PERKEMBANGAN TAFSIR MODERN PERKEMBANGAN TAFSIR MODERN DI INDONESIA DI INDONESIA

THE MODERN TAFSIR DEVELOPMENTS IN INDONESIA Ahmad Atabik STAIN Kudus, Jawa Tengah, Indonesia [email protected] Ahmad Atabik

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mendiskripkan khazanah tafsir di Indonesia di lihat dari segi historisnya. Kajian tafsir Indonesia di sini adalah karya-karya tafsir yang ditulis oleh para ahli tafsir dengan menggunakan salah satu bahasa daerah atau bahasa Indonesia. Kajian al-Qur’an dan penafsirannya di Indonesia dirintis oleh Abdur Rauf Singkel yang menerjemahkan Al-Qur’an (Tarjuman al-Qur’an) ke dalam bahasa Melayu pada pertengahan abad XVII. Apa yang sudah dikaryakan oleh Singkel ini kemudian dilanjutkan oleh Munawar Chalil (Tafsir al-Qur`an Hidâyah al- Rahman), A. Hassan (al-Furqan, 1928), Mahmud Yunus (Tafsir Quran Indonesia, 1935), (Tafsir al-Azhar, 1973), Bisyri Musthafa Rembang (al-Ibriz, 1960). Tafsir al-Qur’an era terakhir adalah karya Quraish Shihab. Model dan sistemasika tafsir karya Quraish Shihab: Pertama, menafsirkan dengan metode tematik, karya model ini tertuang dalam Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992), Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994) dan Wawasan al-Qur’an (1996) dan lainnya. Kedua, model menafsirkan seluruh al-Qur’an. Karya model ini kemudian tertuang dalam karyanya Tafsir al-Mishbah: Pesan dan Keserasian Ayat-Ayat al-Qur’an. Kata Kunci: Tafsir, Indonesia, Sejarah.

Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014 305 Ahmad Atabik

Abstract

THE MODERN TAFSIR DEVELOPMENTS IN INDONESIA. This article aimed to describe Indonesian interpretation. The Indonesian interpretation here is the works written by experts in the interpretation using Bahasa Indonesia. The study of the Qur’an and its interpretation In Indonesia initiated by Abdur Rauf Singkel which translated Al-Qur’an (Tarjuman al-Qur’an) into the Malay Language in the middle of the XVII century. What has been employed by Singkel is then followed by the Munawar Chalil (Tafsir al-Qur`an Hidâyah al- Rahman), A. Hassan Bandung (al-Furqan, 1928), Mahmud Yunus (Tafsir Quran Indonesia, 1935), Hamka (Tafsîr al-Azhar, 1973), Bisyri Musthafa Rembang (al-Ibriz, 1960). The latest interpreter is Quraish Shihab. The Quraish Shihab model and sytematical interpretation is: First, interpret with thematic method, it contained in Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992), Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994) dan Wawasan al-Qur’an (1996). Second the model interprets the whole of the Qur’an. The model of this paper then is contained in the interpretation of his works Al-Mishbah: Pesan dan Keserasian Ayat-Ayat al-Qur’an. Key Words: Interpretation, Indonesia, History

A. Pendahuluan Diskursus tentang kajian al-Qur’an dan penafsirannya dalam konteks di Indonesia agak berbeda dengan kajian yang terjadi di dunia Arab. Hal ini disebabkan dunia Arab merupakan tempat turunnya al-Qur’an, sekaligus tempat dipahami dan diamalkannya al-Qur’an awal mulanya. Perbedaan itu lebih disebabkan karena perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an (bilisani qaumih) adalah bahasa orang Arab, maka di antara mereka tidak mengalami permasalahan yang berarti dalam memahami bahasa al-Qur’an, meskipun tingkat kecerdasan mereka berbeda-beda. Ini tentu berbeda apabila al-Qur’an dipahami oleh selain orang Arab (ajam) dan tidak mengetahui secara langsung turunnya al-Qur’an. Oleh karena itu, untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an para ulama nusantara terlebih dahulu memulai dengan menerjemahkan ayat-

306 Hermeunetik, Vol.8, No. 2, Desember 2014 Perkembangan Tafsir Modern di Indonesia ayat al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia, setelah itu kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan detail. Dalam sejarah dunia Islam, kajian terhadap al-Qur’an telah dilakukan semenjak zaman Rasulullah (sebagai penafsir pertama) hingga masa kini. Usia penafsiran al-Qur’an juga sama dengan usia al- Qur’an itu sendiri. Berjuta-juta karya tafsir al-Qur’an telah dihasilkan oleh para ulama’. Kajian al-Qur’an terus dilakukan dengan berbagai metode, sistematika dan pendekatannya. Bahkan bukan hanya kaum muslimin saja yang telah mengkaji al-Qur’an. Para sarjana Barat juga telah banyak menghasilkan karyanya terkait dengan studi al-Qur’an. Dengan motivasi yang berbeda-beda. Dari motivasi keilmuan an sich, hingga motivasi kritik terhadap eksistensi al-Qur’an sendiri. Tercatat dalam sejarah, kajian mereka terhadap al-Qur’an dimulai sejak abad ke-3 H atau abad ke-9 M. Dalam lintas sejarah Nusantara, al-Qur’an diajarkan dan dipelajari seiring dengan masuknya Islam di Nusantara. Bermula dari era Tarjuman al-Qur’an yang dikarang oleh Abdul Rauf al-Singkili hingga era Tafsir al-Misbah, tafsir di Indonesia telah melewati generasi satu ke generasi lain. Dari model penulisan ke model penulisan yang lain. Dari sistematika penulisan yang masih sangat tradisional kepada sistematika penulisan yang sudah modern. Dari tidak menggunakan metode penafsiran hingga menggunakan metode penafsiran sesuai dengan yang telah diletakkan oleh para mufassir. Munculnya kajian al-Qur’an dan penafsirannya di Indonesia ini sebagai pertanda bahwa terdapat respon yang baik dari masyarakat Indonesia terhadap kitab sucinya, meskipun tidak sesemarak apa yang telah dikaryakan oleh orang-orang Arab. Walaupun demikian perlu disyukuri adanya ulama’-ulama’ Indonesia telah mampun menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an 30 Juz lengkap semisal, Abdul Rauf al-Sinkili dengan karya Tarjuman al-Qur’an, Hamka dengan karya Tafsir al- Azhar, dan Quraish Shihab dengan karya Tafsir al-Mishbah.

Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014 307 Ahmad Atabik B. Istilah dan Metodologi Tafsir Indonesia 1. Pengertian Tafsir Indonesia Secara etimologi kata tafsir merupakan bentuk isim mashdar dari fassara-yufassiru tafsi>ran mengikuti wazan fa’ala-yufa’ilu-taf’i>lan yang mempunyai arti menjelaskan, memahamkan, dan menerangkan. Sedangkan fasara-yafsiru-fasran mempunyai arti membuka. Tafsir juga mempunyai arti kebahasaan al-kasyf berarti penyingkap, al-ibanah berarti menjelaskan, dan al-iz}h>ar yang berarti menampakkan makna yang tersembunyi1. Al-Dzahabi menjelaskan bahwa secara bahasa tafsir berarti al-id}a>h (menjelaskan) dan al-tabyi>n (menerangkan). Kata tafsir secara disinggung al-Qur’an dalam surat al-Furqan: 33; “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik (tafsir) penjelasannya.” Lanjut al-Dzahabi, tafsir juga digunakan untuk menunjukkan dua hal. Pertama, mengungkap makna yang tersembunyi secara inderawi (al-hissi), dan kedua, menyingkap makna yang tersembunyi secara rasio (ma’ani ma’qulah). Makna yang kedua inilah yang lebih banyak dan biasa dipergunakan2. Sedangkan menurut terminologi, para ulama berpendapat bahwa tafsir bukanlah ilmu yang mengharuskan adanya batasan- batasan. Karena tafsir bukanlah kaidah-kaidah sebagaimana ilmu- ilmu yang berkaitan dengan rasionalitas. Menurut al-Dzahabai, tafsir adalah ilmu yang menjelaskan tentang kalam Allah, atau ilmu yang menjelaskan lafaz-lafaz al-Qur’an dan pemahaman-pemahaman lain yang berkaitan dengannya3. Sedangkan menurut al-Zakarkasyi, tafsir adalah ilmu untuk memahami kalam Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., menjelaskan makna, mengeluarkan

1 Manna’ al-Qaththan, Mabahis\ fi Ulu>m al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, 1994, hlm. 345. 2 Muhammad Husain az-Zahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Makt - bah Wahbah, 1995), Jilid 1, hlm. 13. 3 Ibid., hlm. 14.

308 Hermeunetik, Vol.8, No. 2, Desember 2014 Perkembangan Tafsir Modern di Indonesia hukum, dan hikmah yang terkandung di dalamnya4. Al-Syirbashi menjelaskan bahwa terdapat dua makna tafsir dikalangan ulama’, pertama, keterangan atau penjelasan sesuatu yang tidak jelas dalam al-Qur’an yang dapat menyampaikan pengertian yang dikehendaki, dan kedua, merupakan bagian dari ilmu badi’, yaitu salah satu cabang ilmu sastra Arab yang mengutamakan keindahan makna dalam menyusun kalimat5. Sedangkan istilah tafsir Indonesia merupakan bentuk id}afah dan gabungan dari tafsir dan Indonesia. Abror (2002) menjelaskan bahwa tafsir Indonesia adalah kitab-kitab tafsir atau karya-karya dibidang tafsir yang mempunyai karakteristik atau kekhasan lokal Indonesia. Maksud dari karakteristik dan kekhasan lokal Indonesia adalah sebuah buku tafsir yang ditulis oleh orang atau yang dikaryakan dengan menggunakan bahasa lokal Indonesia, baik menggunakan salah satu bahasa daerah di Indonesia (misal, bahasa Jawa, bahasa Sunda) maupun dengan bahasa Indonesia sendiri6 Kajian tafsir Indonesia di sini adalah karya-karya tafsir yang ditulis oleh orang atau yang dikarang dengan menggunakan salah satu bahasa daerah atau bahasa Indonesia, rentang waktu sebelum abad 20 dan sesudahnya dengan melihat sejarah kemunculan dan perkembangannya. Kajian tafsir Indonesia ini juga melihat sisi metode yang dipakai para ulama’ Indonesia dalam menafsirkan ayat-ayat al- Qur’an dan sejauh mana karya-karya tafsir ulama’ Indonesia ini andil dan turut serta dalam perkembangan tafsir di Indonesia. Pada dasarnya, kajian tentang khazanah tafsir di Indonesia telah dilakukan oleh banyak peneliti, baik dari peneliti dalam negeri maupun dari luar negeri. Peneliti dalam negeri misalnya, Islah Gusmian dalam tesisnya yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul “Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi”.

4 Az-Zarkasyi, al-Burha>n fi Ulu>m al-Qur’an (Kairo: Da>r al-Turas\, t.t.), Jilid 3, hlm. 56. 5 Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 5. 6 M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia: Dari Kontestasi Metodologi Hingga Kontekstualisasi (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014), hlm. 86.

Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014 309 Ahmad Atabik Gusmian dalam bukunya ini menjelaskan tentang; pertama, sejarah kajian al-Qur’an di Indonesia. Kedua, teknik dan metode penulisan dan hermeneutic karta tafsir al-Qur’an di Indonesia. Ketiga, horizon dan cakrawala baru karya tafsir al-Qur’an di Indonesia, serta keempat, ideologi tafsir dan kepentingan dibalik penulisan karya tafsir al-Qur’an di Indonesia7. Sedangkan karya peneliti luar negeri semisal, penelitian yang dilakukan oleh A.H. Johns dengan artikelnya dengan judul “Qur’anic Exegesis In The Malay World: In Search of a Profile”. Dalam artikelnya ini Johns mencoba untuk memetakan tafsir di Indonesia dengan cara mengungkap sejarah awal kajian tafsir al-Qur’n di Indonesia. Hasan menjelaskan bahwa pendekatan yang dilakukan oleh Johns adalah pendekatan sejarah, hal ini diakui oleh Johs bahwa penelitian yang dilakukan lebih dari membuat profil perkembangan kajian berdasarkan beberapa karya yang masih bertahan. Sehingga penelitian yang dilakukan Johns tidak menjelaskan keseluruhan karya-karya tafsir Indonesia8.

