Bung Karno Sahabatku

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Bung Karno Sahabatku Bung Karno Sahabatku Willem Oltmans bron Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 2001 Zie voor verantwoording: http://www.dbnl.org/tekst/oltm003bung01_01/colofon.php © 2015 dbnl / erven Willem Oltmans v Untuk Putra Putri Bung Karno Guntur, Megawati, Rahmawati, Sukmawati, Guruh, Taufan, Baju dan Karina Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku vi Kata Pengantar Ternyata bukan hanya H.J.C. Princen yang mengalami tindakan pahit dari pemerintah dan sebagai masyarakat Belanda berkenaan dengan keberpihakan kepada kemerdekaan Republik Indonesia. Aoh K. Hadimadja dalam bukunya ‘Manusia dan Tanahnya’ merangkaikan proses keberpihakan Princen, waktu itu serdadu K.L. Belanda, yang kemudian menerima Bintang Gerilya R.I. kepada bangsa Indonesia yang merebut kemerdekaanya. Pongky begitu disapa sahabat-sahabatnya, sempat dianggap pengkhianat, karena menyerang, memilih berpihak kepada yang dianggapnya benar. Ia tahu betapa beratnya dianggap sebagai disertir. Tapi seperti dikatakan dalam bukunya ‘Iedereen is vrij om te kiezen’ setiap orang berhak untuk memilih. Bayaran yang ia terima, bukan saja dirinya yang diancam, tapi juga faimilinya di negerinya. Sekarang dari buku harian yang dirawat sejak remaja, Willem Oltmans, wartawan Belanda yang semula tidak tahu apa-apa tentang negeri dan perjuangan bangsa kita, sejak Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku vii bertemu dengan Presiden Soekarno di bulan Juni 1956, secara terhitung cepat ia menjadi sahabat Presiden R.I. Pertama, dan malahan menjadi -- seperti dirasakan sendiri -- sahabat karibnya, kemudian digambarkan di dalam buku ini. Maka bayaran yang ia terima dari penguasa di tanah airnya ditutup pintu untuk bisa bekerja, dipersona-non-gratakan,terpaksa harus pindah ke negeri orang. Tidak ubahnya ia dianggap seperti berpenyakit sampar. Pada tahun 1952/1953 saya pernah menemui orang tua Princen di tempat tinggalnya di Belanda, sewaktu Pongky dalam keadaan diancam oleh pihak berkuasa di Den Haag, karena hati nuraninya berbicara. Waktu itu saya merasa tidak berbuat salah menemui orang tua Princen. Tetapi kemudian, setelah orang lain berbisik tentang bahaya yang bisa menimpa saya, barulah bulu kuduk saya berdiri. Saya bisa membayangkan betapa resah atau gemasnya perasaan Oltmans waktu ia diteror oleh para penguasa dengan aparatnya di tanah airnya sendiri semata karena ia berpihak kepada Bung Karno, pemimpin bangsa yang melawan penjajahan Belanda, yang dianggapnya patut didekati dan diajak bicara untuk mengenal yang sebenarnya, bukan diancam dan dianggap musuh bebuyutan. Kalimat pertama sebagai pembukaan bukunya yang ditujukan kepada orang-orang Belanda, Willem Oltmans menggebrak pembaca dengan, ‘Menulis buku tentang Presiden Soekarno, musuh bebuyutan kita (kita di sini adalah masyarakat Belanda) yang nomor satu, tetap merupakan petualangan yang berbahaya biar pun seratus tahun sejak kelahirannya dan seperempat abad setelah kematiannya’. Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku viii Jadi, Oltmans sadar benar ia melawan arus, ingin mendobrak sesuatu yang sudah berdiri berakar kukuh. Sebab ia merasa telah menemukan yang lain yang sudah melekat di kepala banyak orang. Dan ia yakin, bahwa penemuannya itu: diri Soekarno yang sebenarnya. Benar Soekarno adalah yang melawan. Melawan imperialisme Belanda, tetapi ia bukan musuh orang Belanda. Buktinya, Bung Karno bisa menerima dirinya, Oltmans, dengan baik dan ramah, dan dapat jadi sahabat Belanda jika Belanda bersikap lain dari yang sudah dijalankannya. Kebodohan dan keangkuhan Belanda (waktu itu: sejak Proklamasi R.I. sampai dengan penyelesaian Irian Barat) dinilai Oltmans sebagai kesalahan besar Belanda dalam memasuki zaman baru sesudah Perang Dunia ke-2. *** Di Amerika, tempat ia berhijrah, Oltmans bertemu dengan