REPUBLIK KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA SURAT PENCATATAN CIPTAAN

Dalam rangka pelindungan ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra berdasarkan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan ini menerangkan:

Nomor dan tanggal permohonan : EC00201816867, 4 Juli 2018

Pencipta Nama : Abdul Wahid Hasyim Alamat : Jl. Durian Raya Blok E 13/6 Pamulang Estate RT.001/013 Pamulang Timur, Pamulang, Tangerang Selatan – Banten, Tangerang Selatan, Banten, 15417 Kewarganegaraan : Indonesia

Pemegang Hak Cipta Nama : Abdul Wahid Hasyim Alamat : Jl. Durian Raya Blok E 13/6 Pamulang Estate RT.001/013 Pamulang Timur, Pamulang, Tangerang Selatan – Banten, Tangerang Selatan, Banten, 15417 Kewarganegaraan : Indonesia Jenis Ciptaan : Buku Judul Ciptaan : Sikap Kyai Terhadap Politik Era Reformasi Tanggal dan tempat diumumkan untuk : 31 Maret 2009, di Bekasi pertama kali di wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia Jangka waktu pelindungan : Berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Nomor pencatatan : 000111028

adalah benar berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Pemohon. Surat Pencatatan Hak Cipta atau produk Hak terkait ini sesuai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

a.n. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DIREKTUR JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL

Dr. Freddy Harris, S.H., LL.M., ACCS. NIP. 196611181994031001

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

Sikap Kiai Terhadap Politik Era Reformasi

Sikap Kiai Terhadap Politik Era Reformasi Penulis: Dr. Abdul Wahid Hasyim, MA.

Penerbit: Lembaga Penerbitan Pascasarjana Universitas Islam “45” Bekasi Jl. Cut Meutia No. 83 Bekasi 17113 Telp. (021) 71685361 Fax. (021) 8801192 e-mail: [email protected]

Hak Cipta dilindungi Undang-undang Copyright @ Abdul Wahid Hasyim

Editor Naskah: Siti Asiah Perancang Sampul: Suswoyo

Cetakan Pertama: Maret 2009

ISBN: 978-979-19414-6-4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL - i KATA PENGANTAR - iii DAFTAR ISI - viii

BAB I PENDAHULUAN - 1 A. Latar Belakang Masalah - 1 B. Identifikasi Masalah - 24 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah - 26 D. Kajian Pustaka Terdahulu - 27 E. Metodologi Penelitian - 37

BAB II KIAI, DAN POLITIK - 51 A. Peran dan Fungsi Kiai Pesantren - 51 1. Bidang Sosial Keagamaan - 51 2. Bidang Sosial Budaya - 59 3. Tipologi Kiai dan Pesantren – 64 a. Tipologi Kiai – 64 b. Tipologi Pesantren - 82 B. Pesantren dan Perubahan Sosial - 89 1. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Keagamaan - 89 2. Pesantren Sebagai Lembaga Pencetak Ulama - 105 3. Pesantren Sebagai Lembaga Transmisi Nilai Tradisi Keagamaan - 109 4. Pesantren Sebagai Lembaga Sosial Ekonomi - 112 C. Pesantren dan Politik - 116 1. Pesantren dan Modernisasi Birokrasi - 116 2. Pesantren dan Partai Politik - 122 3. Sikap Politik Kiai Pesantren - 160

BAB III PESANTREN DAN DINAMIKA POLITIK NASIONAL ERA REFORMASI 1998-2004 - 165 A. Era Reformasi dan Kebijakan Politik Menuju Demokrasi - 165 B. Bangkitnya Ragam Partai Politik Dalam Bingkai Kekuasaan Era Reformasi - 208 C. Pesantren dan Pembentukan Partai Politik Nasional - 228 1. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) - 228 2. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) - 256 3. Implikasi Kebangkitan PKB dan PKNU Terhadap Dunia Pesantren - 282

BAB IV KIAI PESANTREN DI JAWA TIMUR DALAM ARENA SOSIAL POLITIK 1998-2004 - 289 A. Biografi Sosial-Intelektual Kiai Pesantren – 289 1. Kiai Abdullah Faqih - 289 2. Kiai Muhammad Yusuf Hasyim - 309 3. Kiai Alawy Muhammad - 318 4. Kiai Muhammad As’ad Umar - 326 5. Kiai Muhammad Hasib Wahab - 341 B. Motif dan Konteks Sosial-Politik Kiai Pesantren - 354

BAB V POLITIK KIAI PESANTREN DI JAWA TIMUR 1998-2004 - 369 A. Kendaraan Politik Kiai Pesantren - 369 B. Peran Politik Kiai Pesantren pada Lembaga Negara - 378 1. Lembaga Legislatif - 378 2. Lembaga Eksekutif - 390 3. Lembaga Yudikatif - 412 C. Peran Politik Kiai Pesantren pada Organisasi Sosial Keagamaan (NU) - 416 D. Implikasi Keterlibatan Politik Kiai bagi Dunia Pesantren - 550

BAB VI KESIMPULAN - 563

DAFTAR PUSTAKA – 568

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pada penghujung akhir abad XX, tepatnya tahun 1998, perpolitikan di Indonesia, negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, mengalami perubahan yang sangat dramatis. Krisis multidimensi, demonstrasi mahasiswa yang terjadi di berbagai daerah menuntut reformasi struktural di bidang ekonomi, hukum dan politik serta berbagai persoalah yang tidak terselesaikan, telah memaksa Presiden Soeharto yang telah memerintah negara berpenduduk lebih dari dua ratus juta jiwa, secara 2 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi otoriter dan represif, untuk periode yang ketujuh dalam waktu 76 hari, meletakkan jabatan. Dalam pidatonya, antara lain ia menyatakan sebagai berikut: Bahwa karena rencana pembentukan komite reformasi tidak terwujud, maka rencana perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi, sehingga sulit bagi saya untuk dapat menjalankan pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhati- kan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, maka saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998. Selanjutnya, sesuai Pasal 8 UUD 1945, Wapres Prof. Dr. B.J. Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/ Mandataris MPR periode 1998-2003.1 Dengan demikian, Prof. Dr. B.J. Habibie (nama selanjutnya penulis sebut B.J. Habibie), seorang teknokrat lulusan Jerman, kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, mengucapkan sumpah jabatan Presiden/Mandataris MPR yang dilaksana- kan oleh Ketua Mahkamah Agung di hadapan para

1 Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik Yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, (Jakarta: THC Mandiri, 2006), h. 65-66. Pendahuluan 3

Anggota Mahkamah Agung lainnya.2 Sejak itu, B.J. Habibie resmi menjadi Presiden Republik Indonesia ke-3, menggantikan mentornya. Orde Baru tumbang dan digantikan dengan Era Reformasi,3 sebuah jargon populer yang sering diperbicangkan dan dikumandangkan dalam diskusi-diskusi di kampus- kampus di seluruh Indonesia. Tetapi, gonjang-ganjing mengenai perpolitikan di Indonesia belum juga reda dan surut, bahkan memanas. Pada tingkat tertentu, B.J. Habibie yang melanjutkan sisa waktu jabatan presiden yang ditinggalkan oleh gurunya memang sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, tetapi, bagi para demonstran, justru melukai hati mahasiswa. Pengangkatannya tidak mempunyai legitimasi. Dalihnya, ia tidak dipilih oleh wakil rakyat yang terpilih lewat pemilu yang jujur dan adil,4 sehingga

2 Karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR/MPR dan untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam pemerintahan Negara, maka pengucapan sumpah dilaksanakan di Istana Negara. Lihat Diro Aritonang, Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto, Rekaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h. 206- 207. 3 Reformasi berasal dari bahasa Inggris Reform yang berarti memperbaiki atau memperbaharui. Kemudian, pengertian kata Reformation memiliki arti perubahan ke arah perbaikan sesuatu yang baru. Perubahan itu dapat meliputi segala hal, entah itu sistem, mekanisme, aturan, kebijakan, tingkah laku, kebiasaan, cara-cara atau praktik-praktik yang selama ini dinilai tidak baik dan diubah menjadi baik. 4 Agung Supriyo, Menimbang Keterlibatan Tiga Aktor Politik Dalam Pemilu Transisional, dalam Yopie Renyaan, Theodure B. dan Daniel P. Junaedi, (ed.), Transisi Demokrasi, Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pemilu 1999, (Jakarta: KIPP, 1999), h. 175. 4 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi jalan keluar dari krisis adalah “suksesi dua pintu”: di tingkat presiden dan wakil presiden sekaligus.5 Oleh karena itu, ada anggapan bahwa B.J. Habibie yang juga dianggap sebagai bagian dari Orde Baru tidak mampu bertahan lebih dari 100 jam. Ada pula yang sedikit optimistis meramalkan bahwa pemerintahan- nya tidak akan bertahan lebih dari 100 hari.6 Tetapi kenyataannya, pemerintahan B.J. Habibie mampu bertahan dalam waktu 512 hari, dan meskipun kekuasaannya sendiri dikategorikan sebagai pemerintahan transisi, ia bersama kabinet reformasi yang dibentuknya selama kurun waktu 17 bulan mampu membidani kelahiran reformasi bagi bangsa ini.7 Oleh karena itu, masanya dikenal sebagai awal Orde Reformasi, sebuah orde transisi menuju demokrasi berdasarkan ketentuan UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai pemerintahan transisi, B.J. Habibie yang berperilaku, karakter dan sifat yang sangat bebas, terbuka dan transparan, tidak ragu-ragu untuk menindaklanjuti tuntutan reformasi yang diteriakkan

5 Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan, Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h. 32. 6 Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, (Jakarta: THC Mandiri, 2006), Cet. Ke-1, h. 76-77. 7 Ketika Teknokrat Memimpin Negara, Republika, (Jakarta), 22 September 2006, h. 24. Pendahuluan 5 oleh masyarakat, cendikiawan dan mahasiswa.8 Dalam tulisannya, B.J. Habibie antara lain menyatakan sebagai berikut: Saya memperhatikan dengan sungguh- sungguh dinamika aspirasi yang berkembang dalam pelaksanaan reformasi secara menyeluruh, baik yang disampaikan oleh mahasiswa dan kaum cendekiawan, maupun yang berkembang di masyarakat dan kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Peningkatan kehidupan politik yang sesuai dengan tuntutan zaman dan generasinya, kepemimpinan yang bersih dan bebas dari inefisiensi dan praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, serta kehidupan ekonomi yang lebih memberi peluang berusaha secara adil, telah saya tangkap sebagai aspirasi rakyat.9 Sebagai realisasi dan jawaban atas pernyataannya itu, B.J. Habibie melakukan pembongkaran terhadap ketamakan negara, antara lain dengan memperkenalkan sebuah aura yang

8 Rumusan mahasiswa tentang reformasi politik dan ekonomi itu sangat gamblang dan tegas. Dalam bidang politik, mereka menuntut penghapusan paket lima UU politik, menuntut pengembalian peran MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan lain sebagainya, sedangkan dalam bidang ekonomi, mereka menuntut pelaksanaan ekonomi yang berpijak pada Pasal 33 UUD 1945 yang menjamin hak kesejahteraan rakyat, menuntut dihapuskannya kebijakan monopoli, serta menuntut penghapusan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. 9 Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, (Jakarta: THC Mandiri, 2006), Cet. Ke-1, h. 70. 6 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi menjadikan kepresidenan sebuah jabatan yang bisa dijabat oleh siapa saja yang dipercaya oleh rakyat, melepaskan tahanan politik, memberikan kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, kebebasan pers dan kebebasan unjuk rasa, membuka kesempatan untuk mendirikan partai politik asal tidak melanggar UUD 1945 dan Ketetapan MPR, menyelenggarakan Sidang Umum MPR dan Pemilu, membubarkan BP7, menghentikan P4 dan menandatangani Undang- Undang Perimbangan Keuangan dan Otonomi Daerah, memperlihatkan sikap demokratis dan tidak bereaksi negatif terhadap kritik yang disampaikan oleh lawan politiknya10 Dengan demikian, menurut M.C. Ricklefs dari lima isu terbesar yang dihadapinya, B.J. Habibie hanya berhasil merealisasikan isu tentang masa depan reformasi, sedangkan keempat isu lainnya, yakni tentang masa depan ABRI, masa depan daerah- daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia, masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya, kroni-kroninya, serta masa depan perekonomian dan

10 Taufik Abdullah, Nasionalisme & Sejarah, (Bandung: Setya Historika, 2001), Cet. Ke-1, h. 166-167. Lihat pula Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis 1966-2001, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), Cet. Ke-1, h. 187. Juga lihat Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik- Detik yang Menentukan, jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, (Jakarta: THC Mandiri, 2006), Cet. Ke-1, h. 57-58. Pendahuluan 7 kesejahteraan rakyat belum terselesaikan,11 dan jika bisa dilaksanakan salah satu di antara keempat isu lainnya, khususnya terkait masalah Timor Timur, justru menimbulkan kecaman dan bom waktu baginya.12 R. William Liddle menguatkan keberhasil- an satu isu, antara lain menyatakan sebagai berikut: Selepas jatuhnya rezim Orde Baru, terjadi banyak perubahan yang patut disimak, antara lain liberalisasi politik berlangsung cukup signifikan, pembatasan terhadap kebebasan berbicara, berekspresi, berserikat dan berkumpul serta hak-hak sipil lainnya dicabut. Partai-partai politik dengan beragam ideologi diperbolehkan berdiri. Kebijakan depolitisasi dan pendekatan warisan Orde Baru diakhiri dan digantikan dengan pluralisme politik yang mengarah pada kompetisi dan representasi demokrasi.13 Meskipun hanya satu isu yang berhasil dilaksakanan, capaian itu tergolong luar biasa, mengingat krisis yang terjadi saat itu demikian parah.

11 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2005), Cet. Ke-1, h. 655-656. 12 Referendum yang menawarkan kepada penduduk Timor Timur pilihan antara otonomi dalam Indonesia atau kemerdekaan, berakhir dengan kemerdekaan Timor Timur. Masalah ini merupakan salah satu noda B.J. Habibie, sehingga laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR, di samping noda-noda lainnya. 13 R. William Liddle, “Indonesia’s Unexpected Failure of Leadership” dalam Adam Schwarz & Jonathan Paris (ed.), The Politics of Post Soeharto Indonesia, (New York: The Council on Foreign Relation, 1999), h. 21. 8 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Salahuddin Wahid menyebut bahwa capaian itu dimungkinkan karena kecerdasan B.J. Habibie, kesediaannya untuk bekerja sampai jauh larut malam, kesehatannya yang bagus, tidak menghindar dari masalah detail, sikapnya dalam berkomunikasi yang terlihat demokratis, bahkan mentolelir huu … dalam pembukaan Sidang Umum MPR adalah tambahan nilai plus bagi B.J. Habibie.14 Bahkan keberhasilan menelorkan satu isu yang diikuti dengan diterbitkannya beberapa perundang-undangan baru, misalnya dalam bidang politik, tiga undang-undang baru diberlakukan, yakni undang-undang tentang pemilu, tentang partai politik dan tentang struktur lembaga legislatif, yang oleh Suharko dapat dipandang menjadi jaminan formal bagi kompetisi politik dan partisispasi dalam penyelenggaraan pemilu 7 Juni 1999,15 ditanggapi dan disambut secara sukaria dan positif oleh berbagai kalangan, dengan mendirikan beragam partai politik. Dari kalangan nasionalis, misalnya Ny. Supeni, Usep Ranuwijaya, IM. Sunakha dan lain-lain mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI); Soenardi, Dharmono, Anton R. Hutomo dan lain-lain

14 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan- Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), h. 66-67. 15 Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokrasi 1966-2001, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), Cet. Ke-1, h. 186. Pendahuluan 9 mendirikan Partai Rakyat Marhaen; Hadidjojo Nitimihardjo, Zulfikar Tan dan lain-lain mendirikan Partai Murba; dan Sri Bintang Pamungkas mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI).16 Dari kaum modernis, misalnya Amien Rais, Ketua Umum PP Muhammadiyah dan tokoh reformasi, mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN); Yusril Ihza Mahendra mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB); dan Deliar Noer mendirikan Partai Umat Islam (PUI).17 Dari kaum tradisionalis, misalnya para kiai pesantren dan politisi lainnya melalui Ormas NU mendirikan PKB, namun, karena dianggap diskriminatif, kiai Muhammad Yusuf Hasyim dan kiai Salahuddin Wahid mendirikan Partai Kebangkitan Ummat (PKU), kiai Syukron Makmun mendirikan Partai Nahdhatul Ummah (PNU) dan Abu Hasan, rival kiai Abdurrahman Wahid dalam memperebutkan jabatan Ketua Umum NU, mendirikan Partai Serikat Uni Nasional Indonesia (Partai Suni).18 Sementara kiai Alawy Muhammad

16 Lihat al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai- Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet. Ke-1, h. 120-121. 17 Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan, Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 29-151. Lihat pula al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai- Partai Islam versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet. Ke-1, h. 122 dan 141. 18 Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” apa “NU Dibodohi?”, Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah, Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), Cet. Ke-1, h. 110. Lihat 10 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi tetap bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kiai As’ad Umar bergabung dengan Partai Golkar, gus Saifullah Yusuf dan kiai Hasib Wahab bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kiai-kiai tersebut baik yang membentuk partai baru maupun yang menggabungkan diri dengan partai lain, umumnya merupakan warga dan ulama NU, karena mereka pernah menduduki jabatan sebagai pengurus NU, baik tingkat Pusat maupun Cabang. Selain itu, mereka juga pengasuh pesantren kenamaan, yang materi pelajaran yang diberikan kepada para santrinya, memakai kitab-kitab menurut faham Aswaja, sedangkan faham Aswaja merupakan aqidah Jam’iyah Dīniyah Islāmiyah NU.19 Dengan demikian, situasi politik tahun 1998 yang diiringi dengan diterbitkannya tiga undang-undang baru dalam bidang politik oleh pemerintahan B.J. Habibie di atas, secara tidak langsung mempunyai hubungan dan pengaruh terhadap sikap politik kiai pesantren, karena dari sayap NU, sebuah Ormas Islam yang didirikan oleh para kiai pesantren, berdiri beragam partai yang kebanyakan dibidani pendiriannya oleh para kiai pesantren, di samping pula Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 106-131. 19 Lihat Anggaran Dasar NU, Pasal 3 Tentang Aqidah. Mahbub Djunaidi, Nahdlatul Ulama Kembali Ke Khittah 1926, (Bandung: Risalah, 1985), Cet. Ke-1, h. 126-127. Pendahuluan 11 ada pula kiai pesantren yang tetap menyalurkan aspirasinya pada partai yang telah mapan sebelumnya, seperti PPP, Golkar atau bahkan PDI. Kiai pesantren yang menyikapi kondisi perpolitikan tahun 1998 tersebut adalah kiai pesantren yang berada di wilayah Jawa Timur, sebuah wilayah yang warganya menjadi basis pendukung dan pengawal Ormas NU, tetapi, tidak berarti dengan adanya sikap20 politik kiai pesantren tersebut, NU berubah menjadi partai politik. NU sesuai keputusan Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo,21 tetap pada Khittah/Garis Perjuangan 1926, sebagai sebuah

20 Sikap adalah kecenderungan individu untuk menanggapi situasi, benda, ide, orang dan isu dengan cara tertentu. Sikap seseorang terhadap sesuatu biasanya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pengalaman, pengetahuan, perasaan, emosi, cara berfikir, kebutuhan dan tujuan yang inging dicapai. Lihat Lau & James B. Shani, A.B., Behaviour in Organizations: An Experiential Approach, (Homewood: Richard Irwin Inc, 1992), h. 98. Dalam konteks perpolitikan di Indonesia 1998-2004, disikapi oleh kiai pesantren di Jawa Timur, salah satunya, dengan mendirikan partai politik, di samping tetap bergabung dengan partai yang telah mapan atau menjadi anggota parlemen dan anggota kabinet dan lain sebagainya, guna mencapai ‘izz al-Islam wa al-Muslimin, melalui institusi pendidikan pesantren dan lain sebagainya. 21 Mahbub Djunaidi, Ketua Tanfidziyah NU, mewakili KH. As’ad Syamsul Arifin, menegaskan bahwa dalam Pemilu 1987 nanti warga NU wajib menyukseskan pesta demokrasi, tetapi tidak wajib berkampanye untuk PPP. Sekali lagi NU bukan PPP dan PPP bukan NU, karena keduanya punya dunia sendiri-sendiri. Keduanya tidak punya ikatan organisasi. Ini merupakan keputusan Muktamar PPP sendiri dan keputusan Muktamar NU. NU tidak melarang warga NU atau anggotanya termasuk para kiai yang menjadi pendukung dan pengawal NU untuk berpolitik, tetapi melarang semua jabatan rangkap para pengurusnya. Mereka diharuskan memilih antara karier politik atau sosial keagamaan. Lihat Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga, 1992), h. 2. 12 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Jam’iyah yang memusatkan perhatiannya pada kegiatan bidang agama, pendidikan, pengajaran dan kebudayaan serta bidang sosial dan ekonomi. Sikap politik kiai pesantren di Jawa Timur tersebut, kemungkinan dimotivasi oleh besarnya jumlah pesantren di wilayah itu.22 Secara kuantitatif, jumlah santri dan pesantren di Jawa Timur, sebagaimana dikatakan Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, merupakan yang terbesar di antara pesantren yang ada di Indonesia.23

22 Kiai Achmad Taufiqurrohman, Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur dalam kesempatan wawancara dengan penulis tanggal 27 Pebruari 2007, antara lain menyatakan bahwa argumen yang bisa menjadi pertimbangan mengapa kiai pesantren melakukan kegiatan politik, selain karena wilayah Jawa Timur,memiliki banyak pesantren dengan jumlah santri yang besar pula, juga karena kiainya mempunyai naluri sebagai pejuang, sebagaimana telah ditunjukkan oleh kiai Hasyim Asy’ari, kiai A. Wahid Hasyim, kiai Wahab Hasbullah dan lain-lain. Selain itu, pada Pemilu Pertama, tanggal 29 September 1955 dan menjadi symbol eksperimentasi Islam politik jilid I, NU muncul sebagai empat partai besar dengan perimbangan kekuatan Parlemen PNI 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi dan PKI 39 kursi. Juga pada Pemilu Kedua tahun 1971 dan menjadi symbol ekperimentasi Islam politik jilid II, NU memperoleh suara terbanyak di antara Parpol Islam yang lain, sekitar 18,67 % (lebih tinggi dibandingkan 18,4 % suara yang diperoleh pada Pemilu tahun 1955), setara dengan 58 kursi DPR. Perolehan suara sebesar itu, baik pada Pemilu 1955 maupun Pemilu 1971, terbanyak diperoleh di Jawa Timur, daerah kantong pesantren, sehingga tidak bisa diabaikan betapa besar peran kiai pesantren dalam mempengaruhi kontituennya. Lihat Alfian, Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk Dewan Perwakilan Rakyat, (Jakarta: Leknas, 1971), h. 9-13. Juga lihat Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994), Cet. Ke-1, h. 103. 23 Pernyataan itu, ia sampaikan dalam kunjungannya ke sejumlah ponpes untuk menghadiri istighotsah atau acara resmi lainnya. Hampir di Pendahuluan 13

Berdasarkan data statistik Ditjen Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia tahun 1980, jumlah pesantren di Indonesia mencapai 5.373 buah dengan jumlah santri 1.238.967 orang. Dari jumlah tersebut, 1.344 buah terdapat di Jawa Timur dengan santri berjumlah 427.517 orang.24 Pada tahun 2005 jumlah institusi tersebut meningkat menjadi 14.798 buah dengan santri berjumlah 3.464.334 orang. Dari jumlah tersebut, 3.582 buah terdapat di Jawa Timur dengan santri mencapai 1.169.256 orang.25 Jadi, melalui pemilihan umum, mereka berharap dapat mendulang suara dari para santri dan orang tua beserta para keluarganya, bahkan dari para alumni

setiap acara yang diikuti, ribuan masyarakat turut hadir. Mereka larut dalam do’a serta mendengarkan seksama wejangan dari para kiai. Oleh karena itu, “Ini sangat luar biasa, jika pesantren juga dapat menyebarkan pesan-pesan kesehatan kepada masyarakat. Rencananya ia akan membangun Poskestren di 200 pesantren yang tersebar di Jawa Timur. Jadi, diawali dari Jawa Timur. Peresmian program ini dilakukan di Ponpes Langitan Widang Tuban, sebagai salah satu dari lima pesantren yang mengawali program ini. Keempat ponpes lainnya adalah Darul Ulum, Peterongan Jombang, Bachrul Ulum, Tambak Beras Jombang, al- Tanwir, Bojonegoro dan Raudhatul Muta’allimin, Babat Lamongan. Lihat “Pesan Kesehatan Dari Pesantren”, Dialog Jum’at Tabloid Republika, (Jakarta), 15 September 2006. 24 Statistik Pendidikan Islam (1979-1980), Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. 25 Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan (2004-2005), Ditjen Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. Lihat pula Yahya Umar, “Jawa Barat Tuan Rumah Jambore Pramuka Santri 2009”, Republika, (Jakarta), 15 September 2006. 14 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi dan keluarganya. Dalam hangar-bingar politik, mereka berebut posisi kaum santri.26 Dengan demikian, suara dari pesantren mempunyai daya jual yang tinggi, sehingga sebagai pemilik, pengasuh dan elite,27 setidak-tidaknya elite pesantren atau bahkan elite agama di tengah-tengah masyarakat sekitarnya, kiai dapat melakukan bargaining position dengan pihak-pihak yang punya kepentingan. Jadi, pantas bila pesantren dan warganya diperebutkan oleh banyak kalangan. Pada era Orde Baru, para politisi Golkar biasa melakukan kunjungan ke beberapa pesantren di berbagai wilayah di Indonesia: Jawa dan luar Jawa, apalagi saat menjelang pelaksanaan pemilu lima tahunan tiba. Mereka datang selain meminta restu dan dukungan atas pencalonan seseorang menjadi presiden dan jabatan lainnya, juga tak jarang menawarkan berbagai jabatan, baik jabatan pada lembaga legislatif maupun eksekutif atau bahkan

26 Parpol Berebut Posisi Kaum Santri, Republika, (Jakarta), 12 Nopember 2007, h. 3. 27 Secara umum berarti sekelompok orang yang dalam masyarakat menempati kedudukan tinggi, sedangkan secara khusus, berarti sekelompok orang terkemuka pada bidang-bidang tertentu dan khususnya golongan kecil yang memegang kekuasaan. Bahkan diartikan sebagai posisi di dalam masyarakat, di pucak struktur-struktur sosial yang terpenting, yaitu posisi tinggi dalam ekonomi, pemerintahan, kemiliteran, politik, pekerjaan dinas, pengajaran dan agama dan lain sebagainya. Dari pengertian ini, terdapatlah beragam sebutan elite, di antaranya adalah elite politik, ekonomi, militer, diplomatik, cendikiawan, filsuf, pendidik dan pemuka masyarakat serta elite agama dan lain sebagainya. Pendahuluan 15 menawarkan bantuan dana dan lainnya untuk perbaikan sarana dan prasarana dalam rangka kemajuan institusi pesantren, asalkan kiai dan warga pesantren lainnya memberikan dukungan pada Golkar. Kiai Karim Hasyim, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, yang juga putra pendiri Ormas NU dan pendiri Pondok Pesantren Tebuireng KH. Hasyim Asy’ari misalnya, pada tahun 1971, awal Orde Baru, merupakan salah seorang di antara sekian banyak kiai yang berhasil direkrut oleh Golkar untuk menjadi juru kampanyenya.28 Begitu pula, kiai Musta’in Romly, tokoh kharismatik, mursyid dan Ketua Umum Tarekat Qodiriyah-Naqsabandiyah, Rektor Universitas Darul Ulum dan Ketua Umum Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang adalah kiai pesantren yang secara terang- terangan menyeberang dan menjadi pendukung Golkar pada tahun 1978,29 padahal sebelumnya, ia

28 Ketika penulis menjadi santri Pondok Modern Darussalam Gontor tahun 1969-1974, ia pernah berkunjung ke Gontor untuk bersilaturahmi kepada KH. Ahmad Salah, salah seorang dari tiga pengasuh (Trimurti) pondok. Kepadanya, ia memohon agar berkenan memberikan dukungan kepada Golkar pada Pemilu yang akan diselenggarakan pada 1971, tetapi, ia menolaknya dengan berbagai pertimbangan dan alasan. 29 Kiai Musta’in Romly dengan institusi pendidikan dan keagamaan yang dipimpinnya tidak sepantasnya meninggalkan NU, sedangkan di pihak lain, Rejoso sebagai salah satu dari 4 pesantren di Jombang yang paling berpengaruh dan memiliki sistem pendidikan yang paling modern -ada SMP, SMA, Fisipol dan Fakultas Hukum- ternyata alumninya belum semujur alumni 3 pesantren lainnya. Dari keempat pesantren “bibit NU” di Jombang itu, Rejoso adalah satu-satunya yang belum memperoleh kedudukan tertinggi dalam tubuh NU, maupun dalam pemerintahan melalui NU. Rais ‘Am NU yang pernah menjabat sampai 16 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi merupakan pendukung utama Partai Persatuan Pembangunan (PPP), satu-satunya partai yang dianggap mewakili aspirasi ummat Islam. Terlepas dari interes pribadi, keduanya akhirnya dikucilkan dan diasingkan bahkan kiai Musta’in Romly hampir dibuang dari komunitasnya. Dua contoh di atas menggambarkan betapa pentingnya pesantren dan warganya – pada dasawarsa tujuh puluhan – bagi Golkar sebagai pengawal rezim yang berkuasa saat itu, untuk mendulang suara pemilih, suatu kenyataan yang juga diamini dan dilanjutkan oleh para ketua dan pengurus Golkar periode berikutnya. Harmoko, Ketua Umum Golkar 1992-1997 dan Menteri Penerangan RI, sebagaimana pengurus sebelumnya,

saat itu berturut adalah KH. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, KH. Abdul Wahab Hasbullah dari Tambak Beras dan KH. Moh. Bisri Syansuri dari Dinanyar. Sedangkan dua Menteri Agama dari Jombang yang pernah ada adalah KH. Abd. Wahid Hasyim dari Tebuireng dan KH. Wahib Wahab dari Tambak Beras. Sedangkan Rejoso, tampaknya tidak pernah melahirkan tokoh dalam bidang politik maupun pemerintahan yang mampu mencapai jabatan setinggi itu. “Saya toh tidak dapat menitipkan amanat pesantren Rejoso kepada orang-orang Tambak Beras atau Tebuireng yang ada di pusat itu! Maka saya harus berjalan sendiri, menembus ke pusat sendiri. Sikap politik kiai Musta’in Romly selain menghasilkan keuntungan yang sifatnya materiil bagi pengembangan dan kemajuan institusinya, juga mengubah pandangan sebagian besar politisi yang berpredikat kiai pesantren terhadap Orde Baru yang berkeinginan memisahkan Islam sebagai agama dengan Islam sebagai ideology. Lihat Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), Cet. Ke-1, h. 80-81. Lihat pula Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1999), Cet. Ke-1, h. 304-309. Pendahuluan 17 juga melakukan hal yang sama, bahkan ia mencanangkan “Safari Ramadhan”, semacam kegiatan mengunjungi pesantren pada bulan puasa. Demikian juga Siti Hardiyanti Rukmana (selanjutnya disebut Tutut), Ketua Golkar, saat ayahnya, Presiden Soeharto berada di puncak kewibawaan, menggandeng Gus Dur, Ketua Umum PBNU dan tokoh masyarakat yang sangat populer, dalam kampanye pemilu 1997, keliling pesantren.30 Tak lupa Gus Dur, ketika itu mengucapkan sejenis “Pesan Sponsor” dengan menyatakan “Tutut adalah calon pemimpin nasional masa depan. Para kiai dan santri, banyak yang mengamini pernyataan Gus Dur.”31 Sebagaimana Golkar, politisi PPP, partai yang merupakan fusi dari Parmusi, Partai NU, PSII dan Partai Perti, juga melakukan strategi yang sama. PPP bahkan menempatkan kiai-kiai pesantren kharismatik dalam struktur organisasi kepengurusan PPP, antara lain kiai Moh. Bisri Syansuri, Rais ‘Am NU dan pendiri pesantren Denanyar, dipilih menjadi Rais ‘Am Majelis Syuro PPP, kiai Maimun Zubeir dari Ponpes Sarang, dipilih menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai, kiai Alawy Muhammad,

30 Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan, Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h. 232. 31 Fransiskus Surdiasis, (ed.), Opini Denny J.A. Harian Suara Pembaharuan, Jalan Panjang Reformasi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), 178. 18 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Pengasuh Ponpes al-Taroqqy, Sampang Madura, dipilih menjadi Wakil Ketua Majelis Pertimbangan Partai, sedangkan kiai Muhammad Yusuf Hasyim, Direktur Ponpes Tebuireng dipilih menjadi Ketua PPP. Penempatannya dalam struktur kepengurusan partai, selain untuk membangun citra PPP sebagai satu-satunya partai Islam, juga dalam rangka merebut hati dan suara warga pesantren dan ummat Islam yang tersebar di berbagai penjuru negeri ini, khususnya Pulau Jawa. Tetapi, aliansi kiai pesantren dengan PPP mengalami hambatan sejalan dengan diserahkannya jabatan Ketua Umum PPP kepada H.J. Naro tanpa melalui rapat partai, apalagi muktamar, oleh H.M.S. Mintaredja, Ketua Umum PPP 1973-1978. Konflik antara keduanya ini semakin meruncing, ketika H.J. Naro, yang memegang kendali kepemimpinan partai sampai tahun 1989, secara sepihak menyerahkan kepada pemerintah, daftar calon anggota legislatif untuk pemilu 1982, dengan mengurangi proporsi anggota NU secara drastis, dan bila ada kiai pesantren didaftar maka kiai pesantren yang vokal seperti kiai Muhammad Yusuf Hasyim, kiai Saifuddin Zuhri dan Imron Rosjadi diletakkan pada urutan paling bawah, sehingga tidak mungkin terpilih. Dampaknya, kiai pesantren beserta NU yang dikawalnya keluar dari PPP dan meninggalkan politik praktis. Keputusan itu, dua tahun kemudian Pendahuluan 19 diformalkan dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984.32 Dalam pada itu, sikap politik kiai pesantren yang mendirikan beragam partai atau dengan bergabung pada partai yang telah established tersebut, barangkali juga dipicu oleh tujuan politiknya, yakni ‘izz al-Islām wa al-Muslimīn. Mereka berpandangan bahwa warga NU, yang juga warga pesantren, secara ekonomi merupakan masyarakat yang lemah, sedang secara intelektual, merupakan komunitas yang rendah dan tertinggal. Jadi, berbeda dengan Muhammadiyah, secara ekonomi, warganya merupakan masyarakat yang berada, sedang secara intelektual, merupakan komunitas yang maju, yang ditandai dengan banyaknya warga Muhammadiyah yang mengenyam pendidikan tinggi, sehingga mereka dikategorikan sebagai kelompok rasional dan modernis.33 Sebaliknya, warga NU dikategorikan sebagai kelompok tradisionalis dan ortodok. Oleh karena itu, untuk mengentaskan mereka dari kedua kondisi di atas, maka kiai pesantren merasa perlu untuk melakukan kegiatan politik, dengan target utama lembaga legilatif dan eksekutif atau bila mungkin

32 Lihat Mahbub Djunaidi, Nahdlatul Ulama Kembali Ke Khittah 1926, (Bandung: Risalah, 1985), Cet. Ke-1, h. 27-28. 33 M.M. Billah, “Muhammadiyah Dan Nahdlatul Ulama: Reorientasi Wawasan Pergerakan”, dalam Yunahar Ilyas, M. Masyhur Amin dan M Daru Lalito (ed.), Muhammadiyah dan NU Reorientasi Wawasan KeIslaman, (Yogyakarta: Kerjasama LPPI UMY, LKPSM NU dan PP al-Muhsin, 1993), Cet. Ke-1, h. 18-22. 20 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi lembaga yudikatif dan lembaga non pemerintah lainnya. Lewat kedua lembaga negara yang bergengsi itu khususnya dan umumnya, lembaga-lembaga non pemerintah lainnya, kiai pesantren dan mereka yang duduk mewakili kepentingan kiai pesantren dan Ormas NU,34 dapat memainkan peran-peran politiknya, misalnya peran dalam pengambilan berbagai keputusan, peran dalam melaksanakan fungsi-fungsi DPR, yakni bersama-sama Presiden membentuk undang-undang, membentuk undang- undang tentang APBN, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, pelaksanaan APBN dan kebijakan pemerintah serta berperan sebagai forum komunikasi antara rakyat dengan

34 Organisasi ini didirikan oleh kiai Hasyim Asy’ari bersama ulama terkemuka lainnya, pada 31 Januari 1926 di . Jika kiai Hasyim Asy’ari dikenal sebagai tokoh pembentuk isi Nahdlatul Ulama, maka kiai Wahab Hasbullah adalah tokoh yang mewujudkannya menjadi organisasi. Jadi, keduanya, baik kiai Hasyim Asy’ari, Rais Akbar maupun kiai Wahab Hasbullah, Rais ‘Am adalah Bapak dan Pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Adapun faktor yang melatarbelakangi didirikannya ormas ini antara lain adalah dua peristiwa besar yang menyangkut agama Islam yang terjadi setelah tahun 1924, yakni dihapuskannya khalifah oleh Turki dan serbuan Kaum Wahabi ke Mekkah. Kepada yang terakhir, para kiai pengusulkan agar tata cara ibadah keagamaan yang dipertanyakan oleh Kaum Wahabi puritan seperti membangun kuburan, berziarah, membaca do’a Dalāil al- Khairāt, ajaran mazhab Syafi’I yang kebanyakan dianut oleh umat Islam Indonesia dan kepercayaan terhadap para wali tetap dipertahankan. Lihat Lothrop Stoddard, the New World of Islam, (Jakarta: Panitia Penerbit, 1966), h. 323. Lihat pula Deliar Noer, the Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, (Singapore: Oxford University Press, 1973), h. 243. Pendahuluan 21 pemerintah dan DPR.35 Tentu, untuk sampai pada lembaga negara dan non negara tersebut, perlu ada sarana yang mengantarkannya, sedangkan kendaraan yang dipandang sangat efektif adalah partai politik. Oleh karena itu, pada tempatnya, bila para elite politik, elite agama, elite pesantren dan elite-elite lainnya, sebagaimana dijelaskan terdahulu, kemudian mendirikan partai yang sangat variatif. Khusus untuk elite pesantren, pendirian beragam partai itu, bisa direalisasikan karena NU telah kembali ke khittah 1926, dari organisasi politik menjadi organisasi atau Jam’iyah yang memusatkan perhatiannya pada kegiatan bidang agama, pendidikan, pengajaran dan kebudayaan serta bidang sosial ekonomi, sehingga membuka kesempatan kepada kiai pesantren untuk berkiprah di partai politik, baik baru maupun lama. Dalam hal ini, kiai Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa kiai khususnya dan NU pada umumnya, kini sebaiknya berusaha masuk ke segala lingkungan dan semua partai. Mereka harus berada di semua tempat, di dalam angkatan bersenjata, PDI, Golkar dan PPP. Kita harus berada di semua tempat.36 Jadi, kiai dan NU sedikit banyak mengikuti contoh Muhammadiyah yang sudah berada di tiga partai

35 Kiai As’ad Umar, Ketua Umum Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum dan Anggota DPR Dari Golkar, Wawancara Pribadi, Peterongan, Jombang, 21 Pebruari 2007. 36 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 265. 22 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi politik,37 lantaran Muhammadiyah merupakan Jam’iyah dan persyarikatan yang berorientasi pada gerakan dakwah, amar makruf nahi munkar, pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya,38 sehingga memungkinkan anggotanya berada di semua tempat, Partai Politik, ABRI, LSM dan lain sebagainya. Dengan demikian, sikap politik kiai di atas, nampak dipicu oleh banyak faktor dan untuk melengkapi faktor tersebut, berikut argumen- argumen yang barangkali bisa dikategorikan sebagai factor pemacu. Pertama, bahwa sumber ajaran Islam memiliki lingkup tidak terbatas pada aspek ritual dan bimbingan moral, tetapi juga memberikan nilai-nilai pada semua sisi kehidupan, baik dalam ilmu ekonomi, hukum dan sosial maupun dalam persoalan

37 Pada periode 1987-1992, Muhammadiyah memiliki 9 wakil di DPR dari PPP, 3 dari Golkar dan 1 dari PDI. Di pemerintahan juga terwakili dengan diangkatnya Munawir Sjadzali menjadi Menteri Agama. Meskipun begitu, Muhammadiyah tidak bisa menyetujui semua usulan Menteri Munawir, misalnya dalam masalah pembagian warisan yang diusulkan sama bagi anak laki-laki dan perempuan. 38 Sikap menarik garis pemisah yang jelas antara kegiatan sosial keagamaan dengan dunia politik telah lama dilakukan oleh Muhammadiyah, terutama setelah kegagalan beberapa pemimpinnya mengambil alih pimpinan partai baru, Parmusi, pada tahun 1968. Sejak itu, ia menyatakan diri tidak mempunyai ikatan apapun dengan partai politik pada tahun 1971, sehingga ia dikritik dan dicap sebagai kelompok Islam radikal. Lihat Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1962), h. 3-4. Lihat pula Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 338. Pendahuluan 23 politik dan Negara.39 Kedua, dengan posisinya sebagai pemuka (elite) agama, kiai pesantren memiliki pengikut dan pengaruh yang luas di tengah-tengah santri dan masyarakat di sekitar pesantren, sehingga menyebabkannya terlibat dalam persoalan peng- ambilan keputusan bersama, proses kepemimpinan, penyelesaian problem-problem sosial, pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan.40 Ketiga, dari segi sejarah, ulama, baik wali maupun kiai pesantren memiliki peran yang cukup besar dalam politik, yang bisa dilihat dalam pengambilan keputusan sepanjang sejarah Islam di Indonesia.41 Fenomena sikap politik kiai pesantren terhadap perpolitikan di Indonesia, khususnya pada era reformasi, sejauh pengamatan penulis menarik untuk dicermati, diteliti, dikaji dan dijadikan sebagai bahasan dalam sebuah tulisan, mengingat masa itu merupakan bagian yang menentukan dari demo- kratisasi di Indonesia yang ditandai oleh pelaksanaan pemilu multi partai yang bebas, rahasia, jujur dan adil, pada 7 Juni 1999.

39 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. Ke-1, h. 8. 40 Ali Maschan Musa, Kiai & Politik Dalam Wacana Civil Society, (Surabaya: LEPKISS, 1999), 116-124. 41 Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), Cet. Ke-1. Juga lihat Laporan-Laporan Tentang Gerakan Protes Di Jawa Pada Abad XX, (Jakarta: Arsip Nasional RI, 1981). 24 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang, maka penulis meneliti pesantren dan politik, studi tentang sikap politik kiai pesantren di Jawa Timur 1998-2004. Untuk meneliti masalah tersebut, maka dapat dikemukakan identifikasi masalah sebagai berikut: Pertama, pesantren dan politik merupakan dua hal yang berbeda. Politik merupakan usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama melalui penyelenggaraan negara dan pemerintahan, sehingga menimbulkan kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat yang terkadang dibarengi dengan konflik, di samping kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Sedangkan pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam, tempat murid-murid belajar mengaji dan mempelajari ilmu pengetahuan agama Islam kepada seorang guru, pemilik pesantren itu sendiri yang dikenal dengan sebutan kiai. Dengan demikian, kiai pesantren merupakan kiai yang memusatkan perhatiannya pada pengajaran di pesantren untuk mencerdaskan sumber daya masyarakat melalui pendidikan. Tetapi, kenyataannya mereka mengambil garapan para negarawan dan politisi, dengan menyikapi perpolitikan era reformasi melalui pendirian partai. Pendahuluan 25

Persoalannya, apakah perpolitikan era reformasi berhubungan dengan sikap politik kiai pesantren pesantren? Kedua, manusia selain disebut sebagai homo social juga dikenal sebagai homo politicus. Artinya bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri dan sangat tergantung pada yang lain, di samping ia juga saling mempengaruhi satu sama lainnya. Kiai pesantren adalah manusia. Oleh karena itu, kiai pesantren juga punya kepentingan politik, dan untuk mencapainya, kiai pesantren menyikapi kebijakan politik pemerintah era reformasi dengan mendirikan partai. Persoalannya, apakah kebijakan pemerintah berhubungan dengan sikap politik kiai pesantren? Ketiga, seseorang melakukan berbagai macam aktivitas, terutama politik, karena adanya kekuatan yang mendorong. Kekuatan pendorong itu ada yang datang dari dalam diri orang itu sendiri atau kekuatan internal dan ada pula yang datang dari luar diri orang itu sendiri atau kekuatan eksternal. sehingga tujuan yang dicita-citakan bisa tercapai. Dalam konteks kiai pesantren persoalannya adalah apakah tujuan dan motivasi politiknya berhubungan dengan sikap politik kiai pesantren? Keempat, dalam mencapai tujuan yang diinginkan tentu diperlukan sarana dan tempat berupa lembaga yang menjadi target politiknya. 26 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Persoalannya, apakah sarana yang menjadi target politiknya berhubungan dengan sikap politik kiai pesantren? Kelima, bila sarana dan tempat berupa lembaga telah dapat direalisasikan dan didapat, maka melalui lembaga itu, diharapkan dapat dimainkan peran- peran strategisnya, sehingga motif dan tujuannya tercapai. Dalam konteks kiai pesantren, masalahnya adalah apakah peran-peran strategis yang dimainkan pada lembaga berhubungan dengan sikap politik kiai pesantren? Keenam, aktivitas kiai pesantren dalam politik, seringkali banyak menyita waktu, tenaga dan pikiran dan lain sebagainya, sehingga kegiatan pokonya sebagai pengasuh sekaligus pengajar di pesantren untuk mencerdaskan sumber daya manusia melalui pendidikan menjadi terabaikan. Oleh karena itu, muncul permasalahan, apakah dampak bagi dunia pesantren berhubungan dengan sikap politik kiai pesantren?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Mengingat luasnya masalah yang akan dikaji sebagaimana dikemukakan di atas, maka penulis hanya akan membatasi permasalahan pada sikap politik kiai pesantren di Jawa Timur tahun 1998-2004 Pendahuluan 27 saja, sehingga permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah terdapat hubungan antara perpolitikan era reformasi dengan sikap politik kiai pesantren? 2. Apakah terdapat hubungan antara kebijakan politik pemerintah era reformasi dengan sikap politik kiai pesantren? 3. Apakah terdapat hubungan antara tujuan dan motivasi politik kiai pesantren dengan sikap politiknya? 4. Apakah terdapat hubungan antara lembaga, tempat kiai pesantren memainkan peran politiknya dengan sikap politik kiai pesantren? 5. Apakah terdapat hubungan antara dampak bagi dunia pesantren dengan sikap politik kiai pesantren?

D. Kajian Pustaka Terdahulu Kajian tentang pesantren dan warganya, baik kiai maupun santri dalam hubungannya dengan kehidupan di dalam dan luar pesantren sebenarnya telah banyak dilakukan orang. Kajian itu ada yang sudah dibukukan dan tersebar luas dan ada yang hanya dipublikasikan secara terbatas. Di antaranya 28 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi ada yang berupa kumpulan makalah dari hasil studi literatur dan ada pula yang berupa refleksi pengalaman penulis yang bersangkutan bahkan ada yang berupa hasil penelitian yang sederhana. Selain itu, ada beberapa kajian mendalam berupa disertasi yang ditulis sebagai bagian untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar doktor. Kajian yang bersifat mendalam yang ditulis dalam bentuk disertai ditulis oleh Imam Suprayogo,42 berjudul Kiai dan Politik Di Pedesaan, Suatu Kajian Tentang Variasi dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiai. Dalam disertasi ini, penulis mencoba mengkaji kiai dari sisi variasi dan bentuk keterlibatan politiknya di Kecamatan Tebon, daerah penghasil tebu terbesar di wilayah Kabupaten Malang. Mulanya diduga bahwa variasi dan bentuk keterlibatan politik kiai tunggal, tetapi kenyataaanya tidaklah demikian, sangat variatif. Begitu pula bentuk keterlibatan kiai bervariatif dalam politik pada masyarakat yang berada di lapis bawah sangat beragam, terutama dalam memandang pemerintah sebagai rival baik dalam afiliasi politik dan pemilihan kepala desa maupun dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ekonomi umat. Terdapat kiai yang berekonomi kuat, sehingga memiliki independensi

42 Imam Suprayogo, “Kiai dan Politik di Pedesaan, Suatu Kajian Tentang Variasi dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiai,” Disertasi Doktor Ilmu Sosial, (Surabaya: Perpustakaan Pascasarjana Universitas Airlangga, 1998). td. Pendahuluan 29 kuat dan mengambil jarak dengan pemerintah, tetapi ada pula kiai yang lemah secara ekonomi, sehingga tidak memiliki independensi. Akibatnya, ia selalu tergantung pada pihak-pihak lain, dan secara politik dekat dengan penguasa. Oleh karena itu, kiai seringkali diperebutkan oleh berbagai kelompok kepentingan. Kiai yang berada pada kategori pertama, biasanya menjadi mitra kritis terhadap penguasa, sebaliknya kiai berada pada kategori kedua, mengambil sikap politik adaptif dan akomodatif.

Mahmud Suyuthi43 dalam karyanya berjudul Politik Tarekat, mencoba menjelaskan bahwa penataan politik yang dikembangkan Orde Baru mempunyai dampak politis yang terelakkan oleh kaum tarekat. Akibatnya tarekat Qidīriyah wa Naqsyabandiyah di Jombang pecah menjadi tiga kelompok: Tarekat Rejo (akomodasional), Tarekat Cukir (fundamentalis) dan Tarekat Kedinding Lor (reformis). Perbedaan pola perilaku kaum tarekat tersebut disebabkan oleh perbedaan pandangan atau pendapat mereka terhadap pemerintah Orde Baru, serta perbedaan pemaknaan dan penafsiran terhadap kepentingan Islam. Meskipun secara kategoris perilaku politik Tarekat Rejoso akomodasionis, Tarekat Cukir

43 Mahmud Suyuthi, Politik Tarekat, (Yogyakarta: Gilang, 2002), Cet. Ke-1. 30 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi fundamentalis dan Tarekat Kedinding Lor reformis, namun tidak berarti bahwa perilaku politik murid pada masing-masing tarekat itu sama dengan perilaku politik mursyidnya, meskipun masih dalam satu payung tarekat yang sama: Qodīriyah wa Naqsyabandiyah. Selain itu, hubungan tarekat dan politik Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari kerangka besar yang membingkainya, yaitu hubungan Islam dan negara di Indonesia. Hubungan Islam dan negara di Indonesia mengalami beberapa fase perkembangan yaitu fase ketegangan (sejak menjelang kemerdekaan sampai masa awal Orde Baru), fase pencarian dan penyesuaian hubungan (sejak tahun 1970-an sampai ditetapkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi politik dan sosial kemasyarakatan tahun 1985) dan fase akomodatif (sejak tahun 1985 sampai sekarang). Sementara sejak tahun 1970-an telah terjadi pembaharuan pemikiran di kalangan umat Islam. Akibatnya terdapat pola pemikiran, sikap dan perilaku politik dalam memberikan respon terhadap politik pemerintah Orde Baru. Perbedaan pola-pola pemikiran, sikap dan perilaku politik tersebut tidak hanya berlaku bagi organisasi dalam skala besar, tetapi dalam suatu organisasi Islam terdapat kelompok-kelompok yang mempunyai pola perilaku politik yang berbeda satu sama lain. Dengan kata lain, pluralitas pemikiran di kalangan umat Islam Pendahuluan 31 telah memasuki segmen-segmen yang lebih kecil, termasuk di kalangan kaum tarekat. Jadi, komunitas Islam yang majemuk menjadi semakin majemuk. Dalam pada itu, komunitas tarekat sebagai komunitas keagamaan tidak berdaya dalam menghadapi kekuasaan pemerintah Orde Baru. Namun sebagai gerakan keagamaan, tarekat dapat menjadi saluran dari proses santrinisasi priyayi atau birokrasi, dengan semakin banyaknya elite birokrasi yang masuk menjadi penganut atau pengamal tarekat. Sementara, tarekat sebagai salah satu dimensi ajaran Islam yang bersifat esoteris (batiniyah) semakin menarik minat dalam kehidupan modern yang kehilangan dimensi spiritual dan transedental.

Zamakhsyari Dhofier,44 dalam bukunya The Pesantren Tradition, The Role of Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, mencoba mengkritik studi tentang Islam di Jawa yang terpaku oleh pola pendekatan dikotomi tradisionalisme dan modernisme yang tidak dapat dipertemukan, yang kemudian menghasilkan penyederhanaan dan penyifatan yang kasar sebagai dua kutub yang saling berlawanan. Pendekatan seperti ini menurutnya dianggap tidak akan membuahkan pengetahuan yang baru. Oleh karena itu, ia menawarkan alternatif pendekatan lain

44 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren tradition, The Role of the Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, op. cit., h. xx-xxii dan xxx. 32 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi yang disebutnya “Kesinambungan di tengah-tengah perubahan” – continuity and change. Lewat pendekatan ini, ia menyimpulkan bahwa dalam membangun masa depannya, pesantren berdiri dengan teguh di atas tradisi masa lampaunya. Bahkan, pada pesantren telah terjadi perubahan- perubahan yang mendasar tanpa kehilangan jati diri kiai atau pesantren yang bersangkutan. Pendekatan dikotomis tradisionalis dan modernis hanya akan memberikan gambaran yang tidak tepat, yaitu seolah- olah pada suatu ketika kelompok tradisionalis akan hilang setelah kelompok modernis mencapai keberhasilan secara penuh, padahal yang demikian menurutnya tidak akan pernah terjadi. Tampaknya, Zamakhsyari Dhofier ingin menunjukan pada dunia luar, bahwa pada dunia kiai telah terjadi perubahan dan adaptasi sesuai dengan tuntutan masyarakat, dimana kiai telah berhasil memperbaharui penafsiran mereka terhadap Islam tradisional untuk disesuaikan dengan dimensi kehidupan yang baru. Begitu pula, dalam lapangan sosial dan politik, para kiai dan anak cucunya telah menjadi bagian dari kehidupan politik nasional, tidak kalah moderen dibandingkan dengan kelompok- kelompok sosial politik lainnya. Di antara kiai ada yang memiliki kemampuan berpartisipasi dengan memberikan alternatif pemikiran dalam rangka pembangunan bangsa dalam skala yang lebih luas. Pendahuluan 33

Keterlibatan kiai dalam merumuskan dasar Negara Republik Indonesia dapat menjadi contoh betapa peran strategis yang diambil oleh para kiai dalam bidang politik.

Martin Van Bruinessen,45 dalam karyanya berjudul Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, banyak berbicara tentang tradisi keilmuan pesantren, kitab kuning dan hubungan pesantren dengan tarekat. Buku ini memang tidak banyak menyinggung posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tetapi banyak menyinggung mengenai asal usul pesantren, metode dan materi pelajaran yang diajarkan di seluruh pesantren di Indonesia, termasuk di pulau Jawa, bahkan juga dibahas mengenai gerakan tarekat di pesantren dalam hubungannya dengan proses pertumbuhan dan perkembangan wacana keagamaan dan semangatnya dalam perjuangan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Jadi, persoalan politik dibicarakan secara sederhana dan eksplisit.

Manfred Ziemek,46 dalam karyanya berjudul Pesantren dalam Perubahan Sosial memberikan penjelasan ala kadarnya tentang asal usul pesantren, tetapi unsur-unsur lembaga pendidikan pesantren yang mengalami perkembangan pada abad XX dan

45 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke1. 46 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, alih bahasa oleh Butche B. Soendjojo dari Pesantren Islamische Bildung in Sozialen Wandel, (Jakarta: P3M, 1983). 34 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi peranannya terhadap perubahan sosial banyak mendapatkan porsi penjelasan yang memadai. Tetapi, Karel A. Steenbrink,47 dalam karyanya berjudul Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen banyak menyinggung masalah asal usul sistem pendidikan di pesantren. Oleh karena tulisannya banyak difokuskan pada pembahasan pendidikan Islam era modern, maka uraiannya mengenai pesantren hanya sekilas dan tidak membahas sejarah lembaga pesantren, apalagi soal pesantren dan politik tidak disinggung sama sekali

Abdul Munir Mulkhan,48 dalam karyanya berjudul Runtuhnya Mitos Politik Santri banyak menguraikan tentang betapa para santri secara terbuka mulai memasuki seluruh golongan dan kekuatan politik yang ada. Sebagian besar santri yang aktif dalam kegiatan politik praktis mewakili PPP dalam lembaga legislative dan hampir separo dari mereka secara aktif memberikan dukungan kepada Golkan bahkan ada di antaranya yang berada dalam PDI. Fenomena ini menunjukkan satu kecenderungan baru yang mematahkan mitos santri sebagai oposan dan pembangkang. Sedangkan Ali Maschan Moesa,49

47 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1974). 48 Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, (Yogyakarta: Sipress, 1992), Cet. ke-1. 49 H. Ali Maschan Moesa, Kiai Politik dalam Wacana Civil Society, (Surabaya: LEPKISS, 1999), Cet.ke-1. Pendahuluan 35 dalam karyanya berjudul Kiyai dan Politik dalam Wacana Civil Society menjelaskan mengenai cara-cara para kiai tradisional melestarikan kelembagaan mereka sebagai society berhadapan dengan Negara. Kiai sebagai pemimpin kharismatik dalam bidang agama dan kemasyarakatan, bagi masyarakat Islam perdesaan memegang peranan penting untuk membentengi ummat dan cita-cita Islam terhadap ancaman kekuatan struktural dari luar. Oleh karena itu, dalam wacana yang berkaitan dengan pembangunan, paradigma yang berorientasi dari atas (top down), seharusnya diubah menjadi paradigma yang berorientasi dari bawah (bottom up), dalam arti para kiai tidak hanya sekedar dijadikan selender yang berfungsi meratakan dan meluruskan jalan dan setelah itu mereka ditinggalkan, tetapi mereka berharap dapat turut ambil bagian dalam proses pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan masyrakat. Mereka tidak hanya pasif melihat proses perubahan, tetapi juga ikut menentukan arah perubahan. Uraian Ali Maschan Moesa jelas mengenai gerakan politik kiai, tidak seluruh daerah Provinsi Jawa Timur, tetapi hanya terbatas pada masyarakat di pulau Madura, sebuah daerah yang terletak di sebelah timur Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Dari beberapa kajian para sarjana yang telah diuraikan dalam sub bab ini, sejauh pengamatan 36 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi penulis, belum memberikan informasi yang banyak tentang pesantren dan politik, terutama mengenai sikap politik kiai pesantren di Jawa Timur. Oleh karena itu, melalui penelitian ini, penulis akan mencoba mengkaji bahwa kiai sesuai dengan habitatnya sebagai penyebab adanya pesantren, pemilik, pengasuh dan tokoh sentral di pesantren seharusnya mengajarkan pengetahuan agama kepada para santrinya, tetapi, mengapa ia cenderung melakukan aktivitas politik yang semestinya dilakukan oleh politisi dan negarawan. Aktivitas itu justru banyak dilakukan oleh kiai pesantren di Jawa Timur, Propinsi yang menurut data statistik Ditjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI tahun 2004-2005, memiliki jumlah kiai dan pesantren jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah kiai dan pesantren yang ada di daerah lain di Indonesia. Sedangkan tahun 1998 dipandang sebagai Era Reformasi, yang selain ditandai oleh mundurnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden, juga ditandai oleh bangkitnya Islam politik, yang tecermin dengan munculnya beragam partai politik, di antaranya ada yang dibidani pendiriannya oleh kiai pesantren dan bahkan menjadi salah satu kendaraan politiknya.

