STRATIFIKASI SOSIAL DAN POLA KEPERCAYAAN (Analisis atas Fenomena Kekeramatan Makam di Kota Palembang)

TESIS Diajukan sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Magister Agama Bidang Sosiologi-Antropologi Agama

OLEH

MARIATUL QIBTIYAH 11.2.00.0.23.01.0122

PEMBIMBING DR. SUDARNOTO ABDUL HAKIM, MA

KONSENTRASI SOSIOLOGI-ANTROPOLOGI AGAMA PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

ii

PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI

Yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Mariatul Qibtiyah NIM :11.2.00.0.23.01.0122 Judul Tesis :STRATIFIKASI SOSIAL DAN POLA KEPERCAYAAN (Analisis Atas Fenomena Kekeramatan Makam di Kota Palembang) Menyatakan bahwa proposal /draft tesis / disertasi ini telah diverifikasi oleh Suparto, M.Ed., Ph.D pada tanggal 18 Agustus 2014. Proposal/draft tesis/disertasi ini telah diperbaiki sesuai saran verifikasi meliputi: 1. Menambahkan jurnal. 2. Menambahkan referensi berbahasa Arab.

Demikian surat pernyataan ini dibuat agar dapat dijadikan pertimbangan untuk menempuh ujian Pendahuluan.

Jakarta, 19 Agustus 2014 Saya yang membuat pernyataan

(Mariatul Qibtiyah)

iii

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla, penulis panjatkan kehadirat-Nya yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang merupakan salah satu syarat memperoleh gelar magister dalam Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita Baginda Rasulullah Muhammad SAW, pembawa kebenaran dan petunjuk, berkat beliaulah kita dapat menikmati kehidupan yang penuh cahaya keselamatan. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan syafaatnya kelak, amin. Atas izin Allah SWT dan bantuan dari berbagai pihak dengan penuh ketulusan hati penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, kepada berbagai pihak yang berkenan membantu, membimbing, dan memberi kemudahan dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang setulusnya penulis ucapkan kepada: 1. Prof. Komaruddin Hidayat selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Azyumardi Azra selaku direktur SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Juga kepada seluruh jajaran pimpinan SPs, Prof. Suwito, M.A., Dr. Yusuf Rahman, M.A., seluruh karyawan dan karyawati tata usaha, dan perpustakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA selaku pembimbing dan promotor dalam penulisan tesis ini. Masukan, saran, dan kritikan yang telah diberikan sangat berguna sebagai bentuk pengembangan pengetahuan bagi penulisan tesis ini, juga kepada seluruh dosen yang telah memberikan gagasan-gagasan pemikiran demi berkualitasnya penulisan tesis ini. 3. Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Drs. Abd. Azim Amin, M.Hum dan Ibunda Latifah yang tidak pernah lelah memberikan motivasi, dukungan, dan doa dalam setiap sujud mereka. Kepada saudara-saudaraku yang selalu menyemangatiku dan memberikan dukungan kakak Abdur Rohim, SE,. kakcik M.Nur Kholis, S.Hi, serta adik-adikku M.Fitrul Quraisy, Nurul Hidayati, dan Aisyahtul Fadillah dan

v

keluarga besarku yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan moril dan materilnya . 4. Buat sahabat-sahabatku Yuk Her, Iffa, Yuk Nisa, Onnie Sarah, Albab, Mami Ita, Mbak Zahra, Isti, Nadia, dan teman-teman angkatan 2012 SPS UIN Syarif Hidayatullah yang telah bersama-sama berjuang memberikan masukan-masukan pada penulisan tesis ini semoga kita dipertemukan lagi di lain waktu.

Akhirnya, seraya mengharap ridha Allah penulis persembahkan karya ini kepada mereka yang memiliki perhatian pada kajian keislaman, disertai harapan semoga kehadiran karya kecil ini bermanfaat dalam memperkaya wacana intelektual, khususnya bagi pengembangan sosiologi-antropologi agama.

Jakarta, 19 Agustus 2014 17 Syawal 1435 H

Mariatul Qibtiyah

vi

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Mariatul Qibtiyah Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 11 April 1990 Nim : 11.2.00.0.23.01.0122 Jenjang Pendidikan : S2 Pengkajian Islam Konsentrasi : Sosiologi-Antropologi Agama

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis berjudul ‚STRATIFIKASI SOSIAL DAN POLA KEPERCAYAAN (Analisis atas Fenomena Kekeramatan Makam di Kota Palembang)‛, adalah hasil karya saya kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila di dalamnya terdapat kesalahan dan kekeliruan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Selain itu apabila di dalamnya terdapat plagiasi saya siap menerima sanksi berupa pencabutan gelar akademik yang diberlakukan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar- benarnya.

Jakarta, 20 Agustus 2014 Yang membuat pernyataan

Mariatul Qibtiyah

vii

viii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul ‚STRATIFIKASI SOSIAL DAN POLA KEPERCAYAAN (Analisis Atas Fenomena Kekeramatan Makam di Kota Palembang‛ yang ditulis oleh Mariatul Qibtiyah NIM 11.2.00.0.23.01.0122 telah melalui proses bimbingan dan bisa diajukan untuk ujian promosi.

Jakarta, 19 Agustus 2014 Pembimbing

Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA

ix

x

PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI

Tesis mahasiswi berikut ini Nama : Mariatul Qibtiyah NIM : 11.2.00.0.23.01.0122 Judul Tesis : STRATIFIKASI SOSIAL DAN POLA KEPERCAYAAN (Analisis Atas Fenomena Kekeramatan Makam di Kota Palembang) Telah lulus dalam Ujian Pendahuluan pada tanggal 11 Agustus 2014 dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan dari Dewan Penguji. Selanjutnya tesis ini dapat diajukan untuk Ujian Promosi Magister.

Jakarta, 19 Agustus 2014 23 Shawwa>l 1435

Dewan Penguji: 1. Dr. M. Zuhdi, M.Ed, Ph.D (Ketua Sidang ) ...... Tanggal

2. Prof. H.M. Bambang Pranowo, MA (Penguji 1) ...... Tanggal

3. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA (Penguji 2) ...... Tanggal

4. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA (Pembimbing/merangkap Penguji) ...... Tanggal

xi

xii

ABSTRAK

Tesis ini menganalisa interelasi stratifikasi sosial dan agama dalam masyarakat. Stratifikasi sosial dianggap sebagai faktor yang menentukan kecenderungan-kecenderungan keagamaan dan orientasinya. Semakin tinggi hierarki strata suatu masyarakat maka akan semakin rasional pola kepercayaannya. Tesis ini menolak pendapat Karl Marx, C. Wright Mills dan Gerhard E. Lenski, Ali Syari’ati (1982), Robert MZ Lawang (2004) yang menyatakan bahwa stratifikasi sosial dalam masyarakat ditentukan oleh kriteria objektif yang berhubungan dengan kesempatan hidup dalam indikator ekonomi dengan penekanan terhadap aspek kekuasaan sebagai determinan stratifikasi sosial. Tesis ini mendukung pendapat Max Weber, Keith A.Roberts (2004), James D. Davidson dan Ralph E. Pyle (2011) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara keadaan sosial ekonomi dan ketaatan beragama. Agama mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem stratifikasi. Berdasarkan dukungan asumsi teori religious stratification, tesis ini akan menganalisa fenomena kekeramatan makam di kota Palembang di mana masyarakat (peziarah) memiliki pola kepercayaan yang berbeda-beda berdasarkan stratanya sehingga terdapat interelasi antara stratifikasi sosial dengan pola kepercayaan masyarakat terhadap kekeramatan makam. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data lapangan berupa observasi dan wawancara mendalam sedangkan data sekundernya berupa literatur buku, jurnal maupun artikel yang berhubungan dengan pembahasan stratifikasi sosial dan pola kepercayaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan fenomenologis dan etnografis.

Kata Kunci : Stratifikasi, Kepercayaan, Kekeramatan, Makam

xiii

xiv

تجريد البحث تجريد البح ث

لّيحل هذا البحث العالقة بني الطبقات اإلجتماعية و الدينية ىف اجملتمع . الطبقات اإلجتماعية هى العاملة الىت تعني ميول الدين . وكلما ارتفعت طبقة التسلسل اهلرمي يف اجملتمع فازدادت العقالنية أمناط الثقة يرفض هذا البحث ارآء كارل ماركس Karl Marx ,ج. وريغهت ميلز C.Wright Mills ,جريهارد لينسكي Gerhard A. Lensky, علي شريعة Ali Syariati (1982), روبرت مز الوانك Robert MZ. Lawang (2004) فإهنم قالوا بأن الطبقات اإلجتماعية ىف اجملتمع متعني مبعايري اهلدف اليت تتعلق بفرصة احلياة يف مؤشر اإلقتصادية بالًتكيز على السلطة (القوة) كالعوامل الطبقات اإلجتماعية . وبالعكس هذا البحث يؤيد ارآء ماكس ويرب Max Weber، كيث روبرت Keith A.Robert (2004) جيمس ديفيدسون James Davidson ورالف فيلي Ralph E.Pyle (2011) فإهنم قالوا أن وجود العالقة بني ا إلجتماع يةاإلقتصادية وطاعة

.التديّن والدين يؤثر ويتأثر بالنظام الطبقات. بنسبة افًتاضية النظرية عن الطبقات اإلجتماعية, حيلل هذا البحث الظواهر تقديس القرب ىف مدينة باليمبانج Palembangكانت الزائرات هلا االعتقادات املتنوعة بنسبة الطبقات , حىت , يوجد العالقة بني االطبقات اإلجتماعية و اعتقاد اجملتمع على تقديس القرب واملصدر الرئيسي هذا البحث هو البيانات امليدانية باملقابلة و مالحظة امليدانية . و مصدر . الثناوي هو البيانات من الكتب, واملقاالت املتعلقة بالبحث عن الطبقات اإلجتماعية وأمناط الثقة . . ويستخدم هذا البحث منهج نوعي بالصفة صفية معتمد على أساس املدخل الظواهر و اإلثنوغرافية.

الكلمات الرئيسية تقديس,اإلعتقاد,الطبقات: , القبر

xv

xvi

ABSTRACT

This thesis analyzes the interrelation of and in society. Social stratification is considered as a factor that determines the religious inclinations and its orientation. The higher hierarchical strata of a society the more rational pattern of a society. This thesis rejects the opinion of Karl Marx, C. Wright Mills and Gerhard E. Lenski, Ali Syari’ati (1982), Robert MZ Lawang (2004) who state that social stratification in society is determined by objective criteria which relates to the chance of living in economic indicator with emphasis on power aspect as a determinant of social stratification. This thesis supports the arguments of Max Weber, Keith A. Roberts (2004), James D. Davidson and Ralph E. Pyle (2011) who states that there is a relationship between socio-economic circumstance and religious observance. Religion affects and is affected by stratification system. Based on the supporting of the religious stratification theory assumptions, this thesis will analyze the phenomenon of sanctity tomb in Palembang in which society (pilgrims) have different belief pattern according to their stratification so that there is interrelation between social stratification with pattern of society beliefs to the sanctity of the tomb. The primary data source in this study is field data in the form of observation and in-depth interviews. The secondary data in the form of literature books, journals and articles which relates to the discussion of social stratification and pattern of beliefs. This thesis uses descriptive qualitative method by phenomenological and ethnographic approaches.

Keywords: Stratification, Belief, Sanctity, Tomb

xvii

xviii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah ALA–LC ROMANIZATION tables yaitu sebagai berikut:

A. Konsonan Initial Romanization Initial Romanization }d ض Omit ا }t ط B ب }z ظ T ت ‘ ع Th ث gh غ J ج f ف {h ح q ق Kh خ k ك D د l ل Dh ذ m م R ر n ى Z ز h ة,ه S س w و Sh ش y ى {s ص

B. Vokal 1. Vokal Tunggal Tanda Nama Huruf Latin Nama Fath}ah A A َ Kasrah I I ِ D{ammah U U ُ

2. Vokal Rangkap Tanda Nama Gabungan Nama Huruf Fath}ah dan ya Ai A dan I َ ...ى Fath}ah dan wau Au A dan W َ …و Contoh : H{aul : َحول H{usain : حسيي xix

C. Vokal Panjang Tanda Nama Gabungan Nama Huruf Fath}ah dan alif a> a dan garis di atas ىآ Kasrah dan ya i> i dan garis di atas ىِي D{ammah dan u> u dan garis diatas ىُو wau

(ة) D. Ta>’ marbu>t}ah di akhir kata bila (ة)  Transliterasi ta’ marbut}ah dimatikan ditulis h. madrasah : هدرسة mar’ah : هرأة : Contoh (Ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan sebagainya kecuali dikehendaki lafadz aslinya)

E. Shaddah Shaddah/tasydi>d di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf bershaddah itu. Contoh: shawwa>l : ّشوال rabbana : ربّنا

F. Kata Sandang Alif + La>m  Apabila diikuti dengan huruf qamariyah ditulis al. Contoh : al-Qalam : القلن  Apabila diikuti oleh huruf shamsiyah ditulis dengan menggandeng huruf shamsiyah yang mengikutinya serta menghilangkan huruf l-nya Contoh: An-Na>s : الناس Ash-Shams : الشوس

G. Pengecualian Transliterasi Adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim digunakan ,asma>’ al-husna> dan ibn ,هللا di dalam bahasa Indonesia, seperti kecuali menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan.

xx

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI ...... iii KATA PENGANTAR ...... v PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ...... vii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... ix PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI ...... xi ABSTRAK ...... xiii ABSTRACT ...... xv xvii ...... تجريد البحث PEDOMAN TRANSLITERASI ...... xix DAFTAR ISI ...... xxi DAFTAR TABEL ...... xxiii DAFTAR GAMBAR ...... xxv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Permasalahan ...... 10 1) Identifikasi Masalah ...... 10 2) Pembatasan Masalah ...... 10 3) Rumusan Masalah ...... 11 C. Tujuan Penelitian ...... 11 D. Manfaat Penelitian ...... 12 E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...... 12 F. Metode Penelitian ...... 19 1) Desain Penelitian...... 19 2) Pendekatan ...... 21 3) Unit Analisis ...... 22 4) Sumber dan Jenis Data ...... 25 5) Teknik Pengumpulan Data ...... 26 6) Teknik Analisis Data ...... 28 H. Sistematika Penulisan ...... 29

xxi

BAB II PARADIGMA DAN KERANGKA TEORITIS STRATIFIKASI SOSIAL DAN AGAMA A. Paradigma Stratifikasi Sosial ...... 33 B. Pola Kepercayaan dalam Sistem Sosial Masyarakat ...... 44 C. Masyarakat dan Stratifikasi Keagamaan ...... 53 D. Islam dan Stratifikasi Sosial ...... 69

BAB III POTRET MASYARAKAT PALEMBANG A. Profil Kota Palembang ...... 75 \B. Sistem Stratifikasi Masyarakat Palembang ...... 79 C. Perkembangan Sistem Kepercayaan Masyarakat Palembang .. 91 1) Kehidupan Pra-Islam di Palembang ...... 91 2) Islamisasi di Kota Palembang ...... 94 3) Akulturasi Islam dan Budaya Palembang ...... 99

BAB IV ENKULTURASI ZIARAH SEBAGAI TRADISI ISLAM DALAM MASYARAKAT PALEMBANG A. Ziarah Sebagai Ritual Keagamaan dan Wisata Religi ...... 107 B. Makam Keramat Sebagai Simbol dan Sarana Instrumental ... 116 C. Motif Peziarah ...... 124 D. Masyarakat dan Enkulturasi Tradisi Ziarah ...... 135

BAB V INTERDEPENDENSI STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP POLA KEPERCAYAAN MASYARAKAT A. Stratifikasi dan Perilaku Ziarah Masyarakat Palembang ...... 150 1) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Ekonomi Terhadap Perilaku Ziarah ...... 160 2) Interdependensi Strata Berdasarkan Pendidikan Terhadap Perilaku Ziarah ...... 163 3) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Religius Terhadap Perilaku Ziarah ...... 165 4) Interdependensi Strata Berdasarkan Etnis Terhadap Perilaku Ziarah ...... 170 5) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Kultural Terhadap Perilaku Ziarah ...... 172 6) Interdependensi Strata Berdasarkan Politik Terhadap Perilaku Ziarah ...... 175 B. Stratifikasi Keagamaan dan Pola Kepercayaan ...... 178 xxii

1) Traditional Action ...... 181 2) Affectual Action ...... 181 3) Werkrational Action ...... 182 4) Zwerkrational Action ...... 183 C. Transisi Kepercayaan: Tradisional – Rasional ...... 183

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ...... 195 B. Saran ...... 196

DAFTAR PUSTAKA ...... 177 LAMPIRAN ...... 191 GLOSSARIUM ...... 197 INDEKS ...... 203 BIODATA PENULIS ...... 207

xxiii

xxiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Profil Informan Berdasarkan Stratifikasi Jenis Kelamin,Umur, Agama, Pendidikan, Jenis Pekerjaan, dan Asal ...... 23 Tabel 2. Kategorisasi Informan Berdasarkan Stratifikasi ...... 24 Tabel 3. World View dan Dampak Sosial ...... 49 Tabel 4. Stratifikasi Keimanan dalam Masyarakat dan Masyarakat Muslim ...... 72 Tabel 5. Data Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera di Kota Palembang Tahun 2011...... 90 Tabel 6. Motif dan Tujuan Peziarah ...... 129 Tabel 7. Dialektika Tradisi Ziarah ...... 145

xxv

xxvi

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Struktur Stratifikasi di Palembang Pada Masa Kesultanan Palembang Darussalam ...... 86 Bagan 2. Trikotomi Pola Hubungan Tuhan – Manusia ...... 111 Bagan 3. Kerangka Teori Tindakan (Frame of Reference of The Theory of Action) ...... 142 Bagan 4. Konsekuensi Outcome Stratifikasi ...... 152 Bagan 5. Konsep Tindakan Voluntarism Parson ...... 155 Bagan 6. Interdependensi Hierarki Strata Peziarah Terhadap Pola Kepercayaan di Palembang ...... 159 Bagan 7. Sistem Stratifikasi Kekuasaan dan Interdependensinya Terhadap Pola Kepercayaan ...... 176 Bagan 8. Dimensi Budaya ...... 190

xxvii

xxviii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Agama Islam dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia (statistik resmi mencatat lebih dari 87,18% orang Islam)1, namun sikap masyarakat terhadap dunia sakral memiliki ciri-ciri budaya lokal khas yang terbentuk oleh sejarah. Sebagai negara yang penduduknya mayoritas muslim, fenomena ziarah2 sudah menjadi fenomena tersendiri yang unik bagi masyarakat muslim di Indonesia pada umumnya. Kehadiran peziarah bukan hanya didorong oleh motif sejarah, melainkan juga karena ada tradisi untuk mengunjungi makam3 keluarga atau tokoh yang dianggap

1 Menurut BPS, pada akhir tahun 2010, penduduk Indonesia mencapai 237.641.326 orang dengan jumlah pemeluk agama Islam menjadi sekitar 87.18 % persen, Kristen (6.96%), Katolik (2.9%), Hindu (1.69%) Budha (0.72%), Kong Hu Cu (0.05%), Lain-lain (0.13%). Sumber: http://www.bps.go.id (diakses pada tanggal 04 Juni 2012). 2 Kata ziarah dipinjam dari bahasa Arab ziyara yang berarti kunjungan. Kata ini pada dasarnya dapat diterapkan untuk segala bentuk kunjungan ke semua objek, baik berupa tempat maupun orang. Namun, sebagian istilah lokal, ziarah merujuk kepada kunjungan resmi kepada orang terkemuka (seperti seorang Kyai yang dihormati) atau ke sebuah tempat suci (makam atau peninggalan kramat wali atau orang suci) yang mengisyaratkan harapan untuk mendapatkan barakah (berkah). Walaupun kunjungan kepada seseorang yang masih hidup seperti kepada seorang Kyai yang dihormati juga dilakukan, ini hanyalah bentuk penghormatan biasa, bukan praktik yang penting. AG. Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon,(Jakarta: Logos, 2002), 228. 3 Dalam bahasa Arab, makam berasal dari kata maqam yang berarti tempat, status, atau hirarki. Tempat menyimpan jenazah sendiri dalam bahasa Arab disebut Qabr, yang di dalam lidah orang Indonesia disebut kubur atau lebih tegas disebut kuburan. Baik kata makam atau kubur – biasanya memperoleh akhiran an, sehingga diungkapkan kuburan atau makaman – umumnya digunakan untuk menyebut tempat menguburkan atau memakamkan mayat. Keduanya tidak dibedakan secara tegas, sehingga orang yang berziarah bisa menyatakan akan ke makaman atau ke kuburan. Namun demikian, ada kekhususan, yakni jika yang dikuburkan adalah seorang wali atau orang suci maka tempat penguburannya disebut makam wali dan bukan kuburan wali. Padahal semestinya, jika mengikuti tradisi bahasa Arab tempat tersebut disebut berperan penting dalam sejarah hidupnya dan sejarah masyarakatnya. Kebudayaan ini berkembang dikarenakan masyarakat meyakini tradisi tersebut dan selalu ada pesan dan harapan untuk mengikutinya4. Masyarakat Indonesia tersegmentasi tidak hanya secara vertikal tetapi juga secara horizontal. Hal ini dapat dilihat dari berbagai determinan, seperti ekonomi, politik, agama, gaya hidup, perilaku dan gender, dan lain-lain. Segmentasi seperti ini ternyata tidak hanya mempengaruhi pola pikir mereka melainkan dapat mempengaruhi hal lainnya, seperti gaya hidup dan pola kepercayaan. Fakta sosial yang memperlihatkan segmentasi dan pola pikir masyarakat dapat terdeskripsi melalui fenomena ziarah. Aktivitas ziarah di makam-makam istimewa sangatlah berbeda- beda di mana tingkah laku dari masing-masing peziarah ini berbeda-beda, hal ini tentunya dipengaruhi oleh latar belakang dari masing-masing individu yang berbeda-beda, tak hanya itu keadaan sosial, pengalaman serta motif mereka berziarah pun sangat bervariasi. Namun adanya berbagai motif berziarah ke makam keramat ini dari penjuru masyarakat seolah-olah menginstitusikan makam ini sebagai makam yang sakral dan istimewa dibandingkan makam orang-orang biasa. Sebagai suatu fenomena agama, ziarah merupakan realitas sosial yang berkembang dan menjadi hal unik di dalam masyarakat karena ziarah merupakan bentuk akulturasi antara budaya dan agama. Alasan sementara masyarakat merasa perlu menghadap seorang wali atau orang suci5 – bahkan lebih sering bukan qabr, seperti qabr Hud di Hadramaut, bukan maqam Hud dan maqam Ibrahim di Makah. Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005), 139, 4 Ruslan, dan Arifin Suryo Nugroho, Ziarah Wali: Wisata Spiritual Sepanjang Masa, (Yogyakarta: Pustaka Timur, 2007), 41. 5 Pada dasarnya, tiada yang bersifat suci melainkan hanya Allah SWT. Tiada siapa pun selain Dia yang bernama al-quddu>s5, nama satu-satunya yang mengungkapkan kesucian-Nya. Ayat-ayat kitab suci mengenai kesucian Allah dan kesucian manusia tampaknya melarang upaya untuk menghubungkan kedua konsep tersebut. Konsep yang pertama, yaitu kesucian Allah, sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an (59: 23; 62:1). Sedangkan kata-kata yang mengungkapkan konsep kedua, yaitu kesucian manusia, bukan sekedar dibentuk dari akar kata yang berbeda, namun bahkan berasal dari akar kata yang makna aslinya dapat dianggap sama sekali bertolak belakang: quddu>s (QDS), seperti 2 orangnya sendiri tetapi makamnya – daripada langsung menghadap Tuhan, tentu berhubungan dengan perasaan orang itu memerlukan perantaraan karena Tuhan dianggap tidak terjangkau6. Paham perantaraan atau wasilah sangat utama dalam hal itu. Tetapi fenomena ziarah bukan saja soal ibadah dan perilaku agama. Hal ini dapat dilihat dari perkembangannya melalui peranan berbagai tarekat. Sifat ini pun dapat membawa sorotan baru pada sejarah perkembangan fenomena ziarah, khususnya di Palembang. Pada masa kini, makam-makam keramat yang terkenal dijadikan obyek pariwisata, sedangkan perilaku ziarah dipromosikan sebagai program unggulan pariwisata daerah. Makam-makam yang dikeramatkan biasanya merupakan makam yang diyakini sebagai seorang wali atau tokoh yang dianggap telah berhasil menghimpun dirinya dengan berbagai kesaktian, baik karena bakat lahiriah, maupun sebagai hasil suatu perjalanan batin tertentu. Kesaktian yang tadinya berada dalam dirinya itu kemudian bersemayam pula dalam makamnya. Itulah sebabnya, dengan beberapa perkecualian, ziarah hanya diadakan di satu-satunya tempat, yaitu di kuburannya7. Di daerah Jawa yang padanannya dalam bahasa Ibrani, mempunyai makna dasar yang berarti ‚pemisahan‛ dan selanjutnya menjadi keluhuran yang tertinggi dan kemurnian absolut. Sebaliknya wala>yah (WLY) mempunyani makna dasar yang berarti ‚kedekatan‛. Dalam al-Qur’an, istilah-istilah kata WLY cukup banyak jumlahnya. Istilah wala>yah hanya muncul dua kali (8:27; 18:44), baik sebagai ungkapan kesetiakawanan antar sesama umat muslim, maupun untuk menyebutkan perlindungan yang diberikan Allah kepada umat. Istilah wali> dengan jamaknya awliya>’ sebaliknya muncul berkali-kali, namun harus diterjemahkan dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya. Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), 10. 6 Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an (2: 186), ‚Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran‛. 7 Kuburan tokoh-tokoh itu disebut dengan istilah umum ‚keramat‛ (dari bahasa Arab karomah jamak karamat yaitu ‚keajaiban‛) yang di Indonesia menunjuk baik tempat dan benda maupun manusia dan bukan hanya wali-wali Islam ataupun makam saja. Seorang individu yang memiliki kekuatan paranormal disebut keramat, seperti juga suatu pertemuan dengan dunia ghaib. 3 terkenal adalah makam walisongo8, sementara obyek ziarah yang mendapat sorotan bagi masyarakat di kota Palembang dan sekitarnya adalah makam Kyai Marogan.9 Makam Kyai Marogan adalah makam seorang ulama dan waliyullah di Bumi Sriwijaya. Beliau merupakan sosok yang karismatik dan penyebar agama Islam di wilayah Sumatera bagian Selatan ini. Lokasi tersebut memiliki nilai historis tersendiri sehingga menjadi magnet bagi peziarahnya. Setiap hari peziarah mengunjungi makam tersebut agar mendapat berkah dari keistimewaannya. Dalam suatu masyarakat terdapat figur yang dihormati dan dianggap sebagai istimewa daripada yang lain sehingga figur ini diberi kepercayaan penuh oleh masyarakat. Eksistensi orang yang terpilih atau ‚orang suci‛10 di dalam masyarakat menciptakan suatu pola tersendiri di dalamnya. Geertz11 mengungkapkan bahwa

Dengan kata lain, terdapat kesinambungan antara makam-makam wali di satu pihak dan tempat-tempat keramat lainnya yang tidak berkaitan dengan sosok manusia. Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 229. 8 Menurut Amin Abdullah, walisongo adalah para pembawa dan penyebar agama Islam di pesisir Jawa bagian utara, yang dikenal cukup intens dalam melakukan kontekstualisasi nilai-nilai Islam secara kreatif ke dalam kompleksitas kehidupan masyarakatnya. (Ruslan dan Arifin, Ziarah Wali: Wisata Spiritual Sepanjang Masa), 4. 9 Lihat Abdul Karim Nasution, Kiprah Ki Marogan Mengembangkan Islam di Uluan Palembang, dalam Jurnal Intizar Pusat Penelitian IAIN Raden Fatah Palembang, volume 10 Nomor 2, Desember 2004, 267-269. Lihat juga Masagus Fauzan, Sekilas Tentang Ki Marogan, http://kiaimarogan.com/ index.php?option=com_content&task=view&id=13&Ittemid=26. Lihat juga Ahmad, Memet, Sejarah Masjid Muara Ogan dan Masjid Lawang Kidul serta Biografi Kyai Muara Ogan. Palembang: Yayasan Kyai Muara Ogan, 2005. 10 Orang yang terpilih ini dianggap sebagai orang yang memiliki keistimewaan dan dekat sang Pencipta, sehingga ketika orang tersebut meninggal maka dengan berdoa di makamnya maka harapan dan doa si pendoa akan terkabul. Konsep ‚orang suci‛ merujuk pada konsep ‚wali Allah‛ yang berarti orang yang mendekat dan menolong (agama) Allah atau orang yang didekati dan ditolong Allah. Definisi ini semakna dengan pengertian wali dalam terminologi Al Qur’an, sebagaimana Allah berfirman, ‚Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertaqwa.‛ (Yunus: 62 – 64) 11 Sebagaimana dikutip dalam Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 9. 4 agama tampak tumpang tindih dengan kebudayaan karena sifatnya yang kompleks dan ruang lingkup yang mendalam, khususnya dalam ajaran agama Islam. Aspek kehidupan beragama tidak hanya ditemukan dalam setiap masyarakat, tetapi juga berinteraksi secara signifikan dengan institusi budaya material, perilaku manusia, nilai, moral, sistem keluarga, ekonomi, hukum, politik, pengobatan, sains, teknologi, seni, pemberontakan, perang dan lain sebagainya. Tidak ada aspek kebudayaan lain dari agama yang lebih luas pengaruh dan implikasinya dalam kehidupan manusia. Fenomena ziarah kubur tidak terkait langsung dengan al- Qur’an dan pelaksanaannya kadang-kadang demikian khas sehingga orang yang menentangnya tidak kekurangan alasan untuk mencapnya sebagai perilaku keagamaan yang menyimpang atau bahkan syirik. Praktiknya juga sering spektakuler, terutama pada waktu perayaan-perayaan besar, bila kerumunan besar peziarah memperagakan imannya dengan emosi yang meluap sehingga mengganggu mereka yang lebih bersikap spiritual maupun rasional.12 Kegiatan ini rutin dilakukan oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang memiliki kepercayaan yang kuat terhadap hal-hal yang berbau sakral. Kepercayaan tersebut diaktualisasikan oleh peziarah melalui perilaku keagamaan yang beragam, mulai dari menabur kembang, mengusap nisan, membaca do’a, memuja, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, optimis, atau pasrah. Kepercayaan semacam ini tampak aneh, tidak alamiah dan tidak rasional dalam pandangan masyarakat modern yang terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa sesuatu diyakini ada kalau konkret, rasional, ilmiah atau terbukti secara empirik13. Hal ini dianggap suatu tradisi yang tak bisa dilepaskan dan masih melekat dalam masyarakat sebagai suatu kebudayaan. Akhirnya fenomena tersebut seringkali mewarisi praktik agama pra-Islam, sambil mengambil alih tempat serta ritus-ritusnya. Singkatnya, fenomena itu dapat saja dicap kurang murni dari sudut akidah, bahkan kurang serius, sehingga umumnya paling-paling ditolerir sebagai sarana yang dibutuhkan

12 Henri Chambert-loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 2010: 1 13 Bustanuddin, Agus, Agama Dalam kehidupan Manusia, 2006: 2 5 umat yang goyah imannya, agar dapat mengamalkan dan memperkuat imannya.14 Terlepas dari anggapan dan penilaian agama terhadap praktik ziarah yang menyimpang atau tidak, fenomena seperti ini kerap muncul dalam kehidupan sehari-hari bahkan telah membudaya. Kekeramatan makam dianggap sebagai magnet kuat yang menarik masyarakat untuk menziarahinya. Berziarah ke makam-makam keramat adalah suatu kebiasaan yang sangat umum di masyarakat, sehingga siapa pun dapat menjadi peziarah. Makam keramat Kyai Marogan dianggap sebagai magnet yang telah menarik perhatian masyarakat Palembang dan sekitarnya untuk berziarah di sana. Semua lapisan masyarakat15 terkena fenomena ziarah, namun ternyata anggota-anggota kelas sosial tertentu lebih sering ditemukan daripada anggota-anggota kelas sosial yang lain. Kecenderungan peziarah mayoritas dari kelas sosial bawah di mana pola kepercayaan mereka umumnya masih bersifat tradisional dan primitif. Berbeda dengan masyarakat dengan kelas sosial atas yang memiliki pola kepercayaan modern di mana segala sesuatu harus berasaskan pada rasionalitas dan terbukti secara ilmiah. Namun pada kenyataan, mereka yang berstatus sosial tinggi juga tampak terlihat berziarah ke makam keramat. Kehadiran peziarah dari beraneka ragam lapisan ini tidak terlepas dari motif pribadi yang terkadang sukar untuk diketahui. Struktur masyarakat Palembang yang multikultur menjadikan masyarakatnya terstratifikasi ke dalam beberapa

14 Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 2010: 1 15 Lapisan masyarakat juga dapat disebut sebagai stratifikasi sosial, yaitu tingkatan yang ada di dalam masyarakat yang diukur atau diakui berdasarkan 4 unsur, yaitu kekayaan, kekuasaan, kehormatan dan pendidikan. Dalam hal ini pola pikir dan cara pandang masyarakat juga dipengaruhi oleh stratifikasi yang mereka duduki. (Elly M.Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2011), 399. Menurut Jeffries dan Ransford, stratifikasi sosial di masyarakat secara hirarkis terdiri dari stratifikasi kelas (aset ekonomi, posisi pekerjaan, tingkat pendidikan, dan gaya hidup), etnis, jenis kelamin, dan usia. (Jeffries and Ransford, Social Stratification : a Multiple Hierarchy Approach. Allyn and Bacon, INC. United States of America. 1980), 3-4. 6 lapisan sosial. Stratifikasi sosial masyarakat yang dapat dilihat dalam berbagai determinan - baik determinan ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya - tidak membuat masyarakat sungkan untuk berkunjung ke makam keramat. Beragam lapisan masyarakat yang hadir ternyata memiliki karakter pola kepercayaan yang berbeda dalam menginterpretasikan ritual ziarah. Hal ini terlihat ketika masyarakat yang tergolong dalam kelas atas berziarah ke makam keramat di mana interpretasi tindakannya berbeda dengan masyarakat kelas bawah. Pada umumnya masyarakat kelas bawah masih terpengaruh dengan pola pikir yang tradisional, yakni masih percaya kepada hal-hal yang berbau mistik, seperti membawa sesajen atau membeli benda- benda yang dianggap sakral. Hal ini berbeda dengan masyarakat yang berada di strata atas, di mana pada umumnya mereka memiliki pola kepercayan yang lebih rasional dan modern. Mereka percaya kepada sesuatu yang ghaib namun dengan rasionalitas mereka; mereka enggan untuk membawa hal-hal yang bersifat tradisional seperti sesajen atau membeli barang-barang yang mengandung kekuatan mistis karena hal tersebut tidak dapat dibuktikan secara empirik manfaatnya. Status sosial peziarah juga bervariasi mulai dari golongan petani, pedagang, pegawai, buruh, ulama, pejabat dan lain-lain berziarah dan membentuk stratifikasi sosial. Tingkah laku peziarah ini sedikit banyak dipengaruhi oleh status sosial dan pola kepercayaan mereka. Terdapatnya tingkah laku berbeda dari peziarah ketika melakukan ziarah dapat berdampak terhadap enkulturasi ziarah itu sendiri. Perilaku peziarah di makam keramat akan menjadi suatu kebiasaan sehingga terenkulturasilah menjadi suatu tradisi budaya sebagai bagian dari budaya ziarah. Bentuk-bentuk pola perilaku yang merupakan cermin dari pola kepercayaan dan stratifikasi sosial masyarakat ketika berziarah dapat terlihat di makam. Peziarah yang memiliki stratifikasi sosial yang tinggi melakukan ziarah hanya untuk berkunjung dan mendoakan orang yang berada di dalam makam tersebut sebagai bentuk penghormatan. Lain halnya dengan peziarah yang berada pada stratifikasi sosial yang rendah, motif berziarah pun agak sedikit menyimpang dari adab berziarah. Motif peziarah dari kelas ini adalah karena niat mereka yang 7 menginginkan sesuatu seperti kesembuhan, kelancaran rezeki, kemudahan dalam berjodoh yangmana motif tersebut mereka sampaikan bukan kepada Allah SWT, tetapi terkadang ada yang menyampaikannya kepada orang yang dimakamkan di dalam makam tersebut. Adanya penyimpangan niat seperti ini kebanyakan disampaikan oleh orang-orang yang berada dalam status sosial rendah. Tak hanya itu, selain menyampaikan hajat mereka kepada sang Kyai yang berada di dalam makam, mereka juga kerap mengambil batu kerikil yang ada di dalam makam keramat tersebut. Selain itu mereka juga membeli kembang, kemenyan, dan lain sebagainya sebagai ‘oleh-oleh’ dari kunjungannya di makam keramat tersebut untuk mengambil berkat/barokahnya. Fenomena ziarah sebagai bentuk fakta sosial dalam masyarakat memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara stratifikasi dengan agama. Keith A.Roberts menyatakan bahwa ada hubungan antara keadaan sosial ekonomi dan ketaatan beragama. Agama mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem sosial ekonomi. 16 Menurutnya religiusitas seseorang dipengaruhi secara signifikan oleh agama atau posisinya dalam sistem stratifikasi. Selain itu, Max Weber17 mengemukakan bahwa faktor-faktor ekonomi tidak dapat menerangkan ciri-ciri khusus dari formasi group, kolektivitas dan komunitas tertentu, perlu menguji ranking status dan macam-macam status kepercayaan mereka, upacara-upacara keagamaan dan simbol-simbol yang memperlihatkan ide dari kedudukan sosial. Hal ini bertolak belakang dengan Karl Marx yang menyatakan bahwa hanya kepentingan ekonomi yang mempengaruhi agama lebih daripada agama yang mempengaruhi perilaku ekonomi.18 Marx mengemukakan bahwa dasar pembentukan kelas sosial bukanlah konsensus tetapi penghisapan suatu kelas oleh kelas sosial lain

16 Keith A. Robert, Religion In Sociological Perspective, (USA: Wadsworth, 2004), 218 17 Dalam Bryan S. Turner, Weber and Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. 1983), 148 18 Keith A. Robert, Religion In Sociological Perspective, 218 8 yang lebih tinggi.19 Selain itu, C. Wright Mills dan Gerhard E. Lenski memberikan pandangan mengenai hubungan antara ketiga dimensi stratifikasi sosial (privilese, kekuasaan dan prestise) dengan menekankan aspek kekuasaan. Pendapat-pendapat ini kemudian diadaptasi oleh Robert MZ Lawang yang menekankan pentingnya dimensi privilese ekonomi dalam menentukan dinamika hubungan ketiga dimensi stratifikasi sosial seperti yang dikemukakan oleh Gerhard E. Lenski dan C. Wright Mills.20 Dalam fenomena sosial budaya di zaman modern ini, kehidupan beragama menjadi menciut dalam aspek kecil dari kehidupan sehari-hari. Fenomena penciutan kehidupan beragama ini karena pengaruh budaya modern yang kadang kala mendekati modernisme21 dan sekulerisme. Kemajuan ilmu pengetahuan, industrialisasi, urbanisasi, dan rasionalisasi dan modernisasi masyarakat telah menyebabkan agama semakin surut dari arena kehidupan sosial yang dikuasainya secara tradisional. Lebih lanjut Durkheim mengatakan bahwa agama mati perlahan-lahan dalam dunia modern di bawah pengaruh ilmu dan teknologi modern.22 Mereka yang terpengaruh budaya modern lebih memiliki pola pikir yang rasional dan ilmiah sehingga mempengaruhi pola kepercayaan mereka terhadap hal-hal yang sakral yang dianggap

19 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2011), 166. 20 Robert M.Z. Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat Tahun 1950-an dan 1980-an, (Jakarta: FISIP UI Press, 2004), 7. 21 Modernisme berbeda dengan modern. Yang pertama telah menjadi anutan dan paham yang dipakai dalam memandang manusia, alam dan kehidupan secara keseluruhan. Kalau istilah modernisme dipasangkan dengan tradisionalisme, ia adalah sifat masyarakat yang berorientasi kepada yang konkret, otomatisasi, kecenderungan kepada perubahan. Akan tetapi modern hanya sekedar sikap bersedia atau sekadar menggunakan alat dan produk yang dihasilkan oleh teknologi modern sehingga tenaga untuk mengerjakan sesuatu bisa terhemat, seperti handphone dan internet untuk berkomunikasi. Orang Islam didorong untuk hemat dan melakukan sesuatu dengan sempurna yang tentunya dengan menggunakan hasil teknologi modern, tetapi mereka tidak direstui, bahkan diharamkan untuk berpandangan hidup atau berideologi modernisme karena mengabaikan Allah dan agama sebagai pegangan hidup. Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, 10. 22 Stephen K Sanderson, Macrosociology, diterjemahkan oleh Farid Wajidi, S. Menno (Jakarta, PT RajaGrafindo, 2000), 555. 9 irrasional dan jauh dari kata ilmiah. Adanya perubahan intelektualitas masyarakat dari irasional ke rasional mempengaruhi perubahan fungsi sosial di dalam masyarakat. Kekeramatan makam menjadi potret terjadinya interelasi antara pola kepercayaan masyarakat Palembang dan stratifikasi sosial. Fenomena ziarah ke makam keramat menunjukkan bahwa berbagai kelompok masyarakat dan stratifikasi sosial tertentu memiliki pola kepercayaannya sendiri dalam mengaktualisasikan perilaku ziarahnya. Fenomena makam keramat ini juga terjadi di Kota Palembang sehingga menarik untuk diteliti dari perspektif sosiologis-antropologis. Ketertarikan peneliti terhadap fenomena kekeramatan makam ini karena masyarakat Kota Palembang terstratifikasi dalam beberapa kelas dan memiliki interpretasi pola kepercayaan yang berbeda-beda terhadap keberadaan makam keramat tersebut.

B. Permasalahan 1) Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, yaitu sebagai berikut: a. Sebagai suatu simbol keagamaan, makam keramat diinterpretasikan secara berbeda oleh masyarakat. b. Terdapat pola tindakan yang bervariasi berdasarkan strata yang tercermin dalam perilaku ziarah. c. Masyarakat yang terstrata memiliki tingkat rasionalitas yang bervariasi berdasarkan kelasnya dan hal ini kemudian dapat dilihat dari pola tindakannya ketika berziarah. d. Fenomena kekeramatan makam berpengaruh terhadap kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat. e. Terdapat preferensi antara kepercayaan agama dan status sosial ekonomi dalam mempengaruhi pola tindakan masyarakat ketika berziarah.

2) Pembatasan Masalah Menyadari luasnya ruang lingkup dan banyaknya masalah- masalah penelitian sebagaimana yang teridentifikasi di atas, peneliti membatasi penelitian ini secara spesifik yaitu akan mengungkap secara emic perspektif masyarakat dalam 10 mengidentifikasi stratifikasi dan pola kepercayaannya terhadap kekeramatan makam, serta bagaimana masyarakat mengaktualisasikannya melalui perilaku ziarah dengan menggunakan pendekatan teori religious stratification. Seperti yang telah diuraikan pada bagian latar belakang masalah, subjek penelitian yang dipilih adalah masyarakat Palembang yang berziarah ke makam keramat dan terstratifikasi dalam kelasnya masing-masing. Mengenai stratifikasi kelas, Weber mengungkapkan bahwa kelas sosial tidak hanya dibentuk berdasarkan premis ekonomi saja, tetapi juga dapat dilihat berdasarkan status dan pola keagamaannya. Atas alasan tersebut, maka stratifikasi kelas yang dipakai sebagai objek penelitian ini akan dibatasi pada posisi strata sosial si subjek penelitian yang berhubungan dengan perilaku keagamaannya. Selanjutnya, masih dalam rangka pembatasan masalah penelitian demi hasil yang lebih terfokus, subjek penelitian ini adalah orang yang berziarah ke makam keramat. Secara ringkas, penelitian ini dilakukan terhadap subyek masyarakat Sumatera Selatan yang lebih terfokus pada masyarakat yang berziarah ke makam keramat di Palembang dan sekaligus terstratifikasi dalam kelasnya masing-masing.

3) Rumusan Masalah Setelah menelaah identifikasi masalah dan pembatasan masalah tersebut di atas, peneliti merumuskan lebih konkret permasalahan yang akan dianalisis, yaitu bagaimana interelasi antara stratifikasi sosial dengan pola kepercayaan sebagaimana tampak pada perilaku ziarah di makam keramat di Kota Palembang?

C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana pola perilaku masyarakat Palembang ketika berziarah ke makam keramat dan menganalisa bagaimana stratifikasi sosial mempengaruhi perilaku keagamaan masyarakat yang berkaitan dengan pola kepercayaan masyarakat terhadap fenomena kekeramatan makam di Kota Palembang.

11

Tujuan penelitian ini juga untuk mengidentifikasi relasi antara stratifikasi sosial dan pola kepercayaan masyarakat. Hasil identifikasi tersebut akan dapat digunakan untuk: 1. Memetakan struktur kelas di Palembang. 2. Menjelaskan mengenai karakteristik stratifikasi dan karakteristik pola kepercayaan masyarakat Palembang. 3. Mengidentifikasi masalah praktek keagamaan (ziarah) berdasarkan posisi strata sosial.

D. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan analisis bagi perkembangan dunia ilmu sosiologi- antropologi khususnya tentang pemahaman teori religious stratification. Dari sini akan diperoleh gambaran relasi antara stratifikasi sosial dan pola kepercayaan masyarakat melalui fenomena kekeramatan makam yang terdeskripsi pada aktivitas ziarah di makam keramat tersebut. Adapun manfaat praktis yang dapat diambil melalui penelitian ini, yaitu: 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman mengenai berbagai pola tindakan masyarakat dalam berziarah sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi praktisi dan akademisi dalam studi lanjutan mengungkap aspek yang berkaitan dengan masyarakat. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi yang komprehensif terkait dengan stratifikasi dan pola kepercayaan masyarakat Kota Palembang. 3. Penelitian ini juga membuka wawasan kepada pemerintah setempat untuk memanfaatkan ziarah sebagai peluang pariwisata (wisata religi). Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi tambahan informasi yang komprehensif terkait dengan stratifikasi dan pola kepercayaan masyarakat Kota Palembang.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

12

Penelitian ini pada dasarnya mengamati hubungan stratifikasi sosial dan pola kepercayaan masyarakat. Sebelumnya ada beberapa penelitian sejenis mengenai stratifikasi sosial namun tidak secara spesifik membahas hubungan stratifikasi dengan pola kepercayaan. Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Sayyed Zainuddin mengenai ‚Islam, Social Stratification and Empowerment of Muslim OBCs‛. Tulisan ini bertujuan untuk menempatkan pertumbuhan dan perkembangan stratifikasi sosial dalam Islam dari waktu ke waktu, membawa keluar dimensi kasta di kalangan umat Islam di India Utara dan membuat kasus untuk pemesanan terpisah untuk pemberdayaan OBCs Muslim. Pertanyaan mendasar yang perlu ditangani sejak awal adalah bahwa posisi ideologis Islam berkaitan dengan stratifikasi sosial. Hal ini terjadi karena umat Islam secara keseluruhan mematuhi prinsip-prinsip dasar agama Islam dan cukup sering memanggil ideologi iman mereka untuk menjelaskan praktek-praktek sosial mereka. Oleh karena itu, diperlukan kepastian posisi Islam pada pertanyaan tentang stratifikasi sosial, dan pada poin apa stratifikasi sosial masuk ke dalam skema Islam seperti yang kita kenal sekarang.23 Selain itu, Jerome Rousseau melihat stratifikasi secara herediter yang biasanya dijelaskan dalam kaitannya dengan kompleksitas ekonomi. Namun, bukti etnografis tidak mudah mendukung penjelasan tersebut. Ia mencontohkan masyarakat di Asia Tenggara, Melanesia, Polinesia, dan Pantai Barat Kanada yang menunjukkan bahwa stratifikasi turun temurun berasal dari konstruksi sosial kepemimpinan.24 Relevansi penelitian terdahulu yang juga banyak dilakukan adalah mengenai ziarah. Banyak peneliti yang menggunakan konsep ziarah sebagai acuannya melakukan penelitian. Namun, untuk korelasi konsep ziarah dengan konsep stratifikasi sosial,

23 Sayyed, Zainuddin. ‚Islam, Social Stratification and Empowerment of Muslim OBCs‛, Economic and Political Weekly, Vol. 38, No. 46 (November 2003): 4898-4901. http://www.jstor.org/stable/4414285 (diakses pada 02 April 2012). 24 Rousseau, Jerome. ‚Hereditary Stratification in Middle-Range Societies.‛ The Journal of the Royal Anthrolofical Institute, Vol. 7, No. 1 (Maret 2001): 117-131. http://www.jstor.org/stable/2660839. (diakses pada 03 April 2012). 13 jarang dijumpai. Beberapa penelitian antropologis yang mengkaji karakter keberagamaan kelompok muslim seringkali atau bahkan tidak bisa menghindari penelusuran mengenai stratifikasi dan ziarah (pola kepercayaannya). The Religion of Java Clifford Geertz25 adalah riset pertama yang dilakukan selama tiga tahun (1951-1954). Geertz menetapkan Mojokuto (satu kota kecil di Jawa Timur) sebagai lokus utama dalam penelitian lapangannya. Geertz pertama-tama menemukan bahwa ada tiga tipe kelas perekonomian di Jawa (baca Mojokuto), yakni petani dan buruh, pedagang, serta birokrat atau ningrat Jawa. Masing-masing menjalankan tipe kebudayannya sendiri, yakni perilaku keagamaan berupa ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan yang dijalani masing-masing. Muncullah penamaan Abangan untuk kelas pertama, Santri untuk kelas kedua, dan Priyayi untuk kelas ketiga. Semuanya ditujukan untuk menjelaskan aspek keagamaan dan bukan lagi ekonomi. Geertz mencatat, trikotomi itu sekaligus mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa.26 Perihal ziarah kubur yang menjadi fokus penelitian ini, Geertz menuliskan hasil pengamatan khusus bertajuk ‚Pemakaman: Layatan‛ yang dituangkan dalam paparannya mengenai Abangan. Setelah pemakaman, kalangan Abangan menggelar selametan hingga tujuh hari setelah dari kematian, lalu disusul seratus hari, satu tahun dan seribu hari. Tidak ada pembahasan khusus yang menjelaskan mengenai ziarah kubur yang dilakukan kaum Santri dalam paparan Geertz, meskipun ia sedikit menyinggung keterlibatan kaum Santri dalam ritual ziarah yang dilakukan kaum Abangan. Ketaatan pada diri Santri dalam pengertian Geertz lebih dekat dengan kelompok pemurnian Islam yang menolak ritual ziarah kubur. Pembahasan serupa juga tidak

25 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983). 26 Menurut Geertz, golongan pertama, Abangan, mewakili suatu titik berat pada aspek animistik dari sinkretisme Jawa. Abangan menjalani kepercayaan keagamaan Jawa yang asli, secara luas Abangan dihubungkan dengan elemen petani. Golongan kedua, Santri, mewakili suatu titik berat pada aspek Islam yang sinkretis dan terutama dihubungkan dengan elemen dagang. Sementara golongan ketiga, Priyayi, dihubungkan dengan elemen birokratik. (Clifford Geertz, The Religion of Java, diterjemahkan Aswab Mahasin & Bur Rasuanto, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013) 14 ada dalam paparan Geertz mengenai Priyayi. Namun di awal pembahasan mengenai Priyayi ia menekankan bahwa Priyayi menjalani ritual keagamaan yang sama dengan Abangan dengan tingkat atau kelas sosial yang lebih tinggi.27 Jeroen Peeters dalam bukunya ‚Kaum Tuo – Kaum Mudo : Perubahan Religius di Palembang 1821-1942‛ menggambarkan bahwa proses Islamisasi di sana diawali oleh stratifikasi sosial yang merupakan ciri-ciri Kesultanan Palembang; sekelompok dominan di puncak, yang memperoleh jati dirinya dari konsepsi masyarakat yang hierarkis. Stratifikasi sosial yang ketat ini khususnya menyebabkan adanya seleksi ketat terhadap orang atau kelompok di mana komunikasi terjadi. Dengan kondisi ini, sangat mustahil anggota lapisan sosial yang lebih tinggi dapat sering berkomunikasi satu dan yang lainnya, mengenai tingkah laku, nilai dan norma kelompok sosial yang lebih rendah. Sebaliknya, diskriminasi simbolik mengenai distribusi pengetahuan tentang berbagai kelompok, lebih dimaksudkan untuk merumuskan dan memantapkan tempat kelompok lain dalam tata susunan sosial. Sebelumnya, Peeters membagi Palembang dalam dikotomi perkotaan-pedesaan yang reformis, dengan mendefinisikan NU sebagai organisasi pedesaan dan Muhammadiyah sebagai gerakan perkotaan. Namun dikotomi ini menjadi kabur dan sebagai gantinya terbentur pada religius dan mental antara Iliran dan Uluan sebagai susunan religius yang pada gilirannya merupakan ungkapan perbandingan kekuasaan religius di bawah negara kolonial.28 Terhadap konsep ziarah sendiri, banyak peneliti yang memusatkan perhatiannya di Jawa. Beberapa penelitian pendahuluan ini sangat penting dan menjadi pintu masuk untuk

27 Menurut Geertz, golongan pertama, Abangan, mewakili suatu titik berat pada aspek animistik dari sinkretisme Jawa. Abangan menjalani kepercayaan keagamaan Jawa yang asli, secara luas Abangan dihubungkan dengan elemen petani. Golongan kedua, Santri, mewakili suatu titik berat pada aspek Islam yang sinkretis dan terutama dihubungkan dengan elemen dagang. Sementara golongan ketiga, Priyayi, dihubungkan dengan elemen birokratik. (Clifford Geertz, The Religion of Java, diterjemahkan Aswab Mahasin & Bur Rasuanto, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013) 28 Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, (Jakarta: INIS, 1997), 234. 15 melakukan penelitian ini. Mark Woodward dalam Java, Indonesia and Islam mencatat beberapa perbedaan dalam tradisi ziarah kubur di makam keluarga Keraton Yogyakarta dan tradisi ziarah pada umumnya yang berlaku di Jawa Timur. Para peziarah, baik di Yogyakarta maupun di Jawa Timur, berharap mendapatkan berkah untuk mengatasi berbagai problem hidup yang mereka hadapi. Namun beberapa perbedaan ditemukan. Di Yogyakarta dan Surakarta tujuan para peziarah adalah makam para petinggi kerajaan Mataram. Para peziarah juga harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh pengelola makam misalnya hanya boleh berziarah pada hari tertentu atau jam-jam tertentu. Para peziarah di makam keluarga keraton juga harus mengenakan pakaian resmi dengan mengenakan pakaian adat Jawa. Para lelaki membawa keris di belakang mereka. Sementara para perempuan tidak mengenakan penutup kepala. Para peziarah yang datang juga harus ditemani oleh juru kunci yang telah ditunjuk di makam itu, dan proses peziarahan berlangsung singkat. Tradisi ziarah di keraton Yogyakarta itu berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur. Para peziarah tidak dibatasi oleh peraturan-peraturan tertentu. Makam- makam yang diziarahi adalah makam para wali yang menyebarkan agama Islam di kawasan ini. Ribuan peziarah datang ke makam- makam para wali dengan bus-bus dari berbagai daerah di Jawa dan daerah lain di Indonesia. Tidak ada aturan khusus dalam berbusana pada saat berziarah. Para lelaki pada umumnya mengenakan kain sarung dan perempuannya menggunakan busana muslim yang menutupi rambut dan seluruh tubuh, selain muka dan telapak tangan. Para peziarah tidak dibatasi untuk melakukan ritual tertentu. Masing-masing tradisi ziarah di dua tempat ini memuat unsur Islam dan unsur Jawa. Perbedaannya, pemegang otoritas keagamaan --dan pada beberapa aspek juga otoritas politik—di Jawa Timur adalah para kyai, sementara di Yogyakarta, otoritas keagamaan dan politik dipegang oleh sultan. Jika di Yogyakarta dan Surakarta perilaku peziarah dikontrol oleh pihak istana, di Jawa Timur, perilaku peziarah berdasar pada tradisi yang berlaku dalam masyarakat setempat.29

29 Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam (New York: Springer, 2010) 16

Nur Syam, dalam penelitiannya tentang Tradisi Islam Lokal Pesisiran Jawa, mencatat ada tiga lokus penting yang disakralkan oleh masyarakat dan menjadi medan budaya (cultural sphere), yaitu masjid, sumur dan makam. Masjid menjadi medan pertemuan umat Islam, meskipun berbeda paham keagamaan. Ia menyebut adanya ‘wong NU’ dan ‘wong Muhammadiyah’. Sementara sumur dan makam sangat akrab dalam tradisi ‘wong Abangan’ dan ‘wong NU’. Tiga medan budaya ini sekaligus menjadi simbol-simbol Islam lokal yang didalamnya melibatkan hubungan berbagai penggolongan sosial, agen-agen dan berbagai tindakan di dalamnya. Tiga medan budaya itu pada umumnya selalu terkait dengan keberadaan wali atau orang suci. Wali meskipun telah meninggal – akan tetapi karena keramatnya— mereka diyakini akan tetap memberikan berkah.30 Badruddin dalam disertasinya mengenai ‚Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian Kyai Abdul Hamid Bin Abdullah Bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Persepektif Fenomenologis‛ menganalisis berdasarkan teori konstruksi sosial, aktivitas ziarah di makam Kyai Hamid terbentuk dari perilaku individu yang didasari keinginan tertentu dan didukung oleh teks- teks suci atau ajaran normatif dari para pendahulu. Aktivitas individu itu dilakukan berulang-ulang sampai membentuk pola tertentu dan bisa dimengerti bersama. Teori konstruksi sosial juga menjelaskan suatu proses pewarisan suatu dari generasi ke generasi melalui suatu proses sosialisasi tertentu. Inti dari teori ini adalah menjelaskan terjadinya proses dialektika, yakni eksternalisasi, objektifasi dan internalisasi yang ada dalam suatu tradisi. Bahwa ziarah kubur di makam Kyai Hamid berawal dari tindakan individu-individu kemudian terakumulasi menjadi suatu realitas obyektif. Selanjutnya, realitas obyektif itu ditarik kembali ke dalam diri individu, dan diinterpretasikan menurut tingkat pengetahuan, pengalaman dan kepentingan mereka masing- masing.31

30 Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005) 31 Badruddin, ‚Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian Kyai Abdul Hamid Bin Abdullah Bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Persepektif Fenomenologis‛. Disertasi program pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya. 2011 17

Karya Tashadi, dkk berjudul Budaya Spiritual dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur (1994/1995) memperjelas fakta bahwa keyakinan masyarakat terhadap kekeramatan masih sangat kuat, yang mana banyak motivasi yang melatari tradisi ini - -meskipun motivasi ekonomi sangat dominan. Karya lain yang senada ditulis oleh Jamhari, The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah (2001).32 Studi lapangan di Bayat Klaten Jawa Tengah ini menfokuskan pada pemahaman barokah oleh para peziarah makam Sunan Bayat. Karya-karya di atas menekankan aspek tradisi ziarah yang dipertahankan, segi ritualisme dalam pemujaan makam, dan pemahaman konsep barokah dalam ziarah. Ahmad Amir Aziz, dkk melakukan penelitian terhadap ‚Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok). Penelitian ini mengambil bidang khusus yang berhubungan dengan motivasi, kepercayaan-keyakinan serta bentuk ritual yang dipraktekkan oleh para peziarah. Perihal istilah ‚keramat‛ sesungguhnya merupakan suatu istilah yang lazim dipakai kalangan masyarakat untuk menyebut hal-hal yang berbau mistis. Terlebih bagi umat Islam yang cukup kaya dengan berbagai pandangan teologis perihal keabsahan suatu karomah. Persoalan kekeramatan ini tidak samata-mata persoalan agama tetapi sekaligus juga berhubungan tradisi dan budaya.33 Berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya, fokus dalam penelitian ini terletak pada hubungan stratifikasi dan pola kepercayaan masyarakat ketika berziarah ke makam keramat di Kota Palembang. Peneliti akan menggunakan analisis berdasarkan perspektif sosiologi dengan pendekatan antropologis. Berdasarkan perspektif dan pendekatan tersebut, peneliti melihat ziarah yang dilakukan ke makam keramat merupakan suatu fenomena keagamaan yang di dalamnya terdapat sistem sosial dan sistem

32 Jamhari, ‚The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah‛, Studia Islamika (Indonesian Journal for Islamic Studies), Vol.8, No.1, (2001), 87-123. 33 Ahmad Amir Aziz, dkk. ‚Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok)‛. Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 1, (Desember 2004), 59-77. 18 budaya yang mempengaruhi pola tindakan masyarakat ketika berziarah. F. Metode Penelitian 1) Desain Penelitian a. Lokasi Penelitian Peneliti akan mengamati fenomena kekeramatan makam yang ada di Kota Palembang. Alasan peneliti mengambil Kota Palembang sebagai lokasi penelitian karena Kota Palembang dulunya merupakan pusat kerajaan Sriwijaya dan terjadi akulturasi antara Hindu-Buddha dengan Islam. Sebagai kota tertua di Indonesia34, Palembang memiliki kompleks makam yang dianggap keramat, antara lain makam Kyai Marogan. Makam Kyai Marogan adalah makam seorang ulama Palembang yang menyebarkan ajaran Islam hingga ke pelosok desa di wilayah Sumatera Selatan. Makamnya dianggap penting bagi peneliti untuk diteliti karena semasa hidupnya sosok Kyai Marogan diyakini oleh masyarakat memiliki karomah yang luar biasa dan membekas di benak masyarakat sehingga, meskipun sudah wafat, masyarakat masih menganggap bahwa makamnya dapat memberikan barokah bagi mereka. Masyarakat yang datang ke makam-makam ini berasal dari berbagai stratifikasi dan mereka juga memiliki pola kepercayaan yang bervariasi terhadap kekeramatan makam.

b. Jenis dan Sifat Penelitian Berdasarkan masalah yang dikaji dalam penelitian ini, maka jenis metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif35.

