1 Hipogramatik Cerita Wayang Dalam Karya Sastra

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

1 Hipogramatik Cerita Wayang Dalam Karya Sastra HIPOGRAMATIK CERITA WAYANG DALAM KARYA SASTRA INDONESIA MODERN Ahmad Bahtiar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [email protected] Abstrak Sebuah karya sastra tidak hadir atau dicipta karena kekosongan budaya termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptaan tersebut, baik secara umum maupun khusus.Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya sastra yang kemudian disebut hipogram. Salah satu tradisi yang dikenal baik oleh masyarakat Indonesia adalah wayang.Cerita wayang merupakan hasil karya seni yang adi luhung, monumental, dan sangat berharga, bukan saja karena kehebatan cerita dan unsur-unsur lainnya tetapi tetapi juga filosofi dan ajaran-ajarannya tidak ternilai sehingga saat kini. Cerita wayang yang dijadikan latar dalam penulisan sastra tersebut diolah secara kreatif sehingga karya sastra yang diciptakan tersebut merupakan respons atau tanggapan pengarang. Karena pada hakikatnya, karya sastra merupakan respons (serapan, olahan, mosaik kutipan, transformasi) terhadap apa yang telah ada dalam karya sastra lain. Pengangkatan cerita wayang tidak hanya mengenalkan wayang kemasyarakat yang lebih luas tetapi membuktikan bahwa tradisi-tradisi lama dapat memperkaya kesusastraan Indonesia modern baik puisi, prosa, maupun drama. Kata kunci : hipogramatik, wayang, sastra Indonesia PENDAHULUAN Untuk memberikan makna secara lengkap atau penuh sebuah karya sastra harus dilihat karya-karya yang ditulis dan diciptakan sebelumnya. Karya tersebut biasanya, berdasar pada karya yang sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara meneruskan maupun menyimpangi (menolak, memutarbalikkan esensi) konvensi. Pemunculan sebuah karya sastra sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannnya. Sehingga pemberian maknanya akan lebih lengkap jika keseluruhan makna digali dan diungkap secara tuntas dalam kaitannya dengan unsur kesejarahan tersebut. Karena itu sebuah karya sastra, tidak hadir atau dicipta karena kekosongan budaya (Teeuw, 1980 : 11). Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesusastraan yang ditulis sebelumnya. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau lisan, adat istiadat, kebudayaan, film, drama secara pengertian umum adalah teks. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptaan tersebut, baik secara umum maupun khusus. Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan karya sastra kemudian disebut hipogram (Rifatere,1978: 23). Istilah hipogram diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walaupun mungkin tak secara eksplist, bagi penulisan karya lain. Ini berarti, sebuah karya tidak begitu saja lahir, melainkan sebelumnya sudah ada karya lain yang tercipta berdasarkan konvensi dan tradisi masyarakat yang bersangkutan. Salah satu tradisi yang dikenal baik oleh masyarakat Indonesia, khususnya Jawa adalah wayang. Cerita-cerita wayang bersumber pada epos Mahabrata dan Ramayana dalam bahasa Sansakerta yang berasal dari India. Setelah masuk ke Jawa kemudian disadur dan mendapatkan kreasi baru sesuai masyarakat setempat. Tradisi tersebut mendasari dan berperan besar dalam membentuk karakter dan eksistensi bangsa. Cerita wayang merupakan hasil karya seni yang adi luhung, monumental, dan amat berharga, bukan saja karena kehebatan ceritanya, tetapi ajaran-ajaran masih relevan saat ini (Mulyono dalam Nurgiyantoro, 1988 : 6). Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika nilai tradisional dan mitologi pewayangan banyak berpengaruh terhadap penulisan karya sastra Indonesia modern. Beberapa pengarang seperti Sapardi Djoko Damono, Danarto, Umar Kayam, Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Moehamad, Sony Farid Maulana, Seno Gumira Ajidarma, Dorothea Rosa Herliany dan lainnya banyak menampilkan cerita wayang dalam beberapa karyanya. 