1 Hipogramatik Cerita Wayang Dalam Karya Sastra
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
HIPOGRAMATIK CERITA WAYANG DALAM KARYA SASTRA INDONESIA MODERN Ahmad Bahtiar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [email protected] Abstrak Sebuah karya sastra tidak hadir atau dicipta karena kekosongan budaya termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptaan tersebut, baik secara umum maupun khusus.Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya sastra yang kemudian disebut hipogram. Salah satu tradisi yang dikenal baik oleh masyarakat Indonesia adalah wayang.Cerita wayang merupakan hasil karya seni yang adi luhung, monumental, dan sangat berharga, bukan saja karena kehebatan cerita dan unsur-unsur lainnya tetapi tetapi juga filosofi dan ajaran-ajarannya tidak ternilai sehingga saat kini. Cerita wayang yang dijadikan latar dalam penulisan sastra tersebut diolah secara kreatif sehingga karya sastra yang diciptakan tersebut merupakan respons atau tanggapan pengarang. Karena pada hakikatnya, karya sastra merupakan respons (serapan, olahan, mosaik kutipan, transformasi) terhadap apa yang telah ada dalam karya sastra lain. Pengangkatan cerita wayang tidak hanya mengenalkan wayang kemasyarakat yang lebih luas tetapi membuktikan bahwa tradisi-tradisi lama dapat memperkaya kesusastraan Indonesia modern baik puisi, prosa, maupun drama. Kata kunci : hipogramatik, wayang, sastra Indonesia PENDAHULUAN Untuk memberikan makna secara lengkap atau penuh sebuah karya sastra harus dilihat karya-karya yang ditulis dan diciptakan sebelumnya. Karya tersebut biasanya, berdasar pada karya yang sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara meneruskan maupun menyimpangi (menolak, memutarbalikkan esensi) konvensi. Pemunculan sebuah karya sastra sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannnya. Sehingga pemberian maknanya akan lebih lengkap jika keseluruhan makna digali dan diungkap secara tuntas dalam kaitannya dengan unsur kesejarahan tersebut. Karena itu sebuah karya sastra, tidak hadir atau dicipta karena kekosongan budaya (Teeuw, 1980 : 11). Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesusastraan yang ditulis sebelumnya. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau lisan, adat istiadat, kebudayaan, film, drama secara pengertian umum adalah teks. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptaan tersebut, baik secara umum maupun khusus. Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan karya sastra kemudian disebut hipogram (Rifatere,1978: 23). Istilah hipogram diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walaupun mungkin tak secara eksplist, bagi penulisan karya lain. Ini berarti, sebuah karya tidak begitu saja lahir, melainkan sebelumnya sudah ada karya lain yang tercipta berdasarkan konvensi dan tradisi masyarakat yang bersangkutan. Salah satu tradisi yang dikenal baik oleh masyarakat Indonesia, khususnya Jawa adalah wayang. Cerita-cerita wayang bersumber pada epos Mahabrata dan Ramayana dalam bahasa Sansakerta yang berasal dari India. Setelah masuk ke Jawa kemudian disadur dan mendapatkan kreasi baru sesuai masyarakat setempat. Tradisi tersebut mendasari dan berperan besar dalam membentuk karakter dan eksistensi bangsa. Cerita wayang merupakan hasil karya seni yang adi luhung, monumental, dan amat berharga, bukan saja karena kehebatan ceritanya, tetapi ajaran-ajaran masih relevan saat ini (Mulyono dalam Nurgiyantoro, 1988 : 6). Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika nilai tradisional dan mitologi pewayangan banyak berpengaruh terhadap penulisan karya sastra Indonesia modern. Beberapa pengarang seperti Sapardi Djoko Damono, Danarto, Umar Kayam, Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Moehamad, Sony Farid Maulana, Seno Gumira Ajidarma, Dorothea Rosa Herliany dan lainnya banyak menampilkan cerita wayang dalam beberapa karyanya. 1 Pengangkatan cerita wayang selain untuk mengenalkan wayang kepada khalayak yang lebih luas juga dipandang sebagai bentuk penafsiran kembali nilai-nilai secara kontekstual dengan menyesuaikan kondisi sosial budaya masyarakat masa kini. Cerita wayang yang dijadikan latar dalam penulisan sastra tersebut diolah secara kreatif sehingga karya tersebut merupakan respons atau tanggapan pengarang. Karena pada hakikatnya karya sastra merupakan respons (serapan, olahan, mosaik kutipan, transformasi) terhadap apa yang telah ada dalam karya sastra lain (Teeuw, 1983 : 65). Oleh karena itu, berbagai karya sastra yang muncul tidak hanya mengukuhkan mitos sebelumnya tetapi juga melakukan penyimpangan dan sejumlah perubahan yang ada. Hal itu merupakan usaha mereformasi keadaan untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntunan zaman, termasuk dengan menghadirkan kontra mitos secara ekstrem. Cerita-cerita