BIROKRATISASI DI INDOCINA Meninjau Ulang Hubungan Negara dan Minoritas Muslim

i

UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Ketentuan Pidana Pasal 113

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

ii Pengantar Ahli Prof. Dr. M. Arskal Salim GP., M.Ag. (Guru Besar Politik Hukum Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

BIROKRATISASI ISLAM DI INDOCINA Meninjau Ulang Hubungan Negara dan Minoritas Muslim

KHAIDIR HASRAM

NUSA LITERA INSPIRASI 2020

iii

Birokratisasi Islam di Indocina: Meninjau Ulang Hubungan Negara dan Minoritas Muslim

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Nusa Litera Inspirasi Cetakan pertama Maret 2020 All Right Reserved Hak cipta dilindungi undang-undang

Penulis: Khaidir Hasram Perancang sampul: NLI Team Penata letak: NLI Team

Birokratisasi Islam di Indocina: Meninjau Ulang Hubungan Negara dan Minoritas Muslim

xx + 254: 14.5 cm x 20.5 cm ISBN: 978-623-7276-71-5 Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)

Penerbit Nusa Litera Inspirasi Jl. KH. Zainal Arifin Kabupaten Cirebon, Jawa Barat [email protected] www.nusaliterainspirasi.com HP: 0852-3431-1908

Isi di luar tanggungjawab percetakan.

iv PENGANTAR AHLI

Prof. Dr. M. Arskal Salim GP., M.Ag.

Alhamdullilah, segala puji syukur bagi SWT yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya. Kita semua patut ber- syukur atas terbitnya buku Birokratisasi Islam di Asia Tenggara yang begitu menarik dan membanggakan. Sholawat serta salam selalu tercurah untuk baginda Nabi Muhammad SAW beserta kelu- arga, para sahabatnya, dan semua umatnya yang senantiasa selalu berdoa menginginkan syafaatnya. Kosa kata birokrasi kadang kala dimaknai sebagai sebuah sistem yang bersifat negatif karena cara kerjanya yang hirarkis dan berbelit-belit: menyempitkan makna birokrasi itu sendiri. Bahkan karena sifatnya itu, dianggap sebagai sistem yang tidak demokratis (undemocratic) dan bertentangan dengan prinsip negara-negara modern yang dibangun di atas fondasi demokrasi dan kesetaraan. Namun belakangan ini, konsep birokrasi yang semula merupakan topik kajian dalam studi ilmu pemerintahan ditarik ke wilayah stu- di sosial oleh para sarjana: digunakan sebagai kerangka untuk me- ninjau ulang hubungan Islam dan Negara. Max Weber menjadi orang yang pertama mendiskusikan tentang birokrasi. Weber melakukan kategorisasi model organisasi kekuasaan (authority) menjadi tiga model: kekuasaan tradisional, kekuasaan kharisma, dan kekuasaan legal-rasional. Model kekuasa- an terakhir, legal-rasional, disebut sebagai model kekuasaan yang bertumpu pada cara kerja birokrasi, yaitu segala sesuatu diatur ber- dasarkan pembagian tugas-tugas khusus yang dibebankan kepada suatu lembaga khusus (bureau) yang bertanggung jawab kepada tu- gas yang bersifat spesifik. Pembagian-pembagian kerja tersebut se- muanya diatur berdasarkan suatu aturan hukum (kratie). Saat ini, semua negara dijalankan dengan prinsip birokrasi tersebut. Bahkan struktur-struktur masyarakat yang pada awalnya hanya bertumpu pada sistem kepatuhan kepada tokoh tertentu (kha-

v risma) atau mengakui kekuasaan keturunan tertentu (tradisional), secara cepat berubah menjadi struktur kekuasaaan yang bertumpu pada kepatuhan legal-rasional. Gelombang birokratisasi melanda tidak hanya pada negara, melainkan juga pada struktur-struktur non-negara: agama dan adat, mau tidak mau harus berjalan dengan prinsip birokratis. Fenomena ini yang kemudian disebut sebagai zaman birokrasi (the age of bureaucracy), zaman yang secara prin- sip mengikat manusia untuk berada dalam sistem kepatuhan berda- sarkan sistem kekuasaan legal-rasional. Islam dalam bentuknya sebagai struktur juga melewati tiga model kekuasaan ini. Dalam sejarah perkembangannya, secara se- derhana kita bisa menjelaskannya sebagai berikut: Pertama, sistem kepatuhan politik bertumpu pada sosok otoritas kharismatik Nabi Muhammad dan kharisma empat pemimpin pada masa Khulafaur- rasyidin. Terlepas dari ragam dinamika sejarah politik Islam yang mengikuti perbincangan tentang pengangkatan keempat pemimpin pasca wafatnya Nabi. Suksesi pengangkatannya sangat dipengaruhi oleh kharisma ketokohannya: Abu Bakar dipilih berdasarkan bai’at oleh perwakilan kelompok besar masa itu. Setidaknya ada dua indi- kator: karena sosoknya yang ditunjuk Nabi untuk menjadi imam shalat jika Nabi sakit dan sosoknya yang tampil bijaksana ketika berusaha menyatukan dua kabilah (suku) yang masing-masing akan mengangkat pemimpinnya. Begitupun Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, kedua- nya dipilih berdasarkan sistem bai’at dari tokoh-tokoh terpercaya di masa itu, tentu saja indikatornya didasarkan kepada sosok kha- risma dari masing-masing pemimpin tersebut. Berbeda dengan ke- duanya yang dipilih melalui kepanitian yang dipilih oleh khalifah, disebabkan oleh dinamika politik pasca wafatnya Utsman karena terbunuh, tidak ada wasiat atau kepanitian tertentu yang terbentuk. Sehingga umat Islam yang khawatir kekuasaannya (daulah) tidak memiliki pemimpin, bersama-sama membai’at Ali bin Abi Thalib yang terkenal kecerdasan dan kedekatannya dengan Nabi. Bai’at ini dilakukan oleh hampir semua pemimpin daerah Islam, kecuali daerah Syam yang saat itu dipimpin oleh Muawiyah.

vi Kedua, sistem kepatuhan politik yang bertumpu pada jalur keturunan, disebut Weber sebagai sistem otoritas tradisional. Dina- mikanya dimulai ketika Ali naik tahta menjadi khalifah. Pemerin- tahannya diguncang oleh berbagai isu dari berbagai golongan. Salah satunya adalah isu pembunuhan Utsman, menjadi fitnah pertama dalam sejarah Islam. Penolakan Muawiyah untuk berbait kepada Ali diakibatkan fitnah tersebut, Ia menuntut pembunuh Utsman dihukum terlebih dahulu. Isu ini memicu terjadinya perang Shiffin yang dimenangkan oleh Muawiyah. Kemenangannya menjadi awal mula dimulainya sejarah dinasti dalam Islam. Muawiyah naik tahta menjadi khalifah. Sistem kekuasaan diturunkan melalui jalur kelu- arga: Dinasti Bani Umayyah, Dinasti Bani Abbasiyah, Dinasti Tur- ki Ustmani, dan lainnya. Ketiga, sistem kepatuhan politik yang didasarkan pada prin- sip legal-rasional. Hampir secara serentak, secara signifikan kekua- saan ini dimulai ketika perang dingin selesai dan negara-negara bangsa (nation-state) terbentuk sebagai sistem negara modern. Se- panjang awal abad ke-20, setelah era kolonialisme berakhir secara dramatis. Negara-negara mengorganisasi dirinya dalam sebuah sis- tem yang birokratis dan saling terikat satu sama lain. Organisasi- organisasi negara kawasan terbentuk dan kerjasama internasional terjalin semakin intim antar negara. Fenomena ini menjadi menarik untuk mempertanyakan kem- bali di mana dan bagaimana posisi Islam dalam hubungannya de- ngan kekuasaan negara modern yang bersifat birokratis itu? Saat membimbing Khaidir dalam menyelesaikan naskah ini, saya mem- berikan semacam roadmap sebagai kerangka birokratisasi Islam di negara-negara minoritas muslim. Saya menyebutkan terdapat em- pat model birokratisasi Islam oleh negara minoritas muslim, yaitu: birokratisasi refresif, tanpa birokratisasi, birokratisasi terbatas, dan birokratisasi minimum. Roadmap ini belum memiliki landasan kajian yang mendalam, hanya dijadikan kerangka untuk memudah- kan Khaidir dalam menyusun analisis tesisnya. Dalam buku ini, ia mengeksplorasi dan memberikan contoh- contoh negara mana saja yang ia kategorikan dalam model-model birokratisasi. Meski belum detail, ia juga memberikan penjelasan

vii atas indikator-indikator yang ia gunakan dalam melakukan katego- risasi tersebut. Menariknya, dua negara yang diteliti, Vietnam dan Kamboja mengalami birokratisasi Islam, namun dalam kategori yang berbeda. Vietnam dikategorikan dalam birokratisasi terbatas, sementara Kamboja dikelompokkan dalam kategori birokratisasi minimum. Secara umum, kajian terhadap birokratisasi Islam di Asia Tenggara telah dimulai oleh para sarjana yang didekati dengan ber- bagai pendekatan. Misalnya oleh Dominik M Muller yang meng- kaji birokratisasi Islam di Brunei Darussalam dengan pendekatan antropologi; kawan saya Kerstein Steiner yang menganalis feno- mena birokratisasi melalui pasal-pasal hukum di empat negara: , Brunei, Singapura dan Filipina; dan Walid Jumblatt Ab- dulla yang meneliti bagaimana Singapura melakukan controling terhadap Islam melalui format birokratisasi Islam. Negara-negara yang banyak dikaji oleh para sarjana tersebut terletak di kawasan Asia Tenggara Kepulauan (Maritime Southeast Asia), yaitu kawasan yang selama ini dikenal sebagai tempat berse- mainya Islam secara dinamis. Walau demikian, belum banyak yang mengkaji fenomena yang berlangsung di negara-negara minoritas muslim di semenanjung Indocina (Mainland Southeast Asia). Bah- kan mungkin banyak yang tidak menyangka fenomena ini terjadi di negara yang secara politik menganut ideologi Komunisme (Viet- nam) atau di negara yang secara legal mengesahkan Budhhisme sebagai agama negara (Kamboja). Pada titik inilah, buku saudara Khaidir mendapatkan signifikansinya. Ia memberikan satu kesega- ran baru untuk melihat bagaimana dinamika Islam dan negara di kawasan Indocina, kawasan yang selama ini diketahui sarat akan konflik negara dan agama.

viii PENGANTAR PENULIS

Mengerjakan penelitian fenomenologi terhadap masyarakat muslim pada dua negara di luar negeri, Vietnam dan Kamboja, tidaklah mudah. Saya membutuhkan waktu lebih dari dua tahun untuk menyelesaikannya. Mengumpulkan data, menyusunnya sedi- kit demi sedikit, hingga menjadi satu bangunan tesis yang utuh. Dalam waktu yang panjang dan kerja-kerja yang tidah mudah itu, saya banyak terbantu oleh konstribusi dari banyak orang dengan berbagai cara: secara langsung melalui masukan data dan saran atas teknis penulisan sampai mereka yang menciptakan momentum baik untuk saya agar tetap punya semangat untuk menyelesaikan apa yang telah saya mulai. Melalui ruang yang terbatas ini, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih yang besar kepada mereka semua. Tentu tidak mungkin semua nama saya bisa sebutkan satu persatu. Jika ada nama yang tidak saya sebutkan, rasa terimakasih saya kepada mereka tidaklah lebih sedikit dibandingkan kepada mereka yang tersebut. Buku ini merupakan hasil dari penelitian tesis saya sebagai persyaratan untuk meraih gelar magister (M.A) di Sekolah Pasca- sarjana (Sps) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selama lebih dari tiga tahun menjadi mahasiswa, saya mendapatkan banyak sekali pengetahuan dan lingkungan baru. Terimakasih kepada kampus tercinta ini. Selama menempuh pendidikan tersebut, saya menda- patkan beasiswa dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) melalui program Beasiswa Unggulan (BU). Saya bertemakasih kepada pihak penyelenggara atas kepercayaannya kepada saya sebagai awardee. Saya sangat bersyukur telah dipertemukan dengan para sar- jana hebat dalam wilayah studi saya. Saya berterimakasih kepada mereka: pembimbing saya, Prof. Dr. M. Arskal Salim GP., M.Ag., di sela-sela kesibukan beliau sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (DIKTIS) Kemenag RI, beliau meluangkan ba- nyak waktunya untuk mendiskusikan tesis saya, dalam beberapa kesempatan juga memberikan nasehat secara pribadi untuk tetap

ix konsisten menyelesaikan naskah ini: kepada Ibu Betti Rosita Sari, S.E., M.A., Ibu yang saya anggap sebagai pembimbing kedua saya: menjadi teman diskusi, membaca naskah ini, dan beliau juga me- nyiapkan sejumlah referensi yang berkaitan dengan studi saya, hal yang sulit saya dapatkan dari perpustakaan di Indonesia; Kepada Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA., di tengah kesibukan beliau seba- gai Wakil Rektor IV Bidang Kerjasama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beliau dengan senang hati selalu menerima saya untuk ber- diskusi berkaitan dengan tema naskah ini atau hal-hal di luar itu. Beliau juga menyiapkan draft referensi berupa tulisan beliau ten- tang muslim di kedua negara. Saya tahu, untuk mendapatkan kem- bali referensi itu sangat sulit, beliau harus mencarinya di perpusta- kaan rumahnya, melibatkan banyak orang, hingga harus mengunju- ngi ulang secara detail file demi file dalam komputernya; kepada Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA., beliau banyak memberikan kritik atas penulisan saya, serta memperkenalkan saya dengan ba- nyak tokoh-tokoh penting dalam wilayah studi saya saat ini, khu- susnya tentang tema Melayu dan Cham di Asia Tenggara. Saya berterima kasih kepada kedua orang tua, mertua, adik- adik, dan segenap keluarga besar. Mereka telah menciptakan ling- kungan baik penuh kehangatan untuk saya. Sebuah keterlibatan yang secara signifikan membuat saya tetap semangat menyelesai- kan apa yang telah saya mulai, meski harus “berdarah-darah”. Ten- tu saja, juga untuk Keluarga besar Meida Wisata di Jalan Harsono No. 19, Ragunan. Secara keseluruhan naskah buku ini saya selesai- kan di lantai 3 rumah ini. Penelitian ini bisa selesai dengan baik setelah saya mengun- jungi dua negara, Vietnam dan Kamboja, selama dua kali peneliti- an. Dalam perjalanan itu, saya bertemu dengan banyak sekali orang baik yang membantu saya. Secara khusus saya haturkan terima ka- sih kepada orang-orang baik itu: di kota Ho Chi Minh,Vietnam: Mas Aziz Yousof, Haji Ma Darech Samael, Haji Ly Du So, dan para Staff di Komite Islam, ustad Musa bin Abdul Qadir, ustad Sholeh, Ibu Indra dan bapak Ho Math Aly, bapak Dod Muham- mad, Ustad Abu Bakar, Jamila, Muhammad Chaly, Ibu Saodah, pak Ananda Sutrisno dan semua yang tidak sanggup saya sebutkan satu

x persatu; Juga kepada mereka di Phnom Penh, Kamboja: Haji Mu- hammad Daud, Haji Muhammad Irsyad, Haji Mansyur, Hajid Sho- leh bin Abu Thalib, Bang Syafi’I; terkhusus kepada kawan baik saya, Sem Raty, orang yang selalu saya repotkan selama di Phnom Penh; kepada mas Firdaous dan Mas Kasmin, dua orang Indonesia pemilik Warung Bali Phnom Penh yang sangat banyak membantu saya selama berada di kota tersebut; rekan saya, Mariny, Mareiyas, Saliha, dan orang-orang baik lainnya yang membantu saya dalam melakukan penelitian di dua negara tersebut. Saya juga berterimakasih kepada teman seperjuangan dalam studi Magister di SPs UIN Jakarta, terutama kepada Oga Satria, Helmy Hidayat, Ahmad Hifni, Restia Gustiana, Nur Mardiah, , Zikra Fadilla, Nur Ikhlas, Aam Aminah, serta teman-teman S2 dan S3 angkatan 2015/2016. Tak lupa juga kepada kakanda-kakanda teman seperjuangan di taman Sps yang banyak memberikan moti- vasi dan dorongan untuk menyelesaikan penulisan ini: Pak Ansor, Kak Umam, Kak Sahlan, Bang Zia, Pak Ali dan mereka yang tak sempat saya sebutkan satu-satu. Kepada teman-teman penulis sesa- ma perantau dari Sulawesi, khususnya kakanda dan adinda di IKAPSH Jabodetabek: Kak Efi, Kak Fikar, Kak Widi, Kak Nain, Kak Imran, Arfah, dan teman-teman lainnya; juga teman-teman di lembaga kajian Lingkar Santri Cendekia (LSC), saya berterima kasih telah diajak untuk bergabung dengan teman-teman yang luar biasa; tak lupa juga, penulis haturkan terimakasih kepada kakanda dan teman-teman yang telah menemani penulis berproses di lemba- ga, organisasi, dan kampus. Meski nama kalian tidak saya sebut- kan. Rasa syukur dan terima kasih saya telah dipertemukan dengan kalian tidaklah lebih sedikit dibandingkan mereka yang tersebut namanya.

Ciputat, 10 Januari 2020 Penulis,

Khaidir Hasram

xi

xii DAFTAR ISI

PENGANTAR AHLI v (Prof. Dr. M. Arskal Salim GP., M.Ag.) PENGANTAR PENULIS ix DAFTAR ISI xiii DAFTAR TABEL/BAGAN xv DAFTAR GAMBAR xv DAFTAR SINGKATAN xvi PETA xvii

PENDAHULUAN 1 Narasi Minoritas Muslim dan Diskursus Islamisasi di Indocina: Sebuah Kerangka Umum

BAB I BIROKRATISASI ISLAM DAN MINORITAS MUSLIM 15 A. Birokrasi dan Islam 16 B. Minoritas dalam Studi Islam 28 C. Migrasi dan Signifikansi Fiqh Aqalliyaat 33 D. Model Birokratisasi Islam di Negara Minoritas Muslim 41

BAB II JALAN PANJANG NEGOSIASI MUSLIM INDOCINA 64 A. Islamisasi di Indocina: Menimbang Konstribusi 64 B. Muslim Indocina dan Kolonialisme 74 C. Lokalisasi Islam dan Negosiasi Identitas 83 D. Interaksi Kebudayaan dan Kosmopolitanisme Islam 89

BAB III BIROKRATISASI ISLAM: TUNTUTAN ATAU KEBUTUHAN? 103 A. Satu Partai Banyak Agama: Politik dan Regulasi Keagamaan di Vietnam 104

xiii B. Satu Nasionalisme, Banyak Agama: Narasi Politik Keagamaan di Kamboja 122

BAB IV BIROKRATISASI ISLAM: TITIK BALIK HUBUNGAN NEGARA NON-MUSLIM DAN MINORITAS MUSLIM 136 A. Grand Muftih, NGO, dan Internasionalisme Islam 137 B. Halal, Hijab dan Tunjangan Guru Agama 159 C. Komite Islam dan Signifikansi Masjid: Dinamika Kebijakan untuk Islam di Negara Komunis 181 D. Halal, Parcel, dan Beasiswa 188

KESIMPULAN 215

DAFTAR PUSTAKA 224 GLOSARIUM 243 INDEKS 249 BIODATA PENULIS 253

xiv DAFTAR TABEL/BAGAN

1. Konsep Birokrasi Weber tentang Birokrasi dan Contoh Penerapannya dalam Masyarakat dan Lembaga Islam 27 2. Persentasi Populasi Pemeluk Agama dan Tidak Memiliki Agama di Vietnam Tahun 2018 108 3. Struktur Organisasi Komite Pemerintah untuk Urusan Agama (GCRA) Republik Sosialis Vietnam (SRV) 121 4. Posisi Islam dalam Negara Republik Sosialis Vietnam (SRV) 122 5. Posisi Lembaga Islam dalam Pemerintah-Kerajaan Kamboja 129 6. Struktur Organisasi CMMC 147 7. Program Kerja CMMC 149

DAFTAR GAMBAR

1. Penulis di Depan Katedral Notre-Dame Basilica Saigon, HCM 115 2. Peta Persebaran Mesjid dan Kampung Muslim di Provinsi di Kamboja 141 3. Foto Bersama Muftih Besar, Timbalan Muftih, dan Staff Majelis Tertinggi untuk Urusan Agama Islam Kamboja 144 4. Jamaah Umrah Asal Kamboja 158 5. Logo Halal dan Sertifikat Pelatihan Halal di Kamboja 168 6. Aktifitas Mahasiswi Muslimah Kamboja di Kampusnya 177 7. Usaha Makanan dan Produk Kopi yang Menggunakan Label Halal Sendiri 191 8. Proses Penerbitan Sertifikat Halal di Vietnam 194 9. Contoh Parsel dari Perwakilan Pemerintah (GCRA) kepada Komite Islam di Tay Ninh 197

xv DAFTAR SINGKATAN

CMDF : Cambodian Muslim Development Foundation CMMC : Cambodian Muslim Media Center MCAC : Mercy Charitable Association of RIHS : Revival Islamic Heritage Society CMIA : Cambodian Muslim Intellectuals Alliance CMYA : Cambodian Muslim Youth Alliance IDB : Islamic Development Bank HAV : Halal Authority Vietnam HCA : Halal Certification Agency HICIRAC : Highest Islamic Council for Religious Affairs Cambodia NGO : Non-Government Organization CVP : Communist Party of Vietnam SRV : Socialist Republic of Vietnam GCRA : Government Committee for Religious Affairs MUI : Majelis Ulama Indonesia MUIS : Majelis Ugama Islam Singapore JAKIM : Jabatan Kemajuan Islam Malaysia

xvi Peta 1 Asia Tenggara

xvii Peta 2 Vietnam

xviii Peta 3 Kamboja

xix

xx PENDAHULUAN

Narasi Minoritas Muslim dan Diskursus Islamisasi di Indocina: Sebuah Kerangka Umum

Narasi minoritas adalah narasi ketertindasan, alienasi, dis- kriminasi dan peminggiran hak. Pengalaman itu berlangsung di berbagai negara yang menyebabkan muslim berada dalam pusaran konflik mayoritas dan minoritas: Ketegangan terjadi dalam negara mayoritas muslim kepada minoritas muslim, misalnya: Arab Saudi memiliki ketegangan dengan minoritas Syiah,1 dan Indonesia me- ngalami konflik dengan Ahmadiyah. Terlebih lagi, negara mino- ritas muslim kepada komunitas muslim: Thailand mengalami kon- flik dengan muslim Patani di bagian selatan dan Filipina dengan muslim di wilayah Sulu dan Mindanao. Konflik di kedua negara tersebut berlangsung lama dan alot, melibatkan banyak hal: agama dan identitas, sehingga perjuangan muslim untuk keluar dari narasi itu disebut sebagai perjuangan tanpa akhir. Meskipun narasi-narasi itu perlahan berakhir, konflik mayoritas dan minoritas mengalami penurunan,2 namun ketegangan belum benar-benar berakhir. Feno- mena tersebut banyak dikaitkan dengan adanya pengaruh global terkait dengan kebijakan terhadap hak-hak minoritas.3 Negara- negara menerapkan serangkaian kebijakan untuk mengelola kelom- pok minoritas di dalam negaranya, termasuk membentuk kebijakan untuk komunitas muslim. Penelitian ini menelusuri bagaimana kebijakan itu diterapkan, menyebabkan adanya keterlibatan negara non-muslim dalam urusan domestik komunitas muslim. Khususnya di dua negara di Indocina, Vietnam dan Kamboja. Dua negara ini memiliki kenangan buruk dengan agama: penyebaran ateisme melalui negara di Vietnam, dan diskriminasi hingga genosida pada penganut agama oleh negara pada masa Demokratik Kamboja. Fenomena ini misalnya ditangkap oleh Seddiek Tauoti yang mengunjungi Vietnam dan Kamboja pada tahun 19814, tiga tahun setelah tumbangannya rezim Khmer Merah () pada

1 Birokratisasi Islam di Indocina...

1979 di Kamboja, dan tujuh tahun setelah perang Indocina kedua (the second Indocina war) yang memporak-porandakan Vietnam selama hampir 20 tahun, sejak 1955 sampai 1975. Pada masa itu, suasana kedua negara sedang merangkak keluar dari sisa-sisa pera- ng yang menyedihkan. Kemenangan kubu Vietnam Utara menjadi- kan negara Vietnam berdiri sebagai negara Republik Sosialis Viet- nam (Socialist Republic of Vietnam) yang menggunakan ideologi komunisme-leninisme sebagai ideologi negara. Suatu masa, di awal kekuasaan Republik ini, mereka berusaha menciptakan masyarakat tanpa Tuhan. Dalam tradisi komunisme, masa ini disebut sebagai masyarakat komunis (communist society), sebuah usaha untuk me- matikan kerja agama dalam masyarakat. Setelah perang melawan Amerika berakhir, Vietnam melakukan penyerangan ke negara tetangga, Kamboja, yang masih berada di bawah kekuasaan Khmer Merah yang radikal.5 Komunisme Khmer Merah yang Maosentrik berusaha mendirikan negara agraris secara total. Mereka yang pro- kemajuan ditangkap, dibunuh, lalu disiksa. Masyarakat Cham yang mayoritas muslim menjadi salah satu target utama. Mereka dilara- ng memakai tradisi Cham, dilarang beribadah, masjid dihancurkan, tokoh agama dibunuh. Para muslim dipaksa memakan babi dan melarang pemakaian hijab. Pembunuhan terjadi secara besar-besa- ran.6 Setidaknya, dari sekitar 700.000 muslim sebelum 1975, tersi- sa sekitar 200.000 muslim pada 1979.7 Rezim ini akhirnya takluk pada 1979 oleh invasi pasukan komunis Vietnam (Viet Cong). Hingga 1990an, kedua negara tersebut bergelut dalam usaha stabi- lisasi negara pasca-perang dan kekacauan politik. Pada periode ini, Tauoti datang dan menetap. Ia menyaksikan kehidupan pasca pera- ng, termasuk bagaimana komunitas muslim yang telah hidup ber- abad-abad di kedua negara berjibaku hidup terpinggirkan (margi- nalized), kondisi yang pada akhirnya juga turut berdampak pada komunitas muslim besar di Asia Tenggara. Taouti dalam tulisan- nya menyebut mereka; muslim di Kamboja dan Vietnam, sebagai muslim yang terlupakan (the forgotten ).8 Tiga dekade setelah Taoutie menerbitkan tulisannya, saya mengunjungi Vietnam dan Kamboja pada awal 2017, menetap selama lebih dari sebulan di dua kota yang menjadi pusat dinamika

2 Birokratisasi Islam di Indocina... politik di dua negara tersebut; kota Ho Chi Minh dan kota Phnom Penh. Pada periode kedatangan saya, saya menyaksikan hal yang sangat berbeda dari narasi muslim yang terlupakan. Muslim telah berkembang, mereka mengekspresikan keislaman mereka di ruang publik: membentuk lembaga keislaman, merayakan ritual peribada- tan, melaksanakan kewajiban Islam, merayakan keragaman, dan berusaha menikmati hidup meski sebagai minoritas. Philipp Bruck- mayr juga melihat hal demikian di Kamboja, satu dekade yang lalu, tahun 2006, Ia menerbitkan tulisannya dengan judul the Cham Muslims of Cambodia: From Forgotten Minority to Focal Point of Islamic Internationalism. Dalam tulisan ini, Bruckmayr menarasi- kan kondisi masyarakat muslim di Kamboja keluar dari keterping- girannya sebagai minoritas. Usaha komunitas muslim untuk ber- kembang saling bersambut baik dengan suasana politik negara yang semakin terbuka dengan sistem demokrasi. Setelah pemilu tahun 1993, semua hal berubah dengan cepat.9 Kamboja semakin terbuka dengan sistem demokrasi, gelombang investasi secara pesat masuk ke negara ini. Tidak bisa dipungkiri, masa-masa UNTAC, ketika PBB mengirimkan tentara-tentara dari berbagai negara muslim untuk tinggal menjaga negara memberikan dampak signifikan ter- hadap percepatan laju stabilitas negara dengan dunia internasional. Selain itu, usaha pulang para imigran yang sempat meninggalkan Kamboja sejak era Khmer Merah kemudian kembali ke negaranya juga memberikan kontsribusi besar. Sebagian besar diantara mere- ka yang kembali mampu berubah menjadi lebih terpelajar karena mendapatkan akses pendidikan di negara-negara pelarian, seperti yang mengungsi ke Malaysia dan Amerika.10 Salah satunya adalah Ahmad Yahya, seorang Muslim Kamboja yang mengungsi ke Amerika. Dia pulang ke negaranya, melakukan kerja politik sebagai anggota parlemen dari partai Sam Rainsy, mewakili Provinsi Kam- pong Cham. Ahmad Yahya juga mendirikan NGO bernama Cam- bodian Islamic Development Association (CIDA), lembaga ini fokus untuk peningkatan kualitas pendidikan pemuda muslim.11 Pada masa ini, sekitar tahun 1990 sampai 2010, organisasi- organisasi swadaya dan bantuan-bantuan luar negeri, umumnya da- tang dari negara-negara Arab (Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab,

3 Birokratisasi Islam di Indocina...

Arab Saudi) dan Malaysia, berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan masyarakat muslim dan rehabilitasi bangunan madra- sah dan masjid di Kamboja dan Vietnam. Secara umum, terkuak fakta bahwa dominasi pembangunan pendidikan lebih banyak dila- kukan di Kamboja. Hal ini terbukti dari banyaknya kuota beasiswa yang diberikan kepada mahasiswa muslim asal provinsi yang kuliah di beberapa kampus pemerintah dan swasta di kota Phnom Penh. Mereka tidak mengambil jurusan kekhususan agama mela- inkan jurusan umum sebagai persyaratan dari pemberi beasiswa. Sementara di Vietnam, penerima beasiswa di kampus negeri masih terbatas bagi masyarakat muslim. Walau demikian, sebagai orang Cham, salah satu dari 53 etnis minoritas yang diakui negara, sehi- ngga pelajar muslim mendapatkan potongan harga untuk pembaya- ran sekolah sebanyak dua puluh persen. Sedangkan mereka, pelajar Vietnam yang ingin belajar keluar negara, seperti Malaysia, harus membayar sendiri dan mencari beasiswa sendiri.

Kerajaan Champa : Menelusuri Jejak Islam di Indochina

Kehadiran muslim di Vietnam dan Kamboja saat ini, bisa ditelusuri jejaknya hingga ke masa-masa awal kehadiran Islam ke wilayah Asia Tenggara. Berawal dari sebuah wilayah di Vietnam, lokasinya di sekitar kota Hue saat ini, yang dikuasasi oleh kerajaan Champa. Sejarah kerajaan ini bisa ditelusuri hingga dua ribu tahun yang lalu, pada masa awal masehi. Sar Desai dalam Southeast Asia: Past and Present, menempatkan kerajaan Champa sebagai salah satu kerajaan kuno yang pernah eksis di Asia Tenggara daratan (Mainland Southeast Asia). Dalam catatan sejarah Cina, Champa dikenal dengan nama Lin-yi12, berarti kota Lin. Awalnya, Lin-yi adalah sebuah entitas politik yang terdiri dari beberapa suku. Lalu dikenal sebagai sebuah kerajaan yang berdiri pada penghujung abad kedua, tepatnya 192 masehi, semasa dengan kerajaan Funan, salah satu kerajaan kuno bangsa Khmer di Mekong Delta. Nama Champa baru dikenal pada 658 masehi, setelah ditemukannya cata- tan dengan tulisan sansekerta pada sebuah batu di Vietnam Tengah. Latar berdirinya Kerajaan Champa diawali oleh sebuah upaya kelu-

4 Birokratisasi Islam di Indocina... ar dari dominasi Cina, yang saat itu dibawah kekuasaan dinasti Han. Dipimpin oleh seorang bernama Kiu-Lien, mereka yang lelah berada dibawah dominasi itu, kemudian mendirikan sebuah keraja- an bernama Lin-yi, yang berada di sekitar wilayah Hue saat ini,13 tempat dimana Kiu-Lien menjadikan dirinya sebagai raja. sejak saat itu sampai beberapa abad setelahnya, abad kesepuluh dan kesebelas, orang Cham berhasil memperluas kekuasaannya ke sela- tan, hingga menguasasi beberapa wilayah sepanjang pesisir Viet- nam tengah hingga ke Phan Rang, salah satu kota di Provinsi Binh Thuan, yang masuk dalam wilayah South-Central Coast. Dulu, wilayah-wilayah tersebut terbagi dalam enam wilayah besar keraja- an, yaitu Indrapura di utara, Amaravati, Vijaya, Kauthara, hingga Panduranga di selatan. Saat ini, wilayah-wilayah tersebut telah menjadi provinsi modern dibawa Negara Komunis Vietnam, meli- puti, Da Nang, Quang-Nam, Binh Dinh, Khan Hoa, Ninh Thuan, dan Binh Thuan. Bukti-bukti peninggalan arkeologi dan bangunan- bangunan candi peninggalan Kerajaan Champa dapat dijumpai di daerah-daerah tersebut. Khususnya di Provinsi Quang Nam, yang dulunya merupakan kota suci bagi masyarakat Cham, bernama Amaravati, terdapat beberapa situs sejarah Cham yang sudah dia- kui oleh UNESCO sebagai peninggalan dunia, diantaranya situs arkeologi Tra-kieu, Mi-son, dan Dong-duong. Terdapat beberapa hipotesis tentang kedatangan Islam ke Semenanjung Indocina, tidak jauh berbeda, dan masih punya keter- kaitan dengan kedatangan Islam di wilayah kepulauan Asia Teng- gara. Mengutip dari Pierre-Yves Manguin, Cabaton mengembang- kan dua hipotesis tentang awal mula kedatangan Islam ke Indocina, khususnya ke wilayah Kerajaan Champa saat itu. Cabaton mem- perkirakan Islam datang pada sekitar abad kesepuluh (X) hingga abad ke empat belas (XIV) dibawa oleh para pedagang dari Arab, Persia, dan India, atau kemungkinan setelahnya, pada masa-masa imigrasi Melayu.14 Menurut al-Dimashqi, Seorang Geographer Arab, bahwa di masa Khalifah Usman bin Affan, sekitar tahun 29 Hijriyah-650 Masehi, seorang muslim telah diutus secara resmi ke wilayah Vietnam saat ini.15 Dalam pembacaan lain, oleh Tasaka Kodo, utusan tersebut diutus untuk ke Cina, pada 651 masehi di

5 Birokratisasi Islam di Indocina... masa kekuasaan Dinasti Tang. Selain itu, al-Dimashqi juga mela- porkan bahwa setelah masa itu, juga berdatangan rombongan mus- lim, pengikuti Ali bin Abi Thalib, dari Persia yang melarikan diri dari kekuasaan Bani Umayah, yang mengambil alih kekhalifahan Islam untuk berlindung di wilayah Kerajaan Champa.16 Keberada- an orang-orang Persia dalam kerajaan Champa juga oleh E.M. Durand, seorang Etnografer dari Prancis, yang menelusuri menelu- suri jejak Islam dalam Book of Nosirwan, sebuah buku tentang kos- mogoni, ilmu tentang asal usul benda langit dan alam semesta. Dalam tradisi Cham, Po Nosirwan diyakini sebagai anak pencipta Semesta, Pa Aulah (Allah). Nama Po Nosirwan adalah format dalam tradisi Cham untuk menyebut Anushirvan, yang juga seba- gai pemegang tahta penting dalam keluarga kerajaan Champa, karya itu digunakan oleh raja-raja Persia.17 Sebuah bukti penting tentang keberadaan komunitas muslim di wilayah Champa, sekitar abad kesebelas (XI), diuaraikan oleh P. Ravaisse melalui dua pra- sasti dalam tulisan Arab. Pertama, bertanggal 21 november 1039 bertuliskan Abu Kamil, dengan menggunakan gaya kufi Fatimi; kedua, dalam kufi yang belum disempurnakan, tanggalnya tidak ada, tapi berada dalam waktu yang sama dengan prasasti pertama.18 Hal ini, mengindikasikan bahwa setidaknya sebelum abad kesepu- luh, telah ada kantong-kantong pemukiman muslim di Champa. Komunitas muslim yang banyak berasal dari luar adalah konseku- ensi Champa sebagai kerajaan maritim besar yang pernah ada di semenanjung Indocina. Namun, walaupun Islam telah ada sejak abad ketujuh, komunitas muslim pendatang dari Timur Tengah mulai menetap dan membaur dengan warga lokal sekitar abad kesepuluh (X) dan kesebeles (XI), namun, secara signifikan masya- rakat Champa menjadi muslim pada abad keenam belas (XVI) dan ketujuh belas (XVII), masa menjelang dan setelah kejatuhan kera- jaan Champa.19

Islam Indocina di Era Global: Negosiasi Minoritas Muslim dan Negara Non-Islam

6 Birokratisasi Islam di Indocina...

Setelah Vijaya, pusat pemerintahan Kerajaan Champa jatuh pada 1471, lalu Panduranga pada 1693, masyarakat Champa mulai hidup dalam kesulitan.20 Di bawah pemerintahan Dai Viet, mereka dipaksa untuk meninggalkan tradisi Cham, dan diwajibkan untuk menggunakan tradisi Viet, agenda ini dikenal dengan Vietnamisasi, sebuah usaha untuk mendidik orang Champa menjadi orang Viet. Masyarakat Cham dilarang menggunakan segala tradisi yang ber- kaitan dengan Cham: seperti baju, adat istiadat, folklore, hingga bahasa dan kesusastraan Cham dilarang untuk dituturkan dan dipe- lajari. Kondisi yang semakin sulit, membuat masyarakat Cham me- ninggalkan wilayah mereka, Vietnam Tengah, mengungsi ke ber- bagai wilayah, seperti, Malaysia, Indonesia, Cina (Hainan), dan dalam jumlah besar ke utara di Kamboja saat ini. Dalam usaha pengungsian mereka, masyarakat Champa tidak mengalami kesuli- tan untuk diterima di tempat baru, sebab dalam waktu yang lama, mereka telah terlibat interaksi dagang dengan masyarakat di daerah tujuan. Misalnya, dengan masyarakat di semenanjung Melayu, sekarang Malaysia, para pedagang di Champa telah terhubung sejak lama melalui berbagai aktifitas dagang. S.Q Fatimi bahkan men- duga bahwa Islam di Trengganu, Malaysia, berasal dari Champa21, sebab beberapa ahli yang melacak keberadaan prasasti bertuliskan Arab dan Shalawat Nabi pada sekitar abad kesepuluh (X) di Cham- pa. Hal ini sangat mungkin, sebab interaksi para pedagang muslim di Indocina (Champa) dan Melayu sudah terhubung dengan baik.22 Para pengungsi Champa juga terlacak kedatangannya di wilayah kerajaan Gowa, di bagian Selatan pulau Sulawesi. Dalam lontara Gowa, mereka disebut orang dari Campaya (Champa), bersama de- ngan para pendatang dari Melayu, orang Champa diberikan fasili- tas rumah ibadah dari Raja Tonijallo (1565-1590), di perkampu- ngan mereka di Mangngallekana.23 Globalitas dan keterhubungan jaringan muslim Indocina dengan wilayah Melayu, hingga ke Timur Tengah semakin signifi- kan memasuki era globalisasi. Walaupun pernah terputus pada masa-masa kolonialisme, namun terhubungan kembali setelah masa itu. Muslim Indocina yang mayoritas dari etnis Champa, mengor- ganisasi diri melalui cara hidup modern. Meski berada dalam posisi

7 Birokratisasi Islam di Indocina... minoritas, namun komunitas muslim di Indocina, khususnya di Vietnam dan Kamboja, berhubungan dengan pemerintah sebagai warga negara seharusnya. Berbeda dengan minoritas muslim lain- nya di kawasan Asia Tenggara yang terjebak dalam konflik berke- panjangan (never ending struggle) vis a vis pemerintah lokal mere- ka, seperti yang terjadi oleh muslim Patani di Thailand Selatan; muslim Mindanao dan Sulu di Filipina Selatan; dan Rohingnya di Myanmar. Penelitian ini berangkat dari fenomena tersebut, bagai- mana muslim di Indocina menegosiasikan Islam dan negara non- muslim, hal yang dibanyak wilayah minoritas muslim gagal dilaku- kan. Untuk sampai pada jawaban dari pertanyaan itu, saya menelu- suri fenomena ini dari kerangka fenomena birokratisasi, dengan mengeksplorasi bagaimana komunitas muslim mengelola komuni- tas mereka melalui lembaga legal-rasional dan bagaimana negara bersikap atas itu. Komunitas muslim Indocina telah melewati taha- pan-tahapan birokrasi seperti defenisi Weber tentang konsep keku- asaan24, menurut Weber: pada awalnya kekuasaan bersifat tradisio- nal (traditional authority), dijalankan melalui sistem kekeluargaan (nasab), seperti dalam sistem pemerintahan kerajaan; lalu berkem- bang menjadi kekuasaan kharismatik (charismatic authority), seperti tokoh agama (Mufti) yang tidak menggunakan jalur keturu- nan untuk memengaruhi muslim, tapi dengan keluasaan ilmu aga- ma, kelembutan laku, dan kewibawaan seorang tokoh; dan fase kekuasaan yang dijalankan dengan prinsip-prinsip hukum (legal- rational authority) yang menyesuaikan dengan kondisi waktu dan tempat komunitas muslim itu berada. Muslim Indocina sedang berada dalam kekuasaan yang ketiga, kekuasaan legal-rasional, dan memiliki hubungan hirarkis dengan pemerintah lokal dengan tang- gung jawab masing-masing, dengan tetap menjalankan prinsip kekuasaan kedua, kekuasaan kharismatik. Mereka mengikuti aturan negara sebagai warga negara yang baik, dan mereka juga menda- patkan hak-hak mereka sebagai warga negara, termasuk menjalan- kan agama mereka dengan bebas. Penelitian tentang birokratisasi Islam di Asia Tenggara bukanlah hal yang benar-benar baru, walaupun saya juga tidak menemukan banyak penelitian terkait ini. Diantara penelitian yang

8 Birokratisasi Islam di Indocina... terkait dengan birokratisasi Islam di Asia Tenggara dilakukan oleh Kerstin Steiner, penelitiannya dilakukan di dua negara mayoritas muslim, Malaysia-Brunei, dan dua negara minoritas muslim, Singa- pura-Filipina, untuk melihat bagaimana suatu negara mempenga- ruhi tradisi hukum di masyarakat dalam negara tersebut.25 Dominik M. Muller juga meneliti birokratisasi Islam di Asia Tenggara, Muller secara spesifik mengkaji birokratisasi Islam di Brunei dan pengaruhnya terhadap perubahan pada wilayah sosial budaya di negara itu.26 Dua penelitian ini memperlihatkan bagaimana Asia Tenggara, sebagai wilayah dengan populasi muslim terbesar, me- nyimpan satu hamparan lapangan penelitian tentang Islam yang menarik. Terlebih lagi setelah era-kolonialisme berakhir, dimana negara dan masyarakat Asia Tenggara mengalami perubahan situ- asi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang signifikan. Namun demikian, fenomena itu cenderung hanya berlangsung di negara- negara Asia Tenggara kepulauan (Maritime Southeast Asia) yang meliputi wilayah semenanjung Melayu dan kepulauan Nusantara, termasuk Filipina. Sementara di wilayah Asia Tenggara Daratan (Mainland Southeast Asia), cenderung masih seperti apa yang diungkapkan Seddik Taoutie bahwa komunitas muslim masih dilu- pakan, termasuk dalam soal riset dan kajian, jika dibandingkan dengan wilayah lain. Dalam dua dekade terakhir, penelitian tentang muslim di Vietnam, cenderung merupakan kajian sejarah, etnisitas, tradisi Islam, ekonomi, seperti, oleh Rie Nakamura (2000) tentang diskur- sus sejarah kedatangan Islam ke Champa27; Wan Zailan Kamarud- din Wan Ali (2011) tentang isu dan persebarangan pemikiran Islam pada era globalisasi di Vietnam28; Philip Taylor (2007) tentang ke- bangkitan ekonomi masyarakat muslim Champa di Mekong Delta, bagian selatan Vietnam29; Ba Trung Phu (2008) tentang tradisi Islam Bani di Vietnam Tengah30; dan Malte Stokhof (2008) tentang masyarakat muslim Bawean di kota Ho Chi Minh31. Sedangkan muslim di Kamboja, dikaji lebih sering, walau juga masih berkutat dalam persoalan yang hampir sama: sejarah, etnisitas, ekonomi, tradisi dan pendidikan Islam, serta diaspora dan transnasionalisme. Seperti: Mohamad Zain bin Musa (2008) tentang sejarah kebangki-

9 Birokratisasi Islam di Indocina... tan pendidikan Islam di Kamboja32; Philip Bruckmayr tentang per- kembangan masyarakat muslim dan jaringan Internasionalnya33. Dalam beberapa kajian di Kamboja, khususnya tentang masa-masa Khmer Merah, tidak hanya ditujukan untuk mencari kebenaran, tapi juga melakukan advokasi terhadap mereka yang menjadi korban kekejaman rezim. Seperti yang dilakukan Ysa Osman (2002) dalam Oukoubah yang menyediakan hamparan dokumentasi data tentang suasana penderitaan muslim di bawah rezim Khmer Merah34; dan Farina So (2011) dalam the Hijab of Cambodia yang secara spesi- fik berfokus pada penderitaan perempuan muslim di bawah Khmer Merah.35 Beberapa kajian di atas menunjukkan telah banyak dan beragam kajian terhadap muslim di Kamboja dan Vietnam. Namun, juga memperlihatkan setidaknya satu kekosongan penelitian (lacu- na), yaitu terbatasnya kajian mengenai birokratisasi Islam, yang berusaha menjelaskan dan mendeskripsikan bagaimana komunitas muslim mengelola diri mereka dalam satu institusi keagamaan (bersifat legal-rasional); bagaimana institusi keagamaan tersebut melakukan negosiasi dengan negara; dan bagaimana komunitas muslim menikmati kerja-kerja institusi itu. Pada wilayah inilah, penelitian ini mendapatkan signifikansinya.

Catatan untuk Pendahuluan

1 Madawi al-Rasheed, “The Shia of Saudi Arabia: A Minority in Search of Cultural Authencity”, dalam British Society for Middle Eastern Studies” (Vol. 25, No. 1, 1998) diakses dari http://www.jstor.org/ stable/195850 . 2 Ahmad Suaedy, “Islam, Identitas dan Minoritas di Asia Tenggara” dalam Jurnal Kajian Wilayah, (Vol. 1, No. 2, 2010), h. 237-252. 3 Md. Moniruzzaman, “Minority Policies in the Muslim World” dalam International Journal of Islamic Thoughts” (Vol. 3, 2014), h. 21-42. 4 Seddik Taouti (1982) The forgotten Muslims of Kampuchea and Vietnam, dalam Institute of Muslim Minority Affairs. Journal, 4:1-2, 3- 13, DOI: 10.1080/02666958208715856 5 Pada periode 1973an, pasukan Komunis Vietnam membantu gerilya- wan komunis Kamboja untuk menjatuhkan rezim Republik Khmer (1970-1975) yang saat itu dipimpin oleh Jenderal Lon Nol. Rezim

10 Birokratisasi Islam di Indocina...

Republik Khmer dijatuhkan pada 1975, digantikan oleh rezim Demo- kratik Kampuchea, dipimpin secara totaliter oleh Pol-Pot. Namun, rezim ini kemudian ditumbangkan kembali oleh pasukan komunis Vietnam. 6 Ysa Osman, Oukoubah : Justice for the Cham Muslims Under the Regime, (Phonm Penh: Documentation Center of Cambodia, 2002) . h. 3. 7 Data ini diambil dari Ysa Osman yang berasal dari hasil wawancara bersama Sos Kamry, dalam Ysa Osman, Oukoubah : Justice for the Cham Muslims Under the Democratic Kampuchea Regime, (Phonm Penh: Documentation Center of Cambodia, 2002), h. 2. 8 Mereka tidak hanya terlupakan dan terpinggirkan dari hiruk pikuk kehidupan muslim di Asia Tenggara, tapi juga terlupakan dari segi kajian, setidaknya sampai 1990an awal, studi tentang muslim di kedua wilayah ini masih sedikit. Hal ini menyebabkan, informasi tentang mereka adalah sesuatu yang langka, lihat juga dalam Seddik Taou- ti (1982) The forgotten Muslims of Kampuchea and Vietnam, Institute of Muslim Minority Affairs. Journal, 4:1-2, 3-13, DOI: 10.1080/02666 958208715856 9 Philipp Bruckmayr, “The Cham Muslims of Cambodia: From For- gotten Minority to Focal Point of Islamic Internationalism”, diakses dari https://www.academia.edu/11006570/The_Cham_Muslims_of_ Cambodia_From_Forgotten_Minority_to_Focal_Point_of_Islamic_Int ernationalism pada 05 Mei 2017. 10 Betti Rosita Sari, “Cambodia Cham Muslims and the Islamic World” dalam the Cham Diaspora in Southeast Asia : Social Integration and Transnational Networks the Case of Cambodia, (Jakarta: LIPI Press, 2013), h. 11 Philipp Bruckmayr, “The Cham Muslims of Cambodia: From Forgotten Minority to Focal Point of Islamic Internationalism” … 12 Hubungan antara Lin-Yi dan Champa telah terkonfirmasi tidak hanya berkaitan sejarah, tapi juga dalam Bahasa (linguistic). Bahkan Hubungan dikonfirmasi melalui rute dagang, sumber ini saya kutip dari Wang Gungwu dalam artikelnya tha Nanhai Trade, “ A Study of the Early History of Chiness Trade in the South China Sea”. 13 D.R. Sar Desai. Southeast Asia : Past & Present, (USA: West View: 2004).

11 Birokratisasi Islam di Indocina...

14 Walaupun menurut Manguin, Cabaton tidak terlalu yakin dengan hipotesa itu sendiri, sehingga hanya merupakan sebuah asumsi, dan belum ada data secara akurat yang menguatkan, lihat juga dalam Pierre-Yves Manguin, “the Introduction of Islam to Campa” dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, (Vol. 58, No. 1, 1985), 1. 15 Informasi ini dikutip dari Zakaria Ali, “Notes on Islamic Arts of Champa, dalam Le Campa et Le Monde (1991) oleh Wan Ali, lihat juga dalam Wan Zailan Kamaruddin Wan Ali Dkk, “Masyarakat Muslim Melayu Cham di Vietnam: Kajian Mengenai Isu dan Cabaran dalam Pemikiran Islam Era Globalisasi” dalam Jati, volume 18, December 2013. 16 lihat juga Rie Nakamura, “the Coming of Islam to Champa” dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, ol. , No. , , h. - . Nakamura mengutip dari saka Kodo, “Introduction to the History of Islam in Champa: The Introduction of ”, Tohogaku, , , p. G. Ferrand, Relations de oyages et Te tes G ographi ues Arabes, Persans et Turks Relatifs l E tr me rient du ille au IIIe si cles, Tom. II, 1912-14, p. 391. 17 Philip Bruckmayr, Persian Kings, Arab Conquerors, and Malay Islam: Comparative Perspective on the Place of Muslim Epics in the Islamisation on the , diakses dari https://www.academia.edu/ 34273918/Persian_Kings_Arab_conquerors_and_Malay_Islam_Comp arative_perspectives_on_the_place_of_Muslim_epics_in_the_Islamisa tion_of_the_Chams h. 427 & 474. 18 Pierre-Yves Manguin, “the Introduction of Islam to Campa” dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, (Vol. 58, No. 1, 1985), h. 1. 19 Rie Nakamura, “the Introduction of Islam to Champa … h. . 20 Dalam gerakan berderap ke selatan (marching to the south), orang Vietnam berhasil menaklukkan ibu kota kerajaan Champa pertama, Indrapura yang ada di utara, pada 978 masehi. Sejak itu, tercatat beberapa kali penyerangan lanjutan, pada tahun 1969, 1307, 1471, dan 6 . Lihat juga dalam, Michael G. Cotter, “Toward a Social History of the Vietnamese Southward Movement” dalam K.G Tregonning (ed), Journal of Southeast Asian History, (Vol. 9, 1968, Amsterdam: Sweet and Zeitlenger, 1977).

12 Birokratisasi Islam di Indocina...

21 S.Q Fatimi, Islam Comes to Malaysia, (Singapore: Malaysian Socio- logical Research Institute, 1963), h. 61. 22 Ayang Utriza Yakin, Sejarah Hukum Islam Nusantara, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 96. 23 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI sampai Abad XVII, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 48. 24 Max Weber, Economy and Society, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Barkeley: University of California Press, 1968) 25 Kerstin Steiner, “Branding Islam: Islam, Law, and Bureaucracies in Southeast Asia” dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, 37, 1, 2018. 26 Dominik Muller, “Hybrid Pathways to rthodo y in Brunei Darus- salam: Bureaucratised Exorcism, Scientisation and the Mainstreaming of Deviant-Declared Practices, dalam dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, 37, 1, 2018, h. 141-183. 27 Rie Nakamura, “The Coming of Islam to Champa”, dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, (Vol. 73, No. 1 (2000), h. 55-66 28 Wan Zailan Kamaruddin Ali, Dkk., “Masyarakat Muslim Melayu Cham di Vietnam: Kajian Mengenai Isu dan Cabaran dalam Pemiki- ran Islam Era Globalisasi”, dalam Mohd Roslan Mohd Nor ed , Muslim Minority, (Kuala Lumpur: Univesrity of Malaya, 2011). 29 Philip Taylor, Cham Muslims of the Mekong Delta: Place and Mobi- lity in the Cosmopolitan Periphery, (Singapore: NUS Press, 2007); Philip Taylor, “Economy in Motion: Cham Muslim Traders in Mekong Delta”, dalam The Asia Pacific Journal of Antropology VII, no. 3, Desember 2006, h. 237-250 30 Ba Trung Phu, “Bani Islam Cham in Vietnam” dalam mar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins: The Muslims of Indochina, (Kyoto: CIAS, 2008) 31 Malte Stokhof, “The Baweans of Ho Chi Minh City” dalam Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (Ed), Islam at The Margins … 32 Mohamad Zain Bin Musa, “Dyanamic of Faith: Imam Musa in the Revival of Islamic Teching in Cambodia”, dalam mar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto, Islam at the Margins … 33 Philipp Bruckmayr, “Cambodian Muslims, Transnational NG s, and International Justice”, dalam Peace Review, Vol. 27, No. 3, 2015, h. 337-345, DOI: 10.1080/10402659.2015.1063378;

13 Birokratisasi Islam di Indocina...

34 Ysa Osman, Oukoubah: Justice for the Cham Muslims Under the Democratic Kampuchea Rezim (Phnom Penh: Documentation Center of Cambodia, 2002). 35 Farina So, the Hijab of Cambodia: Memories of Cham Muslim Women after the Khmer Rouge (Phnom Penh: Documentation Center of Cam- bodia, 2011).

14 BAB I BIROKRATISASI ISLAM DAN MINORITAS MUSLIM

Secara spesifik, menggunakan perspektif Weberian, birokra- si digunakan sebagai kerangka untuk melihat bagaimana masyara- kat muslim mengalami perubahan dalam orientasi kepatuhan terha- dap otoritas. Sebelumnya, muslim berada dalam sistem otoritas tra- disional yang bertumpu pada jalur keturunan dan sistem otoritas kharisma yang bertumpu pada ketokohan dan individualitas seseo- rang1. Secara cepat masuk dalam sistem kepatuhan berdasarkan prinsip legal-rasional, dimana segala kepatuhan dikelola dengan prinsip legitimasi hukum2. Kepatuhan masyarakat muslim dalam negara Islam atau negara mayoritas muslim, secara signifikan telah dikelola berdasarkan prinsip tersebut, lembaga-lembaga keIslaman dibentuk untuk mengelola kepatuhan masyarakat muslim berdasar- kan prinsip birokrasi modern: Seperti yang berlangsung di Arab Saudi, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Indonesia. Dalam proses birokratisasi Islam di negara mayoritas muslim, meski ada, tapi sangat minim ketegangan vis a vis negara. Ini karena kuasa domi- nasi muslim kuat dalam struktur negara. Sebaliknya, di negara mi- noritas muslim, fenomena birokratisasi Islam, sering diwarnai de- ngan berbagai ketegangan vis a vis negara. Seperti yang terjadi di Thailand dan Filipina. Penelitian ini akan berfokus pada fenomena birokratisasi di negara minoritas muslim, Vietnam dan Kamboja, yang mengalami dan berada dalam pusaran arus birokratisasi Islam. Sehingga, dalam bagian ini, akan diuraikan tiga kerangka umum sebagai panduan untuk memahami bagaimana fenomena itu berlangsung. Pertama, adalah kerangka birokrasi, untuk memahami apa itu birokrasi dan bagaimana birokratisasi Islam berlangsung, dengan mengambil be- berapa contoh operasionalisasi kerangka birokratisasi Islam dari penelitian terbaru tentang birokratisasi Islam. Kedua, kerangka umum tentang minoritas. Meliputi kedudukannya dalam studi Islam, serta bagaimana fenomena terbaru tentang minoritas mus- 15 Birokratisasi Islam di Indocina... lim. Dan ketiga, tentang tipologi minoritas muslim, dengan mela- kukan kajian perbandingan antara minoritas muslim di dunia barat dan timur. Serta merumuskan tipologi negara minoritas muslim, kaitannya dengan birokratisasi Islam. Sebagai panduan untuk me- nentukan posisi dua negara yang dikaji, Vietnam dan Kamboja, dalam tipologisasi tersebut.

A. Birokrasi dan Islam Birokrasi merupakan istilah umum yang telah akrab dalam studi-studi normatif tentang politik dan pemerintahan. Namun, ma- sih asing dalam studi sosial, terlebih-lebih pula dalam studi tentang Islam. Birokrasi, dalam arti empirik dimaknai sebagai sebuah tata pemerintahan yang berbelit-belit, sehingga dalam perkembangan- nya, kosa kata birokrasi memiliki konotasi negatif sebagai sebuah sistem3. Alih-alih menggunakan makna tersebut, dalam penelitian ini, kosa kata birokrasi ditempatkan secara netral sebagai sebuah gagasan tentang perkembangan terakhir dari sistem kekuasaan yang lahir dari pemikiran Max Weber. Dari konsep tersebut, biro- krasi ditarik ke dalam sebuah argumentasi bahwa birokrasi adalah sebuah fenomena dinamis yang berkembang, digunakan sebagai sebuah sistem untuk membangun otoritas atau kepatuhan dalam institusi modern: politik (negara), ekonomi (perusahaan), hingga institusi keagamaan (Vatikan). Institusi yang menerapkan sistem birokrasi bertumpu pada prinsip legal-rasional, yaitu masyarakat mematuhi sebuah otoritas karena ada ketentuan hukum yang mele- gitimasi sebuah kekuasaan, menghilangkan cara kerja hirarkis- struktural dari atas ke bawah (top-down) yang hanya bertumpu pada kebijakan satu individu, dan mengganti dengan cara kerja pemba- gian tugas berdasarkan profesionalitas4. Fenomena tersebut dikenal sebagai birokratisasi, sebuah proses untuk menjadikan segala sesu- atu berada dalam sistem nilai yang birokratis.

