhirnya ia berhasil menjadi manusia merdeka, dan semua itu tidak lepas dari bimbingan seorang ibu yang kuat dan perkasa si budak berkulit hitam. Dengan demikian, pendapat Friedan yang menyatakan bahwa rendahnya kedudukan perempuan disebabkan karena perempuan hanya memainkan peranan sekunder atau suportif atau pembantu tidaklah semuanya benar. Peran tradisional yang dimainkan oleh Zabibah seorang ibu yang berasal dari kalangan budak berkulit hitam, ternyata terbukti mampu membuat sang anak menjadi seorang yang dapat diandalkan oleh kelompoknya, bahkan menjadi seorang penyair yang sangat terkenal. Dan penyair, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dalam budaya Arab Jahiliyah memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam kabilah.469 Namun demikian perlu dicatat bahwa meskipun secara individual (sebagai ibu), Zabibah tetap dihormati anaknya, secara sosial sebagai seorang perempuan ia tetap seorang manusia kelas rendah yang tidak dapat memperoleh hak kemerdekaannya meski ia telah melahirkan seorang anak dari laki-laki Arab tulen dan memiliki kedudukan tinggi. Kedudukannya tetap sebagai seorang budak yang bisa dijual dan dibeli kapanpun pemiliknya mau, dan kedudukannya sebagai seorang ibupun tidak mampu merubah statusnya tersebut. Sebaliknya `Antarah, sebagai seorang laki-laki meski ia seorang hajin, namun dapat merubah kedudukannya menjadi orang yang

469 Betty Friedan, The Feminine Mystique, hal. 271

160 merdeka. Slavery pada dasarnya tidak sama dengan sistem kasta, sebab dalam perbudakan kemungkinan untuk merdeka selalu ada, berbeda dengan sistem kasta yang tidak memungkinkan anggotanya berpindah dari satu level ke level yang lain. Berdasarkan hal itu, dalam perbudakan pada dasarnya menganut dua macam status sekaligus, yaitu ascribed status, yaitu status yang diperoleh secara langsung, seperti status `Antarah yang lahir sebagai seorang budak, karena lahir dari ibu yang budak. Namun demikian, karena ia juga merupakan keturunan dari bangsa Arab murni, maka berhak memiliki status sebagai manusia merdeka meski untuk meraih status tersebut, harus melalui perjuangan yang sangat keras dan berliku. Berdasarkan hal itu, maka status `Antarah dapat berubah dari ascribed status menjadi achieved status.470 `Antarah sebagai seorang anak laki-laki diberi kesempatan oleh ayahnya untuk merubah statusnya tersebut dari budak menjadi orang yang merdeka, namun sebaliknya Zabibah sebagai perempuan, meskipun telah melahirkan seorang anak laki-laki yang hebat, panglima perang sekaligus penyair kabilah yang handal, namun ia tidak diberi kesempatan untuk merdeka. Statusnya tetap sebagai seorang budak, tidak berhak menjadi seorang istri yang pantas dihargai dan dihormati, padahal wewenang (power) untuk memerdekakan keduanya ada di tangan sang ayah dan tuan. Zabibah tetap saja memiliki status layaknya harta benda yang dapat dijual dan dibeli kapanpun pemiliknya mau, di sisi lain anak laki-lakinya berhak memperoleh status yang lebih tinggi menjadi orang yang merdeka dan dihargai dalam kabilah. Dalam hal ini, terlihat ketidakadilan perlakuan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan terhadap perempuan dan laki-laki. Dari syair-syair yang digubah `Antarah membuktikan, bahwa tradisi perbudakan di kalangan bangsa Arab Jahiliyah adalah sebuah fakta yang tak dapat dibantah. Maka apa yang diungkapkan oleh Ahmad Masruch Nasucha dalam bukunya Kaum Wanita

470 Dalam sosiologi status sosial seseorang dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu ascribed status dan avhieved status. Ascribed status yaitu status yang diberikan pada seseorang tanpa memperdulikan bakat dan kemampuan yang dimilikinya, baik yang diperoleh karena perkawinan, bangsawan, kasta, ras, gender atau umur. Sedangkan avhieved status adalah status yang diperoleh seseorang berdasarkan hasil usaha dan perjuangannya. Richard T. Schaefer, Sociology, (New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003), edisi 8, hal. 111, lih. juga Munandar Sulaiman, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung: PT. Eresco, 1995), hal. 94

161 Dalam Pembelaan Islam, yang menyatakan bahwa perempuan dalam tradisi dan budaya Arab Jahiliyah diperlakukan sebagai budak sahaya oleh kaum laki-laki, diperjual belikan seolah-olah mereka itu binatang,471 tidaklah salah. Namun demikian pernyataan tersebut tidak dapat digeneralisasi, sebab perbudakan tersebut ternyata selain dilakukan terhadap kaum perempuan, juga dilakukan terhadap laki-laki yang salah satunya adalah `Antarah. Bahkan `Antarah pada hakekatnya adalah anak laki-laki keturunan dari Arab murni, namun karena sang ibu seorang budak, maka ia juga terjerumus dalam kasta budak. Perbudakan pada hakekatnya adalah salah satu bentuk penindasan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya, karena telah menghilangkan salah satu hak asasi manusia, yaitu hak kebebasan untuk menentukan nasib diri sendiri. Meski di mata bangsa Arab, Zabibah adalah sosok rendah tanpa status sosial, namun sesungguhnya ia telah memberi gambaran nyata pada kita tentang citra perempuan yang berasal dari budak berkulit hitam, bahwasanya ia adalah figur perempuan yang kuat, tegar dan penuh kasih. Secara umum, kedudukan imâ’ (budak perempuan) bagi bangsa Arab Jahili tak ada bedanya dengan harta benda yang dapat dijual dan dibeli kapanpun mereka menginginkannya. Oleh karena itu, seorang imâ’ tentu saja tidak memiliki hak apapun dari tuannya apalagi hak untuk dinikahi, karena pernikahan yang resmi hanya berhak dimiliki oleh perempuan hurrah, sedangkan imâ’ tanpa status pernikahan pun secara biologis si tuan berhak untuk memperlakukannya layaknya seorang istri. Hal ini senada dengan apa yang diutarakan Simone De Beauvoir dalam bukunya Second Sex, bahwa pada zaman patrialkal dan purbakala klasik, perempuan tersingkirkan dengan munculnya sistem kepemilikan pribadi, yang kemudian menjadikan nasib perempuan selama berabad-abad lamanya selalu dikaitkan dengan kepemilikan pribadi. Oleh karena itu sebagian besar sejarah perempuan terlibat dengan apa yang dinamakan patrimoni

471 Ahmad Masruch Nasucha, Kaum Wanita dalam Pembelaan Islam, (Semarang: CV. Toha Putra, tth), hal. 10-11

162 atau garis ayah atau leluhur.472 Sehingga ketika Islam datang dan memerintahkan untuk menikahi seorang hamba sahaya, hal itu merupakan sebuah revolusi ideologi yang sesungguhnya melawan harga diri bangsa Arab yang sangat mengagungkan kedudukan mereka sebagai bangsa kulit putih. Di dalam al-Qur’an al-Karim sendiri terdapat beberapa ayat yang membicarakan tentang praktek-praktek perbudakan yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab Jahiliyah serta upaya untuk mengentaskannya. Ayat ini misalnya: }وال تنكحوا المشركات حتى يؤم َّن وألمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم، وال تُنكحوا المشركين حتى يؤمنوا، ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم{473 “Janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan musyrik hingga mereka beriman, karena sesungguhnya budak perempuan mu’min itu lebih baik dari perempuan musyrik, meskipun ia menakjubkanmu, dan jangan pula kau nikahkan (perempuan-perempuan muslim) dengan laki-laki musyrik, karena sesungguhnya budak laki-laki mu’min itu lebih baik dari laki-laki musyrik, meskipun ia menakjubkanmu”.

Dalam ayat tersebut, tampak sebuah upaya yang luar biasa untuk membebaskan manusia dari praktek-praktek perbudakan dari tradisi dan budaya masyarakat Jahiliyah. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa secara fisik, biasanya seorang budak berkulit hitam dan memiliki penampilan yang kurang menarik dibanding dengan bangsa Arab tulen. Untuk itu, baik secara fisik maupun kedudukan dalam struktur sosial bangsa Arab Jahiliyah, mereka termasuk kelompok yang rendah dan hina. Berdasarkan hal tersebut, al-Qur’an dengan tegas mengangkat kaum budak dari sisi lain yang selama ini tidak banyak dijadikan sebagai tolak ukur derajat seseorang dan belum disentuh bangsa Arab Jahiliyah, yakni melalui keimanan seorang manusia, yang menjadikan seorang budak memiliki nilai, tanpa harus melihat dari segi fisik dan kedudukannya di hadapan manusia. Sesungguhnya yang dimaksud dengan imâ’ itu sendiri tidak hanya budak perempuan, sebab selain itu juga termasuk ke dalam kategori ini penyanyi bar atau

472 Simone De Beauvoir, Second Sex; Fakta dan Mitos, terjemah Toni B. Febriantono, (Indonesia: Pustaka Promethea, 2003), cet. 1, hal. 120

473 Al-Baqarah ayat 221

163 pelayan. Peranan mereka dalam tradisi masyarakat Jahiliyah tidaklah sedikit, sebagaimana tergambar dalam kehidupan Zabibah ibunda `Antarah. Contoh lain misalnya terungkap dalam syair `Antarah berukut ini: فبعثت جاريتى، وقلت لها: اذهبى وتج ّسسى أخبارها لى واعلمى Lalu kuutus pelayanku, dan kukatakan padanya, pergilah! Cari tahu tentang keadaannya dan beritahukan (hasilnya) padaku

قالت: رأي ُت من األعادى غ ّرة والشاة ممكنة لمن هو ُمرتمى 474 Ia (pelayannya )pun berkata: aku melihat musuh-musuh sedang dalam keadaan lengah Dan kambing memungkinkan bagi yang ingin memanahnya. Diriwayatkan bahwa suatu hari `Ablah tertawan dalam sebuah peperangan dan `Antarah bermaksud untuk membebaskannya. Untuk itu ia mengirimkan pelayannya sebagai mata-mata untuk mengintai keadaan musuh dan mengetahui keadaan `Ablah dalam tawanan. Setelah pelayannya tersebut berhasil mengetahui keadaan musuh, ia mengirimkan berita dengan menggunakan kata-kata sandi “aku melihat musuh-musuh sedang dalam keadaan lengah, dan kambing memungkinkan bagi yang ingin memanahnya”. Artinya, bila ingin menyerang dan membebaskan `Ablah maka sekarang adalah saat yang tepat, karena musuh dalam keadaannya lengah. Kata Al-syât, arti yang sebenarnya adalah kambing, namun dalam bahasa Arab kata tersebut terkadang diartikan perempuan sebagai kinayah475. Selain al-syât kata al- na`jah yang juga artinya kambing dijadikan pula sebagai kinayah untuk perempuan.476 -yang artinya laki (تش ّوه الرجل شاة) Bedanya adalah jika kata al-syât diambil dari kata yang (نعج اللون) laki berburu kambing, sedangkan kata al-na`jah diambil dari kata artinya berwarna putih mulus. Berdasarkan hal tersebut, maka kedua kata tersebut pada hakekatnya sama saja, yang pertama kinayah perempuan sebagai objek buruan laki-laki, dan yang kedua kinayah perempuan sebagai objek pemandangan laki-laki. Kinayah yang mengkiaskan perempuan dengan kambing pada dasarnya adalah salah satu bentuk

474 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 152 475 Kinayah dalam Balaghah adalah menyebutkan kata namun yang dimaksud bukan makna yang yang sebenarnya, tanpa menutup kemungkinan untuk mengartikannnya sebagaimana makna aslinya. 476 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 152

164 pelecehan peran gender dalam bahasa. Untuk itu dalam teori feminisme, bahasa dianggap turut memberikan efek psikologi yang negatif terhadap kehidupan perempuan. Bahasa menurut penulis Psychology of Women memberi kontribusi yang kuat dalam konstruksi gendering, selain itu bahasa juga turut membentuk konsep dan cara pandang dunia terhadap perempuan.477 Selain itu, dalam syair di atas juga tampak fenomena lain tentang perempuan kelas bawah dan perannya dalam masyarakat. Jâriyah dalam sistem sosial bangsa Jahiliyah termasuk dalam golongan ima’. Jâriyah itu sendiri sama halnya dengan hamba sahaya. Sebagaimana kata al-syât di atas, jâriyah itu sendiri mengandung arti kinayah yang artinya (جرى- يجرى) untuk perempuan. Jâriyah secara derivasi diambil dari kata berlari dan melompat dengan lincah. Menurut kamus al-Munjid, dinamakan demikian karena ada hubungannya dengan gerakannya yang ringan dan cepat bagai berlari. Berdasarkan hal tersebut bisa dipastikan bahwa kinayah budak perempuan dengan kata jâriyah itu sendiri terkait erat dengan peranannya sebagai pelayan yang harus selalu bergerak cepat untuk melayani tuannya. Hal ini dibuktikan oleh budak perempuan `Antarah yang diberi kepercayaan untuk memata-matai musuh dan mencari informasi tentang kekasihnya. Kepercayaan untuk melakukan suatu hal yang sangat penting sebagai seorang mata-mata tidak mungkin diberikan pada seseorang yang kurang cermat dan cekatan. Hal ini adalah sebuah contoh bahwa budak perempuan memiliki peranan yang tidak mudah dalam tradisi bangsa Arab Jahiliyah. Selain menjadi pelayan rumah tangga, fungsi ima’ lainnya adalah menjadi pelayan kedai minuman. Hal ini tersirat dalam mukadimah syair mu`allaqah `Amr ibn Kaltsum478 berikut ini: أال ُهبِّى بصحنك فصبحينا وال تبقى خمور األندرينا

477 Joan C. Chrisler, dkk., Psychology of Women, (New York: McGraww-Hill, 2004), hal. 5 478 Penulis buku al-Mûjaz fi al-Adab al-`Arabi wa Târikhihi memasukkan `Amr ibn Kaltsûm ke dalam kelompok penyair ghair Sha`âlîk. Nama lengkapnya adalah Abu al-Aswad `Amr ibn Kaltsûm ibn Malik al-Taghlabi. Ibunya Laila binti al-Muhalhil saudara Kulaib. Sebagai seorang penyair, ia tidak banyak dikenal kecuali lewat syair-syair mu`allaqatnya yang di antaranya dua bait syair di atas. Ia lebih banyak dikenal sebagai seorang panglima perang yang gagah berani dan percaya diri. Tim penulis, al- Mujaz fi al-Adab al-`Arabi wa Tarikhihi, hal. 91

165 Hai! kemarilah dengan membawa gelas yang besar, lalu tuangkan minuman untuk kami, dan jangan kau sisakan khamr Andarina479

مشعشعة كأن ال ُح َّص فيها إذا ما الماء خالطها سخينا Yang dicampur dengan air, pada saat dicampurkan, hush480 di dalamnya bagai penghangat Salah satu tradisi yang sudah melekat di masyarakat Arab Jahili adalah kebiasaan berkumpul dan minum arak di kedai minuman. Di tempat seperti inilah biasanya para perempuan dari kalangan imâ’ dipekerjakan. Mereka bertugas melayani kaum laki-laki yang hendak bermabuk-mabukkan. Gambaran seperti ini terlihat jelas pada bait pertama dari syair di atas. Tradisi minum-minuman seperti ini pada dasarnya hampir mirip dengan salah satu tradisi di Yunani yaitu kebiasaan minum anggur yang dicampur dengan air di dalam kraters bersama teman-teman. Meminum anggur yang tidak dicampur air dipercaya dapat membahayakan jiwa, sebaliknya anggur yang dicampur air dengan benar, lalu disajikan bersama teman-teman sesama laki-laki dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai positif. Dalam Simposion481 tradisi minum bersama yang biasanya dilanjutkan dengan makan bersama merupakan saat bersenang-senang para laki-laki. Teman-teman yang selevel datang ke tempat tersebut untuk sekedar berbincang-bincang dan bernyanyi. Terkadang mereka hanya tidur-tiduran di atas sofa. Tidak ada tempat bagi perempuan dalam tradisi symposion ini, baik istri maupun saudara. Hanya perempuan yang bertugas melayani yang diizinkan berada di situ. Biasanya tradisi ini dilakukan pada saat-saat liburan.482 Namun pada masyarakat Jahiliyah tradisi seperti ini bukan hanya pada saat-saat tertentu, namun biasa terjadi setiap saat dan kesempatan. Namun tugas yang diperankan perempuan, tidaklah berbeda, yaitu bertugas melayani kaum laki-laki yang sedang bermabuk-mabukkan.

479 Andarina adalah salah satu kota yang terdapat di negeri Syam. Khamr yang berasal dari tempat tersebut sangat terkenal sehingga dinisbatkan pada tempatnya yaitu Andarina. 480 Sejenis tumbuhan berbunga merah mirip dengan pohon za`faran. 481 Symposium adalah kumpulan lukisan yang terdapat dalam museum yang dijadikan sebagai peninggalan bersejarah 482 Georges Duby and Michelle Perrot, A. History of Women; From Ancient Goddesses to Christian Saint, (London: The Belknap Press Combridge, 2000), cet. 6, hal. 216

166 Pada tahun sekitar 520-470 sebelum Masehi, dalam lukisan-lukisan Yunani, anggur, perempuan, nyanyian dan tarian, dilukiskan dalam berbagai kombinasi. Dalam lukisan Aphrodite and Dionysus (love and wine), cinta dan anggur dilukis secara bersamaan. Eros (erotisme) tentu saja bagian dari rombongan lukisan Aprodite dan menjadi simbol seks yang dipenuhi hasrat seksual.483 Bedanya adalah bila pada masa Yunani klasik, erotisme digambarkan melalui lukisan, dalam tradisi Arab Jahiliyah dilukiskan secara verbal melalui syair. Hal ini menunjukkan adanya kesamaan perlakuan terhadap perempuan dari masa ke masa, antara satu budaya dengan budaya yang lainnya, atau antara satu tradisi dengan tradisi lainnya. Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa keterlibatan perempuan kelas bawah (imâ’) dalam tradisi bangsa Arab Jahiliyah, lebih banyak memainkan peranan domestik atau dalam dunia feminisme dinamakan dengan peran tradisional. Hal ini dapat dimengerti karena kedudukan mereka yang sangat rendah dalam struktur sosial saat itu, tidak memungkinkan mereka untuk berperan lebih banyak lagi. Dan hal ini pada dasarnya tidak saja terjadi di dalam tradisi dan budaya Arab Jahiliyah, namun terjadi di hampir seluruh budaya dan tradisi setiap bangsa kuno atau bahkan hingga saat ini. Namun satu hal yang pasti adalah, bahwa secara fisik maupun psikis para budak perempuan tersebut merupakan makhluk Tuhan yang kuat yang mampu melakukan hal- hal yang mungkin saja tidak dapat dilakukan perempuan-perempuan biasa. 2. Cinta dalam belenggu budaya patrialkal Syair dan perempuan dalam tradisi masyarakat Jahiliyah ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Bila penyair-penyair lainnya, menyebutkan perempuan hanya sebatas basa-basi dan tradisi bersyair yang mereka sebut dengan al-nasîb, lain halnya dengan ‘Antarah, ia menyebutkan nama perempuan yang sama di hampir seluruh syair-syairnya, baik syair fakhr, ritsâ’, hijâ’, maupun madah. Ablah, adalah nama perempuan yang menjadi ikon syair-syairnya. Bagi Antarah, tiada syair tanpa ‘Ablah, dalam perang dan luka, dalam sedih dan senang,

483 Georges Duby and Michelle Perrot, A. History of Women; From Ancient Goddesses to Christian Saint, hal. 218

167 semuanya kembali pada ‘Ablah. ‘Ablah adalah simbol cinta sejati seorang laki-laki Badawi untuk perempuan.484 Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa kulit `Antarah yang hitam legam serta kedudukannya sebagai hamba sahaya yang menempatkannya berada pada posisi yang paling rendah dalam stratifikasi sosial bangsa Arab Jahiliyah, membawa dampak yang sangat luar biasa terhadap perjalanan cintanya bersama `Ablah. Kisah cinta ‘Antarah-‘Ablah, pada dasarnya adalah gambaran besar tentang kehidupan dan budaya Arab Jahiliyah dalam memperlakukan perempuan yang pada hakekatnya bukan hanya menyakiti kaum perempuan, namun juga mencederai aspek-aspek kemanusian. Bukan persoalan gender semata, namun posisi ‘Antarah sebagai seorang budak kulit hitam telah menjadi penghalang besar dalam menggapai cinta mereka. Hal ini tergambar dalam syair-syair ‘Antarah berikut ini: أال يا عبل قد زاد التصابى ول ّج اليو َم قو ُم ِك فى عذابى Ahai Ablah, kerinduan semakin bertambah Namun semakin hari semakin keras juga kaummu menyiksaku

وظ ّل هوا ِك ينمو ك ّل يوم كما ينمومشيبى فى شبابى Setiap hari cintaku semakin besar padamu Bagai uban yang tumbuh di usia mudaku

عتب ُت صروف دهرى فيك حتى فنِ َى وأبي ِك عمرى فى العتاب Kumaki berlalunya waktu saat-saat bersamamu, hingga Ajalku tiba, dan ayahmu terus mencercaku

484 Semasa hidupnya Antarah jatuh cinta pada seorang gadis anak dari pamannya sendiri yang bernama ‘Ablah binti Malik. Ablah adalah seorang gadis yang sangat cantik dan cerdas dari kalangan atas. Sayangnya cintanya terhadap Ablah menemui banyak rintangan, terutama dari ayah dan saudara laki-laki Ablah. Meskipun Antarah merupakan panglima perang yang gagah berani, namun keduanya tetap menganggap bahwa Antarah hanyalah keturunan seorang budak. Hal inilah yang membuat syair- syair ghazal Antarah penuh dengan rintihan dan penderitaan. Dan hal ini terus berlangsung dalam kehidupan Antarah hingga ia menemukan perempuan penggantinya bernama Umu Baqi yang kemudian ia nikahi. Sedangkan Ablah menikah dengan pria lain. Namun sebagian peneliti menyatakan bahwa ‘Antarah setelah ia dimerdekakan oleh ayahnya, dan dianggap telah memiliki nasab yang terhormat, ia dikabulkan untuk menikah dengan Ablah. Muhammad Ali al-shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ru, hal. 81, dikutip dari Bathras al-Bustani, Udaba al-Arab fi al-jahiliyah wa Shadr al-Islam, (Beirut: Dar Shadr, tth), hal. 172-173

168 والقي ُت العدا وحفظ ُت قوما أضاعونى ولم يرعوا َجنابى Aku dimusuhi, namun tetap kujaga kaum yang telah menghancurkanku dan tidak menjaga kehormatanku

سلى يا عب َل عنا يوم زرنا قبائل عام ٍر وبنى كالب Tanyakan ‘Ablah, tentang kami saat turun perang melawan Kabilah-kabilah Bani Âmir485 dan Bani Kilâb

وكم من فارس خلّيت ملقى خضيب الراحتين بال خضاب Berapa banyak prajurit yang kutinggalkan dalam keadaan terbujur Penuh warna merah tangannya, meski tanpa celupan486

قتلنا منهم مائتين ح ّرا وألفا فى الشعاب وفى الهضاب487 Kami bunuh sebanyak dua ratus orang yang merdeka Dan seribu orang yang ada di lereng-lereng gunung dan di bukit-bukit

‘Ablah, kerinduan, siksaan, cercaan dan Ayah ‘Ablah, adalah rangkaian kata yang disusun oleh ‘Antarah untuk menggambarkan percintaannya dengan ‘Ablah. Ada banyak kesakitan yang diungkapkan penyair dari balik cintanya. Inilah salah satu metaphor cinta yang disebut dengan desire is pain (cinta itu sakit) yang dikemukakan oleh Alice Deignan.488 Meskipun ‘Antarah dikenal sebagai seorang prajurit yang gagah berani dan juga penyair yang sangat terkenal, namun tetap saja kondisinya sebagai seorang budak hitam, telah menjadi penghalang besar cintanya dengan ‘Ablah. Pada persoalan ini, bukan hanya perempuan yang dirugikan, namun kondisi tersebut sesungguhnya telah menyakiti perasaan manusia secara umum. Cinta ‘Antarah-`Ablah hanyalah simbol dari ketidakadilan sosial, bukan semata-mata persoalan gender. Berikut keluh kesah ‘Antarah karena terpisah dari kekasih hatinya akibat dipisahkan oleh ayah ‘Ablah: أال يا عب ُل ضيّع ِت العهود وأمسى حبلُ ِك الماضى صدودا489

485 Syair ini sebenarnya ditujukan pada Bani Âmir untuk membuatnya marah (ighâr) 486 ungkapan ini sepertinya menggambarkan kondisi korban perang yang bergelimang darah 487 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 13-14 488 Keith Harvey and Celia Shalom (editor), Languange and Desire, (London and New York: Routledge, 1997), hal. 28 489 Bahr wâfir

169 Wahai Ablah, perjanjian itu telah kau lenyapkan490 Dan tali cintamu yang lalu jadi terhalang

وما زال الشباب وال اكتهلنا وال أبلى الزمان لنا جديدا Tetap dalam keremajaan, dan kita tetap tidak menikah juga Dan waktu bukan sekali ini menguji (cinta) kita

وما زالت صوارمنا حدادا تقدُّ بها أناملنا الحديدا491 Ketegaran ( cinta) kita selalu saja menjadi duka, (bagai) Jari-jari kami yang merobek-robek baju besi

Diriwayatkan bahwa ayah `Ablah dan saudara laki-lakinya pernah merestui hubungan cinta Antarah dengan anaknya dan keduanya berjanji akan menikahkan keduanya.492 Namun tiba-tiba `Umârah ibn Ziyâd al-`Abasi datang meminang `Ablah pada ayahnya Mâlik dengan membawa sejumlah pembesar kabilah Bani `Abas. Ayah `Ablah dan saudara laki-lakinya sangat menyukai `Umârah karena ia berasal dari keluarga yang kaya raya dan sangat terkenal. Akhirnya keduanya menerima pinangan dari `Umarah, padahal saat itu, mereka telah berjanji pada `Antarah untuk menikahkannya dengan `Ablah.493 Inilah yang dimaksudkan oleh `Antarah dalam syairnya, “Wahai Ablah, perjanjian itu telah kau lenyapkan, dan tali cintamu yang lalu jadi terhalang”. “Ketegaran ( cinta) kita selalu saja menjadi duka, (bagai) jari-jari kami yang merobek-robek baju besi”. Ada nada putus asa dalam syair tersebut, setelah akhirnya tanpa pemberitahuan janji pernikahan itu dibatalkan secara sepihak. Nada putus asa itu tersirat saat penyair mengumpamakan ‘ketegaran cinta mereka’ dengan ‘jari-jari yang merobek-robek baju besi’, yang artinya mustahil akan terjadi, meskipun berjuang dengan sekuat tenaga.

490 Diriwayatkan bahwa ‘Antarah sempat dijanjikan dapat menikahi ‘Ablah oleh ayahnya, namun perjanjian itu dibatalkan sepihak oleh ayahnya ‘Ablah, karena ia dilamar oleh laki-laki yang kaya raya dan dari kalangan atas. Dalam hal ini, jelas bahwa motif ekonomi dan kedudukan membuat perempuan dianggap tidak berharga, dan tidak pantas untuk mempertahankan cintanya. Dominasi laki-laki (ayah) dalam tradisi Jahiliyah sangat kuat, sehingga perempuan dapat dijadikan sebagai alat tukar. 491 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 55-56 492 Berdasarkan riwayat, selepas `Antarah dimerdekakan oleh ayahnya karena kepahlawanannya, ayah `Ablah dan saudara laki-lakinya menyetujui Antarah untuk menikahi `Ablah. 493 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 50-51

170 Jika dalam syair sebelumnya kedudukan ‘Antarah sebagai budak hitam menjadi penghalang bersatunya cinta dua anak manusia, dalam syair ini tampak ketidakberdayaan ‘Ablah dalam menentang kehendak ayahnya yang ingin memisahkan mereka. Betapa perempuan sebagai seorang anak, tidak diberi kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya. Dominasi ayah bahkan saudara laki-lakinya sangat kuat, sehingga ia tidak diberi hak untuk mempertahankan cintanya. Selain itu motif ekonomi dan juga prestise, turut berperan menjadikan perempuan sebagai alat tukar yang menguntungkan. Semua yang terjadi itu, menunjukkan adanya dominasi yang sangat kuat yang dimiliki seorang ayah atau saudara laki-laki terhadap perempuan. Dalam hal ini kisah cinta `Antarah-Ablah tidak ubahnya dengan kisah fiksi Siti Nurbayah yang dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengan Datuk Meringgih seorang laki-laki kaya yang menghalalkan segala cara guna mencapai tujuannya. Dominasi ayah terhadap anak gadisnya dalam kisah nyata Antarah-Ablah ataupun kisah fiksi Siti Nurbaya, oleh Sugihastuti dikategorikan sebagai domestic violence atau kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan secara psikis.494 Sebagai bentuk penyesalan atas nasib malang percintaannya dengan `Ablah, `Antarah menggambarkan keadaannya dan menyesali waktu-waktunya sebagai berikut: إن طيف الخيال يا عبل يشفى ويدا َوى به فؤادى الكئيب Wahai ‘Ablah, kehadiranmu dalam mimpiku menyembuhkan Dan mengobati hatiku yang merana

وهالكى فى الح ّب أهون عندى من حياتى إذا جفانى الحبيب Hancurnya aku dalam cinta lebih mudah daripada hidupku Jika harus berpisah dengan kekasih

يا نسيم الحجاز لوالك تطفا نار قلبى أذاب جسمى اللهي ُب 495 Wahai angin Hijaz, kalau bukan karenamu, api (cinta) di hatiku pasti padam Melebur tubuhku yang membara

494 Siti Nurbaya Dalam Analisis Kritik Sastra Feminis dibahas secara rinci oleh Sugihastuti Suharto dalam bukunya Kritik Sastra Feminis, Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 206-273 495 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 21

171 Dan inilah gambaran kerinduan `Antarah saat terpisah dari `Ablah kekasihnya: إذا كان دمعى شاهدى كيف أجحد ونار اشتياقى فى الحشا تتوقّد Andai saja air mataku menyaksikan bagaimana aku berusaha menahannya Sedangkan api kerinduanku di dalam dada bergejolak

وهيهات يخفى ما أك ّن من الهوى وثوب سقامى ك ّل يوم يجدد Tidak mungkin kusembunyikan rasa cinta ini Sedangkan rasa sakitnya setiap hari semakin bertambah

أقاتل أشواقى بصبرى تجلّدا وقلبى فى قيد الغرام مقيّد Kubunuh kerinduanku dengan rasa sabar Sedangkan hatiku terikat dalam cinta

إلى هللا أشكو َجور قومى وظلمهم إذا لم أجد خالّ على البعد يعضد Padamu Tuhan kuadukan penindasan dan penganiayaan kaumku Jika tidak kutemukan teman jauh yang akan membelaku

خليل ّى أمسى حب عبلة قاتلى وبأسى شديد والحسام مهنّد Sahabat, cintaku pada ‘Ablah telah membunuhku Namun (karenanya) keberanianku semakin kuat, dan pedang pun terhunus

حرام عل ّى النوم يابنة مالك ومن فرشه جمر الغضا كيف يرقد Haram bagiku untuk tidur, wahai anak gadis Malik Bagaimana bisa tidur, sedangkan kasurnya terbuat dari pohon bara api

سأند ُب حتى يعلم الطير أنّنى حزين ويرثى لى الحمام المغ ّرد Aku akan meratap hingga burung itu tahu, bahwa aku Sedang berduka, burung darapun menyanyikan lagu ratapan untukku

وأ ْلثِ ُم أرضا أن ِت فيها مقيمة لع ّل لهيبى من ثرى األرض يبرد Kukecup tanah tempat tinggal kamu Semoga saja gejolak (cinta)ku karena airnya tanah menjadi dingin

رح ْل ِت وقلبى يابنة الع ّم تائه على أثر األظعان للركب ينشد Wahai anak gadis pamanku, kau pergi, sedang aku di sini tersesat Mengikuti jejak-jejak sekedup, sambil berdendang

172 لئن يشم ِت األعداء يا بن َت مالك فإ ّن ِودادى مثلما كان يُعهد496 Wahai anak gadis Malik, Andai musuh memakiku Sesungguhnya cintaku apapun yang terjadi tetap setia

يا عب ُل حبّك فى عظامى مع دمى ل ّما جر ْت روحى بجسمى قد جرى497 Hai ‘Ablah, cintamu dalam balungku mengalir bersama darahku Seperti nyawaku yang berlari di tubuhku

تُ َرى هذه ريح أرض الشربَّة أم المسك ه ّب مع الريح هبّ ْه Apakah ini gerangan, angin dari tanah Syarabbah Atau kesturi yang terbawa angin

ومن دار عبلة نار بدت أم البرق س ّل من الغيم عضب ْه Apakah yang muncul dari rumah ‘Ablah itu api Atau percikan kilat yang jatuh dari awan

أعبلة قد زاد شوقى وما أرى الدهر يُ ْدنى إلى األحبّ ْه Wahai ‘Ablah, kerinduanku semakin bertambah Namun tak kulihat waktu berpihak pada cinta

وكم ج ْهد نائية قد لقي ُت ألجل ِك يا بن َت ع ّمى ونكبه Berapa banyak rintangan dan marabahaya yang kuterima Karenamu, wahai anak pamanku

فلوأ ّن عيني ِك يوم اللقاء ترى موقفى ز ْد ِت لى فى المحب ْه Jika kedua matamu saat jumpa memandangku, semakin menambah cintaku padamu

يفيض سنانى دماء النحور و ُرمحى يش ّك مع ال ِدّرع قلبه498 Pedangku mengucurkan darah dari leher-leher Dan tombakku menembus baju besi langsung ke jantungnya499

496 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 74 497 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 92 498 Diceritakan bahwa pada suatu hari ‘Antarah keluar dari kabilahnya untuk menolong sahabatnya dari Bani Mâzin yang bernama Hishn ibn ‘Auf . Pada saat kepulangannya, ia teringat kota Syarabbah dengan alamnya yang menyenangkan. Kota ini adalah tempat tinggal ‘Ablah kekasihnya yang karena kepergiannya tersebut, ia lama tidak berjumpa dengannya dan merasakan kerinduan yang sangat dalam. Lalu ia pun mendendangkan syair tersebut. Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 8 499 Bait syair ini, sudah menceritakan tentang keganasannya saat bertempur menyelamatkan sahabatnya Hishn ibn ‘Auf.

173

Berdasarkan latar belakang penyair, sangat jelas bahwa perlakuan tidak adil masyarakat Jahiliyah terhadap perempuan tidak semata-mata persoalan gender, namun juga sikap diskriminatif rasial dan stratifikasi sosial yang mereka anut. Sikap diskriminatif itu berlaku bagi siapa saja, baik laki-laki ataupun perempuan, tanpa peduli siapa yang disakitinya. Dari syair-syair `Antarah di atas, dapat disimpulkan bahwa ada empat unsur yang memotivasi terjadinya diskriminasi dalam percintaan, pertama, ideologi rasial yang dianut bangsa Arab saat itu, yaitu ideologi yang membedakan antara kulit putih dan hitam, dan cara mereka memandang rendah kelompok kulit hitam. Kedua, praktek- praktek perbudakan baik yang dibeli ataupun hasil tawanan, menjadikan budak atau tawanan tersebut memiliki kedudukan yang sangat rendah dalam sistem sosial bangsa Arab. Ketiga, permusuhan dan perselisihan antar kabilah, yang terkadang demi kehormatan kabilahnya, harus rela memusuhi orang yang dicintai. Keempat, adanya stratifikasi sosial dalam kabilah, memunculkan kelompok aristokrat, kelompok menengah dan hamba sahaya. Hal ini menimbulkan perbedaan cara pandang antara kelompok atas dan bawah. Keempat hal tersebut pada akhirnya menimbulkan ketidakadilan sosial, yang pada hakekatnya tidak hanya menyakitkan kaum hawa, namun juga bagi kaum Adam. Ia bukan hanya tidak adil bagi perempuan, tapi telah merampas hak-hak asasi manusia, yaitu perasaan ingin mencintai dan dicintai. Budaya patrialkhal yang dianut oleh bangsa Arab Jahiliyah, selanjutnya berubah wujud menjadi dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan. Di sisi lain ideologi rasial yang mereka anut telah menciptakan sikap dan budaya kesewenang-wenangan antara kelas atas terhadap kelas bawah, dan kekuasan yang dimiliki kaum laki-laki menjadi sebuah kekerasan (violence) terhadap perempuan baik secara fisik maupun psikis. Dalam tradisi Arab Badawi kekerasan terhadap perempuan secara psikis ternyata jauh lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki terutama keluarga dibanding kekerasan secara fisik.

