Sosiohumaniora - Jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 20, No. 1, Maret 2018: 78 - 85 ISSN 1411 - 0903 : eISSN: 2443-2660 DEMOKRASI DALAM SEJARAH MILITER Kajian Historis Tentang Pemilihan Tentara Pertama Pada 1945

Widyo Nugrahanto dan Rina Adyawardhina Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran E-mail: [email protected]

ABSTRAK, Penelitian ini berjudul Demokrasi dalam Sejarah Militer Indonesia; Kajian Historis Tentang Pemilihan Panglima Tentara Pertama pada 1945. Penelitian ini adalah tentang bagaimana Soedirman terpilih sebagai Panglima Tentara Indonesia yang pertama. Begitu juga bagaimana cara pemilihannya sehingga Soedirman terpilih dan terpilih mendampinginya sebagai kepala staf. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah. Metode Sejarah terdiri dari empat tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber-sumber penelitian ini menggunakan koran-koran sezaman, majalah sezaman, buku, dan jurnal. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa terpilihnya Soedirman (Panglima Tentara) dan Oerip Soemohardjo (kepala Staf Tentara) merupakan cara-cara demokrasi langsung yang dilaksanakan pertama kali setelah Indonesia meredeka. Uniknya adalah cara ini justru digunakan oleh tentara dalam pemilihan panglima tertingginya.

Kata kunci: Panglima, TNI, Demokrasi.

DEMOCRACY IN INDONESIAN MILITARY HISTORY Historical Study about the Election of the First Army Commander in 1945

ABSTRACT, The main subject this study is election the first commander of Indonesia’s Military. In this case, Soedirman chose as Military Commander and Oerip Soemohardjo as Chief of Staff. Study emlpoys a Historical Method, which consists of four stage: Heuristic, Critic, Interpretation, Historiography. The study utilize some sources such as newspaper, magazine, book, and journal. Main finding of this study are the election applied a direct democratic system. The conclusion this study shows that the election was firts implemented the direct democratic system after Indonesia’s Independence. The unique things is the democratic system implemented by army to choose the highest commander.

Key words: The First TNI’s Commander, Voting, Democratic, Democrachy. PENDAHULUAN di Yunani. Akar kata demokrasi berasal dari kata demos Banyak orang berpandangan bahwa militer atau yang berarti rakyat dan kratia yang berarti pemerintahan tentara kurang memiliki jiwa demokrasi. Pandangan ini atau kekuasaan (Dahl, 1992:5). Pada masa itu, muncul secara umum dalam kemiliteran di seluruh dunia, demokrasi yang terjadi adalah demokrasi langsung atau dengan sistem pemilihan yang sudah dianggap baku, yaitu direct democracy (Budiardjo,2008:109) atau pada masa sistem komando. Sistem komando ini sering diartikan sekarang lebih populer dengan kata voting, yang artinya suatu komunikasi satu arah dari atasan (komandan) pemilihan secara langsung oleh rakyat kala itu yang kepada bawahan. Namun, dalam sejarah kemiliteran diselenggarakan dalam gelanggang Coloseum pada di Indonesia justru terdapat hal unik, yaitu pemilihan polis-polis di Yunani pada abad tersebut. panglima pertamanya dilakukan secara demokratis, yaitu Demokrasi sebagai model pemerintahan Amerika dengan cara voting. Menurut Serikat ini banyak diimplementasikan di banyak negara (1991:43) tidak mungkin dalam suatu tentara profesional di Asia, tidak terkecuali Indonesia (Rahmatunnisa dan ala barat dilakukan pemilihan seorang panglima besar Dede Mariana, 2003:175). Terkait hal ini, secara praktis, oleh pihak tentara itu sendiri. Di saat orang-orang sipil demokrasi lebih sering dikaitkan dengan pemilihan Indonesia hingga sekarang masih sering memperdebatkan umum, baik langsung maupun tidak langsung, yang tentang demokrasi, justru pihak militer Indonesia (dalam terjadi pada insitusi sipil, seperti presiden pada sebuah hal ini adalah TKR) telah memberi contoh pemilihan negara atau gubernur pada pemerintahan daerah atau yang demokratis dalam sejarah kemiliteran Indonesia, kepala daerah lainnya. Memang agak aneh jika sistem yaitu ketika pemilihan panglima pertamanya. demokrasi berupa pemilihan langsung muncul dalam Secara terminologis, demokrasi adalah bentuk institusi kemiliteran yang memiliki budaya sistem pemerintahan di mana semua warganegara memiliki hak komando. Hipotesisnya, hal ini mungkin hanya terjadi di yang sama dalam pengambilan keputusan. Demokrasi Indonesia dan mungkin juga hanya satu satunya di dunia. sering diartikan secara umum sebagai pemerintahan Oleh karena itu, masalah utama yang dibahas dalam dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, demikian kajian ini adalah proses pemilihan panglima tentara Abraham Lincoln (Presiden Amerika Serikat) pernah pertama di Indonesia pada 1945. Terkait hal itu maka menyebutkannya. Demokrasi berasal dari demokratia dirumuskanlah beberapa pertanyaan: (1) Bagaimana yang sudah digunakan pada pertengahan abad ke-5 SM cara pemilihan panglima tentara pertama di Indonesia? Demokrasi dalam Sejarah Militer Indonesia Kajian Historis tentang Pemilihan Panglima Tentara Pertama Pada 1945 79

