ETNIS TIONGHOA: PLURALISME DAN REGULASI BIROKRASI DI

A Maftuh Sujana, Eva Syarifah Wardah, Alfiah UIN Maulana Hasanuddin BANTEN [email protected], [email protected]

ABSTRAK Artikel ini mencoba mengulas dan memberikan gambaran tentang kehidupan warga Indonesia yang leluhurnya dari Tionghoa ataupun peranakan. Selian itu juga di gambarkan kehidupan yang pluralis serta kebijakan yang melandasi sikap pluralis tersebut. Metode yang di gunakan dalam penelitian adalah metode sejarah, dengan empat tahap yakni Heuristik, Verifikasi, Intepretasi dan Historiografi. Hasil temuan menunjukkan bahwa warga minoritas Tionghoa di Indonesia terdapat dua kelompok yaitu Cina Peranakan dan Cina Totok. Tionghoa totok adalah orang asli Tionghoa yang berdarah murni Cina (totok Tionghoa), sedangkan cina peranakan adalah hasil percampuran antara warga Tionghoa Asli dengan penduduk tempatan. Perbedaan keduanya terletak pada bahasa yang digunakannya di rumah. Terdapat juga perbedaan-perbedaan dalam logat dan dialek, ucapan dalam kehidupan sosial budaya dan dalam corak pendidikan serta dalam adat istiadat lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh karena pengaruh dari lingkungan kehidupan masyarakatnya. Pluralitas ke Indonesiaan mulai tampak saat KH. Abdurahman Wahid sebagai Presiden menghapus politik asimilasi diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000, dilandasi oleh pemikiran demokrasi KH. Abdurahman Wahid tidak sejalan dengan implementasi kebijakan yang diberlakukan pada masa Orde Baru. Keyword. Pluralisme, Tionghoa, Diskriminasi, Abdurahman Wahid.

PENDAHULUAN Tionghoa di Indonesia sering membuat Indonesia merupakan negara yang etnis Tionghoa merasa didiskriminasikan, memiliki keragaman budaya, suku, terlebih pada saat diberlakukannya agama, ras dan golongan-golongan yang kebijakan asimilasi total oleh Presiden berujung pada kemajemukan. Soeharto. Sejatinya, kebijakan asimilasi Kemajemukan ini di dalamnya terdapat ini bertujuan meleburkan kebudayaan kelompok Tionghoa yang hidup bersama minoritas etnis Tionghoa dalam dengan masyarakat Indonesia lainnya. kebudayaan mayoritas masyarakat Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia pribumi ke dalam satu wadah yaitu dengan berbagai peranannya kurang Negara Kesatuan Republik Indonesia. diterima dengan baik oleh masyarakat Berbagai peraturan yang asimilatif telah pribumi sejak tahun 1930-an. Akibatnya ditetapkan dan dilaksanakan pada masa hubungan antara penduduk pribumi dan Orde Baru. Pada hakekatnya kebijakan etnis Tionghoa di Indonesia tidak terjalin asimilasi bertujuan menghapus tiga pilar dengan baik pula (Siska Yulia Nurda, dkk. utama kebudayaan Tionghoa yang terdiri tt : 3). Ketidak harmonisan yang terjalin atas media massa atau pers berbahasa antara masyarakat pribumi dan etnis Tionghoa sekolah-sekolah Tionghoa, dan

181 organisasi-organisasi Tionghoa. Masyarakat Tionghoa umumnya bingung, Penghilangan tiga pilar utama kalau bukan putus asa. Bahkan banyak kebudayaan Tionghoa ini merupakan yang bertanya-tanya apakah masih ada tindakan pemerintah yang diskriminatif tempat bagi etnis Tionghoa di Republik terhadap etnis Tionghoa. Indonesia ini (Leo,Suryadinata, 2010: 201). Kebijakan asimilasi dan politik diskriminan terhadap etnis Tionghoa di PEMBAHASAN Indonesia yang dilakukan oleh Presiden A. Awal Kedatangan Tionghoa di Soeharto mulai mengalami perubahan Indonesia pada masa Reformasi. Keberadaan etnis Sebelum berdirinya Negara yang Tionghoa di Indonesia mulai diakui dan diberi nama Indonesia ditanah Jawa, etnis diperhatikan kembali, terlebih pada masa Tionghoa sudah menginjakan kaki pemerintahan KH. Abdurahman Wahid. ditanah Jawa ini. Dari berbagai catatan Usaha KH. Abdurahman Wahid dalam sejarah para pedagang Tionghoa telah keberpihakannya terhadap kelompok datang kedaerah pesisir laut cina selatan minoritas, khususnya etnis Tionghoa sejak 300 tahun sebelum masehi, namun (yang dalam hal ini adalah menghapus catatan sejarah tertulis menunjukan diskriminasi), lebih diwujudkan ketika mereka datang ke Asia Tenggara lama KH. Abdurahman Wahid menjabat setelah itu (Abdullah Dahana, 2001: 54). sebagai presiden Republik Indonesia Beberapa catatan tertua ditulis oleh para tahun 1999-2001. agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke- Etnis Tionghoa tidak dipaksakan 4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien lagi untuk berasimilasi total dengan melaporkan suatu kerajaan dijawa (“To lo penduduk pribumi, KH. Abdurahman mo”) dan I Ching ingin datang ke Wahid berusaha membebaskan etnis untuk mempelajari agama Buddha dan Tionghoa di Indonesia dari kebijakan- singgah di Jawa untuk mempelajari kebijakan yang mendiskriminasikan bahasa sangsekerta. Di Jawa, I Ching keberadaan etnis Tionghoa. Etnis berguru pada seseorang yang bernama Tionghoa di Indonesia diperbolehkan Janabhadra (FX. Lilik Dwi M, : 2017: 1). untuk melakukan semua aktivitas Dalam catatan kuno Cina menyebutkan keagamaan, bahkan dibebaskan untuk bahwa kerajaan-kerajaan kuno Jawa mempertahankan identitas Tionghoanya sudah menjalin hubungan erat dengan (Siska Yulia Nurda, dkk, : 3). Tanggal 13- dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. 14 Mei 1998 adalah hari-hari yang Pada abad ke-14 ditemukan penting bagi etnis Tionghoa diIndonesia sumber yang menyatakan adanya karena, selama dua hari itu di Jakarta dan perkampungan orang Tionghoa di Solo terjadi kerusuhan anti Tionghoa muara sungai Brantas Kiri atau yang secara besar-besaran. Kaum minoritas ini sekarang disebut Kali Porong. Pada tidak mendapat perlindungan sama sekali awalnya mereka hanya tinggal beberapa dan teriakan mereka tidak didengar oleh waktu yang pendek selama masa penguasa. Peristiwa itu telah mengejutkan kunjungan perdagangan yang dilakukan masyarakat Tionghoa dan dunia dibeberapa kota pesisir. Namun melihat internasional. Mereka yang mampu telah kekayaan dan potensi tanah Jawa pada mengungsi keluar negeri, tetapi sebagian tahun-tahun berikutnya banyak etnis besar tetap berdiam di Indonesia. Tionghoa berdatangan dan menetap di

