NEGARA DAN PLURALISME AGAMA (Studi Pemikiran Tentang Pluralisme Agama Di Pasca Orde Baru)

Oleh Anang Lukman Afandi NIM : 103 033 227 810

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M

ABSTRAKSI

Pluralisme agama sepertinya menemui jaman keemasan kembali. Di saat masyarakat Indonesia sering terjadi konflik yang bernuansa agama, pembahasan tentang pluralisme akan kembali menjadi topik perbincangan para tokoh lintas agama di Indonesia. Dalam hal ini penulis akan mencoba untuk mengulas kembali makna pluralisme menurut salah satu tokoh moderat Islam yaitu Hasyim Muzadi, Rois Syuriah Pengurus Besar . Kajian tentang pluralisme agama Hasyim Muzadi dalam skripsi ini dilatar-belakangi bahwa penulis menganggap bahwa selama ini masih sedikit karya-karya yang berisi pemikiran Hasyim Muzadi. Tujuan penulis adalah ingin memperdalam pengetahuan pemikiran- pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme serta langkah-langkah yang beliau lakukan guna memperjuangkan pluralitas keagamaan di Indonesia.

Hasyim Muzadi sebagai salah satu tokoh moderat yang konsisten memperjuangkan Pluralisme, menawarkan sebuah solusi atas kebuntuan dialog antar agama maupun keyakinan. Pluralisme dianggap sebagai sebuah keniscayaan untuk mempertahankan pluralitas keagamaan di Indonesia dan menjaga kerukunan antar umat yang berbeda agama maupun keyakinan sehingga dapat memperkuat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kesimpulan dari pembahasan tentang pemikiran-pemikiran Hasyim Muzadi diantaranya pemikiran tentang Pluralisme sebagai bagian dari Humanisme serta perbedaan pluralisme teologis dan pluralisme sosiologis. Menurut Hasyim Muzadi, umat beragama di Indonesia harus sadar bahwa masalah-masalah yang dihadapi selama ini adalah buntunya dialog antar golongan yang berbeda interpretasi ajaran-ajaran agama yang mereka anut. Jadi menurut penulis, pembahasan ini sangatlah penting untuk menyadarkan kembali pehaman tentang pluralisme agama dengan tujuan terciptanya kerukunan sesama agama maupun antar agama walaupun perbedaan keyakinan dan agama adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk ini.

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, sebagai rasa syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, memberikan akal dan pikiran kepada manusia sehingga dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari dengan baik.

Sholawat dan salam semoga tercurahkan selamanya kepada Nabi Muhammad

SAW, berserta para keluarga, sahabat dan pengikutnya dan semoga menjadi tauladan bagi kita semua.

Dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, membimbing, dan mendukung penulis secara fisik maupun moral dalam penyusunan skripsi ini yang tidak akan tercapai kesempurnaan lantaran bantuannya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk dapat menempuh studi di kampus peradaban ini.

2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Alimun Hanif, MA, selaku Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

4. Bapak Dr. Sirojuddin Aly, MA, selaku pembimbing skripsi yang telah

meluangkan waktunya untuk selalu memberikan saran dan kritik guna

terselesaikannya skripsi ini.

ii

5. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan kontribusi pemikiran Ilmu

Politik kepada penulis selama kuliah di Jurusan Ilmu Politik UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

6. Ayahanda tercinta Imam Nawawi (Boniran) dan Ibunda tersayang

Khomsatun, Kakek Boyamin dan Mbok Samijem, orang tua penulis yang

tiada lelah memberikan do’a, semangat dan motivasi dengan kasih sayang

yang tak terhingga. Serta keluarga besar Imam Nawawi, Kakakku Ali

Murtadho, Yeni Siswanti serta saudara-saudaraku Shidiq dan kholil.

7. Almaghfurlah KH. (Gus Dur), dan KH. Bahruddin

yang telah mengasuh dan memberikan ilmu yang tak terhingga saat

penulis mondok di Pesantren Ciganjur dan Darul Hikam Ciputat.

8. Sahabat-sahabat selam kuliah di kampus tercinta UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, khususnya Usep Kholil, Dedi, Farid, Dian, Budi, Bayan, Hamid,

Furqon, Janan, Bagus, Yamin, Iwan, Hamdi, Fuad, dan semuanya yang

tidak penulis sebutkan satu per satu.

9. Sahabat dan teman kerja di Bio Team Ciputat, Andi, Shofyan, Zulfan,

Enjum, Ujang, Roy, Rifki, serta teman pondok di Pesantren Darul Hikam

Ciputat, Rahmat Kabir dan Shoghir, Harid, Fatoni, Tsani, Abu, Azis,

Malik, Iwan, Syu’eib, Firman dan semuanya.

10. Terkhusus untuk calon istriku tercinta, Umi Charisah yang telah

memberikan motivasi dan semangat sehingga penulis dapat segera

menyelesaikan skripsi ini.

iii

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………………………………………………………………………. i KATA PENGANTAR …………………………………………………………. ii DAFTAR ISI ………………………………………………………………….... v BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ...... 6

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ...... 7

D. Tinjauan Pustaka ...... 8

E. Metode Penelitian ...... 9

F. Sistematika Penulisan ...... 10

BAB II NEGARA DAN PLURALISME

A. Pengertian Negara …………………………………………. 12

B. Pengertian Pluralisme ……………………………………… 14

C. Pendapat Para Ahli Tentang Pluralisme …………………… 31

D. Pro-Kontra Tentang Pluralisme ……………………………. 33

E. Wacana Pluralisme di Indonesia ………………………….. 37

BAB III BIOGRAFI INTELEKTUAL & POLITIK HASYIM MUZADI

A. Kehidupan Sosio-Kultural Hasyim Muzadi ……………….. 41

B. Latar Belakang Pemikiran Hasyim Muzadi ……………….. 44

C. Karier Organisasi dan Politik ……………………………… 47

v

D. Karya-karya Hasyim Muzadi ……………………………… 46

BAB IV PEMIKIRAN HASYIM MUZADI TENTANG PLURALISME

AGAMA DI INDONESIA

A. PEMIKIRAN PLURALISME HASYIM MUZADI ……… 49

1. Islam Rahmatan lil Alamin ……………………………... 54

2. Pluralisme Teologis Dan Sosiologis ……………………. 55

3. Pendekatan Dialog Peradaban ………………………….. 56

4. Pluralisme Agama Sebagai Bagian dari Humanisme ….. 61

a. Dimensi Humanisme Dalam Agama ………………… 61

b. Kerjasama Islam Dengan Agama Lain …………….... 64

B. PANDANGAN HASYIM MUZADI TERHADAP FATWA

MUI ………………………………………………………… 69

C. KOMITMEN MENJAGA PLURALITAS KEAGAMAAN.. 71

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ...... 78

B. Saran-Saran ...... 81

DAFTAR PUSTAKA

vi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam konteks masa depan Islam Indonesia khususnya serta Islam pada umumnya yang terjadi hari ini justru yang muncul adalah indikasi yang kuat untuk bersama-sama membangun paradigma baru tentang Islam terutama Islam

Indonesia di mata dunia Internasional. Karena Islam, terutama pasca serangan 11

September 2001 yang menghancurkan Gedung WTC (World Trade Centre), telah dimaknai oleh Barat sebagai agama kekerasan, dan pada saat itu hal-hal yang menyangkut agama menjadi kian sensitif. Padahal mayoritas masyarakat Islam di

Dunia tidak pernah menganggap Barat sebagai musuh.

Kasus hancurnya gedung World Trade Center (WTC) di New York dan

Pentagon di Washington DC, yang diduga dilakukan sekelompok ekstrimis Islam di bawah komando Osama bin Laden membuat penilaian negatif masyarakat Barat terhadap umat Islam semakin kencang dan hubungan keduanya mencapai titik nadir.1

Kondisi itu mengakibatkan kaum muslim di dunia dipandang buruk dan disebut sebagai pengikut ajaran agama yang dogmanya hanya menyebarkan teror dan kekerasan. Pandangan yang sangat buruk itu terjadi karena masyarakat barat melampiaskan kekecewaannya terhadap umat Islam yang diyakininya sebagai kaum yang tidak bisa hidup berdampingan dengan kaum lainnya. Padahal kebanyakan penduduk barat itu tidak tahu secara pasti ajaran Islam sesungguhnya

1 John L. Esposito, Saatnya Muslim Bicara, Ahmad Arif (terj.), (Bandung: Mizan, 2008), h. 9.

2

dan hanya didasari atas pemberitaan kasus terorisme dari media massa yang pemberitaan dan content-nya hanya menyudutkan umat Islam, yang distigmakan sebagai kaum yang lekat dengan dunia kekerasan dan tidak bisa berdamai dengan ajaran lainnya. Sehingga membuat umat lain menjadi berang kepada umat Islam.

Tantangan yang dihadapi dewasa ini sebenarnya bukan dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, tetapi tantangan pemikiran. Sebab persoalan yang ditimbulkan oleh bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya ternyata bersumber dari pemikiran. Di antara tantangan pemikiran yang paling serius saat ini adalah di bidang pemikiran keagamaan. Tantangan yang sudah lama disadari adalah tantangan internal yang berupa fanatisme, taklid buta, bid'ah, kurafat, dan sebagainya. Sedangkan tantangan eksternal yang sedang dihadapi saat ini adalah masuknya paham liberalisme, sekulerisme, relativisme, pluralisme agama dan lain sebagainya, kedalam wacana pemikiran keagamaan bangsa

Indonesia.2

Skripsi ini akan membahas salah satu tantangan eksternal dengan memfokuskan pada makna pluralisme agama beserta sejarah, faktor-faktor, penyebaran, dampak dan solusinya.

Pluralisme, selama ini bangsa Indonesia terlalu takut dan bahkan antipati dengan kata ini. Memang kata ini sangat sensitif untuk dibicarakan, namun hal ini bisa menjadi api dalam sekam kalau masyarakat dibiarkan dengan ketidaktahuan mereka dengan istilah ini. Penulis tertarik dengan editorial yang disajikan redaksi

Media Indonesia dengan judul ”Untung Masih ada NU dan Muhammadiyah”3

2 Adian Husaini, Plurlisme Agama Haram (Jakarta: Perspektif, 2005), h. 2. 3 Editorial Media Indonesia “Untung Masih ada NU dan Muhammadiyah”, Rabu, 15 September 2010. Diambil dari Website : http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/09/168561 /70/13/ Untung- masih-Ada-NU-dan-Muhammadiyah.

3

tulisan tersebut mencoba menggambarkan bagaimana keadaan bangsa Indonesia yang majemuk menghadapi persoalan lintas agama.

Indonesia bukan negara yang baru pertama kali ini terbentur masalah lintas agama. Sejak awal lahirnya persoalan lintas agama sudah menjadi diskusi menarik antar tokoh bangsa. Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia sudah sedari dulu mewanti-wanti akan adanya benturan keagamaan jika masyarakat Indonesia tidak mengedepankan pluralisme dan kebebasan beragama.4 Walaupun beliau lebih dikenal orang sebagai seorang “abangan” dari pada seorang santri,5 namun spirit itu tidaklah mati begitu saja. Dua organisasi yang sudah berdiri sejak sebelum kemerdekaan yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah masih setia mengedepankan tenggang-rasa dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Sikap ini adalah wajib adanya demi menjaga kesatuan NKRI karena memang Indonesia tidak hanya tersusun oleh satu agama saja. Indonesia mempunyai banyak budaya, ras, suku, dan adat istiadat. Gesekan sosial rasial atau teologi sangatlah berpotensi terjadi di tengah masyarakat. Dan bila pemerintah diam dan cenderung tidak peduli dengan hal ini maka itu sama saja dengan membiarkan perang saudara terjadi di mana-mana di pelosok negeri.

Tapi satu hal yang penulis soroti saat ini adalah adanya dua kutub yang senantiasa memancarkan pengaruhnya di bumi Indonesia. Satu kutub berusaha mengekstrimisasi umat beragama, dan satu kutub berusaha menjaga pluralitas beragama. Dua kutub ini mau tidak mau pasti saling berlawanan. Berebut pengaruh di masyarakat. Dan di sinilah letak keharusan masyarakat mengenal

4 Lihat http://www.republika.com/perjalanan-sejarah-indonesia-175.page.html 5 Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakan oleh Orientalis Clifford Geertz dengan Trikotomi-nya.

4

dengan baik apa itu pluralisme dan bagaimana seharusnya hidup di dalam bangsa yang multi-kultural. Mungkin lebih bijak jika kita mulai membicarakan dari sisi

Islam karena Islam memang agama terbesar yang dianut di Indonesia. Islam sejak awal lahirnya telah menampakkan nilai-nilai humaniora yang kental di masyarakat. Dengan caranya yang santun para mubaligh Islam saat itu menginfiltrasi budaya dan agama yang saat itu ada dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin tanpa merusak budaya lokal. Dari situlah Islam dikenal bangsa Indonesia sebagai agama yang toleran. Tidak ada penghinaan terhadap agama lain namun tetap wibawa menjaga kehormatannya. Bentuk keseimbangan inilah yang kemudian menjadi dasar diterimanya Islam oleh masyarakat

Indonesia.

Bagaimana pun NKRI adalah harga mati dan pluralisme adalah jaminannya. Tidak akan terwujud sebuah negara kesatuan dengan Islam, Kristen,

Katolik, Hindu, dan Budha di dalamnya tanpa ada tenggang-rasa antar umat beragama. Tidak akan ada kedamaian dan ketenteraman dalam menjalankan ibadah ketika nilai-nilai ”lakum diinukum waliya din” sudah tidak lagi diamalkan bangsa Indonesia. Jika sudah tidak lagi ada kerukunan antar umat beragama mungkin bisa jadi bangsa Indonesia akan menjadi bangsa barbar yang beringas.

Dan bukan mustahil satu agama dan agama yang lain akan saling menjatuhkan dan berperang di atas bumi Indonesia. Sungguh tidak ada satu agama pun yang menghendaki hal seperti ini.

Dalam kerangka itu, Hasyim Muzadi sebagai salah satu pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, gencar melakukan agenda yang terkait dengan pentingnya membangun semangat pluralitas. Hal ini ditunjukkan dengan

5

diselenggarakannya pertemuan Ulama’ Sunni-Syiah seluruh dunia yang diprakarsainya.6 Pertemuan-pertemuan semacam itu seakan menjadi titik terang usaha beliau dalam menata Islam Indonesia menuju Islam Global yang lebih baik sebagai aktualisasi rahmatan lil-alamiin.

Sedang pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, seperti bangsa Indonesia, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian antar beraneka ragam unsur-unsur etnis, dan budaya daerah. Kalaupun tidak terjadi salah pengertian mendasar atas unsur-unsur itu, paling tidak tentu saling pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka, dengan kata lain, suasana optimal yang dapat dicapai bukanlah saling pengertian, melainkan sekedar mengurangi kesalahpahaman.7

Atas dasar kenyataan seperti di atas dan juga banyaknya ide-ide dari pemikir dan pemimpin Islam di Indonesia tentang permasalahan Islam, maka

Penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang pemikiran atau ide pluralisme keagamaan yang terkait erat dengan hubungan antar agama dan negara.

Untuk lebih fokusnya kajian ini, Penulis mengambil pemikiran dari salah seorang tokoh Islam yang pernah menjadi pemimpin salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia (Nahdlatul Ulama) yaitu Hasyim Muzadi. Kajian tentang pluralisme agama Hasyim Muzadi ini didasari oleh kenyataan bahwa menurut

Penulis selama ini, belum ada karya-karya yang berisi pemikiran utuh dari

Hasyim Muzadi terkait dengan pemikiran pluralismenya. Kalaupun ada, hal ini hanya berupa pernyataan-pernyataan Hasyim Muzadi yang tersebar di media

6 Pada tanggal 9 November 2004, Hasyim Muzadi beserta Din Syamsuddin mengundang ulama-ulama Sunni-Syiah seluruh dunia yang terdiri dari 84 negara untuk menyerukan sikap toleransi dan persatuan di dunia Islam di Bogor, Jawa Barat. 7 Surahman Hidayat, Islam Pluralisme Dan Perdamaian (Jakarta: Robbani Press, 2008), h. 53.

6

massa maupun media elektronik, dan juga dari beberapa buku dari para penulis yang mengungkap sebagian pemikiran atau sosok Hasyim Muzadi.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka perlu Penulis tegaskan bahwa batasan dan rumusan dari permasalahan ini yaitu :

1. Bagaimana pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme agama?

2. Bagaimana bentuk hubungan agama dan negara menurut Hasyim Muzadi?

Tiga pokok masalah di atas diharapkan dapat mewakili (cover) dari beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping itu juga berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.

C. Tujuan dan Manfaat

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana dalam bidang Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu ada tujuan dan manfaat yang lain yaitu :

1. Tujuan :

a. Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih tajam tentang karakteristik

pemikiran Hasyim Muzadi mengenai wacana pluralisme keagamaan, serta

hubungan Islam dan negara.

b. Mengidentifikasi asal-usul gagasan beliau, baik itu berlatar belakang sosial,

pendidikan ataupun politik.

c. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi gagasan tersebut

dalam konteks perkembangan Islam dan politik Indonesia saat ini.

7

2. Manfaat :

a. Dapat diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan

terhadap karakteristik pemikiran Hasyim Muzadi.

b. Bagi dunia ilmu pengetahuan, akan memberi tambahan khazanah baru

dalam pemikiran yang terkait dengan wacana diatas.

c. Bagi umat Islam pada umumnya, dan umat Islam Indonesia pada khususnya,

diharapkan akan memiliki persepsi yang benar mengenai Islam Indonesia

sehingga tidak terjebak pada pemahaman tunggal yang menyebabkan

fanatisme keagamaan yang berlebihan dan kontra-produktif.

D. Tinjauan Pustaka

Kajian tentang pluralisme serta hubungan agama dan negara dalam literatur Indonesia cukup banyak, dan memang di era sekarang kajian tersebut seperti menemukan zaman keemasannya karena didukung oleh kondisi sosio- kultural yang memang memungkinkan wacana tersebut berkembang, apalagi kondisi Indonesia yang memang plural, baik dalam hal suku bangsa, ras, maupun agama.

Sedangkan pembahasan tentang pluarlisme sendiri telah banyak dilakukan oleh para penulis baik dalam maupun luar negeri. Karya terakhir dalam rentang penulisan skripsi ini adalah tentang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme dan humanisme yang ditulis oleh Saiful Ma’arif, mahasiswa UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

8

Menurut penulis, kajian tentang pemikiran Hasyim Muzadi sendiri belum ada yang tulis dalam bentuk skripsi, kecuali buku-buku yang telah banyak beredar walaupun tidak secara spesifik membahas tentang pluralisme Hasyim Muzadi.

Buku-buku karya Hasyim kebanyakan membahas tentang bagaimana pandangan

Islam mengenai globalisasi dan terorisme.

Disamping itu, dalam banyak studi dan penerbitan yang ada, pembahasan

Hasyim Muzadi lebih sering ditujukan pada persoalan politik. Padahal sebagaimana yang diharapkan terdapat dalam skripsi ini, Hasyim Muzadi memiliki ide sentral pluralisme yang mewarnai banyak pemikiran-pemikirannya.

Dengan latar belakang bahwa penulisan tentang ide pluralisme Hasyim Muzadi belum banyak dilakukan, skripsi ini mencoba mengangkat tema tersebut dan mengaitkannya dengan kehidupan beragama dan sosial budaya di Indonesia.

E. Metode Penelitian

Dalam bahasan terkait dengan penelitian ini, perlu penulis paparkan tentang metode penelitian yang digunakan. Antara lain meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, tehnik pengumpulan data, pendekatan-pendekatannya dan analisa data.

1. Jenis penelitian.

Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yang mana lebih mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber utamanya. Karena ini studi tokoh maka ada dua metode pokok untuk memperoleh pemikiran tokoh tersebut.

Pertama, penelitian pikiran dan keyakinan tokoh tersebut. Kedua, penelitian tentang biografinya sejak dari permulaan sampai akhir pemikiran politiknya.

9

2. Sifat Penelitian.

Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih kepada teknik deskriptif- analisis. Yang dimaksud dengan deskriptif dalam konteks ini adalah menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam masyarakat atau literatur. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang dikaji dalam penelitian ini ialah karakter dari Hasyim Muzadi dan fenomena yang mempengaruhi pemikirannya. Adapun analisis disini adalah analisis dalam pengertian historis, yakni meneliti akar sejarah yang melatarbelakangi gagasan beliau, dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pada aliran pemikiran Islam kontemporer yakni modernis dan neo-modernis yang penulis anggap sebagai representasi dari beliau.

3. Tehnik Pengumpulan Data.

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua macam yaitu : data primer dan data sekunder. Karya-karya asli dari beliau baik buku, artikel dan kumpulan tulisan yang dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan karya yang mengkaji tentang gagasan beliau dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.

4. Pendekatan.

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif dan sosio-historis. Yang dimaksud pendekatan normatif ialah suatu pendekatan untuk menjelaskan masalah yang dikaji dengan norma atau hukum (fiqih) yang berlaku sebagai upaya penegasan. Hal ini penting untuk dilakukan karena diskursus Islam dan negara merupakan bagian dari kajian hukum Islam, khususnya fiqih siyasah.

10

Adapun pendekatan sosio-historis yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa setiap produk pemikiran itu merupakan hasil interaksi pemikir dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya. Berkaitan dengan penelitian ini sudah barang tentu sosial politik dan kultur yang melatarbelakangi metode pemikiran Hasyim Muzadi akan dikaji sepanjang peristiwa tersebut mempengaruhi pemikiran beliau dalam masalah ini.

F. Sistematika Penulisan

Dalam pembahasan ini penulis membagi menjadi lima bab. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan yang terakhir sistematika pembahasan.

Bab kedua melacak asal-usul dan tipologi pluralisme agama, relasi agama dan negara dalam sejarah politik Islam, yang tentunya berimplikasi terhadap pemikiran tokoh politik Islam Indonesia dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di Indonesia. Yang dalam pembahasannya kedua perspektif tersebut akan dihadapkan pada tokoh yang dikaji.

Bab ketiga memaparkan biografi Hasyim Muzadi. Penelaahan ini meliputi latar belakang sosial dan prilaku politik beliau dalam menggagas pluralism agama serta relasi Islam dan negara di Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita- cita ideologi negara yang beliau perjuangkan sebagai repesentasi tokoh muslim yang peduli terhadap bangsa.

Bab keempat menganalisa pemikiran beliau tentang relasi Pluralisme agama, hubungan Islam dan negara, khususnya tentang demokrasi dan ideologi

11

pancasila. Selain itu, bab ini juga berusaha menjelaskan implikasi gagasan beliau terhadap tokoh politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik Islam generasi saat ini.

Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan dimaksudkan untuk memperlihatkan letak signifikansi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dengan memberikan konklusi pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme agama serta hubungan Islam dan negara di Indonesia, sedangkan saran-saran ditujukan bagi para penulis atau peneliti yang akan mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.

12

BAB II

NEGARA DAN PLURALISME

A. Pengertian Negara

Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain. 8

Istilah negara di terjemahkan dari kata-kata asing yaitu “steat” (bahasa

Belanda dan Jerman). “state” (Bahasa Inggris. “Etat” (bahasa Perancis). Kata

“Staat, State, etat itu diambil dari kata bahasa latin yaitu “status” atau statum” yang artinya keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifata yang tegak dan tetap. Kata “status” atau “statum” lazim diartikan sebagai “standing” atau “station” (kedudukan) yang dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup manusia sebagaiman diartikan dalam istilah “Status Civitatis” atau “Status

Republicae”. 9

Sejak kata “negara” diterima secara umum sebagai pengertian yang menunjukkan organisasi teritorial suatu bangsa yang memiliki kedaulatan. Negara pun mengalami berbagai pemahaman tentang hakikat dirinya. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan Politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan masyarakat dan menertibkan gejala-gejala

8 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia PustakaUtama, 2008), h. 51 9 Imam Soeparno, dari Website : http://soeparno.wordpress.com/114/pages1/56778.html

13

kekuasaan dalam masyarakat. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama itu, baik oleh individu dan golongan atau asosiasi maupun oleh negara sendiri.10

Pengertian Negara Berdasarkan Pendapat Para Ahli :

a. Roger F. Soltau : Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau

mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.

b. Georg Jellinek : Negara merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok

manusia yang telah berdiam di suatu wilayah tertentu.

c. Prof. R. Djokosoetono : Negara adalah suatu organisasi manusia atau

kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.

Negara mempunya dua tugas yaitu :

1. Mengendalikan dan menatur gejala-gejalah kekuasaan yang asosial.

Yakni yang bertentangan satu-sama lain. Supaya tidak anatagonistik

yang membahayakan.

2. Mengorganisasikan dan mengintergrasikan kegiatan manusia dan

golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat

seluruhnya.11

10 Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h. 82 11 Imam Soeparno, dari Website : http://soeparno.wordpress.com/114/pages2/56746.html

14

B. Pengertian Pluralisme

Pluralisme terdiri dari dua suku kata yaitu Plural yang berarti jamak; lebih dari satu,12 dan isme sufiks pembentuk nomina sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pluralisme berarti keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya).13 Dalam tulisan ini, penulis akan lebih mengkonsentrasikan pembahasan pada pluralisme agama.

Dalam wacana pemikiran Islam, pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam terutama sejak era reformasi gereja yang terjadi pada abad ke- 15 yang berpengaruh besar terhadap perubahan dalam aspek sosial, budaya, dan terutama pemikiran. Di sisi lain, Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif yang menjadi tantangan yang mengancam struktur yang menindas pada saat ini di dalam maupun di luar Arab. Menurut Asghar Ali, pada dasarnya tujuan Pluralisme adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadialan sosial (sosial justice).14

Dalam kaitannya dengan pluralisme, Islam sangat menekankan pada dua aspek dasar, yaitu :

1. Kesatuan manusia (unity of mankind).

2. Keadilan di semua aspek kehidupan.15

Keadilan ini tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan, serta memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi pemimpin.16 Menurut pendapat Muhammad Quttub, Islam

12 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II (Jakarta, Balai Pustaka, 1994), h. 883. 13 Ibid., h. 884 14 Asghar Ali Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 33. ` 15 Ibid., h. 34. 16 Ibid., h. 35.

15

memberikan hak-hak yang penting terhadap semua orang tanpa perbedaan apapun. Islam menyatukan semua jenis karena pada hakikatnya mereka sama- sama manusia dan juga menjamin kebebasan mutlak untuk memilih agama di bawah penjagaan dan perlindungannya. 17

Pada dasarnya manusia diciptakan berbeda-beda. Allah menjelaskan bahwa dengan perbedaan itu manusia dituntut untuk saling mengenal, lita

‘arofu.18 Namun ketika seseorang memahami sebagai kebenaran mutlak yang ia yakini, orang itu kerap kali terjebak dalam pandangan yang mengarah pada konflik, pertikaian antara seorang muslim dan non-muslim atau mungkin diantara sesama Muslim yang berbeda faham. Bagaimana menjembatani perbedaan- perbedaan ini sehingga memungkinkan terwujudnya perdamaian?

Hal itu menurut Khamami Zada, sangat terkait dengan bagaimana seseorang memahami agama lain sebagai sesuatu yang mempunyai jalan tersendiri. Allah telah menyebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 48, likullin ja’alna minkum siratan wa minhaja’, (untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang) dalam setiap agama itu ada syari’atnya sendiri, jalannya sendiri, yang memiliki kebenarannya masing-masing. Tanpa memahami kebenaran mutlak di masing-masing agama, kita akan sulit menemukan perdamaian diantara agama-agama itu sendiri. Disinilah kekurangan umat Islam ketika memahami agama lain sebagai sesuatu yang lain, ‘ the others’.

Agama lain harus dipahami sebagai suatu realitas yang ada dimasyarakat.19

17 Muhammad Quttub, Islam Agama Pembebas, fungky kusnaedi timur (terj) (Yogyakarta Mittra Pustaka, 2001), h. 368. 18 Baca QS. Al-Hujurrat (49) : 13 19 Ahmad Baso, Badriyah Fayumi, Khamami Zada, dll., Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realiatas (Jakarta: Air Langga, 2003), h. 73-74

16

Islam sebaiknya tidak sekedar didakwahkan dalam perspektif yang lahiriyah, persoalan-persoalan keakhiratan yang melupakan dimensi sosial. Kalau

Islam didakwahkan secara inklusif, dan bisa memahami agama-agama lain sebagai suatu realitas kebenaran tersendiri, maka Islam akan benar-benar menjadi agama rahmatan lil ’alamain.20

Oleh karena itu, Budhi Munawar-Rahman, menjadi penting untuk disadari adalah memposisikan fungsi kritis terhadap agama yang harus dilakukan dengan menjauhi sikap-sikap yang bersifat totaliter.21 Disamping itu agamapun dituntut untuk mangadakan kritik terhadap dirinya sendiri, karena keberadaan agama telah mendasarkan diri pada iman kepada Tuhan “pencipta manusia” bukan Tuhan

“ciptaan manusia”.22 Agama juga tidak bisa apolitis dalam pengertian hanya membatasi diri pada masalah ritualistik dan moralitas dalam kerangka ketaatan individu kepada Tuhannya, tetapi perlu terlibat kedalam proses transformasi sosial.23

Abdul Wahid Hamid mengatakan, suatu ciri khas ajaran Islam adalah keyakinan bahwa agama Islam itu suatu cara hidup yang lengkap dan menyeluruh.

Agama yang mempunyai hubungan integral dan organik dengan politik dan masyarakat. Ideal Islam itu terbayang dalam perkembangan hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.24 Sebagai ajaran yang benar,

20 Ibid., h. 75. 21 Budhi Munawar-Rahman, Islam pluralisme (Jakarta:Paramadina,2001), hlm.363 22 Ibid., h. 363-364. 23 Ibid., h. 370 24 Jhon L Esposito (ed.), Identitas Islam, A. Rahman Zainuddin (terj.), (Jakarta: bulan bintang, 1986), h. 3.

17

Islam pada dasarnya bisa diterapkan disepanjang masa dan dimanapun (shalihun li kulli zaman wa makam).25

Dalam tiap langkahnya, seorang muslim akan selalu berhadapan dengan

Tuhan yang terepresentasikan melalui syari’atnya. Disini tanggung jawab individu menjadi jelas, karena kehadiran Tuhan dalam perasaan manusia saja sudah cukup membuat setiap manusia benar-benar sadar akan kewajibannya, demikian menurut pendapat Khurshid Ahamad.26 Mengutif pernyataan Fazrul Rahman, kenyataan yang peling mendasar tentang Islam dalam abad sekarang ini adalah kemerdekaan dari kekuasaan asing yang dicapai oleh rakyat-rakyat Muslim diberbagai negri mereka.27 Dengan mengacu pada kenyataan seperti itu, maka Islam telah memainkan peran yang menentukan dan dominan.

Menurut Anis Malik Toha gagasan plurarisme agama dalam wancana pemikiran Islam baru muncul pada masa-masa Perang Dunia II, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi-generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya barat. Dalam waktu yang sama, gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wawancara pemikiran Islam, antara lain melalui karya-karya pemikiran mistik barat seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Zaeni) dan Frithjob Schuon (Isa Nurdin Ahmad). Karya-karya mereka ini, khususnya Schuon dengan bukunya The Transcendent Unity of Religion, sangat syarat dengan pemikiran-pemikiran dan tesis-tesis atau gagasan-gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh kembangnya wacana pluralisme agama.28 Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh muslim syiah moderat, adalah tokoh yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan “Islam tradisional”. Keberhasilannya dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama tersebut mengantarkannya pada sebuah posisi ilmuan kaliber dunia yang sangat bergengsi selevel nama besar seperti Ninian Semart, John Hick, Annemarie Schimmel. Nasr mencoba menuangkan tesisnya pada

25 Abdul Wahid Hamid, Islam Cara Hidup Alamiah, Arif Rahmat (terj.), (Yogyakarta: Lazuardi, 2001), h. 301 26 Khurshid Ahmad, Pesan Islam, Ahsin Muhammad (terj.), (Bandung: Pustaka, 1983), h. 121. 27 Fazlur Rahman, Islam, Ahsin Muhammad (terj.), (Bandung: Pustaka, 1984), h. 365. 28 Diakses dari tulisan Anis Malik Toha, http://www.hidayatulloh.comcontent&task= view&id=1406&Itemid=0

18

pluralisme agama dalam kemasan sophia perenis atau perenial wisdom (al-hikmat al-khalidah, atau kebenaran abadi), yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan metafisikal (metaphysical unity) yang tersembunyi dibalik ajaran dan tradisi-tradisi keagamaan yang pernah dikenal manusia semenjak Adam ‘alaihis-salam. Menurut Nasr, memeluk atau menyakini satu agama dan melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sumgguh, berarti juga memeluk seluruh agama, karena semuanya berporos kepada satu poros, yaitu kebenaran hakiki yang abadi. Perbedaan antar agama dan keyakinan, menurut Nasr, hanyalah pada simbol-simbol dan kulit luar. Inti dari agama yang satu. Dari sini dapat dilihat bahwa pendekatan Nasr ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang ada pada umumnya. Demikian penuturan Anis Malik Toha.29

Hamdi Fahmy mengatakan, pluralisme sebagai paham yang merambah dalam bidang agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda tapi ujungnya sama yaitu aliran kesatuan transenden agama- agama (transcenden unity of religion) dan teologi global. Yang pertama lebih merupakan protes terhadap arus globalisasi, sedangkan yang kedua adalah kepanjangan tangan dan bahkan pendukung grakan globalisasi. Pendekatan yang dipakai oleh aliran teologi global terhadap agama-agama lebih bersifat sosiologis, kultural dan idiologis. Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang ada di dunia ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat modern yang plural. Idiologis sebab ia telah mejadi bagian dari program gerakan globalisasi yang jelas- jelas memasarkan ideologi barat. Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya. Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan barat seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme/gender, liberalisme dan sekularisme.30

Menurut Amin Abdullah, dalam konteks keIndonesiaan terlepas dari sejarah besar pluralisme. Kerukunan antar umat beragama sangat penting dan sangat dibutuhkan bagi bangsa yang majemuk dalam hal agama seperti halnya di Indonesia. Keanekaragaman (pluralisme) agama yang hidup di Indonesia termasuk di dalamnya keanekaragaman paham keagamaan yang ada di dalam tubuh intern umat beragama adalah merupakan kenyataan historis.31 Jika toleransi dalam beragama tidak ditegakkan, maka negara atau bangsa tersebut akan menghadapi berbagai konflik antar pemeluk masing-masing agama dan dapat menyebabkan

29 Diakses dari tulisan Anis Malik Toha, http://www.hidayatulloh.comcontent&task =view&id =1406&Itemid=0 30 Ditulis oleh Hamdi Fahmy, diakses dari http://www.insistnet.com/content/view/25/34/, 31 Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999), h. 5.

19

disintegrasi. Untuk memberi perhatian khusus kepada masalah kerukunan antar umat beragama, harus diupayakan untuk memahami masalah yang sebenarnya dan dapat menemukan cara untuk menciptakan kerukunan itu (jika belum ada), atau menumbuhkan serta mengembangkan (jika telah ada). Ada beberapa ayat yang secara tegas mengatur pluralisme agama yang menyebutkannya dengan jelas. Selain ayat dalam al-Qu’an surat al- Kafirun, ada satu ayat lagi yang tegas-tegas menyatakan bahwa agama tidak bisa dipaksakan kepada seseorang, yaitu al-Baqarah: 256 yang artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karena itu siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”.

Ayat di atas sebenarnya mengajarkan bahwa Allah telah menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah, atau lebih tegasnya mana agama yang benar dan mana agama yang tidak benar (yang dalam al-Qur’an disebut ajaran thagut). Sesungguhnya misi Islam yang paling besar adalah pembebasan. Dalam konteks dunia modern, ini berarti Islam harus membebaskan manusia dari kungkungan aliran pikiran dan filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan, demikian menurut Kuntowijoyo.32 Dengan visi teologis semacam itu, islam sesungguhnya menyediakan basis filsafat untuk mengisi kehampaan spiritual yamg merupakan produk dunia modern.33

Dari kacamata Islam, kemajemukan adalah sunnatullah (hukum alam).

Masyarakat yang majemuk ini tentu saja memiliki budaya dan aspirasi yang beraneka, tetapi mereka seharusnya memiliki kedudukan yang sama, tidak ada superioritas antara satu suku, etnis atau kelompok sosial dengan lainnya. Mereka juga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Namun kadang-kadang perbedaan ini menimbulkan konflik di antara

32 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1993), h. 164. 33 Ibid, h. 165.

20

mereka. Maka sebuah upaya untuk mengatasi permasalahan ini dimunculkan konsep atau paham kemajemukan (pluralisme).34

Untuk mewujudkan dan mendukung pluralisme tersebut, diperlukan adanya toleransi. Meskipun hampir semua masyarakat yang berbudaya kini sudah mengakui adanya kemajemukan sosial, namun dalam kenyataannya, permasalahan toleransi ini masih sering muncul dalam suatu masyarakat. 35 salah satu wujud nyata dari sikap toleran adalah adanya dialog-dialog yang berfungsi menjembatani sekian kebuntuan yang ada. Dengan menilik kasus kartunisasi Nabi Muhammad oleh Jyllands Posten salah satu koran di Denmark beberapa waktu yang lalu, kasus Salman Rusdie di Inggris (1969), Ishioma Daniel di Nigeria (2002), dan

Theo Van Gogh di Belanda (2004), meski dalam konteks yang berbeda, namun menyisakan persoalan serius dan kompleks dalam kaitannya dengan komunitas ditingkat regional maupun global. Di antara persoalan yang belum serius didialogkan menurut Muhammad Ali adalah ketegangan antara kebebasan ekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama atau ideologi tertentu, hubungan antara hukum dari sebuah negara dan kebebasan pers, hubungan antara berbagai etika dunia, maka kebebasan itu sendiri dalam hukum internasional, antara hukum-hukum adat atau budaya kawasan dan peradaban, dan sebagainya.36

Dialog antar pemeluk agama dan dialog antar kawasan seperti disinggung

Ali harus didukung. Ini penting karena masih berkembangnya ignorance

(ketidaktahuan) dalam bentuk penghubung intrinsik antara islam dan terorisme,

Islamophobia, xenophobia, dan semacamnya. Dipihak lain dikalangan umat Islam,

34 Nur Ahmad (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: kompas, 2001), h. 11-12. 35 Ibid, h. 21 36 Muhammad Ali, dari http://muhamadali.blogspot.com/kartun -nabi-dan-dialog-antar- agama.html.

