GERAKAN SALAFI DI KALANGAN MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

SALAFI MOVEMENT AMONG STUDENTS OF MAKASSAR STATE UNIVERSITY

AKSAN AMADI

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2020

ii

GERAKAN SALAFI DI KALANGAN MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

AKSAN AMADI EO32181011 S O S I O L O G I

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2020

iii

GERAKAN SALAFI DI KALANGAN MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk mencapai Gelar Magister

Program Studi Sosiologi

Disusun dan diajukan oleh :

AKSAN AMADI

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2020

iv

v

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Aksan Amadi

Nomor mahasiswa : E032181011

Program studi : Sosiologi

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 14 September 2020 Yang menyatakan

Aksan Amadi

vi

PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Gerakan

Salafi Di Kalangan Mahasiswa Universitas Negeri Makassar ini dapat tersusun dan berhasil diselesaikan. Salawat dan Salam kita kirimkan kepada junjungan Rasulullah SAW yang menjadi teladan kita dalam menghantarkan kita untuk selalu menuntut ilmu untuk bekal dunia dan di akhirat nanti. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister pada

Program Studi Sosiologi Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Dari sekian banyak pertolongan-Nya, salah satu yang penulis rasakan adalah uluran tangan, dan bantuan dari berbagi pihak. Karena itu adalah suatu kewajiban penulis untuk menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung, baik selama penulis menempuh pendidikan ataupun dalam proses penyelesaian.

Penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya kepada kedua orang tua yang telah mendidik saya hingga menjadi seperti ini, Bapak Fathur Aswan dan Ibu Kuniati yang selama ini bekerja keras untuk tetap menyekolahkan penulis sampai ke jenjang

Perguruan Tinggi. Terimakasih karena selalu mendoakan saya dalam setiap sujudnya, terimakasih sudah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kuliah dan kebutuhan penulis selama di Kota Makassar. Kepada vii

seluruh keluarga yang selalu mendukung, berkat semangat dan dukungan dari kalian semua, akhirnya karya ilmiah yang sederhana ini telah rampung penulis selesaikan.

Terima kasih yang teramat dalam penulis haturkan kepada pembimbing I sekaligus sebagai Wakil Dekan 2 Fakultas Ilmu Sosial Dan

Ilmu Politik Dr. H. Suparman Abdullah, M.Si karena telah menjadi sosok yang begitu berarti dalam perjalanan studi saya. Terima kasih karena telah menjadi orang tua bagi saya selama mengenyam pendidikan di dunia kampus. Bagi saya, jasa yang beliau torehkan tak mampu diurai satu per satu. Uluran tangan, sentuhan kasih sayang dan goresan ilmu yang beliau persembahkan untuk penulis sejak awal hingga akhir masa studi teramat berharga bagi penulis. Kepada pembimbing II Dr. Buchari Mengge, MA yang telah menorehkan jasa yang teramat penting dalam perjalanan akademik penulis. Telah membimbing dan berbagi ilmu serta mengarahkan dalam penyelesaian tugas akhir yang disusun oleh saya. Terimakasih atas segenap nasehat yang diberikan kepada penulis untuk menjalankan tanggungjawab secara maksimal untuk mencapai hasil yang terbaik.

Terimakasih pada Prof. Dr. H. M. Tahir Kasnawi, SU selaku ketua program studi S3 Sosiologi Pascasarjana sekaligus tim penilai seminar atas perhatian dan dukungannya dalam penyelesaian tesis ini. Terimakasih kepada Dr. Rahmat Muhammad, M.Si selaku ketua program studi S2

Sosiologi Pascasarjana sekaligus anggota tim penilai seminar atas segala bimbingan dan waktunya dalam penyelesaian tesis ini. Terimakasih kepada viii

Dr. M. Ramli AT selaku anggota tim penilai seminar atas segala bimbingan dan waktunya dalam penyelesaian tesis ini.

Ucapan terimakasih teruntuk seluruh keluarga yang selalu menyemangati serta mendukung baik secara materi dan doa yang tak henti- hentinya dipanjatkan, hingga sampai pada titik kebahagian penyelesain study Magister, dan tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada

Keluarga di Prodi Sosiologi Universitas Negeri Makassar, dalam hal ini

Ayahanda Idham Irwansyah S.Sos, M.Pd yang selalu memberikan arahan dan semangat untuk menyelesaikan study. Pak Mario S.Sos, M.Si yang selalu memberikan motivasi dan semangat bagi penulis. Kak Sofyan

Tamrin S.Pd. M.Pd sebagai senior diskusi untuk menyempurnakan tulisan ini, Kak Mauliadi S.Sos, M.Sos yang selalu setia mendengarkan cerita penelitian penulis, serta Ayahanda Dr. Firdaus W Suhaeb M, Si yang selalu mendukung penelitian penulis. Tidak lupa teman-teman Pascasarjana

Sosiologi Unhas angkatan 2018: Wahyu Hidayat, Akbar, Fauzi, Usuluddin,

Aan, Ilho, Irsan, Zhul, Sindy, Asma Jafar, Inna, Oda, Riski, Nofri, Umar, Fitri,

Putri, Vivi. Terima kasih buat teman-teman seperjuangan saya yang telah banyak membantu selama perkuliahan, senang mengenal kalian dan semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam kelancaran penyusunan tesis ini. Terimakasih pula saya sampaikan kepada para informan saya di Kampus Universitas

Negeri Makassar, Semoga bantuan dan dukungannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. ix

Akhirul kalam “Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang tak luput dari kesalahan”. Penulis sadar bahwa tidak ada karya insan yang sempurna, dan tesis ini merupakan satu bukti nyata bahwa karya ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan dari segenap para pembaca demi karya yang lebih baik lagi di hari esok. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.

Makassar, 14 September 2020

Aksan Amadi Penulis

x

xi

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….i HALAMAN PENGAJUAN……………………………………………………….ii HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………………iii LEMBAR PERYATAAN KEASLIAN TESIS…………………………………..iv

SANWACANA……………………………………………………………………v ABSTRAK…………………………………………………………………………x ABSTRACT………………………………………………………………………xi DAFTAR ISI……………………………………………………………………..xii

DAFTAR TABEL………………………………………………………………..xiii DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………….xiv DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………..xv

BAB I PENDAHULUAN...... 1

A. Latar Belakang ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 8 C. Tujuan Penelitian ...... 9 D. Manfaat Penelitian ...... 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...... 11

A. Salafi ...... 11 B. Tinjaun Teoritis...... 25 1. Gerakan Sosial ...... 25 2. Gerakan Sosial Ke-agamaan ...... 38 3. Teori Pilihan Rasional ...... 41 4. Internalisasi ...... 44 5. Penelitian Terdahulu ...... 46 C. Kerangka Konsep ...... 50 BAB III METODE PENELITIAN ...... 52

A. Metode dan Dasar Penelitian ...... 52 xiii

B. Informan Penelitian ...... 53 C. Waktu dan Lokasi Penelitian ...... 57 D. Sumber Data ...... 57 E. Teknik Pengumpulan Data ...... 58 F. Teknik Analisis Data ...... 62 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 64

A. Gambaran Khusus Lokasi Penelitian ...... 64 1. Profil Universitas Negeri Makassar ...... 64 2. Struktur dan Tata Organisasi UNM ...... 66 3. Lokasi Spesifik Penelitian ...... 72 4. Profil Informan Penelitian ...... 74 B. Hasil Penelitian ...... 79 1. Kemunculan Ajaran Salafi di Kalangan Mahasiswa UNM ...... 79 a. Latar Belakang Kemunculan Ajaran Salafi...... 80 b. Strategi Jaringan Sosial dalam Gerakan Salafi...... 93 2. Gerakan Salafi di Kalangan Mahasiswa UNM ...... 100 a. Aktifisme Mobilisasi Sumber Daya Gerakan Salafi ...... 100 b. Peranan Aktor Kampus dalam Gerakan Salafi ...... 107 C. PEMBAHASAN ...... 115 1. Kemunculan Ajaran Salafi di Kalangan Mahasiswa UNM ...... 115 a. Resaource Mobilization Theory ...... 115 2. Gerakan Ajaran Salafi di Kalangan Mahasiswa UNM ...... 120 a. Resaource Mobilization Theory ...... 120 b. Coloctive Action Frames ...... 122 BAB V PENUTUP ...... 131

A. Kesimpulan ...... 131 B. Saran ...... 134

DAFTAR PUSTAKA

xiv

DAFTAR TABEL

Nomor halaman Tabel 1. Matriks varian Salafi Internasional 18

Table 2. Matriks varian Salafi di 24

Tabel 3. Matriks penelitian terdahulu 48

Tabel 4. Matriks masalah penelitian 56

Tabel 5. Matriks observasi penelitian 60

Tabel 6. Matriks lokasi UNM serta Fakultasnya 67

Tabel 7. Matriks Lembaga Kemahasiswaan UNM 70

Tabel 8. Matriks Lembaga Dakwah Fakultas UNM 72

Tabel 9. Matriks daftar nama informan penelitian 75

xv

DAFTAR GAMBAR

Nomor halaman 1. Kerangka Pemikiran 51

2. Analisis Data Model Interakrif dari Miles dan Hubermann 63

3. Kerangka Latar Belakang Kemunculan Salafi 92

4. Kerangka Membagun Jaringan Sosial Salafi 99

5. Kerangka Aktifisme Mobilisasi Gerakan Salafi 106

6. Kerangka Peranan Aktor Kampus dalam Gerakan Salafi 114

7. Kerangka Hasil Penelitian 130

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor 1. Lampiran Pedoman wawancara 2. Lampiran Surat izin penelitian 3. Lampiran Dokumentasi wawancara 4. Lampiran Riwayat Hidup

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena Gerakan keagamaan yang bermunculan di Indonesia yang begitu pesat pada dasawarsa 1980, sebut saja fenomena Gerakan

Ajaran Salafi yang bertujuan sebagai pemurnian ajaran dengan mengedepankan kampanye pembasmian terhadap segala sesuatu yang dianggap bid’ah (As’ad. 2012:106). Salafiah adalah salah satu metode dalam agama Islam yang mengajarkan syariat Islam secara

Murni tanpa adanya tambahan dan pengurungan, berdasarkan syariat yang ada pada generasi Muhammad dan para sahabat dan muridnya.

Salah satu fase kontemporer yang paling menarik bagi perkembangan Islam di Indonesia adalah dasawarsa 1980 (1980-1990- an). Sepuluh tahun tersebut adalah masa yang memunculkan berbagai perkembangan baru atas dinamika Islam di Indonesia (Azra 1999:17).

Perkembangan tersebut berkaitan dengan masuknya berbagai gerakan- gerakan Islam dari Timur tengah. Mereka membawa dan mengusung ide-ide mengenai kebangkitan Islam.

Salah satu kelompok gerakan Islam yang mulai pada tahun 1980- an adalah kelompok yang disebut sebagai gerakan ajaran Salafi.

Gerakan ini mengusung ide yang disandarkan pada diskursus salaf.

