Intensitas Kerusakan Pohon Kepel ( burahol) akibat Benalu (Dendrophthoe pentandra) di FMIPA UI, Depok, Jawa Barat

Ika Pratiwi1, Wisnu Wardhana1, Nisyawati1

Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok Jawa Barat16424

[email protected]

Abstrak

Pohon kepel (Stelechocarpus burahol) di FMIPA UI sebagian besar (8 dari 9 pohon) ditumbuhi oleh benalu Dendrophthoe pentandra (Loranthaceae). Keberadaan benalu tersebut diduga dapat menyebabkan kerusakan pohon S. burahol. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan mengetahui tingkat kerusakan S. burahol akibat ditumbuhi benalu. Benalu yang tumbuh pada S. burahol dapat menyebabkan kerusakan morfologi dan anatomi. Kerusakan morfologi dapat diketahui dengan menghitung selisih keliling cabang pohon S. burahol bagian proksimal dan distal. Kerusakan anatomi dapat dilihat berdasarkan potongan membujur haustorium benalu yang menempel pada cabang S. burahol. Hasil penelitian menunjukkan nilai kerusakan pohon S. burahol tertinggi sebesar 94,3% (sangat rusak), sedangkan berdasarkan pengamatan potongan membujur haustorium benalu terlihat bagian jaringan cabang S. burahol yang mengalami kerusakan akibat penetrasi haustorium benalu (collapsed zone). Benalu D. pentandra yang tumbuh pada S. burahol dalam jangka panjang akan menyebabkan kematian yang berakibat kepada penurunan populasi pohon S. burahol di FMIPA UI.

Intensity of Kepel Tree () damage due to Mistletoe (Dendrophthoe pentandra) in Faculty of Mathematics and Natural Science University of Indonesia, Depok, West Java

Abstract

Majority of Kepel tree (Stelechocarpus burahol) in FMIPA UI (8 of 9 trees) overgrown by mistletoe Dendrophthoe pentandra (Loranthaceae). The mistletoe suspected to cause damage to S. burahol trees. Therefore, the research to determine the level of damage as a result of overgrown mistletoe on S. burahol is done. The mistletoe that grows on S. burahol can cause morphology and anatomy damage. Morphology damage can be determined by calculating the difference in circumference of tree branches S. burahol on proximal and distal parts. Anatomy damage can be viewed by piece of longitudinal section haustorium of mistletoe that attaches to the S. burahol branch. The results showed that the highest value of damage to S. burahol trees is 94.3% (very damaged), whereas based on longitudinal section part of the S. burahol branch tissue damaged by penetration haustorium of mistletoe (collapsed zone) could be seen. Mistletoe of D. pentandra that grows on S. burahol in the long time will lead to death and caused the population of S. burahol trees in FMIPA UI declined.

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016

Keyword : Dendrophthoe pentandra; haustorium; mistletoe; Stelechocarpus burahol; value of damage

Pendahuluan

Tumbuhan parasit merupakan tumbuhan yang membutuhkan inang dalam melengkapi siklus hidupnya (Norton & Carpenter 1998: 101). Tumbuhan parasit yang paling mudah ditemukan yaitu benalu (Famili Loranthaceae dan Viscaceae). Benalu merupakan tumbuhan parasit berklorofil yang tumbuh dan hidup pada cabang tumbuhan inang yang umumnya berkayu (Heide-Jørgensen 2008: 21). Benalu termasuk ke dalam tumbuhan hemiparasit karena benalu hanya mengambil air dan nutrien dari tumbuhan inang (Nickrent 2002: 4). Benalu yang tumbuh pada cabang tumbuhan inang diketahui disebarkan oleh burung. Biji benalu akan dimakan oleh burung, namun burung tidak mampu mencerna biji benalu tersebut, sehingga bijinya akan dikeluarkan bersamaan dengan kotoran burung (Docters van Leeuwen 1954: 191). Biji benalu yang diselubungi oleh lendir yang lengket akan menempel dan berkecambah pada cabang tumbuhan inang (Sunaryo dkk. 2006: 129). Biji benalu kemudian membentuk organ khusus yang disebut haustorium. Haustorium berfungsi untuk mengambil air dan nutrien dari tumbuhan inangnya (Kuijt 1969: 16). Benalu yang mudah ditemukan dan memiliki persebaran terluas di wilayah Universitas Indonesia (UI) yaitu benalu Dendrophthoe pentandra (Loranthaceae) (Romlah 2008: 21). Di wilayah kampus UI diketahui ditanami berbagai jenis pohon penghijauan (Pelaksanaan Program Penghijauan Kampus UI Depok 1987: 11). Berdasarkan pra penelitian Pratiwi (2015: 15) yang dilakukan di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) ditemukan sebanyak 551 pohon yang terdiri atas 124 spesies. Terdapat 43 spesies pohon di FMIPA UI yang ditumbuhi oleh benalu, salah satunya pohon kepel (Stelechocapus burahol). Berdasarkan pra penelitian tersebut juga ditemukan pohon S. burahol memiliki persentase tertinggi ditumbuhi pleh benalu dibandingkan dengan spesies pohon yang lain, yaitu sebesar 90%. Sembilan dari sepuluh pohon S. burahol yang terdapat di FMIPA UI diketahui ditumbuhi oleh benalu D. pentandra. Pohon kepel atau S. burahol () merupakan tumbuhan asli Indonesia yang keberadaannya mulai langka dan terancam punah (Fachrurozi 1980: 127). Stelechocarpus burahol memiliki tajuk pohon yang rimbun dan bentukya mengerucut membuat burung- burung sebagai penyebar biji benalu sering bertengger di cabang pohon S. burahol

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 (Hasanuddin 2013: 43). Stelechocarpus burahol memiliki kulit kayu yang kasar sehingga, biji benalu lebih mudah menempel (Arruda dkk. 2006: 131). Benalu yang tumbuh pada cabang pohon inang dapat menyebabkan kerusakan morfologi dan anatomi. Benalu dalam jumlah banyak pada suatu pohon inang akan mengakibatkan kematian karena tingkat agresivitasnya yang tinggi (Sunaryo dkk. 2006: 138). Akan tetapi, belum ada penelitian mengenai kerusakan pohon S. burahol yang diakibatkan oleh tumbuhnya benalu D. pentandra pada pohon tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai kerusakan pohon S. burahol akibat ditumbuhi oleh benalu D. pentandra. Stelechocarpus burahol yang mulai langka akan semakin terancam keberadaannya jika pohon tersebut ditumbuhi benalu dengan tingkat agresivitas yang tinggi. Benalu yang terlalu banyak tumbuh pada pohon S. burahol akan mengakibatkan kerusakan bahkan kematian, sehingga menyebabkan populasi pohon S. burahol akan berkurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui intensitas dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh benalu D. pentandra pada pohon S. burahol yang ada di FMIPA UI. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu upaya konservasi terhadap pohon S. burahol yang ada di FMIPA UI.

