Jurnal Pakarena Volume 4 Nomor 1, Juni 2019 e-ISSN: 2550-102X dan p-ISSN: 1693-3990 This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA PAMOR SENJATA KAWALI DALAM MASYARAKAT BUGIS

Satriadi

Keywords : ABSTRAK Senjata Kawali; Kawali merupakan warisan kebudayaan fisik dan juga Pamor; Bugis; merupakan produk kesenian berupa senjata tikam jarak pendek dengan bilah yang hanya memiliki satu sisi tajam dan ujung Corespondensi Author yang runcing. Kawali secara utuh memiliki tiga elemen pokok Desain Komunikasi Visual, yaitu bilah, wanoa dan pangulu. Masing-masing elemen Universitas Negeri Makassar, tersebut memiliki bentuk dan makna tersendiri. Bilah Fakultas Seni dan Desain Jln. merupakan elemen paling pokok karena di dalamnya terdapat Dg. Tata Kampus UNM motif pamor yang mengadung pesan atau makna simbolik yang Parangtambung dijadikan pedoman masyarakat pendukungnya, dalam hal ini [email protected] masyarakat Bugis. Oleh karena itu, ada dua aspek kesenian yang perlu diperhatikan dalam menganalisis bentuk dan makna simbolik motif pamor pada kawali yaitu konteks estetika atau penyajian yang mencakup bentuk dan gaya, kedua adalah konteks makna (meaning) yang mencakup pesan dan kaitan dengan simbol-simbolnya (simbolic value). Penelusuran bentuk dan makna motif pamor melalui interpretasi analsis dengan pendekatan Estetika Nusantara dan penjelasan emik dalam kebudayaan, sehingga diketahui bahwa eksistensi pamor kawali adalah selain sebagai motif penghias bilah juga sebagai pesan yang menggambarkan kehidupan yang ideal dalam masyarakat Bugis.

ABSTRACT Kawali is the physical and cultural heritage is also a product of art in the form of short-range stabbing weapons with blades that have only one sharp edge and a pointed end. Kawali as a whole has three main elements, namely bilah, wanoa and pangulu. Each of these elements has its own form and meaning. Bilah is the most essential element because it constitutes a pamor motive having message or symbolic meaning guiding the supporting people, in this case the Bugis people. Therefore, there are two aspects of art that need to be considered in analyzing the shape and symbolic meaning pamor motive in kawali that context aesthetic or presentation that includes the shape and style, the second is the context of meaning (meaning) that includes the message and the link with the symbols (symbolic value). Search form and meaning through interpretation pamor motive to approach the analysis and Nusantara Aesthetics explanation emic in the culture, so it is known that the existence of kawali pamor is other than as a motive trimmer Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27 13

blades as well as a message that describes the ideal life in Bugis people.

PENDAHULUAN mempengaruhi aktivitas sosial masyarakat Bugis, oleh karena itu secara umum penelitian selatan merupakan wilayah ini menggunakan pendekatan budaya untuk administrasi yang didukung oleh empat etnis mengkaji permasalahan yang diajukan dalam besar yaitu Bugis, Makassar, Mandar dan penelitian. Toraja (Mattulada, 1995:5). Bugis merupakan METODE etnis yang memiliki populasi yang paling besar dan menduduki wilayah yang luas. Etnis Bugis Metode penelitian yang dipilih untuk memiliki kebudayaan yang unik dan spesifik. memperoleh data-data dan informasi, Salah satu keunikan dan kespesifikan menginventarisasi, mengolah dan kebudayaannya tercermin dalam sistem menganalisisnya yaitu metode penelitian pengetahuan mengenai senjata tradisional. kualitatif. Penelitian kualitatif tidak Senjata tradisional yang identik dengan Bugis menekankan pada kuantum atau jumlah, jadi adalah badik, dimana dalam istilah lokal dikenal lebih menekankan pada segi kualitas secara dengan sebutan kawali. kawali merupakan alamiah karena menyangkut pengertian, wujud kebudayaan Bugis dalam bentuk artefak konsep, nilai serta ciri-ciri yang melekat pada berupa senjata tradisional. objek penelitian lainnya. Penelitian ini akan Koentjaraningrat menyebutkan, ada tiga mendeskripsikan tentang eksistensi kawali, wujud kebudayaan: 1) wujud kebudayaan bentuk pamor dan maknanya. Agar sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, menghasilkan sebuah hasil penelitian yang nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan relevan dengan tujuannya, maka rencana sebagainya; 2) wujud kebudayaan sebagai suatu penelitian ini diperlukan metode penelitian kompleks aktivitas kelakuan berpola dari berupa metode; (1) penentuan sumber data, (2) manusia dalam masyarakat; 3) wujud teknik pengumpulan data, dan (3) analisis data. kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, berupa kebudayaan fisik yang 1. Sumber data berbentuk nyata dan merupakan hasil karya a. Karya kawali masyarakat. Ketiga wujud kebudayaan tersebut Karya kawali yang dikaji merupakan oleh Koentjaraningrat dinyatakan sebagai karya-karya kawali yang tersebar di beberapa sistem-sistem yang erat kaitannya satu sama daerah di wilayah Bugis. kawali-kawali yang lainnya, dan dalam hal ini sistem yang paling menjadi sumber referensi antara lain koleksi abstrak (ideas) seakan-akan berada di atas pribadi Andi Ancu, Andi Basri, Tenri Ewa, untuk mengatur aktivitas sistem sosial yang Imran Syahruddin, dan Galery Adi Pusaka. lebih kongkrit, sedangkan aktivitas dalam Sumber data berupa ini dapat digunakan untuk sistem sosial menghasilkan kebudayaan menganalisis berbagai varian bentuk bilah dan material (artifact). Sebaliknya sistem yang bentuk pamornya. berada di bawah dan bersifat konkrit memberi energi kepada yang di atas (1986:186-188). b. Nara Sumber Adanya ide dan gagasan mengakibatkan 1) Panre bessi/ mpu terjadinya aktivitas yang menghasilkan suatu Panre bessi adalah orang yang ahli dalam karya (kebudayaan fisik). Selanjutnya menempa bilah kawali. Data yang diharapkan kebudayaan fisik berpengaruh terhadap dari Panre bessi ini adalah data tentang proses lingkungan tertentu sehingga makin lama dan teknik pembuatan bilah kawali, mulai pada makin menjauhkan manusia dari kondisi asli tahap persiapan penempaan hingga pasca lingkungan alam, hal yang selanjutnya penempaan, selain itu juga diharapakn data mempengaruhi pola-pola berpikirnya dan juga mengenai teknik-teknik pembentukan pamor. cara bergaul, dan cara bertindak. Dalam hal ini, Adapun panre yang dimaksud adalah A. Tenri kawali merupakan artifak kebudayaan Polo Jiwa, Panre Lawu, Panre Co’tang. masyarakat Bugis yang memuat idea dan 2) Perajin wanoa dan hulu digunakan dalam aktivitas sehari-hari serta