21

masih ada tindakan emosional anarkis mengusir atau membunuh orang asing yang tidak ada sangkut pautnya, ekstrimisme radikal dan kebencian terhadap bangsa dan budaya asing (xenophobia). Reaksi-reaksi emosional dan ekstrim menunjukkan kurangnya pemahaman akan sejarah peradaban bangsa lain. Salah satu ketidak tahuan disebagian media masa barat adalah memposisikan tokoh nabi seperti tokoh-tokoh politik lainnya. Seorang muslim mungkin tidak cukup religius dalam beribadah, tapi jika nabi mereka disinggung rasa panatisme keagamaannya, mereka sangat tinggi. Di Indonesia misalnya, tradisi pembacaan barzanji sangat populer yang memuat puji-pujian terhadap Nabi (bahkan di Cikoang Sulawesi

Selatan acara maulud memperingati kelahiran) Nabi Muhammad menjadi paling meriah sepanjang tahun, meskipun mereka kurang memperhatikan ibadah. Di kalangan umat Islam kecintaan umat nabi ini ada yang berlebihan, ada yang moderat, ada yang tidak terlalu peduli, dan bentuknya juga bermacam-macam sesuai pemahaman keagamaan dan tradisi masing-masing. Hal-hal semacam ini kurang atau tidak dipahami sebagian masyarakat Barat yang menganggap biasa membuat kartun.37

Dipihak lain menurut Muhammad Ali lagi, umat Islam juga perlu memahami konteks tradisi Barat yang sebetulnya sangat majemuk termasuk dalam memaknai kebebasan berekspresi. Misalnya, dimuseum-museum di Eropa, banyak sekali patung-patung dan lukisan-lukisan telanjang, karena mengandung nilai seni yang tinggi dan dihargai masyarakat. Masyarakat Barat juga menjunjung nilai- nilai etika kemanusian yang tidak selalu berseberangan dengan etika dikawasan lain. Karena itulah, dialog, antar budaya sungguh penting, untuk memahami

37 Ibid., h. 3

22

sejarah dan tradisi masing-masing dan untuk kemudian saling menghargainya hubungan antara seni, kebebasan, tradisi, dan keyakinan agama inilah salah satu persoalan yang harus didialogkan.38

Disamping itu juga dalam kenyataanya, sikap-sikap tidak toleran itu tidak semata-mata disebabkan oleh faktor internal masing-masing kelompok, tetapi sering juga disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya karena kebijakan politik pemerintah tertentu atau kekuasaan politik global dan kekuatan dunia tertentu.39

Dalam dunia ilmu pengetahuan istilah pluralisme sekarang ini dikembangkan secara luas oleh para ilmuan sosial. Pada level yang minimal istilah ini semata- mata mengacu kepada heterogenitas. Di kalangan para ilmuan politik, antropolog, sosiolog politik, misalnya, terjadi perselisihan apakah prulalisme itu menghambat atau melindungi pemerintah demokratik. Menurut Philip E. Hammond, para teoritisi juga berbeda dalam memahami bagaimana pluralisme bekerja, apakah ia menyediakan beragam saluran bagi pemegang kekuasaan atau menyediakan tempat perlabuhan kelompok bagi individu yang teralienasi. Di samping itu juga ada sebuah penegasan bahwa pluralisme memungkinkan bagi keanggotaan kelompok yang bermacam-macam bahkan saling berlawanan, sehingga menjadikan konflik politik lebih sering terjadi pada tataran individu atau kelompok dari pada faksi-faksi politik yang saling bersaing.40

Namun dialog yang disusul oleh toleransi tanpa sikap pluralistik tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antar umat beragama yang langgeng. Secara

38 Ibid., h. 6 39 Nur Ahmad, Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, h. 13. 40 Robert N. Bellah dan Philip E. Hammon, Beragama Bentuk Agama Sipil dalam Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, imam khoeri, dkk (tej), (yogyakarta: ircisod: 2003), h. 212

23

garis besar pengertian konsep pluralisme meminjam definisi yang dikemukakan oleh Alwi Shihab dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai dimana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat orang bekerja.

Tetapi seseorang dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna terciptanya kerukunan, dalam kebhinekaan.41

Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.

Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita dimana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan disuatu lokasi. Sebagi contoh adalah kota New

York. Kota ini adalak kota kosmopolitan. Di kota ini terdapat orang Yahudi,

Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun.

Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya dibidang agama, sangat minimal, kalaupun ada.42

Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya.

41 Alwi shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1999), h. 41. 42 Ibid., h. 42-43

24

Sebagai contoh, “kepercayaan/kebenaran” yang diyakini oleh bangsa

Eropa bahwa “Colombus menemukan Amerika” adalah sama benarnya dengan

“kepercayaan/kebenaran” penduduk asli benua tersebut yang menyatakan

“Colombus mencaplok Amerika”.

Sebagai konsekwensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apa pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”, karena kebenaran agama-agama, walaupu berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetapi harus diterima. Suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa.43 Namun yang menjadi persoalan adalah manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, dan ketika dalam sosial praksis akan menimbulkan dampak pada perubahan sosial.

Teggart menegaskan perubahan sosial muncul dari perbenturan berbagai kelompok dari habitat yang berbeda-beda dan oleh karenanya memiliki sistem ide yang berbeda. Jika Teggart mengasumsikan bahwa sejarah manusia hanya merekam sejumlah kecil situasi pluralistik yang stabil (yakni, sebuah habitat dengan beragam sistem ide), maka dia sangat mungkin benar.44

Menurut Ignas Kleden, dikotomi yang dibuat oleh sementara psikologi agama, antara agama sebagi agama, dan agama sebagai yang dihayati dalam kesadaran para penganutnya, barangkali tidak akan diperhatikan dalam tulisan ini.

Sebab bagaiman pun agama sebagai suatu entitas abstrak yang dilepaskan sama sekali dari kenyataan bagaiman dia dihayati adalah sangat sulit dibayangkan.

Sedangkan, bila agama dilihat sebagai suatu realitas manusiawi yang muncul sebagai akibat pergulatan manusia dengan seluruh lingkungannya yang berarti

43 Ibid., h. 42. 44 Ibid., h. 213.

25

bahwa agama adalah suatu hasil kebudayaan juga, maka pengandaian suatu agama sebagai entitas abstrak, adalah suatu pengandaian yang secara metodologis tidak berguna. Dengan itu mau dikatakan bahwa filsafat yang melihat agama secara ontologis tidak akan banyak membantu mencari kemungkinan dialog antar agama.

Sebab, ontologi lebih berhubungan dengan substansi, unsur yang berdiri sendiri, yang berbeda dan tak tergantung kepada unsur lain, yang menyebabkan sesuatu itu ada dasar dirinya. Ontologi justru mengandaikan dan menekankan distansi dan esensi yang mutlak dan karena itu ontologi merupakan otonomi yang tertutup.45

Sebaliknya agamapun tidak diidentikkan dengan batas-batas psikologis yang sering justru hendak diterobos oleh tuntutan dan harapan keagamaan. Dua reserve disini untuk menghindari terjebaknya agama kedalam kemungkinan

Psychologisierung der Religion. Yang Pertama adalah unsur supranatural, merupakan elemen trensenden dalam tiap agama yang menyebabkan bahwa agama tidak mutlak membutuhkan suatu stratum psikologis sebagai conditio sin qua non untuk tumbuh dan berkembang dalam penghayatan para penganutnya.

Misalnya beberapa eksperimen studi psikiatri terhadap kehidupan rohani beberapa orang kudus, sama sekali tidak menggoncangkan alasan untuk tetap mengakui kekudusan mereka. Demikian pula seandainya ada pertemuan-pertemuan empiris yang bisa menunjuk indikasi-indikasi kuat tentang adanya psikose tertentu yang mereka derita dan alami selama hidupnya. Yang kedua adalah, bahwa hukum- hukum psikologis tidak selalu merupakan batas-batas yang harus diterima oleh suatu agama. Agama dan tuntunannya sering malah berusaha keluar dari siklisme psikologis semacam itu. Demikian, maka tidak berarti bahwa agama selalu

45 Ignas Kleden, “ Dialog Antar Agama-Agama: Kemungkinan dan Batas-batasannya. Dalam Kumpulan Tulisan Agma dan Tantangan Jaman, (Jakata:LP3ES, 1985), h. 153.

26

bersifat menentang kecenderungan-kecenderungan manusiawi. Namun mungkin bahwa apa yang dicita-citakan suatu agama mengisyartatkan pula pengakuan akan terbatasnya kemampuan manusia dalam mengindentifikasikan dirinya sendiri, dan di depan suatu realitas dan aktifitas ilahi, manusia justru ditantang untuk mengatasi ikatan-ikatan dari dunianya, batas-batas psikologisnya dan persyaratan- persyaratan imanensinya.46

Harus dicatat bahwa meningkatnya kecerdasan manusia menyebabkan ia mencari sendiri kebenaran primer yang belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan. Di sisi lain, menyebar luaskan agama, propaganda (dalam arti netral), atau evanggeli merupakan persoalan manusia dalam hidupnya yang telah berjalan sekurang-kurangya 25 abad. Ada agama yang non-evanggelis, seperti

Yahudi yang justru bersikap ekslusif dan tidak dengan aktif menyebar-luaskan agamanya.47

Amin Abdullah menyatakan, dapat dibayangkan bagaimana kulaitas tingkat kenyamanan, ketenangan, kedamaian suatu masyarakat beragama yang bersifat pluralistik, jika masing-masing secara sepihak dan tertutup mengklaim bahwa tradisi agamanya sendirilah yang paling sempurna dan benar. Dan jika klaim itu merambah ke wilayah historis-ekonomis-sosiologis, maka kedamaian yang diserukan dan didambakan oleh ajaran agama-agama akan terkikis dengan sendirinya dalam kenyataan hidup keseharian. Meskipun secara ontologis- metafisis, klaim seperti itu memang dapat dimengerti, namun belum tentu dapat dibenarkan, karena memang itulah salah satu inti keberagamaan yang sebenarnya.

Artinya, bahwa hard core dari pada pandangan hidup agama-agama yang

46 Ibid,. h. 154-155 47 Abdurrahman, dkk, (ed.), 70 tahun H. Mukti Ali Agama dan Masyarakat (Yogyakarta Sunan Kalijaga Press, 1993 ), h. 169.

27

beraneka ragam memang berbeda. Sedangkan hard core keberagamaan hanya dapat dinikmati secara historis, lewat sekat-sekat teologis yang ada.48

Perubahan sosial dalam Islam, hendaknya dilihat dari segi agama dan perubahan yang lebih luas. Manusia telah dikaruniai dengan kesadaran diri, intelek, dan imajinasi. Kecakapan-kecakapan inilah yang membedakannya dengan alam semesta lainnya, selain merupakan kenyataan bahwa dirinya juga merupakan bagian dari dirinya. Menurut John L. Eposito, agama adalah suatu sistem kepercayaan yang menempatkan dirinya (sebagi alat bantu bagi manusia) dalam upaya menghadapi kesulitan tersebut, serta kemudian menjadikan manusia agar betah di dalamnya.49 Quraish Shihab mengatakan, pada hakikatnya, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat dimana perbedaan-perbedaan sangat dimungkinkan, Islam lebih mementingkan isi dan makna dibandingkan dengan bentuk-bentuk.50

Diakui bahwa, dalam sejarah agama-agama, telah terjadi pertikaian antara pemeluk agama yang sama atau antar pemeluk berbagai agama. Namun, pertikaian tersebut lebih banyak disebabkan oleh kepentingan-kepentingan non agama. Dapatkah umat masa kini menemukan pandangan dan jalan yang telah ditempuh oleh generasi terdahulu yang hidup berdampingan dan harmonis?. Kalau jalan tersebut tidak dapat ditemukan oleh pimpinan-pimpinan agama-agama sendiri, maka ketika itu mereka harus membenarkan pandangan yang menyatakan bahwa ada krisis agama. Karena dengan demikian, agama telah menjadi sumber

48 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas. h. 14-15. 49 John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam Watak, Proses Dan Tantangan, Bakri Siregar (terj.), (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), h. 293. 50 Qurais shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1993), h. 215.

28

keresahan pemeluknya dan tidak heran bila agama hanya akan tinggal sebagai kenangan buruk sejarah.51

Diskursus mengenai agama sangat sarat dengan muatan emosi, kecenderungan dan subyektifitas individu. Agama memiliki ajaran yang sangat ideal dan cita-citanya sangat tinggi, bagi pemeluk fanatiknya, ia merupakan

“benda” yang suci, sakral, angker, dan keramat. Ia selalu menawarkan jampi- jampi keselamatan, kebahagiaan, dan keadilan. Namun kenyataan berbicara lain, agama tak jarang justru melahirkan permusuhan dan pertengkaran. Menurut

Ahmad Najib Burhani, fenomena ini dilatari oleh: pertama, pendewaan agama.

Manusia sering terjerumus untuk mendewakan agama, istilah-istilah agama dan pemuka agama. Tuhan beserta segala sifat yang menyelimuti-Nya berulang kali hilang dari ingatan. Prinsip-prinsip agama dan ajaran sucinya juga mengalmi nasib yang sama, mereka nyaris habis terpangkas dan tinggal jargon-jargon yang tidak mempunyai nyali. Di sini agama bukan lagi sebagai amalan, namun ia berubah fungsi menjadi semisal markas jaringan “mafia”, sehingga tidaklah heran bila kemudian muncul “manipulasi agama” dan “korupsi agama”.

Kedua, pengkelasan dalam berakhlak. Umat beragama sering terjebak untuk lebih dekat kepada saudara-saudara “seagama” (in group feeling) dan menomorduakan persahabatan dengan rekan dari agama lain. Hal ini membuahkan sikap yang kurang obyektif dalam memandang apa yang ada di luar diri sendiri. Misalnya sebagimana yang dikemukakan Moeslim Abdurrahman dalam Islam Transpormatif, kendati keadilan sosial merupakan sendi utama

51 Ibid., h. 21.

29

agama, namun jika keadilan sosial tidak menimpa “kita” atau saudara “kita”, maka “kita” kurang menaruh perhatian.

Ketiga, monopoli kebenaran. Banyak agama atau bahkan seluruh agama yang mengajarkan kebenaran absolut bagi pemeluknya. Merupakan suatu kewajiban dan memang sepantasnya memberikan doktrin-doktrin keabsolutan kebenaran agama. Namun kewajaran itu akan berubah menjadi ketidakwajaran bila tanpa diiringi dengan anjuran penelitian dan pencarian argumen logis atas doktrin orang lain. Lebih-lebih bila pemberian doktrin tersebut dibarengi dengan penularan anggapan bahwa doktrin-doktrinnyalah yang benar, sementara yang lain salah total. Dan akan semakin tragis apabila fenomena itu diiringi dengan pelecehan agama lain.52

Dengan menggali ajaran-ajaran agama, meninggalkan fanatisme buta, serta berpijak pada kenyataan menurut Qurais Shihab, jalan akan dapat dirumuskan.

Bukankah agama-agama monoteisme dengan sejarah ketuhanan Yang Maha Esa, pada hakikatnya menganut universalisme. Tuhan Yang Maha Esa itulah yang menciptakan seluruh manusia, seluruh manusia bersumber dari satu keturunan, betapapun berbeda agama, bangsa atau warna kulit. Demikian ditegaskannya pula.53

Menurut Ahmad Najib Burhani, teosentrisme atau wacana agama tentang

Tuhan hanya akan bermanfaat apabila sekaligus menjunjung tinggi tinggi martabat manusia. Harmoni pada tingkat esoteris hanya akan menjadi perbincangan verbal saja apabila tidak ada keterlibatan dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang bersifat global. Mengiyakan Tuhan tidak

52 Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membantu, (Jakarta: Kompas, 2001), h. 3-4. 53 Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 218-219

30

berarti menyangkal manusia dan sebaliknya. Meski respon iman dialamatkan pada

Tuahan, tetapi komitmen dan respon ini tidak diperintahkan diaktualisasikan dalam hubungan sesama makhluk. Bahwa bertuhan justru dipihak segenap manusia, bukan hanya manusia anggota agamanya saja. Setelah menjawab sapaan

Tuhan, manusia harus ketahapan praktis melayani manusia sebagai hamba Tuhan.

Maka disarankan, keberagamaan perlu lebih humanistik-uneversal.54

Teologi harus lebih concern pada persoalan lingkungan hidup, tertib sosial, dan masa depan kemanusiaan. Agama hanya cradible apabila dapat menolak segala sikap yang bernapaskan kebencian, balas dendam, kepicikan, pembunuhan dan pemaksaan serta mengembangkan sikap kebaikan hati, belas kasihan, solidaritas, persaudaraan universal tanpa membedakan suku, budaya, ras, gender, dan agama, keadilan, kebebasan, rasionalitas, kejujuran dan keterbukaan.55

Sebaliknya masyarakat yang hendak diatur oleh agama senantiasa mengalami perubahan dan oleh karena itu bersifat dinamis. Dalam ilmu semantika disebutkan bahwa bahasa suatu bangsa tiap seratus tahun mengalami perubahan dan perubahan dalam bahasa menggambarkan perubahan dalam masyarakat.56

Pluralisme agama dan multikulturalisme tidak hanya dalam suatu negara, tetapi antar kawasan dan tingkat global, dalam arti menghormati perbedaan persepsi dan keyakinan agama dan tradisi. Sebuah kepekaan pluralis- multikulturalis, harus dikembangkan tidak hanya dikalangan umat Islam, tapi juga menyangkut umat-umat antar agama dan persoalan-persoalan non-agama.

54 Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membantu, h. 14-15. 55 Ibid., h. 16 56 Abdul nasir Solissa (ed.), Al qur’an dan Pembinaan Budaya, (Yogyakarta:LESFI, 1983), h. 15.

31

C. Pendapat Para Ahli Tentang Pluralisme

Menurut Robert N. Bellah dan Philip E. Hammond, para teoritisi juga berbeda dalam memahami bagaimana pluralisme bekerja, apakah ia menyediakan tempat perlabuhan kelompok bagi individu yang teralienasi. Di samping itu juga ada sebuah penegasan bahwa pluralisme memungkinkan bagi keanggotaan kelompok yang bermacam-macam bahkan saling berlawanan, sehingga menjadikan konflik politik lebih sering terjadi pada tataran individu atau kelompok.57 Di ungkapkan oleh Abdurrahman Wahid bahwa, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar.58

Dalam kaitannya dengan bergulirnya arus globalisasi yang merambah dalam seluruh sistem termasuk dalam agama Islam itu sendiri menurut Jhon L.

Esposito, akan melahirkan lapangan pengetahuan baru. Akan tetapi, studi tentang modernisasi di dalam Islam sering memuat dikotomi yang tidak bertanggung jawab: tradisi lawan perubahan, fundamentalisme lawan modernisme, stagnasi lawan progres. Bagi kebanyakan analis pihak Barat maupun pihak skularis muslim, Islam itu merupakan rintangan besar bagi perubahan politik dan sosial yang berarti dalam dunia Islam. Bagi pihak aktivis Islam, dan para mukmin lainnya, Islam itu secara abadi tetap serasi dan berlaku.59 Sebagi suatu sistem nilai, Islam tentu saja tidak bisa merestui suatu masyarakat yang bersifat laissez- faire. Ditegaskan oleh Fazlurrahman, dipihak lain, Islam mengetahui dengan baik bahwa pemaksaan tidak akan membuahkan hasil, bahkan tidak akan bisa bekerja.60

57 Robbert N Bellah dan Phillip E. Hammond, Beragama Bentuk Agama Sipil dalam Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, h. 212. 58 Budhi Munawar Rachman, (ed.), Kontekstualisasi Diktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina), h. 546 59 Jhon L. Esposito, Islam Dan Politik, H.M Joesoef Sou’yb (terj), (Jakarta:Bulan Bintang, 1990), h. 298. 60 Fazlurrahman, Islam Dan Modernitas, Akhsim Muhammad (terj), (Bandung: Pustaka: 1985), h. 192

32

Indonesia sebagi bangsa yang majemuk, kaya akan khazanah sosial, kebudayaan menyimpan potensi lebih. Sebuah kesepakatan umat Islam untuk hidup dalam sebuah negara yang tidak akan pernah didasarkan pada pengakuan formal atas Islam sebagai yang ‘terbaik’ secara objektif atau pelayanan pemerintah yang terlalu berlebihan dari pada agama-agama lain.61

Bagi masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi pembangunan dalam segala bidang, mewujudkan toleransi itu mendesak dengan banyak memberikan penjelasan akan ajaran-ajaran agama yang menekankan toleransi. Dengan begitu jiwa toleransi beragama dapat dipupuk dikalangan pemeluk masing-masing agama.62 Terlebih masing-masing agama memiliki identitas sebagi simbol dan pesan agama tidaklah secara seimbang ditangkap dan ditafsirkan oleh berbagai lapisan sosial. Demikian dinyatakan Taufiq Abdullah.63

Jiwa toleransi beragama dapat dipupuk melalui usaha-usaha berikut:

1. Mencoba melihat kebenaran yang ada dalam agama lain.

2. Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-agama.

3. Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama-agama.

4. Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan.

5. Mengutamakan pelaksanaan ajaran-ajaran yang membawa kepada

toleransi beragama.

61 Greg Fealy, Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal, Ahmad Suaedy, A. Made Tonny Supriatna, Amiruddin Ar-Rany, dkk. (terj), (Yogyakarta: LKIS, 1997), h.204 62 Syaiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1995), h. 275 63 Taufiq Abdullah, Islam Dan Masyarakat (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 245

33

6. Menjauhi praktik serang-menyerang antar agama. Mungkin hal-hal ini

dapat mengubah ketegangan hidup beragama yang dirasakan ada dalam

masyarakat kita sekarang.64

Dengan upaya menjunjung tinggi nilai dan semangat pluralitas tersebut, maka diharapkan suatu bangsa dapat membangun peradaban yang besar. Oleh karena itu, penulis sepakat dengan pendapat Fazlur Rahman bahwa, setiap peradaban besar mengembangkan beberapa ciri khas yang tersembunyi dibalik ekspansinya yang luar biasa, atau bahkan tampaknya ciri khas yang tersembunyi dibalik ekspansinya yang luar biasa, atau bahkan tampaknya ciri khas itu menjadi kebajikan khusus karena mereka muncul untuk menyumbang terhadap ekspansinya, tetapi ketika peradaban itu mencapi puncaknya ciri-ciri itu kembali dipermasalahkan.65

D. Pro-kontra Tentang Pluralisme

Nur Khalik Ridwan berpendapat, bagi pegiat wacana pluralisme, mereka memandang pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu kemanusiaan, yakni keragaman, heterogenitas dan kemajemukan itu sendiri.oleh karena itu, ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara.dalam pluralisme

64 Syaiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1995), h. 275 65 Harun Nasution & Azumardi Azra (peny.) Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indosesia, 1985), h. 39

34

keberadaan diakui adanya, dan karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan dalam bentuk homogenitas, kesatuan, tunggal, mono dan ika.66

Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datang dari luar Islam.67

Disamping itu akhir abad ke-21 ini ditandai oleh perubahan-perubahan yang mencengangkan. Kenyataan tersebut menurut Bachtiar Effendi, telah menghadapkan masyarakat agama kepada suatu kesadaran kolektif terhadap penyesuaian struktural dan kultural.68 Keanekaragaman agama akan menjadi kekuatan bangsa manakala agama-agama mampu hidup berdampingan secara menyenangkan di sebuah negara.69

Namun bagi mereka yang begitu mencurigai akan bahaya pluralisme, mereka menilai bahwa pluralisme merupakan proyek Barat. Maka menjadi penting menelusuri lahirnya gagasan liberalisme dan pluralisme agama. Gagasan protestanistik yang kini digandrungi sebagai Muslim sangatlah begitu pelik.

Proses liberalisme sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi

(baca: penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan.

66 Nur Kholik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 77 67 Saifudin Zuhri Qudsy (peny.), Islam Liberal Dan Pundamental Sebuah Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: eLSAQ , 2003), h. 5. 68 Bachtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 3 69 Nur Ahmad (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. h. 80.

35

Anas Malik Toha mensinyalir, sejak era reformasi gereja abad ke- 15, wilayah yuridiksi agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan didomestikkan sedemikian rupa. Hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat. Dan saat ini, agama tetap masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM (Hak Asasi Manusia). Oleh karenanya harus mendekontruksikan diri (atau didekontruksikan secara paksa) agar menuruti bahas kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks- teks dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman. Proses liberalisasi politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”. Liberalisasi agama harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya. Orang menyebutnya sebagai pluralisme agama. Demikian dikatakannya.70

Paham liberalisasi pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis.

Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama. Juga lebih kental dengan aroma politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political pluralism), yang merupakan produk dari leberalisme politik

(politic liberalism). Jelas, leberalisme tidak lebih merupakan respon politis terhadap kondisi sosial masyarakat kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok, dan mazhab. Namun kondisi semacam ini masih terbatas dalam masyarakat kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.71

Dalam konteks Indonesia, pikiran yang mengaggap semua agama itu sama sebenarnya telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya.

Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan

“baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan.

70 Diakses dari tulisan anis malik toha, http://www.Hidayatullah.com_content&task =view&id=1460&itemid=0, dengan judul: pluralisme agama. 71Nur Kholik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur,. h. 86

36

Umat Islam seperti mendapatkan pekerjaan rumah yang baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal umat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Dalam Musyawarah Nasional VII Majlis Ulama’

Indonesia, MUI telah mengeluarkan 11 fatwa, dimana sejak berdirinya MUI belum pernah mengeluarkan fatwa sebanyak itu.

Menurut Frans Magnis, teolog-teolog seperti John Hick, Paul F. Knitter

(Protestan) dan Raimondo Panikkar (Katolik), adalah tokoh dengan paham yang menolak ekslusifisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan. Agama-agama hendaknya pertama- tama memperlihatkan kerendahan hati, tidak menganggap lebih benar dari pada yang lain-lain.72

Disisi lain bagi mereka yang pro terhadap pluralisme memaknai dikatakan

Nur Khalik, pluralisme adalah sebauah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu fakta kemanusiaan, yakni keragamaan, heterogenitas dan kemajmukan itu sendiri. Oleh karena itu, ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara, dalam pluralisme, perbedaan diakui adanya, dan karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan dalam bentuk hemogenitas, kesatuaan, tunggal, mono dan ika.73

72 Ibid,. h. 94 73 Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur. h. 77.

37

E. Wacana Pluralisme di Indonesia

Sejak keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang keharaman pluralisme, bersama liberalisme, dan sekularisme pada tahun 2005, alih-alih masyarakat serentak menyetujui, tidak sedikit terutama dari kalangan intelektual muslim sendiri yang malah memberikan respons secara kritis sebagai ungkapan ketidaksetujuan terhadap fatwa tersebut. Artikel yang bernuansa menolak terhadap fatwa MUI meluncur deras di beberapa media massa.74 Sebut misalnya artikel

75 yang ditulis M. Dawam Rahardjo, Mengapa Semua Agama Itu Benar? (Tempo,

1 Januari 2006). Dalam artikelnya itu, M. Dawam Rahardjo coba memaparkan beragam perspektif tentang pluralisme. Poin penting dari penelusuran M. Dawam

Rahardjo adalah, ternyata pluralisme tidak bisa digiring hanya dalam suatu perspektif sebagaimana yang menjadi dasar pertimbangan MUI.

Dalam menghadapi keragaman, kata M. Dawam Rahardjo, kita membutuhkan suatu paham pluralisme (pluralism is needed to deal with plurality). Tentu akan menyulitkan jika di satu pihak pluralitas diterima sebagai suatu realitas sedangkan di pihak lain, pluralisme ditolak sebagai suatu paham.

74 Selain artikel, banyak juga publikasi yang berbentuk buku yang mengusung tema pluralisme. Lihat misalnya, Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam al-Quran (Bekasi Timur: Menara, 2006); Mohammed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan: Pandangan al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2006); Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005); Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (Jakarta: Serambi, 2006); Jerald F. Dirk, Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen, dan Yahudi (Jakarta: Serambi, 2006). Buku-buku ini berisi dukungan terhadap pluralisme. Jalaluddin Rakhmat, misalnya, berpandangan bahwa pluralisme bukan sesuatu yang paradoks dengan al-Quran. Dalam analaisis Rakhmat, dalam al-Quran banyak sekali ayat yang mendukung pluralisme. 75 Lihat juga artikel M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekeluralisme dan Pluralisme”, http://www.icrp-online.org.

38

Respons kritis terhadap fatwa MUI, lebih-lebih yang berhubungan dengan pluralisme, tidak hanya ramai pada awal-awal keluarnya fatwa.76

Beberapa media massa rupanya menganggap perbincangan seputar pluralisme tetap memiliki aktualitas sehingga artikel yang memberikan sorotan kritis terhadap fatwa MUI dimunculkan. Di Indonesia, pluralitas dan pluralisme terutama yang terkait dengan agama seakan ditaqdirkan selalu berada dalam posisi problematis. Siapa pun tidak ada yang menampik terhadap fakta keragaman di

Indonesia. Sejarah keragaman agama di Indonesia telah berlangsung sangat lama.

Menurut salah satu teori sejarah, Islam datang ke bumi Nusantara pada abad ke-7

M. Artinya, Islam telah menghiasi negeri ini melewati satu milenium. Tetapi

Islam tidak memasuki ruang hampa. Jauh sebelum datangnya Islam, masyarakat

Nusantara telah terpola ke dalam berbagai agama dan kepercayaan. Tidak hanya

Islam, agama-agama lainnya pun berdatangan. Dalam versi negara, pada saat ini ada enam agama yang diakui eksistensinya, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu,

Budha, dan Konghucu.77

Salah satu sisi problematis dari keragaman tersebut adalah adanya potensi konflik. Tentu ini terasa aneh, karena ajaran agama mana pun selalu menekankan pada kesamaan dan kesetaraan manusia. Ini merupakan visi perenial semua agama. Potensi konflik dalam keragaman agama dengan demikian berada di luar wilayah perenial agama, tetapi lebih banyak terjadi pada wilayah konstruksi sosial. Mengapa wilayah ini rentan konflik? Konstruksi merupakan modus yang dikembangkan oleh seseorang dalam memahami doktrin agama. Agama memang meniscayakan pada suatu modus pemahaman agar kehendak Tuhan yang

76 Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur. h. 83. 77 Ibid, h. 84

39

terdapatdalam doktrin agama bisa dipahami dan dilaksanakan oleh manusia. Al-

Qur’an, Injil, dan kitab-kitab lainnya, sebagai kodifikasi firman Tuhan, tentu akan banyak menghadapi kesulitan aktualisasi jika tidak dijembati dengan pemahaman manusia. 78 Peristiwa terakhir, yaitu penyerangan warga Ahmadiyah oleh sekelompok orang tidak dikenal di Desa Cikeusik kembali mencoreng kerukunan beragama yang berbeda keyakinan di Indonesia. Pemaksaan kehendak oleh salah satu pihak yang mengklaim sebagai mayoritas seolah-olah mendapatkan pembenaran oleh penegak hukum bahwa keyakinan yang diyakini oleh sebagian besar golongan adalah kebenaran mutlak, sedangkan keyakinan yang dipegang oleh minoritas seakan selalu salah dan dianggap sesat. Selain itu, insiden penusukan pendeta HKBP oleh sekelompok organisasi masyarakat yang beda agama di Bekasi seakan menegaskan bahwa pentingnya pluralitas keagamaan di

Indonesia. Karena jika konflik-konflik seperti ini tidak segera diatasi dan diketahui solusinya, maka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan dipertaruhkan.

Dalam konteks kehidupan beragama, MUI memaknai pluralisme (agama) sebagai paham yang menganggap semua agama sama. Dari pemahaman ini lalu berkembang logika begini: pluralitas yes, pluralisme no!. Tidak sedikit di kalangan Islam yang sepaham dengan logika ini. Padahal, logika ini jelas mengandung kerancuan (fallacy). Mana mungkin menyikapi pluralitas tanpa memiliki sandaran pada salah satu perspektif pluralisme. Secara akademik pandangan MUI dapat dipersoalkan mengingat pemaknaan terhadap konsep pluralisme tidak tunggal.

78 Ibid, h. 85

40

Dalam pengertian generiknya, pluralisme merupakan pandangan yang mengafirmasi dan menerima keragaman (http://en.wikipedia.org). Situs ini juga mengemukakan penggunaan istilah pluralisme dalam agama (pluralisme agama) yang diartikan sebagai relasi damai antaragama yang berbeda. Jika bertolak dari pengertian tersebut, maka ada dua hal yang ditekankan dalam pluralisme agama.

Pertama, pengakuan sekaligus penerimaan terhadap keragaman termasuk dalam agama. Keragaman agama merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Munculnya berbagai agama pada masa sebelumnya secara historis tidak bisa menghapus agama yang muncul pada masa sesudahnya. Begitu juga sebaliknya. Fakta ini meniscayakan adanya suatu pengakuan terhadap keragaman. Kedua, perlunya mengembangkan relasi damai dengan kelompok agama lain. Apa pun agamanya, bisa dipastikan memiliki kepedulian pada masalah kemanusiaan. Semua agama juga menekankan kepasrahan terhadap apa yang kita sebut dengan Tuhan. Poin- poin inilah yang memungkinkan adanya perjumpaan, dan bahkan kerja sama, antar-umat beragama, tanpa merasa perlu mempertukarkan keyakinannya. Wacana semacam ini berkembang cukup pesat di tanah air sejak 1990-an. Penelitian ini ingin merekontruksi wacana tersebut.

41

BAB III

BIOGRAFI INTELEKTUAL DAN POLITIK HASYIM MUZADI

A. Kehidupan Sosio-Kultural Hasyim Muzadi

Hasyim Muzadi adalah termasuk salah satu seratus tokoh nasional

Indonesia paling berpengaruh dipanggung politik nasional saat ini dan diprediksi akan mempunyai peran yang cukup signifikan dalam menentukan konfigurasi politik bangsa di masa-masa yang akan datang.79 Hasyim Muzadi merupakan tokoh terpandang di negeri ini dan saat ini ia masih menjadi Rais Syuriah organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan yang memiliki basis terbesar di negeri ini.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Hasyim Muzadi diakui kapasitas, kapabilitas dan ketokohannya oleh publik baik dibidang pemikiran ataupun sepak terjang politiknya. Sehingga Hasyim Muzadi menjadi tokoh yang diperhitungkan dalam kancah politik Indonesia saat ini. Tentunya hal itu tidak semata-mata karena ia pernah menjadi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), akan tetapi karena komitmen dan kontribusi ide-ide kebangsaan dan pergulatan panjangnya dalam sejarah gerakan politik yang diawali sejak masih muda.

Terbukti nama besar Hasyim dapat mendongkrak suara pasangan Capres- cawapres Mega-Hasyim pada pemilu 2004 secara signifikan walau tetap dibawah perolehan suara Capres-cawapres SBY-Budiono.

Untuk mengurai dan membaca karakter pemikirannya secara detail diperlukan penelusuran yang mendalam atas latar teoritis dan latar belakang sosio-

79 Zaenal Ali, 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh (Jakarta: Narasi, 2008), h. 162

42

kultural, pendidikan dan pengalaman dibidang organisasi, serta tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam membentuk gugusan pengetahuan personalnya yang nantinya banyak menyumbangkan dan mengilhami pandangan-pandangannya dalam bidang politik.

Hasyim Muzadi dilahirkan di Tuban pada tanggal 8 Agustus 1944, dari pasangan Muzadi dan Rumiyati. Ia merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. Secara geografis Tuban terletak dibagian Utara Pulau Jawa, tepatnya perbatasan Kabupaten Lamongan dan Bojonegoro. Di daerah inilah ia menghabiskan masa kecilnya. Hasyim menikah dengan Muthomimah dan dikaruniai 6 anak, yakni 3 putra dan 3 putri. Di masa kecilnya ia berada dalam kehidupan yang tidak serba berkecukupan sehingga ia menjadi sosok pribadi yang pantang menyerah. Tak heran jika anak ke-tujuh dari delapan saudara ini mencanangkan kalimat “Tiada hari tanpa perjuangan”, sebagai motto hidupnya.80

Hasyim Muzadi, begitu akrab disapa, menempuh pendidikan dasarnya di

Madrasah Ibtidaiyah di tanah kelahirannya Tuban pada tahun 1950-1953 lalu ia pindah ke Sekolah Dasar (SD) Tuban sampai lulus pada 1955. Setelah itu ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di kota yang sama hanya menempuh satu tahun yakni dari tahun 1955-1956. Lalu ia pindah ke

Pondok Pesantren Gontor dengan menempuh pendidikan KMI selama enam tahun tercatat dari 1956-1962. Lulus dari Gontor ia pindah ke Pondok Pesantren Senori

Tuban tak lama kemudian ia pindah ke Pondok Pesantren Lasem pada tahun 1963.

Setelah ia selesai berkeliling dari satu pondok ke pondok yang lain ia melanjutkan pendidikan tingginya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malang dari tahun

80 Mohammad Shodiq, Dinamika Kepemimpinan NU, Refleksi perjalanan KH. Hasyim Muzadi, (Surabaya, LTN NU Jatim, 2004), h. 189

43

1964-1969. Sedangkan pendidikan non-formalnya ia tempuh di Pondok Pesantren

Gontor dan tamat pada tahun 1963.

B. Latar Belakang Pemikiran Hasyim Muzadi

Semenjak duduk dibangku kuliah, ia mulai mengenal berbagai tokoh politik mulai dari tokoh-tokoh dunia hingga tokoh politik nasional, dari yang klasik sampai kontemporer. Pada fase ini, Hasyim berkenalan dengan beragam pemikiran politik mulai dari yang paling kiri hingga yang paling kanan.81

Keterlibatan Hasyim dalam medan politik pergerakan dimulai sejak ia menginjakkan kaki di bangku kuliah, ia aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam

Indonesia (PMII) komisariat IAIN Malang. PMII82 adalah salah satu organ gerakan mahasiswa dari berbagai organisasi gerakan mahasiwa yang ada di

Indonesia yang memiliki kedekatan sosio-kultural dengan Nahdlatul Ulama (NU).

Di organisasi inilah Hasyim mulai bergelut dengan berbagai persoalan kebangsaan dan terlibat langsung dalam konfrontasi gerakan mahasiswa dengan Orde Lama yang sedang harmonis dengan kelompok komunis.