34 Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 1383 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang. (Sumber: Hapsa D, Asal Usul Kota Palembang, http://freakingothic.blog.esaunggul.ac.id/2011/02/16/asal-usul-kota- palembang/ (diakses pada tanggal 25 Maret 2012)) 35 Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghadirkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. (Moleong. ‚ Metodologi Penelitian Kualitatif‛ (Bandung: PT remaja Rosdakarya. 2010), 4) 19

Penelitian ini bersifat deskriptif36 yang berusaha menemukan fakta serta memberikan gambaran suatu pengalaman atau peristiwa dari kehidupan masyarakat, yang dalam hal ini adalah perilaku maupun pengalaman masyarakat terhadap kekeramatan makam yang terdeskripsi ke dalam stratifikasi sosial dan pola kepercayaan yang akan tergambar dalam situasi yang wajar (natural setting). Landasan teoritis dari penelitian kualitatif ini bertumpu secara mendasar pada fenomenologi yang berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi serta tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri. Karena itu pada penelitian ini fenomenologi dijadikan sebagai dasar teoritis utama sedangkan pendekatan etnografi dijadikan sebagai dasar tambahan dalam menganalisis dan melatarbelakangi secara teoritis penelitian kualitatif.37 Pendekatan etnografi38 digunakan untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya dan berupaya mempelajari peristiwa kultural, yang menyajikan pandangan hidup subjek sebagai objek studi. Oleh karena itu, peneliti dituntut untuk terlibat di dalam kehidupan

36 Penelitian deskriptif (descriptive research) disini bermaksud membuat penggambaran secara sistematis, factual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi tertentu. (Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar. ‚Metodologi Penelitian Sosial‛ (Jakarta: Bumi Aksara. 2008), 4. 37 Pendekatan fenomenologi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi menurut Peter L. Berger yang lebih menekankan rasionalisme dan realitas yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografi yang menitikberatkan pandangan masyarakat setempat. Realitas dipandang lebih penting dan dominan dibanding teori-teori melulu. (Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, 2006: 42). Pendekatan fenomenologi dijadikan pendekatan utama dibanding pendekatan etnografi karena fenomenologi merupakan landasan teoritis dari penelitian kualitatif . (Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 2010: 14). 38 Sebagai suatu pendekatan, etnografi memiliki karakter dan langkah- langlah tersendiri dalam penelitian, seperti yang dikemukakan oleh Spradley dalam buku Metode Etnografi; (1) menetapkan informan; (2) melakukan wawancara kepada informan; (3) membuat catatan etnografis; (4) mengajukan pertanyaan deskriptif; (5) melakukan analisis wawancara etnografis; (6) membuat analisis domain; (7) mengajukan pertanyaan struktural; (8) membuat analisis taksonomik; (9) mengaukan pertanyaan kontras; (10) membuat analisis komponen; (11) menemukan tema-tema budaya; (12) menulis etnografi. (Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), 54-57. 20 masyarakat sehari-hari dengan melakukan pengamatan terlibat terhadap kehidupan masyarakat. Di makam Kyai Marogan ini peneliti dengan leluasa bisa melakukan pengamatan terhadap berbagai tindakan para peziarah, baik peziarah lokal maupun regional. Melalui pengamatan terlibat secara seksama diperoleh gambaran tentang bagaimana tindakannya ketika ziarah, apa saja yang dilakukan peziarah serta motif-motif peziarah. Semuanya ditangkap sangat memadai di ruang budaya ini.

2) Pendekatan Selain bersifat deskriptif-kualitatif, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi dan antropologi.39 Pendekatan sosiologi di sini melihat pola interaksi antara agama dan masyarakat. Pra-anggapan dasar perspektif sosiologis adalah concern-nya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia dan kebudayaan termasuk agama. Objek- objek, pengetahuan, praktik-praktik dan institusi-institusi dalam dunia sosial, oleh para sosiolog dipandang sebagai produk interaksi manusia dan konstruksi sosial. Para sosiolog mengkaji praktik- praktik keagamaan untuk membuktikan hubungannya dengan institusi, struktur, ideology, kelas, dan perbedaan kelompok yang dengannya masyarakat terbentuk. Tak hanya itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan antropologi karena penelitian ini berusaha memotret apa adanya tentang dimensi-dimensi kepercayaan, keyakinan, ritual, dan tradisi yang telah berlangsung lama dan diikuti banyak orang. Di dalam fenomena kekeramatan makam, terdapat makna-makna terdalam dari aktivitas masyarakatnya. Hal ini harus diungkap berdasarkan pelbagai penilaian dari sudut pandang antropologis. Bahkan, bila persoalan ini memiliki kerumitan yang berhubungan dengan konstruksi sosial dan kebudayaan masyarakat, maka pertimbangan- pertimbangan sosiologis sangat diperlukan untuk melihat gejala- gejala, faktor-faktor pembentuk, tingkah laku, pola-pola dan implikasi-implikasinya.

39 Peter Connoly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LkiS, 2002), 267 21

3) Unit Analisis Unit analisis adalah pada level mana peneliti ingin mengumpulkan data. Penentuan unit analisis ini penting agar peneliti tidak salah dalam pengumpulan data dan pengambilan simpulan nantinya saat penelitian dilakukan. Dalam penelitian ini unit analisis yang diambil yakni pada tataran individu, yaitu para peziarah yang datang ke makam keramat dan masyarakat yang mengetahui tentang kekeramatan makam di Kota Palembang. Pendekatan yang peneliti gunakan untuk mempelajari stratifikasi peziarah adalah pendekatan objektif.40 Artinya, usaha untuk memilah-milah masyarakat ke dalam beberapa lapisan dilakukan menurut ukuran-ukuran yang objektif berupa variabel yang mudah diukur, seperti kategori umur, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Pihak yang dikategorikan menurut pendekatan objektif ini secara tidak sadar termasuk ke dalam kategori tertentu yang dibuat secara objektif.

40 Menurut Zanden, di dalam sosiologi dikenal tiga pendekatan untuk mempelajari stratifikasi sosial, yaitu pendekatan objektif, pendekatan subjektif, dan pendekatan reputasional. Dalam Narwoko, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, 166 22

No. 20. 19. 18. 17. 16. 15. 14. 13. 12. 11. 10. 9. 8. 7. 6. 5. 4. 3. 2. 1.

Tabel Informan MM HM MR BM SW DD DN RD CN RN AT YT KL YL ZN

SK FD IW ST SJ 1. 1.

Stratifikasi Berdasarkan Informan Profil

Perempuan Perempuan Perempuan P Perempuan Perempuan P perempuan Laki Laki Laki Laki Laki Laki Laki Laki Laki Laki Laki Laki Kelamin erempuan erempuan Jenis Jenis ------laki laki laki laki laki laki laki laki laki laki laki laki

(tahun) Umur 58 36 39 51 40 38 35 28 72 27 42 44 54 34 44 42 36 65 38 22

Konghuchu Agama Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam

Jenis Kelamin, Umur, Agama. Pendidikan, Jenis Pekerjaan, dan Asal dan Pekerjaan, Jenis Pendidikan, Agama. Umur, Kelamin, Jenis

Tidak Sekolah Tidak Sekolah Tidak Pendidikan SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMP SMP D D S S S S SD SD S1 S1 ------1 1 1 1 3 3

Ibu Tangga Rumah Ibu Tangga Rumah Ibu Pedagang Keliling Pedagang Pengemudi Ketek Pengemudi Penjaga Toko Penjaga KepalaDesa Rumah Tangga Rumah Mahasiswi Wirausaha Pekerjaan Pedagang Petani Petani Buruh Buruh Caleg Caleg Supir Guru PNS PNS

CinaP Musi Musi T Kayu Agung Kayu Palembang Palembang Palembang Palembang Palembang Palembang Palembang Palembang P P Inderalaya Banyuasin Ba a Komering Ogan Ilir Ogan a njung Raja njung emulutan Sekayu lembang nyuasin Banyuasin Asal a lembang

23

Berdasarkan tabel profil informan berdasarkan stratifikasi tersebut di atas, informan-informan tersebut dapat dikategorisasikan sebagai berikut:

Tabel 2. Kategorisasi Informan Berdasarkan Stratifikasi

2.1. Kategorisasi Informan 2.2. Kategorisasi Informan Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan Agama No. Informan Jenis Kelamin No. Informan Agama 1. CN Laki-laki 1. CN Islam 2. SW Laki-laki 2. SW Islam 3. DN Laki-laki 3. DN Islam 4. FD Laki-laki 4. FD Islam 5. BM Laki-laki 5. BM Islam 6. YT Laki-laki 6. YT Islam 7. HM Laki-laki 7. HM Islam 8. DD Laki-laki 8. DD Islam 9. IW Laki-laki 9. IW Islam 10. MM Laki-laki 10. MM Islam 11. SJ Laki-laki 11. SJ Islam 12. RD Laki-laki 12. MR Islam 13. RN Perempuan 13. RN Islam 14. ZN Perempuan 14. ZN Islam 15. YL Perempuan 15. YL Islam 16. ST Perempuan 16. ST Islam 17. KL Perempuan 17. KL Islam 18. SK Perempuan 18. SK Islam 19. AT Perempuan 19. AT Islam 20. MR Perempuan 20. RD Konghuchu

24

2.3. Kategorisasi Informan 2.4. Kategorisasi Informan Berdasarkan Pendidikan Berdasarkan Pekerjaan No. Informan Pendidikan No. Informan Agama 1. ZN S1 1. SJ Caleg 2. SK S1 2. MR Caleg 3. HM S1 3. HM Wirausaha 4. MM S1 4. BM Kepala Desa 5. SJ S1 5. MM PNS 6. MR S1 6. SK PNS 7. RN D3 7. ZN Guru 8. BM D3 8. RN Mahasiswi 9. DN SMA 9. RD Pedagang 10. YL SMA 10. KL Penjaga Toko 11. KL SMA 11. DN Sopir 12. IW SMA 12. IW Pedagang Keliling 13. AT SMA 13. FD Pengemudi Ketek 14. RD SMA 14.. YL IRT 15. ST SMP 15. AT IRT 16. DD SMP 16. ST IRT 17. CN SD 17. DD Buruh 18. FD SD 18. CN Buruh 19. SW Tidak Sekolah 19. SW Petani 20. YT Tidak Sekolah 20. YT Petani

4) Sumber dan Jenis Data Sumber data dalam penelitian adalah subyek darimana data diperoleh. Menurut Lotfand dan Lotfand sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah data primer dan data sekunder.41 1. Data primer, yaitu sumber data utama yang berupa hasil wawancara mendalam dan tindakan serta beberapa keterangan yang diperoleh langsung dari informan (peziarah yang berkunjung ke makam keramat di Kota Palembang). Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis atau melalui pengambilan foto. 2. Data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh bersifat secara tidak langsung dan mampu melengkapi data primer. Data sekunder diperoleh dari sumber tertulis yang merupakan sumber data pendukung dalam penelitian kualitatif. Sumber data tertulis ini berupa sumber buku,

41 Dikutip dari Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, 112 25

majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi, maupun dokumen resmi yang berkaitan dengan penelitian.

5) Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini dalam proses pengumpulan data akan digunakan observasi, metode wawancara, dan dokumentasi.42 a. Observasi Observasi43 yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik participation observation. Pengamatan berpartisipasi ini dilakukan pada saat mengamati mengamati pola tindakan, perilaku spiritual, pengalaman, serta pandangan masyarakat Kota Palembang ketika berziarah ke makam keramat. Analisis dilakukan secara deskriptif etnografik, yaitu analisis dilakukan secara terus menerus baik pada saat di lapangan dan setelah di lapangan. Dalam melakukan partisipant observation, peneliti berusaha menyimpan pembicaraan informan, membuat penjelasan berulang, menegaskan pembicaraan informan, dan tidak menanyakan makna tetapi gunanya. Pengamatan berpartisipasi dipilih untuk menjalin hubungan baik dengan informan. Dalam hal ini, peneliti melakukan pengamatan berpartisipasi pada saat berziarah ke makam keramat. Pada saat itu, peneliti ikut melakukan ziarah, ikut berdoa bersama peziarah yang lain, dan ikut melihat benda-benda di sekitar makam keramat yang dianggap memiliki kekuatan. Pengamatan terlibat ini dibantu dengan catatan lapangan dan pendokumentasian melalui foto. Catatan mengenai apa yang peneliti lihat ini berupa catatan singkat yang berkaitan dengan nama-nama pelaku utama, tindakan yang mereka lakukan, ungkapan-ungkapan yang mempengaruhi peristiwa yang menjadi sasaran pengamatan, dan nama beberapa objek fisik untuk mengingatkan seluruh lingkungan tempat peristiwa sasaran pengamatan tadi terjadi. Catatan-catatan ini

42 Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, 135 43 Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian. Observasi dilakukan melalui pengamatan secara langsung terhadap fenomena-fenomena yang akan diteliti di mana peneliti melakukan pengamatan atau pemusatan perhatian terhadap objek dengan menggunakan alat indera (mata dan telinga). (Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 176. 26 dibuat sesingkat mungkin agar tidak terlalu teralih perhatian dari pengamatan kepada pencatatan.44 Selain itu, pendokumentasian foto juga membantu dalam melakukan pengamatan. Hanya saja, peneliti harus berhati-hati untuk mengambil gambar agar tidak mengganggu kekhusukan peziarah. Bahkan peneliti juga melakukan konfirmasi kepada informan untuk mengambil gambar mana saja yang diperbolehkan dan saat mana yang tidak diperbolehkan. b. Wawancara mendalam (indepth interview) Peneliti akan menggunakan metode wawancara berstruktur, yaitu pertanyaan yang telah dirumuskan sebelum berhadapan dengan informan. Selain itu, peneliti juga akan menggunakan teknik tidak berstruktur untuk mendapatkan jawaban yang lebih terbuka dengan tujuan untuk memahami karakter asli peziarah. Dalam wawancara, peneliti menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Palembang. Oleh karena, ada hal-hal dan ungkapan-ungkapan tertentu yang harus diungkap menggunakan bahasa Palembang. Hasil wawancara yang berbahasa Indonesia kemudian ditranskipkan, dan yang berbahasa Palembang dialihbahasakan terlebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia untuk memudahkan analisis. Pedoman wawancara disesuaikan dengan fokus penelitian, dirumuskan atas tiga fokus dan pokok pertanyaan yakni : 1. Determinasi stratifikasi; 2. Pola kepercayaan masyarakat terhadap makam; 3. Interelasi stratifikasi dan pola kepercayaan melalui pola tindakan peziarah. Pertanyaan yang telah dirumuskan di atas lebih memudahkan dalam pengolahan data. Wawancara akan dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan kajian penelitian, seperti peziarah, juru kunci makam, dan tokoh masyarakat. Wawancara mendalam, dilakukan sebelum dan sesudah pelaksanaan ziarah. Wawancara awal dilakukan kepada informan kunci yakni peziarah dan juru kunci makam, kemudian dilanjutkan

44 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), 114. 27 atas rekomendasi informan kunci ini secara snowballing. Atas dasar rekomendasi informan ini, peneliti baru meneruskan wawancara kepada informan berikutnya, dan seterusnya, sampai mendapatkan ‚data jenuh‛, 45 yakni tidak ditemukan informasi baru lagi. Untuk mencapai kredibilitas data dilakukan dengan cara pengamatan secara terus menerus dan triangulasi.46 Pengamatan terus menerus ditempuh dengan cara beberapa kali berkunjung ke makam keramat. Triangulasi dilakukan dengan cara pengecekan ulang oleh informan setelah hasil wawancara ditranskip. Di samping itu juga berkonsultasi kepada pembimbing. c. Dokumentasi Dokumentasi menjadi salah satu rujukan penulis dalam meneliti, di mana penulis akan mengkaji berbagai referensi tertentu yang berkaitan dengan penelitian ataupun menjadi sumber dalam menjawab tinjauan teoritis permasalahan yang diteliti.

6) Teknik Analisis Data Penelitian ini, menggunakan metode penelitian kualitatif yang berupa deskripsi mendalam terhadap fenomena kekeramatan makam. Dalam kaitan ini diterapkan konsep analisis47 budaya Geertz48 yang disebut model for dan model of. Model for artinya konsep yang telah ada diterapkan ke dalam relitas fenomena sosial budaya. Model of artinya realitas fenomena sosial budaya ditafsirkan atau dipahami. Penelitian ini menggunakan model of yakni mengadakan pengamanatan terlibat, kemudian secara emik menanyakan kepada pelaku yang berada dalam fenomena kekeramatan makam untuk mengungkapkan peran dan tujuan terlibat dalam fenomena tersebut, sesuai dengan stratifikasi dan

45 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, 240. 46 Husaini dan Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial, 98. 47 Menurut Bogdan dan Biklen47, analisis data ialah proses pencarian dan penyusunan data yang sistematis melalui transkrip wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi yang secara akumulasi menambah pemahaman peneliti terhadap yang ditemukan. (Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, 32 48 Dikutip dari Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, 242. 28 pola kepercayaannya. Peneliti melakukan refleksi dengan informan terhadap sikap, ucapan, dan tindakan peziarah, sehingga terjadi penafsiran intersubjektif. Hasil penafsiran ini kemudian direlasikan dengan kerangka teori yang telah dibangun untuk menemukan relasi stratifikasi sosial dan pola kepercayaan masyarakat secara keseluruhan. Untuk mengungkap relasi stratifikasi sosial dan pola kepercayaan masyarakat secara struktural fungsional, digunakan teknik analisis kualitatif etnografik. Maksudnya, peneliti berusaha mendeskripsikan secara etnografik tentang sikap, kata-kata, dan perbuatan peziarah. Deskripsi tersebut digambarkan secara holistik dan mendalam. Analisis ini dilakukan secara terus menerus baik pada saat di lapangan. Sajian data analisis dilakukan secara deskriptif yang mendalam. Proses analisis data dilakukan terus menerus baik di lapangan maupun setelah di lapangan. Analisis dilakukan dengan cara mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode, dan mengkategorikan data. Setelah itu baru dicari tema-tema budaya yang kemungkinan menjadi fokus penelitian. Fokus penelitian ini, diperdalam melalui pengamatan dan wawancara berikutnya. Dalam analisis ini, yang berbicara adalah data dan peneliti tidak melakukan penafsiran. Jika ada penafsiran, adalah hasil pemahaman dari interpretasi informan terhadap fenomena yang dialami. Dengan cara semacam ini, akan terlihat relasi stratifikasi sosial dan pola kepercayaan masyarakat terhadap fenomena kekeramatan makam tanpa intervensi peneliti.

G. Sistematika Penulisan Sistematika dari penulisan penelitian mengenai ‚Stratifikasi dan Pola Kepercayaan (Analisis Atas Fenomena Kekeramatan Makam di Kota Palembang)‛ ini adalah sebagai berikut: BAB I Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, metode penelitian, sistematika penulisan.

29

BAB II akan membicarakan Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan. Bab ini membahas perdebatan akademik mengenai konsep stratifikasi sosial, yaitu dari dimensi stratifikasi dan dan determinasi stratifikasi sosial. Selanjutnya dibahas juga mengenai pola kepercayaan dalam sistem sosial masyarakat yang telah mengalami perkembangan linear namun tidak bisa dijustifikasi bahwa itu merupakan perkembangan yang mutlak. Berdasarkan paradigma-pradigma tersebut, sub bab selanjutnya yang akan peneliti bahas adalah masyarakat dan stratifikasi keagamaan di mana ini merupakan aplikasi teoritis antara stratifikasi sosial dan pola kepercayaan. Berikutnya dibahas pula pandangan Islam terhadap stratifikasi sosial. Bab II ini akan menjadi landasan teoritik untuk pembahasan selanjutnya. BAB III akan mendeskripsikan secara singkat tentang masyarakat Palembang. Bab ini menjelaskan sistem stratifikasi, sistem kepercayaan, khususnya mulai dari kepercayaan pra-islam hingga islamisasi di Palembang. Selanjutnya dijelaskan pula akulturasi antara islam dan budaya Palembang. Pendeskripsian ini dilakukan untuk mengetahui keadaan sosio-ekonomi-budaya-religi Kota Palembang sehingga dapat melakukan analisis terhadap penelitian selanjutnya. Bab IV dan Bab V merupakan bab analisis. BAB IV Enkulturasi Ziarah sebagai tradisi Islam dalam masyarakat Palembang menjabarkan mendeskripsikan ziarah sebagai ritual keagamaan dan wisata religi yang sering dikunjungi oleh masyarakat. Hal ini dilakukan karena masyarakat menganggap makam keramat sebagai simbol dan sarana instrumental untuk melancarkan motif mereka. Dari sini nampak bahwa terdapat suatu proses enkulturasi tradisi ziarah yang dilakukan oleh masyarakat. Sedangkan BAB V Interdependensi Stratifikasi Sosial Terhadap Pola Kepercayaan Masyarakat akan memaparkan analisis atas hubungan antara stratifikasi dan perilaku ziarah yang dilakukan masyarakat serta menjelaskan bagaimana determinan- determinan dalam stratifikasi sosial mempengaruhi perilaku masyarakat. Selanjutnya akan dijelaskan pula hubungan antara stratifikasi keagamaan dan pola kepercayaan. Analisis-analisis ini

30 kemudian merucut pada adanya suatu transisi kepercayaan dalam masyarakat (dari pola kepercayaan yang tradisional dan rasional). BAB VI Penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

31

32

BAB II PARADIGMA DAN KERANGKA TEORITIS STRATIFIKASI SOSIAL DAN POLA KEPERCAYAAN

Diskursus mengenai stratifikasi sosial seringkali dikaitkan dengan determinan ekonomi dan kekuasaan. Padahal stratifikasi sosial dapat juga dipengaruhi oleh determinan lain, seperti aspek keagamaan. Stratifikasi sosial dalam tesis ini difokuskan pada pembahasan tentang adanya stratifikasi keagamaan sebagai relasi antara stratifikasi sosial dan pola kepercayaan yang ada di dalam masyarakat. Untuk mengetahui adanya keterhubungan antara stratifikasi sosial dan pola kepercayaan, maka penting untuk diuraikan mengenai paradigma stratifikasi sosial dan pola kepercayaan dalam sistem sosial masyarakat serta pandangan Islam terhadap stratifikasi sosial sehingga didapat keterhubungan masyarakat dan stratifikasi keagamaan.

A. Paradigma Stratifikasi Sosial Kehidupan sosial merupakan suatu tingkat realitas yang tidak dapat diinterpretasikan dalam hubungannya dengan karakteristik individu-individu. Dalam kehidupan sosial, masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem lapisan di dalam masyarakat itu.1 Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat

1 Pitirim A. Sorokin, Social Mobility (New York, 1927), telah membedakan apa yang di sini disebut sebagai pelapisan sebagai poros ‚vertikal‛ dan poros ‚horizontal‛. Poros vertikal muncul karena ketimpangan distribusi dan kelangkaan barang berharga yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti uang, kekuasaan, pendidikan, keterampilan, dan semacamnya. Sementara itu poros horizontal muncul karena pembagian kerja, perbedaan agama, ras, etnis, atau perbedaan jenis kelamin. Menurutnya dalam masyarakat yang masih sederhana, perbedaan kedudukan dan peran bersifat sederhana, mengingat warganya masih dapat berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama atau mungkin juga keturunan yang terhormat.2 Pitirim A.Sorokin mengemukakan bahwa sistem pelapisan dalam masyarakat di dalam sosiologi dikenal dengan social stratification3. Dasar dari inti lapisan masyarakat ini tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, dan tanggung jawab nilai-nilai sosial pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. Selanjutnya, Talcott Parson menilai bahwa pelapisan sosial dianggap sebagai kedudukan yang berbeda-beda, mengenai pribadi-pribadi manusia yang merangkaikan suatu sistem sosial yang ada dan perlakuannya sebagai hubungan orang atasan (superior) dan orang bawahan (inferior) satu sama lain dalam hal- hal tertentu yang oleh masyarakat dianggap penting. Kedudukan4 yang bermacam-macam itu dianggap suatu fenomena sistem- sistem sosial yang benar-benar mendasar. Kedudukan merupakan sedikit dan mereka yang mempunyai kedudukan tinggi pun tidak banyak jumlahnya. Sebaliknya, semakin kompleks suatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisan-lapisan dalam masyarakat. Talcott Parson, Esei-Esei Sosiologi, diterjemahkan S. Aji (Jakarta: Aksara Persada Press, 1985), 70. Lihat juga Vincent Jeffries dan Edward Randsford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy Approach, (USA: Allyn and Bacon, Inc, 1980) 2 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers,2012), 199. Lihat juga H{usain S{iddiq, ‚al-Inja>ha>t al-Naz{a>riyah lidira>sah al- Tanz{i>ma>t al-Ijtima>‘iyah ‘Ard{u - wa Taqwi>m‛, Majallah Ja>mi‘ah Dimishqa 27, al-‘Adad al-Tha>lith 2011. 3 Kata stratification berasal dari kata stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan). Pitirim A.Sorokin menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 198). Lihat juga Pitirim A. Sorokin, Social and Cultural Mobility, (Collier-Macmillan Limited London: The Free Press of Glencoe, 1959), 11. 4 Kedudukan (status) sering kali dibedakan dengan kedudukan sosial (social status). Kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut. Sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, hak-hak, dan kewajiban-kewajibannya. J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (Ed), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2004), 156. 34 salah satu di antara banyak dasar yang memungkinkan di mana individu dapat dibeda-bedakan berdasarkan stratanya. Namun, perbedaan kedudukan seseorang hanya berlaku sepanjang perbedaan-perbedaan tersebut masih berhubungan dengan superioritas dan inferioritas yang relevan dengan teori pelapisan.5 Pada tiap-tiap kelompok masyarakat selalu akan dijumpai variasi stratifikasi sosial. Faktor-faktor yang menjadi determinan stratifikasi sosial memang relatif beragam baik berdasarkan dimensi usia, gender6, agama7, kelompok etnis atau ras8, pendidikan formal9, status dan kekuasaan10, pekerjaan serta dimensi ekonomi11. Berbagai dimensi ini, signifikansi dan kadar pengaruhnya dalam pembentukan stratifikasi sosial sudah tentu tidak sama kuat dan berbeda-beda tergantung pada tahap

5 ‘A>yid al-Wariyka>t Wara>id al-Khama>yisah, ‚al-Tabaqah al-Ijtima>‘iyah Watadni> Mafhu>mu al-Dza>t wa ‘Ala>qatuhuma> Biinhira>fi al-Ahda>th Dira>sah Mayda>niyah Ujribat ‘ala> al-Tabaqah al-Dzuku>r fi Tarbiyah ‘Ama>n al-Tha>niyah- al-Urdun‛, Dira>sat al-‘Ulu>m al-Tarbiyah al-Mujalad 35, al-‘Adad 1, 2008. 6 Lihat Collins, Randals and others. ‚Toward an Integrated Theory of Gender Stratification‛. Sociological Perspectives, Vol. 36, No. 3 (Autumn, 1993): 185-216. http://www.jstor.org/stable/1389242 (diakses pada 02 April 2012). 7 Lihat Pyle, Ralph E and James D. Davidson. ‚The Origins of Religious Stratification in Colonial America‛. Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 42, No. 1 (March, 2003): 57-76. http://www.jstor.org/stable/ 1387985. (diakses pada 02 April 2012). 8 Lihat Levin, Shana. ‚Perceived Group Status Differences and the Effects of Gender, Ethnicity, and Religion on Social Dominance Orientation‛. Political Psychology, Vol. 25, No. 1 (Feb., 2004): 31-48. http://www/jstor.org/ stable/ 37925222 (diakses pada tanggal 02 April 2012). 9 Lihat Bond, George C. ‚Education and Social Stratification in Northern Zambia: The Case of The Uyombe‛. Anthropology and Education Quarterly, Vol. 13, No. 3, (Autumn, 1982): 251-267. http://www.jstor.org/ stable/3216637. (diakses pada 02 April 2012). 10 Lihat Trujillo, Joaquin. ‚Accomplishing Meaning in a Stratified World: An Existential Phenomenological Reading of Weber’s Class, Status, Party‛. Human Studies, Vol. 30, No. 4 (Dec., 2007): 345-356. http://www.jstor.org/stable/27642807. (diakses pada 02 April 2012) 11 Lihat Hostettler, Ueli. ‚Labor Regime and Social Justice. Consequences of Economic and Social Stratification among Maya Peasents in Central Quintana Roo, Mexico‛. Anthropos, Bd. 97, H. 1. (2002) 107-116. http://www.jstor.org/ stable/40465619. (diaksess pada 02 April 2012). 35 perkembangan masyarakat dan konteks sosial yang berlaku.12 Di lingkungan masyarakat pedesaan, tanah sewa dan hewan ternak seringkali dianggap jauh lebih berharga daripada gelar akademis, misalnya. Sementara itu, di lingkungan masyarakat kota yang modern, yang terjadi seringkali sebaliknya. Pada kelompok masyarakat yang lain, kelas tertentu lebih didominasi oleh kelompok keagamaan tertentu. Karakteristik yang demikian ini akan menghasilkan suatu stratifikasi sosial yang khas pada setiap kelompok masyarakat. Stratifikasi sosial ini dalam suatu masyarakat pada akhirnya akan membentuk stratifikasi sosial dari yang berada pada strata tinggi sampai yang berada pada strata bawah.13 Mereka yang berada pada strata atas adalah mereka yang lebih banyak memiliki aset kekayaan, kekuasaan, dan atau status sosial di masyarakat tersebut. Sedangkan mereka yang berada pada strata bawah atau berada pada status yang inferior di masyarakat adalah mereka yang kurang memiliki aset baik pada kekayaan, kekuasaan, dan atau status sosial di masyarakat. Dalam masyarakat yang makin modern, perbedaan strata yang terbentuk dan berkembang di masyarakat umumnya tidak lagi atas dasar hal-hal yang bersifat kodrati, seperti perbedaan jenis kelamin atau usia. Akan tetapi, determinan stratifikasi sosial menjadi makin kompleks dan tidak lagi bersifat given. Secara umum, determinan yang menurut para ahli banyak berpengaruh dalam pembentukan stratifikasi sosial di masyarakat yang makin modern adalah: dimensi privilese (kelas-kelas sosial), prestise (status sosial) dan power (kekuasaan). Seperti dikatakan Jeffries dan Ransford14, di dalam masyarakat pada dasarnya bisa dibedakan tiga macam stratifikasi sosial, yaitu (1) Hierarki kelas (privilese), yang didasarkan pada penguasaan atas barang dan jasa; (2) Hierarki kekuasaan (power), yang didasarkan pada penguasa dan yang dikuasai; (3) Hierarki status (prestise), yang didasarkan atas pembagian kehormatan dan status sosial.

12 Jeffries dan Ransford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy Approach, 3-4 13 Jeffries dan Ransford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy Approach, 10. 14 Jeffries dan Ransford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy Approach, 36. 36

Pada umumnya mereka yang menduduki lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam saja dari sesuatu yang dihargai oleh masyarakat, akan tetapi kedudukan yang tinggi tersebut bersifat kumulatif. Artinya mereka yang mempunyai uang banyak, misalnya, akan mudah mendapatkan tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, bahkan mungkin kehormatan tertentu. Bentuk konkret lapisan-lapisan dalam masyarakat tersebut bermacam- macam. Namun, pada prinsipnya bentuk-bentuk tersebut ada yang menekankan pentingnya dimensi privilese15 ekonomi dalam menentukan dinamika hubungan ketiga dimensi stratifikasi sosial seperti yang dikemukakan oleh Gerhard E. Lenski dan C. Wright Mills. Sedangkan E. A. Ross menekankan pentingnya dimensi prestise16. Konsep ini menunjukkan kehormatan sosial yang diterima seseorang dalam suatu struktur sosial tertentu. Khusus hubungan antara dimensi kekuasaan dan prestise , E. A. Ross dalam studinya mengenai kontrol sosial mengemukakan bahwa dimensi prestise itu mempunyai peranan penting dalam masyarakat. Mereka yang memiliki prestise yang tinggi, akan

15 Konsep privelese dalam studi Weber mengenai stratifikasi sosial, dihubungkannya dengan kesempatan dalam bidang ekonomi. Penyebaran kesempatan ekonomi ini dalam masyarakat berkaitan erat dengan apa yang dinamakannya dengan konsep ‚kelas‛. Kita dapat berbicara mengenai ‚kelas‛ apabila (1) sejumlah orang sama-sama memiliki faktor penunjang khusus terhadap kesempatan-kesempatan hidupnya, yang (2) secara istimewa tercermin dalam kepentingan-kepentingan ekonomi berupa pemilikan barang-barang dan kesempatan-kesempatan untuk memperoleh pendapatan, dan (3) yang tercermin dalam kondisi-kondisi komoditi atau pasaran-pasaran tenaga kerja. Dalam nada yang kurang lebih sama, G. E. Lenski mendifinisikan privelese sebagai pemilikan atau kontrol terhadap sebagai surplus yang dihasilkan oleh masyarakat. Definisi Lenski ini jelas dipengaruhi oleh pandangan Weber. Struktur atau sistem ekonomi yang ada dalam suatu masyarakat tertentulah yang merupakan landasan di mana orang dapat merebut kesempatan- kesempatan ekonomi itu. Robert MZ. Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat Tahun 1950-an dan 1980-an, (Jakarta: FISIP UI Press, 2004), 10. Lihat juga G. E. Lenski, Power and Priveledge: A Theory of Social Stratification, New York: McGraw-Hill, 1966: 45 dan Weber, Economy and Society, New York: Bedminister, 1978: 927. 16 Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat, 6. Untuk lebih jelas lihat juga Robert Bierstedt, An Analysis of Social Power‛, (dalam Marvine E. Olsen (Ed), Power in Societies, New York: The Macmillan Company, 1970), 12. Lihat juga Weber, Economy and Society, 932. 37 mempunyai kekuasaan yang tinggi pula. Robert Bierstedt menambahkan bahwa prestise yang merupakan sumber kekuasaan sosial itu sangat penting dalam kehidupan sosial modern. Tetapi kedua dimensi itu harus dilihat sebagai variabel yang berdiri sendiri. Sering prestise itu tidak dibarengi kekuasaan dan apabila keduanya muncul bersamaan, maka dimensi kekuasaan biasanya merupakan dasar bagi dimensi prestise lebih daripada sebaliknya. Selain itu, Jerome Rousseau melihat stratifikasi secara herediter yang biasanya dijelaskan dalam kaitannya dengan kompleksitas ekonomi. Stratifikasi turun temurun ini berasal dari konstruksi sosial kepemimpinan. Ia mencontohkan masyarakat di Asia Tenggara, Melanesia, Polinesia, dan Pantai Barat Kanada meskipun bukti etnografis tidak mudah mendukung penjelasan tersebut.17 Studi tentang stratifikasi sosial yang dikembangkan Jeffries dan Ransford memperlihatkan kecenderungan agak lain yang bertalian dengan ketiga dimensi stratifikasi sosial itu. Mereka melihat dimensi stratifikasi sosial itu dalam kaitannya dengan teori konflik dan fungsional. Para ahli teori fungsional memberi tekanan pada dimensi prestise. Sedangkan dimensi privelese kurang diperhatikan. Dimensi kekuasaan sangat kurang diperhatikan, dan malah cenderung untuk diabaikan. Sebaliknya, para ahli teori konflik memberi perhatian utama pada dimensi kekuasaan. Sesudah itu baru memperhatikan dimensi privelese, dan yang terakhir adalah prestise.18 Kecenderungan yang berbeda- beda ini nampaknya dapat diterima sepanjang hasil penelitian dan asumsi teoritis yang dikembangkan masing-masing oleh kedua paradigma itu menunjukkan adanya tekanan pada salah satu dimensi lebih daripada yang lainnya.19 Tetapi masalahnya adalah

17 Rousseau, Jerome. ‚Hereditary Stratification in Middle-Range Societies.‛ The Journal of the Royal Anthrolofical Institute, Vol. 7, No. 1 (Maret 2001): 117-131. http://www.jstor.org/stable/2660839. (diakses pada 03 April 2012). 18 Jeffries and Randsford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy Approach, 64 19 Tekanan yang diberikan oleh teori fungsional dan konflik mengenai stratifikasi sosial: (1) Stratifikasi adalah struktur sosial yang memiliki nilai- nilai dan tradisi bersama yang digunakan sebagai dasar untuk integrasi dan stabilitas sosial. (2) Penyebaran kekuasaan, privilese dan prestise dalam 38 ketidakkonsistenan mereka untuk menghubungkan dimensi privelese dengan suatu kecenderungan paradigmatis tertentu. Pendekatan konflik yang dipelopori oleh Karl Marx berpandangan bahwa bukan kegunaan fungsional yang menciptakan stratifikasi sosial, melainkan dominasi kekuasaan. Selain itu, C. Wright Mills dan Gerhard E. Lenski memberikan pandangan mengenai hubungan antara ketiga dimensi stratifikasi sosial (privilese, kekuasaan dan prestise) dengan menekankan aspek privelese. Pendapat-pendapat ini kemudian diadaptasi oleh Robert MZ Lawang20 yang menekankan pentingnya dimensi privilese ekonomi dalam menentukan dinamika hubungan ketiga dimensi stratifikasi sosial. Artinya, menurut pendekatan konflik, adanya pelapisan sosial bukan dipandang sebagai hasil konsensus – karena semua masyarakat menyetujui dan membutuhkan hal itu – tetapi lebih dikarenakan anggota masyarakat terpaksa harus menerima adanya perbedaan itu sebab mereka tidak memiliki kemampuan untuk menentangnya. Karl Marx mengemukakan bahwa dasar pembentukan kelas sosial terjadi karena adanya penghisapan suatu kelas oleh kelas lain yang lebih tinggi. Pemberian kesempatan yang tidak sama dan semua bentuk diskriminasi dinilai menghambat orang-orang dari strata rendah untuk mengembangkan bakat dan potensi mereka semaksimal mungkin. Menurut Marx, di dalam masyarakat kapitalis, para pemilik sarana produksi pada hakikatnya adalah wakil dari kelas atas yang melakukan tekanan serta dapat memaksakan kontrol

masyarakat pada dasarnya bersifat adil, merupakan keharusan dan berguna bagi kesejahteraan individu di satu pihak dan bagi masyarakat di lain pihak. (3) Penggunaan kekuasaan untuk mempertahankan sistem privilese yang ada dalam masyarakat bersifat minimal. (4) Institusi-institusi sosial yang ada dalam masyarakat mengandung nilai-nilai konsensus dan melaksanakan kebijaksanaan yang mendukung kebaikan bersama. (5) Penghargaan yang tidak merata untuk posisi-posisi sosial dalam masyarakat membantu mempertahankan dan meningkatkan kepentingan lapisan atas. (6). Posisi-posisi individu dalam masyarakat pada dasarnya tidak memberikan kesempatan yang sama dalam mencapai motivasi, latihan dan saluran-saluran perkembangan bagi mereka. Tentang pandangan kedua teori itu, lihat Jeffries dan Randsford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy Approach, 57-60. 20 Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat, 7 39 terhadap kelas buruh yang posisinya dalam lapisan masyarakat lebih rendah.21 Tesis utama Marx adalah struktur internal sistem ekonomi terdiri dari kelas-kelas sosial yang muncul dari perbedaan dalam kesempatan memiliki alat produksi serta ketidaksesuaian yang dihasilkan dalam kepentingan ekonomi. Di dalam bukunya yang terkenal, Das Kapital, Marx menyatakan bahwa kehancuran feodalisme yang diikuti dengan berkembangnya kapitalisme dan sektor industri modern telah mengakibatkan terpecahnya masyarakat ke dalam dua kelas ekstrem, yaitu kelas borjuis yang memiliki dan mengendalikan alat produksi dan kelas proletar yang tidak memiliki alat produksi.22 Pendekatan Marx ini sama dengan pendapat Ali Syari’ati. Menurut Ali Syari’ati23, hanya ada dua struktur yang mungkin terdapat dalam suatu masyarakat, yaitu struktur Qabil dan struktur Habil.24 Pada struktur pertama masyarakat menjadi penentu nasibnya sendiri, segenap warganya beramal untuk masyarakat dan demi kepentingan masyarakat. Namun, di dalam masing-masing struktur tersebut terdapat aneka ragam cara produksi, bentuk hubungan, alat, sumber dan barang: semua ini merupakan superstruktur. Di dalam struktur Habil bisa saja berlaku sosialisme ekonomi (yakni sistem milik kolektif), tetapi mungkin pula terdapat cara produksi yang berbeda seperti penggembalaan dan perburuan dalam komunitas primitif, atau cara produksi industrial dalam masyarakat post-kapitalis, tanpa kelas. Pada struktur kedua, para perseoranganlah yang menjadi pemilik dan penentu nasib mereka masing-masing maupun nasib masyarakat. Pada kutub yang berlawanan, yakni struktur Qabil, atau sistem monopoli dan

21 Narwoko dan Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, 166. 22 Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), 120-159. 23 Ali Syari’ati adalah seorang Muslim Iran dan sarjana di bidang sosiologi agama dan mendapat pendidikan di Masyhad dan Paris. Melalui kuliah-kuliah, ceramah-ceramah dan tulisan-tulisannya dia menganalisa masyarakat dengan mempergunakan istilah-istilah,konsep-konsep dan pengalaman-pengalaman Islamiah. 24 Syari’ati, Ali. 1982. Tentang Sosiologi Islam, terj.Saifullah Mahyudin, Yogyakarta: Ananda, 147-150 40 milik pribadi, mungkin pula terdapat berbagai sistem ekonomi, bentuk hubungan kelas, alat, tipe dan sumber produksi. Perbudakan, perhambaan, feodalisme, borjuasi, kapitalisme industrial dan – sebagai puncaknya – imperialisme, semuanya termasuk dalam struktur Qabil. Demikianlah sesuai dengan kedua struktur tersebut, masyarakat bisa dibagi atas dua kutub, yakni kutub Qabil dan kutub Habil. Kutub Qabil berarti yang berkuasa = raja, pemilik, sang ningrat. Pada tahap perkembangan sosial yang masih primitif dan terbelakang kutub ini cukup diwakili oleh seorang saja yang merupakan kekuatan tunggal,yang menjalankan kekuasaan dan menyerap ketiga kekuasaan (raja, pemilik, sang ningrat) tersebut. Tetapi pada tahap berikutnya dalam perkembangan serta evolusi sistem sosial, peradaban dan kebudayaan, maupun dalam pertumbuhan sebagai dimensi kehidupan sosial dan struktur kelas, maka kutub ini memerlukan tiga dimensi terpisah dan tampak pada tiga aspek yang berlainan. Manifestasi politiknya adalah kekuasaan, manifestasi ekonominya harta dan manifestasi keagamaannya adalah kependetaan.25 Kutub Habil adalah mereka yang dikuasai dan tertindas. Berhadapan dengan kelas tritunggal raja-pemilik-sang ningrat adalah kelas rakyat, an-nas. Sepanjang sejarah, kedua kelas ini selalu bertentangan dan berkonfrontasi. Meskipun demikian, Syari'ati mengklaim bahwa analisisnya mengenai dialektika Qabil dan Habil sebagai sebuah simbol pertentangan yang terus-menerus adalah pemikiran orisinil dalam konteks pemahaman Islam yang diambil dari intisari beberapa ayat dalam al-Qur’an. Dalam pertarungan antara dualisme kosmik ini, agama menjadi faktor determinan dalam menanamkan kekuatan suci untuk membangun sikap keberagaman yang penuh harmoni.

25 Dalam al-Qur’an, Fir’aun adalah lambang kekuasaan politik; Qarun melambangkan kekuasaan ekonomi; sedang Bal’am melambangkan jabatan kependetaan rasmi. Ketiganya merupakan manifestasi tritunggal dari Qabil yang sama. Ketiga manifestasi ini dalam al-Qur’an disebut sebagai mala’ (37:66, 56:53), mutraf (17: 16; 34:34; 56:45), dan rahib (9: 34, 35), yang masing-masing berarti: yang serakah dan kejam, yang rakus dan buncit kekenyangan, dan pendeta rasmi. Ketiga kelas ini masing-masing selalu saja berusaha untuk menguasai, memeras dan mengelabui rakyat. 41

Dualisme kelas Habil dan Qabil dijadikan oleh Syari’ati sebagai cara baca dalam melihat kecenderungan manusia modern yang hakikatnya menelma dalam pertarungan antara kelas feodal dengan kelas borjuis. Pada abad pertengahan, feodalisme merupakan kelas dominan yang merupakan infrastruktur masyarakat, sedangkan suprastrukturnya adalah agama yang berfungsi sebagai legitimasi. Namun kekuasaan kelas feodalisme tergeser dengan lahirnya kelas borjuis baru yang lahir sebagai akibat kontak hubungan perdagangan antara Timur dan Barat. Kontak ini telah meruntuhkan tatanan nilai pedesaan, monastik, mistik dan kepausan dan menggantinya dengan tradisi industrial, urban, sekuler, intelektual dan nasional. Borjuasi baru sebagai kelas penguasa telah meletakkan prinsip-prinsip dan keyakinan norma moral dan kultural di atas individualisme, materialisme dan liberalisasi ekonomi serta politik. Sampai sekarang ini spirit yang mendominasi kebudayaan dan peradaban adalah spirit borjuasi yang melahirkan semangat dehumanisasi.26 Berbeda dengan pendekatan konflik yang menyatakan bahwa timbulnya pelapisan sosial sesungguhnya hanyalah ulah kelompok-kelompok elite masyarakat yang berkuasa untuk mempertahankan dominasinya, para penganut pendekatan fungsional biasanya akan menjawab bahwa pelapisan sosial adalah sesuatu yang inheren dan diperlukan demi kelangsungan sistem. Pelopor pendekatan fungsionalis, Davis dan Moore, menyatakan bahwa stratifikasi dibutuhkan demi kelangsungan hidup masyarakat yang membutuhkan pelbagai macam jenis pekerjaan.27 Tanpa adanya stratifikasi sosial, masyarakat tidak akan terangsang untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan sulit atau yang membutuhkan proses belajar yang lama dan mahal. Sistem pelapisan dengan demikian adalah suatu ganjaran (hukuman) bagi pelayanan yang diberikan agar memperlancar masyarakat berfungsi. Konsep utama yang mendominasi penjelasan teoritis mengenai stratifikasi sosial – yakni kekuasaan, privelese dan

26 Ali Syari’ati, Man In Islam. Terj. M. Amin Rais, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), 37-44. 27 Narwoko dan Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, 154-166 42 prestise – berasal dari Weber.28 Mengenai hubungan ketiga konsep itu dalam sistem stratifikasi sosial, di satu pihak ketiganya memperlihatkan adanya hubungan timbal balik. Dalam hubungan ini, privilese dalam bidang ekonomi memperlihatkan pengaruhnya yang besar. Tetapi di lain pihak, ketiganya perlu dilihat secara terpisah. Walaupun ekonomi mempunyai pengaruh yang sangat besar, ekonomi bukan satu-satunya yang menentukan kedua dimensi lainnya. Baik dimensi kekuasaan maupun dimensi prestise perlu dilihat secara terlepas dari dimensi privelese.29 Weber melihat kelas sebagai suatu konsep dengan penggunaan terbatas yang agak baik. Dasar dari konsep analitis Weber adalah suatu perbedaan antara kelas sebagai suatu aspek situasi pasar dan status sebagai suatu aspek dari situasi status. Bagi Weber, kekuasaan yang timbul dari suatu kelas pelaku utama tidak identik dengan kekuasaan yang dihasilkan dari hak-hak istimewa status. Akibatnya stratifikasi sistem-sistem masyarakat kelas dan status masyarakat secara fundamental mempunyai ciri- ciri yang berbeda.30 Khususnya Weber mengemukakan bahwa faktor-faktor ekonomi sendiri tidak dapat menerangkan ciri-ciri khusus dari formasi grup dan kesadaran grup. Untuk memahami solidaritas grup, kolektivitas dan komunitas tertentu, perlu menguji ranking status dan macam-macam status kepercayaan mereka, upacara-upacara keagamaan dan simbol-simbol yang memperlihatkan idea dari kedudukan sosial.31 Senada dengan

28 Weber, Economy and Society, 926-940 29 Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat, 3 30 Bryan S. Turner, Weber and Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam), 148 31 Berbeda dengan kelas-kelas, Stande (kelompok status) biasanya adalah kelompok. Bagaimana pun juga mereka terbentuk dari suatu golongan tanpa bentuk. Berbeda dengan istilah ‘situasi kelas’ secara ekonomis semata-mata, kita ingin menunjukkan status situation setiap komponen kehidupan manusia yang khas yang ditentukan oleh suatu perkiraan prestise yang spesifik, positif atau negatif. Prestise biasanya diekspresikan melalui kenyataan bahwa yang terpenting sekali suatu cara hidup yang khas diharapkan dari semua mereka yang ingin sekali berada dalam lingkungan itu. (Weber, Economy and Society, 932) Keanggotaan masyarakat pada grup-grup tertentu akan menunjukkan eksibisi kebiasaan berbicara, berpakaian, bertingkah laku dan gaya hidup berdasarkan kelompok statusnya. Prestise yang dimiliki oleh orang-orang 43

Weber, Paul B. Horton dan Chester L. Hunt32 menyatakan bahwa terbentuknya stratifikasi dan kelas-kelas sosial di dalamnya sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan uang (ekonomi). Stratifikasi sosial adalah suatu strata atau pelapisan orang-orang yang berkedudukan sama dalam kontinum atau rangkaian kesatuan status sosial. Para anggota suatu strata sosial tertentu acapkali memiliki jumlah penghasilan atau uang yang relatif sama. Namun, lebih penting dari itu, mereka memiliki sikap, nilai-nilai, dan gaya hidup yang berbeda. Semakin rendah kedudukan seseorang di dalam pelapisan sosial, biasanya semakin sedikit pula perkumpulan dan hubungan sosialnya. Orang-orang dari lapisan sosial rendah lebih sedikit berpartisipasi dalam jenis organisasi apa pun – klub, organisasi sosial, lembaga formal, atau bahkan lembaga keagamaan – daripada orang-orang strata menengah dan atas.

B. Pola Kepercayaan dalam Sistem Sosial Masyarakat Keberadaan agama dalam sistem sosial budaya tidak hanya ditemukan dalam setiap masyarakat, tetapi juga berinteraksi secara signifikan dengan aspek budaya yang lain. Ekspresi religius ditemukan dalam budaya material, perilaku manusia, nilai moral, sistem keluarga, ekonomi, hukum, politik, pengobatan, sains, teknologi, seni, pemberontakan, perang, dan lain sebagainya. Tidak ada aspek kebudayaan lain dari agama yang lebih luas pengaruh dan implikasinya dalam kehidupan manusia.33 Dalam sejarahnya, definisi agama pertama kali dikemukakan oleh EB. Taylor (1832-1917), ‚religion is the belief in spiritual being‛34 dan, apa yang disebutkan EB. Taylor tersebut terhormat akan mendapatkan tuntutan-tuntutan kekuasaan yang didasarkan pada kesejahteraan. Agar orang-orang yang berkuasa secara ekonomi mendapatkan kehormatan sosial, mereka harus menunjukkan suatu cara hidup yang terhormat pula. (Turner, Weber dan Islam), 149. 32 Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, 6th edition (terjemahan), (Jakarta: Erlangga, 1991). 33 Malefijt dalam Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2006), 201. 34 ‚Agama adalah suatu kepercayaan kepada wujud-wujud spiritual‛. Untuk melihat lebih jelas, Ogburn dan Nimhoff menjelaskan bahwa ‚agama adalah suatu pola aqidah-aqidah (kepercayaan-kepercayaan), sikap-sikap 44 merupakan salah satu aspek dari agama. Haviland juga mengungkap bahwa agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku yang diusahakan oleh suatu masyarakat untuk menangani masalah penting yang tidak dapat dipecahkan oleh teknologi dan teknik organisasi yang diketahuinya. Untuk mengatasi keterbatasan itu, orang berpaling kepada manipulasi kekuatan supernatural.35 Emile Durkeim,36 menyimpulkan bahwa agama adalah sistem simbol di mana masyarakat bisa menjadi sadar akan dirinya; ia adalah cara berpikir tentang eksistensi kolektif. Agama tidak lain adalah proyeksi masyarakat sendiri dalam kesadaran manusia. Selama masyarakat masih berlangsung, agama pun akan tetap lestari. Masyarakat, bagaimanapun, akan tetap menghasilkan simbol-simbol pengertian diri kolektifnya; dan dengan demikian menciptakan agama. Konsepsi Durkheim ini sama seperti Geertz yang menyebutkan bahwa agama merupakan bagian dari sistem kebudayaan, dalam arti agama merupakan pedoman yang dijadikan sebagai kerangka interpretasi tindakan manusia. Selaras dengan itu, Geertz juga mengungkapkan bahwa agama adalah suatu sistem simbol yang berfungsi untuk mengukuhkan suasana hati dan motivasi yang kuat dan mendalam pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi tentang tatanan umum eksistensi dan emosional dan praktek-praktek yang dipakai oleh sekelompok manusia untuk mencoba memecahkan soal-soal ‚ultimate dan kehidupan manusia‛. Lihat James Hastings, (ed) Encyclopedia of Religion and Ethics, vol. 10, New York, Charles Sribner’s sons, tanpa tahun, 663. 35 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002, 119. 36 Emile Durkheim adalah sosiolog Perancis (1961) yang telaahnya terfokus pada unsur-unsur sosial yang menghasilkan solidaritas. Ia melihat agama sebagai faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat. Menurutnya agama merupakan suatu sistem interpretasi diri kolektif. Tujuan utama agama dalam masyarakat primitif adalah membantu orang berhubungan bukan dengan Tuhannya, melainkan dengan sesamanya. Ritual-ritual religius membantu orang untuk mengembangkan rasa sepaguyuban (sense of community), misalnya mereka bersama-sama ambil bagian dalam pesta perkawinan, kelahiran, dan kematian; dan bersama-sama merayakan musim tanam dan panen. Hal itu mempersatukan kelompok dengan cara kontraksi religius. Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (Free Press of Glencoe, 1961), 315. 45 membungkus konsepsi itu dengan aura aktualitas yang bagi perasaan dan motivasi tampak realistis.37 Oleh karenanya, kepercayaan atau agama berfungsi untuk memberikan signifikansi pemaknaan, serta menawarkan penjelasan terhadap peristiwa- peristiwa dan pengalaman yang menyimpang dari tradisi. Di samping itu agama juga dapat memberikan suatu kriteria etis untuk menjelaskan diskontinuitas beberapa kelompok budaya tertentu.38 Tingkat atau aspek lain yang terdapat dalam pelembagaan agama ialah tingkat keyakinan atau tingkat intelektual.39 Weber berupaya melihat tingkatan ini, namun terjadi ketidakkonsistenan dalam penggunaan istilahnya. Weber mencampuradukkan berbagai istilah antara system of belief, world-view, dan kadang-kadang ideologi. Sistem kepercayaan atau world-view dalam kehidupan sosial dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu magic, religion, dan science.40 Dalam pengalaman manusia, di samping mitos berkembang cara-cara pemahaman bentuk pemikiran dan mode penjelasan lainnya. Perkembangan yang demikian sering dihubungkan dengan kontak kebudayaan antara berbagai ragam manusia, dan dengan perubahan batin yang tumbuh di masyarakat ke dalam strata dengan gaya dan pengalaman hidup yang berbeda. Auguste Comte berbicara tentang ‚Hukum Tiga Tahap‛ yang terdiri dari tahap keagamaan, tahap metafisik, dan tahap positif. Comte mengartikan tahap keagamaan (atau theological) sebagai periode pandangan dan pemahaman mistis; tahap metafisik, merupakan periode di mana yang digunakan untuk mengorganisasi dunia pengalaman bukannya kategori rasional subjektif, tetapi kategori dan konsep yang abstrak; sedang tahap

37 Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (New York: Basic Books, 1970), 90. 38 Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), 38. 39 Menurut Thomas F.O’Dea, pengungkapan intelektual dari agama dapat dibagi dalam dua bagian utama, yaitu mitos dan rasional. Sedangkan Weber menganggap tingkatan intelektual ini dengan istilah tingkat rasionalitas yang terbagi menjadi tiga, yaitu mitos, agama, dan rasional. Sosiologi Agama, diterjemahkan Tim Penerjemah Yasogama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), 80. 40 Ralph Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, terjemahan Ratna Noviani, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), xi. 46 positif merupakan periode di mana dikembangkan mode pemahaman ilmiah dan pembentukan konsep modern.41 Perkembangan pikiran yang demikian itu jelas telah terjadi. Tetapi kita tidak harus mempostulatkan hukum gerak kepada kemajuan, dan tidak pula mengabaikan kenyataan bahwa tahap-tahap itu sering tumpang tindih, dan dalam pengalaman manusia memang sering terjadi secara bersamaan. Weber juga melihat tahap-tahap perkembangan tersebut linear, tetapi bisa juga mengalami tumpang tindih (overlapping) dalam suatu masa tertentu. Harus diakui bahwa tahap awal perkembangan rasionalitas manusia diawali dan didominasi oleh magis, sedang perwujudan nyata magis meliputi simbol-simbol, cara-cara pemujaan, dan orangnya sendiri (magician). Sementara dampak kekuatan magis dalam kehidupan sosial adalah meningkatkan stabilitas hubungan- hubungan magis di sekitar manusia yang dimanipulasi untuk tujuan duniawi. Mitos42 merupakan bentuk pengungkapan intelektual yang primordial dari berbagai aspek dan kepercayaan keagamaan. Mitos telah dianggap sebagai ‚filsafat primitif, bentuk pengungkapan pemikiran yang paling sederhana, serangkaian usaha untuk memahami dunia, untuk menjelaskan kehidupan dan kematian, takdir dan hakikat, dewa-dewa dan ibadah‛.43 Tetapi mitos juga merupakan jenis pernyataan manusia yang kompleks. Merupakan pernyataan yang dramatis, bukan hanya sebagai pernyataan yang

41 O’Dea, Sosiologi Agama, 82. 42 Menurut Cassier mitos berasal dari emosi dan latar belakang emosionalnya mengilhami semua hasilnya dengan warnanya yang khusus. Manusia primitif bukan kurang memiliki kesanggupan untuk memahami berbagai perbedaan empiris dari sesuatu. Tetapi dalam konsepsinya tentang alam dan kehidupan semua perbedaan ini dihilangkan oleh perasaan yang lebih kuat: Keyakinan yang dalam terhadap solidaritas kehidupan yang fundamental dan tidak terelakkan, yang menjembatani keberagaman dan variasi bentuk- bentuk tunggal . . . kelihatannya merupakan suatu perkiraan umum dari pemikiran mitos. O’Dea, Sosiologi Agama, 80. Lebih lanjut lihat juga Ernst Cassier, An Essay on Man (Garden City, New York: Doubleday Anchor Books, 1953), 109. 43 O’Dea, Sosiologi Agama, 80 47 rasional.44 Sangat disesalkan bahwa Levy-Bruhl, yang dengan tepat mengenali unsur-unsur partisipasi mistik dalam komunikasi mitos dari mereka yang mendengar dan yang menyampaikannya, hanya mengkonsep-tualisasikan berbagai pandangannya dalam hubungannya dengan bentuk pemikiran yang logis dan pralogis.45 Determinan agama sangat berbeda secara kontras dengan magis atau mitos. Agama mengarahkan kehidupan pemeluknya agar sesuai dengan tujuan-tujuan keselamatan. Reorientasi batin seseorang akan mengubah perilaku luarnya dan dapat membentuk kembali hubungan-hubungan sosial yang kemudian berpengaruh pada perubahan sosial dan ekonomi. Seluruh legitimasi kekuatan agama diturunkan dari sumber-sumber yang sakral dan transendental, yaitu dari Tuhan dan Dewa. Selain itu, sumber- sumber tersebut dibebaskan dari perwujudan konkret sehingga dapat menjadi subjek interpretasi pada jenjang yang abstrak.46 Munculnya sistem kepercayaan baru, yaitu ilmu pengetahuan (science) yang menawarkan teknik rasional,47 seperti

44 Disebut sebagai pernyataan yang dramatis sebab melibatkan pikiran dan perasaan, sikap dan sentimen. Lebih lanjut Cassier juga menyatakan bahwa mitos memahami dan menggambarkan dunia sebagai yang ‚cair dan tidak tetap‛ tidak seperti dunia menurut teori filsafat tradisional. Bahkan selanjutnya ia mengatakan bahwa dunia mitos adalah dunia yang dramatis – sebuah dunia tindakan, kekuatan, kekuasaan yang saling bertentangan . . . . Apapun yang dilihat atau dirasakan dikelilingi oleh suasana khusus – suasana gembira atau duka cita, kesedihan, kegairahan, kegembiraan atau depresi. Di sini kita tidak dapat membirakan ‚sesuatu‛ sebagai yang mati atau sebagai bahan yang tidak perlu ditanggapi. Semua objek bersifat ganda, bersahabat atau bermusuhan, familiar atau tidak, memikat dan menjemukan atau menjijikan dan menakutkan. O’Dea, Sosiologi Agama, 81. 45 O’Dea, Sosiologi Agama, 79 46 Ralph Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, xii. 47 Menurut Weber, rasionalitas menawarkan kepada manusia modern kemungkinan adanya kontrol yang efektif terhadap alam dan masyarakat, membebaskan manusia daripada rasa khawatir akan suatu dunia yang tidak dapat diperhitungkan dan membebaskannya daripada dominasi tenaga- tenaga/kekuatan-kekuatan magis. Namun, problem yang dihadapi manusia modern adalah bahwa dunia privat dan sosialnya secara fundamental telah menjadi tidak bermakna. Kodifikasi hukum, pengetahuan ilmiah, organisasi rasional dapat menolong merumuskan cara-cara yang cocok tujuan-tujuan sosial dan tujuan-tujuan hidup, tapi prosedur-prosedur demikian tidak menolong kita memilih di antara nilai-nilai absolut atau antara tujuan-tujuan yang saling 48 kalkulasi sarana-tujuan (means-ends calculation), telah menurunkan peran magis dan agama dalam hal memahami realitas dunia. Ini merupakan gejala memudarnya daya-daya magis dunia karena dengan penerapan metode ilmu untuk menguak berbagai fenomena yang sebelumnya dianggap misteri menjadi dapat dijelaskan secara rasional. Fenomena seperti ini oleh Weber dinamakan disenchantment of the world. Semua kenyataan di dunia dapat diketahui (knowable), dipelajari, diperhitungkan (calculable), bahkan dapat diprediksi ke arah mana kecenderungan suatu gejala. Maka penjelasan terhadap isi dunia secara drastis berubah dari cara berpikir yang dogmatik menjadi kausalistik, dari metafisik menjadi empirik, atau dari irasional menjadi rasional. Bahkan, eliminasi kekuatan-kekuatan irasional telah mewujudkan bentuk-bentuk efisiensi dalam administrasi dan organisasi.48