174 Dari kisah dan syair di atas, tampak citra perempuan Jahiliyah yang tertindas dan terbelenggu cintanya, yang disebabkan oleh kekuatan budaya patrialkhal, perbedaan ras, dan sistem stratifikasi sosial yang dianut oleh mereka, sehingga dominasi kelompok yang kuat terhadap yang lemah tampak sangat menonjol. Meskipun secara budaya, perempuan Jahiliyah memiliki citra cinta yang buruk akibat kuatnya sistem patrialkhal, namun demikian, cinta dalam syair-syair `Antarah, diilustrasikan oleh penyair sebagai sesuatu yang agung dan abadi. Meskipun kisah cinta `Antarah-Ablah merupakan cerita tentang kasih tak sampai antara dua anak manusia, namun hal yang tak dapat dipungkiri adalah bahwa cinta selalu menjadi sumber kekuatan bagi pemiliknya. Hal ini tampak jelas dalam syair-syair `Antarah, yang selalu menceritakan tentang keberanian dan semangatnya dalam setiap peperangan setelah mengungkapkan perasaan cintanya pada sang kekasih, seperti dalam syair sebelumnya. “Jika kedua matamu saat jumpa memandangku, semakin menambah cintaku padamu” yang kemudian ia lanjutkan dengan bait berikutnya, ”Pedangku mengucurkan darah dari leher-leher, dan tombakku menembus baju besi langsung ke jantungnya”. Dua bait syair tersebut membuktikan bahwa ada korelasi yang kuat antara perempuan, kekuatan cinta, dan laki-laki. Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh perempuan terhadap kejiwaan seorang laki-laki pada masa Jahiliyah. Ia mampu membangkitkan semangat juang seorang prajurit, sekalipun hatinya hancur karena penderitaan cinta. Contoh lainnya terlihat dalam syair ini: أيا عبل ما كن ُت لوال هواك قليل ال َّصديق كثير األعادى Aku, wahai ‘Ablah, kalau saja bukan karena cintamu, tidak mungkin Kawanku sedikit, dan banyak musuh

وح ِقّك الزال ظه ُر الجواد مقيلى وسيفى ود ْرعى ِوسادى500 Demi kamu, punggung kuda akan tetap jadi tempat tidurku, pedang dan baju besiku jadi bantalku

Penyair dalam syairnya tersebut ingin menyatakan betapa besar arti sang kekasih bagi hidupnya, bahkan ia rela tidak memiliki banyak teman asal kekasih selalu di

500 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 52-53

175 sampingnya, ia juga rela bila harus menghadapi sekian banyak musuh demi membelanya. Demi kekasihnya pula, ia bahkan rela untuk berperang selamanya, asalkan ia mendapatkan cintanya. Bila bagi penyair Jahiliyah lainnya, al-nasib (menyebutkan perempuan dalam syair) mungkin hanyalah sebagai pemanis dan tradisi bersyair belaka, namun bagi `Antarah perempuan adalah seluruh hidupnya, sehingga nama `Ablah tidak hanya sebatas mukadimah syair, namun tersebar di hampir seluruh syair-syairnya, baik dalam fakhr, hamâsah, hijâ, maupun madhnya, semuanya terangkai menjadi satu dalam kisah cinta budak hitam dan perjuangannya sebagai seorang prajurit perang. Hal inipun terlihat dalam syair lainnya: لعمر أبيك ال أسلو هواها ولو طحنت محبتُها عظامى Demi ayahmu, aku tidak akan berhenti mencintainya Meski cintanya menghancurkan tulangku

علي ِك أيا عبلة كل يوم سالم فى سالم فى سالم Untukmu hai Ablah, setiap hari damai, damai, dan damai

Cinta yang digambarkan oleh penyair dalam syair tersebut, membuktikan tentang adanya kesetiaan seorang laki-laki Jahiliyah terhadap perempuan. Meskipun kesetiaan tersebut perlu diberi catatan, sebab secara the facto terbukti, bahwa `Antarah bukanlah seorang laki-laki yang berasal dari kelas atas, yang memiliki kekuasaan, kekayaan dan kehormatan, seperti para penyair aristokrat, namun ia hanyalah seorang budak berkulit hitam yang karena keberanian dan kecerdasannya mampu mengubah hidupnya menjadi seorang panglima perang dan laki-laki merdeka. Meski demikian, `Antarah melalui syair-syairnya memberikan gambaran lain tentang makna cinta dalam budaya Arab Jahiliyah, bahwa perempuan tidak selalu dijadikan sebagai objek seksualitas dan pornografis semata, seperti yang biasa dilakukan oleh para aristokrat yang hanya menjadikan perempuan sebagai pemuas nafsu belaka, namun lebih dari itu, perempuan adalah simbol kekuatan dan cinta yang abadi.

176 Bila cinta oleh kalangan aristokrat lebih dimaknai sebagai desire atau hasrat bercinta, maka bagi penyair badawi perwujudan cinta tampil dalam bingkai yang berbeda. Sebagai contoh dalam syair berikut: ما ا ْستَ ْم ُت أنثى نفسها فى موطن حتى أوفى مهرها موالها Aku tak pernah menginginkan seorang perempuan di suatu tempat Hingga kuberikan mahar pada walinya

أغشى فتاة الح ّي عند حليلها وإذا غزت فى الجيش ال أخشاها Kukunjungi gadis kabilah di saat ia ada di samping mahramnya Jika ia sedang berperang, aku tidak takut (selalu menjaganya)

وأغض طرفي إن بدت لى جارتى حتى يوارى جارتى مأواها501 Kutundukkan kedua mataku, jika muncul tetangga (perempuan) di hadapanku Hingga ia kembali ke dalam rumahnya

Dari syair di atas, secara universal ada nilai-nilai kemanusiaan yang ditunjukkan seorang badawi ghair Sha`âlîk terhadap perempuan. Pertama, sikap menghargai terhadap perempuan dengan tidak memaksakan kehendak sebelum memenuhi haknya, meskipun sesuai dengan tradisi saat itu, mahar diberikan pada pihak wali. Kedua, sikap menjaga kehormatan perempuan dengan tidak membiarkan dirinya berada dengan perempuan tanpa didampingi mahramnya, namun bila dalam keadaan darurat (perang), ia tidak berlepas tangan dan membiarkannya dalam bahaya, namun berusaha tetap melindunginya. Ketiga, ada upaya pencegahan terhadap eksploitasi tubuh perempuan maupun sikap-sikap yang merendahkan lainnya dengan menghindarkan pandangannya terlebih dahulu dari perempuan sebelum hasrat birahi menguasainya. Keempat, sudah menjadi asumsi publik, bahwa perempuan pada masa Jahiliyah dianggap sebagai barang yang tidak berharga dan poligami sudah dianggap sebagai suatu budaya. Bila kembali pada pembahasan sebelumnya tentang kehidupan kaum laki-laki aristokrat, maka bisa dipastikan bahwa asumsi tersebut adalah sebuah kebenaran. Namun demikian asumsi tersebut juga perlu dibuktikan secara adil ditinjau dari seluruh unsur masyarakat

501 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 185-186

177 Jahiliyah lainnya. Kesan bahwa poligami adalah sebuah tradisi dan budaya masyarakat Jahiliyah secara umum terbantahkan oleh orientasi monogami `Antarah yang tertuang dalam syair-syairnya. Sebagai contoh ungkapan `Antarah yang sangat mengagungkan kesetiaan: إنى امرؤ سمح الخليقة ماجد الأُتْبع النفس اللجوج هواها Akulah laki-laki berakhlak mulia dan terhormat Tak kubiarkan jiwa ini sekehendak hati

ولئن سأل َت بذاك عبلة خبّرت أن ال أريد من النساء سواها502 Namun jika kau tanyakan pada`Ablah tentang hal itu, ia pasti ber cerita Bahwa tak ada perempuan yang kuinginkan selain dia

Pernyataan “Namun jika kau tanyakan pada `Ablah tentang hal itu, maka ia menceritakan bahwa tak ada yang kuinginkan selain dia”, adalah sebuah bukti kongkrit tentang sebuah kesetiaan seorang laki-laki terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun poligami adalah sesuatu yang dilegitimasi bahkan cenderung jadi budaya, namun tidak bisa diabaikan bahwa secara kasuistis, kecenderungan seorang laki-laki untuk melakukan monogami dalam setiap kehidupan manusia selalu ada. Jika fenomena ini dibandingkan dengan kasus Umru al-Qais sebelumnya, muncul sebuah pertanyaan besar, benarkah bahwa poligami itu sebuah budaya atau hanya hasrat individu? Berdasarkan kasus Antarah dan Umru al-Qais, maka diperoleh suatu jawaban bahwa poligami pada hakekatnya adalah hasrat individu yang berubah menjadi budaya yang disebabkan oleh faktor kekayaan (privilege/property), kehormatan (pertige), dan kekuasaan (power) yang dimiliki oleh laki-laki. Berdasarkan penjelasan di atas, ada perbedaan pandangan tentang makna cinta antara kelompok aristokrat dan kelompok badawi terhadap perempuan. Kelompok aristokrat memahami cinta (ghazal) terhadap perempuan sebagai sebuah desire atau hasrat seksual dan erotisme, sedangkan kelompok Badawi memahami cinta sebagai sesuatu yang agung dan sumber kekuatan. Sudut pandang yang berbeda ini tentu saja

502 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 185-186

178 dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi yang berbeda antara keduanya. Sebagai kelompok Aristokrat, Umru al-Qais dapat dengan mudah memperoleh perempuan manapun yang diinginkannya, sedangkan `Antarah sebagai seorang budak harus berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan perempuan yang diinginkannya, sehingga kondisi tersebut akhirnya menciptakan sudut pandang dan perlakuan yang berbeda terhadap perempuan yang mereka cintai. Di sisi lain, perempuan, baik dalam lingkungan istana ataupun dalam lingkungan badawi, tetap saja sebagai objek yang tidak dapat memainkan peranannya secara mandiri, dan selalu berada di bawah bayang- bayang dan dominasi kaum laki-laki. Meskipun perempuan dalam dalam syair istana maupun badawi menjadi ikon tersendiri, namun demikian mereka tetap saja selamanya sebagai objek impian, the second sex (warga kelas dua), dan subordinatif, sedangkan figur laki-laki terus menjadi the authority yang selalu membayangi dan mendominasi setiap langkah perempuan.503 3. Kecantikan di mata seorang Badawi Setiap kelompok penyair Jahiliyah mempunyai karakteristik tersendiri dalam memvisualisasikan perempuan. Visualisasi504 ini biasanya terkait erat dengan tradisi dan budaya masing-masing. Lalu bagaimanakah ‘Antarah sebagai seorang penyair Badawi Ghair Sha’alik mendeskripsikan perempuan? Berikut beberapa gambaran syair washf 505`Antarah saat mencitrakan perempuan dalam syairnya: رم ْت الفؤاد مليحة عذراء506 بسهام لح ٍظ ما له ّن دواء507

503 Hal ini senada dengan ungkapan Suwardi Endraswara yang menyatakan bahwa, “Karya sastra sejak zaman dahulu kala telah menjadi culture regime dan memiliki daya pikat kuat terhadap persoalan gender. Persepsi wanita sebagai makhluk yang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya pria sebagai kaum yang cerdas, aktif, kuat dan sejenisnya- selalu mewarnai di hampir semua sastra di dunia. Citra wanita seperti itu seakan-akan telah mengakar dalam benak penulis dari masa ke masa. Dan paham yang sangat sulit dihilangkan hingga kini adalah terjadinya hegemoni pria terhadap wanita. Hampir seluruh karya sastra, baik yang dihasilkan oleh penulis pria maupun wanita, dominasi pria selalu lebih kuat. Figur pria terus menjadi the authority, sehingga memberikan asumsi bahwa wanita adalah impian, the second sex, warga kelas dua dan tersubordinasi”. Suwardi Endraswara dalam bukunya Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), hal. 143, 504 Visualisasi adalah pengungkapan suatu gagasan atau perasaan dengan menggunakan gambar, tulisan, kata maupun angka. 505 Syair yang sengaja dibuat untuk mendeskripsikan sesuatu 506 ‘Adzrâ adalah gadis yang belum disentuh laki-laki (virgin)

179 Gadis cantik nan rupawan memanah hatiku Dengan panah (kerlingan) matanya yang tidak ada obatnya

م ّرت أوان العيد بين نواهد مثل الشموس ِلحا ُظهن ظباء Pada hari raya ia berjalan di antara gadis-gadis Bagai mentari-mentari, kerlingan mata mereka bagai kijang

خطر ْت فقل ُت قضي ُب با ٍن ح ّرك ْت أعطا َفه بعد الجنو ِب صبا ُء Ia (‘Ablah) melenggang, lalu kukatakan ‘(ia bagai) pohon Ben’ yang ketiaknya (dahan) digerakan oleh angin Shibâ (semilir) setelah angin (Janûb) panas

ورن ْت فقلت غزالةٌ مذعورة قد راعها و ْس َط الفالة يال ُء Ia memandang508 dan kukatakan ‘(matanya bagai) kijang yang ketakutan Yang terkejut saat melihat bahaya

وبد ْت فقل ُت البدر ليلةَ تِ ِّم ِه قد قلّدتْه نجو َمها الجوزاء Ia muncul, dan kukatakan ‘(bagai) bulan purnama yang sempurna Dihiasi bintang-bintangnya oleh (rasi) gemini

بسم ْت فال َح ضيا ُء لؤلؤ ثغرها فيه لدا ِء العاشقين شفاء Ia tersenyum, tampak kilau mutiara dari mulutnya Mengobati rasa sakit orang-orang yang sedang jatuh cinta

سجد ْت تع ّظم ربَّها فتمايلت لجاللها أربابنا العظماء Ia bersujud mengagungkan Tuhannya, sehingga karena pesonanya tuhan-tuhan kamipun memperhatikannya

يا عب َل مثل هوا ِك أو أضعافُه عندى إذا وقع اإلياس رجاء 509

Wahai ‘Ablah, karena cintamu yang kumiliki atau bahkan lebih dalam lagi Maka, dalam putus asa selalu ada harapan

لمن الشموس عزيزةَ األحداج يطلعن بين الو ْش ِى والديباج Milik siapakah gerangan mentari-mentari itu, perempuan terhormat di dalam sekedup, mereka muncul di antara hiasan dan sutra510

507 Bahr kâmil: mutafâ’ilun-mutafâ’ilun, dengan qâfiyah mutawâtir 508 Arti sebenarnya adalah memandang dengan mata yang lebar, atau membelalak 509 Abd al-Mun’im Abd al-Rauf Syulmâ dan Ibrâhim al-Abyârî, Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1980 M/ 1400 H) , hal. 5-6

180

من ك ّل فائقة الجمال كدمية من لؤلؤ قد ص ّورت فى عاج Kecantikan yang tiada taranya, bagai boneka yang terbuat Dari mutiara yang diletakan di atas gading gajah

تمشى وترفل فى الثياب كأنها غ ْص ٌن ترنّ َح فى نقا رجراج Ia berjalan dan menarik ekor bajunya, bagai Dahan pohon berjalan di atas pasir yang bergerak

حفّ ْت به ّن مناصل وذوابل ومش ْت به ّن ذوامل ونواجى Dikelilingi pedang dan lembing Dan berjalan bersama mereka unta-unta yang berlari kencang dan lamban

فيه ّن هيفاء ال َق َْوام كأنها ف ْل ٌك مش ّرعةٌ على األمواج Di antara mereka tampak seorang gadis ramping (bunga desa), bagai Perahu yang berlayar di atas ombak

Seperti halnya Umru al-Qais, dalam mendeskripsikan kecantikan perempuan, `Antarah juga lebih suka menggunakan simbol perumpamaan yang bersifat kongkrit (hissi) daripada yang bersifat abstrak. Untuk menggambarkan kecantikan dan غزالة ) keanggunan seorang perempuan penyair memilih simbol-simbol seperti kijang dan untuk ,(البدر) bulan purnama ,( قضي ُب با ٍن ) pohon ben511 ,( الشمس) matahari ,(ظباء/ sebagai perumpamaan. Kijang bagi ( لؤلؤ) biasanya diumpamakan dengan (ثغر) gigi masyarakat Jahiliyah yang memiliki tradisi berburu adalah binatang yang sangat familier dan mudah dijumpai. Menariknya adalah, istilah kijang yang digunakan untuk perempuan ini seakan-akan sudah melekat dalam tradisi Arab Jahiliyah , bahkan di dalam kamus sendiri kata zhabi atau ghazalah (kijang) diartikan sebagai gadis.512 Hal ini erat hubungannya dengan tradisi berburu dan juga imajinasi mereka pada saat berjauhan dengan perempuan, sehingga pada saat mereka melihat seekor kijang yang

510 yang dimaksud dengan al-wasy dan al-dîbâj yaitu baju yang dihiasi gambar-gambar yang terbuat dari kain sutra. Penyair dalam hal ini menggunakan majâz mursal dengan ‘alâqah juz’iyah, yaitu majaz yang menyebutkan sebagian, namun yang diinginkan oleh komunikan adalah keseluruhan. 511 pohon Ben adalah sejenis pohon yang tumbuh lurus dan tinggi, biasanya terdapat di benua Asia. Perempuan diumpamakan dengan pohon ini, jika bertubuh tinggi semampai. 512 Lih. kamus, al-Munjid, hal. 478

181 sangat cantik dan memiliki beberapa kemiripan dengan perempuan, seperti kerling matanya, halus bulunya, juga kelincahannya, yang tersirat dalam benak mereka adalah perempuan yang mereka tinggalkan. Namun demikian dalam menggambarkan sosok perempuan, ada perbedaan yang sangat nyata antara Umru al-Qais sebagai seorang penyair bangsawan dan `Antarah sebagai seorang penyair sekaligus prajurit perang. Jika Umru al-Qais banyak menggunakan gaya bahasa yang vulgar dan seronok, tidak demikian halnya dengan `Antarah, gaya bahasa yang digunakannya sangatlah halus dan elegan. Sebagai contoh, kata Malihah (gadis cantik), ‘adzra (gadis perawan) oleh penyair diumpamakan dengan anak panah. Kedua-duanya memiliki persamaan yaitu mampu menusuk hati seseorang. Kata memanah itu sendiri, tidak mungkin diartikan dengan makna hakiki, maka untuk menjelaskan makna yang ia inginkan, penyair menambahkan kata lahz (kerlingan mata) setelah kata siham (panah), sehingga tidak mungkin pendengar atau pembaca memahaminya dengan makna yang sesungguhnya, karena yang ia inginkan adalah kerlingan mata gadis itu mampu membuat hatinya bagai terpanah. Dalam ilmu Balaghah, gaya bahasa seperti itu disebut dengan isti`ârah513. Dari aspek gaya bahasa, jelas `Antarah memiliki kapabilitas sastra yang lebih unggul dibanding Umru al-Qais. Bait syair ini misalnya “Milik siapakah gerangan mentari-mentari itu, perempuan terhormat di dalam sekedup, mereka muncul dengan gambar (hiasan baju) dan sutra” menunjukkan sebuah penuturan yang halus yang ditujukan untuk perempuan. Hal inilah yang membedakan antara Umru al-Qais dan `Antarah pada saat menggambarkan sosok perempuan. Umru al-Qais lebih banyak menggunakan gaya bahasa tasybîh, sedangkan `Antarah selain tasybîh, `ia juga banyak mengunakan isti`ârah. Meskipun tidak sevulgar Umru al-Qais dalam mendeskripsikan perempuan, namun erotisme dalam puisi Jahiliyah tampaknya sudah menjadi budaya. Hal ini terlihat dari ungkapan penyair “Pada hari raya ia berjalan di antara nawâhid, mereka

513 Dalam bahasa Indinesia dikenal dengan istilah kiasan atau metafora yang berarti majas yang mengandung perbandingan yang tersirat sebagai pengganti kata atau ungkapan lain untuk melukiskan kesamaan atau kesejajaran makna di antara keduanya. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: UIP, 1990), hal. 43

182 bagaikan mentari, kerlingan mata mereka bagai kijang”. Al- nawâhid merupakan bentuk jamak dari nâhid atau nâhidah yaitu anak gadis dengan payudara yang bulat dan membusung, artinya gadis remaja yang sedang ranum. Gadis-gadis yang memiliki payudara yang bulat itu selanjutnya oleh penyair diumpamakan dengan matahari, karena keduanya sama-sama dapat memukau dan membuat silau pandangan manusia, sedangkan kerlingan matanya bagaikan mata kijang yang besar dan selalu waspada terhadap setiap gerakan. Sepertinya visualisasi objek-objek seksual dalam puisi-puisi Arab Jahiliyah sudah dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan biasa, meskipun derajat kevulgarannya itu sendiri berbeda-beda. Cinta yang sangat besar yang dirasakan penyair ternyata sangat mempengaruhi gaya bahasa yang ia gunakan. Sebagai contoh, ‘Ia (Ablah) bersujud mengagungkan Tuhannya, sehingga karena pesonanya tuhan-tuhan kamipun memperhatikannya’, atau Kecantikan yang tiada taranya, bagai boneka yang terbuat dari mutiara yang diletakan di atas gading gajah’. Ketika penyair mengatakan bahwa karena kecantikan `Ablah tuhan-tuhan pun memperhatikannya, atau ia bagai boneka yang terbuat dari mutiara yang diletakkan di atas gading, hanyah sebuah ungkapan yang berlebihan. Kedua ungkapan tersebut tidak lebih dari gaya bahasa hiperbola yang berlebihan. Namun dari bait tersebut ada hal yang menarik perhatian ketika dikaitkan dengan kondisi ideologis bangsa Arab saat itu. Bait syair: سجد ْت تع ّظم ربَّها فتمايلت لجاللها أربابنا العظماء Ia bersujud mengagungkan Tuhannya, sehingga karena pesonanya tuhan-tuhan kamipun memperhatikannya

,yang berarti mengagungkan تع ّظم yang berarti bersujud atau سجد ْت Kata ternyata bukanlah istilah yang khusus digunakan umat Muslim, namun sudah terbiasa mereka ucapkan sejak masa Jahiliyah. Pada saat penyair mengatakan ‘ia bersujud dan mengagungkan’ yang menjadi objek dari kedua kata tersebut adalah Rabb (Tuhan) yang Esa dengan menggunakan bentuk tunggal, namun sebaliknya pada saat mengucapkan ’karena pesonanya tuhan-tuhan kamipun memperhatikannya’ penyair menggunakan

183 bentuk jamak dari rabb yaitu arbâb. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan dalam al-Qur’an pada saat bangsa Arab Jahiliyah ditanya, tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi, mereka pasti menjawabnya dengan Tuhan. Artinya ada keyakinan terhadap ketuhanan, namun manivestasi dari keyakinan itulah yang tidak benar, karena terwujud dalam bentuk yang banyak. Dalam syair tersebut, penyair sesungguhnya bukan ingin menampilkan sisi religius seorang perempuan, namun ingin memuji kecantikan perempuan, sehingga secara hiperbola ia menyatakan ’sehingga karena pesonanya tuhan-tuhan kamipun ,secara semantis berarti agung atau mulia لجاللها memperhatikannya’. Kata jalâl dalam sehingga mengartikannya dengan kecantikan fisik tidaklah tepat. Maka kecantikan yang diinginkan oleh penyair yang sesungguhnya adalah kecantikan dalam (inner beauty) perempuan atau keagungannya. Hal ini dipertegas oleh bait syair berikutnya yang menyatakan, ‘Milik siapakah gerangan mentari-mentari itu, perempuan terhormat di dalam sekedup, mereka muncul di antara hiasan dan sutra’. Dalam bait tersebut, penyair mengumpamakan perempuan dengan mentari, sebagai apresiasi penghormatan dan kekaguman terhadap mereka. Hal ini bisa dipahami, bila dikaitkan dengan ideologi sebagian masyarakat Jahiliyah yang meyakini bahwa matahari adalah salah satu kekuatan yang diagungkan dan dianggap sebagai kekuatan metafisika, sehingga beberapa di antara mereka diberi nama dengan Abd al-Syams yang artinya penyembah matahari. Hal ini tidak jauh berbeda dengan perumpamaan perempuan dengan bulan, seperti dalam bait, ‘Ia pun muncul, dan kukatakan ‘(bagai) bulan purnama yang sempurna, dihiasi bintang-bintangnya oleh (rasi) gemini. Baik matahari, bulan514, maupun bintang515 bagi sebagian masyarakat Arab Jahiliyah , ketiganya memiliki arti tersendiri dalam kehidupan mereka.516 Dan salah satu fenomena bahasa Arab yang tidak dapat dipungkiri kebenarannya adalah bahwa baik lafaz syams (matahari) maupun qamar (bulan), keduanya dikategorikan sebagai mu’annats (feminine) meskipun

514 Kabilah yang terkenal dengan menyembah bulan adalah Kinanah 515 Sebagian dari kabilah Lakhm, Khuza’ah dan Quraisy menyembah bintang Sirius (Dog Star) 516 Tentang kepercayaan bangsa Arab Jahili lih., Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26. lih. Juga Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 34

184 bentuknya mudzakkar (masculine).517 Benar atau tidak, maka terlihat ada korelasi yang nyata antara fenomena bahasa dengan tradisi mereka yang terbiasa mengumpamakan perempuan dengan matahari dan bulan. Dan dalam ideologi sebagian bangsa Arab Jahili, baik matahari maupun bulan keduanya memiliki makna tersendiri sebagai kekuatan yang harus mereka agungkan. Sehingga ketika perempuan dalam syair Jahiliyah diumpamakan dengan matahari, bulan dan bintang, maka dapat dipahami bahwa perumpamaan tersebut memberikan citra positif terhadap nilai perempuan dalam struktur sosial masyarakat Arab Jahiliyah , meskipun nilai tersebut hanya sebatas individu. Berdasarkan visualisasi syair di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan badawi selain memiliki citra fisik yang cantik, mereka juga memiliki kecantikan dalam yang membuat kaum laki-laki kagum dan terpesona. Bagi masyarakat Arab Jahiliyah , mentari, bulan dan bintang adalah simbol-simbol kecantikan perempuan. Simbol-simbol yang bukan hanya cantik dan indah dalam pandangan mata, namun juga memberikan kekuatan supranatural terhadap kehidupan mereka. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa pencitraan kecantikan perempuan secara fisik dalam syair laki-laki adalah hal yang sangat dominan. Hal ini tampak dalam bait awal dan akhir syair di atas yang menyatakan, ‘Gadis cantik nan rupawan memanah hatiku, dengan panah (kerlingan) matanya yang tidak ada obatnya’, lalu diakhiri dengan, ‘Di antara mereka tampak seorang gadis ramping (bunga desa), bagai perahu yang berlayar di atas ombak’. Berdasarkan kedua bait syair tersebut, maka Beauty (cantik) yang diartikan oleh teori feminisme sebagai penampilan yang menarik adalah benar. Namun kebutuhan perempuan untuk selalu tampil cantik sehingga menciptakan objek-diri semu dalam hal ini tidak seluruhnya benar. Sehingga teori De Beauvoir yang menyatakan bahwa fungsi objektivikasi adalah untuk mengabadikan supremasi laki-laki, dan pendapat Susan Griffin yang menyatakan bahwa objektivikasi perempuan pada dasarnya adalah

517 Secara lafaz baik syams maupun qamar, keduanya adalah muannats (perempuan), sebab keduanya adalah isim (noun) yang tidak menggunakan tâ marbûthah pada akhir kata sebagai ciri .شاعرة /keperempuannya, seperti kata sya`irat

185 pornografis, dalam hal ini tidaklah benar.518 Teori-teori tersebut bisa saja benar, bila ada hukum kausalitas antara laki-laki dan perempuan. Seperti jika perempuan cantik, dan laki-laki memiliki tiga unsur status sosial yakni kekayaan (privilege/property), kehormatan (pertige), dan kekuasaan (power), maka teori yang menyatakan bahwa fungsi objektivikasi kecantikan adalah untuk mengabadikan supremasi laki-laki dan pornografis adalah benar, namun jika hukum kausalitas itu tidak terpenuhi maka teori tersebut menjadi batal. Kisah dalam syair di atas membuktikan bahwa supremasi laki- laki terhadap perempuan tidak dapat terwujud karena tokoh laki-laki sebagai kelas inferior kehilangan faktor-faktor supremasinya. Maka perempuan, dalam hal ini, meski tetap sebagai the culture regime, kecantikannya tidak berfungsi sebagai alat supremasi laki-laki, namun menjadi simbol kekalahan laki-laki. 4. Perempuan dalam budaya perang Perang bagi bangsa Arab Jahiliyah adalah tradisi. Tiada hari tanpa perang antar kabilah. Perang bahkan sudah menjadi watak bangsa Arab Jahiliyah dan telah mendarah daging dalam tubuh mereka, sehingga syair-syair yang digubah oleh penyair Jahiliyah pun sebagian besar bercerita tentang perang atau selalu ada kaitannya dengan konteks peperangan, baik dalam madah (pujian), hijâ’ (cercaan), ritsâ’ (ratapan), hamâsah (patriotisme), ataupun dalam washaf (deskripsi). Dan tentu saja perang juga turut malatarbelakangi perlakuan dan cara pandang bangsa Arab Jahiliyah terhadap kaum perempuan. Bila kembali pada syair-syair `Antarah sebelumnya, timbul suatu penilaian bahwa `Antarah adalah seorang laki-laki yang sangat romantis, melindungi dan menghormati perempuan. Namun demikian sikap `Antarah yang sangat manis terhadap kekasihnya ataupun sikapnya yang sangat melindungi dan menghormati kaum perempuan, akan terlihat berbalik seratus delapan puluh derajat jika yang ia perlakukan adalah perempuan dari luar kabilah dan menjadi musuhnya dalam peperangan. Syair- syair berikut ini akan menampilkan sisi lain dari sikap dan cara pandang `Antarah

518 Teori Beauty lih. Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, terjemah Mundi Rahayu, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), cet. 1, hal. 35

186 secara khusus dan kaum laki-laki Arab Jahiliyah pada umumnya terhadap perempuan yang berada di luar kabilahnya: وخاض رمحى فى حشاها519 وغدا يش ّك مع دروعها أضالعها Panahku melesat ke dalam tubuhnya Menembus baju besi hingga tulang rusuknya

وأصبح ْت نساؤها نوادبا على رجال تشتكى نزاعها520 Jadilah para perempuannya meratapi laki-laki, Untuk menangisi kematiannya

Atau dalam syair berikut ini:

وكم بط ٍل ترك ُت نساءه تبكى يرددن النواح عليه حزنا521 Berapa banyak tentara yang kubiarkan istri-istrinya menangis Berulang-ulang meratapi kematiannya dengan sedih

سلى عنا الفزاريين ل ّما شفينا من فوارسها الكبودا Ceritakan tentang kami orang yang mengoyak-ngoyak, saat Kami renggut jantung-jantung itu dari prajurit-prajuritnya

وخلينا نساءهم حيارى قبيل الصبح يلطمن الخدودا522 Lalu kami biarkan perempuan-perempuan mereka kebingungan, menampari pipinya menjelang subuh Dalam syair tersebut, tampak ada kepuasan dalam batin penyair saat menyaksikan kaum perempuan meratapi kematian orang-orang yang dicintainya. Meratapi kematian sesorang, bagi masyarakat Jahiliyah adalah sebuah tradisi yang biasa mereka lakukan. Ratapan ini biasanya ditujukan bagi orang-orang yang sangat mereka kasihi. Sikap antipati `Antarah terhadap perempuan di luar kabilahnya, bukanlah tanpa sebab. Peranglah yang membuat seseorang kejam terhadap orang lain tanpa pandang bulu. Sebagai seorang prajurit perang, dapat membunuh lawan, dan membuat para

untuk Bani Syaiban lawan dari ‘Antarah (ها) Dlamir/kata ganti 519 520 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 99 521 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 176 522 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 55-56

187 perempuan menangisi mayat-mayat yang menjadi korbannya adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Situasi dan kondisi yang kacau akibat peperangan, mengharuskan seseorang berhati kejam, meskipun sikap tersebut bertentangan dengan hati dan jiwanya. Dari syair di atas ada dua jenis kebanggaan yang negatif yang dimiliki kaum laki-laki Jahiliyah, pertama bangga jika dapat membunuh lawan dalam perang, kedua, bangga jika melihat para perempuannya menangisi dan meratapi kematian mereka. Sikap kejam dan kasar terhadap perempuan yang menjadi lawannya, sangat kontras dengan sikapnya terhadap kekasih dan perempuan yang ada dalam lindungannya, seperti dalam syairnya berikut ini: يا عبل ق ّرى بوادى الرمل آمنة من العداة وإن ُخ ِّو ْف ِت ال تخفى Wahai `Ablah berjalanlah di lembah Ramal dengan perasaan aman dari musuh-musuh, jika ada yang mengancammu maka janganlah kau merasa takut

فدون بيتك أ ْسدٌ فى أناملها بيض تقدّ أعالى البيض والحجف523 Sebab di kolong rumahmu ada banyak singa yang di jari-jarinya Ada cakar yang akan mematahkan pedang dan mengoyak perisai

Dalam syair tersebut, tampak rasa kasih dan sikap melindungi seorang laki-laki terhadap perempuan yang sangat dikasihinya. Ia tidak menginginkan jika kekasihnya terluka, untuk itu ia menjaganya dengan sepenuh jiwa. Jika sikap melindungi di atas secara khusus ditujukan untuk perempuan karena adanya ikatan emosional individual, maka dalam syair berikut ini akan terlihat bahwa sikap melindunginya terhadap perempuan, selain karena ikatan emosional individual, juga sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial: فسيرى مسير األمن يا بنت مالك وال تجنحى بعد الرجاء إلى اليأس Berjalanlah dengan perasaan aman, wahai anak gadis Malik Dan janganlah kau berputus asa setelah berharap

ونحن منعنا بالفروق نساءنا نط ّرف عنها مشعالت غواشيا Dan kami cegah perempuan-perempuan kami dari tercerai berai

523 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 108

188 Kami halangi mereka agar tetap terlindungi

ونحفظ عورات النساء ونتّقى عليه ّن أن يلقين يوما مخازيا524 Kami juga melindungi kehormatan perempuan, dan kami lindungi Mereka, agar suatu ketika mereka tidak menemui kehinaan

فال تخش المنيّة والقينها ودافع ما استطع َت لها دفاعا Jangan kau takuti kematian dan juga utusannya Lawanlah semampumu

وال تختر فراشا من حرير وال تبك المنازل والبقاعا Jangan pula kau pilih permadani dari sutera Jangan pula kau tangisis rumah dan tempat tinggal

وحولك نسوة يندبن حزنا ويهتكن البراقع واللفاعا525 Sedangkan sekelilingmu kaum perempuan meratap dengan sedih Merobek-robek cadar dan kerudung Bila pada bait pertama, syairnya ia tujukan secara khusus untuk `Ablah agar ia selalu merasa aman dalam lindungannya, maka pada bait-bait berikutnya ditujukan untuk semua perempuan yang ada dalam lindungannya. Hal ini terlihat dari kata yang digunakannya yaitu al-nisâ dan al-niswah (perempuan-perempuan) yang keduanya sebagai bentuk jamak dari mar’ah (perempuan). Dua bait terakhir menunjukkan adanya ketidakrelaan penyair bila perempuan dalam kabilahnya menangis dan meratapi mayat karena kalah dalam peperangan, “Jangan pula kau pilih permadani dari sutera, jangan pula kau tangisi rumah dan tempat tinggal, sedangkan sekelilingmu kaum perempuan meratap dengan sedih, merobek-robek cadar dan kerudung”. Syair ini ditujukan bagi para prajurit kabilah yang akan maju ke medan perang agar mereka tetap bersemangat. Nasib perempuan dalam hal ini dijadikan sebagai motivator agar mereka tidak menelan pil pahit akibat kekalahan, sehingga pada akhirnya akan mengorbankan perasaan kaum perempuan karena menangisi kematian orang-orang yang mereka cintai. Sebuah bentuk perlindungan psikis dan pertanggungjawaban emosional sosial.

