BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biskuit Semprit

Biskuit semprit adalah salah satu jenis kering yang berbahan tepung, lemak, telur, dan gula. Biskuit semprit merupakan kue kering jenis biskuit berlemak karena menggunakan lemak setengah dari berat tepung (Susanto, 2012). Kue semprit termasuk dalam klafikasi kue semprot (bagged ). Tekstur adonan kue kering ini lunak, sehingga harus dicetak dengan alat yang disebut spuit (Bahasa

Belanda). Cetakan spuit merupakan alat berbentuk tabung dari logam atau plastik dan bekerja seperti alat suntik. Adonan dimasukan dalam tabung lalu didorong dengan tenaga dari tangan sehingga ketika keluar dari corong, adonan tampil sesuai dengan pola atau bentuk lubang moncong yang dipilih (Wijayanti, 2015). Bentuk biskuit semprit dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Biskuit Semprit (Dokumentasi Pribadi) Biskuit semprit merupakan salah satu jenis cookies yang memiliki bentuk bervariasi. Menurut Sutomo (2008) biskuit adalah kue kering mempunyai cita rasa yang manis, terbuat dari tepung terigu, lemak, gula halus dan telur yang dicampur menjadi satu. Tabel 1 memaparkan syarat mutu biskuit semprit (SNI 2973–2011).

4

5

Tabel 1. Syarat Mutu Biskuit

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1 Keadaan 1.1 Bau – Normal 1.2 Rasa – Normal 1.3 Warna – Normal 2 Kadar air (b/b) % Maks. 5 3 Serat kasar % Maks. 0,5 4 Protein (N x 6,25) (b/b) % Min. 5 5 Asam lemak bebas % Maks. 1,0 (sebagai asam oleat) (b/b) 6 Cemaran logam 6.1 Timbal (Pb) mg.kg-1 Maks. 0,5 6.2 Cadmium (Cd) mg.kg-1 Maks. 0,2 6.3 Timah (Sn) mg.kg-1 Maks. 40 6.4 Merkuri (Hg) mg.kg-1 Maks. 0,05 6.5 Arsen (As) mg.kg-1 Maks. 0,5 7 Jumlah lempeng total koloni.g-1 Maks. 1 x 104 7.1 Koliform APM.g-1 20 7.2 Eschericia coli APM < 3 7.3 Salmonella sp. – Negatif 25 g-1 7.4 Staphylococcus aureus koloni.g-1 Maks. 1 x 102 7.5 Bacillus cereus koloni.g-1 Maks. 1 x 102 7.6 Kapang dan khamir koloni.g-1 Maks. 2 x 102

(Sumber: SNI 2973–2011)

Bahan pada pembuatan biskuit terdiri dari bahan pengikat dan pelembut. Bahan yang berfungsi sebagai pengikat adalah tepung, air, susu, dan putih telur, sedangkan bahan yang berfungsi sebagai pelembut adalah gula, lemak, leavening agent, dan kuning telur (Sa’adah, 2009). Bahan tambahan lainnya adalah garam dan flavor.

Tepung terigu terbuat dari biji gandum. Warna butiran mutu gandum ditinjau dari daerah tempat gandum tumbuh. Gandum dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu hard wheat (protein tinggi), medium wheat (protein sedang) dan soft wheat (protein rendah). Tepung terigu hard wheat memiliki kadar protein sebesar

(11– 13) % sehingga sifatnya mudah dicampur, difermentasi, daya serap air tinggi, elastis atau lentur dan mudah digiling. Penggunaan tepung terigu hard wheat cocok

6

untuk produk roti, mie, dan pasta. Tepung terigu ini digunakan untuk sejenis makanan lain yang memerlukan pengembangan (Wijayanti, 2015).