Pendahuluan 37

E. Metodologi Penelitian Penelitian akan mencoba mengkaji Pesantren dan politik, Studi Tentang Sikap Politik Kiai Pesantren di Jawa Timur 1998-2004. Oleh karena itu, data yang digunakan, selain data yang diperoleh langsung dari lapangan baik dengan mengadakan interview maupun survey lapangan, juga memanfaatkan informasi yang telah terdokumentasi baik berupa buku, hasil penelitian, makalah ilmiah, artikel pada surat kabar, majalah dan jurnal ilmiah maupun dokumen yang tersedia dan lain sebagainya. Penelitian tentang Pesantren dan Politik; Studi Tentang Sikap Politik Kiai Pesantren di Jawa Timur 1998-2004 akan dilihat dalam beberapa aspek, terkait dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik pada era reformasi, latar belakang, motif dan sikap politik kiai pesantren, kendaraan politiknya, peran-perannya di lembaga negara dan non negara serta dampak keterlibatan politiknya bagi dunia pesantren. Aspek- aspek ini dinilai menarik, karena meskipun memiliki misi yang sama, para kiai ternyata mengambil posisi yang berlainan dalam menjaga eksistensi dirinya dan mempertahankan institusi yang dipimpin dan diasuhnya. Sikap politik kiai pesantren, khususnya di Jawa Timur tersebut barangkali disebabkan oleh beberapa faktor, bisa karena faktor ajaran Islam, ‘izz al-Islām wa 38 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi al-Muslimīn dan karena faktor kebijakan pemerintah. Dua faktor pertama merupakan faktor internal terkait dengan pandangan hidup kiai, nilai, persepsi dan pertimbangan-pertimbangan etik terhadap ummat pendukungnya, sedangkan faktor terakhir bisa disebut sebagai faktor eksternal terkait dengan masalah kepentingan-kepentingan material atau ekonomi,50 kebijakan politik penguasa dan pengaruh kekuatan politik yang berkembang saat itu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan pendekatan sejarah, sosial dan politik. Pendekatan sejarah dimaksud sebagai upaya melihat kejadian- kejadian masa lampau yang berhubungan dengan kelembagaan pesantren baik kiai, santri dan warga masyarakat, kedudukan dan peran kiai baik di pesantren maupun di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, penggalian data dilakukan melalui penyelidikan dan pengkajian terhadap naskah- naskah lama yang menjelaskannya. Selain studi pustaka, penelitian ini juga dilengkapi dengan penelitian lapangan. Observasi dilakukan pada beberapa pesantren di Jawa Timur, seperti Pesantren Langitan, Widang, Tuban; Pesantren Tebuireng, Jombang; Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang; Pesantren Darul

50 Marcus Mietzner, “Between Pesantren and Palace: Nahdlatul Ulama and Its Role in The Tradition”, dalam Geoff Forrester & RJ May (ed.), The Fall of Soeharto, (Bathurst, NSW: Crawford House Publishing, 1998), h. 176 dan 198-199. Pendahuluan 39

Ulum, Rejoso Peterongan, Jombang; dan Pesantren at- Taroqqy, Sampang, Madura. Pesantren-pesantren tersebut, selain usianya cukup tua, didirikan oleh tokoh yang punya peran penting dalam sejarah NU,51 punya cabang dan memiliki puluhan ribu atau bahkan ratus ribu alumni yang tersebar di berbagai wilayah atau bahkan ada yang menjadi tokoh dan ulama kenamaan. Selain itu, pesantren-pesantren itu diasuh oleh kiai kharismatik, warga dan ulama NU yang pernah menjadi pengurus NU, baik tingkat Pusat maupun Cabang, memiliki jumlah santri sekitar 5.000 sampai 8.000 santri, terbanyak di antara pesantren di Jawa Timur,52 yang diajar dengan memakai kitab-kitab menurut faham Aswaja, sedangkan faham Aswaja merupakan aqidah jam’iyah NU.53 Kiai pesantren yang menjadi observasi tersebut, juga menunjukkan keterwakilan partai yang menjadi kendaraan politiknya, misalnya Kiai Muhammad Yusuf Hasyim, aspirasi politiknya disalurkan melalui PPP dan kemudian PKU, Kiai Abdullah Faqih, aspirasi politiknya disalurkan melalui PKB dan kemudian PKNU, Kiai Alawy Muhammad, aspirasi politiknya disalurkan melalui

51 Asrori S. Karni, “Ibukota” Kaum Nahdliyyin”, Gatra Edisi Khusus, XI, 1-2 (Nopember, 2004), h. 23. 52 Daftar Identitas Pondok Pesantren (2004-2005), Ditjen Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. 53 Lihat Anggaran Dasar NU, Pasal 3 Tentang Aqidah. Mahbub Djunaidi, Nahdlatul Ulama Kembali Ke Khittah 1926, (Bandung: Risalah, 1985), Cet. Ke-1, h. 126-127. 40 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

PPP, Kiai Muhammad As’ad Umar, aspirasi politiknya disalurkan melalui Partai Golkar dan Kiai M. Hasib Wahab, aspirasi politiknya disalurkan melalui PDIP. Selain pengamatan lapangan, juga dilakukan wawancara dengan para tokoh agama, pimpinan dan pengasuh pesantren tersebut khususnya dan pesantren lain di Jawa Timur pada umumnya. Jadi, hanya sebagian kecil pesantren di Jawa Timur yang disurvey. Meskipun demikian, pesantren-pesantren tersebut sebagaimana dijelaskan cukup representatif untuk diteliti. Hal lain, yang menjadi pertimbangan adalah karena keterbatasan waktu maupun biaya. Pendekatan sosial dimaksudkan selain berupaya menelusuri hubungan sebab akibat sebagaimana paradigma fakta sosial, juga berupaya mencari pemahaman yang mendalam. Max Weber,54 menyebutnya versteheen, yaitu upaya memahami secara lebih dalam khususnya terhadap realitas sosial. Keputusan-keputusan politik kiai yang seringkali dianggap kontroversial ternyata me- nyimpan makna yang dalam. Dalam menentukan afiliasi politik terdapat kiai yang menyesuaikan diri dengan kemauan pemerintah padahal pada lembaganya terdapat pendidikan formal yang kurikulumnya tidak mengikuti kurikulum

54 Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, (New York: Macmillan, 1946), h. 110. Pendahuluan 41 pemerintah, sebaliknya terdapat pula kiai yang dalam menentukan afiliasi politik berseberangan dengan kemauan pemerintah padahal pada lembaganya terdapat pendidikan formal yang kurikulumnya mengikuti kurikulum pemerintah. Selain itu, juga terdapat kiai yang tidak saja melakukan peran sebagai guru agama dengan memimpin kegiatan keagamaan, tetapi juga berpartisipasi pada pengembangan ekonomi dan kesehatan ummat. Oleh karena itu, timbul pertanyaan yang layak dijawab, mengapa semua itu mereka lakukan dan apa maknanya? Untuk menjawab secara lebih mendalam dan menyeluruh, tidak cukup dengan hanya melihat adanya hubungan sebab akibat dari beberapa variabel, tetapi harus digali makna, nilai dan pemahaman yang lebih dalam terhadap keputusan- nya itu, sehingga paradigma yang disebut dengan versteheen menjadi tepat adanya. Selanjutnya, soal pendekatan politik dimaksud- kan bahwa manusia itu homo social sekaligus makhluk politik dalam arti manusia tidak bisa hidup sendiri dan tidak bisa dipisahkan dari persoalan kemasyarakatan dan persoalan pengaruh mem- pengaruhi dalam arti terdapat usaha penggalangan dukungan, memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan dan seni manusia memerintah lainnya dengan memperdayakan mereka dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pertanyaan yang layak dijawab ialah 42 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi mengapa semua itu mereka – termasuk di dalamnya kiai – lakukan? Untuk menjawab secara lebih mendalam dan komprehensif tidak cukup dengan melihat hubungan sebab akibat dari beberapa variabel, tetapi juga dilihat pemahaman doktrin agama yang dianutnya, posisinya sebagai pemuka agama dan pengaruhnya yang luas di tengah-tengah masyarakat serta secara ekternal dilihat dari kebijakan pemerintah yang barangkali sangat merugikan umat dan pesantren. Jadi umat dan pesantren dalam posisi terpinggirkan. Berdasarkan kenyataan di atas, maka penelitian ini bersifat kualitatif yaitu jenis penelitian yang tidak saja berambisi mengumpulkan data dari sisi kuantitas, tetapi juga ingin memperoleh pemahaman yang lebih dalam di balik fenomena yang berhasil direkam, misalnya menggali tentang makna yang sebenarnya di balik keputusan mengapa kiai berpolitik, atau mengapa dalam menentukan sikap politiknya, kok tidak bergabung pada partai politik yang berasaskan Islam saja, seperti pada masa Orde Baru berafiliasi pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan pada masa Orde Reformasi pada PKB, sebuah partai politik yang pendiriannya dibidani oleh para kiai yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama, tetapi justru afiliasi politik mereka beragam, bisa ke PPP, Golkar dan PDI pada masa Orde Baru, dan pada masa Orde Reformasi bisa ke Partai Golkar, Pendahuluan 43

PDI Perjuangan, PKU (Partai Kebangkitan Ummat), PNU (Partai Nahdlatul Ummah) dan Partai Suni (Partai Serikat Uni Nasional Indonesia). Dengan demikian, anggapan bahwa kiai hanya bisa berperan sebagai pemimpin spiritual dan tidak bisa berperan dalam politik ternyata tidak bisa diterima. Ulama dalam hal ini kiai harus melekat dengan politik.55 Kedua peran baik sebagai pemimpin spiritual maupun sebagai pemimpin politik, nampaknya dapat dilakukan oleh para kiai. Persoalan peran kiai tersebut, dipandang lebih tepat jika dijawab lewat penelitian yang bersifat mementingkan aspek kedalaman, dan tidak lewat penelitian yang hanya berorientasi pada keluasan cakupannya. Penelitian seperti ini dikenal dengan penelitian kualitatif, dimana secara praktis, penelitian lebih dikonsentrasikan pada segi individu pelaku politik, yaitu kiai pesantren itu sendiri, sedangkan informasi lainnya, jika digali, hanya berfungsi sebagai pelengkap atau komplementer. S.P. Varma, mengata- kan bahwa penelitian yang didasarkan pada individu perlu lebih jauh melihat posisi individu tersebut dalam masyarakat serta peran yang harus dilakukannya. Bila setiap individu mempunyai peran yang berbeda dalam konteks yang berlainan, maka

55 KH. Abdurrochman Chudlori, Ketua Dewan Syura PKNU, Ulama Harus Melekat Dengan Politik, Republika, (Jakarta), 17 Desember 2006, h. 3. 44 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi hal itu dapat menjelaskan keragaman tingkah laku yang berbeda.56 Jadi, sikap, pemikiran dan perilaku pribadi harus dijelaskan dari segi posisi dan peran setiap individu tersebut. Data yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini, tentu data yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Oleh karena itu, jenis-jenis sumber data secara ringkas adalah sebagai berikut: a. Data Literatur dari perpustakaan, khususnya tentang kiai, pesantren dan politik, dikaji dari perspektif teoritisnya. Dari segi peran dan fungsi kiai pesantren, pesantren dan perubahan sosial, serta dari pesantren dan modernisasi birokrasi, pesantren dan partai politik, dan sikap politik kiai pesantren. Selain itu, data literatur juga dipakai untuk mengkaji pesantren dan dinamika politik nasional era reformasi, yang meliputi situasi dan kondisi sosial, ekonomi dan politik pada akhir rezim Orde Baru dan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan. Di samping juga mengkaji persoalan bangkitnya beragam partai politik dan secara khusus mengkaji partai yang dibidani pendiriannya oleh kiai pesantren. b. Data tentang kiai pesantren di Jawa Timur dalam arena sosial politik dan politik kiai pesantren di

56 S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: Rajawali Press, 1982), h. 30. Pendahuluan 45

Jawa Timur 1998-2004, diperoleh sumbernya dari dokumentasi pesantren, realitas keadaan fisik dan keterangan lisan kiai, para ustadz dan ustadzah, staf pengelola dan pihak-pihak lain yang terkait baik langsung maupun tidak langsung. Sesuai dengan jenis, ciri-ciri dan sumbernya, maka pengumpulan data dari seluruh aktifitas penelitian ini dilakukan melalui teknik sebagai berikut: a. Studi Pustaka, dalam wujud menelaah buku-buku, hasil penelitian, jurnal dan makalah ilmiah, artikel pada berbagai media massa, baik surat kabar maupun majalah dan lain sebagainya, khususnya yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan informasi tentang kiai, pesantren dan politik, situasi dan kondisi sosial, ekonomi dan politik, awal bangkitnya politik Islam jilid III pada era reformasi, kiai pesantren di Jawa Timur dalam arena sosial politik di Jawa timur yang meliputi biografi kiai pesantren dan sikap dan motif politiknya, serta politik kiai pesantren di jawa Timur 1998-2004, yang meliputi kendaraan politik kiai pesantren, peran-peran politik kiai pesantren pada lembaga negara dan non negara serta dampak keterlibatan politik kiai bagi dunia pesantren. 46 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi b. Dokumentasi, dalam rangka mencari, meng- himpun dan menelaah arsip-arsip pesantren yang menyimpan data historis pada masa lalu, di samping data tertulis lain yang menginformasikan kondisi riil pesantren dan warganya, dahulu dan sekarang. c. Wawancara, dengan informan yang terdiri dari para tokoh masyarakat, para kiai, para ustadz dan ustadzah, staff dan para pengelola pesantren lainnya, para santri dan pihak lain yang dipandang relevan dengan inti permasalahan yang menjadi fokus perhatian penelitian ini. d. Observasi, dengan sasaran profil dan kondisi fisik bangunan pesantren, kondisi kehidupan para santri, kegiatan belajar mengajar di pesantren dan hubungan pesantren dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Kiai yang tampaknya sama, ternyata mempunyai karakteristik yang berlainan. Oleh karena itu, setelah diperoleh catatan tentang beberapa kiai, kemudian diinventarisasi kesamaan dan perbedaannya yang menonjol. Beberapa kesamaan kiai, misalnya selalu terkait dengan pondok pesantren, mengajarkan agama kepada para santri melalui kitab kuning atau klasik dan bentuk pakaian yang dikenakannya yang selalu mengenakan kopiah putih dan bersorban jika berada di lingkungan pondok, sedangkan perbedaan- Pendahuluan 47 nya yang diinventarisasi misalnya terkait dengan lembaga pendidikan yang dikembangkannya, sikap politiknya, pandangannya tentang doktrin agama dan keperduliannya terhadap masyarakat. Perhatian secara seksama terhadap beberapa perbedaan kiai tersebut, kemudian dipilih jenis kegiatan yang menonjol di antara masing-masing kiai dan akhirnya diperoleh tipologi yang masing-masing kurang lebih berbeda antara satu dengan lainnya. Penemuan tipologi tersebut melewati proses yang panjang, sebab hasil sementara terus diuji berulangkali dengan data yang dipandang akurat, apakah masing-masing tipe itu benar-benar berbeda antara satu dengan yang lain. Tipologi yang dihasilkan benar-benar diangkat dari data lapangan, begitu pula ukuran yang digunakan untuk menemukan tipologi itu tidak disusun terlebih dahulu, sebagaimana penelitian yang bersifat kuantitatf, tetapi digali dari sejarah kehidupan masing-masing kiai secara lebih mendalam. Untuk mengetahui penyebab perbedaan tipe kiai dan pilihan politik yang diambilnya, baik terkait dengan latar belakang politiknya maupun afiliasi politiknya, maka perlu dikaji bagaimana kiai memahami dokrin agama, memahami masyarakatnya dan memahami untung rugi, baik bagi lembaganya maupun ummatnya. Aspek-aspek itu dipahami melalui perspektif fenomenologis, yang menurut 48 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Noeng Moehadjir, metode fenomenologi digunakan untuk menyelidiki unsur-unsur apa yang ada dalam pengalaman atau kesadaran moral.57 Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan bersamaan waktunya dengan pe- ngumpulan data itu sendiri dalam arti bahwa instrumen data adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu, data yang diperoleh diklasifikasi, disaring, digeneralisasi dan kemudian ditarik kontruksi- konstruksi teoritisnya. Lewat proses ini, peneliti berusaha memahami, menyusun kategori-kategori, menginventarisasi karakteristik masing-masing kategori, sehingga jelas perbedaan satu dengan yang lainnya. Pekerjaan seperti ini jelas memakan waktu lama dan perlu kehati-hatian. Oleh karena itu, rumusan yang dihasilkan, tidak bisa sekali jadi. Jadi, jika ternyata pada fase tertentu diperoleh data yang tidak mendukung rumusan yang telah dihasilkan, maka terpaksa hasil sementara atau hipotesis harus diubah dan diganti dengan yang lain, sampai menemukan titik kejenuhan informasi pada saat kegiatan studi dipandang cukup, untuk kemudian diakhiri. Proses semacam ini berjalan sepanjang penelitian sampai ditemukan rumusan yang mantap, karena kegiatan pengumpulan dan analisis data senantiasa beranjak dari hasil pengumpulan dan

57 Noeng Moehadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), Cet. Ke-3, h. 15. Pendahuluan 49 analisis data yang telah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, proses penelitian, lebih berbentuk siklus dari pada linier. Untuk mempertajam kepekaan peneliti, ditempuh dua cara, yaitu pertama, senantiasa melihat kembali hasil penelitian tentang topik serupa oleh peneliti terdahulu, dan kedua, melakukan diskusi dan penulisan laporan sementara secara bertahap, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang memadai baik dari sisi kedalaman maupun reliabilitasnya, lantaran telah didukung oleh data yang cukup. Selain itu, dalam pemanfaatannya secara proporsional, analisis data kualitatif juga tidak mengabaikan sama sekali perolehan informasi atau data yang berwujud angka, khususnya berkaitan dengan upaya untuk mengetahui atau menggambarkan adanya ke- cenderungan-kecenderungan umum tertentu di masyarakat sehubungan dengan hadirnya bentuk dan kecenderungan politik kalangan warga pesantren, khususnya kiai dan santri, suatu hal yang boleh jadi tidak terdeskripsikan secara tuntas, jika semata-mata mengandalkan dukungan data verbal dalam wujud kata-kata.

BAB II KIAI, PESANTREN DAN POLITIK

A. Peran dan Fungsi Kiai Pesantren 1. Bidang Sosial Keagamaan Sebagai pendiri, penyebab adanya pesantren dan sekaligus pemilik dan pewakaf, kiai pesantren berperan sebagai pelestari nilai keagamaan dan moralitas warganya. Sebagai pelestari nilai keagamaan, kiai telah merumuskan bahwa tujuan 52 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi pendidikan pesantren adalah untuk memberikan bekal pengetahuan agama Islam kepada para santrinya, yang merupakan penerusan materi yang telah diterimanya pada pengajian di rumah-rumah dan langgar-langgar. Jika pada tempat terakhir diistilahkan dengan sekolah rendah, maka pesantren merupakan lembaga pendidikan tingkat menengah dan tinggi.1 Oleh karena itu, materi pelajarannya pun juga lebih mendalam, seperti mengenai pokok-pokok agama, yang terutama adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan syariat sehari-hari (ilmu fiqh baik ibadah maupun muamalah), bahasa Arab (ilmu shorof, nahwu dan ilmu alat lainnya), al-Qur’an seperti tajwīd dan tafsir-tafsirnya, ilmu tauhīd, ilmu akhlaq dan ilmu tasauf.2 Berdasarkan kitab-kitab tersebut, maka dapat dipastikan bahwa pengetahuan agama yang diberikan di pesantren, dalam bidang akidah mengikuti ajaran Imam Abū Hasan al-Mātūridi, dalam bidang tasauf, mengikuti ajaran Imam Ghazzāli dan dalam bidang Fiqh mengikuti ajaran

1 I. Djumhur dan H. Danasuparta, Sejarah Pendidikan, (Bandung: Ilmu, 1974), Cet. Ke-9, h. 112. 2 L.W.C. Van Den Berg, “Het Mohammedansche Godsdienstonderwijs op Java en Madoera,” Tijdschrif voor Indische Taal Land-en Volkenkunde, Vol. XXXI, 1886, h. 518-555. Lihat pula Soebardi, “Santri Relegious Element as Reflected in The Book of Tjentini,” Bidragen Tot De Taal Land-en Volkenkunde, Vol. CXXVII, (Martinus Nijhoff, 1971), h. 335-340. serta KH. Siradjuddin Abbas, Ulama Syafi’I dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1975), h. 36-65. Kiai, Pesantren dan Politik 53

Imam Syāfi’i. Suatu kenyataan yang juga diberikan pada lembaga perguruan tinggi Islam di Indonesia. H. Aboe Bakar Atjeh menyatakan, bahwa hampir semua perguruan tinggi Islam dalam memperlajari agama Islam memakai kitab-kitab yang dikarang oleh ulama-ulama dari mazhab Syāfi’i, sedangkan faktor yang memungkinkannya menurut H. Sulaiman Rasyid adalah bahwa ulama pemimpin pesantren di Indonesia kebanyakan mengambil pelajaran dan belajar di kota Mekkah di Hijaz, suatu daerah yang terdapat ulama bermazhab Syāfi’i.3 Abd. Qahar Mudzakkir, dalam buku “Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab,” melengkapi pendapat Sulaiman, menyatakan bahwa para kiai selama bermukim di Mekkah berguru kepada para ulama yang berhaluan hukum mazhab Syāfi’i; Para muballigh yang mula- mula datang ke Indonesia juga berasal dari Hadramaut yang bermazhab Syāfi’i dan kemudian mazhab yang disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu sebagai haluan hukum syara’ di Indonesia adalah juga Syāfi’i.4 Adapun faktor yang memungkinkan karya Imam Ghazzāli seperti Bidāyatul Hidāyah, Minhajul

3 H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Jakarta: al-Thohiriyah, 1955), Cet. Ke-13, h. 27. 4 H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955), h. 6. Lihat pula M. Habib Chirzin, “Agama dan Ilmu dalam Pesantren,” dalam M. Dawam Rahardjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), Cet. Ke-1, h. 94. 54 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

‘Ābidin, al-Hikam, Ihyā ‘Ulūmuddīn dan lain sebagainya, dipelajari di pesantren dan perguruan tinggi, antara lain karena “pribadi pengarang Imam Ghazzāli sendiri, di mana sebagai seorang sufi yang zuhud, ia tidak mengindahkan keindahan dunia dan kecantikannya, karena dunia merupakan tempat hidup sementara, sedangkan baginya akhiratlah tempat hidup yang baka.”5 Selain itu, mutu kitab Ihyā ‘Ulīmuddīn sendiri, yang karena kebaikannya, ia mempunyai pengaruh yang sangat besar baik di kalangan kaum muslimin di dunia Timur maupun dunia Barat. “Manakala al-Ghazzāli menulis kitabnya Ihyā Ulūmuddīn, gemparlah dunia dibuatnya dari Timur sampai ke Barat. Namanya, menjadi buah bibir orang. Segala perhatian dan pikiran tertuju pada kitab Ihyā Ulūmuddīn.”6 Dengan demikian, sekali lagi pesantren hanya mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam. Tetapi, dalam ilmu agama yang akan diajarkan, tidak jarang adanya pesantren yang mengenalkan ilmu agama atau fak tertentu sesuai dengan keahlian kiainya, sehingga ditemukan pesantren Khusus Bahasa Arab seperti pada Pesantren Tremas, Pacitan; Pesantren Khusus Hadīs seperti pada Pesantren Tebuireng era KH. Hasyim Asy’ari dan Pesantren Khusus

5 H.M.K. Bakry, al-Ghazzali, (Jakarta: Wijaya, 1962), h. 7. 6 H.M.K. Bakry, al-Ghazzali, (Jakarta: Wijaya, 1962), h. 78. Kiai, Pesantren dan Politik 55

Tasawwuf seperti pada Pesantren Jampes di Kediri.7 Bahkan M. Habib Chirzin memetakan kekhasan pesantren dengan menyebutkan pesantren khas Fiqh dan Hadīs, seperti pada Pesantren Tebuireng era KH. Hasyim Asy’ari, Pesantren Tambak Beras era KH. Wahab Hasbullah, Pesantren Denanyar era KH. Bisri Syansuri, Pesantren Termas era KH. Dimyati dan KH. A. Hamid Dimyati dan Pesantren Lasem era KH. Chalil; Pesantren Khusus Ilmu Alat, seperti pada Pesantren Lirboyo era KH. Mahrus, Pesantren Bendo dan pada Pesantren Jampes; Pesantren Khusus Qiraah al-Qur’an seperti pada Pesantren Krapyak era KH. Munawir dan KH. Ali Ma’shum, Pesantren Cintapada, Tasikmalaya era KH. Dimyati, Pesantren Wonokromo era KH. Abdul Aziz dan KH. Hasbullah, serta pada pondok pesantren yang ada di Cirebon dan Banten. Pesantren Khusus Tasauf seperti pada pesantren Rejoso era KH. Musta’in Romli, pesantren Tegal Rejo era KH. Khudari, Pesantren al-Falak Pagentongan Cirebon era KH. Falak dan Pesantren Watu Congol era KH. Dalhar. Pesantren Khusus Tafsir al-Qur’an seperti pada Pesantren Lasem era KH. Baidlowi dan Pesantren Jamsaren era KH. Abu Amar. Bahkan ditemui pula pesantren yang mengkhususkan diri pada pendidikan kemasyarakat- an dan pengajaran bahasa Arab dan Inggris seperti

7 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (USA: ASU, 1999), h. 6. 56 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Pondok Modern Gontor pada masa KH. Ahmad Sahal, KH. Zainuddin Fanani dan KH. Imam Zarkasyi.8 Adapun sebagai pelestari moralitas, maka ilmu pengetahuan agama Islam diberikan oleh kiai di pesantren tidak hanya diajarkan melalui pengajian sorogan atau wetonan dan bandongan, tetapi juga diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan di pesantren layaknya sebuah keluarga besar yang penuh dengan berbagai aktivitas, di mana santri dilatih dan dibiasakan untuk hidup sederhana, ibadah dengan tertib, saling menghormati, saling tolong-menolong, saling mengatasi kebutuhannya sendiri, mencuci, mengatur kamar dan memasak sendiri, mendirikan pondok dengan penukangan dan pembiayaan sendiri, mengatur keuangannya sendiri, bahkan ada santri yang membiayai hidupnya sendiri. Dalam hal ini, R.A. Kern menyatakan bahwa jarang sekali santri bisa mengandalkan kiriman dari rumahnya. Mereka mencari nafkah sendiri dengan bekerja pada tanah-tanah milik penduduk setempat atau bekerja di sawah milik gurunya. Mereka juga memperoleh nafkah dari karya kecil dengan

8 M. Habib Chirzin, Agama dan Ilmu Dalam Pesantren dalam M. Dawam Rahardjo, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan. (Jakarta: LP3ES, 1974), Cet. Ke-1, h. 86. Kiai, Pesantren dan Politik 57 membuat kopi al-Qur’an, membikin tikar dan lain sebagainya.9 Sikap saling menghormati merupakan sifat yang sangat terpuji dan di pesantren, penghormatan santri juga dilakukan kepada kiai dan keluarganya. Sebagai sesepuh, kiai adalah guru yang harus ditaati, diteladani dan dihormati dengan berusaha me- nyenangkannya, misalnya tidak sekali-kali berjalan di depannya, tidak duduk di kursi yang biasa didudukinya, tidak mengetok pintu rumahnya sebelum dibuka, tidak membuka percakapan dengannya sebelum ia mengajak bicara, tidak bicara terlalu banyak dengannya dan tidak menanyakan masalah yang kurang berkenan di hatinya. Selain itu, santri juga patuh menjalankan perintahnya dan tidak melupakan ikatan dengan kiai dan pondoknya, karena jika terjadi, maka akan dianggap sebagai aib, yang dapat menghilangkan barakah kiai.10 Oleh karena itu, sering ditemukan adanya santri yang telah hidup di tengah-tengah masyarakat, tetap berusaha untuk berkunjung ke rumah kiai dan selalu memegang teguh anjuran untuk berjihad. Dalam Ta’līm al-Muta’allim, kitab yang biasa menjadi pegangan pesantren, Zarnuji menyatakan:

9 R.A. Kern, De Islam in Indonesia, (Uitgeverij W. Van Hoeve’s Gravenhage, 1947), h. 91. 10 Sadikun Sugihwaras, Pondok Pesantren Dan Pembangunan Pedesaan, (Jakarta: Dharma Bakti, 1979), h. 64-66. 58 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Bahwa mereka yang mencari ilmu senantiasa akan mendapatkan pengetahuan dan pe- ngetahuannya akan berguna sepanjang mereka menaruh hormat kepada pengetahuan tersebut dan kepada guru yang mengajarkannya. Sayyidina Ali berkata: “Saya ini hamba dari orang yang mengajar saya, walaupun hanya satu kata saja.” Jadi, sesungguhnya guru dan dokter apabila tidak dihormati, maka keduanya tidak akan memberikan nasehat. Apabila Anda tidak menghormati dokter, maka hendaklah Anda bersabar terhadap penyakit. Begitu pula, jika Anda tidak menghormati guru, maka hendaklah Anda puas dengan kebodohan Anda.11 Sebaliknya, sebagai orang yang dihormati dan diteladani, kiai juga berusaha menjadikan dirinya ikutan yang baik, baik dalam kesetiaan iman kepada Allah, dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya maupun dalam kesederhanaan hidup- nya, dalam menjaga kesopanan, dalam keikhlasannya membimbing dan memberikan pelajaran serta dalam menanamkan sifat yang baik dan berguna kepada para santri. Sikap memberi, mengambil dan menjaga dan lain sebagainya bisa terpelihara, karena kiai dan santri tinggal bersama dalam satu kompleks pondok atau kampus, sehingga karenanya membentuk

11 Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, (Kudus: Menara Kudus, 1963), h. 62-63 dan 177. Kiai, Pesantren dan Politik 59 sebuah sub-kultur,12 yang membedakan kultur yang yang ada di luar pesantren. Bahkan kebiasaan dan kultur di pesantren, berimplikasi ketika santri berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat, seperti kesediaannya untuk menerima hidup bersahaja, kebiasaan tirakat, hidup mandiri, demokratis dan lain sebagainya.

2. Bidang Sosial Budaya Sebagai pemilik sekaligus pengasuh, kiai juga berperan sebagai pelestari budaya. Meskipun tidak setiap pesantren merupakan pusat gerakan tarekat, tetapi tidak sedikit pesantren melalui kiainya mengamalkan ajaran tarekat. Salah satu ajaran yang biasa dijalankan adalah kebiasaan mengadakan pemujaan para wali dan makamnya serta ajaran tentang wasilah, yaitu anggapan bahwa kita yang hidup ini dapat “mengirim” pahala kepada yang telah meninggal. Anggapan itu dipraktikkan dalam kebiasaan mengirimkan pahala bacaan tertentu, umumnya al-fātihah kepada orang-orang yang

12 Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur” dalam Dawam Rahardjo, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), Cet. Ke-1, h. 40, menjelaskan bahwa kegiatan di pesantren berputar pada pembagian periode berdasarkan waktu sembahyang wajib,sehingga pengertian pagi, siang dan sore di pesantren menjadi berlainan dengan pengertian di luarnya. Dalam hal ini, misalnya sering dijumpai santri menanak nasi di tengah malam buta atau mencuci pakaian menjelang matahari terbenam. 60 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi dianggap dapat melimpahkan kembali pahala itu kepada pengirimnya secara berlipat ganda, yaitu selain Nabi sendiri adalah para wali. Perkataan mengirim do’a adalah petunjuk adanya limpahan kembali pahala itu. Justru untuk memperbesar pahala yang dikirimkan kepada seseorang yang telah meninggal, do’a itu didahului dengan bacaan-bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada arwah para wali, baru kepada arwah orang yang meninggal yang bersangkutan. Ini merupakan kelanjutan yang wajar dari ajaran tentang barakah dan syafā’ah yang dipelajari di pesantren. Sebagai pelestari nilai budaya, kiai pesantren juga bertindak sebagai pembimbing spritual kepada para santri yang taat, imam ‘ubūdiyah dan upacara keagamaan, memberi nasehat dalam masalah kehidupan pribadi mereka, memimpin ritual-ritual penting, dan membacakan do’a pada berbagai acara penting. Dalam pandangannya, sembahyang (syari’ah) dan dzikir (tasauf) sebagai cara utama dalam meningkatkan kehidupan spiritual seseorang, dan dalam tradisi pesantren, “pendekatan diri sebagai hamba Allah” merupakan tujuan dan kebahagiaan hidup yang paling utama. Banyak ayat al-Qur’an dan hadīs Nabi yang memerintahkan agar manusia mengagungkan nama Allah. Oleh karena itu, dalam setiap sebelum atau bahkan sesudah salat berjama’ah, kiai, guru dan santri secara bersama- Kiai, Pesantren dan Politik 61 sama selalu mengamalkan dzikir di pesantren. Kiai Syamsuri Badawi menjelaskan bahwa dalam mengamalkan syari’ah dan dzikir, para kiai pesantren, mengikuti tradisi Imam Māliki yang mengajarkan, bahwa “Seorang muslim yang mempelajari syari’ah Islam, tetapi melupakan aspek tasauf, akan menjadi munāfiq; seorang muslim yang mempelajari tasauf, tetapi mengabaikan syariah akan menjadi kāfir zindiq; dan seorang muslim yang mempelajari dan mengamalkan dua-duanya (syari’ah dan tasauf) akan memperoleh kesempurnaan dalam ke-Islaman”.13 Berangkat dari penjelasan kiai Syamsuri tersebut, maka dapat dipastikan bahwa dzikir merupakan salah satu amalan yang dipentingkan oleh kiai pesantren. Pengamalannya sebenarnya tidak hanya dilakukan sebelum dan sesudah Salat Lima Waktu, Salat Jum’at dan Salat Sunnah Rawātīb, tetapi juga dilaksanakan dalam berbagai kegiatan keagamaan bersama seperti tahlilan, manaqiban atau takhtiman, bahkan dalam memperingati hari besar Islam seperti Tahun Baru Islam, Maulid Nabi (Muludan), Isrā’ dan Mi’rāj (Rejeban), Ruwahan (Permulaan Puasa), dan lain sebagainya. Juga dilaksanakan ketika menghadiri undangan pada acara slametan Sawalan, Besaran, Tingkeban, Babaran, Pasaran, Pitonan, Khitanan,

13 Abdul Jalil, Tuhfah al-Asfiya, (Semarang: Toha Putra, 1963), h.28-32. 62 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Perkawinan dan Kematian dan lain sebagainya.14 Pada tingkat yang terakhir ini, biasanya kiai diminta untuk membaca tahlīl bersama beberapa orang yang diundang, sebagai do’a yang dikirim untuk salah seorang atau beberapa anggota keluarga yang sudah meninggal.15 Dengan demikian, kiai pesantren dapat berfungsi sebagai penyaring dan asimilator aspek-aspek kebudayaan dari luar yang masuk ke pesantren, seperti dalam penggunaan legenda pewayangan Jawa dalam menerangkan aspek-aspek keimanan dalam tabligh-tabligh keagamaan dan dalam penggunaan lagu Melayu terbaru sebagai medium penyampaian pesan-pesan keagamaannya.16 Kiai juga berfungsi sebagai orang yang dapat mengusir roh jahat, membuat jimat-jimat atau mengajarkan berbagai teknik kekebalan tubuh. Martin Van Bruinessen menegaskan bahwa banyak kiai yang menjadi guru pencak silat17, yang menggabungkan berbagai teknik

14 Lihat lebih lanjut Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), Cet. Ke-1, 48- 91. 15 Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 124. 16 Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur”, dalam Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), h. 47. 17 Salah satu dari tiga bentuk kesenian yang cukup hidup di kalangan masyarakat, di sekitar system pesantren. Pencak Silat, tarian bela diri itu bukanlah suatu seni yang seluruhnya santri dan tidak hanya dilakukan oleh orang santri saja. Asal usulnya tidak ada hubungannya dengan Islam, tetapi, karena berbagai hal pencak silat itu telah Kiai, Pesantren dan Politik 63 olah fisik dengan teknik-teknik mistik untuk meningkatkan kelincahan bertarung dan kekebalan terhadap senjata atau untuk membuat tidak mempan terhadap pukulan, senjata tajam atau senjata api dari pihak lawan.18 Juga tidak jarang kiai mempunyai peran mengobati orang sakit19, memberikan ceramah agama dan do’a untuk melariskan barang dagangan.20 Bahkan di kalangan masyarakat Islam Jawa tradisional, juga dalam pandangan hidup kaum abangan, kebanyakan kiai dipercaya, karena penguasaannya atas ilmu-ilmu ke-Islaman, mampu mengusir jin, menangkal pengaruh-pengaruh buruk dari dunia gaib, menjalin hubungan dengan arwah- arwah orang yang sudah meninggal. Juga dengan

diasosiasikan dengan kultur pondok. Dua kesenian lainnya adalah terbangan dan gambusan. Terbangan merupakan jenis nyanyian khusus yang rumit dan berasal dari Persia, gendang-gendang dimana dengan diiringi tabuhan kecil sejarah Nabi dinyanyikan., berganti-ganti dalam prosa berirama dan puisi. Sedangkan gambusan merupakan orkes tipe Timur Tengah terdiri dari alat musik petik dan alat tabuh dari berbagai ukuran yang disebut Terbang. 18 Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LkiS, 1999), Cet. Ke-3, h. 22, 19 Dua hal yang selalu diasosiasikan dengan pondok, yaitu pencak silat atau tari bela diri dan kiyai sebagai juru obat. Biasanya kiyai mengobati santri atau orang di sekitar pesantren dengan ramuan tumbuh- tumbuhan, tetapi juga berdo’a. Do’a itu sangat penting, karena ia tidak ingin pasien mengira bahwa ramuan itulah yang menyembuhkannya bukan Tuhan., karena kalau tidak demikian, pasien menjadi materialistis dan mengira bahwa yang diperlukan adalah obat bukan Tuhan. Oleh karena itu, banyak kiai yang menanam segala jenis tumbuhan obat di kebunnya, tetapi, tak jarang tanaman itu perlu dicari di tempat yang jauh. 20 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka jaya, 1989), h. 244. 64 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi ilmu laduni21 terdapat banyak cerita tentang kiai yang dapat melakukan perjalanan jarak jauh dengan cara yang menakjubkan, misalnya pergi melaksanakan salat Jum’at ke Mekkah.22 Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Syamsul Arifin merupakan contoh, bahwa setelah menaiki krucut, semacam sampan, sampailah keduanya di Mekkah, lalu keduanya menunaikan salat Asar di Masjid al-Haram.23

3. Tipologi Kiai dan Pesantren a) Tipologi Kiai Perkataan kiai menurut asal usulnya dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, seperti “Kiai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Kraton Yogyakarta. Kedua, sebagai gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya, dan ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan

21 Pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui kegiatan belajar, tetapi dengan cara-cara supernatural. Oleh karena itu, hanya sedikit kiyai yang memperoleh pengetahuan seperti itu. 22 Martin Van Bruinessen NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LkiS, 1999), Cet. Ke-3, h. 22-23. 23 Choirul Anam (ed.), KHR. As’ad Syamsul Arifin, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, op. cit., h. 5-6. Kiai, Pesantren dan Politik 65 mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya, bahkan selain gelar kiai, juga sering disebut dengan alim yakni orang yang dalam pengetahuan Islamnya.24 Jadi, pada kategori ketigalah kiai dipakai dalam pembahasan ini, yaitu sebagai sebutan yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai kelebihan dalam ilmu pengetahuan agama Islam dan berusaha menyampaikan serta menyebarkannya kepada masyarakat. Pada awal perkembangan Islam, sebutan untuk mereka yang memiliki predikat ahli agama Islam dikenal dengan “wali”, dan di Pulau Jawa terdapat sembilan wali yang biasa disebut dengan “wali Songo”. Wali berasal dari bahasa Arab. Jika ditulis dengan “waliyyun,” maka berarti orang yang mencintai dan dicintai. Jika ditulis dengan “wāliyun,” maka berarti seorang penguasa atau yang memerintah. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia terdapatlah sebutan “Wali Negeri”. Namun, dalam pembahasan ini, yang dimaksud dengan “Wali” adalah dalam pengertian pertama. Oleh karena itu, kata “Wali” merupakan kependekan dari kata “Waliyullah”, yang berarti orang yang mencintai dan

24 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the Kiai in the Maintenance of Tradistional Islam in Java, (USA: Southest Asian Studies, 1999), h. 34. 66 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bentuk Jama’ dari kata itu adalah “Auliyā’ ” atau “Auliyāullah”.25 Imam Abu al-Qāsim Abu Kārim bin Hawāzin al- Qusyairi menjelaskan bahwa kata wali mengandung dua pengertian. Pertama, wali berasal dari wazan fā- ilun sebagai mubālaghah dari wazan fā-ilun, seperti kata ‘alīmun, qatīlun dan lain sebagainya yang berarti orang yang taat kepada Allah tanpa mencampuri dengan kemaksiatan. Kedua, wali berasal dari wazan fa-īlun yang menunjukkan dari isim maf’ulnya, seperti perkataan Qatīlun dengan arti Maqtūlun yaitu orang yang terbunuh yang berarti orang yang selalu dipelihara dan dijaga oleh Allah. Oleh karena itu, seorang wali tidak diberi kemampuan oleh Allah untuk berbuat maksiat yang dapat membawa kerendahan derajatnya, tetapi diberi taufīq, sehingga mampu untuk selalu berbakti kepada Allah.26 Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani mendifinisikan Wali adalah orang yang selalu mengenal Allah beserta sifat-sifat-Nya semaksimal mungkin serta senantiasa berbakti kepada-Nya, menjauhi segala maksiat serta berpaling untuk tidak terjerumus ke dalam kelezatan dunia dan syahwat.27 Syekh Ahmad al-Kasyqanawi

25 KH. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: al-Maarif, 1981), Cet. Ke-3, h. 247. 26 Imam Abu al-Qāsim Abu Karīm bin Hawāzin al-Qusyairi, al- Risālah al-Qusyairiyah, h. 100. 27 Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta’rifāt. h. 227. Kiai, Pesantren dan Politik 67 al-Naqsabandi lebih lanjut mendefinisikan Wali adalah orang yang terus menerus beribadah kepada Allah dan berbakti kepada-Nya tanpa dicampuri dengan kemaksiatan-kemaksiatan dan kemalasan.28 Muhammad Jamāluddin al-Qāsimi mendefinisikan kata wali sebagai kebalikan dari musuh, sehingga berarti orang yang mencintai Allah dengan ketaatan penyembahan dan pengabdian kepada-Nya. Kecuali itu, ia mempunyai makna sebagai penderita/maf’ul, sehingga mempunyai arti orang-orang yang dicintai oleh Allah dengan memperoleh kemuliaan dari- Nya.29 Pendapat di atas mempunyai pengertian yang sama, di samping terdapat pula perbedaan. Perbedaan itu disebabkan adanya segi-segi yang menonjol dari masing-masing teori, misalnya ada definisi yang mengandung pengertian bahwa wali mempunyai sifat mahfūdz atau terpelihara dari segala dosa, sebuah sifat yang harus ada pada diri wali sebagaimana sifat ma’shum yang harus ada pada diri Nabi. Selain itu, ada definisi yang mengandung penjelasan bahwa wali merupakan seorang yang berpaling dari kemaksiatan dunia dan nafsu syahwat yang tidak diijinkan oleh syara’. Namun, jika suatu ketika wali mengenyam kenikmatan dunia dan

28 Syekh Ahmad al-Kasyqani al-Naqsabandi, Jmīi al-Ushūl Fi al- Auliyā’, h. 161. 29 Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahāsinu al-Ta’wīl IX, (Cairo: al-Babi al-Halabi, 1378-1959), h. 30. 68 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi syahwat, maka tidak berarti ia telah menuruti hawa nafsunya, tetapi untuk menguatkan jasmaninya agar dapat berbakti kepada Allah. Bahkan, terdapat pula definisi yang menjelaskan seorang wali selalu mengisi waktunya dengan ibadah dan hampir tidak ada sesaat pun yang tercampur dengan kemaksiatan. Al-Qur’an yang menjadi sumber utama ajaran Islam banyak menyebutkan kata “wali”, tetapi dalam pengertian khusus dan lain, yaitu kata sifat Allah yang artinya “Maha Pelindung atau Maha Penolong”, seperti ayat 257 surah al-Baqarah, ayat 68 surah Ali Imrān, ayat 19 surah al-Jātsiyah, ayat 4 surah al- Sajdah, ayat 9 surah al-Syurā, dan lain sebagainya. Sedangkan kata Wali atau Waliyullah sebagaimana teori di atas merupakan predikat bagi seorang muslim atau muslimah yang kecintaannya kepada Allah melebihi segala-galanya dan dibuktikan dengan amal perbuatannya, tutur katanya, tingkah lakunya bahkan angan-angan dalam hatinya selalu sesuai dan cocok dengan syariat agama Islam. Jadi, wali dalam pengertian sebagai seorang ahli agama di atas, sebagaimana kiai, merupakan predikat yang diberikan oleh masyarakat dan orang lain yang taraf kondisinya setingkat atau hampir sama dengannya, “Lā Ya’rifu al-Wāli Illa al-Wāli” (tidak ada orang yang mengetahui seseorang itu wali, kecuali wali juga). Dalam pada itu, kiai dengan kelebihan ilmu pengetahuan agama dan usahanya untuk me- Kiai, Pesantren dan Politik 69 nyampaikan dan menyebarkannya kepada masya- rakat sebagaimana diuraikan di atas, juga biasa diidentikkan dengan “’ulamā”. ‘Ulamā berasal dari bahasa Arab, yang asal katanya (masdarnya) adalah ‘ilman dan fi’il madlinya adalah ‘alima, yang berarti telah mengetahui. Perkataan ‘ulamā merupakan bentuk jama’ dari kata ‘Ālimun, yang berarti orang yang mengetahui dan dalam uraian Syekh Ahmad bin Ajibah sebagaimana telah disebutkan, ‘ulamā mempunyai tiga kriteria, sebagai berikut: Pertama, Yang ‘Ālim, mewarisi ucapan-ucapan Rasulullah Saw. sebagai ilmu dan pengajaran dengan syarat ikhlas; Kedua, Yang ‘Ābid, mewarisi perbuatan Nabi, salatnya, puasanya, mujahadahnya dan perjuangannya, dan ketiga, Yang ‘Ārif, mewarisi ilmu dan amal Rasulullah Saw. ditambah dengan pewarisan akhlak yang sesuai dengan bathin (mental) beliau, berupa zuhud, wara’, takut (kepada Allah), berharap akan ridlo-Nya, sabar, hilm (stabilitas mental), kecintaan (kepada Allah dan segala yang dicintai oleh-Nya), ma’rifah (penghayatan yang tuntas tentang KETUHANAN) dan lain sebagainya.30 Yusuf al-Qardhawi, sebagaimana Ahmad bin Ajībah, menjelaskan bahwa ada enam karakter penting yang dimiliki oleh ‘ulamā, yaitu amanah, keilmuan, rendah hati, mulia, berbuat baik sesuai

30 Dipetik dari KH.Ahmad Siddiq, Khittah Nahdliyah, (Surabaya: Balai Buku, 1979), h. 17. 70 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi dengan ilmu dan ambisi menyebarkan Islam dan tanggung jawab di hadapan Allah SWT.31 Karakter tarakhir merupakan tanggung jawab ‘ulamā untuk menjaga dan mempertahankan ilmunya agar tetap kekal, untuk selalu mendalami dan menelitinya agar dapat berkembang, untuk mengajarkannya kepada orang yang menginginkannya agar terhindar dari fitnah, untuk melaksanakannya agar membuahkan hasil, untuk menyebarluaskannya agar merata manfaatnya dan tanggung jawab untuk mempersiap- kan kader-kader generasi penerusnya yang akan mewarisi ilmunya agar kelestariannya terjamin; sedangkan ambisi ulama menyebarkan Islam berarti menyampaikan apa yang ulama dengar darinya, agar dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang datang kemudian. Oleh karenanya, ulama biasa disebut pewaris para Nabi.32 Imam Ghazzāli lebih lanjut menegaskan bahwa ulama itu ada tiga macam. Pertama, ‘ulamā yang membinasakan dirinya dan orang lain dengan mengejar-ngejar kesenangan dunia. Kedua, ‘ulamā

31 Yusuf al-Qardhawi, Konsep Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah, terjemahan Amir Hamzah Fahruddin, Mabrur Buang Tarmudzi dan Zainal Arif Fachruddin RM, (Jakarta: Firdaus, 1994), Cet. Ke-1, h. 13- 64. 32 Yusuf al-Qardhawi, Konsep Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah, terjemahan Amir Hamzah Fahruddin, Mabrur Buang Tarmudzi dan Zainal Arif Fachruddin RM, (Jakarta: Firdaus, 1994), Cet. Ke-1, h. 13. Lihat pula M. Imam Aziz, dalam Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LkiS, 2003), Cet. Ke-1, h. XV. Kiai, Pesantren dan Politik 71 yang menyelamatkan dirinya dan orang lain dengan menyeru dan memanggil manusia untuk berbakti kepada Allah SWT secara lahir dan batin. Ketiga, ‘ulamā yang membinasakan dirinya tetapi me- nyelamatkan orang lain, pada lahirnya dia memanggil manusia untuk mengerjakan kebaikan, tetapi secara diam-diam dia sendiri hanya mengejar harta untuk mencari kekayaan dan kedudukan dunia. Maka hendaklah kita mengoreksi diri masing-masing, termasuk golongan manakah kita di antara ketiga macam ulama itu.33 Dari argumen di atas, dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang prinsip antara ketiga istilah tersebut, sehingga dalam Majelis Ulama Indonesia, sebuah lembaga yang didirikan tahun 1975, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, duduk sebagai ketua dan pengurusnya, terdiri dari ulama dan kiai seperti Prof. Dr. Hamka, E.Z. Muttaqin, KH. Hasan Basri, Prof. Dr. Umar Syihab (‘ulamā) dan KH. Syukri Ghozali (kiai) dan lain sebagainya. Adapun kiai, khususnya di Jawa Timur, mempunyai keragaman. Endang Turmudi menjelaskan bahwa kiai di wilayah itu dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu kiai pesantren, kiai tarekat, kiai politik dan kiai panggung

33 Dipetik dari Syaikh Abdul Aziz al-Badri, Ulama Mengoreksi Penguasa, terjemahan Salim Muhammad Wakid, (Solo, Pustaka Mantiq, 1991), Cet. Ke-2, h. 63. 72 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi sesuai dengan kegiatan-kegiatan khusus mereka dalam pengembangan Islam.34 Kiai Panggung adalah para dai. Mereka menyebarkan dan mengembangkan Islam melalui kegiatan dakwah. Pengikutnya bisa tersebar di seluruh kabupaten, bahkan tidak jarang mereka, khususnya kiai panggung yang populer mempunyai pengikut di kabupaten-kabupaten lain, karena biasa diundang untuk berceramah di daerah itu. Namun, kebanyakan kiai panggung bersifat lokal, karena hanya dikenal oleh ummat Islam di daerahnya. Sedangkan kiai politik merupakan kiai yang kegiatannya dalam waktu yang lama terpusat pada pengembangan Nahdlatul Ulama secara politik. Oleh karena itu, mereka tidak banyak mempunyai pengikut sebagaimana kiai yang lain. Adapun kiai tarekat merupakan kiai yang memusatkan kegiatannya pada pembangunan batin ummat Islam dalam sebuah lembaga formal gerakan tarekat. Oleh karena itu, pengikutnya bisa lebih banyak melintas ke berbagai kota di Indonesia melalui cabang-cabangnya yang ada di daerah itu. Kiai tarekat jenis ini biasanya menduduki jabatan sebagai mursyid. Sedangkan kiai tarekat jenis lain, dengan jabatan sebagai khalifah atau pembantu mursyid mempunyai pengikut yang lebih sedikit, karena otoritasnya dalam memimpin ritual-ritual

34 Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS, 2004), Cet. Ke-1, h. 32. Kiai, Pesantren dan Politik 73 tarekat juga terbatas hanya pada daerah-daerah tertentu, sehingga para pengikut dari daerah-daerah lain mungkin tidak mengetahuinya. Besar kecilnya pengaruh seorang mursyid di kalangan para pengikutnya juga tidak sama. Seorang mursyid yang langsung memimpin para pengikutnya atau yang tinggal di kota yang sama atau kota-kota tetangga dengan para pengikutnya mempunyai pengaruh lebih besar dari seorang mursyid yang tinggal jauh dari para pengikutnya. Jadi, jaringan yang diletakkan kiai tarekat bersifat formal, dalam pengertian bahwa komunikasi antara mereka dihubungkan dengan jaringan formal atau organisasi. Adapun kiai pesantren merupakan kiai yang memusatkan perhatiannya pada pengajaran di pesantren untuk meningkatkan sumber daya masyarakat melalui pendidikan. Hubungan antara kiai dengan santri menyebabkan keluarga santri secara tidak langsung menjadi pengikut kiai, mengingat orang tua ketika mengirimkan anak- anaknya kepada seorang kiai, secara tidak langsung telah mengakui bahwa kiai itu merupakan orang yang patut untuk diikuti dan seorang pengajar yang layak untuk mengembangkan pengetahuan Islam. Dengan demikian, santri tidak saja penting bagi eksistensi pesantren, tetapi juga menjadi sumber yang dapat menjamin eksistensi kiai pada masa mendatang. Bahkan, santri dapat menjadi sumber 74 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi jaringan yang akan menghubungkan satu pesantren dengan pesantren lainnya, lantaran santri yang telah menyelesaikan pendidikannya pada suatu pesantren dan kemudian menjadi kiai, juga membangun jaringan yang menghubungkannya dengan kiai pesantren dimana ia nyantri atau dengan penggantinya yang melanjutkan kepemimpinan pesantren. Dari keempat varian kiai tersebut di atas, dapat dibagi menjadi dua kategori ditinjau dari pengikutnya. Pertama, kiai yang mempunyai pengikut yang lebih banyak dan pengaruh yang lebih luas, menyebar ke seluruh daerah. Pengikutnya bukan hanya berasal dari daerahnya, melainkan juga berasal dari daerah lain, kota-kota lain, bahkan propinsi lain. Kiai yang termasuk kategori ini adalah kiai pesantren dan kiai tarekat. Sedangkan kiai kategori kedua merupakan kiai yang mempunyai pengikut yang sedikit dan pengaruh yang terbatas. Kiai yang termasuk kategori ini adalah kiai panggung dan kiai politik. Meskipun demikian, pada kenyataannya, melalui kegiatan yang dilakukannya, seorang kiai dapat digolongkan dalam lebih dari satu kategori, sebagai kiai panggung sekaligus sebagai kiai tarekat dan kiai politik. Berbeda dengan Endang Turmudi, Imam Suprayogo membagi kiai dalam tiga tipe ditinjau dari keterlibatannya dalam politik, yaitu kiai politik, kiai Kiai, Pesantren dan Politik 75 netral dan kiai yang tidak perduli pada politik praktis.35 Kiai yang tidak begitu perduli pada politik praktis adalah kiai yang lebih banyak memusatkan perhatiannya pada kehidupan spiritual dan memberikan pengajaran agama di pesantren. Politik bagi mereka dipandang bukan bidangnya dan mereka merupakan jumlah yang terbanyak. Kiai netral adalah kiai yang mengambil jarak baik dengan pemerintah maupun dengan partai politik. Sedangkan kiai politik adalah kiai yang banyak melakukan kegiatan politik praktis, misalnya dengan menempatkan diri dekat dengan pemerintah dan masuk Golkar, atau dengan menempatkan diri sebagai mitra kritis dengan aktif di Partai Persatuan Pembangunan/PPP. Untuk kasus terakhir, bisa jadi aktifitas itu tidak hanya dilakukan oleh kiai yang tinggal di perdesaan, tetapi juga oleh mereka yang tinggal di perkotaan. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi benturan dengan pemerintah. Sebagai pemuka agama dan merasa memiliki ummat, kiai melakukan pembelaan terhadap ummat dan masyarakat yang terganggu hak-haknya, dengan pembelaan yang tidak sama. Ada di antara mereka yang berpihak kepada pemerintah, tetapi ada pula yang sebaliknya, berada pada posisi yang berlainan dengan pemerintah, sehingga kemudian memunculkan istilah di tengah-

35 Imam Suprayogo, “Kiyai Dan Politik Di Pedesaan, Suatu Kajian Tentang Variasi Dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiyai”, Disertasi Doktor, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1998), h. 66, t.d. 76 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi tengah masyarakat kiai pemerintah dan kiyai bukan pemerintah.36 Perbedaan kiai, selain bisa ditinjau dari ketelibatannya dalam politik, juga bisa dilihat dari garis keturunan, penguasaan keilmuan dan keikutsertaannya dalam tarekat. Dalam tipe yang terakhir memunculkan istilah kiai tarekat dan kiai bukan tarekat. Kiai Tarekat adalah kiai yang tergabung dalam kelompok jamaah dengan mengikuti salah satu aliran tarekat mu’tabarah, seperti tarekat Qadīriyah, Naqsabandiyah, Siddīqiyah dan Satāriyah.37 Tetapi kebanyakan kiai di Jawa Timur, baik yang tinggal di wilayah bagian utara dan selatan maupun yang tinggal di wilayah Madura mengikuti aliran tarekat Qodīriyah wa Naqsbandiyah.38 Sedangkan tipe kiai non tarekat adalah kiai yang tidak mengikuti aliran tarekat. Oleh karena itu, pengaruhnya juga sangat terbatas, hanya di sekitar pondok pesantren saja. Tetapi sebaliknya, kiai tarekat atau tergabung dalam salah satu aliran tarekat, sebagaimana telah diuraikan mempunyai pengikut

36 Imam Suprayogo, “Kiyai Dan Politik Di Pedesaan, Suatu Kajian Tentang Variasi Dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiyai”, Disertasi Doktor, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1998), h. 67, t.d. 37 Imam Suprayogo, “Kiyai Dan Politik Di Pedesaan, Suatu Kajian Tentang Variasi Dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiyai”, Disertasi Doktor, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1998), h. 134, t.d. 38 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Survey Historis, Geografis dan Sosiologis, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke-3, h. 174, 176 dan 185. Kiai, Pesantren dan Politik 77 yang sangat banyak, sangat luas dan jaringan yang tidak terbatas, bahkan sangat dihormati. Pengelompokan kiai dikaitkan dengan penguasa- an keilmuan, memunculkan sebutan kiai dhahir dan kiai batin. Kiai dhahir adalah kiai yang memiliki keahlian ilmu agama Islam yang ditunjukkan dari kemampuannya membaca kitab-kitab klasik karang- an ulama salaf,39 atau kitab kuning dan atas penguasaannya terhadap kitab-kitab itu, persoalan agama yang muncul di tengah-tengah masyarakat dapat diselesaikannya. Sedangkan kiai batin adalah kiai yang dikenal memiliki kekuatan spiritual yang tinggi, yang dengan kekuatannya, masyarakat menganggapnya memiliki karamah dari Allah SWT. Kiai dalam tipe ini, dianggap mampu melakukan layanan sosial melalui doa yang dipanjatkannya. Kedua jenis kiai ini, masing-masing mempunyai kelebihan dan bobot peran yang berbeda. Kiai dhahir, aktifitasnya lebih menonjol dalam pengajaran dan berorganisasi, sedangkan kiai batin, aktifitasnya lebih menonjol sebagai pembaca doa, imam salat dan kegiatan ritual lainnya. Adapun pengelompokan kiai dikaitkan dengan garis nasabnya dapat dibedakan menjadi kiai

39 Ulama periode klasik, pada masa puncak kejayaan Islam, seperti dalam bidang Fiqh terdapat nama Imam Syafi’i, dalam bidang Tasauf terdapat nama Imam Ghazzali, dan dalam bidang Tauhid terdapat nama Hasan Basri dan lain sebagainya. 78 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi keturunan dan bukan keturunan. Disebut kiai keturunan, jika yang bersangkutan berasal dari keturunan kiai, sedangkan kiai bukan nasab, identitas kekiaiannya diperoleh dari prestasinya selama menjadi santri yang ditunjukkan oleh kepribadian- nya, kealimannya, kemampuannya menguasai ilmu pengetahuan agama Islam dan tingginya respon masyarakat terhadapnya, ketika ia kembali ke daerahnya dan mendirikan pondok pesantren. Kedua jenis kiai ini, masing-masing mempunyai bobot yang berbeda. Kiai bukan nasab dalam batas-batas tertentu masih dihormati, tetapi kiai nasab, biasanya sekali pun kurang alim, masih lebih dihormati, dan bahkan sekalipun melakukan kesalahan asal tidak termasuk dosa besar, predikat kekiaiannya tidak akan hilang. Bahkan jika seorang putra kiai melakukan kesalahan, masih dianggap sebagai hal yang wajar. Santri atau ummat yang memiliki hubungan guru-murid dengan putra kiai maupun keluarga, ayah, kakek dan seterusnya, akan tetap hormat dan mengakuinya sebagai pemimpin. Lebih dari itu, di lingkungan kiai, ternyata keturunan dipandang sangat penting. Oleh karena itu, tidak jarang seorang kiai memiliki catatan silsilah keluarga yang demikian panjang dan memiliki hubungan kekeluargaan dan kekerabatan antara seorang kiai pesantren dengan kiai pesantren lainnya.40 Dalam konteks kiai nasab ini, Laode Ida

40 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the Kiai, Pesantren dan Politik 79 membaginya menjadi tiga stratifikasi utama, yaitu kiai aristokrat, kiai non aristokrat dan kiai biasa. Kiai aristokrat atau biasa disebut kiai darah biru adalah mereka yang terdiri dari keluarga pendiri NU yang umumnya berada di Jawa Timur. Mereka ini, termasuk keluarganya, di lingkungan NU, menempati posisi tertinggi dan seolah-olah bersifat permanen. Kelompok ini kemudian berkembang dengan cara kawin-mawin, sehingga jumlahnya pun terus bertambah.41 Kiai non aristokrat adalah kiai yang selain belajar pada pesantren keluarga darah biru, juga belajar pada pesantren-pesantren lain, sehingga memiliki ilmu yang bervariasi dan memiliki kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki oleh kiai lainnya. Ketenaran kiai seperti ini dikenal luas baik oleh komunitas NU maupun oleh masyarakat di luar NU, sehingga selalu dijadikan rujukan baik dalam kaitan dengan kepentingan keduniaan maupun yang bersifat ukhrawi. Sedangkan kiai biasa adalah kiai yang

Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (USA: ASU, 1999), h. 42-57. 41 Keluarga Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, keluarga KH. Wahab Hasbullah dan keluarga KH. Kholil Bangkalan, Madura, merupakan keluarga generasi pertama pendiri NU yang sekaligus dianggap sebagai darah biru NU. Kendati demikian, yang paling menonjol di masyarakat sebagai keluarga inti darah biru NU saat ini adalah keluarga turunan KH. Hasyim Asy’ari, yang sering direpresentasikan oleh KH. Abdurrahman Wahid. Lihat Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 6 dan 47. 80 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi belajar pada pesantren NU tertentu dan kemudian mengajar pada pesantren tertentu atau mengembangkan pendidikan pesantren dengan ajaran-ajaran yang sudah digariskan oleh NU.42 Dalam pada itu, Pradjarta Dirdjosanjoto sebagaimana Turmudi, Laode Ida dan Suprayogo, juga membedakan kiai menjadi kiai tarekat, kiai pesantren dan kiai langgar.43 Kiai pesantren sebagaimana uraian di atas, merupakan kiai yang berada di lingkungan pesantren yang hubungannya lebih bersifat ke dalam dan agak terisolasi dari masyarakat, tetapi memiliki jaringan yang luas dengan kiai-kiai di luar daerah bahkan di luar propinsi. Sedangkan kiai langgar merupakan kiai yang memiliki hubungan langsung dengan ummat dan bisa menjadi perantara hubungan antara kiai pesantren dengan ummat, karena di langgar banyak ummat Islam yang mendengarkan pengajian dan mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar agama kepada sang kiai. Bahkan kegiatan keagamaan bersama, baik yang bersifat umum seperti peringatan hari besar Islam, pengajian maupun yang berkaitan dengan kepentingan keluarga seringkali dilaksana- kan di sana. Dengan demikian, langgar tidak sekedar tempat beribadah dan merupakan pusat masyarakat

42 Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 6-7. 43 Pradjata Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 159. Kiai, Pesantren dan Politik 81

Islam lokal, tetapi juga dapat dikatakan sebagai simbol kesatuan ummat setempat dengan seorang kiai langgar sebagai pemimpinnya. Jadi, berbeda dengan kiai pesantren yang tinggal bersama para santrinya dalam kompleks yang relatif terpisah dari penduduk desa di sekitarnya, kiai langgar merupakan seorang ‘patriarch’ yang memimpin ummat dalam kehidupan sehari-hari. Di samping sebagai guru mengaji, kiai langgar juga seorang imam dan sekaligus tokoh masyarakat Islam setempat.44 Selain itu, batas antara kiai langgar dengan kiai pesantren seringkali kabur, lantaran beberapa kiai langgar kemudian mendirikan pesantren dan menjadi seorang kiai pesantren, yang berarti perkembangan sebagian pesantren berawal dari sebuah langgar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kiai itu sangat beragam dan variatif. Keragaman itu terjadi karena kiai merupakan ulama panutan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Ia berusaha mengajarkan apa yang dimilikinya kepada masyarakat, sehingga mereka menyebutnya dengan beragam ungkapan.

