CIVIL SOCIETY DAN PARTAI POLITIK Studi terhadap NU Sebagai Kekuatan Politik

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh NADYA NURUL MILLA NIM: 11141120000056

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440H/2019 M

ABSTRAK CIVIL SOCIETY DAN PARTAI POLITIK (Studi terhadap NU Sebagai Kekuatan Politik)

Skripsi ini membahas mengenai (NU) organisasi sosial kemasyarakatan sebagai civil society (masyarakat sipil) dan partai politik yang kemudian menjadi kekuatan politik. Pada 1926 NU adalah organisasi kemasyarakatan, karena itu ia dikategorikan sebagai masyarakat sipil. Setelah adanya fusi partai pada 1973 menjadi PPP, NU kembali ke Khittah 1926 yang artinya menjadi organisasi sosial kemasyarakatan kembali pada 1984. Pada periode tertentu, NU menjadi partai politik tepatnya pada 1952 dan berlanjut sampai pada masa Orde Baru tahun 1971. Memasuki awal Reformasi, PBNU membidani berdirinya partai politik yaitu PKB. Secara struktural, PKB memang menjadi bagian dari NU. Jadi, NU tetap sebagai civil society tetapi NU juga mendirikan partai politik, bukan menjadi partai politik. NU pada perjalanan sejarahnya menjadi civil society dan partai politik, pada ujungnya menjadi kekuatan politik. Kekuatan politik dibagi dalam dua konteks, yaitu institusi dan individu. Kekuatan politik institusi merupakan keterlibatan aktor- aktor NU di dalam kabinet pemerintahan Orde Lama dan Reformasi sedangkan kekuatan politik individu merupakan aktor-aktor NU yang terlibat di dalam partai politik. Penulis menggunakan tiga teori yaitu, civil society atau masyarakat sipil menurut Larry Diamond, Alexis de Tocqueville, AS Hikam, partai politik menurut Sigmund Neumann, Sigit Pamungkas, dan kekuatan politik. Ketika NU sebagai civil society dan ketika NU menjadi partai politik, sebagian dari pengurus maupun di luar pengurus NU menjadi bagian dari kekuasaan. Kekuatan politik tersebut adalah beberapa secara struktural sebagian pengurus NU menjadi bagian dari pemerintah, begitu juga sebagian aktor-aktor NU menjadi bagian dari pemerintah baik menjadi menteri dan pejabat-pejabat lainnya. Hal itu disebut sebagai kekuatan NU.

Kata Kunci : NU, civil society, khittah 1926, partai politik, kekuatan politik.

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: Civil Society dan

Kekuatan Politik (Studi terhadap NU Sebagai Kekuatan Politik) disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi serta dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Sosial Strata Satu pada Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari, bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan mengingat terbatasnya kemampuan penulis, namun berkat rahmat Allah SWT serta pengarahan dan bimbingan dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.

Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Ali Munhanif, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Iding Rosyidin, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bimbingannya selama ini. 4. Suryani, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bimbingan, kritikan dan dorongannya selama ini.

vi

5. Dr. Idris Thaha, M.Si, selaku dosen pembimbing, terimakasih telah mengarahkan serta memberi saran dan kritik dengan sabar dalam penyusunan skripsi ini. 6. Seluruh dosen di Program Studi Ilmu Politik yang telah mengajarkan, memberikan ilmu yang berguna dan bermanfaat bagi penulis. 7. K.H. Fahrurozi, H. Muhammad Najihun S.Th.I, H. Sofyan Hadi, Imam Buchori, Muhammad Imdadun Rahmat yang telah bersedia menjadi narasumber dalam penelitian ini. 8. Orang tua tercinta H. Solahuddin Ahmad SE. MM, Hj. Elfia S.PdI, serta kedua Abang dan Adik (Ahmad Ghifari Solahuddin, Fahreza Ahmad dan Keysa Imtiyaz) yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tidak pernah ada habisnya kepada penulis. 9. Sahabat penulis Berlyyana Harinto Wati S.H yang selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. 10. Teman seperbimbingan Salsabila Larasati, Mardhiyullah, Mahlizar, Yasser Hutabarat, Rudi Saputra. Terimakasih telah saling memberi dukungan saat menyelesaikan penelitian. 11. Teman Seperjuangan Ilmu Politik B 2014, Anita Aprilia, Hisyam Jauhari, M. Aprizal, Hammardan Gazalba, Mardhiyullah, Oktavia Dwi, Niswatun Nafiah, Wova Triansyah, Harumbi Prasetya, Alvin Esa Priatna, Reno Meidi, Barri, Najmawan, Aufarmario, Rizky Ikhwani, Fahmil, Rizky Sinulingga, dan lainnya. Terimakasih telah menjadi teman yang memberikan kenangan terindah semasa kuliah. 12. Semua teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu-satu, terima kasih atas dukungan serta doa yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

vii

Setelah melewati proses yang panjang, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Penulis sangat berterima kasih, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan penelitian ini. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Ciputat, 13 Agustus 2019

Nadya Nurul Milla

viii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ...... iii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...... iv ABSTRAKSI ...... v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... ix DAFTAR TABEL ...... xi DAFTAR SINGKATAN ...... xii BAB I : PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Perumusan Masalah ...... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 6 C.1.Tujuan Penelitian…………………………………………… ...... 6 C.2. Manfaat Penelitian……………………………………………… 6 D. Tinjauan Pustaka ...... 6 E. Metode Penelitian...... 9 E.1. Jenis Penelitian ...... 9 E.2. Teknik Pengumpulan Data ...... 9 E.3. Teknik Analisis Data ...... 10 F. Sistematika Penulisan ...... 11 BAB II : KERANGKA TEORI DAN KONSEP ...... 14 A. Civil Society ...... 14 B. Partai Politik ...... 17 C. Relasi Partai Politik dan Civil Society ...... 20 D. Kekuatan Politik ...... 23 BAB III : GAMBARAN UMUM NAHDLATUL ULAMA DAN POLITIK ...... 27 A. NU dan Civil Society ...... 27 A.1. NU Sebagai Organisasi Kegamaan ...... 27 A.2. NU Kembali ke Khittah 1926...... 29

ix

B. NU dan Partai Politik ...... 34 B.1. NU Menjadi Partai Politik: Partai NU ...... 34 B.2. NU Mendirikan Partai Politik: PKB ...... 40 C. Paham Ahlussunnah wal Jama’ah ...... 47 BAB IV : NU DAN KEKUATAN POLITIK ...... 51 A. Keterlibatan Aktor NU dalam Politik Praktis ...... 51 B. Aktor NU Sebagai Wakil Institusi dalam Kabinet Pemerintahan ...... 53 B.1. Aktor-Aktor NU Sebagai Wakil Partai dalam Kabinet Orde Lama: Partai NU ...... 53 B.2. Aktor-Aktor NU Sebagai Wakil Partai dalam Kabinet Reformasi: PKB ...... 61 C. Aktor NU Sebagai Wakil Individu dalam Kabinet Pemerintahan ...... 66

BAB V : PENUTUP ...... 71 A. Kesimpulan ...... 71 B. Saran ...... 72 DAFTAR PUSTAKA ...... 74

x

DAFTAR TABEL

Tabel II. C. 1. Kelompok dan Sumber Kekuasaan…………………. 21

Tabel III. B. 1. Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 1955……... 32

Tabel III. B. 2. Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 1971……... 33

Tabel III. B. 3 . Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 1999……… 42

Tabel III. B. 4. Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 2004……… 42

xi

DAFTAR SINGKATAN

ADIA : Akademi Dinas Ilmu Agama DPC : Dewan Pimpinan Cabang DPP : Dewan Pimpinan Pusat DPR : Dewan Perwakilan Rakyat GAPPI : Gabungan Partai Politik Golkar : Golongan Karya GP Anshor : Gerakan Pemuda Anshor GPII : Gerakan Pemuda Islam Indonesia IAIN : Institut Agama Islam Negeri IPKI : Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia IPNU : Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama LKKNU : Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama MIAI : Majelis Islam A’la Indonesia MI : Muslimin Indonesia Munas : Musyawarah Nasional Murba : Musyawarah Rakyat Banyak MWC : Majelis Wakil Cabang NU : Nahdlatul Ulama NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia Parmusi : Partai Muslimin Indonesia PAN : Partai Amanat Nasional Parkindo : Partai Kristen Indonesia PBNU : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa PCNU : Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama

xii

PDIP : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PERTI : Pergerakan Tarbiyah Islamiyah PETA : Pembela Tanah Air PERTANU : Persatuan Tani NU PEKADE : Partai Kejayaan Demokrasi PKB : Partai Kebangkitan Bangsa PKU : Partai Kebangkitan Umat PKNU : Partai Kebangkitan Nasional Ulama PKS : Partai Keadilan Sejahtera Pilkada : Pemilihan Kepala Daerah Pilgub : Pemilihan Gubernur Pilpres : Pemilihan Presiden Pileg : Pemilihan Legislatif PPNUI : Partai Persatuan Nahdlatul Ulama Indonesia PUI : Partai Umat Islam PNI : Partai Nasional Indonesia PMII : Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia PNU : Partai Nahdlatul Ulama PPP : Partai Persatuan Pembangunan PP : Pengurus Pusat PSII : Partai Sarekat Islam Indonesia PTAIN : Perguruan Tinggi Agama Islam PW : Pengurus Wilayah RI : Republik Indonesia SI : Syarikat Islam SUNI : Solidaritas Uni Nasional Indonesia

xiii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini membahas mengenai Nahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan tersbesar di Indonesia yang dikategorikan sebagai civil society. Dalam perjalanannya, NU pada 1952 memproklamirkan diri sebagai partai politik dan pada

1983 memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926. Keterlibatan NU dapat dinyatakan tidak hanya sebagai civil society, karena pada sejarahnya NU membentuk kekuatan politik melalui PKB yang didirikan oleh Warga Nahdliyin.1

NU merupakan organisasi yang lebih awal berkenalan dengan gagasan civil society dan diterjemahkan oleh kalangan NU sebagai “masyarakat sipil”. Istilah masyarakat sipil diperkenalkan oleh Muhammad AS Hikam dalam disertasinya di

Universitas Hawaii, Amerika Serikat. Intelektual muda ini merupakan orang pertama yang gencar mengenalkan istilah tersebut di kalangan Nahdliyin.2

NU merupakan aset bangsa yang mempunyai modal besar untuk menjadi kekuatan civil society di Indonesia. Hal ini, misalnya, dapat dilihat ketika NU di bawah kepemimpinan Abdurahman Wahid pada 1984-1998. Pada saat itu, NU

1 Kang Young Soo, Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama, (Jakarta:UI- Press, 2007), h. 77 2 Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, Islam & Civil Society, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 81

1 mengambil posisi di luar pemerintahan dan selalu mengontrol pemerintahan. Seperti diketahui, orde baru dipimpin oleh kalangan militer.3

NU dapat dikategorikan sebagai masyarakat sipil. Hal ini karena NU dapat mengambil posisi yang tidak terikat pada pihak manapun, termasuk pemerintah.

Karena tidak berpihak kemanapun, NU bisa bekerja sama dan juga mengontrol pemerintah.4

Melihat perkembangan selanjutnya dari NU, selain sebagai masyarakat sipil,

NU mulai masuk ke dalam kegiatan politik. Pertama kali NU bergabung dengan

Masyumi pada 1945 bersama tiga organisasi lainnya yaitu Muhammadiyah, Persatuan

Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.5 Hubungan NU dan Masyumi rupanya tidak bagus. NU memutuskan untuk keluar dan membuat partai sendiri yaitu

Partai NU pada 1952.

Partai NU mengikuti pemilu tahun 1955 dan 1971. Dalam pemilu tersebut

Partai NU mendapat urutan ketiga pada pemilu 1955 dan urutan kedua pada pemilu

1971. Pada pemilu tahun 1971, sebagai partai Islam NU dengan kekuatan dari

3 Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili, Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta: Kompas, 2010) h. 38-39 4 Aditya Perdana, “Civil Society dan Partai Politik Dalam Demokratisasi di Indonesia”, (Dinamika Politik Lokal di Indonesia, Seminar Internasional, Salatiga, 28-30 Juli 2009), h. 9 5 Perjalanan politik NU pertama kali yaitu bergabung dengan Masyumi, namun dengan adanya kekecewaan yang muncul dari pihak NU terhadap Masyumi membuat NU memutuskan untuk keluar dan membuat partai sendiri. Lihat Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa: Pergulatan Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 62-65

2 kelompok NU mampu mendapat peningkatan perolehan suara dan menjadi peringkat dua di atas partai-partai Islam lainnya.6

Partai NU bersama tiga partai Islam yaitu, Parmusi (Partai Muslimin

Indonesia), PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), PERTI (Pergerakan Tarbiyah

Islamiyah), pada 1973 melakukan fusi partai politik ke dalam PPP (Partai Persatuan

Pembangunan). Dalam perjalanan NU di PPP ternyata membuat NU kembali merasakan mendapat posisi yang tidak penting. Seperti pada masa NU bergabung dengan Masyumi yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. NU dalam

PPP tidak memiliki akses untuk menyuarakan aspirasi mereka. NU benar-benar tidak mempunyai kekuatan di PPP, karena upaya yang sudah diberikan oleh NU tidak sepadan dengan hasil yang dicapai. Dalam hal ini, NU secara organisatoris memilih untuk keluar dari PPP.7

Dalam Muktamar NU ke-27 Desember 1984 di Situbondo, NU menyatakan keluar dari PPP dan kembali ke Khittah 1926. Khittah 1926 merujuk kepada garis dan nilai-nilai perjuangan NU yaitu jam’iyyah diniyah ijtimaiyah yakni organisasi atau perkumpulan keagamaan. Dengan keputusan tersebut, secara organisasi perjalanan politik praktis NU berakhir.8

6 Pada tahun 1952 NU menetapkan diri sebagai partai politik. Lalu NU berhasil meraih suara terbesar kedua dalam pemilu tahun 1955 yaitu 18,41%, tidak sampai disitu NU kembali berhasil diurutan pertama sebagai partai Islam dalam pemilu 1971 dengan suara 18,68%. Lihat Ridho Al- Hamdi, Partai Politik Islam: Teori dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 81 7 Sahar L. Hassan, Kuat Sukardiyono, dan Dadi M.H. Basri, Memilih Partai Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1989), h. 207 8 STAI Al Anwar, “Perjalanan Sejarah Politik NU Sejak Berdiri Hingga Keputusan Kembali ke Khittah”, www.staialanwar.ac.id, pada 5 April 2017

3

Kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan ternyata tidak membuat NU lepas dari politik. NU memutuskan untuk membidani partai politik, hal itu dikarenakan NU ingin meneruskan jalanya dalam kehidupan sosialm ekonomi, dan keagamaan. Alasan NU tersebut karena NU memandang bahwa partai politik dapat jatuh setiap saat, lain halnya dengan organisasi kemasyarakatan yang lebih bisa dipertahankan keberadaannya. Maka dari itu, untuk area politik NU membidani lahirnya PKB dan NU tetap menjadi organisasi.9

Pada awal reformasi, PBNU membidani berdirinya partai politik yaitu PKB.

Secara struktural PKB memang menajdi bagian dari NU. Jadi, NU tetap menjadi civil society tetapi NU juga mendirikan partai politik bukan menjadi partai politik. Namun, sebagian kalangan Nahdliyin yang tidak menjadi bagian dari PKB mendirikan partai politik yang tidak ada hubungannya dengan NU sebagai organisasi kemasyarakatan.

Partai-partai tersebut adalah PKU (Partai Kebangkitan Umat) yang diketuai oleh KH.

Yusuf Hasyim, PNU (Partai Nahdlatul Ulama) yang diketuai oleh KH. Syukron

Ma’mun, dan SUNI (Solidaritas Uni Nasional Indonesia) yang diketuai oleh H. Abu

Hasan. Mereka adalah kalangan Nahdlyin yang tidak ada hubungannya dengan NU secara struktural, tetapi didirikan oleh kalangan Nahdliyin.10

9 Chris Manning dan Peter van Diermen, Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial dari Reformasi Krisis, (Yogyakarta: LKis, 2000), h. 389 10 Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, 5 Partai dalam Pertimbangan: Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)., h. 276

4

PKB didirikan pada 23 Juli 1998 dengan menaruh Pancasila sebagai asas partainya. Prinsip dari perjuangan PKB adalah pengabdian kepada Allah SWT, menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuruan, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai

Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah.11

PKB yang dipimpin oleh politisi NU yaitu Matori abdul Jalil mempunyai sebuah tujuan. Tujuan tersebut yaitu akan mengangkat kembali peran politik NU serta

PKB akan menjadi jalan untuk warga Nahdliyin memperjuangkan kembali kepentingan-kepentingan politiknya. PKB akan bertarung dengan partai politik lain dalam pemilu untuk berebut dukungan untuk menentukan berapa jumlah para wakilnya di parlemen.12 PKB dalam hal ini sangat menonjol sebagai wadah dari politik NU.

NU pada sejarahnya menjadi civil society dan partai politik. Pada ujungnya

NU menjadi kekuatan politik, yang disebut kekuatan politik adalah beberapa pengurus NU secara struktural menjadi bagian dari pemerintah. Begitu juga dengan sebagian elite NU yang menjadi bagian dari pemerintah, baik menjadi menteri dan pejabat-pejabat lainnya. Hal itu yang disebut sebagai kekuatan politik NU.13

11 Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Islam: Teori dan Praktik di Indonesia, h. 100-106 12 Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, 5 Partai dalam Pertimbangan: Analisis dan Prospek. h. 276

13 Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili, Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, h. 73

5

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pernyataan masalah yang telah diuraikan, maka permasalahan yang diteliti penulis rumuskan dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana transformasi NU menjadi kekuatan politik sebagai civil society

dan partai politik?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

C.1. Tujuan

1. Untuk mengetahui latar belakang NU sebagai civil society dan partai

politik menjadi kekuatan politik.