2. Ragam Teknik dan Sistematika Kajian Tafsir al-Qur’an di Indonesia Dari satu generasi ke generasi terdapat perbedaan dalam teknik penulisan tafsir di Indonesia. Karya-karya tafsir ini mengalami dinamika yang menarik, baik dari segi penyampaian, tema-tema kajian, serta sifat penafsir. Pada tahun 1920-an muncul Alqoeranoel Hakim Beserta Toedjoean dan Maksoednja, karya Iljas dan Abd. Jalil. Meskipun hanya penafsiran juz pertama saja, namun karya tafsir ini menunjukkan bahwa saat itu telah muncul karya tafsir dari segi sifat penafsir-model penafsiran kolektif. Penafsiran yang bersifat kolektif ini kemudian diikuti pada tahun 1930-an dengan dikaryanya sebuah tafsir yang berjudul Tafsir al-Qur’an al-Karim, ditulis oleh A. Halim,

7 Lihat Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutik hingga Ideologi, (Yogyakarta: LKiS, 2013), hlm. xxi-xxiv. 8 Anthony. H. Johns, Qur’anic Exegesis In The Malay World: In Search of a Profile,” dalam Andre Rippin, (ed.), “Approaches to The History of the Interpretation of the Qur’an,” Oxford: Oxford University Press, 1998, hlm. 257-258, dalam Hamka Hasan, “Pemetaan Tafsir Indonesia: 1990-2000”, Jurnal Studi al-Qur’an, Vol. 1, No. 3, 2006, hlm. 637-656.

310 Hermeunetik, Vol.8, No. 2, Desember 2014 Perkembangan Tafsir Modern di Indonesia Zainal Arifin Abbas dan Abdurrahman Haitami. Pada dasawarsa berikutnya tahun 1950-an telah muncul karya tafsir yang berjudul Tafsir al-Qur’an karya Zainuddin Hamidy dan Fakhruddin pun di tulis secara kolektif 9. Berbeda dengan karya tafsir pada abad-19 M, sistematika tafsir tematik juga telah di kenal. Meskipun dalam bentuknya yang sangat sederhana. Karya yang tidak diketahui nama pengarangnya (anomim) berjudul Fara>id al-Qur’an, dalam Ismail bin Abd al-Muthalib al- Asi (ed.), Jam’a al-Jawa>mi’ al-Mus}annafa>t: Majmu’ beberapa Kitab Karangan beberapa Ulama’ Aceh. Karya ini menafsirkan surat al-Nisa’ ayat 11 dan 12 yang berbicara tentang hukum waris10. Sedangkan terkait dengan sistematika penyajian tafsir, muncul karya tafsir yang disajikan secara tematik, meskipun sederhana dan tidak memenuhi standar untuk ukuran sekarang, yaitu Rangkaian Tjerita dalam al-Qur’an, karya Bey Arifin (Bandung: Pelajar, cetakan pertama tahun 1963), al-Qur’an tentang Wanita, karya M. Said, (Bandung: Pelajar, 1969), dan Keesaan Tuhan dalam al-Qur’an, karya Mukti Ali (Yogyakarta: Nida, 1969), ketiga karya tafsir tematik di atas menggunakan bahasa Indonesia11. Terdapat juga sistematika penyajian tafsir yang berkonsentrasi pada surat-surat tertentu. Misalnya, untuk surat al-Fatihah, lahir Tafsir al-Qur’anul Karim, Surat al-Fatihah (Jakarta: Widjaja, 1955) karya Muhammad Nur Idris; Rahasia Ummul Qur’an atau Tafsir Surat al- Fatihah (Jakarta: Institut Indonesia, 1956) karya A. Abhry; Kandungan al-Fatihah (Jakarta: Pustaka Islam, 1960), karya Bahroem Rangkuti; Tafsir Surat al-Fatihah (Cirebon: Toko Mesir, 1969) karya H. Hasri; Samudra al-Fatihah (Surabaya: Arini, 1972) karya Bey Arifin; Tafsir Ummul Qur’an (Surabaya: al-Ikhlas, 1981), dan lain-lain12. Sistematika penafsiran lain adalah penafsiran terhadap 30 ayat- ayat al-Qur’an. Model seperti ini seperti penafsiran yang dilakukan

9 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia… hlm. 44. 10 Ibid., hlm. 45. 11 Ibid., hlm. 46. 12 Ibid., hlm. 46.

Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014 311 Ahmad Atabik oleh Mahmud Yunus yang menulis Tafsir al-Qur’an al-Karim Bahasa Indonesia, karya ini berakhir pada tahun 1938. Setelah Mahmud Yunus muncul penafsiran 30 juz yang dikarang oleh A. Hassan, dengan judul al-Furqan Tafsir al-Qur’an. A. Hassan menjelaskan bahwa tafsir yang dikaryakan ini mula-mula diterbitkan adalah juz dari al-Qur’an.13 Pada tahun 1958, seorang ulama’ sekaligus sastrawan, menulis al- Qur’an 30 juz dengan judul Tafsir al-Azhar. Kajian ini sebelum ditulis merupakan kajian kuliah subuh yang disampaikan di Masjid al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta. Penafsiran itu dimulai dari surat al-Kahfi, juz 15 pada tahun 1962. Pada tanggal 27 Januari 1964 M, Hamka ditangkap penguasa Orde Lama dengan tuduhan berkhianat terhadap tanah air. Penahanan ini menjadi berkah, karena rentan waktu 2 tahun di penjara Hamka justru dapat merampungkan penulisan tafsirnya 30 juz, kemudian diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 dengan nama Tafsir al-Azhar14. Era tafsir al-Qur’an di Indonesia kemudian dilanjutkan oleh Quraish Shihab. Quraish Shihab banyak berkarya di bidang kajian al-Qur’an. Di antara model dan sistemasika tafsir karya Quraish Shihab: Pertama, menafsirkan dengan metode tematik, karya model ini tertuang dalam Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992), Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994) dan Wawasan al-Qur’an (1996) dan lainnya. Kedua, model menafsirkan seluruh al-Qur’an. Karya model ini kemudian tertuang dalam karyanya Tafsir al-Mishbah: Pesan dan Keserasian Ayat-Ayat al-Qur’an. Perbedaan kedua model penafsiran itu adalah yang pertama disusun berdasarkan tema-tema dan permasalahan- permasalahan yang actual sedang yang kedua ayat-ayat al-Qur’an ditafsirkan secara keseluruhan berdasarkan mushaf Utsmani.