Tinjauan Teoritis

Parasitisme merupakan interaksi antar spesies, yaitu organisme parasit yang mengambil makanan dari inangnya. Hubungan parasitisme tersebut bersifat merugikan bagi inang dan akan menguntungkan bagi parasit (Campbell dkk. 2004: 368). Salah satu hubungan parasitisme yaitu terdapat pada tumbuhan parasit yang menginfeksi tumbuhan inangnya. Tumbuhan parasit tersebut membutuhkan inang sebagai penyedia sumber makanan berupa nutrien untuk melengkapi siklus hidupnya (Norton & Carpenter 1998: 101). Berdasarkan pengambilan nutrien tumbuhan parasit dapat dibagi menjadi dua yaitu hemiparasit dan holoparasit (Heide-Jørgensen 2008: 6). Hemiparasit merupakan tumbuhan parasit berklorofil, mampu berfotosintesis dan hanya mengambil air serta nutrien dari tumbuhan inang melalui haustorium (Nickrent & Musselman 2004: 1). Sementara itu, holoparasit memiliki ciri tidak berklorofil, tidak mampu melakukan fotosintesis, mengambil air dan nutrien dari xilem dan floem inang. Umumnya holoparasit merupakan parasit akar tetapi terdapat pula parasit batang yang telah kehilangan klorofilnya (Heide-Jørgensen 2008: 7).

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 Salah satu contoh tumbuhan hemiparasit yaitu benalu. Benalu juga termasuk ke dalam tumbuhan parasit aerial (Mathiasen dkk. 2008: 988). Benalu dapat dibagi menjadi tiga famili yaitu Loranthaceae, Viscaceae dan Misodendraceae. Famili yang paling banyak tesebar di wilayah tropis yaitu Loranthaceae dan Viscaceae, sedangkan Misodendroceae hanya memiliki 1 genus dengan 7 spesies yang tersebar di Argentina dan Chili (Nickrent 2009: 1--4). Di kawasan Malesiana (Malaysia, Indonesia, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon) terdapat 23 genus dan 193 spesies dari famili Loranthaceae, sedangkan famili Viscaceae hanya terdapat 4 genus dan 26 spesies. Di Pulau Jawa terdapat 37 spesies dari famili Loranthaceae dengan jumlah spesies yang terbesar terdapat di Jawa Barat yaitu sebanyak 28 spesies (Backer & Brink 1965: 40). Benalu memiliki peran ekologi sebagai kelompok keystone resource yaitu sekelompok tumbuhan yang memiliki peranan penting terhadap suatu komunitas atau ekosistem karena dimanfaatkan oleh banyak jenis mahkluk hidup lainnya (Watson 2001: 221-222). Selain itu, benalu juga berpotensi dijadikan tumbuhan obat seperti untuk mengobati luka dan infeksi pada kulit, mengobati hipertensi, obat batuk dan juga obat anti kanker (Rahayu dkk. 2006: 248). Benalu yang tumbuh pada pohon inang yang tidak spesifik menyebabkan kandungan senyawa pada benalu berbeda-beda, bergantung kepada jenis inangnya (Luttge 2008: 188- 189). Persebaran benalu dari satu jenis inang ke jenis inang yang lain sangat mudah terjadi karena dipengaruhi oleh perilaku makan burung dan tempat hinggapnya burung. Burung akan memilih pohon yang memiliki tajuk rimbun, serta kemiringan cabang yang hampir tegak lurus dengan batang utama. Cabang digunakan oleh burung sebagai tempat bertengger, bersarang, berlindung dari predator dan mencari makan (Devkota 2005: 85). Burung juga sering menyebarkan biji benalu di tempat yang agak tinggi pada pohon, dengan demikian biji benalu banyak ditemukan pada bagian kanopi yang tinggi (Carlo & Aukema 2005: 3250). Menurut penelitian Sunaryo (2008: 58) diketahui bahwa D. pentandra dapat tumbuh pada berbagai jenis pohon inang. Hal tersebut dikarenakan D. pentandra termasuk ke dalam kemlompok “generalis” yang memiliki host range cukup luas, sehingga dapat tumbuh pada jenis pohon inang yang berbeda-beda (Sunaryo dkk. 2006: 138). Dendrophthoe pentandra (L.) Miq termasuk ke dalam famili Loranthaceae. Penyebaran D. pentandra meliputi wilayah India sampai Indo Cina, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Filipina. Habitat D. pentandra umumnya tersebar di hutan hujan, di perkebunan dataran rendah dan juga di daerah pemukiman (Barlow 1997: 222).

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 Benalu D. pentandra termasuk ke dalam parasit cabang, yang akan berpenetrasi pada tumbuhan inang dengan menggunakan haustorium. Benalu tidak memiliki sistem akar yang sempurna, sehingga tidak mampu menyerap air dan nutrien secara langsung dari tanah (Toth & Kuijt 1977: 469). Benalu akan menggunakan haustorium sebagai alat untuk mengambil air dan nutrien dari inangnya. Air dan nutrien yang diambil dari inang akan digunakan benalu untuk memenuhi siklus hidupnya (Nickrent 2002: 5). Tumbuhan inang akan mengalami kerugian karena air dan nutrien yang seharusnya digunakan untuk proses fotosintesis malah diserap oleh benalu (Kuijt 1969: 16). Cabang pohon yang ditumbuhi benalu D. pentandra akan mengalami kerusakan, umumnya ujung cabang tumbuhan inang akan mengecil, kering dan akhirnya mati (Tennakoon & Pate 1996: 525). Selain itu, akibat ditumbuhi benalu, pada bagian cabang akan tumbuh kurang sehat yang ditandai dengan cabang dan daun yang tumbuh kurang subur. Jika cabang tersebut menghasilkan buah maka buahnya tidak dapat tumbuh dengan maksimal dan rata-rata ukurannya lebih kecil dari buah yang berada di cabang yang sehat (Pitojo 1996: 33-34 ). Penempelan biji benalu pada pohon inang sangat dipengaruhi oleh perilaku burung dalam memilih pohon untuk bertengger. Kelimpahan relatif dari pohon inang, ukuran dan diameter dari cabang pohon inang dapat mempengaruhi penempelan benalu (Devkota 2005: 85). Pada kondisi yang sesuai biji benalu yang menempel pada pohon inang tersebut kemudian akan berkecambah. Keberhasilan biji benalu untuk berkecambah dan tumbuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tekstur kayu dan kulit kayu, keberadaan air, oksigen, temperatur dan kodisi cahaya (Kuijt 1969: 14; Arruda dkk. 2006: 128). Kulit buah benalu yang telah terkelupas akibat dicerna oleh burung akan mudahkan biji benalu untuk menempel pada kulit kayu yang kasar. Hal tersebut disebabkan kulit kayu yang kasar memiliki celah yang besar, sehingga biji benalu tidak mudah terlepas akibat hujan dan angin (Arruda dkk. 2006: 129, 131-132). Biji benalu juga lebih mudah berpenetrasi pada kulit kayu pohon inang yang tipis. Haustorium benalu akan lebih mudah penetrasi ke jaringan xilem tumbuhan inang yang memiliki kulit kayu yang tipis dan tidak terlalu keras (Sunaryo 2008: 58). Kampus Unversitas Indonesia memiliki luas 312 ha yang dipergunakan untuk gedung perkuliahan, sarana dan prasarana, ruang terbuka hijau dan ekosistem perairan (Taqyuddin dkk. 1997: 17-18). Ruang terbuka hijau di wilayah UI meliputi hutan kota dan taman yang berada di dalam atau di luar fakultas. Laporan dari Pelaksanaan Program Penghijauan Kampus UI Depok (1987: 11) menyatakan bahwa ruang terbuka hijau di wilayah UI telah ditanami dengan berbagai tanaman penghijauan, salah satunya pohon S. burahol.

