Vol. 22 No. 2, November 2019 P-ISSN 1410 – 3974 E-ISSN 2580 – 8907

BERKALA ARKEOLOGI

BATU NISAN LAMREH TIPE ‘PLANGPLENG’ ‘PLANGPLENG’ TYPE OF LAMREH THOMBSTONE Dedy Satria

PROSES PEMBENTUKAN DATA ARKEOLOGI PADA KAPAL KARAM PULAU NUSA, KEPULAUAN BAWEAN PROCESS OF ARCHAEOLOGICAL DATA FORMATION ON SHIPWRECK NUSA ISLAND, BAWEAN ARCHIPELAGO Mochammad Fauzi Hendrawan

AKTIVITAS PEMANFAATAN GUA DAN CERUK DI NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT ACTIVITIES OF THE UTILIZATION OF CAVE AND ROCK SHELTER IN NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT Nenggih Susilowati

MODIFIKASI TANAH DAN VARIASI FONDASI BANGUNAN MAIMUN, KOTA , PROVINSI SUMATERA UTARA ISTANA MAIMUN BUILDING FONDATION SOIL MODIFICATION AND VARIATION, MEDAN CITY, NORTH PROVINCE Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi

INTERAKSI ADAT DAN ISLAM DALAM BANGUNAN MASJID KUNO DI TANAH DATAR CUSTOMARY AND ISLAMIC INTERACTIONS IN ANCIENT MOSQUE BUILDING IN TANAH DATAR Syahrul Rahmat

BALAI ARKEOLOGI SUMATERA UTARA PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Medan, P-ISSN 1410 – 3974 BAS VOL. 22 NO. 2 Hal 65—135 November 2019 E-ISSN 2580 – 8907 Vol. 22 No. 2, November 2019 P-ISSN 1410 – 3974 E-ISSN 2580 – 8907

BERKALA ARKEOLOGI

Sangkhakala terdiri dari dua kata yaitu Sangkha dan Kala. Sangkha adalah sebutan dalam Bahasa Sansekerta untuk jenis kerang atau siput laut. Sangkha dalam mitologi Hindhu digunakan sebagai atribut dewa dalam sekte Siwa dan Wisnu. Sedangkan Kala berarti waktu, ketika atau masa. Jadi Sangkhakala merupakan alat dari kerang laut yang mengeluarkan suara sebagai tanda bahwa waktu telah tiba untuk memulai suatu tugas atau pekerjaan. Berkenaan dengan itu, BERKALA ARKEOLOGI SANGKHAKALA merupakan istilah yang dikiaskan sebagai terompet ilmuwan arkeologi dalam menyebarluaskan arti dan makna ilmu arkeologi sehingga dapat dinikmati oleh kalangan ilmuwan khususnya dan masyarakat luas umumnya. Selain itu juga merupakan wadah informasi bidang arkeologi yang ditujukan untuk memajukan arkeologi maupun kajian ilmu lain yang terkait. Muatannya adalah hasil penelitian, tinjauan arkeologi dan ilmu terkait. Dalam kaitannya dengan penyebarluasan informasi dimaksud, redaksi menerima sumbangan artikel dalam Bahasa maupun asing yang dianggap berguna bagi perkembangan ilmu arkeologi. Berkala Arkeologi ini diterbitkan dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Mei dan November.

Dewan Redaksi Ketua Redaksi : Andri Restiyadi, M.A. (Arkeologi Sejarah) Anggota Redaksi : Ery Soedewo, S.S., M.Hum. (Arkeologi Sejarah) Drs. Bambang Budi Utomo (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) Drs. Yance, M.Si. (Universitas Sumatera Utara) Redaksi Pelaksana : Nenggih Susilowati, S.S., M.I.Kom. (Arkeologi Prasejarah) Dyah Hidayati, S.S. (Arkeologi Prasejarah) Mitra Bestari : Prof. Dr. M. Dien Madjid, M.Ag. (UIN Syarif Hidayatullah) Prof. (Ris.). Dr.Truman Simanjuntak (Centre for Prehistoric and Audtronesia Studies) Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak (Universitas Negeri Medan) Dr. Titi Surti Nastiti (Pusat Arkeologi Nasional) Manajer Jurnal : Taufiqurrahman Setiawan, M.A. (Arkeologi Prasejarah) Penata Letak : Abdullah Imansyah Kesekretariatan : Ali Ma’ruf, S.E.

Alamat Redaksi/Penerbit: Balai Arkeologi Sumatera Utara Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi, Tanjung Selamat, Medan Tungtungan, Medan 20134 Telp. (061) 8224363, 8224365 E-mail: [email protected] Laman: www.sangkhakala.kemdikbud.go.id © Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2019

Vol. 22 No. 2, November 2019 P-ISSN 1410 – 3974 E-ISSN 2580 – 8907

BERKALA ARKEOLOGI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

Dedy Satria 65—80 BATU NISAN LAMREH TIPE ‘PLANGPLENG’ ‘PLANGPLENG’ TYPE OF LAMREH THOMBSTONE Mochammad Fauzi Hendrawan 81—95 PROSES PEMBENTUKAN DATA ARKEOLOGI PADA KAPAL KARAM PULAU NUSA, KEPULAUAN BAWEAN PROCESS OF ARCHAEOLOGICAL DATA FORMATION ON SHIPWRECK NUSA ISLAND, BAWEAN ARCHIPELAGO Nenggih Susilowati 96—110 AKTIVITAS PEMANFAATAN GUA DAN CERUK DI NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT ACTIVITIES OF THE UTILIZATION OF CAVE AND ROCK SHELTER IN NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi 111—121 MODIFIKASI TANAH DAN VARIASI FONDASI BANGUNAN ISTANA MAIMUN,KOTA MEDAN, PROVINSI SUMATERA UTARA ISTANA MAIMUN BUILDING FONDATION SOIL MODIFICATION AND VARIATION,MEDAN CITY, PROVINCE Syahrul Rahmat 122—135 INTERAKSI ADAT DAN ISLAM DALAM BANGUNAN MASJID KUNO DI TANAH DATAR CUSTOMARY AND ISLAMIC INTERACTIONS IN ANCIENT MOSQUE BUILDING IN TANAH DATAR

BERKALA ARKEOLOGI

P-ISSN 1410 - 3974 Terbit : November 2019 E-ISSN 2580 – 8907

Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh digandakan tanpa ijin dan biaya

DDC 959.8 cultural transform dan noncultural transform. Dari hasil sintesis dua analisis didapat kesimpulan pada awalnya Dedy Satria pembentukan data arkeologi dipengaruhi oleh noncultural (Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Aceh transform, tetapi selanjutnya karena lokasi yang dangkal Sumut) dan adanya aktivitas manusia karena nilai ekonomi BATUNISAN LAMREH TIPE ‘PLANGPLENG’ lingkungan dan kapal karam sendiri, maka faktor cultural Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 22 No. 2, transform turut ikut berperan. Hal. 65—80 (Mochammad Fauzi Hendrawan) Jenis batu nisan tipe plangpleng merupakan bentuk yang Kata kunci: Bawean; kapal karam; kapal uap; arkeologi sangat khas. Gaya seni pahat menjadi ciri utama jenis batu bawah air; transformasi nisan ini. Hal itu menjadikannya berbeda dengan batu nisan lainnya di Lamreh. Bentuk motif lokal maupun asing DDC 720.1 dari latar belakang kebudayaan dan sistem kepercayaan yang berbeda. Hal ini menjadi karakter yang Nenggih Susilowati mencerminkan satu masyarakat ‘campuran’ di awal (Balai Arkeologi Sumatera Utara) perkembangan Islam di Aceh Besar dan Banda Aceh. Batu nisan ini menjadi penanda yang sangat penting sebagai AKTIVITAS PEMANFAATAN GUA DAN CERUK DI NAGARI bukti awal kehadiran masyarakat Muslim di sepanjang SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT pesisir Aceh Besar dan Banda Aceh. Sebagai benda seni ia Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 22 No. 2, menjadi karya cipta manusia dari masa lampau, serta Hal. 96—110 menjadi bukti pencapaian perkembangan kebudayaan dalam suatu masyarakat kuno di Aceh Besar Lingkungan Nagari Situmbuk, Kecamatan Salimpaung, yang dikenal sebagai ‘masyarakat Lamuri’. Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat memiliki gua-gua dan ceruk-ceruk yang menarik secara alamiah, (Dedy Satria serta keberadaannya juga berkaitan dengan aktivitas Kata kunci: Nisan Plangpleng; Lamuri; arkeologi Islam; manusia masa lalu hingga masa kini. Gua dan ceruk yang Aceh terdapat di kawasan Situmbuk sebagian berkaitan dengan aktivitas manusia yang memanfaatkannya sebagai hunian sementara. Keberadaannya juga berkaitan dengan aktivitas DDC 959.801 manusia yang memanfaatkan lingkungan sekitarnya Mochammad Fauzi Hendrawan sebagai areal persawahan, perkebunan, dan hutan (Balai Arkeologi Sumatera Utara) tropisnya. Permasalahan yang diajukan adalah bagaimana bentuk aktivitas manusia berkaitan dengan pemanfaatan PROSES PEMBENTUKAN DATA ARKEOLOGI PADA KAPAL gua dan ceruk di Nagari Situmbuk di masa lalu ? Mengapa KARAM PULAU NUSA, KEPULAUAN BAWEAN terdapat perbedaan dalam pemanfaatan gua dan ceruk di Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 22 No. 2, sana ? Metode yang digunakan dalam penelitian adalah Hal. 81—95 kualitatif menggunakan alur penalaran induktif dengan melakukan pengamatan terhadap satuan maupun Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki data konteksnya. Gua dan ceruk yang memiliki indikasi arkeologi berupa kapal karam yang beragam dari berbagai dimanfaatkan orang-orang dengan budaya yang berbeda masa dan tipe kapal. Salah satu kapal karam yang adalah Ngalau Guong, Ngalau Tompok Syohiah I, dan ditemukan di Pulau Bawean adalah Kapal karam Pulau Ngalau Muaro. Pemanfaatan Ngalau Guong berkaitan Nusa, yang memiliki indikasi berasal dari abad ke-19 dengan kehidupan berburu dan perladangan sederhana karena komponen penggeraknya bertenaga uap. Pada saat sehingga masih memanfaatkan gua/ceruk di sana sebagai ditemukan oleh Balai Arkeologi pada 2016 hunian sementara. Ngalau Tompok Syohiah I berkaitan kondisi Kapal karam Pulau Nusa tidak dalam kondisi utuh, dengan perkembangan budaya Pra Islam (tradisi megalitik sebagian komponen sudah terfragmentasi dan tersebar. yang ditandai dengan keberadaan menhir dan kubur Selain itu sebagian besar fragmen tersebut sudah semu), Islam, hingga kini yang tersirat melalui simbol- terkonkresi dengan karang dan bagian bawahnya simbol pada dinding guanya. Tradisi yang berlangsung di tersedimentasi hingga terkubur di dasar laut. Penelitian ini gua itu juga berkaitan dengan aktivitas pertanian yang akan membahas proses apa yang melatarbelakangi kondisi telah dilaksanakan secara intens. Adapun Ngalau Muaro kapal karam menjadi seperti sekarang. Analisis yang berkaitan dengan aktivitas perkebunan yang berlangsung dipakai yaitu analisis lingkungan dan analisis kontekstual. pada sekitar abad ke- 18- 19. Kedua perangkat analisis tersebut dilakukan untuk (Nenggih Susilowati) menjawab proses pembentukan data arkeologi yang dibagi Kata kunci: aktivitas; berburu; tradisi megalitik; hunian; menjadi dua tahap, yaitu proses behavioral (pre- pertanian depositional) dan proses transformasi (depositional dan post-depositional). Selain itu juga mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap proses tersebut, yang berupa

DDC 959.8 Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi (Balai Arkeologi Sumatera Utara) MODIFIKASI TANAH DAN VARIASI FONDASI BANGUNAN ISTANA MAIMUN, KOTA MEDAN, PROVINSI SUMATERA UTARA Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 20 No. 2, Hal. 151—164

Istana Maimun merupakan salah satu bangunan cagar budaya ikonik di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Memiliki perpaduan gaya Melayu dan kolonial yang unik. Pokok bahasan dalam artikel ini berkaitan dengan fondasi bangunan Istana Maimun. Bagian fondasi memiliki peran yang krusial dalam sebuah bangunan, namun jarang dijadikan sebagai pokok bahasan penelitian. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini berkaitan dengan struktur, komposisi, dan fungsi dari fondasi. Tujuan dari penulisan artikel ini selain menjawab permasalahan juga diharapkan akan dapat menambah perbendaharaan arsitektural terutama mengenai gaya fondasi bangunan yang memiliki perpaduan dari gaya tradisional Melayu dan Kolonial. Melalui penelitian yang bersifat deskriptif-analitis, kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah fondasi bangunan terdapat tiga macam yang menyesuaikan dengan fungsinya menopang bangunan di atasnya yang terdiri dari satu, dua, dan tiga tingkat bangunan. (Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi) Kata kunci: istana maimun; fondasi bangunan; arkeologi islam; arsitektur

DDC 303.69 Syahrul Rahmat (STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau) INTERAKSI ADAT DAN ISLAM DALAM BANGUNAN MASJID KUNO DI TANAH DATAR Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November, Vol 19 No. 2, Hal.122—135

Sebagai salah satu bangunan tradisional di Minangkabau, masjid yang didirikan sebelum abad ke-20 memiliki keunikan dari segi bentuk bangunan. Tokoh-tokoh adat memiliki peranan besar dalam pendirian masjid, terutama di daerah Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Perwujudan adat sebagai salah satu kebudayaan masyarakat kemudian juga ikut mempengaruhi makna dari setiap bagian yang ada pada bangunan masjid. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada suatu masa tertentu, adat dan Islam memiliki interaksi yang cukup intens sehingga meninggalkan jejak pada arsitektur bangunan. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode penelitian sejarah ini melihat bagaimana interaksi adat dan agama dalam wujud bangunan masjid yang dibangun pada awal adab ke-18 dan awal abad ke-20. Bentuk-bentuk interaksi antara adat dengan agama Islam pada masjid-masjid tersebut ada dalam wujud fisik serta dalam wujud ide atau makna. (Syahrul Rahmat) Kata kunci: Islam; adat; bangunan; masjid kuno

BERKALA ARKEOLOGI

P-ISSN 1410 – 3974 Publish : November 2019 E-ISSN 2580 – 8907

The discriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

DDC 959.8 transform, but further because it is located in the shallow sea and the existence of human activity due to the Dedy Satria economic value of the environment and shipwreck itself, (Iakatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Aceh- the cultural transformation factor also contributes to the Sumut) role. ‘PLANGPLENG’ TYPE OF LAMREH THOMBSTONE (Mochammad Fauzi Hendrawan) Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November Vol 22 No.2, Keywords: Bawean; shipwreck; steamship; underwater page 101—115 archaeology; transformation

Plangpleng type tombstone is a very distinctive shape. Sculpture style is the main characteristic of this type of DDC 720.1 tombstone. That makes it different from other tombstones Nenggih Susilowati in Lamreh. Forms of local and foreign motifs from different (Balai Arkeologi Sumatera Utara) cultural backgrounds and belief systems. This is a character that reflects a 'mixed' society at the beginning of ACTIVITIES OF THE UTILIZATION OF CAVE AND ROCK the development of Islam in Aceh Besar and Banda Aceh. SHELTER IN NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - This tombstone is a very important marker as the initial SUMATERA BARAT evidence of the presence of Muslim communities along the Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November Vol 22 No.2, coast of Aceh Besar and Banda Aceh. As an art object, it page 135—150 has been a human work of the past, and is evidence of the culmination of the achievement of cultural development in Nagari Situmbuk, Salimpaung Subdistrict, Tanah Datar an ancient society in Aceh Besar known as the 'Lamuri District, West Sumatra Province has naturally interesting community’. caves and rock shelters, and their existence is also related (Dedy Satria) to past and present human activities. The caves and rock shelters in the Situmbuk area are partly related to human Keywords: Nisan Plangpleng; Lamuri; Islamic Archaeology; activities that use them as temporary dwellings.Its Aceh existence is also related to human activities that utilize the surrounding environment as rice fields, plantations and DDC 959.801 tropical forests. The problem raised is how is the form of Mochammad Fauzi Hendrawan human activity related to the use of caves and rock (Balai Arkeologi Sumatera Utara) shelters in Nagari Situmbuk in the past? Why is there a difference in the use of caves and rock shelters there? The PROCESS OF ARCHAEOLOGICAL DATA FORMATION ON method used in this research is qualitative using inductive SHIPWRECK NUSA ISLAND, BAWEAN ARCHIPELAGO reasoning flow by observing the unit and its context. The Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November Vol 22 No.2, caves and rock shelters which have indications of being page 116—134 used by people with different cultures are Ngalau Guong, Ngalau Tompok Syohiah I, and Ngalau Muaro. The use of Indonesian archipelago holds considerably amount of Ngalau Guong is related to hunting life and simple farming archaeological data includes shipwreck that vary from so that it still utilizes caves / rock shelters there as various periods and types. In Bawean Island, a shipwreck temporary dwellings. Ngalau Tompok Syohiah I is related with steamer component indicated from the 19th century to the development of Pre-Islamic culture (megalithic named Pulau Nusa was found. In 2016, Pulau Nusa tradition which is marked by the presence of menhirs and shipwreck was found by Balai Arkeologi Yogyakarta in a pseudo graves), Islam, until now which is implied through fragmentary shape with scattered components. Numbers symbols on the walls of the cave. The tradition that takes of scattered components has concreted with coral and the place in the cave is also related to agricultural activities bottom part has gone through sedimentation thus buried in that have been carried out intensely. Then Ngalau Muaro, sea floor. This research focused on the underlying process this relates to plantation activities that took place around behind the current condition of Pulau Nusa shipwreck. the 18th century to the 19th. Conducted as an explorative research with inductive (Nenggih Susilowati) reasoning, this research used two main method of analysis, Keywords: activity; hunting; megalithic traditions; shelter; i.e environmental and contextual analysis. These two agriculture method of analysis are used to answer the data formation process which divided into two steps, behavioral process DDC 959.8 (pre-depositional) and transformation process (depositional and post-depositional) along with cultural and noncultural Stanov Purnawibowo and Andri Restiyadi factors that have impact on those process. From the (Balai Arkeologi Sumatera Utara) synthesis of two analyses came the conclusion at first the formation of archaeological data influenced by Noncultural

ISTANA MAIMUN BUILDING FONDATION SOIL MODIFICATION AND VARIATION, MEDAN CITY, NORTH SUMATERA PROVINCE Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November Vol 22 No.2, page 151—164

Maimun is one of the iconic cultural heritage buildings in Medan City, North Sumatra Province. It has a unique blend of Malay and colonial styles. The subject in this article deals with the building foundations of the Maimun Palace. The foundation part has a crucial role in a building, but it is rarely used as a research topic. The issues raised in this paper relate to the structure, composition, and function of the foundation. The purpose of writing this article besides answering the problem is also expected to be able to increase architectural treasury, especially regarding the style of building foundations that have a blend of traditional Malay and Colonial styles. Through descriptive-analytical research, the conclusion obtained from this study is that there are three kinds of building foundations that adjust to the function of supporting the buildings above which consist of one, two and three levels of the building. (Stanov Purnawibowo and Andri Restiyadi) Keywords: Istana Maimun; building foundation; Islamic archeology, architecture

DDC 303.69 Syahrul Rahmat (STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau) CUSTOMARY AND ISLAMIC INTERACTIONS IN ANCIENT MOSQUE BUILDING IN TANAH DATAR Berkala Arkeologi SANGKHAKALA, November Vol 22 No.2, page 165—180

As one of the traditional buildings in Minangkabau, the mosque built before the 20th century is unique in term of the building shape. Customary leaders have a major role in the mosque construction, especially in Tanah Datar District, West Sumatra. The customary embodiment as community's culture also influences the meaning of every part of the mosque building. This indicates that at a certain time, customs and Islam had a quite intense interaction to leave a mark on the building architecture. The research conducted using a historical research method. This research aimed to discover the interaction of custom and religion in term of mosque building built in the early of 18th and 20th century. The interaction between custom and Islam are analyzed in form of physical, meaning, and idea. (Syahrul Rahmat) Keywords: Islam; custom; building; ancient mosque

KATA PENGANTAR

Pada bulan November 2019 Balai Arkeologi Sumatera Utara menerbitkan Berkala Arkeologi Sangkakala Volume 22 Nomor 2. Materi yang diterbitkan ini meliputi kajian arkeologi prasejarah, arkeologi maritim, arkeologi Islam-Kolonial, sejarah, dan epigrafi Artikel pertama diawali tulisan Dedy Satria yang berjudul Batu Nisan Lamreh Tipe Plangpleng. Bentuk motif lokal maupun asing dari latar belakang kebudayaan dan sistem kepercayaan yang berbeda menjadi cermin satu masyarakat campuran di awal perkembangan Islam di Aceh Besar dan Banda Aceh. Batu nisan ini menjadi penanda yang sangat penting sebagai bukti awal kehadiran masyarakat muslim di sepanjang pesisir Aceh Besar dan Banda Aceh. Artikel kedua ditulis oleh Mochammad Fauzi Hendrawan dengan judul Proses Pembentukan Data Arkeologi pada Kapal Karam di Pulau Nusa Kepulauan Bawean. Pada artikel tersebut Hendrawan membahas mengenai proses yang melatarbelakangi kondisi salah satu kapal karam di Pulau Nusa Kepulauan Bawean hingga terdeposit seperti sekarang. Analisis yang dipakai yaitu analisis lingkungan dan analisis kontekstual. Artikel ketiga berjudul “Aktivitas “Pemanfaatan Gua dan Ceruk di Nagari Situmbuk, Tanah Datar- Sumatera Barat” ditulis oleh Nenggih Susilowati. Gua dan ceruk yang terdapat di kawasan Situmbuk sebagian berkaitan dengan aktivitas manusia yang memanfaatkannya sebagai hunian serta memanfaatkan lingkungan sekitarnya sebagai areal persawahan perkebunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gua dan ceruk ini memiliki indikasi dimanfaatkan orang- orang dengan budaya yang berbeda pada abad ke 18-19 M. Artikel selanjutnya berjudul Modifikasi Tanah dan Variasi Pondasi Bangunan Istana Maimun, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara ditulis oleh Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi. Melalui penelitian yang bersifat deskriptif analitis, kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah terdapat tiga macam pondasi bangunan Istana Maimun yang menyesuaikan dengan fungsinya untuk menopang bangunan di atasnya terdiri dari 3 tingkat bangunan. Artikel terakhir berjudul “Interaksi Adat dan Islam dalam Bangunan Masjid Kuno di Tanah Datar” yang ditulis oleh Syahrul Rahmat. Menurut Rahmat, perwujudan adat sebagai salah satu kebudayaan masyarakat, ikut mempengaruhi makna dari setiap bagian yang ada pada bangunan masjid kuno di Tanah Datar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa suatu masa tertentu, adat dan Islam memiliki interaksi yang cukup intens sehingga meninggalkan jejak pada arsitektur bangunan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian sejarah. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada para mitra bestari yaitu Prof. Dr. M. Dien Majid (UIN Syarif Hidayatullah), Prof. (Ris). Dr. Truman Simanjuntak (Centre for Prehistoric and Austronesian Studies), Dr. Titi Surti Nastiti (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), dan Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak (Universitas Negeri Medan) sebagai mitra bestari; Bambang Drs. Budi Oetomo (Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia), dan Drs. Yance, M.Si. (Universitas Sumatera Utara) sebagai editor tamu yang telah berkontribusi dalam melakukan penelaahan artikel dalam penyusunan sangkakala berkala arkeologi ini sehingga menjadi karya ilmiah yang lebih baik.Demikian disampaikan sebagai pengantar, semoga karya ilmiah dalam Berkala Arkeologi Sangkakala ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang sejarah budaya di sumatera bagian utara. Kritik dan saran dapat dikirimkan melalui surat elektronik ke alamat [email protected].

Medan, November 2019 Dewan Redaksi

https://sangkhakala.kemdikbud.go.id/ Berkala Arkeologi Vol. 22 No. 2 2019, 65-80 P-ISSN: 1410-3974; E-ISSN: 2580-8907 SANGKHAKALA 10.24832/bas.v22i1.407

BATU NISAN LAMREH TIPE ‘PLANGPLENG’

‘PLANGPLENG’ TYPE OF LAMREH THOMBSTONE

Naskah diterima: Revisi terakhir: Naskah disetujui terbit: 15-05-2019 13-07-2019 07-08-2019

Dedy Satria Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Aceh-Sumut [email protected]

Abstract Plangpleng type tombstone is a very distinctive shape. Sculpture style is the main characteristic of this type of tombstone. That makes it different from other tombstones in Lamreh. Forms of local and foreign motifs from different cultural backgrounds and belief systems. This is a character that reflects a 'mixed' society at the beginning of the development of Islam in Aceh Besar and Banda Aceh. This tombstone is a very important marker as the initial evidence of the presence of Muslim communities along the coast of Aceh Besar and Banda Aceh. As an art object, it has been a human work of the past, and is evidence of the culmination of the achievement of cultural development in an ancient society in Aceh Besar known as the 'Lamuri community’.

Keywords: Nisan Plangpleng; Lamuri; Islamic Archaeology; Aceh

Abstrak Jenis batu nisan tipe plangpleng merupakan bentuk yang sangat khas. Gaya seni pahat menjadi ciri utama jenis batu nisan ini. Hal itu menjadikannya berbeda dengan batu nisan lainnya di Lamreh. Bentuk motif lokal maupun asing dari latar belakang kebudayaan dan sistem kepercayaan yang berbeda. Hal ini menjadi karakter yang mencerminkan satu masyarakat ‘campuran’ di awal perkembangan Islam di Aceh Besar dan Banda Aceh. Batu nisan ini menjadi penanda yang sangat penting sebagai bukti awal kehadiran masyarakat Muslim di sepanjang pesisir Aceh Besar dan Banda Aceh. Sebagai benda seni ia menjadi karya cipta manusia dari masa lampau, serta menjadi bukti puncak pencapaian perkembangan kebudayaan dalam suatu masyarakat kuno di Aceh Besar yang dikenal sebagai ‘masyarakat Lamuri’.

Kata Kunci: Nisan Plangpleng; Lamuri; arkeologi Islam; Aceh PENDAHULUAN masyarakat (MAPESA Banda Aceh dan CISAH Aceh Utara – Lhok Seumawe). Secara kuantitas batu nisan yang Sementara penelitian lain juga dilakukan ditemukan di Bukit Lamreh – Ujong Bate berupa Kajian Zonasi Kawasan Lamreh Kapal adalah data arkeologis terbanyak Tahun 2016 yang dilaksanakan oleh Dinas yang ditemukan di situs ini. Lokasi berada Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi di Kampung Lamreh, Kecamatan (Mukim) Aceh. Data ini juga perlu ditambahkan Mesjid Raya, Aceh Besar dengan titik dengan belasan batu nisan yang koordinat lintang 5° 35’ – 5° 36’ dan bujur diamankan dan menjadi koleksi Museum timur 95° 31’ – 95° 32’. Lebih dari 200 Aceh, Balai Pelestarian Cagar Budaya buah batu nisan yang telah berhasil (BPCB) Aceh, dan peneliti secara individu dikumpulkan dalam survei dan pemetaan atau kerjasama lembaga swadaya batu nisan di situs/tapak Lamreh. Hal ini masyarakat (MAPESA Banda Aceh dan diperoleh dari penelitian kerjasama tahun CISAH Aceh Utara – Lhok Seumawe). 2014 antara Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dengan Universitas Sumatera Berdasarkan hasil kedua kajian Utara Medan dan University Saint of tersebut diketahui hanya 100 buah batu Malaysia (USM), serta melibatkan peneliti nisan yang ditemukan dalam keadaan utuh arkeologi Aceh dan lembaga swadaya dan masih pada lokasi awalnya, walaupun

Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ 65 (Dedy Satria)

sebagian besar telah tercabut dari tanah Kampung Pande, Banda Aceh. Namun ia atau rebah di lokasi makam awalnya. tidak membicarakannya lebih mendalam Lebih dari 100 buah batu nisan lainnya dalam kajiannya (Yatim and Nasir 1990). berupa pecahan yang berserakan dan Sebenarnya batu nisan ini juga ditemukan tidak diketahui lagi lokasi asalnya. Jumlah di kawasan Lembah Sungai Aceh dan seluruh batu nisan tersebut kurang dari sekitas pesisir Banda Aceh, seperti setengahnya mengandung inskripsi. Kampung Ilie, Lamteh, Pango, Neusu, dan Setengah dari inskripsi tersebut menyebut kampung terdekat di Kuala Aceh (Yatim nama atau gelar tokoh dan keterangan and Nasir 1990, 23; Satria 2014, 1–48; tahun kematiannya. Sebagian lainnya 2016, 1–27). berupa batu nisan polos atau mengandung Fase baru dalam penelitian dan berbagai ragam bentuk motif dengan gaya pengkajian batu nisan di Aceh khususnya yang khas. untuk jenis batu nisan tipe plangpleng Melalui batu nisan berinskripsi mulai dilakukan oleh Suwedi Montana inilah dapat digambarkan dengan sangat dengan merinci bentuk batu nisan itu terbatas keadaan masa lampau di Bukit sebagai jenis batu nisan berbentuk Lamreh, Ujong Bate Kapal ini. Khususnya piramidal. Tipe batu nisan ini berdasarkan pengamatan terhadap perkembangan seni teks inskripsi yang dipahatkan pada batu pahat batu nisan dapat diikuti secara nisan telah dibuat paling awal pada abad seksama dengan penyusunan tipologi ke-13 M. dan abad ke-14 M. hingga abad berdasarkan gaya bentuk batu nisan ke-15 M (Montana 1997, 85–95). Cloude secara kronologis setidaknya dapat Guillot dan Ludvic Kalus yang melanjutkan disusun dengan lebih rinci dan akurat. pengkajian batu nisan berbentuk piramidal ini mempertanyakan sistem kronologis Jenis batu nisan ini merupakan batu nisan yang disusun oleh Suwedi salah satu dari banyak jenis batu nisan di Montana. Namun hasil kajian epigarafis Aceh yang cukup bervariasi dalam hal membuktikan bahwa jenis batu nisan ini bentuk dan gaya seni pahatnya. Studi batu dibuat paling awal pada pertengahan akhir nisan di Aceh telah dilakukan dengan abad ke-14 M. dan sepanjang abad ke-15 sangat rinci oleh Hasan M. Ambary (1996) M (Guillot 2008, 326–36). dan Othman M. Yatim (1988). Hasan M. Ambary mengelompokkan batu nisan di Suprayitno (2011, 125–27) yang Aceh dalam salah satu jenis tipe batu memperkaya kajian tentang batu nisan nisan dalam sistem tipologi batu nisan dari kawasan Bukit Lamreh berhasil Muslim di Nusantara dan membedakan membaca teks inskripsi dari sebuah batu jenis-jenis batu nisan dari periode nisan berangka tahun dari awal abad ke- Kesultanan Samudera – Pasai dan periode 11 M. Walau masih diragukan, namun Kesultanan Aceh, sementara Othman M. belum ada yang membantah kebenaran Yatim dengan lebih rinci mengelompokkan hasil pembacaan tersebut dalam kajian- tipe batu nisan Aceh dalam korpus ‘Batu kajian ilmiah. Lagipula jenis batu nisan Aceh’ dalam empat periode atau fase yang diamatinya bukan jenis batu nisan perkembangan dari periode Kesultanan tipe plangpleng yang menjadi objek utama Samudera – Pasai hingga periode akhir dalam penulisan ini. Kesultanan Aceh. Batu nisan tipe plangpleng Namun dari kajian kedua pakar merupakan salah satu jenis batu nisan di batu nisan di Aceh tersebut, tidak (belum) Lamreh. Hasil observasi menunjukkan menyentuh satu kelompok batu nisan yang bahwa gaya rancangan bentuk motif batu cukup khas dari Kawasan Bukit Lamreh nisan tipe plangpleng secara umum sama. yang cukup beragam dalam hal bentuk Namun bila diamati lebih teliti, sebenarnya dan jenis motifnya. Salah satu tipenya batu nisan ini cukup beragam dalam jenis dikenal sebagai batu nisan tipe bentuk motif hiasannya. Dengan demikian plangpleng. Othman M. Yatim sebenarnya sebagai benda budaya seni pahat batu menyebut jenis batu nisan tipe plangpleng dari jenis batu nisan ini mengalami (yang disebutnya sebagai plakpling) di perkembangan yang cukup berarti.

66 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80

Dalam observasi dikatahui ada kebudayaan dari luar, terutama dua kelompok batu nisan tipe plangpleng kebudayaan Islam. yang memiliki gaya rancangan bentuk Tulisan ini bertujuan untuk motif yang cukup mencolok dan memiliki mengenal dan memahami berbagai jenis perbedaan yang sangat berarti. bentuk motif serta gaya seni pahat pada Perubahan-perubahan bentuk motif batu nisan plangpleng. Perubahan bentuk melalui transformasi, baik lokal atau motif baik lokal maupun asing sehingga peminjaman dari luar (asing) menjadi menghasilkan bentuk-bentuk yang bersifat perhatian penting dalam pengamatan ini. baru, namun tetap bercorakkan warisan Berbagai jenis elemen bentuk motif yang kebudayaan Islam lokal yang mapan. digunakan pada masing-masing kelompok batu nisan mencerminkan latar belakang Batu nisan plangpleng sebagai budaya dan sistem kepercayaan yang warisan kebudayaan Islam diamati untuk berbeda. Hal itu terjadi pada saat awal memahami pembentukan awal masyarakat Islam masuk dan diterima sebagai sistem muslim di pesisir Aceh Besar dan Banda kepercayaan yang baru. Aceh yaitu sebagai masyarakat yang terbentuk melalui hubungan dan Kedua kelompok batu nisan tipe percampuran masyarakat lokal dengan plangpleng itu merupakan hasil pendatang (asing). Suatu kelompok perkembangan yang mengikuti waktu. masyarakat dengan perkembangan Secara kronologis perkembangan tersebut kebudayaan baru yang dilandasi oleh terjadi bersamaan dengan perkembangan hukum Islam. masyarakat pembuat dan penggunanya. Hal ini semua menjadi dasar dan tolok ukur untuk mamahami perkembangan METODE peradaban manusia penghuni lokasi ini di masa lampau. Data yang digunakan di sini yaitu data selektif berupa batu nisan dengan Batu nisan yang ada di kawasan jenis tertentu dengan kemiripan yang Bukit Lamreh ini telah diketahui sebagai relatif sama secara morfologis. Yaitu peninggalan dari masyarakat muslim awal meliputi rancangan bentuk batu nisan dan di pesisir Aceh Besar. Dengan demikian gaya bentuk motif, serta ragam tema motif perkembangan dan keberagaman gaya dan teks inskripsi dalam kaligrafi Islam. rancangan bentuk motif pada batu nisan Seperti telah disebut di atas, bentuk motif menjadi salah satu bahan untuk merupakan hal yang sangat menarik untuk mengetahui sejarah perkembangan dipahami dalam tulisan ini. Pengamatan kebudayaan. Yaitu suatu masyarakat yang ditujukan untuk melihat perubahan- telah menjadi mapan dalam segala aspek perubahan bentuk motif, baik lokal atau kehidupannya, khususnya dalam sistem peminjaman dari luar (asing), melalui kepercayaan (religi), sistem sosial-politik, perubahan bentuk (transformasi) sehingga seni, teknologi, dan ekonomi. menghasilkan bentuk baru yang bersifat Berbagai jenis bentuk motif serta ‘campuran’. Ini dilakukan untuk memahami gaya seni pahat pada batu nisan hubungan masyarakat lokal yang bukan plangpleng menjadi permasalahan yang Islam dengan para pendatang baik orang cukup menarik untuk diamati di sini. yang bukan Islam maupun orang Islami Pembentukan dan perubahan bentuk motif sendiri. baik lokal maupun asing menghasilkan Kaligrafi Islam sebagai hasil bentuk-bentuk yang bersifat baru. Warisan kebudayaan Islam yang khas dalam kebudayaan Islam ini tidak mungkin terjadi bentuk teks inskripsi juga perlu diamati di bila masyarakatnya tidak melakukan sini. Penyusunan sistem kronologis hubungan dengan masyarakat pendatang berdasarkan keterangan waktu kematian (asing). Dengan demikian bentuk motif dan tokoh-tokoh yang dimakamkan dapat gaya seni pahat yang berkembang juga membantu mengetahui dan memahami banyak dipengaruhi oleh pengaruh gaya rancangan bentuk motif pada batu

Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ 67 (Dedy Satria)

nisan tipe plangpleng yang mengalami ditemukan jenis batu nisan yang sering perkembangan dari waktu ke waktu. ditemukan di Aceh Utara dan Lhok Pengamatan pada jenis batuan Seumawe, yaitu tipe batu ‘Pasai’, dan jenis sebagai bahan baku juga menjadi ‘Batu Aceh’. perhatian di sini, walau pun dalam kesempatan ini dilakukan hanya sekilas. Persebaran Batu Nisan di Lamreh Khususnya terhadap karakter batuan Persebaran batu nisan di Lamreh dengan tekstur dan kekerasan tertentu. meliputi lokasi yang luas terutama pada Hal ini perlu dilakukan karena pemilihan bagian tepi Tanjung Ujong Bate Kapal, dari jenis batuan sebagai salah satu penentu Kuala Lubok di lingkungan Benteng – dan sangat mempengaruhi hasil dari bentuk rancangan dan hasil gaya seni Lubok sebagai lokasi II, punggung pukit pahat batu. dekat lereng terjal pada bukit sebelah timur – yaitu meliputi lokasi I atau teras

bukit I dengan struktur besar dan HASIL DAN PEMBAHASAN berhubungan dengan dua bukit kecil, teras Batu Nisan Tipe ‘Plangpleng’ bukit II sebagai lokasi III, teras bikit III di Lamreh sebagai lokasi IV - , Lhok Cut, hingga bukit Terminologi batu nisan utara di lingkungan Benteng – Kuta Inong plangpleng, juga dikenal dengan dialeg Bale sebagai lokasi V serta bukit barat berbeda sebagai ‘Plakpling’ atau dekat Teluk Krueng Raya sebagai lokasi ‘Pelakpling’. Berdasarkan fonologi berasal VI. dari bahasa Aceh ‘plangpleng’ yang berarti Batu nisan sebagai penanda belang-belang atau mengandung berbagai makam ditemukan dalam kelompok macam corak hiasan untuk jenis-jenis makam atau pemakaman bersama yang motif (Abu Bakar et al. 2001, 729). ditata saling berdekatan. Beberapa makam Penamaan ini sesuai dengan corak hiasan ditemukan di bagian punggung bukit yang dengan teknik pahat dalam (bas relief) relatif datar atau lereng bukit yang landai. yang menutupi seluruh permukaan tiang Lokasi pemakaman biasanya golongan balok batu (pilar) kerucut (piramidal) baik sosial tertentu, dilengkapi dengan struktur di keempat sisi maupun pada kempat dari bongkahan batu tanpa perekat semen sudut batu nisannya. Hasil seni pahat sebagai teras dan pembatas areal menghasilkan efek fisual bentuk yang pemakaman bersama dengan dua hingga sangat khas dengan garis-garis tebal dan tujuh makam atau lebih. dalam bahkan membentuk rongga yang Table 1. Enam lokasi pengamatan survei tembus. Ukuran jenis batu nisannya pun relatif hampir sama dengan tinggi Lokasi Nomor maksimal 87 cm, lebar 27 cm hingga 23 Teras di bukit timur, dengan struktur Lokasi 1 cm. besar dan berhubungan dengan dua bukit kecil, serta bagian lereng bukit Secara morfologis, batu nisan yang terjal tipe plangpleng sangat berbeda dengan Kuala Lubok di lingkungan Benteng- Lokasi 2 Kuta Lubok jenis dan tipe batu nisan Lamreh lainnya. Yaitu jenis tipe balok batu pilar – slap Teras II bukit timur, di bawah (sisi utara) Lokasi 3 teras II bukit timur dan berbatasan dengan mahkota kubah (doom) dan/atau dengan tebing stupa, tipe balok batu pilar – slap miniatur Teras III bukit timur, di bawah (sisi utara) Lokasi 4 kuil Hindu atau candi, dan tipe balok batu teras II bukit timur dan berbatasan slap dengan berbagai variasi lengkung dengan tebing untuk bagian puncaknya. Selain itu juga Bukit utara di lingkungan Benteng-Kuta Lokasi 5

68 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80

Inong Bale meliputi Lhok Cut, lembah inskripsi mengandung tahun kematian sempit almarhum yang berasal dari 398 Hijrah Bukit dekat Teluk Krueng Raya Lokasi 6 atau 1008 M., abad ke-5 Hijrah atau abad ke-11 M (Suprayitno 2011). Batu nisan ini, Nisan Berinskripsi batu nisan tipe slap (serupa tipe batu nisan Penulis bersama tim Muhammad ‘Pasai’) – dan bukan tipe plangpleng, Taqiyuddin, MAPESA Banda Aceh dan ditemukan dalam survei berada di lokasi I CISAH Lhok Seumawe – Aceh Utara dan melalui pembacaan ulang oleh sempat mengikuti perkembangan Taqiyuddin Muhammad diketahui batu penemuan kembali batu nisan di kawasan nisan tidak menyebut nama tokoh dan arkeologi Bukit Lamreh ini pada tahun berangka tahun 839 Hijrah atau 1439 M., 2012-2014. Batu nisan mengandung teks pertengahan awal abad ke-15 M. Saat ini inskripsi menjadi tujuan utama ekspedisi batu nisan dimaksud disimpan dalam mencari jejak Lamuri ini selain jenis-jenis labolatorium Jurusan Sejarah Pendidikan, atau keragaman temuan kepurbakalaan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, tempat ini. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Tujuan survei dan pengamatan Dalam survei ini juga ditemukan berangkat dari dan dititikberatkan untuk secara sporadis beberapa batu nisan mencari dan menemukan serta mengkaji dengan teks inskripsi yang dipahatkan kembali beberapa batu nisan dari Bukit pada batu nisan dan tanpa memberikan Lamreh yang telah dikaji dan catatan khusus terhadap keberagaman dipublikasikan secara luas oleh Suwedi bentuk batu nisan. Tipe batu nisan dengan Montana (1997), Cloude Guillot (2008), gaya seni pahat, meliputi rancangan dan Suprayitno (2011). Pertama, hasil bentuk batu nisan dan gaya bentuk motif pengamatan dan ditemukan kembali batu seni pahat batu nisan, serta gaya nisan dengan teks inskripsi memuat nama penulisan teks inskripsi atau kaligrafi Islam tokoh bergelar Sultan (?) yang memerintah (khat) tertentu, dicatat dengan sekilas dan pada transisi abad ke-13 M. tahun 680 belum dilakukan klasifikasi dengan Hijriah atau 1211 M. sebagai penguasa sistematis untuk menyusun tipologi yang Islam tertua di Sumatera dan Nusantara bersifat kronologis. Pahatan teks inskripsi (Montana 1997, 85–95). Batu nisan yang memuat nama tokoh dengan keterangan dimaksud tidak ditemukan dalam survei ini. waktu wafat sebagai sumber primer untuk penyusunan sejarah Aceh dari periode Kedua, hasil pengamatan dan sebelum Kesultanan Aceh Darussalam. ditemukan kembali batu nisan dengan teks

Table 2. Nama gelar tokoh dengan atau tanpa keterangan angka tahun (hasil pembacaan Muhammad Taquyuddin tahun 2012-2014)

No. Batu Nisan Penanggalan KELOMPOK I Hijrah Masehi 1. ‘Malik Syamsuddin’ Wafat 822 H 1419 M 2. ‘Malik Alawaddin’ Wafat 822 H 1419 M 3. ‘Amir Qara Khadijah’ Wafat 816 H 1419 M 4. Syaihk Zainuddin - - 5. ‘Sirajul Mulk - - 6. Abd adh dha’if Abd ar Rahim - - KELOMPOK II Hijrah Masehi 7. ‘Maulana Kadhi Sadr al Islam Isma’il’ Wafat 852 H 1449 M

Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ 69 (Dedy Satria)

