perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KOALISI PARTAI ISLAM DALAM PERKEMBANGAN POLITIK

DI TAHUN 1999 – 2004

SKRIPSI

Oleh:

RANULIN WINDARSARI

NIM: K4408007

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

commit to user

i

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KOALISI PARTAI ISLAM DALAM PERKEMBANGAN POLITIK

DI INDONESIA TAHUN 1999 – 2004

Oleh : Ranulin Windarsari NIM : K4408007

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012 commit to user ii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Surakarta, Juli 2012

Pembimbing I Pembimbing II

Tri Yuniyanto, M. Hum Dra. Sri Wahyuni, M. Pd

NIP. 19650627 199003 1 003 NIP. 19541129 198601 2 001

commit to user

iii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima

untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari : Selasa

Tanggal : 10 Juli 2012

Tim Penguji Skripsi: Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. Herimanto, M. Pd, M. Si …………………

Sekretaris : Drs. Djono, M. Pd …………………

Anggota I : Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum …………………

Anggota II : Dra. Sri Wahyuni, M. Pd …………………

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

a.n. Dekan

Pembantu Dekan I

Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M. Si. NIP. 19660415 199103 1 002 commit to user iv

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Ranulin Windarsari. K4408007. Koalisi Partai Islam dalam Perkembangan Politik di Indonesia tahun 1999 – 2004. Skripsi. Surakarta:

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2012.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) Latar Belakang Koalisi Partai Islam di Indonesia, (2) Tujuan Koalisi Partai Islam di Indonesia tahun 1999, (3) Perkembangan Koalisi Partai Islam dalam di Indonesia tahun 1999 – 2004. Metode penelitian ini adalah metode historis dengan langkah-langkah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber data dalam penelitian ini berupa sumber primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis, dengan melakukan kritik ekstern dan intern. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Latar belakang koalisi partai Islam di Indonesia tahun 1999 adalah sistem politik Indonesia yang kembali kepada sistem multipartai setelah masa Orde Baru dalam pemilu sehingga tidak ada satu partai yang menjadi pemenang mutlak, sehingga harus ada koalisi karena tanpa koalisi sulit untuk menghasilkan suara mayoritas; (2) Tujuan Koalisi Partai Islam di Indonesia Tahun 1999 adalah karena dalam Pemilihan Presiden dan wakil presiden 1999 menggunakan alternatif yang mana seorang Presiden harus mengantongi suara dukungan MPR minimal 50% lebih satu dari MPR maka proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden harus melalui proses koalisi. Alternatif koalisi karena tidak adanya partai yang menjadi pemenang mutlak dalam pemilu 1999 menyebabkan partai-partai Islam memiliki kesempatan untuk mengambil inisiatif dalam membentuk pemerintahan dengan menyalurkan aspirasi-aspirasi politik yang dimiliki sehingga terbentuk Koalisi Poros Tengah.

Tujuan Koalisi Poros Tengah ini adalah untuk mengimbangi dua kekuatan besar yang saling serang yaitu antara kubu pendukung Megawati Soekarnoputri dan

kubu pendukung B.J. Habibie.; (3) Perkembangan koalisi partai Islam di Indonesia tahun 1999-2004 dimulai dari keberadaan koalisi Poros Tengah sehingga berhasil mengantarkan menjadi Presiden RI

mengalahkan Megawati Soekarnoputri yang diusung oleh PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu. Koalisi Poros Tengah ini pula yang menjatuhkan Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan dan mendukung Megawati Soekarnoputri untuk

menggantikan posisi Abdurrahman Wahid. Pada masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri beberapa partai Islam dalam pemerintahan bukan sebagai koalisi

akan tetapi sebagai oposisi di parlemen.

commit to user v

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Ranulin Windarsari. K4408007. Coalition of Islamic Parties in Political Developments in Indonesia in 1999–2004. Thesis. Surakarta: Faculty

of Teacher Training and Education. Sebelas Maret University, July 2012. The aims of this research is to describe: (1) Background of the Islamic Coalition Party in Indonesia, (2) The objectives of Islamic Coalition Party in

Indonesia in 1999, (3) The development of the Islamic Coalition Party in Indonesia in the year 1999-2004. This research method is the historical method with heuristic steps, criticism, interpretation, and historiography. Source of data used in this study are primary sources and secondary sources. Collecting data by literature study. The data analysis technique used is the technique of historical analysis, by performing external and internal criticism. Based on this research can be concluded: (1) Background coalition of Islamic parties in Indonesia 1999 is Indonesia's political system to multiparty system again after the in the election so that no single party winning an absolute, so there should be a coalition because no coalition difficult to produce a majority vote, (2) The purpose of Islamic Coalition Party in Indonesia in 1999 is due to the election of the President and vice president of 1999 using an alternative in which a President should support the Assembly the votes of at least 50% over one of the Assembly then the election of President and Vice President has to go through the process of coalition. Coalition alternative was selected because of the absence of an parties which to be an absolute winner in the 1999 elections so led to the Islamic parties have opportunity to take the initiative in forming a government with the aspirations politic owned to forming the Coalition

of Poros Tengah. The purpose of Poros Tengah coalition is to offset the two major

forces that are attacking each other between the stronghold of Megawati Soekarnoputri endorsers and the stronghold of B.J. Habibie endorsers, (3) The

development of a coalition of Islamic parties in Indonesia in 1999-2004 starting

from the existence of the Poros Tengah coalition that managed to deliver to Abdurrahman Wahid as a President of Indonesia defeat

who brought by the PDI-P won the election. Poros Tengah coalition is also a drop from the presidency of Abdurrahman Wahid and Megawati Sukarnoputri support

to replace the position of Abdurrahman Wahid. During of Megawati Soekarnoputri leadership, several of Islamic parties in government are not as a

coalition but as an opposition in parliament.

commit to user vi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MOTTO

Kerjasama yang baik dibutuhkan dalam suatu kelompok atau organisasi untuk

mencapai tujuan tertentu (Gillin)

Tidak ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik (Leo Agung S.)

commit to user vii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada: 1. Ibu dan Bapak yang telah memberikan dukungan doa, spiritual dan material 2. Adik, Tante, Alm. Kakek tercinta 3. Almamater

commit to user

viii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat

diselesaikan, untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian

penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi; 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surakarta yang telah memberikan persetujuan skripsi; 3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin demi kelancaran penyusunan skripsi; 4. Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum, selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan nasehat, waktu, serta kritikan yang membangun selama

memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi;

5. Dra. Sri Wahyuni, M. Pd, selaku Pembimbing Skripsi II yang telah

memberikan waktu, nasehat, dan kritikan selama memberikan bimbingan

dalam penyusunan skripsi;

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan

Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon

maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati;

Disadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan, tetapi

diharapkan penulisan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan

dan mahasiswa Program Pendidikan Sejarah pada khususnya.

Surakarta, Juni 2012

commit to user Penulis

ix

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...... i

HALAMAN PENGAJUAN ...... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ...... iii

HALAMAN PENGESAHAN ...... iv

HALAMAN ABSTRAK ...... v ABSTRACT ...... vi HALAMAN MOTTO ...... vii HALAMAN PERSEMBAHAN ...... viii KATA PENGANTAR ...... ix DAFTAR ISI ...... x DAFTAR TABEL ...... xii DAFTAR GAMBAR ...... xiii DAFTAR LAMPIRAN ...... xiv

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1

B. Rumusan Masalah ...... …………. 12

C. Tujuan Penelitian ...... 12

D. Manfaat Penelitian ...... 12

E.

BAB II LANDASAN TEORI ……………………………………… . 14

A. Tinjauan Pustaka ...... 14

1. Sistem Politik ...... 14

2. Sistem Pemerintahan ...... 17

3. Partai Politik Islam …………………………………….. 19

4. Koalisi Politik ………………………………………… 21

5. Politik Aliran ...... 23

B. Kerangka Berpikir ...... 25 commit to user x

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III METODOLOGI PENELITIAN …………………………. .. 28

A. Tempat dan Waktu Penelitian ...... 28

1. Tempat Penelitian ...... 28

2. Waktu Penelitian ...... 29

B. Metode Penelitian ...... 29

C. Sumber Data ...... 30

D. Teknik Pengumpulan Data ...... 32 E. Teknik Analisis Data ...... 33 F. Prosedur Penelitian ...... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN ……………...... 39 A. Latar Belakang Koalisi Partai Islam di Indonesia Tahun 1999 ...... 39 1. Sejarah Koalisi Partai Islam setelah Kemerdekaan ...... 39 2. Berakhirnya Rezim Orde Baru ...... 48 3. Pemilu 7 Juni 1999 ...... 53 B. Tujuan Koalisi Partai Islam di Indonesia Tahun 1999 ...... 72 C. Perkembangan Koalisi Partai Islam di Indonesia

Tahun 1999-2004 ...... 78

1. Koalisi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 1999 ... 78

2. Kabinet Persatuan Nasional ...... 91

3. Sidang Istimewa MPR 2001 ...... 98

4. Kabinet Gotong Royong ...... 102

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ...... 105

A. Simpulan ...... 105

B. Implikasi ...... 107

C. Saran ...... 110

DAFTAR PUSTAKA ...... 111 LAMPIRAN ...... commit to user...... 118 xi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jadwal Penelitian Sejarah Tentang Koalisi Partai Islam dalam

Perkembangan Politik di Indonesia Tahun 1999-2004 ……...... 29

2. 10 Besar Hasil Pemilu 7 Juni 1999 ………………………………. 69

3. Peta Koalisi Poros Tengah dalam Pemilihan Presiden 1999 ……... 78

commit to user xii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Skema Kerangka Berpikir Tentang Koalisi Partai Islam dalam

Perkembangan Politik di Indonesia Tahun 1999-2004 ...... 25

2. Prosedur Penelitian Sejarah Tentang Koalisi Partai Islam dalam

Perkembangan Politik di Indonesia Tahun 1999-2004……………. 34

commit to user

xiii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Majalah ……………………….………………………… 118

2. Koran ……….………………………………………….. 141

3. Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 4 No. 6

Oktober 2006 ……………………………………………. 158 4. Undang-undang RI No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik ………………………………………………….. 172 5. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ……………………………………………… 188 6. Surat Permohonan Ijin Penyusunan Skripsi ……………. 189

commit to user xiv

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hubungan agama (Islam) dan Negara selalu menjadi kajian menarik di Indonesia. Hal ini disebabkan persoalan kesejarahan menyangkut hubungan antara agama dan Negara di Indonesia yang sering muncul dan tenggelam, juga karena banyaknya pengaruh hubungan agama dan Negara yang berkembang di dunia Islam atau penduduk muslim di Indonesia sebagai mayoritas (Ma’mun Murod Al-Brebesy, 1999: 237). Indonesia merupakan suatu Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pemeluk Islam secara bersama atau sendiri, memiliki sistem bertindak dan sistem hubungan sosial yang tersusun dalam institusi syariah. Institusi syariah Islam disusun berdasarkan ajaran Islam yang tercantum dalam kitab al-Quran dan sunah Rasul. Pemeluk Islam yang merupakan mayoritas dari seluruh penduduk Indonesia merupakan sub sistem masyarakat Indonesia. Dengan demikian, setiap penyusunan dan perumusan aturan tata hubungan masyarakat yang dilakukan pemerintah

Indonesia akan segera langsung atau tidak langsung melibatkan komunitas umat

tersebut (Abdul Munir Mulkhan, 1989: 3).

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa umat Islam sebagai

mayoritas terbesar di Indonesia selalu menarik untuk dikaji. Hal ini dikarenakan

perkembangan umat Islam di Indonesia yang dinamis sehingga mempengaruhi

sebagian besar segi kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara karena secara

langsung maupun tidak langsung kehidupan masyarakat di Indonesia melibatkan

komunitas umat Islam yang ada di Indonesia.

Islam di Indonesia tidak dapat disamakan dengan Islam di Negara manapun

Hal tersebut sesuai dengan simpulan Mintz dalam Rusli Karim (1997: 20) bahwa

1 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2

Islam di Indonesia sebagai unsur tambahan dari agama-agama yang telah ada, di

samping mempersatukan juga merupakan sebuah kekuatan dinamis, tidak kaku

dalam adaptasinya dengan kehidupan modern. Faktor ini pula yang menyebabkan

Islam memainkan peran penting sebagai kendaraan nasionalisme dan pembangunan

sosial di Indonesia. Pengalaman sejarah perkembangan masyarakat Indonesia sebagai Negara, dalam proses perumusan konsep dasar tata hubungan sosial masyarakat memberi petunjuk suatu perbedaan yang cukup tajam antara pemerintah dan umat Islam tentang ideologi. Bagi umat Islam ideologi merupakan terjemahan langsung dari kaidah ajaran Islam, sementara pemerintah meletakkannya pada akar budaya kebangsaan dan kenasionalan. Oleh karena itu, pemerintah menempatkan Islam dalam konteks kebangsaan dan kenasionalan tersebut yang digali dari kebudayaan yang mentradisi dan mengakar dalam kehidupan masyarakat (Abdul Munir Mulkhan, 1989: 4). Indonesia sebagai Negara bekas jajahan terdapat tiga kelas yang saling bersaing, yaitu: borjuis metropolitan, borjuis pribumi dan kelas tuan tanah. Perkembangan politik di Indonesia juga turut dipengaruhi oleh keberadaan kelas-

kelas tersebut. Contoh yang terjadi adalah pada masa penjajahan Belanda, golongan

penduduk di Hindia Belanda di bagi ke dalam tiga golongan yaitu: golongan Eropa

(Belanda), golongan bumi putera/pribumi, dan golongan Timur Asing (Slamet

Muljana, 2008: 97). Pembagian golongan tersebut menimbulkan persaingan di antara

para pedagang pribumi, khususnya pedagang Islam dengan para pedagang dari

golongan Timur Asing yaitu pedagang Cina. Hal ini kemudian menimbulkan rasa

nasionalisme modern Indonesia yang pada saat itu mulai tumbuh. Kata Islam

merupakan kata pemersatu bagi orang Indonesia untuk berhadapan dengan pihak

Belanda dan juga dengan orang Cina. Sarekat Dagang Islam kemudian didirikan

tahun 1911 yang awalnya diarahkan memperkuat usaha untuk menghadapi pedagang

Cina. Pada umumnya pedagang Indonesia pada saat itu beragama Islam maka disebut

Sarekat Dagang Islam. Ikatan terhadap Islam dapat menyebar ke segenap penjuru

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3

tanah air, di samping meliputi segenap lapisan penduduk dari bawah sampai atas juga

karena lebih di dorong oleh rasa seagama (Deliar Noer, 2000: 5). Atas dasar rasa

seagama itu, maka Sarekat Dagang Islam berubah menjadi Sarekat Islam pada tahun

1912 karena pertimbangan bahwa pekumpulan itu tidak terbatas sampai para

pedagang saja, tetapi juga mempunyai dasar yang lebih luas sehingga orang Islam yang bukan pedagang pun bisa menjadi anggota (Slamet Muljana, 2008: 122). Lahirnya Sarekat Islam merupakan sebuah aktivitas keagamaan pertama yang cukup berarti dalam usaha memperbaiki posisi umat Islam dalam sebuah bangsa yang telah dijajah. Sarekat Islam merupakan organisasi yang berkontribusi dalam menegakkan akar kebangsaan dan persatuan Indonesia. Kemudian disusul dengan berdirinya Muhammadiyah pada tahun 1912, dengan semangat pembaharuan yang merupakan suatu cara baru untuk diperkenalkan kepada komunitas Islam ke dalam kehidupan modern yang mulai menggunakan organisasi modern. Falsafah perjuangan yang terpenting adalah mengangkat martabat bangsa terjajah. Kedua organisasi Islam di atas disebut sebagai langkah awal yang mempunyai dampak bagi masa depan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam perkembangan berikutnya, Sarekat Islam menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia

(PSII), sebagai partai Islam pertama. Sedangkan Muhammadiyah berkembang

menjadi sebuah organisasi kemasyarakatan yang sangat berpengaruh, terutama dalam

mengajarkan paham Islam modern, memberikan perhatian pada pendidikan dan amal

sosial.

Sejak tahun 1920-an umat Islam semakin banyak yang melibatkan diri

dalam kegiatan politik untuk menentang penjajah asing. Oleh karena itu dapat

disimpulkan bahwa organisasi Islam telah memberikan sumbangan yang sangat besar

bagi perjuangan bangsa menentang penjajah (Abdul Munir Mulkhan, 1987: 56).

Nahdlatul Ulama (NU) berdiri setelah Sarekat Islam dan Muhammadiyah

pada tahun 1926 oleh K.H.A. Wahab Hasbullah. Organisasi-organisasi Islam yang

lain (berhaluan modernis, reformis, dan tradisionalis) menyatukan dalam federasi

Islam yaitu Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) di tahun 1937 (Ahdi Makmur,

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4

2006: 66). MIAI dibentuk atas dasar keinginan untuk memperkuat tali persatuan

umat Islam Indonesia. MIAI secara umum bergerak di bidang keagamaan, akan

tetapi dalam setiap aktivitasnya sarat muatan politik. MIAI kemudian mendirikan

partai Islam yaitu Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan

November 1943 (Ahmad Syafi’i Mufid, 2009: 13). Selama ratusan tahun Indonesia dijajah oleh bangsa asing, akhirnya Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah prokalmasi kemerdekaan itu, Indonesia mulai menata sistem pemerintahannya dengan sistem presidensial, yaitu suatu pemerintahan yang kepala negaranya juga berfungsi sebagai kepala pemerintahan. Dengan demikian, dibentuk kabinet pertama yang sesuai dengan UUD 1945 pada tanggal 2 September 1945 yaitu kabinet Presidensial. Kehidupan partai politik di Indonesia dikenal semenjak adanya maklumat presiden tanggal 16 Oktober 1945 Nomor X, kemudian banyak partai politik yang di bentuk oleh rakyat (Miriam Budiardjo, 2008: 425). Sejak saat itu sistem kabinet Presidensial Indonesia diganti dengan sistem Kabinet Parlementer dengan Perdana Menteri pertamanya yaitu Sutan Syahrir yang praktis menjalankan kekuasaan. Berbekal kekuasaan tersebut, Sutan Syahrir mempelopori penggusuran

sistem satu partai dan membengun sistem banyak partai. Kabinet Syahrir tidak

ditempati oleh orang-orang dari partai politik, walaupun telah keluar maklumat

pemerintahan RI pada tanggal 3 November tahun 1945 yang menganjurkan

mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat memperjuangkan kemerdekaan.

Pada saat itu kabinetnya disebut sebagai kabinet presidensial dan dipimpin oleh

seorang presiden. Dalam perjalanannya kabinet Presidensial ini tidak berlangsung

lama, dari tanggal 19 Agustus 1945 sampai dengan 14 November 1945. Hal tersebut

terjadi karena adanya maklumat presiden No X, juga pengaruh dari Syahrir tokoh

Nasional yang sangat vokal yang menuntut dibentuknya kabinet parlementer (Zainal

Abidin Amir, 2003: 34).

Sistem pemerintahan parlementer ini berarti membuka peluang lebih besar

kepada partai politik untuk memainkan perannya di legislatif. Partai apa pun yang

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5

bisa memperoleh suara terbanyak di legislatif pada gilirannya akan mendapat

kesempatan untuk mendominasi kabinet atau lembaga eksekutif. Hal ini menjadi

salah satu pendorong bagi masyarakat yang terbelah menjadi lima aliran pemikiran

politik untuk mendirikan partai sesuai dengan aliran yang dimiliki. Kelima aliran itu

adalah Komunisme, Sosialisme Demokratik, Islam, Nasionalisme Radikal, dan Tradisionalisme Jawa (Zainal Abidin Amir, 2003: 35). Kabinet selanjutnya dijabat oleh partai-partai politik yang bertanggung jawab kepada parlemen, dan partai-partai yang memimpin kementrian dalam kabinet baik parlementer maupun presidensial pada saat itu adalah partai-partai yang yang melakukan koaliasi (berkoalisi) seperti Parkindo dan Masyumi yang berkoaliasi pada masa kabinet Syahrir I. Adapun partai yang tidak ikut berkoalisi adalah partai yang memilih jalur sebagai oposisi (Miriam Budiardjo, 2008: 428). Pemilu pertama pasca kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 pada masa pemerintahan kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (Masyumi), diikuti oleh 118 peserta dari organisasi partai politik, organisasi kemasyarakatan maupun perorangan. Untuk memperebutkan 257 kursi DPR dan 514 kursi Konstituante. Dari seluruh peserta pemilu tersebut terdapat 5 partai Islam, yaitu

Majelis Suro Muslimin Indonesia (Matsyumi), Nahdatul Ulama (NU), Partai Syarikat

Islam Indonesia (PSII), Partai Tarekat Islam Indonesia (PTII), Persatuan Tarbiyah

Islamiyah (PERTI).

Hasil Pemilu 1955 menunjukkan bahwa meskipun mayoritas penduduk

Indonesia beragama Islam (88%), tidak semua penduduk menyalurkan aspirasi

politiknya kepada partai atau golongan Islam. Pada pemilu ini, partai dan kelompok

Islam hanya memperoleh 116 kursi (45,2%) dari 257 kursi parlemen yang

diperebutkan. Jika dibandingkan dengan jumlah wakil partai-partai Islam di DPR.

Sementara (sebelum pemilu) yang hanya berjumlah 57 orang (24% dari seluruh

anggota parlemen), maka sebenarnya hasil itu mengalami kenaikan yang cukup besar

(M. Dzulfikriddin, 2010: 108).

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6

Isu politik yang paling menonjol yang dibawa oleh partai-partai Islam hasil

pemilu tahun 1955 dan mempunyai suara yang sama adalah persoalan ideologi yaitu

Islam sebagai dasar negara, berhadapan dengan kelompok lain yang menginginkan

Pancasila serta sosial ekonomi sebagai dasar Negara. Hal ini terjadi karena pada saat

itu sedang diperdebatkan tentang Konstitusi Indonesia di Konstituante. Namun perdebatan mengenai dasar Negara tidak membuahkan hasil karena kekuatan Islam dan Nasionalis memiliki kekuatan yang seimbang sehingga tidak mencapai jumlah 2/3 yang dibutuhkan (Hamdan Zoelva, 2008: 6). Pemilu kedua dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971, pada masa awal Orde Baru. Pemilu kedua ini diikuti oleh sepuluh Partai Politik diantaranya ada 4 partai Islam yaitu NU memperoleh suara 18,67%, Parmusi 7,36%, PSII 2,39% dan Partai Islam Perti 0,70%. Perolehan suara hasil pemilu 1971 untuk partai-partai yang bercorak Islam menurun dibandingkan pada pemilu 1955 (Deliar Noer, 1999: 97). Selama masa Orde Baru pluralitas partai dan pluralitas ideologi merupakan pembuat masalah dari konflik-konflik yang terjadi sebelumnya. Ali Murtopo dalam Kacung Marijan (1993: 37) berpendapat bahwa gagasan penyederhanaan partai tidak hanya berarti pengurangan jumlah partai, tetapi lebih penting dari pada itu adalah

perombakan sikap dan pola kerja menuju orientasi pada program, sehingga paralel

dengan penyederhanaan partai adalah penunggalan ideologi. Realisasinya, pada

tanggal 10 Januari 1973 sepuluh partai yang ada pada saat itu disederhanakan

menjadi 3 (tiga) yaitu: 1) yang bercorak nasionalis (PDI) yang terdiri dari 5 partai

seperti PNI, Parkindo, Partai Katholik, IPKI, dan Murba, 2) yang bercorak spiritual

(fusi dari partai-partai Islam), terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti, 3) Golongan

Karya yang pendiriannya dimaksudkan untuk menampung aspirasi politik dari

kelompok-kelompok yang belum tersalurkan lewat partai-partai yang ada (Kacung

Marijan, 1993: 37). Sejak pemilu tahun 1977 sampai dengan tahun 1997 oleh

pemerintah Orde Baru yaitu hanya ada 3 partai politik yaitu Partai Persatuan

Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), serta Partai Demokrasi Indonesia

(PDI). Partai Islam semakin pudar dengan perolehan suara yang terus menurun yaitu

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

7

pada pemilu 1977 (pasca fusi 1973) partai Islam yang berfusi menjadi PPP perolehan

suara 29,29%. Penurunan perolehan suara semakin berlanjut pada Pemilu tahun 1982

memperoleh 27,78%, Pemilu 1987 memperoleh 15,97%, pemilu 1992 memperoleh

17% dan pemilu terakhir Orde Baru yaitu pemilu 1997 memperoleh 17% (Abdul

Munir Mulkhan, 2009: 45). Presiden Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun pada tanggal 21 Mei 1998 lengser dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia dan jabatannya kemudian digantikan oleh Wakilnya yaitu Baharuddin Jusuf Habibie. Lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan maka dimulailah era Reformasi di Indonesia. Atas desakan publik, pemilu yang baru atau dipercepat segara dilaksanakan, sehingga hasil-hasil pemilu 1997 segera diganti. Kemudian pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999 pada masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yan merupakan produk pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.

Pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik sebelum

menyelenggarakan Pemilu 1999 yang dipercepat pelaksanaannya, RUU tentang

Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. RUU

kemudian disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi

Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik

dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan

Pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini

diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk

mendirikan partai politik. Peserta Pemilu tahun 1999 berjumlah 48 partai

(Muhammad Yahya Selma, 2009: 31).

UUD 1945 mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia menerapkan sistem

multi partai. Hal tersebut sesuai dengan bunyi pasal 6A (2) UUD 1945 dalam S.E.M.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

8

Nirahua (2008: 87) “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh

partai politik atau gabungan partai politik peserta pemillihan umum sebelum

pelaksanaan pemilihan umum”. Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa Indonesia

menganut sistem multi partai karena yang berhak mencalonkan pasangan calon

presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik. Kata gabungan partai poltitik artinya paling sedikit dua partai politik yang menggabungkan diri untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden untuk bersaing dengan calon lainnya yang diusung oleh partai politik lain. Dengan demikian dari pasal tersebut di dalam pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden paling sedikit terdapat tiga partai politik (S.E.M. Nirahua, 2009: 87). Sejak Pemilihan Umum 1999, praktik sistem pemerintahan presidensiil Indonesia beralih dari sistem kepartaian dominan (dominant party) menjadi sistem kepartaian majemuk (multiparty). Melalui perubahan UUD 1945, peralihan itu diikuti dengan purifikasi sistem pemerintahan presidensiil. Berdasarkan ketentuan Pasal 6A UUD 1945 yang berbunyi “Salah satu upaya purifikasi tersebut pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung”. Semangat pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan

oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”

baru dapat direalisasikan pada pemilihan Presiden tahun 1999. Pada pemilihan itu

muncul 3 orang calon, sehingga penentuan Presiden dilakukan dengan suara

terbanyak. Ini adalah proses pemilihan Presiden yang sangat demokratis (Saldi Isra,

2009: 108).

Hasil pemilu 1999 menghasilkan pola yang serupa dengan pemilu 1955.

Pada pemilu 1999 menempatkan lima partai besar di tangga perolehan kursi DPR.

PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu memperoleh suara terbanyak yaitu 33,8 %

(154 kursi), disusul Partai Golkar 22,5 % (124 kursi), PPP 12,6 % (59 kursi), PKB

10,7 % (51 kursi) dan PAN 7,1 % (35 kursi) (Koirudin, 2005: 107). Akan tetapi,

meskipun menghasilkan pola yang serupa dengan Pemilu 1955, hasil Pemilu 1999

untuk partai Islam mengalami penurunan dari pada Pemilu 1955. Pada pemilu 1955

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

9

partai-partai Islam keseluruhan jika digabungkan mendapat suara 45,13% suara

sedangkan pada Pemilu 1999 partai-partai Islam secara keseluruhan hanya mampu

memperoleh 18,6% suara, menurun 26,53% suara.

Hasil pemilu menunjukkan bahwa koalisi politik pasca pemilu merupakan

keniscayaan yang harus dilakukan oleh partai politik manapun (Delaiar Noer, 1999: 340). Pemerintahan yang dibangun oleh hasil pemilu 1999 bukan merupakan sistem parlementer seperti hasil pemilu 1955, pola koalisi antara partai yang satu dengan partai yang lain terjadi (Kacung Marijan, 2010: 69). Hal ini dikarenakan tidak ada satu pun partai yang berhak mmengklaim sebagai single majority party. Kemenangan PDI Perjuangan tidak mencapai 50% plus satu dari kursi yang tersedia. Mayoritas mutlak seperti halnya bunyi pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dalam Ign. Ismanto (2004: 56) yaitu, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum”. Kondisi politik pasca Soeharto terdapat isu politik sentral, yakni entitas politik reformis dan nonreformis. Sementara kedekatan ideologis merupakan faktor utama yang mampu merekatkan pola koalisi menjadi kokoh. Pemilu multipartai mengisyaratkan adanya pola politik posisi kontra posisi. Dalam proses persaingan

itu, koalisi politik tidak bisa dihindarkan (Deliar Noer, 1999: 340). Koalisi

merupakan langkah strategis dalam menentukan positioning dan pembentukan citra

sebuah partai politik. Tanpa positioning yang unik maka sebuah partai politik akan

sulit membedakan dirinya dari yang lain. Positioning berguna tidak hanya pada masa

pemilu tapi juga saat pemerintahan berjalan. Positioning pada saat pemilu berfungsi

untuk menarik perhatian pemilih, maka pada saat pemerintahan berjalan positioning

dapat berguna untuk menjalin hubungan dengan masyarakat. Selama masa menjalin

hubungan ini dapat dilakukan pembentukan atau penguatan citra partai politik yang

bertujuan untuk menguatkan hubungan antara partai politik dengan masyarakat.

Positioning partai politik akan menentukan citra partai politik di depan rakyat atau

pemilih. Positioning akan lebih mudah bagi partai politik yang sudah memiliki

platform yang kuat.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

Giovanni Sartori dalam Zainal Abidin Amir (2003: 283) menyatakan bahwa

sistem kepartaian Indonesia pasca-Soeharto memasuki fase yang disebut dengan

Pluralitas Eksterm, yakni suatu sistem kepartaian yang ditandai oleh kehadiran

jumlah partai yang cukup besar dan masing-masing memiliki ideologi yang

bertentangan. Fenomena seperti ini biasanya muncul di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang masyarakatnya secara sosio-kultural dapat dikatakan majemuk. Secara prosedural koalisi adalah sebuah keharusan. Secara praktis, koalisi diperlukan untuk menggalang dukungan dalam membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilu, di sisi lain dibutuhkan dalam rangka membangun dan memperkuat oposisi bagi partai-partai yang duduk di parlemen namun tidak ikut memerintah. Kelangsungan kekuasaan presiden atau wakil presiden tidak tergantung kepada dukungan DPR. Pada tataran praktis, koalisi tak terelakkan karena sistem politik multipartai melahirkan aroma sistem parlementer. Koalisi antar partai politik dengan demikian menjadi semacam motor penggerak bagi terpilihnya kandidat presiden (Suharizal, 2009: 30). Koalisi antar partai politik merupakan motor penggerak untuk menuju pemilihan Presiden karena dengan sistem multipartai di

Indonesia sulit untuk mendapat suara mayoritas sebesar 50% lebih satu sehingga

koalisi merupakan cara untuk menuju pemilihan Presiden.