1 Pengangkatan cerita wayang selain untuk mengenalkan wayang kepada khalayak yang lebih luas juga dipandang sebagai bentuk penafsiran kembali nilai-nilai secara kontekstual dengan menyesuaikan kondisi sosial budaya masyarakat masa kini. Cerita wayang yang dijadikan latar dalam penulisan sastra tersebut diolah secara kreatif sehingga karya tersebut merupakan respons atau tanggapan pengarang. Karena pada hakikatnya karya sastra merupakan respons (serapan, olahan, mosaik kutipan, transformasi) terhadap apa yang telah ada dalam karya sastra lain (Teeuw, 1983 : 65). Oleh karena itu, berbagai karya sastra yang muncul tidak hanya mengukuhkan mitos sebelumnya tetapi juga melakukan penyimpangan dan sejumlah perubahan yang ada. Hal itu merupakan usaha mereformasi keadaan untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntunan zaman, termasuk dengan menghadirkan kontra mitos secara ekstrem. Cerita-cerita wayang yang menjadi sumber bagi penciptaaan karya sastra dalam konsep interteksdipandang sebagai bentuk hipogram (Rifatere dalam Nurgiyantoro, 1998 : 15). Hipogram merupakan karya, tradisi, dankonvensisebelumnya—yang dipandang sebagai suatu tantangan yang perlu disikapi— yang dijadikan dasar bagai penulisan karya lain sesudahnya. Adanya unsur hipogram dalam suatu karya, hal itu itu mungkin disadari mungkin tidak oleh pengarangnya. METODOLOGI Tulisan ini menggunakan metode deskpritif kualitatif untuk menafsirkan makna-makna karya sastra yang berlatar wayang baik puisi, prosa, maupun drama.Penafsiran tersebut dilakukan dengan membandingkan atau mengkontraskan antara karya induk (hipogram) dan karya baru (transformatif). Hipogram dapat berupa kata, frase, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks, yang menjadi latar penciptaan teks baru sehingga signifikasi teks harus ditemukan dengan mengacu pada teks lain atau teks yang sudah ada sebelumnya. Teks dalam pengertian umum bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga adat-istiadat, kebudayaan, agama dan bahkan selururuh isi alam semesta (dunia) ini adalah teks (Pradopo, 1995:132). Oleh sebab itu, hipogram yang menjadi latar penciptaan teks baru itu, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi teks dalam pengertian umum. Hipogram tersebut direspons atau ditanggapi oleh teks baruberupa penerusan, atau penentangan tradisi atau konvensi. Untuk mendapatkan makna teks transformasi digunakan metode intertekstual, yaitu membandingkan, menjajarkan, dan mengontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya. Cerita wayang yang dijadikan latar dalam penulisan karya sastra tersebut diolah secara kreatif sehingga karya tersebut merupakan respons atau tanggapan pengarang. Karena pada hakikatnya karya sastra merupakan respons (serapan, olahan, mosaik kutipan, transformasi) terhadap karya sastra lain (Teeuw, 1983 : 65). Oleh karena itu, karya sastra yang muncul tidak hanya mengukuhkan mitos-mitos, tetapi juga melakukan penyimpangan dan pemberontakan. Penerusan tradisi disebut mitos pengukuhan (myth of concern), sedangkan penolakan tradisi sebagai mitos pemberontakan (myth of frededom). Itu merupakan sesuatu yang “wajib” hadir dalam penulisan teks kesusastraan, sesuai hakikat kesusastraan yang selalu beradadalam ketegangan antara konvensi, mitos, dan pemberontakan (Nurgiyantoro, 1991 : 51). Pengambilan wayang sebagai latar oleh pengarang tidak sama tingkat intensnya. Ada yang mengambil secara samar, ada juga yang mengfungsionalkannya dalam unsur-unsur yang terdapat pada cerita sehingga kadang pembaca tidak ingat lagi karya yang menjadi latarnya. ANALISIS Cerita wayang yang menjadi latar dalam sastra Indonesia modern berasal dari kitab Ramayana, epos yang digubah oleh Walmiki. Kakawin pertama sastra India ini terdiri 24.000 seloka(sajak 2 baris, tiap baris terdiri 16 suku kata) dan mengisahkan riwayat Ramawijaya atau Rama, Raja Ayodya. Kitab lainnya ialah Kitab Mahabrata, epos terbesar sastra India yang terdiri 100.000 seloka dan 18 bagian. Kisah yang ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa ini menceritakan perebutan kekuasaan antara keluarga Pandawa dengan Kurawa. Kedua kitab tersebut menjadi cerita pakem, cerita standar dalam dunia pewayangan. Selain itu, terdapat cerita carangan yang merupakan kreasi baru dalang yang tidak jauh dari cerita pakem. Cerita carangan yang paling dikenal di antara adalah Bambang Wisanggeni, Dewa Ruci, dan Arjuna Sastrabahu. 