Pemeliharaan Kehidupan Budaya Kesenian Tradisional Dalam Pembangunan Nasional

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Pemeliharaan Kehidupan Budaya Kesenian Tradisional Dalam Pembangunan Nasional Pemeliharaan Kehidupan Budaya Kesenian Tradisional Dalam Pembangunan Nasional Arifninetrirosa Fakultas Sastra Program Studi Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara A. Pendahuluan Berbicara masalah budaya dan kebudayaan secara luas, pengertian yang paling dekat yang dapat kita ambil adat kebiassaan dan norma-norma yang berlaku pada suatu masyarakat yang mengatur tata cara dan tata krama dan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat dan itu berlaku bagi siapapun yang menjadi anggota masyarakat tersebut secara turun temurun. Jika kita melihat lebih jauh lagi, budaya dan kebudayaan itu bukan hanya adat kebiasaan yang berlaku, akan tetapi mempunyai pengertian yang lebih luas yang dapat kita tinjau dari berbagai sudut pandang yang mungkin saja dapat mengarahkan kita kepada pengertian yang lebih tepat, dan mungkin juga dapat membuat kita salah lebih jauh lagi mengartikan menurut arti yang sesungguhnyan. Hal tersebut dijelaskan oleh Koentjaraningrat yang mengutip pendapat dua ahli antropologi yaitu A. L. Kroeber dan C. Kluckhobn, dalam bukunya yang berjudul Culture, A Critical Review of Concept and Definitions (1952) yang menyebutkan sebagai berikut; “Ternyata bahwa ada 179 buah definisi mengenai kebudayaan yang pernah diterbitkan". (1982.99). Begitu banyak orang membuat pengertian dan definisi tentang budaya dan kebudayaan itu dalam arti bahwa pengertian budaya dan kebudayaan tersebut sangat luas, sehingga membuat kita terkadang juga tidak mengerti apa dan bagaimana budaya dan kebudayaan itu yang sebenarnya, hal ini sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat yang mengatakan sebagai berikut; “...untuk menganalisis konsep kebudayaan itu sangat luas ruang lingkupnya". (1982. 100). Lebih jauh dijelaskan bahwa; "...kita harus melakukannya dua dimensi, yaitu dimensi wujud dan dimensi dari kebudayaan tersebut". (1982. 100). Dimensi wujud dari kebudayaan manusia dapat diinventarisir sebagai: 1. Kompleks wujud sebagai gagasan, pikiran manusia untuk sesuatu kebutuhan. 2. Komplek wujud sebagai aktifitas manusia. 3. Komplek wujud sebagai benda-benda. Dalam mempelajari tentang wujud kebudayaan, ketiga wujud tersebut diatas disebut: 1. Sistim budaya 2. Sistim sosial 3. kebudayaan fisik Hal ini memberikan gambaran kepada kita tentang wujud dari aktifitas manusia sebagai mahluk hidup yang diberi akal dan fikiran untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan hidupnya baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohaninya. 1 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara Jika dilihat dan dianalisa isi dari kebudayaan manusia pada umumnya dalam suatu masyarakat terdiri dari unsur-unsur tersebut berlaku pada umumnya terhadap semua kebudayaan yang ada di seluruh dunia. Unsur-unsur tersebut antara lain: 1. Bahasa 2. Ilmu Pengetahuan 3. Ekonomi 4. Politik 5. Pendidikan 6. Agama den kepercayaan 7. Kesenian Hal tersebut diatas berlaku untuk semua kebudayaan bangsa-bangsa yang hidup di atas bumi ini. B. Kerangka Kebudayaan Apabila kedua dimensi analisis dari konsep kebudayaan yang sudah dibicarakan pada awal tadi kita