Pemilu 1999 menempatkan PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu

dengan mengantongi 33,76% suara dalam pemilihan Presiden 1999 tidak berhasil

meloloskan calon Presiden Megawati Soekarnoputeri sebagai Presiden ke empat

Republik Indonesia. Mengacu pada pasal 6 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan

bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

dengan suara terbanyak”. Dengan kata lain, calon presiden dari partai yang mendapat

suara terbanyak dalam pemilu tanggal 7 Juni 1999, tidak dengan sendirinya terpilih

sebagai Presiden, tetapi tergantung dari berapa suara yang diperoleh di MPR.

PDI Perjuangan meskipun berhasil mengumpulkan suara terbanyak dalam

pemilu 1999, karena suara terbanyak tidak identik dengan perolehan kursi terbanyak

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

dalam MPR, maka tidak mungkin partai itu meloloskan presiden yang dicalonkan.

PDI Perjuangan harus di dukung oleh partai-partai lain dalam suatu koalisi untuk

mewujudkan tujuan itu sehingga memperoleh suara mayoritas yaitu lima puluh

persen ditambah satu di MPR, sebaliknya jika koalisi itu tidak dapat diwujudkan,

maka pupuslah cita-cita itu. Hal tersebut dipahami oleh Golkar yang mendapat suara terbanyak kedua yang sejak awal sangat menginginkan terpilihnya kembali Habibie sebagai presiden ke empat. Perkembangan selanjutnya, persaingan antara dua kekuatan politik itu semakin keras dan masing-masing menggunakan tekanan yang berpotensi demokrasi yang baru tumbuh. Ketegangan politik terjadi sebelum pemilihan presiden 1999, seperti di tingkat elit, para pendukung Habibie yang melibatkan beberapa partai Islam mengedepankan argumentasi yang berpijak pada legal-formal kegamaan untuk menolak presiden wanita, dalam hal ini pencalonan Megawati sebagai Presiden. Ketegangan politik itu mengundang perhatian serius banyak kalangan yang kemudian muncul ide Poros Tengah dari Bambang Sudibyo sebagai penengah yang berupaya untuk menerobos kebekuan politik yang sedang berlangsung (Zainal Abidin Amir, 2003: 248-250). Poros Tengah merupakan kelompok politik / koalisi / gabungan yang

melibatkan Partai-Partai Politik yang bediri setelah reformasi 1998 yang berhaulan

Islam. Poros Tengah dibentuk atas dasar ide dari Amien Rais dan berhasil membawa

Abdurrahman Wahid sebagai Presiden mengalahkan Megawati Soekarno Putri yang

diusung oleh partai pemenang pemilu 1999 PDI Perjuangan. Konstituen partai politik

sekaligus menjadi pemilih presiden dari koalisi partai politik. Jalannya roda partai

politik diyakini masih efektif bagi pemenangan calon presiden, meski tak sedikit

fakta yang terbalik. Artinya, kemenangan partai politik dalam pemilihan legislatif

tidak sepenuhnya ekuivalen dengan preferensi pemilihan presiden. Partai politik

lebih suka membentuk koalisi terbatas yang lebih efektif mencapai tujuan bersama,

kepentingan partai, dan individunya, dan dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat (Suharizal, 2009: 30). Sistem multipartai yang diberlakukan di Indonesia

pasca Orde Baru menyebabkan koalisi merupakan suatu keharusan yang harus

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

dilakukan untuk dapat memenangkan kursi kepresidenan meskipun partai tersebut

merupakan pemenang pemilu atau memperoleh suara terbanyak jika tidak bisa

menjadi suara mayoritas, yaitu 50% lebih satu.

Berdasarkan uraian masalah diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji

dan mempelajari lebih lanjut masalah Koalisi Partai Islam, dan kemudian mengambil judul “KOALISI PARTAI ISLAM DALAM PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1999 – 2004” sebagai obyek penelitian.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka muncul permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang koalisi partai Islam di Indonesia tahun 1999? 2. Bagaimana tujuan koalisi partai Islam di Indonesia tahun 1999? 3. Bagaimana perkembangan koalisi partai Islam dalam perpolitikan di Indonesia tahun 1999 – 2004?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan yang ingin dicapai dari penulisan

ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang koalisi partai Islam di Indonesia tahun

1999.

2. Untuk mengetahui tujuan koalisi partai Islam di Indonesia tahun 1999.

3. Untuk mengetahui perkembangan koalisi partai Islam dalam perpolitikan

di Indonesia tahun 1999 – 2004.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini penting karena diharapkan dapat menghasilkan informasi yang

akan memberi jawaban permasalahan penelitian baik secara teoritis maupun secara

praktis.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah

kelimuan terutamanya dalam pengetahuan tentang koalisi Partai Islam dalam

perkembangan politik di Indonesia tahun 1999-2004.

2. Manfaat praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan akan dapat bermanfaat: a. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi para peneliti lain, khususnya yang mendalami peristiwa koalisi partai Islam dalam perkembangan politik di Indonesia tahun 1999-2004. b. Bagi Pembaca Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan kepada pembaca untuk digunakan sebagai wacana dan pemahaman dalam bidang sejarah, khususnya sejarah politik.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Sistem Politik a. Pengertian Sistem Politik Pengertian Sistem menurut A. M. Junaedi (2008: 104) adalah “serangkaian unsur yang secara teratur yang saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas”. Menurut Pamudji dalam Arifin Rahman (1998: 1) mendifinisikan sistem sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan yang komplek atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang komplek atau utuh. Pengertian lain mengenai sistem menurut Sukarna (1990: 7) adalah metoda atau tata cara dan manajemen atau pengurusan. Sukarna (1981: 13) mendefinisikan sistem sebagai suatu kumpulan pendapat- pendapat, prinsip-prinsip dan lain-lain, yang membentuk suatu kesatuan yang berhubungan satu sama lain. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem

adalah suatu keseluruhan yang komplek atau terorganisir atau saling berhubungan

satu dengan yang lain secara teratur saling berkaitan membentuk totalitas atau

melakukan suatu maksud atau tujuan.

Kata “politik” berasal dari bahasa Yunani Politeia, yang akar katanya

adalah Polis, yang bearti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu Negara dan

teia berarti urusan. Politik merupakan suatu rangkaian asas, prinsip, keadaan, jalan,

cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang dikehendaki

(Sumarsono, 2001: 137).

Pengertian politik menurut Duvurger (1993: xii) adalah “masalah

kekuasaan”. Pengertian kekuasaan menurut Miriam Budiardjo (1977: 35) adalah

“kemampuan seseorang/sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku

commit to user

14

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

seseorang/kelompok lain sehingga tingkah laku tersebut menjadi sesuai dengan

keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan”.

Ossip K. Flechtheim dalam Miriam Budiardjo (1977: 38), ada 2 macam

kekuasaan politik, yaitu (1) kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan

sosial yang terwujud di dalam Negara, seperti DPR, Presiden, dan lembaga Negara lainnya, (2) kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial yang ditujukan kepada Negara, seperti kelompok kepentingan, antara lain partai politik, militer, dan kelompok agama. David Easton dalam Budi Winarno (2008: 1) mengemukakan bahwa kehidupan politik seyogianya dilihat sebagai sebuah sistem dari kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan. Hal ini penting untuk menerapkan asumsi implisit kesalinghubungan bagian-bagian sebagai pangkal tolak berpikir dalam melaksanakan penelitian, dan untuk memandang kehidupan politik sebagai suatu sistem kegiatan- kegiatan yang saling berkaitan. Asumsi sifat saling berkaitan ini atau ikatan-ikatan sistematis dari kegiatan-kegiatan ini tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa semua kegiatan tersebut memengaruhi cara pembuatan dan pelaksanaan keputusan- keputusan otoritatif dalam suatu masyarakat.

Sifat penting sistem politik adalah kemampuannya untuk dibedakan dengan

sistem lainnya, seperti organisme atau individu. Almond dan Powell dalam Budi

Winarno (2008: 4) mengemukakan bahwa sebuah sitem secara tidak langsung

merupakan ketergantungan antar bagian-bagian dan batas antara sistem dengan

lingkungannya. Interpendensi mengandung makna bahwa ketika terdapat perubahan

ini akan mempengaruhi perubahan semua komponen dan keseluruhan sistem politik.

Menurut Almond dan Powell dalam Budi Winarno (2008: 4) sistem politik

adalah semua interaksi yang mempengaruhi semua penggunaan paksaan fisik yang

sah. Dalam hal ini, sistem politik memasukkan tidak hanya institusi pemerintahan,

seperti legislasi, hukum, dan agen-agen administratif, tetapi semua struktur dalam

semua struktur dalam semua aspek-aspek politik.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

Sukarna (1981: 15) mendefinisikan sistem politik sebagai kumpulan

pendapat-pendapat, prinsip-prinsip dan lain-lain yang membentuk suatu kesatuan

yang saling berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta

melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur hubungan

antara individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan negara dengan Negara. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sistem politik adalah kumpulan prinsip-prinsip, pendapat-pendapat dan lain-lain yang membentuk suatu kesatuan yang saling berhubungan satu sama lain untuk mengatur urusan Negara atau pemerintahan.

b. Ciri-ciri Sistem Politik David Easton dalam Budi Winarno (2008: 5) mengemukakan bahwa setidaknya ada 4 (empat) ciri dalam sistem politik, dua diantaranya yaitu: 1) identifikasi, yaitu langkah paling awal yang perlu dilakukan adalah bagaimana melakukan identifikasi terhadap sistem politik sehingga dapat dibedakan dengan sistem yang lainnya; input dan output, sistem politik mempunyai konsekuensi-

konsekuensi terhadap masyarakat dalam bentuk keputusan-keputusan otoritarif.

Konsekuensi inilah yang disebut dengan outputs, sementara keberlangsungan sistem

politik akan sangat ditentukan oleh keberadaan inputs sistem politik, 2) Diferensiasi

dalam suatu sistem, yaitu anggota-anggota dari suatu sistem paling tidak mengenal

pembagian kerja minimal yang memberikan suatu struktur tempat berlangusungnya

kegiatan-kegiatan itu; Integrasi dalam suatu sistem sosial, Suatu sistem harus

memiliki mekanisme yang bisa mengintegrasi atau memaksa anggota-anggotanya

untuk bekerjasama walaupun dalam keadaan minimal sehingga mereka dapat

membuat keputusan-keputusan yang otoritatif (Budi Winarno, 2008: 8–9).

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

Almond dalam Arifin Rahman (1998: 8) mengemukakan 4 (empat) ciri

sitem politik, yaitu:

1) Semua sistem politik termasuk yang paling sederhana mempunyai

kebudayaan politik. Dalam pengertian bahwa masyarakat yang paling

sederhanapun mempunyai tipe struktur politik yang terdapat dalam masyarakat yang paling kompleks sekalipun. Tipe-tipe tersebut dapat diperbandingkan satu sama lain sesuai dengan tingkatan dan bentuk pembidangan kerja yang teratur. 2) Semua sistem politik menjalankan fungsi-fungsi yang sama walaupun tingkatannya berbeda-beda yang ditimbulkan karena perbedaan struktur. Hal ini dapat diperbandingkan yaitu bagaimana fungsi-fungsi itu tadi sering dilaksanakan atau tidak dan bagaimana gaya pelaksanaannya. 3) Semua struktur politik biar bagaimanapun juga dispesialisasikannya baik pada masyarakat yang primitif maupun yang modern melaksanakan banyak fungsi. Oleh karena itu sistem politik dapat membandingkan sesuai dengan tingkat kekhususan tugas. 4) Semua sistem politik adalah sistem campuran dalam pengertian kebudayaan.

Secara rasional tidak ada struktur dan kebudayaan yang semuanya modern

atau semuanya primitif melainkan dalam pengertian tradisional, semuanya

adalah campuran antara unsur modern dan tradisional.

2. Sistem Pemerintahan

a. Pengertian Sistem Pemerintahan

Menurut C. F. Strong dalam Pamudji (1994: 4) Pemerintahan didefinisikan

sebagai organisasi di mana diletakkan hak untuk melaksakan kekuasaan berdaulat

dan tertinggi. Pemerintahan dalam arti luas merupakan sesuatu yang lebih besar dari

pada suatu badan atau kementrian-kementrian yang diberi tanggungjawab

pemeliharaan perdamaian dan keamanan negara-negara didalam ataupun di luar.

Pemerintah harus memiliki kekuasaan militer atau pengawasan atas angkatan

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

bersenjata, kekuatan legislatif atau sarana pembuatan hukum, dan kekuasaan

keuangan yaitu kesanggupan memungut uang yang cukup untuk membayar biaya

mempertahankan negara dan menegakkan hukum yang dibuatnya atas nama negara.

Menurut Montesquieu dalam C.S.T. Kansil (1993: 10) bahwa dalam suatu

sistem pemerintahan Negara terdapat tiga jenis kekuasaan yaitu: 1) kekuasaan legislatif, dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat (parlemen), 2) kekuasaan eksekutif, dilaksanakan oleh pemerintah (Presiden atau Raja dengan bantuan menteri-menteri atau kabinet), 3) kekuasaan yudikatif, dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan bawahannya). Istilah sistem pemerintahan berkaitan pula dalam hubungannya dengan bentuk dan struktur organisasi negara dengan penekanan pembahasan mengenai fungsi-fungsi badan eksekutif dalam hubungannya dengan badan legislatif. Pada umumnya, dalam berbagai konstitusi berbagai negara dirumuskan mengenai bentuk dan struktur badan eksekutif dalam hubungannya dengan legislatif, khususnya yang bersifat nasional. Perumusan mengenai sistem pemerintahan tingkat nasional mestinya menggunakan satu model dari dua model utama ditambah satu model campuran yakni sistem kabinet atau parlementer, sistem presidensil, sistem campuran

antara sistem kebinet dan sistem presidensial (Jimly Assiddiqie, 1996: 40).

Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa sistem pemerintahan

adalah pembuatan, cara dan hal-hal yang dilakukan oleh pejabat dalam struktur

kekuasaan dalam satu negara, mencakup urusan pemerintahan dalam rangka

mencapai tujuan Negara.

b. Pembagian Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua yaitu sistem

pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Pada sistem

pemerintahan parlementer hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan sangat

erat. Hal ini dikarenakan adanya pertanggunjawaban para menteri terhadap parlemen,

maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperolah dukungan kepercayaan dengan

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

suara terbanyak dari parlemen, yang berarti bahwa dukungan kebijakan kabinet tidak

boleh menyimpang dari yang telah dikehendaki oleh parlemen. Badan eksekutif

dalam sistem pemerintahan parlemen adalah kabinet yang terdiri dari perdana

menteri dan para menteri. Menteri bertangungjawab sendiri atau bersama-sama

kepada parlemen. Kesalahan yang dilakukan oleh kabinet dapat melibatkan kepala negara. Pertanggungjawaban menteri kepada parlemen tersebut dapat mengakibatkan kabinet meletakkan jabatan dan mengembalikan mandat kepada kepala negara, manakala parlemen tidak mempercayai kabinet lagi (Harmaily Ibrahim, Moh. Kusnardi, 1998: 15). Sistem pemerintahan berikutnya adalah sistem pemerintahan presidensial. Dalam hal ini kedudukan eksekutif tidak tergantung kepada badan perwakilan rakyat. Dalam hal ini kedudukan eksekutif dikembalikan kepada rakyat. Adapun dasar hukum dari kekuasaan eksekutif dikembalikan kepada pemilihan rakyat, sebagai kepala negara seorang presiden menunjuk pembantu-pembantunya yang akan memimpin departemen masing-masing. Menteri bertanggungjawab kepada presiden, karena pembentukan kabinet itu tidak tergantung dari perwakilan rakyat atau tidak memerlukan dukungan kepercayaan dari badan-badan perwakilan rakyat tersebut,

maka menteripun tidak dapat diberhentikan olehnya.

Keuntungan dari sistem ini adalah pemerintahan untuk jangka waktu yang

ditentukan menjadi stabil. Kelemahannya adalah bahwa kemungkinan akan terjadi

apa yang ditetapkan sebagai tujuan menurut eksekutif bisa berbeda dari pendapat

legislatif (Harmaily Ibrahim, Moh. Kusnardi, 1998: 15).

3. Partai Politik Islam

Kata partai politik merupakan terjemahan dari kata political party, yang

berasal dari kata “part” yang berarti bagian. Secara umum, partai politik dapat

dikatakan sebagai suatu kelompok yang anggota-anggotanya memiliki orientasi,

nilai-nilai, dan cita-cita yang sama (Antonius Atoshoki, 2002: 94).

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

Menurut Carl J. Friendrich dalam Antonius Atoshoki (2002: 94), partai

politik adalah sekelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan

merebut atau mempertahankan kekuasaan pemerintahan bagi pemimpin materiil dan

idiil kepada para anggotanya. Sedangkan Soltau menjelaskan partai politik sebagai

yang sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik, dan yang memanfaatkan kekuasaannya untuk kebijakan umum yang mereka buat. Sigmund Newman dalam Antonius Atoshoki (2002: 94) menyatakan bahwa partai politik adalah organisasi dan aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda. Pengertian partai politik menurut Ramlan Surbakti (1992: 116) adalah: Kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun, sebagai hasil dari pemanduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat. Pendapat lain tentang pengertian Partai Politik Islam menurut Zainal Abidin

Amir (2003: 20) adalah:

Kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha

mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun, sebagai hasil dari pemanduan berbagai

kepentingan yang hidup dalam masyarakat yang mempunyai beberapa kriteria yaitu mencantumkan Islam sebagai asas partai, menggunakan simbol-simbol yang identik atau secara dekat diasosiasikan dengan Islam,

dan memiliki basis sosial utama dari kalangan Islam tertentu.

Partai Islam ditandai pula oleh adanya personalia kepemimpinan partai yang

didominasi oleh orang-orang yang berlatar belakang Islam yang kuat (santri) serta

pengambilan keputusan yang cenderung memihak kepada kepentingan unsur Islam

(Zainal Abidin Amir, 2003: 20).

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

Partai Politik Islam dipilah menurut kategori sebagai berikut:

a. Anggota masyarakat yang berkelompok dalam organisasi dengan simbol-

simbol Islam (nama, asas, struktur organisasi, dan tanda gambar), dan

berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan

untuk merealisasikan kepentingan umat Islam pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya. b. Anggota masyarakat yang bergabung dalam suatu organisasi yang tidak menggunakan simbol Islam, namun susunan kepemimpinannya di dominasi oleh kelompok Islam santri serta pengambilan keputusan di tingkat internal partai banyak memihak kelompok Islam, berusaha memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, serta basis sosial utamanya terdiri atas golongan Islam tertentu. Program atau tujuan partai diarahkan bagi kepentiongan seluruh rakyat tanpa terkecuali (Zainal Abidin Amir, 2003: 21). Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa partai Islam adalah kelompok atau organisasi yang diatur secara rapi atau terorganisir secara rapi yang disatukan berdasarkan kesamaan ideologi yaitu ideologi Islam atau

menggunakan simbol-simbol yang berkaitan dengan Islam untuk menunjukkan

keislaman organisasi tersebut untuk mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan

dengan tujuan partai diarahkan untuk kepentingan seluruh rakyat tanpa terkecuali.

4. Koalisi Politik

Koalisi adalah kerjasama antara beberapa partai untuk memperoleh

kelebihan suara di parlemen (A.M. Junaedi, 2008: 55). Koalisi merupakan ikatan

atau gabungan antara 2 atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Atau beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat

mendukung pemerintah. Hal ini menunjukan bahwa koalisi dibentuk / terbentuk

untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Poros Tengah adalah kelompok politik / koalisi / gabungan yang melibatkan

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

Partai-Partai Politik yang bediri setelah reformasi 1998 yang berhaulan Islam. Partai

politik umumnya dianggap sebagai manifestasi dari suatu sistem politik yang sudah

modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri. Gagasan mengenai

partisipasi rakyat di Negara-negara yang menganut faham demokrasi mempunyai

dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang nantinya menentukan kebijaksanaan umum. Prospek koalisi parpol sesudah Pemilu, sebenarnya merupakan masalah bagi orang Indonesia. Tetapi, yang penting koalisi itu sendiri terdiri dari partai-partai yang mendapat dukungan kuat dalam pemilu. Dalam kaitan ini, konsep koalisi itu sendiri berkaitan dengan sistem polotik di Indonesia. Koalisi partai politik membentuk pemerintahan dan untuk memperkuat posisi tawar dalam proses politik di parlemen atau kabinet, menjadi hal tak terhindarkan dalam kehidupan partai di era reformasi ini. Fenomena tersebut dianggap wajar mengingat pengalaman dari hasil Pemilu di era reformasi ini menunjukkan kekuatan partai yang terfragmentasi secara berimbang. Hal ini membuat keputusan membentuk koalisi menjadi tidak terhindarkan (Untung Wahono, 2003: 20).

Menurut Smith dan Zurcher dalam Untung Wahono (2003: 20)

mendefinisikan koalisi sebagai “aliansi atau penggabungan (union) yang bersifat

sementara dari beberapa partai untuk mengusulkan atau mempromosikan kebijakan

legislatif yang bersifat umum atau memilih kandidat. Koalisi juga didefinisikan

sebagai sebuah aliansi dari partai-partai politik untuk memperoleh sejumlah tertentu

dukungan anggota parlemen untuk membentuk pemerintahan, sementara struktur

independen mereka tetap terpelihara”.

Menurut Firmanzah (2008: 78) koalisi dilihat sebagai struktur yang tidak

tetap dan sangat labil. Hal ini berarti, ketika kepentingan dan tujuan politik sudah

tidak sama lagi, koalisi tersebut biasanya pecah, kemudian masing-masing pihak bisa

berkoalisi dengan pihak lain yang dirasa dapat membantu dalam mencapai tujuan

politiknya. Koalisi yang baik adalah koalisi dengan partai lain yang memiliki

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

kesamaan ideologis. Semakin sama ideologi politiknya semakin awet koalisi yang

terbentuk. Begitu juga sebaliknya, semakin berbeda ideologi, semakin besar

kemungkin munculnya perilaku oportunis dan agenda yang tersembunyi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa koalisi

politik adalah gabungan dari beberapa partai dalam politik atau dalam suatu pemerintahan guna memperoleh tujuan tertentu yang telah disepakati bersama.

5. Politik Aliran Secara historis, perjalanan politik bangsa sangat diwarnai oleh perspektif aliran. Pada kurun waktu Orde Lama, model-model aliran sangat terlihat dalampeta perpolitikan nasional Indonesia. Pada pemilu tahun 1955, setidaknya terdapat tiga tipologi aliran dalam kancah perjuangan politik, yaitu nasionalisme-Islam yang dipresentasikan oleh Masyumi, nasionalisme-sekuler yang diwakili oleh PNI, dan nasionalisme-komunis yang dipresentasikan oleh PKI. Ketiga Kekuatan ini bersitegang dalam Sidang Konstituante yang berlarut-larut dan tidak menghasilkan keputusan. Konflik itu bersumber dari ketiadaan konsensus mengenai dasar Negara Republik Indonesia. Kelompok Islam sementara itu menghendaki Islam sebagai

dasar negara, PKI menghendaki komunis sebagai dasar negara, dan PNI

menghendaki Pancasila. Berdasarkan perimbangan kekuatan tersebut, maka dalam

waktu tiga setengah tahun tidak dicapai kata sepakat, sehingga terjadilah Dekrit

Presiden tanggal 5 Juli 1959 (Nur Syam, 2009: 232).

Periode 1950-an sampai dengan perempat awal tahun 1960-an merupakan

kebangkitan bentuk-bentuk baru integrasi politik yang oleh Clifford Geertz disebut

dengan istilah Politik aliran. Politik aliran dibangun oleh kesetiaan terhadap agama

dan komunitas yang ada, akan tetapi dari rasa kesetiaan terhadap agama dan

komunitas yang ada tersebut dapat dilihat tentang cara-cara dan gagasan berbagai

kekuatan politik elite dalam mengangankan kebangsaan Indonesia serta bagaimana

komunitas tersebut membangun hubungan dengan massa rakyat (Budi Susanto,

2003: 87).

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

Peta politik di Indonesia sulit dilepaskan dari diskursus politik aliran. Inti

dari politik aliran menurut Clifford Geertz dalam Untung Wahono (2003: 81) ini

adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi

sosial yang komprehensif. Menurut asumsi politik aliran, kelompok abangan yang

diidentifikasi sebagai penganut Muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri, dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Partai Islam sendiri tidak monolitik. Pemilih NU, menurut teori ini, lebih nyaman memilih partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

B. Kerangka Berpikir

Pasca Reformasi 1998 Sistem Pemerintahan

Sistem Politik Pemilu Pil Pres MPR

Politik Aliran

Partai Politik

Islam Nasionalis Sekuler

Tradisional Modern

Koalisi Politik

Gambar: 1. Skema Kerangka Berpikir Tentang Koalisi Partai Islam dalam

Perkembangan Politik di Indonesia Tahun 1999-2004

Keterangan:

Pasca Reformasi 1998 masih terdapat masalah-masalah yang belum

terselesaikan dari peristiwa sebelumnya. Rasa ketidakpuasan masyarakat semakin

besar dan menuntut pertanggungjawaban Habibie sebagai Presiden RI pada waktu

itu. Kemudian Presiden B.J. Habibie melakukan Pemilu secara cepat pada tahun

1999 yang mana pada pemilu ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya pada

masa Orde Baru. Setelah masa transisi di bawah pimpinan B.J. Habibie, partai politik

yang selama periode Orde Baru diposisikan sebagai ‘pelengkap’ dan ‘aksesori’

demokrasi, pada masa pasca reformasi dikembalikan lagi fungsinya sebagai sarana

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

yang bersifat legal dalam menampung dan menyalurkan semangat kebebasan

berpolitik. Untuk membangun kembali struktur partai politik, diterbitkan dua

Undang-Undang, yaitu UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik dan UU No. 3

tahun 1999 tentang Pemilu. Sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1999, jumlah

partai politik tidak dibatasi lagi dan Indonesia kembali ke sistem multipartai. Sehingga pemilu 1999 ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya di Era Orde Baru. Jika pada masa Orde Baru hanya diikuti oleh 3 partai politik, di tahun 1999 diikuti oleh 48 partai politik karena tidak ada pembatasan mendirikan partai politik. Hasil dari pemilu 1999 menempatkan PDI Perjuangan (Partai Nasionalis) sebagai pemenang pemilu. Dari 48 partai peserta pemilu ini, tidak ada yang bisa memperoleh suara mutlak yaitu 50% ditambah satu atau mendapat suara dominan (the dominant party) yang memaksa terjadinya proses koalisi yang sangat longgar ataupun dapat dikatakan aliansi untuk memilih seseorang menjadi presiden. Hal ini untuk menuju pada pemilihan Presiden yang dilakukan oleh MPR. Partai-partai ini ada yang berhaluan Sekuler dan berhaluan Islam. PDI Perjuangan yang merupakan partai baru pada saat itu telah berhasil menjadi pemenang pemilu meskipun jumlah suaranya kurang dari 50%. Maka untuk menjadikan calon sebagai Presiden cara yang

ditempuh adalah dengan berkoalisi. Hal ini sangat disadari oleh Golkar sebagai partai

dengan perolehan suara terbanyak kedua setelah PDI Perjuangan, dan Golkar akan

memanfaatkan untuk meloloskan calon Presiden Habibie untuk menjadi Presiden RI

keempat. Ketegangan politik pun terjadi antara pihak Golkar yang mendukung

Habibie sebagai calon presiden Indonesia dan juga PDI Perjuangan yang mendukung

Megawati untuk menjadi Presiden Indonesia selanjutnya.

Di kalangan partai politik Islam, PPP dapat dinilai yang paling keras dan

serius menentang serta menolak Megawati Soekarnoputri untuk tampil menjadi

kandidat Presiden menggantikan Habibie. Alasan yang kerap dipakai oleh para tokoh

PPP, terutama dan Zarkasih Noor, adalah karena Megawati seorang

perempuan, sedangkan sebagian besar ulama Islam mengharamkan perempuan

tampil sebagai kepala Negara.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

Hal tersebut menimbulkan ide dari Amien Rais (MPR) dari PAN untuk

membentuk Poros Tengah untuk menengahi masalah tersebut. Poros Tengah

merupakan gabungan atau koalisi dari beberapa partai yang berhalauan Islam. Poros

Tengah sendiri digunakan untuk menjegal megawati dari kursi calon presiden karena

beberapa alasan. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dicalonkan oleh tiga fraksi Poros Tengah: Fraksi Reformasi, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa sebagai alternatif calon Presiden berhasil memenagkan pemilihan Presiden dengan mengalahkan Megawati Soekarno yang diusung oleh Partai pemenang Pemilu 1999. Dalam perkembangan selanjutnya Koalisi Poros Tengah ini saling bekerjasama dengan Presiden atau mendukung Presiden dalam membangun sistem pemerintahan di Indonesia bahkan ketika lengsernya Abdurrahman Wahid, Koalisi Partai Islam ini juga berpengaruh di dalamnya. Pada saat pemerintahan beralih ke Megawati Soekarnoputri koalisi partai Islam ini terpecah menjadi koalisi dalam sistem pemerintahan dan koalisi di luar sistem pemerintahan atau sebagai oposisi.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Dalam penelitian yang berjudul “KOALISI PARTAI ISLAM DALAM PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1999 – 2004”, penulis melakukan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka. Penelitian yang digunakan adalah studi pustaka. Untuk memperoleh data penelitian ini, penulis mencari sumber tertulis di perpustakaan. Adapun perpustakaan yang dipergunakan sebagai tempat penelitian adalah: a. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. c. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta. d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

e. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta.

f. Ruang Dokumentasi Monumen Pers Surakarta.

g. Perpustakaan Daerah Surakarta.

h. Perpustakaan Daerah Sukoharjo.

i. Perpustakaan Balai Muhammadiyah Surakarta.

j. Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada.

k. Perpustakaan Pusat Universitas Muhammadiyah Surakarta.

l. Jogja Library Center.

commit to user 28

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

2. Waktu Penelitian

Tabel. 1 Jadwal Penelitian Sejarah Tentang Koalisi Partai Islam dalam

Perkembangan Politik di Indonesia Tahun 1999-2004

Bulan Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Jenis 11 11 12 12 12 12 12 12 12 Kegiatan 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 Pengajuan Judul Penyusunan Proposal Pelaksanaan Penelitian Penyusunan Laporan Ujian

Revisi

Waktu yang digunakan untuk penelitian ini mulai dari disetujuinya judul skripsi yaitu pada November 2011, sampai dengan Juni 2012.

B. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian, peranan metode ilmiah sangat penting karena

keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang

tepat. Kata merode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau

jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara

kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977: 16). Menurut Helius Sjamsudin (1996: 1),

yang dimaksud dengan metode adalah suatu prosedur teknik atau cara melakukan

penyelidikan yang sistematis yang dipakai oleh suatu ilmu (sains), seni atau

disiplin ilmu yang lain.

Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan,

mendeskripsikan dan memaparkan. Koalisi Partai Islam dalam perkembangan

politik di Indonesia tahun 1999 – commit2004. Mengingat to user peristiwa yang menjadi pokok perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

penelitian adalah peristiwa masa lampau, maka metode yang digunakan adalah

metode historis atau sejarah. Dengan metode sejarah penulis mencoba

merekonstruksi kembali suatu peristiwa di masa lampau sehingga dapat

menghasilkan historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah.

Gilbert J. Garraghan dalam Dudung Abdurrahman (1999: 43)

mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilai secara kritis, dan mengajukan sistematis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Menurut Louis Gottschalk dalam Dudung Abdurrahman (1999: 44) menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. Menurut Helius Syamsuddin (1996: 3), yang dimaksud metode sejarah adalah suatu cara bagaimana mengetahui sejarah. Nugroho Notosusanto (1971: 35) mengatakan bahwa “metode penelitian sejarah merupakan proses pengumpulan, menguji, menganalisis secara kritis rekaman-rekaman dan penggalian-penggalian masa lampau menjadi kisah sejarah

yang dapat dipercaya, metode ini merupakan proses merekonstruksi peristiwa-

peristiwa masa lampau, sehingga menjadi kisah yang nyata”.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode

penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan

sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji.

Sehingga dapat memahami kejadian pada masa lalu kemudian menguji dan

menganalisa secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam

bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut, agar dapat dijadikan suatu cerita

sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya.

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sejarah. Sumber data sejarah seringcommit disebut to user juga data sejarah. Menurut Dudung perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

Abdurrahman (1999: 30) data sejarah merupakan bahan sejarah yang memerlukan

pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian. Menurut Helius Syamsuddin

(2007: 95) sumber sejarah ialah segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung

menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada

masa lalu (past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw

materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah

ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan (lisan). Dalam usaha untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan sumber tertulis. Sumber tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder. Lois Gottschalk (1986: 35) mengemukakan bahwa sumber tertulis primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri. Sumber tertulis primer juga dapat diartikan sebagai data yang didapatkan dari masa yang sejaman dan berasal dari orang yang sejaman. Sedangkan sumber tertulis sekunder merupakan kesaksian dari pada siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yakni seorang yang tidak hadir dari peristiwa yang dikisahkannya. Sumber tertulis sekunder juga dapat diartikan sebagai data yang ditulis oleh orang yang tidak sejaman dengan peristiwa yang dikisahkannya.

Sumber primer yang penulis gunakan di dalam penelit ian ilmiah ini

adalah berupa koran, majalah, Undang-Undang yang terbit pada tahun 1998

sampai 2004-an, seperti Serambi Indonesia yang terbit Selasa, 5 Oktober 1999,

Wawasan terbit 4 Desember 1999, Wawasan terbit 7 Desember 1999, Majalah

Tempo, Volume 30 terbit 17 Juni 2001, Majalah Tempo terbit 24 Oktober 1999,

Undang-undang RI No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, dan lain-lain.

Sumber primer yang berasal dari koran berisi atau berkaitan dengan koalisi partai

politik khususnya partai politik Islam, koalisi partai Islam dan tentang Poros

Tengah.

Adapun sumber sekunder yang digunakan di dalam penelitian ini berupa

buku-buku literatur, jurnal, maupun artikel-artikel yang relevan dengan penelitian.

Sumber tertulis sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini antara lain : Peran Politik Poros Tengah dalamcommit Kancah to user Perpolitika n di Indonesia karangan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

Untung Wahono, Dari Bilik Suara Ke Masa Depan Indonesia karangan Gouzali

Saydam, Peta Islam Politik: Pasca Soeharto karangan Zainal Abidin Amir,

Mengelola Partai Politik karangan Firmanzah, Gusdur dalam Sorotan

Cendekiawan Muhammadiyah editor Abd. Rohim Ghazali, buku karangan M.C.

Ricklefs “Sejarah Indonesia Modern 1200-2004”, Jurnal Konstitusi FH

Universitas Muhammadiyah Palembang yang ditulis oleh Muhammad Yahya

Selma. 2009. Perjalanan Panjang Pemilu di Indonesia, dan lain-lain.

D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian historis merupakan salah satu langkah yang penting. Berdasarkan data yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam pengumpulan data dilakukan melalui Studi Pustaka. Studi Pustaka merupakan teknik yang dilakukan untuk pengumpulan data dengan cara membaca data yang berasal dari arsip, buku, majalah, surat kabar yang terbit pada masa itu, masa sebelumnyaatau yang terbit kemudian. Bahan ini dapat digunakan untuk menjelaskan peristiwa yang diteliti. Kegiatan Studi Pustaka dalam penelitian ini dilaksanakan sebagai berikut:

1. Mengumpulkan sumber primer dan sekunder yang berupa buku-buku literatur

yang berkaitan dengan Koalisi Partai Islam dalam Perkembangan Politik di

Indonesia tahun 1999-2004 yang tersimpan di beberapa perpustakaan

diantaranya adalah Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah

Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas

Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Pusat

Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Daerah Surakarta,

Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, Perpustakaan Daerah Sukoharjo,

Perpustakaan Universitas Gajah Mada, Perpustakaan Universitas

Muhammadiyah Surakarta, Jogja Library Center, dan Ruang Dokumentasi

Monumen Pers Surakarta. 2. Membaca, mencatat, meminjamcommit dan to memfotokopi user buku-buku literatur yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

dianggap penting dan relevan dengan tema penelitian yang tersimpan di

perpustakaan berdasarkan periodesasi waktu atau secara kronologis.

3. Mengumpulkan data yang telah diperoleh dari perpustakaan untuk digunakan

dalam penyusunan karya ilmiah.

E. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipergunakan adalah teknik analisis historis. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Menurut Helius Sjamsuddin (1996: 89) teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber- sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah. Sedangkan menurut Berkhofer dalam Dudung Abdurrahman (1999: 64), analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi

yang menyeluruh.

Backer dalam Dudung Abdurahman (1999:39) berpendapat bahwa fakta

sejarah dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu fakta keras (hard fact), yaitu

fakta-fatka yang telah teruji kebenarannya dan fakta lunak (cold fact), atau fakta-

fakta yang belum diketahui kebenarannya dan masih perlu adanya penelitian

untuk menyelidiki kebenarannya (1999:39).

Dari beberapa pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa analisis

data adalah proses menguraikan data dan menyatukan data yang berupa fakta yang

diperoleh dari berbagai sumber sejarah dengan menggunakan teori-teori yang

mendukung untuk proses analisis data.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian awal yaitu

persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Karena

penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat tahap yang harus

dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan

historiografi. Adapun prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi Sumber

Fakta Sejarah

Gambar: 2. Prosedur Penelitian Sejarah Tentang Koalisi Partai Islam dalam Perkembangan Politik di Indonesia Tahun 1999-2004

Keterangan:

1. Heuristik

Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 55) heuristik berasal dari kata

Yunani, heuriskein yang artinya memperoleh. Menurut Helius Syamsuddin (1996:

99) heuristik adalah pengumpulan sumber-sumber sejarah. Heuristik adalah

kegiatan mencari dan mengumpulkan data dan peninggalan masa lampau baik

berupa bahan-bahan tertulis dan tercetak. Dengan demikian heuristik adalah

kegiatan pengumpulan jejak-jejak sejarah atau dengan kata lain kegiatan mencari

sumber sejarah.

Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-sumber

tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan

penelitian. Sumber tertulis primer berupa surat kabar dan majalah maupun sumber sekunder berupa buku-buku dancommit literatur to user yang diperoleh dari beberapa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

perpustakaan, diantaranya: Perpustakaan Program Studi Sejarah Universitas

Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan pusat Universitas Sebelas

Maret Surakata, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, dan lain sebagainya.

2. Kritik

Tahap berikutnya adalah langkah verifikasi atau kritik untuk memperoleh keabsahan sumber. Keabsahan sumber dicari melalui pengujian mengenai kebenaran atau ketetapan sumber. Kritik terhadap sumber data dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern (Dudung Abdurrahman, 1999: 58). a. Kritik Sumber Ekstern Kritik ekstern dilakukan pada sumber tertulis dengan menyeleksi segi- segi fisik dari sumber yang ditemukan dilihat dari jenis kertasnya, gaya penulisannya, bahasa yang digunakan, tahun pembuatan, siapa yang membuat, dan dimana buku, arsip atau surat kabar tersebut dibuat. Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan sumber-sumber yang relevan terhadap topik yang hendak diteliti. Penulis menggunakan sumber primer berupa koran dan majalah yang terbit pada tahun 1999-2002 seperti

koran Suara Merdeka, 8 Oktober 1999, koran Serambi Indonesia, 7 Desember

1999. “PPP takkan Jadi Oposan”.1, koran Solopos, 26 Oktober 1999. “Alwi:

Gus Dur Cukup Pusing Susun Kabinet”._1, koran Solopos. Aidul Fitriciada

Azhar. 1 Mei 2000. “Mempertimbangkan Sidang Istimewa MPR”. 4, koran

Kompas, 9 Juni 1999. “Menimbang Calon Kompromi Presiden”. 13, Solopos,

17 Mei 1999. “PAN, PKB, PDI Perjuangan Sulit Berkoalisi”. 2. Selain itu juga

menggunakan Majalah Tempo. Wahyu Muryadi, Ardi Bramantyo, & Arif A.

Kuswardono. Edisi 10 Mei 1999 “Meraba-raba Koalisi dan Ego Politisi”. 22-

23, Majalah Suara Muhammadiyah. Anonim. 1999. 1-15 Januari. “Pasang

Surut Politik: Orde Baru dan Sesudahnya”. 14-15, Majalah Suara

Muhammadiyah. Okkie Muttaqie. edisi 16-30 September 1999. “Kini, Bola di

Tangan Poros Tengah”. 8, Majalah Gatra. Kamarudin. 2 Oktober 1999. “Lampu Merah Buat Bung Rudycommit”. 36-37, to user Majalah Tempo. Wahyu Muryadi, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

Kelik M. Nugroho & Hardy R. Hermawan. 30 Mei 1999. “Komunike Paso

Versus Status Quo”. 26-27, Majalah Tempo. Herbert Feith. 26 April 1999.

“Mega Presiden, Amien Oposisi”. 30-31, Majalah Tempo. Gendur Sudarsono,

Edy Budiyarso dan Andari Karina. 2001. 24 Juni. “Merangkul Lagi Poros

Tengah”. 22-23. Selain itu juga dengan menggunakan Sumber buku misalnya

seperti buku Zainal Abidin Amir “Islam Politik Pasca Soeharto” dan

Firmanzah “Mengelola Partai Politik”.

b. Kritik Sumber Intern Kritik intern dilakukan dengan membandingkan antara isi sumber yang satu dengan isi sumber yang lain sehingga data yang diperoleh dapat dipercaya dan dapat memberikan sumber yang dibutuhkan. Hal tersebut dilaksanakan agar dapat mengetahui bagaimana isi sumber sejarah dan relevansinya dengan masalah yang dikaji. Kritik intern sumber data tertulis dalam penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi gaya, tata bahasa, dan ide yang digunakan penulis, sumber data, dan permasalahannya kemudian dibandingkan dengan sumber data lainnya. Kritik ini bertujuan untuk menguji apakah isi, fakta dan cerita dari suatu sumber sejarah dapat dipercaya dan dapat

memberikan informasi yang diperlukan.

Dalam buku Zainal Abidin Amir (2003: 283) Islam Politik Pasca

Soeharto disebutkan Koalisi merupakan langkah strategis dalam menentukan

positioning dan pembentukan citra sebuah partai politik. Tanpa positioning

yang unik maka sebuah parpol akan sulit membedakan dirinya dari yang lain.

Positioning berguna tidak hanya pada masa pemilu tapi juga saat pemerintahan

berjalan. Positioning pada saat pemilu berfungsi untuk menarik perhatian

pemilih, maka pada saat pemerintahan berjalan positioning dapat berguna

untuk menjalin hubungan dengan masyarakat. Selama masa menjalin hubungan

ini dapat dilakukan pembentukan atau penguatan citra partai politik yang

bertujuan untuk menguatkan hubungan antara partai politik dengan

masyarakat. Positioning partai politik akan menentukan citra partai politik di depan rakyat atau pemilih. Positioningcommit to user akan lebih mudah bagi partai politik perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

yang sudah memiliki platform yang kuat seperti PDI Perjuangan, Golkar, PAN,

dan PKB.

Dalam buku Firmanzah (2008: 160) Mengelola Partai Politik.

Worcester dan Baines menyatakan bahwa partai politik dan kandidat pemilihan

umum secara permanen melakukan positioning melalui penciptaan dan

penciptaan ulang kebijakan, image, serta jasa yang disediakan bagi publik.

Positioning dalam politik ini pada dasarnya adalah untuk menciptakan peluang bagi partai politik dalam kompetensi politik nasional. Kritik Intern terhadap buku Zainal Abidin Amir dan Firmanzah yaitu, dalam buku Zainal Abidin Amir lebih berisi tentang partai-partai Islam dalam perjalanan politik di Indonesia dari pasca kemerdekaan sampai dengan reformasi sedangkan dalam buku Firmanzah lebih berisi tentang partai politik secara keseluruhan dengan menyinggung sedikit mengenai partai Islam. Kritik ekstern dari buku Zainal Abidin Amir dan Firmanzah dapat diketahui dari bahasa yang digunakan oleh kedua penulis tersebut. Zainal Abidin Amir menggunakan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh orang awam atau umum, sedangkan Firmanzah banyak menggunakan istilah-istilah politik sehingga untuk memahami diperlukan pemahaman pengetahuan tentang

politik.

3. Interpretasi

Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan

atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga

dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang

menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna

dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut

sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji.

Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan

fakta sejarah atau sintesis sejarah. Langkah interpretasi data dalam penelitian ini

menyangkut kegiatan menyeleksi dan membuat periodisasi sejarah. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

Untuk merekonstruksikan peristiwa sejarah berdasar hasil interpretasi

dari data-data sejarah yang ada, juga diperlukan eksplanasi. Eksplanasi dalam

ilmu sejarah adalah menjelaskan atau menerangkan data sejarah yang ada

sehingga didapat hubungan antara data yang satu dengan yang lain. Dalam

melakukan interpretasi dapat dilakukan dengan cara memperbandingkan data

guna menyingkap peristiwa-peristiwa mana yang terjadi dalam waktu yang sama

(Dudung Abdurrahman, 2011: 114).

4. Historiografi Historiografi adalah menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk suatu kisah atau hasil penafsiran atas fakta-fakta sejarah itu dilukiskan menjadi suatu kisah yang selaras dan logis. Pada tahap ini dituntut kemahiran dalam menuliskan kisah sejarah dengan bahasa yang baik. Dalam menyusun isi penelitian sejarah hendaknya disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. (Nugroho Notosusanto, 1978: 42). Sebagai fase terakhir dalam metode sejarah, historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan (Dudung Abdurrahman, 2011: 117). Dari langkah- langkah tersebut dapat tersusun sebuah hasil karya penelitian yang berwujud

skripsi dengan judul “Koalisi Partai Islam dalam Perkembangan Politik di

Indonesia Tahun 1999-2004”

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Koalisi Partai Islam di Indonesia tahun 1999

1. Sejarah Koalisi Partai Islam Setelah Kemerdekaan Indonesia merupakan Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pemeluk Islam secara bersama atau sendiri, memiliki sistem bertindak dan sistem hubungan sosial yang tersusun dalam institusi syariah. Institusi syariah Islam disusun berdasarkan ajaran Islam. Dengan demikian, setiap penyusunan dan perumusan aturan tata hubungan masyarakat yang dilakukan pemerintah Indonesia akan segera langsung atau tidak langsung melibatkan komunitas umat tersebut (Abdul Munir Mulkhan, 1989: 3). Islam di Indonesia tidak dapat disamakan dengan Islam di Negara manapun. Hal tersebut sesuai dengan simpulan Mintz dalam M. Rusli Karim (1997: 20) bahwa Islam di Indonesia sebagai unsur tambahan dari agama-agama yang telah ada, di samping mempersatukan juga merupakan sebuah kekuatan dinamis, tidak kaku dalam adaptasi dengan kehidupan modern. Faktor ini pula yang menyebabkan Islam

memainkan peran penting sebagai kendaraan nasionalisme dan pembangunan sosial

di Indonesia. Tokoh-tohoh Islam banyak yang memegang peranan penting dalam

pemerintahan di Indonesia.

Pada masa penjajahan Belanda, Islam merupakan pemersatu bagi orang

Indonesia untuk berhadapan dengan Belanda dan Cina. Oleh karena itu, berdiri

Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1911 untuk mewadahi atau mengorganisasi

para pedagang Muslim di Indonesia yang kemudian Sarekat Dagang Islam berubah

menjadi Sarekat Islam di tahun 1913 yang pada awalnya diarahkan untuk orang-orang

Cina di Solo. Sarekat Dagang Islam kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam

karena para tokoh Sarekat Dagang Islam ingin supaya organisasi tersebut tidak hanya

untuk para pedagang Muslim saja tetapi juga seluruh orang Islam di Indonesia. Ikatan

commit to user 39

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

terhadap Islam dapat menyebar ke segenap penjuru tanah air, dari Aceh sebelah barat

sampai ke Maluku di sebelah timur, di samping meliputi segenap lapisan penduduk

dari bawah sampai atas karena lebih didorong oleh rasa seagama (Deliar Noer,

2000:5).

Lahirnya Sarekat Islam merupakan sebuah aktivitas keagamaan pertama yang cukup berarti dalam usaha memperbaiki posisi umat Islam dalam sebuah bangsa yang telah dijajah. Sarekat Islam kemudian berubah menjadi partai politik sekaligus berubah nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) pada tahun 1920. Sarekat Islam merupakan organisasi yang berkontribusi dalam menegakkan akar kebangsaan dan persatuan Indonesia yang kemudian disusul dengan berdirinya Muhammadiyah pada tahun 1912, dengan semangat pembaharuan yang merupakan suatu cara baru untuk diperkenalkan kepada komunitas Islam ke dalam kehidupan modern yang mulai menggunakan organisasi modern. Falsafah perjuangan yang terpenting adalah mengangkat martabat bangsa terjajah. Sarekat Islam dan Muhammadiyah disebut sebagai langkah awal yang mempunyai dampak bagi masa depan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam perkembangan berikutnya, Sarekat Islam yang menjadi Partai Sarekat Islam

kemudian menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), sebagai partai Islam

pertama. Sedangkan Muhammadiyah berkembang menjadi sebuah organisasi

kemasyarakatan yang sangat berpengaruh, terutama dalam mengajarkan paham Islam

modern, memberikan perhatian pada pendidikan dan amal sosial.

Umat Islam di Indonesia sejak tahun 1920-an semakin banyak yang

melibatkan diri dalam kegiatan politik untuk menentang penjajah asing. Oleh karena

itu dapat disimpulkan bahwa organisasi Islam telah memberikan sumbangan yang

sangat besar bagi perjuangan bangsa menentang penjajah (Abdul Munir Mulkhan,

1987: 56). Nahdlatul Ulama (NU) berdiri setelah Sarekat Islam dan Muhammadiyah

pada tahun 1926 oleh K.H.A. Wahab Hasbullah. Organisasi Islam yang muncul

kemudian adalah Perti (Pesatuan Tarbiyah Islamiyah) yang didirikan dari sebuah

proses jamaah pengajian Bukittinggi, Sumatera Barat tanggal 5 Mei 1928. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

Organisasi-organisasi Islam yang lain (berhaluan modernis, reformis, dan

tradisionalis) seperti NU, Muhammadiyah, PSII, Persatuan Umat Islam, Al-Islam,

dan Al-Irsyad kemudian menyatukan dalam federasi Islam yaitu Majelis Islam A’la

Indonesia (MIAI) di tahun 1937 (Ahdi Makmur, 2006: 66). MIAI dibentuk atas dasar

keinginan untuk memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia. MIAI secara umum bergerak di bidang keagamaan, akan tetapi dalam setiap kegiatan yang dilakukan MIAI sarat muatan politik. MIAI kemudian mendirikan partai Islam yaitu Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan November 1943 (Ahmad Syafi’i Mufid, 2009: 13). Selain Masyumi berdiri pergerakan-pergerakan Islam yang lain seperti Jong Islamieten Bond, dan lain-lain. Pergerakan-pergerakan Islam tersebut merupakan suatu catatan yang menunjukkan potensi sosial-politik umat Islam yang tidak bisa diabaikan dalam dinamika sosial-politik di Indonesia (Deliar Noer, 1999: 279). Pada masa Revolusi keadaan Negara dan perpolitikan di Indonesia masih sangat labil, Indonesia masih menghadapi musuh asing yang ingin kembali menguasai Indonesia. Setelah musuh asing keluar, dunia perpolitikan di Indonesia juga kembali menguat termasuk kesadaran kembali sebagian umat Islam untuk

kembali memperjuangkan umat melalui gerakan politik (M. Abdul Karim, 2007: 18).

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, pemerintah mengeluarkan

Maklumat Nomor X tanggal 3 November 1945, tentang pembentukan partai-partai

politik yang mana setelah keluar Maklumat No.X tersebut, muncul 36 partai politik,

akan tetapi partai Islam yang muncul pada saat itu hanya Masyumi yang merupakan

representasi dari umat Islam. Masyumi terdiri dari empat organisasi umat Islam,

yaitu: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Perikatan Umat Islam, dan Persatuan

Umat Islam (Miriam Budiardjo, 2008: 427).

Partai politik Islam selanjutnya mulai bermunculan seperti Partai PERTI

(Pesatuan Tarbiyah Islamiyah) yang pada awalnya merupakan ormas keagamaan

kemudian berubah menjadi partai politik pada tahun 1945. Selain PERTI juga

terdapat partai PSII (keluar dari Masyumi tahun 1952) dan Partai NU (keluar dari commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42

Masyumi tahun 1954) sehingga wadah tunggal parpol Islam tidak ada lagi.

Munculnya gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) merupakan salah

satu representasi gerakan politik Islam pada saat itu, begitu juga mulai muncul

kesadaran sebagian rakyat Aceh yang ingin lepas dari Indonesia (M. Abdul Karim,

2007: 19). Masyumi pada masa awal kemerdekaan merupakaan partai Islam yang paling diminati. Kedudukan umat Islam pada awal revolusi kurang kuat meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Hal ini dapat dilihat dari kabinet dan KNIP. Hanya terdapat dua orang menteri yang mewakili Masyumi dalam kabinet Presidensial yang dibentuk pada bulan Agustus 1945 yaitu K.H. Wahid Hasyim dan Abikusno Tjokrosujoso. Wahid Hasjim dan Sjafruddin Prawiranegara juga merupakan dua orang wakil dari umat Islam yang duduk dalam Badan Pekerja KNIP yang jumlahnya 15 orang. Kabinet ini terjadi perombakan dalam pembagian kursi, akan tetapi Masyumi yang merupakan satu-satunya partai Islam merasa pembagian dalam perombakan kabinet tersebut kurang adil. Pada saat terjadi perubahan kabinet Presidensial ke kabinet Parlementer partai Masyumi tidak menyetujuinya. Kabinet Parlementer merupakan usulan dari

Sjahrir dan kemudian kabinet berubah menjadi kabinet Sjahrir. Kabinet Sjahrir hanya

meletakkan satu orang Masyumi yang duduk parlemen, yaitu H. Mohammad Rasjidi

yang semakin membuat kalangan Masyumi kecewa. Kekecewaan ini berkembang

menjadi tuntutan perubahan kabinet Sjahrir. Kongres Masyumi di Solo tanggal 10-13

Februari 1946 menuntut adanya pembentukan kabinet koalisi, dan suatu Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) melalui suatu pemilihan umum yang bersifat langsung.

Partai-partai lain pada umumnya juga setuju dengan yang dikemukakan oleh

Masyumi tentang pergantian sistem kabinet serta tuntutan kabinet koalisi. Pada

tanggal 28 Februari 1946, dalam sidang KNIP di Solo Sjahrir telah mengembalikan

mandatnya, akan tetapi pada tanggal 2 Maret 1946, Sjahrir ditunjuk sebagai formatir

suatu kabinet koalisi. Kabinet Sjahrir jatuh disebabkan oleh oposisi Persatuan

Perjuangan. Oposisi datang dari mayoritas rakyat, apabila hal ini tidak dikemukakan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

43

dalam KNIP karena KNIP ditunjuk oleh pemerintah sedangkan Persatuan Perjuangan

lebih mencerminkan kemauan rakyat dibandingkan dengan KNIP. Oleh karena itu,

Sjahrir kemudian didesak kembali untuk mengembalikan mandatnya kepada Presiden

(Deliar Noer, 2000: 161-166).

Tuntutan untuk mengadakan koalisi terus dicetuskan oleh Masyumi bersama dengan PNI, dan Persatuan Bangsa Indonesia. Sjahrir kemudian mempimpin lagi dalam kabinet Sjahrir yang ketiga, terdiri dari 30 anggota bersifat nasional. Termasuk di dalam Kabinet Sjahrir III ini adalah enam orang dari Masyumi. Setelah Kabinet Sjahrir, kemudian diganti dengan kabinet Amir Sjarifuddin. Setelah itu, sering sekali gonta-ganti Kabinet dalam kepemimpinan tokoh Masyumi hingga tahun 1950. Kesepakatan ideologis dalam elite politik pada saat itu dibangun atas dasar yang lemah. Kegagalan kabinet Sjahrir juga tidak lepas dari ketakutan elite Negara dan partai nasionalis terhadap kemenagan kelompok Islam, dan juga kaum nasionalis terus membenahi diri mencari dukungan (M. Abdul Karim, 2007: 19). Pada tahun 1951, PNI menggantikan Masyumi sebagai partai yang berkuasa dalam perpolitikan kabinet dan mampu mengimbangi besarnya fraksi Masyumi di parlemen arena bentuk pemerintahan kembali ke Negara kesatuan, pimpinan RI

kembali dipimpin oleh Soekarno (Presiden) dan Hatta (Wakil Presiden) dan dengan

Kabinet Hatta. Akan tetapi kabinet Hatta tidak berlangsung lama, karena kemudian

Kabinet Hatta digantikan oleh Kabinet Natsir. Kabinet-kabinet selanjutnya juga tidak

berusia lama, setelah Kabinet Natsir, kemudian kabinet digantikan oleh Kabinet

Sukiman, kemudian kabinet Wilopo, Kabinet Wilopo digantikan oleh kabinet Ali

Sastroamidjojo (1953 – 1955) (Deliar Noer, 2000: 228).

Pada tahun 1954, masa kampanye pemilu 1955, terjadi pelebaran

pertentangan basis ideologi di antara PNI dan Masyumi. Perbedaan tersebut adalah

seputar pandangan tentang prioritas dan arah perkembangan politik dan ekonomi

Indonesia. Menurut PNI, yang utama adalah benar-benar terlepas dari Belanda,

sementara Masyumi yang penting adalah membangun kembali ekonomi yang telah

rusak akibat perang. Perbedaan ini pada dasarnya bermula dari pandangan agama dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

44

latar belakang kesukuan. PNI adalah orang-orang Jawa dan kaum priyayi yang

cenderung sekuler sementara Masyumi mempercayakan Islam adalah landasan

ideologis utama. Pada tahun 1952, kekuatan Masyumi yang sebelumnya didukung

oleh NU justru ditinggalkan oleh pendukung besar Masyumi, yaitu NU. Hal ini

dikarenakan peran NU dalam Masyumi dirasakan terpinggirkan meskipun NU mempunyai massa atau suara besar, dan NU dikuasai kaum modernis radikal di bawah Moh. Natsir. Keberhasilan PNI dalam menguasai perpolitikan parlemen dan kabinet pada tahun 1953 secara tidak langsung didukung oleh NU yang telah menarik diri dari Masyumi. Pada tahun 1954 PNI menjadi kelompok terbesar dalam parlemen, PNI semakin banyak menarik tokoh Islam tanpa harus mengikutsertakan Masyumi. Meskipun NU berlandaskan Islam, akan tetapi NU berakar pada nasionalisme (M. Abdul Karim, 2007: 20). Pada Pemilu 1955, peta kekuatan politik Islam terpecah menjadi lima partai politik, yaitu Masyumi, PSII, Perti, PPTI dan NU sehingga jumlah suara yang diperoleh partai Islam kalah dari PNI. Pemilu 1955 dilaksanakan secara dua tahap, pertama pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR, kedua dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan

Konstituante. Pemilu 1955 dilaksanakan pada masa pemerintahan kabinet

Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956). Kabinet Burhanuddin

Harahap adalah Kabinet koalisi dengan Masyumi sebagai intinya, sedang partai

Nasional Indonesia (PNI) menjadi partai oposisi. Pemilu 1955 menghasilkan PNI

sebagai pemenang pemilu untuk anggota DPR dengan perolehan suara sebesar

22,32% disusul Masyumi dengan 20,92% dan NU dengan 18,41% sementara PSII

memperoleh suara sebesar 2,89%. Apabila NU dan PSII tidak keluar dari Masyumi,

maka akan lebih unggul dari PNI apalagi jika kekuatan politik Islam digabung maka

akumulasi perolehan suara seluruh partai Islam 44,93%.