(2) Mengapa diadakan pemilihan panglima tentara di diperlukan suatu dukungan data dari sumber sejarah lain Indonesia ketika itu? (3) Benarkah pemilihan panglima satu atau lebih. Apabila sumber yang berisi data hanya tentara pertama itu dilakukan secara demokratis? satu saja, maka koroborasi tidak dapat dilakukan. Dalam Rumusan masalah-masalah tersebut ditujukan untuk hal ini berlakulah prinsip Argumentum ex Silentio artinya menjawab secara detail proses demokrasi yang sumber berisi data itu dianggap sebagai fakta apabila dilakukan dalam pemilihan panglima tentara pada 1945. tidak ada kontradiksi (berdiam diri) atau penentangan terhadap data itu (Gottschalk, 1975: 102; Herlina 2008: METODE 35). Koroborasi yang dilakukan dalam kajian ini satunya adalah pencarian fakta terkait rapat tentara di Metode penelitian yang digunakan dalam pada 12 November 1945, dimana sumber penelitian ini adalah metode sejarah. Tahapan-tahapan sekunder seperti pemaparan Nugroho Notosusanto dalam dalam metode sejarah adalah sebagai berikut. Pertama buku Pejuang dan Prajurit, diperkuat oleh kesaksian adalah heuristik, yakni kegiatan dalam mencari, langsung Didi Kartasasmita yang waktu itu ikut dalam menemukan, dan menghimpun sumber atau jejak- pemilihan tersebut. jejak masa lalu. Sumber-sumber yang dihimpun itu Tahap ketiga adalah interpretasi. Dalam interpretasi dapat berupa sumber tertulis dan sumber tidak tertulis ini dilakukan dua macam interpretasi yang berbeda. dan juga wawancara dengan pelaku yang masih hidup. Interpretasi yang pertama adalah analisis. Pada analisis Sumber-sumber itu diperoleh dari berbagai tempat. ini fakta-fakta pemilihan panglima militer pertama Tahapan kedua adalah kritik atau verifikasi. tersebut diuraikan secara kronologis. Interpretasi kedua Kritik ini dilakukan pada sumber atau data yang telah adalah síntesis. Pada sintesis ini dilakukan penyatuan dihimpun. Kritik ini dapat dibagi dua, yaitu kritik fakta-fakta (Kuntowijoyo 1995: 100-105; Herlina, 2008: eksternal yang gunanya untuk menentukan sejauh mana 36-38). Dalam tahapan interpretasi ini, langkah utamanya otentisitas sumber, dan kritik internal untuk menguji adalah menggabungkan fakta-fakta yang telah ditemukan kredibilitas sumber. Untuk itu, hal yang dilakukan sehingga berurutan secara kronologis. adalah mengadakan penilaian intrinsik (hakiki) terhadap Tahapan terakhir adalah historiografi. Historiografi sumber. Dalam tahapan kritik ini dilakukan pemilahan adalah tahapan yang mana fakta-fakta yang telah sumber-sumber yang telah dihimpun itu menjadi sumber ditemukan, dituliskan menjadi suatu cerita yang menarik. primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah Pada tahapan historiografi ini terjadi suatu penulisan yang sumber yang berasal dari saksi sejarah (eyewitness). utuh dari interpretasi, eksplanasi, sampai pada presentasi Sumber berasal dari seseorang yang menyaksikan, atau pemaparan sejarah yang sebenar-benarnya secara mendengarkan, atau mengalami sendiri peristiwa yang bersamaan (Sjamsuddin, 2007: 155-156). Dalam tahap diceritakannya (Garraghan, 1947: 33, Gottchalk, 1975: historiografi ini, kajian disusun dalam lingkup judul 35-36, Sjamsuddin, 2007:107, Herlina, 2008: 10). Demokrasi Dalam Sejarah Militer Indonesia: Kajian Sumber primer ini bisa berupa arsip-arsip atau dokumen- Historis Tentang Pemilihan Panglima Tentara Pertama dokumen. Selain itu, sumber primer itu juga didapat pada 1945. dengan mewawancarai beberapa orang saksi atau pelaku yang masih hidup. Sumber-sumber primer itu kemudian HASIL DAN PEMBAHASAN dilengkapi oleh koran-koran yang memuat berita-berita yang sezaman. Sumber-sumber penelitian ini didapatkan Pembentukan Tentara Pada Awal Kemerdekaan dari Perpustakaan TNI AD dan Dinas Sejarah TNI AD Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di , Monumen Pers di , Perpustakaan pada 17 Agustus 1945, tidak secara langsung Peme- Nasional di , Museum Pusat TNI AD Dharma rintahan Indonesia membentuk tentara Indonesia. Pada Wiratama di Yogyakarta, serta Museum Panglima Besar 22 Agustus 1945, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Jenderal di Yogyakarta. Langkah selanjutnya Indonesia) lebih memilih membentuk suatu badan adalah menghimpun sumber sekunder. Sumber sekunder Penolong Keluarga Korban Perang. Badan tersebut adalah sumber yang berasal dari orang yang tidak lebih terkenal dengan sebutan BKR (Badan Keamanan menyaksikan sendiri peristiwanya dan bahkan tidak Rakyat). Sebetulnya pada rapat 19 Agustus 1945 sempat hidup sezaman dengan peristiwa-peristiwa yang diteliti. diputuskan untuk segera membentuk suatu tentara Sumber sekunder dapat juga berupa sumber yang telah kebangsaan (Tjahaja, 21 Agustus 1945). Akan tetapi, diolah secara ilmiah (Garraghan 1947: 91; Kuntowijoyo, keputusan itu diubah pada rapat 22 Agustus 1945 karena 1995: 96-97; Sjamsuddin, 2007: 106-107; Herlina, 2008: pada saat itu berkembang suatu pendapat bahwa jika 12-13). dibentuk tentara kebangsaan maka akan mengundang Dalam