wayang yang menjadi sumber bagi penciptaaan karya sastra dalam konsep interteksdipandang sebagai bentuk hipogram (Rifatere dalam Nurgiyantoro, 1998 : 15). Hipogram merupakan karya, tradisi, dankonvensisebelumnya—yang dipandang sebagai suatu tantangan yang perlu disikapi— yang dijadikan dasar bagai penulisan karya lain sesudahnya. Adanya unsur hipogram dalam suatu karya, hal itu itu mungkin disadari mungkin tidak oleh pengarangnya. METODOLOGI Tulisan ini menggunakan metode deskpritif kualitatif untuk menafsirkan makna-makna karya sastra yang berlatar wayang baik puisi, prosa, maupun drama.Penafsiran tersebut dilakukan dengan membandingkan atau mengkontraskan antara karya induk (hipogram) dan karya baru (transformatif). Hipogram dapat berupa kata, frase, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks, yang menjadi latar penciptaan teks baru sehingga signifikasi teks harus ditemukan dengan mengacu pada teks lain atau teks yang sudah ada sebelumnya. Teks dalam pengertian umum bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga adat-istiadat, kebudayaan, agama dan bahkan selururuh isi alam semesta (dunia) ini adalah teks (Pradopo, 1995:132). Oleh sebab itu, hipogram yang menjadi latar penciptaan teks baru itu, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi teks dalam pengertian umum. Hipogram tersebut direspons atau ditanggapi oleh teks baruberupa penerusan, atau penentangan tradisi atau konvensi. Untuk mendapatkan makna teks transformasi digunakan metode intertekstual, yaitu membandingkan, menjajarkan, dan mengontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya. Cerita wayang yang dijadikan latar dalam penulisan karya sastra tersebut diolah secara kreatif sehingga karya tersebut merupakan respons atau tanggapan pengarang. Karena pada hakikatnya karya sastra merupakan respons (serapan, olahan, mosaik kutipan, transformasi) terhadap karya sastra lain (Teeuw, 1983 : 65). Oleh karena itu, karya sastra yang muncul tidak hanya mengukuhkan mitos-mitos, tetapi juga melakukan penyimpangan dan pemberontakan. Penerusan tradisi disebut mitos pengukuhan (myth of concern), sedangkan penolakan tradisi sebagai mitos pemberontakan (myth of frededom). Itu merupakan sesuatu yang “wajib” hadir dalam penulisan teks kesusastraan, sesuai hakikat kesusastraan yang selalu beradadalam ketegangan antara konvensi, mitos, dan pemberontakan (Nurgiyantoro, 1991 : 51). Pengambilan wayang sebagai latar oleh pengarang tidak sama tingkat intensnya. Ada yang mengambil secara samar, ada juga yang mengfungsionalkannya dalam unsur-unsur yang terdapat pada cerita sehingga kadang pembaca tidak ingat lagi karya yang menjadi latarnya. ANALISIS Cerita wayang yang menjadi latar dalam sastra Indonesia modern berasal dari kitab Ramayana, epos yang digubah oleh Walmiki. Kakawin pertama sastra India ini terdiri 24.000 seloka(sajak 2 baris, tiap baris terdiri 16 suku kata) dan mengisahkan riwayat Ramawijaya atau Rama, Raja Ayodya. Kitab lainnya ialah Kitab Mahabrata, epos terbesar sastra India yang terdiri 100.000 seloka dan 18 bagian. Kisah yang ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa ini menceritakan perebutan kekuasaan antara keluarga Pandawa dengan Kurawa. Kedua kitab tersebut menjadi cerita pakem, cerita standar dalam dunia pewayangan. Selain itu, terdapat cerita carangan yang merupakan kreasi baru dalang yang tidak jauh dari cerita pakem. Cerita carangan yang paling dikenal di antara adalah Bambang Wisanggeni, Dewa Ruci, dan Arjuna Sastrabahu. 2 Salah satu tokoh wayang yang sering bicarakan pada berbagai puisi berlatar wayang adalah tokoh Dewi Sinta atau Sita. Ia tokoh sentral dalam epos Ramayana karena senantiasa diutamakan dalam penceritaan baik sebagai pelaku maupun yang dikenai kejadian. Ia adalah putri Prabu Janaka, Raja Negara Mantili yang diyakini sebagai titisan Batari Sri Widowati, Istri Batara Wisnu, Dewa yang menitis pada Rama. Setiap turun ke Bumi, Dewa Wisnu selalu di dampingi Batari Sri Widowati. Sinta selama ini dimitoskan sebagai istri yang setia, sopan, suci,dan mendampingi suaminya dalam suka dan duka. Namun, mitos-mitos Sinta tersebut tidak muncul pada puisi “Elegi Sinta” (Dorothea Rosa Herliany) “Elegi Sinta” (Sapardi Djoko Damono), “Asmaradana” (Subagio Sastrowardoyo), dan “Sita Obong” (Soni Farid Maulana). Karya-karya itu menampilkan perspektif yang berbeda tentang Sinta. Ia digambarkan bukan sebagai perempuan setia dan taat kepada suami tetapi sebagai perempuan yang berani menentukan nasibnya sendiri. Penyair-penyair tersebut mengubah epos Ramayana tersebut sesuai perspektif mereka sebagai respons pengarang. Respons tersebut merupakan bentuk penyimpangan dari konvensi atau mitos-mitos Sinta yang terdapat dalam cerita yang menjadi latarnya. Mitos Sinta yang selama ini dianggap baik didekonstrusi sedemikian