Pada pemilu 1955, partai Islam sulit melakukan koalisi karena terdapat

beberapa perbedaan (politik) yang menyebabkan partai-partai Islam tidak dapat

membentuk pemerintahan koalisi. Koalisi yang terjadi justru dilakukan antara partai commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45

Islam dengan partai non-Islam (Nasionalis – Sosialis). Setelah Pemilu 1955, NU

semakin sering terlibat dalam urusan politik dan pemerintahan. Berdasarkan hasil

Pemilu 1955, NU ikut ambil bagian dalam kabinet Ali Sastroamidjojo dan dibentuk

kabinet koalisi antara PNI – Masyumi – NU dan beberapa partai lain yang terdapat

wakil di parlemen, tanpa mengikutsertakan PKI (M. Dzulfikriddin, 2010: 108). Pada tahun 1955, Masyumi sebagai partai Islam yang mendapat suara terbesar di antara partai Islam yang lain. Pada Pemilu 1955 memperlihatkan bahwa partai-partai Islam tidak mampu melakukan koordinasi politik yang mapan dan signifikan melalui satu koalisi politik yang kuat dan sinergis, sejak saat itu politik Islam terus terpuruk. Sidang Majelis Konstituante pada tahun 1957 yang ketika itu membahas ideologi Negara, NU dan Masyumi dapat berkoalisi mempertahankan ideologi Islam. Akan tetapi karena PNI dan PKI juga berkoalisi mempertahankan Pancasila, maka PNI dan PKI kembali memenangkan sidang. Menghadapi sikap PKI, kelompok Islam-pun merasa curiga. Umat Islam yakin bahwa komunis pada dasarnya tidak percaya pada Tuhan, karena dalam Pancasila terdapat sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Tahun 1959 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 7 PNPS tentang syarat- syarat dan pembubaran partai politik yang menyebabkan pembatasan gerak partai.

Tekanan terhadap partai ditambah lagi dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden

No. 128 Tahun 1960 yang menyatakan partai yang diakui pemerintah adalah PNI,

NU, PKI, Partai Katholik, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Partai Kristen Indonesia

(Parkindo), IPKI, Perti dan Partai Murba, sedangkan Partai Masyumi, PSI dan

beberapa partai yang lain dibubarkan atau tidak diakui. Padahal, Masyumi merupakan

mayoritas suara terbesar partai Islam. Partai Masyumi dibubarkan oleh Presiden

Soekarno karena Masyumi dinilai gagal dalam pembuktian keterlibatan Masyumi

dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia–Perjuangan Rakyat Semesta

(PRRI–Permesta). Partai Islam pun semakin merosot dengan keadaan tersebut. Akan

tetapi, tumbangnya PKI 1965, justru tampak sebagai kekuatan tunggal yang bermasa

positif terhadap NU, sementara PNI juga tumbang berkaitan dengan pembubaran PKI

(M. Abdul Karim, 2007: 21-25). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

46

Pemilu kedua di Indonesia dilaksanakan pada tahun 1971 yang telah

memasuki masa Orde Baru atau merupakan Pemilu pertama yang dilaksanaan pada

masa Orde Baru. Pada Pemilu 1971 ini diikuti oleh 9 partai politik dan 1 golongan

yaitu Golongan Karya (Golkar). Pelaksanaan pemilu 1971 berada di bawah tekanan

aliansi militer, birokrasi sipil, dan golongan fungsional lain yang tergabung dalam Golkar sehingga menjadikan Golkar sebagai pemenang pemilu pada tahun 1971 dengan memperoleh suara sebesar 62,82%. Hal ini berarti Golkar memperoleh suara mayoritas dalam pemilu 1971 karena memperoleh suara diatas 50% (Mahrus & Nurhuda Y., 2008: 42). Sedangkan Pemilu 1971 ini diikuti oleh 4 partai Islam yaitu NU memperoleh suara 18,67%, Parmusi 7,36%, PSII 2,39% dan Partai Islam Perti 0,70%. Perolehan suara hasil pemilu 1971 untuk partai-partai yang bercorak Islam menurun dibandingkan pada pemilu 1955. Pada pemilu 1971 basis pertempuran terjadi bukan antara santri dan abangan dalam isu-isu keagamaan, melainkan antara PKI yang abangan dan koalisi PNI yang juga abangan di satu pihak, dan partai-partai santri seperti NU dan Masyumi. Pada tahun 1973 terjadi fusi atau koalisi atau penyederhanaan partai politik yang mana sejak menjelang Pemilu 1971 Golkar telah melancarkan pembaharuan

politik, dengan alasan modernisasi, yang salah satunya dalah ingin meninggalkan

‘Ideologi Oriented’ ke ‘Program Oriented’, salah satu programnya adalah berfusinya

partai-partai yang ada. Selama masa Orde Baru berlangsung pluralitas partai dan

pluralitas ideologi merupakan pembuat masalah dari konflik-konflik yang terjadi

sebelumnya (Kacung Marijan, 1993: 37).

Pada tanggal 5 Februari 1973 empat partai Islam yang terdiri dari seperti

NU, Parmusi, PSII, dan Perti tergabung dalam bentuk Konfederasi Kelompok

Persatuan Pembangunan telah disepakati dibentuknya Partai Persatuan Pembangunan

(PPP) yang merupakan fusi dari empat partai Islam tersebut (Abadi, 8 Januari

1973:1). Ali Murtopo dalam Kacung Marijan (1993: 37) berpendapat bahwa gagasan

penyederhanaan partai tidak hanya berarti pengurangan jumlah partai, tetapi lebih

penting dari pada itu adalah perombakan sikap dan pola kerja menuju orientasi pada commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

47

program, sehingga paralel dengan penyederhanaan partai adalah penunggalan

ideologi. Realisasinya, pada tanggal 10 Januari 1973 sepuluh partai yang ada pada

saat itu disederhanakan menjadi 3 (tiga) yaitu: 1) yang bercorak nasionalis (PDI)

yang terdiri dari 5 partai seperti PNI, Parkindo, Partai Katholik, IPKI, dan Murba, 2)

yang bercorak spiritual (fusi dari partai-partai Islam) menjadi PPP yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti, 3) Golongan Karya yang pendiriannya dimaksudkan untuk menampung aspirasi politik dari kelompok-kelompok yang belum tersalurkan lewat partai-partai yang ada, sehingga pada pemilu selanjutnya yaitu Pemilu 1977 yang mana pada pemilu tahun 1977 ini diikuti oleh Golkar, PDI, dan PPP. Pemilu 1977 dan selanjutnya hingga tahun 1997 hanya diikuti oleh 3 partai politik tersebut. PDI dan PPP mengawali berfusinya anggota dalam fraksi-fraksi di DPR, dimana partai nasionalis tergabung dalam PDI, partai Islam tergabung dalam PPP, yang diawali berfusinya anggota dalam fraksi-fraksi di DPR. Restrukturisasi sistem kepartaian yang dilakukan pada tahun 1973 tersebut semakin memudarkan wadah politik umat Islam, hingga muncul PPP dan PDI untuk sekedar mendampingi Golkar yang tidak menamakan diri sebagai partai politik (M. Abdul Karim, 2007: 27-28). Pemilu tahun 1977 sampai dengan tahun 1997 oleh pemerintah Orde Baru

hanya terdapat 3 partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan

Karya (Golkar), serta Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai Islam semakin pudar

dengan perolehan suara yang terus menurun yaitu pada pemilu 1977 (pasca fusi 1973)

partai Islam yang berfusi menjadi PPP perolehan suara 29,29%. Empat kabinet

pertama Orde Baru sangat sedikit kalangan muslim santri yang ikut duduk dalam

kabinet. Pada masa kabinet pembangunan V dan VI wakil kaum santri mulai terlihat

dalam kabinet.

Semangat berjuang umat Islam melalui PPP semakin mereda ketika muncul

perpecahan hubungan antara MI (Muhammadiyah) dan NU, sehingga PPP semakin

lemah dalam peran perpolitikan di Indonesia dan juga menunjukkan semakin lemah

dalam perjuangan politik umat Islam. Hal ini semakin jelas terlihat karena penurunan

perolehan suara PPP semakin berlanjut pada Pemilu tahun 1982 memperoleh 27,78%, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48

Pemilu 1987 memperoleh 15,97%, pemilu 1992 memperoleh 17% dan pemilu

terakhir Orde Baru yaitu pemilu 1997 memperoleh 17% suara (Abdul Munir

Mulkhan, 2009: 49-54).

2. Berakhirnya Rezim Orde Baru Kabinet yang dibentuk melalui hasil pemilu 1997 terfokus pada persoalan pergantian kepemimpinan nasional hasil Sidang Umum MPR tahun 1998. Hal ini berawal dari semakin merosotnya kredibilitas para pimpinan eksekutif dan legislatif serta krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah secara keseluruhan. Sedangkan persoalan-persoalan lain seperti semakin meningginya bahan-bahan pokok dan naiknya harga BBM, selain merupakan faktor yang dirasakan sangat memberatkan masyarakat, juga merupakan salah satu saluran yang dijadikan kendaraan dalam menyampaikan tuntutan reformasi politik tersebut. Komunikasi politik dalam pengertian sebagai unsur dinamisasi kehidupan politik selama proses pemilihan Presiden dan wakil Presiden di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak berjalan lancar. Komunikasi politik hanya berlangsung dalam kerangka formalisasi proses supaya terlihat sebagai Negara demokrasi dan hanya untuk

memperkuat kekuasaan dan bukan untuk menghidupkan proses politik sebagai sarana

demokrasi (Asep Saeful Muhtadi, 2008: 90-92).

Krisis ekonomi yang melanda Asia pada awal tahun 1998 dan khususnya

yang melanda Indonesia yang dialami sejak pertengahan tahun 1997 tidak juga

membaik. Sementara beberapa Negara tetangga yang terhantam krisis seperti

Thailand, Malaysia, dan Filipina telah menunjukkan perbaikan, keadaan ekonomi di

Indonesia tidak juga memberi sinyal bahwa krisis ekonomi akan segera selesai. Nilai

rupiah terhadap Dollar Amerika terus turun drastis. Pada bulan Januari 1998, nilai

rupiah terhadap Dollar Amerika telah menyentuh angka Rp 9.000,- per Dollar

Amerika dari sebelumnya sekitar Rp 2.680,- pada Agustus 1997. Nilai rupiah terus

merosot sampai akhirnya turun drastis hingga 1 Dollar setara dengan Rp 13.000,-.

Hal ini semakin membuat situasi ekonomi terus menurun, akan tetapi pengusaha terus commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

sibuk dengan segala retorika publik tentang tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi

dan laju inflasi yang rendah (Hanum Salsabiela Rais, 2010: 92). Krisis ekonomi

tersebut menambah daftar persoalan-persoalan Negara di samping pada saat itu

banyak terjadi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Alternatif reshuffle kabinet yang ditawarkan pemerintah juga tidak dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Kebijakan reshuffle kabinet pada awalnya diharapkan dapat menjawab tuntutan reformasi, akan tetapi hal tersebut tidak bisa menurunkan gelombang reformasi. Kebijakan reshuffle kabinet hanya dipandang sebagai cara-cara yang tidak akan memberikan arti yang cukup besar pada upaya penyelesaian krisis nasional yang berkepanjangan, karena berkaitan dengan tuntutan ideal reformasi (Asep Saeful Muhtadi, 2008: 90). Gerakan reformasi di Indonesia semakin menguat ketika krisis moneter yang terjadi pada Juli 1997 tidak dapat segera diatasi, bahkan berkembang menjadi krisis ekonomi dan krisis multi dimensional, yang pada akhirnya gagal ditangani oleh rezim Orde Baru. Krisis ekonomi yang terjadi gagal ditangani oleh rezim Soeharto menyebabkan tidak validnya keberhasilan ekonomi sebagai alat legitimasi sehingga muncul gerakan reformasi yang semakin menguat (Akbar Tandjung, 2008: 7).

Mahasiswa dan masyarakat kemudian menggelorakan demonstrasi dari segala

penjuru tanah air. Ratusan mahasiswa di Bandung dan Jakarta mendesak supaya

pemerintahan Soeharto segera bertindak nyata untuk mengatasi krisis finansial. Akan

tetapi, aksi protes mahasiswa justru dibalas Soeharto dengan kebijakan politiknya

yang semakin mengusik rasa keadilan dan demokrasi. Setelah dikukuhkan kembali

menjadi Presiden untuk periode 1998-2003, Soeharto mengumumkan formasi kabinet

terbarunya. Siti Hardiyanti Rukmana yang merupakan putri sulung Soeharto ditunjuk

sebagai Menteri Sosial, sementara Bob Hasan yang merupakan pengusaha yang

sangat dekat dengan Soeharto dipilih untuk menjabat posisi strategis sebagai Menteri

perindustrian dan perdagangan (Hanum Salsabiela Rais. 2010: 92).

Mahasiswa dan masyarakat kemudian berhasil mendesak pimpinan

DPR/MPR untuk meminta Soeharto mundur dari kursi kepresidenan karena melihat commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

50

adanya krisis ekonomi dan krisis politik, termasuk KKN. Kegagalan dalam

menangani krisis moneter dan ekonomi membuat Soeharto dan rezim Orde Baru

menyerah pada tuntutan reformasi. Soeharto kemudian mundur dari panggung politik

pada tanggal 21 Mei 1998 (Akbar Tandjung, 2008: 7).

Orde Baru merupakan rezim yang terutama menyibukkan diri dengan kegiatan menjaga citra, sementara itu birokrasi menampilkan kesan administrasi yang rasional, yang terdiri dari institusi-institusi yang sangat tidak kompeten dan tidak efisien, dengan tanggung jawab-tanggung jawab yang saling tumpang tindih, pegawai-pegawai yang jumlahnya berlebihan dan digaji sangat rendah. Orde Baru bahkan berusaha menampilkan kesan adanya demokrasi dengan menyelenggarakan pemilihan umum sekali dalam lima tahun, sebagaimana yang ditunjukkan oleh John Pamberton dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (2007: 9), bukan hasil yang penting, melainkan kampanye yang mendahului pemilihan-pemilihan umum, yang bisa dengan sangat mudah berubah menjadi tindak kekerasan dan kekacauan. Rezim Orde Baru juga berusaha menampilkan kesan adanya kapitalisme yang rapi dan yang beroperasi di pasar bebas, tetapi rent dan crony capitalism serta

hierarki-hierarki patrimonial memperkuat satu sama lain sedemikian rupa sehingga

tidak satu orang pun mampu keluar dari struktur korupsi yang dikendalikan dari

pusat. Pada saat krisis moneter yang melanda Asia menghantam Jakarta pada Agustus

1997, Rezim Orde Baru ambruk dalam waktu 9 bulan. Krisis keuangan dan politik

1997-1998 bisa dikonsepsikan sebagai kemacetan total jaringan-jaringan patrimonial

yang mengarah ke pusat. Berbagai kelompok yang dulu mendukung Orde Baru secara

perlahan-lahan digeser ke pinggir dan kehilangan akses menuju sumber-sumber

kekayaan di pusat. Ketika arus dari pusat berhenti, kelompok-kelompok besar

kehilangan loyalitas mereka pada Presiden. Tidak lama kemudian diikuti dengan

robohnya rezim patrimonial.

Krisis ekonomi, krisis politik, dan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pada

akhir Orde Baru telah mengakibatkan terjadinya peralihan kekuasaan dari Presiden commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

51

Soeharto kepada wakilnya B.J. Habibie. Rezim Orde Baru berakhir di tengah-tengah

suasana yang hampir sama dengan suasana kelahiran Orde Baru di tahun 1965-1966,

yaitu di tengah-tengah krisis ekonomi, kerusuhan, dan pertumpahan darah di jalan-

jalan (M. C. Ricklefs, 2008: 624).

B.J. Habibie kemudian menjadi penerus kekuasaan Soeharto yang mana pemerintahan B.J. Habibbie mendapat tekanan kuat dari kelompok-kelompok pro- demokrasi agar segera melakukan sejumlah pembaruan dibidang politik, seperti pembaruan Undang-undang tentang Partai politik, Undang-undang tentang Pemilihan Umum, Undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Pemerintahan B.J. Habibie juga didesak agar segera menyelenggarakan Pemilu, karena sebagian kalangan pro-demokrasi meragukan legitimasi Presiden B.J. Habibie sebagai pengganti kedudukan Soeharto. Dalam kondisi penuh tekanan politik, pemerintahan baru B.J. Habibie mengakomodasi berbagai tuntutan masyarakat (Akbar Tandjung, 2008: 73). Langkah-langkah pembaharuan yang terpenting dilakukan oleh kepresidenan Habibie (Mei 1998-Oktober 1999) adalah terlepas dari kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai-partai politik, pemilihan-pemilihan umum bebas, dan pemberian referendum di Timor Timur, pemerintah Habibie juga

memasukkan Undang-undang penting melalui parlemen secara terburu-buru, yang

mulai menggerakkan proses desentralisasi administratif (Henk Schulte Nordholt &

Gerry van Klinken, 2007: 16). Salah satu yang dilakukan B.J. Habibie dari langkah-

langkah pembaharuan tersebut adalah melaksanakan pemilu legislatif 1999, untuk

memperbarui legitimasi atas diri B.J. Habibie (Akbar Tandjung, 2008: 73).

Banyak orang yang tidak bisa menerima B.J. Habibie menjadi Presiden

menggantikan Soeharto, meskipun pengangkatan B.J. Habibie sebagai Presiden sudah

sesuai dengan aturan. Salah satu alasan B.J. Habibie tidak diterima sebagai Presiden

pengganti Soeharto karena B.J. Habibie dianggap sebagai kader puncak Soeharto.

Apapun yang dilakukan oleh B.J. Habibie disimpulkan oleh masyarakat hanya

sebagai kelanjutan dari berbagai kebijakan Soeharto. Opini seperti itu secara tidak

langsung juga didukung oleh pernyataan-pernyataan B.J. Habibie sendiri di berbagai commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

52

kesempatan. Menurut B.J. Habibie Soeharto adalah profesor, guru besar sekaligus

mentor politik bagi Habibie. Kecurigaan politik Habibie menjadi semakin kuat karena

dikuatkan oleh pernyataan-pernyataan B.J. Habibie sendiri (Bagus Mustakim &

Nurhuda Kurniawan, 2010: 167-168). B.J. Habibie tidak secara serius menghukum

Soeharto yang sudah jelas selama masa Orde Baru terbukti melakukan KKN. Praktik politik Indonesia di era Orde Baru berpusat pada Golkar, Militer, dan Birokrasi, di mana masing-masing kekuatan politik sepenuhnya dalam kendali Soeharto. Praktik politik di Indonesia pasca Orde Baru, kekuasaan tidak ada yang terpusat pada sekelompok kecil orang saja dan tidak ada satu pun kekuatan partai politik yang dominan di parlemen. Akibat tidak ada satu pun kekuatan partai politik yang dominan di parlemen, maka kekuasaan politik terbagi dalam kekuatan partai politik yang tercermin dalam kekuatan di parlemen. Presiden yang terpilih pasca Orde Baru, selalu melibatkan partai-partai politik dalam pembentukan kabinetnya. Hal ini mencerminkan adanya kerjasama politik atau koalisi, yang dicerminkan dalam kekuatan politik di parlemen. Akan tetapi, kerjasama tersebut masih dalam bentuk pemerintahan presidensial, bukan parlementer (Endin AJ. Soefihara, 2005: 108-109). Pemerintahan B.J. Habibie mewarisi kekacauan dari pemerintahan Soeharto

sebelumnya yang memiliki permasalahan yang sangat sulit untuk dipecahkan.

Pemerintahan B.J. Habibie didesak oleh beberapa penentangnya tentang masalah

ketidaktegasan atas perkara KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dari Presiden

sebelumnya Soeharto. Permasalahan tidak kunjung selesai masih ditambah lagi

dengan kasus Bank Bali dan hasil jeblok jejak pendapat di Timor Timur menjelang

sidang Umum MPR 1999. Pemerintahan Habibie juga dipusingkan dengan fenomena

bocornya pelbagai dokumen rahasia, karena tidak jelas siapa pengirimnya. Kasus

Bank Bali berujung pada rekomendasi Panitia Khusus DPR. (Kamarudin, 1999: 36).

Oleh karena itu, Amien Rais kurang percaya bahwa Habibie harus menyelesaikan

periode kepresidenan Soeharto yang putus di tengah jalan karena B.J. Habibie

mewarisi krisis dan kekacauan masa Orde Baru. Ketika B.J. Habibie menggantikan

Soeharto sebagai Presiden, Amien Rais meminta kepada Habibie supaya segera commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53

mengadakan pemilihan umum secepat mungkin. Hal ini bertujuan agar transformasi

Orde Baru ke Orde berikutnya menjadi lancar (Bagus Mustakim & Nurhuda

Kurniawan, 2010: 168).

Pemerintahan B.J. Habibie meskipun telah berusaha keras melakukan

perubahan-perubahan, akan tetapi semangat Orde Baru belum hilang. Jiwa dan semangat itu masih tercermin dalam banyak Undang-undang, termasuk dalam Undang-undang politik sehingga dengan begitu praktik-praktik kampanye dan pemilu yang berlangsung dan membudaya selama Orde Baru terulang kembali dalam Pemilu 1999 (Sri Bintang Pamungkas, 2001: 132).

3. Pemilu 7 Juni 1999 Pelaksanaan Pemilu 1999 segera dipercepat dikarenakan atas desakan public yang menyebabkan hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Pemilu kemudian dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pemilu tersebut diadakan untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian

dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden

dan wakil presiden yang baru. Dengan dilaksanakannya Pemilu tersebut, yang terjadi

tidak hanya keanggotaan DPR/MPR yang diganti sebelum selesai masa kerjanya,

akan tetapi Presiden Habibie sendiri, bagi yang memandangnya konstitusional,

memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003 (A.

Malik Haramain, 2004: 134).

Reformasi yang bergulir pada masa pemerintahan B.J. Habibie

menyebabkan jumlah partai politik tidak dibatasi dan bebas menentukan asas partai.

Kebebasan mendirikan partai ini dilembagakan dalam UU No. 2 tahun 1999 tentang

Partai Politik (Hanta Yuda AR, 2010: 117). Perubahan ini sekaligus merupakan awal

dari tumbuhnya kembali multipartai di Indonesia setelah beberapa tahun selama Orde

Baru sejak tahun 1973 Golkar yang merupakan partai pembaharu menampilkan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

gagasan restrukturisasi politik yaitu dengan penyederhanaan partai-partai politik, dari

Sepuluh partai politik yang ada pada waktu itu kemudian disederhanakan menjadi 3

(tiga) yaitu yang bercorak nasionalis yang terdiri atas PNI, Parkindo, Partai Katholik,

IPKI, dan Murba menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang bercorak spiritual

(fusi dari partai-partai Islam), terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti menjadi Partai Persatuan, dan satu Golongan Karya (Golkar) yang kemudian menjadi partai yaitu Partai Golkar (Kacung Marijan, 1993: 37). Kebebasan dan kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat pada masa reformasi merupakan hal-hal yang harus ada dalam mengembangkan kehidupan demokrasi dan sistem perpolitikan di Indonesia kembali berubah setelah jatuhnya Orde Baru pimpinan Soeharto. Setelah masa transisi di bawah pimpinan B.J. Habibie, partai politik yang pada masa Orde Baru diposisikan sebagai pelengkap dan aksesori demokrasi, maka pasca-reformasi fungsi partai politik dikembalikan lagi sebagai sarana yang bersifat legal dalam menampung dan menyalurkan semangat kebebasan berpolitik. Untuk membangun kembali struktur partai politik, dikeluarkan dua Undang-undang, yaitu UU No.2 Tahun 1999 tentang partai politik dan UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Sejak UU No.2 Tahun 1999

diberlakukan, jumlah partai politik tidak dibatasi lagi dan Indonesia kembali ke

sistem multipartai (Firmanzah, 2008: 60).

Kebebasan mendirikan partai politik menjelang Pemilu 1999 menyebabkan

munculnya lebih dari seratus partai politik. Euphoria politik ini muncul sebagai

respon atas kebebasan berekspresi politik yang telah lama terpasung selama

pemerintahan Orde Baru (Asep Saeful Muhtadi, 2008: 97). Banyaknya partai politik

yang bermunculan tidak terlepas dari politik aliran. Kehadiran Islam dan politik

Indonesia memberi warna tersendiri bagi banyaknya partai politik yang bermunculan

setelah Reformasi. Kehadiran Islam dan politik Indonesia kontemporer tidak

berkaitan dengan politik aliran, tetapi merupakan konsekuensi logis dari proses

politik di Indonesia. Aliran merupakan sebuah metafora dari kenyataan kehidupan

sosial-politik di Indoneisa, di mana partai politik pada masa pasca-kemerdekaan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

55

melakukan mobilisasi massa dengan membentuk sejumlah auxiliary organizations

dalam rangka memenagkan Pemilihan Umum 1955. Aliran dalam kehidupan

kepartaian merupakan perwujudan dari pembentukan dukungan melalui mobilisasi

massa. Partai-partai politik juga melibatkan diri dalam kehidupan sosial yang sangat

luas, kegiatan ekonomi, dan memiliki media sendiri dalam rangka membentuk opini publik guna memperoleh dukungan massa yang sebesar-besarnya dalam menghadapi Pemilihan Umum. Menurut Clifford Geertz dalam Nur Syam (2009: 231-232), konsep aliran merupakan bentuk utama dari hampir keseluruhan pola kehidupan manusia Indonesia termasuk perilaku politiknya. Aliran merupakan bentuk dari integrasi sosial. Aliran merupakan keseluruhan pola dari dan bagi kehidupan orang Indonesia yang terutama didasarkan atas persoalan religio-kultural. Ada pattern from behaviour dan pattern of behaviour masyarakat Indonesia yang didasarkan atas nilai-nilai sosio-religio- kultural. Aliran dalam struktur kehidupan masyarakat sangat beragam. Aliran sebagai pola dari kehidupan akan terlihat pada seluruh dataran realitas kehidupan masyarakat. Clifford Geertz kemudian membagi masyarakat Jawa dalam tiga kategori sosio- religio-kultural, yaitu santri, priyayi, dan abangan. Ketiga tipologi pola dari (pattern

of) ini didasarkan atas pola bagi (pattern for) yang berupa norma-norma yang

menjadi dasar pijakan atau kerangka pedoman.

Gambaran priyayi adalah orang yang baik, halus, dan santun, terutama dalam

berbahasa. Praktik-praktik mistis dilakukan sebagai usaha untuk mencapai perasaan

sabar, menerima, dan ikhlas. Kaum priyayi ini contohnya adalah seorang guru yang

berperilaku baik dan dicontoh oleh murid karena mengajar di lingkungan pendidikan

modern (Negara). Kaum abangan misalnya adalah figur seorang kepala desa yang

dalam kegiatan sehari-hari melakukan ritual demi keseimbangan kosmologi yang

dimiliki. Contoh dari kaum santri adalah seorang kiai yang berada di lingkungan

pendidikan tradisional pada masyarakat santri. Berbagai aliran kepercayaan

mewadahi kegiatan spiritualitas kaum priyayi. Sekat-sekat yang ada dalam ketiga

varian (santri, priyayi, dan abangan) tersebut dalam perkembangannya kemudian commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

56

terlihat semakin luruh. Adanya pendidikan modern menyebabkan kelompok santri

pedesaan memasuki lingkungan birokrasi yang dahulu menjadi ranah priyayi

(Zainuddin Maliki, 2004: xiii-xiv).

Peta masyarakat Indonesia oleh Clifford Geertz dalam Afan Gaffar (2006:

124-126) telah terjadi pemilihan sosial yang bersifat cumulative (secara komulatif) atau consolidated (gabungan), karena telah terjadi proses penguatan dalam hal pengelompokkan sosial. Orang-orang abangan memiliki orientasi politik dan ekonomi yang berbeda dengan orang-orang santri. Orang-orang abangan cenderung memilih untuk berpihak kepada partai politik yang tradisional, sekuler, dan nasionalis seperti PDI Perjuangan atau Partai Golkar. Sementara, orang-orang santri cenderung memilih untuk berpihak pada partai-partai Islam seperti PKB, PPP, PBB, Partai Keadilan, dan lain-lain. Partai-partai Islam ini bersaing mendapatkan dukungan umat Islam Indonesia. Partai Amanat Nasional (PAN) didirikan oleh Amien Rais (Muhammadiyah) sehingga PAN didominasi oleh kalangan Muhammadiyah, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merepresentasikan kaum NU, dan lain sebagainya (Kuskridho Ambardi, 2009: 140-147). Pada masa Orde Baru umat Islam di Indonesia terkotak-kotak dalam

berbagai partai politik yang berasaskan Islam, sehingga merupakan hal yang mustahil

untuk dapat mendirikan partai apalagi dengan asas Islam. Berbagai persoalan yang

menyangkut masalah politik di tanah air semakin meruncing, Fuad Amsyary (1999:

18) mengusulkan agar tokoh-tokoh umat Islam seperti Amien Rais, Nurcholish

Madjid, dan Gus Dur secepatnya memprakarsai suatu forum

dialog antar Partai politik Islam agar saling menguatkan posisi umat Islam Indonesia

di masa yang akan datang baik dalam menghadapi Pemilu maupun pasca-pemilu.

Hal tersebut di atas dimaksudkan agar umat Islam tetap memegang peranan

penting dalam kehidupan kenegaraan. Umat Islam harus memberikan contoh

keteladanan dalam kehidupan politik berpolitik maupun bernegara. Oleh karena itu,

umat Islam harus mensosialisasikan kepada masyarakat bagaimana proses pergantian

kekuasaan dari Presiden kepada Wakil Presiden yang dulu terjadi. Masyarakat commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

57

Indonesia masih terjadi konflik antara yang pro dan kontra karena ada yang

menganggap bahwa pergantian itu menyebabkan pemerintahan tidak demokratis.

Tokoh-tokoh umat Islam tersebut seharusnya mendesak kepada Presiden Habibie

untuk secepatnya meredam berbagai konflik yang terjadi di masyarakat, antara lain

melalui kebijakan yang memihak pada aspirasi masyarakat dan mahasiswa, agar semua kepentingan bisa bersatu untuk diambil kebijakan yang terbaik sebagai referensi nasional. Pemilu 1999 merupakan kesempatan emas bagi komunitas Islam politik di Indonesia. Pemilu 1999 bisa disebut sebagai bangkitnya partai-partai politik Islam. Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan kekuatan kelompok-kelompok politik lain, kekuatan politik Islam yang disimbolisasikan dengan 12 partai politik berasaskan Islam tetap mengkhawatirkan. Titik tekan kekhawatiran itu terlihat ketika partai- partai politik berideologi Nasionalisme-Sekuler terlihat kuat (Deliar Noer, 1999:116). Bangkitnya partai-partai Islam di Indonesia karena sebelumnya terdapat isu “Islam” yang dikaitkan dengan perjalanan politik di Indonesia, terutama menguat sejak diumumkannya susunan kabinet 1993-1998. Kabinet pembangunan VI yang dikesani sangat berpihak pada kalangan Muslim saat itu telah mengundang

kecemburuan yang hampir sulit dikendalikan. Meskipun bagi kalangan Muslim

sendiri, kenyataan itu tidak tidak disikapi sebagai sesuatu yang final dan sangat

menggembirakan. Hal ini mengisyaratkan satu tantangan besar, baik menyangkut

prestasi kerja yang diperankannya maupun menyangkut prestasi kerja yang

diperankan maupun menyangkut menyangkut sentiment primordial yang sangat

sensitif di tengah pluralitas masyarakat. Sejumlah opini merebak dalam berbagai tema

di media massa seperti “Penghijauan Kabinet”, “Penghijauan Beringin”, “Santrinisasi

Golkar”, dan lain sebagainya. Sejak saat itu Islam sebagai salah satu kekuatan politik

kembali muncul ke permukaan setelah beberapa periode sebelumnya seakan-akan

tenggelam terkubur dalam lubang kekalahan (Asep Saeful Muhtadi, 2008: 94).