Wakil tetap Indonesia di PBB Ali Sastroamidjojo, yang menceritakan bahwa ia pernah menyarankan kepada Bung Karno, agar ada orang yang menulis buku tentang dirinya (Bung Karno). Kepada Oltmans Ali Sastroamidjojo memberikan sugesti. Agar Oltmans menulis buku tentang Bung Karno bersama seorang penulis Indonesia, yang ditunjuknya Sitor Situmorang. Sitor sendiri berkata, kemungkinan besar benar Ali Sastroamidjojo menyebut dirinya untuk penulisan buku tentang Bung Karno; ia percaya. Tapi hal itu tidak sampai terlaksana disebabkan waktu saja yang jadi penghalangnnya. Cindy Adam yang kemudian menulis memoir Bung Karno. Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku ix Kata-kata yang seperti anjuran Ali Sastroamidjojo kepada Oltmans ternyata jadi obsesi bagi wartawan ini, dan pada bulan Agustus 1995 rampunglah tulisan mengenai pengalamannya dengan Bung Karno itu, berupa buku yang dihidangkan sekarang di Indonesia dalam bentuk terjemahan. *** Oltmans sebenarnya mendapat didikan diplomatik dan pernah menjalankan dinas itu. Tetapi ia terpikat oleh lapangan lain, yakni dunia jurnalistik, karena faktanya sendiri wartawan termasuk jenis pengamat yang mengutamakan kebebasan berpolitik dan membawanya ke dalam praktek. Akibat alasan itulah pada tahun 1948 ia keluar dari kedinasannya sebagai diplomat. Saya tidak berbakat menjadi diplomat dengan segala pernak-pernik penipuan yang selalu menyertainya’, katanya. Oltmans mengutip pendapat diplomat Inggris Henry Watton yang mengingatkan diplomat dikirim ke luar negeri untuk berbohong demi negaranya, ia malahan dianggap sebagai pengkhianat. Dan diulangnya sendiri itu karena ia bersahabat dengan Bung Karno’. *** Sejak pertamuannya pertama kali dengan Bung Karno pada tahun 1956 dan kemudia ia merasa tertarik untuk mengenal dengan benar pemimpin Indonesia itu, sementara tulisan-tulisannya disisihkan oleh banyak pemimpin redaksi yang bekerjasama dengan pusat pemerintahan di Den Haag. Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku x Oltmans mencari kesempatan dan mendapatkan sehingga ia berkali-kali meliput aktivitas Presiden Soekarno, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dengan begitu ia bisa menangkap kejadian-kejadian penting yang berkenaan dengan Indonesia dan buah pikiran pemimpinnya waktu itu: sengketa Irian Barat, persoalan daerah yang melahirkan PRRI, Permesta, ‘Demokrasi Terpimpin’, sampai terjadinya tragedi nasional G-30-S PKI ‘To Build The World a News’ dan meninggal sahabatnya yang amat dihargai: Bung Karno. Dengan naluri kewartawanannya ia membuat catatan-catatan, dan menuliskan laporan-laporannya. Mengetahui bahwa banyak tulisannya disisihkan dari meja-meja redaksi, tambah sengit ia bekerja melawa arus informasi yang direkayasa oleh pihak yang berkuasa di Den Haag. Mengikuti Bung Karno berulang kali berpidato, Oltmans tidak merahasiakan, ia kadang-kadang tersentuh hatinya karena kata-kata yang dipakai oleh Bung Karno waktu itu. Ia mencatat ‘Kadang-kadang Bung Karno dihanyutkan oleh gaya pidatonya sendiri dengan cara yang tidak dapat saya terima, walaupun secara garis besar ia benar. Saya mengeluhkan perasaan sesak di hati saya ini kepada Wim Latumeten, petugas di Kementerian Penerangan RI waktu itu atau Piet Van Bel yang mengerti keadaan saya dan mereka berkata: Orang tua itu memang manusia juga’. Waktu terjadi sengketa mengenai Irian Barat, di Amerika Oltmans giat membantu pihak R.I. Bukan saja karena ia bersahabat dengan Bung Karno dan mengerti jalan pikirannya, melainkan juga karena Oltmans mengharapkan hubungan In- Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku xi donesia dengan Belanda janganlah sampai patah arang seperti apa yang pernah terjadi. Ia, dalam bukunya ini, menggambarkan bagaimana langkah-langkah usahanya turut serta menyelesaikan soal sengketa Indonesia-Belanda waktu itu. Yusuf Ronodipuro, yang ada disebut di dalam buku ini, mengatakan