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 Stelechocarpus burahol atau kepel termasuk ke dalam famili Annonaceae. Stelechocarpus burahol tumbuh tersebar di Asia Tenggara, dari kawasan Malesia sampai Kepulauan Solomon dan dapat ditemukan sampai ketinggian 600 mdpl. Orang Jawa menyebut pohon S. burahol dengan sebutan simpel atau kecindul, sedangkan orang Sunda menyebutnya turalak atau burahol (Lim 2012: 227). Stelechocarpus burahol terkenal sebagai tanaman identitas Daerah Istimewa Yogyakarta. Budidaya pohon S. burahol hanya dapat dilakukan melalui biji. Hal tersebut membuat pohon S. burahol menjadi sulit untuk dikembangbiakkan, sehingga masyarakat tidak tertarik membudidayakan pohon S. burahol (Fachrurozi 1980: 129). Keberadaan pohon S. burahol saat ini semakin langka dan terancam punah (Budiharta dkk. 2011: 2). Hubungan tumbuhan parasit yang menempel pada inangnya dapat dikelompokkan menjadi parasitisme biasa, hiperparasitisme dan autoparasitisme (Mathiasen dkk. 2008: 992). Tumbuhan parasit dan tumbuhan inang dihubungkan dengan suatu organ yang disebut haustorium. Haustorium berasal dari kata latin yaitu “haustor” berarti minum dan “orium” berarti alat (Heide-Jørgensen 2008: 10). Haustorium merupakan jembatan fisiologis yang berfungsi mengambil air dan nutrien dari jaringan xilem tumbuhan inang (Toth & Kuijt 1977: 469). Terdapat dua jenis haustorium yaitu haustorium primer dan haustorium sekunder (Heide-Jørgensen 2008: 11). Haustorium primer merupakan organ utama dari tumbuhan parasit untuk memenuhi siklus hidupnya, sedangkan haustorium sekunder merupakan perpanjangan dari hasutorium primer. Umumnya haustorium sekunder memiliki ukuran lebih kecil dan lebih pendek, serta umurnya yang singkat, tetapi pada satu individu benalu dapat memiliki haustorium sekunder dengan jumlah hingga ratusan (Rubiales & Heide-Jørgensen 2011: 2).

Metode Penelitian

Lokasi pengambilan data dilakukan di wilayah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) . Sementara itu, lokasi pengamatan haustorium benalu D. pentandra yang menempel pada cabang S.burahol dilakukan di Departemen Biologi FMIPA UI dan UI-Olympus Bioimaging Center (UOBC). Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari--Juni 2016. Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu GPS (Global Positioning System), Lux meter

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 [Krisbow], Higrometer [Extech], alat tulis, lembar pengamatan, meteran jahit, tangga, gunting tanaman, golok, pisau, cutter, mortar, alu, Erlenmeyer, Spektrofotometer [Genesys 10S UV Vis], kamera digital [Cannon] dan Mikroskop Stereo [Olympus SZX16]. Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu benalu Dendrophthoe pentandra, pohon Stelechocarpus burahol, aseton dan kertas saring [Watman No.1]. Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode jelajah bebas (Rugayah dkk. 2004: 6). Jelajah bebas dilakukan diseluruh wilayah FMIPA UI. Letak pohon S. burahol ditentukan titik koordinatnya dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Hal-hal lain yang harus dicatat yaitu jumlah pohon S. burahol yang terdapat di FMIPA, jumlah pohon S. burahol yang ditumbuhi benalu D. pentandra. Faktor lingkungan yang diamati yaitu intensitas cahaya dan kelembapan. Intensitas cahaya diukur dengan menggunakan Lux meter. Kelembapan udara diukur dengan menggunakan higrometer. Intensitas cahaya dan kelembapan diukur pada letak benalu D. pentandra yang tumbuh di cabang, serta di dalam tajuk dan di luar tajuk pohon S. burahol. Frekuensi kehadiaran diketahui dengan cara menghitung kehadiran benalu D. pentandra pada setiap cabang pohon S. burahol, letak benalu pada cabang pohon dan jumlah benalu pada tiap cabang pohon. Letak penempelan benalu D. pentandra pada cabang pohon kemudian dapat dikategorikan sebagai berikut yaitu belum mati (BM), setengah mati (SM) dan mati (M). Kategori belum mati (BM) diketahui jika cabang pohon yang ditumbuhi benalu pada bagian cabang distalnya masih hidup. Kategori setengah mati (SM) diketahui jika benalu terletak di bagian ranting pohon kemudian bagian distalnya mati. Kategori mati (M) diketahui dengan cabang pohon yang ditumbuhi benalu bagian distalnya mengering atau mati. Selain itu, sebagai data tambahan pada frekuensi kehadiran benalu D. pentandra dilakukan juga pengukuran DBH (Diameter Breast High) pohon S. burahol yang digunakan untuk menentukan Basal Area pada setiap pohon. DBH diukur dengan cara mengukur keliling batang pohon pada ketinggian 130 cm dari permukaan tanah dengan menggunakan meteran jahit. Untuk mengetahui kerusakan morfologi dapat dilakukan pengamatan langsung pada cabang pohon S. burahol yang ditumbuhi benalu. Selain itu, kerusakan morfologi pohon S. burahol juga dapat diketahui melalui ukuran keliling cabang bagian proksimal dan distal. Untuk mengukur keliling cabang pohon digunakan meteran jahit. Cabang yang diukur kelilingnya yaitu bagian proksimal dan distal pohon inang yang ditumbuhi benalu dan cabang yang bebas benalu. Tingkat kerusakan cabang pada setiap pohon S. burahol dapat dihitung dengan

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 menggunakan rumus Nilai Kerusakan (NK) (Sunaryo 2008: 46) yang telah dimodifikasi, sebagai berikut:

NK% = !"!!" x 100% !"!!" !(!"!!") (Keterangan: NK = Nilai Kerusakan pohon; P 1= Jumlah keliling bagian proksimal cabang; yang ditumbuhi benalu; P2 = Jumlah keliling bagian proksimal cabang bebas benalu; D1 = Jumlah keliling bagian distal cabang yang ditumbuhi benalu; D2 = Jumlah keliling bagian distal cabang bebas benalu). Untuk mengetahui terjadinya kerusakan anatomi pada cabang pohon S. burahol dapat dibuat potongan membujur berdasarkan letak penempelan haustorium benalu D. pentandra pada cabang pohon S. burahol yang diambil secara acak. Potongan membujur haustorium pada cabang kemudian diamati di bawah mikroskop stereo dan didokumentasikan dalam bentuk foto. Uji kandungan klorofil dilakukan pada sampel daun S. burahol dan D. pentandra yang diambil secara acak, namun daun benalu dan inang harus berasal dari pohon yang sama. Daun S. burahol ataupun daun D. pentandra ditimbang sebanyak 1 gram, kemudian daun ditumbuk menggunakan alu dan mortar, selanjutnya dilarutkan dengan aseton. Larutan tersebut kemudian di saring dengan menggunakan kertas saring. Larutan hasil saringan tersebut kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 644 nm dan 663 nm dengan menggunakan spektrofotometer. Nilai absorbansi yang didapatkan kemudian dikurangi nilai blanko dan dimasukkan dalam rumus perhitungan klorofil (Arnon 1949 dalam Ting dkk. 2009: 207). Data yang telah diambil dari lapangan kemudian dirapikan dalam bentuk tabulasi data kemudian diolah. Data rerata intensitas cahaya dan kelembapan dapat digunakan untuk mengetahui kondisi fisik tempat tumbuhnya pohon S. burahol dan D. pentandra di FMIPA UI. Data frekuensi kehadiran benalu D. pentandra pada tiap pohon S. burahol dan letak penempelannya dapat digunakan menentukan perkiraan tingkat kerusakan cabang pohon inang akibat benalu. Sementara itu, pengukuran basal area digunakan untuk menentukan luasan kanopi yang dimiliki oleh setiap pohon S. burahol. Hasil perhitungan dari rumus Nilai Kerusakan (NK) akan diketahui persentase intensitas kerusakan pohon S. burahol akibat ditumbuhi oleh benalu D. pentandra. Persentase tingkat kerusakan pohon inang kemudian dapat dikategorikan dalam lima kategori, yaitu kategori 1 ( 0%--20% atau tidak rusak), kategori 2 (21%--40% atau sedikit rusak), Kategori 3 (41%-- 60% atau agak rusak), kategori 4 (61%--80% atau rusak) dan kategori 5 (81%--100% atau

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 sangat rusak). Selain itu, data Nilai Kerusakan (NK) dan jumlah benalu yang tumbuh pada setiap pohon juga diolah menggunakan SPSS 16 untuk mengetahui nilai keeratan hubungan antara kerusakan pohon S. burahol dengan jumlah benalu D. pentandra yang tumbuh pada pohon tersebut. Sementara itu, potongan membujur haustorium benalu D. pentandra yang menempel pada cabang pohon S. burahol digunakan sebagai data pendukung. Hal tersebut untuk mengetahui kerusakan yang terjadi pada jaringan cabang pohon S. burahol akibat penempelan haustorium benalu D. pentandra. Selain itu, perbandingan kandungan klorofil pada daun D. pentandra dan S. burahol juga dijadikan sebagai data pendukung. Data tersebut untuk mengetahui perbandingan komposisi klorofil pada daun D. pentandra dan S. burahol, yang berkaitan dengan kemampuan benalu untuk merusak pohon inang. Persentase Nilai Kerusakan (NK) antara pohon S. burahol di FMIPA UI kemudian dibandingkan. Berdasarkan perbandingan NK dapat diketahui pohon S. burahol yang memiliki tingkat kerusakan tertinggi sampai terendah. Upaya konservasi terhadap pohon S. burahol yang ada di FMIPA UI dapat dilakukan berdasarkan NK yang dimiliki oleh setiap pohon S. burahol tersebut, sehingga kerusakan pohon S. burahol akibat ditumbuhi benalu D. pentandra tidak bertambah parah.

Hasil Penelitian

Tabel 1. Frekuensi kehadiran benalu Dendrophthoe pentandra pada pohon Stelechocarpus burahol di FMIPA UI

Frekuensi Jumlah Jumlah Jumlah Letak benalu Pohon benalu pada benalu cabang Lokasi cabang Ke- cabang pada ditumbuhi pohon BM SM M /pohon (%) pohon benalu Samping Center of 1 43,90 24 41 18 16 1 1 Excelent (CoE) 2 Laboratorium Alam 0 0 23 0 0 0 0 Depan Gedung Dept. 3 84,81 145 79 67 32 7 28 Biologi Samping Gedung Dept. 4 67,69 64 65 44 19 7 18 Geografi Lapangan Olahraga 5 30,77 47 52 16 7 2 7 FMIPA Antara Gedung Dept. 6 26,51 54 166 44 28 0 16 Fisika & Kimia (Dallas 3) Antara Gedung Dept. 7 15,00 29 160 24 15 1 8 Fisika & Kimia (Dallas 2)

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 Antara Gedung Dept. 8 57,83 60 83 48 18 2 28 Fisika & Kimia (Dallas 1) 9 Area Parkir Dept. Kimia 11,63 5 43 5 3 0 2 *Keterangan: BM (belum mati); SM (setengah mati); M (mati)

Tabel 2. Hasil pengukuran rerata data lingkungan

3 Pohon Kelembapan (%) Cahaya (x10 ) Lokasi Ke- Benalu Di luar Tajuk Benalu Di luar Tajuk Samping Center of 1 61,67 65,67 66 25,10 74,53 1,78 Excelent (CoE) 2 Laboratorium Alam - 65,17 65,33 - 1,61 0,28 Depan Gedung Dept. 3 62,33 63,33 63,17 49,70 119,67 0,60 Biologi Samping Gedung Dept. 4 55,50 56,50 56,50 60,86 77,00 0,50 Geografi Lapangan Olahraga 5 50,67 51,83 55,67 55,27 90,53 0,87 FMIPA Antara Gedung Dept. 6 58,00 59,33 60,67 15,25 59,70 0,11 Fisika & Kimia (Dallas 3) Antara Gedung Dept. 7 57,00 60,83 61,17 56,18 64,67 0,20 Fisika & Kimia (Dallas 2) Antara Gedung Dept. 8 57,83 60,00 60,50 54,28 89,23 0,32 Fisika & Kimia (Dallas 1) 9 Area Parkir Dept. Kimia 57,33 61,00 63,83 20,69 96,70 0,25

Tabel 3. Hasil pengamatan karakter pohon S. burahol di FMIPA UI

Pohon DBH d Basal Area Lokasi ke- (cm) (cm) (cm2) 1 Samping Center of Excelent (CoE) 22,3 7,1 39,57 2 Laboratorium Alam 20 6,37 31,85 3 Depan Gedung Dept. Biologi 66 21,02 346,84 4 Samping Gedung Dept. Geografi 52,5 16,72 219,45 5 Lapangan Olahraga FMIPA 79 25,16 496,93* 6 Antara Gedung Dept. Fisika & Kimia (Dallas 3) 42,45 13,52 143,49 7 Antara Gedung Dept. Fisika & Kimia (Dallas 2) 45,7 14,55 166,19 8 Antara Gedung Dept. Fisika & Kimia (Dallas 1) 47,5 15,10 176,86 9 Area Parkir Dept. Kimia 45 14,33 161,20* *Keterangan: terdapat cabang pohon yang dipangkas