13 Ibid., hlm. 47-48. 14 Hamka (Haji Abdul Malik Amrullah), Tafsir al-Azhar, Juz 1 (Jakarta: Pembina Massa, 1967), hlm. 41.

312 Hermeunetik, Vol.8, No. 2, Desember 2014 Perkembangan Tafsir Modern di Indonesia 3. Sejarah Kajian Tafsir di Indonesia a. Sejarah Awal Kajian al-Qur’an di Nusantara Sejarah mencatat bahwa penyebaran Islam dari awal kemunculannya sampai hari ini, diyakini tidak lepas dari sumber inti ajaran agama Islam, yaitu al-Qur’an. Maka bisa dikatakan bahwa sejarah perkembangan Islam juga ditandai dengan sejarah al-Qur’an dan penafsirannya, meskipun pada realitasnya sejarah al-Qur’an lebih menitikberatkan pada peninggalan-peninggalan tertulis yang lahir dari tradisi intelektual para ulama yang bersangkutan. Oleh karena itu, sejarah al-Qur’an dan penafsirannya dalam konteks yang paling sederhana di Indonesia dapat dikaji dan diteliti melalui sejarah masuknya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para saudagar dari Arab. Al-Qur’an dikaji di saat Islam disebarkan oleh para juru dakwah, seiring dengan perkembangan Islam di Indonesia seiring itu pula dikembangkan pengajian-pengajian al-Qur’an dalam bentuk- bentuk kegiatan yang berkaitan dengan ajaran Islam. Pada saat didirikan tempat-tempat ibadah seperti masjid, mushalla, surau, langgar, di saat itu pula al-Qur’an mulai dikaji dan diajarkan oleh para ulama kepada para pemeluk Islam15. Terkait dengan masuknya Islam di Nusantara, para peneliti mengungkapkan adanya dua teori populer. Pertama, Teori Timur, yaitu Islam masuk di Indonesia pada abad VII M. atau I H., yang disebarkan langsung melalui jalur perdagangan oleh orang Arab yang bermazhab Syafi’i di daerah pesisir(coast) pantai utara Sumatera (Malaka). Kedua, Teori Barat yang bersumber dari perjalanan Marcopolo (1292). Hal ini lebih diperkuat dengan catatan Ibnu Bathuthah yang menjelaskan berdirinya kerajaan Islam di pantai utara Sumatera pada abad XIII M16.

15 M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia: Dari Kontestasi Metodologi hingga Kontekstualisasi... hlm. 45. 16 Lihat Robert McHenry (gen. Ed.), Encyclopaedia Britannica, Vol. 21, hlm. 235.

Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014 313 Ahmad Atabik Berdasarkan teori barat, ketika Islam masuk pertama kali di Aceh pada tahun 1290 M, pada saat itu pengajaran Islam mulai lahir dan tumbuh, terutama setelah berdirinya kerajaan Pasai. Pada waktu itu, banyak ulama yang mendirikan surau, seperti Teungku Cot Mamplam, Teungku di Geureudog, dan lainnya. Pada abad-17 M, pada zaman Mahkota Alam Sultan Aceh, surau-surau di Aceh mengalami kemajuan. Pada saat itu muncul ulama terkenal, seperti Nuruddin al-Raniri, Ahmad Khatib Langin, Syamsuddin al- Sumatrani, Hamzah Fansuri, Abd. Rauf al-Sinkili, dan Burhanuddin17. Di saat itu pula para ulama mengajarkan al-Qur’an sebagai kajian Islam di tempat-tempat ibadah tersebut. Pengajaran al-Qur’an yang disampaikan oleh guru-guru ngaji kepada kaum muslimin kala itu lebih kepada pengajaran anak- anak sekitar umur 6 sampai 10 tahun yang belum mencapai usia dewasa. Pengajian al-Qur’an ini diberikan secara individual di rumah guru, langgar atu guru surau. Namun, dalam beberapa kasus juga dilaksanakan di rumah orang tua murid, terutama kalau orang tua murid mempunyai kedudukan penting18. Pengajaran al-Qur’an (ngaji Qur’an) ini pada umumnya dilakukan oleh seorang guru laki-laki, namun ada juga para perempuan yang bisa mengaji menjadi guru-guru ngaji anak-anak di masyarakatnya. Sedangkan, pembelajaran al-Qur’an pada usia baligh bisa dilakukan secara bersama-sama atau individual di tempat-tempat ibadah di atas. Tujuan diajarkannya al-Qur’an oleh generasi dahulu sampai sekarang di nusantara dengan tujuan agar agamanya lebih cepat matang, terutama tentang penanaman tauhid19. b. Embrio Penulisan Tafsir al-Qur’an di Nusantara Sejak menyebarnya Islam di Nusantara yang bermula di wilayah Sumatera, terutama Aceh, pengajian al-Qur’an terjadi tampak cukup meyakinkan. Merujuk pada naskah-naskah yang

17 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1984, hlm. 24. Lihat juga Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia… hlm., 24. 18 Ibid, hlm. 19. 19 M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia… hlm. 46.