8. ‘Sultan Muhammad bin Awaluddin’ Wafat 834 H 1431 M 9. ‘Malik Nizar bin Zaid’ Wafat 837 H 1434 M 10. ‘Malik Zaid’ Wafat 840 H 1437 M 11. ‘Malik Jawaduddin’ Wafat 842 H 1439 M 12. ‘Malik Zainal Abidin’ Wafat 845 H 1442 M 13. ‘Malik Muhammad Syah Wafat 848 H 1444 M 14. ‘Abd adhdha’if ’Nina Muhajirin’ - - 15. ‘Abd adh dha’if Mu’adz’ - - 16 Abd adh dha’if Muzhiruddin’ - - Melalui daftar di atas dapat sebagai raja mereka menjadi pejabat yang dipahami ada dua periodesasi atau dua mengurus berbagai urusan. Dengan kelompok batu nisan dalam sistem demikian jenis dan gaya seni pahat batu kronologis batu nisan Lamreh tipe nisan tipe plangpleng dibuat dan plangpleng. Pertama, kelompok batu nisan digunakan khusus untuk golongan (dewan) dari dekade kedua abad ke-15 M. yaitu istana sebagai bentuk formal penanda tahun 1414 dan 1419 M. dengan jumlah makam tokoh-tokoh kehormatan. pertanggalan yang masih jarang dengan Tema Bentuk Motif tiga batu nisan berangka tahun. Kedua, kelompok batu nisan dari pertengahan Jenis bentuk motif atau tema motif awal abad ke-15 M. meliputi tahun 1431 sebagai elemen hiasan pada batu nisan hingga 1449 M. dalam jumlah relatif lebih Lamreh tipe plangpleng cukup banyak dan banyak dengan enam di antaranya beragam. Tema motif jenis-jenis bunga berangka tahun. Dengan demikian dapat atau floral termasuk bentuk motif paling dipahami di sini dalam kurun waktu lebih sering muncul pada batu nisan tipe dari 60 tahun pada masa transisi akhir plangpleng. Khususnya, bunga teratai abad ke-14 M. hingga pertengahan awal dengan berbagai penggambarannya, abad ke-15 M, yaitu paling awal antara berkelopak lima serupa jari dan dengan tahun 1380-an M. hingga 1450 M., ada delapan kelopak yang berujung tajam atau dua generasi yang telah memeluk Islam kelopak lebar gaya pre-Gupta, India. dan menjadi penguasa Islam di tempat ini Bunga teratai merupakan suatu bentuk di masa lampau. Kedua generasi tersebut motif yang paling jelas menggambarkan merupakan anggota golongan atas dari adanya unsur gaya seni pahat India istana dunia Islam yang khas dalam sistem dengan latar belakang kepercayaan dan hukum – syariah Islam dengan lembaga budaya Hindu atau Buddha pada jenis kesultanan dan lembaga hukum syariah batu nisan ini. Tema motif bunga atau ‘Sadr al Islam’ atau ‘qadhi’. sulur, tanaman menjalar, sebenarnya cukup beragam, namun belum dapat Teks inskripsi menjelaskan dikenal dengan baik, tetapi nampaknya gelar-gelar kehormatan dalam dunia Islam berasal dari tema floral lokal yang banyak yang menunjukkan bukti adanya sistem jenisnya di tempat ini. Seperti bunga kenegaraan dengan dasar hukum syariah berkelopak empat berukuran kecil yang Islam yang mapan. Gelar sultan untuk penggambarannya serupa bunga melu jabatan penguasa tertinggi atau raja; gelar atau melati dan/atau bunga cendana. ‘qadhi sadr al Islam’ jelas sebagai seorang ulama fikih atau hukum Islam menjadi Suluran dengan tangkai lalu daun hakim dan penasehat penguasa dan atau bunga lebar dan berat sering masyarakat muslim; dan sekelompok ditemukan serangkai dengan pola orang bergelar ‘malik’ yang dalam tradisi anyaman tali berkembang untuk negara Islam merupakan gelar untuk para menggayakan bentuk lentera gantung. pejabat atau anggota dewan islana, Tema motif ini sangat dikenal dalam

70 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80

kesenian dunia Islam dan dikenal sebagai sebagai transformasi Shikara. Mungkin motif arabesque dalam pola anyaman sekali bentuk ‘kuil menara’ Hindu ini berkembang. Atau tema motif geometrik menjadi gagasan awal untuk rancangan pola bintang dan lentera gantung yang bentuk dasar dari batu nisan ini. Bila ini bentuknya digayakan dari pola anyaman benar, maka ini menjadi bukti lain berkembang sebagai ciri lain kesenian pengaruh kesenian Asia Selatan pada dunia Islam yang khas selain kaligrafi jenis batu nisan ini. Keempat sisi batu Islam untuk teks inskripsi. nisan dan bahkan pada keempat sudut batu nisan dipenuhi permukaannya Tema bentuk motif lain dan khas dengan berbagai tema bentuk motif. berupa penggayaan dari huruf S atau C Bentuk tema motif figur yang digayakan dengan ujung bergulung membentuk spiral bentuknya membentuk sosok wajah sering muncul dengan berbagai manusia, sebagai motif antropomorfik, penggambaran, biasanya ada sepasang walau tidak selalu ada, juga mengingatkan huruf yang ditata saling berlawanan. Tema pada bentuk motif kala yang dipahatkan bentuk motif ini cukup dikenal dalam pada bagian atas pintu atau relung dan kesenian kuno Asia Tenggara dan bagian atas kuil-kuil Hindu. kepulauan (Al-Faruqi and Al-Faruqi 2003, 411–13; Lambourn 2004, 211–48). Teknik pahat batu dengan teknik Beberapa monumen batu besar (megalitik) pahat dalam (bas relief), menghasilkan dan benda-benda dari perunggu gaya bentuk timbul dari garis-garis lebar dan Dongson dihias dengan tema motif berat yang dalam satu teknik pahat serupa tersebut. dengan yang digunakan untuk membuat patung. Teknik pahat dalam ini menjadi Bentuk motif ini merupakan satu bukti lain gaya seni pahat batu untuk relief petunjuk penting mengenai kehadiran timbul yang sudah mapan di kawasan Asia kesenian lokal atau Asia Tenggara dan Selatan, khususnya gaya seni pahat India kepulauan. Sepasang huruf S berlawanan Selatan atau dari kawasan Tamil Nadu. arah dengan teknik penggayaan atau Teknik pahat dangkal berupa goresan styler membentuk figur wajah manusia halus untuk rincian bentuk motif isi juga yang disamarkan dengan penggambaran ditemukan. Namun tema dan bentuk motif mata besar dan hidung besar, serta misai yang dihadirkan tetap sama. (kumis) lebar. Tema bentuk motif ini dikenal dengan motif antropomorfik hanya Perlu untuk disebutkan di sini, ditemukan untuk kelompok batu nisan dalam survei lepas yang dilakukan tahun Lamreh plangpleng. Walau belum dapat 2013 di lokasi II teras bukit II ditemukan dipastikan, awal kehadiran bentuk motif altar batu dengan hiasan singa yang antropomorfik merupakan penggambaran diketahui berasal dari tradisi seni pahat dari perwujudan figur ‘wajah leluhur’ (?). batu dari India Selatan Tamil. Gaya motif Namun ini menjadi bukti tradisi kesenian singa dalam panil dan goresan halus Asia Tenggara awal kehadirannya pada kelopak bunga teratai pada altar batu ini batu nisan ini. Figur lain seperti ‘manusia’ mirip dengan seni pahat kuil-kuil Hindu disusun secara vertikal (bertingkat) pada Tamil di kota Quanzhou Fujian dari abad bagian sudut batu nisan lain yang khas ke-13 M. (tulisan tentang ini dalam proses ditemukan dari tradisi megalitik. Motif ini penerbitan dalam Buletin Arabes, Balai menjadi satu bukti penting latar belakang Pelestarian Cagar Budaya Aceh tahun kebudayaan dan sistem kepercayaan 2019 (lihat Lee 2009, 279–80). Bukti ini masyarakat kuno di Aceh Besar dan menjadi satu-satunya yang Banda Aceh sebelum beralih menjadi menghubungkan gaya seni pahat Tamil Islam. pada batu nisan Lamreh tipe plangpleng. Bentuk batu nisan Lamreh tipe Bahan Baku Batuan plangpleng berupa miniatur tugu dengan Jenis bahan batuan yang bagian yang mengerucut mengingatkan digunakan cukup bervariasi dan secara pada bentuk ‘kuil menara’ Hindu bergaya umum berupa jenis batuan dentritik atau Dravidian yang dikenal dalam arsitektur

Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ 71 (Dedy Satria)

batuan sedimen dengan tekstur dan dan sempurna, walaupun tebal dan butiran halus dan seragam berwarna cerah terkesan berat. Pemahat dapat dengan dari kekuningan atau krem, kecoklatan lebih mudah membuat berbagai jenis hingga keabuan. Jenis lain bertekstur dan bentuk motif yang rumit. Seperti bentuk butiran kasar dan seragam berwarna gelap motif berbagai jenis bunga dan dedaunan keabuan. Kandungan batuan berupa tuffa atau floral, motif arabesque dengan pola atau debu gunung berapi yang anyam berkembang, lentera gantung, atau terendapkan sehingga kekerasan bentuk geometrik pola bintang, bahkan batuannya termasuk jenis batuan sedang untuk teks inskripsi dengan rincian bentuk dengan kekerasan 5 hingga 7 skala Mosh. yang rumit. Teknik pahat dalam atau bas Kedua jenis batuan ini lebih sering relief menghadirkan nuansa permukaan digunakan sebagai bahan baku batu nisan batu nisan yang tidak datar, berkontur dan dari pada jenis batuan lainnya. Khusus terkesan multi dimensi. untuk jenis batu nisan Lamreh tipe Sementara untuk jenis batuan plangpleng jenis batuan dentritik tekstur sedimen dentritik bertekstur kasar hal halus lebih dipilih sebagai bahan batuan tersebut tidak ditemukan, bentuk motif dari pada jenis batuan dentritik tekstur terkesan kurang lentur dengan garis-garis kasar. Jenis batuan lain berupa batuan pendek yang kaku, tebal dan berat, serta pasir metamorfik dengan tekstur dan dalam. Keahlian dan kemahiran pemahat butiran kasar seragam mengandung sangat terukur dari kedua jenis batuan kuarsa berwarna cerah dari kekuningan sedimen dentritik tersebut. Secara hingga kecoklatan. Bahan baku batuan kronologis, berdasarkan teks inskripsi lainnya yang juga digunakan yaitu jenis penggunaan kedua jenis bahan batuan batuan beku luar yang keras atau andesitik sedimen dentritik tersebut agaknya berwarna gelap abu-abu. Untuk dua jenis berlangsung dalam waktu yang batuan terakhir, jarang digunakan untuk bersamaan. Hanya saja jenis batuan bahan baku batu nisan karena termasuk dentritik halus lebih sering digunakan. jenis batuan keras dengan kekerasan lebih dari 6 hingga 7 skala Mosh. Tipologi dan Klasifikasi Batu nisan Lamreh Tipe Plangpleng Selain jenis-jenis batuan tersebut ada pula batu nisan yang dibuat Hasil pengamatan berdasarkan dengan bahan batuan tuffa yang lunak rancangan bentuk motif, gaya seni pahat berwarna cerah putih serta bertekstur dan batu, dan bahan batuan, batu nisan tipe butiran seragam dengan kekerasan kurang plangpleng dibedakan menjadi dua jenis. dari 5 Mosh. Jenis-jenis batuan tersebut Dengan demikian pengertian tipe di sini termasuk jenis batuan lokal yang dikenal lebih untuk membedakan gaya seni pahat sebagai formasi batuan Seulimum yang batu dan teknik pahat batu, serta jenis membentang dari timur hingga ke barat bahan batuan yang digunakan. Pantai Aceh Besar. Tipe Plangpleng I Keberagaman jenis bahan Bahan batuan menggunakan jenis batuan untuk bahan baku batu nisan batuan sedimen dentritik bertektur dan cukup menarik untuk diamati, karena tidak butiran kasar seragam menjadi ciri khas ada pembatasan dalam pemilihan jenis kelompok batu nisan Lamreh tipe dan mutu batu nisan. Walaupun demikian plangpleng I ini. Jenis bahan yang relatif untuk jenis batu nisan dentritik lebih sering keras tidak begitu mudah untuk digunakan. Tekstur batuan dentritik kasar menghasilkan gaya seni pahat batu nisan atau halus memberikan kesan yang yang rumit, gaya seni pahat bidang datar. berbeda dalam hasil gaya seni pahat batu. Rancangan bentuk motif terkesan Batuan bertekstur halus memungkinkan monoton dengan pengerjaan yang lebih pemahat untuk membentuk motif yang teliti dan lebih rumit hanya pada bagian lebih rinci dalam pengerjaan akhir. tertentu dari elemen motif, seperti Garis-garis lurus atau lengkungan kelopak bunga atau yang melengkung yang dihasilkan lebih bagus

72 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80

berlubang dan tembus pada keempat sudut batu nisan. Tema bentuk motif pada keempat sisi batu nisan berupa bunga teratai dengan lima kelopak yang kaku lalu diulangi bersusun tiga secara vertikal, serta hiasan panil berupa pola dua huruf ‘S’ berlawanan arah, serta gaya penulisan kaligrafi Islam khat naskhi. Teks inskripsi dipahatkan pada panil yang terbagi menjadi kolom-kolom, ini merupakan gaya penulisan yang sangat khas dan tidak ditemukan dalam gaya penulisan pada tipe plangpleng II. Penulisan teks dalam kolom- kolom mungkin sekali menjadi penanda kronologis untuk jenis-jenis batu nisan awal di Lamreh. Garis-garis tipis yang halus dengan ujung melebar dan lengkungan yang kurang lentur, terkesan kaku berlawanan dengan bentuk-bentuk Gambar 1. Jenis batu nisan tipe plangpleng I pada garis lentur pada kelompok batu nisan Makam ‘Malik Syamsu ad Din’ kolom panil II, wafat Lamreh tipe plangpleng II. 822 H (1419M) (Sumber: Deddy Satria, 2018) Ada dua contoh jenis batu nisan Tipe Plangpleng II tipe plangpleng I dalam keadaan utuh dan masih pada lokasi makam semula Bahan batuan menggunakan jenis walaupun telah tercabut dari makamnya. batuan sedimen dentritik bertektur dan Pertama batu nisan dengan teks inskripsi butiran halus seragam menjadi ciri khas menyebut nama atau gelar tokoh ‘Malik kelompok batu nisan Lamreh tipe Alawaddin’ wafat 822 Hijrah atau 1419 M plangpleng II ini. Karena jenis bahan yang dan kedua batu nisan makam ‘Malik relatif lebih mudah untuk dipahat Syamsuddin’ wafat 822 Hijrah atau 1419 M menghasilkan gaya seni pahat batu nisan (gambar 1). yang berbeda dan khas, tidak lagi gaya Dalam survei juga ditemukan dua seni pahat bidang datar, tetapi hasil tipe batu nisan sejenis, namun hanya pahatan dengan permukaan berkontur. berupa pecahan bagian dari batu nisan. Rancangan bentuk motif lebih bervariasi Rancangan bentuk motif, gaya kaligrafi dengan pengerjaan yang lebih teliti dan Islam, dan gaya seni pahat batu kedua lebih rumit. Garis-garis tebal yang berat batu nisan itu sama. Jenis batuan dentritik dengan lengkungan yang sangat lentur, bertekstur kasar merupakan jenis bahan tidak kaku, berlawanan dengan bentuk- baku yang jarang digunakan untuk batu bentuk garis kaku pada kelompok batu nisan Lamreh tipe plangpleng dan kedua nisan Lamreh tipe plangpleng I. batu nisan tersebut merupakan contoh Rancangan gaya bentuk motif yang masih dapat diamati dengan baik. seni pahat batu nisan Lamreh tipe Jarangnya penggunaan jenis tipe plangpleng II memiliki pola dan elemen plangpling I cukup mengherankan dan yang sama dengan batu nisan Lamreh tipe perlu dipertanyakan. Namun dari contoh plangpleng I. Bentuk motif disusun secara yang berhasil ditemukan penggunaannya struktural-vertikal (Tabel 4 dan Gambar 3). hanya untuk penanda makam tokoh Dari bawah, bagian kaki berupa bentuk golongan penguasa dari periode tertentu sederhana profil lotus atau kelopak bunga sangatlah memungkinkan. teratai, atau belah rotan – badan bawah/panil dengan panil besar untuk motif dan kaligrafi Islam (umumnya hanya

Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ 73 (Dedy Satria)

pada batu nisan bagian kepala makam) – hiasan badan bawah/ panil biasanya terdiri dari dua tema motif ‘S’ berhadapan berlawanan arah membentuk figur antropomorfik, atau tema motif huruf ‘C’ dengan berbagai posisi (namun bagian ini tidak selalu ada) – hiasan badan atas berupa pengulangan tema motif; bunga berkelopak empat dipadu pola anyaman, pola anyaman berkembang atau arabesque dan pola geometrik – pola bintang – bagian puncak dengan mahkota, bentuk kerucut. Struktur demikian menjadi karakter jenis/tipe batu nisan plangpleng yang khas. Sementara gaya penulisan kaligrafi Islam menggunakan khat naskhi merupakan ornamen yang khas gaya ‘Lamuri’. Garis-garis lengkung yang berat tapi sangat lentur serta garis vertikal pendek dengan ujung yang sedikit Gambar 2. Struktur batu nisan Plangpleng melengkung menjadi ciri khas khat naskhi (Sumber: Deddy Satria, 2018) gaya ‘Lamuri’.

Table 3. Skema Rancangan gaya bentuk motif seni pahat batu nisan Lamreh – ‘Plangpleng’ secara struktural- vertikal, berangka tahun 1430-1450 M.

Struktural – Vertikal Tema Bentuk Motif Puncak Mahkota Badan atas Pengulangan tema bentuk motif bunga teratai; bunga berkelopak empat dipadu pola anyaman dan tunas atau daun, pola anyaman berkembang atau arabesque, geometrik bintang, atau lentera gantung dengan penggayaan bentuk (styler).

Hiasan Tema bentuk motif dua huruf ‘S’ berhadapan berlawanan arah dengan badan bawah /panil ujung bergulung (spiral) membentuk figure antropomorfik, stilasi – mata besar ; hidung besar ; mulut ; misai (kumis). Atau dua bentuk huruf ‘C’ dalam berbagai posisi. Bagian ini tidak selalu ada.

Badan bawah/panil  Batu nisan bagian kepala makam; dengan teks inskripsi pendek. persegi empat Gaya kaligrafi Islam khan naskhi-ornamental; dengan garis tebal dan berat, serta diimbangi garis lengkungan yang berat namun lentur.  Batu nisan bagian kaki makam; bentuk motif dengan berbagai tema bentuk motif ; bunga besar berkelopak empat, pola anyanan – pola bintang atau arabesque geometrik. Kaki batu nisan Profil lotus atau belah rotan. Beberapa batu nisan memiliki biasanya berupa penggayaan figur rancangan motif secara vertikal yang makhluk serupa ‘manusia’ dengan kepala, dibatasi dengan garis pembatas pada badan, sepasang tangan dan kaki (gambar bagian-bagian sudut batu nisan. Namun 4). Figur disusun secara vertikal dengan pada rancangan motif yang lain garis-garis empat susunan pada keempat bagian pada bagian keempat sudut langsung sudut batu nisan. Gaya penggambaran berhubungan dengan tema motif lain yang figur ini mengingatkan pada gaya

74 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80

penggambaran yang khas pada monumen khususnya pada lokasi teras bukit II dari batu besar (megalitik). perbukitan tanjung ini. Kelompok batu nisan ini menjadi Rancancangan bentuk motif penanda periodisasi gaya batu nisan dari campuran merupakan karakter yang khas periode yang sama, antara 1430 hingga dari batu nisan Lamreh ini. Bentuk motif 1440 M Jenis plangpleng ini agaknya dari kesenian Hindu-Buddha terutama dibuat hanya untuk anggota golongan bunga atau kelopak teratai sangat istana/kesultanan. Dengan demikian, mendominasi empat sisi batu nisan. Pada tokoh-tokoh istana, mungkin anggota jenis batu nisan lain bahkan muncul dewan istana dengan gelar-gelar Arab; bentuk atap bertingkat gaya Dravidian atau qadhi, para malik dan sultan sebagai bentuk stupa dengan caitra atau payung pemimpin dewan istana. Tokoh lain bertingkat-tingkat. Sementara bentuk motif bergelar ‘Syaikh Zainuddin’ tokoh ulama dunia Islam yang sangat khas berupa pola lain yang kedudukannya nampaknya anyaman berkembang atau arabesque, cukup istimewa di masa hidupnya dalam geometrik pola bintang, atau lentera periode yang sama, namun jenis batu gantung, dan kaligrafi Islam dalam gaya nisannya dengan tipe ‘lengkung Persia’ penulisan (khat) naskhi dan naskhi slap, jenis batuan tuffa. Tokoh lain dengan ornamental gaya ‘Lamuri’ atau tughra penanda makam menggunakan jenis batu menjadi elemen lain yang sangat nisan yang sama yaitu ‘orang kaya’ muslim mencolok dan memberikan warna yang India bergelar ‘Nina Muhajirin’ (gambar 3). berbeda. Pada jenis batu nisan lain Lokasi persebaran kelompok batu nisan ini bahkan muncul bentuk kubah untuk bentuk relatif terbatas meliputi lokasi I di bukit bagian puncak batu nisan.. utama – teras bukit tertinggi hingga dan

B

A C E D Gambar 3. Jenis batu nisan tipe plangpleng II. A: Batu nisan Makam ‘Maulana Kadhi Sadar Islam Isma’il, wafat 852 H/ 1449 M; B: Motif antropomorfik pada batu nisan ‘Malik Muhammad Syah; C: Batunisan makam Malik muhammad Syah wafat 848 H/ 1444 M; D: Batu nisan makam Nina Muhajirin; E: Batu nisan makam malik Zainal abidin. (Sumber: Deddy Satria, 2018)

Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ 75 (Dedy Satria)

A B D E C Gambar 4. Jenis batu nisan tipe plangpleng II. A: Batu nisan makam Makam Nizar bin Zaid wafat 837 H/ 1434 M. Figur makhluk seperti manusia disusun secara vertikal (bertingkat) pada bagian sudut batu nisan. B-E: Batu nisan Lamreh tipe Plangpleng II tanpa inskripsi dari lokasi teras bukit II (Sumber: Deddy Satria, 2018) Table 4. Gaya seni pahat ‘campuran’ pada batu nisan Plangpleng

Bentuk motif bunga atau kelopak teratai. Gaya seni pahat dan kesenian Hindu- Bentuk atap bertingkat gaya Dravidian Buddha Asia Selatan Bentuk stupa dengan caitra atau payung bertingkat- tingkat.

 Bentuk motif pola anyaman berkembang atau Dunia Islam; gaya kesenian Arab-Persia arabesque, dan India-Persia Islam  Bentuk motif geometrik pola bintang,  Bentuk motif lampu gantung  Kaligrafi Islam; khat naskhi (ornamental) - tughra  Bentuk kubah – kerucut untuk bentuk bagian puncak batu nisan.

 Bentuk motif huruf ‘S’ atau ‘C’ dengan ujung  Tradisi–gaya kesenian bentuk motif bergulung (spiral) ; benda-benda logam Dongson, Asia  Figur wajah manusia yang disamarkan, bentuk motif Tenggara antropomorfik.  Tradisi-gaya kesenian megalitik Asia Tenggara Bentuk motif sederhana menggambarkan sosok figur wajah pengulangan pola huruf ‘S’ atau ‘C’ manusia yang bersahaja dan figur serupa dengan ujung bergulung (spiral) dan ‘manusia’ bersusun secara vertikal. seringkali menjelma (tramsformasi) Contoh tema bentuk motif menjadi figur yang menghadirkan ‘wajah antropomorfik dengan penggambaran manusia’ yang disamarkan, antropomorfik yang baik dengan mata besar, hidung (gambar 3). Pola sederhana tersebut besar, dan kumis (misai) lebat menutupi mengingatkan pada bentuk motif yang bibir serta ‘wajah manusia’ pada keempat diterakan pada benda-benda logam gaya sudut batu nisan (gambar 3). Gaya motif Dongson. Motif ini menjadi hiasan pada ini dapat diamati pada batu nisan tokoh monumen batu besar, megalitik Asia ‘Sultan Muhammad bin Alawaddin’ wafat Tenggara, khususnya cara

76 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80

834 Hijrah atau 1431 M., ‘Malik Nizar bin sebagai pembesar istana dan anggota Zaid’ wafat 837 Hijrah atau 1434 M., ‘Malik kehormatan dewan kerajaan. Mereka Muhammad Syah’ wafat 848 Hijrah atau berkedudukan yang dapat disamakan 1444 M. dan ‘Maulana Qadhi Syaikh dengan menteri atau pejabat yang Ismail’ wafat 852 Hijrah atau 1449 M. mengurus satu atau beberapa urusan Gejala ini tidak tampak dengan nyata pada yang berhubungan dengan mengatur periode sebelumnya, atau sebelum angka kehidupan masyarakat dan negara. tahun 1431 M. lalu tahun 1435 M. dan Kedudukan qadhi sebagai penegak hukum 1444 M. hingga 1449 M. Dengan demikian syariah Islam memiliki kedudukan berarti bahwa bentuk motif ini merupakan istimewa dan sekaligus sebagai penasehat gaya pengembangan baru yang belum sultan dan dewan kerajaan. dibuat sebelum masa itu. Bila hal ini benar. Tokoh lain bergelar Nina, ‘Nina Gaya pahatan yang kaku atau Hisyamuddin’, yaitu kelas ‘orang kaya’ lentur dengan garis-garis tebal dengan Muslim India yang kedudukannya teknik pahat dalam, atau poresan pahat biasanya sebagai anggota atau wakil dari datar dua teknik pahat yang sekilas perkumpulan pedagang Muslim India yang memiliki ciri yang sama dengan gaya mengurusi urusan perdagangan jarak jauh. pahat kuno yang berkembang di Tokoh lain yang dituliskan nama atau Nusantara pada jaman pertengahan. gelarnya pada batu nisan yaitu tokoh yang Bentuk batu nisan plangpleng dengan didepan namanya diberikan keterangan gaya miniatur kuil menara Hindu gaya sebagai ‘abd adh dha’if’ atau berarti Dravidian merupakan bukti yang sangat ‘hamba yang lemah’ untuk tokoh ‘Abd menguatkan dugaan pemahat batu nisan Allah’, ‘Mu’adz’ dan ‘Muzhiruddin’. Belum telah mengenal dengan baik kaidah seni dapat diketahui peran dan kedudukan pahat Asia Selatan (Lee 2009, 271–91). ketiganya. Namun demikian penulisannya Bentuk dan gaya serta kaidah seni pahat pada batu nisan sudah pasti sebagai batu nisan mungkin sekali dari kawasan penanda yang istimewa. Hal tersebut India bagian selatan. mengingat tidak semua batu nisan mengandung inskripsi dan dimakamkan Kehadiran masyarakat Hindu dalam lingkungan pemakaman pembesar Tamil dari kawansan India Selatan di istana. Lamuri, Aceh, sebenarnya telah terjadi cukup lama (Wolters 2011, 226). Sejak Sebagai penjelasan awal dapat peristiwa penyerangan armada Rajendra diajukan di sini keketiganya tentulah Choladewa I pada awal abad ke-11 M. berhubungan dengan penguasa tertinggi, hingga peneguhan kedudukan kelompok yaitu sultan. Seperti hamba-hamba atau pedagang Tamil Nadu pada abad ke-13 M. orang kepercayaan sultan yang (Subbarayalu 2009, 158–68; 2015, 158– menjalankan pekerjaan atau perintah 68), dengan demikian koloni ini telah khusus dari sultan, seperti, dapat mapan berkedudukan di Lamuri. Pengaruh disamakan dengan kedudukan ‘bujang kebudayaan Hindu Tamil dalam seni pahat dandan’ yang ditemukan dalam tradisi batu nisan tentunya sangat memungkinkan Melayu – Aceh masa Kesultanan Aceh terjadi. atau kesultanan Melayu lainnya di masa kemudian (Iskandar 1978, 97). Kelompok Berdasarkan teks inskripsi, orang ini sekaligus sebagai pengawal periode Lamreh 1430 M. hingga 1450 M. pribadi para sultan dan seringkali merupakan masa sangat stabil dalam digunakan sebagai mata-mata sultan bidang sosial-budaya, pemerintahan yang untuk tujuan kerahasiaan. Mereka sangat telah mapan dan teratur di tempat ini. dekat dengan kehidupan istana atau Seorang penguasa tertinggi bergelar dalam. Batu nisan ketiga tokoh tersebut sultan dengan ‘dewan istana’ tanpa mengandung angka tahun, namun beranggotakan seorang qadhi dan dari gaya seni pahat dan gaya bentuk beberapa orang pembesar bergelar malik. motif dapat dipastikan berasal dari periode Ada lima (5) orang tokoh bergelar malik yang sama. yang kedudukannya dapat disamakan

Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ 77 (Dedy Satria)

Generasi ini telah memerintah tahun dan banyak batu nisan polos atau dan menjabat paling awal sejak tahun bermotif lainnya yang serupa (lihat pula 1420 hingga 1450 M merupakan salah batu nisan makam ‘Sultan Muhammad satu generasi terbaik, selain satu generasi Syah’ di Kuta Lubok, Lamreh) yaitu, lain di atas mereka. Yaitu generasi paling bentuk batu nisan tipe balok batu pilar – awal dari periode tahun 1390 atau 1400 slap dengan puncak kubah (doom). hingga 1420 M, dipimpin oleh tokoh tak Kelompok batu nisan ini termasuk gaya dikenal dan pembesar istana bergelar dan bentuk awal jenis tipe batu nisan ‘Malik Alawaddin’ dan ‘Malik Syamsuddin’. Lamreh. Persebarannya cukup luas Generasi ini mungkin sekali memerintah di meliputi lokasi I di bukit utama – tertinggi Lamreh pada periode transisi abad ke-15 hingga teras III perbukitan ini, di atas Lhok M, tahun 1390-an M hingga 1420 M. Cut dan lokasi Benteng – Kuta Inong Balee). Dalam periode ini juga muncul tokoh pimpinan perempuan yang memiliki wibawa cukup besar bergelar ‘Amir Qara KESIMPULAN Khadijah’ diduga sebagai pimpinan (Arab; amir) perkampungan (Arab: qura; berarti Batu nisan Lamreh plangpleng kampung, sumber Taqiyuddin Muhammad merupakan salah satu jenis dari lima atau tahun 2012) di lingkungan istana. Dan enam tipe batu nisan Lamreh yang seorang pembesar istana lainnya bergelar memiliki kedudukan yang istimewa. Jenis ‘Sirajul Mulk’. Namun dalam periode ini batu nisan ini dibuat untuk menandakan belum ditemukan batu nisan yang (sebagai penanda) makam tokoh-tokoh mengandung teks inskripsi yang menyebut pembesar negeri dan istana. Para gelar tokoh penguasa tertinggi sebagai pimpinan masyarakat lokal – datu, ulama sultan. Di lokasi pengamatan utama dekat atau guru agama Islam, serta orang-orang puncak bukit kecil yang berdekatan kaya muslim (sebagai wakil (agen) dengan struktur besar ditemukan dua perkumpulan pedagang asing) juga makam dengan penanda batu nisan menggunakan batu nisan sejenis. Batu berukuran besar polos dan tidak nisan ini berdasarkan teks inskripsi dibuat mengandung teks inskripsi. Ini cukup sepanjang periode transisi abad ke-14 M. mengherankan dan sulit untuk dipahami, dan abad ke-15 M. serta sepanjang abad tentang kedudukan tokoh-tokoh yang ke-15 M. dimakamkan di sini. Walaupun ada Gaya dan bentuk seni pahat batu dugaan kedua tokoh tersebut pernah nisan Lamreh plangpleng sebagai memerintah sebagai penguasa di tempat ‘kesenian campuran’ pada seni pahat batu ini. nisan menjadi gambaran masyarakat Sementara batu nisan lain yang pembuat dan penggunanya. Yaitu dibuat berbeda dengan kedua kelompok masyarakat kota – pelabuhan dari batu nisan di atas mungkin sekali berasal berbagai bangsa baik lokal maupun asing, dari periode sebelum atau sesudah muslim, secara umum mungkin sekali periode ini. Terutama jenis-jenis atau tipe berasal dari Arab atau Persia serta Asia batu nisan yang lain termasuk jenis batu Selatan khususnya India Selatan atau nisan tipe plangpleng lain yang kawasan Tamil. pertanggalannya berasal dari sebelum Melalui uraian di atas dapat tahun 1430-an M. atau sebelum tahun dipahami tentang latar belakang dan 1420 M. Seperti gaya bentuk batu nisan perkembangan sejarah kebudayaan dan gaya seni pahat batu nisan pada masyarakat di masa lampau yang penanda makam ‘Amir Qara Khadijah, membuat dan menggunakan batu nisan wafat 816 Hijrah/1414 M.’ Gaya bentuk Lamreh plangpleng. Yaitu, berbagai batu nisan ini bukan jenis batu nisan bangsa dengan berbagai latar belakang Lamreh tipe plangpleng. Jenis batu budaya dan kepercayaannya telah nisannya dapat dibandingkan dengan batu dipersatukan oleh gagasan ajaran dan nisan makam ‘Sirajul Mulk’ tanpa angka hukum Islam. Namun demikian,

78 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80

masyarakat pesisir di pelabuhan ini ‘kekuatan pelindung’ bersifat magis- sebenarnya dipersatukan oleh kepertingan religius. Ajaran Islam yang bersifat yang sama untuk menjalankan dogmatis dan praktis hadir dalam bentuk perdagangan dan pelayaran dalam pahatan teks inskripsi (kaligrafi Islam) dan jaringan dunia. ‘Masyarakat campuran’ ini fungsi batu nisan sebagai penanda makam merupakan gambaran umum karakter dengan arah kiblat Ka’bah di Makkah. masyarakat pesisir di kota – pelabuhan dalam jaringan pelayaran dan perdagangan jarak jauh. Jaringan yang DAFTAR PUSTAKA luas itu mulai dari kawasan Timur Tengah Abu Bakar, Budiman Sulaiman, M.Adnan lalu Asia Selatan (khususnya India bagian Hanafiah, Zainal Abidin Ibrahim, and selatan), Asia Tenggara – kepulauan Syarifah. 2001. Kamus Bahasa (Nusantara), hingga ke Cina sejak abad Aceh-Indonesia. : Pusat ke-9 M. atau abad ke-10 M. dan Bahasa Departemen Pendidikan khususnya pada masa Lamreh kuno abad Nasional dan Balai Pustaka. ke-14 M. hingga abad ke-15 M. Masyarakat kota pelabuhan Al-Faruqi, Ismail R., and Lois Lamnya Al- tempat berkumpul berbagai bangsa Faruqi. 2003. Atlas Budaya Islam dengan latar belakang budaya dan Manjelajah Khasanah Peradaban kepercayaan yang berbeda manjadi ciri Gemilang, Ornamen Dalam Seni umum masyarakat di kota pelabuhan Islam. Bandung: Mizan. dalam persinggahan Ibnu Bathuthah saat berlayar menuju Kota Zaitun, Quanzhou, Ambary, Hasan Muarif. 1996. Aspek- Fujian pada pertengahan abad ke-14 M., Aspek Arkeologi Indonesia No. 19: tahun 1344/1345 M (Ibn Bathuthah 2009, Makam-Makam Islam Di Aceh. 342). Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Berdasar uraian di atas, nisan- nisan plangpleng dapat dibedakan menjadi Guillot, Claude. 2008. Les Monuments dua tipe. Jenis batu nisan ini merupakan Foneraires et l’Histoire Du salah satu warisan budaya yang khas dan Sultananate de Pase a Sumatera. menjadi identitas atau gambaran karakter Cahierd’Archipel. Paris: Association dari masyarakat Lamuri – Islam, selain Archipel. jenis dan tipe batu nisan Lamreh lainnya.

Yaitu karakter satu masyarakat kuno Ibn Bathuthah, Muhammad bin Abdullah. sebagai ‘masyarakat campuran’ yang 2009. Rihlah Ibnu Bathuthah, mengadopsi berbagai latar belakang Memoar Perjalanan Keliling Dunia Di kebudayaan asing, baik tradisi kesenian Abad Pertengahan. Pertama. dunia Islam Arab atau Persia Islam, serta Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. tradisi kesenian Hindu-Buddhisme Asia

Selatan yang sebelumnya di tempat Iskandar, Teuku. 1978. Hikayat Aceh asalnya telah diadopsi oleh masyarakat (Kisah Kepahlawanan Sultan campuran muslim India. Iskandar Muda). Aceh: Proyek Gaya seni pahat batu tradisi Rehabilitasi dan Perluasan Museum kesenian Asia Selatan lebih mendominasi Daerah Istimewa Aceh. lewat rancangan bentuk batu nisan yang meminjam bentuk (transformasi) Lambourn, Elizabeth. 2004. “The arsitektural ‘kuil menara’ (Sikhara) gaya Formation of the Batu Aceh Tradition Dravidian dan bentuk motif padma (bunga in Fifteenth-Century Samudera- teratai) yang sangat dominan dan Pasai.” In Indonesia and The Malay konsisten. Sementara elemen motif lokal World, 211–48. Leicester: University mencerminkan tradisi seni pahat dan motif of Leicester. yang cukup tua dari periode magalitik, sebagai simbol ‘rajah’ yang memiliki Lee, Risha. 2009. “Rethinking Community:

Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ 79 (Dedy Satria)

The Indic Carvings of Quanzhou.” In Lumpur: Museum Association of Nagapattinam to Suvarnadwipa, Malaysia c/o Muzium Negara. Reflection on the Chola Naval Expedition to Southeast Asia, edited Yatim, Othman M, and Abdul Halin Nasir. by Hermman Kulke, K. Kesavapany, 1990. Epigrafi Islam Terawal Di and Vijay Sakhuja, 271–91. Nusantara. Selangor: Percetakan Singapore: Institute of Southeast Dewan Bahasa dan Pustaka. Asian Studies.

Montana, Suwedi. 1997. “Nouvelles Donne´es Sur Les Royaumes de Lamuri et Barat.” Archipel, no. 53: . 85–95.

Satria, Dedy. 2014. “Jenis Batu Nisan Tipe ‘Batu Pasai’ Dan Plangpleng (Kelompok Pemakaman Kuno Dari Pango Bagian Selatan, Ulee Kareng, Banda Aceh.” Arabesk XVI (1): 1–48.

———. 2016. “Jenis Batu Nisan Tipe ‘Batu Pasai’ Dan Plangpleng (Kelompok Pemakaman Kuno Dari Pango Bagian Selatan, Ulee Kareng, Banda Aceh.” Arabesk 14 (1): 1–27.

Subbarayalu, Y. 2009. “Anjuvvannam: A Maritime Trade Guild of Medieval Times.” In Nagapattinam to Suvarnadwipa, Reflection on the Chola Naval Expedition to Southeast Asia, 158–68. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

———. 2015. “Sebuah Prasasti Perkumpulan Pedagang Tamil Di Neusu, Aceh.” In Barus Negeri Kamper, 529–34. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia- EFEO-Pusat Penelitian Arkeologi.

Suprayitno. 2011. “Evidence of The Beginning of Islam in Sumatera: Study on the Acehnese Tombstone.” Tawarikh 2 (2): 125–27.

Wolters, O.W. 2011. Kemaharajaan Maritim Sriwijaya Dan Perdagangan Dunia Abad III-Abad VII. Jakarta: Komunitas Bambu.

Yatim, Othman M. 1988. Batu Aceh, Early Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia. Kuala Lumpur: Kuala

80 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 65—80 https://sangkhakala.kemdikbud.go.id/ Berkala Arkeologi Vol. 22 No. 2 2019, 81-95 P-ISSN: 1410-3974; E-ISSN: 2580-8907 SANGKHAKALA 10.24832/bas.v22i1.408

PROSES PEMBENTUKAN DATA ARKEOLOGI PADA KAPAL KARAM PULAU NUSA, KEPULAUAN BAWEAN

PROCESS OF ARCHAEOLOGICAL DATA FORMATION ON SHIPWRECK NUSA ISLAND, BAWEAN ARCHIPELAGO

Naskah diterima: Revisi terakhir: Naskah disetujui terbit: 12-05-2019 08-07-2019 10-08-2019

Mochammad Fauzi Hendrawan Balai Arkeologi Sumatera Utara Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi No. 1 Tanjung Selamat, Medan tuntungan, Medan [email protected]

Abstract Indonesian archipelago holds considerably amount of archaeological data includes shipwreck that vary from various periods and types. In Bawean Island, a shipwreck with steamer component indicated from the 19th century named Pulau Nusa was found. In 2016, Pulau Nusa shipwreck was found by Balai Arkeologi Yogyakarta in a fragmentary shape with scattered components. Numbers of scattered components has concreted with coral and the bottom part has gone through sedimentation thus buried in sea floor. This research focused on the underlying process behind the current condition of Pulau Nusa shipwreck. Conducted as an explorative research with inductive reasoning, this research used two main method of analysis, i.e environmental and contextual analysis. These two method of analysis are used to answer the data formation process which divided into two steps, behavioral process (pre- depositional) and transformation process (depositional and post-depositional) along with cultural and noncultural factors that have impact on those process. From the synthesis of two analyses came the conclusion at first the formation of archaeological data influenced by Noncultural transform, but further because it is located in the shallow sea and the existence of human activity due to the economic value of the environment and shipwreck itself, the cultural transformation factor also contributes to the role.

