2. LANDASAN TEORI

2.1 Penjelasan Atas Konsep 2.1.1 Retail Gilbert (2003) menjelaskan dalam bukunya bahwa “retailing” berasal dari Bahasa Perancis lama, yaitu “retailler” yang dapat diartikan sebagai “bagian- bagian” atau “potongan-potongan”. Hasty dan Reardon (1997, p.10) menjelaskan retail sebagai, “pengembangan aktivitas penjualan terhadap barang dan jasa kepada konsumen untuk kegunaan sendiri, keluarga, ataupun kebutuhan rumah tangga.” Lebih lanjut dijelaskan definisi retail sebagai sebuah aktivitas pemasaran yang didesain untuk mendukung kepuasan bagi konsumen akhir dan mengatur konsumen melalui sebuah program yang secara terus menerus untuk meningkatkan kualitas. Retail memuaskan pelanggan dengan peningkatan kualitas secara terus menerus melalui berbagai aspek. Tidak hanya melalui penjual barang dan jasa, namun juga memenuhi kepuasan emosional, ekonomi, atau motivasi sosial dari pelanggan. Sejalan dengan Hasty dan Reardon, Gilbert (2003) juga mendefinisikan retail sebagai “segala usaha bisnis yang secara langsung berusaha memasarkan untuk memuaskan konsumen akhir berdasarkan organisasi yang menjual barang dan jasa, sebagai sebuah pengertian dari distribusi.” Bagaimanapun juga, penekanan pada konsumen akhir dengan sengaja dibedakan daripada pelanggan. Seorang konsumen merupakan pengguna akhir dari sebuah pembelian, sedangkan pelanggan mungkin membeli untuk kebutuhan dia sendiri, ataupun melakukannya sebagai bagian dari aktivitas bisnis. Pembelian untuk kegunaan bisnis atau industri, normalnya merupakan transaksi retail. Sebagai tambahan, retailing tidak hanya meliputi penjualan dari produk yang berwujud, namun juga dikembangkan dalam bidang jasa, contohnya financial services, hair cutting atau dry cleaning. Levy dan Weitz (2009) menjelaskan dalam bukunya bahwa retailer melakukan aktivitas bisnis yang menjual produk dan jasa, ataupun keduanya, yang dilakukan kepada konsumen untuk kebutuhan perseorangan atau keluarga. Retailer berusaha untuk memuaskan kebutuhan konsumen dengan menyediakan

11 Universitas Kristen Petra merchandise yang tepat, pada harga yang pas, dan pada tempat yang tepat, yang diinginkan oleh konsumen. Dijelaskan juga bahwa retail memiliki beberapa fungsi penting dalam meningkatkan nilai pada produk dan jasa yang diproduksi oleh retailer. Fungsi-fungsi tersebut meliputi: a. Provide assortment Semua penjual akan menawarkan keanekaragaman dari produk yang dijual, namun keanekaragaman tersebut akan dispesialisasikan sesuai dengan jenis produk yang ingin dijual. b. Breaking bulk Breaking bulk mempunyai arti memecahkan menjadi bagian-bagian. Hal ini merupakan hal yang penting bagi manufaturers dan konsumen. Manufacturers dapat menghemat biaya transportasi untuk memaketkan dan mengirim merchandise dalam jumlah yang besar. Sedangkan bagi konsumen, lebih memudahkan untuk melakukan pembelian merchandise dalam jumlah kecil. Dalam hal ini dapat dilihat dengan jelas bahwa tugas retailer ialah untuk memecahkan jumlah merchandise yang didapat dari manufacturer, dan kemudian dijual kepada konsumen akhir. c. Holding inventory Fungsi selanjutnya dari retailer ialah untuk menyimpan sebagian inventory, sehingga konsumen tidak perlu untuk membeli dalam jumlah besar dalam sekali pembelian. Selain itu, konsumen dapat membeli produk tersebut sewaktu-waktu karena menyadari bahwa retailer akan selalu mempunyai stock inventory. d. Provide service Sebagai retailer, dapat menyediakan jasa yang memudahkan pelanggan untuk membeli dan menggunakan sebuah produk. Contohnya saja menyediakan jasa pengiriman barang, sehingga konsumen tidak harus datang ke toko untuk membeli barang. Contoh lainnya ialah menyediakan kredit bagi konsumen, sehingga memungkinkan konsumen untuk mengkonsumsi dahulu produk yang telah dibeli, dan membayarnya di kemudian hari.

12 Universitas Kristen Petra

2.1.2 Format Retail Levy dan Weitz (2009) menjelaskan dalam bukunya bahwa format retail berdasarkan jenis item yang dijual dapat dibedakan menjadi food retailers dan general merchandise retailers. Jenis-jenis dari food retailers dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Conventional Supermarkets, merupakan sebuah self-service toko makanan dengan menawarkan bahan makanan, daging, dan diproduksi dengan penjualan terbatas dari nonfood items, seperti kesehatan dan kecantikan dengan penjualan merchandise yang terbatas. b. Big-Box Food Retailers, memiliki beberapa format seperti supercenters, hypermarkets, dan warehouse club. Supercenters menawarkan keanekaragaman yang luas dari kebutuhan bahan makanan dan general merchandise di bawah satu atap, supercenters menyediakan one-stop shopping experience. Namun, karena supercenters terlalu besar, beberapa pelanggan merasa tidak nyaman karena membutuhkan waktu lama untuk menemukan sesuatu yang diinginkan. Sedangkan hypermarkets merupakan kombinasi dari food dan general merchandise retailers. Hypermarkets biasanya menyediakan stock lebih sedikit dari supercenters. Konsep big-box food retailers yang ke-3 adalah warehouse club, yang menawarkan keanekaragaman makanan dan general merchandise yang terbatas dengan pelayanan yang sedikit pada harga yang rendah untuk konsumen terbatas dan bisnis kecil. Merchandise yang terdapat dalam warehouse club merupakan setengah makanan dan setengah general merchandise. Menyediakan barang dan brands tertentu yang berbeda dari waktu ke waktu, karena warehouse club menyesuaikan merchandise yang dijual dengan promosi yang diberikan oleh manufaktur. c. Convenience Stores, biasanya menyediakan varietas dan keanekaragaman yang terbatas, dan memberikan biaya penjualan yang lebih tinggi dibandingkan dengan supermarket. Convenience stores memungkinkan konsumen untuk berbelanja dengan cepat, tanpa harus mencari dengan lama barang yang dibutuhkan. Selain itu, konsumen juga tidak perlu menunggu terlalu lama pada saat pembayaran. Hal ini dimungkinkan karena ukuran

13 Universitas Kristen Petra

convenience store tidak terlalu besar dan tujuan utamanya ialah memberikan kenyamanan. Contohnya ialah 7-Eleven, Indomaret, Circle K, dan Alfamart. Sedangkan jenis-jenis dari general merchandise retailers dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Discount stores, merupakan sebuah retailer yang menawarkan jumlah kategori merchandise yang luas. Harga yang ditawarkan cukup rendah, namun pelayanan yang ditawarkan juga terbatas. Discount stores menawarkan antara private label dan national brands. Contoh dari discount store ialah Wal-Mart. b. Specialty Stores, biasanya berkonsentrasi pada jumlah terbatas dari kategori complementary merchandise, namun memberikan tingkat pelayanan yang tinggi. Contoh dari specialty store ialah The Gap, Zara, dan H&M. c. Category Specialist, merupakan sebuah discount store yang menawarkan varietas tertentu namun mempunyai keanekaragaman yang dalam. d. Department Stores, merupakan retailer yang membawa berbagai macam varietas, dengan keanekaragaman yang dalam. Department stores mempunyai keunikan dari pengalaman berbelanja, pelayanan yang diberikan dan juga store atmosphere yang dimiliki. Untuk menciptakan suasana yang lebih hidup, biasanya pakaian di display menggunakan mannequins, memberikan pencahayaan pada displays dan biasanya memberikan beberapa demonstrasi terhadap produk yang dijual. Department stores juga menekankan special promotions pada musim-musim tertentu. e. Drugstores, merupakan specialty stores yang berkonsentrasi pada kesehatan dan personal grooming merchandise. f. Off-Price Retailers, menawarkan keanekaragaman yang tidak pasti dari brand- name, fashion-oriented soft goods pada harga yang rendah. Off-price retailers dapat menjual brand-name dan bahkan designer-label merchandise pada harga yang rendah karena keunikan pembelian. Maksudnya ialah sebagian besar merchandise dibeli karena manufacturers atau retailers lainnya memiliki kelebihan inventory pada akhir musim. Merchandise ini mungkin saja memiliki ukuran yang jarang dinginkan oleh konsumen atau warna dan ukuran yang kurang disukai, atau mempunyai sedikit kesalahan pada saat pembuatan.

14 Universitas Kristen Petra g. Value Retailers, merupakan general merchandise discount stores yang ditemukan di masyarakat lower-income atau daerah pedesaan dan lebih kecil dari traditional discount stores.

2.1.3 Department Store Hasty dan Reardon (1997, p.27) menjelaskan department store merupakan “sebuah toko berskala besar, termasuk dalam kategori general-line retail dan dalam pengoperasiannya membawa banyak product line”. Konsep yang lebih sederhana dijelaskan oleh Bruce, Moore, dan Birtwistle (2004, p.206) yang menjelaskan bahwa department store merupakan “sebuah unit retail yang besar dengan berbagai macam barang dan jasa yang diorganisasi ke dalam bagian yang berbeda-beda, yang disesuaikan dengan tujuan pembelian, promosi, pelayanan pelanggan dan kontrol”. Teori tersebut sejalan dengan pemikiran Berman & Evans (2007) dan Levy & Weitz (2009) yang menyatakan bahwa sebuah department store merupakan sebuah retail berskala besar dengan keanekaragaman barang dan jasa yang luas (width dan depth), yang diorganisasikan ke dalam bagian-bagian yang berbeda untuk proses pembelian, promosi, customer service, dan pengendalian. Berman dan Evans (2007) menyatakan bahwa secara tradisional, department store dapat menarik perhatian banyak pelanggan karena menawarkan suasana yang nyaman, pelayanan yang penuh perhatian, dan banyak pilihan produk yang berada dalam 1 atap, sehingga memudahkan pelanggan untuk mencari barang yang diinginkannya tanpa harus mencari ke berbagai tempat lainnya. Levy dan Weiz (2009) menjelaskan bahwa, department store menjual soft goods (pakaian dan kelengkapan tidur) dan hard goods (peralatan rumah tangga, furniture, dan barang-barang elektronik). Namun, sebagian besar department store banyak berfokus hanya pada penjualan soft goods (pakaian wanita, pria, anak- anak dan aksesoris, perabotan rumah tangga, kosmetik, dan kelengapan kecil lainnya).