2 Salah satu tokoh wayang yang sering bicarakan pada berbagai puisi berlatar wayang adalah tokoh Dewi Sinta atau Sita. Ia tokoh sentral dalam epos Ramayana karena senantiasa diutamakan dalam penceritaan baik sebagai pelaku maupun yang dikenai kejadian. Ia adalah putri Prabu Janaka, Raja Negara Mantili yang diyakini sebagai titisan Batari Sri Widowati, Istri Batara Wisnu, Dewa yang menitis pada Rama. Setiap turun ke Bumi, Dewa Wisnu selalu di dampingi Batari Sri Widowati. Sinta selama ini dimitoskan sebagai istri yang setia, sopan, suci,dan mendampingi suaminya dalam suka dan duka. Namun, mitos-mitos Sinta tersebut tidak muncul pada puisi “Elegi Sinta” (Dorothea Rosa Herliany) “Elegi Sinta” (Sapardi Djoko Damono), “Asmaradana” (Subagio Sastrowardoyo), dan “Sita Obong” (Soni Farid Maulana). Karya-karya itu menampilkan perspektif yang berbeda tentang Sinta. Ia digambarkan bukan sebagai perempuan setia dan taat kepada suami tetapi sebagai perempuan yang berani menentukan nasibnya sendiri. Penyair-penyair tersebut mengubah epos Ramayana tersebut sesuai perspektif mereka sebagai respons pengarang. Respons tersebut merupakan bentuk penyimpangan dari konvensi atau mitos-mitos Sinta yang terdapat dalam cerita yang menjadi latarnya. Mitos Sinta yang selama ini dianggap baik didekonstrusi sedemikian
Recommended publications
  • Lampiran SINOPSIS SRI SUMARAH Sri Sumarah Merupakan Nama Asli
    101 Lampiran SINOPSIS SRI SUMARAH Sri Sumarah merupakan nama asli dari Bu Martokusumo, sebelum menikah dengan seorang Mantri guru bernama Martokusumo. Sri seorang keturunan priyayi meskipun bukan priyayi kaya. Orangtuanya meninggal sejak ia masih kecil, kemudian ia diasuh oleh embahnya sampai dewasa. Embahnya mendidik dan memelihara Sri dengan baik. Sri disekolahkan hingga tingkat Sekolah Kepandaian Putri (SKP), setelah lulus ia dinikahkan. Sebelumnya, ia dibekali embahnya ilmu kesempurnaan berumah tangga dan memberi wejangan supaya membiasakan diri mengkonsumsi kencur dan kunyit mentah serta jamu supaya kesegaran tubuhnya tetap terjaga. Pernikahan Sri dengan Martokusumo dikaruniai satu putri bernama Tun. Beberapa tahun kemudian, saat Tun berumur 4 tahun suami Sri meninggal karena kecapekan mengurusi penderita eltor di desanya. Sejak itulah Sri mulai hidup mandiri, memenuhi kebutuhan keluarga sendiri. Ia berusaha menjadi ibu yang baik dengan tetap mendidik, memelihara, dan berusaha memberikan putrinya yang terbaik. Sri bekerja sebagai tukang jahit, menerima pesanan pisang goreng, dan terakhir menjadi tukang pijit. Pekerjaan-pekerjaan itulah yang menjadi sumber penghasilan Sri dalam menjalani kehidupan. Sri menikahkan Tun, putri tunggalnya dengan Yos, laki-laki yang telah menghamili Tun sebelum menikah. Keduanya dikarunia satu putri bernama Ginuk. Kebahagiaan Sri menjadi lengkap karena ia bisa memangku cucu seperti harapannya dulu. Namun, setelah beberapa lama kebahagiaan itu berkurang setelah Sri mengetahui bahwa menantu dan putrinya terlibat dalam pemberontakan PKI. Yos akhirnya terbunuh dan Tun menyerahkan diri kepada negara untuk mendapatkan hukuman yang setimpal yaitu penjara. Sejak itulah Sri menjadi orangtua bagi Ginuk, cucunya semata wayang. Ia merawat Ginuk dengan baik. Untuk memenuhi kebutuhan Ginuk, Sri bekerja 102 menjadi tukang pijit panggilan, langganannya semakin banyak.