Secara bahasa, kata salaf memiliki arti “telah lalu”, sedangkan secara istilah salaf adalah “sifat yang dikhususkan kepada para sahahabat

(generasi awal Islam), dan juga selain mereka, ikut serta dalam makna 2

ini yaitu orang-orang pada generasi selanjutnya yang mengikuti mereka”

(Jawas 2008:14). Jadi, Salafi berarti kata yang merujuk kepada pemikiran keagamaan yang disandarkan pada orang-orang pada periode awal Islam yakni saat Nabi masih hidup , kemudian orang-orang setelah meraka lalu orang-orang setelah meraka, yang merupakan sumber paling otentik sebagai panduan Islam (Jahroni 2007:105).

Perkembangan Salafi di Indonesia muncul pada awal Dekade

1980-an. Dorongan utamanya adalah berdirinya lembaga LIPIA

(lembaga ilmu pengetahuan Islam dan bahasa Arab) yang merupakan cabang dari Universitas Imam Muhammad Ibn Saud Riyadh di

Indonesia. LIPIA pertama kali dipimpin oleh Syekh Abdul Aziz Abdullah al-Ammar, murid tokoh utama Salafi Syekh Abdullah bin Baz. (As’ad.

2012:120).

LIPIA menggunakan kurikulum Universitas Riyadh staf pengajar pun didatangkan langsung dari Saudi salah satu yang membuat banyak mahasiswa tertarik belajar di LIPIA karena LIPIA menyediakan beasiswa berupa uang kuliah dan uang saku, lebih dari itu LIPIA juga menjanjikan para alumninya untuk bisa melanjutkan study tingkat

Master dan Doktoral di Universitas Riyadh di Saudi.

Dari generasi 1980-an lahir Jafar Umar Thalib dia adalah lulusan pertama LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab) dan menjadi Perintis pertama gerakan dakwah Salafi di Indonesia. Di antara lulusan LIPIA Jafar Berangkat ke Yaman pada tahun 1991 untuk 3

belajar pada Syekh Mukbil Ibn Hadi al-wadi' di Dammaz Yaman. Seperti sudah disinggung sebelumnya Mukbil adalah tokoh Salafi puritan.

Karakter ini akan menurun pada Jafar. Sedangkan Yusuf Baisa, lulusan

LIPIA lainnya, belajar langsung ke Arab Saudi dan belajar dari kalangan

Syekh Shahwah Islamiyah. Karena sahwa, terpengaruh Ikhwanul

Muslimin. Maka pandangan Yusuf bisa Nantinya juga sangat berbeda dengan Jafar (As’ad. 2012:121).

Gerakan ini kemudian berkembang pesat terutama sejak lengsernya kepemimpinan Soeharto. Pertumbuhan Salafi menandai kecenderungan baru dalam aktivisme Islam di Indonesia, meski memperlihatkan identitas yang berbeda dan ambisi untuk kembali kepada apa yang mereka sebut “Islam murni”, sebagaimana dipraktikan oleh salaf ash-shalih (para pendahulu yang saleh). Mereka mengusung pendirian yang disebut “kesunyian apolitis” (Hasan 2008:32), yaitu pendirian yang mencurahkan perhatian sepenuhnya pada pemurnian

Tauhid dan beberapa isu lain yang berkaitan dengan pembaruan praktik keagamaan.

Pertumbuhan gerakan ini ditopang oleh keadaan politik pada era reformasi yang terbuka lebar, sehingga menjamin kebebasan berekspresi bagi individu maupun kelompok. Pada era ini, organisasi massa dari segala elemen mulai muncul, termasuk partai politik. Hasan

(2008) mencatat fenomena reformasi menjadi momentum lahirnya organisasi-organisasi massa, kebanyakan diantaranya berbasis Islam, seperti Front Pembela Islam (FPI), , Majelis Mujahidin 4

Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Kesatuan Aksi

Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Gerakan keagamaan yang berkembang dilingkungan Kampus

UNM, terdiri dari berbagi Ormas, sebut saja gerakan HTI, ikut serta dalam mewarnai gerakan ke agamaan dilingkungan kampus UNM, yang menjalankan proses dakwah di taman-taman Fakultas yang tersebar di

UNM, gerakan HTI yang lebih prontal dalam melihat situasi Sosial Politik

Nasional, terlihat dari media cetak yang diterbitkan HTI ranting UNM.

Wajah gerakan HTI bertitik tolak dari pandangan Taqiyuddin An-

Nabhani bahwa dunia Islam harus terbebas dari segala bentuk penjajahan, maka mendirikan Khilafah Islamiyah menjadi sebuah keharusan. Khilafah yang dimaksud adalah kepemimpinan ummat dalam suatu Daulah Islam yang Universal dimuka bumi, yang dipimpin oleh pemimpin tunggal (khalifah) yang dibai’at oleh ummat. Dari tujuan mendirikan Khilafah Islamiyah, maka HTI telah memproklamirkan dirinya sebagai kelompok politik (parpol), bukan semata kelompok kerohania semata, sehingga dalam seluruh aktivitas HTI dilakukan bersifat politik, baik dalam mendidik dan membina ummat, dalam aspek pemikiran dan dalam perjuangan Politik. (As’ad. 2012:81)

Gerakan keagaman lainya seperti Wahdah Islamiayah yang memiliki basis dan akar yang kuat di UNM, gerakan tersebut mengakar di Lembaga Dakwah Fakultas yang ada di kampus UNM, gerakan yang memiliki ke anggotaan yang cukup besar dengan pengorganisiran yang 5

matang dalam melakukan kegiatan penyebaran ajaran yang berpaham

Wahdah Islamiyah.

Kehadiran kelompok Salafi di lingkungan UNM menambah warna baru pemahaman beragama di lingkungan kampus UNM itu sendiri, gerakan Salafi yang menjamur di lingkungan kampus UNM, yang masih mencari ruang eksistensi menyusun dan memobilisasi masa untuk menambah simpatisan yang bermanhaj Salafiyah, dengan menjalankan metode dakwah, dengan mengandalkan fasilitas Masjid yang terdapat di UNM khususnya di Masjid Nurul Ilmi.

Keterbukaan struktur pengurus Masjid Nurul Ilmi memberikan ruang kepada anggota kelompok Salafi dalam menyelenggarakan kegiatan kajian rutin dan Tabliq Akbar yang diselenggarakan sekali dalam sebulan atau tiga bulan, serta semangat antusias mahasiswa

UNM terlibat dalam agenda yang diselenggarakan oleh kelompok Salafi, sehingga banyak Mahasiswa UNM yang telah mengenal Manhaj

Salafiyah.

Menelaah lebih jauh, penulis melihat sejarah gerakan Salafi berkembang cukup pesat terutama sejak reformasi bergulir di Indonesia.

Keruntuhan rezim otoriter Soeharto menciptakan kondisi politik yang demokratis, sehingga membuka kesempatan bagi gerakan dakwah salafi untuk tampil dan muncul ke permukaan. Pada era ini, perkembangan Salafi sangat terlihat mulai dari banyaknya pengajian- pengajian, -pesantren, dan buku-buku terbitan yang 6

menyampaikan ide-ide salafi. Era reformasi merupakan sebuah bagian dari struktur kesempatan politik bagi gerakan dakwah Salafi untuk muncul dan berkembang serta bisa dengan bebas menyebarkan pandangan-pandangannya kepada masyarakat.

Pandangan yang disebarkan tersebut haruslah dikemas dengan baik. Keterbukaan sistem politik untuk bisa menyampaikan gagasan saja tidak cukup karena diperlukan adanya sebuah pengemasan nilai- nilai dan ideologi. Inilah sebuah proses yang dikenal sebagai framing dalam setiap gerakan sosial. Hal ini bertujuan agar segala pandangan dan ideologi gerakan salafi bisa diterima oleh para pengikutnya, khususnya di lingkungan kampus Universitas Negeri Makassar.

Dalam Lingkungan Kampus UNM yang terdiri dari Sembilan

Fakultas, dan setiap Fakultas memiliki Lembaga dakwah masing- masing, yang menyebarkan dakwah berdasarkan atas pemahaman

Para Salafussaleh, kemudain Lembaga Dakwah Fakultas dinaungi

Lembaga Dakwah Kampus Forum Studi Islam Raudhatul Ilmi (LDK FSI

RI) UNM.

Fenomena Gerakan Ajaran Salafi yang berkembang di Universitas

Negeri Makassar (UNM) yang berwajah moderat dan inklusif serta cenderung menempuh cara-cara modern dalam dakwahnya. Pusat kegiatan aktifitas gerakan Salafi dilakukan disektor kampus Gunung

Sari, tepatnya pada Masjid Nurul Ilmi. Kegiatan yang dilakukan meliputi, kajian Rutin dan membahas persoalan keagamaan. Jika 7

ditelusuri berdasarkan wawancara dengan salah satu mahasiswa salafi di UNM, memberikan penjelasan terkait Gerakan salafi yang berkembang di Lingkungan UNM yang bermarkas di Pesantren Ma’had

As-Sunnah Makkasar, yang dipimpin oleh Dzulqarnain M. Sunusi yang terletak tepatnya di Jalan. Baji Rupa no 8, Tamalate, Kota Makassar.

Lingkungan Kampus UNM terdiri dari banyak ormas yang berkembang, seperti Wahdah dan Hizbut Tahrir, namun tidak menyurutkan Gerakan Salafi dilingkungan Kampus UNM, hal demikian dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan Dakwah yang diselenggarakan dilingkungan Kampus UNM, tepatnya di Masjid Nurul Ilmi. penulis tertarik untuk mengetahui Gerakan-gerakan yang dibangun dan mencari tau aktor dibalik Gerakan Salafi dilingkungan Kampus UNM, mencoba menelisik lebih jauh model penyebaran ajaran Salafi di kalangan

Mahasiswa, menggunakan fariabel-fariabel apa saja dalam menjalankan dan menyebarkan ajaran Salafi dilingkungan Kampus

UNM, dan menggali lebih jauh visi politik dari Gerakan Ajaran Salafi yang dibagun di lingkungan Kampus UNM.

Gerakan Salafi menjadi menarik untuk diteliti dalam lingkungan

Kampus UNM, hal demikian dikarenakan gerakan Salafi bersanding dengan ormas ormas keagaman yang terdapat di Kampus UNM, seperti

HTI, , dan HMI, sehingga dibutuhkan pengorganisiran yang matang dan baik bagi kelompok Salafi dalam berjejaring massa, namun Kelompok Salafi tidak menerima sebuah organisasi Formal dalam ajaran Salafi, sehingga menjadi tantangan besar bagi kelompok 8

Salafi dalam mengorganisir massa untuk merekrut kader baru yang berpaham Salafi.

Dari Fenomena di atas, penulis mengkerucutkan Rumusan

Masalah Salafi yang terdapat pada kampus Universitas Negeri

Makassar yang menarik untuk diteliti, sebagai berikut: a) Bagaimana kemunculan gerakan Ajaran Salafi di Kampus Universitas Negeri

Makassar, b) Bagaimana proses gerakan Ajaran Salafi dikalangan mahasiswa Universitas Negeri Makassar, dari fokus masalah diatas sehingga penulis tertarik untuk meneliti dengan judul, Gerakan Salafi

Di Kalangan Mahasiswa Universitas Negeri Makassar.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kemunculan Gerakan Ajaran Salafi di Kampus

Universitas Negeri Makassar ?

a. Bagaimana latar belakang kemunculan gerakan Ajaran Salafi

Di Kalangan Mahasiswa UNM.

b. Bagaimana strategi membangun jaringan Sosial dalam

gerakan Salafi di Kalangan Mahasiswa UNM.

