TAKSONOMI EKOLEKSIKON PEUNAJOH : KAJIAN EKOLINGUISTIK

DISERTASI

Oleh

ZURRIYATI A. JALIL NIM: 138107005 PROGRAM DOKTOR (S3) LINGUISTIK

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

Universitas Sumatera Utara TAKSONOMI EKOLEKSIKON PEUNAJOH ACEH: KAJIAN EKOLINGUISTIK

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor dalam Program Doktor Linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum.

Oleh ZURRIYATI A. JALIL NIM: 138107005 Program Doktor (S3) Linguistik

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara Telah diuji pada Ujian Disertasi Terbuka (Promosi) Tanggal: 25 Januari 2019

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Pemimpin Sidang: Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum. (Rektor USU) Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A. Ph.D. (USU Medan) Anggota : Dr. Dwi Widayati, M.Hum. (USU Medan) Dr. Gustianingsih, M.Hum. (USU Medan) Dr. Eddy Setia, M.Ed.TESP. (USU Medan) Dr. Mulyadi, M.Hum. (USU Medan) Dr. Bahagia Tarigan, M.A (USU Medan) Dr. Faridah, M.Hum (UINSU Medan)

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK Penelitian ini mengkaji makanan tradisional Aceh (Peunajoh Aceh). Tujuannya adalah (i) mengidentifikasikan taksonomi ekoleksikon pada peunajoh Aceh; (ii) mendeskripsikan persepsi masyarakat Aceh terhadap peunajoh Aceh; (iii) menjelaskan kebertahanan bahasa dan budaya peunajoh Aceh. Untuk itu, telah dipilih 60 makanan khas Aceh yang dijadikan sebagai objek penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dengan dua pendekatan, yaitu kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dipakai untuk menganalisis data taksanomi ekoleksikon, sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis data persepsi dan pemertahanan bahasa. Datanya diperoleh melalui studi dokumen, observasi, wawancara dan kuesioner dengan melibatkan 100 orang informen atau responden. Hasil penelitian menunjukkan taksonomi leksikon dan ekoleksikon terdiri dari taksonomi hiponimi, meronimi, dan sinonimi. Selanjutnya taksonomi leksikon meliputi , Bu, Bada, Ubi, Ruti, Kueh, Peunajoh Ie Sierap, Boh, Adee, Peunajoh Raya, Bhoi, dan Nyab. Sedangkan taksonomi ekoleksikon terdiri dari biotik dan abiotik taksonomi ekoleksikon biotik dari tumbuh-tumbuhan, yaitu: (1) bibi-bijian; (2) Umbi-umbian; (3) Palma; (4) Rumput-rumputan; (5) Daun-daunan; (6) Buahan-buahan; (7) Fungi. Sedangkan taksanomi ekoleksikon hewan, yaitu: telor ayam dan telor bebek. Adapun taksonomi ekoleksikon abiotik adalah kapur, air dan garam. Gambaran ini sekaligus menjelaskan bahwa tidak peunajoh Aceh yang terbuat dari biota laut dan daging hewan. Kemudian persepsi masyarakat Aceh terhadap setiap peunajoh Aceh berbeda untuk setiap kategori usia informen. Sebagiannya masih dikenal baik oleh orang dewasa, orang tua dan lansia, namun terdapat sebagian peunajoh Aceh sudah kurang diperhatikan, seperti kipang kacang. Selanjutnya kebertahanan bahasa yang berkaitan dengan peunajoh Aceh berdasarkan persepsi mereka menunjukkan -kue yang namaya berleksikon langsung dari wujud dasar bahannya, seperti bada pisang dan bu leukat dapat dikategorikan pada level aman. Selain itu, yang berada pada level aman adalah kue-kue yang sering dimanfaatkan untuk peristiwa budaya dan acara seremonial, seperti timphan. Sementara kue yang namanya berleksikon atas dasar bentuk ekologi, seperti bada reuteuk sangat kurang dikenal atau dapat dikategorikan pada level sangat kritis. Kata Kunci: Taksanomi, Ekoleksikon, Peunajoh Aceh, Kebertahanan, dan Ekologi

i

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

This research studies about Peunajoh Aceh (Acehnese traditional ). It is aimed to (i) identify the taxonomy of ecolexicon in peunajoh Aceh; (ii) describe the perception of towards peunajoh Aceh; and (iii) explain the language and culture sustainability of peunajoh Aceh. Therefore, 60 Acehnese characteristic were used as the research object. This research used qualitative and quantitative approaches. Qualitative approach was used to analyze the data of ecolexicon taxonomy; while quantitative approach was used to analyze the data of perception and language sustainability. These data were collected through document study, observation, interviews, and questionnaires which involved 100 informants or respondents. The results of the research demonstrated that the lexicon and ecolexicon taxonomy found consisted of hyponymy, meronymy, and synonym. The lexicon taxonomy included Timphan, Bu, Bada, Ubi, Ruti, Kueh, eunajoh Ie Sterap, Boh, Adee, Peunajoh Raya, Bhoi, and Nyab. Meanwhile, thr ecolexicon taxonomy consisted of biotic and abiotic taxonomy; biotic ecolexicon consisted of plants, such as: (1) seeds; (2) tubers; (3) palms; (4) grass; (5) leaves; (6) Fruits; and (7) Fungus. The abiotic ecolexicon taxonomy consisted of kapur, water, and . This description also explains that no peunajoh Aceh is made of marine biota and meat. The perception of the Acehnese toward peunajoh Aceh differs in each age category of the informants. Some were still well-known by the adults, older people and senior citizens, but some of peunajoh Aceh were less noticed, such as kipang kacang. The language sustainability related to peunajoh Aceh, according to the perception of the Acehnese, demonstrated that which lexicon of their names were derived from their raw materials such as bada pisang and bu leukat were categorized into safe level. In addition, the cakes in safe level were frequently used in cultural and ceremonial events, such as timphan. The cakes which lexicon of their names were based on forms of ecology, such as bada reuteuk, were less known or categorized into critical level.

Keywords: Taxonomy, Ecolexicon, Peunajoh Aceh, Sustainability, and Ecolinguistics

ii

Universitas Sumatera Utara UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillaahirrahmaanirraahiim Alhamdulillah, puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya disertasi ini dapat penulis selesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada ibunda penulis, Rukmini, yang begitu mulia dan sederhana, yang jasanya tak pernah bisa dibalas dengan apapun yang penulis lakukan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan kasih sayang, dianugerahkan kesehatan, dan diampuni kesalahan dan yang pernah ibunda lakukan. Berikutnya terima kasih kepada ayahanda Alm. A. Jalil yang telah berjuang hidup untuk kemaslahatan anak-anaknya semasa hidupnya, mudah-mudahan Allah SWT senantiasa mengampuni dosa-dosanya, melapangkan kuburannya, dan di sediakan surga yang indah sebagai tempat terakhirnya. Terima kasih kepada ayah mertua penulis yang senantiasa ikhlas memberikan perhatian, doa, dan dukungan moril terhadap penulis. Terima kasih yang tidak terhingga kepada suami tercinta, Suadi, yang senantiasa memberikan bantuan, memberikan motivasi, semangat, dan rasa cinta kasihnya. Dalam penyelesaian disertasi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan moril dan materil dari berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara; 2. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 3. Dr. Budi Agustono, M.S.selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara; 4. Dr. Eddy Setia, M.Ed., TESP selaku Ketua Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan Dr. Mulyadi, M.Hum. selaku Sekretaris Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak bantuan dan motivasi dalam penyelesaian disertasi ini; 5. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. selaku Promotor, Dr. Dwi Widayati, M.Hum., dan Dr. Gustianingsih, M.Hum. selaku ko-Promotor yang senantiasa memberi motivasi dan bimbingan, mengoreksi dan memberikan kritik serta saran yang membangun untuk penyempurnaan disertasi ini; 6. Dr. Eddy Setia, M.Ed., Dr. Mulyadi, M.Hum, Dr Bahagia Tarigan, M.A. dan Dr. Faridah, M.Hum. selaku seluruh dewan penguji yang memberikan koreksi, saran dan penilaian demi kesempurnaan disertasi ini; 7. Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D., Prof. Dr. Aron MekoMbete, Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., Prof. Amrin

iii

Universitas Sumatera Utara Saragih, M.A., Ph.D., Dr. Eddy Setia, M.Ed., TESP, Dr. Mulyadi, M.Hum., Dr. Rustam Amir Effendi, M.A., Dr. Dwi Widayati, M.Hum., Dr. Gustianingsih, M.Hum., Dr. Nurlela, M.Hum., Dr. Irawati Kahar, M.Hum., Dr. T. Syarfina, M.Hum., dan Dr. T. Thyrhaya Zein, MA., yang telah memberi ilmunya selama pendidikan S3; 8. Dr. H. Hafifuddin, M.Ag. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe yang telah memberikan izin dan motivasi untuk mengikuti dan menyelesaikan program S3; 9. Dr. Zulfikar Ali Butto, M.A. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Lhokseumaweyang telah mendukung penulis untuk menyelesaikan studi; 10. Bapak dan ibu dosen FTIK IAIN Lhokseumawe pada umumnya dan Jurusan Tadris Bahasa Inggris dan MPI khususnya, yang selalu memberi dukungan dan motivasi untuk penyelesaian studi; 11. Fitriah, S.Ag., M.Pd. selaku Ketua Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Lhokseumawe yang telah memberi motivasi untuk penyelesaian disertasi ini; 12. Bapak Sofyan Arianto, M.Pd. yang teleh memberikan perhatian dan merekomendasikan penulis untuk mengikuti studi S3 pada saat beliau menjabat sebagai Ketua Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe; 13. Pihak IAIN Lhokseumawe yang telah memberikan dana beasiswa studi; 14. Pihak Pemerintah dan masyarakat Kota Lhokseumawe dari Kecamatan muara satu. Kecamatan muara Dua, Kecamatan Banda Sakti dan Kecamatan Blang Mangat yang telah memberi izin dan membantu untuk melaksanakan penelitian; 15. Anak-anak tersayang Sajjad Siraja Fata, Sulha Siratul Khaira, Sultan Sadiq Al-Fatih, dan Sufi Syafi Al-Mufti yang telah begitu sabar menerima keadaan berkurangnya perhatian dan seringkali mengorbankan kebersamaan dengan mereka selama menyelesaikan disertasi ini, semoga Allah SWT senantiasa melindungi mereka, menjadikan mereka anak-anak yang shalih dan shalihah sukses di dunia dan di akhirat; 16. Keluarga besar abang-abang, kakak-kakak, adik-adik tercinta yang telah ikut memberikan dukungan, motivasi, dan perhatian dalam penyelesaian studi ini. Guru sekaligus informan yang setia dan selalu siap meluangkan waktunya selama pengumpulan data penelitian Dra. Cut Khairiah sekaligus perwakilan dari Majelis Aceh. 17. Teman-teman angkatan 2013 dan 2014, Dr. Sri Maharani Tanjung, Dr. Esron Ambarita, Dr. Sitasi Nagoto, dan yang teristimewa Dr. Alemina Br Perangin-Angin, Zulfan, Dohra Fitrisia, Jumat Barus, Hennilawati

iv

Universitas Sumatera Utara Harahap, Yusriati, Erna yang telah bersama-sama menjalani kehidupan kampus, bertukar pikiran dan ilmu, semoga mereka semua sukses, dan Habib semoga segera menyusul kesuksesan teman-teman. 18. Nila Sakura, Tirta, dan Kak Kar, yang senantiasa membantu dalam urusan administrasi di Prodi Linguistik USU, semoga Allah SWT membalas semua kebaikannya.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih terdapat kelemahan dan ketidaksempurnaan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan masukan, saran, serta kritik yang membangun untuk improvasi disertasi ini. Diharapkan disertasi ini dapat bermanfaat bagi pembuat kebijakan dan para penggiat bahasa, khususnya bidang ekolinguistik kuliner dalam upaya merevitalisasi bahasa, budaya, dan lingkungan. Secara akademik, semoga disertasi ini dapat dijadikan rujukan bagi para peneliti lainnya yang relevan.

Medan, Januari 2019 Penulis

Zurriyati A. Jalil

v

Universitas Sumatera Utara RIWAYAT HIDUP

1. DATA – DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Dr. Zurriyati., S.Ag., M.Hum Tempat/ : Kp. Keumuning IV, 03 Oktober 1977 Tanggal Lahir NIP : 197710032005012009 Pangkat. Gol/Jab : Penata III/C / Lektor Jenis Kelamin : Perempuan Status : Menikah Agama : Islam Nama Ayah/Ibu : A. Jalil / Rukmini Alamat : Lr. Seulanga, Dusun I Desa Cot Girek Kandang Kota Lhokseumaw HP : 085260210398 Email : [email protected]

2. PENDIDIKAN

2013-2019 :Doktor Linguistik (Dr.) Program Pascasarjana, Konsentrasi Linguistik, Universitas Sumatera Utara 2007- 2011 :Magister Humaniora (M.Hum.) Program Pascasarjana, Konsentrasi Linguistik Terapan Bahasa Inggris,Universitas Negeri Medan 1995 – 2001 :Sarjana Agama (S.Ag.) Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah, IAIN Ar-Raniry 1992 – 1995 : Madrasah Aliyah Negeri 1 Lhokseumawe 1989 – 1992 : Madrasah Tsanawiyah Negeri I Idi Rayeuk 1983 – 1989 : Madrasah Ibtidaiyah Idi Cut

3. PUBLIKASI ILMIAH

No Judul Makalah Jenis Publikasi Tahun Pelaksana 1 Acehnese Peunajoh of Jurnal Internasional 2018 IJRR Timphan: A Study on Journal, Ecolexical Taxonomy 2 The Power of Culinary in Proceeding; 2018 UISU Sustaining Aceh The First Annual Medan Ecolexicon Conference on Linguistic Literature

vi

Universitas Sumatera Utara No Judul Makalah Jenis Publikasi Tahun Pelaksana 3 Managemen Pendidikan Proceeding; ACIEM 2018 UIN Sunan Bahasa Inggris Kalijaga Moderen. Jokjakarta

4 Demotivating Factors of Jurnal 2016 FTIK IAIN The Students in Learning ITQAN Lhokseuma English. we 5 Speech Act in Islamic Proceeding 2018 IAIN Teaching (Al-Ghazali’s The Sixth ELITE Zawiyah Concept in Islamic International Cot Kala Education) Conference Langsa

4. PENELITIAN

NO JUDUL PENELITIAN TAHUN 2014 Makanan Khas Tradisional Aceh dan Potensi LPSDM 1 Pengembangan Ekonomi Masyarakat Aceh

2017/2018 2 Taksonomi Ekoleksikon Peunajoh Aceh Disertasi

Keanekaragaman Ekoleksikon dan Kebudayaan 2018/2019 3 Islam dalam Makanan Tradisional Aceh Kuah LITAB Pliek U DIMAS

5. PENGALAMAN BEKERJA

Dosen Tetap di IAIN Lhokseumawe- FTIK, Jurusan Tadris Bahasa Inggris Tahun 2004- sekarang.

6. JABATAN Ketua Jurusan Manajemen Pendidikan Islam FTIK IAIN Lhokseumawe Tahun 2017- sekarang.

7. PENGALAMAN ORGANISASI

NO LEMBAGA JABATAN TEMPAT TAHUN 1 Pembina Pesantren Moderen 2001-2003 Ketua Bahasa Misbahul Ulum Paloh 2 Pusat Studi Aceh 2017- Gender dan Anggota sekarang Anak

vii

Universitas Sumatera Utara Demikian daftar riyawat hidup ini diperbuat. Sekian dan Terima Kasih.

Hormat Saya,

Zurriyati

viii

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

ABSTRAK ...... i ABSTRACT …………………………………………………………………… ii UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………………… iii RIWAYAT HIDUP …………………………………………………………… vi DAFTAR ISI …………………………………………………………………. ix DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………… xiii DAFTAR TABEL …………………………………………………………… xv DAFTAR BAGAN …………………………………………………………… xvi

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………….. 1 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 12 1.2 Batasan Masalah ...... 12 1.3 Tujuan Penelitian ...... 13 1.4 Manfaat Penelitian ...... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA KONSEPTUAL ...... 15 2.1 Kajian Pustaka ...... 15 2.2 Konsep...... 21 2.2.1 Taksonomi ...... ………………………………. 21 2.2.2 Ekoleksikon ...... 24 2.2.3 Makanan Tradisional Aceh ( Peunajoh Aceh) ...... 28 2.2.4 Persepsi ...... 32 2.2.5 Kebertahanan Bahasa …………………………………………………. 36 2.3. Landasan Teori ...... 38

ix

Universitas Sumatera Utara 2.3.1 Ekolinguistik ...... 39 2.3.2 Relasi Makna ……………………………………………………………...51 2.3.3 Kerangka Konseptual ...... 55

BAB III METODE PENELITIAN ...... 58 3.1 Pendekatan Penelitian ...... 58 3.2 Lokasi Penelitian ...... 60 3.3 Jenis dan Sumber Data ...... 62 3.4 Instrumen Penelitian...... 64 3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...... 65 3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ...... 67

BAB IV PAPARAN DATA PEUNAJOH ACEH ...... 74 4.1 Identifikasi dan Klasifikasi Data Peunajoh Aceh ...... 74 4.2 Organisasi Data Ekoleksikon Peunajoh Aceh ...... 96

BAB V TAKSONOMI EKOLEKSIKON PEUNAJOH ACEH ……… 103 5.1 Pengantar ...... 103 5.2 Taksonomi Ekoleksikon Peunajoh Aceh …………………………… 103 5.3 Taksonomi Ekoleksikon Bahan Peunajoh Aceh ...... 131 5.3.1 Ekoleksikon Tumbuh-Tumbuhan …………………………………...... 136 5.3.1.1 Ekoleksikon Biji-Bijian (Serealia) ………………………………… 136 5.3.1.2 Ekoleksikon Umbi-umbian (Euphorbiaceae) ...... 155 5.3.1.3 Ekoleksikon Coklat (Theobroma Cacao L) ...... 161 53.1.4 Palma (Palm) ...... 163 553.1.5 Ekoleksikon Tebu (Saccharum officinarum L) Rumput-rumputan (graminae) ...... 172 4.3.1.6 Ekoleksikon Jeruk Nipis’ (Citrus aurantifolia ‘Cristm’) ...... 173

x

Universitas Sumatera Utara 53.1.7 Ekoleksikon Suku Adas-adasan ‘Daun-daunan’ (Apiaceae)...... 175 5.3.1.8 Ekoleksikon Buah-Buahan ...... 179 5.3.2 Ekoleksikon Hewan ...... 191 5 3.3 Ekoleksikon Alam Abiotik ...... 195 5.3.3.1 Ie (air) ...... 195 5.3.3.2 Sira ‘garam’ (Sodium Chlorida atau Natrium Chlorida ‘NaCl’)...... 196 53.3.3 Gapu ‘Kapur Sirih’ ...... 197

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PEUNAJOH ACEH.. 200 6.1 Gambaran Persepsi Masyarakat Lhokseumawe terhadap Diversitas Peunajoh Aceh ...... 200 6. 2 Persepsi Masyarakat Lhokseumawe terhadap Peunajoh Aceh ...... 271 6.2.1 Dimensi ideologis dan Sosiologis ...... 272 6 2.2 Persepsi Biologis ……………………………………………………….274

BAB VII KEBERTAHANAN BAHASA DAN BUDAYA PEUNAJOH ACEH…………………………………………………………………277 7.1 Klasifikasi Peunajoh Aceh Berdasarkan Namanya ...... 277 7.2 Tingkat Kebertahanan Bahasa pada Peunajoh Aceh ………………… 279

BAB VIII TEMUAN PENELITIAN……….………………………………...287 8.1 Temuan Empiris ……………………………………………………… 287

8.1.1 Taksonomi Leksikon Peeunajoh Aceh ……………...... 287 8.1.2 Taksonomi Ekoleksikon Bahan Peunajoh Aceh ……………………… 288 8.1.3 Persepsi Masyarakat Lhoksemawe terhadap Peunajoh Aceh …… 289 8.1.4 Tingkat Kebertahanan Bahasa pada Peunajoh Aceh ……………… 290 8.2 Temuan Teoretis ……………………………………………………… 291 8.3 Temuan Metodologis …………………………………………………. 293

xi

Universitas Sumatera Utara BAB IX SIMPULAN DAN SARAN ...... 294 9.1 Simpulan ...... 294 9.2. Saran ...... 295 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 297 LAMPIRAN ………………………………………………………………… 302

xii

Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Interrelasi bahasa, budaya, dan lingkungan …………………… 39 Gambar 3.1 Peta Kota Lhokseumawe ……………………………………… 61 Gambar 5.21 Tanaman Padi ……………………………………………… 129 Gambar 5.24 Frekuensi Penggunaan Leksikon Padi atau Beras …………. 142 Gambar 5. 27 Frekuensi Penggunaan EkoeksikonPulut …………………. 142 Gambar 5. 28 Tanaman Gandum ………………………………………… 146

Gambar 5. 29 Frekuensi Penggunaan Ekoeksikon Gandum …………….. 148 Gambar 5. 30 Biji Jintan ...... 150 Gambar 5. 31 Boh jagong (buah jagung/ Zea Mays L) ...... 151 Gambar 5. 33 Kacang hijau ……………………………………………… 153 Gambar 5. 35 Frekuensi Penggunaan Leksikon Kacang ……………….. 155 Gambar 5. 38 Pohon Ubi Jalar...... 157 Gambar 5. 39 Bawang Merah ...... 158 Gambar 5. 42 Frekuensi Penggunaan Leksikon Umbi-Umbian ………... 161 Gambar 5. 43 Buah coklat ………………………………………………... 162 Gambar 5. 47 Frekuensi Ekoleksikon Kelapa ………...... 167 Gambar 5.48 Pohon Aren/ Enau Penghasil Gula Merah ...... 168 Gambar 5. 51 Pohon Kurma ...... 170 Gambar 5. 52 Tanaman Rumbia/ sagu ...... 171 Gambar 5. 54 Buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia) ...... 174 Gambar 5. 57 Pohon Seledri ...... 176 Gambar 5.59 Pohon pandan amaryllifolius (R.) ...... 178 Gambar 5. 61 Frekuensi Leksikon Daun sop dan Daun Pandan …………. 179 Gambar 5. 65 Frekuensi Leksikon Pisang U …………………………… 182 Gambar 5. 66 Buah Sukun (Artocarpus altilis) ...... 183 Gambar 5.69 Buah nangka ...... 185

xiii

Universitas Sumatera Utara Gambar 5. 70 Pohon Nenas ...... 187 Gambar 5.72 Jamur ragi ...... 189 Gambar 5. 75 Buah Polong Vanila ...... 191 Gambar 5. 78 Frekuensi Penggunaan Leksikon Telur Ayam …………... 194 Gambar 5. 80 Butiran garam dapur ...... 197 Gambar 5. 81 Kapur Sirih...... 198 Gambar 5. 82 Frekensi Penggunaan Leksikon Unsur Alam Abiotik ...... 199

xiv

Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Data Peunajoh Aceh dan Bahan yang Berasal dari Ekoleksikon ...... 83 Tabel 4.2 Organisasi Data Hiponimi ………………………………………. 97 Tabel 4.3 Organisasi Data Meronimi ……………………………………… 101 Tabel 4.4 Organisasi Data Sinonimi ………………………………………. 102 Tabel 5.3 Data Ekoleksikon Peunajoh Aceh ……………………………… 102 Tabel 5.4 Data Frekuensi Penggunaan Leksikon Padi atau Beras ………… 142 Tabel 6. 1 Tingkat Persepsi Ideologi dan Ssosiologis Peunajoh Aceh ……. 273 Tabel 6. 2 Tingkat Persepsi Biologis Peunajoh Aceh …………………….. 275 Tabel 7. 1 Nama-Nama Peunajoh Aceh ……. …………………………… 277 Tabel 7. 2 Hasil Perhitungan Nilai Persepsi Masyarakat terhadap Peunajoh Aceh ……. ………………………………… 280 Tabel 7. 3 Kriteria Vitalitas Bahasa ……. ……………………………… 282 Tabel 7. 4 Kategori Tingkat Kebertahanan Stabil Peunajoh Aceh……. … 283 Tabel 7. 5 Kategori Tingkat Kebertahanan Mengalami Kemunduran Peunajoh Aceh……. …………………………… 284 Tabel 7. 6 Kategori Tingkat Kebertahanan Terancam Punah ……………. 285

xv

Universitas Sumatera Utara DAFTAR BAGAN

Gambar 2.5 Kerangka Penelitian Peunajoh Aceh ……………………… 55 Gambar 3.2 Kerangka Metode dan Teknik Analisis Data ……………… 73 Gambar 5.1 Taksonomi Hiponim Peunajoh Aceh …………………………. 104 Gambar 5.2 Taksonomi Hiponim Peunajoh Timphan Teupong …………… 106 Gambar 5.3 Taksonomi Hiponim Peunajoh Bu ……………………………. 104 Gambar 5.4 Taksonomi Hiponim Peunajoh Bu Leukat ……………………. 111 Gambar 5.5 Taksonomi Hiponim Peunajoh Bu Bada………………………. 113 Gambar 5.6 Taksonomi Hiponim Peunajoh Pisang ………………………... 114 Gambar 5.7 Taksonomi Hiponim Peunajoh Ubi …………………………… 115 Gambar 5.8 Taksonomi Hiponim Peunajoh Ruti …………………………... 116 Gambar 5.9 Taksonomi Hiponim Peunajoh Kueh …………………………. 118 Gambar 5.10 Taksonomi Hiponim Peunajoh Ie Sirap …………………… 121 Gambar 5.11 Taksonomi Hiponim Peunajoh Boh ………………………… 124 Gambar 5.12 Taksonomi Hiponim Peunajoh Adee/Bingkang …………… 126 Gambar 5.13 Taksonomi Hiponim Peunajoh Raya ………………………. 127 Gambar 5.14 Taksonomi Hiponim Peunajoh Bhoi ………………………. 129 Gambar 5.15 Taksonomi Hiponim Peunajoh Nyab ………………………. 130 Gambar 5.16 Taksonomi Hiponim Lingkongan …………………………... 135 Gambar 5.17 Taksonomi Hiponim Tumboh-Tumbohan …………………. 138 Gambar 5.18 Taksonomi Hiponim Biji-Bijian …………………………… 137 Gambar 5.19 Taksonomi Hiponim Padee………………………. ………. 138 Gambar 5.20 Taksonomi Hiponim Peunajoh Pade Biet ……………… 139 Gambar 5.22 Taksonomi jenis Padi-padian………………………. ……… 141 Gambar 5. 23 Taksonomi Meronimi Breuh Bit……………………………. 141 Gambar 5.25 Taksonomi Hiponim Pade Leukat………………………. …. 143 Gambar 5. 26 Taksonomi Meronimi Pulut ………………………. ……… 141

xvi

Universitas Sumatera Utara Gambar 5. 32 Taksonomi Hiponim Kacang ………………………. ……... 152 Gambar 5. 34 Taksonomi Meronimi Kacang ………………………. …... 153 Gambar 5. 36 Taksonomi Hiponim Umbi-Umbian ………………………. 155 Gambar 5. 37 Taksonomi Meronimi Ubi ………………………. …….... 157 Gambar 5. 40 Taksonomi Hiponim Bawang Mirah ……………………… 159 Gambar 5. 41 Taksonomi Meronimi Bawang Mirah …………………….. 159 Gambar 5. 44 Taksonomi Meronimi Leksikon Coklat …………………. 162 Gambar 5. 45 Taksonomi Hiponim Palma ………………………………. 163 Gambar 5. 46 Taksonomi Meronimi U (Kelapa) ………………………… 166 Gambar 5. 49 Taksonomi Meronimi Gula Mirah ………………………… 169 Gambar 5. 50 Taksonomi Meronimi Kurma ……………………………... 170 Gambar 5. 53 Taksonomi Meronimi Sagu ………………………………. 172 Gambar 5. 55 Taksonomi Meronimi Jeruk Nipis ………………………… 175 Gambar 5. 56 Taksonomi Hiponim Daun-Daunan ………………………. 175 Gambar 5. 58 Taksonomi Meronimi Daun Seledri ……………………….. 177 Gambar 5. 60 Taksonomi Meronimi Daun Pandan ………………………. 178 Gambar 5. 62 Taksonomi Hiponim Buah-Buahan ……………………….. 179 Gambar 5. 63 Taksonomi Hiponim Pisang ………………………………. 180 Gambar 5. 64 Taksonomi Meronimi Pisang …………………………….. 181 Gambar 5. 67 Taksonomi Meronimi Buah Sukun ………………………… 184 Gambar 5. 68 Taksonomi Meronimi Buah Nangka ……………………… 185 Gambar 5. 71 Taksonomi Meronimi Nenas ……………………………… 187 Gambar 5. 73 Taksonomi Meronimi Ragi ………………………………. 189 Gambar 5. 74 Taksonomi Meronimi Vanili ………………………… …… 190 Gambar 5. 76 Taksonomi Hiponim Unsur Hewa ………………………… 191 Gambar 5. 77 Taksonomi Meronimi Telur Ayam ………………………… 192 Gambar 5. 79 Taksonomi Hiponim Leksikon Lingkungan Alam ……….. 195

xvii

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan makanan tradisional masing-masing daerah. Dewasa ini, kaya akan kuliner nusantara. Keanekaragaman kuliner nusantara merepresentasikan tradisi dan ciri khas daerah yang menggunakan bahan dasar dari daerah masing-masing. Kuliner nusantara mengandung aneka rempah dan sehingga kaya akan rasa, aroma dan bentuk, bahkan bernilai sejarah yang diwarisi dari para leluhur di nusantara.

Resep asli kuliner tradisional biasanya diolah berdasarkan bahan-bahan dasar rempah dan bumbu dari daerah asal para pendahulunya yang sudah dikenal oleh masyarakat setempat. Di Aceh, makanan tradisional dikenal dengan nama peunajoh Aceh. Peunajoh Aceh merupakan istilah untuk menamakan berbagai jenis makanan tradisional Aceh yang memanfaatkan lingkungan flora seperti tumbuh-tumbuhan hasil lingkungan alamnya dan produk hewani seperti telur.

Keanekaragaman peunajoh Aceh merefleksikan sumber daya alam Aceh yang melimpah, baik sumber daya alam yang berada di laut maupun yang berada di daratan yang masih dilestarikan sampai sekarang. Kekayaan alam ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari dan sekaligus sebagai kuliner tradisional di wilayah Aceh dan masyarakat Aceh di perantauan.

1

Universitas Sumatera Utara

2

Peunajoh Aceh juga merupakan satu bentuk wujud kebudayaan masyarakat Aceh yang memiliki nilai biologis (mengenyangkan) dan bernilai sosial serta ekonomis. Secara biologis, bahan baku peunajoh diciptakan dan dikembangkan beranekaragam cita rasa, aroma, bentuk dan warna yang berasal dari sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah Aceh untuk dapat dikonsumsi sehari-hari dan dalam berbagai peristiwa sosial budaya. Nilai sosiologis peunajoh adalah kebermanfaatannya bagi masyarakat yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat sosial di Aceh, sedangkan nilai ekonomisnya adalah peunajoh Aceh dijadikan sumber mata pencaharian bagi masyarakat luas. Nilai kebudayaan peunajoh Aceh diwujudkan dalam proses pembuatannya dan disajikan dengan paduan rasa, aroma, warna, bentuk yangi kreatif, dan berestetika. Neka rasa, warna, bentuk yangi kreatif dan estetis berasal dari ramuan bahan dan variasi bumbu dari sumber alam.

Fungsi makanan ini pun tidak terbatas sebagai sajian asupan biologis, tetapi juga memiliki fungsi sosial budaya. Dulunya timphan selalu disuguhkan pada peristiwa-peristiwa budaya tertentu dalam jamuan tamu. Misalnya pada peristiwa Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, kue timphan menjadi makanan wajib bagi setiap keluarga dan selalu disajikan untuk tamunya.

Aspek kebudayaan terdapat di dalam pengetahuan, teknologi, estetika menjadi penciri peunajoh Aceh walaupun terdapat kesamaan dan perbedaan nama dan cita rasa peunajoh di berbagai daerah kabupaten di Aceh. Contohnya kari kameng ‘kari kambing’ di Aceh Besar berbeda rasa dan warna dengan kari kameng ‘kari kambing’ di Aceh Pidie, Aceh Utara, dan Lhokseumawe. Penamaan

Universitas Sumatera Utara

3

dan sebutan dalam bahasa Aceh misalnya Kue Adee di Pidie Jaya sudah dikenal oleh orang Aceh dan pengunjung dari luar daerah meskipun, kue yang serupa juga dapat ditemukan di warung-warung di kabupaten Aceh Utara dan Kota

Lhokseumawe tetapi dikenal dengan nama “Kue Bingkang”, yang cita rasanya memang sedikit berbeda.

Perbedaan semacam ini menurut Wibowo (2009: 4) adalah sesuai dengan ramuan, pengalaman dan budaya masing-masing daerah. Penjelasan di atas mempertegaskan bahwa hubungan antara bahasa, makanan, dan budaya dalam suatu masyarakat tidak bisa dipisahkan. Setiap suku memiliki budaya dan kulinernya sendiri dan penggunaan nama bahasa setiap kuliner dapat sama atau berbeda. Makanan, bahasa, dan budaya memiliki makna yang luas bagi suatu masyarakat (Ayeomoni, 2011). Memahami budaya melalui makanan adalah memahami proses bagaimana makanan dibuat, dan bahan apa yang ada di dalamnya. Melalui pengetahuan tentang bahan dan proses pembuatan makanan, seseorang belajar tentang pendekatan budaya terhadap kehidupan. Stajcic (2013) menyatakan makanan berfungsi secara simbolis sebagai praktik komunikatif melalui proses pembuatan, pengelolaan, dan pembagian makna dengan orang lain.

Memahami budaya, kebiasaan, ritual dan tradisi dapat dieksplorasi melalui makanan dan cara orang lain melihatnya. Senada itu, Dananjaya (2002) menyatakan bahwa makanan selain berfungsi sebagai asupan gizi dan tenaga, juga berfungsi untuk mempererat kesatuan dan upacara-upacara religi dalam masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

4

Hal yang sama juga terjadi dalam masyarakat Aceh bahwa makanan sangat erat kaitannya dengan bahasa dan kebudayaan. Artinya bahasa Aceh dan kebudayaan Aceh merupakan dua hal yang saling mempengaruhi dan menggambarkan cara pikir, dan berfungsi sebagai alat representasi atau referensi kebudayaan Aceh. Misalnya leksikon makanan Aceh tidak terlepas dari perkembangan bahasa Aceh baik dari segi morfem, kata, prase maupun klausa, seperti kue Nyap ‘Kembang Loyang’ dan Bu Bajek ‘’.

Dilihat dari perspektif ekolinguistik, masyarakat Aceh berinteraksi dengan lingkungan alam dan mengekspresikan semua unsur yang ada pada lingkungan alamnya melalui bahasa. Leksikon nama-nama peunajoh Aceh secara umum lebih banyak diderivasi dari asal bahan baku makanan, cita rasanya, sifatnya ataupun proses pembuatannya, seperti; eumping breuh ‘ beras’, bhoi ‘bolu

Aceh’ yang berarti terurai, timphan ‘timpan’ yang berari terbungkus, nyap

‘kembang Loyang’ yang berarti menekan dan mengangkat. Sebagian peunajoh

Aceh lainnya tidak mencakupi aspek-aspek tersebut, ia dinamakan tersendiri, seperti Dungok ‘sejenis timpan yang terbuat dari tepung beras dan pisang, tetapi tanpa isi’ dan Ukheu u ‘akar kelapa’ yaitu kue yang tebuat dari tepung terigu dan ditambahkan pengembang dan gula halus yang mencerminkan karakter sifat dan bentuk benda yaitu akar kelapa.

Peunajoh Aceh bukan saja terkait dengan bahasa dan budaya, tetapi ada unsur lainnya yaitu alam sebagai sumber utama bahan baku makanan tersebut berasal. Dengan demikian, dapat dilihat adanya satu sistem yang saling berhubungan antara bahasa, budaya dan lingkungannya, sehingga apabila terjadi

Universitas Sumatera Utara

5

suatu perubahan pada satu unsur, maka unsur lainnya pun ikut berubah.

Keberadaan suatu bahasa dapat menggambarkan atau merepresentasikan budaya dan lingkungan bahasa tempat ia hidup. Salah satu aspek bahasa yang paling mudah diamati untuk menilai keberadaan bahasa adalah melalui aspek leksikon.

Kekayaan leksikon suatu bahasa merupakan representasi lingkungan alam, sosial, dan budaya yang beragam pula.

Leksikon yang berhubungan dengan alam dikenal sebagai ekoleksikon.

Khazanah ekoleksikon bahasa Aceh mencerminkan keberagaman jenis, ukuran, bentuk dan peristiwa alam yang dimiliki penuturnya. Sebagian keberagaman tersebut dapat ditelusuri melalui makanan tradisionalnya sebagai produk konsumsi organisma dan budaya. Ini karena setiap makanan bahan bakunya multimateril, yang bersumber dari keragaman alam, sehingga satu makanan dapat mereprentasikan lebih dari dua ekoleksikon. Ekoleksikon ini kemudian terhubung satu sama lain dalam bentuk hiponimi, kohiponimi, meronimi dan sinonimi.

Contohnya “Timphan” terbuat dari breuh leukat ‘beras ketan’, pisang, U ‘kelapa’, asoe kaya ‘srikaya’ dan pembungkusnya ӧn pisang ‘daun pisang’.

Kesalingterhubungan masyarakat Aceh dengan makanan-makanan tradisional yang demikian rupa telah memunculkan peribahasa-peribahasa Aceh sebagai kearifan lokal Aceh, seperti “Uroe goet buluen goet Timphan ma peugoet beumeuteme rasa” ‘Hari baik bulan baik Timphan buatan ibu harus dapat dirasakan’, yang bermakna keharusan seorang anak mengunjungi orantuanya di saat , dan “Meunyoe jeut ta peulaku, boh labu jeut keu asoe kaya, meunyoe han ta teu’oh peulaku, aneuk teungku jeut keu beulaga” ‘Kalau kita bisa buat,

Universitas Sumatera Utara

6

labu jadi srikaya, jikalau tidak pandai membuatnya anak ulama dapat menjadi orang jahat’. Ini dapat bermakna pentingnya pendidikan dan keahlian untuk menjadikan seseorang kreatif dalam melakukan pembangunan.

Penjelasan tersebut mencerminkan satu keunikan tersendiri keberadaan peunajoh Aceh dengan masyarakatnya, baik dalam aspek bahasa, budaya maupun lingkungannya. Peunajoh Aceh patut dipelihara dan dikembangkan untuk diwarisi oleh para generasi, sehingga tidak punah ditelan zaman. Namun kenyataannya kini mulai ditinggalkan satu per-satu oleh generasi muda. Umumnya mereka lebih cenderung mengonsumsi makanan jajanan luar daerah (modern) seperti: pizza, spageti, burger, bakar, , kentucky, dan banyak yang lainnya bahkan pada peristiwa budaya seperti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, peunajoh Aceh seperti bhoi, timphan, dan dodoi kini hanya disediakan oleh sebagian keluarga baik di perkotaan maupun di pedesaan. Masyarakat lebih menggemari penyedian kue-kue moderen seperti kue Nastar dan Choco Chip.

Kebiasaan mengonsumsi makanan luar tersebut membuat generasi muda perlahan-lahan mulai merasa asing dengan peunajoh Aceh. Hasil penelitian

Zurriyati dan Suadi (2014) menunjukkan terdapat jenis makanan khas yang tingkat konsumsinya hanya 20 persen, seperti :apam u dan haluwa. Dari 14 jenis makanan tradisional yang disurvey hanya 2 jenis makanan yang tingkat konsumsinya 50 persen ke atas, yaituk kue lapeh (55%) dan pulot (65). Hasil observasi awal pula menunjukkan bahwa kebanyakan remaja dan anak-anak tidak mengetahui bahkan tidak pernah makan peunajoh Aceh. Hal ini berdampak pada

Universitas Sumatera Utara

7

memudarnya pengetahuan dan pemahaman generasi muda terhadap wujud peunajoh Aceh.

Selain itu, hasil observasi menunjukkan bahwa berkurangnya minat masyarakat terhadap peunajoh Aceh secara otomatis telah berdampak kepada sebagian masyarakat Aceh meninggalkan peralatan-peralatan tradisional untuk pengolahan dan pembuatan peunajoh Aceh yang merupakan hasil olahan dari bahan lingkungan alam sekitarnya. Sebagian besar masyarakat lebih memilih peralatan-peralatan praktis yang merupakan hasil olahan yang siap pakai. Hal ini pada akhirnya dapat mempengaruhi terjadi pergeseran atau penyusutan bahasa yang berhubungan dengan peralatan peunajoh Aceh.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dipahami bahwa peunajoh

Aceh mulai termajinal bahkan terancam dan tergusur. Artinya peunajoh Aceh kelak mengalami pergeseran budaya dan bahasa yang melekat pada kehidupan masyarakat Aceh. Pergeseran budaya dan bahasa berdampak pada kepunahan memori kolektif tentang kearifan lokal dalam peribahasa Aceh serta nilai-nilai ekologis yang dimiliki oleh masyarakat Aceh. Memang tidak dapat dipungkiri sejalan dengan perkembangan jaman dan kemajuan teknologi di era globalisasi, konsumsi budaya lokal dan penggunaan bahasa daerah mulai memudar, terutama di kalangan generasi muda.

Oleh sebab itu, diperlukan keseimbangan antara lingkungan dan masyarakat di sekitarnya untuk melestarikan bahasa, budaya, dan lingkungan alam. Disini, para linguis telah mengambil perannya dalam mengkaji hubungan bahasa dengan ekologi, sehingga muncul satu bidang kajian bahasa yang dikenal

Universitas Sumatera Utara

8

dengan ekolinguistik. Ia merupakan ilmu bahasa interdisipliner yang memadukan ekologi dan linguistik (Mbete, 2008:1) untuk merekam kondisi lingkungan ragawi dan sosial, teutama sekali melalui leksikon yang menunjukkan adanya hubungan simbolik verbal antara guyub tutur dan lingkungannya, flora dan fauna, dan termasuk unsur-unsur alamiah lainnya (Fill dan Muhlhauster, 2001:14).

Penelitian mengenai peunajoh Aceh yang berjudul “Taksonomi

Ekoleksikon Peunajoh Aceh” ini menjelaskan hubungan peunajoh Aceh dengan lingkungan ditinjau dari perspektif ekolinguistik. Istilah taksonomi ekoleksikon dipilih sebagai kata kunci untuk menunjukkan organisasi leksikon-leksikon yang berkaitan dengan peunajoh Aceh yang disusun ke dalam bentuk taksonomi berdasarkan jenis dan bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatannya melalui relasi makna leksikalnya. Beragam peunajoh Aceh yang ada tersebut diklasifikaskasikan ke dalam beberapa jenis makanan berupa kue, lauk pauk, nasi, dan minuman. Namun dalam kajian ini peneliti memilih aspek kue / penganan

(peunajoh) Aceh saja yang menjadi fokus penelitiannya.

Untuk pembahasan lebih mendalam berhubungan dengan peunajoh Aceh diperlukan pemaknaan terhadap aspek bahasa yang terkandung pada peunajoh

Aceh, dan juga persepsi masyarakat Aceh. Dalam hal ini persepsi diartikan sebagai suatu proses pemahaman atau pemberian makna atas kesan inderawi.

Dengan kata lain, persepsi merupakan interpretasi terhadap sesuatu kesan, bukan rekaman realita, sehingga ada kemungkinan persepsi terhadap sesuatu berbeda dengan realitanya. Selanjutnya, melalui pemahaman dan tingkat konsumsi

Universitas Sumatera Utara

9

masyarakat terhadap peunajoh Aceh, kebertahanan peunajoh Aceh baik dari aspek ekoleksikon maupun kebudayaannya dapat dibuktikan

Merujuk kepada penjelasan di atas, penelitian ini menggunakan teori ekolinguistik sebagai payung, sementara teori semantik leksikal sebagai teori pendukung. Selanjutnya metode penelitian menggunakan penggabungan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, baik dalam proses pengumpulan data maupun dalam menganalisnya. Penjelasan mengenai hal ini semua disajikan pada bab 2 dan bab 3.

Kajian terhadap peunajoh Aceh merupakan satu kajian terhadap kuliner tradisional. Kajian linguistik yang relevan dengan kuliner sudah banyak dilakukan oleh para ilmuan linguistik sebelumnya, di antaranya: (1) Sinar (2011)

“Pergeseran Leksikon Kuliner Melayu Serdang Terhadap Remaja Perbaungan

Kabupaten Serdang Bedagai”. Menurutnya saat ini generasi muda Melayu

Serdang tidak mengenal lagi sebagian pangan kuliner Melayu Serdang akibat dominasi kuliner modern cepat saji dan praktis lebih digemari; (2) Tarigan, dkk.

(2016) “Language Maintenance and Shift of Flora’s Lexicons in Karonese

Traditional : An Ecolinguistic Perspective”, menyatakan dua dari tiga macam makanan tradisional Karo tidak lagi dikenal oleh masyarakatnya, dan kebanyakan leksikon flora yang terdapat pada makanan pun telah bergeser; (3)

Amahu, dkk. (2017) “Ekoleksikon Manggulu Sumbar Timur”, menyimpulkan bahwa berberapa leksikon Manggulu sudah menghilang di kalangan banyak penutur, seperti leksikon kalu ‘pisang’, manila ‘kacang tanah’, dan hawita

‘kukusan’. Untuk mengenalkan dan mempertahankan Manggulu kembali,

Universitas Sumatera Utara

10

Manggulu dimasukkan sebagai pelajaran dalam muatan lokal tingkat sekolah dasar; (4) Santoso (2017) “Pemertahanan Leksikon Tanaman Tradisonal untuk

Bumbu Masak”, menyatakan bahwa pemeliharaan leksikon tanaman tradisional untuk memasak rempah-rempah di kalangan mahasiswa rendah. Di antara penyebabnya adalah memasak instan, yang telah menggeser bumbu masak tradisional; (d) Nurlelah (2017) “Terminologi Kuliner Khas Sumbawa”, menyimpulkan istilah dalam Kuliner Khas Sumbawa dapat digolongkan menjadi kuliner lauk-pauk dan kuliner berupa jajanan; (6) Fitrisia, dkk (2018) “Traditional

Food in the Perspective of Culinary Linguistics”, menyatakan bahwa eksplorasi budaya melalui makanan tradisional sangat menarik dilihat dari perspektif linguistik kuliner, karena dapat menjelaskan budaya, identitas, hubungan sosial, ideologi serta dapat mengidentifikasi nilai dan norma budaya, adat serta kearifan lokal suatu masyarakat; (7) Zurriyati dan Sinar (2018) “The Power Of Culinary in

Sustaining Aceh Ecolexicon”, menyatakan bahwa kuliner Aceh, Kuah Pliek dan

Timphan masih dikenal oleh semua masyarakat Aceh, tetapi sebagian kecil ekoleksikon bahan yang digunakan untuk membuat makanan tersebut sudah kurang dikenal oleh sebagian masyarakat; dan (8) Dwi Widayati (2018)

“Leksikon Kuliner sebagai Cermin Budaya Kuliner Masyarakat Melayu Pesisir

Timur Sumatera Utara”, menyimpulkan bahwa leksikon kuliner dalam

Masyarakat Melayu selain mencerminkan kekayaan alam dan lingkungannya juga mencerminkan budaya kuliner masyarakat penuturnya. Misalnya, kuliner , bahannya yang harus ada adalah daun si kentut (paederia foetida) walaupun sudah mulai sulit dijumpai di lingkungan masyarakat Melayu. Selain

Universitas Sumatera Utara

11

itu, nilai budaya dari leksikon-leksikon bumbunya juga dapat dijumpai dalam peribahasa Melayu yang dikreasikan dalam pantun, seperti Pohon kemiri lebat buahnya//Hendak dijual di hari pekan// Mohon diri saya bentara sabda//Mana yang salah harap maafkan.

Terkait dengan objek kajian peneujoh yang dilakukan ini belum mendapat perhatian para peneliti di Indonesia, apalagi penelitian kuliner Aceh yang dikaji melalui perspektif ekolinguistik – Leksikal semantik (taksonomi semantik relasi makna), dengan dikhususkan objeknya pada makanan penganan. Zurriyati dan

Sinar (2018) hanya fokus pada lauk dan penganan dengan sampel objeknya masing-masing satu, dan tidak ditaksonomikan ekoleksikonnya. Sementara kajian lainnya dilakukan di luar Aceh, dan kajian mereka lebih kepada pengidentifikasian kuliner dan leksikon ekologi serta kebertahanannya. Kajian- kajian ini juga tidak melakukan taksonomi leksikon berdasarkan semantik relasi makna. Sebagian lainnya, seperti Fitrisia, dkk. (2018) lebih kepada kajian konsep linguistik kuliner, dan Nurlelah (2017) juga kajiannya dalam perspektif linguistik kuliner yang mengklasifikasi terminologi kuliner Sumbawa. Bahkan dalam satu buku Culinary Linguistics: The chef’s special. Edited by Cornelia Gerhardt,

Maximiliane Frobenius and Susanne Ley (2013), yang tersusun dari tiga belas artikel tidak satu pun menyentuh kuliner dalam perspektif ekolinguistik. Mereka mengakui bahwa adanya keterkaitan antara makanan, alam dan budaya termasuk bahasa berdasarkan pandangan antropologi linguistik. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa kajian terhadap kuliner dalam perspektif ekolinguistik masih minim, dan kajian terhadap peunajoh Aceh dalam perspektif ekolinguistik yang

Universitas Sumatera Utara

12

ditumpukan pada taksonomi semantik relasi makna merupakan satu penelitan baru. Untuk lebih fokus, permasalahan penelitian ini dibatasi pada tiga permasalahan saja, yang dirumuskan sebagai berikut:

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah taksonomi ekoleksikon peunajoh Aceh?

2. Bagaimanakah persepsi masyarakat Aceh terhadap peunajoh Aceh?

3. Bagaimanakah kebertahanan bahasa dan budaya peunajoh Aceh bagi

masyarakat Aceh?

1.2 Batasan Masalah

Agar lebih terarah dan jelas maka penelitian ini dibatasi pada beberapa pokok pembahasan saja, antara lain adalah:

1. Taksonomi ekoleksikon peunajoh Aceh (penganan) yang

merepresentasikan lingkungan bahasa peunajoh Aceh berdasarkan nama

dan bahan yang digunakan.

2. Taksonomi ekoleksikon mengacu kepada relasi makna leksikal hiponimi,

meronimi, dan sinonimi

3. Persepsi masyarakat terhadap peunajoh Aceh merepresentasikan tiga

dimensi yaitu: ideologis, sosiologis, dan biologis.

4. Kebertahanan bahasa dan budaya jenis-jenis peunajoh Aceh di kalangan

masyarakat Aceh.

Universitas Sumatera Utara

13

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan budaya kuliner tradisional Aceh (peunajoh Aceh) melalui perspektif ekolinguistik – leksikal semantik, khususnya makanan penganan. Dengan demikian, yang berkaitan dengan leksikon-leksikon pada makanan tradisional khas Aceh dapat terdokumentasi secara ilmiah untuk dijadikan sebagai pewarisan budaya kepada generasi Aceh. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:

1. Mengidentifikasikan taksonomi ekoleksikon pada peunajoh Aceh yang

merepresentasikan lingkungan bahasa peunajoh Aceh.

2. Mendeskripsikan persepsi masyarakat Aceh terhadap peunajoh Aceh.

3. Menjelaskan kebertahanan bahasa dan budaya peunajoh Aceh di kalangan

masyarakat Aceh.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis dan praktis, yaitu sebaimana berikut: a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi kepada

pengembangan konsep dan teori linguistik, khususnya ilmu ekolinguistik

yang merupakan satu cabang baru ilmu linguistik, dan terutama sekali

diharapkan:

1. Dapat bermanfaat dalam pengembangan ekoleksikon yang terdapat

pada peunajoh Aceh.

2. Dapat menjadi rujukan bagi penelitian ekolinguistik berikutnya yang

berkaitan dengan makanan tradisional, baik sebagai sumber informasi,

Universitas Sumatera Utara

14

data, maupun khazanah kepustakaan yang dapat memberi gambaran

alternatif celah (gap) sebagai fokus penelitian selanjutnya. b. Secara praktis hasil penelitian ini sangat diharapkan dapat bermanfaat untuk

masyarakat dan pemerintah, khususnya Pemerintah Aceh, yaitu:

1. Dapat memperoleh pengetahuan yang mendalam dan komprehensif

mengenai peunajoh Aceh.

2. Memberikan konstribusi pemahaman ekoleksikon peunajoh Aceh

sebagai suplemen pembelajaran berbasis lingkungan dan kearifan lokal

di lembaga pendidikan di Aceh.

3. Menjadi kamus tematik ekoleksikon (leksikon lingkungan) peunajoh

Aceh.

4. Dapat memberi masukan dalam pengembangan ekonomi produktif

masyarakat Aceh melalui peunajoh Aceh, baik sebagai santapan dan

asupan gizi maupun wisata budaya kuliner.

5. Dapat dijadikan sebagai rujukan bagi masyarakat dan Pemerintah Aceh

dalam melestarikan lingkungan.

6. Pada akhirnya, secara bahasa yang paling penting adalah hasil

penelitian ini bermanfaat kepada kebertahanan bahasa Aceh yang

menjelma pada peunajoh Aceh, baik yang menggambarkan

lingkungan, makanan, budaya, maupun kearifan lokal.

Universitas Sumatera Utara BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Terdapat sejumlah karya ilmiah ekolinguistik yang dapat dijadikan sebagai rujukan informasi data dan pengetahuan dalam memperkaya kajian ekoleksikon peunajoh Aceh. Namun, berdasarkan penjelajahan pustaka dan karya ilmiah lainnya, dapat dikatakan penelitian tentang makanan tradisonal khas Aceh yang berkaitan dengan kajian ekolinguistik belum pernah dilakukan oleh para akademisi, khususnya mengenai taksonomi ekoleksikon pada makanan tersebut.

Walaupun demikian, beberapa hasil penelitian ilmiah ekolingistik yang dipandang relevan bagi penelitian ini perlu diuraikan secara ringkas, sehingga posisi penelitian ini lebih jelas dalam pengembangan kajian ekolinguistik, dan sekaligus menjadi alasan kuat untuk kepatutan urgensi penelitian ini dilakukan.

