ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM

TESIS

Oleh

DEWI AYU LARASATI NIM. 097009008/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI LINGUISTIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

Universitas Sumatera Utara ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

DEWI AYU LARASATI NIM. 097009008/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI LINGUISTIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

Universitas Sumatera Utara Judul Tesis : ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM Nama Mahasiswa : Dewi Ayu Larasati Nomor Pokok : 097009008 Program Studi : Linguistik

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr.Ikhwanuddin Nasution, M.Si.) (Dr. T. Thyrhaya Zein Sinar, M.A.) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph. D) (Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE)

Tanggal lulus: 12 Juli 2011

Universitas Sumatera Utara Telah diuji pada

Tanggal 12 Juli 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

Anggota : 1. Dr. T. Thyrhaya Zein Sinar, M.A.

2. Dr. Eddi Setia, M.Ed., TESP.

3. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.

Universitas Sumatera Utara PERNYATAAN

Judul Tesis

ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL PARA PRIYAYI

KARYA UMAR KAYAM

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penelitian Tesis ini, telah saya cantumkan secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi- sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 12 Juli 2011

Dewi Ayu Larasati

Universitas Sumatera Utara RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi

Nama Lengkap : Dewi Ayu Larasati

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tgl. Lahir : P. Berandan/3 Mei 1979

Alamat : Komplek TASBI Blok AA NO. 26, Medan

Agama : Islam

Telp. : 0812 640 4498

Email : [email protected]

II. Riwayat Pendidikan

SD : SD Tamansiswa LNG Arun (Tamat 1991)

SMP : SMP Tamansiswa LNG Arun (Tamat 1994)

SMA : SMA Tamansiswa LNG Arun (Tamat 1997)

S1 : Sastra Inggris, Universitas Sumatera Utara

(Tamat 2001)

S2 : Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara (Sejak 2009)

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

Bicara mengenai etika adalah suatu hal yang tak terhindarkan bagi suatu masyarakat plural yang mau mencari orientasi nilai. Tesis ini berjudul Etika

Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam; yang mana memfokuskan analisis terhadap etika kekuasaan dalam budaya Jawa yang terdapat dalam sebuah karya sastra.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU).

Dengan diselesaikannya tesis ini, penulis berharap dapat memberikan suatu kontribusi ilmu pengetahuan yang berharga dan bermanfaat, terutama dalam ranah ilmu kesusastraan. Hasil penelitian diharapkan dapat menjembatani harapan dan keinginan banyak pihak untuk ‘menghidupkan’ dan ‘menghidupi’ nilai-nilai kearifan dalam budaya Jawa, khususnya dalam hal etika untuk mencapai dan menjalani kekuasaan.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini belum dapat dikatakan sempurna dan juga belum sepenuhnya mampu menjawab keinginan pembaca: melainkan merupakan sebuah langkah awal untuk menumbuhkan minat pengkajian dan pendalaman ilmu kesusastraan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik

Universitas Sumatera Utara konstruktif ataupun ilham lainnya dari pembaca demi penyempurnaan pembahasan di lain waktu.

Medan, Juli 2011

Penulis

Universitas Sumatera Utara UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur tercurah sepenuhnya kepada Allah SWT yang telah melimpahkan berkah, rahmat, dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul ‘Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi karya Umar

Kayam.’ Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah SAW, tauladan terbaik bagi seluruh umat manusia.

Dengan terselesainya penyusunan tesis ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan hormat atas segala bimbingan, pengarahan, serta dorongan yang telah diberikan kepada penulis, dan disertai doa semoga amal beliau diterima Allah SWT sebagai amalan yang shaleh kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc., (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph. D. dan Dr. Nurlela, M. Hum selaku Ketua

dan Sekretaris Program Studi Linguistik, Sekolah Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, MSi. dan Dr. T. Thyrhaya Zein Sinar, M.A.

selaku pembimbing I dan II yang dengan setulus hati telah banyak

Universitas Sumatera Utara 5. Dr. Eddy Setia, M.Ed., TESP, dan Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. selaku penguji

yang telah memberikan koreksi dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.

6. Bapak dan ibu dosen Program Studi Linguistik Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara.

7. Orang tua penulis, Bapak H. Iman Soeryadhie. S dan Ibu Hj. Sari Mas Bulan,

serta Ibu mertua, Yohani Yanuar.

8. Suami penulis, Fadlan Lubis.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini, yang tidak

bisa saya sebutkan satu persatu.

Akhirnya, semoga tesis ini membawa manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Amin.

Medan, Juli 2011

Penulis

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI Hal. KATA PENGANTAR…...... i

UCAPAN TERIMA KASIH...... iii

DAFTAR ISI...... v

DAFTAR TABEL...... ix

DAFTAR BAGAN...... x

DAFTAR GAMBAR...... xi

DAFTAR LAMPIRAN...... xii

GLOSARIUM...... xiii

ABSTRAK...... xvii

ABSTRACT………………...... xviii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian...... 1

1.2 Identifikasi Masalah...... 8

1.3 Batasan Masalah...... 9

1.4 Perumusan Masalah...... 9

1.5 Tujuan Penelitian...... 9

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoretis...... 10

1.6.2 Manfaat Praktis...... 10

Universitas Sumatera Utara BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORETIS

2.1 Kajian Pustaka………………………………………………11

2.2 Konsep

2.2.1 Definisi Etika

2.2.1.1 Etika Jawa……………………………………16

2.2.1.2 Etika Jawa sebagai Kebijaksanaan

Hidup……………………………...... 18

2.2.2 Kekuasaan Jawa

2.2.2.1 Hakikat Kekuasaan…………………………..20

2.2.2.2 Perspektif Kekuasaan dalam

Kebudayaan Jawa……………………………23

2.3 Landasan Teori………………………………………………28

2.4 Model Penelitian……………………………………………..31

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian………………………………………...34

3.2 Sumber Data dan Data……………………………………….35

3.3 Teknik Pengumpulan Data…………………………………..35

3.4 Teknik Analisis Data………………………………………...36

BAB IV ANALISIS DATA

4.1 Analisis Tokoh Utama yang Tergambar Melalui Konsep

Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi………………...40

4.1.1 Wibawa………………………………………………43

Universitas Sumatera Utara 4.1.2 Kharisma……………………………………………..73

4.1.3 Wewenang…………………………………………...80

4.1.4 Kemampuan Khusus…………………………………88

4.2 Analisis Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel

Para Priyayi………...... 91

4.2.1 Membangun Wibawa Kepemimpinan……………….92

4.2.1.1 Menguasai Ilmu……………………………...93

4.2.1.2 Bersikap Ksatria……………………………106

4.2.2 Upaya Mendapatkan Kharisma……………………..113

4.2.2.1 Laku Badaniah……………………………...117

4.2.2.2 Laku Kehendak……………………………..118

4.2.2.3 Laku Jiwa…………………………………...119

4.2.2.4 Laku Religius...... 120

4.2.3 Menjalankan Wewenang Secara Optimal...... 122

4.2.3.1Bersikap Alus………………………………..124

4.2.3.2Memenuhi Tanggung Jawab………………...131

4.2.4 Memberdayakan Kemampuan...... 131

BAB V TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Konsep Kekuasaan Jawa yang Tergambar Melalui Tokoh

Utama dalam Novel Para Priyayi Karya

Umar Kayam...... 134

Universitas Sumatera Utara 5.2 Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya

Umar Kayam...... 138

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan...... 142

6.2 Saran…………………………………………………...... 143

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..144

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Konsep Kekuasaan Jawa melalui Tokoh Utama …………………………..166

2. Etika Kekuasaan Jawa……………………………………………………...167

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR BAGAN

No. Judul Halaman

1. Model Penelitian...... 31

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Skema Komponen Kekuasaan Jawa Menurut Koentjaraningrat...... 26

2. Skema Sangkan Paraning Dumadi…………...... 122

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Biografi Pengarang…………………………………………………………156

2. Sinopsis Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam…………………………158

3. Kulit Sampul Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam……………………165

4. Kartu Ikhtisar Klasifikasi Data Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel

Para Priyayi Karya Umar Kayam………………………………………….166

Universitas Sumatera Utara

GLOSARIUM

No. Istilah Definisi

1 Anteng meneng sugeng jeneng tenang, halus, indah, tapi berbobot

2 Becik ketitik sing ala ketara, kebatilan pada akhirnya akan

titenana wong cidra mangsa dikalahkan oleh kebenaran. Teguhlah

langgenga, sura dira jayaningrat pada pendirianmu

lebur dening pangastuti

3 Berbudi bawa leksana berwatak konsekuen terhadap kata

atau tindakan

4. Cegah dhahar lawan guling mengurangi makan dan tidur

5. Desa mawa cara, negara mawa lain ladang lain belalang, lain lubuk

tata lain ikannya. Sadarlah situasi

dimanapun kau berada.

6. Drajat-pangkat-semat derajat-pangkat-harta

7. Eling marang sapadha-padha ingat pada sesama manusia

8. Eling sangkan paraning dumadi ingat asal mula kehidupan

9. Empan papan sesuai dengan situasi, keadaan,

waktu dan tempat

10. Hadiluhung tinggi mutunya

11. Hadiningrat bumi yang tenteram, tenang, luhur

Universitas Sumatera Utara bersih, baik, suci, indah, cantik

12. Kasar alusing rasa sikap batin yang halus

13. Kawruh sangkan paraning dumadi pengetahuan tentang asal dan tujuan

dari segala apa yang diciptakan

14. Kawruh jumbuhing kawula gusti bersatunya hamba atau manusia

dengan Tuhan

15. Satataning panembah menuju ketenangan jiwa dan

ketentraman hati

16. Jugar genturing tapa menahan hawa nafsu

17. Jagad gedhe makrokosmos, jasad manusia, alam

lahir

18. Jagad cilik mikrokosmos, dunia batin

19. Jagad Dewa Bathara, ora jagad mengutamakan kepentingan orang

pramudita banyak diatas kepentingan pribadi

20. Mampir ngombe mampir minum

21. Memayu hayuning bawana mempercantik (memelihara)

kelestarian dunia

22. Nastiti teliti

23. Nandhing sarira sikap untuk suka membanding-

bandingkan ‘aku’ dengan orang lain,

merupakan tingkatan yang paling

Universitas Sumatera Utara rendah dalam pengkajian diri

24. Ngelmu kasunyatan bagaimana seseorang “legowo”

menjalani kenyataan dan tidak

berputus asa terhadap apa yang ia

peroleh sampai hari ini

25. Ningrat membumi (ning” atau “ana ing” =

berada di; rat = bumi)

26. Pathet susunan nada dalam suatu laras yang

dapat menimbulkan nuansa tertentu.

Tiga macam pathet dalam laras

selendro pathet sanga (9), selendro

pathet nem (6) dan selendro pathet

manyura.

27. Pitutur nasihat

28. Piweling pengingat

29. Samadya sesuai kemampuan diri (tidak

memaksakan diri)

30. Taraf mulat sarira taraf pengendalian diri

31. Tembang lagu

32. Tepa sarira tenggang rasa

33. Unggah-ungguhing basa sopan santun atau tata karma dalam

Universitas Sumatera Utara berbahasa

34. Wadhag kasar, jasmani, kasat mata, berzat

35. Wiku sapta ngesthi tunggal tahun Jawa 1877

36. Wulang wuruk pembelajaran

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep kekuasaan Jawa lewat tokoh utama novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam berdasarkan teori satra dan pemikiran. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif. Data penelitian ini adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan sejumlah buku acuan. Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian adalah pendekatan hermeneutika. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka. Strategi yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan metode analisis isi dan metode hermeneutika. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa konsep kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam yang direalisasikan lewat tokoh utama memiliki empat komponen, yaitu wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. Sumber-sumber kewibawaan tersebut berasal dari ilmu, kesaktian, keturunan, serta sifat-sifat kepribadian. Etika kekuasaan Jawa diaktualisasikan dari konsep kekuasaan Jawa tersebut yaitu membangun wibawa kepemimpinan, upaya mendapatkan kharisma, menjalankan wewenang secara optimal, serta memberdayakan kemampuan. Untuk membangun wibawa, seorang pemimpin harus dapat menguasai ilmu dan bersikap ksatria. Upaya mendapatkan kharisma dapat dilakukan dengan menjalani empat tingkatan laku yaitu laku badaniah, laku kehendak, laki jiwa dan laku religius. Menjalankan wewenang secara optimal dapat dilakukan dengan bersikap halus dan memenuhi tanggung jawab. Memberdayakan kemampuan dapat ditempuh dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil (wong cilik).

Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

The aims of this research are: (1) to describe the concepts of Javanese power through the main character of novel Para Priyayi by Umar Kayam; (2) to analyze the ethics of Javanese power in the novel Para Priyayi by Umar Kayam, based on the theory of literature and ideas. The research method used is Qualitative Descriptive. The research data are Para Priyayi novel by Umar Kayam and a number of reference books. The approach used in this research is hermeneutics. The Technique of Data Collection is conducted by using document review (reading, observing, and taking notes). The Technique of Data Analysis is conducted with the method of Content Analysis. The result of the analysis shows that the concepts of Javanese power in the novel Para Priyayi by Umar Kayam through the main character have four components, namely authority, charisma, power and special abilities. The sources of authority come from science, magic, heredity, and personality traits. The ethics of Javanese power are to build the leadership authority, to obtain charisma effectively, to run the power optimally, and to empower the capabilities. To build the authority, a leader must be able to master the science and be a gentleman. To achieve charisma, a leader must take four levels of behavior, namely physical behavior, mind behavior, spirit behavior and religious behavior. To run the authority optimally, a leader must behave smooth and fulfill the responsibilities. To empower the capability, a leader must improve the welfare of ordinary people.

xviii

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep kekuasaan Jawa lewat tokoh utama novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam berdasarkan teori satra dan pemikiran. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif. Data penelitian ini adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan sejumlah buku acuan. Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian adalah pendekatan hermeneutika. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka. Strategi yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan metode analisis isi dan metode hermeneutika. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa konsep kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam yang direalisasikan lewat tokoh utama memiliki empat komponen, yaitu wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. Sumber-sumber kewibawaan tersebut berasal dari ilmu, kesaktian, keturunan, serta sifat-sifat kepribadian. Etika kekuasaan Jawa diaktualisasikan dari konsep kekuasaan Jawa tersebut yaitu membangun wibawa kepemimpinan, upaya mendapatkan kharisma, menjalankan wewenang secara optimal, serta memberdayakan kemampuan. Untuk membangun wibawa, seorang pemimpin harus dapat menguasai ilmu dan bersikap ksatria. Upaya mendapatkan kharisma dapat dilakukan dengan menjalani empat tingkatan laku yaitu laku badaniah, laku kehendak, laki jiwa dan laku religius. Menjalankan wewenang secara optimal dapat dilakukan dengan bersikap halus dan memenuhi tanggung jawab. Memberdayakan kemampuan dapat ditempuh dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil (wong cilik).

Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

The aims of this research are: (1) to describe the concepts of Javanese power through the main character of novel Para Priyayi by Umar Kayam; (2) to analyze the ethics of Javanese power in the novel Para Priyayi by Umar Kayam, based on the theory of literature and ideas. The research method used is Qualitative Descriptive. The research data are Para Priyayi novel by Umar Kayam and a number of reference books. The approach used in this research is hermeneutics. The Technique of Data Collection is conducted by using document review (reading, observing, and taking notes). The Technique of Data Analysis is conducted with the method of Content Analysis. The result of the analysis shows that the concepts of Javanese power in the novel Para Priyayi by Umar Kayam through the main character have four components, namely authority, charisma, power and special abilities. The sources of authority come from science, magic, heredity, and personality traits. The ethics of Javanese power are to build the leadership authority, to obtain charisma effectively, to run the power optimally, and to empower the capabilities. To build the authority, a leader must be able to master the science and be a gentleman. To achieve charisma, a leader must take four levels of behavior, namely physical behavior, mind behavior, spirit behavior and religious behavior. To run the authority optimally, a leader must behave smooth and fulfill the responsibilities. To empower the capability, a leader must improve the welfare of ordinary people.

xviii

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Sastra dan filsafat (pemikiran) memiliki hubungan yang erat. Sastra dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan filsafat. Dengan demikian sastra dapat mengungkapkan berbagai ide atau gagasan tentang kehidupan. Sejalan dengan pendapat Wellek & Austin Warren (1989:134-135) yang mengemukakan bahwa sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi, sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat.

Sudah sejak lama (sejak zaman Yunani) sastra diperlakukan sebagai wahana pengungkapan dan pencetusan gagasan-gagasan filsafat. Banyak filsuf sekaligus sastrawan mengungkapkan dan mencetuskan gagasan-gagasan filosofisnya ke dalam sastra. Albert Camus, Sartre, Khalil Gibran, dan Muhammad Iqbal, misalnya, banyak mengungkapkan dan mencetuskan gagasan-gagasan filsafatnya ke dalam novel-novel dan puisi-puisi mereka. Dalam hal ini, karya sastra dijadikan sebagai ‘alat’ untuk mengukuhkan gagasan filsafat yang hendak disampaikannya.

Malahan sebenarnya setiap sastra yang baik selalu menyajikan dan menyuguhkan soal-soal filosofis. Hassan (1988:64) bahkan menegaskan bahwa dalam setiap karya sastra yang baik niscaya tersirat sikap filsafat tertentu; jejak-jejak filsafat itu cenderung tembus dari balik segi kebahasaan yang berwujud kesusastraan.

Universitas Sumatera Utara Darma (1984: 52) juga menegaskan bahwa setiap karya sastra yang baik selalu berfilsafat meskipun karya sastra bukan sebuah karya filsafat. Mangunwijaya

(1988:3) menyatakan bahwa karya sastra yang baik selalu menyajikan permenungan- permenungan sekaligus relung-relung terdalam tentang manusia.

Dari pandangan-pandangan tersebut terlihat bahwa semua karya sastra yang bermutu akan selalu terkandung nilai-nilai filsafat, baik menyangkut sikap dan pandangan hidup tokoh yang digambarkannya maupun tema karya sastra itu sendiri.

Semakin bermutu karya sastra itu, semakin mendalam pula kandungan filsafatnya.

Oleh sebab itu, dalam karya sastra yang agung, nilai-nilai filsafat yang dikandungnya akan terasa lebih mendalam dan kaya. Sangat wajar jika kemudian orang mencoba mencari nilai-nilai filsafat pada karya sastra yang agung, dan bukan pada karya sastra picisan.

Umar Kayam (1932-2002) adalah sastrawan sekaligus filsuf Nusantara, khususnya Jawa, yang cukup terkenal dan berpengaruh sehingga karya-karyanya banyak dipelajari dan diminati sarjana atau ilmuwan baik dari dalam maupun luar negeri. Novel, sebagai salah satu genre sastra, digunakan oleh Umar Kayam untuk merekam dan menafsirkan kembali hidup dan kehidupan.1 Sebagai salah satu wahana ekspresi, baginya novel lebih efektif untuk memahami kehidupan secara tepat, dibanding apabila ditulis dalam bentuk tulisan ilmiah. Karya sastra itu dibangun oleh pengarangnya berdasarkan perenungan, penafsiran, dan penghayatannya terhadap

1 Lihat ulasannya dalam Umar Kayam. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. : Sinar Harapan, hlm.88

Universitas Sumatera Utara realitas sosial serta lingkungan sosial masyarakat di mana pengarang itu hidup dan bermasyarakat. Oleh karena itu, sastra yang bermutu, bagi Umar Kayam adalah karya sastra yang banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan

(Kayam, 1981:88).

Novel Para Priyayi (2000) merupakan novel pertama Umar Kayam yang sarat dengan muatan filsafat. Dalam hal ini Umar Kayam cenderung mengangkat filsafat lokal yaitu Jawa. Kejawaannya itu sendiri terlihat pada simbol-simbol dunia pewayangan, serta karya sastra yang dihasilkan para pujangga keraton diselusupkan ke dalam dialog maupun lakuan para tokohnya. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Mahayana (2007:288) “…saratnya novel Para Priyayi dengan filsafat

Jawa dan simbol-simbol dunia pewayangan, serta sejumlah ungkapan yang khas mencerminkan pandangan hidup orang Jawa, menjadikan novel ini sangat bernuansa

Jawa; sangat menjawa”.

Pada dasarnya, pemikiran filsafat Jawa bersifat mengakar yang mencoba memberikan jawaban menyeluruh terhadap hakikat kebenaran yang sedalam- dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan teknik. Nilai-nilai filsafat ini merupakan jagad batin orang Jawa yang hadiluhung dan hadiningrat, mendalam serta yang sangat luas. Secara singkat dapat dikatakan bahwa filsafat Jawa adalah berfikir tentang sesuatu secara sistematis dan mendalam, terus menerus sampai menemukan jawaban atau hakekat kebenaran hidup. Karena itu, melalui filsafat dapat diketahui bagaimana manusia Jawa berpikir tentang hidup, manusia, dunia, dan Tuhan.

Universitas Sumatera Utara Filsafat Jawa tersebut juga didasari atas pola-pola pemikiran yang universal sebagai usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan. Jadi filsafat Jawa bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat Jawa saja, tetapi juga bagi siapapun yang ingin mempelajarinya. Oleh karena itu, pada era reformasi dan demokratisasi, pola-pola yang universal itu bisa dipastikan tetap ada.

Dalam bingkai filsafat Jawa, moral erat kaitannya dengan kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematis dalam etika, filsafat moral, dan teologi moral.2 Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruhan kaidah atau norma yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagai makluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagai makhuk individu, makhluk sosial, dan makhluk yang berpribadian, agar manusia dan masyarakat yang ada di bumi ini memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak mulia.3

Etika kekuasaan Jawa sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa adalah suatu konsepsi kepemimpinan yang tumbuh dari kultural masyarakat Jawa, nilai-nilai yang hidup di masyarakat Jawa (Anshoriy, 2008:7). Nilai-nilai luhur itu merupakan ekspresi kultural yang sarat kebijaksanaan, keteladanan, dan keluhuran. Apalagi di tengah kondisi sosial politik dan kekuasaan di dewasa ini yang sedang memasuki fase yang amat mengkhawatirkan. Etika kekuasaan berbasis kebudayaan sesungguhnya bisa dijadikan acuan nilai yang relevan bagi para politisi sekarang agar

2 Telusuri http://arjana-stahn.blogspot.com/2010/01/pembinaan-moral-dalam-kajian-filsafat.html 3 Ibid

Universitas Sumatera Utara segala kebijaksanaan yang dirumuskan tetap mempunyai akar sejarah, berbudaya, dan memanusiakan manusia. Umar Kayam menegaskan ‘perkembangan kebudayaan

Indonesia modern harus tetap memberikan ruang gerak bagi kebudayaan tradisional’

(http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/06/26/0043.html). Oleh karena itu kebudayaan tradisional yang ditransformasikan ke kebudayaan modern pada akhirnya dapat membentuk nilai kepribadian bangsa. Dengan demikian, etika kekuasaan Jawa merupakan konsep yang berpengaruh terhadap upaya menumbuhkan demokrasi modern di tengah masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Isu kekuasaan menjadi hal yang sangat krusial dalam novel Para Priyayi mengingat kaum priyayi identik dengan orang-orang birokrat yang menggunakan statusnya untuk menguasai orang lain. Menjadi priyayi tidak hanya berarti sebuah peningkatan dalam status sosial, melainkan juga peningkatan kekuasaan (Faruk dalam

Salam, 1998:xxxiii). Bahkan menurut Koentjaraningrat, sebutan priyayi dalam masyarakat Jawa khususnya, menunjukkan suatu status sosial yang sangat tinggi, bahkan cenderung sangat eksklusif.4

Para priyayi adalah kelompok sosial yang sejak tahun 1900-an menjadi elit birokrasi pemerintah. Merekalah yang memimpin, mengatur, memberi pengaruh, dan menuntun masyarakat. Semua orang yang duduk dalam jabatan administrasi

4 Lihat Koentjaraningrat. 1987. Meningkatkan Kinerja BUMN: Antisipasi Terhadap Kompetisi dan Kebijakan Deregulasi . : JKAP.

Universitas Sumatera Utara pemerintah, para pegawai pemerintahan, dan orang-orang yang berpendidikan digolongkan kaum priyayi.

Mula-mula, priyayi adalah mereka yang memiliki garis keturunan dengan raja atau adipati (dalam bahasa Jawa, priyayi adalah para yayi atau para adik raja).5 Akan tetapi dengan semakin terdidiknya masyarakat biasa dan keberhasilan mereka memperoleh karir di berbagai bidang di pemerintahan, maka priyayi tidak harus memiliki darah bangsawan (Kartodirdjo, 1987:10). Kepada golongan elit inilah sesungguhnya Indonesia berkiblat.

Namun masih banyak golongan priyayi yang belum memahami benar makna kepriyayiannya itu dalam masyarakat. Selama ini stereotip priyayi selalu erat dengan orang-orang birokrat yang berjiwa anti-sosial dan arogan. Banyak nilai-nilai luhur priyayi telah menyimpang karena banyak kaum priyayi lebih mengutamakan status sosial, gaya hidup, dan nilai-nilai yang bersifat materi. Akibatnya sering terjadi penyalahgunaan legitimasi kekuasaan. Umar Kayam menggambarkan kondisi itu sebagai berikut.

…negara ini tidak dibuat sekali jadi…kekuasaan dibangun untuk dapat mensejahterakan rakyat…namun yang terjadi, kekuasaan diperebutkan untuk dapat mengatur sumber-sumber pendapatan, sehingga terjadi royokan, rebutan. Kalau sudah rebutan, maka yang brutal yang ‘menang’. Ini yang harus kita waspadai, harus kita jaga agar kekuasaan itu bisa diatur bersama- sama dengan baik…(Refleksi Umar Kayam di atas pembaringan beberapa hari sebelum wafat dalam Luthfi, 2007:82).

5 Asal mula priyayi adalah orang-orang yang terpakai oleh penguasa. Ini bisa terjadi karena hubungan kekerabatan atau karena pengabdian tradisional atau karena kecakapan dan menunjukkan kesetiannya kepada kepentingan penguasa. Dengan berbagai jalan, golongan ini mempertahankan diri dan memperbesar pengaruhnya. Ini dilakukan dengan mengikat diri lewat perkawinan, atau menerapkan kebudayaan dan tradisi kraton dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, mereka mengharuskan diri untuk hidup menurut tata cara yang baik.

Universitas Sumatera Utara Novel Para Priyayi dianggap sebagai kritik Umar Kayam sebagai priyayi cendekiawan terhadap budaya priyayi yang tidak sesuai dengan esensi makna priyayi yang luhur. Bagaimana sebenarnya seorang yang dikatakan ‘priyayi’ yaitu seorang yang telah mencapai kekuasaan di masyarakat dapat menggunakan kekuasaannya itu berdasarkan etika kekuasaan, moral politik, dan cara-cara yang indah dalam melakukan pengabdian kepada masyarakat sehingga betul-betul untuk kepentingan publik atau masyarakat yang diwakili. Mochtar Pabottingi (dalam Rahmanto,

2004:73) memberi komentar ‘Priyayi Kayam adalah priyayi yang inklusif dan egaliter, tak bermaksud bersekutu sehidup-semati dengan kekuasaan, tetapi dengan kemanusiaan.’

Keunikan priyayi dalam novel Para Priyayi adalah munculnya priyayi yang datang dari kalangan rendah yakni orang-orang yang ingin menjadi priyayi lewat suatu proses pengabdian. Seperti yang diungkapkan Moertono dalam Rahmanto

(2004:91) ‘golongan ini menjadi priyayi bukan karena warisan turun-temurun, tetapi lewat suatu perjuangan yang gigih berdasarkan kepandaian yang berhasil mereka kuasai lewat pendidikan, dan dalam suatu proses panjang pengabdian.’

Lewat kekayaan imajinasi dan keluasan pengetahuan, Umar Kayam berhasil menggambarkan dan memaparkan struktur kompleks kehidupan para tokohnya dalam menjalani kehidupan dan usaha membangun struktur dinasti priyayi. Mulai dari nol sebagai anggota keluarga abangan berstatus keluarga buruh, lalu menapaki perjalanan

Universitas Sumatera Utara status sosialnya sebagai perintis. Tidak saja bagi dirinya sendiri akan tetapi juga bagi garis keturunannya.6

Berdasarkan hal tersebut, novel Para Priyayi sangat menarik untuk dikaji karena mengandung nilai kearifan lokal yang berhubungan dengan etika kekuasaan

Jawa. Nilai-nilai luhur tersebut merupakan ekspresi kultural yang sarat kebijaksanaan, keteladanan dan keluhuran. Untaian kebijaksanaan hidup yang berkaitan dengan moralitas dirangkai dan disarikan dari kitab-kitab Jawa kuno karya pujangga agung serta ungkapan luhur yang diwariskan secara turun temurun.

Novel Para Priyayi juga dapat dijadikan salah satu rujukan bagaimana nilai- nilai humanisme telah dijadikan pegangan hidup oleh seorang priyayi dalam mendapatkan kekuasaan, mengelola dan menggunakan kekuasaannya.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang masalah di atas, penulis dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul sebagai berikut:

1. Bagaimanakah konsep etika Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar

Kayam?

2. Bagaimanakah konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama

dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam?

3. Bagaimanakah etika kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Para Priyayi

karya Umar Kayam?

6 Telusuri http://id-id.facebook.com/topic.php?uid=115640611805162&topic=69

Universitas Sumatera Utara 1.3 Batasan Masalah

Masalah-masalah yang diidentifikasikan penulis tidak dapat dibahas semua mengingat keterbatasan penulis dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini dibatasi pada beberapa pokok permasalahan saja, yaitu:

1. Konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama dalam novel

Para Priyayi karya Umar Kayam.

2. Etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.

1.4 Perumusan Masalah

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terarah, maka diperlukan suatu rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama

dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam?

2. Bagaimanakah etika kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Para Priyayi

karya Umar Kayam?

1.5 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh

utama dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.

2. Mendeskripsikan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar

Kayam.

Universitas Sumatera Utara 1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitian selanjutnya yang

terfokus pada unsur ekstrinsik, dalam hal ini menghubungkan sastra dengan

pemikiran.

2. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk menambah khazanah

pengetahuan tentang perkembangan sastra Indonesia, khususnya karya-karya

Umar Kayam.

1.6.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah:

1. Membantu masyarakat untuk memahami etika kekuasaan Jawa.

2. Menegakkan prinsip-prinsip kekuasaan yang menempatkan kebenaran, moral,

dan etika kekuasaan sebagai sumber legitimasi.

3. Menumbuhkan semangat masyarakat untuk mencintai dan melestarikan

kebudayaan daerah masing-masing.

Universitas Sumatera Utara BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN

MODEL PENELITIAN

Di dalam Bab II ini diuraikan tentang (i) kajian pustaka, (ii) konsep, (iii) landasan teori dan (iv) model penelitian. Berikut adalah uraiannya.

2.1 Kajian Pustaka

Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian sebelumnya dan sebagian laporan penelitian itu telah dimuat dalam bentuk buku.

Penelusuran penelitian tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1. Rahmanto, tahun 1994 pernah menulis tentang novel Para Priyayi dalam

tesisnya yang berjudul Makna Penghambaan dalam Novel Para Priyayi

Karya Umar Kayam: Analisis Semiotik. Ia menyimpulkan bahwa lewat tokoh-

tokoh Sastrodarsono, Noegroho, Hardoyo, dan Lantip ditampilkan masalah

penghambaan tokoh wayang Sumantri, Kumbakarna, dan Karna dalam

transformasi budaya priyayi Jawa sejak masa penjajahan Belanda, Jepang,

kemerdekaan, dan pascakemerdekaan. Penghambaan yang mirip dengan pola

penghambaan Sumantri tampak pada penghambaan Atmokasan,

Sastrodarsono, dan Lantip ketika masih muda. Penghambaan Kumbakarna

tampak pada Noegroho, Harjono, Hardoyo, dan Lantip setelah dewasa, sedang

penghambaan Karna terlihat pada pengabdian Lantip setelah dewasa. Sikap

Universitas Sumatera Utara penghambaan Lantip yang tulus, tanpa pamrih, tahu membalas budi, dan

rendah hati, serta menekankan usaha menumbuhkembangkan pengabdian

kepada masyarakat (rakyat kecil) tanpa pamrih merupakan gabungan dari

ketiga sifat penghambaan ketiga tokoh wayang tersebut.

2. Rahmanto juga menulis buku yang berjudul Umar Kayam: Karya dan

Dunianya pada tahun 2004. Buku tersebut membicarakan hampir seluruh

cerpen dan novel Umar Kayam: Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Seribu

Kunang-Kunang di Manhattan (1972), Istriku, Madame Schlitz, dan Sang

Raksasa (1967), Sybil (1967), Secangkir Kopi dan Sepotong Donat (1986),

Chief Sitting Bull (1986), There Goes Tatum (1986), Kimono Biru buat Istri

(1986), Para Priyayi (1992), Jalan Menikung (1999), serta kumpulan cerpen

Lebaran di Karet, di Karet…(2002). Dari buku tersebut diperoleh pengakuan

Kayam bahwa penulisan novel Para Priyayi berawal dari kekecewaannya

terhadap penafsiran yang keliru mengenai dunia priyayi Jawa oleh orang-

orang non-Jawa dan para pakar asing. Dengan novel itulah Kayam ingin

memahami dunia priyayi dari dalam dan ingin juga menggambarkan

bagaimana dunia itu dihayati oleh orang-orang yang ingin menjadi priyayi.

Kayam juga menjelaskan pilihan novel itu didasari keyakinan terhadap

efektivitas novel sebagai sarana memahami kehidupan.

3. Selanjutnya, Najid tahun 2000 menulis tentang novel Para Priyayi dalam

tesisnya yang berjudul Perubahan Kebudayaan Jawa dalam Novel Para

Priyayi Karya Umar Kayam. Penelitian ini menggunakan kerangka teori new

Universitas Sumatera Utara historicism yang dikemukakan oleh Stephen Greenbalt yang memandang

kebudayaan sebagai suatu sistem yang memobilisasi dan sekaligus membatasi

segala gerak dan pemikiran anggota masyarakat. Kebaruan pemikiran yang

ditawarkan dalam novel Para Priyayi lebih dipumpunkan pada pergeseran

permaknaan priyayi. Priyayi dalam novel Para Priyayi lebih ditekankan pada

optimalisasi peran priyayi bagi masyarakat terutama wong cilik dan peran

priyayi bagi kesejahteraan keluarga dan kehidupannya. Penelitian ini

bermanfaat bagi penulis dalam memahami konsep priyayi yang ditawarkan

oleh Umar Kayam.

4. Tanggapan terhadap novel Para Priyayi karya Umar Kayam melalui artikel,

dimulai dari Damono di Majalah Tempo pada tanggal 20 Juni 1992 lewat

“Album Kehormatan Orang Jawa”. Menurut Damono, novel Para Priyayi

menggambarkan proses menjadi priyayi yang dialami oleh sebuah keluarga

besar dari generasi pertama priyayi. Priyayi yang digambarkan dalam novel

tersebut adalah orang Jawa yang berasal dari lapisan rendah dalam

masyarakat, petani, atau pedagang kecil. Dalam hal ini Umar Kayam telah

menciptakan album besar untuk menampung segenap persoalan dunia priyayi.

Setiap persoalan diungkapkan dalam episode atau potret. Dengan demikian,

terungkaplah berbagai segi kehidupan priyayi di bidang agama, seks, politik,

kesenian, pendidikan, etika, filsafat, dan lainnya.

5. Mohamad juga memberikan komentarnya di Majalah Tempo pada tanggal 29

Agustus 1992 lewat “Priyayi”. Menurutnya novel Para Priyayi justru

Universitas Sumatera Utara ‘membongkar’ mitos yang menjerat masyarakat Jawa selama ini. Novel

tersebut menunjukkan bahwa kelas yang disebut ndoro itu, pada dasarnya

punya sesuatu yang sama seperti orang dusun -- atau siapa pun yang hidup di

Jawa yang dirundung kekacauan sejak abad ke-17 ini: semuanya punya rasa

cemas untuk mengambil risiko, ekspresi dari ‘the moral economy of the

peasant’. Tak aneh para priyayi, kecil atau besar, punya genesis yang sama

dari orang ‘kebanyakan’. Ternyata di halaman-halaman yang menyimpan

kenangan yang umumnya datar dan biasa-biasa saja itu ada sebuah cerita

besar, meskipun tak mengejutkan: tidakkah ini kisah sebuah masyarakat yang

terus menerus berpose, mengharapkan kelanggengan, tapi seharusnya

bersyukur dengan perubahan.

6. Berikut Pabottingi memberikan ulasan terhadap novel Para Priyayi Umar

Kayam di Majalah Tempo 3 Oktober 1992 dalam “Pertandingan Priyayi”.