Tabel 4. Nilai Kerusakan (NK) pohon Stelechocarpus burahol di FMIPA UI

Pohon Lokasi NK (%) Kategori ke-

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 1 Samping Center of Excelent (CoE) 56,9 Agak rusak 2 Laboratorium Alam 0 tidak rusak 3 Depan Gedung Dept. Biologi 94,3 Sangat rusak 4 Samping Gedung Dept. Geografi 79,5 Rusak 5 Lapangan Olahraga FMIPA 69,1 Rusak 6 Antara Gedung Dept. Fisika & Kimia (Dallas 3) 53,3 Agak rusak 7 Antara Gedung Dept. Fisika & Kimia (Dallas 2) 30,1 Sedikit rusak 8 Antara Gedung Dept. Fisika & Kimia (Dallas 1) 72,7 Rusak 9 Area Parkir Dept. Kimia 26,2 Sedikit rusak

Gambar 1. Potongan membujur haustorium benalu Dendrophthoe pentandra yang berpenetrasi ke dalam cabang pohon Stelechocarpus burahol ke-1

Keterangan: • B = Benalu (Dendrophthoe pentandra) • I = Inang (Stelechocarpus

B burahol) • CZ = Collapsed zone CZ

I

Gambar 2. Diagram batang perbandingan rerata kadar klorofil pada daun benalu Dendrophthoe pentandra dengan daun Stelechocarpus burahol

3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 Kepel 1.0 0.5 Benalu 0.0

Klorofil (mg/L) Klorofil Klorofil A Klorofil B Total Klorofil Kepel 2.095 1.440 2.482 Benalu 0.977 0.404 1.154

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 Pembahasan

Berdasarkan perhitungan frekuensi populasi didapatkan sebanyak 88,89% (8 dari 9) pohon S. burahol FMIPA UI ditumbuhi oleh benalu D. pentandra. Hal tersebut berbeda dengan hasil pra penelitian yang menemukan 10 pohon S. burahol di FMIPA UI, dikarenakan salah satu pohon S. burahol yang berada di area parkiran kimia telah yang telah ditebang, sehingga jumlah pohon S. burahol saat penelitian hanya terdapat 9 pohon. Hasil perhitungan frekuensi kehadiran benalu yang tumbuh pada cabang di setiap pohon S. burahol berbeda-beda. Frekuensi kehadiran benalu tertinggi terdapat pada pohon ke-3 yaitu sebesar 84,81%, sedangkan yang terkecil terdapat pada pohon ke-2 yaitu 0%. Frekuensi kehadiran benalu yang mempengaruhi tingkat kerusakan pohon inang tidak terlepas dari agen penyebar biji dan tempat penempelan biji benalu. Faktor intensitas cahaya yang menyinari pohon akan mempengaruhi burung yang hinggap pada cabang pohon tersebut. Burung akan bertengger pada cabang terbuka yang terkena cahaya matahari untuk berjemur menghangatkan tubuhnya (Stamm dkk. 1993: 492). Pada pohon yang tersinari cahaya matahari lebih banyak kemungkinan kunjungan burung penyebar biji benalu lebih tinggi, sehingga frekuensi kehadiran benalu juga semakin meningkat. Biji benalu yang keluar dari sistem pencernaan burung memiliki tingkat keberhasilan berkecambah yang tinggi (Soto-Gamboa & Bozinovic 2002: 173). Menurut penelitian de Buen & Ornelas (2002: 100) tentang perkecambahan Psittacanthus schiedeanus (Loranthaceae), sebanyak 35% biji benalu yang kulit buahnya telah terkelupas oleh burung dapat berkecambah, sedangkan 65% sisanya kemungkinan akan mati mengering atau jatuh ke tanah. Perkecambahan biji benalu yang telah menempel pada cabang pohon inang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang sesuai seperti temperatur, kelembapan dan cahaya (Mathiasen dkk. 2008: 988). Menurut penelitian Heriyanto & Garsetiasih (2005: 71) tentang kajian ekologi pohon burahol (S. burahol) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur di dapatkan hasil lingkungan fisik tempat tumbuhnya pohon S. burahol yaitu dengan temperatur berkisar antara 26--30oC dan kelembapan udara 50--85%. Berdasarkan data tersebut rerata kelembapan pohon S. burahol yang terdapat di FMIPA UI masih termasuk ke dalam kisaran tersebut yaitu sekitar 50,67-- 66% (Tabel 2). Hal tersebut menunjukkan kondisi lingkungan di FMIPA UI sesuai bagi tempat hidup pohon S. burahol. Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan frekuensi kehadiran benalu pada setiap pohon S. burahol kemungkinan tidak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti cahaya dan

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 kelembapan. Hal tersebut dikarenakan rerata perhitungan kelembapan dan intensitas cahaya masih termasuk dalam kisaran toleransi untuk tumbuhnya D. pentandra dan S. burahol. Menurut Barlow (1997: 210) Loranthaceae umumnya ditemukan pada semua jenis hutan, di dataran rendah sampai ketinggiann 500 mdpl dengan rentang kondisi lingkungan yang cukup luas. Hal tersebut memungkinkan benalu D. pentandra memiliki kemampuan hidup yang cukup tinggi di berbagai kondisi lingkungan. Salah satunya yang terdapat pada pohon ke-9 yang memiliki intensitas cahaya tertinggi kedua setelah pohon ke-3, namun berdasarkan frekuensi persebarannya pohon ke-9 memiliki tingkat frekuensi yang cukup rendah yaitu 11,63% dan hanya ditemukan 5 individu benalu pada pohon ke-9. Hasil perhitungan luas basal area pohon S. burahol (Tabel 3) dapat diketahui pohon S. burahol yang memiliki basal area terluas yaitu terdapat pada pohon ke-5 sebesar 496,93 cm2, namun pada kondisi di lapangan pohon tersebut memiliki luas basal area tidak seperti hasil perhitungan. Hal tersebut dikarenakan pohon S. burahol ke-5 bagian tajuk atas dan beberapa cabangnya dipangkas, sehingga bentuk tajuknya tidak berbentuk kerucut seperti pohon S. burahol pada umumnya. Oleh karena itu, berdasarkan tabel 3 pohon S. burahol ke-3 dianggap memiliki basal area yang terluas. Hal tersebut memungkinkan banyak burung yang mengunjungi pohon S. burahol ke-3, sehingga menyebabkan tingginya tingkat frekuensi kehadiran benalu pada pohon ke-3. Sementara itu, pada pohon S. burahol ke-2 tidak ditumbuhi benalu, kemungkinan karena pohon tersebut jarang dikunjunggi oleh burung. Hal tersebut diakibatkan karena pohon ke-2 memiliki basal area yang tidak terlalu luas yaitu sebesar 31,85 cm2. Selain itu, pohon ke-2 terletak di bawah naungan pohon lain yang memiliki kanopi luas, sehingga burung lebih banyak hinggap pada pohon dengan kanopi yang tinggi dan luas tersebut. Burung yang jarang hinggap pada pohon ke-2 kemungkinan yang menyebabkan pohon tersebut tidak ditumbuhi oleh benalu. Berdasarkan penelitian Perdana (2010: 55) tentang burung-burung kota dan penyebaran benalu D. pentandra di kampus Universitas Indonesia, Depok, diketahui terdapat enam spesies burung yang memanfaatkan benalu D. pentandra. Burung-burung tersebut antara lain, burung cabe jawa (Dicaeum trochileum), burung kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), burung cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), burung madu kelapa (Anthereptes malaccensis), burung madu srigti (Cynniris jugularis) dan burung serindit melayu (Loriculus galgulus) (Perdana 2010: 55). Burung umumnya lebih tertarik pada pohon yang tinggi untuk bertengger dan mencari makan karena pohon yang lebih tinggi umumnya memiliki basal area (canopy) yang lebih luas. Basal area yang luas akan memberikan tempat jelajah yang lebih luas bagi burung untuk mencari makan pada pohon tersebut (Carlo & Aukema 2005: 3250).