Kajian Yuswardi (2010) yang bertajuk “Penyusutan Tutur dalam

Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik”, menjelaskan bahwa munculnya tutur dalam masyarakat Gayo disebabkan oleh faktor nilai sosial budaya yang merangkainya, seperti imen ‘iman’, mukemel ‘harga diri’, tertip ‘tertib’, setie

‘setia’, semayang gemasih ‘kasih sayang’, mutentu ‘kerja keras’, amanah

‘amanah’, genap mupakat ‘musyawarah’, alang tulung ‘tolong menolong’, dan bersikemelen ‘kompetitif’. Selain itu, hubungan darah perkawinan, belah ‘klan’, terjadinya kecelakaan, perkelahian, membantu seseorang, dan mengadopsi anak juga merupakan perangkai sosial yang membentuk tutur dalam masyarakat Gayo.

Universitas Sumatera Utara 15

16

Selanjuntnya tutur dalam masyarakat Gayo dapat diklasifikasikan menjadi; 1) patut atau muperdu ‘bentuk tutur yang sudah baku’ ( 2) museltu ‘terbentuk akibat faktor tertentu’ (3) mantut ‘peralihan tutur ke bentuk yang sebenarnya/ seharusnya’ (4) uru-uru ‘tindak betutur didorong akibat ikut-ikutan’ dan ( 5) gasut ‘pemakaian tutur yang kerap berubah-ubah’. Adapun penyebab penyusutan tuturnya ialah perubahan sosio-ekologis yang terjadi di dataran tinggi Gayo.

Ditambah lagi pluralitas etnik yang lebih dari delapan etnik. Keragaman ini menyebabkan terjadinya kontak antar etnik, bahasa, dan budaya, sehingga mempengaruhi masyarakat Gayo, baik secara psikologis maupun secara sosial termasuk dalam bertutur.

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai landasan pengetahuan untuk melihat penyebab penyusutan tutur bahasa Aceh pada peunajoh Aceh yang diakibatkan oleh perubahan sosio-ekologis dan kontak multi-etnik. Namun penelitian ini fokus ekolinguistiknya sangat general. Sementara penelitian ekolinguistik yang akan dilakukan oleh peneliti lebih spesifik pada peunajoh Aceh.

Penelitian Rasna (2010) yang bertajuk “Pengetahuan dan Sikap Remaja terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka

Pelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik”. Rasna menggunakan pengujian kompetensi leksikal tanaman obat tradisional dan sikap remaja terhadap tanaman obat. Metode yang digunakan dalam penelitiannya adalah wawancara dengan bantuan kuesioner terstuktur sedangkan pendekatannya adalah kuantitatif dengan menggunakan dua model pertanyaan yaitu A untuk mengetahui kompetensi leksikal tanaman obat tradisional dan pertanyaan model B

Universitas Sumatera Utara

17

digunakan untuk mengetahui pengetahuan tanaman obat bahwa secara linguistik adanya penyusutan bentuk leksikal tumbuhan/tanaman obat di kalangan para remaja, sehingga mereka tidak lagi mengenal bentuk leksikal seperti sekapa

(gadung), kusambi, , kundal, antasari, bahkan tidak semua remaja tahu beluntas. Hal ini disebabkan; (a) adanya perubahan sosio-kultural, (b) perubahan sosio ekologis secara fisik, dan (c) faktor sosio-ekonomis.

Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian ini adalah memberikan contoh bagaimana menganalisis kajian ekolinguistik pada tumbuhan (flora).

Perbedaan penelitian Rasna dengan penelitian ini adalah penelitian Rasna membahas mengenai tanaman obat yang dikaji dalam kajian ekolinguistik sedangkan penelitian ini membahas mengenai ekoleksikon pada peunajoh Aceh.

Hal senada juga dinyatakan oleh Sinar (2011) dalam penelitiannya “Pergeseran

Leksikon Kuliner Melayu Serdang terhadap Remaja Perbaungan Kabupaten

Serdang Bedagai”, bahwa saat ini generasi muda Melayu Serdang sudah mulai tidak mengenal lagi pangan kuliner Melayu Serdang, dan lebih mengenal kuliner yang moderen cepat saji dan praktis. Beberapa pangan kuliner yang sudah tidak dikenal lagi oleh remaja, seperti; anyang kepah, kampong, bubur lambuk, bubur sup, darat atau terung sembah, gulai pisang emas, gulai kacang hijau dengan daun buas-buas, gulai lambuk kemuna, gulai telur terubuk, kepah, pekasam maman, santan telur terubuk, emping padi, senat, lengkong, sambal , sambal terasi asam sundai, sambal belacan asam binjei, kue danagi, halwa masekat, lubuk

Universitas Sumatera Utara

18

haji pantai surga, lempeng putih, kueh makmur, kueh pakis, kueh pelita daun, tepung gomak, cucur badak, kueh cara, halwa renda, halwa cermai, halwa rukam.

Kontribusi penelitian tersebut terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah memberikan kemudahan dalam hal informasi berbagai jenis kuliner khususnya kuliner Melayu. Perbedaan penelitian Sinar dengan penelitian ini adalah penelitian Sinar membahas mengenai leksikon kuliner Melayu Serdang, sedangkan penelitian ini membahas mengenai leksikon peunajoh Aceh, khususnya peunajoh Aceh.

Selanjutnya Sartika dan Wahidah (2013) dalam kajiannya “Analisis dan Kebermaknaan Bahan Bubur Pedas sebagai Warisan Kuliner Melayu

Stabat dan Tanjungbalai”, menyimpulkan bahwa; (1) pengetahuan masyarakat

Melayu tentang bubur pedas masih sangat kental, akan tetapi mereka sangat berbeda pendapat dan pengetahuan mengenai asal-usul bubur pedas walaupun mereka sama-sama dari rumpun Melayu. Hal ini bukan disebabkan oleh perbedaan tingkat pendidikan, melainkan dari pengetahuan yang berasal dari turun temurun; (2) untuk setiap daerah memiliki perbedaan dari segi bahan- bahannya, dan juga pengolahannya, sedangkan dalam penyajiannya tidak terdapat perbedaan, baik dari Stabat dan Tanjungbalai. Pada daerah Stabat bahan- bahannya menggunakan banyak rempah dan rimpang-rimpangan, sedangkan untuk daerah Tanjungbalai bahan-bahan tersebut masih dalam keadaan segar dan tidak terlalu banyak menggunakan rempah-rempah dan rimpang-rimpangan; dan

(3) untuk pengolahannya, masyarakat Stabat lebih memilih mengeringkan bahan- bahan seperti rimpang-rimpangan yang kemudian dihaluskan bersamaan dengan

Universitas Sumatera Utara

19

rempah-rempah kering dan kemudian perebusan dimasukkan secara bersamaan.

Alasan untuk pengeringan bahan-bahan tersebut adalah penyimpanan dalam waktu lama tidak akan mudah rusak. Sedangkan untuk pemasakan yang dilakukan bersamaan agar semua bahan yang dimasak akan matang secara merata.

Sementara untuk daerah Tanjungbalai bahan-bahan yang digunakan masih dalam keadaan segar dan juga dalam perebusannya memiliki beberapa tahap. Alasan menggunakan bahan-bahan segar agar bubur pedas lebih memiliki aroma yang segar serta dalam pengolahannya memiliki beberapa tahap agar semua bahan- bahan tersebut matang secara bersamaan.

Perbedaan penelitian Sartika dan Siti Wahidah dengan penelitian ini adalah penelitian Sartika dan Siti Wahidah membahas mengenai kebermaknaan bahan bubur pedas yang merupakan salah satu kuliner MelayuTanjungbalai sedangkan penelitian ini membahas mengenai ekoleksikon pada sejumlah kue

Aceh sebagai peunajoh Aceh

Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Faridah (2014) dengan judul

“Khazanah Ekoleksikon, Sikap, dan Pergeseran Bahasa Melayu Serdang, Kajian

Ekolinguistik”. Dinyatakan bahwa leksikal umum flora dalam BMS adalah kelambir yang menurunkan 27 leksikon khusus. Sementara leksikal umum fauna yang diacu adalah ayam kampong, yang memiliki 9 leksikal khusus turunan.

Kedua leksikal (flora dan fauna) pada mulanya lingkungan penutur BMS menggunakan bahasa Melayu Serdang. Hal ini disebabkan oleh faktor ecoregion yang mendukungnya pada saat itu. Namun sekarang kedudukan BMS mengalami pergeseran dalam penggunaannya di masyarakat dan terdapat

Universitas Sumatera Utara

20

hubungan yang tidak signifikan antara pengetahuan dan sikap di antara para penutur dari kalangan usia muda.

Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang dilakukan ini adalah memberikan kemudahan dalam hal informasi mengenai teori ekolinguististik

Haugen. Perbedaan penelitian Faridah dengan penelitian ini adalah penelitian

Faridah membahas mengenai khazanah ekoleksikon kelambir secara hirarkhi, sedangkan penelitian ini membahas mengenai taksonomi ekoleksikon peunajoh

Aceh

Nuzwaty (2014) juga telah melakukan satu penelitian ekolinguisistik di

Aceh, tepatnya di Aceh Selatan. Dengan judul “Keterkaitan Metafora dengan

Lingkungan Alam pada Komunitas Bahasa Aceh di Desa Trumon Aceh Selatan”.

Dijelaskan bahwa metafora yang digunakan oleh masyarakat bahasa di Desa

Trumon terbentuk dari sifat alamiah flora dan fauna yang ada di lingkungan alamnya. Pada umumnya metafora di Desa Trumon terbentuk dari ranah sumber berdasarkan pengalaman tubuh dan pengalaman inderawi pengguna bahasa tersebut. Karakteristik metafora yang digunakan di Desa Trumon merupakan metafora konseptual yang terbentuk secara alamiah dari unsur-unsur bahasa dan kognitif manusia melalui tiga dimensi sosial praksis; ideologis, biologis dan sosiologis.

Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang dilakukan adalah memberikan kemudahan dalam hal informasi mengenai tiga dimensi sosial praksis. Perbedaan penelitian Nuzwaty dengan penelitian ini adalah penelitian

Nuzwaty membahas mengenai keterkaitan metafora dengan lingkungan alam,

Universitas Sumatera Utara

21

sedangkan penelitian ini membahas mengenai ekoleksikon pada peunajoh Aceh

Berdasarkan uraian kajian pustaka di atas diketahui dengan pasti bahwa kajian ekolinguistik yang berkaitan dengan makanan tradisional belum banyak mendapat perhatian dari kalangan peneliti, terutama dari aspek taksonomi ekoleksikon. Bahkan kajian ekolinguistik yang dilakukan di Aceh belum menyentuh aspek makanan secara umum. Oleh sebab itu, penelitian ini dapat dipandang baru di Aceh dan penting untuk dilakukan. Keberadaannya tidak saja menyumbang kepada pengembangan ilmu ekolinguistik, tetapi juga dapat bermanfaat dalam pelestarian dan pengembangan bahasa dan budaya serta pemeliharaan lingkungan alam, baik sebagai satu entitas kebudayaan maupun sebagai komoditas konsumtif dan komersial. Dengan demikian dapat menyadarkan masyarakat Aceh akan nilai-nilai ekologis yang mensejahterakan hidupnya, sehingga lingkungan alam terpelihara, bahasa dan budaya juga terjaga.

2.2 Konsep Untuk lebih memahami topik penelitian dan mempunyai persepsi yang sama terhadap konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini, perlu dijelaskan konsep-konsep dasar ekolinguistik yang umum dikenal di kalangan akademisi, dan dianggap relevan sebagai pendukung pembahasan penelitian ini.

Sejumlah konsep yang dinilai berhubungan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

2.2.1 Taksonomi Secara etimologis taksonomi berasal dari kata Yunani, yang terdiri atas dua kata; taxis dan nomos. Taksis berarti penyusunan (arrangement) atau

Universitas Sumatera Utara

22

pembagian (devision), dan nomos berarti hukum-hukum (law) (Espinosa dan

Gomez, 2008: 16). Dengan demikian, taksonomi dapat dipahami sebagai hukum penyusunan dan pembagian. Sebagai Ilmu, taksonomi dipahami sebagai ilmu yang mengkategorisasi dan mengklasisifikasi sesuatu berdasarkan sebuah sistem yang sudah ada demikian rupa (predetermined). Penyusunan dan pembagian unit- unit suatu objek ke dalam bentuk tunggal dikenal sebagai taksa atau takson.

Penyusunannya sering dilakukan dalam struktur hieraki dan dikaitkan satu dengan yang lain dalam hubungan supertype-subtype (Enghoff, 2009:442).

Dalam kajian ini konsep taksonomi yang digunakan berpedoman kepada pendapat Halliday berkaitan dengan disiplin bahasa, khususnya dalam aspek leksikon dapat dikatakan bahwa taksonomi leksikon adalah organisasi kata kedalam kelas dan sub-kelas (dll); tidak atas dasar bentuk tetapi atas dasar makna, bukan kelas gramatikal tetapi kelas semantik (Halliday, 2004). Taksonomi leksikon memainkan peran penting dalam pencarian informasi dan proses pembentukan bahasa alami (Natural Language Processing). Misalnya dengan mengkodekan hubungan semantik antara konsep-konsep terminologis, taksonomi leksikon dapat memperkaya kemampuan penalaran aplikasi dalam pencarian informasi dan proses pembentukan bahasa (Cleuziou, 2015: 955). Konsep taksonomi ini sejalan dengan kajian relasi makna dalam melihat relasi leksikal.

Pembahasan lebih lanjut mengenai relasi leksikal akan dibahas pada bagian landasan teori.

Senada itu, O’Malley dan Griffin menyatakan taksonomi adalah ilmu yang mengidentifikasi, menamakan dan mengkasifikasikan organisme hidup secara

Universitas Sumatera Utara

23

struktur hirakhi dari kategori luas atau umum kepada kategori khusus. Dengan demikian, klasifikasi informasi ke dalam kelompok atau kelas dapat menjelaskan kemiripian karakteriknya (Horodski, 2014: 30). Sementara menurut E. Mayr

(1966) bahwa taksonomi merupakan suatu teori dan praktik mengklasifikasi organism-organisme (dalam Chandran, dkk., 2007: 3).

Uraian tersebut menunjukkan bahwa sebuah taksonomi dapat digambarkan sebagai sebuah struktur hierarki yang dibuat menurut data internal untuk hal-hal tertentu. Dalam hal ini ada perbedaan antara taksonomi dengan klasifikasi, di mana taksonomi berarti mengklasifikasikan dalam struktur menurut beberapa hubungan antara entitas secara internal grounds , sedangkan klasifikasi menggunakan latar luar (external grounds). Contoh taksonomi internal grounds, bayam adalah sayuran dan setiap sayuran adalah bukan bayam, jadi bayam adalah subclass dari sayuran. Keputusan untuk menempatkan bayam dalam kategori sayuran didasarkan pada data yang melekat pada entitas. Ini bermakna suatu relasi taksonomi adalah hubungan antara entitas dalam hubungan subclass (Rees, 2003:

2).

Namun demikian, untuk saat ini istilah taksonomi telah digunakan dalam arti yang lebih luas, melebih aspek biologi atau orginisme hidup, sehingga ia tidak saja berarti klasifikasi hierarki atau kategorisasi sistem, tetapi juga mengacu pada cara pengorganisasian apapun untuk konsep pengetahuan walaupun sebagian profesional tidak suka menggunakan istilah taksonomi, karena berpendapat terlalu sering ambigu dan sering disalahgunakan (Hedden, 2010: 1).

Universitas Sumatera Utara

24

Berdasarkan penjelasan tersebut, awalnya taksonomi dipahami dalam arti sempit yang terbatas pada klasifikasi organisme hidup, dan kemudian ia pahami dalam arti luas. Menurut Enggoff & Seberg (2009: 3) bahwa taksonomi dalam arti luas mencakup tujuh aktifitas, yaitu:

1. Pengenalan, pendeskripsian dan penamaan taksa (spesies, genera, keluarga

dll, juga revisi deskripsi yang lama, sinonimasi, dll) (≈ alpha-taksonomi).

2. Perbandingan taksa, termasuk studi tentang hubungan (filogeni) (≈ bagian

dari beta-taksonomi).

3. Klasifikasi taksa (sebaiknya berdasarkan analisis filogenetik) (≈bagian dari

beta-taksonomi).

4. Studi variasi (genetik) dalam spesies (≈ gamma-taksonomi).

5. Pembentukan alat untuk identifikasi (Kunci, barcode DNA).

6. Identifikasi specimen-specimen (dengan mereferensikan ke taksa,

menggunakan alat).

7. Iventarisir taksa di daerah atau ekosistem khusus (menggunakan alat untuk

identifikasi).

2.2.2 Ekoleksikon Secara susunan terminologi, ekoleksikon merupakan penggabungan dua kata, yaitu eko dan leksikon. Hal ini merupakan akibat dari munculnya peran baru ilmu bahasa, yaitu ingin memberikan perhatiannya kepada lingkungan alam yang sedang mengalami krisis. Bencana alam sudah menjadi fenomena kehidupan masyarakat dunia setiap tahunnya, dan pemanasan global sudah menjadi tanggung jawab semua negara di dunia. Oleh sebab itu muncullah satu cabang ilmu baru

Universitas Sumatera Utara

25

dari ilmu bahasa, yaitu ekolinguistik, yang dipelopori oleh Haugen sejak 1970-an dan mulai popular tahun 1990. Sebagaimana dinyatakan oleh Fill (2001 )

“Ecolinguistics is a new branch of linguistics which investigates the role of language in the development and possible solution of ecological and environmental problems”. Dengan demikian, dapat dipahami ekolinguistik merupakan perpaduan ekologi dan linguistik, sehingga penjelasan konsep ekoleksikon tidak dapat dipisahkan dari aspek ekologi, atau dengan kata lain ekoleksikon adalah penjelasan mengenai konsep leksikon yang berkaitan dengan ekologi. Untuk itu, agar tidak mengaburkan pemahanan, penjelasan konsep ekoleksikon terlebih dahulu diawali dengan konsep leksikon. Hal ini karena masih sukar ditemukan rujukan yang menjelaskan konsep ekoleksikon secara khusus dan tersendiri. Nampaknya perkembangan ekolinguistik belum diikuti oleh pengembangan konsepnya secara seimbang dan ideal.

Leksikon bentuk adjektifnya adalah leksikal yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosakata, perbendaharaan kata). Sementara satuan leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Jika leksikon disamakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat disamakan dengan kata

Haspelmath (2002:39) menjelaskan leksikon paling tidak mengandung semua informasi yang tidak predictable dari aturan umum. Lebih lanjut Sibarani

(1997:7) membedakan leksikon dengan perbendaharaan kata, bahwa leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentng kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantik, sintaksis, morfologis, dan fonologis. Sedangkan

Universitas Sumatera Utara

26

perbendaharaan kata adalah lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa. Namun secara sederhana Spencer (1993:47) mengungkapkan bahwa leksikon merupakan kamus singkat yang memuat daftar kata bersama artinya. Selanjutnya Elson dan Pickett (1987: 1) mendefinisikannya seluruh jumlah morfem atau kata-kata sebuah bahasa, yang mempunyai makna dan cara penggunaannya. Sementara Crystal (2008: 78) mengatakan bahwa leksikon merupakan komponen yang mengandung informasi tentang ciri-ciri kata dalam suatu bahasa, seperti prilaku semantik, sintaksis, dan fonologis.

Lebih rinci lagi, Kridalaksana (1982: 98) mendefinisikan leksikon ke dalam tiga kategori, yaitu; (1) komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dn pemakaian kata dalam bahasa; (2) kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis atau sesuatu bahasa; kosa kata; perbendaharaan kata; dan (3) daftar kata yang disusun seperti kamus tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis.

Sebagaimana dinyatakan di atas masih sukar ditemukan rujukan khusus yang menjelaskan konsep ekoleksikon secara tersendiri, terutama dari pakar linguistik Indonesia. Namun secara sederhana Pilar dan Redondo (2010: 1) menyatakan ekoleksikon adalah basis terminologi pengetahuan terhadap lingkungan, yang dikuatkan oleh teknik representasi linguistik dan pengetahuan.

Sementara Faber dan Castro (2014: 601) menyatakan ekoleksikon adalah basis pengetahuan lingkungan yang didasarkan pada bentuk premis-premis berdasarkan terminologi. Eloleksikon merepresentasikan struktur konseptual domain lingkungan tertentu dalam bentuk sebuah kamus (thesaurus) visual yang

Universitas Sumatera Utara

27

mencakup kata dan konsep lingkungan yang dikonfigurasikan dalam jaringan semantik.

Untuk membantu penjelasannya lebih baik lagi, penulis terlebih dahulu merujuk kepada Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:14) yang menjelaskan bahwa lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan sosial. Di mana lingkungan ragawi mencakup geografi yang terdiri atas; fisik

(topografi suatu negara; pesisir, lembah, daratan, dataran tinggi, gunung), iklim, dan intensitas curah hujan; dan dasar ekonomis kehidupan manusia yang terdiri atas fauna, flora, dan sumber-sumber mineral. Sedangkan lingkungan sosial adalah terdiri dari berbagai kekuatan masyarakat yang membentuk pikiran dan kehidupan setiap individu, seperti agama, etika, bentuk organisasi politik, dan seni.

Selanjutnya dirujuk pula konsep Mbete, dkk., (2015) yang mengkategorikan leksikon nomina, ajektiva dan verba pada leksikal guyub tutur Bahasa Lio, Flores.

Menurut Mbete, dkk., (2015) kategori nomina dalam konteks ekoleksikon berkaitan dengan pengetahuan tentang kekayaan lingkungan, baik kategori biotik maupun abiotik. Sementara kategori verba ekoleksikon berkaitan dengan aktivitas manusia dalam mengolah sumber daya yang ada di lingkungan, baik verba tindakan maupun verba proses. Atas dasar kategori verba itu, subkategori verba tindakan berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas mengolah entitas tertentu, misalnya menebang dan mengolah batang pohon atau bagian tangkai pohon yang dapat memberikan informasi penting tentang keberagaman dan lingkungan.

Sehingga kekayaan leksikon yang menandai aktivitas dan atau proses khusus di

Universitas Sumatera Utara

28

lingkungan juga menggambarkan interaksi, interelasi, dan interdependensi warga di lingkungan tertentu dengan jenis tumbuhannya. Selanjutnya kategori adjektiva adalah kelompok leksikon yang merepresentasikan pengetahuan tentang kualitas dan sifat-sifat aneka entitas lingkungan yang dikenali dan dimanfaatkan oleh warga. Dengan demikian, gambaran tentang sifat, karakter, dan kualitas biotik sejumlah tumbuhan dan hewan serta entitas-entitas abiotik khususnya tanah, air, pasir, dan bebatuan, terekam dan terwadahkan dalam perangkat leksikon bahasa warga.

Berdasarkan konsep-konsep leksikon di atas dapat disimpulkan bahwa leksikon merupakan kamus singkat dan praktis yang memuat sejumlah kata yang menjelaskan ciri-cirinya, makna dan cara penggunaannya. Jika konsep ini dikaitkan dengan konsep ekoleksikon Pilar dan Redondo serta Faber dan Castro, kemudian Sapir dan Mbete di atas, maka konsep ekoleksikon dapat dikatakan sebagai kamus singkat dan praktis yang menjelaskan terminology atau kata bahasa yang melekat pada lingkungan ragawi yang meliputi entitas biotik dan abiotik, dari aspek jenis dan karakteristik kata, makna dan cara penggunaannya oleh masyarakat lingkungan tertentu. Dengan demikian dapat dipahami perkembangan budaya akibat dari interaksi, interelasi, dan interdependensi masyarakat di lingkungan tertentu dengan ragam jenis sumber daya alam yang dikandunginya.

2.2.3 Makanan Tradisional Aceh ( Peunajoh Aceh) Makanan tradisional sebagai santapan adalah makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, dengan citarasa khas yang diterima oleh masyarakat tersebut. Namun makanan tradisional sebagai satu bentuk wujud

Universitas Sumatera Utara

29

kebudayaan masyarakat, ia tidak saja memiliki nilai biologis (mengenyangkan), namun juga memiliki nilai sosial, bahkan nilai ekonomis dan nilai estetika.

Umumnya bahan baku makanan tradisional berasal dari sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah di mana ia diciptakan dan dikembangkan. Oleh sebab itu, makanan tradisional berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Bahkan jika terdapat kesamaan namanya, namun cita rasanya berbeda. Hal ini disebabkan racikan bahan, bumbu, dan cara pembuatannya yang berbeda. Misalkan saja rendang Aceh dengan rendang Padang berbeda warna dan rasanya. Perbedaan semacam ini menurut Wibowo (2009: 4) adalah sesuai dengan ramuan, pengalaman dan budaya masing-masing daerah.

Dengan demikian yang dimaksud Makanan Tradisional Aceh (Peunajoh

Aceh) adalah segala jenis makanan olahan asli Aceh, khas daerah Aceh, mulai dari makanan lengkap, selingan dan minuman, yang cukup kandungan gizi, serta biasa dikonsumsi oleh masyarakat Aceh. Bahan dasarnya adalah dari beragam variasi sumber lingkungan alamnya, sehingga masyarakat Aceh dapat menghasilkan bermacam-macam jenis makanan tradisionalnya yang lezat dan memiliki gizi yang seimbang. Cara pengolahannya pula dilakukan dengan beragam dan bervariasi caranya sesuai dengan jenis makanan yang ingin dihasilkannya, yaitu merebus, memasak, membakar/memanggang, mengasapi, memepeskan, mengukus, menggoreng dan menumis.

Makanan tradisional kini telah menjadi fenomena kebudayaan yang semakin menarik untuk diteliti keberadaannya walaupun sebagian masyarakat menganggap makanan tradisional adalah panganan yang sudah ketinggalan

Universitas Sumatera Utara

30

zaman, sehingga ia ditinggalkan oleh masyarakatnya, dan mereka beralih pada makana moderen. Padahal makanan tradisional adalah wujud warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan keberadaanya. Dengan harapan dapat dibanggakan keberadaannya, sekaligus dapat dijustifikasi sebagai kekhasan suatu daerah. Makanan bukan sekedar untuk mempertahankan hidup, melainkan juga untuk mempertahankan kebudayaan, yang kini dapat dijadikan sebagai salah satu daya tarik wisata di suatu daerah, dinamakan wisata kuliner (Rahmalianti, dkk.,

2016:229-237). Selaras ini, Wurianto (2008:2) menyatakan bahwa hal-hal tradisional belum tentu usang. Bahkan ia mengalami perubahan makna menjadi makna eksotis, yaitu ciri khas yang bernilai ekonomi, sosial, dan budaya sehingga banyak kalangan merindukan masa lalu untuk hadir kembali di masa sekarang dalam balutan modern. Secara global hal ini lebih dikenal istilah “back to nature”, atau dalam perspektif posmodern diperkenalkan slogan “the past in the present”. Ini merupakan fenomena budaya yang berimplikasi pada kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya, yang bermuara pada konsep penguatan identitas budaya sebagai bagian dari sistem ketahanan sosial budaya masyarakat. Di mana pada praktiknya memberi signifikansi positif terhadap ekonomi, seperti muncul rumah makan yang menyajikan menu tradisional dan obat-obatan tradisional yang dapat memperkuat identitas budaya sekaligus kekuatan ekonomi dan ketahanan nasional. Selanjutnya menurut Wurianto (2008:24) bahwa makanan (kuliner) tradisional dapat dikonsepsikan sebagai gambaran kompleksitas antara pola hidup masyarakat yang mampu menghadirkan identitas kolektivitas dan representasi sosial budaya berbasis tata boga. Dari konsepsi makanan, fungsi sosialnya, cara

Universitas Sumatera Utara

31

memperolehnya, cara mengolahnya sampai cara menyajikannya. Oleh sebab itu peruntukannya meliputi multidimensi, sehingga secara local indegenious makanan tradisional menggambarkan kearifan lokal pangan yang menginformasikan keadaan taraf atau tingkat tata kehidupan sehat, sosial, religi, dan inisiatif-inisiatif lokal.

Namun demikian dalam pembahasan ini, konsep peunajoh dipaparkan terbatas pada jenis-jenis kue tradisional Aceh yang dikonsumsikan baik harian maupun musiman. Peunajoh Aceh bisa diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian seperti; peunajoh ie sirap, peunajoh urou raya, peunajoh khanduri, dan peunajoh ritual-ritual adat lainnya.

Peunajoh ie sirap merupakan makanan yang dikonsumsi untuk sarapan pagi, cemilan, dan makanan selingan untuk para pekerja seperti pekerja bangunan, petani, pedagang, guru, dan pekerja kantor lainnya. Peunajoh urou raya merupakan jenis kue yang dimakan dan disajikan pada hari lebaran baik hari raya

Idul Fitri maupun hari raya idul Adha. Peunajoh khanduri merupakan jenis makanan yang disediakan untuk upacara adat seperti, mee ranub ‘tunangan’, meunikah ‘pernikahan’, pesta perkawinan seperti; intat linto ‘antar pengantin pria’, intat dara baro ‘ antar pengantin wanita, kehamilan pada acara peusijuek lueng ‘kenduri tujuh bulanan’ , kelahiran pada acara peucicap atau peutron tanoh, dan kematian pada acara seuneujoh ‘kenduri pada hari ketujuh kematian’.

Universitas Sumatera Utara

32

2.2.4 Persepsi Menurut Saleh dan Wahab (2004: 88) persepsi merupakan proses menggabungkan dan mengorganisasikan data-data penginderaan untuk dapat menyadari sekitarnya, termasuk sadar akan diri sendiri. Selaras dengan ini Rahmat

(2005: 114) menyatakan bahwa persepsi merupakan proses kesadaran dalam menilai sesuatu akan sifatnya atau keterkaitannya melalui indera, sehingga apa yang dihayati adalah bagian dari pengalaman dan pengetahuan masa lalu. Ini bermakna pula bahwa persepsi ialah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang di peroleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Selanjutnya menurut Atkinson, dkk (1991: 201) persepsi adalah proses mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan yang melibatkan kognisi, sehingga ia menyangkut penafsiran objek dari sudut pengalaman seseorang.

Dengan demikian setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu objek, dan interprestasi seseorang terhadap sesuatu juga tergantung pada kemampuan, pengalaman, dan pengetahuannya (Rohman, 1978: 18). Tidak jauh berbeda Thoha dalam Amin (2015: 50) menyatakan bahwa persepsi merupakan proses kognitif setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman.

Kemudian Robbins, Steepens (2006) menyatakan persepsi adalah proses kognitif seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya (terhadap obyek).

Dengan demikian ia dapat memberi arti terhadap lingkungannya, dan setiap individu memberikan arti kepada stimulus secara berbeda meskipun objeknya sama (Gibson dan Donnely, 2006).

Universitas Sumatera Utara

33

Selanjutnya menurut Gibson dan Donnely (1996) faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dapat dibagi ke dalam 2 faktor, yaitu:

1. Faktor Internal

Faktor internal yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu, antara lain : a) Fisiologis. Informasi diperoleh melalui pengindraan. Kapasitas indera seseorang untuk mempersepsikan sesuatu berbeda-beda sehingga interpretasi terhadap lingkungan juga dapat berbeda; b) Perhatian. Individu memerlukan sejumlah energi yang dikeluarkan untuk memperhatikan bentuk fisik dan fasilitas mental yang ada pada suatu obyek. Energi tiap orang berbeda-beda sehingga perhatian seseorang terhadap obyek yang mempengaruhi persepsi terhadap suatu obyek juga berbeda; c) Minat. Persepsi terhadap suatu obyek bervariasi tergantung pada seberapa banyak energi yang digerakkan untuk mempersepsi; d) Kebutuhan yang searah. Faktor ini dapat dilihat dari bagaimana kuatnya seseorang individu mencari obyek-obyek atau pesan yang dapat memberikan jawaban sesuai dengan dirinya. e) Pengalaman dan ingatan. Pengalaman dapat dikatakan tergantung pada ingatan. Sejauh mana seseorang dapat mengingat kejadian-kejadian masa lampau untuk mengetahui suatu rangsang dalam pengertian luas. 6) Suasana hati. Keadaan emosi mempengaruhi perilaku seseorang. Bagaimana perasaan seseorang pada waktu yang dapat mempengaruhi, bagaimana seseorang dalam menerima, bereaksi dan mengingat.

Universitas Sumatera Utara

34

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan karakteristik dari linkungan dan obyek-obyek yang terlibat di dalamnya. Elemen-elemen tersebut dapat mengubah sudut pandang seseorang terhadap dunia sekitarnya. Faktor eksternal di antaranya; a)

Ukuran dan penempatan dari obyek atau stimulus. Semakin besar hubungan suatu obyek, maka semakin mudah untuk dipahami; b) Warna dari obyek-obyek.

Obyek-obyek yang mempunyai cahaya lebih banyak, akan lebih mudah dipahami;

3) Keunikan dan kekontrasan stimulus. Stimulus luar yang penampilannya dengan latarbelakang dan sekelilingnya yang sama sekali di luar sangkaan individu yang lain akan banyak menarik perhatian; d) Intensitas dan kekuatan dari stimulus.

Stimulus dari luar akan memberi makna lebih apabila lebih sering diperhatikan dibandingkan dengan yang hanya sekali dilihat. Kekuatan dari stimulus merupakan daya dari suatu obyek yang bisa mempengaruhi persepsi.

Penjelasan di atas mengambarkan adanya keterkaitan antara persepsi dan kognisi. Menurut Kartanakis dan Voyer (2014: 3-6) perbedaan persepsi dapat mendorong kepada perbedaan kognisi. Keduanya berpengaruh terhadap bentuk perilaku, yang kemudian menjadi suatu budaya yang berperan dalam membentuk persepsi individu, yang pada gilirannya mempengaruhi pengolahan informasi dari lingkungan sekitarnya. Persepsi dan kognisi tergantung kepada masukan sensorik pada level individu, tetapi keduanya juga melibatkan berbagai proses top-down yang secara otomatis digunakan untuk membangun persepsi sadar dari input.

Keberadaan perbedaan mendasar lintas-budaya dalam proses pra-perilaku-yaitu,

Universitas Sumatera Utara

35

persepsi dan kognisi tergantung pada informasi yang disampelkan dari lingkungan dan proses psikologis yang mendasar (Triandis dan Suh, 2002: 2)

Persepsi dan selanjutnya kognisi juga dipengaruhi oleh budaya. Budaya mengembangkan konvensi untuk sampling informasi dan menentukan berapa banyak untuk menimbang elemen sampel dari lingkungan. Dengan demikian, persepsi merupakan saling keterkaitan antara pengguna spesies-spesifik yang memandu perilaku dalam suatu ceruk/relung. Hal ini sama seperti ikon menyembunyikan sebuah interkoneksi kompleksitas komputer, sehingga persepsi dapat berguna menyembunyikan kompleksitas dunia, dan memandu perilaku adaptif (Hoffman, 2009: 1)

Selanjutnya, Sheth dan Anantharam (2015: 3) menyatakan bahwa persepsi adalah tindakan menafsirkan data dari dunia di sekitarnya. Persepsi melibatkan pengenalan pola dan klasifikasi pola dari input sensorik yang dihasilkan dari rangsangan fisik, sehingga pembentukan perasaan, keyakinan, fakta, dan ide-ide.

Persepsi memanfaatkan baik penginderaan dan aktuasi untuk secara aktif mengeksplorasi lingkungan sekitarnya untuk mengumpulkan data relevansi. Data ini kemudian dapat dimanfaatkan dengan fasilitas kognitif untuk lebih efektif memahami dunia di sekitarnya. Persepsi melibatkan interpretasi dan eksplorasi dengan ketergantungan yang kuat pada latar belakang pengetahuan. Dengan demikian, persepsi adalah proses siklus interpretasi dan eksplorasi data dengan memanfaatkan pengetahuan terkait domain. Persepsi terus mencoba untuk mencocokkan input sensorik yang masuk (dan terlibat kognisi terkait) dengan harapan top-down atau prediksi (berdasarkan kognisi) dan erat terintegrasi dengan

Universitas Sumatera Utara

36

tindakan manusia. Sementara kognisi adalah tindakan pemahaman seseorang tentang dunia di sekitarnya dengan memanfaatkan semua data dari persepsi, dengan konteks yang disediakan oleh pengetahuan yang ada. Pemahaman ini dicapai dengan memanfaatkan domain /latar belakang pengetahuan dan penalaran, sehingga pemahamannya mengenai data dari persepsi sangat kontekstual dan personal.

Dalam penelitian ini peneliti ingin menemukan bagaimana persepsi guyub tutur Aceh tentang bahasa dan budaya peunajoh Aceh yang sudah begitu melekat dalam kehidupan masyarakat dan pewarisan nenek moyang yang masih menjadi simbol kemuliaan dan kehangatan. Banyak aspek kehidupan orang Aceh berhubungan erat dengan peunajoh Aceh, di antaranya; peunajoh Aceh dianggap sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat Aceh; dan peunajoh Aceh sebagai simbol kemuliaan, dan dianggap sakral pada beberapa kegiatan adat. Banyak kegiatan yang berhubungan dengan budaya dan adat istiadat Aceh melibatkan atau menghadirkan peunajoh Aceh di dalamnya, seperti Moled Nabi Muhammad

SAW, Seuneujoh, Khanduri Preh Linto baro, tueng Dara Baro, Peusijuek,

Khanduri Blang, Sunat Rasul/Khitan, Wo Rumoh Baro, Aqiqah, Peutron Tanoh, dan lainnya.

2.2.5 Kebertahanan Bahasa.

Kebertahanan bahasa adalah masyarakat tetap menggunakan bahasanya secara kolektif atau secara bersama-sama dalam ranah-ranah pemakaian tradisional (Marti, 2010:9-10). Kebertahanan bahasa terkait dengan faktor-faktor sosial dan psikologis, seperti kekuatan ikatan etnis, pola pemukiman, sistem

Universitas Sumatera Utara

37

kekeluargaan, sistem nilai, jenis usia, dan ekonomi (Suhadi, 1990:195). Menurut

Fishman (1968) faktor sosial yang mempengaruhi kebertahanan bahasa adalah usia, etnisitas, status sosial, kedudukan sosial, dan jabatan. Disamping faktor sosial, faktor situasional juga dapat mempengaruhi kebertahanan suatu bahasa.

Disamping itu dapat dikatakan bahwa suatu bahasa dapat bertahan lama apabila dipandang sebagai simbol identitas etnis yang penting. Dalam mempertahankan suatu bahasa diperlukan sikap positif yang mendukung penggunaan bahasa minoritas dari berbagai ranah dari tekanan kelompok mayoritas (Holmes,

2001:61).

Terkait dengan kebertahanan bahasa, penelitian ini berpedoman pada konsep yang dikemukakan Fishman, 1991 bahwa daya hidup bahasa dapat diukur dari penurunan atau pewarisan bahasa dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tingkat kebertahanan bahasa bisa dilihat dari beberapa tahapan diantaranya: tingkat aman (safe), tidak aman (unsafe), terancam punah

(definitively endangered), sangat terancam punah (severely endangered), kritis

(critically endangered), dan punah (extinct). Gambaran mengenai kriteria tersebut akan dijelaskan dalam bentuk tabel berikut ini:

Universitas Sumatera Utara

38

Tabel 2.1

Skala Ukur Kebertahanan Bahasa

Tingkat Skor Populasi penutur Kebertahanan Aman 5 Bahasa digunakan oleh semua golongan usia, dari golongan usia anak sampai lanjut usia Tidak aman 4 Bahasa digunakan oleh beberapa orang dari golongan usia anak saja, tidak semua anak menggunakan tuturan dalam semua domain sosialnya. Terancam 3 Bahasa digunakan oleh kebanyakan golongan orang tua ke atas. Sangat terancam 2 Bahasa digunakan oleh kebanyakan golongan lanjut usia (generasi nenek )saja. Sangat Kritis 1 Bahasa digunakan oleh sebagian kecil golongan Terancam lanjut usia (nenek buyut) saja. Punah 0 Bahasa tidak digunakan lagi oleh semua generasi. Gremes (2000)

2.3 Landasan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah mengacu kepada teori- teori dalam bidang kebahasaan dengan menitik beratkan pada kajian ekolinguistik sebagai payung besar dalam penelitian ini dan beberapa teori pendukung lainnya seperti teori makna leksikal yang difokuskan pada relasi leksikal hiponimi, meronimi, dan sinonimi untuk menjelaskan taksonomi ekoleksikon pada peunajoh

Aceh. Dalam kajian ekolinguistik melihat adanya saling keterkaitan antara bahasa, budaya, dan lingkungan baik sosial maupun alam.

Universitas Sumatera Utara

39

Ketiga aspek tersebut saling terkait dalam mengkaji bahasa dan lingkungan. Hal ini dapat digambarkan sebagaimana berikut.

Gambar 2.1: Interelasi bahasa, budaya dengan bahasa dan lingkungan.

Selanjutnya untuk lebih memahami makna yang terkandung dalam tiga aspek; lingkungan, sosial dan budaya diperlukan pembahasan tambahan mengenai ocial t leksikal.

2.3.1 Ekolinguistik

Ekolinguistik merupakan kajian interdisipliner antara bahasa dan ekologi.

Ekologi telah berkembang selama sejarah perkembangan manusia. Berbagai tulisan ilmuan sejak Hipocrates, Aristoteles, hingga filosof lainnya merupakan naskah-naskah kuno yang berisi rujukan tentang masalah-masalah ekologi. Kata

”ekologi” mula-mula diusulkan oleh biologiwan bangsa Jerman, Ernest Haeckel dalam tahun 1869. Namun sebelumnya banyak biologiwan terkenal di abad ke-18 dan ke-19 telah memberikan sumbangan pikiran dalam bidang ini, sekalipun kata

”ekologi” belum digunakan. Misalnya Antony van Leeuwenhoek yang lebih dikenal sebagai pelopor ahli mikroskop pada tahun 1700-an, ia juga telah

Universitas Sumatera Utara

40

memelopori pengkajian rantai makanan dan pengaturan populasi (Egerton, 1968).

Selanjutnya botaniwan bangsa Inggris, Richard Bradley menyatakan bahwa ia sangat memahami hal produktivitas biologis (Egerton, 1969). Istilah ekologi pertama sekali diperkenalkan oleh Ernst Haeckel (1834-1914), dan mulai berkembang pesat sekitar tahun 1900 hingga saat ini. Ekologi dipandang sebagai cabang ilmu yang mendasar dan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Akan tetapi awalnya, ekologi dibedakan ke dalam ekologi tumbuhan dan ekologi hewan. Setelah adanya faham komunitas ocial yang dikemukakan oleh F.E

Clements dan V.E.Shelford, faham rantai makanan dan siklus materi oleh

Raymond Lindeman dan G.E. Hutchinson serta pengkajian ocial danau secara keseluruhan oleh E.A. Birge dan Chauncy Juday, barulah dasar-dasar teori ekologi secara umum dikembangkan ekologi (Utani dan Baderan, 2009: 10).

Ekologi berasal dari bahasa Yunani ‘oikos’ yang berarti ‘rumah’ atau tempat untuk hidup. Ekologi juga diartikan sebagai pengkajian hubugan

ocial t-organisme atau kelompok-kelompok ocial t terhadap lingkungannya.

Ekologi sebagai lingkungan dan tempat hidup bukan dipandang utuh sebagai tempat atau lingkungan hidup tumbuh-tumbuhan atau hewan saja. Lebih dari itu, ekologi juga dipandang sebagai tempat di mana suatu bahasa itu hidup.

Pemahaman ekologi dalam konsep ini dikenal dengan “Bahasa Lingkungan dan

Lingkungan Bahasa” (Irwan, 2014:3). .

Menurut Soemarwoto (2004: 22) ekologi merupakan ilmu yang menunjukkan hubungan sosial balik antara makhluk hidup dan lingkungan.

Sedangkan ekologi bahasa merupakan lingkungan kebahasaan dan juga

Universitas Sumatera Utara

41

merupakan lingkungan alam. Selain itu, ia juga merupakan lingkungan “buatan” manusia dan lingkungan masyarakat. Di dalam lingkungan itu pasti ada, pasti hidup, dan pasti terjadi interaksi yang saling mempengaruhi bahasa-bahasa dalam kehidupan kemasyarakatan (Mbete, 2012). .

Ekologi bahasa yang juga disebut ekolinguistik merupakan suatu kajian bahasa, terutama sekali bahasa sosial, yang kemunculannya akibat krisis ekologi.

Sehingga ekolinguistik melihat bagaimana hubungan bahasa dan lingkungan yang ada disekitarnya. Ekolinguitik pertama sekali diperkenalkan oleh Sapir (1939) yang dilanjutkan oleh Haugen tahun 1970 dengan istilah “Ecology of Language”, dipublikasi tahun1972. Kemudian berkembang tahun 1990, yang lebih lanjut dikembangkan oleh Fill dan Muhlhausler (2001).

Ekolinguistik merupakan ilmu tentang kehidupan, karena bahasa dipahami sebagai sesuatu yang hidup dalam manusia dan merupakan gambaran representasi realitas alam dan manusia. Dalam perkembangannya, ekolinguistik tidak terlepas dari sosial dialektikal yang dicetuskan oleh Bang dan Door pada tahun 1970-an.

Kemudian pada tahun 1990 Bang dan Door membentuk kelompok riset yang diberi nama ELI Research Group/ Ecology-Language-Ideology Group (Lindo dan

Bundsgaard (eds), 2000:9). Tujuannya adalah untuk menstabilkan dan mengubah cara serta pandangan dalam penggunaan bahasa (Bang & Door, 1993:1).

Dengan demikian, kajian ekolinguistik tidak saja melihat bagaimana konteks sosial tempat bahasa itu hidup atau bahasa itu berada, akan tetapi kajian ini juga melihat konteks ekologi, tempat masyarakat itu berada. Sebagaimana

Haugen menjelaskan “Ecology of language may be defined as the study of

Universitas Sumatera Utara

42

interactions between any given language and its environment” (Fill dan

Muhlhausler, 2001:57).

Uraian di atas menjelaskan bahwa ekologi bahasa atau ekolinguistik dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang interaksi atau hubungan sosial balik antara bahasa tertentu dan lingkungannya. Dalam hal ini, lebih lanjut Haugen menegaskan bahwa bahasa berada dalam pikiran penggunanya dan bahasa berfungsi dalam hubungan antara penggunanya satu sama lain dan lingkungan, yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam. Dengan demikian, perubahan atau pergeseran suatu bahasa juga dipengaruhi atau dipicu oleh perubahan budaya pada lingkungan bahasa tersebut hidup. Bahkan dalam sebuah makalahnya Haugen

(dalam Fill, 2001) memaparkan adanya hubungan metafora dan ekolinguistik.

Haugen memaparkan adanya interaksi atau hubungan bahasa dengan lingkungan tertentu, dalam hal ini lingkungan alam.

Sejalan dengan pendapat Haugen di atas, Halliday (dalam Fill, 2001) memaparkan bahwa ekolinguistik bukan saja berbicara mengenai bahasa biologi, tetapi lebih dari itu bagaimana memaknai bahasa biologi atau bahasa alam, dan bagaimana peran bahasa dalam sebuah lingkungan atau ekologi sosial kemasyarakatan. Derni (2008: 29) pula turut menguatkan hal tersebut, menyatakan bahwa dikarenakan bahasa merupakan salah satu bagian dari lingkungan biosfer tempat tinggal dan hidup, maka semestinya bahasa juga dispekulasikan seturut dengan keadaan lingkungan tempatnya berada. Oleh karena itu, ketika bahasa memasuki pelbagai aspek kehidupan manusia, semestinya juga pelbagai disiplin ilmu yang terkait dengan beragam aspek dalam kehidupan

Universitas Sumatera Utara

43

manusia bisa melibatkan kajian secara sosial, sehingga kajiannya dapat mengkaji relasi bahasa dengan lingkungan tempat bahasa tersebut digunakan dan dipraktikkan.

Selanjutnya dalam ekolinguistik juga dikenal konsep bahasa lingkungan

(ecological language). Hal ini menunjukkan bahwa tanpa disadari banyak bahasa yang mengandung makna tentang lingkungan yang digunakan, atau metafora- metafora bahasa lingkungan, sepert peribahasa “Bagaikan air di daun talas”.

Dalam kaitannya dengan metafora, ekolinguistik membutuhkan sebuah pemahaman atau cara pandang atau keterangan ekspresif tentang makna. Sebuah keterangan ekspresif tentang makna sangat sulit menghindari sifat-sifat yang terkait dengan subjek (Taylor, 2002:130). Selanjutnya Taylor menegaskan bahwa ekspresi adalah kekuatan subjek; ekspresi memanifestasikan hal (thing), karena substansinya menunjukkan kepada subjek, hal-hal apa dimanifestasikan. Apa yang dimanifestasikan oleh ekspresi, hanya dapat dibuat oleh ekspresi, sehingga makna ekspresif tidak dapat dijelaskan jika terpisah dari ekspresi.

Berdasarkan kenyataan tersebut penganut paham Haugen atau Haugenian, memandang kajian ekolinguistik sebagai suatu studi yang sangat penting dilakukan terhadap bahasa-bahasa yang terancam punah. Dewasa ini banyak bahasa-bahasa yang mulai terancam punah. Warisan budaya leluhur dalam bentuk teks-teks lisan, metafora-metafora kebahasaan yang masih dalam bentuk teks-teks lisan perlahan mulai punah. Sebagaimana bentuk sesuatu yang hidup di bumi ini, bahasa terbukti juga dapat berkembang, terus berubah, dan bergeser tanpa henti dari waktu ke waktu (Rahardi, 2006:69). Bukti perubahan dan pergeseran bahasa

Universitas Sumatera Utara

44

yang paling mudah dilihat dan dicermati adalah pada aspek leksikon bahasa yang bersangkutan, terutama dari aspek jumlah leksikon bahasa yang digunakan.

Apakah penambahan, pengurangan, atau mungkin malah penghilangan.

Perubahan dan pergeseran ini terjadi dalam pemikiran/bahasa yang kompleks

(Taylor, 2002: 124), yang pada akhirnya berdampak pada perubahan budaya.

Dengan demikian, menurut Haugen tujuan utama kajian ekolinguistik adalah pendokumentasian bahasa-bahasa yang terlihat mulai menghilang secara cepat atau menyusut pada beberapa era. Ini dapat dilihat pada era generasi tua

(dahulu) dan era generasi muda (sekarang). Perubahan atau penyusutan bahasa yang terlihat sangat cepat, peran ekolinguistik sangat dibutuhkan, sehingga bahasa-bahas yang terancam punah kembali memiliki suatu dokumen kebahasaan.

Oleh sebab itu, ekolinguistik merupakan kajian yang berbeda dengan kajian linguistik yang hanya memandang pada satu objek yaitu bahasa, dan tanpa memandang lingkungan sebagai ekosistem sebuah tempat kehidupan, dan dunia bahasa merupakan pengalaman, atau gambaran nyata dari suatu kehidupan tersebut (Fill,2001:45).

Melampaui aspek bahasa, dalam masyarakat tradisional tahapan hubungan manusia dengan lingkungan, ditunjukkan bahwa seluruh aspek budaya dan perilaku, (bahasa, pekerjaan dan lainnya), bahkan “nasib” manusia dipengaruhi, ditentukan, dan tunduk pada lingkungan (Susilo, 2012:30). Alam dan lingkungan menentukan dan membentuk kepribadian, pola-pola hidup, organisasi sosial manusia, seperti model kehidupan sosial (pola pemukiman, cara bercocok tanam) masyarakat yang disesuikan dengan lingkungan.

Universitas Sumatera Utara

45

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa adanya dominasi lingkungan terhadap manusia yang kuat, termasuk kepercayaannya kepada alam yang sangat tinggi. Akibatnya muncul mitos-mistos terhadap suatu tempat, yang kemudian dianggap sebagai tempat sosial. Ritual-ritual pun dibuat pada tempat-tempat yang dipandang sosial tersebut. Perbuatan atau tindakan ritual ini dipandang juga sebagai penghormatan kepada alam atau cara manusia menghormati alam.

Menurut Susilo (2012) mitos melambangkan bentuk pengalaman manusia. Ia memberikan arah dan pedoman agar bertindak lebih bijaksana. Mitos menyadarkan manusia tentang adanya kekuatan-kekuatan ghaib diluar mereka.

Kemudian, manusia dibantu untuk menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan yang menguasai alam dan kehidupan semuanya.

Selanjutnya, berkembang kajian ekologi budaya yang diperkenalkan oleh

Julian H. Steward pada permulaan dasawarsa 1930-an (Susilo, 2012). Inti dari teori ini adalah lingkungan dan budaya tidak bisa dilihat terpisah, tetapi merupkan hasil campuran (mixed product) yang berproses secara dialektika. Dengan kata lain, ekologi dan budaya memiliki hubungan sosial balik. Budaya dan lingkungan bukan entitas yang masing-masing berdiri sendiri dan bersifat statis.

Keduanya mempunyai peran besar dan saling mempengaruhi.

Nampaknya perkembangan Ilmu ekolinguitik yang diperkenalkan oleh

Sapir (1939) yang dilanjutkan oleh Haugen (1972) dan dikembangkan oleh Fill dan Muhlhausler (2001) sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya memiliki kaitan erat dengan perkembangan dua teori ekologi tersebut, di mana

Universitas Sumatera Utara

46

dalam teori ekologi budaya dijelaskan proses dialektika yang dijadikan sebagai inspirasi pengembangan teori ekolingustik.

Selanjutnya, Muhlhausler (2001) mengatakan ekologi bahasa adalah studi tentang hubungan sosial balik yang bersifat fungsional. Bahasa dan lingkungan merupakan dua hal yang saling berkaitan yang menjadi fokus penelitian ekolinguistik, baik dalam lingkungan bahasa, bahasa lingkungan, ataupun keduanya. Selaras ini Mbete (2010:1) pula memaparkan bahwa ekolinguistik adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mengkaji tentang bahasa dan lingkungan sebagai objek kajiannya. Ekolinguistik, selain menekankan bagaimana hubungan fisik dan sosial, juga menekankan bagaimana hubungaan bahasa dan budaya. Lebih detail lagi, berhubungan dengan kajian sosial

Bunsgaard dan Steffensen menyatakan bahwa ekolinguistik mencakup aspek bahasa secara keseluruhan yang berarti meliputi dimensi sintaktik, morfologi, fonetik, dan dimensi lainnya (dalam Lindo dan Bundsgaard (eds), 2000:33).