44 Pradjata Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LkiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 116. 82 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi b) Tipologi Pesantren Perkataan “Pesantren” menurut asal usulnya berasal dari bahasa Sanskerta dari kata “Santri” yang berarti pelajar sekolah agama.45 Sedangkan kata santri sendiri merupakan bentuk baru yang berubah dari kata “Castri” yang juga mempunyai arti orang yang belajar mengaji.46 Sesuai kaidah dalam bahasa Indonesia, kata dasar santri tersebut, kemudian mendapatkan awalan Pe- dan akhiran -An, sehingga menjadi “Pesantrian.” Tetapi, karena dalam bahasa Indonesia dikenal “Sandhi” (dua bunyi disatukan membentuk bunyi baru, misal, ia jadi e, ua jadi o), maka kata “Pesantrian” berubah menjadi “Pesantren,” yang menunjukkan tempat yang dimaksud oleh kata dasar “Santri,” sehingga “Pesantren” berarti lembaga pendidikan Islam tempat murid-murid belajar mengaji dan mem- pelajari ilmu pengetahuan agama Islam.47 Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua, pesantren dalam perkembangannya hingga sekarang di Indonesia, dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe. Chatibul Umam, secara sederhana, membagi pesantren menjadi tiga tipe. Pertama, pesantren

45 W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 870. 46 A. Mukti Ali, Modern Thought in Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1971), h. 7. 47 KH. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang Dari Pesantren, (Bandung: al-Ma’arif, 1977), h. 51. Kiai, Pesantren dan Politik 83 tradisional, di mana pesantren hanya mengajarkan ilmu pengetahuan agama secara sorogan dan wetonan; Kedua, pesantren semi tradisional, dimana pesantren selain mengajarkan ilmu pengetahuan secara sorogan dan bandongan, juga mengajarkan secara klasikal dan bentuk madrasah; Ketiga, Pesantren Modern, di mana pesantren hanya mengajarkan ilmu pengetahuan agama secara klasikal.48 Sementara Sadikun Sugihwaras, sebagai- mana Chatib, juga membagi pesantren menjadi tiga golongan. Pertama, Pesantren, di mana seorang kiai mengajar santri yang tinggal di asrama, berdasarkan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama besar abad pertengahan secara non klasikal atau sorogan dan bandongan. Kedua, pesantren, di mana seorang kiai mengajar santri ilmu pengetahuan agama Islam berdasarkan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama besar abad pertengahan secara wetonan. Santri tidak disediakan pemondokan di kompleks pesantren, tetapi mereka tinggal tersebar di seluruh penjuru desa di sekeliling pesantren. Ketiga, pesantren yang merupakan gabungan yang pertama dan kedua, tetapi mereka disediakan asrama, atau merupakan santri kalong. Selain itu, pesantren juga menyelenggarakan pendidikan non formal dan formal berbentuk madrasah, dan bahkan sekolah

48 Chatibul Umam, “Pesantren dan Variasinya,” Makalah Disampaikan Dalam Diskusi Dosen Fakultas Adab, (Jakarta, Fakultas Adab, 1989), h. 4-5. 84 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi umum dalam berbagai tingkatan dan aneka kejuruan menurut kebutuhan masyarakat masing-masing.49 Kafrawi Ridlwan tidak jauh berbeda dengan dua pendapat terdahulu, membagai pesantren menjadi empat tipe, sebagai berikut: Ponpes A, dimana pesantren tidak memiliki madrasah, para santri belajar dan bertempat tinggal bersama-sama dengan kiai, dan kiai mengajar secara individual dengan kurikulum terserah kiai. Ponpes B, dimana pesantren telah memiliki madrasah, kurikulum tertentu, pengajaran kiai hanya aplikasi, pengajaran pokok terletak pada madrasah yang didirikannya, kiai memberikan pelajaran secara umum pada waktu yang telah ditentukan, dan para santri bertempat tinggal di pesantren dengan mengikuti pelajaran yang diberikan oleh kiai, di samping mereka juga mendapatkan pelajaran umum dan agama di madrasah. Ponpes C, di mana pesantren hanya tempat tinggal (asrama), santri belajar di madrasah-madrasah atau sekolah umum, sedang kiai berfungsi sebagai pengawas dalam pembinaan mental. Ponpes D, di mana pesantren telah menyelenggarakan sekolah umum atau sekolah umum dengan sistem pondok.50

49 Sadikun Sugihwaras, Pondok Pesantren Dan Pembangunan Pedesaan, (Jakarta: Dharma Bakti, 1979), h.72-73. 50 Kafrawi Ridlwan, Pembaharuan Sistim Pendidikan Pondok Pesantren, Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1978), h. 139-140. Kiai, Pesantren dan Politik 85

Hasil penelitian LP3ES Jakarta melengkapi klasifikasi pesantren di atas, menyodorkan lima tipe, sebagai berikut: Pertama, pesantren masih bersifat sederhana, dimana kiai mempergunakan masjid atau rumahnya sendiri untuk tempat mengajar, sedangkan santri hanya datang dari daerah sekitar pesantren. Mereka mempelajari ilmu agama secara kontinyu dan sistematis dengan metode weton dan sorogan; Kedua, pesantren telah memiliki pondok atau asrama yang disediakan bagi para santri yang datang dari daerah lain. Mereka mempelajari ilmu agama secara kontinyu dan sistematis dengan metode weton dan sorogan; Ketiga, pesantren telah memakai sistem klasikal, dimana santri yang mondok mendapat pendidikan di madrasah, di samping ada murid madrasah yang datang dari daerah sekitar pesantren itu sendiri. Pengajaran, selain diberikan secara klasikal oleh guru agama atau ustadz, juga diberikan secara weton oleh kiai; Keempat, pesantren, selain telah memiliki kriteria tipe ketiga, juga melengkapi tempat untuk latihan keterampilan, seperti peternakan, kerajinan rakyat, toko koperasi, sawah, lading dan lain sebagainya; Kelima, pesantren, selain telah memiliki kriteria tipe keempat, juga melengkapi dengan bangunan perpustakaan, dapur umum, ruang 86 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi makan, kantor administrasi, ruang penginapan tamu dan ruang operation-room, dan lain sebagainya.51 Klasifikasi tipe pesantren tersebut berlaku untuk semua pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang sekarang mencapai 14.798 buah dengan santri berjumlah 3.464.334 orang, sedangkan di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur, jumlah pesantren mencapai 3.582 buah dengan santri berjumlah 1.169.256 orang. Tetapi, jika merujuk pada pesantren yang didirikan atau diasuh oleh kiai yang berafiliasi pada organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama dan menjadi anggota Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah, maka pesantren dapat diklasifikan menjadi dua, yaitu pesantren salaf serta pesantren salaf dan khalaf sekaligus. Pesantren salaf adalah pesantren yang hanya mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam berdasarkan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama besar abad pertengahan secara klasikal, sorogan atau wetonan dan bandongan, sebagaimana telah lama dilaksanakan oleh Ponpes al-Taroqqi, Sampang, Madura, Ponpes Sidogiri, Pasuruan dan Ponpes Langitan Widang Tuban. Pada ketiga institusi itu, pesantren menyusun kurikulum sendiri sesuai kebutuhan, tidak memakai kurikulum pemerintah, sehingga para santri juga

51 Sudjoko Prasodjo (ed), Profil Pesantren, Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falak & Delapan Pesantren Lain di Bogor, (Jakarta: LP3ES, 1974), h. 139-140. Kiai, Pesantren dan Politik 87 tidak menerima ijazah dari pemerintah. Sedangkan pesantren salaf dan khalaf adalah pesantren yang selain mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam berdasarkan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama besar abad pertengahan secara sorogan atau wetonan dan bandongan, juga mengajakan secara klasikal. Bahkan pada sistem klasikal juga diajarkan ilmu pengetahuan umum dan beberapa keterampilan lainnya. Ponpes Tebuireng,52 Ponpes Darul Ulum53 dan Ponpes Bahrul

52 Pembaharuan di Ponpes Tebuireng jauh lebih awal dari pemerintah, dimulai tahun 1934, ketika usulan kiai Wahid untuk mendirikan Madrasah Nidhomiyah disetujui oleh ayahnya Hadlratus Syekh Hasyim Asy’ari. Kurikulum pada Madarasah ini terdiri dari 70 % Umum dan 30 % Agama. Di samping itu, juga didirikan Perpustakaan dan lain sebagainya. Pada tahun 1950-an didirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Madrasah Muallimin, dan pada tahun 1975-an didirikan SMP, SMA dan Universitas Hasyim Asy’ari tahun 1967. Lihat H. Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan KH. A. Wahid Hasyim, 1957), h. 820-824. Lihat pula Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (USA: ASU, 1999), h. 84, 87, 95, 100 dan 103. 53 Sebagaimana Ponpes Tebuireng, pembaharuan di Ponpes Darul Ulum jauh lebih awal dari pemerintah, dimulai ketika KH. Musta’in Romly menjabat Ketua Umum Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum tahun 1958, dengan didirikannya SMP dan SMA di samping Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Pada tahun 1965 didirikan Universitas Darul Ulum dan pada 1968 sekolah yang berafiliasi ke Depag dinegerikan melalui keputusan Menag No. 67 tahun 1968. Setelah KH. Must’ain wafat 1983, Ketua Majelis Pimpinan Pondok dijabat oleh KH. As’ad Umar dan pada 1988 dibuka Program Komputer, 1989 didirikan SMEA, 1991 didirikan AKPER dan tahun 1992 didirikan STM Darul Ulum. Lihat Yayasan Darul Ulum, Pondok Pesantren Darul Ulum, (Jombang: 2006), h. 15-16. Program pengembangan Pondok Pesantren Darul Ulum, (Yayasan Darul Ulum Periode 2001-2006), h. 8- 15. Trisula, Nilai-Nilai Moral Pendidikan Darul Ulum, (Jombang: 88 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Ulum54 adalah pesantren yang telah lama menerapkan pengajaran seperti itu, bahkan ketiga ponpes yang berlokasi di wilayah Jombang, Jawa Timur, tersebut telah menyelenggarakan sekolah umum, mulai dari tingkat SD, SMP, SMU dan perguruan tinggi dengan kurikulum pemerintah, sehingga alumninya selain ada yang memperoleh ijazah dari dari Departemen Agama RI, juga ada yang memperoleh ijazah dari Departemen Pendidikan Nasional RI. Jadi, ketiga ponpes terakhir ini khususnya, lebih cepat di dalam merespon perubahan dan pembaharuan, sebuah pembaharuan yang mulai dikenalkan oleh pemerintah, ketika Departemen Agama RI dijabat oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali dan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat seperti LP3ES dan P3M, sehingga termasuk ponpes modern berdasarkan klasifikasi Kafrawi Ridlwan dan LP3ES di atas.

Undar, 1982), h. 8-17. Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1999), Cet. Ke-1, h. 152-162. 54 Sebagaimana Tebuireng dan Darul Ulum, pembaharuan di Ponpes Bahrul Ulum jauh lebih awal dari pemerintah, dimulai tahun 1967. Berdasarkan SK Menag tanggal 4 Maret 1969, No. 23 Tahun 1969, Status Madrasah Muallimin Muallimat menjadi negeri dengan perincian kelas 1,2 dan 3 menjadi MTsAIN (Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri), sedangkan kelas 4,5 dan 6 menjadi MAAIN (Madarasah Aliyah Agama Islam Negeri). Pada tahun 1973 didirikan Perguruan Tinggi, Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam dan pada tahun 1983/1984 dibuka Jurusan Bahasa Arab. Selain itu, juga dibuka MI, MTs dan MA Bahrul Ulum, TK, MIPK, MD, Madrasah al- Qur’an, MMA, SPPT Bahrul Ulum, MAK, SMA, SMK dan SMK-TI. Lihat Pondok Pesantren Bahrul Ulum, (Tambak Beras, Jombang: Yayasan Ponpes Bahrul Ulum, 2006), h. 13-14. Kiai, Pesantren dan Politik 89

B. Pesantren dan Perubahan Sosial 1. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Keagamaan Secara teoritis, minimal ada tiga bentuk lembaga pendidikan yaitu informal, non formal dan formal. Bentuk informal adalah bentuk lembaga pendidikan yang tidak diatur, dalam arti tidak ada jadwal pelajarannya, kurikulumnya, ijazahnya, gurunya, tidak jelas berapa biayanya dan lain sebagainya. Oleh karena itu, lembaga pendidikan keluarga biasa dimasukkan ke dalam kelompok ini. Bentuk non formal adalah bentuk lembaga pendidikan setengah diatur, dalam arti ada jadwal pelajarannya, kurikulumnya, tetapi tidak jelas bagaimana pakaian murid dan siswanya serta dimana tempat kegiatan belajar mengajarnya dan lain sebagainya. Oleh karena itu, lembaga kursus, lembaga mushalla dan masjid serta pesantren salaf/tradisional biasa dimasukkan ke dalam kelompok ini. Adapun bentuk formal adalah bentuk lembaga pendidikan yang diatur semua kegiatan belajar mengajarnya, misalnya ada kurikulumnya, jadwal pelajarannya, gurunya, tempat belajarnya, biayanya, ijazahnya dan lain sebagainya. Oleh karena itu, lembaga pendidikan ini biasa disebut dengan lembaga pendidikan klasikal dan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah sekolah 90 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi umum, madrasah dan pesantren semi tradisional55 dan modern. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pesantren bisa dikategorikan pada kelompok kedua dan ketiga, mengingat pesantren selain mengenalkan pengajian, juga mengenalkan belajar mengajar secara klasikal. R.A. Kern mengemukakan bahwa sebagian besar pesantren sebelum Perang Dunia I kurang ada kecenderungan untuk merumuskan pendidikan dan pengajarannya yang berlangsung sehari semalam dalam bentuk susunan yang teratur sesuai dengan pengertian kurikulum,56 yaitu rencana pelajaran plus kegiatan di luar jam pelajaran di pesantren yang merupakan usaha bantuan untuk memudahkan tercapainya tujuan dari pada pesantren.57 Sebabnya adalah sifat kesederhanaan pesantren itu sendiri,

55 Disebut semi tradisional, karena pesantren selain mempertahankan model pengajian, juga mengenalkan model pembelajaran madrasah/sekolah agama dan umum mulai dari tingkat dasar sampai menengah atas, bahkan perguruan tinggi. Sedangkan disebut modern, karena pesantren selain mengenalkan model pembelajaran madrasah/sekolah agama dan umum mulai dari tingkat dasar sampai menengah atas dan perguruan tinggi, juga mengenalkan keterampilan lain seperti bertukang, bercocok tanam, perbengkelan dan montir, menjahit dan lain sebagainya. Lihat Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren, Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1978), 139-140. 56 R.A. Kern, De Islam in Indonesia, (Uitgeverij W. Van Hoeve’s Gravenhage, 1974), h. 91. 57 A. Mukti Ali, “Kurikulum Pondok Pesantren” materi disampaikan pada Seminar Pondok Pesantren Seluruh Indonesia Tahap I, Yogyakarta, 1965, h. 122. Kiai, Pesantren dan Politik 91 dimana kiai mengajar dan santri belajar semata-mata untuk ibadah Lillāhi Ta’āla, tidak pernah dihubung- kan dengan tujuan tertentu dalam lapangan peng- hidupan, kecuali tujuan tercapainya manusia mukmin, muslim, ālim dan sāleh.58 Oleh karena itu, penjadwalan waktu belajar yang dilaksanakan di masjid misalnya, baik teori maupun praktik, biasanya disesuaikan dengan sebelum dan sesudah salat lima waktu. Di siang hari dan malam hari biasanya lebih panjang waktu belajar-mengajarnya, sedang di pagi dan petang hari waktu belajar mengajarnya sangat pendek. Selain itu, ukuran lamanya belajar juga tidak menentu, sehingga biasa dijumpai adanya santri yang hanya belajar satu bulan, satu tahun atau bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian, penentuan masa belajar sangat tergantung pada kecakapan santri, tujuan yang hendak dicapai dan minat santri itu sendiri. Selama masih memerlukan bimbingan dari kiai, selama itu pula santri tidak merasakan adanya keharusan untuk menyelesaikan pelajarannya di pesantren.59 Di luar jam pelajaran, sebagaimana telah dijelaskan, banyak kegiatan yang mempunyai nilai pendidikan seperti latihan hidup sederhana, saling hormat menghormati, ibadah dengan tertib, saling

58 M. Dawam Rahardjo, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), h. 86. 59 D.G. Stibbi, Encyclopaedia Van Nederlandsch Indie, Vol. III, (Leiden: Martinus Nijhoff, 1919), h. 388. 92 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi mengatasi kebutuhannya sendiri, mencuci sendiri, mengatur dan memasak sendiri, mendirikan pondok dengan penukangan dan pembiayaan sendiri, mengatur keuangannya sendiri bahkan ada santri yang membiayai hidupnya sendiri. R.A. Kern menjelaskan “jarang sekali santri bisa mengandalkan kiriman dari rumahnya. Mereka mencari nafkahnya sendiri dengan bekerja pada tanah-tanah kepunyaan penduduk setempat atau bekerja pada sawah milik gurunya. Mereka juga memperoleh nafkah dari karya kecil dengan membuat kopi al-Qur’an, membikin tikar dan lain sebagainya.”60 Dalam kegiatan belajar mengajar seperti dijelaskan terdahulu, pada dasarnya materi yang dikaji merupakan kelanjutan materi pengetahuan agama yang diterima santri pada pengajian di rumah- rumah dan langgar-langgar atau musalla-musalla. Jika di langgar atau musalla diistilahkan dengan sekolah rendah, maka pesantren merupakan tingkat menengah dan tinggi. Oleh karena itu, bahan atau materi pelajaran yang diberikan khususnya yang berkaitan dengan pengetahuan agama Islam, juga lebih mendalam. Masalah syariat sehari-hari (ilmu fiqh baik ibādah maupun mu’āmalah), bahasa Arab (ilmu shorof, nahwu dan ilmu alat lainnya), al-Qur’an (tajwīd dan tafsir-tafsirnya), ilmu tauhīd, ilmu

60 R.A. Kern, De Islam in Indonesia, (Uitgeverij W. Van Hoeve’s Gravenhage, 1974), h. 91. Kiai, Pesantren dan Politik 93 pengetahuan yang berhubungan dengan akhlāq dan tasawuf).61 Adapun metode pengajaran di pesantren dalam waktu yang sangat panjang, secara agak seragam diberikan dengan pembacaan kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan tersebut, dimana santri seorang demi seorang datang menghadap kiai atau pembantunya dengan membawa kitabnya masing-masing. Kiai atau pembantunya membacakan baris-baris al-Qur’an atau kitab-kitab berbahasa Arab, lalu menterjemahkannya dan pada gilirannya santri mengulangi dan menterjemahkan kata-kata sepersis mungkin seperti yang dilakukan kiai tersebut, suatu system individual yang lazim disebut dengan “sorogan”,62 berasal dari kata “sorog” yang berarti menyodorkan kitabnya kepada kiai atau pembantunya. Dalam sistem ini, pembelajaran diberikan kepada siapa saja yang ingin mendapatkan penjelasan yang lebih detail tentang berbagai masalah yang dibahas dalam sebuah kitab. Oleh karena itu, sistem sorogan hanya diikuti oleh dua hingga lima orang santri dengan kiai dan santri senior, sebagai pembantunya, yang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam masalah-masalah tertentu sebagai

61 L.W.C. Van Den Berg, “Het Mohammedansche Godsdien stonderwijs op Java en Madoera”, Tijdschrif Voor Indische Taal Land- en Volkenkunde, Vol. XXXI, 1886, h. 518-555. 62 A. Djajadiningrat, “Het Leven in Een Pesantren, Tijdscrift Voor Het Binnenlandsche, Vol. 34, 1908, h. 11. 94 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi pihak pemberi penjelasan. Jadi, sistem sorogan bertujuan memberikan pelatihan khusus kepada santri dan membantu mereka mengembangkan pengetahuan dan keahlian tertentu yang dalam sistem pendidikan modern di Indonesia barangkali sama dengan sistem KBK (kurikulum berbasis kompetensi), karena yang ingin dicapai dalam sistem sorogan adalah aspek psikomotorik, bukan aspek kognetif dan afektif semata. Metode lainnya dan paling umum digunakan di pesantren adalah “weton”,63 dan seringkali disebut dengan “balaghan atau bandungan.64 Weton berasal dari bahasa Jawa yang berarti waktu, lantaran waktu belajar dilaksanakan sebelum atau sesudah salat fardlu, sedangkan “Bandungan” dikarenakan santri yang mengikuti pengajian duduk bersama-sama dalam lingkaran lebar di sekitar kiai atau santri senior yang membacakan, menerjemahkan dan menerang- kan kitab berbahasa Arab, karya ulama terdahulu dalam bahasa lokal secara kuliah, sementara santri menyimak kitabnya masing-masing dengan mem- bubuhi jabar atau harakat dan catatan padanya. Dalam bandongan, pembelajaran dihadiri oleh sejumlah besar santri, mencapai sekitar lima sampai

63 Kafrawi, Pembaharuan Sistim Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1978), h. 54. 64 A. Djajadiningrat, “Het Leven in Een Pesantren, Tijdscrift Voor Het Binnenlandsche, Vol. 34, 1908, h. 11. Kiai, Pesantren dan Politik 95

200 santri dari berbagai usia dan tingkat ilmu pengetahuan. Jadi, cukup banyak pesertanya, karena santri dianggap telah memiliki kecukupan penge- tahuan dasar tentang tata bahasa Arab dan al-Qur’an. Pada kedua metode pengajaran itu, baik sorogan maupun bandongan, tidak diadakan pengulangan dan pertanyaan. Meskipun demikian, santri tetap berada dalam pengawasan kiai, selaku pengayom dan pembimbing secara tut wuri handayani, sebagaimana nampak dalam sistem individual dimana kiai atau pembantunya secara langsung dapat mengawasi, menilai dan membimbing dengan maksimal kemampuan seorang santri. Bahkan sistem ini lebih efektif bagi kiai untuk memberikan dan melimpahkan nilai-nilai secara tersendiri kepada santri. Oleh karena itu, tidaklah tepat, jika dikatakan bahwa sistem pendidikan di pesantren secara keseluruhan bersifat bebas, bebas untuk tidak belajar sekalipun.65 Sistem pendidikan di pesantren dengan semua aspeknya tersebut dalam beberapa hal dipandang mempunyai kesamaan dengan sistem pendidikan pada zaman pra Islam yang diidentifikasi dengan sistem Mandala.66 Kesamaan itu menurut Soegarda Poerbakawatja, antara lain terletak pada adanya penghormatan yang

65 A. Mukti Ali “Kurikulum Pondok Pesantren” materi disampaikan pada Seminar Pondok Pesantren Seluruh Indonesia Tahap I, Yogyakarta, 1965, h. 11. 66 W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition a Study of Social Change, (Bandung: W.V. Van Hoeve, 1956), h. 240-241. 96 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi tinggi pada seorang guru, adanya suasana gotong royong yang mewarnai kehidupannya dan adanya santri yang pergi mencari nafkah untuk keperluan hidupnya.67 I.P. Simandjuntak selain mengakui adanya kesamaan sebagaimana pendapat di atas, juga menunjukkan adanya perbedaan antara keduanya, dimana kalau pada zaman Hindu/Buddha materi yang dipelajari terkait dengan ajaran agama Hindu/Buddha, bahasa pengantarnya bahasa Pali dan Sanskerta dan latar belakang muridnya hanya dibatasi pada golongan tertentu dari kasta Brahmana dan kasta Ksatria, maka pada zaman Islam yang dipelajari adalah ilmu pengetahuan Islam, bahasa pengantarnya bahasa Arab dan latar belakang muridnya terdiri dari semua orang dalam segala tingkatan.68 Dalam pada itu, di dunia Islam pada zaman tabi’in telah ada pendidikan dan pengajaran yang diselenggarakan pada suatu pojok di bagian masjid sebelah Barat yang disebut dengan zawiyah.69 Pendidikan tersebut diberikan untuk semua anak dan semua orang dari berbagai lapisan dengan cara

67 Soegarda Poerbakawatja, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, (Jakarta: Gunung Agung, 1970), h. 18. 68 I.P. Simandjuntak, Perkembangan Pendidikan di Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1973), h. 21-27. 69 Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Antara, 1962), h. 122. Kiai, Pesantren dan Politik 97 murid-murid duduk bersama-sama dalam lingkaran lebar di sekitar seorang guru yang membacakan kitab-kitab berbahasa Arab atau mendiktekannya,70 meliputi kitab fiqh, hādis dan kitab yang berhubungan dengan bahasa Arab seperti arūdl dan lain sebagainya. Ahmad Syalabi dalam kaitannya dengan pojok masjid dan pengajaran di tempat itu, menjelaskan, “dalam masjid ada beberapa pojok tempat mempelajari ilmu pengetahuan agama Islam dan salah satunya adalah pojok Imam Syafi’i, karena Imam Syafi’i mengajar di tempat ini sampai wafat. Pojok ini disamping memiliki tanah wakaf yang luas sekali, juga sampai masa al-Maqrizi masih tetap dipakai para Fuqahā dan ‘Ulamā untuk mengajar ilmu pengetahuan agama Islam.”71 Sejalan dengan zawiyah menurut pengertian di atas, H.A.R. Gibb dan J. Kramer lebih lanjut menambahkan bahwa zawiyah tidak hanya merupa- kan tempat pendidikan dan pengajaran, tetapi juga menjadi tempat kehidupan orang-orang sufi dan para muridnya. Selain itu, zawiyah juga merupakan asrama para pelajar, musafir dan lain sebagainya. Mereka disediakan perlengkapan yang cukup, makanan dan

70 Ibnu Batuthah, Rihlatu Ibnu Batuthah al-Musammat Tujfatu al- Nadhar fi Gharāibi al-Amshor wa ‘Ajāibi al-Asfār, (Cairo: al-Istiqamah, 1386/1967), Juz. I, h. 56. 71 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, alih bahasa H. Muhtar Yahya dan M. Sanusi Latief, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 102. 98 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi sekaligus menjadi tempat makan.72 Dengan demikian, zawiyah dan sistem pendidikan dan pengajaran di dalamnya dalam beberapa hal, nampak lebih banyak mempunyai persamaan dengan sistem pendidikan dan pengajaran di pesantren, sehingga dapat diperkirakan bahwa sistem pendidikan yang tersebut terakhir, merupakan penerapan sistem pendidikan dan pengajaran di zawiyah yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang ada melalui proses Islamisasi di negeri ini, yang menurut B.J.O. Schrieke, bersifat sufistik.73 Oleh karena itu, lahirlah lembaga pendidikan pesantren dalam warna dan corak Indonesia, suatu sistem pendidikan yang oleh Ki Hadjar Dewantoro disebut dengan sistem nasional.74 Sebagai lembaga pendidikan keagamaan, kiai di pesantren mempunyai kedudukan yang sangat sentral dan strategis. Abdurrahman Wahid menegas- kan bahwa kedudukan yang dipegang oleh seorang kiai adalah kedudukan ganda sebagai pengasuh dan sekaligus sebagai pemilik, yang secara kultural kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan feodal yang biasa dikenal dengan nama “kanjeng” di

72 H.A.R. Gibb and J. Kramer, Shorter Encyclopaedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1953), h. 657. 73 B.J.O. Schrieke, Indonesia Sosiological Studies, (The Hague and Bandung: W. Van Hoeve, Gravenhage), Vol. I, h. 237. 74 Ki Hadjar Dewantoro, Taman Siswa, (Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962), h. 369-380. Kiai, Pesantren dan Politik 99

Pulau Jawa.75 Oleh karena itu, dalam penentuan struktur organisasi pondok, terutama dalam me- nentukan pengganti atau penerus pesantren, maka pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil, dimana kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan dalam lingkungan dan kehidupan pesantren, sehingga tidak seorang pun santri atau orang lain yang dapat melawan kekuasaannya di lingkungan pesantren, kecuali kiai lain yang lebih besar pengaruhnya. Jika dalam tradisi budaya kerajaan-kerajaan, khususnya Kerajaan Mataram Islam, jika seorang raja berkuasa di seluruh negeri, maka seluruh kekuasaan negara berada di tangannya, karena negara adalah miliknya atau dia sendirilah negara itu,76 sehingga raja berwenang mewajibkan semua pemuda berperang sebagai prajuritnya. Lebih dari itu, raja juga berwenang menentukan penggantinya dan biasanya ditunjuk putera tertua atau saudara terdekat untuk menjadi putera mahkota, yang kelak akan menggantikannya setelah sang raja meninggal, maka dalam tradisi pesantren, pengganti kiai adalah juga putera tertua

75 Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur” dalam Dawam Rahardjo, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, op. cit., h. 46-47. 76 Hans Antlov dan Sven Cederroth, Kepemimpinan Jawa, Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter, terjemahan P. Soemitro, (Jakarta: Yayasan Obor, 2001), Cet. Ke-1, h. XVII. Juga disebutkan dalam buku ini, bahwa Louis XIV, raja Perancis yang mninggal 1715 M. membuat pernyataan yang sama, yakni l’etat c’est moi (negara adalah saya), sehingga dapat dimaklumi kalau milik pribadi dan kerajaan disatukan saja. 100 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi atau kerabat terdekat yang sudah dipersiapkan. Zamakhsyari Dhofier menjelaskan “Para kiai selalu menaruh perhatian istimewa terhadap pendidikan putera-puteranya sendiri untuk dapat menjadi pengganti pimpinan dalam lembaga-lembaga pesantrennya. Jika seorang kiai mempunyai anak laki-laki lebih dari satu, biasanya ia mengharapkan anak tertua dapat menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin pesantren setelah ia meninggal. Sedangkan anak laki-lakinya yang lain dilatih untuk dapat mendirikan suatu pesantren yang baru, atau dapat menggantikan kedudukan mertuanya yang kebanyakan juga pemimpin pesantren.”77 Penegasan Zamakhsyari Dhofier tersebut, juga dapat diperkuat melalui skema silsilah pengasuh Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban; silsilah pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang; silsilah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Situbondo; silsilah pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo dan lain sebagainya. Bahkan berdasarkan silsilah pengasuh pondok pesantren Langitan Widang Tuban dan silsilah pengasuh pondok pesantren Tebuireng Jombang, juga diketahui bahwa bila ditarik ke atas, maka silsilahnya akan sampai pada Pangeran Benawa, anak Adiwijaya atau Jaka Tingkir, pendiri Kesultanan

77 Zamkahsyari Dhofier Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (USA: ASU, 1999), h. 42. Kiai, Pesantren dan Politik 101

Pajang di Kartosuro.78 Ini berarti di antara kiai juga berasal dari keturunan raja. Oleh karena itu, wajar bila pola suksesi di pesantren juga seperti kerajaan, dengan pengecualian bahwa anak yang dipersiapkan menjadi pengganti kiyai merupakan anak yang pintar, lantaran ia akan menjadi pengasuh dan pembimbing yang bertugas mentranmissikan ilmu- nya kepada pada santri. Sedangkan suksesi di dalam kerajaan kadang tanpa memperhatikan kesanggupan, kesiapan dan kemampuan penggantinya. Meskipun demikian, suksesi di pesantren yang berdasarkan keturunan juga mengandung kelemahan, karena jika sang anak, calon kiai, tidak mempunyai kemampuan yang sama dengan kiai yang akan digantikannya, maka akan menghilangkan kewibawaan dan pengaruh pesantren. Oleh karena itu, H. Aboe Bakar Atjeh menambahkan bahwa selain keturunan, faktor lain untuk dapat menjadi kiai adalah pengetahuan- nya, kesalehannya dan jumlah muridnya.79 Vredenbregt memberikan skema yang hampir sama yaitu keturunan (seorang kiai besar mempunyai silsilah yang cukup panjang), pengetahuan

78 Lihat Abd Wahid Hasyim, “Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban, SEjarah berdiri Dan Perkembangannya 1852-1982, Skripsi Sarjana Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Perpustakaan Adab, 1983), h. 107. Lihat pula Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan KH. A. Wahid Hasyim, 1957), h. 820-824. 79 H. Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan KH. A. Wahid Hasyim, 1957), h. 55. 102 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi agamanya, jumlah muridnya dan cara dia mengabdikan dirinya pada masyarakat.80 Begitu juga Team Penelitian Kuantitatif LP3ES menyebutkan bahwa untuk memperoleh status kiai seorang berilmu harus melewati jalur-jalur, yaitu mengaji pada seorang kiai yang telah ada di pesantren; wara’ie dan zuhud, yang dengan amaliyah (menjalankan dalam praktik apa yang diketahui), dan istiqamah (mencapai kemantapan dalam sikap atau ketenangan batin); faham tentang barakah dan ijazah; dan jalur keturunan.81 Soal keturunan dan keluarga kiai ini, biasanya memperoleh prestis sosial yang khusus dan para santri khususnya serta masyarakat pada umumnya, memanggilnya dengan sebutan kehormatan. Istri dan putri-putrinya yang telah menikah memperoleh gelar “Nyai”, sedangkan putra-putra, cucu laki-laki dan menantu laki-laki diberi julukan “Gus”, yang berasal dari kata Si Bagus.82 Dari mereka ini diharapkan dapat menjadi calon-calon potensial sebagai pimpinan pesantren pada masa mendatang. Oleh karena itu, jika seorang kiai tidak punya putra, maka

80 Vredenbregt, J., De Baweanners in hun moederland en in Singapore, (Leiden: 1968), h. 29. 81 Sudjoko Prasodjo (ed), Profil Pesantren, Laporan Hasil Penelitian Pesantren al-Falak & Delapan Pesantren Lainnya di Bogor, (Jakarta: LP3ES, 1974), h. 47-48. 82 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (USA: ASU, 1999), h. 69. Kiai, Pesantren dan Politik 103 salah seorang menantunya laki-laki akan diarahkan menjadi calon utama, tetapi sebaliknya jika punya putra laki-laki, maka akan diberikan didikan secara khusus, yang dapat menjamin adanya seorang pengganti kepemimpinan pesantren. Jadi, gus dengan ditambah sifat perorangan atau personal hubungan antara kiai dengan santri, merupakan keturunan yang paling mudah meneruskan kegiatan suatu pesantren sepeninggal kiai pendiri dan pemiliknya. Orang lain, meskipun peranan praktisnya mungkin lebih besar, hanya menduduki tempat sebagai pembantu saja.83 Apalagi gus biasanya mempunyai beberapa kelebih- an, karena dianggap mempunyai ilmu laduni,84 yaitu suatu kemampuan untuk menguasai berbagai cabang pengetahuan Islam tanpa harus mempelajarinya.

83 Sudjoko Prasodjo (ed), Profil Pesantren, Laporan Hasil Penelitian Pesantren al-Falah & Delapan Pesantren Lain di Bogor,(Jakarta: LP3ES, 1974), h. 48. 84 Ilmu Laduni berasal dari bahasa Arab yang artinya “Pengetahuan yang datang dengan sendirinya Dari Yang Maha Benar” atau “Pengetahuan yang datang langsung dari ketinggian jiwa sebagai buah dari ilham”. Dalam pengertian Tasauf, ilmu laduni berarti “Pengetahuan yang dimiliki oleh para wali yang masuk ke dalam hati mereka yang berasal langsung dari ciptaan Yang Maha Benar”. Sebagai contoh Zamakhsyari menguraikan tentang seorang putera yang memiliki ilmu laduni yaitu Kiyai Zainuddin, pemimpin Pondok Pesantren al- Huda, Tarogong, kira-kira 6 Km sebelah Barat Laut Garut. Ayahnya, Kiyai Ilyas menyekolahkannya pada SMP Garut antara tahun 1954- 1957. Sewaktu Kiai Ilyas meninggal, ia baru berusia 17 tahun. Sebagai putera tertua, ia menggantikan ayahnya memimpin pesantren dan ia telah berhasil mengajarkan kitab-kitab tingkat tinggi kepada para santrinya, padahal usianya masih sangat muda. Sukses dari kepemimpinannya dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa Pesantren al-Huda pada tahun 1978 mempunyai 600 santri. 104 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Dengan kata lain, Tuhan memberkahi para gus dengan pengetahuan Islam semenjak mereka dilahirkan. Mereka lahir dan telah ditakdirkan untuk menjadi ahli-ahli ilmu pengetahuan dan mereka lahir ke dunia ini untuk memimpin pesantren. Selanjutnya, dalam mengelola urusan internal pesantren, hampir dipastikan bahwa kiai pesantren berpedoman pada Kitab Ta’līm al-Muta’allim, Tariqatu al-Ta’līm,85 sebuah kitab karya Syekh al-Zarnuji; dalam materi pelajaran, sebagaimana telah diuraikan di atas berpegang pada kitab-kitab karya para ulama salaf, sedangkan dalam hal tempat pendidikan atau kegiatan belajar-mengajar, terutama dalam praktik sembahyang lima waktu, khutbah dan sembahyang Jum’ah dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik, sebelum memperkenalkan sistem klasikal, kebanyak- an pesantren memanfaatkan masjid,86 sebagai tempat

85 Kitab ini dibagi dalam beberapa bab. Di antaranya bab tentang hakekat ilmu dan keutamaannya, tentang niat saat belajar, tentang memilih ilmu, guru dan teman, tentang memuliakan ilmu dan ahli ilmu, tentang kesungguhan, ketekunan belajar dan cita-cita, tentang awal belajar, ukuran dan aturannya, tentang tawakkal, tentang waktu memperoleh ilmu, tentang iba dan nasehat, tentang mengambil faidah dan wara dalam mencarai ilmu, tentang perkara yang memudahkan dalam menghafal dan lupa, tentang cara mencari rizqi dan yang merintanginya, dan bab tentang tambah dan kurangnya umur, yang tidak ada seorang-pun yang bisa menolong, kecuali Allah SWT. 86 Masjid berasal dari bahasa Arab, dari kata “Sajada” yang berarti dia telah sujud. Dalam tradisi Islam, sujud bisa dilakukan dimana saja, karena setiap jengkal tanah adalah masjid. Tetapi, di Indonesia, masjid kemudian diwujudkan dalam sebuah bangunan segi empat dengan “Mihrab” untuk mengarahkan salat ke kiblat (Ka’bah) ditempatkan di bagian Barat. Dalam tradisi pengajaran Islam, sebelum pesantren berdiri, Kiai, Pesantren dan Politik 105 kegiatannya. Oleh karena itu, masjid dapat disebut sebagai elemen yang tak dapat dipisahkan dalam tradisi pesantren, bahkan bagi kaum muslimin sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang, terutama yang belum terpengaruh oleh kehidupan Barat, dimana pun berada, selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktivitas administrasi dan kultural.

2. Pesantren Sebagai Lembaga Pencetak Ulama Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa materi pelajaran yang diberikan di pesantren lebih banyak terkait dengan pokok-pokok agama, yang terutama adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan syariat sehari-hari (ilmu fiqh baik ibādah maupun mu’āmalah), bahasa Arab (ilmu shorof, nahwu dan ilmu alat lainnya), al-Qur’an seperti tajwīd dan tafsir- tafsirnya, ilmu tauhīd, ilmu akhlāq dan ilmu tasauf,87 biasanya kiyai menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar di rumahnya. Tetapi, setelah rumah kiyai tidak mampu lagi menampung banyaknya santri yang datang mencari ilmu, ia kemudian mendirikan masjid, yang berfungsi sebagaimana diuraikan di atas. Jadi, kedudukan masjid di pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional, bahkan kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat pada masjid sejak Masjid al-Qubba didirikan dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar dalam sistem pesantren. 87 L.W.C. Van Den Berg, “Het Mohammedansche Godsdienstonderwijs op Java en Madoera,” Tijdschrif voor Indische Taal Land-en Volkenkunde, Vol. XXXI, 1886, h. 518-555. Lihat pula Soebardi, “Santri Relegious Element as Reflected in The Book of 106 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi sehingga dapat dipastikan bahwa pengetahuan agama yang diberikan di pesantren, dalam bidang akidah mengikuti ajaran Imam Abu Hasan al- Mātūridi, dalam bidang tasauf, mengikuti ajaran Imam Ghazzāli dan dalam bidang Fiqh mengikuti ajaran Imam Syāfi’i. Para santri memulai pelajarannya di pesantren dengan rukun Islam yang lima dan peraturan ibadah dengan teks-teks yang sederhana seperti Safīnah al- Najāh, Sullam al-Taufīq, al-Sittīn al-Mas’alah, Mukhtashar oleh Ba-fadhl, dan Risālah oleh Sayyid Ahmad bin Zain al-Habsyi. Selanjutnya, mereka mempelajari satu dari beberapa kitab fiqh seperti Minhaj al-Qawīm, al-Hawāsyi al-Madaniyah, Fath al- Qarīb, Bajuri, al-Iqnā’, Bujairimi, al-Muharrar, Minhaj al-Thālibīn, Syarh Minhaj oleh al-Mahalli, Fath al- Wahhāb, Tuhfah al-Muhtaj, Fath al-Mu’īn. Kurikulum yang dipakai di pesantren tidak distandarisasi dan hampir setiap pesantren mengajarkan kombinasi kitab yang berbeda-beda dan banyak kiai terkenal sebagai spesialis kitab tertentu. Oleh karena itu, banyak santri tekun berpindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya dalam upaya mempelajari semua kitab yang ingin mereka kuasai.

Tjentini,” Bidragen Tot De Taal Land-en Volkenkunde, Vol. CXXVII, (Martinus Nijhoff, 1971), h. 335-340. serta KH. Siradjuddin Abbas, Ulama Syafi’I dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1975), h. 36-65. Kiai, Pesantren dan Politik 107

Bila ditelusuri tentang harapan orang tua santri menyerahkan anaknya untuk didik di pesantren, maka akan nampak harapan yang paling mendasar adalah agar anaknya menjadi orang baik, menjadi orang yang saleh, bertaqwa dan taat beragama. Jadi, tidak ada tujuan khusus, untuk jabatan tertentu di kemudian hari. Kalau toh ada tokoh yang disebut untuk personifikasi bagi tujuan pendidikan anaknya, maka umumnya adalah menjadi ‘ulamā atau pemimpin Islam. Dengan demikian, keinginan orang tua sejalan dengan materi yang diajarkan, sehingga harapan pesantren sebagai lembaga pembentuk ulama juga bisa direalisasikan. Kiai A. Wahid Hasyim, putra tertua KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Ponpes Tebuireng, menegaskan bahwa pengajaran kitab-kitab asli Islam dalam bahasa Arab di pesantren, memang untuk diarahkan mendidik santri menjadi ulama.88 Survey LP3ES terhadap lembaga pendidikan pesantren di Bogor, juga menunjukkan bahwa harapan orang tua terhadap anaknya yang dididik di pesantren lebih bersifat agama, dan apabila dikaitkan dengan lapangan kerja, maka pekerjaan

88 H. Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan KH. A. Wahid Hasyim, 1957), h. 820-824. 108 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi yang diharapkan adalah yang langsung berhubungan dengan agama yaitu guru agama, kiai atau ‘ulamā.89 Dengan demikian, pantas bila dari satu atau banyak pesantren kemudian lahir alumni yang menjadi guru agama, pegawai Departemen Agama atau bahkan menjadi penyiar agama, ‘ulamā90 dan kiai yang mendirikan pesantren baru di daerahnya asalnya, yang dalam proses perjalanannya pada

89Sudjoko Prasodjo (ed), Profil Pesantren, Laporan Hasil Penelitian Pesantren al-Falah & Delapan Pesantren Lain di Bogor, (Jakarta: LP3ES, 1974), h. 126. 90 H.A. Hasyim Muzadi menegaskan bahwa KH. Hasyim Asy’ari secara kultural sangat berwibawa karena hampir seluruh kiai di tanah Jawa berguru dan menjadi muridnya di Pesantren Tebuireng. Kiai yang berguru dan menjadi muridnya itu kelak menjadi ulama terkenal di antaranya adalah kiai Ma’sum Ali, kiai Baidlawi, kiai Syansuri Badawi, kiai Wahab Hasbullah, kiai Mahfudz Siddiq, kiai Ahmad Siddiq, kiai Muhith Muzadi, kiai Wahib Wahab, kiai Romli, kiai Mahrus Ali, kiai As’ad Syamsul Arifin, kiai Idris, kiai Adlan Ali, kiai Manan, kiai Saifuddin Zuhri, kiai sahal Mahfudz, kiai Ma’sum, kiai Khalil, kiai Masykur, kiai Syukri Ghazali dan lain sebagainya. Dari Ponpes Langitan lahir ulama kenamaan di antaranya adalah kiai Muhammad Siddiq, ayah kiai Mahfudz, kiai Hasyim Asy’ari, kiai Wahab Hasbullah, kiai Mahrus Ali, kiai Rafi’i, kiai Idris, kiai Umar, kiai Zainuddin, kiai As’ad, kiai Abdul Manan, KH. Mas Mansur dan lain sebagainya. Sedangkan dari Ponpes kiai Khalil Bangkalan Madura, lahir ulama kenamaan di antaranya kiai hasyim Asy’ari, kiai Abd. Manan Abdul Karim, kiai Muhammad Siddiq, kiai Munawwir, kiai Maksum, kiai Abdullah Mubarok, Tasikmalaya, kiai Wahab Hasbullah dan lain sebagainya. Lihat H.A. Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, (Jakarta: Logos wacana Ilmu dan Pemikiran, 1999), Cet. Ke-1, h. 13. lihat pula Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (USA: ASU, 1999), h. 70 dan 189-191. Abd. Wahid Hasyim, “Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban, Sejarah Berdiri Dan Perkembangannya 1852-1982, Skripsi Sarjana Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Perpustakaan Adab, 1983), h. 82-97. Kiai, Pesantren dan Politik 109 tahun 1980, lembaga pendidikan pesantren di Indonesia telah mencapai 5.373 buah dengan santri 1.238.967 orang. Dari jumlah itu, 1.344 buah terdapat di Jawa Timur dengan santri berjumlah 427.517 orang.91 Pada tahun 2005 jumlah instiutsi pesantren meningkat menjadi 14.798 buah dengan santri berjumlah 3.464.334 orang. Dari jumlah itu, 3.582 buah terdapat di Jawa Timur dengan santri berjumlah 1.169.256 orang.92

3. Pesantren sebagai Lembaga Transmisi Nilai Tradisi Keagamaan Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa para pendiri dan pemilik pesantren kebanyakan adalah kiai. Mereka umumnya berasal dari keluarga yang cukup berada dari segi materi. Oleh karena itu, untuk melengkapi keberadaannya sebagai kiai, mereka pergi ke Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, ibadah haji. Mereka umumnya berangkat pada bulan Sya’ban, yang berarti mereka mempunyai banyak waktu, sehingga sebagai ulama, mereka ada yang tinggal empat sampai lima bulan

91 Statistik Pendidikan Islam (1979-1980), Ditjen pembinaan Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. 92 Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan (2004-2005), Ditjen Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. Lihat pula Yahya Umar, “Jawa Barat Tuan Rumah Jambore Pramuka Santri 2009,” Republika (Jakarta), 15 September 2006. 110 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi atau bahkan beberapa beberapa tahun di sana93 dan memanfaatkan waktu senggangnya dengan meng- ikuti pengajian halaqah di Masjidil Haram yang diberikan oleh para ulama kenamaan, baik yang berasal dari nusantara maupun dari negara-negara Islam lainnya di dunia, seperti Syekh Ahmad Chatib Sambas, Syekh Abdul Ghani Bima, Syekh Nawawi, Syekh Abdul Hamid dan lain sebagainya.94 Sekembalinya di tanah air, ilmu-ilmu yang dipelajari di Tanah Suci, mereka ajarkan kepada para santri di pesantren yang baru dibangunnya atau pesantren yang sudah ada, atau bahkan kepada masyarakat sekitarnya, sehingga nampak bahwa materi, metode dan lain sebagainya sama dengan materi dan metode yang mereka dapatkan di Mekkah. Di Masjidil Haram, demikian Azyumardi Azra menjelaskan, murid-murid duduk dalam halaqah mengelilingi guru-guru dan orang beilmu lainnya, dengan kitab-kitab keagamaan dan al-Qur’an di tengah mereka.95 Sementara di pesantren seperti

93 Van der Plas sebagaimana dikutip Martin menjelaskan bahwa jamaah haji nusantara yang mukim (menetap) di sana tahun 1931 sekurang-kurangnya 10.000 jiwa, sedangkan jumlah jamaah haji yang berangkat waktu itu sekitar 30.000 jiwa. Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke-1, 1995, h. 50. 94 C. Snouck Hurgronje, Mekka in The Latter Part of The 19th Century, translation J.H. Monahan, (Leiden: E.J. Brill, 1931), h. 262- 267. 95 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar Kiai, Pesantren dan Politik 111 telah dijelaskan, dalam sistem “Bandungan,” santri yang mengikuti pengajian duduk bersama-sama dalam lingkaran lebar di sekitar kiai atau santri senior yang membacakan, menerjemahkan dan menerang- kan kitab berbahasa Arab, dalam berbagai jenis seperti di atas, karya ulama terdahulu dalam bahasa lokal secara kuliah, sementara santri karena dianggap telah memiliki kecukupan pengetahuan dasar tentang tata bahasa Arab dan al-Qur’an, menyimak kitabnya masing-masing dengan membubuhi jabar atau harakat dan catatan padanya. Dalam bandongan, pembelajaran dihadiri oleh sejumlah besar santri, mencapai sekitar lima sampai 200 santri dari berbagai usia dan tingkat ilmu pengetahuan. Sebagaimana di Masjidil Haram, di pesantren juga tidak ada kurikum tetap. Tetapi pengajian dengan metode sorogan dan balaghan di pesantren dilaksanakan terpisah antara kaum lelaki dan perempuan, tidak dicampur, sebagaimana terjadi di luar pesantren. Pemisahan itu dimaksudkan untuk menjaga ikhtilaf antara keduanya dan menjaga hal- hal yang tidak diinginkan, di samping secara syar’i, Islam telah mengajarkan bahwa seorang lelaki dilarang melihat perempuan yang bukan mahram- nya, kecuali dalam empat hal, yaitu ketika seorang

Pembaruan Pemikiran Islam Di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. Ke-1, h. 79. Lihat pula Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke-1, 1995, h. 34-35. 112 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi lelaki berprofesi sebagai dokter, sebagai pedagang, sedang meminang calon istri dan sedang tampil sebagai guru. Khusus yang trakhir, meskipun dibolehkan, tetapi kiai di pesantren hanya mengajar santri laki-laki, sedangkan santri perempuan diajar oleh ibu nyai atau guru perempuan. Karena hanya meneruskan misi seperti apa yang telah diperoleh kiai selama di tanah suci dan tidak ada perubahan yang signifikan, maka pesantren sering disebut sebagai lembaga yang hanya sekedar melakukan transmisi nilai tradisi keagamaan Islam semata.