Keywords: Bawean; shipwreck; steamship; underwater archaeology; transformation

Abstrak Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki data arkeologi berupa kapal karam yang beragam dari berbagai masa dan tipe kapal. Salah satu kapal karam yang ditemukan di Pulau Bawean adalah Kapal karam Pulau Nusa, yang memiliki indikasi berasal dari abad ke-19 karena komponen penggeraknya bertenaga uap. Pada saat ditemukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada 2016 kondisi Kapal karam Pulau Nusa tidak dalam kondisi utuh, sebagian komponen sudah terfragmentasi dan tersebar. Selain itu sebagian besar fragmen tersebut sudah terkonkresi dengan karang dan bagian bawahnya tersedimentasi hingga terkubur di dasar laut. Penelitian ini akan membahas proses apa yang melatarbelakangi kondisi kapal karam menjadi seperti sekarang. Analisis yang dipakai yaitu analisis lingkungan dan analisis kontekstual. Kedua perangkat analisis tersebut dilakukan untuk menjawab proses pembentukan data arkeologi yang dibagi menjadi dua tahap, yaitu proses behavioral (pre- depositional) dan proses transformasi (depositional dan post-depositional). Selain itu juga mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap proses tersebut, yang berupa cultural transform dan noncultural transform. Dari hasil sintesis dua analisis didapat kesimpulan pada awalnya pembentukan data arkeologi dipengaruhi oleh noncultural transform, tetapi selanjutnya karena lokasi yang dangkal dan adanya aktivitas manusia karena nilai ekonomi lingkungan dan kapal karam sendiri, maka faktor cultural transform turut ikut berperan. Kata Kunci: Bawean; kapal karam; kapal uap; arkeologi bawah air; transformasi

Proses Pembentukan Data Arkeologi Pada Kapal Karam Pulau Nusa, Kepulauan Bawean 81 (Mochammad Fauzi Hendrawan)

PENDAHULUAN Tambak dengan penanda alam berupa karang kapal-kapal yang berada diantara Balai Arkeologi Yogyakarta pada Pulau Nusa dan Pulau Bawean. Kapal tahun 2016 melakukan kegiatan Penelitian karam Pulau Nusa berada pada Bentuk dan Karakter Tinggalan Arkeologi kedalaman 7 meter dari permukaan laut. Maritim di Pulau Bawean: Identifikasi Data yang berhasil diidentifikasi dan Potensi (Tahap II). Pada tahap kedua ini direkam oleh Balai Arkeologi Yogyakarta salah satu temuan data baru adalah Kapal berupa blok mesin bagian bawah dengan karam Pulau Nusa. Pencarian Kapal poros engkol (crankshaft/ kruk as) dan karam Pulau Nusa pernah dilakukan pada roda penggerak mesin (fly wheel), sebuah kegiatan tahap I di tahun 2015, namun baling-baling (blade propeller), as gardan, belum berhasil ditemukan. Pada tahap baling-baling, gading-gading kapal, pipa- kedua pencarian berhasil dilakukan pipa, dua buah boiler, dan beberapa dengan bantuan narasumber seorang bagian kapal yang belum teridentifikasi pencari besi tua dari kapal karam. Kapal (Priswanto 2016, 5). karam Pulau Nusa memiliki keletakan LS 50 45‟ 54.5” dan BT 1120 31‟ 56.3‟‟ yang berada di Desa Dedawang, Kecamatan

Gambar 1. Peta Lokasi Shipwerck Pulau Nusa (Dibuat oleh: M. Fauzi Hendrawan, 2018) Sebagai data arkeologi, temuan bagian dari disiplin ilmu arkeologi, Kapal karam Pulau Nusa dapat arkeologi maritim lebih menekankan dikategorikan sebagai data arkeologi kajiannya terhadap aktifitas dan interaksi maritim (maritime archaeology), arkeologi manusia di perairan beserta budaya perkapalan (nautical archaeology), dan materialnya yang meliputi aspek sosial, arkeologi bawah air (underwater ekonomi, politik, religi, dan aspek lainnya archaeology). Ketiganya merupakan (Muckelroy 1978, 4). Arkeologi perkapalan

82 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 81—95

lebih memfokuskan kajiannya terhadap dapat menginformasikan secara langsung perkapalan, seperti desain kapal, proses mengenai kondisi masa lalu secara pembuatan kapal, teknologi kapal, menyeluruh. Untuk mengetahui konstruksi, dan galangan kapal (Grenn pembentukan data arkeologi pada suatu 2006, 97). Arkeologi bawah air kapal karam perlu diidentifikasi dan mempelajari suatu kehidupan masa lalu dijelaskan mengenai proses tingkah laku berdasarkan peninggalan yang ditemukan pendukungnya (behavioral processes) dan di bawah air seperti laut, danau, rawa, dan proses transformasi (transformational sungai. Cakupan arkeologi bawah air processes) yang terjadi pada kapal karam. meliputi berbagai peninggalan yang jatuh Pengamatan terhadap kedua dan terkubur di bawah air seperti pesawat, proses tersebut dilakukan dengan tujuan kapal, bangunan tenggelam, perangkap untuk meminimalisir bias yang terjadi pada ikan, jembatan, dermaga, dan pemecah suatu kesimpulan dalam penelitian, karena ombak. pada dasarnya data arkeologi merupakan Kapal karam Pulau Nusa tentunya akumulasi dari sejumlah bias. Seperti pada telah mengalami suatu proses hingga Kapal karam Pulau Nusa, saat ditemukan terbentuk seperti sekarang. Posisi kapal Kapal karam Pulau Nusa tidak karam yang berada di antara karang- menginformasikan kondisi masa lalu karang kapal yang ada di antara Pulau secara menyeluruh kepada arkeolog. Perlu Nusa dan Pulau Cina juga menarik untuk memahami kapal karam dengan cara diketahui pengaruhnya dalam proses mengetahui bagaimana kapal karam pembentukan data arkeologi. Kajian terbentuk, mengalami perubahan, sampai mengenai pembentukan data arkeologi dengan kondisi saat ditemukan saat ini pada kapal karam di Indonesia masih (Yuwono 2003, 2). jarang dilakukan, kebanyakan masih mendeskripsikan tinggalan arkeologi bawah air tanpa membahas proses yang METODE melatarbelakangi terbentuknya data Penelitian ini bersifat eksploratif tersebut. Penelitian seperti ini sendiri berawal dari rasa keingintahuan akan data penting dilakukan pada data arkeologi arkeologi pada suatu tempat, yang untuk meminimalisir bias interpretasi pada kemudian dilakukan penjajagan, sifat penelitian-penelitian selanjutnya pada penelitian ini menyarankan atau kapal karam tersebut. Dengan penjabaran merangsang untuk penelitian lebih lanjut. yang demikian, memunculkan Metode penalaran yang digunakan adalah permasalahan yang akan dibahas, berupa penalaran induktif. Data yang diperoleh bagaimana proses pembentukan data dalam penelitian ini diklasifikasikan terlebih arkeologi pada kapal karam di Pulau Nusa, dahulu sebelum dideskripsikan. Bawean? Penelitian ini bertujuan untuk Interpretasi hasil analisis dalam penelitian mendapatkan penjelasan mengenai proses ini berupa hipotesis yang terkait dengan perjalan dari kapal utuh yang digunakan tujuan dan permasalahan yang diajukan hingga menjadi kapal karam yang (Tanudirjo 1988, 84). Metode penelitian merupakan data arkeologi. Diharapkan yang digunakan adalah metode kualtitatif, juga penelitian ini akan melengkapi produk yaitu memperoleh dan menggumpulkan kearkeologian maritim di Indonesia. data dengan cara menghimpun Proses pembentukan data pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, arkeologi pada kapal karam sama seperti ciri, keadaan, dari sesuatu atau gejala, proses pembentukan data arkeologi pada atau pernyataan mengenai hubungan- umumnya yang mencakup proses buat – hubungan antara sesuatu dengan sesuatu pakai – buang – terdeposisi hingga yang lain (Putra 2007, 18). ditemukan oleh arkeolog. Selama proses Pengumpulan data dilakukan tersebut kapal telah mengalami perubahan dengan cara studi pustaka, penelusuran dalam berbagai dimensi dan saat internet, wawancara, dan survei arkeologi ditemukan sebagai kapal karam, dan tidak bawah air. Studi pustaka dan penelusuran

Proses Pembentukan Data Arkeologi Pada Kapal Karam Pulau Nusa, Kepulauan Bawean 83 (Mochammad Fauzi Hendrawan)

internet digunakan untuk mencari data dengan demikian akan diketahui di mana sejarah serta sebagai langkah dan bagaimana objek tersebut mengidentifikasi kapal karam tersebut. terendapkan (Yuwono 2003,3). Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi kapal karam setelah tenggelam berdasarkan sepengetahuan HASIL DAN PEMBAHASAN narasumber. Identifikasi Kapal karam Deskripsi dan Identifikasi Pulau Nusa dilakukan dengan Komponen Kapal karam Pulau Nusa menggunakan metode survei arkeologi bawah air, survei arkeologi bawah air juga Kondisi data arkeologis pada bertujuan untuk pengamatan dan Kapal karam Pulau Nusa bukan mengetahui potensi peninggalan bawah merupakan artefak yang bersifat utuh, air. Informasi dan data yang diperoleh dari tetapi data yang sudah berupa fragmen kegiatan survei tersebut dijadikan sebagai yang tersebar. Meskipun berupa fragmen dasar untuk penanganan lebih lanjut bagian-bagian kapal tetapi beberapa (Anonim 2006,11). fragmen masih dapat diidentifikasi sebagai komponen dari kapal, seperti di bagian Metode survei arkeologi bawah air awal baseline ini terdapat fragmen sebilah sebenarnya sama dengan survei arkeologi propeller yang berdiri tegak dengan tinggi di darat, yang meliputi tahap perencanaan, 1,3 meter serta lebar bagian bawah 90 cm, persiapan, dan pelaksanaan survei. dan bilah lainnya kemungkinan tertanam di Perbedaannya terletak pada lingkungan dasar laut. Dasar laut lokasi kapal karam lokasi survei dilakukan, seperti laut, berupa pasir, kerakal, dan pecahan karang sungai, danau, dan rawa. Dengan kondisi mati. Di sekitar propeller juga tersebar yang seperti ini dibutuhkan peralatan yang fragmen besi yang berukuran besar dapat mendukung manusia untuk maupun kecil yang sebagian tertimbun berkegiatan di lingkungan tersebut, salah oleh pasir dan ditumbuhi karang jenis satunya adalah SCUBA (Self Contained acropora, fragmen tersebut kemungkinan Underwater Breathing Apparatus) yang merupakan pecahan dinding kapal. Di berfungsi untuk membantu bernafas antara fragmen dinding kapal yang penyelam yang melakukan survei menumpuk terdapat rangkaian rantai yang arkeologi bawah air. terkonkresi bersama karang dengan Data yang terkumpul digunakan diameter sekitar 20 cm. untuk menjawab permasalahan yang sudah diajukan dengan analisis yang akan digunakan, yaitu analisis lingkungan dan kontekstual. Pendugaan identitas kapal karam tersebut dilakukan dengan melakukan studi pustaka dan penelusuran internet. Pendugaan identifikasi kapal karam digunakan untuk menjelaskan konteks sistem kapal tersebut sampai terdeposisi di perairan Pulau Nusa, Bawean. Analisis lingkungan dalam penelitian ini menggunakan variabel lingkungan, baik darat maupun laut, yang dihasilkan dari tahap pengumpulan data. Gambar 2. Fragmen propeller (kiri) dan fragmen Konteks arkeologi atau pada saat kapal rantai (kanan). tersebut terdeposisi dicari tahu dengan (Sumber: M. Fauzi Hendrawan dan kawan - kawan, menggunakan analisis kontekstual. 2017) Analisis kontekstual digunakan karena Dari lurusan propeller ke arah mencakup interpretasi terhadap arti suatu Barat Daya berjarak delapan meter objek di dalam matriks, provinience, dan terdapat ujung dari batang propeller yang asosiasinya dengan objek di sekitarnya, memiliki panjang 13 meter dengan

84 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 81—95

diameter ujung 40 centimeter. Di sebelah Timur batang propeller terdapat fragmen besi berukuran besar yang kemungkinan merupakan bagian dari lambung kapal. Berjarak 12 meter ke Timur dari fragmen lambung kapal terdapat patahan dua tiang yang berdekatan dengan orientasi timur laut-barat daya. Fragmen tiang yang pertama berukuran 4,2 meter dan yang kedua berukuran 12,8 meter, keduanya memiliki diameter 60 centimeter. Gambar 4. Fragmen mesin tampak Timur (Sumber: Balai Arkeologi Yogyakarta, 2017) Selanjutnya adalah bagian tengah Bagian depan atau haluan kapal kapal yang ditandai dengan adanya yaitu dimulai dari sisi barat daya boiler, fragmen mesin. Fragmen mesin berada di temuan fragmen kapal karam tidak 5,4 meter barat daya lurusan batang sebanyak di bagian buritan dan tengah. propeller, dengan dimensi panjang 6 meter Temuan di haluan berupa fragmen gading- dan lebar 2 meter. Fragmen mesin yang gading, fragmen cerobong, fragmen tersisa berupa alas dari blok piston dan 2 lambung, konstruksi geladak, fragmen roda penggerak yang memiliki kelurusan windlass, dan fragmen linggi haluan. dengan batang propeller. Di barat daya Fragmen gading-gading posisinya berjarak fragmen mesin terdapat dua fragmen 7 meter dari fragmen gading-gading di boiler yang berdempetan dan berdimensi bagian tengah. Di timur fragmen gading- panjang 5 meter lebar 3 meter serta tinggi gading terdapat fragmen lambung kapal 1,8 meter. Boiler adalah ketel uap yang yang berukuran besar, lalu berjarak 15 merupakan wadah air yang dirubah meter dari timur fragmen lambung terdapat menjadi uap. Keberadaan boiler tersebut fragmen cerobong. Fragmen cerobong menandakan bahwa energi pendorong tersebut memiliki dimensi panjang 1,5 kapal Kapal karam Pulau Nusa adalah meter dan diameter 1 meter, berbentuk uap. Dalam pelayaran kapal yang menyempit di bagian tengahnya. bertenaga uap di Beri kode SS (Steam Selanjutnya di barat daya fragmen Ship) di depan nama kapal. Selain lambung terdapat fragmen konstruksi fragmen mesin dan boiler, di bagian geladak yang berbentuk seperti papan tengah juga terdapat fragmen lambung di catur. Pada fragmen konstruksi geladak Barat fragmen mesin dan fragmen gading- tersebut terdapat fragmen windlass, gading di barat boiler. windlass merupakan mesin pengangkat jangkar, yang berada di haluan kapal. Umumnya windlass terdapat pada kapal- kapal besar yang memiliki jangkar besar dan memerlukan mesin untuk mengangkatnya. Penanda haluan yang terakhir adalah adanya fragmen linggi haluan yang posisinya mengerucut membentuk ujung haluan dari kapal. Komponen lain Kapal karam Pulau Nusa tidak ditemukan, yang menurut masyarakat Bawean sudah diambil oleh pencari besi tua. Komponen yang tersisa tersebut juga sudah mengalami korosi dan beberapa Gambar 3. Fragmen kedua boiler tampak dari ditumbuhi karang, sehingga mulai Selatan mengalami perubahan bentuk. Terdapat (Sumber: M. Fauzi Hendrawan dan kawan - kawan, juga temuan artefak yang kemungkinan 2017) muatan Kapal karam Pulau Nusa, berupa batu bata.

Proses Pembentukan Data Arkeologi Pada Kapal Karam Pulau Nusa, Kepulauan Bawean 85 (Mochammad Fauzi Hendrawan)

Gambar 5. Fragmen cerobong (kiri - atas), fragmen geladak (kanan - atas), fragmen gading – gading (kiri – bawah), dan fragmen geladak (kanan – bawah) (Sumber: M. Fauzi Hendrawan dan kawan - kawan, 2017)

Gambar 6. Fragmen windlass (kiri) dan fragmen bata (kanan) (Sumber: Balai Arkeologi Yogyakarta, 2017) Identitas Kapal karam Pulau Nusa sedangkan ukuran lebar diperoleh dari jarak titik tengah lintang kapal (garis Berdasarkan identifikasi lurus antara batang propeller dan komponen penggerak Kapal karam flywheel mesin) dengan gading-gading / Pulau Nusa berupa dua unit boiler, fragmen lambung kapal. fragmen mesin bagian bawah, batang propeller, dan satu unit propeller, Kapal Tipe screw propeller steamship karam Pulau Nusa merupakan tipe merupakan kapal uap dengan alat propeller screw steamship dengan pendorong menyerupai baling-baling material besi / baja. Perkiraan dimensi yang terbuat dari logam dan diletakan di panjang kapal adalah 90-92 m, sisi belakang bagian bawah kapal. sedangkan lebar kapal adalah sekitar Inovasi baling-baling tersebut 13,5 – 16 m. Ukuran panjang tersebut merupakan suatu penemuan penting berdasarkan pada jarak fragmen linggi dalam dunia perkapalan bahkan masih buritan dengan fragmen haluan, digunakan pada kapal-kapal dimasa

86 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 81—95

sekarang. Sistem ini pertama kali kapal karam di wilayah Karang Milton diaplikasikan dan mulai menggantikan yang berada di Selatan Pulau Nusa sistem pendayung kapal uap pada tahun yang identik dengan posisi SS Bengal. 1845 – 1850 (Sennet 1899, 15). Dengan Selain itu berdasarkan posisi kapal mengetahui bentuk dan teknologi dengan haluan menghadap ke Selatan penggerak tinggalan kapal uap dapat mengindikasikan kapal berasal dari arah memberikan petunjuk yang berarti Barat seperti Singapura, ataupun tentang fungsi dan waktu pembuatan daerah Laut Cina Selatan dengan tujuan kapal. daerah selatan Bawean seperti Surabaya, ataupun sekitarnya. Hal ini Menurut Taufiq (2017, 74) juga identik dengan SS Bengal yang bentuk batang propeller dan fragmen pada catatan terakhirnya karam dalam mesin identik dengan karakter mesin perjalanan dari Saigon menuju uap tipe compound engine, pada mesin Surabaya. Petunjuk menyangkut tipe ini terdapat dua engkol (crank) muatan kapal berupa beras seperti yang utama yang berasosiasi dengan dua dicantumkan dalam Ship Fact Sheet SS buah piston utama. adanya dua engkol Bengal tidak ditemukan, tetapi yang dan dua piston membuat mesin ini dapat ditemukan hanya sejumlah bata memiliki dua buah silinder utama. Mesin dan tegel. Dari data tersebut, baik dari jenis ini mulai digunakan pada kapal uap data arkeologis maupun historis maka di tahun 1870 dan berkembang hingga sangat kuat dugaan bahwa Kapal karam 1885. Pada tahun setelahnya jenis Pulau Nusa adalah SS Bengal (Taufiq mesin ini tidak lagi diproduksi karena 2017, 80). digantikan oleh tipe mesin yang lebih baru, yaitu tipe triple expansion engine (Sennet 1899, 16). Dari identifikasi jenis komponen mesin tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kapal ini tenggelam antara tahun 1870-1911. Berdasarkan penelusuran data sejarah yang dilakukan oleh Taufiq (2017, 78), terdapat dua kapal uap sebelum tahun 1911 yang tenggelam di lokasi Kapal karam Pulau Nusa saat ini. Kedua kapal uap tersebut adalah SS Milton pada tahun 1875/ 1876 dan SS Bengal pada tahun 1885. SS. Bengal dengan jelas menyatakan di lokasi Karang Milton pada 1885. Salah satu berita tenggelamnya SS Bengal dimuat dalam koran Queenslander bulan Maret Gambar 7. Berita mengenai karamnya SS. Bengal 1885. Selain berita koran, arsip dimuat dalam koran Queenslander, Maret 1885 mengenai SS Bengal diperoleh dari (Sumber : www.trove.nla.gov.au) website www.poheritage.com, yang Proses Pembentukan Data Arkeologi berupa Ship Fact Sheet mengenai SS pada Kapal Karam Pulau Nusa dan Bengal. Dalam Ship Fact Sheet yang Faktor yang Berpengaruh dipublikasikan diketahui bahwa kapal tersebut dibangun pada tahun 1852 di Kapal karam Pulau Nusa sebagai bawah kepemilikkan The Peninsular and data arkeologi telah mengalami suatu Oriental Steam Navigation Company proses panjang, mulai dari proses dan menjadi kapal terbesar saat itu. pembuatan, penggunaan, ditinggalkan dan terdeposisi. Pada tahapan ditinggalkan, Melalui data sejarah tersebut kapal tidak lagi berperan dalam sistem dan kondisi saat ini Kapal karam Pulau tingkah laku masyarakat pendukungnya, Nusa merupakan satu – satunya temuan

Proses Pembentukan Data Arkeologi Pada Kapal Karam Pulau Nusa, Kepulauan Bawean 87 (Mochammad Fauzi Hendrawan)

yang selanjutnya tenggelam dan proses tersebut dideskripsikan terdeposisi di dasar laut hingga ditemukan berdasarkan pada ship fact sheet SS kembali (Mundarjito 1982, 500). Suatu Bengal yang diperoleh dari kapal karam terbentuk karena interaksi www.poheritage.com , sebagai berikut : kapal yang telah kandas atau tenggelam tahap pengadaan dengan dinamika lingkungan di dasar laut. Tenggelamnya kapal juga mengakibatkan Semua proses procurement ini terjadinya perubahan pada bagian struktur dilakukan oleh Tod & McGregor kapal beserta muatannya (Gibbs 2006, 2). berdasarkan pesanan dari The Peristiwa terbentuknya bangkai kapal Peninsular and Oriental Steam disebut juga sebagai perubahan dari Navigation Company. Proses ini konteks sistem ke konteks arkeologi mencakup pembuatan konsep dan (Schiffer 1987, 3-4). desain kapal yang akan dibentuk, persiapan bahan-bahan mentah seperti Ketika masih berada di konteks besi, baja, alumunium, dan kayu. sistem suatu kapal mengalami proses behavioral, yang terdiri dari pengadaan, tahap pembuatan pembuatan, pemakaian, dan pembuangan. Tahap ini berupa proses membuat Selain keempat proses tersebut, proses bahan baku yang telah terkumpul behavioral juga terjadi ketika objek telah dengan pengetahuan teknis pembuatan berada dalam konteks arkeologi, yang kapal uap. Sebelum diproses juga berarti objek masuk kembali dalam sosio- dilakukan pengecekan bahan baku kultural sehingga dapat digunakan kembali apakah sudah sesuai standart atau (reuse), diolah ulang (recycling), dan belum. Standarisasi dan pengawasan dimanfaatkan untuk kepentingan lain pembuatan kapal ini dilakukan oleh (reclamation). Proses transformasi badan pengawas Lloyd’s Register merupakan proses perubahan yang terjadi London, United Kingdom dengan nomor ketika data arkeologi berada dalam 3079, kode signal QLWF. Selanjutnya konteks arkeologi yang dipengaruhi oleh tahap ini terdiri dari pembuatan desain alam dan manusia. kapal, pemotongan besi, perakitan Proses Behavioral Kapal Karam awal, pengelasan, penyetelan rangka, Pulau Nusa peletakan lunas, pemasangan ruangan muatan, pengujian, dan peluncuran. Proses behavioral perlu dijelaskan Pengawasan dan standarisasi yang dengan tujuan mengetahui faktor harus dilakukan mulai dari penyebab Kapal karam Pulau Nusa perencanaan, proses produksi, sampai terdeposisi pada perairan Barat Bawean. dengan tes performa hasil produksi Proses ini mencakup kejadian secara dilakukan untuk mencegah kronologis yang dialami kapal karam penyimpangan dari stándar kualitas tersebut saat masih di dalam konteks maupun spesifikasi kapal. Pada SS sistem sebagai suatu kapal, yang berarti Bengal, tahap ini dilakukan di galangan dicari tahu bagaimana melewati proses kapal Tod & McGregor (Tod & sebelum terdeposisi (pre-depositional McGregor shipyard) dengan nomor processes) hingga proses terdeposisi lambung pengerjaan 67 berlokasi di (depositional processes). Pada uraian Glasgow, United Kingdom. sebelumnya telah disebutkan oleh Taufiq (Taufiq 2017, 80) bahwa kapal karam tahap pemakaian Pulau Nusa diduga kuat merupakan kapal Proses penggunaan SS Bengal dimulai SS Bengal berdasarkan data sejarah dan setelah diluncurkan pada tanggal 30 observasi lapangan. Dengan begitu akan November 1852 dengan kepemilikan dijelskan proses sebelum terdeposisi dari The Peninsular and Oriental Steam SS Bengal yang terdiri dari tahap Navigation Company dengan biaya pengadaan, pembuatan, dan pemakaian, pembutaan £68,300 dan menjadi kapal sedangkan proses terdeposisi terdiri dari terbesar dalam perusahaan dagang dan abandonment dan decay. Keseluruhan perkapalan swasta tersebut. SS Bengal

88 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 81—95

memiliki fungsi sebagai passenger liner, ke arah Sungai Hooghly menuju kebun sehingga memiliki kapasitas 135 orang Universitas Bishop, Calcutta karena penumpang kelas satu, 115 kru kapal adanya badai. Setelah sekitar dua dan 1.175 TN kargo. Dengan kapasitas bulan berada di Universitas Bishop seperti itu wajar jika kapal ini efektif (Sungai Hooghly) pada 30 Desember untuk kapal penumpang dan kargo SS Bengal kembali ke laut Benggala dagang untuk pelayaran antar negara. untuk kembali berlayar. Selama kepemilikan P&O Group service Kapal SS Bengal juga turut berperan dari tahun 1852 sampai 1870 kapal ini dalam peperangan yang melibatkan melayani rute Inggris, Afrika Utara, Kerajaan Inggris beserta sekutunya, Afrika Selatan, Afrika Timur, Asia Barat diantaranya Abyssinian War dan Near dan Asia Selatan. East Crisis. Abyssian War merupakan Ketika pertama kali berlayar SS Bengal peperangan yang terjadi ketika mencatat rekor perjalanan tercepat ekspedisi penyelamatan dan balas pada masanya dari Southampton dendam Kerajaan Inggris terhadap melewati Gibraltar, dengan 4 hari 5 jam Kekaisaran Ethiopia yang telah pada 20 Februari 1853. Pada bulan memenjarakan perwakilan Inggris. September 1853 SS Bengal sempat Peperangan ini dimulai pada Desember dikhawatirkan hilang pada pelayaran 1867 hingga Mei 1868 di Ethiopia dari Cape Town menuju Calcutta dengan kemenangan berada di pihak setelah ditemukan dua sekoci di Inggris, sedangkan Near East Crisis Weymouth, tetapi akhirnya ada laporan terjadi pada tahun 1875-1878. SS Bengal dalam kondisi aman, karena Peperangan dimulai saat terjadinya kedua sekoci tersebut hanya terlepas. pemberontakan di Semenanjung Balkan Pada 7 Juni 1859 SS Bengal yang berada dalam wilayah Kekaisaran mengalami kerusakan pada sistem uap Ottoman dan diikuti oleh campur tangan ketika berada di perairan Galle. Dengan Internasional antara lain antara kondisi seperti itu nakhoda memutuskan Kekaisaran Ottoman yang di dukung tetap menjalankan kapal dengan oleh Inggris dengan Kerajaan Rusia kondisi penguapan paling rendah untuk dan sekutu yang didukung oleh Jerman, mencegah kebocoran. Kapal tetap Austria, dan Prancis. Perang berakhir berjalan dengan penumpang, tetapi dengan Traktat Berlin pada Juli 1878. surat dan mata uang berharga Sebagai passenger liner, kapal ini diturunkan di Galle untuk didistribusikan berfungsi sebagai alat mobilisasi melalui Sungai Gangga. Pada 15 Juni pasukan beserta logistik perang. dengan rute Trincomalee dan Madras Menurut ship fact sheet SS Bengal (Pantai Timur India) akhirnya SS Bengal mengalami beberapa kali perpindahan sampai di Calcutta, India untuk kepemilikan. Perpindahan pertama kali melakukan perbaikan hingga terjadi pada 19 Juli 1870, kapal ini melakukan pelayaran lagi pada 4 Juli tercatat terjual pada perusahaan 1859. Edward Bates, yang berlokasi di Kerusakan parah kembali menimpa SS Liverpool. Tidak berlangsung lama, Bengal pada 12 Desember 1963 ketika pada 1872 kepemilikan berpindah pada kapal berada di antara Suez dan Aden C.W Kellock, yang juga berlokasi di (Laut Merah). Kerusakan terjadi pada Liverpool. Pada kepemilikan C.W batang propeller, sehingga propeller Kellock terjadi perubahan pada mesin, tidak dapat bergerak. Dengan kondisi yang sebelumnya menggunakan seperti itu SS Bengal memerlukan geared beam steam engine produksi bantuan untuk ditarik menuju Aden. galangan Tod & McGregor diganti Setelah lima hari ditarik, SS Bengal tiba dengan mesin compound engines di Aden untuk perbaikan yang produksi galangan Laird Brother, berlangsung sampai 13 Februari 1864. Birkenhead. Selanjutnya pada 1874 Pada 10 Oktober 1864 kapal diarahkan kepemilikkan kembali berpindah kepada

Proses Pembentukan Data Arkeologi Pada Kapal Karam Pulau Nusa, Kepulauan Bawean 89 (Mochammad Fauzi Hendrawan)

E M de Bussche, Ryde, Isle of Wight. melewati pelabuhan besar seperti Perpindahan kepemilikkan terakhir oleh Belawan dan Batavia, sehingga sangat The New York, London and China mungkin ada penambahan muatan dan Steamship Co (1876-1884) dan Gellatly, juga penumpang di pelabuhan yang Hankey, Sewell and Co (1884-1885). sudah dilewati. Menurut Taufiq (2017, 86) pada dua Karamnya SS Bengal karena kandas kepemilikkan terakhir tersebut SS menabrak karang – karang dangkal Bengal turut berperan aktif dalam (milton reef) merupakan proses distribusi penumpang dan barang antar behavioral yang terjadi pada konteks pelabuhan disepanjang jalur pelayaran sistem pertama (S1), sedangkan antara China dan Inggris termasuk di konteks sistem kedua (S2) terjadi dalamnya pelabuhan-pelabuhan besar terutama pada proses penyelamatan di Indonesia seperti Belawan, Batavia, perlengkapan kapal dan juga kargo dan Surabaya. Pelayaran tersebut yang dapat diselamatkan (material memfasilitasi berbagai kepentingan, salvaged). Perlengkapan kapal berupa baik perusahaan perdagangan, peralatan navigasi, peta laut, dokumen perorangan maupun kebutuhan kapal, laporan pelayaran, radio, dan pemerintah Negara. Hingga pada 2 kargo berupa benda berharga serta Maret 1885 SS Bengal dilaporkan surat – surat merupakan barang yang karam atau mengalami bencana di dapat diselamatkan terlebih dahulu bila Milton Reef, Pulau Bawean, Jawa saat kapal mengalami musibah, termasuk perjalanan dari Saigon menuju yang terjadi pada karamnya SS Bengal. Surabaya dengan muatan beras. Posisi karamnya kapal yang berjarak sekitar dua mil dari daratan Pulau tahap Abandonment dan decay Bawean memungkinkan perpindahan Terdeposisinya SS Bengal disebabkan perlengkapan dan kargo tersebut hanya oleh faktor bencana, berupa kelalaian dengan sekoci tanpa bantuan kapal navigasi yang berakibat kapal besar. Pada ship fact sheet tidak terdampar di daerah milton reff yang dijelaskan secara rinci bagaimana berupa karang – karang dangkal. Dari proses material salvage dan juga ada peta batimetri yang diterbitkan TNI AL atau tidaknya korban pada peristiwa pada 2011 dan peta buatan Kolonial karamnya SS Bengal. Belanda 1911 lokasi kapal karam Proses Transformasi Kapal Karam berada pada kedalaman 5 meter, Pulau Nusa sedangkan pada ship fact sheet SS Bengal memiliki spesifikasi draught 5,33 Indikasi adanya proses meter. Draught merupakan jarak tegak transformasi pada kapal karam Pulau yang diukur dari titik paling bawah dari Nusa dapat ditentukan oleh dua faktor, bagian lunas kapal sampai garis yaitu cultural formation processes dan permukaan air kapal mengambang. noncultural formation process. Cultural Dengan draught setinggi 5,33 meter formation processes merupakan proses dan kedalaman lokasi kapal karam tingkah laku manusia yang mempengaruhi sedalam 5 meter memungkinkan SS atau merubah artefak setelah masa Bengal menabrak karang dan kandas di penggunaannya berakhir. Noncultural lokasi tersebut. Draught juga ditentukan formation process merupakan proses dengan seberapa berat muatan yang lingkungan yang berpengaruh terhadap dibawa oleh suatu kapal, semakin berat artefak, baik ketika masih berada dalam muatan kapal maka akan berakibat konteks sistem maupun sudah berada bertambah tingginya draught. Apabila dalam konteks arkeologi (Schiffer 1987, 7). melihat tujuan akhir SS Bengal adalah Adanya kapal karam di sekitar Surabaya dan karam di Bawean, pulau nusa yang diduga kuat merupakan kemungkinan kapal tersebut membawa SS Bengal menandakan adanya proses muatan yang penuh. Karena dari deposisi budaya (cultural deposition). Saigon sampai ke Bawean juga Proses ini merupakan transformasi artefak

90 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 81—95

yang berasal dari konteks sistem ke dalam termasuk proses reklamasi (reclamation konteks arkeologi (S1 → A1). Adanya processes). Proses reklamasi adalah upaya penyelamatan perlengkapan kapal perubahan data arkeologi yang sudah dan kargo yang berharga serta mudah berada pada konteks arkeologi kembali dipindahkan sebelum kapal karam untuk lagi masuk ke konteks sistem (A2 → selamanya menunjukkan adanya proses S3)(Schiffer 1987, 99). Proses tersebut A1 → S2. Setelah kapal karam, proses berpengaruh terhadap transformasi yang terjadi selanjutnya adalah proses Kapal karam Pulau Nusa sehingga deposisi kapal ke dasar perairan hingga meninggalkan kenampakan seperti saat tersedimentasi menjadi kapal karam (A2). ini (A3-C). Untuk memudahkan pemahaman proses Selain itu lokasi kapal karam yang transformasi yang terjadi pada kapal merupakan daerah karang dangkal karam Pulau Nusa, maka diuraikan dalam merupakan lokasi nelayan mencari ikan bagan alir seperti di bawah ini: dengan pancing maupun jaring. Berkembangnya teknologi alat tangkap ikan yang semakin beragam seperti dengan kompresor untuk mencari lobster dan teripang juga berpengaruh pada kapal karam. Lokasi kapal karam yang dangkal dan berpasir menjadi lokasi favorit untuk mencari teripang dan lobster dengan cara menyelam dan dibantu pernapasan dari kompresor, terkadang mereka juga menggeser struktur besi kapal untuk mencari lobster dan teripang yang bersembunyi (S4). Akumulasi dari kedua tindakan Gambar 8. Proses transformasi yang terjadi pada tersebut secara perlahan tentu akan Shipwreck Pulau Nusa. merusak struktur kapal karam yang (Sumber: Modifikasi dari Yuwono (1999) dan Henki telah keropos dan rapuh (disintegration Riko Pratama (2012)) of perishables). Cultural Formation Processes/ C-transforms Noncultural Formation Processes/ N-transforms Pada kasus Kapal karam Pulau Nusa aktifitas yang dimaksud adalah N-transform adalah proses lingkungan pengambilan besi tua, sebenarnya di sekitar data arkeologi yang berperan aktifitas ini tergolong penjarahan dalam terjadinya perubahan pada data (looting) terhadap besi – besi struktur arkeologi tersebut. Proses ini terjadi kapal karena tidak memiliki ijin legal sebagai transformasi ketika berakhirnya (S3). Pencarian besi tua ini dapat aktifitas penjarahan (looting) yang ada dibuktikan dengan hasil wawancara pada konteks sistem yang kemudian dengan Mas Mamang (30 tahun) yang mendapat proses lingkungan (S3 → A3- merupakan anak buah pencari besi tua. N). Pada proses ini terdapat tiga proses “Pencarian besi tua dimulai pada masa utama, yaitu proses dinamika pesisir pemerintahan Presiden Megawati, dan proses korosi. Pada dinamika dimana harga besi tua mencapai Rp. pesisisr, faktor hidrodinamik dan 3.000,00 sampai Rp. 4.000,00 per ekodinamik merupakan faktor yang kilogram, pengambilan besi dilakukan paling berperan drastis pada Kapal sampai terakhir kali pada tahun 2014”. karam Pulau Nusa. Faktor hidrodinamik Dari penuturan tersebut dapat mulai mempengaruhi ketika kapal disimpulkan aktifitas pengambilan besi kandas dan mulai karam tenggelam, tu di Kapal karam Pulau Nusa sudah ada tiga faktor yang berpengaruh berlangsung selama 10 tahun lebih dan terhadap Kapal karam Pulau Nusa

Proses Pembentukan Data Arkeologi Pada Kapal Karam Pulau Nusa, Kepulauan Bawean 91 (Mochammad Fauzi Hendrawan)

dalam hidrodinamik, yaitu gelombang, Bawean membuat daerah sekitar kapal arus, dan pasang surut. karam tidak terlalu terpengaruh dan relatif tenang, meskipun terjadi puncak Faktor hidrodinamik mulai berpengaruh angin timur yang membuat gelombang terhadap kapal ketika kandas dan mulai dari arah timur dapat mencapai dua karam tenggelam. Diperkirakan ketika meter lebih karena badai. Lokasi kapal kapal mulai tenggelam bagian tiang karam akan mendapat pengaruh kapal dan cerobong masih ada. Selama langsung bila musim angin barat, yang satu abad dan setiap harinya terkena datang bersamaan dengan gelombang kekuatan gelombang, arus laut, dan besar dan badai yang terjadi di Barat pasang surut menyebabkan komponen pulau Bawean. Gelombang besar yang tersebut roboh dan jatuh tenggelam di mengarah ke Timur pada musim angin timur badan kapal karam. Robohnya barat ini yang lebih dominan tiang dan cerobong yang berlokasi di berpengaruh terhadap posisi jatuhnya Timur kapal karam juga didukung bagian tiang dan cerobong kapal di dengan morfologi sekitar. Lokasi kapal Timur kapal karam. karam yang berada di Barat Pulau

Gambar 9. Ilustrasi proses pembentukan Shipwreck Pulau Nusa (Ilustrasi: M. Fauzi Hendrawan, 2018) Arus bawah di lokasi kapal karam karam. Kondisi matriks dasar perairan tentunya berbeda dengan arus yang yang berupa pasir diperkirakan tidak kuat terbentuk di permukaan. Arus permukaan menahan beban tonase kotor kapal karam terbentuk oleh pengaruh gerakan SS Bengal yang mencapai 2.300 ton. Hal gelombang, sedangkan arus dasar terjadi ini dapat terlihat pada bilah propeller yang karena perbedaan kontur, relief, dan sebagian masih tertanam pada sedimen. temperatur. terjadinya badai, gelombang Faktor ekodinamik yang paling dan arus pemukaan bersifat destruktif berpengaruh adalah tumbuh dan pada bagian atas kapal. Arus bawah lebih berkembangnya ekosistem terumbu berperan dalam penimbunan dan karang di sekitar lokasi. Asosiasi antara pengerukan sedimen di lokasi kapal ikan, invertebrata, moluska, udang dengan

92 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 81—95

kumpulan individu karang ini yang swasta The Peninsular and Oriental Steam membentuk ekosistem terumbu karang. Navigation Company. Tetapi ketika Sehingga oleh penduduk lokal saat ini ditemukan oleh tim dari Balai Arkeologi lokasi kapal karam biasa digunakan Yogyakarta pada tahun 2016 Kapal karam nelayan lokal untuk mencari ikan, teripang, Pulau Nusa bukan merupakan artefak kerang jari dan lobster. Ekosistem terumbu yang bersifat utuh, tetapi data yang sudah karang yang berkembang di Kapal karam berupa fragmen yang tersebar. Hal ini Pulau Nusa ikut berperan dalam proses diperparah dengan aktifitas penjarahan, transformasi sehingga merubah bentuk pertumbuhan karang, proses hidrodinamik, bangkai kapal secara keseluruhan. Kapal dan proses korosi yang terjadi pada kapal karam Pulau Nusa yang terbuat dari karam setelah terdeposisi. Proses tersebut campuran logam menyebabkan juga turut merubah komposisi kimiawi dan percepatan tumbuhnya karang dalam warna benda logam. membentuk terumbu, karena karang pada Perubahan dimensi frekuensi masa planula cepat mendapatkan substrat sangat berkaitan dengan dimensi formal, yang keras untuk tempat menempel, yang berarti saat terjadi perubahan pada kemudian memulai masa bentonik menuju aspek bentuk dipastikan mengalami karang dewasa (Atmaja 1998, 107). pengurangan atau penambahan pada Faktor lingkungan terakhir yang dimensi frekuensi. Pada Kapal karam menyebabkan transformasi adalah proses Pulau Nusa, terjadinya perubahan dimensi korosi yang terjadi pada bagian Kapal frekuensi dapat dilihat dari perubahan karam Pulau Nusa. Menurut Keith yang terjadi pada dimensi formal, yang penelitian mengenai sifat korosi pada berarti mengalami pengurangan pada artefak logam yang berasal dari kapal perubahan dimensi frekuensinya. karam telah dilakukan oleh sejumlah Pengurangan yang paling terlihat adalah konservator. Tetapi penelitian tersebut hilangnya bagian kapal seperti ruang masih memusatkan pada penanganan dan kapal, ruang kargo, komponen mesin pembersihan korosi pasif sebuah artefak bagian atas, sekoci, jangkar, kemudi, dan logam yang diangkat, tanpa mengetahui dinding – dinding kapal. Perubahan bagaimana laju korosi pada bangkai kapal dimensi frekuensi ini terutama karena secara keseluruhan. Oleh karena itu, aktivitas penjarahan yang pernah pengetahuan tentang pengaruh air laut dilakukan terhadap Kapal karam Pulau terhadap bangkai kapal sangatlah terbatas Nusa. Perubahan dimensi frekuensi (Keith, 2004). lainnya adalah bertambahnya terumbu karang yang menempel pada bagian- Setelah kandas dan karam bagian kapal karam, sehingga bentuknya tenggelam pada tahun 1885 sampai saat sulit untuk dikenali. sekarang ini SS Bengal yang disebut sebagai Kapal karam Pulau Nusa, telah Aktifitas penjarahan juga ikut mengalami proses yang disebabkan oleh berperan dalam perubahan dimensi faktor manusia dan lingkungan yang relasional kapal karam. Kegiatan tentunya berpengaruh terhadap penjarahan merusak asosiasi antar bagian kondisinya. Menurut Schiffer (1987, 15-20) kapal yang sebelumnya utuh menjadi proses transformasi yang dimulai dari S1 fragmen yang tersebar. Bagian kapal yang → A4 menghasilkan perubahan kondisi masih tersisa dan dapat diketahui jelas pada keempat dimensi, yaitu dimensi relasionalnya adalah komponen penggerak formal, dimensi frekuensi, dimensi spasial, kapal. Komponen penggerak kapal yang dan dimensi relasional. masih tersisa terdiri atas dua unit boiler, fragmen mesin bagian bawah, batang Perubahan dimensi formal Kapal propeller, dan satu unit propeller, karam Pulau Nusa dapat dilihat secara sedangkan untuk mesin bagian atas, ruang signifikan, sebelum menjadi kapal karam, kemudi dan kemudinya sudah tidak ada. kapal tersebut merupakan SS Bengal yang Pada bagian haluan yang tersisa adalah merupakan kapal terbesar dalam windlass tetapi bagian relasionalnya perusahaan dagang dan perkapalan

Proses Pembentukan Data Arkeologi Pada Kapal Karam Pulau Nusa, Kepulauan Bawean 93 (Mochammad Fauzi Hendrawan)

berupa jangkar, rantai, dan mesin Apabila kapal karam tersebut berada pada penggeraknya tidak ada. Pada bagian kedalaman lebih dari 30 meter terdapat tengah cerobong asap, ruang kemudi, kemungkinan beberapa bagian kapal akan ruang kargo sudah hilang hanya relatif utuh. Selain itu juga faktor cultural menyisahkan fragmen cerobong yang formation process berupa aktifitas nelayan sudah terlepas dan berada di timur kapal yang mencari sumberdaya laut di sekitar karam, bahkan geladak kapal juga sudah lokasi kapal karam. hilang. Pada awalnya proses pembentukan data arkeologi pada kapal karam Pulau Nusa hanya dipengaruhi oleh faktor noncultural formation process yang berupa hidrodinamik yaitu gelombang, arus, dan pasang surut. Ketiga variabel tersebut mulai berpengaruh pada saat kapal mulai tenggelam dan sampai sekarang ini. Pengaruh paling signifikan terjadi ketika beberapa bagian dari kapal masih ada di permukaan air laut, seperti

tiang dan cerobong. Tetapi karena Gambar 10. SS Bengal ketika masih beroperasi pengaruh hidrodinamik yang terus (Sumber: www.poheritage.com) berlangsung membuat tiang dan cerobong tersebut roboh dan tenggelam. Pengaruh KESIMPULAN hidrodinamik juga mengakibatkan bagian kapal yang berada di dasar laut dengan Kapal karam Pulau Nusa yang matriks berupa pasir mengalami terletak di perairan Pulau Bawean, sedimentasi. Terus berkembanganya Kabupaten Gresik merupakan salah satu ekosistem karang di lokasi kapal karam data arkeologi bawah air yang tidak lagi juga merupakan bagian dari faktor utuh dan bersifat fragmentaris. Perubahan noncultural formation process. kondisi secara signifikan dari kapal utuh Dapat dikatakan proses menjadi fragmen-fragmen ketika pembentukan data arkeologi dari kapal ditemukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta utuh berupa SS Bengal menjadi data merupakan fenomena yang harus arkeologi berupa kapal karam Pulau Nusa diketahui dalam kajian arkeologi, terutama pada awalnya dan sampai sekarang terjadi dalam upaya merekonstruksi pelayaran karena faktor noncultural formation dan perdagangan pada perairan Bawean process, tetapi karena adanya nilai pada masa lampau. Kapal karam sebagai ekonomi dan kesempatan faktor cultural data arkeologi juga memiliki nilai ekonomi, formation process mulai berpengaruh salah satunya sebagai besi tua. Sehingga sangat signifikan terhadap proses penelitian terhadap kapal karam seperti pembentukan data arkeologi tersebut. berlomba dengan para pencari besi tua Keterbatasan utama yang dirasakan dalam yang mengejar nilai ekonomi tersebut. penelitian ini berupa keterbatasan Bentuk yang terfragmentasi dan tersebar pengetahuan dalam keilmuan oseanografi menunjukkan adanya perubahan dalam terutama pemahaman dinamika daerah dimensi formal, frekuensi, spasial dan pesisir. Selain itu minimnya data sejarah relasional. tentang SS Bengal juga berpengaruh Adanya perubahan pada ke- terhadap penjelasan ketika kapal berada empat dimensi tersebut terjadi karena dalam konteks sistem. Dengan kedua keletakan kapal karam Pulau Nusa yang faktor yang terus berlangsung sampai berada pada kedalaman 7 meter sekarang, mulai perlu dilakukan tindakan membuatnya mudah untuk dijangkau oleh pelestarian seperti pemasangan penanda manusia dan terjadi faktor cultural pada lokasi kapal karam Pulau Nusa formation process dalam bentuk dengan harapan tidak ada lagi aktifitas penjarahan (looting) terhadap bagian – penjarahan. Selain itu rekomendasi kapal bagian kapal yang sudah menjadi besi tua.