Tabel 3. World View dan Dampak Sosial49 World-views Cara Tujuan Dampak Sosial Magis Tidak Rasional Rasional Otoritas dukun atau (misal sesaji, (misal: magician, pengokohan bakar keselamatan hubungan-hubungan kemenyan, dll) dunia, sehat, sosial, struktur sosial kaya, dll) komunitas magis Agama Rasional Tidak Otoritas ulama atau elit (misal: puasa, Rasional agama, pengokohan zakat, ziarah, (misal: kekuasaan politis, struktur dll) masuk surga) sosial, keagamaan, perubahan budaya Ilmu Rasional Rasional Otoritas ilmuwan, Pengetahuan (misal: metode (misal: pengokohan hubungan ilmu) pemecahan politis, struktur sosial problem komunitas keilmuwan, duniawi) perubahan budaya, dan disenchantment) diperebutkan. Pengetahuan ilmiah tidak dapat menolong kita membuat putusan- putusan moral bila kita dihadapkan pada cara-cara bersikap yang tidak sama; akhirnya ilmu pengetahuan tidak relevan untuk mempermasalahkan perumusan kehidupan yang baik. Lihat Bryan S. Turner, Weber and Islam, 231-234. 48 Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, xii. 49 Heru Nugroho, Rasionalisasi dan Pemudaran Pesona Dunia: Pengantar untuk Weber dalam Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, ix. 49

Tiap-tiap tingkat perkembangan rasionalitas manusia ditandai dengan bentuk-bentuk sosial yang berbeda. Tingkat perkembangan magis ditandai dengan adaptasi individu atas norma-norma dan kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia. Menurut sistem kepercayaan magis, manusia dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan supranatural yang belum disistematisasikan sehingga kekuatan-kekuatan itu bisa bersifat konstruktif atau destruktif terhadap manusia. Magis memanipulasi kekuatan- kekuatan ini secara sistematik dalam rangka mencapai tujuan- tujuan praktis yang spesifik, seperti sistematisasi kekuatan- kekuatan alam untuk mewujudkan kekayaan, kesehatan, keselamatan, dijauhkan dari gangguan setan, dan lain-lain.50 Sedangkan tingkat perkembangan agama, keberadaan norma-normanya telah diinternalisasi dan disistematisasi. Norma- norma yang telah sistematis itu kemudian menjadi guide dalam perilaku sosial tiap-tiap pemeluknya. Selain itu, norma-norma itu juga menjadi sumber interpretasi atas realitas yang ada di dunia. Bahkan, perubahan sosial yang terjadi juga dapat diinterpretasikan lewat norma-norma tersebut.51 Ada pun dalam dunia modern, ilmu pengetahuan telah mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan hanya mencurahkan kepentingan material dan kegiatan praktis sehari-hari. Dalam hal ini, Weber juga melihat sisi pesimis dari dominasi ilmu terhadap kehidupan manusia, yaitu merebaknya sekulerisme52, materialisme, dan

50 Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, xii 51 Dalam hal ini, Weber mendemonstrasikan bagaimana etika Protestan menjadi sumber rujukan berperilaku ekonomi dan sekaligus subjek reinterpretasi atas terjadinya proses sekulerisasi dalam masyarakat pada waktu itu. Lihat Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, terjemahan Yusup Priyadisudiarja, (Yogyakarta: Jejak, 2007). 52 Dalam diskusi Weber tentang sekulerisasi, argumentasinya tidak secara positif menyatakan bahwa ‚Tuhan mati‛ (‘God is dead’), namun hanyalah menyatakan bahwa masyarakat modern menghasilkan sejumlah Tuhan yang saling berlomba yang tidak memiliki kekuasaan, baik secara individu maupun secara kelompok. Perkembangan pengetahuan yang progresif dan bertambahnya spesialisasi disegenap lapangan pengetahuan melahirkan pandangan-pandangan dunia dan tafsiran-tafsiran tentang realitas yang tak terhitung banyaknya, namun tepatnya karena tafsiran-tafsiran ini belum final 50 menurunnya peran agama sebagai rujukan memahami dunia. Namun, menurut Weber dalam kehidupan modern masih tersisa adanya idealisme etik (ethical ideal) yang telah diinternalisasi oleh masyarakat pada masa perkembangan dan dominasi agama yang lalu dan menjadi personality guide bagi setiap individu. Idealisme etik ini cenderung akan menghindarkan individu jatuh pada tingkat tindakan pragmatis yang buta. Pada tahap perkembangan sosial ini, agama cenderung tertekan menjadi bidang kehidupan privat.53 Teologi rasional54 berkembang sebagai bagian dari rasionalisasi55 pemikiran dan dapat dijumpai di semua agama di dunia ini dalam berbagai bentuk. Ia mencerminkan kesungguhan mereka tidak bisa menuntut adanya suatu nilai yang mutlak. Dalam pelayanan singkat Weber terhadap kesadaran modern, ia mencatat tiga fase penting yang terdapat pada perkembangan sekulerisasi, yaitu ketidakajaiban, fragmentasi dan konflik di antara pandangan-pandangan dunia yang tidak utuh (partial world- views). Lihat Bryan S. Turner, Islam and Weber, 235-236. Lihat juga Peter L. Berger, The Sociall Reality of Religion, London, 1969. 53 Dalam dunia sekuler, satu-satunya tempat bagi agama adalah dalam daerah hubungan-hubungan interpersonal dan bukan dalam hubungan-hubungan umum. Secara paradoksal, penghapusan agama sebagai ikatan sosial yang menghubungkan semua aspek kehidupan manusia disediakan oleh pembaharuan itu sendiri. Tesis Weber bahwa sekulerisasi yang melibatkan pluralisme nilai- nilai yang saling bertentangan dan penurunan nilai derajat institusional agama menjadi semata-mata bersifat pilihan pribadi. Lihat Bryan S. Turner, Weber and Islam, 239. 54 Perkembangan teologi rasional dihubungkan dengan perubahan- perubahan batin atau internal yang terjadi di dalam organisasi keagamaan, di mana lapisan kependetaan profesional sangat dibedakan dari lapisan anggota biasa. Walaupun mitos tidak tertutup bagi logika, dan pandangan mitos bisa dirasionalisasikan, namun gerak maju dari mitos menuju logos ini biasanya menunggu perkembangan kelompok kependetaan. Perkembangan penuh rasionalisasi metafisik dan etika keagamaan membutuhkan lembaga kependetaan yang bebas dan terlatih serta profesional, secara permanen dipenuhi dengan pemujaan dan dengan masalah praktis yang terdapat dalam perawatan jiwa. Weber, The of Religion, 30. 55 Proses rasionalisasi merupakan suatu istilah yang berasal dari Emmanual Kant dalam bukunya Essay on Universal History. Pikiran manusia dengan cepat telah mengalami rasionalisasi, baik dalam arti formal sehubungan dengan konsistensinya dan sifat sistematisnya, maupun dalam arti substansi dalam menyisihkan unsur-unsur fantasi dan mitosnya. O’Dea, Sosiologi Agama, 83 51 kelompok spesialis agama yang membuat implikasi intelektual dan esensial pada sejumlah tradisi keagamaan yang eksklusif dan konsisten. Perkembangan teologi rasional juga mencakup pengembangan etika rasional (teologi moral) yang disandarkan pada implikasi praktis pengalaman keagamaan dan tradisi. Batasan eksistensi dan etika tentang apa adanya dan apa yang seharusnya terbentuk di dalam evolusi tradisi teologi yang kemudian jadi doktrin organisasi keagamaan. Dengan demikian, ia ditujukan untuk pendidikan keanggotaaan. Dengan cara ini mereka masuk ke dalam batasan situasi di mana manusia bertindak, konsepsi mereka tentang tujuan yang tepat dan sarana untuk mencapainya, dan dengan demikian menjadi ‚terikat dengan sifat-sifat praktis terhadap hampir semua aspek kehidupan sehari-hari‛.56 Perkembangan teologi rasional yang demikian merupakan pergeseran pemikiran dari mitos menuju logos, dari yang bersifat mitologi menuju rasional. Dalam fenomena sosial budaya di zaman modern ini, kehidupan beragama menjadi menciut dalam aspek kecil dari kehidupan sehari-hari. Fenomena penciutan kehidupan beragama ini karena pengaruh budaya modern yang kadang kala mendekati modernisme57 dan sekulerisme. Kemajuan ilmu pengetahuan, industrialisasi, urbanisasi, dan rasionalisasi dan modernisasi masyarakat telah menyebabkan agama semakin surut dari arena kehidupan sosial yang dikuasainya secara tradisional. Lebih lanjut

56 Talcott Parsons, Essai-Essai Sosiologi, 209 57 Menurut Bustanuddin Agus, modernisme berbeda dengan modern. Yang pertama telah menjadi panutan dan paham yang dipakai dalam memandang manusia, alam dan kehidupan secara keseluruhan. Kalau istilah modernisme dipasangkan dengan tradisionalisme, ia adalah sifat masyarakat yang berorientasi kepada yang konkret, otomatisasi, kecenderungan kepada perubahan. Akan tetapi modern hanya sekedar sikap bersedia atau sekadar menggunakan alat dan produk yang dihasilkan oleh teknologi modern sehingga tenaga untuk mengerjakan sesuatu bisa terhemat, seperti handphone dan internet untuk berkomunikasi. Orang Islam didorong untuk hemat dan melakukan sesuatu dengan sempurna yang tentunya dengan menggunakan hasil teknologi modern, tetapi mereka tidak direstui, bahkan diharamkan untuk berpandangan hidup atau berideologi modernisme karena mengabaikan Allah dan agama sebagai pegangan hidup. Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), 10. 52

Durkheim mengatakan bahwa agama mati perlahan-lahan dalam dunia modern di bawah pengaruh ilmu dan teknologi modern.58 Mereka yang terpengaruh budaya modern lebih memiliki pola pikir yang rasional dan ilmiah sehingga mempengaruhi pola kepercayaan mereka terhadap hal-hal yang sakral yang dianggap irrasional dan jauh dari kata ilmiah. Adanya perubahan intelektualitas masyarakat dari irasional ke rasional mempengaruhi perubahan fungsi sosial di dalam masyarakat.

C. Masyarakat dan Stratifikasi Keagamaan Lapisan sosial atau stratifikasi sosial di dalam masyarakat terbentuk karena adanya sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat. Hal ini tentunya tidak hanya berkaitan dengan kepemilikan materil saja tetapi juga dapat berupa immateril, seperti kesalehan dalam agama atau mungkin juga keturunan yang terhormat. Agama muncul karena manusia hidup di dalam masyarakat dan dengan demikian mengembangkan kebutuhan- kebutuhan dasar tertentu sebagai akibat dari kehidupan kolektif mereka. Agama ada karena agama dapat memenuhi fungsi-fungsi sosial tertentu yang penting yang tak dapat dipenuhi tanpa agama. Peranan utama agama, menurut Durkheim, sebagai integrator kemasyarakatan. Agama mengikat orang-orang menjadi satu dengan mempersatukan mereka dengan melalui seperangkat kepercayaan, nilai, dan ritual bersama. Dengan demikian agama membantu memelihara masyarakat atau kelompok sebagai suatu komunitas moral.59 Masyarakat bukan saja suatu struktur sosial stabil, tetapi suatu struktur yang berkembang dan berubah terus menerus sebagai akibat dari kekuatan hukum masyarakat yang disebut proses sosial dan perubahan sosial baik dalam ritme yang cepat maupun lambat. Laju proses sosial (social process) dan perubahan sosial (social change) itu sendiri tidak terlepas dari perubahan sosio-kultural, bahkan justru karena dipengaruhi secara langsung oleh sosio-budaya, teristimewa apabila kebudayaan asli bertemu

58 Stephen K Sanderson, Macrosociology, diterjemahkan oleh Farid Wajidi, S. Menno (Jakarta, PT RajaGrafindo, 2000), 555. 59 Stephen K Sanderson, Macrosociology, diterjemahkan Farid Wajidi, S. Menno (Jakarta, PT RajaGrafindo, 2000), 554. 53 dengan kebudayaan asing. Unsur-unsur kebudayaan agama memainkan peranan dominan atas masyarakat, baik itu agama asli maupun agama asing. Sebagaimana defakto unsur kebudayaan nonreligius mempengaruhi dan mengubah masyarakat melalui lapisan-lapisan sosial, demikian pula agama sebagai unsur kebudayaan religius hanya dapat masuk dan meresap dalam masyarakat melalui lapisan-lapisan masyarakat.60 Pandangan lebih konkrit mengenai hubungan agama dengan stratifikasi sosial dikatakan Weber tentang agama dari berbagai kelas yang ia amati.61 Weber mengungkapkan bahwa stratifikasi dibentuk tidak hanya dilihat dari faktor ekonomi saja melainkan juga dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri khusus seperti world view, upacara-upacara keagamaan dan simbol-simbol yang menggambarkan kedudukan sosial masyarakat dalam stratifikasi tersebut. Berbagai studi memperlihatkan bahwa stratifikasi sosial mempengaruhi agama. Studi yang dilakukan Sayyed Zainuddin mengenai Islam, Social Stratification and Empowerment of Muslim OBCs62, menempatkan pertumbuhan dan perkembangan

60 Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1983), 58. 61 Weber telah melakukan penelitian tentang agama-agama dunia dan dapat ditarik dua kesimpulan penting berkenaan dengan penelitiannya tersebut, yaitu: yang pertama terdapat dalam sejarah agama Kristen, Yahudi, Islam, Hinduisme, Buddha, Konfusianisme, dan Toisme – suatu hubungan yang jelas dan dapat diamati di antara posisi misalnya dengan kecenderungan menerima pandangan keagamaan yang berbeda. Yang kedua, ini bukanlah suatu penentuan yang tepat tentang pandangan keagamaan oleh stratifikasi sosial. Misalnya, kelas menengah rendah yang dianggap Weber memainkan peranan strategis dalam sejarah agama Kristen, melihatkan suatu kecenderungan yang pasti ke arah ‚congregational religion‛, ke arah agama keselamatan, dan akhirnya ke arah agama ‚etika rasional‛. Ini berbeda sekali dengan kecenderungan keagamaan kaum petani. Tetapi Weber menegaskan bahwa hal ini jauh dari setiap/determinisme yang serupa. Dia menegaskan bahwa dalam kelas menengah rendah, dan khususnya di kalangan pengrajin, terdapat perbedaan besar yang saling berdampingan, dan bahwa para pengrajin ini memperlihatkan suatu diversifikasi yang sangat nyata. (Lihat O’Dea, Sosiologi Agama, 109. Lebih lanjut lihat Juga Weber, The Sociology of Religion, 95-96) 62 Sayyed, Zainuddin. ‚Islam, Social Stratification and Empowerment of Muslim OBCs‛, Economic and Political Weekly, Vol. 38, No. 46 (November 2003): 4898-4901. http://www.jstor.org/stable/4414285 (diakses pada 02 April 2012). 54 stratifikasi sosial dalam Islam dari waktu ke waktu. Penelitian ini membawa keluar dimensi kasta di kalangan umat Islam di India Utara dan membuat kasus untuk pemesanan terpisah untuk pemberdayaan OBCs Muslim. Posisi ideologis Islam berkaitan dengan stratifikasi sosial karena umat Islam secara keseluruhan mematuhi prinsip-prinsip dasar agama Islam dan cukup mengideologikan iman mereka untuk menjelaskan praktek-praktek sosial mereka. Kingsley Davis dan Wilbert E. Moore menyebut interelasi agama dan stratifikasi sebagai religious stratification. Menurut Davis dan Moore stratifikasi agama adalah pembagian masyarakat ke dalam lapisan hirarkis pada premis keyakinan agama, afiliasi, atau praktik iman. Alasan mengapa agama diperlukan ternyata dapat ditemukan dalam kenyataan bahwa masyarakat manusia mencapai kesatuan terutama melalui kepemilikan oleh anggotanya nilai utama tertentu dan berakhir kesamaan. Selanjutnya, Davis dan Moore berpendapat bahwa stratifikasi keagamaan merupakan ‚peran keyakinan agama dan ritual untuk menyediakan dan memperkuat penampilan realitas bahwa nilai-nilai utama tertentu telah dimiliki. Ini merupakan salah satu penjelasan mengapa agama merupakan salah satu faktor yang mendasari dan menghubungkan berbagai bentuk ketidaksetaraan dalam stratifikasi. 63 Para sosiolog terdahulu biasanya lebih memperhatikan stratifikasi berdasarkan ras, kelas, gender, etnis, dan ekonomi dibanding agama. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa stratifikasi agama layak untuk mendapatkan perhatian lebih dari biasanya. Ini merupakan pengembangan umum dalam agama masyarakat yang sangat beragam. Sosiolog James D. Davidson dan Ralph E. Pyle (2011) berpendapat bahwa akhir dekade ini ada kemungkinan untuk mengkalkulasikan status sosial ekonomi dan menemukan perwakilan identifikasi keagamaan penduduk

63 Davis, Kingsley and Wilbert E Moore, 1945. ‚Some Principles of Stratification,‛ American Sociological Review 10 (April): 242-249. http://en.wikipedia.org/wiki/ religious_stratification (diakses pada 02 April 2012) 55

Amerika. 64 Menurut Davidson dan Pyle, stratifikasi agama sudah muncul selama masa kolonial Amerika, sebagai akibat dari etnosentrisme agama, persaingan agama, dan sumber daya yang tidak merata. Mereka menunjukkan bahwa kelompok Anglikan, Kongregasionalis, dan Presbiterian lebih terwakili di kalangan elit ekonomi, politik, dan pendidikan. Sedangkan kelompok-kelompok lain seperti Protestan, Katolik, Yahudi, dan orang-orang tanpa preferensi agama memiliki peringkat yang jauh lebih rendah dalam status sosial.65 Selain itu, Keith A.Roberts66 juga menyatakan bahwa ada hubungan antara keadaan sosial ekonomi dan ketaatan beragama. Agama dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem sosial ekonomi masyarakat. Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang pengaruhnya dapat diamati pada perilaku manusia. Berkaitan dengan hal ini, Nottingham menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan masyarakat – yang menurutnya, terbagi tiga tipe. Tipe-tipe yang dimaksud Nottingham67 tersebut, yaitu: 1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota

64 Davidson, James.D and Pyle, R.E., Ranking Faiths: Religious Stratification in America (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2011), pp. 219. 65 Davidson, James D, Religious Stratification: Its Origins, Persistence, and Consequences, Sociology of Religion; Winter 2008; 69, 4; ProQuest Research Library, 371. 66 Keith A. Robert, Religion In Sociological Perspective, (USA: Wadsworth, 2004), 218 67 Pembagian Nottingham ini tampaknya mengikuti konsep August Comte tentang proses tahapan pembentukan masyarakat, yaitu tahap teologis (di mana tingkat pemikiran manusia menganggap bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia); tahap metafisis (merupakan transisi dari teologis ke tahap positif yang ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi); dan tahap positif (tahap di mana manusia mulai berpikir secara ilmiah). Lebih lanjut Nottingham membahas tipe-tipe ini dalam satu bab yang berjudul ‚Tipe-Tipe Masyarakat dan Agama‛ di dalam bukunya Agama dan Masyarakat, terjemahan Abdul Muis Naharong, Jakarta: CV. Rajawali, 1985, 41-58. 56

masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relatif berkembang selain lembaga keluarga; agama menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan agama memasukkan pengaruh yang sakral ke dalam sistem nilai- nilai masyarakat sangat mutlak. 2. Masyarakat pra-industri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler sedikit banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase kehidupan sosial masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah adat-istiadat saja. Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan, dan pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya, anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah-masalah kemanusiaan sehingga lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas. 3. Masyarakat Industri-Sekuler. Masyarakat tipe ini merupakan masyarakat yang paling agresif dan dinamik di dunia sekarang ini, dengan menggunakan ilmu pengetahuan, teknologi dan nilai-nilai sekuler mereka, terus-menerus memusuhi masyarakat-masyarakat tipe kedua dan sebagian kecil masyarakt tipe pertama yang lebih berorientasi kepada agama.

Dari gambaran kondisi dan tingkat persepsi keagamaan di atas dan memperhatikan perkembangannya sekarang ini, maka dapat dijelaskan bahwa agama sekarang ini di suatu tempat telah mengalami modernisasi pemahaman yang mendorong masyarakat 57 kepada masyarakat maju, sementara sebaliknya di tempat lain, agama masih hanya sebagai pendukung status quo. Ternyata agama pada suatu saat bisa berfungsi sebagai pendorong perubahan dan pada saat lain bisa berfungsi sebagai penjaga status quo. Perbedaan posisi terhadap status quo tersebut dijelaskan dengan melihat lokasi sosial agama. Pertama, keterpisahan agama dengan elemen-elemen masyarakat yang lain. Bila agama dalam pengertian nilai agama, terdifusi secara baik dalam keseluruhan lembaga-lembaga sosial yang lain, maka kemungkinan kecil akan mendorong perubahan sosial. Ini dapat dimengerti karena sesungguhnya target agama adalah mendifusikan nilai-nilai dan cita-cita agama ke dalam tatanan sosial. Bila ini sudah tercapai, agama akan cenderung jalan di tempat dan mempertahankan kondisi ini. Sebaliknya bila agama terpojok dan hanya menjadi satu bagian yang terpisah dari masyarakat, agama akan mendorong perubahan ke arah terdifusinya nilai agama dalam masyarakat. Kedua, adalah kedudukan agama sebagai motivator aktivitas masyarakat. Dalam masyarakat terdapat sesuatu bentuk kepercayaan (belief) yang berfungsi sebagai motivator bertindak. Weber misalnya, menggambarkan motivasi masyarakat untuk melakukan berbagai tindakan ekonomis adalah untuk meraih kesejahteraan duniawi berdasarkan imannya, atau menurut istilah Weber disebut inner-worldly ascetism68.

68 Inner worldly-asceticism merupakan asketisisme yang terarah ke dalam dunia. Pola asketisisme ini diperkenalkan oleh Protestanisme (golongan Calvin dan Luther). Sikap dasarnya, yaitu asketisisme dalam pengertian: tekun, disiplin diri, menolak godaan kenikmatan. Tetapi orientasi asketisismenya berbeda dari ‚asketisisme yang terarah ke luar-dunia‛ (other-worldly asceticism). Sikap bertarak dari Protestanisme tidak lagi diarahkan kepada kehidupan ‚syurga‛; tetapi terarah kepada kehidupan masa kini di dunia. Sehingga orang disebut beriman apabila kehidupannya di masa kini senantiasa ditandai oleh tanggungjawab yang optimal terhadap seluruh pekerjaan yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Etos kerja inilah yang menurut Weber kemudian mampu mengubah wajah dan peradaban Eropa, bahkan kemudian mengubah seluruh dunia. Makna kerja bukan lagi dianggap sebagai hal yang duniawi, tetapi dihayati sebagai hal yang suci. Karena nilai pekerjaan adalah suci, maka setiap orang beriman harus melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh dan benar secara moral. Kerja menjadi manifestasi dari ibadah. Hasilnya adalah penanganan pekerjaan yang makin profesional dan 58

Relevansi antara stratifikasi sosial dan pola kepercayaan masyarakat (world view) dapat dianalisis dengan menggunakan struktural fungsional. Asumsi dasar teori fungsional terletak pada cara pandang yang menyatakan bahwa masyarakat (sebagai sistem sosial) terintegrasi oleh adanya kesepakatan bersama, collective consciousness. Kebersamaan dan kohesi sosial dimungkinkan karena adanya hubungan fungsional antarbagian pembentuk sistem, interdependency. Dengan demikian, kondisi masyarakat akan selalu dalam keadaan equilibrium. Seandainya ada perubahan-perubahan – baik karena faktor internal maupun eksternal – perubahan itu diyakini tidak akan sampai mengganggu integritas sosial atau keseimbangan sosial, sebab sifat perubahan yang terjadi lebih bersifat gradual ketimbang mendasar.69 Hal ini dapat dilihat pada fenomena ziarah di Kota Palembang. Masyarakat yang memiliki perbedaan strata dan pola kepercayaan tetap berada dalam equilibrium dan hal ini tidak mengakibatkan terpecahnya integritas dalam masyarakat ketika berziarah walaupun pola tindakan yang mereka aplikasikan beraneka ragam. Analisis struktural fungsional terhadap interelasi antara stratifikasi sosial dan pola kepercayaan dapat dilihat dari pola tindakan masyarakat. Dalam hal ini, hubungan tersebut tercermin dalam fenomena ziarah di mana masyarakat yang terstratifikasi memiliki world view atau pola kepercayaan yang bervariasi, yang mereka refleksikan dalam tindakan mereka ketika berziarah. Talcott Parsons yang mengajukan teori tentang tindakan manusia dalam hal ini membedakan ke dalam empat subsistem: organisme, personality, sistem sosial, dan sistem kultural. Keempat unsur ini tersusun dalam urutan sibernetika (cybernetic order) yang menurut Parson sebagai unsur yang mengendalikan tindakan manusia.70 Tindakan sosial yang diajukan oleh Talcott Parson sepenuhnya mengikuti karya Weber. Tindakan sosial yang dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata didasari oleh moralitas yang tinggi. Lihat Weber, The Sociology of Religion, 242. 69 Narwoko dan Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, , 257. 70 Narwoko dan Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, 262. 59 diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat membatin atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa. Atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu. Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya ke dalam empat tipe. Semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami.71 1. Zwerk rational, yakni tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang baik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Tujuan dalam zwerk rational tidak absolut. Ia dapat juga menjadi cara dari tujuan lain berikutnya. Bila aktor berkelakuan dengan cara yang paling rasional maka mudah memahami tindakannya. 2. Werkrational action, dalam tindakan tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan yang paling tepat ataukah lebih tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Ini menunjuk kepada tujuan itu sendiri. Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk dibedakan. Namun tindakan ini rasional, karena pilihan terdapat cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang diinginkan. Tindakan tipe kedua ini masih rasional meski tidak serasional yang pertama. Karena itu dapat dipertanggungjawabkan untuk dipahami. 3. Affectual action, tindakan yang dibuat-buat dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami. Kurang atau tidak rasional. 4. Traditional action, tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja.

Kedua tipe tindakan yang terakhir sering hanya merupakan tanggapan secara otomatis terhadap rangsangan dari luar. Semua

71 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2007), 39. 60 tindakan manusia ditentukan oleh keempat subsistem: budaya, sosial, kepribadian, dan organisme. Sistem kultural merupakan sumber ide, pengetahuan, nilai, kepercayaan, dan simbol-simbol. Sistem ini penuh dengan gagasan dan ide, karena itu kaya akan informasi, tetapi lemah dalam energi dan aksi. Untuk sampai pada tindakan nyata, personality, sistem sosial berfungsi sebagai mediator terhadap sistem kultural. Artinya simbol-simbol budayawi diterjemahkan begitu rupa dalam sistem sosial yang kemudian disampaikan kepada individu-individu warga masyarakat (sistem sosial) melalui proses sosialisasi dan internalisasi.72 Berdasarkan hal tersebut, deskripsi mengenai interelasi stratifikasi sosial dan pola kepercayaan masyarakat dapat dilihat dari apa yang dikatakan Weber tentang berbagai kelas yang diamatinya. Golongan yang pertama adalah golongan Petani dan Nelayan yang pada umumnya golongan petani termasuk masyarakat yang terbelakang. Hal ini disebabkan lokasinya berada di daerah yang terisolasi, sistem masyarakatnya masih sederhana, lembaga-lembaga sosialnya pun belum banyak berkembang. Di samping alasan-alasan tersebut, unsur-unsur ketidakpastian, ketidakmampuan, dan kelangkaan, sangat erat dengan kehidupan petani. Mata pencaharian utamanya bergantung pada alam yang tidak bisa dipercepat, diperlambat, atau diperhitungkan secara cermat sesuai dengan keinginan petani. Faktor cuaca, faktor pertumbuhan tanaman, faktor hewan – baik sebagai alat pembantu

72 Pertimbangan aspek-aspek tertentu sistem-sistem sosial digambarkan dalam kerangka teori tindakan yang menunjukkan dengan mudah mengapa pelapisan merupakan suatu fenomena mendasar. Pada tempat pertama, evaluasi moral merupakan suatu aspek penting tindakan dalam sistem-sistem sosial. Ia merupakan suatu aspek utama fenomena yang lebih luas orientasi normatif, karena tidak semua pola normatif yang relevan dengan tindakan merupakan objek sentimen-sentimen moral. Fakta penting kedua adalah pentingnya pribadi manusia sebagai suatu unit sistem-sistem sosial yang konkret. Jika pribadi- pribadi manusia sebagai unit-unit dan evaluasi moral esensial bagi sistem- sistem sosial, maka pribadi-pribadi itu dievaluasikan sebagai unit-unit dan tidak hanya menghormati kualitas-kualitas, tindakan-tindakan khusus dan sebagainya. Pelapisan sebagaimana diberlakukan di sini, merupakan suatu aspek dari konsep struktur sebuah sistem sosial yang digeneralisasikan. Parson, Essei- Essei Sosiologi, 73. 61 maupun sebagai hama – faktor subur tidaknya tanah, dan sebagainya merupakan faktor-faktor yang berada di luar jangkauan petani. Oleh sebab itu, mereka mencari kekuatan dan kemampuan di luar dirinya yang dipandang mampu dan dapat mengatasi semua persoalan yang telah atau akan menimpa dirinya. Maka, diadakanlah upacara-upacara atau ritus-ritus yang dianggap sebagai tolak bala atau menghormati dewa. Menyediakan sesajen bagi Dewi Sri, yang dipercaya sebagai pelindung sawah dan ladang, pada waktu akan panen menjadi keharusan bagi mereka , agar hasil panennya berlimpah. Upacara-upacara semacam itu kerap dilakukan sebagai suatu tradisi; meninggalkan upacara- upacara tersebut diyakini akan mendatangkan bala atau panennya tidak berhasil. Dengan pengamatan selintas, pengaruh agama terhadap golongan petani cukup besar. Jiwa keagamaan mereka relatif lebih besar karena kedekatannya dengan alam. Menurut Weber petani sebagai kelas sosial tidak begitu sudi menjadi penyebar agama yang aktif kecuali kalau tidak diancam perbudakan atau dirampas harta miliknya. Untuk golongan nelayan, karakter pekerja golongan nelayan hampir sama dengan karakter golongan petani. Mata pencahariannya bergantung pada keramahan alam. Jika musimnya sedang bagus, tidak ada badai, boleh jadi hasil tangkapan ikannya melimpah. Biasanya pada waktu-waktu tertentu ada semacam upacara untuk menghormati penguasa laut, yang – pada masyarakat Indonesia – dikenal sebagai Nyi Roro Kidul. Berdasarkan fakta tersebut, pengaruh agama terhadap kehidupan nelayan dapat dikatakan signifikan.73 Apabila dilihat menurut konsep Nottingham, baik golongan petani atau golongan nelayan, termasuk tipe masyarakat terbelakang, yang nilai-nilai sakral sangat memasuki sistem nilai masyarakatnya. Kalangan petani perlu dirembesi oleh pengaruh luar yang sangat kuat sehingga dalam penyampaian ajaran agama kepada mereka dapat dilakukan dengan cara yang sederhana dan memakai contoh-contoh yang bisa diambil dari lingkungan alamnya.74

73 Lihat Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, 132. Lihat juga Weber, The Sociology of Religion, 80, 97. 74 Nottingham, Agama dan Masyarakat, 43. 62

Golongan selanjutnya adalah Pengrajin dan Pedagang Kecil. Hidup mereka didasarkan atas landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan rasional. Mereka tidak menyandarkan diri pada keramahan alam yang tidak bisa dipastikan, tetapi lebih mempercayai perencanaan yang teliti dan pengarahan yang pasti. Menurut Weber, golongan pengrajin dan pedagang kecil suka menerima pandangan hidup yang mencakup etika pembalasan.75 Hal ini serupa dengan tipe masyarakat pra-industri yang sedang berkembang. Bagi mereka, dalam persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan materi/sehari-hari, agama tidak dijadikan rujukan utama tapi rasiolah yang menjadi pegangannya. Meskipun demikian, pada sisi lain, misalnya berkenaan dengan tahapan- tahapan kehidupan sosial – seperti kelahiran, pertumbuhan anak, perkawinan, dan kematian – masih diliputi oleh perasaan keagamaan yang kental. Dalam hal ini, mereka masih mengadakan upacara-upacara keagamaan. Kategori berikutnya menurut Weber adalah golongan Pedagang Besar76 yang lebih berorientasi pada kehidupan duniawi (mundane) dan cenderung menutup agama profetis dan etis. Perasaan keagamaannya lebih bersifat fungsional.77 Kemampuan yang mereka miliki terletak pada kekuatan ekonominya.

75 Golongan pengrajin dan pedagang kecil hidup dalam situasi yang berbeda dengan golongan petani. Kehidupan golongan ini tidak terlalu berkutat dengan situasi alam dan tidak terlalu bergantung pada hukum alam. Mereka menaati kaidah moral dan pola sopan santun dan percaya bahwa pekerjaan yang baik dilakukan dengan tekun dan teliti akan membawa balas jasa yang setimpal. Akhirnya, agama yang mereka pilih adalah agama etis yang rasional. Dengan kata lain, unsur emosi tidak memainkan peranan terpenting dan utama seperti pada golongan petani dan nelayan. Weber, The Sociology of Religion, 97. 76 Golongan ini memiliki sikap yang lain terhadap agama. Pada umumnya kelompok ini mempunyai jiwa yang jauh dari gagasan tentang imbalan jasa (compensation) moral, seperti yang dimiliki golongan tingkat menengah bawah. Menurut Weber, semakin tinggi posisi privilese kelas tersebut, semakin kurang kemungkinan mereka untuk mengembangkan agama keduniawian lainnya. Weber, The Sociology of Religion, 91. 77 Biasanya, sebagai formalitas, mereka tidak segan-segan menyumbang sejumlah dana untuk kepentingan kegiatan agama, tetapi mereka sendiri tidak terlibat langsung pada kegiatan tersebut. Pemberian dana dianggapnya cukup untuk mewakili perasaan keagamaannya. 63

Selanjutnya Weber menyebut golongan karyawan sebagai kaum birokrat. Jika dilihat dari teori Nottingham, golongan ini dapat dimasukkan pada masyarakat industri, karena sistem sosial yang ada sudah bersifat modern. Hal ini dilihat dari pembagian fungsi-fungsi kerja yang ada sudah jelas dan adanya penyelesaian suatu masalah kemanusiaan berdasarkan penalaran dan efisiensi. Berdasarkan asumsi ini, dapat dipastikan bahwa rasa keberagamaan golongan karyawan berbeda dengan golongan- golongan lain. Penelitian Weber di China, khususnya tentang penganut agama Konfusius,78 menyimpulkan bahwa kecenderungan rasa keagamaan birokrasi bersifat ‚serba mencari untung dan enak‛. Yang menjadi penyebabnya, karena rasa kekhawatiran akan ketidakpastian, ketidakmampuan, dan kelangkaan dalam kehidupan sehari-harinya dapat dikatakan tidak pernah mereka alami. Mereka sudah terjamin dengan kepastian datangnya sejumlah gaji pada setiap bulan. Maka budaya yang dikembangkan, boleh jadi – seperti penemuan Weber tersebut – adalah serba mencari keuntungan dan keenakan. Akan tetapi, golongan karyawan di Indonesia, terutama pada masa sekarang, tampaknya cukup religius. Di kantor-kantor sudah terdapat tempat-tempat sholat. Instansi-instansi tertentu kadang ikut aktif dalam mengumpulkan dana zakat fitrah atau zakat harta, atau menyelenggarakan sholat Adha dan Kurban, menghajikan karyawan-karyawannya yang beragama Islam secara bergilir atau berdasarkan prestasi kerja, membolehkan karyawan wanita

78 Weber sangat tertarik mengkaji birokrasi di masyarakat Barat dan di dunia peradaban lainnya. Dia melihat kecenderungan agama di kalangan birokrat yang ‚secara klasik dirumuskan dalam paham Kong Hu Cu (Confuciasm). Akibatnya, walaupun menarik secara estetika, adalah sikap opputunitis dan utilitarian. Ini memperlihatkan ‚tidak adanya perasaan butuh bagi keselamatan atau bagi setiap penempatan transenden bagi etika‛. Artinya agama personal yang sifatnya emosional cenderung dihilangkan. Menurut Weber di Cina pejabat menjunjung tinggi upacara menghormati (ritus) arwah leluhur dan orang-orang tua demi: terpeliharanya tertib sosial, tetapi sungguh dirasakan adanya jarak tertentu dari roh‛. Weber, The Sociology of Religion, 90. 64 menggunakan jilbab sebagai salah satu kewajiban yang diperintahkan dalam ajaran Islam.79 Penggolongan berikutnya Weber menemukan kelas buruh industri modern di Eropa yang memperlihatkan pra-disposisi bagi doktrin keselamatan, tetapi lebih sering bersifat semu-agama ketimbang bersifat agama.80 Weber juga berbicara secara umum tentang kaum elit dan kelas yang tidak memiliki hak istimewa. Ide-ide seperti keselamatan, dosa dan kerendahan hati ditemukan Weber jauh dari semua kelas elite politik dan sebenarnya layak dicela sesuai dengan rasa kehormatan diri kelas yang demikian. Dia mengatakan: ‚Jika hal-hal lain tetap sama, maka kelas-kelas yang punya status sosial tinggi dan yang memiliki privilese ekonomi akan kurang cenderung mengembangkan gagasan keselamatan. Sebaliknya, mereka memanfaatkan fungsi agama sebagai pengabsah pola kehidupan dan kondisi mereka di dunia‛.81 Sebaliknya, kelas yang tidak mempunyai hak istimewa atau yang sudah tergusur, menunjukkan kecenderungan untuk merangkul dan mengembangkan agama-agama penyelamat, menerima pandangan dunia rasional yang dijiwai oleh etika kompensansi.82 Untuk memberikan persamaan derajat pada wanita dalam partisipasi keagamaan.83 Weber menyatakan: ‛selama setiap kebutuhan untuk keselamatan merupakan ungkapan dari beberapa keadaan yang sulit, maka tekanan sosial atau ekonomis merupakan sumber yang efektif bagi keselamatan keyakinan, walaupun bukan sebagai

79 Lihat Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: Kanisius, 1983), 62. Lihat juga Thomas F.O’Dea, The Sociology of Religion, diterjemahkan oleh Tim Yasogama, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1995. 80 Dalam lingkungan rasionalisme proletar, agama pada umumnya digantikan oleh ideologi lainnya‛. Marx menyebut kelas buruh Eropa sebagai ‚proletariat‛, yang dimaksudkannya dengan istilah ini ialah kelas yang tidak memperoleh ‚bagian‛ dalam sistem sosial yang ada. Buruh bekerja dan hidup di suatu masyarakat di mana ia tidak merasa sebagai bagian dari masyarakat itu. Marxisme menjadi ajaran penyelamat sekuler bagi sejumlah besar kelas buruh di masa pertengahan abad kesembilan belas dan perang dunia kedua. Max Weber, The Sociology of Religion, 101. 81 Weber, The Sociology of Religion, 107. 82 Weber, The Sociology of Religion, 97. 83 Weber, The Sociology of Religion, 12. 65 sumber eksklusif satu-satunya‛.84 Sebaliknya, Weber menyimpulkan ‚kelas-kelas yang secara ekonomis paling tidak mampu, seperti para budak dan buruh harian, tidak akan pernah bertindak sebagai pembawa panji-panji agama tertentu‛.85 Selain penggolongan yang telah dijabarkan oleh Weber tersebut, terdapat juga penggolongan lain yang berlaku di masyarakat. Golongan tua-muda misalnya, meskipun secara sosial penggolongan tua-muda ini ada, namun susah ditentukan batasannya secara praktis. Kesulitan ini akhirnya mengimbas pada pernyataan tingkat pengaruh kepada masing-masing golongan. Di Indonesia, usia 40 tahun ke atas biasanya dianggap telah tua, dan usia 40 tahun ke bawah dianggap muda. Usia 40 tahun ini seringkali dijadikan patokan oleh penganut agama untuk mempelajari agamanya secara intensif dan berupaya menghayatinya secara mendalam dengan mengamalkan perintah dan larangan ajaran agamanya. Misalnya saja, sholat berjamaah di mesjid-mesjid seringkali lebih banyak diisi oleh golongan tua daripada golongan muda. Golongan muda lebih banyak mengisi kegiatan yang bersifat duniawi. Berdasarkan pengamatan sepintas tersebut, dapat dikatakan bahwa agama pada golongan tua lebih kental dibandingkan dengan golongan muda. Namun, bila asumsi ini diterapkan pada zaman sekarang, ternyata mengalami kesulitan juga, karena tidak jarang banyak orang yang berumur 40 tahun ke atas berlaku seperti anak muda, pergi ke pesta-pesta, diskotik atau cafe-cafe untuk berhura-hura. Sebaliknya, banyak di antara golongan muda mengikuti, melaksanakan, dan mengisi waktunya dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Misalnya, kini bermunculan kelompok pengajian remaja masjid yang mengadakan berbagai kegiatan keagamaan, seperti pesantren kilat, tabligh akbar, dan lain sebagainya. Bahkan, kini jilbab sudah menjadi mode yang trend di kalangan anak muda.86 Perbedaan status dalam masyarakat juga dapat dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu pria dan wanita.87 Secara

84 Weber, The Sociology of Religion, 107. 85 Weber, The Sociology of Religion, 99. 86 Kahmad, Sosiologi Agama, 134. Lihat juga Hendropuspito, Sosiologi Agama, 66. 87 O’Dea, Sosiologi Agama, 114 66 psikologis, watak umum pria dan wanita berbeda. Dalam menghadapi suatu keadaan, watak pria lebih dominan menggunakan pertimbangan rasional, sedangkan wanita lebih dominan emosionalnya. Jika dilihat secara keseluruhan, tujuan beragama seseorang itu rata-rata mencari untuk ketenangan batin. Dalam masalah penghayatan keagamaan, tampaknya golongan wanita lebih dominan karena faktor pembawaan mereka umumnya cenderung emosional. Bagi wanita, yang terpenting dari keberagaman itu dapat merasakannya secara langsung. Sementara golongan pria kurang menghayati rasa-rasa keagamaan seperti itu. Mereka memerlukan dasar rasionalnya terlebih dahulu. Oleh karena itu, pengaruh agama terhadap golongan wanita cukup signifikan, sebaliknya golongan pria cenderung mengarah ke arah sekuler. Selain Weber, Geertz juga melihat agama sebagai pola untuk melakukan tindakan (pattern for behaviour) atau interpretasi tindakan manusia. Geertz menggambarkan praktik keagamaan di Jawa sebagai suatu kebudayaan yang kompleks. Ia menunjuk pada banyaknya variasi dalam upacara, pertentangan dalam kepercayaan, serta konflik-konflik nilai yang muncul sebagai akibat perbedaan tipe kebudayaan atau golongan sosial. Ia memilah tradisi Jawa menjadi tiga varian, yakni abangan, santri, dan priyayi.88 Tipologi ini berpegang pada konsep Parsonian, yang menyebutkan bahwa ketiga tipe tersebut mencerminkan level nilai (kultur) yang berbeda. Oleh karenanya, Geertz ingin menginterpretasikan level nilai yang berbeda pada ketiga tipe kebudayaan Jawa tersebut berdasarkan kepercayaan agama, preferensi etis dan ideologi politik. Tipe abangan orientasi sosialnya adalah petani. Sistem keagamaan masyarakat Jawa pada saat itu juga lazimnya terdiri atas sebuah integrasi yang berimbang antara unsur-unsur animisme, Hindu dan Islam.89 Tipe santri

88 Geertz, The Religion of Java, terj. Aswab dan Bur, (Jakarta: Komunitas Bambu: 2013), v 89 Sebuah sinkretisme dasar orang Jawa yang merupakan tradisi rakyat yang sebenarnya di pulau itu. Namun situasinya lebih kompleks dari ini, tidak hanya banyak petani yang tidak mengikuti sinkretisme ini, tetapi juga banyak orang kota – kebanyakan para petani kelas rendah yang tersingkir atau anak- anak petani yang tersingkir – mengikutinya. Tradisi keagamaan abangan, yang 67 orientasi sosialnya adalah pedagang dengan menonjolkan kemurnian Islam yang tidak begitu terkontaminasi oleh animisme atau mistisisme, dalam masyarakat Jawa.90 Tipe priyayi orientasi sosialnya adalah birokrat.Pada mulanya, priyayi hanya merujuk pada kalangan aristokrasi turun temurun yang oleh Belanda dicomot dengan mudah dari raja-raja pribumi yang ditaklukkan, untuk kemudian diangkat sebagai pegawai sipil yang digaji. Mereka tidak menekankan elemen animistis dari sinkretisme Jawa yang serba melingkupi seperti kaum abangan, tetapi tidak pula menekankan elemen Islam sebagaimana kaum santri, melainkan menitikberatkan pada elemen Hinduisme.91 Apa yang ditawarkan oleh para tokoh di atas, seperti Nottingham, Weber dan Geertz, pada pembaca adalah pandangan yang mendalam kepada kecenderungan hubungan antara stratifikasi sosial dan doktrin keagamaan. Ini bukan hukum-hukum sosiologis; mereka tidak mengklaim faktor sederhana dan faktor kedaulatan yang membentuk sifat sensitif keagamaan manusia. Kondisi kehidupan mempengaruhi kecenderungan agama manusia, dan kondisi kehidupan memiliki korelasi yang cukup berarti dengan fakta stratifikasi sosial di semua masyarakat. Namun, perkembangan ide, nilai dan praktek tertentu di suatu masyarakat dapat mempengaruhi semua kelas, strata dan kelompok yang ada di masyarakat tersebut. Bila manusia disosialisir dalam suatu kebudayaan dan masyarakat tertentu, mereka akan belajar menerima ide-ide dan nilai-nilainya yang dominan, dan pelajaran

terutama sekali atas pesta keupacaraan yang disebut slametan, kepercayaan yang luas dan kompleks terhadap makhluk halus serta serangkaian teori dan praktik pengobatan, sihir serta magi, adalah subvarian pertama dalam sistem keagamaan umum orang Jawa. Geertz, The Relligion of Java, xxx. 90 Tidak semua pedagang betul-betul merupakan pemeluk subvarian itu. Ada elemen santri yang kuat di desa-desa. Mereka seringkali berada di bawah pimpinan para petani yang lebih kaya yang sudah mampu naik haji ke Mekkah dan setelah kembali, mendirikan sekolah-sekolah agama. Geertz, The Relligion of Java, xxxi. 91 Elite pegawai kerah putih ini, yang ujung akarnya terletak pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara serta mengembangkan etiket keraton yang sangat halus, sebuah seni tari, sandiwara, musik dan puisi, yang sangat kompleks dan mistisisme Hindu-Buddha. Geertz, The Religion of Java, xxxii. 68 mana ditunjang oleh pendapat umum para sahabat mereka – melalui pensahihan konsensus. Weber menunjukkan kelas-kelas yang mungkin tidak berasal dari suatu tipe agama tertentu dalam hal ini dapat dipengaruhi oleh agama.92 Tambahan lagi ide-ide agama tertentu cenderung memiliki daya tarik yang universal. Misalnya bila ide-ide tersebut telah dimapankan maka agama keselamatan (solvation religion) akan mempunyai daya pikat yang sangat luas.

D. Islam dan Stratifikasi Sosial Menurut Kuntowijoyo93, sampai sejauh ini tampak sulit mendapatkan definisi yang jelas mengenai konsep kelas di dalam al-Qur’an, apalagi jika dikaitkan dengan pengertian yang lazim dipahami dalam khazanah ilmu-ilmu sosial modern. Dalam pengertian tersebut, konsep kelas selalu dihubungkan dengan masalah ketidaksamaan sosial (). Tentu saja tidak bisa dikatakan bahwa Islam tidak memiliki pandangan mengenai masalah ketidaksamaan sosial tersebut. Tapi yang menjadi pertanyaan apakah konsep ketidaksamaan sosial di dalam al- Qur’an dapat disejajarkan dengan konsep perbedaan kelas dalam definisi ilmu sosial modern saat ini. Al-Qur’an jelas diturunkan di dalam setting sosial yang aktual. Terkadang respon normatifnya merefleksikan kondisi sosial yang aktual tersebut, meskipun jelas sekali al-Qur’an memiliki cita-cita sosialnya sendiri. Untuk memahami konsep-konsep sosial dalam al-Qur’an dapat dilihat dalam setting sosial masyarakat Arab ketika al-Qur’an diturunkan. Pada zaman Rasululah, masyarakat Arab pada umumnya terbagi dalam dua kelas sosial. Yang pertama adalah kelas bangsawan dan yang kedua adalah kelas budak. Istilah yang digunakan oleh Ali Syari’ati untuk menjelaskan kedua konsep kelas tersebut adalah kelas Qabil dan

92 Weber mengatakan: periode agitasi pembaharuan agama atau agitasi risalat sering menarik kebangsawanan ke jalur agama etika risalat, karena tipe agama seperti ini merembes ke seluruh kelas dan estate, oleh sebab itu kebangsawanan umum dianggap sebagai pembawa pendidikan pertama bagi awam‛. Weber, The Sociology of Religion,86. 93 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 487. 69 kelas Habil.94 Kelas pertama merupakan kelas aristokrat yang terdiri atas para elit suku yang menguasai sumber-sumber ekonomi dan perdagangan. Mereka menjadi warga kelas satu. Sedangkan kelas budak adalah warga kelas dua yang jumlahnya tidak begitu banyak dan tidak memiliki kekuatan yang besar. Konsep kelas aristokrat dan kelas budak nampaknya memiliki kesamaan dengan konsep Qabil dan Habil yang diungkapkan oleh Ali Syari’ati maupun konsep borjuis dan proletar yang dikemukakan oleh Karl Marx. Pada konsep Karl Marx, ia menempatkan penguasaan alat produksi sebagai sumber kesejahteraan dan kekuasaan, namun tidak demikian dengan Ibn Khaldun yang lebih menempatkan status (kelas) sebagai sumber kesejahteraan dan kekuasaan. Pandangan Ibn Khaldun menunjukkan bahwa modal sosial jauh lebih penting daripada modal material seperti yang dianut oleh Karl Marx. Perbedaan lain adalah pandangan mereka tentang relasi antar kelas. Ibn Khaldun melihat kecenderungan masyarakat dari kelas rendah untuk mendekati dan meminta perlindungan kepada masyarakat dari kelas yang lebih tinggi. Imbalan terhadap perlindungan itu adalah berbagai layanan gratis yang nilai lebihnya secara ekonomis, sosial dan politik yang dapat dinikmati oleh kelas yang lebih atas. Di sisi lain, Karl Marx lebih melihat relasi antar kelas sebagai lebij dijiwa oleh semangat kompetisi dan konflik.95 Meskipun mengenal adanya kelas budak, pembedaan kelas dalam masyarakat Arab lebih didasarkan pada kategori kekerabatan etnik dan kesukuan. Pembedaan kelas berdasarkan suku ini misalnya terefleksi di dalam sebuah ayat yang menyatakan bahwa meskipun manusia itu diciptakan dari satu diri, tapi mereka terpilah-pilah dan terpecah dalam kelompok- kelompok suku dan bangsa.96 Kesukuan dan kabilah inilah yang

94 Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, 147. 95 Ibn Khaldu>n., Muqaddimah, chapter V-5, Damaskus: Da>r Ya‘rub. 2004. 96 Allah SWT berfirman: ‚Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah 70 menjadi kriteria pokok pembagian sosial masyarakat Arab saat itu. Oleh karena itu, secara politis, stratifikasi sosial yang terbentuk dari pembagian kemasyarakatan berdasarkan suku dan kabilah lalu menyebabkan munculnya kelas-kelas bangsawan yang berkuasa. Secara ekonomis, oleh karena basis ekonomi masyarakat Arab adalah perdagangan, maka terbentukalah kelas aristokrasi pedagang sebagai elit yang paling berpengaruh dalam masyarakat Arab. Tapi kemudian al-Qur’an juga merefleksikan kenyataan sosial lain mengenai strata sosial atas pemilikan dasar ekonomi.97 Tak hanya itu, terdapat pula konsep-konsep seperti golongan dhu’afa, mustadh’afin, kaum fakir, dan kaum masakin yang menggambarkan golongan berdasarkan ekonomi.98 Selain secara ekonomi, strata sosial atas kepemilikan ilmu pengetahuan pun dijelaskan dalam al-Qur’an di mana Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan.99

ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal‛. QS. Al-H}ujura>t: 13 97 Allah SWT berfirman: ‚ Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah‛. (QS. An-Nahl: 71). 98 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 489. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: ‚Bukanlah kebaikan-kebaikan itu menghadapkan ke waah kamu ke arah timur dan barat, tetapi kebaikan itu adalah barang siapa yang beriman kepada Allah, hari akhirat, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang membutuhkan pertolongan), orang-orang yang meminta-minta, dan membebaskan perbudakan, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan orang-orang yang memenuhi janjinya bila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam mengahadapi kesempitan, penderitaan, dan pada waktu peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa‛. (QS. Al-Baqarah: 177). 99 Allah SWT berfirman ‚Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: ‚Berlapang-lapanglah dalam majelis‛, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‚Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang- orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan 71

Stratifikasi dalam Al-Qur’an juga dapat dilihat dari adanya stratifikasi dalam keimanan individu. Menurut Syed Nizar Hussaini Hamdani stratifikasi keimanan muslim di ukur berdasarkan pengetahuan agama dan praktek terhadap pengetahuan agama tersebut. Stratifikasi keimanan ini di bagi dalam tiga kategori yaitu yang mempercayai agama, strata munafik, dan strata yang tidak mempercayai agama.Hierarki stratifikasi keimanan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:100 Tabel 4. Stratifikasi Keimanan dalam Masyarakat dan Masyarakat Muslim Dalam Masyarakat Dalam Masyarakat Muslim Sangat Religius Muttaqi>n Lahir dan bathin shaleh Sholeh Believer Mukmin Religius Moderat Muslim Setiap orang yang menerima Islam secara lisan Kurang Religius Fa>siq Pendusta agama Lahir dan bathin tidak Fa>jir baik Hypocrit Munafik oportunis Non- Kafir Tidak memeluk agama Believer Islam

Masyarakat muslim yang sangat religius adalah muslim yang memiliki sikap positif, berperilaku baik, praktek keagamaan yang sangat baik, jujur dalam semua urusan, memiliki kepribadian yang bisa diandalkan. Muslim yang religiusitasnya moderat adalah mereka yang dikenal sebagai muslim yang menerima doktrin Islam, bertindak sesuai ajaran Islam, mematuhi sebagian ajaran Islam namun tidak mematuhi sebagian ajaran Islam yang lainnya. Muslim yang kurang religius adalah yang mengaku beragama

beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah: 11). 100 Syed Nizar Hussaini Hamdani, ‚Religious Orientation as a Factor in Time Allocation: Evidence from Cross-Section Pakistani Data,‛ Ph. D. Dissertation in Quiad-i-Azzam University Pakistan, (2000): 61. 72

Islam, kadang-kadang menjalankan ajaran Islam,tetapi tidak jujur, dan sering melanggar syariah.101 Islam mengakui adanya diferensiasi dan bahkan polarisasi sosial. Banyak ayat Al-Quran yang memaklumkan dilebihkannya derajat sosial, ekonomi, atau kapasitas-kapasitas lainnya dari sebagian orang atas sebagian yang lainnya. Kendatipun demikian, ini tidak dapat diartikan bahwa Al-Quran menoleransi social inequality.102 Islam justru memiliki cita-cita sosial untuk secara terus menerus menegakkan egalitarinisme. Namun, konsep-konsep yang ada di dalam Al-Qur’an tersebut tidak dapat dengan begitu saja diadaptasi untuk mengidentifikasi fenomena kelas di dalam masyarakat modern dan disamakan konsepnya dengan penggolongan sosial yang merujuk pada adanya sistem kelas seperti konsep-konsep ilmu sosial. Apalagi konsep kelas baru muncul sekitar abad kesembilan belas dalam setting masyarakat Eropa.103

101 Syed Nizar Hussaini Hamdani, ‚Religious Orientation as a Factor in Time Allocation: Evidence from Cross-Section Pakistani Data,‛ PhD. Dissertation, Quiad-i-Azzam University-Islamabad, Pakistan, 2000, 62 102 Dalam Islam dikatakan bahwa Allah tidak memandang derajat manusia, karena dimata-Nya semua manusia derajatnya sama dan hanya ketaqwaan dan keimanan setiap umat-Nyalah yang membedakannya. Sebagaimana firman Allah: ‚Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal‛. QS. Al-H}ujura>t: 13 103 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 500. 73

74

BAB III POTRET MASYARAKAT PALEMBANG

Bab ini membahas mengenai sistem stratifikasi masyarakat yang ada di kota Palembang. Namun, sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut mengenai sistem stratifikasi, terlebih dahulu akan dideskripsikan sekilas mengenai kota Palembang. Selanjutnya juga akan dibahas mengenai perkembangan sistem kepercayaan masyarakat Palembang sebagai suatu deskripsi adanya unsur kepercayaan yang masuk dalam tradisi ziarah. Bab ini juga membahas mengenai akulturasi Islam dan budaya Palembang sebagai bagian yang ada dalam masyarakat Palembang hingga sekarang.

A. Profil Kota Palembang Kota Palembang merupakan ibu kota provinsi Sumatera Selatan, dengan luas wilayah menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 tahun 1988 sebesar 400, 61 km2 atau 40.061 Ha yang terbagi ke dalam 16 kecamatan dan 107 kelurahan.1 Dalam segi budaya, Kota Palembang terdiri dari berbagai unsur budaya penduduk, menurut suku dan daerahnya. Palembang merupakan kota pluralistik karena hidup berbagai suku dan daerah yang berasal dari dalam maupun luar Provinsi Sumatera Selatan, antara lain Jawa, Sunda, Minang, Bugis, China, Arab, Komering, Ogan, Lahat, Pasemah, penduduk asli Melayu Palembang dan lain sebagainya yang semuanya itu bersatu dalam satu simpul harmonis dengan bahasa Palembang sebagai mata rantai pengikat dari setiap suku dan budaya yang ada. Penduduk Palembang termasuk dalam etnis Melayu sehingga Bahasa Melayu menjadi bahasa ibu di daerah ini. Bahasa Melayu ini kemudian telah disesuaikan dengan dialek setempat dan kini dikenal sebagai Bahasa Palembang. Namun para pendatang seringkali menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari, seperti bahasa Komering, Rawas, Musi,

1 BPS Kota Palembang, Palembang dalam Angka (Palembang In Figure) 2012. Pasemah, dan Semendo. Pendatang dari luar Sumatera Selatan pun kadang-kadang juga menggunakan bahasa daerahnya sendiri sebagai bahasa sehari-hari dalam keluarga atau komunitas kedaerahannya. Akan tetapi, untuk berkomunikasi dengan warga Palembang lainnya, penduduk umumnya menggunakan bahasa Palembang sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Selain penduduk asli, di Palembang terdapat pula warga pendatang dan warga keturunan, seperti dari Jawa, Minangkabau, Madura, Bugis dan Banjar. Warga keturunan yang banyak tinggal di Palembang adalah Tionghoa, Arab dan India. Kota Palembang juga memiliki beberapa wilayah yang menjadi ciri khas dari suatu komunitas seperti Kampung Kapitan yang merupakan wilayah Komunitas Tionghoa serta Kampung Al Munawwar, Kampung Assegaf, Kampung Al Habsyi, Kuto Batu, 19 Ilir Kampung Jamalullail dan Kampung Alawiyyin Sungai Bayas 10 Ilir yang merupakan wilayah Komunitas Arab. Asal usul nama Palembang lahir tepatnya belum dapat diperkirakan. Apakah nama Palembang lahir sejak Sriwijaya runtuh atau sebaliknya nama Palembang lahir lebih dahulu sebelum nama Sriwijaya lahir sehingga nama Palembang pun banyak memiliki arti. Menurut R.J.Wilkinson2 dalam kamusnya A Malay English Dictionary: lembang adalah tanah yang berlekuk, tanah yang rendah, akar yang membengkak karena terendam lama di dalam air. Sedangkan menurut cerita pemuka-pemuka adat, kata Palembang berasal dari kata limbang yang artinya memisahkan atau mencuci dalam air untuk mengambil sesuatu, dalam hal ini logam mas dari dalam lumpur sungai. Arti Pa atau Pe menunjukkan keadaan atau tempat. Menurut cerita masyarakat setempat, dulu penduduk kota Palembang mempunyai mata pencaharian melimbang emas, terutama di sekitar Muara Ogan Kertapati. Tempat inilah yang kemudian disebut Palimbang yang kemudian berubah menjadi Palembang yang kini dipakai menjadi nama ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Selanjutnya berdasarkan kronik Tiongkok terdapat nama Pa-lin-fong dalam buku Chu-fan-

2 Dalam Djohan Hanafiah, Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), 15. 76 chi, yang ditulis pada tahun 1225 oleh Chau-Ju-Kua, dan nama ini dirujuk sebagai Palembang.3 Menurut sejarahnya, Kota Palembang bermula dari kerajaan Sriwijaya yang ada pada tahun 450 M dan mencapai puncak kejayaannya pada tahun 550 M dan berhasil mendominasi Nusantara dan Semenanjung Malaya pada abad ke-9. Kerajaan Sriwijaya terus berkembang hingga hampir meliputi seluruh wilayah Nusantara bahkan sampai keluar negeri. Sejarah Palembang yang pernah menjadi ibu kota kerajaan bahari Buddha terbesar di Asia Tenggara pada saat itu membuat kota ini dikenal dengan julukan "Bumi Sriwijaya". Bukti-bukti adanya suatu kerajaan besar tersebut adalah dengan adanya beberapa prasasti yang ditemukan. Prasasti tersebut antara lain Prasasti Kedukan Bukit yang bertarikh 11 bulan Wai caka tahun 605 atau 683 M. Batu ini merupakan prasasti yang mengandung kata-kata Dapunta Hiyang Sidhyarta dan termasuk batu tertulis berangka tertua di Indonesia. Prasasti lain yang ditemukan juga adalah Prasasti Talang Tuo yang ditemukan di dekat Bukit Siguntang. Namanya Dapunta Hijang Djajanaga Criksetra yang tujuannya adalah mengatur kesejahteraan dan kemakmuran seluruh makhluk hingga tidak terdapat orang yang buta huruf. Selain itu ada juga prasasti Sabokingking di 2 Ilir Palembang yang berbentuk telapak kaki dan pinggiran atas berbentuk kepala ular kobra yang berbahasa Melayu kuno. Namun, adanya penghancuran bangunan-bangunan Sriwijaya oleh pasukan Lie Tao Ming dan jatuhnya Kerajaan Sriwijaya, Palembang yang tadinya hanya merupakan sarang penyamun, pada abad ke-16 M berdiri kerajaan Islam yang dikenal dengan Kesultanan Palembang.4

3 Djohan, Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang , 20. 4 Bappeda & BPS Kota Palembang, Monografi Kota Palembang, 14. Lebih lanjut lihat Slamet Muljana, Sriwijaya, Yogyakarta: LkiS. 2006. Lihat KHO. Gadjahnata dan Sri Edi Swasono. Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. 1986. Jakarta: UI-Press. Lihat juga Husni Rahim. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. 1998. Jakarta: Logos. Lebih lanjut lihat Taufik Abdullah. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. 1987. Jakarta: LP3ES. Selain itu lihat juga Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan Industri. Jakarta: Departemen Pendidikan dan 77

Terkenal dengan berbagai kekhasan budaya dan latar belakang sejarah yang panjang melalui suku, adat dan agama yang beragam, Kota Palembang terbelah menjadi dua pemukiman oleh Sungai Musi, yang menjadi salah satu ciri khas serta merupakan salah satu sungai yang terbesar di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu daerah Ilir dan daerah Ulu. Tak hanya itu, sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, pada tahun 2011 tercatat Palembang memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.481.814 jiwa5 dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 741.356 jiwa dan perempuan sebesar 740.458 jiwa. Rasio jenis kelamin di Kota Palembang pada tahun 2011 sebesar 100,12 persen yang berarti jumlah penduduk laki-laki lebih besar dibanding dengan jumlah penduduk perempuan. Sedangkan untuk jumlah penduduk Kota Palembang menurut agama yang dianut pada tahun 2011 sebanyak 1.354.586 jiwa menganut agama Islam, 16.884 jiwa beragama Katolik, 28.724 jiwa beragama Kristen Protestan, 792 jiwa beragama Hindu, 49.638 beragama Buddha, dan 533 beragama Kong Hu Chu.6 Namun, keberagaman yang ada dalam masyarakat tetap membuat Kota Palembang berada dalam harmonisasi sosial dan tidak memicu terjadinya konflik sosial antar masyarakat meskipun perubahan demi perubahan terjadi di sini. Kehidupan sosial keagamaan dijaga dengan baik. Agama yang lebih dahulu berkembang dihormati dengan sebenarnya, seperti tampak pada diperbolehkannya berdiri bangunan-bangunan tempat ibadah selain masjid. Penganut agama Buddha, Hindu dan Khong Fucu dihormati. Tempat-tempat ibadah mereka berdiri dengan megahnya yang sampai kini bisa dilihat di kawasan 10 Ulu dan Pulau Kemaro Palembang.

Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1985. 5 Jumlah penduduk Palembang pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat pada Januari 2013, jumlah penduduk Palembang mencapai 1.703.740 jiwa dengan rasio penduduk laki-laki sebanyak 868.197 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 840.216 jiwa. 6 BPS Kota Palembang. Palembang Dalam Angka 2011. 78

B. Sistem Stratifikasi Masyarakat Palembang Sifat sistem stratifikasi di dalam suatu masyarakat dapat bersifat tertutup (closed social stratification) dan terbuka (open social stratification).7 Sistem lapisan yang bersifat tertutup membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik yang merupakan gerak ke atas maupun ke bawah. Di dalam sistem yang demikian, satu-satunya jalan untuk menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran. Sebaliknya di dalam sistem terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan. Atau, bagi mereka yang tidak beruntung jatuh dari lapisan yang atas ke lapisan di bawahnya. Pada umumnya sistem terbuka ini memberi perangsang yang lebih besar kepada setiap anggota masyarakat untuk dijadikan landasan pembangunan masyarakat daripada sistem yang tertutup. Kedua sifat stratifikasi sosial ini terdapat pada masyarakat Palembang. Sistem stratifikasi sosial masyarakat Palembang yang bersifat tertutup dapat dilihat secara historis dari sistem gelar yang ada di wilayah ini. Gelar hanya didapat atas dasar kelahiran dan diturunkan secara patrilineal. Kedudukan orang-orang yang memiliki gelar disebut sebagai ascribed status, yaitu hanya orang-orang tertentu yang memiliki gelar yang bisa berada dalam sistem stratifikasi. Namun, sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi maka stratifikasi sosial sekarang adalah kemampuan atau peranan seseorang atau didasarkan kepada status dan peranan seseorang dalam masyarakat, dapat berupa ilmunya, kekayaan atau peranannya di lingkungan sekitar. Pelapisan masyarakat seperti ini disebut stratifikasi sosial yang bersifat terbuka dan disebut sebagai achieved status. Selain itu kadang-kadang dibedakan lagi satu macam kedudukan, yaitu assigned status yang merupakan kedudukan yang diberikan.8 Secara historis, sistem stratifikasi Palembang berdasarkan jumlah penduduk pada saat itu dapatlah dibagi dalam tiga

7 Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Rajawali. 2012), 202. Lihat juga Vincent Jeffries dan Edward Ransford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy Approach, (USA: Allyn and Bacon, Inc, 1980), 155. 8 Soekanto, 211. Lebih lanjut lihat Pitirim A. Sorokin, Social and Cultural Mobility (London: The Free Press of Glencoe, 1959). 79 golongan besar: golongan priyayi dan pengeran yang berasal dari keluarga sultan, golongan pedagang yang terdiri dari orang-orang Palembang, orang Arab, orang Cina dan India, dan rakyat biasa. Pada zaman Kesultanan Palembang abad ke-19, penduduk ibukota sebagai pusat konsentrasi pemerintahan kesultanan berjumlah + 53.788 jiwa yang terdiri dari 242 orang Eropa, 46.870 penduduk bumiputera, 4.726 orang China, 1.825 orang arab dan 126 orang keturunan India Keling. Pada saat itu Palembang sebagai bekas ibukota kesultanan yang dibangun oleh sekelompok aristokrasi yang berasal dari Demak, pernah berkembang menjadi kerajaan yang cukup besar. Kerajaan seperti ini, tidak memiliki basis agraris, di mana pengawasan terhadap pelayaran dan perdagangan merupakan sendi-sendi kekuasaan, yang memungkinkan kerajaan ini memperoleh penghasilan yang cukup besar. Perdagangan yang menjadi basis kekuasaan politik dan hubungan yang tetap dengan orang-orang asing, telah meninggalkan pula jejak-jejaknya pada struktur sosial masyarakat di daerah ini. Oleh karena itu penduduk yang mendiami kota sebagai bekas pusat konsentrasi pemerintah kesultanan, menunjukkan adanya struktur yang bersifat vertikal dan horizontal, di mana komunitas politik sebagai titik sentral terciptanya penggolongan-penggolongan masyarakat berdasarkan status. 9 Seperti lazimnya masyarakat tradisional di Indonesia, masyarakat di daerah ini terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat menurut suku, menurut kepercayaan, menurut pekerjaan, dan menurut struktur sosial-politik. Dalam hubungan ini dapat dibedakan antara masyarakat yang tinggal di pusat kerajaan dengan masyarakat yang tinggal di daerah Uluan yang belum begitu banyak mendapat pengaruh dari luar. Palembang sebagai bekas kerajaan tradisional, masyarakatnya lebih banyak seluk beluknya daripada masyarakat modern sekarang ini. Oleh sebab itu baik masyarakat pedusunan maupun di pusat kerajaan, dapat dibagi atas dua golongan besar, yaitu: golongan penguasa dan golongan yang diperintah. Struktur teritorial kesultanan

9 Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan Industri. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1985), 81. 80 bertalian dengan kepercayaan yang bersifat kosmopolitan, yang merupakan prototip daripada sifat kedaerahan yang pernah dikuasai oleh Sultan Palembang. Ibukota sebagai tempat kediaman sultan terletak jauh dari daerah sekitarnya seperti daerah Musi, Pasemah, Komering dan lain sebagainya. Daerah-daerah tersebut dipimpin oleh anggota keluarga raja atau orang-orang tertentu yang disayang oleh raja.10 Dalam struktur politik ini, kaum ningrat menduduki tempat yang tertinggi dalam tata urutan sosial. Di lingkungan keraton, lapisan atas aristokrasi dibentuk oleh golongan priyayi, yang terdiri atas keturunan raja dengan gelar pangeran dan raden. Sebagai imbangan politik kaum ningrat, raja Palembang menciptakan jabatan bangsawan sendiri, yang secara kolektif dikenal sebagai para mantri. Dalam golongan ini dapat diangkat orang dari semua lapisan penduduk sesuai keinginan sultan, dengan satu-satunya syarat bahwa mantri harus beragama Islam. Nasib mantri sama sekali tergantung dari kebaikan sultan sebagai pelindungnya, sehingga raja lebih suka memilih calon dari golongan ini untuk memangku jabatan penting. Golongan mantri dibagi menurut status ibu mereka. Dalam hierarki sosial, tempat pertama diduduki oleh bangsawan yang berasal dari perkawinan priyayi dengan wanita dari golongan mantri. Golongan ini dengan gelar masagus sebenarnya merupakan kategori yang tersendiri. Meskipun para masagus berasal dari lingkungan priyayi, status mereka tetap di bawah raden, dan dalam pergaulan sehari-hari status mereka lebih mendekati para mantri. Di bawah masagus terdapat lapisan kemas, yang berasal dari perkawinan kedua pasangan dari golongan mantri. Pangkat bangsawan yang lebih rendah lagi ialah kiagus, yang berasal dari perkawinan kemas dengan wanita rakyat biasa.11 Mengganti gelar yang dimiliki oleh kaum wanita dari golongan priyayi, yaitu istri sultan lazim disebut ratu. Anak-anak perempuan dari pangeran dan raden disebut raden ayu dan anak-

10 J.I. Sevenhoven, dalam Jeroen Peeters, Kaum Tuo – Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942. Diterjemahkan oleh Sutan Maimoen, (Jakarta: INIS, 1997), 25-26. 11 Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, 9. 81 anak perempuan dari golongan masagus disebut masayu. Anak- anak perempuan dari lapisan kemas diberi gelar nyimas, dan anak- anak perempuan dari lapisan kiagus diberi gelar nyiayu. Mengingat golongan feodal ini hidup dalam masyarakat kota, yang sebagian besar berkecimpung dalam dunia dagang dan peranan uang turut menentukan harga diri seseorang, di mana kesenjangan tidak begitu tajam antar kelompok, maka gelar-gelar yang merupakan hiasan teoritis itu secara demokratis dipanggil dengan istilah ‚cek‛ yang berasal dari kata ‚encik‛ (panggilan terhadap laki-laki berdasarkan kedudukannya yang sedang). Gelar-gelar tersebut bersifat ascribed status di mana hanya diturunkan secara patrilineal. Apabila seorang perempuan yang bergelar menikah dengan pria dari lapisan sosial rakyat biasa maka secara otomatis anaknya tidak mendapatkan gelar apapun.12 Assigned status yang diberikan secara pribadi oleh sultan kepada priyayi pilihan, biasanya memperoleh tanah sebagai sumber penghasilannya dan berperan sebagai penguasa tradisional di daerah pedalaman (kepala marga atau dusun) dan mempergunakan kekuasaannya untuk mengambil dan mengatur produksi dari marga dusun yang dikuasainya.13 Assigned status juga diberikan untuk posisi fungsional agama dalam lapangan pemerintahan pada zaman kesultanan yang nampaknya lebih menonjol daripada golongan yang lain berdasarkan status. Sebagai kepala agama ia diberi gelar Pangeran Penghulu Nata Agama, yang pada zaman kesultanan biasanya berasal dari keluarga sultan. Pada golongan ulama (golongan agama Islam) kedudukannya sama dengan golongan pangeran, bahkan dalam trilogi pemerintahan

12 Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan Industri. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1985), 83. 13 Hasil produksi yang dimaksud tidak hanya terbatas pada hasil-hasil saja, tetapi juga menyangkut konsumsi keraton seperti: kayu bakar, kayu balok untuk perahu, bahan makanan dan laskar-laskar yang memiliki perlengkapan perang. Dalam hal ini nampak bentuk terlihat betapa penting peranan dan fungsi mereka sebagai pembantu sultan dalam keadaan yang sangat diperlukan. Dengan kata lain mereka merupakan agen-agen sultan di daerah. 82 kesultanan terdapat unsur pemerintahan, agama dan pengadilan raja (Koningsrecht).14 Golongan yang termasuk kelompok dagang terdiri atas penduduk pribumi dan orang asing seperti: orang Arab, India, dan Cina.15 Di samping orang Palembang, banyak sekali turunan Arab dan Cina yang diberi ascribed status oleh sultan Palembang. Orang-orang asing yang dimaksudkan itu mendapat perlakuan yang sama dengan penduduk lainnya, bahkan ada di antara orang- orang Cina yang memeluk agama Islam diberi gelar Demang (anak laki-laki dari Demang diberi gelar Baba dan anak perempuannya diberi gelar nona ayu) dan orang-orang Arab diberi gelar Pangeran oleh sultan. Itulah sebabnya pemberian gelar itu tidak hanya terbatas pada kerabat raja saja, tetapi dapat pula diberikan kepada siapa saja yang menurut pertimbangan penguasa berjasa kepada keraton, seperti kebiasaan yang berlaku dalam kerajaan Mataram. Golongan yang termasuk rakyat biasa, yang jumlahnya jauh lebih besar dari golongan priyayi, diharuskan ikut serta dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu pada alingan raja atau bangsawan. Golongan rakyat ini terbagi lagi dalam beberapa strata, yaitu

14 Ulama menduduki tempat khusus dalam sistem pemerintahan tradisional, sehingga wewenang penguasa selalu dikaitkan dengan unsur agama (Islam) atau sekurang-kurangnya tokoh agama sebagai tangan kanan penguasa. Fenomena budaya ini nampak jelas, setelah agama Islam diakui sebagai agama resmi dalam sistem Kesultanan Palembang. Para pangeran penghulu bekerja di pengadilan khusus dengan dibantu oleh para khatib atau ulama-ulama tingkat rendah dalam menjalankan tugas pemerintah. Segala perkara yang berhubungan dengan perkawinan, kematian, tempat ibadah, kelahiran dan kejahatan penduduk terhadap agama, ditangani oleh lembaga ini berdasarkan hukum Islam. Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, 10. 15 Biasanya orang-orang asing membentuk daerah perkampungan tersendiri, kecuali orang-orang Cina yang bertempat tinggal di rakit-rakit di tepi sungai. Memang sejak semula orang-orang Cina walaupun mereka sudah memeluk agama Islam, tidak banyak diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mempertahankan negara di daerah ini, karena kepatuhannya sangat diragukan. Lain halnya orang Arab atau India yang oleh sultan sering diberi tempat tertentu di antara pemukiman penduduk pribumi, bahkan tidak sedikit orang Arab yang aktif mempertahankan daerah ini di masa Sultan Mahmud Badaruddin II berkuasa. 83 orang-orang Miji, Senan dan orang-orang Cili.16 Golongan ini bertugas untuk mengabdi kepada Sultan sebagai bentuk atas diberikannya dispensasi sosial oleh Sultan kepada mereka. Terdapat suatu sistem distribusi simbol-simbol sosial yang memungkinkan para bangsawan membedakan gaya hidup mereka dari rakyat biasa sampai detail-detail yang kecil. Van Sevenhoven dalam sketsanya tentang Palembang misalnya mencatat bahwa hanya sang raja berhak untuk mendiami gedung terbuat dari batu, sedangkan anggota ningrat lain menikmati hak istimewa untuk mendiami rumah yang dibangun dengan jenis kayu yang mahal seperti kayu besi dan tembesu.17 Namun, direbutnya keraton oleh pasukan Belanda pada tahun 1821, tidak saja mempunyai dampak politik, tetapi juga mempunyai implikasi yang kuat untuk kebudayaan keraton Palembang. Pertama- tama, jatuhnya kesultanan juga mengakibatkan keruntuhan istana secara fisik.18 Setelah

16 Orang-orang Miji (kepala keluarga) yang tinggal di dalam kota dipersamakan kedudukannya dengan rakyat di daerah Uluan yang tidak dikenakan pajak. Dispensasi yang dimiliki oleh mereka ini, karena mereka itu sewaktu-waktu dapat dipanggil oleh penguasa (sultan) memikul tanggung awab sebagai laskar untuk berperang atau dapat dipekerjakan dalam hal-hal yang sangat diperlukan. Sejauh mana hubungan mereka dengan alingannya (raja bangsawan), menunjukkan hubungan yang tidak terlalu terikat dalam arti mereka bebas memilih tuannya sebagai pelindung. Sebaliknya orang-orang Senan yang dianggap lebih rendah daripada orang Miji, secara riil golongan ini dimonopoli oleh raja tanpa dikenakan pajak. Tugas mereka mengabdi kepada raja seperti membuat perahu sampan, tukang dayung, memperbaiki istana dan lain-lain. Sedangkan orang-orang yang menggadaikan diri karena hutang piutang atau melanggar adat dan golongan budak belian yang sebagian besar termasuk golongan cili, secara kultural merupakan strata sosial yang paling rendah dalam kelompok rakyat biasa. Mereka dilarang berhubungan dengan golongan ningrat dan hubungannya terbatas pada orang tuannya atau orang yang membelinya. Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan Industri, 84 17 Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, 10 18 Ketika Mayor Jenderal De Kock berhasil menduduki keraton pada bulan juni 1821, istana kerajaan langsung dimanfaatkan sebagai kediaman komisaris Belanda serta stafnya. Kemudian diambil kangkah untuk mentransformasikan keraton menjadi pusat kekuasaan kolonial. Dengan pembongkaran istana, lenyap pula kebudayaan keraton. Korban pertama dari 84 pengambilalihan kekuasaan oleh pemerintahan kolonial, perlahan- lahan mulai diberlakukan proses mobilisasi sosial bagi kaum ningrat yang tidak dapat dielakkan. Hubungan vertikal ini diakhiri secara resmi pada tahun 1824, waktu pembagian dalam kelompok sosial seperti miji (kepala keluarga) dan alingan (anggota keluarga dan pelindung) dihapuskan oleh pemerintah kolonial, dan kemudian diganti dengan pembayaran pensiun yang diberikan kepada sebagian kecil kaum ningrat. Dengan demikian hilang pula dasar material dan fisik untuk kekuasaan kaum ningrat, yang tidak mampu lagi memberikan bantuan materiil dan perlindungan politik kepada pengikut mereka. Kaum priyayi ini pun jatuh miskin dan mati-matian berusaha memelihara kedudukan sosial mereka.19 Kelas sosial yang dikenal dalam masyarakat Palembang asli, berdasarkan status dan pokok pangkal posisi fungsional pada struktur sosial yang ada, maka posisi fungsional memiliki berbagai fungsi seperti: fungsi politik, fungsi militer, fungsi agama dan ekonomi. Dalam membicarakan sistem status pada masyarakat Palembang, secara mutlak tidak dapat diterapkan beberapa definisi yang berhubungan dengan pengertian status yang ada. Diferensiasi dan stratifikasi sosial yang ada di daerah ini, agaknya lebih sederhana daripada stratifikasi yang terdapat dalam masyarakat industri. Peranan sosial dan status yang tergambar dalam masyarakat di daerah ini adalah suatu fenomena kultural. Namun masyarakat Palembang yang mengenal berbagai strata sosial dalam lingkungan feodal pada zaman keemasaannya barangkali sudah tidak lagi mempunyai arti seperti dulu dan sekarang hanya terbatas pada sebutan gelar saja tanpa ada makna fungsional. Mobilitas antar lapisan di kalangan masyarakat yang terjadi di dalam kota akhir-akhir ini menunjukkan tidak adanya rintangan antar golongan penguasa dengan golongan yang dikuasai, antara golongan berpendidikan dengan golongan agamis, perkembangan ini ialah pengetahuan bahasa dan sastra Jawa di kalangan priyayi. Sesudah keraton atuh, tidak ada alasan lagi untuk memakai bahasa Jawa sebagai bahasa etiket dan seremoni, dan dengan pengasingan Sultan Mahmud Badaruddin, menghilang pula pelindung utama sastra Jawa. Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, 12 19 Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, 14 85

Bagan 1. Struktur Stratifikasi di Palembang Pada Masa Kesultanan Palembang Darussalam20

Pangeran

Sultan

Raden

Mantri Masagus ♂ Raden + ♀ Mantri

Demang Cina Pangeran Arab Kemas ♂ Mantri + ♀ Mantri Demang Cina Pangeran Arab Kemas DemangKiagus Palembang ♂ Mantri + ♀ Rakyat Kiagus Pribumi

Miji

Senan

Cili

Keterangan: : Golongan Priyayi

: Golongan Pedagang

: Golongan Rakyat

21 : Assigned Status

20 Bagan ini peneliti buat berdasarkan deskripsi naratif Peeters dalam bukunya ‚Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821- 1942‛ mengenai sistem stratifikasi sosial yang ada pada masyarakat Palembang pada zaman Kesultanan Palembang Darussalam. 21 Assigned Status merupakan gelar pemberian yang diberikan oleh Sultan kepada orang-orang yang dipilih. Dalam hal ini, Sultan memberikan 86 kecuali proses pembauran itu masih dianggap tabu di kalangan penduduk dengan orang-orang Cina. Pembauran dengan Cina di daerah ini sangat langka, mungkin salah satu faktor yang menyebabkan adalah faktor religius yang berakar pada tradisi rakyat yang kompleks. Pelapisan masyarakat yang berdasarkan status, nampaknya sedang mengalami transformasi, sebagai akibat perkembangan yang pesat di bidang pendidikan dan pengajaran. Sementara itu pula stratifikasi sosial yang baru dan condong untuk berkembang atas dasar tinggi rendahnya pangkat dalam sistem birokrasi kepegawaian, atau atas dasar pendidikan sekolah belum lagi mendapat wujud yang mantap. Stratifikasi sosial pada masyarakat Palembang telah mengalami transformasi, setelah Belanda menduduki Kota Palembang, stratifikasi masyarakat pun menjadi tidak bernilai lagi dan yang ada hanya golongan penjajah dan yang dijajah. Namun, setelah Belanda keluar dari tanah Palembang, sifat stratifikasi masyarakat Palembang pun mulai terbuka. Sistem stratifikasi yang tadinya tertutup (ascribed status) di mana status hanya dimiliki oleh orang-orang berketurunan tertentu, yang ditandai dengan gelar Pangeran, Raden, Kemas, Masagus, dan Kiagus, tidak memiliki kekuatan fungsional tertentu untuk saat ini. Meskipun demikian, gelar-gelar ini masih dilestarikan oleh masyarakat Palembang. Sistem stratifikasi terbuka memberikan peluang bagi usaha orang-orang untuk meningkatkan status sosialnya atau malah menjatuhkan status sosialnya. Stratifikasi sosial pada saat ini lebih merupakan usaha yang didapat baik berupa kekayaan, jabatan, pendidikan maupun kehormatan. Orang-orang yang berada pada strata atas biasanya ditandai dengan memiliki pendidikan yang tinggi, kekayaan yang mewah, dan jabatan yang tinggi. Selain itu dapat juga dilihat dari gaya hidup mereka mulai dari cara berpakaian dan bergaul.

gelar kepada para pendatang, seperti pendatang Arab yang diberi gelar Pangeran dan gelar Demang yang diberikan kepada pendatang Cina. Selain itu Sultan uga memberikan gelar kehormatan kepada orang-orang pribumi dengan gelar Kiagus. Orang-orang ini memiliki tugas sebagai pengawas di daerah-daerah (dusun). 87

Sistem stratifikasi yang nampak saat ini berupa adanya class systems22 yang ada di kota Palembang. Class systems ini mempengaruhi gaya dan tingkah laku hidup masing-masing masyarakat karena kelas-kelas yang ada dalam masyarakat mempunyai perbedaan dalam kesempatan-kesempatan menjalani jenis pendidikan atau rekreasi tertentu. Dalam masyarakat Palembang perbedaan tersebut dapat dilihat dari data mengenai tingkat kesejahteraan keluarga yang ada di Palembang. Menurut BKKBN, berdasarkan UU No.10 Tahun 1992, indikator tingkat kesejahteraan keluarga terbagi ke dalam 5 kategori, yaitu keluarga pra sejahtera, sejahtera tahap I, Sejahtera Tahap II, Sejahtera Tahap III, dan Sejahtera Tahap III Plus.23 Keluarga Pra Sejahtera (sering dikelompokkan ‚sangat miskin‛) adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs) Sebagai keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan. Selanjutnya Keluarga Sejahtera Tahap I (dikelompokkan sebagai miskin) adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal yaitu (1) melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota keluarga; (2) pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau lebih; (3) seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian; (4) bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah; dan (5) bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber KB dibawa kesarana/petugas kesehatan.

22 Istilah kelas tidak selalu mempunyai arti yang sama, walaupun pada hakikatnya mewujudkan sistem kedudukan-kedukan yang pokokdalam masyarakat. Penjumlahan kelas-kelas dalam masyarakat inilah yang disebut class systems. Artinya, semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukan mereka itu diketahui dan diakui oleh masyarakat umum. Joseph Schumpeter mengatakan bahwa kelas-kelas dalam masyarakat terbentuk karena diperlukan untuk menyesuaikan masyarakat dengan keperluan-keperluan yang nyata. Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 205. Lihat juga Joseph Schumpeter, The Problem of Classes, yang dikutip Selo Soemardjan dan Soelaeman, Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964), 293. 23 www.bkkbn.go.id 88

Indikator berikutnya Keluarga Sejahtera Tahap II, yaitu keluarga - keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kriteria keluarga sejahtera I, harus pula memenuhi syarat sosial psykologis 6 sampai 14 yaitu: (6) Anggota Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur; (7) paling kurang, sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk; (8) seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru per tahun; (9) luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi tiap penghuni rumah; (10) seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat; (11) paling kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun keatas mempunyai penghasilan tetap; (12) seluruh anggota keluarga yang berumur 10- 60 tahun bisa membaca tulisan latin; (13) seluruh anak berusia 5 - 15 tahun bersekolah pada saat ini; dan (14) bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil). Selanjutnya Keluarga Sejahtera Tahap III merupakan keluarga yang memenuhi syarat 1 sampai 14 dan dapat pula memenuhi syarat 15 sampai 21, syarat pengembangan keluarga yaitu: (15) mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama; (16) sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga untuk tabungan keluarga; (17) biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga; (18) ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya; (19) mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali/6 bulan; (20) dapat memperoleh berita dari surat kabar/TV/majalah; dan (21) anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi daerah setempat. Indikator terakhir Keluarga Sejahtera Tahap III Plus adalah keluarga yang dapat memenuhi kriteria I sampai 21 dan dapat pula memenuhi kriteria 22 dan 23 kriteria pengembangan keluarganya yaitu: (22) secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materiil; dan (23) kepala Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.

89

Tabel 5. Data Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera di Kota Palembang Tahun 201124 No. Keluarga Jumlah 1. Pra Sejahtera 27.919 2. Sejahtera I 95.367 3. Sejahtera II 147.418 4. Sejahtera III 65.227 5. Sejahtera III Plus 5.048 Jumlah 340.979

Berdasarkan data tersebut, kategori Keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I merupakan masyarakat yang berada dalam kelas bawah, sedangkan Keluarga Sejahtera II dan Sejahtera III dapat digolongkan sebagai kelas menengah dan Keluarga Sejahtera III Plus sebagai golongan kelas atas. Data tersebut menunjukkan bahwa 36,15% masyarakat Palembang berada dalam kelas bawah, 62,36% berada dalam kelas menengah dan 1,48% berada dalam kelas atas. Sehubungan dengan data tersebut, hal ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Kota Palembang termasuk dalam kategori kelas menengah di mana masyarakat Palembang selain sudah mampu memenuhi 5 kebutuhan dasar (basic needs) - pengajaran agama, pangan, papan, sandang, dan kesehatan - dapat pula memenuhi syarat sosial psikologis. Pertumbuhan sistem stratifikasi yang terbuka di kalangan masyarakat Palembang saat ini sangat membuka peluang adanya mobilisasi secara besar-besaran. Mobilisasi ini pun dapat berupa perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) yang membuka peluang bagi penduduk desa untuk bersifat lebih terbuka dan mendapatkan akses informasi yang lebih baik. Kota Palembang sebagai salah satu kota metropolitan, membuat masyarakat desa, khususnya yang berasal dari Uluan tertarik untuk menetap di daerah Iliran ini. Adanya mobilisasi ini mengakibatkan terjadinya transformasi strata dari yang tadinya berada di strata bawah kemudian meningkat menjadi strata menengah. Perkembangan strata menengah ini pun berperan aktif dalam memotori perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Menurut

24 Sumber: BPS Kota Palembang, Palembang Dalam Angka 2011. 90

Fachran Bulkin, kelas menengah25 di Indonesia merupakan kelompok sosial yang terdiri dari kaum intelektual, mahasiswa, pemimpin surat kabar, pengusaha dan pedagang, serta kelompok profesional lainnya.26

C. Perkembangan Sistem Kepercayaan Masyarakat Palembang 1) Kehidupan Pra-Islam di Palembang Berdasarkan letak dan keadaan lingkungan geografis kota Palembang, yaitu banyaknya anak-anak sungai yang melintasi pusat perkampungan di dalam kota yang oleh penduduk dipakai sebagai jalur lalu lintas antar kampung, maka sedikit banyaknya akan mempengaruhi perilaku penduduk kota yang menampilkan budaya majemuk bertumbuh dan berkembang dengan segala macam pemilikan tradisi masa lampaunya dan proses adaptasi sosialnya terhadap penerimaan hal-hal baru yang berasal dari luar, menunjukkan penduduk kota jauh lebih dinamis daripada masyarakat pedusunan.27 Palembang merupakan ibukota dari Kerajaan Sriwijaya. Keberhasilan raja-raja Sriwijaya dalam menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke- 7 hingga abad ke-9, turut serta mengembangkan kebudayaannya di

25 Bank Dunia mendefinisikan kelas menengah adalah mereka dengan pengeluaran harian per kapita antara US$2 hingga US$20. Namun, kelas menengah Indonesia masih didominasi kelas menengah rendah, yaitu mereka yang pengeluaran harian per kapita sebesar US$2–4. Berdasarkan analisis McKinsey Global Institute, kelas menengah Indonesia umumnya berprofesi sebagai profesional dalam sektor perbankan, rekayasa rancang bangun, akuntansi, dan lainnya, yang kemampuan mereka sangat dibutuhkan untuk menggerakkan perekonomian. Selain profesi tersebut, ada hipotesis bahwa kenaikan kelas menengah Indonesia ini didukung kuat oleh naiknya tunjangan bagi PNS khususnya guru dengan sertifikasinya. Pada tahun 2012 lebih kurang dari 60% penduduk Indonesia akan mempunyai pendapatan lebih dari US$3.000 per tahun. Hal ini didukung oleh fakta bahwa konsumerisme meningkat dari tahun ke tahun, masyarakat cenderung konsumtif dalam berbagai bidang kehidupan. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/10/07/siapakah-kelas- menengah-di-indonesia-493650.html 26 Faisal Siagian, Kelas Menengah Digugat, 145. 27 Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan Industri, 84 91

Nusantara. Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Salah satunya adalah It-Sing dari Tiongkok yang mampir dahulu ke Palembang selama 6 bulan untuk kemudian melanjutkan perjalanannya ke India. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya, dengan Mahagurunya yang terkenal Dharmapala. Namun, sebelum Buddha berkembang, Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu dari India. Perkembangan agama Buddha di tanah Swarnadwipa ini dapat dibuktikan dengan dibangunnya tempat pemujaan agama Buddha di Ligor, Thailand.28 Namun sayangnya, peninggalan-peninggalan kebesaran zaman Buddha tersebut sudah tidak ada lagi dan hanya meninggalkan prasasti-prasasti sebagai bukti berkembangnya ajaran tersebut. Runtuhnya kerajaan Sriwijaya menjadikan Palembang berada pada titik kemerosotan. Penulis Belanda menyebutkan bahwa di abad ke-15 dan 16 sebagai masa gelap sejarah Palembang, karena mereka tidak mendapatkan catatan tentang sejarah Palembang kurun waktu tersebut. Sebaliknya penduduk setempat mempunyai catatan historiografi tradisional mereka baik yang tercatat di atas lontar ataupun potongan bambu bahkan cerita tutur. Menurut Raymond Williams29 historiografi tradisional pada umumnya memperlihatkan apa yang disebut the myth of concern, yang berfungsi bagi kemantapan nilai dan taat. Keseimbangan dan kewajaran kosmos adalah tujuan utama. Dengan demikian historiografi tradisional harus selalu memberikan kesahan bagi struktur yang selalu mendukung tuntutan kultural. Struktur tersebut bisa diwakili oleh raja, bangsawan, atau kelas pemelihara, atau semua, yang penting ialah kemantapan kosmos. Bagi daerah Sumatera Selatan umumnya struktur ini diwakili dengan tokoh puyang, tokoh nenek moyang, pendiri suku, wilayah dam kekuasaan setempat. Tokoh puyang ini dalam cerita tutur dan catatan setempat menjadi mitos dan legenda setempat. Menurut O.

28 Lebih lanjut lihat Slamet Muljana, Sriwijaya, Yogyakarta: LkiS. 2006. 29 Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press, 1986), 23. 92

W. Wolters, tokoh puyang tidak hanya ada di Sumatera Selatan, tetapi juga merupakan kebudayaan Asia Tenggara. Menurutnya, kepemimpinan dari big men atau mempergunakan terminologi O. W. Walters pilih men of prowess, tergantung dari asalnya yang luar biasa dari pribadi soul stuff (pemimpin yang berkeahlian dan berkemampuan penuh dedikasi), tampak dalam penampilan yang sangat berbeda/istimewa di antara generasinya, teristimewa di antara kerabatnya. Walaupun demikian, seorang yang mempunyai identitas spiritual dan kapasitas leadership dapat dimantapkan apabila para pengikutnya mengakui kelebihan bakat dan merasakan dekat dengan tokoh ini, adalah merupakan satu keuntungan, bukan hanya disebabkan mendampinginya yang mendatangkan hasil material, tapi juga disebabkan hal-hal spiritualnya. Setelah kematiannya dia sangat dihormati oleh para pengikutnya. Statusnya sebagai nenek moyang dan tempatnya di daerah-daerah seperti pedalaman, dapat memberikan tambahan identitas pada pemukiman itu.30 Pada dasarnya sebelum agama Islam, Kristen, Hindu dan Buddha masuk ke Palembang, masyarakatnya telah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Walaupun penduduk asli Palembang telah memeluk agama Islam sejak lama, namun masih nampak adanya sisa-sisa sistem religi (kepercayaan) yang asli dari zaman sebelum masyarakat memeluk agama Islam. Sisa-sisa religi itu dapat dilihat dari tingkah laku dalam proses penyembuhan penyakit yang menimpa keluarganya. Mereka lebih banyak berorientasi pada dukun, melakukan sesajen di atas kuburan tertentu, memegang teguh larangan-larangan (pemali) dalam lingkaran hidup dan lain-lain. Masyarakat pedusunan di Palembang lebih bersifat agraris- tradisional yang masih memegang teguh adat istiadat Palembang, sehingga mereka nampaknya masih belum mau melepaskan sama sekali tradisinya. Meskipun proses interaksi antar masyarakat maupun antara masyarakat dengan lingkungan alamnya terus berlangsung, pada dasarnya penduduk asli pedusunan belum begitu

30 Djohan Hanafiah, Melayu Jawa, 8 Lihat O. W. Wolters, History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspective, (Singapore: ISAS, 1982), 6-7. 93 banyak mempergunakan ilmu pengetahuan dalam memecahkan suatu permasalahan hidup. Mereka masih mengikuti cara-cara lama, di mana unsur agama dan kepercayaan setempat telah mencampuri segala aspek kehidupan di kampung-kampung dan telah memberikan warna yang jelas dalam kehidupan sosial- kultural. Agama yang dianut oleh penduduk kota adalah agama Islam yang telah berkembang pesat semenjak agama itu diakui oleh Kesultanan Palembang sebagai agama resmi. Disamping itu, terdapat pula golongan minoritas asing yang memiliki kepercayaan lain dari golongan mayoritas penduduk.

2) Islamisasi di Kota Palembang Berdasarkan sumber-sumber Arab dan China, pada abad ke-19 M di Palembang, ibukota Kerajaan Buddha Sriwijaya , telah terdapat sejumlah Muslim pribumi di kalangan penduduk kerajaan. Ini merupakan konsekuensi dari interaksi antara penduduk Sriwijaya dengan kaum muslimin Timur Tengah yang sudah berlangsung sejak masa awal kelahiran Islam. Meskipun Sriwijaya merupakan pusat keilmuan Buddha terkemuka di Nusantara, ia merupakan kerajaan yang kosmopolitan. Penduduk muslim tetap dihargai hak-haknya sebagai warga kerajaan sehingga sebagian dari mereka tidak hanya berperan dalam bidang perdagangan tetapi juga dalam hubungan diplomatik dan politik kerajaan. Sejumlah warga muslim telah dikirim oleh pemerintah Sriwijaya sebagai duta kerajaan baik ke Cina maupun ke Arab.31 Bukti-bukti historis tersebut membantah pendapat sejarawan terkenal Thomas Arnold yang menyatakan bahwa Islam pertama kali masuk ke Sumatera Selatan dibawa oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel kira-kira tahun 1440 M. Pendapat ini juga dibantah oleh Taufik Abdullah yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Sumatera Selatan lebih dahulu dari Minangkabau, pedalaman Jawa, dan bahkan Sulawesi Selatan. Sejarawan Indonesia terkenal ini bahkan menduga bahwa sejak akhir abad ke 15 M, Palembang telah menjadi enklave Islam terpenting di

31 Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), 36-43. 94

Nusantara sehingga Raden Fatah yang lahir di awal belajar agama Islam di Palembang.32 Akan tetapi, tidak banyak diketahui mengenai perkembangan Islam di Sumatera Selatan sampai menjelang berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam. Selama kira-kira dua abad Palembang menjadi wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Palembang baru resmi menjadi kesultanan yang berdiri sendiri ketika Raden Tumenggung memproklamasikan dirinya menjadi Sultan Ratu Abdurrahman pada tahun 1666 M dan kemudian mengambil gelar Sultan Jamaluddin 1681 M. Tidak jelas apakah ini menunjukkan bahwa Islam sebagai kekuatan politik di Palembang termasuk lemah atau kuatnya pengaruh kultur Jawa di Palembang dan lemahnya identitas Melayu Palembang. Namun yang menarik adalah bahwa sejak Palembang resmi memisahkan diri dari protektorat Kerajaan Mataram, semakin ditingkatkan usaha menerapkan hukum Islam di kesultanan. Struktur Kesultanan Palembang terus disesuaikan dengan ketentuan ajaran Islam.33 Hasil penelitian Peeters di Palembang memperlihatkan sejak paruh pertama abad ke-20 (1925-1935), Islam di Palembang terdikotomis ke dalam dua kubu, yaitu Kaum Tuo (yang mewakili kaum tradisionalis) dan Kaum Mudo (yang mewakili kaum reformis).34 Taufik Abdullah berkesimpulan bahwa perkembangan Islam di Sumatera Selatan pada periode klasik kesultanan berlangsung tersendat-sendat tidak hanya karena kecilnya peranan istana dalam proses tersebut tetapi juga karena ulama sibuk melayani kebutuhan dan tugas dari istana. Menurut sejarawan ini, para Sultan Palembang terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan politik dan ekonomi dengan kesultanan-kesultanan lain dan

32 Taufik Abdullah , Perkembangan Islam di Sumatera Selatan pada Abad ke-19, dalam buku Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1987), 206. 33 Abdullah, Perkembangan Islam di Sumatera Selatan pada Abad ke-19, dalam buku Islam dan Masyarakat, 202. 34 Lihat penelitian ini dalam Jeroem Peeters, ‚Kaum Tuo-Kaum Mudo, Social Religiewze verandering in Palembang, 1821-1942,‛ diterjemahkan oleh Sutan Maimoen dengan judul, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942 (Jakarta: INIS, 1997), h. 143 95 pemerintah Hindia Belanda sehingga kesempatan untuk mengadakan Islamisasi menjadi berkurang. Di samping itu, sultan juga harus menyelesaikan persoalan kesetiaan daerah pedalaman yang merupakan daerah sumber ekspor. Ulama pada periode ini juga tergolong ulama birokrat yang waktu dan pikirannya lebih tercurahkan pada persoalan-persoalan di istana. Sementara ulama tidak mempunyai corak hubungan yang intim dengan sultan dan pengaruh mereka sangat tergantung dengan kemampuannya meyakinkan sultan.35 Betapapun lambannya perkembangan Islam di Sumatera Selatan hasil usaha para sultan dan ulama masih nampak dalam realitas historis. Di samping peningkatan kualitas Islam kultural maupun politis, Islam menjadi agama yang dianut penduduk di berbagai daerah di pedalaman Sumatera Selatan. Institusi-institusi keislaman seperti masjid turut mengalami perkembangan. Dapat dipastikan bahwa telah ada masjid di Palembang apapun bentuk dan ukurannya, pada periode awal proses Islamisasi. Dalam batas-batas tertentu, perkembangan Islam di Sumatera Selatan zaman kesultanan tidak dapat lepas dari peranan dan pengaruh ulama. Dalam Islam dan masyarakat muslim manapun ulama menempati posisi yang sangat penting. Dalam ajaran Islam kedudukan ulama ditempatkan sebagai warathah al anbi>ya (pewaris para Nabi)36 yang secara historis-sosiologis memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Mereka tidak hanya sekedar dihormati dan disegani, tetapi gagasan dan pemikiran keagamaannya dalam berbagai dimensi dipandang sebagai kebenaran, dipegang dan diikuti secara ketat dan mengikat. Artinya baik secara teologis maupun secara historis-sosiologis,

35 Abdullah, Perkembangan Islam di Sumatera Selatan pada Abad ke-19, dalam buku Islam dan Masyarakat, 207-210. 36 Rasulullah SAW bersabda: إن العلماء َورث ُ ة ْاألنبياء، َّإن ْاألَنبياء لم ِيور ُثوا دينارا وال درهما إنما ُورثوا ْالعلم َفمن أَ َخذ به َف َ د أَخذ ٍّظببح ٍروافر ‚Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.‛ (Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi). Abu> ‘I at-Tirmidhi>, Sunan Tirmidhi>, ba>b Fad}l al-Fiqh ‘ala> al-‘Iba>dah vol 5,48. Beirut: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 1998. 96 ulama merupakan kelompok elit keagamaan yang sangat penting dan sangat memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat.37 Ulama tidak ada catatan yang meyakinkan tentang kehidupan dan pemikiran ulama Sumatera Selatan hingga awal abad ke-18 M. Pada abad ini para ulama dan cendikiawan mendapat dorongan dan perhatian yang besar dari pihak kesultanan sehingga muncul ulama dan penulis Sumatera Selatan yang karya-karyanya masih tetap dibaca dan diajarkan di masyarakat hingga sekarang. Paling tidak, terdapat tiga ulama dan penulis Sumatera Selatan yang membuktikan kemajuan perkembangan Islam di Sumatera Selatan pada abd ke-18, yaitu Abdus Shamad, Muhammad Muhyiddin bin Syihabuddin, dan Kemas Muhammad bin Ahmad.38 Salah satu ulama yang melanjutkan penyebaran agama Islam di Sumatera Selatan adalah Masagus Haji Abdul Hamid atau yang lebih dikenal sebagai Kyai Marogan. Masagus Haji Abdul Hamid adalah putra seorang bangsawan Palembang yang bernama Masagus Haji Mahmud bin Kanan al-Palimbani, yang merupakan salah satu murid Syaikh Abdus Shamad.39 Menurut Gadjahnata,

37 Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan, 4. 38 Tidak banyak diketahui tentang kehidupan dua ulama yang disebut terakhir kali kecuali keterkaitan mereka dengan Tarekat Sammaniyah. Keduanya menulis biografi dan kekeramatan pendiri tarekat tersebut yakni Syaikh Muhammad Samman. Adalah Abdus-Shamad, salah satu murid terkenal Syaikh Muhammad Samman, yang berperan besar dalam penyebaran Tarekat Sammaniyah di Nusantara terutama melalui karya-karyanya. Mengenai pemikiran dan kehidupan Abdus-Shamad, terutama tasawuf, jauh lebih jelas dibandingkan ulama-ulama Sumatera Selatan lainnya. Ulana yang menulis paling sedikit delapan karya ini adalah seorang tokoh sufi yang berhasil mengkombinasikan ajaran-ajaran tasawuf al-Ghazali dan Ibnu ‘Arabi, yang sebelumnya dipanadang sebagai dua corak tasawuf yang bertentangan. Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan,6. Lebih lanjut lihat H.M. Quzwain. Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdus-Shamad Al-Palimbani. Jakarta: Bulan Bintang. 1985. 39 Pada waktu Kyai Marogan lahir (diperkirakan tahun 1812 M), kesultanan Palembang sedang dalam peperangan yang sengit dengan kolonial Belanda. Dilahirkan oleh seorang ibu berama Perawati yang keturunan Cina dan ayah yang bernama Masagus H. Mahmud alian Kanang, keturunan priyayi atau ningrat. Dari surat panjang hasil keputusan Mahkamah Agama Saudi Arabia, diketahui silsilah keturunan Masagus H. Mahmud berasal dari sultan-sultan Palembang yang bernama susuhan Abdurrahman Candi Walang, Masagus 97

Kyai Marogan memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi sehingga ia dapat menyerap ilmu-ilmu yang dipelajarinya dengan mudah. Semasa mudanya, Beliau adalah seorang pengusaha yang sukses di bidang saw-mill. Bakat pengusaha tersebut mungkin didapat dari ibunya, seorang wanita Cina bernama Perawati. Kesuksesan tersebut telah memungkinkannya untuk pulang pergi ke tanah suci dan banyak berkelana di tanah Arab guna mempelajari berbagai ilmu agama Islam. Kehadirannya sebagai ulama memang sangat diperlukan masyarakat Palembang yang, setelah terjadi peperangan, dikuasai oleh kolonial Belanda. Beliau aktif dan gigih mengajar, berdakwah dan memberikan bimbingan kepada masyarakat bahkan hingga ke pelosok desa. Dalam berdakwah, Beliau menggunakan perahu untuk mencapai pelosok desa dan membangun masjid sebagai tempat ibadah dan belajar para muridnya. Kyai Marogan merupakan ulama yang zuhud sehingga ia sangat dihormati dan menjadi populer di kalangan masyarakat Sumatera Selatan. Ada tiga faktor yang membuat dirinya populer pertama, ia mewariskan dua buah karya monumental saat ini yang masih terpelihara dengan baik yaitu masjid Ki Marogan di daerah Kertapati Palembang dan masjid Lawang Kidul di 5 Ilir Palembang. Kedua, semasa hidupnya, ia disebut-sebut banyak melakukan penyiaran ke daerah-daerah Uluan, suatu aktivitas yang membuat dirinya dikenal sampai ke pedalaman, dan ketiga, ia diyakini sejumlah kalangan masyarakat sebagai ulama yang memiliki kekeramatan. Bahkan setelah beliau wafat pada usia 89 tahun - pada 17 Rajab 1319H atau 21 Oktober 1901M – makam Beliau masih ramai diziarahi orang hingga sekarang.40

Fauzan, Sekilas Tentang Ki Marogan, http://kiaimarogan.com/ index.php?option=com_content&task=view&id=13&Ittemid=26 40 Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan, 20. Lihat juga, KHO. Gadjahnata, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Jakarta: UI-Press, 1986. Lihat Abdul Karim Nasution, Kiprah Ki Marogan Mengembangkan Islam di Uluan Palembang, dalam Jurnal Intizar Pusat Penelitian IAIN Raden Fatah Palembang, volume 10 Nomor 2, Desember 2004, 267-269. Lihat juga Ahmad, Memet, Sejarah Masjid Muara Ogan dan Masjid Lawang Kidul serta Biografi Kyai Muara Ogan. Palembang: Yayasan Kyai Muara Ogan, 2005. 98

3) Akulturasi Islam dan Budaya Palembang Menurut KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, masyarakat Islam mulai terbentuk di beberapa tempat, pada umumnya terletak di daerah pantai. Di daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh kekuasaan Sriwijaya seperti Aceh lebih mudah membentuk masyarakat Islam daripada daerah lainnya. Di daerah- daerah di mana pengaruh Hindu-Buddha terbilang kuat, apalagi di daerah kekuasaan Sriwijaya, para mubaligh Islam bersikap lebih luwes. Mereka sangat toleran tetapi tidak mengorbankan prinsip.41 Di daerah-daerah yang belum terpengaruh oleh kebudayaan Hindu, agama Islam mempunyai pengaruh yang mendalam, seperti di Aceh, Banten, dan Kalimantan Barat. Di daerah-daerah yang pengaruh kebudayaan pra-Islam telah kuat seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, agama Islam bersentuhan dengan unsur-unsur budaya pra Islam sekaligus menciptakan tatanan kehidupan sosial budaya yang penuh toleransi, termasuk di Palembang. Proses akulturasi42 antara agama dan budaya pra-islam dan Islam mengembangkan corak kehidupan keagamaan yang khas. Misalnya, tradisi pemakaman dengan segala atributnya yang serba menonjol sebenarnya tidak dikenal dalam ajaran Islam. Islam juga tidak mengenal kegiatan perkabungan dalam bentuk persedekahan.43 Pada umumnya, Islam di Nusantara berkembang melalui pendekatan-pendekatan kultural yang dikembangkan dan dilakukan oleh ulama. Ketika itu, aset-aset lokal yang tersedia

41 KH. Saifuddin Zuhri dalam tulisan Ali Amin ‚Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam dan Beberapa Aspek Hukumnya‛ dalam KHO. Gadjahnata dan Sri Edi Swasono (editor). Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. 1986. Jakarta: UI-Press. 70. 42 Menurut Koentjaraningrat akulturasi merupakan proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 202. 43 Salleh dalam Hanani, Silfia, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama. (Bandung: Humaniora. 2011), 59 99 dimodifikasi menjadi sarana untuk penyebaran ajaran agama. Dalam kondisi seperti ini, ajaran agama terkesan sangat adaptif terhadap aspirasi dan inspirasi umatnya. Hal ini berbeda dengan pendekatan meliterisme yang acapkali radikal dan sering berbenturan dengan kearifan lokal. Berdasarkan kasus pendekatan kultural yang dilakukan oleh ulama ini, Taufik Abdullah44 memberi kesimpulan tentang adanya tiga pola penyebaran Islam di Nusantara. Tiga pola yang dimaksud adalah pola Pasai, Malaka, dan Jawa. Berdasarkan tiga pola penyebaran Islam ini, Taufik Abdullah, menemukan dua bentuk penerimaan Islam yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Di dalam pola Pasai dan Malaka, formasi sosial Islam di dalam kehidupan masyarakat bersifat lebih integritas. Dengan pola ini terjadilah pengisian- pengisian terhadap kultur-lokal (integrative tradition). Jelas sekali bahwa di dalam pola ini terjadi tradisi integratif yang sangat masif. Sebaliknya, pola Jawa dengan titik fokus pada upaya penaklukan pusat kerajaan, formasi sosial Islam lebih cenderung untuk mengembangkan pola dialog. Pola dialog ini biasa disebut tradition of dialogue. Taufik Abdullah memberikan gambaran mengenai tingkat perkembangan Islam di daerah Sumatera Selatan. Pertama, Islam di awal abad 19 merupakan agama resmi, yang harus dipelihara dalam struktur kekuasaan. Maka kelihatanlah bahwa peranan birokrat agama tidak saja terdapat pada tingkat pusat kerajaan, tetapi juga di tingkat marga dan bahkan di tingkat dusun. Kedua, jarak yang cukup besar antara struktur kekuasaan yang didasarkan atas keinginan mengadakan adaptasi ajaran agama dengan sistem yang telah ada, dengan pola perilaku pribadi memang masih jauh. Demikian halnya pada golongan priyayi dan tak jauh bedanya dengan golongan rakyat biasa. Ketiga, tradisi keraton Melayu- Jawa, yang mementingkan ilmu agama dan sastra juga berkembang di pusat kerajaan. Maka di bawah naungan para sultan, ulama dan pengarang, baik keturunan asing maupun

44 Taufik Abdullah, dalam seminar ‚Masuk dan Berkembangnya Islam di Asia Tenggara‛ di Jakarta, 17 November 1999. Dikutip dari Hanani, Silfia, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama. (Bandung: Humaniora. 2011),.hlm.93. 100 pribumi menghasilkan karya sastra dan uraian keagamaan tentang akhlak, tauhid dan syariah.45 Ada beberapa faktor yang memupuk kelanjutan tradisi keraton Melayu-Jawa ini berkembang di Palembang. Di samping kontinuitas kultural dari keraton Palembang yang berorientasi pada Jawa, tetapi tak terlepas dari dunia Selat Malaka, heterogenitas penduduk serta terbukanya Palembang sebagai kota pelabuhan, adalah faktor-faktor penunjang.46 Palembang sebagai kota pelabuhan yang banyak dikunjungi pendatang membuat Islam mulai berkembang. Kontak kebudayaan antara para pendatang yang sering singgah di wilayah ini menyebabkan adanya proses tarik menarik antara budaya lokal dengan budaya luar yang tak jarang menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat. Kemudian yang terjadi adalah akulturasi budaya seperti praktik meyakini iman di dalam ajaran Islam akan tetapi masih mempercayai berbagai keyakinan lokal. Dalam perkembangan kebudayaan, dengan adanya kontak- kontak sosial, ekonomi, budaya dan politik, ditambah pula keterbukaan dan ketergantungan dalam kehidupan, terjadilah proses perkawinan dari kebudayaan-kebudayaan yang ada (terjadinya akulturasi). Bentuk dan isi kebudayaan menurut para ahli antropologi, suatu kebudayaan sedikit-dikitnya mempunyai tiga bentuk, yaitu cultural system, social system, dan material culture.47 Ketiga bentuk kebudayaan tersebut merupakan satu

45 Taufik Abdullah dalam ‚Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan‛. 56. 46 Taufik Abdullah dalam ‚Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan‛. 57. 47 Koentjaraningrat sependapat dengan J.J. Honigmann, dalam buku antropologinya berjudul The World of Man (1959: 11-12), yang membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts. Wujud pertama merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya. Gagasan ini satu sama lain selalu berkaitan menjadi suatu sistem yang disebut sebagai cultural system atau sistem budaya. Wujud kedua dari kebudayaan adalah wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat yang disebut juga sebagai social system atau sistem sosial. Wujud ketiga dari kebudayaan adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia yang disebut sebagai material culture atau kebudayaan fisik. Sedangkan isi dari semua kebudayaan universal yang ada di semua kebudayaan 101 sistem yang sangat erat kaitannya satu sama lain. Sistem budaya yang paling abstrak seakan-akan berada di atas untuk mengatur sistem sosial yang lebih konkret. Selanjutnya aktivitas sistem sosial tersebut menghasilkan kebudayaan materialnya. Sebaliknya dari sini, yaitu yang bersifat konkret ini memberi energi kepada yang di atas. Material culture yang berkenaan dengan wujud budaya yang monumental, salah satu bentuknya terdapat pada bidang seni bangun, sebagai contoh penampilan arsitektur masjid Agung Palembang yang memperlihatkan adanya wujud akulturasi lokal, Cina, maupun Eropa. Dari segi arsitektur masjid Agung Palembang merupakan perpaduan Timur dan Barat. Budaya Cina, Eropa, Arab, dan lokal menyemat pada garis arsitektur, dengan komposisi yang nyaris tanpa cacat. Di atas sisi limas masjid ada jurai daun simbar atau semacam hiasan menyerupai tanduk kambing yang melengkung dan lancip sebanyak 13 buah di setiap sisinya. Struktur ini menyerupai atap kelenteng dan bangunan tradisional Cina lainnya. Masjid Agung Palembang juga memiliki serambi seperti arsitektur klasik Yunani-Dorik, gaya seperti itu juga banyak ditemui pada bangunan Hindia buatan abad XVIII hingga awal abad XX. Sedangkan budaya Arab berpadu dengan budaya lokal terasa dalam beragam lengkungan halus gaya kaligrafi yang terdapat pada leher mustaka, jendela, mimbar, mihrab, dan pintu masuk masjid. Perpaduan budaya ini menjadi ciri khas Masjid Agung Palembang.48 Adanya proses akulturasi antara Islam dan budaya lokal di Palembang membentuk suatu identitas baru lahirnya Islam yang bercorak lokal. Penekanan terhadap ajaran-ajaran Islam yang subtantif dikemas melalui budaya yang berubah menjadi suatu tradisi. Bahkan enkulturasi tradisi ini pun bersifat dinamis dan terus mengalami perkembangan. Social system atau praktik dunia, sederhana, terisolasi, mau besar maupun kompleks menurut para ahli antropologi terdiri dari tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 150- 152. 48 Lebih lanjut lihat Djohan Hanafiah, Masjid Agung Palembang: Sejarah dan Masa Depannya, (Palembang: Haji Masagung, 1988). 102 keagamaan merupakan suatu bentuk kebudayaan yang kompleks. Akulturasi antara budaya dan Islam dapat dilihat dalam kegiatan keagamaan yang dilakukan, masyarakat Palembang mengenal berbagai upacara seperti upacara pertanian, upacara leluhur, dan upacara-upacara menurut siklus penanggalan agama. Upacara pertanian biasanya dilakukan setelah selesai panen. Upacara leluhur, dilakukan oleh kalangan penganut agama Islam berupa upacara nigo hari, nujuh hari, empat puluh hari, dan nyeratus hari. Dalam upacara itu dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an, surat Yasin, dan tahlil. Upacara menurut siklus penanggalan agama antara lain diwujudkan dalam bentuk peringatan hari-hari raya, Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi Muhammad SAW, Nisfu Sya’ban, dan Nuzulul Qur’an. Palembang yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam, di dalam catatan sejarahnya, Palembang pernah menerapkan undang-undang tertulis berlandaskan Syariat Islam, yang bersumber dari kitab Simbur Cahaya.49 Simbur Cahaya ini merupakan cultural systems yang mengandung nilai-nilai sosial dan pola kehidupan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Palembang. Masyarakat Sumatera Selatan dapat dibedakan atau dua macam, yaitu masyarakat kota dan masyarakat desa. Masyarakat kota atau masyarakat Ilir adalah masyarakat yang mendiami kota-kota seperti Palembang dan kota-kota kabupaten. Masyarakat kota itu bercorak heterogen, berasal dari berbagai suku. Mereka itu adalah kaum cerdik pandai, pedagang (besar dan kecil), pengusaha, buruh, dan karyawan/pegawai. Meskipun

49 Pada mulanya di Sumatera Selatan keberadaan adat-istiadat diatur dalam Undang-Undang Simbur Cahaya, yaitu undang-undang adat asli yang tertulis dan tertua. Pengkodifikasian undang-undang itu dilakukan pada abad ke-17 oleh Ratu Sinuhun Sindang Kenayan. Undang-undang Simbur Cahaya terdiri dari lima bab yang mengatur (1) adat bujang gadis dan kawin, (2) aturan marga, (3) aturan dusun dan berladang, (4) aturan kaum, dan (5) adat perhukuman. Secara garis besar hukum adat di Provinsi Sumatera Selatan meliputi (1) hukum tanah, (2) hubungan kekerabatan, (3) hukum perkawinan, (4) hukum waris, dan (5) hukum pelanggaran. Namun, kenyataan yang muncul sekarang ada beberapa hukum adat yang ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Misalnya, aturan marga tidak dipakai lagi karena adanya pemberlakuan Undang-Undang No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. 103 masyarakat kota pada umumnya bersifat individualis, masyarakat kota di Sumatera tidak/belum memperlihatkan sifat-sifat itu secara mencolok. Apabila ada anggota keluarga yang ditimpa kematian, misalnya, bukan saja kaum kerabat (dekat dan jauh) yang datang melayat dan memberikan bantuan, para tetangga, kenalan dan handai tolan juga ikut melayat. Mereka memberikan bantuan dan bahkan sampai mengantar jenazah ke kuburan serta ikut takziah tiga malam berturut-turut. Dengan kata lain, para kerabat, tetangga, kenalan, dan handai tolan, semua masih peduli. Demikian juga situasi dalam masyarakat desa atau uluan yang pada umumnya adalah petani. Sifat kegotongroyongan dalam masyarakat desa masih hidup, walaupun kondisi tersebut sekarang sudah agak longgar. Masyarakat Palembang memiliki ciri khas dalam kegiatan upacara-upacaranya. Kekhasan itu tentunya dipandu oleh kebudayaan lokal yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Sebagaimana dikatakan oleh Taufik Abdullah bahwa terdapat tiga pola dalam penyebaran Islam di Nusantara, yaitu pola Pasai, Malaka, dan Jawa. Untuk pola Pasai dan Malaka, kedua pola ini memiliki kesamaan, khususnya dalam adat istiadatnya. Hal ini berbeda dengan pola Jawa di mana Islam harus lebih mampu untuk berdialog dengan budaya setempat sehingga memunculkan Islam yang kolaboratif. Palembang merupakan salah satu kota yang penting untuk disinggahi pada saat Kerajaan Malaka masih berjaya. Penyebaran Islam dalam pola Malaka merupakan penyebaran yang sentrifugal, yaitu penyebarannya berpusat pada kesultanan sebagai pusat struktural kekuasaan dan menyebar ke luar (rakyat). Penyebaran Islam pun kemudian mendapat otoritas penuh dari Sultan yang memimpin, yang pada akhirnya mengajak rakyat untuk ikut memeluk ajaran Islam. Di antara yang menonjol – terutama dalam kaitannya dengan Islam – ialah ciri masyarakat Palembang yang adaptif terhadap ajaran Islam dibanding dengan masyarakat Jawa. Integrative tradition tersebut tampak dalam tradisi-tradisi lokal yang dijiwai oleh Islam dalam corak lokal. Dalam hal ini terjadi akulturasi antara Islam dan budaya setempat. Kolaboratif ini terjadi tanpa meninggalkan unsur masing-masing corak (Islam dan budaya lokal). Akulturasi antara budaya Islam dengan budaya lokal sangat dinamis, misalnya saja tradisi 104 slametan, yasinan, tahlilan, ziarah, dan lain sebagainya. Orang mengetahui bahwa tradisi tersebut adalah apa yang terlihat sekarang. Mereka tidak mengetahui bahwa tradisi tersebut sebenarnya telah turun temurun serta mengalami berbagai tahap perubahan. Namun demikian, tradisi yang turun temurun tetap memperlihatkan adanya benang merah, yaitu hadirnya doa-doa Islami sebagai ruh serta perangkat-perangkat lokal sebagai wadah dalam budaya Islam lokal.