182

Jawa untuk memperoleh penghidupan stratifikasi sosial dalam catatan Ma Huan yang lebih baik dengan tujuan utamanya ketika dia mengunjungi ibu kota kerajaan adalah berdagang. Majapahit, Trowulan dalam armada Kedatangan mereka (etnis pelayaran Cheng Ho. Dalam catatannya Tionghoa) diterima dengan baik oleh terdapat tiga kelompk sosial disana yaitu warga pribumi, akulturasi yang berjalan (W.P. Groeneveldt, 2009: 63-69). antara dua kebudayaan tersebut berjalan a. Masyarakat muslim Huihui atau dengan baik. Bahkan karena para Huihui ren yang berasal dari barat perantau Tionghoa yang dating ke Jawa dan menetap disana. Disebutkan didominasi oleh kaum laki-laki orang- bahwa pakaian dan makanan orang tionghoa ini kemudian menikah mereka bersih dan layak (dalam dengan wanita-wanita pribumi. Banyak manuskrip asli Ma Huan yang diantara anak-anak mereka ini memeluk memakai aksara Cina jelas agama islam dan banyak diantara mereka disebutkan Huihui, sedangkan ini yang menikah dengan anak-anak dalam terjemahan Indonesia kata wanita dari keuarga kerajaan. Hal inilah ini dirubah maknanya yaitu yang menjadi salah satu jalan penyebara kelompok arab . padahal aksara agama Islam di Nusantara oleh orang- itu dikalangan arab adalah Ta orang Tionghoa. Kedekatan orang-orang Shih). Tionghoa dengan kerajaan yang berkuasa b. Masyarakat Tionghoa atau Tang pada saat itu diantaranya Majapahit abad ren yang berasal dari Guangdong, pada masa kekuasaan Hayam Wuruk Zhangzou,dan Quazhou. Mereka member banyak keuntungan, diantaranya adalah pelarian dari daerah muncul berbagai perlakuan istimewa asalnya dan menetap di ibu kota terhadap orang asing dengan memberikan kerajaan Majapahit. Pakaian dan kedudukan setara dengan pejabat dan makanan mereka sangat layak dan memberikan wewenang kepada orang- bagus. Mayoritas dari kelomok ini orang asing diantaranya orang-orang adalah beragama I slam dan Tionghoa (Adrian Perkasa, 2012: 47). Tak mengajarkan ajarannya. heran jika berbagai perlakuan istimewa c. Penduduk pribumi. Menurut Ma didapatkan oleh orang-orang Huan, kelompok ini sangat kotor Tionghoamkarena keberadaan mereka dan jelek. Tidak memakai alas bias dikatakan sangat berperan besar kaki dan makanan mereka tidak dalam perkembangan perekonomian layak namun banyak dari mereka ditanah Jawa, khususnya kemakmuran kaya dan menyukai barang mewah Majapahit. Orang-orang Tionghoa yang seperti porselen dari Cina. menetap di Jawa mengembangkan kota- Perbedaan antara raja dan rakyat kota pelabuhan penting di pantai utara sangat kentara seperti keratin raja seperti Gersik, Tuban dan Surabaya. yang megah sedangkan rumah Mereka adalah peoneers pertama dari tinggal penduduk hanya imigran-imigran Tionghoa ke Nan-Yang beralaskan jerami. (Lautan Selatan). Dalam catatan tersebut Namun dibalik keadaan Majapahit menunjukan bahwa kejayaan yang yang mencapai puncak kejayaannya pada diperoleh oleh kerajaan Majapahit tidak saat itu terdapat sebuah kondisi sepenuhnya dinikmati oleh rakyat