    [Show full text]
  • Bahasa Dan Susastra Dalam Gunting N
    BAHASA DAN SUSASTRA DALAM GUNTING N NOMOR 169 AGUSTUS 1999 PERPUSTAKAAN PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA Ja an Oaksmapali Bara! IV Ja arta 13220. Telepon 4896558, 4706287, 4706288 - DAFTAR ISI BAHASA BAHASA DAERAH-ULASAN "Perkembangan Bahasa Nusantara Bel urn Memperoleh Lahan Segar" . 1 "Ayip Rosyidi: Bahasa Daerah Merana" 2 "Ajip Rosjidi 'Rancang'" 3 "Bahasa Daerah tak Ganggu Bahasa Indonesia" 4 BAHASA INDONESIA-PEMBINAAN "Wisata Bahasa: Hal-hal Kecil yang terabaikan (1)" 5 "Wisata Bahasa: Hal-hal Kecil yang Terabaikan (2)" 6 "Wisata Bahasa: Hal-hal Kecil yang Terabaikan (3)" 7 "Bingung oleh 'Pun' Pisah, 'Pun' Sambung, dan 'Per'" 8 "Wisata Bahasa: Bentuk Kata Hiperkorek" 10 BAHASA INDONESIA-ISTILAH "Kosakata Hari Ini" 11 "Isti 1 ah Ekonomi " 14 BAHASA INDONESIA-ULASAN "Bambang Kaswanti, Jatuh Cinta pada Linguistik" 19 "Perkembangan Bahasa Indonesia tak Perlu Dirisaukan" 21 "Bahasa Indonesia ala Soeharto" 23 "Membaca Memelihara Kemampuan Berbahasa" . 24 BAHASA LISAN-ULASAN "Sul it Berbahasa Lisan" 26 BAHASA POLITIK-ULASAN "Selamat Datang Bahasa Politik Orde Reformasi" 27 SASTRA CERPEN INDONESIA-ULASAN "Tiga Dunia dalam 'Derabat'" 30 KESUSASTRAAN INDONESIA-ULASAN "A1 bum" 33 "Linus 'Masih' di Yogya" 33 Aksi Peduli Linus Membaca'Pengakuan Pariyem" 35 Menapak Imajinasi dan Petualangan Motinggo" 37 Kolom Umar Kayam: Linus" *. 33 Pembacaan Puisi: Guyon Sang Darmanto" 40 Kritik Sastra Harus Ikuti Perkembangan Sastra" 42 Guru Ujung Tombak Tingkatkan Apresiasi Sastra Anak Didik" .. 43 Navis Raih Penghargaan Sastra Anak Unesco" 44 Mengenang Linus Suryadi AG" *. * 45 Mochtar Lubis: Usia Tak Mengubah Semangatnya" 48 Linus Suryadi AG Budaya (Juga Kerusuhan Etnis dan Strategi" 50 Lirik-lirik Linus Suryadi Ag." 54 Linus dan Pariyem" 56 'Horison' Lirik Guru dan Pelajar" 58 Para Pengarang Yogya Berharap Penerbit Perhatikan Sastra" .
    [Show full text]
  • Download Article
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 306 International Symposium on Social Sciences, Education, and Humanities (ISSEH 2018) Javanese Local Colours in the Fictions of Umar Kayam Hartono Hartono, Suroso Suroso Faculty of Languages and Arts Universitas Negeri Yogyakarta Yogyakarta, Indonesia [email protected] Abstract—One of the phenomena of writing literary works in since the last few decades is the tendency to promote regional Indonesia since the last few decades are the tendency to promote culture in accordance with the socio-cultural background of the regional culture in accordance with the socio-cultural author. One of the regional cultures that has been raised to the background of the author. The purpose of this study is to explain surface is Javanese culture [5]. Modern Indonesian literature the form of local colours represented by Umar Kayam in his has never broken its connection with traditional literature [2]. fiction works. This study, the sociological approach is used as a There is continuity between traditional literature and old social reflection of the community. There are two novels by Umar literature with modern Indonesian literature. Kayam which become the subject of this study, namely Para Priyayi (1992) and Jalan Menikung (1999). Data is collected by In the 80s the tendency to boost local colours in Indonesian reading repeatedly and intensively to find data in the form of literature began to strengthen. One of the triggers is the birth of phrases or sentences and discourses that reveal the discussion of two phenomenal novels, namely Ronggeng Dukuh Paruk by local Javanese colours.
