Pergeseran Paradigma Menyoroti Gerakan Keagamaan PENGANTAR Pergeseran Paradigma PEMIMPIN UMUM: Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, MA Menyoroti Gerakan

REDAKTUR AHLI: Keagamaan Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA Prof. Dr. H. Komarudin Hidayat, MA

PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNG JAWAB Drs. H. Syamsuddin Fenomena munculnya berbagai aliran keagamaan di beberapa WAKIL P EMIMPIN REDAKSI H. Fanani Suprianto, SH., MM tahun terakhir menunjukan kecende- rungan positif dalam kebebasan SEKRETARIS REDAKSI M. Rosyid Fauzi, S.Si. beragama. Namun sayangnya kebeba- san menampilkan ekspresi keberaga- DEWAN R EDAKSI Prof. Dr. H. Abdurrahman Mas’ud maan tersebut kerapkali melampaui dari Drs. Amin Haedari Prof. Dr. H. Maidir Harun apa yang semestinya. Hal tersebut dapat Drs. H. Mohammad Shohib, MA kita lihat dengan munculnya gerakan Drs. H. Asmu’i, SH, MM Chamdi Pamudji, SH., MM keagamaan yang mengusung berbagai macam ajaran, ritual keagamaan yang

REDAKTUR E KSEKUTIF aneh bahkan cenderung mengancam M. Nasir, S.Th.I. serta menodai kesucian aqidah, ibadah,

REDAKTUR PELAKSANA ritual, dan pendirian mayoritas ummat Moh. Rosyid Fauzi, S.Si yang sudah mapan. Sejak tahun 1989, M. Nasir, S.Th.I M. Adlin Sila, M.A setidaknya telah ada beberapa aliran Abbas Jauhari, M.Ag keagamaan diberikan label haram oleh

ADMINISTRASI MUI (Majelis Ulama Indonesia), diantara Drs. Dedy Curipno aliran yang dianggap menyesatkan itu Sutidjah Desriyanti Nasution, S.IPI antara lain: Islam Jama’ah, Ahmadiyah, Drs. H. Sahlani Ingkar Sunnah, Qur’an Suci, Sholat

ALAMAT REDAKSI Dua Bahasa, Lia Eden dan al-Qiyadah Gedung Bayt Alquran Museum Istiqlal Komplek Taman Mini Indonesia Indah al-Islamiyah. Telp. (021) 87791444-87794982 Fenomena ini ditenggarai oleh

WEBSITE: sebagian pihak sebagai akibat dari www.balitbangdiklat.depag.go.id kegagalan dakwah. Para da’i dianggap

EMAIL: tidak mampu mentransformasikan nilai- [email protected] nilai ajaran Islam secara kaffah

2 Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 (komprehensif) kepada ummat, dakwah Atho Mudzhar tentang Instrumen selama ini sering bersifat eksklusif, Internasional dan Peraturan Perundangan menghakimi dan memprovokasi. Indonesia tentang Kebebasan dan Aktifitas dakwah hanya menampilkan Perlindungan Beragama. Dilanjutkan Islam dari aspek langit atau ‘ubudiyah dengan tulisan Prof. Dr. Abdurrahman (habluminallah) bukan aspek bumi Mas’ud yang mengupas tentang dimana kehidupan sosial (habluminannas) Menyikapi Keberadaan Aliran Sempalan. bergulir, sehingga wajar berbagai Sukris Sarmadi, Dosen STAIN permasalahan sosial yang dialami Banjarmasin menghadirkan tulisan ummat tidak tersentuh. Fakta ini tentang Transformasi NU dalam menyebabkan ummat mencari solusi Masyarakat Banjar Kini Perspektif Pergeseran lain atas permasalahan sosial yang Gerakan Keagamaan di Kalimantan Selatan. mereka alami dengan cara “selingkuh” Sedangkan M. Ulinnuha Khusnan, MA yaitu menganut sekte atau aliran baru melalui tulisannya mencoba memotret dalam sebuah agama yang menawarkan Paradigma Keberagamaan Kaum Santri. solusi instan, namun cenderung Nurhasanah dosen UIN “menyesatkan”. menghadirkan tulisan tentang Politik Para da’i, tokoh masyarakat, Kebijakan Islamisasi Mahathir. Kajian maupun para pemegang kebijakan ke jurnal dialog edisi ini kian lengkap depan harus mampu merubah para- dengan hadirnya tulisan Anwar digma yang selama ini salah dan telah Mujahidin, MA, tentang Science And mengkristal di kalangan ummat. Mereka Religion (Paradigma Al-Qur‘an untuk Ilmu- diharapkan tidak berperan sebagai juru Ilmu Sosial Menurut Pemikiran dakwah, juru vonis, juru putus, yang Kuntowijoyo). hanya menyampaikan pesan bil lisan di Di samping memuat artikel ilmiah, atas mimbar saja, tapi lebih dari itu, Jurnal Dialog edisi ini juga memuat merek dituntut menjadi –meminjam laporan hasil penelitian oleh Ridwan istilah Clifford Geertz– cultural broker Bustaman, tentang Analisis Wacana Kritis (makelar budaya), bahkan menjadi : Tayangan Kekerasan dalam Sinetron intermediary forces (kekuatan perantara) Bernuansa Keagamaan. Dan juga hasil bagi permasalahan sosial ummat dalam penelitian saudara Basuki tentang istilah Hiroko Horikoshi. Pesantren, Tasawuf dan Hedonisme Kultural Dalam kajian Jurnal Dialog Edisi ini (Studi Kasus Aktualisasi Nilai-nilai Tasawuf mencoba mengulas tentang Pergeseran dalam Hidup dan Kehidupan di Pondok Paradigma Menyoroti Gerakan Keagamaan Pesantren Modern Gontor). Serta hasil yang kerapkali menghadirkan tema- penelitian saudari Maryam tentang tema aktual di tengah-tengah Interaksi Sosial Pelaku Konversi Agama Etnik masyarakat. Kajian Jurnal Dialog edisi Cina. ini diawali dengan tulisan Prof. Dr. H.M. Kajian ini diakhiri dengan telaah

Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 3 buku yang mengulas buku karya Prof. Abdurrahman, 2009 yang berjudul Menebar Rahmat bagi Sekalian Alam. Semoga kajian yang dihadirkan Jurnal Dialog edisi ini memberikan manfaat yang berarti bagi para pembaca, khususnya dalam kajian Pergeseran Paradigma Menyoroti Gerakan Kea- gamaan. Selamat Membaca!

Redaksi

4 Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 DAFTAR ISI

TOPIK

M. ATHO MUDZHAR Instrumen Internasional dan Peraturan Perundangan Indonesia tentang Kebebasan dan Perlindungan Beragama ––6

ABDURRAHMAN MAS’UD Menyikapi Keberadaan Aliran Sempalan ––16

SUKRIS SARMADI Transformasi NU dalam Masyarakat Banjar Kini Perspektif Pergeseran Gerakan Keagamaan di Kalimantan Selatan –– 25

M. ULINNUHA KHUSNAN Memotret Paradigma Keberagamaan Kaum Santri ––41

NURHASANAH Politik Kebijakan Islamisasi Mahathir ––65

ANWAR MUJAHIDIN Science And Religion (Paradigma Al-Qur‘An untuk Ilmu-Ilmu Sosial Menurut Pemikiran Kuntowijoyo) ––78

PENELITIAN

RIDWAN BUSTAMAM Analisis Wacana Kritis : Tayangan Kekerasan dalam Sinetron Bernuansa Keagamaan ––97

BASUKI Pesantren, Tasawuf dan Hedonisme Kultural (Studi Kasus Aktualisasi Nilai- nilai Tasawuf dalam Hidup dan Kehidupan di Pondok Pesantren Modern Gontor) ––112

MARYAM Interaksi Sosial Pelaku Konversi Agama Etnik Cina ––135

BOOK REVIEW

DEWI N Menebar Rahmat bagi Sekalian Alam ––149

Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 5 PENELITIAN Analisis Wacana Kritis: Tayangan Kekerasan dalam Sinetron Bernuansa Keagamaan

OLEH: RIDWAN BUSTAMAM*)

ABSTRACT Television program has been a cultural study since a long time ago due to the fact that television is a media which is purposed to educate, to inform, to entertain, and to control the society (religion), economy, and popular cultural ceremony. There will emerge some problems when the content and the message of a program does not fit with the audience’s expectation, for instance, a religious program that has potency of conflict, controversy, and violence. All of those are categorized as breaking the rules, norm, and religious teaching. This study uses critical discourse analysis in order to examine relationship among discourse and audience, economical and political interest as well as an ideological aspect. This analysis is also utilized to examine the relationship between television and related institutions. Based on this reason, this research tries to explore religious cinema electronics on television which contains violence.