183

Majapahit yang masih hidup pada B. Cina Totok dan Cina Peranakan tingkatan sosial paling bawah dibawah Para pengamat minoritas Tionghoa bangsa asing yang mendiami tanah Jawa di Indonesia mengetahui bahwa ada dua ini. Kedudukan orang Tionghoa yang kelompok Tionghoa, yaitu Cina beragama islam dengan kemapanannya Peranakan dan Cina Totok, juga sangat berpengaruh terhadap pengelompokan itu kurang lebih penyebaran dan perkembangan ajaran merupakan akibat dari perbedaan tingkat islam di Majapahit. Karena dengan asimilasi mereka kedalam masyarakat kedudukan tersebut akan dengan mudah pribumi (Leo, Suryadinata, 1984: 76). bagi orang Tionghoa yang beragama Tionghoa totok adalah orang asli islam untuk memberikan pengaruhnya Tionghoa yang berdarah murni Cina terhadap orang pribumi keluarga kerajaan (totok Tionghoa), terutama untuk untuk mempelajari ajaran islam. Bahkan membedakannya dengan Babah atau banyak diantara anggota keluarga peranakan. Tionghoa Peranakan kerajaan yang menikah dengan orang- dimaksudkan adalah orang Tionghoa orang Tionghoa yang beragama islam yang lahir di Indonesia dan hasil yang pada akhirnya memeluk islam dan perkawinan campuran antara orang hal ini sangat berpengaruh kepada rakyat Tionghoa dan orang Indonesia. Orang Majapahit untuk memeluk agama islam. Tionghoa peranakan dalam banyak unsur Setelah ratusan tahun berlalu, kehidupannya telah banyak menyerupai kebudayaan Tionghoa semakin berbaur orang Jawa, yang telah lupa akan bahasa dengan tatacara kehidupan komunitas asalnya dan bahkan ciri-ciri fisiknya telah yang lebih dulu menapakkan kaki di menyerupai orang Indonesia. Sedangkan Nusantara bahkan dalam hal tertentu, Tionghoa Totok adalah orang Tionghoa kebiasaan atau istilah tertentu sepertinya yang lahir di negeri Cina dan belum bisa khas Tionghoa, ternyata hanya ditemukan berbahasa Indonesia, tetapi bisa berbicara di Nusantara, tidak didaerah lain. Hal itu bahasa Hokkien asli. Orang Tionghoa dikarenakan pertalian antar budaya etnis Totok juga masih erat dalam menjalankan yang kuat. Sehingga menimbulkan cirri hidupnya dengan budaya-budaya orang Khas tersendiri. Hal ini diperkuat dengan asli Tionghoa. Di Indonesia sendiri, beberapa bukti sejarah, diantaranya tionghoa peranakan banyak terkumpul di beberapa motif relative di Candi Sewu pulau Jawa dan Tionghoa Totok yang berada diwilayah Yogyakarta umumnya berada diluar pulau Jawa. diduga jiga mendapat pengaruh dari Dalam hal agama, mereka memeluk motif-motif kain sutera Tiongkok agama Budha, Konghuchu, Kristen atau (Rustopa,2008). Perpaduan budaya Islam dan sebagian mempraktekkan Tionghoa dengan Jawa ajaran agama sebagai agama tradisional. telahmenghasilkan berbagai barang seni Perbedaan antara Cina Peranakan kerajinan yang bermutu tinggi. dan Cina Totok sepintas sulit untuk Hal ini Nampak jelas pada corak batik dibedakan. Perbedaan pokok antara Cina pesisir, motif tradisional Jawa berbaur Peranakan dan Cina Totok terletak pada dengan corak Tionghoa . gambar lilin, bahasa yang digunakannya di rumah. yaitu hewan kahyangan dalam mitologi Terdapat juga perbedaan-perbedaan Tionghoa sering terlihat dalam batik dalam lafal dan ucapan dalam kehidupan cirebonan (Daradjadi, 2013: 68). sosial budaya dan dalam corak

184 pendidikan serta dalam adat istiadat akan lebih tinggi daripada anak lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh perempuan. karena pengaruh dari lingkungan Kaum Cina Peranakan adalah kehidupan masyarakatnya (Hidajat, Z. M, Cina Perankan yang lahir di Indonesia tt: 87). Perbedaan dalam kegiatan sosial dan menggunakan bahasa Indonesia yang ekonomi, orang-orang totok nampaknya dikenal sebagai bahasa Melayu Tionghoa. lebih rajin dan lebih hemat dibandingkan Menurut para sosiolog dan antropolog, dengan orang-orang Cina Peranakan. Cina Totok adalah generasi pertama Cina Orang Cina Totok sedapat mungkin atau generasi Selanjutnya, yang dalam segala macam pekerjaan dilakukan keturunannya bukan dari perkawinan sendiri atau dikerjakan bersama-sama campuran dengan penduduk setempat dan diantara keluarga sendiri.Perbedaan massih fasih satu atau lebih dari dialek dalam kehidupan keluarga dan dalam bahasa Cina serta masih mempunyai sistem kekerabatan, bagi orang Cina kedekatan dengan budaya Cina (Yusiu, kebanyakan struktur kekerabatan Liem, 2000:66). berdasarkan garis Patrilineal (kebapaan). Kaum Tionghoa Peranakan Orang Cina Totok pada umumnya masih berbeda dengan orang Tionghoa Totok, tetap memegang teguh struktur dan kelompok ini merupakan bagian kekerabatan Patrilineal ini. Sedangkan terbesar dari orang Tionghoa di Jawa. bagi orang Cina Peranakan telah banyak Pada tahun 1920, kaum Tionghoa yang berubah dari sistem Patrilineal Peranakan di Jawa merupakan 70% dari kepada sistem Bilateral. Kegiatan- seluruh golongan penduduk Tionghoa, kegiatan bagi orang cina Totok dalam sepuluh tahun kemudian jumlahnya turun bidang sosial ekonomi dalam bidang sedikit menjadi 63,5% dan menjelang politik, hampir selalu merupakan kegiatan tahun 1950-an menjadi sekitar 60% seluruh anggota keluarga atau kerabatnya, (Beny, tt:56). khsusnya dari pihak laki-laki. Sebelum tiba di Jawa, pada tahun Sistem kekerabatan masyarakat 1405 orang-orang Tionghoa Cina Peranakan menurut William G. terlebihsinggah di Samudra Pasai. Lalu Skinner keluarga pihak wanita mereka membentuk masyarakat Tionghoa mempunyai kedudukan yang setingkat islam yang pertama di Nusantara. dengan pihak keluarga laki-laki, Pertengahan kedua dari abad ke-20, orang pergaulan dua belah pihak lebih intim. Tionghoa di Jawa sebagian besar terdiri Hal inilah yang merupakan suatu dari para pedagang dan pengrajin dari perubahan kearah struktur kekerabatan suku Hokkien. Disebabkan terutama oleh Bilateral. Hal ini dikarenakan dalam kesukaran-kesukaran pengangkutan dan struktur kekerabatan mereka setelah oleh Dekrit Kekaisaran dari Dinasti Ching berada di Indonesia 2 sampai 3 generasi, yang secara resmi melarang orang tidak jelas lagi batas hubungan Patrilineal Tionghoa untuk meninggalkan dan masuk dan Matrilineal. Demikia juga pandangan kembali ke negeri Cina. Orang Tionghoa orang Cina Peranakan terhadap anak laki- laki-laki yang sampai ke Jawa tidak laki dan perempuan sama tidak dibeda- membawa keluarga mereka tetapi bedakan. Keadaan ini berbeda dengan menikah dengan orang pribumi baik dari kebiasaan pada keluarga Cina Totok, kalangan muslim nominal atau non- dimana penilaian terhadap anak laki-laki muslim, dan menetap. Dalam satu waktu

