KEMBALI KE PESANTREN, KEMBALI KE KARAKTER IDEOLOGI BANGSA

Ahmad Baso Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI Jl. Latuharhary No. 4B email: [email protected]

Abstrak: Tradisi keulamaan di erat kaitannya dengan proses pembentukan identitas kebangsaan. Tulisan ini mengusulkan beberapa langkah untuk mengangkat kondisi bangsa dari keterpurukan melalui upaya kembali ke pesantren. Orang-orang pesantren harus percaya diri bahwa mereka memiliki sejarah, dan bangsa ini berhutang kepada mereka karena darma bakti pesantren bagi kelangsungan hidup bangsa ini, masa lalu, masa kini dan juga di masa mendatang. Kembali ke pesantren juga berarti orang-orang pesantren mengisi kembali serta memperkukuh pilar-pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Salah satu langkahnya dengan menggalakkan kembali program kaderisasi santri di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, intelektualitas, dan hukum. Kembali ke pesantren juga bisa dipahami sebagai wadah gerakan ulama untuk pembenahan umat dan upaya reformasi total terhadap segenap agenda bangsa yang sudah melenceng jauh dari cita-cita kebangsaan.

Abstract: Ulama tradition in Indonesia is closely related to the formation of national identity. This paper proposes several steps to improve the condition of the nation through returning to pesantren. Pesantren has to be proud because it has a great history, and the nation has a historical debt for good deeds (devotion) of pesantren for the national survival in the past, present, and future. Returning to pesantren means how the people of pesantren replenish and strengthen the pillars of nation: Pancasila, the Constitution 1945, NKRI, and Unity in Diversity by encouraging regeneration programs for students of pesantren in the field of politic, economic, culture, intellectual, and law. Ulama and pesantren should reform national agenda which have gone astray far from the ideals of nationhood.

Kata Kunci: Pesantren, tradisi, ideologi, ulama

Ahmad Baso

Pendahuluan memimpin bangsa ini.2 Apalagi dalam alam Indonesia yang merdeka dan “Anak ambtenaren, senang pakaian, bersatu. Contoh kalangan orang-orang ideologis kosong ...” Banten yang santri yang taat kepada ulama adalah contoh ekstrim bagaimana ---- Ejekan kaum santri di Banten sikap sosial tersebut ditunjukkan dengan tahun 1940-an kepada anak-anak tindakan revolusi sosial: para pemimpin priyayi anak sekolahan yang masuk dan calon-calon pemimpin kader Belanda tentara Peta di masa Pendudukan (terutama dari keluarga besar Jepang.1 Djajadiningrat) dicopot dari kekuasaan, dari jabatan wedana dan bupati dalam Kembali ke Pesantren sebuah revolusi rakyat di tahun 1945. Bahkan ada yang dibunuh karena Apa arti kembali kepada pesantren? ternyata menjadi perpanjangan dari Pertama-tama tentu adalah kembali kekuasaan jahat penjajah Belanda, seperti kepada ideologi bangsa kita, Pancasila, Raden Soekrawardi, keponakan Hilman UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Djajadiningrat, Wedana Anyer, dan R. T. Ika; serta kembali kepada akar-akar Hardiwinangun, Bupati Lebak, yang kebangsaan kita: kemandirian, kemer- merupakan kader binaan Ch. O. van der dekaan, adaptabilitas yang sangat tinggi, Plas.3 solidaritas yang kokoh, dan berdikari dengan pilar kesederhanan, kanaah, 2Dalam otobiografi seorang Bupati Serang di masa keikhlasan, dan etos kerja. kolonial, yang mengingat kembali pengala- Saya sengaja mengutip di atas mannya semasa menjadi santri di sebuah salah satu sikap kalangan santri di masa pesantren di Karundan, Pandeglang, Banten, tahun 1890-an, disebut bagaimana kalangan santri dulu yang pernah berjuang gigih selain belajar Tashrifan dan Matn al-Ajurumiyah melawan penjajah, baik Kompeni Belanda tentang gramatika Bahasa Arab, juga belajar maupun fasisme Jepang. Sikap orang- tentang hidup sederhana, disiplin, patuh kepada orang pesantren yang mengejek anak- guru, kebersamaan dan juga sikap anti anak ambtenar, anak-anak priyayi, anak- pemerintah Belanda dan kebencian terhadap pegawai-pegawai dan para ambtenarnya. P. A. anak sekolahan didikan Belanda, dengan Achmad Djajadiningrat, Memoar Pangeran Aria menyebut “ideologi [mereka] kosong”. Achmad Djajadiningrat (Jakarta: Paguyuban Dengan ejekan ini, bahkan yang Keturunan P.A. Achmad Djajadiningrat, 1996 ditunjukkan dalam sebuah sikap kolektif [1936]), hlm. 25-8, 437-8. Masa itu sudah anti kolonial, orang-orang pesantren menunjukkan bahwa orang-orang pesantren adalah orang-orang yang paling siap dalam percaya bahwa orang-orang Indonesia menghadapi kolonialisme, dan bukan malah yang dikader dalam sekolah-sekolah meminta-minta atau bergelatungan di ketiak Belanda tidak akan bisa dipercaya untuk penguasa-penguasa kolonial. 3Williams,“Banten”, hlm.70 dan 80. Belakangan, kalangan santri pun tahu, ternyata ada juga anak- anak Indonesia kader Belanda yang menerima 1 Michael C. Williams,“Banten: Rice Debts Will Be pinangan van der Plas, bahkan menerima imbalan Repaid With Rice, Blood Debts With Blood”, ribuan gulden. Seperti Amir Syarifuddin dan dalam Audrey K. Kahin (editor), Regional kader-kader sosial-modernisnya, yang kemudian Dynamics of The Indonesian Revolution: Unity From bersekutu dengan Sjahrir, pendiri PSI. Lihat Diversity (Honolulu: University of Hawaii Press, Benedict R. O’G. Anderson, Java in a Time of 1985), hlm. 78. Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946

2 | KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012

Kembali ke Pesantren, Kembali ke Karakter Ideologi Bangsa

Saya kira bukan santri Banten saja ala Barat, mereka berdua justru datang yang membenci anak sekolahan Belanda. membela hakikat pengajaran pesantren.4 Tokoh nasionalis seperti Dokter Soetomo, Soetomo, yang pernah nyantri di salah seorang pendiri Boedi Oetomo, dan sebuah pesantren di Surabaya, meng- Ki Hajar Dewantara (sebelumnya anggap pesantren sebagai wahana bernama Suwardi Suryaningrat), pendiri penggemblengan rakyat dan pemba- Perguruan Taman Siswa, juga punya ngunan mental populisme-kebangsaan. pendirian yang sama. Dalam satu “Sekolah-sekolah pemerintah [kolonial] polemik kebudayaan di tahun 1930-an, di hanya menghasilkan pegawai, dan hanya masa konsolidasi penguasa kolonial ditujukan untuk mengasah otak saja, Belanda pasca-pemberontakan komunis serta menciptakan manusia-manusia dan kebangkitan organisasi politik yang hanya memusatkan perhatian pada radikal anti penjajahan, Dokter Soetomo diri-sendiri (egoistik) dan yang saling dan Ki Hajar Dewantara tampil membela bersaing untuk mendapat secupak nasi”, pesantren di tengah serangan para kata Soetomo dalam Kongres Pendidikan pendukung sekolah kolonial. Di satu Nasional yang pertama pada Juni 1935.5 kubu, pendukung sekolah modern- Menurutnya, pendidikan modern- kolonial, para pejabat kolonial dan kolonial telah mengasingkan anak didik intelektualnya, seperti Sutan Takdir bangsa Indonesia dari masyarakatnya, Alisjahbana, Sutan Sjahrir, Armin Pane, serta mencetak manusia-manusia yang dan kelompok Pujangga Baru, mengampa- tidak peduli dengan bangsanya sendiri. nyekan pencerdasan anak-anak bangsa Dalam satu tulisannya, Soetomo melalui sekolah-sekolah modern untuk juga mengungkap, untuk mengubah mencintai pemerintah kolonial. Kubu ini keadaan yang menyedihkan ini, harus menyebut pesantren sebagai sekolah dimulai dari tingkat desa. Semangat feodal, tradisional, dan tidak sesuai sekolah rakyat haruslah demokratis dengan perkembangan zaman. Sementara sebagaimana yang dikehendaki oleh di kubu lainnya, seperti Soetomo dan Ki Islam. Sang guru haruslah menjadi kiai di Hajar, meski pernah mengenyam sekolah tempatnya, sebab tempat “di mana jiwa yang egoistik dapat diubah menjadi jiwa (Jakarta & Singapore: Equinox Publishing, 2006 yang bersedia untuk berkorban bagi [1972]). Kita juga baca dari cerita Rosihan Anwar kepentingan rakyat”, tulis Soetomo. dalam Kisah-kisah Jakarta Setelah Proklamasi: “Di Sementara Ki Hajar Dewantara menyebut perwira-perwira Inggris yang pertama pesantren sebagai tipe ideal pendidikan datang ke Jakarta terdapat orang-orang Belanda. nasionalis.6 Bahkan karakter kebangsaan Ch. O. Van der Plas pernah jadi Gubernur Jawa Timur, pejabat Belanda yang pintar mengadu domba orang Indonesia, tahu-tahu sudah ada di 4Lihat Achdiat K. Mihardja (pengumpul), Polemik Jakarta. Ia mengadakan pertemuan diam-diam Kebudayaan, cet. 4 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986) dengan beberapa cendekiawan Indonesia”. 5 Paul W. van der Veur (ed.), Kenang-kenangan Rosihan Anwar, Kisah-kisah Jakarta setelah Dokter Soetomo (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), Proklamasi (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977), hlm. 26. hlm. 35-36. Tentang van der Plas, lihat William Frederick, 6 Kenji Tsuchiya, Demokrasi dan Kepemimpinan: “The Man Who Knew Too Much: Ch. O. van der Kebangkitan Gerakan Taman Siswa, diterjemahkan Plas and the Future of Indonesia, 1927–1950”, in oleh H.B. Jassin (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. Hans Antlöv and Stein Tønneson(editor), Imperial 153-4. Lihat juga Tim Penulis, Taman Siswa 30 Policy and South East Asian Nationalism Tahun 1922-1952 (Yogyakarta: Madjelis Luhur (Chippenham: Curzon, 1995). Taman Siswa, 1952).

KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012 | 3

Ahmad Baso

Taman Siswa menghubungkannya penghargaan terhadap leluhur, para dengan dunia pesantren. Dalam banyak ulama,r para pejuang yang berjuang kasus para aktifis pesantren adalah juga untuk bangsa ini serta para pendahulu aktifis Taman Siswa. Demikian pula yang berjasa. Pesantren membantu anak- sebaliknya.7 Di Jawa Timur, basis NU dan anak bangsa memelihara segenap memori pesantren, Taman Siswa lebih banyak kolektif bangsa ini dari masa lalu tentang diterima dibandingkan di Jawa Tengah kejayaannya, tentang segenap pengala- dan Yogyakarta di mana sekolah-sekolah mannya berhadapan dengan bangsa- Muhammadiyah dominan. Bahkan ada bangsa asing, hingga membantu mereka tokoh ulama pesantren di Aceh yang mengingat kembali perjuangan orang- mendirikan sekolah Taman Siswa.8 orang yang berkorban untuk bangsa dan Mengapa Pendidikan Pesantren Ideal tanah air ini. Mekanisme untuk itu untuk Pendidikan Kebangsaan Kita? dilakukan dengan memelihara sejumlah Ciri khas pesantren dengan tradisi, ritual, upacara dan segenap tradisinya yang kini terpelihara adalah praktik-praktik keagamaan, kesenian dan berkebudayaan yang menghubungkan 7 Seperti pengalaman aktifis NU di Medan era satu generasi ke generasi berikutnya, dari 1930-an seperti dinarasikan oleh Daoed Joesoef satu komunitas ke komunitas lainnya, dalam bukunya, Emak (Jakarta: Aksara Karunia, sehingga solidaritas berbangsa, persatuan 2003), yang menceritakan kembali pandangan- pandangan keagamaan-sosial-politik ibunya, dan kebersamaan di antara komponen ayahnya, dan juga pamannya, yang merupakan bangsa ini jadi terjaga. aktifis NU di Medan (yang semuanya berguru Selain itu, tradisi-tradisi ini juga kepada tokoh dan pengurus NU Medan, Syekh dipelihara oleh pesantren karena Muhammad Zen), dan juga aktifis pergerakan dan kedekatan tradisi seperti ini dengan aktif di Taman Siswa, sehingga pamannya, Pak Leman, sempat dibuang oleh kolonialis Belanda penghormatan terhadap tanah, air, laut, ke Boven Digul, Papua. hutan, gunung dan sumber-sumber daya 8Seperti yang dtunjukkan oleh seorang ulama alam yang dimiliki Nusantara ini. dayah terkemuka di Aceh, Teungku Syekh Abdul Selain itu, pesantren juga menjadi Hamid Samalanga (wafat 1968), pengasuh Dayah wadah kaderisasi anak-anak bangsa Tanjungan Samalanga, Aceh. Dayah ini sudah dirintis sejak masa Sultan Iskandar Muda di abad untuk menjadi pemimpin di masa depan. ke-17. Pada 1933 teungku nasionalis ini Calon-calon pemimpin bangsa yang mendirikan Perguruan Taman Siswa di Jeunien, dikader untuk menjadi pelindung, Aceh Utara, tempat kelahirannya. Hubungan penjaga dan pemelihara tradisi-tradisi antara kehidupan dayah dengan kalangan rakyat berkebudayaan bangsa ini. Pangeran dipupuk dalam sekolah ini. Pada usia 18 tahun telah menjadi anggota SI cabang Samalanga. Diponegoro misalnya, ketika dikader di Dalam penggerebekan terhadap para pelaku Pesantren Mlangi Yogyakarta yang pemberontakan terhadap Belanda di tahun 1920- diasuh oleh Kiai Taftajani, bukan hanya an, Teungku Syekh Abdul Hamid Samalanga diajar pelajaran dasar-dasar keagamaan, sempat lolos dan berangkat ke Mekah menuntut tapi juga warisan peradaban leluhur ilmu pada 1926. Sekembalinya ke Tanah Air, ia langsung membentuk wadah pengkaderan bangsa ini, dari Sriwijaya hingga nasionalisme melalui pendidikan kebangsaan, Majapahit, dari karya-karya Pararaton, mengasuh dayah atau pesantren, mendirikan Tajus Salatin, Serat Ambiya hingga Kitab madrasah dan juga sekolah Taman Siswa. Lihat A. Hasjmy, Ulama Aceh: Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamaddun Bangsa (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 155-66.

4 | KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012

Kembali ke Pesantren, Kembali ke Karakter Ideologi Bangsa

Tohfah.9 Mereka juga dikader untuk kehadiran penjajah dan sarjana-sarjana mengerti dan mengenal keadaan rakyat kolonial lainnya yang membuat mereka jelata, untuk bisa berkomunikasi dengan terasing dari pesantren, seperti cara mereka, dan juga untuk mengikuti cara Snouck mengkader anak-anak keluarga hidup para ulama yang dekat dan Djajadiningrat, Haji Hasan Mustafa, serta merakyat dengan penduduknya.10 cara F. Holle mengkader Raden Haji Demikian pula para kaum menak Muhammad Moesa dari Limbangan dan anak-anak ningrat di Priangan dan di (Garut), dan cara Kompeni mengkader Banten, dikader di pesantren untuk bisa anak-anak Keraton dan mengenal tradisi bangsanya yang Yogyakarta dan sekian anak-anak ningrat Bhinneka Tunggal Ika itu. Mereka juga di Nusantara untuk mentradisikan dikader di pesantren untuk menjadi “agama” dan “adat” mereka yang “asli” populis, menyatu dan menghayati dan “otentik” sebagai imbangan dan kehidupan rakyatnya. Tidak jarang ada di bahkan lawan terhadap yang disebut antara mereka yang bercita-cita ingin “Islam”-nya orang-orang pesantren.13 menjadi ulama.11 Contoh tipikal dari Pesantren juga menjadi pusat keluarga kaum menak yang santri itu pemeliharaan berbagai tradisi keilmuan adalah Raden Wiranatakusumah yang yang diproduksi oleh anak-anak bangsa mengajari tokoh-tokoh pendiri bangsa ini ini. Mulai dari tradisi kesusastraan untuk dekat, mengenal dan bergaul Nusantara14 hingga tradisi ilmu-ilmu dengan para ulama di Priangan.12 Justru sosial pesantren.15

9 Lihat Peter Carey, “Waiting for the ‘Just King’: orang menak yang santri, yang pernah menjabat The Agrarian World of South-Central Java from sebagai Bupati Cianjur dan kemudian Bupati Giyanti (1755) to the Java War (1825-30)”, Modern Bandung. Lihat R. Soeharto, Saksi Sejarah: Asian Studies, vol. 20, no. 1, (1986), hlm. 59-137. Mengikuti Perjuangan Dwi-Tunggal (Jakarta: 10 Pangeran Diponegoro pernah menuturkan, Gunung Agung, 1982), hlm. 14; Lihat juga AA. “Untuk meniru apa yang dilakukan oleh para Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi ulama, kami kerapkali pergi ke Pasar Gede, Hasjim Ning (1989). Imogiri (Jimatan), Guwa Langse dan Selarong. 13Ini yang disinyalir oleh Ki Hajar Dewantara Apabila ke Pasar Gede dan Imogiri, kami biasa sebagai salah satu skema divide-et-impera favorit berjalan kaki. Tetapi apabila ke Guwa Langse dan penjajah terhadap segenap potensi persatuan Selarong, kami naik kuda dengan banyak bangsa Indonesia, seperti dikatakannya: “Di pengiring. Di kedua tempat terakhir ini, kami zaman Belanda kita dipecah-pecah secara sering menolong petani menuai atau menanam sistematis, hingga daerah yang satu dijauhkan padi. Memang semestinya para pembesar dari daerah yang lain. Usaha memajukan menyenangkan hati rakyat kecil”. Lihat Sartono kebudayaan oleh Belanda itu sungguh pun sudah Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan diadakan, namun nampak jelaslah maksudnya, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, yaitu untuk ‘memurnikan’ kebudayaan- vol. 4, edisi 2, (Jakarta: Balai Pustaka & kebudayaan daerah-daerah masing-masing. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), Untuk itu, didirikan Java-Instituut, di samping ada hlm. 169. Batak-Instituut, ada pula Bali Instituut dan lain- 11Nina Herlina Lubis, Banten dalam Pergumulan lain.”Ki Hadjar Dewantara, Kebudayaan, Buku 2, Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara (Jakarta: LP3ES, (Yogyakarta: Taman Siswa, 1994), hlm. 98. 2004); dan, Idem, Kehidupan Kaum Menak Priangan, 14 Lihat T.E. Behrend, Serat Jatiswara (1995); Pardi, 1800-1942 (Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan et. al., Sastra Jawa (1995); Ahmad Baso, “Sastra Sunda, 1998). Pesantren: Antara Kanonisasi dan Islamisasi”. 12Sukarno misalnya mengenal seorang ulama Naskah, 2007; Nancy K. Florida, Writing the Past, besar Priangan, Kiai Sukanegara, dari Cianjur Inscribing the Future (1995); Departemen Selatan, berkat anjuran RAA Wiranatakusumah, Pendidikan dan Kebudayaan, Sawerigading (1985);

KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012 | 5

Ahmad Baso

Dalam sejarahnya tradisi kesusas- yang dipenuhi tema-tema moralitas dan traan yang muncul dan dipelihara kepahlawanan. Meski beragam, tapi pesantren ditulis menggunakan huruf mengandung atau melukiskan kenyataan Arab pegon, dengan beragam bahasa sosial, bahkan terkesan realis, yang Nusantara. Kandungannya bermacam- melibatkan tingkah laku, norma, atau macam, mulai dari cerita roman, sejarah, nilai-nilai sosial kehidupan berma- dan realitas sosial, hingga cerita-cerita syarakat dan berbudaya pada umumnya. Tampilnya pesantren sebagai tempat persemaian tradisi kesusastraan, Dédé Oetomo, “Serat Ang Dok: A Confucian Treatise in Javanese”. Archipel (vol. 34, 1987); menunjukkan bahwa pesantren bukan Claudine Salmon, “Le Sjair de l‘’Association hanya tempat belajar, tapi juga lembaga chinoise’ de Batavia (1905)”. Archipel (vol. 2, 1971). kehidupan dan kebudayaan. Pada abad 15 Tradisi imu-ilmu sosial kaum pesantren dimulai ke-17 dan ke-18, pesantren menjadi dari perspesi tentang karakter umum dari tempat para pujangga dan sastrawan penjajah dan kaki-kaki tangannya. Buku-buku kaum santri, mulai dari Syekh Ahmad Chatib menghasilkan karya-karya sastra. Minangkabau, guru Hadlratus Syekh KH Hasyim Pujangga-pujangga keraton, seper- Asy'ari, berjudul Dlaw al-Sirâj, syair dan hikayat- ti Yasadipura I, Yasadipura II, dan Rang- hikayat tentang Perang Sabil yang ditulis oleh gawarsita, adalah santri-santri pesantren ulama-ulama Aceh, hingga buku KH Saifuddin yang tekun mengembangkan karya-karya Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren dan Berangkat dari Pesantren, dibuat satu bab tentang sastra dalam berbagai bentuk seperti “Memetakan wajah-wajah Kaki Tangan Penjajah”. kakawin, serat dan babad. Sumber inspirasi Di sana tidak akan Anda jumpai teori tentang mereka bukan hanya kitab kuning, kebudayaan besar berhadapan tradisi kecil, melainkan juga pengalaman sejarah dikotomi kota-desa, soal buta huruf, soal rakyat bangsa ini sendiri sebagaimana dialami miskin, atau tentang mentalitas konservatif dan tradisional atau kebudayaan primitif orang-orang oleh kerajaan Hindu, Budha, dan zaman desa. Sebagaimana halnya tradisi ilmu-ilmu sosial Wali Songo. Yasadipura I (wafat 1801) Marxian dimulai dari persepsi tentang musuh misalnya adalah pujangga istana dari mereka, kapitalisme (Marx memulainya dari Keraton Surakarta. Ia pernah nyantri di perpsektif Hegelian tentang tesis-antitesis- sebuah pesantren di Kedu, Bagelen. sintesis), pergumulan orang-orang pesantren dengan penjajahan, dimulai dari konsolidasi tesis- Pesantren ini saat itu dikenal nya, yakni dari tradisi pesantren. Dari tradisi ini, mengajarkan kesusastraan Jawa maupun ilmu-ilmu sosial menginspirasi sebuah aksi, Arab. praksis, dua lapis. Lapis pertama, ideologi dan Dalam satu karya, Serat Cabolek, lapis kedua praksis-gerakan. Sehingga lahirlah Yasadipura menggambarkan seorang pesantren bergerak, seperti pengalaman sejumlah pesantren yang dekat dengan pabrik-pabrik gula ulama dari Kudus, pesisir Jawa Tengah, di masa kolonial. Pergaulan dekat itu akan yang menunjukkan keahliannya dalam memunculkan ilmu orang-orang pesantren membaca dan menafsirkan naskah- tentang ekonomi-politik, tentang pabrik gula, naskah Jawa Kuno di hadapan para tentang logika kapitalisme global, tentang priyayi Keraton Surakarta. Cakupan perdagangan, tentang ketimpangan dalam ekonomi kolonial, tentang pengalaman kaum bacaannya sedemikian luas, dari naskah- buruh yang terlibat dalam ekonomi kapitalisme, naskah Jawa Kuno, Serat Dewaruci hingga tentang menyiasati cara bagaimana mengambil Suluk Malang Sumirang. keuntungan material dari industri tersebut, Karya-karya pesantren berkisar tentang bagaimana melawan eksploitasi, hingga pada cerita-cerita rakyat, dan juga cerita- bagaimana melakukan revolusi dalam kepemilikan industri-industri tersebut. cerita Timur Tengah dan India yang

6 | KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012

Kembali ke Pesantren, Kembali ke Karakter Ideologi Bangsa

sudah dimodifikasi sesuai dengan atau akhlak. Sastra pesantren juga kebutuhan lokal Islam Nusantara. Seperti mengintegrasikan tradisi ke-syuyukhiyah- Tjarita Ibrahim (1859), Tjarita Nurulqamar, an (jejer pandita) sebagai bagian penting dan Hibat (1881) ditulis dalam Bahasa dari lakon dalam karya-karya sastra Sunda dengan aksara Arab dalam bentuk klasik. Seperti penulisan kembali Hikayat puisi. Karya-karya Raden Mohammad Iskandar Dzulqarnain dari Timur Tengah Moesa (kepala penghulu Garut dan ke dalam berbagai versi bahasa pernah nyantri di satu pesantren di Nusantara, Melayu, Jawa, dan bahasa- Purwakarta) berjumlah 17 naskah berba- bahasa lokal Nusantara lainnya, dengan hasa Sunda pada 1860-an. Yang terkenal memasukkan figur Nabi Khaydir sebagai di antaranya adalah Wawacan Panji guru. Wulung. Bahan-bahannya diperoleh dari Sastra pesantren juga mengung- pusat-pusat pesantren di sekitar daerah kapkan diri dalam karya-karya Priangan, Jawa Barat. Demikian pula etnografis-kesejarahan atau kisah-kisah karya-karya Penghulu Haji Hassan perjalanan yang merekam tradisi-tradisi Musthafa (1852-1930). Dari sekitar 49 masyarakat setempat dalam bentuk buah karyanya, kebanyakan diperoleh sastra. Seperti dalam Poerwa Tjarita Bali, dari tradisi kesastraan pesantren. Ciri ditulis pada 1875 dalam bahasa Jawa, khas kesusastraan pengulu-kepala ini ada oleh seorang santri di Pondok Sepanjang, pada bentuk-bentuk bahasa yang Malang, bernama Raden Sasrawijaya, asal berbentuk puisi, tapi penuh lelucon, Yogyakarta. Pengetahuan tentang “kota- plastis tapi orisinal. Selain itu, ia juga kota, adat-istiadat pembesar, dan orang mengintegrasikan khazanah fiqh dan kebanyakan yang tinggal di desa-desa” sufisme pesantren ke dalam adat ini kemudian dituangkan sebagai bagian kebiasaan orang Sunda dalam bentuk dari kegiatan bersastra (maguru ing sastra) simbol-simbol pemaknaan yang akrab. orang-orang pesantren. Pada karya modern yang sudah Sastra pesantren juga ber- menggunakan huruf Latin, ada Pahlawan kontribusi dalam memperkaya bahasa- ti Pesantren (Pahlawan dari Pesantren). Ini bahasa Nusantara dengan khazanah adalah sebuah roman dalam Bahasa kosa-kata dan peristilahan berkosmologi Sunda, yang menceritakan perjuangan pesantren. Bahkan, kekayaan tersebut para santri menghadapi kolonialisme membantu penerjemahan karya-karya Belanda karya Ki Umbara (Wiredja sastra dari luar. Penerjemah-penerjemah Ranusulaksana) (1914-2004) dan S.A. Tionghoa misalnya menggunakan kosa- Hikmat (Soeboer Abdoerrachman) (1918- kata “santri”, “ngaji”, “koran”, “langgar”, 1971). dst, untuk menerjemahkan satu karya Sastra pesantren juga menunjuk- sastra klasik Cina Daratan, Serat Ang Dok, kan fungsi sosial. Fungsi sosial sastra ke dalam Bahasa Jawa dari abad ke-19. pesantren ini ditunjukkan dari cara kaum Demikian pula di awal abad ke-20. santri melakukan penggubahan, tulis- Perhatikan bait terakhir Boekoe Sair Tiong ulang, atau penambahan dan penyisipan, Hwa Hwe Kwan koetika Boekanja Passar untuk disesuaikan dengan cita-cita sosial- Derma (1905), campuran bahasa Melayu, keagamaan kaum pesantren. Selain itu, Hokian, dan juga bahasa khas pesantren: sastra pesantren juga berfungsi peda- “Sekalian Hwe Kwan poenja gogis, yakni sebagai pengajaran etika alamat/Terpandang Kwi-khi sebagi

KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012 | 7

Ahmad Baso

djimat/Nabi Kong Hoe-tjoe jang kita sastra dan seni budaya Indonesia pada hormat/Allah poedjiken dengan slamat.“ umumnya, yang selama ini cenderung Terasa kuat sekali dalam syair ini satu warna, satu alur dan satu selera, pengaruh kesusastraan pesantren— sehingga kelihatan monoton. Watak bahasa plus pandangan dunia mereka— moral-religius sastra pesantren sangat dalam kesadaran orang-orang Tionghoa dibutuhkan untuk memberikan spirit yang waktu itu sedang menyambut era baru bagi bangsa ini untuk berpegang kebangkitan kebangsaan mereka. teguh pada nilai-nilai kebenaran, Kini muncul nama-nama penulis keadilan dan kejujuran. dan sastrawan asal pesantren yang sangat kuat menonjolkan peradaban dan Karakter Pendidikan Kebangsaan kejiwaan kaum santri, seperti pada karya- Pesantren karya D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Tradisi pesantren adalah tradisi Noor, atau karya-karya novelis Ahmad hubungan antara guru dan murid. Sang Tohari. Belakangan juga muncul KH. guru tidak hanya melatih keterampilan Mustofa Bisri (Gus Mus) yang sang murid, tapi juga membentuk memperkaya gelanggang puisi Indonesia. kepribadiannya. Karena praktik latihan Namun, di tengah serbuan sastra dan proses berguru itu tidak dilakukan Indonesia modern dan kekuatan sastra dengan cara duduk di dalam kelas koran yang didominasi selera estetika dengan jadwal-jadwal pasti, maka sastra perkotaan, karya-karya kaum pesantren juga merupakan sebuah santri masih marjinal. Keberadaan komunitas, sebuah proses bermasyarakat, mereka, terutama penulis-penulis muda, sebagai sebuah poses menjalani menjadi resmi setelah mendapatkan kehidupan. Karena di sana latihan dan legitimasi pula baik dari segi tema, alur proses berguru berlangsung secara cerita hingga bahasa yang digunakan perlahan dalam bentuk magang atau dalam arus sastra kanonik. Karya-karya nyantrik, menjadi asisten dan pembantu Abidah el-Khaliqiy misalnya, meski pribadi. menampilkan latar pesantren, tapi masih Kalau sebuah proses berma- kuat dorongan ke arah tema utama, syarakat dan menjalani hidup ini (sebagai individualisasi maupun modernisasi inti dari pemahaman keagamaan kosmologi pesantren. kalangan pesantren, yang mengamalkan Kreativitas jadi menurun karena ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah bergesernya di satu sisi fungsi dan peran (Aswaja), hal itu berjalan dengan pesantren, serta situasi yang sendirinya, tanpa ada pengarahan dari melingkupinya. Sementara di sisi lain, sang guru. Guru tidak memberitahu apa menjadi korban diskriminasi oleh yang harus dikerjakan, tapi dia menegur standar-standar umum kesusastraan baik kalau ada kesalahan [sebagaimana halnya standar tema dan bahasa. Maka tentu saja fungsi sang ideolog]. Kaum pesantren, pengembangan sastra pesantren setidak- bagaikan musisi jazz saling berinteraksi nya harus mampu melepaskan diri dari dan kemudian membentuk satu kesatuan belenggu tersebut. Di sisi lain kehadiran dalam proses tanpa ada pengarahan dan sastra pesantren sangat dibutuhkan, rencana sebelumnya. Semuanya dilaku- seperti yang diperankan di masa lalu, kan secara bersama dalam proses. Ia terus untuk memberikan warna lain pada berproses, sehingga praktik keagaman