Partai politik yang bernafaskan Islam yang semakin banyak bermunculan

tidak bisa terlepas dari kepentingan-kepentingan yang hendak dicapai oleh organisasi commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

58

masyarakat yang berbasis keislaman. Ormas Islam yang muncul seringkali pula tidak

melalui pertimbangan-pertimbangan rasional yang sangat mendasar, kehadiran

ormas-ormas Islam hanya diperlukan sekedar untuk mendukung partai politik tertentu

yang menjadi wadahnya. Ormas Islam pada saat itu memiliki posisi dan kedudukan

yang sangat strategis dalam memberikan andil besar untuk menggolkan cita-cita dan tujuan yang diperjuangkannya, misalnya ICMI. ICMI merupakan sebuah organisasi cendekiawan muslim di Indonesia yang didirikan pada tanggal 7 Desember 1990. Tujuan didirikan ICMI adalah meningkatkan mutu kecendekiawanan dan peran serta cendekiawan muslim se- Indonesia dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 guna mewujudkan tata kehidupan manusia yang damai, adil, sejahtera lahir batin yang diridhoi Allah. Kelahiran ICMI merupakan kejutan untuk banyak kalangan karena Islam sebelumnya merupakan minoritas dalam politik Indonesia meskipun penduduk Indonesia mayoritas adalah Islam. Vaikotis dalam Ahmad Bahar (1955: 20) menyatakan bahwa ICMI dipersepsikan sebagai “menghidupkan kembali” peranan politik Islam. Pada akhir 1980-an Presiden Soeharto telah mengubah sikapnya terhadap Islam yakni lebih responsif. Kelahiran

ICMI banyak yang memberikan reaksi atau kontra terhadap pendirian ICMI dan

memojokkan ICMI tidak terkecuali adalah masyarakat sipil yang didukung oleh

beberapa perwira ABRI, yakni lawan politik Islam, baik dari kelompok nasionalis

“abangan”, kelompok sosialis ataupun kelompok-kelompok dari agama Nasrani,

seperti dengan pembentukan wadah tandingan ICMI (Ahmad Bahar, 1995: 21).

Pendirian ICMI mendapat pro-kontra dari beberapa pihak. Selain terdapat

pihak yang kontra terhadap pendirian ICMI tersebut di atas, terdapat pula yang pro

atau menyetujui berdirinya ICMI. Bagi pihak yang menyetujui berdirinya ICMI

karena menginginkan kiprah dan peranan para intelektual muslim di birokrasi

pemerintahan semakin maju dan menonjol. Hal ini dapat dimaklumi karena masa

kepemimpinan Soeharto dianggap kurang bersahabat dengan organisasi-organisasi

Islam yang ada. Adam Schwarz dalam Fathurin Zen (2004: 126) menyatakan bahwa commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

59

terdapat tiga kelompok yang mendukung ICMI, yaitu kaum birokrat, kelompok

modernis yang memiliki aspirasi mendirikan Negara Islam, dan sekelompok

neomodernis. ICMI berusaha untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang

disimbolkan dengan peningkatan 5K (Kualitan Iman, Kualitas Pikir, Kualitas Kerja,

Kualitas Karya, dan Kualitas Hidup). Untuk mewujudkan cita-cita itu maka didirikan Yayasan Abdi Bangsa pada tahun 1992, dengan salah satu programmnya yaitu penerbitan Harian Umum Republika. Harian Umum Republika khususnya dalam bidang politik mendorong tumbuhnya proses demokratisasi dan optimalisasi lembaga-lembaga Negara, partisipasi politik semua lapisan masyarakat, dan pengutamaan kejujuran dan moralitas dalam politik. Peranan ICMI semakin luas karena banyak tokoh ICMI yang berkecimpung di dunia politik seperti B.J. Habibie. Ormas Islam yang pada saat itu memiliki posisi dan kedudukan yang sangat strategis dalam memberikan andil besar untuk menggolkan cita-cita dan tujuan yang diperjuangkan. ICMI merapatkan barisan dan melakukan konsolidasi organisasi dalam rangka memberdayakan diri sendiri guna mengemban tugas-tugas reformasi dan pembangunan layaknya sebuah organisasi. Meskipun demikian, masyarakat sepertinya tidak bisa melupakan kaitan antara B.J. Habibie dengan ICMI, karena

dalam kabinet Reformasi Pembangunan yang Habibie pimpin, terdapat sejumlah

tokoh ICMI (Suara Muhammadiyah, 1-15 Januari 1999: 16).

ICMI di bawah pimpinan B.J. Habibie juga memainkan peran yang cukup

signifikan dalam proses penyusunan kabinet tersebut. Sehingga pandangan orang

tentang Islam Indonesia yang ditempatkan dalam bingkai pemandangan menarik di

mana Islam saat itu mulai memainkan peranan politik yang cukup besar. Bersama

dengan hal itu, muncul pemandangan baru politisasi agama hampir dalam semua

sektor kehidupan politik masyarakat. Simbol Islam bahkan menjadi komoditas yang

relatif paling laris terutama ketika politik membutuhkan legitimasi publik yang lebih

besar (Asep Saeful Muhtadi, 2008: 95). Menurut Letjend Purn Ahmad Tirtosudiro,

Ketua Umum ICMI Pusat bahwa di Era reformasi, demokrasi yang berkembang baik

menjadikan politik umat Islam mengalami kemajuan, yaitu dengan munculnya partai- commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60

partai politik yang didirikan oleh pemimpin Islam telah menunjukkan semangat

kebangkitan menjelang abad baru, partai politik tersebut berasaskan Islam.

Letjend. Purn. Ahmad Tirtosudiro mengatakan bahwa Ketika rezim Orde

Baru masih berkuasa di Republik ini tidak boleh ada partai Islam, dan munculnya

partai yang ada tidak lebih dari upaya legitimasi kekuasaannya saja. Sebab umat Islam tidak bebas bergerak. Tidak bebas menyuarakan pendapat dan kiprahnya selalu dalam pengawasan pemerintah. Gerakannya dibatasi sekat-sekat kekuasaan. Baru setelah kekuasaan Orde Baru tumbang maka umat Islam bergerak cepat untuk membangun kembali kekuatannya guna mengembalikan hak-haknya yang hilang (Suara Muhammadiyah, 1-15 Januari 1999: 14-15). Islam muncul dalam pergumulan politik di Indonesia tidak hanya karena tuntutan perjalan sejarah yang pernah, sedang dan akan dilaluinya, tetapi pada saat yang sama Islam juga memiliki nilai-nilai yang oleh para penganutnya diyakini sebagai norma, batasan, atau bahkan sebagai etika yang secara normatif membimbing keterlibatannya dalam kehidupan politik. PPP merupakan representasi dari partai Islam yang pada prosesnya sendiri kerika itu masih sering menggunakan isu Islam sebagai pakaian partai yang ditawarkan oleh PPP. Hal itu digunakan karena adanya

kaitan latar belakang sejarah yang cukup kuat diyakini massa. Kedua sisi tersebut satu

sama lain saling berkaitan, dan secara bersama-sama keduananya berkaitan dengan

sisi lainnya, yaitu birokrasi.

Pada masa Orde Baru terdapat tiga kekuatan sosial politik yang cukup

mewarnai mekanisme politik di Indonesia, yaitu; Islam, Birokrasi, dan Militer. Asep

Saeful Muhtadi (2008: 97) menyatakan bahwa “ketiga-tiganya juga pada akhirnya

akan berujung pada satu tema yang sama, yaitu Islam.” Selain Islam sendiri telah

membentuk satu kekuatan politik, pada birokrasi dan militer pun pada dasarnya

terdapat sejumlah figur muslim. Arti strategis posisi “Islam” di sini sebagai tema

sentral pergumulan politik di Indonesia. Islam pernah menjadi tema yang kurang

menguntungkan dalam perbincangan tentang politik di Indonesia, maka kemudian

dapat dipandang sebaliknya, Islam bisa menjadi tema yang tidak pernah absen hampir commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

61

dalam setiap perbincangan tentang politik di Indonesia (Asep Saeful Muhtadi, 2008:

95-97).

Fenomena Islam politik pasca Soeharto atau pasca Orde Baru masih dalam

tahap mencari bentuk ekspresi dan kelembagaan politik yang lebih tepat. Pada tahap

yang paling awal dari kelahiran kembali partai Islam tahun 1999 terdapat sekitar 42 partai yang berasaskan Islam atau menggunakan simbol-simbol formal Islam. Akan tetapi hanya terdapat beberapa partai yang diidentifikasikan dengan Islam yang memiliki pendukung yang signifikan. Pengertian tentang partai Islam lebih luas lagi mencakup partai seperti PAN, PKB, PPP, PBB, dan Partai Keadilan atau bahkan juga partai Golkar yang sebelum reformasi sudah relatif “hijau” dan menjadi semakin “hijau” dengan banyaknya kalangan militer dan sipil yang tersingkir karena tidak dikenal sebagai orang-orang yang secara politik tidak memiliki orientasi Islam (Azyumardi Azra, 1999: 89). Tahun 1999 terjadi pergeseran aliansi dalam dinamika politik di Tanah Air, yaitu dari aliansi politik antara kubu status quo, menjadi kubu Islam versus kelompok nasionalis sekuler. Pergeseran aliansi ini dari kacamata prinsip demokrasi adalah langkah mundur. Transisi ke demokrasi yang sangat sulit di Indonesia, akibat krisis

ekonomi dan warisan politik Orde Baru, pada saat itu menjadi menjadi bertambah

sulit dan labil karena pergeseran aliansi politik itu. Aliansi kubu reformasi versus

kubu status quo telah dibentuk dengan harga yang sangat mahal. Beberapa bulan

menjelang jatuhnya Presiden Soeharto, kubu reformasi adalah minoritas. Kubu

reformasi menguat karena dibantu oleh adanya gerakan mahasiswa, krisis ekonomi

dan pergeseran elite. Hal ini mencapai puncaknya pada saat jatuhnya Presiden

Soeharto, dan ratusan mahasiswa tewas. Akan tetapi, pertarungan kubu reformasi

versus kubu status quo belum selesai. Sistem demokratis yang diperjuangkan kubu

reformasi belum sepenuhnya terealisasi. Menjelang akhir kampanye (akhir Mei dan

awal Juni 1999), aliansi politik yang baru tumbuh. Garis pemisah bukan lagi isu

reformasi versus isu status quo, tetapi kelompok Islam versus kelompok nasionalis-

sekuler. Sekat pemisah antara Islam dan non-Islam dijadikan isu politik utama. Para commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

62

ulama berpengaruh terlibat dalam seruan itu. Ancaman atas marginalisasi politik

Islam dijadikan common platform aliansi (Denny JA, 1999: 4).

Pada Pemilu 1999 terdapat 19 partai Islam peserta pemilu, di antara partai-

partai Islam tersebut terdapat 5 besar partai-partai Islam peserta pemilu 1999. Profil 5

besar partai-partai Islam peserta pemilu 1999 diantaranya adalah sebagai berikut: a. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berdiri pada 5 Januari 1973 yang terdiri dari empat kekuatan partai Islam yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Perti, dan Parmusi yang mengalami kekalahan dari Golkar pada pemilu 1971. Penggabungan keempat partai tersebut bertujuan untuk penyederhanaan kepartaian di Indonesia dalam menghadapi Pemilihan Umum pertama Orde Baru tahun 1973. Jadi, PPP berasaskan Islam. Identitas yang melekat PPP sebagai partai Islam karena misi PPP yang berupaya melangsungkan upaya pembangunan spiritual dan material sekaligus dengan penekanan pada aspek pembangunan spiritual. Aspek spiritual mendapat bobot yang lebih besar karena akan menetaskan motivasi, nilai, etika, dan moral yang diperlukan oleh pembangunan. Tujuan PPP adalah mewujudkan masyarakat adil

makmur yang diridhai Allah Swt dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan mewujudkan tatanan politik yang demokratis

yang dilandasi akhlakul karimah serta mengembangkan kehidupan yang Islami.

Struktur organisasi PPP secara garis besar terdiri dari Dewan Pimpinan dan

Majelis Pertimbangan, dan dibangun sesuai dengan daerah pemerintahan yang

dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, yaitu: Wilayah PPP ialah Daerah Tingkat I

yang dipimpin oleh Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan didampingi oleh Majelis

Pertimbangan Wilayah (MPW), Cabang PPP ialah Daerah Tingkat II atau yang

disamakan yang dipimpin oleh Dewan Pimpinan Cabang (DPC), dan didampingi oleh

Majelis Pertimbangan Cabang (MPC), Anak Cabang PPP di Tingkat Kecamatan yang

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

63

dipimpin oleh Pimpinan Anak Cabang (PAC), dan Ranting PPP didirikan di tingkat

Desa/Kelurahan yang dipimpin oleh Pimpinan Ranting (Zainal Abidin Amir, 2003:

157-174).

b. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) didirikan di Jakarta pada tanggal 23 Juli 1998 yang dideklarasikan oleh para kiai-kiai Nahdlatul Ulama (NU), termasuk Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Lahirnya PKB, bukan hanya wadah baru bagi penyaluran aspirasi politik warga NU, tetapi juga menjadi parameter bagi soliditas politik organisasi sosial keagamaan yang berbasis massa di pesantren dan pedesaan (Untung Wahono, 2003: 74). PKB yang merupakan partai yang didirikan oleh kaum Nahdliyyin yang tidak satu pun yang memeluk agama di luar Islam, akan tetapi PKB lebih memilih Pancasila daripada Islam sebagai asas Partai. Pancasila digunakan sebagai asas partai karena dilandasi oleh cara pandang tokoh-tokoh PKB dalam melihat Islam. Tokoh- tokoh PKB meyakini bahwa Islam tidak perlu dituangkan dalam bentuk formal kelembagaan, tetapi yang paling penting adalah ajaran Islam tercermin dalam tingkah

laku sehari-hari. Bagi tokoh-tokoh PKB, kadar keislaman suatu partai tidak hanya

diukur dari pemasangan Islam dalam AD/ART, namun ditentukan oleh seberapa jauh

kemampuan partai tersebut mewujudkan nilai-nilai Islam dalam berpolitik. Menurut

Abdurrahman Wahid (1999) PKB tidak perlu berasas Islam, akan tetapi yang penting

PKB adalah Partai Islam.

Struktur organisasi PKB adalah daripusat sampai dengan tingkat desa, yaitu:

Organisasi Tingkat Pusat dipimpin oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Organisasi

Daerah Tingkat I dipimpin oleh Dewan Pengurus Wilayah (DPW), Organisasi

Tingkat II dipimpin oleh Dewan Pengurus Cabang (DPC), Organisasi Tingkat

Kecamatan dipimpin oleh Pengurus Anak Cabang, dan Organisasi Tingkat Desa

dipimpin oleh Pengurus Ranting (Zainal Abidin Amir, 2003: 130).

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

64

c. Partai Amanat Nasional (PAN)

Partai Amanat Nasional dideklarasikan tanggal 23 Agustus 1998. Kelahiran

Partai Amanat Nasional (PAN) berawal dari Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang

dibentuk Amien Rais pada 14 Mei 1998 di Galeri Cemara, Menteng, Jakarta Pusat.

Keberadaan MARA berpangkal dari keprihatinan sejumlah tokoh dalam melihat perkembangan politik yang terus memburuk di penghujung Orde Baru. MARA merupakan wadah kerjasama berbagai organisasi dan perorangan yang mempunyai komitmen terhadap reformasi untuk demokrasi. MARA dibentuk untuk mendorong terbukanya jalan ke arah perubahan situasi yang damai dan sesuai dengan reformasi. MARA disebut juga sebagai embrio PAN. Setelah MARA terbentuk, Amien Rais menyatakan keinginannya untuk menjadikan MARA sebagai sebuah partai politik yang bisa menjadi organisasi peserta pemilu 1999, dan Amien Rais memutuskan untuk memimpin sebuah partai politik. Keputusan Amien Rais untuk memimpin partai politik tidak menemui hambatan karena warga Muhammadiyah mendukung sepenuhnya apabila Amien Rais memimpin partai politik baru tersebut. Pada awalnya Amien Rais akan bergabung dengan Partai Bulan Bintang (PBB), tetapi pada akhirnya Amien Rais enggan untuk bergabung dengan PBB. Amien Rais yang

merupakan tokoh penggerak reformasi kemudian juga didekati oleh PPP, akan tetapi

Amien Rais lebih memilih untuk memimpin PAN (Pratomo, 2008: 45).

PAN memberi penegasan atas pilihan politik yang digunakan setelah melalui

ijtihad politik, maka PAN berasaskan Pancasila, bersifat terbuka, majemuk dan

mandiri, serta beridentitas menjunjung tinggi moral agama dan kemanusiaan. Tujuan

pembentukan PAN adalah menjunjung tinggi dan menegakkan kedaulatan rakyat,

keadilan, kemajuan material dan spiritual. Struktur Organisasi PAN terdiri atas tiga

pilar, yaitu Dewan Pimpinan, Majelis Pertimbangan Partai (MPP) serta Badan

Otonomi dan Lembaga/Panitia Khusus (Zainal Abidin Amir, 2003: 140-142).

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

65

d. Partai Bulan Bintang (PBB)

Partai Bulan Bintang (PBB) didirikan pada tanggal 23 Juli 1998 dengan

Yusril Ihza Mahendra sebagai pemimpin partai dan dideklarasikan pada tanggal 26

Juli 1998 di halaman Masjid Agung Al-Azhar. Warga PBB meyakini bahwa Islam

adalah agama dan sekaligus jalan kehidupan. Oleh karena itu, PBB berasaskan Islam. Tujuan umum didirikan PBB adalah mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan tujuan khusus didirikan PBB adalah untuk memperjuangkan cita-cita para anggota dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Stuktur organisasi Partai Bulan Bintang (PBB) antara lain, pada tingkat nasional yaitu Dewan Pimpinan Pusat (DPP), sedangkan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) memiliki kepemimpinan di tingkat Provinsi atau Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kotamadya/ Daerah Tingkat II (Zainal Abidin Amir, 2003: 86).

e. Partai Keadilan (PK)

Kehadiran Partai Keadilan (PK) di panggung politik Islam Indonesia

mengejutkan banyak pihak. Partai Keadilan (PK) mengupayakan desaklarisasi

terhadap istilah presiden partai. Partai Keadilan telah mencatat prestasi luar biasa

dalam melebarkan pengaruh ke berbagai pernjuru Tanah Air. Partai Keadilan (PK)

didirikan tanggal 20 Juli 1998 yang kemudian dideklarasikan pada tanggal 9 Agustus

1998 di Masjid Agung Al-Azhar Jakarta.

Kelahiran Partai Keadilan tidak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang

politik Islam di Indonesia sejak masa awal kemerdekaan sampai dengan Orde Baru

yang kemudian menjadi berantakan karena perlawanan rakyat. Bagi komunitas Partai

Keadilan, hubungan antara Islam dan Negara dalam lembaran sejarah bangsa sering

diwarnai saling mencurigai bahkan permusuhan yang mengakibatkan merosotnya commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

66

peran kelompok Islam dalam pengelolaan kenegaraan disertai dengan tudingan bahwa

kegiatan umat Islam cenderung menimbulkan keretakan kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Partai Keadilan didirikan berawal dari gerakan dakwah Islam yang dibangun

secara sistematik di kampus-kampus dan lambat laun merambah ke masyarakat luas. Mayoritas kader dan anggota Partai Keadilan adalah golongan muda. Sebagai partai kader, Partai Keadilan memiliki sistem kaderisasi kepartaian yang sistematik dan metodik. Kaderisasi ini memiliki fungsi rekruitmen calon anggota dan fungsi pembinaan untuk seluruh anggota, kader, dan fungsionaris partai. Partai Keadilan secara tegas menyatakan Islam sebagai asas partai. Nur Mahmudi Ismail sebagai Presiden PKS pada saat itu menyatakan bahwa pemakaian asas Islam dalam berpartai dan berormas hendaknya dipahami dalam Negara yang berlandaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945, seperti bunyi Pancasila sila ke-1 Ketuhanan Yang Maha Esa mengingatkan kepada setiap orang di Indonesia yang beragama supaya memiliki tanggung jawab rabbaniah (Zainal Abidin Amir, 2003: 83). Fenomena Partai Keadilan dan langkah-langkah Partai Keadilan cukup unik diantara partai-partai yang bermunculan pada era reformasi, khususnya sebagai

sebuah partai yang sama sekali dapat dikatakan tidak memiliki akar historis

kepartaian, tetapi memiliki akar historis pemikiran. Pada tanggal 30 Mei 1999

delapan partai politik berasaskan Islam menyatakan bersatu dan menyepakati

penggabungan sisa suara (stembus accord) hasil Pemilu 1999. Ke delapan partai itu

adalah PPP, Partai Keadilan, Partai Kebangkitan Ummat, Partai Ummat Islam, PPII,

Masyumi, PNU, PBB, dan PSII 1905 (Untung Wahono, 2003: 45).

Peta politik nasional di masa mendekati pelaksanaan pemilu terbelah

menjadi dua kutub yang bertolak belakang yaitu kubu reformis dan kubu status quo.

Kubu status quo ini oleh komponen non-negara dilekatkan pada Partai Golkar

sedangkan Partai-partai Islam ditempatkan di kubu reformis. Oleh karena itu, pentas

politik nasional sebelum pergelaran pemilu 1999 menyaksikan munculnya dua commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

67

pernyataan bersama yang bertujuan mengamankan dan menyelamatkan agenda

reformasi dari ancaman kubu status quo (Golkar) yang dinilai masih mempunyai

kekuatan politik yang besar dan sangat berhasrat kembali ke arena pergulatan politik

nasional yang baru. Komunike pertama melibatkan PKB, PAN, dan PDI Perjuangan

yang dipandang paling ideal karena memadukan tiga kekuatan politik penting dengan latar belakang berbeda (Islam Tradisionalis, Islam Modernis dan Nasionalis), berkomitmen terhadap reformasi dan mempunyai basis sosial yang tidak perlu diragukan. Komunike kedua dibentuk oleh PAN, PPP, dan Partai Keadilan (PK) yang dinilai kurang ideal karena unsur-unsurnya hanya berasal dari satu kelompok yaitu Islam. Persoalan menyelamatkan agenda reformasi bukan urusan Islam saja, tetapi merupakan permasalahan seluruh bangsa ini berkepentingan dan karena hal tersebut perlu disertakan. Persekutuan yang didasarkan pada sentiment keislaman sangat rentan terhadap penetrasi Golkar (status quo), melalui tokoh-tokoh Golkar yang dekat dengan para pemimpin Islam yang tergabung dalam Komunike Dua (Zainal Abidin Amir, 2003: 289-290). PAN diwakili oleh Amien Rais, PPP diwakili oleh Hamzah Haz, dan Partai Keadilan (PK) diwakili oleh Nurmahmudi Ismail. Amien Rais yang

mewakili ketiga partai tersebut menyatakan bahwa ketiga partai tersebut hendak

menggulingkan partai Golkar. Bayangan koalisi diantara ketiga partai tersebut sudah

lebih dari 50%, paling tidak rencana penggabungan suara dari masing-masing partai

untuk salah satu partai yang paling berprospek menang mendekati tuntas (Wahyu

Muryadi, Kelik M. Nugroho & Hardy R. Hermawan, 30 Mei 1999: 26-27).

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan atau pro dan kontra terhadap

keberadaan dua komunike tersebut di atas, yang perlu diperhatikan adalah kedua

pernyataan bersama yang banyak mendapat sorotan itu dimotori oleh K.H.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari kelompok Islam tradisionalis diwakili oleh

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Amien Rais dari kelompok Islam modernis

diwakili oleh Partai Amanat Nasional (PAN) yang merupakan dua tokoh terkemuka

dari dua kubu yang berbeda yang mana dinamika politik selanjutnya terus diwarnai commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

68

oleh perilaku politik Islam Tradisionalis dan Islam Modernis (Zainal Abidin Amir,

2003: 290).

Partai politik yang sudah dibubarkan sebelumnya sesudah tahun 1965/1966,

menyebabkan orang mulai menyesuaikan diri dengan kenyataan Indonesia di masa

Orde Baru telah berubah menjadi Sistem Partai dominan, atau lebih realistis, partai tunggal. Sejak kuartal ketiga 1998, Indonesia tiba-tiba kembali ke sistem multipartai, dan muncul nama partai-partai baru seperti PAN, PBB, PKB, dan Partai Keadilan, tetapi prospek dan ciri masing-masing partai dibicarakan dengan asumsi bahwa Indonesia sudah kembali ke dalam kompetisi partai sebelum Pemilu 1955 (Salim HS, Uzair Fauzan & Sholeh, 1999: xvi). Herbert Feith dalam Tempo (1999: 30-31) mengatakan bahwa situasi pelaksanaan Pemilu 1999 hampir sama dengan Pemilu 1955. Kedua pemilu tersebut sama-sama diliputi suasana tegang. Pemilu 1955 diwarnai oleh ketegangan Islam dan nasionalis. Perbedaan pendapat tentang dasar Negara meruncing diantara partai Islam dan partai nasionalis. Sedangkan dalam Pemilu 1999 diwarnai ketegangan akibat kerusuhan-kerusuhan di daerah-daerah seperti Ambon dan Kalimantan Barat. Akan tetapi, kerusuhan-kerusuhan tersebut tidak akan mempengaruhi Pemilu walaupun krisis ini bisa memunculkan rasa frustasi

masyarakat. Hal ini sudah diprediksi sebelum dilaksanakannya Pemilu 1999,

berdasarkan alasan historis dan sosiologis, para pengamat politik memperkirakan

dalam proses penyederhanaan, seperti Pemilu 1955 hanya akan muncul beberapa

partai besar (Salim HS, Uzair Fauzan & Sholeh, 1999: 7).

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

69

Pemilu Tahun 1999 untuk memilih anggota DPR, dilaksanakan serentak

pada tanggal 7 Juni 1999, dan menghasilkan 10 besar diantaranya adalah sebagai

berikut:

Tabel. 2. 10 Besar Hasil Pemilu 7 Juni 1999

No. Nama Partai Suara Kursi Tanpa SA*) Kursi Dengan SA*) 1. PDI Perjuangan 35.689.073 153 154 2 Golkar 23.741.749 120 120 3. PPP 13.336.982 58 59 4. PKB 11.329.905 51 51 5. PAN 7.528.956 34 35 6. PBB 2.049.708 13 13 7. Partai Keadilan 1.436.565 7 6 8. PKP 1.065.686 4 6 9. PNU 679.179 5 3 10. PP 655.052 5 3 *) SA: Stembus Accord, yaitu penghitungan kursi dengan memperhitungkan penggabungan sisa suara. Sumber: www.kpu.go.id

Perhitungan suara dalam pemilu 1999 perlu memperhitungkan 2 catatan

penting, yaitu apabila jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai

9.700.658 atau 9,17 % dari suara yang sah, dan apabila pembagian kursi dilakukan

dengan sistem kombinasi jumlah partai yang mendapatkan kursi mencapai 37 partai

dengan jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67 %

dari suara sah (http://www.kpu.go.id/, 2012).

Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional berbasis Daerah Tingkat I,

yaitu apabila suara yang berhasil dikumpulkan sebuah partai akan dihitung habis di

Daerah Tingkat I. Sebuah Partai akan memperoleh satu kursi DPR RI mewakili

Kabupaten atau Kota tertentu apabila memenuhi jumlah suara yang telah ditentukan

berdasarkan jumlah penduduk Daerah Tingkat I tersebut. Apabila terdapat partai yang

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

70

memiliki sisa suara hasil pembagian atau tidak genap mencapai jumlah suara yang

dibutuhkan satu kursi maka sisa kursi yang belum terbagi di Daerah Tingkat I

dibagikan menurut daftar urutan terbesar dari sisa pembagian suara atau suara yang

tidak genap (Untung Wahono, 2003: 123-124).

Pasca Reformasi 1998, Pemerintahan B.J. Habibie dituntut untuk melakukan perubahan-perubahan di segala bidang termasuk dalam Sistem Politik Indonesia pada saat itu. Pemerintahan B.J. Habibie berusaha untuk memperbaiki sistem politik yang ada pada saat itu dengan mengadakan pemilihan umum 1999 karena sudah banyak desakan dari masyarakat. Sistem politik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari adanya Politik Aliran seperti yang dikemukakan oleh Clifford Geertz dalam Kuskridho Ambardi (2009: 87) membagi masyarakat Indonesia dalam Priyayi, Santri, dan Abangan. Pola semacam ini juga masih tergambar pada masyarakat Indonesia pasca Reformasi 1998 termasuk dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia atau tercermin dalam partai politik di Indonesia. Contoh pola tersebut di atas adalah PDI Perjuangan yang mana partai ini mewakili sekuler, dalam istilah Geertz kelompok ini biasa disebut sebagai abangan (satu segmen masyarakat Jawa yang memelihara tradisi spiritual yang bersifat lokal,

kelompok ini mungkin mempraktikkan beberapa ritual Islam, akan tetapi tidak

sepenuhnya terengkuh oleh Islam), atau bisa disebut nasionalis. Kelompok abangan

adalah Partai Golkar termasuk dalam kelompok abangan, sedangkan kelompok santri

diwakilkan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merepresentasikan kaum

Nahdatul Ulama (NU) atau Islam tradisional sebagai lumbung suara terbesar, Partai

Amanat Nasional (PAN) merepresentasikan Muhammadiyah karena sebagian besar

pemilih PAN berasal dari warga Muhammadiyah, yang mana Muhammadiyah lahir

dari elite priyayi keraton, yaitu Kyai Ahmad Dahlan yang berbasis tradisi kekotaan

Kauman Yogyakarta dan dalam perkembangannya Muhammadiyah berkembang

sebagai gerakan santri kota sesudah mengalami formalisasi fikih dalam lembaga

tarjih yang dibentuk tahun 1927, sehingga PAN merupakan gambaran dari Islam

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

71

modern (Abdul Munir Mulkhan, 2001: 22). Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai

Keadilan (PK) juga termasuk dalam kelompok santri karena berbasis agama.

Pemilu 1999 menandai berakhirnya dominasi Golkar yang secara berturut-

turut memenangkan Pemilu selama enam kali di era rezim Soeharto (Orde Baru).