Tepung terigu jenis medium mengandung kadar protein (10–11) % berasal dari campuran tepung terigu hard wheat dan soft wheat yang digunakan untuk membuat adonan dengan tingkat pengembangan sedang, seperti aneka jenis kue, donat, bakpau, bapel dan muffin. Kadar protein tepung terigu jenis soft sebesar (8–

9) % berasal dari penggilingan 100 % gandum soft. Aplikasi tepung terigu soft wheat biasanya pada pembuatan kue yang tidak memerlukan proses fermentasi seperti kue kering, biskuit, dan (Wijayanti, 2015). Fungsi tepung terigu pada pembuatan kue kering adalah sebagai pembentuk tekstur dan kerenyahan adonan

(Sutomo, 2008).

Karakteristik bahan dasar tepung yang digunakan dalam pembuatan kue kering yaitu kandungan protein gluten rendah atau tidak ada sama sekali, memiliki daya serap air rendah, dan sulit difermentasikan. Jenis tepung pada pembuatan kue semprit menggunakan tepung terigu yang berprotein rendah (8–9) %. Komposisi zat gizi tepung terigu soft wheat per 100 g yakni kalori 365 kkal, protein 8,9 g, lemak 1,3 g, karbohidrat 7,3 g, kalsium 166 mg, fosfor 106 mg, besi 1,2 g, vitamin

B1 0,12 mg, kadar air 11,6 g (Persatuan Ahli Gizi , 2005).

Lemak yang digunakan dalam pembuatan kue semprit yakni margarin atau lemak nabati. Margarin terbuat dari minyak kelapa sawit dan memiliki kadar lemak berkisar (80–85) %. Penggunaan margarin dalam kue kering berpengaruh pada membentuk tekstur lebih kokoh, lembut, juga renyah dan memberi aroma lebih gurih (Vivi, 2011). Fungsi lemak pada pembuatan kue kering adalah pemberi aroma harum sehingga menambah cita rasa. Penambahan lemak yang terlalu banyak

7

menyebabkan kue melebar saat pemanggangan, sedangkan pemberian lemak yang sedikit akan membuat terkstur kue kering seret dan kasar dimulut (Sutomo, 2012).

Telur ayam merupakan jenis telur yang sering digunakan untuk membuat kue. Fungsi telur dalam pembuatan biskuit berguna sebagai pengikat bahan, memberikan kelembapan, menambah nilai gizi, memberikan rasa gurih, dan membuat aroma cookies lebih harum. Kuning mempunyai sifat untuk merenyahkan tekstur, sedangkan putih telur bersifat mengikat tepung sehingga adonan lebih padat dan renyah (Sutomo, 2012).

Penggunaan susu skim pada pembuatan kue kering sebagai pembentuk citarasa dan aroma serta dapat menambah nilai gizi biskuit. Penambahan gula dalam pembuatan biskuit berguna pemberi rasa manis, pembentuk tekstur dan memperbaiki warna pada permukaan biskuit. Bahan tambahan lain yaitu garam sebagai penambah rasa, memperkuat tekstur dan mengikat air. Selain itu garam dapat mencegah adonan tidak lengket dan tidak terlalu mengembang (Fajar,

2013).

Menurut Praptiningrum (2015) tahapan pembuatan kue kering (cookies), dimulai dengan tahap seleksi bahan guna memilih bahan yang berkualitas baik.

Pemilihan tepung terigu harus berwarna krem, tidak bau apek, tidak ditemukan mikroorganisme seperti kutu, dan tidak menggumpal. Telur yang digunakan yakni kuning telur masih bulat utuh, putih telur kental dan tidak berbau busuk. Lemak yang dipilih harus memiliki bau khas atau masih segar, padat dan berwarna kuning tua untuk margarin sedangkan butter bewarna kuning muda. Gula yang digunakan adalah berwarna putih bersih dan tidak menggumpal.

8

Proses selanjutnya adalah penimbangan guna mengantisipasi adanya kelebihan dan kekurangan pada takaran bahan yang dibutuhkan. Bahan ditimbang menggunakan timbangan digital dengan satuan gram (Praptiningrum, 2015).