4. Pesantren Sebagai Lembaga Sosial Ekonomi Sejalan dengan perjalanan waktu, pesantren yang mulanya merupakan lembaga pendidikan keagamaan, lembaga pencetak ulama dan lembaga transmisi nilai tradisi keagamaan, telah berkembang pula menjadi lembaga sosial ekonomi. Pondok Pesantren Langitan Widang, Tuban, sebuah lembaga pendidikan keagamaan yang didirikan tahun 1852 oleh KH. Muhammad Nur, pada dasawarsa delapan puluhan telah mengembangkan berbagai jenis keterampilan, seperti Perikanan, Pertanian, Petukang- an Batu, Jahit-Menjahit, Pangkas Rambut, Koperasi, PKK dan lain sebagainya,96 selain mengirimkan

96 Abd. Wahid Hasyim, “Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban, Sejarah Berdiri Dan Perkembangannya 1852-1982,” Skripsi Kiai, Pesantren dan Politik 113 beberapa orang santri untuk mengikuti pendidikan keterampilan yang diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Latihan Keterampilan di Pondok Pesantren Sabīlil Muttaqīn, Takeran, Magetan, Jawa Timur dan diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di Jakarta. Bahkan pada awal tahun 2001, Pondok Pesantren Langitan telah mengembangkan usaha Air Minum Kemasan “Ihsan” kerjasama dengan sebuah perusahaan swasta nasional.97 Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, sebagaimana Ponpes Langitan, sejak berdirinya hingga kini telah mengembangkan sistem pendidikan, pengembangan bakat keterampilan yang meliputi jahit-menjahit, Percetakan dan Sablon, Perajutan, Bengkel Las, Fotografi/Cuci Cetak Hitam Putih, Petukangan, Pertanian dan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).98 Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang, telah mengembangkan jenis perekonomian seperti Pertanian, Koperasi, Wartel, Warnet, Kantin, Unit Kesehatan, Percetakan dan Sablon, PKK dan lain

Sarjana Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Perpustakaan Adab, 1983), h. 72. 97 KH. Abdullah Faqih, Pimpinan Pondok Pesantren Langitan, Wawancara Pribadi, Widang, 15 Pebruari 2007. 98 M. Masyhur Amin dan M. Nasikh Ridwan, KH. Zaini Mun’im, Pengabdian dan Karya Tulisnya, (Yogyakarta: LKPSM, 1996), Cet. Ke- 1, h. 141. 114 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi sebagainya,99 dan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras Jombang, telah mengembangkan koperasi, di mana masyarakat sekitar dapat menitipkan barang dan membuat kantin di dalam pondok, bahkan dewasa ini Ponpes Bahrul Ulum sedang merintis kerjasama dengan Supermarket Alfa untuk mendirikan minimarket dan pusat grosir pada semua koperasi filial pondok.100 Pengembangan berbagai jenis keterampilan dan koperasi pondok pesantren di atas, erat kaitannya dengan usaha pemerintah dalam memberdayakan pesantren melalui berbagai macam bantuan baik berupa peralatan maupun pelatihan. Berdasarkan data, pembinaan dan bantuan keterampilan oleh Departemen Agama RI telah dapat menjangkau 4 pesantren pada tahun 1975 dengan dana sebesar Rp 40.000.000,-, 42 pesantren pada tahun 1976 dengan dana sebesar Rp 200.000.000,-, 92 pesantren pada tahun 1977 dengan dana sebesar Rp 255.000.000,-, 500 pesantren pada tahun 1978 dengan dana sebesar Rp 300.000.000,-, 500 pesantren pada tahun 1979 dengan dana sebesar Rp 360.000.000,- dan 505 pesantren pada tahun 1980 dengan dana sebesar Rp 380.000.000,-101

99 Pondok Pesantren Darul Ulum, (Jombang: Pondok Pesantren Darul Ulum, 2006), h. 21-22. 100 Pondok Pesantren Bahrul Ulum, (Tambak Beras, Jombang: 2006), h. 16-17. 101Kafrawi, Pembaharuan Sistim Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Kiai, Pesantren dan Politik 115

Dengan demikian sebelum dilakukan pembinaan dan pelatihan, jumlah koperasi pondok pesantren di Jawa-Madura baru 7 (tujuh) buah, tetapi sekarang hampir semua pondok pesantren di seluruh Indonesia telah tumbuh koperasi dalam berbagai jenis konsumsi, simpan-pinjam dan serba usaha, sehingga koperasi pondok pesantren memiliki prospek yang sangat cerah. Berangkat dari kenyataan tersebut, maka Kementerian Koperasi dan UKM sejak tahun 2006 mengembangkan kebijakan Program Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren melalui Pemberdayaan Koperasi Pondok Pesantren yaitu program bantuan pengadaan Tempat Praktek Usaha Santri (TPUS).102

Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1978), h. 97. Sadikun Sugihwaras, Pondok Pesantren Dan Pembangunan Pedesaan, (Jakarta: Dharma Bakti, 1979), h. 101. 102 Kebijakan Program Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren, Melalui Pemberdayaan Koperasi Pondok Pesantren, Republika, (Jakarta), 9 Nopember 2007, h. 8. Sasaran jangka pendek Program Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren melalui Koppontren tahun 2007 adalah 180 Koppontren, meliputi pengembangan “Tempat Praktek Usaha Santri” di bidang Bengkel Otomotif/Sepeda Motor dengan bantuan dana masing-masing Rp 200.000.000,-. Pengembangan “TPUS” di bidang Bengkel Elektronik dengan bantuan masing-masing Rp 200.000.000,- Pengembangan “TPUS” di bidang Indutsri Konveksi dengan bantuanmasing-masing Rp 200.000.000,- penegmbangan “TPUS” di bidang Industri Kerajinan dengan bantuan masing-masing Rp 200.000.000,- pengembangan “TPUS” di bidang Pengolahan Agribisnis dengan bantuan masing-masing Rp 200.000.000,- serta pengembangan “TPUS” di bidang lainnya. Pada tahun 2008 akan disalurkan ke 425 Koppontren di seluruh Indonesia. 116 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Dari program tersebut diharapkan Koperasi Pondok Pesantren selain dapat mencetak santri wirausaha baru, koperasinya juga dapat lebih berkembang, karena adanya berbagai diversifikasi usaha, sehingga pondok pesantren pada masa yang akan datang dapat bertindak sebagai pencetak calon wirausaha baru dan motor pembangunan ekonomi pedesaan, sebuah gagasan yang sejalan dengan mimpi Abdurrahman Wahid 30 tahun yang lalu, lewat sebuah sub artikel yang ditulisnya dengan judul “Manfaat Konperasi bagi Pesantren dan Lembaga Pendidikan Islam.103

C. Pesantren dan Politik 1. Pesantren dan Modernisasi Birokrasi Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa pesan- tren dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami pembaharuan, sehingga pesantren dapat di- klasifikasikan menjadi Pesantren Salaf serta Pesantren Salaf dan Khalaf sekaligus atau pesantren modern. Pada pesantren jenis terakhir, pengajaran selain berupa pengajian secara sorogan, wetonan dan bandongan, juga mulai diperkenalkan pengajaran

103 Lihat Abdurrahman Wahid, “Pemikiran Abdurrahman Wahid,” dalam Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet. Ke-1, h. 346. Kiai, Pesantren dan Politik 117 secara klasikal. Madrasah mulai dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Perguruan Tinggi yang berafiliasi ke Departemen Agama didirikan, bahkan SD, SMP dan SMA yang berafiliasi ke Departemen Pendidikan Nasional juga diadakan. Implikasinya, kurikulum yang dikembangkan me- rupakan kurikulum pemerintah, atau perpaduan antara mata pelajaran agama dengan mata pelajaran umum, sehingga pesantren mengalami pergeseran dan perubahan paradigma dari lembaga pencetak calon ulama menjadi lembaga yang mendidik para santri agar kelak dapat mengembangkan dirinya menjadi “‘ulama intelek” (‘ulama yang menguasai pengetahuan umum) dan “intelektual ‘ulama” (sarjana dalam bidang pengetahuan umum yang juga menguasai pengetahuan Islam).104 Beberapa pesantren yang telah melakukan perubahan paradigma tersebut adalah Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras Jombang, Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Asembagus Situbondo, Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton Probolinggo dan lain sebagainya. Pondok Pesantren Tebuireng mulai menyesuaikan diri dan sedikit

104 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, The Role of the Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (USA: ASU, 1999), h. 95. 118 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi banyak mengadopsi isi dan metodologi pendidikan umum sejak sebelum Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1916, Pesantren Tebuireng mendirikan sebuah “Madrasah Salafiyah” yang tidak hanya mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi juga memasukkan beberapa pelajaran umum seperti berhitung, bahasa Melayu, ilmu bumi dan menulis dengan huruf latin ke dalam kurikulumnya.105 Model ini kemudian diikuti oleh banyak pesantren lainnya. Salah satu yang terpenting adalah Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang yang mendirikan madrasah pada tahun 1926 dengan memperkenalkan mata pelajaran non keagamaan.106 Bila pada pra kemerdekaan, penyesuian diri pada pesantren lebih karena mendapatkan tantangan dari sistem pendidikan Belanda dengan sekolah rakyat atau sekolah desanya, dan karena men- dapatkan tantangan dari kaum reformis atau modernis muslim dengan sistem pendidikan Islam modern-nya, misalnya sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam dan madrasah-madrasah modern yang secara terbatas

105 Heru Soekardi, Kiai Haji Hasyim Asy’ari, (Jakarta: Pusat penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pndidikan dan Kebudayaan, 1979), h. 56. 106 Azyumardi Azra, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), Cet. Ke-1, h. xv. Kiai, Pesantren dan Politik 119 mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda;107 maka pada pasca kemerdekaan, penyesuaian diri pesantren, lebih karena ekspansi pendidikan umum yang disebarkan oleh pemerintah. Pada tingkat ini pesantren misalnya secara agak hati- hati mulai melakukan revisi kurikulumnya dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan ketrampilan umum; dan membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum, sebuah usaha yang terjadi karena pesantren mendapatkan saingan dari sistem ke- lembagaan madrasah modern yang ditempatkan di bawah tanggung jawab dan pengawasan Departemen Agama, yang sejak 1950-an melancarkan pembaharu- an madrasah setelah sebelumnya ‘menegerikan’ banyak madrasah swasta. Pada pesantren yang telah melakukan revisi kurikulumnya dan membuka kelembagaan dan fasilitas pendidikannya bagi kepentingan umum, maka para santri yang telah menyelesaikan pendidikannya pada tingkat Sekolah Lanjutan Atas akan mendapatkan ijazah yang diterbitkan oleh kedua lembaga pemerintah tersebut, sehingga mereka memiliki akses lebih besar dalam lapangan kerja dan dalam melanjutkan pendidikan pada

107 Azyumardi Azra, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), Cet. Ke-1, h. xii-xiii. 120 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi lembaga pendidikan yang lebih tinggi, baik perguran tinggi agama maupun umum, seperti STAIN, IAIN, UIN, UI, ITB, ITS, Unibraw, Universitas Airlangga, UGM dan lain sebagainya. Bahkan mereka juga mudah mendapatkan peluang memperoleh bantuan dan beasiswa dari pemerintah. Pada saat yang sama juga terdapat ke- cenderungan kuat pesantren untuk melakukan konsolidasi organisasi kelembagaan, khususnya pada aspek kepemimpinan dan manajemen. Secara tradisional, kepemimpinan pesantren dipegang oleh satu atau dua orang kiai, yang biasanya merupakan pendiri pesantren, tetapi bersamaan dengan diversifikasi pendidikan yang diselenggarakannya, banyak pesantren yang kemudian mengembangkan kelembagaan yayasan, yang merupakan kepemimpinan kolektif. Pondok Pesantren Maskumambang, Gresik, yang sejak didirikan tahun 1859 dipimpin oleh keturunan pendirinya, KH. Abdul Jabbar, tetapi pada tahun 1958 kepemimpinan pesantren diserahkan kepada Yayasan Kebangkitan Umat Islam. Begitu pula Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan Jombang, yang sejak didirikan tahun 1885 dipimpin oleh keturunan pendirinya, KH. Tamim Irsyad, tetapi pada 4 Nopember 1961 kepemimpinan pesantren diserahkan kepada Kiai, Pesantren dan Politik 121

Yayasan Pondok Pesantren Darul Ulum.108 Pondok Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, sebagaimana dua pesantren di atas, sejak didirikan tahun 1835 dipimpin oleh keturunan pendirinya, KH. Abdus Salam, tetapi pada 6 September 1966 diserahkan kepada yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang.109 Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, melakukan hal yang sama, sejak didirikan oleh KH. Zaini Mun’im tahun 1960, langsung membentuk kepemimpinan pesantren dalam sebuah wadah Yayasan Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.110 Dengan perubahan pola kepemimpinan dan manajemen ini, maka ketergantungan kepada seorang kiai seperti pada pesantren-pesantren jaman awal pembentukannya, tidak lagi terjadi. Kenyataan ini merupakan salah satu faktor penting yang membuat pesantren semakin lebih mungkin untuk bertahan dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman. Bahkan pesantren diharapkan tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisionalnya, sebagai transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama,

108 Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1999), Cet. Ke-1, h. 231-232. 109 Pondok Pesantren Bahrul Ulum, (Tambak Beras, Jombang: 2006), h. 2. 110 M. Masyhur Amin dan M. Nasikh Ridwan, KH. Zaini Mun’im, Pengabdian dan Karya Tulisnya, (Yogyakarta: LKPSM, 1996), Cet. Ke- 1, h. 127. 122 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi tetapi juga diharapkan dapat menjadi salah satu agen perubahan dan pembangunan masyarakat, sebagai pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan teknologi tepat guna, pusat usaha-usaha penyelamat- an dan pelestarian lingkungan hidup serta pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya.111

2. Pesantren dan Partai Politik Sebagaimana dijelaskan di muka, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tempat murid- murid belajar mengaji dan mempelajari ilmu pengetahuan agama Islam, dengan kiai sebagai tokoh sentralnya dan masjid sebagai pusat lembaganya. Pada tahun 1980, jumlah pesantren di Indonesia telah mencapai 5.373 buah dengan santri 1.238.967 orang. Dari jumlah itu, 1.344 buah terdapat di Jawa Timur dengan santri berjumlah 427.517 orang.112 Tetapi pada tahun 2005, jumlah pesantren meningkat menjadi 14.798 buah dengan santri berjumlah 3.464.334 orang. Dari jumlah itu, 3.582 buah terdapat di Jawa Timur dengan santri berjumlah 1.169.256 orang.113

111 Azyumardi Azra, Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), Cet. Ke-1, h. xxi-xxii. 112 Statistik Pendidikan Islam (1979-1980), Ditjen pembinaan Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. 113 Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan (2004-2005), Ditjen Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. Lihat pula Kiai, Pesantren dan Politik 123

Sedangkan partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – biasanya dengan cara konstitusionil – untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya.114 Jadi, kelompok ini bertujuan memperjuangkan sesuatu “kepentingan” dan mempengaruhi lembaga- lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya pada dewan perwakilan rakyat, tetapi cukup mempengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya atau instansi pemerintah atau menteri yang

Yahya Umar, “Jawa Barat Tuan Rumah Jambore Pramuka Santri 2009,” Republika (Jakarta), 15 September 2006. 114 Bandingkan dengan terminologi yang dikemukakan oleh Carl J. Friedrch bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil. R.H. Soltau mengartikan partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang –dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilik– bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaannya. Sedangkan Sigmund Neumann mengartikan bahwa partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. 124 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi berwenang. Oleh karena itu, partai politik sebagai lembaga politik dapat menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. Pada awal Orde Baru, jumlah partai politik peserta pemilu 9 (sembilan) partai dan Golkar, kemudian diciutkan, hingga runtuhnya rezim Orde Baru jumlah partai peserta pemilu hanya tinggal 2 (dua) dan Golkar. Tetapi, sejalan dengan lahirnya era reformasi tahun 1998, jumlah partai membengkak hingga mencapai 148 partai. Setelah melewati seleksi Tim 11 yang diketuai Nurcholish Madjid, partai yang layak mengikuti pemilu tinggal 48 partai, 20 di antaranya merupakan partai Islam.115 Dengan demikian, pesantren berbeda dengan partai politik. Pesantren merupakan pranata pendidikan keagamaan yang berusaha mencerdaskan kehidupan warganya dalam bidang ilmu pengetahuan, sedangkan partai politik merupakan pranata politik yang bertujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan- nya. Namun, karena jumlah pesantren dan santrinya sangat besar, maka seringkali partai politik mendekati pesantren guna mendulang suara kalangan santri. Sebaliknya, kiai baik sebagai pemilik

115 Azyumardi Azra, “Faktor Islam di Indonesia Pasca Soeharto”, dalam Chris Manning dan Peter Van Diermen (ed), Indonesia di Tengah Transisi, Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 375. Kiai, Pesantren dan Politik 125 maupun tokoh sentral dalam pesantren, melalui basis konstituen pesantren seringkali menggunakan partai politik sebagai kendaran untuk mencapai tujuan politiknya, yaitu ‘izz al-Islām wa al- Muslimīn/keagungan Islam dan umatnya.116 Menurut Achmad Siddiq, ‘izz al-Islām wa al-Muslimīn harus direfleksikan dalam sikap dan tindakan ummat Islam, yakni semua tindakan yang dapat dianggap meningkatkan keyakinan/iman atau kepentingan masyarakat, termasuk di dalam cakupannya. Mereka harus mempunyai kebanggaan atas agamanya, berjuang menegakkan dan menyebarkan ajarannya dan menciptakan ummat yang adil, makmur dan dinamis, yang pantas sebagai penganut keyakinan yang benar,117 atau dalam pengertian lain, harus diarahkan dan difokuskan pada pemikiran tentang penciptaan situasi yang mensejahterahkan ummat Islam dalam kehidupan sehari-hari, yang dapat mengangkat ummat Islam di tingkat akar rumput dari kemiskinan.118 Implikasi politik dan ekonominya dapat diwujudkan melalui berbagai cara, termasuk melalui ummat Islam yang telah memperoleh kedudukan tinggi dalam bidang politik, ekonomi dan

116 ‘Izz dapat diterjemahkan dalam beberapa arti seperti kekuatan, kekuasaan, kemuliaan, kebesaran dan keunggulan. 117 Achmad Siddiq, Pedoman Berfikir ‘Nahdlatul Ulama’ Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Cabang Jember, (Jember: TP, 1969), h. 12 b. 118 Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS, 2004), Cet. Ke-1, h. 243. 126 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi masyarakat.119 Kedudukan politik sedapat mungkin diarahkan pada usaha mendapatkan kedudukan dalam birokrasi pemerintahan termasuk kabinet, dalam keanggotaan di parlemen atau Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung dan Mahkamah Agung,120 sehingga, tujuan Islam seperti penegakan hukum dan pembuatan undang-undang serta penerapannya, yang menyangkut aspek hukum pernikahan dan waris, peraturan pembayaran dan penyaluran zakat, penetapan waktu pelaksanaan salat Jum’at atau kegiatan keagamaan di bulan Ramadlan dan lain sebagainya, dapat tercapai. Kedudukan dalam ekonomi sedapat mungkin diarahkan pada usaha mendapatkan peluang bisnis dari pemerintah bagi para pebisnis kaum tradisionalis. Peluang semacam itu akan memberikan keuntungan langsung kepada mereka yang mampu mendapatkan kedudukan dan dianggap dapat membantu Islam dan ummat pada umumnya. Semakin sejahtera anggota masyarakat, maka akan

119 Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyah, (Bangil: Percetakan Persatuan, 1979), h. 72-73. 120 Selama masa Kolonial para kiai dan santri tradisionalis umumnya menjauhkan diri dari lembaga-lembaga pemerintahan dan mengembangkan usaha di sektor-sektor swasta dan sektor informal lainnya. Tetapi, setelah masa kemerdekaan, birokrasi dipandang sebagai jalan menuju mobilitas dan status sosial. Perhatian selalu tertuju pada Kementerian Agama Republik Indonesia yang mengendalikan pelaksanaan hukum pernikahan dan perceraian, waris, ibadah haji serta pendidikan agama. Kiai, Pesantren dan Politik 127 semakin meningkat pula kemampuan mereka untuk memenuhi kewajiban sosial dan keagamaannya, seperti menunaikan ibadah haji, membayar zakat dan mendukung upaya peningkatan pendidikan Islam dan kesejahteraan. Kesejahteraan sangat diperlukan karena sebagian besar sumber pendapatan kiai dan pesantrennya berasal dari sumbangan keuangan dan materi kalangan ummat Islam yang kaya.121 Jadi, muslim yang mampu diharapkan akan menggunakan kekayaannya untuk membantu perkembangan Islam. Adapun kedudukan sosial diarahkan pada cara- cara informal seperti melakukan lobi kepada pemerintah, dalam menyalurkan dana pemerintah kepada masyarakat, khususnya untuk meningkatkan fasilitas pendidikan dan keagamaan, seperti pesantren, madrasah, masjid, membangun dan merawat prasarana sosial seperti klinik kesehatan, panti asuhan dan balai pertemuan. Dengan demikian, keberhasilan dalam bidang-bidang tersebut sangat penting, karena ummat mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, sehingga memiliki harga diri. Sebaliknya, ummat yang terpaksa menggantungkan diri pada bantuan atau belas kasihan kelompok lain

121 Iik Arifin Mansurnoor, Islam in Indonesian World: Ulama of Madura, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990), h. 261. Lihat pula Hiroko Horikoshi, “A Traditional Leader in a Time for Change: The Kijaji and Ulama in West Java”, Disertasi, University of Illinois, 1976, h. 188 dan 223-224. 128 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi bertentangan dengan semangat keagungan Islam dan ummatnya/’izzul Islam wa al-Muslimin.122 Konsep lain yang serupa dengan ‘Izz al-Islam wa al-Muslimin, dirumuskan pertama kalinya oleh KH. Mahfoedz Siddiq pada tahun 1930 dan diberi nama Mabadi Khaira Ummah atau prinsip-prinsip kebaikan bagi ummat.123 Konsep ini difokuskan pada masalah sosial ekonomi dan bertujuan membangun kemampuan swadaya ummat melalui usaha-usaha bersama, sebuah konsep yang didasarkan pada keyakinan bahwa Islam tidak akan dapat mewujudkan aspirasi sosial dan keagamaannya tanpa landasan ekonomi yang kuat. Dengan demikian, pemberian penekanan pada kedua aspek tersebut sangat diperlukan, mengingat kuatnya budaya wiraswasta di kalangan ummat Islam tradisional. Selain itu, melalui statuta pembentukan NU124 pada

122 KH. Achmad Siddiq, Pedoman Berfikir ‘Nahdlatul Ulama’ Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Cabang Jember, (Jember: TP, 1969), h. 12 b. 123 Konsep ini merupakan strategi pengembangan kooperasi Syirkah Mu’awanah pada masa sebelum perang. Walaupun ditemukan beberapa rujukan mengenai hal ini selama tahun 1950 an dan tahun 1960 an, tetapi baru setelah adanya komitmen baru pada kegiatan pengembangan sosio-ekonomi lapis bawah pada tahun 1980, perhatian pada Mabadi Khaira Ummah diutamakan. Sebagai contoh bagaimana konsep ini dipahami pada masa pemerintahan Soekarno, dapat dibaca pada komentar KH. Idham Chalid dalam buku Kenang-Kenangan Mu’tamar XXII, h. 101. 124 Sebuah organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh para kiai, pendiri dan pengasuh pondok pesantren di Surabaya. KH. Wahab Hasbullah dan KH. Hasjim Asj’ari sama-sama memiliki peran yang tidak bisa diabaikan dalam keberhasilan pembentukan NU. KH. Wahab Kiai, Pesantren dan Politik 129

1926, para kiai juga menyatakan dengan tegas mengenai upaya meningkatkan kegiatan ekonomi di bidang pertanian, perdangan dan bisnis,125 bahkan selama tahun 1930-an, kiai terlibat dan semakin tenggelam dalam kegiatan politik, dalam upaya untuk melindungi kepentingan ekonominya dalam persaingan dengan orang-orang Belanda dan Cina.126 Setelah masa kemerdekaan, politik, khususnya keterlibatan kiai dalam pemerintahan sebagaimana diuraikan di atas, dianggap sebagai cara yang paling penting untuk mencapai tujuan sosial ekonomi ummat tersebut.

Hasbullah menyediakan konsep dan ketrampilan berorganisasi, sedangkan KH. Hasjim Asj’ari memberikan legitimasi keagamaan. 125 Chairul Anam, Pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul Ulama, (Surabaya: Jatayu Solo, 1985), h. 11. Dalam Pasal 3f dinyatakan bahwa sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuannya, NU akan mendirikan badan-badan untuk meningkatkan sector-sektor pertanian, perdagangan dan bisnis yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. 126 Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonilalisme Sampai Nasionalisme (Jakarta: Gramedia, 1990), Cet. Ke-1, Jilid 2, h. 111, menjelaskan bahwa golongan Cina semakin banyak jumlahnya, sejalan dengan diperlunaknya peraturan-peraturan perjalanan bagi golongan ini. Mereka mempunyai tempat pemukiman dan sekaligus menjadi pusat pertokoan. Lokasinya selalu di tepi jalan raya kota dan sangat bedekatan dengan pasar. Jumlah anggotanya telah mencukupi untuk membuat komunitas tersendiri sehingga terdapatlah nama Pecinan, suatu ciri yang sangat tipikal bagi kota kolonial. Mereka mempunyai peranan sebagai perantara antara Belanda dan pribumi, antara lain sebagai pemborong pajak, distribusi candu, pegadaian, sebagai pemberi kredit dengan bunga tinggi dan lain sebagainya. Lihat pula Lance Castles, Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), Cet. Ke-1. 130 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Pemahaman terhadap dimensi sosial ekonomi dalam pemikiran politik kiai, telah memberikan wawasan yang lebih luas tentang bagaimana mendefinisikan konsep-konsep dasar seperti manfaat, kerusakan, resiko, kebaikan dan kejahatan. Oleh karena itu, ketika akan mempertimbangkan konsekuensi negatif dan positif suatu tindakan, kiai tidak hanya membuat penilaian dari segi hukum mengenai apakah tindakan itu sesuai dengan syari’ah, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial ekonominya terhadap ummat. Apabila hukum Islam membolehkan beberapa cara yang memungkin- kan, maka cukup kuat dasar untuk memilih cara yang paling banyak memberikan keuntungan bagi masyarakat luas atau sebaliknya yang paling sedikit resikonya. Inilah argumen yang mendasari mengapa kiai tetap berpartisipasi dalam kabinet, khususnya sebagai Presiden, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Agama dan lain sebagainya,127 serta terus menerus

127 Untuk sekian lama dan kali para kiai menduduki jabatan sebagai Menteri Agama, Wakil Perdana Menteri bahkan Presiden Republik Indonesia, di antaranya KH. Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, KH. Masykur sebagai menteri Agama dalam Kabinet Pertama, KH. Mohammad Iljas dalam Kabinet Burhanuddin Harahap dan Kabinet Karya serta Menteri Hubungan Ulama Pemerintah sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Dwikora, KH. Wahib Wahab sebagai Menteri Kerjasama Sipil dan Militer dan Menteri Agama dalam Kabinet Kerja, KH. Fatah Jasin sebagai Menteri Muda untuk Hubungan dengan Ulama dalam Kabinet Kerja, KH. Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Karya, Juru Bicara Kedua MPRS dan Menteri Utama Kesra dalam Kabinet Ampera, KH. Achmad Sjaichu sebagai Juru Bicara Kiai, Pesantren dan Politik 131 menyesuaikan diri dengan kondisi politik yang dihadapi, disebabkan oleh kepentingan untuk melindungi dan memperluas sumber-sumber ke- untungan sosial ekonominya dalam pemerintahan. Setiap tindakan yang menghambat dukungan negara bagi pesantren atau peluang bisnis bagi pebisnis dapat dianggap sebagai ancaman bagi seluruh masyarakat tradisional dan oleh karena itu, sedapat mungkin harus dihindari. Jika alasan sosial ekonomi ini digabungkan dengan pertimbangan hukum dan legislatif, maka ada alasan untuk memilih jalan aman. Suatu argumen yang sering digunakan selama masa pemerintahan Presiden Soekarno sebagai pembenaran atas sikap akomodasinya. Dengan demikian, pendekatan yang dilakukan oleh kiai dalam keterlibatan di bidang politik didasarkan pada pandangan bahwa politik menjadi alat agama, bukan sebaliknya agama menjadi alat politik, sebagaimana dapat diperhatikan pada pendefinisian konsep-konsep dasar dalam pemikiran

Keempat DPR Gotong Royong, KH. Sjaifuddin Zuhri sebagai Menteri Koordinator Urusan Agama dalam Kabinet Dwikora dan Menteri Agama dalam Kabinet Dwikora Hasil Resuffle dan Kabinet Ampera, KH. Fatah Jasin sebagai Menteri Negara Pembantu Koordinator Urusan Agama dalam Kabinet Dwikora, KH. Mohammad Dachlan sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Ampera, KH. Mohammad Thalhah Hasan sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Abdurrahman Wahid, KH. Said Agil Hussein al-Munawwar sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Gotong Royong, KH. Maftuh Basuni sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Indonesia Bersatu, serta KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia 1999-2001. 132 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi politiknya, seperti manfaat, bahaya, resiko, kebaikan dan kejahatan.128 Politik sebagai alat agama juga dapat dijelaskan melalui karya tulis A. Gaffar Aziz, berjudul “Berpolitik untuk Agama”,129 dan karya tulis Karen Armstrong, berjudul “Berperang Demi Tuhan, Fundamentalisme Dalam Islam, Kristen dan Yahudi”.130 Dalam buku pertama, A. Gaffar Aziz, antara lain menjelaskan bahwa misi agama, baik agama langit maupun agama bumi, agar dapat berkembang luas, pasti membutuhkan kekuatan (power) yang mampu memberikan perlindungan kepada para pengikut yang setia menyebarluaskan ajarannya, membangun tatanan keagamaan dan politik. Semua agama langit berkembang di bawah lindungan negara dan pemerintahan yang memeluk agama tersebut. Negara itulah yang menjamin aktivitas dakwah, melindungi dan menyebarluaskan agama. Nabi Musa bersama para pengikutnya, untuk menghindar dari intimidasi dan kekejaman Fir’aun, melakukan eksodus dari

128 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967, alih bahasa Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar, (Yogyakarta: LkiS, 2003), Cet. Ke-1, h. 85. 129 Judul asli buku ini adalah al-Dīn wa al-Siyāsah fil Adyān al- Tsalātsah, alih bahasa Ilyas Siraj, terdiri dari 5 (lima) halaman pengantar, 198 halaman pembahasan dan 9 (sembilan) halaman indeks. 130 Judul asli buku ini adalah The Battle for God, alih bahasa Satrio Wahono, Muhammad Helmi dan Abdullah Ali, terdiri dari dua belas halaman pendahuluan, 583 halaman pembahasan, 10 halaman glosari, 26 halaman pustaka, 2 (dua) halaman ucapan terima kasih dan enam belas halaman indeks. Kiai, Pesantren dan Politik 133

Mesir ke suatu daerah yang memungkinkan mereka melakukan aktivitas dakwah, membangun negara yang melindungi missinya dan mempertahankan diri. Akhirnya, ia sampai di Gurun Sinai. Di wilayah itulah, ia dan para pengikutnya berdomisili dan membangun negara yang dipimpin langsung oleh Musa dan dibantu oleh Nabi Harun.131 Dengan demikian, Musa menjadi pemimpin politik dan pemimpin agama yang menjalankan pemerintahan di tengah-tengah pengikutnya berdasarkan wahyu. Mereka hidup tolong menolong dan memegang teguh yang diajarkan Musa. Mereka mempelajari itu dari Kitab Taurat yang mencakup aturan-aturan yang mereka perlukan dalam kehidupan politik dan agama. Sementara untuk melindungi rakyat dan negara dari ancaman musuh, Nabi Musa membentuk angkatan perang dan melatihnya memanggul senjata. Jumlahnya sekitar 600.000 personel dan melakukan pertempuran serta ekspansi sampai wilayah Urdun. Beberapa tahun setelah Nabi Musa wafat negara ini terus berjalan, hingga akhirnya runtuh setelah para pengikutnya tidak konsisten menjalankan agama. Mereka diserang dan dijajah oleh bangsa lain. Istri dan anak-anak

131 A. Gaffar Aziz, Berpolitik Untuk Agama, Missi Islam, Kristen dan Yahudi Tentang Politik, alih bahasa Ilyas Siraj, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), Cet. Ke-1, h. 20. 134 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi dijadikan budak belian, harta kekayaan dirampas dan wilayah diduduki132 Dalam pada itu, Yesus Kristus dalam agama Kristen, tidak mendirikan negara, karena ia hanya pembawa missi, bukan seorang raja dan bukan pula pemegang pemerintahan, bahkan ia tidak pernah berusaha untuk mendirikan negara yang dapat menjamin kelangsungan dakwahnya. Nabi Isa datang di tengah-tengah kehancuran masyarakat Timur Yahudi sebagai akibat dari sikap hidup yang sangat materialistik dan individualistik. Mereka hidup diwarnai oleh konflik yang merobek hubungan antar individu dan kerabat. Oleh karena itu, misi Nabi Isa berorientasi pada pemulihan keseimbangan hidup yang menjunjung tinggi persaudaraan, toleransi dan cinta kasih. Apalagi misi Nabi Isa hanya berlangsung tidak lebih dari tiga tahun, tiga bulan dan tiga hari,133 sehingga tidak punya kesempatan untuk membentuk sebuah komunitas yang dapat dijadikan kekuatan untuk melawan dekadensi moral dan tirani, terlebih untuk mendirikan negara, karena proses pendirian- nya memerlukan kerja keras dan kondisi lingkungan yang kondusif, di samping waktu yang lama. Dengan demikian, negara Kristen tidak pernah berdiri melalui tangan Yesus sendiri, yang bersama-sama dengan

132 Ibid, h. 20-21. 133 Abi al-Fath Muhammad Abdul Karim Ibn Abi bakr Ahmad al- Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, Tt.), h. 221. Kiai, Pesantren dan Politik 135 para pengikutnya, sesungguhnya berjalan menurut perintah Taurat, yang mereka yakini isi kandungannya, baik yang menyangkut keagamaan maupun keduniawian,134 tetapi baru berdiri setelah masuknya, Konstantin Agung, seorang raja adidaya kerajaan Romawi, ke dalam agama Kristen dan menjadikan Kristen sebagai agama resmi kerajaan pada masa pemerintahannya, maka Kristen bisa tersebar luas ke berbagai penjuru penjuru dunia. Andaikata tidak ada dukungan kerajaan ini, penyebaran agama Kristen tidak akan demikian luas dan pesat.135 Selanjutnya, Nabi Muhammad saw. tidak membangun negara dalam waktu sehari semalam. Ia harus bekerja keras selama 13 tahun di Makkah sampai berlangsungnya Baiat al-Aqabah kedua,136 yang

134 A. Gaffar Aziz, Berpolitik Untuk Agama, Missi Islam, Kristen dan Yahudi Tentang Politik, alih bahasa Ilyas Siraj, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), Cet. Ke-1, h. 31. 135 Ibid, h. 34. 136 Sebenarnya Bai’at al-Aqabah itu terjadi dua kali. Bai’at al- Aqabah Pertama terjadi pada tahun kesebelas dari awal kenabian, ketika itu enam orang dari suku Khazraj, penduduk Yatsrib, datang ke Mekkah untuk haji, menemui Nabi Muhammad dan menyatakan masuk Islam dengan memberikan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Kemudian pada tahun kedua belas dari awal kenabian, dua belas orang laki-laki penduduk Yatsrib menemui Nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka selain mengakui kerasulan Nabi atau masuk Islam, juga berbai’at atau berjanji kepada Nabi bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berbuat zina, tidak akan berbohong dan tidak akan mengkhianati Nabi. Sedangkan pada Bai’at al-Aqabah Kedua yang terjadi pada musim haji berikutnya, sebanyak tujuh puluh tiga penduduk 136 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi menghantarkannya menjadi pemimpin politik bagi ummat Islam. Setelah hijrah hingga akhir hayatnya, posisinya menjadi kuat di dalam negara yang didirikannya, bahkan ia mampu mengintegrasikan suku-suku yang bercerai-berai dan terpecah-belah dalam sebuah Negara Islam Madinah. Adapun dalam buku kedua, Karen Armstrong menjelaskan bahwa demi Tuhan, agama dan penyebaran ajarannya diperlukan perang dan bertempur, sedangkan perang dan bertempur hanya bisa dijalankan, jika terdapat senjata, persiapan yang matang dan latihan. Ketiganya hanya mungkin dilakukan, apabila terbentuk angkatan perang dan angkatan bersenjata yang kuat, sedangkan angkatan bersenjata dan angkatan perang yang kuat tidak akan terbentuk tanpa negara. Oleh karena itu, keberadaan negara merupakan suatu keharusan dan keniscayaan, suatu realita yang diperlihatkan oleh pasukan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, dua penguasa Katholik yang pernikahannya pada waktu itu mampu menyatukan dua kerajaan Iberia Kuno, Aragon dan

Yatsrib yang sudah memeluk Islam berkunjung ke Mekkah. Mereka mengundang Nabi untuk berhijrah ke Yatsrib dan menyatakan lagi pengakuan mereka bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan pemimpin mereka, bahkan mereka di Aqabah, Mina, mengucapkan bai’at bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah dan akan membela Nabi sebagaimana mereka membela istri dan anak mereka. Sementara Nabi juga akan memerangi musuh-musuh yang mereka perangi dan bersahabat dengan sahabat mereka. Nabi dan mereka adalah satu. Oleh karena itu, Bai’at al-Aqabah Pertama dan Kedua dapat dipandang sebagai batu-batu pertama dari bangunan negara Islam. Kiai, Pesantren dan Politik 137

Castile dan berhasil menaklukkan negara kota Granada, sehingga dengan penuh haru dan bangga, para khalayak memandangi panji-panji Kristen dikibarkan di tembok-tembok kota, sementara kaum muslimin terusir dari Granada, benteng pertahanan terakhir di Eropa, bahkan mereka diberikan pilihan pindah agama atau dideportasi.137 Meskipun terusir dari Eropa Barat, ummat Islam pada abad XVI M. masih merupakan kekuatan global terhebat. Ummat Islam saat itu hanya berjumlah sepertiga penduduk dunia, namun, mereka tersebar begitu merata di sepanjang Timur Tengah, Asia dan Afrika, sehingga dinasti Islam yaitu Usmaniyah di Asia Kecil, Anatolia, Irak, Suriah dan Afrika Utara, Syafawiyah di Iran dan Mongol di India, dianggap sebagai mikrokosmos sejarah dunia, sebuah anggapan yang menandakan bagaimana kaum muslimin mampu menempati sebagian besar dunia berperadaban pada masa awal modern dan bertahan, baik secara politik dan ekonomi.138 Semua itu terjadi antara lain karena dinasti Islam memperoleh legitimasi akibat kesetiaannya pada hukum Islam atau karena para penguasa telah mempertahankan syariat Islam.

137 Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, Fundamentalisme Dalam Islam, Kristen dan Yahudi terjemahan, Satrio Wahono, Muhammad Helmi dan Abdullah Ali, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke- 3, h. 3-4. 138 Ibid, h. 49-50. 138 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Dengan demikian, ‘izz al-Islām wa al-Muslimīn merupakan tujuan politik kiai. Tetapi, bila diperhatikan lebih jauh, sebenarnya ada faktor lain yang mendorong kiai berpolitik di antaranya ajaran Islam dan kebijakan pemerintah. Sebagai agama, Islam pada hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang tidak hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupann manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek itu ialah al-Qur’an dan Hadis. Harun Nasution menegas- kan bahwa diperbandingkan dengan jumlah 6360 ayat yang terkandung dalam al-Qur’an, maka ayat ahkam,139 hanya sedikit, sekitar 368 ayat atau 5,8 persen dari seluruh ayat al-Qur’an. Dari jumlah 368 ini, hanya 228 ayat atau 3½ persen yang merupakan ayat yang mengurus soal hidup kemasyarakatan ummat, termasuk di dalamnya negara yang merupakan lembaga tertinggi yang mengatur urusan masyarakat.140

139 Ayat-ayat yang mengandung dasar hukum baik mengenai ibadat maupun mengenai hidup kemasyarakatan, dan kebanyakan diturunkan di Madinah. 140 Yusuf al-Qardhawy, Min Fiqhid Daulah Fil Islam, (Cairo: Durusy Syuruq, 1997), Cet. Ke-1, h. 29, antara lain menjelaskan bahwa nash Islam tidak datang menegaskan kewajiban mendirikan daulah bagi Islam, begitu juga sejarah Rasulullah dan para sahabat tidak datang sebagai penerapan praktis dari seruan nash. Tetapi, tabiat risalah Islam itu sendiri sudah memastikan keharusan adanya daulah atau wilayah bagi Islam, agar bisa mengembangkan akidah, syiar, ajaran, akhlak, keutamaan, dan syariat-syariatnya di sana.Ayat al-Qur’an antara lain terdapat dalam Surah al-Nisa’/3: 58-59 dan 97-99. Juga dalam hadis riwayat al-Buchari dinyatakan bahwa “Jika amanah disia-siakan, maka Kiai, Pesantren dan Politik 139

Dari perincian di atas, sebagaimana al- Qardhawy, memungkinkan para ahli lainnya men- terjemahkannya, sehingga melahirkan pemikiran- pemikiran, yang biasa dijadikan sandaran dan rujukan para ‘ulamā atau kiai dalam menjalankan aktifitasnya, misalnya soal keterlibatannya dalam politik, mereka merujuk pada pendapat al-Mawardi bahwa konsep politik Islam didasarkan pada adanya kewajiban mendirikan lembaga kekuasaan, karena ia dibangun sebagai pengganti kenabian untuk melindungi agama dan mengatur dunia.141 Membangun lembaga negara merupakan suatu kewajiban dan jika ternyata telah berdiri lembaga negara serta memenuhi persyaratan yang berlaku, dalam arti personil yang memegang kekuasaan dipandang telah cakap dan mampu melaksanakan tugasnya, maka kewajiban dipandang telah mencukupi.142

tunggulah kehancurannya.” Ada yang bertanya, “Bagaimana menyia- nyiakannya? “Beliau menjawab, “Jika urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. Hadis riwayat Muslim lebih lanjut juga menjelaskan “Barang siapa mati dan di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati dengan kematian Jahiliyah.” 141 Lihat M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama Dan Islam Di Indonesia, Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 25. Lihat pula Ali Maschan Moesa, Kiai & Politik Dalam Wacana Civil Society, (Surabaya: LEPKISS, 1999), Cet. Ke-1, h. 25. Lihat pula Ali Ibn Habib al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah Wa al- Wilayah al-Diniyah, (Cairo: Dar al-Fikr, 1960), h. 5. 142 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama Dan Islam Di Indonesia, Ibid. Lihat pula Ali Maschan Moesa, Kiai & Politik Dalam Wacana Civil Society, Ibid., h. 26. 140 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Selain kepada al-Mawardi, para ulama atau kiai juga merujuk pada pendapat al-Ghazzāli, bahwa jika al-Mawardi menyatakan kewajiban mendirikan negara karena ijma’ (kesepakatan ulama), maka menurut al-Ghazzāli, kewajiban mendirikan negara, bukan karena pertimbangan akal, melainkan karena pertimbangan syari’ah dengan menggunakan pendekatan akal, sedangkan dalil syari’ah yang dikemukakannya merupakan dalil syari’ah yang qath’i (pasti), yaitu al-Qur’an.143 Jadi, baginya ketertiban agama tidak mungkin bisa terwujud tanpa negara/imamah yang ditaati, karena itu bila ketertiban agama merupakan suatu kemestian, maka ketertiban negara/imamah merupakan kemestian pula, dan hal itu tidak mungkin terwujud tanpa kekuasaan sultan (kekuasaan) yang ditaati.144 Bahkan

143 M. Ali Haidar, Nahdhatul Ulama Dan Islam Di Indonesia, Ibid, h. 31. Lihat pula Ali Maschan Moesa, Kiai & Politik dalam Wacana Civil Society, (Surabaya: LEPKISS, 1999), Cet. Ke-1, h. 27. Lihat pula Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Iqtisad Fi al-I’tiqad, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1983), h. 28. 144 Pendapatnya sejalan dengan pendapat al-Mawardi, karena dasar pertimbangan yang dikemukakan keduanya ialah penegasan al-Qur’an, surah al-Nisa/4: 58-59, sebagai berikut; Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan kepada Ulul- Amri di antaramu; yaitu orang yang berkuasa memimpin, baik formal maupun informal. Ketaatan menjadi soal yang inti dalam system kekuasaan, karena itu menjadi kewajiban kita untuk taat kepada pihak yang berkuasa yaitu a’immah yang memerintah kita. Bahkan sebagai model ketaatan yang bagaimana yang harus dilaksanakan dirujuklah hadis Nabi, riwayat Muslim Ibn ‘Urwah sebagai berikut; Akan memerintah kalian sesudahku nanti penguasa (pemerintah) yang baik dengan kebaikannya, dan yang jahat dengan kejahatannya. Dengarkanlah mereka dana patuhilah segala apa yang sesuai dengan kebenaran. Jika Kiai, Pesantren dan Politik 141 ia mengatakan “Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah anak kembar. Agama merupakan dasar dan sultan merupakan penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki dasar pasti akan binasa dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan mudah sirna. Kekuasaan dan penerapan tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan adanya sultan.145 Meskipun argumentasi yang dikemukakan oleh al-Ghazali mengenai ide dasar imamah dilihat dari segi logika (mantiq), tetapi dalam uraian selanjutnya, ia juga melihatnya dari sudut fiqih,146 karena dalam fiqih pun logika itu digunakan, misalnya dalam kehidupan keseharian manusia, fiqih tidak bisa menghindari kemungkinan keragaman pemecahan, karena masalah-masalah dalam kehidupan manusia itu terus berkembang bahkan sangat kompleks.147 Dengan logika fiqih dan kaidah-kaidah fiqih – merupakan hasil dari analisis induktif dengan

mereka berbuat baik, itu adalah untuk kalian dan untuk mereka; jika mereka berbuat jahat, akibat baiknya untuk kalian, sedangkan akibat buruknya untuk mereka. 145 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, (Cairo: Musthafa al-Babi al-Halby, 1936), h. 71. 146 Fiqih merupakan pengetahuan praksis (‘amaliyah) hukum syari’ah yang dihasilkan dari dalil-dalil tafsili, yaitu yang berkaitan dengan masalah tertentu dan menunjukkan hukum tertentu pula. 147 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali dalam karyanya Ihya ‘Ulumuddin dengan bab-babnya banyak memuat tentang imamah/lembaga kekuasaan dan memberi beberapa alternatif pemecahan apabila dalam praktek menghadapi masalah. 142 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi memperhatikan faktor-faktor kesamaan berbagai macam hukum fiqih lalu disimpulkan menjadi kaidah umum – pulalah kiai umumnya merujuk dalam merespon tindakan politik, yang menurut kitab-kitab klasik (kitab kuning) berjumlah 65 kaidah, dengan perincian, 5 (lima) kaidah yang bisa dijadikan rujukan semua pokok persoalan, termasuk politik; 40 (empat puluh) kaidah yang hampir semua persoalan bisa dikembalikan padanya; dan 20 (dua puluh) kaidah yang diperselisihkan di antara para kiyai.148 Dari kaidah-kaidah tersebut yang cukup sering dijadikan pegangan kiai dalam proses pemaknaan tindakan politik, di antaranya sebagai berikut: a) Al-Umūr bi Maqāsidiha (segala persoalan tergantung maksudnya atau niatnya); b). Al-‘Ādah al- Muhakkamah (adat kebiasaan bisa ditetapkan sebagai hukum); c). Dar’u al-Mafāsid Aula Min Jalbi al- Mashālih (menolak bahaya/sesuatu yang negatif didahulukan dari mengambil manfaat); d). Tasarruf al-Imām Manūthun bi al-Maslahah (tindakan kepala negara harus didasarkan atas kemaslahatan rakyat); e). Al-Muhāfadhah ‘Ala al-Qadīmi al-Shālih wa al- Akhdzu bi al-Jadīd al-Ashlah (menjaga hal-hal yang lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru yang lebih baik); f). Maqāsid al-Lafdz’ ‘Ala al-Niyah al-Lafidz (maksud perkataan tergantung yang

148 Lihat Abd. Mudjib, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980), h. 9. Kiai, Pesantren dan Politik 143 mengartikulasikan); dan g). Yughtafar Fi al-Wasāil Mala Yughtafar Fi al-Maqāshid (diampuni kekeliruan dalam hal-hal yang teknis, namun tidak diampuni kekeliruan dalam hal-hal maksud/niat).149 Ali Haidar lebih lanjut, menambahkan kaidah- kaidah fiqih melengkapi kaidah-kaidah di atas, sebagai berikut: a) Al-Yaqīn Lā Yuzālu Bi al-Syakk (keyakinan tidak hilang karena keraguan); b). Al-Dlararu Yuzālu, La Dlarara Wa La Dlirāra (bahaya dihilangkan atau tidak ada bahaya dan tidak ada yang membahayakan); c). Al-Masyaqqatu Tajlibu al-Taisīr (kesulitan dapat memberikan kemudahan); d).Idzā Ta’āradla Mafsadatāni Ru’iya A’dhamuhuma Dlararan Bi Irtikābi Akhaffihima (jika terjadi pertentangan beberapa bahaya dipertimbangkan bahaya yang paling besar akibatnya dengan melaksanakan yang paling kecil resikonya); e). Mā Lā Yatimmu al-Wajib Illa Bihi Fahuwa Wājib (kewajiban yang tidak lengkap kecuali dengan syarat tertentu, maka syarat itupun wajib); dan f). Al-Maisūr la Yasqutu Bi al-Ma’sūr (kemudahan tidak gugur karena kesulitan).150

149 Ali Maschan Moesa, Kiai & Politik dalam Wacana Civil Society, (Surabaya: LEPKISS, 1999), Cet. Ke-1, h. 29. 150 Ali Haidar, Nahdlatul Ulama Dan Islam Di Indonesia, Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 9-10. 144 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Kaidah-kaidah tersebut merupakan generalisasi masalah, baik yang bersumber dari dasar-dasar hukum syari’ah maupun dari kesamaan-kesamaan hukum fiqih yang beraneka ragam. Dengan memahami prinsip-prinsip pokok berupa kaidah fiqih tersebut akan memudahkan memahami hukum fiqih yang beraneka ragam dan kompleks, sehingga akan mempermudah pula mengambil keputusan hukum terhadap problematika yang muncul, baik yang terkait dengan masalah-masalah kemasyarakat- an pada umumnya maupun yang terkait dengan lembaga kekuasaan/imaman pada khususnya. Khususnya dengan yang terakhir, al-Mawardi mengemukakan tentang tugas dan fungsi imamah meliputi 10 (sepuluh) hal, yaitu: a). Memelihara dan melindungi agama dari ancaman dan gangguan serta perlakuan tidak adil; b). Melaksanakan hukum yang adil untuk melindungi kaum yang lemah; c). Melindungi hak asasi agar masyarakat merasa aman bekerja dan melaksanakan tugas kewajiban mereka; d). Menegakkan hukum untuk melindungi hak-hak Tuhan dan hak-hak manusia untuk memperoleh keselamatan dan perlindungan dari ancaman musuh; e). Melindungi keamanan dan keselamatan negara dari ancaman musuh (fungsi sebagai panglima angkatan perang); f). Mengorganisasi penuntutan jihad terhadap siapa saja yang menentang dakwah Islam sampai akhirnya Kiai, Pesantren dan Politik 145 menyerah dan tunduk kepada negara. Imam terikat perjanjian dengan Tuhan untuk menegakkan supremasi agama ini melebihi agama dan kepercayaan apapun; g). Memungut pajak dan zakat yang telah ditetapkan syariat maupun penetapan lainnya yang dianggap diperlukan untuk kepentingan negara tanpa rasa takut dan tertekan; h). Menetapkan anggaran belanja yang diperlukan dari kas baitul mal (semacam lembaga keuangan yang berlaku dewasa ini); i).Mengangkat pejabat dan pembantu yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi pemerintahan; dan j). Imam haruslah aktif memimpin sendiri tugas-tugas dan tanggung jawab pemerintahan untuk melindungi ummat dan agama, tidak boleh sekedar berfungsi sebagai simbol (dalam arti tidak bekerja sebagaimana mestinya) belaka.151 Adapun kebijakan pemerintah yang menjadi pendorong kiai berpolitik, lebih terkait pada kebijakan pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia sendiri. Portugis pada awal kedatangannya ke Indonesia beranggapan, bahwa semua orang Islam adalah orang Moor dan musuh yang harus diperangi. Begitu pula Spanyol yang datang ke berbagai pelosok dunia, termasuk Indonesia, antara lain juga

151 Ali Ibn Muhammad Habib al-Mawardi, al-Ahkam al- Suthaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah, (Cairo: Dar al-Fikr, 1983), h. 14- 15. 146 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi mempunyai kebijakan untuk memerangi Islam dan berusaha menggantikannya dengan agama Kristen. Tetapi, penaklukan yang dibarengi dengan aktivitas misi yang hebat ini justru membangkitkan lawan- lawannya untuk beraksi dan memacu masuknya pangeran-pangeran Indonesia untuk memeluk agama Islam.152 Sebagaimana Portugis dan Spanyol, pada awal kedatangannya di Indonesia, Belanda dengan VOC sebagai kendaraannya, memang tidak memiliki politik Islam, tetapi hanya berusaha mencapai keuntungan, sebagaimana terlihat pada tahun 1602 M., ketika diwajibkan menyebarkan agama Kristen, VOC tidak memikirkan cara lain, selain meniru Portugis dan Spanyol, yaitu cara paksa. Pada tahun 1661 M. ibadah umum agama Islam untuk melaksanakan haji ke Makkah dilarang oleh VOC.153 Cara paksa semacam ini oleh Kernkamp, sebagaimana dikutip Aqib Suminto, sebagai

152 B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, II, (The Hague and Bandung: W. Van Hoeve, 1957), h. 234-246. Lihat pula Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun, Indonesian Islam under The Japanese Occupation 1942-1945, (Den Haag: The Hague, 1958), h. 10., lihat pula W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition, A Study of Social Change, (Bandung: The Hague, 1956), h. 278. 153 Di sini terdapat interaksi antara instruksi resmi dari negeri Belanda yang mewajibkan Kristenisasi, tujuan mencapai keuntungan sebanyak-banyaknya dan belum adanya politik Islam yang jelas. Interaksi ini kemudian terwujud dalam kebijaksanaan VOC tentang agama. Kepada Kristen mendukung sepenuhnya dan kepada yang lain justru menghindari dan tidak langsung mencampuri. Kiai, Pesantren dan Politik 147 energik.154 Bahkan pada tahun 1859 M. pemerintah Belanda mengeluarkan suatu ordonansi yang mengatur masalah ibadah haji lebih ketat dari sebelumnya. Diduga ordonansi ini diilhami oleh kekhawatiran pemerintah kolonial akan timbulnya pemberontakan, sebagaimana terjadi di Inggris pada tahun 1857 M.155 Bogardt, seorang Katholik dan anggota Parlemen Belanda tahun 1908 M., lebih lanjut, menyatakan bahwa pemerintah kolonial harus mengambil tindakan terhadap ibadah haji ke Mekkah. Para haji secara politis dinilainya berbahaya, dan karena itu ditegaskannya bahwa melarang perjalanan ibadah haji lebih baik dari pada kemudian terpaksa harus menembak mati mereka.156

154 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 17. Dalam uraiannya Kernkamp menyatakan bahwa andaikata yang demikian itu dilaksanakan, maka Belanda tidak harus takut ke pada Pan Islam maupun jihad. Juga tidak ada kesulitan tentang haji. Penduduk pun tidak akan terikat dengan ulama Islam, dan masalah poligami maupun perceraian juga tidak perlu dikhawatirkan. Semua ini kemudian terjadi, “akibat kurang enerjiknya nenek moyang kita”. Ia menilai cara paksa seperti tersebut di atas sebagai giat dan gesit. 155 Ibid, h. 28. Dijelaskan pula bahwa pada tahun 1857 M. di India, terjadi suatu pemberontakan melawan pemerintah kolonial Inggris, yang terkenal dengan peristiwa Mutiny. Pemberontakan ini berhasil ditumpas, dan banyak pelakunya ditangkap dan dibunuh. Dalam perdebatan di Parlemen Belanda pada tahun 1859 M. peristiwa Mutiny ini dihubungkan dengan para haji dan peranannya. Kemudian pada tahun itu juga (6 Juli 1859 M.) keluarlah Ordonansi Haji tersebut. Dengan menaruh perhatian peristiwa di India Inggris, kepala-kepala daerah di Hindia Belanda diperintahkan untuk mengadakan kewaspadaan istimewa. 156 Ibid, h. 22. 148 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Selain kebijakan tentang haji, demi “ketertiban keamanan”, padahal sebenarnya penyebaran agama Kristen atau Kristenisasi, pada tahun 1867 M. pemerintah kolonial mengeluarkan instruksi yang ditujukan kepada kepala daerah dan bupati serta wedana di seluruh Jawa dan Madura, tentang pemberian kebebasan dalam masalah agama, tetapi juga pengawasan secara ketat atasnya, sejauh menyangkut kepentingan umum. Pada tahun 1882 M. Lembaga Peradilan Agama diresmikan,157 bahkan dalam bidang pendidikan, pada tahun 1905 M. keluarlah Ordonansi Guru yang mewajibkan minta ijin bagi guru-guru Islam.158 Dengan demikian, kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap ummat sampai tahun-tahun terakhir kekuasaannya, antara lain meliputi: a) Peradilan agama, sudah diatur sejak tahun 1882 M. b). Pengangkatan Penghulu sebagai penasehat pada Pengadilan Umum. c). Pengawasan terhadap Perkawinan dan Perceraian bagi orang Islam, sejak tahun 1905 M. d). Ordonansi Perakwinan

157 Ibid. h. 29. Dijelaskan juga bahwa disinilah letak perbedaan antara pemerintah kolonial Belanda dengan Inggris. Meskipun sama- sama menyatakan netral dalam masalah agama, di India Inggris, para pemuka agama – Kristen atau bukan – bebas dari campur tangan pemerintah, kecuali organisasi Bala Keselamatan. Mereka mendapatkan bantuan dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Sedangkan kebijaksanaan netral di Hindia Belanda berarti ganda, kebebasan dan pengawasan ketat. 158 I.J. Brugmans, Geschiedenis van het Orderwijs in Ned. Indie, (Batavia: Groningen, 1938), h. 8. Kiai, Pesantren dan Politik 149 di Jawa Madura tahun 1929 M., diubah tahun 1931 M. e). Ordonansi Perkawinan untuk luar Jawa, tahun 1932 M. f). Pengawasan terhadap pendidikan Islam g). Ordonansi Guru 1905 M., diubah 1925 M. h). Pengawasan terhadap kas Masjid sudah sejak 1829 M. i). Pengawasan terhadap Ibadah Haji sebagaimana tersebut di atas.159 Pada tanggal 8 Maret 1942 M. berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia dan dengan resmi ditegakkan kekuatan Kemaharajaan Jepang. Tetapi, selama pendudukannya selama tiga setengah tahun, sebagaimana Belanda, Jepang juga menerapkan beberapa kebijakan yang merugikan bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam, baik di kota maupun desa yang kebanyakan hidup bermata pencaharian sebagai petani, di antaranya dengan memaksa penduduk pulau Jawa, terutama kaum petani di desa-desa menjadi pekerja paksa atau “Romusha,”160 dengan menanam komoditas tertentu seperti kapas,161 memelihara jarak dan lain

159 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 30. 160 Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun, Indonesian Islam under The Japanese Occupation 1942-1945, (Den Haag: The Hague, 1958), h. 189. 161 Masalah Pokok yang menyangkut kehidupan rakyat di Indonesia, selain pangan adalah sandang, yang sejak masa sebelum perang, sangat tergantung pada impor dari negeri belanda. Oleh karena itu, pada masa pendudukan Jepang, masalah itu diatasi dengan mengusahakan percobaan penanaman kapas dan usaha lainnya di berbagai daerah, seperti Cirebon, Malang, Kediri, Besuki, Bekasi, 150 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi sebagainya. Akibatnya, para petani kurang bergairah, karena gizi kurang dan stamina mundur, suatu tindakan yang berlawanan dengan gagasan untuk meningkatkan produksi. Bagi mereka, tindakan pemerintah mengakibatkan kesengsaraan yang berlipat ganda. Penyakit akibat kekurangan gizi merajalela, apalagi timbul berbagai bencana alam. Kebijakan pemerintah pendudukan Jepang lainnya yang memperlihatkan gambaran buruk adalah bidang pengajaran. Jumlah Sekolah Dasar yang dibangun menurun dari 21.500 buah menjadi 13.500 buah, Sekolah Lanjutan menurun dari 850 buah menjadi 20 buah, Perguruan tinggi/Fakultas terdiri dari 4 (empat) buah. Jumlah murid Sekolah Dasar merosot 30 %, murid Sekolah Menengah merosot 90 %, guru Sekolah Dasar berkurang 35 %, guru Sekolah Menengah yang aktif tinggal 5 %. Angka buta huruf tinggi sekali, meskipun di beberapa tempat dilakukan usaha pemberantasan buta huruf.162 Selain itu, untuk menciptakan “semangat Jepang”, murid juga dipaksa melakukan kerja bakti seperti mengumpulkan bahan-bahan untuk perang, menanam bahan makanan,

Palembang, Bali dan Sulawesi. Penanaman kapas itu dimasukkan sebagai rencana lima tahun dan setelah dua tahun percobaan berjalan, maka daerah Kediri dan Besuki merupakan pengasil kapas terbaik. 162 Marwati Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), Cet. Ke- 5, h. 51. Kiai, Pesantren dan Politik 151 membersihkan asrama, memperbaiki jalan-jalan, latihan jasmani dan kemiliteran, menyanyikan lagu kebangsaan Jepang “Kimigayo” dan lagu-lagu lainnya, melakukan penghormatan ke arah istana Kaisar di Tokyo (Seikeirei), menghormati bendera Jepang dan melakukan gerak badan-badan (taiso) dan sebagainya.163 Jadi, sekolah-sekolah dan perguruan- perguruan menjadi tempat indoktrinasi Jepang, baik terhadap siswa, bahkan juga terhadap guru, karena pada yang terakhir juga diberikan pelajaran pendidikan semangat, bahasa dan adat istiadat Jepang, nyanyian Jepang, pendidikan tentang dasar- dasar pertahanan dan lain sebagainya, sehingga dapat dibentuk kader-kader untuk mempelopori dan melaksanakan konsepsi “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya,” sebuah konsep yang sangat tergantung pada kemenangan dalam ”Perang Asia Timur Raya”. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah Orde Lama juga sering menerapkan kebijakan yang menyudutkan ummat, sehingga masyarakat Islam selama kurun tertentu menjadi ummat yang terpinggirkan. Ummat Islam, sebagai mayoritas memperdebatkan mengenai bentuk negara164 di Majelis Konstituante selama tahun 1956-

163 Ibid, h. 52. 164 Para Kiai yang banyak menyalurkan aspirasinya melalui Partai NU meskipun lebih lunak dibanding Masyumi dalam menghadapi 152 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

1958 tidak membuahkan hasil,165 bahkan terhenti dengan dikeluarkannya dekrit kembali kepada UUD ’45 oleh Presiden RI tanggal 5 Juli 1959. Pada tanggal 9 Juli 1959 Presiden menegakkan demokrasi terpimpin166 dengan Soekarno sebagai Perdana

Soekarno dan kaum nasionalis, tetap tegas mengenai masalah negara. Mereka menyatakan diri sebagai penganjur negara nasional yang berdasarkan Islam. Kepala negara harus seorang Indonesia asli dan muslim, tetapi Menteri yang tidak mempunyai tanggung jawab langsung mengenai soal rohani, Ketua DPR dan Kepala Daerah tidaklah disyaratkan harus orang-orang Islam. Pengajaran agama menjadi wajib, namun agama non Islam juga dapat diajarkan di sekolah. Islam berguna bagi negara sebagai satu jaminan atas ketertiban dalam masyarakat. Dasar Ketuhanan menjadi tidak jelas batasannya, tetapi, jika dasarnya Islam ada jaminan hukum untuk dipraktekkan dengan adil dan benar, karena ada sanksi yang sangat kuat, yaitu keinsyafan diri sendiri terhadap apa yang dinamakan dosa besar manakala tidak dilaksanakan dengan adil dan benar, dosa besar yang akan menuntut kita kelak di hadapan Tuhan Y.M.E. Lihat Andree Feilland, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, alih bahasa Lesmana, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 54-55. 165 Karena perdebatan yang terjadi sangat menegangkan, disebabkan oleh rasa takut terhadap semakin membesarnya PKI (dan ateisme yang diduga menungganginya) dan rasa khawatir terhadap semakin populernya aliran kebatinan Jawa. Para kiyai khawatir bila orang-orang kebatinan memanfaatkan sila pertama (yang dinilai terlalu kabur) mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa untuk tetap bertahan hidup menghadapi upaya-upaya Islamisasi lewat dakwah. Andree Feilland, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, alih bahasa Lesmana, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 56. 166 Demokrasi yang kemudian dinamakan Manipol-Usdek (UUD ’45, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) ini menimbulkan perpecahan di kalangan para kiai. Kiai Bisri Syansuri dan kiai Ahmad Siddiq di satu pihak menganggap DPR anti demokrasi. Ikut serta dalam DPR yang tidak seluruhnya dipilih rakyat bertentangan denga fiqh. Tetapi, kiai Wahab Hasbullah di pihak lain berpendapat bahwa ummat Islam masih belum siap melakukan politik konfrontasi menghadapi penguasa dan bila suatu waktu ingin meninggalkan DPR, ia akan dapat melakukannya. Kiai, Pesantren dan Politik 153

Menteri. Tetapi, demokrasi ini justru memberi angin kepada PKI dengan semboyan persatuan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), suatu upaya yang cukup meresahkan para kiai, karena pembagian hasil panen mengancam kepentingan para kiai yang memiliki tanah yang luas, termasuk tanah wakaf167 atau yang diserahkan oleh orang lain yang berusaha menghindari penyitaan, di samping juga merupakan upaya untuk mengimbangi Angkatan Bersenjata yang semakin memantapkan kedudukannya menghadapi PKI. Dengan demikian, ABRI dan kiai mempunyai keluhan yang sama, sehingga yang terakhir merasa perlu bekerjasama dengan ABRI,168 sebagaimana

Jadi, ummat Islam harus ikut dalam DPR untuk membetulkan kesalahan pemerintah yang akan dibentuk menurut prinsip menganjurkan yang baik dan melarang yang jelek. 167 Pihak PKI yang melaksanakan Landreform sejak tahun 1964 menyebut para pemilik tanah muslim sebagai “setan desa” atau “borjuis”, sebagai refleksi dari pertikaian terselubung antara ulama- ulama pemilik tanah dengan buruh tani. 168 Beberapa kiai menyerukan kepada para aktivis untuk membantu ABRI mengganyang orang-orang komunis dan memulihkan ketenteraman. Keputusan yang paling tepat dan paling baik adalah memberaantas para komunis, “akar-akarnya”, komplotannya, pembelanya, dan semua yang bertindak bersamanya, baik secara terbuka maupun tersembunyi. Tetapi, kiai juga sangat sayang kepada Soekarno. Tidak dapat dibayangkan Indonesia tanpa “Bapak revolusi”. Soekarno memang telah melakukan kesalahan, mestinya ia dimaafkan, karena sejak dulu ia adalah orang besar. Menurut ajaran Islam, Allah mengampuni siapa saja yang mengakui kesalahannya. Jadi kiai berada dalam posisi dilematis antara rasa permusuhan terhadap PKI dan rasa sayang terhadap Presiden Soekarno yang tidak mau melarang partai komunis. 154 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi diperlihatkan di Jawa Timur, sebuah daerah basis kiai dan juga basis komunis, untuk menghadapi komunis dan mengimbangi partai-partai yang disusun atas dasar Nasakom. Puncaknya pada tanggal 30 September 1965 terjadi pemberontakan G 30 S PKI, yang diikuti dengan penculikan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap enam Jenderal Angkatan Darat tanggal 1 Oktober 1965. Tetapi, Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat), berhasil menggilas gerakan itu, sehingga terjadilah pelimpahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto pada tanggal 11 Maret 1966. Sejak saat itu, mulailah awal pemerintahan baru, yang dikenal dengan Orde Baru. Pada awal Orde Baru, para kiai melalui partai yang dibentuknya memainkan peran kunci dalam peralihan kekuasaan dan dalam pengambilalihan kekusaan secara konstitusional oleh Jenderal Soeharto. Jadi, antara ABRI dengan kaum tradionalis telah terjalin kerjasama dan persekutuan yang diibaratkan sebagai hubungan antara “saudara sekandung.” Tetapi, hubungan itu segera berubah, seiring dengan kritik yang dilontarkan kaum muslimin dan beberapa pemuda radikal yang diketuai Subchan, terhadap pemerintah. Kritik juga dilontarkan terhadap kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, karena tampak mulai mematikan pengusaha kecil, membuka sedikit pintu bagi Kiai, Pesantren dan Politik 155 pengusaha Tionghoa dan membuka pintu bagi bantuan dan penanaman modal asing seperti Jepang, Amerika Serikat dan lain-lain.169 Akibatnya, para penguasaha muslim yang kegiatannya masih tradisional seperti pabrik-pabrik kecil, kerajinan dan industri tekstil menderita akibat politik ekonomi baru itu, di samping masuknya modal asing dan ledakan ekonomi dalam negeri juga menyebabkan pelacuran, perjudian dan pornografi cepat menjalar dalam kehidupan perkotaan Indonesia, sehingga menimbul- kan koflik-konflik sosial.170 Dalam bidang agama, pemerintah menggambar- kan netralitasnya terhadap lima agama yang diakui. Golongan agama yang paling besar (Islam) tidak boleh berlaku sewenang-wenang/menindas golong- an agama yang kecil begitu pula sebaliknya. Juga ditegaskan “perlakuan dan jaminan yang sama dari pemerintah. Tidak ada anak kandung dan tidak ada pula anak tiri. Tetapi, ketika sebuah majalah sastra, terbitan bulan Agustus 1968 memuat sebuah cerita pendek di mana Allah ditampilkan sebagai manusia biasa, maka terjadilah demonstrasi besar dan menuntut H.B. Yasin, pemimpin redaksinya dijatuhi