2. Bagaimana gerakan Ajaran Salafi di Kalangan Mahasiswa

Universitas Negeri Makassar?

a. Bagaimana aktifisme Mobilisasi Sumber Daya dalam

melakukan Gerakan Ajaran Salafi di Kalangan Mahasiswa

UNM.

b. Bagaimana peranan Aktor Kampus dalam gerakan Ajaran

Salafi di UNM. 9

C. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis Latar Belakang kemunculan Gerakan Ajaran Salafi

di Kalangan Mahasiswa Universitas Negeri Makassar.

a. Menganalisis latar belakang kemunculan Gerakan Salafi di

Kalangan Mahasiswa UNM.

b. Menganalisis strategi membangun Gerakan jaringan sosial

dalam Gerakan Salafi di Kalangan Mahasiswa UNM.

2. Menganalisis Gerakan Ajaran Salafi di Kalangan Mahasiswa

Universitas Negeri Makassar.

a. Menganalisis aktifisme mobilisasi sumber daya dalam

melakukan Gerakan Ajaran Salafi di Kalangan Mahasiswa

UNM.

b. Menganalisis peranan Aktor Kampus dalam gerakan Ajaran

Salafi di UNM.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat

memperkaya khasanah ilmu pengetahuan pada umumnya dan

disiplin ilmu Sosiologi pada khususnya, terutama dalam bidang

Gerakan Sosial, terkait topik Salafi, dan dapat dijadikan sebagai

bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut yang berkenaan

dengan topik ini.

10

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai informasi kepada mahasiswa dan masyarakat agar

mengetahui Gerakan Ajaran Salafi di Kampus Universitas

Negeri Makassar

b. Dapat membantu penelitian selanjutnya untuk melakukan

penelitian tentang Gerakan Ajaran Salafi di Kampus

Universitas Negeri Makassar.

c. Sebagai bahan masukan atau sumbangan pikiran bagi pihak

setempat mengenai Gerakan Ajaran Salafi di Kampus

Universitas Negeri Makassar.

11

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Salafi sebuah pengantar

1. Pengertian Salafi

Penggunaan istilah Salafiyah, generasi Salafi, dan al-salaf al-

shālih digelorakan dalam rangka memperjuangkan kebenaran atau

Islam murni mereka. Namun kata Salafiyah sering dipakai tanpa

pertimbangan yang cermat mengenai berbagai arti yang dimilikinya.

Seringkali istilah Salafiyah dipandang sebagai jenis kata sakti atau

sakral dalam sebuah sistem perjuangan tentang kebenaran atau al-

haqq.

Salafi, secara etimologis (bahasa) berasal dari bahasa Arab

yaitu ‘salaf’ yang berarti apa yang telah berlalu dan mendahului.

Sebagaimana ungkapan as-salaf yang artinya suatu kaum yang

mendahului dalam perjalanan. Makna salaf menurut Al-Atsari adalah

orang yang mendahului, baik itu nenek moyang maupun kerabat

keluarga atau siapapun (Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari. Hal 39.

2007.) Adapun secara terminologis (istilah), kata salaf, menurut para

ulama adalah sekitar sahabat, tabi’in, dan tabi’ al-tabi’in yang hidup

di masa tiga abad pertama hijriah. Mereka adalah golongan yang

dimuliakan dari kalangan para Imam. Mereka diakui keimanan,

kebaikan, pemahaman keagamaannya, dan keteguhannya dalam

menjadikan Sunnah sebagai pedoman hidup serta menjauhi bid’ah. 12

Umat Islam sepakat dengan keagungan dan kedudukan mereka yang terhormat dalam agama. Hal itu disandarkan pada sabda Nabi:

“Sebaik-baik manusia adalah (orang yang hidup) pada masa-ku ini (yaitu generasi sahabat), kemudian yang sesudahnya (generasi tabi’in), kemudian yang sesudahnya (generasi tabi’ al-tabi’in)” (H.R: Bukhari) (Muhammad Nashiruddin Al-Albani.hal 9.2005)

Hal yang tidak diragukan lagi bahwa sebab kebaikan dan keutamaan yang diberikan kepada golongan umat Islam tersebut karena mereka bagaikan lingkaran mata rantai pertama terdekat yang menyambungkan kepada risalah Rasulullah. Generasi pertama merupakan kawanan (garda) terdepan yang menerima pengajaran tentang akidah dan dasar-dasar agama Islam secara langsung dari

Rasulullah. Generasi kedua disebut dengan tabi’in (pengikut) yang terlimpahi cahaya kenabian dengan mengikuti sahabat-sahabat

Rasulullah dan mengikuti petunjuk mereka. Mereka memperoleh cahaya dari generasi pertama yang telah bertatap muka langsung dengan Rasulullah dan duduk dalam majelis Rasulullah serta adanya pengaruh dari nasihat dan wasiat Rasulullah. Kelompok yang ketiga dinamakan dengan tabi’ al-tabi’in. Kelompok ini merupakan penutup dari generasi yang lurus pemikirannya dan murni jaran Islamnya dari segala bentuk penyimpangan- penyimpangan. (M. Said Ramadhan Al-Buthi.hal 3.2005), Tiga generasi inilah yang kemudian disebut salaf as-salih.

Tiga generasi ini merupakan model sebuah komunitas yang bersandar pada kebenaran wahyu. Karena itu, tiga generasi ini 13

adalah orang-orang yang lebih unggul dan mengerti di dalam memahami makna dan maksud yang terkandung di dalam al-Qur’an.

Mereka adalah orang yang lebih dahulu menerima dan memahami dari Sunnah Rasulullah. Mereka termasuk orang yang paling jujur dan teguh dalam beragama, lebih suci fitrahnya, dan jauh dari upaya penyelewengan dan bid’ah. Maka, tiga generasi inilah merupakan orang-orang yang lebih dapat dipercaya dan dapat selamat dengan mengikutinya. (Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari.hal 41.2007)

Namun, pembatasan istilah salaf berdasarkan waktu atau masa bukan merupakan syarat dalam hal ini. Syaratnya adalah kesesuaian pandangannya dengan al-Qur’an, al-Sunnah dan pemahaman salaf, baik dalam masalah akidah, hukum syar’i, maupun akhlak. Sehingga siapapun yang pemahamannya sesuai dengan al-Qur’an dan al-

Sunnah walaupun berjauhan tempat dan masanya, maka dia adalah pengikut salaf. Sebaliknya siapa yang tidak sesuai, walaupun dia hidup sezaman, maka dia bukan tergolong salaf.5 Generasi salaf adalah generasi yang lebih pantas diikuti daripada generasi yang lain, dikarenakan kejujuran mereka dalam keimanan dan keikhlasan dalam beribadah. Mereka adalah generasi penjaga kemurnian akidah, pelindung syari’ah dan pelaksananya baik dengan perkataan maupun perbuatan. (Slamet Muliono R.hal.148.2011)

“Rasulullah SAW bersabda sungguh umatku nanti akan pecah menjadi 73 golongan, satu golongan masuk surga dan yang 72 golongan akan masuk neraka, seorang sahabat bertanya “ siapakah mereka yang masuk surga itu, ya Rasulullah? 14

“Rasulullah menjawab, “Mereka itu adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah(ASWAJA)” (H.R: Imam Thabrani). (Muhammad Nashiruddin Al-Albani.hal.452.2005)

Oleh karena itu, siapapun yang mengikuti jejak salaf al-salih dan menjalankan ketentuan agama sesuai manhaj (cara dan sikap beragama) mereka di semua zaman dinamakan salafi. Kata salafiyyah menjadi sebutan pada cara penerapan salaf al-salih dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Dengan demikian, pengertian salafiyyah itu ditujukan kepada orang-orang yang berpegang teguh sepenuhnya terhadap al-Qur’an dan al-Hadith

dengan pemahaman salaf. (Slamet Muliono R.hal.149.2011)

2. Akar munculnya Salafi

Salah satu aktor kebangkitan Islam di Timur Tengah adalah kaum Salafi, karena mereka pada hakekatnya tidak pernah menjadi satu jamaah atau kelompok saja. Tidak pernah ada institusi formal yang menjadi tempat bernaung kaum Salafi. Karena Salafi merupakan ajaran yang murni dan bebas dari penambahan, pengurangan, atau perubahan. Salafi bukanlah partai politik dan mazhab baru. Namun, dakwah salafi merupakan Islam dalam totalitasnya, yang menuntun semua manusia. Salafi merupakan metode (manhaj) yang lengkap dan sempurna dalam memahami

Islam dan melaksanakan tindakan sesuai ajaran-ajarannya (M.

Imdadun Rahmat, hal.64.2009).

Gerakan kaum Salafi merupakan gerakan pemurnian terhadap ajaran agama yang telah mengalami banyak penyimpangan. 15

Penyimpangan ini berupa penambahan dan pengurangan terhadap isi ajaran itu. Oleh karena itu, gerakan kaum salafi memiliki semangat untuk melakukan gerakan pemurnian (purifikasi) terhadap ajaran yang telah mengalami percampuran. Gerakan kaum Salafi menekankan adanya pembersihan (tasfiyah) dan pendidikan

(tarbiyah) dengan ajaran yang benar. Melakukan tasfiyah dengan melihat kembali dan mengevaluasi ajaran yang telah menyimpang.

Pembersihan itu dilakukan dengan melakukan koreksi dan kritik terhadap berbagai ajaran yang tidak jelas sumbernya. Melakukan tarbiyah dengan mendidik generasi Islam dengan ajaran Islam yang telah dibersihkan dari berbagai penyimpangan. (Slamet Muliono

R.Hal.154. 2011).

Purifikasi ajaran Islam juga sering disebut dengan istilah salafiyah. Secara terminologi, salafiyah adalah sebagai khazanah ilmu yang bersumber dari pemahaman secara mendalam terhadap ajaran salafus shalih. Dengan demikian, salafiyah mengacu pada metodologi berpikir kembali pada sumber pemikiran Islam yaitu al-

Qur’an, kehidupan Nabi Muhammad SAW (Sunnah atau Hadits) dan generasi awal umat Islam. (Muhammad Sa’i. hal 100.2006), John L.

Esposito mengklasifikasikan salafiyah menjadi tiga kategori, (John L.

Esposito,hal.291.1999) antara lain:

Pertama, salafiyah klasik yang dipelopori oleh Imam Ahmad Ibn

Hanbal (780-855). Secara substansial terfokus pada prinsip: 16

keutamaan teks wahyu di atas akal bahwa tidak ada kontradiksi antara akal dan alQur’an.

Kedua, salafiyah pra-modern yang dikomandani oleh

Muhammad Ibn Abdul Wahab (1703-1792) yakni pemikiran yang berkeinginan memurnikan semenanjung Arab dan praktek non Islam serta membangun negara Islam yang meneladani negara yang didirikan Nabi. Selain itu, titik tekan gerakan Muhammad Ibn Abdul

Wahab memiliki karakter khusus memerangi segala bentuk syirik dan khurafat, menyerukan kemurnian tauhid, melindungi tauhid dari segala noda, serta memerangi bid’ah, (, hal.26.1975). Muhammad Ibn Abdul Wahab berusaha membersihkan Islam dengan mengajak umat Islam agar kembali kepada ajaran Islam yang murni sebagaimana yang dianut dan dipraktekkan pada masa tiga generasi awal.