94 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 81—95

karam Pulau Nusa sebagai benda cagar Record. Albuquerque: University of budaya atau kawasan konservasi perairan New Mexico Press. juga dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum yang jelas. Sennet, Richard dan Henry J. Oram. 1899. The Marine Steam Engine: A treatise for Engineering Students, Young DAFTAR PUSTAKA Engineers and Officers of The Royal Anonim. 2006. Pedoman Pengelolaan Navy and Mercantile Marine. Peninggalan Bawah Air. Jakarta: London, Newyork and Bombay: Direktorat Peninggalan Bawah Air. Longmans, Green and Co.

Green, Jeremy. 2004. Maritime Tanudirjo, Daud Aris. 1998. Ragam Archaeology A Technical Handbook. Metode Penelitian Arkeologi dalam Second Edition. London: Elsevier Skripsi Mahasiswa Arkeologi Acdemic Press. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Laporan Penelitian Muckelroy, Keith. 1976. “The Integration of Fakultas Sastra UGM. historical and archaeological data concerning an historic wreck site: Taufiq, Muhammad. 2017. “Tinggalan The “Kennemerland”. Dalam World Kapal Uap Di Perairan Pulau Archaeology, Vol. 7 No.3. Hal. 280- Bawean: Bentuk, Fungsi dan 290. Peranannya dalam Aktivititas Pelayaran di Masa Lalu. Skripsi. Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2007. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya “Paradigma, Epistemologi dan UGM. Metode Ilmu Sosial-Budaya”. Dalam Makalah Ceramah Perkembangan Yuwono, Edy J.S. 1999. “Situs Teori dan Metode Antropologi. Gunungbang dalam Perspektif Yogyakarta: Jurusan Antropologi, Transformasi”, makalah pada FIB UGM. Seminar Sehari Penelitian Terpadu Kawasan Arkeologis (PTKA) Gunung Pratama, Henki Riko. 2012. “Proses Kidul Tahap I: Gunungbang, UGM, Pembentukan Data Arkeologi Bawah 12 Mei 1999. Yogyakarta: Air (Studi Kasus Bangkai Kapal Universitas Gadjah Mada. Liberty di Tulamben, )”. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya ______. 2003. “Aspek-Aspek UGM. Teknis Ekskavasi dalam Kerangka Pemahaman Transformasi Data”, Priswanto, Hery, 2015. “Bentuk dan makalah pada Bimbingan Pelatihan Karakter Tinggalan Arkeologi Maritim Metodologi Penelitian Arkeologi, di Pulau Bawean: Identifikasi Potensi Puslitarkenas, Yogyakarta. (Tahap I)”. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Balai Arkeologi Arsip, sumber resmi tercetak, sumber Yogyakarta. resmi digital dan sumber internet

Priswanto, Hery, 2016. “Bentuk Dan “Ship Fact Sheet SS BENGAL (1853)”, Karakter Tinggalan Arkeologi Maritim www.poheritage.com Diakses pada di Pulau Bawean: Identifikasi Potensi Februari 2018. (Tahap II)”. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Balai Arkeologi www.trove.nla.gov.au Diakses pada Yogyakarta. Februari 2018.

Schiffer, Michael B. 1987. Formation www.wrecksite.eu Diakses pada Februari Processes of the Archaeological 2018.

Proses Pembentukan Data Arkeologi Pada Kapal Karam Pulau Nusa, Kepulauan Bawean 95 (Mochammad Fauzi Hendrawan) https://sangkhakala.kemdikbud.go.id/ Berkala Arkeologi Vol. 22 No. 2 2019, 96-110 P-ISSN: 1410-3974; E-ISSN: 2580-8907 SANGKHAKALA 10.24832/bas.v22i1.409

AKTIVITAS PEMANFAATAN GUA DAN CERUK DI NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT

ACTIVITIES OF THE UTILIZATION OF CAVE AND ROCK SHELTER IN NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT

Naskah diterima: Revisi terakhir: Naskah disetujui terbit: 25-09-2019 10-10-2019 22-10-2019

Nenggih Susilowati Balai Arkeologi Sumatera Utara Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi No.1, Medan 20134 [email protected]

Abstract Nagari Situmbuk, Salimpaung Subdistrict, Tanah Datar District, West Sumatra Province has naturally interesting caves and rock shelters, and their existence is also related to past and present human activities. The caves and rock shelters in the Situmbuk area are partly related to human activities that use them as temporary dwellings.Its existence is also related to human activities that utilize the surrounding environment as rice fields, plantations and tropical forests. The problem raised is how is the form of human activity related to the use of caves and rock shelters in Nagari Situmbuk in the past? Why is there a difference in the use of caves and rock shelters there? The method used in this research is qualitative using inductive reasoning flow by observing the unit and its context. The caves and rock shelters which have indications of being used by people with different cultures are Ngalau Guong, Ngalau Tompok Syohiah I, and Ngalau Muaro. The use of Ngalau Guong is related to hunting life and simple farming so that it still utilizes caves / rock shelters there as temporary dwellings. Ngalau Tompok Syohiah I is related to the development of Pre-Islamic culture (megalithic tradition which is marked by the presence of menhirs and pseudo graves), Islam, until now which is implied through symbols on the walls of the cave. The tradition that takes place in the cave is also related to agricultural activities that have been carried out intensely. Then Ngalau Muaro, this relates to plantation activities that took place around the 18th century to the 19th. Keywords: activity; hunting; megalithic traditions; shelter; agriculture Abstrak Lingkungan Nagari Situmbuk, Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat memiliki gua-gua dan ceruk-ceruk yang menarik secara alamiah, serta keberadaannya juga berkaitan dengan aktivitas manusia masa lalu hingga masa kini. Gua dan ceruk yang terdapat di kawasan Situmbuk sebagian berkaitan dengan aktivitas manusia yang memanfaatkannya sebagai hunian sementara. Keberadaannya juga berkaitan dengan aktivitas manusia yang memanfaatkan lingkungan sekitarnya sebagai areal persawahan, perkebunan, dan hutan tropisnya. Permasalahan yang diajukan adalah bagaimana bentuk aktivitas manusia berkaitan dengan pemanfaatan gua dan ceruk di Nagari Situmbuk di masa lalu ? Mengapa terdapat perbedaan dalam pemanfaatan gua dan ceruk di sana ? Metode yang digunakan dalam penelitian adalah kualitatif menggunakan alur penalaran induktif dengan melakukan pengamatan terhadap satuan maupun konteksnya. Gua dan ceruk yang memiliki indikasi dimanfaatkan orang-orang dengan budaya yang berbeda adalah Ngalau Guong, Ngalau Tompok Syohiah I, dan Ngalau Muaro. Pemanfaatan Ngalau Guong berkaitan dengan kehidupan berburu dan perladangan sederhana sehingga masih memanfaatkan gua/ceruk di sana sebagai hunian sementara. Ngalau Tompok Syohiah I berkaitan dengan perkembangan budaya Pra Islam (tradisi megalitik yang ditandai dengan keberadaan menhir dan kubur semu), Islam, hingga kini yang tersirat melalui simbol-simbol pada dinding guanya. Tradisi yang berlangsung di gua itu juga berkaitan dengan aktivitas pertanian yang telah dilaksanakan secara intens. Adapun Ngalau Muaro berkaitan dengan aktivitas perkebunan yang berlangsung pada sekitar abad ke- 18- 19. Kata kunci: aktivitas; berbur; tradisi megalitik; hunian; pertanian

96 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 96—110

PENDAHULUAN satunya adalah interaksi budaya yang terjalin di Barus. Tinggalan monumental Wilayah yang diteliti adalah yang masih tersisa sampai saat ini adalah Nagari Situmbuk, Kecamatan akibat dari adanya interaksi budaya Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar masyarakat Barus dengan masyarakat Provinsi Sumatera Barat. Luas luar pada masa lalu. Tinggalan arkeologis Kecamatan Salimpaung adalah 60,88 inilah yang merupakan salah satu bukti Km². Secara fisiografi tanah di Kecamatan kebesaran nama Barus di masa lalu. Salimpaung secara umum berbukit-bukit Salah satu tinggalan arkeologis yang dan bergelombang. Daerah ini terletak di cukup monumental dan masih dapat kita sekitar pegunungan dan berada di dekat jumpai saat ini adalah batu nisan dari gunung Marapi. Kondisi topografi terletak para tokoh yang sempat meramaikan antara 742-1012 mdpl, dan topografi khasanah budaya di Barus pada masa Situmbuk pada 821 mdpl (BPS Kab. lalu. Tinggalan berupa batu nisan tersebut Tanah Datar 2019, 9-10). Perbukitan karst dapat mengungkap latar belakang sejarah di Nagari Situmbuk memiliki potensi alam dari situs tersebut, antara lain nama atau dan potensi budaya. Keberadaan gua dan jabatan tokoh yang dimakamkan, ceruk di kawasan ini berkaitan dengan walaupun hal ini jarang dapat dilakukan aktivitas manusia yang memanfaatkan mengingat tidak pada semua nisan ruang gua untuk berbagai aktivitasnya terdapat pertulisan yang menerangkan dari masa ke masa, serta lingkungan mengenai identitas tokoh yang sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan dimakamkan. Selain itu, pada beberapa hidupnya. Diketahui terdapat tiga gua/ nisan kita menjumpai beberapa pola hias ceruk yang dimanfaatkan sebagai tempat yang mampu memberikan informasi aktivitas manusia yaitu Ngalau Tompok mengenai latar belakang dari tokoh yang Syohiah I, Ngalau Muaro, dan Ngalau dimakamkan ataupun latar belakang Guong (lihat Gambar 1).Wujud dari budaya masyarakatnya pada masa itu. kontak perdagangan di Barus salah

Gambar 1. Peta Situasi gua / ceruk di Nagari Situmbuk, Kecamatan Salimpaung, Tanah Datar – Sumatera Barat (Dok. Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2016)

Aktivitas Pemanfaatan Gua dan Ceruk di Nagari Situmbuk, Tanah Datar-Sumatera Barat 97 (Nenggih Susilowati)

Ngalau-ngalau lain juga ada pemanfaatan gua dan ceruk melalui tetapi tidak menggambarkan adanya tinggalan arkeologis dan konteksnya. aktivitas manusia di masa lalu. Manusia Logika yang dilakukan dalam penarikan masa kini sebagian memanfaatkan kesimpulan penelitian kualitatif bersifat sebagai lokasi berpetualang Seperti pada induktif (dari yang khusus kepada yang Ngalau Tompok 2 dan Tompok 3. Di umum). Penalaran induktif berawal dari bagian sekitarnya kini dimanfaatkan kajian terhadap data yang dapat sebagai lahan perkebunan dan memberikan suatu kesimpulan yang persawahan yang subur dengan mata air bersifat umum atau generalisasi empiris dan alirannya, serta sungai yang melintasi setelah melalui proses tahap analisis kawasan itu. Suburnya kawasan itu data. Sesuai dengan metode tersebut di mampu menopang matapencaharian atas maka tahap-tahap yang dilakukan penduduk sebagai petani guna memenuhi adalah pengumpulan data, analisis data, kebutuhan hidupnya. dan sintesis. Data primer yang didapatkan kemudian dianalisis secara kualitatif. Data Salah satu gua yang memiliki tersebut dideskripsikan untuk dapat potensi budaya di kawasan ini adalah menggambarkan suatu fakta atau gejala Ngalau Tompok Syohiah I. Gua atau yang diperoleh dalam penelitian, dengan ceruk disebut oleh masyarakat setempat mengutamakan kajian data untuk dengan kata ngalau. Ngalau Tompok menemukan suatu hubungan antara Syohiah I letaknya paling rendah dan suatu gejala dengan gejala lainnya dalam potensial dibandingkan dengan Ngalau kerangka bentuk, ruang, dan waktu Tompok 2 dan Tompok 3. Gua ini cukup (Tanudirjo 1989, 34). Kerangka bentuk, terang, lapang dan kering sehingga dapat ruang, dan waktu ini menyangkut konteks dijadikan hunian sementara. Indikasi temuan artefak maupun ekofak di pemanfaatannya masih berlangsung permukaan dan hasil ekskavasi, stratigafi, hingga kini. Seperti tergambar melalui keruangan gua, serta lingkungan alam perlakuan istimewa terhadap menhir dan tempat situs itu berada. makam serta kepercayaan pada hal ghaib dalam gua. Perlakuan tersebut diketahui melalui sisa-sisa perlengkapan sirih (sirih, HASIL DAN PEMBAHASAN kapur, pinang, gambir) atau sesajian Ngalau Tompok Syohihah I makanan yang diletakkan pada bebatuan dekat menhir atau pada dinding - dinding Ngalau Tompok Syohiah I guanya (Susilowati dkk. 2017, 25-6). terletak pada koordinat S 00° 35‘ 42,1‘’ dan E 100° 58‘19,07‘’ (UTM -0,354210 Keberadaan gua/ceruk dalam 100,581907), di wilayah Nagari Situmbuk, bentang alam yang sama namun Kecamatan Salimpaung. Gua ini pernah mengandung ciri –ciri pemanfaatan dalam mengalami runtuh di bagian yang kini kurun waktu yang berbeda memiliki daya menjadi jalan masuk, sehingga harus tarik tersendiri untuk dibahas lebih lanjut. menaiki bagian atas runtuhan batuannya, Permasalahan yang diajukan adalah sebelumnya mulut guanya landai. bagaimana bentuk aktivitas manusia Ruangan gua memanjang utara-selatan berkaitan dengan pemanfaatan gua dan dengan bagian mulut gua menghadap ke ceruk di Nagari Situmbuk di masa lalu ? selatan, bagian yang mendekati mulut Mengapa terdapat perbedaan dalam gua cukup terang, tetapi di bagian dalam pemanfaatan gua dan ceruk di sana ? gelap. Pada bagian yang mendekati mulut

gua itulah terdapat simbol-simbol dan METODE pertulisan yang bertumpang tindih pada dindingnya, terutama bagian dinding Metode yang digunakan dalam timur. Permukaan tanah kering dan datar. penelitian adalah kualitatif menggunakan Merupakan gua berstalagtit dan stalagmit. alur penalaran induktif dengan melakukan Di bagian mulut gua terdapat bebatuan pengamatan terhadap satuan maupun sehingga posisi permukaan tanahnya konteksnya untuk mengetahui kejelasan aktivitas manusia berkaitan dengan

98 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 96—110

menurun jika dilihat dari arah selatan (lihat Gambar. 2a, b).

Gambar 2a. Kondisi mulut Gua Tompok Shahih dari arah selatan; 2b. denah situasi ruangan gua (Sumber: Susilowati dkk. 2017, 25)

Bagian tengahnya terdapat berorientasi timur-barat hingga ke dinding sejenis menhir dengan memanfaatkan gua bagian barat, serta susunan batuan stalagmit yang ada. Keberadaan stalagmit yang menyerupai dua buah nisan sebagai poros dan pusat dari perilaku sehingga menyerupai bentuk makam manusia di sana menggambarkan adanya dengan jiratnya (lihat Gambar 3b). Tidak proses transformasi budaya yang ada jasad yang dikuburkan di sana memanfaatkan benda alam sebagai sehingga disebut makam semu. Hingga benda budaya. Konsentrasi pada menhir kini makam maupun gua ini dianggap oleh diketahui melalui bentuk susunan sebagian orang sebagai lokasi yang bebatuan yang membentuk jirat dikeramatkan atau Syohiah/ Sahih (= mengelilingi menhir, membujur dikabulkan).

Gambar 3a. Simbol pada dinding gua (kiri); 3b. Makam (orientasi timur-barat), pada Gua Tompok Shahih, Nagari Situmbuk, Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar (Sumber: Susilowati dkk. 2017, 27)

Indikasi adanya kaitan dengan dekat dengan mulut gua (Susilowati dan kepercayaan lama juga terlihat melalui Nasoichah 2018, 59-60). Simbol-simbol gambar berupa simbol-simbol berbentuk itu ditulis dengan media kapur berwarna manusia, bulat, silang, garis, matahari, putih sebagian kondisi bertumpang tindih. indikasi aksara Pasca Pallawa, maupun Sedangkan di bagian dalam dekat dengan aksara Arab dan Arab Melayu yang dinding utara gua terdapat tulisan terdapat pada dinding gua bagian timur beraksara Arab juga menggunakan kapur

Aktivitas Pemanfaatan Gua dan Ceruk di Nagari Situmbuk, Tanah Datar-Sumatera Barat 99 (Nenggih Susilowati)

putih yang warnamya lebih cerah budaya lama nenek moyang, tetapi juga dibandingkan pada dinding yang dekat orang-orang yang sudah memeluk Islam dengan mulut gua. Simbol-simbol itu juga dengan keberadaan aksara Arab dan terdapat pada dinding bagian barat tetapi Arab Melayu. Tentunya keberadaan tidak banyak. Sisanya adalah tulisan baru mereka di sana keperluannya berbeda bagian dari perilaku kini, sebagian dengan orang lain. Hingga kini perilaku menunjukkan nama-nama orang yang orang dengan beribadah di dalam gua, pernah datang di sana, atau bentuk seperti membaca Al- Qur’an dan sholat kebiasaan menuliskan nama anggota sebagai upaya mendekatkan diri kepada keluarga yang dimintakan dalam doanya Allah masih dilakukan oleh orang-orang atau bernazar di sana. tertentu. Perilaku ini diperkirakan sudah Ciri-ciri lain menggambarkan berlangsung sejak lama, yang diketahui bahwa pengguna Ngalau Tompok melalui pertulisan pada dinding gua Syohiah I tidak hanya orang-orang Ngalau Tompok Syohiah I. dengan budaya yang masih mewarisi

Gambar 4a, b, c. Kotak –kotak ekskavasi U3B1, U6T1, U2B1 di Tompok Syohiah I (sumber: Susilowati dkk. 2018, 20, 30, 94)

Tujuh kotak ekskavasi (2017- adanya konsentrasi kegiatan di bagian 2018) dibuat untuk mengetahui aktivitas yang mendekati menhir dan kubur semu. yang berlangsung di dalam gua dan di Temuan koin rupiah 1971 dan koin Hindia luar gua (lihat Gambar 4). Temuan Belanda tahun 1800 -an, fragmen arkeologis ditemukan hampir di seluruh gerabah, dan fragmen tulang ada di ruangan gua, tetapi menggambarkan bagian selatan menhir (lihat Gambar 4a).

100 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 96—110

Hasil ekskavasi di Ngalau Tompok ditemukan dalam keadaan pecah. Syohiah I juga ditemukan fragmen tulang Fragmen keramik umumnya ditemukan dan gigi, gerabah, keramik, cangkang dalam pecahan kecil dengan hias siput, sapit kepiting, dan koin uang Hindia geometris dan flora, merupakan keramik Belanda (lihat Gambar 5). Umumnya Eropa dan Cina abad ke- 18- 20 bagian tulang ditemukan dalam keadaan dari piring dan mangkuk. Fragmen fragmentaris, hampir memenuhi tiap spit keramik umumnya ditemukan pada spit- hingga kedalaman 60 cm hingga 120 cm, spit atas antara 1- 4 (hingga kedalaman pada lapisan coklat kemerahan. Tulang- 40 cm), tetapi ada juga di kedalaman 90 tulang tersebut sebagian diidentifikasi cm dan 120 cm. Gerabah umumnya bagian dari hewan seperti ayam, gerabah kasar dan polos ditemukan kambing. Selain itu juga yang dapat hingga kedalaman 90 cm. Pada lapisan diidentifikasi adalah gigi landak, tikus, kedua yaitu lapisan coklat ke abu-abuan sapit kepiting, dan gigi manusia. Tulang tidak terdapat temuan lagi, demikian juga umumnya ditemukan dalam potongan pada lapisan merah kecoklatan. kecil, demikian juga cangkang siput

Gambar 5a, b, c. Fragmen pegangan tutup gerabah, fragmen keramik bermotif flora, dan koin Hindia Belanda abad ke- 19 (dokumen Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2018)

Ngalau Muaro bagian dinding barat, sedangkan kotak S1T4 dekat dengan dinding timur dekat Tidak jauh dari Ngalau Tompok dengan mulut gua. Artefak yang ke arah timur masih pada bukit Gontiang ditemukan berupa fragmen gerabah terdapat tiga ngalau yang disebut Ngalau sekonteks dengan fragmen keramik, dan Muaro. Ekskavasi dilakukan hanya pada fragmen besi (plat dan paku). Diantara dua ngalau, dengan membuat tiga kotak fragmen gerabah juga terdapat arang ekskavasi (2016). Area Ngalau Muaro dan bercampur tanah sebagai jejak Ngalau Tompok Syohiah 1 berada pada pembakaran. Hasil ekskavasi tahun 2016 kebun keluarga Bapak Irba Efendi gelar fragmen tulang diidentifikasi family Garak Alam. Terletak pada koordinat S Bovidae/sapi ditemukan pada spit (4) 00° 35‘ 46,68‘’ dan E 100° 58‘27,34‘’. sekonteks dengan batuan manuport. Ekskavasi dilakukan dengan membuka 3 Fragmen tulang Bovidae/sapi juga kotak di Ngalau Muaro untuk mengetahui terdapat di permukaan depan ceruk lapisan budayanya. besama dengan fragmen gerabah (linat Ceruk 1, Mulut ceruk menghadap Gambar 7b). ke arah barat daya. Ukuran ceruk panjang Ceruk 2, Posisinya berada di 3 - 4 m, kedalaman 5 m, dan tinggi mulut bagian barat ceruk 1. Bentuknya berupa ceruk 3, 75 m. Ceruk merupakan ceruk celah dengan cekungan pada bagian payung yang makin lama makin mengecil dalamnya. Ruangan tidak terlalu lebar, di bagian dalamnya, langit-langitnya dan relatif datar. Letaknya lebih rendah makin rendah ke bagian dalam ceruk dibandingkan ceruk 1 sekitar 3 meter (lihat Gambar 6a). Kotak U3T3 terdapat di

Aktivitas Pemanfaatan Gua dan Ceruk di Nagari Situmbuk, Tanah Datar-Sumatera Barat 101 (Nenggih Susilowati)

lebih rendah. Ruangan sekitar 3 m x 2 m. dibandingkan kedua ceruk tersebut, Pada ceruk ini tidak dilakukan pembukaan sekitar 4 meter lebih tinggi dibandingkan kotak. Ditemukan fragmen keramik ceruk 2. Ukuran ngalau sekitar 2 m x 2 m. berukuran agak besar pada permukaan Berupa celah dengan cekungan pada tanah, di bawah pohon jeruk yang bagian dalamnya. Ruangan tidak terlalu terdapat di depan ceruk itu. Kronologi lebar, dan relatif datar. Pada dinding- relatif dari temuan permukaan berupa dindingnya terdapat lubang-lubang sarang keramik Cina (Qing) berkisar abad ke- 18- landak. Kotak S5/6T17/18 berukuran 1 m 19 M (lihat Gambar 7c). x 1 m dan berada pada bagian tengah bagian ceruk ini (lihat Gambar 6). Temuan Ceruk 3, Posisinya di bagian berupa arang dan kulit kemiri. barat ceruk 1 dan 2. Letaknya lebih tinggi

Gambar 6a, b, c. Kondisi Ngalau Muaro ceruk 1 sebelum ekskavasi; kotak S5/6T17/18 dan stratigrafi di ceruk 3 (sumber: Susilowati dkk. 2016)

Stratigrafi di Ngalau Muaro Manuport merupakan objek alami yang menggambarkan bahwa lapisan coklat tua dipindahkan dari konteks aslinya oleh dan lapisan kuning kecoklatan yang manusia tetapi tidak dimodifikasi, terdapat temuan artefak dan ekofak, diantaranya batu andesit, batu apung, dan sedangkan lapisan merah kecoklatan batu pasir. Batu-batuan yang terdapat di sangat kompak dan tanpa temuan. lapisan paling bawah umumnya patahan Temuan fragmen tembikar, fragmen batuan kapur. Temuan tersebut ada di keramik, logam (paku dan plat), tulang, Ceruk 1. Kemudian sedikit arang dan kulit dan kulit kemiri dan arang bercampur kemiri terdapat di Ceruk 3 pada lapisan tanah terdapat di lapisan pertama. pertama, sedangkan lapisan kedua dan Sebagian gerabah dan batu-batu ketiga tidak terdapat temuan arkeologis. manuport ditemukan di lapisan kedua.

102 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 96—110

Gambar 7a, b, & c. Temuan Fr. gerabah di U3T3 (1), Fr. Gerabah, dan Fr. keramik Cina abad ke- 18-19 di permukaan sekitar ceruk (Sumber: Susilowati dkk. 2016)

Tentang Ngalau Muaro lumpang tersebut berkaitan dengan menggambarkan ciri yang berbeda aktivitas perkebunan kopi di masa lalu. Ngalau Tompok Syohiah 1 cenderung Ngalau Guong menggambarkan aktivitas masa sejarah Kolonial Belanda dengan artefak fragmen Ngalau Guong terdiri dari bagian keramik Eropa abad ke- 19 hasil yang berbentuk ceruk (rock shelter) dan ekskavasi dan fragmen keramik Cina bagian yang berbentuk gua dengan langit- sekitar abad ke- 18--19 M yang ditemukan langit yang tidak terlalu tinggi kecuali di permukaan tanah sekitar Ngalau bagian depannya. Posisinya berada ditepi Muaro. Fragmen keramik bagian dasar jalan atau berkisar tiga meter dari badan hingga bagian badan berwarna biru jalan. Di kedua tempat itu dilakukan kehijauan bermotif flora, dengan tipe kaki ekskavasi (2018) dengan hasil temuan lingkar tinggi, bagian dari mangkuk berupa fragmen gerabah, fragmen cekung. Informasi lain sebagai keramik, logam, batuan obsidian, filit kelengkapan hasil temuan di Ngalau (batuan metamorf), hematit, lumpang kecil Muaro, tidak jauh dari tempat itu terdapat dan penumbuknya, serta gigi, fragmen Ngalau Batu Lano dengan temuan tulang, kuku hewan, cangkang siput, kulit permukaan berupa lumpang dengan jejak kemiri dan arang. Cangkang siput utuh, warna coklat kehitaman. Dahulu lokasi gigi, fragmen tulang, batok kelapa dan sekitar lembah pada bukit itu merupakan kulit kemiri merupakan temuan perkebunan kopi, sehingga keberadaan permukaan Ngalau Guong.

Gambar 8a, b, c. Artefak dan ekofak di Ngalau Guong (dokumentasi Balai Arkeologi Sumatera Utara) Temuan yang menarik adalah ditemukan sekonteks dengan temuan batu obsidian dalam keadaan fragmen tulang, gigi, gerabah (lihat Gb. fragmentaris. Batuan obsidian ini 8). Batuan obsidian ditemukan di ceruk

Aktivitas Pemanfaatan Gua dan Ceruk di Nagari Situmbuk, Tanah Datar-Sumatera Barat 103 (Nenggih Susilowati)

TP 1 spit antara (4) – (8). Di spit (5) permukaan dan hasil ekskavasi di TP 1 ditemukan dalam jumlah banyak yaitu 48 dan TP 2, menggambarkan jenis hewan buah dan berukuran kecil (0,5 cm – 2 cm). yang cukup beragam. Seperti pada Obsidian ada yang tumpul dan ada yang bagian depan gua TP 2 spit 5, tajam pada bagian tepiannya (alat serpih). diantaranya geraham Family Suidae/ Sus, Alat serpih diantaranya dimanfaatkan Taring babi/ Family Suidae/sus, Geraham untuk menyerut, memotong, menguliti dan gigi tengah kambing/ Caprinae- serupa fungsi pisau atau silet pada Capra, gigi kera (macaca), gigi landak aktivitas perburuan dan pengkonsumsian dan lainnya. Landak merupakan salah hewan. Setelah kedalaman 80 cm temuan satu hewan yang menghuni Ngalau sudah tidak ada lagi, kecuali pecahan Guong, jenis hewan ini juga ditemukan di batuan kapur yang berasal dari runtuhan Ngalau Muaro. Perilakunya diantaranya gua. mengumpulkan kemiri dan kelapa untuk dimakannya, sehingga tidak jarang di Fragmen gigi, cangkang siput, bagian permukaan gua pada bagian yang dan kulit kemiri juga ditemukan di langit – langitnya rendah juga terdapat permukaan Ngalau Guong. Identifikasi kulit kemiri dan tempurung kelapa. terhadap temuan artefak gigi pada

Gambar 8a. Bagian ceruk Ngalau Guong tempat Kotak TP 1 berada; 8b. Kondisi lapisan tanah di TP 1 (sumber: Susilowati dkk. 2018, 34-8)

Lapisan tanah terdiri dari lapisan terdapat batuan obsidian, batuan andesit, tanah berwarna coklat tua tekstur kasar basalt, dan batuan pasir sebagian dan struktur lepas, di bagian timur dan sebagai alat dan sebagian manuport. selatan kotak bercampur dengan tetesan Manuport merupakan objek alami yang kapur dari dinding karstnya sehingga dipindahkan dari konteks aslinya oleh berwarna coklat keabu-abuan, lapisan manusia tetapi tidak dimodifikasi, kedua lempung berwarna coklat kemungkinan dimanfaatkan langsung kemerahan bertekstur halus dan kompak, atau sebagai bahan untuk alat batu. serta lapisan ketiga lempung berwarna Lapisan ketiga dengan ketebalan sekitar merah kecoklatan bertekstur halus dan 20 cm mulai kedalaman 80 cm hingga kompak (lihat Gb. 8b). Lapisan dengan 100 cm tidak terdapat temuan. kandungan temuan ada pada lapisan Pemanfaatan gua/ceruk di Nagari pertama dan kedua, mulai spit (1) hingga Situmbuk dalam perjalanan waktu spit (8) pada kedalamam 80 cm dengan temuan yang hampir sama jenisnya yaitu Melalui tinggalan arkeologis yang fragmen gerabah, fragmen tulang, gigi, tampak di permukaan maupun hasil kulit kemiri, dan cangkang siput. Lapisan ekskavasi menggambarkan ada beberapa pertama dengan ketebalan 20 cm hingga ciri yang menandai aktivitas yang 35 cm temuannya masih bercampur berlangsung di gua/ceruk yang terdapat di dengan fragmen keramik dan logam, Kawasan Nagari Situmbuk. Pemilihan kemudian lapisan kedua dengan pada lingkungan tertentu memiliki alasan ketebalan antara 40 cm hingga 45 cm berkaitan dengan strategi subsistensinya.

104 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 96—110

Faktor lingkungan sangat berpengaruh sumber bahan batuan, bambu, atau kayu terhadap situs-situs dari masa prasejarah. untuk menunjang aktivitas dalam Manusia prasejarah cenderung untuk kehidupan sehari-hari. memanfaatkan atau melakukan strategi Hasil pengamatan geologist subsistensinya pada tempat-tempat yang (Lismawaty dalam Susilowati, dkk. 2017, dekat dengan air untuk minum, sumber- 97) terhadap batuan obsidian disebutkan sumber makanan (flora dan fauna), dan bahwa jenis batuan tersebut secara pada tempat-tempat yang aman dan alamiah memang ada di sekitar Ngalau nyaman, sehingga lokasi situsnya banyak Guong. Obsidian merupakan batuan yang menempati tempat-tempat dekat danau, terbentuk dari hasil pembekuan magma rawa, aliran sungai dan memanfaatkan sangat cepat sehingga membentuk gua/ceruk (Subroto 1995, 133). Sumber seperti kaca/glas yang bersifat rigid dan air di Kawasan Nagari Situmbuk cukup tajam, umumnya hadir dalam lava. Seperti melimpah, karena mata air keluar dari yang dipaparkan sebelumnya bahwa di dinding karst yang terdapat di sekitar bagian barat dari areal penelitian terdapat Ngalau Tompok Syohiah, Ngalau Muaro, aktivitas vulkanik Gunung Marapi yang dan Ngalau Guong. Di beberapa tempat sagat berpotensi menghasilkan obsidian juga mengalir sungai-sungai yang begitupun dengan Gunung Malintang/ mengalir dari arah hulu (diantaranya Gunung Sago yang berada di bagian Gunung Marapi), dengan aliran airnya timur areal penelitian. Di sisi lain sebaran yang jernih melewati areal pertaniannya. batuan letusan gunung Marapi tersebut Kondisi inilah yang menjadi faktor juga dilalui aliran sungai yang juga pendukung aktivitas manusia di kawasan mengalir melewati areal penelitian, dan itu sejak dahulu. Sumber bahan makanan berpeluang membawa material-material juga terdapat di sekitar Ngalau Guong hasil letusan dan salah satunya (hutan tropis dengan ragam hewannya fragmental obsidian. bagi aktivitas perburuan). Demikian juga

Gambar 9. Kondisi lingkungan ketiga ngalau di Situmbuk (sumber: Susilowati dkk. 2018, 50)

Aktivitas Pemanfaatan Gua dan Ceruk di Nagari Situmbuk, Tanah Datar-Sumatera Barat 105 (Nenggih Susilowati)

bahan pangan seperti hewan buruan atau Lereng-lereng yang landai di bahan lainnya. Pemanfaatan obsidian sekitar Ngalau Guong juga memudahkan sebagai peralatan pengolah bahan pangan untuk menjelajahi kawasan itu untuk juga diketahui pada Situs Gua Pawon, mendekati sumber bahan maupun sumber selain juga digunakan dalam pembuatan airnya. Demikian juga lahan-lahan dengan alat –alat dari tulang karena sekonteks kemiringan landai untuk perkebunan, dan dengan peralatan dari tulang berbentuk bagian lembah yang datar bagi aktivitas lancipan (Yondri 2012, 262). Konteks perladangan dan persawahan, serta mata temuan berupa fragmen tulang, gigi, dan air dan sungai untuk pengairan merupakan kuku yang diidentifikasi sebagai hewan sarana yang baik untuk mendukung yang tinggal di hutan seperti babi hutan, aktivitas pertanian di sana sejak dahulu. dan kambing hutan menggambarkan Vegetasi yang beragam dan dapat tumbuh adanya aktivitas perburuan oleh manusia di sana hingga kini merupakan penanda yang tinggal di Ngalau Guong. bahwa areal tersebut adalah areal yang Pemanfaatan api diketahui melalui arang subur, sehingga aktivitas di Ngalau Muaro bercampur tanah, dan tulang terbakar. dan Ngalau Tompok Syohiah 1 Perburuan hewan hutan dimungkinkan dilatarbelakangi oleh kondisi lingkungan itu karena sekitar Ngalau Guong merupakan pada masanya. Lingkungan alam perbukitan yang sebagian besar berupa rnerupakan faktor penting bagi terciptanya hutan tropis dengan flora dan fauna yang suatu proses hubungan antara manusia melimpah. Perburuan dilakukan oleh dengan budayanya. Hubungan itu bukan manusia yang sudah mengenal semata-mata terwujud sebagai hubungan pembuatan gerabah dan memiliki tradisi ketergantungan manusia terhadap menyirih. lingkungannya, tetapi juga terwujud sebagai bentuk hubungan manusia yang Aktivitas lain seperti perladangan mampu mempengaruhi dan merubah sederhana kemungkinan juga sudah lingkungannya (Suparlan 1984, 3-6). Di dilakukan, mengingat keberadaan gerabah ketiga ngalau tersebut terdapat aktivitas sering dikaitkan dengan kehidupan yang dengan ciri-ciri budaya yang berbeda yaitu cenderung menetap (walaupun sifatnya prasejarah, pra Islam, Islam, dan kolonial, sementara). Pemanfaatan gerabah untuk bahkan seperti Ngalau Tompok Syohiah 1 memasak atau menyimpan makanan, tidak terdapat beberapa ciri budaya berbeda hanya memerlukan bahan makanan dari dari temuan artefak mapun gambar perburuan melainkan juga bahan makanan cadasnya (rock art). lain untuk mencukupi kebutuhan sehari- hari. Bahan makanan lain agaknya Prasejarah dipenuhi melalui domestikasi tumbuhan, Ciri-ciri budaya Prasejarah mengingat kondisi lahan yang landai dan (Neolitik atau tradisinya) terutama terdapat subur di sekitar situs Ngalau Guong ini. di Ngalau Guong. Beberapa temuan di Kesuburan area di sekitar Ngalau Guong permukaan, dan hasil ekskavasi di bagian diketahui melalui vegetasi yang tumbuh di ceruk dan bagian depan guanya kebun campuran yang dikelola oleh menghasilkan artefak dan ekofak yang penduduk kini. Kondisi itu memungkinkan menandai aktivitas perburuan berupa dahulu lahan tersebut juga merupakan fragmen tulang, gigi, yang sekonteks lahan yang subur. Hal ini sesuai pendapat dengan gerabah (polos dan hias), alat bahwa pada prinsipnya keadaan penumbuk sirih, serta batu kerakal bulat lingkungan fisik masa sekarang dapat dan lonjong sebagai bahan atau manuport, dijadikan dasar untuk memberikan juga alat serpih beragam ukuran, gambaran tentang keadaan lingkungan diantaranya berbahan obsidian. Obsidian masa lalu (Mundardjito 1993, 3). Tidak yang terdapat di Ngalau Guong berwarna menutup kemungkinan lahan tersebut hitam keabu-abuan, mengkilat dan bening dijadikan ladang dengan tanam-tanaman (lihat Gb. 8a). Pemanfaatan alat serpih umbi-umbian atau jenis tanaman lain untuk dikaitkan dengan peralatan pengolah menopang kehidupan berburu.

106 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 96—110

Truman Simanjuntak (2015, 26-8) berorientasi timur-barat. Arah itu sejajar menyebutkan bahwa situs –situs Neolitik di dengan keletakan Gunung Marapi (barat) Nusantara dikaitkan dengan migrasi dan Gunung Sago (timur). Orientasi ke penutur Austronesia, periode paling tua arah gunung maupun arah timur- barat Austronesia prasejarah sekitar 4000 tahun umum digunakan pada bangunan hingga sekitar 2000 BP. Kemudian megalitik, gunung merupakan lambang Austronesia Protosejarah berkembang di tempat roh nenek moyang bersemayam sekitar 2000 BP-abad IV/V Masehi. Namun sehingga arah gunung dianggap sebagai periode tersebut tidak berarti berlangsung tempat yang suci. Kemudian orientasi atau dapat diterapkan di seluruh timur –barat juga dapat dikaitkan dengan kepulauan, tetapi juga seiring dengan konsepsi terbit dan terbenamnya matahari, perkembangan – perkembangan budaya yang menjadi unsur penting sebagai lokal yang terjadi di masing-masing sumber energi bagi kehidupan makhluk di wilayah. Pada situs –situs Neolitik yang bumi maupun dalam kegiatan pertanian. tua selain serpih-serpih obsidian dan Simbol matahari juga gerabah, juga terdapat artefak lain seperti digambarkan pada dinding ngalau tersebut beliung persegi atau kapak lonjong, seperti berdekatan dengan simbol pertanggalan Liang Kawung, Barat dari maupun penghitungan seperti tanda pertanggalan 3030±180 BP (Chazine 1995 silang, garis, dan bulat, yang sebagian dalam Simanjuntak 2015, 29), dan Situs serupa dengan pertanggalan Batak Nanga Balang, Kalimantan Barat dari sebagai simbol hari baik memulai kegiatan pertanggalan 2550±100 BP (Simanjuntak atau tidak baik untuk berkegiatan 2015, 29). (Susilowati & Nasoichah 2018, 73). Kondisi ini berbeda dengan yang Matahari merupakan bagian penting dalam terdapat di Nagari Situmbuk, disebabkan kehidupan terutama dalam kegiatan peralatan khas yang sering ditemukan pertanian, sehingga menjadi simbol yang pada situs-situs neolitik seperti beliung dituangkan dalam gambar dinding gua persegi atau kapak lonjong belum (rock art). Megalitik merupakan bagian dari ditemukan di wilayah ini, baik melalui religi lama yang muncul seiring dengan survei maupun ekskavasi. Kronologi perkembangan kegiatan pertanian yang absolut belum didapatkan karena berlangsung di masa lalu. Tradisinya terkendala pada sampel yang kurang seringkali masih bertahan hingga mewakili untuk dating C 14. Kemungkinan kemudian seiring dengan perkembangan aktivitas perburuan berlangsung ketika agama yang dianut masyarakatnya. masyarakat masih hidup dengan tradisi Budaya Pra Islam lainnya berupa neolitik, ketika belum membentuk pertulisan pada dinding Ngalau Tompok permukiman seperti Nagari Situmbuk Syohiah 1. Keberadaan aksara Pasca sekarang. Keberadaan simbol dan Pallawa merupakan penanda bahwa orang pertulisan di Ngalau Tompok Syohiah 1 –orang yang berada di Ngalau Tompok sementara menjadi acuan kronologi relatif Syohiah 1 ini mengenal aksara tersebut. aktivitas masa lalu di wilayah Situmbuk, Sebagian aksara dapat terbaca seperti yang paling tua sekitar 1500-an/ abad ke- kata khudha, yang dapat dikaitkan dengan 16. moda transportasi yang terdapat di sana Pra-Islam ketika itu. Aksara Pasca Pallawa merupakan aksara yang diketahui terdapat Ciri budaya Pra Islam diketahui pada prasasti Adityawarman abad ke– 14. melalui tinggalan arkeologis di Ngalau Menarik bahwa aksara yang dikenal pada Tompok Syohiah 1 yang menjadi bagian masa Klasik ini juga terdapat di sana, tidak dari budaya megalitik, yaitu menhir yang dengan dipahatkan, namun hanya menjadi poros aktivitas di situs Ngalau dituliskan dengan bahan kapur. Kondisinya Tompok Syohiah 1. Selain itu juga melalui yang tumpang tindih bersama dengan keberadaan makam semunya yang

Aktivitas Pemanfaatan Gua dan Ceruk di Nagari Situmbuk, Tanah Datar-Sumatera Barat 107 (Nenggih Susilowati)

simbol-simbol lain seperti benda langit menuliskan aksara tersebut tentunya maupun figur manusia dan berbeda dengan aksara lain (Pasca antropomorphik. Hal ini menggambarkan Pallawa). Pemanfaatan gua ini di masa aksara maupun simbol tersebut lalu hingga kini bervariasi seiring dengan digambarkan dari waktu ke waktu secara kepentingan masing-masing orang. berkelanjutan. Aktivitas menyendiri di dalam gua dan perilaku beribadah di dalam gua seperti Adapun munculnya simbol-simbol membaca Al-Qur’an dan sholat sebagai yang bentuknya mirip dengan upaya mendekatkan diri kepada Allah pertanggalan Batak kemungkinan karena dilakukan oleh orang-orang tertentu dan secara geografis wilayah Minangkabau berlangsung hingga kini. Aktivitas itu berbatasan dengan wilayah Mandailing berkaitan dengan perilaku sekelompok (tempat subetnis Batak Mandailing), orang berkaitan dengan tradisi Suluk yang sehingga di masa lalu terdapat cukup dikenal perkembangannya di persentuhan budaya yang menghasilkan Sumatera Barat. Informasi lain berkaitan simbol-simbol yang mirip (Susilowati & dengan aktivitas yang berlangsung di Nasoichah 2018, 73). Kemungkinan lain dalam Ngalau Tompok Syohiah I adalah adalah simbol-simbol itu pernah digunakan membayar kaul atau mencari ilmu oleh masyarakat Minangkabau di masa kebatinan. Simbol yang berkaitan dengan lampau sebelum muncul bentuk ajaran Islam berkaitan dengan tulisan – pertanggalan atau penghitungan yang lain. tulisan Arab atau Arab Melayu berupa Ngalau Tompok Syohiah I digunakan oleh bagian dari doa atau bagian dari dzikir orang-orang dengan budaya yang mengagungkan Allah (tauhid) dan nama – beragam seperti tertuang pada simbol- nama orang. Diperkirakan berlangsung simbol pada dinding guanya. Simbol pada sekitar abad ke-18 hingga abad ke- tersebut menyiratkan adanya budaya Pra 19, yaitu kronologi sebelum tanggal Islam (tradisi megalitik) yang mendapat berdirinya Kanagarian Situmbuk pada pengaruh aksara yang berkembang pada tanggal 1 Muharam 1237 H (28 September masa Hindu-Buddha. 1821 M) hingga perkembangan tradisi Kemungkinan perkembangannya Suluk pada pertengahan abad ke- 19. setelah redupnya pemerintahan Raja Perlakuan istimewa terhadap Pagaruyung yang berbasis Hindu-Buddha menhir dan makam semunya diketahui sekitar 500 -an tahun yang lalu (1500-an/ melalui sisa-sisa perlengkapan sirih (sirih, abad ke-16), mengingat pada abad ke- 17 kapur, pinang, gambir) dalam satu tempat, Kerajaan Pagarruyung berubah menjadi yang diletakkan di tempat itu. Selain itu kesultanan berbasis Islam. Di sisi lain sisa-sisa sesajian makanan berupa beras karena aksara, teknik, maupun medianya ketan, telur, rokok juga diletakkan pada tidak sama persis dengan aksara yang dinding gua ataupun di atas makam digunakan pada prasasti yang ditulis pada tersebut. Wadah bambu, dan batok kelapa masa pemerintahan Raja Adityawarman juga ditemukan di situs tersebut. Wadah (sekitar abad ke- 14). Karena aksara pada bambu atau batok kelapa disebutkan oleh prasasti Adityawarman dipahat pada batu. informan sebagai tempat meletakkan tujuh Aktivitas perladangan maupun pertanian ragam bagian dalam kambing yang sederhana diperkirakan mulai diusahakan disembelih dalam kaitannya dengan di areal itu pada kurun antara 500 hingga aktivitas pertanian, kadang juga bagian 300 tahun yang lalu. kepalanya. Disebutkan juga bahwa ayam Islam hidup juga diletakkan di sana sebagai Ciri-ciri budaya yang mendapat sesajian. pengaruh Islam diketahui melalui Tradisi meletakkan sesajian yang pertulisan beraksara Arab dan Arab masih terlihat hingga kini menggambarkan Melayu pada dinding Ngalau Tompok bahwa tradisi megalitik masih berlangsung Syohiah I. Aktivitas yang berlangsung di walaupun mayoritas masyarakat sudah dalam gua oleh orang – orang yang menganut Islam. Beberapa informasi

