DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK

RISALAH RAPAT KOMISI I DPR RI

Tahun Sidang : 2018-2019 Masa Persidangan : III Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR RI dengan Ketua Jenis Rapat : Dewan Pers Hari, Tanggal : Rabu, 16 Januari 2019 Pukul : 11.03 – 13.47 WIB Sifat Rapat : Terbuka Ruang Rapat Komisi I DPR RI, Gedung Nusantara II Lt. 1, Jl. Tempat : Jenderal Gatot Soebroto, 10270 Ketua Rapat : Ir. H. Satya Widya Yudha, M.E., M.Sc. Sekretaris Rapat : Suprihartini, S.IP., M.SI., Kabag Sekretariat Komisi I DPR RI Acara : 1. Evaluasi Pencapaian Kinerja Dewan Pers Tahun 2018; 2. Rencana Kerja Dewan Pers Tahun 2019; 3. Realisasi Anggaran Dewan Pers Tahun 2018; 4. Tindak lanjut hasil Pemeriksaan/Temuan BPK T.A. 2018; 5. Isu-isu actual lainnya. Hadir : PIMPINAN: 1. Dr. H. Abdul Kharis Almasyhari (F-PKS) 2. Ir. Bambang Wuryanto, M.BA. (F-PDI Perjuangan) 3. Ir. H. Satya Widya Yudha, M.E., M.Sc. (F-PG) 4. Asril Hamzah Tanjung, S.IP. (F-Gerindra) 5. H.A. Hanafi Rais, S.IP., M.PP. (F-PAN)

ANGGOTA: FRAKSI PDI-PERJUANGAN (F-PDIP) 6. Ir. Rudianto Tjen 7. Dr. Effendi MS Simbolon, MIPol. 8. Charles Honoris 9. Dr. Evita Nursanty, M.Sc. 10. Andreas Hugo Pareira 11. Junico BP Siahaan 12. Yadi Srimulyadi 13. Drs. Ahmad Basarah, MH

FRAKSI PARTAI (F-PG) 14. Meutya Viada Hafid 15. Bobby Adhityo Rizaldi, S.E., Ak., M.B.A., C.F.E. 16. Dave Akbarshah Fikarno, M.E. 17. Bambang Atmanto Wiyogo, S.E. 18. Venny Devianti, S. Sos. 19. H. Andi Rio Idris Padjalangi, S.H., M.Kn. 20. Dr. Jerry Sambuaga

1

FRAKSI PARTAI GERINDRA (F-GERINDRA) 21. H. Ahmad Muzani 22. Martin Hutabarat 23. H. Biem Triani Benjamin, B.Sc., M.M. 24. Rachel Maryam Sayidina 25. H. Fadli Zon, S.S., M.Sc. 26. Andika Pandu Puragabaya, S.Psi, M.Si, M.Sc. 27. Elnino M. Husein Mohi, S.T., M.Si.

FRAKSI PARTAI DEMOKRAT (F-PD) 28. Teuku Riefky Harsya, B.Sc., M.T. 29. Dr. Sjarifuddin Hasan, S.E., M.M., M.B.A. 30. H. Darizal Basir 31. Ir. Hari Kartana, M.M. 32. KRMT Roy Suryo Notodiprojo

FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL (F-PAN) 33. Zulkifli Hasan, S.E., M.M. 34. Ir. Alimin Abdullah 35. Budi Youyastri 36. H.M. Syafrudin, S.T., M.M.

FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (F-PKB) 37. Drs. H.A. Muhamin Iskandar, M.Si. 38. Arvin Hakim Thoha 39. Drs. H. Taufiq R. Abdullah

FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (F-PKS) 40. Dr. H. M. , M.A. 41. H. Sukamta, Ph.D.

FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (F-PPP) 42. Moh. Arwani Thomafi 43. Dra. Hj. Lena Maryana 44. H. Syaifullah Tamliha, S.Pi., M.S.

FRAKSI PARTAI NASIONAL DEMOKRAT (F-NASDEM) 45. Prof. Dr. Bachtiar Aly, M.A. (F-NASDEM) 46. Mayjen TNI (Purn) Supiadin Aries Saputra (F-NASDEM) 47. Prananda Surya Paloh (F-NASDEM) 48. H. M. Ali Umri, S.H., M.Kn. (F-NASDEM)

FRAKSI PARTAI HATI NURANI RAKYAT (F-HANURA) 49. Drs. Timbul P. Manurung

Anggota yang Izin : 1. Drs. H.M. Syaiful Bahri Anshori, M.P. (F-PKB) 2. Dr. H. Jazuli Juwaini, Lc., M.A. (F-PKS)

Undangan : 1. Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo. 2. Wakil Ketua Dewan Pers, Ahmad Djauhar. 3. Anggota Dewan Pers, Ketua Komisi Pendidikan, pelatihan & Pengembangan Profesi, Hendry Chairudin Bangun. 4. Anggota Dewan Pers, Ketua Komisi Hukum dan perundang-Undangan, Jimmy Silalahi. 5. Anggota Dewan Pers, Ketua Komisi Penelitian,

2

Pendataan & Ratifikasi Pers, Ratna Komala. Beserta Jajaran.

Jalannya Rapat:

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.Sc.):

Assalaamu'alaikum Warohmatulloohi Wabarokaatuh. Salam sejahtera bagi kita semua.

Alhamdulillaah wa syukurillaah kita bisa bertemu dan bertatap muka pada kesempatan hari ini dalam rangka Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR RI dengan Dewan Pers pada hari Rabu tanggal 16 Januari 2019. Selamat datang kami ucapkan kepada Ketua dan para Anggota Dewan Pers yang hadir beserta jajarannya pada RDP Komisi I DPR RI pada hari Rabu ini. Berdasarkan informasi dari Sekretariat, saat ini telah hadir dan ditandatangani 7 (tujuh) fraksi. Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 251 ayat (1) Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib, maka korum fraksi, jadi bukan korum anggota tapi korum fraksi, maka sebelum kita memulai RDP pada hari ini sebagaimana amanat Pasal 246 Tata Tertib DPR RI perlu kita sepakati terlebih dahulu apakah RDP ini kita lakukan secara terbuka atau tertutup. Saya usul secara terbuka. Bisa disepakati?

(RAPAT : SETUJU) (Rapat di buka pukul: 11.03 WIB)

Bapak/Ibu sekalian,

Pada hari ini Komisi I DPR RI melaksanakan RDP dengan Ketua dan Anggota Dewan Pers dengan agenda: 1. Evaluasi pencapaian kinerja Dewan Pers pada tahun 2018; 2. Rencana Kerja Dewan Pers Tahun 2019; 3. Realisasi Anggaran Dewan Pers Tahun 2018 serta tindak lanjut hasil pemeriksaan atau temuan daripada BPK Tahun Anggaran 2018. Untuk lebih detailnya tentunya kami akan meminta kepada Ketua Dewan Pers memberikan penjelasan terkait dengan agenda yang baru saja saya sampaikan. Untuk itu kami waktu kami persilakan.

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Assalaamu'alaikum Warohmatulloohi Wabarokaatuh.

Pimpinan Komisi I yang saya hormati; Para Anggota Komisi I yang saya hormati juga,

Saya perlu menjelaskan siapa saja rombongan disini. Jadi saya sendiri, Yoseph Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers. Didampingi Pak Ahmad Djauhar (Wakil Ketua). Kemudian ada Pak Jimmy Silalahi, dia ada di Komisi Hukum. Kemudian Pak Hendry Chaerudin Bangun dari Komisi Pendidikan. Kemudian ada Pak Syaifudin (Kepala Sekretariat), Beliau adalah Kepala Sekretariat yang ditugaskan dari Kominfo untuk mengawal seluruh PNS yang ditempatkan di Dewan Pers.

Bapak/Ibu Anggota Komisi I,

Kami perlu menyampaikan, kami sudah menyiapkan bahan tentang realisasi anggaran Tahun Anggaran 2018, saya mohon waktu untuk menyampaikan slide yang sudah disiapkan.

3

Jadi alokasi dan realisasi anggaran tahun 2018 itu adalah kalau kita lihat anggaran Dewan Pers 17 miliar 854 juta 774 ribu, di realisasikan sampai dengan 31 Desember 2018 adalah sebesar 16 miliar 650 juta 342 ribu 826 rupiah. Kalau di lihat serapannya adalah 93,25 persen. Adapun rincian alokasi anggaran Tahun Anggaran 2018 dan realisasinya adalah: - Belanja pegawai terserap sebesar 87,15 persen; - Belanja barang terserap 94,69 persen; dan - Belanja modal itu 81,83 persen. Total 93,25 persen. Adapun kegiatan yang perlu kami sampaikan kepada Komisi I itu adalah, Dewan Pers berhasil menyelesaikan kegiatan menyusun Indeks Kemerdekaan Pers 2018. Laporannya sedang proses cetak di percetakan. Nanti kalau jadi kami akan menyiapkan untuk seluruh Anggota Komisi I mendapatkan satu eksemplar. Baru kali ini capaian tercapai di 34 provinsi. Kami memetakan seluruh keadaan kemerdekaan pers di 34 provinsi, tahun sebelumnya hanya 30 provinsi, tahun sebelumnya lagi hanya 24 provinsi. Hasil survei ini menunjukkan bahwa indeks kemerdekaan pers Indonesia berada dalam kategori sedang atau agak bebas, dengan nilai indeks 69. Jadi nilai ini sebetulnya cukup berat, dan kami membaginya dari bidang hukum, politik, dan ekonomi, dengan rincian masing-masing; - 69 untuk bidang hukum; - Untuk bidang politiknya 71,64; dan - Bidang ekonominya 67,08. Survei indeks kemerdekaan ini penting, karena ini bisa digunakan oleh kementerian- kementerian terkait. Apakah Kementerian Luar Negeri, apakah Kementerian Kominfo, untuk menjelaskan tentang posisi Indonesia. Karena kita tahu ada banyak survei internasional yang dilakukan meletakkan Indonesia jauh di bawah urutan 120, bahkan 124-128 kalau kita lihat dari reporter sang frontier. Kami pernah datang ke kantor mereka, kami tanya metodologi yang digunakan oleh reporter sang frontier. Ternyata mereka hanya menggunakan angka-angka yang ada di internet, maupun barangkali adalah laporan-laporan terkait dengan situasi yang ada di Papua. Kami mengatakan “anda tidak fair, karena kami mempunyai alat ukur sendiri, dan alat ukur kami tidak mengarang, kami menggunakan apa yang digunakan oleh Unesco dan dikembangkan oleh IBDC satu badan di bawah Unesco”. Kasus pengaduan yang masuk pada tahun 2018 total adalah 365 kasus. Yang terselesaikan itu adalah 317, atau 87 persen. Sisanya itu masih on going. Ada yang satu belum menerima, ada yang satu harus menulis hak jawab, hak jawabnya sedang di buat, dan seterusnya. Jadi itu yang masih tersisa, on going. Tapi kami berharap dari seluruh laporan itu memang akan terselesaikan. Jumlah wartawan yang sudah memiliki sertifikat kompetensi wartawan perlu kami sampaikan. Ini sertifikat kompetensi ini didapatkan oleh para wartawan selama mengikuti ujian di 27 lembaga uji kompetensi. Termasuk perguruan tinggi, lembaga pendidikan, dan organisasi wartawan konsituen Dewan Pers. Total adalah 14.420 orang. Jumlah ini juga akan masih berkembang, karena ada banyak ujian dilaksanakan pada bulan Desember tapi sertifikatnya belum di proses. Di luar itu adalah Dewan Pers melakukan kerjasama/membuat MOU dengan lembaga luar negeri maupun dalam negeri. Antara lain adalah Polri, TNI, Kejaksaan Agung, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Bahkan untuk BNPT kami di minta untuk menjadi narasumber juga di 32 provinsi terkait literasi digital. Kemudian dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dengan Bawaslu, KPU, dan KPI. Kemudian beberapa pemerintah daerah. Yang bisa di sebut itu misalnya Pemda Tanjung Balai Karimun, kemudian Pemprov Bengkulu, Pemprov Sumatera Barat. Dan beberapa daerah lain juga, Gorontalo provinsi maupun kota. Kemudian kami mempunya MOU pada 2018 ditandatangani dengan Dewan Pers Thailand, mengingat Thailand situasi pers nya juga mengalami kemunduran ketika Junta Militer kembali berkuasa di Thailand. Dunia internasional meminta Dewan Pers memberikan asistensi

4 kepada Dewan Pers Thailand. Dan kami sempat bertemu dengan Perdana Menteri Thailand untuk menjelaskan tentang konsern Dewan Pers Indonesia terhadap situasi pers di Thailand. Selain itu kami juga mempunyai MOU dengan Dewan Pers Timor Leste. Dan Unesco meminta Dewan Pers Indonesia membantu Dewan Pers Timor Leste di dalam menyusun SOP penanganan pengaduan, mediasi, dan lain-lain. Dan mereka dalam waktu dekat, mungkin bulan Maret, akan mengirim 4-5 orang untuk magang di Dewan Pers. Pendataan perusahaan pers berdasarkan hasil verifikasi sampai 31 Desember 2018, tercatat bahwa ada 1.217 media yang terverifikasi administrasi, cetak total 396, siber 362, media penyiaran 459. Yang terverifikasi secara faktual itu ada 310, cetak 183, siber 83 media, media penyiaran 44. Kalau kita melihat detail jumlah pengaduan kasus pers yang masuk ke Dewan Pers selama 4 tahun terakhir tampak mengalami penurunan, karena orang lebih dewasa di dalam menangani sengketa pers. Seringkali pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan menggunakan hak jawab langsung kepada media yang bersangkutan, dan hanya menembuskan suratnya kepada Dewan Pers, dengan demikian tugas kami lebih ringan. Angka ini mungkin agak menaik lagi ketika ada pilkada-pilkada, terutama di beberapa daerah. Misalnya pilkada di DKI pada 2016, pilkada di Banten. Dan itu pengaduan banyak, naik lagi pada 2017 ketika ada pilkada di beberapa daerah. Dan itu banyak media yang di anggap partisan shift-nya tinggi, atau dia menjadi bagian dari tim sukses pasangan calon, diadukan ke Dewan Pers. Adapun pagu anggaran tahun 2016 itu adalah mengalami kenaikan, menjadi total 22 miliar 544 juta 269 ribu. 2019 ya, maaf, slip of tounge. Adapun uraiannya adalah dukungan kegiatan dan tugas fungsi Dewan Pers sebanyak 12 miliar 565 juta 700 ribu, dan layanan kesekretariatan perkantoran Dewan Pers itu adalah 9 miliar 978 juta 569 ribu. Adapun anggaran belanja tahun 2019 rinciannya adalah, belanja pegawai 3 miliar 390 juta 852 ribu, belanja barang 18 miliar 948 juta 417 ribu, dan belanja modal 205 juta. Adapun program kerja Dewan Pers untuk tahun anggaran 2019 itu adalah layanan administrasi pengembangan pers dan kerjasama Dewan Pers dengan masyarakat pers, antara lain pendataan penerbitan pers nasional tahun 2019 dan verifikasi. Ini akan jalan terus. Kemudian fasilitasi organisasi pers dan lembaga-lembaga pemantau media. Dan layanan admin pengaduan masyarakat terhadap kasus-kasus pers dan saksi ahli pers, antara lain pelayanan penyelesaian pengaduan masyarakat, pelayanan keterangan saksi ahli, baik di tingkat penyidikan, polisi, kejaksaan, maupun pengadilan. Kemudian tim pencari fakta atas kasus-kasus pers. Dan yang ketiga, penyusunan indeks kemerdekaan pers. Ini kembali akan melakukan survei kemerdekaan pers di 34 provinsi di Indonesia. Ini kegiatan tahunan, dan menjadi bagian dari prioritas kerja Dewan Pers yang nanti akan dikawinkan dengan indeks demokrasi Indonesia oleh Kementerian Polhukam. Data ini ada paralelisme, dan sedang dijajaki kemungkinan untuk menggabungkan dan membuat analisis bersama. Kemudian adalah sosialisasi survei IKP kepada seluruh pihak terkait, terutama di daerah-daerah yang kemerdekaan persnya rendah. Benkulu sempat rendah. Tapi ketika ada MOU, dan kita membantu asistensi disana, angkanya kembali naik. Tapi Papua Barat masih rendah, dan beberapa daerah Indonesia Timur indeks kemerdekaan pers masih rendah. Yang keempat adalah, pers dalam mendukung proses demokrasi ini workshop peningkatan profesinalisme dalam peliputan pemilu. Kami mendapatkan bantuan tambahan dana sekitar 4 miliar untuk membuat workshop di 34 provinsi, melibatkan wartawan. Mulai dari meliput pemilu sampai nanti melaporkan pasca pencoblosan. Program prioritas nasional tahun 2019 itu adalah IKP yang akan nanti dilaksanakan di 34 provinsi. Dan IKP ini diharapkan menjadi rujukan untuk pengembangan standar dan mengukur situasi kemerdekaan pers di Indonesia, dan menjadi alat perencanaan dan evaluasi untuk memajukan kemerdekaan pers dalam menunjang peningkatan kualitas demokrasi. Perlu saya laporkan juga bahwa, Dewan Pers selama 4 tahun ini menyiapkan diri untuk menjadi country member mewakili Pemerintah Indonesia di IPDC Unesco, . Tahun ini direncanakan Indonesia akan menjadi country member. Nanti supervisi sepenuhnya dari Kemlu dan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pers dalam mendukung proses demokrasi nanti adalah pelatihan di 34 provinsi.

5

Adapun isu-isu aktual adalah profesionalisme pers. Kita tahu bahwa pendataan perusahaan pers dan uji kompetensi wartawan sedang digalakkan saat ini. Dan ini sedang kita dorong meskipun kemudian mendapatkan tentangan dari beberapa pihak. Yang kedua, ancaman disinformasi terhadap kemerdekaan pers dan persatuan bangsa, terutama hoax yang menjelma dari media sosial yang masuk ke media-media, kami mencoba melakukan pencegahan itu. Dan yang ketiga adalah pelanggaran iklan dan pemberitaan media terkait pemilu. Kemudian, dinamika perkembangan industri media yang kita tahu bahwa media cetak sekarang sedang mengalami masa keterpurukan. Orang mengatakan ini ‘bisnis senjakala’. Dan kami harus mengawal, karena Pak Djohar (Wakil Ketua Dewan Pers) ini adalah Ketua Harian SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar). Kami akan men-support organisasinya Pak Ahmad Djohar untuk bisa mengawal teman-teman media cetak bermigrasi sepenuhnya melewati terjangan teknologi dan disrupsi informasi. Adapun tentang agenda yang dikatakan bahwa membahas tentang temuan atas laporan keuangan Dewan Pers, kami tidak punya catatan dan tidak ada catatan dari BPK kepada kami. Nanti kalau di cek saya mohon Pak Syaifudin bisa menjelaskan lebih detail. Terima kasih.