Hal tersebut tergambar pula pada pernyataan Haugen dalam (Fill dan

Muhlhausher, 2001:57), yaitu:

“Language ecology may be defined as the study of interactions between any given language and its environment. The definition of environment might lead one’s thoughts first of all to the referentialworld to which language provides an index. However, this is environment not of the language but of its lexicon and grammar”.

Selanjutnya Haugen (2001:57) dalam buku “The Ecolinguistics Reader:

Language, Ecology and Environment”, memaparkan bahwa bahasa hanya dapat eksis dalam pikiran penggunanya, dan hanya berfungsi dalam hubungan pengguna dengan yang lain serta dengan lingkungannya, baik sosial maupun alam. Sehingga

Universitas Sumatera Utara

47

ekologi bahasa mencakup aspek psikologis, yakni interaksisnya dengan bahasa lain yang terdapat dalam pikiran penutur bilingual atau multilingual; dan aspek sosiologis, yakni interaksinya dengan masyarakat yang menfungsikannya sebagai media komunikasi. Dengan demikian, lingkungan suatu bahasa sangat ditentukan oleh masyarakat yang mempelajarinya, menggunakannya dan mentransmisinya kepada yang lain.

Oleh karena itu, menurut Haugen (1972) upaya penyelamatan bahasa dari kepunahannya yang begitu cepat juga berkaitan dengan penyelamatan lingkungan alam dan dengan keanekaragaman hayati yang tercermin pada kosakata. Dalam perspektif ekolinguistik, keanekaragaman, interaksi, saling memengaruhi dan saling bergantung pelbagai entitas di suatu lingkungan, termasuk manusia dengan bahasa dan lingkungan tertentu merupakan parameter ekologi (Odum, 1996), yang meliputi ekologi manusia dan ekologi bahasa khususnya.

Senada itu, Mbete (2009:2) menyatakan dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai sosial yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan bersama organism-organisme lainnya. Teori- teori yang digunakan adalah paduan teori sosial dan ekologi. Dalam hal ini, Fill

(1993) dalam Lindo dan Simonsen (2000: 40) menyatakan “Ecolinguistik is an umbrella term for …all approaches in which the study of language (and language) is in any way combined with ecology”.

Selanjutnya lebih khusus lagi, kajian ekolinguistik – ekoleksikon adalah pembedahan makna-makna sosiologis (yang alami) di balik leksikonnya, dan bahasa dikhususkan pada tataran leksikonnya (Lindo dan Bundegaard, 2000:10).

Universitas Sumatera Utara

48

Kemudian dinyatakan bahwa; 1) bahasa yang hidup adalah bahasa yang digunakan untuk menggambarkan dan mempresentasikan realitas di lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam; dan 2) dinamika serta perubahan yang terjadi pada tataran leksikon dipengaruhi oleh tiga dimensi, yaitu dimensi ideologis, sosiologis dan biologis.

Hal tersebut dapat terlihat pada konsep-konsep teoretis yang dikembangkan oleh para pakar ekolinguistik. Bang dan Door (1996:10) menyatakan bahwa teori ekolinguistik adalah keterkaitan antara ekologi yang merefleksikan manusia dan permasalahan-permsalahan dalam fenomena bahasa.

Lebih jelas lagi, Bunsdgaard dan Steffensen menjelaskan ekolinguistik adalah studi tentang interrelasi dimensi biologis, sosiologis, dan ideologis bahasa (dalam

Lindo dan Bundsgaard) (eds), 2000:11).

Dalam kajian ekolinguistik keberadaan ketiga dimensi tersebut dikenal dengan model dialektikal yang dikemukakan oleh Bang dan Door (1998) dijadikan sebagai alat bantu untuk memecahkan masalah-masalah dalam penelitian ini. Fungsi umum model ekolinguistik dialektikal ini adalah untuk menganalisis teks namun demikian dalam penelitian ini memfokuskan pada leksikon dan menggunakan pedoman sedikit penjelasan yang berhubungan dengan model ekolinguistik dialektikal pada tataran tiga dimensi sosial (ideologis, sosiologis, biologis) tersebut.

Universitas Sumatera Utara

49

Gambar : 2.2 Model ekolinguistik dialektikal

Ketiga dimensi tersebut saling berhubungan satu sama lain. Dimensi ideologis terkait dengan mental individu, mental kolektif, kognitif, sistem ideologi, dan sistem psikis. Tiap pengetahuan kognitif berupa leksikon, ungkapan dan teks memiliki keberadaan ideologikal bagi guyub tutur yang berarti keberadaannya mereka ketahui, dapat diproduksi, dan digunakan oleh guyub tutur itu sendiri (Bundsgaard and Steffensen 2000:19). Pengetahuan kognitif tiap individu menunjukkan kuatnya interaksi yang dilakukan yang mempengaruhi pola pikir individu tersebut sehingga memunculkan ideology yang dijadikan konsep hidup sebagai akibat hubungan interaksi yang dijaga antara individu dan alam sekitarnya.

Sedangkan dimensi sosiologis terkait cara manusia mengatur hubungannnya satu sama lain baik hubungan antar individu maupun lingkungannya untuk menjaga kolektivitas indvidual

Selanjutnya dimensi biologis berhubungan dengan kolektivitas biologis manusia yang hidup berdampingan dengan spesies yang lainnya (hewan, tumbuhan, tanah, laut, dan lain sebagainya). Fenomena ini berjalan secara

Universitas Sumatera Utara

50

berkesinambungan dan saling terkait, sehingga bahasa merupakan objek dari tiga dimensi tersebut (Lindo dan Bundsgaard (eds), 2000: 11).

Gambaran teoritis di atas diasumsikan dapat menjadi fondasi untuk menyelesaikan ketiga permasalahan penelitian ini. Permasalahan pertama yang berkaitan dengan pendokumentasian bahasa merupakan salah satu tugas penting ekolinguistik, terutama yang berhubungan dengan lingkungan. Kenyataan ini relevan dengan permasalahan taksonomi ekoleksikon pada peunajoh Aceh

Selanjutnya melalui teori ekolinguistik, persepsi masyarakat juga dapat dilihat terutama dengan teori tiga dimensi yang dikembangkan oleh Bang &

Door. Melalui dimensi ideologis penelitian ini dapat melihat dan mendeskripsikan mentalitas dan kognisi masyarakat Aceh yang berkaitan dengan ekoleksikon peunajoh Aceh. Dimensi sosiologis dapat menjelaskan pemahaman masyarakat tentang penggunaan bahasa ekoleksikon dalam beriteraksi. Selanjutnya dimensi biologis digunakan untuk melihat pemahaman masyarakat mengenai kolektivitas ekologis sebagai ekosistem. Tiga dimensi ini sekaligus dapat mengukur kebertahanan ekologi bahasa Aceh yang terdapat pada peunajoh Aceh

Sejauhmana ia dipahami dan dipraktikkan oleh masyarakat Aceh dalam kehidupan sosial dan budaya.

Seterusnya teori Haugen & Fill juga digunakan sebagai acuan untuk mengkaji permasalahan kebertahanan bahasa yang berkaitan dengan peunajoh

Aceh baik sebagai entitas makanan maupun entitas budaya. Hal ini karena menganggap ekologi alam mempengaruhi ekologi bahasa, artinya jika pada suatu lingkungan, ekologinya rusak atau punah maka ekologi bahasa pada lingkungan

Universitas Sumatera Utara

51

tersebut juga akan mengalami kerusakan. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa guyub tutur bahasa Aceh yang berhubungan dengan peunajoh Aceh mulai memudar akibat kerusakan ekologi, dan ditambah lagi banyaknya makanan instan dan makanan luar daerah yang lebih dikenal sebagai makanan moderen telah menjadi konsumsi harian generasi muda, bahkan sebagian orang tua.

2.3.2 Relasi Makna

Dalam bahasa yang diungkapkan oleh seseorang akan terkandung makna- makna tertentu yang ditangkap oleh lawan tuturnya sesuai dengan konteks sosial dan budayanya. Kridalaksana (2001: 132) mengartikan makna sebagai maksud pembicara; pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia; hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antar bahasa dan alam di luar bahasa; dan cara menggunakan lambang-lambang bahasa.

Pembahasan makna dalam kata merupakan kajian semantik leksikal. Makna kata itu dianggap sebagai satuan mandiri, bukan makna kata dalam kalimat

(Pateda, 2001:74). Menurut semantik leksikal, makna satu kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh- sungguh nyata dalam kehidupan. Kata merupakan tumpuan dalam pembahasan semantik leksikal.

Semantik leksikal menyangkut makna antarleksikon yang terhubung

(relasi leksikal) dalam leksikon tertentu seperti istilah dalam bidang pertanian, ekonomi, kesehatan, pendidikan, kesenian sampai kegiatan memasak, saling berhubungan seperti jaringan (Saeed, 1997:63).

Ada beberapa tipe relasi leksikal. Sebuah leksem khusus kemungkinan

Universitas Sumatera Utara

52

akan memiliki sejumlah relasi leksikal sehingga lebih tepat disebut sebagai leksikon sebagai network, bukan daftar kata-kata seperti dalam kamus. Adapun tipe-tipe relasi leksikal diantaranya yaitu homonim, polisemi, sinonim, antonim, hiponim, meronim, dan koleksi keanggotaan. Berdasarkan tipe-tipe relasi leksikal tersebut, hiponimi, meronimi, dan sinonimi dipilih sebagai kajian taksonomi dalam pembahasan ini.

2.3.2.1 Hiponimi

Hiponimi adalah relasi penyertaan leksikon-leksikon khusus (daughter- nodes) yang memiliki satu leksikon sebagai titik sumber umum (mother-nodes).

Dengan kata lain hiponimi merupakan hubungan antar satuan semantik dan jika kelompok hiponim sudah sejajar, baru dapat ditentukan superordinat. (Cruse,

1987:136). Hiponimi digambarkan dengan taksonomi, yaitu hierarki leksikal taksonomik yang berdasarkan hubungan rasa dan akal pada makna item leksikal

(Cruse, 1987:136). Relasi leksikal yang berkaitan dengan ketermasukan pada satu kelas dan kelas lainnya yang ditunjukkan oleh relasi antar kosa kata didalam bahasa Kosakata yang terhubung dalam sistem penyertaan tersebut akan menghasilkan jaringan semantik yang berbentuk hierarki taksonomi sebagaimana dijelaskan dalam gambar berikut

Universitas Sumatera Utara

53

Animal

Sheep horse

Ewe rum mare stallion

(Cruse, 1986:136)

Taksonomi di atas menjelaskan bahwa sheep ‘domba’ dan horse ‘kuda’ merupakan hiponim dari animal ‘hewan’, sedangkan ewe ‘domba betina’ dan rum

‘domba jantan’ merupakan hiponim dari sheep ‘domba’, dan mare ‘kuda betina’ dan stallion ‘kuda jantan’ merupakan hiponim dari horse ‘kuda’. Taksonomi terdiri atas hiponimi dan persaudaraan taksonomi ‘taxonomic sisterhood’ atau disebut juga ko-taksonomi ‘co-taxonomy (Cruse, 1987:137). Berdasarkan gambar di atas, hiponimi adalah hubungan vertikal dalam taksonomi, sementara saudari taksonomik ‘taxonomic sisters’ ditunjukkan dalam hubungan horizontal, contohnya hubungan ewe dan rum adalah ko-taksonomi, begitu juga mare dan stallion.

2.3.2.2 Meronimi

Berbeda dengan hiponimi, meronimi adalah tipe percabangan hierarki leksikal karena adanya hubungan antar item leksikal yang mengartikan bagian dan yang mengartikan keseluruhan yang sesuai (Cruse, 1987:157). Ada kerangka khusus untuk mengidentifikasikan hubungan dalam meronimi seperti X adalah bagian dari Y, atau Y memiliki X, seperti contoh CPU bagian dari computer atau

Universitas Sumatera Utara

54

sebuah computer memiliki CPU. Meronimi juga direfleksikan dalam klasifikasi hierarki sebagaimana tergambar dalam bagan berikut:

Body

head Neck Trunk Arm Leg

forearm hand

Palm finger

(Cruse, 1986:157)

Meronimi merupakan relasi makna yang hampir sama dengan hiponimi dari segi maknanya bersifat hierarki, namun yang membedakan tidak menyiratkan pelibatan searah, tetapi menjelaskan relasi makna bagian dengan keseluruhan. Hal ini sebagaimana terlihat dalam contoh yang dikemukakan oleh Cruse. Head

‘kepala’, neck ‘leher’, arm ‘lengan’, dan leg ‘kaki’ adalah bagian-bagian dari body

‘tubuh’.

2.3.2.3 Sinonimi

Sinonimi merupakan suatu istilah untuk menyebutkan dua kata atau lebih yang memiliki arti atau makna yang sama. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh (Edi Subroto, 1991:1) Sinonim adalah dua kata atau lebih yang mengandung makna leksikal yang lebih kurang sama (Edi Subroto, 1991:1), sementara Kridalaksana (1993:198) mendefinisikan sinonim dengan bentuk

Universitas Sumatera Utara

55

bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk bahasa lain; kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata atau kalimat, meskipun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja.

2.3.3 Kerangka Konseptual Berdasarkan uraian konsep dan landasan teori yang dikemukan sebelumnya, kerangka penelitian dapat dijelaskan dalam gambar sebagaimana berikut.

Peunajoh Aceh & Ekologi

Leksikon Makanan Tradisional Aceh (Peunajoh Aceh)

Taksonomi Persepsi peunajoh Aceh: Kebertahanan Ekoleksikon pada Ideologis, Sosiologis & Bahasa Peunajoh Peunajoh Aceh Biologis Aceh

ACEH

Ekolinguistik (Haugen, Fill, Bang & door, Linda & Bundegaard:2001)

Taksonomi relasi makna (Cruse:1987) Kebertahanan (Fishman)

Temuan

Gambar 2.5: Bagan Kerangka Penelitian Ekoleksikon peunajoh Aceh

Universitas Sumatera Utara

56

Gambar bagan 2,1 kerangka konseptual ini dapat dinyatakan bahwa dalam penelitian tentang “Taksonomi Ekoleksikon Peunajoh Aceh” menggunakan teori dimensi ekolinguistik (Haugen), model linguistik dialektikal ( Bang door ) dan

Semantik Leksikal (Cruse) untuk menjelaskan dan menjawab tiga permasalahan yang merupakan masalah dalam penelitian. Untuk menemukan jawaban dan menjelaskan permasalahan penelitian, peneliti menggunakan metode elisitas langsung (bebas, libat, cakap) serta pertanyaan-pertanyaan berupa angket untuk menemukan data dan temuan baru dalam penelitian Ekolinguistik.

Teori semantik leksikal digunakan untuk menemukan jawaban terhadap permasalahan taksonomi leksikon dengan menerapkan tiga parameter ekolinguistik yang dikemukakan oleh Fiil dan Muhlhausler yakni: adanya ketersalinghubungan ( interrelationships ), adanya lingkungan (environment), dan adanya keberagaman (diversity). Selanjutnya untuk menjawab permasalahan mengenai persepsi masyarakat juga menggunakan teori model linguistik dialektikal dengan menerapkan praksis sosial (interelasi tiga dimensi) yakni: dimensi ideologis, sosiologis dan biologis. Sementara untuk menemukan jawaban terhadap permasalahan kebertahanan bahasa dan budaya peunajoh Aceh juga menggunakan teori yang sama. Berdasarkan teori dan kerangka konseptual dapat diasumsikan jawaban terhadap permasalahan penelitiannya yang diajukan sebelumnya sebagai berikut:

Taksonomi ekoleksikon pada peunajoh Aceh meliputi; (a) taksonomi hiponimi, meronimi dan sinonimi. (b) bahan dasar (semua bahan dasar peunajoh

Universitas Sumatera Utara

57

Aceh bersumber dari alam, seperti, beras, tepung, gula, kelapa, pisang, telur dan lain-lain.

Dalam guyub tutur Aceh hubungan bahasa dan budaya peunajoh Aceh sangat erat, bahasa sebagai sarana dalam setiap unsur kebudayaan yang berhubungan dengan peunajoh Aceh. Dalam kehidupan masyarakat Aceh hubungan bahasa dan budaya tentang peunajoh Aceh merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pemahaman peunajoh Aceh sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat Aceh menjelaskan adanya rasa saling ketergantungan dan saling membutuhkan, sebagian besar aktivitas masyarakatnya membutuhkan dan melibatkan makanan tradisional didalamnya, baik dalam kegiatan sehari-hari, adat istiadat maupun kegiatan kebudayaan.

Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pandangan fenomenologis yang menonjolkan penggunaan bahasa. Schutz (1970) menyatakan tugas utama bahasa adalah memuat informasi, atau menjelaskan realita. Dengan demikian, penelitian ini didasarkan pada pendekatan kualitatif, yaitu suatu cara penelitian yang dilakukan peneliti di lapangan untuk mendapatkan data yang akurat yang terdiri atas pernyataan deskriptif. Disamping itu penelitian ini juga menggunakan pendekatan kuantitatif yang dimanfaatkan untuk menganalisis data yang berkaitan dengan persepsi dan tingkat konsumsi masyarakat terhadap peunajoh Aceh, yang selanjutnya data tersebut digunakan untuk melihat daya hidup bahasa dan budaya peunajoh Aceh.

Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Dalam konteks ini ada asumsi bahwa

58

Universitas Sumatera Utara

59

manusia aktif memahami dunia sekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut. Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan. Demografi merupakan satu kajian yang mengamati dinamika kependudukan berdasarkan criteria tertentu seperti etnis, pendidikan, dan usia.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2003:3) mendefinisikan desain kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari penutur, serta perilaku-perilaku mereka yang dapat diamati. Penelitian ini tidak hanya mengkaji dari segi kebahasaan saja tentang peunajoh Aceh tetapi juga dari segi sosial budayanya. Oleh karena itu dalam penelitian ini diterapkan pendekatan penelitian kualitatif dengan menggunakan kata-kata atau kalimat dalam suatu struktur yang logik untuk menjelaskan konsep-konsep dalam hubungan satu sama lain. Laporan hasil penelitian kualitatif bersifat deskriptif (Moleong, 2001). Sementara hasil penelitian kuantitatif ditampilkan bersifat persentase.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa penelitan ini bersifat gabungan antara deskriptif kualitatif dan kuantitatif, yang dimaksudkan untuk memberi gambaran yang jelas mengenai leksikal-leksikal peunajoh Aceh baik dikaji dari unsur linguistik maupun dari unsur budayanya.

Universitas Sumatera Utara

60

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Lhokseumawe yang merupakan salah satu wilayah kota yang ada di Aceh. Secara etimologi Lhokseumawe berasal dari kata Lhok dan Seumawe. Dalam Bahasa Aceh, Lhok dapat berarti dalam, teluk, palung laut, dan Seumawe artinya air yang berputar-putar atau pusat mata air pada laut sepanjang lepas pantai Banda Sakti dan sekitarnya. Lokasi penelitian ini dipilih atas beberapa landasan pemikiran. Pertama, faktor sejarah, Lhokseumawe merupakan salah satu wilayah yang tidak lepas dari kemunculan kerajaan

Samudera Pasai sekitar abad ke 13, kemudian kawasan ini pernah menjadi bagian dari kedaulatan kesultanan Aceh sejak tahun 1524, masa kolonial dan perang kemerdekaan (baca aceh.tribunnews.com). Sebelum abad ke-20, negeri ini telah diperintah oleh Uleebalang Kutablang. Tahun 1903 setelah perlawanan pejuang

Aceh terhadap penjajah Belanda melemah, Aceh mulai dikuasa. Lhokseumawe menjadi daerah taklukan dan mulai saat itu status Lhokseumawe menjadi Bestuur

Van Lhokseumawe dengan Zelf Bestuurder adalah Teuku Abdul Lhokseumawe tunduk di bawah Aspiran Controeleur dan di Lhokseumawe berkedudukan juga

Wedana serta Asisten Residen atau Bupat.

Kedua adalah faktor dialek. Dialek Aceh Utara dianggap sebagai bahasa

Aceh yang standar karena keseragaman dan penuturnya yang banyak serta dialek tersebut dianggap berprestise dan penting. Durie.M (1985:4). Kota Lhokseumawe merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara tanggal 21 Juni 2001 yang ditandatangani Presiden RI . Sebelum terjadi pemekaran

Lhokseumawe merupakan pusat ibu kota Aceh Utara yang terletak dipesisir timur

Universitas Sumatera Utara

61

pulau sumatera dengan posisi dipertengahan antara kota Banda Aceh dan kota

Medan.

Kota Lhokseumawe memiliki luas wilayah 181,10 km yang secara administratif terbagi kedalam empat kecamatan dan 68 gampong (desa).

Kecamatan-kecamatan tersebut yaitu:

1. Kecamatan Muara Satu

2. Kecamatan Muara Dua

3. Kecamatan Banda Sakti

4. Kecamatan Blang Mangat

Gambar ..Peta Kota Lhokseumawe

Masyarakat Lhokseumawe memiliki keanekaragaman baik dalam bidang pendidikan, strata sosial, pekerjaan, lingkungan tempat tinggal. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa masyarakat Lhokseumawe terdiri dari latar belakang

Universitas Sumatera Utara

62

pendidikan yang berbeda-beda, dari lulusan SD sampai lulusan program studi doktor, pekerjaan yang beraneka ragam, ada buruh, pegawai negeri, pegawai swasta, petani, nelayan, pedagang dan lainnya. Lingkungan tempat tinggal yang beragam, ada di perkotaan, pedesaan, dan antara keduanya.

Dari empat kecamatan peneliti memilih sebanyak 100 subjek sebagai sampel informan yang berasal dari beberapa desa yang mewakili keempat kecamatan tersebut dengan menggunakan teknik purposive sampling.

3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer. Data primer berupa tuturan, peristiwa dan aktivitas masyarakat serta jawaban quesioner yang diperoleh melalui wawancara, pengamatan langsung, dan quesioner, yang berkaitan dengan guyub tutur Aceh. Sedangkan jenis data sekunder berupa informasi media, dokumen sejarah, buku, dan hasil penelitian.

Menurut Mallinson dan Blake (1981:12-18), ada tiga sumber data yang dimanfaatkan untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam penelitian ekolinguistik, sumber data itu adalah (1) buku-buku yang terkait; (2) data dari contoh yang digunakan oleh penulis lain dan diakui kebenarannya; (3) informan, narasumber yang berasal dari penutur asli. Sumber (1) dan (2) merupakan data sekunder, sedangkan sumber (3) merupakan data yang menghasilkn data lisan sebagai data kualitatif dan data jawaban angket sebagai data kuantitatif. Dalam penelitian’ ini data lisan merupakan data primer terdiri dari dua jenis yaitu data lisan dari hasil wawancara dan data lisan dari jawaban angket. Gambaran tentang penjaringan data tersebut dijelaskan secara ringkas berikut ini.

Universitas Sumatera Utara

63

Data lisan berasal dari dua belas narasumber (masing-masing terdiri dari empat orang diambil dari golongan lanjut usia, dua orang dari golongan usia tua, dua orang dari golongan usia dewasa, dua orang dari golongan usia remaja, dan dua orang dari golongan usia anak). Data yang dikumpulkan tergolong valid dan reliabel karena pemilihan informan ditetapkan berdasarkan kriteria umum tertentu diantaranya: (1) bersedia menjadi narasumber dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan untuk kelengkapan data penelitian, (2) menguasai bahasa dengan baik, (3) tergolong penutur asli Aceh, (4) berdomisili di kawasan Kota

Lhokseumawe, (5) berumur 10-75 tahun.

Data lisan diperoleh dari jawaban angket yang disebarkan kepada 100 orang informan yang ditentukan dengan menggunakan sampel bertujuan

(purposive sampling) dengan menanyakan pertanyaan secara langsung kepada setiap informan dan setiap jawaban responden di beri tanda (x) untuk alternative jawaban negative dan tanda (√) untuk alternative jawaban positif. Data yang dikumpulkan tergolong valid dan reliabel.

Sebagaimana paradigma penelitian kualitatif pada umumnya, instrument kunci dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (lihat Moleong, 2000:19).

Maksudnya, orang (peneliti) sebagai intrumen memiliki senjata “dapat memutuskan” yang secara luwes dapat digunakannya. Peneliti senantiasa dapat menilai keadaan dan dapat membuat putusan.

Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen kunci, dan penutur bahasa Aceh di Kota Lhokseumawe merupakan sumber data utama yang diperlukan untuk mendapatkan data primer. Narasumber utama dimaksud terdiri

Universitas Sumatera Utara

64

atas orang tua yang memiliki pengetahuan baik tentang peunajoh Aceh, sementara untuk menjelaskan persepsi diperlukan sejumlah informan dijadikan sebagai sampel penelitian terdiri dari orang tua( 60-70 tahun), orang yang sudah lanjut usia (lansia 71 tahun ke atas), dewasa (22-60 tahun) , remaja (14-21 tahun), dan anak-anak (6-14 tahun). Adapun rentang usia yang digunakan dalam penelitian ini sesuai pendapat Hurlock.

Di samping narasumber, sumber pustaka atau dokumen pun diperlukan untuk mendukung kelengkapan data penelitian ini. Sumber ini terdiri atas hasil penelitian/kajian mengenai bahasa dan budaya Aceh dan dokumen catatan sejarah peunajoh Aceh.

3.4 Instrumen Penelitian Ada kaitan yang erat antara intrumen penelitian yang digunakan dengan jenis data yang dibutuhkan. Ketepatan dalam penggunaan intrumen dapat menghasilkan data yang valid, reliabel dan berkualitas. Instrumen kunci dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai observer.

Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai observer, angket, camera, video, dan tape recorder. Adapun instrumen tambahan yang diperlukan dalam penelitian ini juga disiapkan demi menunjang kesempurnaan pencarian data di lapangan, yaitu pedoman wawancara.

Pengumpulan data dengan metode cakap berupa percakapan antara peneliti dengan informan. Adanya percakapan antara informan dengan peneliti menandakan adanya kontak yang direncanakan, dan peneliti secara sengaja melibatkan narasumber. Dalam hal ini pedoman wawancara atau daftar

Universitas Sumatera Utara

65

pertanyaan pun telah disiapkan oleh peneliti. Sedangkan pada teknik Simak Bebas

Libat Cakap (SBLC), keterlibatan narasumber bersifat alamiah dan daftar pertanyaan tidak dipersiapkan sebelumnya. Dalam SBLC, peneliti tidak mengajukan pertanyaan, hanya mencatat hal-hal yang dipandang penting (sebagai data). Mashun (2007:95) mengungkapkan bahwa teknik dasar dari metode ini adalah teknik pancing.

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini terdiri dari metode simak atau penyimakan, yaitu menyimak tuturan yang digunakan oleh masyarakat Aceh berkenaan dengan peunajoh Aceh baik secara lisan maupun tulisan. Metode simak dapat disejajarkan dengan metode pengamatan atau observasi dalam ilmu sosial, khususnya antropologi. Metode pengamatan yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pengamatan terlibat atau observasi partisipasi. Garna (1999:67) berpendapat bahwa observasi partisipasi diterapkan dengan cara peneliti mengamati aktivitas sosial yang peneliti sendiri menjadi anggotanya, atau menganggap diri sebagai bagian masyarakat itu sehingga merasakan segala sesuatu sebagaimana yang dirasakan oleh warga kelompok tersebut.

Data lisan dikumpulkan dengan metode simak yang dibantu dengan teknik simak libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat. Teknik simak libat cakap dilakukan dengan menyimak sekaligus berpartisipasi dalam pembicaraan. Peneliti terlibat langsung dalam dialog baik secara aktif maupun reseptif. Aktif, artinya peneliti ikut berbicara dalam dialog sedangkan reseptif artinya hanya

Universitas Sumatera Utara

66

mendengarkan pembicaraan informan. Peneliti berdialog sambil menyimak pemakaian bahasa informan untuk mendapatkan ungkapan peunajoh Aceh. Saat penerapan teknik simak libat cakap juga disertai teknik rekam, yaitu merekam dialog atau pembicaraan informan. Rekaman ini selanjutnya ditranskripkan dengan menggunakan teknik catat (Sudaryanto, 1993 : 133). Rekaman dalam penelitian ini menggunakan kamera video.

Di samping itu, juga digunakan metode cakap, yaitu metode penyediaan data dengan melakukan percakapan antara peneliti dan informan. Metode ini dapat disejajarkan dengan metode wawancara dalam ilmu sosial, khususnya antropologi

(Sudaryanto, 1993 :133-138 ; Mahsun 2005: 92). Metode cakap ini dibantu dengan teknik dasar teknik pancing, sedangkan teknik lanjutan adalah teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat. Teknik pancing dilakukan dengan pemancingan, artinya peneliti mengajukan berbagai macam pertanyaan agar informan mau menjelaskan pengetahuan, dan persepsinya berkenaan dengan peunajoh Aceh. Teknik pancing dilakukan secara langsung berupa tatap muka atau bersemuka. Pada saat teknik pancing dan teknik cakap semuka diterapkan, sekaligus dioperasikan teknik rekam. Artinya, peneliti merekam pembicaraan dalam teknik pancing dan teknik tatap semuka. Hasil rekaman tersebut kemudian ditindaklanjuti melalui teknik catat (Sudaryanto: 1993: 137-139).

Selanjutnya metode catat, dalam penelitian ini metode catat dilakukan dengan cara menyediakan lembar observasi dan mencatat keterangan data yang diperoleh dari informan. Dengan menggunakan metode ini, peneliti akan

Universitas Sumatera Utara

67

mengetahui bahwa catatan lapangan itu merupakan inti dari observasi pelibatan dan tambahan penting bagi metode-metode pengumpulan data lainnya.

Disamping itu metode dokumentasi, juga diperlukan dalam penelitian ini.

Peneliti akan mengumpulkan dokumen-dokumen yang berhubung-kait dengan persoalan penyelidikan untuk dipelajari. Dokumen yang dimaksud adalah seperti buku, jurnal, majalah, bulletin, surat kabar dan gambar-gambar yang berkaitan dengan peunajoh Aceh

Adapun melalui metode angket (kuesioner), peneliti memberikan sejumlah pertanyaan tertulis secara langsung kepada informan untuk dijawab. Kuesioner yang digunakan bersifat tertutup yakni kuesioner yang sudah disediakan jawabannya, sehingga informan tinggal memilih dan menjawab secara langsung.

Kuesioner ini dimaksudkan untuk mengetahui persepsi masyarakat Aceh mengenai leksikon peunajoh Aceh dan untuk mengukur kebertahana bahasa dan budaya peunajoh Aceh.

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode padan.

Metode padan adalah metode analisis bahasa yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan

(Sudaryanto, 2015: 15). Alat penentu yang dimaksud adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referen bahasa yang berasal dari luar bahasa yang digunakan dapat berupa hubungan sosial, budaya, kontek terjadinya peristiwa dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

68

Selanjutnya data yang terjaring berupa tuturan masyarakat ( data primer ) dianalisis dengan menggunakan metode padan referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa. Metode padan digunakan dalam menentukan ungkapan jenis, bahan, bentuk, fungsi dan makna peunajoh Aceh. Untuk membantu metode tersebut teknik dasar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik pilah unsur penentu (PUP) dengan cara memilah-milah satuan kebahasaan yang dianalisis dengan alat penentu yang berupa daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti (Kesuma,

2007: 51). Daya pilah yang digunakan adalah daya pilah referensial dengan menggunakan referen atau sosok yang diacu oleh satuan kebahasaan sebagai alat penentu.

Langkah berikutnya dalam proses penganalisisan data dilakukan dengan mendeskripsikan semua unsur- unsur penentu yang telah dibuat, baik berdasarkan bagan maupun berdasarkan tabel taksonominya.

1. Langkah awal yang dilakukan, sebelum dianalisis, data peunajoh Aceh

diidentifikasikan dan dikelompokkan berdasarkan data yang dibutuhkan.

Pertama-tama, butir-butir leksikon yang memiliki kesamaan nama,bentuk,

dan makna dikumpulkan dan dikelompokkan menjadi satu. Dalam hal ini

metode padan referensial dengan teknik Pilah Unsur Penentu digunakan

untuk mengorganisasikan leksikon ke dalam kelas dan sub-kelas

leksikonnya.

Universitas Sumatera Utara

69

2. Membuat klasifikasi leksikon peunajoh Aceh berdasarkan komponen

bahan-bahan peunajoh Aceh yang diklasifikasikan atas taksonomi

leksikon peunajoh Aceh berdasarkan nama, bentuk dan bahan.

3. Mendeskripsikan taksonomi ekoleksikon peunajoh Aceh berdasarkan

klasifikasi leksikon peunajoh Aceh tersebut.

Taksonomi yang digunakan dalam mempermudah penelitian dalam menganalisis data, maka taksonomi ekoleksikon peunajoh Aceh berdasarkan hierarki yang berasal dari komponen relasi makna. Sehingga dapat menentukan taksonomi hiponimi, meronimi dan sinonimi.

Untuk menjawab permasalahan yang kedua berhubungan dengan persepsi masyarakat Aceh terhadap peunajoh Aceh akan digunakan beberapa teori sebagai pisau analisisnya, terutama teori yang dipelopori oleh Bang & Door yang melihat interelasi tiga dimensi (dimensi ideologis, sosiologis dan biologis). Melalui dimensi ideologis penelitian ini dapat melihat dan mendeskripsikan mentalitas dan kognisi masyarakat Aceh yang berkaitan dengan ekoleksikal peunajoh Aceh.

Melalui aspek ideologis kebertahanan Bahasa Aceh juga dapat diukur. Hal ini sebaagaimana dinyatakan oleh Fishman (1972: 97) bahwa pemertahanan bahasa bergantung pada ideologi yang dimiliki masyarakat penuturnya, karena ideologi dapat mempertahankan konteks sosial mereka untuk melawan perubahan yang datang.

Selanjutnya melalui dimensi sosiologis, kajian ini dapat menjelaskan pemahaman masyarakat Aceh tentang penggunaan bahasa (ekoleksikon pada peunajoh Aceh) dalam beriteraksi. Dalam hal ini persepsi sosiologis yang akan

Universitas Sumatera Utara

70

dijelaskan berkaitan dengan pernah mendengar leksikon-leksikon yang berhubungan dengan peunajoh Aceh dibicarakan dalam masyarakat khususnya masyarakat Lhokseumwe. Misalnya “keukarah” yang merupakan salah satu jenis peunajoh Aceh akan dilihat bagaimana pemahaman masyarakat Aceh tentang keukarah pada aspek sosiologis. Sementara dimensi biologis digunakan untuk melihat pemahaman masyarakat mengenai kolektivitas ekologis sebagai ekosistem. Dalam hal ini hanya difokuskan pada pemahaman mereka mengenai sumber-sumber ekologi yang mejadi bahan baku peunajoh Aceh.

Selanjutnya data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode padan. Teknik dasar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik pilah unsur penentu (PUP) dengan cara memilah-milah satuan kebahasaan dengan menggunakan daya pilah tertentu. Daya pilah yang digunakan adalah daya pilah referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa dan daya pilah pragmatis yang alat penentunya adalah mitra wicara.

Selanjutnya, teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik hubung banding menyamakan hal pokok (HBSP) yang alat penentuya berupa daya banding menyamakan di antara unsur-unsur persepsi yang telah ditentukan.

Teknik HBSP yang dimaksud adalah menyamakan persepsi antar mitra wicara.

Dalam penelitian ini, unsur yang digunakan untuk menganalisis persepsi melalui tiga dimensi, yaitu dimensi ideologis, sosiologis, dan biologis. Berikut ini adalah contoh penjelasan tiga dimensi praksis sosial leksikon peunajoh Aceh:

Universitas Sumatera Utara

71

Tabel 3.2: Tiga Dimensi Praksis Sosial Leksikon peunajoh Aceh

Leksikon PRAKSIS SOSIAL NO peunajoh Ideologis Sosiologis Biologis Aceh 1 Timphan Kenal, pernah Disediakan untuk Terdiri dari makan, enak jajanan, kue tepung ketan, sekali, dan dapat lebaran, upacara- sagu, kelapa, dibanggakan upacara adat seperti pisang, gula perkawinan, tebu, dan labu. seneujoh, dan lain- lain.

Permasalahan ketiga adalah kebertahanan bahasa dan budaya peunajoh

Aceh. kebertahanan tersebut dapat dilihat melalui persepsi masyarakat terhadap peunajoh Aceh, sehingga acuan penganalisisan datanya juga digunakan skala

UNESCO.

Seterusnya teori Haugen & Fill juga digunakan sebagai acuan untuk mengkaji permasalahan kebertahanan bahasa yang berkaitan dengan peunajoh

Aceh baik sebagai entitas makanan maupun entitas budaya. Hal ini karena menganggap ekologi alam mempengaruhi ekologi bahasa, artinya jika pada suatu lingkungan, ekologinya rusak atau punah maka ekologi bahasa pada lingkungan tersebut juga akan mengalami kerusakan.

Lebih lanjut secara metodologis untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan kebertahanan bahasa dan budaya peunajoh Aceh akan digunakan kuesioner untuk pengumpulan data mengenai persepsi dan tingkat konsumsi masyarakat terhadap peunajoh Aceh, yang kemudian dianalisis dengan metode statistik deskriptif. Metode ini digunakan untuk menganalisis data dengan cara

Universitas Sumatera Utara

72

mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiyono, 2008:147). Analisis statistik deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah persentase, dengan langkah-langkah sebagai berikut:

- Membuat tabel distribusi jawaban angket. - Menentukan skor jawaban responden dengan ketentuan yang telah ditetapkan. - Menjumlahkan skor jawaban yang diperoleh dari tiap-tiap responden. - Memasukkan skor tersebut ke dalam rumus.

n DP  x100% N

Keterangan:

DP = Deskripsi persentase n = Jumlah hasil yang diperoleh N = Jumlah skor yang diharapkan

Berdasarkan teori dan metode tersebut di atas, alur kerangka kerja penelitian ini dapat digambarkan pada diagram berkut ini.

Universitas Sumatera Utara

73

TAKSONOMI EKOLEKSIKON PEUNAJOH ACEH

Teori Masalah Metode

Teknik Metode Pengumlan Data Pengumpuan Metode & Teknik Analisis Data Data

Taksonomi  Simak Libat Cakap, Rekam Ekolinguistik (Haugeun)  Simak (Observasi) dan Catat Ekoleksikal  Padan Referensial; Teknik PUP.  Cakap (Wawancara)  Pancing, Cakap semuka, dan  Dokumentasi  Agih; Teknik Dasar (BUL) Catat  Kumpul dan Studi Dokumen

Padan (referensial & pragmatis); Ekolinguistik (Bang dan Persepsi  Cakap  Cakap Semuka, Rekam dan Catat teknik dasar PUP & teknik lanjutan Door) Masyarakat  Angket  Sebar & kumpul quesioner HBSP

Kebertahanan  Catat Bahasa Peunajoh  Simak  Ekolinguistik (Haugen  Cakap semuka, Rekam dan Padan; teknik dasar PUP Aceh  Cakap & Fill) Catat (Linda dan  Angket  Sebar & kumpul kuisioner Bundegaard )

TEMUAN

Persepsi: Taksonomi dan frekuensi Kebertahanan Bahasa Peunajoh Mental & Kognitif, Interaktif & ekolegsikon Peunajoh Aceh Aceh Ekologis

Gambar 3.2 : Bagan Kerangka Metode dan Teknik Analisis Data

Universitas Sumatera Utara

74

BAB IV

PAPARAN DATA PEUNAJOH ACEH

4.1 Identifikasi dan Klasifikasi data Peunajoh Aceh

Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam kuliner yang khas Aceh. Masakan tradisional Aceh telah berkembang sejak Zaman

Hindu yang dibawa oleh Bangsa Arab, India, Siam, Spanyol, Cina hingga Belanda.

Keanekaragaman makanan utama hingga ke makanan selingan yang dikonsumsi oleh masyarakat Aceh. Kekayaan alam daerah Aceh dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan jenis peunajoh Aceh. Kekayaan ekosistem dan lingkungan alam membantu masyarakat Aceh dapat mengolah pelbagai macam jenis peunajoh yang lezat. Pengolahan beragam bahan makanan menghasilkan bervariasi jenis makanan yang berbeda pula seperti: direbus, dimasak, dipanggang, dikukus, digoreng dan proses permentasi.

Peunajoh Aceh yang menjadi objek kajian dalam pembahasan ini adalah jenis makanan ringan atau cemilan yang kini semakin berkembang dan semakin menarik untuk diteliti keberadaannya. Kehadiran ragam makanan cepat saji dan makanan yang datang dari luar negeri mengakibatkan peunajoh Aceh mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Mereka mulai beralih pada makanan cepat saji dan makanan moderen tersebut. Berdasarkan data peunajoh Aceh yang bervariatif, orang selalu membayangkan makanan tradisional yang unik yang dimasak dengan pelbagai rempah-rempah yang beraroma tajam, dengan asumsi seperti masakan India dan

74

Universitas Sumatera Utara

75

Timur Tengah. Peunajoh Aceh yang dikumpulkan berdasarkan data peunajoh Aceh merupakan perpaduan pelbagai kebudayaan seperti Arab, India, Siam, Spanyol, Cina hingga Belanda. Namun dengan berkembangnya informasi resep kuliner dari pelbagai daerah tentunya mempengaruhi peunajoh Aceh atau beberapa peunajoh Aceh ada pada daerah-daerah lain.

Peunajoh Aceh sebagai makanan yang dikonsumsi masyarakat telah berkembang dari waktu ke waktu. Makanan yang memiliki citarasa khas Aceh berkembang sesuai dengan perkembangan kuliner di berbagai nusantara. Namun, peunajoh Aceh berkembang sebagai bentuk wujud kebudayaan masyarakat yang memiliki cita rasa yang khas Aceh. Peunajoh Aceh yang menjadi objek kajian adalah makanan ringan berbentuk kue-kue basah dan kue kering yang menjadi makanan yang dihidangkan pada waktu-waktu tertentu seperti: sarapan, cemilan, lebaran, upacara adat Aceh ataupun pada kegiatan tertentu lainnya.

Peunajoh Aceh yang dijadikan objek penelitian kue-kue yang berasal dari bahan baku makanan bersumber dari lingkungan alam di daerah Aceh. Bahan baku makanan khas Aceh dibuat dan diciptakan dan dikembangkan sendiri oleh masyarakat

Aceh atau makanan tersebut terdapat juga pada daerah-daerah lain. Bahan baku peunajoh Aceh berasal dari sumber daya alam yang ada dan dimiliki oleh daerah dimana ia diciptakan dan dikembangkan kecuali hanya sebagian kecil bahan lainnya yang harus menggunakan bahan olahan, seperti , vanili,dan pengembang.

Data peunajoh Aceh yang dijadikan sebagai objek penelitian ini seluruhnya berjumlah 60 jenis peunajoh Aceh dengan rincian sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara

76

Agar lebih jelas data peunajoh Aceh yang diperoleh dari lapangan yang menguraikan pelbagai bahan yang berasal dari lingkungan akan diuraikan masing- masing jenis peunajoh Aceh dan bahan baku sebagai unsur utama yang dibutuhkan untuk membuat peunajoh Aceh pada tabel berikut ini:

Tabel 4.1

Data Peunajoh Aceh dan Bahan yang Berasal dari Ekoleksikon

1. NYAB ‘KEMBANG GOYANG’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong bit Tepung beras 2. Sira Garam 3. Pati santan Santan kental 4. ie Air 5. Boh manok Telur ayam 6. Vanili Vanili 7. Saka Gula pasir 8. Minyeuk Minyak makan

2. KEUKARAH ‘KUE SARANG BURUNG’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong bit Tepung beras 2. Sira Garam 3. Saka Gula pasir 4. ie Air

Universitas Sumatera Utara

77

3. KUEH UKHEU U ‘KUE AKAR KELAPA’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong gandong Tepung terigu/gandum’ 2. Teupong leukat tepung ketan 3. Saka Gula pasir 4. Sira Garam 5. Pati santan Santan kental 6. ie Air

4. BOH USEN ‘KUE YANG BERBENTUK BUAH USEN’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong bit Tepung beras 2. Teupong leukat‘ Tepung ketan 3. Boh manok Telur ayam’ 4. Sira Garam 5. Jera maneh Jintan manis 6. Kacang tanoh Kacang tanah 7. Pati santan Santan kental yang Teutaguen sudah dimasak’ 8. Teupong saka Tepung gula ‘

5. BADA REUTEUK ‘GORENGAN DARI CAMPURAN KACANG DAN TEPUNG’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong bit Tepung beras 2. Kacang ijo Kacang hijau’ 3. Gula mirah Gula merah’ 4. Boh manok Telur ayam’ 5. 6. Sira Garam 7. ie Air’ 8. Minyeuk makan Minyak goreng

Universitas Sumatera Utara

78

6. KUEH ANEUK MAMPLAM ‘KUE BIJI MANGGA’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong gandong Tepung terigu’ 2. Teupong kanji Tepung tapioka 3. Mentega Margarin 4. Saka gula pasir’ 5. Sira Garam 6. ie Air

7. KUEH BUNGONG KAYEE ’ KUE BUNGA KAYU’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong luekat Tepung kentan 2. Boh manok Telur ayam 3. Sira Garam 4. Saka Gula pasir 5. Pati santan teutaguen Santan kental yang Sudah dimasak 6 Teupong saka Gula halus 7. ie Air

8. BHOI ‘BOLU ACEH’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong bit Tepung beras 2. Boh manok Telur ayam’ 3. Jeura maneh Jintan manis 4. Saka Gula 5. kulet kuyuen Kulit jeruk nipis

Universitas Sumatera Utara

79

9. BU GRIENG ‘KUE INTIP’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Breuh leukat ‘beras kentan’ 2 Sira garam 3. Saka gula pasir 4. Gula mirah gula merah

10. BU THUM ‘KEMBANG BERAS/ POP ’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Breuh bit Beras Nasi

2. Breuh leukat Beras kentan .

11. KUEH MALINDA ‘KUE KACANG’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong gandong Tepung terigu 2. Kacang tanoh Kacang tanah 3. Minyeuk malinda Miyak makan 4. Saka Gula pasir 5. ie Air

Universitas Sumatera Utara

80

12. KIPANG KACANG ‘KEPANG KACANG’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Kacang tanoh teulheu Kacang tanah gongseng 2. Gula mirah Gula merah 3. ie Air

13. KUEH SEUPET ‘KUE SEPIT’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong gandong Tepung terigu’ 2. Saka gula pasir’ 3. Santan likat ‘santan kental’ 4. Sira Garam 5. ie Air’ .

14. KUEH BANGKET ‘’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Tepung breuh bit tepung beras 2. Teupong kanji tepung tapioka 3. Boh manok telur ayam santan 4. santan saka 5. vanili gula pasir . vanili

Universitas Sumatera Utara

81

15. KUEH PRET MAMEH ‘KUE WIJEN’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Tepung leukat Tepung kentan 2. Teupong bit Tepung beras 3. Saka Gula pasir Santan 4. Santan Sira 5. Tepung tiga banding Garam . satu tiga leukat satu Air bit 6 Kelapa kelapa Minyeuk gureng 7 minyak goreng’

16. MARKEU ‘KUE MARKE’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong leukat Tepung kentan 2. U Kelapa 3. Boh manok telur ayam 4. ie Air 5. On sop daun seledri 6. Lada merica 7. Sira garam 8. Bawang mirah bawang merah 9. Jeura maneh jintan manis

17. TIMPHAN ‘TIMPAN/ LEPAT’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong leukat Tepung kentan 2. Pisang wak/monyet Pisang awak 3. pisang mantan Pisang ayam 4. sira Garam 5. santan Santan . ie Air Bahan Inti: Timphan u Timphan kelapa U pateun Kelapa Saka gula On seukee pulot daun pandan Sira garam

Universitas Sumatera Utara

82

7 Timphan aso kaya Timphan Santan serikaya Saka Santan Boh manok gula pasir On seuke Pulot telur ayam daun pandan

18. TIMPHAN SAGEE ‘TIMPAN SAGU’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong sagee Tepung sagu 2. Pisang wak Pisang awak 3. Ue Kelapa 4. Saka gula 5. Sira garam’ Pisang pisang

19. TIMPHAN UBI ‘TIMPAN UBI’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Boh ubi singkong 2. Ue Kelapa 3. Saka Gula pasir 4. Sira garam 5. Gula mirah gula merah

Universitas Sumatera Utara

83

20. TIMPHAN IEM ‘TIMPAN BERAS KETAN’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Breuh leukat beras kentan 2. Pisang wak pisang’ 3. Saka Gula pasir 4. Sira ‘ garam’ 5. U kelapa

21. TIMPHAN BALOEN ‘TIMPAN GULUNG’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong gandong tepung terigu/gandum’ 2. Ue kelapa 3. Saka Gula pasir 4. Sira garam 5. Boh manok telur ayam 6. ie air

22. DUGHOK ‘TIMPAN TEPUNG BERAS TANPA ISI’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong bit tepung beras 2. Pisang wak Pisang awak /Aceh 3. U Kelapa 4. Saka gula 5. Sira garam

Universitas Sumatera Utara

84

23. BADA PISANG ‘’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Pisang Pisang awak 2. Kulet lua adonan kulit luar 3. Teupong bit tepung beras 4. ie air 5. Sira Garam 6. Gapu bacut kapur sirih sedikit Minyeuk keu croh minyak untuk menggoreng

24. BADA SUKON ‘SUKUN GORENG’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Boh sukon buah sukun 2. Kulet lua adonan luar 3. Teupong bit Tepung beras 4. ie air 5. Sira Garam Gapu bacut kapur sirih sedikit Minyeuk minyak goreng

25. BADA UBI ‘UBI GORENG’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Boh Ubi singkong 2. Kulet lua ‘adonan luar’ adonan luar 3. Teupong bit Tepung beras 4. ie air 5. Sira Garam 6. Gapu bacut kapur sirih sedikit

Universitas Sumatera Utara

85

26. PISANG REUBOH ‘PISANG REBUS’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Pisang pisang 2. Sira garam 3. Saka gula pasir 4. ie air 5. U kelapa

27. UBI REUBOH ‘UBI REBUS’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Boh ubi singkong 2. Sira garam 3. Saka gula pasir 4. ie air 5. U kelapa

28. PISANG TEUMBANG ‘PISANG GETUK’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Pisang Pisang 2. Sira garam 3. Saka gula pasir 4. ie air 5. U kelapa

Universitas Sumatera Utara

86

29. UBI TEUMBANG ‘UBI GETUK’ No Bahan-bahan Makna Gambar 1. Boh ubi singkong 2. Sira garam 3. Saka gula pasir 4. ie air

30. BU LEUKAT KEURABE ‘NASI KETAN CAMPUR KELAPA’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Bu lukat si seun Nasi ketan sekali kukus 2. U kelapa 3. Sira garam 4. Saka gula pasir

31. BU LEUKAT SI SEUN ‘NASI KETAN SEKALI KUKUS’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Breueh leukat beras kentan 2. Sira garam 3. On seuke pulot daun pandan

Universitas Sumatera Utara

87

32. BU LEUKAT DUA SEUN ‘NASI KETAN DUA KALI KUKUS’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Breueh leukat beras kentan 2. Santan likat santan kental 3. Sira garam

33. BU LEUKAT KUAH TUHE ‘NASI KETAN PISANG’ No Bahan-bahan Arti Gambar Bu leukat 1. Breueh leukat Beras ketan 2. Sira garam 3. On seuke pulot daun pandan 2.Kuah Tuhe 4. Santan santan 5. ie air 6. Saka gula pasir 7. Boh panah masak nangka matang 8. Boh pisang panah pisang raja

34. BU TAI/ BU LEUKAT SILEE ‘NASI KETAN SRI KAYA’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Breueh leukat Beras ketan 2. Santan likat santan kental 3. Saka gula pasir Bahan Sile bahan srikaya 4. Santan likat santan kental’ 5. Boh manok telur ayam 6 Saka gula pasir 7. On seuke pulot daun pandan

Universitas Sumatera Utara

88

35. PULOT ‘PULUT’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Breueh leukat Beras ketan 2. Pati santan santan kental 3. Saka gula pasir 4. Sira ‘garam’

36. TAPE ‘’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Breueh leukat Beras ketan 2. Ragho ‘ragi’ ragi 3. Saka ‘gula’ gula pasir

37. BU UMPEP ‘KOLAK ’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Breuh leukat Beras ketan 2. Pisang klat barat pisang raja’ 3. Boh Panah buah nangka’ 4. Saka gula pasir 5. Santan ‘santan kelapa’

Universitas Sumatera Utara

89

38. LEUMANG ‘’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Breuh leukat beras ketan 2. Santan santan kelapa 3. Sira garam

39. IE BU ‘ BUBUR MANIS’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Breueh bit beras ketan 2. Santan santan 3. Saka gula 4. ie air 5. On seuke pulot ‘ daun pandan’

40. KUEH LAPEH ‘’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong gandong tepung terigu 2. Teupong leukat Beras ketan 3. Kanji/jali-jali tepung /tepung Teupong coklat jail-jali 4. Tepung coklat’ tepung coklat 5. Santan likat santan kental 6 Saka gula pasir 7. Sira garam

Universitas Sumatera Utara

90

41. KUEH GLEUNG ‘ KUE GELANG/DONAT’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong leukat Beras ketan 2. U kelapa 3. Saka gula pasir 4. Minyeuk makan minyak goreng 5. Sira garam

42. KUEH NAGASARI ‘KUE NAGASARI’ No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupongleukat tepung ketan 2. Teupong kanji tepung tapioka 3. Saka gula pasir 4. Santan likat santan kental 5. Sira ‘garam garam 6. On seuke pulot (peuwarna) daun pandan 7. Pisang klat barat ‘pisang raja untuk inti (aso dalam) dalam

43. KUEH RASHIDAH ‘KUE No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong gandong tepung terigu’ 2. Saka gula pasir 3. Mentega margarin’ 4. ie air 5. Minyeuk makan minyak goreng’ 6. Bawang mirah ‘bawang merah . teucroh goreng’

Universitas Sumatera Utara

91

44. EUNGKHUI No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong leukat tepung ketan 2. Teupong bit tepung beras 3. Pisang wak pisang monyet 4. Saka gula pasir 5. Sira garam 6. U pateun kelapa setengah tua

45. BOH RHOM-RHOM No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Tupong leukat tepung ketan 2. ie air 3. Ue kelapa 4. Gula mirah gula merah 5. Sira garam

46. LIMPENG No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Tupong bit tepung beras 2. Teupong leukat tepung ketan 3. Sira garam 4. Saka gula 5. Ue kelapa ie ‘ air’ air

Universitas Sumatera Utara

92

47. ADEE / BINGKANG TEUPONG No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong gandong tepung terigu’ 2. Santan likat santan kental 3. Saka gula pasir Mentega margarin’ 4. Boh itek/boh manok telur bebek/telur ayam’ 5. Bawang mirah teucroh bawang merah Sira goreng’epung 6 Vanili garam 7. On seuke pulot vanili 8. daun pandan

48. ADEE / BINGKANG UBI No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Boh ubi parot ubi parut’ 2. Santan likat santan kental 3. Boh manok telur ayam ayam’ 4. Saka ‘ gula pasir’ Mentega caye margarin cair 5. Sira ‘garam’ garam ie ‘air’ air 6 Bawang mirah teucroh bawang merah goreng tepung

49. CAGRUK No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Boh ubi singkong 2. Boh keupila buah ketela 3. Boh panah buah nangka 4. Boh jagong buah jagung 5. Kacang ijo kacang hijau 6. Breuh leukat beras kentan 7. Santan ‘ santan 8. Saka gula pasir’ 9. gula mirah gula merah 10. On seukee pulot daun pandan

.