kombinasikan ke dalam satu wadah, maka akan terjadi suatu kerangka kebudayaan yang dapat kita pakai sebagai awal analisis dari segala macam gejala kebudayaan yang mungkin dapat terjadi dalam kehidupan masyarakat. Karena kebudayaan yang hidup bersifat dinamis, yaitu selalu berubah tiap saat, maka penggunaan wadah lingkaran menurut saya akan lebih cocak untuk menggambarkan dinamis itu dari pada wadah yang berpangkal pada suatu matriks. Analisis dimensi satu dari kebudayaan ke dalam tiga wujud, yaitu sistem budaya, sistim sosial, den kebudayaan fisik, kita gambarkan sebagai tiga lingkaran kosentris. Dalam hal itu sistim budaya kita lambangkan sebagai lingkaran yang paling dalam dan inti. Adapun sistim sosial kita kembangkan dengan lingkaran kedua sekitar inti yaitu; sedangkan kebudayaan fisik, kita lambangkan dengan lingkaran yang paling luar dan paling tampak. Analisis dimensi dua dari kebudayaan ke dalam tujuh unsur universal kita gambarkan pada wadah lingkaran, dengan membaginya menjadi tujuh sektor, yang masing-masing melambangkan salah satu dari ke tujuh unsur tersebut. Maka dengan demikian akan terlihat bahwa tiap unsur kebudayaan itu memang dapat mempunyai tiga wujud, yaitu wujud sistim budaya, sistim sosial, dan kebudayaan fisik. Dengan demikian, bahasa misalnya mempunyai kaidah-kaidah tata bahasa, norma-norma ujaran dan aturan- aturan pemakaiannya, yang seluruhnya depat kita sebut sistim budaya dari babasa. Kecuali itu bahasa dapat juga berupa suatu aktivitas, yaitu apabila sekelompok manusia bercakap-cakap dalam interaksi antara mereka, atau berkomunikasi antar kelompok dengan alat-alat telekomunikasi. Namun bahasa juga mempunnyai aspek fisiknya, yaitu peralatan telekomunikasi tersebut, dan terutama apabila bahasa itu sudah berwujud tulisan di atas kertas, di atas lontar, di atas mikrofis, mikrofilm, pada tape, dan sebagainya. Seperti itu juga halnya dengan unsur-unsur lain bahkan subunsur, semuanya mempunyai ke tiga unsur itu. "Hukum" yang merupakan subunsur dalam unsur "organisasi sosial", misalnya juga terdiri dari konsep-konsep, norma-norma, peraturan- peraturan, undang-undang dan sebagainya, yang semuanya termasuk kedalam sistim budayanya. Hukum juga terdiri dari aktivitas-aktivitas seperti peradilan, pendidikan ahli 2 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara hukum, upacara pelantikan hakim baru dan sebagainya, yang kesemuanya termasuk kedalam sistim sosialnya. Di samping itu aktivitas hukum juga mempergunakan berbagai macam peralatan, seperti gedung peradilan, jubah para hakim, jaksa, dan pengacara, peralatan persenjataan polisi, gedung penjara, gedung fakultas hukum, dan sebagainya. Ini semua merupakan kedayaan fisik dari hukum. C. Kebudayaan Sebagai Suatu Sistim Simbol Ada baiknya bilamana diuraikan juga apa yang diartikan oleh penulis dengan istilah kebudayaan". Pembahasan persepsi birokrasi tentang kebudayaan pasti banyak terpengaruh oleh konsep "kebudayaan" terdahulu, sedangkan kita ketahui bahwa dalam ilmu-ilmu sosial konsep dasar ini diartikan bermacam-macam. Penulis sependapat dengan teori ahli terkemuka Talcott Parsons, kebudayaan merupakan suatu sistim menyeluruh yang terdiri dari cara-cara dan aspek-aspek pemberian arti pada laku ujaran, laku ritual,dan berbagai jenis laku atau tindakan lain dari sejumlah manusia yang mengadakan