314 Hermeunetik, Vol.8, No. 2, Desember 2014 Perkembangan Tafsir Modern di Indonesia ditulis ulama’ Aceh, dapat dilihat bahwa pada abad ke-16 telah mucul upaya penafsiran al-Qur’an. Naskah tafsir QS. al-Kahfi: 9, yang tidak diketahui penulisnya, diduga ditulis pada masa awal pemerintahan sultan Iskandar Muda (1607-1636), di mana mufti kesultanannya adalah Syams ad-Din as-Sumatrani, atau bahkan sebelumnya, Sultan ‘Ala’ ad-Din Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1537-1604), di mana mufti kesultanannya adalah Hamzah al-Fansuri. Di wilayah Sumatera lain, se abad kemudian, muncul karya tafsir lengkap 30 juz dengan judul “Tarjuman al-Mustafid”, yang merupakan karya Abd. Rauf as- Singkili (1615-1693 M)20. Sebagai magnum opus, tafsir perintis ini mendapatkan tempat, bahkan tidak hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara Islam lain. Sebagai contoh, tafsir ini pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Bombay, Istanbul (Mathba’ah al-‘Us\ma>niyyah, 1302/1884 dan 1324/1906), Kairo (Sulaima>n al-Mara>gi>) dan Mekah (al-`Ami>riyyah)21. Pengajaran al-Qur’an juga merambah kepada para kaum sufi di tanah air. Ketika mengajarkan sufisme kepada para muridnya tak jarang mereka mengajarkan al-Qur’an. Di sisi lain, para tokoh sufi Nusantara seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani seringkali mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang kemudian dipahami dalam konteks mistisisme. Bahkan, terdapat riwayat kecil yang menyebutkan bahwa masa kedua tokoh sufi klasik itu, telah menghasilkan tafsir kecil sederhana terhadap surah al-Kahfi yang diperkirakan dan dinilai mengikuti tradisi Tafsir al-Kha>zin22. Dalam hasil kajian beberapa ahli, ada dua pendapat besar tentang tafsir ini. Pertama, Snouck Hurgronje menganggap bahwa terjemahan tersebut lebih mirip sebagai terjemahan Tafsi>r al-Baid}

20 Ibid., hlm. 20. 21 Lihat P. Riddel, Transfering a Tradition; ‘Abd al-Ra`uf al-Singkili’s Re - dering of the Jalalain Commentary, (Berkeley: Centers for South and Southeast Asia Studies, University of California, Monograph No. 31, 1990) dalam Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 203. 22 Riwayat ini dikutip oleh Azyumardi Azra, sembari menganjurkan untuk melihat lebih jauh karya-karya Riddel tentang sejarah Alquran di Indonesia/Melayu. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., hlm. 202.

Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014 315 Ahmad Atabik awi23. Rinkes, murid Hurgronje, menambahkan bahwa selain sebagai terjemahan Tafsir al-Baid}awi, karya al-Singkili itu juga mencakup terjemahan Tafsi>r Jala>lain. Voorhove, murid Hurgronje juga, setelah mengikuti pendapat Hurgronje dan Rinkes, berpendapat bahwa tafsir tersebut mengambil sumber dari berbagai karya tafsir berbahasa Arab. Kedua, Riddel dan Harun memastikan bahwa Tarjuma>n Mustafi>d adalah terjemahan Tafsir Jala>lain. Hanya pada bagian tertentu saja, tafsir tersebut memanfaatkan Tafsi>r al-Baidlawi dan Tafsi>r al-Khazin24. Sedangkan di daerah Jawa, penyebaran Islam dilakukan oleh Walisongo. Dalam penyebaran Islam ini juga tidak lepas dengan pengajaran al-Qur’an. Di mulai oleh Raden Rahmad (Sunan Ampel) yang mengajarkan al-Qur’an di pesantrennya di daerah Ampel Denta. Seperti halnya di Sumatera, di Jawa pengajaran al-Qur’an juga diadakan di surau, langgar, mushalla, masjid dan juga di rumah-rumah sang guru ngaji. Sejak proses islamisasi yang digerakkan para Wali Sanga dan berdirinya kerajaan Demak, sekitar tahun 1500, tentunya pengajaran al-Qur’an semakin marak, meskipun dilakukan dengan sangat sederhana. Pada generasi selanjutnya, kerajaan Islam dikuasai kesultanan Mataram Islam. Dalam beberapa Suluk, seperti Suluk Sunan Bonang, Suluk Kalijaga, dan Suluk Syaikh Siti Jenar, terlihat bahwa teks-teks al-Qur’an telah menjadi satu rujukan penting dalam membangun suatu konsepsi keagamaan25. Di tanah Jawa, pada abad-abad berikutnya pengajaran al-Qur’an semakin semarak. Pada tahun 1847, meski pendidikan Indonesia belum mempunyai sebutan tertentu, pengajaran al-Qur’an pada waktu itu berlangsung di tempat yang biasa disebut dengan istilah nggon ngaji (tempat belajar murid mempelajari al-Qur’an). Di nggon ngaji ini memang tidak sama jenjangnya. Jenjang paling dasar diberikan

23 Percakapan ringan dengan M. Quraish Shihab, Minggu, 1 Juli 2001. Lihat juga Snouck Hurgronje, The Achehnese,II, 17, Catatan 6, dalam Azyumardi Azra, Jar- ingan Ulama Timur Tengah..., hlm. 203. 24 D.O. Rinkes, Abdoerraoef van Singkel; Bidrage tot de Kennis van de Mystiek op Sumatra en , Heerenven: Hepkema, 1909, hlm. 31-32 dalam Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah., hlm. 203. 25 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia… hlm. 22