15 Universitas Kristen Petra

2.1.3.1 SOGO Department Store SOGO merupakan department store yang pertama kali dibuka di Jepang pada tahun 1830. Awalnya, SOGO berperan sebagai retailer yang menjual kimono, yaitu pakaian khas Jepang. Seiring dengan perkembangannya SOGO mulai didirikan di beberapa negara seperti Beijing, Hong Kong, Taiwan, Kuala Lumpur, Singapura, Bangkok, dan London. Namun, SOGO sempat mengalami jatuh bangun dalam usahanya, dan terpaksa ditutup di beberapa negara, seperti Singapore, Hong Kong, Taiwan, dan bahkan di Jepang. Sekarang, sebagian besar cabang internasional yang dimiliki oleh SOGO Department Store dijalankan oleh franchise yang tidak terpusat lagi di Jepang. Dalam sejarahnya di , SOGO Department Store berada dibawah naungan PT Mitra Adiperkasa Tbk., dan pertama kali hadir di pada tahun 1990 di Jakarta dan terus berkembang di Indonesia. Hingga saat ini, SOGO Department Store telah memiliki 14 cabang di Indonesia. Pada tahun 1995, SOGO Department Store telah hadir di Kelapa Gading Mall yang dikenal dengan sebutan SOGO Kelapa Gading, yang selanjutnya diiringi dengan hadirnya SOGO pada tahun 1999. Perkembangan ini terus berlanjut hingga hadirnya SOGO di pada tahun 2001. Tidak hanya berhenti sampai di Surabaya, namun SOGO Department Store terus berkembang hingga ke , Bali, dan . Di Medan, hadir di Sun Plaza pada tahun 2004, dan kemudian diikuti pembukaan di Jakarta pada tahun 2005 dan diikuti dengan pembukaan SOGO di Bali Collection, PVJ Bandung, Surabaya, dan Discovery Shopping Mall Bali pada tahun 2006. Pada tahun 2009, SOGO hadir di Emporium Pluit Jakarta dan pada tahun 2010 di Central Park Jakarta. Hingga pada tahun 2012, SOGO baru saja diresmikan di dan Alam Sutra.

2.1.4 Customer Perception Horovitz (2000) persepsi merupakan anggapan yang muncul setelah melakukan pengamatan di lingkungan sekitar atau melihat situasi yang terjadi untuk mendapatkan informasi tentang sesuatu. Dijelaskan ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi, yaitu:

16 Universitas Kristen Petra a. Faktor psikologis, faktor ini meliputi beberapa aspek, yaitu memori, pengetahuan, dan kepercayaan. Memori terjadi ketika pelanggan mendapatkan pelayanan dari pramuniaga saat berbelanja. Sedangkan pengetahuan bisa didapat dari proses pembelajaran, dan kepercayaan pelanggan bisa didapatkan dari pengalaman serta referensi dari orang lain. b. Faktor fisik, faktor ini mempengaruhi persepsi pelanggan melalui penginderaan yang dilakukan oleh pelanggan. Tampilan fisik sebuah produk memberikan informasi kepada pelanggan mengenai tingkat kualitas dari produk tersebut. c. Pencitraan atau image, image yang dimaksud ialah image pelanggan terhadap produk maupun perusahaan. Schiffman dan Kanuk (2007, p.148) menjelaskan bahwa persepsi dapat diartikan sebagai “sebuah proses dimana individu memilih, mengorganisir, dan menginterpretasikan rangsangan kedalam sebuah gambaran yang jelas dan berarti. Persepsi dapat diartikan bagaimana kita melihat dunia sekitar kita”. Sedangkan Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan sebuah proses yang diawali dengan penglihatan konsumen dan perhatian terhadap rangsangan pemasaran dan diakhiri dengan interpretasi konsumen. Dari pengertian persepsi tersebut, persepsi memiliki komponen- komponen yang dinilai secara selektif dan subyektif oleh konsumen. Persepsi memiliki 3 komponen, yaitu penglihatan, perhatian, dan interpretasi. Oleh karena itu, kenyataan dan persepsi konsumen terkadang dapat berbeda, bahkan menjadi sangat berbeda bagi konsumen. Komponen persepsi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Penglihatan (exposure), terjadi ketika ada sebuah rangsangan dalam diri seseorang yang datang melalui sensor penglihatan. Dari komponen inilah, timbul kesempatan bagi retailer untuk mendapatkan perhatian dari konsumen. Sebagian besar penglihatan merupakan pilihan pribadi setiap individu. b. Perhatian (attention), komponen ini terjadi ketika aktivitas rangsangan diterima oleh sensor penglihatan dan menghasilkan sensasi untuk diproses di otak. Individu yang sama mungkin akan mempunyai tingkat perhatian yang

17 Universitas Kristen Petra

berbeda pada rangsangan yang sama pada situasi yang berbeda. Perhatian ditentukan oleh 3 faktor, yaitu rangsangan, individual, dan situasi. c. Interpretasi, dimana interpretasi merupakan hasil dari rangsangan yang telah diberikan. Beberapa aspek penting dari interpretasi ialah dari interpretasi ialah proses kognitif “pemikiran” dan proses afektif “emosional”. Interpretasi kognitif merupakan sebuah proses dimana rangsangan diletakkan pada kategori akhir dari pengartian. Interpretasi afektif merupakan respon perasaan emosional yang dipicu oleh sebuah rangsangan. Individu tidak selalu menginterpretasikan segala sesuatu dengan pasif, namun juga dengan aktif mengartikan pesan yang didapat berdasarkan kebutuhan, keinginan, pengalaman, dan harapannya. Interpretasi individu dari rangsangan cenderung konsisten dengan apa yang diharapkan, sehingga dampak yang ditimbulkan lebih cenderung pada harapan yang bias atau semu. Sheth dan Mittal (2004) menjelaskan bahwa persepsi dipengaruhi oleh karakteristik pelanggan, dimana pelanggan telah mengetahui dan merasakan rangsangan yang diberikan oleh retailer. Rangsangan tersebut bercampur dengan pengetahuan dan perasaan yang melahirkan pengharapan. Harapan mempengaruhi persepsi, sehingga sering kali yang dilihat oleh orang merupakan sesuatu yang diharapkan untuk dilihat. Prinsip yang mendasari fenomena ini adalah harapan yang bias terhadap persepsi yang nyata. Pengaruh yang dominan atau harapan sebelumnya dalam persepsi yang terjadi pada kondisi tertentu. Pertama ialah ketika rangsangan menjadi interpretasi. Kedua adalah ketika penerima tidak memiliki keahlian untuk mengevaluasi rangsangan secara obyektif.

2.1.5 Customer Expectation Zeithaml, Parasuaraman, dan Berry (1990, p.70), menyatakan bahwa “harapan merupakan kebutuhan atau keinginan dari pelanggan, dimana pelanggan beranggapan bahwa penyedia jasa layanan harus memberikan layanan dari apa yang seharusnya”. Sedangkan Arnould, Price, dan Zinkan (2004) mendefinisikan harapan sebagai antisipasi atau prediksi dari keadaan masa depan. Harapan meliputi prediksi dari penampilan produk pada masa depan dan juga berhubungan dengan harapan, pengertian, ketidakpastian, dan kemungkinan. Dasar harapan

18 Universitas Kristen Petra bagi konsumen adalah produk dan jasa yang dibeli, akan memenuhi keinginan konsumen. Lebih lanjut Levy dan Weitz (2004, p.624) mengemukakan bahwa “harapan pelanggan bisa terjadi berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang diamali oleh pelanggan itu sendiri”. Teori ini sebanding dengan pengertian Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007, p.298) yang menjelaskan bahwa “harapan konsumen merupakan hasil belajar oleh konsumen dan terbentuk secara cepat. Harapan yang telah terbentuk tersebut, akan mempengaruhi berbagai hal dan sulit untuk diubah”. Menurut Omar (1999) customer expectation dapat dibagi kedalam 9 hal, yaitu: a. Harga (price). Secara tradisional, harga berperan sebagai penentu utama dari pilihan pembeli. Banyak pelanggan yang beranggapan bahwa harga identik dengan kualitas suatu barang. b. Kelengkapan produk (variety). Pelanggan cenderung berbelanja pada toko yang sekaligus bisa memenuhi kebutuhanya. c. Keunikan (uniqueness), hal ini bisa berkaitan dengan barang yang dijual maupun keunikan dari sebuah toko. d. Kenyamanan (convenience), yang berkaitan dengan adanya fasilitas yang memadai seperti tempat parkir. Selain itu, kenyamanan juga berhubungan dengan kenyamanan saat berbelanja di dalam toko. e. Dapat dipercaya (reliability), hal ini berkaitan dengan janji retailer terhadap para pelanggan. f. Kualitas dari jasa (service quality), merupakan suatu bentuk jangka panjang yang dievaluasi secara menyeluruh dari performa sebuah toko. g. Value of money, hal ini berkaitan dengan harapan pelanggan terhadap uang yang dikeluarkan sebanding dengan kualitas yang didapatkan. h. Informasi dapat dipercaya (reliable information), terkait dengan harapan pelanggan terhadap informasi yang didapat dapat dipercaya sepenuhnya oleh pelanggan. i. Tempat yang tepat untuk berbelanja (good place to shop), hal ini berkaitan terhadap harapan pelanggan mengenai lokasi sebuah toko yang strategis dan mudah dijangkau.

19 Universitas Kristen Petra

Bhave (2002) menjelaskan bahwa customer expectation dapat diberdakan menjadi 2 jenis, yaitu: a. Expressed customer expectation, merupakan pernyataan harapan pelanggan, dengan persyaratan yang tertulis dalam bentuk kontrak dan disetujui oleh ke- dua belah pihak, misalnya persyaratan spesifikasi dan pengiriman produk. b. Implied customer expectation, merupakan harapan pelanggan secara implisit, tidak tertulis maupun diucapkan. Namun pelanggan tetap mengharapkan retailer akan memenuhi harapan mereka miliki. Bhave (2002) juga menjelaskan bahwa ada banyak alasan yang membuat harapan pelanggan berubah dari waktu ke waktu, contohnya ialah proses perbaikan, munculnya teknologi baru, perubahan dalam prioritas pelanggan, maupun peningkatan kualitas layanan yang diberikan oleh pesaing. Kotler (2003) menjelaskan mengenai evaluasi terhadap kinerja dan harapan pelanggan secara eksplisit melahirkan tiga kriteria, yaitu: a. Apabila kinerja yang diterima pelanggan lebih rendah dari yang diharapkan, maka pelanggan akan merasa tidak puas. b. Apabila kinerja yang diterima pelanggan sesuai dengan yang diharapkan, maka pelanggan akan merasa puas. c. Apabila kinerja yang diterima pelanggan lebih tinggi dari yang diharapkan, maka pelanggan akan merasa sangat puas.