Novel Umar Kayam ini telah memberi gambaran yang hidup tentang alam

priyayi. Di sini priyayi memang tetap ditampilkan menjarak dari ortodoksi

Islam, bertahan pada praktek olah-batin leluhur, mencintai kehalusan dan

pewayangan, tapi tetap tegas menolak disebut bukan muslim. Tapi, berbeda

dengan alam priayi pada karya Clifford Geertz, alam priyayi pada Kayam

lebih merupakan sasaran mobilitas sosial dan lebih peka pada kepentingan

wong cilik. ‘Priyayi’ Kayam adalah priyayi yang inklusif dan egaliter. Ia tak

bermaksud bersekutu sehidup-semati dengan kekuasaan, melainkan dengan

kemanusiaan.

Universitas Sumatera Utara 7. Selanjutnya, Anshoriy pernah menulis tentang budaya Jawa dalam bukunya

yang berjudul Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa,

terbit tahun 2008. Buku ini layak dijadikan referensi karena berisikan butir-

butir kearifan lokal warisan nenek moyang mengenai etika kekuasaan yang

dikaji dan digali dengan pendekatan ilmiah.

8. Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa

Kini, Resmi dan Tak Resmi” (1984) menguraikan konsep kekuasaan Jawa

yang bertentangan dengan B.R.O’G Anderson dalam “The Idea of Power in

Javanese Culture” (1972). Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa serupa

dengan pemimpin dalam semua masyarakat di dunia, seorang pemimpin

dalam suatu masyarakat yang berkebudayaan Jawa juga perlu

memperhitungkan semua komponen kekuasaan yang diperlukan seorang

pemimpin secara universal. Ia juga perlu memiliki semua sifat yang

diperlukan sebagai syarat pemimpin yang bermutu. Hal itu dapat kita pelajari

dengan membaca secara seksama buku-buku tradisional Jawa mengenai

syarat-syarat kepemimpinan. Konsep inilah yang menjadi rujukan bagi

penulis untuk menganalisis konsep kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi

karya Umar Kayam.

Penelitian-penelitian tersebut menjadi bacaan pendukung bagi penulis terkait dengan objek penelitian. Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menganalisis etika kekuasaan

Universitas Sumatera Utara Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan menggunakan teori hubungan kesusastraan dengan pemikiran. Konsep kekuasaan Jawa yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan empat komponen kekuasaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan:

Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” (1984) yaitu wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus.

2.2 Konsep

2.2.1 Definisi Etika

2.2.1.1 Etika Jawa

Etika merupakan ukuran peradaban sebuah bangsa (Purwadi, 2008:6). Tinggi rendahnya peradaban sebuah bangsa dapat dilihat dari seberapa jauh masing-masing warganya bertindak sesuai dengan aturan main yang telah disepakati bersama. Oleh karena produktifitas dan kreatifitas masyarakatnya akan terus berlanjut, tanpa ada hambatan yang berarti. Dengan mentaati norma dan etika, maka tingkah laku serta hubungan antar manusia akan berjalan secara wajar, yang memungkinkan untuk melakukan aktifitas secara efektif dan efisien.

Secara etimologi etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti sikap, cara berfikir, watak kesesuaian atau adat (Bertens, 1993:4). Ethos identik dengan moral, yang dalam Bahasa Indonesia berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup.

Universitas Sumatera Utara Kata ‘etika’ dalam arti yang sebenarnya berarti ‘filsafat mengenai bidang moral’ (Bertens, 1993:6). Jadi, etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral. Suseno

(1996:6) mempergunakan istilah etika dalam arti lebih luas, yaitu sebagai

‘keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya’; jadi di mana mereka menemukan jawaban pertanyaan: bagaimana saya harus membawa diri, sikap-sikap, dan tindakan-tindakan mana yang harus saya kembangkan agar hidup saya sebagai manusia berhasil.

Suseno membedakan antara pengertian ajaran moral dengan etika.7 Ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khutbah-khutbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumbernya bisa guru, orang tua, pemuka agama atau orang bijak seperti pujangga Empu Kanwa,

Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna, Empu Manoguna,

Empu Prapanca, Empu Tantular, Yasadipura, Ranggawarsita, Paku Buwana IV, Sri

Mangkunegara IV, Kyai Sindusastra, Kyai Kusumadilaga, Ki Padmasusastra, Ki

Ageng Suryamentaram dan Ki Nartasabda.

Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-

7 Lihat Nasruddin Anshoriy, Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi Semangat Kebangsaan, Yogyakarta: LKiS, 2008, hlm. 30

Universitas Sumatera Utara pandangan moral (Suseno, 1992:42). Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran.

Etika dan ajaran moral tidak setingkat. Yang mengatakan bagaimana seseorang harus hidup adalah ajaran moral, bukan etika. Etika mau mengerti mengapa seseorang harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1997 :

14). Tanggung jawab moral sangat penting dalam kehidupan kolektif.

Etika Jawa merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya (Suseno, 1984:6).

2.2.1.2 Etika Jawa sebagai Kebijaksanaan Hidup

Bagi masyarakat Jawa etika itu kerap disebut dengan istilah pepali, unggah- ungguh, suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, pranatan, pituduh, pitutur, wejangan, wulangan, wursita, wewarah, wedharan, duga prayoga, wewaler, dan pitungkas. Orang Jawa akan berhasil hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empan papan, kalau dapat menempatkan diri dalam hal unggah-ungguhing basa, kasar alusing rasa, dan jugar genturing tapa.

Para pemimpin Jawa terutama raja dan punggawanya sejak dulu kala memahami benar tentang arti penting etika. Kehidupan berbangsa dan bernegara memang perlu diatur berdasarkan hukum yang memadai. Berhubung dengan itu, maka pujangga Jawa diberi tugas khusus untuk menyusun tata tertib sosial yang

Universitas Sumatera Utara mengikat semua penduduknya. Etika Jawa ini disusun berdasarkan nilai-nilai historis, sosiologis dan filosofis yang telah mengakar dalam masyarakat.

Dalam etika Jawa terdapat aliran yang mengandung nilai eudaemonisme theologis. Eudaemonisme berasal dari bahasa Yunani eudaemoni, artinya kebahagiaan. Eudaemonisme adalah teori dalam etika yang menyatakan bahwa suatu tujuan manusia adalah kesejahteraan pribadi atau kebahagiaan (Mudhofir, 1988: 26).

Selanjutnya aliran theologi menyatakan bahwa suatu tindakan disebut bermoral jika tindakan itu sesuai dengan perintah Tuhan. Sedangkan tindakan buruk yaitu yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Tuntutan moral yang baik dalam hal ini telah digariskan oleh agama dan tertulis dalam kitab suci dari masing-masing agama

(Suseno, 1997: 83). Bagi orang Jawa pada umumnya memang ditekankan keselarasan antara makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad cilik). Aliran eudaemonisme theologis ini terdapat dalam ungkapan Serat Wedhatama yaitu agama ageming aji, bahwa agama merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki.

Pusat etika Jawa adalah usaha untuk memelihara keselarasan dalam masyarakat dan alam raya dan keselarasan itu menjamin keadaan selamat yang dirasakan sebagai nilai pada dirinya sendiri. Namun keselarasan kosmis hanya dapat dipelihara apabila semua unsur dalam kosmos menempati tempatnya yang tepat.

Maka kategori-meta etika Jawa yang terpenting adalah kategori tempat: sepi ing pamrih berarti menerima tempatnya sendiri, dan memenuhi kewajiban berarti

Universitas Sumatera Utara melakukan apa yang harus dilakukan manusia masing-masing menurut tempatnya dalam kosmos.

Batin manusia harus sedemikian peka terhadap kedudukannya dalam masyarakat dan kosmos, sehingga ia ‘mengerti’, bahwa ia harus memenuhi kewajiban-kewajibannya. Pengertian ini membuka diri dalam perasaan batin, dalam rasa. Makin halus perasaannya makin ia dapat menyadari dirinya sendiri, makin bersatu ia dengan kekuatan-kekuatan Ilahi kosmos, dan makin betul arah hidupnya.

2.2.3 Kekuasaan Jawa

2.2.3.1 Hakikat Kekuasaan

Setiap masyarakat, maupun setiap bangsa pasti memiliki konsep tentang kekuasaan (power). Hal ini disebabkan, karena kekuasaan erat kaitannya dengan masalah kepemimpinan, dan bahkan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Konsep kekuasaan antara masyarakat (bangsa) yang satu dengan masyarakat (bangsa) yang lain sudah barang tentu berbeda-beda. Perbedaan ini tidak lain, disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial budaya dan pandangan hidupnya.

Dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan pandangan hidup, dengan sendirinya terdapat bermacam persepsi mengenai kekuasaan. Oleh karena itu, sebelum kita memulai analisis mengenai konsep kekuasaan Jawa, ada baiknya kita membicarakan terlebih dahulu beberapa aspek dan sifat kekuasaan secara umum; serta menelaah hubungannya dengan beberapa konsep yang sangat erat kaitan dengannya. Hal ini perlu, karena di antara konsep ilmu

Universitas Sumatera Utara politik, yang banyak dibahas dan dipermasalahkan, adalah kekuasaan. Hal ini disebabkan karena konsep ini bersifat sangat mendasar dalam ilmu sosial pada umumnya, dan ilmu politik pada khususnya. Malahan, pada suatu ketika, politik

(politics) diangggap tidak lain dari sebuah kekuasaan belaka. Sekalipun pandangan ini telah lama ditinggalkan, akan tetapi kekuasaan tetap merupakan gejala yang sangat sentral dalam ilmu politik.8

Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para ilmuwan mengenai definisi kekuasaan. Perbedaan pengertian ini, sesungguhnya dipengaruhi oleh ‘sikap jiwa pribadi’ dari pembahas yang bersangkutan. Apalagi jika yang dibahas itu gejala yang sensitif, seperti halnya gejala yang menyangkut masalah kemanusiaan.9

Perbedaan dalam menganalisa kekuasaan sebagai sesuatu gejala sosial sudah mulai nampak, kalau kita memperhatikan bagaimana kekuasaan itu diartikan. Ada satu kelompok pendapat yang mengartikan kekuasaan itu sebagai suatu dominasi

(dominance), dan ada yang pada hakekatnya bersifat ‘paksaan’ (coercion). Sebagai contoh, misalnya pendapat Strausz-Hupe, yang merumuskan kekuasaan sebagai

‘kemampuan untuk memaksakan kemauan kepada orang lain’. Pendapat senada dikemukakan oleh C. Wright Mills, yang mengatakan: ‘Kekuasaaan itu adalah dominasi yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain

8 Lihat Miriam Budiardjo, ‘Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan’, dalam Miriam Budiardjo (ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hlm. 9. 9 Lihat Soelaeman Soemardi, ‘Cara-Cara Pendekatan Terhadap Kekuasaan Sebagai Suatu Gejala Sosial’, dalam Ibid., hlm. 30.

Universitas Sumatera Utara menentang’. Demikian pula Harold D. Laswell menganggapnya, ‘tidak lain dan tidak bukan adalah penggunaan paksaan yang kuat’ (Budiardjo, 1984:31).

Suatu pengertian yang lain tentang kekuasaan terlihat dalam karangan karangan Talcott Parsons, Robert S. Lynd, dan Marion Levy, Jr. Untuk kelompok yang kedua ini, pengertian pokok dari kekuasaan adalah ‘pengawasan’ (control).

Akan tetapi fungsinya atau sifatnya tidaklah harus selalu merupakan paksaan. Untuk

Parsons umpamanya, kekuasaan adalah ‘pemilikan fasilitas untuk mengawasi’. Akan tetapi keperluannya ialah untuk ‘pelaksanaan fungsi dalam dan untuk masyarakat sebagai suatu sistem, untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ataupun akan ditentukan secara mengikat oleh umum’. Seiring dengan ini, Robert Lynd mengumumkan bahwa: ‘kekuasaan sebagai suatu sumber sosial (social resource) yang utama untuk mengadakan pengawasan dapat beralih wujud dari suatu paksaan sampai dengan suatu kerja sama secara sukarela, tergantung daripada perumusan ketertiban dan kekacauan sebagaimana ditentukan, diubah dan dipelihara dalam suatu masyarakat tertentu’. Akhirnya, Marlon Levy menjelaskan bahwa: ‘penggunaan kekuatan fisik hanyalah merupakan suatu bentuk ekstrem dari cara penggunaan diktator dan pengawasan atas tindakan-tindakan orang lain’ (Budiardjo, 1984:32).

Dengan perkataan lain, persoalan pokok untuk kelompok paham terakhiri ini, ialah ‘legitimasi’ (legitimacy) atau ‘pembenaran’ dari ‘dasar’ kekuasaan.

Sebagaimana dirumuskan oleh Parsons: ‘legitimasi dari pengawasan demikian itu mempunyai arti yang penting untuk kedudukan kekuasaan dalam masyarakat dalam hubungannya dengan sistem tujuan-tujuannya’. Selanjutnya Marlon Levy

Universitas Sumatera Utara menjelaskan, bahwa ‘kekuasaan selalu menyimpulkan imbangannya oleh tanggung jawab, yang berarti pertanggungan jawab dari individu-individu terhadap individu- individu atau golongan-golongan lainnya atas tindakan-tindakannya sendiri dan tindakan- tindakan orang lain’ (Budiardjo, 1984:32).

Sekalipun ada banyak pandangan yang berbeda mengenai kekuasaan, akan tetapi agaknya ada satu inti yang terlihat dalam semua perumusan itu, yaitu bahwa kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi orang lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan (Budiardjo, 1984:9).

Konsep kekuasaan demikian, sebenarnya didasarkan atas fakta politik yang terjadi di negara-negara barat. Namun demikian, di Indonesia pun sebenarnya konsep kekuasaan juga senada dan seirama dengan pendapat Laswell, Kaplan, dan Parson.

Hanya saja, cara mendapatkan kekuasaan dalam kancah politik, antara negara barat dan timur (Indonesia-Jawa) memang dimungkinkan ada perbedaan.

2.2.3.2 Perspektif Kekuasaan dalam Budaya Jawa

Anderson10, Indonesianis dari yang melakukan penelitian lapangan di Jawa, menulis dengan kegamblangan sebuah generalisasi, bahwa

10 Dalam karyanya “The Idea of Power in Javanese Culture” (“Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa”), Anderson membahas persistensi gagasan kekuasaan Jawa tradisional dan pengaruhnya terhadap kehidupan politik modern. Menurut Anderson, ada empat hal yang menjadi dasar pemikiran kekuasaan dalam perspektif kebudayaan Jawa. Keempat hal tersebut adalah: a. kekuasaan itu kongkret; b. kekuasaan itu homogen; c. jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap; d. kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. Lihat Anderson “Gagasan tentang Kekuasaan

Universitas Sumatera Utara kekuasaan dalam pandangan orang Jawa bersifat mutlak. Ia tidak memiliki dimensi etis apa pun, selain mempertahankan dan melestarikan kekuasaan. Ia juga semata- mata hanya mengabdi kepada kepentingan sang penguasa, melalui sejumlah perlambang, seperti kesaktian dan barang pusaka. Generalisasi seperti itu sejak semula memang patut dicurigai, karena menyembunyikan nuansa-nuansa halus dalam pandangan tentang kekuasaan. Kesalahan Anderson yang paling utama adalah kenekatannya membuat sebuah konstruk mutlak dari sebuah sudut pandangan belaka.

Kesalahan Anderson itu ‘dimanfaatkan’ oleh Koentjaraningrat, yang menyanggah gagasan Anderson bahwa kadigjayan sebagai satu-satunya komponen yang diperlukan untuk melaksanakan kekuasaan itu, ibarat kekuatan energi bersifat sakti serta keramat yang dengan sendirinya dapat digunakan.11 Selanjutnya,

Koentjaraningrat berpendapat bahwa, seperti halnya pemimpin lain dari semua masyarakat dunia, seorang pemimpin dalam suatu masyarakat berkebudayaan Jawa perlu juga memperhitungkan semua komponen kekuasaan yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin secara universal.

Kita akan sesat apabila kita mengira bahwa orang Jawa menganggap kekuasaan identik dengan satu energi sakti yang dapat diraih dengan upacara atau bertapa. Konsepsi orang Jawa mengenai kekuasaan dan kepemimpinan jauh lebih kompleks dari itu; konsepsi masa kini sedang berkembang dari konsepsi tradisional, ke arah suatu konsepsi Indonesia masa kini. (Koentjaraningrat dalam Budiardjo, 1984:143).

dalam Kebudayaan Jawa” dalam Miriam Budiardjo (Ed.). 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan. hlm. 51-52. 11 Lihat Koentjaraningrat ‘Kepimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi’ dalam Miriam Budiardjo (Ed.), 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, hlm. 128.

Universitas Sumatera Utara Dengan hasil pengontrasan semacam itu, Koentjaraningrat menilai bahwa

Anderson telah kehilangan kemampuannya untuk melihat gejala-gejala yang ditelitinya (konsep kekuasaan masyarakat Jawa) secara proporsional. Lebih lanjut,

Anderson dianggap berlebihan dalam memandang konsep kekuasaan masyarakat

Jawa. Anderson tidak cukup memahami orang Jawa dengan menganggap cerita-cerita dan ujaran, upacaranya sebagai suatu realitas. Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa sering mengekspresikan diri dalam perilaku yang simbolis, termasuk konsep kekuasaan yang keramat dan sakti itu juga sebagai bagian dari konsepsi yang simbolis.

Menurut Koentjaraningrat, kesakten hanyalah salah satu syarat bagi pemimpin

Jawa, tetapi bukan satu-satunya. Sebagai jalan keluarnya Prof. Koentjaraningrat menawarkan model kepemimpinan yang lebih universal dengan mengacu kepada data etnografi kebudayaan di Afrika, Asia dan daerah lautan Pasifik. Dalam menyusun kerangka teoritisnya, Koentjaraningrat mengkategorikan konsep kekuasaan dan kepemimpinan berdasarkan tingkat perkembangan masyarakat, yaitu masyarakat kecil dan masyarakat sedang, masyarakat negara-negara kuno, dan masyarakat negara kontemporer. Ada empat komponen yang senantiasa ada dalam tiap jenis masyarakat: wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. Skemanya demikian:12

12 Lihat Koentjaraningrat “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” dalam Miriam Budiardjo (Ed.). 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan. hlm. 128-143.

Universitas Sumatera Utara Masyarakat Sederhana Masyarakat Tradisional Masyarakat Masa Kini

Wibawa Kharisma Wibawa

Wewenang Wewenang Wewenang

Kharisma Wibawa Kharisma

Kemampuan khusus Kemampuan khusus Kemampuan khusus

Gambar 1. Skema Komponen Kekuasaan Jawa Menurut Koentjaraningrat (1984:128-

143)

Dalam masyarakat kecil atau sedang (disebut kerangka I) disimpulkan bahwa komponen-komponen yang menjadi landasan kekuasaan seorang pemimpin adalah kewibawaan, wewenang dan kekuasaan dalam arti khusus , serta sifat-sifat yang menjadi syarat bagi seseorang untuk muncul sebagai pemimpin. Kewibawaan yang dimaksud dikarenakan: kepandaian (berburu, bertani, berkebun), keterampilan berpidato, kemahiran berdiplomasi, sifat-sifatnya sesuai dengan cita-cita dan keyakinan masyarakatnya. Wewenang diperoleh karena kemampuannya untuk melakukan upacara intensifikasi. Sementara kharisma muncul karena dianggap memiliki kekuatan sakti.

Selanjutnya, komponen kekuasaan yang harus ada dalam masyarakat negara kuno (kerangka II) antara lain kharisma, kewibawaan, wewenang atau kekuasaan dalam arti khusus serta syarat-syarat yang memungkinkan seseorang menjadi raja atau pemimpin kelompok masyarakat ini. Kharisma diperoleh dengan klaim memiliki wahyu Tuhan atau dewa-dewa. Wewenang dimiliki seseorang karena memiliki

Universitas Sumatera Utara kekuatan sakti, mempunyai keturunan sah, mampu melaksanakan upacara intensifikasi dan memiliki pusaka-pusaka keramat. Semenatar kewibawaan diperoleh karena memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan masyarakat.

Dalam masyarakat negara kontemporer (kerangkan III) komponen-komponen kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin tetap sama seperti pada masyarakat sedang dan negara kuno, hanya saja tata urut pentingnya telah berubah. Hal itu dikerenakan sumber kekuasaannya adalah masyarakat itu sendiri, bukan dewa atau

Tuhan. Kewibawaan diperoleh karena popularitas dan kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah sosial ekonomi dan politik (kecendiakawanan), serta memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan kepercayaan masyarakat. Wewenang diperoleh melalui prosedur adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sementara kharisma diperoleh karena memiliki lambang-lambang kepemimpinan dan ciri-ciri rohaniah yang disegani. Unsur-unsur kekuasaan tersebut juga bisa digunakan untuk membedakan antara pimpinan formal dan informal.

Menurut Koentjaraningrat, pimpinan formal memiliki empat komponen kekuasaan, yaitu kewibawaan, wewenang, kharisma dan kekuasaan fisik. Sementara itu kekuasaan informal hanya memiliki tiga komponen kekuasaan, yaitu kewibawaan, kharisma dan kekuatan fisik.

Penelitian tentang etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya

Umar Kayam ini bertolak dari pandangan Koentjaraningrat di atas tentang konsep kekuasaan Jawa yang meliputi empat komponen yaitu: wibawa, kharisma, wewenang, dan kemampuan khusus.

Universitas Sumatera Utara 2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan hubungan teori sastra dan pemikiran (filsafat) yang dikemukakan oleh Wellek & Austin Warren terjemahan Budianta (1989:134-

135).

‘Sastra sering dilihat sebagai bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi, sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat. Meskipun sekarang ilmuwan sudah jenuh mengorek-ngorek hal-hal yang ilmiah dari karya sastra, sampai sekarang karya sastra masih sering dibahas sebagai karya filsafat…karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran.’

Filsafat sebagai salah satu ilmu bantu sastra tentu relevan dalam pengkajian suatu karya sastra. Ilmu filsafat dapat digunakan sebagai optik untuk melihat anasir- anasir dari suatu karya sastra yang menjadi titik temu antara sastra dan filsafat.

Hubungan simbiosis antara sastra dengan filsafat bukanlah suatu hal yang asing dalam ilmu sastra maupun dalam ilmu filsafat sendiri. Bahkan Ulrici, peneliti karya- karya Shakespeare dari Jerman, menyatakan hubungan sastra dengan filsafat secara gamblang (Wellek dan Austin Warren, 1989: 34). Ia mengatakan sastra dapat dilihat dalam bentuk filsafat atau sebagai bentuk pemikiran yang terbungkus.

Pernyataan Ulrici di atas ada kebenarannya. Apabila kita mensejajarkan antara sejarah sastra dengan sejarah pemikiran atau filsafat akan terlihat jelas hubungannya.

Ini dikarenakan secara langsung atau melalui alusi-alusi dalam karyanya, kadang- kadang pengarang menyatakan bahwa ia penganut filsafat tertentu, mempunyai

Universitas Sumatera Utara hubungan yang dominan pada zamannya, atau paling tidak mengetahui garis besar ajaran paham-paham tersebut (Wellek dan Austin Warren, 1980: 38). Oleh karena adanya hubungan antara sastra dengan filsafat mendorong penulis untuk mengkaji suatu karya sastra dari sudut pandang filosofis.

Etika adalah bidang kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral prilaku manusia. Dalam sistematika filsafat, ia merupakan bagian dari kajian aksiologi, yaitu cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai. Sebagai bagian dari kajian filsafat, etika merupakan pemikiran filosofis tentang nilai moral, bukan nilai moral itu sendiri (Bertens, 2007:6). Nilai moral adalah kualitas prilaku baik dari manusia. Ajaran yang memberi manusia tentang bagaimana berprilaku dengan kualitas baik adalah moralitas atau dalam Islam dikenal dengan akhlak.

Seorang akademisi dan rohaniwan Suseno (1992:42) mengatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Yang memberi kita norma tentang bagaimana kita harus hidup adalah moralitas. Sedangkan etika justru hanya melakukan refleksi kritis atas norma atau ajaran moral tersebut atau kita juga bisa mengatakan bahwa moralitas adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana kita harus hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan dan pengejawantahan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai. Keduanya mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi kita orientasi bagaimana dan ke mana kita harus melangkah dalam hidup ini. Tetapi bedanya moralitas langsung mengatakan kepada kita; inilah caranya anda harus melangkah. Sedangkan etika

Universitas Sumatera Utara harus mempersoalkan; apakah saya harus melangkah dengan cara itu dan mengapa harus dengan cara itu?

Etika dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan sering kali meliputi suatu sistem nilai dan norma sosial, dan etika selalu berlaku dalam suatu konteks budaya yang tertentu (Bertens, 2001:12). Etika Jawa merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya (Suseno,

2003:6).

Etika kekuasaan Jawa sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa adalah suatu konsep kepemimpinan yang tumbuh dari kehendak kultural masyarakat Jawa, nilai- nilai yang hidup di masyarakat Jawa. 13 Nilai-nilai luhur itu merupakan ekspresi kultural yang sarat kebijaksanaan, keteladanan dan keluhuran. Untaian kebijaksanaan hidup yang berkaitan dengan moralitas dirangkai dan disarikan dari kitab-kitab Jawa kuno karya para pujangga agung serta ungkapan luhur yang diwariskan secara turun temurun.

13 Lihat Nasruddin Anshoriy CH. 2008. Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LKiS.

Universitas Sumatera Utara 2.4 Model Penelitian

Berikut adalah bagan model penelitian:

INTRINSIK SASTRA EKSTRINSIK

-TOKOH UTAMA (Novel Para Priyayi - PEMIKIRAN (SASTRODARSONO) karya Umar Kayam) (FILSAFAT)

ETIKA

ETIKA JAWA

1. WIBAWA 2. KHARISMA 3. WEWENANG ETIKA KEKUASAAN JAWA 4. KEMAMPUAN KHUSUS

Bagan 1 Model Penelitian

Universitas Sumatera Utara Keterangan:

: tanda panah dua arah menunjukkan kesalinghubungan.

: tanda panah satu arah menunjukkan hubungan satu arah.

Penjelasan Model:

Novel Para Priyayi karya Umar Kayam dibahas menurut konsep pendekatan yang dipelopori oleh Wellek dan Austin Warren (1989), yakni pendekatan intrinsik dan ekstrinsik yang dilakukan secara bersamaan. Pada pendekatan intrinsik dikaji penokohan, dalam hal ini tokoh utama yaitu Sastrodarsono (nama tua Soedarsono), sedangkan pada pendekatan instrinsik dikaji melalui hubungan sastra dan pemikiran

(filsafat).

Etika adalah bidang kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral prilaku manusia. Etika Jawa merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat Jawa untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya.

Etika kekuasaan Jawa sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa adalah suatu konsep kepemimpinan yang tumbuh dari kehendak kultural masyarakat Jawa, nilai- nilai yang hidup di masyarakat Jawa. Etika kekuasaan Jawa yang dianalisis dalam penelitian ini bersumber dari konsep kepemimpinan atau kekuasaan Jawa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan:

Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” tahun 1984. Konsep kekuasaan Jawa tersebut meliputi empat komponen yaitu: wibawa, kharisma, wewenang dan

Universitas Sumatera Utara kemampuan khusus. Keempat komponen kekuasaan tersebut terdapat dalam tokoh utama novel Para Priyayi (2000) karya Umar Kayam yaitu Sastrodarsono (nama tua

Soedarsono).

Adapun etika kekuasaan Jawa yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi: membangun wibawa kepemimpinan, upaya mendapatkan kharisma, menjalankan wewenang secara optimal, dan memberdayakan kemampuan.

Universitas Sumatera Utara BAB III

METODE PENELITIAN

Di dalam Bab III ini diuraikan secara berurutan tentang metode penelitian yang mencakup: (i) rancangan penelitian, (ii) sumber data dan data, (iii) teknik pengumpulan data, dan (iv) teknik analisis data. Berikut uraiannya.

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutika. Pendekatan hermeneutika merujuk kepada proses interpretasi atau penafsiran teks-teks.

Pendekatan hermeneutika sangat relevan untuk menafsirkan berbagai gejala, peristiwa, simbol, nilai yang terkandung dalam ungkapan bahasa atau kebudayaan lainnya, yang muncul pada fenomena kehidupan manusia. Fenomena manusia tersebut antara lain berupa karya filsafat, simbol verbal yang berujud bahasa, atau simbol nonverbal, karya seni, tari-tarian, gamelan, ritual kepercayaan, pandangan hidup, upacara keagamaan, candi, etika, dan fenomena dalam kehidupan manusia lainnya (Kaelan, 2005:80).

Tujuan hermeneutika adalah untuk mencari dan menemukan makna yang terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia, melalui pemahaman dan interpretasi. Dalam ruang lingkup kesusastraan, kebutuhan tentang hermeneutika sangatlah ditekankan, karena tanpa interpretasi atau penafsiran,

Universitas Sumatera Utara pembaca mungkin tidak akan mengerti atau menangkap jiwa zaman di mana kesusastraan itu dibuat (Muhadjir, 2002:314).

Dalam pandangan hermeneutika, konvensi keutuhan adalah dominan, semua bagian saling bertalian sehingga dimungkinkan untuk diadakan interpretasi. Adapun interpretasi teks bagian khusus ke umum dan pemahaman umum ke khusus.

3.2 Sumber Data dan Data

Sumber data penelitian ini adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam yang diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti cetakan ketujuh bulan November tahun

2000 setebal 308 halaman dengan soft cover. Dipilihnya novel tersebut karena mengandung unsur etika kekuasaan budaya Jawa dalam penceritaannya.

Adapun data primer dalam penelitian ini adalah data kutipan yang berupa teks atau wacana yang berhubungan dengan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para

Priyayi karya Umar Kayam. Di samping itu, data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari artikel-artikel dalam media massa maupun internet, baik yang berhubungan dengan pengarang maupun novelnya, dan bersifat mendukung data-data dalam objek penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini berfungsi untuk mempertajam analisis data.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis isi. Prosedur analisis isi dalam bidang sastra hendaknya memenuhi syarat-syarat: (a)

Universitas Sumatera Utara teks sastra perlu diperoses secara sistematis, menggunakan teori yang telah dirancang sebelumnya, (b) teks tersebut dicari unit-unit analisis dan dikategorikan sesuai acuan teori, (c) proses analisis harus mampu menyumbangkan ke pemahaman teori, (d) proses analisis mendasarkan pada deskripsi, (e) analisis dilakukan secara kualitatif

(Endraswara, 2008:162).

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:

1. membaca novel Para Priyayi secara cermat dan berulang-ulang;

2. menuliskan temuan data dalam kartu ikhtisar dan dibagi ke dalam unit-unit

kecil sesuai klasifikasinya; kemudian data yang berwujud teks tersebut

dicuplik dan dikumpulkan dalam kartu atau tabel.

3. pada saat yang bersamaan dilakukan reduksi data, yakni dengan cara

mengabaikan data-data yang tidak relevan dengan konstruk penelitian.

Sedangkan data yang relevan diberi penekanan (garis bawah/penebalan), agar

memudahkan peneliti menentukan indikator;

4. data-data yang telah direduksi atau diseleksi kemudian dilakukan pencatatan

dalam kartu ikhtisar.

3.4 Teknik Analisis Data

Menurut Bungin (2007:78), dalam penelitian kualitatif, terdapat keterkaitan antara teori, metode pengumpulan data, dan metode analisis data; di mana relasi metode pengumpulan data dan teknik-teknik analisis data dilakukan sekaligus secara

Universitas Sumatera Utara bersamaan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah metode dan teknik analisis data.

Metode yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah analisis isi (content analysis). Analisis isi merupakan model analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Dalam karya sastra, isi yang dimaksud adalah pesan-pesan yang akan disampaikan oleh penulis melalui karya sastranya. Analisis isi didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra yang bermutu adalah karya sastra yang mampu mencerminkan pesan positif kepada pembacanya. Hal yang penting adalah pesan-pesan yang terangkum dalam isi karya sastra itu dipahami secara keseluruhan (Endraswara, 2008:160).

Menurut Bungin (2007:156) dalam penelitian kualitatif, analisis isi ditekankan pada bagaimana peneliti melihat keajekan isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, memaknakan isi interaksi simbolis yang terjadi dalam komunikasi. Lebih lanjut

Bungin (2007:156) mengatakan bahwa penggunaan analisis isi untuk penelitian kualitatif tidak jauh berbeda dengan pendekatan lainnya. Awal mula harus ada fenomena komunikasi yang dapat diamati, dalam arti bahwa peneliti harus lebih dulu dapat merumuskan dengan tepat apa yang ingin diteliti dan semua tindakan harus didasarkan pada tujuan tersebut. Langkah berikutnya adalah memilih unit analisis yang akan dikaji, memilih objek penelitian yang menjadi sasaran analisis (Bungin,

2007:156).

Universitas Sumatera Utara Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada dasarnya metode-metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah sama halnya dengan metode analisis data. Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode analisis isi yang mengambil langkah sebagai berikut:14

1. Identifikasi

Setelah data terkumpul, penulis mengidentifikasi data yang berhubungan

dengan objek penelitian.

2. Klasifikasi

Setelah diidentifikasi, data diseleksi dan diklasifikasi berdasarkan unsur

intrinsik yaitu tokoh utama dalam novel Para Priyayi, dan unsur ekstrinsik

yaitu pemikiran yang berhubungan dengan konsep kekuasaan Jawa dan etika

kekuasaan Jawa. Bentuk klasifikasi data adalah sebagai berikut:

1) Data yang diklasifikasikan berdasarkan tokoh utama dalam novel Para

Priyayi.

2) Data yang diklasifikasi berdasarkan konsep kekuasaan Jawa dalam novel

Para Priyayi yaitu wibawa, kharisma, wewenang, dan kemampuan

khusus.

3) Data yang diklasifikasi berdasarkan etika kekuasaan Jawa dalam novel

Para Priyayi yaitu membangun wibawa kepemimpinan yang meliputi (i)

menguasai ilmu dan (ii) bersikap ksatria; upaya mendapatkan kharisma

yang meliputi (i) laku badaniah, (ii) laku kehendak, (iii) laku jiwa, (iv)

14 Lihat Suwardi Endraswara. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MedPress.

Universitas Sumatera Utara laku religius; menjalankan wewenang secara optimal yang meliputi (i)

bersikap alus dan (ii) memenuhi tanggung jawab; serta memberdayakan

kemampuan.

3. Analisis

Selanjutnya, seluruh data di dalam novel dianalisis dan ditafsirkan maknanya

secara keseluruhan.

4. Deskripsi

Data yang telah dianalisis lalu dibahas.

Universitas Sumatera Utara BAB IV

ANALISIS DATA

Di dalam Bab IV ini diuraikan analisis data yang merupakan jawaban terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam Bab Pendahuluan. Analisis data terdiri atas: (i) analisis tokoh utama yang tergambar melalui konsep kekuasaan

Jawa dalam novel Para Priyayi dan (ii) analisis etika kekuasaan Jawa dalam novel

Para Priyayi. Analisis tokoh utama yang tergambar melalui konsep kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi meliputi: wibawa, kharisma, wewenang, dan kemampuan khusus. Analisis terhadap etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi meliputi: membangun wibawa kepemimpinan, upaya mendapatkan kharisma, menjalankan wewenang secara optimal, dan memberdayakan kemampuan. Berikut adalah uraian analisisnya.

4.1 Analisis Tokoh Utama yang Tergambar Melalui Konsep Kekuasaan

Jawa dalam Novel Para Priyayi

Pembahasan pada sub bab ini dilakukan dengan cara mencari data di dalam novel Para Priyayi yang menyiratkan adanya konsep kekuasaan Jawa melalui tokoh utama yaitu Sastrodarsono (nama tua dari Soedarsono). Konsep kekuasaan Jawa yang dianalisis pada sub bab 4.1 ini meliputi empat hal yaitu: (i) wibawa, (ii) kharisma,

(iii) wewenang, dan (iv) kemampuan khusus.

Universitas Sumatera Utara Konsep kekuasaan Jawa yang dibahas dalam sub bab ini adalah kekuasaan

Jawa yang didasarkan atas pendapat Koentjaraningrat dalam tulisannya

“Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” dalam buku Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa (1984). Ia menyanggah gagasan Anderson15 yang menyatakan bahwa kekuasaan dalam pandangan orang

Jawa bersifat mutlak, tidak memiliki dimensi etis apa pun, selain mempertahankan dan melestarikan kekuasaan, juga semata-mata hanya mengabdi kepada kepentingan sang penguasa melalui sejumlah perlambang, seperti kesaktian dan barang pusaka.

Sanggahan (tertulis) ini tergambar sebagai berikut.