Teori Biroksasi : Modernisasi Konsep Negara Max Weber (1864-1920), sosiologis yang pertama-tama bicara soal birokrasi, mendaku bahwa konsep birokrasi merupakan usaha-usaha modernisasi dalam sebuah organisasi negara (state).

16 Birokratisasi Islam di Indocina...

Weber mengungkapkan bahwa kemunculan negara-negara modern akan bertransfromasi secara perlahan dari bentuknya yang feodal menjadi lebih modern, terlibat dalam hubungan-hubungan sosial politik yang akan terinstitusionalisasi lebih ketat dan akan semakin mengukuhkan perannya sebagai negara. Kerja-kerja kekuasaan yang otoriter dalam sistem monarki dan bertumpu pada kharisma-hirarki dalam sistem feodal akan tergantikan dengan sistem negara-mo- dern, dijalankan oleh aparat-aparat pemerintahan modern. menurut Weber, fenomena ini merupakan keberlanjutan dari rasionalisasi dan modernisasi dalam tubuh organisasi kekuasaan.5 Masih menu- rut Weber, usaha modernisasi ekonomi berlangsung dalam agenda penerapan sistem ekonomi kapital, dan modernisasi negara terlihat dalam agenda-agenda formalisasi sistem pemerintahan berbasis birokrasi. Pemikiran Weber tentang pemerintahan modern yang menjelma dalam bentuk birokrasi, bukan pemikiran yang tiba-tiba ada begitu saja, melainkan sebuah konsep yang terefleksi dari sua- sana sekitar Weber, baik pemerintahan sebagai sebuah realitas yang ada di masanya, juga pertautan pemikiran tentang negara yang te- lah digagas sarjana sebelumnya6. Diskursus tentang birokrasi sebagai sebuah konsep pemerin- tahan telah menguat sejak abad keenam belas hingga kedelapan be- las, lalu perlahan melemah pada awal abad kedua puluh, dan kemu- dian menguat lagi memasuki abad kedua puluh satu. Saat ini, ma- syarakat menerjemahkan kata birokrasi dengan mudah, dan telah melekatkan berbagai penilaian terhadapnya: resmi, berseragam, merepotkan, pegawai, kantor dinas, dan seterusnya. Birokrasi selalu dikaitkan dengan pemerintahan yang bersifat dari atas ke bawah (hirarkis). Birokrat dikenal sebagai pegawai negeri yang punya seragam formal dan masuk kantor dari senin sampai jumaat, setiap hari dari jam delapan pagi hingga empat sore, mereka digaji oleh negara. Kosa kata birokrasi muncul dengan nada praksis, merupa- kan model pemerintahan. Masyarakat memaknai birokrasi seperti pemerintahan itu sendiri. Pemerintah adalah birokrasi itu sendiri. Sekalipun birokrasi sebagai sebuah konsep sudah jarang menjadi wacana diskusi akhir-akhir ini. Namun, birokrasi itu sendiri sudah melekat kuat dipahami sebagai sebuah pemerintahan, seperti jika

17 Birokratisasi Islam di Indocina... kita berenang di laut, maka laut adalah birokrasi itu. Masyarakat pasca-industri yang berada dalam sebuah sistem pemerintahan mo- dern telah tercebur dalam lautan sistem yang birokratis. Dalam kehidupan keseharian (every day life), sejak bangun pagi hingga tertidur di malam hari, aktivitas-aktivitas itu, mau tidak mau ber- sentuhan dengan tradisi hidup yang birokratis. Baik mereka yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan, yang menjadikan mereka sebagai birokrat, dan mereka yang bekerja pada perusahaan-peru- sahaan swasta, tradisi hidup mematuhi yang memiliki jabatan lebih tinggi, dan memerintah mereka yang memiliki jabatan yang lebih rendah, merupakan sebuah tradisi keseharian yang sangat birokra- tis. Birokrasi telah sedemikian dalam menyatu dengan tradisi hidup masyarakat modern. Lalu apakah birokrasi itu? kosa kata birokrasi merupakan serapan dari bahasa Yunani, yang berasal dari dua suku kata, analisis ini dilakukan sejak abad kedelapan belas, oleh Vincent de Gourney (1712-1759), salah satu cendekiawan Prancis. Menurutnya, birokrasi berasal dari kata bureu yang berarti meja tulis, yang dikonotasikan sebagai tempat para pejabat bekerja dan kratia yang berarti aturan (rule), sehingga wajar, jika di masa- masa awal, birokrasi selalu ditandai sebagai hanya kepentingan pe- merintah. Pada masa ini juga, birokrasi masih dalam cakupan yang sempit, hanya berkutat pada pemerintah. Dalam perkembangannya, birokrasi diramu dan didefenisikan lebih luas yang menyentuh wilayah pelayanan masyarakat, bukan sekedar tempat bekerja para pejabat. Sebagai sebuah konsep, birokrasi telah masuk dalam dis- kursus keilmuan sosial dan menyatu sebagai bagian dari wilayah- wilayah kajian tentang masyarakat. Secara sederhana, birokrasi adalah sebuah lembaga yang memiliki keistimewaan dalam masya- rakat, karena kaitannya sebagai lembaga yang mendukung berja- lannya sebuah pemerintahan. Dalam tradisi masyarakat marxian, birokrasi menjadi istimewa karena fungsinya yang terlepas dari kelas-kelas sosial tertentu, justru menjadi pengontrol untuk konflik kelas, walau demikian, birokrasi dalam tradisi marxian lebih ketat, seperti sebuah lingkaran yang tidak ada yang bisa keluar darinya.

18 Birokratisasi Islam di Indocina...

Bahkan, birokrasi menyimpan banyak misteri, dimana hanya pe- nguasa yang mengatahuinya. Sebagaimana yang diuari sebelumnya, bahwa Paris merupa- kan tempat awal bersemainya birokrasi sebagai sebuah konsep. Namun, di masa awal pertumbuhannya, birokrasi dianggap sebagai konsep kekuasaan yang arogan, baik di Prancis dan di Eropa, semi- sal Jerman.7 Namun, Weber melihatnya lain, birokrasi adalah kon- sekuensi dari rasionalisasi dalam tubuh organisasi pemerintahan, mau tidak mau, fenomena birokratisasi akan terjadi. Untuk mema- parkan konsep kekuasaan, dan mencari kedudukan birokrasi, Weber memberikan tiga klasifikasi konsep kekuasaan: kekuasaan tradisio- nal (traditional authority), kekuasaan kharismatik (charismatic authority), kekuasaan rational (rational authority). Kekuasaan tra- disional adalah kekuasaan yang dijalankan melalui garis keturunan secara turun temurun, sistem monarki, kerajaan, dan dinasti, masuk dalam kategori ini; kekuasaan kharismatik adalah sistem kekuasaan yang dibangun di atas kualitas personal seseorang, masyarakat mengikuti atas dasar ketaatan kepadanya individunya, seperti para Nabi, Kiyai, Pendeta, dan tokoh-tokoh masyarakat di desa; kekua- saan rasional adalah kekuasaan yang dijalankan dengan prinsip- prinsip hukum (legal). Menurut Weber, birokrasi masuk dalam kekuasaan yang ketiga. Birokratisasi merupakan sebuah proses untuk menjadikan sebuah negara menganut pemerintahan modern, yang dijalankan dengan prinsip kepatuhan legal-rasional. Untuk menyemai pemahaman lebih dalam mengenai biro- krasi sebagai sebuah konsep, Max Weber tampil memberikan lans- kap besar yang menampilkan sebuah gambaran mengenai birokrasi sebagai salah satu model organisasi yang diterapkan oleh negara. walau demikian, Weber tidak memberikan defenisi khusus menge- nai apa itu birokrasi, Menurutnya, birokrasi masuk dalam kajian administrasi negara. membahas segala hal yang berkaitan dengan tata kelola pemerintahan dalam sebuah negara. konsep Menurut Weber, ada beberapa hal yang menjadi karakter dasar birokrasi8. Pertama, sistem pemerintahan yang dijalankan secara birokratis, dijalankan berdasarkan sebuah area hukum (yurisdiksi) yang dija- lankan sesuai dengan hukum. Kedua, sistem djalankan secara hirar-

19 Birokratisasi Islam di Indocina... kis. Kantor-kantor pemerintahan yang dijalankan secara birokratis, memiliki sistem yang sangat dekat dengan kerja-kerja pemerinta- han monokrasi, yang dijalankan oleh seorang penguasa. Ketiga, sistem pemerintahan berbasis kantor, dan kantor-kantor para biro- krat dijalankan berdasakan dokumen-dokumen tertulis. Keempat, manajemen kanto dijalankan dengan cara kerja modern, yang diba- gi-bagi ke dalam beberapa area kerja, yang diklasifikasikan berda- sarkan kepentingan-kepentingan tertentu. Kelima, ketika sudah berkembang, kerja-kerja kantoran tidak lagi memiliki batasan kerja. Semua pegawai bekerja secara penuh, bahkan melampuai jam-jam kerja yang telah disediakan. Keenam, manajemen kantor mengikuti tata kerja pemerintahan secara umum. Birokrasi bisa dilihat seba- gai sebuah sistem administrasi struktural yang memiliki fungsi untuk membantu implementasi-implementasi kebijakan, dengan menggunakan kontrol: rasionalitas, fasilitas, dan profesionalitas. Kebijakan-kebijakan tersebut dijalankan baik oleh perusahaan atau negara. Merujuk ke weber, rasionalitas dalam birokrasi adalah rasionalitas hukum, semua dijalankan berdasarkan hukum: wilayah kekuasaan (yurisdiksi) hingga penggunaan dokumen-dokumen legal untuk menjalankan pemerintahan. Selain itu, Martin Albrow (1970) juga memberikan deskripsi mengenai karakter-karakter dasar birokrasi, jika disusun dalam list, akan terdiri dari tujuh poin: Organisasi yang Rasional, Organisasi yang Efisien, diatur secara resmi, dijalankan dengan administrasi publik, adminstrasi berlaku untuk wilayah publik dan swasta, orga- nisasi bersifat hirarkis dan teratur, dan mengikuti prinsip-prinsip 9 modernitas. Hampir sejalan dengan Albrow, Donald P. Warwick’s merumuskan sebuah pendekatan yang lebih memperlihatkan bagai- mana birokrasi berlaku dalam sebuah organisasi. Menurutnya, karakter dasar birokrasi ada enam: Strukturnya yang Hirarkis, di- mana distribusi kekuasaan berlangsung dari atas ke bawah; terdiri dari banyak kantor dan posisi-posisi jabatan, kantor dan jabatan tersebut telah memiliki tugas dan wewenang masing-masing; terda- pat aturan formal, yang mengatur standar-standar kerja para biro- krat sampai ke perilaku-perilaku mereka; posisi-posisi dalam biro-

20 Birokratisasi Islam di Indocina... krasi ditentukan berdasarkan jenjang karir, kualifikasi dan profe- sionalitas birokrat.10 Sejalan dengan Weber, wacana birokrasi juga dibicarakan oleh Woodrow Wilson (1856-1924). Wilson juga disebut sebagai salah satu tokoh yang mengembangkan konsep birokrasi dalam stu- di administrasi negara setelah Weber. walau demikian, beberapa sarjana menempakatkan, pemikirian Weber dan Wilson berada da- lam ketegangan, mempertanyakan mengapa keduanya memiliki pemikiran yang sama soal birokrasi, pada satu waktu yang sama, dari dua tempat yang berbeda, Weber mewakili pemikiran birokra- si Jerman, sementara Wilson di Amerika. Fritz Sager dan Christian Rosser, berasumsi keduanya tidak terlibat interaksi pemikiran, na- mun menciptakan pemikirannya masing-masing, dan secara kebe- tulan sama satu sama lain.11 Untuk mendalami birokrasi, bisa didekati dengan dua pende- katan, menggunakan kerangka organisasi dan kerangka publik. Ke- rangka publik merujuk kepada tradisi yang berlangsung di dalam kantor (bureaus) dan aktivitas kerja pemerintah sebagai birokrat (bureucratic). Sementara kerangka organisasi untuk melihat biro- krasi sebagai sebuah sistem struktural yang bertaut dengan kekua- saan. Pemetaan ini penting, sebab saat ini, konsep birokrasi, tidak lagi digunakan dalam diskursus negara dan kekuasaan, tapi juga digunakan dalam institusi-instititusi ekonomi. Sebagai kajian aka- demik, diskursus birokrasi juga tidak terbatas pada studi-studi administrasi negara, tapi melampaui itu, memasuki studi-studi sosi- al, bahan-bahan kajian tentang birokrasi, bahkan lebih banyak dite- mukan dan dibahas oleh para sosiologis, alih-alih birokrat, atau mereka yang mendalami administrasi pemerintahan. Diskursus tentang birokratisasi semakin penting dan meluas seiring dengan cepatnya laju modernisasi pada semua aspek. Ma- syarakat modern diperhadapkan dalam berbagai hal, diatur dalam sistem, dan bergerak bebas untuk memenuhi hak dan kewajiban- nya. Masyarakat modern (modern society) hidup dalam sebuah sis- tem pemerintahan yang hirarkis dan saling terhubung. L.J. Hume dalam Bentham and Bureaucracy, mendiskusikan tentang panda- ngan-pandangan Bentham tentang pemerintahan, menurutnya, akar

21 Birokratisasi Islam di Indocina... pemikiran Bentham berakar dari pemikiran pemerintahan di abad kedelapan belas, misalnya oleh Hobbes, yang membenarkan ada- nya kebangkitan hak-hak individu, dan pada saat yang sama, juga ada kontrol terpusat yang dilakukan oleh negara.12 menurut Ben- tham relasi yang terbangun dalam organisasi pemerintah modern adalah atasan dan bawahan. Hubungan-hubungan yang sangat hirarkis dan terstruktur. Hal itu juga berangsung dalam pemenuhan antara hak dan kewajiban. Yang lebih di atas punya hak dan yang di bawah memiliki melaksanakan kewajiban. Dalam analisisnya, ada beberapa hal yang menunjukkan sebuah pemerintahan dijalan- kan dengan metode pemerintahan modern, yang kemudian weber menyebutnya sebagai sistem birokrasi (bureucracy), yaitu : adanya tingkatan atau level-level tertentu dalam pemerintahan; levelnya menentukan fungsi atau wilayah kekuasaan; hubungan dengan kan- tor pemerintahan lain; petunjuk teknis dalam menjalankan peme- rintahan; kehadiran di kantor; sistem pengupahan sesuai tingkatan; proses merekrut pegawai; dan sistem keamanan. Pandangan Ben- tham tentang birokrasi semua didasarkan pada kesadaran bahwa, sebuah otoritas pemerintahan dijalankan di atas kerangka hukum. Masih mengutip Hume:

“Bentham programme for government was an exer- cise in rational-legal authority, in which every act, activity and office was legitimate only in so far as it was authorized by rules of law formulated and enac- ted by legislator, and in which loyalty and obidience were owed not to individuals as such but to indivi- duals endowed with authority by law: Program Bentham untuk pemerintah adalah pembela- jaran dalam menerapkan otoritas hukum-rasional, di- mana setiap tindakan, kegiatan dan kantor hanya legal sejauh disahkan oleh aturan hukum yang dirumuskan dan ditetapkan oleh legislator, dan dimana kesetiaan dan ketaatan tertuju tidak untuk setiap individu, tetapi

22 Birokratisasi Islam di Indocina...

hanya untuk individu yang dianugerahi otoritas oleh hukum” 13

Berbeda dengan Bentham, Max Weber, memberikan rumu- san ciri-ciri yang melekat pada birokrasi modern, sebagaimana saya kutip dari the Political Forms of Modern Society : Bureau- cracy, Democracy, Totalitarianism, bahwa tugas-tugas para biro- krat diatur dan berlandaskan hukum, aturan, dan perihal admistra- tive yang telah ditetapkan; fungsi-fungsi perangkat berlangsung secara hirarkis dan terintegrasi satu sama lain, dalam satu sistem yang terstruktur, olehnya itu pihak yang memiliki jabatan yang lebih tinggi memiliki kontrol lebih atas otoritas yang berada di bawahnya; aktivitas admistratif dicatat; tenaga-tenaga profesional yang menjalankan admistrasi memungkinan untuk berganti; tena- ga-tenaga profesional dituntut untuk menyelesaikan tugas dengan loyalitas yang tinggi; ciri-ciri yang dilekatkan Weberian pada sis- tem birokrasi modern, merupakan sebuah organisasi sosial yang dijalankan secara sistematis, saling terhubung dan bersifat hirar- kis. Di dalam sistem birokrasi modern oleh Weber, sebuah organi- sasi sosial (social organization) di dalam masyarakat yang berada dalam situasi, keberadaan orang-orang yang mendominasi dan yang didominasi dalam sebuah sistem.14

Birokratisasi dan Demokrasi Birokrasi dengan karakter dasarnya yang sering dianggap hirarkis-struktural, sering dianggap sebagai tidak demokratis (unde- mocratic), bahkan dinggap sebagai tantangan dan ancaman untuk demokrasi itu sendiri. Secara universal, demokrasi adalah sebuah konsep kekuasaan yang menekankan pada prinsip kesetaraan (ega- liter), rakyat punya kedaulatan mutlak dalam demokrasi. Prinsip- prinsip bernegara dijalankan berdasarkan kehendak bersama (popu- lar will). Sementara birokrasi, karena konsepnya yang hirarkis- struktural, dimana perintah atau kebijakan muncul dari atas ke bawah (top-down), sehingga birokrasi memiliki kesan memaksa dalam implementansi kebijakan. Kedua konsep yang cenderung

23 Birokratisasi Islam di Indocina... saling bertolak belakang ini, menimbulkan banyak diskursus oleh para sarjana untuk menentukan hubungan keduanya. E. Etzioni Halevy dalam Bureaucracy and Democracy : Political Dilemma, memperlihatkan antara birokrasi dan demokrasi memiliki hubu- ngan yang rumit dan telah berlangsung cukup lama, Halevy menu- lis “bureaucracy is necessary for democracy, yet is also a constant source of tension, friction and conflict in it: birokrasi adalah kebu- tuhan untuk demokrasi, namun juga menjadi sumber ketegangan, pergesekan, dan konflik di dalamnya”15 walau demikian, kebutu- han akan birokrasi menjadi mutlak, bahkan semakin meningkat, justru di dalam aktivitas-aktivitas demokrasi. Hal ini terlihat, ba- gaimana birokratisasi telah membawa demokrasi keluar dari pola- polanya yang tradisional dan membuat demokrasi semakin diteri- ma publik.16 Pergeseran suasana politik pemerintahan di India sete- lah era kolonialisme Inggris, menurut William Gould dari suasana birokrasi absolutisme (bureaucracy absolutism) menuju sistem birokrasi modern, yang terbuka dan lebih setara. Dalam bukunya, Bureaucracy, Community and Influence in India, Gould menggam- barkan bagaimana sistem birokrarisi dijalankan dengan kerja-kerja modern, melampaui pola kerja lama para pegawai pemerintah di zaman kolonial, dan melampaui tradisi kasta yang begitu kuat dalam kebudayaan India.17 Kosa kata birokrasi menjadi satu kosa kata penting dalam kajian tentang demokrasi yang menguat akhir- akhir ini. Pada banyak negara, kosa kata birokrasi menjadi populer sebagai sebuah sistem pemerintahan.18 Sistem ini dijalankan secara hirarkis-struktural, dari atas ke bawah. Birokrasi sebagai sebuah sistem meniscayakan adanya atasan dan bawahan yang memiliki jarak: sebuah tugas dan tanggung jawab masing-masing. Sementara demokrasi, dalam arti yang universal, menuntut kesetaraan dalam semua hal oleh semua pihak.

Birokratisasi Islam Islam tidak memiliki kekuataan birokratis seperti Katholik, dimana kebijakaan keagamaan diatur secara hirarkis melalui jalur Vatikan, sehingga pola kebijakan keagamaan cenderung seragam.

24 Birokratisasi Islam di Indocina...

Berbeda dengan Islam, yang tidak memiliki format birokrasi, se- hingga kebijakaan keagamaan diatur berbeda-beda,19 mengikuti tempat dan waktu, dimana masyarakat muslim berada. Kebijakan agama di satu masa dan tempat berbeda, terkadang memiliki perbe- daan dengan tempat lainnya, karena itu memengaruhi kultur dan kontur keislaman masyarakat muslim di setiap wilayah. Di Saudi Arabia, Islam menjadi kekuatan dominan yang punya kekuatan memaksa penduduk Arab Saudi untuk hidup dalam satu jalan hidup Islami, sebab Islam telah menjadi negara itu sendiri. Secara birokratis, Islam, melalui ideologi Wahabisme, memiliki daya tekan yang kuat kepada masyarakat Muslim; pelarangan menonton bios- kop, keharusan perempuan ditemani muhrim di tempat umum, pelarangan non-muslim memasuki kawasan tertentu (tanah haram), juga diatur oleh negara. hal-hal tersebut dilarang karena tidak sesu- ai dengan prinsip hidup Islami, oleh karena itu dilarang oleh para ulama Wahabi. Di Indonesia, sekalipun secara tata negara, Islam tidak menjadi bagian dari negara, tapi Islam memiliki kekuatan penting dalam negara, karena mayoritas penduduknya adalah mus- lim. Menurut Arskal Salim, fenomena ini bahkan berlangsung sejak berdirinya negara ini, sejak itu juga Islamisasi dalam hukum di Indonesia terus belangsung hingga saat ini;20 di Malaysia, walau- pun secara jumlah populasi muslim hampir berimbang dengan non- muslim, tapi secara politik, Islam memiliki kekuatan yang signifi- kan, terkait posisinya dalam politik dan negara.21 Ketiga hal ini, memperlihatkan bagaimana Islam, secara politik, diterima secara tidak seragam di berbagai negara, ada banyak faktor yang melatar- belakangi ragam distingsi tersebut. Sebelumnya telah diuraikan bahwa birokrasi sebagai sebuah kajian akademik telah melampaui pembahasan tentang sebuah sis- tem pemerintahan atau kajian administrasi negara, melainkan telah dibahas dalam kajian-kajian Ilmu sosial. Fenomena birokratisasi, sebuah proses untuk menjadikan semua hal menjadi birokratis, telah menjadi kosa kata yang diproses dalam ruang-ruang ilmu sosial, seperti kosa kata modernisasi, kontekstualisasi dan lainnya. Feno- mena ini melahirkan ragam teori-teori baru dalam menerjemahkan birokratisasi, termasuk term birokratisasi Islam. Suatu institusi kea-

25 Birokratisasi Islam di Indocina... gamaan telah mengalami birokratisasi dalam berbagai aspeknya, disebabkan oleh perjumpaan dengan perangkat-perangkat baru de- ngan segala perkembangannya dalam masyarakat, dimana agama diamalkan. Birokratisasi Islam berlangsung di beberapa negara. Secara signifikan dilakukan di negara-negara yang masih menga- nut sistem pemerintahan monarki konstitusional, misalnya Arab Saudi dan Brunei Darussalam. Abd Aziz Ibn Al Rahman Al Saud memproklamirkan Arab Saudi sebagai negara kerajaan pada 1932, sekaligus melegitimasi secara resmi keturunan al-Saud menjadi calon pewaris tahta keraja- an berikutnya, berlangsung hingga saat ini. Melalui kekuasaan kerajaan, ajaran keagamaan yang dibawa oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahhab sebagai paham keagamaan yang digunakan. Salah satu alasannya sangat politis karena pahammnya yang menyeru tentang kewajiban masyarakat muslim untuk taat dan patuh (ber-baiat) pada pemimpinnya yang muslim dan adil.22 Dalam perkembangannya, dimulai pada 1990an, Arab Saudi melakukan percepatan pemba- ngunan, melakukan beberapa modernisasi. Namun, pada sisi lain, kerajaan juga harus tetap menjaga muruahnya sebagai pelayan umat Islam. Sehingga pada 1990an, birokratisasi dilakukan secara signi- fikan. Beberapa lembaga keagamaan dibentuk dan dilembagakan di dalam struktur kerajaan. Lembaga yang paling berpengaruh adalah Dewan Ulama Senior yang dipimpin oleh Abdullah bin Abd al Aziz ibn Baz, salah satu tugasnya adalah memberikan persetujuaan kea- gamaan terhadap kebijakan pemerintah. Misalnya, pada 1990, Raja Fahd mengambil kebijakan untuk mengundang tentara Amerika untuk menjadi bala bantuan untuk mempertahankan kerajaan dari kemungkinan agresi militer yang akan dilakukan Presiden Irak, Saddam Husein. Dewan Ulama Senior diminta untuk mengeluar- kan persetujuan atas kebijakan Raja Fahd. Isinya menyatakan bah- wa al-Quran memperbolehkan seorang penguasa untuk meminta bala bantuan untuk mempertahankan kerajaan.23 Dominik Muller menangkap fenomena ini juga berlangsung di Brunei Darussalam. Dalam artikelnya, Muller mengungkapkan bagaimana negara Brunei Darussalam melakukan penegakan kebi- jakan Islam melalui lembaga-lembaga negara. Kebijakan yang

26 Birokratisasi Islam di Indocina... menurutnya mempercepat (Hybrid Pathways) negara tersebut untuk menjadi negara Islam ortodoks. Birokratisasi itu memberikan pe- ngaruh signifikan dalam suasana sosial dan tradisi. Birokratisasi Islam berlangsung dalam hal-hal yang bersifat mistik, seperti akti- fitas pengusiran roh-roh halus (jin). Muncul lembaga resmi (legal- ly) yang menjadi lembaga pengobatan rukyah, lembaga ini diresmi- kan oleh pemerintah, seperti Darusysyifa’ Warrafahah yang berdiri pada 2007.24 Untuk menentukan bagaimana birokrasi bertemu dengan Islam. Saya menggunakan konsep birokrasi Weber yang telah dise- derhanakan oleh Jorgensen.25 Lihat selengkapnya dalam (tabel 1).

Tabel 1. Konsep Birokrasi Weber tentang Birokrasi dan Penerapannya dalam Masyarakat dan Lembaga Islam.

Konsep Weber Perjumpaan dengan Lembaga Islam Otoritas yang membuat keputu- Masyarakat Islam menggunakan san ditetapkan oleh aturan konsep negara-bangsa Pegawai bekerja dalam sistem Munculnya kementrian agama hirarki dengan spesialisasi pe- dan lembaga-lembaga terkait di kerjaan bawah naungan negara Pegawai bekerja dengan kerja Lembaga Islam dijalankan de- dokumentasi ngan prinsip dokumentasi Pembedaan publik (masyarakat) Pimpinan lembaga Islam diatur dan privat (pejabat) yang signi- dengan prinsip birokratis, mela- fikan lui prosedur yang resmi Para pegawai profesional dan Lembaga-lembaga Islam mene- terdidik tapkan kualifikasi tertentu untuk merekrut pegawai, minimal sar- jana. Kantor dijalankan oleh pegawai Lembaga Islam memiliki kantor tetap, mendapatkan gaji tetap tersendiri, memiliki pegawai te- tap, dengan gaji tetap

27 Birokratisasi Islam di Indocina...

Tabel (1) memperlihatkan bagaimana Islam dari bentuknya yang sederhana, melakukan berbagai penyesuaian dengan kondisi saat ini, termasuk dalam hal-hal yang bersifat sosial-legal dalam masyarakat. Pada bagian pertama, sebuah otoritas yang membuat keputusan ditetapkan oleh negara. Dalam Islam, sumber segala hu- kum adalah al-Quran dan Hadist. Keduanya menjadi sumber untuk menetapkan suatu keputusan hukum (fatwa) mengenai persoalan dalam Islam. Keputusan tersebut, awalnya berasal dari pemikiran individu seorang ahli fikih (faakih) untuk mengambil rujukan hu- kum, ahli tafsir (mufassir) untuk menafsirkan al-Quran, ahli hadist (muhaddist) untuk menilai hadist. Hal tersebut membuka peluang individu untuk memiliki bangunan pemikirannya sendiri. Sehingga muncul berbagai aliran dalam teologi Islam dan mazhab dalam wi- layah fikih yang namanya disandarkan kepada nama pendirinya: Dalam periode selanjutnya, beberapa rezim pada dinasti umayah dan dinasti abbasiyah, keputusan keagamaan didominasi oleh ke- kuasaan. Dinasti mengukuhkan mazhab tertentu, secara fanatik pada satu mazhab, untuk digunakan sebagai keputusaan keagama- an. Di masa tersebut, intervensi kekuasaan atas keputusan keaga- maan berlangsung secara signifikan. Hal itu memperlihatkan bagai- mana birokrasi Islam dari bentuk awalnya yang menggunakan mo- del kharisma (charisma), perlahan beranjak menjadi birokratis- hirarkis, dijalankan oleh negara sebagai pusat otoritas kekuasaan yang secara legal-hirarkis menetapkan aturan tentang Islam.

B. Minoritas dalam Studi Islam Pada awalnya muslim adalah kelompok minoritas di kota Mekkah, Saudi Arabia. Tiga tahun pertama, dakwah dilakukan se- cara sembunyi-sembunyi, sehingga yang masuk Islam hanya sedi- kit, berkisar 30 orang.26 Namun, setelah itu, ketika kelompok mus- lim hijrah ke Madinah—dahulu Yasrib— pada 622 M, komunitas muslim semakin besar jumlahnya. Penambahan cepat jumlah kaum muslimin dipicu oleh suasana yang hampa kekuasaan politik di Madinah. Jika di Mekkah, Nabi Muhammad hanya bertindak seba- gai pemegang otoritas agama, karena sistem politik di Mekkah su- dah dipegang oleh kelompok Quraysi dan sulit ditandingi. Sebalik-

28 Birokratisasi Islam di Indocina... nya, di Madinah, Nabi Muhammad memiliki peran sebagai otoritas agama dan politik, sebagai kepala pemerintahan.27 Dari Madinah, umat Islam berusaha memperluas kekuasaan politiknya, bahkan hingga ke Andalusia, sekarang spanyol di Eropa Selatan, yang me- rupakan salah satu kelompok negara-negara mediterania. Umat muslim, berbondong-bondong mendiami negara-negara taklukan pemerintahan Islam, sebelum kemudian wilayah tersebut merdeka dan membentuk negara berdaulat sendiri, membuat muslim—yang tetap memilih tinggal—menjadi minoritas. Namun, kenyataan se- perti ini tidak signifikan, umumnya muslim lebih memilih untuk tinggal di wilayah pemerintah muslim sendiri. Hal itu menyebab- kan, imajinasi kehidupan muslim hanya terbatas pada kehidupan sebagai mayoritas yang dominan, sehingga kurang memiliki imaji- nasi jika hidup sebagai minoritas yang terbatas. Implikasinya, tra- disi keilmuan dan fikih cenderung majority oriented, sehingga dis- kursus tentang minoritas muslim juga minor dalam sejarah keilmu- an Islam.28 Menurut Khaled Abou El Fadl, sekalipun diskursus tentang minoritas muslim telah diperdebatkan oleh para ahli fikih (fuqaha) pada abad kedua/delapan masehi, namun posisinya masih proble- matik, karena doktrin fikih cenderung masih didominasi oleh wa- cana bahwa muslim hanya diperbolehkan tinggal di bawah negara Islam dimana syariat Islam diterapkan.29 Pada periode ini, diskur- sus yang dibicarakan, misalnya yang dibahas oleh El Fadl, berkutat pada tiga hal, pertama, dimana dan dalam kondisi apa muslim dapat tinggal di wilayah non muslim. Kedua, bagaimana hubungan mereka—muslim yang tinggal di wilayah non-muslim—dengan Daar al-Islam. Ketiga, bagaimana syariah diterapkan atau akan di- terapkan oleh mereka.30 Merunut sejarah, sejak abad kedua/dela- pan, muslim telah tersebar jauh, hingga ke Asia Timur, China. Me- reka berada dalam sebuah negara non-muslim dan berinteraksi de- ngan orang-orang yang tidak seiman. Namun demikian, diskursus pada periode itu masih kaku, dan belum menerima akan kenyataan hidup di negeri non-muslim. Para fukaha, sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Syaibani, yang masih dikutip dari El Fadl, bahwa Abu Hanifa tidak sepakat jika muslim tinggal di wilayah

29 Birokratisasi Islam di Indocina... non-muslim.31 Bahkan penolakan lebih keras, datang dari Imam Malik, yang dilaporkan oleh Sahnun, bahwa Imam Malik tidak sepakat jika muslim melakukan, bahkan perjalanan dagang, ke wilayah non-muslim, karena secara tidak langsung mereka akan tunduk pada aturan non-muslim.32 Pandangan yang lebih moderat dan terbuka datang dari Imam Syafi’I, yang mengambil contoh ke- pada sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas, yang tetap dibiarkan oleh Nabi untuk tetap tinggal di Mekkah (ketika masih masuk wilayah non-muslim), walaupun Nabi telah menjadikan Madinah sebagai negara Muslim.33 Salah satu sisi, yang memicu diskursus tentang kedudukan minoritas muslim dalam tradisi keilmuan Islam adalah sisi politik. Dalam kajian politik (fiqh as-siyasah), wilayah Islam dibagi men- jadi dua kawasan, negeri damai (daar al-Islam) dan negeri perang (Dār al-Harb).34 Kedua klasifikasi ini, menjadi dasar narasi hubu- ngan antara muslim dan non-muslim sepanjang sejarah Islam, membuat bangunan hubungan keduanya diwarnai dengan ragam dinamika konflik. Klasifikasi ini pun sebagai bentuk pemisahan diri keduanya, dimana salah satunya, misalnya kelompok Islam yang berada dalam Daar al-Islam selalu berusaha melakukan pe- naklukan untuk menguasai Daar al-Harb. Sebuah usaha berkelan- jutan yang hidup sampai saat ini, misalnya sebuah kelompok dalam Islam yang masih berusaha untuk menyatukan dunia dalam satu bentuk kekuasaan Islam, dengan model khilafah, yang tidak jauh berbeda, bahkan persis dengan semangat Daar al-Islam. lebih jauh. Teoritisasi makna keduanya, tidak selamanya kaku (rigid) sebagai- mana umum dipaham. Ulama-ulama kontemporer, misalnya yang hidup pada abad sembilan belas dan setelahnya, membuat keputu- san India adalah daar al-Islam, sekalipun waktu itu sedang berada dalam kekuasaan kolonialisme Inggris,35 seperti juga di Indonesia ketika masih berada di bawah kekuasaan Belanda.36 Kedua negara itu dijajah oleh Daar al-Harb, namun karena muslim menjalankan ajaran Islam secara bebas, maka daerah masuk kategori Daar al- Islam.37 Klasifikasi ini juga mewarnai diskursus dalam pemben- tukan fikih minoritas (fiqh aqalliyat) pada periode selanjutnya, ma- sih ada beberapa ulama yang tidak menyepakati muslim untuk

30 Birokratisasi Islam di Indocina... tinggal di wilayah non-muslim, yang sering disebut sebagai Daar al-Harb. Fikih minoritas (fiqh aqalliyat) adalah varian baru dalam hukum Islam sebagai respon terhadap fenomena global meningkat- nya muslim di barat, Amerika dan Eropa. Keberadaan muslim di wilayah-wilayah non-muslim diperhadapkan pada persoalan hidup yang lebih spesifik dan situasional, yang tidak pernah dihadapi sebelumnya, ketika muslim masih berada di wilayah mayoritas muslim. Kenyataan ini, menjadi pemicu tumbuhnya gairah fukaha di barat untuk merumuskan satu term fikih sendiri sebagai panduan muslim di wilayah minoritas, agar kekhawatiran akan Islam mere- ka yang dianggap tidak sempurna bisa hilang, dan menjalankan Islam dengan nyaman. Barat menjadi menjadi satu titik berangkat untuk merumuskan fikih minoritas. Term fikih minoritas pertama kali diperkenalkan pada 1990an, oleh Thaha Jabir al-Alwani dan Yusuf al-Qardlawi. Al-Alwani memperkenalkan term ini pada 1994 melalui lembaganya, Fiqh Council of North America, mem- berikan fatwa tentang bolehnya seorang muslim memilih memilih pemimpin di Amerika, dimana semua kandidat adalah non-muslim. al-Alwani, dikenal sebagai salah satu yang memelopori Fikih Mi- noritas melalui bukunya “Towards a Fiqh for Minorities : Some Basic Reflections”, buku ini berisi ulasan-ulasan umum tentang urgensi keberadaan fikih minoritas di barat.38 Secara konsep, al- Qardlawi, menulis tentang fikih minoritas secara lebih rinci, hingga ke persoalan keluarga. Sebagaimana tujuan lembaganya European Council for Fatwa and Research (ECFR), didirikan pada 1997 di London, dan bertujuan untuk memfasilitasi layanan hukum Islam untuk muslim minoritas di Eropa.39 untuk memudahkan kerja-kerja lembaga al-Qardlawi dan juga tuntutan dan kebutuhan masyarakat minoritas muslim di Eropa, Amerika, Timur Jauh dan berbagai tempat dimana hidup minoritas muslim, maka pada tahun 1422/ 2001, al-Qardlawi menerbitkan bukunya yang terbit di Kairo, Me- sir, berjudul “Fi Fiqh al-Aqalliyat al-Muslimah : Hayat al-Musli- min Wasath al-Mujtama’at al-Ukhra”, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, oleh Abdillah bid, dengan judul. “Fikih

31 Birokratisasi Islam di Indocina...

Minoritas : Fatwa Kontemporer terhadap Kehidupan Kaum Musli- min di Tengah Masyarakat Non-Muslim” al-Qardlawi dalam buku yang disebutkan sebelumnya, men- jelaskan enam hal yang menjadi ciri khas fikih minoritas, yaitu memperhatikan fikih klasik (turats) dan kondisi persoalan-persoa- lan dunia modern; menggunakan universalitas Islam untuk mema- hami kondisi masyarakat, Seperti nabi memahami masyarakat ma- dinah (al-anshar) yang suka bermain-main, dan nabi membiarkan kaum Habsyah untuk menari-menari dengan alat peperangan di masjid; menghubungkan antara teks syariah yang parsial (juz’i) dengan maqashid yang bersifat universal; menggunakan fikih prio- ritas (fiqh awalliyat) atau fikih keseimbangan (fiqh al-muwazanat), dalam suatu kondisi jika terjadi pertentangan antara kepentingan (mashalih) dan kerusakan (mafasid), caranya dengan mengembali- kan hukum cabang (furu’) kepada asalnya (ushul) dengan menyan- darkan pada hukum yang bersifat umum (kulliyat); meninjau kepu- tusan hukum ulama terdahulu, bersamaan dengan suasana, kondisi, dan waktu keputusan itu dibuat dan menjadikannya pertimbangan untuk keputusan fikih minoritas kekinian; menjaga kepribadian muslim dan kelompok muslim dengan tetap menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitarnya.40 Sumber yang digunakan, al- Qardlawi tetap bersumber pada sumber fikih secara umum. Sanda- ran utamanya adalah al-Qura’an, sebagai sebagai pusat dalam sega- la penentuan hukum Islam (tasyri’). Setelah itu Sunnah Nabi, tapi karena sifatnya yang temporal (waqtiyah), dan dalam beberapa hal tidak berkaitan dengan agama, disampaikan oleh Nabi sebagai ke- pala agama dan negara, namun kadang pula sebagai pribadinya.41 lebih jauh, al-Qardlawi menyarankan untuk para fukaha masa kini, untuk menggunakan semua sumber-sumber dalam fikih Islam untuk menentukan sebuah hukum, seperti Ijma’, Istislah (maslahah mur- salah), istihsan, Saddu adz-Dzarai, Syar’u man Qablana, “urf, Istihshab, Qaul as-Shahabi,42 walaupun, sumber-sumber hukum tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan ulama empat mazhab.43 Fikih minoritas yang dibangun oleh al-Qardlawi berdiri de- ngan kesadaran-kesadaran yang kuat, bahwa tidak adanya ketentu-

32 Birokratisasi Islam di Indocina... an fikih tanpa melalui ijtihad; memperhatikan kaidah-kaidah uni- versalitas fikih; mendahulukan kemanfaatan, dengan merumuskan fikih berdasarkan realitas yang sedang berlangsung; memperhati- kan kebutuhan umat, secara umum, bukan individual; ijtihad yang untuk memudahkan dan memecahkan masalah yang ada; memper- hatikan kaidah “fatwa akan berubah sesuai kondisi” menggunakan metode secara bertahap; memahami kebutuhan dan kemudharatan masyarakat; membebaskan diri dari fanatisme terhadap satu maz- hab tertentu.44

C. Migrasi dan Signifikansi Fiqh Aqalliyaat Faktor migrasi adalah faktor utama yang memicu lahirnya fikih minoritas (fiqh aqalliyat). Fikih ini dibangun dari kesadaran meningkatnya jumlah muslim di barat, yang didominasi oleh para imigran muslim yang masuk ke negara-negara barat, Eropa dan Amerika. Selain itu, kedatangan para muslim ke barat, juga dipicu oleh urusan bisnis dan pekerjaan, serta menjadi pelajar. Pada 1998, national geographic dalam seri menjelang millenium kedua, me- ngulas tentang peningkatan jumlah populasi dunia, satu isu besar yang mengikutinya adalah isu migrasi. Sebagaimana ditulis oleh Michael Parfit, “migration is the dynamic undertow of population change… has been called “one of the greatest challenges of the coming century” migrasi adalah salah satu dinamika yang mengi- kuti perubahan populasi, disebut juga sebagai salah satu tantangan terbesar pada abad mendatang).45 Masih merujuk kepada data Par- fit, walaupun telah terjadi migrasi dan perpindahan penduduk sejak abad kesebelas, namun secara signifikan terjadi pada abad ke 17 dan 18, dimana terjadi peningkatan populasi dan perkembangan kehidupan manusia, ketika kota-kota mulai terbentuk di Eropa, yang didasari oleh aktifitas industri. Dalam sejarah Islam, migrasi bukanlah hal baru, bahkan pada masa nabi tradisi migrasi (hijrah) menjadi penanda awal ke- bangkitan kaum muslimin di tanah Arab. Pertama-tama hijrah dila- kukan menuju ke Abissinia atas perintah Nabi untuk menghindari segala bentuk persekusi dari orang-orang Mekkah. Dengan alasan yang sama, pada 622 Nabi mengajak ummatnya untuk berpindah

33 Birokratisasi Islam di Indocina... ke Yasrib (Madinah) dimana pemerintahan Islam pertama-tama diberlakukan, dan menandai awal kebangkitan Islam. Walau demi- kian, pasca peristiwa itu, kegiatan hijrah menjadi perdebatan para ulama, dengan mendasarkan pada pemahaman tentang Daar al- Islam dan Daar al-Harb, dan memuncak pada era-pascakolonialis- me barat di banyak negara-negara timur. Saat dimana sistem negara modern, negara-bangsa terbentuk, perang berakhir, dan negara-ne- gara berhimpun dalam satu organisasi besar, Perserikatan Bangsa- Bangsa (united nations). Ulama kontemporer, seperti Abu Zahra, sebagaimana dikutip dari Sami A. Aldeeb Abu-Sahlieh bahwa jika semua bangsa bergabung dalam satu kesatuan yang diikat oleh atu- ran hukum yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an, maka nega- ra-negara yang berada di dalamnya tidak bisa lagi dikatan sebagai Daar al-Harb, melainkan menjadi tanah perjanjian (Daar al-‘ahd). Lebih jauh, al-Zuhayli juga berada di barisan ini, mengatakan bah- wa pemisahan antara Daar al-Islam dan Daar al-Harb hanya ber- laku dalam situasi, jika terjadi permusuhan antara keduanya, jika permusuhan berakhir, maka berakhir pula pemisahan keduanya.46 Lebih jauh dari itu, diskursus tentang muslim minoritas semakin berkembang, tidak hanya terbatas pada gagasan-gagasan fikih secara normatif, tapi minoritas sudah bersuara, bahkan terlibat dalam ruang publik secara aktif. Mereka mendirikan organisasi untuk menyuarakan kepentingan kelompok, untuk dianggap setara, dan untuk mengakses hak-hak dari pemerintahnya. Pengalaman Amerika, organisasi pelajar muslim berdiri pada 1963, yang bertu- juan untuk menyebarkan kajian-kajian seputar keIslaman, dan terus berkembang, hingga tahun 1986, terdapat sekitar 400 organisasi muslim dengan banyak mesjid yang tersebar di seluruh Amerika.47 Dalam Voices of Islam in Southeast Asia, disebutkan beberapa lem- baga non-pemerintah (NGO) yang didirikan oleh muslim untuk kepentingan muslim di beberapa wilayah non-muslim di Asia Te- nggara. Pengalaman muslim di Burma (sekarang Myanmar) yang termarjinalisasi dari kelompok mayoritas, etnis Burma—sekarang Myanmar, akhirnya melalui seruan moulvi mereka pada 1948 membuat pergerakan untuk melawan etnis mayoritas, salah satunya adalah Mujahid Muslim National Liberation Party yang terdiri dari

34 Birokratisasi Islam di Indocina... beberapa aliansi lagi;48 Pengalaman muslim Filipina dan Thailand adalah pengalaman buruk dengan hadirnya sistem negara-bangsa (nation-state). Sebelumnya muslim di dua negara ini adalah mayo- ritas dalam wilayah kekuasaan kerajaannya. Kerajaan Patani di Thailand, serta Sulu dan Mindanao di Filipina, namun ketika nega- ra-bangsa diatur, batas wilayah negara dibagi, kedua kelompok muslim ini masuk dalam kawasan, yang dikuasai oleh mayoritas masyarakat yang non-muslim, Budha di Thailand dan Kristen di Filipina. Munculnya pemberontakan dan upaya untuk menghindari perlakukan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah, membuat kelompok muslim mendirikan organisasi-organisasi sebagai mim- bar untuk menyuarakan hak-hak mereka yang telah tercerabut oleh pemerintahan negara yang didominasi oleh kepentingan mayoritas. Organisasi Islam terbesar di Filipina adalah Moro National Libera- tion Front (MNLF) yang didirikkan dan dipimpin oleh Nur Misua- ri,49 dan di Thailand, terdapat organisasi yang memperjuankan ke- merdekaan daerah Patani, lokasi mukim mayoritas muslim, seperti Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP); Barisan Revolusi Nasional (BRN); Pertubuhan Pembebasan Patani Bersatu (PULO); selain itu, secara administratif di bawah kerajaan Thailand adalah National Council of Islamic Affairs (NCIA) dan Provincial Coun- cils for Islamic Affairs (PCIA).50 Pengalaman Singapura adalah pe- ngalaman yang baik, salah satu faktornya adalah hidupnya multi- kulturalisme dalam negara ini, dengan dukungan laju ekonomi yang kuat. Organisasi Islam dijalankan dibawah kementrian pembangu- nan kelompok (Ministry of Community Development), melalui sebuah lembaga bernama Majlis Ugama Islam Singapura, MUIS (Islamic Religious Council of Singapore).51 Umumnya keberislaman selalu berkait kelindan dengan etni- sitas, termasuk kelompok-kelompok minoritas muslim. muslim ter- identifikasi dan ditandai dengan etnisitas yang melekat dalam diri- nya. Identifikasi itu dilakukan oleh orang luar, dan lebih-lebih me- reka sendiri. Orang melayu di Malaysia menginditifikasi diri mere- ka sebagai muslim, setiap orang melayu sudah pasti muslim, dan tidak mungkin ada orang melayu yang bukan muslim.52 Orang Cham di Vietnam dan Kamboja, mengidentifikasi mereka sebagai

35 Birokratisasi Islam di Indocina... muslim, semua Cham adalah muslim. sekalipun terjadi dualisme secara ritual keberIslaman antara orang Cham di selatan yang telah menganut Islam secara sunni, dan orang Cham di wilayah tengah yang cenderung masih sinkretik, namun, mereka juga mengidenti- fikasi diri mereka sebagai muslim.53 dan Oran Hui di China, yang secara nyata memiliki perbedaan kuat dengan komunitas muslim pada umunya di China, identitas muslim mereka bahkan lebih kuat di banding identitas Hui, walaupun Hui dan Islam hampir-hampir memiliki tradisi yang sama, karena identitas Hui terbentuk dan dia- kui masih memiliki hubungan genealogis dengan orang-orang Arab.54 Kesalingterkaitan antara Islam dan etnik, menjadi penting hari-hari terakhir ini. Negara dan masyarakat umum pada umunya, lebih meperhatikan etnisitas dibandingkan agama. Di vietnam, anak-anak dari etnik minoritas, diberikan beasiswa untuk sekolah dan kuliah, dibangunkan rumah bagi warga miskin dan mendapat- kan perlakuan istimewa dalam peningkatan kesejahterana karena mereka berasal dari salah satu, dari 53 etnik minoritas yang diakui negara ini. Di kamboja, orang Islam, sering disebut sebagai khmer Islam dan bukan Cham sebagaimana etniknya, agar mereka diang- gap saudara oleh orang Khmer, kelompok etnik yang menguasai dan menjadi mayoritas. Prosesi terbentuknya sebuah komunitas masyarakat menjadi minoritas berasal dari dua hal. Pertama, Pembentukan negara- bangsa sebagai dampak nyata kolonialisme, dimana pembagian daerah berdasarkan wilayah kolonial. wilayah Indonesia dibentuk sebagai bekas jajahan Belanda; Malaysia dipisahkan sebagai bagi- an kesepakatan Inggris dan Thailand; Filipina menjadi negara mer- deka sebagai negara bekas jajahan Portugis; Timur Leste memisah- kan diri dari Indonesia karena ketidaksamaan penjajah. Kelompok- kelompok masyarakat yang awalnya adalah mayoritas, punya kesa- maan agama, etnik, dan ras yang sama, secara tiba-tiba terpisah karena kesepakatan pembagian wilayah negara modern. Kelom- pok-kelompok minoritas tersebut, menjadi minoritas tanpa berpin- dah dari tempat asalnya, dimana mereka berketurunan turun temu- run. Pengalaman ini dirasakan oleh kelompok muslim minoritas moro di bagian selatan Filipina dan kelompok muslim minoritas

36 Birokratisasi Islam di Indocina... patani di bagian selatan Thailand, serta beberapa wilayah yang menjadi kantong pemukiman muslim di bagian unisoviet—dahu- lu—yang awalnya masuk dalam wilayah kekuasaan Turki Ustmani (Ottoman Empire). Kedua, sebuah kelompok masyarakat yang menjadi minori- tas karena inisiatif atau terpaksa untuk berpindah ke tempat mayo- ritas non-muslim. Keadaan tersebut dilatarbelakangi oleh banyak faktor, secara garis besarnya, misalnya, karena wilayahnya konflik, seperti pengalaman yang dirasakan oleh muslim Syiria, Yaman, Lebanon, dan Afganistan. Mereka menjadi pengungsi (refugee) dan mencari suaka dan perlindungan ke negara-negara Barat hingga Australia, dan serta ke wilayah muslim sendiri, misalnya para pe- ngungsi dari Afganistan yang memilih untuk berjalan kaki seming- gu lamanya, menembus hutan, bersembunyi di gua dan melewati gunung untuk sampai di Pakistan, berlindung dari kekejaman pera- ng tiada akhir di Afganistan.55 Berbeda dengan pengalaman di Asia, muslim di Eropa dan Amerika memiliki pengalaman yang sedikit berbeda dengan ke- munculan minoritas muslim, sebagian besar terjadi karena penga- ruh globalisasi, dimana terjadi interaksi dan perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lain. Sebagaian besar muslim di Eropa adalah imigran yang datang dengan motif ekonomi dan menjadi pengungsi, misalnya setelah perang berkecamuk di wilayah mayo- ritas muslim di Timur Tengah, mereka berpindah untuk menyela- matkan diri, dengan restu lembaga-lembaga internasional untuk memasuki negara-negara, umumnya Eropa yang memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat lebih tinggi, dan serta letak geografis yang mudah diakses. Pada bagian selanjutnya akan dibahas lebih detail. Diskursus tentang identitas semakin menguat belakangan ini. Setidaknya dimulai, paska perang dingin, setelah Uni Soviet run- tuh, dimana negara-negara bekas Uni Soviet yang memiliki jumlah muslim yang signifikan bangkit menuntut kemerdekaan.56 Sema- ngat memerdekakan diri mewabah pada hampir seluruh belahan dunia, gerakan-gerakan separatis semakin marak, umumnya meng- gunakan dasar perbedaan etnisitas dan agama. Mengutip dari

37 Birokratisasi Islam di Indocina...

Ahmad Suaedy, Ilan Peleg menyatakan gerakan semacam itu me- rupakan gugatan terhadap fenomena globalisasi dan sistem negara bangsa (nation-state) yang cenderung hegemonik.57 Fenomena ini juga berangkat dari kenyataan bahwa di seluruh belahan dunia, baik di negara-negara muslim dan negara-negara barat, hampir tidak ada satupun negara—untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali negara—yang memiliki masyarakat yang homogen secara total, melainkan terdapat kantong-kantong kelompok masyarakat yang berbeda dan hidup sebagai kelompok kecil dengan identitats yang berbeda-beda, dari budaya, bahasa, dan etnik. Fenomena ini merupakan sebuah ujian terhadap sistem politik kebangsaan mo- dern dengan model negara-bangsa (nation-state) yang berlandas- kan demokrasi, bagaimana konsep demokrasi menyediakan wadah yang setara bagi setiap warga dalam sebuah negara, tidak ada ke- lompok masyarakat yang mendapatkan wadah yang lebih besar dari yang lainnya, melainkan semua kelompok hidup setara dengan perhatian yang sama, kelompok-kelompok kecil sekalipun menda- patkan hak dan kesetaraanya dalam sebuah negara. Terbentuknya negara modern, tidak serta merta mengabur- kan identitas. Sebaliknya, justru identitas semakin ditampilkan dan menjadi penanda. Lazimnya, sesuatu yang diberikan tanda adalah sesuatu yang berbeda, asing, liyan dan tidak sebagaimana lazim- nya. Penanda yang ditampilkan adalah sesuatu yang khas dari ke- lompok mereka, umumnya menggunakan etnisitas dan agama, tan- da itu sekaligus menjadi pemisah, jurang antara satu kelompok kecil—minoritas—dengan kelompok umum. Sebuah usaha mem- bangun stereotipe dan fragmentasi warga negara dalam kelompok- kelompok yang berbeda, cenderung berpeluang rasis. Sian Lazar dalam the Anthropology of Citizenship, sebagaimana dikutip Hil- man Latief, mengemukakan hal senada itu, bahwa esklusi adalah aspek penting dalam diskusi tentang antropologi kewargaan, meru- pakan hal yang mewaris sejak pra-modern hingga era modern, dimana kelompok-kelompok rentan seperti pengungsi, minoritas, hingga perempuan acap kali mengalami diskriminasi oleh negara. Perlakukan itu didapat karena mereka berbeda.58

38 Birokratisasi Islam di Indocina...

Diskriminasi oleh negara terhadap kelompok-kelompok ren- tan, secara terorganisir berlangsung, karena ketidakjelasan konsep kewargaan yang ada. Pada hampir semua negara, istilah warga negara kelas dua masih ada hingga saat ini. Seperti juga dalam sebuah komunitas, dimana ada anggota penuh dan bukan anggota penuh, dalam sebuah negara stratifikasi warga negara semacam ini juga masih ada. Menurut Hilman Latief, negara-negara di barat juga mengalami dilema dalam diskursus terhadap kewargaan, terlebih setelah terjadinya gelombang besar imigrasi yang masuk ke nega- ra-negara barat, sehingga ada diferensiasi antar warga negara, anta- ra penduduk asli dan pendatang. Di dunia Islam juga berlangsung hal yang semacam ini, bahkan lebih rumit, jika diperhadapkan pada masalah pendatang yang non-muslim, fenomena ini mengindikasi- kan bahwa hak-hak seorang warga negara sangat bergantung terha- dap suasana politik sebuah negara,59 dan identitas agama dan etnik masih menjadi dua hal penting yang memengaruhi suasana politik tersebut. Di India misalnya, problem minoritas muslim, yang tidak ingin bergabung dengan India sebagai negara sekuler, terlihat oleh Gopal Krishna, muslim hanya memiliki hubungan administratif terhadap negara, dan tidak terlihat sebagai warga negara (citizen) melainkan bagian dari ummah. 60 Menurut Robert Hefner, secara politis, kontestasi identitas, kelompok, suku, dan agama, di satu sisi meningkatkan semangat pluralisme, namun pada sisi lain, juga meningkatkan tensi pertaru- ngan politik. Bahkan menjadi arena kontestasi itu sendiri.61 Masa- lah identitas terjadi berkait erat dengan sikap negara terhadap etni- sitas yang hidup di dalamya. ketika kelompok etnis dan agama berusaha mengekspresikan tradisinya masing-masing, namun harus berhadap-hadapan dengan tradisi kelompok yang lebih besar, se- perti negara. di beberapa negara, etnisitas kelompok kecil muncul dengan semangat politiknya, untuk bertahan dari diskriminasi, pe- ngesampingan, hingga pelarangan untuk menggunakan tradisi, ba- hasa dan ritual kepercayaan. David Brown menarasikan dinamika antara negara dan politik etnik di Asia Tenggara, seperti negara yang pemerintahannya didominasi etnik mayoritas (ethnocratik) di Burma—Myanmar sekarang—rentang memunculkan separatisme

39 Birokratisasi Islam di Indocina... dan pemberontakan yang dimotori kelompok etnik tertentu; hingga karakter negara Singapura yang netral terhadap semua etnik turut mempengaruhi stabillitas politik yang berbasis korporasi; menurut- nya, tidak ada keseragaman dalam politik etnik, melainkan bergan- tung kepada karakter suatu negara, dan responnya terhadap etnisi- tas yang hidup di dalamnya.62 Sejak era pra-globalisasi hingga globalisasi saat ini, tanta- ngan terbesar yang dihadapi negara adalah mengelola keberagaman identitas, dari Etnik hingga Agama. Keselarasan hubungan antar etnik akan menjadi perekat persatuan nasional, dan hubungan buruk antar etnik akan melahirkan konflik berdarah-darah yang akan me- micu disintegrasi negara. banyak negara telah mengalami hal demi- kian, misalnya Malaysia yang mengalami konflik rasial pada 13 Mei 1969, konflik Islam-Kristen di Ambon. Konflik Apartheid di Afrika Selatan, dan seterusnya. Walau demikian, dunia saat ini menuju ke arah, dimana hak- hak minoritas dihargai dan diberikan ruang menyuarakan keingi- nannya. Menurut Kymlicka, ada tiga faktor yang membuat peruba- han besar sikap negara terhadap multikulturalisme dan hak-hak minoritas. Yaitu Pertama, Demografi (demographics), khususnya di Eropa, dimana terdapat masa orang-orang asli ingin menghilang- kan kelompok-kelompok minoritas, namun, dengan pesatnya per- sebaran imigran masuk ke barat untuk memenuhi kebutuhan kerja- kerja industri, keinginan itu menjadi utopis, sampai tidak ada lagi yang punya mimpi menghilangkan kelompok minoritas. kedua, Kesadaran Hak (Rights-Consciuoness), seiring munculnya hak asasi manusia yang diatur secara internasional dan mengikat semua bangsa-bangsa, tatanan lama tentang ras dan etnik, yang masih menunjukkan adanya yang lebih tinggi dibanding yang lainnya, perlahan hilang, tergantikan oleh pemahaman baru tentang kesama- an hak. Kelompok-kelompok minoritas mulai mengetahui hak dan bebas menuntut hak-haknya. Ketiga, Demokrasi (democracy), yang membuka peluang minoritas untuk memobilisasi dan mengorgani- sasi kelomppoknya terlibat dengan politik dan menuntut untuk ter- libat dalam ruang publik. Berdasarkan ketiga hal ini, Kymlicka me- negaskan “I believe that the trends towards greater accomodation

40 Birokratisasi Islam di Indocina... of ethnic diversity is likely to arise – (saya percaya bahwa tren me- nuju akomodasi besar-besaran terhadap perbedaan etnik (multikul- tarlism akan terus meningkat”.63

D. Model Birokratisasi Islam di Negara Minoritas Muslim Berbeda dengan Barat, diskursus minoritas muslim secara signifikan berkaitan dengan pendatang (imigran). Namun, di Timur, diskursus tentang minoritas muslim berkaitan erat dengan diskur- sus pribumi, warga lokal wilayah tersebut yang menjadi muslim. Sehingga pola ketegangan antara dua wilayah, Barat dan Timur, cenderung memiliki karakter konflik yang berbeda. Minoritas mus- lim di barat cenderung mengalami ketegangan secara horizontal, vis a vis dengan masyarakat. Sementara di Timur, cenderung me- ngalami konflik vertikal, vis a vis dengan negara atau penguasa. Walaupun, minoritas muslim di kedua wilayah, berada dalam satu pusaran konflik yang sama, yaitu konflik identitas. Sebagaimana yang telah diuarai di awal sub-bab ini, minoritas muslim di barat, karena mereka secara umum adalah imigran, sehingga ketegangan yang pertama-tama mereka hadapi adalah kesulitan beradaptasi dengan lingkungan masyarakat barat, yang sangat berbeda dengan lingkungan awal mereka berasal.