8 | KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012

Kembali ke Pesantren, Kembali ke Karakter Ideologi Bangsa

dan kebudayaan mereka tidak pernah diterima sebagai kesimpulan. Bukan berhenti. Tradisi dan praktik kebudayaan untuk mengajak orang berbalik langkah mereka ―dalam lingkup tradisi atau mengingkari diri, tapi untuk pesantren― lahir setiap hari, setiap kali mengaktualisasikan segala keyakinan- dipentaskan dan dipanggungkan, keyakinannya setiap saat. dihadirkan, dan diinvensi. Segalanya Dalam konteks itu, sang kiai hadir menjadi baru dan aktual, karena secara sebagai seorang pemimpin. Ke- spiritual ada usaha untuk melakukan syuyukhiyah-an lebih merupakan adaptasi, aktualisasi, interpretasi. Dalam pengaturan strategi. Dalam mengatur tradisi pesantren dikenal tiga unsur strategi bukan hanya diperlukan akal, pokok basisnya: desa, kitab kuning, dan tapi juga insting. Ada strategi bahasa, masjid-pondok [dalam tradisi Bali ada strategi ruang, strategi visual, strategi desa, kala, dan patra; tempat, waktu, dan psikologi, dan juga strategi manajemen, suasana; demikian pula di Jawa, empan, bahkan juga strategi menyerang –se papan, dan winiraos], yang merupakan muanya sangat dituntut. Ini menjelaskan prinsip panutan hidup, dan sekaligus mengapa pesantren kemudian mengajar- merupakan jiwa kebudayaannya. kan santri-santri olah bela diri dan ilmu Pengembaraan spiritual itulah kanuragan. yang diperlukan seorang guru, kiai, yang Dalam tradisi pesantren, seorang menggelar pendidikan dalam sebuah kiai adalah seorang jenderal perang yang tradisi dan komunitas. Di tangan sang memiliki kekuasaan sangat besar dan tak guru, pengembaraan itu tidak menjadi terbantah dalam proses produksi. Tidak perintah-perintah yang pasti. Tapi semua orang mampu dan bisa menjadi semacam isyarat-isyarat yang memancing kiai yang adalah jenderal [ada kiai yang para santri dan masyarakat pendu- hanya sebagai palaksana dari titah sang kungnya memasuki suatu suasana jenderal]. Hanya seorang pemimpin mencipta dari sesuatu yang tidak pernah spiritual, seorang yang memiliki jelas, sebelum benar-benar terjadi. kemampuan jenderal perang, yang mahir Improvisasi [seperti halnya tajdîd atau al- segala taktik berperang bisa menjadi muhâfazhah) merupakan institusi yang seorang kiai dari panggung/lanskap amat penting dalam tradisi pesantren, kebudayaan dan beragama dan dan sekaligus merupakan tempat untuk berpolitik. mengaplikasikan desa-kala-patra (yang Seorang kiai adalah seorang dalam bahasa pesantren adalah al- pemimpin yang mampu menciptakan muhâfazhah), sehingga suasana pendi- tontonan (uswah) dalam diri masyara- dikan menjadi aktual. Nyantri, dengan katnya, dalam diri penonton, mem- demikian, adalah sebuah usaha untuk berikan pengalaman spiritual kepada hidup bersama tradisi, dan mengartikan penonton, bukan hanya menciptakan tradisi bukan sebagai mumi yang mati adegan-adegan bagus di panggung. tapi sesuatu yang hidup, tumbuh, dan Karena nyantri bukan hanya sebuah bagian dari masa kini. proses belajar-mengajar, tapi peristiwa Kaum pesantren mengajak orang spiritual, sebuah upaya untuk mencari memikirkan kembali, memikirkan sekali jati diri manusia. lagi segala sesuatu yang sudah pernah Bukan sekadar hubungan kerja, disimpulkannya atau yang sudah hubungan pengetahuan, tapi juga

KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012 | 9

Ahmad Baso

pengabdian. Ia merupakan kesempatan dan suara-suara para ulama Aswaja untuk nyantrik (nyantri), untuk dalam menyiasati sekolah modern. menemukan diri. Sebuah pendidikan jiwa Seperti pengalaman orang-orang Madura bagi para santri, yang mengajarkan seni yang santri, yang tetap menyekolahkan berperilaku dan berpengetahuan, tapi anak-anaknya di sekolah-sekolah juga bersikap terhadap berbagai aspek Belanda, tapi menyempatkan juga untuk kehidupan. Untuk melakukan dididik di pesantren. Dengan anggapan pemantapan-pemantapan sikap dan bahwa sekolah modern akan tambah kepribadian, sehingga akhirnya mampu memperkuat dasar-dasar pendidikan menyampaikan suara, sikap atau mereka di pesantren, selain untuk pendirian ―untuk berbagai fenomena mendalami pengetahuan keagamaan, sosial-politik bahkan juga spiritual. juga untuk membangun relasi dan komunikasi yang akrab dengan rakyat.16 Kritik Proyek Program-program Demikian pula misalnya KH Saifuddin “Modernisasi Madrasah”, “Pembaruan Zuhri yang mendirikan madrasah Pesantren” dan “Reformasi Islam modern berbahasa asing, tapi tetap Tradisional” mengacu kepada induknya, sistem Selama sepuluh tahun terakhir ini pesantren di bawah komando para kiai: saya membaca tulisan-tulisan tentang “Modernisasi Madrasah”, “Pembaruan “Ketika pada permulaan tahun Pesantren” dan “Reformasi Islam 1938 aku pulang dari Solo dengan Tradisional”. Tidak ada satu pun kini menggondol ijasah, aku benar-benar yang membawa maslahat kepada telah menjadi guru. Aku mengajar di pesantren, tapi justru mudarat. Mulai Madrasah Nahdlatul Ulama, di dari Snouck Hugronje hingga Geertz, dari Islamitisch Westerse School [Sekolah Islam berbahasa Barat, yakni bahasa Deliar Noer hingga Azyumardi Azra, dari Belanda], dan di Kulliyat al-Mu’allimîn para peneliti asing hingga peneliti wa al-Muballighîn. Dua macam sekolah Litbang Kementerian Agama dan yang belakangan ini juga bernaung di departemen-departemen lainnya yang bawah asuhan Nahdlatul Ulama. Lucu meneliti tentang pesantren, semuanya juga kedengarannya kalau dipikir-pikir. digerakkan oleh desain memotong garis Di madrasah aku dipanggil ustadz, kesejarahan orang-orang pesantren tetapi di sekolah yang berbau Belanda dengan tradisi kebangsaannnya, serta ini aku dipanggil meneer oleh anak-anak mengacaukan hakikat dan keberadaan murid.”17 tradisi Aswaja di Nusantara. Lebih parah Agenda-agenda “modernisasi lagi, agenda-agenda “modernisasi madrasah”, “pembaruan pesantren” dan madrasah”, “pembaruan Pesantren” dan “reformasi sistem pendidikan Islam “reformasi Islam tradisional”dengan tradisional” ini, dengan kata lain, hanya mengangkat alternatifnya, Wahabi dalam mereduksi pesantren sebagai sekolah berbagai variannya. Mentor yang dijadikan referensi buat pesantren adalah 16Seperti diungkap dalam biografi Mohammad para sarjana lulusan Barat dengan titel Noer, tokoh Madura yang pernah menjadi Ph.D hingga profesor. Gubernur Jawa Timur di masa awal Orde Baru, Dalam agenda-agenda ini, tidak dalam Mien A. Rifai, et. al., Mohammad Noer muncul lagi strategi-strategi pesantren (Jakarta: Yayasan Biografi Indonesia, 1991). 17Zuhri, Guruku, hlm. 133-135.