2.1.6 Customer Satisfaction Kotler (1994, p.40) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan “perasaan seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesan yang didapat terhadap hasil kinerja suatu produk dengan yang diharapkan oleh pelanggan”. Selanjutnya, Kotler (2000, p.36) juga menjelaskan bahwa “kepuasan pelanggan merupakan perasaan seseorang mengenai kesenangan atau kekecewaan yang dihasilkan dari membandingkan produk yang diterima (atau hasil) dibandingkan dengan harapan dari pelanggan itu sendiri”. Dunne dan Lusch (2005, p.65-66) menjelaskan bahwa: Kepuasan pelanggan dapat ditentukan dari apakah pengalaman berbelanja secara keseluruhan yang dialami oleh pelanggan bertemu atau melebihi

20 Universitas Kristen Petra

haparan pelanggan. Pembeli yang merasa puas akan terdorong terus untuk terlibat dalam pembelian selanjutnya di masa depan, sedangkan pembeli yang merasa tidak puas akan ragu-ragu atau tidak mau untuk melanjutkan pembeliannya di masa depan. Hal ini dipertegas oleh Schiffman dan Kanuk (2007) yang menyatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan bagian dari persepsi individual terhadap penampilan produk dan jasa yang ditawarkan, dan disesuaikan dengan harapan pelanggan. Kepuasan pelanggan sangat bergantung pada harapan pelanggan itu sendiri. Pelanggan yang pengalamannya jauh dari harapannya, akan merasa tidak puas. Sedangkan pelanggan yang pengalamannya melebihi apa yang diharapkan, akan merasa sangat puas. Teori tersebut didukung oleh Peter dan Olson (2008), jika pelanggan merasa puas dengan produk, service, atau brand, yang ditawarkan, mereka akan terus membeli, dan bahkan memberitahukan orang lain mengenai pengalaman yang telah dialaminya. Sedangkan pelanggan yang tidak puas, maka mereka akan berganti ke produk atau brand yang lain. Tidak hanya itu, mereka juga akan mengeluh kepada produsen, pengecer, dan konsumen lainnya. Zeithaml, Bitner dan Gremler (2006) menjelaskan faktor personal yang dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan, ialah: a. Fitur produk dan layanan, untuk meneliti kepuasan pelanggan, biasanya retailer akan menentukan beberapa fitur dan atribut dalam pelayanan mereka, yang selanjutnya akan mengukur persepsi dan kepuasan dan layanan secara keseluruhan yang diberikan oleh retailer. b. Emosi pelanggan, emosi juga dapat ditentukan oleh pengalaman saat konsumsi itu sendiri, emosi dipengaruhi oleh kepuasan pelanggan dengan layanan yang diberikan. c. Atribut keberhasilan dan kegagalan pelanggan. Atribut sebab-akibat peristiwa dianggap dapat mempengaruhi persepsi kepuasan pelanggan. Ketika pelanggan mendapatkan pelayanan yang baik atau bahkan sangat baik dari yang diharapkan, dan sebaliknya jika pelanggan mendapatkan pelayanan yang buruk, atau bahkan sangat buruk, maka pelanggan cenderung akan mencari sebuah alasan, dan hasil dari penilaian yang dimiliki akan mempengaruhi kepuasan pelanggan tersebut.

21 Universitas Kristen Petra d. Persepsi ekuitas atau keadilan. Kepuasan pada penyedia layanan serta kegagalan pada penyedia layanan ditentukan oleh persepsi perlakuan yang adil yang dirasakan oleh pelanggan. e. Customer lainnya, anggota keluarga serta kolega. Selain karakteristik produk, layanan, perasaan individu, keyakinan, dan kepuasan pelanggan sering dipengaruhi juga oleh orang lain.

2.1.7 Store Satisfaction Oliver (1997, p.13) mendefinisikan kepuasan sebagai ‘‘the consumer’s fulfillment response. It is a judgment that a product or service feature, or the product or service itself, provided (or is providing) a pleasurable level of consumption-related fulfillment, including levels of under- or over-fulfillment’’. Dimaksudkan bahwa, tingkat kepuasan merupakan respon pemenuhan yang dimiliki oleh konsumen, respon ini dapat dilihat dari konsumsi terhadap barang dan jasa, apakah respon tersebut terpenuhi atau tidak. Kepuasan konsumen terhadap toko dianggap dapat menghasilkan store loyalty. Selanjutnya Bloemer dan Ruyter (1998, p.501) mendefiniskan kepuasan dalam bidang retail sebagai "the outcome of the subjective evaluation that the chosen alternative (the store) meets or exceeds expectations." Jadi kepuasan terjadi ketika bertemu atau melebihi apa yang diharapkan. Kepuasan merupakan sebuah evaluasi emosional (Hunt, 1997). Teori sejenis juga dikemukakan oleh Giese dan Cote (2000) yang menyatakan bahwa kepuasan sebagai sebuah rangkuman respon dari berbagai macam intensitas, dengan sebuah spesifik waktu dari penentuan dan durasi yang terbatas, diarahkan pada aspek akuisisi produk dan/atau konsumsi. Ketika tingkat kepuasan pelanggan terhadap toko ditentukan dari apakah yang diharapkan pelanggan bertemu atau bahkan melebihi fakta yang dijumpai di toko, maka kepuasan pelanggan terhadap toko bisa dibandingkan dengan retail attributes. Suliyanto (2005) menjelaskan bahwa retail attributes dapat dibagi menjadi dua. Dalam arti sempit, atribut merupakan keseluruhan karakteristik yang melekat pada produk. Sedangkan dalam arti luas, atribut merupakan keseluruhan faktor yang dipertimbangkan konsumen untuk membeli suatu produk. Berdasarkan pengertian tersebut, retail attributes dapat didefinisikan sebagai sifat-

22 Universitas Kristen Petra sifat atau karakter dasar yang melekat pada sebuah retail. Hal ini terbukti dalam penelitian yang dilakukan oleh Bridson, Evans, dan Hickmans (2008) yang menjelaskan bahwa kepuasan konsumen terhadap toko atau pengecer, dapat dinilai dari 4 dimensi, yaitu produk yang dijual (the store’s merchandise), trading format, customer service, dan customer communication. Merchandise berhubungan dengan ketersediaan, kualitas dan harga dari produk yang dibawa. Sedangkan trading format menitikberatkan pada aspek lokasi, layout dan atmosphere. Customer service meliputi tingkat pelayanan yang disediakan oleh retailer, kecepatan pelayanan dan keramahan staff. Kemudian customer communication, meliputi cara komunikasi retailer kepada konsumen untuk mempromosikan apa yang dimiliki melalui berbagai media, diantaranya ialah iklan dan katalog. Ke-4 aspek tersebut dapat dimanipulasi oleh retailer untuk memposisikan dirinya dalam pangsa pasar.

2.1.7.1 Merchandise Kotler (1997, p. 54) menjelaskan bahwa “barang dapat didefinisikan sebagai produk berwujud fisik (tangible) sehingga dapat dilihat, diraba/disentuh, dipegang, disimpan, dipindahkan, dan perlakuan fisik lainnya. Produk mempunyai beberapa komponen, yaitu keanekaragaman, kualitas, desain, bentuk, merek, kemasan, ukuran, pelayanan, jaminan, dan pengembalian”. Lebih lanjut dijelaskan oleh Levy dan Wietz (2004) dalam bukunya bahwa merchandise terdiri dari variety dan assortment. Variety (varietas) merupakan jumlah kategori barang datangan yang ditawarkan oleh retailer, menunjukkan luas suatu merchandise yang dimiliki oleh retailer, dan juga merupakan banyaknya perbedaan dalam kategori merchandise di dalam sebuah toko maupun department. Sedangkan assortment (keanekaragaman) merupakan jumlah item yang berbeda dalam kategori dagangan. Setiap item merchandise yang berbeda, disebut juga dengan stock keeping unit (SKU). Assortment mengacu pada kedalaman dari merchandise dan juga merupakan jumlah SKU dari setiap kategori. Gilbert (2003) menjelaskan beberapa faktor yang perlu diperhatian dalam memilih produk yang hendak dijual, diantaranya ialah:

23 Universitas Kristen Petra a. Variety, yaitu kelengkapan produk yang dijual, dimana kelengkapan produk ini dapat mempengaruhi pertimbangan pelanggan dalam memilih suatu retailer. b. Width atau breath, yaitu kelengkapan produk-produk pelengakap dari produk utama yang ditawarkan. c. Depth, merupakan macam dan jenis karakteristik dari suatu produk. d. Consistency, merupakan produk yang telah menjadi pilihan pelanggan, dan haarus dijaga keberadaannya dengan menjaga kelengkapan, kualitas, dan harga produk tersebut. e. Balance, hal ini berkaitan dengan usaha untuk menyesuaikan jenis dan macam produk yang dijual dengan target market yang dimiliki. Secara singkat dalam penelitiannya, Bridson, Evans, dan Hickman (2008) menjelaskan bahwa merchandise, dapat dijelaskan dari beberapa aspek diantaranya ialah ketersediaan barang, harga, serta kualitas yang ditawarkan oleh retailer. Aspek-aspek tersebut merupakan unsur-unsur dalam pembentukan kepuasan pelanggan terhadap toko. Sebagai tambahan, Levy dan Weitz (2009) menjelaskan bahwa retaler harus pandai menciptakan bauran produk yang tepat untuk menarik kebutuhan konsumen, selain itu retailer juga harus mempunyai respon yang cepat dan tepat ketika produk yang dipasaran harus ditukar atau diperbaharui. Sulit bagi retailer untuk meningkatkan competitive advantage melalui merchandise karena banyak pesaing dapat membeli dan menjual brand yang sama. Namun banyak retailer yang menyadari keberlangsungan competitive advantage dengan mengembangkan brand milik sendiri, dimana produk yang dikembangkan dan yang dipasarkan oleh retailer hanya tersedia dari retailer itu saja. Dunne dan Lusch (2005) menjelaskan mengenai merchandising yang merupakan bisnis dari hari ke hari bagi semua retailers. Jika inventory terjual, stock baru dibutuhkan untuk dibeli, didisplay, dan dengan tujuan agar terjual lagi. Jadi inventory yang dimiliki terus berkembang, sehingga retailer akan mempunyai uang untuk diinvestasikan di dalam inventory lagi, dan penjualan bisa terus berlangsung. Lain halnya jika seorang retailer yang sering out of stock, mereka akan dengan cepat kehilangan pelanggannya. Agar retailer tetap mempunyai stock