Universitas Sumatera Utara

93

50. RUTI U No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong leukat tepung ketan 2. Teupong bit tepung beras’ 3. Sira garam 4. Saka gula pasir 5. U kelapa 6 Minyeuk makan minyak makan

51. RUTI CANE No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong gandong tepung terigu 2. Mentega ‘margarin margarin 3. Boh manok telur ayam 4. Saka gula pasir 5. Sira garam 6. ie air 7. Minyeuk makan minyak makan

52. RUTI No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong gandong tepung terigu 2. Sira garam 3. Boh manok telur ayam 4. ie ‘air’ air

Universitas Sumatera Utara

94

53. RUTI SEUOP No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Ruti pop - roti eskrim 2. Boh kurma kurma Bahan Sile bahan srikaya 3. Boh manok telur ayam 4. Pati santan saripati santan 5. Saka gula pasir 6. On seuke pulot daun pandan

54. APAM No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong leukat tepung kentan 2. U kelapa 3. Saka gula pasir 4. Minyeuk makan minyak makan 5. Sira garam

55. PUTU No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong bit‘ tepung beras 2. Sira garam 3. ie air’ Bahan kuah 4. Santan santan’ 5. Saka gula pasir 6. Boh panah ‘ nangka masak 7. Pisang klat barat pisang raja 8. On seuke pulot daun pandan 9. Sira garam

Universitas Sumatera Utara

95

56. PUTROE MANOE No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong leukat tepung kentan 2. Teupong kanji tepung tapioka 3. ie air

Bahan Kuah: 1. Santan santan 2. Saka ‘ gula’ gula pasir 3 Gula mirah gula merah 4. On seuke pulot daun pandan’

57. No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong gandong tepung terigu 2. Saka gula pasir 3. Mentega ‘margarin 4. Boh Manok telur ayam 5. Boh haneuh(jeut na, ‘nenas (boleh pakai jeut hana) boleh tidak) 6. ie air

58. DODOI No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Teupong Leukat tepung ketan’ 2. Saka gula pasir 3. Santan santan’ 4. Sira garam 5. ie ‘air

Universitas Sumatera Utara

96

59. BU BAJEK No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Breuh leukat beras ketan’ 2. Saka gula pasir 3. Santan likat santan kental 4. On seuke pulot ‘ daun pandan

60. EUMPING BREUH/ HALUWA No Bahan-bahan Arti Gambar 1. Breuh leukat teulheu beras ketan gongseng 2. Saka gula pasir 3. Meulisan ‘ gula aren cair’ 4. U kelapa 5. ie air 6. Sira garam

4.2 Organisasi Data Ekoleksikon Peunajoh Aceh

Berdasarkan identifikasi, data ekoleksikon peunajoh Aceh dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk, namun dalam pembahasan ini pengorganisasian dibatasi pada klasifikasi taksonomi berdasarkan bahan dasar yang digunakan. Dalam pengorganisasian data, metode padan melalui teknik dasar pilah unsure penentu digunakan untuk menidentifikasi butir-butir leksikal yang secara intuitif tergolong dalam taksonomi hiponimi, meronimi dan sinonimi. Paparan datanya sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:

Universitas Sumatera Utara

97

1. Taksonomi hiponimi

Tabel 4.2 Organisasi data hiponimi

No Kelas Sub- kelas Sub-sub kelas Sub-sub-sub kelas

1. Timphan - Timphan breuh - Timphan breuhleukat - Timphan iem

- Timphan teupong -Timphan teupong gandong -Timphan baloen

- Timphan pisang -Timphan teupong leukat - Timphan panah

-Timphan labu

-Timphan dr ien

- Timphan teupong sage -Timphan sage -Timphan ubi

2. Bu - Bu leukat - Bu leukat si seun - Bu leukat dua seun - Bu leukat keurabe - Bu leukat kuah tuhe

- Bu umpep - Bu tai - Bu thum - Bu grieng - Bu bajek - ie bu.

3. Bada - Bada pisang - Bada ubi - Bada sukon - Bada reuteuk

Universitas Sumatera Utara

98

4. Pisang - Pisang reuboh - Pisang teumbang - Pisang salee

5. Ubi - Ubi reuboh - Ubi teumbang

6. Ruti - Ruti u - Ruti cane - Ruti jala - Ruti seuop

7. ie sirap - Dughok - Eungkhui - Limpeng - Pulot - Leumang - Cagruk - Putroe manoe - Putu - Apam - Tape

8. Boh - Boh usen - Boh rhom-rhom

9. Adee - Adee teupong - Adee ubi

10. Peunajoh - Dodoi - Meuseukat raya - Eumping breuh

11. Bhoi - Bhoi eungkot - Bhoi bungong - Bhoi on kaye

Universitas Sumatera Utara

99

12. Nyab - Nyab leumak - Nyab mameh

13. Lingkungan - Lingkungan udep - Tumbohan - Biji-bijian - Umbi--umbian - Palma - Buah-buahan - Daun-daunan - Fungi - Asee binatang - Boh manok - Boh itek - Lingkungan mate - ie - Gapu - Sira

14. Biji-bijian - Pade - Pade bit - Pade leukat

- Gandong - Jera maneh - Jagong - Kacang - Kacang ijo - Kacang tanoh

- Bawang mirah - Bawang mirah teucang - Bawang mirah teupeh - Bawang mirah teucroh

24. Bak - Bak u - Bak jok - Bak sage

25. U - U r iek - U pateun - U muda

Universitas Sumatera Utara

100

26. Santan - Santan greu - Santan likat

27. On - On sop - On seuke pulot

28. Boh kayee - Boh sukon - Boh pisang - Boh panah - Boh haneuh

29. Boh pisang - Pisang wak - pisang kleung - pisang mantan - pisang klat barat - pisang panah

30. On pisang - On pucok pisang - On pisang pateun - On pisang tuha

31. Binatang - Manok (boh manok) - itek (boh itek)

32. ie - ie bit, ie suum - ie masak.

2. Taksonomi meronimi

Taksonomi meronimi adalah tipe percabangan h ierarki leksikal karena adanya hubungan antar item leksikal yang mengartikan bagian dan yang mengartikan

Universitas Sumatera Utara

101

keseluruhan yang sesuai. Meronimi merupakan relasi makna yang hampir sama dengan hiponimi dari segi maknanya bersifat h ierarki, namun yang membedakan tidak menyiratkan pelibatan searah, tetapi menjelaskan relasi makna bagian dengan keseluruhan.

Tabel 4.3 Organisasi data meronimi

No Kelas Dasar Kelas Bagian

Nyab Teupong bit, pati santan, boh manok, minyeuk, saka,

sira, ie

Pade Breuh, teupong

Breuh bit ie bu, but hum, tapee

Breuh leukat Bu gring, bu tum, timphan iem, bu bajek, pulot, bu tai, bu umpep, eump ieng breuh, bu payeh, bu leukat

Teupong bit Nyab, keukarah, bhoi, kueh bangket, dughok, putu

Teupong leukat Kueh bungong kaye, marke, timphan u, kueh kleung, boh

rhom-rhom, apam, dodoi, timphan asoe kaya

Teupong gandong Kueh malinda, kueh seupet, timphan baloen, kueh lapeh,

kueh rasyidah, adee, ruti cane, ruti jala, meuseukat.

Jagong Cagruk

Kacang ijo Bada reuteuk

Kacang tanoh Boh usen, kipang kacang, kueh malinda

Boh ubi Ubi reuboh, ubi teumbang, bada ubi, cagruk

Universitas Sumatera Utara

102

Coklat Teupong coklat, kueh lapeh

U Santan, u teukue, u wot, pureh

Sage Teupong sage, beurene sage, timphan sage

Pisang On pisang, boh pisang

3. Taksonomi Sinonimi

Taksonomi sinonimi merupakan klasifikasi kata yang memiliki kemiripan makna atau kesamaan makna. Kesamaan makna tersebut bisa dari kata dan kelompok kata. Berikut akan digambarkan taksnomi sinonimin yang terdapat dalam ekoleksikon peunajoh Aceh.

Tabel 4.4 Organisasi data sinonimi

Kelas Leksikon Kelas Sinonim

Timphan bu Bu payeh

Bu tai Bu leukat silee

Eumping breuh Haluwa breuh

Boh rhom-rhom Boh duek beudoh

Teupong bit Teupong breuh bit

Gula mirah Gula jawa, gula ek itek

Santan likat Pati santan

Universitas Sumatera Utara

103

BAB V

TAKSONOMI EKOLEKSIKON PEUNAJOH ACEH

5.1 Pengantar

Berdasarkan analisis data peunajoh Aceh berasal dari taksonomi ekoleksikon yang terdapat di lingkungan bahasa peunajoh Aceh ditemukan ada tiga jenis taksonomi yang diperoleh melalui relasi makna yaitu taksonomi hiponimi, taksonomi meronimi, dan taksonomi sinonimi.

Dalam pembahasan ini kategori taksonomi disusun berdasarkan h ierarki yang terdiri dari beberapa tipe diantaranya ada tipe kelas I, tipe kelas II, dan tipe kelas III.

Penetapan dan pengelompokan ekoleksikon ke dalam berbagai tipe kelas taksonomi dengan menggunakan teknik hubung banding sama (HBS). Selanjutnya untuk menempatkan masing-masing leksikon paa masing-masing tipe dan klasifikasi taksonomi pelalui penerapan teknik hubung banding beda (HBB).

5.2. Taksonomi ekoleksikon peunajoh Aceh

Berdasarkan data peunajoh Aceh berasal dari ekoleksikon yang terdapat di lingkungan yang hidup di daerah Aceh, data peunajoh Aceh dari ekoleksikon tersebut diklasisifikasi sebagai sistem yang disusun dan dibagi atas unit-unit suatu objek yang berasal dari lingkungan ke dalam bentuk tunggal dikenal sebagai taksa atau takson.

Pada data peunajoh Aceh yang dianalisis dalam struktur h ieraki dan berkaitan antara satu lesikon dengan leksikon yang lain dalam hubungan supertype-subtype.

103 Universitas Sumatera Utara

104

Identifikasi taksonomi ekoleksikon diklasifikasikan secara struktur h ieraki dari kategori luas atau umum ke kategori khusus yang disusun atas kelompok atau kelas yang menjelaskan kemiripan ciri dan komponen setiap leksikonnya.

Timphan

Timphan breuh Timphan teupong Timphan Ubi

Timphan breuh Timphan teupong Timphan teupong Timphan teupong leukat gandong leukat sagee

Timphan breuh Timphan Timphan Timphan labu Timphan panah Timphan drien Timphan sage Iem baloen pisang

Gambar: 4.1. Taksonomi hiponim Peunajoh Timphan

Berdasarkan taksonomi tersebut timphan ‘timpan’ adalah istilah umum, sedangkan timphan breuh ‘timpan beras’, timphan teupong ‘timpan tepung’, timphan ubi ‘timpan singkong’ merupakan istilah khusus dari turunan jenis timpan.

Pengklasifikasian timphan breuh ‘timpan beras’, timphan teupong ‘timpan tepung’, timphan ubi ‘timpan singkong’ pada subkelas yang sama berdasarkan ciri dan komponen masing-masing ekoleksikonnya. Timphan breuh ‘timpan beras’ berasal dari bahan beras, timphan teupong ‘timpan tepung’ berbahan dasar tepung, dan timphan ubi ‘timpan singkong’ memiliki bahan dasar ubi.

Universitas Sumatera Utara

105

Timphan breuh ‘timpan beras’ dapat diturunkan lagi menjadi timphan breuh leukat ‘timpan beras ketan’, istilah ini digunakan karena komponennya khusus berasal dari beras ketan. Dengan kata lain tidah ada timphan yang terbuat dari beras sehingga timphan breuh leukat ‘timpan beras ketan’ menjadi istilah khusus dari Timphan breuh

‘timpan beras’. Timphan breuh leukat ‘timpan beras ketan’ dapat dikategorisasikan lagi menjadi timphan iem ‘timpan diam’.

Timphan teupong ‘timpan tepung’ merupakan istilah umum sedangkan timphan teupong gandong ‘timpan tepung gandum’, timphan teupong leukat ‘timpan tepung ketan’, dan timphan teupong sagu ‘timpan tepung sagu’ adalah istilah khusus dari turunan jenis teupong ‘tepung’. Timphan teupong gandong ‘timpan tepung gandum’ memiliki sub kelas timphan baloen ‘timpan gulung’.Timphan teupong leukat ‘timpan tepung ketan’ memiliki sub kelas tersendiri, berikut penjelasannya.

Penutur Aceh pada umumnya menyebutkan timphan teupong ‘timpan tepung’ dengan sebutan timphan saja. Jenis timphan ini berbahan dasar teupong leukat ‘tepung ketan’ yang bisa dipadukan dengan pelbagai macam jenis buah-buahan seperti boh pisang ‘pisang’, boh panah ‘nangka’, boh labu tanoh ‘labu tanah’, dab boh dr ien

‘durian’. Untuk lebih jelas pembagian timpan tersebut akan digambarkan dalam bentuk taksonomi berikut ini:

Universitas Sumatera Utara

106

Timphan Teupong

Timphan Timphan Timphan Timphan Boh Pisang Boh Labu Boh Panah Boh Drien

Gambar : 4.2 Taksonomi hiponim Peunajoh Timphan Teupong

Gambar taksonomi tersebut menunjukkan timphan boh pisang, timphan boh labu, timphan boh panah ‘timpan nangka’ dan timphan boh dr ien ‘timpan durian’ adalah jenis dari timphan teupong ‘timpan tepung’. Dalam hal ini timphan teupong menjadi istilah umum dan keempat timphan lainnya adalah entitas yang lebih spesifik.

Keempat timphan tersebut dapat dibedakan dari bahan campuran yang digunakan.

Penutur akan menyebutkan timphan boh dr ien apabila bahan dasar yang digunakan adalah campuran teupong leukat dengan boh dr ien, timphan labu berbahan dasar campuran tepung dengan labu tanah dan seterusnya.

Timphan sage ‘timpan sagu’ dibuat dengan berbahan dasar teupong sage

‘tepung sagu’ dicampur dengan pisang wak ‘pisang monyet’ yang sudah leubah

‘benar-benar matang’ diisi dengan asoe u ‘ inti kelapa’ lalu dibungkus dengan menggunakan daun pisang setengah tua. Timphan ubi dibuat dari boh ubi ‘singkong’ yang sudah diparut kemudian diperas sampai kering kemudian diratakan di atas on pisang pateun ‘daun pisang muda’ diisikan dengan u teuwot ‘inti kelapa kemudian dibungkus lalu di seuop ‘dikukus’. Timphan iem berbahan dasar breuh leukat ‘beras ketan’ yang sudah direndam dengan ie ‘air’ beberapa jam dicampur dengan pisang

Universitas Sumatera Utara

107

wak masak yang telah dihancurkan atau diblender kemudian dibungkus dengan menggunakan daun pisang muda kemudian dikukus. Sedangkan timphan baloen berbahan dasar teupong gandong ‘tepung terigu’ dengan campuran beberapa bahan lainnya dibentuk seperti kulit dan diisi inti kelapa.

Semua jenis timphan tersebut memiliki bentuk yang sama yaitu empat persegi panjang , diisikan dengan bahan yang sama yaitu inti kelapa, dibungkus dengan bahan yang sama yaitu daun pisang, dan dimasak dengan cara yang sama yaitu dikukus kecuali timphan baloen proses pembuatannya berbeda, dimana timphan baloen tidak dibungkus daun pisang dan juga tidak dikukus.

Hampir semua penutur Bahasa Aceh menyebutkan jenis-jenis timpan tersebut dalam bahasa Aceh karena mereka berkomunikasi dalam komunitas tutur yang sama.

Namun ketika berkomunikasi dengan komunitas tutur yang berbeda, penutur bahasa

Aceh akan menyebutkan dengan menterjemahkan dalam bahasa Indonesia kecuali tidak mengenal dengan sebutan dalam bahasa Indonesia seperti: sebutan timphan iem dan timphan baloen sehigga menyebut ciri-ciri entitas yang dimaksud atau menyebutkan bahan-bahan dasar yang digunakan serta proses pembuatannya sehingga mitra tutur mengetahui apa yang penutur sebutkan.

Berkaitan dengan tingkat kedekatan penutur dengan jenis-jenis timpan diatas, dari penutur anak, remaja, dewasa, tua, dan lansia masih sangat mengenal dengan jenis timphan teupong, baik jenis timphan u maupun timphan asoe kaya, namun sebaliknya baik penutur muda maupun dewasa hanya sebagian kecil saja yang masih mengenal jenis timphan iem dan sebagian besar sudah tidak mengenal lagi dengan

Universitas Sumatera Utara

108

jenis timpan ini. Ada juga yang hanya pernah mendengar tetapi tidak mengetahui bentuk dan pernah makan apalagi membuatnya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya interaksi penutur dengan jenis timphan ini, kebergantungan penutur juga sudah berkurang sehingga sudah tidak ada dorongan untuk mengadakan jenis tersebut atau melestarikannya walaupun kebergantungan jenis timphan tertentu sangat tinggi karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan, upacara adat tertentu tetapi tidak semua sehingga populasinya mulai berkurang dan dilupakan penutur.

Dari beberapa jenis timphan yang dipaparkan terdapat satu jenis timphan yang memiliki relasi makna sinonimi yaitu timphan bu bersinonim dengan bu payeh. Dalam hal ini bisa dijelaskan bahwa masyarakat Lhokseumawe ada yang menggunakan tuturan timphan bu dan ada juga yang menyebutkan bu payeh yang ditujukan kepada referen yang sama.

Berikut ini akan diuraikan taksonomi leksikon peunajoh Aceh bu ‘nasi’. Pada umumnya bu’nasi’ dikenal sebagai makanan pokok yang dikonsumsikan dengan beragam lauk pauknya. Bu ‘nasi’ memiliki berbagai macam jenis dengan bentuk dan rasa yang berbeda-beda. Istilah bu ‘nasi’ selain digunakan untuk jenis makanan pokok juga dapat diklasifikasikan sebagai peunajoh Aceh. Penjelasan lebih lanjut untuk peunajoh bu digambarkan dalam bentuk taksonomi di bawah

Universitas Sumatera Utara

109

Bu

Bu Umpep Bu Tai Bu Thum Bu Leukat Bu Grieng Bu Bajek Ie Bu

Bu Leukat Bu Leukat Bu Leukat Bu Leukat Si Seun Dua Seun Keurabe Kuah Tuhe

Gambar : 4.3 Taksonomi hiponim peunajoh bu ‘nasi’

Gambar taksonomi 4.3 menunjukkan bahwa leksikon bu ‘nasi’ merupakan istilah umum, sedangkan bu leukat, bu umpep, bu payeh, bu tai, but hum, bu grieng, bu bajek, bu leukat si seun, bu leukat dua seun, bu lekat keurabe, dan bu leukat kuah tuhe adalah nama-nama jenis peunajoh Aceh yang sudah khusus. Istilah bu digunakan untuk nasi yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat

Indonesia pada umumnya dan masyarakat Aceh pada khususnya. Dari istilah bu tersebut lahirlah keanekaragaman peunajoh Aceh yang diawali dengan leksikon bu.

Leksikon bu digunakan untuk menunjukkan makanan yang berasal dari breuh bit ‘beras’ dan beras berasal dari pade bit ‘padi’ yang sudah ditumbuk/digiling sehingga menjadi beras kemudian dimasak sehingga menjadi bu ‘nasi’. Namun demikian bermacam-macam jenis peunajoh Aceh yang berleksikon bu umumnya tidak berbahan dasar breuh bit ‘beras’ tetapi berbahan dasar breuh leukat ‘ketan’ seperti bu

Universitas Sumatera Utara

110

leukat, bu umpep, bu payeh, bu tai, bu bajek kecuali ie bu yang berbahan dasar beras, sedangkan bu thum dan bu grieng bisa dibuat dari beras atau ketan.

Peunajoh Aceh bu umpep berbentuk lhee ‘segitiga’ yang berbahan dasar breuh leukat ‘ketan’ dibungkus dengan on pucok pisang ‘daun pisang muda yang masih tergulung’ dan dimasak bersama kuah santan kelapa serta pisang klat barat

‘pisang raja’ yang dipotong-potong serta boh panah ‘nangka yang sudah matang’. Bu payeh juga berbahan dasar ketan dimasak bersama santan kental kemudian diratakan diatas on pisang pateun ‘daun pisang setengah tua’ dengan meletakkan potongan pisang ditengahnya lalu dibungkus dan diseuop ‘dikukus’. Pisang yang digunakan biasanya pisang wak ‘pisang monyet’ atau pisang klat barat ‘pisang raja’. Bu tai dikenal juga dengan nama lainnya bu leukat sile. Bu tai merupakan perpaduan antara bu leukat ‘nasi ketan’ dengan silee ‘selai’ diproses dengan cara memasukkan bu leukat ke dalam song ‘ cetakan bolu’ yang telah dioleskan silee ‘selai’ diatasnya kemudian di kukus. Bu bajek berbahan dasar breuh leukat ‘beras ketan’ dan campuran beberapa bahan lainnya dimasak dengan cara diwot ‘diaduk-aduk’ lama sampai adonan mengental dan benar-benar matang menggunakan api yang relatif kecil. ie bu merupakan peunajoh Aceh berbahan dasar breuh bit ‘beras’ dan santan dimasak dengan cara diaduk-aduk lama sampai menjadi bubur dan mengental. Bu grieng berbahan dasar bu ‘nasi atau bu leukat ‘nasi ketan’ diadee ‘dijemur’ sampai kering lalu digoreng kemudian dicampurkan dengan air gula sampai tercampur rata baru di bentuk bulat-bulat seperti bola atau bundar tipis besar. Bu thum berbahan dasar breuh

Universitas Sumatera Utara

111

bit atau breuh leukat dipanaskan di dalam mesin sampai meledak atau mengembang seperti pop corn.

Jenis peunajoh Aceh bu leukat terbagi lagi ke berberapa jenis lainnya yaitu bu leukat si seun, bu leukat dua seun, bu leukat keurabe, dan bu leukat kuah tuhe. Untuk lebih jelasnya akan digambarkan dalam bentuk taksonomi hiponim berikut ini:

Bu Leukat

Bu leukat Bu Leukat Bu Leukat Bu Leukat Si seun Dua seun Keurabe Kuah tuhe

Gambar : 4.4 Taksonomi hiponim Peunajoh Bu Leukat

Gambar taksonomi tersebut menujukkkan bahwa bu leukat merupakan istilah umum sedangkan bu leukat si seun, bu leukat dua seun, bu leukat keurabe, dan bu leukat kuah tuhe adalah turunan dari istilah bu leukat itu sendiri. Bu leukat si seun adalah jenis bu leukat ’nasi ketan’ berbahan dasar breuh leukat ‘beras ketan’ dimasak dengan sekali kukus. Bu leukat dua seun jenis bu leukat berbahan dasar beras ketan diproses melalui dua kali kukus, beras ketan hasil kukusan pertama di celupkan ke dalam santan kental lalu diuli ‘digosok-gosok sambil diratakan dengan lembut sampai mengkilat kemudian dikukus kembali. Bu leukat keurabe merupakan campuran bu leukat si seun dengan u pateun ‘ kelapa yang masih muda’ dengan diberi garam dan gula pasir dan langsung bisa disajikan. Bu leukat kuah tuhe adalah bu leukat si seun yang dimakan bersama kuah tuhe. Kuah tuhe adalah sejenis kolak yang terbuat dari santan yang isinya terdiri dari pisang raja dan nangka masak.

Universitas Sumatera Utara

112

Peunajoh Aceh yang memiliki istilah bu semuanya berbahan dasar beras dan ketan. Istilah bu tersebut lebih didominasikan pada jenis peunajoh yang terbuat dari ketan hanya sebagian kecil saja berasal dari beras, contohnya hanya pada jenis peunajoh ie bu, but thum dan bu grieng. Terkait dengan rasa, masyarakat lebih menyukai rasa bu thum dan bu grieng yang terbuat dari ketan dibandingkan dengan beras, karena rasanya lebih gurih dan enak. Dengan demikian bisa disimpulan bahwa hanya satu jenis peunajoh Aceh yang murni berbahan dasar beras yaitu ie bu.

Berkaitan dengan tingkat kedekatan penutur dengan jenis-jenis bu tersebut, dari penutur anak, remaja, dewasa, tua, dan lansia masih sangat mengenal dengan jenis bu grieng, bu bajek, bu leukat kuah tuhe, dan bu tai. Untuk jenis bu leukat keurabe, bu leukat si seun, bu leukat dua seun dan bu payeh sudah kurang dikenal dikalangan penutur anak dan remaja tetapi masih dikenal baik oleh penutur dewasa, tua, dan lansia. Sementara jenis peunajoh ie bu, bu thum, dan bu umpep hanya sebagian kecil saja dari kalangan penutur anak dan remaja yang masih mengenalnya sebagian besar sudah tidak mengenal lagi bahkan dikalangan dewasa dan tua sudah berkurang untuk mengadakan dan memproduksi jenis peunajoh ini, kebergantungan penutur juga sudah berkurang karena sudah tidak dimanfaatkan lagi untuk memenuhi kebutuhan sehingga sudah tidak tidak ada dorongan untuk mengadakan jenis tersebut.

Disamping memiliki taksonomi hiponim, peunajoh Aceh jenis bu juga memiliki taksonomi sinonim untuk jenis tuturan bu tai bersinonim dengan bu leukat sile.

Dikalangan penutur Aceh ada yang menyebutkan bu tai dan ada yang menyebutkan

Universitas Sumatera Utara

113

bu leukat sile untuk membicarakan peunajoh yang ditujukan kepada satu referen yang sama.

Selanjutnya akan diuraikan peunajoh bada sebagaimana terlihat dalam gambar taksonomi berikut:

Bada

Bada Pisang Bada Ubi Bada Reuteuk Bada Sukon

Gambar: 4.5 Taksonomi hiponim peunajoh bada ‘gorengan’

Berdasarkan gambar taksonomi tersebut, peunajoh bada ‘gorengan’ adalah istilah umum, sedangkan bada pisang ‘pisang goreng’, bada ubi ‘ubi goreng’, bada sukon ‘sukun goreng’, dan bada reuteuk merupakan istilah khusus atau turunan dari bada. Semua jenis bada tersebut diproses dengan cara yang sama yaitu di goreng kedalam minyeuk suum ‘minyak panas’ serta dilapisi dengan teupong bit ‘tepung beras yang telah dicairkan dengan ie ‘air’ dengan ditambahkan sedikit sira ‘garam dan gapu ‘kapur sirih’ untuk menghasilkan gorengan yang garing dan renyah.

Masing-masing jenis gorengan dinamakan berdasarkan bahan dasar yang digunakan, bada pisang berbahan dasar pisang, bada ubi berbahan dasar ubi, bada sukon berbahan dasar sukon kecuali bada reuteuk yang bukan berbahan dasar reuteuk

‘kacang panjang’. Bada reuteuk berbeda dari jenis bada-bada lainnya apabila dilihat dari segi bentuk dan rasanya, dimana bada pisang terlihat langsung bentuk pisang dan

Universitas Sumatera Utara

114

rasa pisangnya, bada ubi terlihat bentuk ubi dan rasa ubinya begitu juga dengan sukun. Berbeda dengan bada reuteuk tidak terlihat bentuk reuteuk ‘kacang panjang’ dan rasanya juga berbeda.

Berkaitan dengan tingkat kedekatan penutur dengan jenis-jenis bada tersebut, dari penutur anak sampai lansia masih mengenal baik jenis bada, baik jenis bada pisang, bada ubi, dan bada sukon, namun sebaliknya dikalangan penutur anak dan remaja hampir tidak ada lagi yang mengenal jenis peunajoh bada reuteuk, penutur dewasa hanya sebagian kecil saja yang masih mengenal jenis bada reuteuk dan sebagian besar sudah tidak mengenalnya. Begitu juga dikalangan penutur tua dan lansia sudah mulai berkurang populasinya dalam mengenal, mengkonsumsi apalagi memproduksi jenis bada reuteuk ini. Hal ini disebabkan sudah berkurangnya kebergantungan penutur terhadap jenis peunajoh tersebut sehingga tingkat interaksi penutur mulai berkurang pula.

Berikut ini pemaparan taksonomi relasi makna leksikal hiponimi jenis peunajoh pisang dan ubi

Pisang

Pisang Pisang Reuboh Pisang Salee Teumbang

Gambar: 4.6 Taksonomi hiponim peunajoh pisang

Universitas Sumatera Utara

115

Ubi

Ubi Reuboh Ubi Tembang

Gambar 4.7 Taksonomi hiponim peunajoh ubi

Gambar 4.7 menunjukkan bahwa pisang dan ubi merupakan istilah umum sementara jenis turunannya adalah pisang reuboh, pisang teumbang, dan pisang salee dari jenis peunajoh pisang. Sedangkan istilah ubi reuboh dan ubi teumbang adalah istilah khusus dari jenis peunajoh ubi. Keberagaman jenis peunajoh pisang dan ubi merupakan hasil kreatifitas nenek moyang dalam memperkaya rasa sehingga melahirkan keberagaman tuturan dikalangan penutur itu sendiri.

Ditinjau dari proses pengolahan, semua jenis peunajoh tersebut menggunakan cara yang sama kecuali pisang salee yaitu dengan merebus untuk pisang dan ubi reuboh. Jenis peunajoh ini biasanya dimakan dengan menggunakan u teukue ‘kelapa parut’ yang diberi sedikit sira ‘garam’ dan saka ‘gula’, kelapa yang digunakan biasanya u masak ‘kelapa setengah tua. Pisang teumbang dan ubi teumbang diolah dengan cara peh ‘menggiling’ atau tumbok ‘menumbuk’ pisang atau ubi yang telah direbus kemudian mengaduk rata dengan kelapa yang telah diberi garam dan gula, peunajoh siap dihidangkan. Sebaliknya pisang salee diproses dengan cara salee

‘mengasapi’ tanpa melalui proses perebusan.

Universitas Sumatera Utara

116

Tingkat kedekatan penutur dengan jenis-jenis pisang dan ubi, dari penutur anak sampai penutur lansia masih mengenal baik dengan jenis pisang reuboh, ubi reuboh dan pisang salee, namun sebaliknya jenis pisang teumbang dan ubi teumbang sudah hampir tidak dikenal dikalangan penutur anak dan remaja, dan sudah mulai kurang dikenal dikalangan penutur dewasa dan orang tua tetapi masih dikenal oleh penutur lansia. Jenis peunajoh ini sudah jarang diproduksi dikalangan masyarakat sekarang ini sehingga berdampak pada menurunnya minat masyarakat.

Berikut ini akan digambarkan taksonomi peunajoh ruti berdasarkan relasi makna leksikal hiponimi.

Ruti

Ruti U Ruti Cane Ruti Jala Ruti Suop

Gambar: 4.8 Taksonomi hiponim peunajoh ruti ‘roti’

Gambar taksonomi 4.8 .menunjukkan peunajoh ruti ‘roti’ adalah istilah umum, sedangkan ruti u ‘roti kelapa’, ruti cane ‘cane’, ruti jala ‘’, dan ruti seuop ‘roti kukus’ merupakan istilah khusus atau turunan dari ruti. Jenis peunajoh ruti u dan ruti cane memiliki bentuk yang sama namun proses pengolahan berbeda, ruti u berbentuk bundar dimasak dengan cara mengambil sedikit adonan lalu diratakan diatas kuali besi atau teflon dengan sedikit minyak. Ruti cane dibentuk terlebih

Universitas Sumatera Utara

117

dahulu baru dibakar diatas tempat khusus pembuatan martabak atau cane. Sementara itu ruti jala diproses dengan cara memasukkan adonan ke dalam cetakan lalu dituang ke dalam tempat masak sehingga bentuknya seperti jala ‘jaring’ didalamnya diisi dengan selai yang dibuat terpisah. Berbeda dengan jenis-jenis ruti lainnya, ruti seop berbahan dasar ruti pop yang dijual sudah jadi dipasaran kemudian dipotong-potong menjadi ukuran lebih kecil kemudian disusun ke dalam song ‘cetak bolu’ serta ditaburkan dengan boh kurma ‘buah kurma’ yang telah dibelah-belah lalu diseuop

‘dikukus’ ketika sudah panas dituangkan bahan selai diatasnya sampai merata dan dikukus kembali sampai matang.

Dalam hal kedekatan penutur dengan jenis peunajoh ruti, kebanyakan dari penutur anak sampai lansia masih mengenal baik dengan jenis peunajoh ruti cane namun sangat kurang dalam memproduksikannya. Hal ini disebabkan peunajoh ini mudah diperoleh dilingkungan tempat tinggal penutur itu sendiri. Namun terjadi sedikit penurunan pemahaman penutur anak, remaja dan dewasa terhadap jenis peunajoh ruti u dimana hanya setengah dari responden yang masih mengenal jenis peunajoh ini selebihnya sudah tidak mengenal lagi apalagi mengonsumsi dan memproduksi. Namun demikian dikalangan penutur orang tua dan lansia masih sangat mengenal jenis peunajoh ruti u, ruti cane, dan ruti jala, sedangkan ruti seuop sudah berkurang tingkat kedekatannya. Tingkat kedekatan penutur yang paling rendah adalah jenis peunajoh ruti seuop dimana hanya satu dua saja dari penutur anak,remaja dan dewasa saja yang masih mengenal ruti seuop selebihnya sudah tidak mengenal

Universitas Sumatera Utara

118

lagi sedangkat jenis ruti jala berada beberapa tingkat diatas ruti seop namun masih tergolong rendah tingkat kedekatannya.

Berikut ini akan digambarkan taksonomi peunajoh kueh berdasarkan relasi makna leksikal hiponimi.

Kueh Rapoh

Kueh aneuk Kueh bungong Kueh Kueh Kueh mamplam kaye pret ukheu u seupet

Kueh pret Kueh pret tabeu mameh

Kueh

Kueh Kueh Kueh Kueh Kueh gleung nagasari lapeh malinda bangket

Gambar 4.9 Taksonomi hiponim peunajoh kueh ‘kue’

Gambar taksonomi 4.9 menunjukkan peunajoh kueh ‘kue’ adalah istilah umum, sedangkan kueh lapeh, kueh gleung, kueh prêt, kueh bangket, kueh seupet, kueh malinda, kueh aneuh mamplam, kueh bungong kayee, kueh nagasari, kueh ukheu u,

Universitas Sumatera Utara

119

kueh wijen, kueh marke. dan kueh rasyidah merupakan istilah khusus atau turunan dari kueh. Jenis kueh disebutkan di depan nama makanan yang berkonotasi dengan kata yang berupa kata benda, kata sifat, dan kata kerja. Kata yang tergolong kata benda antara lain adalah gleung ‘gelang’, aneuk mamplam ‘biji mangga’, bungong kayee ‘bunga kayu’, nagasari ‘nagasari’, ukheu u ‘akar kelapa’, dan rasyidah ‘nama orang’. Sedangkan lapeh ‘lapis’ termasuk ke dalam kelompok kata sifat dan prêt

‘pencet’, bangket ‘bangkit’, dan seupet ‘jepit adalah golongan kelompok kata kerja.

Jenis-jenis peunajoh tersebut merupakan campuran dari jenis peunajoh basah dan peunajoh tho ‘kering’. Jenis peunajoh basah diantaranya adalah kueh lapeh, kueh gleung, dan kueh nagasari. Jenis peunajoh kering yaitu kueh prêt, kueh bangket, kueh seupet, kueh malinda, kueh aneuk mamplam, kueh bungong kayee, dan kueh ukheu u.

Baik jenis peunajoh basah maupun peunajoh kering memiliki bentuk yang berbeda serta proses pengolahan yang berbeda pula. Kueh lapeh bentuknya berlapis-lapis, kueh gleung berbentuk gelang, kueh prêt berbentuk ranting bunga kelapa, kueh bangket berbentuk bunga, kueh seupet berbentuk limas, kueh malinda berbentuk koin, kueh aneuk mamplam berbentuk biji mangga, kueh bungong kayee bentuknya seperti buah pohon bayu, kueh nagasari berbentuk nasi bungkus, kueh ukheu u bentuknya seperti akar kelapa, dan kueh rasyidah seperti bentuk meuseukat.

Berkaitan dengan proses memasak, jenis peunajoh kueh gleung, kueh prêt, kueh aneuh mamplam, kueh bungong kayee, kueh ukheu u, kueh wijen, dan kueh marke dimasak dengan cara yang sama yaitu dengan menggoreng ke dalam minyak goreng.

Sedangkan kueh malinda, dan kueh bangket melalui proses pengovenan, kueh

Universitas Sumatera Utara

120

nagasari dan kueh lapeh melalui proses pengukusan, dan kueh rasyidah dimasak dengan cara mengaduk-aduk diatas api sedang sampai adonan mengental seperti lem.

Berhubungan dengan kedekatan penutur dengan jenis peunajoh kueh, dari penutur anak sampai lansia jenis peunajoh kueh seupet menduduki tingkatan paling tinggi baik dalam bidang pengetahuan sampai pengalaman mengonsumsinya.

Selanjutnya disusul oleh kueh gleung, kueh nagasari, kueh marke, dan kueh lapeh masih dominan dikenal oleh penuturnya. Bagaimanapun mulai terjadi penurunan tingkat kedekatan penutur terhadap kueh aneuk mamplam, kueh malinda, kueh bangket dan kueh prêt dikalangan penutur anak dan remaja serta sejumlah kecil golongan dewasa namun masih dikenal baik oleh penutur tua dan lansia.

Tingkat kedekatan penutur yang paling rendah adalah jenis peunajoh kueh bungong kayee dan kueh rasyidah berada setingkat lebih tinggi baik pada tingkat penutur anak, remaja, dewasa, dan bahkan orang tua telah kurang dikomunikasikan sehingga tidak dikenal lagi. Tingkat kedekatan yang masih baik hanya tinggal dikalangan lansia saja. Hal ini disebabkan berkurangnya produktifitas dan komunikasi terhadap dua jenis peunajoh ini dikalangan penutur anak,remaja,dewasa, dan orang tua serta berkurangnya perhatian dan usaha penutur lansia dan orang tua memperkenalkan jenis peunajoh tersebut kepada penutur muda sehingga leksikonnya terwariskan.

Selanjutnya akan dijelaskan taksonomi peunajoh ie sirap. Peunajoh ie sirap seringkali digunakan sebagai makanan pendamping atau makanan pembantu yang bisa mengenyangkan sebelum datang waktu makan. Peunajoh ie sirap umumnya

Universitas Sumatera Utara

121

dikonsumsi oleh para petani, pekerja bangunan, dan pegawai di waktu istirahat berkisar antara pukul 10.00 atau 11.00 pagi hari. dan ada juga yang digunakan sebagai sarapan pagi serta peunajoh untuk berbuka puasa. Berikut gambaran taksonomi peunajoh ie sirap.

Peunajoh Ie Sirap

Putroe Cagruk Putu Apam Tape Dughok Eungkhui Pulot leumang Limpeng Manoe

Gambar 4.10. Taksonomi hiponim peunajoh ie sirap ‘

Gambar taksonomi 4.10 menunjukkan peunajoh ie sirap ‘makanan cemilan’ adalah istilah umum, sedangkan cagruk, putro mano, putu, apam, tape, dughok, eungkhui,limpeng, pulot, dan leumang merupakan istilah khusus atau turunan dari peunajoh ie sirap.

Semua jenis peunajoh ie sirap merupakan kelompok peunajoh basah yang tidak dapat disimpan lama, jenis peunajoh ini cepat basi karena teksturnya basah, sehingga hanya bertahan dalam sehari saja kecuali jenis tapee yang bisa bertahan beberapa hari.

Tapee diolah dari ketan atau beras yang dimasak terlebih dahulu kemudian diberi ragi, selanjutnya dibentuk bulat dengan dibungkus daun. Daun yang biasa digunakan berupa daun pisang, daun siren, dan daun bili, atau bisa juga dengan meratakan saja di dalam wadah tanpa dibentuk dan dibungkus daun.

Universitas Sumatera Utara

122

Sementara peunajoh putro manoe dan cagruk memiliki kesamaan bentuk dan proses pengolahan namun berbeda beberapa bahan dasar yang digunakannya. Cagruk dibuat dengan menggabungkan berberapa jenis tumbuhan umbi-umbian, kacang- kacangan, dan padi-padian, buah-buahan serta beberapa bahan tambahan lainnya.

Putro manoe dibuat dari campuran tepung ketan dengan tepung tapioka (tepung kanji). Setelah tercampur rata dibentuk oval dengan ukuran kecil sebesar biji rambutan (diibaratkan sebagai putro) kemudian dimasukkan ke dalam air mendidih sampai matang. Setelah itu baru dimasukkan ke dalam kuah (diibaratkan sebagai kolam) yang dibuat dari santan yang sudah dimasak dengan menggunakan campuran gula pasir dan gula merah serta daun pandan sebagai pewangi alami dari alam.

Peunajoh pulot dan leumang adalah sama-sama berbahan dasar breuh leukat

‘ketan’ dan proses memasaknya juga sama-sama dibakar dengan api, namun perbedaannya, pulot di masak telebih dahulu baru kemudian diratakan dengan pati santan ‘santan kental’ sambil digosok-gosok lalu dibungkus dengan menggunakan on pisang tuha ‘daun pisang yang sudah tua’ kemudian dibakar dengan arang atau api kecil. Sementara leumang dibuat dari beras ketan yang sudah dicampuri dengan santan likat ‘santan kental’ dan ditambah sedikit sira ‘garam’. Setelah semua bahan tercampur rata lalu dibungkus dengan menggunakan on pisang pateun ‘daun pisang yang masih muda’ kemudian dimasukkan ke dalam bak trieng ‘batang bambu’ yang sudah dibersihkan. Kemudian bambu tersebut dipanaskan dengan tumpukan api sampai bambu lembab terbakar api, lalu diangkat dan dikeluarkan dari bambu.

Universitas Sumatera Utara

123

Peunajoh apam dan putu memiliki bentuk yang hampir sama dan berbahan dasar teupong bit ‘tepung beras’. Apam memiliki bentuk bulat pipih berpori-pori dimasak dengan cara dituangkan adonan ke dalam kuali atau teflon yang telah diolekan dengan sedikit minyak kemudian diratakan sampai berbentuk bulat pipih di atas api kecil. Sedangkan putu memiliki bentuk bulat pipih berjaring-jaring dimasak dengan cara dikukus.

Peunajoh dughok dan eungkhui adalah dua jenis makanan yang menggunakan bahan dasar yang sama yaitu campuran teupong bit, teupong leukat, dan pisang wak yang sudah benar-benar masak. Keduanya dimasak dengan cara yang sama yaitu melalui proses pengukusan. Perbedaan antara dunghok dan engkhui adalah dari segi bentuknya, dimana dunghok berbentuk timphan yang dibungkus daun pisang, sedangkan eungkhui tidak dibungkus daun bentuknya seperti bongkahan-bongkahan kecil tanah yang telah dicangkul.

Peunajoh limpeng memiliki bentuk bulat pipih dan berbahan dasar teupong bit

‘tepung beras’ dengan sedikit campuran teupong leukat ‘tepung ketan’ supaya hasil kuehnya tidak keras dan enak dimakan. Limpeng dimasak melalui proses perebusan.

Limpeng dimasukkan kedalam u teukue ‘kelapa parut’ yang telah dicampur sira

‘garam’ dan saka ‘gul’a setelah diangkat dari air.

Berkaitan dengan kedekatan penutur dengan jenis peunajoh ie sirap, beberapa jenis peunajoh ini masih dikenal baik oleh penutur di semua usia diantaranya adalah pulot dan leumang memiliki peringkat tertinggi terhadap pengetahuan dan pengalaman konsumsi penuturnya. Sementara itu jenis peunajoh eungkhui dan

Universitas Sumatera Utara

124

limpeng tergolong ke dalam jenis peunajoh yang tingkat kedekatannya paling rendah di kalangan penutur anak dan remaja. Di kalangan penutur dewasa dan orang tua limpeng jenis peunajoh yang tingkat kedekatannya mulai berkurang.

Pada umumnya penutur tidak menggunakan tuturan yang lain untuk menyebut jenis-jenis peunajoh tersebut dalam bahasa yang lain, penutur masih menggunakan tuturan bahasa daerah (bahasa Aceh). Hal ini memberi dampak positif terhadap kebertahanan dan keberlanjutan bahasanya.

Berikut akan dijelaskan taksonomi jenis peunajoh yang menggunkan istilah boh ‘buah’ bedasarkan relasi makna leksikal hiponimi.

Boh

Boh Usen Boh Rhom-rhom

Gambar: 4.11 Taksonomi hiponim Peunajoh Boh

Gambar 4.11 menunjukkan bahwa boh merupakan istilah umum sementara jenis turunannya adalah boh usen dan boh rhom-rhom dari jenis peunajoh yang beristilah boh ‘buah’. Sedangkan istilah boh usen dan boh rhom-rhom adalah istilah khusus dari jenis peunajoh tersebut. Keberagaman jenis peunajoh dengan istilah boh merupakan hasil karya nenek moyang dalam memperkaya bahasa sehingga melahirkan keberagaman tuturan dikalangan penuturnya. Istilah boh usen lahir dari inspirasi alam yaitu boh usen ‘buah usen’ jenis tumbuh-tumbuhan yang buahnya berbentuk jenis

Universitas Sumatera Utara

125

peunajoh boh usen yang dikenal sebagai makanan penutur Aceh sekarang ini.

Sedangkan istilah boh rhom-rhom berasal dari kata rhom yang memiliki arti melempar, ini diambil dari proses memasak jenis peunajoh ini dengan cara melempar ke dalam air yang sedang mendidih.

Kedua jenis peunajoh ini berbahan dasar teupong, boh usen dibuat dari campuran teupong bit dan teupong leukat, sedangkan boh rhom-rhom dibuat dari teupong leukat saja. Ditinjau dari proses pengolahan, boh usen dimasak melalui proses penggorengan sedangkan boh rhom-rhom dimasak melalui proses perebusan.

Tingkat kedekatan penutur dengan jenis peunajoh boh usen dan boh rhom- rhom, dari penutur anak sampai penutur lansia masih mengenal baik dengan kedua jenis peunajoh tersebut, dan masih sering dikomunikasikan dikalangan penutur Aceh.

Penutur Aceh tidak mengenal tuturan lain untuk menyebut jenis peunajoh boh usen karena peunajoh ini merupakan khas peunajoh Aceh. Sementara itu, untuk peunajoh boh rhom-rhom penutur Aceh ada yang mengenal istilah dalam bahasa Indonesia dengan sebutan . Istilah ini dipakai oleh penutur Aceh untuk menjelaskan kepada penutur asing yang belum mengenal istilah boh rhom-rhom.

Bagaimanapun istilah boh rhom-rhom tidak hanya populer dikalangan penutur

Aceh saja sekarang ini namun penutur non Aceh juga telah banyak mengenalnya. Hal ini disebabkan jenis peunajoh ini telah sering disediakan sebagai (cemilan) pada acara-acara tertentu yang diadakan bai di Aceh maupun di luar wilayah Aceh. Selain itu peunajoh boh rhom-rhom seringkali disuguhkan untuk menjamu tamu-tamu yang

Universitas Sumatera Utara

126

datang dari luar daerah pada peristiwa-peristiwa tertentu baik di lembaga-lembaga pemerintahan maupun lembaga pendidikan.

Selain istilah boh rhom-rhom penutur Aceh mengenal istilah lain untuk jenis peunajoh ini dengan sebutan boh duek beudeh, boh malaka, dan boh peukhem raja.

Namun demikian istilah-istilah selain boh rhom-rhom jarang sekali digunakan oleh penutur bahkan hampir tidak pernah disebutkan.

Berkut ini akan dijelaskan taksonomi untuk kategori jenis peunajoh bingkang atau juga dikenal dengan nama lain yaitu adee.

Adee/ Bingkang

Adee Teupong Adee Ubi

Gambar: 4.12 Taksonomi hiponim Peunajoh Adee/Bingkang

Gambar 4.12 menunjukkan bahwa adee/bingkang merupakan istilah umum sementara jenis turunannya adalah adee teupong dan adee ubi dari jenis peunajoh yang beristilah adee/bingkang ‘bika’. Sedangkan istilah adee teupong dan adee ubi adalah istilah khusus dari jenis peunajoh tersebut. Istilah adee teupong digunakan berdasarkan bahan utama yang digunakan adalah teupong, sedangkan adee ubi terdiri dari ubi sebagai bahan utamanya. Kedua jenis peunjoh ini memiliki bentuk, jenis, fungsi, dan cara pengolahan yang sama.

Universitas Sumatera Utara

127

Tingkat kedekatan penutur dengan jenis peunajoh adee teupong dan adee ubi dari penutur anak sampai penutur lansia masih mengenal kedua jenis peunajoh tersebut, dan masih sering dikomunikasikan dikalangan penutur Aceh. Adee merupakan kue khas Aceh yang teksturnya basah yang biasanya dijumpai di warung- warung kopi sebagai makanan sarapan pagi dan di kenduri-kenduri. Oleh sebab itu penutur tidak merasa asing dengan jenis peunajoh ini sehingga dapat menjalin keakraban dan keberlangsungan hidupnya.

Selain istilah adee penutur mengenal bingkang sebagai tuturan lain untuk menyebutkan jenis peunajoh ini. Bingkang kota Lhokseumawe berbeda dengan bingkang di Pidie dari segi rasa, bentuk, dan ketahanannya. Bingkang kota

Lhokseumawe lebih basah dan masih menggunakan bahan-bahan yang alami.

Peunajoh ini sangat digemari oleh masyarakat setempat dan masyarakat luar daerah.

Hal ini terbukti dengan banyaknya penutur menjadikan peunajoh ini untuk buah tangan (oleh-oleh) untuk kerabatnya.

Selanjutnya akan dipaparkan taksonomi jenis peunajoh raya sebagaimana tergambarkan dalam gambar berikut ini:

Peunajoh Raya

Dodoi Meuseukat Eumpieng Breuh

Gambar: 4.13 Taksonomi hiponim Peunajoh Raya

Universitas Sumatera Utara

128

Gambar 4.13 menunjukkan bahwa peunajoh raya merupakan istilah umum sementara jenis turunannya adalah dodoi, meuseukat, dan eumping breuh dari jenis peunajoh yang beristilah peunajoh raya. Sedangkan istilah dodoi, meuseukat, dan eumping breuh adalah istilah khusus dari jenis peunajoh raya. Peunajoh dodoi, meuseukat, dan eumping breuh memiliki bentuk, struktur, dan proses pengolahan yang hampir sama, tetapi terdiri dari bahan yang berbeda.

Istilah peunajoh raya digunakan berdasarkan sejarah pada masa kerajaan dahulu kala. Peunajoh ini sangat digemari dan menjadi peunajoh favorit raja. Setelah masa kerajaan berakhir peunajoh ini menjadi peunajoh masyarakat yang memiliki ekonomi menengah ke atas dan hanya dikonsumsi pada waktu-waktu dan peristiwa tertentu misalnya pada hari raya dan hari-hari istimewa ketika ada perayaan perkawinan saja.

Tingkat kedekatan penutur dengan jenis Peunajoh dodoi, meuseukat, dan eumping breuh berbeda-beda antar penutur anak, remaja, dewasa, orang tua dan lansia. Dimana peunajoh dodoi dan meuseukat masih tergolong tinggi tingkat kedekatannya dilihat dari pengetahuan dan pengalaman mengkonsumsi jenis peunajoh tersebut. Namun tingkat kedekatan penutur anak dan remaja sudah mulai berkurang terhadap peunajoh eumping breuh. Hal ini terlihat berdasarkan hasil analisis data persepsi hanya 55% saja golongan penutur anak yang masih mengenal jenis peunajoh ini. Sebaliknya, bagi penutur orang tua dan lansia masih tinggi tingkat kedekatannya.

Diantara ketiga jenis peunajoh tersebut, dodoi dan meusekat tergolong ke dalam jenis peunajoh yang sering dituturkan dikalangan penutur Aceh pada umumnya dan penutur kota lhokseumawe pada khususnya. Hal ini disebabkan sampai saat ini masih

Universitas Sumatera Utara

129

ada usaha dari penutur tertentu untuk menghadirkan peunajoh dodoi, meuseukat, dan eumping breuh pada peristiwa-peristiwa penting bagi masyarakat Aceh, misalnya pada perayaan hari raya baik idul fitri maupun idul Adha, dan peristiwa-peristiwa keagamaan, dan adat istiadat penting lainnya.

Berikut ini akan dijelaskan taksonomi peunajoh bhoi, untuk lebih jelasnya akan digambarkan dalam gambar taksonomi hierarki di bawah ini:

Bhoi

Bhoi Bhoi On Bhoi Eungkot Bungong Kayee

Gambar : 4.14 Taksonomi hiponim Peunajoh Bhoi

Gambar 4.14 menunjukkan bahwa bhoi ‘bolu’ merupakan istilah umum sementara jenis turunannya adalah bhoi eungkot ‘bolu ikan’, bhoi bungon ‘bolu bunga’, dan bhoi on kayee ‘bolu daun’ dari jenis peunajoh yang beristilah bhoi.