185 tumbuhlah satu masyarakat Tionghoa mereka juga berasal dari beberapa suku Peranakan. yang berbeda. Selain karena Kaum Tionghoa peranakan kedatangannya yang bertahap dari biasanya mempunyai darah pribumi dari berbagai priode pelayaran, mereka juga garis perempuan dan menempuh cara berasal dari berbagai daerah yang berbeda hidup yang sama dengan pribumi (Leo, dari dataran Cina. Suryadinata,tt:20). Kaum lelakinya Keragaman tersebut juga memakai baju panjang Cina, sedangkan berpengaruh terhadap pola interaksi dan kaum wanitanya memakai kebaya. Kaum akulturasi yang terjalin antara orang Peranakan pada umumnya tidak berbicara Tionghoa dengan penduduk setempat. bahasa Cina tetapi berkomunikasi dengan Ada yang dengan mudah menyatu dengan menggunakan bahasa setempat. Di pantai budaya local (Jawa) dan sebaliknya masih Utara Jawa tempat sebagian besar orang ada juga yang sukar untuk membaur Tionghoa tinggal, menggunakan dengan kebudayaan local bahkan kombinasi antara bahasa Melayu pasar cenderung ekslusif. dan logat Hokkien sebagai bahasa sehari- Dengan demikian, tidak sedikit hari.Bahasa ini diperkaya dengan kebudayaan Cina yang berakulturasi meminjam kata-kata dari bahasa Belanda dengan kebudayaan Jawa dan membentuk dan bahasa-bahasa Barat lainnya. budaya sendiri. Akibat dikeluarkan Menjelang akhir abad ke-19, bahasa itu Intruksi Presiden No. 14 tahun 1967 telah berkembang menjadi Bahasa tentang larangan penyelenggaraan Melayu-Betawi, dan dalam abad sekarang kegiatan keagamaan, kepercayaan dan dikenal sebagai Melayu Tionghoa. adat istiadat Cina, secara Tidak langsung Bahasa Melayu Tionghoa ini menjadi menghalangi perkembangan kebudayaan bahasa umum dari Cina Peranakan. Cina. Namun setelah dicabutnya Intruksi Menjelang abad ke-19, Cina Peranakan Presiden tersebut oleh Presiden kemudian menjadi berdiri sendiri dalam Abdurahman Wahid pada tahun 2000, arti bahwa kaum Peranakan itu menikah Pencabutan ini disambut dengan lega dan dengan sesama Cina peranakan, dan hal euporia bagi warga Cina. Sejak itu ini mungkin jumlah lelaki dan perempuan festival yang berhubngan dengan budaya hampir sama besarnya. Para imigran Cina Cina dilakukan secara terbuka. Misalnya Peranakan baru membentuk satu perayaan Hari Raya Imlek kelompok peralihan kecil dan dengan diselenggarakan secara besar-besaran cepat terasimilasi (Leo, Suryadinata, tt:20). diberbagai kota. Bahkan sepuluh tahun C. Kondisi Etnis Tionghoa di Pulau setelah reformasi, kegiatan-kegiatan Jawa semacam ini semakin semarak dan Masyarakat pribumi cenderung variatif (Tomi Sujatmiko. Tt : 1). terbuka dan menerima kedatangan etnis Misalnya selain upacara Tionghoa dengan baik. Walaupun keagaamaan di Klenteng, berbagai sebagian masih susah menerimanya kesenian dan kebudayaan Cina mulai dengan baik karena berbagai perbedaan berkembang lagi. Bahkan tidak sedikit baik karakter maupun kebudayaan. masyarakat pribumi yang mempelajarinya Keberagaman orang Tionghoa di Pulau bahkan mengadakan pertunjukan Jawa memang tidak dapat dipungkiri kesenian Cina, warga Cina juga keberadaanya, karena pada dasarnya menyelenggarakan perayaan dengan