tahapan ini selanjutnya adalah melakukan serangan dari Sekutu ataupun Jepang yang telah sepakat koroborasi. Koroborasi itu dilakukan setelah dilakukan- untuk mempertahankan status quo. Pada saat itu, para nya kritik eksternal dan kritik internal. Koroborasi anggota PPKI berpendapat bahwa kekuatan tentara dilakukan karena dalam mendapatkan fakta sejarah kebangsaan yang akan dibentuk belum cukup untuk 80 Widyo Nugrahanto dan Rina Adyawardhina menghadapi gempuran Sekutu ataupun Jepang. Dan Menteri ad interim : Moehamad Soeljoadikoesoemo pilihan utamanya adalah melakukan diplomasi untuk Pemimpin Tertinggi : Soeprijadi mendapatkan pengakuan kemerdekaan Indonesia saat itu. Kepala Staf Umum : Mayor Oerip Soemohardjo Pada rapat 22 Agustus 1945 tersebut, PPKI memutuskan untuk membentuk KNI (Komite Nasional Indonesia), Untuk menjalankan fungsi Menteri Keamanan yang Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Badan Keamanan kosong karena ketidakhadiran Soeprijadi diangkatlah Rakyat (BKR) sebagai bagian dari Badan Penolong Moehamad Soeljoadikoesoemo, mantan daidanco Keluarga Korban Perang (BPKKP) (Tjahaja, 23 Agustus (Nasution 1970:208-239). 1945). Dalam pidato pembentukan ketiga badan tersebut - Wakil Presiden Moehamad Hatta memanggil 23 Agustus 1945 - Presiden Soekarno mengatakan kepada Oerip Soemohardjo - seorang pensiunan mayor KNIL mantan anggota PETA (Pembela Tanah Air), Heiho dan (Koninklijke Nederlandsche Indische Leger) yang pemuda-pemuda kelaskaran lainnya untuk bergabung pensiun pada 1938 - untuk datang ke Jakarta. Oerip dalam BKR dan untuk dipanggil menjadi prajurit Soemohardjo kemudian diangkat oleh Moehamad Hatta tentara kebangsaan (Soeara Asia, 24 Agustus 1945). menjadi Kepala Staf Umum Tentara dengan pangkat BKR atau Badan Keamanan Rakyat tersebut letnan jendral (Notosusanto, 1991:41) dan ditugaskan kemudian menjadi suatu wadah berkumpulnya para untuk membentuk tentara Indonesia (Nasution, 1970: mantan anggota PETA dan Heiho yang telah dibubarkan 125). Alasan dipilihnya Oerip Soemohardjo ialah oleh Jepang pada 19-20 Agustus 1945 (Nasution, 1970: karena ia pernah membuat pernyataan “Aneh negara 115) - sehubungan dengan menyerahnya Jepang pada zonder tentara” (Notosusanto, 1991: 40). Pernyataan Sekutu 14 Agustus 1945. BKR kemudian berdiri di yang menyindir pemerintah tersebut malah membuat daerah-daerah karena gerakan spontan dari para mantan ia diperhatikan pemerintah. Apalagi Mohamad Hatta PETA dan Heiho yang ada di daerah dalam merespon (Wakil Presiden) dan Soetan Sjahrir (yang nantinya pidato Soekarno. BKR yang berdiri kemudian menjadi diangkat sebagai Perdana Menteri atas saran Mohamad badan-badan yang melakukan revolusi di daerah-daerah Hatta) adalah mahasiswa lulusan Belanda yang sangat (Nasution, 1970: 115). Di dalam BKR terdapat kesatuan mengerti tentang mutu orang-orang lulusan Belanda. keprajuritan darat, laut dan udara. Para mantan Kaigun, Oerip Soemohardjo dalam hal ini ialah seorang pensiunan Heiho, serta para pemuda yang bekerja pada obyek-obyek perwira KNIL dengan pangkat mayor yang lulusan Breda, vital di pelabuhan-pelabuhan dan pada jawatan-jawatan sekolah kemiliteran di Belanda. Hatta dan Sjahrir sangat pelayaran membentuk BKR Penjaga Pantai (Soeara percaya pada perwira lulusan Breda di Belanda daripada Asia, 12 September 1945). Sementara itu, pemuda- mantan-mantan PETA atau Heiho yang tidak mengalami pemuda mantan anggota badan penerbangan Belanda dan pendidikan kemiliteran secanggih pendidikan di Breda pemuda-pemuda mantan anggota kesatuan penerbangan Belanda. Selain itu, Hatta juga dapat masukan dari Didi Jepang - seperti Rikugun Koku Butai, Kaigun Koku Butai Kartasasmita tentang sepak terjang Orip Soemohardjo. dan Nanpo Koku Kabusyiki - membentuk BKR udara Keresahan muncul di kalangan para anggota TKR (Trihadi, 1981:2). di daerah-daerah akibat Soeprijadi yang sejak ditetapkan Pada 5 Oktober 1945, BKR diubah menjadi sebagai panglima tentara tidak pernah muncul atau TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Presiden Soekarno datang ke Jakarta. Selanjutnya, sambil menunggu membentuk tentara untuk tujuan memperkuat perasaan kehadiran Soeprijadi, untuk melengkapi ketentaraan di keamanan umum (Fattah,2005: 46). Selain itu, pem- Indonesia, Kementrian Keamanan Rakyat atas kerjasama bentukan tentara dengan nama keamanan rakyat ini Oerip Soemohardjo dan Moehamad Soeljoadikoesoemo dimaksudkan untuk dapat menjadi sebuah pertanda bagi membentuk empat komandemen di , Jawa Sekutu maupun Jepang bahwa tentara yang dibentuk Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kepada setiap oleh Pemerintah Indonesia ini bukan untuk menghadapi panglima masing masing komandemen diberikan musuh yang datang atau menghadapi Sekutu ataupun komando taktis, baik atas kesatuan kesatuan TKR Jepang, tetapi untuk menangani masalah dalam negeri, (Tentara Keamanan Rakyat) yang regular maupun atas yaitu keamanan rakyat. sekian banyaknya badan perjuangan, yakni nama baru Pada 6 Oktober 1945 dikeluarkan surat resmi yang diberikan kepada