169 Bantuan luar negeri meningkat dari 200 juta dolar Amerika pada tahun 1967 menjadi 500 juta dolar pada tahun 1969 bahkan sejak tahun 1976 melampaui dua miliar dolar Amerika, dengan urutan Amerika lalu Jepang. Lihat Andree feillard, Andree Feillanrd, Andree Feillard, Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), cet. Ke-1, h. 114. 170 Ibid., h. 149-150. 156 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi hukuman penjara.171 Bahkan ummat Islam menyatakan akan mengangkat senjata bila diserang dan bila kesucian agama dikotori.172 Di bawah Orde Lama yang paling merasakan kekerasan Soekarno ialah kaum muslimin sendiri, tetapi di bawah Soeharto, ummat Islam merasa di bawah tentara pendudukan di negerinya sendiri, karena subsidi pemerintah bagi yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah, yang mencapai 1 milyar rupiah pada bulan Nopember 1968 dihapus. Selain subsidi, para kiai juga protes terhadap rancangan undang-undang perkawinan yang dibuat oleh Pemerintah dan dikuatkan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung bulan Pebruari 1977 mengenai perzinaan, memperkuat penerapan monogami, sehingga membuat poligami tidak sah, kecuali mendapatkan dispensasi pengadilan,173 yang ditandai

171 Pada tahun 1970 H.B. Yasin dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun, bahkan ia juga mengajukan permohonan maaf kepada masyarakat Islam. 172 Teks lengkap pernyataan “Penjelasan humas Departemen Agama mengenai Toleransi Agama”, (siaran Pers Departemen Agama mengenai toleransi kehidupan beragama) diterbitkan dalam DM., 3-1- 1969. 173 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) bulan Pebruari 1977, berdasarkan pasal 279 dan 284 KUHP. Dalam kasus yang sangat jarang, hukuman penjara selama 2 hingga 6 bulan dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan poligami tanpa ijin pengadilan. Pers membeberkan cerita tentang seorang pegawai negeri, Abdurrahim Nasution, usia 41 tahun, yang memenangkan kasus poligaminya di Lhokseumawe, Aceh, meskipun kariernya menjadi hancur. Lihat Tempo, 19 Januari 1991, h. 75. Kiai, Pesantren dan Politik 157 dengan usaha kiai Bisri Syansuri yang dikenal tidak mau kompromi dan penganut penerapan fiqh secara ketat, untuk mengumpulkan sembilan ulama besar di Jombang, guna membuat rancangan tandingan yang disalurkan lewat Partai Persatuan Pembangunan di Jakarta. Mereka menuntut hal-hal sebagai berikut: a) Perkawinan bagi orang muslim harus dilakukan secara keagamaan dan tidak secara sipil. b). Masa ‘iddah, saat istri mendapatkan nafkah setelah diceraikan harus diperpendek, tidak satu tahun, tetapi 3 (tiga) bulan, karena suami berhak rujuk kembali kepada istri selama ‘iddah itu. c). Pernikahan setelah kehamilan di luar nikah tidak diijinkan. d). Pertunangan dilarang, karena dapat mendorong ke arah perzinahan. e). Anak angkat tidak memiliki hak sama dengan anak kandung. f). Penghapusan sebuah pasal dari rancangan undang- undang yang diajukan yang menyatakan bahwa perbedaan agama bukan halangan bagi perkawinan. g). Batas usia yang diperkenankan untuk menikah ditetapkan 16 tahun,bukan 18 tahun bagi wanita dan 19 tahun, bukan 21 tahun bagi pria. h). Penghapusan pasal mengenai pembagian rata harta bersama antara wanita dan pria karena dalam Islam “hasil usaha masing-masing suami atau istri secara sendiri-sendiri menjadi milik masing-masing yang mengusahakan- nya”. i). Menolak larangan perkawinan antara dua orang yang memiliki hubungan sebagai anak angkat 158 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi dan orang tua angkat atau anak-anak dari orang- orang tua angkat, dan j). Menolak larangan me- langsungkan perkawinan lagi antra suami-istri yang telah bercerai.174 Rancangan undang-undang itu, kemudian diajukan ke DPR dan hasilnya bahwa perkawinan dari agama Islam tidak akan dikurangi atau pun diubah, dan hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam tidak mungkin disesuaikan dengan undang- undang ini dihilangkan atau didrop. Selanjutnya, perkawinan akan dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaan, namun harus dicatat. Perceraian dan poligami akan diatur oleh ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.175 Dalam bidang ideologi dan kepartaian, pada tahun 1971 pemerintah melemparkan gagasan penyederhanaan partai-partai dengan mengadakan pengelompokan menjadi satu kelompok golongan karya dan dua kelompok partai. Kelompok partai- partai politik Islam seperti NU, Parmusi, PSII dan

174 Andree Feillard, Andree Feillard, Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), cet. Ke-1, h. 193-194. Lihat pula K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976), h. 19. 175 Kesepakatan tersebut ditandatangani tanggal 29 Nopember 1973 oleh KH. Masykur dan Nuddin Lubis dari PPP, Domo Pranoto dan Mansjoer dari Fraksi ABRI (Catatan Sementara Sidang tertutup no. 5 Komisi Kerja Rancangan Undang-Undang Perkawinan, 10 Desember 1973, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia). Kiai, Pesantren dan Politik 159

Perti kemudian bergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan partai-partai politik seperti Katolik, Parkindo, PNI dan IPKI bergabung ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Yang terakhir mengadakan fusi pada tanggal 10 Januari 1973, sedangkan yang pertama mengadakan fusi pada tanggal 5 Januari 1973.176 Dengan demikian, aspirasi kiai pesantren tidak lagi disalurkan melalui Partai NU, tetapi melalui Partai Persatuan Pembangunan. Berarti mereka mendapatkan rival baru yang lebih sulit dari pada Golkar, karena berada dalam satu partai, yaitu Muslimin Indonesia. Meskipun demikian, kiai pesantren tetap kritis. Mereka menentang pelembaga- an penataran P4, karena khawatir P4 dapat menggantikan agama dan menjadi dasar pedoman segala kegiatan, meminta aliran kepercayaan tidak diberi hak yang sama dengan agama-agama resmi dan meminta para pengikutnya kembali pada agamanya masing-masing,177 bahkan mereka mengeluhkan pembatasan terhadap para muballigh. Oleh karena itu, mereka menganjurkan agar materi

176 Pidato Presiden di depan Sidang Pleno DPR pada tanggal 16 Agustus 1973. Lihat pula Kompas, 12 Januari 1973, h. 1 dan 7. 177 Andree Feillard, Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), cet. Ke-1, h. 200-203. 160 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi dakwah tidak menyentuh masalah politik, tetapi cukup terkait dengan masalah moral saja.178

3. Sikap Politik Kiai Pesantren Sikap adalah kecenderungan individu untuk menanggapi situasi, benda, ide, orang dan isu dengan cara tertentu. Sikap seseorang terhadap sesuatu bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti peng- alaman, pengetahuan, perasaan, emosi, cara berfikir, kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai.179 Sedangkan politik terambil dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos atau politicus yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Dalam bahasa Arab, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata Siyāsah, terambil dari kata sasa-yasūsu, yang berarti mengemudi, mengendalikan, mengatur dan lain sebagainya.180 Sedangkan terminologi politik secara umum berarti

178 Melihat ini semua, maka diadakanlah pertemuan para ulama/kiyai membahas situasi yang serba baru. Hasilnya, para ulama/kiyai memutuskan untuk mempergiat usaha-usaha bidang social, sambil menyesuaikan diri dengan identitas baru organisasi keagamaan. Sejak itu, ketegangan hubungan dengan penguasa mulai mengendor, yang ditandai dengan diperbolehkannya memasang papan nama di sekolah dan kantor. Para ulama/kiayi memang tetap menjadi pengikat persatuan, tetapi mereka tidak selalu bisa muncul sebagai wasit tunggal arah politik yang akan diikuti. Lihat Andree Feillard, Ibid, h. 189-190. 179 Lau & James B. Shani, A.B., Behaviour in Organizations: An Experiential Approach, (Homewood: Richard Irwin Inc, 1992), h. 98. 180 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-1, h. 416. Kiai, Pesantren dan Politik 161 usaha untuk memperoleh kekuasaan, memperbesar atau memperluas serta mempertahankan ke- kuasaan.181 Politik juga berarti bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan itu,182 bahkan Joyce Mitchell menyatakan politik adalah peng- ambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya,183 atau politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum, sedangkan keputusan yang dimaksud adalah keputusan mengenai tindakan umum atau nilai-nilai, yaitu mengenai apa yang akan dilakukan dan siapa mendapat apa,184 atau politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagai- mana.185

181 Soelistyati Ismail Gani, Pengantar IlmuPolitik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991), h. 17. Lihat pula Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, al- Tarbiyah al-Siyāsiyah ‘Inda Jamā’ah al-Ikhwān al-Muslimīn, fi al-Fatrah min 1928 ila 1954 fi MIshr, (Mesir: Dār al-Tauzi’ wa al-Nasyr al- Islamiyah, 1960), 68. Juga Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), Cet. Ke-1, h. 44-46. 182 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1999), Cet. ke-20, h. 8. 183 Joyce M. Mitchell, William C. Mitchell, Political Analysis and Public Policy: An Introduction to Political Science, (Chicago, Rand Mc. Nally, 1969), h. 4-5. 184 Karl W. Deutsch, Politics and Government: How People Dicide Their Fate, (Boston, Houghton Mifflin Co., 1970), h. 5. 185 Harold D. Laswell, Politics, Who Gets What, When, How, (New York: World Publishing, 1972), h. 12. 162 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Berangkat dari kedua pengertian itu, di samping merujuk bahwa ‘izz al-Islām wa al-Muslimīn merupakan tujuan politiknya, maka sikap politik kiai pesantren adalah memperjuangkan tujuan itu, melalui partai politik. Karena NU sebagai organisasi keagamaan yang didirikan oleh para kiai pesantren beranggapan, bahwa Masyumi merupakan satu- satunya Partai Islam yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan kiai pesantren, maka NU pun bergabung dengannya. Hal yang sama juga mereka lakukan pada tahun 1973, ketika pemerintah menyederhanakan jumlah partai menjadi dua partai politik dan satu Golkar, maka kiai pesantren menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP, sebuah partai Islam, gabungan Partai NU, Perti, PSII dan Parmusi. Tetapi, ketika Parmusi melalui John Naro, Presiden PPP, melakukan tindakan yang merugikan NU dan kepentingan kiai pesantren, maka berdasarkan Keputusan Muktamar ke 27, tanggal 8- 12 Desember di Situbondo, NU menyatakan keluar dari PPP186 dan kembali ke Khittah 1926, sebagai Jam’iyah yang memusatkan perhatiannya pada

186 Mahbub Djunaidi, Ketua Tanfidziyah NU, mewakili KH. As’ad Syamsul Arifin, menegaskan bahwa dalam Pemilu 1987 nanti warga NU wajib menyukseskan pesta Demokrasi, tetapi tidak wajib berkampanye untuk PPP. Sekali lagi NU bukan PPP dan PPP bukan NU, karena keduanya punya dunia sendiri-sendiri. Keduanya tidak punya ikatan organisasi. Ini merupakan keputusan Muktamar PPP sendiri dan Keputusan Muktamar NU. Lihal Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga, 1992), h. 160. Kiai, Pesantren dan Politik 163 kegiatan bidang agama, pendidikan, pengajaran dan kebudayaan serta bidang sosial dan ekonomi. Berbeda dengan yang terakhir, maka ketika dibodohi dan atau dirugikan oleh Masyumi, maka kiai pesantren justru menjadikan NU sebagai partai politik, berdampingan dengan partai politik lainnya, baik partai nasionalis religius seperti Masyumi, PSII, Perti dan lain sebagainya, maupun partai nasionalis sekuler seperti PNI, Partai Murba, Parindra, PSI dan lain sebagainya, atau bahkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sikap politik kiai pesantren saat itu adalah dengan bergabung kepada Partai Islam Masyumi atau PPP, karena partai itu dipandang dapat memperjuangkan aspirasi politiknya. Tetapi, ketika kedua partai itu dianggap tidak lagi merupakan wadah yang efektif, maka mereka pun menyatakan keluar. Pada kasus yang terakhir, NU, sebagai organisasi yang dibidani pendiriannya oleh para kiai pesantren menyatakan kembali ke Khittah 1926, sedangkan pada kasus pertama, kiai pesantren malah menjadikan NU sebagai kendaraan politiknya.

BAB III PESANTREN DAN DINAMIKA POLITIK NASIONAL ERA REFORMASI 1998 - 2004

A. Era Reformasi dan Kebijakan Politik Menuju Demokrasi Sejak kemerdekaan hingga akhir milenium dua, di Negara Republik Indonesia terdapat tri orde dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Orde

166 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Reformasi, Orde Baru dan Orde Lama. Masa Orde Lama bermula ketika Soekarno diangkat sebagai presiden kesatu. Tetapi, kegagalan Gerakan 30 September 1965 telah membawa Soekarno dengan sistem demokrasi terpimpinnya beserta PKI pada kehancuran politik secara total. Dengan demikian, Orde Lama1 digantikan oleh Orde Baru, suatu tata kehidupan baru dan sikap mental baru, yang bertujuan menciptakan kehidupan sosial, politik, ekonomi dan kulturil, yang dijiwai oleh moral Pancasila, khususnya Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, Orde Baru juga merupakan suatu tata politik dan tata ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 serta menghendaki suatu tata pikir yang lebih realistis dan pragmatis, diutamakannya kepentingan nasional, tata susunan yang lebih stabil dan lain sebagainya.2 Jenderal Soeharto, sebagai presiden kedua, dalam pidato kenegaraan, 16 Agustus 1967 menyatakan bahwa tujuan Orde Baru

1 Suatu periode rezim/pemerintahan antara tanggal 5 Juli 1959 - 11 Maret 1966, berpancangkan tonggak sejarah yaitu Dekrit Presiden/Pangti ABRI Soekarno tentang pembubaran konstituante pilihan rakyat dan kembali kepada UUD 1945 dan Surat perintah Presiden/Pangti ABRI/PBR/Mandataris MPR Soekarno tanggal 11 Maret 1966 kepada Letjen Soeharto yang terkenal dengan singkatan “Super Semar”. Tetapi, juga dapat dikatakan bahwa Orde Lama merupakan periode sejak Soekarno diangkat sebagai Presiden sampai terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret 1966, meskipun pada awalnya kabinet Soekarno berbentuk Parlementer, lalu Liberal dan terakhir Kabinet Ampera. Lihat Ismaun, Pancasila Dasar Falsafah Negara Republik Indonesia, (Bandung: Carya Remadja, 1972), h. 32. 2 Ibid, h. 27-31.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 167 adalah untuk mempertahankan dan memurnikan eksistensi dan implementasi Pancasila serta UUD 1945.3 Bahkan, Tap.MPRS No.10/MPRS/1966 lebih lanjut menegaskan sebagai berikut: Pembukaan UUD 1945 sebagai penjelasan rinci dari deklarasi kemerdekaan, yang berisi cita-cita luhur proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara, satu rangkaian dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan karena itu tidak dapat diubah oleh siapa pun, termasuk oleh MPR yang dipilih dalam pemilu berdasarkan pasal 3 dan 37 UUD, karena penghapusan terhadap isi pembukaan berarti penghapusan negara4 Namun demikian, tujuan Orde Baru tersebut dalam sejarah perkembangannya berjalan tidak sesuai dengan kenyataan dan harapan, karena setelah 32 tahun berkuasa, mengawal pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 akhirnya meletakkan jabatan dan menyerahkan singgasana kekuasaannya kepada Wakil Presiden Republik Indonesia,5 yang juga anak didiknya, Prof. Dr.

3 Krissantono (ed.), Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, (Jakarta: CSIS, 1976), h. 17. 4 Nugroho Notosusanto, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h. 37. 5 Rumusan Pasal 8, Ayat 1, UUD 1945 yang dimandemen menyebutkan “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Terkait dengan

168 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Bacharuddin Jusuf Habibie, seorang teknokrat, kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, berdarah campuran Jawa-Bugis. Ayahnya wafat tahun 1950 ketika Habibie berusia 14 tahun, tetapi, pada tahun itu juga ia mendapatkan pengasuh baru yang bertugas sebagai komandan militer muda dan bermarkas di seberang rumahnya di Ujung Pandang, yakni Soeharto,6 seorang yang kemudian menjadi orang pertama di Indonesia. Presiden Soeharto mundur dari gelanggang politik, setelah usai pemilu 1997 atau menjelang berlangsung dan pasca Sidang Umum MPR 1998, terjadi berbagai aksi demonstrasi dari kelompok-kelompok masyarakat yang melaku- kan kritik terbuka, menentang kepemimpinan dan kebijakan Presiden Soeharto.7 Akibatnya, kredibilitas

peletakan jabatan Soeharto sebagai presiden, ada spekulasi perihal dugaan penghianatan oleh B.J. Habibie, sehingga Soeharto tidak pernah membuka pintu bagi Habibie sejak dilantik menjadi presiden. Soeharto mencurigai Habibie sebagai dalang penolkan 14 (empat belas) menteri untuk duduk kembali dalam Kabinet Reformasi Pembangunan yang direncanakannya, suatu dugaan yang tidak pernah diklarifikasi, sehingga masyarakat tak pernah tahu kebenarannya. Lihat A. Pambudi, Kontroversi “Kudeta” Prabowo, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007), h. 44. 6 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2005), Cet. ke-1, h. 631. 7 Demonstrasi dan kerusuhan terjadi di mana-mana di Surakarta, Kupang, Ambon, Sambas, Medan, Banyuwangi dengan ninjanya dan Jakarta dengan tragedi Trisakti dan Semangginya. Kerusuhan-kerusuhan itu, di satu pihak memberi kesan sebagai persambungan dari krisis sosial yang telah bermula sejak tahun 1996, bahkan bisa ditarik ke tahun 1994, dan di pihak lain, menunjukkan betapa unsur-unsur konflik yang laten akhirnya meletus menjadi tragedi lokal yang melukai seluruh bangsa dan

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 169 Soeharto dan para elite pengambil kebijakan politik dan ekonomi bangsa ini semakin merosot di mata publik, terlebih setelah terjadinya krisis ekonomi Indonesia yang dimulai pada Juli 1997, di mana Soeharto tidak lagi mampu menyelesaikannya. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) semakin melemah, sementara pada saat yang sama jumlah penduduk miskin digambarkan semakin bertambah.8 Kelompok-kelompok masyarakat yang ber- demonstrasi itu, intinya menuntut agar Soeharto mundur atau melepaskan jabatannya sebagai presiden, dan atau para politisi di MPR didesak untuk tidak lagi memilih Soeharto sebagai Presiden RI. Tetapi, para anggota MPR justru menunjukkan wataknya dengan tidak mau mendengarkan aspirasi masyarakat, sehingga gelombang demontrasi massa semakin hari semakin banyak, termasuk di dalamnya para intelektual dari kampus ikut memberikan dukungan terhadap aksi-aksi masyarakat tersebut. mengancam integrasi nasional. Lihat Taufik Abdullah, Nasionalisme & Sejarah, (Bandung: satya Historika, 2001), h. 34. 8 Nilai tukar rupiah berada di bawah Rp 10.000,- per dolar, bahkan hingga mencapai level Rp 15.000-Rp 17.000,- per dolar. Diperkirakan 113 juta orang Indonesia (56 % dari jumlah penduduk ) berada di bawah garis kemiskinan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa 40 juta orang Indonesia tidak mampu membeli makanan dan dalam kondisi rawan pangan. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2005), Cet. ke-1, h. 656-657. Lihat pula Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 186.

170 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Jadi, kekuasaan Soeharto dan Orde Baru saat itu, telah didera oleh krisis multi dimensi, mulai dari krisis ekonomi dan moneter, krisis sosial, krisis kepercayaan sampai krisis politik,9 sehingga Presiden Soeharto sebagaimana dijelaskan terpaksa melimpah- kan kekuasaannya pada Wakil Presiden Republik Indonesia. Berangkat dari kenyataan tersebut, maka mundurnya Soeharto sebagai presiden menjadi pertanda berakhirnya masa kekuasaan Orde Baru dan sebagai gantinya lahir Era Reformasi yang menjadi kelahiran Orde Reformasi. Pada masa itu, khususnya masa antara tahun 1998-2004, telah tampil tiga orang presiden, yaitu B.J. Habibie sebagai presiden ketiga, KH. Abdurrahman Wahid sebagai presiden keempat dan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden kelima. Sebagai Presiden Republik Indonesia ke-3, B.J. Habibie10 telah berhasil memimpin bangsa dan

9 Inflasi ditargetkan mencapai angka 80 % untuk tahun berjalan, terjadi kekurangan panen beras karena badai El NiH’o, beberapa prusahan utama (Sempati Air, PT. Astra) tidak beroperasi, hutan tropis menyusut jumlahnya, kerusuhan terjadi di berbagai daerah, Timor Timur, Situbondo, (Jawa Timur), Tasikmalaya (Jawa Barat), Ujung Pandang, Irian Jaya, Kalimantan Barat, Jakarta dan provinsi lain terjadi kerusuhan sosial dan penculikan. Lihat Taufik Abdullah, Nasionalisme dan Sejarah, (Bandung: Satya Historika, 2001), h. 161-171. Lihat pula M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2005), Cet. ke-1, h. 465-467 dan 656. 10 Habibie, anak keempat dari sembilan putra putri keluarga Alwi Abdul Djalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardoyo, menikah dengan dr. Ainun, anak keempat dari delapan bersaudara, keluarga Haji Muhammad Besari, pada 12 Mei 1962 dan dikaruniai dua putra dan lima

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 171 negara kesatuan selama 512 hari, padahal kalangan pakar dan pengamat, menganalisis dan meramalkan bahwa B.J. Habibie hanya akan bertahan 100 jam, kemudian “diperpanjang” menjadi 100 hari. Semuanya meleset dan B.J. Habibie bisa bertahan hingga 17 bulan, bahkan bersama kabinetnya membidani kelahiran reformasi bagi bangsa ini.11 Oleh karena itu, masanya dikenal sebagai awal Orde Reformasi, sebuah orde transisi menuju demokrasi berdasarkan ketentuan UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai orde transisi menuju demokrasi, B.J. Habibie yang menggantikan mentornya sebagai presiden dan kepala pemerintahan, dalam waktu cucu. Setelah kuliah selama satu tahun di Institut Teknologi Bandung (ITB), tahun 1955, ia dikirim oleh ibunya untuk belajar di Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule, Aachen Jerman. Setelah belajar di sana selama lima tahun, ia memperoleh Diplom-Ingenieur dengan prestasi cum laude dari Fakultas Teknik Mesin Jurusan Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang, kemudian dari Fakultas dan jurusan yang sama, ia memperoleh gelar Doktor Ingenieur, dengan predikat summa cum laude. Pada tahun 1974, ia kembali ke Indonesia dan diserahi tugas sebagai penasehat pemerintah bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Tugas ini diembannya sampai tahun 1978 dan setelah itu, ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi sekaligus Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), selama periode Kabinet Pembangunan yang berakhir pada tahun 1998, di samping menjabat sebagai ketua Dewan Riset Nasional. Pada tanggal 11 Maret 1998, ia diangkat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia yang ke-7, menggantikan Tri Soetrisno, yang telah berakhir masa jabatannya. 11 Ketika Teknokrat Memimpin Negara, Republika, (Jakarta), 22 September 2006, h. 24.

172 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi yang relatif singkat itu, telah melakukan berbagai perubahan. M.C. Ricklefs menyebutkan minimal ada lima isu terbesar yang harus dihadapinya, yaitu masa depan reformasi, masa depan ABRI, masa depan daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia, masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya, serta masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.12 Mengingat krisis demikian parah, maka keempat isu terakhir belum terselesaikan dan jika bisa dilaksanakan salah satu di antaranya, khususnya terkait dengan Timor Timur, malah menimbulkan kecaman dan bom waktu baginya.13 Tetapi, isu pertama, masa depan reformasi, justru menunjukkan perkembangan yang positif bahkan capaiannya tergolong luar biasa. Reformasi diawali dengan proses pembongkaran terhadap ketamakan negara, antara lain dengan memperkenal- kan sebuah aura yang menjadikan kepresidenan suatu jabatan tanpa kesakralan, tetapi sebuah jabatan yang bisa dijabat oleh siapa saja yang dipercaya rakyat, menyelenggarakan Sidang Umum MPR dan Pemilu, membubarkan BP7, menghentikan P4 dan menandatangani dua undang-undang yang serta

12 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2005), Cet. ke-1, h. 655-656. 13 Referendum yang menawarkan kepada penduduk Timor Timur pilihan antara otonomi dalam Indonesia atau kemerdekaan, berakhir dengan kemerdekaan Timor Timur. Masalah ini merupakan salah satu dari sekian noda Habibie, sehingga laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR di samping noda lainnya

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 173 merta menuntut banyak hal dalam hubungan pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Pertimbangan Keuangan dan Otonomi Daerah,14 dimana pemerintah daerah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk memutuskan program dan kebijakannya sendiri.15 Di samping ia juga memberikan kebebasan kepada pers, dan memperlihatkan sikap yang demokratis dan tidak bereaksi negatif terhadap kritik yang disampaikan oleh lawan politiknya.16 R. William Liddle dalam kaitan dengan reformasi era pemerintahan B.J. Habibie antara lain menambahkan sebagai berikut: Selepas jatuhnya rezim Orde Baru, terjadi banyak perubahan yang patut disimak, antara lain liberalisasi politik berlangsung cukup signifikan, pembatasan terhadap kebebasan berbicara, berekspresi, berserikat dan berkumpul serta hak-hak sipil lainnya dicabut. Partai-partai politik dengan beragam ideologi diperbolehkan berdiri. Kebijakan depolitisasi dan pendekatan warisan Orde Baru diakhiri dan digantikan

14 Taufik Abdullah, Nasionalisme & Sejarah, (Bandung: Setya Historika, 2001), Cet. Ke-1, h. 166-167. 15 Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis 1966-2001, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), Cet. Ke-1, h. 187. 16 Salahuddin Wahid, “Menimbang Tiga Calon Presiden” dalam Soedjono Dirdjosisworo, Aspirasi Dan Sikap Politik Gus Dur Di Tengah Reformasi Menuju Indonesia Baru, (Bandung: Mandar Maju, 1999), h. 23.

174 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dengan pluralisme politik yang mengarah pada kompetisi dan representasi demokratis.17 Salahuddin Wahid sebagaimana Liddle menyatakan bahwa harus diakui cukup banyak kegagalannya, tetapi keberhasilannya jauh lebih banyak. Keberhasilan B.J. Habibie antara lain: Menurunkan inflasi, menurunkan suku bunga, menaikkan nilai tukar rupiah, membebas- kan tapol-napol, memberikan kebebasan kepada pers, memberikan kebebasan berserikat dengan terbentuknya 160-an partai politik, melaksanakan pemilu yang jurdil, mendudukkan hubungan yang tepat antara DPR dengan pemerintah. Semua itu bisa terealisir, karena kecerdasannya, kesediaannya untuk bekerja sampai jauh larut malam, kesehatannya yang bagus, tidak menghindar dari masalah detail, sikapnya dalam berkomunikasi yang terlihat demokratis, bahkan mentolelir teriakan huu… dalam pembukaan Sidang Umum MPR, adalah tambahan nilai plus bagi B.J. Habibie.18 Dengan demikian, keberhasilan yang telah diukir B.J. Habibie sangat banyak, bahkan akan menjadi semakin panjang catatan prestasinya, ketika Suharko

17 R. William Liddle, “Indonesia’s Unexpected Failure of Leadership “ dalam Adam Schwarz & Jonathan Paris (ed.), The Politics of Post Suharto Indonesia, (New: The Council on Foreign Relation, 1999), h. 21. 18 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan- Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), h. 66-67.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 175 juga menambahkan dan menguatkan penjelasan di atas, bahwa pemerintahan B.J. Habibie dalam menanggapi tuntutan demokratisasi telah mengeluar- kan beberapa perundang-undangan baru. Dalam proses politik misalnya, tiga undang-undang baru diberlakukan, yakni undang-undang tentang pemilu, tentang partai politik dan tentang struktur lembaga legislatif. Tiga undang-undang tersebut sekaligus manjadi jaminan formal bagi kompetisi politik, partisipasi dalam penyelenggaraan pemilu 7 Juni 1999.19 Ia bahkan telah melakukan upaya untuk menyempurnakan Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan membentuk undang-undang tentang penyelenggara- an negara yang bersih dan bebas KKN.20 Namun, karena hubungannya yang akrab dengan Soeharto dan Orde Baru, pemerintahannya justru dinilai belum sungguh-sungguh berdiri tegas sebagai pemerintahan reformasi, dalam pengertian merombak total sisa-sisa sistem sosial lama yang menindas dan represif. Ia masih sibuk dengan politik basa-basi dan meladeni tarik menarik dalam

19 Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis 1966-2001, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), Cet. Ke-1, h. 186. 20 Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” apa “NU Dibodohi”? Jejak langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), Cet. Ke-1, h. 125.

176 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi pertikaian kelompok elite.21 Oleh karena itu, timbul kecemasan, jangan-jangan pemerintahan B.J. Habibie malah melahirkan rezim Orde Baru lagi dalam bentuknya yang lain, sebagaimana ditegaskan oleh Indonesianis terkemuka, Jeffry Winters, bahwa yang terjadi di Indonesia adalah “change without change” (perubahan tanpa perubahan).22 Kecemasan itu, barangkali karena B.J. Habibie dianggap tidak peka dalam mendengarkan aspirasi masyarakat dan tidak serius dalam menyelesaikan isu keempat, terkait masalah KKN mantan Presiden Soeharto, Andi M. Galib dan Bank Bali, di samping soal jajak pendapat Timor Timur dan masalah tindak kekerasan oleh TNI di Aceh, Ambon, Trisakti, Semanggi I dan II. Salahuddin Wahid antara lain mengungkapkan masalah-masalah itu, sebagai berikut: Bahwa masalah utama yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintahan B.J. Habibie adalah pemberantasan KKN, khususnya terhadap Pak Harto, yang merupakan amanat ketetapan MPR. Masyarakat sebenarnya membaca berita tentang tindakan pemerintah memberantas KKN yang jumlahnya cukup lumayan, berupa pembatalan sejumlah kontrak

21 Ibid., h. 124. 22 Jeffery Winters, “Perubahan Tanpa Perubahan”, dalam Imam Baehaqi (Peny.), Soeharto Lengser; Perspektif Luar Negeri, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 151-152.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 177 berbau KKN yang masih berjalan untuk bisa menyelamatkan negara dari kerugian. Tetapi, tidak seorang pun yang diadili dan dijatuhi hukuman. Kalau B.J. Habibie terkesan enggan membawa Pak Harto ke pengadilan karena kurang bukti pendukung, maka mungkin dengan berat hati masyarakat bisa menerima. Namun, kasus rekening Andi M. Galib menjadi tanda tanya bagi masyarakat tentang ketidakseriusan pemerintah memberantas KKN, padahal berdasarkan jajak pendapat masalah itu sangat penting. Selain itu, kasus Bank Bali, meskipun secara hukum tidak terlibat, tetap menambah citra buruk padanya. Dalam kasus Pak Harto dan Bank Bali, B.J. Habibie cenderung melakukan pendekatan aspek hukum dari pada aspek politis, padahal masalahnya lebih bersifat politis yang mengandung aspek hukum. Selain itu, soal jajak pendapat Timor Timur, B.J. Habibie dianggap keras kepala karena terlalu berani melaksanakan gagasannya, tetapi soal tindak kekerasan oleh TNI, B.J. Habibie dianggap tidak mempunyai kepekaan politik.23 Uraian terakhir ini minimal menunjukkan kelemahan seorang Habibie sebagai kepala pemerintahan. Sebaliknya, pada uraian sebelumnya memperlihatkan betapa Habibie tampil sebagai seorang demokrat dan mampu menyelenggarakan

23 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan- Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia satu, 2000), Cet. Ke-1, h. 68.

178 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

“Pesta Demokrasi”, pemilihan umum secara lang- sung, jujur, adil, bebas dan rahasia.24 Tujuannya, adalah untuk mengakhiri pemerintahan transisional yang dianggap tidak memiliki legitimasi, sekaligus membentuk pemerintahan baru yang kredibel dan mempunyai basis legitimasi yang kokoh. Pemilu diselenggarakan pada bulan Juni 1999. Tetapi, menjelang pelaksanaannya, peta politik nasional terbelah menjadi dua kutub yang bertolak belakang, kubu reformis dan kubu status quo.25 Kubu yang disebut terakhir ini oleh komponen non-negara dilekatkan pada Partai Golkar, sedangkan kubu yang pertama ditempati oleh partai-partai Islam, yang bersepakat menghadang dan menyingkirkan Partai Golkar dari panggung politik nasional pasca Soeharto. Untuk itu, muncullah dua pernyataan bersama yang bertujuan mengamankan dan menyelamatkan agenda reformasi dari ancaman kubu status quo (Partai Golkar) yang dinilai masih

24 Pemilu 1999 itu diikuti oleh 48 partai dari 158 partai yang dinyatakan lolos seleksi dan layak menjadi kontestan oleh Tim 11 melalui surat Keputusan Mendagri selaku Ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU) No. 3 tahun 1999. Sedangkan untuk penyelenggaraan pemilu, pemerintah membentu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 77/M/1999, yang diketuai oleh Rudini. Jadi, peserta pemilu jauh lebih besar dibandingkan dengan peserta pemilu pertama era Demokrasi Parlementer dan pemilu-pemilu pada masa Orde Baru. Lihat Pax Benedanto (et.al), Pemilihan Umum 1999; Demokrasi atau Rebutan Kursi?, (Jakarta: LSPP, 1999), 29. 25 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 289.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 179 mempunyai kekuatan politik yang besar dan sangat berhasrat kembali ke arena pergulatan politik nasional yang baru.26 Komunike I dipandang paling ideal, karena melibatkan dan memadukan tiga kekuatan politik penting dengan latar belakang berbeda PKB (Islam Tradisionalis), PAN (Islam Modernis) dan PDIP (Nasionalis). Mereka ber- komitmen terhadap reformasi dan mempunyai basis sosial yang tak perlu diragukan lagi. Komunike II dibentuk oleh PAN, PPP dan PK. Komunike terakhir ini dinilai kurang ideal, karena unsur-unsurnya hanya berasal dari satu kelompok Islam, sehingga sangat rentan terhadap penetrasi Partai Golkar, lewat tokoh-tokohnya yang memang dekat dengan para pemimpin Islam yang tergabung dalam Komunike II. Ketika pelaksanaan pemilu, 7 Juni 1999, ternyata tidak ada satu partai yang meraih suara mayoritas. PDIP berada pada peringkat pertama dengan memperoleh suara 30,8%, disusul Golkar dengan memperoleh suara 24,0%, PKB memperoleh suara 11,8%, PPP memperoleh suara 10,2%, PAN memperoleh suara 7,0%, PBB memperoleh suara 2,6%, PK memperoleh suara 1,2%, Partai Keadilan dan Persatuan memperoleh suara 1,2% dan partai- partai lainnya memperoleh suara kurang dari 1,0%.27

26 Ibid, h. 290. 27 Pax Benedanto, (et.al), Pemilihan Umum 1999; Demokrasi atau Rebutan Kursi? (Jakarta: LSPP, 1999), h. 37 dan 88-89. Lihat pula

180 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Dengan demikian, tidak ada partai yang bisa mengusung calonnya untuk menjadi presiden, karena tidak ada satu partai pun yang memperoleh suara mayoritas tunggal (single majority), sebagaimana pemilu-pemilu zaman Orde Baru. Oleh karena itu, isu politik utama pasca pemilu yang kemudian mampu menggeser pola pengelompokan politik sebelum pemilu yang berbentuk pro-reformasi melawan status quo menjadi Islam versus nasionalis adalah masalah pengisian jabatan presiden keempat Republik Indonesia, dengan cara memenangkan pertarungan politik pada Sidang Umum MPR. Kekuatan nasionalis memancar lewat PDIP dan partai-partai lain yang sealiran dengannya, sedangkan kekuatan Islam menyusun kaukus politik dari partai-partai Islam melalui Poros Tengah (central axis).28 Dalam kaitan dengan berdirinya Poros Tengah, Amien Rais sebagai tokoh politik Islam memberikan komentar, dengan mengatakan bahwa “Kalau Poros Tengah bisa dibentuk dengan bagus, kemudian bisa menawarkan resep-resep pemecahan masalah bangsa

Mulyana W. Kusuma, “Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 1999”, dalam Juri Andiantoro F., Transisi Demokrasi; Evaluasi, Kritis Penyelenggaraan Pemilu 1999, (Jakarta: KIPP, 1999), h. 127-136. 28 Ide awal Poros Tengah berasal dari Bambang Sudibyo (eks Menteri Keuangan era Presiden Abdurrahman Wahid), sebagaimana diakuinya sendiri dalam wawancaranya dengan Kompas, lihat Kompas, 16 Januari 2000). Tetapi, versi lain menyebutkan bahwa ide Poros Tengah telah dimunculkan oleh Faisal Basir dan Husni Thamrin. Bahkan versi lainnya menyebutkan bahwa ide itu muncul dari Amien Rais sendiri.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 181 dengan paket sharing kekuasaan, sekaligus program- program yang jelas, akan menjadi kekuatan yang bisa melampaui dan mengakhiri konflik tajam antara dua kubu, bahkan dua kubu yang sekarang bertikai akan terbuka matanya, bahwa ada kekuatan lain yang lebih besar dari mereka. Kami tidak mau didikte bahwa seolah-olah hanya harus memilih Mega atau Habibie.29 Manuver yang ditunjukkan melalui Poros Tengah, menambah suhu politik semakin panas. Kubu Megawati melalui kekuatan massa dari PDIP menggertak dengan cap jempol darah, sebagai wujud dukungan fanatisme kepada Megawati agar terpilih sebagai presiden, karena perolehan suaranya menempati urutan pertama, sementara basis pen- dukung Habibie dari Partai Golkar yang tetap menjagokan Habibie sebagai presiden, melalui dukungan fanatis dari rakyat Makassar yang mengancam akan menyatakan merdeka bila Habibie tidak terpilih sebagai presiden.30 Bachtiar Effendy terkait munculnya “politik kekuatan” sehubungan dengan kemunculan Habibie

29 Amien Rais, “Saya Sudah bulat Mencalonkan Gus Dur”, dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), cet. Ke-1, h. 353. 30 Bahrul ‘Ulum,“Bodohnya NU” apa “NU Dibodohi”? Jejak langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002, Cet. Ke-1, h. 159.

182 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi dan Megawati sebagai front runners, antara lain menjelaskan dua hal pokok yang harus dicermati. Pertama, ini berkaitan dengan modal sosial politik yang dimiliki keduanya. Kedua, baik Habibie maupun Megawati belum memperoleh dukungan terbuka dari kekuatan politik lain. Bahkan pencalonan Habibie sesekali masih dipersoalkan oleh sebagian fungsio- naris Partai Golkar. Jadi, dalam konteks hasil pemilu ini menandakan bahwa politik kepresidenan masih merupakan every body’s game.31 Dengan demikian, realitas politik sangat me- negangkan. Pencalonan Habibie masih dipersoalkan oleh sebagian fungsionaris Partai Golkar, begitu juga Megawati belum didukung secara terbuka oleh kekuatan politik lain. Bahkan pencalonannya cenderung dipersoalkan oleh kiai di Jawa Timur dengan mengatakan tidak setuju presiden wanita karena alasan yang didasarkan pada penafsiran fiqih.32 Oleh karena itu, para elite pro-reformasi

31 Bahtiar Effendy, “Gus Dur dan Poros Tengah”, dalam Abd. Rohim Ghazali, Gus Dur Dalam Sorotan Cendekiawan Muhammadiyah, (Bandung: Mizan, 1999), h. 59-60. 32 Penolakan sebagian pers kepadanya, karena Habibie digambarkan sebagai tokoh yang akan membawa Indonesia menuju kehancuran, jika ia terpilih lagi, karena pers terlalu membesarkan kegagalannya dan mengecilkan keberhasilannya. Jadi, pers tidak dapat melihatnya secara proporsional. sedangkan penolakan kepada Megawati, karena kalangan Islam menganggapnya sebagai ancaman “perjuangan Islam”. Indikasinya, tingginya jumlah caleg non muslim PDI-P dan dominasi kalangan non Islam (Theo Syafei, Kwik Kian Gie, Sabam Sirait dan lain-lain) dalam menentukan kebijaksanaan PDI-P, diantaranya menolak masuknya syariat Islam (secara terbatas dan melalui proses demokratis)

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 183 dengan kendaraan Poros Tengahnya, melihat peluang emas untuk melibatkan diri dalam kompetisi memperebutkan kursi presiden bersama dua capres yang dinilai bermasalah, dengan mengajukan nama Gus Dur sebagai capres alternatif. Mulanya Gus Dur belum menjawab tawaran itu, tetapi akhirnya menyatakan sangat antusias menanggapi pencalonan dirinya sebagai presiden oleh Amien Rais. Ia yakin bahwa dukungan Amien kepadanya sangat tulus, begitu juga percaya, bahwa selain didukung kelompok “Poros Tengah”, anggota MPR dari Partai Kebangkitan Bangsa juga akan mendukungnya. Oleh karena itu, ia menyatakan siap bertarung dengan Habibie atau Megawati dalam memperebutkan kursi presiden mendatang.33 Katanya, ia tidak mengejar- ke dalam undang-undang seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, dan menolak masuknya pendidikan agama dalam sekolah umum di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Selain itu, adanya sikap PDI-P yang tidak ingin melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dan keengganannya untuk mengurangi fungsi sosial politik ABRI. Lihat Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), Cet. Ke-1, h. 54 dan 80. 33 Soedjono Dirdjosisworo, Aspirasi Dan Sikap Politik Gus Dur Di Tengah Reformasi Menuju Indonesia Baru, (Bandung: Mandar Maju, 1999), h. 27. Setidaknya ide Fraksi reformasi yang mengedepankan Gus Dur untuk bersaing dan siap cukup realistis, karena selain Gus Dur paling baik komunikasi politiknya dengan dua rivalnya, juga jumlah kursi partai-partai dalam fraksi reformasi di DPR sekitar 169. Jumlah kursi PDI-P ditambah jumlah kursi dari partai nasionalis lain (PKP, PNI Fron Marhaen, PNI Massa Marhaen, Partai IPKI dan PBTI) dan partai Kristen (PDKB) juga sekitar 169. Perhitungan ini mengabaikan kemungkinan tak bergabungnya PDI Budi Hardjono dan TNI dengan PDI-P. Sementara Partai Golkar yang kemungkinan didukung TNI, PDI

184 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi ngejar jabatan itu, tetapi tidak menolak ketika ditawari, sebagaimana hadis yang dikutip oleh KH. Abdullah Faqih, kiai asal Langitan, Tuban, Jawa Timur yang selalu menjadi rujukannya, bahwa seseorang dilarang mengejar jabatan. Tetapi, jika amanah itu datang, maka jabatan itu harus dipikul.34 Kesediaan dan kesiapan Gus Dur untuk me- nerima pencalonan oleh Amien Rais sebagai presiden, setelah sedikitnya ada tiga kali pertemuan yang dilakukan antara tokoh-tokoh Poros Tengah dengan kiai NU, masing-masing di Pesantren Langitan JawaTimur, di rumah Abdurrahman Wahid sendiri dan di Buntet Jawa Barat.35 Bahkan KH. Yusuf Hasyim, pamannya sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, juga ikut meyakinkannya agar dan PDR akan memperoleh suara di bawah jumlah dua kubu ini. Jadi, yang akan bersaing ketat adalah kubu Fraksi Reformasi dan kubu Fraksi PDI-P. Kemungkinan yang akan menang adalah Gus Dur, karena di antara anggota MPR dari Partai Golkar dan PDI-P ada orang-orang NU yang jumlahnya signifikan yang bisa memberikan suaranya untuk Gus Dur, terutama jika voting dilakukan secara tertutup. Lihat Saiful Mujani, “Fraksi reformasi”, dalam Ahmad Basyaib dan Hamid Abidin (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), Cet. Ke-1, h. 324-325. Lihat pula Salahuddin Wahid, Membaca Peluang “Poros Tengah” dalam Ahmad Basyaib dan Hamid Abidin (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah ? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), Cet. Ke-1, h. 333- 335. 34 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan- Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), Cet. Ke-1, h. 60. 35 Muhammad Najib, Ijtihad Poros Tengah dan Dinamika Partai Amanat Nasional, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 49.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 185 bersedia menerima pencalonan itu. Kesediaanya itu pertama kali ia sampaikan dalam acara yang digelar oleh BM PAN di Hotel Arya Duta. Kemudian, diulanginya dengan bahasa yang lebih lugas ketika memberi sambutan pada acara tasyakuran di rumahnya di Ciganjur dengan ungkapan “Pencalon- an Mega saja saya dukung, apalagi pencalonan diri saya sendiri.36 Berangkat dari penerimaan Gus Dur atas tawaran itu, maka persoalan lain yang perlu diperjuangkan adalah masalah mekanisme pemilihan presiden. Elite Poros Tengah, sebagaimana politisi Partai Golkar, memandang bahwa pemilihan Presiden Indonesia harus mengacu pada Pasal 6 UUD 1945, yaitu jika Megawati dari PDI-P yang me- menangi pemilu 1999 ingin memimpin pemerintahan, paling tidak ia harus memperoleh suara 50 persen plus satu di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

36 Ibid, h. 42-44. Dalam sejarah hubungan NU dan Muhammadiyah, belum pernah ada dukungan yang begitu besar dari “Muhammadiyah” kepada “Nahdlatul Ulama” atau sebaliknya. Oleh karena itu, keberanian Amien Rais, ketua umum PAN dan ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menjagokan Abdurrahman Wahid menjadi calon presiden merupakan catatan penting dalam sejarah politik Islam di Indonesia. Implikasi positifnya adalah digelarnya acara “pengajian bersama” yang diselenggarakan di Kantor PP Muhammadiyah, tanggal 26 September 1999. Pada kesempatan itu, Amien Rais menegaskan kembali dukungannya kepada Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden dari Poros Tengah. Lihat Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” atau “NU Dibodohi”?, Jejak langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002, Cet. Ke- 1, h.161-162.

186 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Sebaliknya, kaum nasionalis meyakini bahwa capres mereka telah berhak memimpin pemerintahan setelah pemilu, karena berdasar pada logika demokrasi yang paling mendasar, bahwa kekuasaan diberikan kepada partai pemenang pemilu.37 Oleh karena itu, ketika memasuki Sidang Umum MPR, yang dimulai tanggal 1 Oktober 1999, lobi-lobi antar partai semakin intensif mewarnai sidang itu, sehingga pada rapat paripurna pertama melalui voting, Poros Tengah berhasil mengalahkan PDI-P dan PKB dalam masalah jumlah dan jenis fraksi MPR serta komposisi MPR.38 Selanjutnya, dalam rapat paripurna kedua untuk menetapkan komposisi pimpinan MPR yang dilakukan melalui voting, koalisi PDI-P dan PKB lagi- lagi harus menderita kekalahan.39 Poros Tengah yang menjagokan Amien Rais, memperoleh 305 suara, sedangkan Matori Abdul Djalil dari kubu PDI-P dan PKB, memperoleh 279 suara.40 Menurut Amien Rais, keberhasilannya untuk naik menjadi ketua MPR tidak lepas dari restu Abdurrahman Wahid, yang diakui sebagai “Saudara Tua”.41 Terpilihnya Amien Rais

37 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 291-292. 38 Muhammad Najib, Ijtihad Politik Poros Tengah dan Dinamika Partai Amanat Nasional, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 49. 39 Ibid, h. 54. 40 Suharsono, Cemerlangnya Poros Tengah, (Jakarta: Parenial Press, 1999), h. 107. 41 Dalam pidato setelah terpilih sebagai ketua MPR, Amien Rais mengatakan, “Khusus saya mengucapkan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada saudara tua saya, my senior brother, yaitu KH.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 187 juga mendapatkan dukungan dari Rais ‘Am PBNU, KH. M. Ilyas Ruhyat, dengan menyatakan “Terpilih- nya Amien Rais menunjukkan bahwa demokrasi mulai terwujud”. Oleh karena itu, ia mengharapkan berbagai kalangan agar mendukung langkah-langkah Amien Rais berikutnya.42 Dalam pada itu, pada pemilihan ketua DPR, muncul nama Akbar Tanjung dan melalui voting, ia terpilih sebagai ketua DPR dengan memperoleh 411 suara dari 491 suara pemilih.43 Besarnya peluang Akbar Tanjung untuk terpilih menjadi ketua DPR, sebagaimana disampaikan oleh AM. Fatwa dari PAN dan Hamzah Haz dari PPP, juga tidak terlepas dari dukungan Poros Tengah.44 Dengan demikian, PDI-P setelah mengalami kekalahan tiga kali melalui voting di MPR, khususnya dalam memperebutkan kursi ketua MPR, membuktikan bahwa koalisi beberapa partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah plus Partai Golkar sangat solid dan efektif.45 Bahkan

Abdurrahman Wahid”. Amien mengakui,”Sesungguhnya, mula-mula menurut rekayasa manusia dan keinginan kami sebagai manusia yang duduk di sini bukan Amien Rais, tapi KH. Abdurrahman Wahid. Tetapi ternyata beliau yang selalu kontak dengan isyarat langit mengatakan, “Mas Amien, insya Allah anda saja yang sekarang ke sana (Ketua MPR), mudah-mudahan menjadi kenyataan. Lihat Kompas (Jakarta), 5 Oktober 1999, h. 1. 42 Muhammad Nadjib, Ijtihad Politik Poros Tengah dan Dinamika Partai Amanat Nasional, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 57. 43 Ibid, h. 61. 44 Ibid, h. 57. 45 Lobi-lobi politik selama berlangsungnya Sidang Umum MPR 1999, khususnya antara kekuatan politik Islam plus Partai Golkar dapat

188 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi tampilnya Amien Rais sebagai Ketua MPR, semakin melapangkan jalan bagi Abdurrahman Wahid untuk menjadi presiden. Sebaliknya, kekalahan demi kekalahan yang dialami oleh PDI-P dan PKB, menyebabkan partai terakhir goyah untuk meneruskan aliansinya dengan partai pertama. Dalam posisi yang dilematis, PKB akhirnya berpaling kepada KH. Abdurrahman Wahid,46 yang berarti dukungan terhadap Poros Tengah juga semakin kuat, sehingga menimbulkan kekhawatiran dan ancaman bagi kubu PDI-P. Oleh karena itu, untuk menghadang laju KH. Abdurrahman Wahid, beredar informasi tentang penetapan syarat kesehatan jasmani bagi calon presiden, suatu realitas yang mendorong Poros Tengah segera memiliki calon alternatif. Pilihan yang muncul jatuh kepada Nurcholis Madjid, yang meskipun tidak dicalonkan oleh salah satu fraksi di MPR,47 tetapi, dimungkinkan oleh tata tertib dengan

terjalin dengan baik berkat adanya jaringan yang bertumpu pada basis- basis organisasi di luar institusi kepartaian. Koneksi antaralumni HMI, PMII, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memegang peranan penting. Lihat Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 292. 46 Dukungan PKB secara resmi disampaikan dalam jumpa pers di ruang Komisi III, gedung MPR. Hadir dalam jumpa pers itu, ketua PKB Alwi Shihab dan Khofifah Indar Parawansa, Sekjen PKB, Muhaimin Iskandar, ketua Fraksi PKB MPR, Yusuf Muhammad dan Ali Masykur Musa. Lihat Kompas (Jakarta), 9 Oktober 1999, h. 3. 47 Muhammad Nadjib, Ijtihad Politik Poros Tengan dan Dinamika Partai Amanat Nasional, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 66.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 189 cara mendapatkan dukungan minimal 70 orang anggota MPR. Namun, wacana ini tidak sempat menguat, menyusul pernyataan Nurcholis Madjid, bahwa ia baru akan maju, jika Abdurrahman Wahid memintanya. Ketika membacakan laporan pertanggung- jawabannya sebagai presiden selama 512 hari dan kemudian ditolak oleh MPR melalui pemungutan suara, dengan perbandingan 355 suara menolak dan 322 suara menerima, 9 suara abstain dan 4 suara tidak sah,48 Habibie secara ksatria dan sportif menarik diri dari pencalonannya sebagai presiden.49 Dengan demikian, pengunduran dirinya secara otomatis melapangkan jalan bagi kubu PDI-P dan Poros Tengah untuk memperebutkan kursi presiden. Menjelang sidang paripurna MPR dengan agenda pemilihan presiden, secara tiba-tiba Fraksi Bulan Bintang, memunculkan Yusril Ihza Mahendra sebagai calon presiden. Inisiatif itu dilakukan oleh PBB untuk mengantisipasi jika KH. Abdurrahman Wahid mengundurkan diri dan memberikan jalan kepada Megawati untuk menjadi calon tunggal

48 Arief Mudatsir Mandan, Sidang Umum MPR RI 1999 Memilih Gus Dur Menjadi Presiden, (Jakarta: Forum Indonesia Satu, 2000), h. 151-152. 49 Setelah jelas hasil voting itu, di kediamannya Habibie menyempatkan diri untuk sujud syukur, dan menyatakan sebaik-baik rencana manusia, masih lebih baik lagi rencana Tuhan. Lihat Suharsono, Cemerlangnya Poros Tengah, (Jakarta: Parenial Press, 1999), h. 82.

190 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi presiden. Namun, untungnya sebelum proses pemilihan presiden berlangsung, Yusril mengundur- kan diri dan menyatakan dukungan kepada KH. Abdurrahman Wahid. Dengan demikian, hanya ada dua calon presiden. Megawati Soekarnoputri dan KH. Abdurrahman Wahid. Pemilihan dilaksanakan pada 20 Oktober 1999, melalui voting tertutup dan dalam penghitungan suara yang berlangsung dalam suasana tegang, terjadi saling kejar, tetapi, akhirnya KH. Abdurrahman memperoleh 373 suara, Megawati Soekarnoputri 313 suara, 9 suara abstain dan 4 suara dinyatakan tidak sah.50 Dengan demikian, KH. Abdurrahman Wahid, yang lahir pada tanggal 4 Sya’ban/7 September 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur terpilih sebagai presiden keempat menggantikan Prof. Dr. Bacharuddin Yusuf Habibie. Ia anak pertama dari enam bersaudara. Ibunya, Solichah,51 yang pernah menjadi salah satu pimpinan

50 Arief Mudatsir Mandan, Sidang Umum MPR RI 1999 Memilih Gus Dur Menjadi Presiden, (Jakarta: Forum Indonesia Satu, 2000), h. 158-159. 51 Ia dalam usia 14 tahun menikah dengan kiai Wahid Hasyim yang berusia dua puluh enam tahun. Tetapi, pada usia 38 tahun, Kiai Wahid Hasyim wafat dalam suatu kecelakaan mobil yang terjadi antara Cimahi dan Bandung. Dengan begitu, Solichah yang berusia 29 tahun mengambil alih fungsi suaminya sebagai ibu dan kepala keluarga dari keenam orang anaknya yang masih kecil dan Gus Dur saat itu baru berusia 12 tahun. Berkat ketekunan dan keuletannya dalam berusaha serta berkat belaian tangan dan kasihnya, keenam putra putrinya akhirnya tumbuh dewasa bahkan putra pertamanya, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui voting tertutup di MPR pada tanggal 20 Oktober tahun 1999 terpilih dan diambil sumpahnya, sebagai orang nomor satu, sebagai Presiden Keempat Negara Republik Indonesia.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 191 puncak PP Muslimat NU selama puluhan tahun adalah putri Kiai Bisri Syansuri, pendiri pesantren Denanyar, Jombang52 dan pernah menjadi Rais ‘Am NU tahun 1972-1980, masa Orde Baru, era pemerintahan Presiden Soeharto. Sedangkan ayah- nya, kiai A. Wahid Hasyim yang pernah menjadi Menteri Agama pada era pemerintahan Soekarno, sebagaimana kakeknya Kiai Hasyim Asy’ari adalah orang yang sangat dihormati oleh masyarakat menengah kota, karena kedekatannya dengan gerakan nasionalis yang memimpin perjuangan revolusioner melawan penjajah Belanda setelah akhir Perang Dunia II. Oleh karena itu, kedua orang ini secara resmi dikenang sebagai pahlawan nasional.53

52 Ada empat pesantren yang terbesar dari puluhan pesantren yang bertebaran di Jombang dan menorehkan peran penting dalam sejarah NU. Lokasinya seolah membentengi pusat Kota Jombang. Sebelah utara Pesantren Tambak Beras (Bahrul Ulum), sebelah selatan Pesantren Tebuireng, sebelah timur Pesantren Rejoso (Darul Ulum) dan sebelah barat Pesantren Denanyar (Mambaul Ma’arif). Selain itu, selama lebih dari setengah abad, NU dipimpin oleh tokoh asal pesantren-pesantren Jombang tersebut. KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng) menjadi Rais Akbar NU sejak berdiri tahun 1926 sampai meninggal tahun 1947. Diteruskan oleh KH. Wahab Hasbullah (Tambak Beras), saudara mindo (sepupu dua kali) KH. Hasyim Asy’ari, sebagai Rais ‘Am Syuriah tahun 1947-1972 dan disambung oleh KH. Bisri Syansuri (Denanyar), adik ipar KH. Wahab Hasbullah dan besan KH. Hasyim Asy’ari, tahun 1972-1980. Empat tahun setelah itu, KH. Abdurrahman Wahid (cucu KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Bisri Syansuri) menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU tahun 1984-1999. Jadi, baru tujuh tahun terakhir, posisi tertinggi Syuriah dan Tanfidziyah tidak diduduki oleh orang Jombang. 53 Dari garis ayahnya, ia keturunan ulama terkenal. Kakeknya Kiai Hasyim Asy’ari (lahir pada bulan Pebruari 1871 di Jombang dan meninggal pada bulan Juli 1947 di Jombang) adalah salah seorang pendiri dan Rais ‘Am sejak organisasi kemasyarakatan Nahdlatul

192 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Nama mereka sebagaimana juga nama pahlawan- pahlawan nasional lainnya, diabadikan sebagai nama-nama jalan di Jakarta Pusat. Kemenangan Poros Tengah melalui KH. Abdurrahman Wahid disambut oleh para pen- dukungnya di dalam gedung MPR dengan Shalawat Badar, lagu “kebangsaan NU”, dan dengan mengangkat tangan Megawati Soekarnoputri, KH. Abdurrahman Wahid berteriak “merdeka”. Ia me- nyampaikan terima kasih kepadanya dan me- nyerukan agar Megawati Soekarnoputri serta para pendukungnya dilindungi.54 Sebaliknya, para pen- dukung PDI-P justru bereaksi marah dengan melakukan demonstrasi-demonstrasi emosional di

Ulama (NU) didirikan pada tahun 1926 sampai 1947, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng yang sangat terkenal, seorang guru yang banyak memberi inspirasi sekaligus sebagai seorang terpelajar dan seorang nasionalis yang teguh dalam pendirian, sehingga Pemerintah Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 294 tanggal 17 Nopember 1964, mengangkatnya sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional. Bahkan bila ditarik ke atas lagi, keturunan kakeknya akan sampai pada Brawijaya V, raja terakhir yang berkuasa pada Kerajaan Majapahit abad XV. Jadi, KH. Abdurrahman Wahid adalah seorang ulama keturunan darah biru. Lihat H. Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta Panitia Buku Peringatan al-Marhūm KH.A. Wahid Hasyim, 1957), h. 958. Heru Soekardi, Kiai Haji Hasyim Asy’ari, (Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979/1980), 121. Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 6 dan 47. Greg Barton, Biografi Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2003), Cet. Ke-1, h. 25-27. 54Arief Mudatsir Mandan, Sidang Umum MPR RI 1999 Memilih Gus Dur Menjadi Presiden, (Jakarta: Forum Indonesia Satu, 2000), h. 159.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 193 beberapa kota, tetapi kemudian mereda setelah Megawati Soekarnoputri menjadi Wakil Presiden mendampingi Presiden KH. Abdurrahman Wahid.55 Pesta demokrasi yang berlangsung sejak awal pelaksanaan pemilu dan berakhir dengan terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid melalui voting tertutup di Gedung MPR/DPR dinilai oleh sejumlah lembaga pemantau pemilu independen sudah jauh lebih baik dan memenuhi syarat-syarat sebagai “free and fair election”, dibanding dengan pemilu-pemilu masa Orde Baru. Namun, tidak dapat dipungkiri masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran baik sebelum maupun sesudah pemilu berlangsung.56 Blair King, pelaksana program National Democratic Institute (NDI), lembaga pendorong demokrasi yang bermarkas di Wasingthon D.C., mengatakan “Indonesia mampu menyelenggarakan pemilu yang serba baru, baik sistem dan peserta pemilu maupun penyelenggaranya, dan secara relatif cukup baik dibandingkan dengan penyelenggaraan pemilu

55 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 670. 56 Dalam pemantauan KIPP ada lima pelanggaran yang paling menonjol dalam pemilu kali ini, yaitu Tempat Pemungutan Suara (TPS) tidak netral (misalnya di gedung pemerintah) sebanyak 13.785 kasus (13,62 %), peralatan TPS tidak lengkap sebanyak 13.696 kasus (13,53 %), pembukaan TPS tidak tepat waktu 10.719 kasus (10,59 %), kotak suara tidak kosong 8.310 kasus (8,21 %) dan pemilih ganda 8.282 kasus (8,18 %). Lihat Pax Benedanto (et.al), Pemilihan Umum 1999, Demokrasi atau Rebutan Kursi?, (Jakarta: LSPP, 1999), h. 32.

