Download Pdf
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
KEPEMILIKAN DAN INTERVENSI SIARANPerampasan Hak Publik, Dominasi dan Bahaya Media di Tangan Segelintir Orang Penulis: Puji Rianto Rahayu Iwan Awaluddin Yusuf Bayu Wahyono Saifudin Zuhri Moch. Faried Cahyono Amir Effendi Siregar 2014 PR2MEDIA Diterbitkan atas kerjasama YAYASAN TIFA Yayasan TIFA dan PR2Media KEPEMILIKAN DAN INTERVENSI SIARAN Perampasan Hak Publik, Dominasi dan Bahaya Media di Tangan Segelintir Orang Penulis: Puji Rianto, Rahayu, Iwan Awaluddin Yusuf, Bayu Wahyono, Saifudin Zuhri, Moch. Faried Cahyono, Amir Effendi Siregar Penyunting : Intania Poerwaningtias Perancang Sampul : Dhanan Arditya Tata letak : www.percetakanquantum.com Diterbitkan oleh Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) bekerja sama dengan YAYASAN TIFA Indonesia. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi terbitan buku ini dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari YAYASAN TIFA. Tidak untuk diperjualbelikan. Cetakan Pertama: Maret, 2014 Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Puji Rianto dkk. KEPEMILIKAN DAN INTERVENSI SIARAN Perampasan Hak Publik, Dominasi dan Bahaya Media di Tangan Segelintir Orang/Puji Rianto dkk. ; Penyunting, Intania Poerwaningtias,-Yogyakarta:PR2 Media, 2014 xxviii+262 hlm.; 20 cm. 15 x 23 cm ISBN: 978-602-97839-4-0 1. Buku – Sensor I. Judul II. Intania Poerwaningtias Pemantau Regulasi dan Regulator Media Jl. Solo KM 8, Nayan No. 108A, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta, 55282Telp. 0274-489283, Fax. 0274-486872, Email: [email protected] Tantangan Penyiaran Liberal, Menghindari Libido Kapital R Kristiawan (Manajer Program Media dan Informasi Yayasan Tifa) ibandingkan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, Ddinamika ekonomi politik media di Indonesia menunjukkan perkembangan yang luar biasa baik dari sisi demokratisasi maupun korporatisasi. Jika kita menengok perkembangan media massa di Myanmar saat ini misalnya, kita akan teringat pada memori kolektif bangsa tentang represi militeristik Orde Baru terhadap media. Situasi media di Malaysia pun belum terlalu menggembirakan dimana kepemilikan media sangat terpusat pada partai berkuasa. Singapura juga sama. Niat pemerintah setempat untuk meliberalkan kepemilikan media pada awal tahun 2000- an ternyata gagal karena daya dukung pasar yang tidak memadai. Sejarah media massa di Indonesia membuktikan bahwa jerat politik terhadap kebebasan media sudah mampu dilepaskan oleh bangsa ini. Dalam banyak forum, sejarah ini diakui oleh bangsa-bangsa lain sebagai contoh penting bagi imajinasi mereka tentang perubahan media ke masa depan. Namun, tidak berarti Indonesia tidak memiliki masalah. Ketika negara- negara di Asia Tenggara masih berkutat pada persoalan dominasi tirani negara, Indonesia telah mengalami pergeseran dimana peran negara sebagai tirani telah diganti oleh kekuatan ekonomi. Memang dalam konteks perjuangan dari tirani negara, Indonesia bisa menjadi contoh vi ~ Kepemilikan dan Intervensi Siaran positif. Namun dalam konteks tirani ekonomi, Indonesia bukanlah contoh bagus bagi sistem penyiaran yang demokratis. Regulasi menuju sistem yang diberangus telah diterjang oleh libido kapital. Ada beberapa hal yang terlupakan dalam cerita manis kemerdekaan media itu. Pertama, kebebasan media sering dilihat dalam satu dimensi saja, yaitu dimensi politik. Kebebasan media secara naïf diartikan sebagai lepasnya kontrol Orde Baru terhadap media massa seperti halnya bebasnya rakyat dari represi Orde Baru. Dalam konteks ini, perayaan besar-besaran terjadi lewat munculnya organisasi jurnalis, kebebasan professional wartawan, mekanisme self- censorship, dan sejenisnya. Tentu saja, cara pandang ini benar, tapi tidak lengkap. Cara pandang ini berakar pada paradigma diametral relasi negara dengan masyarakat sipil yang sangat populer di kalangan mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil lain menjelang bangkrutnya Orde Baru. Teori-teori semacam hegemoni Gramsci dan ruang publik Habermas menemukan habitat politik yang sangat cocok pada waktu itu. Fokus proyeknya jelas: melucuti kekuatan negara demi kebebasan berekspresi warga. Donor-donor besar pun mengucurkan dana demi proyek tersebut. One-dimensional paradigm di atas terbukti gagal mengantisipasi tumbuhnya tiran baru dalam ruang publik kita. Hal ini karena kebebasan media sering tidak dilihat dalam koridor ekonomi. Tidak banyak peneliti dan aktivis yang melihat ada potensi menguatnya imperatif ekonomi seiring dengan melemahnya imperatif politik dalam proses transisi “kebebasan” media tersebut. Secara diskursif, tema demokratisasi pun lebih kencang terdengar ketimbang liberalisasi. Tema liberalisasi menuntut orang untuk berpikir stereo atau dual, antara imperatif ekonomi dan politik. Sedangkan tema demokratisasi lebih