524 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 192-193 525 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 102

189 Di sisi lain, ratapan-ratapan perempuan yang merupakan ekspresi kejiwaan yang menyakitkan tersebut memberi dampak yang sangat luar biasa bagi kaum laki-laki. Ratapan tersebut terkadang diungkapkan dalam bentuk syair. Inilah yang dalam istilah syair Jahiliyah dinamakan dengan ritsâ’ al-nadb. Kata ini terlihat dalam bait syair Sedangkan sekelilingmu kaum‘ ,وحولك نسوة يندبن حزنا #’ويهتكن البراقع واللفاعا ,Antarah perempuan meratap dengan sedih, merobek-robek cadar dan kerudung mereka’. Al- nadb adalah ritsâ yang dibuat untuk meratapi dan menangisi orang yang meninggal dunia sebagai ungkapan duka cita, dengan menggunakan kata-kata yang menyayat hati, sehingga mampu membuat luluh hati yang keras dan melelehkan air mata yang beku. Bagaimana tidak, sebab biasanya ritsâ ini diungkapkan secara berlebihan, diucapkan dengan suara yang keras dan menyayat hati, disertai dengan cucuran air mata yang tiada henti. Biasanya para perempuan sengaja berkumpul untuk meratapi mayat, tradisi ini masih dilakukan setelah datangnya Islam.526 Dampak dari ratapan perempuan tersebut bukanlah hal yang sepele dan tiada bermakna. Sebab bagi interen kabilah, ratapan tersebut merupakan sebuah pukulan yang telak dan menyakitkan karena meruntuhkan sikap angkuh dan rasa bangga mereka sebagai kabilah yang kuat dan tak terkalahkan. Sedangkan bagi lawan, ratapan perempuan adalah sebuah kepuasan dan kebanggaan tersendiri, karena hal itu sebagai tanda bahwa mereka berada di pihak yang menang yang tentu saja akan menjadi prestise tersendiri di mata kabilah lain. Bagi kaum perempuan sendiri, baik sebagai pihak yang dilindungi ataupun yang ditindas, dalam budaya perang tetap saja sebagai pihak yang dikorbankan, sebab pada dasarnya kedua perlakuan tersebut adalah sama, sama-sama menjadikan perempuan sebagai taruhan kehormatan dan kesombongan kaum laki-laki. Dalam tradisi dan budaya perang yang selalu meliputi bangsa Arab Jahiliyah, pada akhirnya `Antarah memberikan sebuah dikotomi tentang makna kehormatan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, seperti yang terdapat dalam syairnya berikut ini:

526 Penulis, al-Ritsâ, (ttp: Dâr al-Ma’ârif, tth), hal. 12

190 فخر الرجال سالسل وقيود وكذا النساء بَخان ٌق وعقود ُ Kehormatan seorang laki-laki terletak pada rantai (senjata) Sedangkan perempuan terletak pada penutup muka dan kalung (perhiasan)

Dari bait syair tersebut, sebagai konsekuensi budaya perang, tampaknya kehormatan dan kemuliaan seorang laki-laki tetap saja diukur dari kekuatan dan keberaniannya dalam peperangan, sedangkan perempuan tetap saja diukur dari kecantikan yang ditampilkannya dalam busana dan perhiasan. Bagi kelompok badawi, baik Sha`alik maupun ghair Sha`alik, secara umum perempuan memiliki makna tersendiri dalam kehidupan mereka. Sebagai anggota kabilah (ingroup), perempuan adalah makhluk yang sangat dilindungi dan dijaga kehormatannya, sedangkan bagi perempuan di luar kabilah (outgroup), perempuan hanyalah sebuah alat supremasi hukum yang digunakan untuk membalas dendam, sehingga perempuan terbiasa dijadikan sebagai tawanan perang yang dapat mereka perlakukan dengan sewenang-wenang, baik secara fisik maupun psikis. Maka inilah citra perempuan badawi yang sesungguhnya. Selain itu, berdasarkan sudut pandang sastra, penulis melihat ada beberapa corak tasybîb527 yang digunakan para penyair laki-laki Jahiliyah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Corak pertama, bagi Umru al-Qais sebagai seorang penyair aristokrat, ghazal atau merayu perempuan tidak semata-mata dibuat sebagai prolog syair untuk menarik perhatian orang lain yang mendengarkannya, namun lebih dari itu, ghazal juga merupakan tema sentral dalam syair-syairnya, sehingga sebagian besar syairnya selalu bercerita tentang perempuan dan segala hal yang berhubungan antara dirinya dengan perempuan. Corak kedua, bagi `Antarah ibn Abi Syaddad, ghazal adalah semangat hidup yang selalu menemani setiap saat baik dalam suka maupun duka, namun tidak menjadi topik utama, tidak juga sebatas basa-basi atau prolog melainkan tersebar di hampir seluruh syairnya. Corak ketiga, jenis yang paling banyak digemari para penyair laki-laki Jahiliyah, seperti al-Nabighah al-Dzubyani, Tharfah ibn al-`Abd,

527 lihat pengertian tasybîb, nasîb dan ghazal dalam bab II tentang tema-tema syair Jahiliyah.

191 Zuhair ibn Abi Sulma dan lain-lain, yaitu ghazal yang murni sebagai prolog dan biasanya hanya disebutkan pada bait pertama atau kedua, atau sekedar basa-basi. Bagi penyair jenis ini, penyebutan nama perempuan atau hal-hal yang berkaitan dengannya tidak lebih dari sekedar penarik perhatian audience, untuk mendengarkan tema utama yang ingin ia sampaikan atau hanya sekedar pemanis syair karena sudah dianggap sebagai suatu tradisi. Dan ironisnya, jenis ghazal seperti ini adalah ghazal yang paling banyak diminati penyair Jahiliyah. Corak keempat, adalah syair-syair yang sama sekali tidak menggunakan tasybîb sebagai prolognya, seperti yang terdapat dalam syair-syair Sha`âlîk. Dan Sha`âlîk sebagaimana telah dibahas sebelumnya, hanyalah kaum minoritas Arab dengan kehidupannya yang unik akibat tersingkir dari struktur sosial bangsa Arab saat itu. Berdasarkan hal itu, maka apakah perempuan itu dijadikan sebagai tema utama, ataukah sebagai semangat hidup individu tertentu, atau mungkin hanya dijadikan sebagai alat penarik perhatian, hal itu membuktikan bahwa pada masa Jahiliyah, perempuan tetap dijadikan sebagai ikon yang diakui eksistensinya dalam tradisi dan budaya bangsa Arab.

192 BAB IV CITRA DIRI PEREMPUAN JAHILIYAH: PERAN DAN KONTRIBUSI

Pada bab sebelumnya, yaitu citra perempuan Hadlari dan Badawi, teks sastra yang dikaji merupakan karya para penyair laki-laki, sehingga citra perempuan yang muncul adalah citra perempuan berdasarkan ilustrasi dan visualisasi laki-laki. Maka tidak adil rasanya, bila penulis juga tidak menampilkan bagaimana sesungguhnya kaum perempuan Jahiliyah mencitrakan dirinya dalam syair, apakah seperti apa yang digambarkan kaum laki-laki, ataukan ada sesuatu yang membedakannya.528 Melalui kajian syair perempuan inilah, dapat diketahui tentang bagaimana perasaan yang sesungguhnya yang dialami, dirasakan, dan diekspresikan oleh perempuan Jahiliyah tentang dirinya dan juga tentang bagaimana mereka memandang kaum laki-laki. Bila mayoritas kaum laki-laki Jahiliyah -sebagaimana yang terungkap dalam dua bab sebelumnya- menganggap perempuan sebagai objek seksualitas semata, lalu bagaimana sesungguhnya kaum perempuan Jahiliyah memberi identitas pada diri mereka? Serta peran apa saja yang mereka mainkan baik secara individual maupun sosial? Budaya patrialkhal yang dianut bangsa Arab Jahiliyah membuktikan bahwa perempuan hanyalah sebagai the second sex (warga kelas dua). Namun demikian perlu dibuktikan, apakah kekuasaan yang dimiliki kaum laki-laki tersebut menjadikan kaum perempuan sebagai kaum yang tertindas, terbelenggu dan didominasi kaum laki-laki ataukah tidak? Bagaimanakah sesungguhnya peran dan kontribusi perempuan pada masa Jahiliyah, apakah sebagaimana yang digambarkan para penyair laki-laki, ataukah mereka memiliki cara pandang tersendiri tentang diri dan kehidupannya? Syair Jahiliyah sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa selain sebagai sebuah karya

528 Dalam kritik sastra feminis, kritik yang bertujuan untuk mencari perbedaan antara tulisan laki-laki dan perempuan dinamakan dengan ginokritik. Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 30

193 sastra, ia juga berfungsi sebagai fakta sejarah yang menggambarkan pola fikir, ideologi, cara pandang, dan juga ekspressi kemanusiaan bangsa Arab Jahiliyah lainnya. Untuk itu, kajian tentang syair perempuan Jahiliyah, adalah salah satu alat pembuktian tentang bagaimana mereka memaknai hidup, sehingga membentuk citra diri mereka yang sesungguhnya. Jika dibandingkan dengan syair karya laki-laki, syair karya perempuan Jahiliyah tidak banyak terekspos oleh para sejarawan sastra Arab. Hal ini terkait erat dengan tradisi dan budaya bangsa Arab Jahiliyah yang menganut sistem patrialkhal murni. Salah satu bukti konkret bahwa bangsa Arab Jahiliyah menganut budaya patrialkhal terlihat dari cara mereka menasabkan nama-nama kabilah.529 Biasanya kabilah diberi nama dengan nama ayah seperti Rubai’ah, Mudhar, Aus, dan Khazraj. Mereka adalah nama-nama laki-laki yang dari mereka muncul generasi-generasi baru sebagai keturunan untuk kemudian dinasabkan kepadanya, dan hanya sedikit kabilah yang dinasabkan pada ibu seperti kabilah Khindaf dan Bajilah. Terkadang nama kabilah juga diambil dari suatu kejadian tertentu. Sebagai contoh, kabilah yang menetap dekat sumur air bernama Ghassan, ia dipanggil dengan kabilah Ghassan. Akan tetapi secara mayoritas mereka menasabkan kabilahnya pada ayah.530 Terkadang pemimpin kabilah memiliki banyak anak, sehingga kemudian muncul darinya kabilah-kabilah baru dengan nama lain namun tetap dinasabkan padanya. Kemudian antara kabilah inti dan kabilah cabangnya tersebut terjalin hubungan kekerabatan yang erat. Adapun faktor yang menjadikan terbentuknya nama baru dalam kabilah adalah popularitas yang dimiliki bapak dari cabang tersebut, baik karena kepemimpinannya, keberaniannya, ataupun karena banyak melahirkan anak.531

529 Kabilah adalah kelompok atau unit yang dibentuk berdasarkan sistem sosial masyarakat Arab. Kabilah merupakan keluarga besar yang meyakini bahwa mereka berasal dari ayah dan ibu yang sama. Dalam ilmu sosiologi pola hubungan antar masyarakat seperti ini disebut dengan kinship (kekerabatan) yaitu ikatan sosial di antara individu yang terbentuk karena adanya hubungan perkawinan atau karena adanya pertalian darah melalui garis keturunan. 530 Berdasarkan hal itu maka bangsa Arab Jahiliyah pada dasarnya merupakan sebuah bangsa penganut patrialkal murni yaitu sebuah keyakinan bahwa suami atau anak laki-laki tertua adalah penentu kebijakan keluarga 531 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11

194 Sebagai kaum minoritas, tidak banyak penyair perempuan yang terkenal seperti penyair laki-laki. Dalam buku al-Mûjaz fi al-Adab al-`Arabi wa Târikhihi, hanya ada satu nama penyair perempuan yang disebutkan yaitu al-Khansa. Sebagai bagian penting dari kritik sastra feminis, satu penyair tidak cukup memberi gambaran tentang citra perempuan Jahiliyah melalui syair-syairnya. Al-Khansa memang memiliki sebuah dîwan syair, hanya saja ia lebih banyak bercerita tentang kesedihannya saat ditinggalkan kedua saudara laki-laki yang mati terbunuh dalam peperangan. Untuk itu, penulis mengambil beberapa sampel lain yang termuat dalam Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât fi al- Jâhiliyah wa al-Islâm yang banyak menulis tentang syair-syair perempuan Jahiliyah, seperti Shafiyyah binti Tsa’labah al-Syaibaniyah yang bergelar al-Hujaijah532 (ahli debat), dua bersaudara Jum’ah dan Hindun binti al-Khuss yang juga banyak menggubah syair-syair hikmah, dan lain sebagainya. Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, yang ditulis oleh ‘Abd Mehanna533, memuat ratusan syair-syair karya penyair perempuan pada masa Jahiliyah dan Islam, dan yang paling banyak adalah penyair Jahiliyah, bahkan jumlahnya mencapai ratusan, hanya saja syair-syair tersebut berupa penggalan-penggalan, sehingga dan tidak banyak disertai dengan penjelasan. Namun dari kamus tersebut terbukti, bahwa tradisi bersyair tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki, namun juga banyak dilakukan oleh kaum perempuan dalam rangka mengekspresikan perasaannya. Kiprah mereka tidak hanya sebatas menjadi perempuan-perempuan peratap seperti al-Khansa, namun lebih jauh dari itu terbukti bahwa mereka juga memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi.

A. Perempuan Jahili dalam Konstruksi Sejarah 1. Kedudukan dan peran Selama ini, penelitian tentang perempuan Arab Jahiliyah telah banyak dilakukan oleh sarjana muslim, namun biasanya lebih berorientasi pada kepentingan hukum.

الحجيجة 532 533 ‘Abd Mahannâ, Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1990 M/1410 H)

195 Untuk itu, para peneliti terutama kaum feminis muslim, biasanya berupaya dengan gigih untuk membuktikan betapa sangat berbedanya kondisi yang dialami perempuan Arab Jahiliyah, dengan kondisi setelah datangnya agama Islam. Gairah keislaman yang tinggi ini terkadang menjebak mereka ke dalam ketidak-objektifan, sehingga terkadang melupakan bukti-bukti lainnya yang dapat membuktikan, bahwa tidak semua kondisi dapat digeneralisir, lalu disimpulkan bahwa itulah kondisi perempuan Arab Jahiliyah. Sebagai contoh, dalam buku Ilâ Ghair al-Muhajjabât, dinyatakan bahwa perempuan pada masa Jahiliyah adalah hak milik laki-laki, ia tidak memiliki hak kepemilikan maupun hak waris. Bila suaminya meninggal dunia, kepemilikannya beralih pada saudara laki-laki dari suaminya tersebut atau pada pamannya. Bila menginginkannya, mereka berhak mengawininya, namun jika tidak, mereka berhak mengawinkannya dengan siapa saja yang mereka kehendaki dan mengambil maharnya untuk kepentingan mereka. Mereka berpendapat, bahwa yang berhak mendapat waris adalah mereka yang membawa pedang dan menjaga kaumnya (yang dimaksud adalah laki-laki). Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa seorang laki-laki, jika ayah atau pamannya yang meninggal dunia, maka ia berhak atas istri mereka, jika menginginkannya ia ambil sebagai istri, namun jika tidak, ia berhak menahannya hingga ada seseorang yang mau mengawininya dan membayarkan mahar untuknya, atau jika tidak ada, ia biarkan hingga meninggal dunia dan ia memperoleh harta yang ditinggalkannya.534 Menurut Fatima Umar Nasif, kedudukan perempuan yang sangat rendah dalam tradisi dan budaya masyarakat Arab Jahiliyah diduga akibat sistem kehidupan mereka yang selalu diwarnai dengan peperangan. Sehingga setiap suku jauh lebih membutuhkan laki-laki daripada perempuan yang dianggap lemah untuk mempertahankan kelompoknya. Kenyataan inilah yang kemudian membawa perempuan pada derajat yang kurang dihargai, sehingga terkadang ketika ada seseorang yang melahirkan seorang anak perempuan, mereka menjadi emosi dan menguburnya hidup- hidup, karena dianggap kurang berguna. Jika anak perempuan cukup beruntung

534 Muhammad Sa’îd Mubaydl, Ila Ghair al-Muhajjabât, (tp: Dâr al-Tsaqâfah, 1988) hal. 13

196 sehingga tidak dikubur hidup-hidup, maka ia akan menjalani sisa hidupnya dengan penindasan dan siksaan. Apabila disia-siakan oleh orang tuanya dan diperlakukan dengan kasar oleh suaminya, tidak ada yang datang membelanya. Hak-hak kemanusiannya tidak diakui, tidak pula memiliki hak waris, bahkan dirinya sendiri dijadikan sebagai barang warisan.535 Senada dengan Fatima Umar, Ahmad Masruch Nasucha dalam bukunya Kaum Wanita Dalam Pembelaan Islam, sebagaimana yang ia kutip dari Muhammad al- Hamidi, menyatakan bahwa pada masa Jahiliyah para perempuan meskipun mereka pada hakekatnya merdeka, namun tetap diperlakukan sebagai budak, mereka diperjualbelikan layaknya binatang dan benda lainnya.536 Fakta memalukan dan menjijikan perempuan Arab Jahiliyah lainnya diambil oleh Fatima Umar dari Kitab al-Tafsir karya Al-Nawawi, bahwa salah satu kebiasaan kaum perempuan pagan (penyembah berhala) bertawaf mengelilingi Ka’bah dengan bertelanjang bulat. Mereka melepaskan pakaiannya, lalu dilemparkan untuk diinjak- injak sampai compang-camping dan tidak akan diambil kembali.537 Dalam aspek hukum menurut Muhammad al-Hamidi, masyarakat Arab Jahiliyah sangat diskriminatif terhadap perempuan. Hukum hanya ditegakkan untuk laki-laki, tidak untuk perempuan. Jika ada seorang laki-laki yang membunuh seorang perempuan, maka hukum qishas (hukuman yang sama) maupun diyat (denda) tidak diberlakukan.538 Untuk itu, Ahmad Masruch Nasucha dalam bukunya Kaum Wanita Dalam Pembelaan Islam, menyimpulkan sebanyak empat belas poin tentang kondisi dan kedudukan perempuan dalam struktur masyarakat Arab Jahiliyah, di antaranya: a. Perempuan diperlakukan sebagai budak sahaya oleh kaum laki-laki, mereka diperjual belikan seolah-olah mereka itu binatang.

535 Fatimah Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, terjemah dari Women In Islam: A Discourse in Rights and Obligations, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2001), hal. 50-51 536 Ahmad Masruch Nasucha, Kaum Wanita dalam Pembelaan Islam, (Semarang: CV. Toha Putra, tth), hal. 7 537 Fatimah Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, terjemah dari Women In Islam: A Discourse in Rights and Obligations, hal. 55-56 538 Ahmad Masruch Nasucha, Kaum Wanita dalam Pembelaan Islam, hal. 8

197 b. Dalam bidang hukum kriminal, mereka didiskriminasikan dengan kaum laki- laki, sebab bila ada laki-laki membunuh perempuan tidak dilakukan hukum qishash dan tidak dikenakan pembayaran diyat. c. Mereka dianggap sebagai sampah oleh kaum laki-laki karena tidak dapat dimanfaatkan untuk berperang/berkelahi, karena itu bila kaum laki-laki dikaruniai anak perempuan, mereka merasa malu dan hina sehingga mereka sampai hati membunuh anak-anak mereka secara kejam diluar sifat-sifat kemanusiaan, bahkan di antaranya ada yang dikubur hidup-hidup. d. Kawin paksa diberlakukan oleh para wali (ayah, kakek dan sebagainya) terhadap para perempuan yang berada dalam kekuasaan mereka, oleh karena itu kaum perempuan tidak diberi hak pilih untuk menentukan calon pasangannya, dan mau tidak mau harus menuruti kehendak sang wali. e. Kaum perempuan diperlakukan oleh kaum laki-laki sebagai benda mati yang bisa diwarisi oleh kaum laki-laki, misalnya seorang laki-laki bisa mewarisi ibu tirinya atau saudara perempuan tirinya yang ditinggal mati suaminya, setelah dia mewarisi sang janda itu, dia berhak menguasainya menurut kehendaknya sendiri, apakah dia (si janda) itu akan dipakai sebagai istri sendiri atau dikawinkan kepada orang lain dengan mengambil keuntungan secara materil atau dibiarkan di rumah tetap menjanda sehingga meninggal dunia untuk diwarisi semua hak miliknya. f. Mereka diperlakukan oleh laki-laki sekehendak mereka sendiri, sebab perempuan bisa dijatuhi talak sampai seratus kali dan dirujuk juga sampai seratus kali; kaum perempuan tidak dapat berbuat apa-apa sebab di waktu itu tidak ada pengadilan yang menjadi tempat berlindungnya kaum perempuan. g. Mereka (kaum perempuan) ditutup hak warisnya sama sekali untuk mewarisi harta peninggalan dari orang tuanya atau saudara-saudaranya, dan mereka juga tidak diberi hak menggunakan kekayaannya. h. Poligami tanpa batas dan tanpa persyaratan yang ketat berlaku pada zaman Jahiliyah, sehingga keadaan itu membuat kaum perempuan menjadi

198 sengsara. i. Pada zaman Jahiliyah tak ada perlindungan hukum terhadap anak yatim perempuan mengenai mas kawin bila anak yatim itu akan dikawini oleh seorang laki-laki.539 Kedudukan perempuan pada masa Jahiliyah sebagaimana digambarkan dalam ketiga buku tersebut -menurut penulis- tidak semuanya benar. Fakta sejarah harus diperlakukan seobjektif mungkin dengan berdasarkan pada data yang akurat. Fakta sejarah tidak dapat digeneralisir tanpa mengkaji aspek-aspek lainnya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa tidak semua suku dalam kabilah Arab memperlakukan perempuan sedemikian kejamnya, sebab masih banyak fakta lainnya yang menyebutkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang terhormat dalam struktur sosial bangsa Arab. Berdasarkan hasil penelitian sejarawan, terbukti bahwa dalam struktur sosial masyarakat Arab Jahiliyah, perempuan dibagi ke dalam dua kelas, pertama hamba sahaya (Ima’), yaitu mereka yang memiliki kedudukan yang sangat rendah, seperti penyanyi bar atau pelayan. Kedua adalah perempuan merdeka (al-Hurrah) yang memiliki kedudukan yang tinggi, seperti juru masak, penjahit, dan tukang servis kemah. Termasuk ke dalam kelompok ini perempuan bangsawan yang biasanya memiliki beberapa pelayan, dan mereka ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam struktur sosial masyarakat Arab Jahiliyah.540 Sebagai bukti kongkrit, mungkin semua orang tidak lupa tentang Khadijah binti Khuwailid istri Nabi Muhammad saw. yang hidup pada masa Jahiliyah. Ia seorang perempuan yang memiliki kharisma yang luar biasa baik dalam kabilahnya maupun di luar kabilah. Seorang pengusaha perempuan yang sukses dan bergelimang harta benda. Maka apabila seluruh perempuan Arab Jahiliyah dimainstream sebagaimana yang terdapat dalam buku tersebut, maka salah satu catatan sejarah kenabian Muhammad batal, sebab sebagaimana diketahui, bahwa peranan Khadijah dalam sejarah kehidupan

539 Ahmad Masruch Nasucha, Kaum Wanita dalam Pembelaan Islam, (Semarang: CV. Toha Putra, tth), hal. 10-11 540 Muhammad Ridla Marwah, Umru al-Qais al-Malik al-Dlillil, hal. 12

199 Nabi Muhammad saw., maupun kerasulannya amatlah besar, bahkan setelah wafat kedudukan tersebut tidak ada yang dapat menggantikannya. Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis ingin membuktikan sisi lain dari kehidupan perempuan pada masa Jahiliyah, yaitu dengan menelusurinya berdasarkan data-data yang terdapat dalam syair, sebab menurut Ridla Marwah, dalam tatanan sosial masyarakat Arab Jahiliyah, kaum perempuan sebagaimana kaum laki-laki, tidak sedikit peran yang mereka mainkan. Mereka turut berpartisipasi dalam segala aspek kehidupan, seperti ikut berada di barisan perang untuk mengobati korban yang terluka, memindahkan orang-orang yang terbunuh, meskipun karena dianggap lemah dan kurang pintar, kaum perempuan tidak banyak diberi tugas yang berat. Bagi mereka kaum perempuan cukup mengurusi suami dan anak-anak, serta urusan rumah tangga lainnya.541 Mereka menamakan perempuan dengan jâriyah/bîdhah al-khadr (budak) yang tidak perlu untuk disembunyikan, kemudian mereka merayunya (ghazl) dengan syair dan qasidah.542 Selain berpartisipasi melalui aktivitas fisik, mereka juga terbiasa menyenandungkan syair-syair yang bersifat heroik (syi’r al-hamâsah) untuk memberi semangat para pria saat berperang. Perempuan pada masa Jahiliyah tidaklah diabaikan dan dianggap sebagai barang yang tidak berguna seperti yang diasumsikan selama ini. Adapun kisah anak perempuan yang dikubur hidup-hidup, adalah kisah yang terjadi pada sebagian kelompok masayarakat yang radikal dan tidak berperadaban, yang dihantui rasa takut akan jatuh miskin dan menjadi tawanan, karena peristiwa penawanan terhadap perempuan biasa terjadi dan menjadi momok dalam setiap peperangan, dan mereka menganggap bahwa hal itu adalah aib dalam kelompoknya.543

541 Peranan perempuan dalam masyarakat seperti ini termasuk salah satu dari fungsi tradisional keluarga, yaitu (1) fungsi regulasi seksual, (2) fungsi reproduksi biologis, (3) fungsi pengasuhan dan sosialisasi, (4) fungsi ekonomi keluarga, (5) fungsi kedekatan emosional. Lih. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Press, 2006), cet. 1, hal. 129-132 542 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 25 543 Muhammad Ridla Marwah, Imru al-Qais al-Malik al-Dlillîl, hal. 12

200 Kaum perempuan Arab Jahiliyah, turut menemani kaum pria dalam berperang agar mereka tetap bersabar pada saat perang, mencegah mereka agar tidak lari dari medan perang, mengobati korban yang terluka, membawakan tempat air minum, serta memberi makan kuda dan unta. Sebagaimana kaum pria, mereka juga memiliki hak untuk bertetangga. Seorang pria harus menjaga istri tetangganya, saudaranya, ibunya, dan tetangganya. Sebaliknya tetangganya pun melakukan hal yang sama.544 Sebagaimana diketahui bahwa ada beberapa dari mereka yang terkenal dengan keberaniannya, kefasihannya dalam berbicara dan bersyair, ide-idenya yang cemerlang, ahli hikmah maupun `arafah.545 Hanya saja jumlah mereka tidak banyak, sebab kaum pria pada masa itu masih banyak yang mengganggap mereka rendah, dan menurut kaum laki-laki, perempuan cukup menjalankan fungsinya sebagai alat reproduksi. Mereka juga berburuk sangka terhadap moral perempuan, untuk itu perempuan bagi mereka identik dengan tipu daya, licik, dan pengkhinat.546 2. Pola hubungan laki-laki dan perempuan Jahiliyah a. Perkawinan Dalam tradisi masyarakat Arab Jahiliyah, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah ra., dalam Shahih Bukhari, perkawinan dilakukan melalui empat cara, pertama sebagaimana yang dilakukan saat ini (setelah datangnya agama Islam). Kedua, seorang suami menyuruh istrinya pada saat baru bersih dari menstruasi untuk melakukan

544 Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 17 545 `Arafah adalah ilmu tentang meramal atau mengetahui hal-hal yang gaib. Ada dua macam ramalan yang berkembang dalam tradisi bangsa Arab Jahiliyah, yaitu kahânah dan ‘arâfah,. Kahânah adalah ramalan untuk masa yang akan datang, sedangkan ‘arâfah merupakan terawang terhadap hal-hal yang sudah berlalu. Tokoh kahânah yang terkenal adalah Tharifah al-Khair dan Salma al-Hamdaniyah, sedangkan tokoh ‘arâfah adalah al-Ablaq al-Asadi dari Najed dan Rabbâh ibn ‘Ajalah dari Yamamah. Menurut penulis al-Wasîth fi al-Adab al-“Arabi wa Târikhihi, baik kahânah maupun `arafah, keduanya adalah ilmu yang pernah berkembang dan sangat digemari oleh bangsa Arab Jahiliyah. Selain kedua ilmu tersebut ilmu ramalan lainnya yang juga terkenal adalah al-Jazar, yaitu meramal dengan suara dan gerakan binatang, atau segala hal yang berkaitan dengan tingkah laku binatang yang kemudian dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi dengan menggunakan kekuatan imajinasi. Tokoh yang terkenal adalah bani Lahab, Abu Dzuaib al-Hudzaili, dan Murrah al-Asadi.Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-“Arabi wa Târikhihi, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, tth), hal. 40-41 546 Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ruhu, hal. 17. Citra perempuan yang identik dengan tipu daya, licik, dan pengkhinat, mirip dengan citra perempuan yang terdapat dalam kisah 1001 malam.

201 hubungan intim dengan laki-laki lain yang lebih tinggi kedudukannya, hingga ia hamil, dengan maksud agar memperoleh keturunan yang lebih baik. Perkawinan dengan cara seperti ini disebut dengan al-istibda’. Ketiga, yaitu dengan cara sekitar kurang dari sepuluh orang laki-laki berkumpul untuk memilih seorang perempuan, lalu semuanya melakukan hubungan seks dengan perempuan tersebut. Jika perempuan tersebut hamil, maka setelah melahirkan ia mengundang semua laki-laki tersebut dan menunjuk salah seorang dari mereka yang ia sukai. Cara keempat yaitu beberapa orang laki-laki mendatangi seorang perempuan, dan perempuan itu tidak menolaknya. Perempuan ini biasanya adalah pelacur yang biasa memasang bendera di pintu mereka sebagai tanda, bahwa setiap laki-laki bisa berhubungan intim dengannya. Jika ia hamil, maka setelah melahirkan, semua laki-laki yang pernah menyetubuhinya dikumpulkan, lalu memanggil seorang qâ’if547 untuk mengidentifikasi ayah dari anak tersebut. Lalu pelacur tersebut akan membiarkan anaknya mengikuti garis keturunan laki-laki itu dan dinyatakan sebagai anaknya.548 Masyarakat Arab Badui biasanya menikah sejak usia dini. Hal ini disebabkan banyak faktor, seperti kondisi sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya, sehingga mengharuskan mereka untuk memiliki banyak anak demi nama besar kabilah masing- masing. Anak laki-laki biasanya sudah menikah pada usia lima belas tahun sedangkan anak gadis menikah pada usia sepuluh tahun. Mereka lebih suka menikahi perempuan yang jauh secara nasab dengan harapan melalui ikatan kekeluargaan bisa menghindari permusuhan, dan memperbanyak sekutu. Selain itu juga mereka berkeyakinan bahwa dengan menikahi perempuan yang jauh secara nasab akan memberikan anak yang sehat dan berperilaku baik, sehingga di kemudian hari menjadi anak yang cerdas dan gagah. Untuk itu mereka merasa tabu jika harus menikah dengan keluarga atau kerabat dekat, karena dianggap berbahaya untuk kelangsungan hidup anak tersebut.549

547 Qâ’if adalah orang yang dianggap pintar dan mampu mengenali kemiripan antara ayah dan anaknya, melalui ciri-ciri tertentu (ilmu qiyâfah). 548 Muhammad Sa’îd Mubaydl, Ila Ghayr al-Muhajjabât, hal. 13-14 549 Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 16. Dalam ilmu sosiologi perkawinan seperti ini disebut dengan eksogami, yaitu seseorang diisyaratkan menikah dengan pasangan yang berasal dari luar kelompoknya, yaitu yang berasal dari luar kerabat atau sanak

202 Seorang ayah terkadang melamar untuk anak perempuannya, lalu memberinya mahar, dan menikahkannya. Selain itu seorang laki-laki berhak menikah sebanyak ia mau, kecuali jika pihak perempuan memberi persyaratan sebelum pernikahan agar tidak berpoligami dan terjadi kesepakatan antara keduanya.550 Dalam sebuah perkawinan, seorang suami memiliki hak untuk menceraikan istrinya namun sebaliknya si istri tidak diperbolehkan untuk menceraikan suaminya, kecuali sebelumnya telah ada perjanjian antara keduanya bahwa istri boleh mentalak suami. Seorang pria juga tidak diperbolehkan untuk rujuk setelah mentalak istrinya sebanyak tiga kali, namun jika baru sekali atau dua kali masih diperbolehkan. Jika pasangan suami istri tinggal di kemah, lalu sang istri ingin bercerai, maka ia akan membalikkan pintu ke arah sebaliknya, sehingga dengan itu suaminya tahu bahwa ia telah menceraikannya, dan tidak diperbolehkan masuk ke dalam kemah.551 Jika seorang suami meninggal dunia, istri harus menunggu selama satu tahun untuk dapat keluar rumah, tidak boleh menyentuh air dan memotong kuku hingga waktu yang ditentukan berakhir, lalu keluar dengan penampilan yang paling buruk yang ia miliki.552 Dalam tradisi masyarakat Arab Jahiliyah seorang laki-laki tidak diperbolehkan mempoligami dua orang perempuan yang bersaudara, atau ibu dan anak perempuannya. Akan tetapi mereka membolehkan seorang pria menikahi istri bekas ayahnya. Bentuk perkawinan seperti ini disebut dengan zawaj al-maqt yang artinya perkawinan yang dibenci. Tradisi ini kemudian dihapus oleh Islam.553

famili, keluarga initi (keluarga nuklir), klan atau bahkan suku mereka. Kebalikan dari eksogami adalah endogami yakni seseorang diisyaratkan menikah dengan pasangan yang berasal dari dalam kelompok yang sama. Adapun yang dimaksud dengan dalam kelompok yang sama bisa berasal dari kelas yang sama, kasta yang sama, ras, etnis, maupun agama. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Press, 2006), cet. 1, hal. 143 550 Muhammad Ali al-Shabbâh, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 16 551 Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 17 552 Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 17 553 Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 16

203 b. Hubungan anak dan ibu Masyarakat Arab Jahiliyah biasanya sangat bangga bila anaknya lahir dari seorang perempuan yang merdeka, berkulit putih dan cerdas. Untuk ibu yang seperti itu mereka memberinya kehormatan dengan melaqabkan554 anak tersebut padanya, misalnya ummu Umar. Mereka juga bangga menjadi paman dari seorang anak yang dilahirkan dalam kondisi seperti itu dan menganggapnya seperti anak mereka sendiri, karena lahir dari seorang ibu yang merdeka.555 Adapun budak perempuan biasanya mereka berkulit hitam. Anak-anak yang lahir dari perut mereka biasanya belum diakui hingga nampak kecerdasan dan kelebihan yang mereka miliki, sebagai contoh penyair terkenal ‘Antarah yang baru diakui sebagai anak oleh Syaddad al-‘Abasi ayahnya setelah ia menjadi tentara dan penyair yang sangat terkenal.556 Berdasarkan gambaran di atas, tampaknya perempuan pada masa Jahiliyah adalah makhluk yang tertindas, tidak memiliki hak atau peran apapun baik secara individu maupun sosial. Selama ini, sumber informasi tentang perempuan Jahiliyah mayoritas diambil dari pendapat yang bersumber dari laki-laki, sehingga gambaran tersebut, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan gambaran para penyair laki-laki pada bab sebelumnya. Namun demikian, jarang sekali para peneliti yang mau mendengarkan langsung dari perempuan, sehingga terkesan perempuan Jahiliyah tidak memiliki peran dan kontribusi apapun dalam kehidupan sosial bangsa Arab, bahkan kehidupan dan eksistensi mereka pun seakan-akan tenggelam dan tidak pernah ada. Untuk itulah dalam kajian ini, selain menampilkan sudut pandang kaum laki-laki dalam syair, juga ingin menampilkan bagaimana perempuan Jahiliyah bersuara dalam syair, sehingga memberikan citra pada diri mereka. Namun sebelumnya, sebagai bahan perbandingan, berikut ini penulis sajikan sebuah syair yang digubah oleh Ali bin Abi Thalib yang ditujukan untuk kaum perempuan:

554 Laqab = gelar keturunan 555 Muhammad Ali al-Shabbah, ‘‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 16 556 Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ruhu, hal. 16-17

204 توقوا النساء فإن النساء نق ْص َن حظوظا وعقال ودينا Jagalah kaum perempuan, karena mereka Memiliki ketidaksempurnaan dalam hal bagian, akal, dan agama

وك ٌّل به جاء نص الكتاب وأوضح فيه دليال مبينا Dan semuanya itu termaktub dalam al-Kitab (al-Qur’an) Dan al-Qur’an menjelaskan hal tersebut secara gamblang

فأما الدليل لنقص الحظوظ: فإرثه ّن نصف إرث البنينا Adapun dalil ketidaksempurnaan mereka dalam hal bagian Tampak pada warisan mereka yang hanya setengah dari laki-laki

ونصف العقول فإجزاؤه ّن بنصف الشهادة فى الشاهدينا Sedangkan ketidaksempurnaan akal mereka,, terbukti dari kesaksian mereka yang hanya dihargai setengah

وحسبك من نقص أديانه ّن فسالت تزداد فيه يقينا: Sedangkan ketidaksempurnaan agama mereka, cukup bagimu menambah keyakinan akan hal itu,

فوات الصالة، وترك الصيام فى مدة الحيض حينا فحينا Luputnya shalat dan ditinggalkannya puasa Pada saat haidl dari waktu ke waktu

فال تطيعوهن يوما فقد تكون الندامة منه سنينا557 Untuk itu, jangan sekali-kali kalian menuruti mereka Karena jika terjadi, bisa menjadi penyesalan seumur hidup.