Tahap pencampuran bahan menurut Khasanah (2007) yaitu pengocokan margarin, gula halus dan kuning telur hingga rata. Setelah itu penambahan tepung terigu yang sudah diayak, kemudian pengadukan adonan menggunakan spatula atau sendok. Tahap berikutnya yaitu pencetakan adonan dengan cetakan spuit yang sudah disiapkan pada plastik segitiga. Ujung plastik dipotong dengan gunting, kemudian adonan disemprotkan pada loyang. Tahap pemanggangan dilakukan dengan cara memasukan loyang kedalam oven. Suhu pemanggangan yaitu 160 °C selama 25 menit (Sutomo, 2008). Tahap terakhir adalah pengemasan cookies yang telah dingin dimasukkan kedalam toples (Khasanah, 2007).

2.2 Bekatul

Bekatul adalah lapisan luar dari beras yang terlepas saat proses penggilingan padi atau disebut selaput inti biji padi. Proses penggilingan padi menghasilkan beras sebanyak (60–65) % dan bekatul sebesar (8–12) % (Fauziyah, 2011). Menurut

Nursalim dan Razali (2007) bekatul yang mengandung kadar selulosa dan hemiselulosa yang paling tinggi dibandingkan dengan beras. Kenampakan bekatul dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Bekatul

9

Menurut David (2008), proses penyosohan adalah proses penghilangan dedak dan bekatul dari bagian endosperma beras. Penyosohan dapat menghasilkan beras yang lebih putih bersih tetapi miskin zat gizi. Semakin tinggi derajat sosoh, penampakan warna beras semakin putih dan bersih. Hasil samping proses penyosohan yakni bekatul (tahap II) dan dedak (tahap I).

Gabah padi terdiri atas dua lapisan utama, yaitu endosperm atau biasa disebut dengan biji beras dan kulit padi. Kulit padi ini secara keseluruhan jumlahnya sekitar 8 % dari jumlah total padi. Kulit padi terdiri atas hull yang merupakan kulit bagian terluar dan bran (bekatul) yang merupakan kulit bagian dalam atau selaput biji. Bekatul terdiri atas beberapa lapisan, yaitu pericarp, seed coat, nucellus, dan aleurone (Nursalim, 2007). Penampang padi dan bagian- bagiannya ditunjukan pada Gambar 3.

Gambar 3. Penampang Padi (Sumber: Nugrahawati, 2011) Bekatul sebagai hasil sampingan penggilingan padi diperoleh dari lapisan luar karyopsis beras. Meskipun bekatul tersedia melimpah di Indonesia, pemanfaatannya untuk konsumsi manusia masih terbatas. Hingga saat ini, pemanfaatanya terbatas sebagai pakan ternak. Padahal, nilai gizi bekatul sangat baik, kaya akan vitamin B, vitamin E, asam lemak esensial, serat pangan, protein,

10

orizanol, dan asam ferulat. Kandungan vitamin E (tokoferol) bekatul berperan sebagai antioksidan dengan mencegah kerusakan dinding sel sehingga mampu mencegah hemolisis (kerapuhan) sel darah merah. Bekatul mempunyai sifat fungsional yaitu sebagai penurun kolesterol. Mekanisme penurunan kolesterol yakni penyerapan lipid oleh kandungan serat bekatul pada saluran pencernaan dan peningkatan ekskresi asam empedu (Fauziyah, 2011).

Kandungan gizi bekatul tergantung pada varietas, kondisi lingkungan, proses penggilingan, ketebalan lapisan kulit luar, ukuran juga bentuk butiran padi, dan metode analisa zat gizi yang dilakukan. Jenis padi dan lokasi berpengaruh signifikan terhadap komposisi zat gizi bekatul (Fauziyah, 2011). Tabel 2 menjabarkan kandungan zat gizi makro dan mikro pada bekatul.