316 Hermeunetik, Vol.8, No. 2, Desember 2014 Perkembangan Tafsir Modern di Indonesia orang tua yang peduli pengajian anaknya di rumah, sejak anak usia 5 tahunan. Pada jenjang ini biasanya anak dibebani hafalan surat-surat pendek. Pada usia 7 atau 8 tahun, anak dimulai diperkenalkan cara membaca huruf Arab sampai mampu menghafal al-Qur’an26. Kemunculan pesantren-pesantren di wilayah Jawa secara meyakinkan dan lembaga pendidikan dengan sistem klasikal, menandakan pengajaran al-Qur’an semakin mendapatkan tempat yang strategis. Di berbagai daerah di Jawa lahir beberapa pesantren yang memberikan pengenalan awal terhadap al-Qur’an yang meliputi pembelajaran kaidah-kaidah tajwid dan juga mempelajari kandungan al-Qur’an (tafsir) bagi yang telah mampu menulis makna secara gandul. Kitab-kitab tafsir yang biasanya dijadikan pegangan adalah kitab Tafsir al-Jalalain, yang dikarang oleh dua ulama’ yang bernama Jalal, yaitu Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi. Jika disimpulkan secara sederhana, bahwa kajian al-Qur’an dan penafsirannya di Indonesia dirintis oleh Abdur Rauf Singkili yang menerjemahkan Al-Qur’an (Tarjuma>n al-Qur’an) ke dalam bahasa Melayu pada pertengahan abad XVII. Apa yang sudah dikaryakan oleh Singkili ini kemudian dilanjutkan oleh Munawar Chalil (Tafsi>r al-Qur`an Hida>yah ar- Rahman), A. Hassan Bandung (al-Furqan, 1928), Mahmud Yunus (Tafsir Quran Indonesia, 1935), Hamka (Tafsir al-Azhar, 1973), Zainuddin Hamidi (Tafsir Al-Qur’an, 1959), Halim Hasan (Tafsi>r al-Qur`an al-Karim, 1955), Iskandar Idris (Hibarna), dan Kasim Bakry (Tafsir al-Qur`an al-Hakim, 1960). Dalam bahasa- bahasa daerah, apa yang telah mereka karyakan ini kemudian dilanjutkan oleh Ulama’ Islam Yogyakarta (Quran Kejawen dan Quran Sundawiyah), Bisyri Musthafa Rembang (al-Ibriz, 1960), KH. R. Muhammad Adnan (Al-Qur’an Suci Basa Jawi, 1969) dan Bakri Syahid (al-Huda), 1972). Sebelumnya, pada 1310 H., Kyai Mohammad Saleh Darat Semarang menulis sebuah tafsir dalam bahasa Jawa huruf Arab. Ada juga karya yang belum selesai yang ditulis oleh Kyai Bagus Arafah Solo berjudul Tafsir Jalalain Basa Jawi Alus Huruf Arab27.

26 Ibid., hlm. 23. 27 Lihat Muhammad Adnan, Tafsir al-Qur`an Suci Basa Jawi (Bandung: Al-

Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014 317 Ahmad Atabik 4. Perkembangan Tafsir di Nusantara a. Perkembangan Tafsir Nusantara sebelum Abad 20 Di Nusantara, usaha dalam memahami pesan-pesan al-Qur’an dengan bahasa Indonesia (Melayu) dan bahasa daerah telah dimulai dari awal-awal Islam masuk di Indonesia, sebelum pesantren-pesantren berdiri. Namun sedikit sekali kajian al-Qur’an dan penafsirannya dibukukan dalam sebuah buku tafsir tersendiri. Kajian tafsir masih integral dan bercampur dengan ajaran-ajaran tauhid, fiqh, tasawuf, dan lain-lain, yang disajikan secara prakstis dalam bentuk amaliyah praktis kehidupan sehari-hari28. Merujuk pada realitas sejarah, penulisan tafsir al-Qur’an di nusantara sudah terjadi sejak abad ke-16, sebagai bukti telah ditemukannya kitab tafsir surat al-Kahfi (18): 9 yang ditulis pada masa itu29. Satu abad kemudian ditemukan sebuah maha karya tafsir al- Qur’an dengan judul Tarjuma>n al-Qur’an karya Abd. Rauf as-Singkili yang dikenal sebagi mufasir pertama yang menulis karya tafsir secara lengkap 30 juz. Karya tafsir ini dianggap pertama karena pada era sebelumnya belum ditemukan seorang mufasir Melayu-Indonesia yang mampu menulis tafsir al-Qur’an lengkap 30 juz30. Pada generasi setelah Tarjuma>n al-Qur’an, muncul karya tafsir berjudul Kitab Faraid> al-Qur’an, dengan menggunakan bahasa Melayu- Jawa. Dipakainya bahasa Melayu dan bahasa Jawa semakin menukan kekuatannya, karena kedua bahasa ini merupakan bahasa induk yang dipakai Nusantara dan bahasa yang dipakai dalam pemerintahan, hubungan antar-negara, dan perdagangan31. Kitab tafsir ini ditulis dalam bentuk sederhana, dan tampak lebih sebagai artikel tafsir, sebab hanya terdiri dari dua halaman dengan huruf kecil dan spasi rangkap. Naskahnya masuk dalam sebuah buku koleksi beberapa tulisan ulama

Ma‘arif, 1965), hlm. 116. 28 Indal Abror, Potret Kronologis Tafsir Indonesia, Jurnal Esensia, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2002, hlm. 191. 29 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir al-Qur’an..., hlm. 53. 30 M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia…, hlm. 61. 31 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir al-Qur’an..., hlm. 53.