186 berbagai hiburan bernuansa oriental yang pada interaksi perdagangan. Namun dimodifikasi, misalnya penampilan seiring perkembangan, orang-orang Chinese Drum dan Grouf Dong Fang Tionghoa mulai tersebar diberbagai Shen Yun. Kegiatan lain misalnya kursus- wilayah. Penolakan yang dialami dapat kursus bahasa Cina yang diikuti oleh dating dengan berbagai alasan, misalnya anak-anak orang Cina maupun pribumi. kecemburuan, ketakutan, kemarahan, dan Di izinkannya mengadakan kegiatan- sebagainya. Orang Tionghoa kurang kegiatan semacam ini nampaknya baik bergaul dengan alas an kesibukan sekali dalam rangka menghapus pekerjaan. Salah satu sifat positif orang diskriminasi dan memperkenalkan budaya Tionghoa adalah pekerja keras, sehingga dan tradisi Cina kepada masyarakat jika mereka bekerja sering kurang melihat Indonesia, sehingga akan muncul waktu dan mengabaikan hal-hal yang pemahaman bagi masyarakat pribumi sifatnya sosial. Etnis Tionghoa sejak (Tomi Sujatmiko, tt:1). kedatangannya ke Pulau Jawa sudah Namun demikian hal ini sempat terkenal dengan mata pencahariannya mengkhawatirkan berbagai pihak, dengan berdagang, juga terkenal sudah pemerhati masalah sosial budaya Cina turun menurun tinggal di Pulau Jawa, ada kekhawatiran bahwa dengan semakin mereka hidup berdampingan dengan berkembangnya kebebasan untuk masyarakat pribumu (Koenjaraningrat, mengekspresikan budaya mereka akan 1994:21) menimbulkan perubahan orientasi budaya Orang-orang Tionghoa mulai mereka, dan terjadi resinifikasi dan tersebar tidak hanya di kompleks- revitalisasi budaya Cina yang bias kompleks pecinan namun juga diberbagai mengancam asimilasi (Tomi Sujatmiko, tt: wilayah. Kegiatan perdagangan membuat 1). Seiring dengan dinamika politik yang mobiltas mereka sangat tinggi sehingga terjadi di Tanah Air kondisi social dan membuat pergaulan mereka dengan politik di Era Reformasi mengalami lingkungan sekitar tempat tinggal sangat perubahan yang mencolok bila jarang terjadi. Orang-orang Tionghoa dibandingkan dengan era sebelumnya. terlihat cenderung ekslusif dan tertutup Peristiwa 1998 juga menjadi momentum terhadap warga pribumi. Mereka (orang positif bagi banyak kalangan, terutama Tionghoa) yang pada umumnya lebih masyarakat Tionghoa ini ditandai dengan unggul dalam perekonomian cenderung munculnya berbagai organisasi dan partai lebih sibuk dengan pergaulannya dengan politik (Chairul Mahfud, tt: 2). Hubungan sesama orang Tionghoa dengan urusan bilateral antara Indonesia dengan bisnisnya. Anak-anak mereka juga Tiongkok. Hal ini menandai kebangkitan dimasukan dalam sekolah-sekolah partisipasi sosial dan politik dari berbagai unggulan dengan murid-murid yang golongan. kebanyakan dari golongan mereka. Hal D. Interaksi Etnis Tionghoa dengan ini secara tidak langsung menutup Penduduk Lokal pergaulan mereka dengan anak-anak Pada mulanya orang Tionghoa keturunan pribumi yang pada umumnya hanya menempati pemukiman- bersekolah di sekolah-sekolah umum pemukiman khusus orang Tionghoa (Koenjaraningrat, 1994 :21). sehingga intensitas interaksi yang terjalin Karena sikapnya dalam pergaulan dengan warga pribumi hanya terbatas sehari-hari yang cenderung tertutup ini

187 stereotip terhadap orang-orang Tionghoa berkomunikasi dengan sesame orang yang ekslusif semakin subur tertanam Tiongoa. Tidak jarang juga bahasa Jawa pada warga pribumi. Sebagian besar yang digunakan termasuk bahasa Jawa orang pribumimenganggap orang-orang ngoko (bahasa Jawa yang halus) yang Tionghoa sebagai kelompok yang ekslusif biasa digunakan oleh masyarakat pribumi. dan hanya mengumpulkan harta dan Bahasa merupakan salah satu alat melupakan kehidupan sosialnya. komunikasi yang diguanakan seseorang Walaupun sebagian orang Tionghoa untuk saling berinteraksi. Bahasa Jawa mempekerjakan orang pribumi dalam memiliki suatu system tingkat-tingkat usaha perdangannya namun intesitas yang sangat rumit, terdiri dari paling hubungan yang terjalin antara keduanya sedikit Sembilan gaya bahasa. System ini kurang begitu baik. Beberapa warga menyangkut perbedaan-perbedaan yang mengungkapkan bahwa hubungan dengan wajib digunakan, mengingat perbedaan orang-orang-Tionghoa hany sebatas kedudukan, umur, serta tingkat partner kerja dan relasi social yang keakraban antara yang menyapa dan yang terjalin hanya untuk kepentingan ekonomi disapa (Koenjaraningrat, 1994 : 22). Dalam bagi kedua belah pihak (Koenjaraningrat, konsepsi orang Jawa, berbagai gaya ini 1994 : 22). menyebabkan adanya tingkatan-tingkatan Berbeda dengan orang-orang bahasa yang berbeda-beda tinggi Tionghoa yang tinggal diwilayah rendahnya. Tiga gaya yang paling dasar, kompleks Tionghoa atau pecinan, orang- yaitu gaya tidak resmi, dan gaya resmi orang Tionghoa yang tinggal diluar (ngoko, Madya, dan Krama) wilayah itu cenderung lebih terbuka dan (Koenjaraningrat, 1994 :22). tidak lagi ekslusif. Dalam kehidupan Dalam hal ini terlihat adanya sehari-hari interaksi yang terjalin dengan usaha orang-orang Tionghoa melakukan warga pribumi juga lebih terbuka proses Asimilasi (Assimilation) yaitu sehingga membuat hubungannya dengan sebuah usaha untuk mengurangi warga pribumi juga lebih baik. Ini terlihat perbedaan yang terdapat antara orang- pada interaksi yang terjadi antara orang- perorangan atau kelompok-kelompok orang Tionghoa yang bermukim satu manusia dan juga meliput usaha-usaha tempat dengan orang pribumi dibeberapa untuk mempertinggi kesatuan tindakan pemukiman yang mayoritas dihuni oleh (Soerjono Soekanto, 2010: 64) Dalam hal orang-orang pribumi. Orang-orang ini terlihat adanya usaha untuk Tionghoa yang tinggal dipumikam mengurangi perbedaan antara mereka tersebut dapat menyesuaikan diri dengan yang dialakukan oleh orang Tionghoa kebudayaan yang ada dan berbaur tanpa yang tinggal dipemukiman masyarakat suatu sekat yang menghalangi interaksi pribumi agar dapat berbaur dan menyatu yang terjalin. Dalam kehidupan sehari- dengan warga pribumi. Proses asimilasi hari tidak jarang orang-orang Tionghoa tersebut terlihat jelas pada segi bahasa juga menggunakan bahasa Jawa untuk Jawayang banyak dikuasai orang-orang menyesuaikan diri dengan lingkungan Tionghoa dan juga digunakan dalam sekitar (Koenjaraningrat, 1994 : 21). praktiknya sehari-hari saat berinteraksi Bahkan dalam lingkungan dengan warga pribumi. keluarga orang-orang Tionghoa juga lebih Proses asimilasi ini berhasil banyak memakai bahasa Jawa untuk menghilangkan sekat antara kedua