    [Show full text]
  • Multiculturalism and Javanese Ways of Behaving As Reflected in Umar Kayam’S Works of Fiction
    ISSN 2411-9598 (Print) European Journal of Jan-Apr 2017 ISSN 2411-4103 (Online) Language and Literature Studies Vol.7, Nr. 1 Multiculturalism and Javanese Ways of Behaving as Reflected in Umar Kayam’s Works of Fiction Suroso Faculty of Languages and Arts, Yogyakarta State University Abstract This study aimed to describe the construction of multiculturalism in Umar Kayam's works of fiction in terms of the forms of multiculturalism, the factors causing multiculturalism and the effects of multiculturalism. This study used sociology of literature approach that sees literature as a reflection of society. There were three short stories and two novels that became the subjects of this study. They were Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1988), Sri Sumarah, Bawuk (1988), Para Priyayi (1991), and Jalan Menikung (1993). The results showed that (1) the forms of multiculturalism found in Umar Kayam’s works are recognition of difference, democracy, justice and equality before the law, cultural values and ethos, unity in diversity, respect for other’s ethnicity and nationality as well as religious belief, implementation of cultural philosophy, appreciation of the private and public domain, respect for human rights and freedom to choose culture in a community; (2) the causes of multiculturalism are migration, intra-ethnic and inter-ethnic marriage, occupation, and devotion to somebody/"ngenger", (3) the effects of multiculturalism are reflected in the tolerant nature, respect for individual or group of people, surrendered life, willingness to help others, humility, and respect for religious beliefs. Keywords: Multiculturalism, fiction, Sociology of Literature Introduction Literary work is a literary response to the surrounding world.
    [Show full text]
  • Feminist Education in Indonesian Novels Under the Domination of Patriarchy
    International Journal of Gender and Women’s Studies December 2018, Vol. 6, No. 2, pp. 42-51 ISSN: 2333-6021 (Print), 2333-603X (Online) Copyright © The Author(s). All Rights Reserved. Published by American Research Institute for Policy Development DOI: 10.15640/ijgws.v6n2p5 URL: https://doi.org/10.15640/ijgws.v6n2p5 Feminist Education in Indonesian Novels Under the Domination of Patriarchy Wiyatmi1 Abstract This article is aimed at studying the representation of feminist education in Indonesian novels. This objective is inspired by the fact that, since the beginning of its development, Indonesian novels have raised the issues of women education which, in the tradition of feminism studies, is known as feminist research. Research shows that, although there emerges awareness of the importance of education for women, they are still positioned within the domestic arena. After pursuing their education, mostly in elementary and secondary schools, they must return to home, getting married, playing the role as wife and mother expected to be capable of taking care of the home well, and serving their husband. This points out to the dominance of the patriarcical ideology that places women in the domestic arena and men in the public arena. Such awareness truly is not always followed by permitting and giving women these educated women to make use of their knowledge to take part in the public sector; not even to merely exercise their autonomy in their own home. This is shown in the novels Azab dan Sengsara by Armijn Pane, Sitti Nurbaya by Marah Rusli, Kehilangan Mestika by Hamidah, Widyawati by Arti Purbani, and Para Priyayi by Umar Kayam.
    [Show full text]
  • Lontar Newsletter Email: [email protected] July 2020
    Lontar Newsletter Email: [email protected] July 2020 Greetings from the RuminationsRuminations by by John John McGlynn: McGlynn Executive Director Poetic Suasion Slowly but surely we are getting used to the The recent death of Sapardi Djoko Damono (20 March 1940–19 July limitations imposed by the seemingly never- 2020), one of Lontar’s founders, has had me thinking of the suasive role ending Covid-19 pandemic. Many of us that poetry has played in my life. have been compelled to become more Poetry was not a focus in any of my literature courses either in innovative and creative in what we do—a primary school or in high school. As a sixth grader at Saint Anthony’s, trend that has been most evident in Jakarta’s Sister Aurea gave me extra points for memorizing Longfellow’s “The arts and culture community. Wreck of the Hesperus” and, as a junior at Weston High School, Mr. Gates Starved for live entertainment, with no (who suffered from muscular dystrophy and spoke with a tremor) had me film showings at theaters, no concerts or record Shakespearean sonnets for our English literature class to listen to, performances, and no arenas hosting sports but most all “assigned” poems were lofty in tone and meant to “elevate the events, the Indonesian public mind”—whatever that meant. enthusiastically welcomed the recent airing It was my father, an avid and eclectic reader, who first showed me that on YouTube of Sandiwara Sastra (“Literary poetry could be fun. His collection of brief poems by Ogden Nash, with Plays”), a series of 30-minute audio plays such titles as “Fleas” (Adam Had ‘em) and “I Love Me” (I’m always my own presented by a number of well-known best cheerer; / Myself I satisfy / Till I take a look in the mirror / And see things I to actors.
