Intangible Cultural Heritage Candi Sumberawan Dalam Perspekstif Kosmologi
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 1,C 017-22 https://doi.org/10.32315/sem.1.c017 Intangible Cultural Heritage Candi Sumberawan Dalam Perspekstif Kosmologi Ema Y. Titisari1, Antariksa2, Lisa Dwi W.3, Surjono4 1 S3 Program Doktor Teknik Sipil Keminatan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya 2 S3 Lab Arsitektur Nusantara, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya 3 S3 Lab Desain Permukiman dan Kota, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya 4 Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Korespondensi: [email protected]; [email protected] Abstrak Eksistensi Candi Sumberawan dapat dilihat dari fungsinya sebagai tempat upacara Waisak, pusat upacara Bersih Desa dan Slametan Banyu masyarakat Desa Toyomerto, serta tempat ibadah orang- orang ‘Jawa’. Diperlukan pemahaman mengenai intangible cultural heritage-nya sebagai potensi bagi terbentuknya identitas dan modal bagi peningkatan kualitas kehidupan, terutama dalam menghadapi gempuran globalisasi dan materialisme-industri. Penelitian dengan metode kualitatif-deskriptif ini bertujuan mengangkat intangible cultural heritage Candi Sumberawan. Metode yang digunakan adalah metode naturalistik-fenomenologi dengan cara wawancara mendalam kepada narasumber kunci untuk mengetahui makna kultural yang intangible dari Candi Sumberawan. Penelitian ini juga menggunakan metode analisis historis dan analisis wacana dalam mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan nilai sejarah. Kosmologi menjadi sudut tinjau yang dipilih karena eksistensi Candi Sumberawan berhubungan erat dengan nilai-nilai kosmologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intangible cultural heritage Candi Sumberawan adalah upaya menjaga rajutan hubungan manusia, air dan alam secara keseluruhan dengan penghargaan terhadap leluhur, melalui terpeliharanya hubungan transendental manusia-Tuhan. Kata-kunci : cultural heritage, intangible, kosmologi Pendahuluan Intangible Cultural Heritage dalam Kegiatan Konservasi Arsitektur Permasalahan utama dalam pengelolaan kawasan cagar budaya adalah tidak tersambungkannya ruang-ruang dalam satu kawasan, baik secara geografis maupun periodik sehingga muncul enclave antara benda-benda cagar budaya pada situs kuno dengan lingkungan sekitarnya. Seiring dengan perubahan paradigma konservasi warisan budaya (heritage), maka unsur intangible menjadi bagian tak terpisahkan dari unsur yang tangible. Dengan pemahaman ini, suatu komunitas dapat mengenali nilai-nilai budayanya sehingga menjadi potensi bagi terbentuknya identitas (Krakow Charter 2000; ICOMOS 1982). Paradigma ini dapat mempersambungkan enclave-enclave ruang, komunitas, keilmuan, budaya, dan masa yang terputus-putus sesuai tujuan konservasi (Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003). Heritage menjadi mata rantai yang mempersambungkan (kembali) keterputusan manusia dengan sejarahnya sehingga dapat melakukan seleksi secara arif-bijaksana terhadap perubahan-perubahan dan dinamika budaya yang dihadapinya untuk membangun masa depan yang lebih berkualitas (Adhisakti 2008, Asworth 1991, dan Mashuri 2011). Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta, Universitas Trisakti Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 017 ISBN 978-602-17090-6-1 E-ISBN 978-602-17090-4-7 Intangible Cultural Heritage Candi Sumberawan Dalam Perspekstif Kosmologi Konsep kesinambungan ruang dan waktu didasarkan pada hakekat ruang sebagai suatu kontinuum (Pangarsa 2006) yang dinamikanya berkaitan dengan dinamika budaya: ideologi, nilai-nilai, dan ilmu pengetahuan (Santosa 2008). Budaya adalah pola fikir atau mentalitas didasari nilai-nilai luhur berketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk pengetahuan, tindakan, perilaku, aktivitas, tata cara hidup (termasuk ritual, teknologi, keterampilan, kesenian, dan lain sebagainya), serta artefak bendawi maupun takbenda, demi kehidupan yang adil, harmonis, dan selaras (Pangarsa 2006; Titisari et al 2016). Di dalam budaya terkandung inti yang bersifat universal, yakni nilai-nilai luhur berkeTuhanan (Pangarsa 2006). Inti itu bersifat tetap. Inilah sesungguhnya makna kultural yang intangible yang harus dikenali dalam setiap objek bersejarah (heritage). Monumen kuno berupa candi-candi, yang merupakan mata rantai yang memiliki potensi untuk mempertautkan masyarakat masa kini dengan sejarah dan nilai-nilai budayanya (Rachman 2012). Dalam konservasi Candi Sumberawan Malang terjadi keterputusan sejarah. Ketidakpahaman masyarakat modern terhadap nilai-nilai kultural yang terkandung di balik sosok Candi Sumberawan membuat sebagian orang mulai mengeksploitasi nilai komersial-wisatanya. Tradisi slametan banyu yang dilakukan setiap tahun pun mulai kehilangan makna, terutama bagi generasi muda yang