Pada saat membaca syair tersebut, kita dapat menduga bahwa syair tersebut tentu saja bukan hasil karya penyair Jahiliyah , sebab syair Jahiliyah biasanya tidak pernah mengungkapkan sesuatu dengan mengatasnamakan agama, apalagi kitab suci. Hal yang paling mencengangkan adalah bahwa ternyata syair tersebut keluar dari lisan salah seorang Khulafa al-Rasyidin, menantu kesayangan Nabi Muhammad saw, suami dari Fathimah al-Zahra ra, yaitu Ali bin Abi Thalib ra. Dalam syair tersebut disebutkan sebanyak tiga aspek yang menjadikan perempuan sebagai makhluk yang tidak

557 Bahr Kâmil. Dikumpulkan dan disyarah oleh Na`îm Zurzûr, Dîwân al-Imâm `Ali, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1316 H/ 1995 M), hal. 204

205 sempurna, yaitu dilihat berdasarkan bagian, kecerdasan, dan agama. Dan masing- masing pendapat didukung dengan argumen-argumen keagamaan. Dalam hal bagian, perempuan dianggap makhluk yang tidak sempurna karena berdasarkan hak waris, ia hanya berhak memperoleh bagian, setengah dari hak laki-laki. Dalam hal kecerdasan, ketidaksempunaan perempuan dapat dilihat dari kesaksiannya yang hanya dihargai setengah dari kesaksian laki-laki. Sedangkan dalam agama, perempuan tidak bisa sesempurna laki-laki, karena secara alamiah ia harus meninggalkan shalat dan puasa selama haidl berlangsung. Dan semua penilaian dan cara pandang yang keluar dari sang penyair seluruhnya dilandasi oleh ajaran dan budaya Islam558 Lalu jika demikian, apa bedanya dengan pendapat Thomas Aquinas (1225-1274 M) seorang santo sekaligus filsuf Dominika terkenal yang mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk (laki- laki) yang kurang sempurna yang tercipta secara tidak sengaja (accidental).559 Karena secara hakekat, kedua penilaian tersebut adalah sama saja, yaitu sama-sama menempatkan perempuan sebagai makhluk yang kurang sempurna dan hina. Berdasarkan syair di atas, maka image perempuan sebagai makhluk Tuhan yang tidak sempurna, bukan saja terjadi pada masa sebelum Islam, namun terbukti bahwa kehadiran agama Islam pun belum mampu sepenuhnya melepaskan image perempuan sebagai the second sex, atau sebagai makhluk yang kurang sempurna. Dan yang lebih buruk lagi, terkadang agama dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi citra buruk perempuan. Dalam syair yang lain, Ali bin Abi Thalib memberikan penilaian yang tidak jauh berbeda dengan yang pertama kepada perempuan: دع ذكرهن فما له ّن وفاء ريح الصبا وعهودهن سواء Janganlah kalian menyebut-nyebut perempuan, sebab mereka tidak memiliki kesetiaan Angin Shiba560 dan janji-janji mereka sama saja

558 Yang dimaksud dengan budaya Islam adalah semua bentuk manifestasi keilmuan, moral, sejarah dan lain sebagainya dengan agama sebagai landasannya. Sayyid Sayyid Abd al-Razzâq, al- Manhaj al-Islâmi fi al-Naqd al-Adabi, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu`âshir, 1422 H/2002 M), hal. 17. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), hal. 2 559 Al-Jamaela, Fitnah al-Nisâ’, hal. 47. Ungkapan ini juga dikutip oleh Simone De Beauvoir, Second Sex (terjemah), (Surabaya: Pustaka Promethea, 2003), pengantar-ix 560 Angin Timur

206

يَ ْك ِس ْرن قلبك ثم ال يجبُ ْرنَه وقلوبه ّن من الوفاء خالء561 Meretakkan hatimu, namun tidak mampu merekatnya kembali Dan hati mereka jauh dari kata setia

Secara individual, tidak dipungkiri bahwa Ali bin Abi Thalib juga banyak memuji perempuan, terutama istrinya Fathimah al-Zahra, namun demikian dari kedua syair di atas, tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang diungkapkan di dalam syairnya merupakan penilaian universal tentang perempuan di mata seorang laki-laki. Bila pada syair sebelumnya, penyair menilai perempuan sebagai makhluk yang kurang sempurna, maka dalam syair kedua, ia mencitrakan perempuan sebagai makhluk yang tidak memiliki kesetiaan dan tidak bisa menepati janji. Dan pencitraan perempuan yang negatif tersebut, tidak ada bedanya dengan konsep tokoh-tokoh agama sebelumnya datangnya Islam, seperti yang disebutkan pada bab I. Bahkan syair di bawah ini mungkin lebih dahsyat lagi tentang bagaimana image perempuan di mata seorang muslim: التأمن ّن من النساء ولوأخا ما فى الرجال على النساء أمين Jangan sekali-kali kamu percaya pada perempuan, meski sebagai saudaranya Tidak ada tempat bagi laki-laki untuk percaya pada perempuan

القبر أوفى من وثقت بعهده ما للنساء سوى القبور حصون562 Kuburan lebih bisa dipercaya janjinya, dari perempuan Bagi perempuan, hanya kuburan yang mampu memeliharanya

Kata nisâ’ sebagai bentuk jamak dari mar’ah yang digunakan oleh Ali bin Abi Thalib, jelas-jelas ditujukan bagi kaum perempuan secara umum. Penyair bahkan menganggap bahwa kuburan, lebih dapat menepati janji daripada perempuan, dan hanya kuburan yang dapat menjaga perempuan dari perbuatan-perbuatannya yang hina. Kuburan pada dasarnya adalah simbol kematian, sehingga menurut penyair hanya kematianlah yang dapat mengakhiri keburukkan-keburukan perempuan tersebut. Dan sebagai seorang sahabat dan menantu Nabi saw., maka apa yang diungkapkan oleh Ali

561 Dîwân al-Imâm `Ali, hal. 7 562 Dîwân al-Imâm `Ali, hal. 200-201

207 bin Abi Thalib tersebut, mau tak mau akan mempengaruhi image perempuan sepanjang masa, bila tidak ada yang mencoba meluruskannya.563 Gambaran tersebut pada dasarnya hanya sebagai bahan perbandingan, benarkah ajaran-ajaran Islam telah membebaskan perempuan dari belenggu citra negatif warisan masa lalu, atau bahkan tidak lebih baik dari umat sebelumnya?

B. Citra Diri Perempuan dalam Syair 1. Memaknai ratapan (ritsâ’) perempuan Jahiliyah Puisi ratapan564, di Barat dikenal dengan istilah elegi, sedangkan dalam sastra Arab dikenal dengan istilah ritsâ, yaitu sebuah sajak atau lagu yang mengungkapkan rasa duka atau keluh kesah seseorang karena sedih, rindu, atau murung, terutama karena kematian seseorang.565 Syair ini biasanya digubah sebagai ungkapan bela sungkawa atas kejadian yang menyedihkan. Jenis syair ini di kalangan penyair perempuan sangat mewabah, hal ini terkait erat dengan kondisi psikologis yang mereka rasakan saat itu yang selalu kehilangan orang-orang yang dikasihi akibat peperangan yang tiada henti.

563 Perlu dibedakan antara istilah sastra Islami dan sastra Islam. Sastra Islami menurut Abdullah al-Hamid, pada dasarnya bukanlah sastra yang dibuat di bawah naungan Islam, bukan pula sastra yang digubah berdasarkan kategorisasi politik, namun sastra yang diciptakan dengan Islam sebagai landasannya. Hal ini berarti bahwa yang dimaksud dengan sastra Islami adalah sastra yang mengandung pemikiran keislaman atau emosional keagamaan. Untuk itu, sastra Islam bukanlah sastra yang mengandung ajaran-ajaran moral, hikmat dan nasihat secara umum yang bersifat universal yang mungkin saja diucapkan oleh siapa dan kapan saja. Dengan demikian syair Islam adalah syair-syair yang digubah dengan spirit islam sebagai landasannya. Maka ungkapan syair: كن حليما إذا بليت بغيظ # وصبورا بلتْك مصيبة Jadilah orang sabar saat diuji dengan amarah # Dan bersabarlah saat ditimpa musibah tidak termasuk pada syair Islami, sebab hal tersebut merupakan ajaran-ajaran moral universal yang bersifat kemanusiaan tanpa indikasi agama. Maka berdasarkan hal ini, apa yang diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib dalam syair di atas terdiri dari dua aspek ini, syair pertama berlandaskan agama dan yang kedua merupakan pandangan ia sebagai seorang laki-laki. Namun kesimpulannya adalah sama, yaitu tetap menempatkan perempuan sebagai makhluk yang kurang sempurna dan memiliki citra yang negatif. Pendapat lain menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan syair Islami adalah semua syair yang digubah pada masa Rasulullah saw, Khalifah Rasyidin, dan Bani Umayah. Beberapa dari syair tersebut digubah secara khusus untuk keperluan dakwah Islam. Pendapat ini lebih luas dibanding pendapat yang pertama. Pendapat pertama hanya ditinjau dari aspek kandungan syair, sedangkan yang kedua berdasarkan klasifikasi sejarah. Abdullah al-Hâmid, al-Syi`r al-Islâmi fi Shadr al-Islâm, (penerbit pribadi, 1980), hal. 14. Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-`Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Islâmi, (Libanon: Dâr al-Ma`ârif, 1962), hal. 92 564 Istilah lain dalam bahasa Indonesia adalah sajak ratap. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, hal. 27 565 Tim Penulis, al-Ritsâ, (ttp: Dâr al-Ma’ârif, tth). Penjelasan lengkap mengenai ritsâ, dapat dilihat dalam buku tersebut.

208 Namun benarkah syair ritsâ yang dilantunkan kaum perempuan tersebut hanya bercerita tentang duka, keluh kesah, kesedihan, dan kemurungan akibat kematian, adakah hal lain yang bisa diungkap melalui syair mereka? Al-Khansâ’566, sebagai contoh, satu-satunya penyair perempuan Jahiliyah yang syair-syairnya dikodifikasikan secara khusus, seorang penyair perempuan yang di akhir hayatnya sempat memeluk agama Islam, sebagian besar syairnya, bahkan kalau tidak dikatakan berlebihan hampir 99 % syairnya bertemakan ritsâ yang ia tujukan untuk kedua saudara laki-lakinya yang meninggal dunia dalam peperangan, yaitu Shakhr567 dan Mu’âwiyah.568 Al-Khansâ’ memiliki ciri khas tersendiri dalam menggubah syair ritsânya, sehingga mudah dikenali. Ciri tersebut di antaranya adalah syair-syairnya hampir selalu diawali dengan kata-kata yang sama atau paling tidak mirip dengan tema tangisan dan air mata. Sebagai contoh ratapan al-Khansâ’ untuk saudara laki-lakinya Shakhr: يا عين ما لك ال تبكين تسباكا إذ راب دهر وكان الدهر ريابا569 Wahai mata, mengapa kau tiada menangis deras Saat waktu yang menakutkan itu datang فابكى أخا ِك أليتا ٍم وأرملة وابكى أخاك إذا جاوزت أجنابا570 Tangisilah saudaramu, demi anak-anak yatim dan janda-janda Tangisilah saudaramu jika kau merasa dekat dengannya

566 Nama aslinya adalah Tumâdlir binti ‘Amr ibn al-Syarîd al-Sulâmiyah yang bergelar al- Khansâ’. 567 Kakaknya yang bernama Shakhr termasuk sosok tokoh yang dihormati dalam kabilah Bani Salîm. Dikisahkan bahwa pada suatu hari ia keluar menuju medan perang dan terjadi pertempuran yang sangat hebat yang membuatnya terluka parah. Sejak itu, ia mengalami sakit yang berkepanjangan hingga akhirnya maut menjemputnya. Selain Shakhr, kakaknya yang bernama Mu’awiyah pun meninggal dunia dalam peperangan. Hal itu membuat al-Khansa menangis pedih, namun yang membuatnya sangat sedih adalah kematian kakaknya Shakhr yang sangat terkenal dengan kedermawanannya dan sifatnya yang penyayang. Pada akhir hayatnya al-Khansâ’ memeluk agama Islam dan menyerahkan sepenuh jiwanya untuk agama baru tersebut. Al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabî wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 204 568 Lajnah (Tim Penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabî wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dar al-Ma’arif, 1962), hal. 205 569 Qâfiyah bâ’, bahr basîth: Mustaf’ilun - fâ’ilun – mustaf’ilun – fâ’ilun 570 Abd al-Salâm al-Jaufî (syarah dan tahqîq), Dîwân al-Khansâ, (Beirut: Dâr al-Kutub al- I`lmiyah, 1405 H/1985 M), hal. 22

209 Tidak jauh berbeda dengan syair di atas, dalam mukadimah syairnya yang lain, ia juga mengawalinya dengan kalimat yang hampir sama: ّ 571 يا عي ِن جودى بالدمو عِ المستهل ِت السواف ْح Wahai mataku cucurkan air matamu yang bersimbah deras فيضا كما فاضت غرو ب المترعات من النواضح Tercurah seperti bendungan air yang roboh وابكى لصخر إذا ثوى بين الضريحة والصفائح572 Menangislah untuk Shakhr di saat ia terkubur antara mayat dan pedang yang terhunus

Dalam syair lainnya: أعين َّي جودا وال تجمدا أال تبكيان لصخر الندى573 Wahai kedua mataku curahkan air matamu dan jangan sampai mengering Tidakkah kau menangis untuk Shakhr yang baik

أال تبكيان الجرئ الجميل أال تبكيان الفتى السيدا574 Tidakkah kalian menangisi ia yang gagah nan elok Tidakkah kalian menangisi pemuda yang mulia

Demikianlah mulai dari qafiyah ba hingga akhir qafiyah ya, syair-syair al- Khansâ’ selalu diawali dengan kata-kata yang mirip satu dengan yang lainnya. Kata- kata seperti al-‘ain (mata), al-dumû’ (air mata), al-bukâ (tangisan), jûd (curahkan), al- nadb, dan semua hal yang berkaitan dengan tangisan selalu mengawali setiap syair ritsâ al-Khansâ’. Mukadimah syair al-Khansâ’ mayoritas diawali dengan nidâ’ (artikel panggilan) seperti ya (wahai), â (hai), dan alâ (tidakkah), yang digabung dengan ‘ain (mata). Mata (‘ain) oleh al-Khansâ’ dijadikan sebagai media dialog antara dirinya dan perasaan yang dirasakannya. Dalam syair-syair al-Khansâ’, tidak ada peminjaman kata baik yang

571 majzu al-kamil qâfiyah ha 572 Abd al-Salâm al-Jaufî (syarah dan tahqîq), Dîwân al-Khansâ, hal. 30 573 Bahr mutaqârib, qâfiyah dâl 574 Abd al-Salâm al-Jaufî (syarah dan tahqîq), Dîwân al-Khansâ, hal. 35

210 berbentuk majâz maupun isti`ârah (metafora), namun menggunakan makna-makna hakiki (rill). Bila saat ini penyair terkadang menggunakan hati untuk menangis, namun pada syair Jahiliyah tampak bahwa bahwa matalah yang mengeluarkan air mata. Hal ini menunjukkan kemurnian mereka yang hanya dapat menangkap hal-hal yang bersifat kongkrit dan daya fikir mereka yang masih sangat sederhana. Bila dikaitkan dengan kondisi ideologi saat itu, tampak korelasi yang kuat antara gaya bahasa penyair dengan kepercayaan yang dianut bangsa Arab yang cenderung bersifat fisik575, sebagian menyembah matahari576, sebagian lainnya menyembah bulan577 dan bintang578, meskipun ada juga yang menyembah malaikat, dewa atau bahkan ada yang tidak memegang kepercayaan apapun seperti atheis. Namun demikian yang paling dominan adalah kepercayaan mereka terhadap berhala (watsaniyah). Kehidupan bangsa Arab sangat dipengaruhi oleh berhala-berhala tersebut. Untuk itu mereka rela memberinya persembahan dan kurban, dan bersumpah atas namanya. Hal seperti itu berlangsung hingga kedatangan Islam.579 Berdasarkan hal itu, syair-syair ritsâ al-Khansâ’ pada dasarnya turut melegitimasi pernyataan bahwa mayoritas bangsa Arab Jahiliyah adalah penganut watsani sejati. Di sisi lain, kata-kata seperti al-`ain (mata), al-dumû` (air mata), al-bukâ’ dan lainnya di atas, memberikan indikasi bahwa para perempuan pada masa Jahiliyah adalah tipe perempuan yang cengeng yang selalu meratapi setiap kematian. Ratapan-ratapan al- Khansâ’ yang tertuang dalam syair-syairnya tersebut merupakan gambaran rill tentang kesedihan yang dirasakannya, sebuah rasa bela sungkawa dari seorang adik terhadap

575 Menurut Philip K. Hitti, berdasarkan syair-syair Jahiliyah, orang Arab Badawi tidak banyak yang memeluk agama. Mereka kurang antusias, atau bahkan bersikap tidak peduli terhadap nilai-nilai religius-spiritual. Ritual-ritual yang mereka lakukan hanyalah untuk menuruti tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun temurun. Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 120. Untuk itu penulis buku Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, menganalogikan masyarakat Arab Jahiliyah dengan lautan yang bergelombang, atau bagai gunung berapi yang mendidih, mereka tidak memeluk satu agama atau ideologi yang menjadi pegangan. 576 Terkadang di dalam masyarakat Arab seseorang diberi nama Abd. Al-Syams (hambanya matahari) 577 Kabilah yang terkenal dengan menyembah bulan adalah Kinânah 578 Sebagian dari kabilah Lakhm, Khuza’ah dan Quraisy menyembah bintang Sirius (Dog Star) 579 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26. lih. Juga Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 34

211 kakak yang dikasihinya. Sebuah nyanyian kepedihan yang semakin memuncak dan menyerang tanpa ada batas akhir. Namun demikian, dari sisi lain menurut penulis buku al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhîhi, dari syair-syairnya tersebut, tampak bahwa al-Khansâ sebagai salah satu citra perempuan yang tegak berdiri menjadi saksi kekejaman peperangan antar suku, yang membuatnya terluka jiwa dan raga. Al-Khansâ’ adalah simbol perempuan Jahiliyah yang penuh belas kasih, simbol persaudaraan, juga simbol cinta pada keluarga.580 Perempuan peratap, baik dianggap cengeng atau sebagai bentuk kasih sayang, semua itu pada hakekatnya erat kaitannya dengan sistem kabilah yang mereka anut yang sangat mengagungkan solidaritas kesukuan yang dibangun atas nama keluarga. Sehingga pada saat ada anggota kabilah atau keluarga yang meninggal, perempuan khususnya, wajib untuk meratapi mayatnya sebagai ungkapan belasungkawa, dan solidaritas. Jenis ritsâ seperti ini dalam syair Jahiliyah dinamakan al-nadb581, yaitu ritsâ yang dibuat untuk meratapi dan menangisi orang yang meninggal dunia sebagai ungkapan duka cita, dengan menggunakan kata-kata yang menyayat hati, sehingga mampu membuat trenyuh hati yang keras dan melelehkan air mata yang beku.582 Istilah ini tampak dalam syair yang digunakan `Antarah untuk menggambarkan kondisi perempuan saat meratapi kematian orang-orang yang dikasihinya berikut ini:

وخاض رمحى فى حشاها583 وغدا يش ّك مع دروعها أضالعها Panahku melesat ke dalam tubuhnya Menembus baju besi hingga tulang rusuknya

وأصبح ْت نساؤها نوادبا على رجال تشتكى نزاعها584

580 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 208 581 Penulis buku al-Ritsâ’, membagi syair ritsâ’ ke dalam tiga kategori, yaitu; al-nadb, al-ta’bîn, dan al-‘azâ. Al-nadb adalah ritsâ yang dibuat untuk meratapi dan menangisi orang yang meninggal dunia sebagai ungkapan duka cita, dengan menggunakan kata-kata yang menyayat hati, sehingga mampu membuat luluh hati yang keras dan melelehkan air mata yang beku. Al-ta’bîn yaitu pujian terhadap orang yang telah meninggal dunia. Sedangkan al-‘azâ itu sendiri makna dasarnya adalah sabar. Istilah ini lalu dipersempit artinya menjadi sabar dan ikhlas atas cobaan yang disebabkan kematian. 582 Tim Penulis, al-Ritsâ, hal. 12 untuk Bani Syaiban lawan dari ‘Antarah (ها) Dlamir/kata ganti 583 584 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 99

212 Jadilah para perempuannya meratapi laki-laki, Untuk menangisi kematiannya

yang meratapi) bentuk jamak) نوادب Pada bait kedua, penyair menggunakan kata perempuan) yang sebenarnya secara morfologi) نساء sebagai predikat dari نادب dari sebab bila untuk 585,(مذكر) ilmu sharaf) kata tersebut digunakan untuk laki-laki) Sehingga .نادبة sebagai bentuk plural dari نادبات perempuan kata tersebut pasti menjadi sangat jelas, kalau kata tersebut sesungguhnya bukan untuk perempuan. Namun demikian, sepertinya kata tersebut menjadi identik dengan perempuan seperti halnya menstruasi) yang hanya khusus untuk perempuan. Bangsa Arab biasanya) حائض kata حامل atau kata ,حائضة untuk perempuan menstruasi bukan حائض menggunakan kata Bila kata hâidl ataupun kata .حاملة untuk perempuan yang sedang mengandung, bukan hâmil, dapat dipahami sebagai takdir yang diberikan Tuhan untuk perempuan yang tidak mungkin dialami kaum laki-laki, lain halnya dengan al-nadb (peratap), istilah ini merupakan bahasa yang secara khusus dibuat dan ditujukan untuk kaum perempuan yang bertugas meratapi mayat terutama kaum laki-laki. Hal ini, menjadi sebuah indikasi adanya unsur gendering yang masuk ke dalam bahasa khususnya Arab, yang disebabkan tradisi dan budaya, sehingga perempuan tercitrakan sebagai makhluk peratap, sebagaimana ia juga tercipta sebagai makhluk yang mengalami menstruasi dan kehamilan. Terkait dengan hal itu, berdasarkan konsep gynocritic yang secara khusus mencari perbedaan antara penulis laki-laki dan perempuan dan karya satra keduanya, ada hal lain yang dapat mendukung pendapat tersebut. Dari syair-syair Jahiliyah tersebut, terlihat bahwa ritsâ’ al-nadb sepertinya hanyalah milik kaum perempuan, sebaliknya tidak didapati penyair laki-laki yang menangisi kematian perempuan. Umru al-Qais, sebagai contoh, seorang penyair yang paling banyak berbicara tentang

585 Dalam sintaksis bahasa Arab, antara subjek dan predikat harus ada kesesuaian lafaz. Jika مؤنث sebaliknya bila subjeknya ,مذكر male), maka predikat juga harus berbentuk) مذكر subjeknya .مؤنث female), maka predikatnya harus berbentuk)

213 perempuan, tidak tampak dalam syair-syairnya sebuah ritsâ’ yang secara khusus ditujukan untuk perempuan, kecuali syair yang ia tujukan untuk seorang perempuan yang tidak kenalnya dan akan dikuburkan di gunung Safah ‘Asib586, berikut ini: أجارتنا إن الخطوب تنوب وإنى مقيم ما أقام عسيب Wahai tetanggaku (pr), malapetaka itu sedang menimpa(mu) Dan akupun sesungguhnya akan menempati tempat ini (‘Asib)

أجارتنا إنا غريبان ههنا وك ّل غريب للغريب نسيب Wahai tetanggaku, kita berdua adalah orang asing di sini Dan setiap orang asing adalah saudara bagi orang asing lainnya

فإن تصلينا فالقرابة بيننا وإن تصرمينا فالقريب غريب Jika engkau nanti bertemu dengan kami, maka kita bersaudara Namun jika terpisah, maka saudarapun terasa jauh

Syair ini bukanlah sebuah bentuk ritsâ, sebab di dalamnya tidak ada tangisan dan juga tidak ada ratapan, bukan pula ditujukan untuk orang yang dikasihinya. Syair ini hanyalah sebuah komentar yang ia ungkapkan untuk sebuah kematian secara umum. Dalam diwan syairnya, ada satu ritsâ yang digubah Umru al-Qais, namun ritsâ ini tidak lebih dari sebuah ritsâ al-ta’bîn yaitu jenis ratapan yang biasanya ditujukan untuk raja dan menteri yang digunakan untuk mengenang mereka ketika telah meninggal dunia. Kata-katanya tidak jauh berbeda dengan ritsâ al-nadb yaitu dengan kata-kata yang berkaitan dengan tangisan, sebagai berikut: أال يا عي ُن ب ِّك ى لى شنينا وب ّكى لى الملوك الذهاهبينا Aha, wahai mata, menangislah untukku dengan tetesan air mata Dan tangisilah raja-raja yang telah pergi untukku 587

ملوكا من بنى حجر بن عمرو يساقون العي ّشةَ يقتلونا Raja-raja dari Bani Hujr ibn ‘Amr Mereka dijamu di malam hari lalu dibunuh

586 Diriwayatkan bahwa tempat tersebut juga menjadi tempat dikuburkannya Umru al-Qais dan Shakr saudara laki-laki al-Khansa. 587 Saudara-saudara Umru al-Qais yang telah mati terbunuh

214

Dilihat dari segi diksi (pemilihan kata), ritsâ yang disuguhkan oleh Umru al- Qais pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dibuat oleh al-Khansâ’, yaitu `ain (mata), dan bukâ’ (tangisan), namun demikian objek ratapanlah yang membedakan keduannya. Umru al-Qais meratapi kematian saudara-saudara laki-lakinya yang notabene para raja, sekaligus ia juga meratapi hilangnya kerajaan akibat kematian tersebut. Ada jarak yang membedakan antara ritsâ perempuan dan laki-laki. Ritsâ bagi kaum laki-laki lebih bersifat maskulin, sedangkan perempuan bersifat feminin atau lebih ke arah cengeng dan berlebihan. Sungguh tidak adil memang, ketika seorang perempuan harus menangisi dan meratapi kematian seorang laki-laki, baik ayah maupun saudara laki-lakinya yang biasanya mereka anggap pahlawan yang maha sempurna, terbukti dengan dikumandangkannya berbagai pujian untuk sang mayit setelah tangisan, di sisi lain jarang sekali atau bahkan tidak ada ratapan-ratapan dari seorang laki-laki untuk kematian seorang perempuan, sekalipun untuk orang-orang yang sangat dikasihi. Hal ini salah satu bukti, adanya ketimpangan perlakuan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam tradisi dan budaya masyarakat Jahili. Al-Khansâ’, bukanlah satu-satunya penyair perempuan yang memilih model ritsâ al-nadb dalam mengungkapkan perasaan sedihnya, sebab masih banyak penyair perempuan lainnya yang memilih cara yang sama dengannya. Sebagai contoh, anak perempuan Hadzaq al-Hanafi588, dalam syairnya berikut ini: أعين َّي جودا بالدموع على الصدر على الفارس المقتول فى الجبل الوعر Wahai kedua mataku cucurkanlah air matamu ke dada Untuk prajurit yang terbunuh di gunung Wa’r

Contoh lain adalah syair Urwa binti Abd al-Muthalib ibn Hasyim al-Quraisy pada saat menghadapi kematian ayahnya berikut ini:

588 ‘Abd Mahannâ, Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irat fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1410 H / 1990 M), cet. 1, hal. 273, dikutip dari kitab al-Amâli karya ‘Alî al-Qâli, jilid II, hal. 32

215 589 بك ْت عيني و ُح ّق لها البكاء على سمحٍ سجيّته الحياء Mataku menangis, dan memang seharusnya demikian Untuk orang yang dermawan, yang memiliki sifat malu

Al-Khansâ’ (Tumâdlir), ibnatu Khadzaq, dan Urwâ, hanyalah tiga dari sekian banyak penyair perempuan Arab Jahiliyah yang mengusung corak ritsâ al-nadb, sebuah corak syair ratapan yang lebih mengutamakan tangisan dan deraian air mata. Syair-syair di atas menampilkan gambaran yang nyata tentang emosi590 yang dirasakan oleh penyair perempuan Jahiliyah, yaitu perasaan sedih, marah, dan takut. Ungkapan al-Khansa ‘Wahai mata, mengapa kau tiada menangis deras’, merupakan indikasi bahwa betapa ia sedang merasakan kesedihan yang tiada terperi akibat ditinggal mati saudaranya laki-lakinya. Sedangkan ungkapan ‘Saat waktu yang menakutkan itu datang’, menunjukkan bahwa ada rasa ketakutan (fear) yang ia rasakan saat itu, ketakutan yang mencekam saat menyaksikan akibat kejamnya peperangan. Katakutan itu, selanjutnya berubah menjadi kecemasan (anxiety) yang tiada berujung, ketika menatap masa depan yang suram akibat kehilangan saudara laki-lakinya yang merupakan tulang punggung dan kebanggaan keluarga. Istri-istrinya akan menjadi janda dan anak-anaknyapun menjadi anak-anak yatim tanpa perlindungan seorang ayah. Hal ini tersirat dalam bait berikutnya, ‘Tangisilah saudaramu, demi anak-anak yatim dan janda-janda. Tangisilah saudaramu jika kau merasa dekat dengannya. Perasaan sedih, takut, dan cemas yang dirasakan penyair tersebut sebagai akibat dari rasa cinta (love) yang ia rasakan.591 Berdasarkan hal itu, maka tidak salah jika perempuan Jahiliyah

589 Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irat fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 12, dari kitab al-Ishabah karya Ibn Hujr, 4: 277 atau kitab Sya’irat al-Arab dan al-A’lam karya al-Zarkali, 1:290, juga al-Sirah al- Nabawiyah karya Ibn Hisyam, 1:173 590 Menurut I.A. Richard, emosi adalah satu dari empat hakikat puisi, di samping tema (sense) nada dan suasana (tone), dan pesan (intention). Ia menyebut unsur emotif ini dengan perasaan penyair (feeling). Keempat unsur tersebut selanjutnya menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair. Dikutip oleh Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (ttp: Erlangga, 1995), hal. 591 Menurut JB. Watson, manusia memiliki tiga emosi dasar, yaitu; fear (rasa takut) yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi anxiety (cemas), rage (kemarahan) yang dalam perkembangan selanjutnya berubah menjadi anger (marah), lalu love (cinta atau sayang) yang kemudian berubah menjadi simpati. Sedangkan menurut Max Scherer ada empat tingkatan dalam perasaan, yaitu; perasaan tingkat sensatis, seperti sakit, panas, dingin, dsb, perasaan kehidupan vital, seperti, lapar, haus, dsb,

216 merupakan perempuan-perempuan yang bersifat affective (penyayang), emphatic (ikut merasakan perasaan orang lain), dan nurturant (peduli), hanya saja sifat-sifat tersebut bila dikaitkan dengan konteks di atas tidak muncul secara natural, melainkan akibat dari tradisi dan budaya perang yang selalu mereka alami dan rasakan saat itu, di samping budaya patrialkhal yang mereka anut yang sangat mengagungkan kekuatan laki-laki yang juga pada dasarnya sebagai konsekuensi dari budaya perang.592 Rasa kehilangan yang berlebihan atas kematian laki-laki, juga tatapan kecemasan perempuan Jahiliyah akan nasib mereka di masa depan, adalah sebuah bukti adanya ketergantungan perempuan yang luar biasa terhadap kaum laki-laki. Sebagai contoh dalam syair al-Khansa: وابكى لصخر إذا ثوى بين الضريحة والصفائح Menangislah untuk Shakhr di saat ia terkubur antara mayat dan pedang yang terhunus َر ْم ٌسا لدَي َجدَ ٍث تذيع بتُ ْربِ ِه ُه ْو ُج النوافح Tanah kuburan itu, debunya menebarkan angin semerbak السيد الجحجاح وابن السادة ال ُّشم الجحاجح Pemimpin yang disegani, anak dari para pemimpin yang dimuliakan الحامل الثقل المهم من ال ُم ِل َّمات الفوادح593 Yang mengemban tanggung jawab penting Dari berbagai urusan yang berat

Budaya perang yang dianut oleh bangsa Arab Jahiliyah saat itu, rupanya berhasil memformat budaya patrialkhal murni yang memposisikan laki-laki di atas segalanya. perasaan kejiwaan, seperti, takut, marah, benci, cinta, dsb, dan perasaan kepribadian, seperti malas, prustasi, dsb.. Nety Hartati dkk., Islam dan Psikologi, (Jakarta: UIN Press, 2003), hal. 90 592 Menurut kritik sastra feminis-psikoanalitik, secara natural, perempuan bersifat affective (penyayang), emphatic (ikut merasakan perasaan orang lain), dan nurturant (peduli). Namun demikian, karakter yang melekat pada perempuan tersebut, bukan semata-mata sesuatu yang bersifat alami, bukan pula takdir, namun karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu masyarakat patrialkal. Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan yang dianggap sebagai cermin kepribadian penulisnya. Ragam kritik ini berawal dari penolakan kaum feminis terhadap teori-teori Sigmund Freud yang menyatakan bahwa perempuan iri pada laki-laki karena tidak memiliki penis (penis-envy). Lalu perempuan melahirkan bayi yang kemudian dianggap sebagai pengganti penis yang dirawat dan diasuh dengan penuh kasih sayang. Bagi kaum feminis, perempuan tidaklah iri pada penis yang dimiliki kaum laki-laki, namun pada kekuasaan yang mereka miliki. 593 Abd al-Salâm al-Jaufî (syarah dan tahqîq), Dîwân al-Khansâ, hal. 30

217 Hal ini tampak jelas dari syair di atas yang sangat mengagungkan sosok laki-laki, baik sebagai saudara, teman, ataupun pemimpin. Tampak dari syair tersebut, suatu sikap ketergantungan yang nyata dari perempuan terhadap laki-laki, yang dalam hal ini kakak kandungnya. Sikap ketergantungan perempuan terhadap orang lain, merupakan salah satu sifat khas feminin. Oleh karena itu, dalam hal ini perempuan dianggap lemah, tidak berdaya, tidak mampu bertindak, berinisiatif dan lain sebagainya.594 Sikap ini adalah salah satu implikasi dari sikap vicarious yang artinya suatu sikap yang siap melakukan bagi orang lain.595 Menurut ideologi feminisme, baik sikap Vicarious maupun sikap ketergantungan, menandakan kesirnaan identitas perempuan sebagai individu yang utuh di mata masyarakat. Karena sebagai masyarakat, ia hanya diakui karena identitas yang dimiliki laki-laki.596 Hal lain yang perlu ditelaah adalah bahwa syair ritsâ’ yang diusung perempuan Jahiliyah, hampir semuanya ditujukan untuk kaum laki-laki, baik ayah, suami, kakak, maupun adik laki-laki. Dan biasanya selain ratapan, sebagian besar kandungan syair adalah pujian (madah) terhadap laki-laki yang telah meninggal dunia tersebut. Sebagai contoh syair al-Khansa di atas, atau syairnya berikut ini: أعين َّي جودا وال تجمدا أال تبكيان لصخر الندى Wahai kedua mataku, cucurkanlah airmata dan jangan sampai mongering Tidakkah kalian menangis untuk Shakhr yang baik hati

أال تبكيان الجري َء الجميل أال تبكيان الفتى السيدا Tidakkah kalian menangisi pemuda gagah nan rupawan Tidakkah kalian menangisi pemuda yang mulia

594 Betty Friedan, The Feminine Mystique, (New York: Garden City, 1977), hal. 11, dikutip oleh Soenardjati Djayanegara, Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika, (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1995), 107 595 Thorstein Veblen, The Theory of the Leisure Class; an Economic Study of Institutions, (New York: tp, 1899), hal. 229 dikutip oleh Soenardjati Djayanegara, Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika, (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1995), 107 596 Soenardjati Djayanegara, Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika, hal. 147

218 طويل النجاد597 رفيع العما ِد ساد عشيرتَه أمردا598 Pemuda gagah perkasa Yang memimpin keluarganya padahal masih belia

إذا القوم مدّوا بأيديهم إلى المجد مدّ إليه يدا599 Bila orang lain mengulurkan tangan mereka untuk kebajikan Iapun tidak sungkan untuk mengulurkan tangannya

Syair ini membuktikan, bahwa betapa laki-laki pada masa Jahiliyah merupakan sosok nan agung, sehingga pada saat meninggalnya pun hanya ratapan dan pujian yang keluar dari mulut perempuan. Hal ini semakin mengokohkan praduga ideologi patrialkhal yang dianut bangsa Jahiliyah yang menempatkan laki-laki di atas segala- galanya. Meskipun dalam syair tersebut tidak membuktikan bahwa ada semacam penindasan terhadap perempuan, namun syair tersebut justru telah menjadi alat untuk mengabadikan supremasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, bahkan setelah kematian mereka pun, namanya tetap abadi sepanjang masa. Ritsâ yang biasanya digunakan oleh para perempuan Jahiliyah, selain menjadi simbol kesedihan, dan juga pengagungan (madah) laki-laki, ia juga merupakan simbol dendam yang tiada henti. Hal ini terbukti dari ritsâ al-Khansa, saat ditinggal kematian kakaknya Shakhr yang kemudian mengajak kaumnya untuk membalas dendam dan menyerang kabilah yang telah membunuhnya600: أبنى سلي ٍم إن لقيتم ف َقع سا فى محب ٍس ضن ٍك إلى وع ِر Wahai Bani Sulaim, jika kalian berjumpa (dengan lawan), lalu ia mundur Ke persembunyian yang sempit dan sulit sekalipun

فالقوهم بسيوفكم ورماحكم وبنَ ْض َخ ٍة فى الليل كالق ْطر

597 arti sebenarnya dari kata thawîl al-nijâd adalah sarung pedang yang panjang, yang kemudian menjadi kinayah untuk laki-laki yang berpostur tinggi, sebab biasanya pedang memiliki ukuran yang panjang, sehingga tidak mungkin dibawa oleh orang yang bertubuh pendek. 598 Amrad adalah pemuda yang belum tumbuh janggut, sebagai kinayah bagi pemuda yang masih sangat belia. 599 Abd al-Salâm al-Jaufî (syarah dan tahqîq), Dîwân al-Khansâ, hal. 30 600 Shakhr terbunuh pada perang Kulâb atau Dzat al-Atsl (Yaum Kulâb dan Yaum Dzat al-Atsl). Dzat al-Atsl adalah nama tempat yang terletak antara perkampungan Bani Asad dan Bani Sulaim. Dîwân al-Khansa, hal. 18

219 Seranglah mereka dengan pedang dan panah kalian Bagai derasnya cucuran air hujan di malam hari

حتى تفُ ُّضوا جمعَهم وتذ َّكروا صخرا ومصر َعه601 بال ثأر Hingga mereka bercerai berai, dan ingat akan Shakhar dan kekalahannya tanpa sempat membalas dendam

Dalam syair tersebut, tampak dendam yang membara atas kematian saudara laki-lakinya Sakhar dalam peperangan yang merenggutnya nyawanya. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ternyata dalam syair ritsa itu tidak hanya melulu tentang ratapan dan tangisan seorang perempuan, namun ternyata dalam syair ritsa itu mengandung tiga hal, yaitu tangisan atau ratapan, pujian, dan dendam. Ratapan adalah ekspresi kesedihan perempuan atas kematian laki-laki, pujian adalah bentuk pengagungan perempuan untuk laki-laki, dan dendam adalah bentuk pembalasan atas rasa kesakitan laki-laki. Dan ketiga hal tersebut telah membentuk citra perempuan Jahiliyah, sebagai perempuan peratap, pengagum laki-laki, dan penuh dengan dendam. Dan hal ini tentu saja tidak tumbuh dengan sendirinya, namun terbentuk akibat budaya perang yang mereka jalani. Dan syair di atas, juga membuktikan adanya keterlibatan perempuan Jahiliyah dengan dunia politik yang dalam hal ini adalah perang. Corak syair ritsâ dalam syair-syair perempuan, terkesan bersifat cengeng karena hanya menyuguhkan tangisan dan air mata, dan hal ini justru melegitimasi sifat feminin kaum perempuan Jahiliyah. Bila hanya melihat pada mukadimah syair ritsâ, seperti yang disuguhkan al-Khansa di atas maka kesan pertama yang timbul adalah sifat perempuan yang feminin dan cengeng, namun hal ini berbeda dengan ritsâ yang dibuat oleh Aminah binti ‘Utaibah602 berikut ini: تَ َر َّو ْحنا من اللعباء عصرا فأعج ْلنا االالهةَ أن تؤوبا603 Suatu ketika kami menuju La’ba604

601 Mashra` arti sebenarnya adalah pergumulan, pergulatan, bergelut dengan dia. Sharî` jamak shar`â artinya yang terbanting 602 Nama lengkapnya Aminah binti ‘Utaibah ibn al-Hârits ibn Syihâb al-Yarbû’iyah. Ayahnya salah seorang prajurit perang Bani Tamim, ia terbunuh pada hari Khaww salah satu nama perang yang terjadi pada masa Jahiliyah. 603 Bahr Hajaz: mafâ’îlun – mafâ’îlun – mafâ’îl

220 Kami dahului utusan Tuhan yang akan menghampiri

على مث ِل ِْ ا بن ميَّة فانعياه تش ّق نواع ُم البشر الجيوبا Ibnu Mayyah, kabarkan padanya bahwa dengan kematiannya Terluka orang-orang yang menikmati kantung (rizkinya)

وكان أبى عتيبة ش َّمريا فال تلقاه يدّخر النصيبا Ayahku ‘Utaibah seorang yang mulia Tak akan kau dapati ia menyembunyikan suatu bagianpun

ضروبا للكم ّيِ إذا اشمعلّت عوان الحرب ال ورعا هيّوبا Ialah contoh pemberani, pada saat perang berkecamuk, tidak lemah tidak juga ia pengecut605

Ritsâ ini jauh dari kesan cengeng. Perempuan tersebut dengan keberanian, dan ketegarannya bahkan menyatakan akan mendahului utusan Tuhan yang akan menjemput ayahnya ‘Utaibah. Ia lebih berfikir pada apa yang akan terjadi akibat kematian ayahnya itu, dari sekedar menangisi kematiannya, sebab dengan itu banyak orang yang kehilangan tempat bergantung. Ia adalah simbol perempuan peduli dan pemberani, meskipun pada dasarnya bila ditinjau dari sudut pandang feminisme, kandungan syairnya tidak jauh berbeda dengan al-Khansâ’, yaitu penuh dengan sikap Vicarious, sikap yang selalu bergantung pada kaum laki-laki, seperti dalam ungkapannya ‘kabarkan padanya bahwa dengan kematiannya, terluka orang-orang yang menikmati kantung (rizkinya).

