MUHAMMADIYAH DAN ADAT TANAH ULAYAT MINANGKABAU

Oleh: Iza Hanifuddin* Jurusan Syariah STAIN Ponorogo Jl. Pramuka No. 156 Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur 63471 e-mail: [email protected]

Abstract:: Minangkaubaunese has believed the importance of land for centuries. Rules concerning with land within the life of Minangkabaunese traditionally can be said to be genuine community. Lands, as they believe, is basically a symbol of their own identity which is called ulayat. Furthermore, land is one of the institutional elements of matrilineal system which determines individual and communal integrity, and original and migrant residents to base any decision dealing with succeeding the right of particular region. According to rules, land are not to be sold or used for as a warranty the purpose of making loans. The influence of Muhammdiyah toward Minangkabau has colored the pattern and offered new model of the management of ulayat from succeeding communal to organizational communal by keeping the tradition concerning with the status of waqf and prohibition to be sold and diminished. All land assets, therefore, are in the control of business division of Muhammadiyah.

Kata kunci: kaum tua, kongres Minangkabau, Islam abangan, madrasah al-muballighin, eigendom

PENDAHULUAN berfungsi mengatur penggunaan P eradaban awal masyarakat asli tanah dan sumber alam lainnya agar adalah berburu hewan dan ikan tidak digunakan sewenang-wenang. atau mengambil hasil hutan untuk Filsafat adat mengajarkan nilai-nilai hidup. Tanah bagi mereka tidak yang agak universal sifatnya. Hak terlalu penting kecuali setelah pola terhadap tanah mencerminkan tang- hidup mereka sudah berpindah gung jawab keluarga, kelompok, dan menjadi masyarakat tani. Bagi pengelola secara bersama. Tanah masyarakat asli yang sudah hidup mesti dipelihara untuk generasi yang dengan pola pertanian dan masya- akan datang, tidak boleh dieksploi- rakat adat secara umum, tanah me- tasikan secara habis-habisan sehing- rupakan bahan alam yang amat ga menyebabkan terputusnya hu- berharga dalam pengertian-pengerti- bungan antara generasi mendatang an maknawi berkaitan budi dan dengan keturunan nenek moyang. kemuliaan hati. Persepsi mereka Menurut adat, tanah tidak boleh tentang tanah ini telah membentuk dijualbeli atau dimiliki secara pri- berbagai kebiasaan dan undang- badi, di mana tanah merupakan undang adat berkaitan tanah yang milik komuniti yang digunakan