C.2. Manfaat

Tujuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan lebih tentang organisasi Islam yang ada di Indonesia terutama NU, dan berharap dengan penelitian ini dapat menjadi sumber informasi atau rujukan untuk penelitian selanjutnya.

Khususnya terkait civil society, partai politik dan kekuatan politik.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengkaji serta menguraikan beberapa buku dan literatur di antaranya yaitu:

Pertama, karya Anisa Hidayati.14 Garis besar bahasan penelitian ini adalah untuk melihat Khittah 1926 yang diimplementasikan di era reformasi khususnya pada

Muslimat NU periode 2011-2014. Keterlibatan Ketua Umum PP Muslimat NU

14 Anisa Hidayati, “Nahdlatul Ulama (NU) di Era Reformasi: Studi Tentang Muslimat NU Periode 2011-2014 dan Khittah NU 1926”, (Skripsi, Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015)

6 periode 2011-2014 dalam politik menunjukkan bahwa Khittah 1926 tidak terimplementasikan dengan baik, sehingga keputusan Khittah 1926 sudah tidak relevan diterapkan pada era reformasi.

Kedua, karya Esty Ekawati.15 Penelitian Esty terkait dengan NU sebagai civil society di Indonesia. NU sebagaimana organisasi sosial yang mencoba mengembangkan independensinya mempunyai potensi memperkuat civil society di

Indonesia, selayaknya kelompok pro demokrasi lainnya. Aktivitas-aktivitas NU dalam bidang pendidikan, sosial kemanusiaan dan pengembangan demokrasi telah membawa NU pada posisi civil society di Indonesia yang berperan aktif dalam menghasilkan tokoh-tokoh yang hebat salah satunya adalah Abdurahman Wahid.

Abdurahman Wahid merupakan tokoh Islam yang menghargai pluralisme dan demokrasi.

Ketiga, karya Putranto Argi Noviantoko.16 Dalam Penelitian ini dijelaskan mengenai perjalanan NU di partai Masyumi pada 1945-1952. Lalu, penelitian ini juga menjelaskan peranan NU dalam menjalankan fungsi faksi politik di partai Masyumi pada 1945-1952. Penelitian ini menggunakan dua teori yaitu, teori partai politik dan teori faksi. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah ditemukannya aktor- aktor yang terlibat di Masyumi memiliki corak yang berbeda seperti latar belakang, nilai, ideologi, tujuan, dan visi misi.

15 Esty Ekawati, “Nahdlatul Ulama (NU) Sebagai Civil Society di Indonesia”, “Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Ilmu Keagamaan”, Vol. 13 No. 2, Juli-Desember 2016 16 Putranto Argi Noviantoko, “Peran Nahdlatul Ulama di Partai Masyumi Pada Tahun 1945- 1952”, (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada, 2017)

7

Keempat, karya Mochamad Parmudi.17 Penelitian ini secara umum tidak menjelaskan tentang NU, tetapi hanya menjelaskan tentang civil society. Parmudi membahas kebangkitan civil society di Indonesia. Parmudi membagi pembahasan tersebut dalam beberapa gerakan sosial yaitu, resistensi simbolik, resistensi ini bertujuan untuk menampilkan berbagai keluhan dan gugatan simbolik dalam bentuk tulisan, pertunjukan seni, sampai diskusi. Resistensi pragmatis, resistensi yang melibatkan organisasi masyarakat, partai politik, bahkan mahasiswa yang mempunyai tujuan untuk melakukan reaksi langsung terhadap kebijaksanaan pemerintah yang sedang berjalan. Resistensi simbolik-pragmatis, merupakan aksi langsung dan tidak langsung yang akan menciptakan situasi sosial-politik yang lebih baik terutama untuk rakyat-rakyat kecil. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa, kebangkitan civil society seharusnya tidak dinodai dengan fanatisme golongan. Karena itu perlu kehadiran pemimpin yang sanggup mendorong pendewasaan civil society agar terbebas dari sentimen golongan.

Kelima, karya Halili.18 Penelitian ini secara umum berfokus pada pembahasan civil society, tidak menjelaskan tentang NU. Halili menganalisis tentang prospek pengembangan civil society di Indonesia dengan mengacu pada komponen-komponen civil society. Halili menjelaskan komponen-komponen tersebut seperti, otonomi, akses masyarakat terhadap lembaga negara, area publik yang mandiri dan area publik

17 Mochamad Parmudi, “Kebangkitan Civil Society di Indonesia”, “Jurnal at-Taqaddum, UIN Walisongo”, Vol. 7 No. 2, November 2015 18 Halili, “Masa Depan Civil Society di Indonesia: Prospek dan Tantangan”, “Jurnal Kajian Kewarganegaraan”, Vol. 3 No. 2, Desember 2006

8 yang terbuka. Masa depan civil society di Indonesia ditentukan oleh penguatan komponen-komponen yang ada dalam masyarakat dan proses pembentukan civil society tidak mudah karena harus melalui tantangan-tantangan yang ada dalam masyarakat, salah satunya adalah budaya di dalam masyarakat itu.

E. Metode Penelitian

Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode penelitian sebagai berikut:

E.1. Jenis Penelitian

Penulisan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sangat cocok untuk mengembangkan teori, khususnya teori yang dibangun berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan. Dengan metode kualitatif, peneliti melakukan penjelajahan awal, kemudian mengumpulkan data untuk dianalisis sehingga dapat ditemukan hipotesis berupa hubungan antar gejala yang diteliti.

Hipotesis ini kemudian diverivikasi dengan pengumpulan data yang lebih mendalam lagi. Jika hipotesis tebukti maka akan menjadi teori.19

E.2. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara

Wawancara kepada narasumber terkait dengan objek yang diteliti melalui

tanya jawab. Pertanyaan-pertanyaan ditujukan kepada informan yang telah

dipilih, yaitu K.H. Fahrurozi selaku ketua PCNU Jakarta Barat, H.

19 Eko Sugiarto, Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif: Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta: Suaka Media, 2015), h. 10

9

Muhammad Najihun S.Th.I selaku calon anggota DPR RI PKB Dapil Jakarta

III 2019, H. Sofyan Hadi selaku wakil ketua DPC PPP Jakarta Barat dan

wakil Sekretaris NU MWC Kecamatan Kalideres, Imam Buchori selaku

Kepala Bidang Lembaga Pendidikan Ma’arif NU dan Koordinator Bidang

Hubungan Antara Lembaga PBNU, Imdadun Rahmat selaku wakil Sekjen

PBNU. Teknik metode wawancara ini memberikan informasi dan

mengumpulkan data langsung dari narasumber.

b. Dokumentasi

Metode dokumentasi dilakukan dengan studi kepustakaan mengenai hal-hal

yang sesuai dengan penelitian penulis melalui, 5 (lima) jurnal, 22 (dua puluh

dua) buku, 6 (enam) surat kabar, dan lain-lain. Hal ini sebagai penguat dari

hasil penelitian dan metode dokumentasi ini merupakan pelengkap dari

metode wawancara dalam penelitian kualitatif. Adapun sumber data dari

teknik ini adalah data sekunder.

E.3. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif data-data disajikan secara naratif. Analisis data ini temasuk kedalam penelitian deskriptif yang mendetail tentang situasi, kegiatan, atau peristiwa maupun fenomena tertentu, baik menyangkut manusianya maupun hubungannya dengan manusia. Data kualitatif ini langsung dari pendapat orang-orang

10 yang telah berpengalaman, pandangannnya serta sikapnya, dokumen-dokumen, sejarah.20

Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif ini berdasarkan teori civil society, partai politik dan kekuatan politik kemudian dari hasil analisis data tersebut dapat ditarik kesimpulan.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini penulis membaginya dalam lima bab dengan beberapa sub bab di dalamnya, yakni:

Pada Bab I, penulis menjelaskan fokus latar belakang dan menguraikannya.

Transformasi NU sebagai civil society mulai memasuki dunia politik dengan menjadikan dirinya sebagai partai. Namun dalam perjalanannya NU memutuskan untuk kembali menjadi organisasi keagamaan (Khittah 1926). Pada saat NU menjadi civil society dan partai politik, secara bersamaan mereka merupakan kekuatan politik.

Bab ini juga menguraikan perumusan masalah yang terdiri dari satu pertanyaan yaitu terkait dengan kekuatan politik sebagai civil society dan partai politik serta memiliki tujuan dan manfaat penelitian. Penulis juga membuat tinjauan pustaka dan metode penelitian untuk memudahkan memperoleh data-data penelitian.

Pada Bab II, merupakan pemaparan teori dan konsep. Penulis menggunakan teori civil society, untuk menganalisis NU organisasi keagamaan yang dikategorikan sebagai civil society atau masyarakat sipil menjadi kekuatan politik. Teori partai

20 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan, (Jakarta: Prenamedia Group, 2014), h. 331

11 politik, untuk membahas mengenai NU yang menjadi partai sampai melahirkan partai sehingga NU mampu menjadi kekuatan politik. Teori kekuatan politik, yang diuraikan pada keterlibatan elite-elite NU di dalam kabinet. Dalam hal ini, ketiga teori tersebut diambil sebagai alat analisis terhadap masalah penelitian yang penulis teliti.

Pada Bab III, menjelaskan gambaran umum dinamika NU sebagai organisasi keagamaan yang secara historis pernah menjadi partai politik dan kembali menjadi kekuatan sosial (Khittah 1926) tanpa secara langsung menjadi partai politik di era reformasi. Bab ini juga memberikan pembahasan sedikit pemahaman Ahlussunah wal

Jama’ah sebagai pelengkap sejarah NU dalam penelitian ini.

Pada Bab IV, penulis memaparkan hasil penelitian dan analisis yang diperoleh dari pengumpulan data wawancara dan dokumentasi dengan lima narasumber. Hasil penelitian tersebut menjelaskan secara mendalam keterlibatan elite-elite NU dalam politik praktis. Untuk melengkapi bab-bab sebelumnya, pada bab ini mejelaskan keterlibatan NU di kabinet Orde Baru, Reformasi, dan dalam partai politik.

Pada Bab V, penulis menyimpulkan bahwa NU dapat dikategorikan sebagai civil society dan sekaligus sebagai partai politik. Pada saat bersamaan NU menjadi kekuatan politik. Secara struktural NU menempatkan beberapa aktornya di dalam pemerintahan, misalnya pada pemerintahan Kabinet Natsir yaitu KH. Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama, KH. Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri Kedua.

12

Begitu juga beberapa sebagian aktor yang di luar struktural NU menjadi bagian dari pemerintahan, misalnya, Djan Faridz, Lukman Hakim Saifuddin, Hamza Haz, dan

Idrus Marham merupakan politisi dari Golkar.

13

BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumya, NU dapat dikategorikan sebagai civil society, partai politik dan kekuatan politik. Untuk melengkapi pembahasan dalam bab ini, perlu diuraikan apa yang dimaksud dari civil society dan partai politik. Tidak hanya dua hal tersebut, ternyata NU pada akhirnya menjadi kekuatan politik. Untuk keperluan pembahasan mengenai civil society dan partai politik, di sini penulis lebih mengutamakan untuk menjelaskan civil society menurut

Larry Diamond, Alexis de Tocqueville dan AS Hikam, partai politik menurut

Sigmund Neumann dan Sigit Pamungkas.

A. Civil Society (Masyarakat Sipil)

Konsep civil society mulai berkembang di Barat, yang kemudian banyak bangsa dan masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia secara antusias mengkaji dan mengembangkan. Di Indonesia pembicaraan dan pembahasan mengenai civil society sudah diperbincangkan secara meluas sejak akhir tahu 1970- an. Sejak awal kemunculannya sampai sekarang istilah civil society memiliki istilah yang bermacam-macam.1

Teori yang menjelaskan tentang civil society, banyak dijelaskan oleh para tokoh seperti Larry Diamond dan Alexis de Tocqueville. Menurut Larry Diamond,

1 Heri Herdianto dan Fokky Fuad Wasitaatmadja, Kewarganegaraan & Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), h. 265

14 civil society merupakan kehidupan sosial yang terstruktur melibatkan warga negara untuk bertindak pada wilayah publik dalam memperjuangkan kepentingannya. Civil society mempunyai ruang, yang mewadahi antara individu dan kelompok dapat saling berinteraksi. Ruang tersebut dapat digunakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam memperbaiki struktur atau fungsi negara.2

Menurut Alexis de Tocqueville, civil society sebagai kekuatan politik sendiri merupakan kekuatan pengimbang yang dapat melakukan check and balance terhadap kekuatan negara dengan bentuk organisasi, asosiasi yang bercirikan kesukarelaan dan swadaya ketika beradapan dengan negara, namun tetap mempunyai kepatuhan terhadap norma dan nilai hukum yang berlaku. Dalam hal ini masyarakat dapat melakukan partisipasi mengenai pembuatan kebijakan-kebijakan publik dalam sebuah negara dan dapat saling berinteraksi dengan semangat toleransi.3

Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya. Wacana civil society semakin berkembang luas di masyarakat muslim dengan memiliki beragam pemaknaan. Pada kalangan muslim tradisional, civil society dipahami sebagai masyarakat sipil, sedangkan pada kalangan muslim modernis, civil society dipahami sebagai masyarakat madani.4

2 Larry Diamond, Developing Democracy, Toward Consolidation, (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1999), h. 221 3 Lutfi J Kurniawan, Negara, Civil society dan Demokratisasi: Pergerakan MembangunSolidaritas Sosial dalam Merebut Perubahan, (Malang: In-TRANS Publishing, 2008), h. 68 4 Anwar Ibrahim, Menteri Keuangan dan Perdana menteri Malaysia dalam Festival Istiqlal 1995 mendefinisikan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur diasakan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat mendorong daya usaha inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni ekonomi, dan teknologi. Sistem

15

Muhammad AS Hikam dalam disertasinya di Universitas Hawaii, Amerika

Serikat, memperkenalkan istilah civil society sebagai masyarakat sipil kepada kalangan Nahdliyin. Dengan penjelasan sebagai berikut:

“Masyarakat sipil sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma- norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.”5

Definisi masyarakat sipil di atas berwujud dalam berbagai organisasi yang dibuat oleh masyarakat di luar kontrol negara. Seperti, LSM (Lembaga Swadaya

Masyarakat), organisasi sosial keagamaan, organisasi paguyuban, dan kelompok- kelompok kepentingan.6

Dalam hal ini masyarakat dapat melakukan partisipasi mengenai pembuatan kebijakan-kebijakan publik dalam sebuah negara dan dapat saling berinteraksi dengan semangat toleransi. Ketika NU berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, NU bisa menjadi jembatan aspirasi bagi umat Islam, terlebih NU memiliki jamaah sekitar 80 juta. Jumlah jamaah NU dapat menjadi kekuatan massa dalam kontestasi pemilihan umum untuk mendapat suara. Maka tidak berlebihan jika penulis menyimpulkan bahwa NU sebagai masyarakat sipil bisa menjadi kekuatan politik.

sosial yang saksama serta pelaksanaan pemerintah mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan ketedugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency sebagai satu sistemnya. Lihat Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, Islam & Civil Society, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 157-158 5 Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996), h. 3 6 Ibid., h. 3

16

B. Partai Politik

Istilah partai politik berawal dari membentuk sebuah wadah organisasi yang terorganisir, dan mampu menampung berbagai ide atau pikiran yang sama dari sekelompok orang, sehingga mudah memperoleh kekuasaan politik dan mudah untuk mengambil keputusan.

Banyak definisi partai politik menurut beberapa kalangan. Sigmund Neumann, partai politik adalah bentuk organisasi dari aktivis-aktivis politik yang bertujuan untuk mengambil kekuasaan di pemerintahan serta mendapatkan dukungan dari rakyat melalui persaingan antar kelompok atau antar partai yang disebut pemilu.7

Sejalan dengan itu, menurut Pamungkas partai politik merupakan organisasi yang mengupayakan suatu nilai atau ideoloi melalui kekuasaan yang dimiliki dengan mengikuti pemilu.8 Lebih jelasnya adalah, partai politik dijadikan sebagai alat perjuangan sebuah kelompok yang mempunyai nilai dan diyakini pada sistem kepartaiannya. Dengan nilai yang dimiliki, partai tersebut mampu meraih kekuasaan.

Kekuasaan tersebut dapat diraih melalui pertarungan antar partai politik di kontestasi pemilu yang dilakukan secara jujur dan adil.

Terdapat beberapa pendekatan terhadap tipologi partai politik menurut

Almond yaitu, pertama, partai politik pada kelas masyarakat, kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Kedua, partai politik pada kelompok kepentingan

7 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 404 8 Sigit Pamungkas, Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism), h. 5

17 tertentu seperti kelompok petani, buruh, pengusahan dan guru. Ketiga, partai politik yang berbasis agama seperti, Islam, Protestan, Katholik, dan Hindu. Keempat, partai politik pada kelompok budaya, seperti suku bangsa, bahasa, dan daerah.9

Partai NU dapat dikatakan sebagai tipe partai politik yang berbasis agama

Islam. Karena, Partai NU ialah partai yang berasaskan Islam yang mempunyai tujuan untuk menegakkan syariat islam serta melaksanakan berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat.