Tabel 2. Kandungan Zat Gizi Bekatul Komponen Penelitian 1 Penelitian 2 Karbohidrat (%) 49,4* 34,1 – 52,3** Protein (%) 16,5* 12,0 – 15,6** Lemak (%) 21,3* 15,0 – 19,7** Serat kasar (%) 11,4* 7,0 – 11,4** Serat pangan (%) 25,3* – Abu (%) – 6,6 – 9,9** Kalsium (mg.g-1) 80* 0,3 – 1,2** Magnesium (mg.g-1) 0,9* 5,0 – 13,0** Fosfor (mg.g-1) 2,1* 11,0 – 25,0** Seng (µg.g-1) 6,4 mg* 43,0 – 258,0** Riboflavin (µg.g-1) 0,4 mg* 1,8 – 4,0** Tokoferol (µg.g-1) – 149 –154** (Sumber: *= Rao (2000), **= Damayanthi (2002))

Bekatul dikenal memiliki kandungan serat pangan yang sangat tinggi. Serat makanan (dietary fiber) harus dibedakan dengan istilah serat kasar (crude fiber) yang biasa digunakan dalam analisis proksimat bahan pangan. Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang

11

digunakan untuk menentukan kadar serat yaitu asam sulfat (H2SO4 1,25 %) dan natrium hidroksida (NaOH 3,25 %). Serat makanan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan (Piliang dan

Djojosoebagio, 2002).

Menurut Nugrahawati (2011) serat pangan dapat dibedakan menjadi dua yaitu, serat pangan yang larut dan serat pangan yang tidak larut. Serat yang larut adalah serat yang terfermentasikan oleh mikroflora dalam usus besar (kolon) dan berperan dalam metabolisme karbohidrat dan lipida, sedangkan serat yang tidak larut berperan membentuk kepadatan feces. Serat yang tidak larut dalam air memiliki sifat mampu berikatan dengan air, seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Serat yang larut dalam air memiliki sifat mampu membentuk gel yang mempengaruhi metabolisme dalam tubuh seperti pektin, musilase dan gum.

Serat sangat bermanfaat dalam mencegah atau mengurangi sembelit. Tetapi serat juga berguna untuk kesehatan lain, seperti menurunkan resiko diabetes dan penyakit jantung. Tidak seperti komponen makanan lain seperti lemak, protein atau karbohidrat yang dapat diserap oleh tubuh, serat tidak dapat diserap oleh tubuh manusia. Oleh karena itu, serat berbentuk relatif utuh ketika melewati perut, usus kecil, usus besar, dan keluar dari tubuh (Sulistijani, 2002).

Menurut Damayanthi (2006), tingginya kadar serat pada tepung bekatul disebabkan sisa dari komponen kimia seperti selulosa (8,7–11,4) % dan hemiselulosa (9,6–12,8) %. Kadar serat dari suatu produk juga dapat meningkat sebagai akibat proses modifikasi, baik modifikasi secara fisik maupun secara kimiawi (Damat dkk., 2019). Bekatul memiliki warna bervariasi dari coklat muda sampai coklat tua (Damayanthi, 2007). Bekatul memiliki kandungan senyawa

12

fitokimia yang menyebabkan bekatul berwarna cokelat (Setyowati dkk., 2008) dan menurut Moko dkk. (2014) kandungan fitokimia bekatul terdiri dari senyawa fenolik, flavonoid, triterpenoid, alkaloid, dan saponin. Warna cokelat bekatul semakin meningkat ketika dipanaskan (Fuadah, 2016). Senyawa saponin dalam bekatul dapat menyebabkan rasa sepat dan pahit (Hildayanti, 2017).

Bekatul memiliki kekurangan yakni memiliki aroma langu, mudah rusak dan tengik sehingga umur simpannya pendek. Ketengikan merupakan kerusakan, perubahan bau, dan cita rasa pada bahan pangan berlemak tinggi ataupun rendah.