tindakan antara satu dengan yang lain. Unsur terkecil dari sistim ini, yang biasanya dinamakan sistim budaya, adalah simbol sehingga kebudayaan bisa juga ditanggapi sebagai suatu sistim simbol. Suatu simbol sebagaimana diketahui, mempunyai arti bagi orang-orang yang menggunakannya. Suatu sistim budaya biasanya sangat rumit dan di dalamnya terbagi-bagi dalam empat perangkat simbol yang masing-masing mempunyai fungsi tersendiri bagi manusia yang bersangkutan dalam tindakan antar mereka. Keempat perangkat simbol atau perlambang ini adalah simbol konstitutif yang terbentuk sebagai kepercayaan dan biasanya merupakan inti dari agama; simbol kognitif yang membentuk ilmu pengetahuan; simbol penilaian moral yang membentuk nilai- nilai dan aturan-aturan serta simbol pengungkapan perasaan atau simbol ekspresif. Tingkah laku atau tindakan tidak dianggap bagian dari sistim budaya, demikian pula halnya dengan motivasi dan sikap. Teknologi juga tidak dianggap merupakan bagian dari sistim budaya, tetapi merupakan pengetahuan tentang teknologi yang dinyatakan dengan penggunaan simbol yang dianggap bagian dari sistim budaya. Kebudayaan yang dikatakan sebagai suatu sistim budaya, sistim berhubungan erat dengan masyarakat yang ditanggapi sebagai suatu sistim sosial yang dibentuk oleh tindakan antar sejumlah manusia, biasanya berjumlah besar. Sistim sosial yang lebih terbatas, seperti birokrasi pemerintah, berhubungan dengan sistim budaya yang juga lebih terbatas. D. Kebudayaan Sebagai Gaya Hidup Meskipun dalam kenyataan masyarakat kita, seperti juga di birokrasi pemerintah kita, terdapat berbagai sistim budaya, kebanyakan anggota birokrasi pemerintah biasanya cenderung beranggapan bahwa masyarakat kita hanya mewujudkan satu kebudayaan saja, yaitu kebudayaan Indonesia. Kebudayaan ini ditanggapi sebagai suatu kebudayaan yang tidak begitu terdiferensiasi, sebagai suatu gaya hidup yang telah rnerupakan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari dari semua orang Indonesia, sebagai pola kehidupan yang dihargai dan memberikan identitas tersendiri kepada orang Indonesia sebagai satu bangsa, sebagai sesuatu yang harus dipelihara, dipertahankan terhadap pencemaran unsur lain atau unsur budaya asing yang bisa merusak kebudayaan yang sudah ada ini. 3 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara Melihat banyaknya unsur kebudayaan daerah, yang berasal dari berbagai daerah di kepulauan Indonesia dan banyaknya unpur kebudayaan asing, terutama unsur kebudayaan Amerika dan Jepang, ada juga anggota birokrasi kita yang merasa ragu tentang ada tidaknya kebudayaan nasional, kebudayan Indonesia. Mereka jadi peka sekali pada kehadiran unsur budaya asing dan terkadang merasa tergugah untuk berusaha menolak penyebaran unsur budaya asing yang dianggap mempersukar kebudayaan nasional tumbuh. Sebenarnya apa yang mereka anggap kebudayaan Indonesia, gaya hidup orang Indonesia, dalam kenyataannya adalah kebudayaan masyarakat mereka sendiri di daerah, tradisi budaya yang mereka warisi dari para nenek moyang di daerah asal mereka masing- masing. Apa yang mereka tanggapi dan hedak dipertahankan sebagai kebudayaan Indonesia biasanya adalah gaya hidup, yang mereka peroleh dari orang tua mereka masing-masing. Biasanya mereka tidak begitu
Recommended publications