188 kelompok etnis tersebut dalam interaksi mereka, ras dan kebangsaan mereka. yang dilakukan sehari-hari. Dari berbagai Yang Gus Dur lihat adalah bahwa mereka pola interaksi yang ada, terlihat manusia sama seperti dirinya dan yang perbedaan yang mencolok antara orang lain. Gus Dur bukan tidak paham bahwa Tionghoa yang tinggal didaerah ada yang keliru, ada yang ia setujui atau pemukiman Tionghoa dengan orang ada yang salah dari mereka yang Tionghoa yang tinggal diluar daerah dibelanya. Gus Dur tetap saja membela tersebut. Orang Tionghoa yang tinggal mereka. Ia membela karena tubuh mereka didaerah khusus pecinan cenderung diserang dan dilukai hanya karena baju terlihat lebih ekslusif dan sukar untuk agamanya yang berwarna lain, harta menyatu dengan orang-orang pribumi. mereka dirampas semaunya, ekspresi- Sementara orang Tionghoa yang tinggal ekspresi diri mereka dihentikan secara diluar pemukiman Tionghoa lebih dapat paksa oleh Negara atau direnggut dengan menyatu dengan warga pribumi (Soerjono pedang oleh otoritas dominan dan Soekanto, 2010 : 64). kehormatan mereka diinjak-injak. E. Idiologi Pluralis Gus Dur: Nasib Padahal mereka tak melakukan apa-apa. Etnis Tionghoa Membela kehormatan adalah perjuangan Gus Dur adalah bapaknya besar. Bagi Gus Dur, ekspresi-ekspresi pluralisme, karena beliau adalah orang diri, personal, individual yang dianggap yang selalu ingin memandang manusia sebagian orang sebagai tak bermoral, tak siapapun dia dan dimanapun dia berada boleh melibatkan Negara, tak boleh sebagai manusia yang adalah ciptaan diintervensi kekuasaan, tetapi, harus Tuhan. Gus Dur juga ingin mengasihinya. diselesikan sendiri oleh masyarakat “Takhalaqu bi akhlak Allah” (Husein Muhammad, tt:105). (berakhlaklah dengan akhlak Allah) Pemaksaan atas pikiran dan (Husein Muhammad, tt : 102). Saling keyakinan orang tak akan menghasilkan mengenal satu sama lain, memahami apa-apa, sia-sia kecuali membuat orang kebiasaan, tradisi, adat istiadat, pikiran, dan keluarganya menjadi sakit, hasrat yang lain yang berbeda yang tak menderita, dan menghambat kemajuan sama. Maka Gus Dur bukan sekedar orang dan peradaban manusia. Tak ada menghargai atau menghormati, manusia cara lain untuk menundukan orang lain yang berbuat baik, melaikan juga kecuali melalui bicara manis, tanpa menyambutnya dengan rendah hati dan marah-marah dan dengan otak yang rengkuhan yang hangat. Sebaliknya, ia cerda, jka tak tunduk biarkan masing- akan menentang siapa saja yang masing berjalan sendiri-sendiri, sambil merendahkan martabat manusia, apalagi katakan “anda adalah anda dan aku menyakiti, mengurangi dan menghalangi adalah aku” (Husein Muhammad, tt:106). hak-hak mereka. Ia akan membela Banyaknya usaha-usaha KH. mereka yang martabat kemanusiaanya Abdurahman Wahid dalam menghapus direndahkan, mereka yang hak-haknya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di dikurangi, dipasung, disakiti dan Indonesia tahun 1999-2000 dipengaruhi ditelantarkan (Husein Muhammad, tt: 104). oleh pemikiran KH. Abdurahman Wahid Bagi Gus Dur semua manusia yang demokratis dalam implementasinya adalah sama, tak peduli dari mana asal terhadap realita sosial di indonesia. Hal usulnya, warna kulit mereka, suku ini meliputi nilai-nilai demokrasi, yaitu