Ketiga, salafiyah modern yang dicetuskan oleh Jamaluddin Al

Afghani (1839-1892), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid

Ridha (1865-1935). Untuk mengembalikan Islam dalam bentuk murni dan reformasi moral, budaya dan politik muslim. Jamaluddin Al

Afghani mengatakan kemurnian Islam terletak pada masa para sahabat. Muhammad Abduh berpendapat khilafah Usmani harus tetap dijaga untuk persatuan umat Islam dan menekankan revolusi pendidikan. Rasyid Ridha memandang khilafah Usmani tetap ditegakkan dan dikembangkan dengan syari’at. 17

Dalam tataran sejarah, kaum salafi memiliki varian pemikiran dan model gerakan. Varian itu bisa dijelaskan dengan menggunakan penjelasan konstelasi politik yang berkembang saat ini. Dalam kaum salafi, setidaknya berkembang tiga varian. (Bernard Haykel. Hal.49-

50.2003).

Pertama, Salafi Puritan . Kelompok ini diidentikkan dengan

Nasir alDin al-Albani, Jamis Madkhali, dan Rabi’ Madkhali. Mereka menjauhi semua bentuk politik, menjauhi jalur dan tindakan kekerasan, karena ini merupakan sumber fitnah. Mereka digolongkan sebagai salafiyah skolastik (al-salafiyyah al-ilmiyyah), yang mengutamakan pemurnian Islam. Memusatkan pada pendidikan individu dengan ajaran salafiyah dan meluruskannya dengan ajaran yang benar ini. Mereka tidak peduli dengan hiruk pikuk politik khususnya isu-isu internasional. Mereka berkeyakinan jika umat Islam peduli dengan agama yang benar dan bersih

(tafsiyah dan tarbiyah), mereka akan mendatangkan kekuatan politik yang luar biasa. Mereka menekankan pentingnya patuh kepada rezim penguasa.

Kedua, Salafi Sururiyyah. Kelompok ini berbeda dengan kelompok pertama, kelompok ini mengambil jalur pentingnya kesadaran politik sebagaimana Ikhwanul Muslimin. Kelompok ini diwakili oleh Shahwa Sururi di Yaman dan Kuwait. Abd al-Rahman

Abd al-Khaliq, seorang Mesir lulusan Universitas Madinah yang memimpin Jam’iyyat Ihya’ al-Turath al-Islami. Dia menyatakan 18

bahwa inilah salafi yang terorganisir (al-salafiyyah altanzimiyyah)

guna mencapai kekuatan dan pengaruh politik.

Ketiga, Salafi Jihadis. Mereka menyerukan jihad dengan

kekerasan untuk mewujudkan eksistensi politik yang berdasarkan

Islam dalam bentuk kekhalifahan. Al-Qaeda merupakan contoh dari

pandangan ini. Mereka digolongkan sebagai kelompok takfiri, karena

mengkafirkan penguasa muslim yang tidak menjalankan hukum

Islam di pemerintahannya. Kelompok ini dipengaruhi oleh Sayyid

Qutb yang membagi negara menjadi dua macam, konsep negara

hakimiyyah dan negara jahiliyyah.

Tabel Varian Salafi Internasional No Varian Tokoh Corak 1 Salafi 1. Nashiruddin Al- 1. Memahami Islam tekstual secara Puritan Bani ketat 2. Bin Bazz 2. Tidak mengenal jaringan 3. Sheh Mugbil Organisasi 3. Gerakan berkembang melalui hubungan Guru dan Murid. 4. Menolak semua pemikiran mazhab 5. Kategori Bidah mencakup fenomena modern yang sangat luas 6. Tidak ada kompromi terhadap Bid’ah. 2 Salafi 1. Muhammad 1. Sensitife dalam urusan politik Sururiah Surur kendati tensi jihad tidak sekuat 2. Abdurrahman Salafi Jihadi Abdul Khaliq 2. Lebih toleran dan responsife dalam menanggapi permasalahan sosial 3 Salafi 1. Abdul Azzam 1. Gerakan Salafi Jihadi dibagun Jihadi 2. Mullah Umar atas dasar pemahaman Salafi 3. Usamah Bin wahabi dan Sayyid Quthb dan Laden menemukan persemaian di Afganistan mengusir ekspansi Unisoviet, menjadi pasukan 19

Mujahidin yang dipimpin oleh Usamah Bin Laden, kemudian berlanjut menjadi perjuangan global di bawah organisasi Al- Qaeda untuk melawan Amerika. Pasukan Salafi Jihadi terkordonir secara global dan ini dipahami secara sama oleh Indonesia karena merupakan Jaringan Internasional. 2. Berkembangnya kelompok Salafi Jihadi merupakan klimaks kemarahan aktifis Salafi Jihadi pada pemerintah Arab Saudi untuk meminta bantuan Amerika Serikat untuk melindungi negara dari Konflik Irak dengan Kuwait 1990. Kemudian mengundang kemarahan bagi kelompok Salafi Jihadi terhadap sikaf Arab Saudi, kemudian Kelompok Salafi Jihadi berhadapan dengan pemerintahnya sendiri dan keluar dari Arab Saudi, menuju Sudan 1992 dan pada tahun 1994 pindah ke Pakistan. Pada tahun 1996 dan 1998 Usama mendeklrasikan perang melawan Amerika diikuti dengan serangan Bom di kedutaan Amerika di Tanzania dan Kenya. Tabel 1. Varian Salafi Internasional (sumber: hasil analisis dalam buku As’ad Said Ali. 2012) 3. Sejarah Salafi Indonesia

Fenomena Gerakan Salafi salah satu kelompok gerakan Islam yang mulai muncul pada tahun 1980-an adalah kelompok yang disebut sebagai gerakan dakwah salafi. Gerakan ini mengusung ide yang disandarkan pada diskursus salaf. Secara bahasa, kata salaf memiliki arti “telah lalu”, sedangkan secara istilah salaf adalah “sifat yang dikhususkan kepada para sahabat (generasi awal Islam), dan juga selain mereka, ikut serta dalam makna ini yaitu orang-orang 20

pada generasi selanjutnya yang mengikuti mereka” (Jawas

2008:14). Jadi, salafi berarti kata yang merujuk kepada pemikiran keagamaan yang disandarkan pada orang-orang pada periode awal

Islam yakni saat Nabi masih hidup , kemudian orang-orang setelah meraka lalu orang-orang setelah meraka, yang merupakan sumber paling otentik sebagai panduan Islam (Jahroni 2007:105).

Persentuhan awal aktivis gerakan salafi di Indonesia dengan pemikiran salafiyah terjadi pada tahun 1980-an bersamaan dengan dibukanya Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA) di , kemudian berubah nama menjadi LIPIA (Lembaga Ilmu Islam dan

Sastra Arab) yang memberikan sarana untuk mengenal dan mendalami pemikiran-pemikiran para ulama-ulama salafi. LIPIA adalah cabang dari Universitas Muhammad Ibnu Saud di Riyadh.

Awal tahun 1980 Imam Muhammad Ibn Saud University telah memiliki cabang di Djibouti dan Mauritania kemudian memutuskan membuka cabang ketiga di Indonesia. Upaya membuka cabang di

Indonesia diawali dengan datangnya Syekh Abdul Aziz Abdullah Al

Ammar ke Jakarta. Syekh Abdul Aziz Abdullah Al Ammar merupakan murid dari Syekh Abdullah bin Bazz yang merupakan tokoh penting salafi di seluruh dunia. Oleh Abdullah bin Bazz, Abdul Aziz disuruh bertemu Muhammad Natsir. Muhammad Natsir menyambut baik rencana pendirian lembaga tersebut dan bersedia menjadi mediator dengan pemerintah. Selanjutnya, Natsir dan DDII memegang peran penting dalam rekruitmen mahasiswa-mahasiswa baru. Sejak 21

berdirinya lembaga ini, sebagian besar mahasiswa di LIPIA berasal dari lembaga pendidikan yang memiliki jaringan dengan DDII, misalnya PERSIS dan .

Lembaga baru ini mengikuti kurikulum lembaga induknya dan para pengajarnya merupakan ulama-ulama salafi yang dikirim dari

Saudi Arabia. Jaminan beasiswa yang besar mencakup buku, tempat tinggal dan kebutuhan membuat lembaga ini banyak diminati bahkan terdapat sejumlah mahasiswa melanjutkan studinya di program Master dan Doktor di Riyadh. Lulusan pertama lembaga ini adalah Abdul Hakim Abdat, Yazid Jawas, Faridh Okbah, Ainul Harits,

Abu Bakar M. Altway, Ja’far Umar Thalib, dan Yusuf Usman Baisa.

Selain menerima pengajaran di kampus, para mahasiswa mendapat materi kesalafian yang diselenggarakan di asrama.

Kelompok diskusi dirasakan lebih efektif karena bisa mengontrol langsung perilaku, ucapan, dan bahan bacaan para mahasiswa. Jika mahasiswa dianggap menyimpang dari ajaran salafi baik tindakan, pemikiran maupun buku-buku yang dibaca, senior salafi langsung menegur dan meluruskan. Pembentukan keyakinan, pandangan, sikap, dan tindakan ajaran salafi menjadi orientasi utama. Artinya mahasiswa ditekankan untuk memahami, menghafal, dan menghayati materi kulian yang berbasis paham salafi. Tidak ada kesempatan menyangkal ajaran utama salafi khususnya soal aqidah

(teologi). 22

Gerakan salafi telah tumbuh menjadi gerakan sosial dalam perkembangan gerakan Islam di Indonesia. Pasca Orde Baru runtuh, gerakan salafi menggeliat kurang lebih dua tahun (2000-2002). Hal ini dibuktikan dengan berdirinya Forum Komunikasi Ahlussunnah

Wal Jama’ah (FKAWJ). Forum ini memobilisasi massa dari Laskar

Jihad. Laskar Jihad berperan penting dalam perkembangan salafi di

Indonesia.

Laskar Jihad mendapat banyak dukungan dari masyarakat muslim Indonesia sebagai relawan untuk berjihad di Ambon dan

Maluku. Tetapi, Laskar Jihad hanya bertahan dua tahun karena dibubarkan sehingga para relawan jihad kembali ke daerah asal masing-masing.

Ja’far Umar Thalib menjadi perhatian publik ketika mendirikan

Laskar Jihad, sebuah kelompok yang beranggotakan para pemuda untuk jihad fi sabilillah ke Maluku dan Poso. Laskar Jihad bergerak di bawah naungan Forum Komunikasi Ahlusunnah Wal Jama’ah

(FKAWJ) yang didirikan di Solo, 12 Februari 1998. FKAWJ dibentuk sebagai wujud keprihatinan lemahnya pemahaman umat Islam

Indonesia terhadap ajaran Islam. Ketika terjadi konflik di Maluku dan

Poso, FKAWJ kemudian berperan sebagai payung mobilisasi masyarakat untuk berjihad ke daerah konflik tersebut melalui pembentukan Laskar Jihad.