    [Show full text]
  • Dekonstruksi Makna Priyayi Dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam
    NUSA, Vol. 15 No. 3 Agustus 2020 Devi Cintia K. dan Wahyuningsih, Dekonstruksi Makna Priyayi dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam Dekonstruksi Makna Priyayi dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam Devi Cintia Kasimbara¹, Wahyuningsih² Universitas PGRI Madiun [email protected] Abstract Kepriyayian is identical to someone's social status in the eyes of society. Priyayi as seen as the people who have high social status and respect. Can be caused by they had a high social status family or had high social status in work. In the Para Priyayi the ideal meaning is turned upside down by Umar Kayam. This study aims to find the overturned meaning of priyayi in Para Priyayi's novel by using Derrida's deconstruction theory by finding opposing oppositions in Para Priyayi's novel. This study shows that Umar Kayam shows that belief is not just a lifestyle or social status, but more to the personality itself, and how a person is useful for society. This overturns the essence of the meaning of priyayi which has a strong power in the hearts and minds of the people whose kepriyayian is very closely related to lifestyle and social status. Keywords: Deconstruction; priyayi;Derrida; Umar Kayam; priyayi. Intisari Kepriyayian identik dengan status sosial seseorang dalam pandangan masyarakat. Priyayi dipandang sebagai orang yang memiliki status sosial yang tinggi dan terpandang. Bisa karena keturunan dari keluarga terpandang ataupun karena memiliki pekerjaan yang berstatus sosial tinggi. Dalam novel Para Priyayi makna yang ideal tersebut dijungkirbalikkan oleh Umar Kayam. Penelitian ini bertujuan menemukan makna priyayi yang dijungkirbalikkan dalam novel Para Priyayi dengan menggunakan teori dekonstruksi Derrida dengan cara menemukan oposisi-oposisi berlawanan pada novel Para Priyayi.
    [Show full text]
  • WARNA LOKAL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mendapatkan Gelar
    WARNA LOKAL DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Strata Satu Kependidikan Program Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Disusun Oleh : Rochmat Aji Nurcholiq NIM : 1211109258 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS WIDYA DHARMA KLATEN 2016 PERSETUJUAN Kami selaku Pembimbing I dan Pembimbing II mahasiswa. Nama : Rochmat Aji Nurcholiq NIM : 1211109258 Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan Judul Skripsi : Warna Lokal dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang dibuat oleh mahasiswa tersebut telah selesai dan siap untuk diujikan. Pembimbing I Dr. H. Basuki, M.M. NIP. 1950312 198003 1 003 Pembimbing II Dra. Hj. Indiyah Prana A,M.Hum NIP. 19620522 199001 2 001 ii PENGESAHAN Diterima dan disetujui oleh Dewan Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Widya Dharma Klaten pada : Hari : Tanggal : November 2016 Tempat : Universitas Widya Dharma Klaten Dewan Penguji. Ketua, Sekertaris, Drs. Suhud EkoYuwono Dra. Sukini, M.Pd NIK. 691 092 128 NIK. 690 103 162 Penguji I Penguji II Dr. H. Basuki, M. M Dra. Hj. Indiyah Prana A,M.Hum NIP. 1950312 198003 1 003 NIP. 19620522 199001 2 001 Mengetahui, Dekan FKIP Drs. H. Udiyono, M.Pd NIP. 19541124 198212 1 001 iii PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini. Nama : Rochmat Aji Nurcholiq NIM : 12 111 09258 Jurusan/ Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Seni/ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Warna Lokal dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam” adalah karya saya sendiri dan bebas dari plagiat.