Bila al-Khansâ’ Tumâdlir binti ‘Amr ibn al-Syarîd al-Sulamiyah lebih suka mengemas kematian kedua saudara laki-lakinya dengan syair ritsâ yang cenderung

604 Makna asli dari la,ba adalah tanah yang bergaram antara dua lautan, namun yang dimaksud dengan La,ba di sini adalah sebuah tempat yang terletak di pinggiran kota Hijaz yang terdapat di pegunungan Ghatfân. 605 ‘Abd Mahannâ, Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1990 M/1410 H), hal. 9

221 cengeng, lain halnya dengan al-Khansa binti Zuhair ibn Abi Sulma606 pada saat meratapi kematian ayahnya. Kita bisa menilainya dari ungkapan syairnya berikut ini:

وما يغنى توق ّي الموت شيئا وال ُع ْقدُ التميم وال الغضار Tiada berguna bersembunyi dari kematian Tidak juga perjanjian Tamîm dan Ghudlâr إذ القى منيّته فأمسى يساق به وقد ح ّق ال ِحذار Jika kematiannya telah tiba, iapun pasti dihampiri, dan itu sudah menjadi suatu kepastian والقاه من األيام يوم كما من قبل لم يخلد قدا ُر Suatu hari pasti kematian itu akan menemuinya Sebagaimana sebelumnya tidak pernah ada seorangpun yang perkasa abadi

Dari ungkapan syair tersebut, meskipun bercerita tentang kematian seorang ayah, tidak tampak kesan perempuan yang cengeng dan menyesali datangnya kematian. Penyair tersebut tahu betul, bahwa tidak ada seorangpun yang mampu menghindari datangnya sebuah kematian sekalipun orang itu gagah perkasa. Hal ini didukung dengan fenomena perang yang selalu merenggut nyawa siapapun tanpa ada belas kasihan. Perempuan tegar bahkan bijak dalam menyikapi semua tragedi yang terjadi dalam kehidupan. Syair ini adalah salah satu bukti yang menunjukkan citra feminis perempuan Arab Jahiliyah. Ritsâ yang seperti inilah yang dimaksud dengan al-‘azâ. Makna dasar dari al-‘azâ itu sendiri adalah sabar. Istilah ini lalu dipersempit artinya menjadi sabar dan ikhlas atas cobaan yang disebabkan kematian.607 Hal ini terlihat jelas dari ketiga bait syair di atas. Sikap ikhlas dan pasrah atas kematian orang yang dikasihi tampak jelas dari ungkapan ‘Jika kematiannya telah tiba, iapun pasti dihampiri, dan itu sudah menjadi suatu kepastian. Suatu hari pasti kematian itu akan menemuinya, sebagaimana sebelumnya tidak pernah ada seorangpun yang perkasa abadi’. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa ritsâ dalam syair-syair perempuan biasanya didahului dengan hal-hal yang berkaitan dengan air mata. Hal ini berbeda

606 Ia adalah anak dari penyair hikmah Arab Jahili yang sangat terkenal Zuhair Ibn Abi Sulma. 607 al-Ritsâ, hal. 86

222 dengan ritsâ yang digubah oleh Janub608 yang cenderung filosofis pada saat meratapi kematian saudara laki-lakinya berikut ini:

ك ّل امرئ بمحال الدهر مكذوب وك ّل من غالب األيام مغلوب Setiap orang dibohongi oleh kemustahilan alam Dan yang mampu mengalahkan waktu dia (suatu ketika) akan dikalahkan وك ّل قوم وإن ع ّزوا وإن سلموا يوما طريقهم فى الش ّر دعوب Setiap bangsa, meskipun suatu ketika berkuasa dan selamat, suatu hari pasti akan menemukan hari nahasnya بينا الفتى ناعم راض بعيشته سيق له من نوادى الش ّر شؤيوب Di antara kita ada seorang pemuda yang baik dan ikhlas atas kehidupannya Yang selalu dilindungi tumpahan air hujan dari kejahatan Syair ini menampilkan sisi lain dari sebuah ritsâ yang biasanya melulu didahului dengan kata-kata yang berhubungan dengan tangisan. Pada kenyataannya tidak sedikit syair ritsâ yang bermukadimah kalimat-kalimat filosofis seperti syair di atas. Syair tersebut menunjukkan adanya sebuah bentuk kepasrahan akan takdir yang tidak mungkin dapat dihindari oleh siapapun sekalipun sebuah bangsa yang sangat maju dan kuat, sebuah takdir akan kematian meski dengan jalan yang berbeda-beda. Jika demikian, maka asumsi publik yang mengatakan bahwa perempuan Jahiliyah hanya terampil meratap, tidak sepenuhnya benar, sebab di balik ratapan-ratapan tersebut, muncul sebuah ketegaran dan kepasrahan akan sebuah kekuatan yang tidak mungkin dapat dihindari. Pada intinya adalah bahwa peperangan yang meliputi bangsa Arab telah memberi pelajaran yang sangat berharga bagi siapapun. Perang telah membentuk jiwa- jiwa perempuan yang rapuh, namun perang jualah yang membentuk perempuan- perempuan Jahiliyah sebagai manusia yang kuat, tegar dan bijak dalam mengahadapi setiap persoalan. Dengan demikian, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ritsâ bagi kaum perempuan secara psikologis dan individual lebih disebabkan kondisi sosiologis, dibanding watak dan kepribadian mereka.

608 Ia adalah saudara perempuan dari Amr Dzi al-Kalb al-Hadzali. Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 43, dari Abu al-Faraj al-Ishfahani, al-Aghani, 22: 355

223 Hal ini senada dengan apa yang diutarakan oleh Soenarjati Djayanegara bahwa sifat-sifat natural yang ada pada jiwa seorang perempuan, seperti sifat affective (penyayang), emphatic (ikut merasakan perasaan orang lain), dan nurturant (peduli), pada hakekatnya bukanlah sesuatu yang bersifat alami, bukan pula takdir, sebab karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu masyarakat patrialkal.609 Jika demikian, maka tradisi ritsa (meratapi mayat) sebagai implementasi dari sifat affective, emphatic dan nurturant seorang perempuan adalah salah satu bukti kongkrit tentang sebuah ‘gendering’ masal pada masa silam.610

2. Cinta di Mata Perempuan Jahiliyah Ghazal (syair percintaan) adalah salah satu tema syair Jahiliyah yang sangat disukai oleh kaum laki-laki Jahiliyah, di sisi lain ritsâ’ adalah tema paling populer di kalangan perempuan Jahiliyah. Ritsâ’ merupakan bentuk perwujudan cinta seorang perempuan terhadap orang lain yang bersumber dari sifatnya yang affective (penyayang), emphatic (ikut merasakan perasaan orang lain), dan nurturant (peduli) yang kemudian diekspresikan lewat tangisan dan kesedihan. Sedangkan ghazal adalah manivestasi cinta laki-laki yang bersumber dari desire (hasrat bercinta) dan diekspresikan melalui sikap senang dan bahagia. Lalu di manakah makna cinta (desire/ghazal) bagi kaum perempuan Jahiliyah? Padahal menurut JB. Watson, cinta (love) merupakan satu dari tiga emosi dasar yang dimiliki manusia, di samping fear

609 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 31-32 610 Bandingkan dengan syair ritsâ Shafiyah binti Abd al-Muthalib, seorang penyair dari masa Islam berikut ini: فإلى هللا ذاك أشكو وحسبى # يعلم هللا َح ْوبَتى ونحيبى Hanya pada Allah lah aku mengadu # sesungguhnya Ia maha mengetahui segala kesedihan dan ratapanku Menurut Abdullah al-Hamid, dalam syair tersebut tampak jiwa yang lemah dan lembut yang menurut Abdullah al-Hamid merupakan ciri khas perempuan. Berdasarkan hal ini, sesungguhnya baik disebabkan latar belakang sosial seperti perempuan Jahiliyah yang cenderung menjadi perempuan peratap akibat faktor peperangan yang tiada henti, ataupun disebabkan latar belakang keagamaan seperti pada penyair di atas, hal ini tetap saja menunjukkan akan watak dasar dari perempuan yang bersifat kasih, sayang dan peduli. Lih. Abdullah al-Hâmid, al-Syi`r al-Islâmi fi Shadr al-Islâm, hal. 302

224 (rasa takut), dan rage (kemarahan).611 Perempuan Jahiliyah sepertinya hanya berhak memperoleh fear dan rage yang keduanya pun dipersembahkan untuk laki-laki. Tampak ada sesuatu yang ganjil pada saat membicarakan cinta yang kemudian dihubungkan dengan penyair perempuan Jahiliyah. Bila dalam syair-syair laki-laki, perempuan begitu penting, disanjung dan dipuja, bahkan kaum laki-laki dengan bebas mengekpresikan perasaannya terhadap perempuan tanpa ada rasa segan ataupun malu, hal ini sangat berbeda dengan penyair perempuan. Dalam syair-syair perempuan tidak dijumpai satupun bentuk ghazal atau rayuan untuk laki-laki. Ghazal sepertinya hanyalah hak mutlak kaum laki-laki, sedangkan perempuan haknya adalah meratapi kaum laki-laki. Sungguh aneh memang, namun tentu saja hal ini mengundang sebuah pertanyaan besar, mengapa hal ini bisa terjadi? Jika kita melihat pada sistem stratifikasi sosial yang dianut bangsa Arab Jahiliyah saat itu yang membagi perempuan pada dua kasta yang satu sama lain bak langit dan bumi, maka ekslusifisme ghazal yang hanya dilakukan oleh kaum laki-laki sangatlah dimengerti. Pertama, bahwa bagi perempuan hurrah sebagai perempuan kelas atas, mereka oleh kaum laki-laki ditempatkan pada posisi yang sangat tinggi berkaitan dengan prestise yang mereka miliki sebagai putri dari para petinggi kabilah atau kerajaan, atau paling tidak mereka memiliki hak penuh atas dirinya. Pada posisi yang tinggi seperti ini, perempuan ditempatkan oleh mereka sebagai objek sanjungan dalam ghazal, dipuji dan dipuja. Kedua, bagi perempuan imâ’, mereka sama sekali tidak memiliki hak untuk berbicara apalagi menyampaikan perasaan mereka melalui syair- syair cinta, karena mereka merasakan cinta atau tidak, hasilnya akan sama saja, menjadi barang milik kaum laki-laki. Hak-hak mereka untuk berekspresi secara tidak langsung dibungkam dan tidak diberi kesempatan untuk itu. Berdasarkan hal ini, maka dapat dimengerti mengapa perempuan Jahiliyah tidak suka dengan syair-syair ghazal, karena semuanya kembali pada situasi dan kondisi yang mempengaruhinya. Namun pada intinya, kaum perempuan Jahiliyah apapun alasannya tidak terbiasa mengumbar kata cinta dan rayuan pada kaum laki-laki.

611 Nety Hartati dkk., Islam dan Psikologi, hal. 90

225 Fenomena seperti ini secara eksplisit terlihat dalam kisah Asmâ’ salah seorang penyair perempuan Jahiliyah istri Ja`ad ibn Mahja` al-`Adzari. Asmâ’ adalah perempuan yang sangat dicintai Ja`ad yang kemudian dinikahinya. Setelah menikah, Asmâ’ memperlihatkan cinta yang sebelumnya ia sembunyikan. Untuk itu Ja`ad bertanya pada istrinya yang kemudian dijawab lewat syair berikut ini:

كتم ُت الهوى إنى رأيت َك جازعا فقل ُت فت ى بُعد الصديق يريد Kusembunyikan rasa cinta ini, karena kulihat engkau berkeluh kesah Lalu kukatakan, pemuda itu tidak mungkin menginginkan(ku) فإن تطرحنّى أو تقول فتيّة يضربها برح الهوى فتعود Bila engkau memandangku atau berkata, hai gadis Cinta yang dahsyat itu mengenainya, lalu engkau kembali فوري ُت عما بى وفى الكبد والحشا من الوجد برح فاعلم َّن شديد612 Maka kusembunyikan apa yang kurasakan dalam hati dan batinku Dari perasaan cinta, tentang sesuatu yang dahsyat yang seharusnya kamu tahu

Syair tersebut menggambarkan betapa perempuan pada masa Jahiliyah tidak sanggup untuk menyatakan perasaan dan cintanya pada laki-laki yang dicintainya. Bahkan setelah menikahpun, ungkapan tersebut baru keluar dari mulut setelah diajak berdialog oleh suaminya, padahal dari sebelum menikahpun ia telah jatuh cinta padanya. Sepertinya perempuan Jahiliyah sudah terbiasa memendam perasaan cinta mereka, atau menyembunyikan perasaan tidak suka yang mereka rasakan. Bagi sebagian perempuan Jahiliyah, ada atau tidak ada rasa cinta itu, diungkapkan ataupun tidak rasa benci itu, hasilnya akan tetap sama, yaitu menikah sesuai dengan kehendak sang penguasa di dalam rumah tanpa peduli dengan perasaannya. Tentu saja gambaran ini tidak berlaku bagi perempuan kalangan atas yang bisa menentukan pilihan hidupnya sendiri, namun secara mayoritas perempuan Jahiliyah, cinta ibarat sebuah fatamorgana, yang tampak indah, namun terkadang sulit untuk dijangkau. Hal ini sangat berbeda dengan penyair laki-laki terutama kalangan aristokrat yang dengan leluasa mengumbar kata cinta (desire) pada perempuan yang

612 Mu’jam al-Nisâal-Syâ’irat fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 15

226 diinginkannya. Ungkapan Umru al-Qais berikut ini membuktikan bahwa betapa kata- kata vulgar begitu mudah keluar dari mulutnya. فجئ ُت وقد ن ّضت لنوم ثيابها لدى الستر إال لبسة المتفضل Maka aku datang, dan ia telah menanggalkan bajunya untuk tidur Di balik kelambu, dengan hanya memakai baju dalam

هصر ُت بفَ ْودَى رأسها فتمايلت عل ّى هضيم الكشح ريّا المخلخل Kurengkuh kedua tepi kepalanya hingga mendekat padaku Perempuan berperut ramping, berbetis indah

Ungkapan seperti dalam bait syair di atas oleh Alice Deignan dikategorikan sebagai metaphor of appetite desire yaitu gaya ungkapan yang sudah mengarah pada nafsu, yang pada intinya, menekankan betapa berbedanya makna cinta bagi laki-laki dan perempuan. Ketidakmampuan perempuan dalam mengungkapkan perasaan cintanya tersebut, terkait erat dengan budaya patrialkhal yang kental dalam tradisi bangsa Arab Jahiliyah. Dominasi laki-laki terhadap perempuan ini, bukan hanya membungkam ungkapan cinta dari mulut perempuan, namun juga berubah wujud menjadi semacam penindasan psikis terhadap mereka. Salah seorang perempuan Jahiliyah simbol ketertindasan kaum laki-laki adalah Raqqâsy, saudara perempuan dari Judzaimah al-Wadlâh613, yang diriwayatkan oleh al- Mas’ûdi dalam kitab Murûj al-Dzahab, bahwa ia (Raqqâsy) dinikahkan oleh saudara laki-lakinya dengan seorang laki-laki yang sedang mabuk, ketika ia tersadar, orang- orang di sekitarnya memberitahukan dia tentang perkawinannya tersebut, kemudian ia mengucapkan beberapa bait syair untuk menyalahkan Raqqasy atas perkawinan tersebut. Sebagai pembelaan atas dirinya, Raqqasy pun menjawab dengan syair berikut ini:

أن َت ز ّوجتنى وما كن ُت أدرى وأتانى النسا ُء للتزيين

613 Mu’jam al-Nisa al-Sya’irat, hal. 94, diriwayatkan kisah ini dari kitab Muruj al-Dzahab, karya al-Mas’udi, jilid 4, hal. 91

227 Kau nikahi aku, padahal akupun tidak menyadari Tiba-tiba para perempuan itu mendatangiku untuk menghiasi ذاك من شربك المدامة صرفا وتماديك فى الصبا والجنون614 Ini semua akibat ulahmu yang gemar minum-minuman Dan sikapmu yang selalu kekanak-kanakan dan gila

Dari syair tersebut, ada beberapa bentuk penindasan yang dilakukan kaum laki- laki terhadap perempuan. Pertama, dalam keluarga, laki-laki adalah simbol kekuasaan yang otoriter yang berhak menentukan siapa saja pasangan hidup perempuan yang ada dalam keluarga tersebut tanpa mempertimbangkan perasaannya, sehingga pemaksaan terhadap perempuan tampak sebagai suatu hal yang wajar. Kedua, tidak tampak adanya perlindungan dari laki-laki untuk perempuan meskipun ia salah seorang anggota keluarga, sehingga tanpa ada rasa bersalah ia dengan tega menikahkan saudaranya sendiri dengan seorang pemabuk. Ketiga, dalam kasus ini, perempuan selalu menjadi pihak yang dipersalahkan oleh situasi dan kondisi. Dari syair tersebut, tampak ada hak- hak asasi manusia yang terenggut dari kaum perempuan, yaitu hak untuk menentukan pilihan hidup, hak untuk merdeka, dan hak untuk dihargai dan dihormati. Kisah ketertindasan kaum perempuan pada masa Jahiliyah, tidak hanya menimpa Raqqasy, namun masih banyak kasus lainnya yang berkaitan dengan cinta dan perkawinan. Tragedi cinta, seperti kisah Siti Nurbaya yang sangat terkenal dalam sastra Indonesia atau tentang Romeo dan Juliet dalam sastra Inggris, keduanya adalah cerita tentang kasih tak sampai antara dua anak manusia, dan menjadi legenda tersendiri dan terus abadi sepanjang masa. Dalam kehidupan nyata, tragedi seperti ini selalu saja terjadi, dan biasanya selalu ada hubungannya dengan dominasi orang tua terutama ayah terhadap anak-anaknya. Bila kisah Siti Nurbaya dan Romeo-Juliet adalah karya fiksi tentang tragedi cinta, maka syair yang diungkapkan oleh Su’da al-Asadiyah615 salah seorang penyair perempuan pada masa Jahiliyah ini adalah sebuah fakta dan realitas. Ia dicintai oleh anak pamannya, namun pamannya tersebut tidak mengijinkan kekasih untuk

614 Mu’jam al-Nisa al-Sya’irat, hal. 94 615 Mu’jam al-Nisa al-Sya’irat, hal. 122, dari al-Aghani, 22:148

228 menikahinya. Untuk itu ayah Su’da menikahkannya dengan laki-laki lain. Namun demikian cinta anak pamannya semakin membara, untuk itu ia mengirimkan dua bait syair untuk Su’da tentang perasaannya dan cintanya yang kemudian dijawab oleh Su’da dengan syair berikut ini:

حبيب َي ال تعجل لتفهم ح َّجتِى كفانى ما بى من بالء ومن َجهد Kekasihku janganlah terburu-buru untuk memahami alasanku (menikah) Cukup bagiku kesengsaraan dan kesusahan ومن عبرات تعترينى وزفرةٍ تكاد لها نفسى تسيل من الوج ِد Dan kepedihan-kepedihan yang terus menderaku, juga helaan nafas Yang hampir menghanyutkan jiwaku karena cinta yang dalam غلب َت على نفسى جهارا ولم أُطق خالفا على أهلى بهز ٍل وال ج ٍد ّ Kau benar-benar kuasai jiwaku, namun aku tidak mampu Menentang keluargaku, baik dengan bercanda maupun serius ولن يمنعونى أن أمو َت بزعمهم غدا خوف هذا العار فى جد ٍث وحدى Mereka tak akan melarangku untuk mati, demi keyakinan mereka Esok hari, karena takut akan aib ini, di atas kuburan, aku sendiri فال تنس أن تأت َي هناك فتلتم ْس مكانى فنشكو ما تح ّم ْلت من جهد Untuk itu jangan lupa agar kau datang, lalu temukanlah Tempatku itu, lalu kita saling berbagi tentang kepedihan yang dirasakan

Setelah menerima syair tersebut, pada waktu yang telah disepakati, pemuda itu datang menjumpainya, namun ia menemukan kekasihnya dalam kondisi telah menjadi mayat. Lalu ia bawa jasadnya ke atas gunung dan menemaninya di sana, dan ia pun akhirnya meninggal. Kemudian diceritakan, bahwa beberapa orang menemukan keduanya, dan memberitahukan hal itu pada yang lain dan merekapun menguburkan keduanya. Syair ini mengisahkan tentang tragedi pencintaan dua anak manusia yang tak sampai. Perasaan cinta seorang perempuan yang terpaksa harus ia kubur dalam-dalam akibat tidak direstui keluarga. Sebagaimana syair sebelumnya, syair ini juga kembali mengisahkan tentang dominasi keluarga (ayah) pada kaum perempuan, sehingga

229 akhirnya merenggut kehidupan yang seharusnya dirasakannya dengan indah, jika saja tidak ada pemaksaan dan penindasan. Dari kedua syair tersebut, tersirat adanya ketidakrelaan perempuan-perempuan Jahiliyah atas semua perlakuan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Pada kasus yang pertama, ketidakrelaan itu ditunjukkan dengan penyangkalan dan sikap enggan untuk dijadikan sebagai kambing hitam oleh laki-laki. Sedangkan pada kasus yang kedua, ketidakrelaan itu, bahkan ditunjukkan dengan cara yang lebih ekstrim, yaitu dengan memilih kematian sebagai solusi untuk melepaskan diri dari dominasi orang tua (ayah). Cukup bagiku kesengsaraan dan kesusahan Dan kepedihan-kepedihan yang terus menderaku, juga helaan nafas Yang hampir menghanyutkan jiwaku karena cinta yang dalam

Dalam budaya patrialkhal dan dominasi laki-laki yang sangat kuat, hanya ungkapan seperti ini yang sanggup keluar dari mulut seorang perempuan. Sebuah ungkapan yang sangat menyakitkan yang disebut oleh Alice Deignan dengan desire is pain, illness and falling, cinta itu sakit dan menyakitkan, dan juga terjatuh dalam sesuatu yang menyakitkan. Lalu pada akhirnya membawa pada penderitaan fisik (psysical weakness). 616 Kaum laki-laki yang dalam hal ini keluarga lebih rela kalau anak perempuannya mati, daripada harus membiarkannya untuk memilih jalan hidupnya sendiri, yaitu memilih kekasih yang dicintainya, karena jika hal itu dibiarkan, akan menjadi aib tersendiri bagi keluarga, karena tidak mampu mengendalikan anak perempuan dan mengorbankan kehormatan keluarga. Hal ini terlihat dari ungkapan penyair: Mereka tak akan melarangku untuk mati, demi keyakinan mereka Esok hari, karena takut akan aib ini, di atas kuburan, aku sendiri

Dan pada akhirnya, sang penyair memilih jalan kematian demi mempertahankan cintanya. Kematian yang dipilihnya pada hakekatnya merupakan sebuah simbol, yaitu simbol perlawanan perempuan terhadap dominasi kaum laki-laki yang terus membelenggu kehidupan dan kemerdekaan mereka. Sebagai manusian yang memiliki

616 Keith Harvey and Celia Shalom (editor), Language ang Desire, (London and New York: Routledge, 1997), hal. 26, 28, dan 29

230 rasa dan cinta. Maka cinta pada masa Jahiliyah sepertinya adalah hak paten kaum laki- laki, bahkan perempuan sekelas al-Khansâ’ yang notabene perempuan hurrah (merdeka) dan bebas memilih laki-laki yang dikehendakinya, tetap saja tidak mampu menggubah sebuah syair ghazal pun untuk laki-laki yang dicintainya selama hayatnya. Hal ini terlihat dalam dîwânnya yang hanya menangis dan menangis untuk kedua saudara laki-lakinya. Cinta adalah suatu hal yang natural dalam kehidupan manusia, laki-laki ataupun perempuan. Namun bagi bangsa Arab Jahiliyah, cinta sepertinya hanya berhak diekspresikan oleh kaum laki-laki. Hal itu tampak dalam syair-syair ghazal yang sepertinya hanya dilakukan oleh penyair laki-laki, sedangkan perempuan tidak ada satupun kata-kata cinta atau rayuan yang ditujukan untuk laki-laki, yang ada hanyalah ratapan-ratapan atas kematian laki-laki. Ekspresi cinta sepihak ini terlihat juga dalam al- Qur’an, seperti dalam ayat berikut ini: }وال جناح عليكم فيما عرضتم به من خطبة النساء أو أكننتم فى أنفسكم، علم هللا أنكم ستذكرونهن ولكن ال تواعدوهن س ّرا إال أن تقولوا قوال معروفا{617 “ Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, namun janganlah kalian menjanjikan perkawinan pada mereka secara rahasia, kecuali dengan mengucapkan perkataan yang baik”.

Dalam ayat tersebut, terlihat bahwa yang dijadikan mukhâtab (lawan bicara) untuk urusan cinta dan perkawinan adalah kaum laki-laki, tanpa sedikitpun partisipasi perempuan. Ayat yang menyebutkan “Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut- nyebut mereka”, senada dengan tradisi ghazal dalam syair Jahiliyah yang hanya diekspresikan oleh kaum laki-laki. Demikianlah beberapa pembahasan tentang citra perempuan pada masa Jahiliyah. Syair-syair yang dijadikan sampel di atas pada dasarnya hanya menggambarkan sebagian kecil dari kehidupan perempuan Jahiliyah, yang pada dasarnya lebih dari itu.

617 Al-Baqarah ayat 235

231 3. Syair-syair bijak Sebagian orang mungkin berasumsi bahwa perempuan Jahiliyah adalah perempuan-perempuan bodoh yang sama sekali tidak memiliki wawasan tentang kehidupan. Generalisasi seperti itu ditepis oleh beberapa penyair perempuan di antaranya dua bersaudara, Jum’ah dan Hindun binti al-Khuss, serta penyair perempuan lainnya.618 Ungkapan-ungkapan filosofis dalam syair, ternyata tidak hanya didominasi oleh penyair-penyair pria seperti Zuhair ibnu Abi Sulma dan Labîd, namun juga banyak digubah oleh penyair-penyair perempuan. Sebagai contoh syair Jum’ah berikut ini:

أشدّ وجوه القول عند ذوى جحا مقالة ذى ل ّب يقول فيوجز Sebaik-baik inti pembicaraan menurut orang yang cerdas, ialah perkataan orang cerdas yang berbicara singkat namun padat وأفضل ُغ ْن ٍم يستفاد ويبتغى دخيرة عق ٍل يحتويها ويحرز Sebaik-baiknya harta yang bermanfaat dan diperlukan Adalah akal yang dimilikinya dan dijaga وخير خالل المرء صدق لسانه وللصدق فض ٌل يستبين ويب ُر ُز 619 Sebaik-baik sifat seorang yang cerdas adalah selalu jujur dalam ucapannya Sebab, dalam kejujuran ada keutamaan yang jelas dan nyata

إذا المرء لم يستطع سياسة نفسه فإن به عن غيرها هو أعجز

Jika seseorang tidak mampu mengatur dirinya sendiri Sesungguhnya ia di mata yang lainnya sangatlah lemah

Dalam syair lainnya:

يف ّر الفتى من خشية الموت والردى وللمو ُت حت ٌف 620 ك ّل ح ّي سيغفُص

618 Keduanya adalah penyair perempuan Jahiliyah yang biasa mendeklamasikan syair-syair mereka di Pasar ‘Ukazh. Thaifur dalam bukunya Balaghat al-Nisa’ memasukkan nama Jum’ah binti al- Khuss sebagai salah seorang penyair perempuan yang berkualitas (fadlilat al-nisa), sedangkan Hindun oleh al-Jahizh digambarkan sebagai penyair yang memiliki kompentensi vokal, kecerdasan, dan kefasihan yang luar biasa. Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 40 & 254 619 Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 40 620 hatf adalah kematian yang bukan disebabkan karena dipukul atau dibunuh, namun kematian yang terjadi di tempat tidur. Kematian seperti ini sepertinya bagi bangsa Arab bukan termasuk kematian

232 (Terkadang) seseorang lari karena takut akan kematian dan kebinasaan Dan dalam kematian ada kebinasaan, setiap orang hidup pasti akan mengalaminya

Dalam Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm disebutkan bahwa syair ini dilontarkan oleh Jum`ah binti al-Khuss pada saat berdebat dengan al- Qalammas al-Kinâni yang terjadi di Pasar `Ukâzh. Hal ini membuktikan bahwa perempuan pada masa Jahiliyah memiliki kebebasan yang sangat luas dalam setiap aktifitas kehidupan tanpa ada batasan.Tampil di depan umum dan di hadapan khalayak ramai adalah hal yang biasa mereka lakukan. Berbalas-balasan syair antara laki-laki dan perempuan adalah hal yang lumrah bagi mereka. Melihat dari syair di atas, tampak perempuan pada masa itu bukanlah manusia- manusia yang bodoh yang tidak mampu berbuat apa-apa dan hanya mendengarkan apa yang dikatakan laki-laki, namun mereka adalah figur perempuan yang cerdas dan mampu berdebat dengan laki-laki secara cerdas pula. Penyair dalam syairnya tersebut dengan piawai menggambarkan sosok laki-laki yang cerdas. Untaian kata yang menyatakan,”Sebaik-baik harta yang bermanfaat dan diperlukan, adalah akal yang dimilikinya dan dijaga”, menunjukkan bahwa akal dan kecerdasan adalah hal yang sangat penting dibanding dengan harta dan kekayaan. Ada beberapa filosofis yang bisa diambil dari syair di atas, pertama bahwa orang yang cerdas adalah orang yang berbicara singkat namun tepat sasaran, sesuai dengan situasi dan kondisi. Kedua, akal adalah harta yang tak ternilai harganya, namun sebagaimana pada bait ketiga, kecerdasan terletak pada kejujuran seseorang, bukan hanya pada kelihaian otak dan daya fikirnya. Keempat, kemampuan berbicara, kecerdasan, kejujuran tidak akan sempurna jika tanpa dilengkapi dengan kemampuan mengatur dan mengendalikan diri. Menurut penyair, kecerdasan, kejujuran, dan kemampuan memanage diri sendiri adalah beberapa hal yang akan membuat seseorang istimewa di mata orang lain. Sebaliknya, kedunguan, ketidakjujuran, dan ketidakmampuan seseorang dalam memanage dirinya sendiri merupakan hal-hal yang

yang terhormat karena bagi mereka yang kehidupannya selalu diliputi peperangan, kematian yang terhormat adalah mati di medan perang.

233 membuat seseorang kurang berharga di mata orang lain. Hal inilah yang kemudian penyair oleh penulis dianggap sebagai penyair hikmah. Dalam syair yang lain, ungkapan penyair yang menyatakan, ”(Terkadang) seseorang lari karena takut akan kematian dan kebinasaan, padahal kematian di tempat tidur, setiap orang hidup pasti akan mengalaminya, adalah sebuah ungkapan filosofis yang ternyata bukan hanya bisa diciptakan oleh kaum laki-laki, namun juga bisa keluar dari mulut perempuan. Kehidupan yang selalu diselimuti peperangan, membuat penyair Jahiliyah, baik laki-laki maupun perempuan, cenderung memasukkan tema kematian dalam berbagai hal. Tidak jauh berbeda dengan Jum’ah, Hindun saudara perempuannya pun menggubah syair hikmah sebagai berikut: وجد ُت وخير القول فى الحكم نافع ذوى ال َط ْول م ّما قد يُ َغ ُّم ويُلبَس

Aku dapati, bahwa sebaik-baiknya perkataan dalam hukum (menyelesaikan masalah) adalah yang bermanfaat dan berguna, daripada sesuatu yang terkadang ditutup-tutupi dan disamarkan

وليس الفتى عندى بشيء أَ ُعدُّه إذ كان ذا مال من العقل مفلس Bagiku, seorang laki-laki tak ada harganya, Jika hanya punya harta namun miskin ilmu

وذو الج ْبن مما يسعر الحرب نف ُخه يُهيّ ُج منها نارها ث ّم يَ ْخنَس Dan pengecut adalah orang yang meniupkan api peperangan Mengobarkan apinya, kemudian ia mundur

وكم من كثير المال يقبض كفّه وكم من قليل المال يعطى ويُس ِل ُس 621

Berapa banyak orang kaya namun kikir Dan berapa banyak pula orang yang miskin, namun suka memberi dan baik hati

adalah lemah lembut, artinya adalah orang yang suka memberi أسلس-يسلس Makna asal dari 621 tanpa disertai dengan menyakiti perasaan orang lain.

