Download Pdf

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Download Pdf KEPEMILIKAN DAN INTERVENSI SIARANPerampasan Hak Publik, Dominasi dan Bahaya Media di Tangan Segelintir Orang Penulis: Puji Rianto Rahayu Iwan Awaluddin Yusuf Bayu Wahyono Saifudin Zuhri Moch. Faried Cahyono Amir Effendi Siregar 2014 PR2MEDIA Diterbitkan atas kerjasama YAYASAN TIFA Yayasan TIFA dan PR2Media KEPEMILIKAN DAN INTERVENSI SIARAN Perampasan Hak Publik, Dominasi dan Bahaya Media di Tangan Segelintir Orang Penulis: Puji Rianto, Rahayu, Iwan Awaluddin Yusuf, Bayu Wahyono, Saifudin Zuhri, Moch. Faried Cahyono, Amir Effendi Siregar Penyunting : Intania Poerwaningtias Perancang Sampul : Dhanan Arditya Tata letak : www.percetakanquantum.com Diterbitkan oleh Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) bekerja sama dengan YAYASAN TIFA Indonesia. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi terbitan buku ini dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari YAYASAN TIFA. Tidak untuk diperjualbelikan. Cetakan Pertama: Maret, 2014 Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Puji Rianto dkk. KEPEMILIKAN DAN INTERVENSI SIARAN Perampasan Hak Publik, Dominasi dan Bahaya Media di Tangan Segelintir Orang/Puji Rianto dkk. ; Penyunting, Intania Poerwaningtias,-Yogyakarta:PR2 Media, 2014 xxviii+262 hlm.; 20 cm. 15 x 23 cm ISBN: 978-602-97839-4-0 1. Buku – Sensor I. Judul II. Intania Poerwaningtias Pemantau Regulasi dan Regulator Media Jl. Solo KM 8, Nayan No. 108A, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta, 55282Telp. 0274-489283, Fax. 0274-486872, Email: [email protected] Tantangan Penyiaran Liberal, Menghindari Libido Kapital R Kristiawan (Manajer Program Media dan Informasi Yayasan Tifa) ibandingkan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, Ddinamika ekonomi politik media di Indonesia menunjukkan perkembangan yang luar biasa baik dari sisi demokratisasi maupun korporatisasi. Jika kita menengok perkembangan media massa di Myanmar saat ini misalnya, kita akan teringat pada memori kolektif bangsa tentang represi militeristik Orde Baru terhadap media. Situasi media di Malaysia pun belum terlalu menggembirakan dimana kepemilikan media sangat terpusat pada partai berkuasa. Singapura juga sama. Niat pemerintah setempat untuk meliberalkan kepemilikan media pada awal tahun 2000- an ternyata gagal karena daya dukung pasar yang tidak memadai. Sejarah media massa di Indonesia membuktikan bahwa jerat politik terhadap kebebasan media sudah mampu dilepaskan oleh bangsa ini. Dalam banyak forum, sejarah ini diakui oleh bangsa-bangsa lain sebagai contoh penting bagi imajinasi mereka tentang perubahan media ke masa depan. Namun, tidak berarti Indonesia tidak memiliki masalah. Ketika negara- negara di Asia Tenggara masih berkutat pada persoalan dominasi tirani negara, Indonesia telah mengalami pergeseran dimana peran negara sebagai tirani telah diganti oleh kekuatan ekonomi. Memang dalam konteks perjuangan dari tirani negara, Indonesia bisa menjadi contoh vi ~ Kepemilikan dan Intervensi Siaran positif. Namun dalam konteks tirani ekonomi, Indonesia bukanlah contoh bagus bagi sistem penyiaran yang demokratis. Regulasi menuju sistem yang diberangus telah diterjang oleh libido kapital. Ada beberapa hal yang terlupakan dalam cerita manis kemerdekaan media itu. Pertama, kebebasan media sering dilihat dalam satu dimensi saja, yaitu dimensi politik. Kebebasan media secara naïf diartikan sebagai lepasnya kontrol Orde Baru terhadap media massa seperti halnya bebasnya rakyat dari represi Orde Baru. Dalam konteks ini, perayaan besar-besaran terjadi lewat munculnya organisasi jurnalis, kebebasan professional wartawan, mekanisme self- censorship, dan sejenisnya. Tentu saja, cara pandang ini benar, tapi tidak lengkap. Cara pandang ini berakar pada paradigma diametral relasi negara dengan masyarakat sipil yang sangat