KEYWORDS: discourse analysis, impressions, violence, cinema electronics, religious

I. PENDAHULUAN sinetron. Di sisi lain, dalam wacana A. LATAR BELAKANG kebudayaan, tayangan televisi dianggap Era keterbukaan dalam masyarakat sebagai budaya pop atau budaya saat ini, terutama dalam hal industri “rendah”1. Sebab, budaya pop sering kreatif seperti media televisi. Di satu sisi, dituduh sebagai pendorong konsum- ia membawa dampak positif karena tivisme. Lebih dari itu, budaya pop peluang individu untuk berkreasi dan berekspresi makin besar. Terbukti 1 Apa pun istilah yang kita pakai, entah itu budaya bahwa masyarakat mulai “tergiur” massa, budaya tinggi, budaya kelas buruh, budaya atau mengapresiasi peran di bidang seni, substandar, budaya rakyat, atau budaya daerah yang juga hiburan seperti musik dan tercakup ke dalam definisi budaya pop, seluruhnya— dengan proporsinya masing-masing—akan membawa perubahan definisi secara teoritis dan politis terhadap budaya pop tertentu. Dalam John ) * Peneliti pada Puslitbang Lektur Keagamaan Storey. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop: Badan Litbang dan Diklat Depag RI Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. CV. ([email protected]) Qalam, .

Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 97 justru merupakan ajang pertarungan Penyiaran dan Standar Program Siaran. makna-makna sehingga ideology yang Jika dicermati UU Pers No. 40 Tahun dominan bisa saja terusik, misalnya 1999, ada 5 fungsi media yang berlaku antara pemodal dengan produser, antara di Indonesia, yaitu pendidikan, perempuan dengan laki-laki, termasuk informasi, hiburan, kontrol sosial, dan antara seniman dengan lembaga ekonomi. Televisi adalah salah satu keagamaan yang berlangsung terus- bentuk dari media massa yang berfungsi menerus. sebagai penyampai informasi kepada Pada tataran praktis, pemilik pemirsa. Media televisi tidak hanya stasiun televisi berupaya menyajikan bersifat informatif, tetapi juga bersifat acara bernuansa keagamaan yang hiburan atau entertainment, sekaligus bertujuan menghibur masyarakat. sebagai persuasif, misalnya oleh para Tayangan televisi dikemas sedemikian pemuka agama maupun budayawan rupa agar mencapai rating yang bagus dalam mempengaruhi publik. Televisi di mata masyarakat. Namun secara seharusnya ikut membentuk konseptual, harus ada kode etik dan pemahaman publik atas semua problem proses negosiasi atau kontrol terhadap kehidupan masyarakat. Ia semestinya isi tayangan televisi agar fungsi menjadi meta-medium—sebuah informatif, hiburan, dan pencerahannya instrumen yang tidak hanya tercepai sekaligus. Idealnya, para mengarahkan pengetahuan pemirsa pengelola stasiun televisi semestinya akan dunia—tetapi juga pengetahuan melakukan proses negosiasi dengan para pemirsa akan cara mendapatkan tokoh agama dan lembaga keagamaan pengetahuan itu sendiri. Sebab, audience terkait. televisi merupakan individu yang aktif Di Indonesia sendiri sudah dalam berinteraktif dengan televisi.2 dikeluarkan regulasi berupa pedoman Sayangnya, pada tataran praktis, fungsi tayangan acara televisi yang cukup ideal televisi masih jauh dari harapan, matang. Misalnya, dikeluarkannya masih banyak stasiun televisi yang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor hanya menonjolkan aspek “hiburan”. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Bukan hanya itu, dalam banyak kasus, Kemudian diperkuat oleh Peraturan masyarakat justru menuding industri Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 kreatif ini sebagai ajang “pembodohan” Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan masyarakat, bukan sebagai media Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, juga pencerahan dan transformasi sosial. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2005 tentang Pedoman B. RUMUSAN MASALAH Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Perbedaan konseptual atau tafsir Asing. Demikian pula dengan tentang tayangan3 kekerasan bernuansa dikeluarkannya Keputusan Komisi 2Deddi Duto Hartanto. 2007. “Analisa Tayangan Penyiaran Indonesia Nomor 009/SK/KPI/8/ Kerajaan Sahur Trans TV sebagai Representasi Mass 2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran Culture”, dalam jurnal NIRMANA, VOL.9, NO. 1, dan Standar Program Siaran, yang Januari 2007: 1-9. 3Tayangan atau siaran adalah pesan atau rangkaian kemudian disempurnakan oleh Peraturan pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/ gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik KPI/5/2006 tentang Pedoman Perilaku yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat

98 Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 keagamaan selalu menjadi masalah dan resistensi publik atas tayangan televisi perdebatan serius, baik pada tataran yang mengandung bias. intern maupun antar lembaga terkait Apa yang melatarbelakangi seperti Komisi Penyiaran Indonesia sehingga tayangan kekerasan itu sering (KPI), pemerintah dan pemilik stasiun muncul dalam sinetron bernuansa televisi, juga perdebatan di tingkat keagamaan? Dari mana akar ideologis publik. Meskipun KPI sudah yang menjadi sumber perdebatan terkait mengeluarkan berbagai aturan tertulis, tayangan kekerasan dalam sinetron5 namun pada tataran praktis belum bernuansa keagamaan? terlihat kesepahamanan, bahkan konflik konseptual sering terjadi, terutama C. KERANGKA TEORi karena perbedaan ideologi4. Konflik Analisis wacana6 (discourse analysis), tersebut misalnya ditandai oleh 5 Sinetron merupakan pemendekan terminologi radikalisasi massa, yaitu protes dengan dari sinema elektronika. Ada banyak varian terkait kekerasan yang dilakukan publik terminologi ini, sebab ada juga yang menggunakan istilah lain seperti lakon televisi, TV play, telesinema, terhadap pelaku media massa. Penilaian sinema televisi, dan sebagainya. Masing-masing negatif masyarakat terhadap isi pemakai istilah mempunyai argumen atas pilihan tayangan televisi—terutama tayangan istilah tersebut. Lihat, Veven Sp Wardhana. “Perempuan dalam Sinetron Indonesia: Petaka atau bernuansa keagamaan—beragam, baik Perkasa”, dalam Ashadi Siregas dkk. 2000. Eksplorasi dalam bentuk somasi, pengaduan, dan Gender dalam Ranah Jurnalisme dan Hiburan. LP3Y dan Ford Foundation, Yogyakarta. Penelitian ini sebagainya. Semua itu merupakan bukti sendiri memilih istilah sinetron, sebab istilah itulah yang paling akrab atau populer bagi para pemirsa televisi di Indonesia. diterima melalui perangkat penerima siaran. Lihat, 6Dalam pengertian sederhana, wacana adalah cara Salinan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada Nomor 02/P/KPI/5/2006 tentang Pedoman Perilaku publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu Penyiaran dan Standar Program Siaran. yang tersebar luas. Dalam Alex Sobur. 2001. Analisis 4Pengertian Ideologi (Ideologie) adalah suatu Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, sistem keyakinan, berpikir, dan pola sikap yang Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. PT Remaja umumnya dipegang oleh suatu kelompok atau Rosdakarya, Bandung. Dalam konteks ini, pengertian masyarakat. Ideologi merupakan cermin dari wacana sering disamakan dengan discourse. Kesamaan pandangan hidup, juga menjadi pedoman dalam istilah ini misalnya ditemukan dalam pengertian yang hubungan sosial, etika, politik, serta ekonomi suatu dikemukakan Arkoun (1997) bahwa wacana adalah kelompok atau masyarakat tersebut. Ideologi juga “cara manusia–pada periode, dan dalam golongan dipahami sebagai manifestasi dari bekerjanya sistem sosial atau bidang keahlian tertentu–membicarakan dan proses kekuasaan. Apabila kekuasaan itu kenyataan”. Istilah wacana juga dipakai untuk istilah sedemikian mengakar, ideologi diterima sebagai pembicaraan itu sendiri. Dalam bahasa Indonesia bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari- kadang-kadang juga disebut diskursus. Discourse hari, seakan-akan menjadi “akal bersama” (common berbeda dari “bahasa” yang biasanya diartikan sense) antara kelompok yang tersubordinasi dan sebagai suatu “sistem” yang bersifat abstrak dan penguasa. Kondisi semacam itu oleh Gramsci disebut umum, dipergunakan untuk “alat” komunikasi oleh sebagai ideologi hegemonis, yakni titik klimaks dari subjek yang mandiri sebagai konsumen (secara kemampuan serangkaian ide ataupun pendapat dari kreatif maupun mekanis). Suatu discourse akan kelompok yang berkuasa untuk mempengaruhi berlangsung, jika terjadi “perjumpaan asumsi” antara keseluruhan elemen yang ada dalam masyarakat. mereka yang terlibat dalam kegiatan berbaku-tutur, (Abdullah, 1997). Singkatnya, sistem ideologi bukan kesetiaan mematuhi tata bahasa yang universal. mempunyai hubungan langsung dengan pengalaman Perjumpaan asumsi seketika itu berlaku secara manusia hidup di dalam masyarakat secara total. Jadi setempat, sesaat, dan sebatas kalangan yang ideologi itu tidak saja melingkupi bidang langsung terlibat. Fairclough (1995) menegaskan pengetahuan dan gagasan saja, tetapi juga meluas bahwa wacana itu sendiri tidak hanya dilihat dari aspek pada simbol, mitos, selera, gaya, fashion, iklan, kebahasaan, tetapi juga bagaimana bahasa itu televisi, media massa, interior rumah, mobil, dan diproduksi dan kemungkinan adanya ideologi seluruh ‘cara hidup’ suatu masyarakat. tertentu dibaliknya.

Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 99 analisis semiotik7 (semiotic analysis), dan menganalisis isi pesan media, sebab analisis bingkai8 (framing analysis) analisisnya tidak sampai pada tataran tergolong baru dalam khazanah ideologis. penelitian empirik di Indonesia. Posisi Terkait hubungan media massa ketiganya berada bersama-sama (saling dengan ideologi, dengan mengutip melengkapi) untuk memahami berbagai Althusser, Eriyanto10 mengatakan komponen yang bermain dan bahwa dalam konteks ideologi modern, mempengaruhi isi media (media content), media akan banyak berperan sebagai khususnya yang menggunakan ideological state apparatus. Artinya, media pendekatan kualitatif. Ketiga massa berfungsi sebagai ranah dan dasar pendekatan tersebut merupakan upaya pembenaran praktek hegemoni negara menjawab keterbatasan pendekatan terhadap warganya. Untuk itu, analisis paling awal, yaitu analisis isi wacana yang tepatnya disebut Critical “tradisional” (content analysis9) dalam Discourse Analysis (CDA), tidak saja mampu melakukan textual interrogation, tetapi juga mampu mempertautkan hasil 7Semiotic berasal dari kata semeiotics (Yunani: óçìåéùôéêüò, semeiotikos), artinya an interpreter of signs. interogasi tersebut dengan konteks Jadi, semiologi adalah ilmu tentang tafsir tanda, makro yang tersembunyi di balik termasuk sistem tanda. Definisi ini membuat aplikasi wacana. Hasil kerja analisis wacana semiologi sangat luas, bisa digunakan berbagai bidang keilmuan, karena semiologi adalah metoda merupakan academic exercise dalam tafsir untuk seluruh tanda yang diproduksi oleh rangka penyadaran, pemberdayaan, manusia. Semiologi berkembang menjadi ilmu untuk pencerahan, dan transformasi sosial. menafsirkan berbagai hal berhubungan dengan tanda- tanda, termasuk berguna bagi analisis kritik ideologi. Analisis wacana pada akhirnya Dalam Andrik Puwasito. “Analisis Semiologi bukan hanya bidang kajian mereka Komunikasi sebagai Tafsir Pesan”. Jurnal Komunikasi yang berlatar belakang Ilmu Massa, Vol. 1, No. 1, Januari 2008. 8Alex Sobur (2001) menjelaskan bahwa analisis Komunikasi. Akan tetapi, analisis bingkai (framing) merupakan pendekatan baru analisis wacana menghasilkan kajian yang wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. bersifat multidisipliner, khususnya Gagasan mengenai framing pertama kali diperkenalkan oleh Beterson tahun 1955. Belakangan dalam lingkup ilmu-ilmu sosial, ini, konsep framing telah digunakan secara luas untuk humaniora, dan sastra yang lebih menggambarkan proses penseleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realitas oleh media. Analisis framing merupakan perkembangan terbaru atau hasil elaborasi dari analisis wacana, yaitu dengan konteksnya) yang dapat ditiru (replicable) dan studi yang menonjolkan pendekatan multidisipliner sahih data dengan memperhatikan konteksnya). dalam menganalisis pesan-pesan tertulis maupun lisan. [Krippendorff, 1991]. Objek yang diteliti adalah: (1) Analisis framing juga memungkinkan disertakannya kata-kata, ucapan, suara; (2) tulisan (kata, kalimat, konsep-konsep sosiologis, politik, dan kultural untuk paragraf atau keseluruhan isi, symbol dsb); (3) visual menganalisis, memahami, dan mengapresiasi suatu (gambar bergerak/berjalan); (4) foto (gambar); (5) fenomena komunikasi dalam berbagai media, baik gerakan (mencibir, menghindar, memukul, tertulis maupun lisan. menendang, membanting dsb); (6) adegan (merajuk, 9Content analysis is a tool for objective, systematic memeluk, mencium, mengelus, dsb); (7) thema (tema- study of message content (analisis isi adalah teknik tema cinta, humor, tragedi, kolosal dsb); (8) gagasan/ penelitian untuk mendeskripsikan secara obyektif, ide (HAM, lingkungan hidup, kesetaraan gender, sistematik dan kuantitatif isi komunikasi yang tampak pelayanan prima, demokrasi, keterbukaan, (Berelson, 1952). Pengertian yang lebih teknis kebebasan pers, dsb). Dalam Juwono Tri Atmodjo. menyatakan: content analysis is a research method for t.t. Analisis Isi (Content Analysis). Dalam Modul Riset making replicable and valid reference from data or their PR Fikom - Universitas Mercubuana Jakarta. contexs (Analisis Isi adalah suatu tekhnik penelitian 10Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar untuk membuat inferensi-inferensi (cara data dikaitkan Analisis Teks Media. LKis, Yogyakarta