* Penulis adalah Dosen pada STAIN Ponorogo 12

Iza Hanifuddin, Muhammadiyah dan Adat Tanah Ulayat MinangKabau… 13

secara bersama oleh komuniti. Inilah Sebagai organisasi yang lahir di sebagian dari nilai-nilai filsafat adat Jawa, Muhammadiyah yang sering yang mereka pegangi yang di mana diidentikkan sebagai gerakan Islam pada hari ini sudah mulai terkikis modernis dianggap tepat berada di akibat pembangunan dan maraknya Minangkabau yang merupakan pemilikan tanah secara pribadi pusat lahirnya gerakan Islam mo- (Hasan Mat Nor, 1996: 54). dern di Nusantara. Sering didengar Masyarakat Minangkabau telah bahwa kultur keislaman masyarakat melihat pentingnya tanah sejak za- Minangkabau ialah Muhammadiyah. man dahulu. Konsep peraturan adat Oleh karena itu, melihat hadirnya berkaitan harta dan tanah yang ada Muhammadiyah di Minangkabau ini dalam kehidupan masyarakat yang sudah cukup lama, akan coba Minangkabau secara tradisional da- dilihat bagaimana sejarah Muham- pat dikatakan masih dalam taraf madiyah menjelaskan pemikiran dan masyarakat asli. Tanah bagi mereka menunjukkan praktek-prakteknya merupakan simbol adat itu sendiri. berkaitan adat tanah ulayat yang Dalam penjelasan konsep harta sudah menjadi sistem yang lebih di atas dapat diperoleh gambaran lama lagi membumi di Minang bahwa harta pusaka ada dua, yaitu Kabau. tanah dan bukan tanah. Kategori tanah termasuk apa yang tumbuh di SEKILAS SEJARAH KEDATANG- atasnya, apa yang ada di dalamnya, AN MUHAMMADIYAH DI dan apa yang ada di atasnya. MINANGKABAU Kategori bukan tanah, yaitu harta tak bergerak seperti rumah dan harta Muhammadiyah hadir di bergerak seperti keris, pakaian, Minangkabau pada tahun 1925 penghulu, dan yang berkaitan gelar sepulang kunjungan Haji Abdul kebesaran. Kendaraan dan ternak Karim Amrullah ke Yogyakarta termasuk kategori harta bergerak, untuk menjumpai KH. Ahmad tetapi tidak ada hubungannya Dahlan sebagai seorang sahabat dengan gelar kebesaran. Dengan yang sama-sama pernah belajar demikian, tanah menduduki tempat kepada Shaykh Ahmad Khatib al- yang penting dalam hal harta Minangkabawi. Muhammadiyah sen- pusaka. Bagi masyarakat adat diri didirikan pada tahun 1912 di Minangkabau, tanah adalah salah Yogyakarta. Hubungan rapat ini satu simbol dan unsur institusi adat kerana kedua-dua beliau mem- matrilineal, penentu martabat se- punyai tujuan dan perjuangan yang seorang dan suku, penentu status sama. Bahkan, KH. Ahmad Dahlan penduduk asli dan tidak asli yang berlangganan Majalah Al-Munir berfungsi sebagai dasar penentu yang beliau kelola bersama Haji pewarisan hak-hak kebesaran negeri Abdullah Ahmad. Sejarah pertemu- (A. M. Maruhum Batuah & D. an ini bermula ketika menantu H. Bagindo Tanameh, 1954: 41). beliau, yaitu Ahmad Rasyid Sutan

14 JURIS Volume 14, Nomor 1 (Juni 2015)

Mansur (A.R. Sutan Mansur) telah dijelaskan membuat beliau sangat mengenal dan menjadi anggota leluasa memberikan kritikannya Muhammadiyah langsung dari pen- kepada pengurus Muhammadiyah dirinya, yaitu KH. Ahmad Dahlan yang dikatakannya tersangat taklid sejak 1921 sehingga akhirnya men- kepada setiap keputusan Muham- jadi pengurus organisasi ini di madiyah pusat yang ada di Pekalongan (Hamka, 2006: 231). Yogyakarta. Salah satu amalan yang Muhammadiyah di Sumatera dianggap taklid ialah pengumpulan Barat pertama kali berdiri di Sungai zakat secara terancang. Menurut Batang Maninjau, Haji beliau, zakat tidak boleh dikum- Abdul Karim Amrullah dan me- pulkan seperti demikian, semua nyebar ke perkampungan sekitar terserah kepada pemberi zakat, danau Maninjau, seperti Matur, hendak ke mana dan kepada siapa Palembayan, Lawang, Sungai zakat tersebut diberikan. Kritikan Landir, sehingga akhirnya ke Agam. lainnya ialah perempuan Aisyah Sekalipun tidak menjadi anggota suka pergi ke mana-mana dalam Muhammadiyah, beliau diakui se- organisasi tanpa ditemani oleh bagai pembawa Muhammadiyah ke mahram-nya, perempuan menyam- Sumatera Barat dan pelindung paikan ucapan di hadapan kaum organisasi ini bersama Shaykh Jamil lelaki, perempuan turut salat Idul Jambek. Oleh karena itu, saran dan Fitri di lapangan, dan sebagainya nasehat beliau sering dijadikan sehingga beliau mesti menuliskan pertimbangan oleh pengurus kritikannya ini dalam karya tulis Muhammadiyah. bertajuk: Cermin Terus, Berguna untuk Di antara tokoh Muhammadiyah Pengurus, Pencari Jalan yang Lurus. yang lahir di daerah ini, yaitu Buku ini telah mendatangkan protes Hamka, anak Haji Abdul Karim dari kaum perempuan kerana buku Amrullah, AR. Sutan Mansur, tersebut dianggap telah melecehkan menantu beliau yang menjadi mereka dan model pakaian mereka. pengurus besar Muhammadiyah Buku ini juga dianggap sebagai buku Pusat, Yusuf Amrullah, sang adik cabul yang disejajarkan dengan buku yang menjadi ketua Muhammadiyah Sumandari-Suroto yang terbit pada di Maninjau, Zain Jambek, pe- masa itu dan diprotes oleh masya- mimpin utama Muhammadiyah, rakat kerana melecehkan Nabi Jamilah Jambek, pengurus besar Muhammad saw. Para perempuan bahagian Aisyiah Muhammadiyah, ini memprotes dan bergabung dalam Zainal Abidin Jambek, konsul SKIS (Serikat Kaum Ibu Sumatera) Muhammadiyah di Palembang, bersama MTKAAM (Majelis Tinggi Saaduddin Jambek, pengurus Kerapatan Adat Alam Minangkabau) Muhammadiyah bagian pengajaran. yang diketuai oleh seorang tokoh Bahkan, orang-orang terkenal di adat, Datuk Simarajo. Bahkan, H. Muhammadiyah pusat juga banyak Mahmud Yunus juga sempat yang berasal dari Sumatera Barat membahas buku tersebut dalam (Hamka, 1967: 163-164). forum diskusi di surau Shaykh Jamil Kedudukan Haji Abdul Karim Jambek Bukittinggi (Hamka, 1967: Amrullah yang seperti sudah 164-175). Iza Hanifuddin, Muhammadiyah dan Adat Tanah Ulayat MinangKabau… 15