berbagai organisasi kelaskaran. berjudul Maklumat Pemerintah yang isinya mengangkat Selanjutnya, batalyon-batalyon TKR dikelompokkan Soeprijadi seorang anggota PETA yang memimpin menjadi resimen dan divisi. Enam divisi terbentuk di pemberontakan di sebagai Menteri Keamanan Sumatra, tiga di Jawa Barat, empat di Jawa Tengah dan Rakyat - yang berarti sekaligus sebagai Panglima Tentara tiga di Jawa Timur (Sundhaussen, 1988: 14). Keamanan Rakyat. Menurut Nasution (Nasution, 1970) Dalam pembentukan komandemen, Oerip karena Soeprijadi tidak pernah muncul atau datang ke Soemohardjo dibantu oleh pemuda bekas perwira KNIL, Jakarta, maka pada 4 Oktober 1945 untuk melengkapi yaitu Soerjadharma dan TB Simatoepang. Mereka jabatan dalam Kementrian Keamanan Rakyat diang- kemudian memilih Yogyakarta sebagai Markas Tertinggi katlah susunan kepengurusan sebagai berikut: TKR (MT TKR). Pada awalnya markas itu terletak Demokrasi dalam Sejarah Militer Indonesia Kajian Historis tentang Pemilihan Panglima Tentara Pertama Pada 1945 81 di gedung yang sekarang menjadi Hotel Garuda di persaingan mantan KNIL dan mantan PETA. Yogyakarta, lalu dipindahkan ke bangunan rumah yang Ia menduga gejala persaingan itu telah diketahui oleh sekarang menjadi Museum TNI AD Yogyakarta. Oerip Soemohardjo dan pemerintah pusat. Didi menduga Pada awalnya, Oerip Soemohardjo hanya akan persaingan itu menjadi salah satu titik tolak Oerip sebagai membentuk empat divisi saja, yaitu tiga di Jawa dan satu kepala MBT (Markas Besar Tentara) menyelenggarakan di Sumatra. Namun, karena pemuda yang mendaftar rapat perwira. Selain itu, ada pula kondisi objektif yang sebagai anggota TKR membludak melebihi yang mengharuskan diselenggarakannya rapat itu, yaitu TKR direncanakan maka terjadilah pembentukan yang lebih belum memiliki pemimpin tertinggi yang lazim disebut banyak. Di Sumatra, anggota TKR banyak berasal sebagai “Panglima Besar” (Sumarsono,1993: 142-143). dari Barisan Pemuda Republik Indonesia (BPRI) dan Pada 12 November 1945 diadakanlah rapat tentara Pemuda Indonesia (PI), sedangkan di Jawa banyak di sebuah gedung markas Tertinggi Tentara Keamanan berasal dari PETA dan Heiho yang bergabung dalam Rakyat (MT TKR) di daerah Gondokusuman, Yogyakarta. BKR yang kemudian menjadi TKR (Soeara Merdeka, 10 Sekarang gedung tersebut menjadi gedung Museum November 1945). Para panglima komandemen tersebut Dharma Wiratama Museum Pusat TNI-AD, sebuah ditetapkan oleh Oerip Soemohardjo dan Moehamad museum di bawah pengelolaan TNI AD. Gedung tersebut Soeljoadikoesoemo. Para panglima komandemen ter- sempat menjadi Korem 072/Pamungkas Kodam VII sebut adalah sebagai berikut: Komandemen I Jawa . Gedung ini dibangun Pemerintah kolonial barat dipimpin oleh Jenderal Mayor Didi Kartasasmita; Belanda pada 1904 yang digunakan sebagai rumah dinas Komandemen II Jawa Tengah dipimpin oleh Jenderal Pejabat Administrasi Perkebunan Belanda di Jawa Tengah Mayor Soeratman; Komandemen III Jawa Timur dan Yogyakarta. Pada masa Pendudukan Jepang, gedung dipimpin oleh Jenderal Mayor Moehamad; serta ini digunakan sebagai Markas Tentara Jepang (syudokan) Komandemen Sumatra dipimpin oleh Jenderal Mayor di Yogyakarta. Semua divisi diundang untuk datang ke Soehardjo Hardjowardojo (Nasution, 1970: 208). rapat tentara di Yogyakarta. Konferensi tersebut dihadiri Untuk mengatasi kemungkinan kacaunya keadaan hampir semua komandan Divisi dan Resimen TKR. karena kedatangan musuh, sebagai pimpinan TKR, Oerip Juga hadir dalam rapat konferensi itu adalah Sri Sultan Soemohardjo mengeluarkan perintah kepada TKR untuk Hamengkoeboewono IX, Soenan Pakoeboewono XII dan menduduki jabatan pamong praja agar dapat menjamin Mangkoenegoro X. Utusan dari Sumatra yang hadir hanya keamanan dan kesejahteraan masyarakat. “Pada tempat- seorang, yaitu Kolonel Moehamad Noeh mewakili enam tempat di mana pamongpraja sudah meninggalkan tempat divisi di Sumatra (, 1992:63). kerjanya atau hilang, mereka segara diganti TKR yang Sejatinya, dalam rapat tersebut Oerip Soemohardjo sesuai dengan tingkat dan pangkatnya, misalnya Kepala berharap mendapat mandat dari divisi-divisi yang Desa diganti oleh Komandan Regu, Camat diganti hadir untuk menjadi panglima tertinggi TKR. Apalagi oleh Komandan Seksi (peleton), Wedana diganti oleh Mohamad Hatta sudah tampak mendukungnya. Ketika Komandan Kompi dan Bupati diganti oleh Komandan itu rapat dihadiri oleh para perwira senior dalam markas Batalyon” (Kedaoelatan Rakjat, 1 November 1945). tertinggi TKR (MT TKR), panglima-panglima divisi Selain itu, para anggota TKR juga menduduki Badan dan komandan-komandan resimen dari Pulau Jawa. Pekerja Komite Nasional Pusat dan Daerah seperti yang Dari Pulau Sumatra tidak ada yang hadir karena sulitnya terjadi di (Soeara Rakjat, 16 Oktober 1945). komunikasi dan akses di masa awal kemerdekaan. Hanya seorang wakil dari Sumatra yaitu Moehamad Rapat Tentara di Yogyakarta Noeh. Begitu pula dari Surabaya tidak ada yang hadir Bersamaan dengan pembentukan divisi-divisi karena ketika itu Surabaya telah dilanda