108 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 96—110

menyebutkan bahwa pengguna gua ini itu berlangsung ketika aktivitas pertanian juga berasal dari luar. Namun kebiasaan mulai diusahakan secara intens, hingga yang berlangsung hingga kini tradisinya berlanjut hingga sekarang. menggambarkan dinamika budaya yang Aktivitas yang berkaitan dengan mewarnai kepercayaan/ religi masyarakat. pengaruh Islam, diketahui melalui Kebiasaan meletakkan bagian tubuh pertulisan aksara Arab dan Arab Melayu kambing dalam kaitan dengan pertanian dengan kegiatan yang berkaitan dengan masih berlangsung hingga kini di Ngalau tradisi Suluk, memperdalam ilmu Tompok Syohiah I, yang menggambarkan kebatinan, membayar khaul dan berbagai adanya budaya lama yang masih aktivitas lainnya. Aktivitas yang berlangsung di gua itu. Aktivitas yang berlangsung di gua itu juga berkaitan berlangsung di Ngalau Tompok Syohiah I dengan pemanfaatan sebagai hunian berkaitan dengan aktivitas pertanian lahan sementara. Adapun Ngalau Muaro basah yang diusahakan secara intens. mewakili periode yang muda ketika Adapun aktivitas di Ngalau Muaro aktivitas perkebunan diusahakan yang cenderung menggambarkan aktivitas masyarakatnya, yaitu perkebunan kopi dan yang berkaitan dengan perkebunan kebun campuran. campuran dan perkebunan kopi yang Perbedaan dalam pemanfaatan berlangsung pada sekitar abad ke- 18 - 19. gua dan ceruk di Nagari Situmbuk Kondisi itu didukung dengan temuan disebabkan oleh kebutuhan manusia lumpang batu Batu Lano dengan bagian dalam memanfaatkan ruangan gua/ceruk atas berwarna hitam tidak jauh dari ngalau yang terdapat di kawasan itu. Perbedaan Muaro yang merupakan alat untuk itu kemungkinan juga berkaitan dengan menumbuk kopi ketika masih menjadi aktivitas yang diusahakannya berkaitan areal perkebunan kopi pada masa itu. dengan matapencaharian ketika itu. Selain itu juga berkaitan dengan perkembangan KESIMPULAN religi dan perbedaan pengaruh budaya Aktivitas yang berlangsung pada yang melatarbelakangi kehidupan gua dan ceruk di Nagari Situmbuk masyarakatnya pada kurun masa yang menggambarkan perjalanan sejarah berbeda. Adapun tradisi perburuan juga budaya yang berlangsung di wilayah itu. masih berlangsung hingga sekarang, Ngalau Guong mewakili periode maupun aktivitas di Ngalau Tompok prasejarah dengan tradisi neolitiknya Syohiah I hingga sekarang dengan aktivitas perburuan dan menggambarkan adanya benang merah perladangan sederhana dengan dengan budaya masa lalu. Bahwa memanfaatkan gua/ceruk sebagai tempat perkembangan budaya di wilayah itu tidak tinggal sementara. Pemanfaatan Ngalau serta merta menghilangkan tradisi yang Guong berkaitan dengan perburuan dan telah ada sejak dahulu. Pengaruh Agama perladangan sederhana juga berlangsung Islam yang dianut masyarakatnya kini juga hingga masa kemudian dengan membatasi perilaku masyarakatnya kini. keberadaan fragmen keramik dan fragmen Seperti perburuan yang masih logam sekitar abad ke- 18-19. berlangsung kini oleh sebagian masyarakat Minangkabau, hewan –hewan Kemudian aktivitas di Ngalau buruan seperti babi hutan tidak dikonsumsi Tompok Syohiah I mewakili budaya yang tetapi diperuntukkan bagi anjing-anjing berkembang pada Pra Islam yang pemburu itu. Aktivitas perburuan kini dikaitkan dengan masa perkembangan hanya sekedar kesenangan dan aksara Pasca Pallawa dan tradisi megalitik mengasah kemampuan anjing-anjing yang berpusat pada menhir, dan perlakuan pemburunya, sehingga menjadi tradisi di dengan menyusun nisan dan jirat sehingga Nagari Situmbuk khususnya dan Sumatera terbentuk kubur semunya. Kepercayaan Barat pada umumnya. pada hal ghaib atau roh yang ada di gua

Aktivitas Pemanfaatan Gua dan Ceruk di Nagari Situmbuk, Tanah Datar-Sumatera Barat 109 (Nenggih Susilowati)

Ketut Wiradnyana, Lismawati, dan Teguh Hidayat. 2018. Penelitian DAFTAR PUSTAKA Arkeologi Prasejarah di Kabupaten BPS Kabupaten Tanah Datar. 2019. Tanah Datar, Provinsi Sumatera Kecamatan Salimpaung Dalam Barat (Ekskavasi di Ngalau Tompok Angka. Syohiah I, Nagari Situmbuk, https://tanahdatarkab.bps.go.id/publi Kecamatan Salimpaung dan Survei cation/, diakses pada tanggal 2 di Sekitarnya). Medan: Balai Oktober 2019. Arkeologi Medan.

Mundardjito. 1993. Pertimbangan Ekologi Susilowati, Nenggih, dan Churmatin dalam Penempatan Situs Masa Nasoichah. 2018. “Identifikasi dan Hindu- Buda di Daerah Yogyakarta: Pemaknaan Simbol-Simbol pada Kajian Arkeologi Ruang Skala Gambar Cadas di Ngalau Tompok Makro. Disertasi. Jakarta: Program Syohiah I, Nagari Situmbuk, Pascasarjana UI. Sumatera Barat”, dalam Sangkhakala November, Vol.21. No Simanjuntak, Truman. 2015. “Progres 2: 56-79 Penelitian Austroneisa di Nusantara”. AMERTA, Jurnal Penelitian dan Tanudirjo, Daud Aris. 1989. “Ragam Pengembangan Arkeologi Vol. 33 Penelitian Arkeologi Dalam Skripsi No. 1: 25-44. Karya Mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Mada”. Laporan Subroto, Ph. 1995. “Pola-Pola Zonal Situs- Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Situs Arkeologi,” Manusia dalam Sastra Universitas Gadjah Mada. Ruang Studi Kawasan dalam Arkeologi, Berkala Arkeologi Tahun Yondri, Lutfi. 2012. Budaya Obsidian di XV-Edisi Khusus: 133-138. Tepian Danau Bandung Purba. Purbawidya Vol. 1 No. 2: 249 266. Suparlan, Parsudi. 1984. Manusia Kebudayaan dan Lingkungannya.

Jakarta: CV. Rajawali.

Susilowati, Nenggih, Taufiqurrahman Setiawan, Dyah Hidayati, dan, Lucas Partanda Koestoro. 2016. Penelitian Arkeologi Prasejarah di Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Medan: Balai Arkeologi Medan.

Susilowati, Nenggih, Taufiqurrahman Setiawan, Churmatin Nasoichah, dan Ketut Wiradnyana,. 2017. Penelitian Arkeologi Prasejarah di Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat (Ekskavasi di Ngalau Tompok Syohiah I, Nagari Situmbuk, Kecamatan Salimpaung dan Survei

di Sekitarnya). Medan: Balai Arkeologi Medan.

Susilowati, Nenggih, Taufiqurrahman Setiawan, Defri Elias Simatupang,

110 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 96—110 https://sangkhakala.kemdikbud.go.id/ Berkala Arkeologi Vol. 22 No. 2 2019, 111-121 P-ISSN: 1410-3974; E-ISSN: 2580-8907 SANGKHAKALA 10.24832/bas.v22i1.410

MODIFIKASI TANAH DAN VARIASI FONDASI BANGUNAN ISTANA MAIMUN, KOTA MEDAN, PROVINSI SUMATERA UTARA

ISTANA MAIMUN BUILDING FONDATION SOIL MODIFICATION AND VARIATION, MEDAN CITY, NORTH SUMATERA PROVINCE

Naskah diterima: Revisi terakhir: Naskah disetujui terbit: 15-08-2019 01-09-2019 05-10-2019

Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi 1 Balai Arkeologi Sumatera Utara Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi No. 1, Medan [email protected] [email protected]

Abstract Maimun Palace is one of the iconic cultural heritage buildings in Medan City, North Sumatra Province. It has a unique blend of Malay and colonial styles. The subject in this article deals with the building foundations of the Maimun Palace. The foundation part has a crucial role in a building, but it is rarely used as a research topic. The issues raised in this paper relate to the structure, composition, and function of the foundation. The purpose of writing this article besides answering the problem is also expected to be able to increase architectural treasury, especially regarding the style of building foundations that have a blend of traditional Malay and Colonial styles. Through descriptive-analytical research, the conclusion obtained from this study is that there are three kinds of building foundations that adjust to the function of supporting the buildings above which consist of one, two and three levels of the building. Keywords: Istana Maimun; building foundation; Islamic archeology, architecture

Abstrak Istana Maimun merupakan salah satu bangunan cagar budaya ikonik di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Memiliki perpaduan gaya Melayu dan kolonial yang unik. Pokok bahasan dalam artikel ini berkaitan dengan fondasi bangunan Istana Maimun. Bagian fondasi memiliki peran yang krusial dalam sebuah bangunan, namun jarang dijadikan sebagai pokok bahasan penelitian. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini berkaitan dengan struktur, komposisi, dan fungsi dari fondasi. Tujuan dari penulisan artikel ini selain menjawab permasalahan juga diharapkan akan dapat menambah perbendaharaan arsitektural terutama mengenai gaya fondasi bangunan yang memiliki perpaduan dari gaya tradisional Melayu dan Kolonial. Melalui penelitian yang bersifat deskriptif- analitis, kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah fondasi bangunan terdapat tiga macam yang menyesuaikan dengan fungsinya menopang bangunan di atasnya yang terdiri dari satu, dua, dan tiga tingkat bangunan. Kata Kunci: istana maimun; fondasi bangunan; arkeologi islam; arsitektur

PENDAHULUAN Istana Maimun. Prasasti tersebut terdapat Istana Maimun yang menjadi pada tiang kanan-kiri tangga naik objek penelitian dalam hal ini memiliki berbahan batu marmer yang koordinat astronomis 3° 34.514’ LU dan menyebutkan bahwa Istana Maimun 98° 41.032’ BT dan secara administratif dibangun pada 26 Agustus 1889 Oleh berada di wilayah Kelurahan Aur, Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Kecamatan Medan Maimun, Kota Medan, Alamsyah, dan ditinggali pada tanggal 18 Provinsi Sumatera Utara. Terdapat Mei 1891 (Takari, B.S, dan Dja’far 2012, sebuah prasasti yang berkaitan dengan 164).⁠ waktu pembangunan dan pemanfaatan

Modifikasi Tanah dan Variasi FondasiBangunan Istana Maimun, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara 111 (Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi)

Sejak masa pendiriannya, Perdjoeangan. Tujuan gerakan itu adalah Kesultanan Deli beberapa kali mengalami untuk menjatuhkan kekuasaan Sultan perpindahan pusat pemerintahan. Perpin- untuk menciptakan pemerintahan rakyat dahan yang tercatat antara lain (Reid 1987, 366–67).⁠ Gerakan Revolusi perpindahan dari daerah pertemuan Sosial ini terjadi hampir di seluruh wilayah Sungai Deli dan Babura menuju daerah Su-matera yang dikuasai oleh Raja atau Kampung Pulo Bra-yan yang dilakukan Sultan, termasuk Aceh, Karo,Tapanuli, pada masa pemerinta-han Tuanku dan Riau. Sasaran utama adalah Sultan Panglima Paderap pada abad ke-18, atau Raja yang dianggap pro-Belanda, kemudian pada masa pemerintahan namun pada kenyataannya banyak puteranya Pasutan Gandar Wahid pada penyimpangan yang terjadi saat gerakan akhir abad ke-18, pusat pemerintahan ini berlangsung. dari Kampung Pulo Brayan dipindahkan Ketika tragedi tersebut ke dae-rah Labuhan yang kelak dikenal berlangsung, Sultan Deli meminta dengan nama Labuhan Deli. Perpindahan pertolongan dari pasukan Inggris yang pusat pemerintahan terakhir dilakukan saat itu menguasai kota Medan. Pasukan selama masa pemerintahan Sultan Inggris ini kemudian bekerja sama Ma’mun Al Ra-syid Perkasa Alamsyah dengan pasukan istana sehingga Sultan pada akhir abad ke-19, yaitu dari daerah Deli beserta Istana Maimun dapat Labuhan menuju kota Medan. diselamatkan. Nasib yang berbeda Perpindahan pusat pemerintahan dari menimpa Istana Kota Maksum. Peristiwa daerah Labuhan ke kota Medan Revolusi Sosial telah membakar seluruh dipengaruhi keadaan ekologi, ekonomi, Kota Maksum termasuk Istana Puri Sultan dan sosial politik saat itu (Jufrida dan Deli. Kerabat Sultan Deli yang selamat Soedewo 2004, 66).⁠ kemudian mengungsi ke Istana Maimun Sultan Ma’mun Perkasa (Sinar, n.d., 504).⁠ Sejak tahun 1946, Alamsyah membangun Istana Maimun sebagian keluarga besar Kesultanan pada tahun 1888 untuk mengakomodasi tinggal menetap di Istana Maimun hingga perpindahan ini. Peletakan batu saat ini. pertamanya dilakukan pada tanggal 26 Kompleks Istana Maimun dapat Agustus 1988 dan mulai ditempati tiga dikategorikan sebagai Bangunan Cagar tahun kemudian yaitu tahun 1891 (Sinar Budaya. Bangunan tersebut sejatinya 1991, 104).⁠ Pembangunan istana Maimun telah dipugar oleh instansi terkait di masa menandai secara resmi per-pindahan lalu, namun kondisi saat ini telah ibukota Kesultanan Deli dari Labuhan ke mengalami kerusakan lagi, terutama pada Medan. Pada tanggal 12 November 1905, bagian kusen dan cat temboknya, serta Sultan Makmun Al Rasyid juga tiang kayu. Beberapa bagian yang mendirikan Istana Kota Maksum yang disebutkan di atas tidak lain merupakan diperuntukkan sebagai tempat tinggal elemen arsitektur sebuah bangunan. kera-bat kerajaan, sedangkan Istana Maimun hanya dijadikan tempat upacara Menurut Simon Unwin (1997, 15) ⁠ resmi dan kantor Sultan pribadi (Sinar, arsitektur sebaiknya dilihat sebagai n.d., 358).⁠ sebuah aktivitas pengidentifikasian suatu tempat/ lokasi. Suatu tempat/ lokasi Pada tanggal 3 Maret 1946 di dikatakan merupakan media, dan daerah Sumatera Timur, terjadi sebuah arsitektur layaknya bahasa. Belajar peristiwa yang dinamakan “revolusi arsitektur sebagai sebuah aktivitas berarti sosial” (antara lain Sinar, n.d.; Reid 1987).⁠ belajar menggunakan bahasa. Bahasa Pada masa itu terjadi pembantaian dan arsi-tektur memiliki tatanan, struktur, terhadap Sultan dan bangsawan komposisi, dan kombinasinya sendiri penguasa di daerah Sumatera Timur. sesuai dengan kondisi ketika diucapkan. Pembantaian tersebut dilakukan oleh Secara signifikan, arsitektur berhubungan pemuda-pemuda radikal yang berada di langsung dengan aktivitas keseharian dalam tubuh gerakan Persatoean yang senantiasa berubah, berevolusi,

112 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 111—121

diidentifikasi, dan ditafsirkan kembali, dan 3. Mewakili bangunan yang berada di diperbaiki. Pendapat lain dikemukakan bagian depan, tengah, dan oleh Mikkel Bille dan Tim Flohr Sørensen belakang. (2016, 3) ⁠ yang menga-takan bahwa 4. Izin dari kerabat kesultanan arsitektur dimaknai secara sederhana sebagai himpunan komponen. Hasil dari ekskavasi tersebut diharapkan akan didapatkan aspek Elemen utama arsitektur dalam bentuk dan kompo-sisi fondasi istilah fisik merupakan kondisi bangunannya. Aspek bentuk dan operasional. Pada prinsipnya elemen ini komposisi tersebut nantinya akan termasuk tanah, yang merupakan datum disintesiskan dengan konteks beban yang paling berhubungan dengan produk bangunan dan lokasi untuk melihat fungsi arsitektur; ruang di atas permukaan fondasi Istana Maimun. Adapun tanah, yang meru-pakan media yang interpretasi akan berjalan seiring dengan dibentuk arsitektur men-jadi tempat- proses penelitian dan tidak akan menjadi tempat; gravitasi; cahaya; dan waktu bagian tersendiri dalam satu bahasan. (Unwin 1997, 19).⁠ Adapun perma-salahan yang dibahas tentang Istana Maimun, dalam hal ini berkaitan dengan komposisi HASIL DAN PEMBAHASAN dan fungsi fondasi bangunan. Fondasi Lokasi Ekskavasi Arkeologis bangunan merupakan unsur penting yang Berdasarkan pada keempat per- kadang terlupakan dalam telaah gaya timbangan penentuan lokasi ekskavasi, arsitektur secara umum. Adapun per- dan hasil survei, dipilih tiga titik ekskavasi. masalahan umum tersebut dapat 1. Lokasi kotak pertama berada di diuraikan dalam dua permasalahan Gedung B yang berlantai dua. khusus, yaitu bagaimana variasi fondasi Adapun lantai dua merupakan Istana Maimun? Satu permasalahan lagi bangunan kayu. Pada bagian berkaitan dengan kondisi lahan di sekitar belakang atau bagian barat gedung Istana Maimun yang berdekatan dengan ini merupakan lantai semen yang ber- Sungai Deli. Kondisi tanah tersebut batasan dengan parit keliling istana. berlempung dan jenuh akan air, sehingga Tangga serta tiang kayu yang kemungkinan besar fondasi bangunan menghubungkan dengan lantai akan rusak. Pertanyaannya, bagaimana atasnya. Berbahan kayu. Lokasi ini pembangun Istana Maimun menyiasati berada di ba-gian utara bekas kantor kondisi tersebut? Yayasan Sultan Ma’mun Ar’Rasyid. METODE 2. Lokasi kedua berada di Gedung A Penelitian ini berawal dari kajian yang merupakan bangunan induk pustaka dan rasa penasaran terhadap istana. Te-patnya berada di dalam keberadaan fondasi bangunan Istana sebuah kamar milik Tengku Zora. Maimun, Medan. Satu-satunya cara untuk Lokasi tersebut merupakan mendapatkan informasi tentang fondasi pertemuan antara dinding tembok bangunan adalah melalui ekskavasi pemisah kamar, dan diindentifikasi arkeologi. Pengumpulan data melalui sebagai tembok yang menopang ekskavasi tersebut didasarkan atas bangunan utama setinggi 12-15 beberapa hal, yaitu: meter yang berada di bagian tengah bangunan utama Istana Maimun. 1. Mewakili beban bangunan yang berbeda. Istana Maimun memiliki 3. Lokasi ketiga, berada tepat di sudut susunan lantai bangunan yang bawah tangga masuk gedung utama beragam, yaitu berlantai satu, dua, Istana Maimun sisi bagian utara. dan tiga lantai. Pada lokasi ini terdapat dinding arch yang menopang lantai pertama 2. Mewakili bangunan yang berada di selasar Istana Maimun. Berada di dalam dan di luar sebelah utara merupakan lantai teras

Modifikasi Tanah dan Variasi FondasiBangunan Istana Maimun, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara 113 (Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi)

rumah Tengku Asifah, salah satu bangunan baik yang berlantai satu, dua, cucu dari pendiri Istana Maimun. dan tiga. Pada gambar 1 di bawah ini dapat dilihat lokasi kotak ekskavasi 1, 2, Ketiga lokasi tersebut dan 3 untuk memperjelas gambarannya. dianggap telah mewakili keseluruhan

Gambar 1. Lokasi kotak ekskavasi (Sumber: Pusat Dokumentasi Arsitektur 2019)

Kotak-Kotak Ekskavasi susunan bata lantai yang sebanyak dua lapis bata. Adapun tatanan bata sebagai Pada ketiga kotak ekskavasi lantai bangunan disusun secara tersebut, ternyata menghasilkan bentuk melintang-membujur. Secara umum, fondasi yang berbeda-beda. Adapun struktur pondasi dinding barat banguan komposisi material yang digunakan sama Gedung B Istana Maimun disusun dari yaitu campuran dari bata, pasir, dan delapan lapis bata dengan tiga teras kapur, tanpa semen. fondasi. Ketinggian struktur pondasi bata Kondisi Kotak IM2019TP1 tersebut keseluruhannya 62 cm dengan Bentuk struktur fondasi lebar 18 cm. Fondasi bangunan tersebut bangunan yang terdapat di kotak berada pada lapisan tanah lempung hitam IM2019TP1 dapat terlihat pada dinding bercampur pasir kasar coklat dan dilapisi timur kotak. Berada di bawah susunan permukaan strukturnya oleh lapisan dua lapis bata sebagai sepatu (landasan lempung kehitaman bercampur pasir bangunan di atas fondasi). Tepat berada kasar. Pondasi tersebut, menopang pada dasar sepatu tersebut, terdapat beban dinding bangunan setinggi sekitar 10 meter yang ada di Gedung B bagian

114 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 111—121

belakang dengan jumlah lantai yang bagian bawahnya untuk mengalirkan air ditopang sebanyak dua lantai. Sebagai buangan ke arah barat bangunan. Bak catatan tambahan, kotak ini dahulu kontrol tersebut tidak menopang beban pernah dilakukan penggalian dalam struktur di atasnya. rangka pembuatan bak kontrol dan Bak kontrol baru tersebut saluran air. menempel pada dinding timur-selatan Adapun struktur bata baru bangunan dengan perekat semen. Hal berupa bak kontrol berbentuk empat tersebut berdampak pada rusaknya persegi yang terdapat di bagian tenggara beberapa spesi pasir-kapur yang kotak menempel pada lapisan struktur merekatkan bata lama. Adapun pada pondasi dinding. Bak kontrol tersebut dinding selatan, dapat dilihat adanya pipa berukuran 45 cm lebar dan panjang 50 logam lama yang tidak difungsikan lagi, cm dengan pipa 4 inci dan reoling di berdiameter sekitar 15 cm.

Gambar 3. Bentuk struktur pondasi Gedung B yang tampak di kotak IM2019TP1 spit 1 hingga 4 (Dokumentasi Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2019)

Gambar 1. Stratigrafi Kotak IM2019TP1 (Digambar oleh Andri Restiyadi)

Kondisi Kotak IM2019TP2 yang bukan termasuk fondasi yaitu landasan lantai. Tipe fondasi pertama Pada kotak IM2019TP2 yang berada pada sisi utara memiliki setidaknya terdapat dua buah tipe struktur kedalaman 120 cm, dengan lebar kaki fondasi bangunan. Pertama adalah keseluruhan mencapai 50 cm. Fondasi ini fondasi yang terdapat pada sisi utara. memiliki enam tingkatan yang disusun Fondasi ini menyangga dinding yang berbeda. Tingkatan pertama tersusun terdiri atas tiga lantai bangunan. Adapun sebanyak lima lapis bata dengan susunan tipe kedua adalah struktur fondasi yang membujur-melintang secara bergantian. terdapat di sisi timur. Fondasi ini hanya Tingkatan kedua terdapat sebanyak dua menyangga dua dinding saja. Tipe lainnya

Modifikasi Tanah dan Variasi FondasiBangunan Istana Maimun, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara 115 (Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi)

lapis bata, ketiga, keempat, dan kelima bawahnya memiliki tiga lapis bata. Pada masing-masing selapis bata, dan tingkat ketiga memiliki tiga lapis bata, dan tingkatan paling dasar sebanyak empat tingkat yang terakhir (paling bawah) bata. Secara keseluruhan terdapat 14 memiliki empat lapis bata. Cara lapis bata yang menyusun struktur fondasi penyusunan bata tersebut sama dengan sisi utara. Fondasi ini berdiri di atas tipe pertama yaitu berselang membujur- lapisan tanah padat, dan kompak yang melintang secara bergantian. Fondasi ini berjenis geluh lempungan, sehingga lebih juga berdiri di atas tanah geluh stabil. lempungan yang kompak, dan padat se- hingga lebih stabil. Berada di atas struktur Struktur fondasi yang berada di fondasi tersebut terdapat lapisan bata sisi timur juga memiliki 14 lapis bata tetapi lantai yang terdiri dari dua lapis bata. dengan susunan tingkatan yang berbeda. Masing-masing bata diberikan spesi Kedalaman dari fondasi ini adalah 120 campuran ka-pur dan pasir setebal 1-2 cm, dengan lebar keseluruhan 25 cm. cm. lapisan lantai ruangan saat ini telah Fondasi sisi timur memiliki empat diperbarui dengan cara diberikan acian tingkatan. Tingkat yang pertama (paling halus dari bahan semen. atas) memiliki susunan bata sebanyak lima lapis, tingkat kedua yang berada di

Gambar 4. Bentuk struktur pondasi Gedung A bagian dalam yang tampak di kotak IM2019TP2 spit 1 hingga 5 (Dokumentasi Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2019)

Gambar 1. Stratigrafi kotak IM2019TP2 (Digambar oleh Andri Restiyadi, 2019)

Kondisi Kotak IM2019TP3 memiliki bentuk yang berbeda dibandingkan dengan dua struktur Bentuk struktur pondasi di bagian pondasi yang telah ditemukan sudut bawah tanggga utama Istana sebelumnya. Lapisan struktur pondasi Maimun yang terletak antara selasar dapat kelompokan menjadi dua, yaitu Gedung A dengan rumah Tengku Asifah pondasi Gedung A bagian tangga yang

116 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 111—121

menopang dinding sekitar 4 meter dan ukuran satu bata dengan tinggi sebanyak pondasi teras Rumah Tengku Asifah yang tiga lapisan bata hingga duduk di lapisan menopang teras rumah setinggi 50 cm. lempung coklat. Pada akhir pondasi banyak dijumpai sisa-sisa spesi berupa Bentuk struktur pondasi Gedung bahan kapur (CaCO3) dan pasir kasar. A bagian tangga depan Istana Maimun Kandungan kalsium karbonat tersebut terdiri dari delapan lapisan bata yang dibuktikan dengan penetesan asam cuka terletak di bawah lantai semen. Mulai pada sampel pecahan spesi tersebut berteras di lapisan pertama pondasi bata yang menghasilkan buih busa, hal dengan tinggi tiga lapisan bata dengan tersebut dilakukan di Laboratorium Kantor lebar setengah bata. Berada di bawahnya Balai Arkeologi Sumatera Utara. Adapun adalah selapis teras bata yang dilanjutkan tinggi struktur pondasi tersebut adalah lagi dengan teras bata berikutnya dengan 68,5 cm dan lebar 35 cm. tinggi satu lapis bata juga yang kedua terasnya selebar setengah bata. Lapisan di bawahnya ditambah teras dengan

Gambar 5. Bentuk struktur pondasi tangga utama Gedung A dan teras rumah yang tampak di kotak IM2019TP3 spit 1 hingga 4 (Dokumentasi Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2019)

Gambar 1. Stratigrafi kotak IM2019TP3 (Digambar oleh Andri Restiyadi, 2019)

Adapun bentuk struktur pondasi adanya kebocoran dari ruang kamar teras bangunan yang di bagian bawah mandi yang berada di seberang dinding teras rumah Tengku Asifah berbentuk sisi utara. Kelembaban ini berdampak lurus tanpa teras pondasi dengan tinggi pada rapuh, dan tingkat kelengketan lima lapisan bata yang berakhir tepat di spesi dan bata yang berkurang. Berada di sepatu keempat pondasi gedung sekitar fondasi tersebut berupa timbunaan sampingnya. Tinggi struktur pondasi lantai pasir padat. Satu hal yang menarik rumah Tengku Asifah 38,5 cm yang lurus berkaitan dengan keberadaan kedua ke bawah tanpa teras. fondasi tersebut adalah adanya fitur lubang galian di sekitar fondasi (lihat Kondisi dari fondasi saat ini gambar stratigrafi kotak IM2019TP2 sangat lembab, kemungkinan karena

Modifikasi Tanah dan Variasi FondasiBangunan Istana Maimun, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara 117 (Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi)

nomor lapisan 6). Berdasarkan pada berada di Gedung A merupakan lapisan keberadaan fitur mengindikasikan sebuah lempung berwarna coklat, yaitu kotak rekonstruksi arkeologis pada pembuatan IM2019TP2 dan IM2019TP3. Adapun di fondasi tersebut. Adapun rekonstruksi kotak yang terdapat di Gedung B, kotak yang dimaksud adalah lokasi yang telah IM2019TP1 karena kedalaman kotaknya dipilih untuk dijadikan fondasi digali hanya men-capai kedalaman 60 cm, sedalam 60-70 cm sampai menemukan lapisan akhirnya merupakan lapisan pasir tanah geluh lempungan yang padat dan kasar, dan bila di dalamkan sedikit lagi kompak. Setelah itu, parit yang lebih kecil akan sama lapisannya dengan dua kotak untuk menampung kaki fondasi digali ekskavasi yang ada di Gedung A. lebih dalam yaitu sekitar 100-120 cm. Adapun anomali lapisan yang Dengan demikian dalam pembuatan ada di kotak IM2019TP1 yang tampak di fondasi setidaknya terdapat dua buah dinding selatan dan sebagian dinding parit yang bertingkat. baratnya dikarenakan proses penimbunan Kondisi Stratigrafi Kotak Ekskavasi ulang dalam rangka membuat saluran dan bak kontrol baru. Lapisan stratigrafi nya Kondisi stratigrafi kotak didominasi oleh lapisan lempung dan ma- ekskavasi cukup penting untuk terial bata, semen, dan pecahan lantai dipaparkan berkaitan dengan lokasi yang dipakai untuk menimbun ulang berdirinya fondasi tersebut. Secara umum bekas galian di bagian belakang Gedung kondisi stratigrafi pada ketiga struktur B. Perbedaan kondisi stratigrafi di Kotak pondasi di tiga lokasi yang berbeda IM2019TP1 tersebut diindikasi sebagai mengandung lapisan tanah yang memiliki jejak manusia sekarang dalam kemiripan. Lapisan pertama di permukaan merenovasi dengan menambah unsur semuanya merupakan lapisan lantai bangunan berupa bak kontrol di bagian semen yang di bagian bawahnya belakang. Bak kontrol tersebut dilengkapi diperkuat oleh susunan bata. Binaan bata dengan pipa 4 inci dan saluran reoling di di bawah lantai untuk Gedung A yang bagian bawahnya di kedalaman 50 cm. terletak di dalam kamar Tengku Zora Tepat di bawah reoling tersebut tampak memiliki dua lapisan bata (kotak lapisan asli tanah timbun pondasi Gedung IM2019TP2). Hal serupa juga terjadi pada B tersebut. lapisan bata yang terdapat di bawah lantai Gedung B (kotak IM2019TP1). Lapisan Adapun selain lapisan-lapisan bata yang berada di luar Gedung A (kotak stratigrafi yang tampak pada dinding IM2019TP3) yang merupakan teras kotak, terdapat juga lapisan lempung bangunan yang berbatasan dengan parit yang ditemukan menempel di sekitar keliling susunan bata di bawah lantai struktur pondasi bata. Lapisan tersebut semennya hanya satu lapis saja. Pada membatasi antara struktur bata dengan setiap lapisan pondasi bata di setiap lapisan pasir kasar yang berada di bagian lokasi selalu bercampur antara pasir luarnya. Hal tersebut dapat dijadikan kasar coklat dengan lempung kehitaman. sebagai bukti lapisan lempung digunakan sebagai bahan pelapis struktur pondasi Berada di bawah lapisan lantai bata yang berfungsi sebagai penghalang dan bata, selanjutnya diikuti oleh lapisan meresapnya air melalui lapisan pasir pasir kasar berwarna coklat tua dan kasar ke bagian struktur pondasi bata, terkadang bercampur sedikit lempung. untuk menjaga bata agar tidak meresap Bagian yang menempel pada pondasi air yang masuk ke dalam tanah di sekitar tembong gedung, lapisan pasir kasar bangunan, lapisan struktur pondasi tersebut bercampur dengan lapisan bangunan juga tidak dilapis semen, lempung berwarna coklat kehitaman. sehingga cara yang paling sederhana Lapisan di bagian sekitar pondasi Gedung adalah dengan melapisnya dengan A dan B tersebut didominasi oleh lapisan lempung. pasir kasar berwarna coklat. Adapun lapisan terakhir yang menjadi dasar kotak Berdasarkan uraian di atas, ekskavasi yang tampak di dua kotak yang dapat diketahui lapisan stratigrafi pada

118 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 111—121

lokasi berdirinya fondasi bata Gedung A menjadi salah satu pertimbangan merupa-kan lapisan lempung berwarna digunakannya pasangan bata pada coklat yang tampak di kotak IM2019TP2 fondasi bangunan Istana Maimun. dan IM2019TP3. Adapun lapisan Berdasarkan pada uraian di atas, stratigrafi dudukan terakhir teras pondasi dapat diketahui bahwa komposisi material pada bagian belakang Gedung B yang digunakan pada fondasi bangunan merupakan lapisan pasir kasar berwarna Istana Maimun adalah bata dengan spesi coklat yang dicampur dengan lapisan kapur dan pasir. Bentuk struktur fondasi lempung berwarna hitam yang dipakai Istana Maimun setidaknya terdapat tiga untuk melapis bagian struktur pondasinya. macam variasi. Hal tersebut membuktikan adanya artifisialisasi/ rekayasa dalam rangka 1. Bentuk struktur pondasi tipe pembuatan pondasi bangunan Istana pertama berada pada kotak Maimun secara umum. IM2019TP1 yang berlokasi di bagian luar bangunan Ge-dung B. Lapisan lempung coklat dan Fondasi tipe pertama merupakan coklat kehitaman yang menjadi dasar susunan lapisan bata setinggi 62 akhir bata pondasi gedung bersifat sangat cm di bawah sepatu dinding dengan labil dan permeabilitasnya sangat rendah lebar 18 cm dengan tiga teras sehingga bila ada air lapisan tersebut melebar ke arah barat, lapisan tidak dapat meresapnya. Lalu untuk struktur pondasi tipe pertama ini merekayasanya, para pembangun Istana disusun oleh delapan lapisan bata. Maimun menambahkan unsur pasir kasar Pada bagian luar susunan struktur berwarna coklat di sekitar bagian atas pondasi dilapisi oleh lapisan lapisan lapisan lempung yang melingkupi lempung bercampur pasir yang keseluruhan struktur pondasi bata melekat di dinding pondasi. Fondasi bangunan Istana Maimun. Bila mengacu ini menyangga satu lantai di pada hukum sedimentasi lapisan tanah, atasnya. seharusnya sedimen yang berukuran butir lebih kasar akan tersedimentasi di bagian 2. Bentuk struktur pondasi tipe kedua bawah sedimen yang berukuran butir terletak di bagian dalam Gedung A lebih kecil. Hal tersebut tampaknya Istana Maimun yang menyangga terbalik di lapisan stratigrafi yang menjadi dua lantai di atasnya. Bentuk matrik pondasi bata bangunan Istana struktur pondasi bata tipe kedua ini Maimun. Hal inilah yang menjadi dasar memiliki variasi karena be-rada di pembuktian bahwa adanya unsur bagian sudut dinding bangunan, rekayasa manusia dalam membangun namun kedua dinding tersebut dan menguatkan struktur pondasi menyangga beban yang berbeda. bangunan Istana Maimun. Untuk bentuk struktur pondasi tipe dua yang menyangga dua lantai di Komposisi, dan Variasi Fondasi atasnya terletak di bagian utara Bangunan Istana Maimun kotak IM2019TP2. Memiliki enam Menurut Henry, Sinha dan Davis undakan yang disusun oleh 14 (2004, 1) ⁠ keuntungan dasar dari lapisan bata. Adapun variasinya konstruksi pasangan bata adalah fleksibel adalah sambungan ke bagian untuk digunakan beragam fungsi ruang. dinding yang menopang satu lantai Pasangan bata dapat secara simultan di atasnya berada di dinding timur me-nyediakan struktur, pembagian ruang, kotak terdiri dari 14 lapisan susunan isolasi termal dan akustik, serta bata dengan tinggi 120,5 cm, lebar perlindungan terhadap api dan cuaca. 22,5 cm, yang dibuat menjadi empat Sebagai bahan, itu relatif murah tapi undakan tahan lama dan menghasilkan finishing 3. Bentuk struktur pondasi tipe ketiga dinding luar dari penampilan yang sangat be-rada di kotak IM2019TP3 yang dapat diterima. Hal ini kemungkinan berlokasi di bagian luar bangunan

Modifikasi Tanah dan Variasi FondasiBangunan Istana Maimun, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara 119 (Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi)

sudut per-temuan antara dinding Dalam rangka meningkatkan tangga utama menuju teras lantai nilai daya dukung tanah lempung pertama Gedung A Istana Maimun. ekspansif, pada umumnya ditambahkan Terletak di dekat parit keliling Istana unsur pasir granular dan kapur (Al Hafizh, Maimun. Struktur pondasi tipe tiga Wibisono, dan Nugroho 2017, 1).⁠ Pasir berbentuk susunan bata sebanyak merupakan jenis tanah yang bersifat delapan lapis bata dengan tinggi nonkohesif dan memiliki sifat butiran 68,5 cm dan lebar 35 cm, memiliki lepas (Sagala 2014, 231).⁠ empat undakan. Struktur pondasi terse-but sama dengan bentuk tipe Mengingat Kota Medan merupa- pertama namun memiliki jumlah kan wilayah yang memiliki curah hujan undakan yang lebih banyak. Hal sangat tinggi, dalam pembangunan Istana tersebut mungkin di-fungsikan Maimun, terutama berkaitan dengan sebagai penopang tiang lengkung fondasi yang bersentuhan langsung yang berada di atasnya. Ter-dapat dengan tanah, diperlukan rekayasa pada penambahan lapisan lempung pada areal bangunan kompleks istana. Ketiga dinding bata struktur pondasinya. lokasi struktur pondasi tersebut dapat dijadikan bukti keberadaan rekayasa Ketiga bentuk tersebut tentunya tanah tersebut melalui kehadiran lapisan dibuat berdasarkan alasan tertentu. Tipe lempung pada tanah yang memiliki daya pertama dibuat untuk menopang dinding dukung rendah terhadap bangunan. bagian belakang bangunan Gedung B Bentuk rekayasa lain adalah dengan yang walaupun menopang dua lantai di menambahkan tanah tim-bun berupa atasnya tetapi tidak terlalu berat dan pasir granular dalam rangka penyerapan tinggi bebannya. Tipe kedua yang berada air tanah. di da-lam Gedung A atau gedung utama istana maimun memiliki bentuk yang lebih Bentuk rekayasa tersebut berkai- panjang, tebal, dan jumlah teras yang tan dengan proses adaptasi manusia lebih banyak dibandingkan tipe pertama dalam membangun suatu gedung dan ketiga tentunya dikaitkan dengan bergaya eropa yang harus beradaptasi fungsinya sebagai penopang dua lantai dengan lingkungan di Kota Medan. bangunan utama yang lebih besar Secara umum kondisi tanah di sekitar bebannya. Adapun tipe ketiga walaupun Istana Maimun yang bedekatan dengan jumlah susunan ba-tanya sama (delapan Sungai Deli merupakan hasil dari lapis bata ke bawah) dengan tipe sedimentasi fluvial sungai yang tidak pertama, namun terasnya lebih banyak stabil sebagai landasan bangunan. dari tipe pertama. Hal tersebut, membuktikan perlunya ketebalan/ lebar KESIMPULAN struktur pondasi tipe ketiga dalam menopang satu lantai dan tiang lengkung Secara umum dapat disimpulkan yang ada di sudut belakang tangga bahwa hingga penelitian ini selesai dil- masuk utama ke Istana maimun. aksanakan, pada sampel tiga lokasi ek- skavasi didapatkan tiga tipe bentuk Tiga tipe bentuk struktur pondasi struktur pondasi bangunan di kompleks tersebut semuanya dilapisi oleh lapisan Istana Maimun dengan bentuk dan ukuran lempung yang digunakan sebagai yang berbeda. Ketiga bentuk tersebut dis- pembat-as bata struktur pondasi dengan esuaikan dengan beban bangunan, lapisan pasir kasar sebagai tanah ketinggian bangunan, serta lokasi dinding timbunnya. Dilihat dari tingkat bangunan itu dibuat. Lokasi dinding porositasnya, timbunan pasir kasar bangunan tersebut dimaksudkan letak tersebut akan lebih banyak menyerap air, dinding tersebut di bagian depan, dalam, dan lapisan lempung dalam konteks ini ataupun depan kompleks Istana Maimun. digunakan sebagai penghambat air Melalui hasil penelitian juga diketahui masuk ke sela-sela fondasi yang dapat adanya rekayasa manusia pembangun merusak bangunan. kompleks Istana Maimun dalam rangka

120 BAS VOL.22 NO.2/2019 Hal 111—121

menghindari banjir dan kerusakan pondasi untuk di masa mendatang. Hendry, A.W., B.P. Sinha, dan S.R Lapisan pasir dibuat mengelilingi di Davies. 2004. Design of Masonry sekitar struktur pon-dasi gedung, untuk Structures. Third. London: E & FN membuat air mudah meresap ke dalam Spon. tanah. Rekayasa dil-akukan dengan cara menambahkan lapisan lempung Jufrida. 2000. “Mesjid Raya Al-Mashun, pelindung struktur pondasi bata yang sebuah karya arsitektur masa tidak disemen. Resapan air di wilayah Kesultanan Deli Awal Abad ke-20)”. kompleks Istana Maimun tetap terjaga Berkala Arkeologi Sangkhakala No. baik, namun resapan airnya yang ke VII (2000): 1-12. dalam tanah tidak langsung mengenai struktur pondasi gedung yang merupakan Jufrida, dan Ery Soedewo. 2004. “Jejak lapisan susunan bata tanpa semen, Kejayaan Kerajaan Deli di Pekan namun dilindungi lapisan lempung yang Labuhan, Kecamatan Medan kedap air. Labuhan, Kota Medan.” Berkala Arkeologi Sangkhakala, no. XIII:

30–38. UCAPAN TERIMA KASIH Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat Terimakasih kami ucapkan pada Pusat Dokumentasi Arsitektur, Keluarga Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Pustaka Kesultanan Deli di Istana Maimun, Tau- fiqurrahman Setiawan, dan Sri Elfina Pan- Sinar Harapan. jaitan yang telah membantu kelancaran kegiatan ekskavasi. Sagala, Putri Sumpeni Sunarti. 2014. “Studi Pengaruh Penambahan Tanah Lempung A-7 Terhadap DAFTAR PUSTAKA Kuat Geser Tanah Pasir Sungai.” Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan Ambary, Prof. Dr. Hasan Muarif. 1998. 2 (2): 231–37. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Sinar, Tengku Luckman. n.d. Bangun dan Indonesia. Ciputat: PT. Logos Runtuhnya Kerajaan Melayu di Su- Wacana Ilmu matera Timur. Medan: Dinas Pendidi-kan dan Kebudayaan. Bille, Mikkel, dan Tim Flohr Sørensen. 2016. “Into The Fog of ———. 1991. Sejarah Medan Tempo Architecture.” dalam Elements of Doeloe. Medan: Dinas Pendidikan Architecture: Assembling dan Kebudayaan. Archaeology, Atmosphere, and The Performance of Building ... Spaces, diedit oleh Mikkel Bille dan Tim Flohr Sørensen, Pertama, 1–29. London dan New York: Routledge.