PMII yang baru seumur jagung pada masa itu sangat gencar sekali melakukan gerakan anti-komunis. Bahkan melancarkan gerakannya lewat

81 http://id.wikipedia.org/wiki/hasyim-muzadi 82 PMII adalah salah satu gerakan mahasiswa (organisasi mahasiswa) di Indonesia PMII, yang sering kali disebut Indonesia Moslem Student Movement atau Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah anak cucu NU (Nahdlatul Ulama yang terlahir dari kandungan Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), anak yang juga anak dari NU. Status anak cucu ini pun diabadikan dalam dokumen kenal lahir yang dibikin di Surabaya tepatnya di Taman Pendidikan Putri Khadijah pada tanggal 17 April 1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 Hijriah. Namun, pada akhirnya PMII memilih lepas yakni independent dari organisasi induknya. Hal ini dipertegas dan dijelaskan pada kongres V PMII di Ciloto Jawa BArat pada tangggal 28 desember 1973. Semenjak itu PMII lepas secara structural sampai sekarang meski secara structural PMII tidak jauh brda dari tradisi NU.

44

demontrasi-demontrasi di jalan. Sehingga PMII meski berada dibawah naungan

NU namun, telah menunjukkan karakternya sebagai the agent of control.

C. Karier Organisasi dan Politik

Hasyim dikenal sebagai sosok yang sangat tulus memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim cukup nasionalis dan pluralis. Apa saja yag dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan

NU, Hasyim ikhlas melakukannya.83 Karakter tersebut ia bangun semenjak dalam organisasi kepemudaan seperti gerakan pemuda Anshor84 dan organisasi kemahasiswaan, yakni PMII. Hal inilah yang menjadikan modal kuat Hasyim untuk terus berkiprah di NU.85

Kiprah organisasinya mulai dikenal sejak tahun 1992 ketika ia terpilih menjadi ketua pengurus wilayah NU Jawa Timur. Posisi ini mampu menjadi batu loncatan bagi Hasyim untuk menjadi ketua umum PBNU pada tahun 1999.

Sebagai organisasi keagamaan yang terbesar di tanah air ini, NU selalu menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim pun juga menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim tidak bisa mengelak dari kenyataan tersebut. Tercatat suami dari Hajah

Muthomimah ini pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) Tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986. Karena itu partai Islam hanya diwakili satu partai yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, jabatan sebagai ketua PBNU-lah yang membuat Hasyim mendadak menjadi pembicaraan

83 Mohammad Shodiq, Dinamika Kepemimpinan NU, Refleksi Perjalanan KH. Hasyim Muzadi, h. 196-198 84 Gerakan Pemuda Anshor merupakan lembaga otonom yang bergerak sebagai lokus gerakan kaum muda NU. 85 Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki, pada hari selasa, 30 Juni 2009

45

publik dan laris diundang ke berbagai wilayah. Bisa dikatakan wilayah aktivitas alumni Ponpes Gontor Ponorogo ini tidak hanya meliputi Jawa Timur namun telah menasional. Basis struktural yang kuat itu, masih pula ditopang dengan modal kultural yang sangat besar, karena ia memiliki Pesantren Al-Hikam Malang yang menampung ribuan santri.

Kiprah Hasyim dalam memimpin NU tidak kalah beratnya dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Semisal, dibandingkan dengan kepemimipinan Abdurrahman Wahid yang telah akrab dibanding Gus Dur, NU dibawah kepemimpinannya terakhir berduet dengan KH. Ilyas Ruhiat, pengasuh

Ponpes Cipasung Tasik Malaya Jawa Barat sebagai Ra’is Aam harus berhadapan dengan pressure penguasa Orde Baru. Sedangkan di era Hasyim Muzadi, tekanan terhadap NU terjadi justru karena membela Gus Dur dari gempuran konspirasi elit politik yang berupaya keras menggulingkannya dari kursi Presiden Republik

Indonesia. Pembelaan NU bukan semata-mata posisi Gus Dur sebagai presiden, melainkan lebih memilih pada nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkan Gus

Dur.86 Kedua pemimpin NU tersebut memiliki karakteristik pemikiran yang berbeda pula. Ketika Presiden Gus Dur diguncang konspirasi elit politik mau tak mau NU dibawah naungan Hasyim Muzadi ikut pula tergoyang. Begitu goncangan semakin kuat, NU pun ikut tergoyang kuat. Namun, ketika Gus Dur dilengserkan, NU harus bersikap tetap utuh dan bermakna sebagai perekat umat dan bangsa. Sebagai penyangga yang kokoh bagi negara hukum dan pengawal yang setia atas wujud Negara Kesatuan Republik Indonesia.

86 Lihat, dalam pengantar kumpulan tulisan dari koran detikcom, Suara Pembaharuan, kompas: Kiprah PBNU 2000-2001, analisis dan evaluasi pemberitaan tentang kepemimpinan Hasyim Muzadi, yang diterbitkan oleh el KAPIM Malang, tanpa tahun.

46

Integritas Hasyim yang lintas sektoral diuji. Ijtihad politik pria berusia 60 tahun ini yang menerima lamaran PDI Perjuangan87 untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres) di pemilu 2004, yang merupakan bagian dari sosok dirinya yang moderat. “saya ingin menyatukan antara kaum nasionalis dan agama”, ujarnya ketika berorasi dalam deklarasi pasangan capres dan cawapres Mega-

Hasyim.88 Walaupun tidak sedikit yang mencibir dan menyayangkan langkah

Hasyim yang terjun ke politik praktis, termasuk dengan pewaris darah biru kaum

Nahdliyin, Gus Dur. Bahkan langkah politik pria yang selalu berpeci ini telah menguak perseteruan dirinya dengan Gus Dur yang telah terpendam lama.

Namun, diatas segalanya, hanya Hasyim yang tahu persis, maka di balik langkah politik menuju kursi kekuasaan yang dulu dirintisnya.89 Secara politis kemenangan kubu Hasyim Muzadi sebagai pejabat PBNU tertransisi telah mengerahkan pengaruhnya. Sebagai hal ini berhasil men-setting ulang posisi politik organisasi yang didirikan KH. Hasyim Asyari dan kiai-kiai lain pada tahun

1926.

D. Karya-karya Hasyim Muzadi

Dalam penelusuran penulis, karya-karya Hasyim Muzadi tidak jarang ditemukan dalam bentuk buku. Ada empat karya yang telah diterbitkan menjadi buku. Buku yang pertama, Membangun NU pasca Gus Dur (Jakarta: Grasindo,

1999). Buku ini merupakan bangunan gagasan yang mencoba untuk melakukan

87 PDIP adalah Partai Demokrasi Indonesia Indonesia Perjuangan ini meminang Hasyim Muzadi sebagai calon wakil Presiden pada pemilu 2004. 88 Diakses dari, http://id.wikipedia.org/wiki/Hasyim_Muzadi, pada kamis, 2 Juli 2009 89 Lihat, dalam pengantar kumpulan tulisan dari koran detikcom, Suara Pembaharuan, kompas: Kiprah PBNU 2000-2001, analisis dan evaluasi pemberitaan tentang kepemimpinan Hasyim Muzadi, yang diterbitkan oleh el KAPIM Malang, tanpa tahun.

47

peneropongan dan terobosan baru terhadap organisasi yang digelutinya. Ide-ide terkait pembangunan NU ia ulas dalam karya tersebut. Meski buku ini lebih tepat dikatakan sebagai promosi gagasan untuk mencalonkan diri dalam Muktamar NU.

Kendati demikian, promosi karya ini menjadi sisi lain dari Hasyim yang juga mengantarkannya menjadi orang nomor satu di NU.

Buku kedua, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa,

(Jakarta: Logos, 1999). Buku ini membahas sederet pelbagai persoalan yang kini dialami NU. Dimana kelahirannya sebagai organisasi keagamaan dan banyak dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap meluasnya pengaruh gerakan pembaharuan yang dimotori kelompok Islam modernis. Namun, lambat laun pada perjalanan kemudian NU seakan tak sanggup mengelak dari tuntutan zamannya yang menghendaki pengambilan peran aktif dalam wilayah politik, bahkan terkadang mengharuskan bersinggungan dengan panggung elit kekuasaan- kekuasaan.

Menyembunyikan Luka NU, (Jakarta: Logos, 2002). Buku yang ketiga ini mengulas tentang peristiwa-peristiwa yang menimpa NU. Dimana salah satu tokoh kader NU yakni Gus Dur secara mengejutkan telah terpilih menjadi

Presiden Republik ini. Sayang saat masa kepemimpinannya tidak berjalan lama karena dikudeta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pengkudetaan Gus Dur dari kursi presiden yang telah dilakukan oleh elit-elit politik berdampak trhadap

NU. Sebab peristiwa tersebut telah menyulut bara kemarahan warga NU di berbagai daerah yang tidak terima akan pencopotan Gus Dur dari kursi presiden.

Pada saat itulah oragnisasi NU mendapat guncangan keras dari berbagai kalangan

48

non-NU dengan menuduh bahwa NU telah menyulut perpecahan di bumi perttiwi ini.

Lewat karya tersebut Pak Hasyim mencoba mengurai persoalan yang telah menimpa NU sebagai bagian dari bangsa yang juga memiliki tanggung jawab akan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan kata lain kehadiran buku tersebut merupakan klarifikasi akan peristiwa-peristiwa yang telah memojokkan NU sebagai kambing hitam dari perpecahan bangsa. Buku keempat,

Agenda Strategis Pemulihan Martabat Bangsa (Jakarta, 2004). Karya ini menjelaskan tentang bagaimana membangun bangsa dan negara Indonesia yang beradab, berkeadilan, bermartabat, dan religius. Selain itu, ia juga ingin mengajak anak bangsa bersama-sama membangun Indonesia menumbuhkan rasa percaya dan meninggalkan berbagai purbasangka yang hanya akan merugikan negara ini.

Dalam buku ini ia ingin menegaskan bahwa pembangunan bangsa tidak bisa dipikul atau menjadi tanggung jawab satu kelompok saja, tapi harus menjadi komitmen dan tanggung jawab segenap warga negara. Karya ini juga membahas berbagai persoalan yang kini tengah dihadapi bangsa Indonesia dalam melanjutkan proses pembangunan. Tak lupa bahwa buku ini lebih mengetengahkan masalah-masalah sosial keagamaan yang tidak terlepas dari kapasitasnya sebagai tokoh masyarakat dan ulama.

49

BAB IV

PEMIKIRAN HASYIM MUZADI TENTANG

PLURALISME AGAMA DI INDONESIA

A. Pemikiran Pluralisme Hasyim Muzadi

Untuk mengawali uraian dalam bagian ini, penulis mengutip beberapa poin dari salah satu tulisan Hasyim Muzadi yang mengatakan:

“Setidaknya ada empat pilar yang mendesak digarap dalam mukhtamar ini. Pertama, pilar pemahaman, pengalaman dan wawasan keagamaan. Ini faktor mendasar. Ini betul-betul harus mendapatkan prioritas, ini bukan seperti NU ini meninggalkan pemahaman, pengalaman dan wawasan keagamaan. Tetapi bagaimana cara beragama yang optimal fi al-dunya hasanah dan wafil akhirotil hasanah. Jadi bagaimana kita beragama melahirkan kesolehan pribadi dan kesolehan sosial. Bagaiman lahir generasi yang solihun lidinihi tetapi juga solihun lizamanihi. Soleh terhadap agamanya tetapi juga soleh terhadap tingkat perkembangan zamannya”.90

Selanjutnya ia mengatakan :

“Pilar kedua, perumusan dan pembakuan tentang hubungan agama dan negara. Embrionya sudah ada sejak muktamar ke-27 di Situbondo. Tetapi dalam konteks kekinian perlu ada penajaman kembali dan pengembangan lebih lanjut. Terutama dalam fenomena, dimana sekarang banyak ekstrimitas yang menggunakan label agama dan kemudian menciptakan disintegrasi antara agama dan negara. Dalam kondisi seperti ini, maka konsep NU yang terkenal moderat sangat relevan di dalam meletakkan agama dalam sistem pluralisme Indonesia. Tingkat moderasi NU dilihat dari kerangka ajarannya yang meletakkan hubungan agama dan negara yang substansial inklusif”.91

Disisi lain, Hasyim sebagai tokoh yang peduli dengan kondisi Indonesia dan

Islam tentunya memiliki pemikiran sebagai representasi dari pemikiran Islam sekaligus yang membedakan antara pemikirannya dengan para pemikir lainnya sesuai semangat zamannya, maka untuk memahami terlebih dahulu apa yang

90 Hasyim Muzadi, “Menggagas Kebangkitan NU Kedua”. Kompas, Selasa , 9 November 1999. h. 33 91 Ibid., h. 35

50

dimaksud pemikiran Islam alangkah baiknya jika menilik tulisan dari Muslim

Abdurrahman yang mengatakan:

“Berbeda dengan ulama yang biasanya menekankan otoritas, para pemikir Islam bisa dibilang adalah termasuk golongan “pemberontak”. Mereka, dengan kegelisahan intelektualnya, selalu mempertanyakan mengapa Islam yang normatif dan skriptualis tidak lagi mengalirkan pesannya yang mendasar dalam zaman yang baru. Orang-orang seperti ini (sebagai anak zamannya), sesungguhnya memiliki kreatifitas sejarah, yang dapat melakukan transformasi dan transendensi dalam memajukan peradaban. Oleh karena pada dasarnya, mereka itu adalah orang yang hidup dalam iman dan pikirannya yang selalu berjuang melawan “formalisme” ialah suatu bentuk penghayatan agama yang menempatkan iman hanya sebatas kegiatan rutinitas ritual. Sementara itu, penekanan “strukturalisme” islam yang mensucikan tradisi telah mematikan ruh pencarian ijtihad untuk menghidupkan inovasi, kreatifitas, dan perubahan”. Oleh karena itu, “Berpikir Islami” merupakan sebuah pencarian makna keIslaman yang masuk akal. Kitab suci al-Qur’an dan sunnah, bukanlah memuat gagasan yang serba ada, atau merupakan sebuah “impian surga” yang sudah sempurna. Hubungan kitab suci dan warisan tradisinya (turast) sebagai petunjuk kehidupan memerlukan pembacaan yang terbuka, karena kaum muslimin menjumpai zaman dan lokus kebudayaan yang berbeda-beda”.92

Selanjutnya mengatakan:

“Berpikir Islam yang terbuka dan berwatak transformatif, sekali lagi memang lain dibandingkan dengan semangat mencari “Jawaban Islam” yang khas untuk disandingkan dengan pemikiran yang lainnya sebagai alternatif. Dalam pemikiran Islam yang “bebas”, kaum muslimin diluar kesadaran komunitsnya harus benar-benar menjadi manusia, seperti halnya manusia yang lainnya, dengan kebebasan berpikir-sekuler. Kendatipun mereka betulk-betul hidup dalam suasana moral dan emosi spiritual yang religius, namun dalam bernegara, demokrasi, dan ber-civil society, tentu tidak harus mempertanyakan terlebih dahulu, adakah dan dimanakah rujukan agamanya, karena hal-hal seperti itu merupakan bagian dari komitmen nilai hudup bersama dengan orang lain dan tentu saja semata- mata merupakan wilayah politik yang imajinatif. Corak berpikir Islam seperti ini, adalah sesuatu yang seharusnya terjadi secara natural dan harus dilakukan. Pertama, karena imajinasi politik seperti itu memang merupakan kebutuhan kontemporer yang belum pernah terpikirkan oleh para pemikir Islam skolastik. Kedua, orang Islam sekarang hidup dalam peradaban yang kesadarannya tidak mungkin bisa dibatasi oleh entitas yang singular akibat munculnya gejala “pinjam-meminjam” gagasan kemanusiaan yang sangat terbuka dewasa ini. Oleh karena itu, tidak mungkin kaum muslimin hidup dalam syari’ah dan keumatannya sendiri

92 Muslim Abdurrahman, Dalam Pengantar Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas, (Jakarta: Airlangga, 2003). h. 39

51

tanpa mempertimbangkan dirinya dalam kehidupan individu dengan orang lain, dengan negara dan sebagai warga negara yang luas”.93

Dari tulisan di ataslah penulis terinspirasi dan bermaksud menjelaskan posisi pemikiran (Islam) khususnya pemikiran Hasyim Muzadi, dan kemudian yang ingin penulis pertegas terlebih dahulu adalah makna pemikiran Islam. Fakhri

Ali dalam salah satu tulisannya sebagaimana yang dikutip oleh Ihsan Ali Fauzi mendefinisikan pemikiran Islam sebagai “refleksi” intelektual yang sistematis dalam menanggapi permasalahan individual, sosial-politik, ekonomi dan kebudayaan dari perspektif ajaran Islam.94

Definisi tersebut dapat kita terima dengan dua catatan. Pertama, bahwa pemikiran Islam tersebut tidaklah terkooptasi atas kepentingan tertentu serta sebagai suatu yang memang terbuka menerima ruang dialog terhadap bentuk perubahan yang berlangsung. Kedua, menjadikan pendidikan sebagai basis perubahan, di mana pendidikan yang matang akan melahirkan intelektual Muslim.

Hasyim dikenal sebagi sosok kiai yang memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal

“nasionalis dan pluralis”.95 Hasyim Muzadi mengatakan bahwa munculnya konflik di Indonesia, terutama yang membawa-bawa nama agama hingga pemerintah dan aparat kewalahan menanganinya merupakan masalah serius yang harus diselesaikan. Bila menyangkut konflik menyangkut antar agama, ia mengatakan NU telah melakukan dialog lintas agama. Sebab, tidak mungkin

93 Ibid., h. 47 94 Ihsan Ali Fauzi, “ Pemikiran Islam Indonesia dekade 1980-an”, (Bandung : Prisma, Edisi 1991). h. 31 95 Diakses dari Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Hasyim_Muzadi.

52

masalah itu diselesaikan hanya dengan peran satu kelompok saja. Bila konflik itu ingin dituntaskan, maka harus melibatkan keduanya itu.96

Ketika terjadi peristiwa ditabraknya WTC 11 September 2001 yang memunculkan tuduhan AS langsung terhadap gerakan Al Qaeda sebagai pelakunya dan menangkapi orang-orang dan kelompok Islam yang diduga terkait dengan jaringan Al Qaeda posisi Islam moderat Indonesia luput dari tuduhan.

Namun hal itu bukan berarti persoalannya selesai. Hasyim Muzadi memiliki pandangan, dunia internasional perlu mengetahui kondisi Islam di Indonesia dan perilaku mereka yang tidak menyetujui tindak kekerasan. Untuk itu perlu upaya komunikasi dengan duni luar secara intensif, tak terkecuali dengan AS. Makin banyak dan intens komunikasi maupun kontak ormas-ormas moderat Indoinesia dengan internasional dan AS, maka hal itu makin positif. Apalagi, ditengah keterpurukan ekonomi, sosial dan keamanan di Indonesia saat ini kerjasama internasional jauh lebih berfaidah dari pada keterasinagan internasional.97

Selanjutnya sebagi respon tindak lanjut dari pernyataan Hasyim di atas, ia pun menjadi tokoh yang mendapat undangan pemerintah AS untuk memberi penjelasan tentang pemahaman masyarakat Islam di Indonesia. Ia cukup gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam Indonesia. AS beruntung mendapat gambaran langsung dari ormas muslim terbesar Indonesia. Indonesia juga besyukur karena seorang tokoh ormas muslimnya menjelaskan soal-soal Islam

Indonesia kepada pihak luar. Beliau memberikan gambaran bahwa, umat Islam di

96 Diakses dari http://gp-ansor.org/?pageid+115 97 Ibid., h. 57

53

Indonesia itu pada dasarnya moderat bersifat kultural, dan domestik, serta tak kenal jaringan kekerasan internasional.98

Soal kelompok-kelompok garis keras di Indonesia, betapa pun jumlah dan kekuatannya Cuma segelintir, Hasyim mengingatkan AS bahwa mengatasinya harus tidak sembarangan. Tidak boleh sekali-kali menggunakan represi. Bukan hanya kontraproduktif, tetapi bisa memunculkan radikalisme betulan. Sekali AS bertindak, seperti dilakukannya di Afganistan atau negara-negara Timur Tengah, dengan intervensi langsung, hasilnya bisa ruyam. Indonesia tidak bisa dipukul rata dengan timur tengah atau negara-negara lain.99

Selanjutnya Hasyim menyarankan, alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan adalah supaya pendekatannya dengan cara pendekatan pendidikan.

Kultural, dan sosial problem solving. Dengan cara demikian, maka gerakan- gerakan kekerasan akan hilang.100 Pada kesempatan lain ketika terjadi konflik

Sunni-Syi’ah yang terjadi di Jawa Timur, Hasyim berpesan agar kelompok tetap pada keyakinan masing-masing, serta tetap menjaga keseimbangan dan toleransi kepada kelompok lainnya.101 Itulah sebabnya, ketika terjadi peristiwa Black

September, yakni tragedi runtuhnya gedung WTC di Amerika, yang menempatkan umat Islam sebagai pelaku teroris, kiai yang dikaruniai enam orang putra ini, tampil dengan memberikan penjelasan kepada dunia internasioanal bawa umat

Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural dan tidak memiliki jaringan dengan organisasi kekerasan internasional. Ia adalah sekian dari tokoh

98 Ibid., h. 46 99 Ibid., h. 48 100 Ibid., h. 51 101 Diakses dari www.Eramuslim.com/berita/nas/742712304-hasyim-muzadi-konfliksuni- syiah-jawa-timur-dipicu-provokator.htm,

54

umat di Indonesia yang dijadikan referensasi oleh dunia barat dalam menjelaskan karakteristik umat Islam di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan penulisan pemikiran pluralisme keagamaan

Hasyim Muzadi, penulis menemukan paling tidak ada tiga pandangan penting beliau yang bisa ditangkap, yaitu prinsip Islam Rahmatn Lil ‘Alamin sebagi solusi alternatif atas persoalan bangsa dan dunia selama ini, pendekatan dialog peradaban, dan pluralisme sebagai Humanisme.

1. Islam Rahmatan lil Alamin

Warna keberagamaan (Islam) yang “khas” masyarakat di Indonesia tengah menghadapi gugatan dengan kehadiran penomena radikalisme beberapa tahun terakhir ini. Ditengah serbuan berbagai arus informasi, pemikiran dan idiologi yang masuk ke nusantara, saatnya NU sebagai organisasi yang sejak awal menempatkan diri sebagai subyek kebangsaan dengan misi sosial keagamaan yang memiliki ciri fakih fi mashalalihi-l-khalqi yakni yang selalu berpikir tentang kemaslahatan umat manusia merekonsepsi ulang gerakannya. Sejak berdiri tahun

1926 permasalahan yang menjadi tantangan NU adalah tantangan global yaitu dengan bangkitnya faham fundamentalisme agama dengan menggunakan baju wahabi dan puritanisme, dan kolonialisme yang merajarela dengan mengeksploitasi kekayaan bangsa-bangsa muslim dengan gagasan modernisasi dan liberalisasi sebagai pintu masuknya.

Dalam menjembatani persoalan tersebut, ada satu harapan besar dari publik agar Islam Rahmatan lil al’amin dapat diterjemahkan dalam sosial kemasyarakatan khususnya dalam hal kontribusinya sebagai penyelesai konflik

55

global yang terjadi selama ini yang berpengaruh terhadap sistem dan sendi kehidupan. Dalam pandangan Hasyim Muzadi, agar Islam bisa mewujud menjadi

Islam yang rahmatan lil ‘alamin harus bertumpu pada dua hal. Pertama, Islam dalam menyelesaikan konflik global hendaknya mengutamakan pendekatan dialog. Kedua, implementasi Islam harus dibangun berdasarkan kecerdasan dan ketakwaan dalam arti agama hendaknya diposisikan dalam dimensi kemanusiaan secara proporsional yang nantinya akan membentuk keshalihan sosial bukan keshalihan individual. kedua hal tersebut pada tataran praktisnya saling berkait, saling mengisi yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.102

2. Pluralisme Teologis dan Sosiologis

Menurut Hasyim Muzadi, pluralisme yang diperjuangkan oleh Nahdlatul

Ulama di Indonesia adalah pluralisme sosiologis bukan plurarisme teologis.

Pluralisme teologis justru merugikan teologi semua agama. Tidak ada keimanan atau keyakinan "tahu campur" dalam agama. Konsep pluralisme kembali marak dibicarakan menyusul meninggalnya KH Abdurrahman Wahid yang disebut oleh

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Bapak Pluralisme.

Menurut Hasyim, masalah teologi dan ritual adalah hak original agama masing-masing yang tidak boleh dicampuri dari luar. Sehingga doa bersama lintas agama bukanlah tukar-menukar teologi atau keimanan, namun sekedar tempat dan waktu yang bersamaan.

102 Muslim Abdurrahman, Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas, h. 103

56

Sedangkan pluralisme sosiologis merupakan kebersamaan "umat" beragama dalam komunitas keduniaan atau immanent sebagai pengejawantahan Bhinneka

Tunggal Ika atau unity and diversity, karena setiap agama di luar teologi dan ritualnya pasti ada ruang humanisme dan di situlah umat lintas agama bertemu.

Menurut Hasyim, hal yang ia sampaikan mengenai pluralisme itu telah disampaikan dan disepakati melalui utusan ICIS saat berada di Vatikan, Wina,

WCC/Kristen di Porto Alegre Brazilia dalam Assembly ke-9 tahun 2006, dan dengan Katolik Ortodox di Moskow dan para biksu di Thailand.103

3. Pendekatan Dialog Peradaban

Pertengkaran yang terjadi antara dunia Timur dan Barat terutama pasca terjadinya serangan WTC yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab telah menumbuhkan keprihatinan dari berbagai kalangan. Muhadjir Darwin berpendapat, posisi dan peran agama menjadi serba paradoks jika persoalannya diperluas dalam isu-isu demokrasi, humanisme, dan semacamnya. Belum lagi persoalan pluralitas dimana yang cara anti-pluralitas yang dibawa karena politik maka yang terjadi kemudian adalah perilaku yang ekslusif, yang cenderung mendiskriminasikan terhadap hak politik warga negara lain yang mempunyai agama yang berbeda.104

Karena itu, Hasyim berinisiatif melakukan sebuah upaya tertentu perlu diusahakan untuk meredam konflik kedua belah pihak. Sejumlah konsep diusahakan untuk mengatasi ketegangan tersebut. Untuk mencapainya dari pihak

Islam dan kaum muslimin harus berani melakukan terobosan-terobosan yang lebih

103 Hasyim Muzadi, Diakses dari http://www.nu.or.id/show/pages/625.html 104 Muhadjir Darwin, Agama Rakyat Agama Penguasa Kontruksi Tentang Realitas Agma dan Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press). h. 31

57

berani, yakni salah satunya, agama harus dikembalikan pada kedudukannya yang sebenarnya yakni sebagai pemersatu umat. Agama itu hadir tidak dipakai tujuan- tujuan kekerasan. Artinya agama harus dikembalikan ke rahmatan lil ‘alamin yaitu menjadi pedoman kehidupan yang penuh rahmat dan kasih sayang. Disinilah pentingnya dunia silam berkesempatan untuk menata diri.

Konsep Islam rahmatan lil ‘alamin yang paling awal dilakukan menurut Hasyim Muzadi, adalah melalui ma’ruf dan nahi munkar. Akan tetapi ketika gairah untuk nahi munkar naik, amar ma’ruf sering kali tertinggal atau bahkan energi hanya terkonsentrasi untuk nahi mukar saja. Inilah yang kemudain melahirkan persoalan baru yang mengarah memunkar-kan hal baru. Atau justru me-makrufkan sebuah kemunkaran orang yang munkar, karena salah sasaran.105

Ada suatu pendapat yang dikemukakan Imam al-Ghazali didalam kitab

Ihya’ Ulumuddin, yang diadopsi pemikirannya oleh Hasyim Muzadi, bahwa Amar ma’ruf nahi munkar itu memiliki etika, yaitu adabu al-amr bi al-ma’ruf dan adab al nahy ‘anil al-munkar. Ada tiga etika yang disampaikan oleh al-Ghozali. Salah satunya adalah memerintahkan orang untuk berbuat baik dan mencegah berbaut jahat jangan sampai menimbukan kemungkaran yang lebih besar. Fikih Islam mengenal “akhaffu aldhararain”. Maksudya, dalam kondisi yang dilematis, dimana pilihan-pilihan untuk beramal semuanya buruk maka yang dipilih adalah yang lebih sedikit bahayanya. Demikian dijelaskan oleh Ulil Abshar Abdala. Dari dua konsepsi fikih diatas menurut penulis, Hasyim berusaha mewujudkan sikap pluralis terutama dalam upaya mendialogkan kesenjangan Timur dan Barat.

Dalam usaha mewujudkan usaha diatas, Hasyim menggelar sebuah Konferensi Internasional Ilmuan Islam Sedunia yang bekerja sama dengan Departemen Luar Negri RI. Hasyim berhasil menghimpun seluruh tokoh pemikir Islam Internasional, ulama, dan dunia barat untuk duduk dalam satu forum (majlis) membicarakan persoalan umat manusia. Kegiatan tersebut bertajuk Internasional Conference Of Islamic Scholar atau Konferensi

105 Ibid., h. 44.

58

Internasional Ilmuan Islam yang berlangsung di Jakarta Convention Centre (JCC) tanggal 23-26 Februari 2004, Hasyim menghadirkan 300 ilmuan dengan 120 diantaranya uandangan berasal dari luar negri. Dua puluh orang dan yang separuh diataranya merupakan tokoh dunia ditampilkan sebagai pembicara.106

Menurut Hasyim, diharapkan dengan konferensi itu bisa meredakan ketegangan antara dunia Timur dan Barat, dengan tujuan untuk menata uamt

Islam secara internasional dan melahirkan pemikiran khusus, khususnya dibidang pendidikan, ekonomi dan media.107 Acara yang digagas Hasyim ini adalah kegiatan society to society antara jam’iyah satu negara dengan jam’iayah negara lain dengan melibatkan tokoh dunia baik sebagi perorangan maupun sebagi lembaga. Hal itu dilakukan dalam kerangka untuk menghindari tarik menarik kepentingan. Sebab konflik-konflik yang mengunakan Islam itu jarang sekali yang murni dari agama. Biasanya suatu negara dengan negara lain yang kebetulan umat

Islamnya banyak berperang dimana umat bernegara tersebut ikut terlibat maka agamanya juga ikut sertakan. Dengan hanya dihadiri oleh ulama’ dan tokoh pemikir berkumpul Hasyim ingin meletakan agama, sebagai sumber nilai kemanusiaan, sumber persatuan dan ilmu pengetahuan serta menjadi rahmat bagi seluruh alam.108

Pemahaman seperti itu bukan berarti secara otomatis memisahkan antara agama dan negara, tetapi dimaksudkan supaya orang melihat hubungan antara keduanya secara propesional. Pemisahan agama dan negara merupakan konsep yang masih pro-kontra, walaupun seyogyanya harus dapat dibedakan antara posisi dan peran masing-masing.109

106 Ibid., h. 45. 107 Ibid., h. 57 108 Ibid., h. 46. 109 Ibid, h. 47.

59

Sesuatu yang hendak dikonsepsikan Hasyim Muzadi sebenarnya hanyalah sederhana. Bagaimana umat Islam ini menjadi lebih cerdas dalam menangani setiap permasalahan yang muncul. Karena didalam situasi kemelut apapun justru yang lebih banyak adalah pihak-pihak yang menumpang dengan berbagai kepentingan, dan kemudaian menyerang Islam itu sendiri. Analisis seperti ini jarang dikatakan orang. Dalam stesel hubungan antara Barat dan Timur sejak terjadi ketegangan, dan dalam dunia pergaulan yang acak itu, membuka leher kemungkinan orang untuk menumpang kepentingan dalam mengacak-acak Islam.

Maka agar tidak bisa di acak-acak dari luar, hendaknya umat Islamnya sendiri harus melihat kedalam dan bertindak dengan logika yang cerdas, sehingga kalau ada serangan yang bersifat arogan pasti akan dapat diketahui sejak dini.

Sebaliknya jika pada saat umat Islam sendiri arogan, maka hal itu dijadikan sertifikasi serangan orang ghairu Islam yang lebih hebat lagi.110

Yang sangat ditekankan disini menurut penulis adalah bahwa pluralisme dapat dipahami bukan sebagai suatu yang netral. Ia tidak mengandaikan kita untuk selalu permisif tanpa ada keberpihakan yang jelas, misalnya terhadap semangat toleransi. Dalam Islam, memang sering ditantang dengan pemikiran semacam ini.

Pada saat kunjungan ke Amerika, yang paling mengesankan bagi Hasyim

Muzadi adalah ketika bertemu staf keamanan Presiden Amerika Serikat (Steve

Hadley) yang berkantor di gedung putih kemudian beliau berdua berdiskusi, dalam diskusi tersebut Hasyim Muzadi, mengatakan bahwa Islam di Asia

Tenggara jangan disamakan dengan Islam Timur Tengah. Karena Islam yang di

Timur Tengah wawasannya fundamental selain negerinya sering “diobok-obok”

110 Ibid., h. 48-49.

60

Barat seperti dalam konteks Israel. Sehingga timbul perlawanan double, perlawanan sebagai beda agama dan perlawanan terhadap imperialisme dan fasisme.111 Maka kalau disana terjadi kekerasan-kekerasan, itu masuk akal. Kalau di Asia Tenggara tidak demikian, dan tidak ada penekanan dari Barat, tidak ada urusan langsung dengan Israel, dan sebagainya. Disitu terjadilah diskusi bahwa

Amerika kalau melakukan intervensi terhadap Indonesia maka kerugian ada pada pihak Amerika untuk jangka panjang, sekalipun untuk jangka pendek merugikan

Indonesia.112 Maka kalau Timur Tengah dalam suasana perang mungkin banyak pihak mengatakan sebagai suatu kewajiban. Dalam suatu perang yang demikian itu , dalam Islam ada hukumnya sendiri. Dalam suasana perang disitulah tidak ada jalan lain kecuali melawan dan jihad dengan mengangkat senjata, sehingga melahirkan gerakan radikal dan fundamentalis yang sangat kuat. Disini

(Indonesia) maka dalam kenyataannya tidak ada perang. Perang yang demikian memerangi siapa? Semuanya menjadi tidak jelas. Sebagian kelompok melakukan kekerasan itu dengan dalih menegakan jihad. Padahal sebenarnya pengertian jihad yang komprehensif tidak demikian. Apa pun yang dilakukan untuk kepentingan agama mengandung arti jihad. Berani mati itu memang jihad, namun hidup berkeadilan, hidup halal, dan hidup hidup makmur juga bagian dari jihad fisabilillah.

Jadi apa yang diharapkan dengan dialog Timur dan Barat adalah upaya penghentian kekejaman. Tapi kita menyelesaikan juga orang-orang yang telah membuka kekejaman itu. Oleh karena itu perlu dihindari sumber-sumber konflik

111 Ibnu Anshori, KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance (Sidoarjo: Citra Media bekerjasama dengan AMF Surabaya, 2004)., h. 142. 112 Ibid., h. 145

61

dan kembalikan agama harus dikembalikan pada fungsi yang sebenarnya sebagai rahmat bagi seluruh alam baik alam Timur maupun alam Barat.

Agama yang membawa rahmat tentunya bertumpu pada ajaran dan konsepsi takwa secara tepat. Takwa adalah modal utama hidup di dunia untuk menuju baldatun toyyibatun warobbun ghofur.

4. Plularisme Agama Sebagai Bagian dari Humanisme

Secara objektif fakta dilapangan menunjukan bahwa, bangsa ini dalam kondisi pecah belah kerusuhan dan konflik berkepanjangan yang hampir tiada ujung. Wilayah Indonesia yang begitu luasnya terdapat sejumlah daerah yang sampai hari ini masih dalam situasi konflik berkepanjangan, mulai dari konflik sara, etnis, separatisme dan juga konflik-konflik politik serta agama. Misalnya bisa disebutkan sejumlah daerah yang menjadi titik rawan konflik seperti Aceh,

Maluku, Ambon, Kalimantan Timur, Papua Irian Jaya, Makasar, dan sebagainya.

Komitmen dan konsepsi Hasyim Muzadi berkaitan dengan fenomena keagamaan akan dijelaskan pada bagian berikut.

a. Dimensi Humanisme Dalam Agama

Pluralisme keberagamaan Indonesia dalam pandangan Hasyim sebagaimana diungkapkan Anshori adalah bagaimana agama-agama menampilkan dimensi kemanusiaannya yaitu hidup berdampingan berkembang diatas fundamen tradisi agama yang saling menghormati, tradisi gotong royong, tradisi musyawarah dan dialog serta budaya santun. Secara lebih spesifik pada bahasan ini akan disampaikan bagaimana pandangan Hasyim Muzadi dalam melihat hubungan Islam dengan agama- agama lain dalam wacana pluralisme agama.113

Menurut Hasyim, bahwa pertemuan-pertemuan yang sifatnya

musyawarah sebagai bentuk dialogis antara umat beragama merupakan

113 Ibnu Anshori, KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance., h. 54.

62

sesuatu yang sudah mentradisi pada jama’ah warga NU di Indonesia. Warga

NU sudah terbiasa melakukan pertemuan bersama teman-teman dari

Kristen dan Katolik terutama pada hal-hal yang harus diselesaikan bersama- sama. 114

Sejumlah perubahan telah terjadi di Indonesia. Hal ini membutuhkan intensitas yang cukup dalam memperat tali dialog dengan umat semua agama bahkan hampir setiap minggu dilakukan dialog dengan Kristen,

Katolik, Budha, Hindu, Konghucu untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup bersama.

Hasyim Muzadi berpandangan bahwa agama Islam itu mempumyai tiga bagian, yakni masalah teologi atau keimanan, masalah ibadah ritual, dan masalah humanisme (kemanusiaan). Yang membedakan antara Islam dan agama lainnya adalah tentang teologi dan ritual keagamaannya. Demikan dijelaskan Anshori.115

Pada aspek nilai-nilai kemanusian semua agama mengakuinya sebagai hal yang bernilai universal dan harus dijunjung tinggi dengan tanpa pandang bulu. Hubungan kemanusiaan yang sudah terbangun tidak boleh rusak hanya karena perbedaan teologi dan ritual. Itulah mungkin yang membedakan NU dengan ormas Islam laninnya. Untuk masalah-masalah humanisme (kemanusiaan), yang meliputi konsepsi persaudaraan, keadilan, persamaan kemakmuran, cinta kasih, toleransi, kerjasama, dan juga anti kekerasan semua menjadi tanggung jawab bersama. Prinsip dimasud adalah

114 Ibid., h. 55. 115 Ibid., h. 63.

63

nilai-nilai kehidupan yang universal yang juga dikehendaki oleh agama- agama lainnya tidak terbatas hanya bagi umat Islam semata.

Menurut Hasyim, siapa yang mempunyai pandangan yang sama terhadap nilai humanisme ini adalah saudara kita. Kemudian jika menginginkan ber-Islam, dia cukup melakukan ritual dan keimanan.