234 Syair di atas memberikan sebuah gambaran pada kita tentang citra intelektual dan kapabilitas perempuan Jahiliyah dalam memandang sebuah persoalan. Sebagai contoh, pada bait pertama, penyair dengan gamblang berbicara tentang hukum dan keharusan untuk selalu bersikap transparan dalam menyelesaikan setiap masalah, jangan membiasakan bersikap tidak jujur dan berbelit-belit demi menyembunyikan kebenaran. Pada bait kedua, penyair menggambarkan penilaian seorang perempuan terhadap laki-laki, bahwa harta benda tidak lebih berharga dibanding ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan pada masa itu tidak hanya memandang seseorang terutama laki-laki dari harta yang dimilikinya, namun tidak memiliki wawasan yang memadai. Secara implisit penyair mengatakan bahwa antara harta dan ilmu pada dasarnya harus selalu seimbang (balance). Pada bait ketiga, tidak lengkap rasanya bila penyair belum menghubungkan setiap kehidupan dengan dunia perang yang meliputi mereka. Untuk itu, menurut penyair bukan laki-laki sejati, bila suatu ketika ia lari ke belakang pada saat peperangan sedang terjadi, karena hal itu menunjukkan sikap dan tindakannya yang pengecut. Selain itu ungkapan “meniupkan api peperangan” hanyalah sebuah simbol dari laki-laki yang hanya pandai berbicara dan bermulut besar namun memiliki sifat yang pengecut, hingga tidak mampu mengahadapi kenyataan. Pada bait terakhir terkandung sebuah pelajaran hidup, bahwa seseorang yang memiliki harta dan kekayaan yang melimpah belum tentu memiliki kepedulian dan jiwa sosial yang tinggi terhadap sesama. Namun sebaliknya, orang yang miskin dan memiliki kedudukan yang rendah terkadang lebih sensitif dan peka terhadap persoalan hidup orang lain. Ada sebuah nilai filosofis yang ingin disampaikan penyair, yaitu janganlah memandang seseorang dari harta dan kedudukan semata, sebab terkadang orang yang dianggap lebih rendah dan hina memiliki moral yang lebih baik dari mereka. Pada intinya, dianggap sebagai syair hikmah atau tidak, ungkapan kedua penyair perempuan di atas bila diresapi maknanya tetap memiliki nilai-nilai filosofis yang tinggi. Hal ini membuktikan bahwa perempuan Jahiliyah, bukanlah sosok yang dungu, tertindas, dan menerima apa adanya, namun membuktikan bahwa mereka juga adalah

235 perempuan-perempuan yang cerdas, berani, dan bijak dalam menyikapi kehidupan. Sehingga teori Betty Friedan dalam bukunya The Feminine Mystique yang menyatakan bahwa kelemahan daya fikir sebagai salah satu ciri dari wanita tradisional tidak sepenuhnya benar.622 Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa perempuan Arab Jahiliyah yang hidup jauh sebelum masa modern, adalah manusia-manusia cerdas, baik secara IQ maupun EQ. 4. Jiwa yang peduli Banyak sikap dan sifat positif dimiliki oleh perempuan Jahiliyah, salah satunya adalah sifat pemurah dan suka menolong. Sebagai contoh Ghaniyyah binti ‘Afîf, penyair perempuan Jahiliyah ibunda dari Hatim al-Tha’i seorang penyair yang juga terkenal dengan sifatnya yang dermawan.623 Dalam Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâ’irât diceritakan bahwa Ghaniyyah adalah sosok perempuan yang memiliki hobi membantu orang lain, hingga akhirnya harta bendanya habis tak tersisa diberikan pada pengemis dan tamu-tamunya. Untuk itu, saudara-saudaranya mencoba menghalanginya dan menahan harta Ghaniyyah yang masih berada di tangan mereka. Pada saat Ghaniyyah sudah benar-benar fakir, saudaranya memberikan seekor unta untuknya. Namun tidak lama kemudian datang seorang perempuan meminta unta tersebut. Lalu Ghaniyyah berkata:”untukmu unta ini, ambillah!, Demi Allah rasa lapar telah menggigitku, lapar yang tak hilang meski dengan meminta-minta. Maka keluarlah bait-bait syair yang menggambarkan tentang perasaannya tersebut:

لعمرك قِدما عضنى الجوع عضة فآليت أن ال أمنع الده َر جائعا Demi hidupmu,dulu rasa lapar penah menggigitku Maka aku bersumpah tidak akan kubiarkan zaman kelaparan فقوال لهذا الالئمى اليوم أعفنى وإن أن َت لم تفعل فع ّض األصابع

622 Betty Friedan, The Feminine Mystique, (New York: Garden City, 1977), hal. 271, dikutip oleh Soenardjati Djayanegara, Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika, (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1995), 91 623 Pada masa Jahiliyah, kedermawanan Hatim al-Tha’i sangat terkenal hingga namanya dijadikan sebagai perumpamaan (matsal) atau kinayah untuk sifat kedermawanan. Sifat dermawan Hatim ternyata banyak dipengaruhi oleh ibunya. Hal ini membuktikan betapa seorang ibu dapat memberi pengaruh yang besar terhadap anaknya.

236 Katakanlah pada semua orang yang menghina hari ini, maafkanlah aku Jika kalian tidak melaksanakannya, gigitlah jari-jari kalian فما عسيتم أن تقولوا ألختكم سوى عذلكم أو عذل من كان مانعا Tidak akan kalian katakan pada saudara perempuan kalian Selain mencela atau mengejek orang yang kikir وال ما ترون الخلق إال طبيعة فكيف بتركى يا بن أ َّم الطبائعا624 Tidak ada suatu tingkah laku pun yang kalian lihat,melainkan sebuah kebiasaan Lalu bagaimana aku akan meninggalkan kebiasaanku wahai anak ibuku? Syair tersebut menggambarkan tentang kepedulian seorang perempuan terhadap orang lain yang membutuhkan bantuannya. Untuk menggambarkan jiwa sosialnya tersebut, penyair menggunakan gaya bahasa yang indah dan menyentuh, namun tegas dan lugas. Sebagai contoh, pada bait pembuka, penyair menggunakan gaya bahasa personipikasi, di mana ia mengumpamakan rasa lapar (musyabbah) dengan gigi (musyabbah bih) yang dapat menggigit dan menyakiti siapapun yang digigitnya, dalam ungkapannya ‘Demi hidupmu, dulu rasa lapar penah menggigitku’. Lalu untuk menambah keindahan ungkapannya tersebut, dan sebagai kata penegas, ia tambahkan gaya bahasa hiperbola yang lebih mendekati pada musyabbah dalam mashra’ kedua ‘Maka aku bersumpah tidak akan kubiarkan zaman kelaparan’. Kata ‘kelaparan’ dalam ungkapan tersebut, merupakan penegas dari ungkapan ‘rasa lapar’ sebelumnya. Gaya bahasa seperti ini di dalam ilmu Balâghah disebut dengan istilah isti`ârah makniyah. Selain itu, bila pada mashra` pertama rasa lapar diumpamakan dengan gigi yang dapat menggigit, pada mashra` kedua kata ‘zaman’ disandarkan pada kata sifat ‘kelaparan’. Rasa lapar tidak mungkin menggigit, karena yang menggigit biasanya gigi, demikian juga halnya dengan zaman yang dikorelasikan dengan kelaparan. Padahal zaman tidak mungkin merasakan kelaparan, sebab yang merasakan kelaparan adalah orang yang ada pada masa itu. Itulah yang dinamakan dengan al-isnad ila al-sabab dan al-isnad ila al- zaman, yaitu menyandarkan kata kerja dan semisalnya pada sebab dan waktu. Pola gaya bahasa seperti ini di dalam ilmu Balâghah disebut juga dengan majaz `aqli.

624 Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irat fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 199-200, dari Busyair Yamût, Syâ’irat al-‘Arab, hal. 199

237 Adapun pesan moral yang ingin disampaikan oleh penyair dalam syairnya tersebut ialah, bahwa manusia biasanya lebih suka mengolok-olok orang lain yang suka membantu, atau mengejek orang yang kikir, tanpa ia menyadari bahwa yang ia lakukan tidak ada bedanya, tidak suka pada orang kikir, namun ia juga tidak suka membantu orang lain. Hal ini tercermin dari ungkapan Ghaniyyah binti ‘Afîf, “ Tidak ada yang kalian katakan pada saudara perempuan kalian, selain mencela atau mengejek orang yang kikir”. Ditinjau dari aspek kandungan syair, tampaknya penyair adalah seorang perempuan yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi, sedangkan dari sudut pandang sastra, gaya bahasa yang ia gunakan menunjukkan bahwa ia adalah seorang perempuan yang cerdas dan berjiwa seni tinggi. Sifat-sifat seperti inilah yang dimaksud dengan sifat-sifat natural yang ada pada jiwa seorang perempuan, yaitu perempuan yang bersifat affective (penyayang), emphatic (ikut merasakan perasaan orang lain), dan nurturant (peduli). Namun demikian menurut Soenarjati Djayanegara, karakter yang melekat pada perempuan tersebut, pada dasarnya bukanlah sesuatu yang bersifat alami, bukan pula takdir, sebab karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu masyarakat patrialkal.625 Hal lain yang bisa diungkap dari syair di atas adalah adanya suatu nada satire626 (hijâ’) yang diarahkan penyair pada saudara laki-lakinya. Sindiran tersebut menampakkan sebuah perlawanan yang nyata yang ditunjukkan perempuan atas dominasi kaum laki-laki. Dan ia merasa bahwa ia memiliki hak yang sama dengan saudara laki-lakinya untuk melakukan apa yang diinginkannya. Hal ini terlihat dari bait syair: Tidak akan kalian katakan pada saudara perempuan kalian Selain mencela atau mengejek orang yang kikir Tidak ada suatu tingkah laku pun yang kalian lihat,melainkan sebuah kebiasaan Lalu bagaimana mungkin aku akan meninggalkan kebiasaanku wahai anak ibuku?

625 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 31-32 626 Satire adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mencemooh sesuatu atau orang lain yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan muak terhadap penyalahgunaan dan kebodohan manusia dan pranatanya. Lihat bab I, hal. 66

238 Ungkapan penyair pada larik terakhir, ‘Lalu bagaimana mungkin aku akan meninggalkan kebiasaanku wahai anak ibuku? Dengan menyebut ‘wahai anak ibuku’ seolah-olah ingin menegaskan, bahwa ia memiliki kedudukan yang sama dengan saudara-saudara laki-lakinya, sama-sama sebagai seorang anak yang lahir dari rahim yang sama. Keinginan perempuan untuk diperlakukan sama dan tidak dibeda-bedakan, sepertinya bukan hanya dilakukan oleh kaum perempuan saat ini saja, namun upaya tersebut pada hakekatnya telah ada jauh sebelum agama Islam lahir, hanya saja kuatnya ideologi kekuasaan dan budaya patrialkhal yang pertontonkan oleh kaum laki-laki menjadikan perempuan selalu berada di bawah dominasi laki-laki. Ghaniyah, selain simbol perempuan Jahiliyah yang berjiwa sosial, ia juga merupakan simbol perlawanan perempuan atas dominasi laki-laki.

5. Anak-anak perempuan simbol perlawanan terhadap wa’d al-banât627 Secara fisik perempuan Arab berkulit kuning langsat, dan dianggap lebih cantik bila berkulit putih, berambut hitam dan bermata hitam. Postur tubuh tegap dengan pinggang yang ramping dan pinggul yang besar. Masyarakat Arab Badawi menempatkan perempuan sebagai alat bersenang-senang dan regenerasi. Mereka menjadikan perempuan sebagai alat reproduksi agar memperoleh anak laki-laki untuk dijadikan ajang persaingan. Persaingan dengan banyak anak laki-laki adalah tradisi masyarakat Arab, karena dengan banyak anak laki-laki diharapkan dapat melindungi keluarga dan melangsungkan keturunan. Untuk alasan itu pula masyarakat Arab Jahiliyah sangat membenci kelahiran anak perempuan.628 Dalam Mu`jam al-Nisâ’ al-Syâi’rat yang dikutip dari kitab Akhbâr al-Nisâ’ karya Ibn Qayyim al-Jauziyah diceritakan, bahwa Umru al-Qais meskipun sudah menikah dengan sejumlah perempuan, namun ia sama sekali tidak memiliki keturunan

627 Makna sesungguhnya dari istilah wa’d al-banât adalah mengubur anak perempuan hidup- hidup. Penulis menggunakan istilah pembunuhan karena pada hakekatnya adalah sama, yaitu menghilangkan nyawa anak perempuan. 628 Muhammad Ali al-Shabbâh, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 15

239 laki-laki atau yang dikenal dengan istilah mi’nâts629. Dalam budaya perang yang mengandalkan kekuatan, secara otomatis kehadiran seorang anak laki-laki adalah sebuah keharusan, yang terkadang hal ini menjadikan seorang ayah gelap mata hingga rela membunuh anak-anak perempuannya, karena ia merasa telah kehilangan kehormatannya. Dalam kitab tersebut, diceritakan bahwa Umru al-Qais bahkan tega membunuh anak-anak perempuannya630. Kronologis penindasan Umru al-Qais terhadap anak perempuannya, tergambar dalam kisah syair berikut ini. Menurut Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah, Umru al- Qais ibn Hujr adalah seorang mi`nâts. Ia juga seorang laki-laki yang sangat pencemburu. Selain itu, ia juga gemar membunuh anak perempuan yang dilahirkannya. Pada saat istri-istrinya menyaksikan kebiasaannya tersebut, mereka menyembunyikan anak-anak perempuan mereka dalam kabilah-kabilah Arab. Hal ini akhirnya sampai juga ke telinga Umru al-Qais. Pada saat mendengar berita tersebut, ia mengendarai kendaraannya dan langsung menuju tempat persembunyian mereka, hingga akhirnya ia tiba di salah satu kabilah Arab. Pada saat itu, kaum perempuannya sedang berkumpul- kumpul, lalu ia mengatakan pada mereka: “Siapa di antara kalian yang berani menyembunyikan istriku di rumahnya?”. Mereka semua terdiam, namun anak perempuannya berkata: “kemarilah!”. Lalu Umru al-Qais mulai berkata lewat syair: تب ْل ِت فؤادك إذ عرض ِت عشية بيضاء بهنكة عليها اللؤلؤ Kau sudah kehilangan akal saat menampakkan awan putih dan wangi yang di atasnya mutiara. Dalam syair tersebut, Umru al-Qais memperingatkan pada anak perempuannya, bahwa ketika ia mengakui dan menunjukkan jati dirinya sebagai seorang putri raja yang berbeda dari yang lainnya, bahkan berani berkata-kata padanya, maka sesungguhnya ia telah menggali lobang untuk kematiannya sendiri, dan dianggap sudah gila karena dengan keberaniannya untuk berbicara, telah menunjukkan siapa dia sebenarnya.

629 Mi’nâts diambil dari kata untsâ yang berarti perempuan, sehingga kata Mi’nâts diartikan sebagai seseorang hanya memiliki anak perempuan atau tidak melahirkan anak laki-laki. 630 Mu’jam al-Nisâal-Syâ’irat fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1990 M/ 1410 H), hal. 280

240 Pada saat mendengar ucapan tersebut, anak perempuan tersebut terdiam sesaat, lalu menjawab dengan syair: لعقيلة631 األُ ْد ِحى632 بات يحفّها كنقا633 الظليم634 وزال عنها الجؤجؤ635 Sesungguhnya burung unta betina gurun pasir yang selalu dikelilinginya, bagai tulang lengan burung unta jantan yang kehilangan dadanya (kesombongannya/kebesarnnya) Ada sebuah keberanian yang luar biasa yang ditunjukkan oleh anak perempuan Umru al-Qais saat mendengar ancaman dari ayahnya, bahkan ia dengan tegas menyindir perilaku bejat ayahnya yang selalu mempermainkan perempuan, meski pada akhirnya ia harus kehilangan nyawanya. Ia umpamakan perempuan-perempuan yang baik hati (ibunya) itu dengan burung unta betina padang pasir tempat yang selalu siap bertelur. Hal ini terlihat dari kata al-udhî yang artinya tempat bertelur burung unta jantan, yang sebelumnya ditegaskan dengan kata al-`aqîlah yang berarti perempuan baik-baik. Ungkapan anaknya tersebut menegaskan, bahwa ibu-ibu mereka yaitu istri-istri Umru al-Qais hanya memiliki fungsi reproduksi tempat ia menyalurkan hasrat binatangnya. Lebih lanjut, ia bahkan mengumpamakan ayahnya dengan sebuah tulang lengan burung unta jantan yang telah kehilangan kekuatannya. Gaya bahasa yang digunakan dalam syair tersebut, pada dasarnya adalah kinâyah (sindiran). Seperti pengumpamaan seorang laki-laki yang sudah kehilangan kekuatan bagai tulang lengan burung unta yang kehilangan ototnya, karena kata-kata tersebut dapat diartikan sebagai makna aslinya atau diartikan sebagai seorang laki-laki yang tidak berdaya. Seusai anak tersebut mengucapkan kata-kata tersebut, Umru al-Qais langsung memukulnya dengan pedang dan membunuhnya. Lalu ia melanjutkan perjalanannya menuju kabilah lainnya, hingga terhenti di suatu kabilah di mana terdapat para perempuan sedang bersenda gurau. Lalu ia bertanya hal yang sama yaitu menanyakan rumah yang dijadikan tempat perlindungan istri-istrinya. Namun tidak seorang pun di

631 `Aqîlah: perempuan baik-baik 632 al-udhî: tempat bertelur burung unta di dalam pasir 633 al-naqâ : tulang lengan 634 al-zhalîm: burung unta jantan 635 al-ju’ju : dada burung

241 antara mereka yang menjawab, hingga anak perempuannya berkata, kemarilah! Lalu Umru al-Qais berkata dengan syairnya: إذا برك ْت تعالى مرفقاها على مثل الحصير من ال ُرخام Jika ia berlutut, ia akan mengangkat kedua tangannya Di atas permadani bak pualam

Sebagaimana kisah sebelumnya, namun dengan redaksi yang berbeda, Umru al- Qais melalui syairnya mengancam bahwa bila ada yang melakukan hal-hal yang menunjukkan bahwa dirinya seperti anak raja, maka dialah sesungguhnya yang ia cari. Mendengar hal tersebut, anak itu pun terdiam sesaat dan menjawab dengan syair pula: وقاموا بال ِع ِص ّى ليضربوها فهبت كالفنيق636 من النعام Mereka datang dengan membawa pentungan untuk memukulnya Ia pun berlalu bagai burung unta yang dikeramatkan Keberanian yang serupa ditunjukkan oleh putrinya yang lain. Ia pun tanpa rasa takut menentang apa yang dilakukan ayahnya pada mereka. Bahkan ia menyindir, hanya untuk membunuh seorang gadis kecil saja, ia harus membawa sejumlah orang untuk membunuhnya tanpa merasa malu, namun ia tidak merasa takut karena ia bagai hewan keramat yang tidak mungkin ada yang menyakitinya. Ungkapan ini juga sebagai sebuah sindiran bagi ayahnya, bahwa ia tidak dapat disentuh dan disakiti siapapun. Mendengar hal itu, Umru al-Qais pun membunuhnya. Setelah itu ia melanjutkan perjalanan ke kabilah berikutnya, hingga menemukan para perempuan sedang bermain- main, dan bertanya hal yang sama. Ia pun mendapat respon dan jawaban yang sama pula, hingga anak perempuannya mengatakan kemarilah! Lalu Umru al-Qais mengucapkan syair berikut ini: وكأنه ّن نعاج رم ٍل هائل بدف يَ ِم ْد َن كما يميد الشارب Perempuan- perempuan itu bagai kambing padang pasir yang menakutkan di ketinggian, bergoyang-gayang bagai orang yang sedang mabuk

636 al-fanîq: binatang jantan yang dikeramatkan sehingga tidak boleh disakiti atau dikendarai sekalipun.

242

Dalam syair tersebut, Umru al-Qais bermaksud membangkitkan kemarahan anak-anak perempuan yang sedang bermain dengan mengumpamakan mereka dengan kambing padang pasir yang sedang menakut-nakuti seseorang dari ketinggian yang tampak bagai orang mabuk. Mendengar hal tersebut, tentu saja anaknya tersinggung. Ia terdiam sesaat dan menjawab: بل ه ّن أقرب فى الخطا من خطوها إن الخرائد مشيُها متقارب Tapi langkah ( tingkah laku) mereka lebih baik daripada kambing-kambing itu Karena gadis-gadis itu langkahnya ada yang baik dan yang buruk

Dengan jawaban tersebut, maka Umru al-Qais tahu siapa sebenarnya anaknya, sebab jika bukan anak-anaknya tidak mungkin punya keberanian untuk menjawab seperti itu. Kemudian Umru al-Qais pun turun dan langsung membunuhnya, dan pergi meninggalkannya.637 Berdasarkan kisah tersebut, tampak ada sebuah kebencin (misogini) yang sangat dalam dalam hati Umru al-Qais terhadap anak-anak perempuannya. Namun demikian saya lebih melihatnya pada individu Umru al-Qais daripada faktor sosial budaya. Sebagai seorang laki-laki yang gemar bermain perempuan, ketidakberdayaan Umru al- Qais untuk memperoleh keturunan laki-laki merupakan sebuah pukulan telak yang akan mempertanyakan kejantanannya sebagai seorang laki-laki tulen. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor munculnya rasa benci terhadap anak perempuannya (misogini) yang akhirnya berakibat fatal karena ia dengan tega membunuh anak-anak perempuannya. Perlakuan buruk dan kejam yang dilakukan Umru al-Qais terhadap anak-anak perempuannya lebih disebabkan faktor psikologis daripada faktor sosial. Hal ini tampak dalam syairnya berikut ini: أال يبخس الشيخ الغيور بناته مخافة َجنبي الشمائل مختال Ahai, laki-laki tua pencemburu ini memenjarakan anak-anak perempuannya Takut mereka terjerumus dalam kebiasaan yang menyimpang,( untuk itu) ia melakukan banyak tipu daya

637 Mu’jam al-Nisâal-Syâ’irat fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 280-281

243

يق ّصر عنه ّن الطريق وغوله قتيل الغوانى638 فى الرياط وفى الخال Aku (qatîl al-ghawâni)639 batasi jalan hidup mereka dalam kelambu dan baju-baju yang tipis كأنى لم أركب جوادا للذة ولم أتب ّطن كاعبا ذات خلخال640 Seakan-akan aku sendiri tidak pernah mengendarai kuda dan menyetubuhi perempuan bergelang kaki untuk kesenangan semata

Dari syair di atas tampaknya Umru al-Qais tidak rela bila anak perempuannya diperlakukan sama seperti ia memperlakukan perempuan-perempuan di sekelilingnya. Untuk alasan itu, ia mengurung dan memenjarakan anak-anak perempuannya dalam istana di balik kelambu dengan pakaian-pakaian yang indah, agar anaknya senantiasa terhindar dari kehancuran dan kenistaan. Berdasarkan hal tersebut, pada dasarnya ketakutan Umru al-Qais terhadap nasib anak-anak perempuannya, lebih disebabkan oleh ketakutan akan tingkah lakunya sendiri dalam memperlakukan perempuan. Bahwa ia sendiri tidak rela, bila suatu saat anaknya diperlakukan hal yang sama oleh laki-laki lain. Dengan demikian, kebencian Umru al-Qais terhadap anak perempuannya, dan kebiasaannya membunuh anak perempuan lebih disebabkan faktor psikologis individual daripada sosial. Bila poligami menyangkut penindasan perempuan secara psikis, maka penindasan yang tidak kalah kejamnya yang bersifat fisik adalah praktek keji yang biasa dilakukan oleh beberapa orang Arab Jahiliyah adalah membunuh anak perempuan baik dengan cara memancungnya ataupun dengan menguburnya hidup-hidup yang disebut dengan istilah wa’d al-banât. Hal ini terlihat jelas dalam kasus Umru al-Qais dalam pembahasan sebelumnya. Hanya saja dalam kasus Umru al-Qais, anak-anak perempuannya dibunuh dengan cara dipancung dengan pedang. Apapun bentuknya, pada dasarnya adalah sama, yaitu tidak adanya larangan pada saat itu untuk membunuh anak perempuan. Hal ini sama persis dengan apa yang diungkapkan Tuhan dalam al-

638 dirinya sendiri 639 dalam Diwan Imri al-Qais disebutkan bahwa yang dimaksud dengan qatîl al-ghawâni adalam Umru al-Qais sendiri. 640 Diwan Imri al-Qais, hal. 127

244 }وإذا الموءودة سئلت، بأي ذنب قتل ْت{Qur’an: bayi perempuan yang -dan apabila bayi” 641 dikubur hidup-hidup ditanya”. Ayat ini menegaskan bahwa praktek-praktek penindasan secara fisik telah ada sejak zaman Jahiliyah. Selain ayat tersebut, masih banyak ayat-ayat yang menunjukkan sikap apriori bangsa Arab Jahiliyah terhadap anak perempuan, seperti: }إذا بشر أحدهم باألنثى ظ ّل وجهه مسودا وهو كظيم{}يتورى من القوم من سوء ما بشر به، أيمسكه على هون أم يد ّسه فى التراب، أال ساء ما يحكمون{642 “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, merah padamlah mukanya, dan ia sangat marah”, “Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.

Kebanggaan bangsa Arab terhadap anak laki-laki dan menganggap anak perempuan kurang berharga, pada dasarnya bukanlah tanpa alasan, kehidupan mereka yang tidak pernah lepas dari peperangan yang selalu membutuhkan kekuatan fisik, menuntut mereka untuk memiliki anak laki-laki sebanyak mungkin untuk dijadikan sebagai prajurit-prajurit perang yang tangguh. Namun dalam kasus Umru al-Qais, sebagaimana dibahas sebelumnya, tampaknya kekejaman yang ia lakukan terhadap anak-anaknya, lebih bersifat psikologis dibanding sosiologis. Dan hal ini semakin menguatkan hasil kajian pada bab III sebelumnya, bahwa perempuan di lingkungan istana tidak lebih dihargai dibanding dengan perempuan-perempuan di luar istana. Baik sebagai istri ataupun sebagai anak, perempuan tetap saja sebagai kelas yang tertindas akibat kekuasaan yang dimiliki kaum laki-laki.

C. Peran dan Kontribusi Perempuan Jahiliyah dalam Syair 1. Perempuan dan politik Pada saat membicarakan tentang perempuan Arab Jahiliyah, secara umum hal yang paling menonjol adalah penderitaan yang mungkin tidak pernah dirasakan perempuan lain di dunia ini selain oleh mereka, tanpa memperdulikan realitas lain yang

641 Al-Takwir ayat 8 & 9 642 Al-Nahl ayat 58 & 59

245 mereka rasakan dan alami. Perempuan pada masa ini, tidak lebih dari sekedar barang rongsokan yang tidak berguna, dan hanya berperan sebagai pemuas nafsu laki-laki semata. Dan pandangan tersebut, rata-rata sumber informasinya berasal dari kaum laki- laki. Lalu bagaimana sesungguhnya para perempuan Jahiliyah memerankan peranannya dalam kehidupan individual dan sosialnya yang terungkap dari balik syair-syair mereka? Keterlibatan perempuan Jahiliyah dalam persoalan politik misalnya, adalah suatu hal yang tidak perlu diragukan lagi. Hal ini terungkap secara jelas dalam syair- syair perempuan, seperti al-Khansâ’. Meskipun ia lebih dikenal dengan syair-syair ritsânya, namun sebagaimana telah dibahas sebelumnya, di dalam ritsânya tersebut, ia juga banyak berbicara tentang syair hamâsah (puisi kepahlawanan).643 Meskipun syair- syair tersebut terkait erat dengan kematian kedua saudara laki-lakinya, namun justru hal itulah yang menjadikannya lebih terlibat dalam politik praktis. Sebagai contoh syair sebelumnya saat ia ditinggal mati saudara laki-lakinya Shakhar: أبنى سلي ٍم إن لقيتم ف َقع سا فى محب ٍس ضن ٍك إلى وع ِر Wahai Bani Sulaim, jika kalian berjumpa (dengan lawan), lalu ia mundur Ke persembunyian yang sempit dan sulit sekalipun

فالقوهم بسيوفكم ورماحكم وبنَ ْض َخ ٍة فى الليل كالق ْطر Seranglah mereka dengan pedang dan panah kalian yang derasnyabagai cucuran air hujan di malam hari

حتى تفُ ُّضوا جمعَهم وتذ َّكروا صخرا ومصر َعه644 بال ثأر Hingga mereka bercerai berai, dan ingat akan Shakhar dan kekalahannya tanpa sempat membalas dendam Ritsâ’, bagi al-Khansa bukanlah sekedar tangisan dan ratapan kematian, namun lebih dari itu, di dalamnya juga terkandung madah (pujian) untuk kedua saudara laki- lakinya dan juga hamâsah (sugesti untuk berperang) yang ia dendangkan untuk memberi semangat kabilahnya dalam menghadapi musuh. Dan syair-syair yang

643 Pengertian hamâsah lihat bab II tentang tema-tema dalam syair Jahiliyah 644 Mashra` arti sebenarnya adalah pergumulan, pergulatan, bergelut dengan dia. Sharî` jamak shar`â artinya yang terbanting

246 mengandung hamâsah tersebut, bukan hanya satu atau dua, namun tersebar di sebagian besar syair ritsânya, sebab syair tersebut memang terkait dengan dunia politik bangsa Arab saat itu, yaitu budaya perang. Maka secara logika, syair-syair tersebut tidak mungkin hanya didendangkan di dalam rumah dan sekitarnya, namun pasti akan ia deklamasikan di depan khalayak ramai untuk menyemangati pasukan pada saat akan atau sedang berperang. Berdasarkan hal ini, maka citra perempuan Jahiliyah yang bodoh, terbelakang dan tidak memiliki peranan dalam masyarakatpun, mutlak terbantahkan. Selain al-Khansâ’, kiprah politik penyair perempuan lainnya, Shafiyyah binti Tsa’labah al-Syaibaniyah yang bergelar al-Hujaijah645 (ahli debat) misalnya, turut menepis anggapan yang menyatakan bahwa perempuan Arab Jahili sangat tertindas dalam berbagai aspek kehidupan. Kiprah Shafiyyah di bidang politik membuktikan bahwa ia tidak kalah dari seorang laki-laki, meskipun tanpa harus mengangkat senjata. Ia adalah otak, diplomat, bahkan penasehat politik bukan hanya untuk kabilahnya, namun juga untuk kabilah-kabilah lainnya. Ia memiliki sejumlah syair yang semuanya terkait erat dengan peranannya dalam bidang politik. Berikut salah satu perjalanan politik Shafiyyah yang terangkum dalam rangkaian syair-syairnya siyasâhnya646. Diriwayatkan bahwa Hindun binti al-Nu’mân647 yang dikenal dengan julukan al- Hurqah (yang terbakar) meminta bantuan pada Shafiyyah, dan Shafiyyah pun memenuhi keinginannya tersebut. Untuk itu, ia menginformasikan permohonan Hindun tersebut pada kabilahnya untuk melawan Raja (Kisra648) dan bala tentaranya, melalui syair berikut ini:

أحيوا الجوار فقد أماتته معا ك ّل األعارب يا بنى شيبان Hidupkanlah tetangga, karena ia telah dibunuh bersama-sama Oleh semua kabilah Arab, wahai Bani Syaiban! ما العذر؟ قد لفّت ثيابى ح ّرة مغروسة فى الد ّر والمرجان

الحجيجة 645 646 Siyâsah = politik 647 Gelar raja-raja di kerajaan Lakhmi dan Gassan. al-Munjid, hal. 575 648 Gelar untuk raja-raja Persia

247 Alasan apa lagi? Telah melipat bajuku649 seorang perempuan merdeka yang tumbuh dalam intan dan permata بنت الملوك ذوى الممالك والعلى ذات الحجل وصفوة النعمان Anak dari raja-raja yang memiliki kerajaan dan keagungan Yang memiliki gelang-gelang kaki, kebanggaan Nu’man …

يا آل شيبان ظفرتم فى الدنيا بالفخر والمعروف واإلحسان650

Wahai Bani Syaiban, kalian menang di dunia Dengan kebanggaan dan kebaikan Akibat dari kata-kata tersebut, Bani Syaiban akhirnya membantu Hindun dengan memerangi tentara asing dan menghancurkannya. Dari peperangan tersebut, mereka (bani Syaiban) juga memperoleh harta rampasan yang tidak sedikit. Untuk kemenangan tersebut Shafiyyahpun berkomentar dalam syairnya:

ساقت فوارس شيبا ٍن لمعشرها خير الصنائع فيها ظفرة العجم651 Tentara Syaiban mengirim untuk kabilahnya Barang-barang (harta rampasan) terbaik, sebagai kemenangan atas bangsa asing Kemudian panglima perang kerajaan Persia mengirimkan dua orang utusannya menemui Bani Syaiban, meminta pada mereka agar menyerahkan al-Hurqah (Hindun binti al-Nu’man) ke tangan Manshûr (salah seorang panglima perang Kisra yang berasal dari Arab). Jika Bani Syaiban menyerahkannya maka mereka berjanji tidak akan membalas semua perbuatan bani Syaiban pada mereka. Untuk itu kedua utusan tersebut menemui Shafiyyah al-Hujaijah, namun ia menolaknya dan berkata:

قوال لمنصو َر ال د ّر ْت خالئفه ما صاح فيهم غراب البين أو نعقا Katakan pada Mansur, unta-untanya tidak akan mengeluarkan susu Burung gagakpun tidak akan berteriak dan bersuara من ز ّوج الفر َس يا مبتول قبلكم من األعارب يا مخذول أو سبقا

649 Dalam bahasa Arab aslil tsiyâbi secara harfiyah berarti tanggalkan bajuku, namun secara konotatif berarti tinggalkan aku, maka laffat tsiyâbi yang secara harfiyah diartikan dengan melipat baju, secara konotatif dapat diartikan dengan menemuiku. 650 Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât, hal. 143-144 651 Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât, hal. 144

248 Siapa orang Arab yang menikah (bergabung) dengan orang Persia sebelum kamu, wahai orang yang rusak akal, hai orang yang ditinggalkan Demikian seterusnya al-Hujaijah menyampaikan penolakan demi penolakan yang disertai dengan ejekan-ejekan yang menyulut kemarahan Mansur. Lalu Mansur pun menyerang Bani Syaiban namun dapat dihancurkan. Selanjutnya Kisra menambah jumlah pasukan sebanyak 20.000 orang dengan perbekalan yang sangat banyak. Ketika hal itu diketahui oleh al-Hujaijah, ia pun berkata di antaranya:

ماذا أحاذر من عشرين يقدمهم منصور فى حي غسان على نجب Apa yang kuhawatirkan dari dua puluh yang dibawa oleh Mansur bagi kaum Gassan yang cerdas Kisah politik Shafiyyah al-Hujaijah terus berlanjut, peperangan demi peperangan terus berlanjut antara kabilah-kabilah Arab dengan kerajaan Persia, hingga akhirnya ia mampu mempersatukan kabilah-kabilah Arab seperti Dzhl, Lujaim, ‘Ajl, Hanifah, dan masih banyak lagi, untuk berperang melawan Persia. Maka terjadilah perang yang sangat dahsyat antara kedua belah pihak, yang kemudian dimenangkan oleh kabilah Arab. Mereka memperoleh harta rampasan yang melimpah, baik berupa emas, perak, intan dan permata, serta harta berharga lainnya. Itulah kemenangan terbesar bangsa Arab terhadap bangsa asing yang menjadi kisah terbesar dalam sejarah mereka. Sebuah kisah kemenangan yang pernah terjadi, di bawah kendali seorang perempuan Arab Jahiliyah melalui syair-syairnya. Keberanian dan kecerdasannya dalam membuat strategi, membuktikan bahwa ia seorang perempuan yang luar biasa yang mampu mengendalikan suatu hal yang sulit dilakukan, meski oleh seorang laki-laki sekalipun. Dalam sastra Arab, syair hamâsah (penyemangat) seperti yang dibuat oleh Shafiyyah di atas, biasanya terkait erat dengan syair fakhr (membanggakan diri), bedanya adalah jika fakhr merupakan syair yang digunakan untuk membanggakan diri secara umum, sedangkan hamâsah digubah secara khusus sebagai spirit saat maju ke medan perang, menghadapi marabahaya. Sebagai contoh syair Shafiyyah binti

249 Tsa’labah al-Syaibâniyah yang bergelar al-Hujajiyah652, saat ia datang pada Kabilah Dzuhl mengajak mereka untuk memerangi Kisrâ653 berikut ini: اليوم يوم الع ّز ال يوم الندم يوم رماح وجياد وخد ْم Hari ini adalah hari kemenangan, bukan hari penyesalan Hari bagi orang-orang yang bersenjata lembing, para pahlawan, dan prajurit

يوم به األرواح جهرا تصطلم سوف ترى البي َض غداة ال ُم ْبتَ َس ْم Hari di mana para arwah terpisah dengan jelas Kalian pasti akan melihat bangsa ini esok pagi tersenyum bahagia

إن صبر ْت ذ ْه ُل فع ّزى اليوم ت َّم Andai Bani Dzuhl bersabar, pasti kemenangan hari ini akan sempurna

Selain al-Hujaijah, perempuan lainnya yang terlibat dalam politik praktis tentu saja al-Hurqah (Hindun binti al-Nu’man ibn al-Mundzir), kawan dari Shafiyyah. Sebagaimana al-Hujaijah, al-Hurqah pun memiliki sejumlah syair yang menunjukkan keterlibatannya dalam kancah politik yang dalam hal ini peperangan antara dua kerajaan yang melibatkan berbagai suku bangsa Arab. Meskipun tak sebanyak al-Hujaijah, syair- syair al-Hurqah yang menceritakan peranannya dalam peperangan tersebut tidak sedikit. Al-Hurqah sendiri pada dasarnya penyebab utama dari peperangan yang terjadi antara bangsa-bangsa Arab dan kerajaan Persia. Diriwayatkan bahwa Raja Persia menginginkan al-Hurqah untuk dijadikan istrinya, namun al-Nu’man (Raja Gassan) menolak menikahkan anak gadisnya dengan bangsa asing. Untuk itu, Kisra (raja Persia) mengirim pasukan untuk kerajaan al-Hurqah. Al-Nu’man ayah al-Hurqah akhirnya mati terbunuh dan al-Hurqah melarikan diri meminta perlindungan pada kabilah-kabilah Arab lainnya, sebagaimana diceritakan dalam syair al-Hujaijah sebelumnya. Pada saat ia berada di Bani Sanan, ia mendengar kabar bahwa Kisra mengirimkan pasukannya untuk menghancurkan Bani Wa’il. Untuk itu ia memperingatkan mereka melalui syairnya berikut ini:

652 al-Hujajiyyah berasal dari kata hujjah yang berarti argumen. Gelar ini diberikan pada Shafiyyah karena kemampuannya dalam berdiplomasi politik, sehingga ia mampu mempersatukan kabilah-kabilah Arab untuk menyerang raja Persia. 653 Gelar bagi raja Persia

250 أال أبلغ بنى بكر رسوال فقد جدّ النفير بعنقفير Utuslah seseorang pada Bani Bakr (sampaikanlah) bahwa telah tiba di ‘Anqafîr pasukan perang yang baru فليت الجيش كلّهم فِداكم ونفسى والسرير وذا السرير Semoga saja pasukan itu seluruhnya jadi tawanan kalian Demi jiwaku, dan tahta, dan pemilik tahta (ayahnya) فلو أنى أطق ُت لذاك دفعا إذا لدفعتُه بدمى وزيرى Jika saja aku mampu untuk melawannya Akan ku lawan dengan darah dan kekuatanku Dari syairnya tersebut, tampak seorang perempuan yang tangguh dan pantang menyerah meski dalam kondisi sesulit apapun. Ia berjuang mati-matian demi mempertahankan kehormatannya dan juga kehormatan kerajaannya. Dalam kondisi yang tidak berdaya, al-Hurqah berjuang sendiri demi memperoleh bantuan agar mampu mengalahkan Kisra. Dari syairnya, tidak tampak perasaan putus asa, ataupun kata menyerah meski ia harus mengorbankan dirinya sendiri, kerajaannya, dan seluruh isinya, asalkan mereka mampu membalaskan kekalahannya. Keterlibatan kaum perempuan Jahiliyah dalam politik bukan hanya dialami oleh Shafiyyah al-Hujaijah dan al-Hurqah, namun masih banyak penyair-penyair perempuan lainnya yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam kancah perpolitikan, yang pada saat itu identik dengan peperangan. Sebagai contoh, penyair yang terkenal dengan nama Zarqa al-Yamamah654 dari Bani Jadîs, melalui syairnya ia memperingatkan kaumnya akan kedatangan musuh655 yang akan menyerangnya:

خذوا حذاركم يا قوم ينفعكم فليس ما قد أرى باألمر يحتقر Siapkanlah pasukanmu wahai kaumku, itu akan bermanfaat Sebab apa yang kulihat bukanlah main-main

إنى أرى شجرا من خلفها بشر وكيف تجتمع األشجار والبشر؟

Aku lihat sebuah pohon di belakangnya seorang manusia

654 nama sesungguhnya adalah ‘Anaz. Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât, hal. 101 655 menurut riwayat musuhnya itu pasukan yang dipimpin oleh Hasan ibn Tuba’ dari kerajaan Himyar.