populer di kalangan mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil lain menjelang bangkrutnya Orde Baru. Teori-teori semacam hegemoni Gramsci dan ruang publik Habermas menemukan habitat politik yang sangat cocok pada waktu itu. Fokus proyeknya jelas: melucuti kekuatan negara demi kebebasan berekspresi warga. Donor-donor besar pun mengucurkan dana demi proyek tersebut. One-dimensional paradigm di atas terbukti gagal mengantisipasi tumbuhnya tiran baru dalam ruang publik kita. Hal ini karena kebebasan media sering tidak dilihat dalam koridor ekonomi. Tidak banyak peneliti dan aktivis yang melihat ada potensi menguatnya imperatif ekonomi seiring dengan melemahnya imperatif politik dalam proses transisi “kebebasan” media tersebut. Secara diskursif, tema demokratisasi pun lebih kencang terdengar ketimbang liberalisasi. Tema liberalisasi menuntut orang untuk berpikir stereo atau dual, antara imperatif ekonomi dan politik. Sedangkan tema demokratisasi lebih kental bernada politik semata. Fenomena ini adalah keunikan liberalisasi media dibanding liberalisasi di sektor lain seperti perbankan dan migas yang lebih tegas dalam menggunakan istilah liberalisasi. Kedua, lupa sejarah. Sejarah liberalisasi media di Indonesia sering dianggap dimulai sejak 1998 bersamaan dengan jatuhnya Orde Baru. Tidak banyak yang melihat sisi gelap munculnya televisi swasta pertama kali tahun 1989 pada masa Soeharto masih berkuasa. Liberalisasi terbatas terjadi pada era ini dimana privatisasi dilakukan secara terukur Kata Pengantar ~ vii dalam kontrol politik Soeharto. Strateginya adalah memberikan ijin siaran kepada keluarga Soeharto dan kelompok bisnisnya. Latar teoritik kapitalisme semu dari Kunio penting sebagai pisau analisis untuk melihat penyiaran di era ini. Meski ruas periode ini pendek, tapi dampaknya masih terasa hingga saat ini terutama pada aspek kepemilikan, komitmen terhadap demokrasi penyiaran, dan perlakuan industri penyiaran terhadap birokrasi pemerintah. Perubahan cuaca politik sekitar tahun 1998 membuat industri penyiaran menyesuaikan diri dengan berdiri segaris dengan masyarakat sipil untuk melahirkan regulasi penyiaran yang demokratis. Namun industri penyiaran rupanya tidak siap menghadapi habitat penyiaran yang benar-benar demokratis yang diusung masyarakat sipil lewat penyusunan UU Penyiaran No. 32/2002 dan menjadi bagian integral dari reformasi. Ketika demokratisasi penyiaran merugikan libido akumulasi keuntungan, maka demokratisasi itu ditolak oleh industri penyiaran. Norma-norma penyiaran demokratis diterabas demi tujuan itu lewat judicial review terkait posisi KPI dan pengingkaran terhadap prinsip keragaman kepemilikan. Keuntungan yang terlanjur dinikmati selama rejim Orde Baru berkuasa telah membuat industri penyiaran tidak mau menyesuaikan diri terhadap struktur baru meskipun struktur baru itu demokratis. Ketiadaan antisipasi terhadap munculnya imperatif ekonomi yang mengancam kualitas ruang publik penyiaran kita rasakan saat ini dari yang sifatnya anekdotal sampai pada perilaku regulasi yang tidak berpihak pada hak-hak warga. Anekdot kebebasan pers sudah kebablasan yang sering disampaikan masyarakat awam sebenarnya menyimpan bara yang siap membakar kualitas ruang publik kita. Kualitas tayangan yang seragam, struktur kepemilikan yang terpusat, pelanggaran penggunaan frekuensi, merupakan contoh-contoh yang sedang kita hadapi sekarang. Persoalan yang sedang kita hadapi saat ini adalah bergesernya struktur dominasi dari tirani negara ke tirani modal dimana ruang publik yang demokratis dan setara telah menjadi korbannya. Tentu saja, hal ini tidak berarti anti industri. Industri media merupakan bagian penting dalam sistem demokrasi liberal karena fungsinya sebagai watch dog, penyedia opini yang beragam, serta fungsi leisure time bagi warga. Namun, industri yang menelikung prinsip-prinsip demokratis justru viii ~ Kepemilikan dan Intervensi Siaran akan mengancam keberlangsungan kehidupan bersama (shared-life) yang sehat yang ditandai oleh keseimbangan peran imperatif negara, imperatif ekonomi, dan imperatif kewargaan. Itulah seni ilmu ekonomi politik, dimana bijak secara politik belum tentu selalu berarti bijak secara ekonomi atau sebaliknya. Bijak di sini maksudnya baik bagi kehidupan bersama. Dalam hal ini, media penyiaran merupakan arena sangat menarik dibanding arena-arena lain karena dalam arena media berkelindan berbagai kepentingan politik, ekonomi, kultural, nasional, dan lain-lain. Berbagai aktor juga terlibat termasuk masyarakat sipil di dalamnya. Corak wacana seperti di atas sebenarnya sudah sering disampaikan oleh pihak-pihak yang peduli terhadap penyiaran yang demokratis. Jika kita tengok ke belakang, wacana tentang regulasi media penyiaran di kalangan masyarakat sipil praktis tidak mengalami dinamika signifikan sejak 2005 atau sesudah proses judicial review pelemahan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya support dari donor-donor media untuk program regulasi. Pada era ini, kecenderungan programatik para donor adalah meletakaan isu media sebagai unit dukungan terhadap sektor lain. Paham developmentalis semacam ini terus berkembang di kalangan donor seolah tidak peduli terhadap kecenderungan baru yang mengancam demokrasi. Asumsinya adalah sesudah media bersifat liberal, maka seharusnya tidak ada lagi masalah bagi kebebasan media. Tidak ada antisipasi konseptual dan programatik bagaimana jika media itu sendiri yang mengancam demokrasi. Kalangan kampus juga tidak terlalu memedulikan perkembangan seperti ini. Regulasi sektor lain pun tidak mengantisipasi ini. Ambil saja Undang- Undang Pemilu yang tidak mengantisipasi adanya pola-pola penggunaan media oleh pemiliknya sebagai pamflet politik; aturan iklan kampanye politik yang terlalu teknis prosedural sehingga mudah diakali kontestan; serta
Recommended publications
  • Indonesia in View a CASBAA Market Research Report
    Indonesia in View A CASBAA Market Research Report In Association with Table of Contents 1. Executive Summary 6 1.1 Large prospective market providing key challenges are overcome 6 1.2 Fiercely competitive pay TV environment 6 1.3 Slowing growth of paying subscribers 6 1.4 Nascent market for internet TV 7 1.5 Indonesian advertising dominated by ftA TV 7 1.6 Piracy 7 1.7 Regulations 8 2. FTA in Indonesia 9 2.1 National stations 9 2.2 Regional “network” stations 10 2.3 Local stations 10 2.4 FTA digitalization 10 3. The advertising market 11 3.1 Overview 11 3.2 Television 12 3.3 Other media 12 4. Pay TV Consumer Habits 13 4.1 Daily consumption of TV 13 4.2 What are consumers watching 13 4.3 Pay TV consumer psychology 16 5. Pay TV Environment 18 5.1 Overview 18 5.2 Number of players 18 5.3 Business models 20 5.4 Challenges facing the industry 21 5.4.1 Unhealthy competition between players and high churn rate 21 5.4.2 Rupiah depreciation against US dollar 21 5.4.3 Regulatory changes 21 5.4.4 Piracy 22 5.5 Subscribers 22 5.6 Market share 23 5.7 DTH is still king 23 5.8 Pricing 24 5.9 Programming 24 5.9.1 Premium channel mix 25 5.9.2 SD / HD channel mix 25 5.9.3 In-house / 3rd party exclusive channels 28 5.9.4 Football broadcast rights 32 5.9.5 International football rights 33 5.9.6 Indonesian Soccer League (ISL) 5.10 Technology 35 5.10.1 DTH operators’ satellite bands and conditional access system 35 5.10.2 Terrestrial technologies 36 5.10.3 Residential DTT services 36 5.10.4 In-car terrestrial service 36 5.11 Provincial cable operators 37 5.12 Players’ activities 39 5.12.1 Leading players 39 5.12.2 Other players 42 5.12.3 New entrants 44 5.12.4 Players exiting the sector 44 6.
    [Show full text]
  • Revisiting Transnational Media Flow in Nusantara: Cross-Border Content Broadcasting in Indonesia and Malaysia