194 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi transisional di negara lain, misalnya di Thailand”.57 Bahkan pada pelaksanaan pemilu tahun 2004,58 demokrasi telah mengakar dengan cara mengesan- kan. Di mana-mana dan di lokakarya berkembang perbincangan yang sangat menghangatkan, sehingga pantaslah bila karena prestasinya itu, kemudian Indonesia menerima ‘Menerima Medali Demokrasi.’59

57 Pax Benedanto, (et. al), Pemilihan Umum 1999; Demokrasi atau Rebutan Kursi?, (Jakarta: LSPP, 1999), h. 30. 58 Pemilu tahun 2004 didasarkan pada Undang-Undang Pemilu No. 12 tahun 2003 yang menampilkan perubahan dibandingkan aturan sebelumnya. Undang-Undang itu menyatakan bahwa pemilu 2004 akan memilih anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan empat anggota Dewan Perwakilan Daerah dari masing-masing propinsi melalui sistem pemilu yang disebut dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Oleh karena itu, sesuai jadwal, pada bulan April 2004 diselenggarakan pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada tingkat Propinsi dan pada tingkat Kota atau Kabupaten dan instansi baru Dewan Perwakilan Daerah di Pusat. Pada bulan Juli 2004 diselenggarakan pemilihan presiden (pilpres) putaran pertama dan pada bulan September 2004 diselenggarakan pemilihan presiden (pilpres) putaran kedua. Pada pilpres putaran pertama terdapat lima pasangan calon presiden dan wakil presiden, yaitu Jendral (purn.) Wiranto dari Partai Golkar dengan Salahuddin Wahid dari NU, Megawati Soekarnoputri dari PDIP dengan Hasyim Muzadi dari NU, Amien Rais dari PAN dengan Siswono Yudo Husodo yang dulu dari Golkar, Susilo Bambang Yudoyono dari Partai Demokrat dengan Yusuf Kalla dari Partai Golkar dan NU, dan Hamzah Haz dari PPP dengan Agum Gumelar dari TNI. Sedangkan pada pilpres putaran kedua terdapat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat dengan Yusuf Kalla dari Partai Golkar dan NU serta Megawati Soekarnoputri dari PDIP dengan Hasyim Muzadi dari NU. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 679-683. Lihat pula Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 309. 59 RI Terima Medali Demokrasi, Republika, (Jakarta), 13 Nopember 2007, h. 1.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 195 Azyumardi Azra menandaskan bahwa sejauh ini belum ada model ideal demokrasi di negara muslim. Yang sering disebut adalah Turki. Tetapi, negara ini menganut demokrasi sekuler yang cenderung bermusuhan dengan agama. Sebaliknya “Demokrasi Indonesia” tidak bermusuhan terhadap agama; tetapi pada saat yang sama, Indonesia bukanlah negara agama. Oleh karena itu, kasus Indonesia bisa menjadi model alternatif bagi kompatibilitas Islam dan demokrasi.60 Islam di Indonesia, demikian Robert W. Hefner, (antropolog Boston University) berkata, punya modal sosial yang bisa menyumbang demokratisasi.61 Oleh karena itu, tepat jika Jimmy Carter, mantan Pesiden Amerika Serikat, kemudian lanjut mencatat bahwa: “Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Mayoritas penduduk ketiga negara itu berasal dari agama yang berbeda. India dengan penduduk 1,069 milyar, 81 % beragama Hindu (865 jutaan), Amerika berpenduduk 290 juta, 56 % beragama Protestan (162 jutaan) dan Indonesia berpenduduk 220 juta, 88 % beragama Islam (193 jutaan). Jadi fakta ini meneguhkan tesis bahwa demokrasi bisa diserap masyarakat dengan berbagai latar belakang agama. Tergantung

60 Harmonisasi Islam dan Demokrasi, Gatra Edisi Khusus, (Jakarta), 27 Nopember 2004, h. 12. 61 Ibid, h. 13.

196 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

bagaimana si pemeluk agama memaknai doktrin agamanya dalam merespon demokrasi.”62 Terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid sebagai presiden keempat pada negara berpenduduk mayoritas muslim dan memiliki legitimasi yang kuat,63 merupakan babak baru dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Keberadaan dan posisinya sebagai orang nomor satu, telah mengangkat citra kelompok Islam santri yang selama ini diletakkan pada posisi marjinal dan membuktikan bahwa kelompok santri dapat tampil sejajar dengan kelompok nasionalis.64 Selama 21 bulan

62 Ibid, h. 12. Lihat pula Azyumardi Azra, “Islam dan Politik Luar Negeri”, Republika, (Jakarta), 7 Desember 2006, h. 12. 63 Legitimasi itu ditandai oleh sedikitnya empat faktor. Pertama, secara materiil, pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid merupakan hasil pemilu 1999, yang cukup demokratis. Kedua, legitimasi pemerintahannya diperoleh dari dimensi-dimensi simbolisnya sebagai politisi yang memiliki kharisma luar biasa di massa pendukungnya. Ketiga, secara psikopolitik, pemerintahannya sebagai pemerintahan baru, bersentuhan dengan ekspektasi publik yang tengah meluap-luap dan menginginkan perubahan. Ia seorang tokoh yang dipandang belum tercemar oleh noda Orde Baru. Keempat, pemerintahannya menjanjikan perbaikan mendasar terhadap kondisi materiil masyarakat yang diterpa kemiskinan akibat krisis moneter. Lihat Anas Urbaningrum, “Legitimasi Gus Dur”, Panji Masyarakat, IV, 02 (April, 2000), h. 27. 64 Selama Orde Baru, pada masa kekuasaan Soeharto warga NU (simbol komunitas kaum santri) termarjinalkan. Tetapi dengan tampilnya Gus Dur sebagai presiden jelas telah menaikkan popularitas dan citra NU dalam kontelasi perpolitikan nasional. Oleh karena itu, pantas jika warga NU di berbagai daerah di seluruh Indonesia, kemudian mengekspresikan kegembiraannya dengan berbagai hajatan dan tasyakkuran. Bahkan sebuah perusahaan bus antar kota di Jawa Timur membebaskan para penumpangnya sehari penuh naik bus tersebut tanpa bayar dari dan ke berbagai jurusan, baik bus antar kota di wilayah Jawa Timur maupun antarprovinsi. Lihat Halaqah, P3M, Edisi XI/2000, h. 5.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 197 pemerintahannya, ia telah mencatat berbagai keberhasilan. Pertama, melakukan reposisi terhadap peran sosial-politik TNI. Kedua, menumbuhkan kepercayaan dunia luar terhadap Indonesia. Ketiga, melanjutkan diberikannya kebebasan pers, bahkan akhirnya sampai kebablasan. Keempat, adalah demokratisasi dan penegakan hak-hak sipil.65 M.C. Ricklefs lebih lanjut menambahkan, bahwa pada masanya, polisi dipisahkan dari militer, sehingga ABRI tidak lagi menjadi entitas tunggal, bahkan pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi pada masa Soeharto dikejar dengan semangat lebih tinggi.66

65 Keberhasilan lainnya, bahwa pemerintah telah membuat tiga pedoman dalam proses penentuan dan pemilihan Dirut Pertamina sebagai model penentuan dan pemilihan dirut BUMN lainnya. Tiga pedoman itu adalah sang calon harus mempunyai konsep mengenai pengembangan Pertamina ke depan, harus bersikap transparan dan harus jujur dan hidup sederhanan. Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-Catatan pendek Salahuddin Wahid, (Jakrta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), Cet. Ke-1, h. 223 dan 255. 66 Kekuatan militer secara internal terpecah-belah dan beberapa perwira diselidiki atas tuduhan pelanggaran HAM dan korupsi. Soeharto berusaha menghindar introgasi dengan alasan sakit, tetapi penyelidik mulai mendapatkan gambaran yang jelas tentang dana milyaran yang dipegang oleh yayasan yang diketuai Soeharto, proses desentralisasi yang termasuk di dalamnya penyerahan sumberdaya ekonomi dan politik mulai dijalankan, tetapi peluang korupsi dan penyimpangan bertambah luas. Jadi tantangan yang paling mendasar bagi bangsa ini adalah memulihkan ekonomi, memperbaiki kondisi sosial masyarakat dan memulihkan kembali negara hukum dengan merombak hampir seluruh sistem hukum. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200- 2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 673.

198 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Namun demikian, pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid banyak pula kegagalannya, sehingga ia dinilai tidak mampu mengemban tugas sebagai presiden. Pemerintahannya tidak berjalan baik dan tidak berbuat banyak dalam menangani masalah sosial dan ekonomi, yang ditandai dengan semakin meluasnya kesulitan ekonomi dan terus berlanjutnya kerusuhan antaretnis.67 Bahkan kinerja pemerintahan yang buruk itu menjadi semakin buruk, ketika pemerintah seringkali membuat kebijakan yang bertentangan dan melanggar Undang- Undang, Tap MPR dan GBHN serta mengeluarkan pernyataan yang kontroversial.68

67 Di Maluku terjadi pembunuhan antara umat Islam dan Kristen, lebih kurang seribu orang tewas sepanjang tahun 1999. Di Jakarta, sekitar 300.000 orang berdemonstrasi menanggapi peristiwa itu dengan menuntut adanya jihad terhadap umat Kristen, sehingga muncul organisasi Laskar Jihad tahun 2000. Di Lombok, umat Kristen diserang dan harus dievakuasi, bahkan di Yogyakarta terjadi kerusuhan anti Kristen secara kecil-kecilan. Di Aceh terjadi kekerasan antara kaum separatis dan aparat keamanan bahkan konflik bersenjata pun terus berkobar. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 671-672. 68 Pernyataan KH. Abdurrahman Wahid yang dinilai kontroversial dan melanggar Undang-Undang dan lain sebagainya itu, misalnya bahwa pemicu dari kerusuhan di Maluku, karena tindakan menganakemaskan ummat Islam oleh pemda, keputusannya untuk menaikkan gaji Presiden dan/atau Wakil Presiden, menteri dan para pejabat tinggi lainnya dalam jumlah yang fantastis dan menaikkan tunjangan pejabat struktural sampai ribuan persen, keputusan perimbangan keuangan antara pemerintah daerah 75 persen dan pemerintah pusat 25 persen, keinginannya untuk membuka hubungan dagang dengan Israel, pemberhentian beberapa menteri (Yusuf Kalla dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Laksamana Sukardi dari Menteri Negara Pembinaan BUMN dan Hamzah Haz dari Menko Kesra) karena alasan

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 199 Kebijakan yang dipandang melanggar Undang- Undang, Tap MPR dan GBHN serta pernyataan yang kontroversial ini, kemudian dijadikan alasan DPR untuk mempertimbangkan kembali mandat yang sudah diberikan oleh MPR kepadanya, pada Sidang Tahunan, Agustus 2000, bahkan realitas itu diperparah lagi oleh adanya dugaan penyelewengan dana Yanatera Bulog dan dugaan penyalahgunaan dana hibah dari Sultan Brunei darussalam yang melibatkan Presiden KH. Abdurrahman Wahid. Greg Barton dalam kaitannya dengan skandal ini men- jelaskan, bahwa pemecatan Laksamana Sukardi, empat juta dolar yang diambil dari Bulog oleh Suwondo (yang kemudian dikenal dengan skandal Buloggate), dan kemudian pemberian dua juta dolar dari Sultan Brunei (juga dijuluki Bruneigate) sangatlah merusak reputasi Gus Dur.69 Bahkan

KKN secara tiba-tiba, pengusulan pencabutan Tap MPR XXV/1966 tentang larangan ajaran komunisme, memerintahkan penangguhan hukum tiga konglomerat, menghentikan Kapolri Rusdihardjo dan mengangkat Kapolri tanpa persetujuan DPR dan lain sebagainya dianggap telah melanggar TAP MPR. Lihat Media Indonesia, 22 Nopember 2000. 69 Diketahui dana Yanatera Bulog ini selain melibatkan Suwondo (seorang keturunan Cina yang dikenal sebagai tukang pijet Gus Dur), juga melibatkan orang dekat Gus Dur lainnya yaitu Siti Farikha (pengusaha dari Semarang), Aris Junaidi (pengurus GP Ansor) dan Haji Masnuh, bahkan melibatkan Wakil Kepala Bulog, Ir. Sapuan, yang berperan mencairkan dana itu. Pada akhirnya sebagian dana itu dikembalikan kepada negara, dan hanya Suwondo yang diproses secara hokum. Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2003), Cet. Ke-1, h. 401-402. Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 214.

200 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi menurut Bahtiar Effendy, perkembangan kedua kasus terakhir itu membuat kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid tidak efektif, yang disebabkan oleh merosotnya tingkat kepercayaan sebagian besar anggota parlemen dan masyarakat terhadap presiden. Implikasinya, kemungkinan lepasnya kursi ke- presidenan.70 Buktinya, Ketua DPR, Akbar Tandjung, berpendapat bahwa kedua kasus itu dapat menjadi pintu masuk untuk menggiring KH. Abdurrahman Wahid ke Sidang Istimewa (SI) MPR.71 Sebaliknya, Salahuddin Wahid berpendapat bahwa soal Pansus Bruneigate dan Buloggate hanyalah upaya mencari- cari kesalahan KH. Abdurrahman Wahid, sementara, banyak kasus yang lebih besar seperti kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang jumlahnya sampai trilyunan rupiah tidak mereka perdulikan.72 Terlepas dari polemik itu, DPR akhirnya membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki dua kasus skandal itu, dan hasilnya kemudian disidangkan secara paripurna di DPR RI pada akhir Januari 2001, yang kemudian menghasil-

70 Bahtiar Effendy, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal, Retaknya Hubungan NU, Presiden, dan Negara, (Jakarta: Ushul Press, 2005), Cet. Ke-1, h. 85. 71 Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” atau “NU Dibodohi”?, Jejak langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), Cet. Ke-1, h.195. 72 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan- Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), Cet. Ke-1, h. 256-257.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 201 kan Memorandum I, yang isinya adalah meminta penjelasan dari KH. Abdurrahman Wahid tentang dugaan penyalahgunaan dana non budgetter Bulog dan hibah dari Sultan Brunei.73 Sebagai respon atas permintaan itu, maka KH. Abdurrahman Wahid memberikan penjelasannya di hadapan Sidang Paripurna DPR pada tanggal 30 April 2001. Kecuali para anggota Fraksi PKB dan Fraksi PDKB, para anggota fraksi partai lainnya secara umum tidak merasa puas, sehingga DPR mengeluarkan Memorandum II, yang intinya semakin luas, karena bukan hanya meminta pertanggungjawaban KH. Abdurrahman Wahid atas dana non budgeter Bulog dan hibah Sultan Brunei, melainkan juga menjangkau soal kinerja Presiden. Sebagai tanggapan terhadap perkembangan yang semakin “tidak sehat” itu, massa populis pendukung fanatik KH. Abdurrahman Wahid menjadi sangat emosional dan marah. Mereka berdemonstrasi, berunjuk rasa damai, berdo’a bersama (istighatsah)74

73 Dalam kaitan ini, Gus Dur juga dituduh tetap melanggengkan praktek KKN yang antara lain ditunjukkan oleh keterlibatan adik kandungnya Hasyim Wahid. Semua itu dianggap oleh Gus Dur sebagai upaya menjelek-jelekkan pemerintahan dan dirinya. Oleh karena itu, timbullah reaksi berupa demonstrasi dan “pendudukan” massa pendukung Gus Dur yang tergabung dalam Banser NU. Laode Ida, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 214. 74 Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” atau “NU Dibodohi”?, Jejak langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002, Cet. Ke-1, h.197.

202 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi dan bahkan melakukan pengrusakan terhadap gedung Partai Golkar dan fasilitas Muhammadiyah di Jawa Timur, suatu realita yang oleh para elite NU di Jakarta dan Jawa Timur disikapi dengan menyatakan bahwa mereka tidak bisa lagi mengendalikan tindakan emosional pendukung Gus Dur.75 Sebaliknya, DPR tidak bergeming, diam seribu bahasa dan menyatakan tetap tidak merasa puas dengan jawaban KH. Abdurrahman Wahid, sehingga melalui rapat paripurna pada akhir Mei 2001 menetapkan untuk melangsungkan Sidang Istimewa (SI) MPR pada awal Agustus 2001, tetapi kemudian dipercepat beberapa hari, yakni tanggal 21-26 Juli 2001.76 Pada Sidang Istimewa MPR antara tanggal tersebut, KH. Abdurrahman Wahid melalui Tap MPR No. III/MPR/2001, diberhentikan dari jabatannya

75 Ibid., h. 199. 76 Skenario awalnya, bahwa MPR bakal mengelar sidang tahunan pada 1-10 Nopember 2001 untuk menghindari penilaian bahwa MPR, sebagai lembaga tertinggi, hanya bersidang sekali dalam lima tahun, sesuatu yang telah berjalan selama tiga dasawarsa. Seperti pengalaman sidang tahunan Agustus 2000, pertemuan itu akan diwarnai oleh berbagai laporan perkembangan (progress report) lembaga-lembaga tinggi negara serta aneka putusan dan ketetapan penting MPR. Namun, karena soal-soal teknis yang berguna bagi penyelesaian krisis menjadi berantakan gara-gara tindakan-tindakan yang mengganggu kohesi nasional, baik pada tingkat individu, atau daerah, maka Sidang Tahunan dipercepat dari jadwal yang sudah diagendakan, bahkan substansinya juga diubah menjadi Sidang Istimewa. Lihat Bahtiar Effendy, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal, Retaknya Hubungan NU, Presiden, dan Negara, (Jakarta: Ushul Press, 2005), Cet. Ke-1, h. 83.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 203 dan mengangkat Megawati Soekarnoputri77 menjadi Presiden menggantikannya. Selanjutnya, melalui voting tertutup Hamzah Haz memperoleh suara terbanyak, sehingga MPR menetapkannya sebagai Wakil Presiden78 mendampingi Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima Republik Indonesia.

77 Di samping persoalan yang melilit Presiden, sebenarnya antara Gus Dur dengan Megawati sebagai Wakil Presiden ada ketidakcocokan dan mencapai puncaknya ketika Laksamana Sukardi diberhentikan dari jabatannya sebagai Menteri Negara BUMN. Oleh karena itu, mengusulkan Megawati untuk mundur sambil meniru langkah Hatta adalah hal yang bersifat “jauh panggang dari api.” Menurut Bahtiar Effendy ada perbedaan antara Megawati dengan Gus Dur yang tidak bisa disamakan dengan perbedaan yang ada pada Soekarno dan Hatta. Pertama, Hatta mundur lebih disebabkan oleh perbedaan mengenai arah mana Indonesia ketika itu hendak ditujukan. Konflik yang ada pada Megawati dan Abdurrahman Wahid dipicu oleh persoalan yang bersifat politis, dengan mengganti sejumlah menteri dengan alasan yang tidak jelas. Kedua, baik Megawati maupun Abdurrahman Wahid sebenarnya lebih merupakan pemimpin yang bersifat “pencipta solidaritas”. Karenanya, jika muncul konflik di antara keduanya, sulit diharapakan salah satu di antara mereka akan mengalah, apalagi mundur. Ketiga, tidak seperti Hatta, Megawati adalah seorang pimpinan partai politik besar. Meskipun berkedudukan sebagai Wakil Presiden, ia adalah Ketua Umum PDIP. Dengan posisi seperti itu, ia harus memainkan peran ganda, yang seringkali tidak sinkron. Sebagai Wakil Presiden, bisa saja ia mengalah atas kebijakan yang digariskan Presiden. Tetapi ketika kebijakan itu dirasa keluar dari mandat yang diberikan oleh MPR, Megawati akan memainkan posisi Ketua Umum PDIP melalui orang- orangnya di parlemen. Dari perspektif inilah, Megawati menyatakan bahwa memorandum merupakan hal yang konstitusional, dan SI adalah sesuatu yang tak terelakkan harus dipahami.Lihat Bahtiar Effendy, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal, Retaknya Hubungan NU, Presiden dan Negara, (Jakarta: Ushul Press, 2005), cet. Ke1, h. 87-89. 78 Pasal 8, Ayat 2, UUD 1945 yang diamandemen tertera rumusan bahwa dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat- lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari

204 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Sebagai presiden kelima, Megawati melanjutkan sisa waktu pemerintahan yang ditinggalkan oleh presiden sebelumnya dan ia masih bisa berlaga dan mencalonkan kembali sebagai presiden pada pemilu berikutnya tahun 2004.79 Selama pemerintahannya, Megawati harus menghadapi tantangan yang berat sekali, mulai dari KKN, terorisme, desentralisasi dan otonomi daerah. KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) merupakan semacam ‘pajak’ tidak resmi atau pungutan liar (pungli) yang menghambat pemulihan ekonomi Indonesia, sehingga banyak orang menilai bahwa pada masanya KKN malah lebih buruk dibandingkan dengan di era Soeharto.80 Terorisme juga sangat mengganggu harapan banyak orang. Baru beberapa bulan menjadi Presiden, Megawati dikejutkan oleh serangan bom dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Dalam hal ini terdapat tiga calon Wakil Presiden yang mengemuka dan menjadi pembicaraan, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusril Ihza Mahendra mewakili daerah dan Hamzah Haz mewakili partai. Tetapi dalam pemilihan yang dilakukan lewat voting tertutup, Hamzah Haz terpilih menjadi Wakil Presiden. Bisa jadi, terpilihnya Hamzah dari PPP dan atau unsur NU sebagai kompromi, dan akomodasi bagi warga NU setelah diberhentikannya KH. Abdurrahman Wahid dari kedudukannya sebagai Presiden. Lihat Bahtiar Effendy, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal, Retaknya Hubungan NU, Presiden, dan Negara, (Jakarta: Ushul Press, 2005), Cet. Ke1, h. 83. 79 Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 yang dimandemen terdapat rumusan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali dalam masa jabatan. 80 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 675.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 205 pesawat al-Qaedah di New York dan Washington, tanggal 11 September 2001 yang menewaskan 3000 orang. Di Indonesia, kelompok yang bersimpati dengan al-Qaedah dipimpin oleh bekas mujahidin yang berpengalaman di Afghanistan turun ke jalan. Mereka mencela dan mengecam rencana Amerika dan sekutu-sekutunya untuk menyerang Afghanistan yang saat itu masih diperintah oleh kelompok Taliban. Bahkan di Indonesia sendiri sudah meng- alami banyak kasus pengeboman sejak tahun 1970- an,81 dan berdasarkan investigasi diduga pelakunya

81 Sejak tahun 1998 serangan pengeboman meningkat, misalnya 11 Desember 1998 bom di Plaza Atrium, Senen, Jakarta; 2 Januari 1999 di Toserba Ramayana, Jakarta; 9 Pebruari 1999 di Plaza Hayam Wuruk, Jakarta; 19 April 1999 di Masjid Istiqlal, Jakarta; 28 April dan 9 Mei 2000 di Gereja Kristen Protestan Indonesia dan Gereja Katholik, Medan; Agustus 2000 di Kedutaan Besar Philipina, Jakarta; 13 September 2000 di Bursa Efek Jakarta yang mengorbankan 10 orang; pada malam Natal Desember 2000, 38 bom ditempatkan di 11 kota di seluruh Indonesia, yang menewaskan 19 orang; Januari 2001 bom di Pasar Minggu, Jakarta; Maret 2001 di Rumah Sakit saint Carolus, Jakarta; 10 Mei 2001 di Yayasan kesejahteraan Mahasiswa Iskandar Muda, Jakarta, yang menewaskan 3 orang; Juli 2001 di Gereja santa Anna, Jakarta; Agustus dan September 2001 di Plaza Atrium, Senen, Jakarta; Juni 2002 di Hotel Jayakarta, Jakarta; 1 Juli 2002 di Mal Graha Cijantung, Jakarta; Oktober 2002 di Bandung Supermal dan Istana Plaza, Bandung; 12 Oktober 2002, di Sari Club dan Paddy’s Bar, Kuta, Bali, yang menewaskan 202 orang dari 22 negara, kebanyakan turis muda. Di antara yang tewas, 88 orang warga Australia, dan 38 orang warga negara Indonesia, di samping 200 orang terluka; 5 Desember 2002, di Mal Ratu Indah, Makasar yang menewaskan 3 orang; 27 April 2003 di Bandara Soekarno-Hatta; 5 Agustus 2003 di Hotel Marriott, Jakarta, yang menewaskan 13 orang, 12 orang di antaranya orang Indonesia dan melukai 74 orang dan pada 9 September terjadi ledakan di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, h. 676-678.

206 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi merupakan suatu jaringan radikal/terorisme yang berani menamakan diri Jamaah Islamiyah, karena jaringan ini juga bertanggung jawab untuk bom-bom yang terjadi pada malam natal 2000 dan beberapa kasus lain yang pada saat terjadi tidak berhasil diungkapkan oleh polisi. Mereka secara umum bertujuan untuk mendirikan suatu negara Islam di Asia Tenggara. Tetapi, tetap ada dugaan lain bahwa oknum-oknum tertentu dalam militer telah memain- kan kelompok-kelompok itu untuk kepentingan sendiri, terutama untuk membuktikan bahwa pengaruh militer atas urusan negara seharusnya dikuatkan lagi. Dalam pada itu, soal desentralisasi juga telah membatasi pemerintah pusat untuk mengatasi persoalan-persoalan. Kinerja pemerintahan daerah sangat berbeda. Ada yang dipimpin oleh tokoh yang berbakat, tetapi, ada juga yang kurang terampil dan korup, bahkan kriminal. Selama tahun 2004, cukup banyak anggota DPRD di seluruh Indonesia dituduh melakukan korupsi, ditangkap oleh polisi dan diadili. Jadi kasus-kasus itu membuktikan bahwa Indonesia masih mengalami kesulitan dengan KKN, di samping juga mengindikasikan bahwa dasar hukum negara mulai menguat, suatu yang memberikan harapan kepada banyak orang. Selain itu, di beberapa daerah,

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 207 terutama Aceh dan Irian Jaya/Papua,82 ada gerakan yang ingin menambah otonomi, malah ingin melepaskan diri dari Indonesia. Di Papua, pada bulan Nopember 2001, seorang pemimpin gerakan ke- merdekaan, Theys Eluay, dibunuh dan pembunuh- nya, 7 anggota TNI dihukum penjara. Di Aceh, terjadi konflik berdarah yang melibatkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan TNI/Polri, suatu konflik yang menyebabkan keduanya dituduh melanggar hak asasi manusia. Meskipun demikian, ada beberapa kemajuan yang dicapai oleh pemerintahan Megawati. Investasi mulai mengalir baik dari luar maupun dari dalam negeri. Tetapi, investasi itu belum dapat mengatasi persoalan pengangguran dan kemiskinan. Berdasar- kan informasi terakhir menunjukkan bahwa selama 1999-2000, persentase penduduk di bawah garis kemiskinan turun dari 23 % menjadi 18 %, tetapi mereka tetap terancam kalau ada syok ekonomi lagi. Selain itu, kemajuan lain yang dicapai pemerintahan Megawati adalah bahwa demokrasi telah mengakar dengan cara yang mengesankan, yang ditandai dengan terselenggaranya pemilu 2004, langsung, jujur, bebas dan rahasia, sehingga menempatkan Indonesia sebagai model yang dapat menjadi

82 Taufik Abdullah, Nasionalisme & Sejarah, (Bandung: Satya Historika, 2001), h. 184-185.

208 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi alternatif bagi model Turki yang kian tidak menarik bagi banyak kaum muslim.83

B. Bangkitnya Ragam Partai Politik Dalam Bingkai Kekuasaan Era Reformasi Sejalan dengan terjadinya krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun 1997 dan diikuti dengan mundurnya Soeharto dari kursi kekuasaan- nya pada bulan Mei 1998, yang ditandai dengan peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Baharudin Jusuf Habibie, maka dimulailah sejarah baru politik Indonesia. Sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4, B.J. Habibie mempunyai tugas, salah satunya adalah melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) secepatnya untuk membentuk pemerintahan yang memiliki legitimasi. Untuk itu, konsep otonomi daerah diperkenalkan, kesempatan mendirikan partai politik yang akan ikut ambil bagian pada Pemilu 1999 dibuka dan paket Undang-Undang Politik dicabut.84

83 Harmonisasi Islam dan Demokrasi, Gatra Edisi Khusus, (Jakarta), 27 Nopember, 2004 , h. 12. 84 Pada masa Orde Baru Undang-Undang Politik yang restriktif dan diskriminatif, yaitu (1). UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu, Anggota- anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan diubah dengan UU No. 4 tahun 1975 jo UU No. 1 tahun 1980 jo No. 1 tahun 1985; (2). UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD diubah dengan UU No. 5 tahun 1975 jo UU No. 2 tahun 1985 jo No. 5 tahun 1985; (3). UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya diubah dengan UU No. 3 tahun 1985; (4). UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi kemasyarakatan diganti dengan

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 209 Dengan demikian, sistem tiga partai yang dipaksakan oleh rezim Soeharto dihapus dan karena itu, para elite agama, elite masyarakat, elite pendidikan, elite budayawan dan seniman, elite politik dan elite agama ramai-ramai dan bersuka cita mendirikan partai,85 ada yang sekuler dan ada pula yang berasaskan Islam. Khusus yang terakhir terjadi beda pendapat tentang perlu tidaknya mendirikan partai Islam. Kuntowijoyo, budayawan dan sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, berpendapat bahwa pembentukan partai politik (parpol) Islam adalah sebuah kesalahan fatal. Ada enam alasan sosio-historis bagi pendapatnya, sebagai berikut: Pertama, terhentinya mobilitas sosial, kalau kaum santri kembali berpolitik, sebaliknya kaum abangan mengalami mobilitas vertikal pasca 1965, karena yang terakhir tidak mempunyai tanggung jawab sosial dalam penyebaran agama, sehingga dana, perhatian dan tenaga dapat

Perundang-undangan Politik yang lebih demokratis, yaitu (1). UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik; (2). UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu, (3). UU No. 4 tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Lihat Muhammad Tohadi. Oase Kebangsaan, (Jakarta: Lembaga Kajian Wacana Indonesia, 2000), h. 141-142. 85 Ketika terjadi “liberalisasi politik” dan “Euphoria Politik”, rakyat mengekspresikan luapan politiknya dalam bentuk yang beragam. Bila rakyat kelas bawah (grassroot) mengekspresikan luapan politiknya dalam bentuk hura-hura, kekerasan massa, pengrusakan dan penjarahan kolektif, maka rakyat kelas atas dalam berbagai macam profesi, mengekspresikan luapan politiknya dengan melakukan gerakan-gerakan dan aksi-aksi, membentuk kelompok oposisi, memperkuat peran LSM dan mendirikan partai politik.

210 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

dicurahkan untuk pembinaan SDM, sementara kaum santri yang terpinggirkan secara politik pada era 1970-1990 justru berhasil naik ke atas. Kedua, terbentuknya integrasi umat hasil konvergensi sosial yang terjadi selama era 1970- 1990 justru akan berubah menjadi disintegrasi umat, dengan berdirinya parpol Islam aliran tradisionalis, modernis dan puritan, karena ketiganya akan lebih menonjolkan perbedaan (ciri khas) dari pada persamaan. Ketiga, umat menjadi miopis, hanya mampu melihat realitas- realitas yang dekat. Karena orientasi politik adalah kekuasaan, sedang kekuasaan dalam kaitannya dengan agama, tidak menjamin penyebaran agama, sebagaimana kekuasaan kaum muslimin di Andalusia dan India. Keempat, kekayaan agama akan menjadi miskin kalau putra-putri terbaik umat dijuruskan ke politik. Kelima, runtuhnya proliferasi dalam arti tokoh umat dari segala bidang sosial akan sirna, jika parpol Islam muncul. Keenam, alienasi generasi muda. Pembentukan parpol berarti pengingkar- an perubahan sosial: para pemuda yang telah non sektarian sudah tidak berminat pada politik Islam seperti generasi yang dulu merasakan persaingan antara aliran beragama.86

86 Kuntowijoyo, Enam Alasan Tidak Mendirikan Partai Islam, dalam Mustofa (ed.), Memilih Partai Mendambakan Presiden, Belajar Berdemokrasi Di Ufuk Milenium, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), Cet. Ke-1, h. 27-33.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 211 Berbeda dengan Kuntowijoyo, Eggi Sujana, Ketua Umum Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, mengatakan bahwa rasa pesimis Kuntowijoyo berlebihan dan tampak terlalu percaya dengan ilmu sosiologi, sehingga hampir semua analisisnya yang bersifat sosio-historis itu seolah hendak memastikan bahwa kasus-kasus sejarah bakal menjadi kenyataan bilamana parpol Islam ber- munculan di Indonesia. Oleh karena itu, Eggi lebih lanjut, berpendapat jika perjuangan parpol Islam adalah hendak menegakkan kalimat Allah, maka misi parpol adalah misi yang luhur. Dan lantaran status hukum berdirinya jamaah amar ma’ruf nahi mungkar adalah wajib, maka berdirinya parpol Islam sebenarnya adalah kewajiban yang luhur. Parpollah yang bisa menegur dan mengingatkan penguasa akan tanggung jawabnya memelihara urusan umat.87 Sementara M. Anton Athoillah Hasyim, pengajar Pesantren Kiara Kuda Tasikmalaya mencari jalan tengah antara keduanya dengan mengatakan bila pendirian parpol Islam didasarkan untuk menegak- kan kalimat Allah, maka pernyataan Eggi dapat

87 Misi parpol Islam adalah mencerdaskan kehidupan kaum muslimin di Indonesia agar mampu bersaing dengan umat mana pun di dunia dengan pembinaan al-Qur’an dan Sunah secara luas, serta membela kepentingan kaum muslimin yang banyak terabaikan dan terdzalimi selama kekuasaan Orde Baru. Lihat Eggi Sujana, Parpol Islam Antara Kelayakan Dan Kewajiban, dalam Mustofa (ed.), Memilih Partai Mendambakan Presiden, Belajar Berdemokrasi Di Ufuk Milenium, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), cet. Ke-1, h. 40-44.

212 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi dibenarkan bahwa misi parpol adalah misi yang luhur, begitu pula dengan logika formal ala ushul fiqih yang digunakannya. Tetapi persoalannya, benarkah pendirian parpol Islam hanya sekedar itu? Tentu tidak. Oleh karena itu, pernyataan Kuntowijoyo cukup representatif, karena ia melihat kegagalan kaum muslimin di Spanyol dan India sebagai alat uji konfirmatif apakah kekuasaan sebagai tujuan jangka pendek dapat mewujudkan tegaknya kalimat Allah itu atau tidak. Atas realitas itu, M. Anton, lebih lanjut berpendapat bahwa sikap yang harus ditempuh adalah memunculkan perhatian kaum muslimin terhadap sesuatu yang tidak hanya sekedar berputar pada nama apakah ada “Islam”-nya atau tidak. Tetapi, bagaimana konsekuensi yang muncul dari nama itu. Jangan-jangan, banyak di antara anggota partai itu yang tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman, seperti toleransi, persaudaraan dan menghargai pendapat orang lain. Ketiga nilai itulah yang mestinya menjadi takaran bagi para calon anggota parpol Islam.88 Terlepas dari polemik tersebut, partai politik dalam berbagai macam ragamnya nampak bermunculan pada era reformasi ini. Secara kuantitatif, jumlahnya kira-kira mencapai 148 partai

88 M. Anton Athoillah Hasyim, Parpol Islam, Kewajiban Atau Alternatif, dalam Mustofa (ed.), Memilih Partai Mendambakan Presiden Belajar Berdemokrasi Di Ufuk Milenium, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), cet. Ke-1, h. 46-50.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 213 yang mendaftar, 40 di antaranya merupakan partai- partai Islam. Namun, setelah melewati seleksi oleh Tim 11 yang diketuai oleh Nurcholis Madjid,89 akhirnya ditetapkan sebanyak 48 partai yang layak mengikuti pemilu, 20 di antaranya merupakan partai Islam.90 Angka ini menunjukkan peningkatan 10 partai lebih besar dari partai Islam yang ikut berpartisipasi pada pemilu 1955,91 atau secara keseluruhan, kontestan partai peserta pemilu pada Era Reformasi lebih besar dibandingkan dengan parpol yang mengikuti pemilu pada masa Orde Lama, padahal saat itu, Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI dalam merespon tuntutan dunia internasional dan pengembangan sistem demokrasi, telah menerbitkan Maklumat Pemerintah bulan Nopember 1945 tentang multi partai. Oleh karena itu, Era Reformasi sebagai masa transisi menuju demokrasi oleh M. Alfan Alfian M., pengamat sosial politik, diistilahkan sebagai umat Islam Indonesia

89 Sebuah panitia yang dibentuk oleh pemerintah dan dipercaya untuk menyeleksi partai-partai politik yang akan ikut berlaga dalam pemilu 1999. 90 Azyumardi Azra, “Faktor Islam di Indonesia Pasca Soeharto”, dalam Chris Manning dan Peter Van Diermen (ed.), Indonesia di Tengah Transisi, Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 375. 91 Partai-Partai Islam peserta Pemilu Pertama 1955 adalah Masyumi, NU, PSII, Perti, PSI, Permi, Parii, Penyadar, PII, PPTI dan PSII Kartosuwirjo

214 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi memasuki sebuah wilayah-waktu eksperimentasi Islam politik jilid III.92 Dalam kaitannya dengan 20 partai Islam peserta Pemilu 1999 yang dapat dianggap “Islami”, Azyumardi Azra memberikan batasan sebagai berikut: Pertama, Partai yang menggunakan Islam sebagai dasar ideologi mereka, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan (PK); Kedua, Partai yang menggunakan Pancasila sebagai dasar ideologinya, tetapi, pada saat yang sama juga menggunakan simbol-simbol Islam, seperti Bintang, Ka’bah atau simbol-simbol Islam lainnya, misalnya Partai Cinta Damai (PCD), Partai Indonesia Baru (PIB), Partai Kebangkitan Ummat (PKU), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII); sedangkan beberapa partai yang pengurus dan basis massanya pada umumnya muslim, adalah seperti Partai Kebangkitan

92 Jika Orde Reformasi disebut eksperimentasi Islam politik Jilid III, maka masa Orde Lama, disebut eksperimentasi Islam politik jilid I dan bolehlah dikatakan gagal, sementara masa Orde Baru, disebut eksperimentasi Islam politik jilid II juga boleh dikatakan gagal, karena rezim Orde Baru tidak memberikan kesempatan bagi kekuatan Islam untuk bangkit kembali sebagai kekuatan yang dominan, di samping karena terpecahnya orientasi politik umat Islam. Di satu pihak, mereka sepakat mendoorong bangkitnya partai politik Islam, dan di pihak lain, mereka terpaksa mendukung kekuatan politik bikinan Orde Baru, yakni Golkar. Lihat M. Alfan Alfian M., Eksperimentasi Islam Poliitik Jilid III, dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah ? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), Cet. Ke-1, h. 118.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 215 Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Partai-partai ini biasanya berhubungan erat dengan organisasi-organisasi sosio-religius muslim. PKB misalnya dapat “dipastikan” sebagai sayap politik NU yang mewakili spektrum tradisional Indonesia, sedangkan PAN didukung besar-besaran oleh kelompok modernis Muhammadiyah.93 Begitu banyaknya partai-partai Islam yang berdiri, telah menyebabkan munculnya perdebatan di kalangan para pengamat politik dan kelompok intelektual, sekitar logika dan alasan pendiriannya. Kuntowijoyo misalnya mengemukakan bahwa munculnya partai-partai Islam hanya merupakan luapan politik di era reformasi, sebagai wujud kebebasan politik dan demokrasi. Jadi, baginya, ledakan jumlah partai politik Islam hanyalah ekspresi dari euphoria politik di antara elite politik Islam yang telah lama dipinggirkan selama hampir keseluruhan era rezim Soeharto.94 Sementara Azyumardi Azra berpendapat bahwa begitu banyaknya partai Islam yang berdiri, karena didorong oleh keinginan para elite muslim untuk mendapatkan kekuasaan dari

93 Azyumardi Azra, “Faktor Islam di Indonesia Pasca Soeharto,” dalam Chris Manning dan Peter Van Diermen (ed.), Indonesia di Tengah Transisi, Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 376. 94 Kuntowijoyo, “Peta Politik Bagi Umat“ dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), Cet. Ke-1, h. 18.

216 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi pada didorong oleh alasan-alasan yang murni keagamaan.95 Dengan demikian, cukup beralasan pendapat pengamat politik dan cendikiawan tersebut di atas, mengingat dari internal Islam atau kelompok Islam sendiri justru muncul banyak partai baru. Dari sayap NU, mewakili santri tradisionalis justru muncul banyak partai seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Serikat Uni Nasional Indonesia (Partai Suni), Partai Nahdlatul Ummah (PNU), dan Partai Kebangkitan Ummat (PKU), belum termasuk Partai Persatuan Pembangunan, yang juga dipimpin oleh tokoh NU. Dari sayap eks Masyumi, mewakili santri modernis juga muncul beberapa partai seperti Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Masyumi Baru (PMB), dan Partai Islam Indonesia Masyumi (PIIM). Dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) terdapat dua partai, yaitu PSII dan PSII 1905, di samping partai politik Islam lain, seperti Partai Ummat Islam (PUI), Partai Ummat Muslimin Indonesia (PUMI), Partai Keadilan (PK) dan Partai Islam Demokrat (PID). Secara umum, partai-partai tersebut oleh Kuntowijoyo dapat diklasifikan menjadi tiga bentuk, sebagai berikut:

95 Azyumardi Azra, “Faktor Islam di Indonesia Pasca Soeharto”, dalam Chris Manning dan Peter Van Diermen (ed.), Indonesia di Tengah Transisi, Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 377.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 217 Pertama, Partai berasas Islam, seperti PUI, PKU, PMB, PPP, PSII, PSII 1905, PPIM, PBB, PK, PNU dan PP (Partai Persatuan); Kedua, Partai berdasarkan objektifitas,96 seperti Partai Indonesia Baru (PIB), KAMI, Partai Abul Yatama (PAY), PAN, PDR, PCD, PID, SUNI dan PUMI; Ketiga, Partai berdasarkan spesialisasi, seperti PKB, Partai Golkar, Partai Rakyat Indonesia (PARI), dan semua partai yang tidak benar-benar sekuler dapat digolongkan pada kelompok ini. Agama mempunyai tempatnya sendiri dalam urusan kenegaraan, tetapi antara keduanya terpisah secara jelas. Agama hanya urusan personal bukan urusan publik. Agama ber- pengaruh pada person dan pada gilirannya person pada negara. Keempat, Partai Sekuler, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).97 Sebagaimana Kuntowijoyo, Riswandha Imawan, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, membagi partai-partai yang muncul selama era reformasi ke dalam empat kategori. Pertama, Keagamaan Islam dan Kristen, seperti Partai Islam

96 Disebut objektif, karena partai-partai itu mengakui adanya pluralisme masyarakat dalam SARA, menjadikan moral agama sebagai landasan gerakan, burusaha agar moral agama menjadi kenyataan objektif dan menjadikan Pancasila sebagai asas. 97 Kuntowijoyo, “Peta Politik Bagi Umat Islam” dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (ed.), Mengapa partai-Partai Islam Kalah ? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999), Cet. Ke-1, h. 88-93.

218 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Indonesia dan Partai Kristen Nasional Indonesia. Kedua, Religius Demokratis, seperti Partai Amanat Nasional dan Partai kebangkitan Bangsa. Ketiga, Nasional Pragmatis, seperti Partai Golkar dan Partai Sarekat Sejahtera Indonesia. Keempat, Nasional Demokratis, seperti Partai Murba, Partai Bhineka Tunggal Ika dan PDIP.98 Klasifikasi bentuk partai tersebut belum dapat dikatakan tepat, karena baik Kuntowijoyo maupun Riswanda sendiri mengakui tidak tahu – kita tidak banyak tahu – dimana akan memasukkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Nasional Indonesia Front Marhaenis (PNI Front Marhaenis), Partai Nasional Massa Marhaen (PNI Massa Marhaen) dan Partai Nasional Demokrat (PND). Fenomena munculnya partai partai yang meng- gunakan simbol-simbol agama, kemungkinan di- sebabkan oleh tiga hal. Pertama, agama itu sendiri memiliki dukungan teologis untuk mencapai cita-cita berdasarkan gagasan-gagasan keagamaan yang di- percayai; Kedua, ikatan politik dari warganya menyebabkan agama sebagai faktor pengikat untuk mendukung pemimpin dari kelompok agama tersebut; Ketiga, umat agama merasa telah nyaman dengan pemimpin politik yang muncul dari

98 Al Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai-Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet. Ke-1, h. 14-16.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 219 komunitasnya sendiri, dan kurang percaya bila politik dikuasai oleh kelompok agama lain.99 Namun, Kuntowijoyo dengan merujuk pada partai era Orde Baru, menjelaskan sebagai berikut: Bahwa semua partai mengklaim mewakili umat Islam, semua partai punya lembaga keislaman dan semua partai sangat tergantung pada pemilih muslim, sebagai mayoritas pemilih. Dari partai yang mewakili santri tradisionalis dan modernis, tentu berusaha menjaring suara yang secara tradisional menyalurkan suaranya ke partai “Islam”, bahkan Golkar percaya bahwa ia pun berhak mewakili suara Islam, sehingga berdirilah Majlis Dakwah Islam, tarbiyah Islamiyah, Satkar Ulama Indonesia, Lembaga pengkajian al-Hidayah dan Angkatan Muda Islam Indonesia (AMII). Sementara PDI yang pada mulanya fusi dari partai-partai “sekuler” dan non muslim, meskipun mendapat kesulitan, karena tidak bisa mengklaim mewakili nasionalis, tetap berusaha dengan mendirikan Majlis Muslimin Indonesia (MMI) sejak tahun 1984.100

99 Th. Sumartana, “Menakar Signifikansi Partai Politik Agama dan Partai Pluralis Dalam Pemilu 1999 di Indonesia”, dalam Arief Subchan (Penyunting), Indonesia Dalam Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 101. 100 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. Ke-1, h. 191-193. Lihat pula A. Malik Fajar, “Kalangan Islam harud Tampil Percaya Diri, dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah ? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999),Cet. Ke-1, h. 77.

220 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Berdasarkan sebab kedua dan ketiga pendapat Th. Sumartana serta penjelasan Kutowijoyo tersebut, maka wajar bila elite politik mendirikan partai dengan menggunakan simbol-simbol Islam. Eks Masyumi, mewakili santri modernis misalnya memiliki tiga partai, begitu pula ormas Islam yang lain memiliki partai, bahkan NU, mewakili santri tradisionalis, memiliki empat partai baru, PKB, SUNI, PNU dan PKU, belum termasuk PPP yang telah berdiri pada tahun 1973. Jadi, sebagaimana sayap politik nasionalis, pada sayap politik nasionalis Islam baik dari kalangan tradisionalis maupun modernis, juga terdapat banyak partai. Tetapi, ketika berlaga pada Pemilu, 7 Juni 1999, tidak ada satu pun partai yang meraih suara mayoritas. PDIP sebagaimana telah disebutkan berada pada peringkat pertama, memperoleh suara 30,8%, disusul Partai Golkar memperoleh suara 24,0%, PKB memperoleh suara 11,8%, PPP memperoleh suara 10,2%, PAN memper- oleh suara 7,0%, PBB memperoleh suara 2,6%, PK memperoleh suara 1,2%, Partai Keadilan dan Persatuan memperoleh suara 1,2% dan partai-partai lainnya memperoleh suara kurang dari 1,0%.101 Jadi dari 12 parpol Islam, hanya PPP yang masuk dalam

101 Pax Benedanto, (et.al)., Pemilihan Umum 1999; Demokrasi atau Rebutan Kursi? op. cit., h. 37 dan 88-89. Lihat pula Mulyana W. Kusuma, “Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 1999, dalam Juri Andiantoro F., Transisi Demokrasi; Evaluasi, Kritis Penyelenggaraan Pemilu 1999, (Jakarta: KIPP, 1999), h. 127-136.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 221 lima besar, dan masih terkalahkan oleh PDIP, Partai Golkar dan PKB, sementara 11 parpol Islam lainnya jauh tertinggal di belakang. Bahkan untuk memper- oleh jumlah suara yang dapat memenuhi kuota dua persen jumlah kursi di DPR saja, partai-partai itu masih harus terus menunggu dengan memper- hitungkan kesepakatan stembuus accoord. Fenomena keterpurukan dan kekalahan parpol Islam tersebut menurut Farid Wadjdi, peneliti pada Forum on Islamic World Studies Bandung, disebab- kan oleh tiga faktor sebagai berikut: Pertama, masyarakat belum memiliki kesadar- an politik Islam yang tinggi, karena secara sistematis umat Islam mengalami proses sekularisasi atau pemisahan agama dari kehidup- an. Islam digambarkan hanya sebagai agama ritual yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya saja. Kedua, ideologi dan konsep kapitalisme Barat seperti sekularisme, plural- isme, demokrasi, HAM, nasionalisme, liberalisme dan globalisasi, secara sadar atau tidak, diadopsi secara bulat-bulat oleh umat Islam, sehingga mereka jauh dari akidah dan hukum-hukum Islam serta tidak melihat hal yang penting dari tawaran ideologis parpol Islam. Ketiga, ber- dirinya parpol yang mengatasnamakan Islam akan tetap gagal untuk melayani umat, kalau tidak memperbaiki empat perkara yang sering menimpa parpol Islam, yaitu parpol Islam yang berdiri secara terburu-buru hanya membawa

222 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

konsep pemikiran umum tanpa batasan yang jelas; banyak parpol Islam yang tidak mengenal metode untuk menerapkan ide-ide Islam; banyak parpol Islam yang hanya bertumpu pada orang- orang yang sepenuhnya belum mempunyai kesadaran yang benar dan niat yang lurus, serta parpol Islam hanya terikat pada aturan administrasi, keorganisasian, simbol-simbol atau slogan-slogan organisasi.102 Berbeda dengan Farid Wadjdi, Efa Ainul Fatah mengemukakan beberapa faktor penyebab kekalahan parpol Islam, sebagai berikut: Pertama, kesiapan partai peserta pemilu sangat minim terutama partai baru yang sama sekali belum mempunyai basis massa. Fakta politik menunjukkan dari 48 partai, ada partai yang betul-betul siap berlaga di kancah politik, ada yang setengah-setengah, dan ada pula yang tidak siap. Kedua, common issue yang terus beredar dan menguat di tengah-tengah masyarakat adalah isu keterpasungan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan nation state. Dari common issue kemudian melahirkan common enemy terhadap mereka yang selama ini menebar janji dan membayarnya dengan kebohongan belaka, yakni kelompok elite yang tergabung razim Orde Baru. Ketiga, parpol Islam kurang

102 Farid Wadjdi, Mengevaluasi Parpol Islam Pasca Pemilu, dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999),Cet. Ke-1, h.157-162.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 223 mempunyai tempat, bahkan disinyalir akan menjadi penyangga munculnya kekuatan neo- Orde Baru. Keempat, budaya politik masyarakat masih mencerminkan kuat feodalisme. Kelima, money politic. Keenam, pendirian partai tidak memperhatikan pola strategi politik. Kebanyakan parpol Islam dibuat asal jadi dan tidak memikirkan peluang politik yang bisa dicapai. Ketujuh, kehadiran parpol Islam tidak mendapatkan momentum yang baik dan bahkan sebaliknya. Kedelapan, parpol Islam belum menampakkan inklusivitasnya, baik dari segi program dan pemikiran maupun dari segi perjuangan terhadap semua kepentingan yang bersifat umum.103 Mochtar Naim, Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, mengatakan lebih lanjut bahwa kekalahan parpol Islam disebabkan antara lain: Pertama, keberanian parpol Islam untuk berjuang dengan platform Islam, karena selama Orde Lama dan Orde Baru, Islam sebagai kekuatan politik telah dilumpuhkan dan lebih menampakkan wajahnya sebagai umbul-umbul perisai untuk tujuan seremonial dan upaya- upaya keagamaan. Kedua, politik Islamofobia, telah menyebabkan bagian terbesar umat justru

103 Eva Ainul Falah, Kalah-Menang Bagi Parpol Islam, dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah ? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999),Cet. Ke-1, h.163-169.

224 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

tidak memilih parpol Islam, walau jelas-jelas dinyatakan bahwa parpol Islam menginginkan tegaknya Islam dan berlakunya syariat Islam bagi pemeluk Islam seperti bunyi Jakarta Charter. Karena alasan ketakutan dan kerisihan terhadap Islam politik inilah agaknya yang mendasari pemikiran PKB dan PAN untuk berasaskan Islam. Ketiga, sudah peluangnya yang tersedia untuk memperlihatkan diri sangat terbatas, jumlahnya parpol Islam pun mencapai belasan, sehingga kelompok ummat sendiri bingung tidak tahu mana yang akan dipilihnya. Keempat, parpol Islam secara keseluruhan adalah dari antara yang paling miskin dan tidak punya dana, kecuali mungkin satu-dua yang berhasil mendapatkan dana dari luar, secara keseluruhan mereka hanya mencukupkan saja dari apa yang ada, yang dibantu oleh pemerintah yang serba sedikit itu. Kelima, kecenderungan egosentrisme para pemimpin partai-partai Islam itu sendiri, yang lebih suka melihat perbedaan dari pada persamaan di antara sesama mereka, sebagai- mana terlihat dari berdirinya partai-partai dari akar yang sama.104 Keterpurukan parpol Islam tersebut, minimal masih dapat menunjukkan relevansinya dengan jargon Nurcholish Madjid yang diucapkannya pada dasawarsa tujuh puluhan dengan hasil pemilu 1999

104 Mochtar Naim, Kekalahan Partai Politik Islam, dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah ? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999),Cet. Ke-1, h.172-176.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 225 bahwa “Islam Yes, Partai Islam No”, suatu ungkapan yang didasarkan pada kenyataan bahwa Islam yang formilnya dijadikan dasar perjuangan partai, sudah tidak lagi dijadikan sumber inspirasi, tidak lagi dijadikan sumber dinamika dan militansia. Islam hanya sekedar dijadikan mode, karena memang Islam sudah sangat jauh disudutkan, bahkan Hadis Nabi yang berbunyi “Al-Islām ya’lū walā yu’la alaih” ditafsirkan – dan sangat konsekuen dengan tafsir tersebut – menjadi partaiku (golonganku, pemimpin- ku bahkan Aku-ku) ya’lū walā yu’lā alaih. Apalagi para penguasa muslim saat itu dengan sadar sangat mencurigai Islam dan umatnya yang setia kepada Islam.105 Akan tetapi, sejalan dengan pelaksanaan pemilu 2004, jargon Nurcholish Madjid itu telah mengalami pergeseran. Menurut Hidayat Nurwahid, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Ketua MPR RI, bahwa jargon Cak Nur yang begitu terkenal pada era Orde Baru “Islam Yes, Partai Islam No” telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan pada akhirnya Cak Nur menyatakan “Islam Yes, Partai Islam Yes,” suatu pernyataan yang dikatakannya ketika Cak Nur meminta dukungan PKS untuk menjadi calon presiden pada pilpres 2004. Ketika dikatakan dulu Cak Nur pernah menyatakan bahwa “Islam Yes, Partai Islam No”, lalu bagaimana

105 E. Saifuddin Anshari, Kritik Atas Faham Dan Gerakan “Pembaharuan” Drs. Nucholish Madjid, (Bandung: Bulan Sabit, 1973), h. 3-4.

226 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi saya memberikan dukungan kepada Cak Nur, karena partai saya adalah partai Islam, maka Cak Nur menjelaskan kata-kata itu bersifat kondisional, saat perkataan kontroversial itu terlontar, kondisi di Indonesia tak memungkinkan Islam berkembang melalui jalur politik. Islam dicurigai serta diintimidasi dan untuk mensiasati kondisi yang tak menguntung- kan itu, maka harus dicari formula di luar partai politik, tetapi kini kondisinya telah berubah. Partai Islam memungkinkan untuk berkembang.106 Saat banyak orang menjustifikasi fenomena kekalahan partai pada pemilu 1999 dengan slogannya, Nurcholis justru berkomentar: “Itu sebetulnya membacanya kurang pas.” Kegagalan partai-partai Islam adalah kegagalan simbol yang juga dialami partai-partai nasionalis dan Kristen/Katholik, karena pemilih lebih mencari esensi.107 Eksperimen pun kembali dilanjutkan. Dalam pemilu 2004, ada 7 partai Islam baik pecahan maupun reinkarnasi yang bertahan jadi kontestan, yaitu PPP, PKS, PBB, PBR, PPNUI, PAN dan PKB. Kali ini terjadi pergeseran. Ketujuh partai itu mampu mengantongi suara 42,18 persen. Bila perhitungan hanya dilakukan untuk lima partai berasas Islam, tanpa PAN dan PKB,

106 Hidayat: Cak Nur Akhirnya, ‘Partai Islam Yes!’, Republika, (Jakarta), 3 Oktober 2006, h. 3. Lihat pula Harun Husein, Islam Yes, Partai Islam Yes?, Republika, (Jakarta), 17 Nopember 2006, h. 4. 107 Harus Husein, Islam Yes, Partai Islam Why Not? Republika, (Jakarta), 18 Nopember 2006, h. 4.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 227 raihan suaranya adalah 23 persen.108 Sementara PDIP hanya meraih 18,53 persen dan Partai Golkar 21,58 persen. Kalaupun suara Partai Golkar digabung dengan PDIP, jumlahnya hanya 40,11 persen, masih kalah jika dibandingkan 42,18 persen suara tujuh partai.109 Kendati belum sanggup menyamai perolehan partai Islam dalam pemilu 1955, raihan itu memperlihatkan partai-partai Islam punya prospek dan makin kompetitif, karena telah dapat tampil menganalisis aspirasi berbagai macam golongan dan terampil mengartikulasikan esensi Islam secara rasional dan otentik di dataran politik yang penuh ranjau. Politisi Islam bisa tampil berpolitik dengan santun, peduli pada nasib rakyat, tidak korup, menjadi rahmatan li al-’Ālamin dan seterusnya. Hasil survei LSI atas hasil Pemilu 2004, tak kurang dari 2,5 persen dari 8,3 juta pemilih PKS adalah non-Muslim. Angka ini tidak sedikit, karena sekitar 200 ribu: hampir satu kursi.110

108 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), Cet. Ke-1, 680. 109 Harun Husein, Islam Yes, Partai Islam Why Not ? Republika, (Jakarta), 18 Nopember 2006, h. 4. 110 Ibid.

228 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

C. Pesantren dan Pembentukan Partai Politik Nasional 1. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) a) Proses pembentukan partai Partai Kebangkitan Bangsa (selanjutnya disebut PKB) merupakan salah satu dari sekian banyak partai yang berdiri pada era reformasi. Pembentukannya berawal, sehari setelah Soeharto meletakkan jabatan sebagai presiden, Kamis, 21 Mei 1998, PBNU mulai kebanjiran usulan warga NU di seluruh pelosok tanah air, yang disampaikan melalui berbagai macam cara: faksimil, telegram, surat, e-mail, ada yang langsung datang ke Sekretariat Jenderal PBNU, bahkan ribuan orang yang datang menjenguk Gus Dur yang sedang sakit, secara langsung mengajukan permintaan kepadanya yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, agar mendirikan parpol.111 Usulan itu mempunyai nada yang sama, yakni agar PBNU membantu mewujudkan adanya satu wadah, tempat warga NU baik perorangan dan kelompok maupun pengurus vertikal, badan otonom dan lembaga di lingkungan NU, menyalurkan

111 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 109.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 229 aspirasi politiknya.112 Usulan itu sangat beragam, ada yang mengusulkan agar PBNU membentuk partai politik, ada juga yang mengusulkan agar NU menjadi partai politik, dan ada yang mengusulkan nama parpol. Tercatat ada 39 nama parpol yang diusulkan, dan nama yang paling banyak mengemuka adalah Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Umat dan Kebangkitan Bangsa.113 Sedangkan gambar bumi, bintang sembilan dan warna hijau merupakan pilihan yang paling disukai oleh para pencetus ide. Aneka usulan semakin marak dengan masuknya daftar nama yang dipandang layak untuk duduk dalam jajaran kepengurusan parpol, di samping usulan rancangan AD/ART.114 Dari sederetan usulan tersebut, yang cukup lengkap adalah draft yang dikemukakan oleh Lajnah Sebelas Rembang yang dikawal oleh KH. Cholil Bisri dan draft yang berasal dari Pengurus Wilayah NU Jawa Barat. Tetapi, draft Rembang lebih lengkap dan mencerminkan kerja keras sebuah tim yang me- libatkan unsur ulama/kiai, politisi dan akademisi. Proses penyusunannya juga berawal dari pertemuan di Ponpes Roudlatul Thalibin yang dihadiri oleh

112 DPW PKB Jawa Timur, Dokumen Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa, (Jakarta, 1998), h. 25. 113 DPW PKB Jawa Timur, Dokumen Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa, (Jakarta, 1998), 26. 114 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003) Cet. Ke-1, h. 109.