24 Universitas Kristen Petra terhadap inventory. Retailer harus memperkirakan waktu yang dibutuhkan dari membeli, pengiriman, hingga pencatatan inventory di dalam perusahaan. Hal ini ditujukan untuk mengurangi retailer kekurangan stock akan inventory. Hal lain yang perlu dipikirkan ialah, berapa banyak inventory yang harus dibeli oleh retailer disesuaikan juga dengan biaya dan keuntungan yang didapat. a. Stock Range Perencanaan terhadap ketersediaan merchandise merupakan sebuah proses yang dinamis dan bergantung pada perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh karena itu perlu adanya penggolongan terhadap merchandise dengan tujuan untuk memudahkan retailer dalam mengatur stock. Penggolongan terhadap merchandise memiliki tiga dimensi, yaitu variasi, breadth, dan depth. Variasi dari merchandise mengacu pada jumlah dari line yang berbeda yang disimpan retailer di dalam toko. Sebagai contoh, department store mempunyai sebuah variasi yang besar dari merchandise lines. Beberapa mempunyai lebih dari 100 bagian yang membawahi pakaian lelaki, pakaian wanita, pakaian anak-anak, pakaian bayi, mainan, alat-alat olahraga, perkakas, kosmetik, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Breadth, atau disebut juga assortment, mengacu pada jumlah dari merchandise brands yang ditemukan dalam merchandise line. Sebagai contoh, sebuah supermarket akan mempunyai keanekaragaman yang luas, dengan jumlah yang berbeda, sebagai contoh ditemukan mustard yang mempunyai enam hingga tujuh brand pada satu supermarket. Sedangkan kedalaman merchandise mengacu pada jumlah rata-rata dari stock-keeping units dengan setiap brand dari merchandise line. Sebagai contoh, supermarket’s manager harus dapat memutuskan ukuran dan tipe french’s mustard apa yang dapat dibawa. (Dunne & Lusch, 2005). b. Harga Harga merupakan nilai moneter yang diberikan oleh penjual terhadap sesuatu yang dibeli, dijual atau ditawarkan untuk dijual, dan dalam transaksi yang dilakukan oleh pembeli, atas keinginan mereka untuk membayar keuntungan yang didapat dari produk dan saluran layanan yang diberikan. Bagi pelanggan membeli barang atau jasa merupakan kompleksitas dari emosional dan keuntungan fungsional yang berada dari barang dan jasa tersebut. Hal ini berarti bahwa nilai harga adalah sebuah set persepsi yang kompleks. (Gilbert, 2003). Dengan

25 Universitas Kristen Petra meningkatnya persaingan antara penyedia jasa leisure, pelanggan yang loyal dianggap kurang sensitif terhadap tingginya atau meningkatnya harga (Alegre dan Juaneda, 2006). Dalam hal menentukan keputusan pembelian sebuah produk, seorang pelanggan harus mempunyai keinginan untuk menyerahkan atau menukarkan sesuatu untuk menikmati kepuasan dari keuntungan dari produk yang diterima. Sebagian besar konsumen, mencari nilai ketika membeli sebuah produk dan nilai yang diterima dari fungsi kualitas dan harga, sama dengan nilai tambah dari image atau brand. (Gilbert, 2003). Menurut Gilbert (2003) ada beberapa faktor yang mempengaruhi sensitivitas harga. Faktor pertama ialah perceived substitutes effect dimana pembeli akan lebih sensitif jika harga yang ditawarkan terlalu tinggi, sehingga mereka akan mencari produk subtitusi yang bisa dibeli. Kemudian ialah unique value effect, dimana pembeli kurang sensitif terhadap, jika dilihat dari keunikan produk yang ditawarkan. Selanjutnya ialah importance of purchase effect, hal ini terjadi jika resiko dari pembelian meningkat, maka harga bukanlah aspek utama yang dilihat dalam pembelian. Terjadi pada benda-benda yang penting, contohnya obat. Semakin penting suatu produk, semakin rendah price sensitive terhadap pembelian produk tersebut. Faktor selanjutnya ialah price quality effect, dimana harga yang tinggi mungkin menunjukkan bahwa suatu produk mempunyai kualitas yang sangat baik, sehingga harga menjadi kurang sensitif. Kemudian ada expenditure effect dan fairness and transparency effect, dimana pembeli yang mempunyai banyak pengeluaran akan lebih sensitif terhadap harga, dan pembeli mempercayai bahwa harga produk dipasaran akan mudah jatuh, mereka akan menjadi lebih sensitif terhadap harga. Levy dan Weitz (2009) menjelaskan adanya dua strategi harga yang umumnya dipakai oleh retailer, yaitu: a. High/low pricing, hal ini biasanya terjadi pada fashion retailer yang menurunkan pada setiap akhir musim, dan juga grocery serta drug store yang akan memberikan harga rendah jika mereka mendapatkan harga khusus dari vendor, ataupun memiliki stock yang berlebih. b. Everyday low pricing, strategi ini menekankan pada kontinuitas dari harga retail pada suatu tingkatan antara harga non-sale dan harga jual dengan

26 Universitas Kristen Petra

discount dari pesaing. Meskipun menggunakan strategi ini dengan tujuan untuk mengupayakan harga terendah, namun retailer tidak selalu menjadi harga terendah di pasaran.

2.1.7.2 Trading Format Levy dan Weitz (2009, p. 227) menjelaskan bahwa “trade area merupakan sebuah area grafis yang menentukan besar penjualan dan pelanggan yang hadir”. Bridson, Evans, dan Hickman (2008) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa trading format meliputi lokasi, layout, serta store satisfaction. Dimana indikator- indikator ini secara tidak langsung dinilai juga oleh konsumen saat berbelanja. Sedangkan, Olsen dan Skallerud (2011) menjelaskan bahwa retail attributes terdiri dari beberapa aspek, diantaranya ialah physical aspects dan accessibility. Dapat dijelaskan bahwa physical aspect meliputi layout dari sebuah retail, yang ditujukan untuk memberikan kenyamanan bagi pengunjung retail tersebut, dan pada akhirnya memberikan pengaruh kepada keinginan berbelanja pengunjung pada retail tersebut. Sedangkan accessibility tidak hanya membahas mengenai faktor lokasi dari sebuah retail, melainkan juga meliputi jam operasional dari retail tersebut, sehingga membuat pengunjung merasa nyaman untuk mengunjungi retail tersebut. Penelitian lain yang diadakan oleh Chiu-Han dan Ha (2011) menjelaskan bahwa salah satu department store attributes yang berhubungan dengan trading format ialah store atmosphere. Store atmosphere meliputi lingkungan di dalam department store yang digambarkan dari gabungan antara layout, visual displays, warna, pencahayaan, dan suara yang menciptakan image dari department store di benak pengunjung. a. Lokasi “Lokasi merupakan salah satu faktor yang kritikal bagi pelanggan dalam memilih toko. Keuntungan yang dimiliki dari sisi lokasi ialah tidak mudah untuk diduplikat oleh pesaing” (Levy dan Weitz, 2009, p.140). Semakin dekat sebuah toko dengan pesaing, dengan merchandise dan customer service yang hampir sama, semakin kecil fleksibilitas harga yang dimiliki oleh retailer. Selain itu, jarak antara toko dan pelanggan juga merupakan hal yang penting. Jika retailer ingin menarik pelanggan dari lokasi yang jauh, hal tersebut akan meningkatkan

27 Universitas Kristen Petra usaha promosi atau harus mempunyai harga yang rendah terhadap merchandise. Hal ini karena bisa terjadi peningkatan travel costs terhadap pelanggan yang mempunyai lokasi yang jauh dari toko (Dunne & Lusch, 2005). Peter dan Olson (2008, p.474-475) menjelaskan bahwa: Lokasi yang mudah akses, dapat dengan mudah mendatangkan sejumlah besar konsumen, dan secara signifikan dapat mengubah pola berbelanja dan pembelian konsumen. Penentuan lokasi sebuah toko dapat memberikan jaminan keuangan dalam jangka panjang, dan perubahan terhadap lokasi yang buruk akan menyusah dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit bagi retailer. Selain itu, Gilbert (2003, p.113) juga menjelaskan bahwa “the place is based on the retaier’s activity in supplying a channel service.” Dimana lokasi merupakan struktur fisik dari sebuah toko yang merupakan komponen utama yang terlihat dalam membentuk kesan sebuah toko. Fasilitas fisik mempunyai peranan yang sangat penting untuk memposisikan toko dalam benak konsumen. Sebagai contoh, sebuah toko yang ingin memposisikan dirinya sebagai toko berskala atas akan menggunakan tampilan yang mewah dan canggih untuk menarik minat konsumen agar datang ke toko dan melakukan pembelian. Levy dan Weitz (2004) menjelaskan bahwa aksesibilitas dari sebuah lokasi merupakan kemudahan bagi pelanggan untuk dapat keluar dan masuk. Analisa stabilitas memiliki dua tahap, yaitu: a. Analisa makro, dimana untuk menilai aksesibilitas di tingkat makro, retailer dapat mengevaluasi dari beberapa faktor, yaitu pola jalan, kondisi jalan, serta hambatan yang ada. b. Analisa mikro, analisa ini berfokus pada lingkungan di sekitar lokasi, seperti visibilitas, arus lalu lintas, serta akses keluar dan masuk. Ada empat tipe dasar dari retail berdasarkan lokasinya. Pertama ialah business districts, atau lebih dikenal sebagai sekumpulan tempat untuk berbisnis. Selanjutnya ialah shopping center atau mall. Sebuah shopping center atau mall, diatur dan dimiliki secara terpusat, memiliki beberapa tenant, dan menyediakan fasilitas seperti tempat parkir. Shopping center juga memiliki satu atau lebih anchor tenants, yaitu toko-toko berskala besar yang diharapkan dapat