    Southeast Asian Studies, Vol. 49, No. 2, September 2011 Revisiting Transnational Media Flow in Nusantara: Cross-border Content Broadcasting in Indonesia and Malaysia Nuurrianti Jalli* and Yearry Panji Setianto** Previous studies on transnational media have emphasized transnational media organizations and tended to ignore the role of cross-border content, especially in a non-Western context. This study aims to fill theoretical gaps within this scholarship by providing an analysis of the Southeast Asian media sphere, focusing on Indonesia and Malaysia in a historical context—transnational media flow before 2010. The two neighboring nations of Indonesia and Malaysia have many things in common, from culture to language and religion. This study not only explores similarities in the reception and appropriation of transnational content in both countries but also investigates why, to some extent, each had a different attitude toward content pro- duced by the other. It also looks at how governments in these two nations control the flow of transnational media content. Focusing on broadcast media, the study finds that cross-border media flow between Indonesia and Malaysia was made pos- sible primarily in two ways: (1) illicit or unintended media exchange, and (2) legal and intended media exchange. Illicit media exchange was enabled through the use of satellite dishes and antennae near state borders, as well as piracy. Legal and intended media exchange was enabled through state collaboration and the purchase of media rights; both governments also utilized several bodies of laws to assist in controlling transnational media content. Based on our analysis, there is a path of transnational media exchange between these two countries.
    [Show full text]
  • Daftar Pustaka
    DAFTAR PUSTAKA A.Referensi Buku Arifin, Anwar. Sistem Penyiaran Indonesia. Jakarta: Pustaka Indonesia untuk Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Persada Indonesia Y.A.I, 2012. Armando, Ade.Televisi Jakarta Di Atas Indonesia. Yogyakarta: Bentang, 2011. Djamal, Hidajanto, dan Andi Fachrudin. Dasar-Dasar Penyiaran, Sejarah, Organisasi, Operasional dan Regulasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011. Judhariksawan. Hukum Penyiaran. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010. M.A, Morissan. Manajemen Media Penyiaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Marzuki, Mahmud, Peter. Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan ke-2. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006. Masduki. Regulasi Penyiaran Dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta: LKis, 2007. McQuail, Dennis. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga, 1987. Mufid, Muhammad. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005. Mulgan, Geoff. Politik dalam Sebuah Era Anti-Politik, Jakarta: Yayasan untuk Indonesia. 1993. Nugroho, Y., Siregar, MF., Laksimi, S. (2012). Memetakan Kebijakan Media di Indonesia (Edisi Bahasa Indonesia). Laporan. Bermedia, Memberdayakan Masyarakat: Memahami kebijakan dan tatakelola media di Indonesia melalui kacamata hak warga negara. Kerjasama riset antara Centre for Innovation Policy and Governance dan HIVOS Kantor Regional Asia Tenggara, didanai oleh Ford Fondation. Jakarta: CIPG dan HIVOS. Putra, Fadillah. Partai Politik dan Kebijakan Publik, Yogyakarta: Averroes Press- Pustaka Pelajar, 2003. Rachbini, J, Didik. Ekonomi Politik, Paradigma dan Teori Pilihan Publik, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002. Rianto, Puji dkk. Kepemilikan dan Intervensi Siaran. Yogyakarta: Pemantau Regulasi dan Regulator Media, 2014. 118 Rivers L. William. Media Massa dan Masyarakat Modern Jakarta: Prenada Media, 2004. Rodman, George. Mass Media In a Changing World. United States: The McGraw-Hill, 2006. Siregar, Effendi, Amir. Mengawal Demokratisasi Media: Menolak Konsentrasi, Membangun Keberagaman.