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 Selain itu, benalu juga dapat bertahan hidup lebih baik pada pohon yang besar dan tinggi. Pohon yang besar akan menyediakan air yang lebih banyak, sehingga benalu akan lebih mudah mendapatkan air dari pohon inang yang besar (Roxburgh & Nicolson 2008: 29-30). Berdasarkan pengamatann di lapangan juga ditemukan benalu yang daunnya dimakan oleh ulat. Benalu merupakan keystone resource bagi ekositem, sehingga daun, bunga dan buah benalu dikonsumsi oleh mahluk hidup lain (Mathiasen dkk. 2008: 999). Diketahui ulat yang memakan daun benalu D. pentandra merupakan larva dari kupu-kupu Delias hyparete (Pieridae) (Corbet & Pendlebury 1978 dalam Wee & Ng 2008: 103). Hasil perhitungan dari rumus nilai kerusakan diketahui sebanyak 8 pohon S. burahol di FMIPA UI mengalami keruskan dan 1 pohon S. burahol tidak mengalami kerusakan (Tabel 4). Dengan kerusakan terbesar terjadi pada pohon ke-3 yaitu sebesar 94,3% yang termasuk ke dalam kategori sangat rusak. Sementara itu, nilai kerusakan terkecil terjadi pada pohon ke-2 yaitu sebesar 0% dengan kategori tidak rusak.

Gambar 3. Grafik hubungan kategori Nilai Kerusakan (%) pohon Stelechocarpus burahol dengan jumlah benalu Dendrophthoe pentandra di FMIPA UI.

Keterangan: = Pohon Stelechocarpus burahol = Garis linear

y = 0,025x + 1,903 R² = 0,748

Berdasarkan gambar 3 didapatkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,748. Keeratan hubungan antara nilai kerusakan pohon S. burahol dengan jumlah benalu D. pentandra dapat diketahui melalui nilai koefisien determinasi dalam persen yaitu sebesar 74,8%. Nilai tersebut menandakan sebesar 74,8% pohon S. burahol mengalami kerusakan akibat jumlah benalu yang tumbuh pada cabang pohon S. burahol tersebut. Benalu yang tumbuh pada pohon inang

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 diketahui dapat menyebabkan kerusakan morfologi dan anatomi pada cabang pohon inangnya. Benalu dalam jumlah yang banyak pada suatu pohon inang akan mengakibatkan kematian karena tingkat agresivitasnya yang tinggi (Sunaryo dkk. 2006: 138). Sementara itu, sebanyak 25,2% kerusakan pohon S. burahol dapat diakibatkan oleh faktor lain. Faktor lain yang dapat menyebabkan kerusakan pada pohon S. burahol antara lain yaitu ukuran atau besar benalu, lama tumbuhnya benalu pada pohon inang, ukuran dan usia pohon inang dan faktor lingkungan. Ukuran benalu akan semakin membesar seiring dengan lama tumbuhnya benalu pada pohon inang. Benalu yang semakin besar akan menyebabkan agresivitas benalu meningkat dan menyebabkan kerusakan pohon inang yang semakin parah (Heriyanto & Garsetiasih 2005: 71). Sementara itu, pohon inang yang semakin tua dan besar menyebabkan pohon tersebut memiliki banyak cabang, sehingga kemungkinan akan semakin banyak benalu yang tumbuh pada pohon tersebut karena burung akan semakin sering berkunjung ke pohon tersebut (Houehanou dkk. 2013: 114). Selain itu, faktor manusia juga dapat menyebakan kerusakan pada pohon inang di antaranya pemotongan dahan dan penebangan batang yang terjadi pada pohon S. burahol. Hasil potongan benalu yang menempel pada cabang S. burahol didapatkan potongan membujur haustorium, sedangkan cabang pohon terpotong melintang (Gambar 1). Pada pengamatan potongan membujur haustorium benalu D. pentandra pada cabang pohon S. burahol, nampak kerusakan jaringan cabang inang akibat penetrasi haustorium (Gambar 1). Terlihat pada gambar terdapat bagian yang menghitam menandakan bahwa sel-sel pada bagian jaringan tersebut mengalami kematian. Jaringan yang mengalami kematian disebut sebagai Collapsed zone. Pada bagian Collapsed zone terlihat jaringan tidak mengalami perkembangan seperti bagian yang lain yang masih normal. Bagian jaringan pembuluh inang sebagian mengalami kerusakan ditandai dengan warnanya yang menghitam. Pada bagian yang menghitam ukurannya lebih pendek, dibandingan dengan bagian yang tidak menghitam. Hal tersebut diakibatkan sel-sel inang pada zona tersebut tertekan oleh sel-sel dari haustorium benalu D. pentandra, sehingga sel tumbuh dengan kecepatan berbeda (Toth & Kuijt 1977: 455-456). Menurut Kuijt (1969: 691) haustorium sebagian besar tersusun atas sel-sel parenkim. Semakin besar daerah Collapsed zone maka semakin besar juga kerusakan yang akan ditimbulkan pada jaringan inang. Kandungan klorofil antara daun benalu dan inangnya diketahui berbeda (Strong dkk. 2000: 517). Berdasarkan Gambar 2 didapatkan hasil rerata kandungan klorofil pada benalu D. pentandra lebih rendah dari pada pohon S. burahol. Rerata kandungan klorofil a pada daun benalu yaitu hanya 0,977 mg/L, sedangkan pada daun S. burahol sebanyak 2,095 mg/L.