105

106

BAB IV ENKULTURASI ZIARAH SEBAGAI TRADISI ISLAM DALAM MASYARAKAT PALEMBANG

Bab IV ini memaparkan hasil penelitian lapangan mengenai fenomena kekeramatan makam yang terdeskripsi melalui tradisi ziarah di Kota Palembang. Pada bab ini akan dibahas mengenai ziarah sebagai bentuk ritual keagamaan dan memiliki potensi sebagai wisata religi. Selain itu, aktivitas peziarah membuktikan bahwa makam dianggap sebagai suatu simbol dan sarana instrumental bagi masyarakat untuk mewujudkan keinginnya melalui motif-motif tertentu. Motif inilah yang kemudian menginterprest\asikan tindakan-tindakan masyarakat dalam berziarah melalui proses habitualisasi sehingga terenkulturasi sebagai suatu tradisi.

A. Ziarah Sebagai Ritual Keagamaan dan Wisata Religi Kata ziarah dipinjam dari bahasa Arab ziya>rah yang mengandung arti bepergian dari satu tempat ke tempat lain dengan melakukan suatu perjalanan.1 Kata ini pada dasarnya dapat diterapkan untuk segala bentuk kunjungan ke semua objek, baik berupa tempat maupun orang. Istilah ini juga mengacu baik pada kunjungan ke makam wali; juga digunakan untuk menyebut kunjungan pemimpin tarekat kepada para pengikutnya. 2 ‘Abd al- H>>}aqq al-Isybili> menyatakan bahwa ziarah ialah suatu sunah yang diharuskan (sunnah wajibah).3 Adapun menurut mazhab-mazhab fikih, hukumnya berbeda-beda antara wajib (menurut beberapa ulama Ma>liki> dan Zha>hiri>), mendekati wajib (menurut ulama

1 Syekh Muh}ammad Hisya>m Kabba>ni>, Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), 119. 2 Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam,(Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), 95. 3 Rasullullah bersabda: ‚Sesungguhnya aku (Nabi Muhammad SAW) melarang kamu menziarahi kubur, kemudian sungguh diizinkan bagi Muhammad SAW menziarahi kubur ibunya, maka ziarahilah oleh kamu akan kubur, karena dia akan mengingatkanmu kepada hari kiamat.‛ (H.R. Tirmidi, Muslim, Abu Dauz, Ibnu Hibban dan Hakim). Abu Umar Shalih, Ziarah Kubur Yang Dicontohkan Rasulullah, (Solo: At-Tibyan, 2001). H}anafi), dan sunnah mandu>bah (menurut ulama Sya>fi.’i> dan H}anbali>).4 Namun terdapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa hukum ziarah bagi perempuan adalah makruh.5 Ziarah merupakan sebuah konsep kunjungan yang lazimnya untuk menyebut hubungan yang ada antara anggota masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, dengan sejumlah tokoh – baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal – yang konon dikaruniai suatu karomah serta memberikan suatu keberkahan6 bagi yang mengunjunginya dan dikategorikan oleh masyarakatnya sebagai awliya>’, murabitu>n (ra>biti>n), syurafah (chorfa), shalihi>n (sa>lihi>n), asya>d, atau syuyu>kh (chyou>kh, plural dari syekh)... yaitu

4 Adapun berkaitan dengan ziarah ke makam Nabi saw., menurut mayoritas ulama dari mazhab-mazhab utama, hal tersebut diperbolehkan dan dianggap baik dalam Islam. Pandangan mayoritas kitab fikih mengenai hal ini adalah: ziya>rat qabr al-Nabi shalla Allah ‘alayhi wa sallama masyru>’ah bi al- ijma>’ wa hiya min afd}al al-a’ma>l bi al-ijma>’ (ziarah ke makam Nabi saw. Itu disyariatkan berdasarkan ijmak, dan termasuk amal paling utama berdasarkan ijmak). Syekh Muhammad Hisyam Kabbani. Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi. 112-114. 5 Ziarah kubur diperbolehkan bagi kaum perempuan dengan tetap menjaga kesopanan guna mencegah terjadinya fitnah. Para perempuan hendaknya menghindari dari ratapan. Hadist Nabi juga menjelaskan: ‚Bahwasanya Siti Asyah pada suatu hari kembali dari pekuburan, maka aku bertanya kepadanya: Wahai Ummul Mukminin, dari mana engkau? Ia menjawab: dari kubur saudaraku Abdurrahman. Lalu aku bertanya lagi: Bukankah Rasulullah telah melarang kita menziarahi kubur? Ia menjawab: Benar Nabi telah melarang kita menziarahinya kemudian Nabi menyuruh kita menziarahinya.‛ (H.R. Asra) (Hadis ini juga diriwayatkan oleh Hakim dan Ibnu Majjah). Syaikh Abu Umar Shalih, Ziarah Kubur Yang Dicontohkan Rasulullah, (Solo: At-Tibyan, 2001). 6 Menurut Sossie Ande\zian yang melakukan penelitian di kawasan Magribi (Aljazair, Maroko, Tunisia) dalam kepercayaan masyarakat magribi, berkah (barakah) adalah kekuatan bermanfaat yang bersal dari kekuasaan supranatural, yang memberikan kebaikan berlimpah-limpah pada semua bidang kehidupan. Berkah konon terutama terpusat dalam diri Nabi Muhammad dan wali-wali yang mampu menyampaikannya kepada orang-orang yang memohon berkah itu. Para pemimpin tarekat juga dianggap memiliki kekuatan supranatural ini, yang menjadi sumber dari semua karomah yang mereka lakukan. Sossie Ande\zian dalam Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 95. 108 istilah yang mengandung makna simbolis yang berbeda-beda. 7 Konsep ziarah menyangkut kunjungan individual atau kolektif ke makam wali atau kepada wakil-wakilnya yang masih hidup, yang dilakukan oleh mereka yang mencari berkah dengan tujuan memohon sesuatu atau mengucapkan terima kasih telah terkabulnya suatu permohonan. Di Indonesia sendiri, makam wali yang ramai dikunjungi masyarakat adalah makam walisongo8 yang tersebar di berbagai daerah di Pulau Jawa. Namun, tak hanya makam walisongo yang dianggap keramat atau suci, makam ulama atau yang kerap dijuluki Kyai oleh masyarakat juga menyita perhatian ribuan peziarah untuk menziarahinya, khususnya peziarah yang berasal dari pulau Jawa. Keberadaan ulama diyakini oleh masyarakat sebagai para tokoh mata rantai yang menyambungkan ajaran Islam sampai kepada ajaran nabi.9 Ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa ‚Ulama adalah pewaris para nabi‛: hadis ini memberikan gambaran yang jelas mengenai masalah wali, meskipun mesti ditambahkan bahwa di mata para sufi ‚ulama itu bukanlah ‚ulama‛ biasa, tetapi ‚mereka yang bermakrifat‛ yaitu telah mencapai tingkat pengetahuan tertentu (mar’rifah).10 Oleh karena itu, keberadaan makam ulama atau orang-orang suci ini yang tersebar di beberapa tempat, dan mendorong lahirnya tradisi berkunjung ke makam-makam tersebut atau disebut dengan tradisi ziarah. Tradisi ini membuktikan, khususnya kepada masyarakat modern saat ini, bahwa eksistensi ‚orang-orang suci‛ yang

7 Sossie Ande\zian dalam Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 96. 8 Walisongo dikenal sebagai wali yang berjasa menyebarkan Islam di tanah Jawa dan sekitarnya. Mereka jumlahnya ada sembilan wali. Antara lain Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Bonang, Sunan Derajat, Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kaliaga dan Sunan Gunung Jati. Ahmad Falah, ‚Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata‛, Walisongo, Volume 20, Nomor 2, November 2012, 430.. 9 Azyumardi Azra, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. 10 Eric Geoffroy dalam Loir dan Fuillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 33. 109 dikenalkan lewat kitab suci sebagai para nabi utusan Allah itu memang benar-benar ada. Hubungan antara umat dengan tokoh-tokoh agama adalah hubungan yang dilandasi oleh dua dimensi, yaitu dimensi keagamaan dan dimensi sosial.11 Pada dimensi keagamaan, hubungan itu dikukuhkan oleh ajaran-ajaran keagamaan, yaitu konsep derajat manusia atas dasar ketakwaan dan konsep wasilah atau tawassul12. Sampai saat ini., pandangan umat Islam tentang tawassul kepada para wali masih belum mencapai kata sepakat. Sebagian menganggapnya tidak masalah, sebagian kalangan lain menganggap kunjungan ini bisa merusak akidah, terutama akibat terpesona ‚secara berlebihan‛ oleh karomah yang dimiliki para kekasih Allah tersebut. Pertentangan dua pendapat tentang tawassul ini tentu memiliki argumen masing-masing. Namun, seiring dengan keterbukaan dari kedua belah pihak, perbedaan tersebut sudah mulai mencair dengan ditandai oleh maraknya wisata religius yang diikuti oleh hampir semua aliran dalam Islam. Dalam dimensi sosial, orang-orang suci direpsentatifkan sebagai nabi, wali sampai Kyai. Mereka dinilai lebih dekat dengan Tuhannya dan karena itu mereka lebih didengarkan atau dikabulakn permohonannya. Logika keagamaan ini menjadi alasan bagi umat untuk memposisikan mereka, khususnya para nabi dan ulama sebagai mutawassul (mediator) dalam berbagai kegiatan atau upacara keagamaan maupun dalam upacara semi keagamaan yang selama ini banyak mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat. Konsep tawassul (mediasi) dan mutawassul (mediator) digerakkan oleh sistem berpikir bipolar tentang Tuhan – manusia, yaitu: atas – bawah; suci – kotor; sakral – profan; dan

11 Mudjahirin Tohir, Orang Islam Jawa Pesisiran (Semarang: Fasindo Press, 2006),. 41-42. 12 Dalam al-Qur’an, kata al-wasilah ini ditemukan di dua tempat. Yakni, ‚Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan‛ (Q.S. al-Maidah: 35), dan ‚Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti‛ (Q.S. al-Isra’: 57). Purwadi, dkk, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006), 4. 110 jauh – dekat. Sistem klasifikasi simbolik yang dipakai untuk menjelaskan tingkat atau bentuk hubungan Tuhan – manusia dalam perwujudan seperti ini, menuntun mereka untuk menciptakan moderasi (penengah) yang mengantarai, sehingga melahirkan klasifikasi tiga (trikotomi).13

Bagan 2. Trikotomi Pola Hubungan Tuhan – Manusia

Tuhan

Tokoh Suci

Hubungan Hubungan

Langsung Berperantara

Umat

Menurut Henri Chamber-Loir dan Claude Guillot,14 fenomena ziarah berkaitan dengan konsep kewalian. Mereka memandang bagaimana para wali membentuk sebuah jaringan rantai panjang melalui fenomena pengeramatannya dan menghubungkan para peziarah dengan sang Ilahi. Para ulama memiliki peziarah setia atau client yang terikat oleh suatu janji kesetiaan pribadi. Namun para ulama dengan rela hati juga menerima siapa saja yang meminta mereka menjadi perantara Allah. Ziarah dapat dilakukan oleh seseorang hanya dengan tujuan mengungkapkan kesetiaannya kepada sang wali, dalam kerangka suatu hubungan yang berkelanjutan. Begitu pula halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan pribadi seseorang atau keluarganya, semua ini dapat dipercayakan kepada seorang ulama tertentu. Upacara-upacara agama adalah kesempatan yang baik untuk melakukan kunjungan untuk memperingati sang ulama; dalam hal ini, ziarah menyerupai fungsi ritus ziarah kepada leluhur. Akhirnya, ziarah dapat pula berupa kegiatan yang bersifat

13 Falah, ‚Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata‛, 430-451. 14 Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 9 111 hiburan. Maka, ziarah ke ulama sekaligus merupakan kegiatan penghormatan, upaya permohonan, dan hiburan.15 Berbagai praktik ziarah, yang dijalankan baik oleh laki-laki maupun perempuan, penduduk kota maupun penduduk desa, kalangan terdidik maupun buta huruf, mencakup kegiatan-kegiatan beragam mulai dari yang bersifat informal sampai yang sepenuhnya terorganisir. Secara Islam, adab berziarah adalah dengan memberikan salam dan membuka alas kaki serta masuk dengan hati yang tunduk. Tidak dipebolehkan untuk duduk di atas kubur, menginjak ataupun melangkahinya. Tujuan berziarah adalah untuk mengingat akan adanya akhirat dan hari kiamat sehingga tujuan-tujuan lain yang dianggap sebagai perbuatan syirik16 di areal pekuburan (hal-hal yang dimurkai oleh Allah SWT).17 Ziarah seolah-olah telah menjadi tradisi yang tidak bisa dilepaskan bagi masyarakat. Praktik ziarah pun telah menyatu atau terenkulturasi dengan baik di dalam kehidupan masyarakat. Perilaku keagamaan di makam-makam juga menarik perhatian pengamat. Di Palembang, pengunjung makam ada yang tidak

15 Sossie Ande\zian dalam Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 96. 16 Menurut sebagaian umat Islam, ziarah adalah bagian dari bid’ah karena dapat memicu adanya perbuatan syirik . Gerakan menentang konsep ziarah ini mulai muncul pada 1744 TU (Tahun Umum) di Arabia Tengah. Muhammad ibn Abd al-Wahab dengan sokongan keluarga kerajaan Su’usd, Emir setempat dari Dar’ijah, memulai suatu pergerakan pembaharuan berdasarkan mazhab Hambali yang sederhana dan pelajaran anti Sufi dari Ibn Taimiyah beserta penganutnya di abad XIV. Pergerakan Wahabi ini (Sebagaimana pergerakan ini seterusnya terkenal) pertama-tama ditujuan untuk menghadapi kemunduran tata susila dan kemerosotan agama di pedesaan dan suku-suku terpencil, mengutuk pemujaan orang suci dan bid’ah-bid’ah lain yang dianggap sebagai penyelewengan dan kekufuran. Gerakan ini pada akhirnya juga menyerang mazhab-mazhab lain karena komprominya dengan bid’ah-bid’ah yang dibenci tersebut. Purwadi, dkk, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006), 4. Lihat juga Subhani, S.J. Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karomah Wali, Termasuk Ajaran Islam: Kritik Atas Paham Wahabi, (Jakarta: Pustaka Al Hidayah, 1989), 7. 17 Pucuk Pimpinan Muslimat NU Bidang Sosial, Budaya dan Lingkungan Hidup, Pedoman Merawat Jenazah Menurut Syari’at Islam. (Jakarta: Suara Bebas, 2006), 115. 112 terlalu peduli pada perantara sewaktu berziarah; ada yang menggunakan jasa juru kunci makam untuk membantu peziarah itu berdoa; ada juga yang membaca Yasin18 dan doa-doa langsung di depan makam; bahkan ada yang mengutarakan beberapa ‚hajatnya‛ langsung kepada makam. Pada umumnya para peziarah yang mengunjungi makam dikarenakan hal tersebut merupakan suatu kebiasaan atau tradisi lama seperti membeli kembang yang kemudian diletakkan di makam sambil berdoa ‚memohon hajatnya terkabul‛; mereka menyentuh batu nisan dan menggosok- gosokkannya sambil mengusapkannya di wajah mereka. Para peziarah menunjukkan sikap yang amat beragam: ada yang berbicara dengan lantang atau justru berdiam diri, ada yang duduk di dekat batu nisan, ada yang berdoa membaca paling sedikit Surat al-Fa>tihah atau beberapa surat lain yang dapat membawa berkah seperti surat Yasin, dan ada yang menyisipkan sedikit uang di celengan Kyai (sebuah kotak yang ditujukan bagi orang-orang yang bernazar untuk menyumbangkan uangnya sebagai suatu imbalan); ada yang bahkan menyampaikan permohonan kepada sang Kyai. Aktivitas peziarah yang dilakukan di makam sebenarnya merupakan akulturasi antara budaya masyarakat setempat dengan Islam. Terdapat tradisi khas Islam yang ditemukan dalam ziarah kubur, seperti ketika orang-orang membaca Surat al-Fa>tihah di makam maka mereka sesungguhnya menghormati al-Qur’an dengan membaca salah satu surat yang ada

18 Dalam hadits Nabi disebutkan : "يس قلب القرءان ال يقرؤها رجل يريد هللا و الدار اآلخرة إال غفر له، واقرءوها على موتاكم أحمد)" (رواه أحمد)" Artinya: "Yasin adalah hatinya al Qur'an, tidaklah dibaca oleh seorangpun karena mengharap ridla Allah dan akhirat kecuali diampuni oleh Allah dosa– dosanya, dan bacalah Yasin ini untuk mayit–mayit kalian " (H.R. Ahmad). Perihal ini, al-Hasan bin as-Shabah az-Za’faroni bertanya kepada Imam Syafii tentang membacakan al-Qur’an di atas kubur, beliau menjawab: ‚Tidak Masalah.‛. Rasulullah bersabda: ‚Siapa yang memasuki pemakaman dan membacakan surat Yasin niscaya Allah akan memberikan keringanan kepada parapenghuni pemakaman tersebut pada hari itu, serta baginya (yang membaca) akan mendapatkan sejumlah kebaikan sejumlah dai huruf (yang dibacanya).‛ Pucuk Pimpinan Muslimat NU Bidang Sosial, Budaya dan Lingkungan Hidup. Pedoman Merawat Jenazah Menurut Syari’at Islam. (Jakarta: Suara Bebas, 2006), 113. 113 di dalamnya sehingga untuk meremehkan hal-hal tersebut merupakan suatu sikap yang kurang objektif. Kota Palembang sebagai kota yang penuh dengan sejarah, memiliki beberapa kompleks pemakaman yang dianggap keramat dan dipercaya oleh sebagian masyarakat setempat sebagai tempat yang sakral sehingga banyak dikunjungi oleh peziarah. Makam- makam yang ada di Kota Palembang tidak hanya terdiri dari kompleks-kompleks pemakaman Kesultanan Palembang, namun juga kompleks-kompleks pemakaman masyarakat lainnya. Pemakaman kesultanan itu antara lain: Kompleks makam kesultanan di Candi Walang, Kebon Gede, Ilir I, dan Kawah Tengkurep. Sementara itu kompleks-kompleks pemakaman lainnya antara lain pemakaman Arab di 14 dan 16 Ulu, dan makam KH. Masagus Abdul Hamid bin Mahmud atau lebih dikenal sebagai makam Kyai Marogan.19 Berbagai makam yang dikeramatkan tersebut hingga sekarang tetap mendapatkan perhatian dari sebagaian umat Islam melalui tradisi ziarah. Kunjungan ke makam dapat dilaksanakan pada hari apa pun, namun ada hari yang lebih disukai dan ramai dikunjungi oleh peziarah, seperti hari raya ied dan peringatan-peringatan Islam lainnya. Tak hanya itu, makam Kyai Marogan misalnya ramai dikunjungi ketika bertepatan dengan khaul Beliau. Khaul adalah pola penghubung bagi generasi penerus dengan generasi pendiri sebuah orde keagamaan yang pada masanya memiliki karisma

19 Karena berbagai keterbatasan, dalam penelitian ini peneliti berfokus pada makam Kyai Marogan (Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud) di Kota Palembang. Makamnya sendiri tidak begitu istimewa, namun sesuai dengan tuntunan Islam. Dalam ajaran Islam, di atas liang lahat suatu makam tidak boleh disemen, tidak boleh dibangun apapun, dan di atas makam bagian kepala diberi tanda dengan batu atau kayu. Makam Kyai Marogan ini ditandai dengan dua buah nisan dari batu andesit berwarna hitam, tidak dibentuk layaknya menhir yang dipasang di atas makam bagian kepala dan kaki. Nisan kepala berukuran tinggi 0,17 meter, lebar 0,12 meter, lebar 0,8 meter, dan tebal 0,5 meter. Karena ketokohan Kyai itu maka makam tersebut dikeramatkan orang, sehingga sampai sekarang makam ini masih ramai diziarahi banyak orang. Makalah memperingati wafatnya Asy-Syeikhul Imam al’allamah al’aruf Billah Kiai Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud (Kiai Muara Ogan) yang ke-109 (17 Rajab 1319 – 17 Rajab 1428). Lihat juga Zulkifli Abdul Karim Nasution, Islam dalam Sejarah dan Budaya Masyarakat Sumatera Selatan. (Palembang: UNSRI Press, 2001), 32. 114 yang sangat tinggi. Khaul menghadirkan nuansa kharismma itu datang lagi dan dianggap sebagai pengejewantah karisma tersebut.20 Khaul Kyai Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud (Kyai Marogan) biasa dilaksanakan setiap tanggal 17 Rajab di Masjid Kyai Muara Ogan Kertapati, Palembang. Secara antropologis dan sosiologis, kehadiran peziarah ke acara ini membuktikan bahwa semakin banyaknya orang yang merasa membutuhkan penyelesaian masalah-masalah di dalam kehidupannya, seperti persoalan ekonomi, religiusitas, psikologis, dan bahkan politik. Ketika khaul dilaksanakan, banyak peziarah yang hadir sebagai bentuk untuk menghormati dan mengenang perjuangan Kyai Marogan yang menyebarkan agama Islam hingga ke pelosok-pelosok daerah di Sumatera Selatan. Ziarah tidak hanya dilakukan secara individual saja melainkan juga dapat dilakukan secara massal. Bahkan kegiatan ziarah secara massal ini merupakan kegiatan wisata religius yang dapat mendatangkan keuntungan tersendiri bagi berkembangnya pariwisata suatu daerah. Ziarah yang dilakukan secara massal umumnya disebut sebagai ziarah kubra yang oleh pemerintah setempat biasanya dijadikan sebagai agenda tahunan. Kota Palembang yang memiliki beberapa makam ulama kerap menjadikan kegiatan ziarah sebagai agenda tahunan wisata religi bagi masyarakat. Peziarah pun tak hanya datang dari penjuru Sumatera Selatan, bahkan peziarah juga datang dari berbagai daerah di Indonesia, terutama dari Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, dan juga dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Yaman, Arab Saudi dan negara-negara lainnya.21 Agenda wisata religi ziarah kubra ‘Ulama dan Auliya’ Palembang Darussalam ini biasanya dilakukan setiap mendekati bulan Ramadhan dan terkhusus bagi kaum laki-laki saja. Wisata religius ini dimaksudkan untuk menghadirkan kembali kesadaran beragama setelah mereka disibukkan dengan rutinitas yang melelahkan. Dengan mengunjungi makam ulama, melihat situ dan peninggalan mereka, diharapkan ada stimulus baru yang masuk ke

20 Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: Lkis, 2005), 184. 21 http://ziarahkubrapalembang.wordpress.com/ diakses pada tanggal 10 Juni 2013. 115 dalam benak kesadaran peziarah sehingga memunculkan kekuatan baru dalam beragama. Dengan cara ini, ziarah akan memberikan arah, motivasi dan akhirnya tumbuh kesadaran secara penuh untuk patuh, tunduk dan menjalankan perintah Allah SWT.

B. Makam Keramat Sebagai Simbol dan Sarana Instrumental Corak kehidupan dan kebudayaan bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh perpaduan tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan Islam di masyarakat. Masuk dan berkembangnya Islam tidak menyebabkan hilangnya kebudayaan Indonesia pra-Islam (prasejarah dan Hindu-Buddha), tetapi justru memperkaya keanekaragaman budaya bangsa Indonesia. Kebudayaan pra-Islam yang baik terus dipertahankan dan dikembangkan sesuai dengan pola budaya Islam dalam wujud akulturasi kebudayaan. Perwujudan akulturasi kebudayaan itu sendiri terlihat dari berbagai aspek kehidupan, seperti ziarah sebagai bentuk akulturasi budaya Hindu dan Islam.22 Tak hanya dalam bentuk tradisi, seni bangunan Islam juga menunjukkan akulturasi dengan budaya pra- Islam, seperti halnya makam. Makam sebagai hasil kebudayaan zaman Islam mempunyai ciri-ciri perpaduan antara unsur budaya Islam dan unsur budaya sebelumnya. Misalnya dilihat dari segi fisik, tata upacara pemakaman, dan letak makam. Menurut Nur Syam, dalam tradisi ziarah, pemakaian istilah makam dan kuburan sering dibedakan. Kuburan sering dikaitkan dengan tempat menyimpan jenazah orang biasa. Sementara istilah makam, dimaksudkan dengan tempat menyimpan jenazah orang wali, orang suci atau tokoh masyarakat yang dihormati.23 Istilah

22 Tradisi ziarah merupakan bentuk akulturasi budaya yang sudah dilakukan para wali untuk menyiarkan agama Islam pada masanya. Menurut Koentjaraningrat, ziarah ke makam suci sebenarnya telah menjadi bagian dari tradisi leluhur yang diwarisinya jauh sebelum Islam datang. Ziarah ke makam wali merupakan kepanjangan dari tradisi Hinduisme bernama upacara srada. Tradisi ini sudah ada pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, raja yang memerintah Majapahit sekitar pertengahan abad ke-14. Srada adalah upacara untuk memuliakan leluhur yang sudah meninggal. Dari kata srada itulah, masyarakat Jawa mengenal nyadran, yaitu kegiatan menziarahi makam leluhur. Biasanya nyadran ini dilakukan mendekati bulan puasa. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 105. 23 Nur Syam, Islam Pesisir, 139. 116 kuburan sering dikesankan sebagai tempat yang gelap, seram dan berada di pinggiran atau di sudut terluar dari suatu perkampungan. Hal ini tidak berlaku bagi makam ulama atau orang-orang salih yang dihormati oleh masyarakat. Mereka justru dimakamkan di tengah-tengah kawasan yang ditinggali warga masyarakat, bahkan dibuatkan tempat khusus yang letaknya cukup strategis dan mudah dijangkau dan senantiasa didatangi oleh para peziarah. Makam ulama bukanlah tempat yang sepi. Bahkan makam bisa menjadi pusat alternatif sebagai tempat menggelar berbagai acara keagamaan. Tidak hanya berupa ritual tahlil atau tawassul yang sangat berkaitan dengan makam, beberapa pemakaman juga dimanfaatkan untuk kegiatan ta’lim dan dakwah, seperti khataman al-Qur’an dan peringatan hari besar Islam. Makam Kyai Marogan merupakan salah satu makam yang memenuhi penjelasan tersebut. Makam Kyai Marogan adalah makam yang disakralkan oleh masyarakat Palembang. Makamnya sendiri juga terkadang disebut gubah24 oleh sebagian masyarakat dan terletak bersebelahan dengan masjid Marogan. Selain makamnya dikunjungi oleh peziarah, masjid Marogan juga dijadikan sebagai pusat kegiatan keagamaan, seperti pengajian, dakwah, pusat tahfiz al-Qur’an dan lain sebagainya. Bahkan dibangun pula sekolah tingkat TK, ibtidaiyah, dan tsanawiyah di sekitar komplek pemakaman. Selain berkontribusi dalam dunia pendidikan, kehadiran makam Kyai Marogan juga memberikan dampak ekonomi terhadap masyarakat yang tinggak di sekitar komplek pemakaman tersebut. Banyaknya peziarah yang berkunjung membuka peluang ekonomi bagi masyarakat sekitar. Kompleks pemakaman Kyai Marogan ini memberikan dampak yang besar terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar makam.

24 Gubah adalah sebutan masyarakat Palembang terhadap makam. Istilah gubah ini berbeda dengan istilah kuburan biasa. Istilah gubah biasanya mengacu pada makam yang berada di dalam bangunan. Kata gubah merupakan pengaksentualisasian masyarakat Palembang dari kata ‚kubah‛ di mana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kubah berarti 1 lengkung (atap); 2 atap yang melengkung merupakan setengah bulatan (kupel). Masyarakat Palembang biasa menyebut gubah Kyai yang dimaksudkan untuk berziarah ke makam Kyai yang berada di dalam bangunan di mana atapnya melengkung seperti kubah masjid, apalagi letak makam Kyai persis bersebelahan dengan masjid yang sama-sama memiliki kubah. 117

Ritual berziarah ke makam keramat merupakan pendekatan dimensi kebudayaan dalam agama. Geertz25 mengartikannya dalam bentuk sebuah definisi agama yang cukup kompleks, yaitu sistem simbol-simbol yang bertindak untuk menciptakan perasaan dan motivasi pada manusia dengan memformulasikan konsepsi mengenai aturan umum dari eksistensi dan memakaikan konsepsi- konsepsi ini dengan nuansa faktualistas sehingga perasaan dan motivasi itu secara unik nampak realistik. Simbol bisa berarti banyak hal. Bisa berarti representasi dari asosiasi antara dua hal terkait, bisa juga berarti sesuatu yang mengekspresikan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan lewat verbal atau dijelaskan secara langsung. Geertz melihat simbol sebagai dasar yang digunakan dalam apa yang disebut konsepsi. Konsepsi itu yang menjadi arti dari simbol. Konsepsi itu merupakan ide, sikap, penilaian, formulasi dan abstraksi dari pikiran dan pengalaman yang dituangkan dalam representasi konkrit. Ketika berbicara mengenai makam secara umum, maka konsepsi spesial terhadap makam tidak begitu berarti. Namun, ketika makam tersebut adalah makam orang yang dianggap suci oleh masyarakat. Maka makam ini berubah menjadi suatu simbol yang dikonsepsikan sebagai makam keramat atau makam suci oleh masyarakat. Masyarakat memperlakukan simbol makam keramat ini dengan sikap yang khas dan dengan pengalaman yang dituangkan dalam representasi konkrit terhadap makam keramat, simbol ini pun kemudian menjadi terinternalisasi dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena pola-pola budaya (sistem-sistem simbol) memiliki sifat bahwa ia merupakan sumber informasi yang eksternal dan dapat memberikan konsepsi yang bisa didefinisikan secara internal. Masyarakat membutuhkan konsepsi-konsepsi yang masuk internal ini melalui simboleksternal. Selanjutnya, simbol-simbol ini kemudian membentuk perasaan dan motivasi yang kuat dan bertahan dalam masyarakat. Makam keramat sebagai simbol suci mampu terinternalisasi dengan baik kepada masyarakat melalui disposisi aktivitas dan pengalaman masyarakat yang berziarah ke makam

25 Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (New York: Basic Books, 1970), 91. 118 tersebut. Disposisi ini sendiri sebenarnya merupakan pola dari aktivitas atau kejadian, bukan hanya sekedar satu kejadian atau aktivitas tertentu. Disposisi ini merupakan motivasi yang berupa kecenderungan di mana terdapat kemampuan untuk melakukan tindakan tertentu. Makam sebagai suatu simbol dapat membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif dan tahan lama. Berziarah ke makam dapat membuat orang merasakan sesuatu dan juga ingin melakukan sesuatu. Motivasi ini memiliki tujuan tertentu, seperti berharap akan kesembuhan, usaha lancar, meminta jodoh, dan lain sebagainya. Pengalaman-pengalaman peziarah yang berkunjung ke makam keramat tersebut kemudian terkonsepsikan dengan baik dan apabila motif peziarah tersebut terpenuhi maka mereka akan membagikan pengalamannya tersebut kepada orang lain melalui proses interaksi dan internalisasi. Konsepsi mengenai eksistensi makam keramat inilah yang akan menciptakan suatu tatanan sistem simbol dalam suatu struktur masyarakat di mana simbol ini selalu memberikan orientasi atau petunjuk bagi masyarakat untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi. Dalam menjaga kelestarian sejarah dan kebersihan makam, biasanya terdapat juru kunci26 makam yang menjaga makam tersebut. Hefner memandang juru kunci sebagai kasus kompromi budaya antara agama Islam dan tradisi sebelumnya, barangkali mengingatkan pada suatu masa ketika pengetahuan tentang Islam memerlukan para ahli. Para ahli ritual tersebut biasanya menguasai bahasa dan doa-doa berbahasa Arab yang dipelajari dari pedoman agama.27Juru kunci di makam ini biasanya lebih mengetahui doa- doa yang bisa dipanjatkan. Juru kunci ini memiliki hubungan

26 Juru kunci juga disebut sebagai kha>dim atau mutawalli> di Irak. Di makam yang besar jabatan kha>dim merupakan posisi yang amat penting dan sekaligus suatu penghormatan untuk orang yang diberi tugas itu. Oleh karenanya kedudukan itu sering ditempati oleh seorang ulama atau syekh: Ibn Battuta menyatakan bahwa kha>dim makam Ibra>him Ibn Adham di Jabala adlah ‚orang yang sangat saleh‛. Posisi juru kunci (kha>dim) juga merupakan tugas yang diwarisi secara turun temurun dalam keluarga yang sama. Wajar apabila keturunan seorang wali tetap menjaga makamnya. Lihat Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 54. 27 Hefner Andrew Beatty, Varieties of Javanese Religion (Princeton: Princeton University Press, 1999), 139. 119 pribadi yang bersifat keturunan dengan Kyai Marogan. Kadang- kadang, para peziarah umum meminta juru kunci setempat, (yang kadang disebut Yai atau Ustad di Palembang), agar menjadi perantara dalam ritus ziarah. Walaupun orang itu tak lain daripada penjaga makam biasa, di mata peziarah, dia tak terpisahkan dari makam; maka orang yang meminta bantuan tersebut lazim memberikan sesuatu pada penjaga makam. Penjaga makam yang acap kali berada di dekat makam merupakan pemandu yang jasanya paling diminati oleh peziarah; orang-orang yang membayar nazar dengan meminta bantuan kepada penjaga makam untuk membaca doa atau hanya sekedar meminta bantuan juru kunci untuk sekedar membacakan doa tolak balak;28 dan jasa itu dibalas dengan memberikan sejumlah uang. Dalam menilai makna komparatif peranan juru kunci ini, juga penting dicatat bahwa juru kunci tidak dipandang sebagai dukun, ahli magic atau penyembuh. Fungsinya sebagai ahli kepercayaan tidak berdasarkan pada kekuatan pribadi atau karisma, dan ia bebas dari kecurigaan dan tudingan melakukan praktek magic yang kerapkali menimpa dukun. Bagi banyak peziarah, makam merupakan sebuah simbol tempat mustajaba>h untuk berdoa. Menurut Beatty, makam merupakan titik persandian dari suatu sistem yang menciptakan makna dengan bantuan konstruksi simbolis.29 Makam tidak hanya menjadi tempat untuk mendoakan jenazah, tetapi juga menjadi tempat yang dianggap cocok untuk mengungkapkan dan menghayati berbagai problematika hidup yang dihadapi oleh

28 Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: َم ْن ى َم َم ى ُم ْن َم َم ى َم قاىَم ):ى الح دىهللىالذيىعق قنيى قىا الهى هىو ض نيىع ىكثي ى ىخ هى تضيالى(ًال َمىل ْن ُمىي ِم ْن ُمه َمىذلِم َم ْنىال َم الَم ُم ى

‚Barangsiapa yang melihat orang yang tertimpa bala lalu membaca: ALH{AMDULILLA’ul) yang diinginkan, yaitu meminta suatu kebaikan kepada Allah sebagaimana Dia telah menghadirkan kebaikan ke muka bumi ini berupa para kekasih-Nya.30 Makam bagi sebagian masyarakat yang mempercayainya bukan hanya sekedar tempat menyimpan mayat, tetapi merupakan suatu simbol yang dianggap suci dan keramat. Pada awalnya, kata keramat mengacu kepada sesuatu yang ‚suci‛ dan dapat berupa kata, benda, orang, ataupun tempat. Secara etimologis, kata kramat yang diacu sebagai ‚tempat suci‛ dapat dilacak dari kata Arab haramat (jamak dari haram), berarti ‚suci‛ atau ‚terlarang‛, atau karamat (jamak dari karomah), yang berarti kemuliaan atau kehormatan (dari Allah).31 Tempat-tempat yang dianggap suci

30 Badruddin, ‚Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian Kyai Abdul Hamid Bin Abdullah Bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Persepektif Fenomenologis‛. Disertasi program pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya. 2011, 25. 31 Dalam Islam ada tiga tempat yang secara formal diakui sebagai tempat suci: dua di Arab disebut haramain, artinya ‚dua tempat suci‛ dan satu lagi di Palestina. Dua pertama tersebut adalah Masjid Suci (Masjid al-Haram) di 121 kemudian diaksentuasikan dari karomah, keajaiban yang berasal dari karunia Allah di seputar kehidupan para wali. Kara Arab karomah (jamak: karamat) yang berarti ‚kemuliaan‛ atau ‚kehormatan (dari Allah)‛ mengalamai pergeseran menjadi ‚kramat‛. Dengan demikian, kata-kata haramat dan karamat digabungkan menjadi istilah kramat, yang berarti tempat suci (haram) atau keajaiban (karamat) menyangkut kehidupan para wali Allah. 32 Dalam perspektif antropologi, pengkultusan makam-makam keramat yang diyakini sebagai makam orang suci, telah membawa ingatan bersama pada segenap hubungan antara ‚orang suci‛ dan ‚tempat suci‛ dalam pemaknaan ruang dan waktu.33 Tidak ada satu pun tempat suci dalam tradisi ritus agama-agama besar yang tidak berhubungan dengan peristiwa bersejarah dalam hidup orang-orang suci. Misalnya saja Kyai Marogan sebagai ulama yang diakui eksistensinya oleh masyarakat Palembang dan sekitarnya adalah agen dakwah agama Islam. Beliau melakukan dakwahnya hingga ke pelosok daerah terpencil di Sumatera Selatan dan sekitarnya, seperti di Pemulutan, Jejawi, dan lain sebagainya sekitar Batang Hari Sembilan. Selain mengaarkan agama Islam, beliau juga mendirikan dan memperbaiki masjid-masjid di daerah tempat beliau berdakwah. Sosok Kyai Marogan sebagai ulama besar dan karismatis, membuat masyarakat kagum terhadapnya, sampai-sampai pemerintah Hindia Belanda mengurungkan niatnya untuk membongkar atau menggusur makam dan masjid beliau. Padahal, jika dilihat dari sudut ekonomi, lokasi makam dan masjid ini sangat strategis dan menguntungkan jika dibongkar karena letaknya di tepian Sungai Ogan dan berdekatan dengan stasiun

Mekkah, dengan objek yang paling dipuja di dalmnya, Ka’bah, atau disebut juga Rumah Allah (Bayt Allah); dan Masjid Nabi (Masjid al Nabawy) di Madinah, tempat Rasulullah dimakamkan. Satu lagi yang berada di Palestina adalah Masjid al-Aqsa (Kubah Batu), yang dahulu menjadi kiblat sholat kaum muslim dan tempat persinggahan nabi dalam perjalanan Isra’ Mi’raj. Pengakuan atas tempat-tempat suci ini ikut membentuk keyakinan bahwa makam-makam setempat, khususnya makam dan peninggalan wali Allah, memiliki derajat kesucian, walaupun derajatnya itu jauh di bawah ketika tempat suci tersebut. AG Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal, 253. 32 AG Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal, 254. 33 Falah, Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata, 434. 122 kereta api. Salah satu karomah yang dimiliki oleh Kyai Marogan di mana pada waktu Kyai Marogan berdakwah mengajar agama ke arah pedalaman Sungai Musi. Ketika dalam perjalanan pulang ada yang memberi sayur mayur. Kyai pun menyuruh muridnya untuk meletakkan sayur tersebut di bawah petak (lantai) perahu. Namun, setelah sampai di Palembang, petak yang berisi sayur mayur tersebut telah berubah menjadi emas murni. Para murid Kyai ini pun melaporkanya kepada Kyai Marogan. Kyai Marogan kemudian menyuruh muridnya untuk membuang semua sayuran yang telah menjadi emas tersebut ke sungai Musi. Murid-murid Kyai Marogan pun merasa heran kenapa emas-emas tersebut harus dibuang. Lalu Kyai Marogan pun menjelaskan bahwa hal ini mengandung sebuah filosofis bahwa kita harus bekerja keras dan beruang untuk mendapatkan hasil yang baik, kita tidak boleh tidak berusaha tetapi ingin mendapatkan hasil yang banyak. Karomah beliau34 yang diinterpretasikan oleh masyarakat ini terus

34 Menurut beberapa cerita yang beredar di lingkungan sosial masyarakat di Palembang, ada beberapa kisah menarik seputar kehidupan maupun sesudah wafatnya Kyai Marogan. Diantara kisah-kisah kemasyhuran Kyai Marogan yang masih diingat oleh penduduk adalah kisah tentang ikan. Pada suatu hari seorang pedagang ikan di daerah Ogan Komering Ilir membawa ikan-ikannya untuk diual di pasar ikan di Palembang. Ikan-ikan itu dimuatkannya di dalam bagian dasar perahunya lalu dikayuhkanlah perahu tersebut menuju Palembang. Mendekati kota Palembang si pedagang menyaksikan bahwa ham[ir semua ikannya dalam keadaan mati. Si pedagang telah membayangkan bahwa dia akan menderita kerugian yang cukup besar kalau ikan –ikan yang mati itu dijual ke Palembang, maklum karena ikan yang sudah mati harganya jauh lebih murah dibandingkan ikan yang hidup dan segar. Tiba-tiba ia teringat akan kemasyhuran dan kekeramatan Kyai Marogan, maka tanpa pikir panjang diarahkanlah perahunya menuju Masjid Kyai Marogan mengharapkan nasihat dari Kyai. Seteah perahunya diikatkan di tangga masjid maka dia pun segera naik untuk menemui Kyai yang biasanya pada pagi hari seperti itu selalu memberikan pelayaran kepada murid-muridnya. Tetapi aneh sekali sebelum dia sempat menyapa dan mengemukakan maksudnya, maka Kyai pun menegurnya: ‚Ki Sanak, ikan-ikan yang kau bawa dalam perahumu tidaklah mati, InsyaAllah ikanmu hidup, juallah ke pasar dan peliharalah keluargamu baik-baik‛. Sambil mengucapkan salam si pedagang menuju ke perahunya sambil terheran-heran. Benar saa setelah tiba di perahunya dilihatnya semua ikan yang dibawanya dalam keadaan hidup dan aktif bergerak. Maka dijualnya ikan-ikan tersebut dengan harga pantas dan dia mendapat untung yang besar. 123 mengalami sosialisasi dari mulut ke mulut sehingga ceritanyapun berkembang yang mengakibatkan munculnya stereotype ‛suci/keramat‛ atas makam beliau. Dari sini nampak bahwa sebenarnya dalam Islam tidak ada lembaga yang bertugas mengesahkan kewalian, masyarakatlah yang mengangkatnya menjadi wali yang erat kaitannya dengan jaringan kehidupan.

C. Motif Peziarah Menurut Weber motif-motif dan sikap-sikap yang dominan bersatu dengan aneka tradisi-tradisi agama dan dapat dihasilkan oleh pelaku-pelaku sosial. Menurutnya, motif rasional keduniaan yang aktif (an active, this worldly rational motive) tampak dalam konsep Protestan mengenai keahlian/pekerjaan (calling) yang bertentangan secara diametral dengan motif-motif keakhiratan dari aneka agama. Mengenai motif ini, Weber menjelaskan bahwa (1) istilah motif berarti sebuah kompleks arti yang subjektif yang nampaknya bagi si pelaku sendiri atau bagi si pengamat merupakan suatu dasar yang kuat bagi adanya tingkah laku yang dipermasalahkan; (2) motif bila ditafsirkan secara sosiologis adalah suatu uraian yang bersifat kata-kata (a verbal account) yang menyediakan deskripsi, eksplanasi atau pembenaran (justifikasi) tingkah laku yang menarik perhatian seorang pelaku sosial; dan (3) motif-motif adalah jawaban yang dapat diterima terhadap pertanyaan dalam konteks dan situtasi khusus sehingga pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tertentu dianggap wajar.35 Dalam kebudayaan-kebudayaan yang masih didominasi oleh lembaga-lembaga agama dan sistem-sistem kepercayaan

Karomah Kyai Marogan pun tidak hanya berhenti sebatas masa hidupnya. Setelah beliau wafat pun, karomahnya masih bisa dirasakan. Hal ini dituturkan oleh masyarakat setempat, bahwa kawasan makam dan masjid Kyai Marogan ini tidak pernah kebanjiran. Padahal ketika Sungai Ogan meluap dan hujan turun deras, perkampungan lain di dekat makam Kyai ini kebanjiran. Hal ini pun sangat dirasakan oleh penduduk sekitar makam dan masjid karena mereka tidak perlu untuk mengungsi atau membersihkan rumah mereka yang terkena banjir. Makalah memperingati wafatnya Asy-Syeikhul Imam al’allamah al’aruf Billah Kiai Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud (Kiai Muara Ogan) yang ke-109 (17 Rajab 1319 – 17 Rajab 1428). 35 Bryan S Turner, Weber dan Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983), 211. 124 agama, penyelidikan-penyelidikan terhadap motif-motif seseorang yang mengunjungi makam keramat akan dianggap sebagai tidak wajar. Namun seorang ahli sosiologi modern merasa perlu mengabsahkan tingkah laku tersebut dengan cara beralasan pada motif yang masuk akal. Untuk memahami suatu motif seseorang, analisa terhadap konteks-konteks sosial dalam konteks mana motif-motif tadi sangat dipertimbangkan, lebih lanjut apabila motif-motif tersebut menyangkut hubungan interperson yang subjektif secara fundamental dipengaruhi oleh perubahan- perubahan makro sosial dalam kondisi-kondisi kebudayaan dan ekonomi masyarakat. Menurut Weber tindakan identik dengan motif untuk tindakan atau in order to motive, artinya untuk memahami tindakan individu haruslah dilihat dari motif apa yang mendasari tindakan itu, sedangkan Schultz menambahkan dengan because- motive atau motif asli yang benar-benar mendasari tindakan yang dilakukan oleh individu. Misalnya pernyataan WW (lk/43) sebagai berikut: ‚aku kesini tu supayo ketek aku ni selamet teros, kan aku ngeteknyo disekiter sungi Kyai inila‛ ‚saya berziarah kesini supaya perahu saya selamat selalu karena saya bawa perahunya di sungai Kyai ini‛.36

Dari pernyataan tersebut maka sesungguhnya terdapat motif dasar ialah penghormatan kepada Kyai Marogan sebagai ulama yang tinggal di tepian Sungai Ogan Palembang. Jadi kedatangannya berziarah ke makam Kyai Marogan disebabkan oleh penghormatannya terhadap sang tokoh dan itu berakibat terhadap keselamatannya di sungai. Penghormatan kepada sang tokoh (Kyai Marogan) adalah first type of motive, sedangkan keselamatan ialah second of motive. 37 Praktik ziarah ke makam yang dianggap keramat beragam bentuknya: dapat merupakan kegiatan individual maupun kolektif; dapat merupakan kegiatan informal atau kegiatan yang

36 Wawancara dengan WW, 21 Agustus 2013. 37 Waters dalam Syam, Islam Pesisir, 36. Lebih lanjut lihat Malcom Waters, Modern Sociological Theory..., 33-34. Periksa juga Finn Collin, Social Reality..., 110-114. 125 diselenggarakan secara periodik. Mencermati apa yang terjadi dalam fenomena ziarah pada makam keramat, terdapat motif- motif yang kadangkala bersifat kolektif maupun motif yang bersifat personal. Dalam motif yang bersifat kolektif, Gerungan38 berpandangan bahwa dorongan atau motif bersama itu menjadi pengikat dan sebab utama terbentuknya kelompok sosial. Tanpa adanya motif yang sama antara sejumlah individu itu akan sukar terbentuk kelompok sosial yang khas. Gejala inilah yang kemudian melatari identitas sosial budaya pelaku ziarah. Sementara motif yang bersifat personal bentukkannya menjadi sangat beragam, tergantung kecenderungan para peziarah.39 Motif yang paling mendasari peziarah ke makam keramat adalah untuk mendapatkan berkah dengan makam keramat sebagai simbol mediatornya. Berkah dalam khazanah istilah Islam berasal dari kata baraka (kata kerja, fi’il madhi) yang berarti telah memperoleh karunia yang bermakna kebaikan. Barakah adalah kata benda (isim), yang berarti kebahagiaan (saidah) dan nilai tambah (ziyadah).40 Nilai tambah tidak disebut barakah41 jika

38 W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 151 39 Falah, Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata, 436. 40 Menurut Musthafa al-Maraghi, ada dua jenis barakah, yaitu: barakatus sama’ (berkah-berkah dari langit) yang berupa ilmu pengetahuan produk akal yang berdasarkan wahyu dan anugerah Ilahi yang berupa ilham-ilham dan juga hujan dan sebagainya yang menyebabkan kesuburan dan timbulnya kekayaan di muka bumi. Barakatu fil ardi (berkah-berkah dari bumi) ialah kesuburan, hasil tambang dan sebagainya). Agar diperoleh barakah itu, maka penduduk bumi harus bertaqwa kepada Allah, sehingga akan dibuka pintu-pintu kenikmatan dan keberkahan, yaitu dengan diturunkannya hujan yang bermanfaat yang dapat menyuburkan tanah dan memberi kemakmuran hidup di dalam negeri, dan akan didatangkan ilmu-ilmu, bermacam-macam pengetahuan tentang banyak hal. Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al Maraghi, Juz VII, (Mesir. Darul Hikam, 1974), 14-15. 41 Jamhari dalam penelitiannya mengenai ziarah ke Sunan Tembayat di Bayat Klaten menemukan perbedaan antara ‚barakah‛ dan ‚perolehan‛. Barakah adalah hasil yang didapat setelah melakukan ziarah. Barakah ini berasal dari Tuhan, baik secara langsung maupun melalui perantaraan wali, yang memberikan manfaat pada ketenangan jiwa. Selain itu, barakah, seperti halnya pahala yang didapat ketika melakukan ibadah, akan bermanfaat pada hari kiamat nanti. Sementara itu, ‚perolehan‛ adalah hasil yang didapat dari ziarah yang bersifat duniawi, yaitu ‚sesuatu‛ yang dapat dimanfaatkan untuk mencari 126 tidak diikuti dengan kebahagiaan, ketenangan dan kebaikan. Misalnya seseorang memperoleh tambahan rezeki, akan tetapi jika tidak memperoleh ketenangan atau kebahagiaan dengan tambahan rezeki tersebut, maka tidak bisa dinyatakan memperoleh barakah atau berkah. Dengan demikian, untuk memahami sebuah nilai tambah itu barakah atau tidak tergantung dari apakah nilai tambah tersebut membawa serta kebahagiaan atau tidak. Dari konteks inilah, barakah berubah menjadi berkah, yang memiliki banyak arti, misalnya berkah kesembuhan dari penyakit, terselesaikannya problem individu, keluarga atau masyarakat, memperoleh kenikmatan dalam kehidupan, seperti memperoleh jodoh, lulus ujian, usahanya berhasil, panen banyak, dan sebagainya.42 Makam Kyai Marogan selalu ramai dikunjungi masyarakat, tidak hanya masyarakat lokal namun juga masyarakat di luar Palembang. Pada hari-hari biasa selalu ada saja peziarah yang datang, meskipun yang paling ramai adalah pada hari libur. Mereka pada umumnya datang secara kolektif bersama keluarga, kerabat maupun teman/tetangga. Menurut juru kunci makam Kyai Marogan, jumlah pengunjung pada hari-hari biasa, selain hari libur tidaklah terlalu banyak. Jika dibuat rata-rata, kurang lebih sekitar 100 orang per hari. Tetapi jumlah tersebut akan meningkat jauh pada saat hari libur. Apalagi sejak beberapa tahun terakhir ini, ziarah (ziarah kubro) dijadikan program wisata oleh pemerintah Palembang sehingga mengakibatkan membludaknya peziarah yang datang ke makam ini.43 Kebanyakan peziarah yakin bahwa dengan berziarah ke makam keramat, mereka akan mendapatkan berkah atau keberuntungan sesuai yang dihajatkan. Pada dasarnya barakah sering dimaksudkan sebagai sesuatu yang mendatangkan kebaikan.

kekayaan, menarik lawan jenis, sukses dalam berbisnis maupun sekolah, dan semacamnya. Jadi bagi peziarah di Bayat, barakah bersifat suci dan mungkin saja didapat tidak kasat mata, sedangkan perolehan bersifat duniawi. Tidak seperti barakah, perolehan mempunyai sifat ‚panas‛ yang dapat membahayakan manusia yang mencarinya. Jamhari, ‚The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah‛, Studia Islamika, (Vol. 8, No. 1, 2001), 87. 42 Syam, Islam Pesisir, 158. 43 Wawancara dengan IS, juru kunci makam Kyai Marogan pada tanggal 21 Agustus 2013. 127

Namun para peziarah tidak banyak yang peduli dengan definisi normatif itu. Berkah lebih dimaksudkan sebagai berbagai keinginan material peziarah yang diharapkan dapat terkabul dengan cara berdoa di makam Kyai Marogan. Peneliti sempat berbincang dengan IW (lk/38). Ia berziarah bersama anak dan istrinya dari Banyuasin. IW adalah seorang pedagang keliling yang mengungkapkan bahwa maksud dan tujuannya berziarah ke makam Kyai Marogan adalah berharap mendapatkan berkah dari Kyai Marogan. Menurut penuturannya, hasil dagangannya akhir- akhir ini kurang menguntungkan. Ketika ditanya ‚apa maksud berkahnya?‛ IW menjawab ‚Mudah-mudahan saja dengan berziarah kesini, usaha saya lancar, dagangan saya habis terus‛.44 Peziarah yang mengunjungi makam pada umumnya telah dilandasi dengan niat dan tujuan yang didorong oleh kemauan batin yang mantap. Masing-masing memiliki motivasi yang belum tentu sama. Secara umum, motivasi ziarah ke makam Kyai Marogan ini sesungguhnya hampir sama, yaitu seputar untuk mendapatkan keselamatan, kesehatan, keberkahan, kesembuhan, ungkapan syukur, kemudahan rezeki, jodoh, dan nasib baik. Namun demikian, tidak sedikit ditemukan bahwa motivasi para peziarah tidaklah tunggal, misalnya karena keinginan untuk sembuh saja, tetapi biasanya termasuk keinginan banyak rezeki, keselamatan dan lain sebagainya. Bila dirinci secara detail, tujuan/motif yang beragam tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

44 Wawancara dengan IW, Rabu (21 Agustus 2013). 128

Tabel 6. Motif dan Tujuan Peziarah NO MOTIF DAN TUJUAN 1. Meminta keselamatan dan kesehatan 2. Bayar nazar 3. Syukuran 4. Kelancaran rezeki, usaha, dan panen yang melimpah 5. Segera mendapatkan jodoh 6. Sebagai rutinitas 7. Minta kesembuhan 8. Mendapatkan berkah 9. Kagum terhadap sang tokoh 10. Agar anak pintar dan tidak nakal 11. Nyukur anak (slametan dengan menggunting rambut bayi dan memberi nama si bayi) 12. Membeli benda yang dianggap sarat, seperti kembang gantung, kemenyan, kembang keramas, gelang dan kalung untuk bayi, dan lain sebagainya. 13. Ingin mendapatkan anak (laki-laki/perempuan) 14. Agar rumah tangga harmonis 15. Meminta restu karena akan melakukan perjalanan jauh 16. Mencari peruntungan 17. Supaya anak (bayi) tidak nangis terus 18. Ikut-ikutan / diajak keluarga/teman 19. Mengambil/mengembalikan batu kerikil makam 20. Ngeramas (mencuci) kendaraan (motor, mobil, truk, ketek, perahu, tongkang) yang baru dibeli ataupun dikeramas karena baru saja mengalami kecelakaan. 21. Meminta restu agar dapat menduduki posisi jabatan tertentu

Doa-doa yang dipanjatkan untuk mendapatkan berkah itu sering dijelaskan dalam satu konsep mengenai tawassul atau berdoa dengan perantara. Namun lagi-lagi para peziarah tidak banyak yang peduli dengan konsep normatif ini, kecuali membaca doa-doa tawassul secara praktis yang terangkum dalam bacaan tahlil. Tapi terkadang kebanyakan peziarah hanya memanjatkan doa mereka tanpa membaca tahlil. Para peziarah memahami tawassul secara praktis, yakni berdoa di sisi makam Kyai Marogan. Dengan berdoa di sisi makam Kyai Marogan yang dinilai dekat dan mempunyai posisi terhormat di sisi Allah, para peziarah berharap doa-doa mereka dikabulkan. Para peziarah mendatangi makam sendiri-sendiri, bersama keluarga, atau bersama para tetangga dengan menggunakan angkutan darat

129

(seperti becak, motor, mobil, atau angkot) maupun angkutan laut (seperti kapal, speedboat, atau ketek-perahu kecil). YL (pr/34) misalnya ia datang dengan menggunakan jasa ketek dari 16 Ilir menuju Kertapati tempat makam Kyai Marogan yang melintasi Sungai Musi menuju Sungai Ogan. Ia datang bersama anaknya.45 Terdapat beberapa klasifikasi motif peziarah yang berziarah ke makam keramat Kyai Marogan. Pertama berkah keselamatan. Bagi peziarah yang datang ke makam Kyai Marogan, motif untuk mendapatkan keselamatan seringkali dilontarkan kepada juru kunci. Kyai Merogan adalah ulama yang tinggal di tepian Sungai Ogan, sehingga siapapun yang datang – khususnya orang yang bekerja membawa kapal, baik kapal kecil (ketek) maupun kapal besar (seperti tongkang) – mereka menganggap seperti suatu keharusan tersendiri untuk meminta izin dari sang Kyai agar ia selamat di sungai. Kyai Marogan dipercaya masyarakat sebagai ‚pemilik‛ Sungai Ogan sehingga siapapun yang berlayar di sungai Ogan, dipercaya harus berziarah dahulu ke makam Kyai agar selamat. Namun, tak hanya pelayar di sungai saja yang datang untuk mendapat berkat keselamatan. Ada juga sopir truk yang datang untuk keramas (memandikan truknya) agar ia selamat sampai tujuan. Atau ada juga yang mengharapkan keselamatan dalam perjalanannya.46 Adapun, setelah mendapat berkah keselamatan, peziarah melakukan syukuran dengan berziarah.47

45 Wawancara dengan YL (pr/48) pada tanggal 21 Agustus 2013. 46 ‚Mamang nak bejalan jaoh bawa truk ni nak ke Jawo sano, jadi sebelum pegi truk ni dikeramaske dulu. Yo kato wong tu biar selamet la katek hambatannyo di perjalanan agek. Tau la dewek dek sekarang tu rawan nian. Minta berkat selametnyo samo Kyai ni‛ (Paman akan melakukan perjalan jauh dengan truk ini ke daerah Jawa, jadi sebelum pergi truk ini dikeramas dulu. Ya kata orang sih biar selamat tidak ada hambatan di perjalanan nanti. Tau sendiri lah kalau sekarang itu sangat rawan. Minta berkah selamatnya saja dari Kyai ini). Wawancara dengan DN (lk, 42) pada tanggal 21 Agustus 2013. 47 ‚perahu aku ni ilang dipaleng wong di sungi musi, jadi aku beniat kalu prahu ni balek, aku nak ke Kyai ni, nah dak taunyo sukur nian sekarang tu la dibalekke wong prahu tu‛ (Perahu saya hilang dicuri orang di Sungai Musi, jadi saya bernazar jika perahu ini kembali (ke tangan saya), saya mau (ziarah) ke 130

Kedua, berkah untuk menjadi keluarga yang sakinah dan bahagia. Bagi peziarah yang telah membina rumah tangga, umumnya mereka berziarah untuk berdoa mengharapkan keberkahan di makam Kyai Marogan agar keluarganya mendapatkan kebahagiaan. Keutuhan dan kebahagiaan dalam perjalanan pernikahan sebuah keluarga menjadi motive in order dalam ziarah. Pernah ada seorang ibu yang datang karena sedang mengalami masalah keluarga, ia sering bertengkar dengan suaminya bahkan sang suami mau menceraikannya. Ia berziarah ke makam Kyai Marogan agar permasalahan rumah tangganya terselesaikan dengan baik dan meminta untuk didoakan agar hati sang suami terbuka sehingga keluarganya bisa kembali harmonis.48 Ada juga yang datang untuk minta didoakan agar segera memiliki anak dari rahim sendiri. Ia telah dua belas tahun menikah namun belum juga memiliki anak meskipun ia telah mengadopsi anak laki-laki, namun ia berharap untuk mendapatkan anak kandung. Ia pun berziarah ke makam Kyai Marogan agar dipermudah untuk mendapatkan anak sekaligus ia juga mendoakan anak angkatnya yang nakal agar keluarganya menjadi keluarga yang sakinah.49 Ketiga, berkah untuk mendapatkan jodoh. Bagi perempuan maaupun laki-laki yang telah menginjak usia matang, mereka berharap agar segera mendapatkan jodoh atau pasangan hidup. Tak hanya itu, orang tua yang memiliki anak yang berusia dewasa juga berharap agar anaknya segera menemukan jodohnya. Menurut keyakinan banyak orang, urusan jodoh adalah takdir yang telah diatur oleh Allah. Oleh karena itu agar segera mendapatkan jodoh banyak cara yang dilakukan sebagai bentuk ikhtiar. Berziarah ke makam Kyai Marogan adalah salah satu cara yang dilakukan peziarah yang menghendaki cepat mendapatkan pasangan dalam hidupnya. Mereka berharap, dengan berziarah ke makam Kyai Marogan bisa memperoleh berkah dan kemudahan dalam menemukan jodoh yang terbaik dan bisa membangun rumah tangga yang sakinah. ZN (pr/36) misalnya adalah seorang peziarah dari Plaju. Guru di sebuah sekolah swasta Palembang ini mengaku

(makam) Kyai ini, saya bersyukur sekarang perahu ini kembali ke saya). Wawancara dengan ST (pr/54) pada tanggal 23 Agustus 2013. 48 Wawancara dengan SK (pr/27) pada tanggal 21 Agustus 2013. 49 Wawancara dengan AT (pr/40) pada tanggal 23 Agustus 2013. 131 berziarah ke makam Kyai Marogan untuk menyampaikan keluh kesahnya karena hingga saat ini ia belum mendapatkan jodohnya. Ia berharap, dengan berziarah ke makam Kyai Marogan, doanya terkabul untuk segera mendapatkan jodoh. ‚Jodoh itu di tangan Allah, siapa tahu dengan berziarah kesini doa saya semakin dikabulkan sama Allah. Kan Kyai sudah dekat dengan Allah, mudah-mudahan doa saya disampaikan oleh Kyai kepada Allah‛, katanya.50 Keempat, berkah agar hasil panen melimpah. Bagi petani yang sedang berada dalam masa tanam, berziarah merupakan salah satu cara memohon kepada Allah agar tanaman yang mereka tanam nantinya menghasilkan panen yang melimpah. Mereka biasanya membeli kemenyan dan kembang keramas untuk diletakkan di petakan sawahnya. Setelah masa panen, biasanya petani tersebut membawakan beras hasil panennya sebagai ungkapan syukur karena telah diberi kemudahan ketika bercocok tanam.51 Kelima, berkah agar usaha/dagangannya lancar. Banyak pedagang yang berziarah ke makam Kyai Marogan untuk memohon berkah agar usaha maju dan dagangannya laris. Mereka meyakini bahwa berkah Kyai bisa memberikan dampak kemajuan pada usaha dagangannya. Persaingan yang ketat dalm dunia perdagangan menjadikan beberapa pedagang mencari cara lain yang bersifat ‚spiritual‛ untuk dapat memajukan usahanya. HM (lk/28), peziarah dari Lemabang-Palembang yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang menganggap Kyai Marogan sebagai sosok yang penuh dengan karismatik dan karomah. Ia kagum akan sosok Kyai Marogan. ‚Kyai ini adalah orang yang pantas dikagumi karena memiliki karomah yang luar biasa dari Allah‛, katanya. Ketika berziarah, ia membaca surat Yasin dan tahlil untuk beliau.52 Keenam, berkah akan pekerjaan. Motif sebagian pelaku ziarah adalah meminta berkah agar pekerjaannya dimudahkan dan bagi yang belum bekera, mereka biasanya meminta berkah agar

50 Wawancara dengan ZN (pr/36) pada tanggal 22 Agustus 2013. 51 Wawancara dengan YT (lk/72) pada tanggal 23 Agustus 2013. 52 Wawancara dengan HM, Kamis (22 Agustus 2013). 132 mendapatkan pekerjaan. Kunjungan peziarah yang meohon berkah pekerjaan ini akan meningkat ketika musim kelulusan sekolah atau setelah wisuda sebuah universitas, bahkan ketika musim pembukaan lowongan CPNS, peziarah yang datang pun semakin banyak. Harapan untuk mendapatkan pekerjaan menyebabkan orang-orang berziarah sebagai salah satu bentuk ikhtiar mereka agar mendapatkan pekerjaan yang berkah. Tak hanya mendapatkan pekerjaan, peziarah yang datang pun bahkan sudah memiliki pekerjaan dan berharap mendapatkan berkah agar memiliki jabatan di instansinya. Selain itu juga, pada saat gencar-gencarnya pemilu legislatif, banyak calon anggota legislatif yang berziarah untuk meminta berkah agar terpilih menjadi wakil rakyat. Jika dijabarkan satu persatu motif peziarah yang datang ke makam Kyai Marogan sangatlah banyak. Hal ini dikarenakan setiap peziarah yang datang memiliki motif-motif tersendiri. Hal ini diakui oleh juru kunci makam Kyai Marogan. Menurutnya, orang-orang yang berziarah ke makam Kyai Marogan memiliki latar belakang yang berbeda-beda, ada pengusaha, pedagang, petani, pengemudi perahu, sopir, ibu rumah tangga, PNS, anggota DPRD, ustaz/pekerja sosial keagamaan, buruh, dan lain sebagainya. Masing-masing memiliki tujuan sendiri-sendiri, sesuai dengan kebutuhannya. Jika pedagang atau pengusaha, mereka umumnya minta didoakan agar usahanya lancardan maju. Petani minta didoakan agar bisa menghasilkan panen yang melimpah. Seorang ibu meminta untuk kesembuhan anaknya, dan lain sebagainya. Mereka percaya bahwa berziarah ke makam Kyai Marogan adalah cara yang dianggap tepat untuk menyampaikan hajat karena Kyai Marogan adalah mediator doa kepada Allah SWT. Paling tidak, cara ini bisa membuat hati mereka lebih tenang.53 Ziarah ke makam Kyai Marogan (tokoh yang dianggap suci) didasari oleh motif-motif yang lahir dari dalam diri para peziarah, baik yang bersifat kolektif, yakni motif tradisi ataupun motif yang bersifat personal yang sifatnya sangat beragama karena latar belakang dan orientasi peziarah yang berbeda-beda. Untuk

53 Wawancara dengan IS juru kunci makam Kyai Marogan pada tanggal 21 Agustus 2013. 133 motif kolektif, ziarah cenderung dilakukan bersama anggota keluarga, teman-teman atau para tetangga. Ada pendapat bahwa permohonan-permohonan akan lebih mudah terkabul apabila disampaikan secara kolektif, dan berkah yang akan diperoleh juga lebih besar. Mengantar seseorang berziarah berarti memberikan dukungan baik fisik maupun moral kepada orang yang bersangkutan. Sekalipun dilakukan secara perorangan, ziarah tetap merupakan suatu tindakan yang bersifat sosial. Namun sifat sementara dari hubungan antar pengunjung itu bukanlah kendala bagi adanya intensitas yang tinggi dalam komunikasi dan kesungguhan dalam ucapan-ucapan. Para peziarah secara sosial diketahui identitasnya, dipahami keprihatinannya, dan terungkapkan keinginannya. Baik datang seorang diri maupun dalam kelompok, ketika pulang para pengunjung diliputi perasaan bahwa mereka adalah bagian dari suatu komunitas. Maka ziarah merupakan suatu kesempatan untuk mengalami perasaan kebersamaan kolektif dan menghidupkan kembali hubungan keakraban yang sulit dipertahankan di tengah kehidupan modern. Ziarah mengaitkan individu pada suatu kelompok spiritual. Meskipun praktik ziarah tampaknya memainkan peran perekat sosial dan memperbanyak kesempatan menghidupkan kembali rasa kebersamaan kolektif, hal itu hanya dimungkinkan oleh adanya ruang dan waktu yang secara fungsional masih memungkinkan modus pertukaran kolektif, baik ekonomis sosial maupun simbolis di tengah masyarakat.54 Keseluruhan dari motif-motif peziarah ini umumnya berangkat dari sistem kepercayaan yang meyakini jika makam orang suci itu bersifat sakral dan bisa menjadi media tawassul mereka untuk menyampaikan doa dan hajatnya. Orang-orang yang dianggap suci ini adalah mediator yang bisa menghubungkan dalam relasinya kepada Allah. Kebiasaan untuk memohon bantuan kepada wali tidak dapat begitu saja dicari penyebabnya pada ketidakmampuan golongan-golongan tertentu masyarakat untuk mencapai rasionalitas, ataupun pada kecenderungan untuk menyukai kejadian-kejadian luar biasa, yang menandakan suatu pola berpikir yang bertumpu pada kekuatan magis. Kebiasaan itu

54 Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 6. 134 tidak juga dapat dikatakan sebagai sekedar suatu strategi untuk melepaskan diri dari masalah-masalah kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat yang putus asa dan tertindas itu, yang berupaya menyalurkan hasrat dan keinginan yang tak terpenuhi melalui hubungan dengan sesuatu yang disakralkan.