Ketika Muhammadiyah mulai paling banyak memiliki sekolah, berkembang luas di Sumatera Barat, yaitu 122 sekolah. Bandingkan Shaykh Muhammad Zain, salah dengan Persatuan Muslimin seorang Kaum Tua juga turut serta yang hanya memiliki 4 sekolah, menjadi anggota dan membawa Diniyyah 120 sekolah, Thawalib 44 Muhammadiyah tersebut ke Simabur. sekolah, dan institusi pendidikan Banyak penghulu yang ikut dalam yang diasaskan oleh Kaum Tua 45 persyarikatan ini, antara lain Datuk sekolah (Azyumardi Azra, 2003: 22). Majo Indo (Kepala Nagari Simabur), Datuk Mangkuto Majolelo, dan MUHAMMADIYAH DAN ADAT Datuk Bungsu. Bahkan, di Simabur ULAYAT ini mereka berjaya mendirikan HIS (Sekolah Rakyat) Muhammadiyah. Berkaitan amalan adat, kaum Melalui propaganda SJ. Sutan modern Muhammadiyah sebagaimana Mangkuto, Shaykh Muhammad dilaporkan oleh Peacock telah Jamil Jaho akhirnya juga bergabung memandang bahwa adat matrilineal sebagai anggota Muhammadiyah. Minangkabau sama dengan Islam Ketika kemudian diketahui bahwa Abangan di Yogyakarta (Ken Young, Kaum Muda telah menjadikan 1994: 95). Selain ini, pikiran-pikiran Muhammadiyah sebagai alat untuk Muhammadiyah lebih banyak menyebarkan faham pembaharuan- disampaikan oleh tokoh sentralnya, nya (Ken Young, 1994: 106). Kaum yaitu Hamka. Pada masa ini, Tua akhirnya banyak yang keluar ungkapan bahwa adat lama tak dari Muhammadiyah dan mendirikan lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan organisasi lain, yaitu Perti (Persatuan telah dijadikan sebagai perkataan Tarbiyah Islamiyah). hiasan oleh para pecinta adat dan Muhammadiyah mulai memasti- bahan cemoohan oleh para pembenci kan keberadaannya di Minangkabau adat. Hamka pernah menyindir ketika sukses mengadakan Kongres bahwa yang tidak lekang oleh panas Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi dan tidak lapuk oleh hujan hanyalah pada 14-21 Maret 1930 dengan ketua batu. Batu juga akan berubah jika kongres, Muhammad Zain Jambek. terus menerus dititis oleh air hujan Kongres dihadiri oleh pengurus dan panas (Hamka, 1963: 62). Muhammadiyah seluruh Nusantara di Sekalipun terdapat pihak yang mana secara umum berasal dari mencintai dan membenci adat, adat perantau Minang. Oleh karena itu, Minangkabau tetap berdiri dengan Hamka mengistilahkan kongres ini gagah sehingga hari ini. Kemegahan sebagai “Kongres Minangkabau” adat mesti ditentukan oleh masya- (Hamka, 2006: 268, 281, dan 286). rakat adatnya sendiri. Ungkapan Delapan tahun setelah Muham- adat mengajarkan agar adat madiyah berdiri di Sumatera Barat dipelihara dan dipertahankan, usang dilaporkan bahwa Muhammadiyah diperbaharu, lapuk dikajangi (A. M. diakui sebagai persyarikatan yang