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 Sementara itu, rerata kandungan klorofil b pada benalu sebanyak 0,404 mg/L, sedangkan pada daun S. burahol sebanyak 1,440 mg/L. Walaupun rerata kadar klorofil antara S. burahol dan benalu D. pentandra berbeda namun kadar klorofil a pada benalu D. pentandra dan S. burahol sama-sama lebih tinggi dibandingkan dengan kadar klorofil b. Klorofil merupakan pigmen pada tumbuhan yang berfungsi untuk menangkap cahaya matahari yang akan digunakan untuk fotosintesis (Loveless 1991: 300). Menurut penelitian Strong dkk. (2000: 517) kandungan klorofil a pada tumbuhan umumnya dua sampai tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan klorofil b. Hal tersebut disebabkan klorofil a berperan sebagai pigmen utama untuk menyerap cahaya matahari, sedangkan klorofil b hanya berperan sebagai pigmen tambahan. Namun, klorofil b secara tidak langsung memiliki peran pada proses fotosintesis yaitu untuk mengirimkan cahaya yang ditangkap oleh klorofil b menuju klorofil a. Perbandingan kandungan klorofil pada tumbuhan sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan kondisi lingkungan (Vicas dkk. 2010: 213, 217). Kandungan klorofil pada inang memang lebih banyak dibanding klorofil benalu, karena pohon inang memiliki laju fotosintesis yang lebih tinggi dari pada benalu, sehingga pohon inang membutuhkan klorofil yang lebih banyak (Strong dkk. 2000: 517). Namun, jika benalu yang tumbuh pada pohon inang semakin banyak maka dalam jangka panjang dapat menyebabkan pengurangan kandungan klorofil pada pohon inang. Pengurangan kandungan klorofil pohon inang mengakibatkan kemampuan fotosintesisnya juga semakin berkurang. Selain itu, terjadi juga pengurangan air dan nutrien yang dibutuhkan inang untuk berfotosintesis akibat diambil oleh benalu. Menurut penelitian Mutlu dkk. (2016: 820) benalu mengakumulasi nutrien salah satunya yaitu Magnesium (Mg). Pada daun benalu ditemukan kandungan Mg yang lebih tinggi dibandingkan dengan daun inangnya. Magnesium merupakan salah satu element nutrien yang berperan penting dalam penyusunan komponen pigmen fotosintesis yang berada pada kloroplas. Jika kandungan Mg pada daun inang semakin rendah maka kemampuan fotosintesis pohon inang akan semakin berkurang (Mutlu dkk. 2016: 820). Pada penelitian ini pohon inang yaitu S. burahol belum mengalami kerusakan sampai terjadi defesiensi pigmen klorofil, namun secara morfologi dan anatomi sudah terjadi kerusakan cabang akibat ditumbuhi oleh benalu. Stelechocarpus burahol merupakan tumbuhan yang mulai langka dan terancam punah. Maka perlu dilakukan tindakan perawatan terhadap pohon S. burahol di FMIPA UI agar tidak mengalami kerusakan yang lebih parah akibat ditumbuhi benalu. Langkah perawatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerusakan pohon S. burahol di FMIPA UI di antaranya dengan menyingkirkan benalu. Penyingkiran benalu juga

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 dapat dilakukan dengan cara memotong cabang pohon yang ditumbuhi benalu dan jangan sampai menyisakan haustorium benalu karena benalu dapat tumbuh kembali (Mathiasen dkk 2008: 999). Terdapat juga cara kimia dengan herbisida ataupun kontrol biologi dengan mengunakan predator alaminya seperti kupu-kupu D. hyparete yang larvanya memakan daun benalu. Kupu-kupu tersebut dapat berperan sebagai kontrol alami bagi benalu agar tidak merusak tanaman (Wee & Ng 2008: 108). Selain itu, juga terdapat semut dari genus Crematogaster yang dapat dijadikan kontrol biologi untuk benalu Loranthaceae (Mony dkk. 2011: 75).

Kesimpulan

1. Terdapat 8 dari 9 (88,89%) pohon S. burahol yang berada di FMIPA UI ditumbuhi oleh benalu D. pentandra dengan tingkat kerusakan pohon yang ditimbulkan berbeda-beda. 2. Pohon S. burahol ke-3 memiliki Nilai Kerusakan (NK) pohon (94,3%), frekuensi kehadiran benalu D. pentandra (84,81%) dan luas basal area (346,84 cm2) yang terbesar. Sementara itu, Nilai Kerusakan pohon (0%), frekuensi kehadiran benalu (0%) dan luas basal area (31,85 cm2) terkecil terdapat pada pohon S. burahol ke-2. 3. Hasil pengamatan potongan membujur haustorium benalu D. pentandra yang tumbuh pada cabang S. burahol terlihat adanya jaringan tumbuhan inang yang mengalami kerusakan (Collapsed zone). 4. Daun S. burahol memiliki kandungan klorofil yang lebih tinggi dibandingkan dengan daun D. pentandra

Saran

1. Beberapa spesies pohon memiliki letak dan susunan cabang yang berbeda-beda, ada yang ditumbuhi oleh benalu dan ada yang tidak. Sehingga, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai karakter cabang pohon inang yang dapat meningkatkan keberhasilan perkecambahan biji dan hidup benalu. 2. Membandingkan kandugan klorofil daun benalu D. pentandra dengan daun spesies pohon inang yang berbeda-beda. Klorofil tersebut dibandingkan sehingga diketahui spesies pohon inang yang memiliki klorofil terbanyak. Pohon inang yang memiliki klorofil yang lebih banyak diduga dapat meningkatkan ketahanan hidup pohon inang terhadap benalu.

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 3. Perlu dilakukan pengamatan terhadap jaringan pembuluh yang terdapat pada cabang dan haustorium benalu D. pentandra untuk mengetahui susunan jaringan haustorium dan bagian cabang benalu.

Daftar Referensi

Arruda, R., L. N. Carvalho & Del-Claro. 2006. Host Specificity of Brazilian Mistletoe, Struthanthus Aff. polyanthus (Loranthaceae), In Cerrado Tropical Savana. Flora 201: 127--134. Backer, C. A. & R. C. B. Van den Brink. 1965. Flora of Java. Vol. II. N. V. P. Noordhoff-Groningen, Netherland: 72 + 641 hlm. Barlow, B. A. 1997. Loranthaceae. Flora Malesiana 1(13): 209--401. Budiharta, S., D. Widyatmoko, Irawati, H. Wiriadinata, Rugayah, T. Partomihardjo, Ismail, T. Uji, A. P. Kiem & A. Wilson. 2011. The Processes that Threaten Indonesian . Oryx: 1--7. Campbell, N. A., J. B. Reece & L. G. Mitchell. 2004. Biologi. Terj. dari Biology, oleh Manulu, W. Penerbit Erlangga, Jakarta: xxi + 436 hlm. Carlo, T. A. & J. E. Aukema. 2005. Female-Directed Dispersal and Facilitation Between a Tropical Mistletoe and A Dioecious Host. Ecology 86(12): 3245--3251. De Buen, L. L. & J. F. Ornelas. 2000. Host Compability of The Cloud Forest Mistletoe Psittacanthus schiedeanus (Loranthaceae) in Central Veracruz, Mexico. American Journal of Botany 89(1): 95--102. Devkota, M. P. 2005. Biology of Mistletoe and Their Status in Nepal Himalaya. Himalaya Journal of Science 3(5): 85--88. Docters van Leeuwen, W. M. 1954. On The Biology of Some Javanese Loranthaceae and The Role of Birds Play in Their Life-history. Beaufortia 4(41): 105--207. Fachrurozi, Z. 1980. Burahol (Stelechocarpus burahol (Bl.) Hk.f. & Th.) Deodoran Tempo Dulu dan Masalah Pelestariannya. Buletin Kebun Raya 4(4): 127--130. Hasanuddin. 2013. Model Arsitektur Pohon Hutan Kota Banda Aceh sebagai Penunjang Praktikum Morfologi Tumbuhan. Jurnal EduBio Tropika 1(1): 38--44. Heide-Jørgensen, H. S. 2008. Parasitic Flowering Plants. Aege V. Jensens Fond. and The Danish Ministry of Science, Technology and Innovation, Leiden: xiii + 425 hlm. Heriyanto, N. M. & R. Garsetiasih. 2005. Kajian Ekologi Pohon Burahol (Stelechocarpus burahol) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Buletin Plasma Nutfah 11(2): 65--73. Houehanou, T. D., V. Kindomihou, T. Stevart, B. Tente, M. Houinato & B. Sinsin. 2013. Variation of Loranthaceae Impact on Vitellaria paradox C. F. Gaertn. Yield in Contrasting Habitat and Implications for Its Conservation. 68(2): 109--120. Kuijt, J. 1969. The Biology of Parasitic Flowering . University of California Press, Berkeley: 246 hlm. Lim, T. K. 2012. Edible Medicinal and Non-Medicinal Plants. Vol 1. Springer, New York: xv + 835 hlm. Loveless, A. R. 1991. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropis. Gramedia Pustaka, Jakarta: xi + 408 hlm. Luttge, U. 2008. Physiological Ecology of Tropical Plants. 2nd Ed. Springer Verlag, Berlin: 458 hlm.