Reaksi ketengikan disebabkan oleh hidrolisis enzimatik lipase dan ketengikan oksidatif. Ketengikan pada bekatul terjadi akibat hidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol oleh enzim lipase. Enzim lipoksigenase mengoksidasi asam lemak bebas menjadi bilangan peroksida, keton, dan aldehid, sehingga menimbulkan aroma tengik (Ketaren, 2008). Bekatul mengandung lemak yang tinggi (15–19,7) % sehingga dapat menyebabkan kerusakan hidrolitik dan oksidatif.

Kerusakan hidrolitik terjadi karena interaksi air dalam bahan yang bereaksi dengan lemak bekatul (Swastika, 2009).

Ketidakstabilan bekatul dipengaruhi oleh aktivitas enzim lipase yang memacu hidrolisis minyak dalam bekatul menjadi gliserol dan asam lemak bebas.

Lipase terdapat pada testa–cross layer biji padi, sedangkan minyak berada di dalam lapisan aleuron dan subaleuron lembaga. Lipase memiliki berat molekul 40.000 Da, pH optimum 7,5–8,0, dan suhu optimum 37 °C. Lipase pada bekatul menghidrolisis asam lemak pada posisi 1 dan 3 molekul trigliserida (Orthoefer, 2005).

Kadar asam lemak bebas (ALB) pada bekatul dapat meningkat cepat dari

(1–3) % menjadi 33 % setelah satu minggu dan mencapai 46 % setelah tiga minggu.

13

Kecepatan pembentukan ALB hasil hidrolisis minyak dalam bekatul mencapai (5–

10) % perhari dan sekitar 70 % dalam satu bulan. ALB memiliki karakteristik mudah teroksidasi karena terdapat kandungan Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA) bekatul yang relatif tinggi akan mempercepat kerusakan bekatul (Orthoefer, 2005).

Bekatul yang telah mengalami kerusakan oksidatif tidak layak digunakan sebagai bahan pangan. Oleh karena itu, pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan harus diawali dengan perlakuan inaktivasi enzim lipase. Proses inaktivasi dapat dilakukan secara fisik (Astika, 2009), kimia, dan enzimatis (Nugroho, 2002).

Perlakuan inaktivasi enzim secara fisik mempunyai peluang lebih besar untuk dapat diaplikasikan karena biaya yang dikeluarkan lebih murah dan lebih praktis.

Perlakuan fisik pada bekatul berfungsi mencegah terjadinya penurunan nilai gizi serta mutu sensori bahan pangan dan menghilangkan off flavor dengan membunuh mikroorganisme. Perlakuan fisik dilakukan dengan penambahan sejumlah energi panas untuk mengatur kandungan air pada bahan (Jacoeb, 2012).

Stabilisasi bekatul merupakan upaya untuk menghambat aktivitas enzim lipase membentuk asam lemak bebas (ALB). Metode stabilisasi bekatul dapat dilakukan dengan pemanasan kering, pemanasan basah, dan ekstrusi. Suhu stabilisasi bervariasi yakni (100–140) °C (Orthoefer, 2005). Stabilisasi bekatul pemanasan basah dilakukan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 °C selama 3 menit (Damayanthi, 2002), stabilisasi bekatul pemanasan kering menggunakan metode penyangraian pada suhu 130 °C selama 10 menit dan pemanggangan pada oven suhu 100 °C selama 15 menit (Tengah, 2011). Oven dapat menstabilisasikan bekatul karena panas oven dapat menginaktifkan enzim lipase dan menurunkan kadar air pada bekatul (Orthoefer, 2005).

14

2.3 Pisang (Musa paradisiaca L.)

Tanaman pisang termasuk dalam famili Musaceae, ordo Zingiberales.

Famili Musaceae, mempuyai dua genera yaitu Musa dan Ensete. Semua varietas yang buahnya dapat dimakan dimasukkan ke dalam genus Musa. Buah pisang berbentuk lonjong melengkung. Warna kulit buah pisang berwarna hijau ketika muda dan berwarna kuning ketika matang, meskipun ada beberapa yang berwarna jingga, merah, ungu, atau hitam tergantung varietas. Warna daging buah pisang mentah putih dan berubah menjadi kuning jika sudah masak (Syahnash, 2016).