peperangan (10 dan komandemen-komandemen di daerah-daerah, November 1945) dengan Inggris (Notosusanto, 1991: pasukan Sekutu telah mengadakan pellucutan senjata 43). di beberapa daerah yang didudukinya. Oleh karena Setelah rapat dibuka oleh Oerip Soemohardjo, itu, para perwira TKR mendesak pemerintah untuk forum membicarakan tentang bagaimana membangun sesegera mungkin mengisi jabatan Panglima Tentara tentara yang kuat guna menghadapi serangan Sekutu. Akan dan Menteri Keamanan. Pada awalnya, pemerintah tidak tetapi, menurut Didi Kartasasmita sejak awal rapat sudah menanggapi desakan para perwira TKR tersebut, tetapi timbul kesan bahwa rapat perwira tersebut tidak akan karena Oerip Soemohardjo sudah diberi mandat untuk tertib. Para pesertanya datang dengan pistol di pinggang. membentuk tentara maka ia atas seizin pemerintah pusat Didi menyebutnya sebagai rapat koboy-koboyan. Rapat berinisiatif untuk memanggil semua panglima divisi itu terkesan kacau dan tidak mencerminkan kedisiplinan. dan resimen TKR untuk sebuah rapat besar. Rapat atau Orang yang berbicara di forum selalu disoraki, tidak konferensi tersebut dilakukan pada 12 November 1945 di terkecuali pejabat sementara Menteri Pertahanan yaitu Yogyakarta setelah Jakarta diduduki oleh tentara Sekutu Moehamad Soeljoadikoesoemo (Sumarsono, 1993:143- (Tjokropranolo, 1992:64). Menurut Didi Kartasasmita, 145). Nasution mengatakan bahwa rapat berkembang dalam ketentaraan pada masa itu telah muncul gejala sedemikian rupa sehingga Oerip susah menguasai 82 Widyo Nugrahanto dan Rina Adyawardhina jalannya pembicaraan. Wakil Pemerintah Pusat Ketika pencalonan dibuka, muncullah beberapa nama Soeljoadikoesoemo pun tak dapat memberikan tuntunan. yang dituliskan di papan tulis, yaitu: Berbeda dengan pernyataan Didi Kartasasmita dan 1. Hamengkoeboewono IX (Sultan Yogyakarta) Nasution, menurut suasana rapat semakin 2. Widjoyo Soerjokoesoemo seru, hangat dan riuh ramai ketika dimulai pencalonan 3. GPH Poerbonegoro (Bangsawan Jawa) nama-nama yang akan dijadikan calon panglima 4. Oerip Soemohardjo (utusan Pemerintah Pusat dan karena yang hadir belum siap untuk mengajukan nama mantan perwira KNIL) calon masing-masing. Akibatnya, Soedirman meminta 5. Soedirman (Komandan Resimen TKR Banyumas rapat diskors beberapa saat (Djatikoesoemo dalam dan mantan PETA) Tjokropranolo 1992: 64). 6. Soerjadharma (mantan perwira angkatan udara Menurut majalah Tentara Keamanan Rakyat KNIL) (1946), saat itu sebetulnya telah mencuat dua nama yang 7. M. Pardi (seorang laksamana Kepala TKR Laut) ramai dibicarakan untuk mengganti Soeprijadi, yaitu 8. Nazir (mantan pelaut yang pernah bekerja di Oerip Soemohardjo - yang ketika itu diberi mandat sebagai angkatan laut Jepang) kepala Staf Umum dari Pemerintah Pusat di Jakarta - serta Soedirman sebagai Panglima Divisi V Banyumas. Menurut Kantor Berita Antara, suatu saat nanti Munculnya nama Soedirman berasal dari suara kalangan Komodor Soerjadarma diangkat sebagai Kepala Staf mantan PETA yang hadir dalam rapat tersebut. Berbeda Angkatan Udara, Nazir diangkat menjad kepala Staf dengan para mantan KNIL yang berharap Oerip lah yang Angkatan Laut, Oerip diangkat sebagai Kepala Staf dapat memenangkan pemilihan tersebut. Alasannya, Umum, Sakirman sebagai Ketua Laskar Rakyat, Oerip adalah tokoh senior yang dianggap mumpuni dan diangkat sebagai Ketua Pejuang Revolusi Rakyat pada 28 cakap dalam organisasi kemiliteran. Apalagi ia seorang Juni 1947 (Algemeen Indisch Dagblad; De Preangerbode lulusan Sekolah Militer Breda di Belanda. Akan tetapi, 48e Jaargang no 144 Selasa 1 Juli 1947). pandangan berbeda berkembang dalam pemikiran Pemilihan berlangsung hanya dengan mengangkat kalangan mantan PETA yang hadir dalam rapat saat itu. dan mengacungkan tangan satu per satu setelah Rupanya mereka masih punya kecurigaan pada perwira- nama-nama calon disebutkan oleh Holland Iskandar perwira mantan KNIL karena mereka dianggap sebagai (Pernyataan Djatikoesoemo dalam Tjokropranolo 1992: perwira didikan Belanda. Oleh karena itu, mereka masih 64 dan dalam Historia 32 tahun III 2016:68). Menurut berharap bahwa pengganti Soeprijadi adalah juga mantan Didi Kartasasmita dalam bukunya: PETA. “Sebelum pemilihan berlangsung, ada orang yang Pada saat jalannya rapat, muncul pertanyaan saya nilai sangat aktif. Ia adalah Holland Iskandar, tentang cara pemilihan pimpinan tertinggi tersebut. mantan Daidancho (atau mungkin juga Syudancho) Ketika itu Oerip Soemohardjo mengusulkan pemilihan di Jawa Tengah. Bisa jadi Holland sendiri yang secara langsung. Menurut Majalah Historia, cara aktif mensponsori Pak Dirman untuk menjadi pemilihan tersebut sangat sederhana, yakni peserta Panglima Besar. Holland itulah yang kemudian cukup mengangkat tangan dan mengacungkan tangan memimpin rapat pemilihan, menggantikan Pak begitu nama kandidat yang dipilihnya disebutkan panitia Oerip (Sumarsono, 1993:145)”. (Historia, 32 Tahun III 2016: 68). Sepertinya ketika itu para perwira yang hadir tidak sedang berpikir untuk Pemilihan berlangsung tiga putaran. Pada