  • I La Galigo a Visionary Work for the Theatre Inspired by Sureq Galigo, an Epic Poem from South Sulawesi, Indonesia
    I La Galigo A visionary work for the theatre inspired by Sureq Galigo, An epic poem from South Sulawesi, Indonesia August 7‐10, 2008 Taipei Metropolitan Hall Credits Direction, set design, lighting concept Robert Wilson Text adaptation and dramaturgy Rhoda Grauer Music Rahayu Supanggah Artistic coordination Restu I Kusumaningrum Costume designer Joachim Herzog Co‐director Ann Christin Rommen Lighting designer AJ Weissbard Collaborator to set design Christophe Martin Textile design and costume coordination Yusman Siswandi and Airlangga Komara Dance master Andi Ummu Tunru Assistant director Rama Soeprato Cast Abdul Murad, Amri Asrun, Ascafeony Daengtanang, B. Kristiono Soewardjo, Coppong Binti Baco, Didi Annuriansyah, Erythrina Baskorowati, Faizal Yunus, Herry Yotam, I Gede Sudiarcana, I Ketut Rina, Indrayani Djamaluddin, Indra Widaryatno, Iwan Wiyanto, Jusneni Fachruddin, Kadek Tegeh Okta WM, Kinanti Reski, Muhammad Agung, M. Gentille , Murniati, Ni Made Sumartini, Ridwan Anwar, Samsari Hatipe, Satriani Kamaluddin, Sefi Indah Prawarsari, Simson Lawari, Harlina Darni, Sri Qadariatin, Taufiq Ismail, Tenri Lebbi, Wangi Indriya, Widyawati, Yusan Budiawan Nadjamuddin, Zulsafri Nurdin Musicians Rahayu Supanggah (music director), Abdul Bashit, Anusirwan, Arifin Manggau, Basri Baharuddin Sila, Hamrin Samad, I Wayan Sadera, Imran Rauf, Danis Sugiyanto, Peni Candra Rini, Solihing Bin Dorahing, Sri Joko Raharjo, Zamratul Fitria and Puang Matoa Saidi 1 1 Technical Director Amerigo Varesi; Stage manager Evelyn Chia; Assistant stage manager Tinton Prianggoro;
    [Show full text]
  • Provisional Reel List
    Manuscripts of the National Library of Indonesia Reel no. Title MS call no. 1.01 Lokapala CS 1 1.02 Sajarah Pari Sawuli CS 2 1.03 Babad Tanah Jawi CS 3 2.01 Pratelan Warni-warni Bab Sajarah Tanah Jawa CS 4 2.02 Damarwulan CS 5 2.03 Menak Cina CS 6 3.01 Kakawin Bharatayuddha (Bratayuda Kawi) CS 7 3.02 Kakawin Bharatayuddha (Bratayuda Kawi) CS 9 3.03 Ambiya CS 10 4.01 Kakawin Bharatayuddha CS 11a 4.02 Menak Lare CS 13 4.03 Babad Tanah Jawi CS 14a 5.01 Babad Tanah Jawi CS 14b 5.02 Babad Tanah Jawi CS 14c 6.01 Babad Tanah Jawi CS 14d 6.02 Babad Tanah Jawi CS 14e 7.01 Kraton Surakarta, Deskripsi CS 17 7.02 Tedhak Dalem PB IX Dhateng Tegalganda CS 18 7.03 Serat Warni-warni CS 19 7.04 Babad Dipanagara lan Babad Nagari Purwareja KBG 5 8.01 Platuk Bawang, Serat CS 20 8.02 Wulang Reh CS 21 8.03 Cabolek, Serat CS 22 8.04 Kancil CS25 8.05 Carakabasa CS 27 8.06 Manuhara, Serat CS 29 8.07 Pawulang Ing Budi, Serat CS 30 8.08 Babad Dipanegara CS 31a 8.09 Dalil, Serat CS 28 9.01 Kraton Surakarta, Deskripsi CS 32 9.02 Primbon Matan Sitin CS 33 9.03 Harun ar-Rasyid, Cerita CS 34 9.04 Suluk Sukarsa CS 35 9.05 Murtasiyah CS 36 9.06 Salokantara CS 37 9.07 Panitipraja lsp CS 38 9.08 Babasan Saloka Paribasan CS 39 9.09 Babad Siliwangi CS 40 9.10 Dasanama Kawi Jarwa (Cirebonan) CS 42 9.11 Primbon Br 139 9.12 Pantitipraja lap KBG 343 10.01 Babad Dipanegara CS 31b 10.02 Babad Tanah Jawi (Adam - Jaka Tingkir) KBG 7a 11.01 Babad Tanah Jawi KBG 7c 11.02 Babad Tanah Jawi KBG 7d 11.03 Babad Tanah Jawi KBG 7e 11.04 Purwakanda Br 103a 12.01 Purwakanda Br 103b 12.02 Purwakandha Br 103c 12.03 Purwakandha Br 103d Reel no.