Menurut Hasyim pula keimanan tidak mungkin dipaksakan. Ritual adalah sesuatu yang berada diluar akal kita, karena bentuk dan metodenya telah ditentukan Tuhan.116

Menurut penulis, pemikiran Hasyim Muzadi dapat dipetakan sebagai berikut :

Pertama, Hasyim Muzadi dibesarkan dalam tradisi pesantren sehingga nalar politiknya tidak begitu nampak dalam kehidupannya, akan berbeda halnya jika semisal dia dilahirkan dan dibesarkan dari kalangan politisi.

Akan tetapi karena sejak mahasiswa beliau sudah aktif di organisasi dan selanjutnya semakin matang maka selanjutnya publik memepercayainya untuk duduk di DPRD Jatim dan selanjutnya memimpin PWNU Jatim.

Kedua, meskipun Hasyim Muzadi pernah menjadi salah satu kandidat cawapres mendampingi Megawati yang diusung oleh PDIP dalam pemilu tahun 2004 yang lalu namun bukan berarti beliau mewakili kalangan politisi tetapi karena semata-mata menjawab kebutuhan warga NU yang menginginkan figur alternatif dimana PKB sebagai partai yang mayoritas warga Nahdliyin ternyata belum sepenuhnya mampu mengakomodir kepentingan warga NU.

116 Ibid., h. 56.

64

Ketiga, dalam praksisnya Hasyim yang berlatar belakang pesantren sangat konsisten mengkampanyekan gerakan-gerakan yang mengarah pada upaya dialog antar kelompok dengan seringnya mengadakan agenda yang melibatkan antar kelompok yang bertaraf nasional maupun internasional seperti dialog ulama Sunni-Syi’i yang berlangsung di Bogor, disamping itu posisi beliau sebagai presiden Word Conference on Religion for Peace semakin mengukuhkannya sebagai salah satu tokoh sekaligus pemimpin ormas keagamaan yang memiliki kepedulian yang kuat akan kondisi sosial- keagamaan yang mengarah pada pluralitas. Hal ini membuktikkan bahwa posisi pesantren memiliki peran strategis dalam turut mendorong kearah kesadaran akan kemajemukan yang tidak hanya pada keagamaan suku, etnik, golongan, melainkan juga dalam dunia religius.

b. Kerjasama Islam Dengan Agama Lain

Hasyim Muzadi berpendapat bahwa kerjasama antara agama dapat dilakukan pada dimensi humanisme. Sementara dalam soal keyakinan diperselisihkan berbeda. Tapi baik Islam maupun Kristen tentu tidak tega melihat rakyat menderita. Pada titik inilah perlu dibangun kerjasama, bahu membahu satu dengan yang lainnya tanpa membedakan keyakinan yang satu dengan keyakinan yang lainnya.

Karenanya bisa dimengerti bahwa untuk masalah hubungan NU dengan agama-agama lain sangat baik dan sejati. Jadi bukan hubungan yang “pura- pura” dan penuh dusta. Apalagi di Indonesia, suatu negara yang tidak pernah mengalami tekanan antar agama. Mungkin berbeda dengan Timur

65

Tengah yang menggunakan tema agama dalam kekerasan. Di Indonesia, ini semua tidak ada kesulitan yang berarti untuk hubungan antar agama.

Kebebasan menjalankan agama dan ibadah dijamin oleh negara.

Selama ini diakui ada kasus-kasus yang menghambat kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Tetapi hal ini tidak disebabkan oleh pemahaman NU terhadap Islam. Kemungkinan kasus-kasus itu disebabkan oleh masuknya pemikiran-pemikiran keras berasal dari luar Indonesia.

Demikian pula adanya kesenjangan ekonomi dan konflik budaya setempat atau perlawanan terhadap pemerintah, sehingga gerakan-gerakan itu terkadang juga menimbulkan akses bentrokan antara agama. Hal demikian ini hanya merupakan sebagian kecil dan dapat diselesaikan oleh Nahdlatul

Ulama (NU) melalui peran ulama yang ada.117

Faktor lainnya yang menyulut konflik adalah pengaruh kelompok- kelompok tertentu yang masuk ke Indonesia sebagai barisan pendatang.

Inilah sebagian minoritas yang tidak menyukai Nahdlatul Ulama (NU) yang selama ini menjadi nilai ditengah-tengah umat Islam di Indonesia. NU dianggap terlalu kompromistis, terlalu baik terhadap semua agama dan mempunyai toleransi yang terlalu berlebihan terhadap budaya lokal (local wisdom). Bahkan pada akhirnya mereka ini mengklaim NU sebagai bid’ah, khurafat dan tahayyul.118

Kelompok ini kemudian mencoba melakukan purifikasi (pemurnian).

Purifikasi ini berkiblat pada realitas Islam di Timur Tengah masa lalu

(klasik). Sehingga semua harus dikembalikan kepada masa lampau. Mereka

117 Ibid., h. 57. 118 Ibid., h. 57-58

66

tidak mentolelir konsepsi humanisme itu berdasarkan yang kental dengan nilai lokalitas budaya. Sehingga semuanya cenderung dianggapnya bertentangan dengan teologi. Inilah yang kemudian bersambung dengan kelompok-kelompok dari luar. Demikian penjelasan Anshori.119

Menilik dari kenyataan sejarah bahwa, walisongo bisa mengislamkan orang Indonesia 90% tanpa perang. Hal inilah yang menjadi pertanyaan dalam konteks perkembangan NU hingga sekarang, bagaimana NU tidak terlibat dalam kekerasan dan selanjutnya bagaimana sikap NU terhadap kekerasan dan terorisme internasional. Kenyataan tersebut dapat dipakai untuk mensosialisasikan khittah. Islam yang rahmatan lil ‘alamin dibangun dari mabadi’ khoira ummah, sementara politik secara nasional harus mengandung landasan konsep mengayomi dan merekonstruksi dari civil society. Negara dibangun melalui pluralisme, demokrasi dan konstitusi yang disepakati bersama, dan di NU sudah memadai semua nilai itu didalam

“rahim jama’ah”. Mereka menginginkan islam di dunia seperti Islam nya

NU. Bagaimana pendiri NU menangkap ide walisongo lalu dijabarkan dalam konteks negara Indonesia. Posisi NU hari ini sudah berada pada maqaamam mahmuda, tetapi untuk sampai kesana Hasyim bilang, NU haus berada diatas semua golongan.120

Dalam kaitannya dengan hubungan dunia timur dan barat sekarang ini dari dua belah pihak (Islam dan Barat) terjadi sebuah kerancuan. Negara- negara barat menuduh bahwa terorisme terkait dengan agama Islam.

Sementara kelompok muslim sendiri, punya persepsi seakan-akan perbuatan

119 Ibid., h. 58 120 Ibid., h. 59

67

itu harus dibela melalui agama. Kedua persepsi demikian itu tidak ada yang benar. Seperti halnya tragedi Bali harus dilihat sebagai kejahatan kemanusiaan, sehingga pelaku yang tertangkap perlu diterapkan hukuman yang setimpal dalam arti mengadili kejahatan kemanuisaannya itu sendiri.

Hasyim Muzadi mengingatkan kepada semua pihak agar berhati-hati dalam menyikapi dan penuh kewaspadaan terhadap munculnya konflik ditengah masyarakat. Aparat yang berwenang harus cekatan. Kemungkinan ada provokator yang membenturkan umat antar agama. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah munculnya kejahatan kemanuisaan dan kemudian dihubungkan dengan agama. Jika demikian maka masalahnya akan menjadi besar. Misalnya kasus bom Bali sungguh merupakan kejadian yang luar biasa. Siapa pun pelakunya perlu dikutuk, karena sudah sangat tidak mempertimbangkan nyawa. Dalam Islam, membunuh seorang sama dengan membunuh seluruh manusia. Dalam ajaran agama manapun termasuk Islam tidak terdapat ajaran yang membenarkannya. Peristiwa diatas tidak boleh dikaitkan dengan agama yang kemudian akan terjadi konflik antar agama.121

Menurut penuturan Anshori, Hasyim Muzadi telah menegaskan, NU sudah mencoba berbagai upaya agar berbagai konflik di daerah tidak dipersepsikan sebagai konflik yang berdasar agama. Dalam menerangi dan mengantisipasi gejala terorisme, Hasyim Muzadi meminta semua pihak, agar tidak terjebak memakai kata jama’ah Islamiah. Konsep jama’ah

Islamiah ditakutkan akan menjadi konsep pukul rata semua jama’ah yang berarti komunitas atau kelompok yang memegang teguh Islam sebagai

121 Ibid., h. 62.

68

agamanya dan melakukan dakwah-dakwah disemua tempat. Jika konsep ini dipukul ratakan maka mengandung implikasi jama’ah umat islam dari berbagai tempat terkena klaim sebagai barisan teroris, tidak terbatas kelompok Abu Bakar Ba’asyir, Amrozi, dan kawan-kawan, namaun juga jama’ah NU, Muhammadiah, al-Irsyad dan sebagainya terkena stigma dan image bahwa mereka adalah teroris.122

Dalam upaya memerangi dan mengantisipasi terorisme secara bersama- sama, Hasyim Muzadi melakukan silaturahmi bersama sejumlah delegasi dari mancanegara, mereka menilai, NU tidak hanya merupakan kelompok

Islam moderat, tetapi juga sebagai titik temu sejumlah elemen bangsa.

Untuk itulah mereka datang ke Hasyim Muzadi karena membutuhkan pemikiran-pemikiran dari NU terkait terorisme. Disitulah dihasilkan kesepakatan dan persetujuan bahwa terorisme adalah persoalan serius sehingga perlu diberantas sampai ke akar-akarnya. Apapun bentuk dan alasannya, para pelaku aksi terorisme adalah pembunuh dan penjahat dalam artian umum yang tidak mewakili agama apapun.

Memang berat perjalanan NU dimasa Hasyim Muzadi dimana ancaman bertubi-tubi datang silih berganti yang jikalau NU sebagai jam’iyyah tidak kokoh memperkuat diri maka Indonesia sebagai negara dan bangsa akan hancur, karena bagaimanapun diakui atau tidak organisasi yang tetap konsisten mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia adalah

NU.

122 Ibid., h. 63

69

Menurut Hasyim, Kalau NU ingin istiqamah, mencapai maqaamam

mahmudah. Maka untuk mencapai itu, ada beberapa pokok yang harus

dilakukan NU. Pertama, kembali pada metode assalafus saleh. Kedua,

harus dibangun ukhuwah Nahdliyah untuk menempatkan NU sebagai milik

Indonesia. Ketiga, keretakan dari umat Islam harus disambung kembali,

seperti dengan Muhammadiyah termasuk dengan ikhwan, sementara itu

ukhuwah wathaniyah yang retak harus disambung lagi. Keempat, awal 2000

sampai 2001, kalau bisa dibangun ukhuwah islamiyah

internasional.123Sampai hari ini NU sebetulnya belum menemukan bentuk

formasi ideal sebagai sebuah jam’iyyah yang mencerminkan organisasi

dengan pengikut terbanyak yang turut membawa kepentingan besar dalam

menentukan masa depan bangsa dan negara indonesia. Organisasi yang

diidealkan oleh warga NU adalah organisasi politik yang mampu

berkompetisi (berdaya saing) dengan organisasi politik yang lain dalam era

demokrasi sejati dan pemikiran abad kontemporer ini. Untuk itu, NU tidak

bisa disamakan dengan partai NU zaman dahulu. Sebab dimungkinkan

disitu ada ulama-nya yang bertugas menunggui, dan pengurus yang lain

adalah orang yang profesional pada bidangnya, sehingga mampu melahirkan

politisi dan berkembang menjadi negarawan.

B. Pandangan Hasyim Muzadi Terhadap Fatwa MUI

Pada saat MUI dalam musyawarah nasional-nya yang ke VII yang

berlangsung di Jakarta pada tanggal 26 sampai 29 juli 2005 yang mengambil

123 Ibid., h. 113.

70

keputusan dengan mengeluarkan beberapa fatwa yang amat kontroversial terutama yang terkait dengan diharamkannya pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama yang dinilai bertentangan dengan ajaran agama islam. Hasyim pun menyayangkan langkah yang ditempuh MUI dengan mengeluarkan fatwa yang justru memicu persoalan baru. Menurut Hasyim, fatwa MUI itu merupakan langkah mundur bagi kehidupan antar-umat beragama.124 Ia menyatakan seperti itu menurut penulis karena selama ini belum ada kata sepakat yang bisa jadi karena perbedaan persepsi tentang definisi pluralisme, sekularisme, liberalisme serta dampaknya terhadap islam di indonesia yang bisa-bisa justru memunculkan gerakan baru yang mengarah kepada upaya formalisasi agama yang tentunya akan terkait dengan konsep relasi agama-negara. Menyinggung prinsip hubungan agama dengan negara, Hasyim menyebut agama substansialis yang inklusif, buka ekslusif. Formalis ekslusif hanya akan memecah belah bangsa ini dalam hal kerukunan umat beragama atau pertikaian antar suku dan budaya yang lain.125

Menurutnya :

“Jadi, bagaimana inklusifisme itu menjamin fluralisme, dan agama bisa berjalan dengan baik. Sudah ada paradigmanya tinggal mengembangkan saja”126

Di sisi lain munculnya fatwa MUI menjadi sangat memprihatinkan pada saat tokoh-tokoh agama sedang giat-giatnya membangun sistem keagamaan yang toleran, yaitu dengan upaya penghargaan terhadap kenyataan yang ada serta menjungjung tinggi terhadap agama-agama maupun paham keagamaan yang di dalamnya demi setabilitas bangsa serta diakuinya eksistensi, harkat dan martabat bangsa Indosnesia di hadapan bangsa lain. Dengan kasus yang muncul di Ambon,

124 Kompas, 30 Juli 2005. 125 http://www.suarapembaharuan.com/News/1999/281199/Nasional/pr01.html. 126 Ibid., h. 72

71

Bali, dan daerah-daerah lain yang kasusnya hampir serupa tentunya mengundang

keperihatinan dunia internasional terhadap kondisi bangsa dan negara Indonesia.

Dengan keragaman tersebut jika dikelola dengan baik maka akan menghasilkan

keunikan yang diharapkan akan menjadi potensi positif tersendiri dan akan

menjadi ciri khas yang akan membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa

lainnya.

Namun ketika MUI memfatwakan tentang diharamkannya paham

pluralisme, sekulerisme, libralisme maka seperti menjadikan persoalan lama

dipaksakan untuk dimunculkan kemabli. Hal tersebut juga dinilai bertentagan

dengan ajaran Islam seperti dalam QS. A l-Baqoroh (2): 256 yang berbunyi la

ikraha fi ad-din yang artinya tidak ada paksaan dalam beragama, munculnya

fatwa tersebut juga mengindikasikan masih rendahnya pemahaman akan

kenyataan keragaman yang ada di Indonesia serta mengingkari sunatullah akan

kenyataan adanya perbedaan. Di sisi lain munculnya fatwa tersebut tanpa disadari

atau tidak justru akan menciptakan friksi baru di kalangan masyarakat bahwa

yaitu terkelompokannya antara yang pro dan kontra terhadap fatwa MUI tersebut

yang tentunya akan menambah beban tersendiri dalam upaya menciptakan

stabilitas bangsa melalui semangat pluralitas yang dibangun oleh beberapa tokoh

termasuk Hasyim Muzadi.

C. Komitmen Menjaga Pluralitas Kebangsaan

Dalam kurun tiga dasawarsa terakhir di penghujung abad ke-20, tuntutan

demokratisasi menggelinding secara massif di dunia internasional. Menguatnya

tuntutan ini lantaran demokrasi dipandang sebagai sistem yang potensial untuk

72

mengantarkan masyarakat ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal.

Demokrasi dipandang sebagai sistem yang potensial untuk mengantarkan masyarakat ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal. Demokrasi dipandang lebih mampu mengangkat harkat, martabat kemanusiaan, lebih rasional, dan lebih realistis, untuk mencegah munculnya kekuasaan yang dominan, represif, dan otoriter.127

Dalam pandangan Hasyim Muzadi, demokrasi adalah sistem politik yang paling sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia. Fakta sosiologis menunjukkan, Indonesia adalah bangsa yang mengandung keberbagaian etnik, kultur, agama, dan kepercayaan. Paling tidak, menurut Hasyim, ada dua nilai fundamental yang secara inheren terkandung dalam demokrasi. Pertama, nilai keadilan. Demokrasi mengandung tata nilai keadilan yang menjadi kebutuhan fundamental seluruh umat manusia yang terekspresi dalam bentuk pemberian kesempatan dan peluang yang sama kepada seluruh warga negara untuk mengembangkan talentanya tanpa perlu merasa khawatir adanya diskriminasi dari penyelenggara negara atau kelompok-kelompok lain.128 Kedua, demokrasi dipandang sebagai sistem yang paling mungkin dan memadai bagi penyatuan kekuatan seluruh elemen kebangsaan. Demokrasi dipandang mampu mengkerangkai ikatan-ikatan primordial selebihnya. Karenya, menurut Hasyim, demokrasi harus ditempatkan sebagai kerangka dasar kebangsaan dan diorientasikan secara sistematik pada upaya pemenuhan cita-cita kolektif

127 Ma’mun Murod Al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amin Rais Tentang Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), h. 59 128 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, (Jakarta, Logos, 1999), h. 48

73

berbangsa dan bernegara.129 Demokrasi tidak bisa berpangku tangan atas nasib rakyat miskin yang termarginalisasi secara ekonomi politik dengan hanya sebatas berfokus pada penciptaan seperangkat sistem politik yang bisa meminimalisir gerak laju dan kembalinya otoritarianisme.130

Menurut Hasyim Muzadi, demokrasi tidak hanya merupakan sistem ketatanegaraan yang unggul dan saat ini dijadikan rujukan mayoritas negara- negara di dunia akan tetapi secara prinsip mengandung struktur nilai yang paling sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia yang notabene suatu bangsa yang majemuk dalam berbagai hal. Demokrasi diperjuangkan tidak hanya karena demokrasi merupakan sistem yang realistis dan manusiawi, tapi juga karena inheren didalamnya ada potensi untuk menyatukan seluruh komponen dan kekuatan bangsa. 131 Potensi ini tentu tidak dimiliki oleh agama dan berbagai nilai-nilai primordial yang lain dengan demokrasi seluruh kekuatan kebangsaan akan mampu dihimpun guna memperkokoh bangunan kebangsaan Indonesia.

Dalam catatan hasil, kemajemukan atau pluralitas bangsa ini sebenarnya memperlihatkan pengalaman empirik. Karena prinsip pluralisme sebagai paham yang menghargai eksistensi perbedaan manusia kemudian diakui dan dilestarikan dalam bentuk semboyan negara kita, yakni bhineka tunggal ika, yang secara implisit mengandung penegasan bahwa perbedaan adalah khazanah nasional yang semestinya bukan untuk dimusuhi atau diseragamkan, tetapi harus dsatukan agar tidak menjadi kekuatan yang tercerai berai.

129 A. Muhaimin Iskandar, Melampaui Demokrasi: Meawat Bangsa dengan Visi Ulama, h. 72 130 Hasyim Muzadi, Agenda Strategis Pemulihan Martabat Bangsa, (Jakarta, Pustaka Azhari, 2004), h. 29 131 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 48

74

Berpijak pada prinsip itulah para pendiri negara kita berusaha sekuat tenaga merumuskan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghargai semua bentuk penghargaan. Namun, harus kita akui bersama bahwa rumusan para pendiri bangsa tentang penghargaan atas bentuk perbedaan tidaklah berjalan mulus sesuai dengan harapan. Menurut penalaran Hasyim penyikapan terhadap perbedaan yang selalu cenderung negatif merupakan cerminan dari masyarakat yang belum memiliki kedewasaan budaya.132 Dalam pengertian perbedaan adalah sesuatu hal yang harus dihindari atau ditaklukan agar tidak menyimpang bibit perlawanan yang mengganggu kepentingan pihak yang berlawanan.

Selain itu, harus diakui bahwa agama juga merupakan salah satu faktor potensial yang menyulitkan tegaknya pluralisme. Sebagai ajaran yang diyakini membawa nilai-nilai luhur seperti keadilan, kebersamaan, kesalehan, dan lain sebagainya. Agama pada dasarnya menghendaki adanya cinta kasih diantara sesama manusia tanpa mempertimbangkan perbedaan latar belakang identitas atau predikat yang disandang. Menurut akal sehat, tidak akan ada satupun agama yang menghalalkan permusuhan karena suatu perbedaan selama semua pihak saling menghormati satu sama lain dalam melaksanakan kewajibannya masing-masing.

Hasyim menyayangkan akan citra ideal agama yang tak jarang menampakkan wajah yang kurang bersahabat ketika menjelma menjadi ideologi atau keyakinan sekelompok orang yang bersifat mutlak, tertutup, agresif, dan menjerumus ke arah ekskluvisme. Kebenaran yang dianut bukan lagi menafikan kebenaran yang diyakini oleh pihak, tetapi lebih dari itu, penghormatan terhadap

132 Ibid, h. 50

75

suatu eksistensi diluar dirinya tidak diberikan sama sekali, sehingga perbedaan dianggap fenomena yang menyalahi “kebenaran” itu sendiri.133

Dalam perspektif Islam, perbedaan pada hakikatnya bukanlah suatu masalah yang serius karena merupakan garis ketentuan Allah. Dalam hal ini Islam secara tegas menjamin hak-hak dasar kemanusiaan yaitu apa yang menjadi tujuan diturunkannya syariat (maqasid asy-syari’ah) yang meliputi jaminan atas:

Pertama, kebebasan agama atau mempertahankan keyakinan, yang berarti syariat diturunkan bertujuan untuk melindungi agama dan keyakinan setiap orang (hifz ad-din). Kedua, keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan diluar ketentuan hukum

(hifz an-nafs). Ketiga, keselamatan atau kelangsungan hidup keturunan atau keluarga (hifz an-nasl). Keempat, keamanan harta benda atau hak milik pribadi

(hifzu an-mal). Dan kelima, kebebasan berpendapat dan berekspresi (hifu al-

‘aql).134

Menurut pandangan Hasyim Muzadi, keharusan menjaga prinsip pluralisme tersebut tidak hanya dalam aspek norma-norma keagamaan, tapi juga dari tinjauan sosiologis. Argumen ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa berdasarkan pengalaman di Indonesia, toleransi dan kerukunan hidup beragama berjalan cukup baik. Islam yang masuk ke Indonesia bercorak sangat akomodatif terhadap budaya lokal,135 termasuk kepercayaan-kepercayaan sehingga mengakibatkan akulturasi budaya yang kompleks.

133 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 53 134 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 55. Lihat juga , Abdurahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme”, dalam Budhy Munawar Rahman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta, Paramadina, 1995), h. 546. dan Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992), h. 62 135 Hal ini didasarkan pada salah satu pandangan tentang teori masuknya Islam di Indonesia. Lihat, Anders Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang ketiga di Indonesia (Bandung: Mizan: 1998), h. 68

76

Pluralisme yang ditentukan Hasyim Muzadi adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Pluralisme dalam bertindak mensyaratkan seseorang untuk tidak membatasi pergaulan dengan orang lain (eksklusif) meskipun berbeda keyakinan. Pluralisme dalam berpikir adalah kesediaan untuk menerima atau mengambil gagasan dari kalangan lain. Pada gilirannya pluralisme ini akan melahirkan sikap toleran terhadap yang lain. Sikap ini amat penting ditetapkan dalam pergaulan sosial seperti di Indonesia. Prinsip ini pula yang mendorong

Hasyim Muzadi untuk menyuarakan kepada kaum muslimin agar bergaul dan bersahabat dengan penganut agama lain.

Langkah kongkrit Hasyim dalam memperjuangkan pluralisme juga direalisasikan lewat gerakan International Converence Islamic Scholars (ICIS) dengan mengusung tema besar Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Dimana gerakan ini bertujuan membangun persamaan persepsi dikalangan umat Islam sendiri atau non-Islam. Selain itu gerakan ICIS berupaya mencari jalan keluar dari konflik berkepanjangan yang terjadi di negara Islam atau non-Islam. Semuanya itu merupakan upaya untuk mewujudkan perdamaian dunia.136

Sikap pluralistik tersebut merupakan modal sosial untuk hidup bersama dalam keragaman sosial, budaya, politik, dan agama secara damai dan beradab.

Sikap pluralistik dengan sendirinya menampik setiap upaya untuk menjadikan

Islam sebagai ideologi negara dan menggantikan pancasila. Sikap itu pula yang membuat Hasyim Muzadi sangat gigih menentang keras kalangan Islam yang berniat mengganti ideologi pancasila dengan Islam.137

136 Diakses dari http://www.antara.co.id/, pada hari senin, 06 Juli 2009 137 Pernyataan ini sering dilontarkan Hasyim Muzadi dalam menanggapi kelompok Islam keras (ekstrimis) yang seringkali melakukan kekerasan atas nama agama, dan tak jarang gerakan

77

Visi Hasyim Muzadi tentang pluralisme dan toleransi tergambar dalam pernyataan berikut :

Sikap akomodatif yang lahir dan adanya kesadaran untuk menghargai perbedaan atau keanekaragaman budaya merupakan salah satu landasan kokoh bagi pola pikir, sikap, dan perilaku yang lebih sensitif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, orang tidak harus diperlakukan secara manusiawi hanya lantaran beragama Islam, tetapi lebih didasari pemahaman bahwa nilai kemanusiaan memang menjadi milik setiap orang. 138

Sikap hidup demikian merupakan realisasi dari pandangan demokratis,

toleran, dan pluralistik Hasyim Muzadi. Sikap itu pula yang bisa menjelaskan kekuasaan pergaulan dan wawasan Hasyim Muzadi yang ternyata bersumber dari

banyak sekali ajaran, nilai moral, dan budaya yang ada di dunia serta pandangannya tentang pluralitas kebangsaan yang tetap relevan untuk Indonesia.

ini selalu berupaya untuk mengganti sistem negara pancasila dengan ideologi Islam atau khilafah. Diakses dari http://www.eramuslim.com/, pada hari Senin, 29 Mei 2009 138 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 61

78

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan tentang pemikiran pluralisme keagamaan Hasyim Muzadi sebagaimana dipaparkan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Sebagai seorang tokoh yang pernah memimpin sebuah organisasi

keagamaan terbesar di Indonesia, Hasyim Muzadi memiliki beberapa

pemikiran, diantaranya adalah tentang pluralisme agama. Pemikiran

Hasyim Muzadi dalam hal pluralisme agama ini adalah :

a. Gagasan tentang Islam Rahmatan lil ‘Alamin yg menurutnya

merupakan solusi alternatif atas kebuntuan global yang sampai saat ini

belum terpecahkan. Pada dasarnya pemikiran Hasyim Muzadi tersebut

berawal dari kegelisahan atas implikasi yang muncul atas berbagai

kasus yang mengancam pluralitas dan lahirnya gerakan radikal yang

mengatas-namakan agama, dimana gerakan tersebut tidak

mencerminkan kenyataan atas kondisi kultur, social, dan budaya yang

berkembang di Indonesia.

b. Pendekatan dialog peradaban. Untuk penerapan konsep Islam

Rahmatan lil ‘Alamin, menurutnya, yang paling awal dilakukan adalah

melalui amar ma’ruf dan nahi munkar dengan mengambil pendapat

yang dikemukakan Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin,

bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu memiliki etika, yaitu adabu al-

79

amri bi al-ma’ruf dan adab al-nahy ‘anil al-munkar. Ada tiga etika

yang disampaikan al-Ghazali. Salah satunya adalah memerintahkan

orang untuk berbuat baik dan mencegah berbuat jahat jangan sampai

menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, dan dari fikih Islam

“akhaffu aldhararain”. Dari dua konsepsi diatas, Hasyim Muzadi

berusaha mewujudkan sikap pluralis terutama dalam rangka

mendialogkan kesenjangan Timur dan Barat.

c. Pluralisme agama sebagai bagian dari humanisme. Hal ini bias

dipahami mengingat adanya dimensi humanisme dalam agama dan

adanya tuntutan kerjasama antara agama yang satu dengan agama yang

lain.

2. Relevansi pandangan pluralisme Hayim Muzadi terhadap masyarakat

Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya amat

dibutuhkan mengingat kondisi bangsa yang sedang menghadapi krisis

multidimensi termasuk kaitannya dengan sosial-keagamaan, maka gagasan

Islam Rahmatan lil ‘alamin menjadi solusi alternative atas kebuntuan

bangsa.

Menurut Hasyim, Islam bisa menjadi Rahmatan lil ‘alamin dengan

bertumpu pada dua hal. Pertama, Islam dalam menyelesaikan konflik

global hendaknya mengutamakan pendekatan dialog. Dengan dialog

tersebut, diharapkan problem-problem yang sbelumnya tidak terpecahkan

karena tidak tersampaikannya kepentingan maka akan terselesaikan.

Kedua, implementasi Islam harus dibangun berdasarkan kecerdasan dan

ketaqwaan. Dari situ maka agama akan menjadi sesuatu yang humanis

80

yang diharapkan akan membentuk kesalehan sosial, bukan hanya kesalehan individual.

Disamping itu, dinamika keislaman yang sedang marak di

Indonesia hendaknya diarahkan pada hal-hal berikut : Pertama, umat

Islam harus sadar bahwa persoalan yang dihadapi saat ini tidak hanya lingkup Indonesia, namun persoalan global-mondial, dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut memerlukan pengetahuan dan pemikiran

Muslim Indonesia yang nantinya akan menggabungkan diri dengan pemikiran Islam Internasional. Kedua, upaya pencerdasan dalam berbagai disiplin ilmu dan teknologi serta menerjuni segala sector kehidupan modern, agar terkuasainya seluruh idiomnya maka umat Islam akan menemukan kembali peradabannya. Disamping hal tersebut, upaya

Islamisasi dan atau penggalian ilmu yang orisinil Islam juga harus dilakukan. Serta pembahasan sistem sosial, ekonomi dan politik yang

Islami juga perlu dipertajam. Ketiga, pelaksanaan prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang mutlak perlu untuk mendorong terciptanya masyarakat etis dan egaliter. Mengingat problem-problem sosial yang menyertai pembangunan dan perubahan sosial ini, maka amat penting para intelektual Islam lebih menguatkan advokasinya atas kelompok masyarakat lemah yang menjadi korban dari proses pembangunan, mempertajam kritik terhadap budaya yang merusak moral masyarakat serta lebih memperkeras dorongan terhadap proses demokratisasi politik dan ekonomi, terutama dalam pemerataan hasil-hasil pembangunan.

Keempat, dimensi tasawuf menjadi hal yang penting untuk dikembangkan

81

dalam teologi Islam. Karena menjadi sangat berbahaya pada saat akal tidak

memiliki pembimbing yang bermotif rohani yang bersih, di sisi lain

pemikiran keagamaan fuqaha’ yang memerlukan agama lebih sebagai

hokum dan pemikiran kaum modernis yang mengembangkannya menjadi

semacam ideologi, ternyata sama-sama kurang memperhatikan dimensi

bathin yang menjadi inti keberagamaan yang sebenarnya. Dan secara

mendasar, agama yang membawa rahman bertumpu pada ajaran dan

konsepsi taqwa secara tepat.

B. SARAN-SARAN

Berdasarkan beberapa kesimpulan diatas, maka saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

1. Sebagai organisasi dengan jama’ah terbesar di Indonesia yang pernah

dipimpin oleh Hasyim Muzadi sebagai tokoh pluralis, secara formal

mengurusi masalah-masalah yang berhubungan dengan kemaslahatan

umat, hendaknya PBNU dapat memberikan dorongan dan dukungan serta

perhatian yang sungguh-sungguh dalam menghadapi gerakan-gerkan yang

berupaya merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia baik

Pancasila, dan Undang-undang Dasar 1945 yang dinilai NU sudah

menjadi harga mati.

2. Melihat kondisi Indonesia saat ini yang menghadapi persoalan yang amat

kompleks, tawaran yang digagas Hasyim Muzadi merupakan salah satu

solusi alternatif yang dibutuhkan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,

alangkah baiknya dengan solusi yang ditawarkan Hasyim Muzadi

82

tersebut, pikiran masyarakat menjadi terbuka melihat kondisi riil bangsa

Indonesia yang memang dilahirkan menjadi bangsa yang majemuk.

Semangat pluralitas tersebut akan dapat membangun jati diri bangsa menuju bangsa yang berperadaban.

83

DAFTAR PUSTAKA

SUMBER DARI BUKU :

Abdullah, Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999.

Abdullah, Taufiq. Islam Dan Masyarakat. Jakarta: LP3ES, 1987.

Abdurrahman, dkk, (ed.), 70 tahun H. Mukti Ali, Agama dan Masyarakat. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 1993.

Abdurrahman, Muslim. Dalam Pengantar Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Airlangga, 2003.

______Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Airlangga, 2003.

Ahmad, Khurshid. Pesan Islam, Ahsin Muhammad (terj.), Bandung: Pustaka, 1983.

Ahmad, Nur. (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta: Kompas, 2001.

Al-Brebesy, Ma’mun Murod. Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amin Rais Tentang Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 1999.

Ali Enginer, Asghar. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Ali Fauzi, Ihsan. Pemikiran Islam Indonesia dekade 1980-an. Bandung : Prisma, Edisi 1991.

Ali, Zaenal. 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Narasi, 2008.

Anshori, Ibnu. KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance. Sidoarjo: Citra Media bekerjasama dengan AMF Surabaya, 2004.

Baso, Ahmad. Badriyah Fayumi, Khamami Zada, dll., Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realiatas. Jakarta: Air Langga, 2003.

Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia PustakaUtama, 2008.

Burhani, Ahmad Najib. Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membantu. Jakarta: Kompas, 2001.

84

Darwin, Muhadjir. Agama Rakyat Agama Penguasa Kontruksi Tentang Realitas Agma dan Demokrasi. Yogyakarta: Galang Press, 2004.

Effendy, Bachtiar. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press, 2001.

Eko, Sutoro. Pelajaran Konsolidasi Demokrasi Untuk Indonesia. Dalam pangantar buku terjemah Lary Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE Press, 2003.

Esposito, John L. Saatnya Muslim Bicara, Ahmad Arif (terj.), Bandung: Mizan, 2008.

______(ed.), Identitas Islam, A. Rahman Zainuddin (terj.), Jakarta: bulan bintang, 1986.

______Dinamika Kebangunan Islam Watak, Proses Dan Tantangan, Bakri Siregar (terj.), (Jakarta: Rajawali Pers, 1987.

______Islam Dan Politik, H.M Joesoef Sou’yb (terj). Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

______Islam dan Modernitas, Ahsin Muhammad (terj.). Bandung: Pustaka, 1985.

Fealy, Greg. Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal, Ahmad Suaedy, A. Made Tonny Supriatna, Amiruddin Ar-Rany, dkk. (terj). Yogyakarta: LKIS, 1997.

Husaini, Adian. Plurlisme Agama Haram. Jakarta: Perspektif, 2005.

Hidayat, Surahman. Islam Pluralisme Dan Perdamaian, Jakarta: Robbani Press, 2008.

Hamid, Abdul Wahid. Islam Cara Hidup Alamiah, Arif Rahmat (terj.), Yogyakarta: Lazuardi, 2001.

Hermawan, Eman. Politik Membela Yang Benar; Teori, Kritik dan Nalar. Yogyakarta: Klik R, 2001.

Iskandar, A. Muhaimin. Melampaui Demokrasi: Merawat Bangsa dengan Visi Ulama. Jakarta: Grafindo, 2001.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1993.

85

Kleden, Ignas. Dialog Antar Agama-Agama: Kemungkinan dan Batas- batasannya. Dalam Kumpulan Tulisan Agama dan Tantangan Jaman. Jakata: LP3ES, 1985.

Litle, David John Kelsay dan Abdul Aziz A. Sachedina, Kebebasan Agama dan Hak-hak Asasi Manusia, Riyanto (terj.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Malik Thoha, Anis. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Perspektif, 2006.

Munawar-Rahman, Budhi. Islam pluralis. Jakarta: Paramadina, 2001.

______(ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina.

Muzani, Syaiful (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. Bandung: Mizan, 1995.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. IV, 1993.

Muzadi, Hasyim. Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa. Jakarta: Logos, 1999.

______Agenda Strategis Pemulihan Martabat Bangsa. Jakarta: Pustaka Azhari, 2004.

Nasution, Harun & Azumardi Azra (peny.) Perkembangan Modern Dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indosesia, 1985.

N. Bellah, Robert dan Philip E. Hammon, Beragama Bentuk Agama Sipil dalam Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, Imam Khoeri, dkk (tej). Yogyakarta: Ircisod, 2003.

Qudsy, Saifudin Zuhri. (peny.), Islam Liberal Dan Pundamental Sebuah Pertarungan Wacana. Yogyakarta: eLSAQ , 2003.

Quttub, Muhammad. Islam Agama Pembebas, Fungky Kusnaedi Timur (terj). Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001.

Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, Ahsin Muhammad (terj.), Bandung: Pustaka, 1984.

Rahmat, M. Imdadun. (peng), Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas (Jakarta: Erlangga, 2003.

Ridwan, Nur Kholik. Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur. Yogyakarta: Galang Press, 2002.

86

Shihab, Alwi. Islam Inklusif. Bandung: Mizan, 1999.

Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1993.

Shodiq, Mohammad. Dinamika Kepemimpinan NU, Refleksi perjalanan KH. Hasyim Muzadi. Surabaya: LTN NU Jatim, 2004.

Solissa, Abdul Nasir (ed.), Al qur’an dan Pembinaan Budaya. Yogyakarta: LESFI, 1983.

Turmudzi, A.M. “Merumuskan Keberislaman Secara Baru”, Jakarta: Basis, Edisi Maret 1991.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

INTERNET : http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/09/168561 /70/13/ Untung- masih- ada-NU-dan-Muhammadiyah http://soeparno.wordpress.com/114/pages1/56778.html

Menggagas Kebangkitan NU Kedua. Kompas, Selasa, 9 November 1999.