Signifikansi Barat dan Timur Kategorisasi antara barat dan timur, khususnya dalam kajian budaya, melampuai batas-batas teritori. secara umum, penggunaan kata barat merujuk ke wilayah benua Amerika dan Eropa, dan membedakannya dengan dunia timur. Namun, seringkali dalam studi-studi kebudayaan dan masyarakat, Australia dan Selandia Baru, yang letak wilayahnya di sekitar pasifik dan jauh dari Eropa dan Amerika, masuk dalam kategori barat. Yvonne Yzaback Had- dad dan Jane I. Smith dalam Muslim Minorities in the West, juga menjadikan Perth, Australia Selatan, sebagai bagian dari kajiannya, dan secara langsung mengkategorikan Australia sebagai bagian dari barat64. Diskursus muslim di barat semakin meningkat, seti- daknya dalam empat dekade terakhir, karya-karya para sarjana dan

41 Birokratisasi Islam di Indocina... jurnalis yang membahas tentang Islam di barat semakin banyak. Hal ini tidak lepas dari pengaruh globalisasi, yang memudahkan orang-orang untuk berpindah (migrasi) dari satu negara ke negara lain. Sehingga, gelombang migrasi masyarakat dari negara-negara Islam yang masuk dan menetap di negara-negara barat semakin meningkat jumlahnya. Kedatangan para imigran muslim, disebab- kan oleh banyak motif: menjadi pelajar, pekerja, dan dalam jumlah besar menjadi pengungsi, umumnya berasal dari negara-negara yang dilanda konlfik dan perang, seperti perang di teluk Arab dan negara-negara bekas Yugoslavia, yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Bernard Lewis menggambarkan bagaimana hubungan Islam dan dunia Barat, sejak awal seperti hubungan dua orang yang Sali- ng bertetangga, sering bersaing, dan selalu saling memusuhi, ber- langsung antara peradaban dengan kepentingan politik masing-ma- sing, antara kekuasaan Islam vis a vis dengan negara-negara Kris- ten (Cristendom). Hubungan keduanya terbangun dari semangat Jihad dan Perang Salib, dan saling menaklukkan wilayah kekuasa- an. Masa-masa ketika Eropa berada dalam pengaruh gereja secara kuat, pasca Perang Salib. Di beberapa negara-negara mediterania, hubungan muslim dan kristiani di Eropa juga memiliki banyak ke- samaan, seperti bahasa daerah hingga pengetahuan tentang Arab.65 Ada beberapa isu utama yang akan timbul jika mendiskusi- kan persoalan minoritas muslim di barat, diantaranya (1) integrasi dan identitas, dalam pandangan barat, muslim adalah komunitas yang kaku, dan tidak mampu beradaptasi dengan warga lokal barat. Sementara mereka adalah pendatang, muslim dianggap sebagai komunitas tertutup dan tidak memiliki konstribusi pada masyarakat barat. Sementara muslim menganggap warga barat sebagai yang berbeda dengan mereka, dan karena itu mereka tidak mesti bergaul satu sama lain. Persepsi yang terbangun satu sama lain adalah per- sepsi kecurigaan. Fenomena ini menjadi tantangan tersendiri bagi muslim untuk membuka diri terhadap suasana sekitar dimana me- reka berada. Ketegangan hubungan antara muslim dan barat tidak hanya berlangsung dalam masyarakat akar rumput, melainkan sam- pai kepada pengambil kebijakan. Misalnya, munculnya kebijaka-

42 Birokratisasi Islam di Indocina... kebijakan kontroversial di Eropa, dalam caranya bersikap pada komunitas muslim, Seperti pelarangan menggunakan hijab di Pran- cis66 (2) karena pengaruh media dan kepentingan politik, media bertanggung jawab atas Islamofobia yang sempat, bahkan hingga kini merebak ke seluruh penjuru Amerika dan Barat. (3) persoalan isu keamanan dan terorisme. Salah satu tantangan terberat muslim di barat adalah membuktikan diri bukan teroris. Sebab, bagi seba- gian kalangan, kehadiran muslim di barat tidak memberikan kons- tribusi lebih. Sebaliknya, justru menjadi ancaman, dimana banyak terjadi aksi-aksi terorisme yang terjadi, dan kelompok-kelompok Islam ekstrim dan radikal yang mengaku bertanggung jawab atas itu. (4) perlakukan sebagai minoritas dan menjadi warga yang ter- pinggirkan, (5) membanguna hubungan lintas agama67. Pada masa-masa awal, diskursus tentang minoritas muslim di barat lebih berkaitan ke persoalan akhlak. Bagaimana komunitas minoritas muslim pendatang menyesuaikan diri dengan tradisi Eropa yang sekuler dan sangat berbeda dengan tradisi barat. Para sarjana menduga akan banyak ketegangan yang terjadi, kecurigaan dan pemberian streotip tertentu, hingga munculnya sentimen-sen- timen anti-muslim. Fenomena ini, sudah terprediksikan bahkan sebelum tragedi 11 september. Hubungan Islam dan Barat sudah berada dalam ketegangan, kecurigaan hingga berujung konflik. Menurut Shadid and Van Koningsveld, hubungan tidak baik ber- langsung, sebab bagi orang-orang Barat, Islam adalah sebuah anca- man, anggapan ini didasari oleh beberapa hal: Pertama-tama, sebab kelompok muslim tidak melakukan konstribusi yang signifikan untuk tradisi barat. Sebaliknya, justru kelompok-kelompok ekstre- mis yang mengatasnamakan diri Islam, justru melakukan teror di barat, bahkan menjadikan barat dan orang barat sebagai target uta- ma mereka. Ketegangan hubungan Islam dan barat, juga dikarena- kan adanya persepsi yang menganggap bahwa budaya muslim tidak cocok untuk digunakan dalam tradisi masyarakat barat. Hal-hal yang menjadi tradisi Islam, menggunakan hijab, azan di subuh hari, lingkungan pergaulan di kantor, sekolah, dan makanan menjadi problem sendiri, yang cukup bertentangan dengan budaya barat.

43 Birokratisasi Islam di Indocina...

Ketegangan ini, tidak hanya berlangsung di kalangan masyarakat, namun juga oleh pemerintah pengambil keputusan. Persoalan adaptasi dan penyesuaian diri muslim di barat, perlahan mulai dilakukan. Sebagaimana yang diurai dalam sub-bab sebelumnya. Gagasan Fiqh Aqalliyat adalah sebuah produk fiqh yang berusaha mengadvokasi kepentingan-kepentingan muslim di wilayah minoritas muslim. salah satu faktor utama kemunculan gagasan fiqh aqalliyat adalah kepedulian ulama terhadap para imi- gran muslim yang hijrah ke barat, dalam jumlah besar, untuk me- nuntut kesejahteraan hidup. Namun, ketika berada di barat, mereka justru berhadapan pada sebuah realitas baru, menjadi minoritas. Mereka tidak memiliki pemahaman yang cukup untuk membuat fatwa, dan tuntunan fikih dalam Islam tidak banyak membicarakan bagaimana jika muslim berada dalam wilayah minoritas. Hal ini wajar, sebab ulama-ulama terdahulu, yang pertama-tama merumus- kan fiqh, belum memiliki imajinasi hidup menjadi minoritas, justru ia berada dalam kekuasaan gemilang wilayah-wilayah Islam. Dina Taha dalam Muslim Minorities in the West : Between Fiqh of Mi- norities and Integration, berusaha menarik konsep fikih minoritas ke dalam suatu realitas hidup minoritas muslim. menurutnya, me- lalui fikih minoritas, setidaknya terdapat dua solusi untuk memban- tu minoritas muslim yang dianggap tidak mampu hidup berdampi- ngan dengan tradisi barat, dengan menggunakan fleksibilitas yang dimiliki fikih minoritas, dimana dasar-dasar fatwanya langsung merujuk kepada kaidah al-Quraan yang universal. Sehingga me- mungkinkan muslim di barat, bisa menjadi muslim yang baik pada satu sisi, dan menjadi warga negara yang baik pada sisi lain, bah- kan bisa menjadi muslim barat, dimana tradisi Islam dan tradisi barat bisa digunakan secara bersama-sama tanpa ada benturan-ben- turan apalagi konflik.68 Minoritas muslim di Timur, misalnya yang terdapat di nega- ra-negara Asia: Barat, Timur, Tengah, dan Tenggara, cenderung mengalami konflik vertikal. Ahmad Suaedy dalam Dinamika Mi- noritas Muslim Mencari Jalan Damai, menurutnya, konflik mino- ritas muslim dan negara yang terjadi di Patani Thailand Selatan dan Moro di Filipina selatan, tidak hanya didorong oleh hanya kepen-

44 Birokratisasi Islam di Indocina... tingan politik, melainkan ada akar yang lebih dalam, termasuk di dalamnya agama, bahasa, dan klaim historis atas tanah atau kawa- san.69 Konflik di Thailand, dimulai ketika usaha modernisasi kekuasaan, melalui sistem negara-bangsa mulai dilakukan. Batas- batas teritorial negara dibagi dan ditentukan oleh pihak kolonial Inggris dan Siam, dan menjadikan wilayah Patani, yang mayoritas penduduknya adalah muslim, masuk dalam wilayah Thailand yang menganut mayoritas Budha. Ketika pemerintah Thailand berusaha melakukan nasionalisasi, dengan penyeragaman bahasa hingga sis- tem pendidikan, riak-riak penolakan di selatan mulai muncul dan menjadi konflik yang berkepanjangan antara negara dan kelompok minoritas muslim di Thailand. Hampir senada dengan itu, konflik di Mindanao, Filipina Selatan juga demikian. Pada awalnya, wila- yah selatan Filipina adalah wilayah dua kerajaan besar Islam, bernama Kerajaan Sulu dan Mindanao, namun setelah melalui pro- ses panjang. Kerajaan ini kian melemah, wilayahnya semakin sem- pit, dan lalu diambil alih oleh kolonial, pertama-tama oleh Portu- gis, lalu disusul Amerika. Masyarakat muslim yang menolak atas dominasi Pemerintahan Filipina, mereka melakukan perlawanan, dan menuntut hak-hak untuk merdeka. Seperti juga konflik yang terjadi di Cina. Sementara kelom- pok-kelompok minoritas di berbagai belahan dunia mulai diperha- tikan, mendapatkan hak-haknya kembali, dan mulai menikmati kebebasan dan kesetaraan. Minoritas muslim Uighur di Cina justru sebaliknya. Saat ini, Minoritas Uighur di Xinjiang, bagian barat Cina, yang berbatasan dengan Afganistan, Kirgistan, Kazakhstan dan Mongolia, sedang mengalami tindakan represif dari pemerin- tah setempat. Menurut berita dari BBC, setidaknya satu juta mino- ritas Uighur ditahan dalam beberapa tempat, ada yang mengaku disiksa dalam berbagai cara. Otoritas Cina berdalih, mereka mela- kukan ini untuk mendidik ulang muslim Uighur yang banyak terli- bat dalam rangkaian aksi terorisme, baik di Cina dan negara lain- nya. Sehingga kebijakan tersebut, oleh otoritas Cina, dianggap sebagai bagian dari upaya untuk memerangi terorisme, bukan usa- ha menghilangkan Islam dari negara tersebut.

45 Birokratisasi Islam di Indocina...

Informasi tentang kasus muslim Uighur menjadi viral dan direspon oleh masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Sebagian ke- lompok di Indonesia, bahkan telah menggerakkan massa untuk melakukan demonstrasi di kedutaan Cina dan beberapa tempat lainnya, sebagai bentuk dukungan untuk muslim Uighur. Namun demikian, masyarakat juga harus bijak dalam mendudukkan kasus ini, terlebih lagi jika dikaitkan dengan sikap Pemerintah Cina ter- hadap Islam dan Muslim itu sendiri, agar tidak mudah tersulut dengan sentimen atas nama Islam. Sekalipun informasinya cukup detail tentang tindakan apa saja yang dilakukan pihak otoritas; kursi listrik, ditelanjangi, dipaksa makan babi. Tapi, masih kabur informasi mengenai muslim Uighur mana saja yang dipersekusi dan mengapa mereka (Cina) melakukan itu? Sebab, jika melihat penelitian-penelitian terbaru tentang minoritas muslim di Cina, umumnya bernada baik. Kecuali, muslim Uighur yang terlibat dalam upaya-upaya separatis, yang menuntut tanah mereka, Tur- kistan Timur merdeka. Pasang surut hubungan otoritas Cina dan minoritas Uighur berlangsung sejak lama, diwarnai ketegangan hingga konflik, bah- kan sejak era Dinasti Qing berkuasa, hingga saat ini. Namun, seti- daknya sejak 1990an, melalui kebijakan tentang minoritas, otoritas Cina berusaha memperbaiki hubungan itu dan melibatkan kelom- pok minoritas dalam agenda pembangunan mereka. Termasuk komunitas muslim, tak terkecuali muslim Uighur.70 Pada 2006, pemimpin komunitas muslim dikumpulkan untuk mengadakan per- temuan untuk membangun komitmen dengan pemerintah. Namun tidak bisa dipungkiri, hubungan itu memburuk setelah peristiwa 11 September, otoritas Cina meningkatkan keamanan di berbagai wila- yahnya dan cenderung awas terhadap muslim, seperti juga yang dilakukan beberapa negara setelah kejadian tersebut. Walau demi- kian, reaksi tersebut tidak berlangsung lama, dan sebagian besar muslim kembali hidup baik di ruang publik Cina.71 Berbeda dengan minoritas Uighur di Xinjiang, kondisi mere- ka tetap memburuk. Ketegangan demi ketegangan terjadi, baik secara etnisitas dengan Han dan otoritas Cina. Ketegangan etnik berusaha diselesaikan oleh otoritas, berbagai upaya untuk mereda

46 Birokratisasi Islam di Indocina... ketegangan konflik dilakukan. Namun, konflik massa terjadi lagi pada 2007 dan 2009. Usaha menyatukan etnik minoritas Uighur dan Han, justru ditanggapi negatif, banyak yang tidak menerima kebijakan tersebut, dan melahirkan aksi-aksi terorisme sebagai bentuk perlawanan. Pemerintah merespon, dari sebelumnya dengan pendekatan soft (lunak), lalu digunakan pendekatan hard (keras), bahkan lebih represif mengarah ke persekusi. Dalam masyarakat Indonesia, Isu-isu represif yang dicerita- kan melalui video, menyebar dengan cepat, dipercayai dengan mu- dah, dan dipahami secara sederhana; bahwa otoritas Cina kejam terhadap muslim, agama berusaha dihilangkan dalam masyarakat. Isu-isu yang sebenarnya bersifat temporer, situasional, dan hanya untuk kalangan tertentu saja. Tidak berlaku untuk semua muslim seluruh Cina, bahkan Xinjiang. Menurut laporan dalam buku Sha- red Destiny yang diterbitkan Australian National University, me- nampilkan keterangan atas banyak isu itu, diantaranya; larangan berpuasa, terbatas pada pegawai negeri muslim di beberapa instan- si pemerintahan di Xinjiang (1/7/2014); larangan memakai burka, hijab dan memanjangkan jenggot di fasilitas transportasi publik, berlaku temporer selama perhelatan olahraga di salah satu kota di utara Xinjiang, yang penduduknya mayoritas Han (8-20/8/2014); tawaran menikah beda etnis (Uighur dan Han) dengan iming-iming hadiah 10.000 yuan, sebagai usaha otoritas untuk mereda ketega- ngan etnik72. Secara umum, muslim di Cina dengan segala keterbatasan- nya, termasuk dari etnik Uighur, yang berada di luar Xinjiang dan bersikap akomodatif dengan pemerintah, menikmati dan bangga sebagai muslim Cina. mereka mengakses ruang publik dengan be- bas, menjadi Professor, pegawai pemerintah, pengusaha, pekerja seni, dan berbaur dengan masyarakat lokal. Muslim Cina yang ber- ada di luar negeri, bahkan menjadi penghubung kerjasama Cina de- ngan negara-negara Muslim di Arab dan ikut serta dalam pemba- ngunan negara ini. Sehingga, apa yang menimpa muslim Uighur di Xinjiang, tidak bisa dipahami secara sederhana sebagai masalah antara Cina dan Islam, melainkan dengan satu kelompok yang me- nganut Islam, dan berusaha keluar dari dominasi Cina

47 Birokratisasi Islam di Indocina...

Tipologi Birokratisasi Islam di Negara Minoritas Muslim Konsep birokratisasi Islam merupakan satu kerangka kajian baru dalam studi hukum Islam. Sehingga masih sedikit referensi yang menyajikan secara detail operasionalisasi mengenai kajian tersebut. Hal ini juga menjadi alasan utama mengapa jangkaun kajian terkait birokratisasi Islam masih sangat terbatas, secara umum hanya di negara-negara mayoritas muslim. Diantara kajian itu, misalnya yang dihasilkan oleh Dominic M. Muller dan Kers- tein Steiner, dua sarjana yang pertama-tema menarik kerangka kajian birokrasi dari wilayah kajian normatif tentang pemerintahan ke dalam wilayah kajian sosial, secara lebih spesifik dengan menempatkan kerangka birokraksi sebagai kerangka penting untuk melihat bagaimana hubungan negara dan Islam bekerja dalam satu sistem pemerintahan modern dalam sebuh era birokratisasi.73 Se- mentara di wilayah minoritas muslim, baru dilakukan di dua nega- ra, Singapura dan Filipina, oleh Kerstein Steiner.74 Juga oleh Walid Jumblatt Abdullah di Singapura.75 Dalam bagian ini, saya menampilkan pola tipologisasi biro- kratisasi Islam yang berlangsung di negara minoritas muslim, seca- ra khusus berkaitan dengan sikap negara terhadap kelompok mino- ritas muslim, baik itu negara-negara non muslim di barat dan timur, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Pola tipologisasi tersebut merupakan hasil diskusi dengan pembimbing saya, Arskal Salim, dimaksudkan sebagai alat ukur untuk memudahkan peneliti- an ini dalam melakukan perbandingan dengan negara-negara lain, sejauh mana birokratisasi Islam berlangsung di negara-negara minoritas muslim.76 Tipologisasi yang dimaksud, yaitu; Birokrasi Represif, birokrasi terbatas (limited bureucracy), tanpa Birokrasi dan birokrasi minimum (minimum bureaucracy). Empat tipologisasi ini akan memandu penulisan ini untuk memetakan sikap negara- negara terhadap minoritas muslim, baik di wilayah barat dan wila- yah timur. Pertama, negara yang bersikap represif terhadap komunitas muslim di dalam negaranya. Diantaranya adalah Myanmar, biasa juga disebut Burma. Di negara ini, berdasarkan dari Factbook.com,

48 Birokratisasi Islam di Indocina... populasi muslim mencapai 4.3 persen, ketiga terbesar setelah Budha (87.9 persen) dan Kristen (6.2 persen), dari total penduduk 55.622.506 (2018). Setidaknya terdapat, sekitar 1.3 juta muslim di negara ini. Muslim ini berasal dari empat etnik yang berbeda: Ro- hingya, Panthay, Melayu (Phasu), dan para pendatang dari wilayah Asia Selatan: India, Banglades, Pakistan. Dalam sejarahnya, Islam ada di Burma dibawa oleh para pelaut sejak abad kedelapan, selain itu, juga oleh para pedagang dari Arab, Persia dan India. Kedu- dukan muslim di Burma pada masa lalu, tidak hanya di wilayah swasta, tapi juga terlibat dalam kerajaan, melayani raja Burma77. Komunitas muslim Panthay, disebut juga Cina-Muslim datang ke wilayah Burma di abad ketiga belas, dan dalam jumlah besar di abad keenam belas, ketika kesultanan Yunnan runtuh oleh domina- si kerajaan Chi’ing. Sejak saat itu, perkawinan lintas etnik dan aga- ma, antara Panthay dan Burma menjadi hal biasa. Komunitas mus- lim Panthay umumnya tinggal di bagian utara negara ini. Kelom- pok besar dan akrab didengar adalah komunitas muslim Rohingya, mereka dalam kelompok besar menempati wilayah Rakhine (Ara- kan), berlokasi di bagian barat Burma dan berbatasan dengan Banglades. Dalam kawasan tersebut, muslim bisa dibedakan dalam empat kelompok muslim yang berbeda: muslim Chittagonian Bengalis menempati wilayah perbatasan di Mayu; muslim keturu- nan Arakan di Mrak-U dari periode 1430-1784; muslim keturan dari para pendatang militer di Ramree; dan muslim yang berasal dari Myedu, Myanmar bagian Tengah.78 Secara perawakan dan bahasa, orang Rohingya sangat dekat dengan Banglades, mereka juga menggunakan bahasa Rohingya yang tidak jauh beda dengan Bengali. Umunya, hampir seperdua dari jumlah total muslim di Burman merupakan keturunan muslim dari Asia Tengah, yang migrasi ke Burma ketika Inggris berkuasa. Sekalipun sejarah Islam telah lama ada di Burma, tapi hu- bungan antara muslim dan pemerintah Burma selalu berada dalam ketegangan. Pemerintah Burma cenderung, bahkan secara terang, melakukan marginalisasi terhadap komunitas Muslim di negara- nya. Walaupun, beberapa diantara para pejuang kemerdekaan Bur- ma adalah muslim. hubungan buruk antara muslim dan pemerintah

49 Birokratisasi Islam di Indocina... dipicu oleh kecurigaan berbasis etnisitas yang terjadi dalam ma- syarakat Burma. Hal ini berawal dari keistimewaan yang didapat para orang-orang Asia Tengah, yang datang di masa pemerintahan kolonial, mereka mendapatkan beberapa keistimewaan. Arus mi- grasi berlangsung cepat dan pernikahan antara laki-laki imigran dan perempuan lokal Burma semakin banyak terjadi. Orang-orang Burma tidak menerima kedatangan mereka, sebab dianggap seba- gai ancaman bagi mereka, hal ini bisa dijumpai misalnya dalam sebuah lirik lagu, yang dikutip Greg Fealy dan Virginia Hooker, yang juga mereka kutip dari Khin Yi, 1988, lirik tersebut berbunyi: “Exploiting our economic resources and seizing our women, we are in danger of racial extintion : (Mereka) Mengeksploitasi sum- ber daya ekonomi kita dan menyita wanita kita, kita berada dalam bahaya kepunahan ras”. Keresahan orang-orang Burma, bahkan ikut hidup dalam pemerintahan, sehingga pemerintah dalam hubu- ngannya dengan Muslim juga melakukan hal serupa, diskriminasi. Sejak 1962, militer mengambil alih pemerintahan dan menjalankan pemerintahan dengan rasis. Muslim menjadi target paling nyata, terhadap peminggiran hak yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok-kelompok minoritas. Dalam rentang 1963 sampai 1967, sekitar 300.000 orang-orang India, sebagian besar muslim, mening- galkan Burma, setelah pemerintah melakukan nasionalisasi bisnis swasta.79 Pada tahun 1982 dikeluarkan aturan tentang kewargane- garaan, dimana hanya orang-orang dari suku nasional yang bisa mendapatkan kewarganegaraan penuh.80 Pengaturan kewarganega- raan full ini berdampak pada ketersediaan lapangan kerja dan ke- terlibatan dalam kerja untuk negara, dimana hanya yang berkewar- ganegaraan penuh yang bisa mendapatkan pekerjaan. Diskriminasi ini merupakan tindakan refresif pemerintah Burma terhadap Islam, fenomena yang berlangsung cukup lama, namun alih-alih berda- mai, justru tensi hubungan antara Pemerintah terhadap Islam sema- kin meningkat81, hingga melakukan kekerasan dan ragam tindakan persekusi terhadap muslim82. Setidaknya dalam beberapa tahun ter- akhir, dunia internasional banyak menyoroti Burman atas perlaku- annya terhadap Muslim di negara ini.

50 Birokratisasi Islam di Indocina...

Kedua, minoritas muslim tanpa birokrasi, fenomena ini ba- nyak terjadi di negara-negara barat. Pemerintah mengetahui kebe- radaan Muslim di dalam wilahnya, tapi pemerintah hanya pasif, tidak melakukan tindakan apa-apa kepada komunitas muslim di da- lam wilayahnya, tindakan seperti refresif atau mengakomodir me- reka melalui kebijakan-kebijakan. Beberapa negara yang bisa dija- dikan contoh adalah Australia, Amerika, dan Prancis. di Australia misalnya, negara ini dihuni oleh sekitar 2.6 persen muslim dari sekitar 23 juta penduduk Australia. Kontak antara Australia dan Islam bukan hal baru, melainkan sudah berlangsung sejak lama, yaitu ketika nelayan-nelayan muslim dari bugis-makassar rutin melakukan pelayaran ke perairan selatan untuk mencari teripang, nelayan-nelayan muslim ini telah bertemu dan berinteraksi intens dengan suku aborigin, penghuni asli benua Australia. dalam per- kembangannya, benua ini didominasi dan dikuasai inggris sejak abad ke-17. Seiring dengan itu, terlebih ketika kebijakan imigrasi Australia semakin terbuka dan tidak hanya menerima kaum kulit putih.83 Para imigran muslim mulai berdatangan, dalam jumlah besar berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara. Kedatangan mereka dengan berbagai motif, untuk bekerja dan sekolah. Islam bahkan telah menjadi satu ekosistem tumbuh kem- bangnya ajaran-ajaran Islam. Tapi perkembangan Islam, dilakukan oleh organisasi-organisasi tertentu dan bukan oleh negara. Di Aus- tralia, kelompok muslim mengorganisasi diri mereka masing- masing melalui sebuah organisasi swadaya. Salah satunya misalnya the Australian Federation of Islamic Councils (AFIC), lembaga ini tidak berafiliasi dengan negara, melainkan hadir untuk mengorga- nisasi dan sebagai induk dari organisasi-organisasi Islam di negara ini. Organisasi ini pula yang biasa digunakan sebagai rujukan un- tuk makanan halal, sebab lembaga ini melakukan standarisasi halal di Australia. Secara umum, muslim di Australia tidaklah tunggal, melainkan plural. Karena itu, hubungan yang terbangun antar mus- lim adalah hubungan etnisitas. Para muslim dari Asia Selatan, se- perti India, Bangladesh, dan Pakistan biasanya berkumpul dengan rekan etnik atau asal negara yang sama, begitupun dengan muslim dari Asia Tengah, dan muslim dari Asia Tenggara. Bahkan, penga-

51 Birokratisasi Islam di Indocina... jian-pengajian rutin dilaksanakan juga hanya untuk kelompok- kelompoknya saja. Hal ini, membuat pemahaman Islam di Austra- lia pun tidak tunggal. Ketiga, birokrasi terbatas (limited bureaucracy), pada nega- ra-negara ini, terdapat kebijakan khusus untuk muslim, tapi bersifat batas-batas tertentu yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Salah satu negara yang memiliki pengalaman ini untuk mengatur minori- tas muslim di dalam negaranya adalah Filipina. Salah satu negara di wilayah Asia Tenggara, di utara pulau sulawesi, juga terdiri dari beberapa pulau besar. Muslim di Filipina berkisar 5.6 persen dari total penduduk negara ini, mereka umumnya tinggal di bagian selatan. Dahulu, di selatan Filipina terdapat dua kesultanan besar, yaitu kesultanan Sulu dan Mindanao. Sehingga wajar, di wilayah ini, muslim menjadi mayoritas yang menguasai di beberapa provin- si, seperti: Maguindanao, Lanao del Sur, Sulu, Tawi-tawi, dan Basilan. Selain itu, muslim juga ada disekitar 26 Provinsi dari 79 provinsi di seluruh Filipina. Kelima provinsi mayoritas muslim tersebut, sejak 1990, masuk dalam kategori wilayah dengan otono- mi khusus (Autonomous Region in Muslim Mindanao), sering juga dikenal dengan the Islamic city of Marawi.84 Wilayah muslim di selatan mulai bergejolak, ketika kolonialisme Portugis memasuki kawasan mereka pada abad kelima belas. Agenda Katolikisasi vis a vis dengan usaha muslim untuk mempertahankan wilayah dan ke- kuasaannya, khususnya di selatan. Sebagai respon untuk bertahan, kelompok-kelompok muslim di selatan mengorganisasi diri dalam beberapa organisasi yang sama-sama bertujuan untuk melawan perlakukan pemerintah kolonial kepada mereka.85 Pada periode 1898 sampai 1946, di bawah rezim kolonial Amerika, kelompok Muslim mulai diperhatikan. Kelompok muslim dikonsolidasikan untuk menemukan satu identitas bersama. Pada 1903, melalui Phi- lippine Commission Act no. 787, menjadikan wilayah provinsi Moro bersatu di bawah sebuah wilayah otonomi sendiri. Mereka diberikan keleluasan untuk membuat aturan hukumya sendiri sesu- ai tradisi Islam. Najeeb M. Saleeby kemudian melakukan kerja- kerja intelektual dengan menerjemahkan dan menerbitkan sebuah undang-undang 1877 dan 1902 yang disebut Luwaran, digunakan

52 Birokratisasi Islam di Indocina... sebagai pedoman hukum muslim di wilayah Moro. Kerja-kerja intelektual Saleeby, dilanjutkan oleh Cesar Adib Majul, yang me- nulis tentang Muslims in the Phillippines (1973)86. Buku yang kemudian berpengaruh dalam membentuk sebuah revolusi bangsa- moro baru (new Moro people). Pemerintah memberikan beasiswa belajar bagi sekitar 8.300 mahasiswa muslim antara 1958-1967, beasiswa ini berasal dari ko- misi pemerintah untuk persatuan national (Government Commissi- on on National Integration), salah satu mahasiswa muslim yang menerima beasiwa ini adalah Nur Misuari, yang kemudian mendi- rikan Moro National Liberation Front (MNLF). Kebijakan ini, merupakan kebijakan awal untuk umat Islam di Filipina, namun alih-alih bersatu, kelompok umat Islam justru melakukan perlawa- nan dan menuntut haknya kepada pemerintah. Kebijakan tentang Islam semakin proaktif dibuat di era Presiden Ferdinand Marcos, setelah deklarasi pemerintahan militer pada september 1972. Pada periodenya, Marcos mendirikan Institut Studi Islam di Universitas Nasional Filipina, dengan menunjuk Cesar Adib Majul sebagai dekan pertama (1974-1980); menjadi ketua pendirian Amanah Bank Filipina (sekarang, al-Amanah Islamic Investment Bank); menjadi ketua dalam Komisi nasional dalam membahasa draft undang- undang tentang hukum keluarga Islam tahun 1977; mendirikan lembaga haji bernama Phillippine Pilgrimage Authority pada 1979, belakang lembaga ini menyatu ke dalam Office of Muslim Affairs (OMA), sebuah lembaga yang didirikan pemerintah dan berada di bawah kantor Presiden. Lembaga ini merupakan lembaga pusat yang mengurusi urusan-urusan umat Islam di Filipina87. Keempat, Birokrasi minimal (minimum bureaucracy), pada negara ini, Islam diatur secara birokratis oleh negara, tapi hanya pada wilayah-wilayah tertentu saja. Menurut Walid Jumblatt Abdullah, birokratisasi Islam di Singapura, cenderung merupakan sebuah strategi negara untuk melakukan kontrol terhadap Islam dan masyarakat muslim88. Salah satu negara minoritas muslim yang melakukan ini adalah Singapura, negara kecil di bagian selatan semenanjung Malaysia dan Thailand, negara kerajaan yang berada di segitiga emas Asia, di utara Malaysia. Di Singapura, muslim

53 Birokratisasi Islam di Indocina... berkisar 14 persen dari 5.995.991 total penduduk negara ini.89 Muslim sebagian besarnya merupakan etnik Melayu, sekitar 313.780 dan lainnya, sekitar 15 persen dari total populasi muslim, yaitu sekitar India (45.927), Cina (6.891) dan dari etnik lain (6.891). Sejarah Islam di singapore, hampir sama dengan sejarah di Malaysia dan Indonesia. Berbeda, ketika singapura dijadikan seba- gai negara koloni Inggris, dominasi Malaysia, misalnya dalam uru- san-urusan Islam atas malaysia semakin berkurang. Walau demiki- an, Inggris memberikan kebebasan umat muslim menjalankan agenda-agenda keagamaan mereka. Sebagai kota pelabuhan yang ramai di masa-masa abad kesembilan belas, singapura juga menja- di destinasi dan titik temu para cendekiawan dan reformis muslim dari berbagai belahan dunia Islam, dari Nusantara dan Arab. Hal ini membuat Singapura menjadi salah satu pusat kajian dan publikasi keilmuan Islam di kawasan. Memasuki abad kedua puluh, kolonial Inggris memberikan kebebasan untuk muslim untuk menggunakan hukum Islam dalam wilayah-wilayah Privat.90 Dalam sejarahnya, setelah dinamika politik antara Malay-sia dan Singapura pada rentang 1950an sampai 1965, masa dimana Singapura secara resmi keluar dari Malaysia dan menjadi negara sendiri. Pada 1966, dibuat sebuah peraturan bernama Administra- tion of Muslim Lawa Act (AMLA), yang mengatur secara khusus berkaitan dengan administarsi kehidupan muslim melayu minoritas di negara ini.91 Peraturan tersebut merupakan kebijakan terhadap Muslim pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Singapura. Secara efektif, AMLA dijalankan, ketika Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS) didirikan pada 1968. Lembaga ini berada di bawah Kementrian Pembangunan Masyarakat (Ministry of Com- munity Development). Sehingga urusan administrasi terhubungan dengan pemerintah, dan dari segi pendanaan juga berasal dari kas negara. Walau demikian, belakangan MUIS bisa menghasilkan dana sendiri melalui lembaga tersebut, namun masih mendapatkan dana dari pemerintah. Dikutip dari website resmi MUIS92, lembaga ini memiliki enam fungsi pokok: Administration of zakat, wakaf endowment , pilgrimage affairs, halal certification and da’wah activities; Construction and administration of development

54 Birokratisasi Islam di Indocina... and menagement; Administration of madrasah and Islamic educa- tion; Issuance of fatwas (religious rulings); Provision of financial relief to poor and needy Muslims: Provision of developmental grants to organisations.

Catatan untuk Bab I

1 Gagasan tentang birokrasi, pertama-tama dikeluarkan oleh Weber, dengan menempatkannya sebagai sistem otoritas ketiga, setelah sistem otoritas tradisional dan sistem otoritas charisma. Lihat lebih jauh dalam Max Weber, Economy and Society, Ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1968), h. 109. 2 Pada masa Islam awal, tradisi kepatuhan menggunakan prinsip legal- rasional telah diberdayakan oleh Nabi ketika mendirikan negara Islam di Madinah. Ini terlihat dalam piagam Madinah, dimana prinsip hukum digunakan untuk melakukan penyetaraan kedudukan setiap klan-klan dalam posisi yang sama. 3 Ini misalnya dapat dilihat dalam Kamus Bahasa Indonesia, birokrasi diartikan sebagai “cara bekerja atau susunan pekerjaan yan serba lamban serta menurut aturan (adat dsb) yang banyak liku-likunya”, Saat dicontohkan dalam kalimat, birokrasi dijelaskan sebagai peme- rintahan yang lamban dan statis. Lihat juga dalam Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 208. 4 Dalam perkembangannya, kosa kata birokrasi diartikan sebagai cara kerja hirarkis-struktural. Namun sebaliknya, birokrasi justru merupa- kan konsep yang berusaha melakukan delegitimasi pada totalitarian- nisme, organisasi negara yang bertumpu pada satu pusat kekuasaan, dengan menerapkan cara kerja yang bertumpu pada pembagian kerja berdasarkan profesionalitas. Claude Lefort, The Political Forms of Modern Society: Bureaucracy, Democracy, Totalitarianism, (Cam- bridge, Massachusetts: The MIT Press, 1986), h. 91 5 Max Weber, Economy and Society, Ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1968), h. 108. 6 Merupakan informasi umum bahwa Weber adalah seorang sosiolog. Semua karya-karyanya adalah sikap kritis Weber terhadap pemikir- pemikir di zamannya, seperti pemikiran tentang kekuasaan Marx atau Nietzche. Argumentasi sosiologis tentang legitimasi politik, juga merupakan bagian dari sikap kritis pada perdebatan tentang fenomena

55 Birokratisasi Islam di Indocina...

‘pembunuhan kharisma kekuasaan raja-raja’. Lihat juga dalam Bryan S. Turner, Religion and Social Theory. Diterjemahkan Inyiak Ridwan Munzir, Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h. 363-368. 7 Dalam kamus Akademi Prancis (French Academy) 1798, birokrasi diberi arti Power, Influnece of the heads and staff of governmental bureau. Sementara dalam kamus Jerman 1813, birokrasi diartikan the authority or power which various government departments and their branches arrogate to themselves over their fellow citizens. 8 Max Weber, Economy and Society, Ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1968), h. 956-958. 9 Martin Albrow, Bureaucracy (London: Mac Millian, 1970), h. 12 10 Donald P. Warwick, A Theory of Public Bureaucracy (London: Harvard University Press, 1975) 4 11 Antara Weber dan Wilson tidak pernah saling mengutip dalam tuli- sannya tentang administrasi Negara. 12 L.J. Hume, Bentham and Bureaucracy (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), h. 17. 13 L.J. Hume, Bentham and Bureaucracy, 7-9 14 Claude Lefort, the Political Forms of Modern Society : Bureaucracy, Democracy, Totalitarianism (Great Britain: MIT Press, 1986), 96-97. 15 Eva Etzioni-Halevy, Bureaucracy and Democracy: A Political Dilemma (Boston: Routledge & Kegan Paul, 1983), 2. 16 Peters, B.G. Public Organiz Rev (2010) 10: 209. https://doi.org/10. 1007/s11115-010-0133- 17 William Gould, Bureaucrcay, Community and Influencen in India : Society and the State 1930s-1960s (USA and Canada: Routledge, 2011) 18 Kenneth J. Meier and Laurence J. ’Tolle Jr. Bureaucracy in a Democratic State : A Governance Perspective (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 2006), 1. 19 Dominik M. M ller, and Kerstin Steiner 2018), The Bureaucratisa- tion of Islam in Southeast Asia: Transdisciplinary Perspectives, in: Journal of Current Southeast Asian Affairs, (37, 1, 2018) h. 3–26 20 Arskal Salim, Challenging the Secular State : the Islamization of Law in Modern Indonesia, Honolulu: University of Hawai’i Press, 21 Joseph Chinyong Liow, Piety and Politics: Islamism in Contemporary Malaysia, (Oxford: Oxford University Press, 2009).

56 Birokratisasi Islam di Indocina...

22 Dalam pemahaman Wahhabiyah, persekutuan antara ulama dan pemimpin merupakan perwujudan pemerintahan Islam yang sejati. John L. Esposito, Ensikloped Oxford: Dunia Islam Modern, Jilid I, (Bandung: Mizan, 2002) terj. The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, (Oxford: Oxford University Press), h. 162. 23 John L. Esposito, Ensikplodi fordL Dunia Islam Modern… h. 6 . 24 M ller, Dominik M., Hybrid Pathways to rthodo y in Brunei Darus- salam: Bureaucratised Exorcism, Scientisation and the Mainstreaming of Deviant- Declared Practices, in: Journal of Current Southeast Asian Affairs (37, 1,2018) h. 141–183. 25 T.B. Jørgensen, Weber and Kafka: The Rational and the Enigmatic Bureaucracy, dalam Public Administration (Vol. 90, No. 1, 2012) h.194–210. 26 Ahmad Sarwat, Fikih Minoritas (DU Center Press, 2010), h. 14-15. 27 Nabi Muhammad adalah yang pertama membangun sistem politik di Madinah, yang kemudian dipatuhi oleh masyarakat madinah yang berasal dari beberapa kabilah, suku dan agama yang berbeda-beda (multikultur). Dari negara inilah, Islam dibangun dan menjadi agama yang dominan dan mayoritas di seluruh semenanjung Arabia, bahkan sebelum Nabi Muhammad wafat pada 632 M. lihat juga Harun Na- sution, Teologi Islam : Aliran-Aliran, Analisa dan Sejarah Perbandi- ngan (Cet. 5: Jakarta: UI Press, 1986), h. 4-5; W. Montgomery Watt, Muhammad : Prophet and Statesman (UK: Oxford University Press, 1961), h. 222-223. 28 Ahmad Suedy, Dkk, Islam dan Kaum Minoritas (Jakarta, Wahid Institute), h. 21-22. 29 Khaled Abou El Fadl, “Islamic Law and Muslim Minorities : The Juristic Discourse on Muslim Minorities From the Second/Eighth to the Eleventh/Seventeenth Centuries” dalam Islamic Law and Society 1, 2 (DOI: 128.97.27.21; Leiden; E.J. Brill, 1994), h. 141. 30 Khaled Abou El Fadl, “Islamic Law and Muslim Minorities : The Juristic Discourse on Muslim Minorities From the Second/Eighth to the Eleventh/Seventeenth Centuries” dalam Islamic Law and Society 1, 2 (DOI: 128.97.27.21; Leiden; E.J. Brill, 1994), h. 143. 31 Abu Abd Allah Al-Syaibani, the Islamic Law of Nations : Syaibani’s Siyar, terj. Majid Khadduri (Maryland: John Hopkings Press, 1966), h. 187.

57 Birokratisasi Islam di Indocina...

32 Khaled Abou El Fadl, “Islamic Law and Muslim Minorities : The Juristic Discourse on Muslim Minorities From the Second/Eighth to the Eleventh/Seventeenth Centuries” dalam Islamic Law and Society 1, 2 (DOI: 128.97.27.21; Leiden; E.J. Brill, 1994), h. 146. 33 Abu Abdullah Al-Syafii, Al-Umm, Muhammad Al-Najjar (ed), (Beirut: Daar al-Ma’rifa , vol. , 6 Khaled Abou El Fadl, “Islamic Law and Muslim Minorities : The Juristic Discourse on Muslim Mi- norities From the Second/Eighth to the Eleventh/Seventeenth Centu- ries” dalam Islamic Law and Society , D I: .97.27.21; Leiden; E.J. Brill, 1994), h. 147. 34 Hasbi ash-Shiddiqi, Hukum Antargolongan dalam Fikih Islam (Jakarta; Bulan Bintang, 1971), h. 17. 35 Abdul Rohim, Principles of Muhammadan Jurisprudence (Madrats. 1991), h. 396 : W.W Hunter, the Indian Musalmans (London, 1871), h. 120-125. 36 A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamat dan Munas Ulama Nahdhatul Ulama Kesatu – 1926 s.d Kedua Puluh Sembilan – 1994 (Surabaya: Dinamika Press Group, 1996), h. 138. 37 Dikutip dari Ahmad Muhtadi Anshor yang juga mengutik Majid Khadduri, yang mendiskusikan tentang syarat-syarat yang dibuat oleh fuqaha mazhab Hanafi yang menyebutkan tiga hal yang dapat men- jadikan Daar al-Islam berubah menjadi Daar al-Harb, syarat ketiganya yaitu jika muslim tidak dapat hidup aman dalam suatu daerah. Khad- duri menggunakan logika terbalik (mafhum mukhalafah), jika daerah itu, sekalipun berada di bawah aturan non-Muslim tapi muslim merasa damai dan bebas menjalankan agamanya, maka daerah itu bisa dikata- kan sebagai Daar al-Islam. lihat juga Ahmad Muhtadi Anshor, “Daar al-Islam, Daar al-Harb, Daar al-Shulh : Kajian Fikih Siyasah”, dalam Jurnal Episteme (Vol. 8, no. 1, Juni 2013), h. 56-57. 38 Al-Alwani memaparkan, lebih banyak soal kenyataan hidup minoritas di barat, hubungannya secara politik dengan pemerintah dan secara sosial dengan masyarakat non-muslim, dan hanya mengulas sedikit saja tentang bagaimana konsep-konsep dari fikih minoritas itu diba- ngun, sumber penetapan hukum yang digunakan, dan diskursus ten- tang minoritas dalam kalangan ulama klasik. Al-Alwani juga tidak menjelaskan secara rinci problem-problem yang dihadapi muslim mi- noritas. buku ini, dimaksudkan hanya sebagai pemicu untuk para fuka- ha untuk memikirkan dan merumuskan sebuah term fikih yang bisa

58 Birokratisasi Islam di Indocina...

mengakomodir kehidupan minoritas muslim di barat. Lihat juga dalam Thaha Jabir al-Alwani, Towards a Fiqh for Minority : Some Basic Reflection (London: The International Institute of Islamic Thought, 2003) 39 Ahmad Suady Dkk, Islam dan Kaum Minoritas (Jakarta: Wahid Institute, 2014), h. 23 40 Yusuf al-Qardlawi, Fi Fiqh al-Qalliyat al-Muslimah : Hayat al- Muslimin Wasath al-Mujtama’ al-Ukra” terj. Adillah bid, “Fikih Minoritas : Fatwa Kontemporer terhadap Kehidupan Kaum Muslimin di Tengah Masyarakat Non Muslim”, Jakarta: Zikrul Hakim, , h. 38-40. 41 Sebagaimana dalam Hadist Riwayat Muslim, dari Aisyah dan Anas Ra: “Kalian lebih mengetahui tentang perkara dunia kalian”. Dalam hal lain, al-Qardlawi juga mengkritik ulama yang menggunakan hadist dhaif sebagai sandaran hukumnya, misalnya hadist “aku berlepas diri dari setiap orang muslim yang bertempat tinggal di antara orang-orang musyrik”, juga hadist, yang meskipun masuk kategori hasan , namun cenderung tidak bersesuain untuk diterapkan saat ini, dimana muslim niscaya bergaul dengan orang-non muslim, menurutnya harus diuji kebenarannya, misalnya hadist “barang siapa yang bergaul dengan orang musyrik dan bertempat tinggal bersamanya, maka ia seperti orang tersebut. Lihat lagi pada Yusuf al-Qardlawi, Fi Fiqh al-Qalliyat al-Muslimah : Hayat al-Muslimin Wasath al-Mujtama’ al-Ukra” terj. Adillah bid, “Fikih Minoritas : Fatwa Kontemporer terhadap Kehi- dupan Kaum Muslimin di Tengah Masyarakat Non Muslim”, h. -42. 42 Yusuf al-Qardlawi, Fi Fiqh al-Qalliyat al-Muslimah : Hayat al-Mus- limin Wasath al-Mujtama’ al-Ukra” terj. Adillah bid, “Fikih Minori- tas : Fatwa Kontemporer terhadap Kehidupan Kaum Muslimin di Tengah Masyarakat Non Muslim”, h. . 43 Misalnya penggunaan istihsan yang hanya diterima oleh Hanafi, Mali- ki, dan Hanbali, sedangkan Syafi’I menolaknya istislah atau maslah mursalah, sebagian ulama Syafiiyah dan Hanafiyah menolan, namun kelompok Malikiyah dan Hanabilah, dan sebagian Syafi’iyah meneri- manya; Urf, keempat ulama sepakat, namun lebih sering digunakan oleh kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, dan lebih hati-hati digunakan oleh kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah. Lihat juga Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta, Fajar Interpratama Mandiri, 2005), h. 125- 175.

59 Birokratisasi Islam di Indocina...

44 Yusuf al-Qardlawi, Fi Fiqh al-Qalliyat al-Muslimah : Hayat al-Musli- min Wasath al-Mujtama’ al-Ukra” terj. Adillah bid, “Fikih Minoritas : Fatwa Kontemporer terhadap Kehidupan Kaum Muslimin di Tengah Masyarakat Non Muslim”, h. 6-80. 45 Michael Parfit, “Human Migration”, dalam National Geographic (No.4, Oktober, 1998), h. 8. 46 Sami A. Aldeeb Abu-Sahlieh, “The Islamic Conception of Migration” Jurnal The International Migration Review, Vol. 30, No. 1 (Spring, 1996): 51. 47 M. Ali Kettani, Muslim Minorities in the World Today (England; Mansel Publishing Limited,1986), h. 196-197. 48 Greg Fealy and Virginia Hooker, Voices of Islam In Southeast Asia : A Contemporary Sourcebook (Singapore: ISEAS Publications, 2006), 27-28. 49 Greg Fealy and Virginia Hooker, Voices of Islam In Southeast Asia : A Contemporary Sourcebook, h. 66 50 Greg Fealy and Virginia Hooker, Voices of Islam In Southeast Asia : A Contemporary Sourcebook, h, 83. 51 Greg Fealy and Virginia Hooker, Voices of Islam In Southeast Asia : A Contemporary Sourcebook, h. 73-74. 52 Mahathir Muhammad, the Malay Dilemma (Singapore: Asia Pacifif Press, 1970) 53 Philip Taylor, Cham Muslim of The Mekong Delta : Place and Mobility in the Cosmopolitan Peripehry (Singapore: NUS Press, , Rie Nakamura, “The Coming of Islam to Champa” dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 73, No. 1 (2000), 55-56. 54 Dru C. Gladney, Ethnic Identity in China : The Making of a Muslim Minority Nationality (USA: Wadsworth/Thomson Leraning, 2003). 55 Cathy Newman, “Found After Years An Afghan Refugee’s Story”, dalam National Geographic, April 2002. 56 Ahmad Suaedy, 9- , juga David Brown, “From Peripheral Com- munity to Ethnic Nations : Separatism in Southeast Asia”, Pasific Affairs, 61, no. 1 (Spring, 1988), 51-57. 57 Ahmad Suaedy, 9-10 lihat juga Ilan Peleg, Democratizing the Hege- monic State : Political Transformation in the Age of Identity (Cam- bridge: Cambridge University Press, 2007)

60 Birokratisasi Islam di Indocina...

58 Hilman Latief, “Antara Citizenship dan Ummah”, dalam Wawan Gunawan Abd. Wahid Dkk (ed), Fikih Kebinekaan : Pandangan Islam Indonesia tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non- Muslim (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 162. 59 Hilman Latief, “Antara Citizenship dan Ummah”, dalam Wawan Gunawan Abd. Wahid Dkk (ed), Fikih Kebinekaan : Pandangan Islam Indonesia tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non- Muslim, 163-164. 60 Gopal Krishna, “Islam, Minority Status and Citizenship : Muslim Ex- perience in India” dalam European Jurnal of Sociology, ol. , No. (1986), 366. 61 Dikutip dari Hilman Latief, “Antara Citizenship dan Ummah”, dalam Wawan Gunawan Abd. Wahid Dkk (ed), Fikih Kebinekaan : Panda- ngan Islam Indonesia tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim. 62 David Brown, the State and Ethnic Politis in South-East Asia (Canada: Routledge, 1994), h. 264-265. 63 Will Kymlicka, “Multiculturalism and Minority Right : West and East” dalam Jurnal of Ethnopolitics and Minority Issues in Europe (issue 4, 2002), 9. 64 Yvonne Yazbeck Haddad dan Jane I. Smith, Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, (Michigan, AltaMira Press, 2002). 65 Hal ini bisa dilihat bagaimana sejarah Islam di Eropa adalah sejarah penaklukan dan ditaklukkan, seperti dalam kasus beberapa wilayah di Spanyol saat ini. Bernard Lewis, Islam and the West, (New York: Oxford University Press, 1993), h. viii, 5. 66 BBC, French MPs Vote to Ban Islamic Full Veil in Public, diakses dari https://www.bbc.com/news/10611398 pada 7 Mei 2018. 67 Imam Mohamed Magid and Humera Khan, the Roles of Muslim- Majority and Muslim-Minority Communities in a Global Context, (Brookings: Saban Center, 2011). 68 Dina Taha, Muslim Minorities in the West : Between Fiqh of Minori- ties and Integration, (Electronic Journal of Islamic and Middle Eas- trern Law, Vol.1 (2013)). 69 Ahmad Suaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai : Peran Civil Society Muslim di Thailand Selatan dan Filipina Selatan (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang

61 Birokratisasi Islam di Indocina...

dan Diklat Kementrian Agama RI dan CISEAS-The Wahid Institute, 2012). 70 Mi Shoujiang dan You Jia, . Penerjemah Min Chang, (T.tp: China Intercontinental Press, t.t), h. v-vii. 71 Gui Rong, Hacer Zekiye Gonul, dan Zhang Xiaoyan (ed), Hui Muslim In China, (London:Leuven University Press, 2016), h. 192-193. 72 Jay Wang, “Terrorism and iolence in and from injiang”, dalam Shared Destiny, (Camberra: ANU Press, 2015), DOI: 125.161.138. 107. 73 M ller, Dominik M., and Kerstin Steiner, “The Bureaucratisation of Islam in Southeast Asia: Transdisciplinary Perspectives”, dalam Jour- nal of Current Southeast Asian Affairs (Vol. 37, No. 1, 2018), 3–26. 74 Steiner, Kerstin, “Branding Islam: Islam, Law, and Bureaucracies in Southeast Asia”, dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, (Vol.37, No. 1, 2018), 27–56. 75 Walid Jumblatt Abdullah, “Bureaucratising Islam state strategies and Muslim responses in Singapore”, dalam Journal of Religious and Political Practice, (Vol.4, No. 3, 2018), 297-313, DOI: 10.1080/20566 093.2018.1525898 . 76 Konsep tipologi minoritas muslim merupakan hasil dari diskusi priba- di dengan pembimbing: Arskal Salim, Professor dalam bidang politik hukum Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Hotel Alana Sentul, pada 13 Desember 2018. 77 Abu. Haif, “Islam di Burma”, dalam Jurnal Adabiyah, ol. 6, No. , 2016. 78 Aye Chan, “The Development of a Muslim Enclave in Arakan (Rak- hine) State of Burma (Myanmar), dalam SOAS Bulletin of Burma Research, Vol. 3, No. 2, 2005. 79 Greg Fealy dan irginia Hooker … 6. 80 Suku Nasional adalah mereka yang nenek moyangnya telah tinggal di wilayah Burma sebelum perang Anglo-Burmese pada 1823. 81 Ismail Suardi Wekke, Dkk., “ Muslim Minority in Myanmar: A Case Study of Myanmar Government and Rohingya Muslim”, dalam Wali- songo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 25, No. 2, 2017., h.303-324. 82 BHRN, Persecution of Muslims in Burma (Report), Maret 2016. 83 Australia pada 1960an pernah menerapkan kebijakan White Austra- lian Policy, yang hanya membolehkan imigran kulit putih untuk

62 Birokratisasi Islam di Indocina...

memasuki dan bermukim di wilayah Australia. kebijakan ini dibuat sebenarnya erat kaitannya dengan isu keamanan nasional, dimana orang-orang non-kulit putihh dianggap akan menganggu keamanan nasional, lebih jauh lihat dalam Ahmad Khoirul Umam, “Wajah Damai Minoritas Islam di Australia” dalam Sumanto al-Qurtuby Dkk, Berguru ke Kiai Bule (Jakarta: Noura Books, 2012), h. 192. 84 Jan Stark, “Muslims in the Phillippines”, dalam Journal of Muslim Minority Affairs, Vol, 23, No. 1, 2003. DOI: 10.1080/13602000305 937 85 Beberapa organisasi itu adalah Moro Natinal Liberation Front (MNLF) dan Moro Islamic National Front (MILF). Ahmad Suaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai : Peran Civil Society Muslim di Thailand Selatan dan Filipina Selatan (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI dan CISEAS-The Wahid Institute, 2012) 86 Cesar Adib Majul, Muslims in the Philippines, (Manila: University of the Philippines Press,1973). 87 Marlon Pontino Guleng, Dkk., “Islamization in the Philippines: A Review” dalam Seminar Antarbangsa Dakwah dan Etnik, Selangor: Pusat Kajian Dakwah Orang Asli dan Pribumi UKM, 2014) 88 Jumblatt Abdullah, “Bureaucratising Islam state strategies and Muslim responses in Singapore”, dalam Journal of Religious and Political Practice, (Vol.4, No. 3, 2018), 297-313, DOI: 10.1080/20566093. 2018.1525898. 89 Central Intellegence Agency, the World Factbook, diakses dari https:// www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/sn.html pada 12 Desember 2018. 90 Greg Fealy dan irginia Hooker… . 91 Steiner, Kerstin, “Branding Islam: Islam, Law, and Bureaucracies in Southeast Asia”, dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, (Vol.37, No. 1, 2018), 27–56. 92 MUIS, Role and Functions, diakses dari https://www.muis.gov.sg/ About-MUIS/Roles-Functions pada 21 Desember 2018.

63 BAB II JALAN PANJANG NEGOSIASI MUSLIM INDOCINA

Muslim di Indocina bukanlah kelompok muslim yang homo- gen, memiliki dinamika tunggal, dan bisa dipahami dalam satu sudut pandang. Mereka memiliki narasi yang lebih rumit. Masyara- kat muslim di kawasan ini terdiri atas muslim yang berasal dari beragam etnik: Champa, Melayu, India, Arab, Cina, Khmer, dan Viet; mengalami ragam dinamika Islam: diskriminasi, alienasi, lokalisasi, negosiasi, hingga interaksi kebudayaan, dalam kaitannya antara Islam dan negara; serta bisa dilihat dalam berbagai sudut pandang, dari tradisi yang meliputi ritual-ritual keagamaan, hingga kaitannya dengan kemodernan, dimana kelompok muslim di kedua negara, dalam kondisinya sebagai kelompok minoritas yang cende- rung menjadi kelompok pinggiran melakukan berbagai penyesuain dengan tren baru, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok muslim di wilayah-wilayah pusat. Bagian ini menarasikan hasil eksplorasi tentang heterogenitas muslim di Indocina, Vietnam dan Kamboja, dengan menjelaskan sejarah Islamisasi awal, hingga dinamika muslim pada masa kolonialisme. Dan serta hubungan muslim dan negara, yang digambarkan melalui narasi tentang loka- lisasi dan negosiasi identitas muslim, serta adanya interaksi antara muslim dengan muslim di wilayah lain yang mempengaruhi mus- lim di kedua negara menjadi muslim yang kosmopolit.