    [Show full text]
  • Mengenang Linus Suryadi Ag Pada 30 Juli 2014
    Page 1 of 4 MENGENANG LINUS SURYADI AG PADA 30 JULI 2014 ASHADI SIREGAR Rabu 30 Juli 2014, Bentara Budaya Yogyakarta memperingati 15 tahun meninggalnya penyair dan esais Linus Suryadi AG. Sebagai seorang yang dianggap mengenali sosok dan mengetahui perjalanan karir penyair kelahiran Sleman Yogyakarta itu, panitia meminta agar saya menyampaikan kesan dan kisah mengenai dirinya. Bukan perkara mudah untuk membongkar kenangan. Sebab kepergian (apalagi perpisahan yang tidak mungkin lagi dijalin dengan imel atau FB atau Twitter) akan mengobrak-abrik perasaan. Kenangan saya yang paling awal, adalah, dia senantiasa membahasakan saya “mas”, kendati hampir setiap orang dari berbagai komunitas (seniman dan kampus) memanggil saya “bang” karena kesumateraan saya. Satu-satunya orang di Yogya yang konsekuen untuk menjadikan saya Jawa, ya Linus Suryadi. Tetapi saya tidak yakin bahwa saya dapat menjadi Jawa kendati disebut “mas”. Saya mencari tulisan yang dimuat sebagai epilog dalam buku Pengakuan Pariyem yang fenomenal. Tulisan bersifat anekdotal itu (Linus Suryadi AG yang saya kenal) saya bikin bulan Juni 1980, saat naskah Pengakuan Pariyem belum selesai, masih mengalami revisi berkali-kali oleh sang pengarang. Buku tersebut terbit 1981 (Penerbit Sinar Harapan, Jakarta). Membaca ulang, untuk kemudian mengingat-ingat pergaulan yang intens bersamanya, tidak pelak menggugah saya untuk mengambil kemanfaatan darinya. Dunia kepenyairan Linus Suryadi tentunya sudah tidak asing lagi. Buku kumpulan puisinya bertebaran, judul-judulnya dicantumkan di wikipedia maupun sejumlah blog milik person-person yang menaruh perhatian pada Linus dan karya-karyanya. Antologi puisi yang disuntingnya, dapat dilihat sebagai jejak kerja kerasnya yang tanpa pamrih dalam mengangkat perpuisian Indonesia. Selain itu Linus juga dikenal sebagai penulis esai, sejumlah buku kumpulan esainya juga dapat mentahbiskannya sebagai esais yang produktif.
    [Show full text]
  • Multiculturalism in Indonesian Novels As a Culture-Uniting Device
    ISSN 2039-2117 (online) Mediterranean Journal of Social Sciences Vol.5 No.22 ISSN 2039-9340 (print) MCSER Publishing, Rome-Italy September 2014 MULTICULTURALISM IN INDONESIAN NOVELS AS A CULTURE-UNITING DEVICE Dr. Suroso Yogyakarta State University [email protected] DOI:10.5901/mjss.2014.v5n22p130 Abstract This study aims to describe multiculturalism in Indonesian novels in the post-independence era. The sources are eight novels written from 1970s to 1990s. Multiculturalism is analyzed using social theories on the basis of cultural pluralistic mosaic. The findings show that multiculturalism in Indonesian novels is manifested in the use of a variety of languages in the works, understanding of social classes, citizens’ devotion, inter-religion understanding, expressions of affection, and inter-nation marriages. Multicultural novels can serve as a culture-uniting device. Keywords: multiculturalism, pluralism, culture-uniting device Introduction Indonesia has more than 13, 000 islands and the people speak in more than 500 languages, have a variety of beliefs and religions, and consist of several ethnic groups, resulting in the difficulty appreciating multicultural facts. Frictions appear among people with different beliefs and religions due to radicalism and a show-off of ethnic characteristics resulting from the regional autonomy policy necessitating that a leader must be an indigenous person and the existence of envy of particular ethnic groups because of economic inequality. All of these affect multiculturalism in Indonesia. Besides, the understanding of multiculturalism may vary because of the infiltration of foreign cultures in their variety of forms such as fashion and lifestyle, the economic and cultural penetration, the information access, and the communication and transportation, making multicultural adaptation easy.