Laskar Jihad menarik perhatian publik ketika mengadakan

Tabligh Akbar pada 6 April 2000 di Stadion Senayan Jakarta. Tabligh 23

Akbar ini dihadiri sekitar 10.000 orang yang didominasi oleh para pemuda. Dalam Tabligh Akbar ini, secara terbuka mengungkapkan adanya pembantaian massal yang dilakukan oleh orang-orang

Kristen kepada Muslim Maluku. Ja’far Umar Thalib menyerukan untuk berjihad membantu saudara muslim di Maluku. Untuk melegitimasi tindakan tersebut, dengan meminta fatwa kepada sejumlah tokoh Timur Tengah, seperti; Abd Al Razzaq Ibn Abd Al

Muhsin Al Abbad, Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Rabi’ bin Hadi Al

Madkhali, Salih As Suhaimiy, Ahmad Yahya Ibn Muhammad An

Najmi dan Wahid Al Jabiri. Para ulama salafi tersebut mengeluarkan fatwa wajibnya berjihad ke Maluku.

Selain terlibat dalam konflik Maluku, Laskar Jihad juga mengirim 700 relawan ke Poso, Sulawesi Tengah. Laskar Jihad memandang telah terjadi pembantaian massal yang dilakukan penduduk lokal non-muslim kepada para pendatang yang mayoritas muslim. Di balik itu, Laskar Jihad menilai ada konspirasi Zionis dan

Kristian Internasional dalam konflik Poso. Selain di Poso, Laskar

Jihad berusaha untuk terlibat dalam konflik di Aceh yang melibatkan

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan konflik Papua (Kelompok Papua

Merdeka). Namun, usaha ini mengalami kegagalan karena penduduk lokal menolak intervensi orang luar.

Keterlibatan Laskar Jihad dalam berbagai konflik komunal di

Indonesia, disatu sisi telah menunjukkan gerakan salafi sebagai gerakan sosial Indonesia yang agresif dan berhasil memobilisasi 24

massa. Di sisi lain, munculnya Laskar Jihad menimbulkan

ketegangan antara kaum salafi sendiri bahkan antar gerakan Islam

lainnya. Sebagian masyarakat menuduh Laskar Jihad sebagai agen

jaringan Al Qaeda. Ada juga yang beranggapan bahwa Laskar Jihad

adalah kepanjangan tangan yang dimanfaatkan dan bekerja untuk

elit pemerintah. Hal ini kemudian menjadi tekanan tersendiri bagi

Laskar Jihad.

Tabel Varian Salafi di Indonesia No Varian Tokoh Corak 1 Salafi 1. Ja’far Umar Thalib 1. Memahami Islam tekstual Puritan meneruskan secara ketat Pendidikan ke 2. Tidak mengenal jaringan Yaman dan Organisasi pembentuk Laskar 3. Gerakan berkembang Jihad Ahl Sunnah melalui hubungan Guru dan Wal Jamaah Murid. (LJASWJ) 4. Menolak semua pemikiran 2. Muhammad mazhab Assewed adalah 5. Kategori Bidah mencakup Murid Ja’far, dan fenomena modern yang mempertanyakan sangat luas sikaf kompromi 6. Tidak ada kompromi Ja’far terhadap terhadap Bid’ah. Bid’ah. 3. Yazid Jawaz adalah murid Ja’far, dan menetang gurunya terkait keterlibatan dalam konflik di Ambon. 2 Salafi 1. Yusuf Baisa 1. Sensitife dalam urusan Sururiah menempuh politik kendati tensi jihad Pendidikan di tidak sekuat Salafi Jihadi Riyadh. 2. Lebih toleran dan responsife dalam menanggapi permasalahan sosial 3. Agar dakwah dapat efektif, maka harus mempunyai 25

kemampuan berorganisasi seperti Ikhwan Al Muslimin. 3 Salafi 1. Ja’far Umar Thalib 1. Kerusuhan konflik di Ambon Jihadi meneruskan yang semakin parah pada Pendidikan ke tahun 2001. Yaman dan 2. Korban muslim yang terus pembentuk Laskar berjatuhan. Jihad Ahl Sunnah 3. Keresahan kau muslim atas Wal Jamaah kekerasan yang dialami (LJASWJ), kaum muslim di Ambon. kemudian 4. Pemerintah tidak mampu membentuk Forum mengatasi konflik. Komunikasi Ahl 5. Menempuh jalan kekerasan Sunnah Wal Jamaah dalam menyelesaikan (FKASWJ) sebagai permasalahan. wadah alumni laskar jihad, Lembaga ini tidak lebih dari sekedar Lembaga paguyuban dan menjadi identitas tersesendiri kelompok Salafi.

Tabel 2. Varian Salafi di Indonesia(sumber: hasil analisis dalam buku As’ad Said Ali.2012) B. Tinjauan Teoritis

Pada bagian tinjauan teoritis membahas terkait Teori yang

relevan dengan topik judul yang diangkat yakni Gerakan Salafi di

kalangan Mahasiswa Universitas Negeri Makassar, tinjauan teoritis

menjadi payung analisis terhadap fenomena penelitian, berikut

tinjauan teoritis pada bagian ini:

1. Gerakan Sosial

Gerakan sosial atau social movements telah menjadi sebuah

studi dari berbagai penelitian. Perkembangan yang begitu cepat,

terutama setelah mulai bermunculnya berbagai gerakan pada tahun 26

1960-an yang mengusung berbagai tujuan, menjadikan topik ini cukup menarik perhatian ( Porta dan Diani, 2006:1 ). Perkembangan perspektif dalam hal ini gerakan sosial menjadi metode baru dalam melihat fenomena gerakan-gerakan yang muncul di masyarakat.

Dalam satu dekade terakhir ini, perspektif gerakan sosial didominasi oleh pendekatan political approach. Pendekatan ini melihat gerakan sosial dalam kerangka state-centerdness, menjadikan negara sebagai target dari gerakan sosial, karena negaralah satu-satunya otoritas (source of power) (Armstrong dan

Bernstern, 2008:74). Namun, pandangan ini mendapatkan banyak kritikan, terutama sejak mulai berkembangnya apa yang disebut Tilly

(1998) sebagai new social movements, yaitu gerakan-gerakan yang berbasis pada isu-isu seperti lingkungan, preferensi seksual, dan gender.

Para ahli memahami bahwa gerakan sosial merupakan gejala yang begitu kompleks. Pemahaman ini mengantarkan pentingnya pembahasan yang bersifat komprehensif dan integral antara political opportunity structure (SKP), resources mobilization theory, dan collective action frames (McAdam, McCarthy, dan Zald, 1996:7).

Ketiga hal tersebut merupakan faktor dari muncul dan berkembangnya suatu gerakan sosial.

27

1. Political Opportunity Structure (Struktur Kesempatan Politik)

Merupakan sebuah konsep yang menyatakan bahwa kondisi struktur politik dalam hal tertentu memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan suatu gerakan sosial. Jadi, suatu gerakan sosial tergantung pada keadaan Struktur Kesempatan

Politik (SKP) itu sendiri. Dalam hal ini, SKP menjadi ruang multidimensi yang gerakan sosial dan tindakannya bisa saja dimudahkan (facilitated) atau bisa saja direpresi (dihambat), sehingga tak bisa berkembang (repressed) (Oliver, 1998).

Secara umum, hambatan atau kesempatan politik bagi suatu gerakan sosial dapat dipilah ke dalam dua kategori: pola hubungan tertutup dan pola hubungan terbuka. Pola tertutup menciptakan hambatan bagi gerakan sosial, sedangkan pola terbuka membuka kesempatan bagi munculnya gerakan akibat dari politik yang lebih kompetitif antara elite, antara partai politik, dan juga antara kelompok kepentingan. Semakin terbuka iklim politik, semakin memberikan kesempatan untuk muncul dan berkembangnya gerakan sosial; dan sebaliknya, semakin tertutup iklim politik, semakin tertutup kesempatan muncul dan berkembangnya suatu gerakan sosial

(Muhtadi, 2011:10).

Mc Adam menjelaskan bahwa SKP adalah pola hubungan antara elite politik, antara partai politik, antara kepentingan dan semua ini dengan masyarakat sebagai konstituen. Kemudian dia menghimpun empat dimensi struktur politik, yaitu (1) keterbukaan 28

dan ketertutupan relatif sistem politik; (2) stabilitas atau instabilitas jejaring keterikatan elite; (3) adanya atau tiadanya aliansi-alaiansi elite, dan (4) kapasitas dan kecenderungan negara untuk melakukan represi. (Mc Adam & Snow, 1997:154).

SKP coba menjelaskan kemunculan dan perkembangan suatu gerakan sosial terjadi karena dalam perubahan struktur politik yang dimaknai sebagai kesempatan. Secara umum hambatan atau kesempatan politik bagi gerakan sosial dapat dipilah menjadi dua kategori yakni, pola hubungan tertutup dan pola hubungan terbuka.

Pola tertutup menciptakan hambatan bagi gerakan sosial.

Sedangkan pola terbuka membuka kesempatan dan kemunculan perkembangan bagi suatu gerakan sosial sebagai bagian dari relasi politik yang kompetitif bagi elit, antara partai politik, dan juga antara kelompok kepentingan. Semakin terbukanya kesempatan politik, maka semakin terbukanya perkembangan gerakan sosial, sebaliknya, semakin tertutup kesempatan politik, akan kesempatan bagi kemunculan perkembangan suatu gerakan sosial.

Hubungan antara struktur kesempatan politik dan kemunculan gerakan sosial tidaklah bersifat linear, tetapi kurvalinear. Suatu gerakan sosial sangat mungkin muncul dalam sistem politik yang menandai adanya pencampuran diantara keterbukaan dan ketertutupan kesempatan SKP. Karena itulah menjadi tidak mudah untuk memberikan batasan derajat keterbukaan dalam SKP yang memunculkan suatu gerakan sosial. (Eisenger, 1973:11) 29

2. Resource Mobilization Theory (Teori Mobilisasi Sumber Daya)

Smelser seperti dikutip dalam Sanderson, menjelaskan beragam dalam tindakan dalam gerakan sosial terjadi karena adanya mobilisasi atas dasar sistem keyakinan yang mengalami proses generalisasi yang terdiri dari hal-hal yang bersifat histeria, keinginan, norma dan nilai. (Sanderson, 1995:60). Perspektif sumber daya mobilisasi menunjukkan beragam tindakan partisipan dalam gerakan sosial. Sumber daya mobilisasi sebagai sejumlah cara kelompok gerakan sosial melebur dalam aksi kolektif termasuk didalamnya taktik gerakan dan bentuk organisasi gerakan sosial.

(McAdam, McCarthy, dan Zald, 1996:141)

Tilly dikutip oleh Muhtadi mengatakan bahwa salah satu sumber daya yang paling penting adalah jaringan informal dan formal yang menghubungkan individu-individu dengan organisasi gerakan sosial (Muhtadi, 2000:9). Jaringan yang dijelaskan oleh

Klandermans, seperti dikutip kembali oleh Muhtadi sebagai struktur sosial, yaitu serangkaian hubungan sosial yang mendorong dan menghambat perilaku, sikap dan kemungkinan partisipan untuk terlibat dalam suatu gerakan sosial. Klandermans, kemudian menjelaskan pentingnya kepemimpinan dalam menetapkan sumber daya bagi para partisipan suatu gerakan sosial. Sedangkan Maguire, membagi sumber daya kedalam dua kategori, yaitu tangible yang mencangkup uang, ruang, perlengkapan dan seterusnya.