Kumpulan tulisan dari Koran detik.com, Suara Pembaharuan, Kompas: Kiprah PBNU 2000-2001, Analisa dan Evaluasi Pemeritaan tentang Kepemimpinan Hasyim Muzadi, diterbitkan oleh eLkapim Malang, tanpa tahun. http://www.hidayatulloh.comcontent&task= view&id=1406&Itemid=0 http://www.insistnet.com/content/view/25/34/, http://muhamadali.blogspot.com/kartun -nabi-dan-dialog-antar-agama.html. http://www.icrp-online.org. http://id.wikipedia.org/wiki http://gp-ansor.org/?pageid+115 www.Eramuslim.com/berita/nas/742712304-hasyim-muzadi-konfliksuni-syiah. http://www.suarapembaharuan.com/News/1999/281199/Nasional/pr01.html. http://www.nu.or.id/show/pages/625.html

ABSTRAKSI

Pluralisme agama sepertinya menemui jaman keemasan kembali. Di saat masyarakat Indonesia sering terjadi konflik yang bernuansa agama, pembahasan tentang pluralisme akan kembali menjadi topik perbincangan para tokoh lintas agama di Indonesia. Dalam hal ini penulis akan mencoba untuk mengulas kembali makna pluralisme menurut salah satu tokoh moderat Islam yaitu Hasyim Muzadi, Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kajian tentang pluralisme agama Hasyim Muzadi dalam skripsi ini dilatar-belakangi bahwa penulis menganggap bahwa selama ini masih sedikit karya-karya yang berisi pemikiran Hasyim Muzadi. Tujuan penulis adalah ingin memperdalam pengetahuan pemikiran- pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme serta langkah-langkah yang beliau lakukan guna memperjuangkan pluralitas keagamaan di Indonesia.

Hasyim Muzadi sebagai salah satu tokoh moderat yang konsisten memperjuangkan Pluralisme, menawarkan sebuah solusi atas kebuntuan dialog antar agama maupun keyakinan. Pluralisme dianggap sebagai sebuah keniscayaan untuk mempertahankan pluralitas keagamaan di Indonesia dan menjaga kerukunan antar umat yang berbeda agama maupun keyakinan sehingga dapat memperkuat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kesimpulan dari pembahasan tentang pemikiran-pemikiran Hasyim Muzadi diantaranya pemikiran tentang Pluralisme sebagai bagian dari Humanisme serta perbedaan pluralisme teologis dan pluralisme sosiologis. Menurut Hasyim Muzadi, umat beragama di Indonesia harus sadar bahwa masalah-masalah yang dihadapi selama ini adalah buntunya dialog antar golongan yang berbeda interpretasi ajaran-ajaran agama yang mereka anut. Jadi menurut penulis, pembahasan ini sangatlah penting untuk menyadarkan kembali pehaman tentang pluralisme agama dengan tujuan terciptanya kerukunan sesama agama maupun antar agama walaupun perbedaan keyakinan dan agama adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk ini.

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, sebagai rasa syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, memberikan akal dan pikiran kepada manusia sehingga dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari dengan baik.

Sholawat dan salam semoga tercurahkan selamanya kepada Nabi Muhammad

SAW, berserta para keluarga, sahabat dan pengikutnya dan semoga menjadi tauladan bagi kita semua.

Dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, membimbing, dan mendukung penulis secara fisik maupun moral dalam penyusunan skripsi ini yang tidak akan tercapai kesempurnaan lantaran bantuannya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk dapat menempuh studi di kampus peradaban ini.

2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Alimun Hanif, MA, selaku Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

4. Bapak Dr. Sirojuddin Aly, MA, selaku pembimbing skripsi yang telah

meluangkan waktunya untuk selalu memberikan saran dan kritik guna

terselesaikannya skripsi ini.

ii

5. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan kontribusi pemikiran Ilmu

Politik kepada penulis selama kuliah di Jurusan Ilmu Politik UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

6. Ayahanda tercinta Imam Nawawi (Boniran) dan Ibunda tersayang

Khomsatun, Kakek Boyamin dan Mbok Samijem, orang tua penulis yang

tiada lelah memberikan do’a, semangat dan motivasi dengan kasih sayang

yang tak terhingga. Serta keluarga besar Imam Nawawi, Kakakku Ali

Murtadho, Yeni Siswanti serta saudara-saudaraku Shidiq dan kholil.

7. Almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan KH. Bahruddin

yang telah mengasuh dan memberikan ilmu yang tak terhingga saat

penulis mondok di Pesantren Ciganjur dan Darul Hikam Ciputat.

8. Sahabat-sahabat selam kuliah di kampus tercinta UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, khususnya Usep Kholil, Dedi, Farid, Dian, Budi, Bayan, Hamid,

Furqon, Janan, Bagus, Yamin, Iwan, Hamdi, Fuad, dan semuanya yang

tidak penulis sebutkan satu per satu.

9. Sahabat dan teman kerja di Bio Team Ciputat, Andi, Shofyan, Zulfan,

Enjum, Ujang, Roy, Rifki, serta teman pondok di Pesantren Darul Hikam

Ciputat, Rahmat Kabir dan Shoghir, Harid, Fatoni, Tsani, Abu, Azis,

Malik, Iwan, Syu’eib, Firman dan semuanya.

10. Terkhusus untuk calon istriku tercinta, Umi Charisah yang telah

memberikan motivasi dan semangat sehingga penulis dapat segera

menyelesaikan skripsi ini.

iii

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………………………………………………………………………. i KATA PENGANTAR …………………………………………………………. ii DAFTAR ISI ………………………………………………………………….... v BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ...... 6

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ...... 7

D. Tinjauan Pustaka ...... 8

E. Metode Penelitian ...... 9

F. Sistematika Penulisan ...... 10

BAB II NEGARA DAN PLURALISME

A. Pengertian Negara …………………………………………. 12

B. Pengertian Pluralisme ……………………………………… 14

C. Pendapat Para Ahli Tentang Pluralisme …………………… 31

D. Pro-Kontra Tentang Pluralisme ……………………………. 33

E. Wacana Pluralisme di Indonesia ………………………….. 37

BAB III BIOGRAFI INTELEKTUAL & POLITIK HASYIM MUZADI

A. Kehidupan Sosio-Kultural Hasyim Muzadi ……………….. 41

B. Latar Belakang Pemikiran Hasyim Muzadi ……………….. 44

C. Karier Organisasi dan Politik ……………………………… 47

v

D. Karya-karya Hasyim Muzadi ……………………………… 46

BAB IV PEMIKIRAN HASYIM MUZADI TENTANG PLURALISME

AGAMA DI INDONESIA

A. PEMIKIRAN PLURALISME HASYIM MUZADI ……… 49

1. Islam Rahmatan lil Alamin ……………………………... 54

2. Pluralisme Teologis Dan Sosiologis ……………………. 55

3. Pendekatan Dialog Peradaban ………………………….. 56

4. Pluralisme Agama Sebagai Bagian dari Humanisme ….. 61

a. Dimensi Humanisme Dalam Agama ………………… 61

b. Kerjasama Islam Dengan Agama Lain …………….... 64

B. PANDANGAN HASYIM MUZADI TERHADAP FATWA

MUI ………………………………………………………… 69

C. KOMITMEN MENJAGA PLURALITAS KEAGAMAAN.. 71

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ...... 78

B. Saran-Saran ...... 81

DAFTAR PUSTAKA

vi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam konteks masa depan Islam Indonesia khususnya serta Islam pada umumnya yang terjadi hari ini justru yang muncul adalah indikasi yang kuat untuk bersama-sama membangun paradigma baru tentang Islam terutama Islam

Indonesia di mata dunia Internasional. Karena Islam, terutama pasca serangan 11

September 2001 yang menghancurkan Gedung WTC (World Trade Centre), telah dimaknai oleh Barat sebagai agama kekerasan, dan pada saat itu hal-hal yang menyangkut agama menjadi kian sensitif. Padahal mayoritas masyarakat Islam di

Dunia tidak pernah menganggap Barat sebagai musuh.

Kasus hancurnya gedung World Trade Center (WTC) di New York dan

Pentagon di Washington DC, yang diduga dilakukan sekelompok ekstrimis Islam di bawah komando Osama bin Laden membuat penilaian negatif masyarakat Barat terhadap umat Islam semakin kencang dan hubungan keduanya mencapai titik nadir.1

Kondisi itu mengakibatkan kaum muslim di dunia dipandang buruk dan disebut sebagai pengikut ajaran agama yang dogmanya hanya menyebarkan teror dan kekerasan. Pandangan yang sangat buruk itu terjadi karena masyarakat barat melampiaskan kekecewaannya terhadap umat Islam yang diyakininya sebagai kaum yang tidak bisa hidup berdampingan dengan kaum lainnya. Padahal kebanyakan penduduk barat itu tidak tahu secara pasti ajaran Islam sesungguhnya

1 John L. Esposito, Saatnya Muslim Bicara, Ahmad Arif (terj.), (Bandung: Mizan, 2008), h. 9.

2

dan hanya didasari atas pemberitaan kasus terorisme dari media massa yang pemberitaan dan content-nya hanya menyudutkan umat Islam, yang distigmakan sebagai kaum yang lekat dengan dunia kekerasan dan tidak bisa berdamai dengan ajaran lainnya. Sehingga membuat umat lain menjadi berang kepada umat Islam.

Tantangan yang dihadapi dewasa ini sebenarnya bukan dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, tetapi tantangan pemikiran. Sebab persoalan yang ditimbulkan oleh bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya ternyata bersumber dari pemikiran. Di antara tantangan pemikiran yang paling serius saat ini adalah di bidang pemikiran keagamaan. Tantangan yang sudah lama disadari adalah tantangan internal yang berupa fanatisme, taklid buta, bid'ah, kurafat, dan sebagainya. Sedangkan tantangan eksternal yang sedang dihadapi saat ini adalah masuknya paham liberalisme, sekulerisme, relativisme, pluralisme agama dan lain sebagainya, kedalam wacana pemikiran keagamaan bangsa

Indonesia.2

Skripsi ini akan membahas salah satu tantangan eksternal dengan memfokuskan pada makna pluralisme agama beserta sejarah, faktor-faktor, penyebaran, dampak dan solusinya.

Pluralisme, selama ini bangsa Indonesia terlalu takut dan bahkan antipati dengan kata ini. Memang kata ini sangat sensitif untuk dibicarakan, namun hal ini bisa menjadi api dalam sekam kalau masyarakat dibiarkan dengan ketidaktahuan mereka dengan istilah ini. Penulis tertarik dengan editorial yang disajikan redaksi

Media Indonesia dengan judul ”Untung Masih ada NU dan Muhammadiyah”3

2 Adian Husaini, Plurlisme Agama Haram (Jakarta: Perspektif, 2005), h. 2. 3 Editorial Media Indonesia “Untung Masih ada NU dan Muhammadiyah”, Rabu, 15 September 2010. Diambil dari Website : http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/09/168561 /70/13/ Untung- masih-Ada-NU-dan-Muhammadiyah.

3

tulisan tersebut mencoba menggambarkan bagaimana keadaan bangsa Indonesia yang majemuk menghadapi persoalan lintas agama.

Indonesia bukan negara yang baru pertama kali ini terbentur masalah lintas agama. Sejak awal lahirnya persoalan lintas agama sudah menjadi diskusi menarik antar tokoh bangsa. Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia sudah sedari dulu mewanti-wanti akan adanya benturan keagamaan jika masyarakat Indonesia tidak mengedepankan pluralisme dan kebebasan beragama.4 Walaupun beliau lebih dikenal orang sebagai seorang “abangan” dari pada seorang santri,5 namun spirit itu tidaklah mati begitu saja. Dua organisasi yang sudah berdiri sejak sebelum kemerdekaan yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah masih setia mengedepankan tenggang-rasa dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Sikap ini adalah wajib adanya demi menjaga kesatuan NKRI karena memang Indonesia tidak hanya tersusun oleh satu agama saja. Indonesia mempunyai banyak budaya, ras, suku, dan adat istiadat. Gesekan sosial rasial atau teologi sangatlah berpotensi terjadi di tengah masyarakat. Dan bila pemerintah diam dan cenderung tidak peduli dengan hal ini maka itu sama saja dengan membiarkan perang saudara terjadi di mana-mana di pelosok negeri.

Tapi satu hal yang penulis soroti saat ini adalah adanya dua kutub yang senantiasa memancarkan pengaruhnya di bumi Indonesia. Satu kutub berusaha mengekstrimisasi umat beragama, dan satu kutub berusaha menjaga pluralitas beragama. Dua kutub ini mau tidak mau pasti saling berlawanan. Berebut pengaruh di masyarakat. Dan di sinilah letak keharusan masyarakat mengenal

4 Lihat http://www.republika.com/perjalanan-sejarah-indonesia-175.page.html 5 Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakan oleh Orientalis Clifford Geertz dengan Trikotomi-nya.

4

dengan baik apa itu pluralisme dan bagaimana seharusnya hidup di dalam bangsa yang multi-kultural. Mungkin lebih bijak jika kita mulai membicarakan dari sisi

Islam karena Islam memang agama terbesar yang dianut di Indonesia. Islam sejak awal lahirnya telah menampakkan nilai-nilai humaniora yang kental di masyarakat. Dengan caranya yang santun para mubaligh Islam saat itu menginfiltrasi budaya dan agama yang saat itu ada dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin tanpa merusak budaya lokal. Dari situlah Islam dikenal bangsa Indonesia sebagai agama yang toleran. Tidak ada penghinaan terhadap agama lain namun tetap wibawa menjaga kehormatannya. Bentuk keseimbangan inilah yang kemudian menjadi dasar diterimanya Islam oleh masyarakat

Indonesia.

Bagaimana pun NKRI adalah harga mati dan pluralisme adalah jaminannya. Tidak akan terwujud sebuah negara kesatuan dengan Islam, Kristen,

Katolik, Hindu, dan Budha di dalamnya tanpa ada tenggang-rasa antar umat beragama. Tidak akan ada kedamaian dan ketenteraman dalam menjalankan ibadah ketika nilai-nilai ”lakum diinukum waliya din” sudah tidak lagi diamalkan bangsa Indonesia. Jika sudah tidak lagi ada kerukunan antar umat beragama mungkin bisa jadi bangsa Indonesia akan menjadi bangsa barbar yang beringas.

Dan bukan mustahil satu agama dan agama yang lain akan saling menjatuhkan dan berperang di atas bumi Indonesia. Sungguh tidak ada satu agama pun yang menghendaki hal seperti ini.

Dalam kerangka itu, Hasyim Muzadi sebagai salah satu pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, gencar melakukan agenda yang terkait dengan pentingnya membangun semangat pluralitas. Hal ini ditunjukkan dengan

5

diselenggarakannya pertemuan Ulama’ Sunni-Syiah seluruh dunia yang diprakarsainya.6 Pertemuan-pertemuan semacam itu seakan menjadi titik terang usaha beliau dalam menata Islam Indonesia menuju Islam Global yang lebih baik sebagai aktualisasi rahmatan lil-alamiin.

Sedang pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, seperti bangsa Indonesia, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian antar beraneka ragam unsur-unsur etnis, dan budaya daerah. Kalaupun tidak terjadi salah pengertian mendasar atas unsur-unsur itu, paling tidak tentu saling pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka, dengan kata lain, suasana optimal yang dapat dicapai bukanlah saling pengertian, melainkan sekedar mengurangi kesalahpahaman.7

Atas dasar kenyataan seperti di atas dan juga banyaknya ide-ide dari pemikir dan pemimpin Islam di Indonesia tentang permasalahan Islam, maka

Penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang pemikiran atau ide pluralisme keagamaan yang terkait erat dengan hubungan antar agama dan negara.

Untuk lebih fokusnya kajian ini, Penulis mengambil pemikiran dari salah seorang tokoh Islam yang pernah menjadi pemimpin salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia (Nahdlatul Ulama) yaitu Hasyim Muzadi. Kajian tentang pluralisme agama Hasyim Muzadi ini didasari oleh kenyataan bahwa menurut

Penulis selama ini, belum ada karya-karya yang berisi pemikiran utuh dari

Hasyim Muzadi terkait dengan pemikiran pluralismenya. Kalaupun ada, hal ini hanya berupa pernyataan-pernyataan Hasyim Muzadi yang tersebar di media

6 Pada tanggal 9 November 2004, Hasyim Muzadi beserta Din Syamsuddin mengundang ulama-ulama Sunni-Syiah seluruh dunia yang terdiri dari 84 negara untuk menyerukan sikap toleransi dan persatuan di dunia Islam di Bogor, Jawa Barat. 7 Surahman Hidayat, Islam Pluralisme Dan Perdamaian (Jakarta: Robbani Press, 2008), h. 53.

6

massa maupun media elektronik, dan juga dari beberapa buku dari para penulis yang mengungkap sebagian pemikiran atau sosok Hasyim Muzadi.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka perlu Penulis tegaskan bahwa batasan dan rumusan dari permasalahan ini yaitu :

1. Bagaimana pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme agama?

2. Bagaimana bentuk hubungan agama dan negara menurut Hasyim Muzadi?

Tiga pokok masalah di atas diharapkan dapat mewakili (cover) dari beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping itu juga berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.

C. Tujuan dan Manfaat

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana dalam bidang Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu ada tujuan dan manfaat yang lain yaitu :

1. Tujuan :

a. Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih tajam tentang karakteristik

pemikiran Hasyim Muzadi mengenai wacana pluralisme keagamaan, serta

hubungan Islam dan negara.

b. Mengidentifikasi asal-usul gagasan beliau, baik itu berlatar belakang sosial,

pendidikan ataupun politik.

c. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi gagasan tersebut

dalam konteks perkembangan Islam dan politik Indonesia saat ini.

7

2. Manfaat :

a. Dapat diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan

terhadap karakteristik pemikiran Hasyim Muzadi.

b. Bagi dunia ilmu pengetahuan, akan memberi tambahan khazanah baru

dalam pemikiran yang terkait dengan wacana diatas.

c. Bagi umat Islam pada umumnya, dan umat Islam Indonesia pada khususnya,

diharapkan akan memiliki persepsi yang benar mengenai Islam Indonesia

sehingga tidak terjebak pada pemahaman tunggal yang menyebabkan

fanatisme keagamaan yang berlebihan dan kontra-produktif.

D. Tinjauan Pustaka

Kajian tentang pluralisme serta hubungan agama dan negara dalam literatur Indonesia cukup banyak, dan memang di era sekarang kajian tersebut seperti menemukan zaman keemasannya karena didukung oleh kondisi sosio- kultural yang memang memungkinkan wacana tersebut berkembang, apalagi kondisi Indonesia yang memang plural, baik dalam hal suku bangsa, ras, maupun agama.

Sedangkan pembahasan tentang pluarlisme sendiri telah banyak dilakukan oleh para penulis baik dalam maupun luar negeri. Karya terakhir dalam rentang penulisan skripsi ini adalah tentang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme dan humanisme yang ditulis oleh Saiful Ma’arif, mahasiswa UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

8

Menurut penulis, kajian tentang pemikiran Hasyim Muzadi sendiri belum ada yang tulis dalam bentuk skripsi, kecuali buku-buku yang telah banyak beredar walaupun tidak secara spesifik membahas tentang pluralisme Hasyim Muzadi.

Buku-buku karya Hasyim kebanyakan membahas tentang bagaimana pandangan

Islam mengenai globalisasi dan terorisme.

Disamping itu, dalam banyak studi dan penerbitan yang ada, pembahasan

Hasyim Muzadi lebih sering ditujukan pada persoalan politik. Padahal sebagaimana yang diharapkan terdapat dalam skripsi ini, Hasyim Muzadi memiliki ide sentral pluralisme yang mewarnai banyak pemikiran-pemikirannya.

Dengan latar belakang bahwa penulisan tentang ide pluralisme Hasyim Muzadi belum banyak dilakukan, skripsi ini mencoba mengangkat tema tersebut dan mengaitkannya dengan kehidupan beragama dan sosial budaya di Indonesia.

E. Metode Penelitian

Dalam bahasan terkait dengan penelitian ini, perlu penulis paparkan tentang metode penelitian yang digunakan. Antara lain meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, tehnik pengumpulan data, pendekatan-pendekatannya dan analisa data.

1. Jenis penelitian.

Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yang mana lebih mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber utamanya. Karena ini studi tokoh maka ada dua metode pokok untuk memperoleh pemikiran tokoh tersebut.

Pertama, penelitian pikiran dan keyakinan tokoh tersebut. Kedua, penelitian tentang biografinya sejak dari permulaan sampai akhir pemikiran politiknya.

9

2. Sifat Penelitian.

Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih kepada teknik deskriptif- analisis. Yang dimaksud dengan deskriptif dalam konteks ini adalah menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam masyarakat atau literatur. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang dikaji dalam penelitian ini ialah karakter dari Hasyim Muzadi dan fenomena yang mempengaruhi pemikirannya. Adapun analisis disini adalah analisis dalam pengertian historis, yakni meneliti akar sejarah yang melatarbelakangi gagasan beliau, dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pada aliran pemikiran Islam kontemporer yakni modernis dan neo-modernis yang penulis anggap sebagai representasi dari beliau.

3. Tehnik Pengumpulan Data.

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua macam yaitu : data primer dan data sekunder. Karya-karya asli dari beliau baik buku, artikel dan kumpulan tulisan yang dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan karya yang mengkaji tentang gagasan beliau dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.

4. Pendekatan.

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif dan sosio-historis. Yang dimaksud pendekatan normatif ialah suatu pendekatan untuk menjelaskan masalah yang dikaji dengan norma atau hukum (fiqih) yang berlaku sebagai upaya penegasan. Hal ini penting untuk dilakukan karena diskursus Islam dan negara merupakan bagian dari kajian hukum Islam, khususnya fiqih siyasah.

10

Adapun pendekatan sosio-historis yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa setiap produk pemikiran itu merupakan hasil interaksi pemikir dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya. Berkaitan dengan penelitian ini sudah barang tentu sosial politik dan kultur yang melatarbelakangi metode pemikiran Hasyim Muzadi akan dikaji sepanjang peristiwa tersebut mempengaruhi pemikiran beliau dalam masalah ini.

F. Sistematika Penulisan

Dalam pembahasan ini penulis membagi menjadi lima bab. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan yang terakhir sistematika pembahasan.

Bab kedua melacak asal-usul dan tipologi pluralisme agama, relasi agama dan negara dalam sejarah politik Islam, yang tentunya berimplikasi terhadap pemikiran tokoh politik Islam Indonesia dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di Indonesia. Yang dalam pembahasannya kedua perspektif tersebut akan dihadapkan pada tokoh yang dikaji.

Bab ketiga memaparkan biografi Hasyim Muzadi. Penelaahan ini meliputi latar belakang sosial dan prilaku politik beliau dalam menggagas pluralism agama serta relasi Islam dan negara di Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita- cita ideologi negara yang beliau perjuangkan sebagai repesentasi tokoh muslim yang peduli terhadap bangsa.

Bab keempat menganalisa pemikiran beliau tentang relasi Pluralisme agama, hubungan Islam dan negara, khususnya tentang demokrasi dan ideologi

11

pancasila. Selain itu, bab ini juga berusaha menjelaskan implikasi gagasan beliau terhadap tokoh politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik Islam generasi saat ini.

Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan dimaksudkan untuk memperlihatkan letak signifikansi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dengan memberikan konklusi pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme agama serta hubungan Islam dan negara di Indonesia, sedangkan saran-saran ditujukan bagi para penulis atau peneliti yang akan mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.

12

BAB II

NEGARA DAN PLURALISME

A. Pengertian Negara

Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain. 8

Istilah negara di terjemahkan dari kata-kata asing yaitu “steat” (bahasa

Belanda dan Jerman). “state” (Bahasa Inggris. “Etat” (bahasa Perancis). Kata

“Staat, State, etat itu diambil dari kata bahasa latin yaitu “status” atau statum” yang artinya keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifata yang tegak dan tetap. Kata “status” atau “statum” lazim diartikan sebagai “standing” atau “station” (kedudukan) yang dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup manusia sebagaiman diartikan dalam istilah “Status Civitatis” atau “Status

Republicae”. 9

Sejak kata “negara” diterima secara umum sebagai pengertian yang menunjukkan organisasi teritorial suatu bangsa yang memiliki kedaulatan. Negara pun mengalami berbagai pemahaman tentang hakikat dirinya. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan Politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan masyarakat dan menertibkan gejala-gejala

8 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia PustakaUtama, 2008), h. 51 9 Imam Soeparno, dari Website : http://soeparno.wordpress.com/114/pages1/56778.html

13

kekuasaan dalam masyarakat. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama itu, baik oleh individu dan golongan atau asosiasi maupun oleh negara sendiri.10

Pengertian Negara Berdasarkan Pendapat Para Ahli :

a. Roger F. Soltau : Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau

mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.

b. Georg Jellinek : Negara merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok

manusia yang telah berdiam di suatu wilayah tertentu.

c. Prof. R. Djokosoetono : Negara adalah suatu organisasi manusia atau

kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.

Negara mempunya dua tugas yaitu :

1. Mengendalikan dan menatur gejala-gejalah kekuasaan yang asosial.

Yakni yang bertentangan satu-sama lain. Supaya tidak anatagonistik

yang membahayakan.

2. Mengorganisasikan dan mengintergrasikan kegiatan manusia dan

golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat

seluruhnya.11

10 Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h. 82 11 Imam Soeparno, dari Website : http://soeparno.wordpress.com/114/pages2/56746.html

14

B. Pengertian Pluralisme

Pluralisme terdiri dari dua suku kata yaitu Plural yang berarti jamak; lebih dari satu,12 dan isme sufiks pembentuk nomina sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pluralisme berarti keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya).13 Dalam tulisan ini, penulis akan lebih mengkonsentrasikan pembahasan pada pluralisme agama.

Dalam wacana pemikiran Islam, pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam terutama sejak era reformasi gereja yang terjadi pada abad ke- 15 yang berpengaruh besar terhadap perubahan dalam aspek sosial, budaya, dan terutama pemikiran. Di sisi lain, Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif yang menjadi tantangan yang mengancam struktur yang menindas pada saat ini di dalam maupun di luar Arab. Menurut Asghar Ali, pada dasarnya tujuan Pluralisme adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadialan sosial (sosial justice).14

Dalam kaitannya dengan pluralisme, Islam sangat menekankan pada dua aspek dasar, yaitu :

1. Kesatuan manusia (unity of mankind).

2. Keadilan di semua aspek kehidupan.15

Keadilan ini tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan, serta memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi pemimpin.16 Menurut pendapat Muhammad Quttub, Islam

12 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II (Jakarta, Balai Pustaka, 1994), h. 883. 13 Ibid., h. 884 14 Asghar Ali Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 33. ` 15 Ibid., h. 34. 16 Ibid., h. 35.

15

memberikan hak-hak yang penting terhadap semua orang tanpa perbedaan apapun. Islam menyatukan semua jenis karena pada hakikatnya mereka sama- sama manusia dan juga menjamin kebebasan mutlak untuk memilih agama di bawah penjagaan dan perlindungannya. 17

Pada dasarnya manusia diciptakan berbeda-beda. Allah menjelaskan bahwa dengan perbedaan itu manusia dituntut untuk saling mengenal, lita

‘arofu.18 Namun ketika seseorang memahami sebagai kebenaran mutlak yang ia yakini, orang itu kerap kali terjebak dalam pandangan yang mengarah pada konflik, pertikaian antara seorang muslim dan non-muslim atau mungkin diantara sesama Muslim yang berbeda faham. Bagaimana menjembatani perbedaan- perbedaan ini sehingga memungkinkan terwujudnya perdamaian?

Hal itu menurut Khamami Zada, sangat terkait dengan bagaimana seseorang memahami agama lain sebagai sesuatu yang mempunyai jalan tersendiri. Allah telah menyebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 48, likullin ja’alna minkum siratan wa minhaja’, (untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang) dalam setiap agama itu ada syari’atnya sendiri, jalannya sendiri, yang memiliki kebenarannya masing-masing. Tanpa memahami kebenaran mutlak di masing-masing agama, kita akan sulit menemukan perdamaian diantara agama-agama itu sendiri. Disinilah kekurangan umat Islam ketika memahami agama lain sebagai sesuatu yang lain, ‘ the others’.

Agama lain harus dipahami sebagai suatu realitas yang ada dimasyarakat.19

17 Muhammad Quttub, Islam Agama Pembebas, fungky kusnaedi timur (terj) (Yogyakarta Mittra Pustaka, 2001), h. 368. 18 Baca QS. Al-Hujurrat (49) : 13 19 Ahmad Baso, Badriyah Fayumi, Khamami Zada, dll., Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realiatas (Jakarta: Air Langga, 2003), h. 73-74

16

Islam sebaiknya tidak sekedar didakwahkan dalam perspektif yang lahiriyah, persoalan-persoalan keakhiratan yang melupakan dimensi sosial. Kalau

Islam didakwahkan secara inklusif, dan bisa memahami agama-agama lain sebagai suatu realitas kebenaran tersendiri, maka Islam akan benar-benar menjadi agama rahmatan lil ’alamain.20

Oleh karena itu, Budhi Munawar-Rahman, menjadi penting untuk disadari adalah memposisikan fungsi kritis terhadap agama yang harus dilakukan dengan menjauhi sikap-sikap yang bersifat totaliter.21 Disamping itu agamapun dituntut untuk mangadakan kritik terhadap dirinya sendiri, karena keberadaan agama telah mendasarkan diri pada iman kepada Tuhan “pencipta manusia” bukan Tuhan

“ciptaan manusia”.22 Agama juga tidak bisa apolitis dalam pengertian hanya membatasi diri pada masalah ritualistik dan moralitas dalam kerangka ketaatan individu kepada Tuhannya, tetapi perlu terlibat kedalam proses transformasi sosial.23

Abdul Wahid Hamid mengatakan, suatu ciri khas ajaran Islam adalah keyakinan bahwa agama Islam itu suatu cara hidup yang lengkap dan menyeluruh.

Agama yang mempunyai hubungan integral dan organik dengan politik dan masyarakat. Ideal Islam itu terbayang dalam perkembangan hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.24 Sebagai ajaran yang benar,

20 Ibid., h. 75. 21 Budhi Munawar-Rahman, Islam pluralisme (Jakarta:Paramadina,2001), hlm.363 22 Ibid., h. 363-364. 23 Ibid., h. 370 24 Jhon L Esposito (ed.), Identitas Islam, A. Rahman Zainuddin (terj.), (Jakarta: bulan bintang, 1986), h. 3.

17

Islam pada dasarnya bisa diterapkan disepanjang masa dan dimanapun (shalihun li kulli zaman wa makam).25

Dalam tiap langkahnya, seorang muslim akan selalu berhadapan dengan

Tuhan yang terepresentasikan melalui syari’atnya. Disini tanggung jawab individu menjadi jelas, karena kehadiran Tuhan dalam perasaan manusia saja sudah cukup membuat setiap manusia benar-benar sadar akan kewajibannya, demikian menurut pendapat Khurshid Ahamad.26 Mengutif pernyataan Fazrul Rahman, kenyataan yang peling mendasar tentang Islam dalam abad sekarang ini adalah kemerdekaan dari kekuasaan asing yang dicapai oleh rakyat-rakyat Muslim diberbagai negri mereka.27 Dengan mengacu pada kenyataan seperti itu, maka Islam telah memainkan peran yang menentukan dan dominan.

Menurut Anis Malik Toha gagasan plurarisme agama dalam wancana pemikiran Islam baru muncul pada masa-masa Perang Dunia II, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi-generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya barat. Dalam waktu yang sama, gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wawancara pemikiran Islam, antara lain melalui karya-karya pemikiran mistik barat seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Zaeni) dan Frithjob Schuon (Isa Nurdin Ahmad). Karya-karya mereka ini, khususnya Schuon dengan bukunya The Transcendent Unity of Religion, sangat syarat dengan pemikiran-pemikiran dan tesis-tesis atau gagasan-gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh kembangnya wacana pluralisme agama.28 Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh muslim syiah moderat, adalah tokoh yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan “Islam tradisional”. Keberhasilannya dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama tersebut mengantarkannya pada sebuah posisi ilmuan kaliber dunia yang sangat bergengsi selevel nama besar seperti Ninian Semart, John Hick, Annemarie Schimmel. Nasr mencoba menuangkan tesisnya pada

25 Abdul Wahid Hamid, Islam Cara Hidup Alamiah, Arif Rahmat (terj.), (Yogyakarta: Lazuardi, 2001), h. 301 26 Khurshid Ahmad, Pesan Islam, Ahsin Muhammad (terj.), (Bandung: Pustaka, 1983), h. 121. 27 Fazlur Rahman, Islam, Ahsin Muhammad (terj.), (Bandung: Pustaka, 1984), h. 365. 28 Diakses dari tulisan Anis Malik Toha, http://www.hidayatulloh.comcontent&task= view&id=1406&Itemid=0

18

pluralisme agama dalam kemasan sophia perenis atau perenial wisdom (al-hikmat al-khalidah, atau kebenaran abadi), yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan metafisikal (metaphysical unity) yang tersembunyi dibalik ajaran dan tradisi-tradisi keagamaan yang pernah dikenal manusia semenjak Adam ‘alaihis-salam. Menurut Nasr, memeluk atau menyakini satu agama dan melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sumgguh, berarti juga memeluk seluruh agama, karena semuanya berporos kepada satu poros, yaitu kebenaran hakiki yang abadi. Perbedaan antar agama dan keyakinan, menurut Nasr, hanyalah pada simbol-simbol dan kulit luar. Inti dari agama yang satu. Dari sini dapat dilihat bahwa pendekatan Nasr ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang ada pada umumnya. Demikian penuturan Anis Malik Toha.29

Hamdi Fahmy mengatakan, pluralisme sebagai paham yang merambah dalam bidang agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda tapi ujungnya sama yaitu aliran kesatuan transenden agama- agama (transcenden unity of religion) dan teologi global. Yang pertama lebih merupakan protes terhadap arus globalisasi, sedangkan yang kedua adalah kepanjangan tangan dan bahkan pendukung grakan globalisasi. Pendekatan yang dipakai oleh aliran teologi global terhadap agama-agama lebih bersifat sosiologis, kultural dan idiologis. Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang ada di dunia ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat modern yang plural. Idiologis sebab ia telah mejadi bagian dari program gerakan globalisasi yang jelas- jelas memasarkan ideologi barat. Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya. Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan barat seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme/gender, liberalisme dan sekularisme.30

Menurut Amin Abdullah, dalam konteks keIndonesiaan terlepas dari sejarah besar pluralisme. Kerukunan antar umat beragama sangat penting dan sangat dibutuhkan bagi bangsa yang majemuk dalam hal agama seperti halnya di Indonesia. Keanekaragaman (pluralisme) agama yang hidup di Indonesia termasuk di dalamnya keanekaragaman paham keagamaan yang ada di dalam tubuh intern umat beragama adalah merupakan kenyataan historis.31 Jika toleransi dalam beragama tidak ditegakkan, maka negara atau bangsa tersebut akan menghadapi berbagai konflik antar pemeluk masing-masing agama dan dapat menyebabkan

29 Diakses dari tulisan Anis Malik Toha, http://www.hidayatulloh.comcontent&task =view&id =1406&Itemid=0 30 Ditulis oleh Hamdi Fahmy, diakses dari http://www.insistnet.com/content/view/25/34/, 31 Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999), h. 5.

19

disintegrasi. Untuk memberi perhatian khusus kepada masalah kerukunan antar umat beragama, harus diupayakan untuk memahami masalah yang sebenarnya dan dapat menemukan cara untuk menciptakan kerukunan itu (jika belum ada), atau menumbuhkan serta mengembangkan (jika telah ada). Ada beberapa ayat yang secara tegas mengatur pluralisme agama yang menyebutkannya dengan jelas. Selain ayat dalam al-Qu’an surat al- Kafirun, ada satu ayat lagi yang tegas-tegas menyatakan bahwa agama tidak bisa dipaksakan kepada seseorang, yaitu al-Baqarah: 256 yang artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karena itu siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”.

Ayat di atas sebenarnya mengajarkan bahwa Allah telah menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah, atau lebih tegasnya mana agama yang benar dan mana agama yang tidak benar (yang dalam al-Qur’an disebut ajaran thagut). Sesungguhnya misi Islam yang paling besar adalah pembebasan. Dalam konteks dunia modern, ini berarti Islam harus membebaskan manusia dari kungkungan aliran pikiran dan filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan, demikian menurut Kuntowijoyo.32 Dengan visi teologis semacam itu, islam sesungguhnya menyediakan basis filsafat untuk mengisi kehampaan spiritual yamg merupakan produk dunia modern.33

Dari kacamata Islam, kemajemukan adalah sunnatullah (hukum alam).

Masyarakat yang majemuk ini tentu saja memiliki budaya dan aspirasi yang beraneka, tetapi mereka seharusnya memiliki kedudukan yang sama, tidak ada superioritas antara satu suku, etnis atau kelompok sosial dengan lainnya. Mereka juga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Namun kadang-kadang perbedaan ini menimbulkan konflik di antara

32 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1993), h. 164. 33 Ibid, h. 165.

20

mereka. Maka sebuah upaya untuk mengatasi permasalahan ini dimunculkan konsep atau paham kemajemukan (pluralisme).34

Untuk mewujudkan dan mendukung pluralisme tersebut, diperlukan adanya toleransi. Meskipun hampir semua masyarakat yang berbudaya kini sudah mengakui adanya kemajemukan sosial, namun dalam kenyataannya, permasalahan toleransi ini masih sering muncul dalam suatu masyarakat. 35 salah satu wujud nyata dari sikap toleran adalah adanya dialog-dialog yang berfungsi menjembatani sekian kebuntuan yang ada. Dengan menilik kasus kartunisasi Nabi Muhammad oleh Jyllands Posten salah satu koran di Denmark beberapa waktu yang lalu, kasus Salman Rusdie di Inggris (1969), Ishioma Daniel di Nigeria (2002), dan

Theo Van Gogh di Belanda (2004), meski dalam konteks yang berbeda, namun menyisakan persoalan serius dan kompleks dalam kaitannya dengan komunitas ditingkat regional maupun global. Di antara persoalan yang belum serius didialogkan menurut Muhammad Ali adalah ketegangan antara kebebasan ekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama atau ideologi tertentu, hubungan antara hukum dari sebuah negara dan kebebasan pers, hubungan antara berbagai etika dunia, maka kebebasan itu sendiri dalam hukum internasional, antara hukum-hukum adat atau budaya kawasan dan peradaban, dan sebagainya.36

Dialog antar pemeluk agama dan dialog antar kawasan seperti disinggung

Ali harus didukung. Ini penting karena masih berkembangnya ignorance

(ketidaktahuan) dalam bentuk penghubung intrinsik antara islam dan terorisme,

Islamophobia, xenophobia, dan semacamnya. Dipihak lain dikalangan umat Islam,

34 Nur Ahmad (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: kompas, 2001), h. 11-12. 35 Ibid, h. 21 36 Muhammad Ali, dari http://muhamadali.blogspot.com/kartun -nabi-dan-dialog-antar- agama.html.