A. Islamisasi di Indocina: Menimbang Konstribusi Champa Mayoritas muslim di Indocina, khususnya di kedua negara, Vietnam dan Kamboja, adalah orang Cham. Kelompok etnik ketu- runan dari kerajaan Champa (descendant of Champa)1. Sebuah kerajan Hindu yang pernah berkuasa dan menjadi kerajaan penting di wilayah Asia Tenggara daratan, semasa dengan kerajaan Funan yang menjadi cikal bakal kerajaan Khmer yang didirikan oleh orang Khmer di wilayah Kamboja saat ini2. Memasuki abad ketu- juh, secara perlahan, kerajaan Champa memperluas kekuasaanya 64 Birokratisasi Islam di Indocina... ke selatan, menguasai empat wilayah besar lainnya di Vietnam tengah, yang meliputi. Indrapura; Amaravati, Vijaya, Kauthara, dan Panduranga di bagian paling selatan, salah satu kota di Provinsi Binh Thuan saat ini. Saat ini, wilayah-wilayah tersebut meliputi Da Nang, Quang Nam, Binh Dinh, Khan Hoa, Ninh Thuan, dan Binh Thuan. Dari wilayah-wilayah tersebut, yang mudah terdeteksi seba- gai bekas kerajaan Champa adalah Provinsi Quang Nam, sebab terdapat situs arkeologi Champa bernama Tra-Kieu, Mi-Son dan Dong-duong yang telah tercatat sebagai peninggalan dunia oleh 3 UNESCO . Sehingga, untuk membahas muslim di wilayah ini, saya memulainya dengan membahas kerajaan Champa, sebagai titik berangkat untuk memulai pembahasan tentang dinamika Muslim di Indocina. Kerajaan Champa: Sebuah Kerangka Umum Selama hampir dua abad, abad ke-17 sampai akhir ke-19, informasi tentang kerajaan Champa tenggelam seiring dengan run- tuhnya kerajaan ini di Panduranga, ibu kota terakhir kerajaan, pada abad ke-17. Semua tentang Champa, tradisi hingga kebudayaan- nya, berusaha dihilangkan sepanjang masa itu. Kenyataan tersebut merupakan keberlanjutan dan akibat dari kebijakan Nam Tien (ber- gerak ke Selatan) yang telah dijalankan oleh dinasti-dinasti orang Vietnam, setelah lepas dari dominasi China sejak abad ke-104. Informasinya mulai digali dan dibahas kembali pada pertengahan abad ke-19, ketika kolonialisme Prancis berlangsung di Indocina, meliputi Vietnam, Kamboja, dan Laos saat ini. Para sarjana dari Eropa, khususnya Prancis yang berafiliasi dengan lembaga Ecole Francais d’Extreme-Orient datang ke Indocina untuk melakukan pengkajian mengenai kerajaan Champa5. Pengkajian awal dilaku- kan secara empirik oleh Etienne F. Aymonier yang meneliti bahasa Cham melalui komunitas-komunitas dan manuskrip berbahasa Cham yang masih tersisa. Dari pengkajian tersebut, Aymonier me- lahirkan karya penting berjudul Les Tchames et Leurs Religions (orang-orang Champa dan agama-agama mereka) pada 1891.6 Karya penting lain dan menjadi karya otoritatif yang mengkaji secara detail tentang Champa adalah tulisan Georges Maspero, ber-

65 Birokratisasi Islam di Indocina... judul Le Royaume de Champa (Kerajaan Champa) yang pertama kali terbit pada 19107. Dua tulisan tersebut ditulis dengan sumber yang berbeda, Aymonier menggunakan sumber empirik melalui komunitas Cham. Sementara Maspero mendapatkan banyak infor- masi dari sumber-sumber Cina. Dalam sejarahnya, yang dikutip dari sumber-sumber Cina, pada awalnya Champa dikenal dengan nama Lin-yi, berdiri pada 192 Masehi. Pada awalnya, Lin-yi dikenal sebagai nama suatu enti- tas politik yang berada di bawah pemerintahan dinasti Han (-220- 220) di Rinan. Teritorinya secara geografik terpisah dari pusat ke- kuasaan Dinasti Han di bagian selatan. Teritori inilah yang kemu- dian menjadi pusat kekuasaan baru kerajaan Lin-Yi8. Tidak ada sumber pasti mengenai kapan dan bagaimana proses Lin-yi beru- bah nama menjadi Champa. Namun, para sejarawan berhenti meng- gunakan nama Lin-yi pada 758, dan mulai pada 875 menggunakan nama Champapura, berarti ‘kota Champa’. Pada periode paruh kedua abad kedelapan, kerajaan Lin-Yi-Champa diserang oleh pasukan dari Jawa, hampir bersamaan dengan periode penyerangan kerajaan Angkor di Kamboja. Setelah momentum tersebut, di ba- wah pemerintahan Indravarman II (854-893), barulah nama Cham- pa dikenal secara lebih akrab sebagai kerajaan, dengan ibu kota Indrapura di bagian utara, saat ini Provinsi Quang Nam9. Champa bukan hanya sebuah nama satu kerajaan, namun sebuah gabungan beberapa entitas politik orang-orang yang berba- hasa Austronesia, rumpun bahasa-bahasa kepulauan, di wilayah Vietnam bagian Tengah. Memiliki gramatika, fologi, dan leksilogi yang sama dengan bahasa-bahasa yang dituturkan orang kepuluan. Misalnya dengan orang Kalimantan dan Sumatra, Indonesia.10 Hal inilah yang mendasari, beberapa sarjana menyatakan bahwa orang Aceh memiliki ketersambungan leluhur dengan orang Champa. Para sarjana belum menemukan titik temu yang jelas mengenai sis- tem yang digunakan dalam kerajaan Champa. Diantara mereka, banyak yang menduga bahwa Champa bukan hanya sekedar nama kerajaan yang menguasai satu wilayah tertentu, namun lebih besar dari itu. Champa merupakan satu jaringan besar kerajaan, di da- lamnya terdapat beberapa kerajaan lagi yang berkuasa di wilayah-

66 Birokratisasi Islam di Indocina... wilayah yang berbeda, dalam waktu yang bersamaan. Keith W. Taylor dalam the Cambridge History of Southeast Asia menulis- kan11:

… but now it is clear that there were many kings ruling simulta- neously in different places. Who were these kings? They were never called Cham; rather, they were called kings of Champa. It is in fact diffi- cult to get a clear sense of who the Chams were. Judging from surviving Cham populations, we are encouraged to speak of there being several kinds of Cham peoples. And it is increasingly clear that the participation of peoples from the mountains, the Rhade and the Jarai, as soldiers and even kings, is more than a possibility : …

… Tetapi sekarang jelas bahwa ada banyak raja yang memerintah secara bersamaan di tempat yang berbe- da. Siapakah raja-raja ini? Mereka tidak pernah dise- but orang Cham, melainkan mereka disebut raja Champa. Sebenarnya sulit untuk mengetahui siapa orang Cham itu. menilai dari orang Cham yang masih hidup, kami didorong untuk berbicara tentang adanya beberapa jenis Cham. Dan itu semakin jelas bahwa partisipasi orang-orang dataran tinggi (pegunungan), Rhade dan Jarai, menjadi pasukan bahkan raja, me- miliki kemungkinan besar.

Orang Champa, yang terdiri dari orang Cham di dataran rendah dan orang Rhade dan Jarai di dataran tinggi, secara etno- linguistik merupakan orang Melayu. Format struktur kekeluargaan yang digunakan merupakan struktur kekeluargaan orang Malayu- Polinesian.12 Secara bahasa dan kesukuan, Champa termasuk Mela- yu, G.E Morrison menulisnya dengan Indonesian (Indonesia). Dalam banyak literatur, Champa digolongkan dalam Melayu-Poli- nesian, yang serumpun dengan orang Indonesia, Malaysia, Brunei,

67 Birokratisasi Islam di Indocina... dan Filipina. Sedangkan secara budaya dan tradisi, sangat dipenga- ruhi oleh Hindu-India. Hal ini dapat dilihat dalam bangunan-ba- ngunan kuil, patung-patung, hingga bukti-bukti tulisan yang ter- tinggal.13 Memiliki banyak kesamaan dengan orang-orang di dae- rah kepulauan, namun kontras dengan orang-orang di daratan (mainland) Asia Tenggara. Berdasakan hasil penggalian (escavations) yang dilakukan oleh para arkeolog di wilayah Vietnam Tengah: Hue, Quang Ngai, Binh Dinh, Tuy Hoa, dan Nha Trang, serta di bagian Utara, Quang Nam, ditemukan bahwa kerajaan Champa telah memiliki perada- ban tua. Diyakini bahwa peradaban Champa bersumber dari pera- daban Sa Huynh, sebelum Lin-Yi. Dalam kaitannya dengan agama, orang Champa, lebih awal dipengaruhi oleh tradisi Cina, seperti juga dalam kebudayaan hingga politik. Namun pada sekitar abad ketujuh, pengaruh India (Indianized) masuk dan semakin signifi- kan, termasuk dalam wilayah keagamaan. Dibuktikan dengan me- nguatnya pengaruh Budha Mahayana pada periode tersebut, diikuti oleh pengaruh Hindu. Periode Indianisasi, yang disebut oleh Mo- moki Shiro sebagai ‘self-ndianization’ berlangsung beriringan dengan peralihan dari periode Lin-Yi menjadi Champa.14 Pengaruh Hindu berlangsung secara cepat dan kuat dalam kerajaan Champa. Terlepas dari kenyataan bahwa mayoritas ketu- runan Cham saat ini menganut agama Islam, namun kerajaan ini justru sangat identik sebagai kerajaan Hindu. Dimulai sejak sekitar abad ke-4 dan ke-5, orang Cham mulai mendirikan pura atau kuil Hindu untuk ibadah mereka, ini dibuktikan dengan penemuan be- berapa situs sejarah kerajaan Champa, yang dilakukan melalui eskavasi (penggalian) di wilayah Vietnam tengah. Peneliti berargu- men, kuil-kuil Hindu awal berbentuk sederhana: dibangun dari kayu dan berbentuk terbuka. Barulah pada sekitar pertengahan abad ke-8, kuil-kuil dibangun dengan model yang lebih baik dan kuat, terbuat dari susunan batu-bata dengan ragam ornamen. Pembangu- nan kuil-kuil tersebut diduga berlangsung dari abad ke-10 sampai ke-11. Situs-situs yang dimaksud meliputi penemuan situs My Son, Tra Kieu, dan My Kanh, yang dilakukan di beberapa tempat di Provinsi Quang Nam, Vietnam, dulunya bernama Simphapura, ibu

68 Birokratisasi Islam di Indocina... kota Amaravati. Kuil-kuil tersebut dibangun atas inisiasi pihak kerajaan, sehingga muncul perbedaan khas antara kuil-kuil awal dengan kuil-kuil belakangan karena pengaruh dari kerajaan.15 Ke- nyataan sejarah yang digambarkan di atas, memperlihatkan bagai- mana orang Cham telah memiliki peradaban dan kesadaran bera- gama sebelum Islam datang dan mempengaruhi tradisi hidup me- reka. Di masa lalu, wilayah Vietnam sekarang yang menghampar dari Sapa di utara yang berbatasan dengan Cina hingga ke Ca Mau di selatan, terbagi ke dalam tiga klasifikasi besar; Utara, Tengah dan Selatan. Wilayah tersebut terbagi-bagi disebabkan oleh perbe- daan iklim, topografi, tradisi, hingga dialek bahasa. Setidaknya, sampai abad kelima belas, wilayah-wilayah tersebut berada di bawah pemerintahan yang berbeda-beda. Sebelum masa itu, orang Vietnam hanya menghuni wilayah utara, mereka dalam beberapa masa berada dalam pemerintahan Cina, lalu kemudian berdiri sen- diri menjadi sebuah dinasti, yang dikendalikan oleh orang Vietnam 16 sendiri , diantaranya: Dinasti Trung Bersaudara (40-43 M); Dinasti Ly (1009-1225); Dinasti Trang (1225-1400); Dinasti Le (1427- 1789). Di wilayah tengah, dikuasai oleh kerajaan Champa, dise-but juga Lin-Yi, menguasai wilayah Vietnam bagian tengah. Kerajaan Champa, pertama-tama menguasi wilayah Hue saat ini, dahulu ber- nama Indrapura, lalu memperluas kekuasaannya ke selatan, sekara- ng dikenal dengan nama kota Phan Rang, dahulu bernama Pandu- ranga. Tercatat, kerajaan Champa memiliki lima wilayah kekuasa- an di wilayah Vietnam bagian tengah; Indrapura, Amaravati, Vija- ya, Kauthara, dan Panduranga, di bagian paling selatan. Dan di wilayah selatan, kebanyakan dikuasasi oleh orang Khmer. Ketiga wilayah tersebut, secara politik selalu berada dalam ketegangan. Orang Vietnam di utara bersitegang dengan tetangga- nya di selatan, Champa. ketegangan sudah berlangsung lama, bah- kan ketika kerajaan Champa, masih bernama Lin-Yi, sebelum abad ke delapan. Ketegangan semakin memuncak, ketika Vietnam lepas dari kekuasaan Cina, berdiri sebagai kekuataan independen, berna- ma Dai Viet17, pada 983 masehi. Sejak saat itu, tercatat beberapa kali penyerangan yang dilakukan oleh Dai Viet, yaitu dimulai pada

69 Birokratisasi Islam di Indocina... tahun 1069, 1307, 1471, 1611, 1653, dan 1693. Pada tahun terak- hir, Dai Viet yang dipimpin oleh kekuasaan Nguyen, akhirnya ber- hasil mengambil alih wilayah kerajaan Champa.18 di bawah kendali kekuasaan baru, masyarakat Cham menderita. Mereka mengalami serangkaian tindakan diskriminatif dan peminggiran hak. Mereka dilarang untuk menggunakan tradisi dan adat Cham, seperti bahasa, pakaian, hingga agama dan kepercayaan. Mereka yang melanggar, mendapatkan tindakan penyiksaan hingga pembunuhan.19 Kondisi ini memicu reaksi, perlawan terhadap pemerintahan Vietnam yang terjadi pada 1728, ketika raja Po Saktiraydaputih meninggal.20 Walau demikian, terdapat perbedaan pendapat diantara orang-orang Cham dalam mengidentifikasi kechampaan mereka, dikaitkan dengan Islam dan kemelayuan, diantaranya: orang Cham yang mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Melayu-Champa, mereka menganggap champa adalah bagian dari melayu. Mereka memiliki satu asal yang sama dengan orang melayu di Malaysia dan Indonesia. Cara pandang ini, secara umum dimiliki oleh orang- orang Cham di bagian selatan; orang Cham yang mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Champa, mereka tidak memiliki keter- kaitan etnisitas dengan melayu.21 Cara pandang ini, secara umum dimiliki oleh orang Champa di Vietnam bagian tengah. Perbedaan cara pandang dalam mengidentifikasi etnisitas mereka, dipengaruhi oleh proses Islamisasi yang berbeda di kedua wilayah orang-orang Champa. Orang Champa di selatan mengalami Islamisasi secara signifikan dari tanah melayu, melalui perjumpaan-perjumpaan me- reka dengan muslim di Nusantara. Fenomena ini bisa dilihat dari banyaknya kesamaan ajaran dan tradisi Islam antara muslim di bagian selatan dengan muslim di wilayah semenanjung Malaysia, pulau-pulau Indonesia, dan wilayah Filipina selatan saat ini: Mere- ka menganut paham ahlu sunnah wal jamaah (Sunni), mengikuti mazhab Syafi’i, dan memiliki pemahaman teologi Asyariyah. Secara tradisi, mereka merayakan Maulid Nabi, memperingati sik- lus kehidupan: kelahiran dan kematian, dan mengadakan ziarah kubur. Sementara muslim di Vietnam bagian tengah memiliki pemahaman dan tradisi Islam berbeda dengan selatan dan muslim secara umum di Asia Tenggara. Mereka hanya memiliki kesamaan

70 Birokratisasi Islam di Indocina... pemahaman dan tradisi Islam yang cenderung sama dengan Cham Jahid di Kamboja. Dalam bagian ini akan dipaparkan sejarah awal kerajaan Champa, bagaimana proses Islamisasi yang berlangsung dalam masyarakat Cham, dan apa implikasinya terhadap muslim saat ini di Vietnam dan Kamboja.

Islamisasi Champa Dalam Les Tchames et Leurs Religion, Etienne Aymonier menyatakan bahwa pengaruh Islam, Arab atau Jawa tidak terlacak dalam inskripsi Champa yang ditemukan belakangan. Pengaruh ke- tiganya, justru terlihat dalam tradisi hidup dan beberapa manus- krip22. Sebagaimana yang telah diurai sebelumnya, dalam pening- galan situs sejarah dan inskripsi yang ditemukan, kerajaan Champa sangat dipengaruhi oleh tradisi Hindu-India (Indianized). Bangu- nan-bangunan candi yang telah dikukuhkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO merupakan bangunan candi Hindu yang terdapat di Provinsi Quang Nam, Vietnam Tengah. Dalam perkembangannya, secara signifikan masyarakat Cham yang masih ada saat ini mayo- ritas menganut agama Islam. Keislaman masyarakat Cham bisa ditelusuri hingga ke awal-awal penyebaran Islam di Nusantara. Fenomena ini menjadi bukti bahwa kerajaan Champa adalah bagi- an penting yang tidak bisa diabaikan dalam menceritakan sejarah Islam di Nusantara. Masyarakat di Kerajaan Champa, merupakan salah satu masyarakat awal yang menerima Islam di Asia Tenggara daratan, saat ini dikenal dengan wilayah Indocina. Menurut Caba- ton, yang dikutip dari Manguin, ada dua hipotesis yang berkem- bang tentang masuknya Islam ke wilayah Indocina, dan secara khu- sus ke Champa. pertama, dibawa langsung oleh orang-orang Arab, Persia atau pedagang-pedagang India, proses islamisasi ini dimulai pada abad kesepuluh sampai abad ke enam belas. Kedua, merupa- kan akibat dari fenomena migrasi orang-orang melayu ke wilayah Champa23. Sebagai kerajaan maritim besar di masanya, wilayah Champa menjadi tempat yang terbuka, mengikuti karakter masya- rakat pesisir. Banyak pendatang yang datang silih berganti, bahkan menetap di wilayah pesisir Champa, begitupun sebaliknya, masya-

71 Birokratisasi Islam di Indocina... rakat Champa sejak lama telah terlibat dalam interaksi perdaga- ngan dengan wilayah-wilayah maritime, khususnya wilayah Asia Tenggara kepulauan, seperti pulau-pulau di Indonesia dan seme- nanjung Malaysia.24 Di masa kejayaannya, Champa menguasai wilayah Vietnam tengah, wilayah yang menghampar dan berhadapan dengan laut Cina selatan. Adam Bray, jurnalis National Geoghraphic menulis- kan bahwa orang Cham merupakan keturunan dari penguasa di laut Cina selatan. Salah satu lautan yang menjadi rute pelayaran tersi- buk di dunia, menghubungkan selat Melaka dan Cina. Bray menu- lis, selama berabad-abad, para pelaut yang lalu lalang di sekitar laut Cina Selatan, lebih mengenal wilayah ini sebagai laut Champa (Champa sea) dibandingkan laut Cina Selatan.25 Hal ini menunjuk- kan bagaimana pengaruh besar kerajaan Champa di wilayah mari- tim Asia Tenggara. Melalui laut, Kerajaan Champa meraih kejaya- annya, memasuki masa emasnya (golden era); membangun jari- ngan perdagangan seluas-luasnya; ke Cina dan Jepang di timur dan ke selatan, Indonesia dan Malaysia. lewat jalur itu, Champa meng- ekspor hasil kekayaan alam, berupa emas, permata, rempah-rem- pah hingga kayu gaharu, juga para pekerja dan menyebar di banyak wilayah seperti India, Timur Tengah hingga Afrika Utara.26 Pendapat umum menyatakan bahwa masuknya Islam ke Champa, pertama-tama dibawa oleh para pedagang dan pendakwah dari Arab yang akan bertolak ke Cina, sebelum sampai ke Canton, Cina, mereka singgah di salah satu pelabuhan bernama Sanf, di Panduranga, masuk dalam wilayah kekuasan Champa, dan merupa- kan pelabuhan sibuk di masa itu. Para pedagang turun dari kapal dan berbaur dengan masyarakat lokal-pesisir.27 Saat inilah terjadi perjumpaan pertama masyarakat Champa dengan tradisi Islam. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa momentum perjum- paan Islam dengan masyarakat Cham, tidak hanya berlagsung satu arah, seperti yang disebutkan sebelumnya, dilakukan oleh para pedagang Arab. Melainkan terdapat perjumpaan lain, dua arah, misalnya dilakukan oleh orang Cham yang berlayar ke wilayah- willayah pesisir melayu yang telah menerima Islam terlebih dahu- lu, misalnya di Banten dan pesisir-pesisir selat melaka. Para peda-

72 Birokratisasi Islam di Indocina... gang Cham berbaur dengan masyarakat lokal di tempat-tempat tersebut dan perlahan mendengar kata Islam dan mengetahuinya. Sebaliknya, sebagai daerah maju dan dikenal dengan kekayaan alam, khususnya sebagai penghasil kayu kualitas terbaik, seperti gaharu, wilayah Champa tidak sepi pendatang, termasuk muslim- muslim melayu yang datang untuk kepentingan dagang dan lain- nya. Di masa-masa awal, antara abad ketujuh hingga abad kesepu- luh, tidak ada rekaman catatan yang menunjukkan adanya aktivitas muslim secara detail di wilayah kekuasaan Champa, sehingga jalur perdagangan menjadi satu asumsi kuat untuk dijadikan pijakan dalam melihat awal perjumpaan Islam dan masyarakat Cham. Secara lebih spesifik tentang kedatangan Islam di Champa. Terdapat beberapa teori dan spekulasi yang muncul untuk mengi- dentifikasi awal mula kebedaradaan Islam dalam kerajaan Hindu ini. Diantaranya; Islam masuk sebelum abad kesepuluh, pertenga- han abad kesepuluh dan pada awal abad ketiga belas. Pertama, sebelum abad kesepuluh, misalnya oleh Zakaria Ali, dalam Wan Zailan Kamaruddin Wan Ali, merujuk ke al-Dimashqi, sejak zaman khalifah Utsman bin Affan, pihak khalifah telah mengutus secara resmi juru dakwah untuk datang ke Champa, agenda itu terus ber- langsung hingga kekhalifahan selanjutnya, Bani Umayyah.28 Tapi, argumen ini tidak memiliki bukti pendukung yang kuat; argumen lainnya didasarkan pada peninggalan sejarah berupa catatan yang berisi nama-nama muslim Cina. Seperti Pu Ho San (Abu al Hasan), Pu Lo E (Abu Ah), Hu Xuan (Husain), ketika nama muslim ini terlibat interaksi dengan para petinggi kerajaan Champa. Kedua, pada pertengahan abad kesepuluh, umumnya mendasarkan argu- mentasinya pada penemuan bukti-bukti penting yang menguatkan keberadaan komunitas muslim dalam kerajaan Champa, dapat dijumpai melalui peninggalan-peninggalan arkeologi, berupa temu- an maqam milik seorang yang bernama Abu Kamil Ahmad, ter- tanggal 29 safar 431 hijriah atau 1040 masehi. Pada Maqam tertulis Allahumma salli ‘ala Muhammad wa Al Muhammad wa sallam ‘alaihim, sebuah kalimat shalawat yang mirip dengan shalawat tradisi Syiah, Islam dari Persia. Maqam ini ditemukan di daerah Phan Rang, dahulu dikenal sebagai Panduranga, merupakan salah

73 Birokratisasi Islam di Indocina... satu kota pesisir yang memiliki pelabuhan penting di masa itu. Keberadaan masyarakat muslim dengan tradisi Islam yang mirip dengan muslim di Persia diduga berawal dari sikap pemerintahan Bani Umayyah yang pada saat itu dipimpin oleh al-Hajjaj. Pada pemerintahannya, ia bersikap keras dan kejam terhadap penganut tradisi Islam Syiah, sehingga muslim syiah berusaha melarikan diri. Salah satu tujuan pelariannya adalah ke wilayah Asia Tenggara saat ini; kepulauan Sulu di selatan Filipina, juga ada yang singgah dan menetap di wilayah Champa.29 Ketiga, pada abad ketiga belas, umumnya mendasarkan pendapatnya pada keberadaan Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubro, seorang juru dakwah dari Persia yang melakukan perjalanan perjalanan dakwah ke wilayah-wilayah Asia Tenggara. Sebagai kesimpulan, merujuk ke Artikel Rie Nakamura me- nyimpulkan bahwa kedatangan muslim dalam masyarakat Champa terjadi dalam dua periode. Pertama, pada awal abad kesembilan, muslim yang pertama-tama datang adalah mereka yang berasal dari Persia, Arab, India, Muslim Cina, mereka memegang peranan pen- ting dalam Islamisasi kerajaan Champa sampai abad kesebelas. Pada masa ini, masyarakat Cham yang masuk Islam adalah mereka yang punya koneksi untuk bergaul dengan masyarakat dari luar (foreigner). Kedua, Pada abad keenam belas dan ketujuh belas, ketika perdagangan melalui jalur laut sedang berada di puncak kejayaanya. Pada periode ini Islamisasi Champa sangat dipenga- ruhi oleh Muslim Melayu, dan menjadi masa-masa yang paling signifkan masyarakat Champa memeluk Islam.30

B. Muslim Indocina dan Kolonialisme Dalam bagian ini, saya mengeksplorasi bagaimana kehidu- pan muslim di Indocina ketika berada di bawah kekuasaan kolo- nialisme Prancis dan Amerika. Hal ini didasari oleh beberapa fakta yang menunjukkan dinamika Islam mulai berkembang secara dina- mis pada periode tersebut. Pertama, beberapa muslim yang telah berumur enam puluh sampai tujuh puluh yang saya temui, menga- takan kepada saya bahwa secara signifikan para muslim yang sebelumnya meninggalkan Vietnam pada era kekuasaan Dai Viet,

74 Birokratisasi Islam di Indocina... kembali ke Vietnam di masa kolonialisme. Kedua, jika menelusuri sejarah kedatangan muslim dari luar, secara signifikan, muslim dari Asia Selatan dan Asia Tenggara berdatangan ke kota Ho Chi Minh dan Hanoi pada periode kolonialisme Prancis dan Amerika. Mere- ka datang dengan berbagai motif dan tujuan: menjadi tentara, ber- dagang, dan menjadi pekerja di pemerintahan kolonial. Dari dua fenomena tersebut, saya memosisikan periode kolonialisme seba- gai satu masa penting yang memberikan pengaruh terhadap dina- mika Islam di Indocina sampai saat ini. Merujuk ke sumber-sumber sejarah tentang kerajaan Cham, yang sebagian diuarai dalam sub-bab sebelumnya, memperlihatkan bagaimana orang Cham melakukan migrasi besar-besaran setelah ibu kota kerajaan Champa yang terakhir, Panduranga, jatuh dan dikuasai oleh orang kekuasaan Dai Viet. Orang Cham yang sebagi- an besar telah memeluk Islam, melakukan migrasi ke negara- negara tetangga untuk mencari perlindungan, ini terjadi sekitar abad ke-15 sampai ke-17. Mereka hijrah ke wilayah-wilayah kera- jaan di Nusantara: Jawa, Banten, Gowa, dan Aceh; ke wilayah Cina bagian selatan: Hainan dan Ghuanzhou; serta dalam jumlah besar menuju ke bagian barat, wilayah kerajaan Khmer, saat ini Kambo- ja. Dalam perjalanan mereka meninggalkan Vietnam, orang Cham tidak mengalami kesulitan untuk diterima di tempat tujuan. Hubu- ngan mereka telah terbangun beberapa abad sebelumnya, ketika kerajaan Champa menjadi satu kerajaan penting yang menguasai jalur perdagangan laut sepanjang laut Cina Selatan. Kerajaan Champa memiliki beberapa pelabuhan penting di sepanjang jalur itu. Menurut catatan sejarah, kapal-kapal dagang yang berlayar melalui Melaka ke Asia Timur dan sebaliknya, harus melewati dan singgah di pelabuhan milik kerajaan Champa. Sehingga sangat wajar, hubungan Champa dengan kerajaan-kerajaan lain sangat erat, khususnya dalam hubungan dagang.31 Orang Champa di bebe- rapa wilayah di Nusantara mendapatkan apresiasi dan penghorma- tan tinggi dari penguasa. Misalnya, dalam wilayah kerajaan Gowa, orang Champa disebut sebagai para saudagar dari Melayu, bersama dengan orang dari Patani, Trengganu dan lainnya, ditempatkan da- lam satu kawasan khusus yang mendapatkan berbagai keistimewa-

75 Birokratisasi Islam di Indocina... an dari raja Gowa Tunijallo.32 Sepanjang abad ke-15 sampai ke-18, orang Champa banyak tersebar di berbagai wilayah. Mereka yang tetap bertahan di wilayah Indocina, berada di wilayah pinggiran (periphery) kota kekuasaan. Kenyataan ini sebagai akibat dari dinamika yang dialami antara kekuasaan Dai Viet dengan orang Champa. Keberadaan orang Cham yang tinggal dan hidup berpin- dah-pindah (nomaden) sampai sekarang masih bisa ditemui di sepanjang pinggiran sungai Mekong yang menghubungkan antara kota Phnom Penh, Kamboja dan desa Chau Doc, Provinsi An Giang, Vietnam.33 Suasana ini perlahan berubah ketika Prancis mulai mengua- sai dan membangun pemerintahan kolonial di Indocina. Secara per- lahan muslim yang sebelumnya meninggalkan Vietnam, berdata- ngan kembali ke pusat-pusat kota pemerintahan: Saigon, Vietnam dan Phnom Penh, Kamboja. Prancis memulai kolonialisasinya dari selatan, dengan menguasai wilayah Saigon, yang diberi nama Coc- hincina pada 1860an dan secara perlahan mulai membentuk koloni yang lebih luas, meliputi wilayah utara Vietnam: Tonkim dan Annam, serta wilayah Kamboja dan Laos pada periode selanjutnya. Aq, merupakan warga negara Vietnam. Ia adalah muslim Cham yang lahir di kota Saigon pada 1955, ketika negara itu baru saja lepas dari kolonialisme Prancis. Dia adalah pendatang, kam- pung asalnya di Chau Doc, Provinsi An Giang, provinsi ini masuk dalam kawasan selatan (South-Central Coast). Sebuah daerah per- batasan antara Vietnam dan Kamboja di bagian selatan. Keberada- an mereka di tempat ini, bukan kemauan komunitas muslim, mela- inkan bagian dari kebijakan Vietnam yang memukimkan (resettle) mereka di daerah perbatasan dua negara yang sedang berperang, menjadikan mereka seolah-olah sebagai pagar (fence) untuk melin- dungi orang Vietnam dari invasi Kamboja yang secara periodik berlangsung di masa itu.34 Aq lahir dan besar di kota Saigon, hanya sesekali ia pulang ke Chau Doc. Ia menyampaikan ke saya bahwa ayahnya merupakan orang asli Chau Doc. Ayah dan teman-teman- nya banyak yang pindah ke Saigon ketika Prancis berkuasa di kota ini. Tujuan mereka adalah untuk mendapatkan pekerjaan, misalnya dengan bekerja di pemerintah Prancis.35 Saat itu, Chau Doc tidak

76 Birokratisasi Islam di Indocina... memberikan mereka banyak akses untuk pekerjaan, secara umum, masyarakat muslim di Chau Doc pada periode itu menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan perdagangan, misalnya dengan menjual barang dagangan, berupa kain yang dibuat sendiri oleh mereka, ke kota-kota di sepanjang aliran sungai Mekong di Viet- nam dan Kamboja. Membuat kain memang adalah keahlian yang secara turun temurun diwarisi oleh orang Cham. Produk ini meru- pakan salah satu produk unggulan orang Cham ketika masih berpe- ran penting dalam jalur perdagangan laut di wilayah maritim Nusantara. Salah satu muslim di Kamboja, Mi, memiliki pengalaman yang sama dengan Aq. Mi, lahir di Chau Doc, umurnya hampir sama dengan Aq, sekitar 60 tahun ketika saya bertemu dengannya pada awal 2017 di kota Phnom Penh. Ia menyampaikan ke saya bahwa ayahnya adalah orang Cham dari Chau Doc, ia datang ke Kamboja ketika berumur sekitar sembilan tahun36, berarti itu terja- di sekitar tahun 1966. Menurutnya, kebanyakan muslim Cham di kota Phnom penh, berasal dari desa yang sama di daerah selatan Vietnam. Mereka secara umum datang ke Phnom Penh dengan tujuan yang sama. Mi, tidak mengalami kesulitan yang berarti keti- ka pindah dari Chau Doc ke Phnom Penh. Hal ini dikarenakan, keluarga Mi telah banyak yang lebih dahulu pindah dan menetap di Phnom Penh. Sehingga, termasuk dalam kendala perbedaan bahasa antara Vietnam dan Khmer yang berbeda, Mi telah terbiasa mende- ngar dan akrab dengan kedua bahasa itu.37 momentum perpindahan keluarga Mi terjadi pada periode akhir dari kolonialisme Prancis pada 1953 di Kamboja. Fenomena ini juga ditemukan oleh Philip Taylor, Antropo- log dari Australia. Ia melakukan penelitian antropologi dalam ko- munitas muslim Cham di Mekong Delta pada awal tahun 2000an. Dalam satu hasil wawancara dengan seorang muslim yang telah berumur 70an, ia menuliskan:38

“During the French time, the Cham moved from Chau Doc back to Saigon. This is began as early as the 1930s. However, the biggest migration was duri-

77 Birokratisasi Islam di Indocina...

ng the war in the 1960s. Thus we have come a full of circle. From Central Vietnam to Cambodia, over to Chau Doc and back northwards to Saigon:

Selama masa pemerintahan Prancis, orang Cham ber- pindah dari Chau Doc kembali ke Saigon. Ini dimulai pada awal 1930an. Walau demikian, perpindahan dalam jumlah besar terjadi saat masa-masa perang pada 1960an. Dengan demikian kita telah melalui perjalanan melingkar. Dari Vietnam tengah ke Kam- boja, ke Chau Doc, dan kembali lagi ke utara di Saigon. ”

Kutipan di atas memperlihatkan momentum kembalinya orang Cham dari wilayah pinggiran masuk dalam wilayah pusat pemerintahan, kota Saigon. Sebagai komunitas muslim dengan jumlah yang sangat sedikit, muslim Cham yang datang ke Saigon, membentuk komunitas sendiri. Kantong-kantong pemukiman mus- lim yang masih dapat dijumpai sekarang, misalnya di distrik dela- pan dan distrik lima, merupakan daerah pemukiman muslim awal di kota ini. Salah satu tokoh muslim distrik lima, menyampaikan ke saya bahwa pada awalnya, kawasan ini merupakan kawasan mus- lim yang dihuni oleh para muslim dari India. salah satu pening- galan mereka adalah mesjid Cholon, merupakan salah satu mesjid tua di Vietnam yang masih memiliki arsitektur bergaya Asia Selatan.39 Di masa kolonialisme, merupakan momentum orang-orang dari India Selatan berdatangan ke wilayah-wilayah Protektorat Prancis di Indocina, Phnom Penh, Kamboja, Vientiane, Laos, dan secara signifikan ke Saigon dan Hanoi. Di Hanoi misalnya, pengu- rus masjid al-Noor, Doan Hong Cuong, berumur 67 tahun, merupa- kan seorang keturunan Pakistan-Vietnam. Selama 27 tahun terak- hir, ia menggantikan ayahnya, keturunan Pakistan, untuk mengurus masjid al-Noor tersebut. Keberadaan orang dari Asia Selatan di wilayah Protektorat Prancis telah terlacak sejak awal abad ke-19, mereka melakukan aktifitas bisnis kain dan pertukaran mata uang.

78 Birokratisasi Islam di Indocina...

Pada 1830, jumlah mereka diperkirakan lebih dari 1.000 orang tersebar di wilayah-wilayah Indocina, secara signifikan juga berada di Hanoi, Vietnam Utara, yng merupakan salah satu kota penting di masa itu. Pada 1890, komunitas muslim di Hanoi mendirikan mas- jid al-Noor,40 yang sampai saat ini menjadi satu-satunya masjid di ibukota negara Republik Sosialis Vietnam. Selain kedua kelompok muslim yang dibahas sebelumnya: Cham dan Asia Selatan, terdapat juga komunitas muslim lain di Ho Chi Minh yang datang ke wilayah Saigon, ketika masih berada di bawah kekuasaan Protektorat Prancis, yaitu komunitas muslim Ba- wean. Bawean merupakan nama salah satu pulau di laut Jawa, ter- letak di utara pulau Madura, Jawa Timur, Indonesia. Seperti pada umumnya masyarakat muslim di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya, orang Bawean merupakan muslim yang menganut tradi- si Sunni. Sejak lama, orang Bawean dikenal memiliki tradisi me- rantau yang kuat, tradisi ini dipengaruhi secara kuat oleh faktor ekonomi. Mereka berkeliling ke berbagai tempat untuk melakukan perjalanan, sebagai pedagang atau sebagai pekerja di tempat-tem- pat yang baru. Ini merupakan faktor penting yang mendorong orang Bawean datang ke Saigon. Dalam tulisan Malte Stokhof, berujudul the Baweans of Ho Chi Minh City, orang Bawean datang ke Saigon pada sekitar 1850an. Pada awalnya, orang Bawean berangkat haji ke Mekkah. Dalam perjalanan pulang, mereka biasanya transit dan menetap di Singapura untuk mengumpulkan uang sebelum pulang kampung. Mereka biasanya bekerja untuk orang Cina dan para pe- bisnis. Dari mereka, orang Bawean mendengar bahwa di kota Sai- gon, pemerintah Protektorat Prancis membuka peluang kerja, ter- masuk kepada orang-orang luar untuk bekerja di kota tersebut. Mereka yang tertarik memutuskan untuk berangkat melalui pelabu- han di Singapura menuju ke Saigon. Mereka diterima untuk beker- ja di bawah pemerintahan tersebut. Orang Bawean, bahkan disebut sebagai salah satu komunitas awal yang mendirikan masjid tertua di kota Ho Chi Minh pada 1885, beberapa tahun setelah kedata- ngan mereka ke kota ini, mendahului komunitas muslim lain.41 Saat ini, meski mereka merupakan orang Indonesia atau sering juga dikenal sebagai orang Melayu, namun orang-orang Bawean yang

79 Birokratisasi Islam di Indocina... secara umum bermukim di sekitar masjid ar-Rahim, distrik satu, tidak lagi bisa berbahasa Indonesia. Mereka berbahasa Vietnam, seperti juga orang Cham, dan telah berbaur dengan masyarakat lokal di negara ini.42 Kedatangan para muslim dari berbagai wilayah: Asia Selatan dan Asia Tenggara, serta kembalinya orang muslim Cham ke wila- yah Saigon pada periode masa kolonialisme pemerintahan Protek- torat Prancis, memiliki signifikansi tersendiri. Fenomena ini mem- perlihatkan ambiguitas, sikap mendua, pemerintah Protektorat Prancis dalam memperlakukan muslim di bawah pemerintahannya. Di Indocina, muslim mendapatkan perlakukan baik, sehingga me- reka berdatangan dari berbagai wilayah untuk bekerja dan berbisnis dalam wilayah-wilayah protektorat, hingga mendirikan beberapa masjid. Sementara di Algeria, salah satu negara mayoritas muslim di Afrika Utara, yang menjadi daerah kolonial Prancis sejak 1830an sampai 1960an, muslim mengalami perlakukan yang berbeda, membuat komunitas muslim berada dalam konflik vis s vis dengan pemerintah Prancis. M.J.M. Maussen dalam Constructing : the Governance of and the Netherlands, menge- mukakan kenyataan demikian. Meskipun pada 1830 melalui kon- vensi Bourmont (the Convention of Bourmont) memberikan jami- nan kebebasan muslim untuk menjalankan agamanya dalam wila- yah kekuasaan Prancis di Algeria. Namun dalam kenyataannya, pihak Prancis melakukan pengrusakan dan penghancuran, serta kebijakan alih fungsi masjid menjadi kantor-kantor pemerintah yang mengurus persoalan keagamaan.43 Selain itu, pemerintah Prancis melakukan kontrol kuat terhadap Islam, dengan mendirikan lembaga-lembaga keislaman, mendirikan universitas yang menga- jarkan Islam, dan mengontrol pada Muftih, Imam, dan tokoh-tokoh keagamaan untuk berada di dalam kendali Prancis.44 Saya melihat masalah ambiguitas kolonial Prancis dalam memperlakukan Islam dalam kedua wilayah koloninya: Indocina dan Algeria, kembali disebakan oleh masalah kedudukan mayoritas dan minoritas. Di Algeria, Prancis berhadapan dengan penduduk mayoritas muslim yang menguasi termasuk dalam sektor kenega- raan. Posisi tokoh Islam dan lembaga keislaman memiliki penga-

80 Birokratisasi Islam di Indocina... ruh kuat sebagai otoritas yang dipatuhi oleh masyarakat muslim. Sementara di Indocina, Prancis diperhadapkan dengan pemerintah secara dominan dipengaruhi oleh tradisi Konghucu. Dalam aktifitas politik keagamannya, misalnya di Vietnam, negara terlibat dalam menyebarkan paham kongfusianisme kepada masyarakat. Hal ini, menyebabkan Prancis memiliki tantangan lain. Sebagaimana yang telah diuaraikan sebelumnya, selain untuk merebut dominasi dalam pemerintahan di kawasan, kolonialisme Prancis juga menjalankan agenda Katolikisasi, penyebaran paham Katolik. Meskipun paham katolik telah ada dan disebarkan oleh para missionaris jauh masa sebelum kedatangan Prancis ke Indoci- na, sekitar tahun 1533, dibawa oleh para missionaris yang secara umum berasal dari Portugis.45 Namun, secara signifikan penyeba- ran Katolik semakin signifikan dilakukan pada masa-masa koloni- alisme Prancis, ketika pemerintahan Dinasti Nguyen harus tunduk dan menerima serangkaian perjanjian dengan Prancis. Salah satu- nya, misalnya sebagaimana yang tertulis dalam perjanjian Nham Tuat (Nham Tuat Peace Treaty) pada 1862:

“French and Spanish missionaries are permitted to evangelize in Annam: the Annamese are free to beco- me Catholic followers if they wish. No one has the right to impose any religion on the people if they do not want it46: Para penyebar agama dari Prancis dan Spanyol dii- zinkan untuk melakukan kristenisasi (evangelisasi) di Annam: orang-orang Vietnam bebas untuk menjadi pengikut Katolik jika mereka ingin. Tidak ada yang memiliki hak untuk memaksakan agama kepada orang-orang jika mereka tidak menginginkannya.

Saya tidak menemukan secara pasti bagaimana dinamika antara Evangelical, saat ini dikenal sebagai Protestan, dengan Ka- tolik di masa kekuasaan Prancis, khususnya di Indocina. Walau demikian, dunia pernah mencatat perseteruan dua paham tersebut

81 Birokratisasi Islam di Indocina... yang dimulai pada 1516, dimana kelompok Protestan menolak kebijakan pemimpin tertinggi Vatikan, hirarki tertinggi dalam tra- disi Katolik. Namun, jika dilihat dalam naskah perjanjian tersebut, tidak ada perseteruan signifikan mengenai Evangelis dan Katolik, keduanya disebarkan dan dibiarkan hidup dalam kekuasaan Prancis. Sejak itu, pemerintah kolonial memiliki pengaruh kuat dalam pro- ses penyebaran katolik, misalnya di Vietnam. Berbagai keistime- waan diberikan kepada Katolik. Kebutuhan para pendeta dan pem- besar Katolik dipenuhi melalui kas pemerintah kolonial. Aktifitas penyebaran Katolik mendapatkan dukungan resmi dari pemerintah. Hingga pembangunan sarana ibadah, berupa Gereja dan Katedral dibiayai dari kas pemerintah kolonial, misalnya: pembangunan Katedral di Hanoi pada 1882-1886, dan pembangunan Katedral Notre-Dame Basilica di Saigon (1863-1880) yang menghabiskan anggaran pemerintah sampai 2.5 juta euro.47 Kebijakan politik keagamaan yang diterapkan oleh pemerin- tah kolonial Prancis di Indocina turut mempengaruhi dinamika agama lain, tidak hanya kekristenan, namun juga Islam. Secara lebih spesifik melalui usaha Prancis untuk memaksa pemerintahan dinasti Nguyen untuk mematuhi rangkaian hasil perjanjian dengan Prancis, termasuk dalam hal kebebasan beragama. Walaupun, kebi- jakan keagamaan kolonial tersebut berat sebelah, dengan memberi- kan banyak keistimewaan kepada pemeluk Kristen. Namun, pada satu sisi juga menyuburkan tumbuhnya pemeluk agama lain. Dengan kebijakan yang terbuka, para muslim dari berbagai daerah, khususnya muslim Cham yang memiliki kenangan buruk dengan dinasti Vietnam sampai pemerintahan dinasti terakhir, dinasti Ngu- yen, berdatangan kembali ke Saigon, kota pemerintahan di masa itu. Beberapa tokoh muslim yang saya temui di kota Ho Chi Minh, pada awal 2017, menceritakan kepada saya bahwa di masa-masa awal kedatangan muslim Cham ke Saigon, banyak diantara kakek- kakek mereka yang bekerja sebagai pegawai pemerintah di bawah pemerintahan Protektorat Prancis. Hal demikian juga dialami oleh para pendatang dari Asia Selatan, selain berbisnis, banyak diantara mereka yang menjadi tentara dan bekerja untuk Prancis.48

82 Birokratisasi Islam di Indocina...

C. Lokalisasi Islam dan Negosiasi Identitas Masalah identitas hampir dialami oleh semua negara, khu- susnya setelah memasuki era baru, negara-bangsa (nation-state). Saat sebuah negara diatur secara modern melalui batas-batas terito- ri tertentu yang diatur melalui serangkaian perjanjian. Negara- negara dunia ketiga, umumnya berada di Asia dan Afrika, yang selama berabad-abad sebelumnya menjadi wilayah koloni negara- negara Eropa dan Amerika, mengalami dampak yang paling signi- fikan. Ini disebabkan karena posisinya sebagai korban. Penentuan batas-batas teritori daerah ditentukan oleh negara-negara kolonial, bersama dengan kekuasaan lain, seperti kerajaan Siam, saat ini Thailand. Masalah identitas itu misalnya ditangkap oleh Ahmad Suaedy dalam studinya tentang minoritas muslim di Thailand Sela- tan dan Filipina Selatan. Ia mengemukakan bahwa konflik berke- panjangan yang melibatkan muslim di kedua wilayah tersebut, tidak hanya didorong oleh kepentingan politik, namun memiliki akar konflik yang dalam, melibatkan identitas kultural dan agama mere- ka.49 Tidak bisa dipungkiri, awal mula konflik di kedua negara tersebut, terjadi karena adanya penolakan untuk melebur dalam satu identitas tunggal yang dipaksakan kepada mereka: muslim di Thailand Selatan yang secara kultural adalah Melayu-Muslim, me- nolak untuk bergabung dalam agenda nasionalisasi yang dilakukan oleh pihak Kerajaan Thailand yang mayoritas Budha, menjadi satu nasionalisme Thailand; demikian juga muslim di Filipina Selatan, memilih untuk melawan agenda pemerintah Filipina yang mene- rapkan kebijakan penyeragaman identitas nasional dalam satu nasionalisme Filipina. Komunitas muslim di bagian itu, secara identitas-kultural merupakan Melayu-Muslim. Perbedaan identitas kultural itu menjadi satu pemicu kuat, mengapa konflik di dua negara tersebut berlangsung lama dan rumit hingga disebut sebagai never ending struggle (perjuangan yang tak memiliki akhir). Meskipun memiliki kesamaan identitas sebagai bagian dari Melayu-Muslim. Namun, pengalaman muslim di Filipina dan Thai- land kontras dengan muslim di Vietnam dan Kamboja. Muslim di kedua negara tersebut justru menerima identitas baru yang diberi- kan oleh pemerintah lokal dalam mengidentifikasi mereka. Sehing-

83 Birokratisasi Islam di Indocina... ga muncul identitas ganda bagi muslim di kedua negara tersebut: identitas luar yang digunakan oleh pemerintah dalam mengindetifi- kasi mereka; dan identitas dalam yang digunakan oleh komunitas muslim dalam mengidentifikasi diri mereka dalam pergaulannya sesama muslim. Sebagaimana yang telah saya uraikan dalam sub- bab sebelumnya, proses untuk sampai dalam proses lokalisasi itu memiliki jalan panjang, sebagai bagian dari nilai tawar untuk mela- kukan negosiasi dengan pemerintah lokal. Dalam bagian ini, saya memaparkan, bagaimana proses lokalisasi itu berlangsung dan res- pon muslim terhadap identitas tersebut. Hồi Giáo di Vietnam

Menjelang tengah malam, saya bersama dengan Abdul duduk di dalam sebuah café legendaris di jalan Bui Vien, daerah hingar bingar yang dikenal dengan kawasan Pham Ngu Lao, distrik satu, kota Ho Chi Minh, Vietnam. Setelah saya tanyakan mengenai ke- mungkinan adanya kolom agama dalam kartu tanda penduduk (KTP) dia sebagai warga Republik Sosialis Vietnam (SRV), Ia dengan semangat mengambil dompet, dan menunjukkan kartu identitasnya kepada saya. Jelas tertulis di kartu itu, dalam Tôn Giáo (kolom agama), bertuliskan Hồi. Dalam kamus Tuttle Compact Vietnamese Dictionary yang disusun oleh Phan Van Giuong, Hồi diartikan Islam.50 Menurut seorang tokoh muslim di kota Ho Chi Minh, Basiron, penyebutan Islam sebagai Hồi merupakan keterpe- ngaruhan dari tradisi Cina51. Persepsi ini juga digunakan oleh Nguyễn Phương Mai dalam Con Đướng Hồi Giào (Jalan Muslim), sebuah catatan perjalanan Mai menelusuri negara-negara Islam di Timur Tengah, ia mendefenisikan Islam dalam bukunya, dengan menulis52:

“Nghĩa là “Người vâng mệnh”, là tôn giáo độc thần dòng Abrahamic, cùng nguồn gốc với Do Thái giáo và Thiên Chúa giáo. Người Trung Quốc khi nhìn thấy những người Hồi Hột theo tôn giáo “lạ” nên dùng tên của dân Hồi Hột để chỉ Islam. Người Việt tiếp nhận phiên âm tiếng Trung nên gọi là Hồi giáo :

84 Birokratisasi Islam di Indocina...

Yaitu berarti ‘orang yang taat’ adalah agama mono- teistik Abraham, memiliki asal yang sama dengan Yudaisme dan Kristen. Orang-orang Cina, merasa ‘aneh’ ketika melihat orang-orang Muslim, sehingga mereka menyebutnya orang Hui, untuk menunjuk orang Islam. Orang Vietnam menerima fonetik Cina tersebut, dan menyebut menggunakannya untuk me- nyebut Islam.” Dalam perkembangan Islam di Cina, term yang digunakan untuk mengidentifikasi Islam atau muslim mengalami perbedaan mengikuti periode kekuasaan yang berkuasa di wilayah itu: Pada masa dinasti Tang (618- , Islam dikenal dengan ‘Dashi Jiao’, berarti agama Arab. Pada masa ini, orang arab disebut Dashi; Di- nasti Song (960- , Islam dikenal dengan agama ‘Tajik’, ‘Hui’, atau ‘Hui Tajik’ sampai periode Dinasti Yuan -1368). Pada masa dinasti Ming (1368-1644), selain dengan term lama yang muncul sejak dinasti-dinasti sebelumnya, Islam dan muslim juga diidentifikasi dengan: ‘Tianfang Jiao’ dan ‘Mohammanisme Jiao’, yang berarti agama dari semenanjung Arabia. Pada saat bersamaan, dikenal juga dengan nama ‘Hui Hui Jiao’, berarti agama orang ‘Hui’. Merujuk kepada salah satu etnik, bernama ‘Hui’ yang secara mayoritas mulai memeluk agama Islam. Pada awal kekuasaan Dinasti Qing (1616- , Islam juga dikenal dengan nama ‘Qing- zhen Jiao’, diartikan sebagai agama yang benar dan murni. Meski- pun muncul berbagai istilah untuk menyebut Islam dan Muslim, nama ‘Hui Jiao’, berarti agama orang Hui menjadi yang paling seri- ng digunakan, khususnya dalam dinamika masyarakat.53 Meskipun demikian, Islam sebagai istilah umum yang digu- nakan di seluruh dunia untuk menyebut agama yang dibawa oleh Muhammad Saw. juga telah digunakan oleh pemerintah Cina, setelah era Republik berakhir (1912-1949), saat Cina memasuki era baru. Bersamaan dengan itu, nama ‘Islam’ digunakan sebagai for- mat umum (common platform) untuk mengidentifikasi agama dari sepuluh etnik yang mayoritas menganut agama Islam di negara ini54. Namun, berbeda dengan Cina, Vietnam masih tetap menggu-

85 Birokratisasi Islam di Indocina... nakan Hoi sebagai terjemahan ‘Islam’ dalam bahasa ietnam. Hal yang secara tidak langsung, melekatkan satu identitas baru untuk komunitas muslim di negaranya. Seolah-olah, negara melakukan penyamaan antara muslim di Vietnam sebagai bagian dari orang Hui di Cina. Dua hal yang kenyataannya berbeda. Hui adalah salah satu etnik di Cina yang bertutur dengan bahasa dalam rumpun bahasa sino-tibetan, sementara muslim di Vietnam, mayoritas orang Champa, merupakan masyarakat dari bagian masyarakat Melayu- Polinesian yang bertutur dalam rumpun bahasa Astronesia. Pengunaan kosa kata Hổi Giáo secara umum hanya diguna- kan dalam hal-hal yang bersifat menyangkut urusan publik dan dia- tur oleh negara, misalnya dalam tulisan buku, dokumen pemerinta- han, dan penanda-penanda infrastruktur Islam di ruang publik: seperti masjid, kantor Komite Islam, dan beberapa restoran halal. Dalam buku atau tulisan dalam bahasa Vietnam, Islam diterjemah- kan sebagai ‘Hồi’. Walaupun tidak semua, dalam al-Quran terjema- han bahasa Vietnam, Thiên Kinh Qur’an, penulisan kata ‘Islam’ tetap dituliskan ‘Islam’, alih-alih ‘Hồi’55; Dalam dokumen pemerin- tah, seperti surat keputusan pengangkatan pengurus Komite Islam dan dokumen tentang kebijakan agama; serta penanda-penanda untuk infrastruktur Islam: misalnya, masjid diterjemahkan ke dalam bahasa Vietnam, berarti Thánh Đường Hổi Giáo. Namun, beberapa masjid hanya menggunakan nama Thánh Đường, seperti masjid Jamiul Islamiyah di distrik 1. Komite Islam diterjemahkan menjadi Cộng Động Hổi Giáo, sementara Republic Islamic Community of Ho Chi Minh diterjemahkan Ban Đại Diện Cộng Đồng Hồi Giáo Thành Phố Hồ Chí Minh.