Sedangkan istilah bhoi eungkot ‘bolu ikan’, bhoi bungong ‘bolu bunga’, dan bhoi on kayee ‘bolu daun’ adalah istilah khusus dari jenis bhoi. Bhoi eungkot memiliki bentuk seperti ikan, bhoi bungong memiliki bentuk seperti bunga, dan bhoi on kayee memiliki bentuk seperti daun. .

Tingkat kedekatan penutur dengan jenis bhoi eungkot ‘bolu ikan’, bhoi bungong ‘bolu bunga’, dan bhoi on kayee ‘bolu daun’ masih sangat baik terhadap

Universitas Sumatera Utara

130

semua golongan usia baik penutur anak, remaja, dewasa, orang tua dan lansia.

Peunajoh bhoi tergolong salah satu peunajoh yang disukai oleh semua golongan usia, oleh sebab itu peunajoh bhoi terekam baik dalam pengetahuan dan pengalaman penuturnya.

Penjelasan selanjutnya adalah peunajoh nyab yang akan digambarkan dalam bentuk gambar taksonomi berikut ini:

Nyab

Nyab Leumak Nyab Mameh

Gambar: 4.15 Taksonomi hiponim Peunajoh Nyab

Gambar 4.15 menunjukkan bahwa nyab merupakan istilah umum sementara jenis turunannya adalah nyab leumak dan nyab mameh dari jenis peunajoh yang beristilah nyab. Sedangkan istilah nyab leumak dan nyab mameh adalah istilah khusus dari jenis peunajoh tersebut. Istilah nyab leumak digunakan berdasarkan bahan dan rasanya yang gurih dan gurih, sedangkan nyab mameh rasanya manis.

Kedua jenis peunjoh ini memiliki bentuk, jenis, fungsi, dan cara pengolahan yang sama.

Tingkat kedekatan penutur dengan jenis peunajoh nyab dari penutur anak sampai penutur lansia masih mengenal kedua jenis peunajoh tersebut, dan masih

Universitas Sumatera Utara

131

sering dikomunikasikan dikalangan penutur Aceh. Nyab merupakan peunajoh Aceh yang teksturnya kering yang biasanya disediakan di hari raya dan perayaan maulid

Nabi Muhammad S.A.W serta bisa dijumpai di warung-warung penjual makanan.

Oleh sebab itu penutur tidak merasa asing dengan jenis peunajoh ini sehingga dapat menjalin keakraban dan keberlangsungan hidupnya.

4.3 Taksonomi Ekoleksikon Bahan Peunajoh Aceh

Sistem taksonomi pada mahluk hidup ada beberapa dasar dan kriteria klasifikasi yaitu berdasarkan lingkungan tempat hidup mereka misalnya saja tumbuh- tumbuhan, hewan, dan lingkungan alam, begitu pula tumbuhan darat dan tumbuhan air. Selanjutnya pada tumbuhan darat akan di bedakan lagi menjadi tumbuhan dataran tinggi, dataran rendah, pegunungan dan sebagainya. Taksonomi ini dibuat hingga mempermudah seseorang mengetahui tempat hidup dari tumbukan tersebut. Demikian juga halnya seperti hewan darat dan hewan air.

Taksonomi ekoleksikon sebagai pengelompokan organisme yang berada pada suatu lingkungan berdasarkan keseragaman dan keanekaragaman. Taksonomi ekoleksikon diklasifikasikan dalam satu kelompok yang memiliki persamaan dan perbedaan. Semakin dekat hubungan pengelompokannya maka semakin banyak persamaan dari kedua mahluk hidup tersebut. Penyebaran mahluk hidup menghasilkan keragaman hayati yang mendasari manusia untuk membuat sistem pengelompokan tersebut. Pembagian kingdom pada mahluk hidup hanya dua yaitu kingdom plantae dan animalia. Seiring pekembangan teknologi dan pengetahuan ( misalnya saja di

Universitas Sumatera Utara

132

temukan mikroskop ) maka sistem tersebut berubah dan hingga saat ini terdapat lima kingdom klasifikasi berdasarkan lingkungan.

Tabel 4.3

Data Ekoleksikon Peunajoh Aceh

No Nama Bahan Nama Bahan

(Bahasa Aceh) (Bahasa Indonesia)

1. Breuh leukat Ketan

2. Breuh bit Beras

3. Teupong leukat Tepung ketan

4. Teupong bit Tepung beras

5. Teupong ubi/kanji Teupung tapioca

6. Teupong gandong Tepung terigu

7. Teupong sage Tepung sagu

8. Boh ubi Ubi kayu

9. Boh keupila Ketela

10 Boh jagong Jagung

11 Boh panah Nangka

12 Boh pisang Pisang

13 Boh sukon Buah sukun

14 Boh haneuh Nenas

15 Kacang Tanoh Kacang tanah

16 Kacang ijo Kacang hijau

Universitas Sumatera Utara

133

17 Saka Gula pasir

18 Gula mirah Gula merah

No Nama bahan Bahasa Nama bahan Bahasa Indonesia Aceh

19 Meulisan Gula nira

20 U Kelapa

21 Santan Santan

22 Sira Garam

23 ie Air

24 Kulet maneh Kayu manis

25 Kulet kuyuen Kulit jeruk nipis

26 On sop Daun sop/seledri

27 On seuke pulot Daun pandan

28 Gapu Kapur sirih

29 Banili Vanili

30 Minyeuk Minyak goreng

31 Bawang mirah Bawang merah

32 Lada Merica

33 Jeura maneh Jintan

34 Boh manok Telur ayam

35 Boh itek Telur bebek

36 Ragho Ragi

Universitas Sumatera Utara

134

Taksonomi digunakan sebagai aspek biologi atau organisme hidup, sehingga ia tidak saja berarti klasifikasi hierarki atau kategorisasi sistem, tetapi juga mengacu pada cara pengorganisasian apapun untuk konsep pengetahuan, klasifikasi yang disusun dalam struktur hierarki dan berlaku untuk domain yang digunakan untuk merujuk pada klasifikasi organisme hidup sesuai dengan karakteristik fisik, tetapi istilah dan prinsip-prinsip taksonomi dapat diterapkan dalam pelbagai disiplin untuk melakukan klasifikasi.

Dalam pembahasan ini penggunaan taksonomi bukan hanya dilihat dari aspek biologi tetapi juga aspek linguistik melalui relasi makna leksikal hiponimi dalam bentuk klasifikasi hierarki.

Ekoleksikon merupakan lesikon-leksikon yang berasal dari berbagai lingkungan tumbuhan (flora), hewan (fauna) dan alam. Berdasarkan linguistik taksonomi leksikon adalah organisasi kata ke dalam kelas kata dan sub kelas kata berdasarkan relasi makna leksikal. Berdasarkan biologi taksonomi leksikon adalah organisasi kata ke dalam Kingdom, sub kingdom, Divisi, subdevisi, Kelas, sub kelas,

Ordo, Famili, Genus, dan Spes ies: berdasar makna kata. Taksonomi leksikon dibentuk berdasarkan bahasa alami (Natural Language Processing). dengan konsep terminologis, taksonomi leksikon dapat memperkaya kemampuan penalaran aplikasi dalam pencarian informasi dan proses pembentukan bahasa. Taksonomi memberikan keterkaitan antara lingkungan dan bahasa, sehingga keterkaitan ekologi dan kehidupan yang berada pada lingkungan memberikan ketergantungan manusia dengan

Universitas Sumatera Utara

135

lingkungan, sehingga dengan bertahannya suatu ekologi akan memberikan kontribusi pada bahasa atau sebaliknya, dengan musnahnya suatu ekologi maka musnah pula leksikon yang ada pada lingkungan.

Berikut akan dijelaskan beberapa ekoleksikon berdasarkan taksonomi tumbuh- tumbuhan, hewan, dan alam sebagaimana terlihat dalam gambar berikut:

Lingkungan

Lingkungan Lingkungan Hidup (Biotik) Mati (Abiotik)

Tumbuh- Hewan (Fauna) Alam tumbuhan (Flora)

Gambar: 4.12 Taksonomi hiponim Lingkungan

Gambar taksonomi 4.12 menjelaskan bahwa lingkungan hidup dan lingkungan mati merupakan hiponim dari lingkungan, sedangkan tumbuh-tumbuhan dan hewan merupakan hiponim dari lingkungan hidup, dan alam merupakan hiponim dari lingkungan mati. Berdasarkan gambar di atas, hiponimi adalah lingkungan hidup dan lingkungan mati dinyatakan sebagai hubungan vertikal dalam taksonomi, sementara ko-taksonomi adalah tumbuh-tumbuhan dan hewan serta alam ditunjukkan dalam hubungan horizontal.

Universitas Sumatera Utara

136

4.3.1 Ekoleksikon Tumbuh-tumbuhan

Tumbuh- tumbuhan (Flora)

Rumput- Biji-bijian Umbi-umbian Palma Buah-buahan Daun-daunan Fungi rumputan

Gambar: 4.13 Taksonomi hiponim Tumbuh-Tumbuhan

Gambar taksonomi 4.13 menjelaskan bahwa tumbuh-tumbuhan merupakan istilah umum, sedangkan biji-bijian, umbi-umbian, coklat, palma, rumput-rumputan, daun-daunan, buah-buahan, jeruk, fungi, dan merupakan istilah khusus sekaligus sebagai turunan atau hiponim dari tumbuh-tumbuhan.

4.3.1.1 Biji-bijian (Serealia)

Hasil tanaman yang berbentuk biji-bijian disebut dengan (Serealia). Serealia atau sering disebut sereal atau biji-bijian adalah hasil tanaman yang berasal dari suku rumput-rumputan dan diambil biji-bijian atau bulirnya sebagai sumber karbohidrat.

Beberapa jenis serealia menjadi bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk dunia. Anggota dari serealia kebanyakan dari suku padi-padian misalnya padi, gandum, sorgum, jagung, jelai ,haver, gandum durum ,serta gandum hitam yang masuk kedalam serealia utama. Berikut ini akan digambarkan taksonomi biji-bijian

Universitas Sumatera Utara

137

berdasarkan bahan-bahan yang digunakan dalam pengolahan berbagai jenis peunajoh

Aceh.

Biji-bijian

Pade Gandong Jera maneh Jagong Kacang

Gambar: 4.14 Taksonomi hiponim Biji-Bijian

Gambar taksonomi 4.14 menjelaskan bahwa biji-bijian merupakan istilah umum, sedangkan pade ‘padi’, gandong ‘gandum’, jera maneh ‘jintan’ jagong

‘jagung, dan kacang ‘kacang’ merupakan istilah khusus sekaligus sebagai turunan atau hiponim dari biji-bijian. Dengan kata lain bisa dijelaskan bahwa taksonomi biji- bijian terdiri dari beberapa klasifikasi tumbuh-tumbuhan diantaranya padi, gandum, jagung, dan jintan. Keempat jenis tanaman tersebut dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan peunajoh Aceh. Untuk lebih jelas, berikut digambarkan bagan taksonomi peunajoh Aceh berdasarkan bahan dasar yang digunakan. Padi merupakan tanaman primadona yang menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia begitu pula masyarakat Aceh, beras dimasak menjadi nasi. Beras sebagai bahan baku untuk peunajoh Aceh yang beraneka macam, sehingga peunajoh Aceh yang menggunakan beras sebagai bahan bakunya berjumlah 19 jenis.

Universitas Sumatera Utara

138

1) Pade ‘Padi-Padian’ (Poaceae)

Padi-padian sebagai tumbuhan yang menghasilkan beras, termasuk jenis

Oryza (Oryza sativa L). Padi merupakan tanaman budidaya terpenting bagi masyarakat Aceh dan seluruh Indonesia. Tanaman padi adalah tanaman semusim dan hasil pengolahan padi disebut beras yang kemudian dimasak menjadi nasi untuk di konsumsi sebagai sumber karbohidrat.

Pade

Pade biet Pade leukat

Breuh

Breuh biet Breuh leukat

Teupong

Teupong Teupong biet leukat

Gambar: 4.15 Taksonomi hiponim Pade ‘Padi’

Universitas Sumatera Utara

139

Gambar taksonomi 4.15 menjelaskan bahwa pade ‘padi’ merupakan istilah umum, sedangkan pade bit ‘padi beras’ dan pade leukat ‘padi ketan’ adalah istilah khusus yang merupakan hiponim dari pade ‘padi’. Selanjutnya Istilah breuh ‘beras’ adalah hiponim dari pade ‘padi’. Breuh ‘beras’ merupakan hasil penggilingan atau penumbukan dari pade ‘padi’ sehingga menjadi breuh ‘beras’ sehingga istilah breuh

‘beras’ menjadi istilah umum sementara istilah breuh bit ‘beras nasi’ dan breuh leukat

‘beras ketan’ merupakan istilah khusus atau hiponim dari breuh ‘beras’. Selanjutnya hasil pengolahan breuh ‘beras’ yang digiling atau ditumbuk menjadi teupong

‘tepung’. Dalam hal ini teupong ‘tepung’ adalah istilah umum dan turunannya adalah teupong bit ‘tepung beras’ dan teupong leukat ‘tepung ketan’ menjadi istilah khusus yang merupakan hiponim dari istilah teupong ‘tepung’.

a. Breuh bit ‘beras’

Padi merupakan tanaman primadona yang menjadi makanan pokok masyarakat

Indonesia begitu pula masyarakat Aceh, beras dimasak menjadi nasi.

Pade Biet

Breuh biet Teupong biet

Gambar: 4.16 Taksonomi hiponim Pade Bit ‘Padi Beras’

Gambar taksonomi 4.16 menjelaskan bahwa pade bit ‘padi beras’ merupakan istilah umum, sedangkan breuh bit ‘beras’, dan teupong bit ‘tepung beras’ adalah istilah khusus dari turunan atau hiponim pade bit ‘padi beras’.

Universitas Sumatera Utara

140

Beras sebagai bahan baku untuk peunajoh Aceh yang beraneka macam, sehingga peunajoh Aceh yang menggunakan beras dan tepung beras sebagai bahan bakunya berjumlah 19 jenis makanan.

Gambar: 4.17. Tanaman Padi

Tanaman padi adalah tanaman semusim dan hasil pengolahan padi disebut beras yang kemudian dimasak menjadi nasi untuk di konsumsi sebagai sumber karbohidrat. Berdasarkan data padi (beras) sebagai bahan baku pada peunajoh Aceh digunakan sebanyak 19 jenis peunajoh Aceh dengan istilah yang berbeda-beda seperti: a) Teupong bit ‘tepung beras’ selain itu untuk sebutan yang sama masyarakat

Aceh juga ada yang menyebutnya dengan teupong breuh bit ‘tepung berasa, b)

Breuh bit (beras nasi),

Universitas Sumatera Utara

141

Gambar : 4.18 . Padi-padian (Oryza (Oryza sativa L)

Selain taksonomi hiponimi, breuh bit akan digambarkan juga dengan menggunakan taksonomi meronimi sebagai berikut:

Breuh Biet

Ie bu Bu thum Tape

Gambar: 4.19 Taksonomi Meronimi Breuh bit

Berdasarkan gambar taksonomi meronimi tersebut dapat dijelaskan bahwa breuh bit dijadikan sebagai bahan pembuatan peunajoh ie bu, bu thum, dan tapee.

Padi diolah menjadi bahan pembuatan peunajoh Aceh. Frekuennsi penggunaan bahan peunajoh Aceh digunakan sebanyak 19 leksikon yang terdiri dari: teupong bit (tepung beras) 13 leksikon atau 16,04%, teupong breuh bit (tepung beras)

Universitas Sumatera Utara

142

4 leksikon atau 4,93%, dan breuh bit (beras nasi) 2 leksikon atau 2,46%, agar lebih jelas lihat tabel di bawah ini:

Tabel 4.4

Data Frekuensi Penggunaan Leksikon Padi atau Beras

A. LEKSIKON MAKNA JML % Total TUMBUH- % TUMBUHAN BIJI-BIJIAN (SEREALIA) 1. Teupong bit‘ tepung beras’ 13 16,04% 2. Teupong breuh tepung beras’ 4 4,93% bit 3. Breuh bit beras nasi’ 2 2,46% 19 23,43%

Data frekuensi penggunaan ekoleksikon tumbuhan padi atau beras (Poaceae) sebagai bahan peunajoh Aceh padi agar lebih jelas lihat gambar pie cart di bawah ini:

2,46%

4,93%

1 2 3

1. Ekoleksikon teupong bit sebanyak 13 leksikon atau 16,04% 2. Ekoleksikon teupong breuh bit sebanyak 4 leksikon atau 4,93%16,04% 3. Ekoleksikon Breueh bit sebanyak 2 leksikon atau 2,46%

Gambar: 4.20 Frekuensi Penggunaan Leksikon Padi atau Beras

Universitas Sumatera Utara

143

Perbandingan penggunaan leksikon yang berasal dari padi/ beras dengan leksikon lain seperti: teupong bit (tepung beras) 13 leksikon atau 16,04%, tepung breuh bit (tepung beras) 4 leksikon atau 4,93%, dan breuh bit (beras nasi) 2 leksikon atau 2,46%, agar lebih jelas lihat tabel di atas.

b. Breuh leukat ‘ beras pulut’

Pade Leukat

Teupong Breuh leukat leukat

Gambar 4.21 Taksonomi hiponim Pade Leukat ‘Padi Pulut’

Gambar taksonomi 4.20 menjelaskan bahwa pade leukat ‘padi pulut’ merupakan istilah umum, sedangkan breuh leukat ‘beras pulut’, dan teupong leukat

‘tepung pulut’ adalah istilah khusus dari turunan atau hiponim pade leukat ‘padi pulut’. Pulut: bu lukat si seun nasi ketan sekali kukus), bu leukat dua seun, bu leukat kuah tuhe, bu lukat keurabe , bu tai, bu umpep, teupong leukat, agar lebih jelas taksonomi meronimi berikut :

Universitas Sumatera Utara

144

Breuh Leukat (Pulut)

Bu Leukat Bu Tai Bu Umpep Teupong leukat Pulot Leumang Bu Bajek

Gambar: 4.22 Taksonomi meronimi pulut

.Berdasarkan data yang dikumpulkan dari bahan peunajoh Aceh yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang terbagi atas kacang-kacangan (serealla) yang terbagi atas atas beras, pulut, terigu, dan kacang yang terdiri atas 21 leksikon

Frekuensi penggunaan nama leksikon yang digunakan sebagai bahan peunajoh dapat dilihat perbandingan leksikon tumbuh seraella dapat dilihat perbandingannya pada (gambar pie cart) di atas.bu leukat si seun (nasi ketan sekali kukus), bu leukat dua seun (nasi ketan dua kali kukus), bu leukat kuah tuhe (nasi ketan), bu leukat keurabe (nasi ketan), bu tai (nasi ketan), bu umpep (nasi ketan), teupong leukat

(tepung ketan), pulot (pulut), breuh leukat (beras kentan), breuh leukat teulheu (beras kentan gongseng)

Universitas Sumatera Utara

145

1. Leksikon Bu lukat si seun ‘ sebanyak 2 leksikon atau 2,46% 2. Leksikon Bu leukat dua seun sebanyak 1 leksikon atau 1,23% 3. LeksikonGambar Bu leukat 4 Frekuensi kuah tuhe sebanyakPenggunaan 1 leksikon Leksikon atau 1,23% beras ketan 4. Leksikon Bu lukat keurabe sebanyak 1 leksikon atau 1,23% 5. Leksikon Bu tai sebanyak 1 leksikon atau 1,23% 6. Leksikon Bu umpep sebanyak 1 leksikon atau 1,23% 7. Leksikon Teupong leukat sebanyak 14 leksikon atau 17,28% 8. Leksikon pulot sebanyak 1 leksikon atau 1,23% 9. Leksikon Breuh leukat sebanyak 15 leksikon atau 18,51% 10. Leksikon Breuh leukat teulheu sebanyak 1 leksikon atau 1,23%

Gambar: 4.23 Frekuensi penggunaan ekoleksikon pulut

Penggunaan leksikon ketan sebanyak 21 leksikon, terdiri dari: bu leukat si seun (nasi ketan sekali kukus), bu leukat dua seun (nasi ketan dua kali kukus), bu leukat kuah tuhe (nasi ketan), bu leukat keurabe (nasi ketan), bu tai (nasi ketan), bu umpep (nasi ketan), teupong leukat (tepung ketan), pulot (pulut), breuh leukat (beras kentan), breuh leukat teulheu (beras kentan gongseng). c. Gandum (Triticum aestivum L)

Tepung terigu adalah tepung atau bubuk halus yang berasal dari bulir gandum, dan digunakan sebagai bahan dasar pembuat kue, mi dan roti. Kata terigu dalam

Universitas Sumatera Utara

146

bahasa Indonesia diserap dari bahasa Portugis, trigo, yang berarti "gandum". peunajoh

Aceh menggunakan gandum (Triticum aestivum L) sebagai bahan pokok untuk membuat berbagai makanan, sebagai tanaman serealia dari famili Graminae

(Poaceae) gandum juga sebagai bahan makanan pokok. Gandum adalah sekelompok tanaman serealia dari suku padi-padian yang kaya akan karbohidrat. Gandum biasanya digunakan untuk memproduksi tepung terigu, pakan ternak, ataupun difermentasi untuk menghasilkan alkohol. Tanaman gandum mengandung protein lebih tinggi daripada beras. Gandum termasuk tanaman subtropis. Tanaman gandum yang ditanam di daerah beriklim kering umumnya adalah jenis hard wheat yang cocok untuk terigu pembuat roti, sedangkan pada daerah basah yaitu jenis soft wheat, menghasilkan terigu bahan pembuat biskuit/kue.

Gambar: 4. 24. Tanaman Gandum

Berdasarkan data peunajoh Aceh , gandum digunakan sebagai bahan baku pembuatan peunajoh Aceh dari 60 jenis peunajoh Aceh pengunaan tepung gandum digunakan sebanyak 10 jenis peunajoh yaitu: kueh seupet, timphan balon, rasyidah, adee teupong, adee ubi, bungong kayee, ruti cane, ruti jala, ruti seuop, ukheu u, ruti

Universitas Sumatera Utara

147

pop. Teupong gandong ‘tepung gandum/terigu’ digunakan sebanyak 10 leksiko. Ruti pop ‘roti eskrim’ digunakan sebanyak 1 leksikon.

Tepung terigu adalah tepung atau bubuk halus yang berasal dari bulir gandum, dan digunakan sebagai bahan dasar pembuat kue, mi dan roti. peunajoh Aceh menggunakan gandum (Triticum aestivum L) sebagai bahan pokok untuk membuat berbagai makanan.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari bahan peunajoh Aceh yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang terbagi atas kacang-kacangan (serealla) yang terbagi atas atas terigu, terdiri atas 3 leksikon, terdiri dari: teupong gandong ’tepung terigu’, ruti pop ‘roti eskrim’.

Gandong

Teupong Kueh aneuk Kueh Kueh rasyidah Kueh Lapeh Ukheu U Kueh malinah Kueh seupet Timphan baloen Ruti cane Kueh adee gandong mamplam meuseukat

Data frekuensi penggunaan istilah bahan peunajoh yang berasal dari tepung terigu yang digunakan ada tiga istilah yaitu: Teupong gandong atau tepung gandum’terigu sebanyak 11 leksikon atau 13,58%, Ruti pop atau roti eskrim’ sebanyak 1 leksikon atau 1,23%, tepung tapioka atau tepung tapioka sebanyak 3 leksikon atau 3,70%. agar lebih jelas lihat gambar pie cart di bawah:

Universitas Sumatera Utara

148

3,70%

1,23%

13,58%

1. Leksikon Teupong gandong sebanyak 11 leksikon atau 13,58% 2. Leksikon Ruti pop sebanyak 1 leksikon atau 1,23% 3. Leksikon Tepung tapioka’sebanyak 3 leksikon atau 3,70%

Gambar: 4.25 Perbandingan Frekuensi Penggunaan Leksikon gandum

d. Jera maneh (Jintan manis)

Makanan tradisional memiliki aneka cita rasa yang didukung oleh pelbagai bumbu masak yang memberikan rasa khas Aceh, rasa yang menunjukkan elaborasi etnik dari berbagai asal. Bumbu masak pendukung peunajoh Aceh memberikan cita rasa khas dengan menggunakan rempah-rempah salah satu adalah jintan. Jintan

(Trachyspermum roxburghianum syn. Carum roxburghianum) merupakan tumbuhan menjalar yang bijinya dapat digunakan untuk rempah dan bumbu peunajoh Aceh, jintan juga digunakan untuk obat-obatan. Cita rasa khas penggunaan jintan sebagai bumbu dapur untuk masakan khas India. Begitu pula peunajoh Aceh yang diberi bumbu jintan sehingga tanaman ini banyak dibudidayakan di India dan Asia

Universitas Sumatera Utara

149

Tenggara. Jintan memberikan rasa lebih yang berbeda bila menggunakan rempah lainnya.

Taksonomi Jintan yang masuk pada biji-bijian (Serealia) dan pada peunajoh

Aceh hanya pada kueh marke dan bhoi yang menggunakan jintan sebagai bahan pemberi rasa khas Aceh. Bhoi sebagai peunajoh Aceh dengan berbagai bentuk yang variatif, seperti: bentuk ikan, bintang, bunga, dan lain-lain. Bhoi ini dapat menjadikan salah satu buah tangan saat berkunjung ke sanak saudara atau tetangga yang mengadakan hajatan atau pesta, seperti sunatan dan kelahiran. Kue Bhoi juga dijadikan sebagai salah satu isi dari bingkisan seserahan yang dibawa oleh calon pengantin pria untuk calon pengantin perempuan pada saat acara pernikahan.

Jera maneh

Marke Bhoi

Universitas Sumatera Utara

150

Gambar: 4. 26. Biji Jintan

e. Jagung (Teosinte, Zea mays ssp. parviglumis)

Peunajoh Aceh Cagruk yang menggunakan jagung sebagai pelengkap rasa yang dipadu-padankan dengan buah-buahan lain tentu akan menghasilkan pelbagai jenis makanan. Mencampur pelbagai jenis buah dan umbi seperti: singkong (ketela), buah nangka, buah jagung, kacang hijau, beras kentan, santan, gula pasir, dan gula merah.akan memberikan rasa yang beraneka pada . Cagruk dikumpulkan dengan berbagai aneka buah, umbi, dan tepung tentu akan menghasilkan panganan peunajoh

Aceh yang cukup memikat untuk dinikmati.

Universitas Sumatera Utara

151

Gambar: 4. 27. Boh jagong (buah jagung/ Zea Mays L)

Taksonomi jagung sebagai keturunan langsung sejenis tanaman rerumputan mirip jagung yang bernama teosinte (Zea mays ssp. parviglumis) masuk gen-gen dari sub-spesies lain, terutama Zea maysssp. mexicana. Istilah teosinte sebenarnya digunakan untuk menggambarkan semua spesies dalam genus Zea, kecuali Zea mays ssp. mays. Proses domestikasi menjadikan jagung merupakan satu-satunya spesies tumbuhan yang tidak dapat hidup secara liar di alam. Taksonomi jagung (Zea mays ssp. mays) adalah salah satu tanaman pangan penghasil karbohidrat yang kaya selain gandum dan padi, jagung merupakan pangan pokok, sebagaimana bagi sebagian penduduk Afrika dan beberapa daerah di Indonesia. Pada masa kini, jagung juga sudah menjadi komponen penting pakan ternak. Penggunaan lainnya adalah sebagai sumber minyak pangan dan bahan dasar tepung maizena. Taksonomi Zea mays atau

Universitas Sumatera Utara

152

jagung merupakan tanaman serealia dibuat minyak dan tepung maizena yang kaya akan pentosa.

f. Kacang (Vigna radiata L )

Peunajoh Aceh memiliki variatif bahan baku salah satunya adalah kacang- kacangan. Peunajoh Aceh yang menggunakan kacang-kacangan adalah: boh usen, bada reuteuk, malinda, kipang kacang,dan cagruk. Taksonomi kacangan merupakan klasifikasi dan morfologi tanaman kacang hijau (Vigna radiata L) sebagai salah satu jenis tanaman kacang-kacangan yang berfamili dengan leguminasae yaitu kacang tanah atau kacang-kacangan seperti: kacang tanah, kacang hijau, kacang (kedelai), kacang polong, kacang arcis, dan kacang lainnya.

Kacang

Kacang Ijo Kacang tanoh

Gambar: 4.28 Taksonomi hiponim kacang ‘kacang’

Gambar taksonomi 4.28 menjelaskan bahwa kacang ‘kacang’ merupakan istilah umum, sedangkan kacang ijo ‘kacang hijau’, dan kacang tanoh ‘kacang tanah’ adalah istilah khusus dari turunan atau hiponim kacang ‘kacang’.

Universitas Sumatera Utara

153

Gambar: 4. 29. Kacang hijau

Kacang Ijo

Cangruk Bada Reuteuk

Kacang Tanoh

Boh Usen Kipang Kacang Kueh malinda Kacang Teulheu

Gambar: 4.29 Taksonomi meronimi kacang ijo ‘Kacang hijau’ dan kacang tanoh ‘kacang tanoh’

Universitas Sumatera Utara

154

Penggunaan kacang dalam peunajoh Aceh sebanyak 6 leksikon dari 5 jenis

peunajoh Aceh seperti: boh usen, bada reuteuk, malinda, kipang kacang, dan

cagruk dari 6 leksikon tersebut kacang tanah digunakan 3 leksikon, kacang tanah

gongseng 1 leksikon, dan kacang hijau sebanyak 2 leksikon.

Penggunaan kacang dalam bahan kuliner Aceh digunakan pada peunajoh

Aceh, nama peunajoh yang menggunakan kacang-kacangan adalah: baoh usen, bada reuteuk, malinda, kipang kacang,dan cagruk..

Penggunaan kacangan dalam peunajoh Aceh sebanyak 6 leksikon dari 5 jenis peunajoh Aceh seperti: baoh usen, bada reuteuk, malinda, kipang kacang,dan cagruk dari 6 leksikon tersebut kacang tanah digunakan 3 leksikon, kacang tanah gongseng 1 leksikon, dan kacang hijau sebanyak 2 leksikon. dan penggunaan kacangan lihat tabel di atas.

Frekuensi penggunaan kacangan pada leksikon kacang tanoh (kacang tanah), teulheu (kacang tanah), gongseng’, Kacang ijo‘ (kacang hijau), boh jagong (buah jagung) dengan perbandingan frekuensi penggunaan dapat dilihat pada p ie cart di bawah ini:

Universitas Sumatera Utara

155

1,23% 3,70%

2,46% 1,23%

1. Leksikon kacang tanoh sebanyak 3 leksikon atau 3,70% 2. Leksikon kacang telheu sebanyak 1 leksikon atau 1,23% 3. Leksikon kacang ijosebanyak 2 leksikon atau 2,46% 4. Leksikon Boh jagong’sebanyak 1 leksikon atau 1,23%

Gambar: 4.30. Frekuensi Penggunaan Leksikon kacangan

4.3.1.2. Umbi-umbian (Euphorbiaceae)

Umbi-umbian

Bawang Boh Ubi Boh keupila mirah

Gambar: 4.31 Taksonomi hiponim Umbi-umbian

Gambar taksonomi 4.31 menjelaskan bahwa umbi-umbian merupakan istilah umum, sedangkan boh ubi, boh keupila, dan bawang mirah adalah istilah khusus dari turunan atau hiponim umbi-umbian.

Universitas Sumatera Utara

156

1) Singkong (Euphorbiaceae)

Peunajoh Aceh yang menggunakan ubi sebagai bahan baku adalah: timphan ubi, bada ubi, ubi reuboh, ubi teumbang, dan cagruk. Peunajoh Aceh yang menggunakan singkong sebagai bahan baku tersebut dikemas dengan bahan campuran lainnya. Taksonomi ekolesikon singkong dikenal sebagai ketela pohon (ubi kayu), adalah pohon tahunan tropika dan subtropika dari keluarga Euphorbiaceae. Peunajoh

Aceh tepung tapioka memiliki sifat-sifat fisik yang serupa dengan tepung sagu, sehingga penggunaan keduanya dapat dipertukarkan. Tepung ini sering digunakan untuk membuat makanan dan bahan perekat. Banyak peunajoh Aceh menggunakan tepung tapioka sebagai bahan bakunya. berdasarkan data tersebut sebanyak 16 leksikon digunakan sebagai bahan baku.

Berdasarkan data yang diperoleh dari peunajoh Aceh penggunaan singkong sebagai bahan baku digunakan sebanyak 16 leksikon dari 5 jenis peunajoh Aceh yaitu: timphan ubi, bada ubi, ubi reuboh, ubi teumbang, dan cagruk yaitu: Tepung tapioka

(Tepung tapioka) sebanyak 3 leksikon, tape sebanyak 1 leksikon, Boh ubi (singkong) sebanyak 5 leksikon, Teupong kanji sebanyak 3 leksikon, Boh ubi parot (ubi parut) sebanyak 1 leksikon, Ubi reboh sebanyak 1 leksikon, Ubi teumbang sebanyak

1 leksikon, Boh keupila (buah ketela) sebanyak 1 leksikon.

Universitas Sumatera Utara

157

Boh Ubi

Marke Bada Adee Rasyidah

Gambar : 4.32 Taksonomi meronimi ubi

2) Ubi Jalar (I pomoea batatas L)

Ubi jalar atau ketela rambat ( I pomoea batatas L. ) adalah sejenis tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah akarnya yang membentuk umbi dengan kadar gizi ( karbohidrat ) yang tinggi. Umbi ubi jalar menjadi salah satu sumber makanan pokok yang dimanfaatkan umbinya, daun muda ubi jalar juga dibuat sayuran. Ubi jalar (I pomea batatas) termasuk dalam family Cavalvuloceae. leksikon ubi digunakan pada berbagai bahan makanan yang ada di Aceh. Boh keupila ‘ubi jalar’ digunakan sebagai bahan pembuatan peunajoh Aceh cagruk.

.

Gambar: 4. 33. Pohon Ubi Jalar

Universitas Sumatera Utara

158

3) Bawang Mirah ‘Bawang Merah (Allium Cepa L)

Buah berbentuk bulat dengan ujungnya tumpul membungkus biji bawang, bawang merah dapat digunkan sebagai penambah harum bahan makanan. Beberapa jenis peunajoh Aceh menggunakan bawang merah sebagai pengharum dan penambah cita rasa adalah: kue rasyidah, bada pisang, bada ubi, bada sukon, adee, dan marke.

Penggunaan bawang mirah teucroh ‘bawang merah goreng’ digunakan sebanyak 3 leksikon. Tanaman Bawang Merah (Allium cepa L) – Bawang merah merupakan salah satu tanaman yang termasuk kedalam umbian tanah, dan juga tanaman yang memiliki perakaran yang serabut di bagian pangkal umbi.

Gambar: 4 34. Bawang Merah

Tanaman bawang merah ini digunakan sebagai bumbu atau tambahan masakan yang bertujuan untuk memberikan cita rasa khusus dalam masakan tersebut.

Bawang merah memiliki kandungan dan senyawa yang sangat tinggi, sehingga di

Universitas Sumatera Utara

159

zaman dahulu hingga sekarang banyak menggunakan bawang merah untuk menambah cita rasa harum makanan.

Bawang Mirah

Bawang mirah Bawang mirah Bawang mirah teupeh teucroh teucang

Gambar: 4.35 Taksonomi hiponimi Bawang Mirah ‘Bawang merah’

Berdasarkan taksonomi hiponimi bawang mirah ‘bawang merah’ merupakan istilah umum, sedangkan bawang mirah teupeh ‘bawang merah giling’, bawang mirah teucang ‘bawang merah cincang’, dan bawang mirah teucroh ‘bawang merah goreng’ merupaka istilah khusus dan sekaligus sebagai turunan dari hiponimi bawang merah.

Disamping taksonomi hiponimi bawang merah juga dapat digambarkan dalam bentuk taksonomi meronimi sebagaimana terlihat dalam gambar berikut ini:

Gula Mirah

Bada reuteuk Bu grieng Kipang Kacang Boh rhom-rhom

Gambar: 4.36 Taksonomi meronimi Bawang Mirah ‘Bawang merah’

Universitas Sumatera Utara

160

Frekuensi penggunaan bahan umbi-umbian yang terdiri dari: singkong

(aceeuphorbiae), ubi jalar (i pomoea batatas l), dan bawang mirah ‘bawang merah

(allium cepa l) sebagai bahan peunajoh Aceh dapat dipergunakan beberapa istilah leksikon sesuai dengan bahasa Aceh. Ekoleksikon tumbuhan umbi-umbian yang digunakan sebagai bahan peunajoh digunakan istilah yang berbeda-beda untuk umbi- umbian, sehingga penggunaan bahan umbi-umbian pada bahan peunajoh Aceh menggunakan bahan umbi-umbian dan ada pula menggunakan bahan umbi-umbian yang dioleh menjadi tepung tapioka. Agar lebih jelas frekuensi penggunaan bahan makanan yang berasal dari leksikon umbi-umbian dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Peunajoh Aceh yang menggunakan ubi sebagai bahan baku adalah: timphan ubi, bada ubi, ubi reuboh, ubi teumbam, dan cagruk. peunajoh Aceh yang menggunakan singkong sebagai bahan baku tersebut dikemas dengan bahan campuran lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari peunajoh Aceh penggunaan singkong sebagai bahan baku digunakan sebanyak 16 leksikon dari 5 jenis peunajoh Aceh timphan ubi, bada ubi, ubi reuboh, ubi teumbam, dan cagruk yaitu: Tepung tapioka

(Tepung tapioka) sebanyak 3 leksikon, tape sebanyak 1 leksikon, Boh ubi (singkong) sebanyak 5 leksikon, Teupong kanji (jali-jali) Teupong kanji sebanyak 3 leksikon,

Boh ubi parot (ubi parut) sebanyak 1 leksikon, Ubi reboh sebanyak 1 leksikon, Ubi teumbam sebanyak 1 leksikon, Boh keupila (buah ketela) sebanyak 1 leksikon. perbandingan frekuensi penggunaannya dapat di lihat pada p ie cart berikut ini:

Universitas Sumatera Utara

161

1 2 3 4 5 6 7

1. Leksikon Boh ubi sebanyak 2 leksikon atau 13,33% 2. Leksikon Teupong ubi sebanyak 3 leksikon atau 20% 3. Leksikon Boh ubi parot sebanyak 1 leksikon atau 6,66% 4. Leksikon Ubi reboh sebanyak 1 leksikon atau s6,66% 5. Leksikon Ubi teumbam sebanyak 1 leksikon atau 6,66% 6. Leksikon Boh keupila sebanyak 1 leksikon atau 6,66% 7. Leksikon Bawang mirah teucroh sebanyak 3 leksikon atau 20% 8. Leksikon Teupong kanji /jali-jali sebanyak 3 leksikon atau 20%

Gambar: 4.37 Frekuensi Penggunaan Leksikon umbi-umbian

4.3.1.3 Coklat (Theobroma Cacao L)

Peunajoh Aceh yang menggunakan tepung coklat sebagai bahan baku adalah: kueh lapeh (kue lapis). Kueh lapeh sebagai peunajoh Aceh menggunakan tepung coklat sebagai bahan baku untuk memberikan rasa nikmat pada kue tersebut.

Taksonomi ekoleksikon coklat (Theobroma Cacao L) dikenal sebagai pemberi rasa nikmat pada makanan yang dicampur dengan coklat. Tanaman kakao menjadi salah satu komoditas perkebunan unggulan Indonesia selain karet dan kakao. Tanaman yang juga dikenal dengan nama cokelat atau kopi coklat ini merupakan bahan baku pembuatan karamel cokelat. yang dapat menghilangkan stress dan rasa nikmat pada setiap makanan. Tepung coklat digunakan pada peunajoh Aceh sebagai bahan

Universitas Sumatera Utara

162

bakunya, berdasarkan data tersebut sebanyak 1 leksikon digunakan sebagai bahan baku.

Berdasarkan data tepung coklat (Theobroma Cacao L) sebagai bahan baku pada peunajoh Aceh digunakan sebanyak 1 jenis peunajoh Aceh yaitu pada kueh lapeh saja.

Gambar: 4. 38. Buah coklat

Berdasarkan sistem klasifikasi taksonomi ekoleksikon tanaman coklat

(Theobroma cacao L) ini diklasifikasikan sebagai berikut:

Teupong Coklat

Kueh Lapeh

Gambar: 4.39 Taksonomi meronimi Coklat ‘coklat’

Universitas Sumatera Utara

163

4.3.1.4 Palma (Palm)

Palma

Bak U Bak jok Bak kurma Bak sage

Boh u Ie jok Boh kurma Sage

Meulisan Gula mirah Beurene sage Teupong sage

Gambar: 4.40 Taksonomi hiponim Palma

Gambar taksonomi 4.40 menjelaskan bahwa bak u, bak jok, bak kurma, bak sage merupakan hiponim dari palma. Palma adalah istilah umum sementara bak u, bak jok, bak kurma, bak sage adalah istilah khusus dari turunan istilah umum kurma.

Selanjutnya boh u merupakan hiponim dari bak u, ie jok hiponim dari bak jok, boh kurma hiponim dari bak kurma, sage hiponim dari bak sage sehingga boh u, ie jok, boh kurma, dan sage dalam hal ini menjadi istilah khusus dari hasil turunan masing- masing istilah umum bak u, bak jok, bak kurma, bak sage Selanjutnya istilah meulisan dan gula mirah merupakan hiponim dari ie jok , sedangkan beureune sage dan teupong sage merupakan hiponim dari bak sage. Berdasarkan gambar tersebut hiponimi adalah bak u, bak jok, bak kurma, bak sage dinyatakan sebagai hubungan vertical dalam taksonomi, sedangkan ko-taksonomi adalah tumbuh-tumbuhan dan hewan merupakan hiponim dari lingkungan hidup, dan alam merupakan hiponim dari

Universitas Sumatera Utara

164

lingkungan mati. Berdasarkan gambar di atas, hiponimi adalah lingkungan hidup dan lingkungan mati

U

U tuha /rhiek U pateun U muda

Santan U teukue

Santan likat/ pati Santan gren diny santan atakan sebagai hubungan vertikal dalam taksonomi, sementara ko-taksonomi adalah tumbuh- tumbuhan dan hewan serta alam ditunjukkan dalam hubungan horizontal.

1) Kelapa/ Palem

Kelapa merupakan tumbuhan daerah tropis sehingga kelapa hidup hampir di seluruh wilayah di Indonesia, mulai dari pinggir pantai sampai ke pengunungan.

Kelapa digunakan oleh penduduk sebagai tanaman primadona, apakah itu kelapa sawit maupun kelapa biasa. tanaman palem ini dimanfaatkan untuk berbagai keperluan hidup. Peunajoh Aceh memanfaatkan tanaman kelapa untuk membuat berbagai jenis makanan diantaranya : Nyab, Ukhe U, boh Usen, bungong kayee, kue seupet, kue bangket, kueh pret mameh, timphan, bu lukat dua seun, bu lukat kuah tuhe, bu tai, pulot, bu umpep, lemang, ie bu, kueh lapeh, kueh gleung, kueh naga sari, adee / bingkang teupong, adee / bingkang ubi, cagruk, ruti ue, ruti cane, ruti seuop, apam,

Universitas Sumatera Utara

165

putu, mano, meusekat, dodoi, bu bajek, eumping breuh, bada reuteuk, aneuk, mamplam, malinda, timphan ubi, timphan iem, dugok, timphan baloen, bada pisang, bada sukon, pisang reboh, pisang ubi reboh, pisang teumbam, bu lukat keurabe, kueh rashidah, eungkhui, boh rhom-rhom, dan limpeng.

Hasil analisis data diperoleh 49 peunajoh Aceh yang menggunakan bahan baku kelapa, baik kelapa mentah maupun kelapa olahan yang telah menjadi minyak goreng dan mentega. Bentuk leksikon yang berasal dari tumbuhan kelapa seperti: U

(Kelapa) sebanyak 21 leksikon, U pateun (Kelapa yang agak muda) sebanyak 1 leksikon, U pateun (kelapa setengah tua) sebanyak 1 leksikon, Pati santan (santan kental) sebanyak 5, Santan likat (santan kental) sebanyak 9 leksikon, santan sebanyak

13 leksikon, teutaguen (santan kental yang sudah dimasak) sebanyak 2, Minyeuk

(minyak makan) sebanyak 5 leksikon, Minyeuk makan (minyak goreng) sebanyak 8 leksikon, Minyeuk keu croh (minyak untuk menggoreng) sebanyak 1 leksikon,

Mentega (margarin) sebanyak 5 leksikon, Mentega caye (margarin cair) sebanyak

1 leksikon, jadi total frekuensi penggunaan taksonomi ekoleksikon sebanyak 72 leksikon.

Universitas Sumatera Utara

166

U

Santan U teuku U teuwot

Eungkhui Limpeng Boh rhom-rhom Bu Leukat Keurabe Boh rhom-rhom Bu Leukat Keurabe

Gambar: 4.42 Taksonomi meronimi u ’kelapa’

Hasil analisis data dipertoleh 74 leksikon menggunakan istilah palma dengan 11 kelapa, 1 kelapa sawit, kurma dan sagu masing-masing 1 leksikon. Makanan khas

Aceh yang menggunakan bahan baku kelapa, apakah itu kelapa yang masih mentah ataupun kelapa olahan yang telah menjadi minyak gorang ataupun mentega. Bentuk leksikon yang berasal dari tumbuhan palma

Universitas Sumatera Utara

167

1. Leksikon U sebanyak 21 leksikon atau 28,48% 2. Leksikon U pateun sebanyak 2 leksikon atau 2,94% 3. Leksikon Pati santan sebanyak 5 leksikon atau 6,28% 4. Leksikon Santan likat sebanyak 9 leksikon atau 11,24% 5. Leksikon Santan sebanyak 13 leksikon atau 17,87% 6. Leksikon teutaguen sebanyak 2 leksikon atau 2,94% 7. Leksikon Minyeuk sebanyak sebanyak 2 leksikon atau 2,81% 8. Leksikon Mentega 5 leksikon atau 6,28% 9. Leksikon Mentega caye sebanyak 1 leksikon atau 1,47%

Gambar: 4.43 Frekuensi ekoleksikon padi-padian (seraella) pada Bahasa Peunajoh Aceh

2) Aren/ Aren (Arenga Pinnata, Suku Arecaceae)

Gula merah yang dihasilkan dari pohon aren yang termasuk kelompok palma/ palem, gula aren sebagai pemanis makanan pada umumnya terbuat dari hasil pohon enau. Dari 60 jenis data peunajoh Aceh terdapat 10 jenis peunajoh Aceh menggunakan gula merah sebagai pemanis: bada reuteuk, bu grieng, kipang kacang, pisang, reuboh, ubi reuboh, pisang teumbang, ubi teumbang, boh rhom-rhom, cagruk, eumping breuh.

Universitas Sumatera Utara

168

Gambar 29. Pohon Aren/ Enau Penghasil Gula Merah .

Pohon Enau atau aren (Arenga pinnata, suku Arecaceae) adalah palma yang terpenting setelah kelapa (nyiur) karena merupakan tanaman serba guna. Tumbuhan ini dikenal dengan pelbagai nama seperti nau, hanau,peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk (aneka nama lokal di dan Semenanjung Malaya); kawung, taren (Sd.); akol, akel, akere,inru, indu (bahasa-bahasa di ); moka, , tuwa, tuwak (di

Nusa Tenggara). Bangsa Belanda mengenalnya sebagai aren palm atau zuikerpalm dan bangsa Jerman menyebutnya zuckerpalme. Dalam bahasa Inggris disebut palm atau Gomuti palm.

Universitas Sumatera Utara

169

Gula yang dihasilkan dari pohon enau ini dinamakan dengan gula mirah ‘gula merah’ dapat dimanfaatkan untuk membuat pelbagai jenis peunajoh Aceh, diantaranya sebagaimana terlihat pada gambar h ierarki di bawah ini:

Gula Mirah

Bada reuteuk Bu grieng Kipang Kacang Boh rhom-rhom

Gambar: 4.44 Taksonomi Gula Mirah ‘gula merah’

3) Boh Kurma ‘Kurma’ (Phoenix dactylifera)

Kurma (phoenix dactylifera) merupakan tanaman palma (Arecaceae) dalam

genus Phoenix, buahnya dapat dimakan. Buah kurma sebagai makanan kegemaran

masyarakat di Indonesia yang digunakan sebagai pelengkap pada peunajoh Aceh.

Variasi buah kurma pada beberapa peunajoh Aceh salah satunya adalah makanan

ruti seuop. Variasi buah kurma sebagai pemanis pada peunajoh Aceh tersebut

memberikan cita rasa yang baik pada ruti seuop.

Universitas Sumatera Utara

170

Kurma

Ruti Seuop

Gambar: 4.45 Taksonomi meronimi Boh Kurma ‘Kurma’

Secara taksonomi ekoleksikon tanaman buah kurma bukan berasal dari daerah

Aceh, tetapi buah kurma berasal dari daerah Timur Tengah. Namun karena daerah

Aceh dikenal sebagai daerah Serambi Mekah yang kental dengan Agama Islam, maka buah kurma bukanlah barang yang asing di daerah Aceh. Sehingga, buah kurma selalu ada pada saat berbuka puasa, dengan demikian penggunaan buah kurma sering digunakan pada kuliner Aceh.

Gambar: 4.46. Pohon Kurma

Universitas Sumatera Utara

171

4) Teupong Sage/ Tepung Beureune ‘Tepung Sagu’ (Metroxylon sp)

Pohon rumbia atau pohon sagu sejenis tanaman palma yang dihasilkan oleh batang tanaman sagu yang diolah dengan mengetam batang pohon sagu yang kemudian diperas dengan peralatan sederhana yang kemudian diambil pati dari hasil perasan batang pohon sagu tersebut. Pohon rumbia/ sagu memiliki nama-nama yang berbeda diberbagai daerah di Sumatra seperti: meuria, rumb ieu, remb ie, rembi, rembiau, rambia,hambia, humbia, lumbia, rombia, rumpia, ripia,, lepia, lapia, lapaia, hula atau huda, ambulung, bulung,(am) bulu. Sagu merupakan sumber karbohidrat penting sehingga dapat dijadikan bahan pembuatan etanol untuk substitusi bahan bakar minyak. Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan banyaknya tanaman sagu sebagai potensi pati sagu paling tinggi. Tanaman rumbia dapat diolah dengan cara pembuatan sagu yang sederhana dengan kandungan kanji yang tinggi yang diolah menjadi tepung sagu sebagai sumber makanan pokok.

Gambar: 4.47 Tanaman Rumbia/ sagu

Universitas Sumatera Utara

172

Tanaman sagu sebagai bahan peunajoh Aceh dengan nama timphan sage sebanyak 1 leksikon atau 1,47%. Teupong sage ‘tepung sagu’ digunakan pada peunajoh Aceh timphan sage. tepung sagu digunakan sebagai bahan. Tepung sagu berasal dari pokok meuria/sage ‘sagu’ yang tergolong dalam tanaman dari famili

Palmae yang mengeluarkan sulur. Taksonomi ekoleksikon pohon sagu sama dengan pohon kelapa sebagai tumbuhan palma

Kurma

Ruti Seuop .

Gambar: 4.48 Taksonomi meronimi Sage ‘sagu’

4.2.1.5 Tebu (Saccharum officinarum L) Rumput-rumputan (graminae)

Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) masuk famili graminae yaitu rumput-rumputan yang mengandungan sukrosanya paling tinggi dan kandungan seratnya paling rendah. Gula yang dihasilkan dari pohon tebu sebagai pemanis makanan seperti gula dari tebu dan dari pohon aren. Dari data yang dikumpulkan dari

60 jenis peunajoh Aceh terdapat 54 jenis peunajoh Aceh menggunakan gula putih atau gula pasir diantaranya: Nyab, keukarah, ukhe u, boh usen, bada reuteuk, Aneuk mamplam, bungong kayee, bhoi ,bu grieng, malinda, kipang kacang, kue seupit, kue bangkit, kueh pret mameh, timphan, timphan sage, timphan ubi, timphan iem,

Universitas Sumatera Utara

173

timphan baloen, dughok, pisang, reuboh, ubi reuboh, pisang teumbam, ubi teumbam, bu lukat keurabe, bu lukat kuah tuhe, bu tai, pulot, tape, bu umpep, ie bu, kueh lapeh, kueh gleung, kueh naga sari, kueh rasidhah, eungkhui, boh rhom-rhom, limpeng, Adee

/ bingkang teupong, adee / bingkang ubi, cagruk, ruti ue, ruti cane, ruti seuop, apam, putu, putro mano, meuseukat, , bu bajek, eumping breuh.

Gambar: 4.49 Taksonomi meronimi Teube ‘Tebu’

Frekuensi penggunaan saka ‘gula pasir’ sebanyak 52 leksikon dan teupong saka ‘tepung gula’ sebanyak 1 leksikon.

4.3.1.6 Jeruk Nipis’ (Citrus aurantifolia ‘Cristm’)

Penggunaan bahan pembuatan peunajoh Aceh diracik dengan menggunakan

pelbagai bahan yang ada di lingkungan Wilayah Aceh. begitu pula penggunaan

jeruk nipis termasuk salah satu jenis citrus jeruk, dipakai sebagai pemberi aroma

yang menyegarkan pada peunajoh Aceh. Peunajoh Aceh yang menggunakan jeruk

sebagai bahan tersebut adalah bhoi. Penggunaan istilah jeruk diberbagai daerah

menggunakan istilah yang beragam sesuai dengan bahasa pada suku tersebut.

Tanaman Citrus aurantifolia (Cristm.) Swingle dikenal di pulau Sumatera dengan

nama Kelangsa (Aceh).

Taksonomi ekoleksikon penggunaan kulet kuyuen ‘kulit jeruk nipis’ (Citrus

aurantifolia ‘Cristm’) ditemukan pada peunajoh bhoi dengan frekuensi pemakaian

Universitas Sumatera Utara

174

kulet kuyuen ‘kulit jeruk nipis’ hanya 1 leksikon. untuk lebih jelas taksonomi kulet kuyuen ‘kulit jeruk nipis’ dapat dilihat pada gambar berikut:

.