Hafizh, M.Shoffar Al, Gunawan Wibisono, dan Soewignjo Agus Nugroho. 2017. “Stabilisasi Tanah Lempung dengan Pasir Bermacam Gradasi dan Campu-ran Kapur.” Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Riau (JOM FT UNRI) 4 (2): 1–9.

Modifikasi Tanah dan Variasi FondasiBangunan Istana Maimun, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara 121 (Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi) https://sangkhakala.kemdikbud.go.id/ Berkala Arkeologi Vol. 22 No. 2 2019, 122-135 P-ISSN: 1410-3974; E-ISSN: 2580-8907 SANGKHAKALA 10.24832/bas.v22i1.411

INTERAKSI ADAT DAN ISLAM DALAM BANGUNAN MASJID KUNO DI TANAH DATAR CUSTOMARY AND ISLAMIC INTERACTIONS IN ANCIENT MOSQUE BUILDING IN TANAH DATAR

Naskah diterima: Revisi terakhir: Naskah disetujui terbit: 17-09-2019 20-10-2019 23-10-2019

Syahrul Rahmat STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau Jalan Lintas Barat Km 19 Ceruk Ijuk, Toapaya, Bintan [email protected]

Abstract As one of the traditional buildings in Minangkabau, the mosque built before the 20th century is unique in term of the building shape. Customary leaders have a major role in the mosque construction, especially in Tanah Datar District, West Sumatra. The customary embodiment as community's culture also influences the meaning of every part of the mosque building. This indicates that at a certain time, customs and Islam had a quite intense interaction to leave a mark on the building architecture. The research conducted using a historical research method. This research aimed to discover the interaction of custom and religion in term of mosque building built in the early of 18th and 20th century. The interaction between custom and Islam are analyzed in form of physical, meaning, and idea. Keywords: Islam; custom; building; ancient mosque Abstrak Sebagai salah satu bangunan tradisional di Minangkabau, masjid yang didirikan sebelum abad ke-20 memiliki keunikan dari segi bentuk bangunan. Tokoh-tokoh adat memiliki peranan besar dalam pendirian masjid, terutama di daerah Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Perwujudan adat sebagai salah satu kebudayaan masyarakat kemudian juga ikut mempengaruhi makna dari setiap bagian yang ada pada bangunan masjid. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada suatu masa tertentu, adat dan Islam memiliki interaksi yang cukup intens sehingga meninggalkan jejak pada arsitektur bangunan. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode penelitian sejarah ini melihat bagaimana interaksi adat dan agama dalam wujud bangunan masjid yang dibangun pada awal adab ke-18 dan awal abad ke-20. Bentuk-bentuk interaksi antara adat dengan agama Islam pada masjid-masjid tersebut ada dalam wujud fisik serta dalam wujud ide atau makna. Kata kunci: Islam; adat; bangunan; masjid kuno

PENDAHULUAN dalam masyarakat, menjadi suatu yang sama sekali tidak dapat dipisahkan Islam dan adat di Minangkabau dengan keberadaan masyarakat itu adalah dua hal yang tidak dapat sendiri. Pada umumnya, adat begitu lekat dipisahkan. Keduanya menjadi komponen dengan sekelompok masyarakat karena penting dan menjadi acuan dalam sudah digunakan dalam waktu yang lama. menjalani kehidupan. Sehingganya dua hal tersebut kemudian berkembang Adat Minangkabau pada dasarnya menjadi identitas komunitas masyarakat merupakan sebuah kebudayaan yang utuh yang mendiami bagian barat daratan pulau (A.A. Navis, 1984: 88). Adat sifatnya turun Sumatera bagian tengah tersebut. temurun dan dapat didefenisikan sebagai aturan atau norma yang telah dijalani dan Kamus Besar Bahasa Indonesia patuhi oleh masyarakat sejak dahulu. menjelaskan adat sebagai aturan yang Selain itu, adat juga dapat disebut sebagai lazim dituruti, dilakukan sejak dulu (KBBI, sebuah gagasan kebudayaan yang di 2003: 7). Adat hidup dan berkembang

122 BAS VOL.20 NO.2/2018 Hal 122—135

dalamnya terdapat nilai-nilai, budaya, Keberadaan adagium adat basandi hukum serta serta aturan yang saling syarak dan syarak basandi kitabullah yang berkaitan antara satu dengan yang lain tertanam dalam diri masyarakat dalam menjalankan sebuah sistem dalam merupakan sebuah perwujudan masyarakat (Amir Sjarifoedin, 2011: 58). bagaimana adat dan Islam menjadi begitu penting dalam masyarakat. Adat, Sebagai sebuah konsep, dalam kebiasaaan maupun tradisi masyarakat realisasinya adat tentu tidak terlepas dari Minangkabau berangkat dari pemahaman keberadaan struktur. Sebagai masyarakat mereka terhadap Islam. Beberapa komunal, tentunya terdapat struktur dan peristiwa yang terjadi di daerah tersebut lembaga yang akan menjalankan adat. semenjak abad ke-16, mengantarkan Dalam hal kepemimpinan di Minangkabau, masyarakat daerah tersebut pada terdapat penghulu yang menjadi pimpinan pemahaman bahwasanya Islam dan adat dari sebuah kaum atau suku. Selain adalah dua hal yang saling berkaitan dan penghulu terdapat beberapa orang lainnya tidak dapat dipisahkan. yang membantu dalam menjalankan sebuah sistem, yaitu manti, malim dan Mulai masifnya perkembangan Islam dubalang. Keempat posisi ini memiliki sejak kepulangan Syekh Burhanuddin dari tugas dan fungsi masing-masing. Aceh pada abad ke-16, tidak serta merta Penghulu adalah orang yang bertanggung merubah tatanan yang ada dalam jawab terhadap urusan adat, manti dapat masyarakat secara total. Dalam disebut sebagai cendikiawan, malim perjalanannya, Islam mulai masuk ke sebagai seorang yang akan dalam sendi-sendi kehidupan. Terjadinya menyelesaikan masalah agama, serta peristiwa Paderi pada abad ke-19 juga dubalang sebagai orang yang bertanggung menjadi suatu bentuk bagaimana Islam jawab terkait urusan kemanan dan dan adat ada dalam suatu kesatuan untuk pertahanan (M. Nasroen, 1971: 144). mencapai tujuan yang sama. Selain dari struktur, dalam adat Begitu eratnya hubungan antara Minangkabau juga terdapat sistem yang Islam dan adat tentu saja tidak hanya disebut dengan lembaga. Apabila adat terlihat dari perilaku masyarakat. adalah sesuatu yang harus dilaksanakan, Berangkat dari pemahaman kebudayaan maka lembaga adalah struktur, jabatan yang tertanam dalam bentuk ide, hal hingga undang-undang atau aturan dasar tersebut kemudian diwujudkan ke dalam (Amir Sjarifoedin, 2011: 73). Adat dan beberapa bentuk, baik berupa perilaku lembaga merupakan dua hal yang saling dan juga benda. Nilai-nilai yang sudah berkaitan, hubungan antara keduanya tertanam kuat dalam diri masyarakat disebutkan dalam mamangan adat yang menjadi kebiasaan sehingga berbunyi adat diisi, limbago dituang. mempengaruhi berbagai aktifitas.1 Dengan kata lain, ketika berbicara Keberadaan masjid sebagai tentang adat, tentu tidak hanya berbicara representasi agama Islam di tentang adat dalam sebuah ide belaka. Minangkabau, berkaitan dengan wujud Akan tetapi di dalamnya sudah ada satu kebudayaan dalam bentuk benda yang kesatuan yang lengkap, mulai dari dihasilkan oleh masyarakat. Bagi umat manusia sebagai pelaku kebudayaan yang Islam, masjid merupakan bangunan merumuskan dan menjalankan lembaga penting dan sakral untuk menunjang adat hingga kebiasaan yang kemudian kegiatan peribadatan kepada Allah SWT. diwujudkan dalam bentuk perilaku dan Di Minangkabau sendiri, masjid menjadi benda. Keberadaan tradisi hingga benda- benda yang diciptakan merupakan bentuk eksistensi dari adat yang sudah mengakar 1 Terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu dalam kehidupan masyarakat kebudayaan dalam wujud ide maupun gagasan, Minangkabau. aktifitas atau tidakan yang berpola serta dalam wujud benda. Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rinneka Cipta, 2000), h. 186-187.

Interaksi Adat dan Islam dalam Bangunan Masjid Kuno di Tanah Datar 123 (Syahrul Rahmat)

salah satu prioritas dalam pembentukan aktifitas yang berkaitan dengan agama. sebuah nagari. Tidak hanya diakibatkan oleh faktor alam, kebudayaan juga merupakan faktor Babalai bamusajik (memiliki balai penting dalam terjadinya proses tersebut. dan masjid) adalah salah satu persyaratan dari pembentukan nagari di Minangkabau Setidaknya terdapat dua hal (A.A. Navis, 1984: 92). Hal itu termuat mendasar yang menjadi perhatian pada dalam Undang-undang Nagari, artinya bangunan masjid kuno di Minangkabau. apabila di dalam sebuah nagari belum ada Dari dua hal tersebut, yang pertama ialah masjid, maka belumlah layak daerah apa saja bentuk keterlibatan struktur adat tersebut menjadi sebuah nagari. dalam bentuk makna serta pengaruh Disebutkannya masjid sebagai sebuah arsitektur bangunan adat pada bangunan bangunan yang harus ada dalam masjid kuno di Minangkabau? Sementara pembentukan nagari memperlihatkan yang kedua adalah mengapa hal tersebut bahwa masjid memiliki arti penting dalam terjadi pada bangunan masjid yang pada kehidupan masyarakat. dasarnya merupakan bangunan peribadatan sakral bagi umat Islam? Dalam proses pembangunannya, masjid-masjid kuno di Minangkabau yang Tulisan ini menganalisis keterlibatan dibangun sebelum pertengahan abad ke- unsur-unsur adat dalam bangunan masjid 20 memiliki bentuk tersendiri. Selain dari kuno di Tanah Datar Sumatera Barat. material bangunan, wujud rinupa Selain itu juga dilakukan identifikasi bangunan masjid di Minangkabau sama terhadap bagian-bagian bangunan yang sekali berbeda dengan masjid-masjid kuno mendapat pengaruh dari keberadaan adat. yang ada di Indonesia.2 Bahkan bentuk Tulisan ini mengambil sampel dua buah arsitektur masjid yang dibangun di masjid yang ada di Kabupaten Tanah kawasan Timur Tengah sebagai tempat Datar yang dibangun sebelum awal mulanya berkembangnya ajaran pertengahan abad ke-20. Masjid- masjid Islam juga tidak serta merta ada dalam tersebut ialah Masjid Raya Limo Kaum dan wujud bangunan masjid. Masjid Rao Rao. Terkait dengan keterlibatan unsur- Dua masjid ini dianggap mewakili unsur lokal dalam sebuah bangunan beberapa masjid kuno lain yang ada di masjid, yang terlihat dalam wujud simbol daerah itu. Masjid Raya Lima Kaum merupakan bentuk ekspresi kesadaran merupakan masjid yang didirikan pada masyarakat (Geertz, 1983: 87). Selain itu, awal abad ke-18 dengan material utama pendirian sebuah bangunan tradisional kayu. Sementara Masjid Rao Rao didirikan oleh masyarakat pramodern juga tidak pada awal abad ke-20 dengan bahan terlepas dari kondisi alam serta iklim material beton. Dua masjid ini dianggap sekitar. Penggunaan bahan juga akan mewakili zamannya masing-masing. disesuaikan dengan kondisi yang ada saat Masjid Raya Lima Kaum dari Periode itu, sehingga bangunan tersebut menjadi Klasik dan Masjid Rao Rao dari Periode cikal bakal lahirnya bangunan vernekular Peralihan berdasarkan perkembangan (Widodo, 2009: 18). Hal inilah yang arsitektur masjid di Minangkabau nantinya menjadikan sebuah bangunan (Sudarman, 2014: 101) tradisional memiliki perbedaan antara satu Beberapa penelitian serupa yang daerah dengan daerah lain. pernah dilakukan terkait masjid kuno di Keunikan bangunan masjid kuno Minangkabau ada dalam bentuk buku, yang ada di Minangkabau tidak terlepas tesis, skripsi maupun artikel. Sudarman dari lingkungannya. Keberadaan adat yang dalam buku Arsitektur Masjid dari Masa ke lekat dalam keseharian masyarakat baik Masa terbitan Imam Bonjol Press tahun disengaja atau pun tidak, masuk ke dalam 2014, membahas tentang perkembangan arsitektur masjid di Minangkabau.

2 Wujud rinupa dapat diartikan sebagai wujud Beberapa penelitian lain adalah Skripsi bangunan secara kasat mata yang melipti elemen- yang ditulis Putri Rosery Rosdi berjudul elemen yang ada pada bangunan masjid tersebut. Pengaruh Arsitektur Tradisional terhadap

124 BAS VOL.20 NO.2/2018 Hal 122—135

Masjid Raya Bingkudu di Universitas Indonesia tahun 1990, di dalamnya Rosdi mengidentifikasi pengaruh adat terhadap METODE arsitektur bangunan masjid. Pada Penelitian ini dilakukan dengan penelitiannya, Rosdi menemukan menggunakan metode penelitian sejarah. beberapa bagian bangunan Masjid Batasan temporal dari penelitian ini mulai Bingkudu mengadopsi bentuk arsitektur dari abad ke-18 hingga awal abad ke-20, bangunan rumah gadang. Selain itu, hal ini berkaitan dengan masjid kuno yang Zainuddin dalam Jurnal Lektur menjadi objek penelitian dibangun dalam Keagamaan Vol. 11 No. 2 tahun 2013 periode tersebut. Selain itu penelitian akan menulis artikel berjudul Arsitektur Masjid fokus pada bangunan masjid kuno yang Lima Kaum Batusangkar dan Falsafah ada di Minangkabau atau Sumatera Barat. Masyarakat Minangkabau. Terdapat beberapa langkah dalam Penulis sendiri juga pernah penelitian ini, mulai dari heuristik, kritik melakukan penelitian yang berkaitan sumber, interprestasi dan penulisan dengan masjid kuno, penelitian pertama (Shamad, 2003: 92). dalam bentuk tesis di Pascasarjana UIN Langkah heuristik yang penulis Imam Bonjol Padang tahun 2018 berjudul lakukan dalam penelitian ini adalah Masjid Rao Rao Kabupaten Tanah Datar mengumpulkan data-data yang berkaitan Sumatera Barat (Akulturasi Budaya dalam dengan tema penelitian. Beberapa sumber Arsitektur Masjid pada awal abad XX M). yang dikumpulkan di antaranya adalah Penelitian ini fokus pada akulturasi arsip, foto, hasil wawancara serta berbagai beberapa kebudayaan pada bangunan hasil penelitian yang pernah dilakukan Masjid Rao Rao. Selanjutnya artikel di berkaitan dengan masjid kuno di buletin arkeologi Balai Pelestarian Cagar Minangkabau. Data-data yang telah Budaya (BPCB) Sumbar tahun 2015 terkumpul itu selanjutnya diolah guna berjudul Pengaruh Adat Terhadap mendapatkan data yang sesuai dan paling Arsitektur Masjid di Luhak Nan Tigo. Pada valid terkait tema yang diangkat. Pada artikel tersebut dijelaskan pengaruh adat tahapan kritik sumber ini penulis juga terhadap bagian-bagian bangunan masjid melakukan kritik intern maupun eksteren kuno yang ada di Luhak Nan Tigo, meliputi terhadap data-data yang dipilih.. Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota. Setelah mendapatkan data yang Artikel lainnya ada di Jurnal Analisis sesuai dan dinilai paling kuat, maka dalam Sejarah Vol. 7 No. 1 tahun 2018 berjudul tahap interprestasi penulis mulai Masjid Sipisang Kabupaten Agam menformulasikannya. Hal inilah yang (Tinjauan terhadap Aktifitas Keagamaan nantinya akan membentuk narasi sejarah serta Arsitektur Bangunan Abad ke 19 -20 terkait dengan aktifitas masyarakat yang masehi). Artikel ini membahas tentang berkaitan dengan masjid kuno. Langkah Masjid Sipisang yang dibangun pada awal terakhir dari penelitian ini adalah abad ke-19. Pembangunan masjid ini menuangkan narasi tersebut ke dalam berkaitan dengan penyebaran ajaran bentuk tulisan. Tarekat Naqsyabandiyah di Kabupaten Agam. Serta artikel pada jurnal Penelitian Penelitian ini membahas tentang Sejarah dan Budaya Balai Pelestarian Nilai masjid kuno yang merupakan tinggalan Budaya (BPNB) Sumbar berjudul cagar budaya. Sehingganya juga Pengaruh Eropa terhadap Arsitektur dibutuhkan metode lain untuk Masjid Rao Rao Tanah Datar pada tahun mengiterprestasikan data terkait guna 2018. Artikel ini menjabarkan beberapa menyusun narasi sejarah. Maka untuk bagian arsitektur bangunan masjid yang dalam hal ini penulis menggunakan dipengaruhi oleh arsitektur Eropa, mulai metode deskriptif-kualitatif guna dari material hingga gaya bangunan. mengungkapkan aspek-aspek yang ada dalam objek arkeologis berupa bangunan masjid kuno.

Interaksi Adat dan Islam dalam Bangunan Masjid Kuno di Tanah Datar 125 (Syahrul Rahmat)

ke-20. Secara periodesasi, kedua masjid ini setidaknya terpaut jarak lebih kurang HASIL DAN PEMBAHASAN 200 tahun. Masjid Kuno di Tanah Datar Masjid Raya Lima Kaum Wilayah Tanah Datar memiliki Masjid Raya Lima Kaum dapat setidaknya memiliki 5 masjid kuno. Masjid- dikatakan sebagai masjid tertua yang ada masjid itu ialah Masjid Raya Lima Kaum, di Kabupaten Tanah Datar. Masjid ini Masjid Rao Rao, Masjid Saadah Gurun, berada di Jorong Tigo Tumpuak Nagari Surau Lubuak Bauk Batipuah, Masjid Limo Kaum. Secara geografis Masjid Lima Tuanku Pamansiangan di Pandai Sikek. Kaum berada pada ketinggian ± 500 mdpl, Masjid-masjid tersebut tersebar pada sementara secara astronomis masjid ini wilayah yang relatif berdekatan, kecuali terletak pada koordinat S 00˚ 27’ 56.0” E masjid Tuanku Pamansiangan yang 100˚ 34’ 05.4” (Kartiwi: 2010). berada di sisi Barat daerah Tanah Datar. Secara periodesasi, Sudarman (2014) membagi masjid kuno di Minangkabau pada tiga periode, yaitu periode klasik, periode peralihan dan Periode Modern. Masing periode ini memiliki ciri masing-masing, mulai dari bentuk arsitektur hingga material bangunan yang dipergunakan. Periode klasik menurutnya mengacu pada bangunan masjid yang dibangun dengan material berbahan kayu. Periode ini berlangsung sebelum abad ke-20. Abad ke-20 hingga pertengahan, mulai masuk pada periode peralihan. Pada periode ini masjid-masjid di Minangkabau mulai beralih dalam penggunaan bahan bangunan. Apabila sebelumnya pembangunan masjid mempergunakan bahan kayu, maka pada masa ini sudah mulai menggunkan beton. Sementara Gambar 1. Masjid Raya Lima Kaum Kabupaten periode ketiga adalah periode modern Tanah Datar yang berlangsung dari pertengahan abad (Dokumentasi Rahmat, 2015) ke-20 hingga sekarang. Pada periode ini, Pembangunan masjid ini dimulai masjid tidak hanya dibangun dengan pada tahun 1710 M yang dipelopori oleh material beton, akan tetapi juga mulai beberapa tokoh adat. Terdapat empat mengadopsi desain kontemporer untuk tokoh penting yang terlibat, yaitu Datuak bangunan. Bandaro Kuniang selaku Pucuk Adat Bodi Chaniago Lima Kaum, Ipok Datuak Rajo Dari beberapa masjid kuno yang Nan Khatib sebagai Kepala Nagari Lima ada di Tanah Datar, terdapat dua masjid Kaum, Siam Datuak Basa, serta Sutan yang dibangun dalam masa yang cukup Mak Jali Tuanku Ambuyut (Sutan jauh dan dapat memberikan representasi Mahmud, 2008: 122) dari keberadaan adat dan Islam di masanya. Pertama adalah Masjid Raya Dalam proses awal Lima Kaum yang dibangun pada pembangunan, beberapa ninik mamak yang dipimpin oleh Tuanku Ambuyut permulaan abad ke-18 dan Masjid Rao bergerak ke hutan untuk mencari kayu. Rao yang dibangun pada permulaan abad

126 BAS VOL.20 NO.2/2018 Hal 122—135

Setelah ditemukan, maka penebangan masih terdapat 15 tiang gantung yang kayu yang akan digunakan sebagai tiang menyangga rangka atap masjid. Ke-15 macu atau tunggak tuo dilakukan oleh tiang ini merupakan pemaknaan dari Datuak Bandaro Kuniang. Pada proses keberadaan Angku 153. pembangunan, bagi masyarakat yang tidak ikut bergotong royong, maka mereka diwajibkan membayar denda berupa satu ekor sapi pada Kepala Nagari (Sutan Mahmud, 2008: 130). Secara fisik, bangunan Masjid Raya Lima Kaum memiliki atap bebentuk limas persegi empat. Atap masjid ini terdiri dari lima undakan atau tingkat, sementara lazimnya atap masjid di Minangkabau memilki 3 undakan. Berbeda dengan atap masjid di daerah Jawa yang relatif landai, maka masjid-masjid yang ada di Minangkabau terkesan lebih curam, Gambar 2. Tiang Masjid Lima Kaum termasuk atap Masjid Lima Kaum. (Dokumentasi Rahmat, 2015) Lima undakan yang ada pada Sementara itu, tiang utama atau masjid ini memiliki makna rukun Islam. di daerah setempat lebih dikenal dengan Sementara itu, dari perspektif adat, lima sebutan tunggak tuo juga memiliki makna undakan ini merupakan perwakilan dari secara adat. Tiang ini memiliki tinggi lebih nama daerah itu sendiri, yaitu Lima Kaum kurang 40 meter dan menghubungkan (Rahmat, 2015: 50). Nama Lima Kaum bagian bangunan masjid dengan menara juga berangkat dari keberadaan lima kaum yang berada di puncak atap. Tunggak tuo yang mendiami kawasan tersebut, kaum sebagai tiang utama yang berada di yang ada di daerah itu adalah Piliang, tengah-tengah bangunan masjid Balai Labuah, Kubu Rajo, Balai Batu dan merupakan pemaknaan dari keberadaan Dusun Tuo. Datuak Bandaro Kuniang sebagai pucuk pimpinan adat di Nagari Limo Kaum Selain atap, bagian lain yang juga (Rahmat, 2015: 52). memiliki makna berkaitan dengan adat adalah tiang. Masjid Lima Kaum disangga Masjid Rao Rao oleh tiang kayu sebanyak 119 buah yang Masjid kuno lain yang berada di merupakan pemaknaan dari jumlah daerah Tanah Datar adalah Masjid Rao penghulu di nagari tersebut (Sutan Rao. Masjid ini berada di Nagari Rao Rao Mahmud, 2008, 133). Saat ini, tiang-tiang Kecamatan Sungai Tarab. Secara yang ada di masjid tersebut tidak lagi geografis, Masjid Rao Rao berada pada memiliki tiang sebanyak itu. Kebutuhan ketinggian 750 mdpl, sementara secara ruang yang lebih luas untuk keperluan astronomis masjid ini berada pada posisi S ibadah membuat pengurus masjid 00˚ 22’ 423” E 100˚ 33’ 318” (Syarif: 2017). terpaksa memotong beberapa tiang yang ada di dalam bangunan. Terdapat beberapa pendapat terkait tahun pendirian masjid. Laporan Rincian dari 119 tiang itu adalah, Pemutakhiran Data dari Balai Pelestarian 112 tiang sebagai perwakilan dari Cagar Budaya (BPCB) Sumbar tahun penghulu ampek jinih, 2 tiang sebagai 2017 menyebutkan Masjid Rao Rao pemaknaan dari Datuak Nan Balimo, 4 tiang sebagai permaknaan dari Datuak 3 Angku 15 adalah sebutan bagi 15 orang Nan Salapan dan 1 buah tiang sebagai perangkat masjid yang berasal dari lima kaum permaknaan Datuak Bandaro Kuniang atau kampung yang ada di nagari itu, setiap sebagai pucuk pimpinan adat di Nagari kampung mengirimkan tiga orang yang akan Limo Kaum. Selain 119 tiang tersebut, mengisi perangkat tersebut pada posisi imam, khatib dan bilal.

Interaksi Adat dan Islam dalam Bangunan Masjid Kuno di Tanah Datar 127 (Syahrul Rahmat)

didirikan pada tahun 1908. Yulianto terdapat empat suku yang terlibat, yaitu Sumalyo (2000) menyebutkan Masjid ini Bodi Chaniago, Koto Piliang, Kutianyia dan didirikan pada tahun 1918, senada dengan Bendang Mandahiliang. Bangunan masjid pendapat Sudarman (2014). Akan tetapi ini berada di atas tanah kepunyaan Haji dalam hal ini Sudarman menjelaskan Muhammad Thaib, Haji Adam serta Siti bahwa sebelum dibangun Masjid Rao Rao, Reno Lila dari suku Chaniago Kampuang cikal bakalnya sudah ada sejak tahun Dalam dengan Penghulunya Datuak 1907 dengan keberadaan Masjid Usang. Malingka. (Rahmat, 2018a: 55, 63). Selain itu, dalam arsip yang berisi kesepakatan untuk mendirikan masjid bertanggal 20 September 1917, terdapat 27 tokoh adat dan agama yang bersepakat. Dari 26 tokoh tersebut 12 di antaranya adalah penghulu adat. Selanjutnya terdapat 4 orang imam (1 imam adat dan 3 imam Jumat), 4 orang bilal (2 bilal Jumat dan 2 bilal adat), 2 orang khatib adat, 2 orang manti adat, 1 orang kadi nagari dan 2 orang hakim lumbuang. Dibangun pada awal abad ke-20, Gambar 3. Masjid Rao Rao membuat Masjid Rao Rao sedikit berbeda (Dokumentasi Rahmat 2017) dengan masjid lain yang ada di Berangkat dari perbedaan Minangkabau secara umum, terutama pendapat di atas, penulis cenderung masjid yang berada di daerah darek atau menyebut masjid ini dirikan pada tahun daerah pegunungan. Perbedaan itu ada 1918, akan tetapi persiapan untuk itu pada material utama yang digunakan. sudah dimulai sejak tahun 1908. Masjid atau bangunan tradisional Sebagaimana disebutkan sebelumnya, nusantara pada umumnya menggunakan pada tahun 1907 tidak jauh dari sebuah kayu sebagai bahan utama. Hal ini masjid sekarang, sudah ada sebuah berkaitan dengan ketersedian bahan. masjid yang bernama Masjid Usang. Akan Hampir seluruh bagian bangunan tetapi, karena jauh dari pemukiman maka masjid dibangun dengan mengunakan disepakatilah untuk membangun masjid beton atau semen. Dari keseluruhan baru. bangunan, hanya bagian atas bangunan Tahun 1918 adalah saat masjid ini yang menggunakan kayu. Pada Masjid mulai difungsikan secara resmi. Mengingat Rao Rao, kayu dipergunakan sebagai bentuk arsitektur masjid yang cukup rangka atap sekaligus menara. megah untuk bangunan di awal abad ke- Tidak seperti Masjid Lima Kaum, 20, maka sangat memungkinkan butuh Masjid Rao Rao memiliki sedikit waktu yang panjang dalma pembangunan, perbedaan dalam bentuk konstruksi atap. mulai dari tahap persiapan hingga selesai Apabila Masjid Lima Kaum terdiri dari lima dan dapat dimanfaatkan. Hal itu juga undakan dan bagian puncak yang juga berkaitan dengan ketersedian bahan yang menjadi menara berbentuk runcing tanpa tidak hanya berasal dari alam sekitar, tapi ada tambahan unsur lain, maka Masjid harus didatangkan dari luar daerah Rao Rao sebaliknya. Atap masjid ini terdiri (Rahmat, 2018a: 63). dari tiga tingkat dan bagian puncaknya Masjid Rao Rao didirikan atas terdapat menara dengan empat buah atap prakarsa Abdurrahman Datuak Maharajo gonjong. Indo sebagai tokoh adat sekaligus tokoh Tiga tingkat atap dengan agama di daerah tersebut. Sebagai masjid ditambah satu tingkat lagi di bagian nagari, dalam proses pembangunannya puncak yang berbentuk gonjong,

128 BAS VOL.20 NO.2/2018 Hal 122—135

merupakan pemaknaan dari empat suku itu tidak disampaikan secara terang- yang ada di daerah Rao Rao. Suku-suku terangan, melainkan melalui kiasan. itu adalah Bodi Chaniago, Koto Piliang, Berbeda dengan agama yang harus Patapang Kutianyia dan Bendang disampaikan secara terang-terangan agar Mandahiliang (Syarif: 2017). Keempat tidak terjadi kesalahpahaman. suku ini juga merupakan pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan masjid. Pengerjaan masjid ini tidak terlepas dari gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat nagari Rao Rao. Selain dari segi tingkat, bagian puncak atap masjid yang berupa gonjong juga memiliki makna filosofis tersendiri. Bagian atap ini menghadap ke empat mata angin, mengikuti sisi atap yang berbentuk limas persegi empat. Empat atap berupa gonjong ini merupakan atap dari menara yang berada di puncak, masing-masing puncaknya dihiasi oleh hiasan serupa dengan yang ada pada ujung atap rumah gadang. Sementara di antara keempat atap tersebut terdapat mustaka atau kemuncak yang memiliki posisi paling tinggi dari pada empat atap gonjong lainnya. Posisi atap gonjong di bagian Gambar 4. Bagian Puncak Atap Masjid Rao Rao puncak yang merupakan tempat tertinggi (Dokumentasi Rahmat 2017) dari bangunan masjid berkaitan dengan Masjid Rao Rao memiliki dua hubungan antara adat dan agama di buah menara. Menara pertama terhubung Minangkabau. Filosofi dari atap gonjong itu dengan bagian utama bagunan masjid ialah tinggi adaik karano agamo, indak karena berada di puncak atap. Menara itu dikatoan baradaik kalau indak tau agamo memiliki bentuk persegi empat dengan (tinggi adat karena agama, tidak dikatakan masing-masing sisinya memiliki jendela beradat kalau tidak tahu dengan agama). berdaun dua. Sementara itu, menara Filosofi ini merupakan sebuah bentuk kedua berada pada posisi yang lebih aktualisasi dari kedekatan antara adat dan rendah dari pada menara pertama. agama, dimana satu di antaranya tidak Menara ini berada di bagian atas serambi dapat dipisahkan. Filosofi tersebut masjid atau bagian timur menara pertama. mempertegas bahwa ketinggian adat yang tumbuh dan berkembang di tengah Bentuk menara kedua ini juga masyarakat tidak terlepas dari keberadaan sama sekali berbeda dengan menara agama. Seorang Minang tidak dikatakan pertama. Apabila menara pertama memiliki beradat apabila tidak memahami agama atap bebentuk gonjong sebanyak empat Islam. buah, maka menara kedua ini memiliki atap serupa kubah kecil yang disambung Selain itu, pada bagian kemuncak dengan hiasan kemuncak. Selain itu, beserta hiasan yang terdapat di puncak bagian menara juga terdiri dari tritisan atap gonjong memiliki bentuk bulan berdenah segi delapan. Menara kedua ini bintang. Makna dari ornamen bulan berada satu garis lurus dengan menara bintang berkaitan dengan mamangan adat pertama dan mihrab. Pola serupa ini yang berbunyi adat basisampiang syarak serupa ini biasanya ditemukan pada batilanjang (Rahmat, 2018a: 73). masjid-masjid kono yang ada di China Mamangan adat ini memiliki arti (Sumalyo, 2000: 63-64). bahwasanya segala sesuatu tentang adat

Interaksi Adat dan Islam dalam Bangunan Masjid Kuno di Tanah Datar 129 (Syahrul Rahmat)

Sebagaimana menara pertama, seluruh bagian mimbar tersebut dilapisi menara kedua juga memiliki filosofi terkait dengan pecahan keramik dan porselen dengan adat Minangkabau. Tritisan yang berasal dari luar negeri. Keramik- berbentuk persegi delapan dikiaskan keramik tersebut di antaranya berasal dari sebagai Gantang Alam Minangkabau, hal Eropa dan China (Rahmat, 2018b: 1029). tersebut karena bentuknya yang bersegi Mimbar Masjid Rao Rao dibangun delapan menyerupai bentuk gantang yang beberapa tahun setelah masjid ini berdiri biasa digunakan oleh masyarakat dalam dan resmi digunakan. Mimbar tersebut kehidupan sehari-hari. Secara filosofi, berbentuk permanen tersebut dibangun gantang itu terdiri dari empat cupak. pada tahun 1930. Mimbar berukuran 3 x Empat cupak inilah yang kemudian 1.38 m dengan tingi 3.15 m (Sudarman, menjadi kiasan dari keberadaan empat 2014: 70). Selain memiliki pecahan suku dominan yang ada di Nagari Rao keramik sebagai hiasan, mimbar juga Rao, yaitu Koto Piliang, Bodi Chaniago, dilengkapi dengan tambahan ornamen lain Patapang Kutianyia dan Bendang yang juga mengandung filosofi nilai-nilai Mandahiliang. Selain itu, Gantang Alam adat. Minangkabau juga memiliki filosofi bapucuak bulek baurek tunggang Dua buah tiang yang berada di (Rahmat, 2018a: 84)4. sisi kiri dan kanan mimbar bagian depan memilki bentuk hiasan kepala yang berbeda. Kedua tiang ini masing- masingnya berada di sisi tiang yang menjadi gapura mimbar. Tiang sisi kiri memiliki hiasan berbentuk sorban ulama, sementara tiang sebelah kanan memiliki hiasan berbentuk destar penghulu. Keberadaan kedua simbol ini merupakan bentuk kesimbangan antara adat dan agama di daerah tersebut (Rahmat, 2018a: 93).

Gambar 5. Menara Kedua Masjid Rao Rao (Dokumentasi Rahmat, 2017) Selain itu, kehadiran nilai-nilai adat di Masjid Rao Rao juga terdapat pada mimbar. Mimbar Masjid Rao Rao sudah berbentuk permanen dengan menggunakan bahan semen. Hampir

4 Gantang merupakan alat yang digunakan untuk menakar beras atau padi oleh masyarakat Gambar 6. Mimbar Masjid Rao Rao Minangkabau. Sementara cupak alat yang (Dokumentasi Rahmat 2017) memiliki fungsi yang sama dengan gantang, yaitu Interaksi Adat dan Agama untuk menakar, hanya saja cupak memiliki ukuran pada Bangunan Masjid Kuno yang lebih kecil dari pada gantang.

130 BAS VOL.20 NO.2/2018 Hal 122—135

Interaksi antara adat dengan Beberapa bagian itu di antaranya terlihat Islam pada bangunan masjid dapat dilihat dari kecuraman atap, tiang, dan lantai. dari dua sudut pandang. Pertama dalam Dua masjid ini tidak mendapat pengaruh bentuk fisik atau wujud rinupa dan kedua yang sama, hal tersebut karena keduanya dalam bentuk makna atau filosofi. Kedua dibangun pada waktu yang terpaut jauh, hal ini pada dasarnya ada dalam sehingga mempengaruhi bentuk fisik bangunan masjid kuno di Minangkabau bangunan. atau khususnya Tanah Datar. Masjid Lima Kaum memiliki atap Wujud Fisik bertingkat lima dan berbentuk curam. Tidak hanya curam, atap ini juga bentuk Sebuah bangunan berupa melengkung. Atap yang melengkung, baik arsitektur yang dibuat oleh masyarakat pada sisi vertikal maupun horizontal dapat berupa pola-pola, struktur, susunan ditemukan ada konstruksi atap rumah maupun wujud rinupa merupakan gadang. cerminan dari kebudayaannya. Struktur pada dasarnya tidak langsung tampak Pada bangunan rumah gadang, tanpa menyelidiki bangunan lebih jauh, bentuk atap yang curam itu dikenal sehingganya, dalam mengidentifikasi dengan sebutan atap gonjong. Bukan bentuk maka masyarakat cenderung lebih tanpa alasan, kondisi geografis daerah memperhatikan wujud rinupa. Dalam Minangkabau dengan intensitas hujan mengenali sebuah bagunan, wujud rinupa yang cukup tinggi. Oleh karenanya, inilah yang menjadi salah satu landasan dengan menggunakan atap berbentuk bagi masyarakat untuk mengenali curam, maka air akan langsung jatuh ke bangunan yang ada di depan mereka tanah sehingga mengurangi resiko (Prijotomo, 2008: 14) kebocoran (Rosdi, 1990: 75). Bentuk inilah yang kemudian diadopsi ke dalam Masjid sebagai salah satu konstruksi bangunan atap masjid Lima bangunan tradisional Minangkabau, tidak Kaum. Serupa dengan atap rumah menutup kemungkinan akan adanya gadang, dengan kemiringan yang cukup pengaruh dari bangunan lain secara fisik. curam, maka pada umumnya masjid- Selain masjid, di Minangkabau masih ada masjid yang ada di Minangkabau memiliki beberapa bangunan tradisional lain. atap yang tinggi. Bangunan-bangunan tersebut tertuang dalam Undang-undang Nagari. Bangunan Sedikit berbeda dengan Masjid itu di antaranya adalah masjid, balai serta Lima Kaum, pada Masjid Rao Rao rumah (rumah gadang). ditemukan atap gonjong yang menyerupai atap rumah gadang. Pada masjid ini Semua bangunan tersebut terdapat empat gonjong yang ada di memiliki fungsi dan bentuk masing- bagian atap menara. Gonjong-gonjong masing. Akan tetapi secara arsitektur, tersebut persis menyerupai gonjong yang kesemuanya memiliki kemiripan dalam ada pada atap rumah gadang. Mulai dari beberapa hal. Mulai dari penggunaan kemiringan, lekukan, hingga ornamen material, pola konstruksi bangunan, hingga yang menjadi hiasan atap. Gonjong yang ornamen dan ragam hias. Seluruhnya menjadi atap menara ini berada pada satu tetap bergantung pada fungsi utama bagian dan terhubung satu sama lain, bangunan tersebut. Pada bagunan rumah dengan posisi masing-masingnya gadang, terdapat beberapa bagian yang menghadap ke empat penjuru (lihat menjadi penciri bangunan. Bagian-bagian gambar 4). itu adalah lantai, tiang, anjungan, kecuraman atap, tangga dan batu tapakan, Ali Akbar Navis, juga serta ukiran kayu (Rosdi, 1990: 72)\ membedakan atap masjid di Minangkabau berdasarkan kelarasan, yaitu kelarasan Pada bangunan Masjid Lima Bodi Chaniago dan Koto Pilliang. Menurut Kaum dan Masjid Rao Rao terdapat Navis, atap masjid bergaya Bodi Chaniago beberapa bagian yang memiliki kemiripan memiliki bentuk limas persegi empat tanpa dengan bangunan rumah gadang.