Pisang terdiri dari berbagai varietas dengan bentuk, penampilan warna, dan ukuran yang berbeda–beda. Prihatman (2010) menyatakan bahwa pisang dibagi menjadi 4 jenis kelompok diantaranya :

1. Musa paradisiaca var Sapientum (banana) yaitu jenis pisang yang sering

dikonsumsi dalam bentuk segar setelah matang atau sering disebut pisang buah

meja. Golongan pisang Musa paradisiaca var Sapientum (banana) yakni

pisang ambon, susu, raja, hijau, mas, dan barangan.

2. Musa paradisiaca formatypica (plantain) yaitu pisang yang dikonsumsi setelah

proses pengolahan menjadi produk makanan, seperti sale, keripik, dan pisang

goreng. Jenis pisang Musa paradisiaca formatypica (plantain) yaitu pisang

tanduk, kapas, uli, kayu, kepok, dan nangka.

3. Musa brachycarpa yakni pisang yang memiliki biji buah yang dapat

dimanfaatkan. Jenis pisang Musa brachycarpa yaitu pisang klutuk atau batu.

4. Pisang yang dimanfaatkan seratnya yakni pisang manila (abaca).

Pisang adalah buah yang kaya kandungan mineral seperti kalium, fosfor, magnesium, kalsium, dan zat besi. Satu buah pisang mengandung kalsium 11 mg,

15

fosfor 35 mg, zat besi (Fe) 1 mg, potasium 503 mg, niasin 1 mg, vitamin A 260 IU, dan vitamin C 14 mg (Kaleka, 2013). Kandungan vitamin B buah pisang terdiri dari tiamin, riboflavin, niasin, dan vitamin B6 (Andiriani, 2012). Komponen karbohidrat terbesar buah pisang yaitu pati pada daging buah yang mengalami perubahan menjadi sukrosa, glukosa dan fruktosa saat buah pisang matang (15–20) %

(Ismanto, 2015).

Kadar pati tepung pisang yakni (61,3 – 76,5) % (Anindita dkk., 2016), Nita

(2012) berpendapat bahwa secara mikroskopik daya ikat molekul air pada pati pisang rendah karena suhu gelatinisasi tepung pisang lebih tinggi (68,8 °C–77,5 °C) dan ukuran granula pati tepung pisang 60 µm – 105 µm. Semakin besar ukuran granula pati, maka daya ikat molekul air dalam produk menjadi rendah, sehingga lebih mudah melepaskan molekul air saat pemanasan produk.

Kandungan pati pada tepung pisang menyebabkan proses gelatinisasi saat proses pengeringan (oven) yaitu terjadi perusakan ikatan hidrogen intramolekuler

(protein, karbohidrat, dan air bahan baku), adanya ikatan hidrogen berperan mempertahankan struktur integritas granula dan kekompakan granula. Gugus hidroksil bebas akan menyerap air, sehingga terjadi pembengkakan granula pati.

Semakin banyak jumlah gugus hidroksil dari molekul pati tepung pisang maka semakin tinggi kemampuannya menyerap air, sehingga saat dilakukan proses pengeringan daya ikat molekul air pada produk rendah sehingga tekstur produk menjadi lebih renyah (Supriyadi, 2012).

Selain rasio amilosa dan amilopektin dalam pati tepung juga mempunyai peranan penting bagi pembuatan biskuit karena dapat mempengaruhi teksturnya.

Kadar amilosa pati tepung pisang dan tepung bekatul mempunyai daya serap pada

16

pembentukan granula pati. Granula pati akan mengalami pembengkakan karena terserapnya air dan adanya peningkatan suhu karena pengovenan. Air yang terserap oleh pati akan menguap dan hilang saat pengovenan dan akan meninggalkan ruang kosong dalam adonan sehingga tekstur biskuit menjadi renyah (William, 2001).