Perolehan suara Golkar merosot drastis dari 74,5% (pemilu 1997) menjadi 22,5% dan hanya merebut 120 kursi pada Pemilu 1999. Pemilu 1999 dimenangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dengan suara mayoritas yaitu 33,8% atau 154 kursi DPR. PPP, PKB, dan PAN sebagai partai lima besar lainnya masing-masing memperoleh suara 12,62% (58 kursi), 10,72% (51 kursi) dan 7,12% (34 kursi) DPR (Zainal Abidin Amir, 2003: 239). Pada Pemilu 1997, semua daerah pemilihan dimenangkan secara mayoritas mutlak oleh Golkar, sedangkan dalam pemilu 1999 satu-satunya daerah pemilihan yang di dominasi oleh Golkar secara mutlak adalah Sulawesi Selatan, asal B.J. Habibie dengan meraih suara 66,5% dan merebut 16 dari 24 kursi DPR daerah tersebut. Sementara di daerah-daerah pemilihan lain di luar Sulawesi Selatan terjadi kompetisi yang cukup ketat di antara lima partai besar Pemilu 1999, terutama antara PDI Perjuangan dan Partai Golkar (Untung Wahono, 2003: 101).

Hasil Pemilihan Umum 1999 di satu pihak menggembirakan karena pemilu

berjalan cukup demokratis dan benar-benar menjadi milik rakyat, meskipun disana-

sini masih terdapat kecurangan, tetapi di pihak lain menyedihkan karena kekuatan-

kekuatan politik Islam baik yang formal-eksklusif maupun yang substantif-inklusif

tidak memetik suara yang menentukan. Muara kekuatan politik yang relatif akhirnya

mengerucut pada yang akan bertanding di MPR untuk memperebutkan kursi Presiden

(Pemilu Presiden 1999) berada di kubu PDI Perjuangan dan Partai Golkar dengan

menghadapkan-hadapkan kubu Megawati melawan B.J. Habibie. Meskipun, kedua

kubu tersebut masih jauh dari harapan untuk secara pasti dapat memenangkan suara

untuk kursi Presiden, karena tidak cukup memadai untuk menguasai suara mayoritas

(Haedar Nashir, 1999: 32).

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

72

B. Tujuan Koalisi Partai Islam di Indonesia Tahun 1999

Era multipartai yang terjadi pada tahun 1999 diperhitungkan akan

menghasilkan banyak partai dengan suara yang relatif merata. Gambaran perolehan

suara bisa mirip dengan yang terjadi pada hasil Pemilu 1955, yaitu munculnya empat,

lima atau enam dengan suara banyak dan merata, diikuti dengan puluhan partai yang memperoleh suara sedikit yang sering disebut sebagai partai gurem. Hal tersebut benar-benar terjadi pada Pemilu 1999 maka jelas era mayoritas tunggal benar-benar sudah berlalu. Adanya satu partai politik yang diplot untuk selalu menang dengan suara moyoritas dengan partai lainnya selalu dibuat kalah sudah tidak zamannya lagi. Sebab pola mayoritas tunggal hanya menunjukkan proses dan hasil dari demokrasi semu, bukan demokrasi sejati. Kekuatan politik yang terbagi merata diharapkan merupakan hasil dari proses demokrasi yang sejati, yaitu melalui Pemilu dikarenakan era mayoritas tunggal sudah berlalu. Upaya koalisi dari beberapa partai besar merupakan suatu keharusan supaya dapat membentuk pemerintahan. Tanpa koalisi sulit rasanya kekuatan politik itu menghasilkan suara mayoritas, yang dengan demikian berhak mengambil inisiatif membentuk pemerintahan. Partai politik peserta Pemilu 1999 yang berjumlah 48 partai relatif terbagi

dalam tiga kelompok besar, yaitu: Partai Islam atau partai agama yang memiliki basis

massa relijius, Partai sekuler dengan berbasis massa yang relatif sekuler, dan Partai

Umum atau sekuler tetapi memiliki visi relijius dengan basis massa yang relijius.

Ketiganya memiliki kadar nasionalisme yang sama, tetapi yang membedakan adalah

ada yang memiliki kadar nasionalisme relijius dan ada juga yang memiliki kadar

nasionalisme sekuler, sehingga tidak ada satu pun partai yang berhak mengklaim

dirinya paling nasionalis (Suara Muhammadiyah, 16-31 Juni 1999: 13).

B.J. Habibie telah terpilih sebagai satu-satunya calon Presiden Golar dalam

Rapat Koordinasi Pimpinan Partai Golkar pada Mei 1999. Habibie ditampilkan oleh

Golkar sebagai calon presidennya, sehingga Golkar berusaha memperoleh dukungan

dan mendulang suara dari luar Jawa dikarenakan figur B.J. Habibie merupakan

personifikasi wakil luar Jaawa dalam pentas kepemimpinan nasional. Tampilnya B.J. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

73

Habibie berarti luar Jawa mempunyai kesempatam untuk memperjuangkan hak-

haknya secara lebih proporsional, karena selama Orde Baru berkuasa, luar Jawa

sering dieksploitasi sumber daya alamnya dan tidak memperoleh akses kekuasaan

yang selayaknya. Padahal B.J. Habibie dalam mengemban TAP MPR sebagai hasil

Sidang Istimewa MPR Nopember 1998, sama sekali belum memuaskan semua pihak, terutama yang menyangkut masalah pemberantasan KKN, khususnya yang berkaitan dengan kasus Soeharto, keluarga, dan para kroninya dan juga dalam upayanya menghentikan kerusuhan di berbagai daerah dan menangkap serta mengusut para provokator dibelakangnya, termasuk dalam upaya membongkar kejahatan perbankan nasional dan membersihkan birokrasi dari mental korupsi. Akan tetapi, prestasi B.J. Habibie dalam beberapa hal cukup signifikan, seperti pemberian kebebasan pers yang belum pernah ada selama Negara Indonesia ini lahir, pembebasan tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) politik yang selama ini hanya menjadi momok para penentang rezim Soeharto, juga kesediaannya menyelenggarakan Pemilu 1999 yang diserahkan kepada partai politik dan mendudukkan pemerintah sekedar sebagai pemberi fasilitas. B.J. Habibie pada saat itu dimungkinkan akan memperoleh dukungan dari

kelompok Islam, karena Habibie merupakan simbol pemimpin Islam, yaitu kalangan

Islam yang tidak mempersoalkan sebuah sistem pemerintahan sudah demokratis atau

tidak selama hal itu menguntungkan posisi umat Islam secara politis maupun

ekonomis, dan nada-nada ke arah itu sudah semakin transparan berasal dari partai-

partai Islam yang bertarung di arena pemilu dan di Sidang Umum MPR (Okkie

Muttaqie, Suara Muhammadiyah 1-15 Juni 1999: 8).

Pasca 2 hari pelaksanaan Pemilu 7 Juni 1999, belum ada konvensi

bagaimana mekanisme pemilihan Presiden yaitu apakah partai pemenang pemilu

secara otomatis berhak menentukan figur Presiden atau apakah seorang Presiden

harus mengantongi suara dukungan MPR minimal 50% lebih satu. Jika alternatif

pertama yang dipakai, tidak akan menjadi masalah karena partai pemenang tunggal

mengajak partai lain untuk membentuk pemerintahan. Mekanisme ini hampir sama commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

74

dengan yang dilakukan B.J. Habibie dengan melibatkan PPP dan PDI dalam

penyusunan kabinet. Alternatif kedua melalui proses koalisi. Istilah koalisi secara

umum dikenal di dalam sistem parlementer, bukan dalam sistem presidensial seperti

yang diterapkan di Indonesia. Jiwa koalisi itulah yang paling tidak diambil,

khususnya, untuk menentukan komposisi sharing of power (pembagian kekuasaan). Persoalan yang lebih rumit adalah komposisi perolehan suara nyaris berimbang. Ini hampir pasti terjadi karena partai sulit untuk tampil sebagai single majority seperti yang dialami Golkar selama Orde Baru. Oleh karena itu, menurut Siahaan (1999: 13) “Dibutuhkan suatu kompromi atau koalisi yang transparan”. Berdasarkan hasil perolehan kursi masing-masing partai politik peserta pemilu 7 Juni 1999 yang telah diputuskan oleh PPI (Panitia Pemilihan Indonesia), maka peta kekuatan politik menjadi jelas. PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu memperoleh 153 kursi DPR, disusul Partai Golkar dengan 120 kursi, PPP dengan 58 kursi, PKB 51 kursi, PAN 34 kursi, PBB 13 kursi, dan Partai Keadilan (PK) dengan 7 kursi. Berdasarkan peta perolehan kursi DPR tersebut, maka persaingan antar partai politik untuk bisa meloloskan calon Presiden menjadi menarik dan penuh dinamika dengan tidak adanya suara mayoritas tunggal (Okkie Muttaqie, Suara

Muhammadiyah 16-30 September 1999: 8). Hasil Pemilu 7 Juni 1999 menunjukkan

bahwa tidak ada mayoritas suara tunggal bahkan PDI Perjuangan sebagai pemenang

Pemilu 7 Juni 1999 tidak memperoleh suara mutlak (Kompas, 6 Juni 1999: 13).

Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam Kompas (1999: 1) mengatakan bahwa

pemerintahan baru hasil Pemilu 1999 sebaiknya merupakan koalisi partai-partai

reformis yang belum pernah berkuasa. Partai-partai politik tersebut antara lain: PDI

Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Sedangkan Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi

Indonesia (PDI) pimpinan Budi Hardjono sebaiknya berada di luar pemerintahan,

untuk membentuk kekuatan oposisi di parlemen. Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam

Kompas (1999: 1) mengemukakan bahwa apabila semua partai besar ingin menjadi

anggota kabinet maka akan tumbuh penyakit lama. Partai-partai besar akan bekerja commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

75

bersama-sama memonopoli kekuasaan sehingga melahirkan otoritariarisme,

sementara oposisi akan tetap berada di luar Senayan. Partai Golkar perlu masa

penundaan diri supaya dapat memutuskan hubungan dengan masa lampau. Dengan

reposisi tersebut, Golkar akan dapat tumbuh menjadi partai yang sehat. Amien Rais

dalam Suara Muhammadiyah (1999: 1) menyatakan bahwa “Sebaiknya pembentukan koalisi menunggu sampai perhitungan suara hasil pemilu mendekati selesai”. Pada dasarnya pembentukan koalisi pemerintahan secara dinamis dapat terbentuk dan berakhir sesuai dengan kepentingan-kepentingan politik yang dirasakan oleh masing-masing partai, bahkan masing-masing tokoh partai. Koalisi antara partai- partai yang berlatarbelakang kelompok muslim dengan kelompok sosialis dapat terjadi. Akan tetapi sebaliknya, ada kalanya sebuah kabinet jatuh karena mosi tidak percaya yang dipelopori oleh menteri yang separtai (Untung Wahono, 2003: 93). Wacana koalisi sudah dibuka oleh tokoh-tokoh politik vokal sejak beberapa tahun sebelum Soeharto lengser. Pada tahun 1994-1995 Amien Rais menyatakan bahwa Indonesia akan selamat dan berjaya jika pemimpin nasionalnya mencerminkan koalisi yang besar dan bersih. Amien Rais juga melontarkan gagasan koalisi Amien- Megawati. Hal ini bukan konsumsi politik semata, akan tetapi memiliki substansi

perpaduan dari dua pilar yang lebih banyak perbedaan. Apabila yang dilontarkan

tentang gagasan koalisi Amien Rais-Deliar Noer atau Amien Rais-Yusril Ihza, maka

akan muncul kesan seolah-olah itu hanya koalisi satu pihak yaitu sama-sama Muslim

modernis (Untung Wahono, 2003: 97). Pada hari Selasa, 18 Mei 1999 tiga partai

besar yaitu Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan

PDI Perjuangan duduk dalam satu forum membentuk sebuah aliansi atau koalisi yang

mana pada saat itu sangat dimungkinkan ketiga partai inilah yang bisa menghadang

laju kelompok pro status quo untuk tetap mengangkangi kekuasaan di negeri ini.

Ketiga partai besar ini sudah sepakat untuk duduk satu meja dan membentuk

pemerintahan bersama (Okkie Muttaqie, Suara Muhammadiyah 1999: 8). Eep

Saefulloh Fattah (1999: 2) menyatakan pesimis jika Partai Amanat Nasional (PAN),

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan PDI Perjuangan akan dapat berkoalisi karena commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

76

ada perbedaan substantif dalam memandang UUD 1945 dan Orde Baru. Megawati

Soekarnoputri cenderung mempertahankan UUD 1945, sementara Amien Rais

menyerukan untuk mengubah UUD 1945, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

mengajak masyarakat melupakan Orde Baru dan Soeharto, sementara 85% kampanye

Amien Rais adalah pembongkaran Orde Baru. Ketiga partai politik tersebut dalam tingkat platform sulit dipersatukan secara cepat dan komunike bersama yang dibuat tiga tokoh itu hanyalah aliansi panggung. Koalisi tiga partai politik (PAN, PKB, dan PDI Perjuangan) oleh Partai Golkar dianggap bukan merupakan ancaman sehingga Partai Golkar tidak khawatir walaupun ada partai-partai lain yang berkoalisi, meskipun demikian, partai Golkar siap menghadapi rencana koalisi tiga partai besar tersebut, karena Golkar menginginkan supaya antar partai politik terjadi persaingan yang sehat (Solopos, 17 Mei 1999: 2). Menurut Matori Abdul Jalil dalam Tempo (10 Mei 1999: 22-23) Pada saat sebelum koalisi tiga partai tersebut disebarluaskan, masing-masing partai-partai politik sudah merasa menang, padahal ancaman status quo masih kuat. Hasil pemilu 1999 yang tidak menghasilkan partai pemilu dengan suara mayoritas, maka beberapa partai politik mencoba mencari kawan untuk melakukan koalisi.

Rivalitas Habibie dan Megawati merupakan peruncingan politik yang dapat

membahayakan keselamatan bangsa, sehingga Amien Rais mencetuskan gagasan

Poros Tengah (Suara Muhammadiyah, 16-30 September 1999:13) yaitu sebuah

kaukus partai-partai yang berdiri di luar PDI Perjuangan dan Partai Golkar yang

berupa untuk menerobos kebekuan politik yang sedang berlangsung yang mana pada

awalnya ide Poros Tengah dilontarkan oleh Ketua Dewan Ekonomi Partai Amanat

Nasional (PAN) yaitu Dr. Bambang Soedibyo (Zainal Abidin Amir, 2003: 250).

Ide Poros Tengah yang berasal dari gagasan Bambang Soedibyo tersebut

kemudian oleh Amien Rais segera dicetuskan dan dibantu oleh Fuad Bawazier, A.M.

Fatwa, Hatta Rajasa, Al Hilal Hamdi, dan beberapa anggota DPP Partai Amanat

Nasional (PAN). Pasca diumumkannya hasil Pemilu 7 Juni 1999, PDI Perjuangan

larut dalam klaim-klaim kemenangan awal yang diraih pada Pemilu 1999 dan merasa commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

77

sudah mengantongi mandat rakyat untuk memimpin pemerintahan. Ide Poros Tengah

dari Bambang Soedibyo muncul setelah Bambang Soedibyo melihat polarisasi antara

kubu Megawati Soekarnoputri yang didukung oleh PDI Perjuangan dengan kubu B.J.

Habibie yang didukung oleh Partai Golkar dalam perebutan jabatan Presiden. Partai-

partai di luar PDI Perjuangan dan Partai Golkar yang memperoleh suara cukup besar seperti PPP, PKB, PAN, PBB, Partai Keadilan, dan partai Islam lain belum menentukan sikap. Apabila, kekuatan partai-partai Islam digabungkan, kekuatan partai-partai Islam bisa mencapai 170 kursi DPR, melebihi kekuatan PDI Perjuangan atau Partai Golkar. Oleh karena itu, di luar PKB yang sedikit dekat dengan PDI Perjuangan, partai-partai Islam umumnya memiliki hambatan serius untuk mendukung Megawati Soekarnoputri maupun B.J. Habibie, dan di sisi lain partai- partai Islam tersebut perlu diwadahkan dalam Poros Tengah (Muhammad Najib, 2000: 20-39). Amien Rais (1999: 13) menyatakan bahwa rivalitas antara Golkar yang mencalonkan B.J. Habibie sebagai Presiden dan PDI Perjuangan yang mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden sudah sangat meruncing. Hal ini apabila dibiarkan dapat menimbulkan benturan di tingkat bawah serta dapat menimbulkan

terjadinya konflik horizontal. Oleh karena itu, Poros Tengah perlu dimunculkan

supaya rivalitas atau persaingan antara dua kubu yaitu Golkar dan PDI Perjuangan

melunak. Ide Poros Tengah ini kemudian menggelinding dengan cepat, alasan perlu

adanya keberadaan Poros Tengah menurut Amien Rais dalam Muhammad Najib

(2000: 40) selain rivalitas antara Golkar yang mencalonkan B.J. Habibie sebagai

Presiden dan PDI Perjuangan yang mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai

Presiden sudah sangat meruncing dan sudah memainkan isi yang sangat sensitif yaitu

agama, sehingga muncul kesan seolah-olah kompetisi Megawati Soekarnoputri dan

B.J. Habibie merupakan pertarungan antara kelompok sekuler dan non muslim versus

umat Islam, alasan yang lain adalah baik kubu B.J. Habibie maupun kubu Megawati

Soekarnoputri tidak menunjukkan kesungguhan untuk mengakomodasi dan

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

78

mengagendakan tuntutan reformasi. Oleh karena itu, perlu alternatif lain yang lebih

menjamin integrasi bangsa di satu sisi dan pelaksanaan agenda Reformasi di sisi lain.

C. Perkembangan Koalisi Partai Islam dalam Perpolitikan di Indonesia tahun 1999-2004

1. Koalisi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 1999 Partai-partai Islam pada pemilu 1999 memporeleh hasil buruk yang membuat tumbuhnya kesadaran dari mayoritas kekuatan Islam untuk tidak mengulangi kesalahan untuk yang kedua kali. Oleh karena itu, kemudian muncullah ide “fraksi Islam” yang menyatukan beberapa partai Islam di Parlemen. Pemilihan nama fraksi Islam pernah menimbulkan pro-kontra karena dinilai terlalu eksklusif dan berseberangan dengan sosok Amien Rais yang dituntut sebagai lokomotif reformasi yang inklusif. Pada akhirnya, disepakatilah nama fraksi Reformasi, dan bersama- sama kelompok Islam membangun apa yang disebut Poros Tengah (Dhurorudin Mashad, 2008: 223). Tabel. 3 Peta Koalisi Poros Tengah dalam Pemilihan Presiden 1999 (10 Besar)

Jumlah Aliran Pemilihan Presiden Nama No. Kursi Islam Nasionalis Kubu PDI P Kubu PT Kubu Status Partai DPR Tradisional Modern Sekuler (Megawati) (Gus Dur) Quo (Habibie)

1. PDI P 154  

2. Golkar 120  

3. PPP 59   4. PKB 51  

5. PAN 35  

6. PBB 13  

7. PK 6   8. PKP 6  

9. PNU 3  

10. PP 3   *PT = Koalisi Poros Tengah

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

79

Poros Tengah yang dimotori oleh Partai Amanat Nasional (PAN) dan

sejumlah partai yang berasaskan Islam dimaksudkan untuk mencairkan demokrasi

yang bisa mengalami kebuntuan sebagai akibat dari gerakan sekelompok masyarakat

yang tidak mau tahu dengan sistem pemilihan Presiden menurut UUD 1945. PDI

Perjuangan adalah partai pemenang Pemilu 1999 dan Ketua Umum PDI Perjuangan yaitu Megawati Soekarnoputri harus menjadi Presiden, sementara Partai Golkar sebagai pemenang kedua juga ingin menjagokan B.J. Habibie sebagai calon Presiden. Sehingga muncul dua kubu yang saling bersaing untuk merebut kekuasaan dalam Sidang Umum MPR tahun ini, yaitu kubu PDI Perjuangan dan Kubu Partai Golkar. Poros Tengah dimaksudkan sebagai penyeimbang antara kedua kubu tersebut sehingga agenda reformasi bisa berlangsung. Farid Prawiranegara, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) menyatakan bahwa Poros Tengah bukan ditujukan untuk mengincar posisi di pemerintahan, melainkan Poros Tengah lebih ditujukan untuk menciptakan stabilitas politik. Akan tetapi, tidak semua orang setuju dengan ide Poros Tengah, sehingga bagaimana upaya memberdayakan Poros Tengah sehingga memiliki peluang untuk persaingan dalam Sidang Umum MPR (Suara Muhammadiyah, 16-30 September 1999: 16).

Kenyataan politik nasional Indonesia tidak sederhana dan dinamika politik

nasional Indonesia sangat kompleks, tekadang sulit dimengerti oleh orang awam dan

tekradang menimbulkan ketidakpastian politik. Ketidakpastian politik itu contohnya

tentang siapa yang akan terpilih menjadi Presiden. Suara hasil Pemilu tidak memberi

jaminan yang pasti karena tidak ada pemenang mutlak (Suara Muhammadiyah, 16-30

September 1999: 13). PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu 1999 bukan

merupakan pemenang mutlak karena PDI Perjuangan hanya memperoleh 33,76%

suara, namun karena suara terbanyak tidak identik dengan perolehan kursi terbanyak

pula dalam MPR, maka tidak mungkin partai itu dapat meloloskan calon Presidennya

secara sendiri (Zainal Abidin Amir, 2003: 248), sedangkan beberapa partai yang lain

suaranya dibawah itu. Praktis suara yang diperoleh partai-partai itu relatif seimbang.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

80

Tidak ada yang bisa mengklaim dirinya sebagai pemenang mutlak dalam Pemilu

1999 dan otomatis berhak menjadi Presiden.

Menurut UUD, Presiden dipilih oleh anggota MPR, bukan DPR. Dalam

UUD disebutkan pula bahwa selain ada anggota MPR yang berasal dari hasil

pemilihan (anggota DPR), masih ditambah lagi dengan utusan golongan dan daerah. Seseorang baru berhak menjadi Presiden setelah dipilih oleh 50% lebih satu dari anggota MPR (Suara Muhammadiyah, 16-30 September 1999: 13). PDI Perjuangan harus didukung oleh partai-partai lain dalam suatu koalisi hingga memperoleh suara mayoritas 50% ditambah satu di MPR untuk mewujudkan ambisi memperoleh kursi kepresidenan, begitu juga sebaliknya jika koalisi itu tidak dapat diwujudkan, maka pupuslah cita-cita itu. Oleh karena itu, kemampuan untuk menggalang koalisi di MPR menjadi kata kunci bagi setiap kelompok yang ingin meloloskan calon Presidennya (Zainal Abidin Amir, 2003: 248). Berbagai politisasi kemudian muncul, mulai dari politisasi bahwa partai yang dalam Pemilu mendapat suara paling banyak (meski diatas 30%) harus otomatis berhak mendudukkan ketuanya sebagi sebagai Presiden. Politisasi ini dilawan oleh kelompok lain dengan mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai dengan UUD. Politisasi

paling kentara adalah politisasi kasus Bank Bali (Suara Muhammadiyah, 16-30

September, 1999: 13). Sementara dari pihak Golkar, meskipun memiliki 120 kursi

DPR tidak takut dengan munculnya Poros Tengah, Akbar Tandjung tetap optimis

dukungan ke partai Golkar di Sidang Umum masih akan kuat (Suara Muhammadiyah,

16-30 September, 1999: 14-15). Sedangkan menurut William Liddle dalam Kompas

(16 Juni 1999: 6) perolehan suara Partai Golkar pada Pemilu 1999 tidak cukup

member keyakinan pada masyarakat Indonesia dan luar negeri bahwa B.J. Habibie

bisa dipilih menjadi Presiden untuk kedua kalinya.

Poros Tengah perlu memiliki seorang figur calon Presiden di luar nama

Megawati Soekarnoputri dan B.J. Habibie yang sudah beredar luas. Amien Rais pada

awalnya didorong oleh Ketua Partai Keadilan pada saat itu yaitu Nurmahmudi Ismail

untuk menjadi Presiden. Akan tetapi, Amien Rais menolak hal tersebut karena suara commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

81

PAN yang menjadi kendaraan politik Amien Rais hanya memperoleh 7,3% suara

kursi di DPR dan menurut Amien Rais Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lebih layak

(Muhammad Najib, 2000: 41).

Pada musim kampanye Pemilu Juni 1999, tidak sedikit juru kampanye

(jurkam) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) saling menyerang satu sama lain. Dalam suasana itu muncul pernyataan yang mengejutkan dari Amien Rais yang mengajukan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon Presiden. Kedua tokoh ini dalam banyak hal dijadikan personifikasi antara Muhammadiyah dan NU, atau antara PAN dan PKB. Amien Rais dan Abdurrahman Wahid juga dipersepsikan mempunyai banyak perbedaan. Kalangan Muhammadiyah banyak yang menganggap langkah pencalonan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu sebagai candaan politik yang tidak perlu ditanggapi secara serius. Sedangkan di kalangan NU, pencalonan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden oleh Amien Rais dianggap sebagai jebakan yang membahayakan Abdurrahman Wahid. Kalangan NU menganggap bahwa Amien Rais memperalat Abdurrahman Wahid untuk menjegal Megawati. Jika upaya itu berhasil, pada akhirnya Amien Rais sendiri yang akan menduduki kursi kepresidenan.

Anggapan ini pula yang kemudian menjadikan PKB sangat sulit untuk berkoalisi

dengan Poros Tengah. Alasan PKB sangat sulit untuk berkoalisi dengan Poros

Tengah karena Poros Tengah dipelopori oleh Amien Rais yang juga tokoh utama

Muhammadiyah (Abd. Rohim Ghazali, 1999: 14-15).

Gagasan awal pembentukan Poros Tengah adalah meredakan ketegangan

publik, menyusul semakin meruncingnya persaingan antara kubu Habibie dengan

kubu Megawati, kemudian memuluskan Sidang Umum MPR dan meminimalisir

kemungkinan terjadinya konflik pasca Sidang Umum MPR. Munculnya ide Poros

Tengah ini kemudian mendapat respon dari berbagai pihak, dengan berbagai

tanggapan baik yang setuju maupun yang biasa-biasa saja, antara menolak dan tidak.

Pencalonan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon Presiden dari Poros

Tengah menjadi pembicaraan yang menarik. PAN tetap sebuah partai yang berpotensi commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

82

menjadi penentu koalisi, meskipun perolehan suara Partai Amanat Nasional (PAN)

tidak signifikan untuk memunculkan Amien Rais sebagai orang nomor satu di

Indonesia. Amien Rais dalam Suara Muhammadiyah (1999: 14) menyatakan bahwa

ide Poros Tengah merupakan respon atas mengerucutnya dukungan terhadap

pencalonan B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri. Akan tetapi, dukungan publik atas dua figur itu diwarnai dengan berbagai manuver yang berpotensi konflik tinggi, seperti aksi cap jempol berdarah atau ancaman memisahkan diri dari Republik Indonesia jika Megawati yang terpilih. Oleh karena itu perlu ada kekuatan sebuah reformasi sejati. Arbi Sanit dalam Suara Muhammadiyah (16-30 September, 1999: 14-15) mengatakan bahwa gagasan Amien Rais mengenai Poros Tengah merupakan sebuah upaya membangun kekuatan ketiga, selain PDI Perjuangan dan Partai Golkar, sekaligus sebagai sebuah strategi untuk menyelamatkan kelompok Islam. Pasca pemilu 1999, pergeseran ideologis menjadi terkenal ketika partai- partai Islam dan politisi Muslim membentuk koalisi yang bernama Poros Tengah dan dipimpin oleh Amien Rais. Tujuan awal dari koalisi ini adalah untuk memberikan calon presiden alternatif di tengah meningkatnya kompetisi antara B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri. Para politisi Muslim dan pemimpin partai merasa bahwa

kedua kandidat tersebut tidak sesuai untuk menjadi Presiden. B.J. Habibie meskipun

memiliki hubungan erat dengan politik Muslim sebagai pelindung dari Ikatan

Cendekiawan Muslim seluruh Indonesia (ICMI), karena reputasinya sebagai anak

didik Soeharto, maka B.J. Habibie dianggap menghalangi reformasi yang demokratis.

Megawati, di sisi lain, adalah bagian dari pihak reformis, akan tetapi politisi Muslim

melihatnya sebagai mewakili politik sekuler. Koalisi Muslim kemudian

menominasikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai kandidat mereka (Ahmad

Norma Permata 2008: 30).

Deddy Djamaluddin Malik dalam Suara Muhammadiyah (16-30 September,

1999: 14-15) menilai bahwa keberadaan Poros Tengah akan memberikan kepastian

politik. Sikap PDI Perjuangan sangat defensif, sementara Golkar memiliki beban

sejarah yang berat. Masyarakat Indonesia pada saat itu membutuhkan kepastian commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

83

politik, tetapi PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu tidak menunjukkan inisiatif

untuk melakukan hal itu, begitu pula dengan Golkar yang cenderung untuk disikapi

secara skeptif oleh masyarakat akan kesulitan melakukannya.

Amien Rais dalam Suara Muhammadiyah (16-30 September, 1999: 14-15)

menyatakan bahwa sikap diam Megawati Soekarnoputri menjadi salah satu faktor yang mendorong Amien Rais melontarkan ide Poros Tengah. Amien Rais sejak awal menghendaki Golkar mengakhiri keberadaan sebagai kekuatan politik karena Golkar tetap ada, sementara sikap politik PDI Perjuangan tidak jelas dan keduanya saling bersaing berusaha untuk meloloskan calon Presiden, maka muncul ide Poros Tengah. Megawati Soekarnoputri menganggap bahwa dirinya secara de facto sudah menjadi Presiden begitu hasil Pemilu 7 Juni 1999 diumumkan, Sehingga Sidang Umum MPR hanya berfungsi untuk memenuhi aspek de jure. Padahal, menurut Undang-undang yang berlaku, Pemilu hanyalah untuk memilih anggota DPR, sedangkan persoalan Pilihan Presiden (Pilpres) dilakukan oleh Sidang Umum MPR oleh anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR ditambah Utusan Golongan dan Utusan Daerah (Muhammad Najib, 2000: 42). Menjelang Sidang Umum MPR Oktober 1999, B.J. Habibie yang dijagokan

Partai Golkar mendapat tentangan keras dari kelompok pro demokrasi. Sebaliknya

Megawati Soekarnoputri juga mendapat penolakan yang kuat dari kalangan kelompok

Islam. Pada tanggal 1 Oktober 1999 anggota MPR dilantik dengan mengucapkan

sumpah janji sekaligus menandai dimulainya Sidang Umum MPR tahun 19999.