    [Show full text]
  • Bab 2 Industri Dan Regulasi Penyiaran Di Indonesia
    BAB 2 INDUSTRI DAN REGULASI PENYIARAN DI INDONESIA 2.1. Lembaga Penyiaran di Indonesia Dalam kehidupan sehari-hari, istilah lembaga penyiaran seringkali dianggap sama artinya dengan istilah stasiun penyiaran. Menurut Peraturan Menkominfo No 43 Tahun 2009, yang ditetapkan 19 Oktober 2009, lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Komunitas, maupun Lembaga Penyiaran Berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggungjawabnya berpedoman pada peraturan perundangan yang berlaku. Jika ditafsirkan, lembaga penyiaran adalah salah satu elemen dalam dunia atau sistem penyiaran. Dengan demikian walau lembaga penyiaran bisa dilihat sebagai segala kegiatan yang berhubungan dengan pemancarluasan siaran saja, namun secara implisit ia merupakan keseluruhan yang utuh dari lembaga-lembaga penyiaran (sebagai lembaga yang memiliki para pendiri, tujuan pendiriannya/visi dan misi, pengelola, perlengkapan fisik), dengan kegiatan operasional dalam menjalankan tujuan-tujuan penyiaran, serta tatanan nilai, dan peraturan dengan perangkat-perangkat regulatornya. Sedangkan stasiun penyiaran adalah tempat di mana program acara diproduksi/diolah untuk dipancarluaskan melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, laut atau antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. Sedangkan penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan
    [Show full text]
  • Pt Mahaka Media Tbk. Dan Entitas Anak
    DAFTAR ISI 06 PROFIL PERSEROAN CORPORATE PROFILE Visi Misi & Filosofi 8 Vision Mission & Philosophy Sekilas Mahaka Media 10 Mahaka Media at a Glance Jejak Langkah Perseroan 14 Corporate Milestone Bidang Usaha 18 Line of Business Struktur Organisasi 20 Organization Structure Diagram Mahaka Media & Entitas Anak 2015 22 Mahaka Media Chart & Subsidiaries 2015 Struktur Kepemilikan Saham 24 06 Share Ownership Structure Kronologis Pencatatan Saham 25 Share Listing Chronology Kapitalisasi Pasar 25 Market Capitalization Komposisi Pemegang Saham 26 Shareholder Composition Informasi Harga Saham Dalam 2 (Dua) Tahun Terakhir 27 Stock Price Information The Last 2 (Two)Years Harga Saham 27 Quaterly Stock Price Ikhtisar Keuangan 28 Financial Highlights 2011-2015 34128 34 LAPORAN MANAJEMEN MANAGEMENT REPORT Sambutan Komisaris Utama 36 Foreword from The President Commissioner Dewan Komisaris 40 Board of Commissioners Laporan Direktur Utama 44 Report from The President Director Dewan Direksi 50 Board of The Directors 64 Kode Etik 54 Code of Ethics 1 Sumber Daya Manusia 58 Human Resources Data Karyawan 59 Employees Data Penghargaan & Sertfikasi 61 Award & Certification 64 TINJAUAN OPERASIONAL OPERATING REVIEW Prospek Usaha 2016 66 Business Prospect 2016 ii Mahaka Media Annual Report 2015 TABLE OF CONTENTS KINERJA 2015 72 2015 PERFORMANCE PT Republika Media Mandiri (Harian Republika) 76 PT Pustaka Abdi Bangsa (Republika Penerbit) 80 PT Republika Media Visual (RMV) 86 PT Avabanindo Perkasa (Mahaka Advertising) 92 PT Media Golfindo (Golf Digest) 96 PT Metromakmur
    [Show full text]
  • Radio Republik Indonesia Surakarta, 1945-1960S: Its Role in Efforts to Maintain Indonesian Independence and the Formation of National Culture