Jelaslah bahwa uraian Anderson itu terlalu berlebihan mengenai konsep orang Jawa, yang menganggap bahwa kekuasaan itu ibarat kekuatan energi saja, dan dapat digunakan oleh manusia secara otomatis. Memang benar, di dalam cerita-ceritanya, upacaranya, dan kadang-kadang juga dalam ujarannya, orang Jawa sering kali menonjol-nonjolkan sifat sakti dan keramat dari kekuasaan ini, tetapi Anderson tidak cukup mengenal orang Jawa apabila ia mengira bahwa mereka juga menganggap bahwa apa yang ada dalam cerita-cerita itu merupakan realitas. Demikian juga bahwa orang Jawa sering kali mengekspresikan diri dalam tingkah laku upacara serta ujaran yang simbolis, agaknya luput dari perhatian Anderson. Konsepsi orang Jawa mengenai kekuasaan sebagai kekuatan energi yang sakti dan keramat itu juga tidak lain dari suatu konsepsi simbolis belaka. (Koentjaraningrat dalam Budiardjo, 1984:129)

Koentjaraningrat menolak konsepsi kekuasaan yang dikemukakan Anderson tersebut dengan pembuktian akan adanya variasi-variasi pandangan tentang kekuasaan di kalangan orang Jawa. Menurutnya, nilai-nilai luhur sangat dituntut dari

15 Lihat konsep kekuasaan Jawa menurut Anderson. 1990. ‘The Idea of Power in Javanese Culture’ dalam Language and Power, Exploring Political Cultures in Indonesia, USA: Cornell University.

Universitas Sumatera Utara para penguasa Jawa, sehingga bagaimanapun juga mereka tidak berbuat sesuka hati.

Mereka harus memperhatikan ‘aturan permainan’ yang sarat nilai.16

Hal yang sama diungkapkan oleh Ginandjar Kartasasmita.17 Ia juga menyatakan bahwa kita tidak boleh lupa bahwa bangsa Indonesia memiliki warisan dari para leluhur mengenai prinsip-prinsip kepemimpinan. Banyak di antaranya yang relevan sepanjang masa dan sekarang pun masih digunakan. Salah satu konsep kepemimpinan yang merupakan warisan kebudayaan bangsa adalah Hastha Brata, atau delapan ajaran keutamaan, seperti yang ditunjukkan oleh sifat-sifat alam.18

Selain itu Ki Hadjar Dewantara juga merumuskan tiga unsur kepemimpinan melalui ungkapan yang sangat dalam maknanya, yaitu: (1) ing ngarso sung tulodo, (2) ing madyo mangunkarso, dan (3) tut wuri handayani.

16 Dalam kesusastraan Jawa misalnya ada buku-buku kuno seperti Niti Pradja, Kodja Djajahan, Serat Rama (Ramayana: yang disebut Astabrata), dan sebagainya. Dalam buku-buku itu diajarkan hal-hal mengenai kepemimpinan raja yang adil dan bermurah hati, yang menjaga keamanan dan ketentraman negara, tetapi juga masalah sumber dan cara-cara memelihara kekuasaan, hubungan dengan rakyat dan sebagainya. 17 Pidato ini disampaikan pada Pembekalan Kepada Para Komandan Jajaran TNI Angkatan Udara dan Kohanudnas, Jakarta 3 Juli 1997 dengan judul ‘Kepemimpinan Menghadapi Masa Depan’. (http://www.ginandjar.com/public/15KepemimpinanMenghadapiMasaDepan.pdf, diunduh tanggal 1 Maret 2011) 18 Hastha Brata adalah ajaran tentang prinsip-prinsip kepemimpinan yang disampaikan oleh Sri Rama kepada Bharata, adiknya, yang akan menjadi raja Ayodhya. Ini diceritakan dalam Ramayana Kakawin (cerita berbentuk puisi dalam bahasa Jawa kuno dari abad-10), yaitu ketika Rama harus meninggalkan istana untuk mengembara di hutan bersama Laksmana, adiknya, Dewi Shinta, istrinya. Atas permintaan ayahnya, Dastharata, Raja Ayodhya, Rama harus mengembara di hutan dahulu sebelum boleh menggantikannya. Di hutan itulah ia kehilangan Dewi Shinta karena mengejar Kijang Kencana, alat tipuan Dasamuka. Seorang pemimpin harus berwatak matahari, artinya memberi semangat, memberi kehidupan, dan memberi kekuatan bagi yang dipimpinnya. Harus mempunyai watak bulan, dapat menyenangkan dan memberi terang dalam kegelapan. Memiliki watak bintang, dapat menjadi pedoman. Berwatak angin, dapat melakukan tindakan secara teliti dan cermat. Harus berwatak mendung artinya bahwa pemimpin harus berwibawa, setiap tindakannya harus bermanfaat. Pemimpin harus berwatak api, yaitu bertindak adil, mempunyai prinsip, tegas, tanpa pandang bulu. Ia juga harus berwatak samudera, yaitu mempunyai pandangan luas, berisi, dan rata. Akhirnya seorang pemimpin harus memiliki watak bumi, yaitu budinya sentosa dan suci. Lihat Nasruddin Anshoriy. 2008. Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LKiS. hlm. 95-114.

Universitas Sumatera Utara Apabila ditelaah secara dalam, pesan-pesan leluhur serta asas-asas kepemimpinan yang telah kita miliki itu mengandung nilai-nilai kepemimpinan yang berlaku di segala zaman. Konsep-konsep kepemimpinan tersebut merupakan contoh dari nilai-nilai tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern, dan tidak lapuk dan lekang oleh gelombang perubahan apapun.

Untuk itu Koentjaraningrat mengemukakan ada empat komponen yang senantiasa ada dalam tiap jenis masyarakat, yaitu: wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus.19 Berikut ini diuraikan keempat komponen kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama dalam novel Para Priyayi, yaitu Sastrodarsono.

4.1.1 Wibawa

Komponen pertama di dalam kekuasaan Jawa adalah wibawa. Wibawa adalah sifat yang memperlihatkan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan daya tarik (KBBI, 2000).

Menurut Kartono (1990:105) kewibawaan berasal dari kata-kata ‘kawi’ dan ‘bahwa’.

Kawi berarti kuasa, kekuasaan yang lebih, kelebihan. Dan bahwa berarti kekuasaan, keutamaan, kelebihan, keunggulan. Jadi kewibawaan berarti kelebihan, keunggulan, keutamaan, sehingga seseorang mampu mengatur, membawa, memimpin, dan memerintah orang-orang lain. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Karepesina

(1988:17) bahwa kewibawaan dapat didefinisikan sebagai kekuatan yang memancar

19 Lihat Koentjaraningrat ‘Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi’ dalam Miriam Budiardjo (Ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hlm. 128-143

Universitas Sumatera Utara dari diri seseorang karena kelebihan yang dimilikinya sehingga mendatangkan kepatuhan tanpa paksaan kepadanya.

Seorang pemimpin harus memiliki kelebihan atau keunggulan tertentu sebagai tumpuan kewibawaan yang dimilikinya di mata pengikutnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Karjadi dalam Karepesina (1988:11) bahwa pemimpin yang ideal adalah orang yang berkuasa dan memiliki wibawa serta mempunyai kemampuan memimpin yang baik terhadap semua lapisan dari lapangan di mana nantinya ia akan bergerak. Kartono (1990:310) juga berpendapat bahwa konsepsi mengenai kepemimpinan itu harus selalu dikaitkan dengan tiga hal penting yaitu (1) kekuasaan,

(2) kewibawaan, (3) kemampuan.

Wewenang tanpa wibawa melahirkan pemimpin yang kurang ampuh, sedangkan wibawa tanpa wewenang masih memiliki kepatuhan dari masyarakat yang dipimpin. Kalau seorang pemimpin kehilangan kewibawaannya, masyarakat pun dapat berada dalam krisis kepemimpinan. Hal ini sejalan dengan pendapat Salusu

(1996:216),

Memang, pada wewenang melekat wibawa. Wewenang yang dimiliki seseorang adalah konstan, sedangkan wibawa merupakan a matter of degree. Seseorang yang mempunyai wewenang, belum tentu berwibawa dalam menuntut ketaatan dari orang lain. Jadi, kewibawaan adalah kewenangan yang diterima. Pemimpin yang dibutuhkan organisasi tentu yang memiliki kekuasaan, wewenang, dan wibawa.

Untuk dapat memimpin dengan baik, orang harus berwibawa, bukan karena kekuasaan atau ditakuti (Karjadi dalam Karepesina, 1988:20). Kekuasaan tidak perlu mengandung kekerasan jika masalahnya dihubungkan dengan wibawa. Wibawa

Universitas Sumatera Utara menimbulkan pada orang yang dihadapi rasa segan, bukan takut, rasa hormat bukan kecut, seperti ungkapan dalam novel Para Priyayi berikut.

….wibawa itu tidak membuat orang merasa takut melainkan hormat. (Kayam, 2000:157)

Suseno (2003:103) juga menyatakan pendapatnya bahwa orang-orang yang sungguh-sungguh berwibawa tidak perlu menggarisbawahi kewibawaannya dengan usaha-usaha lahiriah. Sebaliknya, seorang atasan yang selalu merasa perlu untuk menonjolkan kewibawaannya, secara tidak langsung mengaku, bahwa ia sebenarnya merasa lemah, dan dengan demikian menggoncangkan kedudukannya sendiri.

Tokoh utama Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi memiliki sikap wibawa. Hal ini diakui oleh anak-anaknya. Berikut adalah kutipan yang berisi pengakuan anak-anak Sastrodarsono terhadap sikap wibawa ayahnya.

Betapapun kami sudah menjadi orang, sudah beranak-pinak dan memiliki kedudukan di masyarakat, orang-tua saya, terutama Bapak, adalah matahari tempat kami berpaling. Seperti juga matahari, Bapak memang selalu menyilaukan mata kami. Di hadapannya kami anak-anak masih tetap anak- anak. Dari mulutnya keluar sabda-sabda yang mengandung bobot yang berwibawa sekali bagi kami anak-anak. Kami menerima sabda atau fatwa itu tanpa reserve, tanpa berani menyanggahnya. (Kayam, 2000:180-181).

Begitu pula, Lantip alias Wage, yang ngenger (mengabdi) pada keluarga

Sastrodarsono membenarkan kewibawaan Sastrodarsono itu. Hal ini tergambar melalui kutipan berikut.

Universitas Sumatera Utara Waktu mereka melihat Embok datang membawa saya, Ndoro Guru langsung menanyakan dengan nada suara, setidaknya bagi saya waktu itu, sangatlah ulem-nya dan sangatlah penuh wibawa. (Kayam, 2000:13)

Ada beberapa hal yang menimbulkan kewibawaan pada diri seseorang. Dalam masyarakat yang masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak pada hal-hal berikut.20

1. Ilmu

Ilmu merupakan komponen dasar dari sumber kewibawaan tradisional. Orang yang menguasai ilmu akan disegani atau dihormati masyarakatnya.

Menurut Endraswara (2003:32) ilmu adalah bukti olah otak manusia yang mungkin didasarkan pembuktian ilmiah. Ilmu bersumber pada kebenaran ilmiah.

Setiap manusia yang sadar dan wajar dapat memiliki sebuah ilmu. Ilmu ini akan membantu keperluan hidup manusia dalam segala hal.

Ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui pendidikan dan proses belajar.

Pendidikan merupakan kata kunci untuk setiap manusia agar ia mendapatkan ilmu.

Hanya dengan pendidikanlah ilmu akan didapat dan diserap dengan baik.

Kaum priyayi adalah orang-orang yang lebih banyak bersentuhan dengan pendidikan. Mereka pun menyadari pentingnya belajar lebih banyak dari bangsa

Eropa sehingga mereka akhirnya turut serta membawa kemajuan ke dalam

20 Karl D. Jackson pernah melakukan penelitian desertasinya tentang sumber-sumber kewibawaan tradisional dan kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Kewibawaan Tradisional, Islam, dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1990.

Universitas Sumatera Utara masyarakat. Pada masa penjajahan Belanda, priyayi tidak hanya mengacu pada keluarga keraton dan sejenisnya. Kebutuhan akan pegawai pribumi yang berpendidikan telah membuka pintu bagi seluruh lapisan masyarakat untuk maju menjadi priyayi. Pendidikan menjadi modal awal bagi kaum wong cilik untuk mendobrak keterbatasan statusnya. Padmasusastra dalam Rahmanto (2004:92) menyatakan bahwa untuk dapat memasuki birokrasi kepegawaian pada semua tingkatan, seorang priyayi Jawa dituntut memiliki keterampilan profesional, seperti membaca, menulis, berolah seni, dan beragama yang semuanya itu dapat diperoleh lewat pesantren atau sekolah.

Pentingnya intelektualitas semakin disadari oleh kaum wong cilik karena dengan hal itu mereka mendapat kesempatan untuk menjadi priyayi. Hal inilah yang selalu ditekankan Embah Martodikromo (kakek dari Sastrodarsono) kepada anak- anaknya dalam novel Para Priyayi.

“Jangan hanya puas jadi petani, Le. Kalian harus menjadi priyayi. Kalian harus sekolah.” (Kayam, 2000:30)

Dari kutipan di atas, status priyayi berarti suatu kehormatan, pangkat dan kemapanan hidup secara ekonomi. Menjadi priyayi adalah impian hidup keluarga

Atmokasan (ayah Sastrodarsono), namun untuk mencapai tujuan itu pendidikan menjadi modal dasar. Dengan demikian keluruhan derajat priyayi tidak lagi semata- mata berasal dari warisan darah. Ilmu pengetahuan menjadi hal yang lebih utama.

Dengan memiliki pendidikan mereka akan diperhatikan oleh pemerintah dan dapat menduduki suatu jabatan.

Universitas Sumatera Utara Dalam novel Para Priyayi, Sastrodarsono (nama tua dari Soedarsono) sebagai tokoh utama mampu menjadi priyayi dan membangun keluarga priyayi bukan karena warisan turun-temurun, tetapi lewat suatu perjuangan yang gigih berdasarkan kepandaian atau ilmu yang berhasil mereka kuasai lewat pendidikan, dan dalam suatu proses panjang pengabdian.

Berkat dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten, Sastrodarsono bisa sekolah dan kemudian menjadi guru desa. Dari sinilah ia memasuki dunia elite birokrasi sebagai priyayi pangreh praja. Berikut kutipannya.

Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas Atmokasan, petani desa Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit guru bantu di Ploso. Guru bantu. Itu berarti sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi, meskipun priyayi yang paling rendah tingkatnya. Itu tidak mengapa. Yang penting kaki saya sudah melangkah masuk jenjang priyayi. Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan setia kepada gupermen, saya akan menjadi guru penuh sekolah desa. Itu akan lebih memantapkan kedudukan saya sebagai priyayi, sebagai abdi gupermen. Dan kalau saya sudah menjadi mantri guru, wah, itu sudah boleh dikatakan menjadi priyayi yang terpandang. (Kayam, 2000:29).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa pendidikan menjadi modal awal bagi wong cilik untuk mendobrak keterbatasan statusnya. Status priyayi yang disandang oleh

Sastrodarsono tersebut dicapai melalui proses pendidikan dan kerja keras. Dengan jabatan sebagai guru bantu, Sastrodarsono adalah orang pertama dalam keluarganya yang berhasil menjadi priyayi.

Menjadi seorang guru pada zaman pendudukan Belanda maupun Jepang merupakan posisi terhormat dan disegani. Saat itu guru merupakan elit yang

Universitas Sumatera Utara memegang peranan penting dalam masyarakat. Tak mengherankan jika guru pada masa kolonial masuk menjadi golongan priyayi mobilitas vertikal. Dengan menjadi priyayi tidak hanya berarti sebuah peningkatan dalam status sosial, melainkan juga peningkatan kekuasaan (Faruk dalam Salam, 1998:xxxiii). Untuk itu Kanjeng Gusti

Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII selaku raja dari istana Mangkunegaran selalu mengharapkan rakyatnya dapat menjadi guru seperti dalam kutipan berikut.

Beliau menginginkan agar rakyatnya baik tua maupun muda bisa menjadi soko guru suatu kerajaan Jawa yang, meskipun kecil, terbatas kekuasaannya, tetapi maju. Maka itu beliau ingin agar segera dimulai dengan suatu rencana menyeluruh pendidikan orang dewasa. (Kayam, 2000:158)

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa profesi guru merupakan profesi yang paling ideal di masyarakat dan dipandang sebagai ‘priyayi’. Profesi guru tersebut mempunyai kedudukan yang terhormat, karena itu guru dihargai di masyarakat.

Tokoh Mangkunegaran VII diangkat ke dalam novel karena kekaguman Umar

Kayam akan sikapnya yang modern untuk memajukan masyarakat, yang diungkapkannya melalui kutipan berikut.

….beliau masih prihatin dengan pendidikan orang dewasa di pedesaan ….beliau ingin agar segera dimulai dengan suatu rencana menyeluruh pendidikan orang dewasa. Pendidikan itu mestilah mencakup pemberantasan buta huruf, pendidikan kesehatan, pendidikan kerajinan tangan dan organisasi kepanduan dan krida muda. (Kayam, 2000:158)

Perjuangan Sastrodarsono untuk membangun keluarga priyayi tidak terlepas dari perhatiannya yang besar terhadap kemajuan pendidikan. Semangat ini terus diterapkannya pada anak-anaknya. Melalui sekolah, anak-anak Sastrodarsono juga berhasil menjadi priyayi.

Universitas Sumatera Utara Anak-anak kami, kami masukkan ke sekolah HIS, sekolah dasar untuk anak-anak priyayi itu, karena sekolah ini diadakan untuk menyiapkan priyayi-priyayi gupermen. (Kayam, 2000:52)

Bagi priyayi yang telah berhasil adalah suatu kewajiban untuk membantu wong cilik untuk mencapai status priyayi, hal ini dilakukan dengan jalan pendidikan.

Untuk itu, sebagai priyayi Sastrodarsono berkewajiban untuk membiayai sekolah kemenakan-kemenakannya. Hal ini diungkapkan Lantip, priyayi yang ngenger

(mengabdi) di rumah Sastrodarsono.

Ndoro Guru, di samping harus membesarkan anak-anaknya, juga menampung beberapa kemenakan. Dengan pendek, rumah tangga Ndoro Guru adalah rumah tangga khas priyayi Jawa, di mana sang priyayi adalah soko guru keluarga besar yang berkewajiban menampung sebanyak mungkin anggota keluarga-jaringan itu ke dalam rumah tangganya. Rezeki dan pangkat itu jangan dimakan dan dikangkangi sendiri, begitulah saya dengan Ndoro Guru berkali-kali menasihati anak-anaknya dan siapa saja. Tidak pantas, saru, bila ada seseorang anggota keluarga besar priyayi sampai kleleran, terbengkalai, jadi gelandangan tidak ada yang mengurus, tidak menikmati pendidikan, begitu nasihatnya yang lain, priyayi yang tidak urus begitu adalah priyayi yang jelek bahkan bukan priyayi, tekan Ndoro Guru lebih jauh. (Kayam, 2000:15)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa Sastrodarsono adalah seorang priyayi yang selalu peduli akan kehidupan dan pendidikan saudaranya juga orang lain. Pemikiran untuk membangun kaum wong cilik dalam diri Sastrodarsono juga didasari oleh tokoh Ndoro Seten yang beranggapan bahwa priyayi seharusnya memajukan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kutipan berikut.

“Sastro, kamu kira saya tempo hari ngotot betul berusaha memasukkan kamu ke kursus guru bantu untuk apa? Juga kawan-kawanmu yang lain dari desa- desa di bawah kekuasaan saya, saya usahakan masuk di pendidikan ini dan

Universitas Sumatera Utara itu? Semua itu usaha saya bersama pangreh praja maju lainnya untuk membangun barisan priyayi maju, bukan priyayi yang di kemudian hari kepingin jadi raja kecil yang sewenang-wenang terhadap wong cilik.” (Kayam, 2000:63)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa pendidikan merupakan instrumen untuk dapat menjadi priyayi maju. Karakter priyayi maju tersebut juga harus dilandasi sikap kepeduliannya terhadap wong cilik.

Untuk itu dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang guru, Sastrodarsono juga sangat peduli dengan masa depan siswa-siswanya yang kebanyakan berasal dari keluarga tidak mampu itu.

Di kelas empat saya sangat memperhatikan pengajaran berhitung, menulis dan membaca, serta bahasa Jawa itu. Selain saya ingin agar sekolah desa Karangdompol bisa menjadi sekolah desa yang bisa dibanggakan, saya juga ingin agar anak tamatan sekolah Karangdompol itu tidak akan kesulitan mendapat pekerjaan dan kesempatan untuk mengikuti kursus-kursus atau pendidikan untuk jenjang yang lebih tinggi, seperti guru bantu atau calon mantri di berbagai bidang. (Kayam, 2000:53)

Sastrodarsono juga memberanikan diri mendirikan sekolah partikelir di desa

Wanalawas. Pembangunan sekolah tersebut ditujukan untuk mengajari pengetahuan dasar membaca dan menulis bagi warga desa tersebut. Berikut adalah percakapan

Sastrodarsono dengan warga desa Wanalawas untuk rencana pembangunan sekolah itu.

Saya kemudian mencoba menjajagi seberapa sadar dan kuat kemauan mereka untuk mempunyai sekolah itu. ‘Pak Dukuh, sedulur-sedulur semua saja.’ ‘Inggiih!’

Universitas Sumatera Utara ‘Apa betul sampeyan semua mau ada sekolah di sini?’ ‘Betuul, Ndoro Mantrii. Mauu.’ ‘Lha, kalau sudah ada sekolah terus mau dibuat apa?’ Orang-orang desa itu tidak menjawab serempak lagi. Kebanyakan malah saling berpandangan. Kemudian suara-suara kedengaran sendiri-sendiri. ‘Buat belajar nulis, Ndoro.’ ‘Buat belajar berhitung.’ ‘Lha, kalau sudah bisa belajar menulis dan berhitung?’ Mereka berpandang-pandangan lagi. Kemudian ada yang menyeletuk. ‘Kerja di kantor kabupaten, Ndoro.” (Kayam, 2000:104)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa dalam perjalanan hidupnya, impian tertinggi petani adalah keinginan untuk meningkatkan status sosialnya menjadi seorang priyayi. Mereka merasa priyayi merupakan pelabelan positif dan agung yang akan mendapat penghargaan maupun penghormatan yang besar dari masyarakat. Dan ilmu menjadi ukuran terpenting bagi keberhasilan seseorang untuk menjadi priyayi, seperti yang terlihat dalam kutipan novel Para Priyayi berikut.

“Jadi priyayi itu jadi orang terpandang di masyarakat, bukan jadi orang kaya. Priyayi itu terpandang kedudukannya, karena kepinterannya.” (Kayam, 2000:48)

Dengan ilmu yang dimiliki oleh Sastrodarsono, kewibawaan muncul pada dirinya sehingga orang-orang terpengaruh oleh tutur katanya, pengajarannya, patuh kepada nasihatnya, dan mampu menjadi magnet bagi pendengarnya sehingga mereka akan terkesima dan tekun mendengar ajarannya. Berikut gambaran kewibawaan tokoh Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi.

Waktu mereka melihat Embok datang membawa saya, Ndoro Guru langsung menanyakan dengan nada suara, setidaknya bagi saya waktu itu, sangatlah ulem-nya dan sangatlah penuh wibawa. (Kayam, 2000:13)

Universitas Sumatera Utara Betapapun kami sudah menjadi orang, sudah beranak-pinak dan memiliki kedudukan di masyarakat, orang-tua saya, terutama Bapak, adalah tempat kami berpaling. Di hadapannya kami anak-anak masih tetap anak-anak. Dari mulutnya keluar sabda-sabda yang mengandung bobot yang berwibawa sekali bagi kami anak-anak. Kami menerima sabda atau fatwa itu tanpa reserve, tanpa berani menyanggahnya. (Kayam, 2000:181)

Begitu pula saat istri Sastrodarsono atau Embah Putri meninggal, kewibawaannya terus melekat di hati masyarakat sekitarnya, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut.

Dari banyaknya jumlah pelayat kami tahu bahwa Embah Sastrodarsono dikenal dan dihormati oleh masyarakat Wanagalih. (Kayam, 2000:243)

2. Kesaktian (Kasekten)

Kesaktian merupakan komponen dasar dari sumber kewibawaan tradisional.

Kata kesaktian merupakan bentukan dari kata dasar sakti.21 Kata sakti berasal dari bahasa Sansekerta, India – Hindu, sekitar 3000 tahun Sebelum Masehi. Kata sakti yang sudah berumur 5000 tahun itu di tanah Jawa mengalami dinamisasi pemakaian, yang tidak jauh dari arti dasar semula.

Darsiti dalam Anshoriy (2008:30) menyatakan, pengertian kesaktian selalu dihubungkan dengan konsepsi kekuasaan atau otoritas kharismatik di dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Jawa khususnya. Konsepsi

Jawa tentang kekuasaan ini berdimensi empat sesuai dengan konsepsi yang dipakai

21 Berasal dari kata sekti yang diambil dari kata Sansekerta syakti. Dalam mitologi Hindu syakti adalah isteri para dewa. Syakti dalam mitologi Hindu itu juga bisa mempunyai fungsi penting, seperti misalnya isteri Wishnu, Sri.

Universitas Sumatera Utara dalam pewayangan, yaitu sakti Mandraguna, mukti wibawa. Sakti Mandraguna menunjuk pada kecakapan, kemampuan, atau ketrampilan dalam satu atau beberapa bidang, seperti olah senjata, kesenian, pengetahuan, dan sebagainya. Mukti lebih dihubungkan dengan kedudukan yang penuh kesejahteraan, sedang wibawa berarti kedudukan terpandang yang membawa pengaruh besar.

Menurut Djajadiningrat dalam Karepesina (1988:17) sakti artinya ‘kekuatan dan daya yang luar biasa atau kekuasaan untuk dapat melahirkan sesuatu yang luar biasa, juga kekuasaan untuk membuat sesuatu yang ganjil’. Menurut S.

Prawiroatmodjo, kata sakti berarti bertuah atau keramat (Bausastra Jawa – Indonesia:

1989). Sedangkan menurut Suparlan, kata sakti berarti kuasa atau sentosa (Kamus

Kawi – Indonesia, 1989).

Menurut Koentjaraningrat (1984:341) orang Jawa menganggap kesaktian sebagai energi yang kuat yang dapat mengeluarkan panas, cahaya atau kilat.

Kesaktian itu dapat berada di berbagai bagian tertentu dari tubuh manusia, seperti: kepala (terutama rambut dan mata), alat kelamin, kuku, air liur, keringat dan air mani.

Kasekten mungkin juga ada dalam tubuh binatang, terutama binatang yang besar, perkasa, atau yang aneh bentuknya, seperti harimau, gajah putih, kera putih, ayam sabungan, burung elang, kura-kura putih dan sebagainya. Namun kasekten pada umumnya ada dalam benda-benda suci, terutama benda-benda pusaka. Hal ini berkaitan dengan kutipan berikut.

Adapun dukun itu adalah Kiai Jogosimo yang sudah terkenal sakti dan ampuh mantera-manteranya. Hutan baginya seperti halaman di belakang rumah saja. Begitu akrab dan mesra hubungannya dengan hutan seisinya.

Universitas Sumatera Utara Harimau, monyet, serta satwa lainnya patuh dan tunduk kepadanya. Begitu pula pepohonan dan batu-batu di dalam hutan itu. Semuanya menaruh hormat belaka kepada Pak Kiai Jogosimo. Beliau memiliki wibawa itu karena konon memiliki kesaktian dapat berbicara dengan hewan dan tetumbuhan maupun batu-batuan. Barangkali nama Jogosimo, yang berarti ‘menjaga harimau’, itu diberi orang karena wibawa itulah. (Kayam, 2000:2-3)

Sakti ada pada manusia yang memiliki kesuburan atau kemakmuran, kekebalan dan kesucian. Hanya orang yang kuat jasmani dan rohaninya saja yang dianggap mampu memiliki kasekten (Koentjaraningrat, 1984:341).

Kesaktian dapat diperoleh dengan sebanyak mungkin menguasai benda sakti dan bergaul dengan orang-orang sakti serta mencari ilmu kesaktian (Karepesina,

1988:19). Kekuatan-kekuatan ini harus bisa diserap dan dipadukan dalam diri sendiri. Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi juga memiliki keris yang dianggap sebagai benda sakti. Hal ini terlihat di dalam kutipan berikut.

Dan yang juga menarik dari kamar itu adalah lemari kecil tempat menyimpan keris-keris Ndoro Guru dan beberapa tombak yang berada di tempat tombak di pojok kamar tidur. (Kayam, 2000:17)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa keris memiliki unsur kesaktian. Keris sendiri merupakan lambang kekuasaan.22 Keris, sebagai benda yang menakjubkan dari segi teknik, tetap dianggap sebagai pusaka keluarga. Keris itu merupakan simbol yang diturunkan dari ayah ke anak; di dalamnya terwujud kesaktian garis keturunan,

22 Telusuri www.galerypusaka.multiply.com/journal, diunduh tanggal 1 Maret 2011

Universitas Sumatera Utara yang diwariskan kepada orang terpilih. Paling tidak, keris itu merupakan wujud rangkap dari orang yang yang memilikinya. Para Sultan mempercayakan keris mereka kepada wakil-wakil mereka, sebagai bukti kewibawaan yang diwakilkan kepada mereka (Lombard, 1996:195).

Seiring dengan perubahan peradaban dan zaman, kata sakti dapat beralih arti, atau bahkan mungkin bertolak-belakang dengan arti sebelumnya. Pertanda lain dari adanya kesaktian adalah kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan (Deliar Noer dalam Karepesina, 1988:22). Ini merupakan kenyataan bahwa kepercayaan asli dijumpai pada masyarakat sederhana yang bergelimang dengan kehidupan berburu, menangkap ikan, bertani dan sebagainya. Nilai-nilai masyarakat pun banyak berhubungan dengan keadaan seperti ini. Kesuburan tanah atau alam yang subur amat memikat hati. Demikian pula manusia. Jika seseorang beristeri banyak, beranak banyak, memiliki kekayaan dan sebagainya, ia dianggap memiliki kesaktian yang lebih dari pada yang tidak memperoleh kesuburan itu.

Dalam novel Para Priyayi, keluarga Sastrodarsono dikaruniai keturunan yang memiliki ciri-ciri fisik priyayi. Berikut adalah kutipan yang menunjukkan hal tersebut.

Mungkin sekali, seperti dalam ceritera-ceritera wayang itu, kehendak dan keinginan kami itu didengar oleh Tuhan dan dikabulkan dengan memberi kami anugerah anak-anak yang bagus dan ayu, lagi pula bertampang priyayi, mriyayeni. (Kayam, 2000:52)

Universitas Sumatera Utara Dari kutipan di atas terlihat bahwa Sastrodarsono dianggap sakti karena memiliki keturunan yang banyak. Apalagi semua anak-anaknya dianugerahi tampang khas priyayi, yaitu tampan dan ayu.

Keberhasilan Sastrodarsono menjadi mantri guru telah membawa kehidupannya lebih makmur dan sejahtera. Ini terlihat dalam kutipan berikut.

Pada zaman itu kedudukan seorang mantri guru sekolah desa adalah kedudukan yang cukup tinggi di mata masyarakat seperti masyarakat Wanagalih. Mantri guru sudah jelas didudukkan masyarakat dan pemerintah sebagai priyayi. Ia punya jabatan, ia punya gaji tetap. (Kayam, 2000:14)

Di dalam ada empat kamar tidur. Yang paling besar tentulah kamar tidur Ndoro Guru Kakung dan Putri. Kamar itu, menurut penglihatan saya waktu itu, sangatlah besar dan bagus. Sebuah tempat tidur besi yang sangat besar dengan kasur, bantal, guling, dan kelambu yang serba putih, berenda dan berbunga putih pula, berada di kamar mepet dinding sebelah utara. Tempat tidur itu pada perasaan saya begitu indah dan besar sehingga orang tidak bisa lain daripada mengaguminya. Begitu penuh wibawa juga tempat tidur itu di kamar. Lantas di kamar itu ada lemari pakaian yang juga amat besar terbuat dari kayu jati. Lemari itu juga bagus. Kemudian satu cermin oval yang besar tergantung di dinding selatan. (Kayam, 2000:17)

Kutipan di atas menunjukkan Sastrodarsono dianggap sakti karena memiliki kekayaan sehingga hidupnya makmur dan sejahtera. Hal ini terlihat dari profesinya sebagai mantri guru yang memiliki jabatan dan gaji tetap. Frase kamar besar dan bagus, dilengkapi dengan aneka perabot mahal juga menunjukkan kekayaan

Sastrodarsono. Gambaran ini sangat relevan untuk menunjukkan kesaktian

Sastrodarsono.

Universitas Sumatera Utara Adanya orang-orang sakti di sekelilingnya juga akan menambah kesaktiannya.

Kedekatan keluarga Sastrodarsono dengan Ndoro Seten (seorang priyayi maju ) mampu mewujudkan impian keluarga Sastrodarsono untuk menjadi priyayi.

Perhatikan kutipan berikut.

Hanya saja Bapak sangat beruntung boleh mengerjakan sawah Ndoro Seten itu pula, maka hubungan Ndoro Seten dengan bapak saya jadi akrab. Tentu saja akrabnya hubungan seorang Ndoro Seten yang priyayi dengan Atmokasan yang petani desa. Dan karena hubungan itu pula saya mendapat nama saya yang Soedarsono ini. Bila tidak karena hubungan itu bagaimana kita orang desa bisa membayangkan mendapat nama Soedarsono, nama yang menurut bayangan kami hanya pantas dimiliki anak-anak priyayi saja…. Karena kemurahan hati Ndoro Seten pula waktu saya kemudian lulus sekolah desa lima tahun, saya dicarikan jalan lewat Ndoro Wedono dan para Priyagung di Madiun untuk dapat diterima magang untuk menjadi guru bantu. (Kayam, 2000:31)

Hubungan baik Sastrodarsono dengan priyayi-priyayi maju lainnya juga memudahkan keturunannya untuk menjadi priyayi seperti dirinya.

Dan saya sekali lagi beruntung. Kedudukan saya sebagai guru, meskipun guru sekolah desa, latar belakang saya sebagai menantu mantri penjual candu, hubungan saya dengan Romo Seten Kedungsimo, hubungan saya yang akrab dengan Dokter Soedradjat dan para pemuka masyarakat Wanagalih lainnya, telah memberikan saya kemudahan untuk memasukkan anak-anak saya ke sekolah HIS Wanagalih. (Kayam, 2000:52)

Dengan demikian data-data di atas menunjukkan bahwa kesaktian

Sastrodarsono lebih jelas terlihat dari kemampuannya memiliki banyak keturunan,

Universitas Sumatera Utara kemakmuran dan kesejahteraan. Hal-hal inilah yang juga menjadi faktor munculnya kewibawaan pada diri Sastrodarsono.

3. Keturunan

Keturunan merupakan komponen dasar dari sumber kewibawaan tradisional.

Seseorang yang berasal dari keluarga yang pernah memimpin dengan baik dianggap memiliki sesuatu ‘lambang’ sebagai dasar kepemimpinannya (Karepesina, 1988:26).

Dalam pandangan masyarakat Jawa, orang demikian dianggap telah mewarisi darah kepemimpinan.

Dalam Kitab Pararaton23 dinyatakan ‘….karena raja mempunyai kewibawaan atau kharisma sedemikian besarnya, maka tidak hanya dirinya sendiri yang mempunyai status demikian, tetapi juga keturunannya.’ Itulah sebabnya keturunan juga mempunyai peranan penting dalam hubungannya dengan kekuasaan negara. Hal ini tersirat di dalam novel Para Priyayi melalui kutipan berikut.

Saya dan Dik Ngaisah tentulah yang merasa bangga dengan kelahiran Noegroho. Yah, semua merasa bangga. Sebab inilah anak laki-laki sulung yang akan menjadi penerus utama keluarga besar kami. Dan bukan sembarang penerus. Noegroho adalah anak laki-laki yang kami harapkan betul, yang kami gadang-gadang akan menjadi salah satu soko guru keluarga besar priyayi Sastrodarsono. Dialah yang pada satu ketika kami bayangkan sebagai pemimpin adik-adiknya, anak-anaknya, kemenakan- kemenakannya, dan cucu-cucunya membangun keluarga besar yang baru, yang lebih maju dan terhormat. (Kayam, 2000:51)

23 Lihat Nasruddin Anshoriy, Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: LKiS, 2008, hlm. 29

Universitas Sumatera Utara Hal yang sama juga dapat dilihat dari kutipan berikut.