28 Universitas Kristen Petra mendatangkan banyak pelanggan. Contoh dari anchor tenant yang banyak mendominasi di sebuah shopping center ialah department store, namun tidak menutup kemungkinan tenant lain yang mempunyai daya tarik yang besar bagi konsumen untuk menjadi anchor tenant. Selain itu shopping center juga didominasi oleh tenant-tenant yang berukuran kecil, tidak sebesar anchor tenant dari segi ukuran. Tipe retail berdasarkan lokasi yang ke-3 ialah freestanding retailer, yang biasanya terletak pada daerah yang ramai lalu lintas tanpa ada pesaing lainnya. Tipe retail yang terakhir berada pada nontraditional locations. Retailer yang berada pada lokasi ini biasa menyediakan kenyamanan yang tinggi bagi konsumennya. Contohnya saja di airport, rumah sakit, dan kantin sekolah. Wisatawan bisa menghabiskan waktu yang lama untuk berbelanja di airport (Dunne & Lusch, 2005). b. Layout Levy dan Weitz (2009) menjelaskan suatu metode yang mengarahkan pengunjung untuk mengeksplor bagian-bagian toko, ialah dengan adanya layout, dimana dapat mengarahkan arus gerak pengunjung. Secara umum, ada 3 tipe store layout yang dapat digunakan oleh retailer, yaitu grid layout, racetrack layout, dan free-form layout. Namun, Dunne dan Lusch (2005) menjelaskan perkembangan layout, yaitu gabungan dari ke-3 store layout tersebut, yang disebut dengan spine layout.  Grid layout, dimana memiliki lorong parallel, dan merchandise diletakkan diatas rak pada kedua sisi lorong. Sedangkan kasir terletak pada pintu masuk atau pintu keluar toko.  Racetrack layout, dikenal juga sebagai loop, dimana lorong dibuat berbentuk melingkar, sehingga membawa pengunjung mengelilingi setiap bagian di dalam toko. Tujuan dari racetrack layout adalah memudahkan pengunjung untuk melihat merchandise yang dipamerkan dan meningkatkan keinginan untuk membeli. Pengunjung dapat melihat beberapa sisi sekaligus dalam racetrack layout ini.  Free-form layout dikenal juga sebagai boutique layout. Memiliki tata letak barang dan lorong yang dibuat dengan bentuk asimetris. Hal ini menunjang intimasi dan rasa relax terhadap fasilitas saat berbelanja serta

29 Universitas Kristen Petra

memudahkan mencari barang yang diingini. Tata letak ini biasanya digunakan pada speciality stores yang kecil atau juga digunakan di department store yang besar.  Spine layout yang secara esensial mengandung keuntungan dari ke-3 layout sebelumnya. Spine layout berbasis satu lorong utama dari depan hingga belakang toko, yang memungkinkan pelanggan mengelilinginya dari 2 arah. c. Store Atmosphere Kotler (1974) mendefinisikan store atmosphere sebagai sebuah kualitas yang ditunjukkan oleh lokasi sekitar. Store atmosphere dianggap penting karena dapat mempengaruhi respon keinginan affective pelanggan dan tujuan untuk mencapai kemungkinan berbelanja. Selanjutnya, pendapat Kolter, Donovan dan Rossiter (1982) yang dijelaskan Peter dan Olson (2008, p.471) dalam bukunya, beranggapan bahwa “faktor kondisi fisik di dalam toko seperti, layout, arsitektur, dll, serta pengaruh sosial, seperti tipe dan perilaku manusia, dapat berdampak pada persepsi perilaku dari pelanggan pada lingkungan retail”. Mereka menjelaskan bahwa store atmosphere dapat mempengaruhi keadaan emosional konsumen saat berbelanja, dan hal ini tidak sepenuhnya disadari oleh konsumen. Dampak store atmosphere terhadap perilaku berbelanja merupakan sebuah tingkat emosional yang sulit diungkapkan oleh konsumen, mudah berubah, dan dipengaruhi perilaku-perilaku saat berada di dalam toko. Selanjutnya Peter dan Olson (2008, p.473) mengungkapkan bahwa: Kesenangan dan gairah yang ditimbulkan oleh store atmosphere dapat mempengaruhi kenyamanan konsumen saat berbelanja di dalam toko, menghabiskan waktu untuk menjelajahi apa yang ditawarkan oleh toko, kemauan untuk berbicara dengan sales person, kemauan untuk mengeluar uang lebih banyak daripada apa yang direncanakan di awal, dan kemauan untuk kembali ke toko. Levy & Weitz (2009) dan Dunne & Lusch (2005) menjelaskan bahwa store atmosphere dapat dipengaruhi oleh store design, dimana store design ini dapat menimbulkan ambiance, ambiance merupakan perasaan secara keseluruhan atau mood yang timbul dari penampilan aesthetic store terhadap rangsangan

30 Universitas Kristen Petra manusia. Beberapa unsur yang dapat mempengaruhi ambiance ialah storefront design, interior design, cahaya, dan suara dan wewangian. Storefront design harus dengan jelas menunjukkan nama toko dan menjelaskan sedikit apa yang dijual oleh toko. Selain itu, store front design harus mudah dilihat dan diingat oleh pengunjung yang melewati toko. Ketika pengunjung tersebut sudah memasuki toko, interior design juga harus diperhatian, seperti penggunaan bahan, bentuk, serta pemilihan warnanya. Contohnya saja, toko yang menjual pakaian atau kelengkapan untuk anak-anak, sebaiknya diberi warna-warna cerah, serta peletakkan barang tidak terlalu tinggi karena harus menyesuaikan dengan tinggi anak kecil. Penggunaan warna yang kreatif dapat meningkatkan store image dan menciptakan mood. Beberapa contoh, seperti warm color dapat menarik daya tarik pelanggan, namun warm color yang berlebihan dapat menciptakan kesan tidak nyaman, dan bahkan mengganggu. Sedangkan cool color, dapat menciptakan kesan relax, damai, dan nyaman. Bahan dan bentuk yang digunakan di dalam toko juga sebaiknya merupakan bahan yang aman bagi anak-anak yang aktif bergerak. Kemudian, perlu diperhatikan juga dari sisi pencahayaan yang diberikan, hal ini juga dianggap penting karena pencahayaan yang benar dapat meningkatkan daya tarik terhadap merchandise yang dipamerkan, sehingga diharapkan dapat mempengaruhi daya tarik pengunjung toko. Selain itu, untuk menciptakan ambience yang baik, retailer juga sebaiknya memperhatikan penggunakan musik yang diputarkan di dalam toko. Secara tidak langsung, musik yang dimainkan di dalam toko, dapat mempengaruhi perasaan dari pengunjung. Volume dan tempo yang berbeda-beda yang diciptakan oleh musik dapat menciptakan mood yang berbeda juga bagi pengunjung. Pemilihan jenis musik juga harus disesuaikan dengan apa yang dijual. Selanjutnya ialah aroma yang dapat mempunyai dampak besar terhadap emosi pengunjung. Retailer harus selektif dalam memilih aroma bagi tokonya. Ada beberapa toko, yang memberikan wewangian khusus, yang menandakan ciri khas dari toko tersebut.

31 Universitas Kristen Petra

2.1.7.3 Customer Service Grönroos (2000, p.46) mendefinisikan service sebagai, "A process consisting of a series of more or less intangible activities that normally, but not necessarily always, take place in interactions between the customer and service employees and/or physical resources or goods and/or systems of the service provider, which are provided as solutions to customer problems". Definisi ini menegaskan bahwa service merupakan proses dimana interaksi antara konsumen dan penyedia jasa masih ada. Oleh karena itu, dalam konteks jasa, hampir selalu ada hubungan antara konsumen dengan penyedia jasa. Dunne dan Lusch (2005, p.408) menjelaskan bahwa customer services merupakan “aktivitas yang dibentuk oleh retailer untuk mempengaruhi arus dari pelanggan yang potensial untuk berbelanja dan mempelajari apa yang tawarkan oleh toko, dan kemudian melakukan transaksi pembelian, dan kemudian menunjukkan apakah pelanggan puas atau tidak dengan produk yang telah dibeli”. Jadi, customer service mempunyai pengaruh pada saat pretansaction, transaction, dan posttransaction. Retailer harus membangun customer service saat pretansaction, transaction, dan posttransaction dengan tujuan menciptakan keunggulan bersaingan. Retailer yang dapat membangun sebuah keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dengan memberikan pelayanan yang terbaik secara terus menerus terhadap pelanggan, akan menciptakan service reputation. Memberikan pelayanan yang baik secara terus menerus merupakan hal yang yang tidak mudah dilakukan oleh retailer. Hal ini dikarena customer service dilakukan yang oleh manusia, akan dapat berubah dari waktu ke waktu. Jika dibandingkan dengan mesin, manusia tidak konsisten seperti mesin yang dapat melakukan hal yang sama dari waktu ke waktu. Membutuhkan waktu dan usaha untuk membangun sebuah tradisi dan reputasi terhadap pelayanan bagi pelanggan, namun pelayanan yang baik merupakan aset strategi yang berharga. Hal tersebut seterusnya akan menguntungkan untuk jangka panjang karena susah bagi lawan usaha untuk menyamai reputasi yang sudah dibangun oleh retailer (Levy & Weitz, 2009). Customer service dipercaya sebagai layanan yang diberikan oleh retailer yang berfungsi sebagai standar atau titik acuan pembanding terhadap kinerja yang dinilai. Pelanggan akan membandingkan persepsi yang dimiliki terhadap kinerja,

32 Universitas Kristen Petra oleh karena itu pengetahuan mendalam mengenai harapan yang dimiliki oleh pelanggan sangat penting untuk menciptakan customer service yang baik. Mengetahui apa yang diinginkan oleh pelanggan adalah langkah pertama dan penting dalam memberikan pelayanan yang berkualitas. Dalam definisi yang luas, layanan merupakan semua kegiatan ekonomi yang mana output bukan merupakan produk fisik atau konstruksi, umumnya dikonsumsi saat diproduksi, dan memberikan nilai tambah dalam bentuk kenyamanan, hiburan, ketepatan waktu, keamanan, atau kesehatan, yang pada dasarnya tidak berwujud pada saat pembelian (Zeithaml, Bitner, dan Gremler, 2006). Sullivan dan Adcock (2002) menjelaskan ada lima aspek utama dalam customer service: a. Reliability, yaitu kemampuan untuk dapat dipercaya dan memiliki keakuratan. b. Responsiveness, yaitu kemauan untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. c. Assurance, yaitu pengetahuan dan kredibilitas dari pramuniaga. d. Emphaty, meliputi kepedulian, kesopnan, dan keramah-tamahan. e. Tangible aspect of service, meliputi penampilan fisik yang baik.