230 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi sekitar seratus kiai pada pertengahan Juni 1998. Pertemuan yang berlangsung sampai dini hari itu, diawali dengan penjelasan tuan rumah KH. Cholil Bisri, tentang arti penting keberadaan sebuah parpol yang mampu mengumandangkan kepentingan kaum Nahdliyyin. Melalui uraian-uraian yang disandarkan pada perpaduan kitab-kitab Fiqih Siyasah dan kondisi objektif warga NU, dia antara lain menyatakan sebagai berikut: “Ini (pembentukan partai) adalah untuk memenuhi tuntutan warga NU di era reformasi. Lebih dari 30 tahun masa pemerintahan rezim Soeharto, kekuatan politik NU dikebiri secara sistematis. Orang-orang NU di PPP hanya nunut urip (numpang hidup). Karena itu, adalah sesuatu yang aneh, bila warga NU yang jumlahnya seperempat penduduk Indonesia tidak mempunyai rumah politik. Wajar bila warga NU kini mempunyai rumah politik sendiri, tidak numpang lagi di rumah. Aspirasinya selama ini numpang ke PPP, Golkar dan PDI.115 KH. Ma’ruf Amin, Rais Syuriah NU dan Koordinator Harian PBNU, yang hadir dalam pertemuan itu, lebih lanjut menyatakan “warga NU terus dipinggirkan dan aspirasinya belum tersalurkan dengan baik dalam orsospol yang ada dan belum ada

115 Asmawi, PKB : Jendela Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), h. 23.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 231 orsospol yang mampu menampung aspirasi warga NU.116 Atas pernyataan itu, maka pertemuan Rembang akhirnya menyepakati dibentuknya Komite Pembentukan Partai Baru (KPPB), yang diketuai KH. Cholil Bisri dan sekretaris KH. Yusuf Muhammad, pengasuh Ponpes Darussalam, Jember, Jawa Timur, yang juga mantan pegiat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Yogyakarta. Anggotanya terdiri dari sembilan kiai, mewakili daerah Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Bahkan dibentuk pula Tim Asistensi yang bertugas membantu kelancaran KPPB, dengan ketua Matori Abdul Jalil, seorang politisi yang telah lama malang melintang dalm pergulatan politik Orba, dan Kacung Marijan, MA. ilmuwan politik muda dari Universitas Airlangga yang berafiliasi dengan NU.117 Menanggapi usulan tersebut, PBNU bersikap sangat hati-hati, karena berdasarkan Muktamar NU ke-27 di Situbondo, telah diputuskan bahwa secara organisatoris, NU tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak lagi menerjuni kegiatan politik praktis. Tetapi, jika sikap ini itu diambil, maka akan membuat banyak pihak kecewa, bahkan tidak menutup kemungkinan warga NU di daerah, yang

116 Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologi Partai-Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet. Ke-1, h. 134. 117 Asmawi, PKB: Jendela Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), h. 22-23.

232 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi tidak sabar, mendeklarasikan berdirinya parpol untuk mewadahi aspirasi politik warga NU setempat, seperti pendeklarasian “Partai Bintang Sembilan” di Purwokerto dan “Partai Kebangkitan Umat” di Cirebon. Fenomena tersebut bila dibiarkan akan merugikan NU sendiri. Oleh karena itu, pada harian Syuriah dan Tanfidziyah PBNU, 3 Juni 1998, diputuskan untuk membentuk Tim Lima,118 yang bertugas membahas segala sesuatu untuk memenuhi aspirasi warga NU tersebut. Bahkan untuk memperkuat dan mempercepat kerja Tim Lima, maka berdasarkan surat tugas PBNU No. 925/A.11.03/6/1998, tanggal 22 Juni 1998, dibentuk pula Tim Asistensi yang beranggotakan sembilan orang.119 Tim Asistensi membantu Tim Lima dalam menginventarisasi dan merangkum usulan warga NU untuk mendirikan parpol baru, mengkordinasikan warga NU yang ingin membentuk parpol baru dan

118 Tim Lima diketuai KH. Makruf Amin (Rais Syuriah NU/Koordinator Harian PBNU), KH. M. Dawam Anwar (Katib ‘Am PBNU), KH. Dr. Said Agiel Siradj, MA. (Wakil Katib PNBU), H.M. Rozi Munir, SE. M.Sc. (Ketua PBNU) dan H. Ahmad Bagdja (Sekjen PBNU), masing-masing sebagai anggota. 119 Tim Asistensi diketuai Arifin Junaidi (Wakil Sekjen PBNU), dengan anggota H. Muhyidin Aburusman, H.M. Fachri Thaha Ma’ruf, Lc., Drs. H. Abdul Aziz , MA., Drs. H. Andi Muarly Sunrawa, H.M. Nasihin Hasan, Drs. Muhaimin Iskandar, Drs. H. Lukman Saifuddin Zuhri dan Drs. Amin Said Husni. Lihat PW PKB Jawa Timur, Dokumen Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa, h. 127.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 233 membantu warga NU dalam melahirkan satu parpol yang dapat mewadahi aspirasi politik warga NU. Pada 22 Juni 1998, Tim Lima dan Tim Asistensi menyelenggarakan rapat dengan tujuan mendefinisi- kan dan mengelaborasi tugas-tugasnya. Selanjutnya pada 26-28 Juni 1998, kedua tim menggelar pertemuan di Villa La Citra Cipanas, untuk menyusun rancangan awal pembentukan parpol dan menghasilkan 5 rancangan yaitu: (1). Pokok-Pokok Pikiran NU Mengenai Reformasi Politik, (2). Mabda’ Siyāsy, (3). Hubungan Partai Politik dengan NU, (4). AD/ART, dan (5). Naskah Deklarasi. Lima rancangan itu kemudian dibawa ke Silaturahmi Nasional Ulama dan Tokoh NU di Bandung, 4-5 Juli 1998, untuk memperoleh masukan lebih lanjut.120 Puncaknya, pada 17 Juli 1998, Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan pertemuan finalisasi dan setelah melalui diskusi yang melelahkan, akhirnya dapat menyelesai- kan tugasnya, bahkan dapat menyerahkan hasil akhir rancangan pembentukan parpol kepada rapat harian Syuriah dan Tanfidziyah PBNU, 22 Juli 1998. Rapat menyepakati bahwa parpol yang diharapkan dapat menampung warga NU yang berjumlah lebih dari 40 juta khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, dibentuk dan diberi nama PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), salah satu dari tiga nama yang paling

120 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 112.

234 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi banyak disebut dalam usulan di atas. PKB dideklarasikan pada 23 Juli 1998, di halaman Pondok Pesantren Luhur “KH. A. Wahid Hasyim” Ciganjur, Jakarta Selatan,121 dengan dihadiri lima ulama terkemuka NU, yaitu KH. Ilyas Ruhiyat, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Munasir Ali, KH. Muchit Muzadi dan KH. Mustofa Bisri. Bahkan beberapa petinggi Orde Baru yang memiliki karier cemerlang pada jajaran militer juga menyempatkan diri untuk hadir. Mereka antara lain mantan Wakil Presiden dan Panglima ABRI Try Sutrisno, mantan Menhankam Edi Sudrajat, mantan Wakil Kasad Soerjadi dan mantan Kabakin Ari Sudewo. Tampak pula Ribhi Awad, Duta Besar Palestina untuk Indonesia. Dengan demikian, PKB yang lahir atas desakan warga NU, kiai pesantren, politisi dan para simpatisan lainnya, dapat dikatakan sebagai

121 Arifin Junaedi, Wakil Sekjen PBNU, di depan sekitar 3000 warga NU yang memadati halaman ponpes, membacakan latar belakang dan kronologis pembentukan partai, yang dimulai dengan mundurnya Soeharto dari kursi Presiden dan diiringi dengan lahirnya Era Reformasi, sebagai upaya mewujudkan kehendak rakyat untuk mengubah semua aspek kehidupan, ideologi, sosial, politik, ekonomi, budaya dan sistem pertahanan keamanan. Kehidupan berbangsa dan bernegara harus dikembalikan ke rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dan oleh karena itu, sesuai aspirasi warga NU, PBNU membidani lahirnya sebuah parpol yang pada hari ini dideklarasikan. Lihat Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan, Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h. 236-240.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 235 penjelmaan dari partai NU,122 yang pada tahun 1970- an difusikan dengan tiga partai Islam lainnya – Parmusi, PSII dan Perti – menjadi Partai Persatuan Pembangunan (selanjutnya disebut PPP), karena pendiriannya dibidani oleh organisasi kemasyarakat- an Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (selanjutnya disebut dengan NU). Selain itu, pembentukan PKB juga merupakan jalan tengah dari warga NU untuk berjuang pada lini struktural melalui proses pembuatan dan perumusan kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat, sambil terus melakukan gerakan kultural melalui NU yang tetap dipertahankan sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyah dīniyah) pada era perubahan yang terjadi di pentas politik nasional. Untuk memberi landasan perjuangan PKB di sektor struktural, maka dirumuskanlah mabda’ siyāsy (titik tolak politik) dengan pendekatan fiqih siyāsy untuk menerapkan nilai-nilai dan etika sosial Islam dalam bernegara, sebagaimana telah menjadi tradisi NU.123 Selanjutnya, pembentukan PKB sebagai satu- satunya partai yang diakui dan direstui oleh PBNU

122 Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologi Partai-Partai Islam Versus Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet. Ke-1, h. 133. 123 A. Muhaimin Iskandar, “PKB: Politik Rahmatan Lil-‘Alamin,” dalam Sahar L. Hasan, (ed.), Memilih Partai Islam, Visi, Misi dan Persepsi, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 25-26.

236 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi juga tidak bisa dipisahkan dari peran kiai pesantren, lantaran NU merupakan organisasi keagamaan yang dibentuk dan dikawal oleh para kiai dan menjadikan pesantren sebagai basis massanya. Oleh karena itu pantas, bila dalam pentas pemilu 1999, PKB yang secara formal organisatoris masih belia, bisa mendulang suara cukup besar dan muncul sebagai partai yang menduduki posisi keempat dalam perolehan suara setelah PDIP, Partai Golkar dan PPP. Sebaliknya PNU, PKU dan Partai SUNI yang tidak dideklasikan dan karenanya tidak direstui oleh PBNU tidak mendapat dukungan luas dari jama’ah NU. Faisal Ismail terkait dengan kedigjayaan PKB tersebut, memprediksi karena tiga hal. Pertama, pengakuan dan pemberian restu oleh PBNU terhadap berdirinya PKB; Kedua, peran pesantren-pesantren NU dan para kiai pengasuhnya sebagai jaringan komunikasi politik yang efektif; dan Ketiga, sosok dan peran Gus Dur yang memiliki reputasi yang baik sehingga bisa menarik simpati mayoritas warga NU untuk mendukung dan memilih PKB.124 Khusus prediksi yang terakhir itu, pada tingkat tertentu, peran Gus Dur tidak hanya dalam menarik simpati mayoritas warga NU, karena slogannya “pejah gesang nderek Gus Dur. Atau dalam bahasa

124 Faisal Ismail, NU, Gusdurisme dan Politik Kiai, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), Cet. Ke-1, h. 142-144.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 237 Inggrisnya, Gus Dur can do no wrong,”125 tetapi, ia sebagai Ketua Umum PBNU, sebagaimana diuraikan terdahulu, juga berperan dalam pembentukan, perumusan visi dan misi PKB dan lain sebagainya. Laode Ida, doktor sosiologi UI, percaya dengan rumusan dari seorang kawannya tentang Gus Dur dan NU. Katanya: Gus Dur + NU = Gus Dur dan NU + Gus Dur = Gus Dur. Maksudnya, Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari NU atau NU – setidaknya sampai saat ini – tidak bisa dilepaskan dari Gus Dur. Kalau diteruskan, rumusan itu sekarang jadi begini: Gus Dur + NU + PKB = Gus Dur, NU + PKB + Gus Dur = Gus Dur dan PKB + NU + Gus Dur = Gus Dur. Jadi, Gus Dur ibarat spektrum dari semua prisma NU dan PKB. Boleh jadi, begitulah wujud tanggung jawab Gus Dur terhadap posisinya sebagai Ketua Umum PBNU.126 b) Azas dan Tujuan Sebagai partai warga Nahdliyyin yang pertama dan paling asli di Era Reformasi, PKB dengan tegas tidak memilih Islam, tetapi lebih memilih Pancasila

125 Tim INCRes, Beyond Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. Ke- 1, h. xvi. 126 Musa Kazhim & Alfian hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan, Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h. 234.

238 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi sebagai azasnya.127 Dalam Anggaran Dasar (AD) PKB, Bab III, Pasal 3 dikatakan “Partai berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilam Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pemakaian Pancasila sebagai azas partai dilandasi oleh cara pandang tokoh-tokoh PKB dalam melihat Islam, yakni bahwa Islam tidak perlu dituangkan dalam bentuk formal kelembagaan, tetapi yang terpenting adalah bahwa ajaran Islam harus tecermin dalam tingkah laku sehari-hari, yang disebut akhlakul karimah, dalam pengertian sejauhmana partai mampu mewujudkan nilai-nilai Islam di dunia politik.128 Jadi, para pendiri PKB merancang partainya sebagai instrumen untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam berpolitik, sehingga salah besar jika PKB ditempatkan di luar barisan partai-partai Islam, hanya karena PKB tidak mengusung simbol-simbol Islam. Dalam hal ini, Gus

127 Bandingkan dengan partai Islam lainnya yang berdiri pada Era Reformasi, cenderung memilih Islam sebagai azas organisasi, bila seluruh penggagas dan sebagian besar pendukungnya menganut agama Islam. Lihat Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai- Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet. Ke-1, h. 121-141. 128 Uraian lebih jauh dapat dilihat dalam Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), Cet. Ke-1, h. 22-25.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 239 Dur, antara lain menyatakan: “Tidak penting bagi PKB berazaskan Islam. Yang penting PKB adalah partai Islam. Banyak partai berazaskan Islam, tetapi, mereka main tipu, main curang dan tidak berakhlak Islami. Islam hanya dibuat mereknya saja. Jadi, parpol berazaskan Islam tidak bisa dibuat jaminan. PKB bukan mementingkan mereknya, tetapi isinya”.129 “Akhlak dan tauhid PKB adalah Islam. Dari pada parpol berazas Islam, tetapi tidak Islami, maka lebih baik seperti PKB, azas bukan Islam, tetapi, kelakuan dan tauhidnya orang Islam.”130 Alwi Shihab, salah seorang Ketua DPP PKB lebih lanjut menyatakan: “PKB didirikan dan ditegakkan atas dasar nilai-nilai kebenaran ajaran Islam…, biarlah orang menghujat PKB dengan berbagai tuduhan. Ada yang menuduh murtad, tidak Islami, partainya orang sarungan, kampungan dan sebagai- nya. Semua tuduhan itu tidak benar adanya. Bahwa PKB partai yang Islami 100 %,”131 sebagaimana dapat disimak pada Prinsip Perjuangan Partai yang berbunyi “Pengabdian kepada Allah Subhanahu Wata’ala, menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan

129 Republika, 27 Mei 1999. 130 Jawa Pos, 29 Mei 1999. 131 Republika, 30 Mei 1999.

240 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahlussunnah Wal- Jamā’ah.132 Meskipun tidak mendefinisikan dirinya secara tegas sebagai partai Islam, kekentalan PKB dengan aspek-aspek keislaman di atas, merupakan satu kenyataan yang tak terbantahkan. Sedangkan identifikasi PKB sebagai partai terbuka, selain secara teoritis dimaksudkan agar orang di luar NU, bahkan non muslim sekali pun bisa bergabung dengan PKB, juga dipicu oleh tiga alasan. Pertama, semua orang tahu bahwa PKB pada dasarnya Islam, karena dibangun oleh warga NU. Oleh karena itu, teriakan mengenai label Islam dan non Islam, tidak ada artinya. Kedua, menjaga agar Islam tidak menjadi komoditas politik belaka, lantaran mengedepankan sebutan-sebutan partai Islam dan politik Islam, sangat berisiko, karena jika dalam tataran realitas, ajaran Islam tidak bisa direalisasikan, maka Islam akan menjadi korban.133 Ketiga, PKB berusaha mewujudkan politik Rahmatan li al-‘Ālamīn yang berusaha mengintegrasikan spiritualitas keagamaan dengan paham keindonesiaan yang majemuk, mengedepankan nilai-nilai kebangsaan Indonesia dari pada mendirikan Negara Islam atau menerapkan

132 Lihat Anggaran Dasar PKB Bab III Pasal 4. 133 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 115.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 241 hukum-hukum Islam secara formal.134 Komitmen terhadap argumen yang terakhir ini, kemudian dituangkan dalam tiga tujuan partai, yakni mewujudkan cita-cita kemerdekaan Negara Republik Indonesia, sebagaimana terdapat dalam pembukaan UUD 1945; mewujudkan masyarakat adil dan makmur, lahir dan batin, material dan spiritual; serta mewujudkan tatanan nasional yang demokratis, terbuka, bersih dan ber-akhlāk al karimāh.135 c) Visi & Misi Visi PKB adalah terwujudnya bangsa dan masyarakat yang terjamin hak asasi kemanusiaannya, yang mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan bersumber pada hati nurani (al-shidqu), dapat dipercaya, setia dan tepat janji serta mampu memecahkan per- masalahan sosial yang dihadapi (al-amānah wa al- wafā’u bi al-‘abdi), bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi (al-‘adālah), tolong menolong dalam kebajikan (al-ta’āwun), dan konsisten menjalankan ketentuan yang telah disepakati bersama (al- istiqāmah). Musyawarah dalam menyelesaikan persoalan sosial (al-syūra) yang menempatkan

134 Salahuddin Wahid, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan- Catatan Pendek Salahuddin Wahid, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), Cet. Ke-1, h. 23. 135 Lihat Anggaran Dasar PKB Bab V Pasal 7.

242 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi demokrasi sebagai pilar utamanya, dan persamaan kedudukan setiap warga negara di depan hukum (al- musāwa) adalah prinsip dasar yang harus ditegakkan.136 Misi PKB untuk mewujudkan visi di atas, adalah mewujudkan tatanan masyarakat beradab yang sejahtera lahir dan batin, yang setiap warganya mampu mengejawantahkan nilai-nilai kemanusiaan, yang meliputi: terpeliharanya jiwa raga, terpenuhi- nya hak kemerdekaan, terpenuhinya kebutuhan dasar manusia seperti pangan, sandang dan papan, hak atas penghidupan/perlindungan pekerjaan, hak mendapatkan keselamatan dan bebas dari peng- aniayaan (hifzhu al-nafs), terpeliharanya agama dan larangan adanya pemaksaan agama (hifzhu al-dīn), terpeliharanya akal, dan jaminan atas kebebasan berekspresi serta berpendapat (hifzhu al-‘aql), terpeliharanya harta benda, ditempuh dengan pendekatan amar ma’ruf nahi munkar, yakni upaya menyerukan kebajikan serta mencegah segala kemungkinan dan kenyataan yang mengandung kemungkaran.137 Penjabaran dari misi yang diemban guna mencapai terwujudnya masyarakat yang dicita-

136 Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan, Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke1, h. 244. 137 Ibid., h. 244-245.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 243 citakan tersebut tidak bisa tidak harus dicapai melalui keterlibatan dalam penetapan kebijakan publik. Jalur kekuasaan menjadi amat penting ditempuh dalam proses mempengaruhi pembuatan kebijakan publik melalui perjuangan politik. Garis perjuangan politik adalah melakukan pemberdayaan pada masyarakat lemah, terpinggirkan dan tertindas; memberikan rasa aman, tentram dan terlindungi kepada kelompok masyarakat minoritas; dan membongkar sistem politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya yang memasung kedaulatan rakyat. Bagi PKB, upaya mengartikulasikan garis perjuangan politiknya dalam jalur kekuasaan menjadi suatu hal yang niscaya dan dapat dipertanggungjawabkan. PKB juga yakin bahwa kekuasaan itu sejatinya adalah milik Tuhan Yang Maha Esa. Kekuasaan yang ada pada diri manusia merupakan titipan dan amanat Tuhan yang diberikan kepada manusia, yang oleh manusia hanya boleh diberikan kepada pihak lain yang memiliki keahlian dan kemampuan untuk mengemban dan memikulnya. Keahlian memegang amanat kekuasaan itu mensyaratkan kemampuan menerapkan kejujur- an, keadilan dan kejuangan yang senantiasa memihak kepada pemberi amanat.138

138 Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologi Partai-Partai Islam versus Partai-Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet. Ke-1, h. 138-139.

244 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Dalam kaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kekuasaan yang bersifat demikian itu harus dapat dikelola dengan sebaik- baiknya dalam rangka menegakkan nilai-nilai agama yang mampu menebarkan rahmat, kedamaian dan kemaslahatan bagi semesta. Manifestasi kekuasaan itu harus digunakan untuk memperjuangkan pemberdayaan rakyat agar menyelesaikan persoalan hidupnya dengan lebih maslahat. PKB berketetapan bahwa kekuasaan yang hakekatnya adalah amanat itu haruslah dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan dan dapat dikontrol pengelolaannya oleh rakyat. Kontrol terhadap kekuasaan hanya mungkin dilakukan manakala kekuasaan itu tidak tak-terbatas dan tidak memusat di satu tangan, serta berada pada mekanisme sistem yang institusi- onalistik, bukan tertumpu pada kekuasaan individualistik. Harus selalu dibuka ruang untuk melakukan kompetisi kekuasaan dan perimbangan kekuasaan sebagai arena mengasah ide-ide perbaikan kualitas bangsa dalam arti yang sesungguhnya. Pemahaman akan hal ini tidak hanya berlaku saat memandang kekuasaan dalam tatanan kenegaraan, melainkan juga harus terefleksikan dalam tubuh internal partai. PKB menyadari bahwa sebagai suatu bangsa pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama dan ras, tatanan kehidupan bangsa Indonesia harus

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 245 senantiasa berpijak pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penetapan nilai-nilai Pancasila tersebut haruslah dijiwai dengan sikap mengembangkan hubungan tali persaudaraan antara sesama yang terbuhul dengan ikatan keagamaan (ukhuwwah dīniyyah), kebangsaan (ukhuwwah wathoniyyah) dan kemanusiaan (ukhuwwah insāniyyah), dengan selalu menjunjung tinggi semangat akomodatif, kooperatif, dan integratif tanpa harus saling dipertentangkan antara satu dengan yang lainnya.139 PKB bercirikan humanisme religius (insaniyah diniyah), amat peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan yang agamis dan berwawasan kebangsaan menjaga dan melestarikan tradisi yang baik serta mengambil hal-hal baru yang lebih baik untuk ditradisikan menjadi corak perjuangan yang ditempuh dengan cara-cara yang santun dan akhlak mulia. Partai adalah ladang persemaian untuk mewujudkan masyarakat beradab yang dicitakan, serta menjadi sarana dan wahana sekaligus sebagai wadah kaderisasi kepemimpinan bangsa. Partai dalam posisi ini berkehendak untuk menyerap, menampung,

139 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 114.

246 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi merumuskan, menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi rakyat guna menegakkan hak-hak rakyat dan menjamin pelaksanaan ketatanegaraan yang jujur, adil dan demokratis. PKB adalah partai terbuka dalam pengertian lintas agama, lintas suku, lintas ras dan lintas golongan, yang dimanifestasikan dalam bentuk visi, misi, program perjuangan, keanggotaan dan kepemimpinan. Partai bersifat independen dalam pengertian menolak intervensi segala bentuk ke- kuasaan dari pihak mana pun yang bertentangan dengan tujuan didirikannya partai. d) Basis Massa Melalui visi kebangsaan dan nasionalisme, PKB mencoba untuk membuka diri dan pintu bagi setiap warga negara Indonesia, muslim dan non muslim untuk menjadi anggota partai. AD/ART PKB menyebutkan bahwa syarat menjadi anggota partai adalah warga negara Indonesia dan telah berumur 17 tahun atau telah menikah; dapat membaca dan menulis; serta menyetujui dan menerima Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta Partai Politik.140 Jadi, PKB tidak mensyaratkan Islam sebagai syarat keanggotaan, meskipun secara mendasar ia merupakan partai yang didirikan oleh warga NU dan

140 Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 4.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 247 dibidani oleh PBNU, yang notabene menganut agama Islam. Dalam menjaring anggota sebanyak-banyaknya, PKB mempermudah prosedur pendaftaran anggota, yang dimulai dengan pengajuan untuk menjadi anggota kepada Dewan Pengurus Cabang melalui Pengurus Ranting setempat, disertai pernyataan persetujuan terhadap AD/ART, politik partai dan membayar uang pangkal. Jika permohonan dikabulkan, maka status sebagai calon anggota selama 6 (enam) bulan dapat dimiliki dengan hak menghadiri kegiatan-kegiatan partai yang dilakukan secara terbuka. Jika tahap ini terlampaui, maka status anggota penuh dapat diberikan oleh Dewan Pengurus Cabang dengan penerbitan Kartu Anggota Partai. Namun demikian permintaan anggota dapat ditolak, jika ditemukan alasan-alasan yang ber- tentangan dengan AD/ART.141 Secara mendasar, keanggotaan partai dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu anggota langsung, anggota tak langsung dan anggota kehormatan.142 Dari ketiga jenis keanggotaan itu, kategori kedua menempati urutan pertama dari keseluruhan massa PKB, sedangkan urutan kedua ditempai oleh anggota langsung, suatu realita yang barangkali disebabkan oleh budaya politik kebanyakan warga negara

141 Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 5. 142 Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 3.

248 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Indonesia yang enggan berhubungan dengan persoalan-persoalan administratif yang rumit dan birokratis, di samping karena konsentrasi partai pada hal-hal yang lebih mendesak seperti konsolidasi internal kepemimpinan, menghadapi konflik politik antar politisi NU, merespon isu-isu politik nasional dan keterbatasan waktu karena harus segera berancang-ancang mengikut pemilu. Sementara anggota kehormatan, tidak banyak jumlahnya, lantaran kualifikasi untuk masuk di dalamnya tergolong tidak mudah.143 Selain diberi hak dan kewajiban, anggota partai juga dilarang merangkap menjadi anggota partai lain, menjadi organisasi kemasyarakatan yang azas dan tujuannya berseberangan dengan azas dan tujuan partai, serta harus tunduk pada struktur organisasi partai yang lebih tinggi sepanjang tidak melanggar AD/ART.144 Bila melanggar, maka diancam dengan pembatalan keanggotaan, yang pelaksanaannya dilakukan melalui beberapa tahap.145 Meskipun demikian, upaya PKB untuk menampung seluruh warga Nahdliyyin, sehingga dapat menjadikannya sebagai partai politik yang tangguh, seperti dijelaskan

143 Mengenai proses untuk menjadi Anggota Kehormatan, dapat dilihat pada ‘Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 6’. 144 Mengenai hak dan kewajiban anggota partai, dapat dilihat pada ‘Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 7 dan 8’. 145 Mengenai sanksi bagi yang melakukan pelanggaran dapat dilihat pada ‘Anggaran Rumah Tangga PKB Pasal 10 dan 11’.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 249 terdahulu menemui batu sandungan dari para kiai dan politisi, karena dari sayap NU selain Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masih tetap eksis dan established, berdiri pula Partai Nahdlatul Ummah (PNU), Partai Kebangkitan Ummat dan Partai Serikat Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI). Sebagai partai yang dibidani kelahirannya oleh PBNU, PKB sangat menggantungkan dukungan dari komunitas NU, khususnya pesantren-pesantren NU dan para kiai pengasuhnya, yang tersebar di wilayah perdesaan Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat146 dan Kalimantan Selatan. Kecuali Kalimantan Selatan, pada pemilu 1999, PKB ternyata mampu dan berhasil mendulang kursi di tiga propinsi yang menjadi kantong NU lainnya, terbanyak dibandingkan kursi yang didulang oleh partai sayap NU lainnya. Dari Propinsi Jawa Timur, PKB dapat mengumpulkan 24 (dua puluh empat) kursi DPR, Jawa Tengah 10 (sepuluh) kursi dan Jawa Barat mengumpulkan 6 (enam) kursi DPR. Sedangkan Propinsi Kalimantan Selatan yang oleh PKB diprediksi dapat menyumbang 11 (sebelas) kursi DPR, ternyata hanya memperoleh 1 (satu) kursi DPR, sisanya terbagi secara hampir berimbang di antara partai-partai Islam, yakni masing-masing mendapatkan 1 (satu)

146 Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan, Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke1, h. 251.

250 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi kursi dan hanya PPP yang memperoleh 2 (dua) kursi DPR.147 Dengan demikian, identifikasi seorang konstituen sebagai warga NU di Kalimantan Selatan pada pemilu 1999 tidak serta merta orang itu mengalirkan dukungan politiknya kepada partai yang didirikan oleh kaum Nahdliyyin, suatu kenyataan yang barangkali terjadi karena para kiai tidak merubah dirinya sebagai vote getter bagi partai- partai Islam, atau barangkali karena kurangnya koordinasi dan sosialisasi tokoh-tokoh partai dengan para kiai, atau barangkali karena para kiai, pendulang suara menempatkan dirinya sebagai “kaum independen”, sehingga membuka peluang kepada para pengikutnya untuk menentukan pilihannya secara mandiri, baik dengan tidak mengikuti pemilu/golput maupun dengan mendukung partai yang sudah established, Golkar dengan berbagai pertimbangan yang sifatnya pribadi.148 Di daerah ini, Partai Golkar berhasil menggaet 3 (tiga) kursi DPR, disusul PDIP yang memperoleh 2 (dua) kursi DPR. Jadi, di propinsi ini, Partai Golkar tampil sebagai pemenang pemilu 1999.

147 Mulyana W. Kusumah, “Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 1999”, dalam Juri Ardiantoro F., Transisi Demokrasi; Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pemilu 1999, (Jakarta: KIPP, 1999), h. 127-136. Lihat pula Panitia Pemeilihan Indonesia, Jakarta 1 September 1999. 148 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1, h. 121.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 251 Sementara di Lampung, daerah yang sebagian besar penduduknya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga menjadi kantong NU, menyumbang 2 (dua) kursi DPR bagi PKB. Dengan demikian, perolehan kursi DPR di atas, menggambarkan kedigjayaan PKB di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur, daerah yang paling besar jumlah pesantrennya di Indonesia. Pada tahun 1980 jumlah pesantren di propinsi ini mencapai 1.344 buah dengan santri berjumlah 427.517 orang,149 sementara pada tahun 2004, institusi pesantren tersebut mengalami peningkatan hingga mencapai 3.582 buah dengan santri berjumlah 1.169.256 orang dari 14.798 buah pesantren di Indonesia dengan santri berjumlah 3.464.334 orang.150 Jadi, melalui jaringan pesantren yang ada, diiringi dengan peran kiai yang sangat efektif, PKB mampu merebut hati rakyat dan konstituennya, sehingga unggul dan menempati urutan pertama dalam perolehan kursi DPR dibandingkan partai Islam dan sekuler lainnya.

149 Statistik Pendidikan Islam (1979-1980), Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. 150 Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan (2004-2005), Ditjen Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia.

252 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi e) Struktur dan Kepemimpinan Partai Struktur organisasi PKB berbentuk seperti garis vertikal, merentang dari tingkat pusat sampai tingkat daerah dan desa. Organisasi Tingkat Pusat dipimpin oleh Dewan Pengurus Pusat (DPP); Organisasi Daerah Tingkat I dipimpin oleh Dewan Pengurus Wilayah (DPW); Organisasi Tingkat II dipimpin oleh Dewan Pengurus Cabang (DPC); Organisasi Tingkat Kecamatan dipimpin oleh Pengurus Anak Cabang dan Organisasi Tingkat Desa/Kelurahan dipimpin oleh Pengurus Ranting. Pada masing-masing tingkatan organisasi partai, susunan kepengurusan- nya terbelah menjadi Dewan Syura dan Dewan Tanfidzi. Struktur organisasi ini bersifat hirarkis dan birokratis, sehingga kewenangan, tugas dan ke- wajiban pimpinan di Tingkat Pusat adalah yang paling besar, diikuti oleh Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, Pengurus Anak Cabang dan Pengurus Ranting. Dalam konteks kepemimpinan partai, khususnya PKB, Dewan Pengurus Pusat merupakan pimpinan tertinggi partai. Oleh karena itu, dengan kepemimpinan yang bersifat kolektif, DPP memiliki wewenang dan kewajiban paling besar. Kewenangannya meliputi penentuan kebijaksanaan partai pada tingkat nasional sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat Nasional dan Peraturan Partai lainnya, serta pengesahan komposisi dan personalia

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 253 Dewan Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang. Sedangkan kewajibannya meliputi penyampaian laporan pertanggungjawaban pada muktamar, serta pelaksanaan segala ketentuan dan kebijaksanaan partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat Nasional dan Peraturan Partai lainnya.151 Dalam pada itu, Dewan Syura dalam PKB menempati posisi sentral, karena merupakan pimpinan tertinggi yang menentukan kebijakan partai. Dewan Syura adalah dewan pengurus kolektif yang terdiri atas para ulama dan para ahli yang mencerminkan representasi daerah sebagai pemegang amanah kepengurusan partai tertinggi pada setiap tingkatan. Pada tingkat pusat, jumlah anggota Dewan Syura tidak boleh melebihi 17 (tujuh belas) orang, dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada muktamar untuk masa jabatan 5 (lima) tahun. Susunan Dewan Syura terdiri atas ketua, wakil ketua, sekretaris dan anggota. Bila ketua, wakil ketua dan sekretaris berhalangan, maka dapat ditunjuk pejabat sementara berdasarkan musyawarah Dewan Syura. Selain Dewan Syura, kepengurusan partai juga dipegang oleh Dewan Tanfidzi, yaitu dewan pelaksana partai yang mengelola organisasi dan program-program partai pada setiap tingkatan. Di

151 Anggaran Rumah Tangga PKB Bab III, Pasal 12.

254 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Tingkat Pusat dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Syura Tingkat Pusat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun. Kepengurusannya terdiri dari ketua umum, beberapa ketua, sekretaris jenderal, beberapa wakil sekretaris jenderal, bendahara dan beberapa wakil bendahara. Dewan Tanfidzi memiliki kewenangan menentukan pola pengelolaan partai sesuai dengan kebijaksanaan Dewan Syura serta berdasarkan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Forum-Forum Musyawarah Partai dan Peraturan Partai lainnya; serta mengusulkan pembentukan perangkat-perangkat partai pada tingkatannya masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Sedangkan tugas-tugasnya meliputi (1) Melaksanakan kebijaksanaan partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Forum-Forum Permusyawaratan Partai dan Peraturan Partai lainnya; (2) Mengelola organisasi dan program-program partai secara efektif dan efisien dalam rangka pencapaian tujuan partai dan (3) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Dewan Syura. Untuk kelancaran pelaksanaan program- program, Dewan Pengurus Pusat membentuk kelengkapan partai yang disebut departemen, yang terdiri dari Departemen Organisasi, Keanggotaan dan Kaderisasi, Departemen EKUIN, Departemen

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 255 Pengembangan Sumber Daya Manusia, Departemen Pemuda dan Mahasiswa, Departemen Hubungan Internasional, Departemen Media Massa dan Pengembangan Opini, Departemen Jaringan Informasi dan Data, Departemen Seni dan Budaya dan Departemen Tenaga Kerja, Buruh, Tani dan Nelayan.152 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan struktur organisasi dan kepengurusan PKB memperlihatkan kesamaan dengan struktur organisasi massa Nahdlatul Ulama, suatu kenyataan yang sangat mungkin karena antara PKB dan NU memiliki hubungan yang bersifat historis, kultural dan aspiratif. Sebagaimana NU, susunan pengurus PKB di setiap tingkatan ada dua, Dewan Syura dan Dewan Tanfidzi, di mana kewenangan pertama lebih besar dibandingkan kewenangan yang kedua. Dewan Syura yang anggotanya terdiri dari para kiai adalah jajaran pimpinan yang menentukan kebijaksanaan, melakukan kontrol, mengevaluasi bahkan bisa mem- veto keputusan partai yang operasionalisasinya dilakukan oleh Dewan Tanfidzi. Kewenangan yang begitu besar yang diberikan kepada Dewan Syura, bagi PKB merupakan penghargaan, lantaran salah satu kekuatan yang terpenting dalam PKB adalah pesantren dan para kiai

152 Julia I. Suryakusuma, Almanak Parpol Indonesia, (Jakarta: API, 1999), h. 279-280.

256 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi pengasuhnya. Melalui otoritas agama yang disandangnya, mereka mampu menyerap aspirasi masyarakat yang ada di sekitarnya, bahkan melalui kharisma dan kepiawaiannya dalam mengemas bidang-bidang di luar agama, mereka juga dapat berperan sebagai lokomotif perubahan dalam bidang sosial, ekonomi, kesehatan, kebudayaan dan cara pandang masyarakat, yang pada gilirannya mereka dapat menjadi kekuatan politik yang empiris. Jadi, sebagai partai yang dibentuk untuk menyalurkan aspirasi warga NU yang sangat menghormati ulama, PKB tidak ingin tercerabut dari akar realitas tersebut. PKB tidak dapat mengingkari bahwa sejatinya yang memiliki umat dan massa secara nyata adalah para kiai, sehingga keberadaannya di dalam partai harus dihargai dengan menempatkannya pada posisi yang strategis. Oleh karena itu, seperti telah diuraikan, PKB merancang struktur organisasi yang mengkolaborasikan struktur organisasi politik modern, rasional, idealistik yang diilhami oleh nilai- nilai keagamaan dan pragrmatisme dalam pengertian yang positif.

2. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) a) Proses Pembentukan Partai Sejalan perjalanan waktu, dari sayap NU berdiri Partai Kebangkitan Nasional Ulama (selanjutnya

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 257 disebut PKNU).153 Pendirian partai politik baru ini bermula dari pertemuan para kiai/ulama, Rabu, 6 September 2006 di Graha Astra Nawa Jl. Gayungan Timur, Surabaya. Dalam rapat ini, mereka sepakat untuk mendirikan partai dan oleh karena itu, mereka memberikan mandat dan amanah kepada KH. Abdullah Faqih, kiai kharismatik, pengasuh Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, Jawa Timur dan KH. Abdurrochman Chudlori, pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API), Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, untuk mempersiapkan pendirian partai baru sekaligus melakukan istikhoroh guna memperoleh isyaroh atau petunjuk-petunjuk dari Allah.154 Sebagai ulama kenamaan, KH. Abdullah Faqih dan Mbah Dur, demikian KH. Abdurrochman Chudlori akrab disapa, pada pertemuan di Ponpes Langitan, Widang, Tuban, Kamis, 14 September 2006, mengembangkannya menjadi Tim 9 (sembilan). Selanjutnya, pada pertemuan di Ponpes Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Jum’at 21 September 2006, rapat sepakat mengembangkan Tim 9 (sembilan) menjadi

153 Berdirinya PKNU bermula dari perseteruan panjang antara PKB Gus Dur+Muhaimin Iskandar dengan PKB Alwi Shihab+Saifullah Yusuf. Dari PKB yang terakhir inilah kemudian muncul PKB Ulama dan selanjutnya lahir PKNU, setelah PKB Gus Dur+Muhaimin Iskandar memperoleh kemenangan dan pengesahan dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) Republik Indonesia. 154 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara Merdeka (Semarang), 30 Maret 2007.

258 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Tim 17 (tujuh belas), dan dilengkapi dengan Tim Asistensi yang terdiri dari 13 orang. Pada pertemuan tanggal 10 Nopember 2006, di Ponpes al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri, Jawa Timur, draft rancangan pendirian partai yang telah dibuat, diolah dan didiskusikan kembali, dan pada pertemuan puncak, tanggal 21 Nopember 2006, di Ponpes Langitan, Widang, antara para kiai dengan Tim 17 (tujuh belas), yang merupakan representasi para ulama NU, yaitu KH. Abdullah Faqih (Langitan, Widang, Tuban, Jatim), KH. Ma’ruf Amin (Tenara, Banten), KH. Abdurrochman Chudlori (Tegalrejo, Magelang, Jateng), KH. Ahmad Sufyan Miftahul Arifin (Panji, Situbondo, Jatim), KH. M. Idris Marzuki (Lirboyo, Kediri, Jatim), KH. Ahmad Warson Munawwir (Krapyak, Daerah Istimewa Yogyakarta), KH. Muhaimin Gunardo (Parakan, Temanggung, Jateng), KH. Abdullah Schal (Bangkalan, Jatim), KH. Sholeh Qosim (Sepanjang, Sidoarjo, Jatim), KH. Nurul Huda Djazuli (Ploso, Kediri, Jatim), KH. Chasbullah Badawi (Cilacap, Jateng), KH. Abdul Adzim Abdullah Suhaimi, MA. (Mampang Prapatan, Jakarta Selatan), KH. Mas Muhammad Subadar (Besuki, Pasuruan, Jatim), KH. A. Humaidi Dakhlan, Lc. (Banjarmasin, Kalsel), KH. M. Thahir Syarkawi (Pinrang, Sulsel), Habib Hamid bin Hud al-Atthos (Cililitan, Jakarta Timur) dan KH. Aniq Muhammadun (Pati, Jateng), dihasilkan 9 butir kesepakatan, antara lain para kiai

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 259 sepakat mendirikan parpol baru bernama PKNU sebagai kelanjutan PKB Ulama yang didlholimi oleh pengadilan dan kekuasaan. Dengan demikian, 21 Nopember 2006 merupakan tanggal, para kiai sepuh yang berjumlah tujuh belas kiai tersebut, bertempat di Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, sepakat dan menandatangani akad politik pendirian PKNU.155 Pendirian PKNU oleh para kiai/ulama yang oleh masyarakat dikenal mempunyai integritas keilmuan dan bermoral, dapat dipandang sebagai wadah politik untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (iqāmah al-haq wa al-‘adl), di samping harus dimaknai sebagai kebangkitan nasional “dari” (min al) ulama, karena melalui PKNU, para kiai/ulama menjadi motor yang menandai kebangkitan nasional kedua untuk melakukan perbaikan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah rusak. Selain itu, kehadirannya juga harus dimaknai sebagai alat politik untuk memperjuangan kebangkitan nasional sebagaimana ditunjukkan oleh para ulama terdahulu yang telah mewujudkan rasa cinta tanah air (hub al- wathan) dengan perlawanan terhadap penjajah.156

155 PKNU Diklaim sebagai Kelanjutan PKB, Suara Merdeka, (Semarang), 27 Nopember 2006. 156 KH. Abdullah Faqih, Ketua Tim Tujuh Belas Kiai dan Anggota Dewan Mustasyar PKNU, Wawancara Pribadi, Widang 15 Pebruari 2007.

260 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Dengan demikian, melalui PKNU para kiai/ ulama mempunyai keinginan untuk memperbaiki keadaan bangsa dan negara yang mengalami keterpurukan berkepanjangan pada semua sektor kehidupan, di samping juga menghendaki tercipta- nya tatanan sosial dan politik di Indonesia selaras dengan visi keagamaan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, sehingga tercapai harmonisasi serta dapat meng- hindari benturan antara agama dan negara (li al-Ishlāh al-Ummah Dīniyyatan wa Ijtimāiyyatan, Iqtishādiyyatan wa Siyāsiyyatan, Fikriyyatan wa Akhlāqiyyatan). Karena parpol yang ada tidak ada yang memiliki struktur dan platform sesuai dengan tanggung jawab para ulama, bahkan ada parpol yang hanya menjadikan ulama sebagai pelengkap dan alat legitimasi belaka, maka para kiai/ulama pun sepakat untuk men- dirikan PKNU yang berangkat dengan visi ke- agamaan, sebagai wadah politik untuk menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi warga NU. Jadi, PKNU adalah warna politik baru yang jauh dari arogansi kekuasaan, karena dikawal oleh para ulama.157 PKNU dideklarasikan pada Sabtu, 31 Maret 2007 di Pondok Pesantren Langitan Widang, Tuban, Jawa Timur, bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw dan istighotsah untuk mendo’akan

157 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 261 keselamatan bangsa dan negara atas berbagai berbagai bencana yang terjadi. Di depan 20 ribu massa, puluhan ulama “Kelompok Kiai Sepuh”, Tim 17 pendiri PKNU dan sejumlah habaib dari berbagai daerah, yang memenuhi halaman, Ketua Umum DPP PKNU, optimis mampu menarik mayoritas suara Nahdliyyīn pada pemilu 2009, bahkan yakni suara Nahdliyyīn yang secara nasional kurang lebih 18 persen bisa dipungut PKNU.“158 PKNU ini, klaim Anam, merupakan wujud baru Partai NU dulu”. Pada Pemilu 1955 dan 1971, Partai NU meraup suara 18 persen dari total suara pemilih nasional. Oleh karena itu, PKNU yang didirikan oleh para ulama senior NU berani menargetkan perolehan suara 18 persen pada Pemilu 2009. Dengan basis utama Jawa Timur, yang juga basis utama NU, maka PKNU yakin target 18 persen tidak mengada-ada.159 Ia optimis massa PKB Jawa Timur akan berpindah ke PKNU karena kiai-kiai berpengaruh di Jawa Timur adalah nyata-nyata atau notabene merupakan pendiri partai yang diketuainya itu. Para kiai itu antara lain KH. Abdullah Faqih, KH. Ahmad Sufyan, KH. M. Idris Marzuki, KH. Abdullah Schal, KH. Sholeh Qosim, KH. Nurul Huda Jazuli, KH. Mas Muhammad Subadar dan Lora Cholil, kiai muda, putera kiai besar NU almarhum KH. As’ad Syamsul Arifin. Perolehan

158 Deklarasi PKNU, Republika, (Jakarta), 2 April 2007, h. 3. 159 PKNU Tarik Mayoritas Nahdliyyīn, Antara News, (Jakarta), 31 Maret 2007.

262 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

11 juta suara nasional PKB pada Pemilu 2004, tujuh juta di antaranya merupakan sumbangan dari Jawa Timur. Sementara di luar Jawa Timur, sejumlah kiai NU berpengaruh juga bergabung di PKNU, seperti KH. Abdurrochman Chudlori, KH. Muhaimin Gunardo, KH. Aniq Muhammadun, KH. Chasbullah Badawi (Jateng), KH. Warson Munawwir (DIY), KH. Humaidi Dahlan (Kalsel), KH. M. Thahir Syarkawi (Sulsel), dan Habib Hamid bin Hud al-Atthos dan KH. Abdul Adzim Suhaimi (Jakarta) dan KH. Ma’ruf Amin (Banten).160 PKNU sendiri telah didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM pada 18 Oktober 2006 dan secara organisatoris telah siap mengikuti Pemilu 2009. Ia optimis PKNU lolos verifikasi dan dapat mengikuti pemilu, karena sesuai aturan, kepengurus- an PKNU sudah ada di 30-an propinsi dan 350-an kabupaten/kota yang merupakan peralihan dari kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hasil Muktamar Surabaya. KH. Ma’ruf Amin Ketua Dewan Mastasyar PKNU, yang juga salah seorang Rois Syuriah PBNU dan Ketua Komisi Fatwa MUI, menyatakan PKNU meski berazas Islam, tidak akan mengarahkan Indonesia menjadi Negara Islam. “PKNU meyakini NKRI adalah bentuk final Negara ini.” PKNU mempunyai tiga pandangan dalam meletakkan syariat Islam di dalam bingkai NKRI, sehingga tidak

160 Ibid.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 263 akan terjadi benturan antara Islam dan Negara serta antara umat Islam dengan penganut agama lain. Pertama, PKNU mendukung dan mengupayakan formalisasi syariat yang ruang lingkupnya privat dan tidak mengundang keberatan pemeluk agama lain, misalnya UU Haji, Zakat, Perkawinan, Wakaf dan Waris. Kedua, terkait persoalan yang menentukan wilayah publik, PKNU akan berusaha memasukkan substansi atau nilai-nilai dasar agama Islam. Ketiga, apabila ha-hal tersebut tidak bisa dicapai, maka PKNU akan memperjuangkan terciptanya kesesuaian aturan dengan nilai dari tujuan-tujuan syariat. Dengan demikian, agama dan negara bisa tumbuh bersama-sama dan saling mengisi, sehingga tercapai harmonisasi. Ini dimungkinkan karena azas PKNU itu Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang bermakna mendasar untuk membentuk karakter dan sikap politik yang moderat, toleran, reformatif, dinamis dan bermetode.161 KH. Ma’ruf Amin selanjutnya menegaskan, bahwa NU sebagai organisasi telah memilih mengambil jarak dengan partai politik, sedangkan partai politik yang ada dinilai kurang sejalan dengan aspirasi para ulama, terutama dalam penataan dan perbaikan kehidupan umat. Oleh karena itu, mereka mendirikan PKNU dan keterlibatan mereka dalam PKNU bukan untuk mengejar kedudukan politik,

161 Ibid.

264 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi melainkan untuk memenuhi tanggung jawab keulamaan, salah satunya adalah tanggung jawab yang berkenaan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. NKRI adalah fitrah. Oleh karena itu, harus dikawal melalui perjuangan politik agar cita-cita negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dapat terwujud dengan sebaik-baiknya. Jadi, tidak ada kepentingan politik pribadi, baik jangka pendek maupun jangka panjang.162 KH. Abdurrochman Chudlori, Ketua Dewan Syuro yang juga dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API), Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, menegaskan, politik bukanlah sesuatu yang haram bagi kalangan ulama. Justru, para ulama harus terlibat di dalamnya agar bisa turut langsung dalam upaya memperbaiki dan mengatur negara, di samping mengurus umat. Jadi, PKNU ini merupakan bangkitnya ulama untuk ikut mengatur negara agar tidak semakin rusak. Kiai dan ulama wajib mendirikan partai sebagai sarana ikut mengatur negara, bukan untuk mengejar kekuasaan.163

162 Ibid. 163 Ulama Harus Melekat Dengan Politik, Republika, (Jakarta), 17 Desember 2006, h. 3.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 265 b) Azas dan Tujuan Sebuah partai cenderung memilih Islam sebagai azasnya jika seluruh penggagas dan sebagian besar pendukungnya menganut agama Islam. PKNU yang didirikan oleh para kiai sepuh dan didukung oleh warga NU juga punya kecenderungan yang sama, dengan menjadikan Islam menurut faham Ahl al- Sunnah wa al-Jamā’ah sebagai azas (ciri khusus yang dapat membentuk karakter politik bagi sebuah partai), yakni membentuk karakter dan sikap politik yang moderat (tawassuthiyyah), toleran (tasammuhiyyah), reformatif (islāhiyyah), dinamis (tathowwuriyyah) dan bermetode (manhījiyyah). Sedangkan tujuan perjuangannya adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT, menegakkan kebenaran dan keadilan, mewujudkan kebersamaan dan persaudaraan sejati sesuai dengan nilai-nilai Islam ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.164 c) Visi & Misi Visi PKNU adalah menciptakan negara dan bangsa yang adil, damai, dan sejahtera (baldatun

164 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007. Lihat pula Anggaran Dasar PKNU BAB III, Pasal 3 dan 4.

266 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi thoyyibatun wa robbun ghafūr) sebagai perwujudan dari rasa keimanan yang berlandaskan keagamaan dan rasa cinta tanah air. Sedangkan misi PKNU tecermin dari tiga bentuk tanggung jawab yang diemban ulama. Pertama, tanggung jawab yang berkaitan dengan agama Islam (dīniyyah Islāmiyyah), yakni ulama menjadi penjaga keberlangsungan agama Islam yang berdasarkan aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah (mas’uliyyah dīniyyah Islāmiyah ‘ala thariqah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah) sebagai kerangka berfikir dan bertindak dalam beragama dan ber- bangsa, sehingga antara agama dan negara tumbuh bersama saling mengisi dan tercapai harmonisasi. Tanggung jawab kedua yang dipikul ulama adalah bertalian dengan umat (mas’uliyyah ummatiyah), yakni ulama berupaya untuk memenuhi tuntutan umat atas tiga hal yang menjadi kebutuhan- nya, antara lain kebutuhan primer (dharuriyyah/ asāsiyyah), kebutuhan sekunder (hājiyyah), dan ke- butuhan yang sifatnya aksesoris (tahsīniyyah/ takmīliyyah). Kebutuhan umat baik yang primer, sekunder maupun aksesoris ini menjadi tanggung jawab ulama untuk memenuhinya agar tercapai kesejahteraan. Ketiga, tanggung jawab ulama yang berkenaan dengan berbangsa dan bernegara (mas’uliyyah wathaniyyah). Terkait tanggung jawab ini, para ulama meyakini, bahwa Negara Kesatuan Republik

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 267 Indonesia (NKRI) adalah final. Keyakinan ini harus senantiasa dikawal melalui artikulasi (perjuangan) politik ulama agar cita-cita Negara Republik Indonesia seperti termaktub dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dapat terwujud dengan sebaik-baiknya.165 PKB adalah partai yang dibentuk dan dibesarkan oleh para kiai yang berkomitmen kuat terhadap Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Berkat keterlibatan kiai- kiai sepuh di dalamnya, PKB berhasil meraih peringkat ketiga perolehan suara pemilu 1999 dengan persiapan yang hanya enam bulan. Ironisnya, dalam perjalanan selanjutnya, partai ini mempertontonkan tingkah laku yang melenceng jauh dari cita-cita politik kiai. Akibatnya, para kiai yang semuanya merupakan tokoh-tokoh NU terkemuka bersepakat bahwa partai ini tidak dapat lagi dijadikan sebagai alat perjuangan politiknya. Karena, sudah sangat menyimpang dari rancang bangun partai politik yang diharapkan baik dari sisi perilaku, platform, struktur dan terutama ideologi. Sekalipun pembentukannya difasilitasi oleh PBNU, namun, akibat dari pelbagai penyimpangan tersebut, pada Muktamar NU ke-30 di Asrama Haji Donohudan, Solo, PBNU secara tegas

165 Lihat Anggaran Dasar PKNU Bab V Pasal 7.

268 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi menyatakan tidak lagi ada ikatan politik, kultural dan emosional dengan PKB.166 Bertolak dari serangkaian pertemuan yang dilakukan secara marathon oleh sejumlah kiai sepuh yang terakui kredibilitas moral dan keilmuannya atas dinamika politik seperti dijelaskan di atas dan diiringi dengan permohonan petunjuk kepada Allah SWT., maka dicapailah satu kesepakatan untuk mendirikan partai baru bernama PKNU sebagai alat perjuangan bukan untuk meraih kekuasaan. Ke- lahiran PKNU berarti kebangkitan nasional dari (min al) ulama. Partai ini didirikan oleh para kiai untuk dijadikan sebagai kekuatan penggerak yang paling andal bagi kebangkitan nasional kedua di Indonesia, guna melakukan pelbagai perubahan dalam kehidup- an berbangsa dan bernegara yang sudah rusak. Perubahan mendasar yang dikehendaki oleh PKNU mencakup perubahan tatanan nilai, sistem, dan kepemimpinan yang pada saat ini sangat mendesak untuk dibenahi.167

166 A. Adib, “Politik Kiai dan Kiai Politik,” Semarang, (Suara Merdeka), 5 April 2007. 167 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 269 d) Basis Massa Melalui visi dan misi yang telah digariskan di atas, PKNU mencoba untuk membuka diri dan pintu bagi setiap muslim, warga negara Indonesia, terutama kalangan Nahdliyyīn untuk menjadi anggota partai. AD/ART PKNU menyebutkan bahwa syarat menjadi anggota partai adalah warga negara Indonesia, muslim dan telah berumur 17 tahun atau telah menikah; dapat membaca dan menulis; serta menyetujui dan menerima Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta Partai Politik.168 Jadi, PKNU tetap mensyaratkan Islam sebagai syarat keanggotaan, lantaran PKNU merupakan partai yang didirikan oleh para kiai sepuh, kharismatik dan berpengaruh, yang notabene merupakan warga dan pengawal NU, bahkan di antara mereka ada yang menduduki jabatan sebagai Rais Syuriah PBNU.169 Dalam menjaring anggota sebanyak-banyaknya, PKNU mempermudah prosedur pendaftaran anggota, yang dimulai dengan pengajuan untuk menjadi anggota kepada Dewan Pengurus Cabang melalui Pengurus Ranting setempat, disertai pernyataan persetujuan terhadap AD/ART, politik partai dan membayar uang pangkal. Jika per- mohonan dikabulkan, maka status sebagai calon

168 Anggaran Rumah Tangga PKNU Bab II, Pasal 3. 169 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007.

270 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi anggota selama 6 (enam) bulan dapat dimiliki dengan hak menghadiri kegiatan-kegiatan partai yang dilakukan secara terbuka. Jika tahap ini terlampaui, maka status anggota penuh dapat diberikan oleh Dewan Pengurus Cabang dengan penerbitan Kartu Anggota Partai. Namun demikian permintaan anggota dapat ditolak, jika ditemukan alasan-alasan yang bertentangan dengan AD/ART.170 Secara mendasar, keanggotaan partai dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu anggota langsung, anggota tak langsung dan anggota kehormatan.171 Dari ketiga jenis keanggotaan itu, kategori kedua menempati urutan pertama dari keseluruhan massa PKNU, sedangkan urutan kedua ditempati oleh anggota langsung, suatu realita yang barangkali disebabkan oleh budaya politik kebanyakan warga negara Indonesia yang enggan berhubungan dengan persoalan-persoalan administratif yang rumit dan birokratis, di samping karena konsentrasi partai pada hal-hal yang lebih mendesak seperti konsolidasi internal kepemimpinan, menghadapi konflik politik antar politisi NU, merespon isu-isu politik nasional dan keterbatasan waktu dan lain sebagainya. Sementara anggota kehormatan, tidak banyak jumlahnya, lantaran kualifikasi untuk masuk di dalamnya tergolong tidak mudah.