Khmer-Islam di Kamboja Beberapa muslim yang ditanya mengenai Khmer-Islam, semuanya mengatakan bahwa Khmer-Islam adalah muslim di Kam- boja, termasuk orang muslim Cham yang merupakan kelompok etnik mayoritas muslim di negara ini, dan orang Chvea, muslim yang membedakan diri dari muslim Cham, mereka mengaku seba- gai keturunan dari Jawa, Indonesia. Khmer sendiri adalah etnik

86 Birokratisasi Islam di Indocina... mayoritas di Kamboja, jejak etnisitasnya telah bisa dilacak sampai ke kerajaan Funan, salah satu kerajaan besar yang pernah berkuasa di wilayah Indocina. Kekuasaannya berpusat di wilayah Kamboja saat ini, yang belakangan berdiri sebagai kerajaan Angkor.56 Khmer-Islam adalah istilah untuk menyebut pemeluk agama Islam secara umum di Kamboja. Fenomema yang secara jelas me- rupakan paradoks tersendiri, Islam disandingkan dengan etnisitas Khmer. Padahal, mayoritas muslim di negara ini bukan merupakan orang Khmer, melainkan orang dari etnik Cham dan Melayu. Menurut Milton Osborne, penggunaan istilah Khmer-Islam mulai digunakan oleh negara sekitar tahun 1960an. Pada 1959, ketika ia pertama kali tiba di Kamboja, istilah ini perlahan mulai diguna- kan57. Secara berbeda, seorang aktifis muslimah Kamboja, merupa- kan orang Cham, menyampaikan kepada saya secara sederhana mengenai istilah ‘Khmer Islam’, menurutnya “Muslim in Cambo- dia = Cham, dan Khmer-Islam = Cham-Islam”. Menurutnya, se- mua muslim di Kamboja adalah Cham, sementara yang dimaksud dengan ‘Khmer Islam’ adalah hanya orang Cham yang beragama Islam. Secara umum, pemahaman Cham muslim tentang kedua isti- lah tersebut relatif sama, dan menganggap kelompok Cham yang tidak beragama Islam, sesuai dengan ajaran Islam yang mereka anut tidak masuk dalam kategori ‘Khmer Islam’.58 Kelompok Cham yang dimaksud adalah Cham Jaheed (Zahi- din), disebut juga Cham Imam Saan. Mereka hanya shalat sehari dalam seminggu, dan hanya tokoh agama (okhna) yang shalat dan berpuasa pada tiga hari dalam bulan Ramadhan, yaitu pada hari pertama, pertengahan, dan hari terakhir. Menurut Andi Faisal Bak- ti, beberapa dari pemimpinnya melaksanakan ibadah haji, walaupun tidak wajib dalam pemahamannya, sehingga orang biasa tidak melaksanakan hal tersebut. Ini hanya karena diberikan secara gratis dari pihak Kerajaan Arab Saudi, sebagai upaya dakwah untuk mengajak mereka untuk meninggalkan tradisi Islam mereka. Semua ibadah-ibadah tersebut, tidak dilaksanakan oleh penganut biasa, melainkan diwakili oleh setiap pemimpin keagamaannya.59 Komu- nitas mereka terdapat di 35 Kampung dengan populasi sekitar 19.000 yang tersebar di tiga provinsi: Kampong Chhnang, Pursat,

87 Birokratisasi Islam di Indocina... dan Battambang. Cham Jaheed masih mengamalkan tradisi dan kepercayaan nenek moyang (ancient tradition) dan mencampurkan dengan tradisi Islam. Menurut beberapa sarjana, mereka juga ter- pengaruh oleh tradisi Syiah. Hal-hal tersebut yang membuat sebagi- an besar orang Cham Sunni menganggap Cham Jaheed bukan Islam.60 Namun, orang Cham Jaheed sendiri mengakui dan menga- nggap diri mereka sebagai seorang muslim. Dalam keseharian, perempuan mereka juga memakai hijab layaknya muslimah Cham Sunni secara umum. Secara umum, terdapat tiga kelompok besar muslim di Kam- boja: Cham Sunni, Chvea, dan Khmer-Muslim. Pertama, Kelompok Cham Sunni merupakan kelompok terbesar yang mayoritas diikuti oleh orang Cham. Secara tradisi keislaman, mereka sangat dekat dengan muslim di kawasan Asia Tenggara secara umum. Menjalan- kan teologi As-Asy’ariyah, berhukum dengan mengikuti Mazhab Syafi’i, dan bertasawuf dengan ajaran al-Ghazali. Para tokoh-tokoh Islam, sejak awal, mereka belajar ke ulama-ulama Nusantara di Patani, Thailand, dan , Malaysia, hingga ke India dan Pakistan di Asia Tengah. Diantaranya, misalnya Ly Mousa dan Ahmad India, yang kemudian dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharu pendidikan Islam di Kamboja, dikenal sebagai tokoh kaum muda.61 Kedua, kelompok Chvea (Melayu), secara umum mereka terdapat di Kampot dan Battambang. Mereka berbeda de- ngan muslim Sunni dari sisi asal usul mereka. Mereka merupakan keturanan dari Jawa, Indonesia. Chvea sendiri sering diartikan sebagai Jawa. Tidak ada data mengenai kapan mereka datang. Na- mun, diduga orang-orang Jawa telah ada di wilayah Kamboja saat ini, pada periode-periode awal. Dalam catatan sejarah, kerajaan Majapahit beberapa kali melakukan usaha ekspansi ke kerajaan Indocina.62 Kedatangan mereka berlanjut, dengan berbagai motif: Perdagangan, belajar, atau untuk bekerja. Saat ini, mereka tidak lagi bisa berbahasa Indonesia atau Melayu, namun beberapa dari mereka bisa berbahasa Arab dengan lancar63. Dan ketiga, Khmer Muslim, mereka merupakan orang Khmer yang melakukan konver- si ke Islam menjadi mualaf, baik itu mereka yang dengan kesadaran sendiri untuk memeluk Islam, dan atau melalui pernikahan. Staff di

88 Birokratisasi Islam di Indocina...

HICIRAC menyampaikan bahwa hampir seratus persen, tidak ada muslim yang menikah dengan non-muslim tanpa konversi ke Islam. semuanya masuk Islam terlebih dahulu, lalu menikah dengan tradisi Islam. Walau demikin, menurut penelitian Ysa Osman, angkanya hanya 88 persen, sebagian lainnya mengamalkan Budhisme atau agama lain.64

D. Interaksi Kebudayaan dan Kosmopolitanisme Islam Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, mayoritas muslim di Vietnam dan Kamboja adalah orang Cham, keturunan kerajaan Champa. Dalam bagian ini, pertama akan diuraikan ba- gaimana orang Cham, dalam keadaan mereka telah menjadi mus- lim, menjalin interaksi dengan dunia luar, misalnya dengan orang dari kerajaan-kerajaan di Nusantara; dan kedua, akan diuraikan bagaimana pengaruh interaksi orang luar terhadap orang Cham dan muslim di kedua negara secara khusus, meliputi jejak arsitektur Islam dan keberadaan muslim selain Cham di kedua negara: mi- salnya muslim Bawean dan muslim dari Asia Selatan. Pertama, keberadaan orang Cham di Nusantara telah terlacak sejak lama. Salah satu yang paling akrab adalah informasi tentang adanya perkawinan antara Raja Majapahit dengan salah satu Putri dari kerajaan Champa. Putri itu dikenal dengan Putri Cempa, infor- masinya banyak dimuat di naskah-naskah loka Nusantara, seperti naskah sejarah dari Jawa dan Sunda, dalam: Serat Kanda, Babad Tanah Jawi, Sejarah Banten, Jatiswara, Kebo Mundar65. Dari nas- kah-naskah tersebut, sebagian sarjana menduga bahwa Champa memiliki pengaruh kuat dalam proses Islamisasi di Jawa pada abad ke-empat belas (XIV) dan abad ke-lima belas (XV). Hal ini, diper- kuat oleh catatan Marco Polo yang mengunjungi Champa pada 1280an, ia menyatakan bahwa agama orang di Champa hampir mi- rip dengan agama di bagian utara pulau Sumatra. Masa-masa keti- ka, Islamisasi awal sedang berlangsung di daerah itu.66 Selain itu, keberadaan orang Champa juga terlacak di dalam wilayah kerajaan Gowa, pada abad ke-enam belas (XVI). Dalam A Chain of Kings : The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq, William P. Cummings menunjukkan kenyataan bahwa kerajaan

89 Birokratisasi Islam di Indocina...

Gowa merupakan kerajaan maritime yang kosmopolit. Dalam periode sebelum Islamisasi berlangsung, telah terdapat komunitas muslim sarungan yang diterima dengan baik oleh Raja Gowa, Tunipallangga (1546-1565), untuk menetap di dalam wilayah kera- jaan Gowa. Cummings, menuliskan:

“Said Anakoda Bonang to Karaeng Tunipallangga, there are four things that I ask for us… The Karaeng spoke again, for which peoples do you speak?, and Anakoda Bonang said to the Karaeng, All of us who wear these sarongs. Theses were the words of Anako- da Bonang, such as Patani, Champa, Minangkabau, Johor, Pahang.67

(Anakoda Bonang berkata kepada Karaeng Tunipal- langa (Raja Gowa, berkuasa 1546-1565), ada empat hal yang ingin saya minta untuk kami… Karaeng ber- kata lagi, untuk orang-orang yang mana yang kamu maksud, dan Anakoda Bonang berkata, kami semua yang menggunakan sarung. Yang dimaksud oleh Ana- koda Bonang, mereka yang berasal dari Patani, Cham- pa, Minangkabau, Johor, dan Pahang)

Salah satu komunitas muslim yang ditemukan adalah komu- nitas muslim dari Champa yang berasal dari semenanjung Indoci- na, sebuah etnik muslim yang secara mayoritas menempati negara Vietnam dan Kamboja saat ini. Keberadaan mereka dalam wilayah kerajaan Gowa, terdeteksi melalui naskah lontara, mereka tercatat sebagai salah satu pendatang yang diterima secara baik oleh raja Gowa. Para pendatang tersebut, termasuk Champa disebutkan se- bagai para saudagar Mangngalekana, nama daerah yang diberikan oleh pihak kerajaan Gowa kepada para pendatang Muslim yang terletak di pesisir pantai Makassar. Dalam kawasan ini, pihak kera- jaan membangun masjid sebagai sarana beribadah para pendatang sarungan dan membolehkan mereka untuk melakukan haji.68 Kebe- radaan orang Champa dalam wilayah kerajaan di wilayah timur

90 Birokratisasi Islam di Indocina...

Nusantara, dan berada jauh di sebelah selatan pusat pemerintahan kerajaan Champa di Panduranga (saat ini, Vietnam tengah), meru- pakan satu petunjuk untuk melihat bagaimana orang Champa men- jalin hubungan dan memberikan pengaruh terhadap wilayah kera- jaan di sekitarnya. Meskipun tidak signifikan, tapi keberadaan para muslim dari Champa, memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap pengetahuan para elit kerajaan Gowa tentang ajaran Islam yang mereka anut. Beberapa masa sebelum tiga dato dari Sumatra datang ke Gowa dan melakukan Islamisasi secara resmi terhadap para elit kerajaan. Leonard Andaya bahkan menganggap keterhu- bungan antara orang Sulawesi Selatan dan orang Champa terjalin lebih lama dari itu. Ia meyakini, tradisi gaukeng yang masih dila- kukan oleh orang Bugis dan Makassar memiliki kesamaan sumber dengan tradisi batu suci (sacred stones) di Champa. Tradisi itu me- miliki sumber, fungsi dan signifikansi yang sama dengan keperca- yaan di Sulawesi Selatan.69 Selain dengan orang Gowa dan Sulawesi Selatan, proses interaksi telah dilakukan secara signifikan oleh orang Champa me- lalui sektor perdagangan. Dimulai sejak abad ke-5 (masa peruba- han dari Lin-Yi ke Champa), kerajaan Champa mulai menguasai jalur perdagangan laut di perairan laut Cina selatan, yang berada di selatan semenanjung Indocina. Sebagai kerajaan maritim dagang besar, kerajaam Champa, dianggap bukan satu kesatuan wilayah kerajaan, namun merupakan nama untuk gabungan dari pelabuhan- pelabuhan dagang dari utara di Hue (saa ini) hingga ke wilayah mekong delta, bagian paling selatan Vietnam.70 Kenyataan itu, membuat kerajaan Champa memiliki nilai tawar ekonomi dan poli- tik yang kuat di kawasan. Pelabuhan-pelabuhan dalam wilayahnya, merupakan pelabuhan transit yang menentukan akses perdagangan yang menghubungkan dunia barat dan timur sampai abad ke-15.71 Dukungan akses dan sumber daya alam yang melimpah, membuat orang-orang Champa memiliki pengaruh dan kelas sosial yang tinggi dikalangan orang Melayu secara umum, sehingga mendapat julukan sebagai saudagar, seperti orang-orang dari Melaka. Sebab itulah mereka dengan mudah diterima dalam membangun interaksi dan komunikasi dengan para elit kerajaan di Nusantara.

91 Birokratisasi Islam di Indocina...

Kedua, jejak interaksi yang ditemukan di Vietnam dan Kam- boja, bisa dilihat secara jelas dalam jejak arsitektur dan tradisi Islam, serta fenomena keberadaan muslim selain Cham. Hampir semua masjid di kota Ho Chi Minh, Vietnam Selatan, memiliki gaya arsitektur yang sangat mirip dengan arsitektur masjid dari kawasan Asia Selatan: berbentuk segi empat; memiliki banyak kubah, baik besar dan kecil; ruangannya semi-terbuka dengan teras yang lebar di sekeliling ruang shalat utama; terdapat banyak tiang dengan banyak pintu berbentuk gapura; memiliki satu gerbang uta- ma (gapura) yang berhias kuba-kuba kecil; ruang shalat umumnya lebih tinggi dibandingkan ruang lain, dengan beberapa anak tangga; dan identik dengan banyak dekorasi, dalam bentuk ukiran, pola-pola tertentu, dan simbol bulan dan bintang. Mengenai ruang masjid yang semi-terbuka, masjid di Asia Selatan mendapatkan pengaruh dari contoh masjid-masjid periode Islam awal di Kufah, Basrah, dan Fustat, yang umumnya memiliki konsep masjid yang terbuka, karena lokasinya yang berada dekat dengan kamp-kamp tentara. Konsep tersebut kemudian dibuat permanen dan banyak menginspirasi arsitektur masjid awal di Asia Selatan, misalnya masjid Banbhore, saat ini dalam wilayah Pakistan.72 Penampilan- nya yang dekoratif, berhias banyak ukiran, pola, dan berbagai sim- bol merupakan bagian dari ekspresi orang-orang Asia Selatan yang identik dengan seni dan kreatifitasnya. Dua masjid di kota Ho Chi Minh yang secara identik memi- liki kesamaan dengan masjid di Asia selatan adalah masjid Jamiu lil Muslimiina dan masjid Jamial Cholon. Dua masjid tersebut, termasuk masjid-masjid awal yang dibangun pada periode awal abad ke-20. Masjid Jamiul lil Muslimiina lebih dikenal sebagai masjid Musulmane, bahasa Prancis yang berarti muslim, dikenal juga sebagai Saigon Central Mosque (Mesjid Utama Saigon). Masjid ini didirakan pada masa kolonialisme Prancis pada 1935, terletak di pusat kota Saigon, yang saat itu menjadi pusat pemerin- tahan Prancis di Indocina. Saat ini, masjid Musulmane berdiri di pusat bisnis kota Ho Chi Minh, berada diantara gedung perkanto- ran swasta dan pemerintahan, restoran mewah, dan hotel-hotel bin- tang lima. Masjid ini memiliki gapura dan pagar dengan ornamen

92 Birokratisasi Islam di Indocina... yang khas, tempat berwudhu berbentuk kolam segi empat, teras lebar yang mengelilingi masjid, dan beberapa anak tangga yang berjenjang, dari halaman, tempat berwudhu, dan ruang shalat. Menurut salah satu jamaah, pada awalnya masjid ini dikelolah oleh komunitas muslim India. Kenyataan ini juga terkonfirmasi melalui informasi sebuah papan nama yang tertempel di gedung belakang masjid, bertuliskan “office Jamia Mosque Muslmane of Indian”. Selain, berfungsi sebagai gedung kantor untuk masjid. Gedung ber- lantai tiga tersebut, pada awalnya berfungsi sebagai sekolah Islam, bernama Madrasah Noorul Imaan Arabic School, didirikan pada tahun 1968. Dalam proses pendiriannya, pihak pemerintah kota Saigon ikut terlibat meresmikan sekolah tersebut. keterangan ini, tertulis melalui prasasti yang terpahat menyatu dengan dinding gedung. Saat ini, sekolah Arab Noorul Imaan tidak lagi berfungsi, gedung bekas sekolah itu kini menjadi tempat tinggal para pengu- rus masjid dan beberapa muslim Cham. Sementara proses belajar mengajar keislaman, dilakukan di serambi masjid, yang hanya diikuti oleh anak-anak kecil untuk belajar baca tulis al-Quraan, dilaksanakan selepas shalat ashar. Masjid yang kedua adalah masjid Jamia Cholon, terletak di distrik lima, kota Ho Chi Minh. Masjid ini berdiri tiga tahun lebih awal dibandingkan masjid Musulmane, pada 1932. Arsitektur mas- jid memiliki kesamaan dengan masjid Musulmane, namun memili- ki ornamen yang lebih berwarna, ramai, detail, dan menunjukkan keterkaitan erat dengan arsitektur dari Asia Selatan. Di dalam area masjid, terdapat gedung yang menjadi rumah bersama beberapa keluarga muslim, diantaranya ditempati oleh para pengurus masjid. Mereka secara umum merupakan muslim Cham yang berasal dari Chau Doc, secara signifikan berdatangan kembali ke Ho Chi Minh pada periode kolonialisme Prancis. Pada awalnya, muslim dari Chau Doc yang berdatangan kembali ke Ho Chi Minh, secara signifikan menetap di daerah Cholon, distrik lima, lalu menyebar ke hampir semua distrik di kota itu. Wajar, jika daerah Cholon menja- di salah satu daerah pemukiman muslim yang paling ramai setelah kampung Anwar di distrik delapan. Tidak jauh dari masjid, terda- pat banyak rumah-rumah muslim, yang saling bertetangga dengan

93 Birokratisasi Islam di Indocina... penduduk lokal non-muslim. Dalam mengidentifikasi diri mereka, muslim Cham, sebenarnya juga mengidentifikasi diri mereka seba- gai orang lokal. Mereka menyebut diri mereka sebagai muslim lokal Vietnam, ini banyak disampaikan oleh banyak muslim yang saya temui sepanjang perjalanan di kota Ho Chi Minh. Kedua masjid tersebut didirikan oleh para muslim dari Asia Selatan yang banyak berdatangan ke wilayah Indocina ketika kolo- nialis Prancis menerapkan kebijakan terbuka. Pada awalnya, mas- jid tersebut bersifat tertutup dan hanya menerima jamaah secara terbatas, yakni hanya komunitas muslim dari India. Pengurus mas- jid Cholon menyampaikan ke saya:

“masjid ini Jamiu Cholon didirikan oleh komunitas muslim dari India. dulu, orang India sangat ramai di kota Ho Chi Minh, mereka datang mengikuti orang Prancis, orang Amerika, sehingga kebanyakan masjid di kota Ho Chi Minh didirikan oleh orang India. Me- reka itu datang dengan berbagai tujuan, untuk urusan bisnis, menjadi tentara, atau melakukan dakwah melalui tabligh”73

Keberadaan orang India di kota Ho Chi Minh masih banyak hingga saat ini. Ahmad, merupakan satu dari sekian banyak itu. Orang India yang beberapa kali saya temui di distrik satu. Ia adalah muslim India yang sudah dua generasi tinggal dan menetap di kota ini. Ia menceritakan, orang tuanya datang ke Ho Chi Minh sekitar tahun 1940an dan memulai bisnis kain. Ia sendiri lahir, besar dan mendapatkan pendidikan di kota barunya itu. Ia juga membenar- kan, memang sangat banyak orang India pada periode kekuasaan Prancis di Indocina, tersebar di kota Saigon dan Hanoi. Namun, jumlah itu secara signifikan berkurang pada periode perang Indo- cina kedua, yang berlangsung pada 1957-1975 di Vietnam. Orang India dan para pendatang lainnya kembali ke negaranya masing- masing untuk menghindari perang. Fenomena migrasi yang dilaku- kan oleh orang-orang dari Asia Selatan, dinarasikan oleh Judith M. Brown sebagai fenomena yang terus berlangsung hingga saat ini.

94 Birokratisasi Islam di Indocina...

Dimulai sejak abad ke-18, orang dari Asia Selatan, secara signifi- kan melakukan migrasi ke berbagai penjuru dunia: Kanada, Cali- fornia, Karibia, Afrika Selatan, Fiji, dan Asia Tenggara. Mereka telah sampai pada generasi ketiga dan keempat di negara tujuan. Membentuk rumah dan komunitas baru untuk mereka.74 Kedata- ngan mereka ke negara minoritas muslim, seperti kota Ho Chi Minh dan Hanoi, memberikan pengaruh signifikan terhadap keislaman di daerah-daerah tersebut. Meskipun dalam jejak arsitektur Islam banyak dipengaruhi oleh Asia Selatan, namun dalam wilayah tradisi, muslim di Viet- nam dan Kamboja secara signifikan memiliki kesamaan dengan muslim di wilayah Asia Tenggara. Secara umum, muslim Cham di- anggap dipengaruhi oleh tradisi muslim di dunia Melayu: Malay- sia, Indonesia, dan Filipina. Namun, ada juga yang berpendapat sebaliknya, orang Cham justru mempengaruhi tradisi Islam di dunia Melayu. Secara jelas, bisa dikatakan bahwa keduanya saling me- mengaruhi. Posisi orang Cham tidak diletakkan terpisah, melain- kan mereka adalah bagian dari dunia melayu yang memiliki kons- tribusi atas keseluruhan tradisi yang berkembang dalam dunia Melayu.

Catatan untuk Bab II

1 Wilayah kekuasaannya meliputi wilayah Vietnam bagian Tengah (South-Central Coast) saat ini, dari Hoanh Son di Utara sampai ke Phan Thiet di Selatan. Wilayah-wilayah tersebut meliputi daerah dataran tinggi dan daerah pesisir. Lihat juga dalam Keith W. Taylor, “The Early Kingdoms”, dalam Nicholas Tarling ed , The Cambridge History of Southeast Asia: From Early Times to c. 1800, (Vol.1: Cambridge: Cambridge University Press,1992), h. 157 2 Kerajaan Lin-Yi berdiri diawali oleh sebuah usaha untuk keluar dari dominasi Cina, yang dipimpin oleh seorang yang bernama Kui Lien. Setelah misinya berhasil, Kui Lien, mengangkat mengangkat dirinya untuk menjadi raja untuk masyarakat yang dipimpinnya, di sebuah wilayah di wilayah Vietnam tengah, saat ini wilayah tersebut dikenal dengan Hue, salah satu provinsi terbesar di Vietnam dan menjadi

95 Birokratisasi Islam di Indocina...

pusat pariwisata unggulan Vietnam. D.R. Sar Desai, Southeast Asia : Past & Present, (USA: West View, 2004). 3 Ian Glover dan Nguyen Kim Dung, “E cavation at Go Cam, Quang Nam, 2000-3: Linyi and the Emergence of the Cham Kingdoms” dalam Tran Ky Phuong dan Bruce M. Lockhart, The Cham of Vietnam: History, Society, and Art, (Singapore: NUS Press, 2011), h. 54. 4 Vietnam, dalam waktu yang lama berada dalam dominasi beberapa Dinasti Cina. Benar-benar berakhir dan merdeka dari dominasi pada sekitar abad ke-sembilan (IX) dan ke-sepuluh (X). Keith W. Taylor, “The Early Kingdoms”, dalam Nicholas Tarling ed , The Cambridge History of Southeast Asia: From Early Times to c. 1800, (Vol.1: Cambridge: Cambridge University Press,1992), h. 137. 5 Bruce M. Lockhart, “Colonial and Post-Colonial Constructions of Champa”, dalam Tran Ky Phuong dan Bruce M. Lockhart, The Cham of Vietnam … h. -3. 6 M. E. Aymonier, Les Tchames et Leurs Religions, (Paris: Ernest Leroux, 1891) 7 Maspero, G. (1910). “Le Royaume De Champa”. T’oung Pao, Vol 11, No. 1, 164. doi:10.1163/156853210x00117 8 Maspero, G. (1910). “Le Royaume De Champa”. T’oung Pao, … 9 Pada periode ini, terdapat tiga nama yang disematkan atau digunakan untuk mengeidentifikasi kerajaan di kota Indrapura, yaitu: Huan Wang, Chan-Cheng, dan Champapura (kota Champa). lihat juga dalam D. G.E. Hall, “The Kingdom of Champa”, dalam A History of South- East Asia, (London: Palgrave, 1981), 202. DOI: https://doi. org/10.1007/978-1-349-16521-6_8, 10 Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Terj. Mochtar Pabottingi, “Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450- 1680, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011). 11 Keith W. Taylor, “The Early Kingdoms”, dalam Nicholas Tarling (ed), The Cambridge History of Southeast Asia: From Early Times to c. 1800 ..., h. 157 12 Keith W. Taylor, “The Early Kingdoms”, dalam Nicholas Tarling (ed), The Cambridge History of Southeast Asia: From Early Times to c. 1800, … h. 153

96 Birokratisasi Islam di Indocina...

13 G.E. Marrison, “The Chams and Their Literature” dalam Jorunal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 58, No. 2, 1985. 14 Momoki Shiro, “Mandala Champa Seen From Chinese Sources, dalam dalam Tran Ky Phuong dan Bruce M. Lockhart (ed), The Cham Of Vietnam … 121. 15 Tran Ky Phuong, “The Integral Relationship between Hindu Temple Sculpture and Architecture: A New Approach to the Arts of Champa” dalam Tran Ky Phuong dan Bruce M. Lockhart (ed), The Cham Of Vietnam … 277 – 299. 16 Meskipun lepas dari dominasi politik Cina pada masa Dinasti Han, namun secara kebudayaan, masih terpengaruh secara signifikan Pada abad kedua, wilayah utara berada di bawah kekuasaan Dinasti Han, Cina. Orang Vietnam berhasil keluar dari dominasi pada tahun 40, lalu mendirikan Dinasti Trung bersaudara. Namun, hanya bertahan sing- kat, Cina kembali mengambil alih dominasinya pada tahun 43. Sejak saat itu, pemberontakan orang Vietnam berlangsung, namun baru ber- hasil benar-benar keluar dari dominasi pada 1009, dengan mendirikan Dinasti Independen, bernama Dinasti Ly, yang bertahan selama dua abad lebih, dan menjadikan Than Long, sekarang Hanoi, sebagai ibu- kota pemerintahan. Pada 1225, pemerintahan berganti ke Dinasti Tran sampai 1400an. Cina kembali berhasil mendominasi dan mengambil alih pemerintah pada 1407, melalui dinasti Ming. Perlawanan terus dilakukan, Le Loid an Nguyen Trai nasionalisme Vietnam untuk melawan Cina. Usahanya mereka berhasil, Cina takluk, dan Dinasti Le berdiri pada 1407-1789. Di era selanjutnya, pertarungan dominasi, tidak lagi berlangsung dengan Cina, namun dalam tubuh wilayah Vietnam sendiri, antara orang utara dan orang selatan. Orang Vietnam di utara berusaha menaklukkan wilayah-wilayah di selatan. lihat juga dalam Keith W. Taylor, “The Early Kingdoms”, dalam Nicholas Tarli- ng (ed), The Cambridge History of Southeast Asia … h. Michael G. Cotter, “Toward a Social History of the ietnamese Southward Movement”, h. -18. 17 Dai Viet adalah nama negara resmi negara Vietnam pada 1054-1400 dan 1428-1804. Masa ini dikenal sebagai masa pemerintahan Dinasti Ly, dengan raja yang berkuasa bernama Ly Than Tong (1054-1072) dan masa Dinasti Trang. Penggunaan nama Vietnam, baru digunakan

97 Birokratisasi Islam di Indocina...

pada 1804 oleh Gia Long, raja pertama dari Dinasti Nguyen, yang menguasi negara ini sampai merdeka pada 1945. 18 Michael G. Cotter, “Toward a Social History of the Vietnamese Southward Movement”, dalam K.G. Tregonning ed , Journal of Southeast Asian History, Vol.9. 1968 (Amsterdam: Swet and Zeitle- nger, 1977), 18. 19 Michael G. Cotter, “Toward a Social History of the ietnamese Southward Movement”, 17-18. 20 Danny Wong Tze Ken, “the Nguyen and Champa during 17th and 18th Century – A Study of Foreign Relation” dalam Champaka Monograph 5. 21 Philip Taylor, Cham Muslims of the Mekong Deltan: Place and Mo- bility in the Cosmopolitan Periphery, (Singapore: NUS Prees, 2007) , h. 40-41. 22 M. E. Aymonier, Les Tchames et Leurs Religions, (Paris: Ernest Leroux, 1891), h. 40 23 Pierre-Yves Manguin and Robert Nicholl, “the Introduction of Islam into Champa”, dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, (Vol. 58, No) 24 Meskipun terkenal sebagai kerajaan maritim besar di Semenanjung Indocina. Namun, kerajaan Champa tidak hanya menguasai daerah pesisir, tapi juga wilayah dataran tinggi. Keith W. Taylor, “The Early Kingdoms”, dalam Nicholas Tarling ed , The Cambridge History of Southeast Asia: From Early Times to c. 1800 ..., h. 157 25 Adam Bray, The Cham: Descendants of Ancient Rulers of Sout China Sea Watch Maritime Dispute From Sidelines, dalam National Gepgra- phic, diakses dari https://news.nationalgeographic.com/news/ 2014/ 06/140616-south-china-sea-vietnam-china-Chambodia-champa/ pada 12 Juni 2017. 26 Denys Lombard, “Champa dipandang dari Selatan”, dalam Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu, (3,1, Desember, 2011), h. 3- 11. 27 Argumentasi ini didasarkan pada teori tentang jalur pelayaran di Laut Cina selatan pada abad ke-7 dan jejak-jejak kehadiran para pendatang Arab-Muslim yang datang di wilayah Canton, Cina, pada 632 Masehi. Dalam pelayaran itu, mereka diduga kuat singgah di salah satu pelabuhan di Laut Cina Selatan, yang pada masa itu dibawa kuasa kerajaan Champa. lihat juga Barbara L.K. Pillsbury “Muslim history

98 Birokratisasi Islam di Indocina...

in China: a 1300‐year chronology”, dalam Journal Institute of Muslim Minority Affairs, Vol. 3, No. 2, 1981, 10-29, DOI: 10.1080/026 66958108715833 28 lewat tulisannya “notes on Islamic Arts of Champa” dalam Le Champa et Le Monde Malais, yang penulis kutip dalam Wan Zailan Kamaruddin Wan Ali jurnal, “Masyarakat Muslim Melayu Cham di Vietnam : Kajian Mengenai isu dan Cabaran dalam Pemikiran Islam Era Globalisasi”, dalam Jati, (volume 18, Desember 2013). 29 Pierre-Yves Manguin dan Robert Nicholl, “The Introduction of Islam to Champa”, dalam The Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (Vol. 58. No. 1, 1985), h. 1-3. 30 Rie Nakamura, “the Coming of Islam to Champa”, dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 73, No. 1 (278) (2000), h. 55-66 31 Beberapa sarjana menyatakan bahwa Islam di Trengganu di bawah dari Champa. Ini didasarkan pada penemuan inskripsi pada 1039 dan 1025 yang menunjukkan bahwa orang Champa telah Islam pada abad ke-10 dan ke-11. Lihat juga S. Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, Singapore : Malaysian Sociological Research Institute, 1963; Ayang Utriza Yakin, “Dialectic Between Islamic Law and Adat Law in Nusantara: A Reinterpretation of the Terengganu Inscription in the 14th Century”, dalam Heritage of Nusantara, 6. 32 Dijelaskan lebih detail dalam sub-bab Interaksi Kebudayaan dan Kosmopolitanisme Islam, dalam bab ini. 33 Hasil observasi partisipatif penulis pada kampung muslim di pinggiran sungai Mekong, Phnom Penh, 2018. 34 Philip Taylor, Cham Muslims of the Mekong Delta: … 225. 35 Wawancara Pribadi dengan Aq, Ho Chi Minh, pada 36 Wawancara Pribadi dengan Mi 37 Wawancara Pribadi dengan Mi 38 Philip Taylor, Cham Muslims of the Mekong Delta… 225. 39 lihat lebih jauh dalam sub-bab Interaksi kebudayaan dan kosmo- politanisme Islam. 40 Nguyen Dung Chien Giang, “Little Known Story of the Muslim Community In Hanoi”, dalam ietnamnet.vn. diakses dari https:// english.vietnamnet.vn/fms/special-reports/56751/little-known-story- of-the-muslim-community-in-hanoi.html pada 27 Desember 2018.

99 Birokratisasi Islam di Indocina...

41 Malte Stokhof, “the Baweans of Ho Chi Minh City” dalam Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at Margins: The Muslims of Indo- china, (Kyoto: CIAS, 2008), h. 34. 42 Hasil observasi partisipatif dengan mengunjungi Kawasan pemukiman muslim Bawean, masjid ar-Rahim, 2018. 43 M.J.M. Maussen, “Construcing Mosques: the Government of Islam in France and the Netherlands, (University of Amsterdam, 2009), 57-59. 44 M.J.M. Maussen, “Construcing Mosques:… 59 45 Nguyen Thanh Xuan, Religions in Viet Nam, (Vietnam: The Gioi Publishers, 2012), 93. 46 Nguyen Thanh Xuan, Religions in Viet Nam . . . 113. 47 Nguyen Thanh Xuan, Religions in Viet Nam . . . 115. 48 Hasil Observasi, Ho Chi Minh-Phnom Penh, 2017-2018. 49 Ahmad Suaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai: Peran Civil Society di Thailand Selatan dan Filipina Selatan, (Jakarta: Puslitbang Lektu dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI dan CISEAS-The Wahid Institute, 2012), h. 2 50 Dalam kamus ini, Pakistan disebut dalam Bahasa Vietnam yang seakar kata dengan Islam, yaitu Hồi Quốc. lihat juga dalam Phan ăn Giaưổng, Tuttle Compact Vietnamese Dictionary: Vietnamese- English, English-Vietnamese, (China, Tuttle Publishing, 2007), 110 51 Wawancara Pribadi dengan Basiron Abdullah, distrik 1 kota Ho Chi Minh, 28 September 2018 52 Nguyễn Phương Mai, Con Đướng Hồi Giào, (Hanoi: N B Hội Nh ăn, 53 Zvi Ben-Dor Benite, "Introduction." In The Dao of Muhammad: A Cultural History of Muslims in Late Imperial China, . (Cambridge (Massachusetts); London: Harvard University Asia Center, 2005), h.1- 20; Mi Shoujiang dan You Jia, Islam in China. Penerjemah Min Chang, (T.tp: China Intercontinental Press, t.t), h. v-vii; Barbara L.K. Pillsbury, “The Muslim population of China: clarifying the questions of size and ethnicity”, Institute of Muslim Minority Affairs, ol, , No. 2, 1981 35-58, DOI: 10.1080/02666958108715835 54 Sepuluh etnik itu: Hui, Uighur, Kazak, Dongxiang, Khalkha, Sala, Tajik, Uzbek, Bao’an, dan Tatar. Lihat juga dalam Mi Shoujiang dan You Jia, Islam in China. Penerjemah Min Chang, (T.tp: China Intercontinental Press, t.t), h. v-vii

100 Birokratisasi Islam di Indocina...

55 Thi n Kinh Qur’an. Penerjemah Hassan Bin Abdul Karim dan Abdul Halim Ahmed (Madina: Kerajaan Arab Saudi) 56 Keith W. Taylor, “The Early Kingdoms”, dalam Nicholas Tarling (ed), The Cambridge History of Southeast Asia … h. Michael G. Cotter, “Toward a Social History of the ietnamese Southward Movement”, h. . 57 Milton Obsorne, The Khmer Islam Community in Cambodia and Its Foreign Patrons, dalam Issues Brief Lowy Institute for International Policy, November 2004, h. 3. 58 Hasil wawancara pribadi dengan So, Facebook Messenger, 18 Desember 2019; Hasil observasi partisipatif, Phnom Penh, 2018. 59 Andi Faisal Bakti, “Presentation Paper on Islam in Cambodia: Phnom Penh and Its Surroundings”, Dokumen Tidak Dipublikasikan 60 Ysa Osman, Navigating the Rift: Muslim-Budhist Intermarriage in Cambodia, (Phnom Penh: National Library of Cambodia Cataloguing in Publication Data, 2010), h. 30. 61 Mohamad Zain Bin Musa, “Dynamic of Faith: Imam Musa in the Revival of Islamic Teaching in Cambodia”, dalam mar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at Margins: The Muslims of Indochina, (Kyoto: CIAS, 2008), h. 59. 62 D.G.E. Hall, The Kingdom of Champa. In: A History of South-East Asia. Macmillan Asian Histories Series. (London: Palgrave, 1981), h. 201-202. 63 Andi Faisal Bakti, “Presentation Paper on Islam in Cambodia: Phnom Penh and Its Surroundings”… 64 Ysa Osman, Navigating the Rift: Muslim-Budhist Intermarriage in Cambodia … h. 6. 65 Pierre-Yves Manguin and Robert Nicholl, “the Introduction of Islam into Champa . . . h. 4. 66 Pierre-Yves Manguin and Robert Nicholl, “the Introduction of Islam into Champa . . . h. 5 67 Dikuti dari William P. Cummings, A Chains of Kings: The Makas- sarese Chronicles of Gowa and Talloq, (Leiden: KITLV Press, 2007), h. 34; J. Noorduyn, Islamisasi Makassar, (Yogyakarta: Ombak, 2018), h. 5. 68 Dalam kronik kerajaan, terdapat teks yang secara langsung dijadikan dasar untuk mengidentifikasi agama para saudagar pendatang di mangngallekana bahwa mereka adalah muslim, yaitu tentang pihak

101 Birokratisasi Islam di Indocina...

karaeng mendirikan masjid dan membolehkan untuk melakukan ibadah haji. lihat lebih jauh dalam J. Noorduyn, Islamisasi Makassar, (Yogyakarta: Ombak, 2018), h. 6. 69 Leonard Andaya: The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, (Leiden: KITLV, 1981) h. 11. 70 Kenneth R. Hall, A History of Early Southeast Asia: Maritime Trade and Societal Development, 100-1500, (Maryland: Rownman & Littlefield Publishers, Inc, 1992), h. 68-69. 71 Kenneth R. Hall, A History of Early Southeast Asia … h. 6 . 72 Tau eer Ahmad Warraich, “Early Mos ues of South Asia and Impact of Native Architecture: A Case Study of Banbhore, Mansura, Udigram and Quwwat-ul-Islam Mosques, dalam JRSP, (Vol. 45, No. 2, 2008), 161-162. DOI: http://pu.edu.pk/images/journal/history/Current% 20Issues/Tauqeer%20Ahmad%20Warraich.pdf 73 Wawancara pribadi dengan Haji Ali, Mesjid Cholon, distrik 5 kota Ho Chi Minh, 28 September 2018. 74 Judith M. Brown, Global South Asians: Introducing the Modern Diaspora, (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), h. xii, 59.

102 BAB III BIROKRATISASI ISLAM: TUNTUTAN ATAU KEBUTUHAN?

Fenomena birokratisasi Islam berlangsung secara signifikan di negara-negara Asia Tenggara. Menempatkan masyarakat mus- lim berada dalam masa yang disebut “Age of Bureaucracy”1, khu- susnya dalam hubungannya dengan kekuasaan. Proses birokratisasi Islam, khususnya di Asia Tenggara, berlangsung dengan melibat- kan tiga aktor utama: negara, semi-negara, dan non-negara.2 Walau demikian, negara memiliki peran yang lebih signifikan dalam me- lakukan agenda-genda birokratisasi Islam, secara spesifik melalui pola-pola kebijakan agama. Kerstein Steiner menggambarkan ini terjadi di dua negara mayoritas muslim: Malaysia-Brunei, dan dua negara minoritas muslim: Singapura-Filipina. Steiner menyatakan bahwa pada prinsipnya, keempat negara tersebut memiliki karakte- ristik hukum Islam yang relatif sama, karena memiliki satu satu kesamaan sebagai bagian dari dunia Islam Melayu. Namun, setiap negara memiliki pola dan cara sendiri-sendiri dalam melakukan implementasi terhadap hukum-hukum tersebut. Perbedaan itu, dili- hat dari pola administrasi, akomodasi, hingga kontrol terhadap hu- kum Islam. Pola-pola tersebut dipengaruhi oleh konteks sosial dan politik salah satu negara.3 Dalam bagian ini, saya menarasikan fenomena yang sama terjadi di negara minoritas muslim, Vietnam dan Kamboja. Pola pola birokratisasi Islam merupakan bagian dari akomodasi dan kontrol negara terhadap diskursus keislaman. Meski hukum Islam belum berkembang secara signifikan, seperti yang terjadi di negara minoritas muslim Singapura yang menerapkan AMLA (Adminis- tration of Muslim Law Act) dan Filipina dengan CMPL (Code of Muslim Personal Law)4, namun melalui kebijakan keagamaan yang diterapkan di kedua negara, Islam secara administrasi berada dan di bawah kontrol negara.

103 Birokratisasi Islam di Indocina...

A. Satu Partai Banyak Agama: Politik dan Regulasi Keagama- an di Vietnam Secara normatif, Vietnam melalui konstitusinya secara tegas menyatakan sebagai negara yang menggunakan ideologi Komunis sebagai ideologi resmi negara. Ini bertumpu pada pemikiran-pemi- kiran Marxisme-Leninisme dan Ho Chi Minh, tokoh komunis yang menjadi bapak bangsa Vietnam. 5 Seperti pada negara-negara yang menerapkan ideologi komunis sebagai dasar filosofis negara, mi- salnya: Soviet, Cina, Cuba, Polandia, Kampuchea, dan seterusnya, Vietnam menggunakan sistem satu partai, yaitu Partai Komunis Vietnam (Communist Party of Vietnam, CPV). Posisi CPV dalam negara sangat kuat, disejajarkan dengan Fatherland, Rakyat, dan Negara.6 Secara umum, meski tidak semua, sejarah perjumpaan an- tara Komunisme dan Agama, adalah sejarah ketegangan dan kon- flik. Umat beragama menganggap komunisme adalah kosa kata lain dari Ateisme yang berusaha mematikan fungsi-fungsi agama.7 Se- mentara dalam ajaran komunisme sendiri, agama dianggap sebagai bagian yang tidak memiliki konstribusi penting dalam pembangu- nan negara, sehingga seharusnya tidak memiliki keterkaitan dengan urusan kenegaraan.8 Sebagai contoh, pengalaman muslim di Asia Tengah, yang berada di bawah kebijakan negara komunis soviet selama hampir tujuh puluh tahun (1922-1991). Pada periode itu, umat Islam mengalami serangkaian controling hingga penghancu- ran madrasah dan sekolah-sekolah keagamaan, serta masjid dan sarana peribadatan. Aktifitas dan simbol-simbol keislaman di ruang publik dihilangkan, menjadikan Islam di Asia Tengah, untuk bebe- 9 rapa masa mengalami keterpisahan dengan dunia Islam secara luas. Serupa dengan itu, muslim di Kamboja juga mengalami hal yang sama. Pada 1975-1979 di bawah pemerintahan komunis Khmer Merah, lebih dari satu juta orang Kamboja menjadi korban genosi- de rezim, sebagian besar karena agamanya, termasuk muslim; 10 Berdasarkan kenyataan di atas, secara normatif dan pengala- man sejarah penerapan ideologi komunisme oleh negara, terlihat agama dan komunisme selalu berada dalam ketegangan. Namun, dalam bagian ini, saya menampilkan hal yang sebaliknya berbeda, dimana pemerintah yang secara normatif menerapkan ideologi

104 Birokratisasi Islam di Indocina... komunisme sebagai ideologi negara, justru melibatkan orang-orang beragama untuk terlibat dalam melakukan rekonstruksi terhadap negara. Narasi ini saya gambarkan dalam dua model keterlibatan: Pertama, adanya regulasi agama dan kegiatan diseminasi regulasi tersebut. Dan kedua, dibentuknya lembaga keagamaan di bawah negara. Munculnya dua hal tersebut memperlihatkan perubahan si- kap komunisme terhadap agama, dari ketegangan menuju akomo- dasi.

Regulasi Agama: Antara Tuntutan dan Kebutuhan

Secara signifikan, negara Republik Sosialis Vietnam (SRV) mengalami perubahan drastis dalam wilayah kebijakan keagamaan dalam tiga dekade terakhir.11 Sebelumnya, SRV bergelut dalam atu-ran-aturan ketat ala negara-negara komunis. Sebagaimana pan- dangan Lenin, ateisme adalah bagian tak terpisahkan dari komunis- me, sementara agama adalah sesuatu yang tidak memiliki fungsi dalam pembangunan negara, seharusnya tidak memiliki keterkaitan dengan urusan kenegaraan.12 Pandangan ini menjadi panduan SRV selama beberapa dekade dalam mengelola keberagamaan, sehingga aktivitas keagamaan berusaha dijauhkan dari ruang publik. Saat ini, khususnya setelah momentum reformasi pasar (doi moi) pada 1986, menyebabkan terjadinya perubahan pola hubungan negara dan aga- 13 ma. Ini terlihat dalam kebijakan-kebijakan keagamaan yang secara signifikan diatur dalam periode saat ini. SRV mengalami keterbu- kaan dalam pengaturan masyarakat beragama, alih-alih melanjut- kan serangkaian ketegangan antara negara komunis vis a vis de- ngan agama.14 Walau demikian, menelusuri sejarahnya, wilayah SRV bukan peradaban yang hampa dinamika politik dan keagamaan. Sejak awal, ketika masih berada di bawah dominasi Dinasti Cina, lalu mendirikan dinasti sendiri, hingga pada era kolonialisme Prancis, diskursus tentang politik dan agama merupakan bagian penting dalam sejarah Vietnam. Secara bergantian, dengan berada dalam politik kekuasaan: Hindu, Konfusianisme, Budha, Katolik, Islam, dan agama-agama lokal, seperti: Cao Dai dan Hoa Hoa, mewarnai

105 Birokratisasi Islam di Indocina... sejarah panjang bangsa-bangsa di wilayah Vietnam saat ini.15 Se- hingga wajar, pada 1945, ketika negara ini merdeka dan secara resmi menjadi negara modern, agama menjadi satu kebutuhan sen- diri yang harus diatur, untuk memenuhi kebutuhan rakyat Vietnam. Terlepas dari hubungan tak terpisahkan antara komunisme dan ateisme. Tidak bisa dipungkiri, tokoh dibalik munculnya kebijakan keagamaan dalam Republik Sosialis Vietnam (SRV) merupakan tokoh pejuang komunis sendiri, yaitu Ho Chi Minh, ketika menja- bat sebagai Presiden Vietnam Utara (1945-1954).16 Kebijakan ter- sebut menjadi cikal bakal lahirnya segala kebijakan keagamaan di negara Vietnam modern, termasuk menjadi dasar dari keputusan Kongres Partai Komunis Vietnam, selanjutnya menjadi dasar ma- suknya kebebasan beragama sebagai bagian penting dalam konsti- tusi negara pada 1992. Secara resmi, agama di Vietnam diatur melalui konstitusi 15 April 1992, pada pasal 70 yang berbunyi:

“Setiap warga harus menikmati kebebasan me- miliki kepercayaan dan agama; setiap warga bisa me- ngikuti semua agama atau tidak memilih sama sekali. Setiap agama memiliki hak yang sama di hadapan hukum. Setiap tempat ibadah dari semua kepercayaan dan agama dilindungi oleh hukum. Tidak ada seorang pun yang bisa mengganggu kebebasan memiliki ke- percayaan dan agama. Juga tidak ada seorangpun yang bisa menyalahgunakan kepercayaan dan agama untuk melanggar hukum dan kebijakan Negara”.17

Secara jelas, dalam pasal tersebut, menekankan adanya kebebasan dan perlindungan kepada warga negara Vietnam untuk menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing. Walau demikian, kebebasan-kebebasan tersebut, berada dalam tafsir kebe- basan yang dijalankan oleh negara, yang menganut ideologi komu- nis, sehingga tafsir atas kebebasan beragama, mengikuti prinsip- prinsip kerja pemerintahan komunis, termasuk dalam negara dalam memahami agama yang mengikuti tafsir marxisme terhadap agama

106 Birokratisasi Islam di Indocina... itu sendiri. Pada kalimat terakhir dari pasal tersebut “Nor can any- one misuse beliefs and religions to contravane the law and the state policies”18, merupakan sikap tegas negara terhadap pengatu- ran kehidupaan keberagaamaan dan berkepercayaan di Vietnam. Dimana agama dan kepercayaan hanya digunakan untuk kepenti- ngan spiritualitas dan individu semata, tidak boleh digunakan un- tuk kepentingan lain, terlebih lagi untuk mengkritik pemerintahan, alih-alih melakukan perlawanan. Hal ini membuat keberagamaan di Vietnam, dalam praktisnya cukup ketat, walaupun kebijakan- kebijakan agama semakin diatur, dimodernisasi, dan semakin ter- buka akhir-akhir ini. Menurut Claire Tran Thi Lien, fenomena menguatnya pe- ngaturan kebijakan agama di Vietnam merupakan konsekuensi dari keinginan Vietnam untuk terlibat dalam pasar bebas dunia (free world market) untuk kepentingan ekonomi negara dan kesejahtera- an masyarakatnya19. Keinginan untuk terlibat dalam dunia ekonomi internasional, membuat Vietnam melupakan cita-cita komunis un- tuk membangun masyarakat komunis (communist society) yang mencita-citakan sebuah masyarakat yang tidak bertuhan (atheis), alih-alih itu, Vietnam semakin hari, justru semakin memperhatikan kebijakan agama; membuat, merevisi, dan mendukung implemen- tasi pelaksanaan kebijakan tersebut melalui sosialisasi dan pende- katan kepada setiap kelompok keagamaan. Kebijakan-kebijakan agama yang dibangun oleh Vietnam, dipengaruhi oleh hasrat eko- nomi, sehingga untuk melihat perkembangan kebijakan agama di Vietnam, latar ekonomi menjadi latar yang dominan. Selain itu, sebagai negara dengan ideologi atheis-komunis, kebijakan-kebija- kan agama di Vietnam dibangun di atas pondasi model kebijakan agama ala komunis, yang telah diterapkan lebih dahulu oleh nega- ra-negara komunis, seperti Rusia dan Cina. Negara-negara tersebut, membangun kebijakan agama dengan sifat mengontrol yang lebih ketat, dibandingkan negara-negara lain. Sehingga fenomena biro- kratisasi dalam arti yang hirarkis digunakan dalam kebijakan aga- ma di negara-negara komunis, termasuk Vietnam. Pemerintah Vietnam mengakui enam agama: Budha, Katho- lik, Protestan, Islam, Cao Dai dan Hoa Hao. Dua agama terakhir,

107 Birokratisasi Islam di Indocina...

Cao Dai dan Hoa Hao adalah agama lokal yang muncul di masa- masa kolonialisme. Agama Budha mahayana merupakan yang pali- ng dominan dalam masyarakat Vietnam, sekitar 70 yang menganut agama Budha, mengamalkan tradisi Mahayana. Merujuk ke data dari the world factbook yang terakhir diupdate tahun 2009, menun- jukkan data demografi keagamaan sebagai berikut: tidak punya agama 81.8 persen, Budha 7.9 persen, Katolik 6.6 persen, Hoa Hao 1.7 persen, Cao Dai 0.9 persen, Protestan 0.9 persen dan Islam 0.1 persen. Masing-masing pembagian tersbut diambil dari data kese- luruhan penduduk Vietnam, dengan total 97.040.334.20

Tabel 2. Persentasi Populasi Pemeluk Agama dan Tidak Memiliki Agama di Vietnam Tahun 2018.

Nama Agama Persentasi Populasi Jumlah Jiwa Tidak Memiliki 81.8 Persen 79.375.993 Agama Budha 7.9 Persen 7.666.186 Katolik 6.6 Persen 6.404.662 Hoa Hao 1.7 Persen 1.649.685 Cao Dai 0.9 Persen 873.363 Protestan 0.9 Persen 873.363 Muslim 0.1 Persen 97.040

Dari data tersebut (tabel 2), terlihat hanya sekitar 20 juta masyarakat Vietnam yang menganut agama-agama tertentu, diper- kirakan sekitar 7-8 juta penganut Budha, 6 juta Katolik, 1.3 juta Hoa Hao, dan Muslim hanya berkisar 90an ribu, data tentang popu- lasi muslim ini, tidak jauh berbeda dengan data perkiraan yang diberikan oleh Komite Islam kota Ho Chi Minh, yaitu 82 ribu mus- lim seluruh Vietnam, khusus di kota Ho Chi Minh terdapat 7.956 orang.21 Jumlah tersebut telah digabung bersama muslim Bani di Vietnam Tengah. Selain itu, diperkirakan terdapat 1.5 juta lagi, orang Vietnam yang menganut agama Budha, namun berbeda-beda tradisi, seperti Brahmanisme, Buu Son Ky Huong, dan lainnya, 108 Birokratisasi Islam di Indocina... yang merupakan tradisi-tradisi Budha yang berasal dari ajaran-aja- ran Budha, di sekitar Asia Timur. Dinamika pluralisme agama di Vietnam tersebut, memperlihatkan orang Vietnam cukup terbuka untuk menerima ajaran-ajaran agama dari timur dan barat. Agama- agama timur, seperti Budha dan Konghucu. Agama dari barat, di- wakili oleh Katolik dan Protestan. Serta orang Vietnam memba- ngun sebuah ajaran keberagamaan baru, seperti Hoa Hao dan Cao Dai, yang dikenal sebagai agama lokal orang Vietnam. Tingginya angka masyarakat yang tidak memiliki agama, atau dalam bebera- pa peneliti menyebutnya hanya tidak mengakui memiliki agama, merupakan satu pengaruh yang masih ditinggalkan oleh penerapan kebijakan Communist Society (Masyarakat Komunis).22 Sebuah ide besar yang pernah diterapkan di negara-negara yang secara ideolo- gi menganut komunisme, secara politik. Salah satu prinsip dalam ide masyarakat komunis adalah membentuk masyarakat tanpa Tuhan (Atheist Society). Ide ini merupakan kelanjutan dan pengeje- wantahan ide marxis tentang ateisme. Sebagaimana yang ditulis Lenin: “Ateisme adalah sesuatu yang alami dan tidak terpisahkan dari ajaran marxisme, baik secara teori dan praktik-parktik kerja dalam ajaran tentang sosialisme”23. Pernyataan tersebut memang keras menyatakan hubungan marxisme dan ateisme adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Dalam tulisannya yang lain, Lenin juga memberikan penjelasan lain untuk menghindari kesalahpahaman atas defenisi ateisme dan hubungannya dengan Komunisme. Dalam Socialism and Religion ia menulis:

“…agama harus dinyatakan sebagai sebuah urusan pribadi… tapi makna dari pernyataan ini harus didefi- nisikan secara hati-hati untuk mencegah kesalahpa- haman (misunderstanding). Kita menuntut bahwa aga- ma sebagai urusan pribadi sejauh yang menyangkut urusan negara. Tapi tidak berarti kita akan memper- timbangkan agama sebagai urusan pribadi dalam uru- san partai kami. Agama seharusnya tidak memiliki urusan dengan negara, dan masyarakat yang beraga- ma seharusnya tidak memiliki hubungan dengan de-

109 Birokratisasi Islam di Indocina...

ngan otoritas-otoritas pemerintah. Setiap orang harus bebas untuk menganut agama apapun yang mereka inginkan, atau memilih untuk tidak memiliki agama, terserah. Seperti, menjadi ateis bagi mereka para sosialis, merupakan sebuah ketentuan”.24

Walau demikian, masyarakat Vietnam memiliki semangat tersendiri terhadap inti dari agama itu sendiri yaitu spriritualitas dan kepercayaan dengan kuat terhadap hal-hal yang tidak terlihat. Meski tidak mengakui agama secara resmi tapi mereka secara kuat mempercayai dan mengamalkan secara turun temurun tradisi nenek moyang. Salah satu contohnya, di setiap pertengahan bulan dalam kalender lunar25 mereka punya tradisi makan makanan vegetarian di luar rumah bersama keluarga. Sehingga di tanggal-tanggal ini, restoran yang menyediakan makanan vegetarian ramai pengun- jung.26 Di beberapa bus lokal, saya sering melihat ada patung dan berbagai macam suvenir yang biasanya digunakan sebagai perang- kat doa, terpampang di dasboard depan bus. Ada dua orang Viet- nam yang saya tanya mengenai keberadaan benda-benda tersebut mengatakan bahwa mereka meyakini keberadaan benda-benda itu akan membawa keselamatan dan mendatangkan rezeki.27 Fenome- na ini juga yang ditangkap oleh beberapa sarjana yang mengkaji tentang agama di Vietnam, mereka menduga, sekitar delapan puluh persen masyarakat Vietnam tercatat tidak memiliki agama, hanya mengaku tidak memiliki agama, tapi sesungguhnya mereka menja- lankan tradisi inti dari keagamaan.28 Dari keenam agama yang diakui pemerintah, Budha menjadi agama dengan penganut terbanyak. Agama ini masuk ke Vietnam pada masa-masa okupasi Cina ke wilayah ini, tidak berselang lama dengan sejarah kelahiran ajaran Budha sendiri yang dibawa oleh Sidharta Gautama, hal ini bisa ditarik hingga ke masa-masa awal Masehi. Selain itu, ada juga pendapat berbeda dari peneliti lain, mereka mengemukakan bahwa kehadiran ajaran Budha di Vietnam dipengaruhi oleh kekaisaran Asoka, yang pada saat itu berhasil me- nyatukan sebagian besar wilayah India. Kekaisaran Asoka, mem- buat sebuah kebijakan sendiri, yang bertujuan untuk menyebarkan

110 Birokratisasi Islam di Indocina... para juru dakwah untuk menyebarkan agama Budha ke bagian se- latan, di semenanjung Indocina, meliputi Myanmar, Thailand, hingga Vietnam. Dari kedua sejarah datangnya Budha ke Vietnam, kedua-keduanya bisa menjadi benar. tapi, lebih jauh, para peneliti bersepakat, berdasarkan fakta-fakta bahwa Budha hadir dan masuk dalam kehidupan masyarakat Vietnam dibawa oleh pedagang di tengah-tengah aktifitas perjalanan bisnis yang mereka lakukan di wilayah. Ada dua nama biksu yang akrab dikenal sebagai pembawa ajaran Budha ke Vietnam pada sekitar penghujung abad kedua ma- sehi, yaitu: Marajivaka dan K’sudara, ke duanya berada di ietnam dalam waktu yang cukup lama, sebelum melanjutkan perjalanan ke China. Ajaran K’Sudara mudah diterima oleh masyarakat-masyara- kat agraris yang saat itu banyak menempati wilayah sungai delta merah (red river delta). Untuk menjelaskan ajaran Dharma, dia menggunakan konsep empat dharma, dengan metafora Awan (Phap Van), Hujan (Phap Vu), Guntur (Phap Loi), dan Halilintar (Phap Dien . Selain kedua biksu tersebut, terdapat juga nama K’ang Seng Houei dan Kalaruci yang datang pada pertengahan abad ketiga, ser- ta Dharmadeva, yang tiba pada abad keempat. Diantara yang pali- ng penting adalah Kalaruci, yang kemudian menerjemahkan sebu- ah karya dalam bahasa ietnam “Phap Hoa Tam Muoi”, merupa- kan salah satu karya penting dalam tradisi Budha Mahayana, dan menjadi rujukan dan panduan dalam menjalankan peribadatan da- lam tradisi tersebut. 29 Budha semakin berkembang dan mencapai momentumnya pada abad kelima masehi. Di masa itu, telah terdapat biksu-biksu penting yang berasal dari Vietnam, diantara mereka adalah Hue Thang, Dao Thien, Dao Cao, dan Phap Minh. Diantara mereka bahkan telah diundang ke wilayah-wilayah di China. Pada abad ke sepuluh dan setelahnya, kedudukan Budha sebagai agama semakin penting, dalam masyarakat Vietnam, juga dalam tradisi kekuasaan. Salah satu dinasti yang pertama-tama bisa dianggap sebagai dinasti Budhis pertama adalah dinasti Ly (1009-1225). Pendiri dinasti Le, King Ly Thai To, merupakan murid dari Ly Khan Van dan berte- man dalam kelompok kebiksuan dengan Vanh Hanh yang sangat mendukung ajaran-ajaran Budha. Dalam tahun-tahun pertama ke-

111 Birokratisasi Islam di Indocina... kuasaan, banyak kebijakan agama yang dibuat dan pro terhadap pengembangan ajaran Budha, diantaranya pembangunan banyak pagoda di kota Thang Long, yang merupakan pusat pemerintahan baru dinasti Le pada 1010, selain itu, pembangunan pagoda juga dilakukan dibeberapa wilayah kekuasaan dinasti Ly, dengan meng- gunakan biaya pemerintah. Walaupun demikian, Budha tidak dija- dikan sebagai agama resmi dinasti, namun prinsip-prinsip ajaran Budha diterapkan untuk menopang kekuasaan.30 Raja-raja dalam dua dinasti tersebut, sangat hormat terhadap ajaran Budha dan para biksu. Pada masa ini, para biksu diberikan keistimewaan untuk terlibat dalam urusan kekuasaan, dan mereka diberikan hadiah atas keterlibatan dan konstribusi mereka pada kekuasaan. Dalam seja- rah nasional Vietnam, setidaknya terdapat empat nama biksu yang berkonstribusi pada pembangunan bangsa di masa ini, diantaranya: Khuong Viet, Phap Thuan, Ma Ni dan Dang Huyen Quang. Pada awal abad kelima belas, Dinasti Le mengambil kekua- saan, dan seiring dengan itu, pesona ajaran Budha kian meredup dalam pemerintahan. Di bawah kekuasaan dinasti Le, Konfusianis- me dijadikan sebagai ajaran, doktrin dan ideologi moral dan poli- tik. Berlangsung dan merasuk ke dalam tubuh masyarakat. Pada saat yang bersamaan, pemerintah menggunakan ajaran konfusianis- me sebagai doktrin politik. Oleh karena itu, dengan cepat Konfu- sianisme kukuh di atas pemerintahan. Raja-raja dari dinasti Le tidak lagi mengikuti ajaran Budha, tapi mengamalkan konfusianis- me. Para intelektual terdidik berbahasa mandarin dan pendidikan konfusianisme. Bahkan, untuk membatasi segala hal yang berkai- tan dengan Budha, pihak pemerintah membuat pasal-pasal pidana mengenai agama, yang bertujuan untuk menghalau pengaruh ajaran Budha.31 Pada waktu bersamaan, pemerintah membuat standar pe- rilaku moral baru, yang bersesuaian dengan ajaran Konfusianisme. Pada 1461 dan 1464, pihak Dinasti bahkan membuat sebuah pengumuman terbuka, yang menyatakan larangan terhadap pemba- ngunan pagoda.32 Pada masa-masa itu, secara perlahan, kedudukan penting ajaran Budha dalam pemerintahan meredup dan melemah, seiring dengan menguatnya kedudukan ajaran konfusianisme dalam dalam kerajaan. Setelah kejatuhannya, ajaran Budha kembali bang-

112 Birokratisasi Islam di Indocina... kit, namun tidak sekuat kedudukan sebelumnya. Usaha-usaha untuk membangkitkan kembali ajaran Budha dimulai di wilayah Saigon dan beberapa provinsi di bagian selatan Vietnam. Mereka melaku- kan re-organisasi melalui pembagian tiga wilayah, selatan, tengah, dan utara. Masing-masing wilayah tersebut memiliki dua organisa- si keagamaan. Organisasi-organisasi ini melakukan kerja-kerja advokasi, misionarisasi, dan pendidikan tentang ajaran Budha. Mereka melakukan kerja-kerja intelektual dengan menulis dan me- nerjemahkan buku; membuat majalah; dan terlibat dalam komuni- kasi dengan organisasi-organisasi Budha internasional, dengan tujuan utama untuk memperkenalkan dan mengembangkan kajian- kajian tentang ajaran Budha. Dalam usaha revitalisasi ajaran Budha di Vietnam, kelompok Budha vis a vis dengan kelompok kolonial, yang juga membawa misi, selain mengukuhkan kekuasaan, namun juga menyebarkan agama katolik di wilayah jajahan.33 Walau demikian, kehadiran ajaran katolik di Vietnam jauh lebih tua dibandingkan kolonialisme Prancis, yang memulai domi- nasinya pada 1886. Menurut pengkaji Katolik di Vietnam, kerja- kerja penyebaran agama Katolik di Vietnam dimulai pada 1533, melalui seorang pedagang bernama Ignatius. Ia memasuki wilayah Vietnam melalui jalur laut. Setelah itu, dalam rentang waktu yang tidak terpaut jauh, para misionaris katolik semakin sering memasu- ki dan melakukan katolikisasi di masyarakat Vietnam. Dalam ren- tang waktu tersebut, sampai 1884, ketika Prancis memulai domina- sinya di Vietnam. Katolik mengalami dinamika dan ragam penola- kan dari kekuasaan, seperti yang dilakukan raja Minh Manh, yang tetap kukuh memperjuankan ajaran Konfusianismenya. Melalui serangkaian perjanjian, akhirnya dinasti Nguyen dipaksa mengalah dan mengakui dominasi Vietnam. Pada saat ini, proses Katolikisasi berlangsung melalui jalur kekuasaan. Hal ini terlihat melalui per- janjian Nham Tuat Peace (nham tuat peace treaty) pada tahun 1862. Dalam perjanjian ini, memberikan kebebasan kepada misio- naris Prancis dan Portugis untuk melakukan katolikisasi di wilayah annam. Salah satu poin yang berkaitan dengan hal tersebut, berbu- nyi “French and Spanish missionaries are permitted to evangelize in Annam. The Annamese are free to become a Catholic followers

113 Birokratisasi Islam di Indocina... if they wish. No one has the right to impose any religion on the people if they do not want it”. Dalam perjanjian selanjutnya, yaitu Giap Tuat Peace Treaty, tahun 1874, disebutkan34:

… “Catholicism teaches people about good things. Therefore, the Vietnamese Emperor shall abolish all prohibiting decrees on Catholicism and give his per- mission for everyone to freely follow any religion as they wish… the Emperor shall order the destruction of all documents that keep a record of the names of a Catholic followers… the Emperor shall also prohibit people from sneeringat Catholicism and correct bad words of Catholicism which are found in the ten Commandments… Bishops and Priest have the right to rent and purchase land and houses, as well as build churches, hospital, school, and other buildings worship; the emperor has to return all the properties that were unfairly seized from the Catholics: … Katolik mengajarkan orang tentang hal-hal baik. Oleh karena itu, Kaisar Vietnam akan menghapus semua dekrit yang melarang agama Katolik dan mem- berikan izin kepada setiap orang untuk secara bebas mengikuti agama apa pun yang mereka inginkan ... Kaisar akan memerintahkan penghancuran semua do- kumen yang menyimpan catatan nama-nama pengi- kut Katolik...Kaisar harus juga melarang orang untuk mencibir Katolik dan mengoreksi kata-kata buruk Katolik yang ditemukan dalam sepuluh Perintah… Para uskup dan Imam memiliki hak untuk menyewa dan membeli tanah dan rumah, serta membangun gereja, rumah sakit, sekolah, dan bangunan ibadah lainnya; kaisar harus mengembalikan semua properti yang dirampas secara tidak adil dari umat Katolik ”.