21

masih ada tindakan emosional anarkis mengusir atau membunuh orang asing yang tidak ada sangkut pautnya, ekstrimisme radikal dan kebencian terhadap bangsa dan budaya asing (xenophobia). Reaksi-reaksi emosional dan ekstrim menunjukkan kurangnya pemahaman akan sejarah peradaban bangsa lain. Salah satu ketidak tahuan disebagian media masa barat adalah memposisikan tokoh nabi seperti tokoh-tokoh politik lainnya. Seorang muslim mungkin tidak cukup religius dalam beribadah, tapi jika nabi mereka disinggung rasa panatisme keagamaannya, mereka sangat tinggi. Di Indonesia misalnya, tradisi pembacaan barzanji sangat populer yang memuat puji-pujian terhadap Nabi (bahkan di Cikoang Sulawesi

Selatan acara maulud memperingati kelahiran) Nabi Muhammad menjadi paling meriah sepanjang tahun, meskipun mereka kurang memperhatikan ibadah. Di kalangan umat Islam kecintaan umat nabi ini ada yang berlebihan, ada yang moderat, ada yang tidak terlalu peduli, dan bentuknya juga bermacam-macam sesuai pemahaman keagamaan dan tradisi masing-masing. Hal-hal semacam ini kurang atau tidak dipahami sebagian masyarakat Barat yang menganggap biasa membuat kartun.37

Dipihak lain menurut Muhammad Ali lagi, umat Islam juga perlu memahami konteks tradisi Barat yang sebetulnya sangat majemuk termasuk dalam memaknai kebebasan berekspresi. Misalnya, dimuseum-museum di Eropa, banyak sekali patung-patung dan lukisan-lukisan telanjang, karena mengandung nilai seni yang tinggi dan dihargai masyarakat. Masyarakat Barat juga menjunjung nilai- nilai etika kemanusian yang tidak selalu berseberangan dengan etika dikawasan lain. Karena itulah, dialog, antar budaya sungguh penting, untuk memahami

37 Ibid., h. 3

22

sejarah dan tradisi masing-masing dan untuk kemudian saling menghargainya hubungan antara seni, kebebasan, tradisi, dan keyakinan agama inilah salah satu persoalan yang harus didialogkan.38

Disamping itu juga dalam kenyataanya, sikap-sikap tidak toleran itu tidak semata-mata disebabkan oleh faktor internal masing-masing kelompok, tetapi sering juga disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya karena kebijakan politik pemerintah tertentu atau kekuasaan politik global dan kekuatan dunia tertentu.39

Dalam dunia ilmu pengetahuan istilah pluralisme sekarang ini dikembangkan secara luas oleh para ilmuan sosial. Pada level yang minimal istilah ini semata- mata mengacu kepada heterogenitas. Di kalangan para ilmuan politik, antropolog, sosiolog politik, misalnya, terjadi perselisihan apakah prulalisme itu menghambat atau melindungi pemerintah demokratik. Menurut Philip E. Hammond, para teoritisi juga berbeda dalam memahami bagaimana pluralisme bekerja, apakah ia menyediakan beragam saluran bagi pemegang kekuasaan atau menyediakan tempat perlabuhan kelompok bagi individu yang teralienasi. Di samping itu juga ada sebuah penegasan bahwa pluralisme memungkinkan bagi keanggotaan kelompok yang bermacam-macam bahkan saling berlawanan, sehingga menjadikan konflik politik lebih sering terjadi pada tataran individu atau kelompok dari pada faksi-faksi politik yang saling bersaing.40

Namun dialog yang disusul oleh toleransi tanpa sikap pluralistik tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antar umat beragama yang langgeng. Secara

38 Ibid., h. 6 39 Nur Ahmad, Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, h. 13. 40 Robert N. Bellah dan Philip E. Hammon, Beragama Bentuk Agama Sipil dalam Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, imam khoeri, dkk (tej), (yogyakarta: ircisod: 2003), h. 212

23

garis besar pengertian konsep pluralisme meminjam definisi yang dikemukakan oleh Alwi Shihab dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai dimana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat orang bekerja.

Tetapi seseorang dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna terciptanya kerukunan, dalam kebhinekaan.41

Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.

Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita dimana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan disuatu lokasi. Sebagi contoh adalah kota New

York. Kota ini adalak kota kosmopolitan. Di kota ini terdapat orang Yahudi,

Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun.

Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya dibidang agama, sangat minimal, kalaupun ada.42

Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya.

41 Alwi shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1999), h. 41. 42 Ibid., h. 42-43

24

Sebagai contoh, “kepercayaan/kebenaran” yang diyakini oleh bangsa

Eropa bahwa “Colombus menemukan Amerika” adalah sama benarnya dengan

“kepercayaan/kebenaran” penduduk asli benua tersebut yang menyatakan

“Colombus mencaplok Amerika”.

Sebagai konsekwensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apa pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”, karena kebenaran agama-agama, walaupu berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetapi harus diterima. Suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa.43 Namun yang menjadi persoalan adalah manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, dan ketika dalam sosial praksis akan menimbulkan dampak pada perubahan sosial.

Teggart menegaskan perubahan sosial muncul dari perbenturan berbagai kelompok dari habitat yang berbeda-beda dan oleh karenanya memiliki sistem ide yang berbeda. Jika Teggart mengasumsikan bahwa sejarah manusia hanya merekam sejumlah kecil situasi pluralistik yang stabil (yakni, sebuah habitat dengan beragam sistem ide), maka dia sangat mungkin benar.44

Menurut Ignas Kleden, dikotomi yang dibuat oleh sementara psikologi agama, antara agama sebagi agama, dan agama sebagai yang dihayati dalam kesadaran para penganutnya, barangkali tidak akan diperhatikan dalam tulisan ini.

Sebab bagaiman pun agama sebagai suatu entitas abstrak yang dilepaskan sama sekali dari kenyataan bagaiman dia dihayati adalah sangat sulit dibayangkan.

Sedangkan, bila agama dilihat sebagai suatu realitas manusiawi yang muncul sebagai akibat pergulatan manusia dengan seluruh lingkungannya yang berarti

43 Ibid., h. 42. 44 Ibid., h. 213.

25

bahwa agama adalah suatu hasil kebudayaan juga, maka pengandaian suatu agama sebagai entitas abstrak, adalah suatu pengandaian yang secara metodologis tidak berguna. Dengan itu mau dikatakan bahwa filsafat yang melihat agama secara ontologis tidak akan banyak membantu mencari kemungkinan dialog antar agama.

Sebab, ontologi lebih berhubungan dengan substansi, unsur yang berdiri sendiri, yang berbeda dan tak tergantung kepada unsur lain, yang menyebabkan sesuatu itu ada dasar dirinya. Ontologi justru mengandaikan dan menekankan distansi dan esensi yang mutlak dan karena itu ontologi merupakan otonomi yang tertutup.45

Sebaliknya agamapun tidak diidentikkan dengan batas-batas psikologis yang sering justru hendak diterobos oleh tuntutan dan harapan keagamaan. Dua reserve disini untuk menghindari terjebaknya agama kedalam kemungkinan

Psychologisierung der Religion. Yang Pertama adalah unsur supranatural, merupakan elemen trensenden dalam tiap agama yang menyebabkan bahwa agama tidak mutlak membutuhkan suatu stratum psikologis sebagai conditio sin qua non untuk tumbuh dan berkembang dalam penghayatan para penganutnya.

Misalnya beberapa eksperimen studi psikiatri terhadap kehidupan rohani beberapa orang kudus, sama sekali tidak menggoncangkan alasan untuk tetap mengakui kekudusan mereka. Demikian pula seandainya ada pertemuan-pertemuan empiris yang bisa menunjuk indikasi-indikasi kuat tentang adanya psikose tertentu yang mereka derita dan alami selama hidupnya. Yang kedua adalah, bahwa hukum- hukum psikologis tidak selalu merupakan batas-batas yang harus diterima oleh suatu agama. Agama dan tuntunannya sering malah berusaha keluar dari siklisme psikologis semacam itu. Demikian, maka tidak berarti bahwa agama selalu

45 Ignas Kleden, “ Dialog Antar Agama-Agama: Kemungkinan dan Batas-batasannya. Dalam Kumpulan Tulisan Agma dan Tantangan Jaman, (Jakata:LP3ES, 1985), h. 153.

26

bersifat menentang kecenderungan-kecenderungan manusiawi. Namun mungkin bahwa apa yang dicita-citakan suatu agama mengisyartatkan pula pengakuan akan terbatasnya kemampuan manusia dalam mengindentifikasikan dirinya sendiri, dan di depan suatu realitas dan aktifitas ilahi, manusia justru ditantang untuk mengatasi ikatan-ikatan dari dunianya, batas-batas psikologisnya dan persyaratan- persyaratan imanensinya.46

Harus dicatat bahwa meningkatnya kecerdasan manusia menyebabkan ia mencari sendiri kebenaran primer yang belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan. Di sisi lain, menyebar luaskan agama, propaganda (dalam arti netral), atau evanggeli merupakan persoalan manusia dalam hidupnya yang telah berjalan sekurang-kurangya 25 abad. Ada agama yang non-evanggelis, seperti

Yahudi yang justru bersikap ekslusif dan tidak dengan aktif menyebar-luaskan agamanya.47

Amin Abdullah menyatakan, dapat dibayangkan bagaimana kulaitas tingkat kenyamanan, ketenangan, kedamaian suatu masyarakat beragama yang bersifat pluralistik, jika masing-masing secara sepihak dan tertutup mengklaim bahwa tradisi agamanya sendirilah yang paling sempurna dan benar. Dan jika klaim itu merambah ke wilayah historis-ekonomis-sosiologis, maka kedamaian yang diserukan dan didambakan oleh ajaran agama-agama akan terkikis dengan sendirinya dalam kenyataan hidup keseharian. Meskipun secara ontologis- metafisis, klaim seperti itu memang dapat dimengerti, namun belum tentu dapat dibenarkan, karena memang itulah salah satu inti keberagamaan yang sebenarnya.

Artinya, bahwa hard core dari pada pandangan hidup agama-agama yang

46 Ibid,. h. 154-155 47 Abdurrahman, dkk, (ed.), 70 tahun H. Mukti Ali Agama dan Masyarakat (Yogyakarta Sunan Kalijaga Press, 1993 ), h. 169.

27

beraneka ragam memang berbeda. Sedangkan hard core keberagamaan hanya dapat dinikmati secara historis, lewat sekat-sekat teologis yang ada.48

Perubahan sosial dalam Islam, hendaknya dilihat dari segi agama dan perubahan yang lebih luas. Manusia telah dikaruniai dengan kesadaran diri, intelek, dan imajinasi. Kecakapan-kecakapan inilah yang membedakannya dengan alam semesta lainnya, selain merupakan kenyataan bahwa dirinya juga merupakan bagian dari dirinya. Menurut John L. Eposito, agama adalah suatu sistem kepercayaan yang menempatkan dirinya (sebagi alat bantu bagi manusia) dalam upaya menghadapi kesulitan tersebut, serta kemudian menjadikan manusia agar betah di dalamnya.49 Quraish Shihab mengatakan, pada hakikatnya, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat dimana perbedaan-perbedaan sangat dimungkinkan, Islam lebih mementingkan isi dan makna dibandingkan dengan bentuk-bentuk.50

Diakui bahwa, dalam sejarah agama-agama, telah terjadi pertikaian antara pemeluk agama yang sama atau antar pemeluk berbagai agama. Namun, pertikaian tersebut lebih banyak disebabkan oleh kepentingan-kepentingan non agama. Dapatkah umat masa kini menemukan pandangan dan jalan yang telah ditempuh oleh generasi terdahulu yang hidup berdampingan dan harmonis?. Kalau jalan tersebut tidak dapat ditemukan oleh pimpinan-pimpinan agama-agama sendiri, maka ketika itu mereka harus membenarkan pandangan yang menyatakan bahwa ada krisis agama. Karena dengan demikian, agama telah menjadi sumber

48 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas. h. 14-15. 49 John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam Watak, Proses Dan Tantangan, Bakri Siregar (terj.), (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), h. 293. 50 Qurais shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1993), h. 215.

28

keresahan pemeluknya dan tidak heran bila agama hanya akan tinggal sebagai kenangan buruk sejarah.51

Diskursus mengenai agama sangat sarat dengan muatan emosi, kecenderungan dan subyektifitas individu. Agama memiliki ajaran yang sangat ideal dan cita-citanya sangat tinggi, bagi pemeluk fanatiknya, ia merupakan

“benda” yang suci, sakral, angker, dan keramat. Ia selalu menawarkan jampi- jampi keselamatan, kebahagiaan, dan keadilan. Namun kenyataan berbicara lain, agama tak jarang justru melahirkan permusuhan dan pertengkaran. Menurut

Ahmad Najib Burhani, fenomena ini dilatari oleh: pertama, pendewaan agama.

Manusia sering terjerumus untuk mendewakan agama, istilah-istilah agama dan pemuka agama. Tuhan beserta segala sifat yang menyelimuti-Nya berulang kali hilang dari ingatan. Prinsip-prinsip agama dan ajaran sucinya juga mengalmi nasib yang sama, mereka nyaris habis terpangkas dan tinggal jargon-jargon yang tidak mempunyai nyali. Di sini agama bukan lagi sebagai amalan, namun ia berubah fungsi menjadi semisal markas jaringan “mafia”, sehingga tidaklah heran bila kemudian muncul “manipulasi agama” dan “korupsi agama”.

Kedua, pengkelasan dalam berakhlak. Umat beragama sering terjebak untuk lebih dekat kepada saudara-saudara “seagama” (in group feeling) dan menomorduakan persahabatan dengan rekan dari agama lain. Hal ini membuahkan sikap yang kurang obyektif dalam memandang apa yang ada di luar diri sendiri. Misalnya sebagimana yang dikemukakan Moeslim Abdurrahman dalam Islam Transpormatif, kendati keadilan sosial merupakan sendi utama

51 Ibid., h. 21.

29

agama, namun jika keadilan sosial tidak menimpa “kita” atau saudara “kita”, maka “kita” kurang menaruh perhatian.

Ketiga, monopoli kebenaran. Banyak agama atau bahkan seluruh agama yang mengajarkan kebenaran absolut bagi pemeluknya. Merupakan suatu kewajiban dan memang sepantasnya memberikan doktrin-doktrin keabsolutan kebenaran agama. Namun kewajaran itu akan berubah menjadi ketidakwajaran bila tanpa diiringi dengan anjuran penelitian dan pencarian argumen logis atas doktrin orang lain. Lebih-lebih bila pemberian doktrin tersebut dibarengi dengan penularan anggapan bahwa doktrin-doktrinnyalah yang benar, sementara yang lain salah total. Dan akan semakin tragis apabila fenomena itu diiringi dengan pelecehan agama lain.52

Dengan menggali ajaran-ajaran agama, meninggalkan fanatisme buta, serta berpijak pada kenyataan menurut Qurais Shihab, jalan akan dapat dirumuskan.

Bukankah agama-agama monoteisme dengan sejarah ketuhanan Yang Maha Esa, pada hakikatnya menganut universalisme. Tuhan Yang Maha Esa itulah yang menciptakan seluruh manusia, seluruh manusia bersumber dari satu keturunan, betapapun berbeda agama, bangsa atau warna kulit. Demikian ditegaskannya pula.53

Menurut Ahmad Najib Burhani, teosentrisme atau wacana agama tentang

Tuhan hanya akan bermanfaat apabila sekaligus menjunjung tinggi tinggi martabat manusia. Harmoni pada tingkat esoteris hanya akan menjadi perbincangan verbal saja apabila tidak ada keterlibatan dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang bersifat global. Mengiyakan Tuhan tidak

52 Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membantu, (Jakarta: Kompas, 2001), h. 3-4. 53 Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 218-219

30

berarti menyangkal manusia dan sebaliknya. Meski respon iman dialamatkan pada

Tuahan, tetapi komitmen dan respon ini tidak diperintahkan diaktualisasikan dalam hubungan sesama makhluk. Bahwa bertuhan justru dipihak segenap manusia, bukan hanya manusia anggota agamanya saja. Setelah menjawab sapaan

Tuhan, manusia harus ketahapan praktis melayani manusia sebagai hamba Tuhan.

Maka disarankan, keberagamaan perlu lebih humanistik-uneversal.54

Teologi harus lebih concern pada persoalan lingkungan hidup, tertib sosial, dan masa depan kemanusiaan. Agama hanya cradible apabila dapat menolak segala sikap yang bernapaskan kebencian, balas dendam, kepicikan, pembunuhan dan pemaksaan serta mengembangkan sikap kebaikan hati, belas kasihan, solidaritas, persaudaraan universal tanpa membedakan suku, budaya, ras, gender, dan agama, keadilan, kebebasan, rasionalitas, kejujuran dan keterbukaan.55

Sebaliknya masyarakat yang hendak diatur oleh agama senantiasa mengalami perubahan dan oleh karena itu bersifat dinamis. Dalam ilmu semantika disebutkan bahwa bahasa suatu bangsa tiap seratus tahun mengalami perubahan dan perubahan dalam bahasa menggambarkan perubahan dalam masyarakat.56

Pluralisme agama dan multikulturalisme tidak hanya dalam suatu negara, tetapi antar kawasan dan tingkat global, dalam arti menghormati perbedaan persepsi dan keyakinan agama dan tradisi. Sebuah kepekaan pluralis- multikulturalis, harus dikembangkan tidak hanya dikalangan umat Islam, tapi juga menyangkut umat-umat antar agama dan persoalan-persoalan non-agama.

54 Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membantu, h. 14-15. 55 Ibid., h. 16 56 Abdul nasir Solissa (ed.), Al qur’an dan Pembinaan Budaya, (Yogyakarta:LESFI, 1983), h. 15.

31

C. Pendapat Para Ahli Tentang Pluralisme

Menurut Robert N. Bellah dan Philip E. Hammond, para teoritisi juga berbeda dalam memahami bagaimana pluralisme bekerja, apakah ia menyediakan tempat perlabuhan kelompok bagi individu yang teralienasi. Di samping itu juga ada sebuah penegasan bahwa pluralisme memungkinkan bagi keanggotaan kelompok yang bermacam-macam bahkan saling berlawanan, sehingga menjadikan konflik politik lebih sering terjadi pada tataran individu atau kelompok.57 Di ungkapkan oleh Abdurrahman Wahid bahwa, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar.58

Dalam kaitannya dengan bergulirnya arus globalisasi yang merambah dalam seluruh sistem termasuk dalam agama Islam itu sendiri menurut Jhon L.

Esposito, akan melahirkan lapangan pengetahuan baru. Akan tetapi, studi tentang modernisasi di dalam Islam sering memuat dikotomi yang tidak bertanggung jawab: tradisi lawan perubahan, fundamentalisme lawan modernisme, stagnasi lawan progres. Bagi kebanyakan analis pihak Barat maupun pihak skularis muslim, Islam itu merupakan rintangan besar bagi perubahan politik dan sosial yang berarti dalam dunia Islam. Bagi pihak aktivis Islam, dan para mukmin lainnya, Islam itu secara abadi tetap serasi dan berlaku.59 Sebagi suatu sistem nilai, Islam tentu saja tidak bisa merestui suatu masyarakat yang bersifat laissez- faire. Ditegaskan oleh Fazlurrahman, dipihak lain, Islam mengetahui dengan baik bahwa pemaksaan tidak akan membuahkan hasil, bahkan tidak akan bisa bekerja.60

57 Robbert N Bellah dan Phillip E. Hammond, Beragama Bentuk Agama Sipil dalam Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, h. 212. 58 Budhi Munawar Rachman, (ed.), Kontekstualisasi Diktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina), h. 546 59 Jhon L. Esposito, Islam Dan Politik, H.M Joesoef Sou’yb (terj), (Jakarta:Bulan Bintang, 1990), h. 298. 60 Fazlurrahman, Islam Dan Modernitas, Akhsim Muhammad (terj), (Bandung: Pustaka: 1985), h. 192

32

Indonesia sebagi bangsa yang majemuk, kaya akan khazanah sosial, kebudayaan menyimpan potensi lebih. Sebuah kesepakatan umat Islam untuk hidup dalam sebuah negara yang tidak akan pernah didasarkan pada pengakuan formal atas Islam sebagai yang ‘terbaik’ secara objektif atau pelayanan pemerintah yang terlalu berlebihan dari pada agama-agama lain.61

Bagi masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi pembangunan dalam segala bidang, mewujudkan toleransi itu mendesak dengan banyak memberikan penjelasan akan ajaran-ajaran agama yang menekankan toleransi. Dengan begitu jiwa toleransi beragama dapat dipupuk dikalangan pemeluk masing-masing agama.62 Terlebih masing-masing agama memiliki identitas sebagi simbol dan pesan agama tidaklah secara seimbang ditangkap dan ditafsirkan oleh berbagai lapisan sosial. Demikian dinyatakan Taufiq Abdullah.63

Jiwa toleransi beragama dapat dipupuk melalui usaha-usaha berikut:

1. Mencoba melihat kebenaran yang ada dalam agama lain.

2. Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-agama.

3. Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama-agama.

4. Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan.

5. Mengutamakan pelaksanaan ajaran-ajaran yang membawa kepada

toleransi beragama.

61 Greg Fealy, Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal, Ahmad Suaedy, A. Made Tonny Supriatna, Amiruddin Ar-Rany, dkk. (terj), (Yogyakarta: LKIS, 1997), h.204 62 Syaiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1995), h. 275 63 Taufiq Abdullah, Islam Dan Masyarakat (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 245

33

6. Menjauhi praktik serang-menyerang antar agama. Mungkin hal-hal ini

dapat mengubah ketegangan hidup beragama yang dirasakan ada dalam

masyarakat kita sekarang.64

Dengan upaya menjunjung tinggi nilai dan semangat pluralitas tersebut, maka diharapkan suatu bangsa dapat membangun peradaban yang besar. Oleh karena itu, penulis sepakat dengan pendapat Fazlur Rahman bahwa, setiap peradaban besar mengembangkan beberapa ciri khas yang tersembunyi dibalik ekspansinya yang luar biasa, atau bahkan tampaknya ciri khas yang tersembunyi dibalik ekspansinya yang luar biasa, atau bahkan tampaknya ciri khas itu menjadi kebajikan khusus karena mereka muncul untuk menyumbang terhadap ekspansinya, tetapi ketika peradaban itu mencapi puncaknya ciri-ciri itu kembali dipermasalahkan.65

D. Pro-kontra Tentang Pluralisme

Nur Khalik Ridwan berpendapat, bagi pegiat wacana pluralisme, mereka memandang pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu kemanusiaan, yakni keragaman, heterogenitas dan kemajemukan itu sendiri.oleh karena itu, ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara.dalam pluralisme

64 Syaiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1995), h. 275 65 Harun Nasution & Azumardi Azra (peny.) Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indosesia, 1985), h. 39

34

keberadaan diakui adanya, dan karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan dalam bentuk homogenitas, kesatuan, tunggal, mono dan ika.66

Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datang dari luar Islam.67

Disamping itu akhir abad ke-21 ini ditandai oleh perubahan-perubahan yang mencengangkan. Kenyataan tersebut menurut Bachtiar Effendi, telah menghadapkan masyarakat agama kepada suatu kesadaran kolektif terhadap penyesuaian struktural dan kultural.68 Keanekaragaman agama akan menjadi kekuatan bangsa manakala agama-agama mampu hidup berdampingan secara menyenangkan di sebuah negara.69

Namun bagi mereka yang begitu mencurigai akan bahaya pluralisme, mereka menilai bahwa pluralisme merupakan proyek Barat. Maka menjadi penting menelusuri lahirnya gagasan liberalisme dan pluralisme agama. Gagasan protestanistik yang kini digandrungi sebagai Muslim sangatlah begitu pelik.

Proses liberalisme sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi

(baca: penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan.

66 Nur Kholik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 77 67 Saifudin Zuhri Qudsy (peny.), Islam Liberal Dan Pundamental Sebuah Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: eLSAQ , 2003), h. 5. 68 Bachtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 3 69 Nur Ahmad (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. h. 80.

35

Anas Malik Toha mensinyalir, sejak era reformasi gereja abad ke- 15, wilayah yuridiksi agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan didomestikkan sedemikian rupa. Hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat. Dan saat ini, agama tetap masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM (Hak Asasi Manusia). Oleh karenanya harus mendekontruksikan diri (atau didekontruksikan secara paksa) agar menuruti bahas kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks- teks dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman. Proses liberalisasi politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”. Liberalisasi agama harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya. Orang menyebutnya sebagai pluralisme agama. Demikian dikatakannya.70

Paham liberalisasi pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis.

Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama. Juga lebih kental dengan aroma politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political pluralism), yang merupakan produk dari leberalisme politik

(politic liberalism). Jelas, leberalisme tidak lebih merupakan respon politis terhadap kondisi sosial masyarakat kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok, dan mazhab. Namun kondisi semacam ini masih terbatas dalam masyarakat kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.71

Dalam konteks Indonesia, pikiran yang mengaggap semua agama itu sama sebenarnya telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya.

Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan

“baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan.

70 Diakses dari tulisan anis malik toha, http://www.Hidayatullah.com_content&task =view&id=1460&itemid=0, dengan judul: pluralisme agama. 71Nur Kholik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur,. h. 86

36

Umat Islam seperti mendapatkan pekerjaan rumah yang baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal umat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Dalam Musyawarah Nasional VII Majlis Ulama’

Indonesia, MUI telah mengeluarkan 11 fatwa, dimana sejak berdirinya MUI belum pernah mengeluarkan fatwa sebanyak itu.

Menurut Frans Magnis, teolog-teolog seperti John Hick, Paul F. Knitter

(Protestan) dan Raimondo Panikkar (Katolik), adalah tokoh dengan paham yang menolak ekslusifisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan. Agama-agama hendaknya pertama- tama memperlihatkan kerendahan hati, tidak menganggap lebih benar dari pada yang lain-lain.72

Disisi lain bagi mereka yang pro terhadap pluralisme memaknai dikatakan

Nur Khalik, pluralisme adalah sebauah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu fakta kemanusiaan, yakni keragamaan, heterogenitas dan kemajmukan itu sendiri. Oleh karena itu, ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara, dalam pluralisme, perbedaan diakui adanya, dan karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan dalam bentuk hemogenitas, kesatuaan, tunggal, mono dan ika.73

72 Ibid,. h. 94 73 Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur. h. 77.

37

E. Wacana Pluralisme di Indonesia

Sejak keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang keharaman pluralisme, bersama liberalisme, dan sekularisme pada tahun 2005, alih-alih masyarakat serentak menyetujui, tidak sedikit terutama dari kalangan intelektual muslim sendiri yang malah memberikan respons secara kritis sebagai ungkapan ketidaksetujuan terhadap fatwa tersebut. Artikel yang bernuansa menolak terhadap fatwa MUI meluncur deras di beberapa media massa.74 Sebut misalnya artikel

75 yang ditulis M. Dawam Rahardjo, Mengapa Semua Agama Itu Benar? (Tempo,

1 Januari 2006). Dalam artikelnya itu, M. Dawam Rahardjo coba memaparkan beragam perspektif tentang pluralisme. Poin penting dari penelusuran M. Dawam

Rahardjo adalah, ternyata pluralisme tidak bisa digiring hanya dalam suatu perspektif sebagaimana yang menjadi dasar pertimbangan MUI.

Dalam menghadapi keragaman, kata M. Dawam Rahardjo, kita membutuhkan suatu paham pluralisme (pluralism is needed to deal with plurality). Tentu akan menyulitkan jika di satu pihak pluralitas diterima sebagai suatu realitas sedangkan di pihak lain, pluralisme ditolak sebagai suatu paham.

74 Selain artikel, banyak juga publikasi yang berbentuk buku yang mengusung tema pluralisme. Lihat misalnya, Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam al-Quran (Bekasi Timur: Menara, 2006); Mohammed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan: Pandangan al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2006); Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005); Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (Jakarta: Serambi, 2006); Jerald F. Dirk, Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen, dan Yahudi (Jakarta: Serambi, 2006). Buku-buku ini berisi dukungan terhadap pluralisme. Jalaluddin Rakhmat, misalnya, berpandangan bahwa pluralisme bukan sesuatu yang paradoks dengan al-Quran. Dalam analaisis Rakhmat, dalam al-Quran banyak sekali ayat yang mendukung pluralisme. 75 Lihat juga artikel M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekeluralisme dan Pluralisme”, http://www.icrp-online.org.

38

Respons kritis terhadap fatwa MUI, lebih-lebih yang berhubungan dengan pluralisme, tidak hanya ramai pada awal-awal keluarnya fatwa.76

Beberapa media massa rupanya menganggap perbincangan seputar pluralisme tetap memiliki aktualitas sehingga artikel yang memberikan sorotan kritis terhadap fatwa MUI dimunculkan. Di Indonesia, pluralitas dan pluralisme terutama yang terkait dengan agama seakan ditaqdirkan selalu berada dalam posisi problematis. Siapa pun tidak ada yang menampik terhadap fakta keragaman di

Indonesia. Sejarah keragaman agama di Indonesia telah berlangsung sangat lama.

Menurut salah satu teori sejarah, Islam datang ke bumi Nusantara pada abad ke-7

M. Artinya, Islam telah menghiasi negeri ini melewati satu milenium. Tetapi

Islam tidak memasuki ruang hampa. Jauh sebelum datangnya Islam, masyarakat

Nusantara telah terpola ke dalam berbagai agama dan kepercayaan. Tidak hanya

Islam, agama-agama lainnya pun berdatangan. Dalam versi negara, pada saat ini ada enam agama yang diakui eksistensinya, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu,

Budha, dan Konghucu.77

Salah satu sisi problematis dari keragaman tersebut adalah adanya potensi konflik. Tentu ini terasa aneh, karena ajaran agama mana pun selalu menekankan pada kesamaan dan kesetaraan manusia. Ini merupakan visi perenial semua agama. Potensi konflik dalam keragaman agama dengan demikian berada di luar wilayah perenial agama, tetapi lebih banyak terjadi pada wilayah konstruksi sosial. Mengapa wilayah ini rentan konflik? Konstruksi merupakan modus yang dikembangkan oleh seseorang dalam memahami doktrin agama. Agama memang meniscayakan pada suatu modus pemahaman agar kehendak Tuhan yang

76 Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur. h. 83. 77 Ibid, h. 84

39

terdapatdalam doktrin agama bisa dipahami dan dilaksanakan oleh manusia. Al-

Qur’an, Injil, dan kitab-kitab lainnya, sebagai kodifikasi firman Tuhan, tentu akan banyak menghadapi kesulitan aktualisasi jika tidak dijembati dengan pemahaman manusia. 78 Peristiwa terakhir, yaitu penyerangan warga Ahmadiyah oleh sekelompok orang tidak dikenal di Desa Cikeusik kembali mencoreng kerukunan beragama yang berbeda keyakinan di Indonesia. Pemaksaan kehendak oleh salah satu pihak yang mengklaim sebagai mayoritas seolah-olah mendapatkan pembenaran oleh penegak hukum bahwa keyakinan yang diyakini oleh sebagian besar golongan adalah kebenaran mutlak, sedangkan keyakinan yang dipegang oleh minoritas seakan selalu salah dan dianggap sesat. Selain itu, insiden penusukan pendeta HKBP oleh sekelompok organisasi masyarakat yang beda agama di Bekasi seakan menegaskan bahwa pentingnya pluralitas keagamaan di

Indonesia. Karena jika konflik-konflik seperti ini tidak segera diatasi dan diketahui solusinya, maka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan dipertaruhkan.

Dalam konteks kehidupan beragama, MUI memaknai pluralisme (agama) sebagai paham yang menganggap semua agama sama. Dari pemahaman ini lalu berkembang logika begini: pluralitas yes, pluralisme no!. Tidak sedikit di kalangan Islam yang sepaham dengan logika ini. Padahal, logika ini jelas mengandung kerancuan (fallacy). Mana mungkin menyikapi pluralitas tanpa memiliki sandaran pada salah satu perspektif pluralisme. Secara akademik pandangan MUI dapat dipersoalkan mengingat pemaknaan terhadap konsep pluralisme tidak tunggal.

78 Ibid, h. 85

40

Dalam pengertian generiknya, pluralisme merupakan pandangan yang mengafirmasi dan menerima keragaman (http://en.wikipedia.org). Situs ini juga mengemukakan penggunaan istilah pluralisme dalam agama (pluralisme agama) yang diartikan sebagai relasi damai antaragama yang berbeda. Jika bertolak dari pengertian tersebut, maka ada dua hal yang ditekankan dalam pluralisme agama.

Pertama, pengakuan sekaligus penerimaan terhadap keragaman termasuk dalam agama. Keragaman agama merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Munculnya berbagai agama pada masa sebelumnya secara historis tidak bisa menghapus agama yang muncul pada masa sesudahnya. Begitu juga sebaliknya. Fakta ini meniscayakan adanya suatu pengakuan terhadap keragaman. Kedua, perlunya mengembangkan relasi damai dengan kelompok agama lain. Apa pun agamanya, bisa dipastikan memiliki kepedulian pada masalah kemanusiaan. Semua agama juga menekankan kepasrahan terhadap apa yang kita sebut dengan Tuhan. Poin- poin inilah yang memungkinkan adanya perjumpaan, dan bahkan kerja sama, antar-umat beragama, tanpa merasa perlu mempertukarkan keyakinannya. Wacana semacam ini berkembang cukup pesat di tanah air sejak 1990-an. Penelitian ini ingin merekontruksi wacana tersebut.

41

BAB III

BIOGRAFI INTELEKTUAL DAN POLITIK HASYIM MUZADI

A. Kehidupan Sosio-Kultural Hasyim Muzadi

Hasyim Muzadi adalah termasuk salah satu seratus tokoh nasional

Indonesia paling berpengaruh dipanggung politik nasional saat ini dan diprediksi akan mempunyai peran yang cukup signifikan dalam menentukan konfigurasi politik bangsa di masa-masa yang akan datang.79 Hasyim Muzadi merupakan tokoh terpandang di negeri ini dan saat ini ia masih menjadi Rais Syuriah organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan yang memiliki basis terbesar di negeri ini.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Hasyim Muzadi diakui kapasitas, kapabilitas dan ketokohannya oleh publik baik dibidang pemikiran ataupun sepak terjang politiknya. Sehingga Hasyim Muzadi menjadi tokoh yang diperhitungkan dalam kancah politik Indonesia saat ini. Tentunya hal itu tidak semata-mata karena ia pernah menjadi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), akan tetapi karena komitmen dan kontribusi ide-ide kebangsaan dan pergulatan panjangnya dalam sejarah gerakan politik yang diawali sejak masih muda.

Terbukti nama besar Hasyim dapat mendongkrak suara pasangan Capres- cawapres Mega-Hasyim pada pemilu 2004 secara signifikan walau tetap dibawah perolehan suara Capres-cawapres SBY-Budiono.

Untuk mengurai dan membaca karakter pemikirannya secara detail diperlukan penelusuran yang mendalam atas latar teoritis dan latar belakang sosio-

79 Zaenal Ali, 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh (Jakarta: Narasi, 2008), h. 162

42

kultural, pendidikan dan pengalaman dibidang organisasi, serta tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam membentuk gugusan pengetahuan personalnya yang nantinya banyak menyumbangkan dan mengilhami pandangan-pandangannya dalam bidang politik.

Hasyim Muzadi dilahirkan di Tuban pada tanggal 8 Agustus 1944, dari pasangan Muzadi dan Rumiyati. Ia merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. Secara geografis Tuban terletak dibagian Utara Pulau Jawa, tepatnya perbatasan Kabupaten Lamongan dan Bojonegoro. Di daerah inilah ia menghabiskan masa kecilnya. Hasyim menikah dengan Muthomimah dan dikaruniai 6 anak, yakni 3 putra dan 3 putri. Di masa kecilnya ia berada dalam kehidupan yang tidak serba berkecukupan sehingga ia menjadi sosok pribadi yang pantang menyerah. Tak heran jika anak ke-tujuh dari delapan saudara ini mencanangkan kalimat “Tiada hari tanpa perjuangan”, sebagai motto hidupnya.80

Hasyim Muzadi, begitu akrab disapa, menempuh pendidikan dasarnya di

Madrasah Ibtidaiyah di tanah kelahirannya Tuban pada tahun 1950-1953 lalu ia pindah ke Sekolah Dasar (SD) Tuban sampai lulus pada 1955. Setelah itu ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di kota yang sama hanya menempuh satu tahun yakni dari tahun 1955-1956. Lalu ia pindah ke

Pondok Pesantren Gontor dengan menempuh pendidikan KMI selama enam tahun tercatat dari 1956-1962. Lulus dari Gontor ia pindah ke Pondok Pesantren Senori

Tuban tak lama kemudian ia pindah ke Pondok Pesantren Lasem pada tahun 1963.

Setelah ia selesai berkeliling dari satu pondok ke pondok yang lain ia melanjutkan pendidikan tingginya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malang dari tahun

80 Mohammad Shodiq, Dinamika Kepemimpinan NU, Refleksi perjalanan KH. Hasyim Muzadi, (Surabaya, LTN NU Jatim, 2004), h. 189

43

1964-1969. Sedangkan pendidikan non-formalnya ia tempuh di Pondok Pesantren

Gontor dan tamat pada tahun 1963.

B. Latar Belakang Pemikiran Hasyim Muzadi

Semenjak duduk dibangku kuliah, ia mulai mengenal berbagai tokoh politik mulai dari tokoh-tokoh dunia hingga tokoh politik nasional, dari yang klasik sampai kontemporer. Pada fase ini, Hasyim berkenalan dengan beragam pemikiran politik mulai dari yang paling kiri hingga yang paling kanan.81

Keterlibatan Hasyim dalam medan politik pergerakan dimulai sejak ia menginjakkan kaki di bangku kuliah, ia aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam

Indonesia (PMII) komisariat IAIN Malang. PMII82 adalah salah satu organ gerakan mahasiswa dari berbagai organisasi gerakan mahasiwa yang ada di

Indonesia yang memiliki kedekatan sosio-kultural dengan Nahdlatul Ulama (NU).

Di organisasi inilah Hasyim mulai bergelut dengan berbagai persoalan kebangsaan dan terlibat langsung dalam konfrontasi gerakan mahasiswa dengan Orde Lama yang sedang harmonis dengan kelompok komunis.

PMII yang baru seumur jagung pada masa itu sangat gencar sekali melakukan gerakan anti-komunis. Bahkan melancarkan gerakannya lewat

81 http://id.wikipedia.org/wiki/hasyim-muzadi 82 PMII adalah salah satu gerakan mahasiswa (organisasi mahasiswa) di Indonesia PMII, yang sering kali disebut Indonesia Moslem Student Movement atau Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah anak cucu NU (Nahdlatul Ulama yang terlahir dari kandungan Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), anak yang juga anak dari NU. Status anak cucu ini pun diabadikan dalam dokumen kenal lahir yang dibikin di Surabaya tepatnya di Taman Pendidikan Putri Khadijah pada tanggal 17 April 1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 Hijriah. Namun, pada akhirnya PMII memilih lepas yakni independent dari organisasi induknya. Hal ini dipertegas dan dijelaskan pada kongres V PMII di Ciloto Jawa BArat pada tangggal 28 desember 1973. Semenjak itu PMII lepas secara structural sampai sekarang meski secara structural PMII tidak jauh brda dari tradisi NU.