Wassalaamu'alaikum Warohmatulloohi Wabarokaatuh.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Terima kasih atas penjelasannya. Dan nanti akan kita konfirmasi mengenai, biasanya ada risalah, ini dari BPK. Jadi kalau memang tidak ada temuan ya mungkin satu agenda sudah kita anggap selesai.

Bapak/Ibu Anggota Komisi I yang saya hormati,

Sekarang kita kepada sesi tanya jawab. Di meja pimpinan sudah ada 3 (tiga) penanya yang sudah terdaftar. Yang pertama, Ibu Lena Maryana. Nanti siap-siap Bapak Timbul Manurung. Silakan, Ibu.

F-PPP (DRA. HJ. LENA MARYANA):

Terima kasih Pak Ketua.

Bapak Pimpinan, Pak Setya; Ketua Dewan Pers dan seluruh jajaran yang hadir pada hari ini.

Tadi saya masuk di tengah-tengah penjelasan, karena mendampingi Ketua menemui dubes dari , sehingga agak telat mendengar penjelasan yang disampaikan oleh Pak Ketua Dewan Pers. Tetapi ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan terkait dengan soal yang menjadi tugas dari Dewan Pers. Dewan Pers ini memiliki tugas utama. Kita semua tahu tugas utama dari Dewan Pers. Kayaknya saya harus minum dulu ini gara-gara makan kacang. Dewan Pers tugas utamanya ini adalah tentu saja sebagai lembaga negara yang mengatur dan bertanggungjawab atas kegiatan jurnalistik di Indonesia. Tugas-tugas Dewan Pers sudah kita ketahui semua. Dan yang terutama kita ketahui adalah pers ini menjadi salah satu pilar demokrasi, ini yang akan menjadi sorotan saya. Kalau soal anggaran dan capaian ini sudah ada di tangan kita semua. Tetapi yang menjadi konsern kita, karena tahun ini adalah tahun politik, Pak Ketua Dewan Pers, dan pertamakali di republik ini akan kita selenggarakan pemilu secara serentak antara pemilu legislatif, kemudian pemilu presiden, dan dimana posisi pers sebagai pilar demokrasi untuk menjamin terjadinya pemberitaan yang berimbang, kemudian yang fair. Dan juga bagaimana Dewan Pers ini merespon dari yang sudah disebutkan terakhir tadi soal

6 berita-berita hoax yang bukan saja terjadi di tanah air, tetapi juga menjadi trend di belahan dunia yang lainnya. Dan saya melihat mungkin Dewan Pers ini harus punya semacam instrumen ataupun kebijakan yang khusus menyangkut berita-berita yang tersebar di media-media. Karena saya sangat khawatir kalau masyarakat sampai kehilangan trust/kehilangan kepercayaan kepada pers. Padahal pers ini sebagaimana saya sebutkan di awal adalah juga menjadi pilar demokrasi yang memperkuat demokratisasi di tanah air. Apalagi juga sudah di singgung oleh Pak Ketua Dewan Pers situasi saat ini menyangkut misalnya soal konflik antara kepentingan politik dan ekonomi pemodal dari media dengan para jurnalis yang ada di dalam, dan berita-berita yang akan disampaikan ke publik. Ini buat saya menjadi persoalan yang amat serius bagaimana kita mengatasi dan mengedepankan jurnalistik yang tadi berimbang. Ada check and balance, kemudian juga ada secara berimbang. Di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 itu juga disebutkan bahwa media harus memberitakan secara berimbang seluruh peserta pemilu. Peserta pemilu yang kita ketahui pada pemilu 2019 adalah pemilu presiden, kemudian pemilu legislatif, yang didalamnya pesertanya adalah partai politik, tetapi juga ada peserta pemilu perorangan, dan memilih anggota DPD. Peliputan-peliputan media yang saya lihat kecenderungannya saat ini adalah khusus kepada pemilu presiden. Dan ini buat situasi politik agak membahayakan, karena kalau pemilu presiden terus menerus yang diberitakan, dua pemilu yang menyangkut pesertanya pemilu partai politik dan perorangan ini bisa saja kemungkinan terjadi kecurangan itu sangat luar biasa, karena tidak ada orang yang kemudian konsern dan mengawasi/memantau selain pemilu presiden. Dan ini di lapangan kita temui. Bahkan saya juga mengkritisi media-media elektronik, kemudian juga media cetak ketika mereka hanya fokus terhadap pemberitaan-pemberitaan yang menyangkut pemilu-pemilu presiden. Kalau dulu kalau kita ingat, Pak Ketua, pada tahun 2014 yang lalu, itukan ada debat kandidat antara caleg misalnya. Kemudian ada penyampaian platform-platform dari partai politik apa yang akan diperjuangkan oleh partai politik ketika masuk di parlemen. Dan ini juga edukasi politik kepada masyarakat ini juga harus dilakukan melalui media-media, media elektronik, media cetak, dan seterusnya. Ini kesempatan yang sangat baik, Pak Ketua, kalau kami menyampaikan konsern kami terhadap Pemilu 2019. Kalau soal anggaran ini sudah berjalan seperti yang sudah dilakukan. Tetapi sekali lagi, menurut saya ini juga harus menjadi perhatian dari Dewan Pers. Dan saya berharap bahwa pelaksanaan program pengawasan dan kewenangan- kewenangan Dewan Pers yang lain untuk saat ini, 2019, itu bukan business as usual, bukan seperti yang lalu-lalu, tetapi harus ikut menjadi penjaga pilar demokrasi untuk tegak mendukung demokratisasi terjadi di tanah air. Dan konsern-konsern kami, dan masyarakat yang juga selalu kita dengar, ini juga harus menjadi perhatian serius dari Dewan Pers. Karena kemana lagi kami harus menyampaikan konsern kami kalau bukan kepada Dewan Pers. Karena Dewan Pers ini adalah bagian dari lembaga negara yang mengawal terjadinya jurnalisme yang etis, jurnalisme yang berimbang, dan mengabarkan fakta-fakta, bukan berita-berita bohong. Dan ini saya pikir harus menjadi program prioritas Dewan Pers dalam sisa masa waktu pemilu sampai 17 April dan seterusnya sampai ditetapkannya calon presiden menjadi presiden, kemudian pemenang legislatif, termasuk juga dari DPD RI. Karena, sekali lagi, sekarang orang kehilangan kepercayaan terhadap berita-berita yang muncul di pemberitaan. Kadang pemberitaan mainstream juga quote un quote di tuduh siapa yang membiayai atau siapa yang memodali sehingga pemberitaan itu bisa disesuaikan dengan siapa yang membayar. ‘Pesanan’, bahasa Pak Manurung itu, berita yang menjadi pesanan. Ini amat sangat membahayakan kalau masyarakat kehilangan trust terhadap pemberitaan. Sehingga mereka membuat berita sendiri nantinya. Dan membuat berita sendiri inikan tidak terjangkau oleh Dewan Pers. Dan menurut saya, Pak Ketua, kita juga nanti harus mengkomunikasikan dengan Menkominfo. Sudah ada MOU dengan Menkominfo ya? Maksudnya ini harus ada penegasan pengawalan terhadap apa yang menjadi konsern kami. Sementara itu dulu, Pak Ketua, terima kasih.

7

Billaahitaufiq Wal Hidaayah. Wassalaamu'alaikum Warohmatulloohi Wabarokaatuh.

F-GERINDRA/WAKIL KETUA KOMISI I DPR RI (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Wa’alaikumsalaam.

Terima kasih Ibu Lena. Selanjutnya kita minta Pak Timbul Manurung. Silakan, Pak Timbul.

F-HANURA (DRS. TIMBUL P. MANURUNG):

Terima kasih Pimpinan Rapat Komisi.

Bapak Ketua Dewan Pers beserta jajarannya,

Saya ingin menyampaikan hal yang berkaitan dengan kegiatan atau pelaksanaan tugas dari Dewan Pers. Kita tahu bahwa Dewan Pers ini memang salah satu tonggak untuk bisa menghimpun dan melaksanakan, dan serta mungkin dalam pengawasan, terhadap semua kegiatan daripada pers. Termasuk lembaga-lembaganya, apakah itu media cetak maupun media elektronik. Kami juga tidak akan menyoroti apa yang sudah disampaikan oleh Bapak Ketua Dewan Pers. Tapi kami mencoba juga melihat dari kenyataan di lapangan yang mungkin juga jadi masukan, dan barangkali juga nanti kita minta tanggapan dari Dewan Pers. Sebagaimana kita ketahui bahwa baru-baru ini salah satu pemilik atau wartawan dari media cetak/tabloid Obor, dimana dia baru saja selesai menjalankan hukumannya. Kemudian dia berbicara di publik, baik melalui media cetak maupun media elektronik, bahwa dia akan memunculkan kembali/akan menerbitkan kembali apakah tabloid atau koran Obor itu. Di satu sisi kita lihat kan pada waktu menjelang pemilu 2014 kemarin justru dia memberikan berita-berita bohong. Sekarang bagaimana ini peran atau tanggapan dari Dewan Pers. Apakah ini akan diiyakan untuk dia bisa muncul lagi dengan nama yang sama. Karena memang ini ada kebebasan mengemukakan pendapat tentu harus di dengar, karena di jamin oleh undang- undang kita. Tapi masalahnya sekarang, pengalaman kita melihat begini mungkinkah dia tetap menamakan namanya itu Obor atau tidak. Itu satu Pak. Kemudian yang kedua, juga kita melihat kepada media elektronika, dalam hal ini televisi. Sering kita menonton televisi bahwa dalam kasus-kasus tertentu, apalagi yang menjadi sorotan publik, penayangan yang di buat oleh media elektronik ini, saya tidak usah sebut namanya ya, tapi mungkin kita tahu, bahwa sering mengulang-ulang yang kadang-kadang ini apa lagi menyangkut kepada perilaku atau tindakan daripada aparat yang sedang melaksanakan tugas, apakah tugasnya di dalam rangka untuk pengamanan barangkali mungkin brutal, tapi ini menjadi sering di ulang-ulang. Seolah-olah itukan secara tidak langsung mengajak masyarakat penonton untuk bisa terpengaruh. Padahal mungkin tidak seperti itu permasalahannya. Ini juga mungkin perlu ada pengawasan yang lebih ketat dari Dewan Pers bagaimana ini untuk wartawannya maupun media cetaknya. Jadi dua hal ini yang kami sampaikan. Apalagi kita kaitkan sekarang ini dalam kita berada di era politik sekarang. Jangan sampai nanti media-media cetak ini atau media elektronik ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang sedang bertanding ini. Yang paling kita lihat adalah dalam rangka pilpres dan wapres, bahwa ini kita lihat jangan terulang lagi kasus seperti kasus Obor. Saya kira itu saja yang kami sampaikan, terima kasih.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Terima kasih Pak Timbul. Selanjutnya, Pak Hidayat Nur Wahid. Nanti siap-siap Pak Charles Honoris.

8

Silakan, Pak Hidayat.

F-PKS (DR. H.M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A):

Terima kasih Pak Ketua.

Rekan-rekan Komisi I yang saya hormati; Rekan-rekan dari Dewan Pers yang semuanya saya hormati.

Assalaamu'alaikum Warohmatulloohi Wabarokaatuh. Selamat pagi, selamat siang, dan salam sejahtera untuk kita semuanya.

Pertama tentu kita apresiasi kinerja daripada Dewan Pers pada tahun 2018 dengan laporan yang sudah disampaikan ini. Dan karena ini adalah rapat kerja maka kita ingin mendalami beberapa hal. Pertama, disini disebutkan tentang capaian kerja tahun 2018 yang kemudian berdasarkan survei di sebut sebagai sedang atau agak bebas dengan nilai indeks 69. Ada yang kemudian dari sisi hukumnya 69 persen, politik 71 persen, dan ekonomi 67 persen. Jadi kalau boleh kami mendapatkan informasi yang lebih operasional, itu tolak ukurnya bagaimana. Karena kalau di rakyat justru sepertinya merasakan bahwa pers Indonesia itu bukannya sedang atau agak bebas, tapi malah sangat bebas. Malah mungkin vulgar bebasnya. Bahkan banyak orang mengatakan pers di Amerika saja tidak sebebas pers di Indonesia. Terutama kalau kaitannya dengan masalah penayangan, masalah film, pornografi, atau hal-hal yang kemudian terkait tontonan untuk anak-anak sekalipun, termasuk sinetron-sinetronnya sekalipun, sebagiannya dirasakan sebagai satu hal yang melampaui batas. Artinya masuk dalam kategori bukan hanya bebas, malah sangat-sangat bebas. Tapi kenapa disini malah hanya disimpulkan sebagai sedang atau agak bebas. Atau karena ini hanya terdiri dari 3 (tiga) bidang saja, bidang hukum, politik, dan ekonomi, sementara bidang yang terkait dengan masalah entertainment yang kemudian tersampaikan oleh media-media belum di survei. Nomor dua juga kaitan dengan anggaran, serapannya sekitar 93 persen akumulasinya. Pertanyaan saya, kenapa tidak bisa sampai mendekati 100 persen, apa kendalanya. Untuk sebuah lembaga yang tidak sangat besar, dan anggaran juga sangat tidak besar, mengapa pula tidak bisa menyerap anggaran di atas 95 persen paling tidak. 100 persen barangkali hanya untuk Alloh Tuhan saja yang bisa. Tapi mendekati 95 persen artinya sesungguhnya itu adalah suatu yang sangat dimungkinkan. Dalam konteks anggaran, apa penilaian dari BPK tentang serapan anggaran dan/atau kinerja keuangan daripada Dewan Pers? Apakah sudah masuk dalam kategori Wajar Tanpa Pengecualian, atau malah disclaimer. Kami perlu mendapatkan informasi, supaya dengan cara itu kami bisa akan pertimbangkan tentang permintaan tambahan anggaran bagi Dewan Pers untuk tahun 2019. Sebab kalau kemudian kita tidak mendapatkan informasi yang otoritatif tentang sejauhmana anggaran ini memang dipergunakan tentu kami juga mempunyai tanggungjawab konstitusional untuk kemudian mempertimbangkan apa perlu ditambahkan atau tidak. Termasuk juga tadi, serapannya. Kalau masih dengan anggaran segitu saja serapannya tidak bisa maksimal, mengapa pula harus di tambah. Ini juga bagian yang perlu mendapatkan informasi.

Yang saya hormati, rekan-rekan Dewan Pers,

Kita memahami bahwa di antara tugas Dewan Pers adalah untuk mengawasi dan menetapkan tentang pelaksanaan daripada kode etik jurnalistik itu sendiri. Tadi disampaikan tentang wartawan-wartawan yang sudah bersertifikat kompetensi sebanyak 14.420 orang. Pertanyaan saya adalah, sejauhmana tugas ini benar-benar dilaksanakan, bagaimana Dewan Pers benar-benar melaksanakan prinsip tentang penetapan dan pengawasan daripada kinerja dan kualitas dari rekan-rekan wartawan kita. Karena minggu yang lalu saja saya

9 mendapatkan kasus yang sangat mengerikan, tiba-tiba ‘Hidayat Nur Wahid mengatakan tidak mendukung legitimasi KPU’. Itu judul berita di suatu berita nasional yang sangat besar. Tapi kan yang menulis ini bukan saya, wartawan pasti, kok bisa. Padahal kan secara common sense saja masa sih seorang Hidayat Nur Wahid menolak legitimasi KPU. Padahal yang terjadi justru saya sangat mendukung legitimasi KPU, dan karenanya saya minta KPU agar menjaga legitimasi dirinya. Tapi di buat judulnya saya menolak legitimasi KPU. Inikan salah satu fakta tentang bagaimana, saya tidak mengerti ini kawan-kawan wartawan punya sertifikat atau tidak, tapi ini salah satu fakta tentang pengawasan itu perlu dilakukan lebih serius lagi. Kemudian untuk program tahun 2019 disini disebutkan tentang program kerja di halaman 13. Ada program di halaman 13 itu kegiatan pertamanya tentang layanan administrasi pengembangan pers dan kerjasama Dewan Pers dengan masyarakat pers. Ini belum ada yang spesifik tentang pemilu. Sama juga nanti di halaman 14 ada layanan administrasi pengaduan masyarakat terhadap kasus-kasus pers dan layanan saksi ahli pers yang di tahun politik nanti pastilah yang paling banyak terkait dengan masalah pemilu. Apakah yang tadi disebutkan oleh rekan kami sebelumnya terkait dengan pilpres atau dengan pileg, harusnya juga ada pelayanan-pelayanan penyelesaian pengaduan masyarakat, pelayanan keterangan saksi ahli ke pengadilan, mestniya juga ada pelayanan penyelesaian pengaduan masyarakat spesifik terkait dengan masalah pemberitaan tentang masalah pemilu, apakah pileg maupun juga pilpres. Sehingga kami dengan spesifiknya program semacam ini kami menjadi terinformasikan bahwa Dewan Pers betul-betul juga melaksanakan tugasnya sesuai dengan realita kondisi dan tantangan yang terjadi pada setiap tahun dimana kita sedang melaksanakan kegiatan. Di halaman 16 tentang isu aktual. Isu aktual yang pertama adalah profesionalisme pers, pendataan perusahaan pers, dan uji kompetensi wartawan dan lain sebagainya. Lagi-lagi sama sekali tidak muncul isu aktual tentang masalah pemilu, karena itu pasti yang paling aktual di tahun 2019 itu tentang masalah pemilu, baik itu pilpres maupun juga pileg. Jadi saya usulkan agar ditambahkan, bukan hanya tentang profesionalisme, tapi juga independensi. Isu aktual ada profesionalisme dan independensi pers. Tadi kawan-kawan sudah mengingatkan, kalau kemudian persnya tidak independen/kemanapun tidak independensinya ya berarti pers sedang mendelegitimasi dirinya terkait dengan bahwa persnya adalah pilar keempat daripada demokrasi. Dan tentu Dewan Pers mempunyai kewajiban dan tugas untuk memastikan tentang independensi pers ini, dan karenanya menurut saya penting untuk dimasukkan dalam isu aktual. Karena terus terang bagian yang banyak orang khawatir adalah kalau media tidak lagi independen. Dan karenanya sekali lagi bukan karena profesionalismenya, profesionalisme yang independen. Kalau profesionalisme malah membuat tidak independen, inikan sebuah tantangan bagi Dewan Pers. Yang terakhir saya kira saya perlu mendapat informasi tentang anggaran yang minta di tambah tadi. Apakah memang sudah dipertimbangkan rasionalisasinya, memang keperluannya semacam itu, atau justru dengan adanya hajatan yang sangat besar di tahun 2019 ini, yaitu tentang pilpres dan pileg, atau tentang pemilu, seharusnya anggarannya lebih dari yang ini. Karena kan pasti akan memerlukan afford yang lebih banyak lagi, peliputan yang lebih luas, mungkin juga pengaduan penyelesaian masalah yang lebih banyak lagi. Banyak pekerjaan yang akan dikerjakan oleh Dewan Pers dan siapapun di tahun 2019 terkait dengan masalah pemilu. Demikian, terima kasih.