Sedangkan intangible yang mencangkup kapasitas kepemimpinan, 30

manajerial, dan pengalaman organisasi, justifikasi ideologis, taktik dan semacamnya. (Muhtadi, 2011:9).

Mc Carty menjelaskan dua kategori dalam dalam membangun struktur mobilisasi, yaitu struktur formal dan struktur informal. Dalam struktur mobilisasi informal yang identitik dengan gerakan lokal, jaringan kekerabatan, dan persaudaraan menjadi dasar bagi rekruitmen gerakan(Mc Carty, 1996:141). Konsep struktur mobilisasi informal kian berkembang menjadi luas ketika dihubungkan dengan mobilisasi gerakan. Situmorang mengutip Woliver yang menekankan pentingnya ingatan komunitas sedangkan Gamson dan Schmeidler mengidentifikasikan beberapa faktor jaringan struktur informal seperti, perbedaan dalam sub kultur dan infrastruktur protes serta

Mc Adam menjelaskan hubungan formal dan in formal antara masyarakat dapat menjadi sumber solidaritas dan memfasilitasi struktur komunikasi (Situmorang, 2007:8).

Mc Carty melihat gerakan sosial yang mempergunakan struktur informal sebagai dasar analisis, belum mampu memetakan struktur informal secara mendalam. Struktur sumber daya mobilisasi merupakan serangkaian posisi sosial dan lokasi dalam masyarakat untuk dapat dimobilisasi dalam suatu gerakan sosial. Kelompok atau organisasi formal memainkan peranan penting dalam membentuk struktur mobilisasi yang kemudian disebut sebagai gerakan sosial.

(Mc Carthy, 1996:141). 31

Selanjutnya, setiap gerakan sosial tentunya membutuhkan sumber daya untuk bisa menjalankan aktivitas kolektifnya. Dalam hal ini, gerakan sosial memiliki beberapa tugas penting seperti memobilisasi pendukung, mengorganisasi sumber daya, yang dalam level yang lebih jauh berdampak pada munculnya simpati elite-elite dan masyarakat secara umum terhadap cita-cita gerakan. Inilah konsep yang disebut resources mobilization. Konsep ini secara mendasar berusaha mengetahui bagaimana sebuah kelompok mengupayakan resources yang mereka miliki untuk bisa melakukan perubahan sosial dan tercapainya tujuan kelompok (Edwards dan

McCarthy, 2004:118).

Konsep ini berusaha melihat dorongan upaya, baik secara kolektif maupun individual, yang muncul sebagai bagian dari pencapaian tujuan yang dimiliki oleh gerakan sosial. Resources sendiri sebenarnya memiliki makna yang begitu luas. Resources dapat terdiri dari kekuatan finansial, akses terhadap media, dukungan simpatisan dan loyalitas gruop. Hanya saja hal itu dimaknai dalam arti yang lebih luas, yakni sesuatu yang memiliki nilai manfaat (utility). Tidak semua hal yang memiliki nilai manfaat bisa disebut sebagai resources. Hal itu baru bisa disebut sebagai resources ketika individu atau aktor kolektif bisa mengontrolnya dan memanfaatkannya guna tercapainya tujuan gerakan.

Kerangka resources mobilization ini menjelaskan dua aspek sekaligus. Pertama mengenai sumberdaya fisik, non-fisik, ataupun 32

finansial yang dimiliki oleh sebuah gerakan seperti bangunan, uang, pengetahuan, atau keahlian tertentu. Sumber daya tersebut bisa dikontrol baik secara individual maupun kolektif oleh kelompok.

Kedua, mobilisasi merupakan suatu proses tak terpisahkan yang para aktornya berusaha memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki untuk mencapai tujuan dari gerakan.

3. Collective Action Frames (Pembingkaian Aksi Kolektif) Teori gerakan sosial memperkenalkan perspektif pembingkaian aksi kolektif untuk menjalankan transformasi mobilisasi sosial ke dalam mobilisasi aktual dalam upaya meyakinkan kelompok sasaran yang beragama dan luas sehingga mereka terdorong untuk melakukan aktivitas perubahan, Klandermans dalam Muhtadi, menjelaskan mobilisasi aksi berhubungan dengan persoalan psikologi sosial klasik mengenai hubungan antara sikap dan perilaku

(Muhtadi, 2011:4). Perspektif pembingkaian aksi kolektif dapat dijelaskan sebagai konstruksi budaya sebagai sistem kesadaran kolektif yang mengandung makna-makna yang menjadi kekuatan legitimasi dan motivasi lahirnya tindakan-tindakan kolektif.

Kondisi struktural yang kondusif tidaklah cukup bagi perkembangan suatu gerakan sosial. Gerakan sosial juga memerlukan apa yang disebut sebagai bagian dari pengemasan ideologi untuk dapat diterima berbagai pihak. Inilah yang disebut collective action frames (pembingkaian aksi kolektif) yang merupakan bagian dari sebuah proses framing dalam gerakan 33

sosial, yakni semacam skema intepretasi yang merupakan sekumpulan beliefs and meanings dan berorientasi pada aksi yang menginspirasi dan melegitimasi aktivitas sebuah organisasi gerakan sosial. Dalam hal ini, kerangka (frame) dibangun untuk memberikan makna dan menginterpretasi kejadian atau kondisi tertentu, yang dimaksudkan untuk memobilisasi potensi pengikut, serta untuk mendapatkan dukungan berbagai pihak (Benford & Snow, 2000:66).

Berkaitan dengan proses framing, Benford dan Snow menyebutkan tiga hal yang menjadi perhatian utama, yang disebut core framing tasks. Pertama adalah diacnostic framing, yaitu yang dikonstruksikan dalam sebuah Gerakan sosial guna memberikan pemahaman mengenai situasi dan kondisi yang sifatnya problematik. Kondisi mengenai apa atau siapa yang disalahkan, sehingga membutuhkan adanya suatu perubahan (Benford dan

Snow, 2000:615).

Dalam level ini, aktor-aktor gerakan sosial mendefinisikan permasalahan-permasalahan apa saja yang menjadi isu utama yang membuat mereka menginginkan adanya perubahan. Kedua, prognostic framing, yaitu artikulasi solusi yang ditawarkan bagi persoalan-persoalan yang sudah diidentifikasikan sebelumnya.

Dalam aktivitas prognostic framing ini gerakan sosial juga melakukan berbagai penyangkalan atau menjamin kemanjuran dari solusi- solusi yang ditawarkan (Benford dan Snow, 2000). Terakhir adalah motivational framing, yaitu elaborasi panggilan untuk 34

bergerak atau dasar untuk terlibat dalam usaha memperbaiki keadaan melalui tindakan kolektif. (Benford dan Snow, 2000:617).

Smelser [1962] mengungkapkan, ada empat komponen dasar dari tindakan sosial (social action), yaitu:

1) Tujuan-tujuan yang bersifat umum (generalized ends) atau

nilai-nilai (values), yang memberikan arahan yang paling

luas terhadap perilaku sosial dengan tujuan tertentu

(purposive social behavior);

2) Ketentuan-ketentuan regulatif yang mengatur upaya-upaya

pencapaian tujuan tersebut, yakni aturan-aturan yang

terdapat dalam norma (norms);

3) Mobilisasi energi individual untuk mencapai tujuan-tujuan

yang telah dirumuskan dalam kerangka normatif. Jika yang

kita anggap sebagai aktor adalah individu, kita menanyakan

bagaimana ia termotivasi; dan jika kita melihat dalam

tingkatan sistem sosial, kita menanyakan bagaimana

individu-individu yang termotivasi ini diorganisasikan dalam

peran-peran dan organisasi-organisasi;

4) Fasilitas situasional yang tersedia, di mana para aktor

menggunakannya sebagai sarana. Fasilitas ini termasuk

pengetahuan tentang lingkungan, perkiraan konsekuensi

dari tindakan, perangkat dan keterampilan.

Komponen paling umum dari tindakan sosial terletak dalam sistem nilai. Komponen ini begitu umum sehingga tidak punya spesifikasi norma, organisasi, atau fasilitas tertentu untuk 35

mewujudkan tujuan-tujuannya. Nilai itu, misalnya demokrasi yang secara umum menjadi ideologi gerakan mahasiswa 1998. Meskipun ada elemen-elemen yang sama dalam definisi demokrasi di berbagai negara seperti sistem representasi, kekuasaan mayoritas, dan sebagainya, nilai ini tidak memberikan pengaturan institusional yang .

Norma bersifat lebih spesifik ketimbang nilai. Norma bisa bersifat formal, seperti ditemukan dalam peraturan hukum, bisa juga informal. Namun nilai dan norma saja belum menentukan bentuk organisasi tindakan manusia, seperti: siapa yang menjadi pelaksana upaya pencapaian tujuan ini, bagaimana tindakan-tindakan para pelaksana ini distrukturkan dalam peran dan organisasi, semacam: gerakan mahasiswa, pers mahasiswa, dan sebagainya. Mobilisasi motivasi ke dalam tindakan terorganisasi adalah komponen ketiga untuk mewujudkan tujuan nilai dan norma tadi

Komponen terakhir adalah fasilitas situasional. Ini bisa berupa sarana yang mendukung, bisa juga hambatan yang mempersulit pencapaian tujuan konkret dalam konteks peran dan organisasi.

Komponen terakhir ini mengacu ke pengetahuan seorang aktor tentang peluang dan keterbatasan lingkungan, dan dalam sejumlah kasus, tentang pengetahuan terhadap kemampuannya sendiri dalam mempengaruhi lingkungan. Pengetahuan ini bersifat relatif, bagi kemungkinan pencapaian tujuan yang menjadi bagian dari keanggotaannya pada suatu peran atau organisasi. 36

Berbagai teori sebelumnya telah menunjukkan adanya kondisi- kondisi sosial, yang mengarah ke munculnya gerakan sosial. Namun ini barulah tahapan paling dini yang dilalui suatu gerakan sosial dalam periode waktu tertentu. Menurut Farley [1992], gerakan sosial kemudian melalui tahap organisasi, disusul birokratisasi atau institusionalisasi, dan akhirnya gerakan sosial cepat atau lambat akan mencapai periode surut (decline).

1) Tahap Organisasi.

Selama tahap organisasi, penekanan suatu gerakan sosial

adalah pada mobilisasi orang, merekrut peserta baru, dan

mencari perhatian media massa. Pada tahap ini, aksi

demonstrasi, mendatangi DPR, boikot, dan sebagainya

merupakan hal umum. Seringkali juga dilakukan upaya

membangun koalisi dengan kelompok-kelompok lain terkait atau

yang memiliki tujuan serupa. Membangun organisasi yang layak

sangat krusial pada tahapan ini.

2) Tahap Institusionalisasi.

Ketika mencapai tahap ini, gerakan sosial telah melewati

batas, dari posisinya sebagai “sesuatu yang di luar kelaziman”

menjadi bagian yang diterima oleh pola politik, religius, atau

budaya masyarakat. Kantor dan struktur birokratik diciptakan

untuk menuntaskan tugas-tugas gerakan. Jika tujuan-tujuan

gerakan secara meluas diterima dalam masyarakat, gerakan itu

menjadi bagian yang biasa dari struktur sosial masyarakat.