benar Oltmans telah berjasa bagi R.I, sedikitnya ada jasanya sampai ia melakukan lobby di kongres dan ikut bergerak di sidang-sidang PBB, turut serta di pihak R.I. memperjuangkan Irian Barat. Membaca buku ini bisa-bisa kita menjadi ngeri, karena tergambar orang-orang CIA dan mereka yang dibayarnya gentayangan di mana-mana. Dan Oltmans tidak bertedeng aling-aling menyebut sejumlah nama orang yang berperan sebagai CIA dan yang bekerjasama dengannya, termasuk orang-orang Indonesia. Bisa jadi orang Indonesia yang dituduh Oltmans dan masih hidup pada waktu ini dan membaca buku ini akan bereaksi. Tetapi Oltmans mungkin tidak akan menjilat ludahnya. *** Membaca bagian-bagian ini yang tersebar di pelbagai halaman, boleh jadi kita akan dihinggapi perasaan, betapa tidak amannya di sekeliling kita karena banyaknya agen-agen dan mata-mataku. Ngeri juga kita dibuatnya. Tapi yang pasti, mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan patut selalu waspada, sadar betapa banyaknya bahaya yang ada di seputar mereka. Maka yang dicatat oleh Oltmans hendaknya menjadi lampu kuning bagi kita, terutama bagi mereka yang tahu Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku xii banyak dan sering berhubungan dengan pusat-pusat politik, supaya bersikap hati-hati. Banyak tokoh politik dan tentara, juga pembantu-pembantu Presiden Soekarno disebut oleh Oltmans, sampai perawat pakaian Bung Karno, Tukimin waktu itu diabaikan di dalam buku ini. Barangkali sebagian besar dari mereka yang disebut Oltmans ini sudah tiada. Dan mereka yang masih ada pun mungkin masih akan mengerutkan keningnya, berpikir kembali, apa benar ia bersikap dan berkata seperti yang dituliskan Oltmans. Maklumlah jarak waktu menyebabkan kita bisa lupa akan apa yang sudah pernah kita perbuat atau ucapkan tetapi Oltmans telah bekerja untuk penulisan buku ini dengan mempergunakan 800 buah buku harian dan catatan yang sempat disimpanya di Koninklijke Bibliotheek di Den Haag, hal yang membelalakkan mata saya yang jauh dari pandai menyimpan dokumen.
Recommended publications
  • Surrealist Painting in Yogyakarta Martinus Dwi Marianto University of Wollongong
    University of Wollongong Research Online University of Wollongong Thesis Collection University of Wollongong Thesis Collections 1995 Surrealist painting in Yogyakarta Martinus Dwi Marianto University of Wollongong Recommended Citation Marianto, Martinus Dwi, Surrealist painting in Yogyakarta, Doctor of Philosophy thesis, Faculty of Creative Arts, University of Wollongong, 1995. http://ro.uow.edu.au/theses/1757 Research Online is the open access institutional repository for the University of Wollongong. For further information contact the UOW Library: [email protected] SURREALIST PAINTING IN YOGYAKARTA A thesis submitted in fulfilment of the requirements for the award of the degree DOCTOR OF PHILOSOPHY from UNIVERSITY OF WOLLONGONG by MARTINUS DWI MARIANTO B.F.A (STSRI 'ASRT, Yogyakarta) M.F.A. (Rhode Island School of Design, USA) FACULTY OF CREATIVE ARTS 1995 CERTIFICATION I certify that this work has not been submitted for a degree to any other university or institution and, to the best of my knowledge and belief, contains no material previously published or written by any other person, except where due reference has been made in the text. Martinus Dwi Marianto July 1995 ABSTRACT Surrealist painting flourished in Yogyakarta around the middle of the 1980s to early 1990s. It became popular amongst art students in Yogyakarta, and formed a significant style of painting which generally is characterised by the use of casual juxtapositions of disparate ideas and subjects resulting in absurd, startling, and sometimes disturbing images. In this thesis, Yogyakartan Surrealism is seen as the expression in painting of various social, cultural, and economic developments taking place rapidly and simultaneously in Yogyakarta's urban landscape.