Kadar amilopektin bersifat merangsang terjadinya proses pengembangan, sehingga biskuit yang berasal dari pati dengan kandungan amilopektin yang cukup tinggi akan bersifat porus, garing dan renyah. Amilopektin yang tinggi dapat memberikan tingkat kerenyahan yang tinggi dan kekerasan yang rendah pada produk (Supriyadi,

2012).

Kandungan energi pisang merupakan energi instan yang tersedia dalam waktu singkat sehingga penyediaan kebutuhan kalori sesaat. Karbohidrat buah pisang merupakan jenis karbohidrat kompleks tingkat sedang sehingga penyediaan energi tubuh pada waktu singkat. Karbohidrat pisang merupakan cadangan energi yang sangat baik digunakan bagi tubuh (Supriyono, 2012).

Semua varietas buah pisang pada dasarnya dapat diolah menjadi tepung, asalkan tingkat kematangan pisang sudah cukup. Warna tepung yang dihasilkan bervariasi tergantung pada jenis buah pisang, tingkat kematangan buah, dan cara pengolahan. Pisang yang menghasilkan warna tepung yang baik adalah pisang kepok. Menurut penelitian Abbas (2009) pembuatan tepung pisang dari berbagai varietas perlakuan terbaik adalah tepung pisang jenis kepok menghasilkan warna paling putih bersih. Kelemahan tepung pisang kepok adalah aroma yang dimiliki kurang kuat. Pembuatan tepung dari pisang yang masih muda akan lebih baik karena kandungan pati lebih tinggi karena belum tereduksi menjadi gula–gula sederhana (Abbas dkk., 2009).

17

Ciri–ciri pisang muda adalah dipanen saat mencapai tingkat kematangan tiga perempat penuh atau 80 hari setelah bunga. Apabila pemanenan buah lewat dari 80 hari setelah bunga akan terjadi kesulitan selama pengeringan dan tepung pisang bersifat lembek karena karbohidrat telah terhidrolisis menjadi gula–gula.

Sedangkan pisang yang terlalu muda akan menghasilkan tepung terasa sedikit pahit dan sepat karena kadar asam juga tanin cukup tinggi. Granula pati tepung pisang dapat digunakan sebagai bahan baku biopolimer yang baik untuk berperan modifikasi tekstur dan konsistensi makanan (Witono dkk., 2012).

Tahapan pada pembuatan tepung pisang meliputi pengukusan, pengecilan ukuran, blanching, pengeringan, dan pengemasan. Pengukusan pisang dilakukan selama 10–15 menit untuk mengurangi atau menghilangkan getah dan menginaktivasi enzim fenol penyebab pencoklatan. Kulit buah pisang dikupas dan dipotong tipis memanjang untuk mempercepat penguapan air saat pengeringan.

Potongan pisang dihamparkan di atas loyang lalu dikeringkan sampai menjadi gaplek pisang. Selanjutnya penggilingan gaplek pisang dan pengayakan agar menghasilkan tekstur tepung pisang yang lembut. Pengemasan tepung pisang dilakukan pada wadah tertutup agar tidak dapat menyerap air (Adriani dan Nasriati,

2011).

Proses pembuatan tepung pisang memiliki kendala yaitu terjadinya reaksi pencoklatan (browning), karena kandungan zat tanin menyebabkan kenampakan tepung pisang kurang menarik (kurang putih). Cara untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan, yakni menggunakan perlakuan blanching dan perendaman pada larutan natrium metabisulfit. Kedua perlakuan tersebut dilakukan untuk

18

menginaktifkan enzim–enzim peroksida, mengurangi kadar oksigen dalam sel, memperbaiki warna dan menstabilkan kadar gizi bahan (Buckle dkk., 2011).