Assalaamu'alaikum Warohmatulloohi Wabarokaatuh.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Wa’alaikumsalaam .

Terima kasih Pak Hidayat. Selanjutnya, Pak Charles.

10

F-PDIP (CHARLES HONORIS):

Terima kasih Pimpinan.

Yang saya hormati, teman-teman Dewan Pers,

Saat ini di era internet seperti sekarang kita tahu penyebaran informasi begitu cepat. Dan tentunya kita harus bedakan juga informasi itu didapatkan dari media yang merupakan jurnalistik atau dari satu sumber dengan tampilan seperti media tapi bukan bagian dari produk jurnalistik. Terkait dengan media yang merupakan produk jurnalistik, tadi sudah disampaikan oleh Pak Hidayat Nur Wahid, belakangan ini kita melihat fenomena judul-judul yang bombastis, tidak relevan dengan isi pemberitaan, dan sayangnya kita lihat hari ini. Saya berkali-kali ketika pertemuan dengan masyarakat menanyakan, rata-rata masyarakat Indonesia hanya baca judul, akhirnya fatal. Contoh-contoh misalkan yang sudah pernah beredar, ini saya baru saja googling di internet, contoh berita dengan judul ‘Setya Novanto ditemukan mengambang di pantai Baron’, padahal yang di maksud Setya Novanto bukan mantan Ketua DPR, tapi ada orang yang namanya Setya Novanto kebetulan meninggal. ‘Ahok ditemukan gantung diri di kamarnya’. Ini Ahok kebetulan namanya juga Ahok, tapi bukan mantan gubernur DKI. Atau dengan judul-judul dengan berita yang sama sekali tidak berkualitas, ‘bertarif 80 juta tapi alat kontrasepsi yang dipakai Vanesha Angel hanya seharga 5 ribuan’. Jadi kita melihat judul ini bisa sudah membentuk opini publik dan mempengaruhi sekali kualitas pemberitaan media di Indonesia pada hari ini. Apa yang sudah dilakukan Dewan Pers selama ini dalam hal menanggapi fenomena ini. Apalagi tadi disampaikan oleh Pak Hidayat Nur Wahid judul berita yang saya rasa sangat merugikan Beliau. Kontennya lain, yang disampaikan lain, tetapi judulnya sudah membentuk opini yang tidak sesuai dengan yang disampaikan. Atau mungkin bisa diceritakan juga kepada kita dalam setahun terakhir laporan dari masyarakat banyak tidak terkait dengan judul-judul bombastis, dan apa saja langkah yang sudah dilakukan oleh Dewan Pers, dan ke depan harus seperti apa. Yang kedua terkait dengan media yang tadi saya katakan berpenampilan seperti produk jurnalistik. Ini jumlahnya banyak sekali, dan ini menguasai media sosial. Saya berkali-kali pertemuan dengan masyarakat saya tanyakan misalnya, hari ini yang baca koran cetak berapa banyak. Dari 100 orang paling yang mengacungkan jari 3. Yang membaca media online berapa banyak? Dari 100 tidak lebih dari 10. Yang mendapatkan informasi dari media sosial berapa banyak? Mungkin 60-70 orang yang ada di ruangan tersebut dari 100. Artinya, media-media yang bukan merupakan produk jurnalistik menjadi acuan utama dari masyarakat Indonesia hari ini. Ini saya tidak bicara ilmiah, karena saya tidak punya data. Tetapi ini dari observasi yang saya temukan di lapangan. Tadi kan Bapak sudah mengatakan Dewan Pers menerbitkan daftar nama-nama media yang sudah terverifikasi secara administrasi maupun secara faktual. Apakah data ini sudah disampaikan kepada masyarakat secara massive, atau melalui media sosial, melalui kanal apapun tertentu, bahwa ini loh media-media yang kredibel yang bisa dipercaya sehingga publik ketika mendapatkan informasi dari abal-abal.com misalnya tahu ini bukan media yang terverifikasi oleh Dewan Pers, tidak terikat oleh aturan jurnalistik, tidak bisa dilaporkan ke Dewan Pers, dan sebagainya. Apakah sudah dilakukan? Dan kalau belum, saya rasa ini penting sekali untuk dilakukan. Apalagi kita masuk ke tahun pemilu, ini media sosial sudah menjadi tempat tempur yang sangat mengerikan. Apalagi kita tahu ada yang namanya echo chamber effect. Misalkan saya pendukung pasangan calon A, ketika saya buka media sosial saya isinya pemberitaan yang menguntungkan saya atau menjelek-jelekkan pasangan yang lain. Dan yang menjelek-jelekkan itu isinya sudah ngeri-ngeri Pak, dan tidak terikat dengan aturan jurnalistik. Jadi menurut saya perluj/sangat penting disampaikan kepada publik agar publik mengetahui betul informasi yang didapatkan/yang dibaca itu sesuai/apakah ini masuk dalan produk jurnalistik atau bukan. Dan ini salah satu tugas dari Dewan Pers. Terima kasih.

11

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Terima kasih. Ada yang lain? Kalau tidak ada, saya ingin menambahkan sedikit mengenai hal Dewan Pers kita itu kira- kira kalau di dunia itu kita itu berkiblat kemana yang bisa kita anggap bisa menjadi contoh. Kenapa saya bertanya ini? Karena pentingnya dengan kemajuan teknologi yang ada yang barusan saja disampaikan oleh Pak Charles tadi, supaya kita punya referensi. Dan bagaimana penetrasi daripada Dewan Pers terhadap kemajuan teknologi tersebut. Jangan sampai begini, aturannya itu old fashion, tapi sementara yang di atur ini sudah bisa di luar daripada itu. Tapi targetnya sampai kepada audience yang diharapkan. Inikan menjadi peranan daripada Dewan Pers bisa dinihilkan, karena tidak balance-nya tadi, jadi ada asimetris disini. Ini yang saya ingin mendapatkan paling tidak di Dewan Pers itu kalau melihat. Kan tentunya counterpart-nya kan banyak ini di luar negeri yang mempunyai dewan pers. Apalagi negara yang demokratis biasanya desan persnya lebih hidup. Kita itu mengacu kemana? Bukan berarti kita mencontoh, tapi paling tidak melihat acuan dari sisi perkembangan teknologi yang sedemikian pesat sehingga kira-kira kita mau menuju kesana. Ini penting disikapi, karena ini menyangkut anggaran juga. Jadi kalau misalkan saya melihat anggaran Dewan Pers itukan relatif kecil, kalau kita melihat daripada perkembangan yang sedemikian pesatnya lantas kita terhambat hanya karena “ya kita tidak punya apa-apa Pak, kita paling kayak begini saja, dari sistem pengawasan kita juga terbatas”, itukan juga menjadi lucu. Saya harap mungkin dari Dewan Pers bisa memberikan juga masukan kepada kami. Kalau ingin sampai sejauh itu ya kita harus bagaimana. Disamping aturannya diperbaharui. Jadi seperti tadi Pak Charles yang bilang, kalau belum ada ya di atur. Tetapi apa artinya kalau kita atur tetapi tools untuk melakukan pengawasannya tidak cukup atau tidak mampu kita, ya lewat juga. Aturannya ada tapi kita tidak punya perangkat yang bisa memenuhi daripada aturan itu. Itu saja tambahan dari saya. Silakan Pak. Dari meja pimpina ada lagi, silakan Pak Asril.

F-GERINDRA/WAKIL KETUA KOMISI I DPR RI (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Terima kasih Pak Pimpinan Sidang.

Teman-teman dari Dewan Pers,

Saya hanya satu, masalah sertifikat kompetensi kewartawanan. Apakah itu termasuk yang tanda di pakai, atau mungkin tidak? Karena saya lihat banyak sekali wartawan di luar, saya bingung itu yang mana dapat dari Dewan Pers, atau mana. Hampir semua ada. Ada yang sedikit saja begini sudah, kemana-mana boleh masuk. Yang dikeluarkan Dewan Pers itu berupa sertifikat besar, atau memang dicantumkan di luar seperti tanda wartawan-wartawan yang lain itu. Bagaimana membedakan itu. Saya kadang-kadang bingung itu: “ini wartawan, kamu dari mana” “dari TV ini Pak” Apakah ini memang terdaftar di Dewan Pers, atau mereka sendiri-sendiri. karena ini banyak sekali. Kita bingung ini. Kalau hanya sekitar 14 ribu 420 orang se Indonesia, ini berarti sediki sekali. Belum lagi yang di daerah. Saya bingung melihat wartawan ini bertebaran, semua pakai tanda. Ini yang mengeluarkan tanda siapa. Ini tambahan dari saya, mungkin karena saya bingung wartawan ini, tidak punya ilmu tentang kewartawanan. Tapi saya melihat seperti itu, ini mesti harus jelas maksud saya. Semua orang yang baru muncul bikin tanda wartawan. Baru muncul, entah sudah ada koran atau belum, bikin tanda. Seram-seram tanda itu, foto lagi. Bagamana mengecek itu, susah itu. Terima kasih Pimpinan.

12

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Terima kasih. Silakan Pak.

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Baik Pak, saya coba satu persatu. Tapi mohon nanti kalau ada yang lebih spesifik saya mohon waktu untuk mengundang Anggota Dewan Pers untuk membantu memberikan jawaban. Saya mulai dulu dari Pimpinan tadi, Pak Asril. Jadi setiap wartawan yang sudah lolos uji kompetensi/mengikuti uji kompetensi, ada 3 (tiga) tingkatan Pak. Wartawan muda, wartawan madya, wartawan utama. Untuk pimpinan news room, pemimpin redaksi, wajib wartawan utama. Kartu kompetensinya seperti ini. Disini ada logonya Dewan Pers, lembaga pengujinya siapa, kemudian dibelakangnya ada tanda tangan Ketua Dewan Pers.

F-GERINDRA/WAKIL KETUA KOMISI I DPR RI (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Ini yang paling senior bukan?

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Iya, ini yang wartawan utama, bentuknya emas warnanya. Dan ini adalah tanda tangan Ketua Dewan Pers. Di sertifikat dikeluarkan oleh lembaga penguji, dan ada Ketua Dewan Pers ikut tanda tangan sertifikatnya.

F-GERINDRA/WAKIL KETUA KOMISI I DPR RI (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Inikan di simpan, tidak kelihatan di luar kan?

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Bisa ditunjukkan, ini wajib ditunjukkan. Ini punya Pak Henry ditandatangani oleh Prof. Bagir Manan, Ketua Dewan Pers sebelum saya. Pak Henry ini dari IJTI. Ini punyanya Ibu Ratna Komala. Ibu Ratna Komala juga wartawan. Jadi sebetulnya setiap narasumber berhak untuk bertanya apakah saudara sudah mengikuti UKW atau belum. Kenapa, karena ada banyak orang sekarang tinggal bawa foto ke tempat fotocopi, dia bisa membuat kartu pers. Kartu pers yang paling banyak menakutkan itu pakai logo KPK, singkatan dari Koran Pemberitaan Korupsi, Koran Pemberantasan Korupsi. Datang ke sekolah-sekolah dia mengatakan saya dapat informasi sekolah ini menyelewengkan dana BOSS. Itu pasti guru panas dingin itu kalau didatangi begitu. Lantas dia akan tanya Bapak siapa, “saya penyidik KPK”. Logonya mirip dengan KPK. Guru biasanya akan mengundang kepala sekolah. Kepala sekolah yang berpengalaman dia sudah tahu ini wartawan cari-cari perkara, di kasih amplop saja dia pulang. Tapi guru yang tidak berpengalaman dia panas dingin mendapatkan teror dari wartawan- wartawan begini yang mengaku petugas KPK. Beberapa orang sudah di tangkap oleh rekan- rekan dari Polri di proses hukum, karena ini memalsu dan seterusnya. Ada juga yang mengakut dari BIN. Bukan Badan Intelijen Negara, tapi Berita Investigas Nasional. Ada juga yang mengaku dari BNN. Bukan Badan Narkotika Nasional, tapi Berita Narkoba Nasional. Logonya mirip sama BNN. Itu paling banyak di daerah Kepri, Batam, dan seterusnya itu praktek-praktek seperti itu terjadi. Kami perang terhadap begini-begini. Tempo palsunya ada 14 Pak. Jadi Tempo yang asli adalah tempo.co, ada tempo.co.id, ada tempo.com, ada temposyiar.com. Ada macam-macam, dan logo-logonya mirip dengan tempo.

13

Kami harus melindungi media-media yang benar yang membayar pajak dan seterusnya, jangan kem terjadi imitasi oleh orang yang pakai media pakai nama-nama itu. Di Jawa Timur ada Jawa Pos. Tapi ada Jawa Pes. Orang tidak tahu. sampai di Papua sebetulnya ada juga perwakilan Papua di daerah Kota Raja kantornya KPK. Tapi kalau kita lihat tidak ada kegiatan jurnalistik disana, hanya plang namanya. Kami mengatakan ini salah satu kebutuhan dari verifikasi perusahaan pers. Kami meneliti apakah perusahaan persnya benar, berbadan hukum, dia menggaji wartawannya atau tidak. Banyak orang sekarang bikin kartu pers, kemudian ikut konferensi pers, makan gratis, dapat uang transport. Dia bisa hidup. Jadi verifikasi perusahaan pers itu menjadi bagian dari yang kita dorong.

F-GERINDRA/WAKIL KETUA KOMISI I DPR RI (ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.IP.):

Saya rasa ini memang penting kelihatannya. Karena tidak semua orang kadang-kadang berani tanya wartawan. Jangan-jangan ini benar, nanti kita diapain. Polisi juga tidak berani. Pokoknya ada tanda itu masuk. Ini bagaimana cara kita bersama Dewan Pers ini untuk bisa membedakan atau melihat dengan cepat ini memang wartawan benaran, ada sertifikatnya benaran. Karena tidak ada yang berani periksa itu. Seperti tadi itu, KPK tapi bukan KPK yang ini. Sekarang bedakannya bagaimana. Ini tugas kita. Semua pakai begini sudah wartawan masuk. Ini kita khawatir, tidak karuan-karuan nanti dimana-mana. Orang takut juga, kalau di larang nanti dimarahin, jangan-jangan wartawan benaran. Ini bagaimana, saya tidak mengerti caranya kita membedakan dengan cepat ini kartu yang sudah terverifikasi dengan bagus dari Dewan Pers atau yang belum. Mari kita pikirkan bersama bagaimana bikin semacam kode yang lain tidak bisa niru, tidak bisa mengeluarkan. Tiru meniru ini Indonesia sudah hebat kan. menirut pesawat- pesawat tempur yang susah tidak bisa, tapi yang lain-lain bisa di tiru. Apalagi yang cetak itukan, macam-macam. Ada yang Siliwangi. Ini apa benar ini. Pokoknya kita melihat polisi, tentara, dan DPR ada tempel itu, “kamu wartawan”, “iya Pak”, “coba lihat”, kita juga tidak sampai hati atau mungkin tidak berani. Benaran nanti. Ini yang saya pikirkan bagaimana caranya ini betul-betul wartawan dari Dewan Pers atau ini abal-abal, kan susah itu. Kita juga memeriksa tidak berani. Bukan tidak berani, tidak elok, “Bapak seolah-olah tidak percaya, ini kartu wartawan saya”. Jadi ini mungkin di cari satu cara atau sistem yang dengan cepat kita bisa membedakan ini benar, ini belum tahu. Kalau misalnya senioritas kita susah itu, karena kartu-kartu itu di simpan di saku, tidak kelihatan. Ini, Pak Yoseph, bagaimana caranya, perlu dipikirkan bersama apa yang membedakan. Ini kelihatan sama saja dengan wartawan yang mana, yang resmi, yang tidak resmi. Ini agak sulit. Dari dulu saya berpikir bagaimana caranya. Semua pakai itu, semua ini. Apalagi kita yang tidak wartawan ini malah tidak mengerti apa-apa. Ada yang bisa memeriksa itu siapa kira-kira? Polisi? Ada tidak dalam hukum itu? Atau tidak ada pula kan. Agak rancu ini. Atau memang ada petugas khusus dari Dewan Pers berhak untuk melihat kartu itu. Kalau kita melihat nanti kena lagi kita kan ikut-ikut memeriksa wartawan. Wartawan inikan sekarang kelihatan di atas segala- galanya ini, saya khawatir nanti terjadi hal-hal yang negatif. Terima kasih, Pak Yoseph.

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Jadi begini, saya ingin cerita saja ini pengalaman dari anggota polantas Polda Metro Jaya, kira-kira mungkin 4-5 tahun yang lalu ketika masih di Semanggi itu masih 3 in 1, di tangkap satu mobil yang tidak ada spion sebelah kirinya, kemudian juga ini mobilnya sepertinya bermasalah, dicurigai ini mungkin mobil curian. Di atas Semanggi dia melewati 3 in 1, lewat saja. Di semprit, kasih tanda menepi-menepi. Mobilnya berhenti. Polisi Lantas datang. Seperti biasa, “selamat pagi, bapak dari mana, mau kemana”, surat-surat di tanya. Lantas di tanya itu kenapa spion sebelah kiri tidak ada. Ketika di tanya identitas, yang ditunjukkan bukan SIM atau STNK, tapi dia mengambil satu dokumen yang kayaknya membuat orang gentar. Ada kayak kartu nama kulit begitu, ada lambang garudanya, kemudian ada tulisannya ‘BIN'. Ditunjukkan sama polisi.