Interaksi Adat dan Islam dalam Bangunan Masjid Kuno di Tanah Datar 131 (Syahrul Rahmat)

ada gonjong rumah gadang di puncaknya. Masjid Rao Rao yang berada di Sungai Sementara masjid bergaya Koto Piliang Tarab dengan daerah tersebut merupakan memilki bentuk atap yang pada puncaknya basis dari Kelarasan Koto Piliang dan juga memiliki atap gonjong rumah gadang (A.A. menjadi tempat keberadaan salah seorang Navis, 1984: XXXI-XXXII). dari Basa Ampek Balai, yaitu Tuan Bandaharo. Berangkat dari pendapat Navis, maka Masjid Lima Kaum dan Masjid Rao Lebih lanjut, lantai pada Masjid Rao adalah perwakilan dari kedua Lima Kaum juga dibuat dengan pola kelarasan tersebut. Masjid Lima Kaum rumah panggung. Pola seperti ini juga memiliki atap tumpang dengan puncak digunakan pada bangunan rumah gadang. tanpa tambahan gonjong sebagai bentuk Sementara itu, pada bangunan Masjid Rao masjid bergaya Bodi Chaniago. Masjid Rao lantainya tidak lagi dapat disebut Rao Rao dengan atap tambahan berupa berbentuk panggung sebagaimana Masjid gonjong berjumlah empat buah sebagai Lima Kaum. Hal ini karena Masjid Rao bentuk masjid bergaya Koto Piliang. Rao sudah tidak menggunakan kayu sebagai material utama, sementara pola Secara kultural, masing-masing lantai panggung lazimnya ditemukan pada wilayah tempat masjid itu dibangun bangunan tradisonal berbahan kayu. Akan memang memiliki karakteristik adat tetapi, lantai bangunan utama Masjid Rao tersendiri. Tambo alam Minangkabau Rao memiliki posisi lebih tinggi dari tanah menyebutkan, bahwa di Minangkabau yang ada di halaman, sehingga tetap terdapat dua kelarasan yang dominan di membutuhkan tangga untuk naik ke teras Minangkabau, terutama di daerah darek. masjid. Posisi lantai bangunan ini tetap Kedua kelarasan tersebut memiliki daerah mengadopsi bentuk lantai masjid kuno yang menjadi basisnya masing-masing. berbahan kayu yang berbentuk panggung. Kelarasan Bodi Chaniago memiliki Makna Bangunan basis di Dusun Tuo Limo Kaum. Sementara Kelarasan Koto Piliang Beberapa bagian pada bangunan berbasis di Bungo Setangkai Sungai Tarab Masjid Lima Kaum dan Masjid Rao Rao (LKAAM dan Kesbangpol Agam: 36). memiliki makna-makna yang berkaitan Selain Limo Kaum dan Sungai Tarab yang dengan adat yang ada di sekitarnya. menjadi basis dari kedua kelarasan ini, Kehidupan masyarakat yang dalam masing-masingnya juga memiliki daerah- keseharian berada dalam lingkungan adat, daerah yang di dalamnya didominasi oleh secara tidak langsung mempengaruhi kedua adat kelarasan tersebut. masyarakat itu sendiri. Tidak hanya pemikiran, segara perilaku hingga karya M. Rasyid Manggis (1971) berupa benda yang dihasilkan juga akan menuliskan, Lareh Bodi Chaniago memiliki mendapatkan pengaruh dari adat. daerah atau kabasaran yang disebut dengan Tanjuang Nan Ampek dan Lubuak Keberadaan beberapa bagian Nan Tigo. Lareh Bodi Chaniago juga bangunan masjid yang memiliki makna memiliki kabasaran yang disebut dengan merupakan sebuah bentuk kebudayaan Langgam Nan Tujuah dan Basa Ampek berupa ide-ide yang tersimpan dalam Balai. Salah satu Basa Ampek Balai, bentuk simbol. Simbol-simbol tersebut, Pamuncak Koto Piliang atau Menteri Besar merupakan bagian dari bangunan masjid bergelar Tuan Bandaharo berada di yang menjadi salah satu tempat bagi Sungai Tarab. masyarakat dalam mengekspresikan kesadaran mereka (Geertz, 1983:87). Melihat persebaran adat di Antroplog A.L kroeber menyebutkan, salah wilayah Tanah Datar, maka sebanding satu wujud kebudayaan selain ide dan dengan pendapat Navis yang membagi perilaku adalah benda sebagai hasil karya bentuk masjid berdasarkan adat. Masjid manusia (Koentjaraningrat, 2000: 186). Limo Kaum berada di Limo Kaum, dengan Sekalipun ketiga wujud kebudayaan daerah tersebut yang menjadi basis dari tersebut memiliki perbedaan, akan tetapi Kelarasan Bodi Chaniago. Sementara

132 BAS VOL.20 NO.2/2018 Hal 122—135

ketiganya saling berkaitan antara satu yang hidup dan berkembang dalam pikiran dengan yang lain. Sehingganya untuk masyarakat. Konsep-konsep tersebut melihat bagaimana ide atau pun perilaku berkaitan dengan apa yang mereka sekelompok masyarakat atau manusia di anggap memiliki nilai, berharga, serta masa lalu, maka dapat dilakukan dengan penting dalam hidup. Sehingganya hal itu mengenali benda yang merupakan hasil berfungsi sebagai pedoman atau petunjuk karya mereka. dan orientasi pada masyarakat itu (Koentjaraningrat, 1990; 190). Beberapa bagian yang terdapat di Masjid Lima Kaum dan Masjid Rao Rao Hal tersebut di atas tentu tidak menyimpan makna-makna tertentu. akan terjadi begitu saja. Masjid sebagai Bentuk fisik bangunan memiliki makna tempat beribadah merupakan bangunan khusus, salah satunya berkaitan dengan yang penting dan sakral bagi umat Islam struktur dan lembaga adat setempat. dapat menerima bentuk-bentuk yang tidak Keterlibatan struktur adat dalam proses berasal dari Islam. Masuknya unsur-unsur pembangunan kemudian diabadikan ke adat ke dalam arsitektur bangunan, baik dalam arsitektur bangunan. Masjid Lima berupa fisik atau makna menjadi bukti Kaum menjadikan Tiang Macu sebagai bahwa pada suatu masa tertentu, Islam pemaknaan Datuak Bandaharo Kuniang, dan adat berjalan beriring. Adat, melalui pucuk pimpinan adat di daerah tersebut. pemuka adat memiliki andil yang besar Tidak hanya itu, ratusan tiang yang dalam pendirian masjid hingga masjid itu menyangga bangunan masjid itu juga difungsikan. menjadi pemaknaan dari jumlah penghulu yang ada di Nagari Lima Kaum. KESIMPULAN Begitu juga dengan makna dari atap gonjong yang ada di Masjid Rao Rao, Hubungan antara adat dan Islam keberadaan atap berbentuk gonjong di Minangkabau tidak hanya terlihat dari rumah gadang merupakan perwujudan perilaku masyarakat. Selain dalam bentuk dari adat. Arsitektur atap rumah gadang perilaku, eksistensi adat di dalam Islam memiliki filosofi yang berkaitan erat juga terlihat dari masjid yang merupakan dengan asal usul Minangkabau. Bentuk bangunan penting bagi umat Islam. Pada atap yang tinggi dan berbentuk runcing Masjid Lima Kaum dan Masjid Rao Rao, pada bagian ujungnya memiliki bentuk Islam dan adat memiliki interaksi yang serupa tanduk kerbau. Hal tersebut cukup intens, sehingga tidak hanya melalui berangkat dari Tambo Alam Minangkabau makna atau filosofi, interaksi secara kasat dimana menyebutkan asal usul nama mata pun terlihat dari bentuk fisik Minangkabau yang berangkat dari bangunan. peristiwa adu kerbau. Pendirian kedua masjid ini tidak Selain dari bentuk fisik, gonjong terlepas dari keterlibatan para tokoh adat. yang ada pada puncak atap masjid ini Beberapa bagian, seperti atap maupun memiliki makna atau filosofi bagi lantai juga menyerupai bangunan masyarakat. Posisi atap gonjong di Masjid tradisional Minangabau lainnya, yaitu Rao Rao bermakna tingginya adat yang rumah gadang. Tidak hanya itu, dijalankan oleh masyarakat tidak terlepas keberadaan adat yang tidak kalah penting dari keberadaan agama yang dalam dari agama pada masa itu kemudian perkembangannya menjadi pondasi. Atap diabadikan dalam wujud ide yang ada gonjong tidak hanya menjadi perwakilan pada beberapa bagian bangunan, seperti dari suku-suku yang ada di wilayah itu, atap dan tiang masjid. akan tetapi terdapat filosofi bagaimana Penelitian ini memperlihatkan adat dan agama berjalan seiring di bahwa sekali pun dibangun pada periode Minangkabau. yang berbeda, dimana Masjid Lima Kaum Nilai dari sebuah kebudayaan, dibangun pada awal abad ke-18 dan merupakan konsep-konsep terkait apa Masjid Rao Rao pada awal abad ke-20,

Interaksi Adat dan Islam dalam Bangunan Masjid Kuno di Tanah Datar 133 (Syahrul Rahmat)

akan tetapi pengaruh adat tetap ada Pengetahuan Adat Alam terhadap masjid. Masjid Rao Rao yang Minangkabau. dibangun pada awal abad ke-20 tetap memiliki pengaruh dari adat, sebagaimana Mahmoed, Sutan. 2008. Nagari Limo masjid Lima Kaum yang dibangun lebih Kaum, Pusat Bodi Chaniago kurang 200 tahun sebelumnya. Interaksi Minangkabau. Tanah Datar: antara adat dengan agama yang Masjid Raya Lima Kaum. diwujudkan dalam bentuk bangunan masjid ini menjadi suatu bentuk Manggis, M. Rasyid, Dt Radjo Panghulu. bahwasanya adat dan Islam di 1971. Minangkabau Sejarah Minangkabau adalah dua hal yang tidak Ringkas dan Adatnya. Padang: dapat dipisahkan dari kehidupan Shidarma. masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan adagium adat basandi syarak, sayarak Nasroen, M. 1971. Dasar Falsafah Adat basandi kitabullah yang hidup di tengah- Minangkabau. Jakarta: Bulan tengah masyarakat. Bintang.

DAFTAR PUSTAKA Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Arsip Kesepakatan Tokoh Masyarakat Rao Guru. Jakarta: Grafiti Pres. Rao Dalam Mendirikan Masjid. September 1917. Prijotomo, Josef. 2008. Pasang Surut Arsitektur Indonesia. Surabaya: Dapertemen Pendidikan Nasional. 2003. Wastu Lanas Grafika. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Shamad, Irhash A. 2003. Ilmu Sejarah. Jakarta: Hayfa Press. Fatimah, Dina. 2011. “Kajian Arsitektur pada Masjid Bingkudu di Sjarifoedin, Amir. 2011. Minangkabau dari Minangkabau Dilihat Dari Aspek Dinasti Iskandar Zulkarnain Nilai dan Makna” dalam Jurnal Sampai Tuanku Imam Bonjol. Wacana Cipta Ruang Vol.II No.I, Jakarta: Gria Media Prima. Tahun 2011. Sudarman. 2014. Arsitektur Masjid di Geertz, Clifford. 1983. Abangan,Santri, Minangkabau Dari Masa ke Masa. Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Padang: Imam Bonjol Press. Jakarta: Pustaka Jaya. Sumalyo, Yulianto. 2000. Arsitektur Masjid Kartiwi, Neneng. 2010. Laporan dan Bangunan Sejarah Muslim. Pemutakhiran Data Benda Cagar Yogyakarta: Gajah Mada Budaya Tidak Bergerak University Press. Kabupaten Tanah Datar. Batusangkar: Balai Pelestarian Syarif, Marjohan. 2014. Laporan Peninggalan Purbakala Pemutakhiran Data Masjid Rao Batusangkar. Rao. Batusangkar: Balai Pelestarian Cagar Budaya Koentjaraningrat. 1970. Manusia dan Batusangkar Wilayah Kerja Kebudayaan di Indonesia. Sumatera Barat, Riau dan Yogyakarta: Djambatan. Kepulauan Riau.

_____ . 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Rahmat, Syahrul. 2015. Pengaruh Adat Jakarta: Rinneka Cipta. Terhadap Arsitektur Masjid Luhak Nan Tigo. Padang: Fakultas Adab LKAAM dan Kantor Kesbanglinmas dan Humaniora IAIN Imam Bonjol. Kabupaten Agam. 2014. Bahan

134 BAS VOL.20 NO.2/2018 Hal 122—135

_____ . 2018a. Masjid Rao Rao Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat (Akulturasi Budaya dalam Arsitektur Masjid pada Awal Abad XX M). Padang: Pascasarjana UIN Imam Bonjol.

_____ . 2018b. “Pengaruh Eropa Terhadap Arsitektur Masjid Rao Rao Tanah Datar,” dalam Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol 4 No. 1 Tahun 2018.

Rosdi, Putri Rosery. 1990. Pengaruh Arsitektur Tradisional Terhadap Masjid Raya Bingkudu. Jakarta: Universitas Indonesia.

Widodo, Johannes. 2009. “Arsitektur Indonesia Modern Transplantasi, Adaptasi, Akomodasi, dan Hibridasi”, Masa Lalu Dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Interaksi Adat dan Islam dalam Bangunan Masjid Kuno di Tanah Datar 135 (Syahrul Rahmat)

BERKALA ARKEOLOGI

Volume 22, Nomor 1, Mei 2019; Volume 22, Nomor 2, November 2019

BIODATA PENULIS Andri Restiyadi Lahir di Yogyakarta, pada tanggal 26 April 1981. Pendidikan SD, SMP, dan SMA diselesaikan di Yogyakarta. Lulusan S1 Arkeologi Universitas Gadjah Mada tahun 2006 dan S2 Arkeologi Universitas Gadjah Mada tahun 2017. Bergabung di Balai Arkeologi Sumatera Utara tahun 2008, dan saat ini menjabat Peneliti Muda dengan bidang kepakaran Arkeologi Sejarah (Hindu-Buddha). Email: [email protected]

Arunnagren Lahir di Medan, pada 25 Juli 1992. Beliau mendapatkan gelar Sarjana dari Universitas Gadjah Mada pada Februari 2017. Beliau telah menghasilkan karya ilmiah/skripsi dengan judul Rekonstruksi Pekan Tiga Lingga Sumatera Utara abad ke-19 (Studi Etnoarkeologi) pada tahun 2017. Tulisan ini merupakan karya ilmiah pertama penulis yang bersumber dari data skripsi tersebut.

Dedy Satria Lahir di Banda Aceh pada 6 September 1971, Deddy Satria kini telah menjadi arkeolog dan termasuk salah satu anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komisi Daerah Sumatera Utara. Beliau mendapatkan gelar Sarjana dari Universitas Gadjah Mada pada bulan Agustus 1998. Saat ini, beliau aktif melakukan penelitian dalam kajian arkeologi Islam. Dalam perjalanan kariernya Beliau telah menghasilkan beberapa karya ilmiah, beberapa diantaranya adalah: “Jenis Batu Nisan Tipe ‘Batu Pasai’ dan Plangpleng (Kelompok Pemakaman Kuno dari Pango bagian Selatan, Ulee Kareng, Banda Aceh)” yang diterbitkan dalam Arabesk pada tahun 2014, “Batu Nisan Tipe ‘Batu Pasai’ dan Batu Nisan Tipe ‘Plangpleng’ dari Neusu” yang diterbitkan dalam Arabesk tahun 2016, dan “Keramik Tipe Yue di Lampageu, Ujong Pancu” yang diterbitkan dalam Buletin Arabes tahun 2017.

Mochammad Fauzi Hendrawan Pria Kelahiran Tulungagung pada 3 Februari 1993 yang sekarang berdomisili di Tanjung Selamat, Medan Tuntungan, Kota Medan. Saat ini ia bekerja di Balai Arkeologi Sumatera Utara sebagai Teknisi Laboratorium sejak 2019. Ia menamatkan pendidikan dasar sampai menengah atas di kota kelahirannya Tulungagung. Tamat pendidikan dasar pada 2005 di SDN Kenayan 02, selanjutnya tamat pendidikan menengah pertama pada 2008 di SMPN 01 Tulungagung, dan menyelesaikan sekolah menengah atas pada tahun 2011 di SMAN 01 Kedungwaru. Pada tahun 2011 ini juga, pria ini memulai studi sarjananya pada Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, yang kemudian ditamatkannya pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Proses Pembentukan Data Arkeologi Pada Shipwreck Pulau Nusa, Kepulauan Bawean”. Selama masa perkuliahan ia juga mendalami keterampilan menyelam dengan menjadi asisten instruktur di Sentra Selam Jogja pada 2014-2018, dengan jenjang sertifikat selam terakhir yaitu rescue diver/three star scuba. Keterampilan menyelam ditekuni karena minatnya terhadap tinggalan arkeologi maritim terutama yang berada di bawah air. Keterampilan menyelam ini juga membantu dalam pencarian data untuk skripsi

dan juga ikut dalam kegiatan penelitian Kemaritiman Bawean tahap II oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada 2016.

Ery Soedewo Lahir di Surabaya pada tanggal 15 Juni 1973. Menyelesaikan pendidikan sarjana bidang Arkeologi di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1999 dan menyandang gelar Magister Humaniora dari Universitas Sumatera Utara bidang ilmu Linguistik. Bergabung dengan Balai Arkeologi Sumatera Utara sejak tahun 2000, dan saat ini menjabat sebagai Peneliti Madya bidang Arkeologi Hindu-Buddha. Email: [email protected]

Syahrul Rahmat Lahir di Bukitinggi Sumatera Barat, pada 28 Februari 1993, Syahrul kini telah menjadi salah satu Dosen di STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau. Beliau mendapatkan gelar Sarjana dari IAIN Imam Bonjol Padang pada Maret 2015, dan gelar Pascasarjana dari UIN Imam Bonjol Padang pada Maret 2018. Saat ini, Beliau aktif melakukan penelitian dalam bidang kajian Sejarah dan Kebudayaan Islam. Dalam perjalanan kariernya Beliau telah menghasilkan beberapa karya ilmiah, beberapa diantaranya adalah: Pengaruh Adat Terhadap Arsitektur Masjid di Luhak Nan Tigo (Tinjauan Historis Arkeologis) yang diterbitkan di Buletin Arkeologi Amoghapasa BPCB Sumatera Barat pada tahun 2015, Ukiran Pada Masjid Kuno di Luhak Agam yang diterbitkan di Jurnal Sarunai pada tahun 2016, Masjid Sipisang Kabupaten Agam (Tinjauan terhadap Aktifitas Keagamaan serta Arsitektur Bangunan Abad 19-20 M) yang diterbitkan di Jurnal Analisis Sejarah pada tahun 2018, Pengaruh Eropa Terhadap Arsitektur Masjid Rao Rao Tanah Datar yang diterbitkan di Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya BPNB Sumbar pada tahun 2018, Bugis di Kerajaan Melayu: Eksistensi Orang Bugis Dalam Pemerintahan Kerajaan Johor-Riau-Lingga-Pahang yang diterbitkan oleh Jurnal Perada pada tahun 2018.

Lolita Refani Lumban-Tobing Lahir pada tangga 31 Maret 1988. Pendidikan tingkat SD hingga SMA diselesaikan di Tarutung. Pada tahun 2006 hingga 2012 menempuh pendidikan di jurusan arkeologi Universitas Indonesia. Saat masih berstatus sebagai mahasiswa banyak mengikuti berbagai kegiatan ke-arkeologi-an seperti seminar, pelatihan, ataupun terlibat dalam kegiatan penelitian, di antaranya mengikuti penelitian arkeologi di Situs Gunung Padang (2012); menjadi pengelola data cagar budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012); menjadi relawan khusus pada “Proyek Pembersihan Warisan Budaya Pasca Letusan Gunung Merapi” (2011); sebagai narasumber bidang arkeologi dalam “Career Day” Madania Progressive Indonesia School (2010); sebagai panitia dalam Seminar Internasional Dinamika Batik Indonesia (2010); dan tour guide pada Pameran jejak Peradaban Nusantara Abad 9 -13 Masehi Mahakarmawibhangga: Warisan Tersembunyi Borobudur (2007). Pada tahun 2019 mulai bertugas di Balai Arkeologi Sumatera Utara. Surel: [email protected].

Nenggih Susilowati Lahir di Surabaya pada tanggal 23 Oktober 1967. Pendidikan SD, SMP dan SMA diselesaikan di Surabaya. Lulusan S1 Arkeologi Universitas Udayana pada tahun 1991. Menyelesaikan pendidikan S2 bidang ilmu komunikasi Universitas Muhammadyah Sumatera Utara pada tahun 2016. Bergabung di Balai Arkeologi Sumatera Utara sejak tahun 1999, sebelumnya bertugas di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1997-1999. Saat ini menjabat sebagai Peneliti Madya bidang Arkeologi Prasejarah. Email: [email protected]

Rinaldi Penulis dilahirkan di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi Kecil 09 september 1999. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan S1 Program Studi Arkeologi di Universitas Jambi. Penulis pernah terlibat dalam penelitian yang dilakukan oleh instansi arkeologi.

Stanov Purnawibowo Lahir di Banjar – Jawa Barat tanggal 18 Mei 1981. Setelah menyelesaikan SD di Banjar serta SMP dan SMA di Yogyakarta, kemudian melanjutkan kuliah di Jurusan Arkeologi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, lulus tahun 2005. Program pascasarjana dijalani di bidang arkeologi pada perguruan tinggi yang sama, dan telah berhasil diselesaikan pada tahun 2015. Mulai bertugas di Balai Arkeologi Sumatera Utara pada tahun 2006, dan saat ini merupakan seorang Peneliti Muda. Email: [email protected]

Seffiani Dwi Azmi Penulis dilahirkan di Kabupaten Kerinci, Sandaran Galeh 19 september 1997. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan S1 Program Studi Arkeologi di Universitas Jambi yang memfokuskan pada arkeologi prasejarah dengan bidang kajian megalitik. Penulis pernah terlibat dalam penelitian yang dilakukan oleh instansi arkeologi nasional dan internasional.

Widya Nayati Penulis saat ini aktif sebagai pengajar di Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Adapun minat beliau pada kajian arkeologi Islam, keramologi, Cultural Resources Management (CRM), dan Arkeologi Ekonomi. Sarjana S1 beliau didapatkan pada Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada, dari tahun 1979-1985. Pasca Sarjana (gelar master) beliau didapatkan di Archaeology Department, Faculty of Arts, The Australian National University, Australia dengan tesis berjudul The Archaeology of Trading Sites in the Indonesian Archipelago in the 16th-17th Centuries: Possibilities and Limitations of Evidence. Adapun gelar doktor beliau ditempuh di Southeast Asian Studies Programme, National University of Singapore, Singapore, dengan judul disertasi Social dynamics and local trading patterns in Bantaeng region, South (Indonesia) circa 17th century.

BERKALA ARKEOLOGI

Volume 22, Nomor 1, Mei 2019; Volume 22, Nomor 2, November 2019

ABSTRACT

VOL. 21 NO. 1, MEI 2018 Arunnagren1 dan Widya Nayati2 1(Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Aceh, Sumatera Utara) 2(Departemen Arkeologi Universitas Gadjah Mada) Rekonstruksi Pekan Tiga Lingga, Sumatera Utara Abad ke-19 Tiga Lingga is refers to marketplace which located in the hinterland of North Sumatera. Toponym of Tiga refers to pharse in Tamil Language, katika-t-tavalam, which means market or pekan. This place become market for hinterland comodities in 19th centuries in Kenegerian Lingga teritory. This research examines the trading activities of Tiga Lingga market in 19th century with ethnoarchaeology approach. This approach is used for answering system behind a symtom archaeological culture using ethnographic data for comparison. Tiga Lingga market it’s aspects in economic activity is used as comparison subject. Subjects were analyzed using analysis of cultural continuity for used to awnser the paradigm of archaeological science that reconstruct activity in the past. This reserch concludes that the trading activity of Tiga Lingga market have the same similarities with Tiga Lingga market trading activity in the 19th century. It can be proved from the marketplace, day, time market and some economic aspects that does not change. For conclusions, Tiga Lingga was an old market at least in 19th century, which trading activity is still survive. Ery Soedewo (Balai Arkeologi Sumatera Utara) Strategi Kerajaan Batak (Tamiang) Menghadapi Serangan Kesultanan Aceh di Abad Ke-16 M The Batak reign was one of the countries mentioned by Portuguese written sources from the 16th century AD, once existing on the island of Sumatra. In the middle of the 16th century the sovereignty of the Batak Kingdom was threatened by the aggression of the Sultanate of Aceh to its neighboring countries on the island of Sumatra. Through a historical study of the main data in the form of two Portuguese records, Tome Pires and Ferna-O Mendes D. Pinto, it was revealed the potential strengths and strategies adopted by the Batak Kingdom in the face of the Aceh Sultanate's attack. The absence of fortifications as an element of state power, made the Batak Kingdom change its defense strategy from defensive to aggressive. The initiative of the attack carried out by the Batak forces was inseparable from the support of their allied countries. Although the alliance has been formed by the Kingdom of Batak with a number of countries, the glory belongs to the Sultanate of Aceh. Lolita Refina Lumban Tobing (Balai Arkeologi Sumatera Utara) Identifikasi Gaya Pilar dan Pelengkung Istana Maimun Maimun Palace is one of cultural heritage buildings in Medan that is interesting to study, because this building showed a mix style between traditional Malay and foreign architectural style. This research focuses on building as a representation of a cultural process, where the

study is centered on the influence of foreign culture on the pillars and arches of the Maimun palace. This research used descriptive method and continued with contextual analysis. The conclusion of this study is that the pillars and arches of the Maimun Palace gained influence from the Moorish architectural style originating from the Ummayah dynasty in Spain (Andalusia) and also traditional Malay, but this influence was not a direct influence, because of the time context between the end of the Ummayah dynasty and the construction of the Maimun Palace it is not in accordance with. The influence of this style is assumed to be arised due to the use of European architect in the construction process. Rinaldi dan Seffiani Dwi Azmi (Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jambi) Ragam Hias Nisan Kompleks Pemakaman Raja Kotalama, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau The cemetery of the King Kotalama complex is the Indragiri royal burial complex of the islamic-style period of Narasinga II. This study focused on the type of ornament that developed in the burial complex of the king of Kotalama. Decoration can provide information about the development of art culture during the reign of Narasinga II. The method used to answer these problems is through morphological analysis and stylistic analysis, in order to find out the types of decorations. The developing decoration shows that the community acculturates the old culture and the new culture. The ornamental variety consists of flora, geometric and calligraphy. Stanov Purnawibowo (Balai Arkeologi Sumatera Utara) Analisis Pemangku Kepentingan pada Tinggalan Arkeologi Bawah Air di Desa Berakit The stakeholder analysis on the underwater archeological relics of Berakit village is an integrated part of the Research Program of Balai Arkeologi Medan, North Sumatra, entitled The Archeological Survey on the North Coast of Bintan Island, Bintan Regency, Riau Islands Province, that is conducted in 2018 in Berakit Village, Teluk Sebong District, Bintan Regency. The raised issue is the potential management of underwater relics in Berakit Village based on its stakeholder analysis. This study aims to obtain the policy of underwater archeological relics management based on the potential conflict that occurs among the stakeholders. The applied methods are in-depth interviews and Focused Group Discussion (FGD) with the stakeholders related to the underwater archeological relics in the research location. The stakeholders are classified into three groups, i.e. government, society, and academics. Issues on the underwater archeological relics management that give general descriptions about the potential conflicts of that archeological relic management are raised in the in-depth interviews and FGD. The potential is then analyzed using one of the conflict-analysis tools, i.e. onion analysis. The result of the stakeholder analysis shows a common need that becomes the knot of the conflict, i.e. the land utilization.

VOL. 22 NO. 2, NOVEMBER 2019 Dedy Satria (Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Aceh Sumatera Utara) Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’ Plangpleng type tombstone is a very distinctive shape. Sculpture style is the main characteristic of this type of tombstone. That makes it different from other tombstones in

Lamreh. Forms of local and foreign motifs from different cultural backgrounds and belief systems. This is a character that reflects a 'mixed' society at the beginning of the development of Islam in Aceh Besar and Banda Aceh. This tombstone is a very important marker as the initial evidence of the presence of Muslim communities along the coast of Aceh Besar and Banda Aceh. As an art object, it has been a human work of the past, and is evidence of the culmination of the achievement of cultural development in an ancient society in Aceh Besar known as the 'Lamuri community’. Mochammad Fauzi Hendrawan (Balai Arkeologi Sumatera Utara) Proses Pembentukan Data Arkeologi Pada Kapal Karam Pulau Nusa, Kepulauan Bawean Indonesian archipelago holds considerably amount of archaeological data includes shipwreck that vary from various periods and types. In Bawean Island, a shipwreck with steamer component indicated from the 19th century named Pulau Nusa was found. In 2016, Pulau Nusa shipwreck was found by Balai Arkeologi Yogyakarta in a fragmentary shape with scattered components. Numbers of scattered components has concreted with coral and the bottom part has gone through sedimentation thus buried in sea floor. This research focused on the underlying process behind the current condition of Pulau Nusa shipwreck. Conducted as an explorative research with inductive reasoning, this research used two main method of analysis, i.e environmental and contextual analysis. These two method of analysis are used to answer the data formation process which divided into two steps, behavioral process (pre- depositional) and transformation process (depositional and post-depositional) along with cultural and noncultural factors that have impact on those process. From the synthesis of two analyses came the conclusion at first the formation of archaeological data influenced by Noncultural transform, but further because it is located in the shallow sea and the existence of human activity due to the economic value of the environment and shipwreck itself, the cultural transformation factor also contributes to the role. Nenggih Susilowati (Balai Arkeologi Sumatera Utara) Aktivitas Pemanfaatan Gua Dan Ceruk Di Nagari Situmbuk, Tanah Datar - Sumatera Barat Nagari Situmbuk, Salimpaung Subdistrict, Tanah Datar District, West Sumatra Province has naturally interesting caves and rock shelters, and their existence is also related to past and present human activities. The caves and rock shelters in the Situmbuk area are partly related to human activities that use them as temporary dwellings.Its existence is also related to human activities that utilize the surrounding environment as rice fields, plantations and tropical forests. The problem raised is how is the form of human activity related to the use of caves and rock shelters in Nagari Situmbuk in the past? Why is there a difference in the use of caves and rock shelters there? The method used in this research is qualitative using inductive reasoning flow by observing the unit and its context. The caves and rock shelters which have indications of being used by people with different cultures are Ngalau Guong, Ngalau Tompok Syohiah I, and Ngalau Muaro. The use of Ngalau Guong is related to hunting life and simple farming so that it still utilizes caves / rock shelters there as temporary dwellings. Ngalau Tompok Syohiah I is related to the development of Pre-Islamic culture (megalithic tradition which is marked by the presence of menhirs and pseudo graves), Islam, until now which is implied through symbols on the walls of the cave. The tradition that takes place in the cave is also related to agricultural activities that have been carried out intensely. Then Ngalau Muaro, this relates to plantation activities that took place around the 18th century to the 19th.

Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi (Balai Arkeologi Sumatera Utara) Modifikasi Tanah Dan Variasi Fondasi Bangunan Istana Maimun, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara Maimun Palace is one of the iconic cultural heritage buildings in Medan City, North Sumatra Province. It has a unique blend of Malay and colonial styles. The subject in this article deals with the building foundations of the Maimun Palace. The foundation part has a crucial role in a building, but it is rarely used as a research topic. The issues raised in this paper relate to the structure, composition, and function of the foundation. The purpose of writing this article besides answering the problem is also expected to be able to increase architectural treasury, especially regarding the style of building foundations that have a blend of traditional Malay and Colonial styles. Through descriptive-analytical research, the conclusion obtained from this study is that there are three kinds of building foundations that adjust to the function of supporting the buildings above which consist of one, two and three levels of the building. Syahrul Rahmat (Balai Arkeologi Sumatera Utara) Interaksi Adat dan Islam dalam Bangunan Masjid Kuno di Tanah Datar As one of the traditional buildings in Minangkabau, the mosque built before the 20th century is unique in term of the building shape. Customary leaders have a major role in the mosque construction, especially in Tanah Datar District, West Sumatra. The customary embodiment as community's culture also influences the meaning of every part of the mosque building. This indicates that at a certain time, customs and Islam had a quite intense interaction to leave a mark on the building architecture. The research conducted using a historical research method. This research aimed to discover the interaction of custom and religion in term of mosque building built in the early of 18th and 20th century. The interaction between custom and Islam are analyzed in form of physical, meaning, and idea.

BERKALA ARKEOLOGI

Volume 22, Nomor 1, Mei 2019; Volume 22, Nomor 2, November 2019

INDEKS PENULIS

A Arunnagren Rekonstruksi Pekan Tiga Lingga, Sumatera Utara Abad ke-19, 22(1): 1—18 Azmi, Seffiani Dwi Ragam Hias Nisan Kompleks Pemakaman Raja Kotalama, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, 21(1): 45—54

H Hendrawan, Mochammad Fauzi Proses Pembentukan Data Arkeologi pada Kapal Karam Pulau Nusa, Kepulauan Bawean, 21(2): 81—95

L Lumban-Tobing, Lolita Refani Identifikasi Gaya Pilar dan Pelengkung Istana Maimun, 22(1): 31—44

N Nayati, Widya Rekonstruksi Pekan Tiga Lingga, Sumatera Utara Abad ke-19, 22(1): 1—18

P Purnawibowo, Stanov Analisis Pemangku Kepentingan pada Tinggalan Arkeologi Bawah Air di Desa Berakit, 21(1): 55—64 Modifikasi Tanah dan Variasi Fondasi Bangunan Istana Maimun,Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, 21(2): 111—121

R Rahmat, Syahrul Interaksi Adat dan Islam dalam Bangunan Masjid Kuno di Tanah Datar, 21(2): 122—135

Restiyadi, Andri Modifikasi Tanah dan Variasi Fondasi Bangunan Istana Maimun,Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, 21(2): 111—121

Rinaldi Ragam Hias Nisan Kompleks Pemakaman Raja Kotalama, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, 21(1): 45—54

S Satria, Dedy Batu Nisan Lamreh Tipe ‘Plangpleng’, 21(2): 65—80

Soedewo, Ery Strategi Kerajaan Batak (Tamiang) Menghadapi Serangan Kesultanan Aceh di Abad Ke-16 M, 22(1): 19—31

Susilowati, Nenggih Aktivitas Pemanfaatan Gua dan Ceruk di Nagari Situmbuk, Tanah Datar - Sumatera Barat, 21(2): 96—110

BERKALA ARKEOLOGI

Volume 22, Nomor 1, Mei 2019; Volume 22, Nomor 2, November 2019

INDEKS ISTILAH

A G Aceh 6, 8, 12—14, 19, 21—29, 46—49, 51—53, gaya 16, 32, 33, 42, 47, 52, 65—79,111, 113, 65—69, 71, 72, 77, 112, 123 125, 131, 132 Adat 8, 14, 15, 52, 116, 117, 118, 122, 123, gaya arsitektur 32, 42, 113 124—133 Arkeologi 23, 58, 60—64, 65, 69, 81—88, 90, H 91, 93, 94, 97, 98, 100—103, 105, 107, 111, Hunian 96, 98, 113, 117, 125, Hiasan 34, 37, 41, 42, 47, 50—53, 66, 68, 70, Arkeologi Islam 32, 35, 65, 111 71, 73, 74, 76, 129—131 Arkeologi bawah air 55—57, 60—64, 81— 84, 94, 95, 135, Tinggalan arkeologi 5, 55—58, 60—64, 82, I 83, 97, 98, 105, 107, Islam 32—36, 39, 42, 45, 46, 50—52, 65—79, objek arkeologis 58, 60, 125 96, 100, 106—109, 111, 122—124, 126, arsitektur 32, 33, 36, 40, 42, 71, 79, 109, 111, 127, 129, 131, 133, 134, 112, 113, 114, istana 29, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 70, 75, 77, 78, 109 B Istana Maimun 32, 34, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 43, 111—121, Bangunan 7, 16, 29, 32—43, 50, 83, 107, 109, Indonesia 3, 5, 32, 33—36, 43, 45—47, 52, 56, 111—115, 117—120 59, 60, 62—64, 81, 83, 90, 122, 124 berburu 96, 107 Budaya 1, 3, 4, 15, 16, 32—36, 39, 43, 45, 47, 50, 53, 57—61, 64—67, 70, 71, 77, 79, 82, K 90, 94, 96—101, 106, 107—109, 111, 112, Kapal 5, 20, 23, 25, 26, 28, 58, 59, 81—94 122—125, 127, 131—133, Kapal karam 58, 81—94 kesinambungan budaya 1, 3—5, Kapal uap 81, 86—88, cagar budaya 32, 46, 47, 58—61, 64, 65, 71, Kerajaan 5, 12, 16, 19—21, 23, 24, 26—29, 36, 94, 111, 112, 125, 127, 39, 45, 46, 48, 49, 51—53, 77, 89, 108, 112, Kebudayaan 32—35, 45, 46, 53, 65, 67, 71, Kerajaan Batak 19, 21, 23, 24, 26—29 77, 79, 122—125, 131—133 kesultanan 19, 21, 23, 27, 28, 39, 42, 43, 66, Batak (nama etnis) 2, 4, 8, 10, 11, 15, 19, 21, 69, 70, 75, 77, 108, 112, 113, 121 23—29, 107, 108 Kesultanan Aceh 19, 21, 23, 27, 28, 66, 69, 77 C Kesultanan Deli 39, 42, 43, 109, 112, 121 Kepentingan 17, 22, 55, 57, 60—64, 88, 90, 100 Ceruk 96—99, 101—106, Pemangku kepentingan 55—57, 60—64 konflik 22, 23, 27, 55—57, 59, 61, 63 D Dekorasi 33 L Dekoratif 39, 50 Lamuri (nama tempat) 21, 65, 69, 74, 75, 77, 79

M E makam 12, 33, 45—48, 50—53, 66—68, 70, Etnoarkeologi 1, 3, 15, 73—75, 77—79, 97—99, 107, 108

pemakaman 45—48, 50, 52, 53, 68, 77, masjid 33, 36, 39, 40—42, 46, 122—134,

megalitik 71, 75, 76, 96, 107—109, motif hias 39, 41, 42, 53, 66

N Nisan 33, 45—53, 65—79, 97, 99

O ornamen 33, 39, 43, 45, 47, 50—53, 74—76,

79, 129—131

P Pasar 1—3, 6, 11, 15 Pekan 1—4, 6—16 Perang 3, 19, 21—24, 26, 28, 29, 89, perdagangan 1—6, 10—17, 77, 79, 90, 94, 97 pertanian 5, 7—10, 12, 15, 16, 96, 105—109 Plangpleng 65—79

R rekonstruksi 1, 3, 4, 10, 15, 29, 36, 94, 117,

S stakeholder 55, Strategi 12, 19, 21, 27, 46, 56, 59, 105 Simbol 32, 35, 39, 79, 96, 98, 99, 100, 107, 108, 124, 130, 132

T

Tamiang 19—30 transformasi 67, 71, 79, 81, 83, 88, 90, 91, 93,

99 tradisi 4, 8, 10, 12, 14—16, 32, 34, 40, 43, 46,

70, 71, 76, 77, 79, 96, 106—109 tradisional 4, 8, 14—17, 32, 40, 111, 122, 124,

128, 131, 133

Teknologi 16, 67, 83, 87, 91

BERKALA ARKEOLOGI

PANDUAN PENGAJUAN DAN PENULISAN NASKAH Berkala Arkeologi Sangkhakala merupakan media penyebarluasan informasi ilmiah yang terfokus pada disiplin ilmu arkeologi, atau bahasan lain yang berkaitan dengan bidang ilmu tersebut. Adapun ruang lingkupnya berupa Karya Tulis Ilmiah (KTI) berdasarkan penelitian, tinjauan, konsep, atau teori yang berkaitan dalam bidang arkeologi, antropologi, sejarah, dan ilmu budaya secara umum. Jurnal ilmiah ini terbit dua kali dalam satu tahun yaitu pada bulan Mei dan November. Dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas jurnal, maka terdapat beberapa hal yang wajib diperhatikan khususnya bagi penulis yang ingin berkontribusi. PANDUAN PENGAJUAN NASKAH  Sebelum diajukan, naskah terlebih dahulu harus sesuai dengan ruang lingkup jurnal, menyesuaikan dengan templat (template) yang disediakan dan memenuhi persyaratan panduan penulisan. Adapun templat dan panduan penulisan dapat diunduh pada situs web http://sangkhakala.kemdikbud.go.id.  Proses penerbitan naskah, baik bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris dilakukan secara daring pada situs web ejurnal http://sangkhakala.kemdikbud.go.id.  Sebelum mengajukan naskah, penulis harus melakukan pendaftaran (registration) terlebih dahulu pada situs web tersebut secara mandiri. Apabila penulis kesulitan dalam melakukan proses registrasi dapat menghubungi sekretariat redaksi Berkala Arkeologi Sangkhakala melalui surel: [email protected].  Setelah berhasil terdaftar, maka penulis dapat melakukan pengajuan jurnal (journal submission). Selanjutnya penulis menunggu konfirmasi dari redaksi Berkala Arkeologi Sangkhakala mengenai status naskah yang diajukan.  Selama belum terdapat konfirmasi dari redaksi Berkala Arkeologi Sangkhakala, penulis tidak diperkenankan mengirimkan naskahnya untuk diterbitkan ke jurnal lain. Adapun konfirmasi status naskah maksimum dilakukan selama tiga (3) minggu sejak naskah tersebut diajukan. PANDUAN PENULISAN NASKAH Naskah  Naskah yang diajukan merupakan karya asli penulis dan belum pernah diterbitkan, ditulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris.  Jumlah halaman naskah tidak kurang dari 10 halaman dan tidak lebih dari 15 halaman termasuk gambar dan tabel.  Direkomendasikan untuk menggunakan perangkat lunak sumber terbuka (open source) pengolah kata LibreOffice Writer dengan format berkas open document text (.odt) dalam pengolahan naskah, atau dapat juga menggunakan Microsoft Office Word dengan format berkas document (.doc/ .docx).  Ukuran kertas yang digunakan adalah A4 (21 cm x 29,7 cm) dengan batas tepi kiri 2.7 cm; kanan 2.2 cm; atas 2.2 cm; dan bawah 3 cm, berformat 2 (dua) kolom kecuali pada bagian yang memuat judul, abstrak, dan kata kunci.

Penulisan Judul  Judul harus mencerminkan isi tulisan, bersifat spesifik, dan efektif  Apabila naskah ditulis menggunakan Bahasa Indonesia, maka judul pertama ditulis dengan Bahasa Indonesia, sementara judul kedua ditulis dengan Bahasa Inggris dan sebaliknya.  Judul utama ditulis dengan tipe huruf Arial 14, HURUF KAPITAL, cetak tebal (bold), rata tengah (center), dengan spasi 1.0. Adapun judul kedua ditulis dengan tipe huruf Arial 14, HURUF KAPITAL, cetak tebal (bold), miring (italic) rata tengah (center), dengan spasi 1.0 (single). Penulisan Nama dan Alamat  Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, diketik dengan menggunakan tipe huruf Arial 11, rata tengah (center), dan cetak tebal (bold).  Apabila naskah ditulis oleh dua orang atau lebih, maka antarnama penulis dipisahkan dengan tanda koma (…,…) serta kata “dan” sebelum nama penulis terakhir.  Nama instansi tempat bekerja5 diketik dengan tipe huruf Arial 11, spasi 1.0 (single), rata tengah (center), cetak tebal (bold), diletakkan di bawah nama penulis.  Alamat instansi tempat bekerja ditulis lengkap, diketik dengan tipe huruf Arial 11, spasi 1.0 (single), rata tengah (center), diletakkan di bawah nama instansi.  Alamat surat elektronik (surel/ email) ditulis di bawah alamat instansi menggunakan tipe huruf Arial 11.  Apabila naskah ditulis oleh dua orang atau lebih maka di belakang nama instansi diberi tanda angka Arab (1, 2, 3, ....) dengan format superscript ( ... 1 ) yang disesuaikan dengan urutan nama penulis.  Apabila naskah ditulis oleh dua orang atau lebih dengan alamat instansi yang sama, maka cukup ditulis satu alamat saja.  Nama dan alamat instansi, alamat surel yang berbeda disusun vertikal ke bawah, disesuaikan dengan urutan nama penulis. Penulisan Abstrak dan Kata Kunci  Abstrak merupakan ringkasan utuh dan lengkap yang menggambarkan isi tulisan yang mencakup permasalahan, tujuan, metode, dan hasil akhir.  Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris (maksimum 150 kata) dan bahasa Indonesia (maksimum 250 kata).  Abstrak artikel berjudul “Abstrak” untuk Bahasa Indonesia diketik dengan tipe huruf Arial 10, rata tengah (center), spasi 1.0 (single), huruf pertama kapital, dan cetak tebal (bold). Adapun kata “Abstract” digunakan sebagai judul abstrak dalam bahasa Inggris diketik dengan tipe huruf Arial 10, rata tengah (center), huruf pertama kapital, cetak tebal (bold), dan cetak miring (italic).  Abstrak ditulis dalam satu paragraf, tanpa acuan, atau kutipan, dengan tipe huruf Arial 10, spasi 1.0 (single), dan rata kanan-kiri (justify).  Kata Kunci digunakan untuk memahami isi tulisan yang mencerminkan suatu konsep tertentu, sebanyak 3–5 kata (dapat berupa kata tunggal atau frasa) dan antarkata/ frasa dipisahan dengan tanda titik koma (;), bukan tanda koma (,).  Kata “Kata kunci” dan “Keywords” diketik menggunakan tipe huruf Arial 10, huruf depan kapital, dan cetak tebal (bold) yang diikuti dengan tanda titik dua (:). Khusus untuk kata “Keywords” diketik cetak tebal, dan miring (bold, italic).

5 Apabila penulis berstatus peneliti luar instansi dapat menuliskan organisasi, lembaga, atau independen.

 Kata kunci dalam bahasa indonesia diketik dengan menggunakan tipe huruf Arial 10, rata kanan-kiri (justify).  Apabila naskah ditulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia, maka abstrak, dan kata kunci dalam bahasa Inggris didahulukan kemudian diikuti dengan abstrak dan kata kunci dalam Bahasa Indonesia. Sistematika dan Penulisan Badan Naskah  Secara umum naskah diketik dengan tipe huruf Arial 11, spasi 1.0 (single), dan berformat dua kolom, rata kanan-kiri (justify).  Baris pertama pada setiap paragraf diketik menjorok ke dalam 1 cm dengan jarak antarparagraf atas dan bawah 0 cm.  Sistematika naskah terdiri atas: PENDAHULUAN METODE DISKUSI DAN PEMBAHASAN KESIMPULAN (diikuti dengan ucapan terimakasih) DAFTAR PUSTAKA Lembar Biodata Penulis Format Penulisan Sistematika naskah: HEADING LEVEL 1 [Arial 12, cetak tebal (bold), HURUF KAPITAL, spasi 1.0 (single), rata kiri (left align)] Heading Level 2 [Arial 12, cetak tebal (bold), Huruf Depan Setiap Kata Kapital, spasi 1.0 (single), rata kiri (left align), jarak atas-bawah] Heading level 3 [Arial 12, cetak tebal (bold), Huruf pertama kapital, spasi 1.0 (single), rata kiri (left align), jarak atas bawah]  Catatan kaki (footnote) diperkenankan untuk digunakan apabila terdapat keterangan istilah yang penting dijelaskan tetapi tidak memungkinkan untuk masuk ke dalam paragraf. Catatan kaki (footnote) diketik dengan tipe huruf Arial 9, rata kanan-kiri (justify), spasi 1.0 (single) Penyajian Komponen Pendukung  Penyajian instrumen pendukung berupa gambar (foto, grafik, bagan, skema, peta) harus bersifat informatif dan komplementer terhadap isi tulisan. Penyajiannya harus disertai dengan keterangan dan sumber rujukan gambar. Gambar yang digunakan harus memiliki resolusi tinggi (300 dpi) dengan format .jpg, .jpeg, atau .png dan diatur “in line with text.” Kepala keterangan gambar diawali dengan kata “Gambar” yang diikuti penomoran menggunakan angka arab (Gambar 1. , Gambar 2. …, dan seterusnya) yang diketik dengan tipe huruf Arial 9, cetak tebal (bold), spasi 1.0 (single), rata tengah (center), sementara keterangan gambar tidak diketik cetak tebal (normal). Sumber rujukan gambar diletakkan tepat di bawah keterangan gambar, diketik dengan tipe huruf Arial 9, rata tengah (center), spasi 1.0 (single). Keterangan dan sumber gambar diletakkan di bawah gambar. Jarak antara gambar dan keterangan gambar adalah 10 mm.  Penyajian instrumen pendukung berupa tabel harus bersifat informatif dan komplementer terhadap isi tulisan. Penyajiannya harus disertai dengan keterangan dan sumber rujukan tabel. Keterangan tabel diletakkan tepat di atas tabel. Kepala keterangan tabel diawali dengan kata “Tabel” yang diikuti penomoran menggunakan angka arab (Tabel 1. , Tabel 2.