100 Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 menekankan sifat holistik dan secara spesifik dengan wacana kontekstual.11 keagamaan dalam bentuk sinetron. Dalam penerapannya, metode Berbeda dengan penelitian analisis wacana sudah sangat akrab sebelumnya, tulisan ini lebih fokus pada dengan para peneliti media dan analisis wacana kritis (Critical Discourse komunikasi. Dalam kaitannya dengan Analysis) terhadap tayangan kekerasan analisis wacana keagamaan di media, dalam sinetron bernuansa keagamaan. dapat disebutkan beberapa kajian Dalam konteks ini, wacana di sini tidak terdahulu, antara lain: (1) Deddi Duto dipahami sebagai studi bahasa. Analisis Hartanto (2007), “Analisa Tayangan wacana kritis memiliki karakteristik Kerajaan Sahur Trans TV sebagai antara lain: (1) wacana merupakan Representasi Mass Culture”, dalam suatu tindakan (action); (2) memper- Jurnal NIRMANA, VOL.9, No. 1, Januari timbangkan konteks seperti situasi dan 2007: 1-9; (2) Isna Siskawati (2006) kondisi; (3) mempertimbangkan wacana berjudul Komodifikasi Nilai-Nilai Agama dalam konteks sosial tertentu; (4) dalam Sinetron: Analisis Wacana Kritis memperhatikan elemen kekuasaan terhadap Sinetron Takdir Ilahi di TPI, Tesis (power); (5) teks, percakapan, dan Program Pascasarjana Universitas lainnya merupakan pencerminan dari Indonesia; (3) Ade Rina Farida (2004), ideologi tertentu. Hal yang dicoba Konstruksi Realitas Islam Liberal dalam ungkap adalah pertarungan perspektif Media Cetak: Analisis Framing Majalah dan ideologi yang terefleksi dari Gatra dan Sabili, Tesis Program tayangan kekerasan dalam sinetron Pascasarjana Universitas Indonesia; (4) bernuansa keagamaan. Buku hasil penelitian oleh M. Hamdar Arraiyyah dan Rosehan Anwar (2000) D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN berjudul Wacana Keagamaan di Surat Penelitian ini bertujuan Kabar: Pesan dan Respons Pembaca. Pusat mengungkap hakikat dari tindakan Penelitiaan Lektur Agama, Badan (action), konteks (situasi dan kondisi), Litbang Agama dan Diklat Keagamaan. historis (konteks sosial tertentu), elemen Sedangkan artikel yang terkait dengan kekuasaan (power), dan ideologi tertentu penelitian ini antara lain yang ditulis yang terefleksi dari tayangan kekerasan oleh A. Nunuk Prasetyo Murniati sinetron bernuansa keagamaan. (2000), “Kekerasan terhadap Perempuan Penetian ini diharapkan dapat memberi dalam Wacana Keagamaan: Tinjauan masukan bagi pelaku industri kreatif, dari Agama Katolik Roma”, sekaligus sebagai bahan pertimbangan dalam Seminar Nasional Peran Agama- bagi institusi yang berwenang dalam agama dalam Upaya Penghapusan mengawasi program dan tayangan di Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta. media, khususnya televisi. Selain itu, banyak pula penelitian tentang analisis wacana di media, II. METODE PENELITIAN namun isu dan tema yang diangkat lebih A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN bersifat umum atau tidak berkaitan Penelitian ini difokuskan pada program siaran televisi nasional yang 11Dedy N. Hidayat, pengantarnya terhadap buku dapat dinikmati langsung oleh Eriyanto (2001). masyarakat Jabodetabek saat ini.

Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 101 Program stasiun televisi tersebut selalu informasi di seputar penilaian negatif diinformasikan di berbagai surat kabar masyarakat terhadap isi tayangan nasional seperti KOMPAS, REPUBLIKA, televisi bernuansa keagamaan, termasuk KORAN TEMPO, dan sebagainya somasi, demonstrasi, surat pembaca, tentang jadwal acara di TVRI, RCTI, pengaduan, dan bentuk-bentuk “resis- SCTV, , TPI, TRANS TV, tensi” publik lainnya atas suatu TRANS 7, ANTV, TVONE, METRO TV, tayangan; (2) melakukan kajian pustaka dan GLOBAL TV.12 untuk menelusuri data-data sekunder, Program siaran yang dikaji adalah yaitu buku teks, terbitan berkala seperti tayangan sinetron bernuansa jurnal, majalah, dokumen, makalah, keagamaan yang dijadwalkan televisi dan data-data yang diperoleh dari secara rutin selama sepekan. Namun penelusuran website. Sedangkan unit demikian, karakteristik sinetron tersebut analisis datanya adalah jadwal siaran umumnya cerita berseri, baik yang rutin televisi nasional dalam satu penayangannya memakan waktu minggu yang diperoleh dari berbagai berbulan-bulan bahkan bertahun- surat kabar nasional, yaitu jadwal tahun (berjilid). siaran televisi pada awal bulan Agustus 2009. Jadwal tersebut dipilih karena B. CARA PENGUMPULAN DATA biasanya menjelang bulan bulan Ada tiga langkah yang ditempuh, Ramadan, hampir seluruh stasiun yaitu: (1) mengeksplorasi data dan televisi mencoba merespons program- program bernuansa keagamaan; (3) 12Masyarakat Jabodetabek saat ini terdapat menikmati langsung 16 stasiun televisi tanpa harus melakukan pengamatan langsung berlangganan, yaitu: TVRI, RCTI, SCTV, tentang tayangan kekerasan bernuansa INDOSIAR, TPI, TRANSTV, TRANS 7, ANTV, keagamaan, terutama yang sering TVONE, METROTV, GLOBAL TV, O CHANNEL, JAK TV-7, DAAI TV, dan SPACE STOON. Selain ditonjolkan dalam sinetron bernuansa itu, tercatat sejumlah televisi komunitas sedang keagamaan. mengurus perijinan ke Komisi Penyiaran Indonesia. Bahkan sudah ada yang mendapat ijin prinpip penyelenggaraan penyiaran, yakni Candradimuka C. METODE ANALISIS DATA TV, dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Candradimuka, Metode analisis data yang Palembang yang telah mengantongi ijin digunakan dalam penelitian ini adalah penyelenggaraan penyiaran sejak tanggal 23 Sepember 2008 lalu. Sementara Untirta TV dan IAIN analisis kualitatif. Sesuai dengan tema TV di Banten baru mengantongi rekomendasi dari yang dibahas, jenis analisis data yang KPID setempat, menunggu hasil Forum Rapat digunakan adalah analisis wacana, Bersama antara Pemerintah (Depkominfo) dan KPI Pusat. Al Washilah TV yang bermarkas di analisis semiotik, ataupun analisis Kembangan, Kebon Jeruk, Jakarta telah mendapat bingkai yang penerapannya verifikasi faktual dari KPI. Sedangkan 7 (tujuh) disesuaikan dengan jenis data maupun televisi komunitas di Jawa Barat, yakni yakni SEDC- TV, Televisi Pendidikan Kota Cimahi, Panguyuban fenomena yang ditemukan. Komunitas TV Nusantara (TVB), Televisi Komunitas Pendidikan KIJARA, Televisi Komunitas Universitas ASIL ENELITIAN Gunadharma, Komunitas Study Broadcasting III.H P Television (SBC TV), dan Televisi Komunitas A. GAMBARAN UMUM SPENSA, telah melalui proses pra-FRB (Forum Rapat Terlepas dari karakter yang dimiliki Bersama) antara Depkominfo dan KPI. Lihat, Budhi Hermanto. 2008. “Televisi Komunitas Sebuah Media masing-masing stasiun televisi, Alternatif”, http://www.kabarindonesia.com, 08-Mar- kehadirannya di ranah privat cukup 2008 menebar pesona. Televisi selalu beru-