    [Show full text]
  • Panduan Peserta PKKMB FIP UM
    PANDUAN PESERTA PENGENALAN KEHIDUPAN KAMPUS BAGI MAHASISWA BARU FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI MALANG TAHUN 2019 Dibuat oleh : Team Chief Of Operation (COO) PKKMB “LASKAR API MUDA” FIP BEM FIP UM 2019 PKKMB FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI MALANG 2019 A. LATAR BELAKANG Dalam rangka menyiapkan mahasiswa baru melewati proses transisi menjadi mahasiswa yang dewasa dan mandiri, serta mempercepat proses adaptasi mahasiswa dengan lingkungan yang baru dan memberikan bekal untuk keberhasilannya menempuh pendidikan di perguruan tinggi maka dilakukan Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Masa ini dapat dijadikan titik tolak inisiasi pembinaan idealisme, menanamkan dan memperkuat rasa cinta tanah air, dan kepedulian terhadap lingkungan, juga dalam rangka menciptakan generasi yang berkarakter religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, memiliki kejujuran, kepedulian, tanggung jawab, dan berintegritas serta memiliki kedisiplinan dalam kehidupan di kampus dan masyarakat. Dengan kata lain melalui PKKMB kita ingin memberikan bekal awal agar mahasiswa kelak akan menjadi alumni perguruan tinggi yang memiliki kedalaman ilmu, keluhuran ahlak, cinta tanah air dan berdaya saing global. PKKMB harus direncanakan secara matang agar dapat dijadikan momentum bagi mahasiswa baru untuk mendapat informasi yang tepat mengenai sistem pendidikan di perguruan tinggi baik bidang akademik maupun non-akademik. PKKMB juga diharapkan dapat menjadi penyadaran akan adanya hal-hal yang dapat menghambat studi mahasiswa baru termasuk bisa menghambat pencapaian tujuan nasional misalnya masalah radikalisme, terorisme, penyalahgunaan narkoba, plagiarisme, korupsi dan lainnya. Selain itu PKKMB juga diharapkan merupakan ajang penyadaran akan pentingnya pemahaman tentang globalisasi dan revolusi industri 4.0 yang menuntut mahasiswa untuk menjadi orang-orang yang menghayati dan memiliki literasi data, literasi teknologi dan literasi kemanusiaan serta kesiapan untuk penguasaan kompetensi yang diperlukan di abad 21.
    [Show full text]
  • Policy Implementation of the Elimination on Child Labor: Could Indonesia Be Achieve of Free Child Labor in 2022?
    WSEAS TRANSACTIONS on ENVIRONMENT and DEVELOPMENT Gunarto, Hardi Warsono, DOI: 10.37394/232015.2021.17.40 Kismartini, Retno Sunu Astuti Policy Implementation of the Elimination on Child Labor: Could Indonesia Be Achieve of Free Child Labor in 2022? GUNARTO, HARDI WARSONO, KISMARTINI, RETNO SUNU ASTUTI Diponegoro University, Semarang, Indonesia Jl. Prof. Sudarto, Tembalang, Semarang, Central Java 50275 INDONESIA Abstract: - Currently it’s estimated that more than 152 million people are child laborers, around 10 percent of children worldwide. Most (71 percent) work in the agricultural sector. As many as 69 percent do unpaid work because they work in their own homes and nearly half (73 million people) work in jobs that endanger their health, safety and moral development. The objective of the paper is exploring the factors why a child of a child must work, policies in control the growth rate of child labor and finally in eliminating child labor in Indonesia. This study found the issue of child labor which involves many parties becomes a challenge for the parties to work together effectively to harmonize laws and regulations and law enforcement, expand and increase access to compulsory education and training, social protection and make effective policies to support an active labor market, and to create decent and productive jobs for adults. Moreover, coordination and synchronization between related parties in forms of social workers, government, community and stakeholders are needed. Keywords: - child labor, design implementation, national policy Received: January 31, 2021. Revised: April 19, 2021. Accepted: April 21, 2021. Published: April 27, 2021. 1 Introduction Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights, Currently in the world based on ILO reports it is article 64 states that: “Every child has the right to estimated that more than 152 million people or about obtain protection from economic exploitation 10 percent of the total age of the population of 10-17 activities and any work that endangers him so that it are included in the category of child labor.