Ajaran katolik semakin meluas secara kuantitas, dan sema- kin menguat dari segi kedudukan di masa kolonialisme Prancis.

114 Birokratisasi Islam di Indocina...

Perjanjian dan kebijakan pro-Katolik dibuat dan dimplementasikan dengan pemerintahan kolonial. Di masa ini, kebutuhan-kebutuhan pembangunan fasilitas ibadah dan keagamaan katolik, termasuk ke- butuhan para pendeta, dipenuhi melalui kas keuangan pemerintah kolonial. Bangunan-bangunan keagamaan katolik tersebut, masih dapat dijumpai hingga saat ini. Diantaranya yang terkenal, misal- nya Katedral Hanoi, yang mulai dibangun pada 1882 dan selesai pada 1886; Katedral Notre-Dame Basilica di Saigon (1863-1880) yang menghabiskan biaya sampai 2.5 juta euro.

Gambar 1.35 Penulis di Depan Katedral Notre-Dame Basilica Saigon, HCM.

Dengan berbagai keistimewaan yang diberikan kepada Kato- lik. Pihak katolik dengan mudah membangun gereja, sekolah aga- ma, hingga menjadi pemilik dari ribuan hektar lahan di Vietnam. Melalui sekolah-sekolah agama, untuk mempersiapkan calon pen- deta, Katolik memiliki sebuah rumah publikasi untuk menerbitkan banyak buku tuntutanan hingga studi-studi Katolik secara umum. segala keistimewaan itu, membuat Katolik sebagai agama dengan mudah menyebar dan dianut oleh banyak warga lokal Vietnam. Berdasarkan fakta tersebut, jumlah keuskupan pun selalu bertam-

115 Birokratisasi Islam di Indocina... bah. Pada 1913, terdapat sebelas keuskupan dengan satu apostolik. Jumlah keuskupan bertambah pada 1932 menjadi tiga puluh. Perkembangan pesat penganut Katolik di Vietnam diapresiasi besar oleh vatikan. Periode 1954 menjadi satu titip perubahan penting untuk Katolik di Vietnam. Tidak hanya Katolik, periode ini meru- pakan periode penting dalam sejarah Vietnam, dimana negara ini dibagi menjadi dua, utara dengan sistem sosialis dan selatan berada di bawah imperialisme Amerika. Di masa ini, umat-umat katolik di bawah parokinya masing-masing berpindah ke selatan, yang me- ngakibatkan berkurangnya umat katolik di utara. Saat ini, setidak- nya terhitung sejak 1975, setelah keterlibatan umat katolik dalam memperjuangkan nasionalisme Vietnam melalui beberapa gerakan dan kelompok umat, seperti; Viet Nam Committee for Patriotic Catholic Solidarity yang kemudian menjadi Viet Nam Committee for Catholic Solidarity, juga terlibat dalam upaya penyatuan negara Vietnam, dan berusaha berkonstribusi dalam merawat hasil penya- tuan itu.36 Sebagaimana yang ditampilkan pada tabel (3). Jumlah penga- nut agama Katolik merupakan kedua terbesar setelah Budha, seki- tar enam jutaan orang. Oleh karena itu, Katolik merupakan salah satu agama yang diatur secara kelembagaan dan memiliki satu departemen tersendiri yang mengurusi hal ihwal untuk jamaah Katolik di seluruh Vietnam. Departemen ini, secara hirarkis-struk- tural berada di bawah naungan Komite Pemerintah untuk Urusan Keagamaan (Government Committee for Religious Affairs) yang memiliki fungsi yang sama dengan Kementrian Agama pada umumnya.37 Meski diberitakan sebagai agama dengan penganut yang paling sering melakukan protes atas keputusan pemerintah, khususnya dalam soal kebebasan beragama. Jamaah katolik Viet- nam juga melakukan kerja-kerja sosial secara pro-aktif untuk mem- bantu pembangunan bangsanya. Pada saat ini, jamaah Katolik di Provinsi Quang Binh, aktif terlibat dalam aktifitas kerja sosial: Menguatkan motivasi untuk belajar, membantu orang miskin, men- ciptakan gaya baru dalam tradisi pernikahan dan pemakaman, dan membantu penguatan moral untuk anak-anak. Selain itu, juga aktif dalam menyikapi agenda-agenda lingkungan hidup, dengan me-

116 Birokratisasi Islam di Indocina... ngajak para jamaah untuk hidup bersih dan mencintai lingkungan. Agenda ini dinilai berhasil untuk mengurangi perilaku masyarakat yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan.38 Ketika berada dalam negara yang menganut sosialisme, ma- syarakat muslim memiliki pengalaman buruk; di Kamboja, ketika kekusaan rezim Khmer Merah (Khmer Rouge) yang dipimpin oleh Polpot (1975-1979) berkuasa, muslim Cham mengalami ragam tin- dakan diskriminatif, peminggiran hak, hingga genosida; pelarangan ibadah dan penggunaan bahasa Cham, pembunuhan para ustad dan juru dakwah, dan penghancuran perkampungan muslim dan mes- jid. Pada empat tahun masa kekuasaaa Khmer merah, diperkirakan 100.000 muslim meninggal dunia, dan dalam jumlah yang besar lainnya, mengungsi ke negara-negara tetangga hingga ke eropa.39 Di Vietnam, di masa yang yang hampir Dampak lain yang dibawa oleh hasrat ekonomi Vietnam, yang hendak memberikan kebebasan beragama bagi warganya, justru menjadi ancaman. Kelompok-kelompok keagamaan, banyak yang menjadikan solidaritas keagamaan menjadi basis untuk ber- ada di pihak oposisi, yang ingin mengguncang pemerintahan Viet- nam yang mapan dengan sistem kekuasaan absolut satu pertai, dikuasai oleh Vietnamese Communist Party (VCP); Partai Komu- nis Vietnam. Fenomena ini, setidaknya muncul sejak masa-masa awal reunifikasi, penyatuan kemballi Vietnam. Fenomena ini, me- ngiringi langkah-langkah Vietnam dalam pembangunan kembali negaranya. Usaha-usaha demonstrasi dan pembangkangan dari ke- lompok keagamaan bermunculan. Mereka menuntut kesetaraan hak, kesejahteraan, hingga menuntut tuntutan-tuntutan untuk mene- rapkan demokrasi terbuka. Dalam beberapa tahun terakhir ini, agama semakin menda- patkan tempat dalam masyarakat dan pemerintah Vietnam. Feno- mena ini kontras dengan kenyataan bahwa Vietnam adalah satu dari enam negara yang hingga saat ini masih menggunakan komunisme sebagai landasan ideologi negara. dan lagi, menurut beberapa data statistik tentang masyarakat Vietnam, terdapat sekitar 80 persen mengaku tidak memiliki agama. Dalam perkembangan tersebut, pemerintah komunis Vietnam mengatur agama dengan berbagai

117 Birokratisasi Islam di Indocina... cara, menerapkan fungsi kontrol melalui lembaga struktur-hirarkis, yang berlangsung dari atas ke bawah (top-down), melalui pemben- tukan lembaga keagamaan. Kebijakan ini diterapkan untuk mencip- takan satu nasionalisme di kalangan umat beragama di Vietnam, dan melibatkan mereka dalam pembangunan negara.40 Secara resmi, melalui kongres partai komunis Vietnam, aga- ma disadari sebagai kebutuhan warga negara dan menjadi satu aspek penting dalam pembangunan Vietnam sebagai sebuah negara modern. Kesadaran ini merupakan kesadaran lama dan telah diim- plementasikan dalam kekuasaan, setidaknya sejak era dinasti-dinas- ti berkuasa, sebagaimana dijelaskan dalam bagian sebelumnya. Kesadaran ini kemudian diimplementasikan secara modern, mengi- kuti tren organisasi dalam sebuah negara-bangsa, birokratis. Orga- nisasi-organisasi dibentuk dengan fokusnya masing-masing, terma- suk urusan-urusan keagamaan. Sejak itu, di bawah kekuasaan Pre- siden Vietnam Utara, Ho Chi Minh (1954-1969), didirikan Komite Urusan Agama (Ban Ton Giao Cuo Ching Phu) melalui dekrit No. 566-TTg tentang pendirian Komite untuk urusan-urusan Agama yang berada di bawah sebuah kantor pemerintahan (government office) Vietnam. Secara umum, tujuan pembentukan komite ini ada- lah untuk kepentingan partai komunis Vietnam dalam mengimple- mentasikan program-program pembangunan, dengan mengajak umat beragama terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemer- dekaan dan pembangunan nasional. Secara resmi, pada periode 1955-1975, fungsi dari Komite Urusan Agama adalah untuk membantu mengimplementasikan se- gala aturan dan kebijakan agama di Vietnam, khususnya sebagai- mana yang tertuang dalam intruksi Presiden Ho Chi Minh No. 234/SL tanggal 14 Juni1955. Pada periode ini, Vietnam sedang da- lam agenda pembangunan setelah merdeka dari Prancis. Komite Urusan Agama dimaksudkan sebagai penghubung untuk merangkul para umat beragama melalui solidaritas agamanya masing-masing, untuk terlibat dalam pembangunan negara Vietnam, khususnya di Vietnam utara saat itu, serta untuk sama-sama melakukan perlawan terhadap invasi Amerika di selatan. Selain itu, juga sebagai tinda- kan untuk mencegah gelombang migrasi yang dilakukan umat Ka-

118 Birokratisasi Islam di Indocina... tolik ke selatan. Usaha ini berhasil merangkul umat beragama dan membentuk solidaritas sesama agama masing-masing, diantara ge- rakan dan persatuan yang terkumpul adalah: Committee fo Cao Dai Unity, Vietnam Budhist Unified Association, Vietnam Evangelical Church, Vietnam Unified Budhist Church. Organisasi-organisasi ini kemudian berhasil memberikan konstribusi penting dalam merang- kul para pemuka agama dan para penganut agama untuk terlibat dalam gerakan melawan Amerika untuk cita-cita re-unifikasi kedua wilayah besar tersebut.41 Periode setelah re-unifikasi berhasil pada 1975, Komite Urusan Agama melakukan penguatan terhadap tubuh organisasi ini. Mereka menyiapkan sebuah rancangan untuk model pengembangan organisasi kedepannya melalui pendekatan lebih intim terhadap organisasi-organisasi keagamaan. organisasi tersebut kemudian di- buatkan tubuh sendiri di dalam tubuh Komite urusan agama. Usaha tersebut, sebagai bagian dari mewujudkan cta-cita negara untuk “better secular and religious life”, sebuah usaha untuk menjadikan negara Vietnam sebagai negara sekuler yang tetap menghargai kehidupan keagamaan. Dalam periode ini, organisasi-organisasi keagamaan di bawah komite agama, melangsungkan berbagai ke- giatan, seperti pertemuan pemuka agama, kunjungan ke pemuki- man masyarakat beragama, mengapresiasi setiap perayaan keaga- maan dan seterusnya. Walau demikian, pola pikir yang masih anti- Tuhan masih menjadi bayang-bayang dalam periode ini.42 Titik perubahan penting dalam kebijakan agama dan organi- sasi keagamaan terjadi pada 1990, saat Vietnam sedang berusaha melakukan segala renovasi dan inovasi dalam wilayah sosial, eko- nomi, hingga kebudayaan. Komite agama secara langsung membe- rikan nasehat kepada Partai dan Negara dalam merumuskan kebija- kan-kebijakan agama pada saat itu. hasil positifnya tertuang dalam resolusi 1990. Melalui resolusi ini, kedudukan agama kian menjadi penting, karena partai dan negara menyadari bahwa agama adalah sebuah kebutuhan warga negara, dan nilai-nilai keberagamaan membawa dampak positif terhadap pembangunan negara. resolusi ini memberikan konstribusi penting terhadap suasana keberagama- an di Vietnam setelahnya, termasuk penghargaan dan jaminan kebe-

119 Birokratisasi Islam di Indocina... basan agama dan tidak beragama yang tertuang dalam konstitusi Vietnam tahun 1992.43 Komite agama merupakan lembaga yang responsif terhadap perubahan zaman, inovasi dalam pengelolaan keberagamaan pun dilakukan agar tercapai hubungan yang baik antara negara dan aga- ma di Vietnam. Maka, Komite Agama mengusulkan sebuah resolu- si untuk disetujui pada kongres kesembilan komite pusat partai komunis Vietnam, resolusi tersebut dikenal dengan resolusi 25, yang pada intinya berisi:

“belief and religion would co-exist with the nation in the process of building socialism in the country; reli- gious followers form an integral part of the great na- tional unity bloc; the party and the state consistently implement the policy great national and religious unity; unity of followers of various religions and unity of religious and non-religious people:

kepercayaan dan agama akan hidup berdampingan de- ngan negara dalam proses membangun sosialisme di negara ini; pengikut agama membentuk sebuah bagi- an integral dari blok persatuan nasional yang besar; partai dan negara secara konsisten menerapkan kebi- jakan persatuan nasional dan agama yang hebat; per- satuan pengikut berbagai agama dan persatuan umat beragama dan non-religius44”

Resolusi ini memberikan dampak signifikan untuk membuka akses untuk umat beragama, dapat terlibat dalam pembangunan ne- gara Vietnam. Kebijakan tersebut disahkan pada pertemuan Maje- lis Nasional kesembilan tentang peraturan tentang Kepercayaan dan Agama, tertanggal juni 2004. Peraturan ini menjadi peraturan ter- tinggi yang mengatur urusan-urusan keagamaan di negara ini. Sela- in itu, melalui peraturan ini, juga menjadi satu panduan khusus ten- tang proses pendafataran untuk organisasi-organisasi keagamaan.45 Saat ini, Komite Agama, sebagaimana tertuang dalam pasal 3

120 Birokratisasi Islam di Indocina... keputusan Perdana Menteri no. 134/2009/QD-TTg, tanggal 3 No- vember 2009, Komite ini membawahi beberapa bagian atau depar- temen, yang masing-masing terdiri dari urusan rumah tangga orga- nisasi dan departemen yang secara spesifik membawahi urusan- urusan keagamaan masyarakat, susunannya sebagai berikut:46

Tabel 3. Struktur Organisasi Komite Pemerintah untuk Urusan Agama (GCRA), Republik Sosialis Vietnam (SRV).

Tabel (3) memperlihatkan bagaimana agama diatur secara hirarkis-birokratis melalui cara kerja birokrasi modern. Melalui model organisasi ini, Vietnam melakukan pengawasan (controling) terhadap aktivitas keagamaan yang berlangsung di dalam negara- nya. kerja-kerja agama harus dilaporkan diketahui oleh pemerintah setempat minimal oleh pemerintah tingkat distrik. Melalui model organisasi ini, setiap masyarakat yang membentuk organisasi atas nama agama tertentu harus melakukan pelaporan secara terstruktur ke Komite Pemerintah untuk Urusan Keagamaan. Dalam kaitannya

121 Birokratisasi Islam di Indocina... dengan negara, Islam secara birokratis juga berada di bawah kon- trol negara melalui komite ini, lihat tabel (4)

Tabel 4. Posisi Islam dalam Negara Republik Sosialis Vietnam (SRV)

Struktur ini merupakan kesimpulan penulis setelah menga- mati pola dan perilaku Lembaga keislaman dalam kaitannya de- ngan pemerintah. Tidak ada dokumen tertulis yang menyatakan bahwa Komite Islam secara hirarkis berada di bawah Lembaga negara. masyarakat muslim juga memahami Komite Islam sebagai Lembaga yang berdiri sendiri (independent). Namun, dalam prak- tiknya, Komite Islam hanya bisa terbentuk dan kepengurusannya bisa berjalan jika memiliki izin dan persetujuan dari Komite Dae- rah setempat, dengan berbagai sistem pelaporan yang rutin dilaku- kan.

B. Satu Nasionalisme, Banyak Agama: Narasi Politik Keagama- an di Kamboja Sebagaimana yang dijelaskan dalam bab sebelumnya, hubu- ngan negara dan agama di Kamboja memiliki sejarah antagonisme

122 Birokratisasi Islam di Indocina... yang rumit. Kenyataan bahwa saat ini, Kamboja menjadi salah satu negara yang memiliki stabilitas dalam wilayah keagamaan, itu ter- jadi setelah melewati jalan panjang politisasi keagamaan: dari tradisi Hindu, Budhisme, Ateisme, lalu kemudian Budhisme disah- kan sebagai agama negara. Dinamika keagamaan di negara ini ber- kait kelindan dengan politik dalam waktu yang lama. Tidak ada data pasti mengenai kapan dan bagaimana Budhisme pertama kali masuk dalam wilayah Kamboja. Namun, diduga Budhisme di wila- yah Kamboja saat ini telah ada sejak wilayah ini dikuasai oleh kerajaan Funan, kerajaan tertua orang Khmer yang bisa dilacak keberadaannya, berkuasa di sekitar Battambang sampai ke Mekong Delta, bagian Vietnam saat ini. Budhisme dalam masyarakat Khmer dibuktikan melalui penemuan ukiran bergaya Budhisme yang me- miliki keterkaitan dengan Funan. Ukiran tersebut dalam media kayu, batu, tulang dan seterusnya, ditemukan di daerah Mekong Delta dan Thailand.47

Negara-Kerajaan dan Agama Dalam perkembangan berikutnya, keterkaitan erat antara Budhisme dan negara-kekuasaan, dimulai di era Jayavarman VII (1125-1218), Raja Kerajaan Khmer. Di masa pemerintahannya, ia mendirikan salah satu Kuil Budha terbesar yang didirikan pada 1186 masehi. Pada penghujung kekuasaannya, Jayavarman VII juga mendirikan sebuah kuil Budha di atas bukit.48 Kepedulian Javar- man VII terhadap Budhisme yang melekatkan Budhisme dalam tra- disi kerajaan merupakan pengaruh dari bapaknya, raja Dharanin- dravarman II (1160), yang pertama-tama menemukan kepuasaan dalam ajaran yang diyakini sebagai agama Sakyamuni.49 Budhisme yang berkembang di masa keduanya adalah Budha Mahayana. Aja- ran ini berganti, setelah kekuasaan jatuh ke kuasa oposisi, ajaran Budha Mahayana semakin lemah dan tidak memiliki pengaruh sig- nifikan setelah era Jayavarman. Setelah masa itu, pengaruh Budha Theravada justru semakin menguat, secara signifikan ajaran ini tersebar di sekitar abad ke-15 di wilayah-wilayah Kamboja. De- ngan mengutip Benda, yang saya kutip dari Harris, ia menyatakan

123 Birokratisasi Islam di Indocina... pergantian periode merupakan hal yang sangat mungkin terjadi, dengan mempertimbangkan bahwa Theravada memiliki ajaran yang lebih egaliter dan menjunjung kesederhanaan, berbeda dengan Ma- hayana. Hal tersebut yang membuat adanya pergantian (shifting) yang berlangsung relatif cepat antar keduanya. 50 Namun tidak bertahan lama, tercatat pada 1642, seorang Raja Khmer, Ramadhipati I (1642-1658) masuk Islam, Ia mengganti namanya menjadi Sultan Ibrahim. Pada periode awal, Ramadhipati I tetap mendukung ajaran Budhisme Theravada: mendirikan pago- da di banyak tempat. Namun, berubah setelah adanya pengaruh putri Champa yang menjadikan Ramadhipati melupakan tradisi Budha, dan menyeru jihad melawan kolonialisme. Karena perlawa- nan itu, banyak tokoh muslim yang diadili. Ketika Ramadhipati turun tahta, Budhisme kembali ke dalam kekuasaan. Sebagai ajaran negara, Budhisme diberikan perlindungan dalam kerajaan51. Periode setelah ini, merupakan sejarah antagonisme dengan agama yang berujung genosida. Pemerintah Demokratik Kampuc- hea (1975-1979), melakukan upaya untuk menyebarkan paham Ateisme, penghancuran rumah Ibadah, perusakan buku-buku kea- gamaan, hingga pembunuhan massal (genosida) terhadap orang- orang yang beragama. Pada masa Khmer Merah tersebut. Saat Pol- pot memimpin kamboja pada medio 1975-1979, kehidupan keaga- maan menjadi sulit. Kelompok-kelompok keagamaan dianggap se- bagai kelompok yang paling rentang untuk melakukan pemberon- takan untuk melawan pemerintah. Sehingga tindakan demi tinda- kan refresif dilakukan, marginalisasi, peminggiran hak, penghancu- ran kampung dan rumah ibadah, hingga pembunuhan massal terja- di di masa ini. Orang-orang beragama, khususnya muslim menjadi salah satu target utama pemberangusan. Menurut para pejabat di Kementrian Agama dan Kepercayaan Kamboja, dikutip dari Ysa Osman, menyatakan bahwa periode sebelum 1975, jumlah populasi muslim diperkirakan sekitar 700.000 orang, tapi setelah 1975, ber- kurang total dan tersisa 200.000 orang. Setidaknya sekitar 500.000 muslim Cham menjadi korban dalam pembunuhan massal yang dilakukan Pol-pot dalam empat tahun kekuasaannya.52 Pada masa- masa ini, banyak muslim Cham yang mengungsi keluar negara;

124 Birokratisasi Islam di Indocina...

Malaysia, Vietnam, hingga ke Indonesia. Sampai akhir tahun 1975, terdapat 1.279 pengungsi Cham yang berada di Malaysia, sampai tahun 1980an, jumlah pengungsi Cham bertambah, dan tercatat sekitar 9.704. para pengungsi ini, sebagian besar berada di Kelan- tan. Hal ini didasari oleh kenyataan sejarah bahwa hubungan Champa dan Kelantan telah terjalin sejak lama, salah satunya mela- lui jalur perkawinan antara putri Kelantan dan Penguasa Champa. Faktor lainnya, karena adanya kesamaan dalam tradisi keagamaan, yaitu sesama pemeluk Islam yang juga sejak lama berbagi sejarah keislaman. Hubungan ini, menurut Betti Rosita Sari memiliki pengaruh signifikan dalam jaringan bisnis antara orang Cham di Malaysia dan Kamboja. Ini berlangsung hingga saat kini, dan ber- konstribusi signikan pada perkembangan ekonomi orang Cham di Kamboja53. Dalam konstitusi Kamboja, tahun 1993 yang telah diaman- demen pada tahun 2008, menegaskan dengan jelas bahwa ajaran Budha sebagai agama resmi negara, sebagaimana dalam pasal 43, yang berbunyi

Khmer citizens of either sex shall have the rights to freedom of belief // Freedom of belief and religious worship shall be guaranted by the State on the con- dition that such freedom does not not affect beliefs and religions or violate public order and security // Budhism shall be the religion of the State.

Setiap Warga Khmer dari segala jenis kelamin harus memiliki hak bebas untuk memiliki kepercayaan // kebebasan berkepercayaan dan melakukan ritual kea- gamaan harus dijamin oleh negara dalam kondisi tidak memberi akibat kepada kepercayaan dan agama orang lain atau menganggu kepentingan publik dan keamanan // Agama Budha adalah agama resmi negara.54

125 Birokratisasi Islam di Indocina...

Demografi agama di Kamboja hampir tunggal dan dikuasai oleh Budha, sebagai agama resmi negara, Budha adalah agama yang paling banyak dianut oleh warga Kamboja, sekitar 97.9 per- sen, disusul kelompok muslim dengan 1.1 persen, lalu Kristen dengan 0.4 persen, dan terdapat 0.8 persen yang menganut agama lain. Data ini merupakan data tahun 2013, bersumber dari factbook .com, dari lembaga pusat intelijen Amerika (CIA).55 Mayoritas penganut Budha di Kamboja, berbeda dengan Vietnam, sebab seki- tar 95 persen dari totap penganut agama Budha, mengikuti tradisi Budha Theravada. Umumnya penganut Budha sebagian besar bera- sal dari etnik Khmer, merupakan etnik mayoritas di Kamboja, seki- tar 97.6 persen dari total penduduk Kamboja, 16.449.519 (2018). Penganut agama terbesar kedua adalah Islam, umumnya para mus- lim di kamboja merupakan etnik Cham, yang juga merupakan etnik terbesar kedua setelah Khmer di negara ini, jumlahnya sekitar 1.2 persen. Walau demikian, tidak semua muslim adalah Cham, namun sebaliknya, semua Cham adalah muslim, walaupun menuai diskur- sus tentang identitas keislaman beberapa kelompok Cham, misal- nya di Kamboja. Dalam perkembangannya, sebagai kelompok agama terbesar kedua setelah Budha, masyarakat Muslim di Kamboja, berusaha di- seragamkan dengan warga negara mayoritas Kamboja yaitu Khmer. Usaha ini, dianggap sebagai usaha harmonisasi antara kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas. Usaha ini dilakukan secara resmi oleh pemerintah, pada sekitar tahun 1950an, pemerintah 56 membuat identifikasi ‘Khmer Islam’ untuk menyebut orang Cham. Penyebutan tersebut ditujukan kepada Cham yang menganut aga- ma Islam, yang mayoritas berada di utara kota Phnom Penh, meli- puti provinsi Kampong Cham. Selain itu, persebaran komunitas muslim juga banyak ditemui di provinsi Kampot, Kandal, Phnom Penh, Kampong Chang, Kampong Thum, Kraceh, dan Batambang, yang merupakan jalur darat menuju perbatasan Thailand di utara Kamboja. walau demikian, tidak semua Cham di kamboja menga- nut Islam Sunni, sebagaimana yang diamalkan di kawasan Asia Tenggara. Namun, terdapat sekitar 19.000 orang Cham yang terse- bar di provinsi Kampot, Pursat dan Battambang, yang dianggap bu-

126 Birokratisasi Islam di Indocina... kan Islam, mereka disebuh sebai Cham Jaheed. Walalu demikian, dalam persepktif mereka sendiri, mereka adalah muslim.57 Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, Konstitusi Kam- boja menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan, dan tidak melarang adanya intervensi dan kekerasan atas nama agama terten- tu. Sebagai agama mayoritas, Budha dijadikan sebagai agama ne- gara, sehingga ajaran-ajaran Budhisme juga dijalankan dalam berbagai aspek kehidupan. walau demikin, ajaran-ajaran Budhisme tetap dijalankan di bawah hukum yang berlaku dan dibolehkan un- tuk melakukan tindakan diskriminatif atas dasar agama. Sekalipun, negara ini adalah negara berbasis agama, sebagaimana yang menja- di motto negara ini yaitu “Nation Religion King” tiga kata ini me- rupakan gambaran umum untuk melihat bagaimana Kamboja dija- lankan sebagai sebuah negara dengan mendasarkan pada ketiga aspek tersebut. Oleh karena itu, prinsip-prinsip bernegara modern, sebagaimana kata representasi kata Nation, juga diimplementasi- kan dalam negara ini. Semua hal, termasuk urusan keagamaan juga diatur dalam aturan yang birokratis. Dalam konstitusi pemerintah kerajaan Kamboja dengan jelas menerangkan bahwa negara ini menjamin berlangsungnya pemenuhan Hak Asasi Manusia, seba- gaimana yang diatur secara global. Serta dalam pasal 43, Kamboja menjamin warga negaranya untuk memiliki kebebasan beragama, dan menyatakan sebagai negara agama yang menerapkan Budhis- me sebagai agama resmi negara. Dalam mewujudkan jaminan per- lindungan dan pelayanan terhadap umat beragam, dibentuk lemba- ga khusus Kementrian Kepercayaan dan Agama-Agama (Ministry of Cults and Religions-MCR) untuk mengurus seluruh kepentingan orang beragama di negara ini.58 Dalam menjalankan setiap aktivitas keagamaan, termasuk agama Budha yang merupakan agama negara, setiap agama harus mendaftarkan segala aktifitasnya ke Kementrian Agama dan Ke- percayaan (Ministry of Religious and Cults). hal-hal yang perlu dilaporkan ke kementrian, seperti tujuan dari sebuah organisasi keagamaan; menjelaskan bentuk kegiataannya; menyiapkan selu- ruh pemuka agama yang terlibat dalam kegiatan tersebut; menjelas- kan sumber pendanaan kegiatan; berkomitmen untuk melakukan

127 Birokratisasi Islam di Indocina... pelaporan tahunan tentang detail-detail kegiatan yang dilaksana- kan; tidak bersifat pertentangan dengan kelompok agama lain. Untuk melakukan pendaftaran kelompok keagamaan, setidaknya butuh waktu selama 90 hari. Prosesnya panjang, melalui persetuju- an beberapa pihak, diantaranya dari tingkat provinsi hingga ke kantor pusat. Walau demikian, Kementrian Agama tidak memiliki otoritas untuk membatalkan pendaftaran atau pun memberikan sanksi terhadap lembaga-lembaga yang cacat, misalnya secara ad- ministrasi. Lembaga-lembaga keagamaan yang terdaftar di bawah Kementrian Agama dan Kepercayaan akan mendapatkan keistime- waan bebas pajak dari Kementrian Ekonomi dan Keuangan.59 Secara formal, agama-agama selain Budha di Kamboja, dila- rang untuk menyebarkan agama secara door to door, namun demi- kian, menurut temuan dari Kementerian Agama masih ada aktifi- tas-aktifitas penyebaran agama secara liar yang terkadang dilaku- kan oleh kelompok-kelompok Kristen. Selain itu, aturan formal dalam administrasi keagamaan di Kamboja, mewajibkan semua tempat ibadah dan sekolah-sekolah keagamaan harus terdaftar me- lalui Kementrian Agama. Tempat ibadah dan sekolah keagamaan yang tidak terdaftar harus dilakukan penutupan sementara, sampai sekolah tersebut terdaftar, namun menurut laporan Amerika dalam Cambodia 2016 International Religious Freedom Report, masih be- berapa tempat ibadah dan sekolah keagamaan yang tidak terdaftar, namun tidak diberikan sanksi oleh Kementrian Agama.60 Dalam pendirian rumah ibadah dibedakan antara “Places of Worship: Tempat Ibadah” yang digunakan untuk melakukan ritual peribadatan dengan “office of prayer: Kantor Ibadah, yang hanya cenderung digunakan beribadah tapi dengan hanya sedikit orang. Perbedaan lainnya, jika tempat ibadah, bangunannya harus diba- ngun dan tanahnya harus dimiliki secara bersama. Namun, jika ha- nya kantor ibadah, bisa menyewa rumah-rumah kantor biasa. Dalam pembangunannya, telah diatur minimal antara satu tempat ibadah dengan tempat ibadah lainnya, berjarak minimal 1.2 kilo- meter. Untuk kebijakan tentang sekolah keagamaan. dalam pendaf- tarannya, setiap lembaga sekolah harus mendaftarkan sekolah tersebut di Kementerian Agama dan Kepercayaan dan Kementrian

128 Birokratisasi Islam di Indocina...

Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Minisry of Education, Youth, and Sport (MOEYS)). Sekolah-sekolah keagamaan, selain menga- jarkan kurikulum agamanya, juga dituntut untuk mengajarkan kuri- kulum umum. Secara umum, kurikulum pendidikan mengajarkan agama di semua level pendidikan, tapi sifatnya optional. Bagi me- reka yang non-Buddhis tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti kelas tersebut. Untuk semua sekolah milik pemerintah, ada keten- tuan untuk tidak diperbolehkan mengajarkan agama, selain Budhis- me di sekolah-sekolah tersebut.

Tabel 5. Posisi Lembaga Islam dalam Pemerintah-Kerajaan Kamboja

Struktur (tabel 5) memperlihatkan bagaimana posisi lembaga tertinggi untuk urusan umat Islam di Kamboja. secara hirarkis, lembaga ini tidak berada di bawah MCR, namun memiliki garis kordinasi langsung dengan Perdana Menteri dan Pihak Kerajaan. HICIRAC dilantik langsung oleh pihak Kerajaan, ditunjuk sebagai lembaga resmi yang mewakili kerajaan dalam mengurus urusan 61 umat Islam di Kamboja. Berhubungan dengan MCR, hanya dalam urusan pembangunan masjid dan sekolah-sekolah keagamaan. Se-

129 Birokratisasi Islam di Indocina... kolah keagamaan, pada awalnya didirikan tidak melalui HICIRAC, melainkan secara mandiri oleh individu atau organisasi keislamana lainnya. Namun, sejak 2015 sekolah-sekolah tersebut baru didaftar- kan ke HICIRAC sebagai syarat untuk para pengajar di sekolah ter- sebut bisa mendapatkan tunjangan dari pemerintah, melalui Kemen- trian Pendidikan.

Catatan untuk Bab III

1 Wolfgang J. Mommsen, The Age of Bureaucracy: Perspectives on the Political Sociology of Max Weber, (Oxford: Basil Blackweel, 1974) 2 Format birokratisasi negara dan semi-negara merupakan bagian dari formalisasi struktur-struktur Lembaga Islam melalui proses legalisasi kelembagaan oleh negara. M ller, Dominik M., and Kerstin Steiner, “The Bureaucratisation of Islam in Southeast Asia: Transdisciplinary Perspectives”, dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs (Vol. 37, No. 1, 2018), 5; Sementara melaui aktor non-negara melibatkan otoritas kharisma (Charismatic Authority) sebagai format lain dari Birokratisasi Islam. Merujuk ke Konsep Weber tentang Teori Biro- krasi. Lihat juga Fogg, Kevin W. (2018), Reinforcing Charisma in the Bureaucratisation of Indonesian Islamic Organisations, in: Journal of Current Southeast Asian Affairs, 37, 1, 117–140. 3 Malaysia sebagai negara mayoritas melakukan akomodasi dengan melakukan Islamisasi ruang publik; Brunei menjadikan Islam sebagai bagian integral dari Ideologi nasional; Singapura dan Filipina melaku- kan kontrol secara hati-hati terhadap implementasi hukum Islam, kaitannya dengan negara. lihat juga Kerstin Steiner, “Branding Islam: Islam, Law, and Bureaucracies in Southeast Asia”, dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, (Vol.37, No. 1, 2018), 27–56; Walid Jumblatt Abdullah, “Bureaucratising Islam state strategies and Muslim responses in Singapore”, dalam Journal of Religious and Political Practice, (Vol.4, No. 3, 2018), 297-313, DOI: 10.1080/205 66093.2018.1525898 4 Steiner, Kerstin, “Branding Islam: Islam, Law, and Bureaucracies in Southeast Asia”… , 5 Lihat lebih jauh dalam Konstitusi Vietnam, pasal 4, ayat 1. 6 Lihat juga dalam Konstitusi Vietnam, pasal 9, ayat 1 dan pasal 65.

130 Birokratisasi Islam di Indocina...

7 Ini juga dituliskan oleh Lenin, bahwa Ateisme adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Marxisme. Lihat juga V.I. Lenin, Religion, (Read Book, 2007), h. 5. 8 V.I. Lenin, Socialism and Religion, diakses dari https://www.marxists. org/archive/lenin/works/1905/dec/03.htm pada 13 Desember 2018. 9 Adeeb Khalid, Islam after Communism: Religion and Politics in Cen- tral Asia, (California: University of California Press, 2007), 2. 10 Lebih detail mengenai posisi muslim pada masa rezim Demokratik Kampuchea dijelaskan dalam sub-bab Kerajaan dan Budhisme di Kamboja. lihat juga Ysa Osman, Oukoubah: Justice for the Cham Muslims under the Democratic Kampuchea Regime, (Phnom Penh: Documentation Center of Cambodia, 2002), 1; Farina So, The Hijab of Cambodia: Memories of Cham Muslim Women after the Khmer Rouge, (Phnom Penh, Documentation Center of Cambodia, 2011). 11 Mathieu Bou uet, “ ietnamese Party-State and Religious Pluralisme since 1986: Building the Fatherland?, dalam Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, (Vol. 25, No. 1, 2010), 90. 12 V.I. Lenin, Religion, (Read Book, 2007), h. 5. 13 Mathieu Bou uet, “ ietnamese Party-State and Religious Pluralisme since 6 … . 14 Perubahan dan Penyesuaian dengan agenda global telah menjadi satu kewajiban yang harus dilakukan oleh SRV, bahkan untuk Partai Komunis Vietnam (VCP) dituntut untuk melakukan penyesuaian. . 75 15 Diskursus tentang bagaimana agama-agama secara bergantian menjadi bagian dari dinasti-dinasti Vietnam, hingga bagaimana kolonialisme Prancis menyertakan para missionaris dalam misi kolonialismenya, bisa dilihat lebih jauh dalam Nguyen Xanh Xuan.. 16 Dikutip dari website resmi GCRA 17 Diterjemahkan secara bebas ke Dalam Bahasa Indonesia dari Terje- mahan resmi Konstitusi Vietnam. Diakses dari https://www.constitute project.org/constitution/Socialist_Republic_of_Vietnam_2013.pdf?lan g=en pada 13 Januari 2019. 18 Lihat Konstitusi Vietnam, pasal 70. 19 Lihat juga Claire Tran Thi Lien, “Communist State and Religious Policy in Vietnam: A Hostorical Perspective”, dalam Hague Journal on the Rule of Law, (5: 229-252, 2013) doi:10.1017/S187640451200 1133

131 Birokratisasi Islam di Indocina...

20 Data yang ditampilkan dalam tabel (3) merupakan hasil penjumlahan yang dilakukan penulis, dengan mengambil data total populasi tahun 2018, dengan persentasi umat beragama tahun 2009, dari website beri- kut. Belum ada data atau persentase real tentang jumlah pasti penga- nut setiap agama setelah tahun 2009. Data diakses dari Central Intelli- gence Agency, The World Factbook 2018, Diakses dari https:// www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/vm.html pada 7 Mei 2018. 21 Wawancara Pribadi dengan Haji Machdares Samael (Haji Idris Ismail), Ho Chi Minh, 30 Januari 2017. 22 Communist Society merupakan Ide besar para sosialis untuk me- ngimplementasikan ajaran Komunisme menjadi sebuah sistem dalam masyarakat, salah satu agendanya adalah membangun masyarakat tan- pa Tuhan dan orang-orang beragama tidak memiliki hubungan dengan negara. 23 V.I. Lenin, Religion, (Read Book, 2007), h. 5. 24 V.I. Lenin, Socialism and Religion, diakses dari https://www.marxists. org/archive/lenin/works/1905/dec/03.htm pada 13 Desember 2018. 25 Kalender Lunar adalah calendar yang perhitungannya didasarkan pada pergerakan bulan mengelilingi bumi. Perhitungan kalender ini biasa digunakan dalam menentukan hari-hari besar keagamaan. Meski tidak umum digunakan, tapi karena tradisi dan kepercayaan, kalender lunar masih banyak digunakan oleh orang-orang China, Vietnam, dan Korea. 26 Rou Hostel, tempat saya menginap selama di HCM juga merupakan salah satu restoran Vegetarian yang ramai pengunjung di pertengahan bulan lunar, tanggal 14 Februari 2017. Suasana restoran saya saksikan ramai sampai jam 11 malam. Informasi ini saya dapatkan dari bebe- rapa orang pegawai hostel. 27 tidak hanya di Bus, tapi di Toko, Restoran, Hotel dan tempat-tempat lain yang diharapkan mendapatkan keberkahan, banyak ditemui patung dan segala macam perangkat doa. Hasil Observasi Pribadi, Ho Chi Minh, 27 Januari – 13 Februari 2017. 28 Penggunaan kata ‘mengklaim tidak beragama’ misalnya digunakan oleh Mathieou Bou uet’ . Mathieu Bou uet, “ ietnamese Party-State and Religious Pluralisme since 6: Building the Fatherland?”, dalam Jorunal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 25, No. 1, April 2010.

132 Birokratisasi Islam di Indocina...

29 Nguyen Thanh Xuan, Religion I Viet Nam, (Viet Nam: The Gioi Publishers, 2012), 19-23. 30 Nguyen Thanh Xuan, Religions in Viet Nam (Vietnam: the Gioi Pub- lishers, 2012), h. 19. 31 Fenomena sejarah ini memperlihatkan bagaimana pelembagaan agama dalam struktur pemerintahan dilakukan oleh agama-agama lain, tidak hanya dalam Islam. Fenomena ini merupakan satu bukti bagaimana hubungan erat agama dan politik berkait kelindang dalam hampir berbagai aspeknya. 32 Nguyen Thanh uan … , h. -43. 33 Nguyen Thanh uan … , 34 Nguyen Tanh Xuan, h. 112-113. 35 Katedral ini mulai didirakan oleh kolonialis Prancis pada 1863 dan selesai pada 1880, merupakan Katedral yang berafiliasi dengan Kato- lik Roma. Katedral ini menjadi bukti kekuatan pengaruh ajaran katolik yang dibawa oleh para Kolonialis Prancis ke Indocina. Dokumentasi Pribadi diambil di kota Ho Chi Minh, Vietnam, 26 September 2018. 36 Nguyen Thanh Xuan, Religion in Viet Nam … 94-95 37 Untuk membaca lebih jauh tentang Komite Pemerintah untuk Urusan Keagamaan dibahasas di Sub-bab selanjutnya. 38 Government Committee for Religious Affairs, Catholic People in Quang Binh Proactively engange in Social Work, diakses dari http://religion.vn/Plus.aspx/en/News/71/0/9028/0/11404/Catholic_peo ple_in_Quang_Binh_proactively_engage_in_social_works pada 14 Desember 2018. 39 Hussin Mutalib, Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008), 79. 40 Lihat lebih jauh dalam Nguyen Khac Huy, “ ietnamese Law and Policy on Religion and Belief”, diakses melalui http://vietnamlaw magazine.vn/vietnamese-law-and-policy-on-religion-and-belief- 3491.html pada 13 Desember 2018. 41 Nguyen Thanh Xuan, Religions in Viet Nam … 192. 42 Socialist Republic of Vietnam-Government Committee for Religious Affairs, Religion and Policies Regarding Religion in Vietnam, (Hanoi, 2006). 43 Zachary Abuza, Renovating Politics in Contemporary, (USA: Lynne Rienner Publishers, Ins., 2011), h. 183

133 Birokratisasi Islam di Indocina...

44 Socialist Republic of Vietnam-Government Committee for Religious Affairs, Religion and Policies Regarding Religion in Vietnam, (Hanoi, 2006). 45 Sejak 1990 sampai 2015, setidaknya tercatat ada 36 organisasi keagamaan di Vietnam yang berasal dari beberapa agama, seperti: Protestan, Baha’I, Islam, Cao Dai, Hoa Hao, Buu Son Ky Huong, Tu An Hieu dan seterusnya. 46 Diakses dari http://religion.vn/popup.aspx/en/66/0/cid=1010046/nid+ 4649/tempid=1 pada tanggal 27 Januari 2019. 47 Ian Harris, Cambodian Buddhism: History and Practice, (Honolulu: University of Hawai’i Press, , h. 6. 48 Ian Harris, Cambodian Buddhism: History and Practice … h. 49 Sakyamuni berarti orang bijak dari Kaum Sakya, yang dimaksud adalah Sidharta Gautama, anak dari Raja Kerajaan Sakya. Ian Harris, Cambodian Buddhism: History and Practice. h, 22. 50 Ian Harris, Cambodian Buddhism: History and Practice H. 27. 51 Ian Harris, Cambodian Buddhism: History and Practice … h. 42 52 Ysa Osman, Oukubah: Justice for the Cham Muslim under the De- mocratic Kampuchea Regime, (Documentation Center of Cambodia, 2002), h. 1-20; Ysa Osman, Navigating the Rift: Muslim-Buddhist Intermarriage in Cambodia, (National Library of Cambodia Cata- loguing in Publication Data, 2010), h. 27. 53 Betti Rosita Sari, “Transnational Migration and Ethnic Entrepreneur- ship Among the Cham Diaspora in Malaysia” dalam Jurnal Kajian Wilayah, Vol. 8, No. 1, 2017. 54 Diterjemahkan secara bebas ke dalam Bahasa Indonesia dari terjema- han berbahasa Inggris Konstitusi Kamboja tahun 1993 melalui aman- demen tahun 2008, diakses dari constituteproject.org dengan judul Cambodia’s Constitution of with Amandments through . 55 Data yang ditampilkan merupakan data tahun 2013. Diakses dari https://www.cia.gov/library/publications/the-world- factbook/geos/cb.html 56 Tentang Khmer Islam, lihat lebih detail dalam Bab , bagian “Hoi Giao dan Khmer Islam: Lokalisasi Islam dan Negosiasi Identitas” 57 Ysa Osman, Navigating the Rift: Muslim-Budhist Intermarriage in Cambodia, (Phnom Penh: National Library of Cambodia Cataloguing in Publication Data, 2010), h. 30.

134 Birokratisasi Islam di Indocina...

58 United States, Report of International Religious Freedom of Cambo- dia 2017, diakses dari https://www.state.gov/state-gov/ pada 12 Desember 2018. 59 United States, Report of International Religious Freedom of Cam- bodia 2017, diakses dari https://www.state.gov/state-gov/ pada 12 Desember 2018. 60 Saat ini, Sekolah-sekolah keagamaan Islam juga telah terdaftar di bawah Kementrian Pendidikan, Pemuda dan Olahrga. Sehingga dalam sistem pengupahan kepada para guru agama (ustad), sebagian besar juga telah ditanggung oleh Negara, meskipun masih ada beberapa sekolah yang tidak terdaftar. Lebih jauh tentang madrasah di Kam- boja, bisa dilihat secara detail pada BAB , bagian “Birokratisasi Islam di Kamboja”. 61 Hasil wawancara pribadi dengan Muhammad Daud, Phnom Penh, … Andi Faisal Bakti, “Presentation Paper on Islamic In Cambodia: Phnom Penh and Its Surroundings”, Makalah tidak dipublikasikan .

135 BAB IV BIROKRATISASI ISLAM: TITIK BALIK HUBUNGAN NEGARA NON-MUSLIM DAN MINORITAS MUSLIM

Dalam studi Islam awal, para ulama hanya membolehkan muslim untuk tinggal di daar al-Islam, wilayah yang dikuasai oleh mayoritas muslim, dan melarang untuk tinggal sebagai minoritas di negara yang dikuasi oleh non-muslim, dengan kekhawatiran umat muslim akan mengalami kesulitan dalam menjalankan ajaran Islam1. Namun dalam perkembangannya, umat muslim di beberapa wilayah, mau tidak mau, harus menjadi kelompok minoritas. Saat ini, terdapat sekitar 317 juta muslim hidup sebagai minoritas, terse- bar di berbagai negara di seluruh dunia2. Mereka hidup di negara- negara yang dikuasai oleh non-muslim, mengikuti hukum negara dimana mereka berada. Selain itu, muslim juga diperhadapkan de- ngan ragam tradisi baru, hal yang pada masa Islam awal belum dirumuskan secara detail oleh para ulama, seperti berbagai konsep modern saat ini. Misalnya, demokrasi, negara-bangsa, Komunisme, dan lainnya. Menyebabkan muslim, berada dalam dilema untuk me- ngikuti atau menolak. Pengalaman di negara mayoritas muslim, me- miliki kebebasan untuk memilih, mengikuti atau menolak sistem. Namun, tidak bagi minoritas muslim, mereka harus mengikuti sis- tem yang berlangsung. Penolakan atas sistem menyebabkan terjadi- nya serangkaian ketegangan dan konflik antara minoritas dan nega- ra. Seperti yang terjadi di Thailand, Filipina, Cina, dan beberapa negara di Eropa.3 Fenomena inilah yang dialami oleh minoritas muslim di berbagai belahan dunia, keberadaannya selalu berada dalam posisi vis a vis dengan negara dan sistem yang berlangsung.4 Namun, saya menampilkan sebaliknya, minoritas muslim di Vietnam dan Kamboja justru menerima dan terlibat dalam sistem. Muslim di Vietnam berada dalam sistem pemerintahan Komunis, mereka dilibatkan dalam negara sebagai warga negara yang seha- rusnya, memiliki ruang untuk terlibat (engaged) di ruang publik.

136 Birokratisasi Islam di Indocina...

Walaupun dalam sejarahnya, sistem Komunis memiliki kenangan buruk dengan Islam. Sistem ini dianut oleh Negara Soviet selama hampir 70 tahun dan menyebabkan serangkaian konflik dengan muslim di Asia Tengah5, serta Negara Demokratik Kampuchea yang menyebabkan lebih dari 500.000 muslim menjadi korban genosida selama hampir empat tahun kekuasannnya di Kamboja, 1975-1979.6 Sementara muslim di Kamboja, berada dan telah terli- bat memainkan sistem dengan partisipasi aktif dalam politik praktis dalam negara kerajaan. Negara kerajaan tidak hanya melibatkan, tapi juga memberdayakan dan menguatkan (empowering) komuni- tas muslim di dalam negara tersebut.7 Dengan menggunakan ke- rangka birokratisasi Islam, dalam bagian ini, saya menunjukkan bagaimana perubahan hubungan negara dan minoritas muslim itu berlangsung secara signifikan di kedua negara tersebut. Ada tiga indikator yang saya gunakan untuk memahami fenomena birokrati- sasi Islam di wilayah ini; Pertama, Berdirinya lembaga Islam yang terkait dengan negara, seperti berdirinya The Highest Council of Islamic Religious Affairs Cambodia (HICIRAC) dan Islamic Com- munity of Ho Chi Minh, serta empat daerah lainnya di Vietnam; Kedua, Pengaturan Islam oleh negara, seperti pengaturan halal dan hijab, pencantuman nama Islam di kartu tanda penduduk, pelapo- ran aktivitas mesjid, dan kebijakan negara terhadap pendidikan Islam, seperti langkah pemerintah untuk mengizinkan pemberian beasiswa khusus muslim dan pemberian tunjangan guru agama; dan ketiga, adanya hubungan muslim dengan dunia Islam internasional, seperti kebijakan tentang haji dan pemberian beasiswa untuk para pelajar dan pemuda muslim.

A. Grand Muftih, NGO, dan Internasionalisme Islam Pada awalnya, Islam memiliki hubungan baik dengan kekua- saan di Kamboja, lalu memburuk, ketika rezim Khmer Merah naik tahta pada 1975-1979. Meskipun hanya empat tahun berkuasa, na- mun masa-masa ini meninggalkan kenangan buruk yang cukup dalam kaitannya dengan hubungan negara dan Islam. Setelah era 1990an, perlahan komunitas muslim dan Negara perlahan mening- galkan kenangan itu, dan membangun kembali komunitas muslim

137 Birokratisasi Islam di Indocina... seiring dengan pembangunan negara Kerajaan Kamboja. Dalam bagian ini, diuraikan bagaimana proses pembangunan komunitas muslim, setelah sebelumnya mengalami serangkaian tindakan dis- kriminasi hingga genoside oleh negara. Namun, secara cepat feno- mena itu berubah, sebaliknya, negara terlibat dalam pembangunan komunitas muslim. Pada awalnya, Islam hadir di Kamboja dengan bentuk yang sangat sederhana. Muslim bisa hidup dan diterima oleh raja adalah sebuah kemewahan. Masyarakat muslim belum membentuk sebuah organisasi untuk komunitas mereka. Mereka bergantung hidup da- lam tanah perantauan.8 Pada masa itu, belum ada organisasi Islam. Organisasi pertama diantara mereka adalah organisasi yang diben- tuk dengan solidaritas orang Champa bersama orang-orang dari etnik minoritas lainnya yang mengalami penindasan. Mereka ber- gabung dalam Front de Lutte des Races Unifie Oprimees (FULRO) atau Barisan Pembebasan Ras-Ras yang Tertindas. FULRO terdiri dari beberapa front, termasuk Front de Liberation du Champa (Ba- risan Pembebasan Champa), mereka adalah mayoritas muslim. Salah satu pimpinan FULRO bernama Po Nagar merupakan mus- lim dari Kampong Cham, nama aslinya Les Kosem.9 Keterlibatan para tokoh muslim dalam mendukung kekuasaan, memberikan dampak signifikan bagi mereka. Pada era Lon Nol berkuasa (1966- 1967; 1969-1971), komunitas muslim telah berkembang dan mem- bentuk organisasi Islam untuk mendukung mereka memperjuang- kan komunitasnya. Tercatat ada sekitar 113 mesjid yang berdiri seluruh Kamboja, dikelola oleh hakeem (imam mesjid) yang terse- bar di beberapa pemukiman muslim. Secara resmi, komunitas mus- lim diurus oleh lembaga Mufti Tertinggi untuk Urusan Agama Islam Sangkum Reastr Niyum dan Republik Khmer. Oknha Haji Res Los (Reachea Thibdei) menjabat sebagai Mufti Tertinggi untuk muslim Cham. Ia dibantu oleh dua orang asisten, Haji Sulaeman Shukri dan Haji Math Sales Slaiman. Walau demikian, sempat ter- jadi perbedaan, saat Haji Muhammad Kachi juga ditunjuk sebagai Mufti Tertinggi pada 1970an oleh Sos Man, seorang tokoh pergera- kan Islam.10 Pada masa ini, muslim memiliki kehidupan sosial dan

138 Birokratisasi Islam di Indocina... politik yang stabil, beberapa diantara mereka menduduki jabatan tinggi dalam struktur politik pemerintahan. Stabilitas kehidupan muslim berubah secara drastis ketika pergantian rezim pada 1975, berhasil merebut kekuasaan di Kamboja dan mendirikan negara Demokratik Kamboja (Democra- tic Kampuchea) yang dijalankan secara totaliter. Pol Pot menerap- kan kebijakan kerja paksa dengan memindahkan masyarakat di kota ke desa untuk bertani, dilakukan dengan keinginan untuk mendiri- kan negara Komunis. Kebijakan yang paling berpengaruh bagi muslim dan umat agama lain adalah kebijakan yang melarang pelaksanaan aktifitas beragama dan berkepercayaan. Kebijakan ini dikeluarkan karena rezim Pol Pot berusaha mendirikan negara sosialis. Agama dianggap tidak sesuai dan menjadi penghalang terwujudnya cita-cita tersebut. Pada masa ini, muslim hidup dalam penderitaan, shalat dilarang, al-Quraan dibakar, dan para ustad di- tangkap. Farina So (2011) menggambarkannya:

“mereka menutup dan menghancurkan mesjid, pago- da, situs Budha, gereja, dan buku-buku keagamaan. ratusan copian al-Quran, muqaddam, kitab, Tripitaka, dan lainnya dikumpulkan dan dihancurkan. Penghan- curan kitab suci dilakukan dengan berbagai cara, di- bakar, dihanyutkan ke sungai, atau dijadikan tisu toi- let, hal yang memancing amarah bagi umat Islam … usaha untuk menghancurkan Islam dan agama lainnya semakin meluas pada 1976, setelah konstitusi diu- mumkan dengan resmi. Pelarangan shalat telah dilak- sanakan sebelum DK berkuasa pada 1975. Di bebera- pa desa di Distrik Kroch Chhmar: desa Trea, desa Koh Phal, desa Svay Khleang telah dilakukan pelara- ngan untuk melaksanakan ritual agama, penangkapan terhadap pemimpin agama, tentara, pegawai, dan para guru yang mengajar al-Quran pada ”.11

Momentum setelah rezim DK, pada 1979 merupakan mo- mentum baik yang digunakan oleh komunitas muslim untuk ber-

139 Birokratisasi Islam di Indocina... kembang di dalam negara Kamboja. walaupun empat tahun sebe- lumnya banyak yang meninggalkan negara ini, mengungsi ke ber- bagai wilayah, namun justru hal ini turut membantu komunitas muslim yang bertahan dalam gempuran rezim Polpot untuk bangkit setelah rezim tersebut. Sepanjang periode itu, komunitas muslim berusaha mendirikan kembali sebuah organisasi yang mampu men- jadi rumah bersama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan komu- nitas muslim dalam negeri non-muslim, maka pada 27 Februari 1994, atas pertimbangan dan inisiasi Kementrian Agama Kamboja, diadakan sebuah pemilihan untuk memilih Majelis Mufti Tertinggi (highest council) yang akan menjadi pemimpin untuk seluruh umat Muslim seluruh Kamboja. Bagian ini adalah langkah penting yang dilakukan oleh pemerintah Kamboja terhadap komunitas muslim. Sebelumnya, setidaknya lima pimpinan keagamaan Islam yang menjabat di Majelis Muftih Tertinggi dibunuh pada rezim Khmer Merah. Pada pemilihan ini, terpilih Sulaiman Ibrahim sebagai Mufti Besar, Zakariya Adam sebagai Wakil Mufti satu, dan Sos Kamry sebagai Wakil Mufti dua.12 Pada periode ini, perkembangan Mufti Tertinggi tidak mengalami perkembangan jauh, sekalipun pembentukannya diinisiasi oleh negara, melalui kementrian Aga- ma, tapi negara tidak menyiapkan fasilitas yang memadai untuk menjalankan organisasi ini. Misalnya: keuangan, perkantoran, dan sarana pendukung lainnya, serba kekurangan, sehingga organisasi menjadi stagnan dan berjalan di tempat.