lebih dapat merasakan suka cita perayaannya dengan musik dangdut dan hiburan lokal lainnya. Untuk itu, makna kultural yang intangible ini perlu digali, diangkat, dan disampaikan agar kehadiran Candi Sumberawan di tengah-tengah masyarakat yang semakin meng-urban dapat lebih dirasakan manfaatnya, terutama dalam menghadapi perubahan dan dinamika budaya. Candi Buddha Sumberawan dibangun di dekat (atau di atas?) rawa-rawa/telaga yang memiliki sumber air yang cukup besar di Singosari Malang. Candi ini direnovasi tahun 1925-1938 (Wurianto 2009). Menurut sejarahnya, candi dibangun di tanah Kasogatan pada era Majapahit sekitar abad ke- 14-15. Restorasi diakukan sekitar tahun 1904. Pada candi ini tidak ditemukan relik, abu jenazah, arca maupun benda lain di dalam kubah stupa maupun di sekitarnya. Ukuran bagian dasarnya 6,25m x 6,25m dan tinggi 5,23m. Letaknya di kaki gunung Arjuno, salah satu gunung yang sering dijadikan tempat meditasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan mengangkat nilai kultural yang intangible dari Candi Sumberawan. Perspektif kosmologi dipilih karena candi ini berkaitan erat dengan nilai-nilai kosmologis. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode naturalistik/kualitatif (Moleong 1999; Muhadjir 1992) dengan kategori sifat deskriptif (Groat & Wang 2002).Tujuannya adalah untuk mengetahui makna kultural takbenda (intangible) Candi Sumberawan. Dalam penelitian ini, kosmologi menjadi titik tinjaunya. Data-data dikumpulkan melalui wawancara tak terstruktur kepada narasumber kunci, antara lain: juru kunci candi, kamituwo Desa Toyomerto, arkeolog/ahli sejarah, pelaku kegiatan keagamaan, dan pemuka agama Budha. Dari hasil wawancara tersebut, data-data diolah dan dianalisis dengan cara mengelompokkan, mengorganisasikan dan mengkategorikannya sesuai dengan pola-pola yang muncul sehingga muncul sub-sub tema: air amerta, candi Budha, dan sumber air. Beberapa teknik tambahan digunakan untuk mempertajam hasil interpretasi, antara lain teknik analisis wacana dan analisis historis. Hasil Dan Pembahasan Tema 1: Air Amerta di Kasurangganan (Taman Bidadari) Keyakinan mengenai kesetaraan air Sumberawan dengan tirta amerta sudah tumbuh sejak sebelum dibangunnya candi. Kisah mengenai air amerta berasal dari mitologi Hindu yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa. Peminum air amerta dapat hidup abadi. Ia diperebutkan para dewa dan asura-raksasa. Dalam kitab Adiparwa, dikisahkan mengenai air amerta yang berada di dasar C 018 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Ema Y. Titisari Samudera Ksera atau Samudera Manthana (Widyatmanta 1968). Untuk mengambilnya, Samudera Ksera diaduk menggunakan Gunung Mandara (Mandaragiri). Dewa-dewa berhasil merebut dan meminum air amerta. Kisah lain mengenai tirta amerta adalah kisah patriotik Garuda (Garudeya) sebagaimana terpahat pada relief Candi Kidal (Dumarcay 1986). Kisah patriotik Garuda membebaskan ibunya dari perbudakan menggambarkan bakti-darma seorang anak kepada ibunya. Keyakinan bahwa air Sumberawan yang keluar dari gunung Arjuno adalah air amerta menjadi sebab penamaan Desa Toyomerto (toyo=air; merta/amerta=urip atau kehidupan). Gunung Arjuno banyak digunakan sebagai tempat untuk melakukan semedi dan pemujaan. Air yang keluar dari gunung yang suci, diyakini juga suci. Selain kisah mengenai tirta amerta, dalam masyarakat juga beredar berbagai kisah (mitos) mengenai khasiat air sumber. Kisah-kisah ini dikuatkan dengan bukti terkabulnya doa mengenai kesehatan, kekayaan, dan jabatan yang berhasil diraih sebagian orang yang telah datang, berdoa, dan melakukan ritual mandi dan minum air Sumberawan. Sebagai patirtan, air Sumberawan juga digunakan untuk upacara ritual keagamaan (bersih desa, pembaptisan, waisak, dan lain-lain). Konsep patirtan Sumberawan berkaitan juga dengan Kasurangganan, sebutan untuk Sumberawan dalam Negara Kertagama pupuh XXXV. Kasurangganan artinya taman bidadari atau taman surga nimfa (Soekmono 1995). Masyarakat meyakini banyak leluhur yang bertapa di tempat tersebut dan mengalami moksya, antara lain, Resi Patmoaji dan Dewi Singowati, saudari Ken Dedes. Merekalah yang kini menjaga sumber air (mbaurekso). Keyakinan tersebut ‘mengundang’ orang untuk beribadah dengan cara berdoa, membersihkan diri (lahir-batin), dan meminum air telaga. Di lokasi ini terdapat sebuah bangunan kayu kecil berkolong, untuk bersemedi. Selain sebagai patirtan (Wurianto 2009), mata air Sumberawan juga menjadi sumber penguripan. Mata air Sumberawan tak hanya digunakan untuk kepentingan keagamaan, tetapi juga menjadi sumber bagi kebutuhan air masyarakat. Kolam Penguripan (kolam sumber kehidupan) di Sumberawan bermakna menghidupi secara batiniah dan lahiriah. Gambar 1. Kolam sebelah utara Gambar 2. Kolam sebelah selatan Tema 2: Sumber Air Di sumber air biasanya terdapat punden atau kramat, pohon besar, cungkup