    [Show full text]
  • Rekonsiliasi Dan Keadilan Bagi Korban Tragedi 1965
    KEADILAN BAGI YANG BERBEDA PAHAM: REKONSILIASI DAN KEADILAN BAGI KORBAN TRAGEDI 1965 Manunggal Kusuma Wardaya* Abstract Abstrak Human rights enforcement is one impro- Penegakan HAM merupakan salah satu perly-accomplished agenda in this post-1998 agenda demokratisasi yang belum sepenuh- democratisation. Severe human rights viola- nya tercapai. Pelanggaran-pelanggaran tions such as 1965 Tragedy remain obscure, HAM berat seperti Tragedi 1965 masih nonlitigation resolution (e.g. recognition and belum jelas sehingga penyelesaian nonliti- compensation) is considered the best solu- gasi (pengakuan dan kompensasi), dianggap tion. Recognition also is a form of respect to sebagai solusi yang terbaik. Pengakuan human rights and a stepping stone to resolve tersebut merupakan bentuk tanggungjawab other tragedies. untuk menghormati HAM dan menjadi batu loncatan untuk mengungkap tragedi HAM lainnya. Kata Kunci: hak asasi manusia, tragedi 1965, keadilan, pelanggaran HAM berat. A. Pendahuluan mengaturnya. Kesemua pembaruan yang Lebih dari satu dasawarsa reformasi hingga kini masih berjalan secara evolutif telah dijalani oleh bangsa Indonesia didesain secara sadar menuju tercapainya setidaknya hingga tulisan ini dibuat. Selama kehidupan bernegara dan berbangsa yang kurun waktu tersebut, berbagai perubahan demokratis-berkeadilan sosial. Pengalaman dilakukan mulai dari perombakan secara berkonstitusi tanpa internalisasi paham mendasar hukum dasar tertulis (written konstitusionalisme yang membawa berbagai constitution) Undang-undang Dasar Negara opresi dan pengingkaran hak dasar manusia Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya: membangkitkan kesadaran pada bangsa UUD 1945) hingga penataan kembali baik ini akan satu hal utama pentingnya suatu infra- maupun suprastruktur politik melalui sistem yang meniscayakan akuntabilitas perubahan berbagai piranti hukum yang dan limitasi kekuasaan negara serta jaminan * Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto (e-mail: [email protected]).
    [Show full text]
  • Jadwal Kegiatan Operasional Bank Banking Operational Schedule
    Jadwal Kegiatan Operasional Bank Banking Operational Schedule Jadwal Kegiatan operasional PT Bank HSBC Indonesia sehubungan dengan Pilkada Serentak tahun 2018: PT Bank HSBC Indonesia operational schedule during District Election 2018 holiday: Hari & tanggal Keterangan Day & date Remarks Transaksi kliring berjalan seperti biasa Clearing will operate in regular basis Kantor cabang kami beroperasi secara terbatas di cabang-cabang berikut ini: Our branch offices are will be in limited operation on the following branches: - WTC Sudirman - Yogyakarta Mangkubumi - Kopi - Kudus Ahmad Yani - Melawai - Solo Suryopranoto - Kelapa Gading KGD - Bandung Asia Afrika - Bogor Pengadilan - Makassar Sudirohusodo Rabu, 27 Juni 2018 - Medan Graha Merah Putih - Manado Pierre Tendean Wednesday, 27 June 2018 - Medan Diponegoro - Pontianak Juanda - Medan Center Point - Samarinda Imam Bonjol - Pekanbaru Sudirman - Cirebon Yos Sudarso - Batam Raden Patah - Lampung Teluk Betung - Surabaya Raya Darmo - Palembang Basra - Surabaya Manyar - Pangkal Pinang Sudirman - Malang Pasar Besar - Banjarmasin Ahmad Yani - Semarang Wisma HSBC - Balikpapan Sudirman - Denpasar - Jambi - Purwokerto Seluruh kantor cabang kami kembali beroperasi seperti biasa Our branch offices will operate normally Kamis, 28 Juni 2018 Transaksi perbankan berjalan seperti biasa Thursday, 28 June 2018 Transaction will operate normally Layanan perbankan kami tersedia melalui HSBC Phone Banking, HSBC Internet Banking, HSBC Mobile Banking, dan ATM HSBC – termasuk di jaringan ATM Bersama, ATM Prima dan ATM Plus. Our banking services is available through HSBC Phone Banking, HSBC Internet Banking, HSBC Mobile Banking and HSBC ATM Services – including access to ATM Bersama, ATM Prima and ATM Plus network. Untuk keterangan lebih lanjut, nasabah perorangan dapat menghubungi Call Center kami di (+6221) 5291 4722 atau 64722 melalui telepon genggam.