14

Polisinya tanpa panjang lebar langsung mengatakan “siap, lanjutkan perjalanan”, di kira anggota BIN yang sedang bertugas. Belakangan polisinya menyadari bahwa ini bukan BIN, tapi Berita Investigasi Nasional. Koran abal-abal Pak. Halamannya tidak jelas, kemudian tidak terverifikasi di Dewan Pers. Dewan Pers tahun 2014 sudah mengeluarkan surat edaran, waktu itu Prof. Bagir Manan, dilarang media menggunakan nama-nama yang mirip lembaga-lembaga negara, Polisi, maupun TNI. Di Papua ada media namanya Kontras. Ada media juga namanya ICW. Mereka bersama teman-temannya mengajukan tagihan hutang dari Pemkab Tambrau sebesar 10 miliar. Sekda Pemkab Tambrau yang baru satu bulan menjabat mengadu kepada Dewan Pers, “tolong kami di bantu, kami di tagih oleh media-media, di bully, di teror, melalui media sosial, melalui whatsapp bahwa kalau kami tidak di tagih kami akan di tulis panjang lebar”, dan seterusnya. Saya tanya, “Pak, itu memang Bapak pernah kerjasama dengan mereka, beriklan, atau apa?”, “saya tidak tahu, karena baru satu bulan menjabat”. Pertanyaan saya, “medianya seperti apa”. Disampaikan kepada kami, ada media namanya ICW, ada media namanya Kontras. Saya langsung cek kepada teman-teman ICW apakah anda punya media di Kabupaten Tambrau, Papua Barat. Tidak ada. Tapi ada media namanya ICW. Kami cek alamatnya, datanya, dan seterusnya, ini lokal ternyata. Ada juga Kontras. Kami cek ke Kontras. Bukan ternyata. Yang menarik adalah, Kontras ini milik seorang laki-laki, dia adalah supir yang kalau ada tamu di hotel ingin menyewa mobil satu jam, dua jam, dia yang melayani. ICW milik istrinya. Dan mereka tidak punya wartawan. Saya tanya: “Bapak ini memang wartawan?” “Saya melakukan pekerjaan jurnalistik” “Bapak bukan wartawan, bagaimana bapak bisa menulis berita?” “Saya mengambil saja berita-berita dari media online lain, di ubah judulnya, di muat” Terbitlah yang namanya Kontras dan ICW. Jadi pers sekarang dikerjakan dengan tingkat seperti home industry yang sebetulnya melanggar undang-undang. Karena undang- undang mengatakan harus berbadan hukum, terdaftar di Dirjen AHU Kementerian Hukum dan HAM, kemudian mencantumkan penanggungjawab dan alamat jelas. Kalau tadi di tanya, apa yang bisa kita lakukan? Kami di Dewan Pers memuat seluruh wartawan yang sudah mengikuti uji kompetensi. Ada fotonya disana. Tapi kan tidak mungkin Bapak-bapak yang ada di DPR tanya dulu, buka dulu, “tunggu ya saya mau buka website-nya Dewan Pers”, kemudian tanya “oh ya anda punya kompetensi”, dan seterusnya. Angkanya ribuan, tidak mungkin untuk di data. Kalau saya menganjurkan kerjasama dengan Pak Sesjen, dan Pak Sesjen yang kemudian membuat lingkungan DPR ini lebih nyaman dengan hanya mengijinkan wartawan- wartawan yang hanya dari media-media benar yang terverifikasi di Dewan Pers, dan wartawannya lulus UKW untuk bekerja disini. Dengan demikian apa yang dikatakan anggota DPR tidak ada yang di plintir di luar. Karena seringkali medianya kacau, wartawannya kacau, apa yang dinyatakan anggota kemudian di plintir dan bisa 180 derajat berbeda. Itu merugikan narasumber. Narasumber punya hak untuk menolak kalau wartawan tidak punya kompeten. Saya sebenarnya punya presentasi, ada ciri-ciri wartawan yang tidak punya kompeten itu, sukanya kumpul dan wawancaranya door stop, tidak berani wawancara lebih dari tiga pertanyaan kepada anggota, tanyanya bergantian dan door stop saja. Temannya begini, dan kita semua bingung harus menjawab satu per satu. Dan jawaban kita dipakai untuk beberapa media. Itu salah satu ciri saja Pak.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Tambahan saja Pak dari penjelasan tadi. Mungkin sosialisasi dari Dewan Pers yang perlu digencarkan. Jadi itu menurut saya kan tidak terinformasi ini. Jangankan orang luar, kita yang di Komisi I saja mungkin punya ilmu baru saja dapat. Jadi kalau misalkan dari Dewan Pers mengeluarkan, apalagi nanti ada stempelnya Dewan Pers, itu mungkin akan membuat masyarakat yang membaca lega.

15

Misalkan ada penipuan, Bapak bisa tulis, misalkan di Dewan Pers memberikan edaran ‘hindari calo’ atau hindari apa, ‘wartawan bodrex’, atau apalah, yang seakan-akan itu sebagai warning. Karena kalau tidak ya itu tadi, kita itu sudah takut dengan stempel-stempel lembaga institusi yang selama ini bekerja secara hukum, penegakkan hukum, lantas kita merasa sudah kemakan dulu, padahal itu kenyataannya tidak demikian. Saya pikir perlu ada satu, tidak tahu Pak apakah. Makanya perlu anggaran Bapak di masuk untuk sosialisasi ini di TV, di apa saja, yang bisa masuk. Saya tidak tahu sejauh ini publikasi Dewan Pers itu apa.

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Jadi mungkin dua tahun ini kami memang tidak punya program sosialisasi. Sebelumnya di TVRI. Tapi biaya di TVRI itu juga tinggi. Tiga tahun yang lalu kami harus membayar untuk berapa kali bersiaran disana. Dan kemudian membuka diskusi interaktif kalau ada pengaduan. Pengaduan yang paling banyak guru. Belakangan kepala desa, karena ada ADD (Alokasi Dana Desa) disana, dan ini menjadi sarang pemerasan dari wartawan abal-abal ini. Kami sendiri sebetulnya punya poster-poster yang di cetak, dan itu menjadi semacam oleh guru-guru di pelosok-pelosok dikatakan “Pak kami mohon lagi posternya untuk kami bagikan di sekolah-sekolah dikatakan bahwa ‘Dewan Pers melarang orang untuk memberikan uang kepada wartawan, amplop, dan seterusnya’”. Dan rupanya itu menjadi semacam jimat pengusir setan untuk instansi-instansi yang ada di bawah. Kalau diperlukan kami nanti akan mencetak dalam beberapa versi, dan tentunya akan memberikan kepada Bapak-bapak kalau itu diperlukan. Di luar itu adalah memang kami punya program, termasuk sosialisasi MOU dengan Kejaksaan dan Polisi mengenai penanganan terhadap wartawan-wartawan yang melakukan pemerasan ini seperti apa, prosedur penggunaan Undang-Undang Pers seperti apa. Dan setiap tahun kami jalan Pak. Cuma mungkin kami harus lebih banyak mengumpulkan kliping untuk kami sampaikan kepada Komisi I ketika ada rapat-rapat RDP seperti ini. Saya akan mencoba menjawab mulai dari pertanyaan Ibu Lena. Jadi tadi ditanyakan tentang pemilu. Jadi kami untuk pemilu ini kami mendapatkan anggaran tambahan sekitar 4 miliar untuk keliling di 34 provinsi, itu ada di halaman 15, bahwa ini akan menjadi prioritas kami. Apakah menjelang pencoblosan, ataukah setelah penetapan nanti. Jadi program itu akan kami kejar di 34 provinsi. Dan kami akan bekerjasama dengan satu lembaga media yang ada di Inggris untuk mendatangkan narasumber atas biaya mereka, jadi bukan di tanggung oleh APBN, untuk juga bisa mengajarkan tentang pengalaman meliput di negara-negara lain. Bagaimana meliputi di Myanmar, bagaimana meliput di Thailand, meliput di Philpina, untuk dibagikan kepada teman- teman wartawan di Indonesia. Kami konsern betul kepada situasi pemilu ini, makanya pada 2018 yang lalu kami mengeluarkan surat edaran Dewan Pers Nomor 2/2018 dalam rangka menjaga independensi pemberitaan. Dalam surat edaran itu kami menghimbau kepada seluruh wartawan yang ingin menjadi caleg, menjadi anggota DPD, ingin menjadi kepala daerah, atau barangkali adalah ingin menjadi bagian dari tim sukses, untuk non aktif atau mengundurkan diri dari profesi wartawan. Ini sudah diikuti oleh beberapa wartawan senior. Dan orang seperti Arief Suditomo pada 2014 ketika mendapatkan surat edaran juga orang yang pertama melapor kepada Dewan Pers “saya mengundurkan diri dari redaksi RCTI karena ingin menjadi caleg”. Sekarang juga sudah diikuti oleh beberapa pimpinan dari media- media penyiaran dan pimpinan media. Kenapa, karena kami khawatir ada banyak wartawan bekerja di media-media dimana pemiliknya itu adalah ketua partai. Kami khawatir produk jurnalisme ini bukan mengabdi kepada kepentingan publik menyampaikan informasi yang faktual, tapi bagian dari kampanye pemiliknya untuk memenangkan pasangan calon, memenangkan partai, dan seterusnya. Dalam waktu dekat kami juga akan melakukan MOU dengan Dirjen APTIKA Kominfo, mungkin dalam bentuk PKS (Perjanjian Kerja Sama) untuk membuat satgas media online. Di media online yang melakukan imitasi terhadap media yang ada yang menggunakan nama-nama

16 seperti aparat, media buzzer yang mencoba menjelma menjadi seolah-olah produk jurnalistik akan di takedown. Penilainya adalah kami, ini bukan, ini tidak. Dan Dirjen APTIKA yang mempunyai kewenangan untuk takedown/akan melakukan takedown. Dan kita juga akan nanti melibatkan Polri kalau memang ada kasus-kasus pidana. Saya agak loncat cerita tentang Obor Rakyat. Obor Rakyat 2014 ketika kami lihat isinya ini bukan produk jurnalisme. Muncul edisi kedua. Beberapa lembaga intelijen meminta masukan dari Dewan Pers, menyampaikan laporannya, kami nilai. Kami mencoba menghubungi siapa pemilik media ini. Alamatnya ada di Gang Buntu Pel Meriam, Gang Buntu Nomor 7. Namanya ada penanggungjawabnya. Kami teliti, apakah ini wartawan-wartawan yang sudah UKW, tidak ada nama itu. Sementara kalau di lihat isinya dari halaman 1 cover sampai halaman akhir isinya fitnah, tidak ada konfirmasi, narasumber yang di tulis juga tidak pernah dihubungi. Kami sebelum mengeluarkan rekomendasi bahwa ini bukan urusan pers, kami serahkan kepada Polri. Kami mencoba datang ke kantor media itu. Menelepon kantornya tidak ada yang mengangkat. Menghubungi penanggungjawabnya tidak ada yang membalas. KIAMI memanggil tidak ada yang datang. Kami datang ke lokasinya, alamat itu fiktif, tidak ada Gang Buntu di Pel Meriam, apalagi Gang Buntu Nomor 7. Jadi kami bersurat kepada Kapolri, kami katakan bahwa kami mendapatkan laporan, kami mendapatkan contoh medianya, ini menimbulkan keresahan, kami minta Polri melakukan proses berdasarkan MOU yang ada antara Dewan Pers dan Polri. Ini bukan wilayah Dewan Pers, dan di proses. Saya melanjutkan ke Obor Rakyat. Obor Rakyat kita tahu dua tersangkanya sekarang sedang bebas bersyarat. Dia membuat pernyataan bahwa kami akan menerbitkan, tapi kami akan taat kepada kode etik jurnalistik, dan kami akan membentuk badan hukumnya. Yang jadi pertanyaan, orang bikin media biasanya butuh public trust. Begitu menyebut Obor Rakyat, orang sudah tidak percaya pada produk itu. Kalau dia ngotot untuk bikin media untuk itu tujuannya apa, itu yang saya pertanyakan. Tujuannya politik, atau tujuannya ingin menarik pembaca supaya berlangganan, supaya mengakses, supaya bisa menarik iklan. Yang jelas iklan tidak akan pasang di media seperti itu yang namanya sudah tercela. Tapi kami tidak punya kewenangan untuk kemudian mengatakan “tidak boleh”, karena produknya belum ada. Dewan Pers itu menilai produknya dulu, baru kemudian menentukan ini media atau bukan. Kita lihat strukturnya, pengelolaannya. Jadi kami katakan, kalau mau bikin, pertimbangkan. Pakai nama itu sudah cacat. Yang kedua, pengelolaannya bebas bersyarat sampai bulan Mei kalau tidak salah. Kalau dia melakukan hal yang serupa itu proses hukum akan langsung otomatis berjalan, karena pembebasan bersyarat bisa dibatalkan. Jadi kami ingatkan. Kenapa, karena dua orang ini memang mantan wartawan, tapi belum ikut uji kompetensi wartawan. Jadi tidak mungkin jadi pimpinan media. Tadi yang lain adalah, kami punya MOU dengan 4 (empat) lembaga, Dewan Pers, Bawaslu, KPU, KPI. Sebentar siang kami akan rapat terkait dengan permintaan dari Bawaslu terkait dua suaran stasiun televisi pasangan calon, baik 01 maupun 02, apakah ini pelanggaran atau bukan. Dewan Pers di undang untuk ikut di dalam rapat nanti pukul 3 sore (15.00). Saya tidak tahu hasilnya seperti apa. Soal pencegahan hoax. Jadi mau tidak mau adalah pelatihan-pelatihan yang kami lakukan. Dan pelatihan ini kita melibatkan organisasi wartawan. Konsituen Dewan Pers ada 3 (tiga), PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), Aliansi Jurnalistik Independen, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia. Di luar itu ada puluhan organisasi wartawan. Ada yang namanya JITU (Jurnalis Indonesia Bersatu). Lambangnya pisau komando. Motonya, ‘satu tersakiti, tersakiti semua’. Tapi perlu kami sampaikan, organisasi itu tidak terdata di Dewan Pers. Siapa pimpinannya, orangnya siapa, anggotanya siapa. Kenapa, karena ada syarat orang bikin organisasi wartawan minimal anggotanya 500. Dia punya cabang minimal 15 provinsi di Indonesia. Kalau itu benar, dan orangnya memang wartawan, maka itu akan kami akui menjadi konsituen Dewan Pers. Ada satu organisasi wartawan yang perlu saya sebutkan, karena organisasi wartawan ini punya kendaraan Fortuner. Dan Fortunernya orang kalau tidak tahu di anggap ini Fortunernya Polisi, catnya juga abu-abu. Namanya adalah Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak

17

Kasus. Dia pernah bersurat kepada Presiden dan Kapolri, dan kemudian Mensesneg menembuskan ke Dewan Pers meminta konfirmasi apakah ini memang organisasi wartawan konsituen Dewan Pers. Yang kami kaget, halamannya itu adalah lantai 9 Gedung Dewan Pers. Bapak/Ibu yang belum pernah datang ke Dewan Pers mungkin perlu datang ke Dewan Pers kami. Kami ini paling tinggi lantai 8 Pak. Ini alamat Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus alamatnya ada di lantai 9 Gedung Dewan Pers, artinya di atap yang isinya tower/menara, kemudian ada parabola, dan seterusnya itu. Terus terang ini memprihatinkan, karena memang kami tidak bisa menindak orang bikin organisasi. Apalagi kami tidak tahu alamatnya, kami tidak tahu siapa pengurusnya, dan seterusnya. Beberapa waktu yang lalu ada keinginan untuk membuat yang namanya Dewan Pers independen, dan mereka mau melakukan kongres di Nusantara IV. Tapi Pak Sekjen DPR/MPR berkomunikasi dengan kami, dan kami katakan tidak bisa, karena itu organisasi-organisasi yang konotasinya adalah abal-abal, dan kemudian di tolak oleh Pak Sekjen, sehingga kemudian menggunakan Taman Mini. Bagaimana pencegahan abal-abal? Kami bisa mencegah dengan tadi, verifikasi perusahaan pers nya, kemudian uji kompetensi wartawan. Karena sekarang ini kami mendapatkan laporan ada tukang tambal ban bisa bikin kartu pers, dan dia bisa ikut konferensi pers, makan siang gratis itu, kemudian dapat uang transportasi/amplop. Dia bisa hidup dari hari ke hari hanya dengan mempertahankan kartu pers nya. Ada kenek bus punya kartu pers, ada pengacara punya kartu pers, dan ini membuat pers merasa dirugikan, karena pers yang profesional nama baiknya tentunya dirugikan. Karena itulah di jurnal Dewan Pers ini ada edisi khusus yang memang kami terbitkan media dan praktek abal-abal. Mungkin informasi tersedia disana lebih detail. Terkait apa yang bisa di lakukan nanti menjelang pemilu, nanti tanggal 9 Pebruari itu adalah puncak hari pers nasional di . Tuan rumahnya adalah Gubernur Jawa Timur, Pak De Karwo. Dan sebelum tanggal 9 ada rangkaian-rangkaian. Ada acara-acara diskusi, ada workshop. Kami akan mengajak masyarakat pers di Indonesia untuk mendeklarasikan diri. Ketika proses pemilu, pers itu bukan hanya menyampaikan pandangan mata secara independen, tapi juga bisa juga menjadi wasit yang adil bagi proses pemilu, supaya kita bisa melewati proses pemilu yang bermartabat. Tentang penayangan stasiun TV yang mengulang-ulang. Kami melihat misalnya kasus Vanesha Angel, prostitusi artis online, yang belakangan kami sudah mengeluarkan himbauan. Kemudian ini juga pernah terjadi ketika bom di Surabaya. Kami kumpulkan seluruh media penyiaran, wartawan, dan membangun kesepakatan-kesepakatan. Waktu itu dihadiri oleh BNPT, KPI. Dan kami sepakat untuk menghentikan. Siaran bom/ledakan bom misalnya yang ada di Surabaya di ulang dari waktu ke waktu, dari pagi sampai malam, dan orang yang tidak mengikuti secara intensif ketika melihat televisi “loh ada bom lagi meledak, bom baru lagi meledak”, lupa memberikan konteks ini kejadian pukul berapa, hari apa, jam berapa, itu di ulang. Dan karena itulah kami menyarankan kalau ada kejadian serupa ke depan tidak perlu di ulang-ulang, tapi perlu memberikan konteks kapan peristiwanya/ kejadiannya kapan, supaya kalau ada peristiwa yang lain itu juga akan dimengerti. Jadi pengawasan di media penyiaran sepenuhnya bukan tugas Dewan Pers, karena ada ranah dimana itu ranahnya Komisi Penyiaran Indonesia. Kami punya MOU dengan KPI. Tentang hasil IKP yang sedang. Jadi kami mengukur ini ada 73 indikator yang nanti kalau terbit kami akan sampaikan kepada seluruh Anggota Komisi I apa saja yang menjadi indikator. Indikatornya kita bagi menjadi 3 cluster besar. Hukum misalnya, apakah proses hukum ini menghargai kemerdekaan pers. Kalau ada wartawan profesional dari media yang benar, yang berbadan hukum, dia dilaporkan kepada polisi, di hukum pakai KUHP, apakah dia di hukum pakai Undang-Undang Pers. Itu menjadi salah satu tolak ukur. Kemudian kebebasan ekonomi, apakah ada intervensi secara ekonomi dari pengusaha- pengusaha, dari pemda-pemda, dari BUMN kepada intervensi pemberitaan media atau tidak, itu di ukur. Kalau tidak ada, angkanya tinggi. Tapi kalau ada intervensi secara ekonomi, termasuk pemilik, angkanya rendah.