    Indonesian Historical Studies, Vol. 1, No. 2, 138-153 © 2017 Radio Republik Indonesia Surakarta, 1945-1960s: Its Role in Efforts to Maintain Indonesian Independence and the Formation of National Culture Dhanang Respati Puguh Department of History, Faculty of Humanities, Diponegoro University * Corresponding Author: [email protected] Abstract This article discusses the role of Radio Republik Indonesia (RRI, The Radio of RepuBlic of Indonesia) Surakarta in the period 1945-1960s. In that period RRI Surakarta had two roles in the context of decolonization. In the period 1945-1949, RRI Surakarta had a role in the effort to maintain the independence of Indonesia. The RRI Surakarta employees struggled to maintain the existence of RRI Surakarta with rescueing the station and Received: transmitter so that the struggle of the Indonesian nation in defending the 8 DecemBer 2017 independence of Indonesia could Be Broadcasted to various parts. In the period 1950-1960s RRI Surakarta participated in efforts to formation a Accepted: 18 DecemBer 2017 national culture. When the discourse of national culture continued to Be discussed By the elite of Indonesia, since 1950 the Bureau of the Radio of RepuBlic of Indonesia had set the estaBlishment and the choice of ways to Build a national culture. In this connection, RRI should Be directed to build a national culture. Based on the policy of the Bureau of Radio of RepuBlic of Indonesia, RRI Surakarta realized that idea By organizing Javanese art Broadcasts (gamelan, wayang wong, kethoprak, and shadow puppets), “local entertainment” and national music, and organizing Radio Star Competition. RRI Surakarta Radio Star made an important role in the creation of popular music in Indonesia.
    [Show full text]
  • Download Article (PDF)
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 136 2nd International Conference on Social and Political Development (ICOSOP 2017) The Power of the Screen: Releasing Oneself from the Influence of Capital Owners Puji Santoso Muhammadiyah Sumatera Utara University (UMSU) Email: [email protected] Abstract— Indonesia’s Media has long played a pivotal role in every changing. The world’s dependence on political, economic, and cultural changes leads the media playing an active role in the change order. It is not uncommon that the media has always been considered as an effective means to control changes or the process of social transformation. In the current era of reformation, the press, especially television industry has been experiencing rapid development. This is triggered by the opportunities opened for capital owners to invest their money into media business of television. Furthermore, the entrepreneurs or the capital owners capitalize the benefits by establishing several media subsidiaries. They try to seize the freely opened opportunity to create journalistic works. The law stipulates that press freedom is a form of popular sovereignty based on the principles of democracy, justice, and legal sovereignty. The mandate of this law indicates that press freedom should reflect people’s sovereignty. The sovereign people are the people in power and have the power to potentially develop their life-force as much as possible. At present, Indonesia has over 15 national television stations, 12 of which are networked televisions, and no less than 250 local television stations. This number is projected to be increasing based on data on the number of lined up permit applicants registered at the Ministry of Communications and Information office (Kemenkominfo) or at the Indonesian Broadcasting Commission (KPI) office both at the central and regional levels.