    [Show full text]
  • Indo 13 0 1107127212 183
    DIVISIONS AND POWER IN THE INDONESIAN NATIONAL PARTY, 1965-1966* Angus McIntyre The principal division which split the PNI into two sharply opposed factions in 1965-1966 had its origins as far back as 1957, when the PKI made spectacular advances in large part at PNI expense in the 1957 regional elections in Java and South Sumatra. In Central Java, where the PKI supplanted the PNI as the region's strongest party (based on the 1955 general elections results) , the PNI reaction at the time was most outspoken. Hadisubeno, the regional party chairman, blamed the party's poor showing on its past association with the PKI1 and accordingly urged the party's central executive council to re­ view this relationship. He suggested that the party consider forming an alliance with the Masjumi (the modernist Islamic party) and the Nahdatul Ulama (NU, the traditional Islamic party).2 A conference of the Central Java PNI passed a resolution forbidding cooperation with the PKI.3 These acts were interpreted by many as a slap at President Sukarno,** who had made it increasingly clear in the preceding months that to oppose the PKI was to oppose him as well; however, the party's central leadership, no less hostile to the PKI, was unwilling to risk such an interpretation and thereby further impair its relations with Sukarno. Indeed, only a few months before, Sukarno had indicated strong displeasure with the PNI in his address to the party on the occasion of its thirtieth anniversary celebrations. He implied that PNI members had lost their commitment to the goal of a socialist or marhaenist5 society, the realization of which had been his very reason * The writer would like to express his gratitude to the Jajasan Siswa Lokantara Indonesia for providing him with the opportunity to con- duct research in Indonesia in 1966 and 1967 and to the Myer Founda­ tion for giving him financial assistance in 1967.
    [Show full text]
  • Menapaki Jalan Konstitusional Menuju Zaken Cabinet : Ikhtiar Mewujudkan Pemerinta H Berkualitas Konstitusi
    Jurnal Hukum P-ISSN : 2615-3416 Samudra Keadilan E-ISSN : 2615-7845 Volume 15, Nomor 1, Januari-Juni 2020 MENAPAKI JALAN KONSTITUSIONAL MENUJU ZAKEN CABINET : IKHTIAR MEWUJUDKAN PEMERINTA H BERKUALITAS KONSTITUSI Novendri M. Nggilu, Fence M. Wantu Hukum Tata Negara, Fakultas HukumUniversitas Negeri Gorontalo Jl. Jendral Sudirman No. 6 Kota Gorontalo, 96271 [email protected], [email protected] Abstract, The long path of constitutional to find the government format has led to the point of choice of the presidential system with a multi-party system that is confronted with the political reality of the coalition in carrying and winning the presidential candidate. The success of an elected president in carrying out his constitutional duties going forward, one of which will be determined from the success of the president in choosing his ministers, a president who is not strong and brave, will be very vulnerable to being controlled by the support party in the coalition frame, including in terms of appointing the minister, so that it will reduce the president's prerogative rights. The purpose of this paper is to decipher the ideal cabinet fulfillment concept in order to realize a constitutional quality government. The approach used the historical and statute approach with prescriptive analysis techniques. As a result, in legally, the provisions regarding the requirements for appointment of ministers by the president still have an empty space related to the requirements for qualifications, competencies or expertise of a person in the appointment as minister. This condition is not rare causes the appointment of ministers more based on the share of "gift-vouchers" by the president to political parties as an act of returning the favor to the sweat of the party that poured during his election as president.
    [Show full text]
  • Empowering the Presidency: Interests and Perceptions in Indonesia’S Constitutional Reforms, 1999-2002
    EMPOWERING THE PRESIDENCY: INTERESTS AND PERCEPTIONS IN INDONESIA’S CONSTITUTIONAL REFORMS, 1999-2002 DISSERTATION Presented in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree Doctor of Philosophy in the Graduate School of The Ohio State University By Blair Andrew King, B.A., M.A. * * * * * The Ohio State University 2004 Dissertation Committee: Approved by Professor R. William Liddle, Adviser Professor Richard Gunther ____________________________ Adviser Professor Timothy Frye Political Science Graduate Program ABSTRACT The choice of political institutions is a critical aspect of a democratic transition. Significant amendments to the 1945 Constitution have transformed it into a more democratic framework with extensive separation of powers and checks and balances. Despite the introduction of the “difficult combination” of pure presidentialism and multipartism to Indonesia, consensual patterns of elite behavior should contribute to the further consolidation of democracy. This study examines the impact of the first four amendments on executive- legislative relations and presidential power. The use of the 1945 Constitution by two authoritarian regimes for four decades gave rise to the perception that it inevitably created a dominant presidency. Thus Indonesian political elites set out in 1999 to curtail presidential power. Paradoxically, by the end of the process three years later they created a comparatively very powerful president, primarily due to the introduction of direct election and the narrowing of the grounds for impeachment. In addition, although the president’s residual powers have been restricted, only slight reductions were made in her specific powers. This study utilizes concepts from political economy and political psychology to analyze the struggle between two broad camps in the constituent assembly (MPR): conservatives, led by Megawati Soekarnoputri and her Indonesian Democracy ii Party-Struggle (PDI-P) and progressives from most of the other major political parties.