10 | KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012

Kembali ke Pesantren, Kembali ke Karakter Ideologi Bangsa

yang tidak ada bedanya dengan sekolah- seperti ini jelas merugikan pesantren sekolah lainnya di negeri ini. Adapun yang selama ratusan tahun menjadi oase sistem yang diberlakukan dan didiktekan kebudayaan rakyat dari berbagai macam kepada pesantren adalah sistem komunitas; pesantren sebagai pendidikan sekolahan formalis, yang dioperasio- lintas-komunitas. Seperti Kiai Sadrach nalkan oleh anak-anak sekolahan formal yang belajar di pesantren Tegalsari, saja. Wajarlah jika dalam logika anak Ponorogo. Demikian juga komunitas sekolahan ini, madrasah dipertentangkan abangan dan kejawen,18 kalangan satria, dengan pesantren, pesantren dibanding- bangsawan, dan raja-raja di Nusantara, kan dengan sekolah unggulan para pujangga keraton juga berguru ke internasional, atau dengan Harvard, pesantren, hingga para jago dan jawara Oxford, Cambridge, dan seterusnya. menimba ilmu kanuragan dari para kiai Inilah yang perlu diluruskan pesantren. Label sektarian kepada terlebih dahulu. Pesantren sebagai pesantren akan membuat komunitas pendidikan karakter kebangsaan adalah penyangganya selama ini akan lari dan pendidikan seumur hidup, yang meninggalkan pesantren. mendidik dan memperlakukan anak- Padahal, di masa-masa pergerakan anak bangsa ini untuk hidup sepanjang dan perlawanan terhadap penjajah dan hayat bangsa ini, dari segenap resources antek-anteknya, pesantren merupakan dan alamnya, dari segenap manusianya oase perlindungan bagi para kaum dan masyarakatnya. Keberadaan nasionalis dan pemberontak terhadap pesantren bukan untuk bergantung penjajah. Ada puluhan contoh kalangan kepada bangsa lain, dan mengandalkan nasionalis berlindung di pesantren dan resources bangsa luar. Pesantren “jejer pandita”(“tudangguru” dalam istilah memperlakukan anak didiknya dalam orang-orang Bugis) dengan para kiai dan segenap totalitasnya, dari segi fisik, batin, ulama pesantren.19 Saya sebut beberapa individu, sosial, dalam hidup privat, pembentukan pribadi yang utuh, dalam 18Ini misalnya ditunjukkan oleh seorang tokoh hidup dan pergaulan bermasyarakat dan desa penganut kejawen tentang pendiri pesantren pertama di daerahnya: “Kami sangat berterima berbangsa hingga persiapan untuk hidup kasih kepada Kiai Chudlori [pendiri pesantren di akhirat kelak, yang semuanya pertama di Tegalrejo, Magelang, yang juga disesuaikan dengan segenap kebutuhan kiainya Gus Dur] dan putranya, atas jasa mereka bangsanya ini. sebagai pelopor dalam memuliakan makam guru Kemudian, dalam agenda-agenda kami. Saya seorang kejawen, akan tetapi saya juga seorang Muslim. Saya mempunyai tujuan yang “modernisasi madrasah”, “pembaruan sama dengan tujuan orang-orang di pesantren, pesantren” dan “reformasi sistem kita menyembah Tuhan yang sama, kita pendidikan Islam tradisional” ini, menjunjung nabi yang sama, dan kita juga kekuatan dan modal pesantren sebagai memuliakan wali yang sama. Perbedaan di antara perekat kebangsaan juga direduksi kita hanyalah, saya tidak bisa membaca kitab Arab, sedangkan para kiai bisa”. M. Bambang dengan memandangnya hanya sebagai Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Alvabet “pendidikan Islam” ―karena dari sana & INSEP, 2009), hlm. 224. akan ditarik satu cap tersendiri bahwa 19“Jejer pandita” berarti audiensi dengan ulama, pesantren sektarian, eksklusif, hingga guru, atau kiai. Berasal dari satu adegan dalam yang paling ekstrim, sarang kelompok cerita pewayangan yang menggambarkan pertemuan seorang tokoh protagonis (satria) garis keras atau radikalisme Islam. Label dengan seorang guru spiritual (pandita) yang

KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012 | 11

Ahmad Baso

nama: Sukarno di Pesantren Sukanegara, menjadi pembimbingnya dalam menegakkan Cianjur,20 Jenderal Sudirman dengan Kiai kebenaran dan melawan kezaliman. Dalam tradisi Mahfudz Ponorogo,21 Sukarni di Jawa Jawa, jejer pandita berarti menghadap kepada sang Timur,22 Supriyadi dan kawan-kawan di agamawan di tempat kediamannya, yakni di 23 hutan, di lereng gunung, atau di tempat terpencil. pesantren Blitar, dan Tan Malaka di 24 Di daerah itu biasa ditemukan sang pertapa, resi Pesantren Tebuireng Jombang. Bahkan atau agamawan, yang mendalami rahasia-rahasia seorang jawara, saking dekatnya dengan tumbuh-tumbuhan dan benda-benda (sehingga bisa menjadi dukun), merawat pahlawan yang terluka serta mewariskan ilmu kepadanya. Jadi, pandita dengan gurunya di Pesantren Sukanegara, apapun lakon dalam pewayangan, harus Cianjur. Tan Malaka jejer pandita dengan membawakan pada bagiannya yang kedua suatu Hadlratus Syekh di Jombang pada tahun 1945 adegan jejer pandita di mana sang tokoh sebelum keluarnya Resolusi Jihad. Jenderal menghadap dan beraudiensi dengan sang resi di Sudirman ketika bergerilya di pedalaman jejer tempat kediamannya, masuk ke tengah hutan pandita kepada Kiai Mahfudz Ponorogo, yang untuk minta petuah dan nasihat kepada gurunya. memberinya tongkat dan keris. Berkat pemberian Oleh kalangan pesantren, tradisi jejer pandita ini dari sang kiai inilah yang membuat Panglima di-Aswaja-kan dengan mengaitkannya dengan Besar TNI ini selamat dari upaya pembunuhan ajaran nasihat-menasihati (watawâshau bi al-haqq oleh tentara Belanda yang mengepungnya di watawâshau bi al-shabr). Dalam konteks ini, posisi daerah gerilya. Lihat Denys Lombard, pandita (kiai, ulama) sebagai ideolog dikukuhkan, “Pandangan Orang Jawa tentang Hutan”, dalam sementara sang satria sebagai pelaksana- Marcel Bonneff, et. al., Citra Masyarakat Indonesia eksekutor di lapangan. Tradisi jejer pandita ini (Jakarta: Sinar Harapan, 1983). selanjutnya yang menjustifikasi keberadaan dua 20 Lihat R. Soeharto, Saksi Sejarah: Mengikuti struktur kepemimpinan dalam NU, syuriyah dan Perjuangan Dwi-Tunggal (Jakarta: Gunung Agung, tanfidziyah. Seperti disimbolkan dalam relasi 1982), hlm. 14. antara Hadlratus Syekh KH Hasyim Asy’ari dan 21Harsono Tjokroaminoto, “Tekad Menjadi Bangsa Kiai Wahab Chasbullah, dan antara Kiai Wahab Merdeka”, dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Chasbullah dan Haji Hasan Gipo. Satu pihak Pengorbanan (Jakarta: Markas Besar Legiun menjadi ideolog lembaga, yakni syuriah, yang Veteran RI, 2000), jilid 2, hlm. 131-2. terdiri dari unsur kiai, ulama atau tokoh santri. 22Seperti pengalaman Sukarni, aktor pemuda Sementara unsur kedua, tanfidziyah, adalah dalam penculikan Sukarno dan Hatta menjelang pelaksana para ideolog, yang kebanyakan berlatar Proklamasi 17 Agustus 1945, di pesantren Jawa belakang satria atau yang berpotensi menempati Timur. Lebih lanjut, lihat Naskhar Koto, “Masa posisi satria (cendekiawan, bangsawan, Kecil Sukarni” dalam Sumono Mustoffa (peny.), pengusaha, dan kaum santri pada umumnya). Sukarni dalam Kenangan Teman-temannya (Jakarta: Yang menjadi pahlawan dan punya nama adalah Sinar Harapan, 1986), hlm. 24. pelaksana ini. Adapun sang guru tidak dikenal, 23Ratnawati Anhar, Pahlawan Nasional Supriyadi tapi posisinya jelas: dalang, aktor di balik (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 53-dst. KH panggung, atau king-maker. Abdullah Siradj dan KH Muhammad Kholid, Ini yang kita lihat dalam relasi antara kaum orang-orang pesantren dari Blitar, melindungi pesantren dan raja-raja Jawa. Mereka banyak Supriyadi dan para anak buahnya ketika pada menjadi penasihat, bahkan sebagai ideolog yang Februari 1945 mereka melakukan pemberontakan menentukan dalam politik istana. Demikian pula Peta terhadap pendudukan Jepang untuk dalam sejarah para pahlawan nasional. Untung Indonesia merdeka. Ketika pemberontakan itu Surapati jejer pandita dengan Kiai Ebun (disebut ditumpas Jepang, kedua kiai ini sempat ditangkap juga Tuan Syekh). Sultan Nuku dari Tidore, militer Jepang dan disiksa dengan kejam. KH Maluku, jejer pandita kepada Kiai Haji Oemar, Abdullah Siradj kemudian wafat dalam penjara. seorang ulama revolusioner asal Makasar yang Allah yarhamhu. disegani oleh para bajak laut di perairan 24 Lihat Harry A. Poeze, Tan Malaka,Gerakan Kiri Indonesia Timur. Pangeran Diponegoro jejer dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946 pandita dengan gurunya, Kiai Taftazani, dari (terj. Hersri Setiawan) (Jakarta: Yayasan Obor Pesantren Mlangi Yogyakarta. Sukarno jejer Indonesia, 2008), jilid 1.