318 Hermeunetik, Vol.8, No. 2, Desember 2014 Perkembangan Tafsir Modern di Indonesia Aceh yang diedit oleh Isma’il bin Abd al-Muthallib al-Asyi, Jami’ al- Jawami’ al-Mus}annafat: Majmu’ beberapa Kitab Karangan Beberapa Ulama’ Aceh32. Pada abad 19 muncul juga karya tafsir utuh yang berjudul Tafsir Munir li Ma’alim al-Tanzil, yang ditulis oleh ulama Indonesia yang lama bermukim di Arab Saudi, yaitu Syekh Imam Muhammad Nawawi al-Bantani (1813-1879 M). Kitab tafsir ini menggunakan bahasa Arab dan ditulis di Arab Saudi juga. Karya Imam Nawawi ini selesai pada hari Rabu, 5 Rabiul Akhir 1305 H. sebelumnya, naskahnya disodorkan kepada ulama Makah dan Madinah untuk diteliti, lalu naskahnya dicetak di Arab Saudi (dahulu Hijaz). Karya ini kemudian mendapatkan apresiasi ulama Mesir, dan memberi gelar kepada Imam Nawawi “Sayyid Ulama’ Hijaz” (Pemimpin Ulama’ Hijaz)33. b. Tafsir al-Qur’an di Indonesia setelah Abad 20 Telah dijelaskan bahwa karya pertama tafsir ulama Nusantara adalah Tarjuman al-Qur’an. Munculnya Tarjuman Mustafid ini bertahan selama tiga abad. Setelah itu muncul kajian-kajian tafsir sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Munculnya tarjuman al- Qur’an telah berperan banyak pada kajian-kajian tafsir al-Qur’an pada abad-abad berikutnya. Oleh sebab itu, apabila seorang yang meneliti kajian sejarah Al-Qur’an dan tafsirnya di Indonesia tanpa melibatkan Tarjuman Mustafid karya Abdur Rauf Singkili ini, maka penelitian ini akan menjadi seperti penelitian yang tercerabut dari akar sejarahnya. Federspiel34 merupakan salah satunya, ia meneliti al-Qur’an dan Tafsirnya di Indonesia dengan memulai kajiannya hanya dari Mahmud Yunus sampai M. Quraish Shihab, tanpa memberikan penjelasan yang realistis mengapa ia memaparkan penulisan tafsir Indonesia sejak awal munculnya, atau sebelum era Mahmud Yunus, meskipun judul asli penelitian ini adalah Popular Indonesian Literatures on the Qur`an.

32 Ibid., hlm. 42-43. 33 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir al-Qur’an.., hlm. 43 34 Howard M. Federspiel, Kajian Alquran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab,cet. ke-1 (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 45.

Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014 319 Ahmad Atabik Penelitian yang dilakukan oleh Federspiel dengan memaparkan periodisasi karya seputar Al-Qur’an dan tafsirnya di Indonesia sangat mudah untuk dibantah. Dalam buku hasil penelitiannya itu, Federspiel membagi periodesasi karya ulama Indonesia seputar al-Qur’an dan penafsirannya menjadi tiga periode yang ia sebut sebagai istilah generasi. Federspiel menyebut, generasi pertama ditandai dengan gerakan terjemah atau tafsir yang terpisah-pisah, yang dimulai dari awal abad XX sampai awal tahun 60-an. Pada generasi kedua, Federspiel menyebut sebagai follow up generasi pertama yang berperan sebagai penyempurnaan metodologis atas karya-karya generasi pertama. Penerjemahan generasi kedua yang muncul pada pertengahan tahun 60-an ini biasanya dibubuhi catatan khusus, catatan kaki, bahkan disertai dengan indeks yang sederhana. al-Furqan (A. Hassan, 1928), Tafsir al-Qur`an al-Karim atau Tafsir Quran Indonesia (Mahmud Yunus, 1935) serta Tafsir Quran (Zainuddin Hamidi dan Fachruddin, 1959), dianggap sebagai karya-karya yang mewakili generasi kedua35. Pada generasi selanjutnya, yaitu generasi ketiga, Federspiel menyebut telah muncul adanya upaya menerjemahkan atau atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara lengkap pada tahun 70-an. Karya Tafsir al-Qur’an generasi ini biasanya memberi pengantar metodologis serta indeks yang akan lebih memperluas wacananya masing-masing. Tafsir al-Nur/al-Bayan (Hasbi Ash-Shiddieqi, 1966), Tafsir al-Azhar (Hamka, 1973), dan Tafsi>r al-Qur`an al-Karim (Halim Hasan cs., 1955) dianggap mewakili generasi ketiga36. Federspiel menganalisa bahwa tiga karya yang mewakili generasi kedua dianggap mempunyai ciri dan format yang sama. Format yang dimaksud adalah teks Arab ditulis di sebelah kanan halaman, sementara itu, terjemahan di sebelah kiri, serta catatan-catatan yang merupakan tafsir. Kesamaan karakter lainnya terlihat pada penggunaan istilah yang sulit dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia, sehingga ketiganya memberikan penjelasan khusus. Ketiganya juga sama-sama memberikan penjelasan tentang kandungan setiap surah

35 Ibid., hlm. 129 36 Ibid., hlm. 129.

320 Hermeunetik, Vol.8, No. 2, Desember 2014 Perkembangan Tafsir Modern di Indonesia dalam al-Qur’an. Di tempat lain, dua dari tiga karya tersebut sama- sama membicarakan sejarah al-Qur’an. Mahmud Yunus dan Hamidi juga sama-sama memberikan indeks sederhana dengan ditemani oleh angka-angka yang merujuk pada halaman tertentu37. Sementara itu, tiga tafsir yang mewakili generasi ketiga, dianggap telah menggunakan metodologi menulis kontemporer. Ketiga karya tersebut diawali dengan sebuah pengantar metodologis serta beberapa materi ilmu-ilmu al-Qur’an. Hasbi dan Hamka mengelompokkan ayat-ayat secara terpisah antara satu sampai lima ayat kemudian ditafsirkan secara luas. Hanya karya Hasan yang formatnya masih serupa dengan karya-karya generasi kedua. Hasan menempatkan ayat dan terjemahannya secara berurutan dan kemudian diikuti dengan catatan kaki di bawahnya sebagai tafsir. Ketiga tafsir ini juga menyajikan bagian ringkasan sebagai pokok- pokok pikiran dalam suatu surah tertentu. Dari ketiga tafsir di atas, hanya Hamka yang menyajikan tafsirnya dengan uraian-uraian tentang sejarah dan peristiwa-peristiwa kontemporer. Bisa dimaklumi mengingat Hamka menyelesaikan tafsir ini ketika masih meringkuk di penjara Orde Lama38. Pada generasi keempat terdapat karya tafsir menggunakan bahasa Melayu-Jawi, pada dekade 1980an. Karya tafsir ini dikarang oleh seorang ulama dari Rembang bernama KH. Bisri Mustofa dengan judul al-Ibriz, menggunakan bahasa Jawa dengan aksara Arab Pegon. Karya tafsir lain yang menggunakan bahasa daerah adalah karya Misbah Zainal Mustafa dengan judul Ikli>l li Ma’ani at-Tanzi>l yang terbit pertama kali tahun 1981. Tafsir ini menggunakan bahasa Jawa, tapi aksaranya menggunakan aksara roman (latin)39. Quraish Shihab merupakan generasi keempat penulis karya tafsir secar utuh di Indonesia. Di sela-sela kesibukannya yang sangat padat, baik di masyarakat maupun pemerintahan, Quraish Shihab selalu menyempatkan diri untuk berkarya dalam bentuk tulisan. Bisa