16 JURIS Volume 14, Nomor 1 (Juni 2015)

Datuk Maruhum Batuah & D. H. 95). Sekalipun Hamka memuji bah- Bagindo Tanameh, t.th.: h. cover). wa kekuatan Minangkabau terletak Dalam tulisannya tentang adat pada adat dan agamanya. Tetapi Minangkabau menghadapi revolusi, beliau menjelaskan sebaliknya di Hamka pernah menyampaikan ke- mana yang dimaksud sebagai adat kesalan dan penilaian negatifnya ialah pusaka lama yang tidak dapat terhadap sistem pemilikan tanah dipertahankan lagi itu. Minangkabau adat di Minangkabau. Namun, pasti berubah. Adat pusaka kepada secara cepat beliau segera mem- kemenakan tidak dapat dipertahankan betulkan kekesalan ini melalui lagi kerana mamak tidak mempunyai tulisan lain dengan mengatakan kekuasaan lagi dan anak yang lahir bahwa hukum adat Minangkabu itu pasca revolusi tidak mengenali indah (Hermayulis, Kertas Kerja adatnya lagi. Minangkabau moden Seminar, 2000: 2). Saya memuji adat, akan berdiri di atas Minangkabau saya mencintai sistem harta pusaka, lama (Hamka, 1985: 76-77). Suatu tetapi anak Minang sendiri sudah tidak ungkapan pasrah dengan kondisi dapat lagi menumpangi bahtera itu, yang dikesan tidak memiliki rasa katanya (Hamka, 2006: 141). Di kepedulian untuk memperbaikinya. tempat lain, lebih tegas Hamka Hamka menekankan bahwa mengatakan bahwa semua persoalan orang Minangkabau telah merasakan di Minangkabau disebabkan oleh pengalaman pahit di kampung sistem harta pusaka yang dimiliki sendiri kerana pelayanan adat yang oleh suku dan sistem adat matrilineal. tidak mengena di hati sehingga Semua keadaan mesti berubah mereka lebih memilih merantau. Di termasuk adat juga harus berubah rantau, mereka mendapat pengalam- (Hamka, 2006: 145). an baru karena dapat membina Pada sudut lain Hamka juga keluarga inti dengan prinsip pernah menyatakan bahwa para patrilineal di mana ayah adalah tokoh Paderi yang berperang atas kepala rumah tangga yang memiliki nama Islam tidak pernah mem- tanah tanpa pengaruh mamak dan persoalkan kewujudan tanah ulayat. kemenakan. Ketika seperti ini, hu- Nampaknya, Hamka setuju dengan bungan mereka dengan adat menjadi cara-cara para tokoh Paderi ini. Tapi, renggang dan melihat adat tidak beliau masih juga mengatakan sesuai lagi dengan perubahan yang bahwa adat lama berkaitan pusaka ada pada masa kini (Hamka, 2006: kepada kemenakan tidak dapat diper- 37). tahankan lagi kerena pandangan Pandangan beliau ini meng- hidup telah berubah, yaitu lebih isyaratkan kebimbangan antara dekat kepada pewarisan Islam. benci dengan rindu kepada adat. Selain itu, kuasa ninik mamak hari ini Hamka tidak mengecam adat, tetapi tidaklah sebagaimana dahulu lagi. telah meratapi adat yang sudah tua Pihak penguasa juga telah dan waktunya masuk kubur. Dunia membuatkan peraturan tentang sudah berubah, adat juga akan tanah, yaitu landreform (Hamka, berubah. Akhirnya, Hamka me- 2006: 91). Adat matriarchaat akan negaskan bahwa semua persoalan di hilang dan berakhir (Hamka, 2006: Minangkabau bermula daripada Iza Hanifuddin, Muhammadiyah dan Adat Tanah Ulayat MinangKabau… 17