Gambar: 4. 50. Buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

Universitas Sumatera Utara

175

Taksonomi ekoleksikon penggunaan kulet kuyuen ‘kulit jeruk nipis’

(ditemukan pada peunajoh bhoi dengan gambaran taksonomi berikut ini:

Kulet kuyuen

Bhoi

Gambar: 4.51 Taksonomi meronimi Boh Kuyuen ‘ Jeruk Nipis’

4.3.1.7 Suku Adas-adasan ‘Daun-daunan’ (Apiaceae).

Daun-daunan

On seuke On sop pulot

Gambar: 4.52 Taksonomi hiponim daun-daunan

1) On sop ‘Daun Seledri’ (Apium Graveolens L)

Seledri (Apium Graveolens L.) adalah sayuran daun dan tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bumbu masakan. Beberapa negara termasuk Jepang, Cina dan

Korea mempergunakan bagian tangkai daun sebagai bahan makanan dan digunakan daunnya untuk menyedapkan sup, daun juga dipakai sebagai lalap, atau dipotong kecil-kecil lalu ditaburkan di atas , , macam-macam sup lainnya, atau juga

Universitas Sumatera Utara

176

atau sebagai lalap. Penggunaan seledri dapat dimanfaatkan seluruhnya seperti: daun, tangkai daun, buah, dan umbinya semua dimanfaatkan. Seledri adalah tumbuhan serbaguna, terutama sebagai sayuran dan obat-obatan. Sebagai sayuran, daun, tangkai daun, dan umbi sebagai campuran sup. Peunajoh Aceh yang menggunakan daun seledri adalah kue marke, sehingga kue tersebut memberikan aroma yang memikat untuk dinikmati.

Gambar: 4.53 Pohon Seledri

Seledri (terutama buahnya) memiliki aromanya yang khas berasal dari sejumlah komponen mudah menguap dari minyak atsiri yang dikandung paling tinggi pada buahnya yang dikeringkan. Kandungan utamanya adalah butilftalida sebagai pembawa aroma utama.

Universitas Sumatera Utara

177

On Sop

Kueh Marke

Gambar: 4.54 Taksonomi meronimi On Sop ‘Daun Seledri’

2) On Seukee Pulot ‘Daun Pandan’(, Roxb)

Masyarakat Aceh sejak zaman dahulu telah mengenal dan memanfaatkan tanaman yang mempunyai khasiat obat atau menyembuhkan penyakit, yaitu daun pandan wangi. Tanaman pandan wangi dapat dengan mudah dijumpai di daerah tropis dan banyak ditanam di halaman, di kebun, di pekarangan rumah maupun tumbuh secara liar. Tanaman pandan dimanfaatkan sebagai bahan khas Aceh seperti: timphan,bu lukat si seun, bu lukat kuah tuhe, bu tai, ie bu, kueh naga sari, adee / bingkang teupong, ruti seuop, putu, putro mano, dan bu bajek dari data 60 jenis peunajoh Aceh terdapat 12 jenis peunajoh Aceh yang menggunakan pandan wangi sebahan bahan pembuatan peunajoh Aceh tersebut.

Universitas Sumatera Utara

178

Gambar: 4.55. Pohon pandan Pandanus amaryllifolius (R.)

Pandan wangi adalah jenis tanaman monokotil dari famili Pandanaceae.

Daunnya merupakan komponen penting sebagai bahan makanan khas Aceh. Pandan pada umumnya merupakan pohon atau semak yang tegak.

On seuke pulot

Bu leukat Bu tai Ruti seuop Adee Ie Bu

Gambar: 4.56 Taksonomi meronimi Daun Pandan

Penggunaan daun seledri (Apium Graveolens L.) adalam peunajoh Aceh sebagai bumbu masakan. Data peunajoh Aceh yang menggunakan daun seledri adalah kue marke leksikon on sop (seledri) hanya digunakan 1 leksikon sedangkan leksikon

On Seukee Pulot (Daun Pandan) digunakan sebanyak 11 leksikon.

Universitas Sumatera Utara

179

Frekuensi penggunaan bahan makanan yang menggunakan daun adas-adasan

seperti leksikon on sop (daun seledri) dan leksikon on seukee pulot (daun pandan)

pada 60 peunajoh Aceh ada perbedaan yang mencolok pada tersebut dapat dilihat

perbandingannya pada (gambar p ie cart berikut ini).

3,33%

91,66%

1. Leksikon On sop (daun seledri) sebanyak 1 leksikon atau 3,33% 2. Leksikon On seukee pulot (daun pandan) sebanyak 12 leksikon atau 91,66%

Gambar:4.57 Frekuensi leksikon on sop dengan on suke pulot pada data Peunajoh Aceh

4.3.1.8 Buah-Buahan

Boh kayee/ buah-buahan

Boh pisang Boh sukon Boh panah Boh haneuh

Gambar: 4.58 Taksonomi hiponim boh kayee ‘buah-buahan’

Universitas Sumatera Utara

180

1. Pisang (Musa Paradisiaca L)

Pisang

On Pisang Boh Pisang

On pucok On pisang On pisang pisang pateun tuha

Pisang Pisang Pisang Pisang Pisang wak kleung mantan Klat barat panah

Gambar: 4.59 Taksonomi hiponimi pisang

Buah pisang merupakan jenis makanan olahan primadona dalam bentuk bada pisang ‘pisang goreng’ atau dalam pelbagai variasi pisang lainnya. Peunajoh Aceh banyak mengolah bahan makanan pisang menjadi keripik dan aneka olahan peunajoh lainnya. Bahan makanan pisang untuk peunajoh Aceh lainnya. Dari 60 jenis data peunajoh Aceh ditemukan penggunaan leksikon pisang-pisang sebanyak 10 leksikon penggunaan leksikon pisang klat barat, pisang raja sebanyak 2 leksikon, penggunaan leksikon pisang monyet atau pisang mantan sebanyak 2 leksikon, penggunaan leksikon pisang ayam sebanyak 1 leksikon, penggunaan leksikon pisang teumbang sebanyak 1 leksikon, penggunaan leksikon pisang reuboh ‘pisang rebus’ sebanyak 1 leksikon, penggunaan leksikon boh pisang panah pisang raja sebanyak 3.

Universitas Sumatera Utara

181

Pisang

Timphan Dughok Nagasari Bada

Gambar: 4.60 Taksonomi meronimi Pisang

Data taksonomi ekoleksikon pisang ditemukan sebanyak 20 leksikon dari 74 leksikon yang diperoleh dari 60 jenis peunajoh Aceh. Nama-nama leksikon tumbuhan buah pisang pada umumnya dilakukan berdasarkan penggunaannya pada jenis kuliner peunajoh Aceh Tersebut. Penggunaan leksikon tumbuhan pisang bukan hanya pada bagian buah, tetapi juga menggunakan leksikon daun yang dugunakan sebagai pembungkus peunajoh Aceh seperti kueh leuphat. Berdasarkan data peunajoh Aceh sebanyak 60 jenis leksikon maka bahan-bahan yang menggunakan pisang digunakan sebanyak 20 leksikon dan leksikon yang menggunakan leksikon pisang adalah Bada pisang, Pisang reuboh, Pisang teumbam, pisang mantan, Boh pisang panah, Pisang klat barat, daun pisang.

Penggunaan leksikon pisang- pisang sebanyak (10 leksikon ) penggunaan leksikon pisang klat barat pisang raja sebanyak 2 leksikon, penggunaan leksikon pisang monyet atau pisang mantan sebanyak 2 leksikon, penggunaan leksikon pisang ayam sebanyak 1 leksikon, penggunaan leksikon pisang teumbam sebanyak 1

Universitas Sumatera Utara

182

leksikon, penggunaan leksikon pisang reuboh pisang rebussebanyak 1 leksikon, penggunaan leksikon boh pisang panah pisang raja sebanyak 3.

Berdasarkan data peunajoh Aceh sebanyak 60 jenis leksikon maka bahan- bahan yang menggunakan pisang digunakan sebanyak 20 leksikon dan leksikon yang menggunakan leksikon pisang adalah bada pisang, Pisang reuboh, Pisang teumbam, pisang mantan, Boh pisang panah, Pisang klat barat, daun pisang, Data perbandingan penggunaan leksikon pisang yang berasal dari ekologi tumbuh-tumbuhan dapat dilihat perbandingan penggunaan leksikon pada data peunajoh Aceh pada (gambar p ie cart di bawah).

1. Leksikon Pisang sebanyak 10 leksikon atau 50% 2. Leksikon Pisang klat barat sebanyak 2 , leksikon atau 10% 3. Leksikon pisang monyet sebanyak 2 leksikon atau 10% 4. Leksikon pisang ayam sebanyak 1 leksikon atau 5,91% 5. Leksikon Pisang teumbam sebanyak 1 leksikon atau 5% 6. Leksikon Pisang reuboh sebanyak 1 leksikon atau 5% 7. Leksikon Boh pisang panah sebanyak 3 leksikon atau 15%

Gambar: 4.61 Persentase leksikon pisang ((Musa Paradisiaca L)) pada Peunajoh Aceh

Universitas Sumatera Utara

183

2) Boh Sukon ‘Buah Sukun’ (Artocarpus Altilis)

Buah sukun di Aceh dikenal dengan Boh sukon (buah suhun) memiliki pohon tinggi yang mencapai 30 M, Boh sukon digunakan sebagai peunajoh Aceh karena memiliki tekstur rasa yang lembut dan harum sehingga pada peunajoh Aceh disebut dengan Bada Sukon. Pohon sukun memiliki tajuk renggang, bercabang mendatar dan berdaun besar-besar yang tersusun berselang-seling, berbagi menyirip dalam, liat agak keras seperti kulit, hijau tua mengkilap di sisi atas, serta kusam, kasar dan berbulu halus di bagian bawah. Buah majemuk merupakan perkembangan dari bunga betina majemuk, forma berbiji (timbul) dengan duri-duri lunak dan pendek, hijau tua. Forma tak berbiji (sukun) biasanya memiliki kulit buah hijau kekuningan, dengan duri-duri yang tereduksi menjadi pola mata faset segi di kulitnya. Buah sukun merupakan sebagai bahan pangan penting sumber karbohidrat, sukun dapat dimasak utuh atau dipotong-potong terlebih dulu: direbus, digoreng dapat pula dijadikan keripik dengan cara diiris tipis disangrai. atau dibakar.

.

Gambar: 4. 62 Buah Sukun (Artocarpus altilis)

Universitas Sumatera Utara

184

Sukun sesungguhnya adalah kultivar yang terseleksi sehingga tak berbiji. Kata

"sukun" dalam bahasa Jawa berarti "tanpa biji" dan dipakai untuk kultivar tanpa biji pada jenis buah lainnya, seperti jambu klutuk dan durian. "Moyangnya" yang berbiji

(dan karenanya dianggap setengah liar) dikenal sebagai timbul, kulur (bahasa Sunda), ataukluwih (bahasa Jawa), kulu (bahasa Aceh), kalawi (Minang). Di daerah Pasifik, kulur dan sukun menjadi sumber karbohidrat penting. Di sana dikenal dengan berbagai nama, seperti kuru, ulu, atau uru. Nama ilmiahnya adalah Artocarpus altilis.

Boh Sukon

Bada Keuripep Kulak

Gambar: 4.63 Taksonomi meronimi Boh Sukon ‘Buah Sukun’

3) Boh Panah ‘Buah Nangka’ (Artocarpus)

Cita rasa buah nangka dapat memberikan aroma yang menggiurkan, baik dimakan secara manual atau sebagai bahan pewangi pada makanan lain. Buah nangka sebagai nama pohon dan juga nama buahnya, pohon nangka termasuk ke dalam suku

Moraceae. Pada data peunajoh Aceh penggunaan buah nangka digunakan sebagai bahan pelengkat dan memberika rasa dan aroma yang menngiurkan untuk dinikmati.

Data peunajoh Aceh yang menggunakan nangka sebagai campuran bahan peunajoh

Universitas Sumatera Utara

185

Aceh sebanyak 60 jenis diperoleh sebanyak 3 leksikon peunajoh seperti: bu lukat kuah tuhe, bu umpep, cagruk, putu,timphan, putroe mano dengan istilah leksikon yang menyebutkan: Boh panah masak (nangka matang) sebanyak 3 leksikon dan boh panah

(buah nangka) sebanyak 1 leksikon.

Boh panah

Kuah Tuhe Bu Umpep Cagruk Putro mane Timphan

Gambar: 4.64 Taksonomi meronimi Boh Panah ‘Buah Nangka’ Tanaman buah nangka matang mempunyai aroma nangka yang khas dengan daging buahnya berwarna kuning segar dapat dimakan langsung atau diolah sebagai bahan masakan, boh panah (buah nangka) yang digunakan sebagai bahan peunajoh

Aceh dari 60 peunajoh Aceh dan memiliki frekuensi sebanyak 4 leksikon atau 80% dengan taksonomi tanaman leksikon boh panah (buah nangka).

Gambar: 4.65. Buah nangka

Universitas Sumatera Utara

186

4) Boh haneuh ‘Nenas’ (Ananas comosus L. Merr)

Tanaman nenas cukup dikenal dan banyak dibudidayakan di dataran rendah sampai ke dataran tinggi. Nenas merupakan tanaman herba yang dapat hidup dalam berbagai musim. Buah nenas digunakan sebagai bahan peunajoh Aceh pada leksikon meuseukat yang menggunakan nenas sebagai bahan yang digunakan dalam peunajoh

Aceh. Penggunaan nenas sangat jarang yaitu 1 leksikon dari 60 jenis peunajoh Aceh.

Taksonomi tanaman ini digolongkan dalam kelas monokotil yang bersifat tahunan yang mempunyai rangkaian bunga yang terdapat di ujung batang, tumbuhnya meluas dengan menggunakan tunas samping yang berkembang menjadi cabangcabang vegetafif,

Universitas Sumatera Utara

187

Gambar: 4.66 Pohon Nenas

Boh Haneuh

Meuseukat Asoe Kaya

Gambar: 4.67 Taksonomi meronimi Boh Haneuh ‘Buah Nenas’

Universitas Sumatera Utara

188

5) Ragho ‘Ragi’ ‘Saccharomyces / Fungi’)

Pembuatan singkong/ ubi menjadi tape membutuhkan proses permentasi atau peragian. Proses peragian tape dengan bantuan saccharomyces sebagai genus khamir/ ragi yang mengubah glukosa menjadi alkohol. Ragi atau saccharomyces sebagai mikroorganisme bersel satu tidak berklorofil, termasuk termasuk kelompok

Eumycetes. Taksonomi saccharomyces dalam proses fermentasi yaitu mikroorganisme yang berkembang biak, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap suhu yang tinggi, mempunyai sifat stabil dan cepat mengadakan adaptasi. Beberapa spesies yang termasuk dalam genus ini diantaranya yaitu

Saccharomyces cerevisiae, Saccharomyces boullardii, dan Saccharomyces uvarum.

Saccharomyces dalam pembuatan tape memiliki sifat dapat memfermentasikan maltosa secara cepat (lean dough yeast), memperbaiki sifat osmotolesance rapid fermentation kinetics, freeze dan thaw tolerance, dan memiliki kemampuan memetabolisme substrat. Pemakaian ragi dalam pembuatan tape sangat berguna untuk mengubah singkong ubi menjadi tape karena terjadi proses peragian terhadap singkong dan memberi aroma (alkohol). Fungsi ragi (yeast) dalam pembuatan tape adalah untuk proses aerasi mengubah gula menjadi gas karbondioksida, sehingga mematangkan dan mengempukan gluten dalam adonan. Pengkondisian dari gluten ini akan memungkinkan untuk mengembangkan gas secara merata dan menahannya, membentuk cita rasa akibat terjadinya proses fermentasi

Universitas Sumatera Utara

189

Gambar: 4.68 Jamur ragi

Ragho

Tapee

Gambar: 4.69 Taksonomi meronimi Ragho ‘Ragi’ (Fungi)

6) Vanili (V. planifolia)

Peunajoh Aceh menggunakan vanili sebagai bumbu dan bahan makanan, karena harum vanili memberikan harum yang memikat untuk menambah selera saat menikmati makanan. Ekoleksikon tumbuhan vanili memberikan sumbangan cita rasa dan nikmat peunajoh Aceh. berdasarkan hal itu, Taksonomi tumbuhan vanili telah memberikan pemahaman tentang hubungan antara ekoleksikon dengan bahasa dalam mengidentifikasi kontribusi tumbuh-tumbuhan dalam menambah leksikon bahasa, sehingga kekayaan bahasa tidak bisa dilepaskan dari ekologi dan lingkungan alam.

Universitas Sumatera Utara

190

Tanaman Vanili banyak digunakan pada industri makanan sebagai penyedap rasa.

Harganya komoditas pertanian ini cukup mahal, sehingga vanili disebut juga emas hijau. Dapat dimaklumi jika harganya mahal karena masih jarang yang membudidayaknnya dan proses pascapanennya pun lebih rumit dibandingkan dengan komoditas yang lain. Vanili diperjual belikan dalam bentuk bubuk vanili/ vanila, yang dihasilkan dari buahnya yang berbentuk polong.

Tasonomi tanaman Vanilla masih tergolong dalam kerabat Anggrek

(Orchidaceae), tumbuh dengan cara merambat dan hidup secara semi epifit. Jenis tanaman vanili memiliki nilai komersial untuk produksi buahnya, taksonomi tanaman vanili adalah sebagai berikut:

Vanili

Bhoi Asoe Kaya

Gambar: 4.70 Taksonomi Vanili ‘ Vanilla’ (V. planifolia)

Vanilla Planifolia merupakan jenis tanaman vanili yang memproduksi kualitas buah terbaik, kuantitas buah terbanyak, bentuk polong buah besar dan memiliki kadar vanillin tinggi apabila teknik pengolahan buah hijau dilakukan dengan benar. Buah vanili memiliki struktur panjang dan berbentuk seperti pisang namun lebih kecil diameternya. Warna buah vanili mula-mula hijau muda, kemudian hijau tua disertai

Universitas Sumatera Utara

191

dengan garis-garis kuning menjelang masak. Setelah buah mencapai perkembangan maksimal sekitar 5 sampai 6 bulan buah akan masak dan berwarna coklat tua. Jika dibiarkan masak di pohon, buah akan pecah menjadi 2 bagian dan menyebarkan aroma vanili.

Gambar: 4.71. Buah Polong Vanila

4.3.2 Ekoleksikon Hewan

Binatang/ Hewan

Manok Itek

Boh Manok Boh Itek

Gambar: 4.72 Taksonomi hiponim binatang ‘hewan’

Universitas Sumatera Utara

192

1) Boh Manok ‘Telur Ayam’ (Galus Galus Domesticus)

Boh manok ‘Telur ayam’ merupakan salah satu produk hewani yang dihasilkan oleh ayam atau unggas, telur digunakan sebagai bahan beberapa jenis peunajoh Aceh diantaranya: boh manok ‘telur ayam’ antara lain: Nyab, boh usen, bada reuteuk, bungong kayee, bhoi, kue bangket, kue marke, timphan, timphan baloen, bu tai, adee/ bingkang teupong, adee/ bingkang ubi, ruti cane, ruti jala, ruti seuop, dan meuseukat.

Boh Manoek

Bhoi Meuseukat Rasyidah Asoe Kaya

Gambar: 4.73 Taksonomi meronimi Boh Manok ‘Telur Ayam’ (Galus galus)

Penggunaan telur ayam merupakan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi yang dibutuhkan karena mengandung kadar protein dan kadar lemak yang tinggi.

Telur juga merupakan sumber zat besi, beberapa mineral dan vitamin, sehingga telur merupakan bahan pangan sumber protein hewani yang terdapat dalam peunajoh Aceh, telur memberikan kelezatan pada makanan. Dari 60 jenis Peunajoh Aceh diperoleh

14 jenis peunajoh Aceh dan frekuensi penggunaan telur ayam diperoleh 17 leksikon

Boh manok ‘Telur ayam’.

Universitas Sumatera Utara

193

2) Boh Itek ‘Telur Bebek’

Penggunaan telur sebagai bahan peunajoh Aceh karena bernilai gizi tinggi yang dibutuhkan karena mengandung kadar protein dan kadar lemak yang tinggi.

Fungsi telur bebek pada bahan peunajoh Aceh dapat digantikan oleh telur ayam karena memiliki sumber zat besi, beberapa mineral dan vitamin, sehingga telur merupakan bahan pangan sumber protein hewani yang dapat menimbulkan rasa gurih pada peunajoh Aceh. Pemakaian telur ayam lebih diprioritaskan dibandingkan dengan telur itik karena cita rasa telur itik banyak yang kurang senang pada aroma dan rasa telur itik. Kualitas eksternal telur itik tentu akan terlihat pada tekstur telur, bentuk, warna kulit dan keutuhan telur. Sehingga hal itu mentukan kualitas internal mengacu pada jumlah putih telur (albumen) : Kebersihan dan viskositas, ukuran sel udara, bentuk kuning telur dan kekuatan kuning telur hal itu akan memberikan kuantitas jumlah telur itik dan besarnya jumlah kuning telur.

Boh Itek

Bhoi

Pada data peunajoh Aceh yang berjumlah 60 jenis peunajoh hanya diperoleh

1 jenis peunajoh Aceh dan frekuensi penggunaan telur bebek hanya 1 leksikon. Boh itek ‘ telur bebek’ merupakan salah satu produk hewani yang dihasilkan oleh itik, telur digunakan sebagai bahan untuk peunajoh Aceh dengan berbagai jenis kuliner Aceh

Universitas Sumatera Utara

194

yang menggunakan boh itek ‘telur bebek’ antara lain: adee / bingkang teupong. Faktor yang sangat penting yang mempengaruhi besar telur adalah protein dan asam amino dalam ransum yang cukup, dan asam linoleat akan berpengaruh pada kualitas peunajoh Aceh.

Data frekuensi penggunaan leksikon hewan sebagai bahan peunajoh Aceh yang berjumlah 60 jenis peunajoh hanya diperoleh 1 jenis peunajoh Aceh dan frekuensi penggunaan telur ayam sebanyak 17 dan leksikon Boh itek sebanyak 1 leksikon sebagai bahan untuk peunajoh Aceh untuk lebih jelas lihat gambar pie cart di berikut ini:

20%

80%

1. Leksikon boh manok ‘telur ayam’ sebanyak 17 leksikon atau 80% 2. Leksikon boh itek ‘telur bebek’ sebanyak 1, leksikon atau 20%

Gambar: 4.74. Frekuensi perbandingan Leksikon boh manuk dengan boh itek pada Peunajoh Aceh

Universitas Sumatera Utara

195

4.2.3 Ekoleksikon Alam Abiotik

Alam Abiotik

Ie Sira Gapu

Ie biet Ie suum Ie masak

Gambar: 4.75 Taksonomi hiponim Alam’Lingkungan Alam’

4.3.3.1 ie ‘air’

Air sebagai kebutuhan pokok yang dapat dipergunakan untuk air minum makhluk hidup, air juga digunakan sebagai bahan pelarut adonan peunajoh Aceh.

Selain sebagai pelarut air juga digunakan sebagai bahan untuk menghasilkan santan dengan cara menambahkan air ke dalam kelapa yang telah diparut. Air sebagai sumber utama yang dan merupakan regulator pelarut berbagai macam bahan peunajoh Aceh dilarutkan dengan air. Dari data peunajoh Aceh yang berjumlah 60 jenis peunajoh

Aceh terdapat 27 leksikon jenis kue atau 35,52% menggunakan air secara langsung sebagai pelarut seperti: nyab, bada reuteuk, kipang kacang, kue seupet, kue marke, timphan, bada pisang, bada sukon, bada ubi, pisang reuboh, ubi reuboh, pisang,

Universitas Sumatera Utara

196

teumbam, ubi teumbam, bu lukat kuah tuhe, ie bu, kueh kashidah, boh rhom-rhom, limpeng, adee / bingkang ubi, ruti cane, ruti jala, putu, putro mano, meuseukat, dodol, eumping breuh.

4.3.3.2. Sira ‘garam’ (44) (Sodium Chlorida atau Natrium Chlorida ‘NaCl’)

Peunajoh Aceh sebagai makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat pada umumnya, makanan tersebut tentunya dengan citarasa khas yang diterima oleh masyarakat Aceh. Namun makanan tradisional Aceh tidak akan memeiliki cita rasa tanpa bumbu penyedap yaitu garam dapur atau Natrium Chlorida (NaCl) karena garam dapur memberikan cita rasa asin pada peunajoh Aceh atau makanan apapun.

Garam pada umumnya digunakan sebagai bahan baku makanan tradisional berasal dari sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah Aceh. Oleh sebab itu, makanan tradisional daerah tertentu berbeda rasanya antara satu daerah dengan daerah lainnya, hal itu karena cita rasa garam. Perbedaan cita rasa yang berbeda disebabkan oleh bahan, bumbu, dan cara pembuatannya yang berbeda, perbedaan cita rasa disesuaikan dengan ramuan dan budaya masing-masing daerah. Garam adalah zat yang memiliki fungsi untuk meberikan rasa pada makanan begitu pula peunajoh Aceh, berdasarkan data yang dikumpulkan dari 60 peunajoh Aceh ditemukan 46 atau 60,52% dari 76 leksikon peunajoh yang menggunakan bumbu garam sebagai pelengkap bahan peunajoh Aceh.

Universitas Sumatera Utara

197

Gambar: 4.76. Butiran garam dapur

Dengan demikian yang dimaksud makanan tradisional khas Aceh, bahan makanan olahan asli Aceh selalu menggunakan garam sebagai upaya menghindari rasa tawar pada makanan.

4.3.3.3. Gapu (Kapur Sirih)

Penggunaan Gapu (Kapur Sirih) pada bahan peunajoh Aceh yaitu pada peunajoh bada pisang, bada sukon, bada ubi yang berfungsi untuk merendam makanan tersebut agar makanan tersebut menjadi lebih garing ketika digoreng. Hal itu karena kapur sirih memiliki kandungan senyawa Kalsium hidroksida pada kapur sirih atau berupa Ca (OH)2 dimana kalsium ini diproduksi karena adanya treaksi dari kalsium oksida (CO) bila dilarutkan dengan air. ketika berinteraksi dengan air maka kalsium hidroksida dapat membentuk kristal dan pengendapan, peristiwa ini menyebabkan mengapa makanan bisa berubah menjadi keras dan lebih renyah ketika selesai digoreng.

Universitas Sumatera Utara

198

Gambar: 4.77 Kapur Sirih

Upaya yang dilakukan untuk membuat makanan menjadi renyah dengan merendam kapur sirih pada bahan makanan tertentu, sehingga makanan tersebut setelah digoreng akan lebih garing. Begitu pula dengan peunajoh Aceh setelah ditelusuri diperoleh data peunajoh Aceh yang menggunakan kapur sirih sebagai bahan perendam makanan agar garing diperoleh jenis peunajoh yaitu: bada pisang, bada sukon, dan bada ubi dengan persentase penggunaan bahan makanan yang berasal dari alam sebanyak tiga peunajoh tersebut sebanyak 3 leksikon atau 2,94%.

Frekuensi leksikon lingkungan alam pada peunajoh Aceh setelah dianalisis dan dilakukan perhitungan, diperoleh hasil sebagaimana dijelaskan berikut ini.

Leksikon alam pada leksikon ie ‘air’ sebanyak 53 leksikon atau 51,96% yang langsung digunakan, sementara ada air lain yang juga Digunakan untuk menghasikan santan kelapa. sira ‘garam’ sebanyak 46 leksikon atau 45,10 %, gapu ‘kapur sirih’

Universitas Sumatera Utara

199

sebanyak 3 leksikon atau 2,94%. Agar lebih jelas frekuensi leksikon alam dapat dilihat pada gambar p ie cart di bawah ini:

1. Leksikon Ie (air) sebanyak 53 leksikon atau 51,96%, 2. Leksikon Sira (garam) sebanyak 46 leksikon atau 45.10%, 2. Leksikon Gapu (kapur sirih) sebanyak 3 leksikon atau 2,94%.

Gambar: 4.78 Persentase Penggunaan Leksikon yang Berasal dari Alam pada Bahasa Peunajoh Aceh

Universitas Sumatera Utara

BAB VI

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PEUNAJOH ACEH

6.1 Gambaran Persepsi Masyarakat Lhokseumawe terhadap Diversitas

Peunajoh Aceh

Persepsi merupakan pengetahuan seseorang yang diperoleh melalui pengalaman penginderaan; penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman untuk memahami dan menafsirkan objek-objek yang terdapat di alam sekitarnya. Persepsi masyarakat dalam hal ini khususnya masyarakat Aceh terhadap peunajoh Aceh bisa di lihat melalui interrelasi tiga dimensi (dimensi ideologis, sosiologis dan biologis) teori yang dipelopori oleh (Bang & Door 1998:65).

Dimensi ideologis melihat dan mendeskripsikan mentalitas dan kognisi masyarakat

Aceh yang berkaitan dengan ekoleksikon peunajoh Aceh. Dimensi ideologis dalam pembahasan ini akan dijelaskan melalui pengetahuan masyarakat dengan mengenal/ tahu leksikon jenis-jenis peunajoh Aceh, tahu cara membuat, pernah membuat, dan pernah mengkonsumsinya.

Selanjutnya melalui dimensi sosiologis, kajian ini dapat menjelaskan pemahaman masyarakat Aceh tentang penggunaan bahasa (ekoleksikon pada peunajoh Aceh) dalam berinteraksi. Dalam hal ini persepsi sosiologis yang akan dijelaskan berkaitan dengan pernah mendengar leksikon-leksikon yang berhubungan dengan peunajoh Aceh dibicarakan dalam masyarakat khususnya masyarakat

Lhokseumwe. Misalnya “keukarah” yang merupakan salah satu jenis peunajoh Aceh akan dilihat bagaimana pemahaman masyarakat Aceh tentang keukarah pada aspek sosiologis. Dimensi ideologis berhubungan erat dengan dimensi sosiologis, dimana

200

Universitas Sumatera Utara 201

aspek pengetahuan masyarakat diperoleh melalui adanya interaksi sosial dalam mayarakat. Seseorang tahu leksikon jenis peunajoh Aceh karena adanya interaksi sosial dengan cara mendengar pembicaraan dalam masyarakat tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat yang pernah mendengar leksikon peunajoh Aceh sekaligus mengetahui jenis-jenis peunajoh tersebut. Dimensi biologis digunakan untuk melihat pemahaman masyarakat mengenai kolektivitas ekologis sebagai ekosistem. Dalam hal ini hanya difokuskan pada pemahaman mereka mengenai sumber-sumber ekologi yang mejadi bahan baku peunajoh Aceh.

Untuk mengetahui persepsi masyarakat secara keseluruhan, peneliti memilih lima kategori usia masyarakatnya, klasifikasi usia tersebut berdasarkan pendapat ahli psikologi perkembangan, yaitu pada usia anak, remaja, dewasa, tua, dan lansia.

Dalam kajian ini kategori anak ditetapkan pada usia yang berkisar antara 10- 19 tahun, kelompok usia remaja berkisar antara 20-29 tahun, usia, usia dewasa antara

30-39 tahun, usia tua antara 40-59 tahun, dan kelompok lansia yang usianya 60 keatas.

Persepsi yang diukur dalam pembahasan ini meliputi; pertama persepsi mengenal macam-macam peunajoh Aceh; kedua, pengalaman mencicipinya; ketiga, mengetahui bahan-bahan dasar yang digunakan untuk membuatnya; keempat, mengetahui cara pembuatannya; dan kelima, memiliki pengalaman membuatnya.

Semua persepsi masyarakat mengenai hal tersebut dijelaskan dalam bentuk diagram terlebih dahulu, selanjut dijelaskan lebih terperinci dalam bentuk deskripsi narasi, yaitu sebagaimana berikut.

Universitas Sumatera Utara 202

Diagram 5.1 Peunajoh nyab

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh nyab dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui nyab mencapai 90% , remaja 85%, dewasa

95%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 90%, remaja 85%, dewasa 95%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat nyab meliputi; kategori anak 30%, remaja 35%, dewasa

80%, orang tua 85%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat nyab golongan anak 35%, remaja 50%, dewasa 80%, orang tu 85%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat nyab kategori anak 10%, remaja terdiri dari 15%, dewasa 80%, orang tua 85%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya. Berdasarkan hasil persentase yang diperoleh ada perbedaan persepsi dalam bidang pengetahuan antar golongan usia anak dengan remaja.

Pengetahuan dan pengalaman makan anak 5% lebih tinggi dibandingkan dengan

Universitas Sumatera Utara 203

remaja. Hal ini disebabkan, sekarang ini pendistribusian peunajoh nyab sudah lebih tinggi di pasaran dibandingkan beberapa tahun yang lalu, sehingga anak-anak tidak asing lagi dengan jenis peunajoh ini.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 94% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh nyab, 94% pernah mencicipinya, 66% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 70% mengetahui cara pengolahannya, dan 58% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.2 Peunajoh Keukarah

Diagram 5.2 menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh keukarah dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui keukarah mencapai 85% , remaja 95%, dewasa

100%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 85%, remaja 95%, dewasa 100%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang

Universitas Sumatera Utara 204

digunakan untuk membuat keukarah meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 5%, dewasa 65%, orang tua 50%, dan lansia 95% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat keukarah golongan anak 5%, remaja 5%, dewasa 35%, orang tua 35%, dan lansia 75%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat keukarah kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 5%, dewasa 25%, orang tua 35%, dan lansia mencapai

80% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 96% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh keukarah, 96% pernah mencicipinya, 43% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

33% mengetahui cara pengolahannya, dan 29% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.3 Peunajoh Ukheu u

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh ukheu u dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui ukheu u mencapai 65% , remaja 25%, dewasa

Universitas Sumatera Utara 205

85%, orang tua 95% dan lansia mencapai 85%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 60%, remaja 25%, dewasa 80%, orang tua 95% dan lansia 85%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat ukheu u meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 0%, dewasa 40%, orang tua 55%, dan lansia 80% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat ukheu u golongan anak 5%, remaja 5%, dewasa 10%, orang tu 65%, dan lansia 80%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat ukheu u kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 0%, dewasa 10%, orang tua 30%, dan lansia mencapai 50% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 71% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh ukheu u, 69% pernah mencicipinya, 35% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

33% mengetahui cara pengolahannya, dan 18% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.4 Peunajoh Boh usen

Universitas Sumatera Utara 206

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh boh usen dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui boh usen mencapai 85% , remaja 100%, dewasa

95%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 80%, remaja 100%, dewasa 95%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat boh usen meliputi; kategori anak 30%, remaja 30%, dewasa 55%, orang tua 70%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat boh usen golongan anak 25%, remaja 30%, dewasa 55%, orang tua

65%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat boh usen kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 30%, dewasa 55%, orang tua 50%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 96% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh boh usen, 95% pernah mencicipinya, 57% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 55% mengetahui cara pengolahannya, dan 47% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 207

Diagram: 5.5 Peunajoh Bada reuteuk

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh bada reuteuk dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui bada reuteuk mencapai 10% , remaja 15%, dewasa 40%, orang tua 55% dan lansia mencapai 70%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 10%, remaja 15%, dewasa 20%, orang tua 50% dan lansia 70%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bada reuteuk meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 0%, dewasa 10%, orang tua 15%, dan lansia 70% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat bada reuteuk golongan anak tidak ada, remaja 0%, dewasa 10%, orang tua 10%, dan lansia 70%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat bada reuteuk kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 0%, dewasa 10%, orang tua 0%, dan lansia mencapai 40% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 38% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh bada reuteuk, 33% pernah mencicipinya, 19% mengetahui bahan dasar yang

Universitas Sumatera Utara 208

digunakan, 18% mengetahui cara pengolahannya, dan 10% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.6 Peunajoh Aneuk mamplam

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh aneuk mamplam dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui aneuk mamplam mencapai

55% , remaja 75%, dewasa 85%, orang tua 100% dan lansia mencapai 95%.

Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 55%, remaja 75%, dewasa 85%, orang tua 100% dan lansia 95%.

Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat aneuk mamplam meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 5%, dewasa 25%, orang tua 70%, dan lansia 85% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat aneuk mamplam golongan anak tidak ada, remaja 5%, dewasa 20%, orang tua 65%, dan lansia 80%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat aneuk mamplam kategori

Universitas Sumatera Utara 209

anak tidak ada, remaja terdiri dari 5%, dewasa 10%, orang tua 35%, dan lansia mencapai 70% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 82% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh aneuk mamplam, 82% pernah mencicipinya, 37% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 34% mengetahui cara pengolahannya, dan 24% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.7 Peunajoh Bungong kayee

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh bungong kayee dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui bungong kayee mencapai 10% , remaja

35%, dewasa 20%, orang tua 65% dan lansia mencapai 95%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 10%, remaja 35%, dewasa 10%, orang tua 65% dan lansia 95%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bungong kayee meliputi; kategori anak

Universitas Sumatera Utara 210

tidak ada, remaja 0%, dewasa 10%, orang tua 50%, dan lansia 70% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat bungong kayee golongan anak tidak ada, remaja

0%, dewasa 10%, orang tua 55%, dan lansia 65%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat bungong kayee kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 0%, dewasa 0%, orang tua 10%, dan lansia mencapai 40% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 45% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh bungong kayee, 43% pernah mencicipinya, 26% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 26% mengetahui cara pengolahannya, dan 10% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.8 Peunajoh Bhoi

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh bhoi dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui bhoi mencapai 100% , remaja 95%, dewasa

100%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman

Universitas Sumatera Utara 211

pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 100%, remaja 95%, dewasa 100%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bhoi meliputi; kategori anak 15%, remaja 25%, dewasa

55%, orang tua 85%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat bhoi golongan anak 25%, remaja 60%, dewasa 70%, orang tua 95%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat bhoi kategori anak 10%, remaja terdiri dari 20%, dewasa 55%, orang tua 85%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 99% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh bhoi, 99% pernah mencicipinya, 56% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 70% mengetahui cara pengolahannya, dan 54% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.9 Peunajoh Bu grieng

Universitas Sumatera Utara 212

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh bu grieng dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui bu grieng mencapai 85% , remaja 90%, dewasa

95%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 85%, remaja 95%, dewasa 95%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bu grieng meliputi; kategori anak 40%, remaja 50%, dewasa 65%, orang tua 85%, dan lansia 85% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat bu grieng golongan anak tidak ada, remaja 50%, dewasa 65%, orang tua

85%, dan lansia 80%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat bu grieng kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 5%, dewasa 35%, orang tua 35%, dan lansia mencapai 55% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 94% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh bu grieng, 95% pernah mencicipinya, 65% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

56% mengetahui cara pengolahannya, dan 26% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 213

Diagram: 5.10 Peunajoh Malinda

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh malinda dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui malinda mencapai 50% , remaja

45%, dewasa 55%, orang tua 70% dan lansia mencapai 85%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 50%, remaja 50%, dewasa 55%, orang tua 55% dan lansia 65%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat malinda meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 15%, dewasa 10%, orang tua 35%, dan lansia 65% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat malinda golongan anak tidak ada, remaja 15%, dewasa 20%, orang tua 35%, dan lansia 65%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat malinda kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 0%, dewasa 10%, orang tua 20%, dan lansia mencapai 50% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 57% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh malinda, 55% pernah mencicipinya, 25% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

Universitas Sumatera Utara 214

27% mengetahui cara pengolahannya, dan 16% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.11 Peunajoh Kipang kacang

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh kipang kacang dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui kipang kacang mencapai 40% , remaja

50%, dewasa 707%, orang tua 80% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 40%, remaja 45%, dewasa 70%, orang tua 65% dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kipang kacang meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 10%, dewasa 20%, orang tua 65%, dan lansia 80% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat kipang kacang golongan anak tidak ada, remaja

0%, dewasa 20%, orang tua 35%, dan lansia 70%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat kipang kacang kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 0%, dewasa

10%, orang tua 20%, dan lansia mencapai 50% pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 215

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 68% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh kipang kacang, 64% pernah mencicipinya, 35% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 25% mengetahui cara pengolahannya, dan 16% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.12 Peunajoh Kueh Seupet

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh kue seupet dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui kue seupet mencapai 95% , remaja 85%, dewasa

95%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 95%, remaja 90%, dewasa 95%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kue seupet meliputi; kategori anak 5%, remaja 10%, dewasa 80%, orang tua 85%, dan lansia 95% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat kue seupet golongan anak 25%, remaja 30%, dewasa 80%, orang tua 85%,

Universitas Sumatera Utara 216

dan lansia 95%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat kue seupet kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 10%, dewasa 65%, orang tua 65%, dan lansia mencapai 95% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 95% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh kue seupet, 96% pernah mencicipinya, 55% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

63% mengetahui cara pengolahannya, dan 47% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.13 Peunajoh Kueh Bangket

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh kue bangket dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui kue bangket mencapai 40% , remaja 50%, dewasa 65%, orang tua dan lansia mencapai 95%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 25%, remaja 45%, dewasa 65%, orang tua dan lansia 95%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-

Universitas Sumatera Utara 217

bahan yang digunakan untuk membuat kue bangket meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 10%, dewasa 20%, orang tua 70%, dan lansia 85% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat kue bangket golongan anak tidak ada, remaja 40%, dewasa

50%, orang tua 80%, dan lansia 85%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat kue bangket kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 10%, dewasa 15%, orang tua

70%, dan lansia mencapai 70% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 69% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh kue bangket, 65% pernah mencicipinya, 37% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

51% mengetahui cara pengolahannya, dan 33% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.14 Peunajoh Kueh Pret Mameh

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh kueh pret mameh dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui kue pret mameh mencapai

35% , remaja 15%, dewasa 55%, orang tua 50% dan lansia mencapai 95%.

Universitas Sumatera Utara 218

Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 25%, remaja 10%, dewasa 50%, orang tua 40% dan lansia 95%.

Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kueh pret mameh meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 0%, dewasa 15%, orang tua 35%, dan lansia 95% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat kueh pret mameh golongan anak tidak ada, remaja 0%, dewasa 25%, orang tua 30%, dan lansia

70%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat kueh pret mameh kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 0%, dewasa 5%, orang tua 30%, dan lansia mencapai

70% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 50% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh kue pret mameh, 44% pernah mencicipinya, 29% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 25% mengetahui cara pengolahannya, dan 21% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.15 Peunajoh Kueh marke

Universitas Sumatera Utara 219

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh kueh marke dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui kue marke mencapai 80% , remaja

90%, dewasa 85%, orang tua 95% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 70%, remaja 90%, dewasa 85%, orang tua 95% dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kueh marke meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 25%, dewasa 55%, orang tua 80%, dan lansia 85% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat kue marke golongan anak tidak ada, remaja 25%, dewasa 70%, orang tua 80%, dan lansia 85%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat kue marke kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 25%, dewasa 55%, orang tua 80%, dan lansia mencapai 85% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 90% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh kueh marke, 88% pernah mencicipinya, 49% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 52% mengetahui cara pengolahannya, dan 49% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 220

Diagram: 5.16 Peunajoh Pulot

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh pulot dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui pulot mencapai 95% , remaja 100%, dewasa

100%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 95%, remaja 100%, dewasa 100%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat pulot meliputi; kategori anak 75, remaja 75%, dewasa

85%, orang tua 100%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat pulot golongan anak 65, remaja 100%, dewasa 100%, orang tua 100%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat pulot kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 35%, dewasa 75%, orang tua 95%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 99% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh pulot, 99% pernah mencicipinya, 87% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 93%

Universitas Sumatera Utara 221

mengetahui cara pengolahannya, dan 61% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.17 Peunajoh Timphan u

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh timphan u dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui timphan u mencapai 85% , remaja 90%, dewasa

100%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 80%, remaja 95%, dewasa 100%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat timphan u meliputi; kategori anak 20%, remaja 30%, dewasa 85%, orang tua 100%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat timphan u golongan anak 50%, remaja 75%, dewasa 100%, orang tua

100%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat timphan ukategori anak 20%, remaja terdiri dari 30%, dewasa 85%, orang tua 100%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 222

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 96% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh timphan u, 95% pernah mencicipinya, 67% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

85% mengetahui cara pengolahannya, dan 67% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.18 Peunajoh Timphan Asoe Kaya

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh timphan aso kaya dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui timphan aso kaya mencapai 85% , remaja 90%, dewasa 100%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 85%, remaja 90%, dewasa 100%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat timphan aso kaya meliputi; kategori anak 20%, remaja 30%, dewasa 85%, orang tua 100%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat timphan aso kaya golongan anak

Universitas Sumatera Utara 223

50%, remaja 75%, dewasa 100%, orang tua 100%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat timphan aso kaya kategori anak 10%, remaja terdiri dari 20%, dewasa 85%, orang tua 95%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 95% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh timphan aso kaya, 95% pernah mencicipinya, 67% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 85% mengetahui cara pengolahannya, dan 62% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.19 Peunajoh Timphan sage

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh timphan sage dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui timphan sage mencapai 95% , remaja

50%, dewasa 95%, orang tua 95% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 85%, remaja 50%,

Universitas Sumatera Utara 224

dewasa 85%, orang tua 95% dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat timphan sage meliputi; kategori anak

5%, remaja 10%, dewasa 70%, orang tua 95%, dan lansia 100% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat timphan sage golongan anak 60%, remaja 75%, dewasa 95%, orang tua 95%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat timphan sage kategori anak 10%, remaja terdiri dari 10%, dewasa 55%, orang tua 95%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 87% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh timphan sage, 83% pernah mencicipinya, 56% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 85% mengetahui cara pengolahannya, dan 54% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.20 Peunajoh Timphan ubi

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh timphan ubi dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia,

Universitas Sumatera Utara 225

dimana pada kategori usia anak yang mengetahui timphan ubi mencapai 70% , remaja 85%, dewasa 100%, orang tua 95% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 65%, remaja 90%, dewasa 100%, orang tua 95% dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat timphan ubi meliputi; kategori anak 10%, remaja 15%, dewasa 85%, orang tua 95%, dan lansia

100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat timphan ubi golongan anak

50%, remaja 75%, dewasa 85%, orang tua 95%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat timphan ubi kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari

15%, dewasa 80%, orang tua 95%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 90% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh timphan ubi, 90% pernah mencicipinya, 61% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 81% mengetahui cara pengolahannya, dan 58% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 226

Diagram: 5.21 Peunajoh Timphan Iem

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh timphan iem dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui timphan iem mencapai 25% , remaja 40%, dewasa 50%, orang tua65% dan lansia mencapai 80%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 20%, remaja 40%, dewasa 25%, orang tua 65% dan lansia 80%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat timphan iem meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 5%, dewasa 25%, orang tua 65%, dan lansia 80% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat timphan iem golongan anak tidak ada, remaja 75%, dewasa 20%, orang tua65%, dan lansia 80%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat timphan iem kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 5%, dewasa 15%, orang tua 50%, dan lansia mencapai 75% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 52% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh timphan iem, 46% pernah mencicipinya, 35% mengetahui bahan dasar yang

Universitas Sumatera Utara 227

digunakan, 48% mengetahui cara pengolahannya, dan 29% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.22 Peunajoh Timphan baloen

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh timphan baloen dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui timphan baloen mencapai 95% , remaja

90%, dewasa 80%, orang tua dan lansia mencapai 95%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 95%, remaja 90%, dewasa 80%, orang tua dan lansia 95%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan- bahan yang digunakan untuk membuat timphan baloen meliputi; kategori anak 15%, remaja 25%, dewasa 65%, orang tua 95%, dan lansia 95% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat timphan baloen golongan anak 50%, remaja 75%, dewasa

65%, orang tua 95%, dan lansia 95%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat timphan baloen kategori anak 10%, remaja terdiri dari 15%, dewasa 55%, orang tua

95%, dan lansia mencapai 90% pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 228

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 91% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh timphan baloen, 91% pernah mencicipinya, 59% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 76% mengetahui cara pengolahannya, dan 53% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.23 Peunajoh Dughok

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh dughok dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui dughok mencapai 80% , remaja 95%, dewasa

85%, orang tua 85% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 70%, remaja 95%, dewasa 85%, orang tua 85% dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat dughok meliputi; kategori anak 40%, remaja 50%, dewasa 70%, orang tua 85%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat dughok golongan anak 40%, remaja 75%, dewasa 70%,

Universitas Sumatera Utara 229

orang tua 85%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat dughok kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 30%, dewasa 70%, orang tua 85%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 89% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh dughok, 87% pernah mencicipinya, 69% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

72% mengetahui cara pengolahannya, dan 57% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.24 Peunajoh Bada pisang

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh bada pisang dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui bada pisang mencapai 85% , remaja

100%, dewasa 95%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 85%, remaja

100%, dewasa 95%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang

Universitas Sumatera Utara 230

mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bada pisang meliputi; kategori anak 75%, remaja 100%, dewasa 95%, orang tua 100%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat bada pisang golongan anak 65%, remaja 100%, dewasa 95%, orang tua 100%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat bada pisang kategori anak 50%, remaja terdiri dari

45%, dewasa 95%, orang tua 100%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 96% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh bada pisang, 96% pernah mencicipinya, 94% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 92% mengetahui cara pengolahannya, dan 78% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.25 Peunajoh Bada ubi

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh bada ubi dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui bada ubi mencapai 70% , remaja 95%, dewasa

Universitas Sumatera Utara 231

95%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 70%, remaja 95%, dewasa 100%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bada ubi meliputi; kategori anak 50%, remaja 95%, dewasa 95%, orang tua 100%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat bada ubi golongan anak 50%, remaja 95%, dewasa 95%, orang tua

100%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat bada ubi kategori anak 25%, remaja terdiri dari 35%, dewasa 90%, orang tua 100%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 92% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh bada ubi, 91% pernah mencicipinya, 88% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

88% mengetahui cara pengolahannya, dan 70% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.26 Peunajoh Pisang reuboh

Universitas Sumatera Utara 232

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh pisang reuboh dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui pisang reuboh mencapai 70% , remaja

95%, dewasa 100%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 70%, remaja 95%, dewasa 100%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat pisang reuboh meliputi; kategori anak

50%, remaja 95%, dewasa 100%, orang tua 100%, dan lansia 100% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat pisang reuboh golongan anak 50%, remaja 95%, dewasa 100%, orang tua 100%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat pisang reuboh kategori anak 25%, remaja terdiri dari 30%, dewasa 85%, orang tua 100%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 93% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh pisang reuboh, 93% pernah mencicipinya, 89% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 89% mengetahui cara pengolahannya, dan 68% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 233

Diagram: 5.27 Peunajoh Ubi reuboh

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh ubi reuboh dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui ubi reuboh mencapai 70% , remaja 90%, dewasa 100%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 50%, remaja 90%, dewasa 100%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat ubi reuboh meliputi; kategori anak

50%, remaja 90%, dewasa 100%, orang tua 100%, dan lansia 100% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat ubi reuboh golongan anak 50%, remaja 90%, dewasa 100%, orang tua 100%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat ubi reuboh kategori anak 25%, remaja terdiri dari 30%, dewasa 95%, orang tua 100%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 92% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh ubi

Universitas Sumatera Utara 234

reuboh, 88% pernah mencicipinya, 88% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

88% mengetahui cara pengolahannya, dan 70% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.28 Peunajoh Pisang Teumbang

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh pisang teumbang dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui pisang teumbang mencapai 40% , remaja

15%, dewasa 70%, orang tua 65% dan lansia mencapai 95%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 25%, remaja 15%, dewasa 70%, orang tua55% dan lansia 90%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat pisang teumbang meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 5%, dewasa 70%, orang tua 55%, dan lansia 95% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat pisang teumbang golongan anak tidak ada, remaja 5%, dewasa 70%, orang tua 55%, dan lansia 95%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat pisang teumbang kategori anak tidak ada, remaja

Universitas Sumatera Utara 235

terdiri dari 5%, dewasa 25%, orang tua 50%, dan lansia mencapai 50% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 57% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh pisang teumbang, 51% pernah mencicipinya, 45% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 45% mengetahui cara pengolahannya, dan 32% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.29 Peunajoh Bu Leukat Keurabe

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh bulukat keurabe dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui bulukat keurabe mencapai 55% , remaja

65%, dewasa 85%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 50%, remaja 65%, dewasa 85%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bulukat keurabe meliputi; kategori

Universitas Sumatera Utara 236

anak tidak ada, remaja 75%, dewasa 85%, orang tua 95%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat bulukat keurabe golongan anak tidak ada, remaja 75%, dewasa 85%, orang tu 95%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat bulukat keurabe kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 20%, dewasa 65%, orang tua 95%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 81% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh bulukat keurabe, 80% pernah mencicipinya, 71% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 71% mengetahui cara pengolahannya, dan 56% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.30 Peunajoh Bu Leukat Si Seun

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh buleukat si seun dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui buleukat si seun mencapai 55% , remaja

Universitas Sumatera Utara 237

45%, dewasa 80%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 50%, remaja 45%, dewasa 80%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat buleukat si seun meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 45%, dewasa 80%, orang tua 95%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat buleukat si seun golongan anak tidak ada, remaja 45%, dewasa 80%, orang tu 95%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat buleukat si seun kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 15%, dewasa 65%, orang tua 95%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 76% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh buleukat si seun, 75% pernah mencicipinya, 64% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 64% mengetahui cara pengolahannya, dan 55% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.31 Peunajoh Bu Leukat Kuah Tuhee

Universitas Sumatera Utara 238

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh buleukat kuah tuhe dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui buleukat kuah tuhe mencapai 80% , remaja 90%, dewasa 95%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 70%, remaja 90%, dewasa 95%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat buleukat kuah tuhe meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 45%, dewasa 70%, orang tua 95%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat buleukat kuah tuhe golongan anak tidak ada, remaja 45%, dewasa 70%, orang tu 95%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat buleukat kuah tuhe kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 35%, dewasa 65%, orang tua 95%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 93% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh buleukat kuah tuhe, 91% pernah mencicipinya, 62% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 62% mengetahui cara pengolahannya, dan 59% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 239

Diagram: 5.32 Peunajoh Bu Thai

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh bu thai dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui bu thai mencapai 65% , remaja 50%, dewasa

70%, orang tua 80% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 55%, remaja 45%, dewasa 70%, orang tua 80% dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bu thai meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 5%, dewasa 20%, orang tua 80%, dan lansia 85% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat bu thai golongan anak tidak ada, remaja 5%, dewasa 20%, orang tu 55%, dan lansia 85%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat bu thaikategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 5%, dewasa 10%, orang tua 35%, dan lansia mencapai 80% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 73% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh bu thai, 70% pernah mencicipinya, 38% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 33%

Universitas Sumatera Utara 240

mengetahui cara pengolahannya, dan 26% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.33 Peunajoh Bu Payeh

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh bu payeh dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui bu payeh mencapai 40% , remaja 60%, dewasa

70%, orang tua 85% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 35%, remaja 45%, dewasa 70%, orang tua 85% dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bu payeh meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 5%, dewasa 65%, orang tua 70%, dan lansia 100% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat bu payeh golongan anak tidak ada, remaja 5%, dewasa 65%, orang tu 65%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat bu payeh kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 5%, dewasa 65%, orang tua 70%, dan lansia mencapai 85% pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 241

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 71% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh bu payeh, 67% pernah mencicipinya, 48% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

47% mengetahui cara pengolahannya, dan 45% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5. 34 Peunajoh Bu Umpep/Keuteupep

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh bu umpep/ keuteupep dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui bu umpep/ keuteupep mencapai

20% , remaja 40%, dewasa 65%, orang tua dan lansia mencapai 80%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 20%, remaja 40%, dewasa 65%, orang tua dan lansia 80%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bu umpep/ keuteupep meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 25%, dewasa 50%, orang tua 70%, dan lansia 80% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat bu umpep/ keuteupep golongan anak tidak ada, remaja 25%, dewasa 35%, orang tu 70%, dan lansia 70%.