    [Show full text]
  • MEMBANGUN MEDIA PENYIARAN YANG BERDAULAT Roso Prajoko1
    E-ISSN 2686 5661 INTELEKTIVA : JURNAL EKONOMI, SOSIAL & HUMANIORA VOL.01 NO. 09. APRIL 2020 MEMBANGUN MEDIA PENYIARAN YANG BERDAULAT Roso Prajoko1 1}Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Boyolali Korepondensi : [email protected] ABSTRAK Media penyiaran yang kita temuai sehari-hari sangatlah penting dalam memberikan informasi, pendidikan seni, budaya dan beraneka ragam acara lain yang terdapat disitu. Jika kita tidak hati hati, maka bisa saja media penyiaran membawa dampak yang negative dan justru melanggar asas penyelenggaraan penyiaran yaitu berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif untuk menganalisis data. Penelitian kualitatif berusaha untuk mengangkat secara ideografis berbagai fenomena dan realitas sosial. Hasil penelitian dan pembahasan memberikan gambaran bahwa sebagian besar masyarakat menonton dan mendengarkan radio lebih dari satu atau dua jam per hari. Adapun yang mereka lakukan dengan menonton dan mendengarkan radio ada bermacam macam tujuan dengan kebutuhan diri masing-masing penonton. Dampak positif maupun negative tergantung dari kita yang melihat, selain juga di butuhkan lembaga pengawasan yang Independen, dan tegas dalam mengawasi media penyiaran. Jangan sampai media penyiaran justru merusak integrase nasioanl. Kata kunci: Media Penyiaran, Integrasi Nasional, dan Pengawasan ABSTRACT Broadcast media that we meet everyday are very important in providing information, arts education, culture and various other events contained there. If we are not careful, then the broadcasting media could have a negative impact and actually violate the principles of broadcasting that is based on Pancasila and the 1945 Constitution. In this study the researchers used qualitative methods to analyze data. Qualitative research seeks to elevate ideographically various phenomena and social realities. The results of the study and discussion illustrate that most people watch and listen to the radio for more than one or two hours per day.
    [Show full text]
  • Rethinking National Identity in an Age of Commercial Islam: the Television Industry, Religious Soap Operas, and Indonesian Youth
    Rethinking National Identity in an Age of Commercial Islam: The Television Industry, Religious Soap Operas, and Indonesian Youth by Inaya Rakhmani, S.Sos (UI), MA (UvA) This thesis is presented for the degree of Doctor of Philosophy at Murdoch University 2013 I declare that this thesis is my own account of my research and contains as its main content work which has not previously been submitted for a degree at any tertiary institution. ………………………………………….. Inaya Rakhmani ii ABSTRACT This thesis is about what it means to be Indonesian in an age of commercial Islam. It set out to understand the growing trend of “Islamisation” in Indonesian television after the end of the authoritarian New Order regime (1962 to 1998), which coincided with the rise of Islamic commodification in other sectors (Fealy, 2008). To achieve this, the thesis looks at the institutional practices, Islamic representation, and the reception of the most-watched television format with an Islamic theme, sinetron religi (religious drama). Studies on Indonesian television so far have focused on its structure, construct, and audience as separate entities (e.g. Sen & Hill, 2000; Kitley, 2000; Ida, 2006; Barkin, 2004; Loven, 2008). This thesis is the first research on Indonesian television that understands the institutional frameworks, identity constructs, and its reception as a whole. As the industry’s livelihood is determined by advertising revenue that relies on audience ratings, it is in the interest of the television stations to broadcast Islamic symbols that are acceptable to the general, “national” viewers. This study takes a look into the tension between Islamic ideologies and commercial interest in the practices that surround sinetron religi.