kental bernada politik semata. Fenomena ini adalah keunikan liberalisasi media dibanding liberalisasi di sektor lain seperti perbankan dan migas yang lebih tegas dalam menggunakan istilah liberalisasi. Kedua, lupa sejarah. Sejarah liberalisasi media di Indonesia sering dianggap dimulai sejak 1998 bersamaan dengan jatuhnya Orde Baru. Tidak banyak yang melihat sisi gelap munculnya televisi swasta pertama kali tahun 1989 pada masa Soeharto masih berkuasa. Liberalisasi terbatas terjadi pada era ini dimana privatisasi dilakukan secara terukur Kata Pengantar ~ vii dalam kontrol politik Soeharto. Strateginya adalah memberikan ijin siaran kepada keluarga Soeharto dan kelompok bisnisnya. Latar teoritik kapitalisme semu dari Kunio penting sebagai pisau analisis untuk melihat penyiaran di era ini. Meski ruas periode ini pendek, tapi dampaknya masih terasa hingga saat ini terutama pada aspek kepemilikan, komitmen terhadap demokrasi penyiaran, dan perlakuan industri penyiaran terhadap birokrasi pemerintah. Perubahan cuaca politik sekitar tahun 1998 membuat industri penyiaran menyesuaikan diri dengan berdiri segaris dengan masyarakat sipil untuk melahirkan regulasi penyiaran yang demokratis. Namun industri penyiaran rupanya tidak siap menghadapi habitat penyiaran yang benar-benar demokratis yang diusung masyarakat sipil lewat penyusunan UU Penyiaran No. 32/2002 dan menjadi bagian integral dari reformasi. Ketika demokratisasi penyiaran merugikan libido akumulasi keuntungan, maka demokratisasi itu ditolak oleh industri penyiaran. Norma-norma penyiaran demokratis diterabas demi tujuan itu lewat judicial review terkait posisi KPI dan pengingkaran terhadap prinsip keragaman kepemilikan. Keuntungan yang terlanjur dinikmati selama rejim Orde Baru berkuasa telah membuat industri penyiaran tidak mau menyesuaikan diri terhadap struktur baru meskipun struktur baru itu demokratis. Ketiadaan antisipasi terhadap munculnya imperatif ekonomi yang mengancam kualitas ruang publik penyiaran kita rasakan saat ini dari yang sifatnya anekdotal sampai pada perilaku regulasi yang tidak berpihak pada hak-hak warga. Anekdot kebebasan pers sudah kebablasan yang sering disampaikan masyarakat awam sebenarnya menyimpan bara yang siap membakar kualitas ruang publik kita. Kualitas tayangan yang seragam, struktur kepemilikan yang terpusat, pelanggaran penggunaan frekuensi, merupakan contoh-contoh yang sedang kita hadapi sekarang. Persoalan yang sedang kita hadapi saat ini adalah bergesernya struktur dominasi dari tirani negara ke tirani modal dimana ruang publik yang demokratis dan setara telah menjadi korbannya. Tentu saja, hal ini tidak berarti anti industri. Industri media merupakan bagian penting dalam sistem demokrasi liberal karena fungsinya sebagai watch dog, penyedia opini yang beragam, serta fungsi leisure time bagi warga. Namun, industri yang menelikung prinsip-prinsip demokratis justru viii ~ Kepemilikan dan Intervensi Siaran akan mengancam keberlangsungan kehidupan bersama (shared-life) yang sehat yang ditandai oleh keseimbangan peran imperatif negara, imperatif ekonomi, dan imperatif kewargaan. Itulah seni ilmu ekonomi politik, dimana bijak secara politik belum tentu selalu berarti bijak secara ekonomi atau sebaliknya. Bijak di sini maksudnya baik bagi kehidupan bersama. Dalam hal ini, media penyiaran merupakan arena sangat menarik dibanding arena-arena lain karena dalam arena media berkelindan berbagai kepentingan politik, ekonomi, kultural, nasional, dan lain-lain. Berbagai aktor juga terlibat termasuk masyarakat sipil di dalamnya. Corak wacana seperti di atas sebenarnya sudah sering disampaikan oleh pihak-pihak yang peduli terhadap penyiaran yang demokratis. Jika kita tengok ke belakang, wacana tentang regulasi media penyiaran di kalangan masyarakat sipil praktis tidak mengalami dinamika signifikan sejak 2005 atau sesudah proses judicial review pelemahan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya support dari donor-donor media untuk program regulasi. Pada era ini, kecenderungan programatik para donor adalah meletakaan isu media sebagai unit dukungan terhadap sektor lain. Paham developmentalis semacam ini terus berkembang di kalangan donor seolah tidak peduli terhadap kecenderungan baru yang mengancam demokrasi. Asumsinya adalah sesudah media bersifat liberal, maka seharusnya tidak ada lagi masalah bagi kebebasan media. Tidak ada antisipasi konseptual dan programatik bagaimana jika media itu sendiri yang mengancam demokrasi. Kalangan kampus juga tidak terlalu memedulikan perkembangan seperti ini. Regulasi sektor lain pun tidak mengantisipasi ini. Ambil saja Undang- Undang Pemilu yang tidak mengantisipasi adanya pola-pola penggunaan media oleh pemiliknya sebagai pamflet politik; aturan iklan kampanye politik yang terlalu teknis prosedural sehingga mudah diakali kontestan; serta