44

demontrasi-demontrasi di jalan. Sehingga PMII meski berada dibawah naungan

NU namun, telah menunjukkan karakternya sebagai the agent of control.

C. Karier Organisasi dan Politik

Hasyim dikenal sebagai sosok yang sangat tulus memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim cukup nasionalis dan pluralis. Apa saja yag dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan

NU, Hasyim ikhlas melakukannya.83 Karakter tersebut ia bangun semenjak dalam organisasi kepemudaan seperti gerakan pemuda Anshor84 dan organisasi kemahasiswaan, yakni PMII. Hal inilah yang menjadikan modal kuat Hasyim untuk terus berkiprah di NU.85

Kiprah organisasinya mulai dikenal sejak tahun 1992 ketika ia terpilih menjadi ketua pengurus wilayah NU Jawa Timur. Posisi ini mampu menjadi batu loncatan bagi Hasyim untuk menjadi ketua umum PBNU pada tahun 1999.

Sebagai organisasi keagamaan yang terbesar di tanah air ini, NU selalu menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim pun juga menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim tidak bisa mengelak dari kenyataan tersebut. Tercatat suami dari Hajah

Muthomimah ini pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) Tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986. Karena itu partai Islam hanya diwakili satu partai yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, jabatan sebagai ketua PBNU-lah yang membuat Hasyim mendadak menjadi pembicaraan

83 Mohammad Shodiq, Dinamika Kepemimpinan NU, Refleksi Perjalanan KH. Hasyim Muzadi, h. 196-198 84 Gerakan Pemuda Anshor merupakan lembaga otonom yang bergerak sebagai lokus gerakan kaum muda NU. 85 Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki, pada hari selasa, 30 Juni 2009

45

publik dan laris diundang ke berbagai wilayah. Bisa dikatakan wilayah aktivitas alumni Ponpes Gontor Ponorogo ini tidak hanya meliputi Jawa Timur namun telah menasional. Basis struktural yang kuat itu, masih pula ditopang dengan modal kultural yang sangat besar, karena ia memiliki Pesantren Al-Hikam Malang yang menampung ribuan santri.

Kiprah Hasyim dalam memimpin NU tidak kalah beratnya dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Semisal, dibandingkan dengan kepemimipinan Abdurrahman Wahid yang telah akrab dibanding Gus Dur, NU dibawah kepemimpinannya terakhir berduet dengan KH. Ilyas Ruhiat, pengasuh

Ponpes Cipasung Tasik Malaya Jawa Barat sebagai Ra’is Aam harus berhadapan dengan pressure penguasa Orde Baru. Sedangkan di era Hasyim Muzadi, tekanan terhadap NU terjadi justru karena membela Gus Dur dari gempuran konspirasi elit politik yang berupaya keras menggulingkannya dari kursi Presiden Republik

Indonesia. Pembelaan NU bukan semata-mata posisi Gus Dur sebagai presiden, melainkan lebih memilih pada nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkan Gus

Dur.86 Kedua pemimpin NU tersebut memiliki karakteristik pemikiran yang berbeda pula. Ketika Presiden Gus Dur diguncang konspirasi elit politik mau tak mau NU dibawah naungan Hasyim Muzadi ikut pula tergoyang. Begitu goncangan semakin kuat, NU pun ikut tergoyang kuat. Namun, ketika Gus Dur dilengserkan, NU harus bersikap tetap utuh dan bermakna sebagai perekat umat dan bangsa. Sebagai penyangga yang kokoh bagi negara hukum dan pengawal yang setia atas wujud Negara Kesatuan Republik Indonesia.

86 Lihat, dalam pengantar kumpulan tulisan dari koran detikcom, Suara Pembaharuan, kompas: Kiprah PBNU 2000-2001, analisis dan evaluasi pemberitaan tentang kepemimpinan Hasyim Muzadi, yang diterbitkan oleh el KAPIM Malang, tanpa tahun.

46

Integritas Hasyim yang lintas sektoral diuji. Ijtihad politik pria berusia 60 tahun ini yang menerima lamaran PDI Perjuangan87 untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres) di pemilu 2004, yang merupakan bagian dari sosok dirinya yang moderat. “saya ingin menyatukan antara kaum nasionalis dan agama”, ujarnya ketika berorasi dalam deklarasi pasangan capres dan cawapres Mega-

Hasyim.88 Walaupun tidak sedikit yang mencibir dan menyayangkan langkah

Hasyim yang terjun ke politik praktis, termasuk dengan pewaris darah biru kaum

Nahdliyin, Gus Dur. Bahkan langkah politik pria yang selalu berpeci ini telah menguak perseteruan dirinya dengan Gus Dur yang telah terpendam lama.

Namun, diatas segalanya, hanya Hasyim yang tahu persis, maka di balik langkah politik menuju kursi kekuasaan yang dulu dirintisnya.89 Secara politis kemenangan kubu Hasyim Muzadi sebagai pejabat PBNU tertransisi telah mengerahkan pengaruhnya. Sebagai hal ini berhasil men-setting ulang posisi politik organisasi yang didirikan KH. Hasyim Asyari dan kiai-kiai lain pada tahun

1926.

D. Karya-karya Hasyim Muzadi

Dalam penelusuran penulis, karya-karya Hasyim Muzadi tidak jarang ditemukan dalam bentuk buku. Ada empat karya yang telah diterbitkan menjadi buku. Buku yang pertama, Membangun NU pasca Gus Dur (Jakarta: Grasindo,

1999). Buku ini merupakan bangunan gagasan yang mencoba untuk melakukan

87 PDIP adalah Partai Demokrasi Indonesia Indonesia Perjuangan ini meminang Hasyim Muzadi sebagai calon wakil Presiden pada pemilu 2004. 88 Diakses dari, http://id.wikipedia.org/wiki/Hasyim_Muzadi, pada kamis, 2 Juli 2009 89 Lihat, dalam pengantar kumpulan tulisan dari koran detikcom, Suara Pembaharuan, kompas: Kiprah PBNU 2000-2001, analisis dan evaluasi pemberitaan tentang kepemimpinan Hasyim Muzadi, yang diterbitkan oleh el KAPIM Malang, tanpa tahun.

47

peneropongan dan terobosan baru terhadap organisasi yang digelutinya. Ide-ide terkait pembangunan NU ia ulas dalam karya tersebut. Meski buku ini lebih tepat dikatakan sebagai promosi gagasan untuk mencalonkan diri dalam Muktamar NU.

Kendati demikian, promosi karya ini menjadi sisi lain dari Hasyim yang juga mengantarkannya menjadi orang nomor satu di NU.

Buku kedua, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa,

(Jakarta: Logos, 1999). Buku ini membahas sederet pelbagai persoalan yang kini dialami NU. Dimana kelahirannya sebagai organisasi keagamaan dan banyak dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap meluasnya pengaruh gerakan pembaharuan yang dimotori kelompok Islam modernis. Namun, lambat laun pada perjalanan kemudian NU seakan tak sanggup mengelak dari tuntutan zamannya yang menghendaki pengambilan peran aktif dalam wilayah politik, bahkan terkadang mengharuskan bersinggungan dengan panggung elit kekuasaan- kekuasaan.

Menyembunyikan Luka NU, (Jakarta: Logos, 2002). Buku yang ketiga ini mengulas tentang peristiwa-peristiwa yang menimpa NU. Dimana salah satu tokoh kader NU yakni Gus Dur secara mengejutkan telah terpilih menjadi

Presiden Republik ini. Sayang saat masa kepemimpinannya tidak berjalan lama karena dikudeta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pengkudetaan Gus Dur dari kursi presiden yang telah dilakukan oleh elit-elit politik berdampak trhadap

NU. Sebab peristiwa tersebut telah menyulut bara kemarahan warga NU di berbagai daerah yang tidak terima akan pencopotan Gus Dur dari kursi presiden.

Pada saat itulah oragnisasi NU mendapat guncangan keras dari berbagai kalangan

48

non-NU dengan menuduh bahwa NU telah menyulut perpecahan di bumi perttiwi ini.

Lewat karya tersebut Pak Hasyim mencoba mengurai persoalan yang telah menimpa NU sebagai bagian dari bangsa yang juga memiliki tanggung jawab akan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan kata lain kehadiran buku tersebut merupakan klarifikasi akan peristiwa-peristiwa yang telah memojokkan NU sebagai kambing hitam dari perpecahan bangsa. Buku keempat,

Agenda Strategis Pemulihan Martabat Bangsa (Jakarta, 2004). Karya ini menjelaskan tentang bagaimana membangun bangsa dan negara Indonesia yang beradab, berkeadilan, bermartabat, dan religius. Selain itu, ia juga ingin mengajak anak bangsa bersama-sama membangun Indonesia menumbuhkan rasa percaya dan meninggalkan berbagai purbasangka yang hanya akan merugikan negara ini.

Dalam buku ini ia ingin menegaskan bahwa pembangunan bangsa tidak bisa dipikul atau menjadi tanggung jawab satu kelompok saja, tapi harus menjadi komitmen dan tanggung jawab segenap warga negara. Karya ini juga membahas berbagai persoalan yang kini tengah dihadapi bangsa Indonesia dalam melanjutkan proses pembangunan. Tak lupa bahwa buku ini lebih mengetengahkan masalah-masalah sosial keagamaan yang tidak terlepas dari kapasitasnya sebagai tokoh masyarakat dan ulama.

49

BAB IV

PEMIKIRAN HASYIM MUZADI TENTANG

PLURALISME AGAMA DI INDONESIA

A. Pemikiran Pluralisme Hasyim Muzadi

Untuk mengawali uraian dalam bagian ini, penulis mengutip beberapa poin dari salah satu tulisan Hasyim Muzadi yang mengatakan:

“Setidaknya ada empat pilar yang mendesak digarap dalam mukhtamar ini. Pertama, pilar pemahaman, pengalaman dan wawasan keagamaan. Ini faktor mendasar. Ini betul-betul harus mendapatkan prioritas, ini bukan seperti NU ini meninggalkan pemahaman, pengalaman dan wawasan keagamaan. Tetapi bagaimana cara beragama yang optimal fi al-dunya hasanah dan wafil akhirotil hasanah. Jadi bagaimana kita beragama melahirkan kesolehan pribadi dan kesolehan sosial. Bagaiman lahir generasi yang solihun lidinihi tetapi juga solihun lizamanihi. Soleh terhadap agamanya tetapi juga soleh terhadap tingkat perkembangan zamannya”.90

Selanjutnya ia mengatakan :

“Pilar kedua, perumusan dan pembakuan tentang hubungan agama dan negara. Embrionya sudah ada sejak muktamar ke-27 di Situbondo. Tetapi dalam konteks kekinian perlu ada penajaman kembali dan pengembangan lebih lanjut. Terutama dalam fenomena, dimana sekarang banyak ekstrimitas yang menggunakan label agama dan kemudian menciptakan disintegrasi antara agama dan negara. Dalam kondisi seperti ini, maka konsep NU yang terkenal moderat sangat relevan di dalam meletakkan agama dalam sistem pluralisme Indonesia. Tingkat moderasi NU dilihat dari kerangka ajarannya yang meletakkan hubungan agama dan negara yang substansial inklusif”.91

Disisi lain, Hasyim sebagai tokoh yang peduli dengan kondisi Indonesia dan

Islam tentunya memiliki pemikiran sebagai representasi dari pemikiran Islam sekaligus yang membedakan antara pemikirannya dengan para pemikir lainnya sesuai semangat zamannya, maka untuk memahami terlebih dahulu apa yang

90 Hasyim Muzadi, “Menggagas Kebangkitan NU Kedua”. Kompas, Selasa , 9 November 1999. h. 33 91 Ibid., h. 35

50

dimaksud pemikiran Islam alangkah baiknya jika menilik tulisan dari Muslim

Abdurrahman yang mengatakan:

“Berbeda dengan ulama yang biasanya menekankan otoritas, para pemikir Islam bisa dibilang adalah termasuk golongan “pemberontak”. Mereka, dengan kegelisahan intelektualnya, selalu mempertanyakan mengapa Islam yang normatif dan skriptualis tidak lagi mengalirkan pesannya yang mendasar dalam zaman yang baru. Orang-orang seperti ini (sebagai anak zamannya), sesungguhnya memiliki kreatifitas sejarah, yang dapat melakukan transformasi dan transendensi dalam memajukan peradaban. Oleh karena pada dasarnya, mereka itu adalah orang yang hidup dalam iman dan pikirannya yang selalu berjuang melawan “formalisme” ialah suatu bentuk penghayatan agama yang menempatkan iman hanya sebatas kegiatan rutinitas ritual. Sementara itu, penekanan “strukturalisme” islam yang mensucikan tradisi telah mematikan ruh pencarian ijtihad untuk menghidupkan inovasi, kreatifitas, dan perubahan”. Oleh karena itu, “Berpikir Islami” merupakan sebuah pencarian makna keIslaman yang masuk akal. Kitab suci al-Qur’an dan sunnah, bukanlah memuat gagasan yang serba ada, atau merupakan sebuah “impian surga” yang sudah sempurna. Hubungan kitab suci dan warisan tradisinya (turast) sebagai petunjuk kehidupan memerlukan pembacaan yang terbuka, karena kaum muslimin menjumpai zaman dan lokus kebudayaan yang berbeda-beda”.92

Selanjutnya mengatakan:

“Berpikir Islam yang terbuka dan berwatak transformatif, sekali lagi memang lain dibandingkan dengan semangat mencari “Jawaban Islam” yang khas untuk disandingkan dengan pemikiran yang lainnya sebagai alternatif. Dalam pemikiran Islam yang “bebas”, kaum muslimin diluar kesadaran komunitsnya harus benar-benar menjadi manusia, seperti halnya manusia yang lainnya, dengan kebebasan berpikir-sekuler. Kendatipun mereka betulk-betul hidup dalam suasana moral dan emosi spiritual yang religius, namun dalam bernegara, demokrasi, dan ber-civil society, tentu tidak harus mempertanyakan terlebih dahulu, adakah dan dimanakah rujukan agamanya, karena hal-hal seperti itu merupakan bagian dari komitmen nilai hudup bersama dengan orang lain dan tentu saja semata- mata merupakan wilayah politik yang imajinatif. Corak berpikir Islam seperti ini, adalah sesuatu yang seharusnya terjadi secara natural dan harus dilakukan. Pertama, karena imajinasi politik seperti itu memang merupakan kebutuhan kontemporer yang belum pernah terpikirkan oleh para pemikir Islam skolastik. Kedua, orang Islam sekarang hidup dalam peradaban yang kesadarannya tidak mungkin bisa dibatasi oleh entitas yang singular akibat munculnya gejala “pinjam-meminjam” gagasan kemanusiaan yang sangat terbuka dewasa ini. Oleh karena itu, tidak mungkin kaum muslimin hidup dalam syari’ah dan keumatannya sendiri

92 Muslim Abdurrahman, Dalam Pengantar Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas, (Jakarta: Airlangga, 2003). h. 39

51

tanpa mempertimbangkan dirinya dalam kehidupan individu dengan orang lain, dengan negara dan sebagai warga negara yang luas”.93

Dari tulisan di ataslah penulis terinspirasi dan bermaksud menjelaskan posisi pemikiran (Islam) khususnya pemikiran Hasyim Muzadi, dan kemudian yang ingin penulis pertegas terlebih dahulu adalah makna pemikiran Islam. Fakhri

Ali dalam salah satu tulisannya sebagaimana yang dikutip oleh Ihsan Ali Fauzi mendefinisikan pemikiran Islam sebagai “refleksi” intelektual yang sistematis dalam menanggapi permasalahan individual, sosial-politik, ekonomi dan kebudayaan dari perspektif ajaran Islam.94

Definisi tersebut dapat kita terima dengan dua catatan. Pertama, bahwa pemikiran Islam tersebut tidaklah terkooptasi atas kepentingan tertentu serta sebagai suatu yang memang terbuka menerima ruang dialog terhadap bentuk perubahan yang berlangsung. Kedua, menjadikan pendidikan sebagai basis perubahan, di mana pendidikan yang matang akan melahirkan intelektual Muslim.

Hasyim dikenal sebagi sosok kiai yang memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal

“nasionalis dan pluralis”.95 Hasyim Muzadi mengatakan bahwa munculnya konflik di Indonesia, terutama yang membawa-bawa nama agama hingga pemerintah dan aparat kewalahan menanganinya merupakan masalah serius yang harus diselesaikan. Bila menyangkut konflik menyangkut antar agama, ia mengatakan NU telah melakukan dialog lintas agama. Sebab, tidak mungkin

93 Ibid., h. 47 94 Ihsan Ali Fauzi, “ Pemikiran Islam Indonesia dekade 1980-an”, (Bandung : Prisma, Edisi 1991). h. 31 95 Diakses dari Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Hasyim_Muzadi.

52

masalah itu diselesaikan hanya dengan peran satu kelompok saja. Bila konflik itu ingin dituntaskan, maka harus melibatkan keduanya itu.96

Ketika terjadi peristiwa ditabraknya WTC 11 September 2001 yang memunculkan tuduhan AS langsung terhadap gerakan Al Qaeda sebagai pelakunya dan menangkapi orang-orang dan kelompok Islam yang diduga terkait dengan jaringan Al Qaeda posisi Islam moderat Indonesia luput dari tuduhan.

Namun hal itu bukan berarti persoalannya selesai. Hasyim Muzadi memiliki pandangan, dunia internasional perlu mengetahui kondisi Islam di Indonesia dan perilaku mereka yang tidak menyetujui tindak kekerasan. Untuk itu perlu upaya komunikasi dengan duni luar secara intensif, tak terkecuali dengan AS. Makin banyak dan intens komunikasi maupun kontak ormas-ormas moderat Indoinesia dengan internasional dan AS, maka hal itu makin positif. Apalagi, ditengah keterpurukan ekonomi, sosial dan keamanan di Indonesia saat ini kerjasama internasional jauh lebih berfaidah dari pada keterasinagan internasional.97

Selanjutnya sebagi respon tindak lanjut dari pernyataan Hasyim di atas, ia pun menjadi tokoh yang mendapat undangan pemerintah AS untuk memberi penjelasan tentang pemahaman masyarakat Islam di Indonesia. Ia cukup gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam Indonesia. AS beruntung mendapat gambaran langsung dari ormas muslim terbesar Indonesia. Indonesia juga besyukur karena seorang tokoh ormas muslimnya menjelaskan soal-soal Islam

Indonesia kepada pihak luar. Beliau memberikan gambaran bahwa, umat Islam di

96 Diakses dari http://gp-ansor.org/?pageid+115 97 Ibid., h. 57

53

Indonesia itu pada dasarnya moderat bersifat kultural, dan domestik, serta tak kenal jaringan kekerasan internasional.98

Soal kelompok-kelompok garis keras di Indonesia, betapa pun jumlah dan kekuatannya Cuma segelintir, Hasyim mengingatkan AS bahwa mengatasinya harus tidak sembarangan. Tidak boleh sekali-kali menggunakan represi. Bukan hanya kontraproduktif, tetapi bisa memunculkan radikalisme betulan. Sekali AS bertindak, seperti dilakukannya di Afganistan atau negara-negara Timur Tengah, dengan intervensi langsung, hasilnya bisa ruyam. Indonesia tidak bisa dipukul rata dengan timur tengah atau negara-negara lain.99

Selanjutnya Hasyim menyarankan, alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan adalah supaya pendekatannya dengan cara pendekatan pendidikan.

Kultural, dan sosial problem solving. Dengan cara demikian, maka gerakan- gerakan kekerasan akan hilang.100 Pada kesempatan lain ketika terjadi konflik

Sunni-Syi’ah yang terjadi di Jawa Timur, Hasyim berpesan agar kelompok tetap pada keyakinan masing-masing, serta tetap menjaga keseimbangan dan toleransi kepada kelompok lainnya.101 Itulah sebabnya, ketika terjadi peristiwa Black

September, yakni tragedi runtuhnya gedung WTC di Amerika, yang menempatkan umat Islam sebagai pelaku teroris, kiai yang dikaruniai enam orang putra ini, tampil dengan memberikan penjelasan kepada dunia internasioanal bawa umat

Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural dan tidak memiliki jaringan dengan organisasi kekerasan internasional. Ia adalah sekian dari tokoh

98 Ibid., h. 46 99 Ibid., h. 48 100 Ibid., h. 51 101 Diakses dari www.Eramuslim.com/berita/nas/742712304-hasyim-muzadi-konfliksuni- syiah-jawa-timur-dipicu-provokator.htm,

54

umat di Indonesia yang dijadikan referensasi oleh dunia barat dalam menjelaskan karakteristik umat Islam di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan penulisan pemikiran pluralisme keagamaan

Hasyim Muzadi, penulis menemukan paling tidak ada tiga pandangan penting beliau yang bisa ditangkap, yaitu prinsip Islam Rahmatn Lil ‘Alamin sebagi solusi alternatif atas persoalan bangsa dan dunia selama ini, pendekatan dialog peradaban, dan pluralisme sebagai Humanisme.

1. Islam Rahmatan lil Alamin

Warna keberagamaan (Islam) yang “khas” masyarakat di Indonesia tengah menghadapi gugatan dengan kehadiran penomena radikalisme beberapa tahun terakhir ini. Ditengah serbuan berbagai arus informasi, pemikiran dan idiologi yang masuk ke nusantara, saatnya NU sebagai organisasi yang sejak awal menempatkan diri sebagai subyek kebangsaan dengan misi sosial keagamaan yang memiliki ciri fakih fi mashalalihi-l-khalqi yakni yang selalu berpikir tentang kemaslahatan umat manusia merekonsepsi ulang gerakannya. Sejak berdiri tahun

1926 permasalahan yang menjadi tantangan NU adalah tantangan global yaitu dengan bangkitnya faham fundamentalisme agama dengan menggunakan baju wahabi dan puritanisme, dan kolonialisme yang merajarela dengan mengeksploitasi kekayaan bangsa-bangsa muslim dengan gagasan modernisasi dan liberalisasi sebagai pintu masuknya.

Dalam menjembatani persoalan tersebut, ada satu harapan besar dari publik agar Islam Rahmatan lil al’amin dapat diterjemahkan dalam sosial kemasyarakatan khususnya dalam hal kontribusinya sebagai penyelesai konflik

55

global yang terjadi selama ini yang berpengaruh terhadap sistem dan sendi kehidupan. Dalam pandangan Hasyim Muzadi, agar Islam bisa mewujud menjadi

Islam yang rahmatan lil ‘alamin harus bertumpu pada dua hal. Pertama, Islam dalam menyelesaikan konflik global hendaknya mengutamakan pendekatan dialog. Kedua, implementasi Islam harus dibangun berdasarkan kecerdasan dan ketakwaan dalam arti agama hendaknya diposisikan dalam dimensi kemanusiaan secara proporsional yang nantinya akan membentuk keshalihan sosial bukan keshalihan individual. kedua hal tersebut pada tataran praktisnya saling berkait, saling mengisi yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.102

2. Pluralisme Teologis dan Sosiologis

Menurut Hasyim Muzadi, pluralisme yang diperjuangkan oleh Nahdlatul

Ulama di Indonesia adalah pluralisme sosiologis bukan plurarisme teologis.

Pluralisme teologis justru merugikan teologi semua agama. Tidak ada keimanan atau keyakinan "tahu campur" dalam agama. Konsep pluralisme kembali marak dibicarakan menyusul meninggalnya KH Abdurrahman Wahid yang disebut oleh

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Bapak Pluralisme.

Menurut Hasyim, masalah teologi dan ritual adalah hak original agama masing-masing yang tidak boleh dicampuri dari luar. Sehingga doa bersama lintas agama bukanlah tukar-menukar teologi atau keimanan, namun sekedar tempat dan waktu yang bersamaan.

102 Muslim Abdurrahman, Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas, h. 103

56

Sedangkan pluralisme sosiologis merupakan kebersamaan "umat" beragama dalam komunitas keduniaan atau immanent sebagai pengejawantahan Bhinneka

Tunggal Ika atau unity and diversity, karena setiap agama di luar teologi dan ritualnya pasti ada ruang humanisme dan di situlah umat lintas agama bertemu.

Menurut Hasyim, hal yang ia sampaikan mengenai pluralisme itu telah disampaikan dan disepakati melalui utusan ICIS saat berada di Vatikan, Wina,

WCC/Kristen di Porto Alegre Brazilia dalam Assembly ke-9 tahun 2006, dan dengan Katolik Ortodox di Moskow dan para biksu di Thailand.103

3. Pendekatan Dialog Peradaban

Pertengkaran yang terjadi antara dunia Timur dan Barat terutama pasca terjadinya serangan WTC yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab telah menumbuhkan keprihatinan dari berbagai kalangan. Muhadjir Darwin berpendapat, posisi dan peran agama menjadi serba paradoks jika persoalannya diperluas dalam isu-isu demokrasi, humanisme, dan semacamnya. Belum lagi persoalan pluralitas dimana yang cara anti-pluralitas yang dibawa karena politik maka yang terjadi kemudian adalah perilaku yang ekslusif, yang cenderung mendiskriminasikan terhadap hak politik warga negara lain yang mempunyai agama yang berbeda.104

Karena itu, Hasyim berinisiatif melakukan sebuah upaya tertentu perlu diusahakan untuk meredam konflik kedua belah pihak. Sejumlah konsep diusahakan untuk mengatasi ketegangan tersebut. Untuk mencapainya dari pihak

Islam dan kaum muslimin harus berani melakukan terobosan-terobosan yang lebih

103 Hasyim Muzadi, Diakses dari http://www.nu.or.id/show/pages/625.html 104 Muhadjir Darwin, Agama Rakyat Agama Penguasa Kontruksi Tentang Realitas Agma dan Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press). h. 31

57

berani, yakni salah satunya, agama harus dikembalikan pada kedudukannya yang sebenarnya yakni sebagai pemersatu umat. Agama itu hadir tidak dipakai tujuan- tujuan kekerasan. Artinya agama harus dikembalikan ke rahmatan lil ‘alamin yaitu menjadi pedoman kehidupan yang penuh rahmat dan kasih sayang. Disinilah pentingnya dunia silam berkesempatan untuk menata diri.

Konsep Islam rahmatan lil ‘alamin yang paling awal dilakukan menurut Hasyim Muzadi, adalah melalui ma’ruf dan nahi munkar. Akan tetapi ketika gairah untuk nahi munkar naik, amar ma’ruf sering kali tertinggal atau bahkan energi hanya terkonsentrasi untuk nahi mukar saja. Inilah yang kemudain melahirkan persoalan baru yang mengarah memunkar-kan hal baru. Atau justru me-makrufkan sebuah kemunkaran orang yang munkar, karena salah sasaran.105

Ada suatu pendapat yang dikemukakan Imam al-Ghazali didalam kitab

Ihya’ Ulumuddin, yang diadopsi pemikirannya oleh Hasyim Muzadi, bahwa Amar ma’ruf nahi munkar itu memiliki etika, yaitu adabu al-amr bi al-ma’ruf dan adab al nahy ‘anil al-munkar. Ada tiga etika yang disampaikan oleh al-Ghozali. Salah satunya adalah memerintahkan orang untuk berbuat baik dan mencegah berbaut jahat jangan sampai menimbukan kemungkaran yang lebih besar. Fikih Islam mengenal “akhaffu aldhararain”. Maksudya, dalam kondisi yang dilematis, dimana pilihan-pilihan untuk beramal semuanya buruk maka yang dipilih adalah yang lebih sedikit bahayanya. Demikian dijelaskan oleh Ulil Abshar Abdala. Dari dua konsepsi fikih diatas menurut penulis, Hasyim berusaha mewujudkan sikap pluralis terutama dalam upaya mendialogkan kesenjangan Timur dan Barat.

Dalam usaha mewujudkan usaha diatas, Hasyim menggelar sebuah Konferensi Internasional Ilmuan Islam Sedunia yang bekerja sama dengan Departemen Luar Negri RI. Hasyim berhasil menghimpun seluruh tokoh pemikir Islam Internasional, ulama, dan dunia barat untuk duduk dalam satu forum (majlis) membicarakan persoalan umat manusia. Kegiatan tersebut bertajuk Internasional Conference Of Islamic Scholar atau Konferensi

105 Ibid., h. 44.

58

Internasional Ilmuan Islam yang berlangsung di Jakarta Convention Centre (JCC) tanggal 23-26 Februari 2004, Hasyim menghadirkan 300 ilmuan dengan 120 diantaranya uandangan berasal dari luar negri. Dua puluh orang dan yang separuh diataranya merupakan tokoh dunia ditampilkan sebagai pembicara.106

Menurut Hasyim, diharapkan dengan konferensi itu bisa meredakan ketegangan antara dunia Timur dan Barat, dengan tujuan untuk menata uamt

Islam secara internasional dan melahirkan pemikiran khusus, khususnya dibidang pendidikan, ekonomi dan media.107 Acara yang digagas Hasyim ini adalah kegiatan society to society antara jam’iyah satu negara dengan jam’iayah negara lain dengan melibatkan tokoh dunia baik sebagi perorangan maupun sebagi lembaga. Hal itu dilakukan dalam kerangka untuk menghindari tarik menarik kepentingan. Sebab konflik-konflik yang mengunakan Islam itu jarang sekali yang murni dari agama. Biasanya suatu negara dengan negara lain yang kebetulan umat

Islamnya banyak berperang dimana umat bernegara tersebut ikut terlibat maka agamanya juga ikut sertakan. Dengan hanya dihadiri oleh ulama’ dan tokoh pemikir berkumpul Hasyim ingin meletakan agama, sebagai sumber nilai kemanusiaan, sumber persatuan dan ilmu pengetahuan serta menjadi rahmat bagi seluruh alam.108

Pemahaman seperti itu bukan berarti secara otomatis memisahkan antara agama dan negara, tetapi dimaksudkan supaya orang melihat hubungan antara keduanya secara propesional. Pemisahan agama dan negara merupakan konsep yang masih pro-kontra, walaupun seyogyanya harus dapat dibedakan antara posisi dan peran masing-masing.109

106 Ibid., h. 45. 107 Ibid., h. 57 108 Ibid., h. 46. 109 Ibid, h. 47.

59

Sesuatu yang hendak dikonsepsikan Hasyim Muzadi sebenarnya hanyalah sederhana. Bagaimana umat Islam ini menjadi lebih cerdas dalam menangani setiap permasalahan yang muncul. Karena didalam situasi kemelut apapun justru yang lebih banyak adalah pihak-pihak yang menumpang dengan berbagai kepentingan, dan kemudaian menyerang Islam itu sendiri. Analisis seperti ini jarang dikatakan orang. Dalam stesel hubungan antara Barat dan Timur sejak terjadi ketegangan, dan dalam dunia pergaulan yang acak itu, membuka leher kemungkinan orang untuk menumpang kepentingan dalam mengacak-acak Islam.

Maka agar tidak bisa di acak-acak dari luar, hendaknya umat Islamnya sendiri harus melihat kedalam dan bertindak dengan logika yang cerdas, sehingga kalau ada serangan yang bersifat arogan pasti akan dapat diketahui sejak dini.

Sebaliknya jika pada saat umat Islam sendiri arogan, maka hal itu dijadikan sertifikasi serangan orang ghairu Islam yang lebih hebat lagi.110

Yang sangat ditekankan disini menurut penulis adalah bahwa pluralisme dapat dipahami bukan sebagai suatu yang netral. Ia tidak mengandaikan kita untuk selalu permisif tanpa ada keberpihakan yang jelas, misalnya terhadap semangat toleransi. Dalam Islam, memang sering ditantang dengan pemikiran semacam ini.

Pada saat kunjungan ke Amerika, yang paling mengesankan bagi Hasyim

Muzadi adalah ketika bertemu staf keamanan Presiden Amerika Serikat (Steve

Hadley) yang berkantor di gedung putih kemudian beliau berdua berdiskusi, dalam diskusi tersebut Hasyim Muzadi, mengatakan bahwa Islam di Asia

Tenggara jangan disamakan dengan Islam Timur Tengah. Karena Islam yang di

Timur Tengah wawasannya fundamental selain negerinya sering “diobok-obok”

110 Ibid., h. 48-49.

60

Barat seperti dalam konteks Israel. Sehingga timbul perlawanan double, perlawanan sebagai beda agama dan perlawanan terhadap imperialisme dan fasisme.111 Maka kalau disana terjadi kekerasan-kekerasan, itu masuk akal. Kalau di Asia Tenggara tidak demikian, dan tidak ada penekanan dari Barat, tidak ada urusan langsung dengan Israel, dan sebagainya. Disitu terjadilah diskusi bahwa

Amerika kalau melakukan intervensi terhadap Indonesia maka kerugian ada pada pihak Amerika untuk jangka panjang, sekalipun untuk jangka pendek merugikan

Indonesia.112 Maka kalau Timur Tengah dalam suasana perang mungkin banyak pihak mengatakan sebagai suatu kewajiban. Dalam suatu perang yang demikian itu , dalam Islam ada hukumnya sendiri. Dalam suasana perang disitulah tidak ada jalan lain kecuali melawan dan jihad dengan mengangkat senjata, sehingga melahirkan gerakan radikal dan fundamentalis yang sangat kuat. Disini

(Indonesia) maka dalam kenyataannya tidak ada perang. Perang yang demikian memerangi siapa? Semuanya menjadi tidak jelas. Sebagian kelompok melakukan kekerasan itu dengan dalih menegakan jihad. Padahal sebenarnya pengertian jihad yang komprehensif tidak demikian. Apa pun yang dilakukan untuk kepentingan agama mengandung arti jihad. Berani mati itu memang jihad, namun hidup berkeadilan, hidup halal, dan hidup hidup makmur juga bagian dari jihad fisabilillah.

Jadi apa yang diharapkan dengan dialog Timur dan Barat adalah upaya penghentian kekejaman. Tapi kita menyelesaikan juga orang-orang yang telah membuka kekejaman itu. Oleh karena itu perlu dihindari sumber-sumber konflik

111 Ibnu Anshori, KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance (Sidoarjo: Citra Media bekerjasama dengan AMF Surabaya, 2004)., h. 142. 112 Ibid., h. 145

61

dan kembalikan agama harus dikembalikan pada fungsi yang sebenarnya sebagai rahmat bagi seluruh alam baik alam Timur maupun alam Barat.

Agama yang membawa rahmat tentunya bertumpu pada ajaran dan konsepsi takwa secara tepat. Takwa adalah modal utama hidup di dunia untuk menuju baldatun toyyibatun warobbun ghofur.

4. Plularisme Agama Sebagai Bagian dari Humanisme

Secara objektif fakta dilapangan menunjukan bahwa, bangsa ini dalam kondisi pecah belah kerusuhan dan konflik berkepanjangan yang hampir tiada ujung. Wilayah Indonesia yang begitu luasnya terdapat sejumlah daerah yang sampai hari ini masih dalam situasi konflik berkepanjangan, mulai dari konflik sara, etnis, separatisme dan juga konflik-konflik politik serta agama. Misalnya bisa disebutkan sejumlah daerah yang menjadi titik rawan konflik seperti Aceh,

Maluku, Ambon, Kalimantan Timur, Papua Irian Jaya, Makasar, dan sebagainya.

Komitmen dan konsepsi Hasyim Muzadi berkaitan dengan fenomena keagamaan akan dijelaskan pada bagian berikut.

a. Dimensi Humanisme Dalam Agama

Pluralisme keberagamaan Indonesia dalam pandangan Hasyim sebagaimana diungkapkan Anshori adalah bagaimana agama-agama menampilkan dimensi kemanusiaannya yaitu hidup berdampingan berkembang diatas fundamen tradisi agama yang saling menghormati, tradisi gotong royong, tradisi musyawarah dan dialog serta budaya santun. Secara lebih spesifik pada bahasan ini akan disampaikan bagaimana pandangan Hasyim Muzadi dalam melihat hubungan Islam dengan agama- agama lain dalam wacana pluralisme agama.113

Menurut Hasyim, bahwa pertemuan-pertemuan yang sifatnya

musyawarah sebagai bentuk dialogis antara umat beragama merupakan

113 Ibnu Anshori, KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance., h. 54.

62

sesuatu yang sudah mentradisi pada jama’ah warga NU di Indonesia. Warga

NU sudah terbiasa melakukan pertemuan bersama teman-teman dari

Kristen dan Katolik terutama pada hal-hal yang harus diselesaikan bersama- sama. 114

Sejumlah perubahan telah terjadi di Indonesia. Hal ini membutuhkan intensitas yang cukup dalam memperat tali dialog dengan umat semua agama bahkan hampir setiap minggu dilakukan dialog dengan Kristen,

Katolik, Budha, Hindu, Konghucu untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup bersama.

Hasyim Muzadi berpandangan bahwa agama Islam itu mempumyai tiga bagian, yakni masalah teologi atau keimanan, masalah ibadah ritual, dan masalah humanisme (kemanusiaan). Yang membedakan antara Islam dan agama lainnya adalah tentang teologi dan ritual keagamaannya. Demikan dijelaskan Anshori.115

Pada aspek nilai-nilai kemanusian semua agama mengakuinya sebagai hal yang bernilai universal dan harus dijunjung tinggi dengan tanpa pandang bulu. Hubungan kemanusiaan yang sudah terbangun tidak boleh rusak hanya karena perbedaan teologi dan ritual. Itulah mungkin yang membedakan NU dengan ormas Islam laninnya. Untuk masalah-masalah humanisme (kemanusiaan), yang meliputi konsepsi persaudaraan, keadilan, persamaan kemakmuran, cinta kasih, toleransi, kerjasama, dan juga anti kekerasan semua menjadi tanggung jawab bersama. Prinsip dimasud adalah

114 Ibid., h. 55. 115 Ibid., h. 63.

63

nilai-nilai kehidupan yang universal yang juga dikehendaki oleh agama- agama lainnya tidak terbatas hanya bagi umat Islam semata.

Menurut Hasyim, siapa yang mempunyai pandangan yang sama terhadap nilai humanisme ini adalah saudara kita. Kemudian jika menginginkan ber-Islam, dia cukup melakukan ritual dan keimanan.