    [Show full text]
  • Research Study
    *. APPROVED FOR RELEASE DATE:.( mY 2007 I, Research Study liWOlVEXZ4-1965 neCoup That Batkfired December 1968- i i ! This publication is prepared for tbe w of US. Cavernmeat officials. The formaf coverage urd contents of tbe puti+tim are designed to meet the specific requirements of those u~n.US. Covernment offids may obtain additional copies of this document directly or through liaison hl from the Cend InteIIigencx Agency. Non-US. Government usem myobtain this dong with rimikr CIA publications on a subscription bask by addressing inquiries to: Document Expediting (DOCEX) bject Exchange and Gift Division Library of Con- Washington, D.C ZOSaO Non-US. Gowrrrmmt users not interested in the DOCEX Project subscription service may purchase xeproductio~~of rpecific publications on nn individual hasis from: Photoduplication Servia Libmy of Congress W~hington,D.C. 20540 f ? INDONESIA - 1965 The Coup That Backfired December 1968 BURY& LAOS TMAILANO CAYBODIA SOUTU VICINAY PHILIPPIIEL b. .- .r4.n MALAYSIA INDONESIA . .. .. 4. , 1. AUSTRALIA JAVA Foreword What is commonly referred to as the Indonesian coup is more properly called "The 30 September Movement," the name the conspirators themselves gave their movement. In this paper, the term "Indonesian coup" is used inter- changeably with "The 30 September Movement ," mainly for the sake of variety. It is technically correct to refer to the events in lndonesia as a "coup" in the literal sense of the word, meaning "a sudden, forceful stroke in politics." To the extent that the word has been accepted in common usage to mean "the sudden and forcible overthrow - of the government ," however, it may be misleading.
    [Show full text]
  • Nama Gedung Kementerian Pertahanan Ri
    NAMA-NAMA GEDUNG KEMENTERIAN PERTAHANAN RI NO. LOKASI & NAMA GEDUNG KANTOR 1 2 3 1 JL. MEDAN MERDEKA BARAT NO. 13-14, JAKARTA PUSAT a. GEDUNG JEND. SUDIRMAN 1) MENTERI PERTAHANAN 2) SEKRETARIS JENDERAL 3) INSPEKTUR JENDERAL b. GEDUNG JEND. URIP SUMOHARJO 1) BIRO KEPEGAWAIAN 2) BIRO PERENCANAAN 3) DHARMA WANITA c. GEDUNG JEND. A. YANI - DITJEN STRAHAN 1) SET DITJEN STRAHAN 2) DIT JAKSTRA 3) DIT PENGERAHAN 4) DIT ANSTRA 5) DIT KERSIN 6) DIT WILHAN 7) DIT TUR PERUU d. GEDUNG JEND. S. PARMAN 1) BIRO KEPEGAWAIAN 2) BIRO PERENCANAAN 3) BIRO HUKUM e. GEDUNG JEND. GATOT SUBROTO 1) SET ITJEN KEMHAN a) ITUM b) ITADA c) ITKU d) ITLOG 2) BIRO TATA USAHA 3) PUSKOM PUBLIK f. BALAI MEDIA 1) BALAI WARTAWAN 2) RUANG TRANSIT NO. LOKASI & NAMA GEDUNG KANTOR 1 2 3 2 JL. TANAH ABANG TIMUR NO. 4-8, JAKARTA PUSAT a. GEDUNG JEND. DI. PANJAITAN - DITJEN POTHAN 1) SET DITJEN POTHAN 2) DIT BELA NEGARA 3) DIT KOMCAD 4) DIT KOMDUK 5) DIT TEKIND 6) DIT VETERAN b. GEDUNG JEND. SUPRAPTO - DITJEN KUATHAN a) SET DITJEN KUATHAN b) DIT SDM c) DIT MATERIIL d) DIT FASJAS e) DIT KES c. GEDUNG KAPT. PIERRE TENDEAN - BIRO UMUM d. GEDUNG A.H. NASUTION 1) BARANAHAN a) SET BARANAHAN b) PUS ADA c) PUS KON d) PUS LAIK e) PUS KOD f) PUS BMN 2) ASSESSMENT CENTER 3) PUSKOM PUBLIK JL. BUDI KEMULIAAN NO.4-6, - DITJEN RENHAN 3 JAKARTA PUSAT a) SET DITJEN RENHAN b) DIT RENBANGHAN - GEDUNG M. SJAFRUDDIN c) DIT RENPROGAR PRAWIRANEGARA d) DIT MINLAKGAR e) DIT DALPROGAR NO.