Ahmad Norma Permata mengelompokkan partai Islam di Indonesia menjadi tiga kategori sesuai dengan basis sosio-kultural keagamaan Muslim di Indonesia yaitu, pertama, partai politik dalam kelompok Muslim tradisionalis seperti, NU, PKB

(Partai Kebangkitan Umat), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PKU (Partai

Kebangkitan Umat), PNU (Partai Nahdlatul Ulama), PKNU (Partai Kebangkitan

Nasional Ulama), dan PPNUI (Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia. Kedua, partai politik dalam kelompok Muslim modernis seperti, Masyumi, Parmusi (Partai

Muslimin Indonesia), PAN (Partai Amanat Nasional), PBB (Perserikatan Bangsa-

Bangsa), PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), dan PUI (Partai Umat Islam). Ketiga, partai politik kelompok Islamis, kelompok yang lahir di era Reformasi yang diwakili oleh PKS (Partai Keadilan Sejahtera).10

9 Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Islam: Teori dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013)., h. 13 10 Ibid., h. 16

18

Partai politik Islam tradisionalis dipahami sebagai partai Islam yang memiliki basis pendukung dari kalangan-kalangan muslim yang kuat yang ada di masyarakat pedesaan. Kelompok tradisionalis berkembang di kalangan , dan basis partai politik Islam tradisionalis, merujuk kepada organisasi Islam tradisional terbesar yaitu,

NU.11

Partai politik Islam tradisionalis mempunyai ciri-ciri tersendiri yaitu, pertama, memiliki identitas yang sama yaitu “Islam tradisional” antara para elite dan basis pendukung. Kedua, basis pendukung yang paling utama berasal dari kalangan masyarakat pedesaan. Ketiga, partai berasaskan Islam. Keempat, khusus untuk PKB, partai ini bukan hanya sekadar partai tradisional tetapi PKB dapat dikelompokkan sebagai partai post-tradisionalis dengan berasaskan Pancasila. Partai post-tradisionalis sendiri merupakan partai lanjutan dari kelompok tradisionalis yang terdiri dari generasi-generasi pemikiran baru NU dan kelompok post-tradisionalis ini merupakan titik temu antara kelompok modernis dan kelompok tradisionalis. Kelima, partai

Islam tradisionalis ini secara kultural, organisasi, dan individu sangat dekat dengan

NU.12

Sebagai partai dengan kategori post-tradisionalis, PKB merupakan partai yang mempunyai ciri humanisme religius yang sangat peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang agamis. PKB merupakan partai yang bersifat terbuka dalam lintas agama, suku, ras, dan golongan yang diwujudkan dalam bentuk visi, misi,

11 Ibid., h. 17 12 Ibid., h. 17

19 keanggotaan serta kepemimpinan. Partai yang bersifat terbuka ini menolak campur tangan orang lain dalam bentuk kekuasaan yang bertetangan dengan tujuan didirikannya partai tersebut.13

C. Relasi Partai Politik dan Civil Society

Pada masa Yunani Kuno, pengertian civil society dan negara mempunyai definisi yang sama yaitu koinomia politike (masyarakat politik) dimana setiap manusia dikenal sebagai zoon politikon (makhluk politik). Dari pengertian tersebut, terdapat sebagian memandang bahwa civil society memiliki keterikatan yang cukup erat dengan negara termasuk partai politik.14

Civil society adalah sebuah kelompok masyarakat yang mempunyai ketegasan dalam berbagai kepentingan akan kekuasaan. Civil society memiliki partisipasi aktif dari semua warga negara yang tergabung di dalam organisasi atau kelompok sehingga membentuk karakter demokratis di kelompok tersebut. Sedangkan partai politik merupakan sebuah kelompok atau organisasi yang mengikuti pemilihan umum untuk mencapai sebuah jabatan yang akan di duduki oleh calon-calon dari partai politik tersebut. Dari pengertian tersebut, perbedaan antara civil society dan partai politik dapat dilihat melalui aspek usaha meraih kekuasaan politik. Partai politik meraih

13 Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan: Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 246 14 Neera Chandhoke, Benturan Negara dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: ISTAWA, 2001), h. 115

20 kekuasaan politik melalui jalur pemilihan umum. Namun terdapat kesamaan di antara keduanya yaitu dalam usaha untuk berkontribusi terhadap kepentingan publik.15

Beavis memberi tiga hal mendasar perihal pemahaman antara partai politik dan civil society yaitu, pertama, tipe aktivitas yang menghubungkan antara partai politik dan civil society. Kedua, kekuatan dari hubungan kedua instansi tersebut khususnya dalam konteks seberapa dekat hubungan tersebut dibangun. Ketiga, arah dari pengaruh dalam relasi kedua instansi tersebut.16

Aktivitas yang menghubungkan civil society dan partai politik lebih kepada konteks pembuatan kebijakan publik seperti aksi advokasi atau me-lobi isu-isu yang sedang diperbincangkan. Dalam konteks civil society, sebagai sebuah kelompok kepentingan akan me-lobi partai politik di DPR untuk mendiskusikan tentang kepentingan-kepentingan yang diajukan oleh kelompok tersebut dan civil society juga mempunyai peran untuk mengawasi atau mengamati janji-janji yang telah dibuat para kandidat partai serta para perilaku politisi-politisi DPR. Dalam konteks kebutuhan partai, civil society sebagai sebuah lembaga yang memiliki sumber daya manusia mempunyai para aktor yang disediakan untuk sebagai kandidat yang mampu melaksankaan tugas dengan baik untuk ajang pemilu, baik legislatif ataupun eksekutif. Dan selain itu civil society juga berperan untuk memobilisasi para pemilih

15 Aditya Perdana, “Civil Society dan Partai Politik Dalam Demokratisasi di Indonesia”, “Jurnal Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Juli 2009 16 Aditya Perdana, “Civil Society dan Partai Politik Dalam Demokratisasi di Indonesia”, “Jurnal Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Juli 2009

21 untuk memilih pemimpin partai politik yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemilih.17

Dalam aspek kedekatan antara hubungan kedua institusi ini, Beavis menyatakan ada beberapa arah relasi yang terkait pada civil society dan partai politik yaitu pertama, civil society menghindari hubungan dengan partai politik. Civil society berusaha tidak terlibat dalam kegiatan politik apapun supaya tidak diklaim mempunyai aktivitas yang partisan. Begitupun partai politik yang tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan civil society. Kedua, civil society mempunyai komitmen untuk mendukung partai politik secara menyeluruh dengan melihat agenda dan isu yang mengarah pada kepentingan kelompok civil society tersebut sehingga tidak ada keberpihakan khusus kepada salah satu partai. Partai politik mendapat dukungan dari berbagai kelompok masyarakat dengan jangka waktu yang singkat karena tergantung dari kepentingan yang seperti apa sehingga menjadi titik temu dari hubungan tersebut. Ketiga, civil society mempunyai ikatan dengan satu partai politik, artinya kelompok civil society menyediakan informasi atau pelatihan kepada satu partai politik sehingga mereka biasanya memiliki sebuah ikatan yang kuat. Sedangkan partai politik juga mempunyai hubungan yang erat dengan satu atau beberapa kelompok civil society, hal ini dilihat berdasarkan adanya dukungan yang serius dari satu kelompok ciivl society kepada satu partai politik.18

17 Ibid., 18 Ibid.,

22

Jika dilihat dari arah pengaruh relasi antara kedua instansi tersebut, tergantung dari konteks bagaimana kepentingan itu berhasil dikelola. Seperti partai politik yang sebenarnya mempunyai kelompok-kelompok civil society yang mempunyai pengaruh besar sehingga partai politik juga mempunyai kekuasaan yang besar. Begitupun juga civil society yang mempunyai tingkat independensi yang tinggi dibanding dengan partai politik yang mudah dipengaruhi oleh situasi pada lingkungan sosial politik di negara tersebut.19

D. Kekuatan Politik

Istilah kekuatan politik terdiri dari dua kata, kekuatan dan politik. Kekuatan merupakan kemampuan suatu kelompok sosial budaya yang terlibat secara aktif dalam dunia politik dan memiliki sumber power atau akses untuk memainkan peran dalam kehidupan politik. Politik adalah suatu hal yang berurusan dengan kepentingan orang banyak serta berhubungan dengan proses pembuatan perumusan keputusan politik.20

Secara garis besar, kekuatan politik dapat diartikan dalam pengertian individual maupun pengertian kelembagaan. Dalam pengertian individual, kekuatan- kekuatan politik merupakan aktor-aktor politik yang mempunyai peran dalam kehidupan politik, aktor-aktor tersebut hendak mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik. Sedangkan dalam kelembagaan, kekuatan politik merupakan

19 Ibid., 20 Haniah Hanafie dan Ana Sabhana Azmy, Kekuatan-Kekuatan Politik, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2018), h. 12

23 lembaga atau organisasi yang bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam sistem politik.21

Kekuatan politik merupakan suatu kelompok sosial budaya yang memengaruhi proses pembuatan dan perumusan keputusan politik dengan sumber kekuasaan yang dimilikinya. Biasanya, kelompok yang memiliki sumber-sumber kekuasaan yang tepat akan disebut sebagai kelompok yang memiliki kekuatan politik.

Tetapi dengan adanya kekuatan politik tersebut, menjadi tidak adil dengan adanya ketidak berpihakan kepada masyarakat umum, sebab hanya sebagai kelompok masyarakatlah yang memiliki sumber-sumber kekuasaan.22

Tabel II.C.1 Kelompok dan Sumber Kekuasaan23

NO. KELOMPOK SOSIAL BUDAYA SUMBER KEKUASAAN 1 Militer Senjata, Sistem Komando, Disiplin, dll 2 Pengusaha Modal 3 Mahasiswa Kekuatan Moral, Idealisme 4 Pers Informasi

5 Partai Politik Massa 6 Buruh Massa 7 Intelektual/Cendekiawan Ilmu/Kepandaian 8 Agama Kepercayaan 9 LSM Link, Dana, Informasi 10 Birokrasi Data

Tabel II.C.1 menunjukkan bahwa sumber kekuasaan sangat variatif. Penulis dalam pembahasan ini menempatkan kelompok agama dan partai politik. Karena NU

21 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 52 22 Haniah Hanafie dan Ana Sabhana Azmy, Kekuatan-Kekuatan Politik, h. 13 23 Ibid., h. 12

24 merupakan organisasi Islam yang didirikan oleh para ulama dan sempat menjadi partai politik serta membidani lahirnya partai politik.

Dalam konteks NU, kekuatan politik individu merupakan aktor-aktor NU yang terlibat di dalam partai politik. Aktor-aktor tersebut yaitu, Djan Faridz dari PPP sebgai Menteri Perumahan Rakyat periode 2011-2014, Lukman Hakim Saifuddin dari

PPP sebagai Menteri Agama periode 2014-2019, Idrus Marham dari Golkar sebagai

Menteri Sosial periode 2018, dan Hamza Haz sebagai Wakil Presiden Indonesia ke-9 periode 2001-2004, sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan

Pengentasan Kemiskinan Republik Indonesia periode 1999.

Dalam kekuatan politik institusi atau kelembagaan merupakan keterlibatan aktor-aktor NU di dalam kabinet pemerintahan. Keterlibatan aktor-aktor NU terbentuk sejak lama yaitu pada Orde Lama sampai Reformasi. Pada Orde lama terdapat 10 (sepuluh) kabinet yaitu, Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Ali

Sastroamidjojo Pertama, Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet

Kedua, Kabinet Karya, Kabinet Kerja, Kabinet Dwikora, Kabinet Dwikora Hasil

Reshuffle, dan Kabinet Ampera. Selanjutnya pada Reformasi terdapat 4 (empat) kabinet yaitu, Kabinet Persatuan Nasional, Kabinet Kabinet Gotong Royong, Kabinet

Indonesia Bersatu I, Kabinet Indonesia Bersatu II, dan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut, aktor-aktor NU mempunyai jabatan sebagai menteri yang mempunyai pengaruh untuk pengambilan keputusan, seperti pada pengertian kekuatan politik

25 yang telah dijelaskan. Dan kabinet-kabinet yang telah disebutkan akan dijelaskan secara rinci pada Bab IV.

Dalam konteks NU juga terdapat dua istilah yaitu NU struktural dan NU kultural. NU struktural diartikan sebagai orang-orang NU yang masuk dalam kepengurusan organisasi NU di syuriah dan tanfidziyah, baik ditingkat pusat, wilayah, cabang, hingga tingkat ranting. Selain itu, orang-orang NU tersebut ditarik oleh pemerintah untuk menjadi bagian dari pemerintahan. Lalu, NU kultural merupakan orang-orang yang tidak menduduki jabatan penting di kepengurusan NU, orang-orang tersebut di kenal sebagai keturunan dari pendiri NU. Dapat di katakan bahwa orang-orang di kelompok kultural ini adalah NU sejak lahir. 24

24 NU Online, “NU Struktural Untuk Lengkapi NU Kultural”, www.nu.or.id, pada 7 Maret 2007

26

BAB III

GAMBARAN UMUM NAHDLATUL ULAMA DAN POLITIK

Pada bab ini penulis membahas mengenai sejarah berdirinya NU sebagai civil society dan transformasi NU menjadi partai politik. Pembahasan lebih mendalam terkait awal NU dari organisasi masyarakat/keagamaan menjadi partai politik, NU kembali ke Khittah 1926, NU mendirikan partai politik yaitu PKB yang akhirnya menjadi kekuatan politik. Melalui pembahasan ini, penulis juga membahas sedikit mengenai pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah yang merupakan barometer NU dalam mempraktekan keagamaan warga Nahdliyin.

A. NU dan Civil Society

A.1. NU sebagai Organisasi Keagamaan

NU merupakan organisasi keagamaan Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal

Jama’ah. Organisasi ini didirikan di pada 31 Januari 1926 oleh sekelompok ulama pesantren terkemuka. Tujuan didirikannya NU adalah untuk memperjuangkan kepentingan Islam tradisional dan menjadi wadah bagi usaha mempersatukan langkah para ulama pesantren. Organisasi ini tidak hanya fokus pada soal keagamaan namun juga pada masalah-masalah sosial, ekonomi, serta persoalan kemasyarakatan pada umunya.

Sebelum NU lahir sebagai jam’iyyah (organisasi), NU berwujud sebagai jama‟ah atau komunitas yang aktivitas sosial keagamaannya sangat kuat. Awal

27 mulanya NU terbentuk dimulai dengan diadakannya pertemuan Komite Hijaz1 pada

31 Januari 1926/16 Rajab 1344 H yang dihadiri oleh para ulama, di antaranya adalah:

K.H. Hasyim Asy‟ari dari Tebuireng, Jombang, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H.

Bisri Syansuri dari Jombang, K.H. Raden Asnawi dari Kudus, K.H. Ma‟shum, K.H.

Nawawi dari Pasundan, K.H. Ridhwan, K.H. Abdul Fiqih dan H. Abdul Halim.

Pertemuan tersebut menghasilkan dua keputusan yaitu mengirim delegasi untuk meminta kepada Raja Ibnu Sa‟ud agar memberlakukan kebebasan empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali) dan menentukan nama organisasi resmi.2 Setelah itu, muncul perdebatan untuk menentukan nama yang cocok untuk menegakkan syariat Islam yang berhaluan salah satu dari empat mazhab. Perdebatan tersebut menghasilkan dua usulan. KH. Abdul Hamid dari Sidayu Gresik mengusulkan nama “Nuhudlul Ulama” (kebangkitan ulama) yang artinya para ulama mulai bersiap-siap akan bangkit melalui wadah formal tersebut. Usulan itu disanggah oleh KH. Mas Alwi bin Abdul Azis. Menurut Mas Alwi, kebangkitan ulama sudah berlangsung sejak lama sebelum terbentuknya Komite Hijaz, walaupun kebangkitan atau pergerakan para ulama belum terorganisasi dengan rapi.3

Mas Alwi lantas mengajukan usulan lain agar jam‟iyyah itu diberi nama

Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama) yang mempunyai arti lebih kepada “gerakan

1 Komite Hijaz adalah panitia khusus yang dibentuk oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah untuk merumuskan sikap para ulama pemegang mazhab Ahlussunnah wal Jama;ah untuk disampaikan kepada penguasa Hijaz, yairu Raja Ibnu Sa‟ud. 2 Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama, (Jakarta: UI- Press, 2007), h. 88 3 Choirul Anam, Pertumbuhan & Perkembangan NU, (Surabaya: Bisma Satu Surabaya, 1999), h. 4

28 serentak para ulama dalam suatu pengarahan atau gerakan bersama-sama yang terorganisiasi”. Akhirnya usulan yang diterima adalah usulan dari Mas Alwi dan perdebatan berakhir dengan hasil lahirnya jam‟iyyah Nahdlatul Ulama pada 31

Januari 1926 M di Surabaya dan ditetapkan sebagai hari lahir NU yang dipimpin oleh

K.H Hasyim Asy‟ari sebagai Rais Akbar.4

Organisasi ini berkembang sangat pesat. Pada Muktamar pertama NU tahun

1926 dihadiri oleh 96 kyai, Muktamar kedua tahun 1927 dihadiri 146 kyai dan 242 anggota, Muktamar 1928 dihadiri 260 kyai dan 35 cabang yang telah dibentuk, lalu di tahun berikutnya NU telah mempunyai 63 cabang dan pada Muktamar tahun keempat

NU mampu menghadirkan 1.450 anggota dan peninjau. Pada 1933, anggota NU telah mencapai 40.000 dan 400 kyai telah bergabung dengan NU, pada 1938 NU memiliki kurang lebih 99 cabang dan 100.000 anggota dan sampai saat ini NU diperkirakan telah mencapai kurang lebih 90 juta anggota.5

Pertumbuhan cepat di tubuh NU ditentukan oleh kyai di dalamnya. Setiap kyai yang masuk ke NU, mampu membawa ratusan pengikut, yang terdiri dari para santri, mantan santri, dan masyarakat muslim setempat.