2.1.7.4 Customer Communication Schiffman dan Kanuk (2007) menjelaskan bahwa program komunikasi ditujukan untuk memberikan informasi kepada pelanggan mengenai retailer sebagaimana barang dan jasa yang ditawarkan dan program komunikasi ini memegang peranan dalam pengembangan kedatangan kembali pengunjung dan loyalitas pelanggan. Komunikasi sendiri dapat diartikan sebagai transmisi sebuah pesan dari sender kepada receiver dengan menggunakan sebuah media dari transmisi tersebut. Berbicara mengenai customer communication, terlebih dahulu akan dibahas mengenai komponen dari komunikasi itu sendiri. Komunikasi memiliki 4 komponen, yaitu sender, receiver, medium, message. Sebagai tambahannya, ada kompenen ke-5 yang esensial dari komunikasi, yaitu feedback, yang memberi peringatan kepada pengirim pesan apakah disampaikan yang dikirimkan sudah diterima atau tidak.

33 Universitas Kristen Petra a. Pengirim pesan (sender) berperan sebagi pemulai inisiatif dalam komunikasi, dapat berbentuk formal maupun tidak formal. Komunikasi formal bisa dari perusahaan maupun organisasi. Sedangkan komunikasi tidak formal berada dari keluarga maupun teman. b. Penerima pesan (receiver). Penerima pesan di bagi menjadi 2, yaitu intermediary dan unintended. Intermediary audience merupakan perantara pesan seperti wholesalers, distributor, dan retailers, yang menerima trade advertising dari desain pemasaran untuk mempengaruhi konsumen akhir. Sedangkan unintended audiences meliputi siapa saja yang tidak menjadi target penerima pesan oleh pengirim pesan. c. Media komunikasi (medium), dapat dibedakan menjadi impersonal atau interpersonal. Lebih jelas lagi dijelaskan oleh Levy dan Weitz (2009, p.441) bahwa metode komunikasi yang digunakan retailer terhadap pelanggan, diklasifikasikan baik berdasarkan impersonal atau personal dan paid atau unpaid. d. Pesan (message) yang disampaikan saat berkomunikasi dapat berbentuk verbal (spoken dan written) dan non-verbal (photograph, illustration, symbol), ataupun kombinasi dari ke-2nya. Pesan verbal, baik spoken maupun tertulis biasanya berisi lebih spesifik mengenai informasi produk atau jas daripada pesan non-verbal. Namun, kombinasi ke-2nya dapat menghasilkan pesan yang lebih persuasif bagi penerima pesan. Levy dan Weitz (2009) mengklasifikasikan metode komunikasi yang digunakan oleh retailer sebagai berikut: a. Paid personal communication, terdiri dari:  Advertising adalah benuk dari paid communication yang menggunakan impersonal mass media seperti koran, TV, radio, e-mail, dan internet. “Advertising meliputi semua bentuk presentasi non-personal, dan promosi ide, barang, atau jasa dengan menggunakan sponsor yang ditunjuk” (Kotler, 1997, p. 604).  Sales promotions menawarkan nilai lebih dan insentif bagi pelanggan untuk mengunjungi toko atau membeli barang selama periode tertentu. Sales promotions terdiri dari contests yang merupakan promotional game

34 Universitas Kristen Petra

of chance dan kupon yang menawarkan diskon harga untuk produk tertentu ketika pelanggan membeli di toko tersebut. “Sales promotion merupakan insentif jangka pendek untuk mendorong keinginan mencoba atau pembelian produk dan jasa, misalnya melalui demostrasi produk” (Kotler, 1997, p. 604).  Store atmosphere merupakan kombinasi dan karakteristik fisik toko, seperti arsitektur, tata letak, tanda dan pajangan, warna, pencahayaan, udara, bunyi, dan aroma yang dapat secara bersama-sama membentuk citra di benak pelanggan.  Website, retailer dapat menggunakan website untuk membangun pencitraan pada merek, menginformasikan kepada pelanggan mengenai lokasi toko, acara spesial, ketersediaan barang di toko, dan untuk menjual barang dan jasa yang dimiliki. b. Paid personal communication, terdiri dari:  Personal selling adalah suatu proses komunikasi dimana pramuniaga membantu pelanggan untuk memenuhi kebutuhan mereka melalui pertukaran informasi saat bertemu. “Personal selling merupakan interaksi langsung antara satu atau lebih calon pembeli dengan tujuan melakukan penjualan” (Kotler, 1997, p. 604).  E-mail merupakan alat komunikasi untuk mengirim pesan di internet. Retailer dapat menggunakan e-mail untuk menginformasikan kepada pelanggan mengenai produk baru, konfirmasi penerimaan pesanan, dan dapat juga berfungsi sebagai pemberi informasi bahwa pesanan yang diinginkan telah dikirim. c. Unpaid impersonal communication, terdiri dari:  Publicity, merupakan bentuk komunikasi melalui unpaid presentations mengenai retailer, biasanya mengenai news story di impersonal media. “Public relations dan publicity yaitu berbagai program yang dirancang untuk mempromosikan dan/atau melindungi citra perusahaan atau produk individual yang dihasilkan” (Kotler, 1997, p. 604). d. Unpaid personal communication, terdiri dari:

35 Universitas Kristen Petra

 Word-of-mouth, merupakan metode komunikasi retailer kepada pelanggannya tanpa adanya biaya yang dikeluarkan.

2.1.8 Customer Loyalty Levy dan Weitz (2009, p.306) mendeskripsikan loyalitas pelanggan sebagai “pelanggan yang berkomitmen untuk membeli barang dan jasa dari penjual (retailer)”. Dwyer et al., (1987) menyatakan bahwa komitmen dilihat sebagai sebuah janji secara implisit maupun eksplisit yang berkelanjutan antara relasi partner. Hal tersebut dipertegas oleh Morgan dan Hunt (1994) yang mendefinisikan komitmen sebagai keinginan abadi dari pihak-pihak yang bersangkutan untuk terus melanjutkan hubungan dimana pelanggan akan mempunyai keinginan untuk berusaha mempertahankan hal tersebut. Loyalitas lebih dari sekedar menyukai satu atau lebih penjual. Loyalitas juga dapat diartikan bahwa pelanggan enggan untuk membeli produk yang ditawarkan oleh pesaing. Oliver (1997, p. 392) menjelaskan pendekatan yang hampir sama, dimana loyalitas didefinisikan sebagai ‘‘a deeply held commitment to rebuy or repatronize a preferred product or service consistently in the future, despite situational influences and marketing efforts having the potential to cause switching behavior’’. Gilbert (2003, p.195) menjelaskan mengenai loyalitas pelanggan, mengkonsepkan loyalitas sebagai hubungan relatif antara perwujudan sikap (produk/jasa/merek/toko) dan perilaku kepuasan. Hal ini berarti bahwa komponen kognitif, afektif, dan tingkah laku akan berpengaruh pada sikap yang mengacu pada tingkatan loyalitas. Loyalitas memiliki beberapa tingkatan: a. True loyalty, hal ini terjadi dimana single retailer digunakan untuk memuaskan sebuah kebutuhan retail dan retailer. Single retailer ini akan mendominasi perilaku berbelanja pelanggan. b. Latent loyalty, terjadi ketika pelanggan telah merasakan elemen dari loyalitas, namun belum mempunyai keinginan untuk membeli dari retailer tersebut. c. Spurious loyalty, terjadi ketika pelanggan merasakan sedikit perbedaan yang diterima dari antara retailer-retailer yang ada. Dalam hal ini, loyalitas pelanggan ialah bias atau semu, dikenal juga dengan sebutan loyal inertia.

36 Universitas Kristen Petra d. No loyalty atau tidak mempunyai loyalitas, merupakan pelanggan yang berpindah dari retailer ke retailer untuk mendapatkan sedikit keuntungan.

2.1.9 Store Loyalty Knox dan Denison (2000) mendefinisikan store loyalty sebagai kecenderungan konsumen untuk berlangganan pada toko tertentu atau jaringan- jaringan dari toko tersebut dari waktu ke waktu. Store loyalty juga dapat didefinisikan sebagai respon perilaku konsumen yang bias, diekspresikan dari waktu ke waktu, oleh beberapa keputusan, dimana mempunyai fungsi psychological terhadap pembuatan keputusan dan proses hasil evaluasi yang menghasilkan komitmen terhadap toko. Day (1969) mendefinisikan loyalitas sebagai sebuah dimensi yang mengandung komponen perilaku dan sikap. Hal yang sama dikemukakan oleh Caruana (2002, p.813) yang menjelaskan bahwa “loyalitas mengandung dua dimensi, yaitu sikap (attitude) dan perilaku (behavior). Dimensi behavior dari loyalitas dapat diukur dari proporsi pembelian terhadap brand tertentu, sedangkan dimensi attitude dari loyalitas diukur berdasarkan komitmen psychological terhadap target objek”. Teori sejenis dikemukakan Gilbert (2003, p.193) yang mencoba untuk memahami bahwa loyalitas memiliki 2 pendekatan, yaitu dari sisi perilaku dan sikap. Pendekatan loyalitas dalam hal perilaku, biasanya berhubungan dengan banyaknya jumlah pembelian dan pengukuran yang diukur oleh frekuensi pembelian. Pendekatan loyalitas dalam hal sikap, menggabungkan preferensi konsumen dan disposisi terhadap brand untuk menentukan tingkat loyalitas. Hal serupa juga disampaikan oleh Bridson, Evans, dan Hickman (2008, p.366) yang dalam penelitiannya menemukan bahwa “retail store loyalty memiliki komponen sikap terhadap loyalitas yang berhubungan dengan komitmen dan komponen perilaku, yang berhubungan dengan repeat purchase dan positif word-of-mouth”. Marshall (2013) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis utama dari loyalitas yang sering kali diterima secara luas dalam lingkungan akademik, yaitu attitudinal dan behavior loyalty. Behavior loyalty terjadi ketika pelanggan secara berulang kali melakukan pembelian terhadap barang maupun jasa, tanpa berpikir dahulu untuk ke dua kalinya. Beberapa alasan yang mendasari terjadinya behavior loyalty ialah