18

Demikian juga politik, apakah ada aturan-aturan, ada hal-hal yang terkait dengan pemidanaan seseorang. Hukum dan politik itu hampir mirip. Jadi kalau tadi ditanyakan bahwa kebebasan pers di Indonesia ini relatif sangat bebas, dan cenderung menjadi kacau/terjadi kekacauan. Kami membaginya menjadi 2 (dua): Ada freedom from, jadi wartawan bebas dari ketakutan, bebas dari ancaman bredel, dari pemidanaan, kita tinggi sekali, sangat tinggi, nyaris sempurna, dan di puji oleh negara-negara internasional dimana kami hadir menjadi utusan mewakili Pemerintah Indonesia. Tapi dari freedom for, bagaimana kebebasan itu digunakan untuk nilai kita rendah sekali. Jadi pers sekarang digunakan untuk memeras orang, untuk ngerjai orang, untuk melakukan kampanye hitam. Jadi pers belum sebaik di dalam freedom for. Tapi dalam freedom from, pers Indonesia sangat baik. Dan Indonesia di puji-puji oleh beberapa pengamat internasional, dari Inggris, dari Amerika, salah satunya adalah Profesor Iden White. Beliau mengatakan pers Indonesia adalah salah satu pers terbaik di dunia karena ada jaminan undang-undang, dimana Pemerintah bahkan tidak mengintervensi kemerdekaan pers. Saya ingin sampaikan ini karena Dewan Pers Inggris sedang collaps saat ini. Kenapa, karena Dewan Pers Inggris berdasarkan hukum mereka di atur/dibiayai oleh industri media. Industri media mengumpulkan uang, membayar Dewan Pers nya, tidak ada bantuan dari pemerintah. Ini menjadikan anggota Dewan Pers yang sebetulnya adalah ahli-ahli di anggap berpihak di dalam mengambil keputusan. Kalau ada sengket pemberitaan diadukan ke Dewan Pers Inggris, Dewan Pers Inggris selalu menguntungkan industri media. Orang tidak lagi mau mengadu ke Dewan Pers Inggris. Dan sekarang Pemerintah Inggris membentuk yang namanya PCC (Press Complain Commission) untuk menggantikan Dewan Pers sambil menunggu undang- undang baru di buat. Prof. Iden mendampingi kami ketika datang menemui Dewan Pers Inggris, dia datang ke PCC dan mengatakan “ini loh Undang-Undang 40 Tahun 1999, barangkali perlu di contoh”, karena komposisi Dewan Pers itu adalah 3 orang dari industri media/wakil industri media, 3 orang wakil organisasi wartawan, dan 3 orang wakil masyarakat. Ini yang membuat kami kemudian menciptakan kode etik juga. Misalnya Pak Henry ini di Kompas. Kalau Kompas diadukan, Pak Henry tidak boleh menangani pengaduannya. Belau harus men-declare “saya punya conflict of interest, karena media yang diadukan adalah media tempat saya bekerja”, jadi Beliau mundur. Sebaliknya, Ratna Komala juga begitu. Karena Beliau di RCTI, kalau MNC Group diadukan maka Ibu Ratna tidak menangani pengaduan, digantikan oleh orang lain yang tidak punya conflict of interest. Pak Johar dulu dari Bisnis Indonesia, juga Pak Johar pantang untuk menangani kasus- kasus terkait Bisnis Indonesia, tidak boleh. Kode etik itu yang kami jaga, dan itu yang menjaga kredibilitas lembaga kami. Kendala anggaran yang 93 persen ini disebabkan antara lain adanya anggaran belanja pegawai/gaji ASN yang tidak bisa direalisasikan. Karena ada 6 orang pensiun Pak. Jadi di bulan Pebruari pensiun 1, Maret pensiun 1. Dan itu ada eselon dua, ada eselon tiga, dan seterusnya. Dan kemudian mutasi, sehingga gaji dan tunjangan tidak bisa dibayarkan. Itu totalnya mencapai 426,7 juta, sementara kami minta penggantinya dari Kominfo tidak kunjung di tunjuk. Baru pada akhir tahun di tunjuk. Sehingga ini menimbulkan gaji yang tidak bisa dibayarkan, karena orangnya pensiun, jadi ini harus dikembalikan kepada negara. Yang kedua adalah layanan perkantoran. Karena ini menyangkut efisiensi, dan ini atas permintaan dari Kementerian Keuangan kami harus melakukan efisiensi-efisiensi. Dan yang ketiga adalah, ini berhasil kami mampatkan dari anggaran penyusunan IKP 2018 yang kemudian juga ouput-nya bisa menjadi 100 persen. Caranya adalah kami merangkapkan kegiatan. Datang ke satu provinsi sekaligus verifikasi, sekaligus macam-macam. Sementara ini anggarannya ada sendiri sebetulnya, tapi kami mampatkan sehingga tim kemudian bekerja. Dua-tiga pekerjaan dilakukan dengan menggunakan satu anggaran. Yang lain adalah, tidak tercapainya anggaran yang 100 persen ini bukan dari kegiatan pokok untuk menunjang tugas dan fungsi Dewan Pers, tapi lebih banyak tadi terkait dengan gaji untuk pegawai dan seterusnya.

19

Soal WTP saya tidak tahu, ini nanti Pak Syaifudin mohon bisa menjawab nanti. Terkait dengan kualitas wartawan, siapa yang melakukan pengawasan? Tugas kami adalah menjaga jangan sampai orang-orang yang ikut UKW, sudah lulus Uji Kompetensi Wartawan ini, kemudian melakukan penyelewengan-penyelewengan menyalahgunakan sertifikat yang mereka miliki. Kalau terjadi penyalahgunaan, kami akan cabut. Kami punya mekanisme, kami punya peraturan mengenai pencabutan kartu kompetensi itu. Tugas pengawasan wartawan yang utama adalah pada konsituen organisasi wartawan. PWI, AJI, IJTI yang harus melakukan pengawasan. Demikian juga penegakkan kode etik, kalau di bidang profesi dilakukan oleh organisasi masing-masing, dilaporka kepada Dewan Pers. Mereka boleh banding di Dewan Pers, Dewan Pers menjadi penentu akhir. Kalau ini pelanggaran tentunya di copot wartawannya. Kalau wartawannya di larang menerima suap, dia menerima suap, pecat. Dan sudah ada beberapa wartawan yang sudah di pecat karena melakukan kesalahan-kesalahan yang sifatnya fatal bagi organisasi yang bersangkutan.

F-NASDEM (MAYJEN TNI (PURN) SUPIADIN ARIES SAPUTRA):

Interupsi Pimpinan. Ini menarik yang Bapak sampaikan. Jadi begini, memang kebebasan wartawan Indonesia ini luar biasa. Bapak kalau hari-hari pas, kalau sekarang sedang sepi ini saya tidak mengerti kenapa wartawan sampai ikut sepi juga. Kalau Bapak lihat hari-hari saya kira parlemen Indonesia ini parlemen yang paling bebas untuk wartawan masuk. Kami beberapa kesempatan melakukan kunjungan pengawasan ke KBRI dan juga ke parlemen-parlemen itu kita tidak menemukan. Di Inggris apa lagi, itu wartawan hadir kalau di undang. Sama di Parlemen Kanada, di Korea, kita mencoba melihat tidak ada wartawan hadir. Kecuali di undang. Di kita ini jangankan di undang, tidak di undang saja hadir. Dan kalau Bapak lihat hari-hari itu wartawan itu di posko sana penuh (ruang pers), disini nggeletak, merokok, habis makan kotaknya itu juga taruh saja disitu. Nyedot listrik segala macam, pakai listrik bebas. Ini luar biasa. Mungkin menurut saya, pertama saya minta, sekali-sekali Dewan Pers itu/ Anggota Dewan Pers jalan-jalanlah kesini. Supaya Bapak tahu, “loh ini tidak pernah ikut tes di Dewan Pers kok ada orang seperti ini”, supaya Bapak tahu. Ini perlu juga, artinya dalam rangka pengawasan, pengawasan on the spot. Mengapa saya sampaikan ini, karena banyak sekali kasus. Disini masih ada wartawan yang saya katakan abal-abal, selalu telepon “Pak, boleh ketemu”. Macam-macam lah. Kemudian juga yang menarik ini wartawan foto. Saya tidak tahu, apakah wartawan foto termasuk dalam binaan Dewan Pers. Karena disini terjadi Pak. Dia wartawan foto tetapi yang di foto itu apa. Dia duduk di lobi atas itu Pak, di balkon. Apa yang dia lakukan Pak? Dia foto itu anggota DPR yang sedang buka HP, di zoom Pak. Kemudian hasilnya diperlihatkan, di peras. Saya tahu ada orangnya, tapi sampai hari ini saya lihat sudah jarang dia. Saya tahu itu, karena saya dilapori teman saya, dia duduknya disana, di zoom dari sana. Makanya jangan yang duduk disana itu. Sama, di Banggar juga begitu, jarang. Di zoom Pak dari atas itu. Namanya kadang- kadang anggota DPR kita itukan lagi kesal, lihat HP. Dia pintar, karena dia pakai tele zoom, dia zoom. Dikiranya kita tidak mengerti teknologi itu. Datang, “Pak, ini ada foto begini bagaimana Pak?” Kita sudah tahu maksudnya. Tapi saya kan tidak kalah akal, “kamu kena Undang-Undang ITE kamu, kamu mencuri dokumen pribadi”. “Itu kamu mencuri”, saya bilang mencuri dokumen pribadi. Punya orang di HP kamu curi lewat kamera, kamu kena. Akhirnya saya bilang begitu ngeper dia, bapak ini rupanya mengerti juga. Jadi ini contoh-contoh. Tadi saran saya sekali-sekali Dewan Pers tidak harus tiap hari, di saat-saat ramai ada anggota Dewan Pers di utus kesini, jalan-jalan lah. Kalau misalnya ada yang tidak pakai tanda mungkin Bapak tanya, “mana tandanya”. Kan ada Pak yang mereka sebenarnya punya, tapi tidak mau dipakai. Belum lagi dalam pertanyaan. Saya kebetulan relatif, sama yang lain mungkin, relatif teliti. Saya selalu tanya, “Kamu dari mana? Tolong wawancara ini saya minta, ini nomor saya, kamu sampaikan dulu ke saya sebelum kamu muat”. Itu saya minta begitu Pak. Karena ada yang kita bebas begitu tiba-tiba dia bikin judulnya beda, judulnya sensasional. Begitu kita baca isinya

20 tidak. Menurut Jenderal Supiadin begini-begini. “kamu bikin judul tidak sama dengan yang saya sampaikan” saya bilang. Inikan merugikan kita Pak. Inilah jadi pengalaman-pengalaman saya seperti itu. Jadi ada juga yang minta wawancara lewat WA. Tapi kalau yang saya tidak kenal nomornya saya musti tanya dulu, “anda siapa, dari mana”. Tapi kalau yang sudah kenal saya langsung jawab. Misalnya dari republika.com, ini dari detik.com, itu selalu saya layani karena nomornya sudah ada di saya. Tapi kalau yang tidak, saya selalu tanya dulu, karena khawatir. Itulah, jadi kita juga waspada. Tetapi saya minta juga Dewan Pers juga sekali-sekali mengadakan sidak. Terima kasih Pimpinan.

F-PDIP (CHARLES HONORIS):

Ijin, Pimpinan, sedikit saja, interupsi sedikit saja. Pak Stanley dan teman-teman, saya mau tanya sedikit, masih terkait dengan soal penindakan. Ketika dilakukan pemecatan terhadap anggota wartawan, apakah pemecatan tersebut ada implikasi terhadap pekerjaannya di perusahaan dimana dia bekerja. Jadi misalkan di pecat dari organisasi, tapi tetap masih bisa bekerja sebagai wartawan di perusahaan tersebut, ya tidak ada effect-nya Pak. Pertanyaan saya, apakah ada dampaknya/ada implikasinya tidak terhadap pekerjaan dia? Terima kasih.

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Baik, saya jawab dulu beberapa hal ini ya. Jadi kalau ada wartawan di pecat, biasanya organisasi wartawannya akan berkirim surat kepada perusahaannya, ditembukan kepada Dewan Pers. Dewan Pers akan mendengar nanti dari perusahaannya. Perusahaannya biasanya melaporkan bahwa kami menerima keputusan itu, dan sudah membuat pertemuan di perusahaan kami, dan kami sudah mem-PHK yang bersangkutan, dan memberikan pesangon sesuai dengan hak-haknya. Dengan demikian masuk ke Dewan Pers, Dewan Pers melihat, ini UKW misalnya, dia punya kompetensinya di copot, maka dia akan sulit untuk kembali ke profesi wartawan kalau melakukan pelanggaran- pelanggaran yang berujung pada pemecatan, karena itu pasti pelanggaran yang serius. Terkait dengan keinginan dari Bapak yang sekali-sekali Dewan Pers datang. Kami nanti akan coba lakukan itu. Dan memang beberapakali kami di undang oleh komunitas wartawan parlemen ini untuk hadir di press room sana diskusi dengan Pak Abdul Haris, Pimpinan Komisi I. Dan juga beberapakali dengan Pak Menteri juga. Dan yang kami sampaikan juga ini bahwa kalian disini parlemen harus begini. Dan jangan memaksa dari wartawan yang medianya tidak jelas ingin mendapatkan kartu pers wartawan parlemen, itu juga tidak benar. Kenapa, Pak Sekjen dari DPR ini pada 2014 pernah mengadu ke kami. Dia kewalahan. Waktu itu sudah memasuki bulan Ramadhon Beliau melaporkan. Saya tanya berapa jumlah wartawan yang di parlemen. Antara 400 sampai 500. Tetapi menjelang memasuki bulan Romadhon biasanya naik sampai 800. Nanti setelah Idul Fitri turun lagi. Nanti menjelang hari besar jumlahnya naik lagi. Waktu itu Pak Sekjen tanya bagaimana menertibkan mereka. Kami sampaikan ini pedoman, ini aturan, silakan saja diterapkan di lingkungan Bapak. Ini rupanya dilakukan oleh Beliau. Dan sekarang dengan Pak Sekretariat Jenderal yang baru kami juga akan bertemu nanti untuk menyampaikan beberapa hal, karena kami menerima juga pengaduan-pengaduan dari anggota parlemen terkait pemberitaan yang mungkin menyimpang yang ketika kami teliti sumbernya adalah wartawannya juga ada yang ngepos disini. Tentang wartawan foto. Wartawan foto memang bagian dari organisasi PWI, ada AJI. Tapi mereka sekarang berniat untuk bikin organisasi sendiri, namanya PFI (Pewarta Foto Indonesia). Mereka sudah mengajukan diri. Di dukung oleh senior-senior dari Antara. Mereka ingin keluar. Saya katakan, kalau anda anggota PWI, nanti ketika PSI disahkan menjadi konsituen Dewan Pers, anda harus pilih salah satu, keluar dari PWI, ikut PFI, dari AJI juga harus

21 keluar. Mereka mengatakan “kami siap”, karena tidak boleh ada keanggotaan ganda di konsituen Dewan Pers. PSI sedang kami verifikasi, baru 12 provinsi dari 15 provinsi. Jadi mungkin nanti akan berlanjut pada tahun 2019 ini kami akan verifikasi sesuai dengan kegiatan-kegiatan Dewan Pers yang di tingkat provinsi. Kami datang kesana biasanya lakukan juga verifikasi terkait organisasi dan perusahaan pers. Pelayanan sengketa pemilu. Di dalam SOP kami mengenai penanganan pengaduan, kalau ada pengaduan itu biasanya masuknya surat ke Dewan Pers, surat itu masuk ke saya dulu, Ketua Dewan Pers. Nanti ada disposisi, ini masuk komsi pengaduan, ini ke komisi hukum. Khusus untuk pemilu saya punya stempelnya. Stempelnya itu adalah urgent, merah. Jadi semua sengketa pemilu yang masuk ke Dewan Pers selalu dalam disposisi saya stempel dengan tanda merah dan masuk ke komisi pengaduan untuk segera ditangani. Kami sendiri punya mekanisme, maksimal 14 hari itu sudah harus ditangani. Syukur kalau bisa selesai dalam waktu cepat. Kenapa, karena pemilu ini biasanya berlanjut. Apalagi ketika menjelang pilkada masuk dalam masa kampanye, ini kalau tidak diselesaikan, pelanggarannya bisa berlanjut pemberitaan oleh media. Di dalam urgent itu saya katakan “tolong segera diselesaikan”. Apakah melalui sidang mediasi, apakah sidang ajudikasi. Kalau bisa kurang dari 3 hari. Tapi SOP kami mengatakan maksimal 14 hari itu adalah batas paling lama dimana kami harus segera menangani. Profesionalisme media itu tentunya masuk juga independensi. Jadi kami nanti di HPN Surabaya, apakah tanggal 8, ketika konvensi kami akan ajak seluruh pimpinan media membuat deklarasi sepakat untuk menjadikan media untuk menjaga independensi. Jangan sampai versi seperti televisi pada 2014 yang lalu, ada TV merah, ada TV biru, masing-masing punya presidennya, punya wakil presidennya. Kami berharap berpihak lah kepada publik, karena publik yang membutuhkan informasi itu. Soal anggaran perlu di tambah atau tidak tentunya kami selalu merasa kurang. Tapi kan anggaran kami melalui Kominfo. Kalau kami di tambah nanti ada bagian-bagian di Kominfo yang dikurangi. Itu biasanya menimbulkan masalah, ketegangan dengan rekan-rekan dari Kominfo. Sementara sekretariat kami juga sekretariat dari Komido. Eselon dua yang memimpin kepala sekretariat kami di tekan sama eselon satu dari sana. Itu biasanya tarik ulur Pak. Syukur kalau Bapak-bapak dari Anggota DPR Komisi I ini nanti bisa menyampaikan dan mendukung ini. Tentang judul bombas kami juga memang konsern, terutama media online, ini jaringan- jaringan yang nasional ini memang judul-judulnya bombas, karena memang mereka mengejar clickbait. Jadi kalau di televisi itu ada Ac Nielsen, kalau di dunia online ada yang namanya Alexa. Alexa ini yang mengukur clickbait dari media-media online di Indonesia ini, mana yang tertinggi. Dan biasanya pemasang iklan selalu ukurannya adalah Alexa. Sehingga ketika misalnya ada satu peristiwa, Lion Air jatuh dan tidak ditemukan dimana pesawatnya, korbannya dimana, tapi kemudian ditemukan ada benda-benda yang di duga milik para penumpang Lion Air mengapung ke atas. Ada satu berita yang diadukan ke Dewan Pers, beritanya ini ada potongan alat kelamin pria di duga korban Lion Air mengapung. Ada fotonya. Kami tanya, apakah memang perlu ada berita seperti ini? Bagaimana dengan korban yang tidak tahu, ini saudara saya, suami saya, anak saya, dimana rimbanya, tapi ada beritanya alat kelamin mengapung yang di duga korban Lion Air. Kami teliti medianya tidak berbadan hukum, tidak punya struktur redaksi, dikerjakan secara robot. Kami rekomendasikan ditangani polisi saja. Jadi biasanya yang sensasional-sensasional itu abal-abal. Apalagi yang mem-bully orang, membalik pernyataan orang, tokoh politik, itu biasanya media abal-abal. Dan ujung-ujungnya memang adalah proses polisi. Ada media yang berbadan hukum, breakingnews.co.id, itu terverifikasi di Dewan Pers berbadan hukum. Tapi ada yang namanya breakingnews.com. kejadian pada bulan Desember dua tahun yang lalu itu diberitakan bahwa Panglima TNI menerima aliran dana dari mantan staf ahlinya, Gubernur DKI yang lama yang sudah menjadi terpidana, untuk dikerjai. Aliran dana diberikan kepada KSP, Pak Teten Masduki, untuk mengerjai Panglima TNI. KSP mengadu ke Dewan Pers, Panglima TNI juga mengadu kepada Dewan Pers. Panglima TNI mengatakan/ rekan-rekan dari Cilangkap mengatakan “ini panglima kami dikerjai seperti ini, benar tidak?”. Ini berita media seperti ini, dan yang ngerjai KSP. KSP juga mengadu, “ini tidak benar seperti begini”. Kami cek, kami panggil orangnya tidak datang, di telepon juga tidak ada yang