102 Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 paya mengemas program acaranya agar seperti TVONE, Metro TV, Trans7, menarik seperti musik, film, telenovela, termasuk ANTV, JAK TV, O Channel, sinetron, iklan, dan “pemberitaan”. DAAI TV, dan Space Toon lebih memilih Menjelang Ramadan tahun 2009 ini saja, untuk membangun program siaran tayangan sinetron berseri di stasiun yang lebih berkarekter. televisi, terutama yang sudah mapan, Dengan demikian, saat ini tercatat menunjukkan trend atau kecenderungan sekitar 22 judul sinetron yang sedang yang sama dengan tahun-tahun tayang di stasiun-stasiun televisi swasta sebelumnya. Secara umum dapat (termasuk 1 sonetron lepas di TVRI) di digambarkan bahwa ada 3 stasiun Indonesia. Sinetron-sinetron tersebut televisi yang kemasan programnya lebih mewakili dua karakter utama. Pertama, banyak diisi dengan tayangan sinetron. karakter cerita yang bersifat terbuka, Terbanyak adalah televisi Indosiar, yaitu sinetron yang rangkaian tercatat 7 judul sinetron berseri yang episodenya mengalir begitu saja. Setiap ditayangan setiap harinya, yaitu: Impian episode menampilkan jalinan cerita Sang Putri; Kasih dan Amara; Tangisan yang berbeda. Tidak terlihat perspektif Isabela; Mualaf; Inayah; Tasbih Cinta, dan; tertentu yang dicoba terapkan untuk Angling Dharma; termasuk Jiran (ketika pemecahan masalah, baik dari awal penelitian ini dilakukan belum tayang episode hingga sinetron tersebut atau sedang diiklankan). Menyusul berakhir. Kedua, karakter cerita yang kemudian RCTI dan SCTV, sinetron menonjolkan relasi interpersonal yang ditayangkan kedua stasiun televisi pemainnya. Cerita sinetron terpusat ini mencapai 6 judul setiap harinya. pada hubungan pribadi manusia: RCTI menayangkan judul sinetron pertikaian keluarga, jatuh cinta, seperti Tarzan Cilik; Manohara; Cinta dan pernikahan, perpecahan, poligami, Anugerah; Dewi; Janji (2nd), dan; Aisyah perselingkuhan, balas dendam, dan (2nd). Sedangkan SCTV menyuguhkan sebagainya. Namun demikian, terdapat sinetron berjudul: Kepompong; Lemontea kecenderungan bahwa ceritanya Asam Manis Cinta; Melati untuk Marvel; berpangkal pada persoalan cinta dan Cinta Fitri Season Ramadan; Terlanjur Cinta, segenap romantismenya. dan; Inikah Cinta. TPI yang mengusung Dalam konteks penelitian ini, isi tema sebagai televisi pendidikan juga cerita yang dikategorikan bernuansa menayangkan sinetron berjudul: Sinetron keagamaan yang cukup menonjol di Spesial Ramadan: Mukjizat Cinta; antaranya berjudul: (1) Mualaf dan Kumpulan Kisah Hikmah Hijrah, dan; Inayah yang ditayangkan Indosiar; (2) Ronaldowati Babak 2. TVRI juga ikut Aisyah (2nd) oleh RCTI; (3) Cinta Fitri merayakannya dengan sinetron lepas Season Ramadan oleh SCTV, dan; (4) berdurasi 30 menit setiap hari Senin Sinetron Spesial Ramadan: Mukjizat Cinta; sampai Jumat. Sementara itu, beberapa juga Kumpulan Kisah Hikmah Hijrah yang stasiun memberikan porsi tayangan ditayangkan oleh TPI. sinetron secara terbatas, seperti sinetron Suami-Suami Takut Istri yang disiarkan B. ANALISIS DATA Trans TV, juga sinetron Abdel & Temon Semenjak pertengahan tahun 2004, Bukan Superstar yang ditayangkan oleh televisi di Indonesia banjir dengan Global TV. Stasiun-stasiun televisi sinetron religius bertajuk “Ilahi”.

Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 103 Diawali dengan sukses TPI menayang- “kejar tayang”, dan penafsiran simbol- kan serial Rahasia Ilahi, yang konon simbol formal keagamaan tertentu yang diilhami dari kisah-kisah nyata dalam tidak relevan dengan konteks ajaran majalah Hidayah. Sinetron religius agamanya, tanpa pemaknaan lebih semacam ini ternyata mampu mendalam atas pesan-pesan kemanu- mendongkrak peringkat rating televisi siaan yang terdapat dalam ajarannya. bersangkutan. Tak heran jika kemudian Untuk itu, tidak tepat jika agama hampir semua stasiun TV menayangkan dimobilisasi untuk melegitimasi strategi- sinetron sejenis. Berdasarkan sumber strategi “sinis” yang dihasilkan oleh ceritanya, ada sinetron yang didasarkan dominasi politik dan ekonomi.13 pada kisah nyata. Misalnya, Rahasia Ilahi Dari perspektif komunikasi— di TPI, Astaghfirullah di SCTV, Taubat di khususnya riset media—teridentifikasi Trans-TV, juga Azab Ilahi dan Sebuah suatu kecenderungan perilaku industri Kesaksian di Lativi. Selain itu, ada pula kreatif. Ketika Ramadan menjelang, yang mengambil ide ceritanya dari fenomena maraknya penggunaan sumber-sumber Islam klasik, simbol-simbol keagamaan selama berdasarkan hadis yang dianggap Ramadan menyisakan sejumlah sahih. Selain itu, sumber ceritanya ada pertanyaan yang menarik untuk juga yang diambil dari kitab-kitab dieksplorasi. Sepanjang Ramadan, klasik. Takdir Ilahi di TPI misalnya, televisi berupaya menyajikan tayangan ceritanya merujuk kepada hadis unggulan (prime time) yang diperebutkan Bukhari-Muslim. Pelaku industri kreatif stasiun televisi dan para pengiklan. ini pun berupaya mendapatkan Rekonfigurasi jam tayang ini pada legitimasi publik dengan menghadirkan akhirnya menimbulkan konsekuensi seorang kiai, dai, atau agamawan yang lain, yaitu perubahan konfigurasi acara. dianggap dapat memberi tafsir Bahkan, ada program yang dihapus kontekstual di akhir tayangannya. sementara waktu karena tayangannya Meskipun terkesan masih berupa tafsir dianggap “vulgar” seperti cerita berseri literal dan lebih menekankan kesalehan berjudul Curhat, juga serial Komedi ritual, komentar para kiai dan dai ini Tangah Malam di LaTivi. Demikian pula agaknya menarik perhatian penonton, serial Baywatch di RCTI yang setidaknya dapat menambah mengisahkan kehidupan para penjaga “kepercayaan” penonton bahwa pantai yang memakai bikini. tayangan tersebut benar-benar Selain itu, karakter aktris yang bertujuan dakwah, bukan semata-mata biasanya berbusana glamor “mendadak” bisnis. menjadi lebih “Islami” di bulan Sampai di sini sebenarnya tak ada Ramadan (saja), terutama ketika persoalan. Bahkan seoleh-oleh kisah membawakan acara-acara bernuansa sinetron tersebut dapat memuaskan keagamaan atau keislaman. Kalangan kegelisahan para pemirsa terhadap selebritis ikut-ikutan pula problematika yang dialaminya. Namun menggunakan jilbab. Penggunakan demikian, jika ditelaah secara lebih mendalam, akan terungkap berbagai 13 Ruslani. “Dari Sinetron Religius ke ’Emerging kontradiksi seperti alur cerita yang tidak Reaso`”. Dalam Harian Kompas, Sabtu, 01 Oktober logis, penulisan skenario yang terkesan 2005.