37 Universitas Kristen Petra karena adanya rutinitas ataupun kenyamanan yang diterima oleh pelanggan saat berbelanja. Attitudinal loyalty terjadi ketika pelanggan mencari toko, perusahaan, atau merek tertentu menjadi pilihannya untuk bertransaksi. Pada dasarnya, konsumen banyak mempercayai informasi yang tidak formal dan / atau sumber dari personal communication untuk membuat keputusan dalam proses pembeliannya. Dalam word-of mouth, sumber (pengirim berita) dari informasi biasanya tidak mendapatkan keuntungan dari si penerima berita (Schiffman & Kanuk 1997). Sullivan dan Adcock, 2002, p.267 menjelaskan bahwa; Retailer harus mengerti bahwa loyalitas pelanggan tidak dapat dibeli, repeat purchaser yang dapat menyebarkan positif word-of-mouth akan sangat menguntungkan bagi retailer. Apalagi jika hal ini berlanjut pada komitmen terhadap loyalitas dimana komitmen merupakan sebuah derajat yang tinggi dari sikap saling menghargai, atau sebuah konteks sikap. Anoraga (2002, p.228) menjelaskan bahwa “minat membeli ulang merupakan suatu proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh konsumen sesudah mengadakan pembelian atas produk yang ditawarkan atau yang dibutuhkan oleh konsumen tersebut”. Sulistina (2001, p. 32) berpendapat bahwa “ketika seorang konsumen memperoleh respon positif atas tindakan masa lalu, dari situ akan terjadi penguatan, dengan dimilikinya pemikiran positif atas apa yang diterimanya memungkinkan individu untuk melakukan pembelian secara berulang”. Peter dan Olson (1993) menjelaskan bahwa konsumen melakukan pembelian ulang karena adanya suatu dorongan dan perilaku pembeli secara berulang yang dapat menumbuhkkan suatu loyalitas terhadap apa yang dirasakan sesuai untuk dirinya. Jadi minat membeli ulang dapat disimpulkan sebagai suatu kecenderungan untuk melakukan pembelian ulang, setelah memperoleh respon atau tindakan masa lalu yang positif. Minat beli ulang adalah kecenderungan pembelian untuk melakukan pembelian di masa mendatang. Meskipun pembelian tersebut belum tentu akan dilakukan pada masa mendatang, namun pengukuran terhadap kecenderungan pembelian umumnya dilakukan guna memaksimumkan prediksi terhadap pembelian aktual itu sendiri.

38 Universitas Kristen Petra

2.1.10 Loyalty Program Dalam merespon persaingan dan permintaan dari pelanggan, sebagian besar retailer mulai menggunakan berbagai cara untuk dapat memenangkan persaingan dan memenuhi permintaan pelanggan. Salah satu cara yang banyak digunakan sekarang ini ialah Customer Relationship Management (CRM). CRM sendiri merupakan gabungan dari sistem informasi yang terintegritas yang mengumpulkan data pelanggan, didukung oleh informasi lainnya yang berhubungan dengan pelanggan, seperti perilaku pembelian. Data pelanggan merupakan tingkatan paling dasar yang bisa didapatkan, meliputi merchandise dan services yang dibeli, lokasi toko, waktu yang diluangkan untuk berbelanja, informasi demografi, dan juga tingkat kepuasan pelanggan, termasuk ketidakpuasan pelanggan (Dunne & Lusch, 2005). Sekarang ini CRM telah dikembangkan dan salah satu hasilnya ialah loyalty program (Bhattacharya, 1998). Mauri (2003) serta Leenherr dan Bijmolt (2008) menyatakan bahwa loyalty program merupakan bagian dari CRM, dan menjadi salah satu strategi yang digunakan retailer untuk dapat meningkatkan pendapatannya. Sharp dan Sharp (1997) mendefinisikan loyalty program sebagai struktur usaha dari pemasaran, yang memberikan penghargaan serta mendorong terciptanya perilaku loyal diantara lingkungan usahanya. Pendapat ini sejalan dengan Capizzi et al. (2004) yang memberikan pengertian bahwa loyalty program merupakan sebuah proses bisnis untuk mengidentifikasi, menjaga dan meningkatkan keuntungan bagi pelanggan melalui hubungan interaktif yang dapat meningkatkan nilai tambah. O’Malley (1998) menyatakan alasan pengembangan loyalty program ditujukan untuk beberapa hal. Hal yang pertama ialah untuk memberikan penghargaan terhadap pelanggan yang loyal. Selanjutnya loyalty program diharapkan dapat memberikan informasi kepada retailer mengenai hal- hal yang berhubungan dengan perilaku berbelanja pelanggan. Loyalty program ada juga untuk memanipulasi perilaku konsumen, sehingga konsumen mempunyai daya tarik lebih untuk berbelanja. Hal terakhir dari terciptanya loyalty program ini ialah sebagai sebuah tindakan pertahanan diri dari skema penyerangan pesaing. (Sullivan & Adcock, 2002).

39 Universitas Kristen Petra

Loyalty program mempunyai peran dalam pengembangan hubungan antara retailer dan pelanggan, serta menstimulasi produk dan jasa yang dipasarkan dan digunakan juga mempertahankan pelanggan. Bridson, Evans, dan Hickman (2008, p.365) mengemukakan bahwa: Ada dua bentuk penghargaan yang diberikan oleh program loyalitas, yaitu berdasarkan keuntungan atau penghargaan ‘hard’ maupun ‘soft’. Hard rewards biasanya merupakan elemen yang berwujud seperti discounts dan hadiah. Sedangkan soft rewards merupakan special communications dan perilaku yang istimewa yang diberikan kepada pelanggan. Ciri dari soft attributes ialah lebih berorientasi pada emosional dan mencoba untuk memberikan sebuah pengenalan atau membuat pelanggan merasa spesial dibandingkan dengan pembeli lainnya. Sedangkan teori lain, dikemukakan oleh Driver dan Johnston (2001) menyatakan bahwa service quality dapat dikategorikan menjadi interpersonal (soft) dan non-interpersonal (hard) attributes. Beberapa atribut yang digolongkan sebagai soft attributes ialah yang bersifat lebih personal atau mempunyai hubungan antara manusia dan interaksi seperti perhatian/pertolongan, kepedulian, saling mengandalkan, dan keramahan. Sedangkan komponen yang meliputi hard attributes ialah kompetensi, fungsionalitas, dan reabilitas.

2.2 Hubungan Antar Konsep 2.2.1 Loyalty Program dan Store Satisfaction Auh (2005) melakukan penelitian mengenai pengaruh soft dan hard attributes terhadap loyalitas, yang dimediasi oleh kepercayaan dari pelanggan. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki dampak dari soft attributes dan hard attributes dalam lingkungan hair care service atau lebih dikenal dengan nama salon. Penelitian dilakukan terhadap 176 pelajar yang dilakukan secara acak di Santa Barbara, United Kingdom. Dalam penelitian ini, hard attributes digambarkan sebagai aspek core, yaitu penampilan dari pelayanan yang diberikan, dalam hal ini berupa kualitas potongan rambut yang diberikan oleh salon. Sedangkan, soft attributes digambarkan sebagai aspek non-core. Soft attributes dapat berdasarkan faktor “human” dan faktor “non-human”. Faktor “human”

40 Universitas Kristen Petra dapat dijelaskan sebagai kualitas yang ditimbulkan dari interaksi antara stylist dengan customer yang dihasilkan dari sebuah percakapan, dan kesamaan dari personality dan selera antara stylist dan customer. Soft attributes juga dapat meliputi faktor “non-human”, yaitu atmosphere dari salon. Hair stylist yang berusaha untuk menunjukkan kepedulian dan perhatian terhadap pelanggannya, dapat memelihara terbentuknya hubungan psychological yang menjadi dasar bagi hubungan yang kuat antara penyedia jasa di salon dengan pelanggannya. Pelanggan yang mendatangi kembali salon yang sama karena terbentuknya percakapan yang baik antara hair stylist dan customer, atau hair stylist yang memiliki selera yang sama dengan customer, sangatlah jarang terjadi. Dalam penelitian ini, faktor pendorong bagi customer untuk mendatangi salon yang sama ialah berdasarkan hasil yang ditampilkan dari potongan rambut dan kepercayaan pelanggan terhadap hair stylist, hal ini bisa terjadi karena harapan dari pelanggan menjadi sebuah kenyataan. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa salon's atmosphere, mempunyai dampak signifikan yang positif terhadap hasil potongan rambut yang melahirkan loyalitas pelanggan terhadap salon. Hal ini membuat pelanggan merasa lebih nyaman terhadap lingkungan sekitar dan suasana yang ditampilkan di dalam toko. Oleh karena itu dalam penelitian ini menemukan bahwa, salon’s atmosphere dapat memberikan evaluasi yang positif terhadap hasil potongan rambut. Penelitian lain dilakukan oleh Bridson, Evans, dan Hickman (2008), yang meneliti mengenai hubungan antara loyalty program, store satisfaction, dan store loyalty di Tesco UK. Penelitian ini menyatakan bahwa hard, soft attributes, dan loyalty program secara keseluruhan ditemukan mempunyai pengaruh signifikan terhadap store satisfaction. Dalam penelitian ini, store satisfaction diteliti berdasarkan merchandise, trading format, customer service, dan customer communication. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa hard attributes, yang diartikan sebagai elemen yang berwujud seperti hadiah dan discount, ditemukan sebagai indikator yang kuat terhadap terbentuknya kepuasan pelanggan terhadap trading format, customer service, dan customer communication. Sedangkan soft attributes, dalam penelitian ini meliputi pelayanan yang eksklusif terhadap program member di Tesco UK, menemukan bahwa terdapat dampak

41 Universitas Kristen Petra yang lebih signifikan terhadap meningkatnya kepuasan pelanggan terhadap toko dibandingkan dengan dampak yang dihasilkan oleh hard attributes. Dalam penelitian ini, soft attributes ditemukan merupakan indikator yang kuat terhadap merchandise. Dampak yang berbeda dari hard dan soft attributes dalam hubungannya terhadap kepuasan dengan elemen dari toko yang selanjutnya memberikan dukungan terhadap pelanggan yang menggunakan ke dua jenis atribut dalam loyalty program yang ingin dibentuk. Ditemukan bahwa, soft attributes di dalam penelitian ini, meliputi letters dan exclusive events yang biasanya menggambarkan perhatian toko terhadap pelanggan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Auh terhadap pelanggan salon di Santa Barbara, UK serta penelitian yang dilakukan oleh Bridson dan kawan- kawan di Tesco UK, menemukan bahwa hard attributes dan soft attributes, yang diindikasikan sebagai loyalty program memiliki pengaruh signifikan terhadap terbentuknya store satisfaction. Oleh karena ini, peneliti menarik hipotesis bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara loyalty program terhadap store satisfaction yang dimiliki oleh SOGO Department Store.