189 plurarisme, kebebasan, keadilan, dan dalam penghapusan diskriminasi terhadap persamaan. KH. Andurahman Wahid etnis Tionghoa di Indonesia tahun 2000 mempunyai pemikiran bahwa demokrasi meliputi bidang sosial budaya dan bidang adalah hak bagi siapapun, bukan politik. kehendak mayoritas. Demokrasi akan F. Kehidupan Etnis Tionghoa Pasca mencapai esensinya jika terdapat adanya Pemerintahan Gus Dur nernagai golongan dan kelompok, besar ataupun kecil, yang berbeda-beda bahkan Sepanjang sejarah orde baru bertentangan, yang berdasarkan suku, kesialan semakin berlipat dengan adanya agama, keyakinan, etnis kelompokan karikatur-karikatur diskriminatif, kepentingan maupun kelompokan dasar pemberitaan-pemberitaan atau penulisan- lainnya, yang sama-sama berhak untuk penulisan yang mengandung bias, dipertimbangkan dalam mengambil maupun humor-humor plesetan semuanya keputusan politik (Siska Yulia Nurda, dkk, menambah bahan bakar prasangka tt:7). terhadap kaum minoritas ini.Lebih lagi, Pemikiran demokrasi KH. melalui struktur penguasaan modal yang Abdurahman Wahid ternyata tidak sejalan tidak berimbang, yang merupakan bagian dengan implementasi kebijakan yang dari rancangan legitiminasi orde baru, diberlakukan pada masa Orde Baru terjadi penguasaan ekonomi sepihak oleh pemerintahan Soeharto, yaitu kebijakan “cukong-cukong” orde baru yang asimilasi. Pada hakekatnya, asimilasi dampaknya makin mengalienisasi serta merupakan proses penyatu gabungan memojokan kaum etnis Cina secara golongan-golongan yang mempunyai keseluruhan. Orang Cina dianggap sikap mental, adat kebiasaan dan matrealistis, serakah, asosial, tak peduli kebudayaan yang berbeda-beda menjadi lingkungan dan banyak lagi hal-hal yang suatu kebulatan sosiologis yang harmonis terkesan negatif.Selanjutnya ditahun 1998 dan bermakna, yang dalam hal ini terdapat sentimen antichinese yang telah diartikan bangsa (nation) Indonesia. bertahun-tahun dipupuk dan sengaja Implementasi kebijakan pemerintahan dikembangkan diantara masyarakat Orde baru terhadap etnis Tionghoa berpuncak pada kerusuhan rasial 14/15 bertentangan dengan nilai-nilai mei dan berakhir dengan penjarahan, demokrasi. Selain itu juga sangat penyiksaan dan pemerkosaan massal bertentangan dengan pancasila dan terhadap warga etnis Tionghoa.Lalu Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27. munculah reformasi dan bergantinya Terjadinya penyimpangan dari tanpuk pemerintahan dari Soeharto ke implementasi kebijakan asimilasi B.J. Habibie (Siska Yulia Nurda, dkk,tt :6). membuat KH. Abdurahman Wahid Pada 16 September 1998 B.J memilih demokrasi dan menempatkannya Habibie mengeluarkan Inpres No. bukan sebagai tujuan, tetapi sebagai 26/1998 yang menghapuskan penggunaan sarana untuk menyempurnakan keadaan . istilah pribumi dan mnon pribumi, KH. Abdurahman Wahid menilai memberikan arahan agar semua pejabat demokrasi sebagai saran untuk memberikan layanan yang sama kepada memperbaiki kehidupan, jadi demokrasi setiap warga negara serta harus diwujudkan secara terus menerus. mengistruksikan dilakukan peninjauan Kebijakan KH. Abdurahman Wahid kembali dan penyelesaian seluruh produk

190 hukum perundang-undangan, kebijakan, dengan diakuinya Konghucu menjadi program dan kegiatan yang telah kepercayaan di Indonesia (Siska Yulia ditetapkandan dilaksanakan. Selain itu Nurda, dkk, tt: 7). presiden B.J Habibie juga mengeluarkan Dalam bidang politik muncul Inpres No. 4 tahun 1999 yang beragam organisasi dan partai-partai menghapuskan surat bukti politik yang berkaitan dengan etnis kewarganegraan Republik Indonesia Tionghoa. Hal ini dilakukan etnis (SBKRI) dan izin perayaan tahun baru Tionghoa untuk mengikis steoritis negatif imlek sebagai Hari Nasional. Namun yang selama ini dilekatkan pada etnis dalam keppresnya tidak konsisten dengan Tionghoa yaitu bahwa etnis Tionghoa penjelasaan UUD 1945. B.J habibie hanya memperhatikan aspek ekonomi masih belum menunjukan perubahan saja dan politik. Dengan masuk dalam signifikan terkait hak kebebasan bidang politk, etnis Tionghoa dapat terjun mereka.Setelah memasuki awal era langsung dalam mengatasi permasalahan reformasi, etnis Tionghoa dapat bernafas bangsa sehingga dapat menindaklanjuti lega. Pada era presiden Abdurahman proses pembangunan bangsa secara Wahid yang merupakan figur yang paling bersama-samadengan etnis lainnya. berjasa bagi etnis Tionghoa, karena beliau Keadaan lain yang berpengaruh terhadap telah menerbitkan Keppres No. 6 tahun etnis Tionghoa adalah mengenai Hari 2000 dan ditandatangani pada 17 januari Raya Imlek. Pada lengsernya K.H 2000 sekaligus mencabut Inpres No 14 Abdurahman Wahid pada tahun 2001 tahun 1967 yang ditandatangi Soeharto presiden Megawati menetapkan Hari pada 6 Desember 1967 (Siska Yulia Nurda, Raya Imlek sebagai hari libur nasional dkk, tt : 7). sebagai tindaklanjut kebijakan yang Keputusan presiden Abdurahman dikeluarkan K.H Abdurahman Wahid Wahid ini melahirkan kebebasan etnis dalam proses demokrasi Indonesia dan Tionghoa dalam menjalankan ritual menjadi pendukung yang baik bagi etnis keagamaan, adat istiadat, serta Tionghoa. Megawati juga mengeluarkan memperbolehkan pengekspresian Undang-Undang No. 20 tahun 2003 terhadap kebudayaannya di Indonesia tentang sistem Pendidikan Nasional yang pasca pencabutan kepres No. 14 tahun menunjuk Departemen Agama untuk 1967, berbagai macam pengekspresian memfasilitasi guru agama Konghucu kebudayaan mulai berkembang di guna mengajarkan materi ajaran agama Indonesia. Pengekspresian budaya tersebut kepada murid yang menganutnya ditandai dengan maraknya seni budaya (Siska Yulia Nurda, dkk (Siska Yulia Nurda, barongsai, naga Liong, dan kebudayaan dkk, tt : 8). Tionghoa lainnya yang sebelumnya Dibawah kepresidenan Susilo dikembangkan dan dipertunjukkan hanya bangbang Yudhoyono, agama Konghucu dalam lingkungan keluarga saja sudah diakui sebagai agama resmi dan sah. mulai dapat dipentaskan secara bebas Berbagai kalangan etnis Tionghoa dimuka umum. Etnis Tionghoa dapat mendirikan parta politik LSM dsn melakukan kegiatan keagamaan secara ORMAS. SBKRI tidak wajib lagi bagi bebas dan kegiatan keagamaan etnis WNI. Setelah 32 tahun berdiam mereka Tionghoa mendapat perlindungan resmi kembali melakukan kegiatan sosial, aktif dari pihak keamanan negara seiring dalam bidang pendidikan. Bahasa