104 Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 jilbab di sini tentunya dilatarbelakangi dalam menata content pesan yang oleh berbagai kepentingan. Misalnya, disampaikan begitu menonjol. Contoh- sekadar memenuhi tuntutan skenario, contoh dalam kuis maupun “banyolan” iklan, dan sejenisnya. Penggunaan antar artis sering mengandalkan jilbab di sini jelas tidak didasari oleh bentuk-bentuk kekerasan verbal. kesalehan beragama. Sebab, setelah Fenomena tersebut biasanya Ramadan berlalu, mereka pun melepas berlangsung secara spontan ketika jilbab sekonyong-konyong. Migrasi Ramadan menjelang. Kontekstualitas simbolik para artis tersebut agama sebaliknya dijadikan dalih untuk menunjukkan keterbatasan pemaknaan menghasilkan program Ramadan, yang bahwa keislaman dapat diwakili oleh pada dasarnya adalah produk industri “simbol” busana muslim. Selain itu, budaya televisi yang dikerangka para sinetron merupakan ajang bagi kapitalis media untuk kepentingan “perangsangan” semangat konsume- kapitalisme.14 risme, misalnya melalui penayangan Pada tahun 2007, tayangan kuis di setiap segmennya. Ramadan di layar kaca kembali Kecenderungan pemaknaan dan membuat masyarakat meradang. perilaku industri kreatif di atas tidak Sebagai wakil lembaga keagamaan umat berbeda jauh dengan hasil penelitian Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2006. Secara substansi, ide menilai masih banyak program siaran ceritanya tidak berubah, hanya nama televisi nasional yang tidak sesuai acara dan setting programnya saja yang dengan realitas umat Islam, khususnya dikembangkan. Selebihnya sama saja. berkaitan dengan dimensi pornografi, Genre program tetap didominasi oleh kekerasan, dan mistik. Berdasarkan variety show dengan pendekatan komedi hasil pemantauan MUI terhadap situasi. Konteks sosial yang program siaran televisi swasta yaitu direpresentasikan tetap saja kalangan SCTV, TPI, RCTI, Indosiar, Trans-7, menengah ke atas, demikian pula ANTV, Lativi, dan Global TV pada komunikator utamanya—tetap sepuluh hari pertama Ramadan. didominasi para artis atau pelawak. Ditemukan sekitar 90% tayangan televisi Gagasan ke arah “pencerahan” malah yang dapat merangsang budaya pacaran semakin kabur dalam Ramadan 2006. kepada anak usia sekolah atau remaja. Bahkan, gagasan-gagasan kontroversial Ironisnya, siaran yang dinilai MUI tidak mulai subur. Misalnya, memparodikan layak tonton tersebut diklaim bagitu sosok ulama yang populer. Ini terlihat populer di masyarakat. Misalnya, dalam program Sana Sini Sahur (SCTV). sinetron Cowok Ideal dan Cinta Lama Niat untuk meningkatkan kualitas Bersemi Kembali yang ditayangkan SCTV, program/siaran bernuansa keagamaan juga sinema asyik Legenda Buta Kala pun akhirnya berubah menjadi paradok. (TPI), serta Stasiun Ramadan di RCTI. Sebab, religiusitas itu semestinya disampaikan secara verbal maupun non 14 Santi Indra Astuti. 2005. “Ramadhan dalam verbal. Dalam program sahur tersebut, Bingkai Religius di Televisi: Kajian atas Kognisi Sosial, Mode Produksi, dan Fenomena Infotainment terjadi “pelecehan” verbal dalam dalam Program Sahur”. Tesis UI, Jakarta. Data hasil menyampaikan wacana keagamaan. penelitian ini kemudian diupdate pada tahun 2006, Ketidaksantunan berperilaku, terutama dalam http://communicare-santi.blogspot.com/2007

Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 105 Mulai tahun 2007, sikap MUI lebih psikologis dari sinetron yang diklaim kritis terhadap tayangan televisi. MUI religius tersebut. Hasilnya, dalam satu memantau setiap tayangan dan episode sinetron Soleha (berdurasi 40 melaporkan temuannya ke Komisi menit), adegan kekerasan terjadi Penyiaran Indonesia. Sebelumnya, sebanyak 28,75 persen dari total durasi. metode apresiatif berupa pemberian Kekerasan yang bersifat fisik award ke sejumlah acara televisi, ternyata teridentifikasi justru lebih menonjol. tidak efektif dalam memperbaiki kualitas Sedangkan kekerasan psikologis berupa acara. Respons pengelola televisi dalam bentakan, ancaman, dan intimidasi lebih menyikapi kritik MUI juga berbeda- sedikit. Pelaku kekerasan itu sendiri beda. Sebagian stasiun televisi didominasi oleh karakter laki-laki. menunjukkan niat baiknya dengan Sementara itu, dalam Ustadz Ganteng membenahi program secara terbatas, Bikin Ge-er, adegan kekerasan justru khususnya pada siaran acara langsung lebih banyak lagi. Tercatat 16 kali (live). Sebagian lagi tidak menunjukkan pemunculan adegan kekerasan (selama kesungguhan untuk membenahi 27,5 menit durasi) atau 36,67 persen dari siarannya, bahkan makin berani total 75 menit durasi tayangan. Bukan menayangkan program yang bernuansa hanya itu, adegan kekerasan seksual kekerasan, mistik, dan mengeksploitasi bahkan muncul sekitar 5 menit atau 7% rangsangan libido. Ada pula televisi dari keseluruhan durasi cerita. Adegan yang mengedepankan program yang tersebut mengisahkan seorang pekerja konstruktif dan kondusif sejak awal seks komersial yang disuruh merayu, Ramadan. Tidak dapat dihindari bahwa memaksa, menggoda, dan melecehkan di satu pihak televisi merupakan mesin sang ustadz. Artinya, tingkat penyebar nilai spiritualitas, tetapi “religiusitas” kedua sinetron itu baru sekaligus ia bertindak sebagai wahana sebatas pemakaian simbol-simbol berlangsungnya pemalsuan, distorsi, agama, meskipun tempat shooting tempat dan konsumeristis.15 di musala atau masjid, ditayangkan Tahun 2007, tim peneliti komunikasi pada bulan Ramadan, perempuannya dari Universitas Islam Bandung juga berjilbab, sedangkan laki-laki melakukan penelitian terhadap dua mata menggunakan baju koko dan acara yang diklaim religius. Soleha, judul kopiahnya, dan seterusnya.16 sinetron serial yang dibintangi Jika dicermati kasus-kasus yang Marshanda diputar oleh RCTI sesaat terjadi belakangan, pertarungan ideologi sesudah berbuka puasa. Sebagai wacana keagamaan dalam sinetron tandingannya, sinetron Ustadz Ganteng masih terus berlangsung. Iksander17 Bikin Ge-er diputar SCTV untuk mengisi mengilustrasikan bahwa pada tanggal 24 slot waktu ngabuburit (menjelang maret 2009, Komisi Penyiaran Indonesia berbuka puasa). Penelitian ini mencoba (KPI) Pusat melayangkan teguran kepada membuktikan dugaan masih terjadinya Indosiar. Intinya, agar mereka “kekerasan”, baik fisik maupun 16 Agus Rakasiwi. 2007. “Ramadan dan Televisi 15 Teguh Imawan, “Tayangan TV: Kematian Kita”. Didownload jam 11.05 tanggal 2 agustus 09 Spiritualitas Ramadan”. Didownload jam 11.00 di http://www.pikiran-rakyat.com/ tanggal 2 agustus 09 di http://epajak.org/abg/new/ 17Didownload jam 14.40 tgl 8 agustus 2009 di moralitas/page/2 http://www.ubb.ac.id/