A.2. NU Kembali ke Khittah 1926

Perjalanan NU dalam perpolitikan di Indonesia tidak selamanya berjalan dengan baik, terdapat pula beberapa pengalaman buruk yang menjadikan NU harus kembali kepada Khittah. Bermunculan bermacam masalah internal NU karena arah

4 Ibid., h. 4 5 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 39

29 kebijakan yang terlalu memfokuskan pada politik praktis, sehingga masalah tersebut berimbas pada keretakan hubungan antara NU dan pemerintah Orde Baru serta menjadi cikal bakal kembalinya NU kepada Khittah 1926 yang dilaksanakan pada

Muktamar ke-27 tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur.

Khittah NU 1926 merupakan garis perjuangan NU atau ciri khas NU sebagai organisasi keagamaan yang dipimpin oleh ulama. NU dibantu para ulama-ulamanya berusaha menghimpun umat Islam untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mempunyai tujuan agar terciptanya kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, harkat dan martabat manusia. Perumusan Khittah NU 1926 oleh Munas 1983:

1. Khittah NU 1926 merupakan landasan berpikir, bersikap, dan bertingkah laku

warga NU dalam semua tindak dan kegiatan organisasi serta dalam

pengambilan keputusan.

2. Landasan tersebut dapat diambil dengan mengambil inti dari cita-cita dasar

didirikannya NU yakni sebagai wadah yang dilandasi niat beribadah kepada

Allah SWT.6

Terdapat empat hal yang menjadi pertimbangan dalam keputusan Munas NU

1983, Pertama, NU sebagai organisasi keagamaan banyak mengalami hambatan karena kurangnya usaha yang sesuai dengan kebutuhan massa. Kedua, NU menjadi kurang perhatian dengan tugasnya sebagai organisasi keagamaan karena terlalu fokus dengan kegiatan politik praktisnya. Ketiga, sudah menjadi tugas NU untuk senantiasa terikat dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, ulama

6 Einar Martahan Sitompul, NU & Pancasila, (Yogyakarta: LkiS, 2010), h. 197

30 atau tokoh NU menyadari bahwa NU harus lebih perhatian atas perkembangan organisasi dengan menegaskan pedoman-pedoman NU yang sudah ada.7

NU kembali menjadi organisasi keagamaan merupakan hal yang tepat. Tujuan

NU adalah untuk bertransformasi secara lebih sempurna. Tetapi dengan kembalinya ke Khittah 1926 hanya berakhir politik NU secara struktral saja, karena warga

Nahdliyin atau kyai-kyai yang sudah masuk ke dalam fraksi tetap berpolitik untuk kepentingan masing-masing.8

Kembalinya NU ke garis perjuangannya tidak berarti bahwa hubungannya dengan dunia politik langsung terputus, godaan-godaan politik tetap datang menggoyahkan NU, godaan tersebut datang dari dua arah yaitu, Pertama, godaan dari partai-partai politik yang mempunyai kepentingan tersendiri terhadap NU untuk mendukung kepentingan partai politiknya. Kedua, godaan dari tokoh-tokoh NU yang masuk dalam berbagai partai politik dengan tujuan mendorong masuk NU untuk mendukung kepentingan politik mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemana NU pergi pasti selalu bersinggungan dengan politik, hal itu dikarenakan banyak tokoh NU yang aktif terjun dalam berbagai partai politik. Dengan adanya Munas 1983 di

Situbondo, para ulama NU menyusun pokok-pokok pikiran Khittah 1926 sebagai jalan tengah untuk memperkuat kembali hubungan NU dengan politik:9

“Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi bagi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota NU. Tetapi, NU bukan wadah bagi kegiatan

7 Ibid., h. 196 8 Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik, h. 140 9 Faisal Ismail, Dilema NU: Di Tengah Badai Pragmatisme Politik, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), h. 54-55

31

politik praktis. Hak berpolitik dilakukan berdasarkan perundang-undangan yang sudah ada dan dilaksanakan dengan sesuai ajaran Islam sehingga dapat tercipta kebudayaan politik yang sehat. NU sangat menghargai warga negara yang menggunakan hak politiknya secara baik dan bertanggung jawab”.

Maksud dari pokok pikiran di atas ialah bahwa hak berpolitik yang sudah ada di dalam setiap individu warga NU tidak harus dihentikan, melainkan akan dibuka selebar-lebarnya dengan syarat dilakukannya secara etis dan sopan. Hal ini berarti

NU secara organisastoris tetap konsiten menjadi organisasi keagamaan bukan lagi menjadi partai politik atau masuk dalam wilayah politik.

Imdadun Rahmat, Wakil Sekjen PBNU menjelaskan bahwa: “Di dalam Khittah sudah diatur bahwa NU bukan Partai Politik dan NU kembali ke pendidikan dakwah dan sosial ekonomi, maka tidak boleh secara resmi main politik. Oleh karenanya ada aturan untuk jabatan-jabatan tertentu yang tidak boleh rangkap jabatan harus pilih salah satu PKB atau NU. Dan secara formal memang terjaga hubungan yang saling terikat antara PKB dan NU tetapi prakteknya secara individu orang-orang NU paling banyak memang terlibat di PKB meskipun juga masih banyak di partai-partai lain seperti Golkar, PDIP, PPP, dan lain-lain. Namun memang yang paling banyak terlibat di PKB.”10

Terkait dengan kembalinya NU ke Khittah 1926, Muhaimin Iskandar memberi penjelasan yaitu, Khittah dapat dilihat dari dua sisi normatif dan praktis. Sisi normatif, NU itu netral yang tidak terikat oleh organisasi politik. Sedangkan sisi praktis, NU bekerjasama dengan PKB dalam bagian pemerintahan. Contohnya seperti dalam pesantren, NU dapat mengusulkan permintaan bantuan kepada pemerintah

10 Wawancara dengan Imdadun Rahmat, Wakil Sekjen PBNU pada Selasa, 12 Maret 2019, pukul 19:00 WIB

32 melalui PKB, jadi NU mempunyai fokus sendiri pada bidang dakwah, pendidikan, dan ekonomi, namun pada persoalan politik tetap dikendlaikan oleh PKB.11

KH. Said Aqil juga memberi tanggapan mengenai Khittah 1926, beliau berkata bahwa “setiap ajakan kepada warga Nahdliyin untuk masuk ke dalam PKB bukanlah hal yang melanggar Khittah NU. Dan PBNU sangat mendukung keberadaan

PKB.”12

Melalui Muktamar ke-27 di Situbondo, NU tidak hanya memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926 tetapi terdapat satu keputusan lagi yaitu menjadikan

Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi telah diwajibkan oleh Pemerintah untuk semua organisasi sosial dan politik.

Penetapan pancasila sangat dipikirkan oleh NU secara mendalam, NU merupakan organisasi masyarakat keagamaan yang pertama telah menuntaskan penerimaannya atas Pancasila. Selain NU, Muhammadiyah juga merupakan organisasi yang menerima Pancasila setelah terbit Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1985 tentang organisasi kemasyarakat.13

11 Irza A. Syaddad, “PKB, NU dan Khittah yang Ambigu”, www.indoprogress.com, pada 28 Maret 2014 12 Irza A. Syaddad, “PKB, NU dan Khittah yang Ambigu”, www.indoprogress.com, pada 28 Maret 2014 13 Einar Martahan Sitompul, NU & Pancasila, h. 174

33

B. NU dan Partai Politik

B.1. NU Menjadi Partai Politik: Partai NU

Dalam perjalanan sejarah NU, organisasi keagamaan ini ternyata ikut dalam berbagai kegiatan politik di Indonesia bahkan dapat dikatakan bahwa hubungan NU dengan politik telah berjalan lama. Pada akhir tahun 1930-an, NU bersama organisasi

Islam lainnya menentang berbagai aturan dari pemerintah kolonial Belanda yang mempunyai tujuan untuk memusuhi Islam. Selain itu, NU juga terlibat dalam pembentukan GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan terus menerus ikut menyerukan pembentukan Parlemen Indonesia pada 1939.14

Masuknya NU dalam kancah politik secara setahap demi setahap menghasilkan keinginan untuk mengenal politik lebih dalam pada masyarakat. Pada 3

November 1945 pemerintah Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 dan sekaligus mengumumkan memberi kesempatan kepada rakyat untuk membentuk partai politik agar mendapat arahan ke jalan yang teratur.

Keputusan tersebut ditandatangani oleh Muhammad Hatta sebagai Maklumat No. X yang berisikan anjuran berdirinya partai-partai politik di Indonesia. Melalui

Muktamar Islam pada 7-8 November 1945 di Yogyakarta, memutuskan untuk

Masyumi menjadi partai politik yang menjadi satu-satunya partai politik Islam.

Masyumi resmi berdiri pada 7 November 1945 dan diketuai oleh Sukiman. Pada saat

14 Faisal Ismail, Dilema NU: Di Tengah Badai Pragmatisme Politik, h. 52

34 itu juga NU menjadi anggota istimewa dengan K.H. Hasyim Asy‟ari sebagai ketua

Majelis Syuro, Wahid Hasyim sebagai salah satu wakil ketua Majelis Syuro.15

Bergabungnya NU ke dalam tubuh Masyumi menjadi awal mulai NU terlibat aktif dalam politik. Namun dalam perjalanannya, dukungan NU kepada masyumi pelan-pelan hilang dikarenakan beberapa persoalan. Saat itu NU masih mencoba bertahan untuk beberapa waktu namun kenyataan berkata lain, banyak konflik yang terjadi sampai menimbulkan efek yang tidak menguntungkan satu sama lain, berawal dari perbedaan pandangan sampai perselisihan politik yang membuat NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan mendirikan Partai NU. Tepat dalam kongres ke-19 pada 1 Mei 1952 di Palembang NU resmi keluar dari Masyumi.16

Setelah resmi menjadi partai, NU mulai mempersiapkan diri untuk mengikuti pemilu pertama tahun 1955. NU dipertemukan kembali dengan Masyumi sebagai salah satu lawannya. Saat itu NU cukup berani dengan persiapan yang hanya tiga tahun setelah Partai NU didirikan, namun karena kerja keras para pemimpin NU yang cukup efektif mampu menunjukkan keberhasilannya dengan menempatkan Partai NU di peringkat ketiga.17 Hal ini membuat NU dapat membuktikkan bahwa terlepasnya dari Masyumi NU mampu berhasil meraih jumlah kursi Parlemen yang banyak, dibanding saat masih bergabung dengan Masyumi, walaupun dalam pemilu Partai

NU masih ada di bawah Masyumi.

15 Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama, h. 102-103 16 Ibid., h. 108 17 Anam, Pertumbuhan & Perkembangan NU, h. 251

35

Sebuah gencatan/tuntutan terhadap NU untuk terlibat ke dalam dunia politik mendapat hasil yang bagus. Pada pemilu 1955 yang merupakan pemilu pertama di

Indonesia menjadi bukti bahwa NU mampu menciptakan kekuatan politiknya dengan menjadi peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Dapat dilihat pada Tabel III.B.1

Tabel III.B.1 Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 195518

Suara DPR RI dan No. Nama Partai Jumlah Kursi DPR RI Presentase (%) 1 PNI 8.434.653 (22,32%) 57 2 Masyumi 7.903.886 (20,92%) 57 3 Partai NU 6.955.141 (18,41%) 45 4 PKI 6.179.914 (16,36%) 39 5 PSII 1.091.160 (2,89%) 8 6 Parkindo 1.003.326 (2,66%) 8 7 Partai Katolik 770.740 (2,04%) 6 8 PSI 753.191 (1,99%) 5 Sumber: www.kpud-balangankab.go.id Suara yang didapatkan NU pada pemilu 1955 tidak terlalu jauh dengan suara yang di dapatkan oleh Masyumi (berbeda 2,5%), padahal waktu yang dimiliki NU tidaklah banyak yaitu kurang lebih tiga tahun setelah keluar dari Masyumi. Hal itu disebabkan karena adanya perubahan strategi dalam kampanye NU, dan juga seperti kutipan Herbert Feith dalam buku Einar Martahan yang menyatakan:

“Mulanya NU mengambil tema sentimen agama yang mirip dengan tema kampanye Masyumi. Sampai akhirnya tema kampanye yang dimiliki kedua partai ini mempunyai nada yang sama seperti “siapa yang memilih mereka (NU dan Masyumi) kelak akan masuk surga sedangkan siapa yang tidak memilih mereka akan masuk neraka.”19

18 KPU Kabupaten Balangan, “Perolehan Suara dan Kursi Pada Pemilu”, www.kpud- balangankab.go.id, pada 17 November 2016 19 Einar Martahan Sitompul, NU & Pancasila, h. 118

36

Dorongan kepada NU untuk meneruskan kekuatan yang dimiliknya tidak berhenti pada pemilu 1955. NU semakin mengeluarkan semangat politiknya dengan mengikuti pemilu 1971, NU muncul sebagai lima besar yaitu peringkat kedua setelah

Golkar dan mengalahkan PNI yang saat pemilu 1955 menjadi pemenang pertama.

Dapat dilihat pada Tabel III.B.2 di bawah ini:

Tabel III.B.2 Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 197120 Suara dan Presentase No. Nama Partai (%) Jumlah Kursi 1 Golkar 34.348.673 (62,82%) 236 2 Partai NU 10.213.650 (18,68%) 58 3 Parmusi 2.930.746 (5,36%) 24 4 PNI 3.793.266 (6,93%) 20 5 PSII 1.308.237 (2,39%) 10 6 Parkindo 733.359 (1,34%) 7 7 Partai Katolik 603.740 (1,10%) 3 8 Perti 381.309 (0,69%) 2 9 IPKI 338.403 (0,61%) 10 Murba 48.126 (0,08%) Sumber: www.kpu.go.id Dalam perkembangan selanjutnya, Soeharto menganggap sistem kepartaian yang saat itu sedang berjalan dengan sembilan partai politik dan satu Golkar dianggap kurang efektif. Tahun 1970-an Soeharto mengusulkan untuk dilakukannya penyederhanaan partai. Penyederhanaan partai dibagi dalam dua kelompok yaitu material-spiritual yang terdiri dari PNI (Partai Nasional Indonesia), Murba

(Musyawarah Rakyat Banyak), IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia),

Partai Katolik dan Parkindo (Partai Kristen Indonesia), dan kelompok spiritual-

20 KPU Kabupaten Balangab, “Perolehan Suara Pemilu 1971”, www.kpud-balangankab.go.id, pada 15 Mei 2017

37 material yang terdiri dari Partai NU, Parmusi, dan PSII. Kesembilan partai ini resmi difusikan menjadi dua partai pada 5 Januari 1973, kelompok spiritual-material yaitu

NU, Parmusi, PSII dan Perti bergabung dalam PPP. Kemudian hasil ini dinyatakan dalam UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, yang menetapkan berlakunya hasil penyederhanaan sembilan partai politik menjadi hanya dua partai politik yaitu, PPP, PDI, dan satu Golkar.21

NU mendapatkan posisi yang dapat dikatakan istimewa di PPP, Rais „Aam22

PPP ialah K.H. Bisri Syansuri yang pada saat itu juga merupakan Rais „Aam NU. Di dalam kepengurusan PPP sebagian besar jabatan penting dipegang oleh orang-orang

NU. Keistimewaan yang didapat oleh NU merupakan hasil usaha-usaha sebelumnya, seperti pada Pemilu sebelumnya NU mampu membuktikan bahwa ia berhasil dalam memperoleh jumlah kursi di DPR dan pada saat itu juga merupakan masa kejayaan bagi Partai NU.

Memasuki pemilu 1977 NU dan PPP makin terlihat kompak, empat partai politik yang ada dalam PPP mampu mendapatkan 99 kursi di DPR, walaupun NU mengalami pengurangan jatah kursi di DPR dari 58 kursi menjadi menjadi 56 kursi.

Namun hal itu tidak menjadi masalah yang besar bagi NU, karena dalam Munas

(Musyawarah Nasional) yang diberi nama “Konsensus 1975” sudah disepakati jatah pembagian kursi DPR menjelang pemilu 1977.23

21 Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik, h. 128 22 Rais „Aam merupakan ketua umum yang paling tinggi dalam tradisi NU 23 Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik, h. 131

38

Menjelang pemilu 1982, terdapat konflik internal di PPP antara NU dan MI

(Muslimin Indonesia) terutama pada permasalahan perebutan jatah kursi di Parlemen.

MI (Muslimin Indonesia) mengajukan perimbangan suara menjadi NU 49, MI

(Muslimin Indonesia) 30, SI (Syarikat Islam) 15, dan Perti (Persatuan Tarbiyah

Islamiyah) 5. NU jelas merasa keberatan dengan pembagian tersebut karena bagi NU

49 suara yang dihasilkan tidak akan memperoleh 50% dari seluruh suara. Konflik tersebut terus berkepanjangan, NU mulai kembali memasuki masa-masa sulit, konflik antarunsur di dalam PPP kian menjadi dan berkepangjangan. Akhirnya NU mulai mempertimbangkan kedudukannya di dalam PPP, Pengurus Besar Syuriah NU dalam rapat pada 29 Januari 1982 mengemukakan bahwa: “NU akan mempertimbangkan kedudukannya dalam lingkungan PPP pada saat yang tepat apabila asas musyawarah, solidaritas intern dan prinsip-prinsip organisasi lainnya ditegaskan di dalamnya”.24

NU saat itu masih mengikuti pemilu 1982, dengan hasil perolehan suara yang sedikit berkurang yaitu dari 99 kursi pada Pemilu 1977 menjadi 94 kursi di DPR.