Sebanyak 628 orang dari 700 anggota MPR hadir dalam acara itu dan sisanya

berhalangan hadir. Suasana persaingan kekuatan politik di majelis itu mulai terasa

ketika Presiden Habibie memasuki ruangan. B.J. Habibie tidak mengucapkan pidato

dalam Sidang Umum tersebut sebagaimana kebiasaan yang biasa dilakukan Presiden

Soeharto (Untung Wahono, 2003: 136).

Pembahasan Jadwal Acara Sidang Umum MPR 1999 berjalan alot karena

sampai hari Jumat, 1 Oktober 1999 terdapat dua konsep jadwal acara, pertama yang

dibuat Tim Kerja 7 Partai yang merencanakan Sidang Umum MPR berlangsung dua commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

84

tahap dan tahap pertama dari tanggal 1 – 4 Oktober 1999. Konsep kedua dari PDI

Perjuangan yang merencanakan Sidang Umum MPR berlangsung dari 1 – 14 Oktober

1999. Terjadinya dua konsep ini mencerminkan suasana awal polarisai kekuatan

politik di DPR/MPR. Tim tujuh partai yang seharusnya terdiri dari PDI Perjuangan,

Partai Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, dan Partai Keadilan sebelumnya telah mengadakan pertemuan-pertemuan intensif untuk membahas jadwal acara Sidang Umum MPR. Pertemuan ini juga dihadiri oleh unsur-unsur TNI / POLRI, tetapi PDI Perjuangan menghindar dari aktivitas tim dan cenderung membahas sendiri dalam partai tentang konsep jadwal acara tersebut. PDI Perjuangan berpendapat bahwa pemilihan Presiden dilakukan setelah MPR mengesahkan GBHN sehingga ada mandat tugas yang diberikan kepada PDI Perjuangan. Yusril Ihza Mahendra sebagai koordinator tim tujuh mencemaskan jika lebih dahulu terpilih dari pengesahan GBHN, maka Presiden akan bertindak otoriter. Meskipun demikian, perbedaan tersebut akhirnya dapat dikompromikan melalui pertemuan konsultasi pimpinan sementara MPR dengan wakil-wakil kelompok partai-partai politik, TNI/POLRI, Utusan Daerah dan utusan Golongan untuk membicarakan dan membahas agenda Sidang Umum MPR Tahap I (Untung Wahono, 2003: 137).

Pada saat pembahasan pengelompokan fraksi terdapat beberapa alternatif

(Pasal 13 ayat 1 Tata Tetib MPR), yaitu: pertama, fraksi majelis adalah

pengelompokan anggota yang mencerminkan konfigurasi partai politik hasil Pemilu,

TNI/POLRI, dan Utusan Golongan. Kedua, fraksi Majelis adalah pengelompokan

anggota yang mencerminkan konfigurasi partai politik hasil Pemilu, TNI / POLRI,

Utusan Golongan dan Utusan Daerah. Ketiga, fraksi majelis adalah pengelompokan

anggota yang mencerminkan konfigurasi partai politik hasil Pemilu dan TNI/POLRI.

Keempat, fraksi majelis adalah pengelompokan anggota yang mencerminkan

konfigurasi politik dan pengelompokan fungsional dalam masyarakat. Masalah teknis

penghitungan suara terjadi sehingga sampai diulang tiga kali. Pada perhitungan

terakhir akhirnya diperoleh hasil yaitu: alternatif pertama, kubu Poros Tengah plus

didukung oleh 379 suara, alternatif kedua mendapat 9 suara, alternatif ketiga yaitu commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

85

kubu PDI Perjuangan dan PKB memperoleh dukungan 250 suara dan alternatif

keempat tidak mendapat suara sama sekali.

Sikap PKB kubu Matori Abdul Djalil yang kompak dengan PDI Perjuangan

dalam pemungutan suara cukup mengagetkan kubu Poros Tengah, karena dalam

penyiapan Tata Tertib MPR yang dilakukan oleh Tim Tujuh (Tim Kerja Partai-partai) PKB terlibat aktif dan ikut menyetujui rancangan itu. Tetapi dalam pemungutan suara PKB mengingkari kesepakatan itu. Pemungutan suara dalam pengelompokan fraksi merupakan kekalahan pertama PDI Perjuangan yang tidak diduga sebelumnya. PDI Perjuangan tidak peduli dengan jumlah kursinya yang tidak memadai untuk otomatis meraih kemenangan dalam berbagai pertarungan suara di MPR. PDI Perjuangan lebih memilih melakukan ancaman daripada melakukan pendekatan dalam upaya menambah kekuatan suaranya sehingga dari Partai Golkar atau Poros Tengah harus ada yang memberikan tambahan suara bagi Megawati. Aksi ancaman yang dilakukan PDI Perjuangan diperkuat oleh aksi cap jempol darah dan ultimatum para pendukung PDI Perjuangan di Jakarta dan di berbagai daerah lainnya bahwa jika Megawati tidak terpilih menjadi Presiden maka revolusi akan diletuskan (Untung Wahono, 2003: 138-141). Oleh karena itu, ada pihak yang secara mutlak megatakan bahwa Megawati

Soekarnoputri harus menjadi Presiden. Hal ini merupakan sebuah harga mati yang

tidak bisa ditawar, jika perlu banjir darah seperti yang disumpahdarahkan oleh

beberapa pengikut fanatinya di Semarang dan Surabaya. Sebaliknya, para pengikut

B.J. Habibie ada satu sikap yang tidak mengenal kompromi yaitu apabila bukan

Habbibie yang menjadi Presiden, maka pendukung Habibie akan mengambil sikap

apa pun (Abd. Rohim Ghazali, 1999: 31).

Pada saat pemilihan Ketua MPR periode 1999 – 2004, terjadi perubahan-

perubahan yang sangat cepat. Pada awalnya terdapat isu bahwa Abdurrahman Wahid

akan dicalonkan menjadi Ketua Umum MPR, tetapi terhambat karena Utusan

Golongan tempat Abdurrahman Wahid duduk sebagai anggota MPR tidak

mengusulkan Abdurrahman Wahid untuk menjadi Ketua MPR. Kemudian muncul

nama Hamzah Haz yang disepakati Poros Tengah dan Partai Golkar. Akan tetapi, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

86

setelah dievaluasi muncul kekhawatiran bahwa Hamzah Haz tidak mampu menyaingi

Kubu Matori Abdul Djalil yang didukung oleh PDI Perjuangan. Oleh karena itu,

Amien Rais kemudian muncul sebagai calon yang sebelumnya sama sekali tidak

diduga. Amien Rais bersedia dicalonkan setelah mendapat restu dari Abdurrahman

Wahid. Amien Rais kemudian muncul sebagai pemenang setelah mengalahkan Matori Abdul Jalil dan Alwi Shihab menyatakan kemenangan Amien Rais sebagai hasil dari kekompakan Poros Tengah (Untung Wahono, 2003: 142-143). Sedangkan dalam pemilihan Ketua DPR RI periode 1999 – 2004 pada Sidang Umum MPR 1999, Akbar Tandjung yang pada saat itu sebagai Ketua Umum Partai Golkar mendapat dukungan kuat dari partai-partai yang mempunyai wakil-wakil di DPR sehingga pada waktu pemungutan suara Akbar Tandjung mendapat dukungan mayoritas dan terpilih sebagai Ketua DPR RI melalui proses politik yang dinamis (Akbar Tandjung, 2008:277). Pada saat Sidang Umum dilakukan terdapat dua tim yaitu tim tujuh dan tim sebelas yang akan melakukan hal untuk mencapai tujuan yang diinginkan masing- masing dalam Sidang Umum. Tim Tujuh beranggotakan PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan pembangunan (PPP), Partai Keadilan (PK), Partai Amanat

Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Bulan Bintang (PBB).

Sedangkan Tim Sebelas merupakan gabungan dari perwakilan partai politik dengan

Utusan Daerah, TNI dan Utusan Golongan. Pada Sidang Umum pertama tersebut

terjadi suatu persaingan yang sangat alot diantara kedua kubu (Tantan H. & Gunadi

H., Tempo 9 Oktober 1999: 23-26).

Babak terakhir menuju pertarungan pemilihan Presiden adalah penjajagan

koalisi pada persoalan pidato pertanggungjawaban Habibie. Pada tanggal 14 Oktober

1999, pidato pertanggungjawaban B.J. Habibie disampaikan di depan Sidang Umum

MPR, akan tetapi sejak tiga hari sebelumnya sekelompok masyarakat sudah

menyatakan menolak pertanggungjawaban tersebut. Contoh adalah kelompok yang

menamakan diri Mayarakat Profesional yang mengadakan unjuk rasa di gedung

Bursa Efek Jakarta (BEJ). Menurut sejumlah anggota MPR, pendapat yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

87

dinyatakan melalui pidato pertanggungjawaban Presiden sebagai tindakan irasional,

tidak obyektif, dan tidak hati-hati. Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi PKKI, dan Fraksi

PKB sejak awal menyatakan akan menolak langsung pertanggungjawaban Presiden

B.J. Habibie, sedangkan Poros Tengah (PAN, Partai Keadilan, PNU, PKB, dan PBB)

menyatakan akan bersikap obyektif dan Golkar sendiri siap menerima dengan voting jika pidato tersebut sulit diterima secara bulat. Presiden B.J. Habibie dalam pidato pertanggungjawabannya disinggung mengenai hasil-hasil dari seluruh ketetapan yang diamanatkan MPR kepada Habibie. Dalam masalah KKN, Presiden B.J. Habibie menjelaskan bahwa sejauh ini belum ada temuan bukti yang cukup kuat untuk membawa mantan Presiden Soeharto ke pengadilan. Namun, apabila ditemukan cukup bukti adanya tindak pidana, proses pengadilan akan terus dilakukan sesuai Undang-undang. Meskipun sudah dikeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), tidak menutup kemungkinan dibukanya kasus lain untuk diproses, karena bagaimana pun KKN yang melibatkan kroni dan keluarga Soeharto merupakan KKN dengan nilai yang sangat besar (A. Makmur Makka, 2008: 392-394). Pada tanggal 15 dan 16 Oktober 1999, fraksi-fraksi di MPR menyampaikan

pemandangan umum terhadap pidato pertanggungjawaban Presiden. Presiden B.J.

Habibie selama dua hari aktif mengikuti acara pemandangan umum tersebut. Dalam

pemandangan umum diperoleh penilaian bahwa dari 11 fraksi MPR, 4 fraksi

menolak, 5 fraksi meminta penjelasan tambahan, 1 fraksi menyerahkan sikap dan

penilaiannya kepada Komisi Pertanggungjawaban Pidato Presiden dan 1 fraksi

menerima. Atas dasar penilaian dalam penmandangan umum tersebut, Ketua Umum

MPR Amien Rais memutuskan bahwa persoalan Sidang Umum MPR menolak atau

menerima pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie akan dilakukan melalui

mekanisme voting, sebagaimana disepakati sebelumnya (A. Makmur Makka,

2008:394).

Partai-partai Islam cenderung menolak pertanggungjawaban Habibie

sebelum Sidang Umum MPR 1999 digelar. Chofifah Indar Parawansa commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

88

mengisyaratkan bahwa PKB akan menolak pertanggungjawaban Habibie dengan

alasan rapor Habibie merah, karena Chofifah menilai gagalnya pemerintahan B.J.

Habibie dalam menjalankan tugas seperti yang tercantum pada TAP MPR No.X/1998

tentang pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan

Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Masyarakat juga menilai Tap MPR No.XI/1998 tentang penyelesaian Negara yang Bersih dan Bebas KKN hampir tidak disentuh selama pemerintahan Habibie seperti pada kasus Soeharto. Selain itu Tap MPR No.XV/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta Perimbangan kekuasaan Pusat dan Daerah dalam kerangka NKRI banyak dipertanyakan, juga Tap MPR No.XVI/1998 tentang politik ekonomi dalam kerangka Demokrasi Ekonomi, selain itu di luar TAP MPR juga tentang lepasnya Timor Timur. Hatta Radjasa (PAN) menegaskan bahwa PAN akan melihat terlebih dahulu materi pertanggungjawaban Habibie, akan tetapi yang jelas PAN menyoroti masalah KKN yang tidak dapat dituntaskan penyusutannya oleh Habibie, selain itu juga masalah kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Ambon, Aceh dan daerah lain yang belum diselesaikan. Zarkasih Noer (PPP) juga mengisyaratkan kecenderungan

menolak pertanggungjawaban Habibie, sementara Yusril Ihza Mahendra (PBB)

menyatakan bahwa hal ini harus dilihat dari sisi positif dan negatif dari B.J. Habibie

karena selain sisi negatif tersebut juga masih ada sisi positif dari pemerintahan

Habibie yaitu kebebasan pers dan mengeluarkan pendapat (Suara Merdeka, 5 Oktober

1999: xi).

Pemungutan suara pada dua putaran pertama dengan komposisi koalisi yang

sama seharusnya pidato pertanggungjawaban Habibie bisa berjalan dengan mulus.

Akan tetapi, pada kenyataannya 355 anggota mejelis menolak pertanggungjawaban

Habibie, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Sulit untuk memastikan asal

suara baik yang menolak maupun yang menerima pidato pertanggungjawaban

Habibie karena memang pemungutan suara dilakukan secara tertutup. Hal ini

menyebabkan kubu partai Golkar terbelah. Setelah B.J. Habibie kalah dalam pidato commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

89

pertanggungjawaban, kemudian B.J. Habibie mendapat banyak tekanan dari berbagai

penjuru terutama dari lawan-lawan politik B.J. Habibie. Pada tanggal 20 Oktober

1999 B.J. Habibie mengadakan jumpa pers dengan 77 orang wartawan dalam dan luar

negeri untuk menyatakan pengunduran dirinya dari pencalonan Presiden partai

Golkar dengan alasan pemungutan suara atas laporan pidato pertanggungjawaban Habibie yang dinilai gagal dalam menjalankan tugas. Kacung Marijan dalam Untung Wahono (2003: 154) menilai kegagalan manuver PDI Perjuangan pada pemilihan Ketua DPR mengakibatkan jasa PDI Perjuangan dalam menghantar Akbar Tandjung ke kursi pimpinan DPR mengecil. Hasil pemungutan suara menunjukkan bahwa tanpa dukungan PDI Perjuangan Akbar Tandjung dapat memenangkan pemilihan Ketua DPR. Sutjipto dan Sabam Sirait dalam Untung Wahono (1999:155) mengatakan bahwa target PDI Perjuangan adalah melaksanakan keputusan Kongres III PDI Perjuangan di Bali yaitu mengantarkan Ketua Umum PDI Perjuangan menjadi Presiden. Dimyati Hartono dalam Untung Wahono (1999: 155) mengatakan bahwa pada Pemilu 1999 jelas rakyat mempercayakan harapannya pada PDI Perjuangan dan PDI Perjuangan memperoleh dukungan besar. Akan tetapi, berdasarkan UUD 1945 Pasal 6 ayat 2 yang berbunyi

Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

dengan suara yang terbanyak, sehingga untuk menuju kursi Presiden Megawati harus

memenagkan suara di MPR meskipun pada Pemilu 7 Juni 1999 PDI Perjuangan

memangkan Pemilihan Umum.

Langkah PDI Perjuangan untuk membawa Megawati Soekarnoputri ke kursi

Presiden semakin berat karena PKB yang selama ini mendukung Megawati mulai

memberi tanda-tanda pergeseran sikap. Permainan di dua lapangan tidak dapat

dilakukan lagi dengan pasti. Rivalitas terjadi antara Alwi Shihab dan Matori Abdul

Djalil dari PKB yang mana Alwi Shihab memilih untuk mengusung nama

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon Presiden dari PKB, sementara Matori

Abdul Djalil berketepatan untuk memilih Megawati Soekarnoputri sebagai calon

Presiden dari PKB (Koirudin, 2005: 55). Pendapat serupa dikemukakan oleh Arbi commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

90

Sanit dalam Suara Merdeka (8 Oktober 1999: 1) yang menyatakan bahwa meskipun

telah memenangi Pemilu 7 Juni 1999, PDI Perjuangan tidak siap menghadapi

pertarungan di Sidang Umum MPR (SU MPR), sehingga langkah PDI Perjuangan

tersendat dan peluang Megawati Soekarnoputri pun juga sulit. Hal ini dikarenakan

PDI Perjuangan sudah merasa sebagai pemenang pemilu, sehingga tidak mau menggalang kekuatan dengan partai lain. Akibat dari langkah yang diambil tersebut yaitu langkah Megawati semakin sulit. Sidang Paripurna tanggal 20 Oktober 1999 terdapat tiga nama calon Presiden yang masuk ke sekretariat MPR, yaitu: Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dicalonkan oleh fraksi PKB, Fraksi Reformasi, dan Fraksi PPP. Megawati yang dicalonkan Fraksi PDI Perjuangan, dan Yusril Ihza Mahendra yang dicalonkan oleh Fraksi PBB. Akbar Tandjung sebelumnya diajukan oleh rapat Fraksi Golkar tetapi kemudian menarik pencalonan ini dan Fraksi Partai Golkar kemudian mendukung Abdurrahman Wahid. Yusril Ihza Mahendra kemudian juga mengundurkan diri pada saat pemungutan suara akan dilakukan dan meminta komitmen Abdurrahman Wahid untuk tidak menelikung dengan cara tiba-tiba juga ikut mengundurkan diri sehingga Megawati menjadi calon tunggal. Abdurrahman

Wahid kemudian hanya berhadapan dengan Megawati Soekarnoputri yang selama ini

menjadi sekutunya. Pada Sidang Paripurna MPR yang diikuti 691 anggota MPR,

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang didukung oleh koalisi Poros Tengah berhasil

mengalahkan Megawati Soekarnoputri dengan jumlah perolehan suara 373 melawan

313 dan 5 abstain (H. Fuad Anwar, 2004: 13). Megawati Soekarnoputri yang kalah

dalam perebutan kursi kepresidenan kemudian berhasil meraih posisi sebagai wakil

Presiden setelah mengungguli Hamzah Haz dalam pemungutan suara (Lalu Misbah

Hidayat, 2007: 59).

Nurcholish Madjid pengamat yang dikenal akurat dalam memprediksi situasi

politik bisa salah memprediksi setelah terjadi Sidang Umum MPR kedua 14-21

Oktober 1999.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

91

2. Kabinet Persatuan Nasional

Sidang Umum MPR 1999 dilaksanakan dengan terdapat empat kekuatan

besar, yaitu PDI Perjuangan, Poros Tengah, Partai Golkar, dan TNI/POLRI (Untung

Wahono, 2003: 165). Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memulai langkah reformasi

administrasi yang berbekal pada pandangan demokrasi yang kental sejak masa mudanya dan selalu menjadi warna dasar perjuangannya dengan pembentukan dan penyusunan Kabinet Persatuan Nasional (L. Misbah Hidayat, 2007: 62). Menurut Alwi Shihab dalam Solopos (26 Oktober 1999: 1) bentuk kabinet Abdurrahman Wahid adalah National Unity Cabinet (Kabinet Persatuan Nasional) yang mana dalam kabinet tersebut merangkul semua unsur kekuatan politik, kaum professional, TNI, dan minoritas. Komposisi tersebut jelas memuaskan masyarakat karena semua wakil partai masuk seperti, PDI Perjuangan, Partai Golkar, PKP, dan Utusan Golongan. Kabinet Persatuan Nasional mengakomodasi keempat kekuatan besar tersebut. Hal ini artinya sulit diharapkan adanya check and balances yang sama saja artinya dengan mengancam atau membunuh demokrasi, karena tidak adanya oposisi yang menjalankan mekanisme kontrol karena semua sudah dirangkul. Oposisi di DPR sangat penting dan mustahil berbicara demokrasi tanpa oposisi (Untung Wahono,

2003: 166). Terbentuknya Kabinet koalisi ini langsung mengundang kontroversi yang

berkepanjangan dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid. Kabinet Persatuan

Nasional terdiri atas 29 Menteri dan pejabat Negara setingkat menteri, yaitu Jaksa

Agung, Panglima ABRI, dan Sekretaris Negara.

Pada awal pemerintahan Abdurrahman Wahid dalam Kabinet Persatuan

Nasional tanggal 26 November 1999, Hamzah Haz mundur dari kabinet tersebut, hal

ini tidak sesuai dengan keputusan Poros Tengah yang mana Poros Tengah telah

menarik kesimpulan bahwa terpilihnya Abdurrahman Wahid dan Megawati

Soekarnoputri merupakan usaha maksimal dari Poros Tengah. Menurut Zarkasih Nur

dalam Wawasan (4 Desember 1999: 7) DPP PPP sebagai salah satu pendukung Poros

Tengah harus mendukung hasil langkah maksimal yang mendukung pemerintahan

Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Hamzah Haz yang keluar dari commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

92

Kabinet Persatuan Nasional tidak membuat Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

menjadi oposisi bagi pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Serambi

Indonesia, 7 Desember 1999: 1).

Kabinet Persatuan Nasional disebut sebagai “Kabinet Pelangi” karena

merupakan hasil kompromi dan pertukaran kepentingan dari berbagai kekuatan. Oleh karena itu, ada semacam garansi dari para tokoh elite politik yang berpengaruh, seperti Akbar Tandjung, Amien Rais, , Megawati, dan Gus Dur sendiri. Kendati demikian, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menegaskan bahwa para menteri akan tetap melaksanakan tugas dari kepentingan nasional dan kepentingan rakyat (Lalu Misbah Hidayat. 2007: 62). Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Kabinet Persatuan Nasional melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama Rezim Soeharto dalam menguasai media. Reformasi Kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang dianggap korupsi (M. Hamid, 2010: 58). Penghapusan Departemen Penerangan mendapat sambutan sebagian lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang ini dan menganggapnya sebagai langkah penting reformasi. Tetapi di tubuh departemen yang

dibubarkan terjadi gejolak besar karena kebijakan tersebut dianggap tidak

memperhatikan nasib 55.000 karyawan yang terbesar di seluruh Indonesia (Untung

Wahono, 2003: 167).

Kabinet Persatuan Nasional yang pada awalnya diperkirakan sangat kuat dan

akan membungkam oposisi DPR sebagaimana dikhawatirkan para pengamat politik

dan mahasiswa pada kenyataannya tidak demikian. Berbagai kebijakan Presiden

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang semula mendapatkan dukungan dari parlemen

sebagai manifestasi dari tuntutan reformasi, di masa-masa akhir-akhir pemerintahan

Abdurrahman Wahid justru mendapat kecaman keras. Tidak saja kebijakan yang

ditujukan kepada militer, kebijakan yang menjadi hak prerogatif Abdurrahman Wahid

juga mendapat sorotan tajam dari politisi di DPR, sebagai contohnya adalah

pemecatan dan Yusuf Kalla. Ketegangan institusional antara commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

93

Abdurrahman Wahid dengan DPR pun semakin hari semakin meningkat (A. Malik

Haramain, 2004:269).

Berbagai masalah yang mengancam keutuhan koalisi besar tersebut terjadi

dalam waktu yang relatif singkat, seperti keinginan Abdurrahman Wahid untuk

membuka hubungan dagang dengan Israel. Gagasan ini mendapat reaksi penolakan yang keras terutama dari partai-partai Poros Tengah dan PAN karena hubungan dengan Negara Zionis itu dianggap melanggar ketentuan yang dicakup dalam Resolusi PBB nomor 242. Konflik yang lain yang terjadi setelah dibentuk Kabinet Persatuan Nasional adalah Tap MPRS XXV/MPRS/1966 yang dicetuskan oleh Abdurrahman Wahid membuat Kubu Poros Tengah merasa gusar. Fraksi PBB menilai bahwa usulan Abdurrahman Wahid tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan rangkaian dengan berbagai kebijakan politik Abdurrahman Wahid. Rangkaian itu dikhawatirkan menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin lebar dan mendalam. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai upaya menyiapkan lahan pertentangan kelas di antara lapisan masyarakat, yang memang menjadi sendi utama metode perjuangan kaum komunis. Fraksi PBB menyatakan menolak tegas sikap kebijakan Abdurrahman

Wahid karena dinilai bertentangan dengan konstitusi dan melanggar sumpah jabatan.

Fraksi PBB juga mengimbau kepada semua fraksi di DPR untuk membicarakan

pelanggaran serius Presiden dan kemudian dipertimbangkan konstitusionalnya

(Untung Wahono, 2003: 168).

Pada tanggal 25 Oktober 1999, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus

Dur) kemudian menegaskan kepada 16 duta besar Negara-negara Arab bahwa posisi

Indonesia tidak akan berubah mengenai hubungan dengan Israel (tidak akan

membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum bangsa Palestina memperoleh

kemerdekaan sepenuhnya melalui berdirinya Negara Palestina dengan Ibu kota

Jerusalem dan juga Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan

Israel sebelum seluruh wilayah Arab yang diduduki Israel dikembalikan termasuk

Dataran Tinggi Golan, dan semua tawanan Palestina oleh Israel dibebaskan) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

94

(Solopos, 26 Oktober 1999: 1 samb. 9 kol 1). Abdurrahman Wahid tidak dapat

memaksakan kehendak ketika usulannya ditolak oleh sebagian besar umat Islam

Indonesia. Di sini terlihat bahwa Abdurrahman Wahid lebih memilih menjaga umat

Islam Indonesia demi keutuhan bangsa daripada bersikeras menjaga hubungan

dagang dengan Israel (Muhaimin Iskandar, 2004: 18). Kepemimpinan Abdurrahman Wahid tidak hanya meninggalkan permasalahan tentang hubungan dagang dengan Israel dan pencabutan Tap MPRS XXV/MPRS/1966, tetapi masih banyak lagi seperti Abdurrahman Wahid sering mengganti menteri atau memecat menteri yang dianggapnya bersalah sebagai bahan utama interpelasi, dalam konflik Maluku Abdurrahman Wahid dianggap tidak terlalu mempedulikan dan cenderung meremehkan informasi-informasi yang beredar di media massa. Konflik domestik yang terjadi di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid tidak hanya konflik Maluku, tetapi juga konflik-konflik yang terjadi di daerah lain seperti Aceh, Papua, Poso serta kerusuhan etnis di Sampit (A. Malik Haramain, 2004: 332). Permasalahan yang lain dari kepemimpinan Abdurrahman Wahid adalah karena Abdurrahman Wahid terlalu sering berpergian ke luar negeri, padahal orang-

orang yang mengkritiknya menganggap banyak persoalan di dalam negeri yang

mendesak. Abdurrahman Wahid menyebut bahwa terlalu seringnya berpergian ke

luar negeri merupakan salah satu dari perilaku politik yaitu diplomasi luar negeri

yang sangat intensif. Selama kurun tempo tiga bulan, hampir semua mitra ekonomi

Indonesia di empat benua telah dikunjungi oleh Abdurrahman Wahid (Abdul Munir

Mulkhan, 2010: 100).

Permasalahan lain juga bermunculan seperti Abdurrahman Wahid dianggap

sering tidak konsisten akan sikap-sikapnya, Abdurrahman Wahid dianggap terlalu

cepat menumbuh-suburkan KKN, dan Abdurrahman Wahid sering dinilai berkata

bohong dan tidak jujur (Untung Wahono, 2003: 169). Sementara Mudrick SM

Sangidoe dalam Solopos (22 Mei 2000: 1) menyatakan bahwa Abdurrahman Wahid

(Gus Dur) terlalu banyak mengeluarkan pernyataan yang justru membingungkan dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

95

menambah kesengsaraan rakyat. Mudrick juga menyoroti bahwa pemerintahan

Abdurrahman Wahid seperti anti terhadap kritikan. Zainuddin MZ dalam Solopos (22

Mei 2000: 1) bahkan menilai bahwa kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

terkesan main-main dalam memimpin Negara dan bangsa seperti ditunjukkan dalam

pernyataan-pernyataan yang sering dilontarkan dalam berbagai kesempatan, misalnya dalam penyelesaian kasus pertikaian di Ambon yang berlarut-larut. Poros Tengah pada akhir bulan April 2000 sempat mengusulkan untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR (SI MPR) karena Poros Tengah semakin gerah dengan berbagai lontaran ide maupun manuver Abdurrahman Wahid yang dirasakan terus-menerus memojokkan dan merugikan umat Islam. Respon yang baik terlihat pada usulan untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR (SI MPR) atas Presiden Abdurrahman Wahid tersebut. Ide Poros Tengah untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR tersebut telah menjadi pukulan balik bagi Abdurrahman Wahid yang sering melontarkan gagasan-gagasan yang dianggap oleh sebagian kalangan adalah gagasan yang kontroversial. Usulan Sidang Istimewa MPR ini menghantam barisan pendukung Abdurrahman Wahid. PKB sebagai basis politik Abdurrahman Wahid kemudian balik melakukan manuver dengan usulan untuk mengganti kepemimpinan

Amien Rais sebagai Ketua MPR. Amien Rais yang merupakan tokoh utama Poros

Tengah yang sangat aktif memasarkan gagasan tentang kemungkinan adanya Sidang

Istimewa untuk memberi pelajaran Abdurrahman Wahid, sehingga Amien Rais

menjadi sasaran balik dari kubu Abdurrahman Wahid (Aidul Fitriciada Azhar,

Solopos 1 Mei 2000: 4).

Pencopotan menteri-menteri yang menjadi sebuah fenomena tersendiri dari

kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada tanggal 26 Oktober

1999 sebanyak 35 orang menteri dilantik Presiden Abdurrahman Wahid, tetapi pada

tanggal 26 Agustus 2000 kabinet Abdurrahman Wahid mengalami reshuffle dan

dilantik kabinet baru (Kabinet Persatuan Nasional II) yang beranggotakan 26 orang

menteri. Akan tetapi, sebelum terjadi reshuffle kabinet, Abdurrahman Wahid telah

mencopot jabatan 4 orang menteri, yaitu Hamzah Haz (Menko Kesra dan Taskin), commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

96

Wiranto (Menko Polkam), (Menteri Perindustrian dan Perdagangan) serta

Laksamana Sukardi (Menteri Negara Investasi dan Pemberdayaan BUMN).

Pencopotan Hamzah Haz membuat kubu Poros Tengah gusar dan tindakan

Abdurrahman Wahid ini mendapat kritikan dari Poros Tengah (Untung Wahono,

2003: 170-171). Sejak pencopotan menteri itulah, hubungan antara Presiden dan DPR semakin memanas. Interpelasi pun dilayangkan DPR kepada Presiden untuk mempertanyakan alasan pencopotan tersebut tanpa dapat ditahan oleh anggota Fraksi- PKB (Mahrus Ali & MF. Nurhuda, 2008: 388). Yusril Ihza Mahendra juga diberhentikan sebagai Menteri Kehakiman pada 7 Februari 2001 karena berulang- ulang menyatakan di depan umum agar Presiden Abdurrahman Wahid lengser dari kursi kepresidenan, selain itu juga dianggap gagal dalam mereformasi bidang hukum, tidak beres mengurus kantor imigrasi dan banyak desakan dari para menteri agar Yusril mundur (Greg Barton, 2008: 467). Tiga hari setelah pemberhentian Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi, Presiden Abdurrahman Wahid memberikan penjelasan tertutup kepada DPR. Abdurrahman Wahid menyampaikan alasan tentang pergantian kedua menteri tersebut dengan mengatakan bahwa kedua menteri tersebut terlibat dalam sejumlah

kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di bidangnya. Ketidakpuasan atas

jawaban Presiden menyebabkan beberapa anggota DPR mempersiapkan diri untuk

menggunakan hak interpelasi (hak bertanya dan meminta keterangan pada Presiden).