putaran menerapkan sistem demokrasi atau tidak sedang memilih pertama dua calon gugur. Pada putaran kedua dua calon cara demokrasi langsung untuk memilih panglima gugur lagi. Pada putaran ketiga, tersisa empat nama, di tertinggi mereka. Mereka pun sepertinya berpikir bahwa antaranya Soedirman, Oerip Soemohardjo, Hameng cara itu adalah suatu cara yang paling adil dalam memilih koeboewono IX dan Soerjadharma. Lalu terpilihlah tokoh yang akan memimpin mereka kelak. Soedirman dengan selisih suara yang tidak terlalu banyak Secara kronologis, setelah waktu skorsing dengan Oerip Soemohardjo (Pernyataan Djatikoesoemo dicabut dimulailah kembali rapat tersebut. Suasana dalam Tjokropranolo 1992: 64). Pernyataan ini diperoleh rapat pun sudah tenang, tidak seperti sebelumnya. Saat dari Djatikoesoemo yang disampaikan pada peringatan itu dipilihlah salah seorang pimpinan sidang untuk wafatnya Soedirman pada 9 Februari 1991 yang diadakan memimpin pemilihan, yakni Letnan Kolonel Holland oleh Yayasan PETA di Gedung Pola Jakarta. (Tjokropranolo Iskandar. Holland Iskandar memimpin secara terbuka 1992: 64). Menurut Didi Kartasasmita, Oerip Soemohardjo rapat tersebut dengan meminta pengajuan para calon mendapat 21 suara, sedangkan Soedirman 23 suara panglima dari para peserta melalui secarik kertas (Sumarsono,1993:143). Mengenai perolehan suara ter- dan langsung dituliskan di papan tulis yang tersedia dapat perbedaan data. Majalah Historia menyebutkan di ruangan tersebut. Menurut Didi Kartasasmita, Soedirman hanya unggul 1 suara dari Oerip, yaitu 22 suara, Holland sangat aktif memimpin rapat pemilihan itu sedangkan Oerip mendapat 21 suara (Historia 32 tahun III (Sumarsono,1993:145). 2016:68). Demokrasi dalam Sejarah Militer Indonesia Kajian Historis tentang Pemilihan Panglima Tentara Pertama Pada 1945 83

Uniknya, enam suara bagi Soedirman diperoleh diketahui bahwa yang banyak hadir rapat dan ikut hanya dari satu nama yaitu Mohammad Noeh memilih dalam rapat itu adalah para mantan tentara sebagai wakil Sumatra satu satunya yang datang ke didikan Jepang, seperti PETA dan Gyu-gun. Ada beberapa rapat tersebut (Djatikoesoemo dalam Tjokropranolo, mantan PETA yang sebetulnya pernah mengenyam 1992:64). Menurut Nasution (Nasution: 1989), kemiliteran KNIL. Mereka ini pernah menjadi anggota karena Mohammad Noeh mewakili enam resimen KNIL dan saat Jepang menduduki Indonesia, mereka yang terdapat di Sumatra, maka semua suara dari beralih menjadi anggota PETA dan ketika Indonesia Sumatra berasal dari Noeh. Kebetulan Noeh memang merdeka, memilih masuk BKR. Mereka di antaranya lebih dekat ke PETA karena kebanyakan TKR Djatikoesoemo, Soeharto, , dan Ibrahim Sumatra adalah mantan Gyugun, tentara Sukarela Adjie. Jumlah terbanyak adalah mantan PETA yang bentukan Jepang. Berikut hasil wawancara Majalah masuk BKR, yang terkemuka dari golongan ini adalah Historia dengan Antony N.A.Noeh putra Kolonel Soedirman. Mantan KNIL jumlahnya lebih sedikit. Moehammad Noeh dalam majalah Historia 32 tahun Mereka dapat dibagi dua, yaitu yang pertama adalah yang III 2016. sempat mengenyam pendidikan di Breda (jumlahnya “Kolonel Nuh hadir membawa surat paling sedikit) diantara mereka adalah Didi Kartasasmita, dari Koordinator/Organisator Tentara di Sumatra Dr. A.K.Gani yang menetapkan dirinya sebagai Kepala Soerio Soelarso, Soerjadharma dan Oerip Soemohardjo Staf Komandemen Sumatra. Sebagai satu-satunnya - yang paling senior di antara mereka. Lalu yang kedua wakil TKR Sumatra pada rapat itu, sejak kali pertama adalah mereka yang hanya dididik dalam sekolah militer Muhamad Nuh merasa berhak menyumbangkan KNIL di , yaitu TB Simatupang, AH. Nasution enam suara. Itu diyakini Muhammad Nuh karena dan Alex Kawilarang (Sundhaussen, 1988: 20-23). kapasitasnya selaku wakil Komandemen Sumatra Kedua, kebanyakan dari mereka adalah orang dari yang membawahkan 6 divisi. Namun karena dalam suku-suku dari Pulau Jawa. Suku Jawa dalam hal ini kenyataannya divisi yang dimaksud belum terbentuk, adalah perwira-perwira Cirebon dan sedikit perwira dari pendirian Nuh ditentang beberapa Panglima Divisi dan suku Sunda. Para perwira dari luar Pulau Jawa jumlahnya Komandan Resimen dari Jawa. Mereka menghendaki sangat sedikit, yaitu AH Nasution dan TB Simatupang. Kolonel Muhammad Nuh pun sepatutnya hanya Sementara sebagian besar dari mereka adalah para perwira punya satu suara. Disinilah peran Holland Iskandar. dari suku Jawa dan Sunda, seperti Oerip Soemohardjo, Selaku pemimpin rapat, Holland meluluskan ke Soedirman, Gatot Soebroto, Didi Kartasasmita, Ibrahim inginan Muhammad Nuh dengan mengacu pada Adjie, Hidajat Padmadisastra (Sundhaussen, 1988: 20- kawat/telegram dari Presiden Soekarno mengenai 23). pengangkatan Dr.A.K.Gani sebagai Koordinator/ Ketiga, di antara mereka sebagian besar adalah Organisator Tentara di Sumatra. Kawat itulah yang muslim dan sedikit para perwira abangan atau melahirkan keputusan penetapan Jenderal Mayor Jawa. Di Jawa terdapat subkultur santri dan abangan Suhardjo sebagai panglima Komandemen Sumatra (untuk hal ini baca The Religion of dari Cliffort dan Kolonel Muhammad Nuh sebagai Kepala Staf Geertz), dan lebih sedikit lagi adalah perwira Protestan Komandemen Sumatra. Pada akhirnya, argumen seperti Simatupang dan Kawilarang (Sundhaussen, 1988: yang diutarakan Kolonel Muhammad Nuh dapat 20-23). Melihat komposisi yang hadir kala itu, sulit bagi diterima oleh peserta konferensi.” Oerip Soemohardjo - yang mantan KNIL dan seorang Jawa abangan dan beristri seorang perempuan priyayi Setelah diadakan pemilihan, maka terpilihlah beragama Katholik - dapat memenangkan pemilihan Soedirman - yang ketika itu masih berusia 29 tahun – sebagai panglima tentara. Di kalangan perwira-perwira pada rapat tentara itu. Istri Oerip Soemohardjo adalah Jawa yang hadir kala itu, Soedirman dipandang memiliki Raden Ayu Maria Rochmah, seorang perempuan Indo- daya tarik dan kharisma yang besar. Ketika zaman Belanda (Kompas,30 Oktober 1977:6). Apalagi tokoh Pendudukan Jepang, ia pernah duduk sebagai anggota pemimpin rapat adalah Holland Iskandar yang menurut Dewan Penasehat Daerah “Syu SangiKai” Didi Kartasasmita ikut mempromosikan Soedirman Jawa Tengah. Namanya terkenal setelah berhasil merebut untuk maju sebagai calon panglima tentara. Selain itu, senjata dari gudang tentara Jepang di Banyumas pada 9 hal yang terpenting ialah Soedirman namanya “sedang September 1945 (Salam 1963: 21-26). Oerip Soemohardjo naik daun” karena peristiwa perebutan gudang senjata di kemudian tetap diminta menjabat sebagai Kepala Staf Banyumas sehingga membuat orang memperhitungkan Umum, dan ditetapkanlah Hamengkoeboewono IX namanya sebagai calon panglima tentara. sebagai Menteri Keamanan (Sekarang jabatan itu menjadi Selain Panglima tertinggi TKR, ketika itu dipilih Menteri Pertahanan). pula tokoh yang akan menjadi menteri keamanan rakyat. Menteri Keamanan terpilih ketika itu adalah Sri Analisis Kemenangan Soedirman Soeltan Hamengkoeboewono IX untuk menggantikan Terpilihnya Soedirman sebagai panglima tertinggi Moehamad Suljoadikoesoemo. Dalam terpilihnya Sri tentara, memiliki beberapa tendensi. Pertama, perlu Soeltan tidak terlalu banyak masalah. Tampak lebih 84 Widyo Nugrahanto dan Rina Adyawardhina mudah karena dianggap tidak ada nama lain yang datang untuk mengambil alih Indonesia kembali. Kedua dianggap sesuai selain Sri Soeltan. Terpilihnya Soedirman tentara yang akan berjuang sendiri tanpa ketaatan pada dan Soeltan Hamengkoeboeono IX lebih mencerminkan Pemerintah RI di bawah Soekarno-Hatta. Soekarno yang subkultur dalam masyarakat Jawa. Soedirman yang telah lama menggandrungi persatuan dan kesatuan lebih berlatar belakang Santri dan Soeltan memilih mengakui hasil rapat tentara di Yogyakarta itu. Hamengkoeboeono IX yang berlatar belakang priyayi Pada 18 Desember 1945, akhirnya Kolonel (raja Keraton Yogyakarta yang sangat dihormati). Soedirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR dengan Clifford Geertz pernah mengklasifikasikan masyarakat pangkat Jenderal, sedangkan Oerip Soemohardjo dilantik Jawa dalam tiga subkultur yaitu santri, abangan dan kembali sebagai Kepala Staf dengan pangkat Letnan priyayi. (lihat Clifford Geertz Religion of Jawa, 1981). Jenderal (Tentara Keamanan Rakyat no 1 tahun I tanggal Pemilihan panglima tertinggi TKR tersebut 10 Januari 1946: 1). Pada akhir 1945, timbul konsep mencerminkan paham demokratis yang ada di kalangan keselamatan untuk merubah konsep keamanan dengan militer saat itu. Cara voting atau pemilihan langsung harapan bahwa konsep keselamatan tersebut tentara akan dengan mengangkat tangan atau mengacungkan lebih memperluas dan memperdalam tugas ketentaraannya tangan ketika itu dirasa sangat unik karena tidak umum (Nasution, 1970: 258). Pemerintah mengabulkan, lalu digunakan pada zaman itu, ditambah dalam budaya menerbitkan surat penetapan pada 1 Januari 1946. Sejak militer lazim menggunakan sistem komando. Di saat saat itu, nama tentara secara resmi disebut TKR (Tentara sebagian besar orang Indonesia kala itu belum berpikiran Keselamatan Rakyat) (Notosusanto, 1991:43). Begitu demokratis, tentara sudah menerapkan demokrasi dalam juga nama Kementerian Keamanan digantikan menjadi pemilihan langsung panglima tertingginya. Menurut Kementerian Pertahanan (Nasution,1970: 258-259). Nugroho Notosusanto (1991: 43) tidak mungkin dalam Tentara Keselamatan Rakyat kemudian diubah lagi suatu tentara profesional ala barat dilakukan pemilihan menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada tanggal seorang panglima besar oleh pihak tentara itu sendiri, 24 Januari 1946. sedangkan menurut Tjokropranolo (1992) pemilihan ini berlangsung secara demokratis dan penuh perasaan SIMPULAN kesetiakawanan. Dalam hal berlakunya cara demokrasi Dalam rapat tentara yang terjadi di Yogyakarta tersebut, ini, Oerip Soemohardjo-lah tokoh yang paling berjasa di telah terbukti bahwa sistem demokrasi, yaitu pemilihan balik munculnya paham demokratis tersebut karena dari langsung atau voting telah digunakan untuk memilih dirinyalah ide pemilihan secara demokratis