Anak-anak kami, kami masukkan ke sekolah HIS, sekolah dasar untuk anak-anak priyayi itu, karena sekolah ini diadakan untuk menyiapkan priyayi-priyayi gupermen. Anak-anak yang bersekolah di situ akan diajar bahasa Belanda, bahasa yang sangat penting buat mendapat kedudukan di kantor gupermen dan dapat meneruskan pelajaran ke sekolah menengah dan sekolah menengah atas priyayi, seperti MULO, AMS, atau sekolah- sekolah guru menengah, seperti sekolah Normaal, Kweeksekul dan sebagainya itu. Kalau anak-anak saya nanti ingin jadi guru maka mereka bukan hanya akan sekolah kursus guru bantu seperti bapak mereka. Mereka akan ke sekolah guru yang lebih tinggi, yang lebih benar-benar sekolah guru. Dan saya sekali lagi beruntung. Kedudukan saya sebagai guru, meskipun guru sekolah desa, latar belakang saya sebagai menantu mantri penjual candu, hubungan saya dengan Romo Seten Kedungsimo, hubungan saya dengan Romo Seten Kedungsimo, hubungan saya yang akrab dengan Dokter Soedradjat dan para pemuka masyarakat Wanagalih lainnya, telah memberikan saya kemudahan untuk memasukkan anak-anak saya ke sekolah HIS Wanagalih. (Kayam, 2000:52)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa kewibawaan Sastrodarsono sebagai priyayi maju juga memiliki pengaruh bagi keturunannya kelak. Dengan masuknya

Sastrodarsono ke dalam jenjang priyayi, secara otomatis semua anaknya dapat mewarisi ‘lambang priyayi’ ini hingga ke keturunannya nanti. Sebutan Ndoro pada

Sastrodarsono dan keturunannya merupakan gelar terhormat dengan kedudukannya sebagai priyayi.

Bagi keluarga Jawa waktu itu keluarga inti Ndoro Sastrodarsono boleh dikatakan kecil. Mereka hanya punya tiga orang anak. Yang pertama Ndoro Noegroho tinggal di Yogya menjadi guru HIS, sekolah dasar untuk anak- anak priyayi, yang kedua Ndoro Hardojo, memilih menjadi abdi dalem Mangkunegaran di Solo, bekerja di bagian pendidikan orang dewasa dan gerakan pemuda dengan pangkat wedana, dan yang paling muda adalah Ndoro Den Ajeng Soemini, yang kawin dengan Raden Harjono Cokrokusumo, asisten wedana di Karangelo. (Kayam, 2000:18)

Universitas Sumatera Utara 4 Sifat-Sifat Kepribadian

Komponen keempat dari sumber kewibawaan tradisional adalah sifat-sifat kepribadian. a. Adil dan bijaksana

Dalam konsep kekuasaan Jawa seorang pemimpin tidak bisa bersikap sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Konsep dimaksud adalah ungkapan bahwa seorang pemimpin haruslah berbudi bawa leksana ambeg adil para marta. Konsep ini menyiratkan bahwa seorang pemimpin harus dapat menciptakan ketertiban dan keamanan rakyat dan negara, seperti dalam ungkapan anjaga tata titi tentreming praja. Dengan demikian, seharusnya seorang pemimpin tidak hanya menjadi penghukum, tetapi juga penegak hukum, yang merupakan manifestasi dari upaya menegakkan keadilan. Seorang penguasa haruslah dapat memberikan kebijakan – kebijakan yang adil serta menyelesaikan masalah dengan tepat.

Dalam mendidik anak-anak dan kemenakannya, tokoh sentral Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi mampu menerapkan sikap adil. Dalam usahanya untuk mengangkat martabat kemenakan-kemenakannya, ia menyekolahkan mereka di tempat sekolah yang sama dengan anak-anaknya, dan memberikan fasilitas yang cukup nyaman bagi mereka untuk tinggal di rumahnya.

Mereka semua saya masukkan ke sekolah HIS yang sama dengan anak- anak saya. Mereka memang tidak saya tempatkan di kamar-kamar di bagian dalam rumah karena tidak ada cukup ruangan di dalam. Tetapi, mereka kami bangunkan sebuah pavilyun yang cukup baik dengan kamar-kamar yang baik juga. Dan makan pun, meskipun untuk mereka kami sediakan di pavilyun, sering juga kami ajak makan di dalam. (Kayam, 2000:100)

Universitas Sumatera Utara Bila anak-anak dan kemenakannya berbuat salah, Sastrodarsono juga akan memberikan sanksi yang setimpal dengan perbuatan mereka.

Yang terakhir saya ingat saya memukul Noegroho dan Hardojo waktu mereka masih duduk di kelas empat dan lima, waktu mereka juga tidak mau patuh pada larangan kami agar tidak berenang di Kali Madiun untuk beramai-ramai ikut-ikutan njenu, menuba, sungai agar ikan-ikannya pada mati dan mudah ditangkap. Terhadap Ngadiman dan Soedarmin saya tidak pernah merotan saking patuh dan baiknya anak-anak itu. Tapi Soenandar! Berapa kali saja sudah saya rotan dia. (Kayam, 2000:74)

Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa Sastrodarsono memperlakukan anak- anak dan kemenakan-kemenakannya secara adil, baik untuk mengangkat derajat mereka maupun jika mereka melakukan kesalahan.

Seorang pemimpin juga harus wicaksana atau bijaksana dalam menjalankan kekuasaan dan pemerintahan. Kebijaksanaan itu sering digambarkan sebagai mampu mengambil keputusan yang tepat dalam menghadapi situasi.

Tokoh Sastrodarsono dan Ngaisah, memang menjadi pusat orientasi dan tempat ‘pengaduan’ bagi putra-putrinya, tetapi mereka juga tampil sebagai tokoh

‘demokrat’ yang dapat diajak berdiskusi dan bercengkerama. Ketika Soemini, putri tunggal keluarga Sastrodarsono, dilamar oleh keluarga Soemodiwongso untuk anaknya yang bernama Raden Harjono Cokrokoesomo, Sastrodarsono dan istrinya, berembuk dahulu dengan anak-anaknya yang lain, termasuk Soemini sendiri. Padahal sebagai orang tua, mereka dapat saja memutuskan lamaran itu. Perhatikan kutipan di bawah ini.

Universitas Sumatera Utara “Anak-anak, ini begini. Hari ini datang surat lamaran dari pamanmu Soemodiwongso di Soemoroto yang ingin minta Soemini jadi menantunya. Karena orang tuamu ini bukan priyayi kuno kami mengumpulkan kalian, terutama genduk Mini untuk kami tanya pendapat kalian.” (Kayam, 2000:76)

Kutipan di atas menunjukkan tokoh Sastrodarsono mampu membangun sikap bijaksana dalam menyikapi setiap keadaan dan peristiwa. Sebelum memutuskan suatu perkara, dengan rasa rendah hati ia menerima dan mengakui masukan dari setiap anggota keluarganya.

b. Berani dan tegas

Keberanian seorang pemimpin merupakan suatu sifat yang didambakan oleh masyarakat. Berani adalah suatu sikap mental untuk bersedia menghadapi dan mengatasi suatu masalah dan tantangan.

Ketika Sastrodarsono bersedia menggantikan Martoatmodjo sebagai kepala sekolah, ia justru berani mengambil risiko untuk meneruskan perjuangan

Martoatmodjo yang dituduh mengadakan hubungan dengan pergerakan. Perhatikan kutipan berikut.

Waktu tiba di Wanagalih sesudah berlibur demikian lama di Jogonegoro dan Kedungsimo, saya mendapat surat beslit itu. Saya diangkat menjadi kepala sekolah menggantikan Mas Martoatmodjo yang dipindah ke sekolah desa Gesing. (Kayam, 2000:65)

Universitas Sumatera Utara Keberanian Sastrodarsono ini awalnya terinspirasi oleh petuah Ndoro Seten yang ternyata juga dituduh mulai main api dengan orang-orang pergerakan seperti halnya Martoatmodjo.

‘Yang penting sekarang kamu, Sastro. Kamu terima saja dengan berani bila kau nanti harus mengganti Martoatmodjo. Saya tahu kau tidak terlalu gembira menggantikan orang yang dijatuhkan begitu. Tetapi, kau harus melihat ini sebagai kerja meneruskan pekerjaan Martoatmodjo. Hanya kau harus benar-benar hati-hati. Pemerintah Hindia sekarang adalah pemerintahan yang akan jauh lebih ketat mesinnya. Itu saja pesanku. Kau harus bisa menjadi priyayi maju….’(Kayam, 2000:64)

Hubungan Martoatmodjo dan Ndoro Seten dengan orang-orang pergerakan lewat surat kabar Medan Priyayi sesungguhnya adalah usaha mereka untuk membangun barisan priyayi maju lewat pendidikan, bukan untuk mengkhianati bangsa sendiri. Hal ini merupakan bukti kecintaan mereka terhadap bangsa Indonesia.

“Semua itu usaha saya bersama pangreh praja maju lainnya untuk membangun barisan priyayi maju, bukan priyayi yang di kemudian hari kepingin jadi rakyat kecil yang sewenang-wenang terhadap wong cilik. Ini monyet-monyet seperti school opziener dan mantra polisi dan entah telik-telik, spiun-spiun, picisan yang mana lagi dengan upah berapa gulden jadi tega melapor-laporkan bangsa sendiri, yang bikin rusak semua usaha kami.” (Kayam, 2000:63)

Atas saran Martoatmodjo, Sastrodarsono bertekad untuk mendirikan sekolah partikelir di Wanalawas. Hal ini merupakan pekerjaan sosial untuk membantu rakyat kecil. Apalagi daerah itu belum juga mempunyai sekolah desa. Bahkan sekolah yang hanya tiga tahun pun belum tersedia sehingga banyak anak-anak yang sudah waktunya sekolah tidak atau belum sekolah. Tekad Sastrodarsono untuk membangun sekolah terlihat dalam kutipan berikut.

Universitas Sumatera Utara Dalam perundingan itu akhirnya saya memutuskan bahwa akan dicoba dengan satu kelas kecil untuk pelajaran membaca dan menulis. Kelas tersebut akan dibuka untuk anak-anak yang sudah berumur tujuh tahun dan yang sudah lebih tua dari itu tetapi yang belum pernah mendapat kesempatan sekolah. Kami juga mempertimbangkan kesempatan untuk menyediakan waktu bagi orang-orang tua yang berminat untuk belajar membaca dan menulis. (Kayam, 2000:104)

Pada mulanya, sekolah itu berjalan lancar. Sayang, pendirian sekolah itu disangkutpautkan dengan ulah Martoatmodjo yang ditahan di Surabaya. Dengan dalih sebagai sekolah liar tanpa izin, Penilik Sekolah meminta agar sekolah itu ditutup. Dan demi keselamatan keluarganya, Sastrodarsono akhirnya mengalah untuk tidak meneruskan usaha sekolah itu.

“Tapi, saya tidak menyesal sudah berani memulai usaha itu. Untuk itu saya merasa berhutang budi kepada pakde-mu Martoadmodjo, orang gagah berani itu, yang telah membukakan mata Bapak. Kalau ada lagi yang Bapak sesali adalah ketidakberanian Bapak mengambil risiko dipecat School Opziener keparat itu.” (Kayam, 2000:164)

Anak-anak Sastrodarsono juga mengakui keberanian orang tuanya itu dalam usaha membangun priyayi maju.

“Di mata anak-anak Bapak dan Ibu, Bapak dan Ibu adalah orang-tua yang gagah berani. Kami semua sangat merasa berbahagia dibesarkan Bapak dan Ibu.” (Kayam, 2000:164)

Keberanian Sastrodarsono juga terlihat ketika ia berani menolak aturan baru dari tentara Jepang untuk ikut membungkuk ke arah utara (saikere kita ni muke) di sekolah setiap pagi. Akibatnya kepalanya ditempeleng oleh serdadu Jepang tersebut.

Universitas Sumatera Utara Putranya Noegroho yang juga seorang guru di Sekolah Rakyat justru tidak seberani

Sastrodarsono untuk menolak perintah Jepang.

Saya ternyata tidak seberani Bapak yang menolak untuk menjalani upacara saikere kita ni muke, membungkuk dalam-dalam ke arah utara. (Kayam, 2000:177)

Di bagian lain, dalam hal yang menyangkut masalah-masalah yang prinsipil, tokoh Sastrodarsono juga dapat bertindak tegas. Jadi, dalam hal menentukan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan anggota keluarga, mereka dapat bersikap demokratis, toleran, menghargai pandangan yang berbeda, tetapi juga dapat bersikap tegas. Apa yang dialami Soenandar, keponakannya yang ikut dan dan disekolahkan keluarga itu, merupakan contoh betapa Sastrodarsono dapat pula bertindak tegas.

Pertama, ketika Soenandar diketahui mencuri uang teman sekolahnya, ia dihajar – setelah beberapa kali dinasehati – dengan pukulan rotan, walaupun Sastrodarsono juga masih tetap berusaha agar keponakannya itu dikeluarkan dari sekolahnya.

Dan der, der, der, rotan saya pukulkan ke punggung Soenandar hingga babak-belur. Mungkin agak kelewatan marah saya. Yang pasti garis-garis bekas pukulan rotan itu membekas dengan jelasnya di punggung anak itu. Selesai itu dia saya larang keluar dari gudang untuk sehari semalam tanpa minum tanpa makan. Sesungguhnya saya tidak pasti juga apakah hukuman yang begitu berat akan segera membuat dia kapok. Hal itu juga ditanyakan istri saya dan Soemini. Dan ternyata memang hajaran itu tidak membekas lama pada Soenandar. Dengan lain perkataan dia memang tidak kapok. Soenandar mencuri lagi di sekolah. Dan justru waktu tinggal beberapa bulan kenaikan kelas ke kelas enam. Kami memutuskan untuk menarik dia dari sekolah sebelum Menir Soetardjo dan Menir Soerojo harus terpaksa berbaik hati lagi memberi kesempatan kepada Soenandar untuk dicoba di sekolah lagi. Kami rikuh dan malu kepada mereka. Kebanggaan priyayi kami sungguh tersinggung dengan kekurangajaran Soenandar. Di lain pihak, kami juga malu terhadap ibu Soenandar, sepupu saya yang sudah menjanda di desanya dan sangat melarat keadaannya. Kami akhirnya memutuskan untuk menarik

Universitas Sumatera Utara Soenandar dari sekolah, tetapi tidak mengembalikan dia ke desanya. (Kayam, 2000:74-75)

Dalam mendidik siswa-siswanya di sekolah agar juga dapat menjadi priyayi maju, Sastrodarsono juga sangat bersikap tegas sehingga School Opziener sebagai penilik sekolah mengagumi usahanya tersebut dan ia ditawarkan untuk menjadi kepala sekolah, menggantikan Martoatmodjo yang diisukan memiliki hubungan dengan pergerakan. Perhatikan kutipan berikut.

Rupanya pemilik sekolah, School Opziener, memperhatikan dengan cukup seksama cara saya mengajar. Pada waktu hari rutin penilikan, saya dipanggil beliau di ruang mantri guru. Saya dipuji sebagai guru yang tahu mengajar dengan baik dan dapat menegakkan ketertiban kelas. Rupanya kenakalan murid-murid kami di Karangdompol masuk perhatian beliau pula. (Kayam, 2000:53)

c. Dermawan

Seorang hartawan belum tentu memiliki pengaruh dan kewibawaan lantaran harta kekayaannya, apabila ia tidak memiliki sifat dermawan. Dermawan bisa diartikan dengan senang hati tanpa keterpaksaan memberikan sebagian harta yang dimilikinya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkan. Keadaan ini dapat dikaitkan pula dengan salah satu aspek dari kesaktian di mana kesuburan pada diri seseorang menyebabkan ketergantungan masyarakat kepadanya untuk memperoleh bagian dari kesuburan itu.

Dengan menjadi seorang priyayi, Sastrodarsono tidak hanya ingin meningkatkan martabat diri dan keluarganya, tapi ia juga tetap peduli terhadap nasib rakyat kecil. Ia pun berjuang untuk mengangkat martabat rakyat kecil tersebut agar

Universitas Sumatera Utara dapat merasakan kebahagiaan dan kesuksesan menjadi seorang priyayi seperti dirinya. Hal inilah yang ia anggap sebagai semangat priyayi maju.

Warna semangat itu adalah warna pengabdian kepada masyarakat banyak, terutama kepada wong cilik, tanpa pamrih….(Kayam, 2000:306)

Kutipan di atas menunjukkan tekad kuat Sastrodarsono untuk mengabdi kepada rakyat kecil tanpa pamrih. Untuk itu, selain keluarga inti, Sastrodarsono juga bertekad untuk membesarkan dan menyekolahkan anak-anak dari saudara-saudaranya yang kurang mampu. Mereka diangkat sebagai anak dan disekolahkan di sekolah yang sama dengan anak-anak Sastrodarsono sendiri. Perhatikan kutipan berikut ini.

Untuk itu kami adalah priyayi Jawa, bahkan petani Jawa, yang tidak pernah akan tega dan puas menikmati dan makan rejeki kami hanya oleh keluarga pokok kami saja. Orang-tua saya, orang-tua Dik Ngaisah selalu saja menekankan hal ini. Karena itu, meskipun saya adalah anak tunggal, dan demikian juga Dik Ngaisah, di rumah kami dulu kami tidak pernah merasa kesepian karena selalu ada saja keluarga jauh yang tinggal di rumah kami. Demikian juga sekarang di rumah kami di Wanagalih. Ngadiman, anak dari sepupu saya, jadi cucu dari paman saya, dititipkan orang-tuanya kepada saya untuk disekolahkan di HIS. Begitu juga beberapa kemenakan lain, baik dari pihak saya maupun dari pihak Dik Ngaisah, seperti Soenandar, Sri, dan Darmin pada rame-rame dititipkan orang-tua mereka kepada kami. (Kayam, 2000:69-70)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa sikap dermawan Sastrodarsono terlihat dari rasa tidak tega dan puasnya ia untuk menikmati rejeki sendiri. Oleh karena itu, ia bersedia menerima anggota keluarga lainnya untuk tinggal di rumahnya dan disekolahkan di HIS.

Universitas Sumatera Utara Lantip, seorang priyayi yang ngenger (mengabdi) di rumah Sastrodarsono menguatkan sikap dermawan Sastrodarsono tersebut. Perhatikan kutipan berikut.

Untunglah Ndoro Mantri Guru mengulurkan tangannya pada waktu embok Den Bagus Soenandar memohon pertolongan dari sepupunya itu. Ndoro Mantri Guru sangat iba melihat nasib sepupu perempuannya yang begitu dikucilkan dan diabaikan oleh saudara-saudaranya sendiri. (Kayam, 2000:118)

Sastrodarsono sadar akan dirinya sebagai priyayi yang harus berperilaku halus dan lembut merepresentasikan budaya halus keraton. Kelembutan Sastrodarsono tampak pada sikapnya yang menaruh belas kasih kepada Wage (yang kemudian diberi nama Lantip), mendidiknya, sehingga Lantip menjadi lelaki yang berhasil secara akademik dan status sosial, meskipun ayah Lantip seorang bromocorah (penjahat).

Berikut ini merupakan kutipan ucapan Sastrodarsono kepada ibunya Lantip yang khawatir dengan masa depan anaknya.

“Tentang anakmu nanti jangan khawatir. Itu rak cucu saya juga. Nanti semua ongkos saya yang membiayai. Nanti saya atur semua dengan Pak Dukuh. Jangan khawatir, yo.” (Kayam, 2000:114)

Kemampuan berderma dalam usaha atau kegiatan kemasyarakatan dapat menempatkan seorang menjadi pemimpin. Dalam novel Para Priyayi Sastrodarsono mempelopori pembangunan sekolah di Dukuh Wanalawas.

Dalam perundingan itu akhirnya saya memutuskan bahwa akan dicoba dengan satu kelas kecil untuk pelajaran membaca dan menulis. Kelas tersebut akan dibuka untuk anak-anak yang sudah berumur tujuh tahun dan yang sudah lebih tua dari itu tetapi yang belum pernah mendapat kesempatan untuk sekolah. Kami juga mempertimbangkan kesempatan untuk menyediakan waktu bagi orang-orang tua yang berminat untuk belajar membaca dan menulis. (Kayam, 2000:104)

Universitas Sumatera Utara Ongkos-ongkos pembangunan tertentu dari sekolah sederhana tersebut juga menjadi tanggungannya.

Saya memutuskan tanpa memperhitungkan terlebih dahulu akan beban yang mesti saya pikul nanti. Setidaknya saya mesti menyediakan perabotan seperti batu tulis, grip, kapur, dan papan tulis. Akan bangku dan meja saya belum tahu lagi dari mana saya akan mendapatkannya. Pastilah itu semua akan membutuhkan ongkos banyak. (Kayam, 2000:105)

Menjelang hari-hari terakhir di masa hidupnya, Sastrodarsono juga terus menunjukkan darmanya kepada masyarakat untuk membagi-bagikan pohon nangka yang roboh di depan rumahnya kepada tetangga sekitarnya.

“Tole semua. Dengarkan baik-baik perintahku ini. Pohon nangka yang roboh itu adalah semangat rumah keluarga ini. Pohon itulah yang menjaga keselamatan rumah ini beserta semua isinya. Dengan robohnya pohon itu selesailah tugas pohon itu menjaga rumah ini. Saya ingin pohon nangka kita ini dihibahkan semangatnya kepada rakyat. Semua orang, siapa saja, boleh mengambil kayu, daun, dan bila ada juga buah-buahnya.” (Kayam, 2000:302)

d. Bersikap Religius

Kewibawaan seorang pemimpin yang dituntun oleh ajaran agama akan terbebas dari perbuatan aniaya, nista dan hina yang dapat meruntuhkan derajat dan martabatnya. Prinsip kepemimpinan terhadap orang Jawa menuntut agar pemimpin selain memimpin secara formal juga pemimpin agama agar berkah dan adiluhung di depan pengikutnya (Anshoriy dan Sudarsono, 2008:41).

Kepemimpinan yang agamis selalu mementingkan kepentingan orang banyak dan menyantuni orang lemah. Mereka inilah yang membuat pemimpin menjadi aji

‘berharga’ (Anshoriy dan Sudarsono, 2008:41).

Universitas Sumatera Utara Sikap keberagamaan (religiousitas) dalam novel Para Priyayi terasa begitu kental hampir di setiap halamannya. Seperti yang tertulis dalam kutipan berikut ketika Martoatmojo disingkirkan oleh pemerintah ke daerah tandus dan gersang.

“Kami terima ini dengan ikhlas. Kami terima ini sebagai cobaan Tuhan…Dengan sangu dan restu Dimas sekeluarga dan semua teman, insya Allah saya akan dapat bekerja dengan tenang di sana.” (Kayam, 2000:65)

Sikap tersebut sama sekali bukan sikap seorang fatalis, melainkan sikap seorang pejuang yang tabah sebagai refleksi kuatnya iman dan tingginya rasa tawakal

Martoatmojo, orang Jawa yang sama seperti Sastrodarsono secara formal disebut sebagai priyayi abangan.

Pada suatu kesempatan, Sastrodarsono bahkan berani menolak (tidak percaya) kepada seorang dukun ketika pembantunya dinyatakan kerasukan setan, seperti dalam kutipan berikut.

“Wis, wis, Mbah. Sudah, sudah. Tidak usah Mbah Kromo repot-repot. Sampeyan pulang aja. Paerah sudah saya obati sendiri. Ini buat ongkos pulang.” (Kayam, 2000:90)

Dari kutipan di atas, Sastrodarsono secara halus melontarkan kritik sosial- religius. Ia lebih percaya untuk mengobati sendiri daripada memanggil dukun. Hal ini merupakan kritik Sastrodarsono terhadap eksistensi dukun (simbol pemikiran irrasional), agar masyarakat lebih dapat berpikir secara rasional.

Sastrodarsono acap kali mengambil cerita-cerita wayang sebagai sumber rujukan dalam menyampaikan wejangan kepada anak-anak dan saudara-saudaranya.

Namun, pengetahuan dan penjiwaannya akan sumber rujukan agamanya (Islam yang

Universitas Sumatera Utara dicap abangan) tidak kalah dari pengetahuan dan penjiwaannya akan wayang sebagai latar belakang budayanya (Jawa). Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

“….Jangankan cerita wayang. Semua, apa saja, sudah ada dalam Alquran. Lha, wong kitab sucinya Gusti Allah, to, Dimas…..” (Kayam, 2000:93)

Dalam hal ini, cerita wayang dalam hal ini diyakini banyak mengandung nilai kehidupan religius yang berkaitan dengan kebutuhan manusia untuk melangsungkan, mempertahankan, mengembangkan hidup.

Pertunjukan wayang kulit dengan cerita tertentu pada acara tertentu diyakini masyarakat (khususnya Jawa) mempunyai berkah atau makna religius (Nurgiyantoro,

1998:171). Sewaktu Sastrodarsono kawin dengan Siti Aisah, Mukaram, orang tua Siti

Aisah, mementaskan wayang dengan cerita Parta Krama dengan harapan agar sepasang pengantin yang sedang diselamati itu diberkahi oleh Tuhan agar dapat hidup rukun, damai, tenteram, dan bahagia bagaikan kerukunan hidup Arjuna dan

Sembrada.

Pesta perkawinan di Jogorogo dihadiri oleh banyak pejabat, priyayi, gupermen di samping juga tionghoa-tionghoa bekas pakter candu, sehingga meriah sekali. Wayang kulit dengan lakon Partokromo, perkawinan Arjuna, dipentaskan. Pilihan lakon itu tentulah agar pasangan kami berdua bisa serukun Arjuna dan Sembrada. (Kayam, 2000:42)

Sewaktu peresmian pengantin itu di pihak keluarga Sastrodarsono, Ndoro

Seten menyumbang wayang kulit dengan cerita Sumantri Ngenger, dengan harapan

Sastrodarsono yang baru saja diangkat menjadi guru dapat mengambil nilai

Universitas Sumatera Utara keteladanan dalam pengabdian sebagaimana sikap pengabdian Sumantri kepada

Prabu Arjunasasrabahu yang penuh dengan tanggung jawab dan kesetiaan.

Ndoro Seten, seperti biasa sangat murah hati, memberi sumbangan yang sangat mengesankan, yaitu pertunjukan wayang kulit semalam suntuk pada malam berikutnya. …Lakon yang dipilih Ndoro Seten adalah Sumantri Ngenger atau Penghambaan Sumantri. Menurut Ndoro Seten lakon itu sengaja beliau pilih untuk memberi sangu kebijaksanaan hidup bagi saya. Inilah cermin yang paling baik buat semua calon priyayi yang ingin membaktikan dirinya kepada negoro, kata Ndoro Seten dengan seriusnya. (Kayam, 2000:43)

Sastrodarsono juga selalu menyucikan batinnya untuk mendekatkan diri pada

Tuhan Yang Maha Esa dengan tidak terlalu mencintai materi. Hal inilah yang diungkapkan Lantip, seorang priyayi yang ngenger di rumahnya, saat mengisahkan almarhum Embah Kakung Sastrodarsono meniti tangga priyayi menjadi guru bantu di

Karangdompol. Berikut kutipannya.

Embah Kakung ternyata tidak pernah melihat benda-benda keduniawian itu sebagai yang terpenting bagi anak, cucu, dan cicitnya. Beliau menganggap semangat kerukunan dan persaudaraan itulah yang terpenting bagi keturunannya, bagi masyarakat, karena semangat itulah yang akan terus mampu membuat kita tumbuh dengan sebaik-baiknya sebagai masyarakat yang melaksanakan tugas Allah di dunia fana ini. (Kayam, 2000:305)

4.1.2 Kharisma

Kharisma merupakan komponen kedua dalam konsep kekuasaan Jawa.

Koentjaraningrat24 memberikan wawasan yang menarik bahwa kharisma adalah satu komponen kepemimpinan, baik untuk masyarakat kuno maupun modern. Kharisma

24 Lihat Koentjaraningrat, ‘Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan tak Resmi dalam Miriam Budiardjo (Ed.).1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. hlm.143

Universitas Sumatera Utara bukan konsep yang hanya relevan untuk dunia Timur, melainkan untuk semua masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, kharisma diartikan sebagai kemampuan pemimpin dalam ilmu gaib untuk memperbesar pengaruh. Jadi, kharisma bermakna kesaktian. Dalam masyarakat tradisional, kharisma diartikan sebagai sifat keramat dan pemilikan wahyu. Karena itu untuk menjaga kekeramatan, pemimpin mengambil jarak dengan rakyat. Dalam masyarakat masa kini, kharisma adalah pemilikan sejumlah kualitas spiritual untuk menunjang kekuasaan, dan dengan itu pemimpin disegani.

Berdasarkan pernyataan di atas, kharisma merupakan hal yang penting bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang memiliki kharisma akan membuatnya sangat ditaati pengikutnya. Sejumlah bukti yang kian meningkat mendukung nilai kharisma dalam kepemimpinan. Sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat, Suwarno (1994:49) menyatakan bahwa kekuasaan kharismatis adalah kekuasaan yang digunakan oleh seorang pemimpin yang disebut nabi, pahlawan, atau demagogue yang dapat membuktikan bahwa dia memiliki kharisma karena kekuatan magis, wahyu, heroisme atau kekuatan-kekuatan adikodrati yang lain. Mereka yang dikuasai disebut pengikut atau murid yang lebih dipercaya akan kekuatan-kekuatan yang luar biasa itu daripada peraturan atau tradisi yang diembannya. Weber dalam Dakhidae (2006:264) memberikan pengertian kharisma sebagai berikut:

Istilah ‘kharisma’ dipakai untuk mengacu pada suatu kualitas tertentu dari kepribadian individual dengan kekuatan mana mana dia dianggap luar-biasa dan diperlakukan sebagai seseorang yang mendapat kekuasaan/kekuatan atau kualitas adi-kodrati, adi-insani, atau sekurang-kurangnya secara khusus tak ada taranya. Kualitas dan kekuatan ini sedemikian rupa sehingga tidak

Universitas Sumatera Utara mungkin terdapat pada orang-orang biasa, akan tetapi dianggap sebagai berasal dari dunia dewata atau tidak biasa, dan atas dasar itu individu tersebut diperlakukan sebagai ‘pemimpin’.

Hampir semua paham yang disebut di atas seperti ‘luar biasa’, ‘adi-kodrati’,

‘adi-insani’, ‘secara khusus tak ada taranya’, ‘tidak mungkin terdapat pada orang- orang biasa’, ‘berasal dari dunia dewata’ hanya untuk menunjukkan keluarbiasaan sifat tersebut. Kharisma pada dasarnya adalah sesuatu kurnia, gratis data, yang dalam istilah Weber sendiri disebut sebagai Gottesgnadentum, rahmat Allah, yang tidak dapat diwariskan, tidak dapat diperhitungkan, tidak dapat dirancang, karena itu

Weber mengatakannya sebagai sesuatu yang irasional. Semua itu bukan sesuatu yang asing dalam kosakata antropologi dan politik Indonesia, Jawa khususnya, bilamana kharisma disejajarkan dengan hal-hal seperti ‘wangsit’. Mulder (2001:91) juga berpendapat kharisma ini adalah wahyu, legitimasi agung, mandat untuk memerintah.

Kewibawaan politik ini diturunkan dari sumber adiduniawi yang menghasilkan kekuasaan nyata dan perbawa yang menarik pengikut-pengikut.

Wahyu atau wangsit atau pulung dalam etimologi spiritual Jawa menurut spiritualis Mas Bambang Ismoyojathi (www.posmonet/RUBRIK/425/laput.html) terdiri atas tiga huruf yang secara makna terdiri atas dua huruf hidup dan satu huruf mati. Pulung dalam huruf Jawa adalah Po – Lo - Ngo. Po artinya papan kang tanpa kiblat, yakni tempat yang tanpa arah. Jadi tidak bertempat, di suatu tempat, melainkan awang-uwung kumul mega, kandang langit, samar tan kesamaran. Huruf Lo, dari kata lali eling wewatesane (lupa ingat batasannya, karena manusia bisa

Universitas Sumatera Utara mendapatkannya asal tahu batas dan tatacaranya). Maka apabila manusia tidak kuat untuk memikul pulungnya, dan dalam memimpin menyimpang dari warah astabrata atau tidak jujur, maka pakaian atau derajatnya akan musnah, telanjang dan malu karena hukum karma. Apabila sudah mendapatkan pulung, tetapi tidak kuat memikulnya, bisa dikatakan mati seperti huruf Ngo. Yakni ngracut busananing manungsa.

Tradisi masyarakat Jawa untuk melakukan pencarian jatuhnya pulung/wangsit/wahyu terdapat dalam kutipan novel Para Priyayi berikut.

….pada setiap malam hari-hari yang dianggap keramat oleh orang Jawa, misalnya, malam Selasa Kliwon atau malam Jumat Kliwon, banyak orang pada kungkum, berendam, di sungai itu. Tentu lagi saya tidak tahu apakah orang-orang yang pada kungkum itu berharap akan kejatuhan wahyu terpilih sebagai Ratu Adil. (Kayam, 2000:6)

Dari kutipan di atas, hakikat Ratu Adil merupakan karakteristik figur pemimpin yang keberadaannya senantiasa diidolakan dan didambakan oleh rakyat karena kearifan, kebijaksanaan, dan darmanya dipastikan membawa kemaslahatan kehidupan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Perhatikan kutipan berikut.

Ratu itu wahyu kekuasaan….Wahyu kekuasaan untuk memayu hayuning bawana, untuk terus mengusahakan keselamatan jagad. (Kayam, 2000:6)

Berdasarkan hal tersebut, seseorang yang ketiban wahyu, dianggap memiliki kharisma dan aura kepemimpinan.

Universitas Sumatera Utara Pemimpin kharismatis tercermin dari cahaya wajah, tutur bahasa, bahasa tubuh, kepemimpinan, dan intelektualitasnya (Dharmawan, 2009:101). Pemimpin kharismatis mampu menggerakkan orang lain melalui kekuatan pribadinya. Karena tertarik kepada pribadinya, orang mudah mengikutinya, mendengarkan nasihatnya dan mentaati perintahnya (Mangunhardjana, 2004:18).

Tokoh Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi memiliki kharisma sebagai pemimpin karena mampu memberi semangat dan pengaruh pada bawahannya. Ia dapat menjadi panutan dan orang-orang cenderung menaati apa yang menjadi perintahnya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

‘…..Bapak, adalah matahari tempat kami berpaling. Seperti juga matahari, Bapak memang selalu menyilaukan mata kami…..Dari mulutnya keluar sabda-sabda yang mengandung bobot yang berwibawa sekali bagi kami anak-anak. Kami menerima sabda atau fatwa itu tanpa reserve, tanpa berani menyanggahnya.’ (Kayam, 2000:181).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa sosok Sastrodarsono memiliki kharisma yang disimbolkan dengan ungkapan seperti matahari yang memancarkan cahaya.

Oleh karena itu, Sastrodarsono memiliki pengaruh besar bagi keluarganya dan ia ditaati.

Kakek Sastrodarsono, Embah Martodikromo, seorang mandor tebu sudah mencita-citakan anak-anaknya sekolah dan menjadi priyayi. Dari sekian anak dan cucunya hanya Sastrodarsonolah yang berhasil menjadi priyayi. Mula-mula ia adalah guru bantu, kemudian jadi guru, dan akhirnya jadi mantri guru (kepala sekolah).

Universitas Sumatera Utara Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas Atmokasan, petani Desa Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit guru bantu di Ploso. Guru bantu. Itu berarti sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi…. (Kayam, 2000:29).

Kutipan di atas membuktikan bahwa Sastrodarsono menjadi priyayi pemula di keluarga besarnya karena memiliki karakter yang memancarkan aura kharisma yang kuat untuk menjadi seorang priyayi. Dengan menjadi cikal bakal priyayi bagi keluarga besarnya, Sastrodarsono bertekad untuk memperoleh status kepriyayian itu hingga ke keturunannya kelak. Gambaran status tersebut terungkap di dalam kutipan berikut.

Segera sesudah kami memasuki rumah itu, saya dan Dik Ngaisah dengan para pembantu kami mulai mengembangkan tempat tinggal itu sebagai rumah tangga seperti yang kami inginkan. Adapun rumah tangga yang kami inginkan itu adalah sudah tentu rumah tangga priyayi. Priyayi muda yang kepalanya mendongak ke atas ke jenjang-jenjang tangga kemajuan. (Kayam, 2000:48)

Sastrodarsono juga amat setia dan berbakti kepada gupermen dan menjalankan profesi guru dengan sepenuh hati, karena itulah ia dipuji sebagai guru yang tahu mengajar dengan baik dan dapat menegakkan ketertiban kelas. Hal ini tergambar di dalam teks berikut.