Setelah pemilu 1982 permasalahan yang dialami NU tetap ada, ditemukannya penyebab kemerosotan NU dalam politik, K.H. Idham Chalid selaku Ketua Umum

PBNU sekaligus Ketua Umum PPP diduga lebih memperhatikan urusan PPP daripada

NU. Selain itu, adanya konflik di antara aktor-aktor NU yang disebabkan terpecahnya

2 kubu dalam NU karena keputusan para ulama senior untuk membuat konsep

24 Ibid., h. 135-136

39 pengunduran diri K.H. Idham Chalid. Cukup lama konflik yang terjadi namun akhirnya dapat terselesaikan walaupun tidak semuanya.25

B.3. NU Mendirikan Partai Politik: PKB

Pada Muktamar ke-28, NU menetapkan sembilan pedoman berpolitik warga

NU yaitu: 26 Pertama, berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan

Pancasila dan UUD 1945. Kedua, Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama. Ketiga, politik bagi NU adalah pengembang nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

Keempat, berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan berkeadilan. Kelima, berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama. Keenam, berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-

25 Ibid., h. 137 26 Ibid., h. 144-145

40 konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengalaman ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.

Ketujuh, berpolitik bagi NU dengan alasan apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.

Kedelapan, perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan dan saling menghargai satu sama lain sehingga tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU. Kesembilan, berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Seiring berjalannya waktu, mulai muncul desakan-desakan yang diberikan warga NU untuk membentuk partai politik agar menjadi wadah politik warga NU.

Tepatnya pada 1986 ketika semua masyarakat tengah merasakan tekanan politik kekuasaan Orde Baru, Mahbub Djunaidi Wakil Ketua PBNU saat itu memberikan usul tentang Khittah plus. Khittah plus menurut Mahbub ialah NU selain menjadi organisasi kemasyarakatan yang bergerak di berbagai bidang yaitu dakwah, sosial, pendidikan dan ekonomi, juga mempunyai sayap politik. Kondis tersebut dapat berberntuk dalam ketelibatan NU langsung dalam partai politik atau mendirikan partai politik sendiri. Usul dari Mahbub berangkat dari pikiran bahwa sangat

41 disayangkan jika NU yang mempunyai banyak massa tidak mempunyai selera pada politik.27

Menghadapi usulan-usulan yang ada, diadakannya Rapat Harian Syuriah dan

Tanfidziyah pada 3 Juni 1998. Rapat tersebut bertujuan untuk membentuk Tim Lima yang diketuai oleh KH Ma‟ruf Amin dengan anggota-anggotanya yaitu KH Dawam anwar, Dr. KH Said Agil Siradj, HM Rozy Munir, dan H. Ahmad Bagdja yang mempunyai tugas untuk melaksanakan aspirasi warga NU. Selain itu, dibentuk juga

Tim Asistensi yang bertugas membantu Tim Lima yang diketuai oleh HZ Fachri

Thaha Ma‟ruf, H Abdul Aziz, A Muhaimin Iskandar, H. Andi Muarli Sunrawa, HM

Nasihin Hasan, H. Lukman Hakim Saifuddin, dan Amin Said Husni untuk merangkum usulan warga NU perihal mendirikan partai politik yang dapat mewadahi segala aspirasi politik mereka.28

Setelah melewati beberapa proses, pada 22 Juli 1998 Tim Lima dan Tim

Asistensi memberikan hasil akhir kepada Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah.

Hasil akhir tersebut ialah kesiapan mendirikan partai politik baru yang disetujui oleh

PBNU dengan hanya membidani lahirnya partai politik dan selain itu PBNU memberikan hak kepada pihak-pihak yang ingin menyempurnakan setelah partai politik lahir.29

27 A Effendy Choirie, Islam-Nasionalisme UMNO-PKB: Studi Komparasi dan Diplomasi, (Jakarta: Grafika Indah, 2008), h. 110 28 Ibid., h. 112 29 Ibid., h. 113

42

Akhirnya, PKB dibentuk pada hari Kamis 23 Juli 1998 di Ciganjur, Jakarta

Selatan. Kelahiran PKB disambut dengan antusias oleh berbagai pihak terutama warga NU. PKB dibentuk tidak hanya untuk memenuhi kepentingan dan aspirasi warga NU, tetapi lebih dari itu PKB juga akan memenuhi kepentingan warga bangsa

Indonesia. Terdapat tiga tujuan dibentuknya PKB yaitu, Pertama, mewujudkan cita- cita kemerdekaan Republik Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945. Kedua, mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara lahir dan batin, material dan spiritual. Ketiga, mewujudkan tatanan politik nasional yang demokratis, terbuka, bersih dan berakhlakul karimah.30

PKB merupakan partai politik yang berideologi nasionalis religius yang didirikan oleh para kyai dari NU atas usulan dari para warga Nahdliyin. Dengan dukungan warga Nahdliyin PKB mempunyai keeksistensian politik yang cukup signifikan dan tidak berubah. Namun, meskipun PKB dilahirkan oleh kalangan NU tetapi PKB tidak menempatkan agama di dalam ideologinya. PKB merupakan partai terbuka atau dapat dikatakan dalam agama, suku, ras dan golongan yang di wujudkan dalam satu visi misi, perjuangan dan kepemimpinan.31 Seperti yang dikatakan oleh H.

Muhammad Najihun:

“Sebagai partai yang didirikan resmi oleh NU, tentu PKB mempunyai kedekatan baik secara historis, emosional bahkan kedekatan kultural. Begitupun PBNU yang sudah paham bahwa sebuah partai politik harus punya peran signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini bisa

30 Ibid., h. 117 31 Ummy Kulsusm, Hendro Sumartono, dan Sunarlan, “Dinamika Politik PKB (Studi tentang Konflik Internal 1999-2004), “Artikel Hasil Penelitian Mahasiswa Universitas Jember”, Vol. I (1-10), Agustus 2013, h. 2

43

terjadi manakala partai tersebut menjadi pemenang dengan raihan suara yang signifikan, hal tersebut juga hanya bisa terjadi kalau partai tersebut bersifat terbuka.”32 Sebagai wadah aspirasi politik warga Nahdliyin, PKB mempunyai cita-cita dari landasan politik NU, cita-cita itu ialah terwujudnya bangsa Indonesia serta masyarakat yang adil, berdaulat, dan terjamin hak-hak asasinya seperti hak-hak keselamatan dalam bentuk kejahatan, kebebasan, penganiayaan, pemaksaan agama, serta kebebasan harta benda secara sah. Cita-cita tersebut dapat terealisasi oleh PKB melalui keterlibatannya dalam penetapan kebijakan publik, yaitu melalui jalur kekuasaan untuk proses pengambilan keputusan tentang masyarakat yang terpinggirkan, perlindungan kepada kelompok masyarakat minoritas dan penegakan sistem ekonomi, politik, budaya yang berlandaskan kedaulatan rakyat.33

Di tengah kegembiraan lahirnya PKB, PBNU menekankan mengenai Khittah

NU yaitu NU sebagai organisasi keagamaan tetap tidak berpolitik tetapi memperbolehkan warga NU untuk menampung aspirasi politiknya. Namun PBNU melarang adanya rangkap jabatan pengurus untuk menghindari kesalah pahaman.

Selain itu, PBNU juga mempertegas bahwa partai ini dilahirkan oleh sejumlah warga

NU dan setelah dibentuk sama sekali tidak ada hubungannya dengan NU sebagai organisasi keagamaan.34

32 Wawancara dengan H. Muhammad Najihun, Calon Aggota DPR RI No. 1 PKB dapil Jakarta III pada Selasa, 22 Januari 2019, pukul 16:00 WIB 33 Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, 5 Partai dalam Pertimbangan: Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 249 34 A Effendy Choirie, Islam-Nasionalisme UMNO-PKB: Studi Komparasi dan Diplomasi, h. 115

44

PKB dapat dikatakan sebagai seorang anak yang lahir sudah mampu berdiri hingga jalan sendiri. Sesudah PKB dideklarasikan tidak ada kaitannya lagi dengan

NU, namun karena partai ini dibuat oleh warga-warga NU maka yang duduk di PKB adalah kader-kader NU dengan ketentuan partisipasi individual serta keterlibatan individual yang artinya tidak ada keterlibatan formal organisasi.

Sebagai partai yang didirikan resmi oleh NU, tentu PKB punya kedekatan baik secara historis, emosional bahkan kedekatan kultural. Begitupun NU yang paham betul bahwa sebuah Partai Politik harus mempunyai peran signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini bisa terjadi apabila Partai tersebut bersifat insklusif atau terbuka.

Dalam perjalanannya, dalam dua kali pemilu pada 1999 dan 2004 PKB masuk dalam peringkat lima besar dibawa PDIP dan Golkar dan memperoleh suara terbanyak dibanding dengan Partai Islam lainnya. Dapat dilihat pada Tabel III.B.3 dan III.B.4

45

Tabel III.B.3 Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 199935 Suara DPR RI dan No. Nama Partai Jumlah Kursi DPR RI Presentase (%) 1 PDIP 35.689.073 (33,74%) 153 2 Golkar 23.741.749 (22,44%) 120 3 PKB 13.336.982 (12,61%) 51 4 PPP 11.329.905 (10,71%) 58 5 PAN 7.528.956 (7,12%) 34 6 PBB 2.049.708 (1,94%) 13 7 PK 1.436.565 (1,36%) 7 8 PNU 679.179 (0,64%) 5 9 PP 655.052 (0,62%) 1 10 PPII Masyumi 456.718 (0,43%) 1 Sumber: www.kpu.go.id Tabel III.B.4 Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 200436

No. Nama Partai Suara DPR RI dan Jumlah Kursi DPR RI Presentase (%)

1 Golkar 24.480.757 (21,58%) 128 2 PDIP 21.026.629 (18,53%) 109 3 PKB 11.989.564 (10,57%) 52 4 PPP 9.248.764 (8,15%) 58 5 Demokrat 8.455.225 (7,45%) 57 6 PKS 8.325.020 (7,34%) 45 7 PAN 7.303.344 (6,44%) 52 8 PBB 2.970.487 (2,62%) 11 9 PBR 2.764.998 (2,44%) 13 10 PDS 2.414.254 (2,13%) 12 Sumber: www.kpu.go.id

35 Komisi Pemilihan Umum, “Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 1999”, www.kpu.go.id, pada 11 November 2017 36 Info Partai, “Pengumuman Hasil Rekapitulasi Perhitungan Suara Pemilu KPU”, www.kpu.go.id, pada 5 Mei 2003

46

Banyak pertimbangan mengenai keterlibatan para kyai NU di dalam politik ini, keterlibatan tersebut tidak semata-mata untuk mencari kekuasaan politik, namun terdapat beberapa alasan tertentu dalam menyikapinya. Keterlibatan kyai sudah terlihat pada masa perlawanannya untuk mengusir para penjajah dan ikut dalam kegiatan yang berhubungan dengan Negara, dan juga posisi kyai sebagai elite agama yang mempunyai banyak jama‟ah serta memiliki pengaruh besar di tengah-tengah masyarakat menjadikan mereka (para kyai) ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan bersama, penyelesaian masalah, pengembangan pendidikan dan kemasyarakat.37

Hal ini jelas merupakan bentuk adanya hubungan yang kuat antara NU dengan

PKB sebagai partai politik, tetapi kembali lagi dengan ketentuan bahwa kader-kader

NU yang terlibat di dalam partai politik hanya keterlibatan pasrtisipasi individual bukan keterlibatan formal organisasi.

C. Paham Ahlussunnah wal Jama’ah

Paham keagamaan Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi tolak ukur segala sikap, perilaku, dan karakter perjuangan NU yang berdasarkan norma dan prinsip ajaran agama Islam yang dianut. Prinsip-prinsip ajaran tersebut menjadi pedoman untuk praktek-praktek keagamaan serta kehidupan sosial kemasyarakatan di kalangan

37 Imam Suprayogo, Kiai dan Politik, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 29

47

NU yang pada akhirnya akan membentuk karakteristik dalam perjalanan kehidupan

NU.38

Paham Ahlussunnah wal Jama’ah menurut K.H. Achmad Siddiq adalah sebagai “Ajaran Islam yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para pengikutnya”. Sedangkan dalam pola pendidikan yang dikembangkan dalam pesantren NU adalah “Pengikut ajaran Islam yang berlandaskan kepada: 1) Al-qur‟an

Karim; 2) Sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrir) Nabi Muhammad SAW sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya; 3) Sunnah Khulafaurrasyidin:

Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Ali Thalib”.39

Pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah di atas merupakan ajaran agama yang diterapkan di madrasah-madrasah NU. Dengan ini dapat disimpulkan pengertian

Ahlussunnah wal Jama’ah adalah golongan yang mengikuti sunnah Nabi dan sunnah sahabat Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib.40

Definisi Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan penekanan kaum tradisional untuk menanggapi bahwa memahami Islam tidak cukup hanya berlandaskan al-

Qur‟an dan hadits saja melainkan harus melalui tahapan tertentu, yaitu ulama madzhab, hadits (sunnah), dan sumber utama al-Qur‟an. Maka dari itu, pengertian

38 H. Rozikin Daman, Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), h. 54 39 Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama, h. 78 40 Choirul Anam, Pertumbuhan & Perkembangan NU, h. 146

48 ahlussunnah wal jama’ah bagi NU adalah para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma‟ ulama.41

Paham ini bagi NU merupakan suatu ideologi yang mempunyai eksistensi di dalam keberadaan NU itu sendiri. Paham tersebut dijadikan sebagai pedoman perjalanan kehiduapan NU serta menjadi landasan perjuangan yang dipegang teguh dalam mengembangkan Islam di Indonesia, hal ini bahkan dijadikan akidah dan menjadi tujuan serta usaha organisasi dalam pelaksanaan ajaran Islam di masyarakat.42

Atas pandangan NU secara tegas, paham Ahlussunnah wal Jama’ah dirumuskan sebagai pandangan yang berpegang teguh kepada tradisi pemikiran dan menggunakan pendekatan mazhab, yaitu:43

a. Dalam bidang Hukum Islam, paham ini menganut ajaran-ajaran dari salah

satu Imam Mazhab Empat yang dalam praktek para kyai yaitu penganut

kuat Mazhab Syafi‟i.

b. Dalam soal-soal tauhid, paham ini menganut ajaran-ajaran Imam Abu

Hasan Al-Asy‟aru dan Imam Abu Mansur al Maturidi.

c. Dalam bidang tasawwuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim

al Junaid.

41 Einar Martahan Sitompul, NU & Pancasila, h. 56 42 H. Rozikin Daman, Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah, h. 55 43 Ibid., h. 59-60

49

Pemahaman di atas terus dikembangkan dan dipertahankan dalam kehidupan masyarakat melalui lembaga pendidikan di bawah NU seperti, pesantren, dakwah dan pengajian umum. Selain itu, pemahaman tersebut juga diamalkan warga NU dalam praktek keagamaan sehingga membuat NU dan penganutnya dapat membedakan dirinya dari komunitas-komunitas Islam lainnya.

50

BAB IV

NU SEBAGAI KEKUATAN POLITIK

Pada bab ini penulis menganalisis terkait civil society dan partai politik NU sebagai kekuatan politik. Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab II kekuatan politik

NU adalah melalui keterlibatan aktor-aktor NU di dalam pemerintahan yaitu pada

Kabinet Orde Lama, Kabinet Reformasi, dan keterlibatan aktor NU di partai politik.

Pada bab ini akan dijelaskan secara mendalam bagaimana kemudian elite-elite NU terlibat dalam pemerintahan yang akhirnya menjadi sebuah kekuatan politik.

A. Keterlibatan Aktor NU dalam Politik Praktis

Keterlibatan NU dalam partai politik sebenarnya sudah ada sejak lama, seperti yang sudah dijelaskan dalam Bab III bahwa NU mulai bergabung dengan Masyumi, dan sempat menjadi bagian dari fungsi partai yaitu PPP. Pada bab ini, penulis juga akan menjelaskan keterlibatan NU di dalam perpolitikan terkini.

Keberadaan beberapa aktor NU seringkali menjadi incaran partai-partai yang memiliki kepentingan meraih suara di dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah),

Pilgub (Pemilihan Gubernur), Pilpres (Pemilihan Presiden), Pileg (Pemilihan

Legislatif).1 Sehingga sulit bagi NU untuk lepas dari panggung politik. Keberadaan aktor-aktor NU di panggung politik dapat menimbulkan persepsi bahwa NU masih terlibat dalam dunia politik. Pada kenyataannya tidak mudah bagi aktor-aktor NU untuk lepas dari dunia politik seperti Pilkada dan Pilgub.