    [Show full text]
  • The Partai Nasional Indonesia, 1963
    THE PARTAI NASIONAL INDONESIA 1963-1965 J. Eliseo Rocamora Reputations once acquired are hard to shed. The stereotype of the Partai Nasional Indonesia (PNI) as an opportunist, conservative party composed of Javanese prijaji elements remains despite basic changes which occurred within the party in the later years of Guided Democracy. Tljis undifferentiated image of the PNI arose in the early 1950's and, for that time, it represented a fairly accurate, though limited, description. As the party began to change under the impetus of Guided Democracy politics and the push of internal party dynamics, Indonesian and foreign observers either disregarded the party alto­ gether or tended to seek explanations for these changes in outside factors." Thus, the PNI's "turn to the left," in the 1963 to 1965 period, was termed variously as: an opportunistic response to the increasingly leftist politics of Guided Democracy; the result of strong pressure from President Sukarno; or the work of PKI (Communist Party) infiltration of the party leadership. The fact that Djakarta's political cognoscenti-- journalists and intellectuals--continue to espouse and disseminate this interpreta­ tion reflects biases born of their own political attitudes and in­ volvement. A similarly-limited view of the PNI in Western academic literature is in part the result of the paucity of work on the Guided Democracy period and in part a consequence of an excessive concentra­ tion on a few actors at the center. The generally-accepted framework for analyzing Guided Democracy politics1--a three-sided triangle made up of Sukarno, the Army and the PKI--only explains certain facets of Indonesian politics, that is, the major battles for ideological and institutional predominance.
    [Show full text]
  • Socio-Political Criticism in Contemporary Indonesian Art
    SIT Graduate Institute/SIT Study Abroad SIT Digital Collections Independent Study Project (ISP) Collection SIT Study Abroad Spring 2019 Socio-Political Criticism in Contemporary Indonesian Art Isabel Betsill SIT Study Abroad Follow this and additional works at: https://digitalcollections.sit.edu/isp_collection Part of the Art and Design Commons, Art Practice Commons, Asian Studies Commons, Contemporary Art Commons, Graphic Communications Commons, Pacific Islands Languages and Societies Commons, Politics and Social Change Commons, Race, Ethnicity and Post-Colonial Studies Commons, Social Influence and Political Communication Commons, and the Sociology of Culture Commons Recommended Citation Betsill, Isabel, "Socio-Political Criticism in Contemporary Indonesian Art" (2019). Independent Study Project (ISP) Collection. 3167. https://digitalcollections.sit.edu/isp_collection/3167 This Unpublished Paper is brought to you for free and open access by the SIT Study Abroad at SIT Digital Collections. It has been accepted for inclusion in Independent Study Project (ISP) Collection by an authorized administrator of SIT Digital Collections. For more information, please contact [email protected]. SOCIO-POLITICAL CRITICISM IN CONTEMPORARY INDONESIAN ART Isabel Betsill Project Advisor: Dr. Sartini, UGM Sit Study Abroad Indonesia: Arts, Religion and Social Change Spring 2019 1 CONTEMPORARY INDONESIAN ART ABOUT THE COVER ART Agung Kurniawan. Very, Very Happy Victims. Painting, 1996 Image from the collection of National Heritage Board, Singapore Agung Kurniawan is a contemporary artist who has worked with everything from drawing and comics, to sculpture to performance art. Most critics would classify Kurniawan as an artist-activist as his art pieces frequently engages with issues such as political corruption and violence. The piece Very, Very happy victims is about how people in a fascist state are victims, but do not necessarily realize it because they are also happy.
    [Show full text]