140 Birokratisasi Islam di Indocina...

Gambar 2. Peta Persebaran Mesjid dan Kampung Muslim di 25 Provinsi di Kamboja13

Setelah dua tahun berjalan, organisasi ini melakukan pemba- ruan. Pada 31 juli 1996, di Mesjid Bangkok diadakan kembali per- temuan besar dengan mengundang seluruh tokoh-tokoh Islam selu- ruh kamboja, dihadiri sekitar 300an imam mesjid seluruh Kambo- ja.14 Pertemuan ini diadakan sebagai tindak lanjut dari keputusan Kementrian Agama nomor 1296 tanggal 5 januari 1996 dan kepu- tusan pemerintah nomor 288 tanggal 12 maret 1996 yang mengi- nginkan adanya pemilihan ketua Majlis Tertinggi Urusan Umat Islam seluruh Kamboja (HICIRAC). Melalui pemilihan ini, dite- tapkanlah Sos Kamry sebagai ketua Majlis Tertinggi dengan mem- pertimbangkan hasil pemilihan yang dilakukan secara voting, seba- gai peraih suara tertinggi. Sejak menjadi institusi resmi yang mem- bantu kerja-kerja kerajaan dan pemerintahan untuk urusan umat Islam, organisasi ini semakin mendapatkan dukungan dari pihak

141 Birokratisasi Islam di Indocina... pemerintah dan kerajaan. Mufti Besar Sos Kamry yang dinilai ber- jasa dalam mengembangakan organisasi ini, mendapatkan kehor- matan dengan pemberian gelar Okhna15 dari raja Kamboja, Noro- dom Sihanouk melalui keputusan nomor 0499/87 tanggal 14 April 1999. Setelah pembaruan itu, HICIRAC menjadi satu lembaga yang memiliki kredibilitas oleh negara (kerajaan) dan masyarakat. Lem- baga ini mengalami perkembangan yang signifikan, dari lembaga yang sederhana menjadi lembaga modern. HICIRAC menjadi lem- baga tertinggi untuk umat Islam seluruh Kamboja, membawahi sekitar 400an imam-imam mesjid dan kepala kampung (hakeem) (lihat gambar 1). Organisasi berjalan secara hirarkis, dari Muftih, kemudian Imam Bandar (Kota), setingkat Provinsi, imam Kam- pung, terakhir imam mesjid. Seperti juga Muftih, Imam Bandar dan Imam Kampung juga dipilih oleh mesjid di dalam wilayah-wila- yahnya masing-masing. Setelah terpilih, Muftih memiliki tugas untuk melantik mereka untuk bertugas sebagai perwakilan Mufti untuk mengurus umat Islam di daerah kerjanya. Misalnya, Imam Bandar Pnhom Penh dipilih oleh 14 imam mesjid, termasuk surau al-Hikmah yang terletak dalam kampung manusia perahu di ping- giran sungai Mekong. Dalam struktur imam bandar terdiri atas tu- juh orang, mereka sebut ahli jawatan kuasa, yang mewakili kuasa Muftih untuk mengurus muslim di dalam kota Phnom Penh. Struk- turnya terdiri dari Imam, Ustad Muhammad Zain Nuruddin; Tim- balan, Muhammad Irsyad Muhammad Nur; dan lima orang lainnya memegang jabatan divisi masing-masing.16 Ketika saya sedang di kantor HICIRAC, saya bertemu de- ngan Halimah, warga Phnom Penh yang lima tahun terakhir mene- tap di Malaysia untuk bekerja. Kedatangannya ke kantor HICIRAC adalah untuk mengurus beberapa dokumen yang dia butuhkan se- bagai persyaratan yang harus dia penuhi untuk menikah dengan orang Malaysia di Malaysia. Ia mengurus semacam surat ketera- ngan bahwa dia adalah muslimah dan surat keterangan belum me- nikah. Saya juga bertemu dengan Hambali, ia juga sedang mengu- rus dokumen persuratan yang akan dia gunakan untuk mendaftar ke Universitas al-Azhar Kairo, Mesir. Surat yang ia urus semacam surat rekomendasi untuk melanjutkan kuliah ke Mesir.17 Layaknya

142 Birokratisasi Islam di Indocina... lembaga-lembaga birokratis lainnya, sistem organisasi yang ber- langsung dalam HICIRAC telah mengadopsi sistem birokrasi mo- dern. Semua hal didokumentasikan dengan baik dengan sistem persuratan.18 Pertama kali saya datang ke kantor HICIRAC dan menyampaikan niat untuk bertemu dengan Muftih, hal pertama yang ditanyakan kepada saya adalah surat. Untuk menemui Muftih memiliki prosedur sendiri, harus memiliki surat agar diketahui darimana dan ada tujuan apa ingin bertemu dengan Muftih, begitu yang disampaikan oleh salah seorang staff kepada saya. Selain itu, sistem dokumentasi dan publikasi juga terlihat sejak memasuki kantor HICIRAC, di sebelah kiri sebelum pintu masuk, terdapat se- macam papan informasi berisi kumpulan gambar-gambar kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Muftih, diantaranya: Perdana Menteri Hun Sen bersalaman dengan Muftih dalam sebuah kegiatan mus- lim; Muftih mengunjungi masyarakat muslim di salah satu kam- pung; dan acara-acara keagamaan lainnya. Di dalam kantor, rua- ngan-ruangannya telah dipisah sesuai dengan divisi-divisi masing. Walau demikian, perkembangan administrasi di kantor HICIRAC melalui proses yang panjang. Sejak berdirinya dan mu- lai bekerja sekitar awal 2000an, lembaga ini melalui masa-masa sulit. Secara resmi, Muftih dilantik oleh Pemerintah, lembaga HICIRAC diakui secara resmi sebagai lembaga resmi tertinggi yang mewakili pemerintah untuk mengurus hal ihwal yang berkai- tan dengan urusan umat Islam di Kamboja. Namun dalam perjala- nannya, HICIRAC tidak mendapatkan fasilitas dan operasional untuk menjalankan lembaga ini. Penyedian kantor dan dana orga- nisasi diusahakan secara mandiri oleh pengurus. Mereka tidak me- nuntut dengan keadaan tersebut, justru merasa bersyukur karena telah mendapatkan izin dan pengakuan dari pihak pemerintah yang non-muslim. Ustad Mansyur menyampaikan ke saya, dia mulai bekerja pada tahun 2010, setelah pulang belajar dari Universitas al- Azhar Kairo, Mesir. Pada tahun-tahun itu, staff di HICIRAC masih sedikit dengan gaji yang tidak menentu. Tahun tersebut merupakan tahun awal untuk memulai membuat beberapa program. Sehingga, beberapa staff juga sudah mulai dipekerjakan, ada enam orang,

143 Birokratisasi Islam di Indocina... semuanya lulusan al-Azhar. Saat ini, staff di kantor ini telah ramai, mereka mendapatkan fasilitas. 19

Gambar 3. Foto Bersama Muftih Besar, Timbalan Muftih, dan Para Staff di Majelis Tertinggi untuk Urusan Agama Islam Kamboja.20

Ustad Mansyur menggambarkan, misalnya sekolah-sekolah Islam di Kamboja tidak memiliki keterkaitan dengan HICIRAC, semua urusan sekolah dilakukan secara mandiri, seperti untuk mendapatkan donatur dari luar negeri. Namun, setelah tahun 2015, sekolah-sekolah tersebut mulai mendaftarkan sekolahnya ke HICIRAC. Pendaftaran dilakukan sebagai syarat yang harus dipe- nuhi oleh sekolah-sekolah Islam, agar para pengajarnya mendapat- kan gaji (salary) dari pemerintah. Para guru-guru itu telah menjadi pegawai di bawah Kementrian Pendidikan, mereka telah dipeker- jakan dan digaji secara resmi (offially) oleh pemerintah. Posisi HICIRAC dalam masyarakat semakin menguat. Mus- limah-muslimah di kota Phnom Penh yang ditanya tentang peran HICIRAC, umumnya semua mengetahui dan setidaknya pernah mengunjungi kantornya untuk berbagai urusan: mengikuti festival

144 Birokratisasi Islam di Indocina... keagamaan, seperti lomba tilawah al-Quraan dan perayaan hari- hari besar Islam; belajar atau kursus singkat mengenai Islam; me- ngurus keperluan dokumen, seperti untuk mendapatkan rekomen- dasi studi lanjutan untuk para pelajar muslim yang ingin keluar negara atau mendapatkan beasiswa dari lembaga Islam. HICIRAC juga semakin dikenal oleh masyarakat muslim, khususnya mereka yang tinggal di kota Phnom Penh. Muslim yang ditanya tentang kantor HICIRAC umumnya mengetahui keberadaan kantornya. Masyarakat muslim secara umum lebih mengenal dengan nama Muftih atau Grand Muftih Ouknha Sos Komry. HICIRAC memiliki peran penting dalam masyarakat muslim Kamboja. Lembaga mengurus semua kepentingan mereka. Tidak hanya bertindak memberikan pertimbangan keagamaan yang sifat- nya normatif, seperti pengajaran fiqh, muqaddam, dan pengajaran al-Quraan. Melainkan, juga melakukan kerja-kerja advokasi untuk memfasilitasi kebutuhan umat Islam dengan pemerintah lokal dan internasional. Ustad Daud, wakil Muftih, menyampaikan ke saya bahwa salah satu program HICIRAC dalam adalah mengirimkan para pelajar untuk sekolah di luar negeri, seperti ke Malaysia. Per- tahun 2016, ada sepuluh orang pelajar yang berangkat ke Malaysia melalui lembaga ini. Sebenarnya ada lebih dari itu, tapi mereka berangkat sendiri langsung ke pondok-pondok di Malaysia tanpa melalui lembaga Muftih. Hal seperti itu sering terjadi, karena ada dermawan dari Malaysia yang membiayai pendidikan mereka. Sebab, tidak ada dana resmi dari pemerintah, mereka hanya mem- berikan fasilitas administratif, seperti surat izin dan lainnya, tapi tidak dalam bentuk dana beasiswa pendidikan.21 HICIRAC sendiri bukan satu-satunya lembaga Islam yang ada di Kamboja, tapi merupakan satu-satunya lembaga yang dires- mikan oleh pihak pemerintah dan kerajaan Kamboja sebagai lem- baga Islam tertinggi yang berfungsi untuk mengurus hal ihwal masyarakat muslim Kamboja. Masyarakat dengan jumlah populasi terbesar kedua setelah Budha, sekitar sepuluh persen dari jumlah penduduk. Dalam sejarahnya, terdapat beberapa lembaga keisla- man yang pernah dan masih berdiri di Kamboja. memiliki perbe- daan satu sama lain, tapi memiliki semangat yang sama, menuntut

145 Birokratisasi Islam di Indocina... hak masyarakat muslim untuk hidup bebas dan setara sebagai warga negara. Diantaranya: Cambodian Islamic Association yang dipimpin YB Math Ly; Khmer Islam Union of Cambodia, dipimpin oleh Wan Math; Islamic Union of the Kingdom of Cambodia, dipimpin oleh Ahmad Yahya; dan Association of Muslim Cham Cambodia, dipimpin oleh Zain.22 Ustad Daud membenarkan kebe- radaan organisasi-organisasi Islam tersebut, ia juga menyebutkan beberapa organisasi, diantaranya Jamiyah Islamiyah Kemboja, Muassassah Tanmiyah Muslimin Kemboja, dan beberapa lainnya. Menurutnya keberadaan organisasi-organisasi tersebut bertujuan untuk membantu memajukan umat Islam, mereka membuat pro- gram-program di kampung, dan tidak ada yang bergerak menjadi lembaga radikal, seperti yang ditakutkan oleh banyak kalangan.23 Organisasi Non-Pemerintah (NGO) dan Jaringan Internasional Pelaku yang berperan penting dalam internasionalisasi Islam Kamboja adalah Organisasi No-Pemerintah (NGO) dari dalam dan luar negeri. Sehingga perkembangan Islam di Kamboja tidak bisa dilepaskan dari peran organisasi-organisasi itu. Per-tahun 2017, ada sekitar 150an NGO lokal yang terdaftar di Kementrian Dalam Negeri (Ministry of Interior). NGO tersebut khusus yang dibentuk oleh muslim dan diperuntukkan untuk kepentingan umat Islam di Kamboja. Walau demikian, dari jumlah sebanyak itu, hanya ada se- kitar 30an NGO yang masih tetap eksis dan konsisten dalam men- jalankan program-program organisasinya.24 Secara umum organi- sasi dari luar berperan sebagai lembaga donor, sedangkan organisa- si lokal menjadi fasilitator yang menjadi rekanan dalam mengim- plementasikan program atau menyalurkan bantuan dari luar negeri untuk masyarakat muslim di Kamboja. Setiap organisasi, baik lokal dan internasional harus terdaftar di Kementrian Dalam Negeri (Ministry of Interior). Pola bantuan untuk muslim Kamboja dilaku- kan dengan dua cara: Pertama, bantuan antar negara, dikelola me- lalui Kementrian Agama (Ministry of Religious Affairs); kedua, bantuan dari NGO atau lembaga sosial lainnya, bisa langsung disa- lurkan ke masyarakat muslim melalui lembaganya, dengan ketentu- an harus terdaftar, atau melalui kerjasama dengan NGO atau lem- baga lokal.25

146 Birokratisasi Islam di Indocina...

Dari 30an NGO yang aktif, semua memiliki fokus masing, dari agama, Hak Asasi Manusia, media, pendidikan, kesejahteraan, dan pembangunan. Salah satu NGO lokal yang fokus misalnya da- lam bidang media adalah Cambodian Muslim Media Center (CMMC). Lembaga ini adalah NGO lokal yang fokus pada media dan jurnalisme Islam. Didirakan oleh kumpulan pemuda muslim yang berusaha untuk meningkatkan komunitas muslim Kamboja melalui multimedia sebagai respon terhadap era teknologi.

Bagan 6. Struktur Organisasi CMMC

Bagan (6) Memperlihatkan bagaimana salah satu NGO Islam di Kamboja menjalankan organisasinya dengan prinsip organisasi modern, birokratis-hirarkis. Para anggota memiliki spesialisasi tugas dalam menjalangkan fungsi-fungsinya masing-masing dalam sebuah organisasi. CMMC dipimpin oleh seorang ketua, Executive Committee President, bernama Haji Nazy Saleh (Sles Nazy), seo- rang jurnalis muslim lulusan Magister Pembangunan (Master of

147 Birokratisasi Islam di Indocina...

Development) dari Universitas Norton, Phnom Penh. Wakil Ketua, Sles Alfin, MA. Pemuda muslim lulusan Magister dalam Islamic Banking and Finance dari Malaysia, dan sekarang melanjutkan program Ph.D di Malaysia, juga menjadi pimpinan organisasi kepemudaan, Union of Muslim Youth. Lembaga ini juga memiliki dewan penasihat ahli luar negeri: Haji Noor Azhar Wahid dari Singapura dan Haji Saud Aldaher dari Arab Saudi; Juga dari dalam negeri, semuanya lulusan luar negeri: Haji Mosa Ahmad, lulusan Universitas Islam Madinah, Arab Saudi; Ustad Fairuz Zakriya, lulusan Studi Islam dan Pendidikan Islam dari Universitas Tripoli, Libya; dan Ustad Salem Isa, lulusan Studi Dakwah dari Universitas Tripoli, Libya. Mereka yang bekerja di dalam organisasi ini direk- rut berdasarkan ketentuan dengan standarisasi tertentu dan menda- patkan fasilitas sesuai standar mereka. 26 Program CMMC difokuskan pada tiga hal: multimedia, dak- wah Islam, dan pendampingan kemanusian, lihat tabel 2. Melalui program multimedia, CMMC membuat saluran Tv Online diberi nama CAM TV. Melalui saluran ini, ditayangkan video ceramah agama yang bisa diakses oleh masyarakat muslim secara bebas, melalui Youtube dan Facebook.27 Saat ini, per-tanggal 30 Maret 2019, akun Youtube Cambodian Muslim Media Center telah men- dapat 9.728 pelanggan (subscriber). Semangat utama CMMC ada- lah semangat dakwah. Kerja yang dilakukan merupakan bagian dari usaha modernisasi dakwah dengan melakukan birokratisasi dakwah secara lebih terstruktur dan mengikuti pola kemajuan zaman dengan memanfaatkan teknologi. Telah lazim dalam sejarah Islam, setiap lembaga-lembaga Islam yang didirikan pada intinya memuat semangat dakwah di dalamnya, di masa kejayaan Kekhali- fahan Islam, semangat dakwah bahkan dilembagakan dalam struk- tur pemerintah kerajaan.28

148 Birokratisasi Islam di Indocina...

Tabel 7. Program Kerja CMMC29

Multimedia Dakwah Islam Pendampingan Masyarakat Pembangunan Infrastruktur TV Online Ceramah Agama Masyarakat Muslim Menyalurkan Bantuan Penerbitan Buku Musiman : Ramadhan, Sosial Media Islam Qurban, dan Hari Raya

Pengajian atau Program Penyediaan Air Bersih dari Seminar tentang Radio bantuan waqf Islam

Dalam menjalankan perannya, NGO Islam lokal bekerjasa- ma dengan NGO dari luar negeri, yang mengeluarkan banyak ban- tuan untuk kelompok-kelompok muslim di negara-negara berkem- bang, salah satunya Kamboja. Fenomena meningkatnya pembentu- kan NGO Islam dimulai sejak 1993, mereka diberikan kebebasan untuk membentuk organisasinya sendiri dengan beberapa fokus, diantaranya Hak Asasi Manusia, Agama, Kesehatan, Pembangu- nan, dan Pendidikan. Dalam Islamizing Aid : Transnational Muslim NGOs After 9.11, Marie Juul Petersen, mengungkapkan bagaimana lembaga- lembaga swadaya internasional, terlibat dalam pembangunan ma- nusia pada kelompok masyarakat muslim. Organisasi donor berda- tangan ke kelompok-kelompok muslim marginal; pemukiman mis- kin dan wilayah minoritas muslim. Kedatangan mereka membawa pengaruh kuat, dari segi peningkatan sumber daya masyarakat mus- lim; munculnya karakter masyarakat muslim baru, dan perbaikan hubungan negara dengan komunitas muslim di satu negara.30 Dalam beberapa tahun terakhir, bantuan-bantuan semacam itu dirasakah manfaatnya oleh masyarakat muslim di Kamboja. Mereka banyak mendapatkan bantuan dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam bentuk bantuan fisik dan pendampingan, misal- nya pembagian al-Quraan ke mesjid-mesjid, serta pembangunan

149 Birokratisasi Islam di Indocina... dan rehabilitasi mesjid. Selain itu, lembaga-lembaga keagamaan, seperti Jamaah Tabligh Darul Arqam dan Da’wah and Islamic Religional Council of South East Asia and Pasific (RISEAP), juga mengirimkan guru-guru keagamaan untuk memberikan dukungan pendidikan agama kepada umat Islam Kamboja.31 Pada bagian ini, saya menarasikan bagaimana ketiga hal ter- sebut, juga memberi pengaruh kuat terhadap minoritas muslim di Kamboja. Lembaga-lembaga donor masuk ke kamboja melalui beberapa akses, seperti: Pendidikan, Haji, hingga bantuan-bantuan yang bersifat kemanusian, qurban, pembagian sembako, dan pem- bangunan sarana ibadah. Olehnya itu, berikut ini saya menarasikan bagaimana NGO dan Lembaga keislaman dari luar negeri, bekerja- sama dengan lembaga keislaman dalam negeri, dan bagaimana lembaga-lembaga keislaman tersebut memberikan pengaruh terha- dap perkembangan Islam dan karakter muslim baru di Kamboja.

Internasionalisme Islam : Peluang dan Tantangannya

Perkembangan Islam di Kamboja dipengaruhi secara signifi- kan oleh keterbukaan Pemerintah Kerajaan (Royal Government) menerima peran dunia internasional untuk terlibat dalam urusan domestik masyarakat muslim di negara ini.32 Keterlibatan itu mem- berikan dampak, positif dan negatif, terhadap suasana keislaman, hubungannya dalam masyarakat muslim dan negara. Untuk menga- mati fenomena internasionalisasi Islam Kamboja, dilihat dari dua aspek, yaitu: Pertama, munculnya pemahaman keislaman yang dibawa oleh gerakan transnasionalime Islam; dan kedua, masuknya organisasi dan NGO Islam yang membawa bantuan-bantuan sosial untuk masyarakat muslim. Dua fenomena ini membawa dampak signifikan yang terasa hingga saat ini. Penyebaran pemahaman keagamaan yang dilakukan oleh kelompok transnasionalisme Islam sudah mulai masuk ke Kamboja sejak tahun 1970an, namun gerakan-gerakan mereka terbatas oleh kebijakan pemerintah dan suasana politik yang tidak stabil di masa-masa itu. Masa ketika rezim Demokratik Kamboja (DK) ber- kuasa dan jatuh. Mereka mulai gencar kembali pada 1992, setelah

150 Birokratisasi Islam di Indocina... konflik panjang berakhir dan Kamboja membuka diri, berusaha membangun kembali negaranya dengan melibatkan dunia interna- sional. Transnasionalisme Islam masuk seiring dengan terbukanya keran kebebasan. Ada beberapa gerakan atau kelompok yang terca- tat: Jamaah Jabligh, Ahmadiyah, Wahabi, hingga Jamaah Islami- yah, sebuah kelompok keislaman yang sering diasosiasikan dengan kelompok jaringan terorisme di Asia Tenggara. Gerakan jamaah tabligh diperkirakan telah masuk ke Kamboja pada akhir 1980an, semasa dengan penyebaran gerakan ini ke beberapa wilayah mus- lim di Asia Tenggara. Tokohnya dikenal bernama Imam Sulaeiman Ibrahim, seorang muslim asli Kamboja. Organisasi ini mendirikan sekolah di kampung Trea, Provinsi Kampong Cham, bernama se- kolah penghafal Al Hida Yah. Beberapa tahun setelahnya, sekolah ini direhabilitasi dan dikembangkan dengan bantuan dari Malaysia dan Amerika. Namun karena kedua lembaga donor tidak membe- rikan pengaruh terhadap kurikulum sekolah, sehingga pengaruh paham keagamaan jamaah tabligh yang berprinsip pada dakwah masih berpengaruh. Selain di sekolah yang berafiliasi dengan orga- nisasi ini, dalam jumlah kecil, ajarannya juga berpengaruh di bebe- rapa sekolah yang tidak berafiliasi dengan mereka.33 Wahabi adalah kelompok yang menanamkan pengaruhnya secara signifikan dalam masyarakat Islam Kamboja. Pengaruhnya dapat dirasakan hingga dalam aktifitas keseharian muslim. Saya bertanya ke beberapa masyarakat muslim tentang fenomena Waha- bi, umumnya mereka mengetahui. Mereka menunjuk beberapa kampung muslim yang masyarakatnya dianggap telah terpengaruh oleh paham Wahabi. Mereka menganggapnya demikian, dengan pertimbangan karena mereka mulai melihat masyarakat di kam- pung-kampung tersebut tidak lagi merayakan perayaan Maulid, sebagaimana mereka biasa laksanakan setiap tahun. Menurut mere- ka, itu dimulai sejak sepuluh tahun lalu, sekitar tahun 2005, ketika beberapa dari pemuda-pemuda muslim Kamboja pulang dari me- nuntut ilmu di Arab Saudi.34 Jika yang digunakan sebagai alat ukur adalah merayakan Maulid Nabi atau tidak merayakan, diperkirakan jumlah yang tidak lagi merayakan Maulid Nabi pertahun 2017 ada sekitar 20 persen dari populasi muslim di Kamboja.35

151 Birokratisasi Islam di Indocina...

Oleh beberapa sarjana yang mengkaji Islam di Kamboja, menguatnya pengaruh paham Wahabi, dikarenakan paham ini dise- barkan melalui gerakan Salafi yang dalam dekade terakhir menda- patkan tempat yang signifikan di Kamboja. gerakan Salafi yang mengusung gagasan pemurnian (purifying) Islam dianggap sebagai kelanjutan dari gerakan yang diusung oleh Kaum Muda yang diba- wa oleh Ly Musa, pada sekitar tahun 1940an-1960an di Kamboja.36 gerakan yang awalnya mendapatkan penolakan keras dari tokoh- tokoh Islam. Namun, saat ini, semakin banyak yang mengikuti ide Ly Musa, khususnya dalam penyedian fasilitas dan pembaruan metode pendidikan Islam. Cara kerja yang sama dilanjutkan oleh gerakan Salafi Baru, Blengsli menulisnya Cambodia’s new Salafi, yang gerakannya dalam bentuk organisasi donor, bernama Revival Islamic Heritage Society (RIHS). Sebuah organisasi sosial berasal dari Kuwait dan memiliki kantor-kantor perwakilan di negara-ne- gara muslim. Organisasi ini masuk ke Kamboja pada 1990an, ber- kantor di Pondok Aseah Albani Rohimuhullah Center di Cham Chao, di luar kota Phnom Penh. Melalui organisasi ini, bantuan mengalir dari negara-negara Timur Tengah ke kampung-kampung muslim di Kamboja. Bantuan tersebut tersalurkan dalam berbagai bentuk dan fokus: beasiswa pendidikan pemuda muslim untuk me- lanjutkan kuliah di Arab Saudi; pembangunan sekolah Islam inter- nasional dengan fasilitas asrama gratis untuk pemuda muslim, sistem sekolah sekuler yang mempelajari mata pelajaran umum dibandingkan sekolah Islam lainnya; sekitar 60 persen guru yang mengajar di sekolah-sekolah dan pusat pelatihan Islam milik RIHS merupakan lulusan dari Arab Saudi.37 Fenomena internasionalisasi Islam kamboja membawa dua dampak: adanya kecurigaan publik mengenai masuknya gerakan Islam garis keras, organisasi teror, ke masyarakat muslim Kamboja dan munculnya polarisasi dalam masyarakat muslim terkait dengan paham keagamaan. Dimulai dari masuknya Hambali, dalang diba- lik Bom Bali (Oktober 2002), ke Kamboja pada 2003 dan keluar pada 2004, gerakan terorisme mulai dikaitkan dengan Kamboja. Sejak itu, beberapa guru-guru muslim dan sebuah lembaga pendi- dikan bernama Umm al-Qura’ yang didanai Arab Saudi dinyatakan

152 Birokratisasi Islam di Indocina... bersalah dan memiliki keterkaitan dengan jaringan organisasi tero- ris, Jamaah Islamiyah (JI) oleh pengadilan Kamboja. Mereka yang terlibat dipenjarakan dan sekolah yang dinyatakan memiliki hubu- ngan dengan organisasi tersebut dibubarkan.38 Melalui Pengadilan Kamboja, juga diputuskan empat orang asing, diantaranya: Muham- mad Yalaudin Mading (Thailand), Abdul Azi Jahki Chuiming (Thailand), Easm Mohammed Khidr Ali (Mesir), Rousha Yasser (Mesir), dan satu warga negara Kamboja bernama Sman Isma El.39 Dalam Voa News dituliskan, Sman Isma El adalah orang Kamboja pertama yang terlibat dalam jaringan kelompok teroris:

“untuk pertama kalinya, Kamboja menjatuhkan huku- man kepada warga negaranya atas tuduhan keterliba- tan dengan kelompok teroris Jamaah Islamiyah… ter- sangkanya adalah Sman Esma El, seorang muslim Kamboja, yang baru pulang dari Thailand, tempat ia belajar Islam. ia adalah warga negara Kamboja perta- ma yang terlibat dengan jaringan organisasi teroris- me”.40

Walaupun telah terbukti ada muslim Kamboja yang terlibat dalam gerakan Islam radikal. Ini tidak bisa dijadikan satu indikator untuk mengatakan bahwa muslim Kamboja rawan atas pengaruh gerakan tersebut. Pada sisi lain, juga tidak bisa dikatakan Muslim Kamboja bersih dari pengaruh itu, buktinya ada. Namun, meskipun memiliki akses untuk masuk ke komunitas muslim Kamboja, jari- ngan Islam radikal tidak mengalami perkembangan signifikan. Per- bedaan pandangan keagamaan tidak mampu dijadikan sebagai bahan bakar untuk menyalakan fanatisme keagamaan. Polarisasi pemahaman keagamaan muslim Kamboja memang telah dimulai sejak masuknya gerakan kaum muda, mereka melakukan berbagai macam pembaruan ajaran keagamaan, dan mengamalkan hal-hal yang oleh kaum tua dianggap menyalahi aturan agama. Hal ini menciptakan dinamika tersendiri pada beberapa kampung di Pro- vinsi Kampong Cham dan menyebar ke Provinsi lain. Terjadi kon- flik pemahanan antar tetangga, saling curiga antar jamaah mesjid,

153 Birokratisasi Islam di Indocina... hingga terjadi perceraian karena sepasang suami istri memiliki pandangan keagamaan yang berbeda satu sama lain. Meski secara kontras masyarakat muslim Kamboja terbelah ke dalam berbagai paham keagamaan, mendirikan kelompok-kelompok sendiri, namun tidak ada yang bersifat radikal dan memahami agama secara eks- trim, meskipun mereka terpengaruh dengan Wahabi-Salafi. Mu- hammad Daud, Timbalan Muftih, membenarkan fenomena demiki- an, ia mengatakan perbedaan-perbedaan pemahaman keagamaan di dalam masyarakat muslim Kamboja tidak ada yang bersifat radikal, semuanya saling menghargai perbedaan-perbedaan itu.41 Berdasar- kan hasil observasi yang dilakukan oleh Ysa Osman, didasarkan pada tradisi hidup damai muslim dan orang Khmer. Menurutnya, potensi penyebaran Islam radikal (terrorism) dalam masyarakat Muslim Kamboja sangat kecil, hampir tidak ada (nil). Ia memiliki empat pertimbangan, yaitu:

“Muslim memiliki tradisi hidup damai bersama de- ngan orang Khmer; Raja dan Pemerintah Kerajaan memiliki kebijakan untuk menghormati perbedaan agama dengan melihat semua agama sama dan setara dengan agama negara, yaitu Budha; tokoh-tokoh muslim Kamboja, dari tokoh nasional (Grant Muftih), Imam Provinsi, Imam Distrik, dan Hakeem (Imam kampung), merupakan muslim moderat; pemahaman muslim Cham terhadap al-Quraan dan pengamalan agama mereka bersifat moderat (wasathiyah ”.42

Beasiswa dan Aktifitas Pemuda Muslim

Masyarakat muslim Kamboja menyadari bahwa salah satu masalah mendasar yang membuat mereka tertinggal adalah masa- lah pendidikan yang rendah. Mereka tidak memiliki akses dan sumber daya untuk mengikuti sekolah-sekolah yang bergengsi, seperti dari kelompok lain. Sehingga, hal pertama yang mereka lakukan ketika mendapatkan kebebasan, terlebih setelah era khmer merah, adalah memfasilitasi pemuda muslim dalam hal pendidikan.

154 Birokratisasi Islam di Indocina... lembaga-lembaga muslim awal yang didirikan adalah lembaga yang berfokus pada pendidikan. program-program awal difokuskan pada pembangunan fasilitas pendidikan, dan penyedian dana untuk membiayai pemuda muslim Kamboja untuk belajar di sekolah- sekolah terbaik milik pemerintah dan swasta, serta memfasilitasi pengurusan beasiswa dari negara-negara muslim untuk sekolah di negara tersebut. Sehingga pendidikan, merupakan pintu utama ma- suknya lembaga-lembaga donor dari luar, masuk ke komunitas muslim di perkampungan Kamboja. Ly, 24 tahun adalah salah satu dari banyak pemuda muslim yang mendapatkan beasiswa kuliah dari lembaga-lembaga luar. Ly mendapatkan beasiswa kuliah dari Kuwait, melalui lembaga MCAC, Mercy Charitable Association of Cambodia, sehingga saat ini, ia bisa belajar kedokteran di Univer- sitas Puthisastra (University of Puthisastra (UP)), salah satu uni- versitas swasta terbaik di kota Phnom Penh. MCAC menyiapkan dana pendidikan sekitar 72.800 USD, dengan rincian, 10.400 USD per-orang, digunakan untuk membiayai kuliah kedokteran selama delapan tahun. Dalam prosesnya, MCAC sebagai lembaga penye- lenggara melakukan beberapa ujian untuk menyeleksi pemuda- pemuda muslim yang layak untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Ly, menyampaikan ke saya proses untuk mendapatkan beasisiswa tersebut:

“Pertama saya mendapatkan informasi beasiswa dari teman ayah saya, bernama Sos Mathsary. Lalu saya mendaftar dan mengikuti ujian, dengan materi seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan materi yang berkaitan dengan pengetahuan agama. Saat itu, sekitar 100 pejalar muslim yang mendaftar, tapi hanya enam yang dipilih dan mereka lulus di sekolah kesehatan dan kedokteran di kota Phnom Penh, pada berbagai perguruan tinggi, negeri dan swasta”

Sebagaimana yang disampaikan oleh Ly, pihak lembaga muslim, MCAC, pertama-tama melakukan seleksi terhadap pelajar- pelajar muslim yang ingin melanjutkan studi ke universitas. setelah

155 Birokratisasi Islam di Indocina... proses seleksi selasai, dan dipilih beberapa siswa. Lalu, MCAC bertanggung jawab untuk menyambungkan donor-donor beasiswa dari Kuwait atau negara lainnya, kepada siswa penerima beasiswa. Hal ini memperlihatkan bahwa lembaga-lembaga muslim dalam internal Kamboja memiliki peran yang signifikan untuk mengem- bangkan pendidikan di Kamboja. Kebanyakan beasiswa berasal dari negara-negara Timur Tengah, mereka mendirikan asrama khusus pelajar muslim, dan memberikan mereka beasiswa penuh untuk kuliah di universitas- universitas terbaik di Kamboja, hingga keluar negara. Sem Raty adalah salah satu penerima beasiswa tersebut. Ia mendapatkan bea- siswa dari rahmah international school dari Kuwait. Beasiswanya meliputi fasilitas asrama dan pembayaran biaya kuliah penuh di Norton University. Raty menyampaikan ke saya bahwa sekarang ada tiga sekolah internasional (international school) yang didirikan oleh lembaga dari Timur Tengah, khususnya di kota Phnom Penh, salah satunya adalah tempat ia belajar.

Mengunjungi Tanah Haram

Setiap muslim pasti mengetahui dan punya keinginan untuk menunaikan haji sekali seumur hidupnya. Jika tidak memiliki ke- mampuan, setidaknya punya keinginan mengunjungi Makkah dan Madinah, dua kota suci bagi umat Islam, untuk melakukan ibadah umrah. Fenomena ini telah menjadi fenomena umum di kalangan masyarakat muslim Melayu, seperti di muslim yang tinggal di wilayah-wilayah Asia Tenggara. Hasrat untuk mengunjungi kedua kota tersebut sangat tinggi, selain untuk melakukan ibadah haji dan umrah, juga untuk menuntut ilmu tentang Islam. Terdapat banyak ulama-ulama besar di tanah Melayu yang namanya besar sebagai ulama di Arab Saudi, sekitar abad ke-17 dan 18, beberapa diantara- nya Chatib al-Minangkabawi, Abdul Rauf al-Singkili, Yusuf al- Makassary, Daud al-Fatani, dan seterusnya. Keilmuan dan pemiki- ran mereka mempengaruhi situasi keagamaan di tanah Melayu, khususnya di daerah mereka masing-masing. Di masa-masa itu, akses menuju ke Arab Saudi masih sulit, menggunakan kapal laut

156 Birokratisasi Islam di Indocina... dengan waktu tempuh yang melebihi satu bulan, dengan biaya yang cukup mahal. Sehingga haji dan umrah adalah sesuatu keme- wahan yang bisa diakses hanya untuk orang-orang tertentu yang memiliki kondisi ekonomi yang telah mapan. Dalam perkembangannya, seiring dengan majunya industri transportasi, akses muslim untuk berkunjung ke Arab Saudi sema- kin mudah, waktu tempuh cepat menggunakan pesawat, sehingga biaya semakin murah. Kondisi ini membuka peluang yang semakin luas untuk semua muslim untuk melakukan haji dan umrah. Feno- mena yang membuat Arab Saudi mengatur batas kuota untuk setiap negara. Pengaturan kuota haji dilakukan untuk menghindari over kapasitas di kota Makkah dan Madinah saat musim haji tiba. Hal yang biasa menyebabkan banyaknya korban meninggal dunia saat pelaksanaan ibadah haji. Jumlah jamaah haji pertahun berkisar antara 2 sampai 3 juta orang, pertahun 2018 jumlah jamaah haji keseluruhan sebanyak 2.371.675. Negara-negara di Asia Tenggara yang memiliki kuota terbanyak, secara berurutan adalah Indonesia dan Malaysia, sementara Brunei Darussalam mendapatkan 680 dan negara minoritas muslim Singapura 400 jamaah haji.43 Masyarakat di negara minoritas muslim lainnya, seperti Kamboja mendapatkan 200 kuota. Salah satu aktivis organisasi Islam di Kamboja me- nyampaikan ke saya, Kamboja mendapatkan kuota sekitar seribu kuota per-tahun, kuota ini bertambah atas permintaan Othman Hassan, mewakili muslim Kamboja, meminta kepada pemerintah Arab Saudi dengan pertimbangan Kamboja adalah negara minori- tas muslim. Permintaan tersebut diterima, sehingga muslim Kam- boja yang memiliki uang, sekitar 400 Dollar Amerika, bisa lang- sung berangkat.44 Saat ini, bagi muslim di Kamboja yang ingin berangkat haji, telah dibebaskan tanpa ada kuota. Hal ini juga dirasakan oleh orang Indonesia yang tinggal dan bekerja di negara ini, mereka bisa berangkat haji melalui Kamboja. Firdaus menyampaikan ke saya, dia tidak mengalami kesulitan dalam mengurus administrasi untuk berangkat haji, semuanya dimudahkan dan bisa berangkat tanpa melalui proses antrian lama, seperti yang dialami oleh muslim di Indonesia. Ia hanya menyiapkan izin kerja (working permitted)

157 Birokratisasi Islam di Indocina... sebagai persyaratan yang harus dipenuhi, sebagai orang yang telah puluhan tahun bekerja di negara ini, Ia pasti telah memiliki doku- men tersebut. Firdaus berangkat haji melalui jasa perusahaan travel, namanya Zamzam Tour and Travel. Dalam rombongannya, Ia be- rangkat bersama 50 orang, diantaranya terdapat empat orang Indo- nesia, selebihnya muslim asli Kamboja, orang Cham. Untuk sekali keberangkatan, Firdaus membayar 4500 Dollar USD selama 35 hari di Arab Saudi. Biaya tersebut merupakan biaya paket yang ha- rus dibayarkan ke Travel, semuanya sudah termasuk, seperti hotel atau penginapan, makan, transportasi, dan hal-hal administratif lain- nya yang memerlukan biaya.45 Secara umum, haji dan umrah belum memiliki aturan khusus dari pemerintah Kamboja, semuanya diurus melalui perusahaan tour dan travel. Setidaknya ada tiga lembaga travel yang diakui (i’tiraf) oleh pemerintah untuk mengurus visa jamaah haji, yaitu Younes tour and travel, Zakaria tour and travel, dan Zamzan tour and travel.46 Tiga travel ini merupakan tiga dari beberapa travel besar yang mengurus perjalanan ibadah umat Islam Kamboja ke tanah haram. Selain tiga tersebut, masih ada lembaga travel yang juga menawarkan paket haji dan umrah yang secara resmi terdaftar di bawah Kementrian Perdagangan, diantaranya: ALTRU Develop- ment Co., Ltd,47 An Nur Travel & Tours, dan Mubarak Tour and Travel Co., Ltd.

Gambar 4. Jamaah Umrah Asal Kamboja 48

158 Birokratisasi Islam di Indocina...

Gambar tersebut (gambar 6) merupakan potret jamaah um- rah dari Kamboja yang berangkat ke tanah suci secara terorgani- sasir melalui lembaga tour dan travel. lembaga tersebut telah resmi terdaftar sebagai salah satu lembaga penyelenggara umrah di bawah Kementrian Pariwisata Kamboja. Lembaga ini bertugas untuk me- ngurus hal-hal yang dibutuhkan jamaah, mulai dari persiapan kebe- rangkatan, seperti pengurusan tiket pesawat, visa, hotel, makan, wisata di Arab Saudi, hingga pulang ke Kamboja kembali. Setiap jamaah, untuk kemudahan identifikasi, diberikan tanda pengenal berupa name tag dan pakaian seragam. Di dalam name tag diberi- kan informasi mengenai nama dan nomor pasport mereka, serta nomor kontak pengurus travel yang bertugas di Arab Saudi dan di Kamboja. Setiap satu rombongan keberangkatan jamaah umrah diorganisasi dengan baik, mengikuti cara kerja modern, agar jama- ah terorganisir dengan baik untuk menghindari kejadian-kejadian buruk, seperti jamaah hilang dari rombongan atau jamaah dengan sengaja meninggalkan rombongan untuk menjadi tenaga kerja ilegal di Arab Saudi.

B. Halal, Hijab dan Tunjangan Guru Agama Masalah yang dihadapi oleh minoritas muslim di banyak negara adalah masalah asimilisi kultural yang cukup berat. Budaya berpakaian, makan, hingga kehidupan keseharian masyarakat non- muslim yang kontras dengan muslim. Dalam Islam, semua hal dia- tur dan punya panduan-panduannya tersendiri, sehingga Islam men- ciptakan sebuah kebudayaan yang lahir dari sebuah ajaran keaga- maan, dan menjadi satu kebutuhan keagamaan itu selalu berusaha dipenuhi oleh setiap muslim. Fenomena ini memberikan kesan suci terhadap sebuah budaya hidup yang diamalkan oleh komunitas muslim, mereka umumnya punya satu kesamaan antara muslim di satu wilayah dengan wilayah lain, terkait kebutuhan hidup seperti itu. Kesamaan tersebut merupakan bagian dari prinsip Islam itu sendiri, seperti menggunakan hijab, memakan makanan halal, dan kebutuhan akan pendidikan Islam. Dalam bagian ini, saya menara- sikan bagaimana ketiga kebutuhan tersebut dipenuhi oleh sebuah negara Budhis terhadap masyarakatnya yang beragama Islam.

159 Birokratisasi Islam di Indocina...

Narasi Pelembagaan Halal

Dalam dekade terakhir, dunia global sedang menyambut sebuah fenomena baru dalam dunia makanan hingga fesyen inter- nasional. Dalam buku Halal Matters: Islam, Politics and Markets in Global Perspective, para editor menyebut ini sebagai fenomena “the assemblage of global halal”, sebuah perayaan untuk menyam- but konsep halal dalam pasar dunia. buku ini, menarasikan bagai- mana sebuah tren halal diperlakukan di beberapa negara: Malaysia, Turki, Iran, hingga negara minoritas muslim China.49 Menurutnya, semakin menguatnya tren halal, tidak hanya terjadi karena penga- ruh oleh otoritas keagamaan Islam, tapi ada hal ekonomi dan poli- tik yang berkelindang di dalamnya. Florence Bergeaud-Blackler dalam buku yang sama menyatakan bahwa fenomena halal di dunia internasional adalah sebuah negosiasi antara dinamika pasar dan dinamika diaspora-imigran yang sama-sama terlibat dalam pasar internasional.50 Fenomena ini kemudian memperkuat posisi otoritas agama. Di beberapa negara, seperti Eropa dan Australia, otoritas keagamaan semakin menguat, tidak hanya dalam komunitas mus- lim saja, namun juga oleh negara dan pasar, mereka terlibat dalam dalam perumusan halal oleh negara. Fenomena ini juga sedang berlangsung di Kamboja. Pada awal 2017, saya pertama kali ke Phnom Penh, ibukota negara Kam- boja. Saya mengungjungi masyarakat muslim di kilometer 7, lebih dikenal dengan Kampong Batu 7, sebuah perkampungan muslim yang terletak 7 kilometer ke arah utara kota Phnom Penh, merupa- kan jalan utama (highway) menuju ke Battambang, perbatasan Kamboja dan Thailand. Saya bertemu dengan beberapa masyarakat muslim, dari berbagai profesi seperti imam mesjid, kepala mad- rasah, beberapa guru, hingga masyarakat biasa. Umumnya mereka mengetahui, bahwa saat ini pemerintah dan pihak Mufti Kamboja sedang melakukan kerjasama untuk mengatur halal. Ustad Syafii, seorang guru di Madrasah Ihya al-Din, Kampong Batu 8, Chrang Chomreh 2, Ressey, Phnom Penh, juga mengatakan kepada saya, bahwa saat ini antara pihak kementrian perdagangan dan pihak Mufti sedang bekerja sama dalam mengatur halal di Kamboja.

160 Birokratisasi Islam di Indocina...

Untuk memenuhi kebutuhan akan daging halal, biasanya disembe- lih sendiri, membeli daging di pemotongan hewan halal khusus muslim, atau membeli di pasar yang penjualnya adalah muslim, dan umumnya mereka saling kenal. Belum ada sertifikasi secara ketat yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas keagamaan me- ngenai keberadaan daging halal. Menurut beberapa warga, seperti ustad Syafii, mengatakan: “kami yakin daging yang kami konsumsi itu halal karena daging itu kami beli dari sesama muslim sini, disini juga ada tempat pemotongan hewan khusus muslim, Insya Allah dijamin halal”51. Beberapa kali, ketika masyarakat muslim ditanya tentang tempat makan halal, mereka menjawab dengan melibatkan identi- tas pemiliknya sebagai muslim. Hanafi, seorang juru bersih di mes- jid Al-Arsekal, menunjukkan saya sebuah tempat makan tidak jauh dari gerbang mesjid itu, ia mengatakan “Di depan itu ada tempat makan, penjualnya semua muslim, abang bisa lihat, mereka semua menggunakan kerudung”52. Di pinggir sungai Tonle Sap, tempat parkir restoran-restoran kapal yang menyediakan jasa wisata me- nikmati matahari terbenam dari atas sungai Mekong. Seorang perempuan, menawarkan jasa restoran kapal halal. Ia menunjukkan saya sebuah papan iklan, tertulis nama restoran dan sebuah tulisan halal dalam bahasa Arab, Ia menjamin kehalalan makanan di atas kapal tersebut, sebab beberapa pramusajinya adalah muslim, serta daging-daging mereka dibeli dari pemasok muslim. Saya tidak sempat mengikuti tour wisata dengan kapal tersebut. Tapi, saya berkesempatan berbicara dengan Zahra, seorang wisatawan dari Malaysia, bersama suaminya, sedang ingin melakukan reservasi untuk ikut dalam tour. Salah satu, pertimbangan mereka memillih kapal untuk digunakan adalah ketersediaan label halal di papan iklan.

“Kami muslim, berasal dari Malaysia, kami me- milih kapal ini karena melihat label halalnya, juga karena menurut pelayannya, kebanyakan pramusa- jinya adalah muslim, Insya Allah mereka menja- min kehalalan makanan kami”.53

161 Birokratisasi Islam di Indocina...

Berbeda dengan itu, Ismail warga lokal lebih hati-hati, dia seorang jamaah mesjid di Kampong Batu 6. Saya bertemu selepas shalat ashar, lalu berbincang-bincang bersama. Ismail berbahasa Melayu dengan baik, sebab pernah mengenyam pendidikan di Ma- laysia sebelum kembali ke Kamboja memulai usaha. Setelah me- ngetahui bahwa saya tinggal di kawasan Royal Palace, Ia mengi- ngatkan saya untuk lebih berhati-hati memilih tempat makan, sebab di daerah ini sedikit muslim, dan hanya sedikit tempat makan halal. Ia mengatakan, disana memang terdapat beberapa tempat makan yang memiliki tanda sebagai restoran halal, tapi diantara banyak restoran itu, beberapa yang dimiliki oleh non-muslim. Sehingga tidak diketahui secara jelas, apakah pemotongannya dilakukan se- suai syariat Islam atau tidak. Selain itu, bumbu-bumbu yang digu- nakan juga tidak diketahui secara jelas, misalnya kemungkinan ter- campurnya dengan bahan-bahan lain yang tidak halal, sebab mung- kin pemahaman tentang halal yang dimiliki oleh pemilik restoran halal yang non-muslim masih kurang. Peningkatan jumlah wisatawan ke Kamboja, baik ke Pnhom Penh, Sihanoukville, hingga ke utara di Angkor Wat, membuat para pelaku bisnis di negara ini semakin kompetitif. Para pelaku usaha, tidak hanya berusaha menjaling wisatawan-wisatawan dari negara- negara barat, Eropa dan Amerika, atau hanya dari Asia Timur, na- mun mulai ramah terhadap para pendatang dari negara-negara Timur Tengah atau Asia Tenggara yang mayoritas adalah muslim. para pelaku usaha, mulai berkompetisi, salah satu caranya adalah dengan menyediakan pasar wisata yang ramah muslim dengan ketersediaan makanan halal, sebagai syarat utama. Di dalam kota Phnom Penh, khususnya di daerah-daerah pusat wisata, seperti Ro- yal Palace dan Russian Market, terdapat banyak restoran yang me- miliki label halal. Restoran-restoran ini umumnya dikelola oleh orang Cham, Indonesia, Malaysia dan India. Di daerah-daerah ini, tujuan utamanya adalah untuk wisatawan, khususnya muslim yang datang ke kota Pnhom Penh. Walau demikian, label-label halal ter- sebut tidak melalui proses sertifikasi resmi, namun dibuat sendiri oleh pemilik restoran. Hal ini membuat masyarakat muslim, khu- susnya masyarakat muslim lokal, sangat berhati-hati untuk memilih

162 Birokratisasi Islam di Indocina... restoran halal. Imam mesjid di Mesjid Ihya Uddin, ustad Fadhil, mengatakan kepada saya bahwa memang banyak restoran yang punya label halal, tapi mereka melakukannya sendiri, sehingga ba- nyak muslim yang tetap harus berhati-hati untuk makan di tempat makan tersebut. Fenomena ini berlangsung sejak lama, masyarakat muslim Kamboja tetap bertahan dalam kondisi itu. mereka harus memasti- kan sendiri bahwa makanan yang mereka konsumsi sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Hal ini, membuat mereka lebih hati-hati dan lebih mandiri dalam memilih makanan halal. Saliha Othsman, 29 tahun, melalui facebook messanger Ia menyampaikan ke saya, bahwa jika sedang hangout dengan teman-teman muslimahnya, Ia sangat mempertimbangkan kehahalan tempat hangout mereka, lebih-lebih soal makanan, walaupun tidak terlalu ketat dalam hal minuman, seperti memilih café tertentu.54 Juga demikian dengan Sem Raty, mantan reporter di Cambodia Muslim Media Center, juga memiliki sikap yang sama. Pada kunjungan saya ke Phnom Penh tahun 2018, Sem Raty memilih Amazon Café, sebuah kedai kopi dan tempat berkumpul yang terkenal di kalangan anak muda Phnom Penh, untuk menjadi tempat kami melakukan interview, café ini belum memiliki label halal. Salah satu restoran yang memiliki label halal dan ramai di- kunjungi wisatawan muslim adalah warung Bali, salah satu resto- ran halal di kota Pnom Penh, ibu kota negara Kamboja. Senada dengan namanya, Warung Bali adalah restoran yang menyediakan makanan khas Indonesia. Restoran ini dikelola oleh seorang warga negara Indonesia, berasal dari Karawang, Jawa Barat, bernama Fir- daos dan satu rekannya Mas Kimin. Keduanya adalah orang Indo- nesia yang sudah lebih dari sepuluh tahun tinggal di Pnhom Penh. mas Firdaos menyampaikan bahwa tanda halal yang menempel di warung Bali miliknya, tidak melalui sertifikasi halal tertentu, kare- na memang belum ada aturan itu di Kamboja, walau demikian Ia menjamin bahwa restoran yang Ia kelola, benar-benar halal sesuai ketentuan syariah Islam. Mas Firdaus mengatakan kepada saya:

163 Birokratisasi Islam di Indocina...

“Sampai saat ini, belum ada sertifikat halal untuk warung Bali, Cuma saya tidak perlu sertifikat, karena saya sendiri adalah muslim. saya membeli daging, sa- yuran dan semua bahan-bahan makananan dari mus- lim. dulu, saya pernah jual bir, tapi itu dulu, sekarang tidak lagi”

Masalah halal sudah berlangsung sejak lama di Kamboja. Warung Bali misalnya, telah berdiri sejak 2007, sejak saat itu sam- pai 2017 akhir, belum ada aturan mengenai sertifikasi halal. Sertifi- kasi halal ini masih sulit untuk dilakukan, sebab tidak adanya lem- baga tertentu yang secara khusus menangani persoalan halal. Walau demikian, pengaturan halal di Kamboja tidak berarti diabaikan begitu saja, pihak otoritas keagamaan dan tokoh-tokoh muslim berpengaruh telah berusaha sejak lama untuk memenuhi kebutuhan halal masyarakat muslim. Langkah-langkah untuk me- wujudkan ide itu telah dimulai sejak lama. Setidaknya, sejak 2010 menurut laporan Pnhom Penh post, proses pendirian sebuah lemba- ga khusus yang menangani soal halal telah dimulai. Usaha pendi- rian lembaga halal tersebut berada langsung dibawah arahan Perda- na Menteri Hun Sen, yang mengarahkan Kementrian Perdagangan untuk berkordinasi dengan Cambodian Muslim Development Foun- dation (CMDF), sebuah organisasi Islam yang dipimpin oleh Oukhna Othsman Hassan.55 Pengaturan lembaga halal di Kamboja, memiliki perbedaan dengan negara lain. Semisal di beberapa nega- ra, dimana proses sertifkasi halal dilakukan oleh lembaga-lembaga Islam. Namun di Kamboja, pihak pemerintah ingin ikut serta terla- lu dalam untuk membentuk sebuah lembaga tersendiri untuk mela- kukan sertifikasi halal. Sekertaris Kementrian Agama dan Keperca- yaan, Jakya Adam, mengatakan kepada Phnom Penh Post: “di banyak negara, ini (sertifikasi halal) adalah pekerjaan (lembaga) Islam, tapi di Kamboja, kami tidak melakukan hal yang sama, kita bekerja sama antara (lembaga) Islam dan Pemerintah56” Lembaga ini berada di bawah Kementrian Perdagangan dengan berkordinasi dengan lembaga Islam setempat. Tapi, prosesnya berlangsung lam- bat, setidaknya sampai 2017, diakibatkan oleh sumber daya yang

164 Birokratisasi Islam di Indocina... masih kurang. Mengutip laporan tersebut, Sop Ra, Deputi Direktur Perdagangan Domestik di Kementrian Perdagangan mengatakan:

“kami punya rencana untuk membuat sebuah badan, tapi kami hanya memiliki satuan tugas yang kecil”. Sop Ra melanjutkan “Kami juga lambat dalam pro- ses penulisan buku tentang defenisi Islam dan sebuah pedoman makanan halal di Kamboja”.57

Hal ini mengakibatkan terjadinya pelambatan dalam proses pembentukan sebuah badan halal tersendiri. Sekitar dua tahun ke- mudian, pada 2012, media yang sama melaporkan berita tentang rencana pertemuan antara masyarakat muslim dan pemerintah untuk membicarakan peresmian lembaga halal tersebut. Tapi saya tidak mendapatkan sumber tambahan apakah melalui pertemuan terse- but, juga berlangsung peresmian lembaga halal. Setidaknya sampai 2017 awal, lembaga sertifikasi halal yang telah ramai diberitakan sejak tahun 2010 tersebut belum didirikan secara resmi. Warung makan kecil hingga restoran yang banyak menjamur di seluruh kota Phnom Penh masih dilakukan sendiri, dan belum ada pemeriksaan atau pengawasan terhadap warung ma- kan hingga restoran-restoran itu. beberapa restoran internasional cepat saji, seperti KFC, mendapatkan sertifikat halalnya dari lem- baga luar, seperti Thailand. Makanan-makanan yang dijual di supermaket, seperti mie, biskuit, dan susu, juga memiliki label halal yang dikeluarkan oleh lembaga dari Malaysia, Indonesia, atau Thailand. Walau lembaga halal yang dimaksudkan oleh pemerintah belum berdiri, namun, di Majlis Tertinggi Urusan Umat Islam Kamboja, telah ada bagian khusus yang menangani soal ini, walau- pun masih dalam bentuk yang sederhana, dan baru mengeluarkan beberapa sertifikat halal. Sedangkan, untuk lembaga resmi yang dimaksudkan pemerintah masih dalam proses. ustad Muhammad Daud, Timbalan Mufti Kamboja, menyampaikan ke saya:

“Pengaturan halal di Kamboja sudah ada, ada bagian di Majlis ini (Majlis Tertinggi Urusan Umat Islam

165 Birokratisasi Islam di Indocina...

Kamboja) yang mengurus itu dan pernah mengeluar- kan sertifikat halal. Sekarang, pemerintah memben- tuk satu lembaga sendiri di bawah Kementrian Perda- gangan untuk mengurus sertifikasi halal, namun ma- sih dalam proses. Mereka mendapat bantuan labora- torium dari JAKIM Malaysia. Insya Allah, dalam dua bulan lagi, kita akan menjumpai label halal (resmi) ada di Kamboja”.58

Setelah melalui proses panjang, akhirnya lembaga halal yang dimaksudkan oleh pemerintah terbentuk secara resmi. Pihak Ke- mentrian Perdagangan mengumumkan momentum baru dalam dunia halal di Kamboja, yaitu telah disahkannya pedoman dan ketentuan standarisasi sertifikasi halal. Penunjukan Kementrian Perdagangan sebagai eksekutor dalam sertifikasi halal, alih-alih Kementrian Agama dan Kepercayaan, menunjukkan sertifikasi halal dipacu melalui sisi industri untuk memenuhi kepentingan negara. Dikutip dari Phnom Penh Post, Sekertaris Kementrian Per- dagangan, Mao Thora, mengatakan:

“kami telah siap untuk mengimplementasikan ini (sertifikasi halal), kami sudah memiliki dekret (kepu- tusan resmi negara), tenaga ahli dan pemeriksa halal dari lembaga muslim. jika kita mampu melakukan ini secara efektif, kita akan mendapatkan banyak keun- tungan (benefit dari para wisatawan muslim”.59

Namun, walau dipacu dari sisi industri. Ini terlihat sebagai salah satu cara para tokoh-tokoh muslim Kamboja untuk terlibat dalam pembangunan masyarakat muslim di negara ini. Sejak lama, para tokoh muslim berhasil menarik banyak investor dari luar ne- gara untuk membantu kesejahteraan masyarakat muslim. Mereka terlibat dalam aktivitas politik dan memiliki kedekatan tersendiri dengan Perdana Menteri Hun Sen. Sedangkan, pemenuhan kebutu- han domestik yang paling mendasar, yaitu akses kepastian maka- nan halal untuk komunitas muslim masih kabur dan tidak jelas. Melalui kebijakan sertifikasi halal yang telah dikeluarkan oleh 166 Birokratisasi Islam di Indocina... negara melalui Kementrian Perdagangan merupakan kabar gembira bagi masyarakat muslim lokal. Mereka akan semakin dekat dengan akses kepastian makanan halal yang mereka konsumsi. Melalui kebijakan sertifikasi ini, restoran yang memberi label sendiri, akan diperiksa dan disertifikasi melalui standar yang telah ditetapkan oleh lembaga halal Kamboja. Mas Firdaus, pemiliki Warung Bali, memberitahu saya, bahwa pihak pemerintah dan pihak Muftih, telah melakukan pendataan ke warung mereka. Namun, pendataan yang dilakukan masih sekedar pendataan secara umum, mereka bertanya seputar pemilik warung, ada berapa meja, dan hal-hal umum lainnya60. Pada tahap pertama, mereka hanya melakukan pendataan restoran-retoran halal, dan belum sampai melakukan pe- meriksaan sampai ke dapur dan hal-hal detail mengenai standarisa- si halal yang digunakan dalam restoran itu. Meski dalam di beberapa restoran belum dilakukan audit se- cara detail. Namun, beberapa perusahaan yang mengeluarkan pro- duk makanan jadi yang dijajakan di supermarket telah mendapat- kan sertifikat dan berhak mendapatkan label halal. Secara resmi, aktifitas sertifikasi dan labelisasi halal telah berlangsung sejak per- tengahan 2018. Pembentukan lembaga khusus urusan halal terben- tuk dari kerjasama antara Kementrian Perdagangan (Ministry of Commerce) dan HICIRAC. Pada kedua instansi, Kementrian Per- dagangan dan HICIRAC, masing-masing dibentuk badan khusus halal. Menteri Perdagangan sebagai perwakilan ketua badan halal, sementara Muftih menjadi ketua pelaksana teknikal bagian halal. Di dalam HICIRAC sendiri, ditunjuk sepuluh orang yang menjadi anggota di bagian halal. Dalam perkembangannya, lembaga halal Kamboja telah me- ngeluarkan tujuh sertifikat (sijil) halal, per-akhir tahun 2018, dibe- rikan kepada perusahaan (syarikah) dan restoran. Diantaranya, Lyly food Industry co., Ltd., sebuah industri yang memproduksi biskuit; Café Taste of Asia yang terletak di ruang tunggu bandara Interna- sional Phnom Penh; Park Café yang terletak di terminal keberang- katan bandara; dan Restoran M-K di dekat pasar malam Phnom Penh (Phnom Penh Night Market) di dekat taman pinggir sungai Tonle Sap. Selain melakukan sertifikasi kepada perusahaan dan

167 Birokratisasi Islam di Indocina... restoran. Lembaga halal juga memberikan seminar dan penyuluhan tentang halal kepada pelaku industri, seperti mereka yang bekerja di perusahaan travel yang melayani rombongan tour dari negara- negara Islam. Diantara para peserta yang mengikuti kursus tentang halal, terdapat juga dari non-muslim, yang nantinya akan terlibat dalam industri halal di Kamboja. para peserta yang mengikuti dan dinyatakan lulus dalam kursus halal tersebut, diberikan sertifikat penghargaan (gambar 5)

Gambar 5. Logo Halal dan Sertifikat Pelatihan Halal di Kamboja

Gambar (5) memperlihatkan bagaimana pemerintah Keraja- an bekerja sama dengan Majelis Muftih Kamboja serius melakukan pengelolaan halal secara lebih modern.