    [Show full text]
  • Sawerigading Di Tanah Asing: Mitos I La Galigo Di Sulawesi Tengah Jennifer W
    University of Richmond UR Scholarship Repository Sociology and Anthropology Faculty Publications Sociology and Anthropology 7-2005 Sawerigading Di Tanah Asing: Mitos I La Galigo di Sulawesi Tengah Jennifer W. Nourse University of Richmond, [email protected] Follow this and additional works at: http://scholarship.richmond.edu/socanth-faculty-publications Part of the South and Southeast Asian Languages and Societies Commons Recommended Citation Nourse, Jennifer W. "Sawerigading Di Tanah Asing: Mitos I La Galigo Di Sulawesi Tengah." In Tapak-Tapak Waktu, 215-41. Makassar: Ininnawa, 2005. This Book Chapter is brought to you for free and open access by the Sociology and Anthropology at UR Scholarship Repository. It has been accepted for inclusion in Sociology and Anthropology Faculty Publications by an authorized administrator of UR Scholarship Repository. For more information, please contact [email protected]. 8 SAWERIGADING DI TANAH ASING: Mitos I La Galigo di Sulawesi Tengah· Jennifer W. Nourse PENDAHULUAN Sawerigading adalah Odysseus-nya orang Bugis. Pengembaraan epik Sawerigading tergambar dalam karya yang termashyur sebagai 'salah satu karya sastra paling terkemuka di 1 Indonesia', epos I La Galigo (Abidin dan Macknight 1974: 161 ) • Kisah-kisah tentang Sawerigading, yang selalu menawan di manapun ia ditemui dan dalam bahasa apapun ia disebut, pun telah mengembara sebagaimana sang tokoh Bugis, Sawerigading. • Penelitian lapangan saya di Indonesia berlangsung antara Mei 1984-Mei 1886 di bawah payung LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Universitas Tadulako. Terima kasih yang ikhlas saya haturkan kepada kedua lembaga ini atas perhatian dan dukungan mereka. Penelitian lapangan clidanai dengan hibah Pull bright-Hays, Wenner Green Foundation, dan Society for lntercultural Studies.
    [Show full text]
  • NOTES on the LONTARA' AS HISTORICAL SOURCES* Andi
    NOTES ON THE LONTARA' AS HISTORICAL SOURCES* Andi Zainal Abidin Translated by the Editors In the broadest sense, the word lontara’ applies to anything written in the Bugis-Makasar script. This script is called urupu sulapa’ eppa' (sometimes appa’) , or square letters, in the Bugis, Makasar, Mandar, Duri, EnrSkang, and Toradja languages.* 1 One can divide lontara’ into categories according to their subject matter. The lontara’ attoriolong are chronicles about the "people of the olden days," and they contain historical facts. The lontara’ bilang, or kotika, describe the days of the week, giving the char­ acteristics of each and indicating which ones are considered auspicious. Lontara’ ade', or ada', contain notes on adat law and custom; these are called latowa in Bugis-speaking areas and rapang in Makasar language areas. The lontara’ ulu ada (Bugis) and lontara’ ulukanaja (Makasar) are collections of the texts of treaties with nearby king­ doms or with overseas countries. In Bugis areas, one also finds government contracts, called rapang, which were drawn up between elected kings and the representatives of the people. The lontara’ allopi-loping are collections of adat law pertaining to shipping, such as those in the compilation made by La Patello' Amanna Gappa.2 The lontara’ pangoriseng relate the genealogies of the various radja. In Gowa, there exist also royal diaries which probably date from the period after contact with the Portuguese, roughly the sixteenth century;3 they use Portuguese dating until 1605, when they switch to * This article is a revised and shortened version of a paper presented to the Second Seminar on National History, held in Jogjakarta, in August 1970.