Resiko bagi setiap gerakan yang telah mencapai tahap ini 37

adalah ia akan menjadi bagian dari struktur sosial yang pada

awalnya ia tentang dan mengambil beberapa karakteristik dari

struktur tersebut.

3) Tahap Surut.

Pada akhirnya, sebuah gerakan mungkin mengalami

kemerosotan. Ini bisa terjadi karena berbagai alasan: hilangnya

seorang pemimpin kharismatis, pertentangan internal,

merosotnya dukungan, atau mungkin karena gerakan itu sudah

mencapai sasaran dan tujuan, dan tidak berhasil

mengembangkan tujuan-tujuan baru. Meskipun kemerosotan

disini disebutkan paling akhir, kemerosotan ini bisa terjadi di titik

manapun dalam perkembangan sebuah gerakan sosial. Kecuali

jika tahap ini bisa diatasi, tahap surut ini biasanya menandai

berakhirnya sebuah gerakan sosial. Dalam sejumlah kasus,

tahap surut ini bisa berbalik jadi kebangkitan lagi, ketika kondisi-

kondisi sosial menjadi kondusif bagi babakan baru aktivitas

gerakan.

Dari pendekatan teori diatas maka, kita bisa melihat tahapan perkembangan gerakan Salafi yang berada dilingkungan Kampus

UNM, yang memasuki fase organisiran, tahap memobolisasi massa dan menyiapkan perangkat-perangkat untuk melangsungkan gerakan sosial.

38

2. Gerakan Sosial Ke-Agamaan

Agama merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia.

Agama meliputi berbagai bidang kehidupan manusia seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Mengatur dari hal sederhana sampai pada hal yang kompleks. Agama menjadi filosofis hidup manusia dalam bertindak dalam kehidupannya. Agama yang mencakup berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat dapat menjadi dasar dalam suatu pergerakan yang muncul dalam masyarakat. Perubahan zaman yang semakin hari kian pesat dengan membawa berbagai dampak pada kehidupan yang mulai menjauh dari nilai-nilai agama memicu bermunculannya gerakan sosial dengan basis agama untuk melakukan pembaharuan.

Nottingham (1990:155) menyebutkan, bahwa gerakan keagamaan merupakan setiap usaha yang terorganisir untuk menyebarkan agama baru atau interpretasi baru mengenai suatu agama yang sudah ada. Agama-agama besar dunia yaitu, Budha,

Kristen dan Islam dapat dianggap sebagai hasil dari gerakan gerakan keagamaan. Demikian pula gerakan-gerakan keagamaan berkembang dalam kerangka agama-agama yang sudah mapan seperti gerakan Francisan dan prostestan dalam Katolik. Gerakan semacam ini pada umumnya melalui serangkaian tahap yang relatif terlalu baik setelah fase-fase pengembangannya yang pertama

Gerakan-gerakan tersebut biasanya jadi mapan hubungannya dengan agama lain. Fase yang lebih tenang dari Gerakan-gerakan 39

keagamaan semacam itu bisa menjadi sumber timbulnya gerakan- gerakan keagamaan berikutnya.

Fase pertama suatu gerakan keagamaan dipengaruhi oleh kepribadian pendirinya. Betapa pun kadar pandangannya dibidang keagamaan, seorang pendiri yang berhasil mempunyai daya tarik yang sangat kuat, daya tarik yang mengikat, yang menarik orang kepadanya, sifat yang penting itu biasa disebut kharismatik. Max

Weber menggunakan istilah tersebut, tidak hanya untuk pemimpin- pemimpin keagamaan tetapi juga untuk pemimpin politik salah satunya Adolf Hitler. Meskipun para pendiri gerakan keagamaan tersebut sering mengkritik organisasi keagamaan yang sudah ada, namun pesan keagamaan dan etika berasal dari mereka sendiri.

Walaupun dalam beberapa hal terasa baru, jelas bersumber pada tradisi keagamaan ditempat dibesarkannya pendiri tersebut. Oleh karena itu, perintah suci Budha merupakan suatu pemberontakan terhadap agama Hindu tradisional dan juga sekaligus pada saat yang sama dipengaruhi oleh agama Hindu itu.

Fase kedua gerakan tersebut para pengganti si pendiri dipaksa untuk memecahkan dan menjelaskan masalah- masalah penting mengenai organisasi, kepercayaan dan ritus yang dibiarkan tidak terurus selama si pendiri tetap hidup. Pada tahap ini secara khas sekarang kita sebut sebuah gereja: yaitu organisasi formal dari suatu kelompok pemeluk yang mempunyai kesamaan dalam 40

kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus bersama yang tetap terhadap wujud sakral yang mereka sembah.

Fase kedua ini, yang sering dipercepat dengan kedatangan generasi kedua dari orang-orang yang percaya, persyaratan- persyaratan bagi anggotanya dibuat lebih tegas dan jalur-jalur kekuasaan di dalam organisasi tersebut lebih diperjelas, lagi pula, kepercayaan mengenai orang suci dan misi si pendiri dirumuskan sebagai teologi yang resmi dan perbuatan si pendiri yang menyangkut penerimaan secara formal keyakinan-keyakinan yang terkandung seringkali menggantikan suatu kesetiaan yang lebih spontan dan personal terhadap ajaran-ajarannya.

Tahap kedua ini sering disertai dengan perjuangan merebutkan kekuasaan kepemimpinan, seperti perebutan-perebutan kepemimpinan Islam setelah Muhammad wafat, begitu juga dengan konflik-konflik yang mengguncangkan Kristen pada abad kedua dan ketiga Masehi. Untuk mengatasi perebutan seperti itu kadang kadang diperlukan seorang “pendiri kedua”.

Apabila suatu gerakan dapat berhasil mempertahankan diri pada tahap kedua, maka tahap ketiga pada umumnya merupakan tahap pengembangan dan diservikasi lanjutan. Gerakan ini menjadi mapan dan mengambil berbagai macam bentuk organisasi.

Gerakan-gerakan keagamaan berbeda dengan tingkat pengembangannya, beberapa organisasi keagamaan tetap terhalang oleh rintangan etnik, kelas dan kebudayaan. Agama 41

Budha, Kristen, dan Islam melewati rintangan rintangan ini dan disamping itu ketiganya berhasil mengajak masuk orang-orang yang mempunyai kekuasaan besar dibidang politik, dan ekonomi kedalamnya.

Tahap ini, gerakan keagamaan menghadapi bahaya menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Disini berhadapan langsung dengan dilema organisasi yang dibicarakan pada bagian sebelumnya. Pada tahap ketiga ini, para pemimpin mempunyai tugas untuk menjawab, meskipun gerakan tersebut banyak memperoleh banyak pengikut, namun pemimpin juga telah dihadapkan kepada masalah-masalah sulit untuk menginterpretasikan kembali pada tujuan yang sekian lama belum tercapai. Pada tahap ketiga ini perkembangan gerakan-gerakan keagamaan bergandengan tangan dengan gerakan politik yang mempunyai kepentingan pokok yaitu kelangsungan hidup mereka sendiri, yang merupakan tujuan utama organisasi mereka.

3. Teori Pilihan Rasional

Teori pilihan rasional merupakan teori Sosiologi yang mulai muncul pada akhir era 1960–an. Dalam perkembangannya, teori pilihan rasional memiliki keterkaitan yang erat dan dipengaruhi oleh teori pertukaran.

(Dalam Ritzer 2012)Teori pilihan Rasional mempokuskan pada para aktor. Para aktor dilihat mempunyai tujuan, atau mempunyai intensionalitas. Yakni, para aktor mempunyai tujuan-tujuan yang dituju Tindakan-tindakan mereka. Para aktor juga dilihat mempunyai pilihan-pilihan (atau nilai- nilai,keuangan-keuangan). Teori pilihan rasional tidak 42

berkenan dengan apa pilihan-pilihan itu, atau sumber- sumbernya. Yang penting adalah fakta bahwa Tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang konsisten dengan hirerarki pilihan seorang aktor.

James Coleman merupakan tokoh yang mempelopori teori ini melalui esainya yang berjudul ‘Purposive Action Framework’ (1973), yang menjelaskan tentang sebuah analisis tindakan kolektif. Melalui karyanya ini pula, Coleman berusaha mempertahankan konsep bahwa untuk merumuskan definisi pilihan rasional dalam bidang kajian ilmu Sosiologi, fokus studi perlu diarahkan pada penjelasan fenomena sosial makro berdasarkan pilihan yang dibuat oleh aktor sosial pada tingkat mikro. Fokus pada tindakan rasional individu ini dilanjutkan dengan memusatkan perhatian pada masalah hubungan mikro-makro atau bagaimana cara gabungan tindakan individual menimbulkan perilaku sistem sosial.

Teori pilihan rasional Coleman memiliki gagasan dasar bahwasanya tindakan perseorangan mengarah kepada suatu tujuan. Tujuan dan tindakan tersebut ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). Unsur utama dalam teori pilihan rasional yang dikemukakan oleh Coleman terletak pada aktor dan sumber daya.

Seorang aktor dalam teori pilihan rasional diasumsikan memiliki maksud/ tujuan dalam setiap tindakannya. Tidak ada tindakan yang tidak bertujuan. Aktor diasumsikan selalu memiliki kerangka preferensi (kerangka pilihan) yang bersifat relatif tetap dan stabil.

Pilihan yang akhirnya dibuat oleh aktor didasarkan ada kerangka preferensi yang dia miliki. Sumber daya dalam konteks teori pilihan 43

rasional didefinisikan sebagai sesuatu yang menarik perhatian dan dikehendaki serta dapat dikontrol oleh aktor. Ketika melakukan tindakan, aktor akan terlebih dahulu melakukan seleksi terhadap pilihan yang tersedia dengan memperhatikan berbagai aspek, seperti prioritas tujuan, termasuk sumber daya yang dimiliki dan juga kemungkinan keberhasilan dari tindakan yang dilakukannya. Dalam perspektif teori pilihan rasional, Individu akan selalu dilihat sebagai aktor yang sangat rasional yang mampu melakukan hal yang terbaik untuk mencapai tujuan, memuaskan keinginan dan memaksimalkan keuntungannya

Sedangkan, mekanisme memilih secara rasional memiliki empat preposisi yang menjelaskan mengapa individu terlibat dalam aksi-aksi kolektif. Preposisi pertama menjelaskan bahwa perilaku di dalam situasi tertentu individu memilih, sangat tergantung dengan persepsi individu terhadap alternatif-alternatif perilaku yang ada.

Preposisi kedua menjelaskan bahwa konsekuensi perilaku yang dibayangkan dalam sebuah aksi, mempengaruhi kinerja individu tersebut. Apabila penilaian yang didapatkan semakin positif, maka aksi-aksi tersebut memiliki kemungkinan besar untuk diikuti oleh individu-individu. Preposisi ketiga menjelaskan, jika hasil perilaku yang diharapkan memiliki tingkat kepastian yang besar, maka keinginan individu untuk terlibat dalam suatu aksi kolektif akan semakin kuat. Selanjutnya, preposisi keempat menjelaskan bahwa bila ‘produk’ yang akan dihasilkan lebih besar dari produk yang 44

diharapkan oleh individu, maka individu tersebut lebih mungkin terlibat dalam gerakan sosial (Situmorang, 2007: 21-22).