Universitas Sumatera Utara 242

Dalam bidang pengalaman pernah membuat bu umpep/ keuteupep kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 5%, dewasa 35%, orang tua 55%, dan lansia mencapai

70% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 57% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh bu umpep/ keuteupep, 57% pernah mencicipinya, 45% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 40% mengetahui cara pengolahannya, dan 33% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.35 Peunajoh Leumang

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh leumang dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui leumang mencapai 80% , remaja, dewasa, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 80%, remaja 95%, dewasa, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan- bahan yang digunakan untuk membuat leumang meliputi; kategori anak tidak ada,

Universitas Sumatera Utara 243

remaja 50%, dewasa 75%, orang tua 100%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat leumang golongan anak tidak ada, remaja 50%, dewasa

65%, orang tua 85%, dan lansia 80%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat leumang kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 15%, dewasa 35%, orang tua

50%, dan lansia mencapai 35% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 96% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh leumang, 95% pernah mencicipinya, 65% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

56% mengetahui cara pengolahannya, dan 27% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.36 Peunajoh Ie Bu

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh ie bu dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui ie bu mencapai 35% , remaja 40%, dewasa 80%, orang tua 80% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 35%, remaja 40%, dewasa 70%, orang tua 80% dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui

Universitas Sumatera Utara 244

bahan-bahan yang digunakan untuk membuat ie bu meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 40%, dewasa 65%, orang tua 80%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat ie bu golongan anak tidak ada, remaja 40%, dewasa 70%, orang tua 80%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat ie bu kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 5%, dewasa 55%, orang tua 65%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya. Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 67% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh ie bu, 65% pernah mencicipinya, 57% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 58% mengetahui cara pengolahannya, dan 45% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.37 Peunajoh Kueh Lapeh

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh kueh lapeh dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui kueh lapeh mencapai 80% , remaja 95%, dewasa 100%, orang tua 95% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 80%, remaja 90%,

Universitas Sumatera Utara 245

dewasa 100%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kueh lapeh meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 10%, dewasa 50%, orang tua 80%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat kueh lapeh golongan anak tidak ada, remaja 10%, dewasa 60%, orang tua 95%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat kueh lapeh kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari

10%, dewasa 35%, orang tua 100%, dan lansia mencapai 85% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 94% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh kueh lapeh, 94% pernah mencicipinya, 48% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 53% mengetahui cara pengolahannya, dan 46% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.38 Peunajoh Kueh Gleung

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh kueh gleung dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui kueh gleung mencapai 85% , remaja 70%,

Universitas Sumatera Utara 246

dewasa 85%, orang tua 95% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 85%, remaja 70%, dewasa 85%, orang tua 85% dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kueh gleung meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 35%, dewasa 55%, orang tua 80%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat kueh gleung golongan anak tidak ada, remaja 50%, dewasa 50%, orang tua 80%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat kueh gleung kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari

5%, dewasa 40%, orang tua 70%, dan lansia mencapai 95% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 87% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh kueh gleung, 85% pernah mencicipinya, 54% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 56% mengetahui cara pengolahannya, dan 42% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.39 Peunajoh Kueh nagasari

Universitas Sumatera Utara 247

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh kueh nagasari dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui kueh nagasari mencapai 85% , remaja

100%, dewasa 100%, orang tua 85% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 85%, remaja 95%, dewasa 100%, orang tua 85% dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kueh nagasari meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 10%, dewasa 40%, orang tua 80%, dan lansia 95% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat kueh nagasari golongan anak tidak ada, remaja 45%, dewasa 35%, orang tua 80%, dan lansia 95%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat kueh nagasari kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 10%, dewasa 35%, orang tua 80%, dan lansia mencapai 85% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 94% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh kueh nagasari, 93% pernah mencicipinya, 45% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 51% mengetahui cara pengolahannya, dan 42% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 248

Diagram: 5.40 Peunajoh Kueh Rashidah

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh kueh rasyidah dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui kueh rasyidah mencapai 20% , remaja

35%, dewasa 40%, orang tua 80% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 10%, remaja 20%, dewasa 35%, orang tua 65% dan lansia 95%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kueh rasyidah meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 5%, dewasa 20%, orang tua 65%, dan lansia 80% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat kueh rasyidah golongan anak tidak ada, remaja 5%, dewasa 20%, orang tua 35%, dan lansia 80%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat kueh rasyidah kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 5%, dewasa 20%, orang tua 35%, dan lansia mencapai 55% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 55% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh

Universitas Sumatera Utara 249

kueh rasyidah, 45% pernah mencicipinya, 32% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 26% mengetahui cara pengolahannya, dan 21% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.41 Peunajoh Eungkhui

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh eungkhui dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui eungkhui mencapai 10% , remaja

45%, dewasa 55%, orang tua 85% dan lansia mencapai 95%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 10%, remaja 45%, dewasa 55%, orang tua 85% dan lansia 95%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat eungkhui meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 20%, dewasa 35%, orang tua 85%, dan lansia 95% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat eungkhui golongan anak tidak ada, remaja 25%, dewasa 25%, orang tu 85%, dan lansia 95%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat eungkhui kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 10%, dewasa 5%, orang tua 50%, dan lansia mencapai 95% pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 250

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 58% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh eungkhui, 58% pernah mencicipinya, 47% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

46% mengetahui cara pengolahannya, dan 32% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.42 Peunajoh Boh Rhom-Rhom

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh boh rhom-rhom dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui boh rhom-rhom mencapai 85% , remaja

100%, dewasa 100%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 85%, remaja

100%, dewasa 100%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat boh rhom-rhom meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 40%, dewasa 95%, orang tua 60%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat boh rhom-rhom golongan anak tidak ada, remaja 50%, dewasa 95%, orang tu 95%, dan lansia 100%. Dalam bidang

Universitas Sumatera Utara 251

pengalaman pernah membuat boh rhom-rhom kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 0%, dewasa 90%, orang tua 85%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 97% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh boh rhom-rhom, 97% pernah mencicipinya, 59% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 68% mengetahui cara pengolahannya, dan 55% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5. 43 Peunajoh Limpeng

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh limpeng dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui limpeng mencapai 10% , remaja 20%, dewasa

40%, orang tua 30% dan lansia mencapai 85%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 10%, remaja 20%, dewasa 40%, orang tua 20% dan lansia 80%. Sedangkan dalam bidang mengetahui

Universitas Sumatera Utara 252

bahan-bahan yang digunakan untuk membuat limpeng meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 20%, dewasa 20%, orang tua 15%, dan lansia 80% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat limpeng golongan anak tidak ada, remaja 20%, dewasa 20%, orang tua 15%, dan lansia 80%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat limpeng kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 20%, dewasa 10%, orang tua 15%, dan lansia mencapai 70% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 37% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh limpeng, 34% pernah mencicipinya, 27% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

27% mengetahui cara pengolahannya, dan 23% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.44 Peunajoh Bingkang/ Adee Teupong

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh bingkang/adee teupong dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia,

Universitas Sumatera Utara 253

dimana pada kategori usia anak yang mengetahui bingkang/adee teupong mencapai

80% , remaja 70%, dewasa 85%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 80%, remaja 65%, dewasa 85%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bingkang/adee teupong meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 10%, dewasa 25%, orang tua 50%, dan lansia 95% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat bingkang/adee teupong golongan anak tidak ada, remaja 10%, dewasa 50%, orang tua 55%, dan lansia 95%.

Dalam bidang pengalaman pernah membuat bingkang/adee teupong kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 10%, dewasa 25%, orang tua 30%, dan lansia mencapai

80% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 87% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh bingkang/adee teupong, 86% pernah mencicipinya, 35% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 41% mengetahui cara pengolahannya, dan 28% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.45 Peunajoh Bingkang/adee ubi

Universitas Sumatera Utara 254

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh bingkang/adee ubi dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui bingkang/adee ubi mencapai

70% , remaja 95%, dewasa 95%, orang tua 95% dan lansia mencapai 100%.

Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 70%, remaja 90%, dewasa 95%, orang tua 95% dan lansia 100%.

Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bingkang/adee ubi meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 10%, dewasa 25%, orang tua 50%, dan lansia 95% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat bingkang/adee ubi golongan anak tidak ada, remaja 10%, dewasa 40%, orang tu

50%, dan lansia 95%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat bingkang/adee ubi kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 10%, dewasa 20%, orang tua 50%, dan lansia mencapai 80% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 81% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh bingkang/adee ubi, 80% pernah mencicipinya, 36% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 39% mengetahui cara pengolahannya, dan 32% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.46 Peunajoh Cagruk

Universitas Sumatera Utara 255

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh cagruk dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui cagruk mencapai 80% , remaja 75%, dewasa 95%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 70%, remaja 75%, dewasa 95%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat cagruk meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 75%, dewasa 85%, orang tua 100%, dan lansia 100% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat cagruk golongan anak tidak ada, remaja 75%, dewasa 95%, orang tua 100%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat cagruk kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 25%, dewasa 75%, orang tua 100%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 90% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh cagruk, 88% pernah mencicipinya, 72% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

74% mengetahui cara pengolahannya, dan 60% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 256

Diagram: 5.47 Peunajoh Ruti u

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh ruti u dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui ruti u mencapai 65% , remaja 45%, dewasa 55%, orang tua 95% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 60%, remaja 45%, dewasa 40%, orang tua 95% dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat ruti u meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 30%, dewasa 25%, orang tua 70%, dan lansia 90% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat ruti u golongan anak tidak ada, remaja 30%, dewasa

20%, orang tua 70%, dan lansia 90%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat ruti u kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 0%, dewasa 10%, orang tua 50%, dan lansia mencapai 85% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 72% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh ruti u, 68% pernah mencicipinya, 43% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 42% mengetahui cara pengolahannya, dan 29% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 257

Diagram: 5.48 Peunajoh Ruti Cane

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh ruti cane dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui ruti cane mencapai 80% , remaja 75%, dewasa

100%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 80%, remaja 75%, dewasa 100%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat ruti cane meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 50%, dewasa 50%, orang tua 85%, dan lansia 85% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat ruti cane golongan anak tidak ada, remaja 50%, dewasa 75%, orang tua

85%, dan lansia 90%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat ruti cane kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 5%, dewasa 10%, orang tua 30%, dan lansia mencapai 20% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 91% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh ruti cane, 91% pernah mencicipinya, 54% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 60%

Universitas Sumatera Utara 258

mengetahui cara pengolahannya, dan 13% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.49 Peunajoh Ruti Jala

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh ruti jala dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui ruti jala mencapai 35% , remaja 35%, dewasa

65%, orang tua 95% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 35%, remaja 35%, dewasa 65%, orang tua 85% dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat ruti jala meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 0%, dewasa 20%, orang tua 55%, dan lansia 95% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat ruti jala golongan anak tidak ada, remaja 25%, dewasa

30%, orang tua 55%, dan lansia 95%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat ruti jala kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 0%, dewasa 15%, orang tua 50%, dan lansia mencapai 75% pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 259

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 65% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh ruti jala, 64% pernah mencicipinya, 34% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 41% mengetahui cara pengolahannya, dan 28% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.50 Peunajoh Ruti Seuop

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh ruti seuop dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui ruti seuop mencapai 10% , remaja 20%, dewasa

35%, orang tua 70% dan lansia mencapai 85%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 10%, remaja 20%, dewasa 25%, orang tua 65% dan lansia 80%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat ruti seuop meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 10%, dewasa 15%, orang tua 20%, dan lansia 65% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat ruti seuop golongan anak tidak ada, remaja 10%, dewasa 15%, orang tu 20%, dan lansia 80%. Dalam bidang pengalaman pernah

Universitas Sumatera Utara 260

membuat ruti seuop kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 0%, dewasa 5%, orang tua 20%, dan lansia mencapai 65% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 44% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh ruti seuop, 38% pernah mencicipinya, 22% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

25% mengetahui cara pengolahannya, dan 18% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.51 Peunajoh Putu

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh putu dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui putu mencapai 70% , remaja 100%, dewasa

95%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 70%, remaja 100%, dewasa 95%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat putu meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 50%, dewasa 65%, orang tua 85%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau

Universitas Sumatera Utara 261

cara membuat putu golongan anak tidak ada, remaja 70%, dewasa 50%, orang tua

85%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat putu kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 10%, dewasa 35%, orang tua 65%, dan lansia mencapai 85% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 93% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh putu, 93% pernah mencicipinya, 60% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 61% mengetahui cara pengolahannya, dan 39% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.52 Peunajoh Putroe manoe

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh putroe manoe dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui putroe manoe mencapai 35% , remaja

45%, dewasa 70%, orang tua 85% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 35%, remaja 40%, dewasa 70%, orang tua 85% dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui

Universitas Sumatera Utara 262

bahan-bahan yang digunakan untuk membuat putro mano meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 25%, dewasa 40%, orang tua 80%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat putro mano golongan anak tidak ada, remaja 25%, dewasa 50%, orang tua 80%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat putroe manoe kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 20%, dewasa 35%, orang tua 80%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 67% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh putroe manoe, 66% pernah mencicipinya, 49% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 51% mengetahui cara pengolahannya, dan 47% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.53 Peunajoh Meuseukat

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh meuseukat dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui meuseukat mencapai 85% , remaja 85%, dewasa

Universitas Sumatera Utara 263

85%, orang tua 95% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 85%, remaja 85%, dewasa 85%, orang tua 95% dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat meuseukat meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 5%, dewasa 25%, orang tua 55%, dan lansia 100% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat meuseukat golongan anak tidak ada, remaja 75%, dewasa 60%, orang tua 55%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat meuseukat kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 5%, dewasa 25%, orang tua 35%, dan lansia mencapai 95% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 94% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh meuseukat, 94% pernah mencicipinya, 47% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

63% mengetahui cara pengolahannya, dan 43% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.54 Peunajoh Dodoi

Universitas Sumatera Utara 264

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh dodoi dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui dodoi mencapai 85% , remaja 95%, dewasa 95%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 85%, remaja 95%, dewasa 95%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat dodoi meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 15%, dewasa 55%, orang tua 65%, dan lansia 100% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat dodoi golongan anak tidak ada, remaja 75%, dewasa

75%, orang tu 65%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat dodoi kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 15%, dewasa 50%, orang tua 55%, dan lansia mencapai 95% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 94% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh dodoi, 94% pernah mencicipinya, 47% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

63% mengetahui cara pengolahannya, dan 43% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 265

Diagram: 5.55 Peunajoh Bu bajek

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh bu bajek dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui bu bajek mencapai 65% , remaja 70%, dewasa

85%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 65%, remaja 60%, dewasa 85%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bu bajek meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 40%, dewasa 50%, orang tua 85%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tua cara membuat bu bajek golongan anak tidak ada, remaja 50%, dewasa 80%, orang tua 85%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat bu bajek kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 5%, dewasa 35%, orang tua 70%, dan lansia mencapai 95% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 84% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh bu bajek, 82% pernah mencicipinya, 55% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 63%

Universitas Sumatera Utara 266

mengetahui cara pengolahannya, dan 41% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.56 Peunajoh Eumping Breuh/ Haluwa

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh eumping breuh/haluwa dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui eumping breuh/haluwa mencapai 55% , remaja 60%, dewasa 65%, orang tua 95% dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 40%, remaja 40%, dewasa 55%, orang tua 95% dan lansia 95%.

Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat eumping breuh/haluwa meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 5%, dewasa 20%, orang tua 50%, dan lansia 90% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat eumping breuh/haluwa golongan anak tidak ada, remaja 50%, dewasa 20%, orang tua 65%, dan lansia 90%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat eumping breuh/haluwa kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 5%, dewasa 10%, orang tua

35%, dan lansia mencapai 80% pernah membuatnya.

Universitas Sumatera Utara 267

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 75% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh eumping breuh/haluwa, 65% pernah mencicipinya, 33% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 45% mengetahui cara pengolahannya, dan 26% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.57 Peunajoh Apam

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh apam dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui apam mencapai 75% , remaja 80%, dewasa 95%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 80%, remaja 75%, dewasa 95%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat apam meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 30%, dewasa 95%, orang tua 95%, dan lansia 100% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat apam golongan anak tidak ada, remaja 65%, dewasa

95%, orang tu 95%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat

Universitas Sumatera Utara 268

apam kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 30%, dewasa 75%, orang tua 80%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 90% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh apam, 90% pernah mencicipinya, 64% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

71% mengetahui cara pengolahannya, dan 55% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.58 Peunajoh Bada Sukon

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh bada sukon dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui bada sukon mencapai 70% , remaja 100%, dewasa 95%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 70%, remaja 100%, dewasa 95%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bada sukon meliputi; kategori anak

Universitas Sumatera Utara 269

50%, remaja 100%, dewasa 95%, orang tua 100%, dan lansia 100% mengetahuinya.

Dalam bidang tau cara membuat bada sukon golongan anak 50%, remaja 100%, dewasa 95%, orang tua 100%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat apam kategori anak 25%, remaja terdiri dari 40%, dewasa 80%, orang tua

100%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 93% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh bada sukon, 93% pernah mencicipinya, 89% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 89% mengetahui cara pengolahannya, dan 69% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.59 Peunajoh Bu Leukat Dua Seun

Diagram di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh bu leukat dua seun dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui bu leukat dua seun mencapai 35% ,

Universitas Sumatera Utara 270

remaja 45%, dewasa 80%, orang tua dan lansia mencapai 100%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 35%, remaja 45%, dewasa 80%, orang tua dan lansia 100%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat bu leukat dua seun meliputi; kategori anak 25%, remaja 45%, dewasa 80%, orang tua 95%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat bu leukat dua seun golongan anak tidak ada, remaja 45%, dewasa 80%, orang tua 95%, dan lansia 100%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat bu leukat dua seun kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 15%, dewasa 60%, orang tua 95%, dan lansia mencapai 100% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 67% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh bu leukat dua seun, 67% pernah mencicipinya, 69% mengetahui bahan dasar yang digunakan, 63% mengetahui cara pengolahannya, dan 54% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

Diagram: 5.60 Peunajoh Ubi Teumbang

Universitas Sumatera Utara 271

Diagram tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap peunajoh ubi teumbang dalam bidang pengetahuannya berbeda antar golongan usia, dimana pada kategori usia anak yang mengetahui ubi teumbang mencapai 20% , remaja 10%, dewasa 70%, orang tua 50%, dan lansia mencapai 80%. Sementara itu dalam bidang pengalaman pernah mencicipinya pada usia anak mencapai 10%, remaja 10%, dewasa 70%, orang tua 50%, dan lansia 75%. Sedangkan dalam bidang mengetahui bahan-bahan yang digunakan untuk membuat ubi teumbang meliputi; kategori anak tidak ada, remaja 30%, dewasa 95%, orang tua 95%, dan lansia 100% mengetahuinya. Dalam bidang tau cara membuat ubi teumbang golongan anak tidak ada, remaja 5%, dewasa 70%, orang tua 50%, dan lansia 80%. Dalam bidang pengalaman pernah membuat ubi teumbang kategori anak tidak ada, remaja terdiri dari 5%, dewasa 25%, orang tua 35%, dan lansia mencapai 80% pernah membuatnya.

Dari hasil penjabaran temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan 46% masyarakat kota Lhokseumawe masih mengenal/tahu peunajoh ubi teumbang, 53% pernah mencicipinya, 41% mengetahui bahan dasar yang digunakan,

41% mengetahui cara pengolahannya, dan 29% masyarakat memiliki pengalaman pernah membuatnya.

5.1 Persepsi Masyarakat Lhokseumawe terhadap Peunajoh Aceh

Secara komulatif informan dari kategori usia anak hingga usia lansia, persepsi masyarakat Kota Lhokseumawe terhadap peunajoh Aceh dapat dijelaskan dalam bentuk persentase berdasarkan peringkat tertinggi sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara 272

5.2.1 Dimensi ideologis dan Sosiologis

Persepsi ideologis dan sosiologis masyarakat Kota Lhokseumawe dijelaskan berdasarkan tingkat pengetahuan, pengalaman konsumsi dan produksi. Persepsi ini dideskripsikan berdasarkan klasifikasi bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan peunajoh Aceh, sebagai terlihat pada tabel berikut:

Universitas Sumatera Utara 273

Universitas Sumatera Utara 274

Berdasarkan data tersebut dapat dijelaskan bahwa persepsi masyarakat Kota

Lhokseumawe terhadap peunajoh Aceh, secara ideologis dan sosiologis jika dilihat berdasarkan pengetahuan dan konsumsi bahwa bhoi, pulot, boh rhom-rhom, keukarah, timphan dan bada pisang adalah peunajoh Aceh yang tertinggi dipersepsikan yaitu mencapai 95 % hingga 99 %. Sementara berdasarkan pengetahuan bahan dan pengalaman buat, peunajoh tersebut juga dipersepsikan tinggi, tetapi persentasenya lebih rendah, yaitu 61% hingga 80%. Adapun Peunajoh

Aceh yang paling rendah dipersepsikan masyarakat adalah bada reuteuk, bubgong kayee, ruti seop, dan limpeng, yaitu 10% sampai 45%. Jika dirata-ratakan yang paling rendah adalah bada reuteuk 25%, limpeng 30%, bungong kayee 31%, dan ruti seop 31%.

5.2.2 Persepsi Biologis

Persepsi biologis masyarakat Kota Lhokseumawe terhadap peunajoh Aceh dapat dijelaskan berdasarkan pengetahuan penutur mengenai bahan-bahan yang digunakan untuk membuat peunajoh Aceh. Tingkat persepsi tersebut sebagaimana diuraikan berikut ini:

Universitas Sumatera Utara 275

Universitas Sumatera Utara 276

Tabel tersebut menjelaskan bahwa persepsi biologis masyarakat Kota

Lhokeumawe tehadap peunajoh Aceh sedikit berbeda dengan persepsi ideologis dan sosiologis. Tidak semua peunajoh Aceh yang tertinggi secara ideologis dan sosiologis dipersepsikan tertinggi secara biologis, seperti bhoi dan pulut. Ternyata keduanya secara biologis tidak menduduki peringkat tertinggi. Seacara biologis yang tertinggi dipersepsikan adalah peunajoh Aceh yang terlihat langsung bentuk dasar ekologinya, seperti bada pisang, pisang reuboh berjumlah 79% dan bada ubi, ubi reuboh berjumlah 78%.

Berdasarkan uraian persepsi tersebut dapat dikatakan bahwa dialektika ideologis, sosiologis, dan biologis pada suatu masyarakat atau komunitas tidak selalunya berada dalam keseimbangan. Dengan kata lain, dapat dikatakan pula bahwa intensitas interaksi masyarakat dengan suatu peunajoh atau makanan dapat mempengaruhi persepsi masyarakatnya. Selanjutnya, visualisasi ekologi dari suatu makanan juga dapat mempengaruhi persepsi masyarakatnya.

Universitas Sumatera Utara 277

BAB VII

KEBERTAHANAN BAHASA DAN BUDAYA PEUNAJOH ACEH

7.1 Klasifikasi Peunajoh Aceh Berdasarkan Namanya yang Berleksikon Ekologi

dan Non Ekologi

Peunajoh Aceh terbuat dari bahan baku alami yang berasal dari alam bukan hasil olahan, sehingga aman serta sehat untuk dikonsumsi. Kebertahanan bahasa peunajoh Aceh, khususnya yang berkaitan dengan ekologi dapat dilihat dari persepsi masyarakat penuturnya yang meliputi pengetahuan, pengenalan, pengalaman memakannya sampai kepada pengalaman membuatnya. Sebelum dijelaskan kebertahanan bahasa pada peunajoh Aceh, terlebih dahulu digambarkan peunajoh

Aceh dengan klasifikasi namanya yang berleksikon ekologi dan non ekologi, yaitu:

Tabel 6.1 Nama-Nama Peunajoh Aceh

No Leksikon Ekologi Leksikon Non Ekologi 1 Boh Usen Bhoi 2 Timphan Sage Kue Seupet 3 Timphan U Timphan Baloen 4 Bada Reuteuk Nyab 5 Bu Grieng Keukarah 6 Bada Pisang Timphan Aso Kaya 7 Adee Tupong Keuh Gleung 8 Adee Ubi Kueh Nagasari 9 Bu leukat Kuah Tuhe Boh Rhom-rhom 10 Bada Sukun Meusekat 11 Bada Ubi Dodoi 12 Pisang Ruboh Leumang

277

Universitas Sumatera Utara 278

No Leksikon Ekologi Leksikon Non Ekologi 13 Timphan Ubi Kueh Lapeh 14 Ubi Reuboh Ruti Canee 15 Bu Bajek Kueh Marke 16 Ukheu U Dungok 17 Ruti U Cagruk 18 Bu Thai Apam 19 Aneuk Mamplam Putu 20 Buleukat Keurabe Leumang 21 Buleukat Si Seun Kue Bangket 22 Eumping Breuh Ruti Jala 23 Ubi Teumbang Putro Mano 24 Kipang Kacang Kue Pret Mameh 25 Bu Payeh Timphan Iem 26 Bu Umpep Eungkhui 27 Pisang Teumbang Limpeng 28 Bulukat Dua Seun Kueh Rasyidah 29 Ie Bu Ruti Seuop 30 Bungong Kayee Pulot 31 Ubi Teumbang Malinda

Tabel 6.1 menunjukkan bahwa dari sejumlah jenis peunajoh Aceh, terdapat 31 peunajoh yang tersurat secara langsung leksikon ekologis sedangkan 31 lainnya namanya tidak berleksikon ekologi secara langsung. Namun demikian, ditinjau dari bahan yang digunakan semua peunajoh Aceh mengandung leksikon ekologi. Di kalangan anak-anak peunajoh non leksikon ekologi lebih dikenal, seperti bhoi, kueh seupet. Sementara di kalangan remaja peunajoh yang berleksikon ekologi lebih dikenal, seperti bada pisang, bada sukun, boh usen dan pulot. Untuk kalangan dewasa, tua dan lansia mengenal peeunajoh Aceh hampir seimbang antara yang namanya berleksikon ekologi dan non ekologi. Hal ini telah dijelaskan secara

Universitas Sumatera Utara 279

terperinci pada bab sebelumnya, mengenai persepsi masyarakat terhadap peunajoh

Aceh.

6.2 Tingkat Kebertahanan Bahasa pada Peunajoh Aceh

Kebertahanan peunajoh Aceh dapat diketahui salah satunya melalui persepsi masyarakat Aceh. Namun, untuk lebih terperinci lagi mengenai kebertahanan bahasa peunajoh Aceh, penjelasan persepsi masyarakat Aceh pada bab V yang meliputi dimensi ideologis, sosiologis, dan biologis dikalkulasikan nilai rata-ratanya untuk setiap kategori usia responden. Kemudian dihitung indeksnya untuk memperoleh nilai indeks skala vitalitas (kebertahanan) setiap peunajoh Aceh. Hal ini telah dihitung secara manual dengan menggunakan excel, dengan rumus indeks sebagai berikut.

Berdasarkan hitungan rumus tersebut, ditemukan nilai indeks kebertahanan masing-masing peunajoh Aceh sebagaimana dijelaskan pada table di bawah ini.

Universitas Sumatera Utara 280

Lanjutan Tabel 6.2

Universitas Sumatera Utara 281

Lanjutan Tabel 6.2

Universitas Sumatera Utara 282

Angka indeks masing-masing peunajoh Aceh tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam kategori tingkat vitalitas bahasa Grimes (2000) yang telah dijelaskan kembali oleh UNESCO (2003), yang kemudian dimodifikasi sedikit oleh peneliti, yaitu angka indeks (0,00) pada kategori punah, sebagai berikut.

Tabel 6.3 Kriteria Vitalitas Bahasa

Tingkat Kebertahanan (Grimes, 2000) Skor Angka Indeks Jaring Laba-laba Aman 5 0,81 – 1,00 Stabil, tetapi berpontensi mundur 4 0,61 – 0,80 Mengalami Kemunduran 3 0,41 – 0,60 Sangat terancam 2 0,21 – 0,40 Sangat Kritis Terancam 1 0,01 – 0,20 Punah 0 0,00

Universitas Sumatera Utara 283

Berdasarkan kriteria vitalitas bahasa tersebut diperoleh hasil bahwa bahasa peunajoh Aceh sebagian kecil berada pada level stabil (terancam mengalami kemunduran), dan tidak ada peunajoh yang dapat dikategorikan aman. Kebanyakan peunajoh Aceh sudah berada pada posisi mengalami kemunduran, sedangkan yang berada pada level terancam punah sudah melebihi jumlah posisi stabil, yaitu mencapai 14 jenis peunajoh Aceh. Namun demikian, belum ditemukan peunajoh

Aceh yang dapat dikategorikan punah. Lebih terperinci digambarkan pada tabel-tabel di bawah ini.

Tabel 6.4 Peunajoh Aceh yang Termasuk dalam Kategori Stabil

No Peunajoh Aceh Indeks Skor Tingkat Kebertahanan % 1 Bada Sukon 0.715 2 Pisang Reuboh 0.711 3 Ubi Reuboh 0.710 4 Bada Ubi 0.706 5 Bada Pisang 0.686 6 Pulot 0.641 4 Stabil, Terancam mengalami 20 7 Timphan U 0.633 kemunduran 8 Timphan Aso Kaya 0.616 9 Cagruk 0.616

10 Bulukat Keurabe 0.615 11 Leumang 0.614 12 Timphan Ubi 0.607

Universitas Sumatera Utara 284

Tabel 6.5 Peunajoh Aceh yang Termasuk dalam Kategori Mengalami Kemunduran

No Peunajoh Aceh Indeks Skor Tingkat Kebertahanan % 1 Apam 0.603 2 Bu Grieng 0.600 3 Bulukat Kuah Tuhe 0.590 4 Kue Marke 0.584 5 Bulukat Dua Seun 0.583 6 Boh Rhom-Rhom 0.577 7 Putu 0.567 8 Timphan Sage 0.557 9 Bulukat Si Seun 0.555 10 Bu Umpep/ Keuteupep 0.554 11 Ruti Cane 0.547 12 Dungok 0.541 13 Kueh Lapeh 0.530 14 Ukheu U 0.526 15 Kue Bangket 0.521 16 Nyab 0.518 17 Kue Seupet 0.513 3 Mengalami Kemunduran 56 18 Bhoi 0.512 19 Ie Bu 0.506 20 Timphan Baloen 0.500 21 Dodoi 0.500 22 Bu Payeh 0.495 23 Bu Bajek 0.492 24 Eungkhui 0.486 25 Kueh Nagasari 0.482 26 Ubi Teumbang 0.477 27 Putro Mano 0.473 28 Aneuk Mamplam 0.473 29 Timphan Iem 0.471 30 Boh Usen 0.464 31 Kueh Gleung 0.452 32 Pisang Teumbang 0.451 33 Adee Ubi 0.438 34 Keukarah 0.428

Universitas Sumatera Utara 285

Tabel 6.6 Peunajoh Aceh yang Termasuk dalam Kategori Terancam Punah

No Peunajoh Aceh Indeks Skor Tingkat Kebertahanan % 1 Ruti Jala 0.403 2 Kipang Kacang 0.400 3 Adee Teupong 0.397

4 Kueh Rasyidah 0.392

Eumping

5 Breuh/Haluwa 0.391

6 Meuseukat 0.390 7 Bu Thai 0.382 2 Terancam punah 24 8 Bungong Kayee 0.377 9 Malinda 0.365 10 Kue Pret Mameh 0.360 11 Ruti Seuop 0.351 12 Ruti U 0.349

13 Limpeng 0.341

14 Bada Reuteuk 0.327

Berdasarkan tabel tersebut di atas, dapat dipahami bahwa hanya 20% peunajoh Aceh yang keberdaannya stabil (tetapi terancam mengalami kemunduran).

Secara umum peunajoh tersebut masih sering atau mudah dijumpai di pasar atau warung kopi, kecuali cagruk dan buleukat teukeurabe. Dua kue ini sangat jarang diperdagangkan, namun masih sering dikonsumsikan oleh masyarakat Aceh di rumahnya. Selanjutnya data menunjukkan 56% peunajoh Aceh sedang mengalami kemunduran. Peunajoh tersebut masih mudah dijumpai dan diperoleh di pasar.

Kemungkinan ini pula penyebab vitalitasnya menurun karena masyarakat sudah jarang membuat sendiri di rumah, dan lebih mudah membelinya di pasar atau warung untuk dikonsumsi. Hal ini pada suatu masa akan membuatnya terancam jika

Universitas Sumatera Utara 286

makanan-makanan dari luar yang beredar di Aceh lebih diminati oleh masyarakatnya.

Selanjutnya 24% peunajoh Aceh berada pada posisi terancam punah. Memang kebanyakannya sudah jarang ditemukan di pasar atau kedai-kedai, kecuali kipang kacang, adee teupong, dan ruti u.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan satu proposisi bahwa kemudahan memperoleh makanan di pasar dapat mengurangi keahlian generasi masyarakat untuk membuat makanan tersebut. Akibatnya, jika suatu makanan kurang atau bahkan tidak diminati lagi karena banyak makanan lain dari luar yang masuk ke daerah, maka dengan sendirinya makanan daerah tersebut akan terancam punah. Hal ini disebabkan tidak ada lagi peminatnya dan masyarakat pun tidak lagi memiliki keahlian untuk membuatkannya.

Universitas Sumatera Utara BAB VIII

TEMUAN PENELITIAN

Peunajoh Aceh merupakan penganan tradisional yang bahan bakunya berasal dari alam. Oleh sebab itu, leksikon yang terdapat padanya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan diversitas ekologi alam yang dimanfaatkan dalam penciptaan setiap budaya (makanan) yang dimilikinya, yang kemudian diwarisikan kepada generasi berikutnya. Namun, disebabkan oleh berbagai faktor, kekayaan diversitas alam mengalami degradasi, sehingga berdampak pada keterancaman bahasa atau leksikon yang melekat padanya. Leksikon-leksikon tersebut dalam linguistik dikenal dengan konsep ekolinguistik. Merujuk kepada permasalahan penelitian ini dan paparan data serta pembahasan yang telah dijelaskan pada bab- bab sebelumnya, penelitian ini memberikan gambaran temuan secara empiris, teoritis dan metodelogis sebagai berikut:

8. 1 Temuan Empiris

8.1.1 Taksonomi Leksikon Peunajoh Aceh

Berdasarkan gambar taksonomi peunajoh Aceh pada bagian sebelumnya dapat dikatakan bahwa jumlah jenjang/tingkatan taksonomi leksikon peunajoh

Aceh terdiri dari satu sub kelas hingga tiga sub kelas. Namun, secara relasi semantik, leksikon peunajoh Aceh secara langsung bertaksonomi hiponimi dan sinonimi, sedangkan taksonomi meronimi dapat terlihat melaui bahan-bahannya.

Diantaranya yang bertaksonomi hiponimi yakni; (a) bada: bada pisang, bada ubi, dan bada sukun; (b) timphan: timphan breuh, timphan teupong, timphan ubi, timphan breuh leukat, timphan teupong gandong, timphan teupong leukat, timphan

287

Universitas Sumatera Utara 288

teupong sage, timphan iem, timphan baloen, timphan pisang, timphan panah, timphan labu, timphan drien, timphan sage. Sedangkan taksonomi sinonimi adalah bu payeh = timphan bu, adee = bingkang, bu tai = bulukat silee.

8.1.2 Taksonomi Ekoleksikon Bahan Peunajoh Aceh

Dari 60 item peunajoh Aceh diperoleh 36 ekoleksikon secara keseluruhannya, seperti terlihat pada tabel 4.3. Kemudian, ekoleksikon bahan tersebut dapat ditaksonomikan secara hiponimi, meronimi, dan sinonimi, yaitu sebagai berikut:

1. Taksonomi Lingkungan

Ekologi dalam persepktif linguistik, taksanomi hanya berkategori hiponimi. Lingkungan dapat ditaksonomikan kepada lingkungan hidup dan lingkungan mati. Lingkungan hidup meliputi: tumbuh-tumbuhan dan hewan, yang merupakan taksonomi hiponim, sedangkan lingkungan mati hiponiminya air

(termasuk garam), udara, tanah, pasir, dan bebatuan. Namun demikian, dalam peunjoh Aceh dari lingkungan hidup hanya ditemukan hiponimi tumbuh- tumbuhan, kecuali telur dari produksi hewani, sedangkan, dari lingkungan mati hiponiminya hanya air dan garam. Selain itu, tidak ditemukan pula leksikon biota laut dalam peunajoh Aceh.

2. Taksonomi ekoleksikon tumbuh-tumbuhan

Taksonomi ekoleksikon tumbuh-tumbuhan yang terdapat pada peunajoh

Aceh dapat dijelaskan klasifikasi taksonominya secara hiponimi, meronimi dan sinonim, yaitu sebagaimana berikut:

Universitas Sumatera Utara 289

a. Hiponimi. Secara garis besar hiponimi tumbuh-tumbuhan pada

peunajoh Aceh, yaitu; biji-bijian, umbi-umbian, coklat, palma, rumput-

rumputan, daun-daunan, buah-buahan, dan fungi. Secara khusus,

misalnya dari biji-bijian; breuh: breueh bit dan breueh leukat. Dari

palma; u: u muda, u pateun, u tuha, dan u riek.

b. Meronimi; breueh bit yang tergolong dalam hiponimi biji-bijian dapat

ditaksonomi secara meronimi, yaitu; pade ‘padi’ dan teupong ‘tepung’.

Selanjutnya, dari palma, misalnya u, meroniminya yakni u teuwot,

‘selai kelapa’, mienyeuk u ‘minyak kelapa’, u teueku, ‘kepala parut’ dan

santan. Dan dari rumput-rumputan, misalnya tube ‘tebu’ meroniminya

saka ‘gula’.

c. Sinonim; dari biji-bijian: teupong bit = teupong breuh = teupong

breueh bit. Dan dari rumput-ruputan, seperti tube ‘tebu’: gula mirah =

gula jawa = gula ek itek

8.1.3 Persepsi Masyarakat Lhokseumawe terhadap Peunajoh Aceh a. Persepsi Ideologis dan Sosiologis

Berdasarkan data dapat dijelaskan bahwa persepsi masyarakat Kota

Lhokseumawe terhadap peunajoh Aceh, secara ideologis dan sosiologis dilihat dari pengetahuan dan konsumsi bahwa bhoi, pulot, boh rhom-rhom, keukarah, timphan dan bada pisang adalah peunajoh Aceh yang tertinggi persepsinya yaitu mencapai 95 % hingga 99 %. Sementara berdasarkan pengetahuan bahan dan pengalaman buat, peunajoh tersebut juga dipersepsikan tinggi, tetapi persentasenya lebih rendah, yaitu 61% hingga 80%. Adapun Peunajoh Aceh yang

Universitas Sumatera Utara 290

paling rendah dipersepsikan masyarakat adalah bada reuteuk, bungong kayee, ruti seop, dan limpeng, yaitu 10% sampai 45%. Jika dirata-ratakan yang paling rendah adalah bada reuteuk 25%, limpeng 30%, bungong kayee 31%, dan ruti seop 31%. b. Persepsi Biologis

Persepsi biologis masyarakat Aceh tehadap peunajoh Aceh sedikit berbeda dengan persepsi ideologis dan sosiologis. Tidak semua peunajoh Aceh yang tertinggi secara ideologis dan sosiologis dipersepsikan tertinggi secara biologis, seperti bhoi dan pulut. Ternyata keduanya secara biologis tidak menduduki peringkat tertinggi, padahal masih sering ditemukan di pasar dan warung kopi.

Seacara biologis yang tertinggi dipersepsikan adalah peunajoh Aceh yang terlihat langsung bentuk dasar ekologinya, seperti bada pisang, pisang reuboh berjumlah

79% , bada ubi dan ubi reuboh berjumlah 78%.

8.1.4 Tingkat Kebertahanan Bahasa pada Peunajoh Aceh

Berdasarkan tabel-tabel pada bab VI sebelumnya diperoleh hanya 20% peunajoh Aceh yang keberdaannya stabil (tetapi terancam mengalami kemunduran). Secara umum, peunajoh tersebut masih sering atau mudah dijumpai di pasar atau warung kopi, kecuali cagruk dan bu leukat teukeu rabee. Dua jenis peunajoh ini sangat jarang diperdagangkan, namun masih sering dibuat dan dikonsumsikan oleh masyarakat Aceh di rumahnya. Selanjutnya data menunjukkan 56% peunajoh Aceh sedang mengalami kemunduran. Peunajoh tersebut masih mudah dijumpai dan diperoleh di pasar atau di warung kopi.

Kemungkinan ini pula penyebab vitalitas bahasa menurun karena masyarakat

Universitas Sumatera Utara 291

sudah jarang membuat sendiri di rumah, dan lebih mudah membelinya di pasar atau warung untuk dikonsumsi. Fenomena ini pada suatu masa akan membuatnya terancam jika makanan-makanan dari luar yang beredar di Aceh lebih diminati oleh masyarakat Aceh. Selanjutnya 24% peunajoh Aceh berada pada posisi terancam punah. Kebanyakannya entitasnya sudah jarang ditemukan di pasar atau kedai-kedai, kecuali kipang kacang, adee teupong, dan ruti u.

8.2 Temuan Teoretis

Berdasarkan temuan empiris dapat dijelaskan beberapa temuan teoretis dari penelitian ini, yaitu:

1) Tidak ditemukan leksikon biota hewan dan biota laut pada peunajoh Aceh.

Hal ini menunjukkan bahwa kedekatan masyarakat dengan alam tidak

secara otomatis menyebabkan mereka memanifestasikannya dalam segala

budaya, terutama makanan. Namun, mereka telah mampu mengklasifikasi

pemanfaatannya dalam penciptaan budaya makanan, makanan pokok dan

makanan selingan (penganan). Biota hewan, termasuk biota laut seperti

ikan, udang, dan lainnya dapat ditemukan dalam ragam masakan kuliner

Aceh sebagai menu makan nasi. Selanjutnya, jika merujuk pada teori

dialektika tiga dimensi Bang dan Door, hal tersebut dapat diprediksikan

ekoleksikon biota hewan, terutama biota laut sedang berada dalam

keterancaman di kalangan masyarakat Aceh.

2) Ekoleksikon pada peunajoh Aceh sebagian kecil dapat ditaksonomikan ke

dalam tiga taksonomi sekaligus (padee – breuh – teupong – teupong bit =

Universitas Sumatera Utara 292

teupong breuh = teupong breuh bit). Sebagiannya dapat ditaksanomi

secara hiponimi dan mironimi saja (contohnya u), dan sebagian lainnya

dapat ditaksonomikan kepada meronimi dan sinonimi (contohnya tube).

Berdasarkan kenyataan ini dapat dirumuskan satu konsep teoretis bahwa

ekoleksikon pada peunajoh Aceh dapat diklasifikasikan kepada taksonomi

hiponimi-meronimi-sinonim, taksonomi hiponimi-meronimi, dan

taksanomi meronimi-sinonimi. Sementara untuk pengklasifikasian terhadap

taksonomi hiponimi-sinonimi tidak dapat dilakukan pada peunajoh Aceh.

3. Gambaran persepsi masyarakat Aceh tersebut, dapat dikatakan bahwa

dialektika ideologis, sosiologis, dan biologis pada suatu masyarakat atau

komunitas tidak selalu berada pada keseimbangan. Selanjutnya, dapat

dikatakan pula bahwa persepsi masyarakat terhadap suatu objek

(makanan), selain dipengaruhi oleh intensitas interaksi masyarakat dengan

objeknya, juga dipengaruhi oleh visualisasi ekologi dari suatu makanan

tersebut.

4. Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan satu konsep teoretis bahwa

kemudahan memperoleh makanan di pasar dapat mengurangi keahlian

generasi masyarakat untuk membuat makanan tersebut, yang dapat

mengakibat makanan daerah akan terancam punah. Hal ini akan terjadi

jika makanan tersebut kurang atau bahkan tidak diminati lagi karena

banyak makanan lain dari luar yang masuk ke daerah, sehingga tidak ada

lagi peminatnya dan masyarakat tidak lagi memiliki keahlian untuk

membuatkannya.

Universitas Sumatera Utara 293

7.3 Temuan Metodologis

Berdasarkan kejelasan temuan empiris dan teoretis yang dipaparkan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa penggunaan metode kualitatif dan kuantitatif

(mixed methods) dalam pengumpulan data sejalan dan bekerja dengan baik.

Kemudian penggunaan metode padan dalam menganalisis data dapat diaplikasikan pada kajian taksonomi ekosemantik relasi makna untuk menjelaskan ragam klasifikasi relasi makna dalam bidang taksonomi, persepsi masyarakat terhadap makanan tradisional (MT) dan kebertahanan berdasarkan pengetahuan

MT, pengetahuan bahan, pengalaman makan, pengetahuan cara buat, dan pengalaman buat.

Universitas Sumatera Utara 294

BAB IX

SIMPULAN DAN SARAN

9.1 Simpulan

Berdasarkan penjelasan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan penelitian yang diajukan, yaitu sebagai berikut:

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis peunajoh Aceh secara

ekolinguistik dapat ditaksanomikan kepada ekoleksikon biotik dan abiotik

serta ekoleksikon flora dan produksi fauna. Dari 60 jenis makanan yang

diteliti sebagiannya merefleksikan ekoleksikon secara langsung melalui

namanya, sedangkan sebagian lain namanya tidak memperlihatkan

ekoleksikon walaupun bahan baku berasal dari alam Aceh.

2. Sebagian makanan (peunajoh Aceh) terdiri dari unsur flora saja, seperti

cagruk dan keukarah, dan sebagian lainnya merupakan gabungan flora dan

produksi fauna, seperti nyab dan bhoi. Namun dalam kajian ini tidak

diperoleh hasil bahwa ada peunajoh Aceh terbuat dari unsur fauna saja,

tetapi semuanya adalah terbuat dari gabungan unsur biotik dan abiotik.

3. Kajian melalui relasi semantik, ekoleksikon peunajoh Aceh terdiri dari

taksonomi hiponimi, meronimi dan sinonimi, taksonomi meronimi dapat

terlihat melaui bahan-bahannya.

294 Universitas Sumatera Utara 295

4. Secara biotik, peunjoh Aceh hanya terbuat dari unsur tumbuh-tumbuhan,

kecuali telur dari prroduksi hewani. Klasifikasi taksonomi dapat dijelaskan

secara hiponimi, meronimi dan sinonim,

5. Persepsi masyarakat Kota Lhokseumawe terhadap peunajoh Aceh; bhoi,

pulot, boh rhom-rhom, keukarah, timphan dan bada pisang adalah peunajoh

Aceh yang tertinggi dipersepsikan. Sedangkan yang paling rendah

dipersepsikan masyarakat adalah bada reuteuk, bungong kayee, ruti seop, dan

limpeng.

6. Tingkat kebertahanan peunajoh Aceh dan ekoleksikonnya adalah 20% berada

pada tingkat stabil, 56% sedang mengalami kemunduran, dan 24% berada

pada posisi terancam punah.

9.2 Saran

Penelitian ini disadari betul oleh peneliti masih memiliki keterbatasan untuk menjelaskan peunajoh Aceh secara mendalam dalam perspektif ekolinguistik, karena jumlah sampelnya yang terlalu banyak. Oleh sebab itu, masih banyak peluang bagi peneliti lainnya untuk melakukan kajian terhadap peunajoh Aceh. Diharapkan kepada peneliti berikutnya untuk meneliti secara mendalam terhadap ekoleksikon pada setiap peunajoh Aceh yang memungkinkan penjelasannya mendalam dan komprehensif. Selanjutnya diharapkan kepada peneliti yang berminat mengkaji ekolinguistik di Aceh untuk menfokuskan satu peneltian tentang lingkungan kelautan Aceh dan kebertahanan bahasanya.

Universitas Sumatera Utara 296

Kepada Pemerintah Aceh diharapkan dapat mengambil kebijakan politik yang dapat mendukung kebertahanan peunajoh Aceh, sehingga bahan-bahannya yang bersumber dari alam Aceh memiliki nilai tinggi di mata masyarakat, baik secara biologis, ekonomis, dan sosiologis, bahkan memiliki nilai tawar politis.

Dengan demikian, muncul kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan alam untuk dijadikan sumber bahan makanan Aceh. Pada akhirnya bahasa, tertutama ekoleksikon yang melekat padanya dapat terjaga dan berada pada posisi stabil, meskipun tidak berada pada pencapaian tingkat aman.

Universitas Sumatera Utara 297

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Shobikin, 2015, Pengaruh Kepribadian, Sikap dan Persepsi Terhadap Perilaku Kewirausahaan Pelaku Usaha Industri Kecil Kerajinan Tangan dan Handycraft di Kabupaten Lamongan Atkinson. R.L. Atkinson. R.C. Higrl. E.R., 1991. Pengantar Psikologi (edisi ke 8 Jilid I), : Erlangga. Bang, J. Chr. & Door, J. (1996). Languange and Ecology. Ecolinguistics. Problems, theories and methods. AILA.

Bang, J.Chr. & Door, J. (1993). EcoLinguistics: A Framework. Blackwell Publishers

Cruse, D.A. 1987. Lexical Semantics. New York: Cambridge University Press.

Crystal, David. 2008. A Dictionary of Linguistic and Phonetics. Massachusetts: Blackwell Publishing Ltd.

Danandjaya, James. 2002. Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Duri, M. 1985. A Grammar of Acehnese on the Basis of A Dialect of North Aceh. Foris Publication

Elson B. & V. Picket. 1987. Beginning Morphology and Syntax. Texas: Summer Institute Of Linguistics

Enghoff, H. & O. Seberg 2006: A Taxonomy of Taxonomy and Taxonomists. The Systematist, Newsletter of the Systematics Association 27: 13–15. http://www.systass.org/newsletter/TheSystematist27.pdf.

Enghoff, Henrik, 2009. What is taxonomy? – An overview with myriapodological examples, SOIL ORGANISMS Volume 81 (3) 2009, http://www.senckenberg.de/files/content/forschung/publikationen/soilorgani sms/volume_81_3/16_enghoff.pdf.

Espinosa, J.M. Guerra-García & Gomez, J.C. García, Trends in Taxonomy Today: an Overview about the Main Topics in Taxonomy, http://www.ugr.es/~zool_bae/vol19/Zoo-2.pdf

Faber, Pamela & Castro, Miriam Buendía. 2014. EcoLexicon. http://www.euralex.org/elx_proceedings/Euralex2014/euralex_2014_045_p _601.pdf.

Universitas Sumatera Utara 298

Faridah, 2014. Khazanah Ekoleksikal, Sikap, dan Pergeseran Bahasa Melayu Serdang: Kajian Ekolinguistik. Sumatera Utara. Pascasarjana. Universitas Sumatera Utara. Fishman, 1972. Reading in The Sociology of Language. The Hague: Mouton. Fishman, J.A. 1991. Reversing Language Shift: Theory and Practice of Assistance to Threatened Language. Clevedon: Multilingual Matters Fill, A. & Muhlhause. 2001. The Ecolinguistic Reader: Language, Ecology, and Environment. London and New York : Continum.

Garna, J. K. 1999. Metode Penelitian: Pendekatan Kualitatif. : CV Primako Akademik.

Gibson, Ivancevich, & Donnely (1996), Organisasi : Struktur, Perilaku, Proses. (terjemahan Wahid, 1989, Organization 5th ed,Jakarta,Erlangga. Hitt, Michael.

Haspelmath, Martin. 2002. Understanding Morphology. New York: Oxford University Press Inc.

Haugen, E. 1972. “The Ecology of Language”. dalam Dil, A.S. (ed) The Ecology of Language: Essays by Einar Haugen. Stanford: Stanford University Press.

Haugen, Einer. 1972. The Ecology of language. Stanford, CA: Stanford university Press.

Heather Hedden, 2010, The Accidental Taxonomist, http://books.infotoday.com/books/The-Accidental-Taxonomist/At- SampleChapter.pdf

Hoffman, Donald D. 2009, The Interface Theory of Perception: Natural Selection Drives True Perception To Swift Extinction. http://cogsci.uci.edu/~ddhoff/interface.pdf

Irwan, Zoer’aini D. 2014. “Prinsip-prinsip Ekologi: Ekosistem, Lingkungan dan Pelestariannya.”

Kastanakis, Minas N. & Voyer Benjamin G., 2014, The Effect of Culture on Perception and Cognition: A Conceptual Framework, http://eprints.lse.ac.uk/50048/1/__lse.ac.uk_storage_LIBRARY_Secondary_ libfile_shared_repository_Content_Voyer,%20B_Effect%20culture%20perc eption_Voyer_Effect%20culture%20perception_2014.pdf

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI-Press.

Universitas Sumatera Utara 299

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lindø, Anna Vibeke & Jeppe Bundsgaard (eds). 2000. Dialectical Ecolinguistics Three Essays for the Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Austria: Univerisity of Odense Research Group for Ecology, Language and Ecology.

LindØ, Anna Vibeke & Simon S. Simonsen. 2000. “The Dialectics and Varieties of Agency-the Ecology of Subject, Person, and Agent. Dialectical Ecolinguistics Three Essays for the Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz Desember 2000. Austria: University of Odense Research Group for Ecology, Language and Ecology

Mashun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Tahapan, Strategi dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Mbete, Aron Meko. 2008. “Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan yang Prospektif. Bahan Matrikulasi Program Magister Linguistik Ps Universitas Udayana 2008.