13

Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019 14

Sebuah kawali yang utuh adalah kawali mendata motif-motif pamor, beserta unsur yang dilengkapi dengan wanoa dan pangulu. pembentuknya digunakan metode observasi, Data yang diharapkan dari perajin ini adalah dan untuk meyakinkan data observasi, proses dan teknik pembuatan wanoa dan dilakukan wawancara dan studi kepustakaan. pangulu dalam berbagai variasi bentuk dan Metode observasi dapat diartikan sebagai motif ragam hias yang diterapkan. Adapun pengamatan dan pencatatan secara sistematik orang yang dimaksud adalah Daeng Aries. Data terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki. yang diperoleh dari narasumber ini adalah Untuk memperlancar penelitian dan agar dapat bahan dan teknik pembuatan kelengkapan berjalan secara sistematis maka dibuat tahapan- kawali. tahapan penelitian yang meliputi; (1) tahap 3) Budayawan penentuan sasaran penelitian; (2) tahap Kawali sangat berkaitan erat dengan pengumpulan data dan (3) tahap pembahasan kebudayaan Bugis, maka dibutuhkan data dari data. Sasaran penelitian ini adalah seluruh seorang budayawan untuk menjelaskan bentuk pamor rekan dan tiban yang melekat bagaimana keberadaan kawali dalam kaitannya pada bilah kawali. Penelitian ditujukan untuk dengan aktivitas sosial masyarakat yang mengadakan indetivikasi bentuk motif pola dan berkaitan dengan kawali, sejarah kawali dan pola pamor dengan mengenali, menandai, bagaimana peranannya dari dulu hingga membuat klasifikasi dan menginterpretasikan. sekarang. Adapun budayawan yang dimaksud Agar dapat memperoleh data seperti yang adalah A. Kahar Wahid, Andi Baso Bone, Andi diharapkan sesuai dengan rumusan masalah Darwis Petta Mabbangkungnge, Halilintar dalam penelitian ini, maka perlu digunakan Latief, Andi Singke, Andi Basri, dan Andi suatu metode pengumpulan data yang tepat. Haedar. Metode pengumpulan data yang digunakan 4) Kolektor adalah studi pustaka, metode observasi, metode Kolektor merupakan orang yang wawancara dan dokumentasi. menyimpan dan merawat berbagai jenis kawali. a. Studi Pustaka Data yang diharapkan dari kolektor adalah Studi pustaka dilakukan dengan berupa dokumentasi mengenai pamor kawali, mengumpulkan sumber pustaka yang serta makna dari pamor tersebut. Adapun berhubungan dengan masalah penelitian yang kolektor yang dimaksud adalah Andi Halilintar kemudian dengan cara membaca, lalu mencatat Latif, Imran Syahruddin, Andi Haedar, Andi yang dianggap penting yang berhubungan Basri, dan Andi Andu. dengan masalah penelitian, dan kalau diperlukan dilakukan translate bahasa, karena c. Dokumen atau arsip data-data manuskrip dan naskah kuno Dokumen atau arsip dalam penelitian ini umumnya berbahasa Bugis dengan huruf adalah data-data tertulis mengenai semua lontara’. Langkah-langkah dalam studi pustaka materi yang terkait dengan pokok permasalahan diawali dengan pemilahan data-data pustaka dalam penelitian ini yang didapat dari studi yang berupa manuskrip, buku-buku kuno yang pustaka dan literatur. Dokumen berupa catatan sudah tidak diterbitkan dan buku-buku baru lontara’ dan arsip-arsip berupa foto-foto lama yang berhubungan dengan tema yang sedang mengenai bentuk-bentuk pamor atau peristiwa- dikaji. Setelah dilakukan pemilahan dan peristiwa yang berhubungan dengan pendataan dilakukan pembacaan dan pencatatan penggunaan kawali. Adapun dokumen atau yang dianggap penting. arsip yang dimaksud adalah Lontara Pangurissengen Appasisikeng yang telah b. Observasi ditransliterasi, berisi tentang cara-cara melihat Metode observasi adalah metode yang baik dan buruknya sisi’ dari sebuah senjata, digunakan untuk mengamati sesuatu, termasuk di dalamnya kawali serta lontara’ seseorang, suatu lingkungan, atau situasi secara pananrang yang berisi hari-hari yang dianggap tajam terinci, dan mencatatnya secara akurat baik untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. dalam beberapa cara. Metode observasi dalam 2. Teknik pengumpulan data penelitian seni dilaksanakan untuk memperoleh Salah satu tujuan penelitian ini adalah data tentang karya seni dalam suatu kegiatan untuk mengetahui bentuk motif pamor dan dan situasi yang relevan dengan masalah maknanya pada bilah kawali, sehingga untuk penelitian (Rohendi, 2011:182). Metode Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27 15 observasi juga merupakan salah satu metode d. Dokumentasi yang dapat digunakan untuk keperluan Dokumen merupakan penggalian data identifikasi. Hal tersebut karena cara kerja dari arsip-arsip atau data-data dokumen berupa metode observasi menyadarkan pada gambar, foto ataupun tulisan. Penggalian data pengamatan dan pencatatan langsung pada dokumen dilakukan dengan beberapa langkah, objek yang bersangkutan. antara lain pemilahan dan pengklasifikasian Metode observasi yang digunakan dalam dokumen yang berupa arsip atau data-data, foto penelitian ini adalah metode observasi secara atau ilustrasi gambar sesuai dengan tema langsung, yaitu pengamatan yang dilakukan penelitian kemudian dilakukan pencatatan dari secara langsung seksama, dan mendetail untuk data atau arsip-arsip tersebut, dilakukan repro mengetahui rupa pamor yang melekat pada ulang melalui foto dan scaner, dan apabila tidak bilah kawali, kemudian dilakukan pencatatan, dapat diperoleh hasil maksimal diperlukan pengukuran dan pendokumentasian melalui pembuatan ilustrasi dengan cara digambar pemotretan, sedangkan bentuk-bentuk yang dengan tangan secara langsung. tidak dapat dijangkau dengan dokumentasi potret maka dilakukan pembuatan sketsa 3. Teknik Analisis Data terhadap objek yang diteliti sehingga data-data Tahap analisis data bertujuan untuk yang diinginkan dapat diperoleh dengan baik. mendapatkan ketetapan kenyataan dan penetapan konsep sebagai konsep c. Wawancara pengklarifikasian data yang didapatkan di Wawancara adalah suatu teknik yang lapangan sebagai data awal. Setelah itu data- digunakan untuk memperoleh informasi tentang data tersebut direduksi. Reduksi data kejadian yang oleh peneliti tidak dapat diamati merupakan komponen pertama dalam analisis sendiri secara langsung, baik karena tindakan data, meliputi proses selektif pemfokusan, atau peristiwa yang terjadi dimasa lampau penyederhanaan, dan abstraksi data dari catatan ataupun karena peneliti tidak diperbolehkan lapangan (Sutopo, 2006:9). Analisis data yang hadir ditempat kejadian itu (Rohendi, dilakukan bersifat induktif. Dalam analisis 2011:208). Wawancara dilakukan dengan cara induktif data yang diperoleh disimpulkan dan tanya jawab dengan narasumber. Wawancara dikomparasikan dengan data-data lain yang dilakukan untuk meyakinkan dan memperoleh berkaitan dengan tujuan penelitian dengan data-data penelitian yang berhubungan dengan beberapa tahapan analisis. Agar dapat keberadaan kawali dalam masyarakat Bugis, menjawab setiap rumusan masalah pada dan makna motif pamor pada bilah kawali. rencana penelitian ini, secara eksplisit penulis Metode wawancara yang dilakukan menggunakan pendekatan budaya untuk adalah metode wawancara mendalam (in deep mengetahui kebudayaan dan adat istiadat interviewing). Wawancara mendalam lebih masyarakat Bugis secara komprehensif. menyerupai percakapan dibanding dengan Penelitian ini menggunakan analisis dengan dua wawancara terstruktur secara formal. model analisis data, yaitu interaksi analisis dan Narasumber yang dipilih berdasarkan Interpretasi analisis. pengalaman dan pengetahuan yang mumpuni agar bisa mendapat informasi yang benar, a. Interaksi Analisis lengkap dan mendalam. Analisis dengan pendekatan interaksi Wawancara dilakukan pada informan analisis digunakan untuk menjawab rumusan yang dianggap memiliki kompetensi dan masalah pertama dan kedua yaitu bagaimana memahami permasalahan studi, seperti para eksistensi kawali dan bagaimana tanggapa empu atau panre bessi, para pakar kawali dan masyarakat mengenai pamor rekan dan pamor para pecinta atau kolektor kawali. Wawancara tiban. Untuk menjawab rumusan masalah yang dilakukan lebih bersifat terbuka ini akan tersebut maka interaksi analisis ini ditunjang memberi peluang keleluasaan terhadap oleh bidang keilmuan lain yaitu sejarah untuk penggalian informasi dengan fokus-fokus mengetahui latar belakang munculnya kawali tertentu sehingga diperolah informasi yang dalam masyarakat Bugis, sosiologi untuk mendalam terkait dengan unit analisisnya. mengetahui aktivitas kehidupan masyarakatnya dan antropologi untuk mengetahui lingkungan serta adat istiadat masyarakat Bugis. 15

Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019 16

Karakteristik data yang digunakan dalam religius. Penciptaan karya seni yang bersifat interaksi analisis menekankan pada penggunaan simbolik merupakan ciri dan karakter dari data emik. Riset emik merupakan penelitian estetika Nusantara (Dharsono, 2007: 31). yang berlandasakan data yang didapatkan dari Estetika Nusantara selalu berhubungan dengan lapangan berupa wawancara dari narasumber nilai tontonan (estetis), tuntunan (falsafah) dan dan pengamatan di lokasi penelitian. Selain itu dipengaruhi oleh sugesti alam, karena manusia digunakan pula data etik sebagai bentuk analisis merasa menjadi bagian dari alam. Karakteristik yang bersumber dari kajian pustaka dan inilah yang membedakan antara pandangan dokumen yang relevan dengan penelitian. filsafat modern dan filsafat Nusantara. Filsafat Proses interaksi analisis data meliputi Nusantara mencerminkan hubungan mikro- tiga alur kegiatan sebagai suatu sistem, yaitu (1) meta-makrokosmos dan mendudukan diri reduksi data, (2) sajian data, dan (3) penarikan manusia menjadi bagian dari alam, sehingga kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, berpengaruh terhadap suatu pencapaian 1992:24). Ketiga komponen analisis tersebut karakter tertentu melalui simbol yang aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif merupakan ekspresi yang bersifat kultural dan dengan proses pengumpulan data sebagai suatu dasar struktur yang terencana (Yuwono, 2010: proses siklus (Sutopo, 2006:117-120). Teknik 39). triangulasi yang dipakai, triangulasi data dan Karakteristik dari visualisasi motif triangulasi metode. Triangulasi data tradisional Nusantara dijelaskan oleh Dharsono mengarahkan penelitian untuk menggunakan yang berpijak pada pola motif batik sebagai beberapa data sejenis sebagai pembanding berikut: pola/motif disusun berasarkan pola dengan demikian data yang satu bisa lebih teruji yang sudah baku yang terdiri dari bagian, yaitu; jika dibanding dengan data sejenis yang 1) ‘motif utama’, merupakan unsur pokok pola, diperoleh dari sumber lain, sedangkan teknik berupa gambar-gambar bentuk tertentu karena triangulasi metode dilakukan dengan cara merupakan unsur pokok, maka disebut pula membandingkan data sejenis dengan ornamen pokok (utama). 2) ‘motif pengisi’, pengumpulan data yang berbeda (Sutopo, 2006: merupakan pola berupa gambar-gambar untuk 71-72). mengisi bidang, bentuk lebih kecil dan turut Proses model analisis interaktif tersebut membentuk artti atau jiwa pola tersebut, dan 3) dapat digambarkan dengan skema berikut : ‘isen’, untuk memperindah pola secara keseluruhan, baik ornamen pokok maupun

Pengumpulan ornamen pengisi diberi isian berupa hiasan: Data titik-titik, garis-garis, gabungan titik dan garis (Dharsono,2007:87). Reduksi Data Sajian Data Dalam sebilah kawali mengandung dua aspek yaitu aspek tontonan (keindahan) dan

Penarikan tuntunan (ajaran/ filosofis). Aspek tontonan Simpulan atau Verivikasi dapat dilihat dari struktur kawali yang tediri dari wanoa, laca’ dan pangulu’. Diantara tiga elemen tersebut bilah kawali merupakan Bagan 2. Model Analisis Interaktif (Sutopo, elemen pokok karena di dalamnya termuat 2006:120) pamor yang mengandung motif yang menggambarkan nilai fisofis (aspek tuntunan. b. Interpretasi analisis Motif utama kemudian dimaknai secara Analisis dengan pendekatan interpretatif filosofis dengan merelasikan dengan perilaku analisis digunakan untuk menjawab rumusan dan kepercayaan masyarakat yang berhubungan masalah ketiga yaitu bagaimana bentuk motif dengan motif utama. Oleh karena itu, dapat pamor pada kawali dan maknanya. Analisis dikatakan bahwa interpretasi dilakukan dengan interpretasi pada penelitian ini menggunakan pendekatan estetika Nusantara dengan pendekatan Konsep Estetika Nusantara yaitu penjelasan emik dalam kebudayaan. untuk menjelaskan keberadaan bentuk dan makna simbolik pamor pada kawali. Konsep estetika kesenian Nusantara memperlihatkan sifatnya yang khas, yaitu dari mistis hingga Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27 17

Pengejaran Belanda masih tetap berlangsung Kawali terhadap Raja Bone Lapawawoi Arung Segeri Tontonan Tuntunan (Keindahan) (Ajaran/ yang dilindungi oleh panglima perangnya Petta Filosofi) Ponggawae, meskipun Belanda sudah

Struktur Kawali Pandangan menduduki istana kerajaan Bone. Bagi Belanda Hidup Laca’ Wanoa Pangulu sebelum menangkap sang raja dan panglima

perangnya, berarti belum menguasai kerajaan Pamor Falsafah Bone sepenuhnya. Akhirnya, tanggal 18 Pola Motif November 1905, panglima perang Bone Petta Utam Pendukung Isia a n Ponggawae tewas tertembak di bagian dada Bagan 3. Skema interpretasi analisis dengan dengan senapan dan kawali tergenggam kuat di konsep estetika Nusantara tangan (Palloge, 1990:203-204). Kawali dengan fungsi sebagai senjata HASIL DAN PEMBAHASAN biasanya tidak mementingkan keindahan Fungsi Kawali dalam Masyarakat Bugis pamor, karena adanya kepercayaan masyarakat bahwa tidak ada pamor yang membunuh Masyarakat tradisional lebih menekankan (degaga pamoro pawunu), bahkan terdapat pada aspek-aspek simbolis religius yang magis tuturan masyarakat di Bone mengatakan bahwa dan baru kemudian mengolahnya menjadi suatu nappemmaliangngi to-bone we pake luwu, benda yang memenuhi fungsi sosial dan artinya bagi orang Bone pemali mengunakan teknomiknya (fungsi fisik) sebagai suatu alat kawali luwu (Andi Basri, wawancara 2 Agustus untuk beradaptasi atau menaklukkan 2015). Keterangan tersebut memberikan lingkungannya demi menjaga lingkungan konotasi bahwa kawali sebagai senjata hidupnya (Yuwono, 2011:181). Sebuah benda pembunuh tidak mementingkan pamor diciptakan manusia setidaknya mewakili tiga sebagaimana kawali Luwu yang banyak fungsi dasar yaitu fungsi teknomik, fungsi mengandung pamor yang indah. Namun kawali sosial, dan fungsi religius. sebagai senjata pembunuh lebih mementingkan 1. Fungsi Teknomik ketajaman dan racun yang dikandungnya Fungsi awal kawali adalah sebagai senjata. (amosoangeng) (Andi Singke, wawancara 31 Kawali merupakan senjata tajam yang secara Juli 2015). fungsi guna (teknomik) dapat digunakan 2. Fungsi sosial sebagai senjata tikam yang efektif dalam Kawali sebagai simbol kedewasaaan. pertarungan jarak dekat. Dalam budaya Bugis, Gambaran sosial tentang sosok laki-laki ideal kawali tergolong sebagai senjata assigajangen, adalah mereka yang sudah menyelipkan kawali artinya senjata untuk saling tikam (Andi Basri, dipingangnya, sebagaimana tuturan yang wawancara 2 Agustus 2015). mengatakan bahwa tania orowane narekko de Peran kawali sebagai kelengkapan senjata nakkawali, arinya bukan laki-laki jika tidak perang juga banyak dijumpai dalam cerita dan menyelipkan kawali di pinggang. Salah satu tulisan-tulisan sejarah. Dalam sejarah kerajaan penanda bahwa seorang laki-laki Bugis sudah Bone dikatakan bahwa utuh adalah ketika telah memiliki baine (istri), “Pertempuran segera berkobar tatkala bola (rumah), tana (tanah persawahan atau pasukan pendaratan tersebut mencapai kebun), anyareng (kuda/kendaraan) dan puncak sebuah bukit bersemak-semak. parewa bessi (kawali) (Kahar Wahid, Ratusan prajurit Bone menghadang dengan wawancara 15 Maret 2018). tembakan-tembakan gencar. Tembak Kawali sebagai penanda garis keturunan. menembak itu disusul degan pergulatan kawali pusaka milik suatu keluarga dapat sengit beberapa jam lamanya dengan diwariskan kepada anak keturunan dari mempergunakan keris, kawali, kalewang keluarga tersebut. Dalam tradisi orang Bugis, dan tombak...” (Palloge, 1990:199). kawali pusaka biasanya diberikan kepada anak laki-laki tertua dalam keluarga. kawali yang Keterangan tersebut memberi gambaran telah diwariskan disebut dengan kawali mana’. mengenai perlawanan pasukan Bugis Apabila semua anaknya perempuan, maka menghadapi Belanda di dalam hutan dengan kawali diwariskan kepada menantu laki-laki bersenjatakan salah satunya adalah kawali. (Kahar Wahid, wawancara 15 Maret 2018). 17

Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019 18

Pewaris kawali mana’ secara turun temurun busana memiliki tampilan menarik karena dilakukan secara lisan, misalnya seorang ayah dilihat oleh banyak orang. Busana lengkap cukup mengatakan kawali ini akan diwariskan orang bugis terdiri dari songko recca, jas tutup kepada anak laki-laki tertua dalam keluarga. dan sarung sabbe, serta kawali terselip di Orang yang mewarisi kawali mana’ akan pinggang kiri. Biasanya busana lengkap berusaha merawat mana’ yang diterimanya tersebut dipakai dalam acara-acara resmi, dengan penuh hati-hati dan selalu mengikuti misalnya acara pertemuan kebudayaan, tradisi yang berlaku dalam lingkungan pernikahan atau upacara adat lainnya. keluarganya. Biasanya para pewaris kawali 3. Fungsi Religius mana’ tidak mengetahui secara tepat asal-usul Terdapat kepercayaan yang masih kuat di mana’ tersebut, sehingga semakin lama sejarah kalangan masyarakat Bugis bahwa kawali pusaka tersebut semakin kabur, bahkan tertentu memiliki kekuatan magis atau tuah dibumbui dengan cerita-cerita mitos yang dapat memberikan pengaruh tertentu. kemunculannya. Misalnya kawali yang berpamor daun padi Kawali sebagai simbol status. Telah (daung ase) digunakan dalam ritual maddoja dijelaskan pada sub bab sebelumnya (sub-bab bine. Maddoja bine adalah ritual begadang mengenai kawali dan hirarki) bahwa status hingga pagi bersama benih padi (bine) yang seseorang dalam masyarakat dapat diketahui sebelumnya telah direndam air. Dalam ritual itu dari kawali yang disandangnya. Bentuk kawali kawali madaung ase ditempatkan disamping dan bahan-bahan yang digunakan untuk bine dan pelita. Hal itu dilakukan dengan elemen-elemennya menggambarkan harapan bahwa padi yang kelak akan ditanam kemampuan finansial pemiliknya. kawali jenis menjadi subur, bebas dari gangguan hama raja hanya boleh dimiliki oleh bangsawan sehingga nantinya kelak panen berlimpah (anakarung) (Senewe, dalam Ubbe, 2011:161). (Pabittei, 1994:56; Hamid, 1990:31). Bahkan kawali dengan pamor tertentu dibuat Selain dari fungsi ritual di atas, kawali ketika seorang anak bangsawan akan menikah, tertentu juga dipercaya dapat menangkal atau misalnya pamor gamacca (Ewa, 2014:34) penawar bagi orang yang kena penyakit “guna- Kawali sebagai alat peraga. Setiap pasukan guna”, yaitu dengan cara meminum air yang yang akan diberangkatkan berperang maka sebelumnya diaduk dengan kawali yang terlebih dahulu dilakukan sumpah setia prajurit dianggap bertuah (Andi Singke, wawancara 31 kepada sang raja. Sumpah setia ini disebut Juli 2015). Kawali juga sering digunakan orang- dengan mangaru’ atau osong. Andi Ardiman orang tua, terutama ibu-ibu untuk menidurkan mengatakan bahwa osong terbagi atas tiga jenis bayinya dengan cara menaruh kawali dalam yaitu (1) osong pakkanna, ialah pernyataan ayunan bersama sang bayi. Hal itu dilakukan kesetiaan kepada raja pada waktu kerajaan dengan harapan bahwa sang bayi dapat menyatakan perang terhadap musuh. Biasanya terhindar dari gangguan mahluk halus yang menggunakan properti kawali yang diacungkan dapat mendatangkan penyakit. Hingga saat ini, secara vertikal saja, (2) osong pattuppu, yaitu di kalangan orang Bugis masih banyak yang pernyataan yang digunakan bila menjemput menyimpan kawali di rumahnya sebagai tamu kerajaan. Pattuppu artinya tetamu, dan penjaga rumah (pangonrong bola). (3) osong pakkuru' sumange', yaitu pernyataan yang ditujukan kepada raja yang baru terpilih bertujuan untuk memberi semangat dalam memimpin rakyat. Orang yang melakukan osong disebut mangosong’ yakni bersumpah, berikrar, menyatakan kesetiaan. Seorang yang melakukan osong’ haruslah berpakaian adat, mengucapkannya harus lantang, tegas dan Gambar 1. Kawali maddaung ase sambil menghunus kawali (wawancara, 29 Mei (Foto, Satriadi 2018) 2015). Ritual osong hingga saat ini masih sering dilakukan untuk menjemput tamu-tamu terhormat. Kawali sebagai asesoris pelengkap busana. Kawali yang digunakan sebgai pelengkap Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27 19

Bentuk dan pamor kawali dalam masyarakat Bugis

1. Elemen kawali Sebagai karya yang utuh kawali memiliki karakteristik bentuk tersendiri sehingga dapat dibedakan dengan parewa matareng (Jawa: tosan aji) lainnya. Karya berupa kawali secara utuh terdiri dari tiga elemen pokok yaitu bilah (laca’), warangka (wanoa), dan hulu (pangulu). Kawali yang hanya terdiri dari bilah saja belum dapat dikatakan kawali, begitupun juga sebaliknya wanoa tanpa bilah atau pangulu tanpa bilah belum dapat disebut sebagai kawali yang utuh. Gambaran mengenai bentuk kawali/badik dijelaskan oleh Harsrinuksmo Gambar 2. Jenis laca’ (bilah) kawali. sebagai berikut: (a) laca’ lu’, (b) laca toasi, (c) laca’ gecong, Bentuk badik (kawali) hampir dan (d) laca’ raja dan (e) laca’ mangkasara’ menyerupai dengan bagian (badi’) tajam hanya pada salah satu mata sisinya, (Ilustrasi, Satriadi, 2018) yakni sisi depan. Ujungnya runcing. Tangkainya (hulu) dibuat dari kayu, Laca’ lu’ merupakan bentuk bilah kawali gading, tulang, atau tanduk. Sarung yang paling umum digunakan di wilayah badik (wanoa) terbuat dari kayu, kerajaan Luwu sebagai kerajaan tertua di biasanya trembalo. Banyak juga sarung Sulawesi Selatan, dengan karakteristik bilah badik yang dibuat dari kayu biasa, tetapi lurus (mirip keris lurus) dan tidak memiliki dilapisi dengan emas atau perak kallong dan “perut”-nya rata atau datar. Laca’ (Harsrinuksmo, 2004:80). toasi merupakan bilah kawali khas kerajaan Sawitto (sekarang Kabupaten Pinrang), sebuah Keterangan di atas memberi gambaran kerajaan kecil yang berbatasan dengan kerajaan bentuk kawali secara utuh yaitu terdiri dari bilah Luwu di sebelah utara (Andi Basri, wawancara, yang runcing, wanoa, dan pangulu. Elemen- 2 Juni 2015). Laca’ toasi memiliki karakteristik elemen tersebut merupakan satu kesatuan utuh bilah yang hampir mirip dengan laca’ lu’, yang untuk dapat disebut kawali. Berikut akan membedakan hanya pada bagian pangkal bilah diuraikan elemen-elemen yang dimaksud. yang memiliki kallong yang tidak terlalu a. Bilah melengkung sehingga sehingga menimbulkan Bilah pada kawali merupakan bagian sedikit lengkungan pada bagian perut. Laca’ paling utama di antara bagian-bagian lainnya. gecong merupakan bentuk bilah yang pertama Karena bilah menentukan jenis kawali, mamoso dibuat di Addatuan Sidenreng (sekarang atau tidak, tempat munculnya pamor, dan kabupaten Sidenreng Rappang), dengan tempat munculnya sisi’/ketandaan. Secara karakteristik bilah yang lebih menunduk dan umum jenis kawali berdasarkan bentuk lebih lebar, serta kallong lebih kecil dari laca’ bilahnya ada tiga yaitu raja, gecong, toasi dan toasi. Laca’ raja merupakan bilah khas kerajaan luwu. Bagi seorang kolektor kawali, hanya Bone, dengan karakteristik perut lebih besar di dengan melihat bilah maka dia sudah dapat antara laca’ ugi lainnya dan maccingkallong mengetahui jenis kawali itu. Perbedaan dari (lihat gambar 2.1). Laca’ mangkasara’ ketiga jenis kawali ini dapat dilihat dari laca’ merupakan bilah khas pada badi’ (sebutan oleh (bentuk bilah), sedangkan laca’ ditentukan oleh orang-orang Makassar untuk Badik), dengan recco’ (ukuran perbandingan). karakter perut besar sehingga biasa disebut dengan Badik Lompa battang (si perut besar) dan buncitnya lebih mendekati pangkal bilah. Jenis ini tidak banyak dibahas dalam tulisan ini karena merupakan senjata khas orang-orang