22 mengangkat. Kami mengirim orang. Seperti Obor Rakyat, alamatnya di Depok, di perumahan disana, rumah kosong sudah 5 tahun. Itu ada plangnya ‘rumah ini di kontrakkan atau di jual’. Kami mengecek kepada tetangga kiri-kanan-depan, kami mengecek kepada Pak RT. Kesimpulannya, ini rumah sudah terlantar 5 tahun. Sampah isinya, debu, tidak ada yang ngontrak, tapi ada plangnya. Yang jadi pertanyaan, ini ada media namanya breakingnews.com, alamatnya seperti ini, isinya adu domba. Kita kasih rekomendasi kepada kedua belah pihak, KSP maupun Panglima TNI, di proses di polisi. Orangnya sudah di tangkap Pak di Mojokerto. Dan sekarang mungkin dalam proses pengadilan. Media berpenampilan seperti produk jurnalistik ini memang banyak. Dan bahkan ada yang block spot tapi dia punya rubrik-rubrik. Tapi kalau kita teliti dalamnya ternyata block spot. Tidak ada alamatnya, tidak ada penanggungjawabnya. Basisnya adalah wordpress. Dia bukan domain sebagai website, bukan situs berita, tapi domainnya adalah media sosial. Biasanya itu kami rekomendasikan langsung ditangani oleh rekan-rekan dari polri. Acuan masyarakat kami sarankan adalah tetap kepada media-media yang berbadan hukum yang terverifikasi di Dewan Pers. Kenapa, karena Dewan Pers bisa men-jewer teman- teman wartawan yang nakal, media-media yang melanggar hukum. Dan kalau dia tiga kali mengulang kesalahan yang sama, kami akan menunjukkan ada niat buruk dari yang bersangkutan, apakah kepada orang ataukah kepada kelompok, apakah kepada partai, dan silakan di proses di polisi. Biasanya kami keluarkan yang namanya pendapat, penilaian, dan rekomendasi PPR Dewan Pers.

F-PDIP (CHARLES HONORIS):

Pimpinan, sebentar, saya interupsi sebentar. Tadi maksud saya begini Pak. Inikan Dewan Pers sudah punya daftar media yang terverifikasi, maksud saya, saya rasa ke depan perlu adanya semacam campaign dari Dewan Pers, mungkin di media sosial atau di forum lainnya bahwa “media yang terverifikasi ini loh”. Jadi supaya publik memiliki acuan yang jelas ketika mendapatkan informasi, baik itu di whatsapp atau di facebook, ada informasi dari situs tertentu publik tahu ini bukan produk jurnalistik, ini media yang berlum terverifikasi. Selama ini sudah ada belum, dan mungkin saya rasa ke depan perlu ditingkatkan lagi campaign dari Dewan Pers bahwa yang termasuk produk jurnalistik seperti ini, yang sudah terverifikasi seperti ini. Mungkin kalau di website ada ya? Mungkin bisa ada program di sosial media, lewat facebook. Seperti itu, terima kasih.

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Baik Pak, ini kami catat.

F-PDIP (ANDREAS HUGO PAREIRA):

Interupsi, Pimpinan. Saya sepakat dan ingin mempertegas dan memperdalam apa yang disampaikan oleh Pak Charles, tadi juga Pak Jenderal yang sudah menyampaikan dengan contoh yang konkrit tadi. Saya kira apa yang disampaikan oleh Pak Ketua Dewan Pers itu semuanya betul dan bagus dengan apa yang data-data dan informasi yang bagus tentang baik dua komponen wartawan maupun medianya, terutama media-media online. Cuma masalahnya itu tidak banyak diketahui orang. Termasuk kami-kami di DPR ini. Sebagai politisi saya sudah cukup lama bergaul dengan teman-teman wartawan saya bisa bedakan, saya bisa cepat mudah untuk membedakan itu. Dari pertanyaan kan kelihatan juga kualitas wartawan yang bertanya. Tapi itu tidak semua. Dan seringkali juga terjadi berulang cerita dari teman-teman tadi. Dan masyarakat juga seringkali kan semua informasi itukan masuk ke handphone kita ini tidak bisa membedakan juga yang mana dari online news yang benar dan yang mana yang abal-abal tadi. Kadang-kadang kan tidak lihat lagi sumber dari mana, dan itu yang terjadi.

23

Oleh karena itu saya kira apa yang tadi Pak Ketua sampaikan itu harus diketahui juga oleh masyarakat. Jadi melawan kebohongan dengan kebenaran, informasi yang benar. Kalau kita juga tidak berbuat menyebarkan informasi yang benar, yang bohong ini nanti akan jadi kebenaran nanti. Saya pikir itu. Kalau alasan misalnya anggaran itu menjadi kendala, kita perlu cari solusinya disini, supaya mungkin ada anggaran yang lebih banyak atau ditingkatkan untuk hal yang menyangkut sosialisasi atau campaign against media abal-abal atau hoax dari media-media yang abal-abal tadi, atau wartawan yang abal-abal. Saya kira ini penting, karena inilah salah satu problem yang kita hadapi di dalam arus informasi di masyarakat kita hari-hari ini. Dan ketika ini terjadi, orang mau kemana. Kalau polisi terlalu kadang-kadang jadi rumit. Memang ini solusinya, solusi akhirnya. Tapi jangan terjadi dulu. Saya lebih suka/lebih cenderung Dewan Pers melakukan informasi pendidikan bagaimana memperoleh informasi, termasuk juga bagaimana menyampaikan informasi kepada media-media atau pekerja media. Karena memang sejak reformasi saya kira dua bidang yang paling menikmati kebebasan itu, yaitu politisi/politik, partai politik, dan media. Saya yakin, kami perlu media. Kalau politisi menghindari media itu ya bukan politisi. Tapi juga kalau berhadapan dengan kayak begini-begini kan capek juga kita. Dalam arti apa, ya mungkin hanya hal-hal kecil, tapi kadang-kadang bikin ‘menyebalkan’. Meskipun kami menyadari bahwa itulah bagian hidup kami sehari-hari. Tapi kalau bisa lebih inikan lebih baik tidak urusan dengan hal-hal yang tadi seperti Pak Supiadin sampaikan atau teman-teman contoh-contoh yang tadi disampaikan, dan itu saya kira tugasnya Dewan Pers. Jadi poinnya saya kira, semua yang Bapak sampaikan itu betul. Hanya bagaimana ini lebih banyak diketahui oleh masyarakat. Kalau kurang anggaran, Pak Ketua, kita cari solusinya. Terima kasih.

F-PDIP (CHARLES HONORIS):

Interupsi sedikit lagi, sedikit saja. Saran saya, Pak Ketua, teman-teman Dewan Pers, mungkin setelah ini saran konkrit saya rasa, bisa komunikasi dan kerjasama dengan platform, seperti facebook, instagram, dan sebagainya. Kita sempat bertemu dengan facebook di Amerika sekitar sebulan lalu. Dan mereka sangat menyadari betul dampak rusak yang di buat karena penyebaran hoax dan sebagainya. Dan saya rasa mereka juga punya rasa tanggungjawab untuk mau bekerjasama dengan institusi negara, seperti Dewan Pers. Saya rasa untuk memverifikasi saja situs berita yang verified by Dewan Pers, dan mereka tinggal memberikan satu tanda misalkan di facebook ketika ada berita yang di share melalui situs ini, situs yang terverifikasi oleh Dewan Pers, maka statusnya sdah terverifikasi juga oleh facebook, dan bukan berita hoax dan ujaran kebencian dan sebagainya. Terima kasih.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Di lanjut Pak, silakan.

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Kami catat Pak usulan-usulannya. Saya kira positif itu untuk kerja-kerja Dewan Pers. Selama ini memang kami kalau menerima pengaduan dari para guru misalnya di kawasan Kuningan-Jawa Barat, kami datang kesana menjelaskan dengan guru-guru. Dikumpulkan, yang mengumpulkan PGRI setempat. Kemudian kami ceramah bagaimana supaya anda tidak di ganggu oleh orang-orang yang mengaku KPK dan seterusnya ini. Ada kepala desa di Jawa Timur juga di ganggu. Kami datang kesana memberikan ceramah. 200 kepala desa dikumpulkan disana. Mungkin kegiatan seperti ini nanti kami akan intensifkan. Dan kami tahu kami punya anggaran yang terbatas. Dan kami bisa kerjasama dengan misalnya dari BNPT. Anggaran dari BNPT tapi narasumber dari kami. Kami bisa

24 menggunakan misalnya Dirjen IKP di Kominfo, Ibu Niken, untuk juga punya kegiatan-kegiatan seperti ini, kami akan menggunakan sebagian anggaran mereka. Itu cara kami lebih fleksibel tanpa mengganggu dan menimbulkan sengketa antara Sekretariat Dewan Pers dengan Sekretariat Kominfo. Untuk jaga inilah situasi lebih kondusif. Tadi ada pertanyaan bagaimana dengan kiprah Dewan Pers. Perlu kami laporkan, 2017 kami di percaya oleh Unesco untuk menjadi tuan rumah Wordpress Freedom Day. Itu saru forum kehormatan, karena Indonesia ini di pilih menjadi tuan rumah. Terakhir, ada 14 yang lalu, di Philipina. Sekarang di pilih lagi, Asia. Dan itu adalah forum yang membanggakan. Dan masih di kenang, karena memang momennya besar sekali. Referensi yang kira-kira mirip dengan kami itu adalah Finlandia, Thailand, Swedia, Australia, dan Belanda. Itu cara kerja Dewan Pers, meskipun posisi di Indonesia ini yang di anggap terbaik. 9 anggota Dewan Pers, 3-3-3, 3 mewakili masyarakat. Dan ada fatsun yang berlaku di lingkungan Dewan Pers. Yang boleh menjadi ketua itu yang mewakili masyarakat, supaya kalau dia menandatangani surat tidak terkait dengan tempat pekerjaan dan seterusnya. Itu terjadi mulai dari Pak Atma Kusuma, Dewan Pers Independen yang pertama. Kemudian Pak Iklasul Amal mantan Rektor UGM. Kemudian berlanjut kepada Prof. Bagir Manan. Selalu dari unsur wakil masyarakat yang ini nanti menjadi tekad kami ke depan Dewan Pers akan kita jaga supaya komposisinya selalu begitu, meskipun orang-orangnya bisa di tambah dan seterusnya. Saya kira saya sudah menjawab semua pertanyaan.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Mungkin ada satu yang belum terjawab dari pertanyaan saya. Justru yang saya maksudkan bukan cuma institusi, tetapi lebih kepada bagaimana Dewan Pers itu melihat counterpart yang ada di luar yang menangani dengan kecanggihan teknologi tadi. Jadi tadi kan Pak Charles mengusulkan mungkin perlu di buat kerjasama dengan facebook, dengan instagram, atau whatever yang semua kan berita bisa tersalurkan lewat media-media seperti itu. Adakah sepengetahuan daripada Dewan Pers negara mana yang dia sudah reachout ke hal-hal yang demikian. Karena jangan sampai yang kita mau itu adalah mengawasi semua dengan kemajuan teknologi ternyata kita jangankan kesana, anggarannya sudah sedikit, lantas tools-nya juga kita tidak punya, atau SDM nya mungkin kita tidak ada. Jadi Bapak itu nanti lama kelamaan kalau modelnya tidak up to date begini, ini Dewan Pers untuk surat kabar saja. Tapi kalau memang betul-betul bisa masuk ke dalam dunia digital yang sekarang sudah seperti ini, itu justru yang kita harapkan. Saya ingin lihat apakah sudah ada referensi daripada counterpart Dewan Pers yang ada di luar yang kira-kira Indonesia mau mencontoh kesana.

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Baik Pak. Jadi kalau soal ada/tidak referensi terus terang kami tidak punya counterpart yang kira- kira sama dengan situasi pers di Indonesia. Contohnya misalnya di Finlandia, Dewan Pers disana juga ikut mengawasi media sosial, sementara Dewan Pers di Indonesia tidak punya amanat untuk mengawasi media sosial. Kami pernah di minta oleh Kementerian Luar Negeri untuk membantu pembentukan Dewan Pers di Myanmar. Kami datang kesana, mereka punya undang-undangnya, ternyata memasukkan yang namanya kontrol media sosial ada di Dewan Pers Myanmar. Kita tidak. Dewan Pers hanya mengurusi semua platform media yang terkait dengan produk jurnalistik. Jadi mulai dari televisi, cetak, radio, online. Kita tidak tahu, nanti mungkin ada media yang namanya media streaming itu mungkin juga masuk dalam wilayahnya Dewan Pers. Karena streaming belum cukup berkembang di Indonesia. Kami tidak punya kewenangan masuk ke media sosial. Media sosial itu ada di bawah Undang-Undang ITE, dan wilayah penegakkannya itu ada di Kominfo dan di Polri. Saya tidak tahu nanti apakah mungkin ada gagasan, ada semacam Dewan Pengawas Media Sosial yang dilekatkan saja ke Dewan Pers mungkin, Dewan Pers bisa melakukan. Atau di bentuk institusi

25 baru seperti di negara-negara misalnya yang berbeda. Misalnya Jerman, itu ada institusinya sendiri. Sementara di negara-negara tadi yang saya sebut, Myanmar, Finlandia, menyatukan itu di Dewan Pers mereka. Terkait kerjasama dengan google perlu saya laporkan bahwa, 2017 sudah ada kegiatan, 2018 ada tiga kegiatan, dimana kami di minta menyampaikan nama orang-orang dari organisasi wartawan untuk bisa ikut menjadi verifikator, dari google dan facebook. Dan itu sudah ada beberapa media, seperti Tirto. Tirto itu sudah resmi menjadi semacam checker-nya facebook. Mereka mendapatkan sertifikasi untuk itu. Google juga punya, dan mereka ingin melibatkan wartawan. Bahkan menggelar pelatihannya di gedung Dewan Pers. Konsituen kami undang, kemudian latihan bagaimana memverifikasi ini fakta, ini hoax. Mulai dari foto, berita, dan seterusnya. Dan kemudian mereka di rekrut untuk menjadi bagian dari proses verifikasi yang dilakukan oleh platform-platform ini. Ada google, ada facebook yang sudah bekerjasama dengan Dewan Pers. Yang lain belum. Whatsapp dan seterusnya belum. Tapi kami terlibat di dalam pembahasan-pembahasan yang di bikin oleh Kominfo terkait penyebaran media ke media sosial, berita oleh media ke media sosial, ataupun di adopt-nya bahan-bahan di medsos oleh para wartawan. Jadi kami sudah bikin pelatihan-pelatihan itu Pak. Mungkin kurang intensif, nanti akan kami intensifkan. Kalau diijinkan saya ingin mengundang Pak Syaifudin, dan nanti mohon Anggota memberikan catatan-catatan secara singkat saja. Baik, Pak Syaifudin, bisa menjelaskan apakah status laporan kita sudah WTP atau malah disclaimer, karena saya tidak tahu prosesnya.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Sebentar Pak, sebelum Pak Syaifudin. Jadi begini, yang barusan disampaikan oleh Bapak tadi harus menjadi perhatian betul. Soal itu diamanahkan atau tidak diamanahkan kan menjadi ranah kita dari Komisi I untuk membahas. Karena ini jangan sampai menjadi gap. Yang kita tidak inginkan kan ini menjadi gap, akhirnya tidak tertangani, terus saling menyalahkan karena masalah amanah tadi. Dan menurut saya kalau Dewan Pers juga ikut serta di dalam hal, tadi sudah disampaikan seperti misalkan tirto.id juga ternyata belajar untuk memverifikasi dan lain sebagainya ada di Dewan Pers sudah bagus. Tinggal nanti mungkin kita dengan Menteri Kominfo untuk meletakkan dimana pekerjaan itu. Karena ini menjadi pekerjaan yang prosentasenya akan jauh lebih besar daripada yang lain di dunia sekarang ini. Tadi kan sudah di bilang bahwa bisnis media sudah mulai turun betul, dan orang sudah disibukkan dengan media online dan sebagainya, sementara proses pengawasannya masih ada celah disini. Ini yang menurut saya perlu mendapatkan penekanan, dan saya akan masukkan di dalam kesimpulan rapat. Karena jangan sampai nanti saling melempar. Kominfo tidak menangani dengan baik misalkan, Dewan Pers merasa ini bukan domain kami, sementara problem ada di sisi itu. Jadi saya menginginkan supaya ini bisa kita selesaikan. Silakan Pak kalau mau di lanjut, silakan.

ANGGOTA DEWAN PERS, KETUA KOMISI PENDIDIKAN, PELATIHAN & PENGEMBANGAN PROFESI (HENDRY CHAIRUDIN BANGUN):

Mohon ijin, Pak Ketua.

Yang kami hormati, Pimpinan Rapat.

Assalaamu'alaikum Warohmatulloohi Wabarokaatuh.

Terkait dengan penjelasan opini Wajar Tanpa Pengecualian pada Kementerian Komunikasi Informatika tentunya juga ini adalah bagian yang memang sudah kita lakukan support-nya dalam hal pelaksanaan pelaporan keuangan.