12 | KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012

Kembali ke Pesantren, Kembali ke Karakter Ideologi Bangsa

orang-orang pesantren, pernah meng- tanah dan air. Seperti racikan para angkat seorang kiai sebagai bupati dalam orientalis dan murid-muridnya tentang revolusi sosial di Tegal tahun 1945.25 Islam sebagai doktrin dan peradaban Dengan demikian, bisa dikatakan, yang lepas sama sekali dari akar keislaman pesantren bukanlah keislaman kesejarahan Islam Nusantara, dan yang model Wahabi dan konstruk orientalis dianggap anti-tesis dengan nasionalisme Islamic Studies yang dengan mudah atau kebangssaan. Seperti racikan Geertz, menarik garis sekat antara yang puritan, Howard Federspiel, dan Herbet Feith murni, dan yang dianggap masih tentang kelompok Islam reformis di “sinkretik”, dinilai masih ada kotoran Indonesia yang anti Pancasila dan dan budaya. Bukan pula keislaman ala racikan anti nasionalisme.26 Meski nasionalisme modernis-orientalis yang diajarkan di juga diakui kini dalam studi mereka, tapi perguruan tinggi di Amerika, Eropa, atau mereka kemudian mencari sesuatu yang Australia dan melihat Islam sebagai “Islami”, yang bahkan diracik satu sebuah normatif-abstraksi yang kehi- kemungkinan tentang adanya “nasio- langan akar dan basisnya kepada sebuah nalisme yang Islam”, dulu disebut “nasionalisme religius”, dan kini “Islamic 25Di masa revolusi kemerdekaan tahun 1940-an, nationhood”.27 kerjasama ulama-jawara ini makin diperkuat, bahkan menjadi aktor revolusi sosial di sejumlah daerah. Salah seorang tokoh revolusi sosial di 26 Lihat misalnya Federspiel, Howard M., Labirin Tegal, Jawa Tengah, November 1945, Sakhyani, Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di dikenal dengan nama panggilan Kutil, asal Era Kemunculan Negara Indonesia (terj, Ruslani dan Madura, berhasil menjatuhkan seorang bupati, Kurniawan Abdullah) (Jakarta: Serambi, 2004); dan menggantikannya dengan gurunya bernama dan, “Islam and Nationalism”. Indonesia, no. 24, Kiai Haji Abu Syuja’i, yang pernah nyantri di October 1977, hlm. 39–85. Pesantren Tebuireng dan menjadi santri 27Dalam konstruk “Islamic nationhood”, seperti Hadlratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. yang ditunjukkan seorang peneliti luar dalam Kiai Haji Abu Syuja’i dipilih untuk menjadi bukunya baru-baru ini, orang-orang pesantren pemimpin mereka, sebagian besar atas dukungan dan NU tidaklah punya tempat, bila para pemuda, kalangan pesantren, Muslim- dibandingkan misalnya dengan Sarekat Islam nasionalis dan kalangan jawara. Kiai anti-kolonial atau jurnal al-Munir atau Seruan Islam dari Al- dan aktif di PSII ini dijemput dari kampungnya, Azhar yang dianggap modernis-reformis dan dibawa ke kota. Di bulan November 1945 itu, pengikut Afghani dan Abduh. Tasjwiroel Afkar, rakyat sudah berkumpul untuk melihat sendiri embrio NU itu, yang didirikna oleh KH Wahab bupati barunya sebagai hasil revolusi yang Chasbullah, misalnya, disebut “unIslamic”, mereka buat. Ketika Kiai Abu Syuja’i tampil ke seperti ditulis seorang sarjana Orientalis generasi mimbar untuk berpidato, susana jadi hening. paling mutakhir: “The Tasjwiroel Afkar did not Orang-orang terpukau menyaksikan seorang yang make a very positive debut in Surabaya in late 1918, tampan, tinggi, agak sedikit kurus, mengenakan and was greeted with suspicion by several members of celana panjang, kemeja putih dan peci hitam. Ia the Kaum Muda who urged Sarekat Islam members to berbicara dengan tenang, jelas dan lancar. avoid the grouping claiming that its objectives were Kadang-kadang menyelipkan kata-kata Belanda unIslamic.” Lihat Michael Francis Laffan, Islamic dengan ucapan yang tepat, dan kutipan-kutipan Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma below ayat al-Qur’an. Saat itu kalangan Muslim the Winds (London & New York: nasionalis di kota itu tampak puas. Dan para RoutledgeCurzon, 2003), hlm. 259. Logika pemimpin Komite Nasional Indonesia-Tegal dikotomistik gaya Endang Saefuddin Anshari terperanjat melihat bahwa seorang kiai dari desa hingga Audrey Kahin dan Mestika Zed misalnya, tampil sangat mengesankan sebagai bupati. antara nasionalisme “religius” dan nasionalisme Anton Lucas, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam “sekuler”, adalah menyesatkan dan merugikan Revolusi (Jakarta: Grafiti, 1989) kerangka kebangsaan orang-orang pesantren –

KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012 | 13

Ahmad Baso

Kemudian dari front yang salah satu komponen dari ideologi orang- berbeda, pesantren juga dicap sinkretik, orang pesantren, selain komponen yang dianggap mencampuradukkan kedaulatan, kemerdekaan, kesejahteraan, antara berbagai kebatilan dan bid’ah dan dan kemashlatan umat manusia. yang syirik ke dalam agama Islam. Ini dilihat ketika pesantren merawat tradisi- Diponegoro (1825-1830). Kiai Maja berperan tradisi Nusantara, yang menjadi penjaga besar dalam menggerakkan jaringan komunitas dari tradisi kejawaan. Mereka menyebut pesantren dan desa-desa perdikan untuk idelogi pesantren yang berkiblat ke Wali berjuang bahu-membahu bersama Diponegoro. Teks ini tercantum dalam satu manuskrip yang Songo dianggap sebagai cerminan cara tersimpan pada keluarga Kiai Maja di Jakarta, beragama yang sinkretik, yang oleh berbahasa Jawa huruf pegon dan ditulis oleh Kiai mereka dianggap menunjukkan “belum Maja sendiri selama pembuangannya di sempurna dan tuntasnya proses Tondano, Sulawesi Utara, sekitar awal tahun Islamisasi secara menyeluruh atau kaffah 1833. Selama hidupnya, Kiai Maja dikenal sebagai seorang ulama yang mobilitasnya sangat di tanah Jawa”. Maraknya praktik-praktik tinggi. Mengikuti tradisi santri kelana, Kiai Maja slametan dan kendurenan yang digelar dan punya banyak relasi dan jaringan dengan pusat- disokong oleh kalangan pesantren pusat keagamaan dan politik di Jawa hingga ke dianggap sebagai cara menjadi muslim Bali. Beliau pernah menjadi penghubung antara yang belum sempurna.28 Keraton Surakarta dan Kerajaan Buleleng di Bali. Jaringan orang-orang pesantren dengan Bali,

meski berbeda agama dan kepercayaan, sudah Dari Ideologi Pesantren ke Ideologi terbangun sejak abad ke-18. Dibuktikan dari Keindonesiaan adanya ikatan politik dan kebudayaan di antara mereka, misalnya perlindungan bagi kalangan Sekali lagi, saya katakan, pesantren santri yang lari ke Bali untuk menghindari bukan semata pendidikan Islam. Tapi penangkapan kompeni hingga pemberian kebebasan beragama bagi komunitas-komunitas pendidikan karakter yang hidup dalam Muslim di pesisir utara Bali. Saking gerahnya konteks berbangsa, yang begumul pemerintah kolonial Inggris, penguasa Jawa saat dengan hakikat dan jati diri bangsa ini, itu, Kiai Maja sempat ditangkap pada Juli 1812. dan berproses ke dalam satu cara Pembatasan kemudian diberlakukan kepada beragama di mana yang dipromosikan orang-orang pesantren yang sebelumnya bisa leluasa keluar-masuk keraton. Mobilitas Kiai adalah “Amrih mashlahate kawulanίng Allah Maja dan jejaringnya ini, yang tidak dimiliki sedaya sarta amrίh karaharjane negari Diponegoro, kemudian menjadi obyek lestarίne agamί Islam” (Berjuang untuk penjinakan Belanda untuk mematahkan kepentingan kemaslahatan para hamba perlawanan orang-orang Jawa. Lihat Sagimun Allah semua, untuk kesejahteraan negeri, M.D., Pahlawan Dipanegara Berjuang (Jakarta: Gunung Agung, 1965); Tim Babcock, “Muslim serta untuk kepentingan kelestarian Minahasans with Roots in Java: The People of Agama Islam).29 Jadi, keislaman adalah Kampung Jawa Tondano”. Indonesia, (No. 32, 1981); Peter Carey, “Waiting for the ‘Just King’: dan merupakan kelanjutan dari konstruk The Agrarian World of South-Central Java from pengetahuan kolonial divide-et-impera dulu. Giyanti (1755) to the Java War (1825-30)”. Modern 28Lihat entri-entri dalam Ensiklopedi Islam Indonesia Asian Studies, (vol. 20, no. 1, 1986); dan, “Satria (2002) yang digarap oleh para penulis dari IAIN and Santri: Some Notes on the Relationship (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang diedit between Dipanegara’s Kraton and Religius oleh Prof. Harun Nasution. Supporters during the Java War (1825-30)”, 29Sebuah pandangan dan cita-cita sosial-politik dalam T. Ibrahim Alfian, et. al. (editor), Dari kebangsaan orang-orang pesantren yang Babad dan Hikayat hingga Sejarah Kritis dilontarkan oleh Kiai Maja, ideolog Perang (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992).