19

Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019 20

Makassar, sementara tulisan ini membahas wanoa tatarapeng salaka dan sering ditambah senjata tradisional Bugis. hiasan batu permata. Lapisan wanoa yang tidak b. Wanoa menutupi seluruh permukaan kayu (bagian Wanoa adalah salah satu bagian pada bangi tidak tertutupi) disebut dengan wanoa kawali yang berfungsi untuk melindungi bilah pasangtimpo (Ubbe, 2011:72). Sedangkan atau membungkus bilah. Biasa juga disebut wanoa yang diikat dengan gelang-gelang logam sarung badik. Secara etimologi, wanoa berasal disebut dengan wanoa tabbu-tabbu (Andi Tenri dari kata “wanua” berarti wilayah suatu negeri. Polojiwa, wawancara 1 Agustus 2015). Bagi orang bugis, wanua secara simbolik Timpalaja merupakan salah satu simbol dianggap sebagai suatu wilayah terbatas pada status sosial dalam masyarakat Bugis. Susunan diri manusia yang harus dikendalikan sendiri. timpalaja paling banyak adalah berjumlah lima Wanoa berfungsi sebagai pelindung bilah, merupakan status paling tinggi yaitu arung dimana bilah dianggap sebagai personifikasi yang memerintah atau lapisan keturunan raja dari badan manusia. (anakarung). Susun tiga untuk to-maradeka, Secara garis besar, ada tiga bagian utama sedangkan tanpa susunan atau timpalaja kosong wanoa, yaitu (1) bangi, secara etimologi bangi berarti itu tempat tinggal ata (Pangeran, berarti dagu. Ketika kawali diselipkan di wawancara 17 Juli 2015). pinggang, maka bagian bangi selalu menghadap Angka lima dikaitkan dengan pesan yang ke kanan dan condong ke arah pusar (posi). disampaikan “Orang Pintar di Luwu” (pasengna Arah kanan selalu dikonotasikan dengan segala maccae ri luwu) kepada sang raja, bahwa lima hal-hal yang baik sedangkan posi dianggap hal yang harus diperhatikan sang raja agar sebagai sumber sumange’ yang menjadi tenang dalam kerajaannya, jujur (malempu), kekuatan yang hakiki dari setiap manusia. (2) berhati-hati (makkalitutu), murah hati pakkallasa’ merupakan ikatan berupa cincin- (masempo pangkaukeng), teguh pendirian cincin pada bagian tengah wanoa. Secara fisik (magetteng). Berani (warani) (Mallombasi, fungsi pakkallasa’ adalah untuk memperkuat 2012:117-123). wanoa, di sisi lain juga berfungsi simbolik. Pada Sedangkan angka tiga merupakan tiga zaman dahulu, jumlah pakkallasa’ disesuaikan pesan (paseng) yang juga dipesan oleh Maccae dengan status sosial pemiliknya dalam ri Luwu kepada anak cucunya/orang masyarakat (Dian Cahyadi, wawancara 28 Juli kebanyakan (to-sama), bahwa ada tiga hal 2018). Di dalam masyarakat Bugis, salah satu dipakai memerintah negeri yaitu, orang yang cara mengetahui status seseorang dapat dilihat diperintah menurut kesenangannya (cenning dari rumahnya, yaitu melihat bagian timpalaja ati), diperintah orang dengan menjaga harga Wanoa yang baik biasanya terbuat dari dirinya (siri’) dan orang yang diperintah dengan kayu cendana (aju cendrana). Kayu cendana menjaga ketakutannya (matau’) (Mallombasi, disamping memiliki tekstur garis yang indah 2012:124). Namun kini, jumlah pakkallasa’ juga dipercaya mengandung minyak alami yang pada wanoa tidak lagi berdasarkan hal di atas. baik untuk melindungi bilah dari karat. Bagian Pakkallasa’ dijadikan elemen-elemen estetis kayu yang paling baik adalah kayu yang berasal untuk memperindah penampilan wanoa. dari bagian pohon pangkal akar, paling bawah Sehingga kadang ditemukan jumlah pohon (sekitar setengah meter dari pangkal pakkallasa’ lebih dari lima atau kurang dari akar, dan bagian atasnya 1,5 meter dari tiga. permukaan tanah) (Harsrinuksmo, 2011:517). Kemudian bagian yang ketiga adalah pocci Bagi orang Bugis bagian kayu seperti itu atau sepatu. Secara fisik pocci berfungsi untuk disebut dengan tampusu’. Di kalangan memperkuat dan sekaligus melindungi ujung bangsawan Bugis atau orang berada (to- bawah wanoa. Secara simbolik, pocci deceng), wanoa keris, tombak, pedang, kawali, merupakan pengalas wanoa supaya tidak dan jenis senjata lainnya sering kali masih langsung menyentuh tanah. Hal itu dihiasi lagi dengan lapisan logam dan permata. dihubungkan dengan perlakuan khusus kepada Biasanya yang digunakan untuk melapisi para bangsawan Bugis, khususnya bangsawan wanoa adalah emas, perak, atau kuningan. yang memerintah, kemanapun ia pergi maka Wanoa yang seluruh permukaannya dilapisi selalu ditandu oleh atanna, dengan kata lain dengan emas disebut dengan wanoa tatarapeng tidak boleh menyentuh tanah. ulaweng sedangkan jika dilapisi perak disebut c. Pangulu Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27 21

Hulu sebagai pegangan senjata, oleh orang mendekati bentuk pangulu pada keris Bugis Bugis disebut pangulu. Secara etimologi, (tappi) yang berbentuk kepala burung laut, hal pangulu berarti pemimpin. Fungsinya sebagai itu dikarenakan kehidupan masyarakat Bugis pembungkus oting agar lebih nyaman dikenal sebagai “suku bangsa pelaut”. Burung digengam. Ada beberapa bentuk pangulu yang laut merupakan lambang keberanian, lambang biasa digunakan dalam kawali yaitu pangulu keselamatan, dan lambang keberhasilan. Kepala rekko, pangulu kulu-kulu, dan pangulu calabai. burung itu selalu menghadap frontal (Hamzuri, 1988: 39). Pangulu kulu-kulu (kepala-kepalaan) merupakan pangulu kawali yang menyerupai bentuk kepala (ujungnya bulat). Pangulu jenis ini juga banyak digunakan pada (bangkung), dimana menurut penulis sendiri Gambar 3. Pangulu rekko, pangulu kulu-kulu, kawali merupakan bentuk minimalis dari dan pangulu calabai. bangkung, karena bentuk bilahnya sama, yang (Foto Repro Satriadi, 2018) membedakan hanya ukuran dan cara penggunaannya. Jika kawali digunakan dengan Pangulu rekko merupakan simbol cara tikam maka bangkung digunakan dengan ketegasan seorang pemimpin. Bentuk pangulu cara tebas rekko memiliki kemiringan antara 90°- ≤135°. Pangulu calabai, merupakan gabungan Secara etimologi rekko berarti “menundukkan”. dari bentuk pangulu rekko dan pangulu kulu- Hal ini dihubungkan dengan kepercayaan orang kulu. Pangulu rekko memiliki kesan laki-laki Bugis bahwa kawali yang menggunakan (tegas) sedangkan pangulu kulu-kulu lebih pangulu rekko dapat menundukkan lawan, berkesan feminim, sehingga ketika bentuk itu sehingga pangulu jenis ini biasanya banyak digabungkan maka menghasilkan bentuk digunakan pada kawali dengan tujuan saling calabai. Secara etimologis, calabai berarti tikam (assigajangeng). Pada dasarnya, Pangulu orang yang berperawakan laki-laki dan rekko ditekuk (rekko) sebanyak tiga kali. Rekko perempuan. Hal itu mengingatkan kita pada tiga bermakna tiga hal yang harus dipegang oleh bissu, yaitu seorang yang berperawakan seperti pemimpin, yaitu “aga mupikkiriki iya tonaro laki-laki dan perempuan dalam masyarakat mu pau, aga mu pau iya tonaro mujama” (apa Bugis. Sebelum Islam menjadi agama resmi yang kamu pikirkan itu yang kamu ucapkan itu orang Bugis (abad XVII) seorang bissu juga yang kamu lakukan), sementara orang memiliki status sosial yang tinggi dalam Bone mengatakan “taro ada taro gau” (ucapan kerajaan karena mereka memiliki peranan harus disertai dengan kelakukan) (Cahyadi, sebagai pendeta, dukun, serta ahli “ritual wawancara 28 Juli 2018). Hal serupa juga trance” (kemasukan roh), yang dalam bahasa terdapat pada paseng yang berbunyi bahwa Bugis disebut a’soloreng dan kini mereka “sadda mappabati ada, ada mappabbati gau’, bertugas untuk menjaga arajang. Mereka gau’ mappabbati tau (bunyi mewujudkan kata, merupakan penghubung antara umat manusia kata mewujudkan perbuatan dan perbuatan dengan dunia dewata, serta memiliki pasangan mewujudkan manusia) (Mattulada,1998:85). mistis dari mahluk khayangan (Pelras, 2006: Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan 97). Dalam hal ini, Bissu merupakan tokoh ungkapan ketegasan dan cara berpikir cepat paradoks. Yang paradoks itu berupa bersatunya orang Bugis dalam mengambil keputusan. Sifat dua unsur yang saling bertentangan. Kondisi itu harus dimiliki oleh seorang pemimpin paradoks menghadirkan daya-daya transenden terutama pada setiap laki-laki, karena laki-laki (descend power), yang tak nampak merupakan pemimpin bagi keluarga, bangsa, (mallinrung) hadir dalam simbol nampak (talle) bahkan bagi dirinya sendiri. (Sumardjo, 2010:218-220). Di sisi lain, pangulu rekko merupakan Selain bentuk-bentuk pangulu di atas, simbolisasi seorang pemimpin yang tetap terdapat juga pangulu yang dipercaya tunduk pada rakyatnya. Hal ini sesuai dengan memberikan keselamatan terhadap pemiliknya. konsep kepemimpinan orang Bugis yang Terutama ketika digunakan dalam kondisi yang pertama yaitu kepemimpinan to-manurung. membahayakan, misalnya saat terjadi perang, Secara bentuk fisik, pangulu rekko lebih dikepung lawan, saat dan sebagainya. 21

Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019 22

Mereka percaya bahwa pangulu dengan tanda- antara etnik yang satu dengan etnik yang tanda khusus dapat membuat lawan tidak lainnya (Guntur, 2004). melihat, atau membuat lawan tidak bisa Haryono Haryoguritno kemudian mencabut kawalinya. Dalam kepercayaan orang menjelaskan manfaat dari pamor yakni sebagai Bugis, terdapat ilmu pakuraga yaitu ilmu yang berikut: membuat lawan tidak dapat mecabut kawalinya, “Pamor memberi manfaat teknis, pangulu caredo merupakan pangulu yang estetis, filosofis, simbolis dan spiritual. dianggap dapat menangkal ilmu tersebut (Dray Manfaat teknis karena bahan pamor vibrianto, dalam Ubbe, 2011:170). Pangulu merupakan salah satu unsur penguat yang demikian mereka sebut pangulu struktur pada bahan yang direkayasa, mallinrung ri totona (bersembunyi di balik terutama dengan lapisan-lapisan takdirnya) (Andi Basri, wawancara 2 Juni sejajar. Selain itu, pola gambar lapisan 2018). Pangulu caredo memiliki tanda-tanda pamor yang muncul pada permukaan khusus yaitu tonjolan yang keluar tepat pada bilah keris akan memperindah bagian bawah yang melengkung. Biasanya penampilannya, sekaligus menambah terbuat dari kayu kemuning, kayu santigi, kayu wibawa kerisnya. Keindahan pola trembalo, atau kayu hitam, yang melengkung pamor pada permukaan bilah keris secara alami (rekko kalena). Secara teknis, kayu menjadi salah satu kriteria untuk dengan bentuk seperti itu tidak mudah pecah menilai mutu keris. Ini berarti bahwa dan patah. pola pamor juga memberikan manfaat 2. Pamor kawali estetis. Dan yang terakhir, pola pamor Pamor berasal dari akar kata amor atau wor itu seolah-olah melambangkan yang berarti campur, atau bercampurnya kekuatan spritual dalam keris itu” beberapa unsur logam. Jadi pamor adalah (Haryoguritno, 2006:198). lukisan pada tosan aji yang terjadi dari campuran beberapa unsur logam yang terbentuk Pamor dalam istilah bugis disebut ure’. dengan seni tempa (Prasida Wibawa, 2008: 14). Ure’ secara etimologi berarti “urat” (Ubbe,dkk. Kata pamor dapat berarti bahan pencampur 2011: 92-93). Ure’ dalam bentuk pamor kawali yang digunakan dalam pembuatan keris, dapat tampak seperti guratan-guratan kasar juga berarti teknik tempa lapisan pamor dan membentuk garis lurus, lengkung, ataupun juga bisa diartikan ‘jenis pola’ yang tampak menyudut. Bentuk-bentuk pamor pada bilah pada permukaan bilah keris (Haryoguritno, kawali yang sekarang merupakan tiruan-tiruan 2006:87) bentuk yang pernah diciptakan oleh panre Pamor dalam tosan aji menempati fungsi sebelumnya. Dharsono menyebut hal ini fisik sebagai tulang dari senjata atau tosan aji sebagai karya sanggit, yaitu bentuk reproduksi kemudian besi sebagai bahan pengikat, dengan inovasi garap dengan mengacu pada sementara baja merupakan penajam bilah. konsep revitalisasi (Dharsono, 2015:100). Selain sebagai tulang dari senjata, pamor juga Karya-karya kawali yang dibuat sekarang tetap sebagai motif hiasan tosan aji dan juga sebagai mengacu pada karya lama oleh karena dianggap hiasan dan fungsi simbol metafisis (Zazuli, sudah baku dan tidak perlu dirubah lagi. 2004:15). Pamor sengaja ditambahkan sebagai Pamor pada kawali pada umumnya lebih ornamen yang melekat pada bilah keris ataupun banyak berupa pamor-pamor yang tergolong jenis tosan aji lainnya. Sebagai produk pamor tiban atau tanpa direkayasa (ure’ tuo). kesenian, ornamen juga merupakan produk Yang berpamor rekan (ure a’kebbureng) relatif budaya. Ornamen merupakan ekspresi gagasan, lebih sedikit. Ure’ tuo pada kawali yang paling sikap dan perilaku masyarakat. Sebagai sistem banyak dan populer adalah pamor tebba jampu, budaya ornamen merupakan model untuk dan pamor balo pakke. Sedangkan jenis ure’ berperilaku, ornamen mengusun pesan-pesan a’kebbureng yang biasa dijumpai adalah teknik sosial, moral, religi dan bahkan politis. Sebagai pamor rekan miring (ure’ tapping) dan pamor model dari perilaku, ekspresi ornamen bersifat rekan puntiran (ure’ kurissi), misalnya pamor khas berdasar pada eko-budaya, sosio-budaya, maddaung ase, pamor gemme silampa, pamor dan religio-budaya masyarakat pemiliknya. kurissi daun kaluku, dan lain sebagainya. Oleh karena itu ekspresi ornamen disuatu 1. Pamor tiban (Ure’ Tuo) daerah berbeda dengan daerah lain berbeda pula Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27 23

Ure’ tuo yaitu teknik dasar pembuatan pola dijadikan sebagai indikasi bahwa kawali itu pamor dengan cara penempa tanpa maksud memiliki kualitas yang baik. Yang termasuk membuat pola tertentu, cukup apa saja jadinya ure’ tuo pada kawali memiliki motif seperti saja, hampir tanpa rekayasa. Hasil akhir belahan kayu jambu (tebba jampu) dan belang pamornya non-figuratif atau tanpa pola. Bagi tokek (balo pakke). Andi Ancu menambahkan masyarakat Bugis tidak mengenal istilah bahwa pamor “batu” merupakan pamor yang “pamor tiban”, akan tetapi lebih mengenal pertama dibuat oleh para panre terdahulu, istilah ure’ tuo (pamor hidup). Ure’ dalam karena langsung mengolah biji besi dari batu. istilah lokal berarti akar, yang menurut mereka Kemudian disusul dengan penemuan pamor bahwa pada hakikatnya besi itu memiliki ure’ dato’-dato’, balo pakke dan tebba jampu (akar) seperti pohon. Orang-orang Bugis sangat (wawancara 1 Agustus 2018). menyukai bahkan mencari kawali “makkure”. 2. Pamor rekan (ure’ ebbureng) Motif pamor pada kawali tidak dapat ditentukan Pamor rekan dalam istilah Bugis disebut oleh panre akan tetapi ditentukan oleh “Api sebagai ure’ akke’bu-kebbureng atau ebbureng Dewata” (Andi Basri, wawancara Agustus berarti sesuatu yang dibuat-buat atau dirancang. 2018). “Api Dewata” dalam hal ini adalah Ure’ ebbureng merupakan pamor yang kehendak Yang Maha Kuasa, sehingga tempaan sebelumnya direkayasa, sehingga menghasilkan oleh api dewata dianggap sebagai were dari motif sesuai dengan yang diinginkan, biasanya Allah SWT yang wajib disyukuri. Were menghasilkan motif figuratif. Pamor rekayasa merupakan pandangan hidup orang Bugis yang merupakan penguasaan atau keterampilan mengatakan bahwa resopa temmangingi pencampuran logam yang dapat dikontrol, malomo naletei pammase dewata (hanya keterampilan ini ditemukan oleh panre/mpu dengan keras tanpa putus asa yang akan berdasarkan pengalamannya dalam membuat memperoleh hidayah Dewata). Paseng tersebut pamor tiban sehingga timbullah ide untuk merupakan dasar pengharapan dan semangat membuat motif tertentu pada bilah pusaka kerja orang-orang Bugis dalam mengarungi (Andi Ancu, wawancara 1 Agustus 2018). kehidupan ini. Pembuatan ure’ ebbureng banyak dilakukan Lebih lanjut dikatakan oleh Andi Basri ketika We Tadangpali berhasil sembuh dari bahwa pamor khas pada kawali yang tergolong penyakit yang dideritanya, jadi sebagai bentuk tiban, yaitu pamor balo pakke dan tebba jampu” kegembiraan atas kesembuhan itu maka (wawancara 2 Juni 2018). Hal serupa juga dibuatlah pusaka-pusaka yang tampilannya dipertegas oleh Andi Darwis bahwa cantik termasuk pamornya, sebagaimana “...namo maga gellona pamoro’na kecantikan We Tadangpali (Andi Basri, kawalie narekko degaga pamoro tuo na, wawancara 2 Agustus 2018). padai bessi biasa. Iyaro riyaseng E Data tersebut bersumber dari cerita pamoro tuo mattebba pada jampue mitologi tentang putri Datu Luwu yang dibuang pamoro’na mapute pada salaka e, iyatosi karena penyakit yang dideritanya. Sementara ise’na ure tuo mapute pada jarung ko jika menelusuri perkembangan kerajaan Luwu, pallawangenna baja’e na bessi laloe. ditemukan adanya hubungan dengan kerajaan (sebagus apapun pamor kawali jika tidak Majapahit secara intensif sebagai penyuplai mempunyai pamor hidup maka sama saja besi dan bahan pamor untuk membuat senjata dengan besi biasa, yang dimaksud atau tosan aji. Hubungan ini kemudian lebih dengan pamoro tuo motifnya seperti diperkuat dengan menjaling hubungan keluarga pohon jambu dan warnanya putih seperti antar kedua kerajaan dengan perkawinan. besi putih, sementara isi dari pamoro Interaksi-interaksi yang intensif dilakukan antar hidup adalah berwarna putih berserat kedua kerajaan tersebut menimbulkan yang biasa muncul di sela baja dan besi) terjadinya akulturasi budaya Jawa dan Bugis, (Andi Darwis, dalam Rustam, 2013). termasuk penyebaran pamor rekan dari Jawa. Hal ini dapat dilihat pada kawali Luwu yang Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan lebih dominan pamor rekan yang diterapkan bahwa pamor tiban pada kawali dikenal oleh pada bilah kawali. masyarakat Bugis sebagai “ure’ tuo”, berwarna “berdasarkan Nagara Kertagama dan putih seperti perak, dan kelihatan berserat sumber-sumber naskah lokal serta muncul di antara besi dan baja. Ure’ tuo toponimi yang dijumpai di Luwu, ada 23

Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019 24

dugaan kuatnya relasi antara Mahapahit dalam bentuk pamor kawali dengan dan Luwu di masa lalu. Relasi inilah yang maksud supaya pemiliknya bisa diduga menimbulkan irisan penggunaan bermanfaat dalam masyarakat. bahan baku dan teknologi dalam 3. Motif balo pakke adalah motif berupa pembuatan tosan aji di antara dua belang-belang yang menyerupai kulit kebudayaan ini. Tak hanya mengirim binatang tokek. pakke itu binatang yang bahan baku besi-nikel ke Jawa- disakralkan oleh masyarakat Bugis, karena Majapahit, namun sejumlah pandai besi memiliki kemampuan melekat yang luar dari Jawa diperkirakan bermukin di biasa. Apapun yang melekat pada kakinya kawasan Luwu menandai intensifnya akan sulit untuk dilepas, oleh karena itu interaksi antara kedua peradaban ini” pakke dijadikan sennuangen untuk (Arif dalam Saptono (ed), 2015: 37). pemikat atau daya tarik, sehingga pada zaman dahulu kawali yang berpamor balo Dalam pembuatan pamor rekayasa pada pakke hanya dimiliki oleh bangsawan bilah kawali dikenal ada tiga cara, yaitu teknik Bugis dengan harapan agar dicintai oleh lonjo’, teknik tapping, dan teknik kurissi. rakyatnya” (Kahar Wahid, wawancara 21 Teknik lonjo’ merupakan teknik penyusunan November 2015). bala-bala pamor dengan posisi sejajar dengan 4. Motif pesse’ pelleng adalah motif inti baja. Teknik tapping merupakan melingkar di bagian tengahnya yang mirip penyusunan bala-bala pamor dengan posisi bekas sidik jari, motif tersebut memenuhi tegak lurus terhadap inti baja. Sedangkan teknik permukaan bilah dari pangkal hingga kurissi biasa juga disebut teknik puntir yaitu ujung. Pesse pelleng adalah lampu yang teknik pembuatan pamor dengan cara memutar digunakan oleh orang-orang Bugis dulu bala-bala pamor. untuk penerangan. Dibuat dengan balutan dedak pada potongan bambu dengan cara Makna simbolik motif pamor kawali di pijit-pijit dengan jari-jari (ripesse’- pesse). Jika pesse pelleng diterapkan pada Estetika nusantara selalu berkaitan dengan kawali sebagai bentuk motif, maka itu nilai tontonan (keindahan) dan nilai tuntunan berarti simbol penerangan. Karena orang- (falasafah) dan dipengaruhi oleh sugesti alam. orang Bugis dulu selalu menjadikan sennu- Motif pamor pada bilah kawali selain sebagai sennuangeng sebagai harapan (Kahar penghias pada bilahnya juga mengandung Wahid, wawancara 21 November 2015). makna filosofis yang dijadikan pedoman 5. Motif ma’daung ase adalah motif berupa masyarakat Bugis. lapisan-lapisan garis memanjang bersusun 1. Motif tebba’ jampu adalah motif pamor dari pangkal hingga ke ujung bilah. Motif berupa garis-garis tak beraturan. tebba daung ase merupakan simbol kesuburan. jampu itu merupakan simbol kekuatan Padi (ase) bagi masyarakat Bugis adalah sebagaimana kuatnya kayu jambu. Bentuk- simbol kehidupan dan kesejahteraan. bentuk pada jambu diterapkan dalam 6. Motif mata tedong adalah motif berbentuk bentuk pamor kawali karena batang jambu spiral yang direpetisi dari pangkal hingga biji memiliki karakter yang nampak pada ujung bilah. Tedong melambangkan kulitnya. Kulitnya pun memiliki karakter kesabaran dan keuletan dalam bekerja, khas yaitu apabila kulitnya lepas maka serta simbol kesuburan. Dalam hal ini, akan muncul lagi kulit yang baru” pamor bermotif mata tedong sebagai (wawancara 21 November 2015). sennuangeng (makna simbolik) bahwa 2. Motif ma’dato’-dato adalah motif berupa pemilik kawali tersebut diharapkan gumpalan-gumpalan menyerupai dato- memiliki sifat sabar, pekerja keras, dan dato atau awan yang hampir memenuhi patuh pada aturan atau panggadereng, baik permukaan bilah motif. Pamor dato’- dia sebagai pemimpin dalam keluarga dato’/ awan yang ada pada bilah kawali maupun sebagai orang yang dipimpin merupakan simbol pengharapan akan dalam masyarakat. Ajaran ini juga dapat datangnya berkah dari langit sehingga ditemukan dalam paseng to riolo bahwa kehidupan akan terus berlanjut. Sehingga “resopa temmanginngi, namatinulu, harapan-harapan itu pun diaplikasikan malomo naletei pammase Dewata” (hanya Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27 25