Rupanya penilik sekolah, School Opziener, memperhatikan dengan cukup seksama cara saya mengajar. Pada waktu hari rutin penilikan, saya dipanggil beliau di ruang mantri guru. Saya dipuji sebagai guru yang tahu mengajar dengan baik dan dapat menegakkan ketertiban kelas. (Kayam, 2000:53)

Universitas Sumatera Utara Kutipan di atas menunjukkan bahwa Sastrodarsono merupakan sosok yang kharismatik karena ia mampu menarik perhatian School Opziener. Ia dianggap sebagai seorang guru yang memiliki kepribadian kuat dan memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan orang disekitarnya sesuai emosi dan tingkat intelektualitasnya.

Sastrodarsono juga ditunjuk oleh School Opziener untuk menggantikan

Martoatmojo menjadi kepala sekolah walau ada guru-guru lain yang lebih senior.

Berikut pernyataan Sastrodarsono berkenaan dengan pengangkatannya sebagai kepala sekolah.

Waktu tiba di Wanagalih sesudah berlibur demikian lama di Jogorogo dan Kedungsimo, saya mendapat surat beslit itu. Saya diangkat menjadi kepala sekolah menggantikan Mas Martoadmodjo yang dipindah ke sekolah desa Gesing. (Kayam, 2000:65)

Ia menjadi priyayi bukan saja disebabkan latar belakang pendidikannya, tetapi juga karena sikap dan tindakannya yang terpuji yang membuatnya mampu mempertahankan kharismanya sebagai priyayi maju.

Kesanggupan mengejawantahkan status kepriyayian dalam kehidupan juga akan berarti bila seorang priyayi mampu mempertanggungjawabkan kepriyayiannya itu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

‘….semangat kerukunan dan persaudaraan itulah yang terpenting….semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik. Dan….perjalanan mengabdi masyarakat banyak, terutama wong cilik, tidak akan ada habisnya. (Kayam, 2000:305-307)

Universitas Sumatera Utara Dengan kharismanya sebagai priyayi yang berprofesi sebagai guru,

Sastrodarsono dapat memainkan perannya sebagai pemimpin yang diakui dan diikuti oleh para pengikutnya atau masyarakat setempat secara ikhlas tanpa paksaan.

4.1.3 Wewenang

Wewenang adalah komponen ketiga dari konsep kekuasaan Jawa. Kata kewenangan berasal dari bahasa Jawa wewenang, yang artinya ‘yang dimenangkan’

(Hardjana, 2008:166). Wewenang berhubungan erat dengan kekuasaan. Jika kekuasaan merupakan kekuatan untuk mempengaruhi, wewenang adalah hak untuk mengambil tindakan tertentu dalam rangka kekuasaan yang dimiliki (Soerjono

Soekanto dalam Karepesina, 1988:19). Dengan demikian tidak ada wewenang tanpa kekuasaan, dan kekuasaan tanpa wewenang merupakan kekuasaan yang tidak sah atau illegitimate dipandang dari sudut masyarakat (Soerjono Soekanto dalam

Karepesina, 1988:19).

Menurut Surbakti (1992:85) kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan (legitimate power), sedangkan kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan. Apabila kekuasaan politik dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik maka kewenangan merupakan hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik. Dalam hal ini, hak moral yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat, termasuk peraturan perundang-undangan.

Universitas Sumatera Utara Setiap orang yang mempunyai hak untuk memerintah selalu menunjukkan sumber haknya. Sumber kewenangan untuk memerintah diuraikan sebagai berikut

(Surbakti, 2010:109-111).

Pertama, hak memerintah berasal dari tradisi. Artinya, kepercayaan yang telah berakar dipelihara secara terus-menerus dalam masyarakat. Kepercayaan yang mengakar ini berwujud keyakinan bahwa yang ditakdirkan menjadi pemimpin masyarakat ialah dari keluarga tertentu, dan yang dianggap memiliki ‘darah biru’.

Siapa pun yang menentang akan mendapat malapetaka (kualat). Oleh karena itu, orang yang berkuasa menunjukkan sumber kewenangannya memerintah sebagai berasal dari tradisi karena dia keturunan dari pemimpin terdahulu. Dasar kewenangan

Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi tradisi karena beliau merupakan keturunan langsung dari Sultan sebelumnya. Demikian pula dengan Sultan Hamengkubuwono X.

Kedua, hak memerintah berasal dari Tuhan, Dewa atau Wahyu. Atas dasar itu, hak memerintah dianggap bersifat sakral. Orang yang berkuasa berusaha menunjukkan pada khalayak, kewenangannya memerintah masyarakat berasal dari kekuatan yang sakral. Kaisar Hirohito dari Jepang (dan penggantinya) menunjukkan kewenangan sebagai Kepala Negara yang berasal dari Dewa Matahari (Amaterasu

Omikami). Di Indonesia, khususnya di Jawa masih terdapat kepercayaan di antara sebagian masyarakat bahwa kewenangan raja atau presiden (yang dianggap raja) berasal dari Wahyu Cakraningrat. Apabila seseorang tidak lagi menjadi raja atau presiden berarti wahyu itu dianggap berpindah kepada raja atau presiden yang baru.

Universitas Sumatera Utara Ketiga, hak memerintah berasal dari kualitas pribadi sang pemimpin, baik penampilannya yang agung dan diri pribadinya yang populer maupun karena memiliki kharisma. Seorang pemimpin yang kharismatis ialah seorang yang memiliki kualitas pribadi sebab mendapat ‘anugerah istimewa’ dari kekuatan supernatural sehingga menimbulkan pesona dan daya tarik bagi anggota masyarakat. Pemimpin ini biasanya mampu memukau massa dengan penampilan dan kemampuan retoriknya.

Mahatma Gandhi dan Bung Karno memiliki kharisma karena penampilan dan kemampuan retoriknya. Namun, kepemimpinan kharismatis tidak dapat diwariskan sebab sifatnya yang melekat pada pribadi tertentu. Penampilan yang agung timbul karena kualitas fisiknya, seperti ganteng, cantik, dan anggun, sedangkan pribadi yang populer timbul karena prestasinya yang cemerlang dalam bidang tertentu, seperti olahraga, film, dan musik. Kedua hal inipun menimbulkan kekaguman pada khalayak sehingga acap kali pula digunakan sebagai sumber hak untuk memerintah.

Keempat, hak memerintah masyarakat berasal dari peraturan perundang- undangan yang mengatur prosedur dan syarat-syarat menjadi pemimpin. pemerintahan. Apabila seseorang menjadi kepala pemerintahan melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, sumber kewenangannya berupa hukum.

Kelima, hak memerintah berasal dari sumber yang bersifat instrumental seperti keahlian dan kekayaan. Keahlian yang dimaksud terletak pada keahlian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekayaan yang dimaksud ialah pemilikan uang, tanah, barang-barang berharga, surat-surat berharga, sarana, dan alat produksi.

Universitas Sumatera Utara Kelima sumber kewenangan itu disimpulkan menjadi dua tipe kewenangan utama, yaitu kewenangan yang bersifat prosedural dan kewenangan yang bersifat substansial. Kewenangan yang bersifat prosedural ialah hak memerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis maupun tak tertulis.

Kewenangan yang bersifat substansial ialah hak memerintah berdasarkan faktor- faktor yang melekat pada diri memimpin, seperti tradisi, sakral, kualitas pribadi dan instrumental. Semakin kompleks struktur masyarakat suatu negara maka tipe kewenangan yang digunakan cenderung bersifat prosedural. Struktur masyarakat yang kompleks ditandai oleh diferensiasi struktur dan spesialisasi peranan, dan hubungan-hubungan impersonal yang sudah meluas sehingga masyarakat ini memerlukan pengaturan-pengaturan yang bersifat tertulis, dan rasional.

Sebaliknya, masyarakat yang strukturnya masih sederhana – yang ditandai dengan diferensiasi struktur dan spesialisasi peranan dan hubungan-hubungan impersonal yang masih sedikit – cenderung menggunakan tipe kewenangan substansial karena kehidupan lebih banyak berdasarkan pada tradisi, kepercayaan pada kekuatan supernatural,dan kesetiaan pada tokoh pemimpin.

Pada masyarakat feodal, dikenal konsep hubungan kekuasaan patron-client.

Dalam hal ini priyayi memiliki posisi sebagai patron. Sebagai patron kaum priyayi memiliki wewenang kuasa terhadap client (wong cilik). Niel dalam M. Nursam

(2006:28) berpendapat bahwa priyayi adalah kelompok yang disebut elite; bagi orang

Indonesia hal itu berarti siapa saja yang berada di atas rakyat jelata dan dalam beberapa hal memimpin, mempengaruhi, mengatur, serta menuntun masyarakat

Universitas Sumatera Utara Indonesia. Kaum elite birokrasi ini (priyayi) menduduki posisi penting dalam hirarki status tradisional (Ali, 1986:39). Untuk itu priyayi sebagai ambtenaar mempunyai wewenang untuk berkuasa dan mempunyai kedudukan kuat dalam masyarakat, sebagaimana yang terlihat di dalam kutipan berikut.

Menjadi priyayi tidak hanya berarti sebuah peningkatan dalam status sosial, melainkan juga peningkatan kekuasaan. Hanya saja, sistem kekuasaan itu berlapis-lapis. Pada level negara, priyayi dapat menjadi hamba, menjadi abdi, yang sama sekali tak punya kekuasaan. Pada level desa, ia pun menjadi sosok yang dalam kadar tertentu mempunyai pula kekuasaan meski hanya dalam batas-batas tertentu, berada di bawah pengawasan kekuasaan negara. Kekuasaan priyayi baru menjadi penuh dalam lingkungan keluarganya, baik keluarga batih maupun keluarga luas. (Faruk dalam Salam, 1998:xxxiii)

Sebagai patron kaum priyayi memiliki wewenang kuasa terhadap client, yang dilambangkan dengan berbagai macam simbol, seperti pakaian, rumah, hewan piaraan, upacara-upacara, pesta-pesta, serta berbagai atribut lainnya. Dalam novel

Para Priyayi, pernyataan bahwa kaum priyayi menyandang predikat terhormat di masyarakat terdapat dalam kutipan berikut.

‘Jadi priyayi itu jadi orang terpandang di masyarakat, bukan jadi orang kaya’. (Kayam, 2000:48)

Dalam bermasyarakat pun priyayi mendapatkan tempat yang penting terutama pada acara-acara tertentu. Priyayi penting dalam masyarakat akan mendapatkan tempat yang terhormat dalam pergaulan priyayi-priyayi agung.

Rumah-rumah pegawai kantor kehutanan, kantor boschwezwn, yang lebih suka kami sebut sebagai kantor bosbesem, adalah rumah-rumah yang paling menarik di kota itu. Rumah-rumah itu seluruhnya dibangun

Universitas Sumatera Utara dengan kayu jati kualitas paling baik. Dan kepala kantor kehutanan adalah tokoh yang terhormat di Wanagalih. Pada berbagai peristiwa dan upacara di Kabupaten, pastilah kepala bosbesem itu tidak pernah ketinggalan diundang. Tempat duduknya pun istimewa di deret depan. Pada waktu kedudukan kepala itu diganti dengan orang pribumi, dia juga terpilih sebagai lawan dan kawan main kartu pei, kartu cina, dengan bupati. (Kayam, 2000:7)

Dalam kehidupan sehari-hari priyayi bergaul sesama priyayi. Mereka memiliki kebiasaan khusus yang berbeda dengan kebiasaan masyarakat biasa.

Walaupun jumlah mereka sedikit, para priyayi tidak merasa terasing sebab mereka menjalin suasana kekeluargaan di antara mereka. Mereka saling berkunjung, saling berkirim makanan, berkelompok untuk berjalan bersama-sama, berkumpul pada salah satu keluarga priyayi untuk berbincang-bincang serta melakukan perjudian kecil, dan saling mengengok apabila terdapat hal-hal tertentu, misalnya kelahiran, perkawinan, sakit, dan lain-lain. Dari berbagai hal tersebut, dalam novel Para Priyayi permainan kartu inilah yang dominan.

“Sesungguhnya permainan kartu yang disebut kesukan oleh para priyayi itu bukanlah perjudian dalam arti besar-besaran. Itu adalah perjudian kecil- kecilan dari priyayi kecil yang membutuhkan hiburan di kala senggang mereka.” (Kayam, 2000:10)

Priyayi juga harus menggunakan pilihan ragam bahasa yang tepat dan sikap rendah diri. Ragam bahasa tertentu tersebut menunjukkan pangkat dan kedudukan seseorang. Dalam novel Para Priyayi, Hardojo (putra Sastrodarsono) menggunakan bahasa Jawa kromo inggil ketika ia berbicara kepada Kanjeng Gusti Pangeran Adipati

Mangkunegara VI. Berikut kutipannya.

Universitas Sumatera Utara Saya menjawab dalam bahasa Jawa kromo inggil, yang saya usahakan sehalus mungkin. …Dalam bercerita itu beliau memakai bahasa campuran bahasa Jawa kromo, kromo madyo dan sekali-sekali bahasa Belanda, tetapi tidak pernah dalam bahasa Jawa ngoko. Padahal itu adalah hak beliau penuh sebagai seorang raja untuk memakai ngoko kepada rakyat bawahannya. Saya merasa sangat beliau hormati, merasa dihitung sebagai manusia, diuwongake. (Kayam, 2000:157)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang, maka bahasa yang digunakan akan semakin halus. Dengan menggunakan bahasa yang halus, seseorang akan semakin dihormati, dan sebaliknya, lawan bicara juga akan merasa dihormati.

Menjadi guru adalah salah satu cara untuk bisa mencapai status priyayi. Dan untuk menjadi priyayi terpandang, ia harus mencapai jabatan sebagai mantri guru.

Berikut adalah kutipan yang berkenaan dengan keberhasilan Sastrodarsono menjadi seorang priyayi lewat profesinya sebagai guru.

Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas Atmokasan, petani Desa Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit guru bantu di Ploso. Guru bantu. Itu berarti sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi, meskipun priyayi yang paling rendah tingkatnya. Itu tidak mengapa. Yang penting kaki saya sudah melangkah masuk jenjang priyayi. Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan setia kepada gupermen, saya akan menjadi guru penuh sekolah desa. Itu akan lebih memantapkan kedudukan saya sebagai priyayi, sebagai abdi gupermen. Dan kalau saya sudah menjadi mantri guru, wah, itu sudah boleh dikatakan menjadi priyayi yang terpandang. (Kayam, 2000:29)

Dalam kehidupan masyarakat Jawa, terutama wong cilik, apabila salah satu anggota keluarganya menjadi seorang priyayi maka anggota keluarga tersebut mendapat penghormatan tersendiri. Penghormatan tersebut juga ditunjukkan dengan

Universitas Sumatera Utara pemberian nama tua baginya. Perubahan nama tersebut juga menyiratkan bahwa sang penyandang nama berhak atas penghormatan-penghormatan tertentu dalam masyarakat Jawa.

“Yang pertama, mulai hari ini kamu sudah kami anggap jadi orang tua karena sudah mendapat beslit menjadi guru bantu.” Pakde dan Paman-paman memandangi saya sambil mengangguk-anggukkan kepala mereka. “Karena itu sudah sepantasnya kamu menyandang nama tua, Le. Nama Soedarsono, meskipun bagus, nama anak-anak. Kurang pantas untuk nama tua. Namamu sekarang Sastrodarsono. Itu nama yang kami anggap pantas buat seorang guru karena guru akan banyak menulis di samping mengajar. Sastro rak berarti tulis to, Le.” Saya mengangguk, menerima dan menyetujui, karena pada saat seperti itu hanya itulah yang dapat saya lakukan. (Kayam, 2000:35)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa dalam budaya Jawa nama seseorang sangat mempengaruhi kedudukannya di masyarakat. Semakin tinggi kedudukan seseorang, nama pun dapat berubah karena hal tersebut dianggap suatu bentuk sapaan yang menunjukkan penghormatan.

Dengan menyandang gelar priyayi, Sastrodarsono memiliki wewenang untuk mendapatkan kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaannya itu. Ia justru dianggap orang yang paling tepat dalam mengambil tindakan terhadap anjuran Martoatmodjo untuk membuka sekolah di desa Wanalawas. Berikut kutipan yang menggambarkan keadaan tersebut.

Mas Martoatmodjo kemudian minta tolong kepada saya apakah saya tidak dapat menolong menanyakan kemungkinan membuka sekolah desa yang tiga tahun saja dulu di Wanalawas. Dimas rak punya banyak hubungan dengan para priyayi di kabupaten, kata beliau. Saya pun lantas bergerak mencari keterangan tentang kemungkinan tersebut kepada para teman di

Universitas Sumatera Utara kabupaten. Bahkan kepada beberapa asisten wedana pun saya tanyakan tentang hal tersebut. (Kayam, 2000:102)

Profesinya sebagai kepala sekolah tidak lantaran membuatnya dapat bertindak sesuka hati, justru ia tetap bersimpati kepada rakyat kecil. Berikut kutipan yang menggambarkan kepeduliannya dalam mengangkat derajat rakyat kecil (wong cilik).

….semangat priyayi sebagai semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik. (Kayam, 2000:306)

Sastrodarsono layak mendapat julukan seorang priyayi karena pekerjaannya sebagai guru dan masyarakat sekitarnya pun menyanjungnya sebagai seorang priyayi dengan memanggilnya sebagai ‘Ndoro Guru Sastrodarsono’.

4.1.4 Kemampuan Khusus

Kemampuan khusus merupakan komponen keempat konsep kekuasaan Jawa.

Menurut Koentjaraningrat dalam Budiardjo (1984:132-133) sifat yang harus terpenuhi oleh seseorang pemimpin yang memegang kekuasaan dalam arti khusus di sini adalah kemampuan orang yang bersangkutan untuk mengarahkan kekuatan fisik dan mengorganisasi orang banyak atas dasar suatu sistem sanksi. Kekuatan fisik ini terlihat pada kemampuan tugas-tugas yang menuntut stamina, keterampilan, kekuatan, dan karakteristik serupa.

Dalam novel Para Priyayi, kepriyayian Sastrodarsono terletak pada kemampuannya sebagai pengajar yang membuatnya naik status sosial sebagai kelas

Universitas Sumatera Utara menengah. Awalnya ia anak petani kecil yang berhasil sekolah dan diangkat menjadi guru bantu. Setahun kemudian, Sastrodarsono dinaikkan pangkat menjadi guru desa di Karangdompol. Setelah lima tahun mengajar, dan dinilai baik oleh penilik sekolah, ia dipanggil menghadapnya dan diminta menggantikan kedudukan kepala sekolah

Martoatmodjo yang dituduh mengadakan hubungan dengan kaum pergerakan.

Sebagai seorang guru, Sastrodarsono memiliki kemampuan mengajar yang terampil dan produktif, seperti tergambar dalam kutipan berikut.

Di sekolah desa kami diperintahkan untuk sangat menekankan pengajaran kami di bidang-bidang berhitung, menulis, dan bahasa Jawa. Kami diperintahkan untuk sangat keras dan tertib dalam mengajar bidang- bidang tersebut. Maka hasilnya pun kelihatan pada anak-anak desa yang tamat dari sekolah desa. Mereka, pada umumnya, sangat bagus tulisan tangannya dan pintar berhitung serta baik penguasaan bahasa Jawanya. (Kayam, 2000:53)

Sastrodarsono tidak hanya mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran, tetapi ia juga mampu mengembangkannya dengan melandasi dan menanamkan nilai-nilai pendidikan, seperti yang diungkapkannya berikut ini.

Di kelas empat saya sangat memperhatikan pengajaran berhitung, menulis dan membaca, serta bahasa Jawa itu. Selain saya ingin agar sekolah desa Karangdompol bisa menjadi sekolah desa yang bisa dibanggakan, saya juga ingin agar anak tamatan sekolah Karangdompol itu tidak akan kesulitan mendapat pekerjaan dan kesempatan untuk mengikuti kursus-kursus atau pendidikan untuk jenjang yang lebih tinggi, seperti guru bantu atau calon mantri di berbagai bidang. (Kayam, 2000:53)

Universitas Sumatera Utara Dari kutipan di atas terlihat bahwa kemampuan Sastrodarsono menjadi guru bukan hanya dilandasi oleh latar belakang materi, tetapi juga kesungguhannya untuk meningkatkan derajat rakyat kecil.

Sosok Sastrodarsono tidak hanya terampil dan produktif dalam hal mengajar, ia juga terlihat memiliki stamina yang kuat karena setiap hari ia harus mengayuh sepeda menuju lokasi sekolah yang cukup jauh dari rumahnya, seperti yang dinyatakannya berikut ini.

Saya masih harus menggenjot sepeda kira-kira tiga kilometer ke tempat penyeberangan di pinggir Kali Madiun untuk kemudian diseberangkan sampan dan kemudian disambung lagi dengan menggenjot sepeda sejauh satu hingga dua kilometer lagi ke Karangdompol, ke sekolah saya. (Kayam, 2000:51)

Demikian telah dipaparkan analisis data terhadap konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.

Dari analisis di atas dapat dikemukakan bahwa konsep kekuasaan Jawa memiliki empat komponen yang senantiasa ada dalam tiap jenis masyarakat yaitu wibawa, kharisma, wewenang, dan kemampuan khusus. Tokoh utama dalam novel Para

Priyayi yaitu Sastrodarsono (nama tua Soedarsono) memenuhi kriteria empat komponen kekuasaan Jawa tersebut.

Berikut adalah analisis data terhadap etika kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.

Universitas Sumatera Utara 4.2 Analisis Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi

Dalam bahasan ini etika kekuasaan Jawa dimaknai sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa mengenai suatu konsep kepemimpinan yang tumbuh dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat Jawa. Nilai-nilai itu merupakan ekspresi kultural yang sarat kebijaksanaan, keteladanan dan keluhuran.

Pembahasan pada bagian Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi ini dilakukan dengan mencari data di dalam novel yang menyiratkan adanya etika kekuasaan Jawa dari empat komponen kekuasaan Jawa yang terdapat di dalam uraian sub bab 4.1 penelitian ini yaitu: (i) membangun wibawa kepemimpinan, (ii) upaya mendapatkan kharisma, (iii) menjalankan wewenang secara optimal, dan (iv) memberdayakan kemampuan. Data-data tersebut dianalisis dengan tujuan menemukan etika kekuasaan dalam kebudayaan Jawa.

Kerangka berpikir yang digunakan dalam analisis ini ialah kerangka teori yang dikemukakan oleh Wellek dan Austin Warren yang memandang sastra sering dilihat sebagai bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Karena etika merupakan bagian dari kajian filsafat, maka dalam budaya

Jawa, hubungan antara kekuasaan dan etika terus menyatu. Sekali secara moral runtuh, maka kekuasaan pun akan runtuh.25

Etika kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Para Priyayi, dipumpunkan pada empat hal, yaitu membangun wibawa kepemimpinan, upaya mendapatkan

25 Lihat kajian tentang “Kekuasaan dan Moral” dalam Franz M. Suseno. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 110-113.

Universitas Sumatera Utara kharisma, menjalankan wewenang secara optimal, serta memberdayakan kemampuan.

4.2.1 Membangun Wibawa Kepemimpinan

Salah satu komponen kekuasaan Jawa adalah kewibawaan. Dalam menjalankan kekuasaannya, seorang pemimpin harus menjalankan etika untuk meningkatkan wibawanya. Etika tersebut sangat penting sebagai dasar moral yang dapat menaikkan citra atau kewibawaan seorang pemimpin.

Karakteristik kepemimpinan pada umumnya dimanapun dan apapun tingkatannya adalah jelas yaitu pemimpin harus mempunyai kewibawaan dan kelebihan untuk mempengaruhi serta mengajak orang lain guna bersama-sama berjuang, bekerja, dan berusaha mencapai satu tujuan bersama. Dengan kewibawaannya, seorang pemimpin dihormati dan dijadikan teladan oleh para bawahannya. Begitu besarnya pengaruh wibawa terhadap kepemimpinan seseorang sampai-sampai jika hilang, hancurlah citra seorang pemimpin di mata rakyatnya.

Integritas dan wibawa seorang pemimpin tergantung pada ucapan dan aksi- aksinya dalam kegiatan sehari-harinya. Tokoh utama Sastrodarsono dalam novel

Para Priyayi yang berperan sebagai cikal bakal priyayi dalam keluarganya, mampu membangun sikap wibawa itu. Hal ini diakui oleh anak-anaknya. Berikut adalah kutipan yang berisi pengakuan anak-anak Satrodarsono terhadap sikap wibawa ayahnya.

Universitas Sumatera Utara Betapapun kami sudah menjadi orang, sudah beranak-pinak dan memiliki kedudukan di masyarakat, orang-tua saya, terutama Bapak, adalah matahari tempat kami berpaling. Seperti juga matahari, Bapak memang selalu menyilaukan mata kami. Di hadapannya kami anak-anak masih tetap anak- anak. Dari mulutnya keluar sabda-sabda yang mengandung bobot yang berwibawa sekali bagi kami anak-anak. Kami menerima sabda atau fatwa itu tanpa reserve, tanpa berani menyanggahnya. (Kayam, 2000:180-181)

Begitu pula, Lantip alias Wage, yang ngenger (mengabdi) pada keluarga

Sastrodarsono membenarkan kewibawaan Sastrodarsono itu. Hal ini tergambar melalui kutipan berikut.

Waktu mereka melihat Embok datang membawa saya, Ndoro Guru langsung menanyakan dengan nada suara, setidaknya bagi saya waktu itu, sangatlah ulem-nya dan sangatlah penuh wibawa. (Kayam, 2000:13)

Untuk membangun kewibawaan tersebut, ada hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang pemimpin atau penguasa, yaitu (1) menguasai ilmu, dan (2) bersikap ksatria. Kedua kualifikasi ini merupakan dasar terbentuknya kewibawaan seorang pemimpin. Berikut analisis terhadap kedua kualifikasi tersebut yang terdapat di dalam novel Para Priyayi.

4.2.1.1 Menguasai Ilmu

Menguasai ilmu merupakan salah satu dasar terbentuknya kewibawaan seorang pemimpin. Dalam konteks Jawa tradisional, bentuk ‘ilmu’ yang utama adalah ngelmu (Stange, 1998:4). Ngelmu adalah singkatan dari dua suku kata yaitu ‘Ngel’ dari kata ‘angel’ yang berarti sulit, sukar, dan sebagainya, ‘mu’ dari kata ‘tinemu’

Universitas Sumatera Utara yang bermakna tahu atau mengerti. Ngelmu bermakna angel tinemu yaitu sulit/sukar/susah untuk dimengerti, diketahui dan sebagainya (Soesilo, 2000:10).

Meskipun dalam dalam bahasa Indonesia istilah ilmu mendekati pengertian

Barat tentang ‘ilmu pengetahuan’ (knowledge), namun dalam istilah Jawa ngelmu jelas sekali merujuk pada gnosis. 26 Ilmu dalam pengertian Jawa lebih merujuk pada bentuk mistik atau spiritual daripada intelektual. Jika ilmu didasari akal, ngelmu mendasarkan pada seluruh organ tubuh (Stange, 1998:4). Untuk itu ngelmu pada hakikatnya bukan hanya pikiran saja yang ‘tahu’, melainkan keseluruhan tubuh dengan segenap organ di dalamnya. Memang telah disadari oleh masyarakat Jawa bahwa ngelmu mengandung sesuatu arti ajaran rahasia (esoteris) untuk pegangan hidup (Endraswara, 2003:33).

Dalam novel Para Priyayi konsep ngelmu ini selalu menjadi wejangan bagi

Sastrodarsono dalam usaha membangun keluarga priyayinya. Wejangan ini sering disampaikan kepada anak-anaknya ketika mereka berkumpul di ruang keluarga.

Ngelmu iku, kalakone kanti laku….27(Ilmu itu akan terlaksananya lewat upaya keras….) (Kayam, 2000:131)

“Kalian sudah pada jadi priyayi terpandang sekarang. Supaya tetap terpandang di masyarakat, ya terus menimba ngelmu lewat laku.” (Kayam, 2000:133)

26 Dari bahasa Yunani gnosis (pengetahuan, mengetahui, usaha memastikan tentang apa yang terjadi) 27 Kutipan tersebut merupakan bagian dari bait pertama Pocung dalam Serat Wedhatama karya Sri Mangkunegara IV. Adapun bait pertama lagu Pocung tersebut adalah: Ngelmu iku kalakone kanthi laku, Lekase lawan kas. Tegese kas nyantosani, Setya budya pangekese dur angkara (Ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan belajar sungguh-sungguh. Dengan ketekunan, keuletan dan pantang menyerah, mampu mengatasi tantangan hidup serta menahan nafsu angkara murka). Lihat Adityo Jatmiko. 2005. Tafsir Ajaran Serat Wedhatama. Yogyakarta: Pura Pustaka. hlm.28

Universitas Sumatera Utara Dari ungkapan di atas terlihat bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan belajar sungguh-sungguh. Priyayi yang menguasai ilmu akan terus menjadi priyayi yang terpandang di masyarakat.

Konsep ngelmu lewat laku sesungguhnya diambil dari bait pertama lagu

Pocung Serat Wedhatama karangan Kanjeng Gusti Mangkunegara IV. Sastrodarsono menjelaskan hal ini kepada anak-anaknya.

“Wedhatama itu karangan Kanjeng Gusti Mangkunegara IV….”( Kayam, 2000:132)

Pesan yang tersurat dalam pupuh Pocung tersebut adalah bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan belajar sungguh-sungguh.

Embah Martodikromo, kakek dari Sastrodarsono, juga selalu menekankan perlunya menguasai ilmu kepada anak-anaknya agar kelak mereka dapat menjadi priyayi terhormat.

‘Jangan hanya puas jadi petani, Le. Kalian harus berusaha menjadi priyayi. Kalian harus sekolah. (Kayam, 2000:30)

Dengan ketekunan, keuletan dan pantang menyerah dalam menuntut ilmu maka seseorang akan bertambah wawasan dan kesadaran sehingga mampu mengatasi tantangan hidup.

‘Dengan banyak mengetahui apa yang terjadi di balik dunia masyarakat priyayi, Anda akan menjadi lebih manusiawi dan lebih luas wawasan Anda tentang hidup.’ (Kayam, 2000:50)

Universitas Sumatera Utara Dari kutipan di atas terlihat bahwa peran ilmu sangat besar dalam memecahkan segala persoalan yang terjadi di muka bumi ini. Ilmu juga dapat membuat orang menjadi lebih manusiawi.

Menurut pandangan Jawa, ngelmu (menjadikan ilmu itu perilaku) penyerapannya memerlukan kekuatan indera batin serta penghayatan pribadi, bukan dengan aktivitas otak atau pikiran saja (Endraswara, 2003:34). Untuk itu dalam menghayati ‘ilmu’ (‘ngelmu’) perlu dilaksanakannya dengan laku (lampah). Laku di sini membina budi pekerti yang luhur, di samping itu mengekang hawa-nafsu yang meliputi batin dengan kejahatan. Karena ilmu agama itu berhubungan tentang ilmu batin manusia, maka akan menjadi berarti kalau dilaksanakan, dimiliki disertai dengan laku utama dan budi pekerti yang senantiasa mengendalikan hawa nafsu.

Nafsu itu sesungguhnya membuat kita lupa diri. Sastrodarsono menegaskan hal ini kepada istrinya.

‘Leluhur kita bilang melik nggendong lali.28 Nafsu memiliki itu membawa serta lupa. (Kayam, 2000:85)

Dari ungkapan di atas terlihat bahwa nafsu sering membuat kita lalai dan hilang kendali. Untuk itu, penerapan ilmu pengetahuan merupakan pembinaan akal budi yang kuat dan dapat diarahkan untuk menyertai pembentukan sebuah pribadi yang berkesadaran luhur. Dengan tambahnya ilmu pengetahuan, seseorang dapat menahan nafsu angkara murka. Sifat angkara murka yang besar itu selalu menggoda

28 Melik nggendong lali artinya keinginan untuk memiliki itu membawa serta lupa. Maksudnya, orang yang berkeinginan memiliki sesuatu biasanya akan lupa pada aturan atau hukum sehingga cenderung menghalalkan segala cara.

Universitas Sumatera Utara kehidupan kita dan jika tidak dikendalikan maka akan membawa malapetaka.

Sastrodarsono menegaskan hal ini kepada anak-anaknya.

“Bait lagu Pocung dari Wedhatama ini memberi tahu kita bahwa yang disebut ngelmu atau ilmu pengetahuan itu terjadi atau dapat dicapai bila kita melaksanakan dengan laku, yaitu usaha, upaya yang keras penuh prihatin. Bila kita laksanakan, maka itu akan memperkokoh kemampuan kita menundukkan dur angkara atau perbuatan jahat.” (Kayam, 2000:132-133)

Pada dasarnya pandangan kosmologi Jawa menekankan pentingnya keselarasan dengan alam, atau tercapainya Manunggaling Kawula Gusti.29 Modus perilaku yang dianggap paling tinggi adalah laku batin. Laku batin ini adalah usaha pencarian ke arah Manunggaling Kawula-Gusti (Zoetmulder dalam www.journal.ui.ac.id/?hal=downloadJPS&q=35).

Pribadi yang sempurna atau paling sehat mentalnya adalah pribadi yang tidak merusak keselarasan dan mengembangkan laku batin. Jadi menurut paham Jawa modus untuk mencapai keselarasan ini terletak pada konsep laku kebatinan ini.

Ngelmu biasanya dicapai melalui laku batin atau rohani. Jalan rohani ini, dalam tasawuf sering disebut tarekat. Tarekat dalam budaya spiritual Jawa dikenal sebagai bagian dari laku mistik kejawen. Orang yang sedang menjalani tirakat30

29 Istilah Manunggaling Kawula Gusti bermakna “persatuan hamba dan Tuhan” yang merupakan tujuan mistik Jawa. Melalui kesatuan itu manusia mencapai apa yang oleh orang Jawa disebut kawruh sangkan paraning dumadi: pengetahuan (kawruh) tentang asal (sangkan) dan tujuan (paran) segala apa yang diciptakan (dumadi). Lihat Franz M. Suseno. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm.116-120. 30 Kata tarekat sudah diserap ke dalam bahasa Jawa menjadi ‘tirakat’. Walaupun dalam perkembangannya kata tirakat bermakna menjalani pantangan terhadap sesuatu, atau melakukan meditasi di suatu tempat untuk menerima wisik, petunjuk gaib. Orang yang tirakat itu sebenarnya

Universitas Sumatera Utara harus dapat menekan hawa nafsunya dalam bentuk apapun. Hawa nafsu tidak boleh dibiarkan bebas menguasai diri seseorang. Oleh karena itu salah satu tanda dari kesaktian adalah penguasaan hawa nafsu. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Endraswara (2006:149) bahwa tapa juga langkah mistik untuk mengekang hawa nafsu. Bait pertama pupuh Kinanti dalam Serat Wulang Reh karangan Sinuwun Paku Buwana IV menjelaskan hal ini.

Pada gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip…. (Berlatihlah dalam batin dan dalam tanda-tanda agar kalian peka….) (Kayam, 2000:132)

Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa manusia harus dapat melatih kepekaan hati agar tajam menangkap gejala dan tanda-tanda.

Ajaran moral Serat Wulang Reh, seperti ajaran moral pada umumnya, menganggap moral itu otonum dan berpangkal pada dunia batiniah. Dunia lahiriah dikuasai dengan jalan menguasai dunia batiniah, maka nilai seseorang ditentukan oleh kemampuannya menguasai batinnya. Tingkah laku, bicara dan ucapan yang tampak adalah pencerminan batin. Berbudi luhur berarti dengan sadar dapat mengendalikan dunia batin atau dapat mengendalikan hawa nafsu.

Salah satu tahap yang perlu dilakukan agar seseorang tetap dalam konsentrasi religius – tidak menyalahi aturan Tuhan menuju pada kebaikan hidup– adalah laku prihatin31 dengan jalan cegar dhahar lawan guling ‘mengurangi makan dan tidur’.

melakukan ‘tarekat’. Lihat Achmad Chodjim. 2003. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. hlm. 209 31 Prihatin terdiri dari dua suku kata, ‘prih’, dan ‘ati’. Prih artinya perih/sakit atau merasakan sakit, dan ati adalah hati. Jadi ‘prihatin’ adalah merasakan sakit atau ikut merasakan kepedihan orang lain.

Universitas Sumatera Utara Perhatikan kutipan berikut yang berasal dari nasihat Sastrodarsono kepada anak- anaknya.

“Usahakanlah dengan sungguh-sungguh keprihatinan itu dengan tujuan mencapai keperkasaan. Maka kurangilah makan dan tidurmu.” (Kayam, 2000:133)

Dari ungkapan di atas terlihat bahwa yang membuat batin kita tumpul adalah keinginan-keinginan kita. Keinginan kita timbul dari pikiran yang liar. Apabila batin tumpul, ia tidak akan bisa memahami rahasia alam, isyarat hidup. Jadinya orang tidak tahu makna hidupnya, tidak tahu untuk apa ia ada di dunia ini. Oleh sebab itu, yang dikejar orang hanya memenuhi perutnya dan membuatnya enak tidur. Yang dipikirkan hanya bagaimana makan dan tidur. Makan dan tidur, apabila berlebihan akan menumpulkan batin kita.