harta pusaka dan matriarchaat. “cinta dan benci” adat ini juga terjadi Jangan mendustai diri, katanya pada pribadi Sutan Syahrir yang (Hamka, 1985: 118). Padahal me- lebih suka disebut sebagai orang nurut adat, sistem matriarchaat tidak Banda Naire daripada sebagai orang dapat dipisahkan dengan sistem Minangkabau dan H. Agus Salim pusaka tinggi. Selama harta pusaka yang tidak mau menginjakkan tinggi dan penguasaannya masih kakinya di Minangkabau sampai kukuh, selama itu pula adat yang tak mati. (Herwandi & Zaiyardam lapuk dek hujan dan tak lekang dek Zubir, 2006: 101). Sekalipun ramai panas akan dapat dipertahankan tokoh anti adat yang mempersoalkan (Hamka, 1985: 59). kedudukan lelaki dalam rumah Sebagaimana Shaykh Ahmad tangga Minangkabau dan harta Khatib al-Minangkabawi, Shaykh pusaka dengan sistem matrilineal-nya Thahir Jalaluddin, Haji Abdul Karim dan menganggapnya sebagai adat Amrullah, Hamka muda masih jahiliyyah menurut syarak, tetapi menunjukkan pendirian anti adat mereka masih suka menyebut- sehingga sering mendapat tentangan nyebut ungkapan adat, yaitu adat daripada kaum adat. Hamka pernah basandi syarak, syarak basandi menulis buku Adat Minangkabau kitabullah dan tanah pusaka dibahagi Menghadapi Revolusi untuk meng- secara adat, tanah sepencarian dibahagi kritik sistem adat (Hamka, 1963: 62). secara syarak dalam pelbagai Ketika masa tua, ternyata Hamka kesempatan dan seminar (Muchtar masih dapat menangis jika Naim, Kertas kerja Seminar, 2000: 9). menyanyikan lagu bakaba dan masih Berkaitan sejarah Muham- mau diangkat menjadi seorang madiyah, Hamka pernah mengkritik penghulu dengan gelaran Datuk tulisan MD. Mansur bertajuk Sejarah Indomo. Sebelum Hamka, juga Minangkabau yang dianggap sebagai terdapat tokoh lain yang lebih suka tulisan sejarah yang kacau karena mengkritik adat, baik secara halus banyak kesalahan, khususnya maupun kasar, bahkan radikal. tentang Muhammadiyah di Minang- Mereka itu ialah Shaykh Ahmad kabau. Menurut MD. Mansur, Khatib al-Minangkabawi, Shaykh Muhammadiyah di Minangkabau Djalaluddin, dan Haji Abdul Karim tidak mempunyai pendirian tegas Amrullah, ayah Hamka. Digambar- terhadap Belanda sebagaimana kan bahwa sebagian mereka masih Persatuan Tarbiyah Islamiyyah (Perti), mencintai dan merindukan kam- Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), pung halamannya, tetapi tidak mau dan Komunis. Disebutkan bahwa pulang untuk selamanya. Taufik Muhammadiyah itu tidak gentle dan Abdullah menggambarkan hubung- berpendirian mendua. Oleh karena an perantau ini dan negeri asalnya itu, Muhammadiyah mengalami ke- sebagai hubungan “cinta” dan munduran pada tahun 1927 dan “benci” yang sangat aneh (A. A. tahun-tahun setelahnya. Menurut Navis, 1986: xx). Gaya hubungan Hamka bahwa justru Muhammadiyah