2.2.2 Store Satisfaction dan Store Loyalty Dong Mo-Koo (2003) melakukan penelitian terhadap 517 pelanggan discount retail store di Daegu, Korea. Penelitian ini meneliti hubungan antara store image, store loyalty, dan store satisfaction di E-mart Korea menyatakan bahwa store loyalty berhubungan langsung dengan lokasi, diikuti oleh merchandise, dan juga pelayanan yang diberikan setelah penjualan. Store atmosphere yang memberikan kenyamanan bagi pengunjung, dapat menciptakan kepuasan dan loyalitas terhadap toko. Dalam penelitian ini, store atmosphere yang baik, pelayanan yang baik, serta tata letak barang yang mudah dijangkau, membuat pelanggan menjadi lebih loyal terhadap E-Mart, dibandingkan dengan discount store lainnya yang ada di Korea. Store atmosphere meliputi tata letak yang disediakan untuk memudahkan pelanggan bergerak di dalam toko, dan menemukan produk yang diinginkan dengan mudah, selain itu store atmosphere juga meliputi tata letak barang yang mudah dijangkau oleh pelanggan. Customer service yang diberikan, dapat meliputi pelayanan di dalam toko, dengan adanya

42 Universitas Kristen Petra product knowledge yang diberikan bagi karyawan. Selain itu, keanekaragaman merchandise yang disediakan akan memperluas alternatif pilihan bagi pelanggan. Dalam penelitian ini, design toko yang ditampilkan oleh E-Mart dianggap sangat baik, karena dianggap sangat nyaman bagi pelanggan untuk mencari produk yang diinginkan, memberikan ruang gerak yang nyaman bagi pelanggan, dan juga tata letak rak yang tidak terlalu tinggi untuk memilih produk yang diinginkan.Hasil dari penelitian ini dirangkum dalam beberapa poin yang membuktikan bahwa store image, store loyalty, dan store satisfaction memiliki hubungan positif yang signifikan antara satu dengan yang lainnya, diantaranya ialah: a. Pembentukan sikap pelanggan terhadap discount retail store dibentuk oleh pelayanan yang diberikan di dalam toko, pelayanan dalam penelitian ini dapat meliputi beberapa hal, yaitu store atmosphere, employee service, after sale service dan merchandising. b. Keseluruhan sikap yang dimiliki oleh pelanggan terhadap discount retail store, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap terbentuknya kepuasan dan loyalitas pelanggan. Sikap pelanggan terhadap discount retail store ini, mempunyai dampak yang lebih kuat terhadap terbentuknya loyalitas. c. Store satisfaction terbentuk dari faktor ambient, yaitu store atmosphere. d. Store loyalty secara langsung berdampak signifikan terhadap lokasi, merchandise dan juga pelayanan setelah penjualan. e. Sikap merupakan faktor yang paling kuat pengaruhnya terhadap terbentuknya store loyalty. f. Kepuasan tidak berhubungan dengan komitmen pelanggan toko untuk berkunjung kembali. Penelitian lain yang dilakukan oleh Bloemer dan Odekerken-Schroder (2002), yang meneliti mengenai hubungan antara store satisfaction dan store loyalty terhadap 357 konsumen dari sebuah supermarket besar yang ada di Eropa, menyatakan bahwa kepuasan terhadap toko secara positif berdampak pada kepercayaan, yang memimpin kepada komitmen, dan akhirnya meningkatkan word-of-mouth, intensitas pembelian, dan juga kurangnya sesitivitas terhadap harga. Sebagai tambahan dalam penelitian ini, store image meliputi assorment, store atmosphere, dan lokasi, mempengaruhi kepuasan pelanggan terhadap toko.

43 Universitas Kristen Petra

Penelitian ini juga membuktikan bahwa kepuasan merupakan perantara antara kepercayaan dan komitmen. Komitmen yang terbentuk, dapat menciptakan perasaan menjadi “bagian keluarga” dari retailer. Penelitian yang dilakukan oleh Dong Mo-Koo, Bloemer dan Odekerken- Schroder menunjukkan bahwa store satisfaction, yang dalam penelitian ini meliputi merchandise, store atmosphere dan pelayanan setelah penjualan dan store loyalty, yang dapat dijelaskan sebagai loyalitas pelanggan terhadap toko dalam hal menyebarkan positif word-of-mouth dan juga perilaku untuk datang kembali dan berbelanja, memiliki pengaruh yangsignifikan positif antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, peneliti menarik hipotesis bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara store satisfaction yang dirasakan oleh pelanggan di SOGO Department Store, serta dampaknya terhadap store loyalty yang terjadi di SOGO Department Store.

2.2.3 Loyalty Program dan Store Loyalty Penelitian yang dilakukan oleh Omar et al. (2010) mengenai program benefits, satisfaction, and loyalty in retail loyalty program terhadap 167 pemegang kartu loyalitas dari beberapa superstore yang berada di Malaysia, menyatakan bahwa program benefits mempunyai pengaruh terhadap store loyalty. Dalam penelitian ini dinyatakan bahwa program benefit, yang meliputi loyalty program, mempunyai hubungan dengan store loyalty. Lebih lagi dijelaskan bahwa, kepuasan pemegang kartu terhadap loyalty program yang diadakan oleh beberapa super store yang ada di Malaysia, memberi pengaruh terhadap pemegang kartu loyalitas untuk menjadi loyal terhadap toko tersebut. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa loyalty program berpengaruh kuat terhadap terbentuknya store loyalty. Pemegang kartu yang puas dengan loyalty program, akan menciptakan loyalitas terhadap toko dan menjadi kurang sensitif terhadap harga daripada pemegang kartu yang tidak puas terhadap loyalty program yang diadakan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemegang kartu akan mempunyai komitmen terhadap sebuah program, ketika mereka percaya terhadap program yang diadakan tersebut. Penelitian ini juga menemukan bahwa loyalty program memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap terbentuknya store loyalty.

44 Universitas Kristen Petra

Penelitian lainnya diadakan di Tesco UK, yang dilakukan oleh Bridson, Evans, dan Hickman (2008), menyatakan loyalty program mempunyai pengaruh terhadap terbentuknya store loyalty. Ditemukan bahwa, hard attributes mempengaruhi loyalitas dengan menarik pelanggan lebih terhadap toko, daripada terhadap produk yang ditawarkan. Sedangkan soft attributes, dalam hal ini meliputi komunikasi terhadap konsumen, memberikan dampak terhadap sikap konsumen terhadap toko. Penelitian ini menyatakan bahwa soft attributes lebih berpengaruh terhadap store loyalty, dibandingkan pengaruh hard attributes terhadap store loyalty. Namun dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa, store satisfaction mempunyai peran untuk memediasi loyalty program dan store loyalty. Loyalty program yang dibedakan kedalam hard dan soft loyalty program attributes, mempunyai pengaruh yang signifikan baik terhadap store satisfaction, maupun terhadap store loyalty. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa hard attributes bukanlah prediktor yang signifikan terhadap komitmen. Hard attributes tidak ditemukan mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap terbentuknya store loyalty. Hal ini bertolak belakang dengan soft attributes yang mempunyai dampak yang signifikan bagi terciptanya store loyalty. Soft attributes meliputi komunikasi dari retailer secara logika yang menampilkan pada sikap pelanggan terhadap pengaruh yang besar bagi hard attributes Penelitian yang diadakan di UK dan Malaysia ini, menemukan bahwa loyalty program yang dibuat oleh retailers, mempunyai pengaruh signifikan terhadap terbentuknya store loyalty. Bermacam-macam loyalty program yang diadakan memberikan dampak yang berbeda-beda terhadap respon yang diberikan pelanggan terhadap toko. Bagi pelanggan yang merasa puas terhadap loyalty program yang diadakan oleh retailer, maka hal tersebut akan berlanjut kepada store loyalty. Oleh karena itu, peneliti menarik hipotesis bahwa loyalty program yang diadakan oleh SOGO Department Store juga akan mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap terbentuknya store loyalty di SOGO Department Store Tunjungan Plaza 4 Surabaya.

45 Universitas Kristen Petra

2.3 Kerangka Pemikiran Fenomena: Banyak department store yang dibangun di Surabaya dengan berbagai tawaran menarik melalui loyalty program yang diadakan oleh setiap department store dengan tujuan untuk mendapatkan loyalitas pelanggan. SOGO Department Store Tunjungan Plaza 4, merupakan salah satu department store yang sudah cukup lama berdiri di Surabaya. Mengikuti kesuksesannya, banyak department store lain yang mempunyai target market yang sama memulai usahanya di Surabaya juga. Oleh karena itu, SOGO Department Store Tunjungan Plaza 4 Surabaya sebagai department store pertama di Surabaya dengan target market menengah ke atas, ingin diketahui apakah bisa bersaingan dengan pesaing-pesaing lainnya yang juga hadir dengan berbagai program menarik untuk menarik perhatian pelanggan dari SOGO Department Store Tunjungan Plaza 4 Surabaya. Persaingan ini tidak hanya dilihat dari program-program yang ada, namun ditunjang juga dengan kepuasan pelanggan terhadap department store tersebut.

Rumusan Masalah : 1. Apakah ada pengaruh signifikan loyalty program terhadap store satisfaction di SOGO Department Store Tunjungan Plaza 4 Surabaya? 2. Apakah ada pengaruh signifikan store satisfaction terhadap store loyalty di SOGO Department Store Tunjungan Plaza 4 Surabaya? 3. Apakah ada pengaruh signifikan loyalty program terhadap store loyalty di SOGO Department Store Tunjungan Plaza 4 Surabaya?

Behavior Dimension

Hard Loyalty Store Loyalty Attributes Program

Layout Attitude Dimension Store Satisfaction

MerchandiseStore Trading Customer Customer Atmosphere Format Communication Service

ibutes ion Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

46 Universitas Kristen Petra

2.4 Hipotesa

Diduga dari hasil penelitian akan menunjukkan bahwa: 1. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara loyalty program dan store satisfaction di SOGO Department Store Tunjungan Plaza 4 Surabaya. 2. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara store satisfaction dan store loyalty di SOGO Department Store Tunjungan Plaza 4 Surabaya. 3. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara loyalty program dan store loyalty di SOGO Department Store Tunjungan Plaza 4 Surabaya.

47 Universitas Kristen Petra