Isu tentang kemungkinan terjadinya koalisi menentang pemerintahan Abdurrahman

Wahid mulai merebak. Jika terdapat upaya yang disebut koalisi, hal itu dalam

pengertian upaya bersama mengajukan hak interpelasi dari Fraksi PDI Perjuangan

dan Fraksi Partai Golkar DPR menyangkut keputusan Presiden memberhentikan

Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla.

Melalui voting terbuka pada sidang DPR RI tanggal 29 Juni 2000 yang

dihadiri 431 dari 482 anggota akhirnya DPR menyetujui penggunaan hak interpelasi

atau hak meminta keterangan Presiden berkaitan dengan pemberhentian Menteri

Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Hasil voting menunjukkan, 332 anggota setuju, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

97

63 menolak, dan 36 abstain. Persetujuan 332 anggota ini lebih banyak dari penanda

tangan hak interpelasi yang berjumlah 277. Kalangan DPR mengancam jika

interpelasi ini tidak memuaskan, maka DPR kembali akan mengajukan hak

menyatakan pendapat atau bahkan penyelidikan. Rapat Badan Musyawarah (Bamus)

DPR di Gedung DPR Jakarta, akhirnya menyetujui jawaban Presiden Abdurrahman Wahid atas pertanyaan Dewan mengenai pemberhentian Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla dari jabatan menteri pada tanggal 20 Juli 2000 (Untung Wahono, 2003:176). Sidang Tahunan MPR RI tanggal 7-18 Agustus 2000 membahas berbagai agenda baik yang terkait dengan amandemen UUD 1945 maupun laporan lembaga- lembaga tinggi Negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif). Sorotan terhadap kelemahan Presiden Abdurrahman Wahid dalam memerintah menimbulkan upaya untuk melakukan mengurangi hak dan wewenang Presiden. Salah satu inti Sidang Tahunan tersebut adalah membahas laporan perkembangan pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selama setahun dimana hasilnya sangat memprihatinkan yang berakibat munculnya usulan akan adanya pelimpahan kekuasaan dari Presiden ke wakil Presiden melalui ketetapan MPR tentang

pelimpahan wewenang yang diusulkan oleh Poros Tengah.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian melakukan lobi-lobi politik ke

MPR di tengah gonjang-ganjing dan serangan lawan politiknya, termasuk kepada

Ketua MPR, Amien Rais. Akan tetapi, usaha politik tersebut gagal sehingga

ketakutan akan pelimpahan wewenang kekuasaan tersebut benar-benar terjadi. Di

tengah serangan dari oposisi, pada tanggal 30 Agustus 2000, Abdurrahman Wahid

meyakinkan anggota partainya bahwa Sidang Tahunan MPR akan berakhir baik. Hal

ini dikarenakan Abdurrahman Wahid sudah menerima “isyarat langit” yang mengenai

kabar lolosnya Abdurrahman Wahid dari serangan lawan-lawan politik Abdurrahman

Wahid. Hal ini terbukti perlawanan kubu Poros Tengah akhirnya terpatahkan saat Sub

komisi C1 menyetujui diterimanya usulan pemberian tugas kepada Wakil Presiden

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

98

yang ditampung dalam Tap tentang rekomendasi Majelis pada 14 Agustus 2000 (Gus

Nuril Soko Tunggal dan Khoerul Rosyadi, 2010: 63-64).

3. Sidang Istimewa MPR 2001

Pada bulan Mei 2000 serangan kepada Abdurrahman Wahid meningkat, padahal kasus interpelasi belum selesai. Media massa hangat membahas adanya kasus penggunaan dana Yanatera Bulog sebesar Rp 35 Milyar dan penerimaan sumbangan dana dari Sultan Brunei Darussalam sebesar US $ 2 juta yang mengaitkan nama Presiden Abdurrahman Wahid. Pada tanggal 29 Juni 2000, sebanyak 236 anggota DPR mengajukan usul penggunaan hak mengadakan penyelidikan terhadap kasus tersebut. Rapat paripurna DPR pada tanggal 28 Agustus 2000 menyetujui untuk mengadakan penyelidikan yang diiringi dengan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki Abdurrahman Wahid. Sejak adanya kasus yang kemudian dikenal dengan Buloggate dan Bruniegate masalah interpelasi seolah tenggelam dan para anggota DPR lebih memusatkan perhatiannya kepada penggunaan hak penyelidikan (Rodjil Ghufron, 2001: 4). Menurut Manasse Malo dalam Rodjil Ghufron (2001: 4) pembentukan Pansus Buloggate dan Bruneigate adalah suatu upaya untuk mengalihkan perhatian

dari kebutuhan pelacakan penyelewengan dana non budgeter Bulog dalam jumlah

yang jauh lebih besar yang melibatkan pejabat Orde Baru. Pansus menyampaikan

laporan pada tanggal 29 Januari 2001 kemudian dikeluarkan Memorandum I tanggal

1 Februari 2001 disebutkan bahwa rapat paripurna DPR pada tanggal 1 Februari 2001

mengambil keputusan menyetujui dan menerima laporan hasil kerja Pansus

penyelidikan terhadap kasus Dana milik Yanatera Bulog dan dana bantuan Sultan

Brunei Darussalam kepada Presiden Abdurrahman Wahid (Untung Wahono,

2003:186).

Pada tanggal 30 April 2001, dengan perbandingan suara 363 anggota setuju,

52 menolak, dan 42 abstain, DPR telah mengeluarkan Memorandum II kepada

Presiden. Isi memorandum II menyatakan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

99

dalam waktu tiga bulan tidak memperhatikan Memorandum DPR RI yang

disampaikan pada tanggal 1 Februari 2001. DPR RI kemudian menyampaikan

Memorandum yang kedua yang isinya sebagaimana pada Memorandum I dan

memberikan waktu satu bulan kepada Presiden untuk mengindahkan memorandum

tersebut. Dengan keluarnya Memorandum II tersebut jalan menuju Sidang Istimewa MPR sudah semakin nyata (Sofian Effendi, 2001: 1). Rapat pleno Badan Pekerja MPR memutuskan Sidang Istimewa MPR dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 2001 sesuai dengan ketentuan yang berlaku, meskipun terdapat usulan dari tujuh fraksi DPR untuk mempercepat pelaksanaan Sidang Istimewa MPR (Untung Wahono, 2003: 191). Adanya masalah-masalah yang menimpa Abdurrahman Wahid membuat Megawati Soekarnoputri semakin jauh meninggalkan Abdurrahman Wahid dan mengisyaratkan bahwa Megawati siap untuk menjadi Presiden RI melalui Sidang MPR yang digelar 1 Agustus 2001. Seiring dengan melemahnya kekuasaan Abdurrahman Wahid, posisi Megawati kian menguat. Badan Pekerja MPR yang membuat Rancangan Ketetapan MPR tentang pemberhentian Presiden dan pengangkatan Wakil Presiden menjadi Presiden sudah dipersiapkan secara matang, dan segala persiapan tersebut menunjukkan bahwa

kepemimpinan Abdurrahman Wahid sudah diujung tanduk, sebaliknya Megawati

terus berkibar. Para pemimpin Partai Besar seperti Partai Golkar, PPP, dan PAN yang

merupakan bagian dari koalisi Poros Tengah semakin kompak berdiri di belakang

Megawati Soekarnoputri (Gendur Sudarsono, Adi Prasetya & Edy Budiarso,

2001:20-22).

Abdurrahman Wahid meskipun mendapat berbagai tekanan yang datang dari

segala penjuru menjelang Sidang Istimewa MPR, akan tetapi tidak menyurutkan

semangat Abdurrahman Wahid untuk menghadapi sidang tersebut. Strategi

Abdurrahman Wahid untuk merangkul kembali Megawati Soekarnoputri dirasa

sangat mustahil untuk dilakukan, kemudian Abdurrahman Wahid mengalihkan

sasaran. Abdurrahman Wahid mengerahkan tim pendukungnya antara lain Mahfud

MD, , , dan Baharuddin Lopa untuk commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

100

menjalin kerjasama kembali dengan Poros Tengah (sebuah koalisi longgar Partai

Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan (PK), dan Partai Persatuan Pembangunan

(PPP)). Poros Tengah yang mempelopori dukungan terhadap Abdurrahman Wahid

dan sukses mendudukannya sebagai Presiden dalam pertarungan dramatis melawan

Megawati Soekarnoputri, akan tetapi kemudian hubungan antara Presiden Abdurrahman Wahid dengan Poros Tengah menjadi renggang setelah hanya beberapa bulan Abdurrahman Wahid di kursi Presiden, ketika Abdurrahman Wahid memecat Hamzah Haz, pemimpin PPP yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Gendur Sudarsono, Edy Budiyarso, & Andari Karina, 2001: 22-23). Akan tetapi, berbagai lobi yang dilakukan Abdurrahman Wahid sia-sia dan membuat semakin mendekatnya pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Pada tanggal 22 Juli 2001, hanya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sudah siap dengan calon wakil Presiden. Para petinggi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga mendukung Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden Indonesia menggantikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) apabila pertanggungjawaban Abdurrahman Wahid ditolak dalam Sidang Istimewa MPR (Gendur Sudarsono, Andari Karina Anom & Arif Kuswardono, TEMPO 23 Juli 2001: 22). Sidang

Istimewa MPR pada akhirnya dilakukan lebih cepat yaitu pada tanggal 23 Juli 2001.

Amien Rais kemudian membuka sidang dan mencabut mandat MPR atas status

kepresidenan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri diangkat sebagai

Presiden Republik Indonesia kelima melalui TAP MPR No.3/MPR/2001 tertanggal

23 Juli 2001 yang merupakan akumulasi dan klimaks rangkaian perjalanan panjang

Megawati Soekarnoputri (Hasrullah, 2001: vii). Babak Sidang Istimewa MPR

selanjutnya adalah perebutan kursi Wakil Presiden, yang menjadi menarik adalah

perebutan kursi Wakil Presiden karena munculnya pertarungan di antara kelompok

politik yang sebelumnya bersatu untuk mengalahkan musuh bersama. Abdurrahman

Wahid diberhentikan dari kursi kepresidenan melalui TAP MPR No.3/MPR/2001 dan

mengangkat Megawati sebagai Presiden melalui TAP MPR No.3/MPR/2001. Secara

kalkulasi politik ada dua tokoh yang paling berpeluanag untuk mendampingi Presiden commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

101

Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden yaitu Hamzah Haz yang di dukung

oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Akbar Tandjung yang di

dukung oleh Fraksi Reformasi.

Ditinjau dari sisi koalisi yang akan dibangun memang Hamzah Haz yang

diajukan oleh Fraksi Reformasi dan dan Fraksi PPP tidak mudah untuk mendapat dukungan dari PDI Perjuangan karena alasan yang utama yaitu dukungan terhadap Piagam Jakarta serta gencarnya penolakan PPP pada masa pemilu dan pemilihan Presiden terhadap Presiden wanita. Akhirnya PPP tidak mempersoalkan lagi masalah Piagam Jakarta dan masalah Presiden perempuan. Fraksi Reformasi dan dan Fraksi PPP melakukan pendekatan dengan PDI Perjuangan dan pendekatan ini membuahkan hasil yang cukup nyata. Sehari menjelang pemilihan Wakil Presiden, Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR yaitu Arifin Panigoro memberi jaminan bahwa suara PDI Perjuangan akan diberikan kepada Hamzah Haz (Untung Wahono, 2003: 199). Pemilihan Wakil Presiden dilakukan dengan tiga putaran. Pada putaran kedua diikuti oleh tiga kandidat yang memperoleh suara terbanyak. Hasil putaran kedua Pemilihan Wakil Presiden memunculkan Hamzah Haz dengan perolehan suara terbanyak yaitu 304 suara, lalu Akbar Tandjung yang memperoleh 203 suara, dan

Susilo Bambang Yudhoyono dengan 147 suara. Jumlah suara pemenang, yaitu

Hamzah Haz tidak mampu mencapai jumlah separoh lebih, maka putaran ketiga harus

diikuti oleh dua calon terbesar yaitu Hamzah Haz dan Akbar Tandjung. Dalam

putaran terakhir ini, Hamzah Haz berhasil mendapatkan suara terbesar, mengungguli

Akbar Tandjung sehingga secara resmi Hamzah Haz dinyatakan sebagai wakil

Presiden untuk mendampingi Megawati Soekarnoputri (Akbar Tandjung, 2008: 267).

Sidang Istimewa MPR 23 Juli 1999 merupakan hal yang menarik, karena pada

awalnya Hamzah Haz pada pemilu 1999 termasuk salah satu tokoh yang ingin

mengganjal Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden karena ulama Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) pada saat itu sebagai partai Islam tidak mungkin menyokong

Presiden wanita, akan tetapi pada Sidang Istimewa MPR tersebut Hamzah Haz

bersedia untuk dicalonkan menjadi Wakil Presiden pendamping Megawati commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

102

Soekarnoputri (Gendur Sudarsono, Andari Karina Anom & Arif Kuswardono,

TEMPO 23 Juli 2001: 22).

4. Kabinet Gotong Royong

Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz telah terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2001-2004. Setelah diumumkan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden kemudian Presiden dan Wakil Presiden yang baru mengumumkan Kabinet mereka yaitu Kabinet Gotong Royong. Kendati pemerintahan baru telah dibentuk, masalah yang dihadapi oleh Megawati dan Hamzah Haz adalah masalah- masalah lama yang tidak kunjung dapat terselesaikan. Pemulihan ekonomi dan penyelamatan asset Negara yang telah terjarah, penyelesaian kejahatan HAM pada masa lalu, dan penegakan hukum dan ketertiban menjadi masalah-masalah lama yang kemudian menjadi beban pemerintahan Megawati. Tugas utama yaitu pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menjadi amanat yang sangat istimewa. MPR mewadahi tugas itu dalam sebuah TAP MPR No.XI/MPR/1998 (Kompas, 2 Agustus 2001: 8). Kepemimpinan Megawati dan Hamzah Haz menjadi suatu hal yang menarik. Megawati dan Hamzah Haz berbeda satu sama lain dalam hal ideologi. Megawati

adalah ketua Umum PDI Perjuangan jelas merupakan representasi dari Kubu

Nasionalis, sementara Hamzah Haz dari PPP berasal dari Kubu Islam. Hamzah Haz

sendiri dari kalangan NU yang notabene adalah Islam tradisionalis. Kemunculan duet

Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz dalam sejarah politik Indonesia

bagaimanapun merupakan fenomena unik. Megawati dan Hamzah Haz selama ini

sulit untuk disatukan. Tetapi kemudian disatukan oleh katalisator berupa kesamaan

“kepentingan” dan “momentum politik” yang memaksa Megawati dan Hamzah Haz

bersatu demi kepentingan Nasional. Hal ini seperti adanya adagium politik yang

terkenal yang menyebutkan bahwa tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam

politik kecuali kepentingan.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

103

Hal ini tegas mengisyaratkan dalam politik perbedaan ideologis apa pun bisa

disatukan dalam bingkai perkawanan dalam mengelola pemerintahan atau berkoalisi

kepentingan politik yang mendesak. Kasus terbentuknya koalisi politik Megawati dan

Hamzah Haz berarti dalam hal ini Partai Islam berkoalisi dengan Partai Nasionalis-

Sekuler merupakan contoh nyata yang menegaskan hal ini. Akan tetapi, adagium itu juga masih membuka peluang bagi perpecahan duet Megawati dan Hamzah Haz. Selain faktor kepentingan dan momentum, setidaknya masih terdapat 2 (dua) faktor lagi yang menyebabkan kemunculan fenomena koalisi Megawati dan Hamzah Haz, yaitu: a) secara matematika dan citra politik, pilihan Megawati dan Hamzah Haz merupakan pilihan yang dianggap sedikit resikonya dibandingkan dengan apabila Wakil Presiden dari Partai Golongan Karya atau non-partai. Apabila mendukung terpilihnya Wakil Presiden dari Partai Golkar, kubu PDI Perjuangan akan berhadapan dengan dua hal sekaligus, yaitu kelompok politik Poros Tengah yang merupakan representasi kelompok Islam (minus NU), dan arus masyarakat yang menuntut pembubaran Partai Golkar sebagai konsekuensi keterlibatannya secara intensif pada masa Orde Baru. Megawati Soekarnoputri yang berkoalisi dengan kelompok Islam, apalagi Hamzah Haz yang berasal dari NU (meskipun K.H. Hasyim Muzadi tidak

mengakui eksistensi ke-NU-an Hamzah Haz) diharapkan goncangan politik-ideologi

bisa diantisipasi sedemikian mungkin. Hal ini bisa dibuktikan dengan pemerintahan

Kabinet Gotong Royong bisa berakhir pada masanya yaitu tahun 2004. b) PDI

Perjuangan tidak melihat keuntungan politik apabila menempatkan calon non partai

apalagi dari kalangan militer (M. Alfan Alfian M., 2001: 4).

Partai-partai Islam yang lain seperti Partai Keadilan dan Partai Kebangkitan

Bangsa misalnya, pada saat masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid (1999-2001)

Partai Keadilan bergabung dalam pemerintahan koalisi poros tengah. Partai Keadilan

pada saat Kabinet Abdurrahman Wahid menempatkan presidennya saat itu,

Nurmahmudi Ismail, menjadi Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun).

Akan tetapi, keikutsertaan Partai Keadilan dalam pemerintahan koalisi poros tengah

hanya berlangsung singkat. Pada tahun 2001-2004, ketika Megawati Soekarnoputri commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

104

menjadi Presiden, Partai Keadilan memutuskan untuk tidak bergabung dalam koalisi

pemerintah dan memilih menjadi oposisi di parlemen (Khairul Ikhwan, 2012 diunduh

di detiknews.com). Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga menjadi oposisi ketika

Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang

pada masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid cukup mendominasi di parlemen, akan tetapi belum sampai dua tahun berkuasa Abdurrahman Wahid diberhentikan MPR dari jabatan kursi Presiden, dan PKB dipaksa menjadi kekuatan oposisi melalui DPR atas pemerintahan Megawati Soekarnoputri (Tempo, 2001: 62).

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. SIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah diuraiakan di atas, maka dapat diperoleh simpulan bahwa: 1. Pada masa kepemimpinan Presiden Habibie pemilu pertama pasca Orde Baru dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Undang-undang baru kemudian dikeluarkan untuk membangun kembali struktur partai politik, yaitu UU No.2 Tahun 1999 tentang partai politik dan UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Sejak UU No.2 Tahun 1999 diberlakukan, jumlah partai politik tidak dibatasi lagi dan Indonesia kembali ke sistem multipartai, sehingga hal ini yang menyebabkan banyak partai politik bermunculan tak terkecuali partai-partai Islam. Pemilu 1999 bisa disebut sebagai bangkitnya partai-partai politik Islam. Hasil yang dicapai partai-partai Islam dalam Pemilu 1999 tidak ada yang mendapat suara terbanyak sehingga harus ada koalisi.

Tanpa koalisi sulit rasanya kekuatan politik itu menghasilkan suara mayoritas,

dengan demikian berhak mengambil inisiatif membentuk pemerintahan.

2. Tujuan Koalisi Partai Islam di Indonesia Tahun 1999 adalah karena dalam

Pemilihan Presiden dan wakil presiden 1999 menggunakan alternatif yang mana

seorang Presiden harus mengantongi suara dukungan MPR minimal 50 % lebih

satu dari MPR maka proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden harus melalui

proses koalisi. Sehingga partai pemenang pemilu 1999 yaitu PDI Perjuangan tidak

memperoleh suara 50% lebih satu sehingga harus melalui proses koalisi. Alternatif

koalisi karena tidak adanya partai yang menjadi pemenang mutlak dalam pemilu

1999 menyebabkan partai-partai Islam memiliki kesempatan untuk mengambil

inisiatif dalam membentuk pemerintahan dengan menyalurkan aspirasi-aspirasi

105 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

106

politik yang dimiliki sehingga terbentuk Koalisi Poros Tengah. Tujuan Koalisi

Poros Tengah ini adalah untuk mengimbangi dua kekuatan besar yang saling

serang yaitu antara kubu pendukung Megawati Soekarnoputri dan kubu

pendukung B.J. Habibie.

3. Perkembangan Koalisi Partai Islam dalam Perpolitikan di Indonesia Tahun 1999- 2004 dimulai dari gagasan awal pembentukan Poros Tengah yaitu meredakan ketegangan publik, menyusul semakin meruncingnya persaingan antara kubu Habibie dengan kubu Megawati, kemudian memuluskan Sidang Umum MPR dan meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik pasca Sidang Umum MPR. Koalisi Poros Tengah bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden keempat Indonesia periode 1999-2004 didampingi Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden Indonesia periode 1999 – 2004. Abdurrahman Wahid membentuk Kabinet Persatuan Nasional, yang mana dalam Kabinet Persatuan Nasional adalah kabinet koalisi yang merangkul semua unsur kekuatan politik karena semua wakil partai masuk dalam Kabinet, sehingga dalam kabinet tidak terdapat oposisi untuk menyeimbangkan pemerintahan yang ada pada saat itu. Dalam waktu yang relatif singkat telah tejadi berbagai masalah

yang mengancam keutuhan koalisi besar tersebut, bahkan koalisi Poros Tengah

yang merupakan penyokong terbesar Abdurrahman Wahid sebagai Presiden tidak

membela Abdurrahman Wahid bahkan menjatuhkan Abdurrahman Wahid karena

Abdurrahman Wahid sehingga kemudian diturunkan dari kursi kepresidenan pada

tahun 2001 sebelum menyelesaikan masa jabatan kepresidenan hingga tahun 2004.

Kedudukan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden kemudian digantikan

oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Hamzah Haz yang didukung oleh

kubu Islam atau koalisi Islam menjadi wakil Megawati. Duet Megawati dan

Hamzah Haz menjadi suatu hal yang menarik. Megawati dan Hamzah Haz berbeda

satu sama lain dalam hal ideologi. Megawati adalah ketua Umum PDI Perjuangan

jelas merupakan representasi dari Kubu Nasionalis, Hamzah Haz dari PPP berasal

dari Kubu Islam. Perbedaan ideologis dalam politik dapat disatukan dalam bingkai commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

107

perkawanan dalam mengelola pemerintahan atau berkoalisi kepentingan politik

yang mendesak. Kasus terbentuknya koalisi politik Megawati dan Hamzah Haz

berarti dalam hal ini Partai Islam berkoalisi dengan Partai Nasionalis-Sekuler

merupakan contoh nyata yang menegaskan akan hal koalisi.

B. IMPLIKASI 1. Implikasi Teoritis Implikasi dari penelitian ini adalah pada masalah politik. Sistem politik Indonesia menggunakan sistem multipartai yang didukung dengan sistem pemerintahan Presidensial. Sistem politik multipartai di Indonesia dengan banyaknya partai politik di Indonesia yang kembali diberlakukan pada pemilu 1999, sehingga banyak bermunculan partai-partai politik yang baru dengan ideologi masing-masing atau mempunyai platform yang berbeda-beda dari masing-masing partai politik. Hal ini dimanfaatkan oleh beberapa kalangan Islam untuk mendirikan partai politik untuk menyalurkan aspirasi politik dari partai-partai tersebut. Sistem politik multipartai di Indonesia dengan banyaknya partai politik di Indonesia yang kembali diberlakukan pada pemilu 1999, menyebabkan tidak ada satu pun partai yang memperoleh suara

mayoritas atau suara 50% lebih satu dari hasil pemilu 1999. Sehingga untuk dapat

mengambil inisiatif membentuk pemerintahan dalam pemilihan Presiden 1999 harus

melakukan koalisi politik.

Koalisi Poros Tengah dari partai-partai Islam dengan platform atau aliran

(politik aliran) yang berbeda yaitu dari PKB dan PBB (Tradisionalis), PAN dan PKS

(Modernis), serta partai-partai Islam yang lain dapat direalisasikan dan dapat

mengantarkan Abdurrahman Wahid menjadi Presiden Indonesia keempat.

Keberhasilan koalisi partai-partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah yang

sebelumnya dapat memilih Amien Rais sebagai ketua MPR RI dan berhasil

memenagkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden kemudian berkembang dalam

sistem pemerintahan. Koalisi ini turut serta dalam segala aktifitas dalam sistem

pemerintahan, bahkan koalisi ini pula yang bisa memberhentikan presiden commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

108

Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan hingga Megawati Soekarnoputri

menjadi Presiden menggantikan Abdurrahman Wahid, koalisi partai-partai Islam

tetap mendukung sistem pemerintahan yang ada.

2. Implikasi Praktis Implikasi Praktis dari hasil penelitian ini yaitu bahwa perbedaan platform politik suatu partai mempengaruhi hubungan antara satu partai dengan partai yang lain, terutama untuk mencapai suatu hubungan koalisi dalam suatu sistem pemerintahan. Hubungan koalisi dalam sistem pemerintahan lebih baik didasarkan pada platform politik yang sama sehingga lebih mudah untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai dalam suatu pemerintahan dengan kerjasama yang baik. Sistem politik di Indonesia setelah Orde Baru beralih bersifat demokrasi yang terbuka dengan sistem multipartai, karena pada masa Orde Baru bersifat diktaktorisme. Sistem multipartai yang kembali diberlakukan di Indonesia setelah Orde Baru berakhir disambut dengan suka cita oleh beberapa tokoh politik yang hendak mendirikan suatu partai politik yang sesuai dengan platform yang menjadi landasan suatu partai politik. Sistem multipartai yang diberlakukan kembali kemudian menyababkan banyaknya partai

politik yang didirikan tak terkecuali dengan beberapa tokoh Islam yang mendirikan

partai politik yang bernafaskan Islam. Sebanyak 48 partai politik bertarung sebagai

peserta pemilu 1999. Banyaknya partai politik peserta pemilu 1999 menyebabkan

sulitnya untuk menghasilkan partai pemenang secara mutlak yaitu 50% lebih satu.

Pemilu 1999 yang dilakukan dua kali yang puncaknya adalah pada pemilihan

presiden oleh MPR. Oleh karena itu, partai politik perlu adanya suatu koalisi untuk

dapat meloloskan calon presiden ke kursi kepresidenan Indonesia. PDI Perjuangan

sebagai partai pemenang pemilu 1999 belum tentu bisa meloloskan calon presidennya

menjadi presiden karena suara PDI Perjuangan tidak mutlak, oleh karena itu PDI

Perjuangan juga perlu mengadakan koalisi dengan partai lain.

Koalisi partai politik banyak dicetuskan para tokoh politik setelah hasil

pemilu 1999 diumumkan. Partai-partai Islam memperoleh suara yang kecil, untuk commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

109

mewujudkan cita-cita memperoleh kursi di pemerintahan maka harus melakukan

koalisi. Partai-partai Islam berkoalisi dengan mengusung Abdurrahman Wahid dan

berhasil mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden, sementara Megawati

Soekarnoputri yang diusung partai pemenang pemilu yaitu PDI Perjuangan gagal

menjadi presiden. Pada dasarnya koalisi merupakan suatu kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Fenomena koalisi antar partai politik terus berlanjut di sistem pemerintahan yang dijalankan atau kabinet. Kabinet yang berlaku adalah kabinet koalisi yang dalam perkembangan selanjutnya kabinet koalisi dengan partai-partai Islam mengalami pasang surut. Implikasi praktis hasil penelitian terhadap pendidikan yaitu bagi elite politik, dapat meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan berpolitik. Elite politik harus terbuka dengan adanya sistem multipartai yang mengharuskan adanya suatu koalisi dalam pemerintahan, jika tidak berkoalisi dalam pemerintahan maka bisa juga berkoalisi sebagai oposisi untuk menyeimbangkan pemerintahan yang ada. Koalisi antar partai politik menjadi pembelajaran bagi elite politik supaya bisa menghargai suatu perbedaan yang ada dan bisa menjadi orang yang dapat dipercaya, sehingga tercipta budaya politik yang sehat dan bersih dan digunakan sebagai tolak ukur

berhasil tidaknya pelaksanaan demokrasi dalam kehidupan politik Indonesia. Bagi

pemerintah, koalisi politik dalam sistem pemerintahan di Indonesia harus dijaga agar

tetap solid meskipun terkadang terdapat perbedaan-perbedaan kecil yang

menghalangi, karena jika koalisi dalam pemerintahan maupun koalisi sebagai oposisi

pemerintah goyah maka pemerintahan yang ada akan tidak stabil. Oleh karena itu,

pemerintah harus dapat mengelola sistem pemerintahan yang ada dengan baik

sehingga tercapai stabilitas nasional dan kehidupan politik yang kondusif.

Bagi mahasiswa, dapat dipetik pelajaran dari koalisi partai di pemerintahan

yaitu dapat saling kerjasama antara satu dengan yang lain dalam kelompok dengan

suatu tujuan yang sama sehingga dalam mencapai suatu tujuan bersama diperlukan

sikap toleransi dan saling mendukung antara yang satu dengan yang lain. Adanya

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

110

kerjasama yang baik akan menghasilkan suatu hal yang baik pula, karena satu sama

lain saling menghargai dan mendukung.

C. SARAN

Dari hasil penelitian di atas, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut: 1. Bagi Pembaca Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk digunakan sebagai wacana dan sumber data dalam bidang sejarah, khususnya sejarah politik dan sebagai sumber ilmu pengetahuan guna menambah wawasan. 2. Bagi Peneliti Bagi peneliti yang tertarik terhadap perkembangan politik Indonesia tahun 1999-2004, masih banyak peristiwa yang berkaitan dengan koalisi politik yang kurang dipublikasikan, sehingga perlu diteliti lebih lanjut terutama masalah koalisi politik partai-partai sekuler. Peneliti harus mendalami data yang sudah ada dan mencari tahu lebih dalam melalui data yang didapat melalui surat kabar, majalah, jurnal, buku bacaan, dan lain sebagainya supaya dapat mengerjakan penelitian lebih

lanjut.

3. Partai Islam

Kepada pemimpin partai Islam dalam melakukan koalisi politik diantara

partai seharusnya melakukan koalisi secara permanen untuk tercapainya suatu

perkembangan sistem politik, birokrasi, dan sistem pemerintahan di Indonesia yang

lebih baik serta demi persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk.

commit to user