14 | KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012

Kembali ke Pesantren, Kembali ke Karakter Ideologi Bangsa

Ada tiga komponen dalam ideologi nasionalis orang-orang pesantren Indonesia). Dengan demikian, berbagai penafsiran seperti di atas: pertama, “mashlahate”, selama kurun waktu 3 abad lebih dalam proses yakni kemaslahtan hamba-hamba Allah tulis-ulang dan tafsir-ulang atas teks-teks dari Raja Kediri abad ke-9 ini, berkisar pada tema- semua, tanpa memandang agama tema khas pesantren: geneologi sang ratu yang ataupun keyakinannya (yang menjadi berasal dari Mekah, pembalikan tatanan kolonial dasar kebangsaan). Kedua, “karaharjane”, dengan tatanan baru berdasar keadilan, persatuan yaitu kepentingan kesejahteraan negara Nusantara (Jawa, dst), tema kedaulatan dengan dan tanah air. Ketiga, “lestarίne Agamί mengusir penjajah Belanda lewat perang sabil, dan imajinasi negara pasca-penjajahan berdasar Islam”, kepentingan keagamaan, yakni kemaslahatan berbangsa-bernegara. aspek karakter dan ideologisasi paham Seperti ditulis Raffles dalam History of keagamaan Ahlus Sunnah wal Jamaah Java di awal abad ke-19, meski diduga berasal dari (Aswaja). tradisi Jawa pra-Islam, namun semua mengakui Dalam sejarah Nusantara sejak bahwa teks-teks ini telah mengalami modifikasi dan penulisan-kembali sesuai dengan tradisi masa Wali Songo, tradisi Aswaja sudah Muslim Aswaja. Kisahnya seputar pertemuan Aji menjadi senjata untuk menaklukkan Jayabaya dengan seorang ulama dari Rum penjajah asing, dalam bahasa (Kesultanan Usmaniyah) (dalam versi yang lain “kemenangan Jawa berkat agama Islam dari Mekkah) bernama Maulana Ali Syamsudin, Jawa [Aswaja]”. Misalnya dilihat dari yang menguraikan sebuah ramalan seperti tercantum dalam Kitab Musarrar [Musaran]. cara orang-orang pesantren meracik ide Pertemuan ini dilanjutkan dengan sejumlah sub 30 Ratu Adil sejak abad ke-18 di Jawa, cerita lain dalam berbagai versi yang berintikan pertemuan ide Ratu Adil dengan konsep Aswaja 30Ratu Adil bisa berarti sebuah persona atau tentang Imam Mahdi dalam eskatologi Islam. individu yang akan berkuasa dan membawa Prototipe cerita ini berasal dari naskah kemaslahatan kepada penduduk negeri. Bisa juga tertua dari awal abad ke-18 (sebelum tahun 1715), berarti sebuah idealisme tentang perombakan yang juga penuh dengan beragam penambahan struktural dengan sebuah struktur baru yang dengan kata-kata kafir, sultan dan waliyullah. sesuai dengan kemaslahatan umat dan bangsa. Dalam versi lainnya, imajinasi tentang Ratu Adil Kedua pengertian ini, yakni ratu sebagai person sebagai “ratu waliyullah” ditemukan dalam Serat dan sebagai sebuah struktur kekuasaan untuk Kanjeng Kyai Surya Raja, dikarang pada 1774 oleh keadilan, tercakup pengertian konsepsi Jawa Sultan Hamengku Buwana II. Sementara klasik tentang “Ratu”: raja yang duduk di Bernhard Dahm dalam bukunya tentang Sukarno, singgasana dan ratu sebagai wahyu kekuasaan mencatat adanya peralihan kisah-kisah Ratu Adil untuk memayu hayuning bawana, untuk terus dalam ramalan Jayabaya ini dari versi kraton ke mengusahakan keselamatan dan kemaslahatan luar keraton sejak pertengahan abad ke-19. dunia. Wahyu kekuasaan mencakup ideologi, Dalam beragam versi luar keraton inilah ramalan- struktur kelembagaan kekuasaan, hingga ramalan tentang kedatangan Ratu Adil tumbuh pelaksanaan pemerintahan. subur, terutama di lingkungan pesantren, di mana Kedua pengertian tentang ratu ini dikembangkan berbagai imajinasi tentang kedatangan Ratu Adil oleh kalangan pesantren dengan menulis-ulang mengalir dari sumber mata air Islam Aswaja, dari dan sekaligus menafsir ulang pemaknaan teks- Mekah. Kiai Hasan Maulani dari Lengkong, teks Jangka Jayabaya, Serat Akhirin Jaman, Serat Cirebon, Mas Malangyuda dari Rajawana Kidul, Jayabaya atau Pralambang Jayabaya tentang Klaten, dan Kiai Nurhakim dari Pasir Wetan, datangnya sang juru selamat atau Ratu Adil. Kedu, adalah ulama-ulama pesantren dari abad Sebagai sebuah persona, Ratu Adil itu datang dari ke-19 yang melakukan proses modifikasi itu. Dari Mekah. Sebagai sebuah wahyu kekuasaan untuk tangan mereka surat-surat wasiat tentang hari keadilan dan keselamatan, orang-orang pesantren akhir zaman banyak beredar, sejak pertengahan menyebut “ratuning Jawa” (kedaulatan dan abad ke-19 hingga awal abad ke-20, dengan persatuan Jawa), dan, di masa pergerakan, berarti sebuah ajaran dari Mekah, dan memberikan “ratuning Indonesia” (kedaulatan dan persatuan pengertian baru tentang Ratu Adil. Dengan surat-

KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012 | 15

Ahmad Baso

yang merupakan salah satu imajinasi tentang tatanan yang adil dan politik-kolektif (al-mikhyâl al-jamâ’i) kesejahteraan negeri pasca penjajahan. kalangan pesantren sejak abad ke-18 Seperti halnya Hughes yang memetakan kehancuran sekolah-sekolah

tradisi China karena invasi sekolah- surat wasiat ini, tema pembalikan tatanan ekonomi-politik kolonial saat itu (jaman balik sekolah Barat, saya juga melihat buwono) menjadi idealisme orang-orang pesantren mengalami proses demikian. pesantren. Kiai Nurhakim bahkan pada tahun Seperti yang saya tunjukkan dalam kasus 1870 mengartikan pembalikan tatanan itu sebagai surau atau pesantren khas Minang di penyelenggaraan reformasi agraria dan Sumatera. Surau biasanya dibangun penghapusan pajak bagi para petani. Tema berikutnya dalam Ratu Adil adalah dekat dengan sumber-sumber air. Karena kesatuan Jawa dan ketundukkan atau pengusiran itu, di sekitar surau sering muncul orang-orang Belanda, berkat keunggulan tradisi permukiman baru, kegiatan dagang dan Islam-Jawa ini. Setelah Perjanjian Gyanti 1755, pasar baru, dan juga peradaban baru. orang-orang pesantren berusaha semaksimal Keberadaan surau-surau tidak lepas dari mungkin mengembalikan persatuan Jawa yang dipecah-pecah oleh Belanda. Itu dimulai dari posisi kedekatannya dengan jaringan Peristiwa Pakepung tahun 1790 di mana pasukan keulamaan, jaringan tarekat, hingga Kompeni mengepung Keraton Surakarta untuk jaringan pasar dan perdagangan antar menindak Kiai Bahman, penasihat Susuhunan, kota-desa-pesisir di Sumatera. Adat pun yang dianggap makar terhadap Belanda karena dirangkul dan dibuat berorientasi ke mendakwahkan persatuan Jawa dan penyerangan terhadap loji VOC di Semarang. Dalam Serat Madzhab Syafi’i. Kanjeng Kyai Surya Raja diramalkan pula solusi final bagi orang-orang Jawa: persatuan dan Tantangan ke Depan: kemenangan atas Belanda berkat keunggulan Pesantren sebagai Wadah “Harakah al- kebudayaan Islam-Jawa, dan tercapainya ‘Ulamâ fî Ishlâhi al-Ummah” kesejahteraan. Cita-cita ini kemudian dilanjutkan oleh orang-orang pesantren ketika mereka menjadi “orang pergerakan”: persatuan Wahai para ulama, bangsa Indo- Indonesia, kemerdekaan dan kedaulatan bangsa nesia sedang memperhatikan pada dan tercapainya kesejahteraan di bawah negara- kalian apa yang sedang kalian bangsa yang baru. Cita-cita ini yang perbuat untuk umat dan bangsa ini menggerakkan orang-orang NU menerima NKRI dalam upaya melakukan perbaikan, (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai baik menyangkut keagamaan mau- bentuk final negara Indonesia. pun dalam bidang kemasyarakatan. Sementara tema “perang sabil” (jihad fi sabilillah) sebagai instrumen Ratu Adil untuk mengusir penjajah, mulai digodok sejak ---- Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari. pertengahan abad ke-18, ketika surat-surat Syekh Abdus Shamad al-Palimbani (wafat 1788) muncul Dengan demikian sebagai ke Tanah Jawa dibawa oleh santri-santrinya dari kesimpulan, saya bisa katakan, wacana Mekkah. Surat-surat tersebut memberi corak baru ide Ratu Adil karena memperjelas pengusiran kembali ke pesantren, seharusnya tidak penjajah Belanda dengan jihad. Beliau menulis sekadar berhenti sebagai wacana. Tapi sebuah risalah berjudul Nashîhatu al-Muslimîn wa juga harus dikonkretkan dalam sejumlah Tazkiratu al- Mu’minin fi Fadlâili al-Jihâd fî Sabilillah langkah, tahapan, dan program untuk wa Karamâtil Mujâhidin fî Sabilillah. Ide ini mengangkat kembali kondisi bangsa ini menginspirasi Kiai Taptajani, guru Pangeran Diponegoro di Tegalrejo pada tahun 1825, untuk yang sedang terpuruk. mengkader santrinya tersebut untuk menggelar Perang Jawa dengan misi Ratu Adil.

16 | KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012

Kembali ke Pesantren, Kembali ke Karakter Ideologi Bangsa

Pertama-tama, orang-orang pesan- Tentu masih banyak lagi cara yang bisa tren harus kembali percaya diri bahwa dilakukan untuk itu. mereka punya sejarah, yang tertulis Berikutnya, adalah menggalakkan dengan tinta emas, di mana bangsa ini kembali program-program kaderisasi punya hutang historis karena amal saleh santri untuk segenap wilayah perhatian (darma bakti) pesantren untuk bangsa ini ke masa depan, politik, kelangsungan hidup bangsa ini, masa ekonomi, kebudayaan, intelektualitas, lalu, masa kini, dan juga di masa dan hukum. Ini sebelum mereka terlanjur mendatang. Orang-orang pesantren tidak jauh dikader oleh orang lain atau bangsa pernah minta imbalan untuk amal lain yang misinya bertentangan dengan shalehnya. Juga tidak minta penghargaan karakter keislaman Nusantara dan atau jasa-jasa ―misalnya ramai-ramai menyimpang dari akar-akar kebangsaan meminta menjadi pahlawan nasional atau kita.31 ngotot dimakamkan di Taman Makam Tahap berikut yang perlu Pahlawan di sejumlah daerah. Mereka dilakukan adalah koordinasi dan tidak butuh nama, dan juga tidak butuh konsolidasi di antara berbagai unsur untuk tampil dan ditampilkan. Yang pesantren Aswaja di Nusantara. penting bagi mereka adalah tampilannya. Demikian juga penggalangan jaringan Orang-orang pesantren punya modal komunitas-komunitas Nusantara berbasis kuat untuk menopang dan mengawal kesamaan ideologi nasionalis-kebangsaan bangsa ini, keikhlasan, kesederhanaan ―dan tidak ada pertentangan atau dan ikatan komunitas-kebangsaannya. dikotomi antara yang nasionalisme Untuk itu, sikap percaya diri itu dimulai dari bagaimana orang-orang pesantren 31Masalah “dikader orang lain” pernah menjadi menggali kembali modal-modal kultural perhatian Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Wahid yang melahirkan sikap-sikap sosial dan Hasyim ketika membentuk Partai NU di tahun 1952 sebagai persiapan menuju Pemilu 1955. Salah amal shaleh nasionalis tersebut. satunya ketika mereka atau salah satunya, apakah Kemudian, langkah berikutnya, Kiai Wahab atau Kiai Wahid, pernah mendatangi kembali ke pesantren adalah juga berarti Sutan Sjahrir, tokoh PSI, partai kader modernis, bagaimana orang-orang pesantren untuk menanamkan kader-kader PSI (Partai mengisi kembali serta memperkukuh Sosialis Indonesia) di NU untuk kepentingan mengkader anak-anak muda NU dan pesantren. pilar-pilar kebangsaan kita, Pancasila, Seperti yang ditulis oleh salah seorang sahabat UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Sjahrir, Sol Tas, pertemuan diungkap seperti Ika. Kalau para kiai memprotes sejumlah berikut, dengan gaya menulis yang “ngenyek” pihak yang ingin melakukan sekularisasi terhadap orang-orang NU: “In our first meeting in Djakarta after the war, in terhadap Pancasila ataupun terhadap 1955, he told me that a leader of the Nahdatul Ulama puritanisasi pilar-pilar bangsa itu, dengan had come to him to ask if he would not place a few ide dan gagasan politik dari Timur intellectuals from his group at the disposal of the NU, tengah, seperti khilafah, negara Islam, which had practically no cadre. It was a possibility for hingga Islamisasi Undang-undang, itu acquiring influence over this still amorphous grouping and to lead the opposition to the demagogic and semua merupakan wujud perhatian corrupting tendencies which were making themselves orang-orang pesantren terhadap masa evident in it. ‘But I couldnτt help him; my people find depan bangsa ini. Dan itu pula cara it much too boring to deal with people of that level,’ mengisi pemaknaan dan pengukuhan Sjahrir added cheerfully”. Lihat Sol Tas, “Souvenirs of Sjahrir”. Indonesia, No. 8, October 1969, hlm. keempat pilar keindonesiaan tersebut. 135–154.

KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012 | 17

Ahmad Baso

“religius” dan nasionalisme “sekuler”, Dîn, lalu dirumuskan kembali oleh KH karena memang tidak ada sebutan- Sahal Mahfudh dalam bukunya, Nuansa sebutan seperti itu, yang dulunya Fiqih Sosial. Kalau sebutan “faqîhun fî memang dipakai untuk mengadu domba mashâlihi al-khalqi” adalah karakter ulama antara orang-orang pesantren dengan sebagai subyek (fâ’il), maka predikat pilar-pilar jaringannya.32 “harâkatu ishlâhi al-ummah” adalah misi Terakhir, kembali ke pesantren, dan tanggungjawab yang diemban oleh adalah kembali kepada posisi pesantren ulama di pundaknya. Karena dalam sebagai wadah “harâkah al-‘ulamâ’ fî ishlâhi pandangan NU, ulama memiliki al-ummah” (gerakan ulama untuk tanggung jawab keagamaan, tanggung perbaikan umat) yang merupakan jawab keumatan, dan juga tanggung kelanjutan dari konsepsi tentang ulama jawab kebangsaan. sebagai “faqîhun fî mashâlihi al-khalqi” Ada mas’ûliyyah (tanggung jawab) (paham benar akan kemaslahatan umat dalam membina, membimbing, dan manusia) seperti diangkat Imam al- mengarahkan umat dan bangsa, baik Ghazâlî dalam bukunya Ihyâ’ ‘Ulûm al- yang menyangkut keagamaan (dîniyyah) maupun aspek kemasyarakatan (ijtimâ’iyyah). Ada mas’ûliyyah al-ri’âyah 32KH Saifuddin Zuhri menulis demikian tentang (tanggung jawab dalam memelihara dan kiprah dan sosok seorang santri yang punya jaringan luas di kalangan nasionalis: “KH. A. membimbing umat dan bangsa); ada Wahid Hasyim memang mempunyai pergaulan mas’ûliyah al-qiyâdah wa al-imâmah yang sangat luas. Bukan hanya di kalangan umat (tanggung jawab dalam memimpin). Ada Islam dan para pemimpinya, melainkan juga di juga mas'ûliyyah al-ishlâh (tanggung jawab kalangan politisi dari berbagai golongan. Saya dalam perbaikan dan mereformasi). Da- sering mengikuti pertemuan-pertemuan dengan lam makna ishlâh inilah, kita berbicara Bung Karno, Bung Hatta, Mr Ahmad Subardjo, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Sartono, Dr Sukiman, tentang kembali ke pesantren sebagai Pak Dirman, dll pemimpin. Saya juga sering upaya reformatif yang total terhadap menyertai pertemuannya dengan kelompok segenap agenda-agenda bangsa yang pemuda seperti Sukarni, Chairul Saleh, BM Diah, sudah melenceng jauh dari cita-cita Anwar Tjokroaminoto, Asa Bafaqih dll. kebangsaan kita. Wallâhu A’lam. Pada suatu hari, KH Wahid Hasyim menerima seorang tamu yang mengaku bernama Pak Husin. Baru setelah “Pak Husin” berlalu, KHA Wahid Hasyim memberitahukan saya bahwa Pak Husin itu sebenarnya Tan Malaka. Peristiwa tersebut terjadi pada akhir zaman Jepang 1944-1945 di Jakarta. Daftar Pustaka KH A Wahid Hasyim pada waktu itu memainkan peran sentral dalam perjuangan umat Islam dan perjuangan kemerdekaan pada umumnya. Beliau Buku membina kelompok pemuda di sekelilingnya, Alfian, T. Ibrahim, et. al. (editor). Dari antara lain Harsono Cokroaminoto, Amir Fatah, Babad dan Hikayat hingga Sejarah Ahmad Fatoni (gugur di awal revolusi), Asa Kritis. Yogyakarta: Gadjah Mada Bafaqih, Muhammad Sjahid (Blitar), Djanamar Azam, dll.” Lihat KH Saifuddin Zuhri, “Pejuang University Press, 1992. yang Nyaris Terlupakan”, dalam Sumono Anderson, Benedict R. O’G. Java in a Time Mustoffa (ed.), Sukarni dalam Kenangan Teman- of Revolution: Occupation and temannya (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hlm. 244- Resistance, 1944-1946. Jakarta & 9.

18 | KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012

Kembali ke Pesantren, Kembali ke Karakter Ideologi Bangsa

Singapore: Equinox Publishing, Kahin, Audrey K. (ed.). Regional Dynamics 2006 [1972]. of The Indonesian Revolution: Unity Anhar, Ratnawati. Pahlawan Nasional From Diversity. Honolulu: Supriyadi. Jakarta: Balai Pustaka, University of Hawaii Press, 1985. 2007. Kartodirdjo, Sartono, et.all. Sejarah Antlöv, Hans and Tønneson, Stein (eds.). Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Imperial Policy and South East Pustaka & Departemen Asian Nationalism, Chippenham: Pendidikan dan Kebudayaan, Curzon, 1995. 1977. Anwar, Rosihan. Kisah-kisah Jakarta setelah Laffan, Michael Francis. Islamic Proklamasi. (Jakarta: Pustaka Jaya, Nationhood and Colonial Indonesia: 1977. The Umma below the Winds. Behrend, T.E., Serat Jatiswara: Struktur London & New York: dan Perubahan di Dalam Puisi RoutledgeCurzon, 2003. Jawa 1600-1930. Jakarta: INIS, Lubis, Nina Herlina. Banten dalam 1995. Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Bonneff, Marcel, et. al.. Citra Masyarakat Jawara, Jakarta: LP3ES, 2004. Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, ------. Kehidupan Kaum Menak Priangan, 1983. 1800-1942. Bandung: Pusat Dewantara, Ki Hadjar. Kebudayaan, Buku Informasi Kebudayaan Sunda, 2. Yogyakarta: Taman Siswa, 1998. 1994. Lucas, Anton. Peristiwa Tiga Daerah: Djajadiningrat, P. A. Achmad. Memoar Revolusi dalam Revolusi. Jakarta: Pangeran Aria Achmad Grafiti, 1989. Djajadiningrat, Jakarta: Paguyu- Mihardja, Achdiat K. (pengumpul). ban Keturunan P.A. Achmad Polemik Kebudayaan. Jakarta: Djajadiningrat, 1996 [1936]). Pustaka Jaya, 1986. Federspiel, Howard M. Labirin Ideologi Navis, A.A. Pasang Surut Pengusaha Muslim: Pencarian dan Per-gulatan Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning Persis di Era Kemun-culan Negara (1989). Indonesia (terj, Ruslani dan Pardi, et. al. Sastra Jawa: Periode Akhir Abad Kurniawan Abdullah). Jakarta: XIX- Tahun 1920. Jakarta: Pusat Serambi, 2004. Pembinaan dan Pengembangan Florida, Nancy K. Writing the Bahasa, Departemen Pendidikan Past,Inscribing the Future. London: dan Kebudayaan, 1996. Duke University Press, 1995 Poeze, Harry A. Tan Malaka, Gerakan Kiri Harsono Tjokroaminoto. Bunga Rampai dan Revolusi Indonesia: Agustus Perjuangan dan Pengorbanan. 1945-Maret 1946, terj. Hersri Jakarta: Markas Besar Legiun Setiawan. Jakarta: Yayasan Obor Veteran RI, 2000. Indonesia, 2008. Hasjmy, A. Ulama Aceh: Mujahid Pejuang Pranowo, M. Bambang. Memahami Islam Kemerdekaan dan Pembangun Jawa. Jakarta: Alvabet & INSEP, Tamaddun Bangsa. Jakarta: Bulan 2009. Bintang, 1997

KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012 | 19

Ahmad Baso

Soeharto, Dr. R. Saksi Sejarah: Mengikuti van der Veur, Paul W. (ed.). Kenang- Perjuangan Dwi-Tunggal. Jakarta: Kenangan Dokter Soetomo. Jakarta: Gunung Agung, 1982, Sinar Harapan, 1984. Rifai, Mien A. , et. al.. Mohammad Noer. Wijaya, Putu. Bor: Esai-esai Budaya, Jakarta: Yayasan Biografi Yogyakarta: Bentang, 1999. Indonesia, 1991. Zuhri, KH Saifuddin. Guruku Orang-orang Sagimun M.D. Pahlawan Dipanegara dari Pesantren. Yogyakarta: LKiS, Berjuang. Jakarta: Gunung Agung, 2001. 1965 ------, Berangkat dari Pesantren, Jakarta: Sumono Mustoffa (peny.), Sukarni dalam Gunung Agung, 1987. Kenangan Teman-temannya. Jakar- ta: Sinar Harapan, 1986. Majalah dan Jurnal Tim Penulis. Taman Siswa 30 Tahun 1922- Modern Asian Studies, vol. 20, no. 1, tahun 1952. Yogyakarta: Madjelis Luhur 1986,. Taman Siswa, 1952. Indonesia, No. 8, October 1969 Tsuchiya, Kenji. Demokrasi dan Indonesia, No. 32, 1981. Kepemimpinan: Kebangkitan Modern Asian Studies, Vol. 20, no. 1, 1986 Gerakan Taman Siswa (terj. H.B. Indonesia, No. 24, October 1977 Jassin). Jakarta: Balai Pustaka, Archipel, Vol. 34, 1987. 1992. Archipel, Vol. 2, 1971).



20 | KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012