D. Masyarakat dan Enkulturasi Tradisi Ziarah Geertz menyebutkan bahwa agama merupakan bagian dari sistem kebudayaan, dalam arti agama merupakan pedoman yang dijadikan sebagai kerangka interpretasi tindakan manusia.55 Selaras dengan hal tersebut Geertz juga mengungkapkan bahwa agama adalah suatu sistem simbol yang berfungsi untuk mengukuhkan suasana hati dan motivasi yang kuat dan mendalam pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi tentang tatanan umum eksistensi dan membungkus konsepsi itu dengan aura aktualitas yang bagi perasaan dan motivasi tampak realistis.56 Sistem simbol di dalam agama merupakan bentuk simbol suci57 yang biasanya terinternalisasi di dalam tradisi masyarakat yang disebut sebagai tradisi keagamaan. Yang dimaksud dengan tradisi keagamaan ialah kumpulan atau hasil perkembangan sepanjang sejarah: ada unsur baru yang masuk, ada yang

55 Geertz, The Interpretation of Culture, 87-125. 56 Geertz, The Interpretation of Culture, 90. 57 Menurut Nur Syam, yang suci atau sakral adalah sesuatu yang berbeda dengan yang profan. Yang sakral itu mencakup keyakinan, mitos, dogma dan legenda-legenda yang mengekspresikan representasi atau sistem representasi di mana hakikat yang sakral itu terdapat dan kekuatan-kekuatan yang dilambangkandan saling hubungannya dengan lainnya dan dunia profan. Akan tetapi untuk memahami yang sakral tersebut tidak sederhana, sebab banyak benda-benda profan yaang diatribusikan dengan kesakralan, misalnya batu, gunung, pohon dan sebagainya yang dianggap memiliki spirit atau bahkan dinyatakan sebagai Tuhan. Lebih lanjut lihat Emile Durkheim, The Elementary Form of Religious Life (London: George Allen and Unwin, Ltd., 1976), 37. Menurut Mircea Eliade, yang profan adalah wilayah urusan setiap hari, hal-hal yang biasa, tak disengaja dan pada umumnya tidak penting, yang sakral ialah sebaliknya, wilayah supernatural, hal-hal yang luar biasa, mengesankan dan penting. Periksa Daniele L.Pals, Seven Theories of Religion (Jakarta: Qalam, 2001), 275. 135 ditinggalkan juga.58 Hampir sama dengan pendapat Steenbrink – yang mengedepankan dimensi historis- maka menurut konsepsi Fazzlurrahman bahwa tradisi Islam bisa terdiri dari elemen yang tidak Islami dan tidak didapatkan dasarnya di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi, perlu dibedakan antara Islam itu sendiri dengan sejarah Islam yang termuat di dalam teks al-Qur’an dan al-Hadith adalah ajaran yang merupakan sumber asasi, dan ketika sumber itu digunakan atau diamalkan di suatu wilayah – sebagai pedoman kehidupan – maka bersamaan dengan itu, tradisi setempat bisa saja mewarnai penafsiran masyarakat lokalnya. Karena penafsiran itu bersentuhan dengan teks suci, maka simbol yang diwujudkannya juga merupakan sesuatu yang sakral.59 Setiap tradisi keagamaan60 memuat simbol-simbol suci yang dengannya orang melakukan serangkaian tindakan untuk menumpahkan keyakinan dalam bentuk ritual, penghormatan, dan penghambaan. Menurut Beatty, sebuah tradisi terdiri dari makna- makna yang berbeda-beda adalah persoalan perbedaan interpretasi. Makna suatu simbol tergantung pada tingkat strategi apa seseorang menggunakannya dalam pembicaraan.61 Salah satu contoh ialah melakukan upacara lingkaran hidup dan upacara intensifikasi, baik yang memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama atau yang dianggap tidak memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama. Tradisi lahir sebagai akibat dari dinamika yang berkembang di suatu komunitas atau lingkungan masyarakat tertentu. Tradisi merupakan identitas dan ciri khas suatu komunitas yang terdiri dari perilaku, kebiasaan, atau khazanah yang dijumpai secara turun temurun dan merupakan warisan dari para pendahulu. Menurut Shils, tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini. Dalam

58 Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), 42. 59 Syam, Islam Pesisir, 17. 60 Menurut Nur Syam, tradisi keagamaan yang bersumber dari ajaran agama disebut Islam offisial atau Islam Murni, sedangkan yang dianggap tidak memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama disebut sebagai Islam Popular atau Islam Rakyat. Syam, Islam Pesisir, 17. 61 Beatty, Variasi Agama di Jawa, 60. 136 pengertian yang lebih sempit ini tradisi hanya berarti bagian- bagian warisan sosial khusus yang memenuhi syarat saja yakni yang tetap bertahan hidup di masa kini, yang masih kuat ikatannya dengan kehidupan masa kini. Dilihat dari aspek benda material yang menunjukkan dan mengingatkan kaitan khususnya dengan kehidupan masa lalu adalah bangunan istana, tembok kota abad pertengahan, candi, puing kuno, kereta kencana serta sejumlah benda peninggalan lainnya, jelas termasuk ke dalam pengertian tradisi. Dilihat dari aspek gagasan (termasuk keyakinan, kepercayaan, simbol, norma, nilai, aturan dan ideologi) haruslah yang benar-benar memengaruhi pikiran dan perilaku dan yang melukiskan makna khusus atau legitimasi masa lalunya. Gagasan kuno mengenai demokrasi, keadilan, teknik pedukunan dan resep masakan kuno merupakan contoh tradisi pertama yang muncul dalam pikiran. Termasuk pula benda atau gagasan baru yang diyakini berasal dari masa lalu dan yang diperlakukan secara khidmat. 62 Dalam hal ini makam merupakan tradisi yang dilihat dari aspek benda material yang menunjukkan dan mengingatkan kaitan khususnya dengan kehidupan masa lalu. Makam sebagai simbol keagamaan, khususnya Islam, menjadikannya sebagai bagian tradisi keagamaan (Islam). Dilihat dari aspek gagasan, keyakinan, dan kepercayaan, berziarah ke makam keramat memiliki makna tersendiri bagi para peziarah. Mereka menginterpretasikan makna ziarah melalui motif-motif tertentu sehingga ketika motif tersebut terwujud dalam suatu realitas sosial maka mereka akan melegitimasi ziarah sebagai bentuk aktivitas. Makam sebg\agai simbol ini terlegitimasi dalam masyarakat sehingga masyarakat membentuk suatu pola tindakan tertentu ketika melakukan aktivitas ziarah, khususnya ketika berziarah ke makam yang dianggap keramat. Menurut Giddens,63 penyebaran tradisi melalui lisan jauh lebih terbatas ketimbang melalui tulisan. Meskipun penyebaran tradisi melalui lisan digunakan manusia untuk mengobjektivasikan

62 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, 66- 70. 63 Anthony Giddens, Central Problems in Social Theory, (London: Macmillan, 1979), 204. 137 pengalaman-pengalamannya kepada yang lain, namun selain sangat terbatas cakupan penerimanya, juga terbatas jangka waktunya. Masyarakat Palembang yang mengganggap makam Kyai Marogan sebagai makam yang penuh dengan karomah karena historisitas karomah atau kemampuan Kyai Marogan yang berada di luar batas kemampuan manusia biasa. Cerita mengenai karomah Kyai Marogan ini pun mulai menyebar setelah beliau meninggal dan makamnya pun menjadi sasaran peziarah untuk dikunjungi. Masyarakat Palembang yang senang mengembangkan cerita tentang karomah merupakan faktor penting dalam mengangkat makam Kyai Marogan sebagai makam yang keramat dan membuat para peziarah ke makamnya terus mengalir. Peziarah yang datang berkunjung pun tak hanya berasal dari wilayah sekitar makam, terdapat banyak peziarah luar daerah yang datang berkunjung, khususnya masyarakat yang berasal dari daerah pedesaan yang ada di Sumatera Selatan. Menurut Piotr, masa lalu memasuki masa kini melalui rute ideal (psikologis) dan material.64 Melalui mekanisme ideal (psikologis) orang mewarisi keyakinan, pengetahuan, simbol, norma, dan nilai masa lalu. Kesemua warisan ini dipelihara, ditafsirkan digunakan, dan diwariskan melalui berbagai agen seperti keluarga, masjid, sekolah, media massa, dan lain sebagainya. Mekanisme pewarisan benda material dan gagasan dari masa lalu saling berinteraksi. Artefak di sekitar yang berasal dari masa lalu mengaitkan ingatan pada masyarakat terdahulu. Yang penting dalam memahami tradisi adalah sikap atau orientasi pikiran tentang benda material atau gagasan yang berasal dari masa lalu yang dipungut orang di masa kini. Sikap atau orientasi ini menempati bagian khusus dari keseluruhan warisan historis dan mengangkatnya menjadi tradisi. Arti penting penghormatan atau penerimaan sesuatu yang secara sosial ditetapkan sebagai tradisi menjelaskan betapa menariknya fenomena tradisi itu. Ziarah menjadi bagian dari aktivitas keagamaan yang dianggap penting oleh sebagian besar umat Islam di berbagai

64 Dapat dikatakan, ‚keberadaan di masa kini‛ mengandung dua arti: objektif bila objek dari masa lalu secara material dilestarikan, dan subjektif bila gagasan dari masa llau diingat dan tertanam dalam kesadaran anggota masyarakat sehingga menjadi bagian kultur. Piotr, 67 138 belahan dunia Islam.65 Meskipun ritual ini hanya disunnahkan, atau tidak menjadi suatu keharusan, namun bagi sebagaian kalangan umat Islam, ziarah menjadi pilihan ritual yang sangat penting dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT, khususnya ziarah ke makam ulama yang dianggap sebagai ‚orang suci dan pilihan‛. Ziarah ke makam bagi masyarakat Indonesia telah menjadi tradisi dengan beragam motivasi. Selain untuk meminta berkah hidup, peziarah juga dapat menyaksikan warisan budaya, baik yang kasat mata (tangible heritage) maupun yang tidak kasat mata (intangible heritage).66 Tradisi ziarah terutama dilakukan terhadap leluhur, orang tua atau anggota keluarga yang dicintai. Maksud ziarah adalah untuk mengenang kebesaran Tuhan, dan menyampaikan doa agar arwah ahli kubur diterima di sisi Allah. Dal hal ini ziarah adalah perbuatan sunnah, artinya jika dilakukan mendapat pahala dan kalau ditinggalkan tidak berdosa. Ziarah dalam arti umum di Indonesia berupa kunjungan ke makam, masjid, relik-relik tokoh agama, raja dan keluarganya, dan terutama ke makam para wali penyebar agama Islam. Tradisi ziarah kubur erat hubungannya dengan karisma leluhur yang makamnya banyak dikunjungi orang. Karisma leluhur ini dapat pula diwujudkan dengan bentuk dan hiasan bangunan makam yang beraneka ragam, sesuai dengan tradisi seni bangun yang dikuasai atau yang disukai. Karisma para tokoh agama yang berkarisma begitu melekat di hati masyarakat sampai sekarang.\, sehingga banyak di antaranya yang berkunjung dan mengadakan ziarah ke makam-makam tersebut. Sebagai dampak dari adanya dan berkembangnya budaya ziarah ke makam, pemerintah maupun swasta merespons positif dengan mengembangkan tempat ziarah sebagai obyek wisata ziarah, dengan cara pengelolaan sedemikian

65 Lebih lanjut bisa dilihat dalam buku yang dikumpulkan oleh Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Buku ini menjelaskan mengenai tradisi ziarah di belahan dunia Islam, seperti di negara Timur Tengah, Mesir, Sudan, kawasan Magribi, Afrika Barat, Iran, India, Turki, Tiongkok, termasuk Indonesia. 66 Dawson Munjeri, ‚Tangible and Intangible Heritage‛, Museum International (2004), 56, 1-2, pp. 221-222. 139 rupa sehingga para peziarah dapat melaksanakan aktivitas ziarahnya dengan nyaman dan aman. Tradisi ziarah terenkulturasi dengan baik di dalam masyarakat. Istilah enkulturasi (dalam bahasa Inggris digunakan istilah institutionalization)67 sebagai suatu konsep, secara harfiah dapat dipadankan artinya dengan proses pembudayaan.68 Menurut M.J. Herskovits,69 enkulturasi (enculturation) adalah suatu proses bagi seorang baik secara sadar maupun tidak sadar mempelajari seluruh kebudayaan masyarakat. Enkulturasi ini merupakan suatu proses sosial melalui mana manusia sebagai makhluk yang bernalar, punya daya refleksi dan intelegensia, belajar memahami dan mengadaptasi pola pikir, pengetahuan, dan kebudayaan sekelompok manusia lain.70 Berkaitan dengan enkulturasi, Talcott Parsons dalam teori tindakan sosialnya merumuskan suatu konsep kebudayaan sebagai tindakan manusia yang berpola, yang disebut sebagai Kerangka Teori Tindakan (Frame of Reference of the Theory of Action). Di dalamnya terkandung konsepsi bahwa dalam hal menganalisis suatu kebudayaan dalam keseluruhan perlu dibedakan secara tajam antara empat komponen, yaitu: (1) sistem budaya;71 (2) sistem

67 Menurut Koentjaraningrat, dalam bahasa Indonesia sekarang istilah institualization sering diterjemahkan dengan ‚pelembagaan‛. Hal itu salah, karena ‚lembaga‛ adalah istilah Indonesia untuk institute‛ dan bukan untuk institution, yang mempunyai arti yang lain sama sekali. Istilah Indonesia untuk institution adalah pranata. Koentjaraningrat, Antropologi, 189. 68 Koentjaraningrat, Antropologi, 233. 69 M.J. Herskovits, Man and His Work, 39, dikutip dalam Herbert Alphonso and Robert Faricy, Priest as Leader: The Process of the Inculturation of a Spiritual-Theological Theme of Priesthood in a United States Context, (Rome: Gregorian University Press, 1997), 29. 70 Definisi sederhananya ‚enculutration refers to the process of learning a culture consisting in socially distribute and shared knowledge manifested in those perceptions, understandings, feeling intentions, and orientations that inform and shape the imagination and pragmatics of social life‛ . Peter Poole, ‚Socialisation, Enculturation and the Development of Personal Identity‛, In Tim Ingold (ed). Companion Encyclopedia of Anthropology: Humanity, Culture and Social Life. Pp. 831-860. London and New York: Routledge. 71 Sistem budaya (cultural system) merupakan komponen yang abstrak dari kebudayaan dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, konsep- konsep, tema-tema berpikir, dan keyakinan-keyakinan. Fungsi dari budaya 140 sosial;72 (3) sistem kepribadian;73 dan (4) sistem organisme74. Keempat komponen tersebut, walaupun berkaitan satu dengan yang lain, tetapi merupakan entitas yang khusus, masing-masing dengan sifat-sifatnya sendiri. Berikut bagan yang menggambarkan kerangka teori tindakan sosial. Proses belajar seorang individu dalam suatu masyarakat bermula dari cara individu tersebut beradaptasi terhadap lingkungannya. Individu ini belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya. Proses belajar selanjutnya adalah sosialisasi di mana individu melakukan interaksi terhadap individu lain di lingkungan sosialnya (masyarakat) untuk belajar mengenai pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian individu ini pun melakukan penyesuaian sikapnya terhadap nilai dan norma yang ada dalam kehidupan kebudayaan dalam suatu masyarakat.

adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku masyarakat. 72 Sistem sosial (social system) merupakan aktivitas manusia atau tindakan-tindakan dan tingkah laku berinteraksi antarindividu dalam kehidupan masyarakat.Sistem sosial bersifat lebih konkret dan nyata daripada sistem budaya, dalam arti bahwa tindakan manusia itu dapat dilihat dan diobservasi. Interaksi manusia itu di satu pihak ditata dan diatur oleh sistem budaya, tetapi di p\ihak lain dibudayakan menjadi pranata oleh nilai dan norma tersebut. 73 Sistem kepribadian (personality system) mengenai isi jiwa dan watak individu yang berinteraksi sebagai warga masyaarakat. Kepribadian individu dalam suatu masyarakt, walaupun berbeda-beda satu sama lain, namun juga distimulais dan dipengaruhi oleh nilai dan norma dalam sistem budaya, serta oleh pola-pola bertindak dalam sistem sosial yang telah diinternalisasinya melalui sosialisasi dan enkulturasi selama hidup sejak masa kecilnya. Dengan demikian sistem kepribadian ini berfungsi sebagai motivasi dari tindakan sosialnya. 74 Sistem organik (organic system) melengkapi seluruh kerangka dengan mengikutsertakan ke dalamnya proses biologis dalam organisme manusia sebagai makhluk alamiah. Hal ini juga ikut menentukan kepribadian individu, pola-pola tindakan manusia, dan bahkan juga gagasan-gagasan yang dicetuskan karena manusia secara alamiah menghadapi adaptasi terhadap lingkungan sekitarnya. 141

Bagan 3. Kerangka Teori Tindakan (Frame of Reference of The Theory of Action) KEBUDAYAAN KOMPONEN WUJUD FUNGSI PROSES DALAM ARTI BELAJAR LUAS Sistem Budaya Gagasan Menata Pembudayaan (Culture Konsep Memantapkan (Enkulturasi) System) Aturan

Sistem Sosial Tindakan Interaksi Sosialisasi Kebudayaan (Social antarindivi antarindividu System) du yang berpola

Memenuhi Internalisasi Sistem Tindakan hasrat dan Masyarakat Kepribadian pribadi motivasi (Personality System)

Adaptasi Sistem Organisme terhadap Organik Manusia lingkungan (Organic System)

Enkulturasi merupakan proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini juga disebut pembudayaan yang sudah dimulai sejak kecil dalam alam pikiran warga suatu masyarakat; mula-mula dari orang-orang di dalam lingkungan keluarganya hingga ke lingkungan sosial. Terdapat beberapa penggolongan enkulturasi atau institusionalisasi berdasarkan atas fungsi dan pranata-pranata untuk memenuhi keperluan-keperluan hidup manusia sebagai masyarakat, salah satunya adalah religious institutions yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk berhubungan dengan dan berbakti kepada Tuhan atau dengan alam gaib, seperti doa, kenduri, penyiaran agama, ilmu gaib, dan lain

142 sebagainya.75 Ziarah merupakan salah satu bentuk religious institutions. Sebagai suatu proses enkulturasi, ziarah awalnya merupakan suatu kunjungan biasa yang berubah menjadi suatu tradisi atau kebiasaan. Tradisi ini diselimuti oleh motif para pelaku ziarah yang menginginkan niatnya tersebut ‚terkabul‛ atau terwujud. Ketika hal itu terwujud maka masyarakat lain akan mulai melakukan suatu imitasi (peniruan) mulai dari niat hingga tindakannya. Seringkali seorang individu dalam suatu masyarakat belajar dengan meniru berbagai macam tindakan, setelah perasaan dan nilai budaya pemberi motivasi akan tindakan meniru maka tindakannya menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang mengatur tindakannya ‚dibudayakan‛. Kadang-kadang berbagai norma juga dipelajari seorang individu secara sebagian-sebagian. Caranya dengan mendengar berbagai orang dalam lingkungan sosialnya pada saat-saat yang berbeda-beda, menyinggung atau membicarakan norma tadi.76 Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Seperti yang dilakukan oleh seorang peziarah SW (lk/65) yang berziarah bersama keluarga besarnya, ia berasal dari luar Kota Palembang, dusun Tanjung Rajo, mereka menyewa 1 mobil angkot yang diisi sekitar 16 orang (pria, wanita, anak-anak dan dewasa). Mereka masuk ke makam Kyai sambil membawa sesaji yang berisikan ketan kunyit panggang ayam dan nasi gemuk untuk diberikan kepada juru kunci. Juru kunci mengambil setengah dari makanan-makanan tersebut untuk kemudian dikembalikan lagi kepada peziarah tersebut untuk dimakan oleh mereka sebagai berkah dari kunjungan mereka ke makam Kyai Marogan. SW sudah sangat rutin berziarah ke makam Kyai Marogan ini, terkadang ia sendiri dan terkadang mengajak keluarganya. Berbagai hajat telah ia sampaikan di depan makam Kyai dan kemudian menyuruh anak cucunya untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang telah ia lakukan. Hal ini menunjukkan adanya transmisi enkulturasi ziarah dari satu generasi ke generasi berikutnya. SW mentransmisikan nilai-nilai ziarah kepada anak

75 S.F Nadel dalam Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, 136. 76 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 189 143 cucunya sehingga nantinya anak cucunya tersebut tetap melestarikan tradisi ziarah ini. 77 Berdasarkan hal tersebut tampak bahwa proses enkulturasi merupakan proses pembudayaan yang tanpa disadari sudah ditanamkan sejak kecil terhadap individu. Pada tahapan selanjutnya si individu tersebut melakukan peniruan dan membudayakannya melalui berbagai macam tindakan di mana tindakan tersebut telah diselubungi dengan perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru yang telah terinternalisasi dalam kepribadiannya. Berkaitan dengan enkulturasi yang berkembang menjadi suatu tradisi, termasuk tradisi ziarah, dalam teori konstruksi sosial yang diungkap Peter L Berger dalam bukunya The Social Construction of Reality, tradisi dimulai dengan proses eksternalisasi atau pencurahan kedirian orang-perorang secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mental. Selanjutnya eksternalisasi ini dilakukan berulang-ulang atau mengalami proses habitualisasi sehingga terlihat polanya dan dipahami bersama. Habitualisasi yang telah berlangsung inilah yang kemudian memunculkan pengendapan yang disebut sebagai tradisi.78 Tradisi dikonstruksikan oleh Berger sebagai suatu dialektik yang di dalamnya terdapat tiga momen, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi merupakan momen pencurahan diri manusia secara terus menerus ke dalam dunia yang ditempatinya, baik dalam aktivitas fisik maupun mental.79 Ritual ziarah, disamping dilakukan oleh para peziarah melalui proses menyesuaikan diri dengan teks-teks normatif80, dasar

77 Wawancara dengan SW, 21 Agustus 2013 78 Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, 70. 79 ‚Externalization is the ongoing outpouring of human being into the world, both ini the physical and the mental activity of men.‛ Peter L. Berger, The Social Reality of Religion, 14. 80 Pada permulaan Islam, syari’at telah melarang untuk melakukan ziarah kubur, karena pada masa itu manusia baru saja terlepas dari peribadatan kepada berhala. Kemudian hukum tersebut dihapus berdasarkan sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam :‚Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka sekarang berziarahlah kalian, karena sesungguhnya hal itu mengingatkan kalian akan hari akhirat‛. [HR. Muslim (977), Abu Dawud 144 legitimasinya juga diperoleh melalui proses penyesuaian diri terhadap nilai-nilai lama yang tertanam di dalam tradisi masyarakat.

Tabel 7. Dialektika Tradisi Ziarah MOMEN DEFINISI FENOMENA Eksternalisasi Pencurahan diri Para peziarah berkunjung ke makam manusia secara Kyai Marogan untuk berdoa dan terus menerus ke bertawassul atau sekedar membayar dalam dunia yang niatnya. Mereka memiliki pilihan doa ditempatinya, sendiri-sendiri dengan motif/niat yang baik dalam berbeda-beda. Mereka menyesuaikan aktivitas fisik tindakan mereka di makam dengan maupun mental teks-teks normatif yang bersumber dari al-Qur’an atau hadist, bahkan dengan tradisi yang telah/memang terbentuk sebelumnya. Objektivasi Produk dari Aktivitas ziarah di makam Kyai berbagai Marogan dipahami bersama sebagai aktivitas-aktivitas ritual yang mempunyai sebuah makna tersebut telah penting di dalamnya. Para peziarah membentuk suatu bersama-sama datang ke makam Kyai fakta yang Marogan didasarkan bahwa Kyai bersifat eksternal Marogan adalah sosok ulama yang bia dan lain dari menjadi panutan dan sosok wali yang prosedur itu krtika diziarahi dan didoakan bisa sendiri mendatangkan berkah. Ziarah di makam Kyai Marogan tersebut dipahami oleh para peziarah sebagai suatu kenyataan objektif atau sebagai sesuatu yang begitulah adanya, seakan-akan terpisah dari keinginan- keinginan individual peziarah. Internalisasi Penyerapan Beralihnya kenyataan objektif yang kembali realitas ada di seputar makam Kyai Marogan tersebut oleh ke dalam kenyataan subjektif para manusia dan peziarah. Para peziarah melakukan mentransformasik pemaknaan sendiri-sendirimengenai annya sekali lagi kenyataan objektif yang mereka hayati

(3235), Tirmidzi (1054), Nasaai (4/89), Ahmad (5/356) dan selain mereka dari hadits Buraidah]. http://supriyanto2koma.wordpress.com/tag/hadist-tentang- ziarah-kubur/

145

dari struktur- di makam tersebut dan disesuaikan struktur dunia dengan kesadaran subjektifnya dan objektif ke dalam keinginan-keinginannya. Mereka juga struktur memproduksi pengalaman-pengalaman kesadaran sendiri yang disesuaikan dengan subjektif. format pengalaman umum para peziarah lainnya.

Peter L. Berger dalam teori konstruksi sosialnya merumuskan suatu konsep dialektik, yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Konstruksi sosial, menurut Berger, berlangsung secara dialektik dalam tiga momen tersebut. Pertama adalah bahwa manusia membentuk sebuah masyarakat. Kedua adalah kebalikannya bahwa masyarakatlah yang membentuk manusia. Ketiga merupakan penyempurnaan dari kedua proposisi tersebut adalah bahwa manusia membentuk masyarakat sekaligus masyarakat membentuk manusia.81 Dalam moment eksternalisasi, realitas sosial itu ditarik ke luar diri individu. Di dalam moment ini, realitas sosial berupa proses adaptasi dengan teks-teks suci (bisa berupa al-Qur’an, al- Hadits, kesepakatan ulama, hukum, norma, nilai, dan sebagainya) yang hal itu berada di luar diri manuisa, sehingga dalam proses konstruksi sosial melibatkan momen adaptasi diri atau diadaptasikan antara teks tersebut dengan dunia sosio-kultural. Adaptasi tersebut dalat melalui lisan, tindakan dan pentradisian yang disebut sebagai enkulturasi. Karena adaptasi merupakan proses penyesuaian berdasar atas penafsiran, maka sangat dimungkinkan terjadinya variasi-variasi adaptasi dan hasil adaptasi atau tindakan pada masing-masing individu. Pada moment objektivasi, ada proses pembedaan dua realitas sosial, yaitu realitas diri individu dan realitas sosial lain yang berada di luarnya, sehingga realitas sosial itu menjadi sesuatu yang objektif. Sebagai momen interaksi dengan dunia sosio- kultural, maka di dalamnya melibatkan tarik-menarik anar agen seperti tokoh agama, masyarakat, politisi, pemuda, wanita, dan lain sebagainya. Dalam proses konstruksi sosial, momen ini disebut sebagai interaksi sosial melalui pelembagan dan legitimasi.

81 Nur Syam, Islam Pesisir, 41-45. 146

Dalam hal ini, agen-agen pelembagaannya bisa berasal dari peziarah itu sendiri atau bahkan dalam bentuk kelembagaan seperti NU82 atau Muhammadiyah83, dan lain sebagainya. Dalam momen internalisasi, dunia realitas sosial yang objektif tersebut ditarik kembali ke dalam diri individu, sehingga seakan-akan berada di dalam individu. Untuk melestarikan identifikasi tersebut digunakanlah sosialisasi dan transformasi, artinya bahwa agar individu selalu berada di dalam identifikasi lembaga atau institusi, maka selalu dilakukan sosialisasi dan transformasi. Tahap inilah yang kemudian menghasilkan identifikasi orang atau individu sebagai bagian dari organisasi agama, sosial, dan politik atau lainnya yang secara konseptual disebut sebagai wong NU atau wong Muhammadiyah. Masing- masing golongan kemudian berusaha mengembangkan tindakannya kepada orang lain.

82 NU adalah ormas Islam yang paling dekat dengan tradisi, budaya, dan kearifan lokal. Cara berpikir NU untuk mempertahankan tradisi tak lain adalah menjaga warisan leluhur yang telah mengembangkan Islam sambil terus melakukan perubahan yang lebih baik. Kaidah yang akrab di kalangan Nahdliyyin adalah ‚mempertahankan warisan lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik‛. Inilah yang menjadi pondasi NU tetap mempertahankan tradisi meski tetap melahirkan sesuatu yang baru. Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili (ed), Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, Jakarta: Kompas, 2010), 131. 83 Muhammadiyah pada awalnya lahir dalam rangka merespons kondisi sosial keagamaan umat Islam, yang pada masa itu (pemerintahan Hindia Belanda), tidak mempraktikkan agama secara murni, bertaburnya mistisme dalam ritual keagamaan, pengamalan Islam yang bercampur dengan bid’ah- khurafat-syirik, akal tidak berdaya menghadapi tradisi yang penuh dengan kestatisan dan kepasifan. KH. Ahmad Dahlan (sebagai pendiri Muhamadiyah) kemudian menemukan metode yang tepat bagi pembebasan umat Islam dari kestatisannya dan membentengi umat dari pengaruh luar dengan cara-cara rasional. Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah, (Jakarta: Kompas, 2010), xiii. 147

148

BAB V INTERDEPENDENSI STRATIFIKASI SOSIAL DAN POLA KEPERCAYAAN MASYARAKAT

Bab ini menganalis interdependensi antara stratifikasi sosial dan pola kepercayaan masyarakat dalam kerangka hubungan kelas dan pola kepercayaannya sebagai manusia dalam kehidupan keagamaan. Ziarah merupakan tradisi yang paling menonjol karena ziarah dilakukan oleh semua lapisan masyarakat dan terjadi setiap hari di berbagai tempat keramat. Hubungan tersebut dideskripsikan melalui stratifikasi dan perilaku ziarah masyarakat. Hal ini kemudian memperlihatkan adanya stratifikasi keagamaan dalam masyarakat sehingga dari sini nampak bahwa masyarakat memilliki pola kepercayaan yang bervariasi bahkan di dalam prosesnya masyarakat secara tidak sadar telah berada dalam proses perubahan sosial, yaitu telah melakukan suatu transisi kepercayaan dari tradisional menuju rasional.

A. Stratifikasi dan Perilaku Ziarah Masyarakat Palembang Fenomena kekeramatan makam di Kota Palembang memperlihatkan bahwa kehadiran peziarah dengan berbagai latar belakang membentuk suatu pola perilaku tertentu. Menurut Ralph Linton, latar belakang tersebut telah diperoleh sejak lahir tanpa memandang perbedaan antar individu atau kemampuan.1 Peziarah- peziarah yang hadir secara tidak sadar memiliki suatu kesamaan yang kemudian tersegmentasi, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal, perbedaan yang tampak dalam masyarakat (peziarah) ini disebut sebagai diferensiasi sosial sedangkan perbedaan masyarakat (peziarah) berdasarkan vertikal disebut sebagai stratifikasi sosial. Baik secara horizontal maupun secara vertikal, individu (peziarah) sebagai anggota dalam suatu masyarakat (komunitas peziarah) memperoleh status yang telah dibawanya sejak lahir. Berdasarkan status yang diperoleh secara

1 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1993), 85-86. Lihat juga Ya>ni>k Lu>mi>l, al-Tabaqa>t al-Ijtima>‘iyah, (Fa>ransiyah: Da>r al-Kita>b al-Jadi>d al-Muttahidah, 2008) lahiriah tersebut, anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan perolehan2, jenis kelamin3, hubungan kekerabatan4, dan keanggotaan dalam kelompok tertentu seperti kasta5, strata berdasarkan pekerjaan6 dan ekonomi7. Namun, stratifikasi8

2 Stratifikasi berdasarkan perolehan ialah stratifikasi usia (age stratification). Dalam sistem ini anggota masyarakat yang berusia lebih muda mempunyai hak dan kewajiban berbeda dengan anggota masyarakat yang lebih tua. Asas senioritas dijumpai pula dalam stratifikasi berdasarkan usia. Matilda White Riley, ‚The Perspective of Age Stratification‛, The School Review Vol. 83, No. 1, Responses to "Symposium on Youth: Transition to Adulthood" (Nov., 1974), pp. 85-91 Published by: The University of Chicago Press. http://www.jstor.org/stable/1084143 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). 3 Stratifikasi jenis kelamin (sex stratification) pun didasarkan pada faktor perolehan: sejak lahir laki-laki dan perempuan memperoleh hak dan kewajiban yang berbeda-beda, dan perbedaan tersebut sering mengarah ke suatu hierarki. Joan Huber, ‚Lenski Effects on Sex Stratification Theory‛, Sociological Theory Vol. 22, No. 2, Religion, Stratification, and Evolution in Human Societies: Essays in Honor of Gerhard E. Lenski (Jun., 2004), pp. 258- 268, Published by: American Sociological Association, http://www.jstor.org/stable/3648946 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). 4 Stratifikasi yang didasarkan atas hubungan kekerabatan. Perbedaan hak dan kewajiban antar anak, ayah, ibu, paman, kakek dan sebagainya sering mengarah ke suatu hierarki. Constantina Safilios-Rothschild, ‚Family and Stratification: Some Macrosociological Observations and Hypotheses‛, Journal of Marriage and Family Vol. 37, No. 4, Special Section: Macrosociology of the Family (Nov., 1975), pp. 855-860, Published by: National Council on Family Relations, http://www.jstor.org/stable/350837 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). 5 Sistem stratifikasi yang didasarkan atas keanggotaan dalam kelompok tertentu, seperti stratifikasi keagamaan (religious stratification), stratifikasi etnis (ethnic stratification) atau stratifikasi ras (racial stratification). Hugo G. Nutini, ‚Social Stratification and Mobility in Central Veracruz ‚, Social Sciences - Anthropology , 2009, Published by: University of Texas Press , http://www.jstor.org/stable/10.7560/706958 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013) 6 Stratifikasi pekerjaan (occupational stratification). Di bidang pekerjaan modern ini terdapat berbagai klasifikasi yang mencerminkan stratifikasi pekerjaan, seperti perbedaan antara manajer serta tenaga eksekutif dan tenaga administratif, antar guru besar, lektor, dan asisten dosen, antar bintara, perwira pertama, perwira menengah, perwira tinggi. John Robert Warren, Jennifer T. Sheridan and Robert M. Hauser, ‚Occupational Stratification across the Life Course: Evidence from the Wisconsin Longitudinal Study, American Sociological Review, Vol. 67, No. 3 (Jun., 2002), pp. 432-455, Published by: American Sociological Association, http://www.jstor.org/stable/3088965 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). 150 bukanlah hanya sekedar menempatkan individu sebagai anggota kelompok tertentu, akan tetapi adalah rangkaian pengaruh atas tingkah laku individu, termasuk mengapa individu itu berkaitan dengan yang lain dengan cara-cara tertentu. Tingkah laku individu dipengaruhi oleh rangkaian pengalaman yang dimilikinya. Setiap individu mempunyai rangkaian pengalaman yang unik (unique set of experience) yang dijadikan dasar bagi interaksinya dengan orang lain. Sehingga pengalaman ini menjadi penting dalam menentukan tingkah laku. Oleh karena itu, menurut fenomenologi9 masyarakat adalah bentuk abstrak dari saling interaksi, dan individu-individu di dalamnya dipengaruhi oleh individu lain yang dijumpainya. Hubungan-hubungan dengan orang lain itu membentuk pikiran dan tingkah lakunya. Hubungan dengan orang-orang lain di tempat kerja adalah satu jenis pengalaman tersendiri, yang berbeda dengan hubungan dengan orang lain di mana seseorang tinggal, bermain, dan berbeda pula dengan hubungan di dalam keluarga. Hubungan yang berulang-

7 Stratifikasi ekonomi (economic stratification), yaitu perbedaan warga masyarakat berdasarkan penguasaan dan pemilikan materi, pun merupakan suatu kenyataan sehari-hari. Dalam kaitan ini terdapat perbedaan warga masyarakat berdasarkan penghasilan, dan kekayaan mereka menjadi kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Wilbert Santiago Poot-Pool, Hans van der Wal, Salvador Flores-Guido, Juan Manuel Pat-Fernández and Ligia Esparza- Olguín, ‚Economic Stratification Differentiates Home Gardens in the Maya Village of Pomuch, Mexico‛, Economic Botany, Vol. 66, No. 3 (15 September 2012), pp. 264-275, Published by: Springer on behalf of New York Botanical Garden Press. http://www.jstor.org/stable/23324988 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). 8 Teori stratifikasi dalam fenomenologi memperlakukan tingkah laku individu yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari sebagai pokok pembahasan (subject matter). Kelas, institusi, atau kelompok adalah rangkaian individu yang memiliki sesuatu yang sama atau tingkah laku individu dalam kaitannya dengan yang lain. Billah, dkk, Kelas Menengah Digugat, (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 1993), 43. 9 Fenomenologi mendasarkan semua konsep pada kehidupan sehari-hari yang bisa teramati (observable everyday life). Fenomenologi adalah satu bentuk empirisme radikal, yang berpendapat bahwa tidak satu pun dapat diterima kecuali bila sesuatu itu bisa diamati. Struktur sosial, oleh karena itu, bukanlah mitos yang dibangun oleh orang akan tetapi adalah struktur nyata yang dapat ditemukan dalam tingkah laku nyata sehari-hari, khususnya di dalam interaksi yang berulang-ulang. Collins dalam Billah, dkk, Kelas Menengah Digugat, 43. 151

ulang itu akan membentuk pola yang merupakan struktur yang mengacu kepada ‚kelas‛ atau status group. Sedangkan hubungan kekuasaan (power relation) adalah hubungan yang ditandai oleh suatu situasi hubungan yang ditandai oleh suatu situasi hubungan ‘memberi perintah’ dan ‘menerima perintah’.10

Bagan 4. Konsekuensi Outcome Stratifikasi11 HIERARKI OUTCOME Sosio-Ekonomi Pola Kepercayaan Sosio-Kultural Tindakan DETERMINAN Sosio-Religius Pola Asuh STRATIFIKASI konsekuensi Etnisitas Gaya hidup Pendidikan Mental/Pola Pikir Politik

Bagan tersebut menurut Jeffries dan Ransford menunjukkan arah kausal yang jelas (dari posisi stratifikasi ke hasil). Korelasi berarti bahwa ada hubungan statistik antara dua variabel; mungkin sebuah contoh dari sebab dan akibat, atau mungkin juga tidak ada hubungan. Istilah korelasi kemudian dipilih sebagai yang paling tepat untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat yang menyiratkan bahwa posisi dalam hirarki stratifikasi menentukan suatu hasil. Strata sosial memiliki dampak terhadap perilaku manusia dan sikapnya. Kelas menciptakan dunia sosial yang membentuk pandangan dan nilai seseorang.12 Hubungan strata sosial dan pandangan seseorang dapat dilihat dari perilaku yang teraplikasi dalam sebuah tradisi yang ada di dalam masyarakat. Keseluruhan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia, termasuk ziarah ke makam keramat bisa dikatakan sebagai sarana pengikat bagi orang awam yang memiliki status sosial yang berbeda dan begitu juga memiliki keyakinan yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada momen- momen tertentu mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan)

10 Collins dalam Billah, dkk, Kelas Menengah Digugat, 44. 11 Bagan ini terinspirasi dari bagan Jeffries dan Ransford dalam Social Stratification: A Multiple Hierarchy Approach. 12 Jeffries dan Ransford, Social Stratification: a Multiple Hierarchy Approach, 268. 152 baik yang bersifat ritual maupun seremonial yang sarat dengan nuansa keagamaan. Peziarah di makam Kyai Marogan jika dikategorikan dari status sosial peziarah tercatat dari status sosial paling rendah sampai pejabat negara. Mereka datang ke makam dengan tujuan sama yakni berziarah dan membaca doa, walaupun status dan motif mereka bisa berbeda. Sungguh pun tradisi seperti ini sekarang ada di pusaran modernisasi dan rasionalisasi, namun faktanya tradisi seperti ini sampai sekarang masih bertahan bahkan kegiatan ini menjadi agenda tersendiri dalam memenuhi kegiatan keagamaan. Munculnya motif di luar tujuan utama ziarah, terlebih ketika sudah diiringi dengan praktik-praktik yang meniru tradisi pra-Islam, sehingga tidak pelak timbul tudingan yang berdasar pada suatu pandangan yang menganggap ‚syirik‛ dalam fenomena ziarah ini. Menurut Weber yang mengendalikan perilaku seseorang secara langsung adalah keinginan-keinginan material dan ideal dari orang itu bukan oleh ide-ide atau ajaran. Weber kembali menandaskan pemikirannya bahwa pandangan-peandangan tentang dunia (serta kata-kata yang diungkapkan sehubungan dengan motif mereka) yang berpengaruh dalam tindakan, adalah dengan sendirinya terbentuk oleh adanya keinginan dari suatu lapisan sosial yang merupakan bagian dari sejarah hidup mereka. Weber beranggapan bahwa untuk menerangkan tindakan-tindakan sosial terlebih dahulu memahami nilai dan keinginan (motif) subjektif dari tindakan sosial tersebut, tetapi ungkapan tindakan- tindakan tersebut juga dengan sendirinya terbentuk oleh kondisi- kondisi sosial dan ekonomi.13 Dalam menganalisis perilaku peziarah ke makam Kyai Marogan Palembang melalui perspektif theory of volunterism dapat dilihat bahwa peziarah memiliki motif-motif yang berbeda untuk berkunjung ke makam Kyai Marogan. Motif untuk datang ke makam Kyai Marogan bukan suatu hasil yang bersifat individualis semata melainkan karena adanya pengalaman- pengalaman orang lain yang telah membuktikan ‘kesakralitasan’ makam tersebut sehingga ‘keinginan’ seseorang tercapai.

13 Bryan S.Turner, Agama dan Teori Sosial. (Yogyakarta: IRCiSoD. 2006), 31. 153

Jika dijabarkan satu persatu motif peziarah yang datang ke makam Kyai Marogan sungguh amatlah banyak. Hal ini diakui oleh IS selaku juru kunci makam Kyai Marogan. Orang-orang yang berziarah ke makam Kyai Marogan mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, ada pengusaha, pedagang, petani, pegawai negeri, buruh, pejabat, anggota DPR dan lain sebagainya. Masing- masing mempunyai tujuan sendiri-sendiri, sesuai dengan kebutuhannya. Jika pedagang atau pengusaha, yang berziarah umumnya mereka minta didoakan agar usahanya lancar dan maju pesat. Petani biasanya minta didoakan agar tanamannya selamat dan mendapatkan panen yang melimpah. Pegawai, minta didoakan agar bisa mendapatkan jabatan atau selamat dalam jabatannya dan sebagainya. Mereka percaya bahwa berziarah ke makam Kyai Marogan adalah cara yang dianggap tepat untuk menyampaikan hajat. Paling tidak, cara ini bisa membuat hati mereka lebih tenang. Seperti yang dikatakan oleh Berger bahwa sebuah kebiasaan dapat melindungi manusia dari ketidakpastian.14 Motif- motif seperti keberhasilan dalam usaha, mendapatkan jodoh, keselamatan, dan lain sebagainya merupakan hal-hal yang tidak pasti. Namun kehadiran peziarah untuk melakukan tradisi ziarah seolah-olah melepaskan ketidakpastian itu. Mereka menganggap bahwa tradisi ziarah setidaknya merupakan usaha untuk melepaskan ketidakpastiannya. Hal ini berarti ziarah ke makam keramat merupakan suatu tradisi yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan masyarakat. Kebiasaan berziarah yang dilakukan pelaku ziarah – yang memiliki motif dan tujuan beragam – membuat mereka merasa terlindungi dari berbagai ketidakpastian. Misalnya ketika seorang pengusaha yang tidak tahu kepastian akan keberhasilan usahanya, ia mencoba untuk berziarah agar ketidakpastian-ketidakpastian itu setidaknya terobati.

14 Geger, Peter L Berger: Perspektif Metateori, 107. 154

Bagan 5. Konsep Tindakan Voluntarism Parson15

Untuk menjelaskan keterhubungan antara stratifikasi dan perilaku ziarah, dapat dianalisis melalui teori voluntarism yang dikemukakan oleh Talcott Parson16. Menurut Parson, aktor mengejar tujuan dalam situasi di mana norma-norma mengarahkan dalam memilih alternatif cara dan alat dalam mencapai tujuan. Norma-norma tersebut tidak dapat menentukan pilihannya terhadap cara atau alat, tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor untuk memilih. Kemampuan ini oleh Parson disebut voluntarism, yaitu kemampuan individu melakukan suatu tindakan berdasarkan berdasarkan lingkungan, pengalaman, persepsi, pemahaman dan

15 Sumber gambar: http://en.wikibooks.org/wiki/Social_Psychology/ Action_ and_person 16 Talcot Parson sebagai tokoh teori aksi menginginkan pemisahan antara teori aksi dan aliran behaviorisme, karena menurutnya mempunyai konotasi yang berbeda. Menurut Parson suatu teori yang menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan dan mengabaikan aspek subjektif tindakan manusia tidak termasuk kedalam teori aksi, sehubungan dengan itu Parson menyusun skema unit unit dasar tindakan sosial dengan karakteristik sebagai berikut: (a) adanya individu sebagai aktor; (b) aktor dipandang sebagai pemburu tujuan tersebut; (c) aktor memiliki alternatif cara,alat serta tehnik untuk mempunyai tujuan; (d) aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakan dalam mencapai tujuan; dan (e) aktor dibawah kendali dari nilai nilai,norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 48-49. 155 penafsiran atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu seperti kondisi situasional lingkungan budaya, tradisi, dan agama. Tindakan individu itu merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atas sasaran dengan sarana-sarana yang paling tepat. Walaupun tidak mempunyai kebebasan total, karena masih dibatasi oleh kondisi-kondisi tertentu, tetapi aktor adalah perilaku aktif, kreatif dan evaluatif serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih alternatif tindakan.17 Parson beranggapan bahwa yang utama bukanlah tindakan individu melainkan norma- norma dan nilai-nilai sosial yang menuntut dan mengatur perilaku itu. Kondisi objektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Talcott Parson juga beranggapan bahwa tindakan individu dan kelompok itu dipengaruhi oleh system sosial, system budaya dan system kepribadian dari masing-masing individu tersebut.18

17 Beberapa asumsi dasar tindakan aktif, kreatif dan evaluatif menurut parson, antara lain : (1) Tindakan manusia atau aksi muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subjek, dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai objek; (2) Sebagai subjek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu, jadi tindakan manusia atau aksi bukan tanpa tujuan; (3) Dalam bertindak, manusia menggunakan cara, tehnik, prosedur, metode serta instrumen yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut; (4) Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya atau circumstances; (5) Manusia, memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya; (6) Ukuran – ukuran, aturan – aturan atau prinsip – prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan; (7) Studi antar hubungan sosial memerlukan pemakaian tehnik penemuan yang bersifat subyektif seperti metode verstehen, imajinasi, sympathetic reconstruction atau seakan – akan mengalami sendiri ( variacious experience ). Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama, (Yogyakarta: Buku Pustaka, 2006), 59. Lebih lanjut lihat Parson, T. (2011). Actor, situation and normative pattern: an essay in the theory of social action. Editedand Introduction by Victor Lidz and Helmut Staubmann. Wien. Lit Verlag (Volume Two in the seriesStudy in the Theory of Action edited by Staubmann and Lidz). ASNP 18Bruce C. Wearne, Exegetical Explorations: Parson' Convergence Concept, The American Sociologist Vol. 44, No. 3 (September 2013) (pp. 233- 244) Published by: Springer. http://www.jstor.org/stable/42635360 (diakses pada tanggal 12 Juli 2014) 156

Dalam hal ini perilaku ziarah yang dilakukan oleh seorang individu sebagai aktor merupakan perilaku yang memiliki motif. Motif peziarah inilah yang memicu mereka untuk melakukan suatu tindakan dengan cara-cara tertentu sesuai dengan kondisi atau situasi yang mempengaruhinya. Seperti RN (pr/22) yang melakukan ziarah karena memiliki motif. Tujuannya berziarah adalah agar ia dapat dengan lancar menyelesaikan studinya di sebuah perguruan tinggi. Si aktor melakukan ziarah karena berdasarkan atas situasional dan kondisi tertentu. Dalam situasi akan menempuh ujian, ia datang berziarah dan tidak hanya itu, terdapat norma dan nilai yang telah ditanamkan oleh orang tuanya kepada dirinya. Menurutnya, ziarah merupakan tradisi di keluarganya jika mereka menghadapi suatu masalah atau pun sebagai ucapan syukur karena telah menyelesaikan suatu masalah. Keberhasilan orang-orang terdahulu atas pengalaman-pengalaman terkabulnya motif-motif berziarah dapat mempengaruhi persepsi si aktor untuk melanjutkan tradisi ziarah dengan cara-cara tertentu. Tak hanya sebagai suatu tradisi, kemasyhuran sang tokoh akan karomahnya, Kyai Marogan, juga merupakan bentuk persepsi yang telah ditransformasikan. Aktor (peziarah) yang saat ini melakukan ritual ziarah bukan saja sebagai accepted history,19 tetapi telah menjadi kepercayaan peneguh iman. Makam Kyai Marogan adalah potret bahwa kekeramatan dan kemasyhuran leluhur itu dibuat bukan dilahirkan, akan tetapi dibentuk melalui suatu kontruksi memori. Parson melihat agama dalam pengertian apakah kosmologi masyarakat mengandaikan yang suci itu bersifat imanen atau transenden, ia mengawali uraiannya dengan paradigma kultural.20 Ziarah pada awalnya merupakan suatu ritual keagamaan. Namun, ritual keagamaan ini terakulturasi oleh budaya setempat sehingga

19 JJ Rizal dalam seminar ‚Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Indonesia‛ yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Syahida Inn, Kamis (28/4). Berita UIN Online, Tradisi Ziarah Masyarakat Indonesia Sudah Dipolitisasi, Diposting oleh rulam pada tanggal: 29 April 2011. http://www.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/1-headline/1914- tradisi-ziarah-masyarakat-indonesia-sudah-dipolitisasi-.html 20Scott Lash, The Sociology of Postmodernism, (London: Rotledge, 1990), 17. 157 ziarah bukan hanya kunjungan biasa namun memiliki makna yang mendalam. Konsep ziarah ini akan memiliki makna yang lebih mendalam apabila yang dikunjungi merupakan makam orang suci, orang yang memiliki karisma dan karomah atau orang-orang yang dianggap berjasa dalam suatu masyarakat. Masyarakat pada umumnya akan menganggap makam-makam tersebut sebagai makam keramat bahkan makam suci. Pola perilaku peziarah di makam keramat tidak hanya dapat dianalisis melalui tindakan voluntarism sebagaimana yang diungkap oleh Parson bahwa aktor memiliki motif untuk melakukan suatu tindakan. Namun, dalam suatu tradisi, terdapat identitas yang telah dibawa oleh si aktor sehingga menyebabkan ia melakukan tindakan tersebut. Identitas ini dapat berupa strata yang telah melekat pada dirinya (meskipun secara tidak sadar ia tidak menyadari strata mana ia berada) sehingga menyebabkan pembentukan suatu pola tindakan dan pola pikir maupun pola kepercayaannya. Interdependensi strata terhadap perilaku ziarah - dalam hal ini berkaitan dengan pola kepercayaannya – dapat dilihat melalui bagan berikut:

158

Bagan 6. Interdependensi Hierarki Strata Peziarah Terhadap Pola Kepercayaan di Palembang21 POLA KEPERCAYAAN Rasional Tradisionalisme Islam Magis

DETERMINAN STRATIFIKASI SOSIO- PENDI- SOSIO ETNIS SOSIO POLITIK EKONOMI DIKAN RELIGIUS KUL- TURAL STRATA Kelas Atas Berpendi- Sangat Melayu Iliran Pejabat ATAS dikan religius Palem- negara, Tinggi (Ulama) bang pemimpin (Lulusan organisasi, sarjana ke kelas atas atas) dasar keahlian

Kelas Berpendi- Religius Pedagang, Menengah dikan Moderat ahli-ahli sedang teknik, (lulusan petani SMA) pemilik lahan

STRATA Kelas Berpendidik Kurang Cina Uluan Pekerja BAWAH Bawah an rendah Religius rendahan, (lulusan (awam) buruh, SMP, SD petani dan tidak penggarap bersekolah

Berkaitan dengan interdependensi antara sratifikasi sosial dan pola kepercayaan, menurut Azyumardi Azra, semula kelas- kelas yang ada dalam masyarakat tidaklah dipisahkan atau dibedakan karena pengetahuan atau keimanan. Namun hal-hal ini berubah tatkala masyarakat yang bersangkutan semakin besar dan

21 Diadaptasi dari bagan multiple Hierarchie of Stratification Jeffries dan Ransford, 10. 159 hasilnya semakin terdiferensiasi. Sekarang ini terdapat bukti-bukti yang kuat, bahwa kelompok etnis, kelas-kelas masyarakat, kedudukan dan pekerjaan – untuk menyebut bagaimana masyarakat dapat dibagi atau dibedakan – sering menunjukkan kecenderungan keagamaan yang berbeda, dan dengan demikian, mengekspresikan agama dalam cara-cara yang berbeda pula. Analisis yang mencakup hanya salah satu dari pembagian – pembagian masyarakat itu jelas tidak memadai; karena sangat besar kemungkinan bahwa variabel-variabel itu saling mempengaruhi. Sebagai contoh, orang-orang dari status kelas yang berbeda dapat sama-sama religius, karena, misalnya, tinggal di wilayah pemukiman yang sama, atau tingkat pendidikan yang sama, atau bahkan karena kecenderungan kepribadian yang sama.22

1) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Ekonomi Terhadap Perilaku Ziarah Menurut Karl Marx, ekonomi merupakan faktor determinan yang mempengaruhi terbentuknya stratifikasi sosial di dalam suatu masyarakat. Meskipun hal ini dibantah oleh beberapa tokoh yang menganggap bukan hanya ekonomi yang menjadi determinan stratifikasi, namun dalam kehidupan sehari-hari, stratifikasi selalu dilihat dari kepemilikian ekonomi atau prestise seseorang dalam suatu masyarakat. Indikator pemilahan strata berdasarkan sosio-ekonomi (economic stratification) umumnya dipilah berdasarkan pemilikan kekayaan dan penghasilan yang kemudian dibagi menjadi kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah.23 Indikator kelas berdasarkan strata sosio-ekonomi ini bisa dilihat berdasarkan indikator keluarga yang terbagi menjadi keluarga pra-sejahtera dan sejahtera I sebagai kelas bawah,

22 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), 23-24. 23 Wilbert Santiago Poot-Pool, Hans van der Wal, Salvador Flores- Guido, Juan Manuel Pat-Fernández and Ligia Esparza-Olguín, ‚Economic Stratification Differentiates Home Gardens in the Maya Village of Pomuch, Mexico‛, Economic Botany, Vol. 66, No. 3 (15 September 2012), pp. 264-275, Published by: Springer on behalf of New York Botanical Garden Press. http://www.jstor.org/stable/23324988 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). 160 keluarga sejahtera II dan sejahtera III sebagai kelas menengah, dan keluarga sejahtera III Plus sebagai kelas atas.24 Dalam masyarakat tradisional, agama berfungsi untuk mendorong manusia terlibat peran-peran dan tingkah laku ekonomi karena agama mengurangi rasa cemas dan rasa takut. Meskipun tidak ada kategori sosial ekonomi penduduk yang memonopoli kealiman. Namun, jika dilihat berdasarkan kategori sosial-ekonomi ini, orang-orang yang berada dalam strata kelas atas, seperti pengusaha, cendikia, dan lain sebagainya, pada umumnya mereka lebih bersifat rasional. Peziarah yang datang ke makam keramat ini tersegmentasi ke dalam beberapa kelas, yaitu kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah sehingga membawa karakteristik tersendiri bagi pola kepercayaan yang teraplikasi melalui tingkah laku ziarahnya. Pedagang kecil, pengemudi perahu (ketek maupun speed boat), petani, nelayan, sopir yang tergolong dalam strata sosial bawah pada umumnya masih memiliki pola kepercayaan tradisional.25 Pedagang misalnya, mereka biasanya memiliki kebiasaan untuk berziarah agar usaha mereka lancar. Untuk pedagang yang berada dalam taraf usaha kecil-kecilan (seperti membuka warung makan, jualan keliling, dan lain sebagainya), mereka seperti peziarah tradisionalis pada umumnya yang masih mempercayai bahwa sosok Kyai Marogan adalah sosok yang mampu mengabulkan motif mereka sehingga dengan meminta pertolongan Kyai Marogan, rezeki mereka pun menjadi lancar. Biasanya mereka berziarah sambil membawa sesaji (seperti nasi gemuk atau ayam kampung item) sebagai syarat mereka.26 Sebenarnya tradisi ini tidak ada di dalam Islam, namun hal ini hanya suatu kebiasaan yang telah terenkulturasi. Sedangkan untuk pedagang dalam skala besar (seperti usaha kayu, tanah perkebunan, dan lain sebagainya) pada umumnya mereka telah melepaskan diri dari membawa sesaji. Namun, baik pedagang kecil maupun besar, mereka tetap membawa oleh-oleh (membeli barang yang mengandung makna

24 Lihat Bab 3. 25 Berdasarkan wawancara dan observasi terhadap SW (lk/65/petani), FD (lk/44/pengemudi ketek), DN (lk/42/sopir). 26 Hasil wawancara dan observasi terhadap IW (lk/38/pedagang keliling), RD (lk/58/pedagang), KL (pr/42/penjaga toko). 161 simbolis di makam keramat, seperti kembang, penglaris, kemenyan, dan lain-lain) untuk diletakkan di tempat usaha mereka. Untuk kategori pegawai, umumnya mereka berada dalam strata kelas menengah sehingga pola kepercayaan mereka pun merupakan gabungan dari tradisionalis-modernis, di mana mereka hanya mengikuti apa yang telah dianjurkan oleh orang-orang sebelumnya untuk melakukan perilaku seperti itu. Mereka terkadang masih ada yang membawa nasi gemuk namun ritualnya dipadu padankan dengan membaca Yasin maupun sekedar al- fatihah di makam tersebut. Berbeda dengan yang tradisionalis di mana pada umumnya mereka minta kepada juru kunci agar dibacakan doa.27 Kategori strata atas dikelompokkan dalam indikator keluarga sejahtera tahap III Plus, yaitu dapat memenuhi 5 kebutuhan dasar (basic needs) – pengajaran agama, pangan, papan,sandang, dan kesehatan – selain itu juga dapat memenuhi syarat sosial psikologis dan memiliki kriteria pengembangan keluarga. Salah satu informan yang tergolong dalam strata atas ini adalah SJ (lk/39) yang merupakan seorang pengusaha yang ingin menjadi caleg dalam pileg 2014.28 Interdependensi antara strata dan pola kepercayaan yang dapat dilihat adalah bahwa keinginan SJ yang ingin mencalonkan diri sebagai caleg. Ia berziarah ke makam Kyai Marogan karena ia ingin meminta restu agar jalannya dipermudah. Memang, di satu sisi, pola kepercayaannya bersifat overlapping dengan stratanya, di mana ia memiliki pola perilaku ziarah yang tidak sama seperti pengikut tradisionalis lainnya. Ia meminta izin kepada juru kunci untuk berziarah ke makam Kyai Marogan. Hal ini ia lakukan karena di daerah sekitar makam tersebut merupakan Dapilnya sehingga dirasa perlu untuk meminta restu ke makam Kyai Marogan yang dimakamkan di sana. Pola kepercayaan masyarakat yang tradisional juga mempengaruhi adanya keterbukaan peluang mengubah strata. Mislanya saja apa yang dilakukan IW di makam tersebut. IW

27 Hasil wawancara dan observasi terhadap ZN (pr/36/guru), SK (pr/27/PNS), HM (lk/28/wirausaha). 28 Wawancara dengan SJ (lk/39) pada April 2014. 162 sehari-harinya adalah pedagang keliling. Ia berkeyakinan bahwa dengan berziarah ke makam Kyai Marogan, dagangannya akan laris. Ia pun membeli penglaris sebagai bentuk kepercayaannya bahwa penglaris ini membawa berkah.29 Ziarah bukan hanya bagian dari tradisi keagamaan, namun ziarah juga merupakan bagian dari wisata spiritual. Eksistensi ziarah sebagai bentuk wisata memberikan keuntungan ekonomi, tidak hanya bagi pemerintah yang menjadikan ziarah sebagai aset wisata, namun juga memberikan dampak terhadap perubahan ekonomi masyarakat di sekitar makam keramat tersebut. Hal ini dikarenakan kultus orang suci merupakan tradisi yang kuat berdiri di belakang layar kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Mereka tak peduli dengan persoalan fakta atau fiksi di dalam semangat ekonomi untuk memenuhi kebutuhan spiritual.30

2) Interdependensi Strata Berdasarkan Pendidikan Terhadap Perilaku Ziarah Dalam suatu masyarakat selalu terdapat ketidaksamaan (inequality) status atau kedudukan anggota masyarakatnya meskipun pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang sama (equality). Ketidaksamaan status ini bisa berdasarkan ekonomi, jabatan pekerjaan, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya. Pada stratifikasi sosial yang bersifat terbuka, setiap orang memiliki peluang yang sama untuk naik maupun turun dari status yang ia miliki. Menurut Ralph Turner dalam masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial terbuka, pendidikan dipandang sebagai suatu sarana mobilitas sosial.31 Pendidikan dipandang sebagai jalan untuk mencapai kedudukan yang lebih baik serta mampu mempengaruhi pola pikir maupun pola kepercayaan seseorang.