    [Show full text]
  • The I La Galigo Myth in Central Sulawesi Jennifer W
    University of Richmond UR Scholarship Repository Sociology and Anthropology Faculty Publications Sociology and Anthropology 1998 Sawerigading in Strange Places: The I La Galigo Myth in Central Sulawesi Jennifer W. Nourse University of Richmond, [email protected] Follow this and additional works at: http://scholarship.richmond.edu/socanth-faculty-publications Part of the Folklore Commons, and the Social and Cultural Anthropology Commons Recommended Citation Nourse, Jennifer W. "Sawerigading in Strange Places: The I La Galigo Myth in Central Sulawesi." In Living through Histories: Culture, History and Social Life in South Sulawesi, edited by Kathryn Robinson and Mukhlis Paeni, 134-50. Canberra: Department of Anthropology, Research School of Pacific nda Asia Studies, Australia National University, in Association with the National Archives of Indonesia, 1998. This Book Chapter is brought to you for free and open access by the Sociology and Anthropology at UR Scholarship Repository. It has been accepted for inclusion in Sociology and Anthropology Faculty Publications by an authorized administrator of UR Scholarship Repository. For more information, please contact [email protected]. 8 SA WERIGADING IN STRANGE PLACES: The I La Galigo myth in Central Sulawesi* Jennifer W. Nourse Artikel ini menyajikan hasil penelitian tentang penyebaran dan pengaruh mitologi Bugis di kerajaan pantai Sulawesi Tengah yang terletak jauh dari pusat orang Bugis di Sulawesi Selatan. Tulisan ini secara khusus menjelaskan adat istiadat dan cerita-cerita yang selama ini dirahasiakan tentang tokoh Sawerigading, yang terkenal dalam mitologi Bugis sebagai bapaknya I La Galigo. Saya meneliti bagaimanakah cerita­ cerita dan adat-istiadat yang berasal dari daerah orang Bugis ini memperpengaruhi adat-istiadat di daerah Sulawesi Tengah, dalam lingkup kerajaan Motoung.
    [Show full text]
  • Shamanic Gender Liminality with Special Reference to the Natkadaw of Myanmar and the Bissu of Sulawesi
    THE UNIVERSITY OF WALES, TRINITY ST. DAVID Shamanic gender liminality with special reference to the NatKadaw of Myanmar and the Bissu of Sulawesi. being a dissertation in partial fulfilment of the requirements for the degree of M.A. in Social Anthropology at the University of Wales, Trinity St. David. AHAH7001 2013 Kevin Michael Purday Declaration Form Master’s Degrees by Examination and Dissertation Declaration Form. 1. This work has not previously been accepted in substance for any degree and is not being concurrently submitted in candidature for any degree. Signed…… Date …….. 20th March 2013 2. This dissertation is being submitted in partial fulfilment of the requirements for the degree of M.A. in Social Anthropology. Signed ….. Date ……20th March 2013 3. This dissertation is the result of my own independent work/investigation, except where otherwise stated. Other sources are acknowledged by footnotes giving explicit references. A bibliography is appended. Signed candidate: …. Date: ….20th March 2013 4. I hereby give consent for my dissertation, if accepted, to be available for photocopying, inter-library loan, and for deposit in the University’s digital repository. Signed (candidate)…… Date……20th March 2013 Supervisor’s Declaration. I am satisfied that this work is the result of the student’s own efforts. Signed: ………………………………………………………………………….. Date: ……………………………………………………………………………... 1 List of contents Declaration Form ................................................................................................................ 1 List
    [Show full text]
  • The I La Galigo Myth in Central Sulawesi Jennifer W
    View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by University of Richmond University of Richmond UR Scholarship Repository Sociology and Anthropology Faculty Publications Sociology and Anthropology 1998 Sawerigading in Strange Places: The I La Galigo Myth in Central Sulawesi Jennifer W. Nourse University of Richmond, [email protected] Follow this and additional works at: http://scholarship.richmond.edu/socanth-faculty-publications Part of the Folklore Commons, and the Social and Cultural Anthropology Commons Recommended Citation Nourse, Jennifer W. "Sawerigading in Strange Places: The I La Galigo Myth in Central Sulawesi." In Living through Histories: Culture, History and Social Life in South Sulawesi, edited by Kathryn Robinson and Mukhlis Paeni, 134-50. Canberra: Department of Anthropology, Research School of Pacific nda Asia Studies, Australia National University, in Association with the National Archives of Indonesia, 1998. This Book Chapter is brought to you for free and open access by the Sociology and Anthropology at UR Scholarship Repository. It has been accepted for inclusion in Sociology and Anthropology Faculty Publications by an authorized administrator of UR Scholarship Repository. For more information, please contact [email protected]. 8 SA WERIGADING IN STRANGE PLACES: The I La Galigo myth in Central Sulawesi* Jennifer W. Nourse Artikel ini menyajikan hasil penelitian tentang penyebaran dan pengaruh mitologi Bugis di kerajaan pantai Sulawesi Tengah yang terletak jauh dari pusat orang Bugis di Sulawesi Selatan. Tulisan ini secara khusus menjelaskan adat istiadat dan cerita-cerita yang selama ini dirahasiakan tentang tokoh Sawerigading, yang terkenal dalam mitologi Bugis sebagai bapaknya I La Galigo.