106 Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 memperbaiki materi sinetron Hareem krusial lagi, sebab fenomena pelecehan yang penuh adegan kekerasan verbal terhadap ajaran agama justru ditemukan maupun fisik. Indosiar pun berinisiatif dalam sinetron yang bernuansa menghentikannya mulai Selasa, 31 Maret keislaman. Bukan hanya itu, 2009. Selain Hareem, KPI Pusat juga penayangan adegan kekerasan yang menetapkan enam sinetron yang tayang jauh dari realitas umat Islam tetap pada Januari 2009 sebagai sinetron ditonjolkan. Sinetron Mualaf misalnya, bermasalah. Tiga di antaranya menceritakan tentang menantu laki-laki dikategorikan “berat”, yaitu sinetron yang menganiaya mertuanya sampai Suami-suami Takut Istri (Trans TV), lumpuh, padahal mertuanya adalah sinetron Muslimah (Indosiar), juga Abdel seorang Muslimah yang saleh. Sering dan Temon (Global TV). Sedangkan Alisa pula ditemukan adegan pemukulan atau (RCTI), Tawa Sutra Siang (ANTV), dan makian terhadap istri yang salehah. Monalisa (Indosiar) dianjurkan Menonjolkan perilaku poligami seorang memperbaiki materi siaran. Teguran suami, sementara istri pertamanya yang tersebut muncul karena dinilai tidak salehah dianiaya dan “dikerjai” oleh istri memperhatikan norma-norma kesopa- kedua. Konflik rumah tangga yang nan, kesusilaan, dan berindikasi tidak berujung ini begitu kental dalam melanggar kaidah-kaidah agama, bahkan sinetron Mualaf. dinilai telah melecehkan ajaran Islam. Dalam versi lain, Indosiar juga MUI menyatakan bahwa sinetron menyuguhkan sinetron Muslimah yang tersebut melecehkan citra Islam lewat kecenderungan ide, tema, dan kisahnya perilaku buruk pemainnya. Fenomena serupa. Sinetron ini mengisahkan tersebut dianggap oleh KPI sangat dendam seorang kakak tiri perempuan berbahaya karena dinilai dapat kepada adik tiri perempuannya yang menyinggung perasaan umat Islam di baik hati (mengenakan jilbab). Motif Indonesia. Ihwal mengolah “tanda” kekerasan muncul karena kakaknya (simbol) dalam sinetron tersebut dibakar api cemburu. Di antara adegan tampaknya tidak relevan, terutama kekerasan yang tidak masuk akal adalah dengan konteks keyakinan, ajaran, dan menabrak adik tirinya dengan mobil, tradisi Islam. Sebagai contoh, signifier menampar, mendorong, memaki-maki, (penanda) berupa sosok wanita bengis, bahkan menyewa pembunuh bayaran penuh makian, dan iri dengki agar niatnya tercapai. disandingkan dengan simbol jilbab. Ada Bukan hanya itu, Indosiar juga pertentangan “tanda” dan “penanda” menayangkan sinetron Inayah yang yang bisa memprovokasi ajaran tertentu. lagi-lagi berindikasi melecehkan ajaran Artinya, tayangan kekerasan bernuansa agama Islam. Termasuk sinetron Jiran keagamaan dapat mengaburkan yang ketika penelitian ini dilakukan pandangan dan pemahaman tentang masih berupa iklan. Singkatnya, nilai-nilai keagamaan tertentu. sinetron ini mengisahkan seorang Menjelang Ramadan tahun 2009 ini, suami yang berpoligami. Konflik yang fenomena “anjing menggonggong menonjol adalah perebutan harta suami kafilah berlalu” ternyata sudah knonis oleh istri-istrinya. Sosok istri yang saleh di dunia industri kreatif tersebut. (yang disimbolkan dengan jilbab) lagi- Persoalannya malah menjadi lebih lagi menjadi objek kekerasan dan

Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 107 pelecehan. Adegan tamparan, umpatan, antara ketiganya bisa harmonis, dalam dan intimidasi, termasuk menyewa arti terdapat hubungan simbiosis- pembunuh bayaran selalu meninpa mutualisme yang interaktif, saling sosok seorang istri yang salehah. mengisi, dan tidak mendominasi. Sinetron yang menggunakan simbol- Sebagai fungsi regulator, negara berhak simbol agama tersebut hanya dan memiliki wewenang mengatur menampilkan wajah bengis, dendam, kebijakan media sehingga menguntung- perebutan harta dan kekuasaan melalui kan semua pihak. Pada tahap ini, fungsi kekerasan verbal. Sinetron juga selalu negara menjadi vital untuk menyuguhkan kehidupan yang mewah, merumuskan kebijakan media yang glamor, pop dan sejenisnya yang sangat tidak saling mendominasi di antara bertentangan dengan realitas ketiganya. masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, dalam Salinan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor C. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 02/P/KPI/5/2006 tentang Pedoman Perilaku Dalam konteks industri kreatif, Penyiaran dan Standar Program Siaran, produk berupa surat kabar, televisi, pada Pasal 2 dinyatakan: “Pedoman buku, video, film, sinetron, pemirsa dan Perilaku Penyiaran dan Standar seterusnya merupakan sumber daya Program Siaran ditetapkan berdasarkan (resource) untuk didistribusikan ke pada nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, publik untuk dikonsumsi. Proses norma-norma lain yang berlaku dan produksi, distribusi, dan konsumsi diterima oleh masyarakat umum, dalam industri media massa ini tentunya berbagai kode etik, standar profesional melibatkan berbagai relasi seperti dan pedoman perilaku yang jurnalis, organisasi media, pemilik dikembangkan masyarakat penyiaran, modal atau kapitalis dalam perspektif serta peraturan-perundangan yang ekonomi, dan negara—atau tepatnya berlaku, misalnya Undang-undang Nomor pemerintah dalam perspektif politik. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang- Namun pada era globalisasi saat ini, Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang imperialisme media bahkan meliputi Perfilman, Undang-undang Nomor 40 Tahun dimensi ekonomi, ideologi, politik, dan 1999 tentang Pers, dan Kitab Undang- kultural. Di sini media menjadi ajang undang Hukum Pidana”. Sedangkan pada bagi para produser isi media untuk Pasal 6: Pedoman Perilaku Penyiaran, menggunakan komodifikasi nilai-nilai menentukan bahwa standar isi siaran yang layak diperjualbelikan dalam pasar antara lain: (1) rasa hormat terhadap yang kompetitif. pandangan keagamaan; (2) rasa hormat Di Indonesia, memperbincangkan terhadap hal pribadi; (3) kesopanan dan regulasi media tidak dapat serta merta kesusilaan; (4) pelarangan dan melepaskan tiga varian utama, yaitu pembatasan adegan seks, kekerasan, dan negara (state), pasar (market), dan sadisme; (5)perlindungan terhadap masyarakat (society).18 Hubungan di anak-anak, remaja, dan perempuan; (6) ketepatan dan kenetralan program 18 Nawiroh Vera. t.t. “Ekonomi Politik Regulasi berita. Media (RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi)”, makalah pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dengan demikian, nilai seni dalam Budi Luhur. masyarakat memiliki wawasan etika-