1 “NU, Politik, dan Kemaslahatan Bangsa”, www.nu.or.id, 28 Januari 2018

51

Tanpa disadari NU sendiri merupakan aset bangsa, peran NU dipandang memiliki peranan penting dalam memberdayakan kehidupan umat dan memperkuat

NKRI. Maka tidak dapat dipungkiri jika aktor-aktor NU memiliki peranan penting dalam pesta demokrasi seperti Pilkada dan Pilgub.2

Keterlibatan NU pada perpolitikan sekarang ini menimbulkan berbagai kekhawatiran bagi warga Nahdliyin, Imdadun Rahmat mengatakan:

“Di satu sisi ada yang khawatir NU akan terlampau masuk ke dalam dunia politik lalu melupakan tugas utamanya. Namun, saya melihat mereka para kyai-kyai yang ikhlas melakukan konsolidasi dan mendukung pasangan calon 01 yaitu Jokowi dan Ma’ruf Amin. Jadi tidak mungkin bagi saya untuk mengubah watak NU menjadi partai politik atau mengubah para kyai menjadi politisi, hal itu terlampau berlebihan, meskipun tetap saja harus diingat bahwa ini bersifat kesementaraan dan setelah ini akan kembali ke hakikat semula”.3

KH. Fahrurozi menambahkan bahwa: “Pengurus-pengurus NU pun merasa tidak nyaman dengan keadaan seperti ini (terlibat dalam politik). Mereka merasa Pemilu saat ini memerlukan proses yang sangat panjang. panjang sekali sehingga ingin segera selesai dan bebas. Dalam hati kecil mereka ingin kembali menjadi kyai dan tidak memikirkan politik seperti saat ini, jadi menurut saya ini merupakan fenomena muaqqat atau kesementaraan dan hal ini menunjukkan kematangan politik NU. Bagi orang lain ini dianggap sebagai pragmatisme politik, tapi menurut saya ini membuktikan sekali lagi bahwa NU punya kelenturan di dalam menghadapi dinamika politik tanpa harus mengorbankan prinsip- prinsip dasarnya sebagai organisasi keagamaan sehinga dalam situasi tertentu NU bisa melakukan adaptasi.4

2 Wawancara dengan Imdadun Rahmat, Wakil Sekjen PBNU pada Selasa, 12 Maret 2019, pukul 19:00 WIB 3 Ibid., 4 Wawancara dengan KH. Fahrurozi, Ketua PCNU Jakarta Barat pada Senin, 18 Februari 2019, pukul 14:00 WIB

52

B. Aktor NU Sebagai Wakil Institusi dalam Kabinet Pemerintahan B.1 Aktor-Aktor NU Sebagai Wakil Partai dalam Kabinet Orde Lama: Partai NU Pada bab II telah dijelaskan, kekuatan politik sebagai institusi atau kelembagaan adalah suatu organisasi yang mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Keterlibatan aktor-aktor NU di dalam pemerintahan sebagai menteri merupakan sebuah wujud dari kekuatan politik kelembagaan. Aktor-aktor yang menjadi menteri dalam kabinet yaitu, seperti pada masa Orde Lama yang memiliki 10 kabinet di dalamnya terdapat:

Pertama, Kabinet Natsir. Kabinet Natsir merupakan kabinet pertama dengan masa kerja sejak tanggal 6 September sampai 20 Maret 1951, Perdana Menteri

Mohamad Natsir dilantik pada 7 September 1950. Di kabinet Natsir terdapat 17 menteri salah satunya ialah KH. Wahid Hasyim5 sebagai Menteri Agama dari Partai

Masyumi.

KH. Wahid Hasyim pada 1950 mend irikan Perguruan Tinggi Agama Islam

Negeri (PTAIN) dan pada 1957 didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA).

Dalam perjalanannya kurang lebih tiga tahun kemudian kedua perguruan tinggi tersebut dijadikan satu menjadi Institut Agama Negeri (IAIN) yang sekarang menjadi

Universitas Islam Negeri (UIN).6

5 KH. Wahid Hasyim lahir di Tebuireng, Jombang Jawa Timur pada 1 Juni 1914. Sejak kecil ia hidup di dalam lingkungan pesantren, ayahnya adalah Hasyim Asy’ari seorang pahlawan nasional dan tokoh paling terkemuka dari Nahdlatul Ulama. Lihat Irfan teguh, “Mula dan Akhir Perjalanan KH. Wahid Hasyim”, www.tirto.id, pada 19 April 2019 6 Lihat Irfan teguh, “Mula dan Akhir Perjalanan KH. Wahid Hasyim”, www.tirto.id, pada 19 April 2019

53

Keterlibatan KH. Wahid Hasyim di dalam NU adalah pada 1939, ia ikut berperan saat NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia)7. Keaktifan ia di dalam NU dimulai menjadi Sekretaris NU Ranting Cukir, lalu pada 1938 terpilih sebagai Ketua Cabang NU Kabupaten Jombang, pada 1940 menjadi pengurus PBNU bagian ma’arif (pendidikan) serta aktif menulis di artikel Suara NU dan Berita NU.

Kemudian pada 1946 ia merupakan mantan Ketua Tanfidiyyah PBNU.8

Kedua, Kabinet Sukiman. Kabinet ini terbentuk dengan masa kerja dari 27

April 1951 sampai 3 April 1952. Kabinet ini mempunyai 17 menteri yang di dalamnya terdapat satu aktor NU yaitu, KH. Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama.

KH. Wahid Hasyim kembali diangkat menjadi Menteri Agama setelah di Kabinet

Natsir juga menjabat sebagai Menteri Agama.

Ketiga, Kabinet Ali Sastroamidjojo Pertama. Kabinet ini terbentuk dengan masa kerja dari 31 Juli 1953 sampai 12 Agustus 1955. Dalam kabinet ini terdapat 18 menteri yang di dalamnya ada dua aktor NU yaitu: 1) sebagai Wakil

Perdana Manteri Kedua9. Ia lahir di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada 2

September 1909. Ia masuk ke berbagai organisasi seperti Gerakan Pemuda (GP)

Anshor, dan organisasi kepemudaan di bawah NU. Ia dikenal sebagai tokoh politik

7 MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) adalah badan federasi partai dan organisasi masyarakat Islam pada zaman pendudukan Belanda yang berubah nama mendijadi Masyumi. 8 Tokoh Indonesia, “Menteri Agama Tiga Kabinet”, www.tokoh.id, pada 1 Juni 2009 9 Zainul Arifin merupakan anak tunggal dari keturunan Raja Barus, kedua orang tuanya bercerai sejak ia masih kecil. Ia bersekolah di HIS (Hollands Indische School) Jambi dan melanjutkan ke sekolah Menengan calon guru di Normaal School. Lihat, Mirnawati, Kumpulan Pahlawan Indonesia terlengkap, (Jakarta: CIF (Penebar Swadaya Grup), 2012), h. 103

54

NU yang terkemuka dengan kemampuannya dalam berpidato, berdebat, serta berdakwah.

Keterlibatan Zainul Arifin di dalam NU dimulai ketika ia menjadi kader gerakan Pemuda Anshor, ia masuk dalam barisan pemuda NU. Ia juga menjadi Ketua

Konsul NU Jatinegara, kemudian menjadi Ketua Majelis Konsul NU Batavia.10 2)

KH. Masykur sebagai Menteri Agama.11 KH Masykur merupakan tokoh ketiga NU yang menjadi menteri Agama, ia aktif sebagai pengurus NU di daerah tempat tinggalnya yaitu Singosari, Jawa Timur. Ia juga terpilih sebagai Ketua NU cabang

Malang pada 1926, kurang lebih empat tahun ia masuk sebagai anggota PBNU.12

Keempat, Kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet ini terbentuk dengan masa kerja dari 12 Agustus 1955 sampai 24 Maret 1956. Dalam kabinet ini terdapat 23 menteri yang dua di antaranya adalah aktor NU yaitu: 1) KH. Muhammad Ilyas sebagai Menteri Agama.13 Ia pernah menjadi Duta Besar Indonesia di Arab Saudi selama enam tahun sejak tahun 1959. KH. Muhammad Ilyas merupakan tokoh NU dan murid kesayangan KH Hasyim Asyari pendiri NU. Namun, di masa hidupnya ia

10 Munawir Aziz, “KH. Zainul Arifin Pohan: Panglima Santri, Bangsawan dari Barus”, www.nu.or.id, pada 18 Maret 2016 11 KH. Masykur lahir di Desa Pagetan, Sinogasari, Malang, Jawa timur pada 30 Desember 1902. Ketika berusia 9 tahun, ia diajak kedua orang tuanya ke Makkah untuk Haji, sepulang dari Makkah ia belajar di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang lalu belajar juga di Pesantren Jamsaren, Solo, Jawa Tengah. Setelah selesai belajar di Pesantren, pada 1923 ia kembali ke kampung halamannya yaitu Singosari, dan ia mendirikan pesantren serta madrasah yang bernama Mishbahul Wathan. Lihat, Iswara N Raditya, “Sejarah Hidup KH. Masykur, Pejuang NU & Menteri Agama Lima Babak”, www.tirto.id, pada 23 Mei 2019 12 Iswara N Raditya, “Sejarah Hidup KH. Masykur, Pejuang NU & Menteri Agama Lima Babak”, www.tirto.id, pada 23 Mei 2019 13 Muhammad Ilyas lahir di Kraksaan, Probolinggi, Jawa Timur pada 23 Novemer 1911. Ia merupakan mertua dari Muhammad Maftuh Basyuni yang merupakan Menteri Agama dalam Kabinet Indonesia Bersatu pada 2004-2009.

55 tidak pernah memperlihatkan ke NU-an nya, ia menggunakan kemampuannya dalam segala hal terutama pada pengangkatan menjadi Menteri Agama.14 2) Mr. Sunarjo15 sebagai Menteri Dalam Negeri. Ia merupakan salah satu tokoh pendiri Institut Islam

Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga yogyakarta. Ia masuk ke dalam dunia politik melalui bergabungnya dengan Partai NU.

Kelima, Kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua. Kabinet ini terbentuk dengan masa kerja dari 24 Maret 1956 sampai 14 Maret 1957, kabinet ini mempunyai 27 menteri diantaranya terdapat aktor-aktor NU yaitu: 1) KH. Idham Chalid16 sebagai

Wakil Perdana Menteri Kedua. Perjalanan politik Idham Chalid dimulai sejak ia diangkat menjadi anggota DPR sementara dari Partai Masyumi pada 1950, namun pada 1952 ia keluar dari Masyumi bersama NU dan memilih untuk masuk ke NU. Ia pernah menjadi Ketua Umum PBNU pada 1956-1984.17 2) Prof. Mr. Sunarjo sebagai

Menteri Dalam Negeri. Dalam kabinet sebelumnya yaitu Kabinet Burhanudin

Harahap, ia mengemban jabatan yang sama. Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa ia memulai karir politiknya dengan bergabungnya di dalam partai NU. 3) KH.

Muhammad Ilyas sebagai Menteri Agama. Seperti yang sebelumnya sudah

14 www.republika.co.id, “KH. Muhammad Ilyas, Ikhlas Mengabdi dan Berjuang”, pada Senin 17 Agustus 2009 15 Mr. Narjo lahir pada 15 Mei 1908di Sragen, ia merupakan putra dari seorang penghulu Raden Iman Nasiruddin. Mr. Narjo memulai pendidikannya di sekolah umum milik Belanda, lalu pada tingkat SMP bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs di Surakarta, pada tingkat SMA bersekolah di Algemeene Middelbare Schoole jurusan bahasa timur di Suarakarta, dan dilanjutkan ke Sekolah Tinggi Hukum di Rechts Hooge School. Lihat Abdullah Alawi, “Prof. Soenarjo, Menteri Dalam Negeri dari NU”, www.nu.or.id, pada 30 Juni 2017 16 KH. Idham Chalid lahir di Setui, Kalimantan Selatan pada 27 Agustus 1922. Ia menjadi guru di gontor pada 1943 dan juga berpolitik. 17 Petrik Matanasi, “Sejarah Hidup Idham Chalid, Orang NU Pertama di Puncak Kekuasaan”, www.tirto.id, pada 11 Juli 2010

56 dijelaskan, ia tetap menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Burhanuddin Harahap,

Kabinet Ali Sastroamidjojo sampai Kabinet Karya.

Keenam, Kabinet Karya. Kabinet ini dapat juga disebut sebagai Kabinet

Djuanda dengan masa kerja dari 9 April 1957 sampai 10 Juli 1959. Kabinet ini mempunyai 28 menteri yang di dalamnya terdapat beberapa aktor NU yaitu: 1) KH.

Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri, dalam kabinet sebelumnya yaitu kabinet Ali Sastroamidjojo ia juga menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dan pada masa ini ia masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU. 2) Prof. Mr. Sunarjo sebagai Menteri Agraria. Sebelumnya pada kabinet Burhanuddin Harahap dan kabinet Ali Sastroamidjojo ia menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Awal karir

Mr. Sunarjo adalah sebagai pegawai Kantor Pusat Statistik Jakarta, lalu menjadi

Penitera di Mahkamah Islam Tinggi di Jawa dan Madura.18 3) Muhammad Ilyas sebagai Menteri Agama. Ia masih menjabat sebagai Menteri Agama sejak pada kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua, dan kabinet

Karya. 4) KH. Wahib Wahab sebagai Menteri Kerja Sama Sipil Militer.19 Sebelum menjabat menjadi Menteri Kerja Sama Sipil Militer ia telah terjun ke dunia politik sebagai anggota dewan melalui Partai NU. Pada 1942, ia menjabat sebagai Ketua

Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan aktif sebagai Komandan

18 Abdullah Alawi, “Prof. Soenarjo, Menteri Dalam Negeri dari NU”, www.nu.or.id, pada 30 Juni 2017 19 KH. Wahib Wahab lahir di Jombang pada 1 November 1918. Ia putra pertama dari KH. Wahab Hasbullah yang merupakan inisiatif berdirinya NU.

57

Pembela Tanah Air (PETA)20. Kemudian pada 1949 ia diangkat sebagai Ketua

Departemen Penerangan Ansor di Surabaya.21

Ketujuh, Kabinet Kerja. Kabinet ini terbentuk dengan masa kerja dari 10 Juli

1959-18 Februari 1964. Kabinet ini mempunyai empat puluh menteri yang di dalamnya terdapat beberapa aktor NU yaitu: 1) KH. Fatah Jasin sebagai Menteri

Penghubung Ulama. Ia merupakan orang NU yang pertama yang masuk dalam kabinet Republik Indonesia dan merupakan Ketua Persatuan Tani NU (PERTANU).22

2) KH. Wahib Wahab sebagai Menteri Agama. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada kabinet Karya KH. Wahib Wahab adalah Menteri Kerja Sama Sipil

Militer pada 1957-1959. 3) KH. Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Agama.23 Ia menerima banyak dukungan dari tokoh NU ketika akan menjabat sebagai Menteri

Agama termasuk KH. Wahab Hasbullah yang pada saat itu menjadi Rais Aam NU.

Akhirnya ia menerima jabatan itu dan dilantik menjadi Menteri Agama kesembilan pada 2 Maret 1962.

Kedelapan, Kabinet Dwikora. Kabinet dengan Presiden yaitu Soekarno ini dibentuk dengan masa kerja dari 27 Agustus 1964 sampai 22 Februari 1966. Kabinet

20 PETA merupakan sebuah kesatuan militer bentukan Jepang yang berperan atas terbentuknya Tentara Keamanan rakyat (TKR) menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. 21 Nanda Febrianto, “Profil KH M Wahib Wahab Menteri Agama ke-9 RI, Kakek Romahurmuziy”, www.tagar.id, pada 15 Maret 2019

22 Adlan Daie, “Reaktualisasi Kementerian Penghubung Ulama”, www.kompasiana,com, pada 27 Juni 2018 23 KH. Saifuddin Zuhri lahir di kota Kawedanan Sokaraja, Banyumas, Jawa tengah pada 1 Oktober 1919. Semasa kecil, pagi dan siang hari hari ia belajar di Sekolah Dasar umum dan Madrasah Ibtidaiyah Al-Huda Nahdlatul Ulama. Lalu pada malam hari nya dilanjut dengan mengaji Al-quran dan kitab kuning di berbagai pondok pesantren yang ada di daerah tempat tinggalnya. Lihat M. Kamil Akhyari, “KH. Saifuddin Zuhri, Pahlawan Tanpa tanda Jasa”, www.nu.or.id, pada Senin 25 Mei 2015

58 ini mempunyai 1 Perdana Menteri, 3 Wakil Perdana Menteri, 18 Menteri

Koordinator, 40 Menteri Departemen, 16 Menteri Negara, dan terdapat beberapa aktor NU yaitu: 1) KH. Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Koordinator Urusan Agama.

Sebelumnya ia menjabat menjadi Menteri Agama pada 1962. Ketika usia 35 tahun ia menjabat menjadi Sekretaris Jenderal PBNU dan merangkap menjadi Pemimpin

Redaksi Harian Duta Masyarakat serta Anggtoa Parlemen Sementara.24 2)

Muhammad Ilyas sebagai Menteri Hubungan Ulama-Pemerintah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ia adalah Menteri Agama pada tahun 1957 dalam Kabinet

Karya dan digantikan oleh KH. Wahib Wahab pada Kabinet Kerja. Dalam kabinet ini jabatan ia menjadi Menteri Hubungan Ulama-Pemerintah. 3) KH. Fatah Jasin sebagai

Menteri Negara Pembantu Menteri Koordinator Urusan Agama. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ia merupakan orang NU yang masuk dalam kabinet pemerintahan Indonesia, pada saat di Kabinet Kerja ia menjabat menjadi Menteri

Muda untuk Hubungan dengan Ulama.

Kesembilan, Kabinet Dwikora Hasil Reshuflle. Kabinet ini merupakan kabinet yang disempurnakan lagi dengan masa kerja dari 31 Maret 1966 sampai 25 Juli 1966 dengan 101 menteri yang di dalamnya tetap terdapat aktor-aktor NU yaitu: 1) KH.

Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri Kedua, ia kembali menjabat sebagai

Wakil Perdana Menteri yang sebelumnya sudah pernah menjabat di Kabinet Ali

Sastroamidjoo Kedua dan Kabinet Karya. 2) KH. Saifuddin Zuhri sebagai Menteri

24 Rozi, “Prof. KH. Saifuddin Zuhri”, www.nahdlatululama.id, pada 10 September 2016

59

Agama. Setelah menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Kerja lalu menjadi Menteri

Koordinator Urusan Agama ia kembali lagi menjadi Menteri Agama pada kabinet ini.