Secara logika, laku mengurangi makan dapat membawa empati seseorang untuk turut merasakan penderitaan orang miskin. Akibatnya, ketika menjadi pemimpin, orang tersebut dapat memahami penderitaan rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Hal ini akan mendorong dirinya untuk pengambilan kebijakan yang tidak bertentangan dengan nurani rakyat miskin. Di samping itu, dengan mengurangi makan, seseorang akan lebih banyak mengingat Tuhan.

Sementara itu, orang yang mengurangi tidur akan memiliki waktu yang lebih leluasa untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Seorang pemimpin diharapkan selalu berdoa (siang dan malam) kepada Tuhannya untuk kesejahteraan bangsa dan rakyatnya.

Universitas Sumatera Utara Dengan demikian, anjuran bagi pemimpin untuk mengurangi makan dan tidur memiliki pengaruh psikologis yang positif dalam memberikan perhatian yang maksimal terhadap bangsa dan negaranya. Pemimpin yang bijaksana akan bisa merasakan penderitaan rakyatnya. Ia tidak akan bersenang-senang di atas penderitaan orang banyak. Ia akan merasakan kepedihan orang lain dan berusaha untuk mengentaskannya. Berikut ini adalah kutipan dari ayah Sastrodarsono yang menggambarkan tentang bagaimana sebenarnya seorang pemimpin yang benar-benar menjalankan laku prihatin itu.

Kalau niat nglakoni, menjalankan laku prihatin, Le, jangan kepalang tanggung, begitu pesan bapak saya. Puasa cara Arab itu ya baik, Cuma masih kurang tepat, kurang nglakoni betul-betul seperti cara nglakoni orang Jawa, kata bapak saya. Sekali-sekali saya memang dianjurkan mengerjakan itu dan sekali-sekali memang saya jalani juga hingga sekarang. Orang-tua saya menekankan pendidikan menjalani hidup dengan baik dan selamat di dunia. Artinya, baik-baiklah kamu bergaul dengan sesama hidup di masyarakat. Sing tepa slira, le, marang sapada-pada. Bertenggang rasalah kamu terhadap sesama hidup, Le, kata Bapak. Jangan mentang-mentang kau nanti jadi priyayi lehermu terlalu mendongak ke atas. Ingatlah yang di bawahmu masih banyak. Dan semua ajaran bapak saya itu, yang mestinya dia dapat dari Embah dan Embah mungkin mendapatnya pula dari Embah Buyut, disampaikan kepada saya dan terserap dalam jumlah yang banyak pula ke dalam tubuh saya. Di rumah saya, itu jugalah yang sering saya tanamkan kepada anak-anak saya. (Kayam, 2000:91)

Kutipan di atas mengisyaratkan kita bahwa orang Jawa memercayai bahwa pencapaian kesadaran sejati tidak mungkin dilakukan secara instan, misalnya dengan menjalani ritual yang lazim seperti puasa, atau dengan mengamalkan doa dan wirid saja. Meskipun sudah menjalani laku olah batin, akan lebih utama lagi jika diikuti

Universitas Sumatera Utara oleh laku (tindak perbuatan) yang nyata dan kasat mata yang termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Manusia Jawa memahami bahwa laku utama atau perilaku baik dan mulia berupa hubungan yang serasi terhadap sesama makhluk, baik dengan sesama manusia maupun makhluk lain (termasuk alam semesta). Laku utama tersebut merupakan jalan utama manembah kepada Allah, Tuhan yang Maha Kuasa. Dengan demikian, laku prihatin adalah sebagai bentuk upaya manusia Jawa membangun hubungan vertikal dengan Allah Sang Pencipta, serta hubungan yang serasi dalam dimensi horizontal dengan sesama makhluk dalam wujud perilaku yang baik dan benar.

Dengan demikian Sastrodarsono menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa dua bait dari Serat Wedhatama dan Wulangreh saling isi-mengisi. Bait lagu Pocung dari Wedhatama memberi tahu kita bahwa yang disebut ngelmu atau ilmu pengetahuan itu terjadi atau dapat dicapai bila kita melaksanakan dengan laku, yaitu usaha, upaya yang keras penuh prihatin.

“Dua bait dari Wedhatama dan Wulangreh ini saling isi-mengisi. Bait lagu Pocung dari Wedhatama ini memberi tahu kita bahwa yang disebut ngelmu atau ilmu pengetahuan itu terjadi atau dapat dicapai bila kita melaksanakan dengan laku, yaitu usaha, upaya yang keras penuh prihatin. Bila itu kita laksanakan, maka itu akan memperkokoh kemampuan kita menundukkan dur angkara atau perbuatan jahat.” …(Kayam, 2000:132-133)

Sedangkan bait lagu Kinanti dari Wulangreh mengisi pengertian laku itu. Mengurangi makan dan tidur itu merupakan latihan yang utama untuk mendapatkan kewaspadaan batin.

Universitas Sumatera Utara “….yang dari Wulangreh itu mengisi pengertian laku itu. Lagu Kinanti ini mengajarkan kepada kita bahwa untuk melatih batin serta melatih menangkap tanda-tanda agar meningkat kepekaan kita, kita hendaknya jangan hanya makan dan tidur saja. Usahakanlah dengan sungguh-sungguh keprihatinan itu dengan tujuan mencapai keperkasaan. Maka kurangilah makan dan tidurmu.” (Kayam, 2000:133)

Jika laku prihatin itu dapat dijalankan secara baik, seseorang akan tetap dalam kondisi lahir dan batin yang seimbang dan tetap mampu menjaga diri dengan dilandasi sikap eling dan waspada ‘selalu ingat dan waspada’. Hal ini tersirat dari nasihat Sastrodarsono kepada anak-anaknya.

‘Nah, anak-anak mari kita pada laku prihatin menghadapi zaman yang gawat ini. Kalian sudah pada memegang tugas yang penting. Waspada dan hati-hatilah.’ (Kayam, 2000:134)

Kepriyayian yang diperlihatkan Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi bukanlah soal status semata-mata. Ia juga menyangkut soal laku; tindakan dan peran kepriyayiannya itu sendiri. Ia menjadi priyayi tidak hanya karena pendidikannya yang memungkinkan status dan derajatnya naik, tetapi juga karena sikap dan tindakannya yang terpuji yang membuatnya mampu mempertahankan kepriyayiannya. Status sosial priyayi yang telah dimiliki Soedarsono tidak lantas membuatnya lupa diri. Ia selalu ingat pesan ayahnya.

‘Le, kamu, meski sudah jadi priyayi, jangan lupa akan asal usulmu. Kacang masa akan lupa dengan lanjaran-nya.’ (Kayam, 2000:48)

Untuk itu Sastrodarsono yang kerap dipanggil dengan sebutan Ndoro Guru, sangat peduli dengan orang-orang yang sekitarnya. Tidak hanya mendirikan sekolah

Universitas Sumatera Utara bagi masyarakat yang kurang mampu, ia juga berjuang untuk membesarkan dan menyekolahkan anak-anak dari saudara-saudaranya yang kurang mampu. Mereka diangkat sebagai anak dan disekolahkan yang sama dengan anak-anak Soedarsono sendiri. Hal ini tersurat di dalam novel Para Priyayi.

Ndoro Guru, di samping harus membesarkan anak-anaknya, juga menampung beberapa kemenakan. Dengan pendek, rumah tangga Ndoro Guru adalah rumah tangga khas priyayi Jawa, di mana sang priyayi adalah juga soko guru keluarga besar yang berkewajiban menampung sebanyak mungkin anggota-keluarga – jaringan itu ke dalam rumah tangganya. Rezeki dan pangkat itu jangan dimakan dan dikangkangi sendiri, begitulah saya dengar Ndoro Guru berkali-kali menasihati anak-anaknya dan siapa saja. Tidak pantas, saru, bila ada seseorang anggota keluarga besar priyayi sampai kleleran, terbengkelai, jadi gelandangan tidak ada yang mengurus, tidak menikmati pendidikan, begitu nasihatnya yang lain, priyayi yang tidak urus begitu adalah priyayi yang jelek bahkan bukan priyayi, tekan Ndoro Guru lebih jauh. (Kayam, 2000:15)

Dalam menjalani hidupnya sebagai seorang priyayi, Sastrodarsono selalu menerapkan konsep laku prihatin, yaitu budaya laku yang bertujuan untuk pengekangan hawa nafsu. Dengan menjalankan laku prihatin maka akan tumbuh roso.

Dan di perkumpulan kesukan, di mana kami sering bertukar pikiran tentang hidup, kami semakin tenggelam dalam dunia kebatinan, dunia yang lebih menekankan jalannya menyatu dengan Gusti, makna hidup di dunia fana, dan makna hidup di akhirat. Semakin banyak kami bertukar pikiran tentang itu semakin kami berkesimpulan bahwa sembahyang yang diperintahkan oleh agama-agama itu terlalu wadag, terlalu terpesona kepada olah tubuh, tidak kepada batin kita, kepada roso untuk mencapai manunggal, menyatu dengan Gusti. (Kayam, 2000:91)

Universitas Sumatera Utara Bagi orang Jawa, apalagi seorang priyayi, roso merupakan bagian dari pribadi seseorang yang terlalu berharga untuk dibiarkan begitu saja (Ahimsa-Putra dalam

Salam, 1998:75). Seorang priyayi Jawa haruslah tajam rosonya, terutama roso rikuh, rasa sungkan. Berikut adalah renungan Sastrodarsono terhadap petuah Ndoro Seten tentang pentingnya rasa rikuh itu.

‘….Saya jadi ingat lagi akan petuah almarhum Romo Seten Kedungsimo dulu. Priyayi yang baik itu, Le, harus sadar akan roso rikuh. Alangkah akan mengerikan bila seorang priyayi itu tidak punya rasa rikuh, kata beliau selanjutnya. Dia akan tampil sebagai priyayi yang tidak punya kepekaan terhadap perasaan dan mungkin juga terhadap penderitaan orang lain. Priyayi yang tidak tahu rikuh itu, Le, di bawah lubuk hatinya adalah orang yang sesungguhnya serakah dan mau menang sendiri, tegas beliau. Akan tetapi, rikuh tidak berarti tidak berani berbuat apa-apa, lho, Le, tegas beliau lagi. Priyayi yang punya roso rikuh justru harus tahu kapan harus bertindak dan tidak merasa rikuh lagi, beliau menutup petuahnya….’(Kayam, 2000:100-101)

Kedudukan di tengah, di antara dua hal yang saling bertentangan, sebenarnya

merupakan perwujudan sebuah nilai yang dipandang sangat penting oleh orang

Jawa: sak madya. Artinya, yang sedang-sedang saja. Nilai ini merupakan hal yang

dianggap ideal bagi orang Jawa. Perhatikan kutipan berikut.

‘….paling baik manusia itu sakmadya saja, secukupnya. Untuk apa mengejar yang lebih dari cukup? Itu hanya akan membuat manusia serakah, ngoyo bahkan mungkin ngotot mau yang banyak, yang lebih banyak….hidup ini hanyalah persinggahan sejenak saja dalam perjalanan panjang. Hidup ini hanyalah untuk mampir ngombe, untuk singgah minum saja. Karena itu, hidup mestilah sakmadya saja karena hanya untuk singgah minum dan tidak untuk berfoya-foya hingga lupa daratan. (Kayam, 2000:85-86)

Universitas Sumatera Utara Kutipan di atas menekankan bahwa manusia hendaknya dapat menjalani hidup secara sederhana, tidak berfoya-foya, tidak menghamburkan waktu dan uang, tidak mengumbar nafsu berlebihan sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semu dan sesaat.

Dari gambaran yang diperlihatkan keluarga Sastrodarsono, terungkaplah bahwa kepriyayian bukanlah soal status semata-mata. Ia juga menyangkut soal laku; tindakan dan peran kepriyayiannya itu sendiri. Masalahnya, bahwa orang cenderung terpaku pada simbol atau status kepriyayian an sich, dan bukan pada laku dan perannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Dalam Para Priyayi, terungkap bahwa Sastrodarsono sebenarnya masih berdarah petani. Ia menjadi priyayi tidak hanya karena pendidikannya yang memungkinkan status dan derajatnya naik, tetapi juga karena sikap dan tindakannya yang terpuji yang mampu mempertahankan kepriyayiannya.

Jadi, di samping pendidikan, kesanggupan mengejawantahkan status kepriyayian dalam kehidupan juga ikut menentukan kepriyayian seseorang, terutama mempertanggungjawabkannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Maka,

‘….semangat kerukunan dan persaudaraan itulah yang terpenting....semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik. Dan….perjalanan mengabdi masyarakat banyak, terutama wong cilik, tidak aka nada habisnya.’ (Kayam, 2000:305-307)

Universitas Sumatera Utara 4.2.1.2 Bersikap Ksatria

Bersikap ksatria merupakan salah satu dasar terbentuknya kewibawaan seorang pemimpin. Menurut Wikipedia Indonesia perkataan ksatria atau satria berasal dari bahasa Sanksekerta, untuk menyebut kelompok (kelas) atau kasta masyarakat

India (masyarakat beragama Hindu) keturunan para raja atau kasta bangsawan.

Ksatria dalam bahasa Indonesia adalah perkataan untuk menyebut sifat orang yang baik budi pekertinya dan perilakunya; orang yang gagah berani, jujur, adil, suka menolong serta melindungi orang lain; orang yang berperi kemanusiaan serta senantiasa membela kehormatan bangsa dan negaranya; atau, orang yang memiliki perasaan malu untuk berbuat keburukan dan kejahatan, atau untuk berbuat kesalahan dan berbuat sesuatu yang merugikan orang banyak serta berbuat sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan. Seperti ungkapan Pangeran Jayabaya seorang Raja Kediri dalam syairnya ‘seharusnya malu menggunakan baju ksatria, jika perilakunya mendua, wajahnya pun berwarna ganda, seharusnya mengaku salah, namun nyatanya lupa sikap ksatria!

Perkataan ksatria dalam perkembangannya kemudian dijadikan suatu nilai moral yang mengandung sifat-sifat jujur dan adil, serta suka melindungi dan membela sesama manusia, membela bangsa dan negaranya tanpa mengharap akan imbalan berupa apapun. Lazimnya para negarawan, para pemegang pemerintahan, para pemimpin kemasyarakatan dan para prajurit, selalu diharapkan selain bersifat ksatria, juga berpegang teguh pada nilai moral ksatria. Konsep ini diimbangi dengan etika kekuasaan, harus ambeg adil para marta memayu hayuning bawana atau bersikap

Universitas Sumatera Utara adil dan bijaksana melestarikan keselamatan dunia. Hal ini terungkap di dalam novel

Para Priyayi.

‘Wahyu kekuasaan untuk memayu hayuning bawana, untuk terus mengusahakan keselamatan jagad.’ (Kayam, 2000:6)

Nyatria-pinandita adalah sikap hidup pemimpin Jawa yang hendaknya bersifat satriya dan pinandita.32 Seorang yang satriya dan pinandita tidak akan menggantungkan hidupnya kepada semat, derajat, kramat, dan hormat. Walaupun semat (harta) merupakan sarana untuk hidup tetapi bukanlah merupakan tujuan utama. Hal ini tergambar dari pidato Lantip (priyayi yang ngenger di rumah

Sastrodarson) saat pemakaman Sastrodarsono.

Embah Kakung tidak meninggalkan atau mewariskan benda-benda keduniawian yang kemilau yang banyak diduga orang akan dapat membanggakan keluarga besar ini. Embah Kakung ternyata tidak pernah melihat benda-benda keduniawian itu sebagai yang terpenting bagi anak, cucu, dan cicitnya. (Kayam, 2000:305)

Tujuan seorang pemimpin adalah rame ing gawe, sepi ing pamrih, sugih tanpa banda atau giat bekerja, jauh dari keserakahan dan selalu merasa kaya dengan kebijaksanaan (tidak dengan harta, selalu bisa memberi siapa saja yang meminta pertolongan). Lantip kembali mengenang semangat priyayi yang ditanamkan

Sastrodarsono.

Beliau menganggap semangat kerukunan dan persaudaraan itulah yang akan terus mampu membuat kita tumbuh dengan sebaik-baiknya sebagai masyarakat yang melaksanakan tugas Allah di dunia fana ini. (Kayam, 2000:305)

32 Lihat Anita Kastubi. 2003. Ripta: perjuangan tentara pecundang. Yogyakarta: Galang Press, hlm.4

Universitas Sumatera Utara Seorang pemimpin harus memiliki darma ksatria (titik konsentrasi dalam konsep kepemimpinan ideal) agar tidak lupa diri akan tugas pokoknya dalam membina masyarakat atau rakyatnya. Mental dan spirit harus terjaga agar tidak menjadi liar, mudah terpengaruh atau sebaliknya menjadi lemah. Pengaruh-pengaruh itu berpotensi merusak nilai-nilai darma yang diperjuangkan, padahal darma seorang ksatria (pemimpin), bersifat budi bawa leksana (kesesuaian antara perkataan dan perbuatan), ambeg adil paramarta (adil tidak membeda-bedakan) serta wasis

(cerdas), waskitha (pintar), wegig (trampil) dan sareh (sabar) sebagaimana mutiara dalam ajaran Astabrata (delapan ajaran kepemimpinan).

Sebagai ksatria yang harus berpegang teguh kepada konsep eling lan waspada

(ingat dan waspada), maka seorang pemimpin harus selalu menjaga rakyat untuk menemukan jati diri dan identitasnya. Kitab atau buku Serat Nitisruti yang merupakan karya Pangeran Karanggayam, pujangga Kerajaan Pajang pada abad ke-

16 ini, memaparkan seni olah kebatinan seorang pemimpin. Bagaimana pemimpin mengarahkan darma ksatrianya agar tidak kentir (luntur dan larut) mental spiritualnya. Lebih dari itu, pemimpin harus berpegang teguh sebagai satria pinandhita (pemimpin berwatak pendeta/ulama yang tidak mengecewakan rakyat).

Dalam novel Para Priyayi, Serat Tripama menjadi rujukan atas sikap ksatria yang mulia. Hal ini kerap menjadi wejangan bagi Sastrodarsono dalam membangun keluarga besar priyayinya, seperti yang tergambar lewat kutipan berikut.

“Meskipun Tripama ini kelihatannya hanya ditujukan untuk para prajurit, sesungguhnya juga dimaksudkan untuk para priyayi semua. Inti dari wejangan ini adalah kesetiaan kepada raja dan negara. Kita semua

Universitas Sumatera Utara diingatkan untuk meniru sikap setia dari tiga tokoh dalam wayang, yaitu Sumantri, Karna, dan Kumbakarna. Meskipun sifat kesetiaan mereka berbeda, namun intinya sama, yaitu kesetiaan sebagai tanda tahu membalas budi kepada raja dan negara.” (Kayam, 2000:185)

Serat Tripama merupakan karya Kanjeng Gusti Mangkunegaran IV. Dari segi etimologi, Tripama berasal dari unsur tri yang artinya ‘tiga’, dan pama sebagai pemendekan dari kata upama yang artinya ‘perumpamaan’. Jadi, kata tripama berarti tiga perumpamaan. Dalam arti luas, kata upama juga berarti teladan atau contoh.

Dengan demikian, kata tripama juga bermakna tiga teladan atau tiga contoh.

Tiga sosok ksatria yang berwatak utama itu adalah Patih Suwanda, Raden

Kumbakarna, dan Adipati Karna. Ketiganya dapat dijadikan teladan bagi masyarakat dalam menjalani hidup, terutama dalam hal kewajiban seseorang kepada negara.

Perhatikan kutipan ucapan Sastrodarsono kepada putra-putranya tentang perlunya meneladani ketiga sikap ksatria tersebut.

Yogyanira kang para prajurit, lamun bisa sira anulada…(Sebaiknya, hai, para prajurit, bila kalian dapat mengambil teladan….) (Kayam, 2000:184)

Masing-masing sikap dan tindakan tersebut diuraikan di bawah ini.

1. Pemimpin Berwatak Suwanda

Tokoh yang sangat menarik untuk diambil suri tauladannya adalah Patih

Suwanda. Patih Suwanda ketika masih kecil bernama Bambang Sumantri, putra

Begawan Suwandagni. Sesudah dewasa ia mengabdikan diri kepada Prabu Sasrabahu, raja Maespati, dan mau mengorbankan apa saja demi diterimanya pengabdiannya itu.

Universitas Sumatera Utara Setelah diterima dan terangkat derajat hidupnya, Sumantri pun tahu membalas budi dan amat berbakti kepada raja.

Karena bertekad dan bersemangat kuat serta mau berusaha keras cita-cita penghambaan Sumantri berhasil. Ia berhasil memenuhi persyaratan yang diberikan oleh raja. Bahkan ia sampai ‘mengorbankan’ adik yang dicintainya demi penghambaan itu. Jadi, hasil yang dipetiknya adalah berkat tekad, semangat, usaha keras, kemampuan, dan pengorbanan.

“Sumantri adalah contoh wong cilik yang dengan ikhlas menyerahkan baktinya buat raja dan negoro. Meskipun sebelumnya dia pernah sombong dan tega mengorbankan adiknya dan takabur memamerkan kesaktiannya kepada rajanya. Lha, buat para Priyagung yang memegang kekuasaan, lakon ini juga baik. Ia mengajari bagaimana raja itu mesti sabar dan bijaksana, tapi juga tahu kapan mesti menundukkan musuhnya dan tahu mengampuninya….” (Kayam, 2000:43)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa sikap ksatria seorang pemimpin ditandai dengan adanya nilai moral seperti sabar dan bijaksana, serta pemimpin juga harus tahu kapan ia harus menundukkan musuhnya dan mengampuninya.

Karakter Sumantri tersebut juga ditransformasikan tokoh Sastrodarsono demi tercapainya cita-cita kepriyayian dan pengabdiannya kepada gupermen, walau pada saat itu, yaitu awal tahun 1920-an, masih amat sedikit orang Indonesia (Jawa) yang berhasil melakukannya.

Sastrodarsono merupakan sosok seorang yang bersifat jujur, mau berusaha keras dengan tekad kuat untuk membangun derajat kepriyayian bagi diri sendiri dan anak turunannya, hormat dan berbakti kepada orang tua, tetua yang berjasa, dan

Universitas Sumatera Utara atasan, tahu membalas budi, tekun dan mantap menjalani profesi pekerjaan, setia kepada gupermen, dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan dan keluarga.

2. Pemimpin Berwatak Karna

Adipati Karna adalah putra Dewi Kunthi dengan Batara Surya. Itulah sebabnya dia juga disebut Suryatmaja atau Suryaputra. Sedangkan Dewi Kunthi dengan Prabu Pandhu Dewanata menurunkan Puntadewa, Werkudara dan Arjuna.

Berdasarkan silsilah tersebut ternyata Adipati Karna masih bersaudara dengan

Pendawa, yaitu satu ibu lain ayah. Namun, setelah dewasa mengabdikan dirinya pada

Negara Astina.

Kita mungkin heran mengapa Karna memihak Kurawa. Padahal kita tahu bahwa watak Kurawa itu kurang terpuji yang penuh dengan kesombongan, fitnah dan kelicikan. Perlu diketahui bahwa Karna sendiri telah mengetahui hal itu. Demi sifat satrianya yang harus memegang janjinya, dia rela secara lahiriah membantu Kurawa.

Akan tetapi hatinya mengakui keunggulan dan keutamaan Pendawa. Oleh karena itu, dalam menilai sifat Karna kita juga perlu hati-hati. Jangan melihat filsafat ceritanya dengan sepotong-potong agar tidak salah tafsir.

Dalam novel Para Priyayi, tokoh Sastrodarsono menjelaskan alasan mengapa

Karna dapat dijadikan teladan.

“….Kemudian Karna diambil sebagai contoh karena dia berani memilih berpihak pada para Kaurawa yang jahat.” (Kayam, 2000:186)

“….Karna itu sesungguhnya saudara yang paling tua dari para Pandawa. Cuma karena dia adalah anak haram Batara Surya dengan Kunti, ibu para

Universitas Sumatera Utara Pandawa, sejak kecil dia dibuang kemudian ditemu oleh seorang kusir Kerajaan Ngastina, kerajaannya para Kaurawa. Pada waktu menjelang perang Baratayuda, ibunya membujuknya agar dia mau berpihak pada para Pandawa. Dia tidak mau karena menurut dia seorang satria yang baik mestilah tahu membalas budi raja dan negara yang telah memberi pangkat dan kehidupan kepadanya.” (Kayam, 2000:186)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa sikap ksatria yang baik terlihat ketika ia tahu membalas budi raja dan negara yang telah memberi pangkat dan kehidupan kepadanya.

3. Pemimpin Berwatak Kumbakarna

Raden Kumbakarna adalah adik raja Alengka, Prabu Dasamuka. Ia bertubuh raksasa, tetapi jiwanya tidak seburuk raganya.

Dalam menilai watak Kumbakarna, kita harus berhati-hati. Hendaknya kita dapat membedakan peran Kumbakarna sebagai saudara Dasamuka dan peran

Kumbakarna sebagai seorang ksatria.

Kumbakarna perang melawan prajurit kera, tidak bermaksud membela kesalahan kakaknya. Dia sangat tidak setuju dengan ideologi dan kepribadian

Dasamuka. Dia berperang hanya semata-mata menjalankan kewajibannya sebagai satria dan warga negara. Di sinilah kita bisa melihat rasa nasionalisme yang dimiliki

Kumbakarna. Sifat seperti ini mungkin juga tercermin dengan istilah ‘wrong right my country’, benar salah adalah negaraku.

Universitas Sumatera Utara Dalam novel Para Priyayi, tokoh Sastrodarsono menjelaskan keteladan

Kumbakarna itu.

“….Kumbakarna, raksasa besar yang lembut hati dan adik Rahwana yang angkara itu. Dia yang selalu menentang keangkaraan kakaknya itu akhirnya maju perang melawan Rama bukan karena setia kepada kakaknya, tetapi karena setia kepada negaranya. Dia juga gugur dalam perang itu. Di sini tekanan itu pada kesetiaan kepada negara. Bagaimanapun negara itu harus dibela.” (Kayam, 2000:187)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa ksatria yang baik akan setia dan taat kepada negaranya. Apapun alasannya, tanah tumpah darah memang seharusnya dibela, mengingat di sinilah orang tua, leluhur dan kita dilahirkan, dibesarkan dan kelak dikubur.

4.2.2 Upaya Mendapatkan Kharisma

Kharisma sebagai salah satu kuasa personal sebaiknya dimiliki oleh setiap orang yang mengharapkan proses kepemimpinan yang lebih efektif. Keefektifan kepemimpinan ditentukan oleh seberapa jauh seseorang dapat mempengaruhi orang lain dalam mengusahakan tercapainya suatu tujuan. Kharisma memiliki kontribusi yang kuat dan dominan terhadap proses kepemimpinan yang efektif tersebut.

Seberapa jauh penggunaan kuasa personal itu dapat ‘dibenarkan’ secara etis?

Kuasa itu memiliki kecenderungan untuk korup, apalagi penggunaan kuasa yang bersifat absolut. Dalam konteks charismatic leadership, House dalam Abdurrahman33

33 Telusuri Dudung Abdurrahman, Kharisma dan Kuasa: Proses Pencapaian dan Penggunaannya, (http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/32067587.pdf, diunduh tanggal 1 April 2011)

Universitas Sumatera Utara juga membedakan antara negatif atau ‘dark-side’ charismatic leaders yang menekankan pada personalisasi kekuasaan (personalized power) terfokus pada dirinya, dan positif atau ‘bright-side’ charismatic leaders yang menekankan pada sosialisasi kekuasaan (socialized power) dengan memberdayakan pengikutnya. Dua kategori itu membantu membedakan, misalnya, antara Hitler, David Koresh, Jim

Jones yang mewakili dark-siders dan Marthin Luther King yang mewakili bright- sider (Schemerhorn dalam Abdurrahman34).

‘Dark-side’ charismatic leader cenderung memiliki potensi destruktif karena

‘memperdaya’ pengikut sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi

(personalized power) para pemimpin atau pemegang kuasa. Dalam novel Para

Priyayi, Lantip justru memandang pesimis terhadap kepemimpinan dengan kharisma negatif ini. Berikut kutipannya.

“….saya tidak percaya kepada sistem yang melahirkan dan membesarkan penguasa yang begitu kejam seperti Stalin. Sama dengan tidak percaya saya kepada sistem yang melahirkan Hitler dan Mussolini. Dan, sudah tentu, juga tidak percaya kepada sistem yang melahirkan Amangkurat yang dengan kejamnya membunuhi santri-santri. Sistem- sistem seperti itu selalu mengandung bibit-bibit kekerasan yang selalu akan mengambil korban ribuan orang yang tidak bersalah.” (Kayam, 2000:290)

Dengan demikian, penggunaan sumber kuasa (termasuk kharisma) dapat disebut etis jika kuasa itu digunakan untuk memberdayakan pengikutnya menjadi lebih arif, lebih mampu, dan lebih bijak dalam menghadapi kehidupan, mampu menawarkan berbagai perubahan ke arah yang lebih baik, dan mampu memberikan

34 Ibid

Universitas Sumatera Utara penghargaan yang tinggi terhadap kemanusiaan. Hal ini yang diungkapkan Lantip, priyayi yang ngenger di rumah Sastrodarsono, kepada Gus Harimurti, cucu

Sastrodarsono tentang perlunya sistem kekuasaan yang mengangkat derajat hidup orang-orang kecil.

“Sistem selalu diperlukan, Gus. Dan wong cilik harus bisa diangkat kehidupannya. Tetapi, sistem yang melahirkan penguasa-penguasa yang kejam dan sewenang-wenang tidak mungkin mengangkat kehidupan orang kecil bagaimanapun sistem dan penguasanya mengira bisa begitu. Soalnya sistem dan penguasa begitu sesungguhnya tidak kenal akrab dengan kehidupan wong cilik.” (Kayam, 2000:290-291)

Kharisma yang dimiliki oleh seseorang sebagaimana diyakini oleh dirinya dan orang lain, dapat diperoleh dengan dan atau melalui praktek-praktek mistikal yang dijalankan oleh seseorang (Abdurrahman dalam http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/32067587.pdf).

Praktek mistikal diperoleh melalui pengalaman subyektif dalam menjalankan laku mistikal. Secara kategorik, laku mistikal itu dikelompokkan menjadi empat yaitu laku badaniah, laku kehendak, laku jiwa, dan laku rasa (Abdurrahman dalam http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/32067587.pdf). Empat jenis laku ini juga dapat dianggap sebagai tahap-tahap penghampiran menuju Tuhan. Empat laku ini berdasarkan komponen-komponen yang ada pada setiap diri manusia, yaitu tubuh

(body), pikiran (mind), jiwa (spirit), dan spiritual. Empat komponen diri manusia tersebut dalam tradisi mistisme Jawa disebut dengan mikrokosmos atau Jagad Alit.

Empat komponen tersebut harus dipersatukan sehingga menjadi bagian yang integral.

Selanjutnya, Jagad Alit ini harus dipersatukan dengan makrokosmos atau Jagad

Universitas Sumatera Utara Ageng/Gedhe. Penyatuan diri sebagai Jagad Alit dengan makrokosmos dapat dilakukan melalui sejumlah tahap. Inilah mistisme yang menjadi arus kerohanian dalam semua agama, yaitu kesadaran terhadap kenyataan Tunggal, Tertinggi, yang mungkin disebut kearifan, Cahaya, Cinta, Tuhan, Sang Hyang Widi Wasa, atau

Allah.

Tujuan praktek mistikal adalah mendekatkan diri kepada sesuatu yang transenden, sehingga bisa merasakan kehadirannya secara batiniah dan mewujudkan sifat-sifatNya dalam hidup keseharian. Semua agama memiliki tradisi mistisme yang menjelaskan tentang tahap-tahap penghampiran diri menuju Tuhan.

Dalam tradisi mistisme Islam (Sufisme atau tasawuf) tahap-tahap penghampiran menuju Tuhan itu disebut dengan tahap syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifat.

Menurut Soeprapto dalam Abdurrahman

(http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/32067587.pdf) terdapat empat tingkatan laku yang harus dijalani, yaitu laku badaniah (fisik), laku kehendak (sembah rasa), laku jiwa (sembah jiwa), dan laku rasa (sembah agama).35 Empat tingkatan laku ini merupakan penjelasan filosofis atas tahap-tahap yang harus dilalui seseorang yang hendak memperoleh kualitas kepemimpinan individual.

35 Empat tingkatan laku ini tertuang dalam literatur sufisme Jawa, yaitu Serat Wedhatama yang ditulis oleh Mangkunegara IV pada tahun 1853.

Universitas Sumatera Utara 4.2.2.1 Laku badaniah (fisik)

Laku badaniah merupakan tahap awal dalam upaya mendapatkan kharisma.

Tingkat yang paling dasar ini adalah pengolahan diri dengan jalan menghilangkan kotoran yang melekat pada badan, memelihara dan menjaga kesucian badan. Cara membersihkannya dengan menggunakan air. Langkah ini dilakukan untuk mempersiapkan badan agar mampu menjadi satu dengan tekad untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, seluruh kegiatan harus selalu terarah kepada tujuan yang ingin dicapai.

Dalam novel Para Priyayi, laku badaniah sering dimanifestasikan lewat tapa kungkum. Ritual kungkum36 dimaksudkan sebagai media pembersihan diri baik secara jasmani maupun rohani. Kebersihan diri merupakan prasyarat mutlak bagi manusia yang ingin mendekatkan diri dengan Tuhan. Ketika kungkum dianjurkan pada air yang mengalir, karena akan ada energi yang masuk.

….pada setiap malam hari-hari yang dianggap keramat oleh orang Jawa, misalnya, malam Selasa Kliwon atau malam Jumat Kliwon, banyak orang pada kungkum, berendam, di sungai itu. (Kayam, 2000:6)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa ritual kungkum dengan cara berendam di sungai merupakan suatu kebiasaan masyarakat Jawa sebagai upaya membersihkan diri dan menjaga kesucian badan.

Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku badaniah, namun bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang yang magang laku

36 Ritual kungkum telah ada pada masyarakat Jawa sejak masa pra-Hindu. Ritual ini selanjutnya mengalami akulturasi dengan tradisi Hindu.

Universitas Sumatera Utara selain ia menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia meningkat ke tahap kerohanian yang lebih tinggi.

4.2.2.2 Laku Kehendak

Laku kehendak merupakan tahap kedua dalam upaya mendapatkan kharisma.

Laku kehendak dijalankan untuk menyucikan batin dengan cara mengekang hawa nafsu, diawali dengan selalu berlaku tertib, teliti, hati-hati, tepat dan tekun betapapun berat dan sulitnya, sehingga akhirnya menjadi kebiasaan (habit). Hal ini diungkapkan

Sastrodarsono kepada anak-anaknya dalam novel Para Priyayi.

Berlatihlah dalam batin dan dalam tanda-tanda agar kalian peka…(Kayam, 1992:132)

Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa untuk menjalani laku kehendak, seseorang harus dapat melatih batinnya agar memiliki kepekaan dalam membaca tanda-tanda zaman.

Dalam melakukan segala perbuatan, selalu ingat dan waspada. Jika hal tersebut dijalankan dengan sungguh-sungguh maka segala hal yang menghambat pandangan lahir dan batin akan hilang, seperti yang diungkapkan oleh Sastrodarsono di dalam novel Para Priyayi.

‘Tapi tetap kamu harus eling, ingat, akan inti laku itu. Prihatin, prihatin, prihatin.’ (Kayam, 2000:134)

Universitas Sumatera Utara Dengan demikian, laku kehendak ini akan mengarahkan manusia untuk bisa melihat jalan yang benar, memahami substansi masalah dan realitas objektif, sehingga mampu memberikan pemecahan masalah secara tepat.

4.2.2.3 Laku jiwa

Laku jiwa adalah tahap ketiga dalam upaya mendapatkan kharisma. Tahap ini dilakukan dengan menyatukan tiga alam, yaitu alam semesta, manusia sebagai pribadi, dan alam metafisik. Manusia harus berusaha menjadi satu dengan alam semesta dan alam metafisik supaya selalu tertuju ke alam keabadian. Kesatuan tersebut dapat tercipta jika manusia memperhatikan dirinya, dan menjauhkan dari segala hal duniawi dengan melakukan silencing (berdiam, merenung), instropeksi secara benar, sehingga bisa menyatu dalam gerak alam dan masuk ke alam metafisik

(diluar jangkauan indera). Renungan ini sering dilakukan Sastrodarsono di dalam novel Para Priyayi bersama kawan kesukannya.37

Dan di perkumpulan kesukan, di mana kami sering bertukar pikiran tentang hidup, kami semakin tenggelam dalam dunia kebatinan, dunia yang lebih menekankan jalannya menyatu dengan Gusti, makna hidup di dunia fana, dan makna hidup di akhirat. (Kayam, 2000:91)

Dalam diri manusia terdapat sumber hidup yang dapat dijadikan tujuan laku jiwa yaitu kalbu (hati) yang terbuka. Dengan cara ini, seseorang bisa memperoleh pengetahuan yang benar tentang dirinya sendiri yang tidak terpisahkan dengan pengetahuan tentang alam semesta dan alam metafisik. Hal ini dimungkinkan karena

37 Kesukan adalah bermain ceki (kartu).

Universitas Sumatera Utara jiwa manusia mampu menjadi subyek yang melakukan introspeksi, retrospeksi dan prospeksi terhadap unsur-unsur abstrak dari manusia dan alam semesta.