18 JURIS Volume 14, Nomor 1 (Juni 2015)

ketika itu sedang mengalami an masjid berdasarkan hak milik kemajuan karena pada tahun 1930 masing-masing kelompok tersebut dapat melaksanakan Kongres (B. J. O. Schrieke, 1973: 27 dan 75). Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi Masjid nagari digunakan oleh dan pada masa itu orang mula Muhammadiyah karena kebanyakan menyebut istilah “Muhammadiyah di pengurus Muhammadiyah adalah Nagarikan, Nagari di Muhammadiyah- para penghulu nagari. Pembuatan kan” (Hamka, 2006: 301-305). masjid Muhammadiyah berlangsung Muhammadiyah membina seko- pada tahun-tahun terakhir ini ketika lah pertama kali di Muara Pauh sudah tidak seimbang lagi antara Bandar Air Sungai Ligin Maninjau jumlah masjid dengan jumlah pada tahun 1926 dengan nama penduduk. Madrasah al-Muballighin, yaitu di atas Di sebagian tempat, Muham- tanah Suku Caniago. Cara yang madiyah berdiri secara tidak lancar. ditempuh oleh Muhammadiyah ada- Halangan daripada kaum adat lah dengan meminta fatwa kepada sering dijumpai karena mereka takut ulama dan kato penyalasai kepada kepada Belanda jika tidak mematuhi penghulu mengikuti ungkapan adat perintah untuk mengontrol gerakan kato penghulu kato manyalasai, kato Muhammadiyah sebagaimana juga ulama kato hakikat. Dengan cara ini, dilakukan kepada Permi (Persatuan Muhammadiyah telah mengisi adat Muslimin Indonesia) dan PSII (Partai dan menuang lembaga, yaitu Syarikat Islam Indonesia) di mana ia membayar uang adat sebesar 700 sudah dilarang untuk melakukan gulden. Amalan ini diistilahkan oleh musyawarah sejak tahun 1934. Hamka sebagai amalan ibahah. Sejak Berbagai kasus penghalangan juga itu, cara yang sama telah digunakan terjadi. Di Malalo Palembayan, oleh Muhammadiyah untuk mengem- Nukman Kari Marajo, seorang bangkan dan membina sekolah- anggota Muhammadiyah sempat sekolah Muhammadiyah di Minang dipukuli oleh masyarakat, di Selaras Kabau. Bertemulah konsep adat Air, Sumanik sekolah Muham- sepanjang jalan yang diperkuat oleh madiyah-nya dipaku warga, tidak dalil adat, yaitu balai nan saruang, boleh dibuka, di Air Mati Pasar masjid nan sabuah dengan sekolah nan Solok, warga Muhammadiyah salokal. (Hamka, 2006: 316-318). dilarang mendirikan salat Jumat Muhammadiyah tidak mendirikan sekalipun di tanahnya sendiri yang masjid sendiri sebagaimana gerakan berstatus hak milik eigendom (hak Kaum Tua-Kaum Muda. Menurut milik yang berasal daripada tanah adat, masjid dimiliki oleh nagari, milik Belanda), dan hal serupa sementara itu nagari sendiri dikuasai berlaku juga di Batu Hampar oleh Kaum Adat dan Kaum Tua. Kampung Tengah. Semua kasus ini Dengan demikan, tidak ada peluang merupakan halangan daripada kaum bagi Kaum Muda untuk meman- adat. (Hamka, 2006: 325-333) faatkan dan menggunakan masjid Halangan kaum adat bukan nagari. Akhirnya, pembinaan masjid hanya berlaku di Minangkabau, tapi baru oleh Kaum Muda tidak dapat juga di Sulawesi. Halangan terbesar dihindarkan. Terjadilah pembangun- di Minangkabau, yaitu di daerah Iza Hanifuddin, Muhammadiyah dan Adat Tanah Ulayat MinangKabau… 19