Kesepuluh, Kabinet Ampera. Kabinet dengan masa kerja dari 28 Juli 1966 sampai 14 Oktober 1967 dengan jumlah 30 menteri yang di dalamnya terdapat aktor

NU sebagai menteri yaitu: 1) KH. Idham Chalid sebagai Menteri Utama Kesra, setelah menjadi Wakil Perdana Menteri dalam tiga kabinet sebelumnya. Keterlibatan ia di NU pada 1952 menjadi Sekretaris Jenderal PBNU, 1956-1984 menjadi Ketua

Umum PBNU dan menjadi Mustasyar PBNU.25 2) KH. Saifuddin Zuhri sebagai

Menteri Agama pada 1966-1967. Ia kembali menjadi Menteri Agama setelah sempat menjadi Menteri Koordinator Urusan Agama dalam Kabinet Dwikora. 3) Mohammad

Dahlan sebagai Menteri Agama pada 1967-1968.26 Ia merupakan tokoh yang berpartisipasi dalam terbentuknya NU cabang Bangil serta menjadi Ketuanya. Lalu ia juga pernah menjadi ketua NU cabang Pasuruan dan pada 1936 menjadi Konsul NU

Daerah Jawa Timur. Keterlibatan KH. Muhammad Dahlan dalam NU sangat panjang, pada kongres NU di Surabaya tahun 1954 ia dipilih menjadi Ketua Umum Tanfidziah

NU, selain itu ia menjadi anggota konstituante sampai tahun 1959.27

25 Mukafi Niam, “KH. Idham Chalid Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional”, www.nu.or.id, pada Selasa 8 November 2011 26 KH. Muhammad Dahlan lahir pada 2 Juni 1909 di desa Mandaran Rejo, Kotamadya Pasuruan, Jawa Timur. Ia merupakan putra ketiga dari lima saudara. Ia pernah belajar di Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo dan Pesantren Tebu Ireng Jombang, kemudian di pesantren ia bertemu dengan tokoh besar NU yaitu KH. Wahid Hasyim dan KH. Masykur. Lihat www.republika.co.id, “KH. Muhammad Dahlan, Pendukung Lahirnya Muslimat NU” pada Rabu 15 Oktober 2008. 27 Lihat www.republika.co.id, “KH. Muhammad Dahlan, Pendukung Lahirnya Muslimat NU” pada Rabu 15 Oktober 2008.

60

B.2 Aktor-Aktor NU Sebagai Wakil Partai dalam Kabinet Reformasi: PKB

Pada masa Reformasi terdapat 6 (enam) Kabinet yang dipimpin oleh setiap

Presiden dan Wakil Presiden. Dari 6 Kabinet hanya pada masa kepemimpinan B.J.

Habibie aktor-aktor NU tidak menjadi bagian dalam Kabinet.

Pertama, Kabinet Abdurahman Wahid (Kabinet Persatuan Nasional). Kabinet pada masa pimpinan Presiden abdurahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati

Sukarnoputri dengan masa kerja dari 28 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Kabinet ini mempunya 35 menteri yang di dalamnya terdapat beberapa aktor NU yaitu: 1)

Tolchah Hasan28 sebagai Menteri Agama. Ketika tahun 1960-an, ia pernah menjadi

Ketua Gerakan Pemuda Ansor Pimpinan Cabang Kabupaten Malang. Selain itu juga ia pernah menjabat sebagai Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan menjadi Wakil Rais

Aam PBNU.29 Pada saat menjadi menteri, ia mempunyai salah satu fokus yaitu untuk membangun dan mewujudkan kerukunan umat beragama yang disebut teologi kerukunan multikultural. Kerukunan umat agama akan difokuskan pada perwujudan rasa kemanusiaan seluruh unsur dan lapisan masyarakat yang menghasilkan masyarakat yang saling menghargai satu sama lain, menghormati, terbuka, serta saling tolong menolong tanpa melihat identitas agama.30 2) Alwi Abdurahman

28 KH. Muhammad Tolchah Hasan lahir di Tuban, Jawa Timur pada 10 Oktober 1938. Ia merupakan tokoh ulama penggerak organisasi dan pendidikan. 29 Muhammad Amidun, “KH. Tolchah Hasan Sosok Kiai Penggerak Pendidikan dan Organisatoris”, www.news.detik.com, pada 29 Mei 2019 30 Rahman Mantu, “Studi Krisis Pendekatan, Negara Terhadap Kerukunan Antarumat Beragama”, “Jurnal Aqlam: Journal Of Islam and Plurality”, Vol.1 No.1, Juni 2016

61

Shihab31 sebagai Menteri Luar Negeri. Selain menjadi Menteri Luar Negeri, ia adalah anggota DPR. Lalu tahun 2002 ia menjadi Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa

(PKB). 3) Khofifah Indar Parawansa32 sebagai Menteri Negara Pemberdayaan

Perempuan. Sebelum menjabat menjadi Menteri, ia merupakan Wakil Ketua DPR

Bidang Industri, Perdagangan dan Pembangunan dengan masa jabatan dari 1 Oktober

1999 sampai 26 Oktober 1999. Sekarang ia merupakan Gubernur Jawa Timur.

Keterlibatan Khofifah di dalam PBNU sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat

Muslimat NU pada periode 2016-2021, ini merupakan keempat kalinya ia menjadi

Pimpinan Muslimat NU.33 4) AS Hikam34 sebagai Menteri Riset dan Teknologi.

Sebelum menjabat menjadi Menteri, ia bekerja di Pengembangan Ekonomi dan

Pembangunan LIPI sebagai staf penelitian. AS Hikam merupakan kader dari NU.

Kedua, Megawati Soekarnoputri (Kabinet Gotong Royong). Kabinet Gotong

Royong merupakan kabinet pimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri dan Wakil

Presiden Hamzah Haz, masa kerja kabinet ini dari 10 Agustus 2001 sampai 20

31 Alwi Abdurahman Shihab lahir di Rappang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat pada 19 Agustus 1964. Beliau merupakan keturunan Arab. Pada 1968 beliau belajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ujungpandang di bindang akidah filsafat dan pada tahun yang sama beliau mengambil gelar master di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, selain itu juga beliau mempunyai gelar master di Universitas Temple, Amerika Serikat pada 1992. Lihat www.kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id, “Pejabat Kabinet” pada 17 Mei 2006 32 Khofifah Indar Parawansa lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 19 Mei 1965. Beliau menempuh gelar sarjananya pada tahun 1990 di Universitas Airlangga, Surabaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 33 Cici Marlina Rahayu, “Pesan Ketum PBNU untuk Khofifah yang 4 Kali Pimpin Muslimat NU”, www.news.detik.com, pada 28 Maret 2017 34 AS Hikam lahir di Tuban, Jawa Timur pada 26 April 1958. Beliau lahir sebagai santri di lingkungan NU. Beliau meraih gelar sarjana pada 1981 di Universitas Gajah Mada dan gelar doktor dari Universitas Hawaii di Manoa pada 1995. Lihat www.lipi.go.id, “Menteri Negara Riset dan teknologi: Dr. Muhammad AS Hikam”, pada 30 September 2006

62

Oktober 2004 yang mempunyai 30 menteri. Terdapat satu menteri yang merupakan aktor NU yaitu, Matori Abdul Djalil35 sebagai Menteri Pertahanan. Keterlibatannya di dalam NU sangat dalam, dimulai dari menjadi Anggota Pandu Ansor pada 1955-

1957, Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Cabang Salatiga, Ketua

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Salatiga pada 1964-1968,

Wakil Ketua DPC Partai NU Kabupaten Semarang pada 1968-1971, Ketua II PW

Anshor Jawa Tengah, Wakil Sekretaris PW NU Jawa Tengah, Sekretaris PW NU

Jawa Tengah pada 1979-1982. Selain itu ia pernah menjabat sebagai Ketua DPC PPP

Kabupaten Semarang, Wakil Ketua DPW PPP Jawa Tengah pada 1982-1987,

Sekretaris Jenderal DPP PPP pada 1989-1994, Ketua Umum PKB pada 1998-2001, dan Ketua Umum PEKADE (Partai Kejayaan Demokrasi) pada 2003-2007.36

Ketiga, Susilo Bambang Yudhoyono (Kabinet Indonesia Bersatu I). Kabinet

Indonesia Bersatu I merupakan kabinet pimpinan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dengan masa kerja di mulai dari 21 Oktober 2004 sampai 20 Oktober 2009. Kabinet ini mempunya 34 menteri yang di dalamnya terdapat beberapa aktor NU yaitu: 1) Alwi Abdurahman Shihab sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Ia lahir di Rappang,

Sulawesi Barat pada 19 Agustus 1946, sebelumnya ia adalah Menteri Luar Negeri

35 Matori Abdul Djalil lahir di Salatiga, Jawa tengah pada 11 Juli 1942 36 NU Online, “Matori Abdul Djalil”, www.nu.or.id, pada 13 Mei 2007

63

Indonesia pada 1999-2000 dan juga Ketua Umum PKB. 2) Saifullah Yusuf37 sebagai

Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Ia memulai karir nya sebagai

Ketua Umum GP Ansor dua periode yaitu 2000-2005 dan 2005-2010, selian itu ia pernah menjadi salah satu Ketua di PBNI di bawah kepemimpinan KH. Said Aqil

Siraj. Ia juga merupakan Wakil Gubernur Jawa Timur yang berdampingan dengan

Soekarwo yang dilantik pada 12 Februari 2009.38

Kabinet Indonesia Bersatu II, Kabinet Indoensia Bersatu II merupakan kabinet dari pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono.

Masa kerja kabinet ini dimulai dari 22 Oktober 2009 sampai 20 Oktober 2014 dengan jumlah 34 menteri yang di dalamnya terdapat beberapa elite NU yaitu: 1) Helmy

Faishal Zaini39 sebagai Menteri Negara Pembangunan Negara Tertinggal. Sebelum menjabat sebagai menteri, ia menjabat sebagai anggota DPR periode 2004-2009 dari

PKB. Dan sekarang menjabat sebagai Sekretaris Jendral PBNU.40 2) Muhaimin

Iskandar sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pada tahun 1998 ia menjadi Sekretaris Jendral PKB, menjadi Ketua Umum PKB pada 2005-2010 dan terpilih kembali menjadi Ketua Umum PKB pada 2014. 41

37 Saifullah Yusuf lahir di Pasuruan, Jawa Timur pada 28 Agustus 1964. Beliau merupakan keponakan dari KH. Abdurahman Wahid (Gusdur). 38 NU Online, “Gus Ipul: jabatan Menteri Sebuah Amanah”, www.nu.or.id, pada 21 Oktober 2004 39 Helmy Faishal Zaini lahir di Cirebon, Jawa Barat pada 1 Agustus 1972 40 www.news.detik.com, “Helmy Faisal, Sang Menteri”, pada 16 November 2009 41 Muhaimin Iskandar atau sering disebut Cak Imin lahir di Jombang, Jawa Timur pada 24 September 1966. Riwayat pendidikan beliau dimulai dari Madrasah Tsanawiyah Negeri Jombang tahun 1982, Madrasah Aliyah Negeri Yogyakarta 1985, FISIP UGM tahun 1992 dan Master Jurusan

64

Keempat, Joko Widodo (Kabinet Kerja). Kabinet ini merupakan kabinet pimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, masa kerja kabinet ini dari 2014-2019 dengan jumlah 34 menteri yang di dalamnya terdapat beberapa aktor NU yaitu: 1) Hanif Dhakiri sebagai Menteri Tenaga Kerja. Ia pernah menjabat sebagai Ketua PMII Cabang Salatiga pada 1995-1996, Koordinator Pleno PMII Jawa

Tengah pada 1995-1996, Ketua Lembaga Studi Advokasi Buruh PB PMII pada 1997-

2000 dan Wakil Sekjend DPP PKB pada 2005-2010. 42 2) Khofifah Indar Parawansa sebagai Menteri Sosial. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Khofifah pada masa kabinet Abdurahman Wahid pernah menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak. Selain terlibat di dalam PBNU sebagai Ketua

Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU pada periode 2016-2021, ia pada kabinet ini dipilih kembali menjadi Menteri. 3) Eko Putro Sandjojo sebagai Menteri Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia. Ia menjadi Menteri menggantikan Marwan Jafar yang sebelumnya menjadi Menteri Desa, Pembangunan

Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia pada 2014-2016. 43 4) Imam Nahrawi sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Imam Nahrawi lahir di Bangkalan, Jawa

Komunikasi UI tahun 2001. Lihat Diamanty Meiliana, “Profil Cak Imin: Pemegang Rekor Pimpinan Termuda DPR yang Kini Jadi Pimpinan MPR”, www.nasional.kompas.com, pada 19 Maret 2018 42 Hanif Dhakiri lahir di Semarang pada 6 Juni 1972. Ayahnya merupakan guru SD dan ibunya sempat menjadi TKW. Riwayat pendidikannya dimulai dari tahun 1988 bersekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri Salatiga, Madrasah Aliyah Al-Muayyad Surakarta tahun 1991, Akademi Politik Kebangsaan (Akpolbang) DPP PKB tahun 2006, dan IAIN Walisongo Salatiga tahun 1996. Lihat www.nasional.kompas.com, “Ini Sosok Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri”, pada 26 Oktober 2014 43 Eko Putro Sandjojo lahir di Jakarta pada 21 Mei 1965, beliau meraih gelar sarjana di Universitar of Kentucky, Lexington pada 1991 dan Master of Business Administration dari Institute Pengembangan Manejemen Indonesia (IPMI) pada 1993. Lihat, www.kemendesa.go.id, “Profile Menteri”, pada 18 Mei 2019

65

Timur pada 8 Juli 1973. Ia merupakan lulusan dari UIN Sunan Ampel Surabaya pada

1998 dan Universitas Padjajaran program Pascasarjana Magister Kebijakan Publik pada 2017. Ia memulai karir politiknya dengan masuk ke dalam PKB dan terpilihnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2 periode yaitu 2004-2009 dan 2009-2014 daerah pilihan Jawa Timur.44

C. Aktor NU Sebagai Wakil Individu dalam Kabinet Pemerintahan

Seperti yang sudah dijelaskan pada bab II, kekuatan politik individual merupakan aktor-aktor yang memiliki peran dalam kehidupan politik dan dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik. Aktor-aktor tersebut terdapat di dalam NU yang menjadi menteri dan terlibat di partai politik. Aktor-aktor NU sudah tersebar di beberapa partai politik Indonesia, seperti:

Pertama, Lukman Hakim Saifuddin Ketua PH DPP PPP (2007-2012),

Sekretaris PH DPP PPP (2003-2007). Ia terlibat di NU mulai dari menjabat sebagai

Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (LKKNU) pada 1985-1988. Lalu di Lakpesdam NU sebagai Wakil Sekretaris, Kepala Bidang

Administrasi Umum, Koordinator Program Kajian dan Penelitian, Koordinator

Program Pendidikan dan Pelatihan, serta menjadi Ketua Badan Pengurus pada

44 www.kemenpora.go.id, “Riwayat Hidup Imam Nahrawi”, pada 15 Januari 2019

66 periode 1996-1999. Lalu, ia menjadi Ketua PH DPP PPP (2007-2012), Sekretaris PH

DPP PPP (2003-2007) dan sekarang menjadi Menteri Agama.45

Kedua, Djan Faridz46 merupakan Menteri Perumahan Rakyat pada masa

Kabinet Indonesia Bersatu II yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono periode 19 Oktober 2011 - 20 Oktober 2014. Ia adalah anggota dari Partai Persatuan

Pembangunan. Djan Faridz aktif di dalam organisasi yaitu pada 2004 pernah menjadi anggota NU dan pada 2009 ia menjadi bendahara NU cabang Jakarta. Pada saat dilantik menjadi menteri, ia juga terpilih sebagai kepala cabang NU di Jakarta pada

2011 sampai 2014.

Ketiga, Idrus Marham47 merupakan Menteri Sosial Indonesia ke-28 masa

Presiden Joko Widodo pada periode17 Januari 2018 – 24 Agustus 2018. Jabatannya yang singkat dikarenakan ia terkait kasus korupsi. Idrus Marham pada masa mudanya banyak aktif di dalam organisasi kepemudaan dan keagamaan, ia terlibat dalam

Karang Taruna, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Ikatan Pelajar

Nahdlatul Ulama (IPNU). Perjalanan politik Idrus dimulai ketika ia terpilih menjadi

45 www.news.detik.com, “Lukman Hakim Saifuddin, dari Gontor Hingga ke Kursi Menag”, pada 9 Juni 2014 46 Djan Faridz lahir di Jakarta pada 5 Agustus 1950. Ia adalah putra dari Mohammad Djan dan Aisha Djan. Pada 1947-1963 Faridz memulai pendidikannya di SD St. Fransiskus, lalu SMP di Kanius pada 1963-1966 dan SMA Negeri 2 Jakarta pada 1966-1969. Setelah itu ia melanjutkan ke Universitas Tarumanegara jurusan Arsitektur. Lihat, Theresia Filisiani, “Siapa Menpera Baru Djan Faridz?”, www.tribunnews.com, pada 18 Oktober 2011 47 Idrus Marham lahir di Pinrang, Sulawesi Selatan pada 14 Agustus 1962. Ia memulai pendidikannya dari SD sampai SMA di Sulawesi Selatan yang merupakan daerah asalnya. Lalu, ia kuliah di IAIN Alaudin Makassar Fakultas Syari’ah. Dan melanjutkan S2 di IAIN Walisongo Fakultas Syari’ah. Lihat, Rico Anwar, “Idrus Marham: Penjahat Berdarah Dingin”, www.kompasiana.com, pada 19 Februari 2016

67 anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada pemilu 1997. Lalu, melalui partai Golkar ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tiga periode berturut-turut yaitu pada 1999-2004, 2004-2009, 2009-2014 untuk daerah pemilihan III Sulawesi Selatan.