    [Show full text]
  • The Treasure Chambers of the Leiden University Library
    The Newsletter | No.66 | Winter 2013 56 | The Portrait The treasure chambers of the Leiden University Library There can be no university without a library. Twelve years after William of Orange established Leiden University in 1575, he founded Leiden University Library, which, from the beginning, was meant to serve as a research facility. Access was restricted to a few privileged men (and their dogs!), and the books had to be consulted on the spot as they were chained to the shelves. Times have changed. Books are electronically protected, academia is no longer a man’s world – and dogs are asked to stay outside. The collection has grown from a few hundred books to over 4 million printed copies, plus approximately 1 million electronic books. Electronic resources, such as the 500+ databases in the University Library, allow us to share knowledge with, and to connect to, the most remote parts of the world. However, some things have not changed: the library still guards true treasures, thousands of jewels that reflect ideas and thoughts of times long past. Doris Jedamski 1. The Special Collections from the Snouck Hurgronje collection, featured in one of The Leiden University Library has excelled in building up the major Dutch newspapers recently. It shows the Javanese an eminent collection of non-Western material, patiently Prince Dipanagara, the leader of the Java War against the brought together and studied by scholars and librarians since Dutch (1825-30), in a western-style room with a little demon the 16th century. At first, it was principally Middle-Eastern at his feet (fig.
    [Show full text]
  • T 27648-Museum La Galigo-Analisis.Pdf
    BAB 4 ANALISIS EKSHIBISI DI MUSEUM LA GALIGO Pada bab ini akan dibahas tentang analisis ekshibisi di ruang pameran tetap1 Museum La Galigo dengan menggunakan konsep new museum seperti yang telah dijelaskan pada bab 2. Konsep new museum tersebut dibuat oleh Andrea Hauenschild yang melakukan analisis terhadap lima museum di Amerika. Selain konsep new museum Andrea Hauenschild, akan digunakan pula pendapat yang sejalan dengan konsep new museum tersebut. 4.1 Visi, Misi, dan Tujuan Museum Visi dan misi sebuah organisasi saling berkaitan. Visi adalah sesuatu yang didambakan oleh organisasi untuk dimiliki di masa depan. Visi menggambarkan aspirasi masa depan tanpa menspesifikasi cara-cara untuk mencapainya dan dituliskan sesingkat mungkin. Misi adalah tujuan dan alasan organisasi didirikan yang sekaligus menunjukkan arah dan batasan proses pencapaian tujuan organisasi kepada masyarakat yang dilayaninya. Visi dan misi ini diterjemahkan lagi dalam konsep yang nyata dan terukur dengan menegaskan tujuan (objective) atau program jangka pendek dan jangka panjang (Hummel, 2002: 39-43). Visi dan misi Museum La Galigo disesuaikan dengan visi dan misi Gubernur Sulawesi Selatan dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. Visi museum La Galigo saat ini adalah “mewujudkan Museum La Galigo sebagai pusat pembelajaran dan rekreasi di Kawasan Timur Indonesia” dengan misi melakukan pembinaan dan pengembangan secara internal sehingga museum dapat melaksanakan tugas dan fungsinya seoptimal mungkin sebagai: a. Tempat menyimpan, merawat, dan mengembangkan
    [Show full text]
  • The Concept of Environmental Ethics in the Manuscript of La Galigo1
    The Concept of Environmental Ethics..... The Concept of Environmental Ethics in The 1 Manuscript of La Galigo Sitti Aaisyah2 Ankara University Dögol Street 06100 Beşevler / Ankara / TURKEY Email: [email protected] DOI: http://dx.doi.org/10.31291/hn.v7i2.538 Received: Oktober 2018; Accepted: December 2018; Published: December 2018. Abstract The main object of this research is the episode of Ritumpanna Walenrengnge (the cut down of Walenreng tree) from the manuscript of La Galigo. The mentioned manuscript then analyzed by using environmental ethics approach. This study aims to explain the concept of relations between humans and nature in the manuscript, and also to find environmental ethics view within the manuscript. This study was conducted through library research using descriptive, verstehen, hermeneutic, and heuristic methods. The study process started from preparing the research materials, followed by data gathering, research data systematization, results analysis and concluded with critical reflection. The manuscript of La Galigo contains cosmological explanation of Buginese people. Similar to other Eastern cultural features, the mythology of La Galigo also shows strong attachment between humans and nature. This feature is pictured by Sawerigading’s ritual and persuasive effort to cut down Welenreng Sitti Aaisyah tree for noble and important cause. It is generally explained that, Ritumpanna Welenrengnge has an anthropocentrism pattern. In environmental ethics discourse, anthropocentrism is considered as the cause of every environment exploitation. This study draws different line from negative understanding of anthropocentrism, and focusing on important spiritually enlightened human aspect so that they are able to do positive fundamental changes for the sake of environment. Keywords: La Galigo, environmental ethics, anthroposentrism.