Laku jiwa menempati kedudukan yang amat penting dalam ajaran sembah

Mangkunegara IV.38 Ia disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalanan hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada laku badaniah dengan air wudhu atau mandi, tidak pula seperti pada laku kehendak dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat) kepada dunia baka, dunia Ilahi. Betapa penting dan mendalamnya laku jiwa ini, tampak jelas dari ucapan Sastrodarsono kepada anak-anaknya.

“Nah, anak-anak mari kita pada laku prihatin menghadapi zaman yang gawat ini. Kalian sudah pada memegang tugas yang penting. Waspada dan hati- hatilah.” (Kayam, 2000:134)

4.2.2.4 Laku religius

Laku religius merupakan tahap keempat dalam upaya mendapatkan kharisma.

Laku ini merupakan kegiatan melepaskan diri dari segala keterbatasan. Seluruh kegiatan hanya diarahkan kepada alam transendental atau alam keabadian atau alam ilahiah. Dengan laku ini seseorang akan benar-benar mengerti apa tujuan hidup, karena seseorang akan selalu ingat kepada ‘sangkan paraning dumadi’ (asal usulnya dan tempat kembalinya). Inilah laku yang tertinggi yang harus dicapai oleh individu manusia. Dalam novel Para Priyayi, Sastrodarsono menegaskan hal ini.

38 Lihat Adityo Jatmiko. 2005. Tafsir Ajaran Serat Wedhatama. Yogyakarta: Pura Pustaka.

Universitas Sumatera Utara Dalam kesukan itu kami juga sering mempertanyakan macam-macam hal. Tentang sangkan paraning dumadi, dari mana kita datang dan hendak ke mana kita ini menuju. (Kayam, 2000:85)

Paham sangkan-paran merupakan inti spekulasi mistik Jawa (Suseno,

1984:117). Sangkan-paran hanya dapat tercapai apabila dijadikan tujuan satu-satunya dan apabila manusia bersedia untuk melawan segala godaan alam luar dan bahkan mempertaruhkan nyawanya.

Di dalam faham Kejawen (ngelmu), sangkan paraning dumadi adalah proses untuk menggapai kesempurnaan hidup yang bisa diperoleh hanya melalui laku atau prilaku ikhlas, bersyukur dan prihatin. Sastrodarsono kembali menegaskan hal ini kepada anak-anaknya dalam novel Para Priyayi.

“Usahakanlah dengan sungguh-sungguh keprihatinan itu dengan tujuan mencapai keperkasaan.” (Kayam, 2000:133)

Skema berikut menunjukkan penggambaran singkat pengalaman spiritual orang Jawa dalam menyibak tabir Tuhan, dengan memfokuskan diri pada hal-hal diluar keduniawian dan memperdalam potensi ke-Tuhanan yang terdapat dalam diri sendiri sehingga akan membuat seseorang mengetahui tujuan dari hidupnya yang hakiki. Manusia diharapkan mengetahui betul dari dan akan kemana hidup kita.

Pertanyaan inilah yang melandasi laku mistik Kejawen untuk selalu memahami ngelmu sangkan paraning dumadi. Hal ini yang membuat hidup manusia menjadi sempurna (ngelmu kasampurnan).

Universitas Sumatera Utara MANUSIA

LAKU

SANGKAN PARAN KASAMPURNAN

Gambar 2. Skema sangkan paraning dumadi

4.2.3 Menjalankan Wewenang Secara Optimal

Unsur ketiga di dalam etika kekuasaan Jawa adalah menjalankan wewenang secara optimal. Salah satu ciri wewenang adalah pemegang kekuasaan dalam konteks

Jawa (Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi 2008:274). Priyayi sebagai ambtenaar mempunyai kekuasaan dan mempunyai kedudukan kuat dalam masyarakat. Keberlanjutan konsep kenegaraan dan kekuasaan itu juga mempengaruhi kedudukan priyayi sebagai penyelenggara kekuasaan.

(www.transparansi.or.id/.../birokrasi-indonesia-sebuah-kemelut-netralitas/) Dalam piramida status sosial, priyayi berada di puncaknya. Karena berada di puncak piramida itulah seorang priyayi haruslah seseorang yang memiliki budi pekerti yang luhur. Setiap gerak – geriknya jangan sampai merusak martabatnya di hadapan orang lain.

Universitas Sumatera Utara Pengertian priyayi kini sudah cenderung meluas. Dulu sebelum Belanda menduduki dan memerintah Jawa, pengertian priyayi adalah orang yang mempunyai asal-usul keturunan raja-raja Jawa (Geertz, 1981:308). Priyayi dalam novel

Para Priyayi merupakan pengembangan pengertian priyayi yaitu priyayi kecil yang tidak berasal dari keturunan raja, bangsawan, bupati, yang memiliki gelar seperti raden mas, raden bagus, raden ayu, raden ajeng. Mereka adalah yang berasal dari rakyat biasa (tiyang alit/wong cilik39) yang telah berhasil masuk dalam strata priyayi.

Gelar seorang priyayi bisa diperoleh karena jasa dan kesetiaannya pada penguasa.

Biasanya sebelum mendapat gelar priyayi, mereka mengalami proses ngenger ataupun magang terlebih dahulu. Jadi proses untuk menjadi seorang priyayi bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk para kawulo alit (Kartodirdjo, 1987:8).

Dalam konteks terminologi kekinian, bisa ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan priyayi adalah cendekiawan (dan elit penguasa), sebagai lawan dari kata petani (awam, rakyat, wong cilik). Seperti dikemukakan oleh Clifford Geertz,

‘…priyayi terdiri dari pegawai pemerintah dan sejumlah pegawai administrasi pabrik

... rakyat kecil (wong cilik) terdiri dari pekerja yang tak memiliki tanah sendiri, para petani kecil, dan tukang-tukang.’ (Geertz, 1981:308). Perbedaan itu tentu dilihat dari aspek ekonomi, tata krama, dan utamanya pendidikan. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ndoro Seten kepada Sastrodarsono.

“…Kau mulai masuk dalam kalangan priyayi. Kau bukan petani lagi.” (Kayam, 2000:38)

39 Tiang alit tidak sama dengan elit. Alit berarti kecil, tiyang alit berarti orang kecil/rakyat kecil/rakyat jelata.

Universitas Sumatera Utara Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.

Priyayi dalam bahasa Jawa berarti orang yang bisa dijadikan contoh yang baik di masyarakat. Dunia kepriyayian dapat dipandang sebagai ideologi kemasyarakatan yang mana pola pemikirannya tidak terwacanakan. Kepriyayian sebagai ideologi yang langsung berada dalam dataran perilaku. Segolongan manusia yang dalam kehidupan manusia Jawa berada di tempat teratas. Akan tetapi, priyayi itu sendiri merupakan jalan hidup manusia yang di dalamnya mencerminkan kehalusan laku serta penguasaan akan ilmu. Kehalusan laku dan penguasaan akan ilmu merupakan pandangan hidup masyarakat Jawa yang membawa pada kehidupan yang selaras.

Berikut adalah kategori yang diperlukan seorang pemimpin dalam menjalankan wewenang secara optimal.

4.2.3.1 Bersikap Alus

Menurut Suseno (2003:102) tanda kekuasaan yang sebenarnya ialah bahwa penguasa dapat mewujudkannya – keadaan sejahtera, adil dan tenteram serta keselarasan dalam alam dan masyarakat tanpa gangguan, rasa puas rakyat – tanpa bersusah payah dan tanpa paksaan. Seorang penguasa betul-betul berkuasa apabila segala-galanya seakan-akan terjadi dengan dirinya sendiri. Sebaliknya aktivitas yang intensif, kesibukan tak henti-hentinya, kegelisahan dan kekhawatiran tentang apakah

Universitas Sumatera Utara akan sukses bagi orang Jawa merupakan tanda kelemahan. Kekuasaan yang sebenarnya nampak dalam ketenangan.

Sikap tenang ada kaitan erat dengan suatu sifat yang bagi orang Jawa merupakan inti kemanusiaan yang beradab dan sekaligus menunjukkan kekuatan batin, seorang penguasa harus bersikap alus (Anderson dalam Suseno, 2003:102).

Menurut Suseno (2003:212) kita mengenal ‘halus’ sebagai istilah yang mengungkapkan kehalusan suatu permukaan, kehalusan dalam kelakuan, kepekaan, ketampanan, kesopanan, dan sebagainya. Halus adalah tanda keselarasan yang sempurna. Apabila masyarakat berada dalam keadaan selaras maka semuanya berjalan dengan enak, tenang dan seakan-akan dengan sendirinya, keselarasan alam nampak dalam kesuburannya, tak ada malapetaka dan bencana, kekuatan- kekuatannya mengalir dengan tenang, tanpa menimbulkan perhatian, mirip dengan putaran roda sebuah generator raksasa yang karena kecepatan dan kehalusannya tak lagi kelihatan gerakannya.

Orang yang halus berarti ia dapat mengontrol dirinya sendiri secara sempurna dan dengan demikian memiliki kekuatan batin (Suseno, 2003:102). Orang yang betul- betul berkuasa tidak usah bicara dengan suara keras supaya didengar, tidak pula marah-marah dan memukul meja untuk diperhatikan. Cukuplah apabila ia memberikan perintah-perintahnya secara tidak langsung, dalam bentuk sindiran, usul, anjuran; sebagai perintah halus (Anderson dalam Suseno, 2003:102). Begitu pula tak perlu ia memberi larangan-larangan secara kasar: suatu ucapan kritis, pertanyaan

Universitas Sumatera Utara lawan yang sopan, senyuman toleran sudah mencukupi untuk menunjukkan kehendaknya yang kuat seperti besi.

Sifat kebalikan disebut kasar. Kasar dapat berarti tidak rata, tidak seimbang, kurang kontrol diri, tidak selaras, jelek, kotor. Sikap kasar, cepat menjadi marah, berteriak dan mengamuk menunjukkan kekurangan kekuatan batin dan dengan demikian memperlihatkan kekurangan kekuasaan. Sikap kasar dinilai rendah oleh orang Jawa, sebagai kurang berbudaya, kurang kontrol diri dan kelemahan batin

(Suseno, 2003:103). Bersikap kasar dan emosional selalu memperlemah kedudukan seorang atasan. Dan apabila pemimpin harus mempertahankan kewibawaannya melalui tindakan-tindakan yang kasar maka hal itu bagi seluruh rakyat merupakan tanda bahwa kekuasaan pemimpin mulai terlepas dari tangannya, dan pada umumnya orang akan mengira bahwa kekuasaan pemimpin itu akan berakhir (Suseno,

2003:112).

Konflik dengan kekerasan dalam suatu negara dan antar negara yang dilakukan oleh negara maupun bukan justru akan merenggut hidup dan menghancurkan masyarakat. Konflik-konflik ini pada umumnya lebih banyak membawa korban pada pihak warga negara dibandingkan militer; dan akibat yang ditimbulkan secara tidak seimbang akan mengena pada penduduk yang rentan. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Lantip, priyayi yang ngenger (mengabdi) di rumah Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi.

“….saya tidak percaya kepada sistem yang melahirkan dan membesarkan penguasa yang begitu kejam seperti Stalin. Sama dengan tidak percaya saya kepada sistem yang melahirkan Hitler dan Mussolini. Dan, sudah

Universitas Sumatera Utara tentu, juga tidak percaya kepada sistem yang melahirkan Amangkurat yang dengan kejamnya membunuhi santri-santri. Sistem-sistem seperti itu selalu mengandung bibit-bibit kekerasan yang selalu akan mengambil korban ribuan orang yang tidak bersalah.” (Kayam, 2000:290)

Dengan meyakini cara-cara kekerasan, seseorang sudah memilih cara yang hampir selalu dimenangkan oleh kaum penindas (Sharp, 1997:6). Sesungguhnya rakyatlah yang menjadi korban kebrutalan para pengumbar nafsu kekuasaan. Hal ini berkaitan dengan kutipan berikut.

‘….sistem yang melahirkan penguasa-penguasa yang kejam dan sewenang- wenang tidak mungkin mengangkat kehidupan orang kecil bagaimanapun sistem dan penguasanya mengira bisa begitu. Soalnya sistem dan penguasa begitu sesungguhnya tidak kenal akrab dengan kehidupan wong cilik.” (Kayam, 2000:290-291)

Pada dasarnya, untuk memper-alus perasaan, batin perlu diatur. Tetapi batin hanya dapat diatur apabila yang lahir diatur lebih dulu. Karena sebagaimana manusia berada dalam dunia besar (jagad gedhe) begitu juga jiwa berada dalam dunia kecil

(jagad cilik), dalam tubuh. Pengaturan dunia lahir dicapai manusia lebih-lebih dalam pengaturan hubungan sosialnya sesuai dengan tata krama sopan santun. Di sini termasuk penekanan terhadap segala ucapan sopan santun: praktek pura-pura (ethok- ethok), hormat (urmat), pengelakan terhadap segala bentuk interaksi yang kasar seperti memberi jawaban menolak, memberi perintah, membantah, dan bertengkar

(Suseno, 2003:98-99).

Universitas Sumatera Utara Dalam novel Para Priyayi rasa rikuh dipertahankan dalam hubungan sosial masyarakat Jawa untuk menjaga sikap dan kelakuan. Hal ini dilakukan untuk menghindari perselisihan. Rikuh berarti bersikap hati-hati supaya tidak mengecewakan orang lain.

Pendidikan di rumah tangga orang Jawa sering benar sangat menekankan kesadaran akan roso rikuh….(Kayam, 2000:100)

Ngadiyem selalu bersikap rikuh pada Sastrodarsono. Ia selalu diberi kebebasan untuk beristirahat di rumah Sastrodarsono. Namun, karena rasa rikuh ia menjadi sadar akan sikap tahu diri dan dengan beberapa cara yang sederhana berusaha membantu di rumah Sastrodarsono.

‘Persinggahan kami yang satu atau dua jam itu dengan sendirinya tidak kami lewatkan dengan hanya tiduran di amben, bale-bale, di ruang belakang. Embok akan membantu pekerjaan rutin para pembantu.’ (Kayam, 2000: 14-15)

Hal ini membuktikan bahwa kerikuhan berdampak mulai dari hal-hal kecil.

Sikap rikuh tidak hanya dilakukan oleh wong cilik pada priyayi, namun, juga seorang priyayi dengan orang yang statusnya lebih tinggi dari dirinya. Tokoh Hardojo ketika bertemu dengan Adipati Mangkunegaran menjaga bahasanya dengan kata-kata yang halus. Hal ini dikarenakan status Adipati sebagai priyayi luhur dan anggota keraton dianggap lebih tinggi dibandingkan Hardojo yang adalah seorang guru.

‘….saya menjawab dalam bahasa Jawa krama inggil, yang saya usahakan sehalus mungkin.’(Kayam, 2000:157)

Universitas Sumatera Utara Dalam kehidupan keluarga sikap rikuh diperlihatkan dengan kepatuhan pada orang yang lebih tua/senior. Lantip yang diangkat ke dalam keluarga priyayi kadang diumpat oleh Ndoro Seten, namun reaksi Lantip hanya menundukkan kepala.

Kerikuhan menjadi penahan emosi untuk mencegah terjadinya pertengkaran, sikap ini juga mempertahankan perilaku hormat pada orang tua yang sangat penting dalam budaya Jawa.

Jika norma kepatuhan dilanggar konsekuensinya bisa beragam, seseorang akan dihukum dan dihina-hina. Priyayi beranggapan bahwa jika seorang priyayi tidak memiliki rasa rikuh,

‘dia akan tampil sebagai priyayi yang tidak punya kepekaan terhadap perasaan dan mungkin juga terhadap penderitaan orang lain.’ (Kayam, 2000:100)

Penguasaan hidup lahir memungkinkan penghalusan hidup batin dan sebaliknya. Untuk mencapai rasa yang mendalam perlu diciptakan keseimbangan batin. Oleh karena segala hawa napsu perlu dikuasai. Hawa-hawa napsu termasuk perasaan-perasaan yang kasar.

‘Berlatihlah dalam batin dan dalam tanda-tanda agar kalian peka…,’ (Kayam, 2000:132)

‘Bila itu kita laksanakan, maka itu akan memperkokoh kemampuan kita menundukkan dur angkara atau perbuatan jahat.’ (Kayam, 2000:133)

Universitas Sumatera Utara Orang yang mantap batinnya memiliki kekuatan-kekuatan moral dan sosial, sedangkan emosi-emosi kuat mengancam kesehatan jiwa dan raga. Kekuatan moral itu menyatakan dirinya dalam kelakuan rukun.

Pada dasarnya masyarakat Jawa menuntut agar usahanya untuk menjamin kepentingan-kepentingan dan hak-haknya, jangan sampai mengganggu keselarasan sosial. Prinsip kerukunan secara prinsipil melarang pengambilan posisi yang bisa menimbulkan konflik. Demikian juga prinsip hormat yang melarang pengambilan posisi yang tidak sesuai dengan sikap-sikap hormat yang dituntut. Apa pun yang diharapkan dan diusahakan oleh individu, betapa pun hak-hak dan kepentingan- kepentingannya, bagaimanapun ia sendiri menilai suatu keadaan, namun kalangan priyayi mengharapkan agar individu bertindak sesuai dengan pertimbangan- pertimbangannya sendiri sejauh keselarasan tetap terjaga, dan derajat-derajat hirarkis tetap dihormati. Prinsip keselarasan dengan demikian memuat larangan mutlak terhadap usaha untuk bertindak hanya atas dasar kesadaran dan kehendak seseorang saja. Untuk itu prinsip rukun dan hormat menuntut agar seorang priyayi bersedia untuk menomorduakan kepentingan pribadi untuk mempertahankan keselarasan sosial.

Embah Kakung ternyata tidak pernah melihat benda-benda keduniawian itu sebagai yang terpenting bagi anak, cucu, dan cicitnya. Beliau menganggap semangat kerukunan dan persaudaraan itulah yang terpenting bagi keturunannya, bagi masyarakat, karena semangat itulah yang akan terus mampu membuat kita tumbuh dengan sebaik-baiknya sebagai masyarakat yang melaksanakan tugas Allah di dunia fana ini. (Kayam, 2000:305)

Universitas Sumatera Utara 4.2.3.2 Memenuhi Tanggung jawab

Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah, keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Seseorang mau bertanggung jawab karena ada kesadaran atau keinsafan atau pengertian atas segala perbuatan dan akibatnya dan atas kepentingan pihak lain. Timbulnya tanggung jawab itu karena manusia itu hidup bermasyarakat dan hidup dalam lingkungan alam. Manusia tidak boleh berbuat semaunya terhadap manusia lain dan terhadap alam lingkungannya. Manusia menciptakan keseimbangan, keserasian, keselarasan antara sesama manusia dan antara manusia dan lingkungan. Hal ini berkaitan dengan kutipan berikut.

Wahyu kekuasaan untuk memayu hayuning bawana, untuk terus mengusahakan keselamatan jagad. (Kayam, 2000:6)

Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa orang yang berkuasa harus dapat menjaga keselamatan masyarakat dan lingkungannya. Hal tersebut menunjukkan bentuk tanggung jawabnya karena telah dikaruniai amanah untuk memimpin.

Dengan demikian manusia menjalankan peranannya dalam dunia harus dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya di dalamnya. Di antara kewajiban-kewajiban itu termasuk misalnya: kewajiban terhadap tubuhnya sendiri, terhadap keturunan, terhadap masyarakat, terhadap pemerintah, kewajiban untuk bekerja, dan lain-lain.

4.2.4 Memberdayakan Kemampuan

Unsur yang keempat di dalam etika kekuasaan Jawa adalah memberdayakan kemampuan.

Universitas Sumatera Utara Semakin tinggi hirarki seseorang maka akan semakin tinggi pula kekuasaannya. Dalam novel Para Priyayi, kalangan priyayi dianggap oleh masyarakat Jawa umumnya sebagai kelompok pemimpin karena mereka menduduki hirarki teratas dalam sistem kekuasaan tradisonal Jawa. Mereka adalah orang-orang yang terpandang di masyarakatnya, seperti yang tertulis di dalam novel Para Priyayi yaitu,

“Jadi priyayi itu jadi orang terpandang di masyarakat, bukan jadi orang kaya. Priyayi itu terpandang kedudukannya, karena kepinterannya.” (Kayam, 2000:48)

Keberhasilan Sastrodarsono menjadi priyayi bukan lantaran ia kaya, tetapi karena kepintarannya. Dan karena hal itulah ia dapat memperoleh jabatan sebagai guru bantu hingga menjadi kepala sekolah. Namun tokoh Sastrodarsono masih merasakan kedekatan dengan wong cilik walaupun ia telah menduduki posisi priyayi.

‘Warna semangat itu adalah warna pengabdian kepada masyarakat banyak, terutama kepada wong cilik, tanpa pamrih…’(Kayam, 2000:306)

Sebagai seorang priyayi, Sastrodarsono mampu memberdayakan wong cilik

(rakyat kecil) dengan meningkatkan kesejahteraan mereka. Dia peka dan prihatin terhadap permasalahan rakyat kecil, sehingga dia ingin memberdayakan mereka agar mandiri dan kelak akan mendapat gelar priyayi seperti dirinya.

Rezeki dan pangkat itu jangan dimakan dan dikangkangi sendiri… (Kayam, 2000:15)

Di kelas empat saya sangat memperhatikan pengajaran berhitung, menulis dan membaca, serta bahasa Jawa itu. Selain saya ingin agar

Universitas Sumatera Utara sekolah desa Karangdompol itu tidak akan kesulitan mendapat pekerjaan dan kesempatan untuk mengikuti kursus-kursus atau pendidikan untuk jenjang yang lebih tinggi, seperti guru bantu atau calon mantri di berbagai bidang. (Kayam, 2000:53)

Begitulah Sastrodarsono selalu berprinsip untuk mengangkat derajat rakyat kecil dengan memperhatikan, memberdayakan, dan menjadikan mereka sebagai bagian sentral dalam hidupnya.

....semangat priyayi sebagai semangat pengabdian pada wong cilik ...dan perjalanan mengabdi masyarakat banyak, terutama wong cilik, tidak akan ada habisnya.... (Kayam, 2000:306-307)

Dari analisis di atas, etika kekuasaan Jawa tergambar dalam novel Para

Priyayi lewat konsep kekuasaan Jawa yang dimanifestasikan lewat tokoh utamanya yaitu membangun wibawa kepemimpinan, upaya mendapatkan kharisma, menjalankan wewenang secara optimal, dan memberdayakan kemampuan. Etika kekuasaan tersebut tentunya dapat menjadi penuntun bagi para penguasa saat ini dalam menjalankan kekuasaan ataupun memperoleh kekuasaan dengan cara-cara yang luhur dan manusiawi. Jika masyarakat atau bangsa Indonesia betul-betul menghargai nilai luhur budaya bangsa tersebut dengan penuh tanggung jawab atau melakukan secara baik, maka berimplikasi menunjukkan jati diri bangsa Indonesia.

Dengan demikian analisis data dalam penelitian ini mampu menjawab dua butir permasalahan yang tertulis dalam Bab Pendahuluan. Analisis data pada penelitian ini membuktikan bahwa komponen-komponen dalam konsep kekuasaan

Jawa dalam novel Para Priyayi memiliki etika yang sarat dengan nilai-nilai luhur.

Universitas Sumatera Utara BAB V

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas mengenai temuan dan bahasan dari hasil analisis data, dalam upaya menjawab tujuan penelitian. Temuan penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu: (1) konsep kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam yang tergambar melalui tokoh utama yaitu Sastrodarsono; (2) etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.

5.1 Konsep Kekuasaan Jawa yang Tergambar Melalui Tokoh Utama

dalam Novel Para Priyayi karya Umar Kayam

Berdasarkan analisis data penelitian pada sub bab 4.1 dapat dikemukakan bahwa konsep kekuasaan Jawa memiliki empat komponen kepemimpinan yang senantiasa ada dalam tiap jenis masyarakat yaitu wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. Tokoh utama dalam novel Para Priyayi yaitu Sastrodarsono, memenuhi kriteria empat komponen kekuasaan Jawa tersebut.

Wibawa merupakan komponen penting yang menentukan keberhasilan seorang pemimpin. Kewibawaan merupakan kelebihan atau keunggulan yang dimiliki oleh seorang pemimpin untuk mampu mengatur, memimpin, dan memerintah orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang berwibawa akan dihormati para pengikutnya. Tokoh utama Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi merupakan sosok priyayi yang berwibawa. Ada beberapa hal yang mendatangkan

Universitas Sumatera Utara kewibawaan pada diri Sastrodarsono yaitu ilmu, kesaktian, keturunan, dan sifat- sifat kepribadian. Dengan ilmu yang diperolehnya lewat sekolah, Sastrodarsono mampu merubah statusnya dari wong cilik menjadi priyayi yang berprofesi sebagai guru. Pada zaman pendudukan Belanda maupun Jepang, profesi guru merupakan elit yang memegang peranan penting dalam masyarakat. Tidak mengherankan jika guru pada masa kolonial masuk menjadi golongan priyayi mobilitas vertikal.

Mereka merasa priyayi merupakan pelabelan positif dan agung yang akan mendapat penghargaan maupun penghormatan yang besar dari masyarakat, sebab priyayi identik dengan orang yang memiliki kekuasaan. Ilmu menjadi ukuran terpenting bagi keberhasilan seseorang untuk menjadi priyayi. Dengan ilmu yang dimiliki oleh Sastrodarsono, kewibawaan muncul pada dirinya sehingga orang- orang terpengaruh oleh tutur katanya, pengajarannya, nasihatnya, dan mampu menjadi magnet bagi pendengarnya sehingga mereka akan terkesima dan tekun mendengar ajarannya.

Kesaktian Sastrodarsono lebih terwujud dalam bentuk kemakmuran dan kesejahteraan hidupnya. Ia juga dikarunia keturunan yang memiliki ciri-ciri fisik priyayi. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Deliar Noer dalam

Karepesina (1988:22) bahwa pertanda lain dari adanya kesaktian adalah kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan. Keberhasilan Sastrodarsono menjadi mantri guru telah membawa kehidupannya menjadi lebih makmur dan sejahtera.

Dalam Kitab Pararaton dinyatakan ‘…karena raja mempunyai kewibawaan atau kharisma sedemikian besarnya, maka tidak hanya dirinya sendiri yang

Universitas Sumatera Utara mempunyai status demikian, tetapi juga keturunannya.’ Dengan masuknya

Sastrodarsono ke dalam jenjang priyayi, secara otomatis semua anaknya dapat mewarisi ‘lambang priyayi’ hingga ke keturunannya nanti. Sebutan ‘Ndoro’ pada

Sastrodarsono dan keturunannya merupakan gelar terhormat dengan kedudukannya sebagai priyayi.

Sifat-sifat Sastrodarsono yang terpuji telah mendatangkan kewibawaan pada dirinya. Adapun sifat-sifat kepribadiannya itu antara lain adil dan bijaksana, berani dan tegas, dermawan, serta bersikap religius.

Dengan demikian, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa kewibawaan merupakan salah satu syarat yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin. Unsur-unsur yang membangun kewibawaan seorang pemimpin seperti yang ditokohkan

Sastrodarsono dalam novel Para Priyayi saling memiliki keterkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, kewibawaan seorang pemimpin bukan hanya tercermin dari kepandaian atau ilmu pengetahuan yang dimilikinya, tidak pula diukur dengan keadaan jasmani atau pangkat, tetapi juga berkenaan dengan sifat-sifat kepribadian yang luhur.

Kharisma juga merupakan faktor penting bagi seorang pemimpin.

Pemimpin yang memiliki kharisma akan membuatnya sangat ditaati pengikutnya.

Dalam konsep kekuasaan Jawa, seorang yang ketiban wahyu (pulung/wangsit) dianggap memiliki kharisma dan aura kepemimpinan. Kharisma seorang pemimpin tercermin dari cahaya wajah, tutur bahasa, bahasa tubuh, kepemimpinan, dan intelektualitasnya. Tokoh Sastrodarsono memiliki kharisma sebagai seorang

Universitas Sumatera Utara priyayi bukan saja disebabkan latar belakang pendidikannya yang maju, tetapi juga karena sikap dan tindakan yang terpuji yang membuatnya mampu mempertahankan kepriyayiannya itu. Temuan penelitian ini menunjukkan kharisma adalah syarat penting bagi kualitas pemimpin yang baik. Kharisma akan terpancar dari kualitas batiniah yang dimiliki oleh seorang pemimpin.

Wewenang juga merupakan komponen penting bagi seorang pemimpin untuk berkuasa. Pada masyarakat feodal dikenal konsep hubungan kekuasaan patron-client. Dalam hal ini priyayi memiliki posisi sebagai patron. Sebagai patron kaum priyayi memiliki wewenang kuasa terhadap client (wong cilik). Dengan menyandang gelar priyayi, Sastrodarsono memiliki wewenang untuk mendapatkan kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaannya itu, terutama untuk bersimpati kepada rakyat kecil. Temuan ini menunjukkan bahwa tidak ada wewenang tanpa kekuasaan, dan kekuasaan tanpa wewenang merupakan kekuasaan yang tidak sah dipandang dari sudut masyarakat. Wewenang merupakan hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik.

Kemampuan khusus adalah faktor yang menuntun keberhasilan seorang pemimpin. Kemampuan khusus terlihat pada kemampuan pemimpin untuk mengerahkan kekuatan fisik dan mengorganisasi orang banyak atas dasar suatu sistem sanksi. Tokoh Sastrodarsono juga memiliki kemampuan untuk mengerahkan kekuatan fisik dan mengorganisasi orang banyak atas dasar suatu sistem sanksi. Kemampuannya sebagai pengajar membuatnya naik status sosial sebagai kelas menengah dan mendapat julukan priyayi. Sastrodarsono tidak hanya

Universitas Sumatera Utara mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran, tetapi juga mampu mengembangkannya dengan melandasi dan menanamkan nilai-nilai pendidikan. Temuan ini menunjukkan bahwa kemampuan khusus sangat diperlukan seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin yang berkualitas.

Dengan demikian konsep kekuasaan Jawa memiliki nilai-nilai luhur yang berlaku di segala zaman. Konsep kepemimpinan tersebut merupakan contoh dari nilai-nilai tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern, dan tidak lapuk dan lekang oleh gelombang perubahan apapun. Konsep kepemimpinan itu juga menunjukkan sifat-sifat kepemimpinan yang universal, yang berintikan suatu nilai bahwa sang pemimpin harus dapat memotivasi dan memberi keyakinan kepada yang dipimpinnya.

5.1.1 Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

Berdasarkan analisis data penelitian pada sub bab 4.2 dapat dikemukakan beberapa temuan penelitian diantaranya yaitu bahwa, etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam mencakup hal-hal berikut; (1) membangun wibawa kepemimpinan, (2) upaya mendapatkan kekuasaan, (3) menjalankan wewenang secara optimal, dan (4) memberdayakan kemampuan.

Dalam membangun wibawa kepemimpinan, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang pemimpin atau penguasa dalam novel Para Priyayi adalah menguasai ilmu dan bersikap ksatria. Dalam menghayati ‘ilmu’ (‘ngelmu’) perlu dilaksanakannya dengan laku (budi pekerti luhur). Sikap ksatria seorang pemimpin

Universitas Sumatera Utara ditandai dengan kemampuan pemimpin untuk menunjukkan budi pekerti dan perilaku yang baik; suka melindungi dan membela sesama manusia; membela bangsa dan negaranya tanpa mengharap akan imbalan berupa apapun.

Dalam upaya mendapatkan kharisma, seorang pemimpin dapat menjalankan empat tingkatan laku, yaitu laku badaniah (fisik), laku kehendak (sembah rasa), laku jiwa (sembah jiwa), dan laku rasa (sembah agama). Empat tingkatan laku tersebut merupakan tujuan jalan mistik dalam hubungan antara kemanusiaan dan keilahian.

Dengan melakukan empat tingkatan laku ini, manusia akan dapat mencapai kesempurnaannya.

Laku badaniah merupakan tahap awal pengolahan diri dengan jalan menghilangkan kotoran yang melekat pada badan, memelihara dan menjaga kesucian badan. Cara membersihkannya dengan menggunakan air. Dalam novel Para Priyayi, laku badaniah sering dimanifestasikan lewat ritual kungkum. Ritual kungkum ini dimaksudkan sebagai media pembersihan diri baik secara jasmani maupun rohani.

Laku kehendak merupakan tahap kedua dalam upaya mendapatkan kharisma.

Laku ini dijalankan untuk menyucikan batin dengan cara mengekang hawa nafsu, diawali dengan selalu berlaku tertib, teliti, hati-hati, tepat dan tekun betapapun berat dan sulitnya, sehingga akhirnya menjadi kebiasaan. Dengan demikian, laku kehendak ini akan mengerahkan manusia untuk bisa melihat jalan yang benar, memahami substansi masalah dan realitas objektif, sehingga mampu memberikan pemecahan masalah secara tepat.

Universitas Sumatera Utara Laku jiwa adalah tahap ketiga dalam upaya mendapatkan kharisma. Tahap ini dilakukan dengan menyatukan tiga alam, yaitu alam semesta, manusia sebagai pribadi, dan alam metafisik. Manusia harus berusaha menjadi satu dengan alam semesta dan alam metafisik supaya selalu tertuju ke alam keabadian. Kesatuan tersebut dapat tercipta jika manusia memperhatikan dirinya, dan menjauhkan dari segala hal duniawi dengan melakukan silencing (berdiam, merenung), instropeksi secara benar, sehingga bisa menyatu dalam gerak alam dan masuk ke alam metafisik

(diluar jangkauan indera).

Laku religius merupakan tahap keempat dalam upaya mendapatkan kharisma.

Laku ini merupakan kegiatan melepaskan diri dari segala keterbatasan. Seluruh kegiatan ini hanya diarahkan kepada alam transendental atau alam keabadian atau alam ilahiah. Dengan laku ini seseorang akan benar-benar mengerti apa tujuan hidup, karena seseorang akan selalu ingat kepada ‘sangkan paraning dumadi’ (asal usulnya dan tempat kembalinya).

Dalam menjalankan wewenang secara optimal, seorang pemimpin perlu bersikap alus dan memenuhi tanggung jawab. Sikap tenang ada kaitan dengan suatu sifat yang bagi orang Jawa merupakan inti kemanusiaan yang beradab dan sekaligus menunjukkan kekuatan batin, seorang penguasa harus bersikap alus (Anderson dalam

Suseno, 2003:102). Halus adalah tanda keselarasan yang sempurna. Seorang pemimpin juga harus bertanggung jawab untuk menjalankan wahyu kekuasaan yang berdasarkan konsep memayu hayuning bawana yaitu menciptakan keseimbangan, keserasian, keselarasan antara sesama manusia dan antara manusia dan lingkungan.

Universitas Sumatera Utara Dalam hal memberdayakan kemampuan, seorang pemimpin harus dapat memberdayakan rakyat kecil dengan cara meningkatkan kesejahteraan mereka.

Pemimpin harus memiliki kepekaan dan rasa prihatin terhadap permasalahan rakyat kecil.

Temuan di atas menunjukkan etika kekuasaan dalam budaya Jawa tentunya dapat menjadi penuntun bagi para penguasa saat ini dalam menjalankan kekuasaan ataupun memperoleh kekuasaan dengan cara-cara yang luhur dan manusiawi. Apalagi di tengah arus globalisasi yang semakin merambah segala aspek kehidupan, nilai-nilai luhur budaya bangsa perlu diaktualisasikan agar tidak tergerus oleh nilai-nilai budaya global yang tidak sesuai dengan karakter dan jati diri bangsa.

Universitas Sumatera Utara BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan dalam novel Para Priyayi

(2000) karya Umar Kayam, maka penelitian ini dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Konsep kekuasaan Jawa yang dimanifestasikan melalui tokoh utama yaitu

Sastrodarsono (nama tua Soedarsono) memiliki empat komponen yaitu:

wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus.