Tepung pisang memiliki kandungan serat yang merupakan sisa dari komponen kimia dalam bahan pisang seperti selulosa dan lignin, serta selulosa jenis karbohidrat yang ada dalam tepung pisang mempunyai struktur polimer homolog beta glukosa dan polisakarida yang mempunyai rantai sangat panjang sehingga saat degradasi kimia tidak semua rantai polimer tersebut dapat terputus dan lignin sangat tahan terhadap setiap degradasi kimia, termasuk degradasi enzimatik yang terukur saat pengujian. Sementara sisa dari komponen kimia yang ada dalam tepung terigu seperti pektin dan gum mudah terdegradasi (Silfia, 2012). Menurut Samson (2012) pisang mengandung pigmen karotenoid sebanyak 6,65 mg 100 g-1 yang menyebabkan warna kuning.

Tepung pisang juga berfungsi sebagai penambah aroma makanan. Buah pisang memiliki senyawa kimia penyusun aroma yakni iso–amil asetat, amil propionat, amil asetat, heksil asetat, amil butirat, metil asetat, pentanol, amil alkohol, butil alkohol, dan heksil alkohol (Andriani, 2012). Pisang yang baik dalam pembuatan tepung adalah pisang kepok. Menurut Putri (2015) tepung pisang yang berasal dari pisang jenis kepok menghasilkan warna tepung putih bersih, menarik, dan menghasilkan rendemen tinggi.

Pisang kepok merupakan jenis pisang olahan varietas Musa paradisiaca formatypica (plantain) berukuran kecil, panjang buah sekitar (10–12) cm dan berat buah sekitar (80–120) g. Bentuk buah pisang kepok yaitu persegi dan agak gepeng.

Kulit pisang kepok sangat tebal dengan warna kuning kehijauan dan terkadang bernoda cokelat, serta rasa daging buahnya manis (Prabawati dkk., 2008). Satu

19

tandan pisang kepok terdiri dari 10–16 sisir dan setiap sisir terisi 20 buah. Pisang kepok memiliki warna daging buah putih dan kuning (Lubiz, 2011). Kenampakan pisang kepok dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Pisang Kepok (Dokumentasi Pribadi) Berdasarkan klasifikasi taksonomi pisang kepok termasuk kedalam famili

Musaceae yang berasal dari India Selatan. Pisang kepok masuk kedalam kelompok pisang olah atau plantain karena memiliki kandungan pati yang tinggi. Menurut

Medanense (2011) klasifikasi pisang kepok, adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Class : Monocotyledoneae

Ordo : Zingiberales

Famili : Musaceae

Genus : Musa

Spesies : Musa paradisiaca. L.

Nama lokal : Pisang Kepok

Buah pisang ketika sudah matang, sebagian besar kandungan pati akan berubah menjadi gula–gula sederhana seperti sukrosa, glukosa, dan fruktosa. Kadar pati pisang akan turun dari 20 % pada daging buah menjadi (1–2) % (Setiawan,

20

2012). Pisang kepok mudah ditemukan karena dapat tumbuh di sembarang tempat.

Pisang kepok memiliki dua jenis yang berbeda yaitu pisang kepok kuning dan pisang kepok putih. Daging buah pisang kepok kuning berwarna kekuningan dan lebih manis, sedangkan pisang kepok putih memiliki warna pucat dan rasa lebih asam. Namun kandungan gizi dari kedua jenis ini sama (Suhartono, 2011).

Tabel 3. Kandungan Gizi Pisang Kepok dalam 100 g

Komposisi Kimia Jumlah Air (g) 70,00 Karbohidrat (g) 27,00 Serat Kasar (g) 0,50 Protein (g) 1,20 Lemak (g) 0,30 Abu (g) 0,90 Kalsium (mg) 80,00 Fosfor (mg) 290,00 Sodium (mg) – Β–carotein (mg) 2,40 Thiamin (mg) 0,50 Riboflavin (mg) 0,50 Asam Askorbat (mg) 120,00 Energi (kal) 104,00 Sumber : Supriyadi dan Satuhu (2008)