…, dan seterusnya) yang diketik dengan tipe huruf Arial 9, cetak tebal (bold), spasi 1.0 (single), rata tengah (center), sementara keterangan tabel tidak diketik cetak tebal (normal). Sumber rujukan tabel diletakkan tepat di bawah tabel, diketik dengan tipe huruf Arial 9, rata tengah (center), spasi 1.0 (single). Jarak antara gambar dan keterangan gambar adalah 10 mm. Penulisan Kutipan dan Daftar Pustaka  Format Chicago Manual of Style 17th Edition (CMS) Author-Date Refferences digunakan baik dalam penulisan kutipan maupun daftar pustaka.  Dalam pengutipan maupun penulisan daftar pustaka direkomendasikan untuk menggunakan perangkat lunak manajer referensi seperti Mendeley, Zotero, Jabref, ataupun manajer bibliografi yang dapat dijumpai pada Libreoffice dan Microsoft Office untuk memudahkan pengutipan, penyusunan daftar pustaka dan menghindari resiko plagiarisme.  Penulisan daftar pustaka disusun alfabetis. Adapun pustaka yang diacu minimal 10 acuan dengan ketentuan 80% acuan merupakan sumber primer, yaitu jurnal ilmiah, prosiding, laporan penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi, sementara 20% -nya berupa sumber sekunder yaitu buku, artikel surat kabar, media elektronik, dan lain sebagainya.  Daftar Pustaka diketik menggunakan tipe huruf Arial 11, rata kanan-kiri (justify), spasi 1.0 (single), dan menggantung 1cm (hanging indent 1cm). Adapun jarak antardaftar pustaka adalah 1.0 spasi. Penulisan Lembar Biodata Penulis  Lembar biodata penulis ditulis pada lembar baru setelah daftar pustaka dengan format sebagai berikut: [Tuliskan Nama Anda] Lahir di [Tempat], pada [Tanggal Lahir]. Menyelesaikan pendidikan dasar, menengah, dan atas di [Kota, Provinsi]. Meraih gelar sarjana S1 pada [bulan dan tahun kelulusan], di [jurusan, fakultas, universitas]. Melanjutkan pendidikan S2 pada [bulan dan tahun kelulusan], di [jurusan, fakultas, universitas]. Memperoleh gelar Doktor pada [bulan dan tahun kelulusan], di [jurusan, fakultas, universitas]. Saat ini bekerja sebagai [Profesi] di [Tempat Kerja Anda].

BERKALA ARKEOLOGI

PENULISAN KUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA

PANDUAN UMUM Penulisan Daftar Pustaka  Urutan penulisan daftar pustaka dimulai dengan nama belakang pengarang diikuti dengan tanda koma (,) yang memisahkannya dengan nama depan dan tengah. Tanda titik (.) digunakan untuk memisahkan antarkomponen daftar pustaka. Nama pengarang tersebut kemudian diikuti dengan tahun penerbitan. Judul buku diketik dengan cetak miring (italic). Apabila rujukan berupa artikel yang dimuat dalam jurnal, maka judul artikel diawali dan diakhiri dengan tanda kutip (“...”) dan nama jurnal diketik cetak miring (italic). Penulisan daftar pustaka diakhiri dengan kota tempat buku atau jurnal diterbitkan, diikuti dengan tanda titik dua (… : …) dan nama penerbit. Buku: Nama belakang pengarang, Nama depan (nama tengah). Tahun penerbitan. Judul Buku. Kota Penerbitan: Nama Penerbit. Jurnal: Nama belakang pengarang, Nama depan (nama tengah). Tahun penerbitan. “Judul Artikel.” Nama Jurnal. Kota Penerbitan: Penerbit.  Daftar pustaka disusun secara alfabetis menurut nama belakang penulis.  Frasa kata kerja seperti Diedit oleh, atau Diterjemahkan oleh, ditulis menggunakan huruf kapital di awal frasa (Sentence case). Adapun kata benda seperti editor, penerjemah, volume, dan nomor dituliskan dalam bentuk singkatan, huruf kecil, dan diakhiri dengan tanda titik (.) menjadi ed., penerj., vol., dan no..  Dua atau lebih karya penulis yang sama di tahun yang sama harus dibedakan dengan penambahan a, b, dan seterusnya dibelakang tahun penerbitan (terlepas dari apakah mereka telah menulis, diedit, disusun, atau diterjemahkan) dan ditulis menurut abjad berdasarkan judul. Contoh: Kramrisch, Stella. 1976a. The Hindu Temple I. Delhi: Motilal Banarsidass. ———. 1976b. The Hindu Temple II. Delhi: Motilal Banarsidass.  3-em dash [(———.) bukan underscore (______.)] digunakan dalam daftar pustaka untuk menggantikan nama pengarang atau editor yang berulang dengan judul atau tahun penerbitan berbeda. Perlu diperhatikan bahwa penggunaan 3-em dash tidak digunakan dalam singkatan “ed.” atau “penerj.”. Adapun urutan kronologis dalam daftar pustaka tetap dipertahankan dengan dasar tahun penerbitan. Contoh: Budiman, Kris. 2004. Semiotika Visual. Buku Baik: Yogyakarta: Penerbit Buku Baik. ———. 2005. Ikonisitas Semiotika Sastra dan Seni Visual. Yogyakarta: Buku Baik. Penulisan Kutipan  Secara umum kutipan diketik di dalam tanda kurung (…) yang terdiri dari nama belakang pengarang, tahun penerbitan, dan halaman yang dikutip. Antara nama belakang

pengarang dan tahun penerbitan tidak dipisahkan dengan tanda baca apapun. Tanda koma (…,…) digunakan untuk memisahkan antara tahun terbit dan halaman. Adapun format penulisan kutipan secara umum adalah (nama belakang pengarang tahun terbitan, halaman).

Contoh: (Magetsari 2016, 100-12) (Restiyadi dan Nasoichah 2017, 10-22)  Apabila nama pengarang disebutkan di dalam sebuah kalimat, harus diikuti dengan tahun kutipan yang dimaksud. Contoh: Menurut Boechari (1997) …. Sukendar (2008) menyatakan bahwa ….  Apabila di dalam sumber kutipan tidak diketahui nama pengarangnya, maka kutipan didasarkan atas judul. Hal ini berlaku baik di dalam kutipan maupun daftar pustaka. Contoh: (Ejaan Yang Disempurnakan 2017, 25-6) (Undang-undang Cagar Budaya 2011, 12)  Apabila di dalam sebuah paragraf terdapat dua buah kutipan yang sama sumber dan halamannya, maka ditulis satu sumber saja dan diletakkan pada akhir paragraf. Apabila sumber kutipannya sama tetapi beda halaman dalam sebuah paragraf, maka kutipan penuh ditulis pada awal kutipan, dan kutipan setelahnya hanya dicantumkan halamannya saja dalam tanda kurung (…). Contoh:  Apabila dalam satu naskah terdapat kutipan satu nama pengarang dengan beberapa karya pada tahun yang sama, maka di belakang tahun ditambah dengan huruf kecil a, b, c, d, dan seterusnya diurutkan dari tahun yang paling tua. Demikian halnya dengan daftar pustaka. Contoh: (Koestoro 1998a, 25) (Koestoro 1998b, 13)  Apabila terdapat beberapa kutipan yang termuat di dalam satu buah kalimat, maka digunakan tanda titik koma (…;…) untuk memisahkan antarkutipan. Nomor halaman pada penulisan kutipan dan daftar pustaka  Tuliskan rentang halaman pada penulisan kutipan. Untuk angka yang kurang dari 100 atau kurang dari tiga (3) digit (misalnya: 7, 13, 25, 76) tuliskan semua digit, tetapi angka yang lebih dari 100 maka tuliskan digit yang berubah saja. Contoh: (Magetsari 2016, 100-12) (Restiyadi dan Nasoichah 2017, 10-22)  Apabila kutipan berkaitan dengan keseluruhan volume dalam buku maka cukup ditulis dengan kata “vol.” yang diikuti dengan nomor volume yang dirujuk, tanpa diikuti oleh nomor halaman. Apabila volume diikuti dengan nomor halaman spesifik, maka dibutuhkan tanda titik dua (:) tanpa menyebutkan kata “vol.” sebagai pemisahnya. Contoh: apabila keseluruhan paragraf tertentu dikutip maka ditulis:

(Claussen 2015, para. 2.15) or (Claussen 2015, ¶ 2.15) apabila kseseluruhan bagian tertentu yang dikutip maka ditulis: (Johnson 1979, sec. 24) or (Johnson 1979, § 24) Apabila keseluruhan bab tertentu yang dikutip maka ditulis: (Hsu 2017, bab 4) Apabila keseluruhan volume tertentu yang dikutip maka ditulis: (García 1987, vol. 2) Apabila kutipan menyertakan volume dan nomor halaman tertentu, maka ditulis: (Barnes 1998, 2:354–55, 3:29) Apabila catatan spesifik pada halaman tertentu yang dikutip maka di singkat dengan “n” yang merujuk pada kata “note” (Fischer and Siple 1990, 212n3) Apabila didalam kutipan tidak menyertakan nomor volume, halaman, bab, maka cukup dituliskan judul bagian yang dikutip. Pada umumnya digunakan pada sumber elektronik. (Hellman 2017, dalam “The Battleground”)

Jumlah Pengarang dalam buku atau jurnal  Apabila hanya terdapat satu orang pengarang, maka ikuti pedoman umum penulisan daftar pustaka dan kutipan. Contoh: (Magetsari 2016, 100-12) (Restiyadi dan Nasoichah 2017, 10-22)  Apabila terdapat dua atau tiga orang pengarang, maka di dalam daftar pustaka perlu untuk dicantumkan semua nama pengarang. Sebelum nama pengarang terakhir diketikkan penghubung “dan.” Nama pengarang pertama dituliskan terbalik, dalam artian nama belakang terlebih dahulu. Contoh: Sairin, Sjafri, Pujo Semedi, dan Bambang Hudayana. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Magetsari 2016, 100-12) (Restiyadi dan Nasoichah 2017, 10-22)  Apabila terdapat lebih dari empat orang pengarang, maka di dalam daftar pustaka harus ditulis semua nama pengarangnya. Sebelum nama pengarang terakhir diketikkan penghubung “dan.” Nama pengarang pertama dituliskan terbalik, dalam artian nama belakang terlebih dahulu. Pada penulisan kutipan, hanya ditulis nama belakang pengarang pertama saja dan disertai dengan kata et al. Apabila deretan pengarang yang sama, tetapi berbeda tahun terbitan, maka pada penulisan kutipan dituliskan pengarang pertama dan kedua, kemudian diikuti dengan et al. Contoh: Suryanto, Rusyad Adi, Toetik Koesbardiati, Delita Bayu Murti, Ahmad Yudianto, dan Anak Agung Putu Santiasa Putra. 2014. “Karakteristik Genetik Populasi Kuno Pulau Bali: Sanur dan Gilimanuk.” Berkala Arkeologi Sangkhakala 17, no. 1 (Mei 2014). Medan: Balai Arkeologi Sumatera Utara. 39-64. (Suryanto et al. 2016, 40)  Apabila deretan pengarang yang sama, tetapi berbeda tahun terbitan, maka pada penulisan kutipan dituliskan pengarang pertama dan kedua, kemudian diikuti dengan et al. (Suryanto dan Koesbardiati et al. 2016, 40)

Contoh Penulisan Kutipan dan Daftar Pustaka

BUKU Buku dengan Pengarang, Editor / Penerjemah Catatan Nama belakang pengarang muncul lebih dulu kemudian disusul dengan nama depan, tahun, dan judul buku. Nama editor diletakkan setelah judul buku. Apabila terdapat frasa seperti “Diedit oleh,” “Disunting oleh,” atau “Diterjemahkan oleh” maka ditulis huruf kapital pada awal frasa, sedangkan kata benda seperti “editor,” “penerjemah,” atau “terjemahan” penulisannya disingkat menjadi “ed.,” “penerj.,” dan “terj.” Adapun di dalam kutipan, nama editor dan penerjemah tidak dituliskan, melainkan nama pengarang artikel atau buku saja yang diikuti oleh tahun dan halaman. Format Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun publikasi. Judul Buku. Disunting oleh Nama Editor. Tempat Publikasi: Nama Penerbit. Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun publikasi. Judul Buku. Diterjemahkan oleh Nama Editor. Tempat Publikasi: Nama Penerbit. Daftar Pustaka Tylor, Edward B. 1964. Researches into the Early Development of Mankind and the Development of Civilization. Disunting oleh Paul Bohannan. Chicago: University of Chicago Press. García Márquez, Gabriel. 1988. Love in the Time of Cholera. Diterjemahkan oleh Edith Grossman. London: Cape. Kutipan (Tylor 1964, 194) (García Márquez 1988, 242–55) Buku Tanpa Nama Pengarang Catatan Apabila sebuah buku secara eksplisit mencantumkan kata “anonim”, sebagai pengarangnya, maka kata “anonim” tersebut harus tercantum pada penulisan kutipan maupun di dalam daftar pustaka. Apabila tidak terdapat nama pengarang dan tidak ada kata “anonim,” maka pencantuman di dalam daftar pustaka mengacu kepada judul buku. Adapun di dalam penulisan kutipan, merujuk pada nama pendek dari judul. Format Anonim. Tahun Publikasi. Judul Buku. Tempat Publikasi: Nama Penerbit. Judul buku. Tahun publikasi. Edisi (bila ada). Tempat publikasi: Nama Penerbit. Daftar Pustaka The American Heritage Dictionary of the English Language. 2000. 4th ed. Boston: Houghton Mifflin. Kutipan (American Heritage Dictionary 2000, 156) Nama Organisasi sebagai nama pengarang Catatan Nama organisasi sebagai pengarang dapat disingkat di dalam penulisan kutipan. Apabila nama organisasi di dalam penulisan kutipan disingkat, maka singkatan tersebut harus mendahului nama organisasi di dalam penulisan daftar pustaka. Format Singkatan nama organisasi (kepanjangan singkatan nama organisasi). Tahun publikasi. Judul Buku. Tempat publikasi: Nama Penerbit. Nama organisasi (tanpa singkatan). Tahun publikasi. Judul Buku. Tempat Publikasi: Nama Penerbit. Daftar Pustaka Puslitarkenas (Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional). 2008. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. 2008. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Kutipan (Puslitarkenas 2008, 26) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional 2008, 26) Pendahuluan, Kata Pengantar (Preface, Foreword, Introduction) pada sebuah buku

Catatan Apabila rujukan berupa pengantar, kata pengantar, atau kata penutup, dan sebagainya, maka istilah tersebut diketik menggunakan huruf besar pada awal kalimat (Sentencecase) setelah tahun publikasi atau sebelum judul buku. Apabila penulis pendahuluan, kata pengantar, atau penutup dan sejenisnya merupakan penulis selain penulis utama, maka penulis pendahuluan, pengantar, atau penutup tersebut dituliskan di awal daftar pustaka, sedangkan nama pengarang buku ditulis setelah judul buku. Sertakan juga rentang halaman pendahuluan, pengantar, atau penutup yang dirujuk. Format Nama belakang [penulis pendahuluan, pengantar, atau penutup], Nama depan [penulis pendahuluan, pengantar, atau penutup]. Tahun publikasi. Pendahuluan (atau kata pengantar) dalam Judul buku, oleh Nama pengarang buku, rentang halaman. Tempat publikasi: Nama Penerbit. Daftar Pustaka Roosevelt, Franklin D., Jr. 1982. Foreword to Love, Eleanor: Eleanor Roosevelt and Her Friends, by Joseph P. Lash, vii-viii. Garden City, NY: Doubleday and Company. Christopher Hitchens. 2010. Introduction to Civilization and Its Discontents, by Sigmund Freud, trans. and ed. James Strachey. New York: W. W. Norton. Mansfield, Harvey, and Delba Winthrop. 2000. Introduction to Democracy in America, by Alexis de Tocqueville, xvii–lxxxvi. Translated and edited by Harvey Mansfield and Delba Winthrop. Chicago: University of Chicago Press. Kutipan (Roosevelt 1982, vii) (Hitchens 2010, vii) (Mansfield 2000, xvii-xviii) Bagian dari Buku Format Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun publikasi. "Judul bagian (chapter)." Dalam Judul Buku, disunting oleh Nama Editor, rentang halaman. Tempat publikasi: Nama penerbit. Daftar Pustaka Benedict, Karen. 1988. "Archival Ethics." Dalam Managing Archives and Archival Institutions, disunting oleh James Gregory Bradsher, 174-84. Chicago: University of Chicago Press. Kutipan (Benedict 1988, 176) Buku Berseri (lebih dari satu volume) Format Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun publikasi.Judul buku. Nomor edisi. Tempat publikasi: Nama Penerbit. Daftar Pustaka Buktato, Danuta and Marvin A. Daehler. 2004.Child Development: A Thematic Approach. Edisi kelima. Boston: Houghton Mifflin. Kutipan (Buktato and Daehler 2004, 78) Buku Terjemahan Format Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun publikasi. Judul Buku. Diterjemahkan oleh Nama Penerjemah. Tempat Publikasi: Nama Penerbit. Daftar Pustaka Freud, Sigmund. 1999. The Interpretation of Dreams. Diterjemahkan oleh Joyce Crick. New York: Oxford University Press. Kutipan (Freud 1999, 28) Buku Multivolume terbit dalam beberapa tahun (hanya 1 volume dikutip) Catatan Volume buku harus selalu ditulis dalam bentuk angka arab di dalam daftar pustaka, walaupun pada buku tersebut tercantum volume dalam angka romawi. Format Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun publikasi volume yang dimaksud. Judul Volume. Vol. [Nomor volume] dari Judul keseluruhan

volume. Tempat publikasi: Nama Penerbit, Tahun publikasi keseluruhan volume. Daftar Pustaka Churchill, Winston S. 1956. The Birth of Britain. Vol. 1 dari A History of the English- Speaking Peoples. New York: Dodd, Mead, 1956-58. Kutipan (Churchill 1956, 88) Buku Multivolume terbit dalam beberapa tahun (semua volume dikutip) Format Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun publikasi. Judul Keseluruhan Volume. [Jumlah volume keseluruhan] volume. Tempat publikasi: Nama Penerbit. Daftar Pustaka Cook, Blanche Weisen. 1992-99. Eleanor Roosevelt. 2 volume. New York: Viking. Kutipan (Cook 1992-99, 1:52) Buku yang dicetak ulang (Reprint) Catatan Apabila kutipan berupa buku cetak ulang, maka harus disertakan juga tahun publikasi pertamanya. Tahun publikasi awal ditulis menggunakan tanda kurung (...) mendahului tahun cetak ulangnya. Apabila terdapat ketidakcocokan dalam halaman yang dikutip pada publikasi pertama dan edisi cetak ulang, maka harus disertakan juga edisi mana yang dikutip. Adapun di dalam kutipan, tahun edisi cetak pertama dituliskan sebelum edisi cetak ulang dengan tanda kurung persegi/tegak/besar [...]. Apabila di dalam pembahasan edisi cetak pertama dirasa tidak penting untuk digunakan sebagai kutipan, maka tahun cetak pertama dapat ditulis pada akhir daftar pustaka dengan frasa “Terbit pertama pada ...” sementara pada penulisan kutipan cukup menuliskan tahun cetak ulangnya. Daftar Pustaka Austen, Jane. (1813) 2003. Pride and Prejudice. London: T. Egerton. Cetak ulang, New York: Penguin Classics. Kutipan merujuk pada edisi Penguin. Darwin, Charles. (1859) 1964. On the Origin of Species. Facsimile of the first edition, with an introduction by Ernest Mayr. Cambridge, MA: Harvard University Press. Maitland, Frederic W. (1898) 1998. Roman Canon Law in the Church of England. Cetak ulang, Union, NJ: Lawbook Exchange. Atau Trollope, Anthony. 1977. The Claverings. Edisi baru dengan pendahuluan oleh Norman Donaldson. New York: Dover. Terbit pertama pada 1866–67. Kutipan (Austen [1813] 2003) (Darwin [1859] 1964) (Maitland [1898] 1998) atau (Trollope 1977) EBOOK Apabila mengutip sebuah ebook yang tidak memiliki nomor halaman, maka gunakan nomor bab yang dirujuk (chapter number), nomor bagian, atau judul apapun yang dapat dijadikan sebagai referen Bagian dari ebook Format Nama Belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun Publikasi. "Judul Bab (chapter)." Dalam Judul Buku, disunting oleh Nama editor, rentang halaman yang dirujuk. Tempat publikasi: Nama Penerbit. Format Ebook atau alamat URL. Daftar Pustaka Khan, Paul. 2012. "A Civil Religion of Human Rights?" Dalam Civil Religion, Human Rights and International Relations: Connecting People Across Cultures and Traditions, disunting oleh Porsdam Helle, 49-65. Northampton: Edward Elgar. EBL ebook.

Kutipan (Khan 2012, 52) Keseluruhan Ebook Catatan Apabila mengutip sebuah ebook yang tidak memiliki nomor halaman, maka gunakan nomor bab (chapter number), nomor bagian (section number), judul, atau identitas apapun yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam daftar pustaka Format Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun publikasi. Judul buku. Tempat publikasi: Nama Penerbit. Format Ebook or alamat URL. Daftar Pustaka Russell, Martin. 2001. Beethoven's Hair: An Extraordinary Historical Odyssey and a Scientific Mystery Solved. New York: Broadway Books. ebrary collections ebook. Kutipan (Russell 2001, 33) ARTIKEL JURNAL Artikel jurnal cetak Catatan Pada penulisan daftar pustaka, harus dicantumkan nomor volume jurnal, nomor terbitan (issue), tanggal/ bulan/ musim publikasi, dan nomor rentang halaman artikel yang dikutip. Nomor volume jurnal dituliskan di belakang judul jurnal, tanpa tanda baca apapun, dan hanya judul jurnal saja yang dicetak miring (italic). Adapun di dalam penulisan kutipan harus mencantumkan halaman spesifik yang dirujuk. Format Nama Belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun publikasi. "Judul Artikel." Nama Jurnal volume, no. [nomor issue]: rentang halaman. Lokasi publikasi: Nama penerbit. Daftar pustaka Bagley, Benjamin. 2015. “Loving Someone in Particular.” Ethics 125, no. 2 (January): 477–507. Santiko, Hariani. 2015. “Ragam Hias Ular- Naga di Tempat Sakral Periode Jawa Timur”. Amerta Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi 33, no. 2: 85–96. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Kutipan (Bagley 2015, 484–85) (Santiko 2015, 87) Artikel jurnal online dalam database tertentu – URLs / DOI Catatan Saat mengutip alamat URL dari database tertentu, jangan gunakan alamat URL dari bilah alamat peramban. Gunakan alamat URL yang dipersingkat dan stabil yang disediakan oleh database (cari ikon atau tautan yang disebut permalink, URL stabil atau tautan persisten). Jika tidak ada URL stabil atau DOI yang tersedia, sertakan nama database. Sebuah kutipan online yang didalamnya memuat nomor DOI akan lebih baik dibandingkan dengan alamat URL. Walaupun demikian, apabila nomor DOI tidak terdapat dalam artikel, maka dapat digunakan alamat URL. Format Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun publikasi. "Judul artikel." Nama Jurnal nomor volume, no. [nomor issue]: rentang halaman. Alamat DOI atau URL. Daftar Pustaka Friedman, Max Paul. 2009. "Simulacrobama: The Mediated Election of 2008." Journal of American Studies 43, no. 2: 341-356. https://doi.org/10.1017/S002- 1875809990090. Kenseth, Joy. 1981. "Bernini's Borghese Sculptures: Another View." The Art Bulletin 63, no. 2: 191-210. http://www.jstor.org/stable/3050112. Kutipan (Friedman 2009, 342) (Kenseth 1981, 192-3)

Artikel jurnal online tanpa database tertentu

Catatan Tuliskan nomor paragraf apabila di dalam artikel tidak memuat nomor halaman. If a DOI is not available, use a URL. Format Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun publikasi. "Judul Artikel." Nama Jurnal nomor volume, no. [nomor issue] (Bulan atau musim apabila ada): rentang halaman. https://doi.org/:xxxxxxxxxxxx. Daftar pustaka Humphrey, Laura L. 1986. "Structural Analysis of Parent-Child Relationships in Eating Disorders." Journal of Abnormal Psychology 95, no. 4 (November): 395-402. https://doi.org/10.1037/0021- 843X.95.4.395. Salama, Ashraf M. 2008. "A Theory for Integrating Knowledge in Architectural Design Education." Archnet-IJAR: International Journal of Architectural Research 2, no. 1: 100-28. http://archnet.org/ publications/5097. Kutipan (Humphrey 1986, 396) (Salama 2008, 119-20) Artikel dalam bentuk review sebuah buku Catatan Tulislah nama pengarang review, judul buku yang direview, termasuk di dalamnya editor. Format Nama belakang pengarang review, Nama depan pengarang review. Tahun publikasi review. "Judul artikel review [apabila ada]." Review dari Judul Buku yang direview, oleh Nama depan dan belakang pengarang buku . Nama Jurnal nomor volume, no. [nomor issue]: rentang halaman. DOI or stable URL. Daftar Pustaka Sorby, Angela. 2008. Review dari Songs of Ourselves: The Uses of Poetry in America, oleh Joan Shelley Ruben. American Historical Review 113, no. 2 (April): 449-51. https://doi.org /10.1086/ahr.113.2.449. Kutipan (Sorby 2008, 450) ARTIKEL MAJALAH Majalah yang beredar mingguan atau bulanan pada umumnya hanya dikutip berdasarkan penanggalannya saja, walaupun memiliki beberapa volume dan nomor majalah (issue). Kutip nomor halaman spesifik pada penulisan kutipan, sementara rentang halaman diabaikan. Nomor halaman tersebut tidak perlu dituliskan pada daftar pustaka. Sebuat tautan URL yang stabil akan lebih baik dibandingkan dengan hanya mencantumkan nama database saja. Apabila penulisan kutipan susah lengkap seperti yang ditunjukkan pada contoh 2, maka penulisannya di daftar pustaka tidak diperlukan lagi. Artikel Majalah online dalam database tertentu Format Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun publikasi. "Judul Artikel." Nama Majalah, tanggal bulan tahun publikasi. Alamat URL atau nama database. Daftar Pustaka Vick, Karl. 2015. "Cuba on the Cusp." Time, April 6, 2015. http://libdb.fairfield.edu- /login?url=http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=egs&AN= 101753556&site=ehost-live&scope=site. Brown, Rob. 2012. "The Last Boom Industry." New Statesman, March 26, 2012. Academic OneFile. Kutipan (Vick 2015, 38) (Vick 2015, "Cuba on the Cusp." Time, April 6, 2015) (Brown 2012, 20) (Brown 2012, "The Last Boom Industry." New Statesman, March 26, 2012.) Artikel Majalah online tanpa database tertentu Format Nama Belakang Pengarang, Nama Depan Pengarang. Tahun Publikasi. "Judul Artikel." Nama Majalah, tanggal bulan tahun publikasi. URL.. Daftar Pustaka Malcolm, Janet. 2011. "Depth of Field: Thomas Struth's Way of Seeing." New

Yorker, September 26, 2011. https://www.newyorker.com/magazine/2011 /09/ 26/ depth-of-field. Kutipan (Malcolm 2011) (Malcolm 2011, "Depth of Field: Thomas Struth's Way of Seeing," New Yorker, September 26, 2011) Artikel Majalah cetak Format Nama Belakang Pengarang, Nama Depan Pengarang. Tahun Publikasi. "Judul Artikel." Nama Majalah, tanggal bulan tahun publikasi. Daftar Pustaka Fineman, Howard. 2007. "The Political Winds of War." Newsweek, 7 Mei 2007. Kutipan (Fineman 2007, 45) (Fineman 2007, "The Political Winds of War." Newsweek, 7 Mei 2007) ARTIKEL SURAT KABAR Kutipan artikel pada surat kabar sering tidak dicantumkan pada daftar pustaka, apabila informasi yang diperlukan dalam penulisan daftar pustaka telah terdokumentasi lengkap pada penulisan kutipan dalam teks, seperti pada contoh 2. Sebuah tautan URL yang stabil akan lebih baik dibandingkan dengan hanya mencantumkan nama database saja. Artikel dalam surat kabar cetak Format Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun publikasi. "Judul Artikel." Nama Surat Kabar, tanggal bulan tahun publikasi, Bagian atau Bab, Edisi. Daftar Pustaka Vogel, Carol. 2007. "Art in the Present Tense: Politics, Loss and Beauty." New York Times, June 11, 2007, Arts section, East Coast edition. Kutipan (Vogel 2007, E1) (Vogel 2007, "Art in the Present Tense: Politics, Loss and Beauty." New York Times, June 11, 2007) Artikel dalam surat kabar online dalam database tertentu Format Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang.Tahun publikasi. "Judul Artikel." Nama Surat Kabar, tanggal bulan tahun publikasi. Alamat URL atau nama database. Daftar Pustaka Harmon, Amy. 2006. "DNA Gatherers Hit a Snag: The Tribes Don't Trust Them." New York Times, December 10, 2006. ProQuest Historical Newspapers: The New York Times. Kutipan (Harmon 2006, 1) (Harmon 2006, "DNA Gatherers Hit a Snag: The Tribes Don't Trust Them." New York Times, December 10, 2006)

Artikel dalam surat kabar online dalam website tanpa database Format Nama Belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun Publikasi. "Judul Artikel." Nama Surat kabar, tanggal bulan dan tahun publikasi. Alamat URL. Daftar Pustaka Harmon, Amy. 2006. "DNA Gatherers Hit a Snag: The Tribes Don't Trust Them." New York Times, December 10, 2006. http://www.nytimes.com/2006/12/10/ us/10dna.html. Kutipan (Harmon 2006) Artikel dalam surat kabar tanpa nama pengarang Format Nama Surat Kabar. Tahun publikasi. "Judul Artikel." tanggal bulan tahun publikasi. Daftar Pustaka Hartford Courant. 2006. "Number of Out-of-Wedlock Births a Record." November 26, 2006.

Kutipan (Hartford Courant 2006) Tajuk Surat Pembaca Format Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang.tahun publikasi. Surat Pembaca. Nama Surat Kabar, Tanggal Bulan tahun Publikasi. Daftar Pustaka Ashram, Jane. 2006. Surat Pembaca. Boston Globe, November 9, 2006. Kutipan (Ashram 2006, A16) (Asram 2006, Surat Pembaca. Boston Globe, November 9, 2006) KAMUS DAN ENSIKLOPEDIA Ensiklopedia yang sudah dikenal umum, jarang dicantumkan di dalam daftar pustaka, melainkan hanya pada kutipan di dalam teks. Walaupun demikian, Berkala Arkeologi Sangkhakala menghendaki agar rujukan Ensiklopedia harus dicantumkan baik di dalam kutipan maupun daftar pustaka. Gunakan singkatan “s.v.” yang merujuk pada frasa bahasa latin sub verso yang berarti “merujuk pada kata.” Kamus atau ensiklopedia versi cetak Format Nama Ensiklopedia. Tahun Publikasi. s.v. "Judul Artikel/ istilah yang dirujuk." Edisi. Jumlah Volume. Tempat Publikasi: Nama Penerbit. Daftar Pustaka West's Encyclopedia of American Law. 2005. s.v. "North Atlantic Treaty Organization." Edisi kedua. 10 vols. Detroit: Thompson Gale. Kutipan (West's Encyclopedia of American Law 2005) (Dictionary of Canadian Biography, vol. 2, s.v. “Laval, François de) Kamus atau ensiklopedia versi online Format Nama Ensiklopedia. Tahun Publikasi. s.v. "Judul Artikel/ istilah yang dirujuk". Penerbit. Artikel terbit pada tanggal bulan tahun [apabila tidak terdapat informasi ini, maka harus dituliskan tanggal pengaksesan]. Alamat DOI atau URL. Daftar Pustaka Encyclopedia of Global Religion. 2009. s.v. "Kenya". Sage. Accessed July 17, 2012. http://libdb.fairfield.edu/login?url=http://search.ebscohost.com/login.aspx?dir- ect=true&db=nlebk&AN=474348&site=ehost-live&scope=site&ebv=EB&ppid= pp_658. Kutipan (Encyclopedia of Global Religion 2009) SKRIPSI, TESIS, DAN DISERTASI (cetak dan elektronik) Judul tesis dan disertasi ditulis dalam tanda petik (“...”) dan bukan huruf miring (italic); Jenis skripsi/ tesis/ disertasi, institusi, dan tahun mengikuti judul. Apabila dokumen tersebut dikonsultasikan secara online, maka sertakan alamat URL-nya. Untuk dokumen yang diambil dari database komersial, maka nama database dan, nomor identifikasi yang diberikan atau direkomendasikan oleh database ikut juga disertakan. Apabila hanya mengutip “abstrak”, maka cukup tambahkan kata "abstrak" setelah judul skripsi/ tesis/ atau disertasi. Format Nama belakang, Nama depan. tahun. Judul. Skripsi/Tesis/Disertasi. Lokasi universitas: Nama Universitas. Nama Belakang Pengarang, Nama depan Pengarang. Tahun. “Judul skripsi/ Tesis/ Disertasi.” Jenis skripsi/ tesis/ atau disertasi. Nama Universitas. (nama database dan nomor identifikasi). Daftar Pustaka Samodro. 2002. “Tanda Gestur Seksual dalam Budaya Jawa”. Tesis. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Anom, I.G.N.. 1997. “Keterpaduan Aspek Teknis Dan Aspek Keagamaan Dalam Pendirian Candi Periode Jawa Tengah (Studi Kasus Candi Utama Sewu)”. Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Choi, Mihwa. 2008. “Contesting Imaginaires in Death Rituals during the Northern Song Dynasty.” PhD diss., University of Chicago. ProQuest (AAT 3300426).

Ilya Vedrashko, 2006. “Advertising in Computer Games.” Master’s thesis, MIT, 2006), 59, http://hdl.handle.net/1721.1/39144. Melanie Subacus. 2015. “Duae Patriae: Cicero and Political Cosmopolitanism in Rome,” abstract dalam PhD diss.. New York: New York University. v, http://pqdtopen.proquest.com/pubnum/3685917.html. Kutipan (Samodro 2002, 34)

SITUS WEB, BLOG, DAN SOSIAL MEDIA Kutipan dari situs web pada umunya hanya dituliskan di dalam teks (kutipan). Pencantumannya di dalam daftar pustaka tidak diperlukan selama di dalam kutipan teks tersebut telah memuat segala informasi yang dibutuhkan dalam daftar pustaka. Situs Web Format Nama pengarang situs. Tahun Publikasi. "Judul Halaman Web." Owner/Sponsor of Site. Published, Modified, or Accessed Month Day, Year. URL. Daftar Pustaka Watson, Ivan. 2011. "Tunisians Vote in First Election Following Arab Spring." CNN.com. Last modified October 23, 2011. http://www.cnn.com/2011/10/23/ world/africa/tunisia-elections/index.html. Kutipan (Watson 2011) Situs Web Tanpa Nama Pengarang Format Pemilik/Sponsor situs web. Tahun publikasi atau ketik singkatan n.d. (singkatan dari no date digunakan apabila tidak terdapat tanggal bulan dan tahun publikasi). "Judul Halaman Web." Diterbitkan, Dimodifikasi, atau Diakses tanggal bulan tahun. Alamat URL. Daftar Pustaka 9 News. n.d. "Victorian Smoking Rates Hit Record Low." Accessed August 17, 2012. https://www.9news.com.au/technology/2012/10/09/17/08/victorian-smok -ing-rates-hit-record-low. Kutipan (9 News, n.d.) Posting Blog Catatan Di dalam teks harus dituliskan eksplisit misalnya: Pada blognya yang diposting pada tanggal16 September 2010, dalam Ward Six, J. Robert Lennon mendiskusikan tentang… Format Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang. Tahun publikasi. "Judul Entri." Judul Blog (blog), tangggal bulan tahun entri. Alamat URL. Daftar Pustaka Lennon, J. Robert. 2010. "How Do You Revise?." Ward Six (blog), September 16, 2010. http://wardsix.blogspot.com/2010/09/how-do-you-revise.html. Apabila mengutip keseluruhan blog maka dituliskan AHA Today (blog). http://blog.historians.org/education/919/inuit-contact-an-arctic-culture- teaching-resource. Kutipan (Lennon 2010) Media Sosial Catatan Di dalam teks dituliskan secara eksplisit, misalnya: Conan O'Brien's tweet was characteristically deadpan: "In honor of Earth Day, I'm recycling my tweets" (@ConanOBrien, April 22, 2015). Oleh karena sumber rujukan media sosial sangat rentan terhadap penyuntingan dan penghapusan, maka disarankan untuk menyimpan kutipan yang menjadi rujukan. Format Nama belakang pengarang, Nama depan pengarang (handle/ username apabila memungkinkan). Tahun publikasi. "Judul Posting." Tipe sosial media, tanggal bulan tahun posting. Alamat URL.

Daftar Pustaka O'Brien, Conan (@ConanOBrien). 2015. "In honor of Earth Day, I'm recycling my tweets." Twitter, April 22, 2015, 11:10 a.m. https://twitter.com/ConanOBrien/ status/590940792967016448. Souza, Pete (@petesouza). 2016. "President Obama bids farewell to President Xi of China at the conclusion of the Nuclear Security Summit." Instagram photo, April 1, 2016. https://www.instagram.com/p/BDrmfXTtNCt/. Diaz, Junot. 2016. "Always surprises my students when I tell them that the 'real' medieval was more diverse than the fake ones most of us consume." Facebook, February 24, 2016. https://www.facebook.com/junotdiaz.writer /posts/972495572815454. Kutipan (O'Brien 2015) SUMBER ACUAN YANG MENGUTIP SUMBER LAIN Catatan Sumber sekunder merupakan sumber yang mengutip atau parafrase dari sumber lain. Sebagai contoh dibawah ini adalah Sontag's On Photography yang dikutip dalam buku Zelizer Remembering to Forget. Gunakan format di bawah ini hanya jika Anda tidak dapat memeriksa atau mendapatkan bahan sumber aslinya (dalam hal ini buku On Photography). Chicago Manual of Style 17th Edition mengakomodasi pengutipan sumber sekunder. Format Kutip sumber asli dalam naskah, dan cantumkan sumber sekunder dalam tanda kurung dengan frasa (dikutip dalam). Tulis daftar pustaka sesuai dengan format sumber acuan (buku atau artikel). Daftar Pustaka Zelizer, Barbie. 2003. Remembering to Forget: Holocaust Memory through the Camera's Eye. Chicago: University of Chicago Press. Kutipan In Susan Sontag's 1977 book On Photography (yang dikutip dalam Zelizer 2003, 11) ... SUMBER ACUAN LAIN Laporan Penelitian Format Tim Penelitian/Nama Ketua Tim Penelitian. tahun. Judul Penelitian. Laporan Penelitian. Kota Penerbit: Lembaga Penerbit. Naskah tidak diterbitkan. Daftar Pustaka Tim Penelitian. 2006. “Jaringan Perdagangan Masa Kasultanan Ternate-Tidore- Jailolo di Wilayah Maluku Utara Abad Ke-16 – 19 Tahap I”. Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Naskah tidak diterbitkan. Kutipan (Tim Peneltian 2006, 54)

Dokumen Paten Catatan Kutipan paten dan dokumen lainnya yang mencakup lebih dari satu tanggal (tanggal diajukan, dan tanggal ditetapkan) maka perlu diperhatikan bahwa kedua- duanya harus dicantumkan untuk menghindari ketidakjelasan. Format Nama belakang, Nama depan. Tahun ditetapkan. Judul Dokumen Paten. Negara yang Menetapkan disertai dengan nomor id paten, tanggal paten diajukan, dan tanggal paten ditetapkan. Daftar Pustaka Iizuka, Masanori, and Hideki Tanaka. 1986. Cement admixture. US Patent 4,586,960, diajukan pada 26 Juni 1984, dan ditetapkan pada 6 Mei 1986. Kutipan (Iizuka 1986) Materi yang Dipresentasikan

Catatan Adapun naskah yang termasuk ke dalam kategori materi yang dipresentasikan dalam hal ini antara lain materi kuliah, makalah seminar/ simposium/ konggres, atau materi presentasi dalam bentuk powerpoint, poster, atau naskah lain yang dipresentasikan dalam suatu pertemuan tertentu. Nama pertemuan/ acara, lokasi, dan tanggal pertemuan dilaksanakan harus dicantumkan mengikuti judul presentasi/ makalah/ poster/ materi kuliah. Apabila informasi tersebut tersedia secara daring maka sertakan alamat URL. Dalam hal ini semua informasi tersebut berada di dalam tanda kurung (...). Makalah yang dipresentasikan kemudian diterbitkan dalam bentuk prosiding dapat diperlakukan seperti bab 9bagian) dari sebuah buku. Apabila makalah tersebut dipublikasikan di jurnal, artikel itu diperlakukan sebagai artikel dalam jurnal. Daftar Pustaka David G. Harper. 2012. “The Several Discoveries of the Ciliary Muscle” (presentasi powerPoint, 25th Anniversary of the Cogan Ophthalmic History Society, Bethesda, MD, March 31, 2012). Viviana Hong, 2015. “Censorship in Children’s Literature during Argentina’s Dirty War (1976–1983)” (materi kuliah, University of Chicago, Chicago, IL, 30 April 2015). atau Rohde, Hannah, Roger Levy, and Andrew Kehler. 2008. “Implicit Causality Biases Influence Relative Clause Attachment.” Poster dipresentasikan pada 21st CUNY Conference on Human Sentence Processing, Chapel Hill, NC, March 2008. http://idiom.ucsd.edu/~rlevy/papers/cuny2008/rohde-levy-kehler-2008- cuny.pdf. Teplin, Linda A., Gary M. McClelland, Karen M. Abram, and Jason J. Washburn. 2005. “Early Violent Death in Delinquent Youth: A Prospective Longitudinal Study.” Paper dipresentasikan pada Annual Meeting of the American Psychology-Law Society, La Jolla, CA, March 2005. Kutipan (Rohde 2008, 23)

© Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2019

Alamat Redaksi/Penerbit: Balai Arkeologi Sumatera Utara Jl. Seroja Raya Gg. Arkeologi, Tanjung Selamat, Medan Tungtungan, Medan 20134 Telp. (061) 8224363, 8224365 E-mail: [email protected] Laman: www.sangkhakala.kemdikbud.go.id © Balai Arkeologi Sumatera Utara, 2019

© Balai Arkeologi Medan, 2015

BATU NISAN LAMREH TIPE ‘PLANGPLENG’ ‘PLANGPLENG’ TYPE OF LAMREH THOMBSTONE Dedy Satria

PROSES PEMBENTUKAN DATA ARKEOLOGI PADA KAPAL KARAM PULAU NUSA, KEPULAUAN BAWEAN PROCESS OF ARCHAEOLOGICAL DATA FORMATION ON SHIPWRECK NUSA ISLAND, BAWEAN ARCHIPELAGO Mochammad Fauzi Hendrawan

AKTIVITAS PEMANFAATAN GUA DAN CERUK DI NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT ACTIVITIES OF THE UTILIZATION OF CAVE AND ROCK SHELTER IN NAGARI SITUMBUK, TANAH DATAR - SUMATERA BARAT Nenggih Susilowati

MODIFIKASI TANAH DAN VARIASI FONDASI BANGUNAN ISTANA MAIMUN, KOTA MEDAN, PROVINSI SUMATERA UTARA ISTANA MAIMUN BUILDING FONDATION SOIL MODIFICATION AND VARIATION, MEDAN CITY, NORTH SUMATRA PROVINCE Stanov Purnawibowo dan Andri Restiyadi

INTERAKSI ADAT DAN ISLAM DALAM BANGUNAN MASJID KUNO DI TANAH DATAR CUSTOMARY AND ISLAMIC INTERACTIONS IN ANCIENT MOSQUE BUILDING IN TANAH DATAR Syahrul Rahmat