Menurut Hasyim pula keimanan tidak mungkin dipaksakan. Ritual adalah sesuatu yang berada diluar akal kita, karena bentuk dan metodenya telah ditentukan Tuhan.116

Menurut penulis, pemikiran Hasyim Muzadi dapat dipetakan sebagai berikut :

Pertama, Hasyim Muzadi dibesarkan dalam tradisi pesantren sehingga nalar politiknya tidak begitu nampak dalam kehidupannya, akan berbeda halnya jika semisal dia dilahirkan dan dibesarkan dari kalangan politisi.

Akan tetapi karena sejak mahasiswa beliau sudah aktif di organisasi dan selanjutnya semakin matang maka selanjutnya publik memepercayainya untuk duduk di DPRD Jatim dan selanjutnya memimpin PWNU Jatim.

Kedua, meskipun Hasyim Muzadi pernah menjadi salah satu kandidat cawapres mendampingi Megawati yang diusung oleh PDIP dalam pemilu tahun 2004 yang lalu namun bukan berarti beliau mewakili kalangan politisi tetapi karena semata-mata menjawab kebutuhan warga NU yang menginginkan figur alternatif dimana PKB sebagai partai yang mayoritas warga Nahdliyin ternyata belum sepenuhnya mampu mengakomodir kepentingan warga NU.

116 Ibid., h. 56.

64

Ketiga, dalam praksisnya Hasyim yang berlatar belakang pesantren sangat konsisten mengkampanyekan gerakan-gerakan yang mengarah pada upaya dialog antar kelompok dengan seringnya mengadakan agenda yang melibatkan antar kelompok yang bertaraf nasional maupun internasional seperti dialog ulama Sunni-Syi’i yang berlangsung di Bogor, disamping itu posisi beliau sebagai presiden Word Conference on Religion for Peace semakin mengukuhkannya sebagai salah satu tokoh sekaligus pemimpin ormas keagamaan yang memiliki kepedulian yang kuat akan kondisi sosial- keagamaan yang mengarah pada pluralitas. Hal ini membuktikkan bahwa posisi pesantren memiliki peran strategis dalam turut mendorong kearah kesadaran akan kemajemukan yang tidak hanya pada keagamaan suku, etnik, golongan, melainkan juga dalam dunia religius.

b. Kerjasama Islam Dengan Agama Lain

Hasyim Muzadi berpendapat bahwa kerjasama antara agama dapat dilakukan pada dimensi humanisme. Sementara dalam soal keyakinan diperselisihkan berbeda. Tapi baik Islam maupun Kristen tentu tidak tega melihat rakyat menderita. Pada titik inilah perlu dibangun kerjasama, bahu membahu satu dengan yang lainnya tanpa membedakan keyakinan yang satu dengan keyakinan yang lainnya.

Karenanya bisa dimengerti bahwa untuk masalah hubungan NU dengan agama-agama lain sangat baik dan sejati. Jadi bukan hubungan yang “pura- pura” dan penuh dusta. Apalagi di Indonesia, suatu negara yang tidak pernah mengalami tekanan antar agama. Mungkin berbeda dengan Timur

65

Tengah yang menggunakan tema agama dalam kekerasan. Di Indonesia, ini semua tidak ada kesulitan yang berarti untuk hubungan antar agama.

Kebebasan menjalankan agama dan ibadah dijamin oleh negara.

Selama ini diakui ada kasus-kasus yang menghambat kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Tetapi hal ini tidak disebabkan oleh pemahaman NU terhadap Islam. Kemungkinan kasus-kasus itu disebabkan oleh masuknya pemikiran-pemikiran keras berasal dari luar Indonesia.

Demikian pula adanya kesenjangan ekonomi dan konflik budaya setempat atau perlawanan terhadap pemerintah, sehingga gerakan-gerakan itu terkadang juga menimbulkan akses bentrokan antara agama. Hal demikian ini hanya merupakan sebagian kecil dan dapat diselesaikan oleh Nahdlatul

Ulama (NU) melalui peran ulama yang ada.117

Faktor lainnya yang menyulut konflik adalah pengaruh kelompok- kelompok tertentu yang masuk ke Indonesia sebagai barisan pendatang.

Inilah sebagian minoritas yang tidak menyukai Nahdlatul Ulama (NU) yang selama ini menjadi nilai ditengah-tengah umat Islam di Indonesia. NU dianggap terlalu kompromistis, terlalu baik terhadap semua agama dan mempunyai toleransi yang terlalu berlebihan terhadap budaya lokal (local wisdom). Bahkan pada akhirnya mereka ini mengklaim NU sebagai bid’ah, khurafat dan tahayyul.118

Kelompok ini kemudian mencoba melakukan purifikasi (pemurnian).

Purifikasi ini berkiblat pada realitas Islam di Timur Tengah masa lalu

(klasik). Sehingga semua harus dikembalikan kepada masa lampau. Mereka

117 Ibid., h. 57. 118 Ibid., h. 57-58

66

tidak mentolelir konsepsi humanisme itu berdasarkan yang kental dengan nilai lokalitas budaya. Sehingga semuanya cenderung dianggapnya bertentangan dengan teologi. Inilah yang kemudian bersambung dengan kelompok-kelompok dari luar. Demikian penjelasan Anshori.119

Menilik dari kenyataan sejarah bahwa, walisongo bisa mengislamkan orang Indonesia 90% tanpa perang. Hal inilah yang menjadi pertanyaan dalam konteks perkembangan NU hingga sekarang, bagaimana NU tidak terlibat dalam kekerasan dan selanjutnya bagaimana sikap NU terhadap kekerasan dan terorisme internasional. Kenyataan tersebut dapat dipakai untuk mensosialisasikan khittah. Islam yang rahmatan lil ‘alamin dibangun dari mabadi’ khoira ummah, sementara politik secara nasional harus mengandung landasan konsep mengayomi dan merekonstruksi dari civil society. Negara dibangun melalui pluralisme, demokrasi dan konstitusi yang disepakati bersama, dan di NU sudah memadai semua nilai itu didalam

“rahim jama’ah”. Mereka menginginkan islam di dunia seperti Islam nya

NU. Bagaimana pendiri NU menangkap ide walisongo lalu dijabarkan dalam konteks negara Indonesia. Posisi NU hari ini sudah berada pada maqaamam mahmuda, tetapi untuk sampai kesana Hasyim bilang, NU haus berada diatas semua golongan.120

Dalam kaitannya dengan hubungan dunia timur dan barat sekarang ini dari dua belah pihak (Islam dan Barat) terjadi sebuah kerancuan. Negara- negara barat menuduh bahwa terorisme terkait dengan agama Islam.

Sementara kelompok muslim sendiri, punya persepsi seakan-akan perbuatan

119 Ibid., h. 58 120 Ibid., h. 59

67

itu harus dibela melalui agama. Kedua persepsi demikian itu tidak ada yang benar. Seperti halnya tragedi Bali harus dilihat sebagai kejahatan kemanusiaan, sehingga pelaku yang tertangkap perlu diterapkan hukuman yang setimpal dalam arti mengadili kejahatan kemanuisaannya itu sendiri.

Hasyim Muzadi mengingatkan kepada semua pihak agar berhati-hati dalam menyikapi dan penuh kewaspadaan terhadap munculnya konflik ditengah masyarakat. Aparat yang berwenang harus cekatan. Kemungkinan ada provokator yang membenturkan umat antar agama. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah munculnya kejahatan kemanuisaan dan kemudian dihubungkan dengan agama. Jika demikian maka masalahnya akan menjadi besar. Misalnya kasus bom Bali sungguh merupakan kejadian yang luar biasa. Siapa pun pelakunya perlu dikutuk, karena sudah sangat tidak mempertimbangkan nyawa. Dalam Islam, membunuh seorang sama dengan membunuh seluruh manusia. Dalam ajaran agama manapun termasuk Islam tidak terdapat ajaran yang membenarkannya. Peristiwa diatas tidak boleh dikaitkan dengan agama yang kemudian akan terjadi konflik antar agama.121

Menurut penuturan Anshori, Hasyim Muzadi telah menegaskan, NU sudah mencoba berbagai upaya agar berbagai konflik di daerah tidak dipersepsikan sebagai konflik yang berdasar agama. Dalam menerangi dan mengantisipasi gejala terorisme, Hasyim Muzadi meminta semua pihak, agar tidak terjebak memakai kata jama’ah Islamiah. Konsep jama’ah

Islamiah ditakutkan akan menjadi konsep pukul rata semua jama’ah yang berarti komunitas atau kelompok yang memegang teguh Islam sebagai

121 Ibid., h. 62.

68

agamanya dan melakukan dakwah-dakwah disemua tempat. Jika konsep ini dipukul ratakan maka mengandung implikasi jama’ah umat islam dari berbagai tempat terkena klaim sebagai barisan teroris, tidak terbatas kelompok Abu Bakar Ba’asyir, Amrozi, dan kawan-kawan, namaun juga jama’ah NU, Muhammadiah, al-Irsyad dan sebagainya terkena stigma dan image bahwa mereka adalah teroris.122

Dalam upaya memerangi dan mengantisipasi terorisme secara bersama- sama, Hasyim Muzadi melakukan silaturahmi bersama sejumlah delegasi dari mancanegara, mereka menilai, NU tidak hanya merupakan kelompok

Islam moderat, tetapi juga sebagai titik temu sejumlah elemen bangsa.

Untuk itulah mereka datang ke Hasyim Muzadi karena membutuhkan pemikiran-pemikiran dari NU terkait terorisme. Disitulah dihasilkan kesepakatan dan persetujuan bahwa terorisme adalah persoalan serius sehingga perlu diberantas sampai ke akar-akarnya. Apapun bentuk dan alasannya, para pelaku aksi terorisme adalah pembunuh dan penjahat dalam artian umum yang tidak mewakili agama apapun.

Memang berat perjalanan NU dimasa Hasyim Muzadi dimana ancaman bertubi-tubi datang silih berganti yang jikalau NU sebagai jam’iyyah tidak kokoh memperkuat diri maka Indonesia sebagai negara dan bangsa akan hancur, karena bagaimanapun diakui atau tidak organisasi yang tetap konsisten mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia adalah

NU.

122 Ibid., h. 63

69

Menurut Hasyim, Kalau NU ingin istiqamah, mencapai maqaamam

mahmudah. Maka untuk mencapai itu, ada beberapa pokok yang harus

dilakukan NU. Pertama, kembali pada metode assalafus saleh. Kedua,

harus dibangun ukhuwah Nahdliyah untuk menempatkan NU sebagai milik

Indonesia. Ketiga, keretakan dari umat Islam harus disambung kembali,

seperti dengan Muhammadiyah termasuk dengan ikhwan, sementara itu

ukhuwah wathaniyah yang retak harus disambung lagi. Keempat, awal 2000

sampai 2001, kalau bisa dibangun ukhuwah islamiyah

internasional.123Sampai hari ini NU sebetulnya belum menemukan bentuk

formasi ideal sebagai sebuah jam’iyyah yang mencerminkan organisasi

dengan pengikut terbanyak yang turut membawa kepentingan besar dalam

menentukan masa depan bangsa dan negara indonesia. Organisasi yang

diidealkan oleh warga NU adalah organisasi politik yang mampu

berkompetisi (berdaya saing) dengan organisasi politik yang lain dalam era

demokrasi sejati dan pemikiran abad kontemporer ini. Untuk itu, NU tidak

bisa disamakan dengan partai NU zaman dahulu. Sebab dimungkinkan

disitu ada ulama-nya yang bertugas menunggui, dan pengurus yang lain

adalah orang yang profesional pada bidangnya, sehingga mampu melahirkan

politisi dan berkembang menjadi negarawan.

B. Pandangan Hasyim Muzadi Terhadap Fatwa MUI

Pada saat MUI dalam musyawarah nasional-nya yang ke VII yang

berlangsung di Jakarta pada tanggal 26 sampai 29 juli 2005 yang mengambil

123 Ibid., h. 113.

70

keputusan dengan mengeluarkan beberapa fatwa yang amat kontroversial terutama yang terkait dengan diharamkannya pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama yang dinilai bertentangan dengan ajaran agama islam. Hasyim pun menyayangkan langkah yang ditempuh MUI dengan mengeluarkan fatwa yang justru memicu persoalan baru. Menurut Hasyim, fatwa MUI itu merupakan langkah mundur bagi kehidupan antar-umat beragama.124 Ia menyatakan seperti itu menurut penulis karena selama ini belum ada kata sepakat yang bisa jadi karena perbedaan persepsi tentang definisi pluralisme, sekularisme, liberalisme serta dampaknya terhadap islam di indonesia yang bisa-bisa justru memunculkan gerakan baru yang mengarah kepada upaya formalisasi agama yang tentunya akan terkait dengan konsep relasi agama-negara. Menyinggung prinsip hubungan agama dengan negara, Hasyim menyebut agama substansialis yang inklusif, buka ekslusif. Formalis ekslusif hanya akan memecah belah bangsa ini dalam hal kerukunan umat beragama atau pertikaian antar suku dan budaya yang lain.125

Menurutnya :

“Jadi, bagaimana inklusifisme itu menjamin fluralisme, dan agama bisa berjalan dengan baik. Sudah ada paradigmanya tinggal mengembangkan saja”126

Di sisi lain munculnya fatwa MUI menjadi sangat memprihatinkan pada saat tokoh-tokoh agama sedang giat-giatnya membangun sistem keagamaan yang toleran, yaitu dengan upaya penghargaan terhadap kenyataan yang ada serta menjungjung tinggi terhadap agama-agama maupun paham keagamaan yang di dalamnya demi setabilitas bangsa serta diakuinya eksistensi, harkat dan martabat bangsa Indosnesia di hadapan bangsa lain. Dengan kasus yang muncul di Ambon,

124 Kompas, 30 Juli 2005. 125 http://www.suarapembaharuan.com/News/1999/281199/Nasional/pr01.html. 126 Ibid., h. 72

71

Bali, dan daerah-daerah lain yang kasusnya hampir serupa tentunya mengundang

keperihatinan dunia internasional terhadap kondisi bangsa dan negara Indonesia.

Dengan keragaman tersebut jika dikelola dengan baik maka akan menghasilkan

keunikan yang diharapkan akan menjadi potensi positif tersendiri dan akan

menjadi ciri khas yang akan membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa

lainnya.

Namun ketika MUI memfatwakan tentang diharamkannya paham

pluralisme, sekulerisme, libralisme maka seperti menjadikan persoalan lama

dipaksakan untuk dimunculkan kemabli. Hal tersebut juga dinilai bertentagan

dengan ajaran Islam seperti dalam QS. A l-Baqoroh (2): 256 yang berbunyi la

ikraha fi ad-din yang artinya tidak ada paksaan dalam beragama, munculnya

fatwa tersebut juga mengindikasikan masih rendahnya pemahaman akan

kenyataan keragaman yang ada di Indonesia serta mengingkari sunatullah akan

kenyataan adanya perbedaan. Di sisi lain munculnya fatwa tersebut tanpa disadari

atau tidak justru akan menciptakan friksi baru di kalangan masyarakat bahwa

yaitu terkelompokannya antara yang pro dan kontra terhadap fatwa MUI tersebut

yang tentunya akan menambah beban tersendiri dalam upaya menciptakan

stabilitas bangsa melalui semangat pluralitas yang dibangun oleh beberapa tokoh

termasuk Hasyim Muzadi.

C. Komitmen Menjaga Pluralitas Kebangsaan

Dalam kurun tiga dasawarsa terakhir di penghujung abad ke-20, tuntutan

demokratisasi menggelinding secara massif di dunia internasional. Menguatnya

tuntutan ini lantaran demokrasi dipandang sebagai sistem yang potensial untuk

72

mengantarkan masyarakat ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal.

Demokrasi dipandang sebagai sistem yang potensial untuk mengantarkan masyarakat ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal. Demokrasi dipandang lebih mampu mengangkat harkat, martabat kemanusiaan, lebih rasional, dan lebih realistis, untuk mencegah munculnya kekuasaan yang dominan, represif, dan otoriter.127

Dalam pandangan Hasyim Muzadi, demokrasi adalah sistem politik yang paling sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia. Fakta sosiologis menunjukkan, Indonesia adalah bangsa yang mengandung keberbagaian etnik, kultur, agama, dan kepercayaan. Paling tidak, menurut Hasyim, ada dua nilai fundamental yang secara inheren terkandung dalam demokrasi. Pertama, nilai keadilan. Demokrasi mengandung tata nilai keadilan yang menjadi kebutuhan fundamental seluruh umat manusia yang terekspresi dalam bentuk pemberian kesempatan dan peluang yang sama kepada seluruh warga negara untuk mengembangkan talentanya tanpa perlu merasa khawatir adanya diskriminasi dari penyelenggara negara atau kelompok-kelompok lain.128 Kedua, demokrasi dipandang sebagai sistem yang paling mungkin dan memadai bagi penyatuan kekuatan seluruh elemen kebangsaan. Demokrasi dipandang mampu mengkerangkai ikatan-ikatan primordial selebihnya. Karenya, menurut Hasyim, demokrasi harus ditempatkan sebagai kerangka dasar kebangsaan dan diorientasikan secara sistematik pada upaya pemenuhan cita-cita kolektif

127 Ma’mun Murod Al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amin Rais Tentang Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), h. 59 128 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, (Jakarta, Logos, 1999), h. 48

73

berbangsa dan bernegara.129 Demokrasi tidak bisa berpangku tangan atas nasib rakyat miskin yang termarginalisasi secara ekonomi politik dengan hanya sebatas berfokus pada penciptaan seperangkat sistem politik yang bisa meminimalisir gerak laju dan kembalinya otoritarianisme.130

Menurut Hasyim Muzadi, demokrasi tidak hanya merupakan sistem ketatanegaraan yang unggul dan saat ini dijadikan rujukan mayoritas negara- negara di dunia akan tetapi secara prinsip mengandung struktur nilai yang paling sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia yang notabene suatu bangsa yang majemuk dalam berbagai hal. Demokrasi diperjuangkan tidak hanya karena demokrasi merupakan sistem yang realistis dan manusiawi, tapi juga karena inheren didalamnya ada potensi untuk menyatukan seluruh komponen dan kekuatan bangsa. 131 Potensi ini tentu tidak dimiliki oleh agama dan berbagai nilai-nilai primordial yang lain dengan demokrasi seluruh kekuatan kebangsaan akan mampu dihimpun guna memperkokoh bangunan kebangsaan Indonesia.

Dalam catatan hasil, kemajemukan atau pluralitas bangsa ini sebenarnya memperlihatkan pengalaman empirik. Karena prinsip pluralisme sebagai paham yang menghargai eksistensi perbedaan manusia kemudian diakui dan dilestarikan dalam bentuk semboyan negara kita, yakni bhineka tunggal ika, yang secara implisit mengandung penegasan bahwa perbedaan adalah khazanah nasional yang semestinya bukan untuk dimusuhi atau diseragamkan, tetapi harus dsatukan agar tidak menjadi kekuatan yang tercerai berai.

129 A. Muhaimin Iskandar, Melampaui Demokrasi: Meawat Bangsa dengan Visi Ulama, h. 72 130 Hasyim Muzadi, Agenda Strategis Pemulihan Martabat Bangsa, (Jakarta, Pustaka Azhari, 2004), h. 29 131 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 48

74

Berpijak pada prinsip itulah para pendiri negara kita berusaha sekuat tenaga merumuskan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghargai semua bentuk penghargaan. Namun, harus kita akui bersama bahwa rumusan para pendiri bangsa tentang penghargaan atas bentuk perbedaan tidaklah berjalan mulus sesuai dengan harapan. Menurut penalaran Hasyim penyikapan terhadap perbedaan yang selalu cenderung negatif merupakan cerminan dari masyarakat yang belum memiliki kedewasaan budaya.132 Dalam pengertian perbedaan adalah sesuatu hal yang harus dihindari atau ditaklukan agar tidak menyimpang bibit perlawanan yang mengganggu kepentingan pihak yang berlawanan.

Selain itu, harus diakui bahwa agama juga merupakan salah satu faktor potensial yang menyulitkan tegaknya pluralisme. Sebagai ajaran yang diyakini membawa nilai-nilai luhur seperti keadilan, kebersamaan, kesalehan, dan lain sebagainya. Agama pada dasarnya menghendaki adanya cinta kasih diantara sesama manusia tanpa mempertimbangkan perbedaan latar belakang identitas atau predikat yang disandang. Menurut akal sehat, tidak akan ada satupun agama yang menghalalkan permusuhan karena suatu perbedaan selama semua pihak saling menghormati satu sama lain dalam melaksanakan kewajibannya masing-masing.

Hasyim menyayangkan akan citra ideal agama yang tak jarang menampakkan wajah yang kurang bersahabat ketika menjelma menjadi ideologi atau keyakinan sekelompok orang yang bersifat mutlak, tertutup, agresif, dan menjerumus ke arah ekskluvisme. Kebenaran yang dianut bukan lagi menafikan kebenaran yang diyakini oleh pihak, tetapi lebih dari itu, penghormatan terhadap

132 Ibid, h. 50

75

suatu eksistensi diluar dirinya tidak diberikan sama sekali, sehingga perbedaan dianggap fenomena yang menyalahi “kebenaran” itu sendiri.133

Dalam perspektif Islam, perbedaan pada hakikatnya bukanlah suatu masalah yang serius karena merupakan garis ketentuan Allah. Dalam hal ini Islam secara tegas menjamin hak-hak dasar kemanusiaan yaitu apa yang menjadi tujuan diturunkannya syariat (maqasid asy-syari’ah) yang meliputi jaminan atas:

Pertama, kebebasan agama atau mempertahankan keyakinan, yang berarti syariat diturunkan bertujuan untuk melindungi agama dan keyakinan setiap orang (hifz ad-din). Kedua, keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan diluar ketentuan hukum

(hifz an-nafs). Ketiga, keselamatan atau kelangsungan hidup keturunan atau keluarga (hifz an-nasl). Keempat, keamanan harta benda atau hak milik pribadi

(hifzu an-mal). Dan kelima, kebebasan berpendapat dan berekspresi (hifu al-

‘aql).134

Menurut pandangan Hasyim Muzadi, keharusan menjaga prinsip pluralisme tersebut tidak hanya dalam aspek norma-norma keagamaan, tapi juga dari tinjauan sosiologis. Argumen ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa berdasarkan pengalaman di Indonesia, toleransi dan kerukunan hidup beragama berjalan cukup baik. Islam yang masuk ke Indonesia bercorak sangat akomodatif terhadap budaya lokal,135 termasuk kepercayaan-kepercayaan sehingga mengakibatkan akulturasi budaya yang kompleks.

133 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 53 134 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 55. Lihat juga , Abdurahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme”, dalam Budhy Munawar Rahman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta, Paramadina, 1995), h. 546. dan Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992), h. 62 135 Hal ini didasarkan pada salah satu pandangan tentang teori masuknya Islam di Indonesia. Lihat, Anders Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang ketiga di Indonesia (Bandung: Mizan: 1998), h. 68

76

Pluralisme yang ditentukan Hasyim Muzadi adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Pluralisme dalam bertindak mensyaratkan seseorang untuk tidak membatasi pergaulan dengan orang lain (eksklusif) meskipun berbeda keyakinan. Pluralisme dalam berpikir adalah kesediaan untuk menerima atau mengambil gagasan dari kalangan lain. Pada gilirannya pluralisme ini akan melahirkan sikap toleran terhadap yang lain. Sikap ini amat penting ditetapkan dalam pergaulan sosial seperti di Indonesia. Prinsip ini pula yang mendorong

Hasyim Muzadi untuk menyuarakan kepada kaum muslimin agar bergaul dan bersahabat dengan penganut agama lain.

Langkah kongkrit Hasyim dalam memperjuangkan pluralisme juga direalisasikan lewat gerakan International Converence Islamic Scholars (ICIS) dengan mengusung tema besar Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Dimana gerakan ini bertujuan membangun persamaan persepsi dikalangan umat Islam sendiri atau non-Islam. Selain itu gerakan ICIS berupaya mencari jalan keluar dari konflik berkepanjangan yang terjadi di negara Islam atau non-Islam. Semuanya itu merupakan upaya untuk mewujudkan perdamaian dunia.136

Sikap pluralistik tersebut merupakan modal sosial untuk hidup bersama dalam keragaman sosial, budaya, politik, dan agama secara damai dan beradab.

Sikap pluralistik dengan sendirinya menampik setiap upaya untuk menjadikan

Islam sebagai ideologi negara dan menggantikan pancasila. Sikap itu pula yang membuat Hasyim Muzadi sangat gigih menentang keras kalangan Islam yang berniat mengganti ideologi pancasila dengan Islam.137

136 Diakses dari http://www.antara.co.id/, pada hari senin, 06 Juli 2009 137 Pernyataan ini sering dilontarkan Hasyim Muzadi dalam menanggapi kelompok Islam keras (ekstrimis) yang seringkali melakukan kekerasan atas nama agama, dan tak jarang gerakan

77

Visi Hasyim Muzadi tentang pluralisme dan toleransi tergambar dalam pernyataan berikut :

Sikap akomodatif yang lahir dan adanya kesadaran untuk menghargai perbedaan atau keanekaragaman budaya merupakan salah satu landasan kokoh bagi pola pikir, sikap, dan perilaku yang lebih sensitif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, orang tidak harus diperlakukan secara manusiawi hanya lantaran beragama Islam, tetapi lebih didasari pemahaman bahwa nilai kemanusiaan memang menjadi milik setiap orang. 138

Sikap hidup demikian merupakan realisasi dari pandangan demokratis,

toleran, dan pluralistik Hasyim Muzadi. Sikap itu pula yang bisa menjelaskan kekuasaan pergaulan dan wawasan Hasyim Muzadi yang ternyata bersumber dari

banyak sekali ajaran, nilai moral, dan budaya yang ada di dunia serta pandangannya tentang pluralitas kebangsaan yang tetap relevan untuk Indonesia.

ini selalu berupaya untuk mengganti sistem negara pancasila dengan ideologi Islam atau khilafah. Diakses dari http://www.eramuslim.com/, pada hari Senin, 29 Mei 2009 138 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 61

78

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan tentang pemikiran pluralisme keagamaan Hasyim Muzadi sebagaimana dipaparkan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Sebagai seorang tokoh yang pernah memimpin sebuah organisasi

keagamaan terbesar di Indonesia, Hasyim Muzadi memiliki beberapa

pemikiran, diantaranya adalah tentang pluralisme agama. Pemikiran

Hasyim Muzadi dalam hal pluralisme agama ini adalah :

a. Gagasan tentang Islam Rahmatan lil ‘Alamin yg menurutnya

merupakan solusi alternatif atas kebuntuan global yang sampai saat ini

belum terpecahkan. Pada dasarnya pemikiran Hasyim Muzadi tersebut

berawal dari kegelisahan atas implikasi yang muncul atas berbagai

kasus yang mengancam pluralitas dan lahirnya gerakan radikal yang

mengatas-namakan agama, dimana gerakan tersebut tidak

mencerminkan kenyataan atas kondisi kultur, social, dan budaya yang

berkembang di Indonesia.

b. Pendekatan dialog peradaban. Untuk penerapan konsep Islam

Rahmatan lil ‘Alamin, menurutnya, yang paling awal dilakukan adalah

melalui amar ma’ruf dan nahi munkar dengan mengambil pendapat

yang dikemukakan Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin,

bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu memiliki etika, yaitu adabu al-

79

amri bi al-ma’ruf dan adab al-nahy ‘anil al-munkar. Ada tiga etika

yang disampaikan al-Ghazali. Salah satunya adalah memerintahkan

orang untuk berbuat baik dan mencegah berbuat jahat jangan sampai

menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, dan dari fikih Islam

“akhaffu aldhararain”. Dari dua konsepsi diatas, Hasyim Muzadi

berusaha mewujudkan sikap pluralis terutama dalam rangka

mendialogkan kesenjangan Timur dan Barat.

c. Pluralisme agama sebagai bagian dari humanisme. Hal ini bias

dipahami mengingat adanya dimensi humanisme dalam agama dan

adanya tuntutan kerjasama antara agama yang satu dengan agama yang

lain.

2. Relevansi pandangan pluralisme Hayim Muzadi terhadap masyarakat

Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya amat

dibutuhkan mengingat kondisi bangsa yang sedang menghadapi krisis

multidimensi termasuk kaitannya dengan sosial-keagamaan, maka gagasan

Islam Rahmatan lil ‘alamin menjadi solusi alternative atas kebuntuan

bangsa.

Menurut Hasyim, Islam bisa menjadi Rahmatan lil ‘alamin dengan

bertumpu pada dua hal. Pertama, Islam dalam menyelesaikan konflik

global hendaknya mengutamakan pendekatan dialog. Dengan dialog

tersebut, diharapkan problem-problem yang sbelumnya tidak terpecahkan

karena tidak tersampaikannya kepentingan maka akan terselesaikan.

Kedua, implementasi Islam harus dibangun berdasarkan kecerdasan dan

ketaqwaan. Dari situ maka agama akan menjadi sesuatu yang humanis

80

yang diharapkan akan membentuk kesalehan sosial, bukan hanya kesalehan individual.

Disamping itu, dinamika keislaman yang sedang marak di

Indonesia hendaknya diarahkan pada hal-hal berikut : Pertama, umat

Islam harus sadar bahwa persoalan yang dihadapi saat ini tidak hanya lingkup Indonesia, namun persoalan global-mondial, dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut memerlukan pengetahuan dan pemikiran

Muslim Indonesia yang nantinya akan menggabungkan diri dengan pemikiran Islam Internasional. Kedua, upaya pencerdasan dalam berbagai disiplin ilmu dan teknologi serta menerjuni segala sector kehidupan modern, agar terkuasainya seluruh idiomnya maka umat Islam akan menemukan kembali peradabannya. Disamping hal tersebut, upaya

Islamisasi dan atau penggalian ilmu yang orisinil Islam juga harus dilakukan. Serta pembahasan sistem sosial, ekonomi dan politik yang

Islami juga perlu dipertajam. Ketiga, pelaksanaan prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang mutlak perlu untuk mendorong terciptanya masyarakat etis dan egaliter. Mengingat problem-problem sosial yang menyertai pembangunan dan perubahan sosial ini, maka amat penting para intelektual Islam lebih menguatkan advokasinya atas kelompok masyarakat lemah yang menjadi korban dari proses pembangunan, mempertajam kritik terhadap budaya yang merusak moral masyarakat serta lebih memperkeras dorongan terhadap proses demokratisasi politik dan ekonomi, terutama dalam pemerataan hasil-hasil pembangunan.

Keempat, dimensi tasawuf menjadi hal yang penting untuk dikembangkan

81

dalam teologi Islam. Karena menjadi sangat berbahaya pada saat akal tidak

memiliki pembimbing yang bermotif rohani yang bersih, di sisi lain

pemikiran keagamaan fuqaha’ yang memerlukan agama lebih sebagai

hokum dan pemikiran kaum modernis yang mengembangkannya menjadi

semacam ideologi, ternyata sama-sama kurang memperhatikan dimensi

bathin yang menjadi inti keberagamaan yang sebenarnya. Dan secara

mendasar, agama yang membawa rahman bertumpu pada ajaran dan

konsepsi taqwa secara tepat.

B. SARAN-SARAN

Berdasarkan beberapa kesimpulan diatas, maka saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

1. Sebagai organisasi dengan jama’ah terbesar di Indonesia yang pernah

dipimpin oleh Hasyim Muzadi sebagai tokoh pluralis, secara formal

mengurusi masalah-masalah yang berhubungan dengan kemaslahatan

umat, hendaknya PBNU dapat memberikan dorongan dan dukungan serta

perhatian yang sungguh-sungguh dalam menghadapi gerakan-gerkan yang

berupaya merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia baik

Pancasila, dan Undang-undang Dasar 1945 yang dinilai NU sudah

menjadi harga mati.

2. Melihat kondisi Indonesia saat ini yang menghadapi persoalan yang amat

kompleks, tawaran yang digagas Hasyim Muzadi merupakan salah satu

solusi alternatif yang dibutuhkan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,

alangkah baiknya dengan solusi yang ditawarkan Hasyim Muzadi

82

tersebut, pikiran masyarakat menjadi terbuka melihat kondisi riil bangsa

Indonesia yang memang dilahirkan menjadi bangsa yang majemuk.

Semangat pluralitas tersebut akan dapat membangun jati diri bangsa menuju bangsa yang berperadaban.

83

DAFTAR PUSTAKA

SUMBER DARI BUKU :

Abdullah, Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999.

Abdullah, Taufiq. Islam Dan Masyarakat. Jakarta: LP3ES, 1987.

Abdurrahman, dkk, (ed.), 70 tahun H. Mukti Ali, Agama dan Masyarakat. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 1993.

Abdurrahman, Muslim. Dalam Pengantar Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Airlangga, 2003.

______Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Airlangga, 2003.

Ahmad, Khurshid. Pesan Islam, Ahsin Muhammad (terj.), Bandung: Pustaka, 1983.

Ahmad, Nur. (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta: Kompas, 2001.

Al-Brebesy, Ma’mun Murod. Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amin Rais Tentang Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 1999.

Ali Enginer, Asghar. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Ali Fauzi, Ihsan. Pemikiran Islam Indonesia dekade 1980-an. Bandung : Prisma, Edisi 1991.

Ali, Zaenal. 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Narasi, 2008.

Anshori, Ibnu. KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance. Sidoarjo: Citra Media bekerjasama dengan AMF Surabaya, 2004.

Baso, Ahmad. Badriyah Fayumi, Khamami Zada, dll., Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realiatas. Jakarta: Air Langga, 2003.

Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia PustakaUtama, 2008.

Burhani, Ahmad Najib. Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membantu. Jakarta: Kompas, 2001.

84

Darwin, Muhadjir. Agama Rakyat Agama Penguasa Kontruksi Tentang Realitas Agma dan Demokrasi. Yogyakarta: Galang Press, 2004.

Effendy, Bachtiar. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press, 2001.

Eko, Sutoro. Pelajaran Konsolidasi Demokrasi Untuk Indonesia. Dalam pangantar buku terjemah Lary Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE Press, 2003.

Esposito, John L. Saatnya Muslim Bicara, Ahmad Arif (terj.), Bandung: Mizan, 2008.

______(ed.), Identitas Islam, A. Rahman Zainuddin (terj.), Jakarta: bulan bintang, 1986.

______Dinamika Kebangunan Islam Watak, Proses Dan Tantangan, Bakri Siregar (terj.), (Jakarta: Rajawali Pers, 1987.

______Islam Dan Politik, H.M Joesoef Sou’yb (terj). Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

______Islam dan Modernitas, Ahsin Muhammad (terj.). Bandung: Pustaka, 1985.

Fealy, Greg. Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal, Ahmad Suaedy, A. Made Tonny Supriatna, Amiruddin Ar-Rany, dkk. (terj). Yogyakarta: LKIS, 1997.

Husaini, Adian. Plurlisme Agama Haram. Jakarta: Perspektif, 2005.

Hidayat, Surahman. Islam Pluralisme Dan Perdamaian, Jakarta: Robbani Press, 2008.

Hamid, Abdul Wahid. Islam Cara Hidup Alamiah, Arif Rahmat (terj.), Yogyakarta: Lazuardi, 2001.

Hermawan, Eman. Politik Membela Yang Benar; Teori, Kritik dan Nalar. Yogyakarta: Klik R, 2001.

Iskandar, A. Muhaimin. Melampaui Demokrasi: Merawat Bangsa dengan Visi Ulama. Jakarta: Grafindo, 2001.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1993.

85

Kleden, Ignas. Dialog Antar Agama-Agama: Kemungkinan dan Batas- batasannya. Dalam Kumpulan Tulisan Agama dan Tantangan Jaman. Jakata: LP3ES, 1985.

Litle, David John Kelsay dan Abdul Aziz A. Sachedina, Kebebasan Agama dan Hak-hak Asasi Manusia, Riyanto (terj.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Malik Thoha, Anis. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Perspektif, 2006.

Munawar-Rahman, Budhi. Islam pluralis. Jakarta: Paramadina, 2001.

______(ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina.

Muzani, Syaiful (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. Bandung: Mizan, 1995.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. IV, 1993.

Muzadi, Hasyim. Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa. Jakarta: Logos, 1999.

______Agenda Strategis Pemulihan Martabat Bangsa. Jakarta: Pustaka Azhari, 2004.

Nasution, Harun & Azumardi Azra (peny.) Perkembangan Modern Dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indosesia, 1985.

N. Bellah, Robert dan Philip E. Hammon, Beragama Bentuk Agama Sipil dalam Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, Imam Khoeri, dkk (tej). Yogyakarta: Ircisod, 2003.

Qudsy, Saifudin Zuhri. (peny.), Islam Liberal Dan Pundamental Sebuah Pertarungan Wacana. Yogyakarta: eLSAQ , 2003.

Quttub, Muhammad. Islam Agama Pembebas, Fungky Kusnaedi Timur (terj). Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001.

Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, Ahsin Muhammad (terj.), Bandung: Pustaka, 1984.

Rahmat, M. Imdadun. (peng), Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas (Jakarta: Erlangga, 2003.

Ridwan, Nur Kholik. Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur. Yogyakarta: Galang Press, 2002.

86

Shihab, Alwi. Islam Inklusif. Bandung: Mizan, 1999.

Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1993.

Shodiq, Mohammad. Dinamika Kepemimpinan NU, Refleksi perjalanan KH. Hasyim Muzadi. Surabaya: LTN NU Jatim, 2004.

Solissa, Abdul Nasir (ed.), Al qur’an dan Pembinaan Budaya. Yogyakarta: LESFI, 1983.

Turmudzi, A.M. “Merumuskan Keberislaman Secara Baru”, Jakarta: Basis, Edisi Maret 1991.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

INTERNET : http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/09/168561 /70/13/ Untung- masih- ada-NU-dan-Muhammadiyah http://soeparno.wordpress.com/114/pages1/56778.html

Menggagas Kebangkitan NU Kedua. Kompas, Selasa, 9 November 1999.

Kumpulan tulisan dari Koran detik.com, Suara Pembaharuan, Kompas: Kiprah PBNU 2000-2001, Analisa dan Evaluasi Pemeritaan tentang Kepemimpinan Hasyim Muzadi, diterbitkan oleh eLkapim Malang, tanpa tahun. http://www.hidayatulloh.comcontent&task= view&id=1406&Itemid=0 http://www.insistnet.com/content/view/25/34/, http://muhamadali.blogspot.com/kartun -nabi-dan-dialog-antar-agama.html. http://www.icrp-online.org. http://id.wikipedia.org/wiki http://gp-ansor.org/?pageid+115 www.Eramuslim.com/berita/nas/742712304-hasyim-muzadi-konfliksuni-syiah. http://www.suarapembaharuan.com/News/1999/281199/Nasional/pr01.html. http://www.nu.or.id/show/pages/625.html