    [Show full text]
  • Relevansinya Dengan Masalah Kemanusiaan Masa Kini
    SEKS DALAM CERITA-CERITA UMAR KAYAM: RELEVANSINYA DENGAN KEHIDUPAN DAN MASYARAKAT INDONESIA Wiranta (Ketua) Chattri S. Widyastuti (Anggota) ABSTRAK Permasalahan yang terdapat dalam karya-karya Umar Kayam memperlihatkan keberagaman fenomena. Permasalahan seks dieskpresikan dengan berbagai komponen formal struktural dipadukan dengan keberagaman permasalahan kehidupan dan masyarakat Indonesia masa kini. Seks juga mampu memperlihatkan sikap dan pandangan Umar Kayam terhadap masalah seksualitas seperti teraktualisasi dalam wacana fiksinya menunjukkan bahwa sebagai seorang pengarang sekaligus seorang budayawan, ia menempatkan seks sebagai sebuah fenomena kehidupan. PENDAHULUAN Dalam sebuah wawancara dengan Tuti Indra Malaon dan Kemala Atmojo dari majalah Matra, pertanyaan: “Apa arti seks buat anda?”, dijawab Umar Kayam: “Wah, ya banyak ha ha ha….. Dulu „kan saya ketawa kalau membaca cerita-cerita Tanizaki. Tentang orangtua yang “berminat” terhadap mantunya. Atau kalau Kawabata bercerita tentang orangtua yang menyewa perempuan, tapi cuma buat dielus-elus atau dilihat saja. Sekarang setelah usia saya 56 saya baru mengerti. Seks itu kurang ajarnya „kan di situ. Dia ternyata sangat erat kaitannya dengan fisik kita. Dating sih masih bisa ……….he he he (1988: 23). Jawaban Umar Kayam yang disampaikan dengan berseloroh tersebut memberi petunjuk betapa seks merupakan masalah sehari-hari, lumrah dan tidak perlu dianggap salah. Jawaban tersebut seperti mengulang pernyataan Umar Kayam dalam salah satu esainya, bahwa masalah seksual merupakan satu soal kemanusiaan yang terbesar yang selalu akan mengganggu kehidupan manusia, yang karenanya akan selalu dijumpai dalam kesusasteraan kapan saja (1982: 245). Pernyataan-pernyataan Umar Kayam tersebut menjadi menarik untuk disimak, mengingat sosok Umar Kayam yang menyandang berbagai status. Di samping dikenal sebagai seorang budayawan terkemuka, kritikus seni piawai, ia juga seorang sastrawan 2 yang menempati tempat terhormat dalam peta sastra Indonesia modern.
    [Show full text]
  • The Representation of Javanese World in Novels Para Priyayi, Canting, and Gadis Tangsi (Study of Culture and Ideology)
    Research on Humanities and Social Sciences www.iiste.org ISSN 2222-1719 (Paper) ISSN 2222-2863 (Online) Vol.3, No.22, 2013 The Representation of Javanese World In Novels Para Priyayi, Canting, and Gadis Tangsi (Study of Culture and Ideology) Wijaya Heru Santosa 1*), Herman J. Waluya 2) , Suminto A. Sayuti 3) , dan Retno Winarni 4) 1) A Student of Indonesian Language Education Postgraduate Program at Sebelas Maret University Jl. Ir. Sutami No. 36 A Kentingan Surakarta 57126 Central Java Indonesia 2, 4) Lecturers of of Indonesian Language Education Postgraduate Program at Sebelas Maret University Jl. Ir. Sutami No. 36 A Kentingan Surakarta 57126 Central Java Indonesia 3) A lecturer of faculty Language and Arts at Yogyakarta State University Jl. Colombo Karangmalang Yogyakarta *) Email : [email protected] ABSTRACT The purpose of writing this paper is to reveal the Java world represented by the authors of novels The Priyayi (Para Priyayi), Canting, and Barrack Girls (Gadis Tangsi). The assessment assumption reveals that the novel is one of the media to represent their observations and insights mixed with imagination. The Javanese authors uncover all imagination, ideology and background observations with the inherent culture so that the authors can be regarded as representatives of the collective society spokesmen in expressing ideas and imagination into novels. Based on the discussion, it can be concluded that the Javanese worldview represented in the three novels address the problem of priyayi such as: (1) A man in Javanese community in general aspires to be a gentleman in the sense that he has the rank or degree, wealth, and power, (2) To achieve a priyayi status, especially for the lay person, it is important to go through a process of hard-working, honesty, a lot of study through education, and he gets a helping hand from people who have become part of aristocracy.
    [Show full text]