ini diadakan. pimpinan tertinggi tentara Indonesia. Perlu dicatat bahwa pada masa itu sistem kemiliteran belum stabil Setelah Rapat Tentara sehingga Oerip Soemohardjo menggunakan cara sipil Oerip Soemohardjo dapat menerima hasil rapat dalam pemilihan panglima militer pertama, yaitu dengan tentara itu, meski awalnya sempat kecewa. Terdapat cara voting. Walaupun mungkin saja ketika itu para tendensi bahwa Oerip Soemohardjo berharap men- perwira militer yang hadir tidak bermaksud menerapkan dapatkan legitimasi untuk memimpin TKR dari para demokrasi atau tidak terpikir akan konsep demokrasi tentara yang hadir. Mohamad Hatta dan langsung, tetapi mungkin mereka memikirkan cara pun berkeberatan untuk mengakui hasil rapat tentara di tersebutlah cara yang paling adil untuk memilih panglima Yogyakarta tersebut karena Hatta dan Sjahrir telah berharap tertinggi mereka. Sebetulnya Oerip Soemohardjo banyak pada Oerip Soemohardjo karena latar belakang berharap mendapatkan legitimasi untuk memimpin pendidikan militernya dari Breda Belanda. Sjahrir pun TKR dari para tentara yang hadir saat itu. Terpilihnya bersikeras sebagai Perdana Mentri bahwa ia berhak Soedirman menyiratkan bahwa Soedirman lah yang mengangkat menteri-mentrinya dan akan menyerahkan mendapatkan legitimasi dari mayoritas tentara yang hadir jabatan Menteri Keamanan pada Amir Sjarifudin dan untuk memimpin TKR ketika itu. tidak mau menerima Soeltan Hamengkoeboewono IX. Demokrasi langsung telah diterapkan dalam pemilihan Di saat Hatta dan Sjahrir dalam kebimbangan, Soekarno Panglima Tertinggi tentara Indonesia pertama melalui mengambil keputusan untuk mengakui hasil rapat tentara voting pada rapat tersebut. Suatu hal yang unik tapi Yogyakarta tersebut. Kurang lebih satu bulan Soekarno nyata dalam sejarah kemiliteran Indonesia disaat sistem menyakinkan Hatta dan Sjahrir. Akhirnya Sjahrir dan demokrasi langsung belum banyak dipikirkan ketika Hatta setuju dengan pemilihan di Yogyakarta tersebut, itu bahkan oleh elit-elit politik Indonesia ketika itu. asalkan Oerip tetap duduk menjabat sebagai Kepala Staf Melihat berkembangnya sistem demokrasi sedemikian (Notosusanto, 1991: 43). Jika rapat tentara di Yogyakarta rupa seperti yang terjadi di Indonesia sekarang, ternyata tersebut tidak diakui, maka kemungkinan besar tentara pihak militer di Indonesia telah mempraktekkannya tidak akan setia pada Pemerintahan Indonesia di bawah dalam pemilihan panglima pertamanya. Oleh karena Soekarno-Hatta. Pemerintahan Republik Indonesia di itu, sangat tepat jika TNI sekarang mendukung sistem bawah Soekarno-Hatta pasti akan mendapatkan dua demokrasi di Indonesia karena telah dicontohkan oleh musuh sekaligus. Pertama tentara Sekutu dan NICA telah bapak-bapak founding-father pendiri TNI itu sendiri. Demokrasi dalam Sejarah Militer Indonesia Kajian Historis tentang Pemilihan Panglima Tentara Pertama Pada 1945 85

DAFTAR PUSTAKA Rahmatunnisa, M dan Mariana, D. (2003). Democracy: Is it Necessary?. Sosiohumaniora Algemeen Indisch Dagblad; De Preangerbode 48e 5, (3) 2003. Hlm. 175 Edisi no 144 Selasa 1 Juli 1947 Salam, S. (1963). Jenderal Sudirman Pahlawan Kemer- Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. dekaan. Jakarta: Jaya Murni Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Soeara Asia, 24 Agustus 1945 Dahl, R.A. (1992). Demokrasi dan Para Pengkritiknya Soeara Asia, 12 September 1945 (Terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Soeara Merdeka, 10 November 1945 Fattah, A. (2005). Demiliterisasi Tentara; Pasang Surut Politik Militer 1945- 2004. Yogyakarta: LKiS. Soeara Rakjat, 16 Oktober 1945 Geertz, C. (1981). The Religion of Java; Abangan, Soebroto, R.S. (1973). Oerip Soemohardjo Letnan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jenderal TNI; 22 Februari 1893-17 November Jakarta: Pustaka Jaya. 1948. Jakarta: Gunung Agung. Herlina, N. (2011). Metode Sejarah. Bandung: Satya Sundhaussen, U. (1988). Politik Militer Indonesia Historika. 1945-1967; Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES. Historia 32 tahun III 2016. Hlm 45-79.”Oerip Soemohardjo Bapak Tentara Yang dilupakan”. Sumarsono, T. (1993). Djenderal Major Didi Kartasasmita: Pengabdian Bagi Kemerdekaan Kedaoelatan Rakjat, 1 November 1945. dan Lahirnya Organisasi Tentara. Jakarta: Tentara Keamanan Rakyat no 1 Tahun I 10 Januari Pustaka Jaya 1946. Yogyakarta. Tjahaja, 21 Agustus 1945 Kompas, 30 Oktober 1977. Hlm 6. Tjahaja, 23 Agustus 1945 Kuntowijoyo. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah. Tjokropranolo. (1992). Panglima Besar TNI Jenderal Yogyakarta: Bentang. Soedirman; Pemimpin Pendobrak Terakhir Nasution, A.H. (1970). TNI Tentara Nasional Penjajahan di Indonesia, Kisah Seorang Indonesia I. Jakarta: Seruling Masa. Pengawal. Jakarta: PT Surya Persindo. ______.(1989). Memenuhi Panggilan Tugas I ; Trihadi. (1981). Sejarah Perkembangan Angkatan Kenangan Masa Gerilya. Udara. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI. Notosusanto, N (editor). (1991). Pejuang dan Prajurit. Jakarta: Sinar Harapan.