    [Show full text]
  • Naskah La Galigo: Identitas Budaya Sulawesi Selatan Di Museum La Galigo La Galigo Manuscript: the Cultural Identity of South Sulawesi in the La Galigo Museum
    NASKAH LA GALIGO: IDENTITAS BUDAYA SULAWESI SELATAN DI MUSEUM LA GALIGO LA GALIGO MANUSCRIPT: THE CULTURAL IDENTITY OF SOUTH SULAWESI IN THE LA GALIGO MUSEUM Andini Perdana Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan Jalan Ujung Pandang No. 1 Kompleks Benteng Rotterdam Makassar, 90111 Telepon: (0411) 3621701 ± 3631117, Faksimili : (0411) 3621702 Pos-el : [email protected] ABSTRACT The bestowal of the name La Galigo upon the Provincial State Museum of South Sulawesi is based on the La Galigo manuscript, which is famaous in the Bugis, Makassar, Toraja, Selayar, and Massenrempulu regions. For them, La Galigo is their unifier. As part of its collection, the La Galigo Museum features a La Galigo manuscript, which is registered as a UNESCO Memory of the World. The manuscript is currently on display in the permanent exhibition room of the La Galigo museum; however, the representation of the cultural identity of South Sulawesi has been not reflected in the exhibit. This has encouraged the author to identify the significance of the La Galigo manuscript, analyze the concept of the current exhibits of the La Galigo Museum, and recommend the addition of the La Galigo storyline to the museum. The research employed a case study method, with a museology approach, especially examining new museums, cultural identity, and exhibits. The conclusion in this research was the lack of information in the La Galigo exhibition due to the lack of research of the significance of the La Galigo for various ethnic groups, the unity between them, the collective memory of the society, and the relevance of the La Galigo story to the present.
    [Show full text]
  • S. Koolhof the "La Galigo"; a Bugis Encyclopedia and Its Growth In
    S. Koolhof The "La Galigo"; A Bugis encyclopedia and its growth In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Encompassing knowledgeIndigenous encyclopedias from ninth-century Java to twentieth-century Riau 155 (1999), no: 3, Leiden, 362- 387 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/25/2021 05:20:38PM via free access SIRTJO KOOLHOF The 'La Galigo' A Bugis Encyclopedia and its Growth The Bugis, who form the majority of inhabitants of the southwestern penin- sula of Sulawesi, are the proud possessors of an extensive corpus of literature of a multifarious nature laid down in thousands of manuscripts. History, belles-lettres; mythology, technical explications, magical formulae, medical treatises, epic poetry, and instructions about good behavior are only a few of the subjects to be found in them. Almost all are paper manuscripts; less than ten manuscripts written on prepared leaves of the lontar palm (Borassus fla- bellifer L.) are known to be extant today. Important collections of South Sulawesi manuscripts are kept in Ujungpandang, Leiden and Jakarta. Recently a project funded by the Ford Foundation and headed by Dr Mukhlis from the Arsip Nasional in Ujungpandang, has'managed to retrieve more than 3,000 manuscripts from all over the province, approximately 1,800 of them Bugis, which were all put on microfilm. Many thousands more, how- ever, must still be in private hands, their existence, and contents, unknown to the outside world, and sometimes even to their owners. The manuscripts written in the indigenous script, both those on paper and the few on lontar leaves, are commonly known as lontaraq, a word derived from the Javanese 'lontar'.
    [Show full text]