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 Mathiasen, R. L., D. L. Nickrent, D. C. Shaw & D. M. Watson. 2008. Mistletoe: Pathology, Systematics, Ecology and Management. The American Phytopathological Society 92(7): 988--1006. Mony, R., S. D. Dibong, J. M. Ondoua & C. F. B. Bilong. 2011. Study of Host-Parasite Relationship among Loranthaceae Flowering Shrubs-Mymecophytic Fruit Tree-Ants in Logbessou District, Cameroon. Annual Review & Research in Biology 1(3): 58--78. Mutlu, S., E. Osma, V. Ilhan, H. I. Turkoglu & O. Atici. 2016. Mistletoe (Viscum album) Reduces the Growth of The Scots Pine by Accumulating Essential Nutrient Elements in its Structure as a Trap. Tree 30: 815-- 824. Nickrent, D. L. 2002. Parasitic Plant of The World. Mundi-Presna Libros, Madrid: 29 hlm. Nickrent, D. L. 2009. Parasitic Plant. 1 hlm. http://parasiticplant.siu.edu/. Diakses tgl. 5 Februari 2016, pkl. 23.06 WIB. Nickrent, D. L. & L. J. Musselman. 2004. Introduction to parasitic flowering plants. 1 hlm. http://www.apsnet.org/edcenter/intropp/PathogenGroups/Pages/ParasiticPlants.aspx. Diakses tgl. 29 Januari 2016, pkl. 22.26 WIB. Norton, D. A. & M. A. Carpenter. 1998. Mistletoe as Parasites: Host Specificity And Speciation. Tree 13(3): 101--105. Pelaksanaan Program Penghijauan Kampus Universitas Indonesia. 1987. Laporan Kegiatan dan Pelaksanaan Program Penghijauan Lahan Kampus UI Depok April 1986 s/d Januari 1987. Universitas Indonesia, Depok: i + 63 hlm. Perdana, D. A. 2010. Burung-burung Kota dan Penyebaran Benalu Dendrophthoe pentandra (L.) Miq. Di Kampus Universitas Indonesia. Skripsi. Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, Depok: xiii + 73 hlm. Pitojo, S. 1996. Benalu Holtikultura: Pengenalian dan Pemanfaatannya. Trubus Agriwidya, Ungaran: vii + 70 hlm. Pratiwi, I. 2015. Asosiasi Benalu dengan Pohon Inang di FMIPA Kampus Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat. Laporan Kerja Praktik. Dept. Biologi FMIPA UI, Depok: iii + 43 hlm. Rahayu, M., S. Sunarti, D. Sulistiarini & S. Prawiroatmojo. 2006. Pemanfaatan Tumbuhan Obat secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal di Pulau Wawonii, Sulawesi Tengggara. Biodiversitas 7(3): 245-- 250. Romlah, A. 2008. Inventarisasi Tumbuhan Parasit (famili Loranthaceae) di Kampus UI Depok. Laporan Kerja Praktik. Dept. Biologi FMIPA UI, Depok: iv + 22 hlm. Rubiales, D. & H. S. Heide-Jørgensen. 2011. Parasitic Plants. Encyclopedia of Life Science: 1--10. Rugayah, E. A., Widjaja & Praptiwi. 2004. Pedoman Pengumpulan Data Flora. Pesat Penelitian Biologi LIPI, Bogor: xii + 144 hlm. Soto-Gamboa, M. & F. Bozinovic. 2002. Fruit-Disperser Interaction in a Mistletoe-Bird System: a Comparison of Two Mechanism of Fruit Processing on Germination. Plant Ecology 159: 171--174. Stamm, A. J., P. G. Weber & S. P. Weber. 1993. Chimney Perching Behavior in Birds: A Partical Urban Field Study Investigating the Relationship Between Biology & Meteorology. The American Biology Teacher 55(8): 488--494.

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016 Strong, G. L., P. Bannister & D. Burritt. 2000. Are Mistletoe Shade Plant? CO2 Assimilation and Chlorophyll Flourescence of Temperate Mistletoe and their Host. Annals of Botany 85: 511--519. Sunaryo. 2008. Pemarasitan Benalu Dendrophtoe pentandra (L.) Miq. pada Tanaman Koleksi Kebun Raya Cibodas, Jawa Barat. Jurnal Natur Indonesia 11(1): 48--58. Sunaryo, E. Rachman & T. Uji. 2006. Kerusakan Morfologi Tumbuhan Koleksi Kebun Raya Purwodadi oleh Benalu (Loranthaceae dan Viscaceae). Berita Biologi 8 (2): 129--139. Tennakoon, K. U & J. S. Pate. 1996. Effect of Parasitism by a Mistletoe on the Structure and Functioning of Branches of Its Host. Plant, Cell and Environment 19: 517--528. Taqyuddin, J., L. Sirait, A. Hakim, Ramelan & Firdausy. 1997. Atlas Kampus Universitas Indonesia. FMIPA UI, Depok: v + 40 hlm. Ting, A. S. Y., L. M. Tan & A. P. K. Ling. 2009. In vitro Assessment of Tolerance of Orthosiphon stamineus to Induced Water and Salinity Stress. Asian Journal of Plant Science 8: 206--211. Toth, R. & J. Kuijt. 1977. Anatomy and Ultrastructure of The Haustorium in Comandra (Santalaceae). Canadian Journal of Botany 55: 455--469. Vicas, S. I., V. Laslo, S. Pantea & G. E. Bandici. 2010. Chlorophyll and Carotenoids Pigment from Mistletoe (Viscum album) Leaves Using Different Solvent. Annalele Universitâtii din Oradea – Fascicula Biologoie 17(2): 213--218. Watson, D. M. 2001. Mistletoe a Keystone Resource In Forest And Woodlands Worldwide. Annual Review Ecology and Systematic 32: 219--249. Wee, Y. C. & A. Ng. 2008. Life History og the Painted Jezebel, Delias hyparete Linnaeus, 1758 (Order Lepidoptera). Nature in Singapore 1: 103--108.

Intensitas kerusakan ..., Ika Pratiwi, FMIPA UI, 2016