Sebagai sebuah teori yang menjadi salah satu pendekatan alternatif dalam teori sosiologi umum, teori pilihan rasional mengalami perluasan secara signifikan pada bidang kajian substantif, seperti organisasi, ketimpangan dan sosiologi politik dan kemudian terus berlanjut dalam kajian gerakan sosial yang kemudian menjadi sangat menonjol. Teori pilihan rasional memang memiliki relevansi dan kedekatan dalam bidang kajian gerakan sosial. Sebagaimana pula yang dijelaskan Godwin dan Jasper

(2006) bahwa dalam berbagai studi dan literatur-literatur tentang gerakan sosial, model-model pendekatan pilihan rasional dan mobilisasi sumber daya memang mendominasi. Meskipun demikian, penggunaan teori pilihan rasional sebagai pendekatan kajian gerakan sosial bukanlah tanpa kritik.

4. Internalisasi

Secara etimologis, internalisasi menunjukkan suatu proses.

Dalam kaidah bahasa Indonesia akhiran-isasi mempunyai definisi proses. Sehingga internalisasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses. Dalam kamus besar bahasa Indonesia internalisasi diartikan sebagai penghayatan, pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui binaan, bimbingan dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989 , hlm. 336). 45

Secara Sosiologis, Scott (1971, hlm. 12) menyatakan pendapatnya tentang internalisasi yakni:

“Internalisasi melibatkan sesuatu yakni ide, konsep dan tindakan yang bergerak dari luar ke suatu tempat di dalam mindah (pikiran) dari suatu kepribadian. Struktur dan kejadian dalam masyaarakat lazim membentuk pribadi yang dalam dari seseorang sehingga terjadi internalisasi” Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa internalisasi merupakan suatu proses pemahaman oleh individu yang melibatkan ide, konsep serta tindakan yang terdapat dari luar kemudian bergerak ke dalam pikiran dari suatu kepribadian hingga individu bersangkutan menerima nilai tersebut sebagai norma yang diyakininya, menjadi bagian pandangannya dan tindakan moralnya.

Dalam proses internalisasi yang dikaitkan dengan proses dakwah salafi ada tiga tahapan yang terjadi yaitu:

a) Tahap tranformasi nilai : Tahap ini merupakan suatu proses

yang dilakukan oleh pendidik dalam menginformasikan

nilai-nilai yang baik dan kurang baik. Pada tahap ini hanya

terjadi komunikasi verbal antara guru dan siswa.

b) Tahap transaksi nilai : suatu tahap pendidikan nilai dengan

jalan melakukan komunikasi dua arah atau interaksi antara

siswa dengan pendidik yang bersifat timbal balik.

c) Tahap transinternalisasi tahap ini jauh lebih mendalam dari

tahap transaksi. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan

dengan komunikasi verbal tapi juga sikap mental dan 46

kepribadian. Pada tahap ini komunikasi kepribadian yang

berperan secara aktif. (Muhamin:1996:153)

Dari pengertian internalisasi yang dikaitkan dengan Gerakan dakwah Salafi, bahwa proses internalisasi yang terjadi pada anggota baru yang di rekrut untuk masuk dalam kelompok salafi tidak terlepas dari tiga tahapan proses internalisasi nilai di atas.

Internalisasi merupakan sentral perubahan kepribadian yang merupakan dimensi kritis terhadap perubahan diri manusia yang didalamnya memiliki makna kepribadian terhadap respon yang terjadi dalam proses pembentukan watak manusia

5. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah, yang di lakukan oleh:

Rusli, Konstruksi Salafisme dalam Cyberfatwa (Disertasi, AIN

Sunan Ampel, Surabaya, 2010). Adanya varian dalam Salafi yang terbagi dengan watak dan kategori yang berbeda. Pertama salafisme wahabi yang berwatak kon-servatif-puritan dan dikategorikan sebagai hypertextualis salafi yang menciptakan otoritas interpretatif tertinggi yang menekankan tauhid dan shariah.

Kedua, salafi-progresif yang berwatak reformis yang dikategorikan progressive-contextualist guna mengusung Islam yang lebih humanis, toleran dan moderat yang menggabungkan

Turath dan konteksnya. 47

Quintan Wictorowicz,The Salafi Movement in Jordan,

International Journal of Middle East Studies, 32 (United States of

America, 2000). Perkembangan kaum salafi yang menghindari cara-cara formal dalam membentuk dan mengembangkan jaringan sosial.

Adapun yang relevan antara penelitian penulis dengan penelitian Quintan Wictorowicz adalah adanya varian Salafi yang menolak cara-cara Organisasi formal.

Relevansi antara penelitian penulis dengan Giora Eliraz adalah munculnya gerakan-gerakan baru selain Muhammadiyan dan NU di Indonesia, di antaranya adalah gerakan Salafi.

Ali bin Hasan bin Abdul Hamid al-Halabi, At-tasfiyah wattarbiyah wa atsaruha fi isti‟nafi al-hayatul Islamiyah.

(Daruttauhid, Riyaad 1994.).Sebuah karya ilmiyah yang mashur berbahasa arab dan telah di terjemah ke dalam bahasa Indonesia, dan menjadi rujukan bagi kaum salafi yang membahas di dalamnya tentang kemurnian Islam dan pendidikan Islam.

Yang terkait antar tesis penulis dengan karya ilmiah Ali bin

Hasan bin Abdul Hamid al-Halabi adalah terletak pada “tujuan”

Salafi sebagai Pemurnian ajaran Islam.

Giora Eliraz,Islam and Polity Indonesia: An Intriguing Case

Study, Research Monographs On the Muslim World, (Washington:

HudsonInstitute, Series No.1 Paper No. 5, February

2007).Gerakan-gerakan Islam yang muncul dilatarbelakangi oleh 48

semangat untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia, namun

banyak menemui kegagalan karena faktor budaya menolak tidakan

kekerasan.

Relevansi antara penelitian penulis dengan Giora Eliraz

adalah munculnya gerakan-gerakan baru dilingkungan Kampus,

diantaranya adalah gerakan Salafi.

Tabel 3. penelitian terdahulu No Nama Judul Tujuan Kesimpulan Penelitia Penelitian n 1. Rusli Konstruksi Studi pada Pertama Salafisme Salafisme parian dalam wahabi yang berwatak dalam yang terbagi kon-servatif-puritan dan Cyberfatwa dengan dikategorikan sebagai watak yang hypertextualis salafi berbeda yang menciptakan otoritas interpretative tertinggi yang menekankan tauhid dan shariah. Kedua, salafi- progresif yang berwatak reformis yang dikategorikan progressive- contextualist guna mengusung Islam yang lebih humanis, toleran dan moderat yang menggabungkan turath dan konteksnya.

2. Quintan The Salafi Studi pada Kaum Salafi Wictorowi Movement in Perkembanga menghindari cara-cara cz Jordan, n kaum salafi formal dalam International membentuk dan Journal of mengembangkan Middle East jaringan sosial. Studies 49

3. Ali bin At-tasfiyah Studi Salafi Rujukan bagi kaum Hasan wattarbiyah di salafi yang membahas bin wa atsaruha Indonesia di dalam nya tentang Abdul fi isti‟nafial- kemurnian Islam dan Hamid hayatul pendidikan Islam. al- Islamiyh Halabi 4. Giora Islam and Studi pada Gerakan Islam Eliraz Polity Gerakan- Indoesia yang Indonesia: gerakan dilatarbelakangi oleh An Intriguing Islam yang semangat untuk Case Study, muncul di menerap-kan syariat Research Indonesia Islam di Indonesia, Monographs namun banyak On the menemui kegagalan Muslim karena factor World budaya menolak tidakan kekerasan

Dalam penelitian ini, yang menjadi letak pembeda dengan

penelitian sebelumnya adalah penelitian ini berfokus pada kalangan

Mahasiswa, serta menelusuri Latar belakang kemunculan dan

metode Gerakan Salafi di kalangan Mahasiswa UNM, berikut fokus

rumusan Masalah:

1) Latar Belakang kemunculan Ajaran Salafi di Kampus

Universitas Negeri Makassar. Membahas apa yang melatar

belakangi kemunculan Gerakan Salafi di Kalangan

Mahasiswa UNM.

2) Gerakan Salafi di Kalangan mahasiswa UNM, membahas

bagaimana Aktifisme Mobilisasi Sumber Daya dalam

Gerakan Salafi di kalangan Mahasiswa UNM, dan 50

bagaimana peran Actor Kampus dalam Gerakan Salafi di

Kalangan Mahasiswa UNM.

C. Kerangka Konsep

Fenomena Salafi yang merambah di Kalangan Mahasiswa

UNM, yang bergerak di wilayah keagamaan dengan model Gerakan

dakwah yang mengusung ide atau tujuan pemurnian ajaran Islam

dan menentang segala sesuatu yang dianggap Bid’ah. Fenomena

yang muncul dipermukaan tanpa mengakui identitas diri sebagai

kelompok Salafi, menolak model-model Organisasi formal dalam

internal Salafi, namun dalam aktifitas keseharian dakwah kelompok

Salafi sebenarnya tanpa dipungkiri mengorganisir diri dalam bentuk

organisasi yang terarah dan terencana, hal demikian terlihat dalam

agenda-agenda dakwah dan tabliq Akbar yang diselenggarakan oleh

kelompok Salafi.

Penelitian ini bertujuan menelusuri lebih jauh persoalan Salafi

yang berkembang di lingkungan kampus UNM. Berdasarkan tinjauan

teori yang telah dijabarkan, maka penulis menspesifikkan

pembahasan penelitian tentang Gerakan Salafi, diantaranya: a)

Latar belakang Kemunculan ajaran Salafi di Kampus Universitas

Negeri Makassar, b) Proses gerakan Salafi di Kalangan Mahasiswa

Universitas Negeri Makassar.

Berdasarkan gagasan di atas maka digambarkan dalam skema

kerangka konsep berikut ini: 51

Gambar 1. K Konsep FENOMENA SALAFI

GERAKAN SOSIAL

Politik Opertunity Sructure Resource Mobilization Collective Action Frames

KEMUNCULAN MOBILISASI GERAKAN SALAFI GERAKAN SUMBER DAYA

1. Muncul pada tahun 1. Kegiatan Kajian Rutin, Strategi dakwah 2019 Tabliq Akbar, belajar pengajakan 2. Lokasi: Masjid Nurul Tahsin Al-Quran. secara Ilmi UNM 2. Melibatkan langsung, dan 3. Faktor: Mahasiswa Mahasiswa, Ustas Dari menggunakan UNM, Baji Rupa, Pengurus teknologi Keterbukaan Struktur Masjid, dan peserta sebagai alat Pengurus Masjid Nurul kegiatan Kajian. penyebaran Ilmi, 3. Lokasinya di Masjid informasi, Perkembangan Nurul Ilmi seperti Kemajuan Teknologi 4. Sumber pendanaan Whatssapp, Iuran anggota Assunah Facebook, dan UNM, dan list dana Instagram. sesama Salafi

Landasan ajaran: AL- Quran dan Sunnah

TUJUAN: Pemurniar Ajaran Agama Islam GEREAKAN Ke AGAMAAN (GERAKAN SALAFI DI UNM)