26

Kalau tadi disampaikan oleh Pak Ketua bahwasanya Dewan Pers anggarannya bersumber dari APBN pada Kementerian Komunikasi dan Informatika, dengan demikian maka secara entitas pelaporan ini adalah menjadi satu kesatuan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, dengan opini yang dilakukan oleh BPK ketika melakukan proses audit terhadap pelaporan kementerian/lembaga tidak lain adalah ini merupakan support dari Dewan Pers yang bisa kita sampaikan di tahun 2017 maupun di tahun 2018 ini Dewan Pers tidak mempunyai temuan BPK terkait dengan pelaporan keuangan. Tentunya ini juga menjadi komitmen di tingkat Pimpinan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Di tahun 2017 kita sudah opini WTP, di tahun 2016 juga. Dan di 2018 ini komitmen Pak Menteri opini WTP bukan saja merupakan keharusan, tapi merupakan kewajiban satker, oleh karenanya Dewan Pers sangat support sekali dalam pengelolaan keuangan negara, khususnya terhadap laporan keuangan yang bersumberi dari anggaran APBN dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Jadi dengan demikian kami sampaikan bahwa di 2017 maupun 2018 yang salah satunya bahwa penilaian dari BPK terkait dengan WTP salah satunya adalah terkait dengan kehandalan pelaporan keuangan, terus kemudian laporan keuangan di susun sesuai dengan standar akuntan pemerintah, sudah kita terapkan. Ini bisa dibuktikan. Tadi saya sampaikan bahwa BPK tidak menemukan adanya temuan terhadap Dewan Pers. Saya rasa itu penjelasannya, terima kasih.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Sebentar Pak, ini RKAKL nya masuk Kominfo kalau begitu? Kalau begitu audit BPK nya memang di Kominfo. Terima kasih.

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Silakan, Pak Jimmy.

ANGGOTA DEWAN PERS, KETUA KOMISI HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN (JIMMY SILALAHI):

Terima kasih.

Pimpinan dan juga Bapak/Ibu Anggota Komisi I DPR yang kami hormati; Dan juga teman-teman kolega saya di Dewan Pers.

Sekedar menambahkan tadi apa yang sudah disampaikan oleh Ketua Dewan Pers, Bapak/Ibu sekalian. Yang pertama, tentu saja kita sangat berterima kasih atas dukungan moril, dan mudah- mudahan nanti ada support juga untuk perencanaan kira-kira apakah ‘amunisi’ Dewan Pers ini perlu untuk kita pertimbangkan ke depan ditambahkan dalam rangka tadi yang sudah kita bahas secara keseluruhan, Bapak/Ibu sekalian, khususnya untuk soal verifikasi. Karena filter yang paling mujarab untuk menyelesaikan persoalan abal-abalisme ini adalah verifikasi dan uji kompetensi. Tadi yang sudah dijelaskan oleh Pak Ketua Dewan Pers. Oleh sebab itu memang kami membutuhkan dukungan komitmen kita bersama untuk hal tersebut. Lalu yang berikutnya, ini konkrit barangkali masukan, Bapak/Ibu sekalian, khususnya kepada Komisi I DPR dan Sekretariat Jenderal DPR, dalam rangka tadi membantu untuk bisa melihat kondisi di dalam mitra kerja daripada Komisi I dan juga DPR secara keseluruhan terkait dengan media. Kami juga sudah menyampaikan ini kepada banyak institusi lembaga, baik di daerah maupun di tingkat pusat, kementerian maupun non kementerian, agar mungkin bisa sekretariat jenderalnya itu bekerjasama dengan Sekretariat Dewan Pers untuk bisa mungkin menyerahkan data media-media yang ada di DPR. Ini penting juga. Kami akan bantu untuk melihat sejauhmana kondisinya. Apakah mungkin media-media tersebut, tadi seperti yang dijelaskan oleh Pak Ketua Dewan Pers, apakah dia tergolong media yang profesional atau tidak.

27

Itu yang salah satu yang kami lakukan saat ini membantu kelembagaan-kelembagaan agar bisa mengidentifikasi kondisi pers yang ada di sekelilingnya yang bekerja meliput di wilayah tersebut. Jadi kira-kira mungkin kami akan sangat berterima kasih, Bapak Pimpinan, apabila nanti ada kerjasama antara Sekretariat Jenderal DPR, khususnya misalnya tadi yang kita bahas terkait dengan identifikasi media. Disamping memang upaya untuk memverifikasi dan juga uji kompetensi. Berikutnya lagi, terima kasih ya tadi masukan-masukan Bapak/Ibu sekalian sangat bagus sekali, kami tadi sudah mencatat. Dan tentu saja ini demi peningkatan profesionalitas daripada pers sebagai pilar keempat demokrasi kita. Karena dengan mendukung kualitas pers ini sama dengan mendukung kualitas bangsa ini. Oleh sebab itu, Bapak/Ibu, mudah-mudahan tadi masukan dari Pimpinan dan Bapak/Ibu Anggota Komisi I DPR ini akan membuat kita bisa lebih sering-sering bertemu. Mudah-mudahan tadi yang Bapak sampaikan apa yang sudah menjadi kebijakan Dewan Pers perlu disosialisasikan secara massive kepada masyarakat. Di sisi yang lain juga supaya kita bisa lebih sering RDP seperti ini, supaya kita bisa lebih sering-sering bertemu. Usulan konkrit berikutnya adalah kaitannya dengan media sosial. Karena ini menyangkut ranah siber, Bapak/Ibu sekalian. Jadi memang tadi yang disampaikan Pak Pimpinan Komisi I benar, barangkali perlu dipertimbangkan nanti kalau misalnya kita mau berbicara khusus terkait dengan media sosial ada satu RDP khusus misalnya yang bisa mengundang baik itu dari Kementerian Kominfo, dan juga BSSN. Karena sampai saat ini kita melihat ada kebijakan siber secara nasional itukan dimasukkan ke dalam kelembagaan BSSN. Jadi agar tadi menghindari atau mengantisipasi tadi yang disampaikan oleh Pak Pimpinan bagaimana caranya nanti untuk memastikan kira-kira ini ranahnya siapa. Lebih fix kira- kira seperti itu. Termasuk regulasinya. Jadi dengan mengundang Kementerian Kominfo, Dewan Pers, bersama dengan BSSN. Karena yang kami tahu kan sekarang itu sudah masuk, untuk soal siber itukan dimasukkan ke dalam Badan Sandi dan Siber Negara atau Nasional ‘N’ nya itu BSSN. Oleh sebab itu mungkin nanti kita perlu untuk bisa bertemu bersama-sama, tentu saja di dalam rapat seperti ini. Kira-kira seperti itu, Bapak/Ibu sekalian. Saya, Jimmy Silalahi Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan Pers. Terima kasih.

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Terima kasih. mungkin ada yang lain? Dari Pak Djauhar, Ibu Ratna?

WAKIL KETUA DEWAN PERS (AHMAD DJAUHAR):

Assalaamu'alaikum Warohmatulloohi Wabarokaatuh.

Bapak Pimpinan Komisi I, Anggota Komisi I yang terhormat.

Karena saya berasal dari SPS (Serikat Perusahaan Pers) yang khusus menangani media cetak nasional, ini pada kesempatan yang sangat bagus ini kami berterima kasih Bapak- bapak/Ibu-ibu berkenan mendengar semacam problematika yang dihadapi oleh media nasional. Untuk media cetak ini benar tadi yang Bapak-bapak sampaikan bahwa semakin tahun memang tingkat kemerosotannya luar biasa. Kalau boleh saya gambarkan sedikit, tahun 2014 itu masih ada oplah surat kabar nasional itu 9,6 juta eksemplar per hari dengan sekitar 418 judul atau 418 entitas media. Tahun 2018 ini tinggal 6,3 juta. Jadi setiap tahun merosot-merosot. Memang benar, kemerosotannya sangat sulit di tolong untuk dinaikkan kembali. Demikian juga dengan surat kabar mingguan itu bahkan lebih drastis lagi penurunannya. Dari 547 eksemplar per pekan pada 2014, 2018 ini tinggal 156 ribu. Dan itu jumlah ininya pun entitasnya pun merosot drastis, dari 218 menjadi hanya 75 media.

28

Majalah juga mengalami hal serupa, dari 449 majalah dengan oplah sekitar 8 setengah juta per pekan pada 2014, sekarang ini tinggal kurang dari separuh, yaitu 4,7 juta eksemplar. Dan tabloid dari 4,6 juta menjadi 3 juta sekian. Ini mereka di dera berbagai persoalan. Termasuk diantaranya persoalan teknis. Misalnya kami pernah sampaikan kepada Menteri Keuangan, tolong kepada media cetak nasional di bantu dengan mekanisme pengurangan atau deduction, yaitu tolong untuk pajak kertas itu misalnya di tunda atau ditiadakan. Karena begini Pak, medai cetak ini terkenal pajaknya itu bertalu-talu. Kertas sudah kena, kemudian ketika mencetak kena pajak lagi, ketika jual terkena pajak lagi. Harapan kami adalah semacam no text for knowledge untuk mendorong, karena kami juga agen untuk memajukan/mencerdaskan bangsa. Tapi justru tempo hari kami memperoleh kabar yang kurang menyenangkan yang justru memperoleh keringanan pajak justru pertunjukkan, showbiz, dan sebagainya itu, bahkan ditiadakan pajaknya. Kemudian kalau tadi Bapak menanyakan mana acuan yang bagus untuk ini. Saya kira acuan untuk yang bagus adalah Uni Eropa. Terutama Jerman Pak. Jerman dan Perancir itu menerapkan kepada google dan sebagainya itu mereka harus membayar semacam denda, karena konten-konten itukan konten dari media di ambil. Media itu bikin konten itu tidak gratis, tapi membayar cukup mahal. Tapi begitu masuk ke media sosial itu mereka dapat memperoleh yang gratis dan sebagainya. Akhirnya di Uni Eropa itu kemudian mereka, google, facebook, dan sebagainya itu diwajibkan untuk membayar kepada negara. Tapi oleh negara dana itu kemudian untuk pengembangan industri itu sendiri. Misalnya dalam capacity buidling, misalnya melatih wartawannya supaya lebih profesional dan sebagainya. Di sana negara yang sudah maju pun masih mengajari atau menjadikan wartawannya lebih profesional. Alangkah bagusnya kalau model seperti itu. Kami pernah mengundang tahun lalu kalau tidak salah Menteri Keuangan untuk bicara di Konferensi Hari Pers Nasional di Padang. Kami mencoba Beliau untuk memaparkan berapa dana yang diperoleh dari pajak google dan facebook. Tapi saat itu Ibu Sri Mulyani menyatakan datanya disclosure, tidak bisa di ungkap. Padahal dari data itu kita ingin tahu persis. Bisa tidak seperti itu dikembalikan ke masyarakat melalui tadi upaya mencerdaskan wartawannya, upaya mencerdaskan perusahaan pers nya. Ini salah satu problem yang dihadapi oleh masyarakat pers nasional ini. Dalam bayangan kami kalau trend-nya seperti ini, mungkin 5-10 tahun lagi surat kabar ini mungkin bayangan saya tinggal 1 atau 2 jutaan eksemplar perhari. Dan kalau tidak salah beberapa media nasional itu menyatakan 2040 nanti sudah tidak mencetak dalam format kertas koran lagi. Memang ada media digital, tapi perkembangannya sangat-sangat minim, karena masyarakat boro-boro suruh beli. Mereka inginnya informasi gratis. Tapi itu tadi seperti disampaikan Bapak-bapak yang terhormat, mereka tidak baca lagi kontennya, tetapi membaca hanya judul ini. Dan judul ini dikomentari lagi, sehingga hasil pertamanya itu A, hasil akhirnya adalah Z. Itu yang problematika yang utama kita. Saya benar-benar takut bangsa ini tidak menjadi bangsa pembaca lagi, apa yang terjadi bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi persaingan dengan bangsa lain yang masih membaca. Demikian, Bapak-bapak yang terhormat, terima kasih.

Billaahitaufiq Wal Hidaayah. Assalaamu'alaikum Warohmatulloohi Wabarokaatuh.

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Kalau diijinkan, Ibu Ratna. Ini satu-satunya anggota kami yang perempuan, dan paling cantik.

ANGGOTA DEWAN PERS, KETUA KOMISI PENELITIAN, PENDATAAN & RATIFIKASI PERS (RATNA KOMALA):

29

Karena yang lainnya ganteng, jadi percaya diri cantik.

Assalaamu'alaikum Warohmatulloohi Wabarokaatuh. Salam sejahtera bagi kita semua.

Terima kasih Pak Ketua, Bapak Pimpinan, dan yang terhormat Bapak/Ibu Komisi I DPR RI. Saya sangat senang sekali RDP hari ini, karena ada satu hal yang saya pikir tidak pernah muncul pada diskusi-diskusi sebelumnya tadi yang dilontarkan oleh Pak Ketua terkait dengan perkembangan digital technology. Jadi terus terang saja, Pak Pimpinan, bahwa kita/Dewan Pers dan seluruh konsituen memang sudah mengenal new media atau digital technology dalam kegiatan jurnalistik. Tetapi dalam pengelolaan organisasi Dewan Pers sendiri saya kira harus mengubah paradigmanya. Ini sangat signifikan, dan saya kira kalau mau di bilang radikal ‘radikal. Karena selama ini kita masih menjalankan pola pikir yang manual/yang analog, padahal pekerjaan kita di depan persoalan- persoalan kompleksitas teknologi digital itu sudah kita hadapi. Contohnya, ketika kita melakukan verifikasi perusahaan pers kita masih menganggap bahwa perusahaan pers itu adalah seperti yang konvensional saat ini, karena kita masih melihat satu media satu platform, padahal dalam prakteknya/ dalam perkembangannya sudah jauh ke depan. Tidak ada lagi bisnis media yang stand alone, paling sedikit itu ada dua platform media confergence, tetapi dari segi regulasi belum ada. Jadi ketika kami harus memverifikasi misalnya CNN Indonesia, sebuah entitas bisnis baru, apakah mereka bagian dari perusahaan pers? Kalau karakteristiknya iya, karena memiliki redaksi, memiliki wartawan, memiliki struktur redaksi yang di pimpin oleh pemimpin redaksi dan penanggungjawabnya, tetapi secara bentuk atau entitas bisnis itu tidak masuk dari model-model konvensional yang kita punya. Jadi kita dulu sempat berdiskusi panjang. Bahkan sampai saat ini juga kalau ada yang bertanya lagi ada yang masih ragu, artinya CNN Indonesia ini semacam content provider, tapi dia memang dia melekat pada lembaga penyiaran. Ini belum ada sebelumnya. Kemudian ada lagi yang kita kenal sekarang, kalau kita media confergence itu, misalnya streaming, itu juga belum ada. Itu juga membuat kami gamang ketika melakukan verifikasi. Siapa yang bertanggungjawab ketika ada sengketa pers, lalu kontrolnya bagaimana. Saya kira memang informasi dan usulan dari Bapak Pimpinan ini membuka mata kami. Untuk diskusi hari ini saya kira ini harus dijadikan starting point kita mengubah paradigma. Kalau mau kasih saya ilustrasi, Dewan Pers saat ini tidak memiliki sistem kesekretariatan yang IT base, tidak ada, wicis itu sangat memprihatinkan. Dan kita selalu kepentok-pentok kalau menghadapi persoalan. Jadi kita menghadapi persoalan baru kita kembali ke ‘ternyata kita perlu ini, ternyata kita perlu ini’. Contohnya, reliability dari website, tadi Pak Charles menyinggung. Kita sangat mengandalkan database tentang perusahaan-perusahaan pers. Tapi website kami sangat vulnerable. Kurang lebih kita berapa kali kena hacker, lima kali, wicis itu sangat tidak kredibel untuk lembaga yang punya database sangat strategis dan dibutuhkan oleh lembaga dan kementerian. Mungkin lembaga-lembaga yang lain ya, Polhukam mungkin juga membutuhkan dan sebagainya. Tapi kita tidak punya ketahanan atau tingkat proteksi website yang memadai. Itu menurut saya sangat ironis dan sangat miris. Yang selanjutnya, ketika kita menghadapi serangan-serangan abal-abal, kita juga regulasinya tidak ada. Regulasi kita ketinggalan dibandingkan kompleksitas persoalan yang kita hadapi. Jadi misalnya ada abal-abal yang berperan sebagai konten agregator, mengambil nyomot-nyomot. Kita yang mungkin yang resminya ada, itupun masih kompleks melakukan kerjasama dengan sumber-sumber produksi beritanya ini yang media benarannya. Tetapi yang legal saja belum jelas, muncul banyak model-model yang serupa. Dan ketika ada persoalan, ada sengketa pers dari produk jurnalistiknya itu, itu tidak ada yang bertanggungjawab. Makanya tadi ketika banyak sekali korban, para politisi, banyak sekali korban, tapi kita tidak bisa apa-apa.

30

Jadi kita belum tersentuh yang tadi, fact checker kita hanya di pinggiran Pak. Jadi kalau google, facebook mungkin sudah pernah berbagai bagaimana mereka melakukan networking untuk fact checking dari informasi-informasi yang diragukan, tetapi Dewan Pers tidak bisa melakukannya. Mungkin itu salah satu visi ke depan Dewan Pers itu memang harus mengubah paradigma, karena kita tidak boleh ketinggalan dengan perkembangan. Kompleksitas persoalan sudah jauh meninggalkan kita sementara regulasi dan pola pikir dengan behaviour kita masih yang analog. Saya berharap dari RDP hari ini akan ada follow up. Tadi Pak Jimmy sudah mengusulkan kita akan bikin RDP khusus misalnya dengan Kominfo dan BSSN. Juga mungkin tidak ada salahnya juga kita nanti bisa brainstorming dengan lembaga atau institusi yang sudah memulai network untuk fact checker atau fact checking merangkul media-media di Indonesia. Saya kira itu saja dari saya, terima kasih.

Wassalaamu'alaikum Warohmatulloohi Wabarokaatuh.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Terima kasih. Mungkin ada tambahan lagi? Silakan.

ANGGOTA DEWAN PERS, KETUA KOMISI PENDIDIKAN, PELATIHAN & PENGEMBANGAN PROFESI (HENDRY CHAIRUDIN BANGUN):

Kalau tidak bicara kan tidak pantas Pak. Terima kasih.

Pimpinan Komisi I DPR dan rekan-rekan Anggota,

Jadi saya hanya berharap Bapak Pimpinan Komisi I di DPR ini juga mendorong. Karena kan begini Pak, misalnya saja kemarin ketika ada liputan perayaan kemerdekaan di istana itu semua wartawannya wajib memiliki sertifikat kompetensi. Sehingga meskipun di kirim oleh Kompas atau Tempo, kalau dia tidak memiliki kartu kompetensi tidak boleh meliput. Seandainya itu dilakukan DPR maka tugas Dewan Pers akan terbantu. Ini kami berharap nanti Sekretariat Jenderal barangkali berkomunkasi dengan Dewan Pers lalu bisa kita atur penyelenggaraan uji kompetensi disini digratiskan supaya terbuka buat semua. Lalu nanti setelah itu baru di buat aturan yang seperti itu maka akan sangat membantu Dewan Pers dalam pelaksanaan sertifikasi kompetensi. Saya kira itu saja, Bapak Pimpinan, terima kasih.