251 Bagaimana mungkin pohon-pohon itu bergabung dengan manusia?656 Dalam syair ini, terlihat bahwa Zarqa meskipun tidak secara khusus berprofesi sebagai mata-mata, namun dari syairnya dapat ditangkap bahwa ia secara tidak langsung terlibat dalam persoalan-persoalan politik. Kecerdasannya dalam menangkap sebuah gejala yang kemudian ia tafsirkan secara logis tersirat dalam kata-katanya, “Aku lihat sebuah pohon di belakangnya seorang manusia, bagaimana mungkin pohon- pohon itu bergabung dengan manusia”. Ia bermaksud menjelaskan apa yang dilihatnya dengan kemungkinan yang akan terjadi, bahwa seseorang tidak mungkin bersembunyi di balik pohon, bila tidak memiliki maksud tertentu, yaitu untuk mengintai dan memata- matai mereka. Selain kedua penyair tersebut, masih banyak penyair perempuan lainnya yang terlibat dalam dunia politik praktis pada masa Jahiliyah baik langsung maupun tidak. Secara umum, keterlibatan kaum perempuan Jahiliyah dalam bidang politik, setingkat lebih maju dibanding bangsa lainnya, bahkan pada masa Islam sekalipun. Hanya saja politik “darah” yang dianut oleh bangsa Arab Jahiliyah yang lebih mengagungkan kekuatan fisik sebagai tolak ukur kemenangan, telah memaksa kaum perempuan tersingkir dari kancah politik fisik. Namun demikian, hal ini tidak berarti perempuan pada masa itu tidak memainkan peranan politiknya, dan hal tersebut dibuktikan oleh beberapa perempuan-perempuan yang di antaranya seperti yang diceritakan di atas. Tidak sedikit peranan politik yang dilakukan kaum perempuan saat itu, seperti sebagai diplomat, mata-mata, pembangkit semangat, bahkan mengatur skenario perang seperti yang dilakukan oleh al-Hujaijah. Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka teori feminisme yang menyatakan bahwa gender (seksisme) telah menempatkan perempuan sebagai kelompok yang tertindas dalam bidang politik, serta tidak memiliki peranan politik yang berarti, 657 tidak berlaku bagi bangsa Arab Jahiliyah. Sebab bagi bangsa Arab Jahiliyah, perempuan merdeka dan memiliki kapabilitas serta kecerdasan yang dapat diandalkan,

656 Maksudnya untuk apa manusia bersembunyi di belakang pohon-pohonan jika bukan untuk kepentingan tertentu, seperti untuk menyerang musuh. 657 Schaefer, Richard T., Sociology, (New York: McGraw-Hill, 2003), hal. 434. Gambaran ini diutarakan pada materi pembahasan women in politic (perempuan dalam politik).

252 ternyata tetap bisa dijadikan sebagai anutan bahkan mampu mengendalikan kaum laki- laki, sesuai dengan proporsi masing-masing. Inilah sebenarnya bagian terpenting yang dihilangkan dari sejarah bangsa Arab. Sejarah telah merubah perempuan dengan hanya memperbolehkannya berperan dalam lingkungan domestik, menjadi pelayan laki-laki dan tidak berhak memainkan peranannya di wilayah publik, padahal dalam tradisi bangsa Arab Jahiliyah, perlakuan seperti ini hanya diberlakukan terhadap imâ’ atau budak perempuan.

2. Ibu: simbol kasih dan kesuksesan anak Betty Friedan, dalam The Feminine Mystique658 beranggapan bahwa peran istri, ibu, dan ibu rumah tangga hanya merupakan peran subsider atau peran pembantu. Friedan berpendapat bahwa rendahnya kedudukan perempuan tersebut disebabkan karena perempuan hanya memainkan peranan sekunder atau suportif atau pembantu. Berbeda dari suami yang memegang peran utama dalam kehidupan bermasyarakat, seorang istri hanya penunjang yang bertugas menyelesaikan segala pekerjaan yang berkenaan dengan urusan keluarga dan rumah tangga. Inilah yang disebut oleh Friedan dengan peran tradisional. Motherhood (keibuan) adalah peran yang biasanya dikaitkan dengan kehidupan domestik perempuan dalam rumah tangga. Peran ini terkadang dianggap kurang berharga karena tidak menghasilkan uang. Berbeda halnya dengan peranan ayah yang dianggap sebagai tulang punggung keluarga. Stereotipi659 seperti ini terjadi di hampir setiap negara dan hingga kini masih tetap ada. Namun demikian, peran perempuan sebagai seorang ibu tetap tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan. Kasih ibu untuk anak adalah kisah abadi sepanjang masa, sebagai contoh syair yang digubah oleh Aminah

658 Betty Friedan, The Feminine Mystique, (New York: Garden City, 1977), hal. 271, dikutip oleh Soenardjati Djayanegara, Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika, (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1995), 91 659 Stereotipi adalah pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu. Secara umum pelabelan ini berakibat pada ketidakadilan, sehingga dinamakan pelabelan negatif. Hal ini disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki seperti laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan dan perkasa,sedangkan perempuan adalah makhluk yang cantik, emosional, dan keibuan. Stereotipi inilah yang kemudian menimbulkan perbedaan pandangan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang kemudian berimbas pada pembagian pekerjaan.

253 binti Wahab660 berikut ini menunjukkan betapa besar peranan seorang ibu bagi seorang anak: بارك فيك هللا من غالم يا بن الذى فى حومة ال ِحمام Semoga Allah memberkatimu wahai anakku Wahai anak yang selalu ada dalam medan perang kematian

فأنت مبعوث إلى األنام تبعث فى الح ّل والحرام Engkau di utus untuk seluruh umat manusia Diutus untuk (menjelaskan) yang halal dan yang haram

تبعث بالتوحيد واإلسالم دين ابيك الب ّر إبراهيم Diutus untuk mengesakan Tuhan dan tunduk dalam Islam Agama ayahmu yang benar, Ibrahim

فاهلل ينهاك عن األصنام أن ال تواليها مع األقوام661 Allah akan melindungimu dari menyembah berhala Agar tidak berbuat seperti mereka (bangsa Arab Jahili) Sebagaimana diketahui dalam sejarah Islam, bahwa Nabi Muhammad saw lahir ke dunia dalam keadaan yatim. Ibunya, Aminah binti `Abd Wahab sekali dalam setahun terbiasa mengunjungi makam suaminya yang terletak di Madinah. Pada saat kembali ke Mekah, Aminah jatuh sakit di Abwa, tempat antara Mekah dan Madinah dan meninggal dunia di sana pada tahun 45 SH. Pada saat itu Muhammad saw, berusia enam tahun, ada juga yang mengatakan empat tahun. Sebelum meninggal dunia, dalam keadaan sakit ia mengatakan syair di atas. Syair di atas menggambarkan tentang kasih seorang ibu terhadap anaknya dan kehawatirannya karena harus meninggalkan anaknya yang masih belia dan masih membutuhkan kasih sayang.

660 Aminah binti Wahab ibn ‘Abd Manaf al-Quraisy, ibunda Rasulullah saw. Seorang perempuan yang sangat cerdas dan fasih berbicara. Ia menikah dengan Abdullah ibn Abd al-Muthallib. 661 Abd Mahanna, Mu’jam al-Nisa al-Sya’irat fi al-Jahiliyah wa al-Islam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990 M/ 1410 H), hal. 10 dikutip dari Basyir Yamut, Sya’irat al-Arab, hal. 122, al-Zarkali, al-A’lam, jilid 1, hal. 26, Zaenab Fawaz , al-Durr al-Mantsur , hal. 25, Ibn Sa’ad, Thabaqat, jilid 1 hal. 31, 58 dan 60

254 Sebagai seorang ibu, sebelum wafat Aminah memberikan nasihat dan petunjuk untuk anaknya agar ia menjadi anak yang saleh, terutama agar tetap mengesakan Allah seperti moyang mereka Nabi Ibrahim as. Aminah adalah simbol ibu yang saleh dan selalu dalam petunjuk Tuhan, bahkan hingga kematiannya ia tetap berpesan dengan kebenaran yang diyakininya. Sepeninggalnya terbukti bahwa di kemudian hari apa yang dia ucapkan menjadi sebuah kebenaran. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang menyatakan bahwa di balik kebesaran seorang laki-laki pasti ada perempuan yang hebat. Contoh lainnya tentang ibu yang mampu membimbing anaknya menjadi seseorang yang sangat hebat adalah Hindun binti ‘Utbah662 istri Abi Sufyan Shakhr ibn Harb ibu dari Mu`awiyah kahlifah pertama Bani Umayyah. Dalam syair raqash663nya yang ia ciptakan untuk Mu’awiyah tampak sikap kasih seorang ibu untuk anaknya:

إ ّن بن َّي ُم ْع ِرق كريم م َحبّ ُب فى أهله كريم Anakku seorang yang berpeluh kemulian dan terhormat Dicintai keluarga dan dimuliakan ليس بف ّحا ٍش وال لئيم وال ب ُطحرو ٍر وال سؤوم Bukan anak yang suka berbuat nista dan keji Bukan pula awan kecil dan pembosan صخر بنى فه ٍر به زعيم ال يُ ْخ ِلف الظ َّن وال يَخيم664 Shakr dari bani Fahr, padanya seorang pemimpin Yang tak pernah meninggalkan kayakinannya ataupun takut

662 Nama lengkapnya adalah Hindun binti ‘Utbah ibn Rabi’ah ibn Abd Syams, ibn Abi Manaf, penyair perempuan Arab Jahiliyah yang sangat fasih dan pemberani (w. 14 H), ibu dari Khalifah kerajaan Umayyah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Ia menikah dengan Abi Sufyan (ayah Mu’awiyah) setelah perceraiannya dengan suami pertamanya al-Fakih ibn al-Mughirah al-Makhzumi. Mu’jam al-Nisâ’ al- Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 256, dari Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyah, 3: 38 dan Abu al- Faraj al-Ishfahâni, al-Aghânî, 4: 210 663 Raqash secara bahasa berarti menari, berdansa , dan bertandak. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989) hal. 145. Adapun dalam syair, meskipun tidak menjadi sebuah istilah, namun corak ini banyak ditemui dalam syair-syair perempuan. Jenis syair ini biasanya digunakan ibu untuk meninabobokan anaknya yang berada dalam gendongan sambil menari- nari. 664 Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 257

255 Raqash berarti berdansa dan menari, maka syair raqash adalah syair yang disertai tarian. yang biasanya didendangkan ibu pada saat menimang anaknya. Dalam syair di atas ada dua hal penting yang berkaitan dengan peranan ibu dalam keluarga terutama bagi anak. Pada bait pertama sang ibu menyatakan bahwa anaknya adalah keturunan dari keluarga yang terpandang dan terhormat, dicintai dan disayangi seluruh anggota keluarga, hal tersebut adalah sebuah kenyataan. Dan hal ini juga mengandung harapan besar dalam jiwa sang ibu, bahwa kelak anaknya akan menjadi seorang yang sangat dihormati dan disegani sebagaimana nenek moyangnya. Kedua, sang ibu tidak akan membiarkan anaknya di kemudian hari berbuat keji dan jahat, dan hal itu tidak mungkin terjadi tanpa bimbingan dan pendidikan sang ibu. Hal ini berarti ada peran besar yang harus dilakukan seorang ibu bagi kesuksesan anaknya. Dan terbukti di kemudian hari bahwa anaknya menjadi seorang yang besar dan terhormat sebagaimana harapan sang ibu. Bila bagi Aminah binti Wahab dan Hindun binti `Utbah, peran ibu adalah peran yang besar dan mampu merubah dunia, lain halnya dengan pandangan Umru al-Qais, baginya perempuan sebagai seorang ibu hanyalah bagian dari rangkaian erotismenya. Hal ini tampak jelas dalam syair berikut ini: كدأبك من أم ال ُح َوي ِر ِث قبلها وجارتها أم ال َّرباب بمأسل Sebagaimana yang biasa dilakukan Umu al-Huwairits sebelumnya Dan juga istriku yang lain Umu al-Ribab, di Ma’sal (tempat air)

إذا قامتا تض ّوع المس ُك منها نسيم الصبا جاءت ب َريا ال َق َرنفُل Jika keduanya berdiri, menyebar wewangian darinya Bagai angin shiba (semilir) yang membawa semerbak bunga cengkeh

بثغ ٍر ك ِمثل األقحوان من ّور نق ّي الثنايا أشنب غير أثعل Giginya bagai bunga Uqhuwan (aster) yang bersinar Bersih, bening, dan tersusun rapi

فمثلك حبلى قد طرقت ومرضع فألبتها عن ذى تمائم مح َول Pada perempuan hamil dan menyusui sepertimu aku datang

256 Kubakar (kurayu) dia ibu dari anak kecil665

إذا ما بكى من خلفها انصرفت له بش ّق وتحتى شقُّها لم يح ّول Jika ia (anaknya) menangis di belakangnya, segera ia datang Dengan membawa sebagian tubuhnya, dan untukku sebagian tubuhnya, tanpa beranjak

Dalam syair tersebut tampak sebuah pelecehan seksual dan juga pelecehan peran sebagai seorang ibu dari seorang laki-laki. Kondisi ibu yang sedang mengandung dan menyusui anak bagi Umru al-Qais hanyalah bagian dari keseksian seorang perempuan yang semakin menambah gairah dan hasrat seksualnya. Hal ini terlihat jelas dari ungkapannya,” Pada perempuan hamil dan menyusui sepertimu aku datang, kurayu dia ibu dari anak kecil itu, dan jika ia (anaknya) menangis di belakangnya, segera ia datang, dengan membawa sebagian tubuhnya, dan untukku sebagian tubuhnya, tanpa beranjak. Dari ungkapan tersebut, bahkan ia tidak peduli terhadap anaknya yang sedang menyusu, melainkan ia melampiaskan hasrat binatangnya. Sebuah perlakuan yang sangat tidak manusiawi, juga merendahkan harkat dan martabat perempuan. Seorang ibu baginya hanyalah rangkaian dari ekspedisi-ekspedisi seksualnya. Aminah binti Wahab atau Hindun binti `Utbah keduanya adalah simbol ibu yang sangat menyayangi anaknya. Sedangkan `Antarah ibn Syaddad adalah simbol anak laki- laki yang sangat menghormati ibunya. Bila melihat pada teori feminisme yang menyatakan bahwa kedudukan seorang istri atau ibu, dalam masyarakat tradisional dianggap sebagai kelas inferior atau lebih rendah daripada kedudukan seorang laki-laki, sepertinya kurang tepat diaplikasikan pada tradisi dan budaya masyarakat Arab Jahiliyah, karena tradisi yang menghendaki perempuan hanya sebagai orang yang mengurus rumah tangga dan tidak layak untuk mencari nafkah sendiri, kurang tepat untuk kehidupan masyarakat Jahiliyah.666

665 ibu yang memiliki anak berumur satu tahun dan masih menyusu 666 Berkaitan dengan fungsi istri atau ibu dalam rumah tangga, ada istilah Victoria yang diambil oleh para feminis dari tradisi perempuan Inggris, yaitu sebuah tradisi yang dicetuskan oleh Ratu Victoria yang mengharuskan perempuan menjaga kehormatan dan kemurnian mereka, bersikap pasif dan

257 Sepertinya ada kesepakatan cara pandang antara syair dan al-Qur`an terhadap kedudukan dan peranan ibu. Dalam syair, baik Sha`âlîk, ghair Sha`âlîk, maupun dalam syair perempuan, membuktikan bahwa ibu merupakan peran yang sangat terhormat dalam setiap elemen masyarakat Jahiliyah. Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan anak untuk selalu menghormati dan berbuat baik pada orang tua, pada dasarnya hanyalah sebuah legitimasi terhadap sikap dan perilaku masyarakat Jahiliyah yang sudah biasa mereka lakukan. Bedanya setelah datang ajaran Islam nilai-nilai moralitas dalam memperlakukan seorang ibu dilandasi dengan keyakinan akan perintah Tuhan, tidak sebatas nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai contoh ayat berikut ini menegaskan tentang kedudukan seorang ibu bagi anaknya: }ووصينا اإلنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن وفصاله فى عامين أن اشكرلى ولوالديك إل ّى المصير{667 “Dan kami perintahkan pada manusia (agar berbuat baik) pada kedua orang Tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan yang sangat lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan juga pada kedua orang tuanmu, padaKulah kamu kembali”.

Berkaitan dengan peran perempuan Jahiliyah sebagai ibu, satu hal yang perlu dikritisi adalah bahwa peran ibu yang terabadikan dalam syair Jahiliyah, lebih berorientasi pada kasih sayang ibu terhadap anak laki-laki, sebab penulis tidak menemukan seorang ibu mendendangkan syair untuk anak perempuannya. Hal ini tidak berbeda dengan ratapan (ritsâ’) perempuan atas kematian laki-laki yang dicintainya yang kemudian menjadi budaya, namun sebaliknya tidak ditemukan seorang laki-laki Jahiliyah yang meratapi kematian perempuan yang dikasihinya. Hal ini semakin menguatkan praduga tentang ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris dan patrialkhal yang dianut oleh bangsa Arab Jahiliyah yang meletakkan laki-laki di atas segala-galanya.668 Dan hal ini, sesungguhnya tidak dapat dihindari karena situasi dan kondisi yang menuntut mereka untuk menganut paham tersebut, sebab kehidupan

menyerah, rajin mengurus keluarga, atau dengan kata lain hanya mengurus kepentingan domestic semata. Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 5 667 Luqman ayat 14 668 Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. 37

258 mereka yang selalu diliputi peperangan menuntut sosok laki-laki yang kuat secara fisik. Namun pada saat kehidupan sudah berubah, perlukah tradisi itu dipertahankan?

D. Citra Perempuan Merdeka (al-hurrah) Hurrah atau perempuan yang memiliki kemerdekaan penuh atas dirinya. Dalam tradisi dan budaya Arab Jahiliyah, hurrah adalah perempuan merdeka yang memiliki kedudukan yang tinggi, seperti juru masak, penjahit, dan tukang servis kemah. Termasuk ke dalam kelompok ini perempuan bangsawan yang biasanya memiliki beberapa pelayan, dan mereka ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam struktur sosial masyarakat Arab Jahiliyah. 669 Banyak kisah tentang kebebasan seorang perempuan Jahiliyah. Di antaranya dalam hal menentukan calon suami. Sebagai contoh kisah al-Khansâ’ dan Mâwiyah yang telah dibahas secara sepintas pada bab I.670 Al-Khansa atau dikenal juga dengan panggilan Ummu `Amr, seperti yang diungkapkan oleh Shakhr saudara laki-lakinya: أرى أ َّم عمرو ال تم ّل عيادتى # وملّ ْت ُس َل ْيمى مضجعى ومكانى Aku melihat Ummu `Amr tidak pernah jemu mengunjungiku Sedangkan Sulaima671 jemu dengan pembaringanku dan tempatku

Julukan lain yang tidak kalah terkenal untuk al-Khansa adalah al-Zhabiyyah atau kijang betina. Sebagaimana kita tahu dari kajian syair sebelumnya, bahwa al-Zhabiyyah adalah kinâyah672 untuk perempuan yang memiliki kecantikan dan kemolekan bagai kijang. Al-Khansa673 adalah sosok penyair perempuan yang sangat terkenal yang semasa hidupnya sempat memeluk agama Islam. Ia diberi kebebasan penuh oleh ayahnya untuk memilih pasangan hidupnya. Hal ini terbukti, pada saat Duraid ibn al- Shimmah melamar al-Khansa, ayahnya tidak serta merta menerima lamaran tersebut,

669 Muhammad Ridla Marwah, Umru al-Qais al-Malik al-Dlillil, hal. 12 670 Kisah Mâwiyah binti `Afzar dapat dilihat pada footnot no. 20 bab I. 671 Sulaima adalah istri Shakhr. `Abd al-Salâm al-Haufî, Dîwân al-Khansâ, hal. 5 672 Lihat pengertian kinâyah pada bab II, hal. 66. Munculnya kinayah ini tidak terlepas dari kondisi dan budaya bangsa Arab Jahiliyah yang gemar berburu, dan salah satu objek buruan mereka adalah kijang yang biasa terdapat di padang pasir. 673 Riwayat hidupnya telah dibahas pada pembahasan sebelumnya yang berkaitan dengan ratapan perempuan Jahiliyah.

259 namun menanyakan terlebih dahulu pada anak gadisnya apakah ia bersedia atau tidak. Inilah dialog yang terjadi antara anak dan ayah saat terjadi prosesi lamaran: `Amr ibn al-Harits (ayah al-Khansa): مرحبا بك أبا ق ّر ة، إنك للكري ُم ال يطعَن فى ح َسبه والسيدُ ال يردّ عن حاجته والفحل ال يقرع أنفهُ. ولكن لهذه المرأة فى نفسها ما ليس لغيرها وأنا ذاكرك لها وهى فاعلة. Selamat datang wahai Aba Qurrah674, sesungguhnya engkau adalah orang yang sangat dihormati, tak ada yang berani merendahkan kemuliaannya, engkau juga seorang pemimpin (sayyid) yang tidak mungkin ditolak keinginannya, dan engkau juga seorang tokoh besar yang tidak mungkin dihinakan675. Tapi untuk perempuan yang satu ini, ia tidak seperti yang lainnya, untuk itu aku akan mengatakan terlebih dahulu tentang lamaran ini padanya, namun demikian dialah yang berhak untuk memutuskan. Kemudian `Amr masuk ke dalam dan berbicara pada al-Khansa: يا خنسا، أتاك فارس هوازن وسيد بنى جشم دريد ابن الص ّمة يخطبك وهو م َّمن تعلمين. Wahai Khansa, telah datang padamu seorang prajurit Hawazin, tetua dari Bani Jasym Duraid ibn al-Shimmah untuk melamarmu, dan ia adalah orang yang telah kamu kenal. Mendengar perkataan ayahnya, al-Khansa berkata: يا أبَ ِت، أترانى تاركة بنى ع ّمى مثل عوالى الرماح وناكحة شي َخ بنى جشم هامة اليو َم أو غد. Wahai ayah, apakah engkau pernah melihatku meninggalkan kabilah pamanku seperti layaknya anak panah676, lalu menikahi laki-laki tua dari Bani Jasym dengan perasaan sedih, hari ini dan esok. Kemudian al-Khansa mengucapkan syair berikut ini: أتخ ُطبنى ُهبل َت 677 على دري ٍد وقد ط َّرد ُت سيِّدَ آل بدر Apakah kau melamarku atas nama Duraid? Padahal (sebelumnya) aku telah menolak pemimpin Bani Badr معاذ هللا ينكحنى َح ْبركى يقال أبوه من جشم بن بكر

674 Julukan untuk Duraid ibn Shimmah arti yang sebenarnya adalah dipukul hidungnya. Namun makna yang diinginkan يقرع أنفه 675 penyair adalah menghina atau merendahkan 676 Penyair mengumpamakan dirinya dengan anak panah yang apabila sudah dilepaskan sangkurnya, pasti tidak akan kembali lagi. Dan ia justru tidak ingin melakukan hal itu. 677 Habbala secara bahasa berarti berusaha untuk seseorang atau sesuatu

260 Aku berlindung pada Allah dari dinikahi seorang tetua, agar Ayahnya dikatakan dari Bani Jasym bin Bakr

ولو أمسي ُت فى جش ٍم هديًّا لقد أمسي ُت فى دن ٍس وفق ٍر Seandainya aku dijadikan hadiah untuk Bani Jasym Sungguh aku telah menjadi orang hina dan fakir678 Dari dialog tersebut, kita tahu bahwa pada saat al-Khansa menolak keinginannya, ayahnya tidak berbuat apa-apa kecuali menyampaikan penolakannya tersebut pada Duraid.679 Al-Khansa akhirnya menikah dengan laki-laki pilihannya yang bernama Rawwahah ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Sulami dan melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama ‘Abdullah yang bergelar Abu Syajarah. Sepeninggal suaminya, ia kemudian menikah kembali dengan Mardas ibn ‘Amir al-Sulami dan melahirkan tiga orang anak laki-laki, Yazid, Mu’awiyah, dan ‘Amr.680 Sebuah kisah tentang keluarga demokratis yang diperankan oleh orang-orang Jahiliyah, antara ayah dan anak perempuannya. Tidak ada penindasan, tidak pula pemaksaan yang ditampilkan dalam kisah nyata di atas. Kekuasaan yang dimiliki seorang ayah, sama sekali tidak digunakan untuk berbuat sewenang-wenang terhadap anaknya. Al-Khansa adalah simbol perempuan Jahiliyah yang memiliki kebebasan penuh atas dirinya. Meski bila diukur dari kaca mata modern, memang tidak mungkin kita bisa menilai bahwa kaum perempuan Jahiliyah menganut kebebasan mutlak seperti saat ini di mana perempuan bisa dengan bebas memilih dan menentukan calon pasangannya dengan cara bertatap mata secara langsung. Tapi untuk ukuran suatu fase yang dianggap Jahiliyah dan perempuan oleh sebagian orang dianggap sebagai barang yang tidak berguna, jelas hal ini membuktikan bahwa sebagian perempuan pada masa Jahiliyah tidak semuanya berada di bawah penindasan kaum laki-laki, namun mereka juga memiliki hak untuk menentukan jalan hidup yang dikehendakinya. Bahkan al- Khansa dengan beraninya menolak seorang laki-laki yang notabene berasal dari

678 Dialog antara anak dan ayah ini didengar langsung oleh Duraid ibn al-Shimmah. `Abd al- Salâm al-Haufî, Dîwân al-Khansâ, hal. 5-6 679 Kisah tentang penolakan al-Khansâ terhadap lamaran Duraid disampaikan kepada ayahnya melalui bait-bait syair. 680 ‘Abd al-Salâm al-Haufi (syarah dan tahqiq), Dîwan al-Khansâ, (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1405 H/1985 M), hal. 5

261 kalangan atas dan tokoh yang sangat disegani. `Amr ibn al-Harits sebagai seorang ayah, berdasarkan tradisi yang ada saat itu, pada dasarnya berhak dan mampu untuk memaksa anak perempuannya, namun ternyata kekuasaan yang ia milikinya tersebut tidak digunakannya untuk menguasai dan mendominasi anak perempuannya, dan sepertinya hal ini jugalah yang memberi kekuatan pada al-Khansa untuk menjadi perempuan yang bebas dan merdeka dalam mentukan jalan hidupnya. Selain itu, tampaknya ada pertimbangan lain dari sang ayah untuk memberi kebebasan tersendiri pada anak gadisnya, yaitu kecerdasan dan kedewasaan yang ditunjukkan oleh al-Khansa yang mungkin tidak dimiliki oleh setiap anak perempuan. Hal ini terbukti dengan eksisnya al- Khansa sebagai penyair perempuan yang sangat terkenal. Dan penyair, bagi bangsa Arab Jahiliyah merupakan aset yang sangat berarti. Hal lain yang tidak kalah menarik tentang kehidupan hurrah seorang perempuan Jahiliyah yang terungkap lewat kisah hidup al-Khansa sebagai seorang penyair adalah kisahnya dengan seorang penyair kerajaan terkenal al-Nâbighah al-Dzubyâni.681 Al- Nâbighah al-Dzubyâni dalam buku-buku sejarah kritik sastra Arab selain sebagai seorang penyair, ia juga merangkap sebagai seorang kritikus syair.682 Di pasar `Ukazh sebagai salah satu pasar budaya saat itu, ia dijuluki dengan si Qubbah Hamrâ’ (si Kubah Merah).683 Biasanya ia duduk di atas kursi dikelilingi oleh para penyair yang ingin menyetorkan syairnya untuk dinilai oleh al-Nâbighah. Suatu ketika pada salah satu musim syair, 684 al-Khansa datang pada acara tersebut dan mendeklamasikan syairnya tentang Shakhr di hadapan al-Nâbighah dan membuatnya takjub. Kemudian al- Nâbighah berkata, pergilah!, kamu adalah penyair terbaik di antara para pemilik

681 Penjelasan tentang al-Nabighah al-Dzubyani lihat pada bab III. 682 Thaha Ahmad Ibrahim, Târikh al-Naqd al-Adabi ‘inda al-‘Arab min al-‘Ashr al-Jâhili ila al- Qarn al-Râbi’ al-Hijr, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989 M/1409 H. 683 Sayangnya tidak ada penjelasan yang akurat mengapa ia dijuluki dengan si Qubbah Hamrâ’. Hanya saja dilihat dari posisinya sebagai seorang kritikus syair, maka sangat jelas jika al-Nâbighah al- Dzubyâni adalah seorang sosok yang memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat, seperti halnya kubah yang biasanya terletak di atas tempat yang paling tinggi dalam sebuah bangunan. 684 Festival syair seperti ini biasanya terjadi pada saat-saat yang telah ditentukan.

262 payudara ( kaum perempuan). Andai saja sebelum kamu tidak ada orang buta685 yang telah mendeklamasikan syairnya, sungguh, kamulah penyair terbaik festival ini, baik di kalangan manusia maupun Jin686. Pada saat itu, salah seorang peserta festival yang turut mendeklamasikan syairnya adalah Hassan Ibn Tsabit687, ketika ia mendengar pernyataan al-Nâbighah tersebut ia marah dan memprotesnya. Lalu ia berkata pada al- Khansa: “aku bahkan lebih baik darimu dan juga ayahmu. Lalu al-Nâbighah berkata pada Hasan: “hal ini tidak seperti yang kamu bayangkan”. Lalu berpaling pada al- Khansa dan berkata: “Ya Khansa, jelaskan padanya!” Lalu al-Khansa berpaling pada Hasan ibn Tsabit dan berkata: “bait manakah yang kamu anggap paling baik dari syair yang kau deklamasikan tadi?” Lalu Hasan menjawab: لنا ال َجفنات، الغر يلمع َن بالضحى وأسيافنا يقطر َن من نجدةٍ دما Kamilah pemilik sumur-sumur itu688, (airnya) menyilaukan tanda putih di dahi kuda pada pagi hari, dan pedang-pedang Najed kamipun meneteskan darah.

Setelah mendengar syair tersebut, al-Khansa berkata: “kebanggaanmu itu sangat lemah, ada sekitar delapan hal yang kurang tepat pada bait tersebut”. Lalu Hasan bertanya: “Bagaimana seharusnya?” Al-Khansapun menjawab: Kamu menggunakan .biasanya digunakan untuk jamak di bawah sepuluh ال َجفنات padahal kata , ال َجفنات kata maka kata tersebut mengandung makna ,ال ِجفان Andai saja kamu gunakan kata jamak yang artinya tanda putih di الغر lebih banyak lagi. Selanjutnya kamu menggunakan kata tanda putih), karena) البيض dahi kuda, padahal jika kamu mau, bisa menggunakan kata اللمع padahal ,يلمع َن lebih luas maknanya. Selain itu kamu juga menggunakan kata adalah kilau yang muncul karena adanya cahaya lain. Seandainya kamu menggunakan bercahaya) lebih kekal dibanding) اإلشراق maka akan lebih baik, sebab ,يشرقن kata

685 Yang dimaksud al-Nâbighah dengan al-A`ma (orang buta) adalah penyair religi pada masa Jahiliyah al-A`sya al-Akbar. Lihat keterangan tentangnya pada bab II tentang kategorisasi syair Jahiliyah. 686 Bangsa Arab sebagian percaya bahwa Jin (makhluk halus) adalah salah satu sumber kekuatan yang melindungi manusia. 687 Hasan ibn Tsabit adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw yang mengalami hidup pada dua periode Jahiliyah dan Islam seperti halnya al-Khansa. Maka bisa dipastikan bila keduanya hidup semasa. 688 Makna awal dari jafnah jamak jafanât adalah mangkuk besar, sedangkan sumur kecil diumpamakan dengan mangkuk besar. Lois & Ferdinand, al-Munjid, hal. 94

263 padahal kata tersebut adalah ,أسياف berkilau). Dan kamu menggunakan kata) اللمعان jamak yang digunakan untuk jumlah di bawah sepuluh, padahal jika kamu jumlahnya lebih banyak lagi. Demikian seterusnya, hampir ,سيوف menggunakan kata setiap kata yang ada pada bait syair tersebut dikritik oleh al-Khansa.689 Ada dua hal yang menarik dari cerita tersebut, pertama, ungkapan al-Nâbighah yang menyebutkan bahwa kamu adalah penyair terbaik di antara para pemilik payudara merupakan bukti lain, bahwa kaum perempuan pada masa Jahiliyah (ك ّل ذات ثدثين) terbiasa berkompetisi dengan kaum laki-laki secara terbuka termasuk dalam bersyair yang dianggap saat itu sebagai suatu hal yang memiliki makna tersendiri karena menjadi simbol ilmu pengetahuan dan peradaban bangsa Arab. Kedua, sikap kritis yang dilakukan al-Khansa pada saat menilai syair Hasan ibn Tsabit, menunjukkan wawasan seorang perempuan Jahiliyah yang luas dalam berbagai bidang, terutama bahasa yang tentu saja tidak kalah dari seorang laki-laki. Hal ini membuktikan bahwa kaum perempuan Jahiliyah bukanlah perempuan-perempuan yang hidupnya selalu dikekang dan dilarang untuk berekspresi, namun mereka adalah perempuan-perempuan yang bebas berbicara dan bertindak. Selain al-Khansa, kisah lainnya yang tidak kalah menarik tentang kebebasan seorang perempuan dalam memilih calon suami adalah kisah Hindun binti `Utbah690 ibunda dari Mu`âwiyah, khalifah pertama Bani Umayyah. Menurutnya, salah satu haknya sebagai seorang perempuan merdeka adalah memilih calon suami sesuai dengan kehendaknya, sebagaimana yang terdapat dalam pernyataannya berikut ini yang sangat إنى امرأة قد ملكت أمرى فال تزوجنى رجال حتى تعرضه “ :terkenal ditujukan pada ayahnya Aku adalah perempuan yang memiliki kebebasan penuh, untuk itu janganlah kau) ”عل ّى nikahkan aku dengan laki-laki tanpa diperlihatkan padaku terlebih dahulu). Untuk itu, ia selalu menilai terlebih dahulu pemuda yang datang padanya untuk meminang, duduk

689 ‘Abd al-Salâm al-Haufi (syarah dan tahqiq), Dîwan al-Khansâ, hal. 8. Dengan redaksi yang sedikit berbeda, lihat `Abbâs`Abd al-Sâtir, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, (Beirut: Dâr al-Kutub al- `Ilmiyyah, 1416 H/1996 M), cet. 3, hal. 4 690 Hindun binti `Utbah ibn Rabi`ah ibn `Abd Syams ibn `Abd Manaf, ia adalah istri dari Abi Sufyan Shakhr ibn Harb ayah dari Mu`awiyah khalifah Bani Umayyah

264 bersamanya, jika ia merasa cocok dan menginginkannya, ia terima namun jika tidak ia menolaknya. Ia memberikan kriteria bagi pemuda yang ingin menjadi suaminya, seperti; memiliki sifat dermawan, tegar, baik hati, cerdas, bijaksana, dan secara fisik ia harus tinggi, kuat dan tangguh.691 Hal ini terlihat dalam syairnya berikut ini: فال تأمرونى بالتزوج إننى أريد كرام الناس أو أتبت ّل Janganlah kalian suruh aku untuk menikah, karena aku Hanya inginkan yang terbaik, atau aku selamanya hidup sendiri (menjadi perawan tua)692

أريد فتى ال يمأل الهول صدره يريح عليه حلمه حين يجهل Aku hanya inginkan pemuda yang tidak pernah ada rasa takut di dadanya Selalu mencari tahu ketika ia merasa tidak tahu693

كمثل الفتى الجع ِد الطويل إذا غدا كعالية الرمح الطويل وأطول Ia pemuda keriting yang tinggi, jika ia melenggang Bagai mata pedang yang panjang, bahkan lebih panjang694

Menurut Husein `Athwân yang ia kutip dari kitab al-Aghâni695 dan al- Mukhbir696, hak-hak al-hurrah tidak sebatas dalam memilih jodoh, namun ia juga memiliki hak untuk menceraikan suaminya. Hal itu tiada lain karena mereka adalah perempuan-perempuan yang terhormat (high class). Selain itu, mereka juga berhak untuk memiliki harta benda sendiri, berbisnis, membelanjakan hak miliknya sesuka hati, bahkan mereka ikut maju ke medan perang, mengobati para korban perang, membawa