Mbete, Aron. 2012. “Hak Hidup Bahasa-Bahasa Minor, Ancaman, dan Strategi Pelestariannya”. Seminar Nasional Bahasa Ibu V: Universitas

Mbete, Aron Meko. 2013. Penuntun Singkat Penulisan Proposal Penelitian Ekolinguistik. Denpasar: Vidia.

Mbete. Aron Meko,dkk. 2015. Khazanah Ekolekskal Guyub Tutur Bahasa Lio, Flores, Bali: Program DoktorLinguistik Pascasarjana Universitas Udayana.

Moleong, Lexy, 2001. Metodologi Penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Nuzwaty. 2014. “Keterkaitan Metafora Dengan Lingkungan Alam Pada Komunitas Bahasa Aceh Di Desa Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik”. [Disertasi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

O’Malley, Martin & Griffin, John R., tanpa tahun, Taxonomy, http://dnr2.maryland.gov/education/Documents/Taxonomy.pdf. of Agency- the Ecology of Subject, Person, and Agent. Dialectical

Pateda, Mansoer, 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Pilar, León Araúz, & Redondo, Pedro Javier Magaña. 2010. EcoLexicon: contextualizing an environmental ontology. In Proceedings of the

Universitas Sumatera Utara 300

Terminology and Knowledge Engineering (TKE) Conference 2010. Dublin: Dublin City University. Rahardi, K. 2006. Dimensi-Dimensi Kebahasaan. Jakarta: Erlangga. Rahmalianti, R., Nur Alia, M., & Riyadi, Dony, 2016, Pelestarian Makanan Tradisional Kejos Sebagai Sumber Karbohidrat di Desa Tarikolot Kecamatan Jatinunggal Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat, http://ejournal.upi.edu/index.php/gastur/article/view/3585 Rasna, I. W. (2010). Pengetahuan dan Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik. Bumi Lestari, 10(2).

Ress, Reinout van, 2003, Clarity in The Usage of The Terms Ontology, Taxonomy and Classification, http://reinout.vanrees.org/_downloads/2003_cib.pdf.

Robbins,Steepens (2006). Perilaku organisasi edisi kesepuluh.Indeks.Jakarta

Rohman, Nata Wijaya. (1978). Psikologi Perkembangan untuk SPG. Jakarta: CV Mutiara Saleh, Abdul Rahman & Wahab, Muhbib, 2004. Psikologi : Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam. Jkartaa : Prenada Media. Sartika & Siti Wahidah. 2013. Analisis dan Kebermaknaan Bahan Bubur Pedas sebagai Warisan Kuliner Melayu Stabat dan Tanjungbalai. Universitas Negeri Medan.

Sheth, Amit & Anantharam, Pramod. 2015, Semantic, Cognitive, and Perceptual Computing: Advances toward Computing for Human Experience, https://arxiv.org/ftp/arxiv/papers/1510/1510.05963.pdf

Sibarani, Robert. 1997. Leksikografi. Medan: Penerbit Universitas Sumatera Utara.

Sinar, Tengku Silvana. 2011. “Pergeseran Leksikon Kuliner Melayu Serdang Terhadap Remaja Perbaungan Kebupaten Serdang Bedagai”. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Djambatan

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitan Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. : Duta Wacana University Press.

Universitas Sumatera Utara 301

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta

Sukhrani, D. (2011). Leksikon Nomina Bahasa Gayo Dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik (Master's thesis).

Susilo, Rahmad K. 2012. “Sosiologi Lingkungan” Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Taylor, C. 2002. Bahasa dan Hakikat Manusia. Sebuah Makalah dalam Tafsir Politik, Telaah Hermeneustis. Yogyakarta.

Unesco, 2009, Berinvestasi dalam Keanekaragaman Budaya dan Dialog Antarbudaya, http://www.unesco.org/new/fileadmin/MULTIMEDIA/HQ/CLT/pdf/indone si.pdf Usman, Yusradi. 2010. “Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik”. [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Utina, Ramli & Baderan, Dewi Wahyuni, K., 2009. Ekologi Dan Lingkungan Hidup, Gorontalo.

Wibowo, Agus Budi, 2009. Masakan Khas Aceh, Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM Propinsi Aceh, https://www.academia.edu/3350284Makanan Khas Aceh.

Wurianto, A., Budi, 2008, Aspek Budaya Pada Tradisi Kuliner Tradisional Di Kota Malang Sebagai Identitas Sosial Budaya (Sebuah Tinjauan Folklore), Lembaga Penelitian Universitas Malang, http://rires2.umm.ac.id/publikasi/lama/Arif%20Budi.pdf.

Zurriyati & Suadi, 2014. Makanan Khas Tradisional Aceh dan Potensi Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Kota Lhokseumawe. Laporan Penelitian LPSDM, Banda Aceh.

Universitas Sumatera Utara 302

Lampiran

Data MTKA

Kue Tradisional Khas Aceh

Kue Tradisional Khas Aceh

No Kue Kering No Kue Basah

1 Bhoi 1 Adee

2 Ukheu u 2

3 Boh usen 3 Apam Keubeu

4 Keukarah 4 Apam u

5 Nyap 5 Haluwa

6 Bada reteuk 6 Dodoi

7 Bu grieng 7 Meuseukat

8 Kipang kacang 8 Bu bajek

9 Kue bangket 9 Bu leukat

10 Kue seupet 10 Bu Payeh

11 Aneuk mamplam 11 Pulot

12 Bungong Kayee 12 Timphan

13 Malinda 13 Timphan Baloen

14 Kueh prêt/ marke 14 Timphan Ubi

15 Kueh prêt 15 Bingkang / Adee

16 Kipang Kacang 16 Ruti Jala

17 Kue Lapeh

Universitas Sumatera Utara 303

18 Boh Rho-rhom

19 Bu Umpep

20 Limpeng

21 Eungkhue

22 Dughok

23 Bulukat kuah tuhe

24 Tapee

Universitas Sumatera Utara Lampiran : Peunajoh Aceh

Agar lebih jelas data peunajoh Aceh yang diperoleh dari lapangan yang menguraikan pelbagai bahan yang berasal dari lingkungan akan diuraikan masing- masing jenis peunajoh Aceh dan bahan baku sebagai unsur utama yang dibutuhkan untuk membuat peunajoh Aceh pada tabel berikut ini:

1. NYAB Nyab merup akan bahasa Aceh yang berarti goyang. Sebutan nyab itu berasal dari cara membuat kue nyab dengan mencelupkan dan menggoyangkan cetakan kue ke dalam minyak untuk melepaskan adonan dari cetakan. Kue nyab juga merupakan kue khas di hari raya. Rasanya ada yang manis ada juga yang tawar/ lemak. Kue ini sangat cocok dijadikan makanan cemilan karena renyah seperti keripik. Ia termasuk makanan ringan yang tidak langsung mengenyangkan, disebabkan komposisinya sangat sedikit yang diperlukan untuk membuat satu kue meskipun ukurannya sedikit besar. Kuenya yang renyah, bentuk yang indah serta aroma yang khas sangat disukai oleh anak-anak dan orang dewasa. Hampir semua orang bisa membuat kue ini karena cara pembuatan yang mudah dan bahan yang dibutuhkan dapat diperoleh di mana saja. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat kue nyap yaitu: tepung beras (teupong bit), gula (saka), telur (boh manok), santan, dan minyak goreng (minyeuk). Cara membuatnya : semua bahan dicampur jadi satu dan diaduk sampai tercampur rata, setelah adonan selesai cetakan loyang dicelupkan ke dalam adonan dan digoreng.

2. KEUKARAH Keukarah berasal dari kata geutarah yang berarti dibuat/dibentuk. Disebut dengan sebutan itu karena kue keukarah dibuat dan dibentuk dalam minyak dengan cara mengetuk-ngetuk adonan yang ada dalam cetakan kedalam minyak dan dibentuk sesuai

Universitas Sumatera Utara selera didalam minyak. Bentuk kue ini beragam ada yang berbentuk segitiga lipatan memanjang dan bulan sabit. Keukarah merupakan peunajoh Aceh yang yang bentuknya mirip dengan sarang burung dan serabut kelapa yang memiliki ribuan rajutan di dalamnya. Kue ini merupakan kue kering dan khas Aceh yang bernilai seni tinggi dan tidak pernah terlupakan dari masa ke masa. Kue ini termasuk salah satu kue tradisional yang unik bila dilihat dari segi bentuk dan proses pembuatannya. Tidak semua orang bisa membuat kue ini, hanya orang- orang tertentu yang memiliki ketrampilan, kesabaran dan seni. Kue ini biasanya menjadi kue khas hidangan di hari raya dan acara-acara adat Aceh seperti pesta perkawinan, acara tunangan dan kenduri Maulid Nabi. Kendatipun demikian keukarah juga bisa dijumpai di toko-toko kue khas Aceh setiap hari. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat keukarah yaitu: tepung beras (tepong breuh bit), gula (saka), santan, dan minyak goreng (minyeuk). Cara membuatnya: semua bahan dicampur jadi satu dan diaduk sampai tercampur rata, setelah adonan selesai adonan diketuk-ketuk kedalam minyak dengan menggunakan cetakan.

3. UKHE U Dikenal dengan sebutan ukhee u karena bentuknya yang mirip dengan ukhee u ‘akar kelapa’. Rasanya manis dan gurih membuat kue ini diminati oleh berbagai kalangan masyarakat baik anak-anak maupun orang dewasa. Cara membuatnya yang mudah dan cepat serta bahan-bahan yang sederhana membuat kue ini menjadi banyak dibuat oleh para pengrajin kue dan banyak beredar di pasaran baik itu usaha kecil, menengah atau besar. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat akar kelapa yaitu: teupong leukat ‘tepung ketan’ , saka ‘gula’, ie ‘air’, dan boh manok ‘telur ayam’ . Cara membuatnya : semua bahan dicampur diuleni dan digoreng.

Universitas Sumatera Utara 4. BOH USEN Boh usen merupakan peunajoh Aceh yang sudah lama dikenal di Aceh. Kue ini berbentuk bulan sabit yang banyak kita jumpai di rumah-rumah masyarakat pada hari-hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Kue ini dulunya tidak dijual di pasaran, masyarakaat cenderung membuatnya sendiri. Sekarang kue ini sudah banyak ditemui di pasaran dan di warung-warung baik untuk makanan pendamping kopi di warung, sebagai oleh-oleh, maupun untuk dinikmati bersama keluarga di rumah. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat kue boh usen yaitu: teupong leuka ‘tepung ketan’, teupong biet ‘tepung beras’, saka ‘gula’ , boh manok ‘telur ayam’, ue ‘kalapa’, dan minyeuk ‘minyak goreng’. Cara membuatnya : semua bahan dicampur menjadi satu dan diaduk sampai tercampur rata. Setelah adonan selesai, ia dicetak dengan cetakan yang berbentuk bulan sabit, kemudian dicelupkan ke dalam tepung yang telah dicampur air, dan selanjutnya digoreng.

5. BADA REUTEUK Bada berarti gorengan, dan reuteuk berarti kacang panjang. Dinamai dengan bada reuteuk karena cara membuat sama seperti menggoreng pisang yaitu dengan mencelupkan dengan tepung yag telah dicairkan sebelum digoreng, warnannya mirip dengan biji kacang panjang. Bada reuteuk adalah kue tradisional khas Aceh yang bahan utamanya terbuat dari tepung beras dan kacang hijau. Namun ada beberapa daerah bahan utamanya berbeda yaitu menggunakan tepung terigu dan kelapa. Kue ini biasanya disajikan untuk menemani secangkir kopi Aceh atau teh. Bada retek juga dapat dijadikan sebagai oleh-oleh dari Aceh. Bada reuteuk merupakan makanan yang serumpun dengan kue boh usen. Beberapa daerah lain seperti Bereunuen Pidie menyebut bada reuteuk untuk kue boh usen yang di kenal di kota Lhokseumawe. Kemudian di Kota Lhokseumawe sendiri menyebut kue bada reuteuk untuk kue yang dibuat dari tepung sagee (sagu). Bahan

Universitas Sumatera Utara yang dibutuhkan untuk membuat kue bada reuteuk yaitu: tepung sagee (tepung sagu), gula (saka), telur, santan, dan minyeuk (minyak goreng). Cara membuatnya : semua bahan dicampur jadi satu dan diaduk sampai tercampur rata. Adonan dipotong sesuai selera dan digoreng.

6. ANEUK MAMPLAM

Peunajoh aneuk mamplam merupakan salah satu makanan khas Aceh yang telah dikenal sejak lama. Aneuk mamplam berasal dari leksikon aneuk, makna leksikalnya anak sedangkan leksikon mamplam maknanya mangga. Aneuk mamplam maknanya leksikalnya biji mangga. Peunajoh aneuk mamplam maknanya makanan yang dibuat berbentuk biji mangga, rasanya gurih dan renyah. Aneuk mamplam merupakan jenis peunajoh jajanan dari golongan usia anak sampai golongan tua. Peunajoh ini sering dikonsumsi saat santai saat berkumpul dengan keluarga, dan disediakan dibeberapa warung kopi untuk cemilan masyarakat Aceh di warung kopi.

7. BUNGONG KAYEE

Peunajoh bungong kaye merupakan salah satu makanan warisan nenek moyang yang hingga kini masih dilestarikan. Bungong kaye adalah bunga kayu. Peunajoh ini dinamakan demikian karena bentuknya seperti buah dari pohon bayu, di Aceh dikenal dengan boh bayu yang bentuknya bersegi- segi seperti buah belimbing segi. Dahulu peunajoh ini berwarna putih kekuning- kuningan tidak diberi warna, namun sekarang ini masyarakat telah mengkreasikan peunajoh ini dengan berbagai variasi warna yang menarik dan ukuran sesuai dengan yang diinginkan. Peunajoh ini sering dijadikan sebagai bungong jaro

Universitas Sumatera Utara ‘buah tangan’ dalam beberapa upaca adat, seperti, acara ba ranup ‘tunangan’, intat dara baro antar pengantin perempuan’, dan peusijuk lueng ‘acara tujuh bulanan kehamilan’.

8. BHOI

Leksikon bhoi berarti mengembang, disebut dengan bhoi karena pada saat dipanggang kue ini mengembang. Kue bhoi merupakan kue khas Aceh yang teksturnya mirip dengan bolu. Kue ini terdiri dari berbagai macam ukuran dan bentuknya yang beraneka ragam, seperti bentuk ikan, bunga, daun dan lainnya. Ukurannya pun ada yang mulai 5 cm sampai ada ukuran jumbo sampai setengah meter. Ukuran yang besar biasanya dibuat untuk kue hantaran bagi pengantin. Bhoi Aceh sudah sangat dikenal di wilayah lain dan kebanyakan dari pengkonsumsi menyukai rasanya. Bhoi sekarang ini bukan saja menjadi hidangan di hari raya, acara ceremonial, dan kue hantaran baik antar linto baro (pengantin laki-laki) maupun dara baro (pengantin perempuan). Kue ini juga dijual setiap hari sebagai jajanan sore dan sebagai cemilan di rumah tangga bagi anggota keluarga. Bhoi Mudah diperoleh di mana saja dan kapan saja. Bisa juga dipesan langsung ke tempat orang yang memproduksinya. Bhoi ini juga sering kali dijadikan sebagai oleh-oleh bagi masyarakat yang dating dari luar wilayah Aceh, atau bisa jadi orang Aceh sendiri yang membawa kueh ini untuk oleh-oleh bagi orang di luar wilyah Aceh yang dikunjungi. Selain rasanya yang manis dan lembut, kue ini juga lebih tahan lama dibandingkan dengan bolu. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat bhoi yaitu: tepung beras (tepong breuh bit)/ tepong gandong (tepung terigu), gula (saka), dan boh manok (telur). Cara membuatnya : telur dan gula dikocok sampai mengembang kemudian dicampurkan dengan tepung sedikit demi sedikit, kemudian adonan dimasukkan ke dalam cetakan dan dipanggang.

Bhoi sebagai peunajoh Aceh dengan berbagai bentuk yang variatif, seperti: bentuk ikan, bintang, bunga, dan lain-lain. Bhoi ini dapat menjadikan salah satu buah tangan saat berkunjung ke sanak saudara atau tetangga yang mengadakan

Universitas Sumatera Utara hajatan atau pesta, seperti sunatan dan kelahiran. Kue Bhoi juga dijadikan sebagai salah satu isi dari bingkisan seserahan yang dibawa oleh calon pengantin pria untuk calon pengantin perempuan pada saat acara pernikahan. Bhoi sbanyak diperjual belikan pada pasar tradisional ataupun dipesan langsung pada pembuatnya. Proses pembuatan Bhoi ini pun tergolong sedikit rumit dan membutuhkan kesabaran serta keuletan. Ada beragam motif dan ukuran kue bhoi ataupun bolu aceh. Bhoi dibuat dari puluhan butir telur bebek. Begitu juga pemilihan alat pemanggang ataupun disebut oven, haruslah menggunakan oven dengan pemanas arang di bagian atasnya.

Bhoi sebagai peunajoh Aceh dengan berbagai bentuk yang variatif, seperti: bentuk ikan, bintang, bunga, dan lain-lain. Bhoi ini dapat menjadikan salah satu buah tangan dan juga dijadikan sebagai salah satu isi dari bingkisan seserahan yang dibawa oleh calon pengantin. Proses pembuatan Bhoi ini pun tergolong sedikit rumit dan membutuhkan kesabaran serta keuletan. Ada beragam motif dan ukuran kue bhoi ataupun bolu aceh. Kue Bhoi adalah penganan khas Aceh Besar yang dikenal luas oleh masyarakat Aceh.

9. BU GRIENG

Bu grieng merupakan jenis kue yang terbuat dari bu tho ‘nasi kering’ yang digoreng kemudian digongseng bersama gula. Bentuknya mirip dengan reginang, namun bedanya bu grieng rasanya manis. Bu gring sudah dikenal sejak jaman dahulu dan dijadikan sebagai makanan ringan untuk dikonsumsi sehari-hari. Hampir semua kios, kedai dan toko-toko yang menjual makanan bahkan swalayan dan supermarket pun menjual jenis peunajoh ini.

Universitas Sumatera Utara 10. BU THUM

Bu thum berasal dari leksikon bu ‘nasi’ dan thum ‘bunyi ledakan’. Dinamakan demikian karena but hum dibuat melalui proses pemanasan beras, boleh breuh biet ‘ beras nasi’atau breuh leukat ‘beras ketan’ secara tradisional dengan cara dimasukkan ke dalam wadah yang tertutup kemudian diletakkan di atas api yang bersuhu rendah sampai breuh ‘beras meledak atau mengembang. Secara moderen dengan menggunakan mesin khusus, dengan cara memasukkan beras ke dalam mesin setelah beberapa menit beras akan mengembang dan siap untuk dimakan. Proses pembuatannya sama seperti membuat pop crown. Bu thum dikonsumsi sebagai cemilan atau snack saja.

11. MALINDA

Peunajoh malinda terbuat dari beberapa campuran bahan yang berasal dari alam khususnya tumbuh- tumbuhan diantaranya : Teupong gandong ‘tepung terigu, kacang tanoh ‘kacang tanah’, minyeuk malinda ‘manyak makan’, dan saka ‘gula pasir’. Kacang tanah digongseng terlebih dahulu kemudian ditumbuk sampai halus. Semua bahan dicampur menjadi satu lalu di diaduk sampai rata, kemudian adonan ditipiskan lalu dicetak dengan menggunakan cetakan atau bisa juga dengan menggunakan tutup botol yang bentuknya bulat. Kue malinda dimasak dengan cara dioven atau secara tradisional dibakar diatas api bersuhu rendah dan diatasnya diletakkan bara api dari arang atau tapeh ‘sabut kelapa’. Nama malinda diambil dari nama minyak makan yang digunakan sebagai salah satu bahan peunajoh tersebut. Orang dahulu menyebut minyak makan yang bukan berasal dari kelapa menyebutnya dengan minyak malinda.

Universitas Sumatera Utara 12. KIPANG KACANG Leksikon kipang berarti mengikat, disebut kipang kacang karena kue ini berbahan dasar kacang yang digongseng dengan gula dan memiliki kesan kacang tersebut diikat oleh gonsengan gula. Bahan yang digunakan untuk membuat kipang kacang adalah kacang tanoh teulheu ‘kacang tanah yang telah digongseng’ dan gula mirah ‘gula merah’. Cara membuatnya gula digongseng dan dimasukkan biji kacang yang telah digongseng kemudian dipipihkan, dan seterusnya ditunggu sampai keras untuk dapat dipotong-potong, ukurannya sesuai selera masing-masing, biasanya ukuran dua jari berbentuk segi empat. Kue ini dapat dijumpai di kios-kios serta swalayan-swalayan yang ada di seputaran Kota Lhokseumawe. Kipang kacang sangat disukai anak-anak karena rasanya yang manis dan keras sehingga anak-anak bisa menikmatinya seperti menghisap permen.

13. KUE SEUPET Seupet merupakan bahasa Aceh yang berarti jepit. Dinamakan kue seupet karena cara membuat kue harus menjepitkan cetakan yang telah dipanaskan setelah memberikan adonan kedalam cetakan dan kemudian dipanggang di atas arang. Kue ini umumnya dibentuk menjadi seperempat lingkaran dari hasil lipatan, ada juga yang digulung menjadi bulat panjang sehingga berbentuk semprong. Kue ini banyak dijual baik di pasar tradisional maupun swalayan-swalayan yang sudah di buat dalam bentuk kemasan plastik. Bahan yang dibutuhkan untuk memuat kue sepet yaitu: tepung beras (tepong breuh bit), gula (saka), santan, dan telur. Cara membuatnya : semua bahan dicampur jadi satu dan diaduk sampai tercampur rata, setelah adonan diselesaikan, adonan tersbut dimasukkan ke dalam cetakan yang telah disapukan minyak sedikit dan dipanggang diatas arang.

Universitas Sumatera Utara Kue Seupet dibuat sebagai kue kering pada saat menjelang Idul fitri ataupun Idul adha di Provinsi Aceh. Kue Seupet sebagai kue tradisional yang khas pada setiap rumah adalah kue sepet. Disebut dengan kue Seupet, karena kue tersebut dicetak dengan cara menjepit cetakannya sehingga adonan dari tepung beras yang kental dapat dibentuk menjadi pipih saat dipanggan pada arang. Sepet berasal dari bahasa Aceh yang berarti jepit. Kue Seupet kini banyak dijual di toko- toko kue. Biasanya kue-kue ini merupakan usaha industri rumah tangga yang dibuat oleh masyarakat Aceh. Para pembuat kue sepet ini menitipkannya di toko- toko kue.

14. KUE BANGKET Kue bangket bentuknya seperti bunga berwarna putih yang dibuat dengan menggunakan cetakan, sehingga menghasilkan daya tarik tersendiri dengan rasanya yang khas, manis dan mudah terurai (bhou). Ia sangat digemari oleh anak-anak dan juga kalangan orang tua. Hal ini disebabkan mudah dimakan meskipun bagi orang-orang yang tidak memiliki gigi. Teksturnya yang lembut dan mudah larut didalam mulut, lagi pula tidak membuat tersedak karena bahan dasarnya terbuat dari tepung tapioka atau di Aceh dikenal dengan tepung kanji. Dulunya kue ini hanya bisa kita jumpai di hari raya saja. Namun sekarang kue ini banyak dijual di tempat-tempat penjualan aneka makanan atau kios-kios sederhana untuk dikonsumsi sehari-hari, ada juga untuk dibawa sebagai hantaran dara baro dan acara pinangan serta acara syukuran lainnya. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat kue bangket yaitu: tepung tapioka (tepong kanji), gula halus (saka), susu dan u (kalapa). Cara membuatnya : semua bahan dicampur menjadi satu dan diaduk sampai tercampur rata. Setelah menjadi adonan, ia dibentuk dan dipanggang di oven.

Universitas Sumatera Utara 15. MARKEU Peunajoh kueh pret mameh dan markeu sama bentuk dan proses pembutannya, yang berbeda beberapa bahan dan rasanya. Kueh pret rasanya manis dan gurih, sedangkan markeu lemak dan gurih. Pret maknanya semprot. Dinamakan demikian karena proses pembuatannya dengan cara memasukkan adonan kedalam cetakan lalu menekan sampai adonan keluar lalu dimasukkan kedalam minyak yang telah dipanaskan dan digoreng sampai kekuning-kuningan.

16. TIMPHAN Timphan sebagai makanan tradisional Aceh mengenal lepat yang terbuat dari tepung ketan yang diisi dengan gula merah bercampur dengan kelapa (inti) yang dibungkus dengan daun pisang. Inti lepat dibuat dari kelapa parut atau diganti dengan berbagai isian seperti pisang, srikaya atau buah lainnya kemudian di kukus hingga matang. Lepat khusus di sajikan pada hari-hari tertentu pada masyarakat Aceh terutama menjelang puasa (megang) dan lebaran. Timphan itulah nama kue khas masyarakat Aceh menyebutkannya dengan leupek, yang berarti ‘lepat’. 17. TIMPHAN SAGEE

Lepat sebagai makanan tradisional hampir dimiliki oleh seluruh suku-suku di Indonesia dengan berbagai bahan dasarnya. Peunajoh Aceh yang hampir sama dengan lepat dinamakan dengan timphan sage . Sage makna leksikalnya sagu atau pati dari pohon rumbia (enau). Timphan sagee terbuat dari teupong sagee yang diisi dibagian tengahnya dengan inti kelapa dicampur dengan gula merah, kemudian di bungkus dengan menggunakan daun pisang lalu

Universitas Sumatera Utara di kukus hingga matang. Timphan sagee disajikan untuk ie sirap ‘makanan selingan atau cemilan’ dan pada hari-hari peristiwa keagamaan seperti pada kenduri kematian untuk menjamu tamu dan ada juga sebagai snack para pekerja tani dan pekerja bangunan yang disajikan bersama minuman teh atau kopi.

18. TIMPHAN UBI Kata timphan berarti bungkus, disebut dengan timphan karena kue ini dibungkus dengan daun pisang.Timphan merupakan peunajoh Aceh yang khas dan sangat populer baik dikalangan masyarakat Aceh maupun suku lain di Indonesia bahkan ke manca Negara. Kue ini biasanya dijadikan kue wajib yang disediakan di hari raya. Di desa-desa hampir semua rumah membuat timphan. Tidak Afdhal rasanya kalau kue ini tidak ada. Selain itu kue ini juga dijadikan sebagai hidangan setiap peristiwa adat dan budaya Aceh seperti kenduri pada orang meninggal, acara syukuran, aqiqah, bahkan acara-acara formal lainnya yang diadakan oleh instansi-instansi baik swasta maupun negeri. Hampir semua orang yang mencoba menyukai rasanya. Timphan ini terdiri dari dua jenis ada yang terbuat dari bahan tepung dan ada yang dari ubi. Campuran tepung bisa bervariasi bisa dengan labu kuning, pisang, nangka, dan durian. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat timphan yaitu: tepung ketan (teupong breuh leukat), gula (saka), pisang, oen pisang (daun pisang) dan u (kelapa). Isi dalam timpan ada yang berisikan asoe kaya (srikaya) dan kelapa. Cara membuatnya : tepung dan pisang diulenin, gula dan kelapa dicampur dan digongseng. Adonan tepung dipipihkan kemudian diberikan sedikit kelapa atau srikaya, digulung dan dibungkus dengan daun pisang. Kemudian dikukus sampai matang. Timphan yang merupakan makanan lembek berbalut daun pisang muda ini yang paling terkenal adalah Timphan rasa srikaya. Sebelum menjelang lebaran bisanya ibu-ibu sudah menyiapkan daun pisang muda baik memetik di kebun atau beli dipasar.

Universitas Sumatera Utara 19. TIMPHAN IEM Timphan iem terbuat dari breuh leukat ‘beras ketan’ yang direndam terlebih dahulu selama lebih kurang lima jam. Beras tersebut dicampurkan dengan pisang wak ‘pisang monyet’ yang sudah benar-benar matang dan sudah dihancurkan dengan menambahkan sira ‘garam’secukupnya. Setelah tercampur rata, adonan tersebut diletakkan diatas on pisang muda ‘daun pisang muda’ lalu diletakkan kelapa parut yang telah dicampur gula merah atau gula pasir ditengahnya, kemudian dibungkus dan di kukus sampai matang.

20. TIMPHAN BALOEN

Timphan balon merupakan kue yang hampir serupa dari segi bentuknya dengan timphan yang terbuat dari daun, namun rasanya beda. Disebut timphan baloen karena pembuatannya dengan cara membungkus isi didalam kulitnya yang telah dibakar telebih dahulu dan langsung bisa dimakan. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat timphan balon yaitu: tepung terigu (tepong gandong) dan telur. Bahan membuat isi yaitu gula (saka) dan kelapa. Adonan tepung air dan telur dibakar di teflon di atas api kecil sampai matang. Adonan yang telah matang dimasukkan selai dan digulung.

21. DUGHOK Dughok merupakan peunajoh Aceh yang telah lama dikenal dikalangan masyarakat Aceh. Peunajoh ini dulunya sering dikonsumsi di musim dingin dan sekaligus sebagai makanan bagi petani yang bekerja di sawah. Masyarakat dulunya sering

Universitas Sumatera Utara menyajikan peunajoh ini karena bahan-bahan yang dibutuhkan mudah dipeoroleh dan mudah pula dalam pengolahannya. Pada umumnya untuk membuat dughok menggunakan jenis pisang wak yang sudah sedikit lebah supaya manis. Setelah pisang dihaluskan dicampur dengan tepung beras dengan menambahan sedikit garam lalu diaduk sampai rata. Adonan tersebut diletakkan diatas daun pisang muda lalu dibungkus dan dikukus sampai matang. Setelah diangkat dipotong tipis- tipis lalu dicampurkan ke dalam kelapa yang sudah diparut dengan memberi sedikit garam dan gula pasir.

22. BU TAI/ BU LUKAT SILEE Bu berarti nasi dan kata leukat berasal dari kata leukeit yang berarti lengket. Ini karena bahan dasarnya beras ketan (breuh leukat) yang sifatnya melengket. Oleh sebab itu, dinamakan dengan leukat karena teksturnya lebih lengket dibandingkan dengan nasi putih (bu bit). Bu Lukat Silee merupakan kue basah yang biasanya juga dijumpai di warung-warung kopi untuk sarapan pagi atau dimakan sambil menyantap kopi. Kue ini sifatnya mengenyangkan karena berasal dari beras pulut. Kalau kita peerhatikan hampir semua warung kopi di Aceh menyediakan jenis kue ini. Kue ini juga menjadi hidangan andalan di kenduri-kenduri. Dinamakan bu lukat silee karena pulutnya dilapisi dengan selai. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat bu lukat silee yaitu: breuh leukat (beras ketan), gula (saka) dan santan. Cara membuatnya : beras ketan dimasak dan diuleni dengan santan. Selai dibuat cara tepung terigu, gula dan telur dimasak sampai mengeras. Ketan yang sudah dimasak dimasukkan ke talam dan dipadatkan kemudian disiram dengan selai diatasnya

23. PULOT Kata pulot diambil dari singkatan kata punjot dan tot. Punjot berarti menbunggkus dengan menjepitkan ujung daun dengan lidi. Tot berarti

Universitas Sumatera Utara bakar atau panggang. Disebut dengan pulot karena membuatnya dengan cara membungkus ketan yang telah dimasak setengah matang dengan santan, yang dibungkus dengan daun pisang dan dijepitkan dengan lidi. Selanjutnya dipanggang. Pulot merupakan kue yang dapat dijumpai di warung dan di pinggir jalan. Pulot bakar ini lebih nikmat jika dimakan bersama dengan durian, sehingga banyak penjual pulot kita jumpai di pinggir jalan berdampingan dengan penjual durian. Pulot bakar juga bisa dinikmati dengan tape beras yang biasany dijual sebagai menu sarapan pagi. Bahan yang dibutuhkan untuk Cara membuatnya : beras ketan dimasak dengan santan setengah matang. Beras yang telah dimasak setengah matang dibungkus dengan daun pisang dan dibakar.

24. TAPE

Tape adalah peunajoh aceh yang selalu tersedia kapan saja kita inginkan karena banyak dijajakan oleh pedagang baik di pusat perbelanjaan, warung kopi, di pinggiran-pinggiran jalan, maupun di tempat rekreasi di tepi pantai, atau bisa juga melalui pesanan. Meskipun cara membuat tape mudah dengan bahan-bahan yang sederhana, tidak semua orang bisa membuatnya karena dibutuhkan skill khusus dan beberapa pantangan menurut pendapat orang tua. Pantangan-pantangan tersebut diantaranya, tidak diperbolehkan membuat tape dalam masa haid, tidak boleh membuang angin (kentut) ketika sedang membuat tape, tidak banyak berbicara, harus dalam keadaan bersih dan tidak bau badan. Pantangan-pantangan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan hasil tape yang manis, enak dan tidak gagal hasilnya.

Proses pembuatan tape dengan cara; beras geutaguen ‘dimasak’ hingga menjadi nasi, lalu geurueng ‘diangkat’ dan ditempatkan di atas jie ‘nampan’ yang dilapisi dengan daun pisang. Sambil menunggu nasinya dingin, ambil ragi lalu haluskan dalam mangkok, pastikan brnar-benar halus agar mudah merata pada saat

Universitas Sumatera Utara ditaburkan ke nasi. Setelah nasi dingin taburkan ragi yang sudah dihancurkan dan tambahkan sedikit garam lalu aduk sampai tercampur rata, kemudian dibentuk sesuai dengan keinginan, bisa dibentuk bula, dipadatkan dalam cetakan atau bisa juga dibungkus dengan menggunakan daun pisang, daun siren. Setelah selesai dibentuk semua lalu dimasukkan kedalam wadah dan ditutup rapat dan jarang dibuka selama kurang lebih dua hari untuk mendapatkan hasil tape yang manis maksimal. Setelah itu untuk mendapatkan tape yang lebih manis bisa disiram dengan air gula.

25. LEUMANG Leumang, peunajoh Aceh yang sudah lama dikenal dari nenek moyang sampai sekarang. Leumang ini menjadi sangat populer sebagai bahan bukaan di bulan ramadhan, namun demikian peunajoh ini juga selalu dijajakan pada bulan-bulan lainnya.Kue ini sangat diminati oleh masyarakat Aceh pada khususnya dan masyarakat lain pada umumnya karena rasanya yang enak apalagi dilengkapi dengan selai srikaya yang menambah kenikmatannya. Leumang bukan hanya enak dimakan tapi proses pembuatannya juga enak dengan bahan-bahan yang hanya menggunakan beras ketan yang sudah dicampuri dengan santan kental dan ditambah sedikit garam. Setelah semua bahan tercampur rata lalu dibungkus dengan menggunakan daun pisang yang masih muda kemudian imasukkan ke dalam batang yang sudah dibersihkan. Kemudian bamboo tersebut dipanaskan dengan tumpukan api sampai bamboo lembab terbakar api, lalu diangkat dan dikeluarkan dari bambu. 26. KUEH LAPEH Lapeh berarti lapis, dinamakan kue lapeh karena kue ini dibuat berlapis-lapis dan berwarna-warni. Kue ini sering dijumpai diwarung-warung kopi , ditempat-tempat jual sarapan pagi pada hari-hari biasa dan dijual sebagai menu berbuka dibulan

Universitas Sumatera Utara puasa dan dikenduri-kenduri. Bahan yang digunakan untuk membuat kue ini adalah tepung terigu (tepong gandom), tepung tapioca (tepong kanji), gula dan santan. Cara membuat kue ini mudah, tepung dicampurkan dengan santan dan diberikan gula kemudian diaduk. Adonan diwarnai sesuai selera kemudian dikukus secara bertahap.

27. EUNGKHUI

Eungkhui adalah nama peunajoh khas Aceh yang merupakan warisan kuliner dari nenek moyang. Eungkhui yang sifatnya bisa mengenyangkan karena terbuat dari campuran tepung beras dan tepung ketan yang mengandung karbohidrat. Eungkhui biasanya dijadikan sebagai makanan selingan disaat bersantai dengan keluarga, dan juga sebagai ie sirap ‘makanan selingan’ yang disuguhkan untuk para petani, tukang bangunan dan pekerja lainnya untuk mengisi perut sebagai penambah tenaga yang disajikan bersamamnuman teh atau kopi disela-sela jam istirahat, biasanya berkisar antara pukul 10 pagi hari dan pukul 4 sore. Proses pengolahan eungkhui sangat mudah dan tidak membutuhkan waktu yang lama serta bahan-bahan sederhana. Langkah pertama dengan mempersiapkan semua bahan-bahan yang dibutuhkan. Kedua haluskan pisang dengan cara menumbuk dengan menggunakan tandan pisang atau bisa dengan gelas, lalu masukkan tepung beras dan tepung ketan dengan menambahkan sedikit garam dan gula pasir seta kelapa yang sudah diparut/dikukur. Semua bahan dicampur sampai merata jangan tetlalu lembek dan jangan terlalu keras, kemudian dimasukkan ke dalam kukusan lalu di kukus sampai matang.

Universitas Sumatera Utara 28. BOH RHOM-RHOM

Boh romrom atau dikenal juga dengan kue boh duek beudeh, kue ini terbuat dari tepung ketan yang dibalut dengan parutan kelapa. Cara membuatnya sangat mudah. Campurkan tepung ketan, garam dan air panas. Aduk hingga rata. Tuang air dingin, aduk hingga adonan kalis. Ambil satu sendok teh adonan isi dengan bahan isian yakni gula jawa. Bulatkan dan panaskan air bersama daun pandan hingga mendidih. Masukkan adonan, angkat, gulingkan diatas kelapa parut lalu sajikan.

29. ADEE / BINGKANG UBI Adee merupakan kue khas Aceh yang teksturnya basah yang biasanya dijumpai di warung-warung kopi sebagai makanan sarapan pagi dan di kenduri- kenduri. Ada dua jenis bingkang yang tersebar di Lhokseumawe yaitu bingkang tepung dan bingkang ubi. Sekarang ini bingkang juga bisa dipesan yang dibuat di rumah-rumah yang memproduksi kue ini sebagai mata pencaharian sehari-hari. Para konsumen biasanya memesan kue ini untuk dibawakan ke tempat kenduri atau acara-acara tertentu namun ada juga untuk makan sendiri. Bingkang kota Lhokseumawe berbeda dengan bingkang di Pidie (dikenal adee) dari segi rasa, bentuk, dan ketahanannya. Bingkang kota Lhokseumawe lebih basah dan masih menggunakan bahan-bahan yang alami. Bahan yang digunakan untuk membuat adee yaitu: tepung terigu (tepong gandong)/ubi, gula (saka) dan santan. Setelah adonan dicampur jadi satu adonan tersebut dipanggang.

Universitas Sumatera Utara 30. CAGRUK Peunajoh cagruk yang pada umumnya dikenal dengan nama kolak merupakan peunajoh warisan dari generasi ke generasi. Peunajoh ini dulunya dikenal baik oleh masyarakat apalagi di musim hujan untuk menghilangkan rasa lapar atau untuk memberikan kehangatan. Leksikon cagruk sekarang ini sudah mulai jarang di tuturkan oleh sebahagian besar masyarakaatnya. Masyarakat lebih cendrung menyebutkan kulak atau kolak sebagaimana sebutan masyarakat non-Aceh pada umumnya. Cagruk dibuat dengan menggabungkan berberapa jenis tumbuhan umbi-umbian, kacang-kacangan, dan padi-padian, serta beberapa bahan tambahan lainnya.

31. RUTI U Dilihat dari namanya, banyak orang berfikir bahwa ruti ue itu peunajoh instan yang banyak ditemukan dipasaran. Ruti u megandung makna leksikalnya roti kelapa. Namun di Aceh ruti u merupakan peunajoh cemilan di pagi ataupun di sore hari. Peunajoh ini biasanya digunakan untuk menjamu tamu dan ie sirap para pekerja. Masyarakat cenderung membuat kueh ini dengan alasan bahan-bahan dan proses pembuatannya yang sederhana dan tidak membutuhkan waktu lama untuk menghasilkan makanan yang langsung bisa disajikan dan dimakan dalam keadaan yang masih hangat.

32. RUTI CANE Ruti Cane merupakan salah satu jenis peunajoh yang memiliki cita rasa yang unik dan enak. Ruti cane biasanya dijual bersamaan dengan martabak

Universitas Sumatera Utara telur. Orang yang tidak suka mengkonsumsi telur biasanya cenderung memilih ruti cane sebagai cemilannya. Karena banyak dijual di mana-mana dan juga bisa dikatan sulit dalam proses pembuatannya, masyarakat cenderung membeli dari pada membuatnya sendiri. Adapun cara membuat ruti cane adalah: Pertama dengan mencampurkan tepung terigu bersamaan dengan air serta garam, dan aduk campuran bahan tersebut hingga kalis. Kemudian kita membagikan adonan tersebut menjadi beberapa bagian, lalu buatkan menjadi bentuk bulat-bulat dari adonan tersebut. Olesi adonannya menggunakan minyak samin atau margarin yang sudah dicairkan, lalu anda diamkanlah adonan selama 25 menit. Setelah itu menipiskan adonan tadi, lalu diolesi lagi permukaan adonan dengan menggunakan minyak samin, gulung-gulunglah adonan hingga berbentuk memanjang, kemudian anda bentuk lagi adonan melingkar. Diamkan lagi selama 25 menit. Pipihkan adonan lalu memasaknya diatas wajan datar dengan menggunakan api kecil hingga matang.

33. RUTI JALA Jala merupakan sebutan jaring dalam bahasa Aceh. Dikenal dengan ruti jala karena bentuk tepung untuk membungkus selai mirip dengan jala (jaringan). Ruti jala merupakan kue basah yang sering dijumpai di warung-warung dan tempat- tempat penjual sarapan di pagi hari. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat ruti jala yaitu: tepung terigu (tepong gandong) dan telur. Bahan membuat selai yaitu gula (saka), dan telur. Cara membuatnya: Adonan tepung air dan telur dibentuk seperti jaring dibakar di teflon di atas api kecil sampai matang. Adonan yang telah matang dimasukkan selai dan kemudian digulung.

Universitas Sumatera Utara 34. APAM Apam dalam bahasa Indonesia berarti ? Serabi dalam (KBBI V) bermakna ‘penganan berbentuk bundar pipih berpori-pori yang dibuat dari adonan tepung beras. Tradisi Aceh, budaya mengenai apam, bahkan terdapat dalam penamaan bulan dalam bahasa Aceh. Bulen apam, itulah nama jika disetarakan dengan kalender hijriah sama dengan bulan Rajab. Menjelang dan pada saat bulen apam tersebut, masyarakat Aceh khususnya di pedesaan memperingatinya dengan membuat hidangan apam yang dengan campuran kuah tuhe. Apam tersebut selanjutnya, sering dibawa ke masjid untuk dimakan oleh jamaah seusai salat Jumat. Apam aceh sangat khas dengan campuran kuah tuhe. Kuah tuhe ini terbuat dari campuran antara buah-buahan berupa potongan pisang nangka dengan kuahnya dari santan kelapa. Namun, di Aceh Barat, dalam kuah tuhe ini sering ditambahkan dengan kuini. Selain itu, ada juga yang membuat kuahnya dari buah durian yang dicampurkan dengan santan.

35. PUTU

Putu adalah salah satu peunajoh Aceh yang terdiri dari dua jenis ada yang berbentuk : leusong ‘lesung’ dan ada juga yang berbentuk bulat berjaring- jaring. Putu yang berbentuk lesung dinamakan dengan putu bambu dan putu yang berbentuk jaring dinakan dengan putu ayu. Putu bambu ditaburi dengan kelapa parut dan gula pasir sedangkan putu ayu dimakan dengan menggunakan kuah tuhe. Putu bamboo dibuat dengan menggunakan cetakan dari bambu yang berukuran kecil lalu dikukus atau diletakkan diatas uap air yang mendidih. Sedangkan putu ayu dibuat dengan cara memasukkan adonan tepung ke dalam

Universitas Sumatera Utara cetakan kayu atau besi yang berlobang-lobang kecil, lalu ditekan dan diletakkan diatas daun pisang lalu dimasukkan ke dalam panci untuk dikukus sampai matang

36. PUTRO MANO Putroe manoe merupakan jenis peunajoh basah yang biasanya dikonsumsi saat santai untuk cemilan dan ada juga yang digunakan untuk makanan tambahan di acara-acara pesta, serta makanan yang disediakan untuk berbuka puasa. Potro mano terdiri dari dua kata yaitu putroe dan mano. Putroe makna leksikalnya adalah puteri, ratu, anak perempuan atau interi raja, dan mano maknanya . Jadi prutro mano memiliki makna putri mandi. Putro mano dinamakan demikian karena diibaratkan seperti putri yang sedang mandi di dalam kolam. Kue ini dibuat dengan cara mengaduk tepung ketan dengan tepung tapioka dengan menggunakan air dan sedikit garam. Setelah tercampur rata lalu dibentuk oval dengan ukuran kecil sebesar biji rambutan (diibaratkan sebagai putro) kemudian dimasukkan ke dalam air mendidih sampai matang. Setelah itu baru dimasukkan ke dalam kuah (diibaratkan sebagai kolam) yang dibuat dari santan yang sudah dimasak dengan menggunakan campuran gula pasir dan gula merah serta daun pandan sebagai pewangi alami dari alam.

37. MEUSEUKAT Meseukat berasal dari kata meuseuke yang berarti langka. Disebut meseukat karena kue ini dulunya sangat jarang dijumpai. Meuseukat juga berasa dari kata meusukat yang bermakna berukuran/ takaran. Dikatakan demikian karena dalam proses pembuatan kue ini semua bahan-bahan yang digunakan harus melalui takaran yang pas sehingga hasilnya bisa maksimal. Meuseukat ini merupakan salah satu kue tradisional dari aceh atau semacam dodoi nanas khas aceh. Konon katanya

Universitas Sumatera Utara meuseukat merupakan salah satu makanan raja sehingga makanan ini dikenal dengan sebutan peunajoh raya. Kue ini dulu hanya dijadikan sebagai hantaran dara baro dan linto baro pada resepsi perkawinan orang-orang kaya. Namun sekarang ini meuseukat sering disajikan di rumah-rumah warga sebagai kue hidangan hari raya dan dapat juga dijadikan oleh-oleh jika berkunjung ke aceh. Disamping itu, ia juga dijadikan sebagai hantaran/ seserahan dalam acara adat perkawinan dan acara adat Aceh lainnya. Kue ini sangat dikenal terutama sekali di kalangan masyarakat yang berkelas ekonomi menengah ke atas. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat meuseukat yaitu: tepung terigu (tepong gandong), nanas (boh aneuh), gula (saka), telur (boh manok) dan mentega. Cara membuatnya : semua bahan dicampur menjadi satu dan dimasak sambil diaduk sampai masak (tidak lengket lagi di wajan) berwarna kekuningan. Meuseukat sangat jarang ditemukan dipasar-pasar tradisional dan terkadang harus dipesan terlebih dahulu. Meuseukat merupakan peunajoh Aceh yang hampir serupa dengan dodol nanas khas aceh. Meuseukat terbuat dari tepung terigu dan campuran buah nanas, paduan yang unik dengan cita rasa yang khas. Meuseukat sangat jarang ditemukan di pasar-pasar tradisional dan terkadang harus dipesan terlebih dahulu. Jika sebelumnya meuseukat sering dibawa pada acara perkawinan aceh, kini meuseukat dapat juga dijadikan oleh-oleh jika berkunjung ke aceh.

38. DODOI Dodoi merupakan peunajoh Aceh yang sering dijadikan hidangan di acara perkawinan dan acara adat Aceh lainnya. Dodoi sudah dikenal sejak jaman dulu kala, “nenek moyang” sampai sekarang. Kue ini tetap terjaga kelestariannya karena rasanya yang manis, tahan lama dan bernilai ekonomis tinggi. Kue ini juga menjadi kue khas hidangan di hari raya. Selain di daerah Aceh dodol juga di kenal di beberapa daerah lain seperti Garut Jawa Barat dan Tanjung Pura Sumatera Utara yang dijajakan sepanjang jalan raya. Namun dodol Aceh berbeda rasanya dengan dodol wilayah lain. Dodol Aceh

Universitas Sumatera Utara memiliki rasa yang lebih alami dan lebih manis apabila dibandingkan dengan dodol wilyah lain. Dodol Aceh menggunakan bahan-bahan yang alami dan tanpa menggunakan pengawet maupun pemanis buatan atau pewarna. Sehingga masa tahan tidak selama masa bertahan dodol lain di daerah lain. Hal ini menjadi alasan mengapa dodol Aceh tidak banyak dijual dimana-mana dan disepanjang waktu. Dodol ini dibuat membutuhkan waktu kalau ada yang memesan dan menjelang hari raya. Di daerah Aceh sendiri antara satu wilayah dengan wilayah lain bisa berbeda cara membuatnya, misalkan saja dodoi kota Lhokseuwawe menggunakan tepung sementara di Pidie Jaya umumnya menggunakan beras sebagai bahan dasarnya. Alasan lainnya disebabkan proses pembuatannya yang lama, membutuhkan waktu seharian untuk membuat kue ini. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat dodoi yaitu: breuh leukat (beras ketan)/ tepung leukat (tepung ketan), gula (saka) dan santan. Cara membuatnya : semua bahan dicampur jadi satu dan dimasak sambil diaduk sampai berwarna kecoklatan. 39. BU BAJEK Bu berarti nasi, sedangkan bajek (bayek) berarti anak bayi. Dikenal dengan sebutan tersebut karena cara memasak bu bajek sama halnya dengan memasak nasi anak bayi yaitu nasi dimasak dengan takaran air yang banyak, sementara bu bajek dimasak dengan takaran santan yang banyak, untuk memasak satu bambu beras ketan menghabiskan 5kg sampai 7kg pati santan dan 2kg sampai dengan 3kg gula. Wajek juga merupakan kue khas Aceh yang sering dijadikan sebagai hantaran/ seserahan di acara adat perkawinan dan acara adat Aceh lainnya. Sekarang ini wajek bisa di jumpai di beberapa kios, di mana kue ini di bentuk dalam ukuran kecil-kecil yang dibungkus dengan kertas layangan. Ada yang dijual per satuan ada juga didalam kotak yang terdiri dari 10 bungkus kecil yang harganya ada yang 500 per satuan ada yang 1000 tergantung ukurannya. Bahan yang diperlukkan untuk membuat wajik yaitu: breuh leukat (beras ketan), gula (saka) dan santan. Warna kue ini ada yang putih ada juga yang kecoklatan. Untuk menghasilkan

Universitas Sumatera Utara warna coklat ditambahkan gula merah. Cara membuatnya : semua bahan dicampur jadi satu dan dimasak sambil diaduk sampai berwarna kecoklatan

40. EUMPING BREUH/ HALUWA Haluwa merupakan peunajoh Aceh yang sering dijadikan sebagai hantaran/ seserahan dalam acara adat perkawinan dan acara adat Aceh lainnya. Kue ini hampir serupa dengan kue dodol, meseukat, dan bu bajek dilihat dari segi proses pembuatannya, dan biasanya di tempatkan di dalam tapeusi (tabak) setelah dimasak untuk didinginkan. Halwa di buat dari beras ketan yang digongseng terlebih dahulu kemudian ditumbuk lalu diayak baru kemudian dicampur dengan bahan lainnya diaduk menjadi satu dengan tekanan panas yang rendah sampai adonan mengental dan berwarna kecoklatan. Proses pembuatannya yang lama dan membutuhkan tenaga ekstra bagi pembuatnya. Kue ini tidak bisa bertahan lama, dan ia dibuat tidak setiap saat, tidak dijual setiap hari di pasaran. Dijual di pasaran hanya waktu tertentu saja, atau apabila ada pesanan dari konsumennya. Kue ini termasuk salah satu makanan khas Aceh yang memiliki citra rasa yang manis, gurih, enak dan bernilai ekonomis tinggi; dibutuhkan modal seratus ribu rupiah untuk membuat satu talam besar kue dengan harga seratus empat puluh sampai seratus lima puluh ribu harga jualnya . Berdasarkan data peunajoh Aceh berasal dari taksonomi ekoleksikon yang terdapat di lingkungan yang hidup daerah Aceh, data peunajoh Aceh dari ekoleksikon tersebut diklasisifikasi sebagai sistem yang disusun dan dibagi atas unit-unit suatu objek yang berasal dari lingkungan ke dalam bentuk tunggal dikenal sebagai taksa atau takson. Pada data peunajoh Aceh yang dianalisis dalam struktur hieraki dan berkaitan antara satu lesikon dengan leksikon yang lain dalam hubungan supertype-subtype. Identifikasi taksonomi ekoleksikon diklasifikasikan secara terstruktur hierakhi dari kategori luas atau umum kepada kategori khusus yang disusun atas kelompok atau kelas yang menjelaskan kemiripan karakterik dan organisme-organisme atas setiap leksikonnya.

Universitas Sumatera Utara

Biji-bijian

Jira Maneh Pade ‘padi’ Gandong ‘gandum’ Jagong ‘Jagung’ ‘jintan’

Breuh ‘beras’ Cagruk 1. Bhoi 2. Marke

Biet ‘nasi’ Leukat ‘ketan’

1. Ie bu 1. Bu gring 2. Bu thum 2. Bu tum

3. Tape 3. Timphan Iem 4. Bu Bajek 5. Pulot 6. Buthai 7. Bu Mpep 8. Eumpieng Breuh 1. Si seun 9. Bu Payeh 2. Dua seun 10. Bu Lukat 3. Keurabe 4. Kuah tuhe

Bagan 1. Biji-bijian

Universitas Sumatera Utara

Biji-Bijian

Pade ‘padi’ Gandong ‘gandum’

Breuh ‘beras’ Teupong ‘tepung’ Teupong

1. Seupet Biet ‘nasi’ Leukat ‘ketan’ 2. Timphan Balon 3. Rasyida

1. Nyab 1. Bungong Kayee 4. Adee 2. Keukarah 2. Manis 5. BungongKayee 3. Bada Reuteuk 3. Kueh Panco 6. Ruti Cane 4. Bhoi 4. Kueh Gleung 7. Ruti Jala

5. Putu 5. Boh Rhom-Rhom 8. Ruti Seuop 6. Dungok 6. Dodoi 1. Pisang 7. Godhok 7. Timphan 2. Boh Panah

3. Boh Labu 4. Boh Drien

1. Boh Usen 2. Kueh Pret 3. Eungkhui 4. Limping 5. Ruti U

Bagan 2. Biji-bijian

Universitas Sumatera Utara