Assalaamu'alaikum Warohmatulloohi Wabarokaatuh.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Wa’alaikumsalaam.

Semua sudah memberikan penjelasan, dan saya berterima kasih sekali bahwa pada hari ini kita bisa mendiskusikan sesuatu yang menurut saya cukup substansial. Karena kita itu selalu menginginkan bahwa institusi yang di bentuk oleh Pemerintah itu juga menjadi institusi yang harusnya lebih canggih daripada perkembangan yang ada. Tapi ternyata kan dari semua lini yang saya pelajari selalu kita ketinggalan. Apalagi aspek regulasi. Kita sudah berbicara di tingkat bilateral atau multilateral sudah luar biasa tapi regulasi pendukungnya masih belum. Undang- undangnya masih yang lama. Itukan selalu menjadi hambatan. Sebaliknya, di dalam diskusi pada pagi hingga siang hari ini juga kita jumpai hal-hal yang demikian. Tinggal bagaimana caranya kita menata.

31

Kita nanti akan masukkan dalam suatu kesimpulan, nanti kita akan lihat draft kesimpulan rapat. Walaupun ini adalah tidak di dalam kewenangan Dewan Pers, tetapi karena Komisi I bermitra kepada BSSN dan juga instansi yang lain, maka kita bisa juga nanti kemukakan di dalam rapat-rapat dengan mereka, baik itu dalam forum raker dengan menteri yang nanti siang jam 2 (14.00), ataupun juga dengan rd[ dengan Kepala BSSN dan sebagainya. Paling tidak itu yang bisa kita lakukan yang ada di dalam skub mitra Komisi I. Adapun nanti kalau membutuhkan kerjasama dengan komisi lain, maksudnya mitra daripada komisi lain, itupun juga bisa kita tempuh. Jadi saya rasa itu yang menjadi dasar pemikiran kita untuk membenahi secara institusi. Dan termasuk didalamnya melekat mengenai anggaran-anggaran yang dibutuhkan, dengan demikian kita bisa mencapai tujuan sebagaimana yang kita harapkan bersama. Mungkin bisa ditayangkan draft kesimpulan rapat.

F-PDIP (CHARLES HONORIS):

Sebelumnya, Pak Ketua, saya ingin menyampaikan apresiasi saja. Ini apresiasi terhadap kepengurusan Dewan Pers sampai tahun ini. Terakhir ya, Pak Yoseph dan teman-teman, ini sudah bekerja 3 tahun. Saya rasa Komisi I juga harus kita memberikan apresiasi sama-sama pada kepengurusan sampai tahun 2019 ini. Yang baru di lantik kapan rencana?

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Kami sedang mengajukan nama ke Presiden untuk dikeluarkan Keppres nya. Keppres kami akan berakhir pada 29 Pebruari. Masalahnya itu tanggal pada tahun kabisat yang hanya ada 4 tahun sekali. Jadi Presiden nanti yang memutuskan. Terima kasih.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Terima kasih, Pak Charles, diingatkan. Karena saya juga tidak menyadari kalau Bapak- bapak sekalian sudah di penghujung. Mudah-mudahan tetap apa yang kita diskusikan tidak menghambat dari periodisasi yang ada di dalam Dewan Pers. Begitupun pula yang ada di Komisi I, karena kita bulan April juga melakukan pesta demokrasi. Dan kita juga berharap pemikiran- pemikiran yang baik tentunya tetap ada di gedung ini dan akan menjadi keputusan yang baik bagi bangsa kita. Jadi saya bisa bacakan draft kesimpulan rapat dengar pendapat Komisi I DPR RI dengan Dewan Pers pada Rabu 16 Januari 2019. 1. Tahun 2019 merupakan tahun politik, untuk itu Komisi I DPR RI mendesak Dewan Pers untuk meningkatkan peran dan tanggungjawabnya atas kegiatan jurnalistik di Indonesia, sehingga pers nasional dapat selalu menjunjung prinsip independen, dan menghasilkan produk berita yang akurat, netral, adil, dan berimbang; Saya rasa ini normatif ya, karena itu menjadi amanah.

(RAPAT : SETUJU)

2. Komisi I DPR RI mendukung Dewan Pers dalam melakukan percepatan sertifikasi kompetensi wartawan dan perusahaan pers, dan memantau agar kepemilikan sertifikasi wartawan dan perusahaan pers terdata dengan baik, sehingga mampu membentuk wartawan dan perusahaan pers yang profesional, bukan partisan maupun abal-abal; ‘abal-abal’ itu bahasa Indonesia tidak? Kurang ini ya? Ada usulan?

WAKIL KETUA DEWAN PERS (AHMAD DJAUHAR):

Ijin, Bapak Pimpinan.

32

Barangkali itu ‘verifikasi perusahaan pers’, penambahan untuk ‘verifikasi perusahaan pers’.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

‘verifikasi perusahaan pers’. Yang atas itu Pak, ‘sertifikasi kompetensi wartawan dan verifikasi perusahaan pers’ ‘bukan partisan’, dan tidak apa? Jangan ‘abal-abal’ maksudnya. Sudah ya? Ya sudah, kalau begitu kita pakai ‘abal-abal’. Bisa kita sepakati?

(RAPAT : SETUJU)

3. Komisi I DPR RI mendesak Dewan Pers untuk mensosialisasikan seluruh media massa dan media online yang telah terverifikasi guna memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap informasi yang akurat dan benar; Bisa ya? Sepakat? (RAPAT : SETUJU)

4. Komisi I DPR RI mendesak Dewan Pers untuk turut dapat memverifikasi konten yang ada di dalam media sosial dengan memperhatikan pengembangan teknologi digital, dan selanjutnya dikonsultasikan kepada Kemkominfo, BSSN, dan instansi terkait; Saya rasa ini menjadi pembicaraan kita yang cukup hangat. Jadi nanti justru berdasarkan daripada hasil kesimpulan rapat Bapak bisa menginisiasi untuk bertemu dengan Kemkominfo untuk membicarakan lebih detailnya. Sebaliknya, bagi Komisi I dalam kesempatan RDP ataupun juga raker dengan Kominfo kita akan mengangkat isu ini.

F-PDIP (CHARLES HONORIS):

Pimpinan, mungkin perlu ditambahkan ‘penegak hukum’. Penegak hukum bisa polri, bisa kejaksaan.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

‘instansi terkait’ mungkin dalam kurung boleh ‘(Polri, penegak hukum)’. Kalau ada tambahan mungkin. ‘instansi terkait (penegak hukum)’, jadi Polri sudah termasuk penegak hukum. ‘Polri’ nya dihilangkan saja. Begini Pak ya, cukup ya.

F-PDIP (CHARLES HONORIS):

Atau begini, Pimpinan, mohon maaf, ‘kepada Kominfo, BSSN, penegak hukum, dan instansi terkait lainnya’.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

‘penegak hukum dan instansi terkait lainnya’, yang tidak ter-cover lah. Kita masih belum, mungkin ada instansi lain yang juga bisa terkait. Hukumnya digedein ya, ‘Penegak Hukum’. Silakan Pak.

WAKIL KETUA DEWAN PERS (AHMAD DJAUHAR):

Pimpinan, terima kasih.

33

Barangkali sekedar pertimbangan saja untuk poin ke 4 ini bahwa ‘Komisi I DPR RI mendesak Dewan Pers untuk turut dapat memverifikasi konten’. Jadi sementara kan memang kita sekarang belum masuk kesana. Jadi kalau kira-kira berkenan kami mengusulkan bagaimana caranya untuk kita memikirkan verifikasi konten ini. Jadi bukan langsung. Kalau kalimatnya ‘untuk turut dapat memverifikasi’ kan berarti Dewan Pers sudah langsung memverifikasi atau ikut memverifikasi konten media sosial. Karena kan ini masih belum menuju kesana.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Begini Pak, mesti dibaca lengkap dulu. Kalau di potong memang betul. Tapi kalau kita baca lengkapnya kan masih selanjutnya dikonsultasikan pada Kominfo, dikonsultasikan sama instansi lainnya. Jadi secara menyeluruh belum siap Dewan Pers itu untuk melakukan itu. Tetapi kan ini starting poin kita untuk mulai mendiskusikan keterlibatan Dewan Pers.

WAKIL KETUA DEWAN PERS (AHMAD DJAUHAR):

Setuju dengan poin yang ada itu, karena de facto sebetulnya kita sudah mengerjakan secara parsial. Konsultasi, kemudian Kominfo juga minta pendapat, dan seterusnya ini sudah berjalan. Tapi dengan rekomendasi seperti ini, inikan DPR mendorong untuk bukan hanya parsial, tapi memang ada.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Secara institusi melekat itu didalamnya. Jadi kita sepakati ya?

(RAPAT : SETUJU)

5. Komisi I DPR RI mendesak Dewan Pers untuk meningkatkan penyerapan anggaran Dewan Pers Tahun Anggaran 2019 sehingga mampu mengoptimalkan realisasi penggunaan anggaran melalui pelaksanaan program yang tepat waktu dan sasaran;

F-NASDEM (MAYJEN TNI (PURN) SUPIADIN ARIES SAPUTRA):

Ijin, Pimpinan. Sebaiknya nomor 5 ini menjadi nomor 1. Kenapa, karena topik kita inikan membahas tentang laporan penggunaan anggaran. Yang lain-lain itukan topik isu-isu aktual itu. Jadi intinya di anggaran ini yang nomor 1.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Atau paling tidak nomor 2 lah. Kita baca nomor 1 nya dulu. Jadi bisa kita sepakati ya, Bapak/Ibu sekalian? Jadi saya ketok sekali lagi.

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Setuju Pak, biar pas.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Jadi bisa kita sepakati ya, Bapak/Ibu sekalian? Jadi saya ketok sekali lagi.

34

F-NASDEM (MAYJEN TNI (PURN) SUPIADIN ARIES SAPUTRA):

Kalimatnya bukan langsung ‘mendesak’. Saya kira disini Komisi I ‘menerima’ laporan penggunaan anggaran tahun 2018 dan ‘mendesak’. Jadi kita ‘menerima’ dulu ‘menerima laporan tentang penggunaan anggaran’.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

‘menerima penggunaan Anggaran Tahun Anggaran 2018’ Ini soalnya yang 2019 sudah di ketok Oktober kemarin, ini jadi problem. Meningkatkan ‘penyerapan’ itu boleh, ‘serta’, jangan ‘untuk’, ‘untuk’ nya dihilangkan saja, ‘serta meningkatkan penyerapan anggaran Dewan Pers Tahun Anggaran 2019 sehingga mampu mengoptimalkan realisasi’. Kalau pagi-pagi ini kita sudah minta di rubah ya lucu kan, kita Oktober baru saja kita ketok. Jadi sepakat ya nomor 1 betul-betul mengikat terhadap agenda kita yang pertama. selanjutnya kita melakukan fungsi pengawasan.

F-NASDEM (MAYJEN TNI (PURN) SUPIADIN ARIES SAPUTRA):

‘serta mendesak Dewan Pers untuk’, ada kata ‘untuk’, ‘untuk meningkatkan penyerapan anggaran.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Cukup ya? Saya ketok ya untuk semuanya, nomor 1 hingga nomor 5.

(RAPAT : SETUJU)

Dengan demikian berakhir sudah Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR RI dengan Dewan Pers. Sebelum saya menutup, saya persilakan Ketua Dewan Pers untuk memberikan kata akhir.

KETUA DEWAN PERS (YOSEP ADI PRASETYO):

Baik.

Pimpinan Komisi I dan Anggota Komisi I yang saya hormati.

Saya mengucapkan terima kasih. Sebetulnya saya tadi kalau di tanya lebih dalam tentang abal-abal, saya punya bahan presentasi, punya contoh-contoh. Tapi nanti kalau diperlukan saya menyiapkan untuk bisa di cetak dan disampaikan kepada Anggota Komisi I. Yang kedua, kami ingin menyampaikan bahwa tanggal 9 Pebruari nanti itu adalah puncak Hari Pers Nasional. Kami biasanya mengundang Pimpinan Komisi I atau Anggota Komisi I yang bisa hadir, karena ini juga perpisahannya Pak De Karwo di Jawa Timur. Beliau tanggal 10 ini akan ada serah terima dengan Ibu Khofifah selaku gubernur baru. Dan Pak De Karwo menjanjikan ini memang Hari Pers Nasional yang paling meriah, paling tidak menurut ukuran Beliau begitu. Kami nanti ada acara-acara konvensi-konvensi media yang membicarakan tantangan media ke depan, teknologi. Termasuk bagaimana kita mencegah hoax. Kita akan mencoba mendklarasikan komunitas pers untuk siap menjadi wasit yang adil bagi proses pemilu, dan seterusnya. Kami berharap nanti Bapak/Ibu Anggota 1 yang bisa hadir mohon bisa hadir. Acara akan dihadiri oleh Presiden RI, Bapak langsung, dan akan memberikan sambutan sekaligus pada puncak HPN tanggal 9 pagi.

35

Di luar itu, periode kami ini, sesuai tadi yang saya sebutkan, Keppres berakhir pada tanggal 29 Pebruari. Tapi tahun lalu kami baru menerima Keppres nya pada tanggal 23 Maret. Jadi kira-kira nanti pada akhir Maret kami akan purnabhakti. Dan seperti tradisi di Dewan Pers pasti ada anggota lama yang akan terus berlanjut. Jadi anggota lama yang akan berlanjut adalah Pak Ahmad Djohar sama Pak Henry Bangun. Saya sudah dua periode di Dewan Pers, jadi kami akan berpamitan. Pak Jimmy juga dua periode. Ibu Ratna nanti juga tidak akan berlanjut. Tapi kami pada dasarnya siap untuk membantu Dewan Pers. Karena memang kami berangkat dan lahir dari komunitas pers, kami akan membantu mengawal proses-proses di Dewan Pers. Termasuk kalau diperlukan nanti, apakah menjadi narasumber, kami siap menyampaikan pokok-pokok pikiran kami untuk mendukung dan menciptakan pers yang memang kredibel di negara ini. Kenapa, karena Indonesia ini adalah salah satu negara dengan media paling banyak di dunia, ada 47 ribu media di Indonesia saat ini. Saya pernah mendapat keluhan dari Pemkab Tanjung Balai Karimun. Jumlah penduduknya hanya 172 ribu jiwa. Pemkab ingin mengundang 30 media yang sudah mereka data untuk semacam briefing. Yang datang ada 500 media. 30 media mengisi daftar absensi yang sudah tersediakan. 470 yang lain bikin absensi tandingan. Ujung-ujungnya adalah mereka belum mau pulang sebelum mendapatkan uang transport. Padahal mereka sudah ikut makan siang gratis. Mereka konsultasi kepada Dewan Pers apa yang perlu dilakukan. Kami sampaikan saran-sarannya dan seterusnya. Inilah problem riil bangsa Indonesia menghadapi ledakan informasi dan media yang begitu banyak, dan mau tidak mau Dewan Pers yang harus menjadi wasit dan penjaga aturan mencoba menertibkan. Jangan sampai kemudian ada media jadi- jadian, media seperti Obor Rakyat yang mungkin nanti akan memperkeruh demokrasi kita. Bukan tidak mungkin kemudian terjadi delegitimasi kepada proses bernegara dan demokrasi yang ada di negara ini. Kami di Dewan Pers mengucapkan terima kasih juga bahwa selama ini kami sudah bermitra dengan Bapak/Ibu sekalian dari Komisi I. Karena saya pernah bermitra juga di Komisi III, menurut saya ini kemitraan yang paling smooth dan paling lancar di dalam berdiskusi maupun saling berbagi ide. Dan sekaligus pengawasan yang dilakukan oleh Bapak-bapak saya kira cukup fair, dan saya kira kami mengucapkan apresiasi. Dan mungkin ini RDP kami yang terakhir dengan Bapak-bapak dari Komisi I, kami mohon pamit juga. Mungkin nanti ada tugas lain di lembaga lain mungkin kita masih akan bertemu. Tapi saya kira kami secara resmi harus menyampaikan pamitan kepada Pimpinan dan Anggota Komisi I DPR RI. Terima kasih. Dan mohon kalau ada kesalahan dimaafkan, baik yang di sengaja maupun tidak di sengaja kata-kata maupun kelakuan kami. Terima kasih.

KETUA RAPAT (Ir. H. SATYA WIDYA YUDHA, M.E., M.SC.):

Terima kasih Ketua Dewan Pers atas kata akhir yang diberikan. Dan tentunya kami atas nama Pimpinan dan juga Anggota Komisi I mengucapkan selamat bertugas untuk yang masih tetap menjadi anggota Dewan Pers. Dan kepada Bapak-bapak yang meninggalkan Dewan Pers tentunya kontribusi pemikiran tetap akan dibutuhkan, karena dimanapun kita berada kita bisa berkontribusi untuk pembangunan bangsa dan negara ini. Dan atas nama Pimpinan dan Anggota juga saya mengucapkan permohonan maaf apabila dalam hal selama bermitra ada hal-hal yang tidak berkenan, tetapi saya yakin tidak dimaksudkan untuk hal yang tidak baik, tetapi lebih dimaksudkan bagaimana kita bisa memajukan pers nasional kita sehingga kehidupan demokrasi kita bisa terimbangi dengan keberadaan pers nasional yang baik, sehat, dan transparan. Dan dengan demikian bahwa kami yakin semangatnya sama. Dimanapun juga kita mengabdikan diri kita pasti akan bertemu, karena kita mempunyai cita-cita dan harapan yang sama. Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan. Sementara untuk hari pers yang tanggal 9 Pebruari apabila tidak ada halangan Insya Alloh saya hadir, karena itu Jawa Timur dapil saya, jadi wajib hukumnya. Tapi kalau teman-teman dan juga pimpinan yang lain yang akan hadir monggo, dipersilakan, tadi sudah mendapatkan undangan dari Dewan Pers untuk memeriiahkan,

36 sekaligus merupakan farewell party daripada Dewan Pers yang sekarang ada di depan kita semua. Dengan demikian kami menutup rapat ini dengan mengucapkan wassalaamu'alaikum Warohmatulloohi Wabarokaatuh.

KETOK PALU : 3 KALI (Rapat di tutup pukul: 13.47 WIB)

Jakarta, 16 Januari 2019 a.n. KETUA RAPAT SEKRETARIS RAPAT,

SUPRIHARTINI, S.IP., M.Si. NIP. 19710106 199003 2 001

37