37 Ibid., hlm. 129-137. 38 Ibid., hlm. 137-143. 39 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia…., hlm. 53.

Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014 321 Ahmad Atabik dikatakan dan tidak diragukan, Quraish Shihab sangat produktif dalam berkarya. Ini agaknya karena ia menyadari bahwa karya adalah ‘umur kedua’. Seperti dijelaskan oleh Syauqi, penyair dan sastrawan masyhur di Mesir, kenangan abadi yang tersisa setelah seseorang mati dan menjadi umur kedua adalah karya tulisnya. Kalaulah anak keturunan hanya hidup pada masa tertentu, tidak demikian halnya sebuah karya. Ia akan dapat bertahan hidup sepanjang masa. Ia akan senantiasa dibaca yang dihayati orang-orang yang masih hidup di dunia. Karya tafsir Quraish Shihab adalah Tafsir al-Misbah, tafsir ini —seperti tertulis dalam mukaddimahnya— mulai ditulis pada hari Jumat, 4 Rabi` al-Awwal 1420 H/18 Juni 1999 M, tepatnya di saat Quraish Shihab menjabat Duta Besar RI di Kairo40.

C. Simpulan Istilah tafsir Indonesia merupakan bentuk ida} fah> dan gabungan dari tafsir dan Indonesia. Abror menjelaskan bahwa tafsir Indonesia adalah kitab-kitab tafsir atau karya-karya dibidang tafsir yang mempunyai karakteristik atau kekhasan lokal Indonesia. Kajian tafsir Indonesia di sini adalah karya-karya tafsir yang ditulis oleh orang atau yang dikarang dengan menggunakan salah satu bahasa daerah atau bahasa Indonesia, rentang waktu sebelum abad 20 dan sesudahnya dengan melihat sejarah kemunculan dan perkembangannya. Kajian tentang khazanah tafsir di Indonesia telah dilakukan oleh banyak peneliti, baik dari peneliti dalam negeri maupun dari luar negeri. Peneliti dalam negeri misalnya, Islah Gusmian dalam tesisnya yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul “Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi”. Gusmian dalam bukunya ini menjelaskan tentang; pertama, sejarah kajian al-Qur’an di Indonesia. Kedua, teknik dan metode penulisan dan hermeneutic karta tafsir al-Qur’an di Indonesia. Ketiga, horizon dan cakrawala baru karya tafsir al-Qur’an di Indonesia, serta keempat, ideologi tafsir dan kepentingan dibalik penulisan karya tafsir al-

40 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 345.

322 Hermeunetik, Vol.8, No. 2, Desember 2014 Perkembangan Tafsir Modern di Indonesia Qur’an di Indonesia.41 Sedangkan karya peneliti luar negeri semisal, penelitian yang dilakukan oleh A.H. Johns dengan artikelnya dengan judul “Qur’anic Exegesis In The Malay World: In Search of a Profile”. Dalam artikelnya ini Johns mencoba untuk memetakan tafsir di Indonesia dengan cara mengungkap sejarah awal kajian tafsir al-Qur’n di Indonesia. Kajian al-Qur’an dan penafsirannya di Indonesia dirintis oleh Abdur Rauf Singkel yang menerjemahkan Al-Qur’an (Tarjuma>n al- Qur’an) ke dalam bahasa Melayu pada pertengahan abad XVII. Apa yang sudah dikaryakan oleh Singkel ini kemudian dilanjutkan oleh Munawar Chalil (Tafsi>r al-Qur`a>n Hida>yah al- Rah}ma>n), A. Hassan Bandung (al-Furqa>n, 1928), Mahmud Yunus (Tafsir Quran Indonesia, 1935), Hamka (Tafsi>r al-Azhar, 1973), Bisyri Musthafa Rembang (al-Ibri>z, 1960). Tafsir al-Qur’an era terakhir adalah karya Quraish Shihab. Model dan sistemasika tafsir karya Quraish Shihab: Pertama, menafsirkan dengan metode tematik, karya model ini tertuang dalam Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992), Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994) dan Wawasan al-Qur’an (1996) dan lainnya. Kedua, model menafsirkan seluruh al-Qur’an. Karya model ini kemudian tertuang dalam karyanya Tafsir al-Mishbah: Pesan dan Keserasian Ayat-Ayat al-Qur’an.

41Lihat Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutik hingga Ideologi, (Yogyakarta: LKiS, 2013), hlm. xxi-xxiv.

Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014 323 Ahmad Atabik DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna’, Maba>his| fi Ulu>m al-Qur’an, Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994. Anthony. H. Johns, Qur’anic Exegesis In The Malay World: In Search of a Profile,” dalam Andre Rippin, (ed.), “Approaches to The History of the Interpretation of the Qur’an,” Oxford: Oxford University Press, 1998. asy-Syirbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Az\-Z|ahabi, Muhammad Husain, at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Kairo: Maktabah Wahbah, 1995. Az-Zarkasyi, al-Burha>n fi Ulu>m al-Qur’an, Kairo: Dar at-Turas\, t.t . Azra, Azumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004. Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutik hingga Ideologi, Yogyakarta: LKiS, 2013. Hasan, Hamka, “Pemetaan Tafsir Indonesia: 1990-2000” Jurnal Studi al-Qur’an, Vol. 1, No. 3, 2006. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 1, Jakarta: Pembina Massa, 1967. Howard M. Federspiel, Kajian Alquran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab, Bandung: Mizan, 1996. Indal Abror, Potret Kronologis Tafsir Indonesia, Jurnal Esensia, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2002. Shihab, M. Quraish , Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1999. Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1984.

324 Hermeunetik, Vol.8, No. 2, Desember 2014