170 Anggaran Rumah Tangga PKNU Pasal 5. 171 Anggaran Rumah Tangga PKNU Pasal 4.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 271 Selain diberi hak dan kewajiban, anggota partai juga dilarang merangkap menjadi anggota partai lain, menjadi organisasi kemasyarakatan yang azas dan tujuannya berseberangan dengan azas dan tujuan partai, serta harus tunduk pada struktur organisasi partai yang lebih tinggi sepanjang tidak melanggar AD/ART. Bila melanggar, maka diancam dengan pembatalan keanggotaan, yang pelaksanaannya dilakukan melalui beberapa tahap.172 Meskipun demikian, upaya PKNU untuk menampung seluruh warga Nahdliyyin, sehingga dapat menjadikannya sebagai partai politik yang tangguh, bisa jadi akan menemui batu sandungan dari para kiai dan politisi, karena dari sayap NU selain Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga terdapat Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP masih tetap eksis dan established, serta menyatakan diri sebagai partai berazas Islam, menggantikan azas Pancasila dan berlambang Ka’bah menggantikan lambang Bintang.173

172 Anggaran Rumah Tangga PKNU Bab II, Pasal 11. 173 Pada Muktamar PPP, Rabu, 9 Desember 1998, di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur, ada 2 (dua) wacana yang mencuat yakni penggantian tanda gambar dan Islam sebagai azas partai. Fenomena pertama tidak lebih dari sebuah fenomena simbolik, sementara wacana kedua bersifat substansial, karena dengan fenomena itu, PPP berupaya “mengidentifikasi” dirinya secara tegas agar ia dapat “mendefinisikan” diri dan didefinisikan” sebagai partai politik modern, dengan basis konstituen yang khas. Konkretnya, pertama, ia tetap memiliki jatidiri dan citra positif sebagai partai politik berbasis massa Islam. Kedua, dengan demikian, PPP telah melakukan terobosan politik: agar

272 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Sebagai partai yang dibentuk oleh para kiai pesantren, pengawal NU dan warga NU, PKNU sangat menggantungkan dukungan dari komunitas NU, khususnya pesantren-pesantren NU dan para kiai pengasuhnya, yang tersebar di wilayah perdesaan Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan daerah- daerah lain di Indonesia. Khusus untuk Jawa Timur, Ketua Umum optimis pada Pemilu 2009, partai yang dipimpinnya mampu mendulang 11 juta suara Nahdliyyin yang tersebar di daerah itu, mengingat Jawa Timur merupakan daerah yang paling besar jumlah pesantrennya di Indonesia. Pada tahun 1980 jumlah pesantren di propinsi ini mencapai 1.344 buah dengan santri berjumlah 427.517 orang, sementara pada tahun 2004, institusi pesantren tersebut mengalami peningkatan hingga mencapai 3.582 buah dengan santri berjumlah 1.169.256 orang dari 14.798 buah pesantren di Indonesia dengan santri berjumlah 3.464.334 orang. Jadi, melalui jaringan pesantren yang ada, diiringi dengan peran kiai yang sangat efektif, PKNU mampu merebut hati rakyat dan konstituen- nya, sehingga unggul dan menempati urutan pertama dalam perolehan kursi DPR kelak dibandingkan perolehan suara dalam pemilu kelak bertambah, atau setidaknya bertahan. Lihat M. Alfan Alfian, ‘Islam Politik’ PPP, dalam Musa Kazhim & Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan, Analisis dan Prospek, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. Ke-1, h. 305.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 273 partai Islam dari sayap NU khususnya dan partai sekuler lainnya.174 e) Struktur dan Kepemimpinan Partai Struktur organisasi PKNU berbentuk seperti garis vertikal, merentang dari tingkat pusat sampai tingkat daerah dan desa. Organisasi Tingkat Pusat dipimpin oleh Dewan Pengurus Pusat (DPP); Organisasi Daerah Tingkat I dipimpin oleh Dewan Pengurus Wilayah (DPW); Organisasi Tingkat II dipimpin oleh Dewan Pengurus Cabang (DPC); Organisasi Tingkat Kecamatan dipimpin oleh Pengurus Anak Cabang dan Organisasi Tingkat Desa/Kelurahan dipimpin oleh Pengurus Ranting. Pada masing-masing tingkatan organisasi partai, susunan kepengurusannya terdiri dari Dewan Mustasyar (Dewan Pertimbangan), Dewan Syura (Dewan Permusyawaratan) dan Dewan Tanfidzi (Dewan Eksekutif).175 Struktur organisasi ini bersifat

174 KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007. Lihat pula PKNU Tarik Mayoritas Nahdliyyīn, Antra News, (Jakarta), 31 Maret 2007. 175 Bandingkan dengan struktur organisasi PKB yang hanya terdiri dari Dewan Syuro dan Dewan Tanfidzi, sedangkan struktur organisasi PPP terdiri dari Majelis Pertimbangan Partai, Majelis Pakar dan Dewan Pimpinan Pusat. Bila pada PKB, Dewan Syuro mempunyai posisi sentral, karena ia merupakan pimpinan tertinggi yang menentukan kebijaksanaan partai, maka pada PPP, Dewan Pimpinan Pusat Partai justru menempati posisi sentral, karena sebagai Dewan Pelaksana, ia menentukan kebijakan partai, bukan Majelis Pertimbangan Partai atau

274 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi hirarkis dan birokratis, sehingga kewenangan, tugas dan kewajiban pengurus di tingkat Pusat adalah yang paling besar, diikuti oleh Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, Pengurus Anak Cabang dan Pengurus Ranting. Dalam konteks kepengurusan partai, khususnya PKNU, Dewan Pengurus Pusat merupakan pimpinan tertinggi partai. Oleh karena itu, dengan kepengurusan yang bersifat kolektif, DPP memiliki wewenang dan kewajiban paling besar. Kewenangannya meliputi penentuan kebijaksanaan partai pada tingkat nasional sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat Nasional dan Peraturan Partai lainnya, serta pengesahan komposisi dan personalia Dewan Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang. Sedangkan kewajibannya meliputi penyampaian laporan pertanggungjawaban pada muktamar, serta pelaksanaan segala ketentuan dan kebijaksanaan partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Tingkat Nasional dan Peraturan Partai lainnya.176

Majelis Pakar. Keduanya hanya berfungsi memberi pertimbangan semata dan penentu akhir tetap pada DPP. Sementara pada PKNU, Dewan Mustasyar menempati posisi sentral, karena ia merupakan pimpinan tertinggi yang berfungsi sebagai pengarah dan penentu kebijakan partai yang mendasar. Dengan demikian, letak posisi sentral penentu kebijakan partai sangat kondisional dan tergantung pada masing-masing partai politik. 176 Anggaran Rumah Tangga PKNU Bab III, Pasal 13.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 275 Dalam pada itu, Dewan Mustasyar dalam PKNU menempati posisi sentral, karena merupakan pimpinan tertinggi yang berfungsi sebagai pengarah dan penentu kebijakan partai yang mendasar. Dewan Mustasyar adalah dewan pengurus kolektif yang beranggotakan para kiai senior dengan KH. Ma’ruf Amin sebagai Rois. KH. Ma’ruf Amin menegaskan, keterlibatan ulama dalam PKNU bukan untuk mengejar kedudukan politik, melainkan untuk memenuhi tanggung jawab keulamaan, salah satunya adalah tanggung jawab yang berkenaan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.177 Pada tingkat pusat, jumlah anggota Dewan Mustasyar 26 (dua puluh enam) orang kiai senior, dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada muktamar untuk masa jabatan 5 (lima) tahun. Susunan Dewan Mustasyar terdiri dari seorang ketua dan beberapa orang anggota. Bila ketua, berhalangan, maka berdasarkan musyawarah dapat ditunjuk anggota senior sebagai pejabat sementara. Karena berfungsi sebagai peng- arah dan penentu, maka Dewan Mustasyar melalui Dewan Syura dapat melakukan kontrol dan meng- evaluasi, bahkan bisa menveto keputusan partai yang secara operasional dilakukan oleh Dewan Tanfidzi. Dengan demikian, dalam kepengurusan PKNU, selain Dewan Mustasyar, juga terdapat Dewan Syuro

177 PKNU Resmi Dideklarasikan, Antara News, (Jakarta), 31 Maret 2007.

276 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi dan Dewan Tanfidzi. Struktur keduanya berada di bawah Dewan Mustasyar. Sebagaimana Dewan Mustasyar, kepengurusan Dewan Syuro juga diisi oleh para kiai dan terdiri dari seorang ketua dan 5 (lima) wakil ketua, seorang sekretaris dan wakil sekretaris serta 14 (empat belas) anggota. Ketua Dewan Syuro terpilih KH. Abdurrochman Chudlori, pengasuh Ponpes Asrama Perguruan Islam, Tegal- reja, Magelang, sementara sekretaris terpilih Prof. Dr. Alwi Shihab, mantan Ketua Umum PKB dan mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI. Sementara Kepengurusan Dewan Eksekutif diduduki oleh politisi dan terdiri dari seorang ketua umum, 8 (delapan) ketua, seorang sekretaris jenderal, 8 (delapan) wakil sekjen, seorang bendahara dan 5 (lima) wakil bendahara. Ketua Umum PKNU terpilih Drs. H. Choirul Anam, mantan Ketua Pengurus Wilayah PKB Jawa Timur dan Ketua Umum PKB hasil Muktamar Ulama Surabaya, sekretaris jenderal terpilih H. Idham Cholied, sedangkan bendahara umum terpilih Ridwan Zai.178 Dewan Tanfidzi merupakan dewan pelaksana partai yang mengelola organisasi dan program-program partai pada setiap tingkatan. Di tingkat Pusat dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Syura dan Dewan Mustasyar Tingkat Pusat untuk masa jabatan 5 (lima)

178 PKNU Resmi Dideklarasikan, Antara News, (Jakarta), 31 Maret 2007. Dalam Deklarasi itu, juga disebutkan Struktur Organisasi PKNU di atas.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 277 tahun. Dewan Tanfidzi memiliki kewenangan menentukan pola pengelolaan partai sesuai dengan arahan dan kebijaksanaan Dewan Mustasyar, Dewan Syura serta berdasarkan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Forum-Forum Musya- warah Partai dan Peraturan Partai lainnya; serta mengusulkan pembentukan perangkat-perangkat partai pada tingkatannya masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Sedangkan tugas-tugasnya meliputi (1) Melaksanakan kebijaksanaan partai sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Forum-Forum Permusyawaratan Partai dan Peraturan Partai lainnya; (2) Mengelola organisasi dan program-program partai secara efektif dan efisien dalam rangka pencapaian tujuan partai; dan (3) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Dewan Mustasyar dan Dewan Syuro. Untuk kelancaran pelaksanaan program- program, Dewan Pengurus Pusat membentuk kelengkapan partai yang disebut departemen, yang terdiri dari Departemen Organisasi, Keanggotaan dan Kaderisasi, Departemen EKUIN, Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia, Departemen Pemuda dan Mahasiswa, Departemen Hubungan Internasional, Departemen Media Massa dan Pengembangan Opini, Departemen Jaringan Informasi dan Data, Departemen Seni dan Budaya

278 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi dan Departemen Tenaga Kerja, Buruh, Tani dan Nelayan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan struktur organisasi dan kepengurusan PKNU tidak memperlihatkan kesamaan dengan struktur organisasi massa Nahdlatul Ulama, suatu kenyataan yang sangat mungkin, karena antara PKNU dan NU meskipun didirikan oleh para kiai pesantren, tidak memiliki hubungan yang bersifat historis, kultural dan aspiratif. Namun, karena dibentuk oleh para kiai, Ketua Umum PKNU mengklaim bahwa PKNU adalah kelanjutan dari PKB Ulama hasil Muktamar Surabaya, berdasarkan salah satu butir keputusan final rapat para kiai “Tim Tujuh Belas” di Ponpes langitan, Widang, Tuban, 21 Nopember 2006, bahkan juga dikalim bahwa “PKNU merupakan wujud baru Partai NU dulu.”179 Kewenangan yang begitu besar yang diberikan kepada Dewan Mustasyar dan Dewan Syura, bagi PKNU merupakan penghargaan, lantaran salah satu kekuatan yang terpenting dalam PKNU adalah pesantren dan para kiai pengasuhnya. Melalui otoritas agama yang disandangnya, mereka mampu menyerap aspirasi masyarakat yang ada di sekitar- nya, bahkan melalui kharisma dan kepiawaiannya

179 Lihat “PKNU Diklaim Sebagai kelanjutan PKB,” Suara Merdeka, (Jakarta), 27 Nopember 2006. lihat pula “PKNU Tarik Mayoritas Nahdliyyin,” ANTARA News, (Jakarta), 31 Maret 2007.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 279 dalam mengemas bidang-bidang di luar agama, mereka juga dapat berperan sebagai lokomotif perubahan dalam bidang sosial, ekonomi, kesehatan, kebudayaan dan cara pandang masyarakat, yang pada gilirannya mereka dapat menjadi kekuatan politik yang empiris. Jadi, sebagai partai yang dibentuk untuk menyalurkan aspirasi warga NU yang sangat menghormati ulama, PKNU tidak ingin tercerabut dari akar realitas tersebut. PKNU tidak dapat mengingkari bahwa sejatinya yang memiliki umat dan massa secara nyata adalah para kiai, sehingga keberadaannya di dalam partai harus dihargai dengan menempatkannya pada posisi yang strategis. Oleh karena itu, seperti telah diuraikan, PKNU merancang struktur organisasi yang mengkolaborasikan struktur organisasi politik modern, rasional, idealistik yang diilhami oleh nilai- nilai keagamaan dan pragmatisme dalam pengertian yang positif.180 Kepengurusan PKNU, untuk Dewan Mustasyar (Dewan Pertimbangan) diisi antara lain oleh para deklarator dan anggota Tim Tujuh Belas dengan Rois/Ketua, KH. Ma’ruf Amin, Anggota, KH. Abdullah Faqih, KH. Ahmad Sufyan Miftahul Arifin, KH. Zainal Aibidin Munawwir, KH. Muhaiman Gunardo, KH. Achmad Basyir (Kudus), KH.

180 KH. Abdurrochman Chudlori, Politik Kiai dan PKNU, Suara Merdeka, (Semarang), 30 Maret 2007.

280 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi

Abdullah Schal, KH. M. Idris Marzuki, KH. Nurul Huda Djazuli, KH. Mas Muhammad Subadar, KH. Mansur Sholeh, KH. Hasbullah Badawi, KH. Afif Astari, KH. Abdul Hamid Baedhowi, Habib Syagaf al-Jufri, MA., KH. Abdul Jalil Ma’ruf, KH. Hasan Syarif, Lc., KH. Choiruddin Rais, KH. Abdurrahman, KH. Achmad Basyir (Sumenep), KH. Ahmad Damiri, KH. Ahya’ al-Anshori, KH. Abdul Aziz Afandi, Habib Hamid bin Hud al-Atthos, Nyai Hj. Nihayah Achmad Shiddiq dan Nyai Hj. Umroh Thalhah Mansur. Dewan Syuro (Dewan Permusyawaratan) juga diisi antara lain oleh para deklator dan anggota Tim Tujuh Belas dengan Ketua, KH. Abdurrochman Chudlori, Wakil Ketua, KH. Ahmad Warson Munawwir, KH. Anwar Iskandar, KH. Ubaidillah Faqih, KH. A. Humaidi Dakhlan, Lc., dan KH. M. Thahir Syarkawi. Sekretaris, Prof. Dr. H. Alwi Shihab, Wakil Sekretaris, KH. Aly As’ad, Anggota, KH. R. Muhammad Cholil As’ad, KH. Sholeh Qosim, KH. Hasan Aminuddin, KH. Muchtar Amin, KH. Machrus, KH. Abdul Haq Zaini, KH. Sulthon Daeng Rowa, KH. Amir Asyikin, KH. Abdul Latif Faqih, KH. Abdul Adzim Abdullah Suhaimi, MA., KH. Aniq Muhammadun, KH. Amin Siradj, Habib Anis al- Hinduwan dan Tengku H. Razali Irsyad. Sedangkan Dewan Tanfidz (Dewan Eksekutif) diduduki oleh politisi dengan Ketua Umum, Drs. H. Choirul Anam, Ketua, R. Saleh Abdul Malik, MBA., Dr. H. Zein

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 281 Heflin Frinces, B.Sc., M.Sc., Soc., MA., H. Chudry Sitompul, SH., MH., Ir. H. Mukhtar Thaher, MT., Muhammad Nazief, SE., MBA., H. Muhammad Said, Dra. Hj. Siti Ma’rifah, SH., MM. dan Ahmad Anas Yahya. Sekretaris Jenderal, H. Idham Cholied, Wakil Sekjen, Drs. M. Jamaluddin Shofisa, SH., M.Kn., Muhammad Tohadi, SH., M.Si., H. Andi Najmi Fuaidi, SH., Drs. H. Nur Hasan, M.Si., Drs. H. Ni’am Syukri MSR., Galih Fachruddin Qurbani, ST., Abdullah Mufied Mubarok, dan Zainal Abidin Amir, S.Ag., SIP. Bendahara Umum, Ridwan Zai, Dipo Nusantara Pua Upa, SH., Drs. HT. Jakin Sobri, MM., Bambang Sungkono, H. Abdul Chalim dan Dra. Hj. Farichatul Aini.181 Berdasarkan akad yang telah disepakati dan struktur organisasi partai di atas, maka para kiai ingin menegaskan bahwa PKNU pada pentas politik nasional, akan membangun warna baru: politik kiai, yakni bahwa partai politik dan politisi bergerak sesuai dengan arahan dan bimbingan para kiai, bukan kiai politik, yang cenderung berarti kiai-lah yang terseret arus politik. Jadi, karakter politik kiai dibangun di atas landasan bahwa politik merupakan alat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (iqomah al-haq wa al-‘adl) dengan orientasi amar ma’ruf

181 PKNU Resmi Dideklarasikan, Antara News, (Jakarta), 31 Maret 2007. Dalam Deklarasi itu, juga disebutkan Struktur Organisasi PKNU di atas.

282 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi nahi al-munkar, sehingga bagi PKNU politik tidak sekedar, meraih dan mempertahankan kekuasaan belaka, tetapi sebagai ibadah mencari ridlo Allah SWT.182 Dari terminologi politik kiai tersebut, maka nampak bahwa yang membedakan PKNU dari partai-partai politik lain yang sudah ada adalah terletak pada kehadiran Dewan Mustasyar – selain Dewan Syuro dan Dewan Tanfidz – yang tidak sekedar hiasan berisikan kiai sepuh, tetapi memiliki bobot politik yang besar, sehingga bisa mengeluarkan veto atas perilaku yang dinilai bertentangan dengan arahan perjuangan partai. Karena posisi politiknya yang besar itu, maka Dewan Mustasyar berfungsi pula sebagai problem solver dari sengketa politik yang mungkin muncul.183

3. Implikasi Kebangkitan PKB dan PKNU Terhadap Dunia Pesantren Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan salah satu dari sekian banyak partai yang berdiri pada era reformasi. Pembentukannya yang terjadi, sehari setelah Soeharto meletakkan jabatan sebagai

182 A. Adib, Politik Kiai dan Kiai Politik, Suara Merdeka, (Semarang), 5 April 2007. 183 Ibid.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 283 Presiden, Kamis, 21 Mei 1998, tidak bisa dipisahkan dari desakan warga NU, kiai pesantren, politisi dan para simpatisan, kepada PBNU. Oleh karena itu, tepat bila dikatakan bahwa PKB merupakan partai yang kelahirannya dibidani oleh PBNU dan direstui oleh para kiai pesantren yang menjadi pendukung dan pengawal NU.184 Selain itu, PKB juga dapat dikatakan sebagai partai jelmaan dari partai NU,185 yang pada tahun 1970-an difusikan dengan tiga partai Islam lainnya – Parmusi, PSII dan Perti – menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan pembentukan PKB juga dapat dikatakan sebagai jalan tengah dari warga NU untuk berjuang pada lini struktural melalui proses pembuatan dan perumusan kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat, sambil terus melakukan gerakan kultural melalui NU yang tetap dipertahankan sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyah dīniyah) pada era perubahan yang terjadi di pentas politik nasional. Untuk memberi landasan perjuangan PKB di sektor struktural, maka dirumuskanlah mabda’ siyāsy (titik tolak politik) dengan pendekatan fiqih siyāsy untuk

184 Pengawalan kiai pesantren terhadap PKB terlihat dari suara yang diperolehnya. Sebagai partai partai yang masih belia, PKB bisa mendulang suara cukup besar dan muncul sebagai partai yang menduduki posisi keempat, setelah PDIP, Partai Golkar dan PPP. 185 Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologi Partai-Partai Islam Versus Partai Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Cet. Ke-1, h. 133.

284 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi menerapkan nilai-nilai dan etika sosial Islam dalam bernegara, sebagaimana telah menjadi tradisi NU.186 Adapun PKNU merupakan partai politik yang pendiriannya dibidani oleh para kiai pesantren yang sebelumnya menjadi pendukung dan pengawal PKB. Pendirian PKNU juga tidak bisa dipisahkan dari konflik berkepanjangan antara PKB versi Muktamar Semarang yang dipimpin oleh Gus Dur-Muhaimin Iskandar dengan PKB versi Muktamar Surabaya pimpinan Choirul Anam. Karena keputusan Mahkamah Agung memberikan kemenangan kepada kepengurusan PKB versi Muktamar Semarang, maka sejumlah kiai pesantren yang tergabung dalam Forum Langitan, langsung mengambil sikap mendirikan partai baru.187 Partai yang dideklarasikan di Pondok Pesantren Langitan pada Sabtu, 31 Maret 2006 di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur itu diberi nama Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Dengan demikian, pada era reformasi ini terdapat tiga partai yang kepengurusannya didominasi oleh warga NU, yakni PPP, PKB dan PKNU. Khusus dua yang terakhir ini, pendiriannya banyak melibatkan kiai pesantren.

186 A. Muhaimin Iskandar, “PKB: Politik Rahmatan Lil-‘Alamin,” dalam Sahar L. Hasan, (ed.), Memilih Partai Islam, Visi, Misi dan Persepsi, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 25-26. 187 Kiai Langitan Siapkan Partai Baru, Republika, (Jakarta), 26 Agustus 2006, h. 3.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 285 Sebagai partai politik, pendirian PKB dan PKNU jelas banyak melibatkan kiai pesantren. Tetapi kemudian, persoalannya pada basis akar rumput, terutama warga pesantren yang menjadi pendukungnya, juga akan terpolakan mengingat kedua partai tersebut, pembentukannya juga dibidani oleh para pengasuh pesantren? Pada era Orde Baru, khususnya pada era 1970-1980-an, pesantren bisa terpolakan, misalnya ada pesantren Golkar dan ada pesantren PPP.188 Pesantren Golkar diwakili oleh Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang. Sedangkan pesantren PPP diwakili oleh Pondok Pesantren Tebuireng, Pondok Pesantren al-Taroqqy, Sampang Madura, Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus, Situbondo, Pondok Pesantren Langitan, Widang Tuban dan lain sebagainya. Tetapi pada era reformasi, berkaitan dengan keberadaan dua partai, PKB dan PKNU, pola-pola pesantren bisa jadi masih ada, tetapi tidak sekental era pemerintah Presiden Soeharto, sebagaimana terlihat pada Pemilu 2004 yang lalu, ada satu atau bahkan banyak pesantren yang santrinya menyalurkan aspirasinya kepada banyak partai, misalnya ada yang memberikan

188 Imam Suprayogo, “Kiai dan Politik Di Pedesaan, Suatu Kajian Tentang Variasi dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiai,” Disertasi Doktor Ilmu Sosial, (Surabaya: Perpustakaan Pascasarjana Universitas Airlangga, 1998), h. 14.

286 Sikap Kiai terhadap Politik Era Reformasi suaranya ke PKB, PPP, Golkar, Partai Demokrat, PKS atau bahkan PDI dan lain sebagainya.189 Dalam pandangan kiai, pemberian suara oleh para santri yang tidak tunggal itu biasa di era reformasi ini. KH. Abdullah Faqih, Ketua Deklarator PKNU, menanggapi pernyataan Khadziq, Ketua Umum DKN Garda Bangsa, yang menyatakan bahwa tidak wajib hukumnya bagi kader PKB masuk ke PKNU, tetapi, tidak dilarang jika kader PKB masuk ke PPP sebagaimana dijelaskan di atas, justru menegaskan bahwa tidak perlu saling menggembosi, apalagi saling menjatuhkan. Para kiai yang selama ini menjadi panutan PKB hasil Muktamar Surabaya sudah mufakat mendirikan PKNU sebagai wadah baru. Kalau mau gabung sumonggo (silahkan), jika tidak, ya tidak usahlah komentar macam-macam.190 Dalam konteks pesantren, penegasan KH. Abdullah Faqih tersebut juga menunjukkan kearifan seorang kiai bahwa sesama pesantren tidak perlu bersitegang apalagi konflik, sehingga menyebabkan perpecahan pesantren. Masing-masing pesantren dapat menjalan-

189 Lihat lebih lanjut Asrori S. Karni dan Arif Sujatmiko, Politik Seribu Pintu, Gatra, XI, 1-2 (November, 2004), h. 20-25. Kondisinya tidak seperti pada era Orde Lama dan Orde Baru yang membenturkan Islam Nasionalis (Nasionalis Religius) dengan bukan Islam (Nasionalis Sekuler), sehingga terdapat anggapan yang tidak mencoblos Masyumi berarti tidak Islam dan yang tidak mencoblos PPP juga berarti tidak Islam. Pesantren Tebuireng dipandang sebagai pendukung PPP, sedangkan Pesantren Darul Ulum sebagai pendukung Golkar. 190 PKNU Diklaim Sebagai Kelanjutan PKB, Suara Merdeka, (Semarang), 27 Nopember 2006.

Pesantren dan Dinamika Politik Nasional Era Reformasi 1998 – 2004 287 kan aktivitasnya sesuai dengan ketentuan yang telah digariskannya, bahkan juga dapat bersinergi dalam memperjuangkan hak-hak pesantren sebagai lembaga pendidikan melalui mekanisme penyusunan anggaran pada lembaga legislatif dan eksekutif, sehingga keberadaan dan keberlangsungannya tetap dapat terjaga. Abdullah Mufiet Mubarok, Wakil Sekjen PKNU, lebih lanjut, menyatakan bahwa semua pihak hendaknya saling menghargai dan meng- hormati, tidak perlu memberikan himbauan yang tidak-tidak kepada yang lain, mau bergabung ya silahkan, tidak maun bergabung ya tidak masalah. Semua diserahkan kepada para santri dan warga pesantren untuk menentukan pilihannya.191 Kiai M. Hasib Wahab, Anggota Dewan Pembina Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Jombang, malah menyatakan bahwa partai bukan barang sakral. Dakwah bisa dilakukan di mana saja. Jadi, dengan bekal spirit NU, para santri dipersilahkan memilih jalur politik mana saja, ibarat melalui seribu pintu.192

191 PKNU Diklaim Sebagai Kelanjutan PKB, Suara Merdeka, (Semarang), 27 Nopember 2006. 192 Asrori S. Karni dan Arif Sujatmiko, Politik Seribu Pintu, Gatra, XI, 1-2 (November, 2004), h.23-24.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, KH. Siradjuddin, Ulama Syafi’i dan Kitab- kitabnya dari Abad ke Abad, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1975. Abdullah, Taufik, Nasionalisme & Sejarah, Bandung: Setya Historika, 2001, Cet. Ke-1. Abdullah, Taufiq (ed), Sejarah Ummat Islam Indonesia, Jakarta: MUI, 1991. Aidit, D.N., Revolusi, Angkatan Bersenjata dan Partai Komunis, Jakarta: Pembaruan, 1964. Alfian, “Sekitar Lahirnya Nahdlatul Ulama” (NU), Sebuah Resume Dalam Bentuk Booklet, Jakarta: Leknas-LIPI, 1969. Alfian, Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta: Leknas, 1971. Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1978. Ali, A. Mukti, Modern Thought in Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Nida, 1971. Ambary, Hasan Muarif (ed.), Geger Cilegon 1888 Peranan Pejuang Banten Melawan Penjajah Belanda, Serang: Panitia Hari Jadi Ke-462 Pemda Tk. II Kebupaten Serang, 1988. Ambary, Hasan Muarif, Michrob, Halwani (ed), Geger Cilegon 1888, Peranan Pejuang Banten Melawan

569

Penjajah Belanda, Serang: Pemda Tk. II Kabupaten Serang, 1988. Amin, M. Masyhur dan Ridwan, M. Nasikh, KH. Zaini Mun’im, Pengabdian dan Karya Tulisnya, Yogyakarta: LKPSM, 1996, Cet. Ke-1. Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, Jakarta: LP3ES, 2003), Cet. Ke-1. Anam, Choirul (ed.), KHR. As’ad Syamsul Arifin, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, (Surabaya: Sahabat Ilmu, 1994, Cet. Ke-1. Anam, Choirul, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Surabaya: Jatayu Sala, 1985. Anderson, Benedict R.O.G., Some Aspects of Indonesian Politics under the Japanese Occupation 1944-1945, Ithaca: Modern Indonesia Project, 1967. Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Muhammadiyah, Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1962. Anggaran Dasar dan Rumah Tangga PKB, Jakarta: DPP PKB, 1999. Anggaran Dasar dan Rumah Tangga PKNU, Jakarta: DPP PKNU, 2006. Anshari, E. Saifuddin, Kritik Atas Faham Dan Gerakan “Pembaharuan” Drs. Nucholish Madjid, Bandung: Bulan Sabit, 1973. Antlov, Hans dan Cederroth, Sven, Kepemimpinan Jawa, Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter, terjemahan P. Soemitro, Jakarta: Yayasan Obor, 2001, Cet. Ke-1.

570

Aritonang, Diro, Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto, Rekaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet. Ke-1. Armstrong, Karen, Berperang demi Tuhan, Fundamentalisme Dalam Islam, Kristen dan Yahudi terjemahan, Satrio Wahono, Muhammad Helmi dan Abdullah Ali, Bandung: Mizan, 2001, Cet. Ke-1. Asmawi, PKB: Jendela Politik Gus Dur, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999. Atjeh, H. Aboe Bakar, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Panitia Buku Peringatan KH. A. Wahid Hasyim, 1957. Azhari, Muntaha dan Saleh, Abdul Mun’im (ed.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren Dan Masyarakat, 1989. Aziz, A. Gaffar Aziz, Berpolitik Untuk Agama, Missi Islam, Kristen dan Yahudi Tentang Politik, alih bahasa Ilyas Siraj, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, Cet. Ke-1. Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam Di Indonesia, Bandung: Mizan, 1994, Cet. Ke-1. Al-Badri, Syaikh Abdul Aziz, Ulama Mengoreksi Penguasa, terjemahan Salim Muhammad Wakid, Solo: Pustaka Mantiq, 1991, Cet. Ke-2.

571

Baehaqi, Imam (Peny.), Soeharto Lengser; Perspektif Luar Negeri, Yogyakarta: LKiS, 1999. Bakry, H.M.K., al-Ghazzali, Jakarta: Wijaya, 1962. Barton, Greg, Biografi Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2003, Cet. Ke-1. ------, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Paramadina, 1999, Cet. Ke-1. Basyaib, Hamid dan Abidin, Hamid (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden, Jakarta: Alvabet, 1999, Cet. Ke-1. Batuthah, Ibnu, Rihlatu Ibnu Batuthah al-Musammat Tujfatu al-Nadhar fi Gharāibi al-Amshor wa ‘Ajāibi al-Asfār, Cairo: al-Istiqamah, 1386/1967, Juz. I. Benda, Harry J., The Crescent and The Rising Sun, Indonesian Islam under The Japanese Occupation 1942-1945, Den Haag: The Hague, 1958. Benedanto, Pax, (et.al.), Pemilihan Umum 1999, Demokrasi atau Rebutan Kursi?, Jakarta: LSPP, 1999. Brugmans, I.J., Geschiedenis van het Orderwijs in Ned. Indie, Batavia: Groningen, 1938. Budiardjo, Miriam (ed), Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: Gramedia, 1982. Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1999, Cet. Ke-20.

572

Cahyono, Heru, Peranan Ulama Dalam Golkar: 1971- 1980, Dari Pemilu Sampai Malari, Jakarta: Sinar Harapan, 1992. Castles, Lance, Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus, Jakarta: Sinar Harapan, 1982, Cet. Ke-1. Chaidar, Manaqib Mbah Ma’sum, Kudus: Menara Kudus, 1972. Al-Chaidar, Pemilu 1999, Pertarungan Ideologis Partai- Partai Islam versus Partai-Partai Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1999, Cet. Ke-1. Chalil, H. Moenawar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1955. Deutsch, Karl W., Politics and Government: How People Decide Their Fate, Boston, Houghton Mifflin Co., 1970. Dewantoro, Ki Hadjar, Taman Siswa, Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962. Dhakidae, Daniel, “Pemilihan Umum di Indonesia: Saksi Pasang Naik dan Surut Partai Politik”, dalam Demokrasi dan Proses Politik, kumpulan artikel di dalam Majalah Prisma, Jakarta: LP3ES, 1986. Dhoefier, Zamakhsyari, The Pesantren Tradition, The Role of the Kiai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, USA: ASU, 1999. Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, Yogyakarta: LKiS, 1999, Cet. Ke-1.

573

Dirdjosisworo, Soedjono, Aspirasi Dan Sikap Politik Gus Dur Di Tengah Reformasi Menuju Indonesia Baru, Bandung: Mandar Maju, 1999. Djajadiningrat, A., “Het Leven in Een Pesantren, Tijdscrift Voor Het Binnenlandsche, Vol. 34, 1908. Djumhur, I dan Danasuparta, H., Sejarah Pendidikan, Bandung: Ilmu, 1974), Cet. Ke-9. Djunaidi, H. Mahbub, Nahdlatul Ulama Kembali Ke Khittah 1926, Bandung: Risalah, 1985, Cet. Ke-1. DPW NU Daerah Istimewa Yogyakarta, Hasil Bahtsul Masail Sekitar Pemilu Antar Pondok Pesantren Se- Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Karya Grafika, 1987. Ecip, S. Sinansari (ed), NU Khittah dan Godaan Politik, Bandung: Mizan, 1994. ------, NU Dalam Tantangan, Jakarta: al-Kautsar, 1989, Cet. Ke-1. Effendy, Bachtiar, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal, Retaknya Hubungan NU, Presiden dan Negara, Jakarta: Ushul Press, 2005. ------, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998. F., Juri Andiantoro, Transisi Demokrasi; Evaluasi, Kritis Penyelenggaraan Pemilu 1999, Jakarta: KIPP, 1999.

574

Fathoni, Khoirul dan Zen, Muhammad NU Pasca Khittah, Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah, Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992. Fealy, Greg dan Barton, Greg, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Yogyakarta: LKiS, 1997, Cet. Ke-1. Fealy, Greg, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952- 1967, Yogyakarta: LKiS, 2003, Cet. Ke-1. Feillard, Andree, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LKiS, 1999, Cet. Ke-1. Feillard, Andree, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LKiS, 1999, Cet. Ke-1. Feith, Herbert, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca, Cornell University Press, 1962. Forrester, Geoff & May, RJ (ed.), The Fall of Soeharto, Bathurst, NSW: Crawford House Publishing, 1998. Gani, Soelistyati Ismail, Pengantar IlmuPolitik, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991. Gazalba, Sidi, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1962. Geertz, Clifford, “The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker,” Comparative Studies in Society and History, 2, No. 2 (Januari 1960).

575

------, The Religion Of Java, London: Collier- Macmillan Limited, 1960. Ghazali, Abd. Rohim, Gus Dur Dalam Sorotan Cendekiawan Muhammadiyah, Bandung: Mizan, 1999. Al-Ghazzali, Abu Hamid Muhammad, Ihya ‘Ulumuddin, Cairo: Musthafa al-Babi al-Halby, 1936. ------, al-Iqtisad Fi al-I’tiqad, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1983. Gibb, H.A.R. and Kramer, J., Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1953. Habibie, Bacharuddin Jusuf, Detik-Detik Yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Jakarta: THC Mandiri, 2006, Cet. Ke- 1. Haidar, M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama Dan Islam Di Indonesia, Pendekatan Fikih Dalam Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994, Cet. Ke-1. Hamidi, Jazim (ed), Persepsi dan Sikap Masyarakat Santri Jawa Timur Terhadap Bank Syariah, Malang: Centre for Business & Islamic Economics Studies, Faculty of Economics- Brawijaya University, 2006. Hasan, Sahar L., (ed.), Memilih Partai Islam, Visi, Misi dan Persepsi, Jakarta: Gema Insani, 1998. Hasyim, Abd. Wahid, “Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban, Sejarah Berdiri dan Perkembangannya 1852-1982”, Skripsi Sarjana

576

Sejarah kebudayaan Islam, Jakarta: Perpustakaan Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah, 1982. Hiroko, Horikoshi, “A Traditional Leader in a Time for Change: The Kijaji and Ulama in West Java”, Disertasi, University of Illinois, 1976. Hurgronje, C. Snouck, Mekka in the Latter Part of the 19th Century, translation J.H. Monahan, Leiden: E.J. Brill, 1931. Ida, Laode, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. ------, NU Muda, Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, Jakarta: Erlangga, 2004. Ilyas, Yunahar, Amin, M. Masyhur dan Lalito, M Daru (ed.), Muhammadiyah dan NU Reorientasi Wawasan KeIslaman, Yogyakarta: Kerjasama LPPI UMY, LKPSM NU dan PP al-Muhsin, 1993, Cet. Ke-1. Irsyam, Mahrus, Ulama dan Partai Politik, Jakarta: Yayasan Perhidmatan, 1984. Ismail, Faisal, NU, Gusdurisme dan Politik Kiai, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, Cet. Ke-1. Ismaun, Pantjasila, Dasar Filsafah Negara Republik Indonesia, Bandung: Carya Remadja, 1972. J., Vredenbregt, De Baweanners in hun moederland en in Singapore, Leiden: 1968. Jalil, Abdul, Tuhfah al-Asfiya, Semarang: Toha Putra, 1963.

577

Jansen, G.H., Islam Militan Bandung: Pustaka, 1980. Al-Jurjani, Syarif Ali bin Muhammad, al-Ta’rifāt, Beirut: Dar al-Fikr, 1970. Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Universitas Yarsi, 1998. Kahin, George McTurnan, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1952. Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen P&K., 1974. Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonilalisme Sampai Nasionalisme Jakarta: Gramedia, 1990, Cet. Ke-1, Jilid 2. ------, Protest Movement in Rural Java, A Study of Agrarian Unrest in the Nineteenth and Early Twentieth Centuries, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973, Cet. Ke-1. ------, The Peasants Revolt of Banten in 1888, Bandung: Gravenhage: Nijhoff, 1966. Kazhim, Musa Kazhim & Hamzah, Alfian, 5 Partai Dalam Timbangan, Analisis dan Prospek, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet. Ke-1. Kern, R.A., De Islam in Indonesia, Uitgeverij W. Van Hoeve’s Gravenhage, 1974. Krissantono (ed.), Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, Jakarta: CSIS, 1976. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, Cet. Ke-1.

578

Kusumah, Mulyana W., (dkk)., Penata Politik Pasca Reformasi, Jakarta: KIPP INDONESIA, 2000, Cet. Ke-1. Laporan-Laporan Tentang Gerakan Protes Di Jawa Pada Abad XX, Jakarta: Arsip Nasional RI, 1981. Laswell, Harold D., Politics, Who Gets What, When, How, New York: World Publishing , 1972. Lau & Shani, A.B., James B., Behaviour in Organizations: An Experiential Approach, Homewood: Richard Irwin Inc, 1992. Lev, Daniel S., Islamic Courts in Indonesia a Study in The Political Basses of Legal Institution, Jakarta: Intermasa, 1980. ------, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959, New York: Cornell University, 1966. Liddle, William, Pemilu Pemilu Orde Baru, Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES, 1992. Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Politik Di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988, Cet. Ke-1. ------, Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, Islam Dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, Cet. Ke-1. Machfoedz, Maksoem, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, Surabaya: Yayasan Kesatuan Ummat, 1983.

579

Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan Jakarta: Paramadina, 1997, Cet. Ke-1. Mandan, Arief Mudatsir, Sidang Umum MPR RI 1999 Memilih Gus Dur Menjadi Presiden, Jakarta: Forum Indonesia Satu, 2000. Manning, Chris dan Van Diermen, Peter (ed), Indonesia di Tengah Transisi, Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, Yogyakarta: LKiS, 2000. ------, Perkembangan Mutakhir dan Aspek Sosial, Yogyakarta: LKiS, 2000. Mansurnoor, Iik Arifin, Islam in Indonesian World: Ulama of Madura, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990. Marijan, Kacung, Quo Vadis NU Setelah Kembali Ke Khittah 1926, Jakarta: Erlangga, 1992. Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004, Cet. Ke-1. Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Basri al-Baghdadi, al-Ahkām al- Sulthāniyah wa al-Wilayāt al-Dīniyah Cairo: Dar al-Fikr, 1960. Miri, M. Djamaluddin, Ahkāmul Fuqahā, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004, Cet. Ke-1

580

Mitchell, Joyce M. Mitchell, William C., Political Analysis and Public Policy: An Introduction to Political Science, Chicago, Rand Mc. Nally, 1969. Moehadjir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996, Cet. Ke-3, h. 15. Moesa, Ali Maschan, Kiai & Politik Dalam Wacana Civil Society, Surabaya: LEPKISS, 1999, Cet. Ke-1. Mudjib, Abdul, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980. Muhammad Said Abdurrahim, I’lāmu al-Munadldlimīn Biwujūbi Luzūmi al-Jam’iyat ‘Ala Jamā’ati al- Muslimīn, tp: tt. Muhammad, Muhib Huda, Pro Kontra Partai Kebangkitan Bangsa, Jakarta: Fatma Press, 1988. Mukhtar (ed), Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Rosdakarya, 1990. Mulkhan, Abdul Munir, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Yogyakarta: Sipress, 1992, Cet. ke-1. Mulyati, Sri (et.al), Mengenal & Memahami Tarekat- Tarekat Muktabarah Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, Cet. Ke-1. Murtopo, Ali, Strategi Politik Nasional, Jakarta: CSIS, 1974, Cet. Ke-2. Musthofa, KH. Bisri, Risalah Ahlu al-Sunnah wa al- Jama’ah, Kudus, Yayasan al-Ibriz Menara Kudus, 1967. Mustofa (ed.), Memilih Partai Mendambakan Presiden Belajar Berdemokrasi Di Ufuk Milenium, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, Cet. Ke-1.

581

Muzadi, H. A. Hasyim, Membangun NU di Era Pasca Gus Dur; dari Sunan Bonang Sampai Paman Sam, Jakarta: Grasindo, 1999. ------, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 1999), Cet. Ke-1. Nadjib, Muhammad, Ijtihad Politik Poros Tengah dan Dinamika Partai Amanat Nasional, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000. Al-Naqsyabandi, Syekh Ahmad al-Kasyqani, Jami al- Ushūl Fi al-Auliyā’, Beirut: Dar al-Fikr, 1970. Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. Ke-1. Noeh, Munawar Fuad dan HS., Mastuki (ed), Menghidupkan Ruh Pemikiran K.H. Achmad Siddiq, Jakarta: Logos Wcana Ilmu dan Pemikiran, 1999, Cet. Ke-1. Noer, Deliar, Partai-Partai Islam Di Pentas Nasional, Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta; Grafiti Pers, 1987, Cet. Ke-1. ------, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Singapore: Oxford University Press, 1973. Notonegoro, Pancasila Falsafah Negara, Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1974. Notosusanto, Nugroho, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, Jakarta: Balai Pustaka, 1982.

582

Pambudi, A., Kontroversi “Kudeta” Prabowo, Yogyakarta: Media Pressindo, 2007. PBNU, Permasalahan dan Jawaban Muktamar NU ke-28, Kudus: Menara Kudus, 1989. PBNU, Sejarah Ringkas Nahdlatul Ulama, Jakarta: Panitia Harlah 40 NU, 1966. Penuntun Santri, Lamongan: Pondok Pesantren Langitan, 2004, Cet. Ke-1. Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga ‘Fatayat Nahdlatul Ulama’ Jakarta: Pucuk Pimpinan Fatayat NU, 1990. Poerbakawatja, Soegarda, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung Agung, 1970. Poerwodarminto, W.J.S., Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976. Poesponegoro, Marwati Djoenet dan Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka,1984, Cet. Ke-4. Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang: Yayasan Ponpes Bahrul Ulum, 2006. Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang: Yayasan Darul Ulum, 2006. Prasodjo, Sudjoko, (ed), Profil Pesantren, Laporan Hasil Penelitian Pesantren al-Falak & Delapan Pesantren Lainnya di Bogor, Jakarta: LP3ES, 1974. Prijono, “Riwayat Penjajahan Barat dan Perlawanan Umat Islam”, dalam Beberapa Penggalan dari Sejarah Perjuangan Islam, Jakarta: 2605/1945.

583

Profil Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Jombang: Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, 2006. Program Pengembangan Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan Jombang: Yayasan Darul Ulum, 2001. Program Pengembangan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang: Yayasan Pondok Pesantren Tebuireng, 2000. Quzwain, Chatib (dkk), Kompilasi Perundang- Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Jakarta: Departemen Agama RI, 1995. Radi, Umaidi, Strategi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Semasa 1973-1982, Jakarta: Integritas Press, 1984. Rahardjo, M. Dawam (ed), Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1974, Cet. Ke-1. Rahim, Husni, Madrasah Dalam Politik Pendidikan Di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2005. Rasyid, H. Sulaiman, Fiqih Islam, Jakarta: al- Thohiriyah, 1955, Cet. Ke-13. Renyaan, Yopie, B., Theodure dan Junaedi, Daniel P. (ed.), Transisi Demokrasi, Evaluasi Kriitis Penyelenggaraan Pemilu 1999, Jakarta: KIPP, 1999. Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005, Cet. Ke-1. Ridlwan, Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren, Sebagai Usaha Peningkatan

584

Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, Jakarta: Cemara Indah, 1978. Ruslan, Utsman Abdul Mu’iz, al-Tarbiyah al-Siyāsiyah ‘Inda Jamā’ah al-Ikhwān al-Muslimīn, fi al-Fatrah min 1928 ila 1954 fi Mishr, Mesir: Dār al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1960. Al-Qardhawi, Yusuf, Konsep Ilmu Dalam Persepsi Rasulullah, terjemahan Amir Hamzah Fahruddin, Mabrur Buang Tarmudzi dan Zainal Arif Fachruddin RM, Jakarta: Firdaus, 1994, Cet. Ke-1. ------, Min Fiqhid Daulah Fil Islam, Cairo: Durusy Syuruq, 1997, Cet. Ke-1. Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Mahāsinu al- Ta’wīl IX, Cairo: al-Babi al-Halabi, 1378-1959. Al-Qusyairi, Imam Abu al-Qāsim Abu Karīm bin Hawāzin, al-Risālah al-Qusyairiyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1970. Siradj, Said Agiel, Islam Kebangsaan, Fiqih Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999. Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976. Salim, Hairus dan Ridwan, Muhammad (ed), “Kultur Hibrida”, Anak Muda di Jalur Kultural, Yogyakarta: LKiS, 1999. Salim, Peter, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1980.

585

Saragih, Bintan R., Lembaga Perwakilan Dan Pemilihan Umum Di Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1988, Cet. Ke-1. Schrieke, B., Indonesian Sociological Studies,Part Two, The Hague and Bandung: W. Van Hoeve,1957. ------, Indonesian Sosiological Studies, Part One, The Hague, Bandung: W. Van Hoeve, 1955. ------, Sedikit Uraian Tentang Pranata Perdikan, Jakarta: Bhratara, 1975. Schwarz, Adam & Paris, Jonathan (ed.), The Politics of Post Soeharto Indonesia, New York: The Council on Foreign Relation, 1999. Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Menuju Sikap terbuka Dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997, Cet. Ke- 1. Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996, Cet. Ke-1. Siddiq, KH. Ahmad Siddiq, Khittah al-Nahdliyah, Surabaya, Balai Buku, 1979. ------, Khittah Nahdliyah, Bangil: Percetakan Persatuan, 1979. ------, Pedoman Berfikir ‘Nahdlatul Ulama’ Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Cabang Jember, Jember: TP, 1969. Simandjuntak, I.P., Perkembangan Pendidikan di Indonesia, Bandung: Angkasa, 1973. Simorangkir, J.C.T., Kansil. C.ST. dan Erwin, Rudy T., Aku Warga Negara Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1970, Cet. Ke-1.

586

Sitompul, Einar Martahan, NU dan Pancasila, Sejarah dan Peranan NU dalam Perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam Rangka Penerimaan Pancasila Sebagai Satu-satunya Asas, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989, Cet. Ke-1. Sodik, Mochammad, Gejolak Santri Kota, Aktivis Muda NU Merambah Jalan Lain, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000. Soebardi, “Santri Relegious Element as Reflected in The Book of Tjentini,” Bidragen Tot De Taal Land-en Volkenkunde, Vol. CXXVII, Martinus Nijhoff, 1971. Soekardi, Heru, Kiai Haji Hasyim Asy’ari, Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pndidikan dan Kebudayaan, 1979. Statistik Pendidikan Agama & Keagamaan (2004-2005), Ditjen Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. Statistik Pendidikan Islam (1979-1980), Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia. Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Ulama, Gresik: Arsip NU, 1926. Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1974. ------, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, Cet. Ke-1.

587

------, Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda Dan Islam Di Indonesia (1596-1942), Bandung: Mizan, 1995. Stibbi, D.G., Encyclopaedia Van Nederlandsch Indie, Vol. III, Leiden: Martinus Nijhoff, 1919. Stoddard, Lothrop, Dunia Baru Islam, Jakarta: Panitia Penerbit, 1966. Subchan, Arief (Penyunting), Indonesia Dalam Transisi Menuju Demokrasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Sugihwaras, Sadikun, Pondok Pesantren Dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Dharma Bakti, 1979. Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis 1966-2001, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005, Cet. Ke-1. Suharno, Sejarah Kelahiran dan Perjuangan Nahdlatul Ulama, Jakarta: Lakpesdam NU, 1980. Suharsono, Cemerlangnya Poros Tengah, Terpilihnya GUSDUR Terobosan Besar Elite Politik Islam, Jakarta: Perenial Press, 1999, Cet. Ke-1. Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001, Cet. Ke-1. Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1999, Cet. Ke-1. Suminto, H. Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Het kantoor voor Inlandsche zaken, Jakarta: LP3ES, 1985, Cet. Ke-1.

588

Suprayogo, Imam, “Kiai dan Politik Di Pedesaan, Suatu Kajian Tentang Variasi dan Bentuk Keterlibatan Politik Kiai,” Disertasi Doktor Ilmu Sosial, Surabaya: Perpustakaan Pascasarjana Universitas Airlangga, 1998. Surdiasis, Fransiskus (ed.), Opini Denny J.A. Harian Suara Pembaharuan, Jalan Panjang Reformasi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006. Suryadinata, Leo, Political Parties and The 1982 General Election in Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1982. Suryakusuma, Julia I., Almanak Parpol Indonesia, Jakarta: API, 1999. Suyuthi, Mahmud, Politik Tarekat, Yogyakarta: Gilang, 2002, Cet. Ke-1. Al-Syahrastani, Abi al-Fath Muhammad Abdul Karim Ibn Abi bakr Ahmad, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, Tt. Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, alih bahasa H. Muhtar Yahya dan M. Sanusi Latief, Jakarta: Bulan Bintang, 1970. Thoha, Zainal Arifin, Runtuhnya Singgasana Kiai, NU, Pesantren dan Kkekuasaan: Pencarian Tak Kunjung Usai, Yogyakarta: Kutub, 2003, Cet. Ke-1. Thohir, Ajid, Gerakan Politik Kaum Tarekat, Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, Cet. Ke-1.

589

Tim INCRes, Beyond Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. Ke-1. Tohadi, Muhammad, Oase Kebangsaan, Jakarta: Lembaga Kajian Wacana Indonesia, 2000. Trisula, Nilai-Nilai Moral Pendidikan Darul Ulum, Jombang: Undar, 1982. Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2004, Cet. Ke-1. Ulum, Bahrul, “Bodohnya NU” apa “NU Dibodohi”? Jejak Langkah NU Era Reformasi: Menguji Khittah, Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta: Ar- Ruzz Press, 2002, Cet. Ke-1. Umam, Chatibul, “Pesantren dan Variasinya,” Makalah Disampaikan Dalam Diskusi Dosen Fakultas Adab, Jakarta, Fakultas Adab, 1989. van Bruinessen, Martin, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994, Cet. Ke-1. ------, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1992, Cet. Ke-1. ------, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Survey Historis, Geografis dan Sosiologis, Bandung: Mizan, 1995, Cet. Ke-3. ------, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995, Cet. Ke1. van Den Berg, L.W.C., “Het Mohammedansche Godsdien stonderwijs op Java en Madoera”, Tijdschrif Voor

590

Indische Taal Land-en Volkenkunde, Vol. XXXI, 1886. Varma, S.P., Teori Politik Modern, Jakarta: Rajawali Press, 1982. Wahid, Salahuddin, Negeri Di Balik Kabut Sejarah, Catatan-Catatan Pendek Salahuddin Wahid, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000, Cet. Ke-1. Weber, Max, The Theory of Social and Economic Organization, New York: Macmillan, 1946. Wertheim, W.F., From Aliran to Class Struggle in The Country Side of Java, Pacific Viewpoint, 1969. ------, Indonesian Society in Transition a Study of Social Change, The Hague and Bandung: W.V. Van Hoeve, 1956. Yamin, H.M., Tata Negara Majapahit II, Jakarta: Yayasan Prapanca, tt. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1985. Yusuf, Slamet Effendi (et al.), Dinamika Kaum Santri, Menelusuri Jejak & Pergolakan Internal NU, Jakarta: Rajawali, 1983, Cet. Ke-1. Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, Kudus: Menara Kudus, 1963. Zidane, Mehdy (ed), Nasihat Spiritual, Mengenal Tarekat ala Habib Luthfi Bin Yahya, Bekasi: Hayat Publishing, 2006, Cet. Ke-1. Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, alih bahasa oleh Butche B. Soendjojo dari

591

Pesantren Islamische Bildung in Sozialen Wandel, Jakarta: P3M, 1983. Zuhri, KH. Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari Pesantren, Jakarta: Gunung Agung, 1987. ------, KH. Abdulwahab Chasbullah: Bapak dan Pendiri Nahdlatul Ulama, Jakarta: Yamunu, 1972. ------, Sejarah Kebangkitan Islam Dan Perkembangannya Di Indonesia, Bandung: al- Ma’arif, 1981, Cet. Ke-3. ------, Guruku Orang-orang Dari Pesantren, Bandung: al-Ma’arif, 1977.

SURAT KABAR/MAJALAH

A. Adib, Politik Kiai dan Kiai Politik, Suara Merdeka, (Semarang), 5 April 2007. Ahmad Tohari, “Kiai Soft Power,”, Republika, (Jakarta), 21 Mei 2007. Anas Urbaningrum, “legitimasi Gus Dur”, Panji Masyarakat, IV, 02 (April, 2000). Arief Mudatsir Mandan, “al-Muhafadhotu ala al-Qadim al-Sholeh wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah,” Pesan, (Jakarta). 5 Nopember 1980. Asrori S. Karni dan Arif Sujatmiko, “Politik Seribu Pintu”, Gatra Edisi Khusus, XI, 1-2 (Nopember, 2004). Asrori S. Karni, “Ibukota” Kaum Nahdliyyin”, Gatra Edisi Khusus, XI, 1-2 (Nopember, 2004), h. 23.

592

Azyumardi Azra, “Islam dan Politik Luar Negeri”, Republika, (Jakarta), 7 Desember 2006. Bachtiar Effendi, “NU Harus Tegaskan Khittah”, Taswirul Afkar, 06 (Tahun 1999). Gus Dur, “Kiai Jangan Berorientasi Kekuasaan”, Republika, (Jakarta), 14 Maret 2007. Harun Husein, Islam Yes, Partai Islam Why Not? Republika, (Jakarta), 18 Nopember 2006. Harun Husein, Islam Yes, Partai Islam Yes?, Republika, (Jakarta), 17 Nopember 2006. Hidayat: Cak Nur Akhirnya, ‘Partai Islam Yes!’, Republika, (Jakarta), 3 Oktober 2006. Ketua Umum PP RMI: “Pemerintah Diminta Keluarkan PP Tentang Kepesantrenan,” www.syirah.com/syirah ol/print2.php.2007. KH. Abdullah Faqih, Menolak Istilah Kiai Khas dan Kiai Kampung, Jawa Pos, (Surabaya), 2 April 2007. KH. Abdurrochman Chudlori, “Ketua Dewan Syura PKNU, Ulama Harus Melekat Dengan Politik,” Republika, (Jakarta), 17 Desember 2006. KH. Abdurrochman Chudlori, “Politik Kiai dan PKNU,” Suara Merdeka (Semarang), 30 Maret 2007. KH. Alawy Muhammad, “Daerah-Daerah Rawan Rusuh”, Panji Masyarakat, No. 4 (Mei, 1999). KH. Idham Chalid, Kenang-Kenangan Mu’tamar Ke- 22, Jakarta, 13-18 Desember 1960.

593

Kholis Bahtiar Bakri dan Mujib Rahman, “Suara Langit Tutupi Mega,” Gatra Edisi Khusus, XI, 1- 2 (November, 2004). Syamsuddin Haris, NU dan Politik: Perjalanan Mencari Identitas, Jurnal Ilmu Politik (Jakarta) 7, 1990. Yahya Umar, “Jawa Barat Tuan Rumah Jambore Pramuka Santri 2009,” Republika (Jakarta), 15 September 2006. Yusuf Hasyim, Panjimas, (Jakarta), 19 September 1987. Yusuf Kalla, “Parpol Jangan Dikritik Terus”, Republika, (Jakarta), 10 April 2007. ‘Asalkan Kompeten, Ulama Boleh Berpolitik’, Republika, (Jakarta), 20 Mei 2007. ‘Banyak Ulama Lebih Suka Di Dunia Politik, Republika, (Jakarta), 19 Mei 2007. “Daerah-daerah Rawan Rusuh”, Panji Masyarakat, No. 4, (12 Mei, 1999). “Pesan Kesehatan Dari Pesantren”, Dialog Jum’at Tabloit Republika, (Jakarta), 15 September 2006. “PKNU Bertujuan Memperbaiki Bangsa”, Republika, (Jakarta), 19 Pebruari 2007. “PKNU Diklaim Sebagai kelanjutan PKB,” Suara Merdeka, (Jakarta), 27 Nopember 2006. “PKNU Tarik Mayoritas Nahdliyyin,” ANTARA News, (Jakarta), 31 Maret 2007.

594

“Ulama Harus Melekat Dengan Politik”, Republika, (Jakarta), 17 Desember 2006. Banjir Klaim Dukungan Jelang Muktamar PPP, Republika, (Jakarta), 22 Januari 2007. Deklarasi PKNU, Republika, (Jakarta), 2 April 2007, h. 3. DPW PKB Jawa Timur, Dokumen Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa, (Jakarta, 1998). Halaqah, P3M, Edisi XI/2000, h. 5. Harmonisasi Islam dan Demokrasi, Gatra Edisi Khusus, (Jakarta), 27 Nopember 2004. Jabat Tangan Soeharto-Gus Dur Sudah Lama Dirindukan oleh Warga NU, Kompas, (Jakarta), 6 Nopember 1996. Jawa Pos, 29 Mei 1999. Kebijakan Program Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren, Melalui Pemberdayaan Koperasi Pondok Pesantren, Republika, (Jakarta), 9 Nopember 2007. Ketika Teknokrat Memimpin Negara, Republika, (Jakarta), 22 September 2006. Kiai Langitan Siapkan Partai Baru, Republika, (Jakarta), 26 Agustus 2006. Kompas (Jakarta), 5 Oktober 1999. Kompas (Jakarta), 9 Oktober 1999, h. 3. Kompas, 16 Januari 2000. Mazhab Maliki terkadang juga diikuti di Banten, Jawa Barat.

595

Media Indonesia, 22 Nopember 2000. Parpol Berebut Posisi Kaum Santri, Republika, (Jakarta), 12 Nopember 2007. Pidato Presiden di depan Sidang Pleno DPR pada tanggal 16 Agustus 1973. Kompas, 12 Januari 1973. PKNU Diklaim Sebagai Kelanjutan PKB, Suara Merdeka, (Semarang), 27 Nopember 2006. PKNU Resmi Dideklarasikan, Antara News, (Jakarta), 31 Maret 2007. PKNU Tarik Mayoritas Nahdliyyīn, Antara News, (Jakarta), 31 Maret 2007. Pondok Pesantren, Aset Bangsa Yang Tak Ternilai, www.depag.go.id/ index. php.2007. Republika, 27 Mei 1999. Republika, 30 Mei 1999. RI Terima Medali Demokrasi, Republika, (Jakarta), 13 Nopember 2007. RMI Kumpulkan Pimpinan Ponpes Se-Indonesia, Bahas ‘Ancaman Ideologi Transnasional, Warta, (Jakarta), 16 Mei 2007. Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Ulama, Gresik: Arsip NU, 1926. Ulama Harus Melekat Dengan Politik, Republika, (Jakarta), 17 Desember 2006.

596

MAKALAH/UNDANG-UNDANG

Ali, A. Mukti, “Kurikulum Pondok Pesantren” materi disampaikan pada Seminar Pondok Pesantren Seluruh Indonesia Tahap I, Yogyakarta, 1965. Bab I, Pasal 2, UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Bab II, Pasal 11 Ayat 2, UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Daftar Nama-Nama Anggota DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Jakarta: Sekretariat DPR RI, 1999. Daftar Nama-Nama Anggota DPR RI Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Jakarta: Sekretariat DPR RI, 1999. Daftar Pendidikan Agama Islam 2005, Ditjen Kelembagaan Islam Departemen Agama Republik Indonesia Panitia Pemilihan Indonesia, Jakarta 1 September 1999. Pasal 7, ayat 2, UU No. 5 Tahun 2004, Tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Pasal 7, ayat 2, UU No. 5 Tahun 2004, Tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Pasal 8, ayat 4, UU No. 5 Tahun 2004, Tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

597

Penuntun Santri, Lamongan: Pondok Pesantren Langitan, 2004, Cet. Ke-1. Peraturan Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban, 2005/2006. PW PKB Jawa Timur, Dokumen Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999, Tentang Pengelolaan Zakat dan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Departemen Agama RI, 1999. UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Badan Peradilan di lingkungan Peradilan Agama tersebut dialihkan ke Mahkamah Agung. UU No. 7 Tahun 1989, Organisasi, Administrasi dan Finansial, Badan Peradilan di lingkungan Peradilan Agama berada di bawah Departemen Agama. UU RI No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

598

UU RI No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 1990.

WAWANCARA

A. Effendy Choirie, Anggota FPKB DPR, Wawancara Pribadi, Jakarta, 10 Januari 2007. Ahmad Mawardi, Ketua Pengurus Pondok Pesantren al-Taroqqy, Wawancara Pribadi, Sampang Madura, 02 Maret 2007. Ahmad Murtaji, Ketua Pondok Pesantren Langitan, Wawancara Pribadi, Widang, Tuban, 17 Pebruari 2007. Gus Hakam, Keluarga Pondok Pesantren Tebuireng, Wawancara Pribadi, Jombang, 13 Pebruari 2007. Gus Munib Marzuqi, Pengasuh Pondok Pesantren Langitan, Wawancara Pribadi, Widang Tuban, 18 Pebruari 2007. Gus Zahrul Azhar Asumta, Putra kiai As’ad Umar dan Pendiri Pesantren Tinggi Darul Ulum, Wawancara Pribadi, Peterongan Jombang, 22 Pebruari 2007. KH. Abdullah Faqih, Pengasuh Pondok Pesantren Langitan dan Ketua Dewan Mustasyar PKNU, Wawancara Pribadi, Widang Tuban, 15 Pebruari 2007.

599

Kiai A. Dimyathi Romli, Ketua Bidang Khusus Pendidikan, Wawancara Pribadi, Peterongan Jombang, 20 Pebruari 2007. Kiai A. Hamid Wahid, Anggota FPKB DPR, Wawancara Pribadi, Jakarta, 5 Januari 2007. Kiai Achmad Taufiqurrohman, Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Wawancara Pribadi, Tambak Beras Jombang, 27 Pebruari 2007. Kiai Alawy Muhammad, Pimpinan Pondok Pesantren al-Taroqqy, Wawancara Pribadi, Sampang, 28 Pebruari 2007. Kiai As’ad Umar, Ketua Umum Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum dan Anggota DPR Dari Golkar, Wawancara Pribadi, Peterongan Jombang, 21 Pebruari 2007. Kiai Fadlulloh Malik, Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Wawancara Pribadi, Tambak Beras Jombang, 26 Pebruari 2007. Kiai Faruq Alawy, Pengasuh Pondok Pesantren al- Taroqqy, Wawancara Pribadi, Sampang Madura, 01 Maret 2007. Kiai Ishak, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Wawancara Pribadi, Jombang, 12 Pebruari 2007. Kiai Muhammad Hasib Wahab, Anggota Dewan Pembina Yayasan Pondok Pesantren Bahrul

600

Ulum dan Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Wawancara Pribadi, Jakarta, 08 Maret 2007. Kiai Roqib Wahab, Koordinator Departemen ketertiban, Wawancara Pribadi, Tambak Beras, Jombang, 24 Pebruari 2007. Kiai Salahuddin Wahid, Direktur Pondok Pesantren Tebuireng, Wawancara Pribadi, Jombang, 11 Pebruari 2007. Kiai Ubaidilah Faqih, Pengasuh Pondok Pesantren Langitan, Wawancara Pribadi, Widang Tuban, 16 Pebruari 2007. Salman al-Fariesi, Koordinator Departemen Pendidikan, Wawancara Pribadi, Tambak Beras Jombang, 25 Pebruari 2007.