108 Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 politik, kognitif, dan libido estetik yang berubah ke arah penggunaan ‘tubuh’ bersifat integratif. Keputusan-keputusan dan ‘hasrat’ sebagai titik sentral yang berkaitan dengan politik-etik tidak komoditi, yang disebut dengan dapat dianggap sebagai satu putusan ‘ekonomi libido’ atau naluri seksual intuitif atau individual, akan tetapi sebagai dorongan kehidupan yang harus melibatkan pengetahuan tentang paling mendasar. Tubuh menjadi bagian posisi sosial sebatang tubuh, atau dari semiotika komoditi kapitalisme, struktur kehidupan sosialnya sehingga yang memperjualbelikan tanda, makna, seorang individu (seniman misalnya) dan hasratnya. Dalam wacana media, memiliki pengetahuan mengenai apa wanita diposisikan bukan sebagai yang ‘pantas’, ‘kurang pantas’, dan ‘subjek’ pengguna bahasa, tetapi sebagai ‘tidak pantas’ dilakukan dalam kerangka ‘objek tanda’ (sign object) yang hubungan sosial. dimasukkan ke dalam ‘sistem tanda’ (sign Selain itu, seni memisahkan diri system) dalam ‘sistem komunikasi dari batasan-batasan etika, sosial, politik ekonomi’ kapitalisme. Dalam jagad yang ada, dan berupaya membangun budaya yang didominasi oleh ‘lembaga’ seni yang otonom. Wacana akumulasi kapitalisme. Akhirnya, seni yang otonom ini menghasilkan kehidupan tidak hanya merubah apa bentuk-bentuk seni yang tidak saja yang di ‘permukaan’ (kulit), tetapi juga melepaskan diri dan menentang merasuk hingga ke level ‘substansi’ representasi sosial, akan tetapi berupaya (kesadaran dan ideologi). membangun kriteria dan landasan Menarik disimak puisi kritis yang normatif di dalam, dari dan untuk seni ditulis Ariel Heryanto (November 1993) itu sendiri. Seni mendapatkan status berjudul “Dewi Syuga: Kok Pintar, Kok otonomnya dengan cara menciptakan Cantik, Kok Bebas”, penggalannya bentuk-bentuk yang dibebaskan dari misalnya: setiap batasan tradisi dan kanon, serta “…Di negeri kami tubuh perempuan dari setiap batasan norma sosial. Untuk bukan milik perempuan itu, seni harus mengangkat kembali ke Dada dan paha sudah dijatahkan permukaan masalah yang menyangkut buat biro iklan dan wartawan fungsi sosial, komunikasi, dan politik Vagina dan rahim adalah lahan resmi seni, terutama ‘ideologi seni’. proyek nasional KB… Dalam kaitan ini, Camille Paglia dikerjakan sehari-hari dalam keluarga mengatakan, “The mass media is oleh laki-laki kami sendiri completely, even servely commercial. It is a dilaporkan birokrat negeri mirror of the popular mind (media massa biar dapat utang luar negeri…” sama sekali bersifat komersial, bahkan menjadi budak dari komersialisme itu IV.PENUTUP sendiri. Ia merupakan cermin dari A. KESIMPULAN kesadaran popular)”.19 Artinya, Sistem ideologi mempunyai ekonomi kapitalisme mutakhir telah hubungan langsung dengan pengalaman manusia hidup di dalam masyarakat secara total. Ideologi itu 19 Camille Paglia. 1992. Sex, Art and American tidak saja melingkupi bidang Culture. Viking, London & New York, hlm. ix pengetahuan dan gagasan saja, tetapi

Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 109 juga meluas pada simbol, mitos, selera, penguatan nilai-nilai moral dalam gaya, fashion, iklan, televisi, media masyarakat dan menjamin pluralisme massa, interior rumah, mobil, dan pada masyarakat Indonesia, yang pada seluruh ‘cara hidup’ suatu masyarakat. gilirannya akan mendukung transfor- Dalam konteks industri kreatif, simbol masi sosial pada perubahan sikap, nilai, keagamaan telah “diperjualbelikan” dan kesadaran kritis warga negara. sebagai komoditi, sebab kesadaran Artinya, suatu tayangan televisi harus supra-struktur dikendalikan oleh mampu memenuhi persyaratan, yang dominasi struktur. Realitas wacana seni terpenting antara lain (1) legitimasi keagamaan telah kehilangan dimensi sosiologis atau penerimaan masyarakat; ‘sakralnya’, sebuah informasi telah (2) legitimasi legalitas atau kesesuain kehilangan dimensi ‘maknanya’, sebuah dengan hukum yang disepakati dan karya seni telah kehilangan dimensi berlaku; (3) legitimasi etis atau diterima ‘auranya’. Wacana seni keagamaan berdasarkan standar moral masyara- menjauhkan diri dari dialektika ‘makna’ katnya. (ideologis), juga dialektika komunikasi dan sosialisasi. Dialektika ideologis B. SARAN/REKOMENDASI dianggap membosankan. Wacana seni Untuk mewujudkan fungsi media telah tercebur ke dalam ideologi tanpa televisi sebagai wadah pencerahan, batas dengan cara menghancurkan edukasi, informasi, sekaligus sebagai esensi makna itu sendiri, menggali sisi refreshing bagi masyarakat, maka negara ekstrimnya, mengekspos dimensi harus memainkan peran penting dalam ekstasi, kecabulan, dan immmoralitas- “mendamaikan” seluruh kepentingan. nya. Estetika kontemporer tidak lagi Sebagai fungsi regulator, negara—dalam membedakan mana yang ‘indah’, mana hal ini KPI—harus dipercaya dan diberi yang ‘jelek’, mana yang ‘moral, mana kewewenangan mengatur kebijakan yang ‘amoral’. Akibatnya, kehadiran media sehingga dapat menghasilkan konsumerisme, hedonisme, dan pleasure keputusan yang bersifat win win solution. dalam suatu media akan selalu menjadi Jadi, eksistensi kelembagaan KPI sebagai ancaman terhadap dasar-dasar “pengayom” perlu diperkuat sehingga keimanan, norma, nilai agama, tradisi, kebijakan yang dihasilkannya dapat etika, estetika, dan bahkan konstitusi dihormati oleh seluruh pihak, tetapi yang berlaku. tetap berada dalam koridor hukum dan Jika dicermati, regulasi siaran atau kultur masyarakat Indonesia yang tayangan televisi yang diwakili oleh beragam baik secara etnis, agama, dan lembaga KPI, cukup memiliki visi dan budaya.[] misi yang jauh ke depan, terutama bagi

110 Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 DAFTAR PUSTAKA

Alex Sobur. 2001. Analisis Teks Media: Indonesiatera, Magelang Suatu Pengantar untuk Analisis Irwan Abdullah. 1997. Sangkaan paran Wacana, Analisis Semiotik, dan gender. Yogyakarta: Pustaka Analisis Framing. PT Remaja Pelajar Rosdakarya, Bandung John Storey. 2003. Teori Budaya dan Andrik Puwasito. “Analisis Semiologi Budaya Pop: Memetakan Lanskap Komunikasi sebagai Tafsir Pesan”. Konseptual Cultural Studies. CV. Jurnal Komunikasi Massa, Vol. 1, Qalam, Yogyakarta No. 1, Januari 2008 Juwono Tri Atmodjo. t.t. Analisis Isi Ashadi Siregas dkk. 2000. Eksplorasi (Content Analysis). Dalam Modul Gender dalam Ranah Jurnalisme dan Riset PR Fikom Universitas Hiburan. LP3Y dan Ford Mercubuana Jakarta Foundation, Yogyakarta Klaus Krippendorff. 1993. Analisis Isi: Burhan Bungin. 2003. Pornomedia: Pengantar Teori dan Metodologi. Konstruksi Sosial Telematika & RajaGrafindo Persada, Jakarta Perayaan Seks di Media Massa. Kencana, Bogor. Muhammad Arkoun. 1994. Metode kritik akal Islam. Ulumul Qur’an. Camille Paglia. 1992. Sex, Art and Vol. V, No. 5 & 6, h. 156–169 American Culture. Viking, London & New York Norman Fairclough. 1995. Media discourse. London: Edward Arnold Deddi Duto Hartanto. 2007. “Analisa Tayangan Kerajaan Sahur Trans Santi Indra Astuti. 2005. “Ramadan TV sebagai Representasi Mass dalam Bingkai Religius di Televisi: Culture”, dalam Jurnal NIRMANA, Kajian atas Kognisi Sosial, Mode VOL.9, NO. 1, Januari 2007: 1-9 Produksi, dan Fenomena Infotainment dalam Program Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Sahur”. Tesis UI, Jakarta Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. LKis, Yogyakarta Tri Hastuti Nur R. 2003. “Stereotipe dan Komoditisasi Perempuan dalam ———. 2001. Analisis Wacana: Iklan”. Dalam Jurnal Perempuan: Pengantar Analisis Teks Media. untuk Pencerahan dan Kesetaraan LKis, Yogyakarta No.28. Yayasan Jurnal Fachrizal A. Halim. 2002. Beragama Perempuan, Jakarta dalam Belenggu Kapitalisme.

Dialog No. 68, Tahun XXXII, Nopember 2009 111