    [Show full text]
  • Pasca Covid-19 Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang No
    Prediksi Ekonomi Indonesia Pasca Covid-19 Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta 1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). 2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/ atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Prediksi Ekonomi Indonesia Pasca Covid-19 Dr. Tommy Kuncara, S.E., M.M.S.I., CA., ACPA., CTA Tulus Pujo Nugroho, S.E., M.M Diah Aryati, S.E., M.M.S.I Early Armein Thahar, S.E., M.M Aditya Rian Ramadhan, S.E., M.M Natallios Peter Sipasulta, S.Kom., M.M.S.I Fera Riske Anggita, S.E., M.M Jessica Barus, S.E., M.M.S.I Ardiprawiro, S.E., M.M.S.I Ardhy Lazuardy, S.T., M.Si PREDIKSI EKONOMI INDONESIA PASCA COVID-19 Dr.
    [Show full text]
  • Notes on the Radio Republic Indonesia
    This document is downloaded from DR‑NTU (https://dr.ntu.edu.sg) Nanyang Technological University, Singapore. Notes on the radio Republic Indonesia Utiek Ruktiningsih. 1984 Utiek R. (1984). Notes on the radio Republic Indonesia. In AMIC‑MPI Seminar on Communication Training in ASEAN : Kuala Lumpur, October 29‑November 2, 1984. Singapore: Asian Mass Communication Research & Information Centre. https://hdl.handle.net/10356/86367 Downloaded on 28 Sep 2021 05:53:04 SGT ATTENTION: The Singapore Copyright Act applies to the use of this document. Nanyang Technological University Library Notes On The Radio Republik Indonesia By Utiek Ruktiningsih Paper No.13 SEMINAR ON COMMUNICATION TRAINING AND THE NEEDS OF MASS MEDIA ORGANISATIONS Oct. 29-Nov. 2, 1985 Kuala Lumpur, Malaysia Country Paper: Notes on the Radio Republik Indonesia By Ms. Utiek Ruktiningsih ATTENTION: ThDirectoe Singapore Cro pyorigfh t ANewct apspli es to the use of this document. Nanyang Technological University Library Radio Republik Indonesia Jakarta, Indonesia Radio Republik Indonesia (RRI) is the official name of the national sound-broadcasting network of the Republic of Indonesia. It is a government body, given the status of directorate under the Directorate General of Radio Television and Film of the Department of Information. The chief executive of the organisation is the director. The directorate of RRI includes the folllowing: domestic services, overseas services, news service, engineering, planning and development, transmission service, Jakarta transmitters unit and administrations. Each division is headed by a division head. Domestic Service The Domestic Services provide guidance in matters of programme in accordance with government policies. It stipulates the lines of conduct to be followed by the regional RRI stations all over Indonesia.
    [Show full text]
  • Master Thesis
    Master Thesis Kungliga Tekniska Högskolan Media Management Master Program Utilization of New Media by Traditional Media Companies in Indonesian Media Industry Charlie Tjokrodinata Degree project in: Media Management i Supervisor: Dr Christopher Rosenqvist - SSE ii Abstract – English The rise of social media represents a new challenge to the traditional media industry. Some traditional media companies either shy away on the idea of utilizing social media to enhance their services, but many others actually embrace this as an opportunity to reposition themselves within the industry. This study tries to figure out the extent of the proliferation of social media by the traditional players. The research approach focused on case study methodology through quantitative and qualitative methods. Record analysis of social media utilization by the traditional media companies represented the quantitative method. As many as 483 media companies from radio, television and printed media companies were sampled, they are companies under twelve national media conglomerates and one largest independent media group in Indonesia. Availability and a few simple statistics of web sites and three most popular social media platforms were recorded. The interviews with three different media companies and observations represented the qualitative method. The purpose is to understand the background motives of the social media utilization. The study reveals that utilization of web sites and social media platforms by the traditional media companies is quite extensive. The result revealed that 72% media companies have a web site, and more than 90% have Facebook accounts. Twitter, while not as popular as Facebook, still has as much as 73.6% of sampled media companies joining the platform.
    [Show full text]