dengan kerja keras, tanpa putus asa, akan majang digunakan untuk memandikan memperoleh hidayah yang maha kuasa). mayat 7. Motif sikadoi adalah motif berupa garis 11. Motif daung alosi (daun pinang) adalah lengkung yang saling berhadapan. Dalam motif berupa lapisan-lapisan garis diagonal bahasa Bugis, “sikadoi” diartikan “saling berkelompok. Karakteristik daung pinang menganguk”. Saling mengangguk berarti adalah ruas daun yang naik dan turun saling menyetujui. “...sikadoi itu berarti secara berselang-seling (atas-bawah) yang dua orang atau lebih yang kado’ atau saling maknanya sama dengan pepatah Bugis menyetujui. Biasanya orang Bugis yang mengatakan “siselle-selle muto aje menggunakan kawali yang berpamor “ure we lo riolo” (kaki itu bergantian maju sikadoi” untuk pergi melamar dengan mundur ke depan dan belakang). Hal itu harapan agar lamarannya diterima” (Kahar bermakna saling tolong menolong, karena Wahid, wawancara 21 November 2015). manusia sebagai mahluk sosial tetap 8. Motif gamacca adalah motif utama berupa membutuhkan bantuan dari orang lain. garis zigzag dengan pola berderet ke ujung Selain itu juga bermakna rebba sipaoto’i, bilah dengan bentuk dasar segitiga malilu sipakainge, mali siparappe (jatuh bersusun timbal balik. Gamacca’ dalam saling membangungkan, khilaf saling bahasa Bugis berarti anyaman bambu. mengingatkan dan hanyut saling meraih) Dalam arsitektur rumah Bugis gamacca’ artinya saling mengingatkan dalam sering digunakan sebagai dinding kebaikan dan tidak egois dalam segala hal. (pelindung). Sementara dalam ritual-ritual 12. Motif mattulu tellu, merupakan motif yang religi, gamacca’ merupakan bahan dari mirip bentuk “bunga majang” tapi ukuran pembuatan walasuji, sehingga sebagian lebih kecil, memanjang dan tersusun masyarakat juga menyebutnya sebagai sebanyak tiga buah yang oleh masyarakat ure’ walasuji Bugis disebut dengan ure’ mattulu tellu 9. Motif ma’daung kaluku adalah motif (pamor pilin tiga tali). Tulu (tali) sering pamor dengan bentuk garis-garis rapat dihubungkan dengan ikatan yang dengan arah diagonal yang bertemu pada bermakna ketegasan yang harus dimiliki bagian tengah bilah. Daun kelapa itu oleh seorang laki-laki Bugis. Jumlah tiga merupakan simbol kebersamaan tali disini bermakna simbol ketegasan (assiolompolongeng), karena daun-daun dalam tiga hal, yaitu “aga mupikkiriki iya kelapa yang banyak itu semua tonaro mu pau, aga pura mu pau iya berpegangan pada ruasnya. Itulah yang tonaro mujama” (apa yang kamu pikirkan dijadikan simbol oleh orang-orang Bugis itu yang kamu ucapkan itu juga yang kamu untuk terus menjaga tali persaudaraan lakukan). Pepatah tersebut merupakan sebagaimana daun-daun kelapa tidak jatuh ungkapan ketegasan yang mengandung atau lepas dari ruasnya” (Kahar Wahid, pesan supaya pikiran, perkataan dan wawancara November 2015). perbuatan itu sejalan. 10. Motif bunga majang adalah motif segi 13. Motif boting cala’ adalah motif berupa empat yang setiap sisinya melengkung ke guratan berbentuk huruf “S”. Jacob dalam sehingga menyerupai bintang segi Sumardjo menyebut motif seperti itu empat. Dalam kehidupan sehari-hari orang dengan “pola dua berbalikan”. Motif huruf Bugis, bunga majang merupakan hal yang “S” adalah motif paling tua di , paling penting terutama dalam upacara karena motif tersebut telah ada pada zaman daur hidup, yaitu kelahiran, pernikahan prasejarah (Sumardjo, 2010:223). Lebih dan kematian. Pada acara tersebut bunga lanjut, Jacob Sumardjo mengatakan bahwa majang selalu dihadirkan sebagai motif huruf “S” atau huruf “S” terbalik ini, pelengkap upacara ritual. Pada upacara simbol dari bentuk paradoks laki- aqiqah (maccera’ ana’), bunga majang perempuan yang bermakna jamak. “boting dihadirkan sesaat setelah sang anak lahir, cala”, secara harpiah “boting” berarti sementara dalam acara pernikahan menikah, atau pernikahan antara laki-laki (ma’pabbotting), bunga majang digunakan dan perempuan atau gabungan dari dua untuk air mandi calon penganting, dan unsur yang berbeda. sedangkan “cala” pada saat upacara kematian pun bunga dalam masyarakat Bugis berarti laki-laki 25

Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019 26

palsu (calalai), laki-laki yang berwatak Simpulan seperti perempuan atau perempuan palsu (calabai). Jadi “boting cala” berarti dua Kawali merupakan wujud kebudayaan watak yang berbeda, yaitu laki-laki dan masyarakat Bugis. Setiap elemen-elemen perempuan, hal ini sejalan dengan kawali menggambarkan nilai-nilai kebudayaan penjelasan Jacob Sumardjo di atas. “boting Bugis. Pangulu menggambarkan cala” menunjukkan dua pola atau watak kepemimpinan orang Bugis yang tegas. Wanoa yang berbeda akan tetapi saling memenuhi. dianggap sebagai wilayah tempat pemimpin Karena manusia itu dualistik, yakni mengatur masyarakatnya. Bilah merupakan merupakan pasangan kembar yang saling bagian paling pokok karena di dalamnya bertentangan tetapi komplementer, maka terdapat pamor yang menggambarkan nilai- dua alam yang lain juga demikian. Inilah nilai falsafah orang Bugis. pamor kawali sebabnya simbol lelaki dan perempuan menggambarkan nilai kehidupan yang ideal amat domian (Sumardjo, 2010:234). yaitu kekayaan (abbaramparangeng), 14. Motif lataring tellu adalah motif berupa kepemimpinan dan kemuliaan (arajangeng), bulatan kecil berjumlah tiga yang terletak keselamatan (asalamakeng), kelaki-lakian pada pangkal bilah. Lataring tellu sering (arowanengeng), kerukunan dalam rumah dihubungkan oleh masyarakat dengan cita- tangga (alaibinengeng). Kelima point utama cita kesatuan antara tiga kerajaan besar tersebut merupakan faktor yang paling Bugis Bone, Soppeng dan Wajo, yang menentukan siri’ (harga diri dan kehormatan) menyatukan diri melalui perjanjian tellung seseorang, karena bagi orang Bugis, siri’ poccoe (tiga puncak: Bone, Soppeng dan merupakan ideologi tertinggi yang dipegang Wajo) untuk membebaskan diri dari teguh oleh semua etnis di Sulawesi Selatan, kekuasaan Gowa dan VOC (Ubbe, khususnya Bugis. sehingga mereka mengatakan 2011:102). Hal tersebut dipertegas oleh siri’ e mi riongroang lino, hanya karena siri’ Kahar Wahid, bahwa “angka tiga dalam kita hidup di dunia. kepercayaan orang Bugis merupakan simbol kekuatan. Sebagaimana kaki meja Daftar Pustaka yang berjumlah tiga, kesemua kakinya Arif, Ahmad. Besi Luwu, Pasang Surut menopang, tidak ada kaki yang istirahat” Metalurgi Nusantara, dalam Hariadi (wawancara 21 November 2015). Saptono (ed). Keris dan Senjata 15. Motif taiganja adalah stilisasi kelamin Pusaka Bahari. Jakarta: Bentara perempuan (Ubbe, 2011:328). Menurut Budaya Jakarta, 2015, hlm. 31-50. Jacob Sumardjo, motif seperti itu merupakan motif pilin berganda atau Dharsono, Estetika Nusantara. Surakarta: pengembangan dari motif dasarnya Institut Seni Indonesia Surakarta, berbentuk huruf “S” (2010:225). Namun 2015. pada motif taiganja, pengulangan bentuk “S” dibuat dengan saling membelakangi. Dray Vibrianto, “Kawali Tanah Bugis” dalam Motif taiganja merupakan gabungan dari Ubbe, Ahmad. Pamor dan Landasan simbol laki-laki dan perempuan (simbol Spiritual Senjata Bugis. Jakarta, dualistik). Sehingga disebut juga dengan Gramedia Pustaka Utama, 2011. simbol paradoks. Gabungan dari laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Bugis Ewa, Tenri. Pamor Senjata Pusaka Sulawesi disebut dengan “cala” (lihat pembahasan Selatan Dan Maknanya”, Makassar: mengenai simbol “boting cala”), yaitu Penerbit Buku.com, 2014. manusia bissu, yang dikenal dengan manusia kebal. Simbol tersebut sama Guntur. Studi Ornamen, sebuah pengantar, maknanya dengan simbol huruf “S” cetakan I. Surakarta: STSI Press, (boting cala) pada pembahasan 2004. sebelumnya, yaitu sebagai tula’ bala. Hamid, Senjata Tradisional Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1990. Satriadi, Bentuk, Fungsi, Dan Makna Pamor Senjata Kawali Dalam Masyarakat Bugis, hlm. 12-27 27

Zazuli, Achmad. Pamor Eksotik Tosan Aji. Hamzuri. Keris. Jakarta: Djambatan, 1988. Solo: CV. Aneka, 2004.

Harsrinuksmo, Ensiklopedi Keris. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2011.

Haryoguritno, Haryono. Keris Jawa, Antara Mistik dan Nalar. Jakarta: PT Indonesia Kebanggaanku, 2006.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1986.

Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar: Hasanuddin University Press, 1995. Mattulada, Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makasar: Hasanuddin University Press, 1998.

Pabittei, Badik Sulawesi Selatan. Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sulawesi Selatan, 1994.

Palloge, Sejarah Kerajaan Tanah Bone. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Selatan. 1990.

Pelras, Christian. Manusia Bugis. Terj. Abdul Rahman Abu, Hasriadi dan Nurhady Simorok. Forum Jakarta-Paris, Ecole Francais D’extreme-Orient. Jakarta: Nalar, 2006.

Rustan. “Kawali, Identitas Laki-Laki Bugis” Skripsi S1 Karya Film Dokumenter, Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 2013.

Sumardjo, Jakob. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu, 2006.

Satriadi, 2016. Kawali dalam masyarakat Bugis (tesis) . Surakarta: ISI Surakarta.

Ubbe, Ahmad, Andi M. Irwan Zulfikar dan Dray Febriyanto Senewe. Pamor dan Landasan Spiritual Senjata Bugis. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2011.

27

Jurnal Pakarena, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019 28