29 Wawancara dengan IW, Rabu (21 Agustus 2013). 30 JJ Rizal dalam seminar ‚Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Indonesia‛ yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Syahida Inn, Kamis (28/4). Berita UIN Online, Tradisi Ziarah Masyarakat Indonesia Sudah Dipolitisasi, Diposting oleh rulam pada tanggal: 29 April 2011. http://www.uinjkt.ac.id/ index.php/ component/content/article/1-headline/1914- tradisi-ziarah-masyarakat-indonesia-sudah-dipolitisasi-.html 31 Adiwikarta Sudarja, Sosiologi Pendidikan: Isyu dan Hipotesis Tentang Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat, (Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan, 1988). 163

Interdependensi strata berdasarkan pendidikan sangat mempengaruhi pola perilaku ziarah seseorang. Hal ini dikarenakan, orang yang berada dalam strata atas (dalam hal ini berpendidikan tinggi)32 lebih cenderung responsif terhadap perubahan yang ada. Orang yang berpendidikan lebih bersifat terbuka pemikirannya sehingga cara berpikirnya pun lebih rasional dibandingkan dengan orang yang berada dalam strata bawah (kurang berpendidikan maupun tidak berpendidikan sama sekali)33. Pola kepercayaan dapat mempengaruhi strata seseorang, seperti pola kepercayaan yang rasional yang didasarkan atas keinginan mendapatkan ilmu pengetahuan mampu memobilisasi strata seseorang dari bawah ke atas. Ini dikarenakan stratifikasi bersifat terbuka yang membuka peluang bagi siapapun untuk naik atau turun stratanya tergantung pola pikirnya. Perilaku peziarah berdasarkan strata pendidikan memang nampak di makam keramat Kyai Marogan. Orang yang berpendidikan tinggi (seperti sarjana) menganggap bahwa makam Kyai Marogan sebagai mediator doa bukan sebagai pengabul doa, seperti ZN (pr/36/S1)34 yang berziarah ke makam Kyai Marogan karena menganggap bahwa sosok Kyai Marogan adalah sosok mediator yang mampu menyampaikan doanya kepada Allah. Ia pun hanya membacakan Yasin sebagai bentuk tawassulnya. Sedangkan orang yang berpendidikan menengah (seperti SMA), pola kepercayaannya terhadap makam keramat merupakan bagian dari tradisi. Mereka tetap menjalankan ziarah sebagai suatu tradisi namun pola perilakunya tidak sama dengan yang bersifat tradisional, seperti membawa sesaji. Pada umumnya ada beberapa motif yang mengharuskan mereka berpola tradisional dan ada beberapa motif yang dirasa bisa dirasionalkan polanya. Seperti ziarah yang dilakukan oleh KL (pr/42)35 karena motif keharmonisan rumah tangga. Ia berziarah ke makam Kyai Marogan agar rumah tangganya tidak hancur berantakan. Ia pun

32 Hasil wawancara dan observasi terhadap ZN (pr/36/S1), SK (pr/27/S1), HM (lk/28/S1), MM (lk/51/S1), MR (pr/36/S1). 33 Hasil wawancara dan observasi terhadap SW (lk/65/Tidak Sekolah), CN (lk/38/SD), FD (lk/44/SD), YT (lk/72/Tidak Sekolah). 34 Wawancara dengan ZN (pr/36/S1) pada tanggal 22 Agustus 2013. 35 Wawancara dengan KL (pr/42) pada tanggal 23 Agustus 2013. 164 membawa nasi gemuk karena menurut nya ini merupakan suatu tradisi. Secara rasional, berziarah ke makam keramat memang membawa suatu ketenangan karena makam merupakan tempat yang sepi sehingga cocok sebagai tempat untuk menenangkan diri. Hal ini tentunya berbeda dengan orang-orang yang berasal dari strata bawah. Mayoritas orang yang berasal dari strata pendidikan rendah menganggap bahwa makam keramat Kyai Marogan adalah tempat meminta terkabulnya keinginan maupun motif mereka. Perilaku ziarahnya pun bersifat tradisional dengan masih membawa hal-hal yang berbau tradisi, seperti membawa sesaji (nasi kunyit panggang ayam dan nasi gemuk) sebagai bentuk persembahan/ucapan terima kasih kepada Kyai untuk mengabulkan doanya. Hal ini pun dilakukan oleh SW (lk/65/tidak sekolah)36 yang membawa makanan ke makam Kyai Marogan untuk mendapatkan berkah. SW juga membeli barang-barang yang dianggap membawa berkah setelah berziarah dari makam Kyai Marogan. Sebenernya, barang-barang ini merupakan suatu simbol dari keberkahan. Misalnya saja SW yang membeli kembang keramas untuk ditaburkan di ladangnya agar panennya berhasil. Perilaku-perilaku sepoerti ini merupakan perilaku tradisional yang berasal dari pra-Islam dan berkembang menjadi suatu tradisi. Bentuk interdependensi antara strata pendidikan dan pola kepercayaan pun tampak pada perilaku ziarah yang dilakukan oleh RN (pr/22/D-3). RN berziarah karena ziarah merupakan tradisi yang disarankan oleh keluarganya. Ia berziarah karena studinya akan segera selesai. Ada anggapan bahwa dengan berziarah akan membawa keberkahan, termasuk berkah menyelesaikan pendidikan.37 Hal ini menunjukkan bahwa pola kepercayaan terhadap adanya keberkahan dalam berziarah memudahkan urusannya, termasuk di bidang pendidikan.

3) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Religius Terhadap Perilaku Ziarah Stratifikasi sosial dan agama merupakan dua hal yang berbeda. Namun agama dan masyarakat adalah dua unsur yang

36 Wawancara dengan SW, 21 Agustus 2013 37 Wawancara dengan RN, 23 Agustus 2013. 165 saling mempengaruhi satu sama lain. Agama di definisikan sebagai sistem kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek hukum, moral, budaya dan sebagainya. Sedangkan stratifikasi sosial dipahami sebagai strata orang-orang yang berkedudukan sama dalam rangkaian status sosial. Manusia sering secara tidak sengaja dan tanpa sadar mengklasifikasikan orang lain ke dalam suatu kelas sosial tertentu ataupun golongan tertentu berdasarkan pada statusnya sendiri sebagai bagian dari anggota masyarakat. Hubungan antara strata dan pola kepercayaan sendiri lebih tepat jika bukan disebut sebagai strata maupun kelas sosial, melainkan lebih disebut sebagai penggolongan saja. Hal ini dikarenakan definisi strata dan kelas lebih merujuk kepada definisi yang bersifat vertikal atau hierarki sehingga terkesan ada tingkatan tersendiri yang tercipta di dalam agama. Sedangkan kata ‚penggolongan‛ lebih merujuk kepada definisi yang bersifat horizontal di mana setiap pola kepercayaan memiliki tujuan yang sama akan kebaikan manusia namun mempunyai cara yang berbeda dalam mencapai tujuan tersebut. Secara vertikal, strata berdasarkankan sosio-religius ini dilihat dari pemahaman agama yang dimiliki oleh seseorang. Hierarki strata sosio-religius ini dibagi menjadi ulama (yang memiliki pemahaman agama yang tinggi), orang biasa (memiliki pemahaman agama yang sedang), dan orang awam (yang kurang memiliki pemahaman agama). Dalam istilah Syed Nizar Hussaini Hamdani, strata sosio-religius dalam masyarakat muslim terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu sangat religius (muttaqi>n/mukmin), religius moderat (muslim), dan kurang religius (fa>siq/fa>jir).38 Strata sosio-religius yang berada di strata atas adalah sangat religius, yaitu muslim yang terkenal memiliki sikap positif, berperilaku baik, rajin beribadah, jujur dalam bertransaksi, memiliki kepribadian yang bisa diandalkan dan dipercaya (amanah). Umumnya ulama menempati hierarki strata atas karena secara agama, ulama memiliki pemahaman agama yang tinggi dibandingkan orang biasa dan ulama juga disebut sebagai pewaris para nabi. Secara sosial, ulama mendapatkan suatu prestise dari

38 Syed Nizar Hussaini Hamdani, ‚Religious Orientation as a Factor in Time Allocation: Evidence from Cross-Section Pakistani Data,‛ 62. 166 masyarakat atau mendapatkan kehormatan di lingkungan masyarakat di mana peran ulama selalu diprioritaskan dibandingkan peran lain dalam masyarakat. Menurut E. A. Ross, konsep prestise ini merupakan suatu konsep kehormatan sosial yang memiliki peranan penting dalam masyarakat.39 Secara ekonomi pun, ulama pada umumnya telah mampu untuk menunaikan ibadah haji. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi, ulama memiliki kemampuan finansial untuk berangkat haji bahkan umroh. Strata menengah dalam sosio-religius disebut sebagai muslim yang religiusnya moderat, yaitu seseorang yang menerima/mengakui doktrin, pesan-pesan dan prinsip-prinsip Islam (Islamic Message), bertindak sesuai ajaran Islam, mematuhi sebagian asas/prinsip serta aturan/ketentuan Islam; namun juga tidak patuh pada sebagian prinsip-prinsip Islam yang lainnya dan tidak terlalu sensitif terhadap ajaran Islam. Misalnya tidak terlalu memperhatikan apakah ini wajib, sunah, mubah, atau syubhat. Kelompok ini cenderung mematuhi ajaran Islam sebagaimana orang-orang di sekitarnya, jadi hanya mencontoh dan meniru apa yang dianggapnya sesungguhnya (esensi) dari amal perbuatannya tersebut. Strata sosio-religius yang rendah adalah muslim yang kurang religius yang ditempati oleh golongan awam, yaitu mereka yang diketahui/mengaku muslim, kadang kala atau secara parsial menjalankan ritual Islam, tetapi juga tidak jujur dan sering melanggar syariat Islam. Dalam istilah yang digunakan oleh Geertz, bisa dikatakan bahwa golongan awam ini bisa termasuk ke dalam golongan abangan, di mana agama (dalam hal ini Islam) hanya tampak di permukaan saja artinya yang termasuk dalam golongan awam ini hanya beragama Islam saja tanpa menjalankan Islam secara substansi. Interdependensi strata sosio-religius dan pola kepercayaan dapat dilihat berdasarkan perilaku ziarah dalam masyarakat. Sikap ulama Indonesia sebagai strata atas sebenarnya berbeda-beda dalam cara menilai kesahihan konsep dan praktik ziarah. Bahkan ada pertentangan yang nyata antara Nahdlatul Ulama (NU) yang

39 Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat, 6. 167 mewakili kelompok tradisionalis di satu pihak, dan Muhammadiyah yang merupakan penyambung lidah dari kelompok modernis dan rasionalis di lain pihak. Nahdlatul Ulama memperkenankan dan bahkan mendukung praktik-praktik yang memfokuskan perhatian masyarakat Islam pada tokoh-tokoh besar Islam, sedangkan Muhammadiyah sebaliknya menentang dengan gigih apa yang dianggapnya sebagai bid’ah: apabila mengunjungi makam-makam para mukmin dianjurkan agar berdoa demi keselamatan orang mati sambil menyadari nasib mereka masing- masing sebagai makhluk yang menuju ajal, dan mereka dilarang keras memuja orang mati ataupun mengalamatkan doa kepada mereka.40 Pola pikir golongan ulama ini merupakan pola pikir yang agamis Islam karena mereka memiliki dalil tertentu berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Kelompok muslim yang religiusitasnya moderat pada umumnya memiliki pola kepercayaan yang menganggap bahwa ziarah merupakan suatu tradisi karena telah dilakukan oleh generasi sebelumnya. Seperti yang dilakukan oleh RN (pr/22)41 yang berziarah ke makam Kyai Marogan karena menganggap hal tersebut sebagai tradisi dari keluarganya. Sedangkan golongan awam yang secara strata termasuk strata bawah merupakan golongan yang kurang memiliki pemahaman agama. Pada umumnya, orang awam ini merupakan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan di mana kurang memiliki akses terhadap pemahaman agama. Masyarakat pedesaan ini pada umumnya merupakan petani yang menganggap ziarah sebagai suatu tradisi turun menurun guna memperlancar kehidupan sehari-hari mereka. Ziarah sebagai suatu tradisi membentuk pola perilaku para peziarah awam bersifat tradisional. Artinya, perilaku yang ditampilkan merupakan perilaku turun temurun dari generasi sebelumnya. Misalnya saja YT (lk/72) yang berziarah ke makam keramat Kyai Marogan. YT adalah seorang petani yang sudah baya sehingga pola kepercayaannya sangat tradisional. Menurutnya tradisi ziarahnya sudah dilakukan pleh orang-orang sebelumnya sehingga baik pola kepercayaan maupun pola

40 Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 359 41 Wawancara dengan RN, 23 Agustus 2013. 168 perilakunya sesuai dengan apa yang diturunkan dari generasi sebelumnya. Hal ini sebenarnya karena YT kurang memiliki pemahaman agama. Interpretasinya terhadap ziarah hanyalah sebagai suatu tradisi yang telah ada dan dilakukan oleh orang- orang sebelumnya.42 Sebenarnya, pola kepercayaan orang awam yang diaktualisasi melalui perilaku ziarahnya dapat bersifat ambigu. Hal ini disebabkan karean ritual ziarah yang dilakukan oleh awam dapat mengarah kepada hal-hal yang berbau syirik. Untuk menghindari perbuatan syirik di makam, pihak zuriyat Kyai Marogan telah memasang pengumuman yang bertuliskan perintah ‚berdoalah kepada Allah‛, dan memasang pengumuman tentang tata cara berziarah secara Islam, bahkan ada juru kunci yang turut memperkuat perintah itu ketika para peziarah menyampaikan motifnya kepada juru kunci, juru kunci tersebut meluruskan motif si peziarah dengan mengarahkannya agar memohon kepada Allah bukan kepada Kyai Marogan karena Kyai Marogan hanyalah sebagai perantara. Menurut ajaran Islam, mengunjungi kuburan memiliki dua fungsi. Pertama, untuk mengingatkan kita bahwa suatu hari nanti kita juga akan mati. Kedua, untuk mendoakan si mati supaya memperoleh pengampunan Tuhan. Kaum Muslim tradisional juga percaya bahwa Allah akan memberkati para peziarah melalui perantaraan roh keramat yang terkubur disitu. Dengan demikian para wali itu dianggap merupakan perantara (tawassul) antara Allah dengan mereka yang masih hidup di dunia ini. Selain itu mereka juga mengharap berkah karunia Allah dalam berdagang supaya mereka memperoleh banyak keuntungan. Menurut HM (lk/28)43 tampaknya inilah motivasi utama para pedagang yang berziarah itu. Seorang informan lain, IW (lk/38),44 mengatakan bahwa dalam berdagang seseorang harus memiliki penglaris. Menurut informan ini, penglaris ini penting karena terdapatnya persaingan sengit di antara para pedagang. Jika ada penglaris maka dagangan akan menjadi lancar. Dalam pengertian ini, ziarah bisa

42 Wawancara dengan YT (lk/72) pada tanggal 23 Agustus 2013. 43 Wawancara dengan HM, Kamis (22 Agustus 2013). 44 Wawancara dengan IW, Rabu (21 Agustus 2013). 169 dilihat sebagai penggambaran dari pandangan dunia mereka. Pada saat yang sama, ziarah juga mengungkapkan bahwa dalam hal-hal yang tampaknya berlatar belakang keagamaan terdapat juga motivasi-motivasi ekonomi.45

4) Interdependensi Strata Berdasarkan Etnis Terhadap Perilaku Ziarah Palembang sangat kental dengan sebutan etnis Melayu Palembang46 atau yang lebih dikenal dengan Suku Melayu Palembang.47 Namun Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya memiliki banyak jaringan dagang di Asia, tak terkecuali dengan Cina (sebagai etnis besar di Asia). Keberadaan etnis Cina di Palembang tidaklah mengherankan karena secara historis, hubungan dagang antara Sriwijaya dan Cina tersebut sudah dimulai sejak abad pertama. Ketika Sriwijaya menjadi pusat ajaran

45 Mohammad Sobary, Kesalehan Sosial, (Jakarta: LkiS, 2007), 150. 46 Suku Melayu, dalam hal ini secara spasial, boleh dikatakan hampir mencakup seluruh kawasan Asia Tenggara, namun konsentrasi terbesar dan dianggap sebagai keturunan Melayu Asli mencakup kawasan Semenanjung Malaya dan Pulau Sumatera. Suku Melayu di Pulau Sumatera, lebih banyak dilekatkan pada kawasan yang lebih dikenal sebagai Sumatera Timur pada masa lalu. Penghubungan Palembang dengan Melayu, tidak dapat diketahui secara pasti. Bukti tertua dari hal ini didapat sejak masa Kerajaan Sriwijaya. Prasasti- prasasti yang terdapat dalam Kedukan Bukit, Telaga Batu, Kota Kapur, Karang Birahi, dan Palas Pasemah misalnya yang terdapat di Kota Palembang, walaupun ditulis dalam huruf Pallawa, namun jelas menggunakan Bahasa Melayu yang termasuk Melayu Tua. Dalam berita Cina, meskipun Melayu, dalam hal ini Kerajaan Melayu lebih banyak diidentikkan dengan Jambi, namun acapkali memiliki relevansi jelas dengan Palembang. Dedi Irwanto, dkk. Iliran dan Uluan: Dinamika dan Dikotomi Sejarah Kultural Palembang. (Yogyakarta: Eja Publisher, 2010), 65. 47 Untuk mengenali suku Palembang ini, biasanya terdapat gelar di depan namanya (yang dulunya berdasarkan strata tertentu namun seiring berjalannya waktu, strata gelar tersebut memudar fungsinya sehingga saat ini hanya sebatas gelar biasa), seperti Kiagus-Nyayu, Masagus-Masayu, Kemas-Nyimas, Baba- Nona Ayu, dan Raden-Raden Ayu. Suku Palembang ini semakin lama semakin berkurang. Hal ini dikarenakan adanya perkawinan amalgamasi yang dilakukan oleh orang Palembang sehingga gelar tersebut lama-lama hilang (karena Palembang menerapkan budaya patriarki sehingga jika seorang perempuan Palembang menikah dengan laki-laki yang tidak bergelar maka gelar perempuan tersebut tidak dapat diturunkan kepada anaknya atau terputus). Lihat Bab 3. 170

Buddha abad ke-7, banyak pelajar dari Cina yang datang ke hulu Sungai Musi untuk belajar tentang Sansekerta dan Buddha. Dari sini mulailah terjadi perkenalan budaya Cina ke masyarakat setempat yang kemudian melahirkan akulturasi budaya. Etnis Melayu Palembang merupakan in-group yang mayoritas dan penduduk aslinya tinggal di Palembang. Sebagai out-groupnya, kelompok etnis Cina merupakan kelompok minoritas yang kehadirannya dianggap berbeda. Sikap out-group selalu ditandai dengan suatu kelainan yang berwujud antagonisme atau antipati. Perasaan in-group atau out-group dapat merupakan dasar suatu sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap untuk menilai unsur-unsur kebudayaan lain dengan mempergunakan ukuran- ukuran kebudayaan sendiri.48 Dari sinilah muncul suatu perasaan yang meletakkan in- group tertentu sebagai suatu kelas tertentu. Etnis Cina, misalnya, yang merupakan kaum minoritas di Kota Palembang, secara kelompok sosial berada dalam strata bawah karena merupakan outgroup dari mayoritas penduduk Palembang. Meskipun secara ekonomi, penduduk Cina menguasai pasar dan menduduki kelas atas, namun jika dilihat secara etnisitas, etnis Cina ini tetap tergolong ke dalam strata bawah. Menurut RD (lk/58), Cina merupakan kaum yang minoritas apalagi ketika krisis tahun 1998, kelompok Cina menjadi kelompok yang terdeskriminasi sehingga membuat mereka merasa berada di strata bawah. Di kalangan muslim etnis Palembang, ziarah merupakan tradisi yang umumnya dilakukan untuk menghormati tokoh yang dianggap suci (seperti ulama, Raja, maupun pahlawan yang dianggap berjasa). Pola kepercayaan yang berkembang pun lebih bersifat agamis (tradisionalisme Islam) karena pola perilaku ziarah yang dilakukan etnis Melayu Palembang cenderung agamis dengan menyelipkan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an (seperti Ya>si>n dan Al-Fa>tih{ah) ketika berada di makam keramat tersebut.49 Hal ini menurut Azra, dikarenakan Islam dan Melayu menjadi identitas yang sama. Melayu identik dengan Islam; dan menjadi Islam

48 Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 108. 49 Hasil wawancara dan observasi terhadap SK (pr/27), RN (pr/22), SJ (lk/39), MR (pr/36), HM (lk/28), dan lain sebagainya. 171 berarti manjadi penganut Islam; dan manjadi Islam sekaligus menjadi Melayu.50 Interdependensi strata berdasarkan etnis ini juga mempengaruhi perilaku ziarah. Rasa hormat dan pemujaan terhadap nenek moyang sudah mengakar dalam masyarakat serta membuat jalan berbagai mitos untuk dikreasikan terus dan mempunyai nilai komersil serta bersifat omnipresent alias ada di mana-mana di Indonesia.51 Masyarakat Cina yang menjadi bagian dari penduduk Palembang masih memegang teguh nilai-nilai keluhurannya. Pada tradisi Cina terdapat tradisi pemujaan terhadap leluhur yang berfungsi untuk mengingat kembali asal usulnya. Pemujaan masyarakat Cina terhadap leluhur ini dilakukan oleh masyarakat Cina tidak hanya dengan menghormati leluhurnya sendiri melainkan juga menghormati leluhur di tanah tempat ia tinggal. Misalnya saja sosok Kyai Marogan yang dianggap oleh sebagaian orang Cina sebagai leluhur yang harus dihormati. Perilaku ziarah yang ditampilkan oleh orang-orang Cina yang berziarah ke makam keramat Kyai Marogan adalah dengan menghormati Kyai dengan hanya menaburkan kembang di makam Kyai.52

5) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Kultural Terhadap Perilaku Ziarah Kota Palembang terdikotomis ke dalam dua konsep kewilayahan, yaitu Uluan dan Iliran. Pada perkembangannya Uluan dan Iliran tidak hanya menjadi konsep kewilayahan semata melainkan menjadi konsep sosio-kultural. Secara kewilayahan, konsep Uluan adalah daerah yang terletak di pedalaman Sumatera Selatan di sepanjang aliran Batanghari Sembilan. Sedangkan

50 Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, 19. 51 JJ Rizal dalam seminar ‚Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Indonesia‛ yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Syahida Inn, Kamis (28/4). Berita UIN Online, Tradisi Ziarah Masyarakat Indonesia Sudah Dipolitisasi, Diposting oleh rulam pada tanggal: 29 April 2011. http://www.uinjkt.ac.id/index.php/ component/content/article/1-headline/1914- tradisi-ziarah-masyarakat-indonesia-sudah-dipolitisasi-.html 52 Hasil wawancara dan observasi terhadap RD (lk/58) pada tanggal 21 Agustus 2013. 172 konsep Iliran merujuk kepada Kota Palembang yang memiliki Sungai Musi sebagai muara dari Batanghari Sembilan. Daerah Iliran tersebut, kerapkali juga disandingkan dengan kedatangan kemajuan, sebab yang paling pertama menerima perubahan seringkali datang dari daerah aliran sungai, yang kemudian baru menyentuh ke arah Uluan.53 Inilah realitas historisnya, iliran diidentifikasikan mendapat pengaruh kuat dari pusat ibukota sehingga lebih bercorak modern, cenderung terbuka, lebih maju, lebih intelek. Sementara uluan dikategorikan masih berada dalam alam tradisional, karena sedikit mendapat sentuhan pusat ibukota keresidenan. Meskipun tidak sesempit itu, teori dikotomis tersebut masih menyimpan kenyataan berambigu seperti itu. Modernis di iliran, bukanlah secara keseluruhan, karena sifat tradisional tidak dapat disisihkan begitu saja. Terdapat penjustifikasikan terhadap dikotomi tersebut. Secara ideologis, orang iliran menganggap dirinya lebih modern, cenderung terbuka, lebih maju, lebih intelek sehingga secara politis mereka merasa lebih berkuasa, superioritas dengan segala kebijakan dan kewenangan, sementara secara ekonomis mereka menganggap dirinya lebih makmur dan kaya sehingga secara stratifikasi, iliran termasuk ke dalam strata atas. Sebaliknya, orang uluan sering dihadapkan dengan konsepsi keterbelakangan dan ketinggalan, cenderung tertutup, dan miskin. Orang uluan selalu disusukan pada posisi inferior sebagai orang yang tidak tahu perkembanganyang berhubungan dengan kemajuan dan secara stratifikasi, uluan termasuk dalam strata bawah. Mayoritas orang-orang Melayu Palembang memeluk agama Islam sehingga tradisi ziarah pun kerap dilakukan oleh orang- orang Palembang. Dengan latar sosio-kultural Palembang yang berbeda, yaitu terbagi menjadi dua bagian Uluan dan Iliran, menyebabkan adanya perbedaan dalam pola perilaku ketika berziarah. Orang uluan biasanya melakukan ziarah dengan membawa makanan yang diberikan kepada juru kunci, seperti nasi

53 Dedi Irwanto, dkk. Iliran dan Uluan: Dinamika dan Dikotomi Sejarah Kultural Palembang. (Yogyakarta: Eja Publisher, 2010), 3. 173 gemuk dan ketan kunyit panggang ayam.54 Sedangkan orang iliran umumnya melakukan tradisi ziarah dengan mengunjungi makam tanpa membawa apapun. Namun, hal ini tidak serta merta mentipologikan pola perilaku ke dalam dua kubu tersebut. Terkadang terjadi overlapping juga terhadap pola perilaku ziarah orang Palembang. Kyai Marogan adalah sosok ulama yang tidak hanya menyebarkan agama Islam di wilayah Palembang semata. Beliau juga menyebarkan Islam hingga ke pelosok-pelosok daerah di Sumatera Selatan. Kebanyakan daerah yang dikunjungi Beliau untuk berdakwah adalah pedalaman yang mayoritas penduduknya bertani, seperti Pemulutan, Pesemah, Komering, Sekayu, Meranjat, dan lain sebagainya. Etnis-etnis daerah tersebut juga sering berziarah untuk mengunjungi Kyai Marogan. Namun terkadang, sosok Kyai Marogan dianggap sebagai ‚tokoh suci‛ yang memiliki kekuatan tertentu. Persepsi masyarakat daerah ini pun menjadi ambivalen dan berlebihan. Karomah yang dimiliki beliau disalahpersepsikan sehingga seakan-akan beliau memiliki kekuatan yang dapat memecahkan masalah mereka. Seperti yang diungkap oleh YT (lk/72)55, ia meminta kepada sang Kyai bukan kepada Allah. Padahal, dalam konsep tawassul, sang ulama bisa menjadi perantara doa, namun perantara ini disalahpersepsikan sehingga memintanya bukan kepada Allah melainkan kepada sang tokoh yang dianggap ‚suci‛ tersebut. Hal ini membuktikan bahwa orang uluan memiliki pola kepercayaan yang masih magis yang manganggap bahwa ‚makam‛ dapat mengabulkan permintaan mereka. Berbeda dengan orang uluan yang terlalu mengagungkan sosok tokoh sehingga menjadikan pola kepercayaannya ambivalen, orang iliran lebih bersifat rasionalis dan agamis dalam menyikapi ulama yang penuh dengan karomah tersebut. Orang iliran ini pada umumnya mengenal konsep tawassul sebagai konsep perantara doa sehingga pola perilaku ziarah yang dilakukan di makam keramat Kyai Marogan pun cenderung lebih rasional-agamis, seperti hanya

54 Hasil wawancara dan observasi terhadap SW (lk/65/Tanjung Raja- Uluan) pada tanggal 21 Agustus 2013. 55 Hasil wawancara dan observasi terhadap YT (lk/72/Komering) pada tanggal 23 Agustus 2013. 174 membaca doa atau hanya membaca beberapa lantun ayat tanpa membawa atau membeli sesuatu sebagai simbol berkah dari ritual ziarah.56

6) Interdependensi Strata Berdasarkan Politik Terhadap Perilaku Ziarah Dalam konsep sosiologi terdapat perbedaan antara ‚kelas‛ dan ‚elite‛. Konsep ini dikemukakan oleh sosiolog Itali, Pareto dan Mosca yang menjelaskan bahwa konsep kelas didasarkan pada batasan ekonomi dan konsep elite didasarkan pada pengertian non ekonomi. Golongan borjuasi sebagai suatu kelas, bisa merupakan elite ekonomi, tapi belum tentu sekaligus menjadi elite politik, karena elite politik bisa dipegang, umpamanya oleh golongan agama atau militer. Ada elite bersifat plural dan kelas mengandung pengertian homogen.57 Indikator yang dipergunakan untuk memilah masyarakat atas dasar dimensi politik adalah distribusi kekuasaan. Menurut Weber yang dimaksud dengan kekuasaan adalah peluang bagi seseorang atau sejumlah orang untuk mewujudkan keinginan mereka sendiri melalui suatu tindakan komunal meskipun mengalami tantangan dari orang lain yang ikut serta dalam tindakan komunal itu.58 Bentuk-bentuk kekuasaan pada masyarakat tertentu sangat beraneka ragam dengan masing- masing polanya. Gejala demikian menimbulkan lapisan kekuasaan atau piramida kekuasaan, yang didasarkan pada rasa kekhawatiran masyarakat akan terjadinya disintegrasi bila tidak ada kekuasaan yang menguasainya. Karena integrasi masyarakat dipertahankan oleh tata tertib sosial yang dijalankan oleh penguasa, masyarakat mengakui adanya lapisan kekuasaan tersebut, walaupun kadang-

56 Hasil wawancara dan observasi terhadap ZN (pr/36/Palembang), HM (lk/28/Palembang), dan lain sebagainya. 57 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999), 269. 58 Kekuasaan berbeda dengan kewenangan. Seseorang yang berkuasa tidak selalu memiliki kewenangan atau menduduki jabatan formal. Yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi individu- individu lain mempengaruhi pembuatan keputusan kolektif. Dikatakan Robert D. Putnam bahwa kekuasaan adalah probabilitas untuk mempengaruhi alokasi nilai-nilai otoritatif. Narwoko dan Suyanto, Sosiologi Teks Terapan, 174. 175 kadang kenyataan demikian merupakan beban. Kekuasaan disini bukanlah semata-mata berarti bahwa banyak orang tunduk di bawah penguasa, namun kekuasaan selalu berarti suatu sistem lapisan bertingkat (hierarkis). Adapun stratifikasi kekuasaan tersebut senantiasa ada dasar-dasarnya sehingga dapat berproses.

Bagan 7. Sistem Stratifikasi Kekuasaan dan Interdependensinya Terhadap Pola Kepercayaan 59

pemimpin politik, pemimpin partai, orang kaya, pemimpin organisasi besar Rasional pejabat administratif, kelas-kelas atas dasar Tradisionalis keahlian me Islam

ahli-ahli teknik, petani-petani, Tradisional pedagang-pedagang

pekerja-pekerja rendahan dan petani-petani rendahan

Gambar tersebut menunjukkan kenyataan akan adanya garis pemisah antara lapisan yang sifatnya terbuka dan memungkinkan adanya mobilitas. Kelahiran tidak menentukan seseorang, yang terpenting adalah kemampuan dan kadang-kadang juga faktor keberuntungan. Tipe ini terbukti dari anggota-anggota partai politik yang dalam suatu masyarakat demokratis dapat mencapai kedudukan-kedudukan tertentu melalui partai. Peziarah yang berada dalam strata berdasarkan politik ini (yang memiliki wewenang maupun jabatan fungsional) juga kerap datang berziarah ke makam keramat Kyai Marogan. Motif mereka pun beragam, mulai dari memohon restu Kyai Marogan agar terpilih kembali untuk menduduki jabatan tertentu60 sampai

59 Gambar ini diadaptasi dari The Web of Government, 102. 60 Wawancara dengan SJ (lk/39) pada April 2014. 176 mengucapkan nazar tertentu jika ia menduduki suatu jabatan61. Pada momen pencalonan anggota legislatif misalnya, banyak caleg yang mengunjungi makam Kyai Marogan untuk meminta restu agar dapat mewakili daerahnya ke kursi DPR.62 Pola perilaku yang mereka lakukan di makam ini adalah ketika masuk makam, mereka datang ke juru kunci guna menyampaikan hajat mereka. Setelah itu hajat diterima juru kunci kemudian juru kunci membacakan doa kepada si caleg. Ada beberapa caleg yang langsung pulang setelah dibacakan doa, namun ada pula caleg yang membaca yasin di makam Kyai Marogan. Berbeda dengan momen tersebut, ada juga peziarah yang naik pangkat memutuskan untuk berziarah ke makam Kyai Marogan. Hal ini ia lakukan sebagai bentuk syukurnya atas restu dari sang Kyai. Menurut Bambang Pranowo, ia menyikapi bahwa tradisi ziarah masyarakat Indonesia pada dasarnya bisa diaktualisasikan yang lebih bermakna dan ambil sisi positifnya saja. Hal ini dikarenakan di dalamnya ada makna sejarah maupun ritual, yang disebabkan beberapa faktor seperti faktor sosial, nilai-nilai agama, religius, serta tradisi yang sudah melekat di kalangan masyarakat.63 Interdependensi antara stratifikasi kekuasaan dengan pola kepercayaan dapat dilihat keterhubungannya. Pada umumnya elite-elite birokrat memiliki pola kepercayaan yang rasional. Hal ini dikarenakan elite birokrat telah mengalami adaptasi yang tinggi di lingkungan tempat ia berinteraksi sehingga semakin longgarnya pola kepercayaan tradisional. Sebaliknya, perubahan pola pikir, termasuk pola kepercayaan, akan mempengaruhi pula posisi seseorang dalam suatu hierarki, seperti adanya pola rasional membuat individu/masyarakat lebih kritis dan mempertimbangkan hal-hal yang akan menguntungkan untuk ke depannya. Pola pikir yang rasional mampu memobilisasi masyarakat dari yang tadinya hanya petani rendahan mampu menjadi elite birokrat. Namun, tak

61 Wawancara dengan BM (lk/44) pada tanggal 22 Agustus 2013. 62 Hasil wawancara dan observasi terhadap SJ (lk/39) dan MR (pr/36) di bulan April 2014. 63 Berita UIN Online, Tradisi Ziarah Masyarakat Indonesia Sudah Dipolitisasi, Diposting oleh rulam pada tanggal: 29 April 2011. http://www.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/1-headline/1914- tradisi-ziarah-masyarakat-indonesia-sudah-dipolitisasi-.html 177 hanya pola kepercayaan rasional saja yang mampu memobilisasi hierarki seseorang. Individu memiliki berbagai alternatif cara untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam kaitan ini, yang termasuk dalam strata menengah adalah karyawan dan Weber menyebutnya sebagai kaum birokrat. Weber menyimpulkan bahwa kecenderungan rasa keagamaan birokrasi bersifat serba mencari untung dan enak. Hal ini dikarenakan adanya rasa kekhawatiran, ketidakpastian, dan ketidakmampuan mereka dalam menyelesaikan suatu permasalahan. SK (pr/27) yang seorang pegawai birokrat, misalnya, ia berziarah karena memiliki motif tertentu, yaitu memiliki masalah rumah tangga. Ketidakmampuan SK dalam menyelesaikan masalahnya membuat SK memilih berziarah untuk sejenak menenangkan pikirannya.64 Selain ada karyawan, ada pula pedagang/wirausaha, dan petani (pemilik lahan) yang menduduki posisi strata menengah ini. Pola kepercayaannya pun seperti halnya karyawan, karena memiliki suatu motif tertentu sehingga pola kepercayaannya bisa bersifat overlapping antara magis, tradisionalisme Islam, dan rasional. Berbeda halnya dengan strata bawah yang diduduki oleh petani penggarap dan buruh. Mereka cenderung memiliki pola kepercayaan yang magis karena keterbatasan akses mereka.

B. Stratifikasi Keagaamaan dan Pola Kepercayaan Kingsley Davis dan Wilbert E. Moore65 menyebut interelasi agama dan stratifikasi sebagai religious stratification. Menurut Davis dan Moore stratifikasi agama adalah pembagian masyarakat ke dalam lapisan hirarkis pada premis keyakinan agama, afiliasi, atau praktik iman. Alasan mengapa agama diperlukan ternyata dapat ditemukan dalam kenyataan bahwa masyarakat manusia mencapai kesatuan terutama melalui kepemilikan oleh anggotanya nilai utama tertentu dan berakhir

64 Hasil wawancara dan observasi terhadap SK (pr/27) pada tanggal 23 Agustus 2013. 65 Davis, Kingsley and Wilbert E Moore, 1945. ‚Some Principles of Stratification,‛ American Sociological Review 10 (April): 242-249. http://en.wikipedia.org/wiki/ religious_stratification (diakses pada 02 April 2012) 178 kesamaan. Selanjutnya, Davis dan Moore berpendapat bahwa stratifikasi keagamaan merupakan ‚peran keyakinan agama dan ritual untuk menyediakan dan memperkuat penampilan realitas bahwa nilai-nilai utama tertentu telah dimiliki. Ini merupakan salah satu penjelasan mengapa agama merupakan salah satu faktor yang mendasari dan menghubungkan berbagai bentuk ketidaksetaraan dalam stratifikasi. Menurut Bryan S. Turner, stratifikasi keagamaan erat kaitannya dengan sistem status sekuler. Pada satu sisi, terdapat suatu kecenderungan dalam kelompok elite keagamaan untuk direkrut besar-besaran dari elite-elite sekuler. Misalnya saja ulama yang dijadikan ikon dalam suatu partai politik, namun pada sisi yang lain, ahli agama ‚mengundurkan diri‛ dari pekerjaan untuk mengembangkan bakat-bakat mereka membentuk suatu kelas tak- produktif. Dengan demikian, dalam bahasa Marx, kelas penguasa itu tidak produktif karena mereka tidak menghasilkan nilai surplus. Kesulitan pun muncul berkaitan dengan usaha Hodgson mempertahankan otonomi kesalehan dari penjelasan sosiologis, yang berhubungan secara langsung dengan pemahamannya terhadap pemisahan Weber antara kepentingan-kepentingan ‚material‛ dan ‚spiritual‛. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kepercayaan terhadap argumentasi metodologis bahwa komitmen- komitmen nilai secara total terlpas dari fakta-fakta empirik. Kepercayaan itu mengakibatkan seseorang tidak memiliki kriteria untuk melakukan seleksi terhadap penafsiran-penafsiran yang saling bersaing. Turner menegaskan bahwa seluruh kepercayaan sosial merupakan sesuatu yang ditentukan, akan tetapi determinasi sosial ini seharusnya tidak dirancukan dengan pertanyaan- pertanyaan tentang rasionalitas, kebenaran, dan autentisitas.66 Analisis struktural fungsional terhadap interelasi antara stratifikasi sosial dan pola kepercayaan dapat dilihat dari pola tindakan masyarakat. Dalam hal ini, hubungan tersebut tercermin dalam fenomena ziarah di mana masyarakat yang terstratifikasi memiliki world view atau pola kepercayaan yang bervariasi, yang mereka refleksikan dalam tindakan mereka ketika berziarah. Talcott Parson yang mengajukan teori tentang tindakan manusia

66 Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, 130. 179 dalam hal ini membedakan ke dalam empat subsistem: organisme, personality, sistem sosial, dan sistem kultural. Keempat unsur ini tersusun dalam urutan sibernetika (cybernetic order) yang menurut Parson sebagai unsur yang mengendalikan tindakan manusia.67 Weber mengupas elemen-elemen petunjuk dalam perilaku kehidupan dari strata sosial sangat mempengaruhi etika praktis keagamaan masing-masing.68 Berbagai elemen ini menunjukkan berbagai ciri yang lebih berkarakter dalam etika praktis, ciri etika yang membedakan stau etika dari etika yang lain; dan, pada saat yang sama, elemen-elemen ini begitu penting bagi etika ekonomi masing-masing. Tindakan sosial yang diajukan oleh Talcott Parson sepenuhnya mengikuti karya Weber. Tindakan sosial yang dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat membatin atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa. Atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu. Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya ke dalam empat tipe, yaitu traditional action, affectual action, werkrational action, dan zwerk rational. Kedua tipe tindakan yang awal sering hanya merupakan tanggapan secara otomatis terhadap rangsangan dari luar. Semua tindakan manusia ditentukan oleh keempat subsistem: budaya, sosial, kepribadian, dan organisme.69 Sistem kultural merupakan sumber ide, pengetahuan, nilai, kepercayaan, dan simbol-simbol. Sistem ini penuh dengan gagasan dan ide, karena itu kaya akan informasi, tetapi lemah dalam energi dan aksi. Untuk sampai pada tindakan nyata, personality, sistem sosial berfungsi sebagai mediator

67 Narwoko dan Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, 262. 68 Weber, studi Komprehensif Sosiologi Kebudayaan, 9. 69 Pertimbangan aspek-aspek tertentu sistem-sistem sosial digambarkan dalam kerangka teori tindakan yang menunjukkan dengan mudah mengapa pelapisan merupakan suatu fenomena mendasar. Pelapisan sebagaimana diberlakukan di sini, merupakan suatu aspek dari konsep struktur sebuah sistem sosial yang digeneralisasikan. Parson, Essei-Essei Sosiologi, 73. 180 terhadap sistem kultural. Artinya simbol-simbol budayawi diterjemahkan begitu rupa dalam sistem sosial yang kemudian disampaikan kepada individu-individu warga masyarakat (sistem sosial) melalui proses sosialisasi dan internalisasi. Semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami.70

1) Traditional Action Traditional action, tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja. Mayoritas peziarah yang berziarah ke makam keramat Kyai Marogan, menganggap ritual ziarah sebagai suatu tradisi yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Sehingga tradisi ziarah ini memiliki cara dan praktik tertentu dalam mengaplikasikan persepsi ziarahnya. Cara ini didapatkan dari proses enkulturasi yang telah ditanamkan dari generasi ke generasi. Tindakan tradisional yang telah terenkulturasi dan diaplikasikan di makam keramat Kyai Marogan dapat berupa mengambil batu, menabur kembang, keramas kendaraan (mobil, motor, perahu ketek, tongkang, becak, dan lain sebagainya), mawa’ ayam item (membawa ayam hitam), membeli kemenyan, penglaris, dan lain sebagainya.71 Tindakan tradisional seperti ini mereka lakukan karena hal ini merupakan suatu tradisi yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka. Tradisi ini pun semakin melekat karena pengalaman-pengalaman masyarakat yang telah merasakan berkat/keberkahan atau keberhasilan dari tradisi ziarah.

2) Affectual action Affectual action, tindakan yang dibuat-buat dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami, kurang atau tidak rasional. Tindakan yang dilakukan oleh peziarah melalui affectual action ini adalah berkenaan dengan persepsi dan motif mereka berziarah. Salah seorang peziarah, YT (lk/72) misalnya berziarah ke makam Kyai

70 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2007), 39. 71 Hasil wawancara dan observasi di lapangan. 181

Marogan karena motif tertentu. Ia mempersepsikan motif ziarahnya dikarenakan ia bermimpi dihampiri oleh sosok Kyai Marogan yang menyuruhnya untuk datang ke makam Kyai Marogan ini. Sebelumnya memang YT ini pernah mengambil batu kerikil dari makam Kyai Marogan. Berdasarkan mimpinya tersebut, ia kemudian mempersepsikannya sebagai suatu suruhan agar ia berziarah ke makam Kyai Marogan guna mengembalikan batu tersebut. Motif mimpi seperti ini sebenarnya tidak rasional dan tidak logis karena tidak dapat dibuktikan secara empiris. Sehingga perilaku ziarahnya pun menjadi sesuatu yang tidak rasional.72

3) Werkrational action Werkrational action, dalam tindakan tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan yang paling tepat ataukah lebih tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Ini menunjuk kepada tujuan itu sendiri. Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk dibedakan. Namun tindakan ini rasional, karena pilihan terdapat cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang diinginkan. Tindakan tipe ini masih rasional karena itu dapat dipertanggungjawabkan untuk dipahami. Pengaplikasian pola tindakan ini dapat dilihat dari apa yang terjadi terhadap KL (pr/42) yang berziarah ke makam keramat Kyai Marogan. Ia berziarah bersama tetangganya karena motif adanya konflik dalam rumah tangganya. Tujuannya berziarah ke makam ini adalah agar diberi ketenangan jiwa dan ketenangan dalam rumah tangganya. Ia membawa nasi gemuk sebagai ungkapan lepas bala’ (masalah hidup) kemudian ia membaca Yasin di makam Kyai Marogan. Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan cara yang dilakukan dirasa tidak sinkron. Namun, tindakan ini bersifat rasional karena makam merupakan tempat yang sunyi sehingga cocok untuk menghadirkan suasana tenang.

72 Hasil wawancara dan observasi terhadap YT (lk/72) pada tanggal 23 Agustus 2013. 182

4) Zwerk rational Zwerk rational, yakni tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang baik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Tujuan dalam zwerk rational tidak absolut. Ia dapat juga menjadi cara dari tujuan lain berikutnya. Bila aktor berkelakuan dengan cara yang paling rasional maka mudah memahami tindakannya. Hal ini biasanya dilakukan oleh kaum modernis yang melakukan tindakan ziarah yang berbeda dengan tindakan-tindakan tradisional lainnya. Kaum modernis lebih melihat bahwa ziarah bukanlah sesuatu yang diwajibkan dan dapat mengabulkan permintaan seseorang. Kaum modernis lebih bersifat rasional karena mereka menganggap ziarah bertujuan untuk mengingatkan manusia kepada kematian. Tak hanya itu, mendoakan orang yang telah meninggal tidak harus datang ke makamnya tetapi bisa juga dilakukan oleh seorang individu di mana saja.

C. Transisi Kepercayaan: Tradisional – Rasional Pada umumnya, Islam di Nusantara berkembang melalui pendekatan-pendekatan kultural yang dikembangkan dan dilakukan oleh ulama. Ketika itu, aset-aset lokal yang tersedia dimodifikasi menjadi sarana untuk penyebaran ajaran agama. Dalam kondisi seperti ini, ajaran agama terkesan sangat adaptif terhadap aspirasi dan inspirasi umatnya. Hal ini berbeda dengan pendekatan meliterisme yang acapkali radikal dan sering berbenturan dengan kearifan lokal. Berdasarkan kasus pendekatan kultural yang dilakukan oleh ulama ini, Taufik Abdullah73 memberi kesimpulan tentang adanya tiga pola penyebaran Islam di Nusantara. Tiga pola yang dimaksud adalah pola Pasai, Malaka, dan Jawa. Di dalam ketiga bentuk atau pola pendekatan itu ulamalah yang menjadi figur sentral dalam pembumian ajaran Islam. Ulama juga dipandang sangat menentukan arah dan laju proses transformasi sosial yang dilaksanakan. Transformasi sosial

73 Hanani, Silfia, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama. (Bandung: Humaniora. 2011), 93. 183 erat kaitannya dengan perubahan sosial yang bersifat profetik74. Sulit dipungkiri bahwa perubahan sosial sangat menghendaki kehadiran spirit profetik itu. Atas dasar itu, penggunaan paradigma profetik akan mempermudah penjelasan perubahan sosial ini. Paradigma yang dimaksud adalah mode of though, dan mode of inquiry yang diharapkan bisa menghasilkan mode of knowing. Peran ulama dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara sangatlah besar. Karisma yang dimiliki oleh ulama tersebut tidak akan hilang meskipun mereka telah meninggal dunia. Bahkan untuk menghormati para ulama tersebut, masyarakat kerap kali mengunjungi makam ulama tersebut karena mereka meyakini bahwa meskipun ulama tersebut telah tiada namun karomah beliau akan tetap ada di makamnya. Kepercayaan yang dipegang oleh masyarakat ini dikarenakan masyarakat Indonesia pada umumnya masih berada dalam tatanan masyarakat tradisional agraris, yang mendasarkan kebudayaannya pada hal-hal yang lebih bersifat emosional daripada rasional. Aspek keharmonisan yang membuat kebanyakan masyarakat tradisional agraris merasa dekat dengan kelompok masyarakat Islam. Hal ini pula yang merupakan alasan mereka untuk mempertahankan upacara-upacara tradisional, terutama kepercayaan terhadap wali atau para tokoh Islam, serta kebiasaan ziarah, meskipun tradisi tersebut selalu dikecam oleh kaum modernis.75 Begitu kuatnya tradisi ini di dalam masyarakat setempat, sehingga kelompok masyarakat Islam tradisional tersebut nyaris telah menjadi penyangga sistem budaya Islam tradisional.76

74 Kata profetik berasal dari bahasa Inggris ‘prophet’, yang berarti nabi. Menurut Ox-ford Dictionary ‘prophetic’ adalah (1) ‚Of, pertaining or proper to a prophet or prophe-cy‛; ‚having the character or function of a prophet‛; (2) ‚Characterized by, containing, or of the nature of prophecy; predictive‛. Jadi, makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat prediktif, memrakirakan. Profetik di sini dapat kita terjemahkan menjadi ‘kenabian’. (sumber: http://edymei.blog.ugm.ac.id/2011/04/01/diskusi-kajasha- paradigma-ilmu-profetik/, diakses pada tanggal 11 Mei 2012) 75 Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya. 1983) 76 Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. 2010), 7 184

Secara teologis keyakinan-keimanan para peziarah masih ambivalen, campur aduk, dan tidak murni. Satu sisi mereka menyatakan ketauhidannya secara mutlak akan tetapi di sisi lain mereka menyimpan kepercayaan-kepercayaan tertentu terhadap makam-makam yang dianggap keramat tersebut untuk keberhasilan maksud dan tujuan yang mereka inginkan. Persoalannya adalah bila mereka melakukan ziarah ke makam keramat yang diyakini masyarakat luas berada pada garis yang lurus, atau mungkin juga telah penyimpangan sehingga dapat membahayakan kemurnian tauhid mereka karena ritualnya terjadi tumpang tindih antara hal-hal yang berasal dari religi dan dari tradisi.77 Pola kepercayaan masyarakat terhadap kekeramatan makam dapat ditipologikan menjadi beberapa pola.78 Weber berupaya melihat tingkatan pola ini, namun terjadi ketidakkonsistenan dalam penggunaan istilahnya. Weber mencampuradukkan berbagai istilah antara system of belief, world-view, dan kadang-kadang ideologi. Sistem kepercayaan atau world-view dalam kehidupan sosial dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu magic, religion, dan science.79 Pola kepercayaan masyarakat/peziarah

77 Ahmad Amir Azis, dkk. Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok), (Jurnal Penelitian Keislaman, Vol 1, No. 1, Desember 2004: 59-77. 78 Menurut Azis, sistem kepercayaan kekeramatan para peziarah dapat ditipologikan ke dalam tiga kelompok, yaitu tradisionalisme Islam, mistis, dan rasional. Ahmad Amir Azis, dkk. Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok), (Jurnal Penelitian Keislaman, Vol 1, No. 1, Desember 2004: 59-77. Sekilas jauh ke belakang tipologi ini juga sama dengan apa yang dicetuskan oleh Auguste Comte yang berbicara tentang ‚Hukum Tiga Tahap‛ yang terdiri dari tahap keagamaan, tahap metafisik, dan tahap positif. Comte mengartikan tahap keagamaan (atau theological) sebagai periode pandangan dan pemahaman mistis; tahap metafisik, merupakan periode di mana yang digunakan untuk mengorganisasi dunia pengalaman bukannya kategori rasional subjektif, tetapi kategori dan konsep yang abstrak; sedang tahap positif merupakan periode di mana dikembangkan mode pemahaman ilmiah dan pembentukan konsep modern. Thomas F.O’Dea, Sosiologi Agama, diterjemahkan Tim Penerjemah Yasogama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), 82 79 Ralph Schroeder, Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, terjemahan Ratna Noviani, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), xi. 185 yang pertama adalah pola kepercayaan magic. Pola magic ini menekankan pada aspek kekayaan batin dan kekuatan supra dengan tanpa didasari alur logika. Pola perilaku dan kepercayaan ditunjukkan melalui pengkultusan makam seperti mengambil batu kerikil makam, menabur kembang, membeli barang-barang simbolik yang dianggap memiliki suatu kekuatan atau dapat mengabulkan keinginannya, membawa makanan, hewan, dan lain sebagainya. Hal ini merupakan potret kepercayaan masyarakat yang berbau mistis. Membeli penglaris dagang misalnya merupakan usaha peziarah agar usaha/dagangannya semakin lancar dan sukses. Pola kepercayaan seperti ini sebenarnya merupakan pola kepercayaan kuno di mana sebelum masyarakat mengenal agama (Islam), mereka menganut paham animisme. Dalam perspektif teologi Islam, pola kepercayaan ini dipandang – atau mendekati ke arah – syirik. Selanjutnya, tipologi yang kedua adalah religion atau agama, yang dalam hal ini adalah tradisionalisme Islam. Dalam hubungan ini, mereka mengakui pentingnya intensitas hubungan dan kontak spiritual dari orang yang masih hidup kepada mereka yang sudah meninggal. Kelompok peziarah yang termasuk dalam tipologi ini, sistem kepercayaan yang diyakininya adalah bahwa yang dilakukan di makam keramat ini adalah mendo’akan arwah yang dimakamkan disini. Tokoh yang dimakamkan sudah selayaknya diziarahi makamnya karena mereka adalah ulama yang memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan mereka juga memiliki jasa besar dalam mengembangkan Islam. Alasan sebagian lainnya menegaskan bahwa orang yang masih hidup perlu menunjukkan bukti kebaktian, penghormatan dan kecintaan kepada mereka yang sudah meninggal. Pola kepercayaan yang ketiga adalah pola kepercayaan science atau yang mendasarkan sesuatu berdasarkan rasional. Pola ini dianut oleh para peziarah yang memandang kekeramatan makam sebagai hal yang biasa, bukan hal yang luar biasa. Para peziarah biasanya menghormati makam ini dengan penghormatan yang wajar tanpa melibatkan emosi keagamaan yang berlebihan. Kelompok yang menganut pola kepercayaan rasional ini sama sekali tidak meyakini bahwa makam dapat menjadi suatu instrumen yang memiliki kekuatan tertentu, seperti 186 menyembuhkan orang sakit, mendatangkan keselamatan, dan mengabulkan keinginan-keinginan peziarah lainnya. Menurut kelompok ini, makam hanyalah suatu simbol yang tidak fungsional dan untuk mengabulkan keinginannya, kelompok ini lebih percaya kepada usaha yang telah dilakukan. Perkembangan tipologi tersebut merupakan suatu proses sosial yang telah terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tetapi hal tersebut tidak dapat dipostulatkan sebagai hukum gerak kepada kemajuan, dan tidak pula mengabaikan kenyataan bahwa tahap- tahap itu sering tumpang tindih, dan dalam pengalaman manusia memang sering terjadi secara bersamaan. Weber juga melihat tahap-tahap perkembangan tersebut linear, tetapi bisa juga mengalami tumpang tindih (overlapping) dalam suatu masa tertentu. Harus diakui bahwa tahap awal perkembangan rasionalitas manusia diawali dan didominasi oleh magis, sedang perwujudan nyata magis meliputi simbol-simbol, cara-cara pemujaan, dan orangnya sendiri (magician). Magis kemudian menghasilkan mitos yang dikembangkan oleh masyarakat. Sebenarnya mitos merupakan bentuk pengungkapan intelektual yang primordial dari berbagai aspek dan kepercayaan keagamaan. Mitos telah dianggap sebagai ‚filsafat primitif, bentuk pengungkapan pemikiran yang paling sederhana, serangkaian usaha untuk memahami dunia, untuk menjelaskan kehidupan dan kematian, takdir dan hakikat, dewa-dewa dan ibadah‛.80 Agama mengarahkan kehidupan pemeluknya agar sesuai dengan tujuan-tujuan keselamatan. Reorientasi batin seseorang akan mengubah perilaku luarnya dan dapat membentuk kembali hubungan-hubungan sosial yang kemudian berpengaruh pada perubahan sosial dan ekonomi.81 Setelah tipologi agama, terdapat sistem kepercayaan baru, yaitu ilmu pengetahuan (science) yang menawarkan teknik rasional, seperti kalkulasi sarana-tujuan (means-ends calculation), telah menurunkan peran magis dan agama dalam hal memahami realitas dunia. Ini merupakan gejala memudarnya daya-daya magis dunia karena dengan penerapan

80 O’Dea, Sosiologi Agama, 80 81 Ralph Schroeder, Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, xii. 187 metode ilmu untuk menguak berbagai fenomena yang sebelumnya dianggap misteri menjadi dapat dijelaskan secara rasional.82 Overlapping maupun transisi pola kepercayaan merupakan bagian dari perubahan sosial dalam suatu masyarakat. Ogburn mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang non-material.83 Yang ditekankannya adalah pengaruh besar unsur- unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur non-material. Dengan pengertian ini, Ogburn sebenarnya ingin mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial terkait dengan unsur-unsur fisik dan rohaniah manusia akibat pertautannya dengan dinamika manusia sebagai suatu totalitas. Perubahan pola pikir, pola sikap dan pola tingkah laku manusia (yang bersifat rohaniah) lebih besar dipengaruhi oleh perubahan-perubahan kebudayaan yang bersifat material. Menurut Scott, proses diferensiasi kultural merupakan bagian dari modernisasi.84 Hal ini dapat dilihat dari pola tindakan peziarah yang mengalami transisi. Keadaan ekonomi, psikologi, dan geografi (unsur-unsur kebudayaan material) dari peziarah membuat mereka berkunjung ke makam keramat agar bisa mendapatkan keberkahan hidup. Keadaan-keadaan seperti ini turut menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada aspek-aspek

82 Schroeder, Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, xii. 83 Jelamu Ardu Marius. Perubahan Sosial, September 2006, Vol. 2, No. 2. Kajian Analitik/Jurnal Penyuluhan. Institut Pertanian Bogor. 125. 84 Dalam kerangka ini menurut Scott, modernisasi terdiri dari tiga tahap: tahap primitif, tahap religio-metafisis, dan tahap modern. Secara garis besar, dalam masyarakat primitif, budaya dan sosial belum terdiferensiasi. Sebenarnya agama dan ritual-ritualnya merupakan bagian dari sosial. Yang suci ada secara imanen dalam yang profan. Lebih jauh lagi, alam dan lingkup spiritual dalam animisme dan totenisme masih tidak terdiferensiasi. Peranan dukun menggarisbawahi ambiguitas pembedaan antara yang-ada-di-dunia ini dan yang-di-luar-dunia. Pada tahap kedua, tahap religio-metafisi, modernisasi mengakibatkan munculnya diferensiasi kultural dari sosial, dna yang suci dari yang profan pada agama-agama dunia. Dalam hal ini, proses modernisasi tampaknya terjadi melalui diferensiasi spiritual dari yang sosial. Dalam arah ini, modernisasi lebih lanjut terjadi dalam otonomisasi Renaissans kultur sekuler dari budaya religius. Proses diferensiasi dan otonomisasi membuka kemungkinan adanya perkembangan ‚realisme‛ baik dalam seni maupun epistemologi. Scott Lash, The Sociology of Postmodernism, (London: Rotledge, 1990), 19. 188 kehidupan sosial lainnya seperti mengubah pola pikir masyarakat yang teraktualisasi melalui pola tindakan ziarah mereka. Kehadiran Islam di wilayah Indonesia berkembang melalui sendi-sendi budaya yang ada dalam masyarakat. Islam terakulturasi dalam budaya-budaya masyarakat lokal. Masuk dan berkembangnya Islam dalam masyarakat bukan sesuatu yang dipaksakan tetapi lebih dikarenakan kedekatan Islam yang menggunakan budaya lokal sebagai suatu sarana sehingga mendapat tempat di hati masyarakat. Ritual-ritual keagamaan pun dimodifikasi menggunakan budaya setempat dan terus terenkulturasi dalam masyarakat hingga saat ini. Ziarah sebagai bentuk dari akulturasi antara ritual keagamaan dan budaya menjadi contoh konkrit dari enkulturasi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat – khususnya masyarakat muslim Indonesia. Namun, meskipun hal itu telah terenkulturasi dalam masyarakat, pada prinsipnya suatu tradisi, termasuk tradisi ziarah, bukanlah suatu hal yang sifatnya statis dan tidak berubah sama sekali. Perubahan ini merupakan bagian dari dinamika kultural yang tak dapat dihindari. Tradisi ini memang terenkulturasi atau diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya namun dalam situasi, kondisi dan waktu yang berbeda dengan sebelumnya. Akibatnya akan ada perubahan-perubahan baik dalam skala kecil atau besar. Perubahan-perubahan ini sedikitnya dipengaruhi oleh dua hal mendasar:85 pertama, tuntutan modernitas yang mendesak, sehingga diniscayakan adanya penyesuaian-penyesuaian dalam tradisi itu sendiri. Kedua, tidak sempurnanya proses pewarisan tradisi dari generasi tua kepada generasi selanjutnya. Hal ini terjadi lantaran kurangnya minat generasi muda untuk mempelajari dan mempraktikkan nilai-nilai tradisi tersebut. Namun demikian, yang perlu dipahami disini, dalam proses pewarisan, memang ada hubungan dialektik yang terjadi terus menerus antara tradisi, masyarakat dan zaman di mana proses tersebut berlangsung. Antar ketiganya meniscayakan adanya

85 Paisun, Dinamika Islam Kultural (Studi Atas Dialektika Islam dan Budaya Lokal Madura), Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke-10, Banjarmasin, 1-4 November 2010, 230. 189 dialog yang terjadi secara dinamis sehingga menghasilkan nilai- nilai dan tradisi baru yang disepakati bersama, yang sesuai zaman. Menurut Dawam Rahardjo, terdapat tiga dimensi masalah identitas yang dihadapi umat Islam di Indonesia saat ini, yaitu tradisi, Islam, dan modernitas. Dalam menghadapi tiga dimensi budaya tersebuit, gerakan Islam sebenarnya masih berada dalam proses belajar dan mencari identitasnya. 86

Bagan 8. Dimensi Budaya

Tradisi Modernitas

Islam

Tradisi adalah seperangkat sistem perilaku, kepercayaan, kelembagaan atau keterampilan yang dialihkan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi sesudahnya dan dirasakan sebagai warisan bersama kelompok-kelompok sosial di Nusantara. Dalam teori modernisasi, tradisi dianggap sebagai faktor penghambat dan merupakan sesuatu yang perlu ditinggalkan. Tapi tidak satu masyarakat pun mampu meninggalkan tradisi tanpa ketegangan, karena ia sudah merupakan bagian dari kepribadian. Oleh sebab itu pada akhirnya masyarakat, terutama lapisan cendikiawan pada akhirnya akan selalu bersikap untuk mempertimbangkan tradisi. Tradisi dipertimbangkan kembali untuk diaktualisasikan atau dimodernisasikan.87 Gerakan Islam juga melihat tradisi sebagai masalah. Masalah itu baru tampak dengan timbulnya gerakan Muhammadiyah yang melihat unsur-unsur bid’ah, khurafat dan takhayul yang bertentangan dengan ajaran tauhid murni.