Keempat, Hamza Haz48 merupakan Menteri Koordinator Bidang

Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Republik Indonesia pada masa

Abdurahman Wahid dengan masa jabatan dari 28 Oktober 1999 sampai 26 November

1999. Dalam perjalanannya, ia menjadi Wakil Presiden Indonesia ke-9 bersama

Megawati Soekarnoputri sebagai pasangannya pada 26 Juli 2001 – 20 Oktober 2004.

Hamza Haz pernah menjadi Wakil ketua DPW NU Kalimantan Barat pada

1971. Lalu ia juga mewakili NU di Gedung DPR/MPR. Pada 1962 ia pernah menjadi ketua PMII. Pasca terjadinya fusi antara NU dengan PPP, hamza aktif bergerak menjadi anggota DPR bagi PPP dan menjadi pengurus penting PPP sampai akhirnya dipilih menjadi Ketua Umum PPP pada 1998-2007.49

K.H Saifuddin Zuhri merupakan Menteri Agama kesepuluh di kabinet ampera pada 1967. Sebelum ia menjabat menjadi Menteri Agama, ia berkiprah dalam organisasi NU mulai menjadi Sekretaris Cabang Ansor NU Banyumas, Sekretaris

Majelis Konsul Daerah NU Jawa Tengah, Komisaris Daerah Ansor NU Jawa Tengah,

48 Hamza Haz lahir di Ketapang, Kalimantan Barat pada 15 Februari 1940. Ia merupakan lulusan Akdemi Koperasi Negara di Yogyakarta pada 1962 dan melanjtkan kuliah di Universitas Tanjungpura Pontianak Jurusan Ilmu Perusahaan pada 1970. Lihat, www.kepustakaan- presiden.perpusnas.go.id, “Kabinet Menteri”, pada 17 mei 2006 49 www.kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id, “Kabinet Menteri”, pada 17 mei 2006

68 pada 1954 ia menjadi Sekretaris Jenderal PBNU dan terakhir ia menjadi Mustasyar

PBNU.50

Ketika menjabat sebagai Menteri Agama, K.H. Saifuddin Zuhri berupaya untuk mengembangkan IAIN. Dan upayanya ini membuahkan hasil, IAIN berkembang di sembilan provinsi, masing-masing memiliki cabang di kota kabupaten. Usaha untuk mengembangkan IAIN ini bukan tidak ada tantangannya.

Reaksi muncul dari sebagian kalangan DPR dan dari sekelompok masyarakat yang tidak setuju dengan pengembangan IAIN. Mereka menuduh, Departemen Agama seolah-olah hanya menganakemaskan umat Islam. Berarti pemerintah telah berbuat diskriminatif terhadap rakyatnya. Tetapi, K.H Saifuddin Zuhri tetap melanjutkan proyeknya tersebut bersamaan dengan dikeluarkannya pejelasannya bahwa sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberi pendidikan dan kewajiban kepada rakyat, tidak hanya untuk masyarakat kecil melainkan juga masyarakat Islam yang statusnya menjadi mayoritas.51

K.H. Saifuddin Zuhri merupakan tokoh penting dalam organisasi NU, ia memimpin perjuangan bersenjata dan perjuangan politik untuk mencapai, merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Ia juga beperan dalam pembangunan karakter bangsa, ia menyebarkan pandangan-pandangan Islam Ahlus-Sunnah wal

Jama'ah yang identik dengan Islam Rahmatan lil 'Alamin, mengembangkan paham

50 Lukman Hakim Saifuddin, Ali Zawawi, dkk, Riwayat Hidup dan Perjuangan Prof. KH. Saifuddin Zuhri Ulama Pejuang Kemerdekaan, (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 2013), h. 10 51 Lukman Hakim Saifuddin, Ali Zawawi, dkk, Riwayat Hidup dan Perjuangan Prof. KH. Saifuddin Zuhri Ulama Pejuang Kemerdekaan, (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 2013), h. 11

69 nasionalisme Islam Indonesia dalam kerangka mempertahankan NKRI dan mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.52

52 Lukman Hakim Saifuddin, Ali Zawawi, dkk, Riwayat Hidup dan Perjuangan Prof. KH. Saifuddin Zuhri Ulama Pejuang Kemerdekaan, (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 2013), h. 13

70

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada bab ini penulis memaparkan kesimpulan mengenai penelitian yang berjudul kekuatan politik NU sebagai civil society dan partai politik. NU merupakan salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia dikategorikan sebagai civil society yang dikalangan NU disebut sebagai masyarakat sipil. NU didirikan pada

31 Januari 1926 di Surabaya. NU merupakan organsasi sosial kegamaan yang mengkukuhkan dirinya menjadi pengawal tradisi Ahlussunnah wal Jamaah bermadzhab empat yang diusahakan melalui berbagai ikhtiar dibidang agama, pendidikan, sosial dan ekonomi. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan dasar gerakan keagamaan NU.

NU pada periode tertentu pernah menjadi partai politik, pada 1952-1971.

Sebelum NU memutuskan untuk menjadi partai, NU sudah bergabung dalam partai politik yaitu Masyumi. Tetapi, karena adanya persoalan antara keduanya yang membuat NU merasa kecewa kepada Masyumi dan memutuskan untuk keluar.

Kesuksesan NU ketika menjadi partai terlihat pada pemilu pertama 1955, NU berhasil medapat peringkat ketiga dengan perolehan suara 18,41%. Lalu pada pemilu 1971,

NU mengalami kenaikan suara dengan berada diperingkat kedua sebagai partai politik Islam.

71

Dalam perkembangan selanjutnya Partai NU bersama tiga partai Islam yaitu,

Parmusi, PSII, PERTi, pada 1973 melakukan fusi partai politik ke dalam PPP. NU di dalam PPP mengalami kekecewaan kembali, maka kemudian ia kembali ke Khittah

1926. Pada 1983 NU kembali menjadi organisasi kemasyarakatan sebagai civil society.

Ketika NU sebagai civil society dan menjadi partai politik, sebagian dari pengurus maupun di luar pengurus NU menjadi bagian dari kekuasaan. Khususnya aktor-aktor NU yang terlibat di dalam pemerintahan, baik menjadi Menteri dan pejabat-pejabat lainnya. Hal itu yang disebut sebagai kekuatan politik NU.

Pada awal Reformasi, PBNU membidani berdirinya partai politik yaitu PKB.

Secara struktural PKB memang menjadi bagian dari NU. Jadi, NU tetap sebagai civil society tetapi NU juga mendirikan partai politik, bukan menjadi partai politik.

Namun, sebagian kalangan Nahdliyin yang tidak menjadi bagian dari PKB mendirikan partai politik yang tidak ada hubungannya dengan NU sebagai organisasi kemasyarakatan. Partai-partai tersebut adalah PKU, PNU, dan SUNI.

B. Saran

Dengan adanya penelitian skripsi ini, penulis berpendapat bahwa diperlukannya suatu kesadaran untuk lebih erat di kalangan umat Islam karena di setiap pergerakan yang ada tidak pernah terlepas dari gejolak situasi sosial. Seperti

NU yang hadir sebagai sebuah pergerakan dengan berbagai kemampuan.

Perlu adanya batasan untuk NU jika ingin terlibat dalam dunia politik, walaupun memang sudah kembali ke Khittah 1926 yang berarti kembali menjadi

72 organisasi sosial keagamaan dan tidak berpolitik praktis lagi tetapi godaan-godaan pasti akan muncul menyeret NU untuk berpolitik.

NU sebagai kekuatan politik membuktikan bahwa organisasi Islam tidak hanya bisa mengurus masalah pengembangan umat saja, teapi juga dapat ikut serta dalam pengembangan politik di Indonesia. Dengan demikian, orang-orang NU yang mempunyai ketertarikan dalam politik ikut masuk serta ditarik untuk menjadi bagian dari pemerintahan seperti menteri. Dan menghasilkan sebuah kebijakan-kebijakan yang mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat.

73

Daftar Pustaka

Buku-buku

Al-Hamdi, Ridho. Partai Politik Islam: Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Anam, Choirul. Pertumbuhan & Perkembangan NU. Surabaya: Bisma Satu Surabaya, 1999.

Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia, 2013.

Choirie, A Effendy. Islam-Nasionalisme UMNO-PKB: Studi Komparasi dan Diplomasi. Jakarta: Grafika Indah, 2008.

Daman, H. Rozikin. Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah. Yogyakarta: Gama Media, 2011

Diamond, Larry. Developing Democracy, Toward Consolidation. Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1999.

Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LkiS, 2003.

Halking dan Budi Ali Mukmin. Bahan Ajar Sistem Politik Indonesia. Medan: Unimed Press, 2013.

Hanafie, Haniah dan Ana Sabhana Azmy. Kekuatan-Kekuatan Politik. Depok: Raja Grafindo Persada, 2018.

Hassan, Sahar L, Kuat Sukardiyono dan Dadi M.H. Basri. Memilih Partai Islam. Jakarta: Gema Insani, 1989.

Herdianto, Heri dan Fokky Fuad Wasitaatmadja. Kewarganegaraan & Masyarakat Madani. Jakarta: Prenadamedia Group, 2019.

74

Ismail, Faisal. Dilema NU: Di Tengah Badai Pragmatisme Politik. Jakarta: Departemen Agama RI, 2004.

Kazhim, Musa dan Alfian Hamzah. 5 Partai dalam Pertimbangan: Analisis dan Prospek. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Maning, Chris dan Peter van Diermen. Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial dari Reformasi Krisis. Yogyakarta: LKis, 2000.

Pamungkas, Sigit. Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism, 2011.

Prasetyo, Hendro dan Ali Munhanif. Islam & Civil Society. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Ridwan, Nur Khalik. NU dan Bangsa: Pergulatan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.

Sitompul, Einar Martahan. NU & Pancasila. Yogyakarta: LkiS, 2010.

Soon, Kang Young. Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama. Jakarta: UI-Press, 2007.

Sugiarto, Eko. Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif: Skripsi dan Tesis. Yogyakarta: Suaka Media, 2015.

Suprayogo, Imam. Kiai dan Politik. Malang: UIN Malang Press, 2007.

Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan. Jakarta: Prenamedia Group, 2014.

Zada, Khamami dan A. Fawaid Sjadzili. Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan. Jakarta: Kompas, 2010.

Zamharir, Muhammad Hari. Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholis Madjid. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

75

Skripsi

Hidayati, Anisa. "Nahdlatul Ulama (NU) di Era Reformasi: Studi Tentang Muslimat NU Periode 2011-2014 dan Khittah NU 1926", (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015).

Noviantoko, Putranto Argi. "Peran Nahdlatul Ulama di Partai Masyumi Pada Tahun 1945-1952", (Skripsi Universitas Gajah Mada, 2017).

Jurnal

Ekawati, Esty. "Nahdlatul Ulama (NU) Sebagai Civil Society di Indonesia". Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Ilmu Keagamaan Vol. 13 No. 2, 2016.

Goncing, Nurlila. "Politik Nahdlatul Ulama dan Orde Baru". The POLITICS: Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Vol. 1 No. 1, 2016.

Halili. "Masa Depan Civil Society di Indonesia: Prospek dan Tantangan. Jurnal Kajian Kewarganegaraan Vol. 3 No. 2, 2006.

Parmudi, Mochamad. "Kebangkitan Civil Society di Indonesia". Jurnal at-Taqaddum UIN Walisongi Vol. 7 No. 2, 2015.

Perdana, Aditya. "Civil Society dan Partai Politik Dalam Demokratisasi di Indonesia". Dinamika Politik Lokal di Indonesia, Seminar Internasional, 2009.

Artikel

Kulsum, Ummy, Hendro Sumartono dan Sunarlan. "Dinamika Politik PKB (Studi Tentang Konflik Internal 1999-2004)". Artikel Hasil Penelitian Mahasiswa Universitas Jember 1-10 (Agustus 2013)

76

Berita

Alawi, Abdullah. "Prof. Soenarjo, Menteri Dalam Negeri dari NU", www.nu.or.id, 30 Juni 2017.

Amidun, Muhammad. "KH. Tolchah Hasan Sosok Kiai Penggerak Pendidikan dan Organisasi", www.news.detik.com, 29 Mei 2019.

Aziz, Munawir. "KH. Zainul Arifin Pohan: Panglima Santri, Bangsawan dari Barus". www.nu.or.id, 18 Maret 2016.

Akhyari, M. Kamil. "KH. Saifuddin Zuhri, Pahlawan Tanpa Tada Jasa", www.nu.or.id, 25 Mei 2015.

Daie, Adlan. "Reaktualisasi Kementerian Penghubung Ulama", www.kompasiana.com, 27 Juni 2018.

Febrianto, Nanda. "Profil KH. Wahib Wahab Menteri Agama ke-19 RI, Kakek Romahurmuzy", www.tagar.id, 15 Maret 2019.

Khotib, Ahmad. "NU dan Politik". www.kompasiana.com, 28 Juli 2013.

Lumowa, Fernando. "Kiprah Partai Politik di Pemilu Indonesia Masa ke Masa". www.manado.tribunnews.com, 20 Februari 2018.

Matanasi, Petrik. "Sejarah Hidup Idham Chalid, Orang NU Pertama di Puncak Kekuasaan", www.tirto.id, 11 Juli 2010

Meilina, Diamanty. "Prof. Cak Imim: Pemegang Rekor Pimpinan Termuda DPR yang Kini Jadi Pimpinan MPR", www.nasional .kompas.com, I19 Maret 2008.

Niam, Mukafi. "KH. Idhan Chalid di Anugrahi Gelar Pahlawan Nasional", www.nu.or.id, 8 November 2011.

NU Online. "Matori Abdul Djalil", www.nu.or.id, 13 Mei 2007.

77

Nu Online. "Gus Ipul: Jabatan Menteri Sebuah Amanah", www.nu.or.id, pada 21 Oktober 2004.

Pribadi, Guntur. "NU, Politik dan Kemaslahatan Bangsa". wwww.nu.or.id, 28 Januari 2018.

Rahayu, Cici Marlina. "Pesan Ketum PBNU Untuk Khofifah yang 4 Kali Pimpin Muslimat NU", www.news.detik.com, 28 Maret 2017.

Raditya, Isawara N. "Sejarah Hidup KH. Masykur, Pejuang NU & Menteri Agama Lima Babak", www.tirto.id, pada 23 Maret 2019.

Ridwan, Nur Kholik. "Khittah NU". www.nu.or.id, 14 September 2012

Rozi. "Prof. KH. Saifuddin Zuhri", www.nahdlatululama.id, pada 10 September 2016.

STAI Al Anwar. "Perjalanan Sejarah Politik NU Sejak Berdiri Hingga Keputusan Kembali ke Khittah". www.staialanwar.ac.id, 5 April 2017.

Syaddad, Irza A. "PKB, NU dan Khittah yang Ambigu". www.indoprogress.com, 28 Maret 2014.

Teguh, Irfan. "Mula dan Akhir Perjanalan KH. Wahid Hasyim", www.tirto.id, pada 19 April 2019. www.nasionalkompas.com. "Ini Sosok Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri", pada 26 Oktober 2014. www.news.detik.com. "Helmy Faisal, Sang Menteri", pada 16 November 2009. www.lipi.go.id. "Menteri Negara Riset dan Teknologi: Dr. Muhamad AS Hikam", pada 20 Maret 2006. www.replubika.co.id. "KH. Muhammad Dahlan, Pendukung Lahirnya Muslimat NU", pada 15 Oktober 2018.

78 www.replubika.co.id. "KH. Muhammad Ilyas, Ikhlas Mengabdi dan Berjuang", pada 17 Agustus 2009. www.tokoh.id. "Tokoh Indonesia", pada 1 Juni 2009/ www.nu.or.id. "NU, Politik dan Kemaslahatan Bangsa", pada 28 Januari 2018. www.kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id. "Pejabat Kabinet", pada 17 Mei 2016, www.kemendesa.go.id. "Profile Menteri", pada 18 Mei 2019. www.kemenpora.go.id. "Riwayat Hidup Imam Nahrawi", pada 15 Januari 2019. www.newsdetik.com. "Lukman Hakim Saifuddin, Dari Gontor Hingga ke Kursi Menag", pada 9 Juni 2014

Wawancara

Wawancara Pribadi dengan Ketua PCNU Jakarta Barat K.H. Fahrurozi pada Senin, 18 Februari 2019, pukul 14:00 WIB. Wawancara Pribadi dengan Kepala Bidang Lembaga Pendidikan Ma’arif NU dan Koordinator Bidang Hubungan Antara Lembaga PBNU Imam Buchori pada Rabu, 23 Januari 2019, pukul 13:00 WIB. Wawancara Pribadi dengan Wakil Sekjen PBNU Imdadun Rahmat pada Selasa, 12 Maret 2019, pukul 19:00 WIB. Wawancara Pribadi dengan Calon Anggota DPR RI No. 1 PKB dapil Jakarta III pada Selasa, 22 Januari 2019, pukul 16:00 WIB. Wawancara dengan Wakil Ketua DPC PPP Jakarta Barat, Wakil Sekretaris NU NWC Kec. Kalideres pada Kamis, 17 Februari 2019, pukul 19:00 WIB.

79