Bandar Sepuluh di mana lama Muhammadiyah diketahui ber- Muhammadiyah enyah dari daerah sumber dari tanah eigendom (milik tersebut dan para pengurusnya syarikat Belanda) yang dibeli oleh diusir dari kampung halamannya, para anggota Muhammadiyah yang dibuang sepanjang adat oleh Ibrahim kemudian dijadikan wakaf, mana- Samik, sang pemimpin adat. Di kala tanah-tanah Muhammadiyah antara mereka ada yang pergi ke yang baru berasal daripada wakaf Kurinci dan ada yang terpaksa individu dan sebagian berasal dari berdiam di Padang. Halangan pembelian yang diwakafkan untuk daripada kaum adat ini juga menjadi organisasi Muhammadiyah. bahan pembahasan dalam Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang PENUTUP yang dalam sarannya disampaikan agar Muhammadiyah berhati-hati Demikian sekilas gambaran menghadapi adat di tempatnya tentang sejarah Muhammadiyah di masing-masing. Adat yang baik Minangkabau dan kaitannya dengan dipakai dan terus dihidupkan dan adat dan tanah ulayatnya. Gambaran adat yang tidak baik dihadapi sekilas ini untuk kepentingan diskusi semampunya. Halangan adat ini awal guna menggali informasi lebih mulai mereda setelah penjajah pergi detil selanjutnya. dari bumi Indonesia (Hamka, 2006: 335-336). Kini, tanah-tanah wakaf

DAFTAR KEPUSTAKAAN Azra, Azyumardi. 2003. Surau: Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Pendidikan Islam Tradisional Bhratara. Dalam Transisi dan Modernisasi. Hamka. 1963. Adat Minangkabau Ciputat: PT. Logos Wacana menghadapi revolusi, Firma Teka, Ilmu. Djakarta. Batuah, A. M. Datuk Maruhum & Hamka. 1963. Adat Minangkabau Tanameh, D. H. Bagindo. 1954. Menghadapi Revolusi. Djakarta: Hukum Adat dan Adat Firma Teka. Minangkabau. Djakarta: Poesaka Aseli. Hamka. 1967. Ajahku, Riwayat Hidup Dr. H. Abd. Karim Amrullah dan Batuah, A. M. Datuk Maruhum & Perdjuangan Kaum Agama Di Tanameh, D. H. Bagindo. t.th. Sumatera. Djakarta: Djajamurti. Hukum Adat dan Adat Minangkabau, Luhak Nan Tiga Hamka. 1974. Muhammadiyah Di Laras Nan Dua. Jakarta: NV. Minangkabau. Jakarta: Yayasan Poesaka Aseli. Nurul Islam. Schrieke, B. J. O.. 1973. Pergolakan Agama Di Sumatra Barat, Sebuah

20 JURIS Volume 14, Nomor 1 (Juni 2015)

Hamka. 1985. Islam dan Adat Naim, Muchtar, Konflik dan Minangkabau. Jakarta: Pustaka konsensus antara adat dan Panjimas. syarak di Minangkabau, Kertas Hamka. 2006. Islam dan Adat kerja Seminar Reaktualisasi Minangkabau. Selangor Darul Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah dalam Ehsan: Pustaka Dini, Sdn. Bhd. Pembangunan Sumatera Barat. Hermayulis, Tanah ulayat dalam Hotel Pusako. Bukittinggi, 22- problematik pembangunan: 23 Januari 2000, hlm. 9 Tanah ulayat sebagai “social Navis, A. A.. 1986. Alam Takambang asset” dan “capital asset”, Kertas Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan kerja Seminar Reaktualisasi Minangkabau. Jakarta: PT. Adat Basandi Syarak, Syarak Pustaka Grafitipers. Basandi Kitabullah dalam Pembangunan Sumatera Barat. Nor, Hasan Mat. 1996. Tanah dan Hotel Pusako. Bukittinggi, 22- Masyarakat Orang Asli. 23 Januari 2000, hlm. 2. Selangor. FSSK UKM. Herwandi & Zubir, Zaiyardam. 2006. Young, Ken. 1994. Islamic Peasants Menggugat Minangkabau. and State, the 1908 Anti-tax Padang: Andalas University Rebellion In . Press. Connecticut: Yale University Southeast Asia Studies.