86 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, 219. 87 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, 220. 190

Pandangan gerakan modernis Islam ini tak urung menimbulkan reaksi juga di lingkungan kaum muslimin sendiri dan mendorong prakarsa untuk mempertahankan dan memelihara tradisi, dengan lahirnya gerakan Nahdhatul Ulama, sebagai pemelihara tradisi Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Hal ini dilakukan oleh kelompok Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki prinsip ‚mempertahankan warisan lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik‛.88 Bagi kaum tradisi umumnya dan kaum muslimin, proses modernisasi tetap tak bisa dihindarkan. Namun mereka sadar terhadap berbagai unsur yang dianggap negatif dengan modernitas. Karena itu ditempuh untuk menghadapi tiga dimensi budaya itu adalah membumikan atau mempribumisasikan ajaran Islam dalam arti memberikan warna budaya dalam pelaksanaan ajaran-ajaran Islam tanpa merusak esensinya, menyeleksi unsur-unsur tradisi. Itulah arah sintesa yang selama ini ditempuh. Sungguhpun demikian, dalam masyarakat akan tetap ada gerakan-gerakan yang menitikberatkan dan mengambil corak tebal tradisional, Islam ortodoks dan modernitas-westernis. Di lingkungan gerakan Islam, warna budaya yang menonjol adalah Islam tradisional, yang barangkali diwakili oleh NU. 89 Kecenderungan perkembangan masyarakat modern saat ini mendorong kehidupan sosial yang kian tersegmentasi, sehingga semakin mencerai-beraikan ikatan sosial dan keagamaan yang sebelumnya tampak kokoh. Kuntowijoyo90 menilai bahwa muslim di Indonesia tersegmentasi ke dalam beberapa golongan. Penilaiannya melihat bahwa perlu adanya pembeda antar golongan muslim yang berorientasi kebudayaan Islam dan golongan muslim yang berorientasi pemikiran sekuler barat. Transisi maupun perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat, yang dalam hal ini adalah adanya transisi pola kepercayaan masyarakat, dikhawatirkan mengarah pada proses

88 Zada Khamami dan A. Fawaid Sjadzili (Ed), Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta: Kompas, 2010), 131. 89 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, 223. 90 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), 487. 191 sekulerisasi. Sekulerisasi ini mengacu pada proses di mana agama kehilangan dominasi atau signifikansi sosial dalam masyarakat.91 Bryan Wilson, Peter Berger, David Martin, dan Steve Bruce melihat sekulerisasi sebagai suatu bentuk konsekuensi atas hadirnya modernisasi. Pergeseran yang terjadi dalam masyarakat – dari pedesaan ke perkotaan, dan dari pertanian ke industrial – dilihat signifikan. Di daerah pedesaan, masyarakat hidup secara berdampingan di mana komunitas-komunitas organik yang kecil, dan kehidupan mereka ditentukan oleh liturgi, musim-musim alamiah, ritual-ritual keagamaan, takhayul, dan legenda. Kepercayaan masyarakat pedesaan pada orang-orang yang dianggap ‚suci‛ juga masih sangat kuat dan tradisi-tradisi pada masyarakat desa seperti melaksakan tradisi yang berkaitan dengan siklus hidup (mulai dari prosesi kelahan sampai pada memperingati kematian), tradisi yang mengharapkan keberkahan (sedekah), dan memperingati hari-hari keagamaan diekspresikan oleh masyarakat desa sebagai bentuk ritual yang menjadi tradisi. Dalam hal ini nilai-nilai keagamaan mengontrol hubungan dan peran dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Hal ini tentunya berbeda dengan masyarakat perkotaan yang berada dalam komunitas mekanik. Pengaruh industrialisasi dan modernisasi di perkotaan, menjadikan masyarakat perkotaan bersifat dinamis, cenderung individualistik, dan rasional. Kecenderungan ini menjadikan masyarakat perkotaan apatis terhadap urusan yang

91 Menurut Northcott, mundurnya pengaruh agama dapat diamati dengan indikator-indikator berikut ini (1) Kemunduran partisipasi dalam aktivitas dan upacara-upacara keagamaan; (2) Kemunduran keanggotaan organisasi- organisasi keagamaan; (3) Kemunduran pengaruh institusi-institusi keagamaan dalam kehidupan dan institusi-institusi sosial; (4) Berkurangnya otoritas yang dimiliki dan menurunnya keyakinan terhadap ajaran-ajaran keagamaan; (5) Berkurangnya ketaatan privat, doa, dan keyakinan; (6) Kemunduran otoritas tradisional yang didukung oleh nilai-nilai moral serta keagamaan; (7) Berkurangnya signifikansi sosial dari profesional-profesional keagamaan, kekurangan dalam lapangan kerja, dam di beberapa negara anti klerikalisme (mereka yang menentang paham yang mendukung campur tangan kaum rohaniawan [Katolik Roma] dalam urusan politik); dan (8) Privatisasi atau sekulerisasi internal terhadap ritual-ritual dan sistem keyakinan keagamaan. Michael S. Northcott dalam Peter Connoly (ed), Approaches to the Study of Religion, Imam Khoiri (penerjemah), Yogyakarta: LkiS, 2002. 299. 192 berbau ritual keagamaan seperti yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan. Ritual-ritual yang sifatnya periodik dan penuh dengan massifikasi dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting untuk dilaksanakan dan nilai-nilai keagamaan menjadi dianggap kurang signifikan bagi masyarakat perkotaan.

193

194

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat interelasi antara stratifikasi sosial dan pola kepercayaan yang ada di dalam masyarakat, yaitu semakin tinggi strata seseorang maka akan semakin rasional pola kepercayaannya. Namun, pernyataan ini bukanlah suatu generalisasi yang bersifat linear karena dapat pula bersifat overlapping. Hal ini disebabkan kepercayaan masyarakat terhadap kekeramatan makam tidaklah bersifat tunggal. Makam merupakan suatu simbol yang diinternalisasi oleh suatu masyarakat sehingga menjadi suatu enkulturasi atau tradisi. Dalam hal ini ziarah telah terenkulturasi dengan baik di kalangan masyarakat sehingga menjadi suatu tradisi yang sulit dilepaskan dalam masyarakat. Banyak motif dan tujuan yang diinginkan oleh tiap-tiap peziarah. Praktisnya pun dilakukan oleh peziarah berdasarkan strata dan pola kepercayaannya. Interdependensi strata terhadap pola kepercayaan masyarakat sangatlah signifikan sehingga berdampak pada pola tindakan mereka di makam keramat. Hal ini menunjukkan bahwa stratifikasi sosial tidak hanya ditentukan oleh determinan ekonomi semata, namun juga dapat ditentukan oleh determinan-determinan lain, seperti sosio-religius, sosio-kultural, politik (jabatan fungsional), pendidikan dan etnisitas. Interdependensi strata ini dapat mendeskripsikan pola kepercayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat, seperti pola kepercayaan mistis atau magic, agama atau tradisionalis Islam, dan science atau rasional. Praktik ziarah yang dilakukan oleh masyarakat di makam Kyai Marogan menunjukkan keterkaitan antara stratifikasi dan pola kepercayaan tersebut yang teraplikasi melalui perilaku ziarahnya. Masyarakat yang memiliki strata rendah pada umumnya masih memiliki pola kepercayaan terhadap hal-hal yang berbau magis. Sebaliknya masyarakat yang berada pada strata atas memiliki pola kepercayaan yang lebih rasional. Hal ini disebabkan karena masyarakat yang berada pada strata bawah kurang memiliki akses dan lebih bersifat tertutup sehingga pola kepercayaannya cenderung normatif terhadap hal-hal yang bersifat tradisi. Sedangkan masyarakat yang berada dalam strata atas, mereka lebih bersifat terbuka dan memiliki akses terhadap berbagai informasi sehingga bisa lebih rasional. Namun, interdependensi stratifikasi terhadap pola kepercayaan tidak bersifat mutlak bahkan bisa terjadi overlapping antara strata tertentu dengan pola kepercayaan tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada generalisasi atau klaim-klaim tertentu terhadap peziarah.

B. Saran Tesis ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif yang menggunakan pendekatan sosiologi dan antropologi sehingga proposisi-proposisi yang dihasilkannya baru memasuki tahapan sebagai hipotesis yang sebenarnya memerlukan kajian lebih lanjut. Ziarah perlu dikemas lebih lengkap lagi, sehingga selain berziarah ke makam, para peziarah juga dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap perjuangan tokoh panutannya dalam pengembangan agama Islam. Peziarah juga dapat memperoleh sensasi spiritual yang dapat menimbulkan kedamaian dan kesejukan hati yang dalam. Adanya kategorisasi strata dan pola kepercayaan yang dideskripsikan dalam tesis ini bukan sebuah klaim yang mutlak. Stratifikasi masyarakat dapat bersifat terbuka dan pola kepercayaannya pun dapat mengalami transisi. Namun, semoga tesis ini dapat lebih memberikan pemahaman yang komprehensif tentang stratifikasi dan pola kepercayaan melalui tradisi ziarah dalam usaha menciptakan wawasan budaya untuk membangun masyarakat religious dan modern.

196

DAFTAR PUSTAKA

REFERENSI BUKU:

‘Abd Ba>sit, dan ‘Abd Mu’ti. ‚Itija>ha>t Naz}ariyah fi> ‘Ilm al- Ijtima>’‛. Kuwait: alMajlis al-wat{ani lil thaqa>fah wa al- funu>n wa al-ada>b. 1981. al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al Maraghi, Juz VII. Mesir: Darul Hikam. 1974. Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan Industri. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1985. Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia.. Jakarta: LP3ES. 1987. ______. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press. 1986. AG, Muhaimin. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon. Jakarta: Logos. 2002. Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2006. Al-Barry, Dahlan Yacub. Kamus Sosiologi dan Antropologi. Surabaya: Indah. 2001. al-Shima>s, Isa. ‚Madkhal Ila< ‘Ilm al-Insa>n (al-Antru>bu>lu>jiya>)‛. Damaskus: Ittih{a>d al-Kita>b al-‘arab. 2004. Alphonso, Herbert and Robert Faricy. Priest as Leader: The Process of the Inculturation of a Spiritual-Theological Theme of Priesthood in a United States Context. Rome: Gregorian University Press. 1997. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. 1994. ‘A>yid al-Wariyka>t Wara>id al-Khama>yisah, ‚al-Tabaqah al- Ijtima>‘iyah Watadni> Mafhu>mu al-Dza>t wa ‘Ala>qatuhuma> Biinhira>fi al-Ahda>th Dira>sah Mayda>niyah Ujribat ‘ala> al- Tabaqah al-Dzuku>r fi Tarbiyah ‘Ama>n al-Tha>niyah-al- Urdun‛, Dira>sat al-‘Ulu>m al-Tarbiyah al-Mujalad 35, al- ‘Adad 1, 2008. Beatty, Andrew. Varieties of Javanese Religion. Princeton: Princeton University Press. 1999. Berger, Peter L. The Social Reality of Religion. London. 1969. Billah, dkk. Kelas Menengah Digugat. Jakarta: PT Fikahati Aneska, 1993. Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Press, 2003. Cassier, Ernst. An Essay on Man. Garden City, New York: Doubleday Anchor Books, 1953. Chambert-Loir, Henri dan Claude Guillot. Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Jakarta: Komunitas Bambu. 2010 Connoly, Peter (ed.). Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LkiS. 2002. Davidson, James.D and Pyle, R.E., Ranking Faiths: Religious Stratification in America (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2011. Durkheim, Emile. Sejarah Agama: The Elementary Forms of the religious Life. Penerjemah: Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD. 2003. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta Gadjah Mada University Press. 2003. Fahim, Husein. Qis{ah al-Antru>bu>lu>jiya> fus{u>l fi Ta>rikh ‘Ilm al- Insa>n‛. Kuwait: alMajlis al-wat{ani lil thaqa>fah wa al-funu>n wa al-ada>b. 1986. Gadjahnata, KHO dan Sri Edi Swasono. Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. Jakarta: UI- Press. 1986. Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. 1983. ______. The Religion of Java, diterjemahkan Aswab Mahasin & Bur Rasuanto. Jakarta: Komunitas Bambu: 2013. ______. The Interpretation of Culture. New York: Basic Books. 1970. Gerungan, W.A. Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama, 2009. 198

Gha>zi> al-S{u>ra>ni>, al-Tahawula>t al-Ijtima>‘iyah wa al- Tabaqiyah fi> al-D{afah al-Gharbiyah wa Qita>‘u Ghazah (Ru’yah Naqdiyah). Dimashqa: Nad{a>l Nabi>l abu> Ma>yilah, 2010. Giddens, Anthony. Central Problems in Social Theory. London: Macmillan. 1979. Hadi, Sumandiyo. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Buku Pustaka. 2006. Hanafiah, Djohan. Masjid Agung Palembang: Sejarah dan Masa Depannya. Palembang: Haji Masagung. 1988. ______. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1995. Hanani, Silfia. Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama. Bandung: Humaniora. 2011. Hendropuspito. Sosiologi Agama. Jakarta: Penerbit Kanisius. 1983. Horton, Paul B dan Chester L. Hunt, Sosiologi, 6th edition (terjemahan). Jakarta: Erlangga. 1991. Ibn Khaldu>n, Muqaddimah Ibn Khaldu>n. Damaskus: Da>r Ya‘rub. 2004. Irwanto, Dedi, dkk. Iliran dan Uluan: Dinamika dan Dikotomi Sejarah Kultural Palembang. Yogyakarta: Eja Publisher. 2010. Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT. Gramedia. 1986. Kabba>ni>, Syekh Muh}ammad Hisya>m. Maulid dan Ziarah Ke Makam Nabi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2007. Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2002. Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN: Balai Pustaka. 1984. ______. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1997. ______. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. 1979. Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan. 2008.

199

Kuswarno Engkus. Fenomenologi Konsep, Pedoman dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjajaran.s. 2009. Lawang, Robert M.Z. Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat Tahun 1950-an dan 1980-an. Jakarta: FISIP UI Press. 2004. Lash, Scott. The Sociology of Postmodernism. London: Rotledge. 1990. Lenski, G.E. Power and Priveledge: A Theory of Social Stratification. New York: McGraw-Hill. 1966. Loir, Henri Chambert dan Claude Guillot. Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Jakarta: Komunitas Bambu. 2010. Machadi Suhadi, Halina Hambali. Makam-Makam Wali Songo di Jawa. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah. 1 Abad Muhammadiyah. Jakarta: Kompas. 2010. Marvine E. Olsen (Ed). Power in Societies. New York: The Macmillan Company, 1970. Memet, Ahmad. Sejarah Masjid Muara Ogan dan Masjid Lawang Kidul serta Biografi Kyai Muara Ogan. Palembang: Yayasan Kyai Muara Ogan. 2005. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1998. Muljana, Slamet. Sriwijaya. Yogyakarta: LkiS. 2006. Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto (Ed). Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana. 2011. Nasution, Zulkifli Abdul Karim. Islam dalam Sejarah dan Budaya Masyarakat Sumatera Selatan. Palembang: UNSRI Press, 2001. Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat (terjemahan Abdul Muis Naharong). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2002. O’Dea, Thomas F. Sosiologi Agama. diterjemahkan Tim Penerjemah Yasogama. Jakarta: CV. Rajawali. 1985. Pals, Daniele L. Seven Theories of Religion. Jakarta: Qalam. 2001. Parson, Talcott. Actor, situation and normative pattern: an essay in the theory of social action. Editedand Introduction by Victor Lidz and Helmut Staubmann. Wien. Lit Verlag 200

(Volume Two in the seriesStudy in the Theory of Action edited by Staubmann and Lidz). ASNP. 2011. ______. Esei-Esei Sosiologi, diterjemahkan S. Aji (Jakarta: Aksara Persada Press. 1985. Peeters, Jeroen. Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942. Jakarta: INIS, 1997. Pucuk Pimpinan Muslimat NU Bidang Sosial, Budaya dan Lingkungan Hidup. Pedoman Merawat Jenazah Menurut Syari’at Islam.. Jakarta: Suara Bebas. 2006. Purnama, Dadang Hikmah. Modul Ajar Metode Penelitian Kualitatif. Palembang: UNSRI. 2009. Rahardjo, Dawam. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1999. Rahim, Husni. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. Jakarta: Logos. 1998. Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustakarya. 2007. Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. Riyanto, Geger. Peter L Berger: Perspektif Metateori. Jakarta: LP3ES. 2009. Robert, Keith A. Religion In Sociological Perspective. New York: Wadsworth. 2004. Roland Robertson. Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1993. Ruslan dan Arifin Suryo Nugroho. Ziarah Wali: Wisata Spiritual Sepanjang Masa. Yogyakarta: Pustaka Timur. 2007. Said, Nurman. Masyarakat Muslim Makassar: Studi Pola-Pola Integrasi Sosial antara Muslim Pagama dengan Muslim Sossorang. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI. 2009. Sanderson, Stephen K. Macrosociology. trans. Farid Wajidi, S. Menno. Jakarta: PT RajaGrafindo. 2000. Schroeder, Ralph. Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan. Yogyakarta: Kanisius. 2002.

201

Setiadi, Elly M dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahanny. Jakarta: Kencana. 2011. Shalih, Syaikh Abu Umar. Ziarah Kubur Yang Dicontohkan Rasulullah. Solo: At-Tibyan . 2001. S{iddiq, H{usain. ‚al-Inja>ha>t al-Naz{a>riyah lidira>sah al-Tanz{i>ma>t al- Ijtima>‘iyah ‘Ard{u - wa Taqwi>m‛, Majallah Ja>mi‘ah Dimishqa 27, al-‘Adad al-Tha>lith 2011. Sobary, Mohammad. Kesalehan Sosial. Jakarta: LkiS. 2007. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali. 2012. Soemardjan, Selo dan Soelaeman, Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1964. Sorokin, Pitirim A. Social and Cultural Mobility. Collier- Macmillan Limited London: The Free Press of Glencoe, 1959. Steenbrink, Karel. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang. 2000. Subhani, S.J. Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karamah Wali, Termasuk Ajaran Islam: Kritik Atas Paham Wahabi. Jakarta: Pustaka Al Hidayah. 1989. Sudarja, Adiwikarta. Sosiologi Pendidikan: Isyu dan Hipotesis Tentang Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan. 1988. Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1993. Sutiyono. Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. 2010. Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS. 2005. Syari’ati, Ali. 1982. Tentang Sosiologi Islam, terj.Saifullah Mahyudin, Yogyakarta: Ananda. Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Tashadi, dkk. Budaya Spiritual Dalam Situs Keramat Di Gunung Kawi Jawa Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Tirmidhi>, Sunan. Ba>b Fad}l al-Fiqh ‘ala> al-‘Iba>dah vol 5,48. Beirut: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 1998. 202

Tobroni dan Imam Suprayogo. Metodologi Penelitian Sosial- Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2003. Tohir, Mudjahirin. Orang Islam Jawa Pesisiran. Semarang: Fasindo Press. 2006. Turner, Bryan S. Agama dan Teori Sosial. Yogyakarta: IRCiSoD. 2006. ______. Weber and Islam. Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. 1983. Usman, Husaini dan Purnomo Setady Akbar. ‚Metodologi Penelitian Sosial‛. Jakarta: Bumi Aksara. 2008. Vincent Jeffries and H. Edward Ransford. Social Stratification : a Multiple Hierarchy Approach. Allyn and Bacon, INC. United States of America. 1980. Weber, Max. Economy and Society. New York: Bedminister. 1978. ______. Essays From Max Weber. Cambridge: Polity Press. 2002. ______. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, terjemahan Yusup Priyadisudiarja, Yogyakarta: Jejak, 2007. ______. Sosiologi Agama. Terjemahan Muhammad Yamin. Yogyakarta: IRCiSoD. 2002. Wolters, O. W. History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspective. Singapore: ISAS. 1982. Woodward, Mark. Java, Indonesia and Islam. New York: Springer. 2010. Ya>ni>k Lu>mi>l, al-Tabaqa>t al-Ijtima>‘iyah. Fa>ransiyah: Da>r al-Kita>b al-Jadi>d al-Muttahidah. 2008. Zada, Khamami dan A. Fawaid Sjadzili (ed). Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan. Jakarta: Kompas, 2010.

203

JURNAL, ARTIKEL DAN HASIL PENELITIAN:

Ahmad Amir Aziz, dkk. ‚Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam- makam Kuno di Lombok)‛. Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 1, (Desember 2004), 59-77. Ahmad Falah, ‚Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata‛, Walisongo, Volume 20, Nomor 2, November 2012, 430. Badruddin. ‚Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian Kyai Abdul Hamid Bin Abdullah Bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Persepektif Fenomenologis‛. Disertasi program pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya. 2011. Blumberg, Rae Lesser. ‚Extending Lenski’s Schema to Hold up Both Halves of the Sky: A Theory-Guided Way of Conceptualizing Agrarian Societies That Illuminates a Puzzle about Gender Stratification‛. Sociological Theory, Vol. 22, No. 2, Religion, Stratification, and Evolution in Human Societies: Essays in Honor of Gerhard E. Lenski (Jun., 2004): 278-291. http://www.jstor.org/stable/3648948. (diakses pada 02 April 2012). Bond, George C. ‚Education and Social Stratification in Northern Zambia: The Case of The Uyombe‛. Anthropology and Education Quarterly, Vol. 13, No. 3, African Education and Social Stratification (Autumn, 1982): 251-267. http://www.jstor.org/stable/3216637. (diakses pada 02 April 2012). Bruce C. Wearne, Exegetical Explorations: Parson' Convergence Concept, The American Sociologist Vol. 44, No. 3 (September 2013) (pp. 233-244) Published by: Springer. http://www.jstor.org/stable/42635360 (diakses pada tanggal 12 Juli 2014) Collins, Randals and others. ‚Toward an Integrated Theory of Gender Stratification‛. Sociological Perspectives, Vol. 36, No. 3 (Autumn, 1993): 185-216. http://www.jstor.org/stable/1389242 (diakses pada 02 April 2012). 204

Constantina Safilios-Rothschild, ‚Family and Stratification: Some Macrosociological Observations and Hypotheses‛, Journal of Marriage and Family Vol. 37, No. 4, Special Section: Macrosociology of the Family (Nov., 1975), pp. 855-860, Published by: National Council on Family Relations, http://www.jstor.org/stable/350837 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). Davidson, James.D and Pyle, R.E., Ranking Faiths: Religious Stratification in America (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2011), pp. 219. Davidson, James D. Religious Stratification: Its Origins, Persistence, and Consequences, Sociology of Religion; Winter 2008; 69, 4; ProQuest Research Library. Davis, Kingsley and Wilbert E Moore, 1945. ‚Some Principles of Stratification,‛ American Sociological Review 10 (April): 242-249. http://en.wikipedia.org/wiki/ religious_stratification (diakses pada 02 April 2012). Dawson Munjeri, ‚Tangible and Intangible Heritage‛, Museum International (2004), 56, 1-2, pp. 221-222. Hapsa, Asal Usul Kota Palembang, http://freakingothic.blog.esaunggul.ac.id /2011/02/16/asal- usul-kota-palembang/ (diakses pada tanggal 25 Maret 2012). Hastings, James (ed). Encyclopedia of Religion and Ethics, vol. 10, New York, Charles Sribner’s sons, tanpa tahun, 663. Hostettler, Ueli. ‚Labor Regime and Social Justice. Consequences of Economic and Social Stratification among Maya Peasents in Central Quintana Roo, Mexico‛. Anthropos, Bd. 97, H. 1. (2002) 107-116. http://www.jstor.org/stable/40465619. (diaksess pada 02 April 2012). Hugo G. Nutini, ‚Social Stratification and Mobility in Central Veracruz ‚, Social Sciences - Anthropology , 2009, Published by: University of Texas Press , http://www.jstor.org/stable/10.7560/706958 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013)

205

Jamhari, ‚The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah‛, Studia Islamika (Indonesian Journal for Islamic Studies), Vol.8, No.1, (2001), 87-123. Jelamu Ardu Marius. Perubahan Sosial, September 2006, Vol. 2, No. 2. Kajian Analitik/Jurnal Penyuluhan. Institut Pertanian Bogor. 125. Joan Huber, ‚Lenski Effects on Sex Stratification Theory‛, Sociological Theory Vol. 22, No. 2, Religion, Stratification, and Evolution in Human Societies: Essays in Honor of Gerhard E. Lenski (Jun., 2004), pp. 258-268, Published by: American Sociological Association, http://www.jstor.org/stable/3648946 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). John Robert Warren, Jennifer T. Sheridan and Robert M. Hauser, ‚Occupational Stratification across the Life Course: Evidence from the Wisconsin Longitudinal Study, American Sociological Review, Vol. 67, No. 3 (Jun., 2002), pp. 432-455, Published by: American Sociological Association, http://www.jstor.org/stable/3088965 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). Keating, Elizabeth. ‚Moments of Hierarchy: Constructing Social Stratification by Means of Language, Food, Space, and the Body in Pohnpei, Micronesia‛. American Anthropologist, New Series, Vol. 102, No. 2 (Jun., 2000): 303-320. http://www.jstor.org/stable/683680. (diakses pada 02 April 2012). Levin, Shana. ‚Perceived Group Status Differences and the Effects of Gender, Ethnicity, and Religion on Social Dominance Orientation‛. Political Psychology, Vol. 25, No. 1 (Feb., 2004): 31-48. http://www/jstor.org/stable/37925222. Matilda White Riley, ‚The Perspective of Age Stratification‛, The School Review Vol. 83, No. 1, Responses to "Symposium on Youth: Transition to Adulthood" (Nov., 1974), pp. 85- 91 Published by: The University of Chicago Press. http://www.jstor.org/stable/1084143 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). Mines, Mattison. ‚Muslim Social Stratification in India: The Basis for Variation.‛Southwestern Journal of Anthropology, Vol. 206

28, No. 4 (Winter, 1972): 333-349. http://www.jstor.org/stable/3629316 (diakses pada 03 April 2012). Nasution, Abdul Karim. Kiprah Ki Marogan Mengembangkan Islam di Uluan Palembang, dalam Jurnal Intizar Pusat Penelitian IAIN Raden Fatah Palembang, volume 10 Nomor 2, Desember 2004, 267-269. Paisun, Dinamika Islam Kultural (Studi Atas Dialektika Islam dan Budaya Lokal Madura), Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke-10, Banjarmasin, 1-4 November 2010, 230. Peter Poole, ‚Socialisation, Enculturation and the Development of Personal Identity‛, In Tim Ingold (ed). Companion Encyclopedia of Anthropology: Humanity, Culture and Social Life. Pp. 831-860. London and New York: Routledge. Pyle, Ralph E and James D. Davidson. ‚The Origins of Religious Stratification in Colonial America‛. Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 42, No. 1 (Mar., 2003): 57-76. http://www.jstor.org/stable/1387985. (diakses pada 02 April 2012). Rousseau, Jerome. ‚Hereditary Stratification in Middle-Range Societies.‛ The Journal of the Royal Anthrolofical Institute, Vol. 7, No. 1 (Maret 2001): 117-131. http://www.stor.org/stable/2660839. (diakses pada 03 April 2012). Trujillo, Joaquin. ‚Accomplishing Meaning in a Stratified World: An Existential Phenomenological Reading of Max Weber’s Class, Status, Party‛. Human Studies, Vol. 30, No. 4 (Dec., 2007): 345-356. http://www.jstor.org/stable/27642807. (diakses pada 02 April 2012). Wilbert Santiago Poot-Pool, Hans van der Wal, Salvador Flores- Guido, Juan Manuel Pat-Fernández and Ligia Esparza- Olguín, ‚Economic Stratification Differentiates Home Gardens in the Maya Village of Pomuch, Mexico‛, Economic Botany, Vol. 66, No. 3 (15 September 2012), pp. 264-275, Published by: Springer on behalf of New York Botanical Garden Press. 207

http://www.jstor.org/stable/23324988 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). Yeld, E.R. ‚Islam and Social Stratification in Northern Nigeria‛, the British Journal of Sociology, Vol. 11, No. 2 (Juni 1960): 112-128. http://www.jstor.org/stable/587419 (diakses pada 03 April, 2012). Zainuddin, Sayyed. ‚Islam, Social Stratification and Empowerment of Muslim OBCs‛, Economic and Political Weekly, Vol. 38, No. 46 (November 2003): 4898-4901. http://www.jstor.org/stable/4414285 (diakses pada 02 April 2012).

208

REFERENSI SITUS INTERNET: www.bkkbn.go.id http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/10/07/siapakah-kelas- menengah-di-indonesia-493650.html http://www.bps.go.id (diakses pada tanggal 04 Juni 2012). http://kiaimarogan.com/index.php?option=com_content&task=vie w&id=13&Ittemid=26. http://supriyanto2koma.wordpress.com/tag/hadist-tentang-ziarah- kubur/ http://ziarahkubrapalembang.wordpress.com/ diakses pada tanggal 10 Juni 2013.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) http://www.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/1-headline/1914- tradisi-ziarah-masyarakat-indonesia-sudah-dipolitisasi-.html http://belokkirikanan.blogspot.com/2012/09/wacana-sunni-syiah-di-indonesia- 3.html http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,52870- lang,id-c,ubudiyaht,Ziarah+Kubur+Menjelang+Ramadhan- .phpx http://edymei.blog.ugm.ac.id/2011/04/01/diskusi-kajasha- paradigma-ilmu-profetik/, diakses pada tanggal 11 Mei 2012)

209

210

LAMPIRAN PEDOMAN WAWANCARA

STRATIFIKASI SOSIAL DAN POLA KEPERCAYAAN (Analisis Atas Fenomena Kekeramatan Makam di Kota Palembang)

A. IDENTITAS INFORMAN 1. Nama (Inisial) : 2. Jenis Kelamin : 2. Umur : 3. Pekerjaan : 4. Daerah Asal : 5. Agama : 6. Pendidikan Terakhir : 7. Pendapatan per bulan : 9. Organisasi Keagamaan yang diikuti :

B. PEZIARAH 1. Stratifikasi a. Berdasarkan identitas tersebut, menurut Anda apakah poin-poin tersebut mempengaruhi pola perilaku seseorang? b. Apakah menurut Anda kelas sosial mempengaruhi perilaku keagamaan seseorang? c. Bagaimana suatu masyarakat yang berada dalam suatu kelas sosial tertentu mengenkulturasikan pola perilaku keagamaannya terhadap orang lain? d. Apakah Anda pernah menstratifikasi masyarakat? e. Apakah Anda termasuk ke dalam strata tertentu di dalam lingkungan Anda? f. Kriteria apa saja yang menurut Anda menjadi faktor terbentuknya stratifikasi dalam masyarakat? 2. Ziarah a. Bagaimana pendapat anda tentang ziarah? b. Apa saja yang seharusnya dilakukan ketika berziarah? 211

c. Berapa kali Anda berziarah ke makam Kyai Merogan? d. Manfaat apa yang Anda dapatkan setelah berziarah ke makam Kyai Merogan? e. Bagaimana proses pelaksanaan ziarah? f. Apakah Anda tahu tata cara berziarah secara Islam? g. Apa maksud Anda memberi ‘sesaji’ yang Anda bawa ke makam Kyai merogan? h. Apa saja yang anda lakukan ketika di makam keramat Kyai Merogan? i. Apakah anda membeli sesuatu/membawa pulang sesuatu yang ada di makam Kyai Merogan? Jika ya, apa yang anda lakukan setelah tiba di rumah? j. Adakah perubahan yang terjadi pada Anda setelah anda berziarah ke makam Kyai Merogan? k. Perubahan seperti apa yang Anda rasakan setelah berziarah? l. Atas saran siapa Anda berziarah ke makam Kyai Merogan? m. Apa maksud dan tujuan Anda berziarah ke makam Kyai Merogan? n. Mengapa Anda lebih memilih berziarah ke makam Kyai Merogan daripada ke makam tokoh lain? o. Apakah Anda juga menyuruh anak/keluarga/teman Anda untuk terus berziarah ke makam Kyai Merogan?

3. Pola Kepercayaan a. Apa yang dimaksud dengan keramat? b. Kenapa makam ini disebut keramat? c. Keistimewaan seperti apa yang dimiliki Kyai sehingga Anda percaya untuk berziarah kesini? d. Apa alasan Anda berziarah ke makam Kyai Merogan? e. Apa tanggapan Anda terhadap keberadaan makam Kyai Merogan? f. Menurut Anda, makam Kyai Merogan ini termasuk makam yang keramat atau angker? 212

g. Jika anggapan Anda bahwa makam ini keramat, menurut Anda mengapa makam ini keramat? h. Adakah mitos-mitos yang berkembang di masyarakat dengan adanya makam tersebut? i. Mengapa Anda mempercayai mitos-mitos tersebut? j. Apa makna ziarah bagi Anda? k. Bagaimana Anda memaknai ’simbol-simbol’ dalam berziarah? l. Makna apa yang terkandung dalam ‘simbol’ tersebut? m. Bagaimana pengaruh makam Kyai Merogan dalam kehidupan Anda? n. Apakah permintaan/niat Anda selalu terkabul ketika berziarah ke makam Kyai Merogan?

C. JURU KUNCI 1. Keberadaan Makam Kyai Merogan a. Bagaimana latar belakang adanya makam Kyai Merogan ? b. Dari mana asal Kyai Merogan? c. Bagaimana silsilah Kyai Merogan? d. Bagaimana peranan dan perjuangan Kyai Merogan dalam menyebarkan agama Islam? e. Karomah seperti apa yang dimiliki Kyai Merogan? f. Bagaimana kondisi makam Kyai Merogan? g. Sejak kapan makam Kyai Merogan mulai mendapat perhatian dan menjadi tempat keramat bagi masyarakat? h. Mengapa makam Kyai Merogan dijadikan objek ziarah? i. Bagaiman pengaruh Kyai Merogan terhadap kehidupan masyarakat? j. Bagaimana pendapat Anda tentang makam Kyai Merogan yang dikunjungi oleh peziarah? k. Menurut perkiraan Anda, berapa jumlah peziarah tiap harinya?

213

2. Keberadaan Peziarah a. Hari-hari apa yang biasanya ramai dikunjungi peziarah? b. Hari-hari seperti apa yang sepi dikunjungi oleh pezirah? c. Doa-doa/permohonan apa yang sering diminta para peziarah serta bacaan yang dimohonkan? d. Karakteristik peziarah yang seperti apa yang sering berziarah disini? e. Bagaimana wujud perilaku yang ditunjukkan peziarah dalam mengeramatkan Makam Kyai Merogan? f. Apa saja yang dilakukan peziarah di makam Kyai Merogan? g. Apa yang Anda lakukan jika peziarah melakukan ziarah yang tidak sesuai dengan aturan? h. Apakah dengan adanya peziarah dapat menguntungkan bagi Anda? i. Apa yang dilakukan terhadap ’sesaji/simbol’ yang diberikan oleh peziarah?

D. TOKOH AGAMA a. Apakah Anda tahu siapa Kyai Merogan? b. Apa itu karomah? Taukah Anda apa saja karomah Kyai Merogan? c. Bagaimana pendapat Anda tentang kepercayaan masyarakat yang bersifat profan? d. Apa makna ziarah secara agama? e. Apa saja tata cara yang dilakukan pada saat berziarah secara Islam? f. Bagaimana tanggapan Anda tentang ziarah yang sering dilakukan oleh masyarakat pada umumnya? g. Bagaimana pendapat Anda tentang ‘simbol-simbol’ dalam ziarah? h. Bagaimana pendapat Anda tentang sinkretisme dalam masyarakat, khususnya mengenai ziarah?

214

i. Apakah Anda menginformasikan tata cara berziarah ini kepada masyarakat, misalnya kepada peziarah awam? j. Bagaimana menurut Anda tentang pandangan ziarah yang berbeda, yakni antara ziarah sebagai tradisi dan ziarah sebagai ritual keagamaan?

E. MASYARAKAT SEKITAR MAKAM a. Apa yang Anda ketahui tentang sosok Kyai Merogan? b. Apakah Anda tahu karomah seperti apa yang dimiliKyai Kyai Merogan? c. Apakah Anda mempercayai karomah tersebut? d. Adakah mitos-mitos yang berkembang di kalangan masyarakat sekitar mengenai makam Kyai Merogan? e. Pernahkah Anda berziarah ke makam Kyai Merogan? f. Apa makna ziarah bagi Anda? g. Apakah Anda menginformasikan kekeramatan Kyai Merogan kepada orang lain, seperti teman, kerabat, maupun keluarga jauh Anda? h. Adakah pengaruh makam terhadap kehidupan Anda? i. Adakah keuntungan yang Anda dapatkan ketika peziarah datang ke makam Kyai Merogan? j. Bagaimana Anda memanfaatkan makam Kyai Merogan dalam kehidupan Anda?

215

216

GLOSARIUM

Agama : sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu Amalgamasi : perkawinan diantara dua pihak yang berbeda agama, suku, budaya, status sosial-ekonomi dan sebagainya Akulturasi : proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi; proses masuknya pengaruh kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat, sebagian mengabsorpsi secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu Asketisisme : paham yang menekankan dan mempraktekkan hidup sederhana, keujuran dan kerelaberkobanan Alingan : Dialingi, dilindungi. Orang yang dilindungi oleh pembesar kesultanan Determinan : sesuatu (kekuatan, kondisi, atau keadaan) yang turut mendukung dalam menimbulkan atau menghasilkan suatu resultan Dikotomi : pembagian atau pemisahan dalam dua kelompok Emosi keagamaan : getaran jiwa yang menyebabkan seseorang berperilaku religius Enklave : wilayah budaya yang terletak di wilayah kebudayaan lain Enkulturasi : Proses pembudayaan Etnik : menyangkut kelompok ras atau kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya; kesukuan

217

Fenomena : suatu fakta, gejala-gejala, atau peristiwa- peristiwa adat serta bentuk keadaan yang dapat diamati dengan kacamata ilmiah Habitualisasi : proses menjadi semakin terbiasa atau efektif menyesuaikan diri kepada kondisi yang menyangkutpengalaman, pekerjaan, atau proses belajar Hierarki : urutan bertingkat/berjenjang (abatan, kedudukan, kelas sosial maupun ekonomi) Interaksi sosial : hubungan sosial yang dinamis antara orang perorangan, antara perseorangan dengan kelompok Interdependensi : keadaan saling bergantung; suatu pola hubungan antara unit-unit sosial tertentu yang saling bergantung antara satu sama lain Jurai : Satu keturunan Karisma : keadaan atau bakat yang dimiliki oleh seseorang yang dihubungkan dengan kemampuannya yang luar biasa dalam hal kepemimpinan, sehingga menimbulkan simpati, kepercayaan, pengakuan dan bahkan kekaguman masyarakat luas terhadapnya Kelas sosial : penggolongan masyarakat/kelompok masyarakat berdasarkan kedudukan dalam masyarakat, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Kepercayaan : suatu sistem religi atau keyakinan yang dianut oleh suatu masyarakat Keramat : suci dan bertuahyang dipercaya mampu memberikan efek magis dan psikologis bagi orang yang mempercayainya; suci-pemisahan segala unsur kehidupan biasa, karena mempunyai signifikansi supernatural Keyakinan : bagian agama atau religi yang berwujud konsep-konsep yang menjadi kepercayaan penganutnya Kultus : sekumpulan keyakinan, ritus, dan sebagainya yang berkaitan dengan suatu obyek (paham, 218

benda, orang, dan sebagainya); pernyataan hormat yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu (benda, manusia, paham, dan sebagainya); upacara yang bersifat keagamaan. Magic/magis : istilah yang dipakai dalam praktek-praktek takhayul berdasarkan pada kepercayaan dalam perantara supernatural dimana dapat menimbulkan kekuatan ghaib dan dapat mempengaruhi atau menguasai alam di sekitarnya termasuk alam pikiran dan tingkah laku manusia Masyarakat : sejumlah manusia dalam arti yang seluas- luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Masyarakat modern : masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar secara luas, spesialisasi di bidang industri, dan pemakaian teknologi canggih Masyarakat tradisional : masyarakkat yang lebih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama Mata Gawe : Orang yang memiliki kewajiban kerja kepada Sultan. Penduduk di daerah sikap Mobilitas sosial : gerakan perubahan yang terjadi di antara masyarakat baik secara fisik maupun secara sosial; perubahan kedudukan warga masyarakat Modernisasi : proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan zaman kini Motif : faktor afektif-konatif (hasrat dan kemauan) yang digunakan dalam menentukan arah tingkah laku individu terhadap akhir atau tujuan, dengan sadar dilihat atau tidak sadar Motivasi : dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan dengan tuuan tertentu

219

Nilai : sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan Norma : pola atau nilai standar atau yang bersifat mewakili bagian kelompok atau jenis; aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan diterima; kaidah Patrilineal : mengenai hubungan atau garis keturunan melalui garis keturunan ayah dan penghubung laki-laki Perilaku : tanggapan atau reaksi individu terhadap lingkungannya Persepsi : proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya; tanggapan langsung dari sesuatu Perubahan sosial : perubahan pada berbagai institusi kemasyarakatan, yang mempengaruhi sistem sosial masyarakat, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, pola,perilaku diantara kelompok dalam masyarakat Puyang/Buyut : orang yang dituakan, pendiri kampung, makam keramat, orang tua dari kakek nenek dan seterusnya Privelese : hak istimewa; keistimewaan yang diberikan kepada seseorang yang mungkin bersifat positif maupun negatif Rasional : menurut pikiran dan pertimbangan akal; kemampuan untuk mempertimbangkan; berkaitan dengan kepercayaan terhadap sesuatu yang disertai dengan pembuktian Rasionalisasi : proses pembenaran dengan pertimbangan akal terhadap segala sesuatu Ritual : suatu sistem upacara atau prosedur magis atau religiius yang biasanya dengan bentuk- bentuk khusus dan biasanya dihubungankan dengan tindakan-tindakan penting

220

Segmentasi : pembagian struktur sosial dalam kelompok- kelompok atau unit-unit yang mempunyai fungsi yang sama Sekularisasi : hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada aaran agama\ Simbol : suatu benda atau aktifitas yang melambangkan dan sebagai pengganti sesuatu yang lain Sosio-ekonomi : segala sesuatu yang berhubungan dengan sosial dan ekonomi Sosio-kultural : berkenaan dengan segi-segi sosial dan budaya masyarakat Stratifikasi : pembedaan (penggolongan) penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat berdasarkan status sosial ekonomi, kekuasaan, prestise, agama, pendidikan dan lain sebagainya Tawassul : memohon pada perantara agar doanya cepat terkabul Tradisi : adat kebiasaan turun temurun yang masih terus dilestarikan dalam masyarakat Tradisional : sikap dan cara berpikir serta bertindak yang senantiasa berpegang teguh pada norma- norma dan adat istiadat atau kebiasaan yang telah ada secara turun temurun; menurut tradisi atau bercorak tradisi Voluntarism : kemampuan individu melakukan suatu tindakan berdasarkan berdasarkan pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsiran atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu seperti kondisi situasional lingkungan budaya, tradisi, dan agama. Washi>lah : perantara

221

222

INDEKS

berkah 1, 4, 15, 17, 108, 109, A 113, 126, 127, 129, 130, 131, 132, 134, 139, 143, Abd al-H>>}aqq al-Isybili 107 145, 163, 165, 169, 175 affectual action 60, 181 berkat 8, 130, 181 agama 1, 2, 4, 5, 6, 8, 9, 10, Bruce 156, 192 13, 16, 18, 21, 33, 34, 35, Bruhl 48 40, 44, 45, 46, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, C 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 78, 82, 83, 85, 88, 89, client 111 90, 92, 93, 94, 95, 96, 99, Comte 46, 56, 185 100, 103, 110, 111, 112, 115, 116, 118, 119, 122, D 124, 135, 136, 139, 142, 146, 147, 156, 157, 161, Davidson 35, 55, 56 165, 173, 174, 175, 177, Davis 42, 55, 178 178, 179, 183, 184, 186, determinan 2, 7, 30, 33, 35, 187, 188, 192, 195, 196 36, 160, 195 akulturasi 2, 19, 30, 75, 99, dikotomi 15, 173 101, 102, 104, 113, 116, Durkheim 9, 45, 53, 135 171, 189 alingan 83, 85 E amalgamasi 170 asketisisme 58 eksternalisasi 17, 144, 146 Aziz 18 emosi keagamaan 186 Azra 94, 109, 159, 160, 171, enklave 94 172 enkulturasi 7, 30, 102, 140, 141, 142, 143, 144, 146, B 181, 189, 195 etnis 6, 33, 35, 55, 75, 150, Badruddin 17, 121 170, 174 barokah 18, 19 Beatty 119, 120, 136 Berger 20, 51, 144, 146, 154, 192

223

F Islam 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 23, 24, fenomena 1, 2, 5, 6, 9, 10, 11, 30, 33, 40, 41, 42, 43, 44, 12, 18, 19, 21, 26, 28, 29, 46, 49, 51, 52, 54, 64, 67, 34, 49, 52, 56, 59, 61, 85, 69, 70, 71, 72, 73, 75, 77, 107, 111, 126, 138, 153, 78, 81, 82, 83, 91, 93, 94, 179, 180, 188 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 107, G 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, Geertz 4, 14, 28, 45, 46, 67, 119, 121, 122, 124, 125, 68, 118, 135, 167, 184 126, 127, 134, 136, 137, Giddens 137 138, 139, 144, 146, 147, Guillot 3, 4, 5, 6, 107, 108, 153, 159, 160, 161, 165, 109, 111, 112, 119, 134, 167, 168, 169, 171, 172, 139, 168 173, 174, 178, 183, 184, 185, 186, 189, 190, 191, H 195, 196 habitualisasi 107, 144 J Hamdani 72, 73, 166 Haviland 45 Jamhari 17, 18, 126 hierarki 81, 150, 166 Jeffries 6, 34, 36, 38, 39, 79, horizontal 2, 33, 80, 149, 166 152, 159 jurai 102 I K Iliran 15, 90, 159, 170, 172, 173 karisma 114, 120, 139, 158 inferior 34, 36, 173 karomah 3, 18, 19, 108, 110, interaksi 20, 21, 93, 94, 119, 121, 123, 132, 138, 158, 141, 146, 151 184 interaksi sosial 146 kelas sosial 6, 8, 11, 15, 36, Interdependensi 30, 160, 163, 39, 40, 44, 62, 166 164, 165, 170, 172, 175 keramat 2, 3, 6, 7, 8, 10, 11, internalisasi 17, 61, 119, 144, 12, 18, 19, 22, 25, 26, 28, 146, 147, 181 30, 109, 114, 118, 119, 121, 122, 125, 126, 127,

224

130, 137, 138, 149, 152, modernisasi 9, 52, 57, 153, 154, 158, 161, 163, 164, 188, 190, 191, 192 169, 176, 181, 182, 185, Moore 42, 55, 178 186, 188, 195 Mosca 175 keyakinan 17, 18, 21, 46, 55, motif 1, 2, 6, 7, 21, 30, 107, 65, 101, 122, 131, 135, 119, 121, 124, 125, 126, 136, 137, 138, 140, 152, 128, 130, 133, 134, 137, 178, 185, 192 143, 145, 153, 154, 157, Koentjaraningrat 27, 99, 101, 158, 161, 165, 169, 181, 116, 140, 143 182, 195 kultus 163 motivasi 17, 18, 39, 45, 58, Kuntowijoyo 69, 71, 73, 191 116, 118, 119, 128, 135, 139, 141, 142, 143, 144, L 169

Lawang 4, 9, 37, 39, 43, 98, N 167 Lenski 8, 37, 39, 150 nilai 4, 5, 15, 34, 38, 44, 48, Linton 149 51, 53, 55, 56, 57, 58, 60, Loir 3, 4, 6, 107, 108, 109, 61, 62, 67, 68, 92, 101, 111, 112, 119, 134, 139, 103, 126, 137, 138, 141, 168 143, 145, 146, 152, 153, 155, 156, 157, 172, 175, M 177, 178, 179, 180, 183, 189, 192 magic 46, 120, 185, 195 norma 15, 50, 101, 137, 138, magis 47, 48, 49, 50, 121, 141, 142, 146, 155, 157 135, 187, 195 Nottingham 56, 62, 64, 68 Martin 192 Marx 8, 39, 40, 65, 70, 160, O 179 Mills 8, 37, 39 objektifasi 17 mobilitas sosial 163 modern 5, 6, 7, 9, 36, 38, 40, P 47, 48, 50, 52, 64, 65, 80, 109, 125, 134, 150, 173, Pareto 175 185, 188, 191, 196 Parson 34, 59, 61, 155, 156, 157, 158, 179, 180

225 patrilineal 79, 82 S Peeters 15, 81, 83, 84, 85, 86, 95 Segmentasi 2 persepsi 57, 155, 157, 181 sekuler 51, 57, 65, 67, 179, perubahan sosial 48, 50, 53, 188, 191 58, 149, 184, 187, 188, 191 sekulerisasi 50, 51, 192 Piotr 137, 138 sekulerisme 9, 50, 52 prestise 9, 36, 37, 38, 39, 43, sesajen 7, 62, 93 160 simbol 8, 10, 17, 30, 43, 45, privelese 37, 38, 39, 42 47, 54, 61, 84, 107, 118, puyang 92 119, 120, 121, 126, 135, Pyle 35, 55, 56 136, 137, 138, 180, 187, 195 R Sorokin 33, 34, 79 sosio-ekonomi 30, 160 Rahardjo 175, 190, 191 sosio-kultural 53, 146, 172, Ralph Turner 8, 43, 44, 49, 173, 195 51, 124, 153, 163, 179 sosio-religius 166, 167, 195 Ransford 6, 36, 38, 79, 152, status sosial 7 159 strata atas 7, 36, 87, 162, 164, rasional 5, 7, 9, 31, 46, 48, 51, 166, 167, 173, 195 53, 54, 60, 63, 65, 67, 124, strata bawah 36, 90, 164, 165, 147, 149, 156, 161, 164, 168, 171, 173, 178, 195 181, 182, 183, 184, 185, strata menengah 44, 90, 178 186, 187, 192, 195 Stratifikasi 7, 9, 15, 23, 29, rasionalisasi 9, 51, 52, 153 30, 33, 36, 37, 38, 39, 43, religius 15, 72, 81, 83, 84, 85, 44, 53, 79, 86, 87, 149, 86, 95, 152, 165 150, 151, 152, 165, 178, religius moderat 166 196 ritual 7, 14, 16, 18, 21, 30, 45, superior 34 53, 55, 107, 117, 119, 136, Syam 2, 16, 115, 116, 125, 139, 145, 147, 153, 157, 127, 135, 136, 146 177, 179, 181, 188, 189, Syari’ati 40, 42, 69, 70 192 syirik 5, 112, 147, 153, 169, Roberts 8, 56 186 Ross 37, 167 Rousseau 13, 38

226

T Weber 8, 11, 35, 37, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 54, Tashadi 17 58, 59, 61, 62, 63, 64, 65, tawassul 110, 117, 121, 129, 66, 67, 68, 69, 124, 125, 134, 169 153, 175, 178, 179, 180, Taylor 19, 44 185, 187, 188 tradisi 1, 5, 7, 15, 16, 17, 18, werkrational action 60, 182 21, 30, 38, 46, 52, 62, 67, Wilson 192 75, 87, 91, 99, 100, 101, Woodward 15 102, 104, 107, 109, 112, 114, 116, 119, 122, 124, Z 133, 135, 136, 137, 138, 139, 143, 144, 145, 147, Zainuddin 13, 54 149, 152, 154, 156, 157, zwerk rational 60, 180, 183 158, 161, 163, 172, 173, 177, 181, 184, 185, 189, 190, 191, 192, 195, 196 tradisional 6, 7, 9, 31, 48, 52, 80, 82, 83, 92, 93, 102, 149, 161, 169, 173, 181, 183, 184, 191, 192 traditional action 60, 181

U uluan 4, 15, 80, 84, 90, 98, 159, 170, 172, 173, 174

V vertikal 2, 33, 80, 85, 149, 166 voluntarism 155, 158

W walisongo 4, 109 wasilah 3, 110

227

228

BIODATA PENULIS

Data Pribadi Nama : Mariatul Qibtiyah, S.Sos Tempat & Tanggal Lahir : Palembang, 11 April 1990 Alamat : Jl. KH. Wahid Hasyim Lr. Jambangan Rt.36 Rw.11 No. 2152A Kel. 3-4 Ulu Kec. Seberang Ulu I Palembang 30255 No HP : 085268352998 / 081281019671 Email : [email protected] Nama Orang Tua :  Ayah : Drs. Abd. Azim Amin, M.Hum  Ibu : Latifah, Az

Latar Belakang Pendidikan  M.I Najahiyah Palembang (1995-2001)  SLTP Negeri 44 Palembang (2001-2004)  SMA Negeri 19 Palembang (2004-2007)  S1 Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya Palembang (2007-2011)  S2 Konsentrasi Sosiologi-Antropologi Agama Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2012-Sekarang)

229

230

NOTULASI UJIAN Pendahuluan Senin, 11 Agustus 2014

Nama : Mariatul Qibtiyah NIM : 11.2.00.0.23.01.0122 Jenjang : Magister Prodi : Pengkajian Islam Konsentrasi : Antropologi dan Sosiologi Agama Judul :Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan: Analisis atas Fenomena Kekeramatan Makam di Kota Palembang Penguji : Dr. M. Zuhdi, M. Ed, Ph.D Prof. Dr. H. Bambang Pranowo, MA Prof. Dr. Sukron Kamil, MA Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA

Pertanyaan dan saran penguji Dr. M. Zuhdi, M. Ed, Ph.D 1. Data anda kering walau senjatanya lengkap. 2. Terjemahannya banyak yang salah 3. Catatan kaki banyak yang tidak penting yang anda tulis 4. Takhrij hadis tidak perlu dibahas, cukup shohih menurut siapa. 5. Hal 98, nomer 6, ziarah, tapi ada kata muhaimin. Cn 7, karomah atau barokah?

Prof. Dr. H. Bambang Pranowo, MA 1. Biasanya orang melihat abstrak dulu. Tapi kalimat anda ada yg belum selesai, kalimatnya terputus. Abstrak bahasa Inggris juga begitu…religious apa.. 2. Hal 12, tujuan penelitian…identifikasi persepsi, tapi mana yang membahas mengenai persepsi ini? Bisa dijelaskan? Kalau begitu kalimatnya harus diperjelas, tidak usah pakai ‚identifikasi‛ karena anda bukan mau mengidentifikasi persepsi. 3. Yang dimaksud dengan stratifikasi di sini apa? 4. Isi tesis anda tidak cukup menjelaskan tentang judul anda. Datanya masih sedikit sekali. Kalau hanya menjelaskan 231

NU begini dan Muhammadiyah begini berarti itu ‚social division‛ bukan stratifikasi. Apalagi stratifikasi berdasarkan etnis, jawa atau yang lainnya itu bukan strata. 5. ‚Berinterdipendensi‛ 6. Teori anda kaya, tapi data yang mendukung teori mengenai stratifikasi itu masih sangat kurang.

Prof. Dr. H. Syukron Kamil, MA 1. Teknik penulisan abstrak paragraf 3 terlalu panjang. Abstrak itu harus lebih spesifik stratifikasinya dalam hal apa, 2. Stratifikasi ada ga bedanya dengan segmentasi? 3. Abstrak bahasa Arabnya salah. 4. Pendahuluan: saya lihat sepertinya lebih pada pendahuluan, bukan latar belakang masalah, coba anda tambahkan lagi yang berkaitan dengan latar belakang. 5. Anda lebih banyak menggunakan antropologis dan sosiologis, harusnya lebih spesifik pendekatan dari siapa, atau lebih baik dibuang aja dari pada menyulitkan diri sendiri. 6. Stratifikasi tidak terlihat mana atas, tengah dan bawah. 7. Stratifikasi menurut islam belum ada, coba anda rujuk ibnu khaldun, Islam periode abbasiyah kan menunjukkan stratifikasi. 8. Habil itu kan lebih tinggi secara nilai dan integritas sedangkan Qabil mewakili masyarakat yang jelek.jadi dikritisi lagilah. 9. Anda banyak mengutip ulang. 10. Masyarakat dulu kok lebih banyak daripada masyarakat sekarang? Data anda masih kurang. Tipologi agama di palembang sama ga dengan daerah lain. Potret keagamaan di plembang itu seperti apa belum jelas. 11. BAB INTI:hasil wawancara atau pengamatan anda kok ga kelihatan, kok anda ke teori lagi? 12. Tingkat ekonomi mempengaruhi keagamaan, dimana tingkat interdipendensinya? 13. Kelihatan anda ini kehabisan batre di akhir .

232

Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA 1. Metodologi, kitab2 yang dirujuk, penting menggunakan kitab2 yang islami karena justru aspek ini yang perlu digali karena ini yang paling utama, 2. Bab 3 anda membahas panjang tidak ada sub judul, mungkin anda bikin profil Palembang untuk mkemberikan gambaran yang lebih kontemporer. 3. Catatan WIP terakhir itu terlalu panjang footnote anda. FN ttg kiyai Marohan itu lebih baik dipindahkan ke bahasan anda. 4. Abstrak diperbaiki lagi.

233