691 Husein `Athwan, Muqaddimah al-Qashîdah al-`Arabiyah fi al-Syi`r al-Jâhili, hal. 53, dikutip dari Abu al-Faraj al-Ishfahâni, al-Aghâni, jilid 10, hal. 22 692 al-batûl artinya perawan, dara, atau Maryam, yaitu gadis yang selamanya tidak pernah menikah, atau perawan tua. 693 Yaitu seorang laki-laki yang ketika ia merasa tidak tahu, ia merasa senang karena dapat menggunakan kecerdasannya. 694 Artinya pemuda itu memiliki tubuh yang tinggi. Bagi bangsa Arab Jahiliyah, pedang adalah simbol kekuatan dan kejantanan seorang lalik-laki. Jika ia memiliki pedang yang panjang, hal itu berarti bisa dipastikan bahwa ia juga bertubuh tinggi dan besar, karena tidak mungkin seseorang membawa pedang yang panjang, jika ukuran tubuhnya pendek dan kecil. 695 Abu al-Faraj al-Ishfahani, jili 16, hal. 102 696 Abu Ja`far ibn Habib, Muhammad ibn Habib ibn Umayyah (-245 H), hal. 398

265 perbekalan, mengelilingi para prajurit dengan membawa air minum, bahkan menjadi mata-mata kabilah untuk mengetahui kekuatan musuh.697 Dalam syair di atas tampak sebuah keberanian yang ditunjukkan seorang perempuan untuk melawan tradisi yang ada, bahkan ia rela memilih untuk hidup sendiri atau menjadi perawan tua, daripada menikah dengan seorang laki-laki yang tidak sesuai dengan kriterianya. Hal ini jelas sekali menceritakan pada kita tentang status dan kedudukan perempuan merdeka yang memiliki hak penuh atas dirinya dalam menentukan pilihan hidupnya, bahkan dalam menentukan seorang calon suami. Sehingga apa yang dikemukakan oleh Masruch Nasucha sebelumnya bahwa salah satu bentuk ketertindasan perempuan Jahiliyah adalah diberlakukannya kawin paksa oleh para wali (ayah, kakek dan sebagainya) terhadap para perempuan yang berada dalam kekuasaan mereka, mereka tidak diberi hak pilih untuk menentukan calon pasangannya, dan mau tidak mau harus menuruti kehendak sang wali adalah tidak benar.698 Hal ini adalah sebuah bukti nyata, bahwa pada masa Jahiliyah tidak semua perempuan mendapat perlakuan yang tidak adil atau sebagai makhluk yang underestimate dan tersubordinasi, sebab banyak di antara mereka yang memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat, dan hal ini tentu saja terkait erat dengan struktur stratifikasi sosial yang mereka anut, yaitu sistem kabilah yang menempatkan manusia berada dalam kelas-kelas tertentu. Dan tentu saja perempuan yang memiliki hak-hak istimewa seperti ini, adalah perempuan-perempuan kelas atas. Dan kondisi ini pada hakikatnya tidak terjadi pada perempuan secara umum, namun hanya terjadi pada beberapa keluarga, sebagaimana terjadi dalam sejarah bangsa Mesir Kuno, di mana perempuan sekitar tahun 2100 SM, sempat mengalami kejayaan dengan menguasai sejumlah lahan pertanian dan mereka juga menganut budaya matrialkhal. Namun kebebasan perempuan inipun hanya terjadi pada keluarga tertentu.699

697 Husein `Athwan, Muqaddimah al-Qashidah al-`Arabiyah fi al-Syi`r al-Jahili, hal. 53 698 Ahmad Masruch Nasucha, Kaum Wanita Dalam Pembelaan Islam, hal. 10 699 Al-Sahamrânî, Ahmad, Dr., al-Mar’ah fi al-Târîkh wa al-Syarî`ah, (Beirut: Dâr al-Nafâ’is, 1410 H/1989 M), hal. 17-18

266 Berdasarkan hal tersebut, asumsi yang menyatakan bahwa perempuan Jahiliyah merupakan perempuan-perempuan yang tertindas dan tidak memiliki peran dalam masyarakat tidak seluruhnya benar, sebab berdasarkan data-data di atas terbukti bahwa tidak sedikit kaum perempuan Jahiliyah yang memainkan peranan penting dalam struktur sosial bangsa Arab saat itu, hanya saja terkadang akibat ketimpangan sosial antara laki-laki dan perempuan, membuat peran perempuan terkadang tidak diekspos ke permukaan dalam penelitian-penelitian sejarah. Dan yang ditampilkan biasanya hanya data-data yang bersumber dari kaum laki-laki, yang tentu saja cara pandangnya pun laki-laki juga. Di sisi lain, data-data yang berasal dari perempuan dianggap kurang berharga dan kurang memiliki nilai sejarah, padahal merekalah sesungguhnya yang mengetahui tentang bagaimana dirinya dan perasaannya. Maka fakta yang diungkapkan oleh Masruch Nasucha bahwa perempuan Jahiliyah diperlakukan sebagai budak sahaya oleh kaum laki-laki, dan diperjual belikan seolah-olah binatang,700 pada dasarnya tidak hanya berlaku pada kaum perempuan, sebab terbukti bahwa tradisi tersebut dilakukan oleh bangsa Arab terhadap kaum laki-laki sendiri terutama laki-laki yang berasal dari luar bangsa Arab. Dari keseluruhan uraian di atas, dimulai dari penyair istana, ghair Sha`âlîk, Sha`âlîk dan penyair perempuan, ada sesuatu yang menonjol dan membedakan antara satu syair dengan syair lainnya. Dalam syair Umru al-Qais sebagai simbol laki-laki aristokrat, perempuan diungkapkan dalam bahasa yang sangat vulgar bahkan terkesan seronok, sedangkan dalam puisi ghair Sha`âlîk, bahasa yang digunakan sangat halus dan santun, lain halnya dalam syair Sha`âlîk, bahasa yang digunakannya terkesan kasar (sarkatis), seolah-olah ingin menunjukkan jati dirinya sebagai seorang Sha`âlîk yang terkenal bengis dan kejam. Sedangkan dalam syair-syair perempuan, diksi yang digunakan lebih bersifat rill, lugas, spontan, dan tidak bertele-tele, namun langsung ke sasaran. Spontanitas mereka dalam menggubah syair, seakan-akan ingin menunjukkan bahwa inilah perasaan mereka yang sesungguhnya, tampil apa adanya tanpa rekayasa.

700 Ahmad Masruch Nasucha, Kaum Wanita Dalam Pembelaan Islam, hal. 9

267 Dari hasil analisis tiga unsur masyarakat Arab Jahiliyah tersebut, hal yang paling urgen adalah bahwa ternyata perang merupakan sumber utama keterpurukan citra perempuan Jahiliyah, dan tugas utama Muhammad saw sebagai nabi adalah menghilangkan budaya tersebut, sehingga ketika budaya perang itu telah berlalu, seharusnya citra perempuan menjadi lebih baik.

268 BAB VI PENUTUP

Dari syair-syair yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya tidak dapat dipungkiri, bahwa perempuan pada masa Jahiliyah terutama dalam syair karya laki-laki diposisikan sebagai makhluk impian, pemuas hawa nafsu, peratap kematian laki-laki, tawanan perang dan juga harta rampasan. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan Jahiliyah juga adalah sosok perempuan yang kuat, cerdas dan banyak memainkan peranan penting dalam struktur sosial bangsa Arab Jahiliyah. Kesimpulan ini didukung oleh sejumlah syair perempuan yang membuktikan bahwa mereka bukanlah semata-mata sosok manusia yang tertindas, lemah dan tidak berdaya, sebab tidak sedikit dari mereka yang berkiprah dalam kehidupan, baik sosial, politik maupun ekonomi. Dalam lingkungan istana (hadlari), perempuan tampaknya tidak lebih dari sekedar objek erotik kaum laki-laki, sehingga eksploitasi seksual dalam komunitas ini sangat kentara. Bagi komunitas ini, perempuan hanyalah sebagai media ekspedisi seksual kaum aristokrat. Untuk itu, perempuan bagi mereka layaknya barang yang bisa dibeli kapan saja, sehingga praktek poligami bagi mereka sepertinya adalah sebuah keharusan. Sedangkan pada masyarakat badawi, hal yang paling menonjol yang tampak dalam kelompok ini adalah budaya perbudakan yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab Jahiliyah terhadap minoritas kulit hitam dan menjadikan perempuan layaknya barang yang diperjualbelikan. Diskriminasi budaya ini telah membuat manusia khususnya kaum perempuan berada pada kehinaan. Namun demikian, berdasarkan syair-syair mereka, ada dua hal yang sangat kontras tentang perlakuan kaum laki-laki badawi terhadap perempuan. Terhadap perempuan yang berasal dari luar kabilah dan menjadi musuhnya kabilahnya, kaum badawi cenderung bersikap kejam, dan tidak memiliki

269 belas kasih. Sebaliknya dalam interen kabilah, perempuan adalah sosok yang sangat dilindungi dan dijaga kehormatannya. Berkaitan dengan budaya perang yang dijalani bangsa Arab Jahiliyah saat itu, hal yang paling menonjol yang tertangkap dari syair perempuan adalah sikap mereka yang cengeng dan gemar mencucurkan air mata. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya syair ritsâ (ratapan) yang digubah penyair perempuan. Namun setelah dikaji lebih jauh, ternyata dari ritsâ tersebut justru tersirat citra psikis perempuan Jahiliyah lainnya, seperti penyabar, tegar, kuat, pendendam, sangat menyayangi keluarga, dan juga bangga terhadap laki-laki yang dicintainya, baik ayah, saudara, maupun suami. Sikap lainnya yang berkaitan dengan psikis perempuan Jahiliyah adalah bahwa secara umum mereka adalah perempuan-perempuan pemberani dan selalu siap menghadapi kenyataan sepahit apapun. Hal ini tentu saja terkait erat dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang mereka anut. Secara sosial, kaum perempuan Jahiliyah adalah sosok yang peduli terhadap penderitaan orang lain. Dari ketiga kategori syair tersebut, secara umum perempuan Jahiliyah adalah perempuan-perempuan yang bebas beraktivitas, baik untuk kepentingan politik, ekonomi maupun kemasyarakatan secara umum. Dalam politik misalnya, banyak di antara mereka yang turun langsung ke medan pertempuran, menjadi mata-mata, diplomat, menyusun siasat perang, atau menjadi bagian dari penyemangat perang melalui syair dan musik yang mereka tabuh. Meratapi mayat korban perang, bahkan menjadi semacam ritual dan tugas bagi perempuan yang terkait erat dengan kondisi perpolitikan saat itu. Dalam persoalan ekonomi, perempuan Jahiliyah ikut berperan, bahkan terkadang mengambil bagian penting sebagai pelaku bisnis dan terbiasa mengadakan rihlah (perjalanan) menuju tempat-tempat niaga dengan mengendarai kendaraan yang di atas terdapat sekedup (hûdaj). Secara kemasyarakatan, perempuan Jahiliyah biasanya lebih banyak bersosialisasi dengan sesama kelompoknya atau orang- orang yang ada dalam kabilah. Mereka terbiasa bertetangga, saling berbagi dan saling membantu. Namun secara umum, perempuan pada masa Jahiliyah dalam syair-syair laki-laki memiliki fungsi sosial sebagai, istri, gundik, kekasih, pelayan bar, dan peratap

270 mayat. Namun demikian, peran perempuan yang sangat dominan saat itu, sebagaimana dalam budaya bangsa lainnya adalah motherhood yaitu peran sebagai seorang ibu, hal ini terlihat dalam syair laki-laki atau syair perempuan itu sendiri. Bila dikaitkan dengan kritik sastra feminis, secara umum ada dua bentuk penindasan yang dilakukan kaum laki-laki Jahiliyah terhadap perempuan, penindasan fisik dan psikis. Secara fisik, perempuan biasa dijadikan sebagai harta rampasan atau tawanan perang. Sebagai seorang tawanan, perempuan tidak memiliki lagi kemerdekaan, hidupnya tergantung pada kebijakan kelompok yang menawannya. Mereka biasa diperlakukan semena-mena, dan yang paling tragis mereka biasanya dijadikan sebagai objek seksual kelompok penawan. Jika dibandingkan dengan penindasan secara fisik, penindasan psikispun tidak kalah banyaknya, seperti menjadikan perempuan sebagai peratap untuk kematian seseorang, melakukan poligami tak terbatas, tidak diberi kebebasan dalam menentukan seorang calon suami, atau tidak diberi hak untuk mencintai dan dicintai. Penindasan ini pada hakekatnya kembali pada sistem patrialkal yang mereka anut, sehingga membuat dominasi kaum laki-laki semakin kuat. Selain itu perbedaan perlakuan terhadap budak perempuan kulit hitam yang menempatkan mereka dalam kelas yang paling rendah adalah contoh lain dari penindasan kaum laki-laki terhadap perempuan, bahkan pada saat mereka melahirkan seorang anak dari ayah dari kalangan atas yang dilahirkannya pun hanyalah seorang budak pula. Kasus-kasus tragedi percintaan, baik yang terdapat dalam syair Ghair Sha’âlîk, maupun syair-syair perempuan adalah contoh kongkrit penindasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap perempuan. Penindasan kaum laki-laki terhadap perempuan pada masa Jahiliyah, merupakan suatu fenomena kausalitas yang satu sama lain saling berkaitan. Berikut beberapa faktor yang menyabakan terjadinya diskriminasi dan penindasan terhadap kaum perempuan Jahiliyah: 1. Ideologi rasial, yaitu perbedaan antara kulit putih dan hitam, dan cara mereka yang memandang rendah kelompok kulit hitam.

271 2. Praktek-praktek perbudakan baik yang dibeli ataupun hasil tawanan, menjadikan budak atau tawanan tersebut memiliki kedudukan yang sangat rendah dalam sistem sosial bangsa Arab. 3. Permusuhan dan perselisihan antar kabilah, yang terkadang demi kehormatan kabilahnya, harus rela memusuhi orang yang dicintai. 4. Dominasi kaum Adam atau sistem patrialkal, yang memberikan kekuasaan penuh terhadap kaum laki-laki. 5. Adanya stratifikasi sosial dalam kabilah, sehingga muncul kelompok atas, kelompok menengah dan hamba sahaya. Hal ini menimbulkan cara pandang akan adanya perbedaan antara kelompok atas dan bawah. Faktor-faktor inilah yang kemudian memotivasi laki-laki untuk mendominasi kaum perempuan yang kemudian berubah menjadi semacam penindasan.

Wallahu ‘alam bi al-shawab

272 DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’ân al-Karîm dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1989 Abdullah, Muhammad Hasan, Muqaddimah fi al-Naqd al-Adabi, ttp: Dâr al-Buhûts al- Ilmiyah, tth. `Abdullah, Yusrâ `Abd al-Fannî, Dîwân al-Kharnaq binti Badr ibn Hifân, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1410 H/1990 M. Abd al-Ahyar & Mahhana, Akhbâr al-Nisâ’ fi Kitab al-Aghâni li ibn al-Farj al- Ashfahâni, Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, tth Abd Al-Bâqi, Zaedan, Qawâid al-Bahtsi al-Ijtimâ’i, Kairo: Mathba’ah al-Sa’âdah, 1980 M/1400 H, cet. 3 Abd al-Lathîf al-Sahratî, Mushtafâ, Dirâsât Naqdiyyah fi al-Adab al-Mu`âshir, Mesir: al-Hai’at al-Mishriyat al-`Âmah li al-Kitâb, 1979 `Abd al-Ra’ûf Syulmâ, `Abd al-Mun`im, dan Ibrâhîm al-Ibyâri, Syarh Dîwân `Antarah ibn Syaddâd, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1400 H / 1980 M, cet. 1 Abd al-Razzâq, Sayyid, al-Manhaj al-Islâmi fi al-Naqd al-Adabi, Beirut: Dâr al-Fikr al- Mu`âshir, 1422 H/2002 M. Abd al-Salâm, Ja`far, Shûrat al-Mar`ah fi al-I`lâm, Kairo: Râbithat al Jâmi`at al- Islâmiyah, 1428 H/ 2006 M `Abd al-Sâtir, `Abbâs, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, Beirut: Dâr al-Kutub al- `Ilmiyyah, 1416 H/1996 M, cet. 3 Abu Bakr Muhammad, Asmâ’, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H/1992 M) Abu al-Khasab, Ibrâhîm `Ali, dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961 Adonis, Dîwân al-Syi’r al-‘Arabi, Beirut: Dâr al-Fikr, 1406 H/1986M, cet. 2 Ahmad, Nurîman Abd al-Karîm, al-Mar’ah fi Mishr fi al-`Ashr al-Fâthimî, (Mesir: al- Nahdlat al-Mishriyat al-`Âmah li al-Kitâb, 1993 Ahmed, Leila, Women and Gender in Islam, London: Yale University Press, 1992

273 `Ali al- Shabbâh, Muhammad, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ruhu, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1411 H/1990 M, cet.1 Allen, Roger, An Introduction to Arabic Literature, Cambridge: University Press, 2000 Amîn, Ahmad, al-Naqd al-Adabi, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1972, cet. 4 `Arafah al-Maghribi, Muhammad, Dirâsât fi al-Adab al-Umawî wa al-`Abâsî, Kairo: Mathba`at al-Husein al-Islâmiyah, tth. Al-Asad, Nâshir al-Dîn, Mashâdir al-Syi`r al-Jâhili wa Qîmatuhâ al-Târikhiyah, Beirut: Dâr al-Jail, 1988, cet. 8 `Athwân, Husein, Muqaddimah al-Qashîdah al-`Arabiyah fi al-Syi`r al-Jâhili, Mesir: Dâr al-Ma`ârif, tth Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, Padang: Angkasa Raya, 1990 Bates Doob, Christopher, Sociology: An Introduction, Canada: CBS College Publishing, 1985 Beck, Lois & Nikki Keddie, Women In The Muslim World, London & England: Harvard University Press, 1979, Edisi 2 Bennet, Andrew and Royle, Nocholas, Literature, Criticism and Theory, Longman: Pearson, 2004 Bhasin, Kamla, Memahami Gender (terjemah), Jakarta: Teplok Press, 2001 Brooks, Geraldine, Nine Parts of Desire; The Hiden World of Islamic Women, New York: United States of America, 1996 Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006 Chaer, Abdul, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003 Charles, Nickie, & Felicia Hughes-Freeland (editor), Practising Feminism, London & New York, 1996 Chrisler, Joan C., dkk., Lectures on The Psychology of Women, New York: McGraw Hill, 2003

274 Curry, Tim, dkk., Sociology for the Twenty First Century, New Jersey: Prentice Hall, 1997 Al-Dabbâsi, `Abd al-Rahmân ibn Ibrâhîm, al-Syi`r fi Hâdlirat al-Yamâmah hattâ Nihâyat al-`Ashr al-Umawi, Riyâdl: Maktabah al-Malik `Abd al-`Azîz, 1416 H De Beauvoir, Simone, Second Sex; Fakta dan Mitos, penerjemah Toni B. Febrianto, Surabaya: Pustaka Promethea, 2003, jilid I ------Second Sex; Kehidupan Perempuan (terjemahan), Surabaya: Pustaka Promethea, 2003, jilid II Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999 Djayanegara, Soenarjati, Citra Wanita Dalam Lima Novel Terbaik Amerika Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika, Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1995 ------Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, cet. 2 Djoko Damono, Sapardi, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984 ------, Politik Ideologi dan Sastra Hibrida, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999 Dlaif, Syauqi, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, (tp: Dâr al-Ma’ârif, 1965 Duby, Georges and Michelle Perrot, A. History of Women; From Ancient Goddesses to Christian Saint, (London: The Belknap Press Combridge, 2000), cet. 6, hal. 216 Eagleton, Mary, Feminist Literary Theory, Australia: Balckwel, 2005 Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama 2003 Eshleman, J. Ross dan Barbara G. Cashion, Sociology an Introduction, tp: Little, Brown and Company, tth Faidlullah, Fath al-Rahman, (kamus al-Qur’an), Indonesia: Maktabah Dahlan, tth

275 Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) Fâris, Nabîh Âmin wa Munîr al-Balabakî, al-`Arab wa al-Imbrâthûriyah al-`Arabiyah, Beirut: Dâr al-`Ilm li al-Hillâyîn, 1953 Farkhan, Muhammad, An Introduction To Linguistik, Jakarta: UIN Press, 2006 Fâ`ûr, `Ali Hasan (syarah), Dîwân Zuhair ibn Abî Sulmâ, Beirut: Dâr al-Kutub al- `Ilmiyyah, 1408 H/ 1988 M, cet. 1 Fayumi, Badriyah, dkk., Keadilan dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam), Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001 ------, dkk., Isu-isu Gender Dalam Islam, Jakarta: PSW (Pusat Studi Wanita) UIN Syarif Hidayatullah, 2002, cet. 1 Fenster, Tovi (editor), Gender, Planing and Human Rights, London & New York, 1999 Genovese, Elizabeth Fox, Gender, Class and Power: Some Theoretical Considerations, Society for the History of Education, http://www.jstor.org/stable/493546 Graddol, David, & Joan Swann, Gender Voices, terjemah M. Muhith, Pasuruan: Pedati, 2003, cet. 1 Hamid, Ismail, Arabic and Islamic Literary Tradition, Kuala Lumpur: Tass Sdn Bhn, 1982 Al-Hamid, Abdullah, al-Syi`r al-Islâmi fi Shadr al-Islâm, (penerbit pribadi, 1980) Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 Handayani, Trisakti, dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Malang: UMM Press, 2002, cet. 1 Al-Hâsyimi, Ahmad, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’, (Indonesia: Maktabah Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1379 H/ 1960 M Al-Hâsyimi, Ahmad, Jawâhir al-Adab fi Adabiyât wa Insyâ wa Lughât al-‘Arab, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1978 M / 1398 H Al-Haufi, `Abd al-Salâm, Dîwan al-Khansâ, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1405 H/1985 M

276 Hellwig, Tineke, In the Shadow of Change, terjemah Rika Irfati Farikha, Depok: Desantara, 2003 Hitti, Philip K., History of the Arabs, (terjemah), Jakarta: Serambi, 2006), cet. 1 Humm, Maggie, Ensiklopedia Feminisme, terjemah Mundi rahayu, Yogyakarta: Fajar Pustaka baru, 2002, cet.1 Husein Fadllullah, Muhammad, Qirâ’at Jadîdah li Fiqh al-Mar’ah al-Huqûqi, Beirut: Dâr al-Tsaqalain, 1417 H/ 1996 M Husein, Thaha, Fi al-Adab al-Jâhili, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1969 Husein, ibnu Muhammad ibnu Sa’id, al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, al-Mamlakah al- Arabiyah al-Su’udiyah: Jami’ah al-Imam Muhammad ibnu Su’ud al-Islamiyah, 1410 H Ibrâhîm, Rajab ‘Abd al-Jawâd, Fi al-Dilâlah wa al-Mu’jam, Kairo: Maktabah al-Adab, 2001 Ibrahim, Thaha Ahmad, Târikh al-Naqd al-Adabi ‘inda al-‘Arab min al-‘Ashr al-Jâhili ila al-Qarn al-Râbi’ al-Hijr, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989 M/1409 H. ‘Îd, Ahmad, al-Naqd al-Nisawi Zhahirah Taruddu ‘ala Ihmal Ibda’at al-Riwayat al- Arabiyat, culture @albayan.co.ae), Ahad, 21 Jumada al-Akhirah 1422 H/9 September 2001, edisi 87 Iqbal, Safia, Women and Islamic Law, Delhi: Adam Pulishers & Distributors, 1994 Iskandari, Ahmad al-, dan Mushtafa ‘Inani, al-Wasîth fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhuhu, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, tth Al-Iskandari, Ahmad, dkk., al-Mufashshal fi Târikh al-Adab al-‘Arabî, tp: Maktabah al- adab, tth `Izzat, Hibah Ra’uf, al-Mar’ah wa al-‘Amal al-Siyâsi; Ru’yah Islâmiyah, Virginia: al- Ma’had al-‘Âlami li al-Fikr al-Islami, 1416 H/1995 M `Izzudîn, Yûsuf, Fi al-Adab al-`Arabi al-Hadîts; Buhûts wa Maqâlât Naqdiyyah, Riyâdl: Dâr al-`Ulûm, 1401 H / 1981 M Al-Jamaila, al-Sayyid, Fitnah al-Nisâ, Beirut: Dâr al-Bihar, 1989

277 Jazairi, Abu Bakar Jabir, Al-Mar’ah al-Muslimah; al-Aqa’id, al-Ibâdat, al-Mu’âmalah, al-Adab, wa al-Akhlâq, Kairo: Dâr al-Kutub al-Salafiyah, 1406 H, cet. 2 Johnson, Doyle Paul, Teori sosiologi Klasik dan Modern, diindonesiakan oleh Robert M.Z. Laawang, Jakarta: Gramedia, 1988, cet. 2 Al-Kattani, Muhammad, al-Shirâ’ Baina al-Qadîm wa al-Jadîd fi al-Adab al-Arabi al- Hadîs, tp: Dar al-Tsaqafah, 1982 M/1402 H, cet. 1 Khafâjî, Muhammad Abd al-Mun`im, dan `Abd al-`Aziz Syaraf, Nahwa Balâghat Jadîdah, ttp: Maktabah Gharîb, tth Khalîf, Yûsuf, al-Syu’arâ al-Sha’âlîk fi al-‘Ashr al-Jâhili, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1966 ------, Dirâsat fi al-Syi`r al-Jâhili, Kairo: Maktabah Gharib, tth Kuper, Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Pt Raja Grafindo, 2000) Lajnah (Tim Penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, Libanon: Dâr al- Ma’arif, 1962, jilid 1-6 Lajnah (Tim Penulis), al-Ritsâ, ttp: Dâr al-Ma`ârif, tth Lapidus, Ira. M., Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999 Lemu, B. Aisha & Fatima Heeren, Women In Islam, London: Islamic Council of Europe, 1978 Lois & Ferdinand, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘A’lâm, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1992 Lubis, Nabilah, al-Mu’în fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhuhu, Jakarta: Kuliyyat al-Adab wa al-‘Ulûm al-Insâniyah Jâmiah Syarîf Hidâyatullah, 2005 Mahhana, Abd., Akhbâr al-Nisâ Li ibn al-Qayyim al-Jawzî (691-751 H), Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, tth Mahhana, Abd, Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, Beirut: Dâr al- Kutub al-Ilmiyah, 1990 M/1410 H Mahayana, Maman S., Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007 ------, 9 Jawaban Sastra Indonesia, Jakarta: Bening, 2005

278 Mahmud Khalil, Ibrahim, al-Naqd al-Hadits min al-Muhakah ila al-Tafkik, Oman: Dar al-Masira, 1424 H/ 2003 M Mernissi, Fatima, translated by Mary Jolake Land, Women and Islam; An Historical and Theological Enquiry, Oxford & Cambridge: Blackwell, 1991 Misbah, Ma’ruf, dkk, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Wicaksana, 1994 ------, Dîwan Tharfah ibn al-`Abd, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1407 H/1987 M Muhanif, Ali, Perempuan Dalam Literatur Islam Klasik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002 Muhammad Khamîs, Muhammad, Dirâsât fi al-Adab al-`Arabi al-Hadîts, ttp: Jâmi`ah al-Azhar, 2001 Murawwah, Muhammad Ridla, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M Muthahhari, Murtadha, The Right of Women In Islam, Tehran: Wofis, 1981 M / 1401 H Nababa, P.W.J., Sosiolinguistik; Suatu Pengantar, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993 Nâshif, Mushthafâ, Dr., Dirâsat al-Adab al-Arabî, Kairo: al-Dâr al-Qawmiyah, tth Nashiruddin, Mahdi Muhammad (syarah), Dîwan al-Ahthal, Beirut: Dâr al-kutub al- Ilmiyah, 1414 H/ 1994 M. Nashr, Muhammad Ibrahim, al-Naqd al-Adabi fi al-`Ashr al-Jâhili wa Shadr al-Islâm, Riyadh: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1398 H Nasucha, Ahmad Masruch, Kaum Wanita dalam Pembelaan Islam, Semarang: CV. Toha Putra, tth. Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 1986 Al-Nawaihi, Muhammad, al-Syi’r al-Jahili; Manhaj fi Dirâsatihi wa Taqwîmihi, Kairo: al-Dar al-Qaumiyah li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, tth. Nurdin, M. Amin, dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Press, 2006, cet. 1 Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Kajian Islam 2007/2008, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007

279 Pateda, Mansoer, Sosiolinguistik, Bandung: Angkasa, 1992 Pattie, David, The Complete Critical Guide to English Literature, London and NewYork: Routledge, 2000, cet. 1 Quthb, Muhammad, Manhaj al-Fann al-Islâmi, Kairo: Dâr al-Syurûq, 1408 H/ 1987 M Al-Rabî’i, Mahmûd, fi al-Naqd al-Syi’r, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1968 Ramet, Sabrina Petra, Gender Reversals & Gender Cultures, Routledge: London and New York, 1996 Rasyâd, Ahmad, Dîwan Hâtim al-Thâ’i, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1406 H/1986 M), cet. 1 Rasyîd al-`Uwayid, Muhammad, Min Ajli Tahrîr Haqîqi li al-Mar’ah, Kuwait: Dâr ibn Hazm, 1413 H/1993 M Roded, Ruth, Women in Islamic Biographical Collections, London: Lynne Rienner, 1994 Romesburg, James, Definitions of Feminist Literary Criticism, (hubcap.clemson.edu/~spark/f/c/flitcrit,html), link update in July 2003 ,Al-Sadawi, Nawal, & Arab Feminist Poetics, Men, Women, and God (s), Bakeley ِْ ِْ ِْ Los Angeles, dan London: California Press, 1995 ------, The Hidden Face of Eve, (terjemah), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 ------, al-Wajh al-`Ârî li al-Mar’ah al-`Arabiyah, Kairo: Dâr wa Mathâbi` al-Mustaqbal, 1994, cet. 3 Sa’îd Mubaidh, Muhammad Ilâ Ghair al-Muhajjabât Awalan, Daha: Dâr al-Tsaqâfah, 1988 Sallâm, Muhammad Zaghlûl, Târikh al-Naqd al-Adabî wa al-Balâghah, Iskandariyah: Mansya’ah al-Ma’ârif, 1996 Schaefer, Richard T., Sociology, New York: McGraw-Hill, 2003 Salim, Muhammad Ibrahim (tahqîq), Thabâ’i al-Nisâ’ wa mâ Jâ’a fihâ min ‘Ajâ’ib wa Gharâ’ib wa Akhbâr wa Asrâr li al-Faqîh Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abd Rabbah al-Andalusî Shâhib al-‘Aqd al-Farîd, Kairo: Maktabah al-Qur’an, tth

280 Sâlim, Ahmad Muhammad, al-Mar’ah fi Fikr al-`Arabi al-Hadîts, Mesir: al-Hai’at al- Mishriyat al`Âmah li al-Kitâb, 2003 Al-Sahamrânî, Ahmad, al-Mar’ah fi al-Târîkh wa al-Syarî`ah, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, 1410 H/1989 M. Sapir, Edward, Language, ttp: tp, tth Selden, Rahman, Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991, cet. 2 Semi, Atar, Kritik Sastra, Bandung: Angkasa, tth ------, Metode penelitian Sastra, Bandung: Angkasa, tth Shaikh, N.M., Women in Muslim Society, New Delhi: Kitab Bhavan, 1991 Siyaba’i, Muhammad al-, al-Mar’ah al-Jadîdah fî Markazihâ al-Ijtimâ’i, tp: Husnaini Husein, tth Soekanto, Soerjono, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, cet. 34 Al-Solh, Camillia Fawzi, & Judy Mabro, Muslim Womens; Choices, Religious belief and Social Reality, Oxford: Berg, 1994 Sudarno, M.Ed, drs. dan Eman A. Rahman, drs, Terampil Berbahasa Indonesia, (Jakarta: PT Hikmat Syahid Indah, tth Sudjiman, Panuti, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: UI-Press, 1990 Sugihasti, Wanita di Mata Wanita Perpspektif sajak-sajak Toeti Herawaty, Bandung: Nuansa, 2000 Suharto, Sugihastuti, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, cet. 2 Syâhîn, Kâmil al-Sayyid, al-Lubâb fi al-`Arûdl wa al-Qâfiyah, Mesir: Jumhûriyat Mishr al-`Arabiyah, 1414 H/ 1993 M Al-Syâyib, Ahmad, Ushul al-Naqd al-Adabi, tth: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, 1964 Syarbaini, Syahrial, dkk., Sosiologi dan Politik, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004

281 Thababah, Badawi, Dirasat fi Naqd al-Adabi al-Arabi, Kairo: Maktabah al-Enjelo al- Mishriyah, 1965, cet. 4 Tim penulis Pusat Studi Wanita (PSW), Pengantar Kajian Gender, Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah McGill Project/IISEP, 2003 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, 1995, edisi ke-2, cet. 5 Tim Penulis, al-Ritsâ, (ttp: Dâr al-Ma’ârif, tth Tong, Rosemarie Putnam, Feminist Thought, terjemah Aquarini Priyatna Prabasmoro, Yogyakarta: Jalasutra, 1998 Al-Umam, Chathîb, al-Muyassar fi `Ilm al-`Arûdl, Jakarta: Syirkah Hikmah Syahid Indah, 1992 Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001 Umar Nasif, Fatimah, Menggugat Sejarah Perempuan, terjemah dari Women In Islam: A Discourse in Rights and Obligations, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2001 ‘Uwain, Muhammad ibn ‘Abdillah al-, Shûrah al-Mar’ah fi al-Qishshah al-Su’ûdiyah, (Riyâdh: Maktabah al-Malik ‘Abd al-‘Azîz al-‘Âmah, 1423 H / 2002 M), hal. 14631-484 Vadet, Jean-Claude, (terjemah Ibrâhîm al-Kailâni), al-Ghazal `ind al-`Arab, Suriah: Wuzârat al-Tsaqâfah, 1985, cet. 2 Wâfî, `Alî Abd al-Wâhid, al-Lughah wa al-Mujtama`, Kairo: Dâr al-Nahdlah Mashra` al-Mathba` wa al-Nasyr, 1971 Waluyo, Herman J., Teori dan Apresiasi Puisi, ttp: Erlangga, 1995 Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, Beirut: Maktabah Lubnan, 1974 Wellek, Renne dan Austin Warren, Teori kesusastraan, Jakarta: Gramedia, 1995 Wolf, Naomi (terjemah Alia Swastika), Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan, Yogyakarta: Niagara, 2004 Yamani, Mai (editor), Feminisme & Islam, Bandung: Nuansa, 1996

282 Ya`qub, Emil Badî’, al-Mu’jam al-Mufashshal fi Ilm al-‘Arudh wa al-Qâfiyah wa Funûn al-Syi’r, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1991 M/1411 H Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, cet. 3 Yusuf Farran, Muhammad, Zuhair ibn Abi Sulma; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M Al-Zabî’, Muhammad ibnu Abd al-Rahmân, al-Adab al-Arabi wa Târikhuhu, al- Mamlakat al-Arabiyat al-Su’ûdiyah: Wuzârat al-Ta’lîm al-‘A’lâ, 1410 H Zahrân, al-Badrâwi, Muqaddimah fi ‘Ulûm al-Lughah, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1993, cet. 5 Al-Zauzani, Ibn `Abdillah al-Husein, Syarh al-Mu`allaqât al-Sab`, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah Zaidan’s, Jurji, History of Islamic Civilization, New Delhi: Kitab Bhavan, 1978 ------, al-`Arab Qabla al-Islam, tp: Dar al-Hilal, tth Al-Zayâdî, Muhammad Fathullah, Dr., Ta’ammulât fi Qadlâya al-Mar’at al-Muslimah, tp: Jami`yât al-Da`wat al-Islamiyât al-`Âlamiyah, 1430 H/2000 M. Zayyât, Ahmad Hasan al-, Târikh al-Adab al-Arabi, Kairo: Dâr al-Nahdhah, tth Zurzûr, Na`îm (syarah dan tahqîq), Dîwân al-Imâm `Ali, (Beirut: Dâr al-Kutub al- `Ilmiyah, 1316 H/ 1995 M)

283 DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Cahya Buana, lahir di desa Sirnasari kecamatan Agrabinta kabupaten Cianjur pada tanggal 30 Juni 1975 dari seorang ayah berprofesi guru dan ibu petani. SDN Sirnasari adalah pendidikan formal pertama yang dikecap oleh penulis antara tahun 1982-1988. Pada tahun yang 1988 penulis melanjutkan pendidikan tingkat menengah di MTsN Tanggeung yang masih terletak di kabupaten Cianjur dan menjadi alumni pada tahun 1991. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Daarul Ulum Bantar Kemang Bogor selama empat tahun dan menjadi alumni pada tahun 1995. Pada tahun 1995, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Bahasa dan Sastra Arab dan menyelesaikan studi selama 8 semester atau tepatnya hingga tahun 1999 dengan predikat terbaik fakultas. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan ke tingkat Magister (S2) di Pascasarjana UIN Syairif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab hingga tahun 2003. Pada tahun 2003 pula penulis mulai mengajar sebagai tenaga honorer di Fakultas Adab dan Humaniora dan pada akhir tahun 2003 diangkat menjadi CPNS di fakultas yang sama. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi Doktoral (S3) di Sekolah Pasacasarja UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi yang sama selama 5 semester dan lulus pada tahun 2009 sebagai mahasiswa tercepat studi. Saat ini penulis aktif sebagai salah seorang pengajar dan Sekretaris Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

284