2. Etika kekuasaan Jawa meliputi hal-hal berikut:

a. membangun wibawa kepemimpinan dengan cara menguasai ilmu dan

bersifat ksatria;

b. upaya mendapatkan kharisma dengan cara laku badaniah, laku kehendak,

laku jiwa dan laku religius;

c. menjalankan wewenang secara optimal dengan cara bersikap alus dan

memenuhi tanggung jawab, serta;

d. memberdayakan kemampuan.

3. Konsep kekuasaan Jawa memiliki nilai-nilai luhur yang berlaku di segala

zaman. Konsep kepemimpinan tersebut merupakan contoh dari nilai-nilai

tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern, dan tidak lapuk

dan lekang oleh gelombang perubahan apapun. Konsep kepemimpinan itu

Universitas Sumatera Utara juga menunjukkan sifat-sifat kepemimpinan yang universal, yang berintikan

suatu nilai bahwa sang pemimpin harus dapat memotivasi dan memberi

keyakinan kepada yang dipimpinnya.

4. Etika kekuasaan Jawa dapat menjadi penuntun bagi para penguasa saat ini

dalam menjalankan kekuasaan ataupun memperoleh kekuasaan dengan cara-

cara yang luhur dan manusiawi.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, terdapat beberapa hal yang disarankan kepada berbagai pihak, antara lain:

1. Bagi peneliti lanjutan

Novel Para Priyayi (2000) karya Umar Kayam merupakan salah satu karya

sastra yang bernilai tinggi. Penulis berharap semoga banyak peneliti lain yang

akan mengkaji novel ini secara mendalam, dengan mengunakan beberapa

pendekatan lain, sehingga semua isi yang tersirat di dalamnya dapat terungkap

dan terjawab secara menyeluruh.

2. Bagi pembaca

Dapat mengembangkan wawasan dalam memahami sebuah novel yang sarat

dengan muatan lokal dan dapat dijadikan bahan referensi dalam memilih

novel-novel yang baik dan bermutu. Penelitian ini diharapkan bisa digunakan

sebagai wahana untuk menggali makna di dalam sastra yang bisa dijadikan

sebagai acuan untuk berpikir tentang hakikat kehidupan.

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

Agustini, M.W. Dwi Hayu, dkk. 2007. Cermin Retak Budaya Bangsa. Yogyakarta:

Universitas Atma Jaya.

Ali, Fachry. 1986. Refleksi Paham ‘Kekuasaan Jawa’ dalam Indonesia Modern.

Jakarta: Penerbit Gramedia.

Amir, Hazim. 1991. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Amrih, Pitoyo. 2008. Ilmu Kearifan Jawa. Yogyakarta: PiNus.

Anderson, Benedict R.O’G.1984, ”Gagasan tentang Kekuasaan dan Kebudayaan

Jawa” dalam Miriam Budiardjo (ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan

Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan.

Anderson, Benedict R.O’G. 1990. Language and Power: Exploring Political

Cultures in Indonesia. New York: Cornell University.

Anderson, Benedict R.O’G. 1996. Mythology and the Tolerance of the Javanese.

New York: Cornell University.

Anderson, Benedict R.O’G. 2003. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Yogyakarta:

Penerbit JEJAK.

Anshoriy, Nasruddin. 2008. Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan

Jawa. Yogyakarta: LKiS.

Anshoriy, Nasruddin. 2008. Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi Semangat

Kebangsaan. Yogyakarta: LKiS.

Universitas Sumatera Utara Anshoriy, Nasruddin & Sudarsono. 2008. Kearifan Lingkungan dalam Perspektif

Budaya Jawa. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Asdi, Endang Daruni. 1997. Imperatif Categoris Immanuel Kant. Yogyakarta : Andi

Ofshet.

Bertens, K. 2001. Perspektif Etika: Esai-Esai tentang Masalah Aktual. Yogyakarta:

Kanisius.

Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bintoro, Asri. 2002. Hangudi Luhuring Budaya Jawa. Jakarta: Aggra Institute.

Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa.

Jakarta: Pradnya Paramita.

Budiardjo, Miriam (Ed.). 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa.

Jakarta: Sinar Harapan.

Budiardjo, Miriam, ”Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan”, dalam Miriam

Budiardjo (Ed.). 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta:

Sinar Harapan.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Chodjim, Achmad. 2003. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi Ilmu

Semesta.

Ciptoprawiro, Abdullah. 2000. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Cohen, William A. 1990. Seni Kepemimpinan. Jakarta: Mitra Utama.

Copleston, Frederick. 2003. A History of Philosophy. New York: MPG Limited,

Bodmin, Cornwall.

Universitas Sumatera Utara Damono, Sapardi Djoko. 1998. ‘Umar Kayam sebagai Sampel Sistem Pengarang

Indonesia’ dalam Aprinus Salam (Ed.) Umar Kayam dan Jaring Semiotik.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

______. 2000. Priyayi Abangan Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. Yogyakarta:

CV Adipura.

Darma, Budi. 1984. Sejumlah Esei Sastra. Jakarta: PT Karya Unipress.

Dhakidae, Daniel. 1998. ‘Kekuasaan dan Perlawanan dalam Novel Para Priyayi’

dalam Aprinus Salam (Ed.). Umar Kayam dan Jaring Semiotik. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dharmawan, Bagus. 2009. The Victory is Yours. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Drijarkara, 1978. Percikan Filsafat. Jakarta : Djambatan.

Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MedPress

Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen: Sinkretrisme, Simbolisme, dan Sufisme

dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Endraswara, Suwardi. 2010. Falsafah Hidup Jawa. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Fudyartanta. 1974. Kearifan Timur. Yogyakarta : Andi Ofshet.

Fudyartanta. 1974. Etika Intisari Filsafat Kesusilaan dan Moral. Yogyakarta :

Warawidyani.

Universitas Sumatera Utara Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:

Pustaka Jaya.

Handayani, Christina S. & Ardhian Novianto. 2004. Kuasa Wanita Jawa.

Yogyakarta: LKiS.

Hardjana, Suka. 2008. Jas Wakil Rakyat dan Tiga Kera: Percikan Kebijaksanaan.

Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Harsono, Andi. 2005. Tafsir Ajaran Wulangreh. Yogyakarta: Pura Pusaka

Hassan, Fuad. 1988. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka.

Hendri, Dimas. 2008. Serat Tripama: Tuntunan Abdi Negara. Yogyakarta: P_Idea

Herusatoto, Budiono. 2008. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak.

Jackson, Karl. D. 1990. Kewibawaan Tradisional, Islam, dan Pemberontakan: Kasus

Darul Islam Jawa Barat. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Jacob, Teuku. 1988. Manusia dan Teknologi. Yogyakarta : Tiara Wacana.

Jacob, Teuku. 1991. Masa Depan Mempelajari Menyongsong dan Mengubahnya.

Jakarta : Balai Pustaka.

Jatmiko, Adityo. 2005. Tafsir Ajaran Serat Wedhatama. Yogyakarta: Pura Pustaka.

Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma.

Karepesina, Ja’cuba, dkk. 1988. Mitos, Kewibawaan, dan Perilaku Budaya. Jakarta:

Pustaka Grafika Kita

Kartodirdjo, Sartono (Ed.).1984. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta:

LP3ES.

Universitas Sumatera Utara Kartodirdjo, Sartono. 1987. Beberapa Segi Etika dan Etiket Jawa. Yogyakarta:

Depdikbud.

Kartodirdjo, Sartono. 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah

Mada. University Press.

Kartono, Kartini. 1990. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Rajawali Press.

Kastubi, Anita. 2003. Ripta: perjuangan tentara pecundang. Yogyakarta: Galang

Press.

Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Kayam, Umar. 2000. Para Priyayi. Cetakan Ketujuh. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Kleden, Ignas. 1998. ‘Novel dan Cerpen-Cerpen Umar Kayam: Strategi Literer

Menghadapi Perubahan Sosial’ dalam Aprinus Salam (Ed.). Umar Kayam dan

Jaring Semiotik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat (Ed.). 1988. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Cetakan ke-9,

Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat. 1965. Pengantar Antropologi, Jakarta: Penerbit Universitas.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Koentjaraningrat. 1984. ‘Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini,

Resmi, dan Tak Resmi’ dalam Miriam Budiardjo (Ed.). Aneka Pemikiran

tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan.

Koentjaraningrat. 1987. Meningkatkan Kinerja BUMN: Antisipasi Terhadap

Kompetisi dan Kebijakan Deregulasi. Yogyakarta: JKAP No. 1

K.S, Yudiono. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.

Universitas Sumatera Utara Kuntowijoyo. 1998. ‘Para Priyayi sebagai Novel Sejarah’ dalam Aprinus Salam

(Ed.). Umar Kayam dan Jaring Semiotik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kuntowijoyo. 1999. Raja, Priyayi, dan Kawula: , 1900-1915. Yogyakarta:

Fakultas Sastra UGM.

Kuntowijoyo. 2004. Raja, Priyayi dan Kawula. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Luthfi, Ahmad Nashih. 2007. Manusia Ulang Alik: Biografi Umar Kayam.

Yogyakarta: Penerbit Eja Publisher.

Luxemburg, Jan van (dkk.).1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia

Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo

Persada.

Mangunhardjana, A.M. 2004. Kepemimpinan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Moedjanto, G.1985. ”Doktrin Keagung Binataraan: Konsep Kekuasaan Jawa dan

Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram”, dalam Wanita, Kekuasaan, dan

Kejahatan: Beberapa Aspek Kebudayaan Jawa, Proyek Penelitian dan

Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Direkotrat Jenderal

Kebudayaan, Departemen Pendidkian dan Kebudayaan.

Moedjanto, G. 1993. The Concept of Power in Javanese Culture. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Mohamad, Gunawan. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka FIrdaus.

Universitas Sumatera Utara Mudhofir, Ali. 1988. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat. Yogyakarta: Liberty.

Muhadjir, Noeng. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Mulder, Niels. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa: Kelangsungan

dan Perubahan Kultural. Jakarta: Gramedia.

Mulder, Niels.1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Penerbit Sinar

Harapan.

Mulder, Niels. 2001. Ruang Batin Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: LKiS

Mulyana. 2005. Demokrasi dalam Budaya Lokal. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mulyono, Sri (A). Wayang: Asal Usul dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung Agung,

MCMLXXXII. Tanpa Tahun.

Mulyono, Sri (B). Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung,

MCMLXXXII. Tanpa Tahun.

Notonagoro. 1974. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta : Cipta Buwana.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi

Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nursam, M. 2006. Prof. Dr. dr. Moh. Saleh Mangundiningrat. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Parmono. 1985. Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia. Yogyakarta: Penerbit

Andi Offset.

Poedjawijatna. 1975. Filsafat Sana Sini Jilid I. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Universitas Sumatera Utara Poejawiyatna, 1983. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta : Obor Indonesia.

Praja, Juhaya S. 2003. Aliran- Aliran Filsafat & Etika. Jakarta: Prenada Media

Group.

Purwadi. 2008. Etika Jawa. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Purwadi. 2009. Kitab Jawa Kuno. Yogyakarta: PiNus.

Rachmatullah, Asep. 2010. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Logung Pustaka.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari

Strukturalisme hingga Poststrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rahmanto, B. 2004. Umar Kayam: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo, 2004.

Russel, Bertrand. 1988. Kekuasaan: Sebuah Analisis Sosial Baru. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia.

Salam, Aprinus (Ed.). 1998. Umar Kayam dan Jaring Semiotik. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan Stratejik: Untuk Organisasi Publik dan

Organisasi Nonprofit. Jakarta: Grasindo.

Santosa, Iman Budhi. 2011. Laku Prihatin: Investasi Menuju Sukses ala Manusia

Jawa. Yogyakarta: Memayu Publishing.

Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Sharp, Gene. 1997. Menuju Demokrasi Tanpa Kekerasan: Kerangka Konseptual

untuk Pembebasan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Siregar, Ashadi dan Faruk HT. 2005. Umar Kayam Luar Dalam. Yogyakarta: PiNus.

Universitas Sumatera Utara Soemardi, Soelaeman. 1984. ‘Cara-Cara Pendekatan Terhadap Kekuasaan Sebagai

Suatu Gejala Sosial’ dalam Miriam Budiardjo. Aneka Pemikiran tentang

Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan.

Soesilo. 2000. Sekilas tentang Ajaran Kejawen sebagai Pedoman Hidup. Surabaya:

Medayu Agung.

Stange, P. 1998. Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta:

LKiS.

Sumantri, Yustinus. 2005. Serat Wedhatama. Yogyakarta: Yayasan Pustaka

Nusatama.

Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.

Suryadi, Linus. 1993. Regol Megal Megol. Yogyakarta: Andi Offset.

Suseno, Franz Magnis. 1989. Etika Dasar. Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.

Yogyakarta : Kanisius.

Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.

Suseno, Franz Magnis. 1997. 13 Model Pendekatan Etika Bunga Rampai Teks-teks

Etika dari Plato sampai dengan Nietzche. Yogyakarta : Kanisius.

Suseno, Franz Magnis. 1997. Tiga Belas Tokoh Etika. Yogyakarta : Kanisius.

Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafah tentang

Kebijaksanaan Hidup Jawa. Cetakan Kesembilan. Jakarta : Gramedia

Pustaka Utama.

Supadjar, Damardjati. 1953. Etika dan Tata Krama Jawa Masa Lalu dan Masa Kini.

Yogyakarta : Depdikbud.

Universitas Sumatera Utara Supadjar, Damardjati.1991. Budaya Spiritual pada Masa Lalu, Kini dan yang Akan

Datang. Jakarta : Kongres Kebudayaan.

Supadjar, Damardjati. 1993. Nawangsari. Jakarta : Media Widya Mandala.

Susetya, Wawan. 2002. Ngelmu Makrifat Kejawen. Jakarta: Buku Kita.

Suwarno, PJ. 1994. Hamengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan

Yogyakarta 1942-1974, Sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta: Kanisius.

Suyami. 2008. Konsep Kepemimpinan Jawa Dalam Ajaran Sastra Cetha dan Astha

Brata. Yogyakarta: Kepel Press.

Tebba, Sudirman. 2007. Etika dan Tasawuf Jawa Untuk Meraih Ketenangan Jiwa.

Jakarta: Pustaka irVan.

Tjondronegoro, Sediono M.P & Gunawan Wiradi. 2008. Dua Abad Penguasaan

Tanah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tugiman, Hiro. 1999. Budaya Jawa & Mundurnya Presiden Soeharto. Yogyakarta:

Penerbit Kanisius.

Ungkapan Tradisional Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Daerah

Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985/1986.

Usman, Syafaruddin. 2010. Wayang (Kepribadian Luhur Jawa). Jakarta: Cakrawala.

Webe, Agung. 2007. Javanese Wisdom: Berpikir dan Berjiwa Besar. Yogyakarta:

Penerbit Indonesia Cerdas.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Terjemahan Melani

Budianta). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wibowo, Fred. 2007. Kebudayaan Menggugat. Yogyakarta: PiNus.

Universitas Sumatera Utara Majalah

Damono, Sapardi Djoko. 1992. “Album Kehormatan Orang Jawa”. Tempo, XXII (20

Juni): 107-108.

Pabottingi, Mochtar. 1992. “Pertandingan Priyayi”. Tempo, XXII (3 Oktober): 102.

Kamus

Tim Penyusun. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Prawiroatmodjo, S. 1989. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Wojowasito, S. 1989. Kamus Kawi-Indonesia. Jakarta: CV Pengarang.

Tesis

Rahmanto, B. 1994. Makna Penghambaan dalam Novel Para Priyayi Karya Umar

Kayam: Analisis Semiotik. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gadjah

Mada (tesis: tidak diterbitkan).

Najid, Moh. 2000. Perubahan Kebudayaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya

Umar Kayam. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (tesis:

tidak diterbitkan).

Internet

Abdurrahman, Dudung. ‘Kharisma dan Kuasa: Proses Pencapaian dan

Penggunaannya’. (http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/32067587.pdf,

diunduh tanggal 1 Maret 2011).

Universitas Sumatera Utara Mohamad, Gunawan. 1992. ‘Priayi’. Tempo, 29 Agustus.

(http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1992/08/29/CTP/mbm.19920829.

CTP6690.id.html, diunduh tanggal 10 Desember 2010)

Kartasasmita, Ginandjar. ‘Kepemimpinan Menghadapi Masa Depan’.

(http://www.ginandjar.com/public/15KepemimpinanMenghadapiMasaDep

an.pdf, diunduh tanggal 1 Maret 2011)

Zoetmulder dalam www.journal.ui.ac.id/?hal=downloadJPS&q=35, diunduh tanggal

1 April 2011 http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/06/26/0043.html (diunduh tanggal

10 Desember 2010) www.transparansi.or.id/.../birokrasi-indonesia-sebuah-kemelut-netralitas/ (diunduh

tanggal 1 April 2011) www.galerypusaka.multiply.com/journal, (diunduh tanggal 1 Maret 2011) http://arjana-stahn.blogspot.com/2010/01/pembinaan-moral-dalam-kajian-

filsafat.html (diunduh tanggal 10 Desember 2010) http://id-id.facebook.com/topic.php?uid=115640611805162&topic=69 (diunduh

tanggal 10 Desember 2010)

Universitas Sumatera Utara Lampiran 1

Biografi Umar Kayam

Umar Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di

Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun. Umar Kayam populer sebagai akademisi, seniman dan birokrat. Ia memulai kariernya sebagai karyawan Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan RI (1956-1959). Seusai memperoleh gelar doctor di

Amerika, pada tahun 1966 ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan

Film (Dirjen RTF) Departemen Penerangan RI di Jakarta. Ia menjadi ketua DKD

(Dewan Kesenian Djakarta) selama dua periode menggantikan Trisno Sumardjo

(1969-1973), disambung dengan menjabat Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian

Jakarta (kini IKJ) Jakarta.

Umar Kayam tidak melupakan darah keluarganya sebagai seorang guru dan pendidik. Pada tahun 1972 Kayam menjadi dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dosen luar biasa untuk mata kuliah Sosiologi Pendidikan pada Fakultas Ilmu Sosial

UI (1970-1974), dan dosen untuk mata kuliah Sosiologi Kesenian pada Fakultas

Sastra UI (1974-1975). Menjadi staf senior Fellow di East Center, Honolulu, Hawaii

(1973). Dari Departemen Penerangan ia dikembalikan sebagai pegawai senior di

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjabat Direktur Pusat Latihan Penelitian

Ilmu-ilmu Sosial di Ujung Pandang (1975-1976) sekaligus dosen mata kuliah

Sosiologi Pendidikan pada Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanuddin (1976).

Ia juga menjadi dosen tamu Fullbright di Indonesian Studies Summer Institute,

University of Wisconsin, Madison Amerika Serikat (1977).

Universitas Sumatera Utara Pada tahun 1977 pihak Universitas Gadjah Mada memberi amanat kepada

Umar Kayam dan rekan-rekannya untuk mendirikan Pusat Penelitian Kebudayaan

UGM Yogyakarta. Umar Kayam diserahi tugas memimpin lembaga tersebut selama dua puluh tahun sampai 1997. Pada tahun-tahun inilah ia merasa ‘pulang kandang’.

Sekaligus mengabdikan ilmunya di kampus di mana ia dibesarkan, Universitas

Gadjah Mada. Ia menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta di Jurusan Sastra Indonesia dan Sastra Inggris (1977-1997).

Dalam bidang seni peran, Kayam pernah menjadi aktor dalam film ‘Karmila’,

‘Kugapai Cintamu’, ‘Pengkhianatan G 30S/PKI, ‘Jakarta 66’, dan ‘Canthing’. Dalam film ‘Pengkhianatan G 30 S/PKI’ ia memerankan tokoh . Umar Kayam juga menulis skenario untuk film ‘Yang Muda Yang Bercinta’, ‘Jago’, dan ‘Frustasi

Puncak Gunung’. Umar Kayam pernah menjadi Ketua Dewan Juri Festival Film

Indonesia. Selain itu, Umar Kayam sempat pula menjadi pengelola kesenian sebuah hotel di Bali.

Ia lebih banyak dikenal sebagai seorang sastrawan dan budayawan. Karyanya meliputi cerpen, novel, esai-esai kesenian dan kebudayaan. Terkhusus ia menaruh perhatian pada kebudayaan Jawa. Karya-karya fiksinya dianggap mempunyai makna baru dalam dunia kesusastraan. Ia dikelompokkan sebagai sastrawan angkatan ’50

(1950-1970). Angkatan dengan corak atau kekhasan berupa penceritaan yang kokoh, tanpa banyak disertai pandangan-pandangan pribadi. Sosok Umar Kayam dalam berbagai bidangnya inilah yang menjustifikasi demikian signifikan sehingga ia perlu dikaji lebih mendalam.

Universitas Sumatera Utara Lampiran 2

Sinopsis Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

Novel Para Priyayi menceritakan kehidupan seorang priyayi bernama

Soedarsono sejak awal keberhasilannya menyandang beslit sebagai guru bantu di desa Ploso di sebelah selatan Jogorogo.

Soedarsono, nama kecil Sastrodarsono, ialah putra seorang petani desa yang berasal dari Kedungsimo. Ia adalah anak tunggal Atmokasan. Dia juga sebagai satu- satunya orang dari keluarga besarnya yang berhasil menyelesaikan sekolah sampai berhasil memperoleh beslit guru bantu. Keberhasilan tersebut dianggap oleh orang tuanya dan keluarganya sebagai suatu keberhasilan yang luar biasa sebab Soedarsono akan memasuki jenjang baru yaitu jenjang priyayi. Dalam angan-angan orang tuanya,

Soedarsono akan mampu mengubah nasib dan status keluarganya dari status masyarakat kelas bawah menjadi masyarakat kelas atas. Sebagai tanda perubahan status tersebut, nama Soedarsono diganti menjadi Sastrodarsono.

Dalam perjalanan selanjutnya, Sastrodarsono diangkat menjadi guru di desa

Karangdompol. Keberhasilan menjadi guru tersebut berkat dukungan dan bantuan yang diberikan oleh Ndoro Seten. Sebelum memulai tugasnya sebagai guru tersebut,

Soedarsono dinikahkan oleh orang tuanya dengan Ngaisah. Ngaisah yang nama sebenarnya adalah Aisah adalah anak paman jauh, Mukarom, mantra penjual candu di wilayah gupermen Jogorogo.

Universitas Sumatera Utara Sastrodarsono dalam perkawinannya dengan Aisah dikaruniai tiga orang putra. Putra pertama bernama Noegroho, kedua bernama Hardojo, dan ketiga bernama Soemini. Dalam perkembangannya, Noegroho menikah dengan Sus. Sus adalah anak salah seorang priyayi yang terbiasa dengan adat Belanda. Hardojo menikah dengan Sumarti, muridnya ketika ia menjadi guru. Sedangkan Soemini menikah dengan Harjono, seorang asisten wedana.

Dalam permulaan kehidupannya, Sastrodarsono disamping bersama-sama dengan istri dan anak-anaknya, dia juga ikut bertanggung jawab atas kehidupan keponakan-keponakannya. Dia bersedia menjalani hal tersebut karena memang dia salah seorang yang dianggap sukses oleh keluarga dan saudara-saudara orang tuanya.

Terdapat tiga keponakan yang ikut berada ditengah-tengah keluarga inti

Sastrodarsono. Salah satu keponakan Sastrodarsono adalah Soenandar yang dalam cerita berikutnya adalah keponakan yang mendapat perhatian utama. Cerita selanjutnya mengisahkan permasalahan dan kehidupan Sastrodarsono sendiri dalam menanggapi dan ikut membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi anak- anaknya.

Keikutsertaan Soenandar dalam keluarga Sastrodarsono ternyata banyak menyita perhatian dan pemikiran Sastrodarsono dan keluarganya. Hal tersebut terjadi karena Soenandar telah menghamili seorang perempuan desa, anak seorang janda.

Perempuan tersebut bernama Ngadiyem. Kehamilan tersebut terjadi di luar pernikahan. Soenandar memang terkenal sebagai anak nakal, suka membuat keributan, suka mencuri, berjudi, dan ketika dewasa ia juga terlibat aksi dengan

Universitas Sumatera Utara gerombolan penjahat. Setelah Soenandar mengetahui keadaan Ngadiyem dia melarikan diri dengan mencuri uang tabungan keluarga Ngadiyem. Sastrodarsono dibantu beberapa pihak berusaha mencari Soenandar. Dalam pencarian tersebut ditemukan kenyataan bahwa Soenandar telah mati. Kematian Soenandar terjadi di sebuah rumah yang dibakar oleh pihak keamanan. Rumah tersebut dibakar sebab didalamnya bersembunyi para penjahat dan perampok yang dipimpin Samin Genjik.

Soenandar waktu itu bergabung bersama gerombolan tersebut. Sejak ditemukan informasi tersebut, Sastrodarsono mengurus kehidupan Ngadiyem dan Emboknya serta bayi yang dikandung Ngadiyem.

Diceritakan pula kehidupan Ngadiyem bersama anaknya sebagai penjual tempe. Keluarga Sastrodarsono adalah pelanggan tempe Ngadiyem. Ngadiyem sangat menghormati Sastrodarsono, demikian juga Sastrodarsono bersikap sangat baik kepada Ngadiyem. Sikap tersebut dilakukannya mengingat Ngadiyem masih memiliki ikatan persaudaraan dengannya. Suatu saat Sastrodarsono menghendaki agar Ngadiyem mengantarkan anaknya ikut ngenger di rumahnya. Ngadiyem pun menyetujui permintaan Sastrodarsono. Anaknya yang semula bernama Wage, anak hasil hubungan gelap dengan keponakannya Soenandar, oleh Sastrodarsono diganti menjadi Lantip. Sejak saat itulah Lantip menjadi keluarga Sastrodarsono. Dalam perkembangannya Lantip tumbuh menjadi manusia yang baik, satria, dan selalu menjadi tumpuan harapan keluarga Sastrodarsono dalam menyelesaikan masalah- masalah keluarga besar tersebut.

Universitas Sumatera Utara Pada bagian lain juga diceritakan bagaimana kehidupan masing-masing anggota keluarga besar Sastrodarsono. Noegroho adalah anak tertua keluarga

Sastrodarsono. Noegroho menikah dengan Sus dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu

Toni, Marie, dan Tommi yang mereka semua bernama asli Suhartono, Sri Sumaryati, dan Sutomo. Noegroho semula bekerja sebagai guru dan ketika penjajahan Jepang ia sebagai opsir Peta berpangkat Kolonel.

Saat terjadi kerusuhan di wilayah Indonesia, Toni meninggal karena ditembak

Belanda. Kematian Toni tersebut membuat trauma pada diri Sus dan Noegroho.

Mereka takut kehilangan anak yang sangat disayanginya itu kembali. Itulah sebabnya mereka memanjakan Marie dan Tommi. Akibat sikap kedua orang tua yang sangat memanjakan anaknya tersebut, Marie satu-satunya anak perempuan Noegroho, menemui suatu musibah. Marie berperilaku seperti orang barat, hidupnya bebas, dan sering berganti-ganti pasangan. Kebebasan pergaulan itu membuat Marie hamil di luar nikah dengan laki-laki bernama Maridjan. Maridjan adalah seorang yang bekerja di suatu perusahaan.

Pada waktu itu Noegroho sedang berdinas di luar negeri. Sus mengambil keputusan untuk sowan mertuanya. Sastrodarsono menyarankan agar Marie segera saja dikawinkan dengan Maridjan. Untuk mengurus segala sesuatunya, Lantip diharapkan ikut ke Jakarta. Lantip mengurus semua masalah Marie. Ternyata

Maridjan sudah pernah mempunyai seorang istri dan seorang anak. Istri dan anaknya itu sudah diceraikannya sebelum menjalin hubungan lebih akrab dengan Marie.

Semua masalah bisa teratasi dan Marie menikah dengan Maridjan.

Universitas Sumatera Utara Berikut adalah cerita tentang keluarga Hardojo. Semula Hardojo mencintai seorang wanita bernama Nunuk. Nunuk dikenalnya sejak bersekolah di HIS. Cinta

Hardojo dan Nunuk gagal karena perbedaan agama. Hardojo pemeluk agama Islam walaupun bukan pemeluk yang taat, sedangkan Nunuk lahir sebagai keluarga yang beragama Katolik. Sastrodarsono dan seluruh anggota keluarga yang lain tidak menyetujui hubungan mereka. Dalam perjalanan berikutnya, Hardojo menyukai seorang gadis, muridnya sendiri, yang bernama Sumarti. Cinta Hardojo tidak bertepuk sebelah tangan. Perkawinannya dengan Sumarti dikaruniai seorang anak bernama Harimurti dan Lantip diangkat sebagai anak Hardojo. Lantip menjadi saudara tua Harimurti. Keduanya sangat rukun dan akrab. Harimurti memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain terutama terhadap penderitaan orang lain.

Dalam kehidupannya, Harimurti aktif dalam organisasi yang disebut Lekra.

Dalam organisasi tersebut Hari, panggilan akrab Harimurti, mengikat hubungan dengan seorang gadis anak pensiunan pemilik Sekolah Dasar. Gadis itu bernama

Retno Dumilah yang lebih akrab dipanggil Gadis. Hubungan kedua insane tersebut sudah amat jauh dan mendalam yang akhirnya berakibat hamilnya Gadis.

Tidak lama kemudian, terjadilah penangkapan habis-habisan terhadap orang- orang yang terlibat PKI dan organisasi di bawahnya. Ternyata Gadis juga ditangkap dan dimasukkan ke penjara, sedangkan Hari diserahkan kepada teman-teman angkatan darat oleh Lantip agar tidak diadili oleh massa yang marah. Organisasi yang dimasuki Gadis dan Hari, yaitu Lekra, merupakan salah satu organisasi yang bergerak di bidang kebudayaan yang ikut terlibat dengan paham PKI. Penangkapan tersebut

Universitas Sumatera Utara mengakibatkan terpisahnya Gadis dengan Hari. Mereka dipenjara di tempat yang berbeda. Kedua orang tua Hari benar-benar bingung menghadapi masalah itu. Berkat bantuan Lantip yang saat itu mempunyai kenalan beberapa perwira, Hari berhasil dibebaskan. Semua itu juga atas bantuan Noegroho. Namun, Hari masih menjalani hukuman dengan status tahanan rumah. Dalam kegoncangan pikirannya di rumah

Hari selalu mengingat dan memikirkan Gadis serta anak yang dikandungnya yang diperkirakan berusia tujuh bulan. Sekali lagi, berkat usaha Lantip, Gadis dapat ditemukan. Noegroho pun berhasil membawa surat-surat untuk memindahkan status tahanan Gadis. Semua keluarga, kecuali Hari, pergi ke rumah tahanan Plantungan untuk menjemput Gadis, namun beberapa hari sebelum rombongan keluarga Hari datang, Gadis meninggal karena melahirkan sepasang bayi kembar, laki-laki dan perempuan.

Soemini, satu-satunya anak perempuan Sastrodarsono, bersuamikan Raden

Harjono Cokrokoesoemo asisten Wedana Karanglo. Masalah yang dihadapi keluarga

Soemini adalah adanya selir gelap suaminya seorang penyanyi keroncong. Harjono yang sudah menjadi pejabat tinggi kepala jawatan di kementrian dalam negeri sering berapat dan bekerja hingga larut malam. Soemini pun banyak terlibat dengan organisasi kewanitaan dan sering pulang terlambat. Harjono tampak kurang senang dengan semua itu dan sekali-kali juga menggerutu sebab setiap kali pulang istrinya belum berada di rumah.

Kegoncangan rumah tangga tersebut terjadi saat Soemini sudah bercucu dan

Harjono berumur 51 tahun. Mungkin karena kesibukan masing-masing atau tekanan

Universitas Sumatera Utara pekerjaan yang membuat Harjono membutuhkan seorang teman perempuan yang lain. Masalah itu segera teratasi setelah Soemini dinasihati oleh ibunya. Soemini pun menyadari kekurangannya selama ini. Akhirnya keluarga Soemini hidup rukun kembali dan Harjono bisa melepaskan penyanyi keroncong yang bernama Sri Asih.

Tokoh Lantip merupakan satu-satunya tokoh yang tidak memiliki masalah pribadi yang terlalu berat ketika dewasa. Masa lalunya memang sangat mengenaskan.

Sastrodarsono tidak habis-habisnya berucap syukur kepada Allah yang Maha Adil sebab anak jadah itu tumbuh sebagai anak yang sungguh baik dan amat berbakti kepada semua keluarga Sastrodarsono. Lantip selalu membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi keluarga besar Sastrodarsono dengan rasa rendah diri, penuh kesabaran, dan jauh dari rasa pamrih. Masalah demi masalah berhasil dia selesaikan sampai ia kurang begitu memperhatikan kepentingannya sendiri. Sampai usianya yang menjelang 31 tahun belum menemukan gadis yang cocok. Beberapa waktu kemudian Lantip bertunangan dengan Halimah rekan asisten asal Pariaman, Sumatra

Barat. Pengabdian Lantip kepada keluarga besar Sastrodarsono untuk menyampaikan pidato selamat jalan kepada embah kakung di makam. Lantip dipilih sebagai wakil keluarga besar tersebut karena Lantip merupakan satu-satunya calon yang lebih pantas dan paling besar jasanya dalam keluarga besar Sastrodarsono. Dialah orang yang paling ikhlas, tulus, dan tanpa pamrih berbakti kepada keluarga tersebut.

Universitas Sumatera Utara Lampiran 3

Kulit Sampul Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

Universitas Sumatera Utara Lampiran 4

Kartu Ikhtisar Klasifikasi Data Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam Tabel 1 Konsep Kekuasaan Jawa melalui Tokoh Utama

NO. DATA KUTIPAN KODE DATA

(Sumber Data/ Halaman)

1. ....wibawa itu tidak membuat orang merasa [Novel Para Priyayi - takut melainkan hormat. 157]

Wibawa

2. ….Bapak, adalah matahari tempat kami [Novel Para Priyayi - berpaling. Seperti juga matahari, Bapak 181] memang selalu menyilaukan mata kami…Dari mulutnya keluar sabda-sabda Kharisma yang mengandung bobot yang berwibawa sekali bagi kami anak-anak. Kami menerima sabda atau fatwa itu tanpa reserve, tanpa berani menyanggahnya.

3. Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas [Novel Para Priyayi - Atmokasan, petani Desa Kedungsimo, pulang 29] dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit guru bantu di Ploso. Guru Bantu. Itu Wewenang berarti sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi, meskipun priyayi yang paling rendah tingkatnya. Itu tidak mengapa. Yang penting kaki saya sudah melangkah masuk jenjang priyayi. Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan setia kepada gupermen, saya akan menjadi guru penuh sekolah desa. Itu akan lebih memantapkan kedudukan saya sebagai priyayi, sebagai abdi gupermen. Dan kalau saya sudah menjadi mantra guru, wah, itu sudah boleh dikatakan menjadi priyayi yang

Universitas Sumatera Utara

terpandang.

4. Di sekolah desa kami diperintahkan untuk [Novel Para Priyayi - sangat menekankan pengajaran kami di 53] bidang-bidang berhitung, menulis, dan bahasa Kemampuan Khusus

NO. DATA KUTIPAN KODE DATA

(Sumber Data/ Halaman)

Jawa. Kami diperintahkan untuk sangat keras dan tertib dalam mengajar bidang-bidang tersebut. Maka hasilnya pun kelihatan pada anak-anak desa yang tamat dari sekolah desa. Mereka, pada umumnya, sangat bagus tulisan tangannya dan pintar berhitung serta baik penguasaan bahasa Jawanya.

Tabel 2 Etika Kekuasaan Jawa

NO. DATA KUTIPAN KODE DATA (Sumber Data / Halaman) 1. Ngelmu iku, kalakone kanti laku…(Ilmu itu [Novel Para Priyayi - akan terlaksananya lewat upaya keras…) 131] Membangun Wibawa Kekuasaan - Menguasai Ilmu 2. …pada setiap malam hari-hari yang dianggap [Novel Para Priyayi - 6] keramat oleh orang Jawa, misalnya, malam Upaya Mendapatkan Selasa Kliwon atau malam Jumat Kliwon, Kharisma banyak orang pada kungkum, berendam, di - Laku badaniah sungai itu. 3. …sistem yang melahirkan penguasa-penguasa [Novel Para Priyayi - yang kejam dan sewenang-wenang tidak 291] mungkin mengangkat kehidupan orang kecil Menjalankan Wewenang

167

Universitas Sumatera Utara

bagaimanapun sistem dan penguasanya Secara Optimal mengira bisa begitu. Soalnya sistem dan - Bersikap Alus penguasa begitu sesungguhnya tidak kenal akrab dengan kehidupan wong cilik. 4. Warna semangat itu adalah warna pengabdian [Novel Para Priyayi - kepada masyarakat banyak, terutama kepada 126] wong cilik, tanpa pamrih…

168

Universitas Sumatera Utara