191

Mandarin mulai diajarkan diberbagai asimilasi. Pada hakekatnya, asimilasi sekolah sebagai bahasa alternatif merupakan proses penyatu gabungan disamping bahasa Inggris. Filsafat golongan-golongan yang mempunyai kalangan etnis Tionghoa sekarang adalah sikap mental, adat kebiasaan dan “berakar di bumi tempat berpijak” artinya kebudayaan yang berbeda-beda menjadi lahir dan menetap di Indonesia selama- suatu kebulatan sosiologis yang harmonis lamanya. dan bermakna, yang dalam hal ini diartikan bangsa (nation) Indonesia. KESIMPULAN Sebelum berdirinya Negara yang DAFTAR PUSTAKA diberi nama Indonesia ditanah Jawa, etnis Abdullah Dahana . 2001. “Kegiatan Awal Tionghoa sudah menginjakan kaki Masyarakat Tionghoa di ditanah Jawa. Dari berbagai catatan Indonesia”, Jurnal Wacana,Vol 2 sejarah para pedagang. Tionghoa telah No 1 datang kedaerah pesisir laut cina selatan sejak 300 tahun sebelum masehi, namun Adrian Perkasa. 2012. Orang-orang catatan sejarah tertulis menunjukan Tionghoa dan Islam di Majapahit. mereka datang ke Asia Tenggara lama Yogyakarta: Ombak. setelah itu. Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien Daradjadi.2013.Geger Pecinan 1740- pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke- 1743, “Persekutuan Tionghoa 7. Para pengamat minoritas Tionghoa di Melawan VOC”,. Yogyakarta: Indonesia mengetahui bahwa ada dua Buku Kompas. kelompok Tionghoa, yaitu Cina Peranakan dan Cina Totok. Tionghoa Edi, Suharto.2009. Kebijakan Sosial totok adalah orang asli Tionghoa yang Sebagai kebijakan Publik. Bandung: berdarah murni Cina (totok Tionghoa), Alpabeta. Perbedaan pokok antara Cina Peranakan dan Cina Totok terletak pada bahasa yang FX. Lilik Dwi M. Imlek. 2019. Tradisi digunakannya di rumah. Terdapat juga Yang tak Lagi Sendiri (Jakarta: perbedaan-perbedaan dalam logat dan ANTARA News). Dalam dialek, ucapan dalam kehidupan sosial http://www.antaranews.com/berita/ budaya dan dalam corak pendidikan serta 53516/imlek-tradisi-yang-tak-lagi- dalam adat istiadat lainnya. Perbedaan ini sendiri diakses 29-04-2019 disebabkan oleh karena pengaruh dari lingkungan kehidupan masyarakatnya. Hidajat, Z. M, Masyarakat dan KH. Abdurahman Wahid Kebudayaan Cina di Indonesia, menghapus diskriminasi terhadap etnis . Tionghoa dengan mengeluarkan Husein Muhammad. Tt. “Pluralisme Gus Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000, Dur “Gagasan Para Sufi”, Sumber dilandasi oleh pemikiran demokrasi KH. Majalah Cahaya Sufi, Abdurahman Wahid tidak sejalan dengan implementasi kebijakan yang Irfan Islamy.1993. Kebijakan Publik. diberlakukan pada masa Orde Baru Jakarta: Karunia. pemerintahan Soeharto, yaitu kebijakan

192

Yoga Ad. Attarmizi Dkk. 2000. Gus Dur Koenjaraningrat.1994. Kebudayaan dari Pesantren ke Istana. Bandung: Mentalitas dan Pembangunan. Remaja Rosda Karya. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. Yusiu, Liem.2000. Prasangka Terhadap Kuntowijoyo.2001. Pengantar Ilmu Etnis Cina: Evaluasi 33 Tahun di Sejarah Cet-Ke 4. Jogjakarta: Bentang. bawah Rejim Soeharto. Jakarta: Djambatan. Leo, Suryadinata.1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Pers.

Leo,Suryadinata.2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta:Kompas Media Nusantara

Leo, Suryadinata. Tt. Politik Tionghoa Peranak di Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Rustopa.2008. Jawa Sejati : Otobiografi GoTik Swan. Yogyakarta: Ombak.

Siska Yulia Nurda, dkk, Peranan KH. Abdurahman Wahid Dalam Penghapusan Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia Tahun 1999-2000

Soerjono Soekanto.2010. Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta : Rajawali Press.

Suheri Sidik Ismail.1999. Khulashah Sirah Gus Dur dari Pesantren ke Istana. Surabaya: Dunia Ilmu.

Tomi Sujatmiko, tt. “Perbedaan Pribumi dan Non Pribumi Sudah Kuno”, Kedaulatan Rakyat. Vol 2 No. 2

W.P. Groeneveldt.2009. Nusantara dalam catatan Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu.

193