Hijab : Ekspresi Identitas di Ruang Publik

Hijab adalah salah satu topik yang kontroversial dalam dis- kursus Islam. beberapa orang menganggap hijab sebagai sesuatu yang wajib digunakan bagi setiap perempuan muslim, namun seba- gian lainnya tidak menganggap demikian. Di kalangan barat, seki- tar tahun 1990an, hijab dilihat sebagai bagian dari penindasan ter-

168 Birokratisasi Islam di Indocina... hadap perempuan muslim, yang hanya mempersempit ruang gerak mereka. Katherine Bullock dalam halaman pertama pengantar bukunya menulis kisahnya, bahwa Bulloch adalah salah satu dari banyak perempuan Eropa yang sedih melihat perempuan muslim menggunakan hijab, menurutnya itu adalah hasil dari intervensi tradisi, yang membuat perempuan berhijab tertindas.61 Fenomena ini berlangsung hingga 2000an. Pada 2011, di bawah Presiden Nicola Sarkozy, Prancis menjadi negara pertama di Eropa yang melarang pemakaian hijab di ruang publik62. Kemudian, kontro- versi ini dilanjutkan oleh Perdana Menteri Manuel Valls, yang me- larang pemakaian hijab di universitas, dan melarang pemakaian burka di semua ruang publik, yang menurutnya pembolehan aktivi- tas seperti itu, merupakan bagian dari afirmasi politik islam di ruang publik63 Di negara-negara lain, banyak yang melarang untuk menggunakan burka, yaitu dengan menutup seluruh wajah, di ruang-ruang publik, namun tetap membolehkan hijab.64 Selain se- bagai bentuk penindasan, hijab juga dianggap sebagai bagian dari gaya berpakaian perempuan muslim yang kolot. Kemal Ataturk saat melakukan modernisasi Turki secara total, Ataturk juga mene- rapkan kebijakan berpakaian (fashion policy), dimana dia melarang pemakaian pakaian dengan simbol-simbol Islam di ruang publik, khususnya untuk kantor-kantor layanan pemerintah65. Langkah ini sebagai bentuk totalitas Ataturk untuk menjadikan Turki sebagai negara modern-sekuler secara total. Kebijakan ini berlangsung sampai menjelang akhir Perdana Menteri Erdogan berkuasa, dan mengembalikan kebebasan perempuan muslim Turki untuk bebas memakai hijab di ruang-ruang pemerintahan66, kebijakan yang selama beberapa dekade dilarang.67 Saat ini, hijab bahkan melampaui sebuah kewajiban agama, oleh sebagian besar perempuan muslim, selain dipahami sebagai tuntutan agama, juga menjadi satu tuntutan komunitas dan fesyen. Hijab sebagai bagian dari tuntutan agama, walaupun sebelumnya telah saya sebutkan bahwa hal ini masih diperdebatkan, namun pada umumya dikalangan muslim biasa, seperti juga beberapa pe- rempuan muslim di Phnom Penh, yang tidak memiliki akses terha- dap diskursus kajian studi Islam secara mendalam, cenderung

169 Birokratisasi Islam di Indocina... menerima hukum wajib memakai hijab sebagai yang semestinya seperti itu (taken for granted) bersumber dari hukum Islam. mereka tidak mempersoalkan bagaimana hukum-hukum tentang hijab itu diperdebatkan, mereka memakainya sebagaimana orang tua dan orang-orang di sekitar mereka memakai itu. Sebagai tuntutan aga- ma, hukum wajib memakai hijab disandarkan pada ayat al-Quran, surah al-Ahzab ayat , yang artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepa- da istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang muk- min, “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pe- ngampun, Maha Penyayang. Berikut ini, saya tampilkan tafsir dari ayat tersebut yang berasal dari tafsir resmi Kementrian Agama:

“Allah memerintahkan kepada seluruh kaum musli- mat terutama istri-istri Nabi sendiri dan putri-putri- nya agar mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mere- ka. Hal itu bertujuan agar mereka mudah dikenali dengan pakaiannya karena berbeda dengan jariyah (budak perempuan), sehingga mereka tidak diganggu oleh orang yang menyalahgunakan kesempatan. Seo- rang perempuan yang berpakaian sopan akan lebih mudah terhindar dari gangguan orang jahil. Sedang- kan perempuan yang membuka auratnya di muka umum mudah dituduh atau dinilai sebagai perempuan yang kurang baik kepribadiannya. Bagi orang yang pada masa lalunya kurang hati-hati menutupi aurat, lalu mengadakan perbaikan, maka Allah Maha Pe- ngampun lagi Maha Pengasih. Karena perbuatan yang menyakiti itu seringkali dilakukan oleh orang-orang munafik, maka pada ayat berikut ini Allah mengan- cam mereka dengan ancaman yang keras sekali.68”

Dalam tafsir Kementrian Agama tersebut, setidaknya ada dua poin, mengapa hijab itu diwajibakan. Pertama, agar hijab men- jadi identitas, ciri khas dan pembeda dengan kelompok yang lain;

170 Birokratisasi Islam di Indocina... dan kedua, agar hijab menjadi pelindung bagi perempuan muslim dari gangguan orang orang-orang jahil, sebab pada masa itu, orang- orang yang membuka auratnya di muka umum, punya stigma ku- rang baik di masyarakat, sehingga potensi mereka diganggu akan lebih besar. Poin pertama, hijab sebagai identitas, itu terjadi di Kamboja. Di kartu tanda penduduk masyarakat muslim Kamboja, tidak ada penanda khusus yang menuliskan bahwa mereka adalah muslim, mereka diidentifikasi sebagai muslim dari nama dan cara mereka berpakaian. Saliha Othsman, seorang perempuan muslimah Kamboja, menyampaikan ke saya: “Di dalam kartu tanda pendu- duk, tidak tercantum tanda khusus yang menandakan kami adalah muslim. kami diidentifikasi sebagai muslim dari nama dan cara kami berpakaian”69. Bagi muslim, cara mereka berpakaian adalah identitas mere- ka. Mereka justru akan merasa terlindungi dengan cara berpakaian selayaknya mereka berpakaian, memakai pakaian muslim sesuai standar dengan hijab, dan seperti muslim lainnya, memakai pakai- an yang tertutup. Menurut beberapa perempuan muslim di kota Phnom Penh, biasanya jika mereka masuk dalam sebuah restoran yang non-halal, beberapa dari mereka memiliki kisah yang sama, pemilik restoran atau pramusaji restoran memberitahu mereka lebih awal bahwa makanan yang disajikan adalah daging babi atau makanan yang tidak halal. Ini berlaku, hanya di restoran yang telah sedikit mengetahui tentang kehidupan muslim, setidaknya tentang makanan mereka. Berbeda dari pandangan umum masyarakat barat, sampai awal dekade ini tentang hijab, yang menganggap bahwa hijab ada- lah bentuk penindasan terhadap perempuan (symbol of their opp- ression). Perempuan muslim saat ini, justru menjadikan hijab, sela- in sebagai identitas, juga sebagai simbol perlawanan dan bahasa kebebasan, dengan hijab mereka menyampaikan bahwa mereka dan identitas keislaman mereka telah diterima di ruang publik, mereka mampu mengekspresikan ekspresi keagamaan mereka, terlebih lagi, untuk perempuan muslim yang tinggal di negara atau wilayah minoritas muslim. di negara Eropa, seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, hijab pernah dilarang karena dianggap seba-

171 Birokratisasi Islam di Indocina... gai ekspresi politik Islam di ruang publik, dianggap sebagai anca- man bagi mereka yang mengalami islamopobia, dianggap simbol ketertutupan imigran muslim yang sulit bergaul dengan warga 70 negara lokal. Di China, di wilayah bagian Utara Xin-jiang, perem- puan muslim dilarang menggunakan hijab dan yang sejenis de- ngannya, secara luas, masyarakat muslim dilarang menggunakan seluruh atribut yang berbau islami, seperti memakai penutup kepa- la (kopiah) dan memanjangkan jenggot di ruang-ruang publik seperti bandara dan stasiun kereta. Pelarangan ini, tidak berlaku selamanya, melainkan hanya selama perayaan kompetisi olah raga. Suatu masa, setelah jatuhnya kerajaan Champa di Panduranga, Vietnam Tengah, masyarakat muslim dilarang memakai seluruh tradisi mereka, seperti bahasa, adat istiadat, hingga pakaian mere- ka, termasuk memakai kerudung bagi perempuan muslim. Yang tetap memakai akan ditindak oleh pihak kerajaan: ditangkap, disik- sa, bahkan dibunuh. Hal ini pula terjadi pada era Khmer Merah di Kamboja, pada 1975-1979, kelompok-kelompok perempuan mus- lim yang tetap menggunakan hijab mereka, mudah diidentifikasi sebagai muslim dan karena itu, mereka mudah tertangkap dan men- dapatkan penindakan dari rezim Khmer Merah yang anti terhadap agama. Merujuk ke poin kedua yang dimaksud ayat di atas, dalam komunitas muslim, khususnya di masyarakat yang masih hetero- gen, indikator untuk menjadi seorang perempuan muslim yang baik adalah dengan menggunakan hijab. Dalam komunitas yang lebih konservatif, dalam jumlah yang lebih sedikit, bahkan ditun- tut untuk menggunakan burka71, yaitu hijab yang menutupi selu- ruh bagian wajah. Hijab sebagai tuntutan komunitas, banyak dijumpai di negara-negara muslim di Asia Tenggara, seperti Indo- nesia, Malaysia, Thailand dan Filipina72. Fenomena ini bisa dilihat dalam berbagai tradisi setiap komunitas muslim, yang cenderung memiliki perbedaan antara satu komunitas dengan yang komunitas lain. Perempuan muslim di Kampong Batu enam sampai Kam- pong Batu tujuh, kota Phnom Penh, banyak di antara mereka yang menggunakan hanya penutup kepala, tidak menutupi keseluruhan rambut, dan leher tetap terlihat, jika mereka hanya beraktivitas di

172 Birokratisasi Islam di Indocina... sekitar rumah, seperti melakukan pengeringan ikan, menjual ma- kanan, atau sekedar berbincang dengan tetangga. Saat-saat itu, banyak tetangga lawan jenis yang bukan mahram tetap berada di antara mereka, mengobrol atau ikut membantu pekerjaan. Penam- pilan mereka akan berbeda jika ingin ke ruang publik atau ikut dalam kegiatan publik, seperti: mengikuti acara pernikahan, me- ngunjungi kantor lembaga Islam atau kantor pemerintah, mende- ngarkan pengajian, atau berbelanja di mall. Umumnya, mereka akan menggunakan hijab yang lebih tertutup, menutupi keseluru- han rambut dan leher, menjulur menutupi dada. Fenomena ini memperlihatkan, bagaimana hijab bekerja, tidak hanya sebatas untuk menutupi aurat dari yang bukan muhrim, tapi juga sudah menjadi mode pakaian mainstream yang diakrabi dan menjadi tra- disi di kalangan perempuan muslim Kamboja.73 Hijab sebagai tuntutan komunitas, bahkan dianggap menja- di sebuah hukum yang ditetapkan otoritas keagamaan. Saya berta- nya kepada seorang muslimah Kamboja, lalu dia mengatakan kepada saya bahwa Muftih Kamboja juga melakukan controling terhadap pakaian tradisional untuk muslimah. Walaupun, oleh staff di lembaga itu mengatakan bahwa tidak ada aturan tertulis mengenai seorang perempuan muslim di Kamboja harus menggu- nakan hijab, ada beberapa muslimah yang juga tidak mengguna- kan hijab74. Namun, itu sudah jelas, di dalam al-Quran, seorang perempuan yang sudah dewasa, telah mengalami haid, seharusnya menggunakan hijab. Saya menduga, jawaban seorang muslimah Kamboja, yang menganggap bahwa memakai hijab adalah anjuran Muftih lebih disebabkan karena Ia hidup dalam tradisi, dimana semua perempuan muslim menggunakan itu. secara alamiah, sebu- ah komunitas masyarakat membuat satu kesepakatan tentang indi- kator bagaimana perempuan muslim yang baik seharusnya berpa- kaian, yaitu dengan menggunakan hijab. Lembaga yang dianggap mengawasi pemakaian hijab, tidak akan menjatuhkan sanksi atau hukuman kepada yang tidak memakainya, justru masyarakat yang memberikan sanksi bagi yang tidak memakainya, berupa penilaian sebagai muslimah yang buruk. inilah yang disebut oleh Bassam Tibi bahwa syariatisasi merupakan hasil dari tradisi (syariatization

173 Birokratisasi Islam di Indocina... as an invention of tradition). Saat sebuah tradisi masyarakat mus- lim menciptakan hukum, aturan, hingga prinsip hukumnya sen- diri.75 Fenomena hijab perlahan merangkak keluar dari sekedar cangkang komunitas, berjalan di atas hamparan modernitas, lalu berdiri menjadi tren global. Hijab sebagai tuntutan fesyen, semakin signifikan saat ini. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, hijab yang awalnya hanya dianggap sebagai tuntutan agama, lalu ber- transformasi menjadi tuntutan komunitas, dan secara signifikan bertransformasi lagi, melalui sela-sela sempit tradisi, berkembang menjadi identitas kuat di tengah-tengah modernitas. Tren fesyen global, telah membawa dampak signifikan terhadap fenomena hijab, yang semula dianggap sebagai simbol masyarakat primitif, justru menjadi ekspresi modernitas dan kemajuan. Hanisas Hassan dan kawan-kawan dalam Tolerance of Islam : A Study on Fashion among Modern and Professional Malay Women in Malaysia,76 menarasikan bagaimana perempuan-perempuan muslim Malaysia bertransformasi dari pakaian muslimah tradisional ke fesyen musli- mah modern. Fenomena ini disebabkan oleh kebijakan negara, yang membolehkan perempuan muslim keluar dari ruang kerja domestik, sebagai ibu rumah tangga, dan menjadi wanita karir. Me- reka diberikan ruang untuk berkembang dan diberikan kesempatan untuk berkompetisi. Pergaulan mereka berubah, tradisi hidup berubah, dan selera fesyen juga berubah. Mereka melewati tiga tuntutan yang dijelaskan sebelumnya: agama, tradisi, dan moder- nitas. Mereka tetap ingin bekerja menjadi seorang perempuan pro- fesional, pada saat yang sama, mereka juga bisa menjadi perempu- an muslim yang baik. Fenomena tersebut, tidak hanya terjadi di Malaysia, tapi juga di tempat-tempat lain. Hanya melalui hijab, mereka akan mudah diidentifikasi dalam kelas mana mereka ber- gaul, profesi apa yang mereka tekuni, hingga aliran keislaman apa yang mereka anut atau dari tradisi Islam negara mana mereka bera- sal. Dalam masyarakat kapitalis-konsumerisme, distingsi kelas hijab itu berbeda-beda, memiliki harga tertentu, dari yang tertinggi hingga ke rendah, dimana harga bergantung kepada kualitas dan mereknya masing-masing. Seperti umumnya barang-barang yang

174 Birokratisasi Islam di Indocina... lalu lalang dalam pasar kapitalistik, dimana harga ditentukan bukan semata soal kualitas, tapi juga nilai yang ikut dalam merek sebuah produk. Perempuan muslimah yang memakai merek hijab tertentu, punya nilai dan kedudukan tersendiri dalam struktur sosial. Kathe- rine Bullock, mengatakan bahwa karena fenomena itu, memakai hijab bisa memperkuat dan membebaskan perempuan muslim77. Perempuan muslim profesional muslim yang terlibat dalam berba- gai pekerjaan yang berbeda-beda, memiliki cara tersendiri untuk membuat hijab bekerja bagi mereka. Selain sebagai tuntutan aga- ma, hijab adalah kebutuhan fesyen dan eskpresi mereka sebagai seorang profesional. Seorang politisi perempuan muslim bisa mem- bangun citra dirinya melalui hijab yang ia pakai. Laju kembang fenomena hijab merupakan bagian dari kons- truksi sosial (social construction)78, di dalamnya berkait kelindang dengan banyak kepentingan: individu, agama, nasionalisme, ideo- logi, hingga kebijakan negara-bangsa (nation-state). Secara seder- hana, fenomena hijab tidak begitu saja menjadi tren global, tapi melalui banyak persinggungan, terjadi difusi hingga asimilasi kebudayaan. Fenomena ini juga terjadi di Kamboja. Walaupun muslim telah terlibat dalam pemerintahan sejak lama, tapi hijab masih dianggap sebagai sesuatu yang asing, hal ini disebabkan karena dalam sejarah keterlibatan itu didominasi oleh tokoh-tokoh pria, sementara perempuan masih cenderung dipandang sebelah mata, bersama hijabnya mereka masih berada di wilayah-wilayah domestik tanpa kuasa. Dahulu, pemerintah Kamboja menerapkan secara ketat gaya berpakaian di sekolah yang harus seragam, sesuai aturan dari Kementrian Pendidikan, Pemuda dan Olahraga. Namun, saat ini, terhitung sejak tahun 2008, telah ada aturan yang membe- rikan kebebasan untuk pelajar muslim, khususnya muslimah untuk menggunakan pakaian yang ingin dipakai, seperti menggunakan hijab untuk ke sekolah-sekolah negeri atau ke kantor-kantor peme- rintahan. Hal ini berdasarkan keputusan dari Pemerintah Kerajaan Kamboja (Royal Government of Cambodia) yang mengeluarkan keputusan nomor 02 tanggal 10 September 2008 tentang pakaian seragam pelajar Khmer-Islam di berbagai institusi pendidikan. Dalam aturan ini, ditekankan:

175 Birokratisasi Islam di Indocina...

… dengan mempertimbangkan kepada isi pasal konstitusi negara Kerajaan Kamboja (Kingdom of Cambodia) yang telah dituliskan sebelumnya, dan dengan tujuan untuk mewujudkan kondisi untuk pela- jar Khmer-Islam, secara khusus untuk saudara-sauda- ri pelajar perempuan Khmer-Islam, Pemerintah Kera- jaan Kamboja (the Royal Government of Cambodia) telah mengeluarkan keputusan (instruction) kepada seluruh penyelenggara sekolah negeri dan swasta untuk memberikan hak dan kebebasan kepada para pelajar Khmer-Islam yang saat ini sedang belajar di sekolah-sekolah kami untuk menentukan sendiri pa- kaian yang mereka pakai untuk belajar atau untuk menghadiri berbagai acara sesuai dengan turan inter- nal lembaga pendidikan atau tradisi Khmer-Islam.” 79

Keputusan ini tidak keluar begitu saja, tapi melalui proses yang panjang. Saya melihat, setidaknya ada beberapa hal yang me- latarbelakangi keluarnya keputusan tersebut, yaitu: Pertama, feno- mena hijab yang telah menjadi isu global sebagai identitas musli- mah, menjadikan negara-negara turut menjadikan isu hijab sebagai isu nasional mereka, walaupun beberapa negara mengalami pro- kontra, kebebasannya harus diberikan;80 kedua, konstribusi musli- mah-muslimah Kamboja itu sendiri yang berhasil mengartikulasi- kan hijab sebagai identitas dan kebutuhan mereka. Dan ketiga, konstribusi tokoh-tokoh muslim yang terus memacu perkembangan Islam di Kamboja, salah satunya melalui pendekatan negosiasi politik. Sem Raty, menyampaikan ke saya, sebelum aturan tentang hijab dikeluarkan, muslimah mengalami kesulitan. Misalnya mere- ka yang telah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) awalnya seko- lah di kampung, di luar kota Phnom Penh, yang selalu mengguna- kan hijab dalam berbagai aktivitasnya, kesulitan jika melanjutkan kuliahnya ke kota Phnom Penh, mereka mendapatkan berbagai masalah dan tantangan sendiri karena hijabnya. Namun, saat se- muanya menjadi mudah, muslimah Kamboja bebas menggunakan hijab, hingga ke ruang-ruang publik seperti universitas dan seba-

176 Birokratisasi Islam di Indocina... gainya.81 Mariny, salah satu muslimah yang sedang belajar Kedok- teran di salah satu universitas swasta di Phnom Penh, setiap hari ia beraktifitas dengan orang-orang yang berbeda agama dengannya: para pegawai dan teman-teman di kampusnya. Namun, kemanapun ia pergi, bersama siapapun ia bergaul, Mariny tetap konsisten menggunakan hijabnya. Ia menyampaikan ke saya, muslimah di Kamboja diberikan kebebasan untuk menggunakan hijab dimana- pun dan kapanpun, semuanya dimudahkan, lihat gambar (6).82

Gambar 6. Aktifitas Mahasiswi Muslimah Kamboja di Kampus.83

Gaji Guru Madrasah : Potret Perkembangan Pendidikan Islam

Pembaruan dalam pendidikan Islam di Kamboja dimulai sejak 1948, ketika Haji Sam Sou mendirikan sebuah sekolah agama formal khusus Islam di Battambang.84 Sekolah ini memiliki konsep dan model kurikulum pondok pesantren yang banyak digunakan pesantren-pesantren di Indonesia, Malaysia dan Thailand Selatan di masa itu. Walaupun kurikulum seperti itu sudah dianggap terting- gal saat ini, sehingga di banyak daerah misalnya di Indonesia dan Malaysia, yang merupakan inspirasi kurikulum tersebut, mengala- mi banyak pembaruan. Tapi di masa itu, model kurikulum pesan-

177 Birokratisasi Islam di Indocina... tren, merupakan satu pembaruan penting dalam dunia pendidikan, khususnya di Asia Tenggara. Di masa yang hampir bersamaan, Ly Mousa dan Ahmad India juga kembali ke kampung halamannya, Kamboja, tepatnya di Provinsi kampong Cham, bagian utara kota Phnom Penh setelah belajar di luar negeri. Ly Mousa belajar pen- didikan umum di Bangkok, lalu mendalami Islam di Patani, dan menjalankan bisnis di Kota Bharu, Kelantan, Malaysia. Sementara Son Ahmad belajar di Malaysia dan mengambil master di India. Di masa ketika mereka belajar ke Malaysia, gerakan Islah sedang ber- langsung masif ke di wilayah-wilayah muslim di Asia Tenggara, dari semenanjung Melayu hingga ke wilayah-wilayah kepulauan, di Sulu dan Mindanao, saat ini wilayah Filipina selatan. Gerakan ini diinisiasi oleh tokoh-tokoh muslim yang telah pulang dari bela- jar di Timur Tengah, dan banyak terpengaruh oleh para pemikir reformis muslim seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Jamaluddin al-Afghani. Hal ini juga mempengaruhi pemikiran Islam kedua tokoh muslim Kamboja. Ly Mousa mendirikan sekolah di desa Svay Khleang, Pro- vinsi Kampong Cham. Sekolah-sekolah menyebar di beberapa du- sun dengan fasilitas sederhana. Sekolah diadakan di bawah kolom rumah masyarakat, mesjid-surau, dan ada satu bangunan sendiri yang dibangun pada 1968. Muridnya berasal dari berbagai wilayah dari seluruh Kamboja. walau demikian, sekolah-sekolah ini bubar dan dihancurkan sebelum bangunannya jadi, ketika terjadi perang sipil Kamboja, dimulai pada 1970 dan semakin terpuruk ketika rezim Khmer Merah berkuasa pada 1975. Sebelum mendirikan sekolah-sekolah tersebut, Ly Mousa telah mengajar Islam ke ma- syarakat di kampung Istrinya, Fa Nab85, di Prek Krut, Svay Khle- ang, Kampong Cham. Ly Mousa mengajar al-Quraan dan al-Hadits ke para masyarakat, jumlah muridnya pun selalu bertambah dari waktu-waktu. Walau demikian, keberadaan keberadaan Ly Mousa dengan pemikiran barunya, juga banyak mendapat banyak perten- tangan dengan masyarakat muslim tradisional, khususnya kalangan tua. Raja Thipadei Res Lah, yang saat itu menjabat sebagai Mufti Kamboja, menyatakan bahwa gerakan kaum muda, yang dilabel-

178 Birokratisasi Islam di Indocina... kan kepada Ly Mousa, membawa ketidaktentraman sosial dan me- nimbulkan polarisasi dalam komunitas muslim86 Ly Mousa yang direpresentasikan sebagai kaum muda telah menampilkan perbedaan mencolok dengan masyarakat sejak awal kembali ke kampung halamannya. Dari mulai gaya berpakaian hingga pandangan keagamaan. Masyarakat menoleransi untuk gaya berpakaian. Namun, tidak dalam hal pandangan keagamaan. Perbe- daannya, kaum tua mengusap wajahnya setelah salam dan memba- ca qunut saat shalat subuh. Sementara Ly Mousa tidak mengamal- kan keduanya.87 Polarisasi kaum muda dan kaum tua terjadi secara signifikan, sesama anggota keluarga tidak saling bicara satu sama lain dan pasangan suami-istri, beberapa yang berpisah. Ketegangan keduanya menyebar, tidak hanya dalam wilayah Kamboja, tapi ke berbagai wilayah muslim di Indocina, sampai ke Chau Doc, saat ini wilayah Vietnam selatan. Menurut Musa, ketegangan keduanya lebih disebabkan oleh perbedaan penggunaan sumber untuk mema- hami Islam, Kaum Tua menggunakan sumber kedua, yang ditulis atau disampaikan oleh para ulama, sementara kaum muda yang telah bisa berbahasa Arab dan mempelajari Islam dari banyak ula- ma yang berbeda, langsung menggunakan al-Quraan dan al-Hadist sebagai sumber utama.88 Gerakan yang dilakukan oleh Ly Mousa, yang kemudian disebut sebagai Samkung Ly Mousa, merupakan se- buah respon kaum muslim yang berusaha mengeluarkan masyara- katnya dari suasana kemunduran Islam, sehingga berusaha melaku- kan penyesuaian dengan cara pikir dan tuntutan zaman yang beru- bah. Fenomena ini telah berlangsung di beberapa wilayah muslim, sejak abad ke-19, seperti gerakan kelompok Padri di Indonesia, Wahhabiyah di Saudi, Sanusiyah di Libia. Belakangan, pada awal abad ke-20, gerakan-gerakan ini menjadi gerakan modernis Islam untuk memperjuangkan masyarakat muslim untuk keluar dari pen- jajahan barat, seperti gerakan Muhammadiyah89 di Indonesia dan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Masa suram pendidikan Islam di Kamboja, dimulai sejak dimulainya perang Indocina kedua, pada 1970 dan perlahan ber- akhir setelah jatuhnya rezim khmer merah90 pada 1979. Rezim pasca-khmer merah, menjadikan kamboja sebagai negara kamboja,

179 Birokratisasi Islam di Indocina... banyak bantuan yang datang dari luar negeri. Namun, setelah itu, ketika negara sudah mulai terbuka, dan kebebasan beragama di- kembalikan. Pendidikan Islam semakin diperhatikan. Setelah era 1990an, ketika negara Kamboja semakin terbuka, banyak pemuda muslim yang berangkat keluar negeri untuk belajar Islam, umum- nya ke Malaysia dan Mesir, universitas al-Azhar. Saat ini, mayo- ritas para staff dan pegawai di kantor Majlis Muftih merupakan lulusan dari Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Walau demikian, tidak semua dari mereka mendapatkan beasiswa studi dari lemba- ga, melainkan dibiayai oleh seorang dermawan dari malaysia. Ustad Mansyur, seorang staff di Majlis Muftih dan Hambali, seo- rang pemuda muslim Kamboja yang baru lulus sekolah menengah di Malaysia, dua dari beberapa muslim yang mengalami hal terse- but. Ustad Mansyur, disekolahkan oleh seorang dermawan dari Malaysia sejak ia selesai sekolah dasar atau Ibtidaiyah, disekolah- kan di Malaysia, lalu ke al-Azhar. Perkembangan kebijakan pendidikan Islam secara signifikan terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Kementrian Pendidikan, Ke- budayaan dan Olahraga menetapkan beberapa kebijakan khusus muslim, atau setidaknya menyentuh muslim. seperti, kebijakan ten- tang bolehnya muslimah untuk menggunakan hijab ke sekolah dan ke ruang publik91 dan pemberian gaji kepada para guru madrasah se-Kamboja. gaji mereka berbeda-beda sesuai dengan tingkatan (grade), mulai dari grade A, B, dan C, disesuaikan dengan tingkat pendidikan mereka. Kebijakan ini dilaksanakan sejak tahun 2015, hingga saat ini, 2019, tercatat 1390 guru yang terdaftar sebagai guru agama di bawah Kementrian Pendidikan.92 Kebijakan ini membawa dampak signifikan terhadap posisi Majlis Muftih Kam- boja, sebab sebelum kebijakan tentang gaji guru agama dikeluar- kan, sekolah-sekolah madrasah tidak mendaftar dan tidak punya kepentingan dengan Majlis Muftih, namun, setelah kebijakan dike- luarkan, Majlis Muftih memiliki otoritas atas sekolah-sekolah ter- sebut. Ustad Mansyur menyampaikan ke saya:

“Sekolah-sekolah di sekitar sini, di kota Phnom Penh, awalnya tidak terdaftar dan tidak punya kaitan dengan

180 Birokratisasi Islam di Indocina...

Majelis Agama (Majlis Muftih). Mereka mengurus sekolah madrasah secara mandiri dengan bantuan dari negara muslim, seperti Malaysia. Setelah tahun 2015, mereka mengajukan permohonan untuk mendaftarkan sekolah di bawah kerajaan (negara), sebagai syarat untuk mendapatkan tunjangan dari negara melalui Kementrian Pendidikan. Selain itu, sekolah-sekolah itu pun diharuskan mendaftar terlebih dahulu ke Ma- jelis Muftih, sebab majelis muftih yang punya wewe- nang untuk memilih guru-guru yang layak untuk me- nerima tunjangan tersebut”.93

Jumlah sekolah khusus Islam yang terdaftar di Majelis Muftih sejumlah 260 bangunan sekolah, sedangkan khusus di kota Phnom Penh berkisar 14 sekolah Islam, dengan dua sekolah Islam internasional di seluruh Kamboja, satu di Phnom Penh dan satu di Provinsi Kbong Hmong.94 Walau demikian, masyarakat muslim tidak hanya sekolah di sekolah-sekolah khusus Islam, tapi juga ba- nyak tersebar di berbagai sekolah umum, milik pemerintah dan swasta, dari tingkat sekolah dasar hingga universitas.

C. Komite Islam dan Signifikansi Masjid: Dinamika Kebijakan untuk Islam di Negara Komunis Dalam tiga dekade terakhir, terjadi perubahan secara signi- fikan dalam semua aspek di Vietnam, salah satunya dalam wilayah keagamaan, khususnya kedudukannya dalam negara. sebelumnya, sebagaimana di beberapa negara yang menganut ideologi Komu- nisme, agama tidak dibicarakan dengan baik. Dalam bagian ini akan dideskripsikan bagaimana birokratisasi Islam berlangsung di negara Komunis. Fenomena muncul dari perubahan sikap negara terhadap komunitas keagamaan, termasuk pada komunitas muslim. Mereka mengelola kelompok mereka sendiri dengan cara kerja komunitas modern: butuh pengakuan dari negara secara legal; membentuk organisasi dan lembaga resmi; dan menjalin kerjasama dengan lembaga lain. Narasi-narasi di bawah ini, akan berkutat untuk menjelaskan fenomena tersebut.

181 Birokratisasi Islam di Indocina...

Dalam sejarah Islam, telah tersaji dua contoh konkrit bagai- mana minoritas muslim menghadapi situasi jika hidup sebagai mi- noritas di wilayah yang dikuasai oleh mayoritas non-muslim. Per- tama, pengalaman Mekkah, di tempat ini, kaum muslim mengalami perlakuan represif dari non-muslim sehingga kaum muslimin me- milih untuk melakukan Hijrah. Kedua, pengalaman Abyysinia (Etiopia), di tempat ini, kaum muslim berhasil membangun dialog dengan non-muslim, sehingga nuansa hidup damai dan toleran bisa dirasakan oleh kaum muslim.95 Hidup sebagai minoritas, mewajib- kan masyarakat muslim untuk membentuk organisasi yang meng- himpun sesama muslim untuk memperkuat jalinan solidaritas keu- matan. Persoalan-persoalan dibicarakan secara bersama-sama dan dakwah dilakukan secara kolektif. Fenomena tersebut sangat dira- sakan oleh minoritas muslim di Vietnam. Mereka mampu ber- tahan sebagai minoritas karena adanya rasa solidaritas keummatan di antara mereka. Hal tersebut mereka lakukan dengan membentuk organisasi sesama umat Islam di Vietnam, bentuknya menyesuai- kan dengan model organisasi modern sebagaimana organisasi-orga- nisasi pada umumnya di Vietnam. Organisasi inilah yang menjadi otoritas keagamaan yang dijadikan panduan minoritas muslim di Vietnam dalam menjalankan agama Islam. Setidaknya ada dua mo- del lembaga keislaman yang digunakan, secara modern dan tra- disional. Pertama, secara modern, meliputi lembaga keislaman yang dijalankan dengan prinsip legal-hirarkis, seperti lembaga Jamiatul Islamiyah dan lembaga Islam non-pemerintah tapi mendapatkan izin dari pemerintah setempat untuk menjalankan kerja-kerja lem- baganya di Vietnam, meliputi lembaga sertifikasi halal, lembaga travel haji dan umrah, serta organisasi-organisasi Islam dari luar negeri. Kedua, secara tradisional yang dijalankan dengan prinsip kewibawaan (kharisma) terhadap satu individu tertentu, seperti seorang imam mesjid atau hakeem dalam sebuah distrik, seperti Ustad Musa bin Abdul Qadir di distrik delapan.

Komite Islam : Model Institusionalisasi Islam

182 Birokratisasi Islam di Indocina...

Berbeda dengan minoritas muslim Kamboja yang memiliki keterlibatan dalam aktivitas politik di negaranya, minoritas muslim Vietnam tidak terlibat sama sekali, kecuali mengikuti kebijakan politik yang telah diputuskan oleh negara. hal ini dikarenakan ke- dua negara memiliki bentuk pemerintahan yang berbeda. Kamboja adalah berbentuk monarki konstitusional, dimana raja memiliki ke- kuasaan tertinggi sebagai kepala negara dan perdana menteri seba- gai kepala pemerintahan. Sementara Vietnam, menganut bentuk pemerintahan Komunisme yang ditandai dengan sistem pemerinta- han satu partai. Vietnam menjadi satu dari enam negara yang masih menerapkan sistem pemerintahan Komunisme di dunia. Dalam sis- tem pemerintahan satu partai, segala kebijakan politik dalam nega- ra diatur melalui keputusan kongres partai, dalam hal ini, Kongres Partai Komunis Vietnam. Setelah dilakukan penelusuran melalui wawancara tokoh dan studi literatur, saat ini tidak ada seorang muslim yang bergabung dalam partai Komunis Vietnam. Menurut ustad Musa, dulu di masa-masa Presiden Ho Chi Minh berkuasa, pernah ada dua orang muslim yang bergabung dalam partai Komu- nis Vietnam, namanya Musa. Cerita tentang Musa tersebut Ia dengar dari ayahnya dan tidak pernah mendengar dari orang lain.96 Cerita tentang orang muslim yang bergabung ke partai Komunis memang kabur. Beberapa muslim, yang berumur 30 lebih, umum- nya mengatakan bahwa memang pernah ada muslim yang berga- bung dengan partai, tapi hanya di struktur partai tingkat bawah. Siapa dan apa profesi mereka, tidak ada yang yakin dengan itu. Dalam perkembangan sejarah Islam, Komunisme dan Islam kerap kali mengalami perjumpaan (encounter). Keduanya mena- warkan solusi untuk ragam persoalan sosial, ekonomi, politik hing- ga moralitas. Keduanya menawarkan gagasan segar untuk dijadi- kan basis gerakan perjuangan untuk banyak kelompok masyarakat di dunia. Sehingga silang-silang ide juga terjadi di masing-masing kelompok masyarakat: gerakan Komunisme berkembang dan me- ngambil peran di banyak negara-negara Islam, walaupun dalam kalangan Islam sendiri, sangat banyak muslim yang memandang ideologi Komunis sebagai ideologi yang menyesatkan, sebab seca- ra ketuhanan dianggap menolak adanya agama dan menolak adanya

183 Birokratisasi Islam di Indocina...

Tuhan. Hal ini mengakibatkan adanya kerenggangan hubungan antara Komunisme dan Islam. Dan karena itu, gagasan Komunisme sulit diterima di dalam kalangan Islam dan hanya memiliki jang- kauan yang sangat sempit, terbatas dalam kalangan muslim terdi- dik, setidaknya mereka yang pernah bersentuhan dengan tradisi keilmuan dari luar, seperti Eropa dan Amerika. Hal ini bisa ditelu- suri beberapa gerakan politik Komunis di beberapa negara di Timur Tengah, tidak memiliki kekuatan besar, tapi setidaknya mereka menampilkan diri sebagai sebuah organisasi massa: Partai Komu- nis Syiria (Syirian Communist Party) yang berkembang pada medio 1920-50an; Partai Komunis Lebanon (Lebanese Communist Party) yang dibubarkan pemerintah pada 1970; Partai Komunis Mesir (Egyptian Communist Party) yang sama-sama berjuang untuk me- lawan kolonialisme, namun kemudian dikebiri pada 1952, dengan penangkapan terhadap banyak pemimpin partai; Partai Komunis Iran (Iranian Communist Party) berkembang setelah era perang dunia pertama pada 1917, dengan nama Adalat Party, kemudian berkembang menjadi Ferqeh-ye Komunist-e Iran, bertahan selama 9 tahun dan dibubarkan pada 1929, lalu berganti nama lagi menjadi Tudeh Party pada 1941 dan dibubarkan pada 1949; bahkan terdapat satu negara di Timur Tengah yang pernah menganut pemerintahan Komunisme-marxisme yaitu Republik Rakyat Yaman (Peoples Republic of Yaman) namun bubar seiring dengan jatuhnya Uni Soviet pada 1989. Hal tersebut menunjukkan bagaimana interaksi antara Komunisme sebagai ideologi perjuangan dan orang-orang Islam, di wilayah-wilayah basis yang merupakan kawasan lahirnya Islam. Vietnam sebagai negara Komunis ditegaskan melalui konsti- tusi negaranya, juga menegaskan diri sebagai negara sekuler (secu- ler state) dan tidak memiliki agama resmi (state religion). Walau demikian, melalui konstitusi juga ditegaskan bahwa semua rakyat Vietnam memiliki hak untuk mendapatkan kebebasan berkeperca- yaan dan beragama, termasuk juga hak untuk tidak memiliki keper- cayaan dan agama. Sebagaimana data yang ditampilkan di awal, 81.8 persen terdata sebagai rakyat yang tidak memiliki afiliasi de- ngan agama tertentu, sementara populasi muslim sendiri hanya 0.1

184 Birokratisasi Islam di Indocina... persen dari sekitar 97 juta total penduduk negara ini. Komposisi masyarakat muslim mayoritas berasal dari suku Cham, sementara dalam jumlah-jumlah kecil merupakan para muslim pendatang dari Asia Tenggara, Selatan dan Tengah serta para ekspaktriat dari negara-negara timur tengah, diperkirakan kurang lebih 80 ribu muslim tersebar di seluruh Vietnam. Pengaturan agama diatur secara modern melalui prinsip-prinsip organisasi kenegaraan dalam negara-bangsa yang menggunakan model negara-negara Komunis. pengaturan itu, setidaknya dimulai di masa Presiden Ho Chi Minh Sebagaimana yang dijelaskan di awal bahwa Islam bukan merupakan agama yang bersifat birokratis, bahkan tidak memiliki satu lembaga birokratis yang mengikat umatnya secara struktur hi- rarkis. Fenomena ini menjadikan Islam menjadi agama yang terbu- ka terhadap model-model birokrasi untuk mengatur otoritas keaga- maan di dalamnya.97 Sehingga, setiap kelompok masyarakat dalam Islam memiliki kebebasan untuk tidak membentuk atau memben- tuk satu organisasi yang dijadikan sebagai otoritas mereka dalam menjalankan Islam, juga sebagai wadah kelompok untuk memper- kuat silaturahmi dan solidaritas keummatan di antara mereka. Hal tersebut menyebabkan tumbuhnya ragam bentuk otoritas dan orga- nisasi keagamaan dalam Islam. Walaupun saat ini ada lembaga semacam Organisasi Kerjasama Islam (Organisation of Islamic Cooperation), tapi lembaga tersebut tidak bersifat mengikat ke seluruh masyarakat muslim. Keberadaannya hanya sebagai organi- sasi internasional yang mempersatukan 57 negara-negara Islam dan memfasilitasi kerjasama antar negara-negara anggota dalam wila- yah politik, ekonomi, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan. Pada tingkatan negara, masyarakat Islam memiliki organisasi Islam sen- diri yang tidak terikat dengan OKI, pada kasus beberapa negara, juga tidak memiliki hubungan hirarkis dengan negara, melainkan berdiri secara mandiri. Organisasi Islam itu berdiri di negara-nega- ra mayoritas muslim dan minoritas muslim. Bahkan, hampir tidak ada negara saat ini yang tidak memiliki organisasi Islam di dalam- nya.98 Organisasi-organisasi Islam itu terbentuk dan memiliki per- bedaan-perbedaan bentuk dan pola organisasi menyesuaikan dengan kebutuhan, budaya, zaman, dan rezim politik tertentu. Organisasi

185 Birokratisasi Islam di Indocina...

Islam di negara-negara Komunis atau bekas Komunis memiliki perbedaan dengan negara kapitalis; seperti juga organisasi Islam di negara bekas kolonialisme Belanda dengan negara bekas kolonia- lisme Inggris atau Prancis. Fenomena demikian juga mempengaruhi organisasi keagama- an Islam di Vietnam. Terlihat dalam perkembangannya, organisasi- organisasi Islam sangat dipengaruhi oleh budaya dan rezim politik. Organisasi Islam awal mencakup keseluruhan wilayah Indocina yang berada di bawah rezim kekuasaan kolonial Prancis bernama Xiakh-Khul Islam.99 Organisasi ini menjadi satu lembaga Keisla- man tertinggi yang beranggotakan orang-orang muslim Cham dan muslim Asia Selatan, yang pada masa-masa kolonialisme Prancis banyak berdatangan ke negara ini. Organisasi ini tidak berlangsung lama dan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap masyarakat muslim. Setelah Prancis jatuh, Sai Gon berdiri sebagai kota besar di selatan Vietnam, aktivitas masyarakat muslim dikelola melalui satu bagian khusus di Kementrian Urusan Etnik, satu Kementrian yang mengurus 54 Etnik di Vietnam, salah satunya adalah etnik Campa. Hubungan kuat antara Islam dan Campa menjadi satu ala- san tersendiri mengapa Islam diatur melalui hubungan etnisitas. Walau demikian, dalam urusan etnik Campa, tidak hanya menca- kup urusan Campa yang menganut Islam, tapi juga Campa yang menganut Hindu Brahma yang banyak tersebar di bagian Vietnam tengah. Sai Gon di bawah kekuasaan Ngo Dinh Diem, Presiden pertama republik Vietnam (1955-1963), menerima usulan pemben- tukan lembaga Asosiasi Muslim Cham-Vietnam (Cham Viet Nam Muslim Association (CVMA)) pada 1960an awal. Lembaga ini mendirikan satu kantor pusat di kota Sai Gon, dan memiliki tiga cabang yang tersebar di kantong-kantong pemukiman muslim di Vietnam bagian selatan. Seiring waktu, dinamika Islam global mempengaruhi Islam lokal. Pergulatan tren gerakan pembaruan Islam di Asia Tenggara, seperti di Indonesia, Malaysia dan Singapura, juga turut mempe- ngaruhi kondisi masyarakat muslim di Vietnam. Masyarakat terpo- larisasi ke dalam dua kelompok besar kaum tua dan kaum muda, yang kemudian semakin meruncing dengan berdirinya sebuah

186 Birokratisasi Islam di Indocina... organisasi Islam baru, selain CVMA, yaitu Dewan Hakim Vietnam (Viet Nam Council of Islamic Hakims) yang berpusat di Chau Doc. Walaupun ada ketegangan dalam pemahaman, namun kedua orga- nisasi ini memiliki kesepakatan untuk menentukan area kerja. CVMA mengurus urusan umat Islam di Sai Gon dan sekitarnya, dengan karakter muslim yang kosmopolitan dan multikultur. Sedangkan, Dewan Hakim mengurus untuk wilayah Chau Doc dan sekitarnya, dengan karakter muslim tradisional dan lebih banyak terpengaruh dengan karakter muslim melayu Malaysia dan Indone- sia. Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi Islam dibentuk dengan model organisasi modern berdasarkan legitimisasi pemerin- tah. Meniscayakan organisasi-organisasi Islam terhubung secara hirarkis dengan negara. Pada periode ini, organisasi-organisasi Islam yang bersifat non-pemerintah juga semakin banyak dan men- dapatkan izin untuk menjalankan program kerjanya di Vietnam. Fenomena ini berlangsung pada masa setelah reunifikasi, ketika negara Vietnam membuka diri dengan negara luar. Dalam hubu- ngannya dengan negara, organisasi-organisasi muslim yang awal- nya merupakan lembaga mandiri, dalam dekade terakhir memiliki legitimasi dari negara melalui sebuah komite pemerintah untuk urusan-urusan keagamaan. pengurus-pengurus dalam lembaga ini ditetapkan melalui sebuah surat keputusan yang ditandatangi oleh pejabat pemerintah setingkat pemerintah kota. Imbasnya, semua hal yang menyangkut keberagamaan diatur secara ketat oleh peme- rintah vietnam, seperti kerja-kerja negara Komunis mengatur semua lembaga yang ada di dalamnya. Organisasi-organisasi Islam memiliki fungsi untuk mengko- solidasikan urusan umat Islam dalam wilayah kerjanya masing-ma- sing, meliputi wilayah kota dan provinsi. Mesjid-mesjid di dalam kota Ho Chi Minh, semuanya terkordinasi di bawah naungan Jami- ’atul Islamiyah komite Islam . Semua mesjid memiliki perwakilan dan ditempatkan untuk bekerja di Jamiatul Islamiyah, sehingga in- formasi berkaitan dengan kegiatan dan keputusan Jamiatul Islami- yah cepat tersampaikan ke mesjid-mesjid dan kepada masyarakat

187 Birokratisasi Islam di Indocina... muslim di Vietnam.100 Imam Mesjid Cholon, Haji Ali, menyampai- kan ke saya tentang administrasi di mesjidnya:

“Masjid ini (masjid Cholon) adalah salah satu mesjid tertua di kota Ho Chi Minh, didirikan pada 1932 oleh komunitas orang-orang India. Saya tidak terlalu yakin kapan pengurusan mesjid ini diserahkan kepada orang Cham. Saya mulai menjadi pengurus mesjid ini pada 1996, sebelum saya adalah ayah saya, saya tidak ingat kapan Ia mulai mengurus mesjid ini. Pengurus mesjid ini terdiri dari empat orang, Hakim bertindak sebagai ketua, saat ini dijabat oleh Haji Sholeh, wakil ketua, sekertaris, dan seorang asisten.

Setiap Mesjid di Ho Chi Minh terorganisasi secara modern, tertib administrasi. Hal ini sebagai konsekuensi dari sistem birokra- si negara yang menuntut mereka, rumah-rumah ibadah dan organi- sasi keagamaan wajib melaporkan program dan kegiatannya dalam periode tertentu, biasanya dalam satu tahun. Hal-hal yang dilapor- kan mengenai imam, khatib, materi khutbah jumaat, dan acara- acara untuk memperingati hari-hari besar Islam, seperti perayaan Bulan Ramadhan dan Maulid Nabi.

D. Halal, Parsel, dan Beasiswa Sebagai negara yang konsisten dengan ideologi dan sistem politik pemerintahan Komunis, Vietnam memiliki kultur mengelo- la kelompok masyarakat yang secara signifikan berbeda dengan negara-negara lain, terkesan rigid (kaku) dan serba terkontrol. Dalam pandangan banyak kalangan, Vietnam dipersepsikan sebagai negara yang mengejewantahkan ajaran marxisme melalui kekuasa- an negara, termasuk ajaran ateismenya. Terlebih lagi, sebagaimana ditampilkan di awal, sebagian besar rakyat Vietnam mengaku ateis, tidak memiliki Tuhan. Sehingga, kebanyakan kalangan tersebut tidak memiliki imajinasi bagaimana muslim di negara semacam ini mampu bertahan hidup. Imajinasi orang-orang hanya membayang- kan serangkaian tindakan diskriminasi, alienasi, dan penderitaan

188 Birokratisasi Islam di Indocina... yang akan dirasakan oleh muslim di negara tersebut. Sebaliknya, kondisi nyata hubungan Islam dan negara Komunis Vietnam tidak mengalami ketegangan yang dipersepsikan kebanyakan orang. Da- lam bagian ini, saya memunculkan beberapa fenomena hubungan keduanya dengan melakukan framing terhadap dua aspek, persoa- lan halal dan pemberian parcel atau hadiah. Melalui kedua aspek tersebut, saya memperlihatkan bagaimana sikap negara Komunis terhadap hal-hal yang sifatnya domestik bagi umat Islam, terhadap urusan konsumsi masyarakat muslim dan urusan perayaan hari-hari besar bagi mereka.

Keragaman Labelisasi dan Sertifikasi Halal

Saya pertama kali mengunjungi Vietnam pada awal tahun 2017. Pagi hari tiba di Bandara Tanh Sonh Nhat, saya langsung menuju ke pasar Benh Than, di pusat kota Ho Chi Minh. Di dalam pasar, saya bertanya kepada salah seorang penjual pakaian tentang lokasi restoran halal di sekitar pasar. Perempuan itu tersenyum lalu bertanya balik, memastikan saya orang Malaysia atau Indonesia. Segera saya memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia. Dia langsung menunjukkan arah untuk menuju ke restoran yang dia maksud. Hanya berjalan sekitar satu menit, melewati jejeran penju- al suvenir dan pakaian, saya keluar dari pasar melalui pintu sebelah barat. Di depan saya telah terlihat beberapa toko yang papan nama- nya berbahasa Arab dan memiliki bendera Malaysia. Toko-toko itu berada di jalan Nguyen An Ninh. Jalan yang sangat terkenal dian- tara wisatawan dari Malaysia dan Indonesia, secara umum wisata- wan muslim di Ho Chi Minh. Tempat tersebut menjadi salah satu tempat terbaik bagi para wisatawan untuk menemukan tempat ma- kan halal, karena lokasinya yang sangat dekat dengan pusat-pusat aktraksi para wisatawan. Di sepanjang jalan tersebut, terdapat seti- daknya tujuh restoran halal: Kampung Melayu Halal, Basiroh, Aziz dan Saedah. Selain itu, juga banyak penjual kerudung dan baju khas melayu, juga terdapat pedagang kaki lima yang menjajakan kopi Vietnam yang telah memiliki label halal di bungkusnya.

189 Birokratisasi Islam di Indocina...

Beberapa hari menetap dan berjalan ke beberapa tempat di sekitar kota Ho Chi Minh, membuat saya semakin banyak mene- mukan penjual makanan halal, dari tempat yang sederhana sampai yang mewah dengan konsep restoran. Sebagian besar berada di wi- layah padat penduduk muslim, ditandai dengan keberadaan masjid atau musala di distrik disekitarnya. Tempat-tempat makan tersebut semuanya memiliki label halal, tapi tidak seragam. Label halalnya berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lain, bahkan dalam satu tempat makan, memiliki beberapa model label halal yang ber- beda-beda. Umumnya, seperti di tempat makan yang sederhana, label halal hanyalah sebuah tulisan dalam bahasa Arab yang bertu- liskan halal. Selain label halal berupa tulisan atau gambar-gambar yang ditempel, label halal terhadap sebuah tempat makan adalah penjualnya itu sendiri. Umumnya, penjual makanan perempuan menggunakan kerudung khas melayu yang hanya menutupi ram- but.101 Kerudung mereka, para penjual, menjadi satu indikator ter- sendiri bagi masyarakat untuk memilih tempat makan. Fenomena ini berlangsung sejak lama, disebabkan karena tidak adanya kepas- tian konsumsi halal bagi masyarakat muslim. Halal ditentukan dengan prinsip kepercayaan sebagai sesama muslim. Salah seorang muslim asal Indonesia yang saya temui selepas shalat isya di mes- jid Jamiul Islamiyah, distrik satu, menyampaikan ke saya bahwa ia datang ke mesjid itu, selain untuk shalat isya adalah untuk membeli daging ayam.102 Menurutnya, salah satu cara untuk memastikan kehalalan daging yang ia makan adalah dengan membeli langsung dari masjid. Tidak semua mesjid mesjid menjual daging ayam, salah satunya hanya ada di masjid Jamiul Islamiyah.

190 Birokratisasi Islam di Indocina...

Gambar 7. Usaha Makanan dan Produk Kopi yang Menggunakan Label Halal Sendiri

Walau demikian, langkah untuk melakukan usaha penjami- nan halal telah dilakukan. Caranya melalui penbentukan lembaga- lembaga khusus yang bersifat non-pemerintah, berfungsi sebagai lembaga yang bekerja untuk menjamin kepastian makanan halal yang akan dikonsumsi oleh masyarakat muslim di Vietnam. Selain itu, juga berfungsi untuk kebutuhan bisnis, produk-produk maka- nan dan fesyen. Setidaknya ada tujuh lembaga sertifikasi halal res- mi yang dikenal: Islamic Community of Ho Chi Minh City, Islamic Community of An Giang Province, Halal Certification Agency (HCA), Halal Vietnam, International Halal Certification Organiza- tion Vietnam, Halal Vietnam Certification Service, dan Halal Au- thority-Vietnam (HAV). Lembaga-lembaga tersebut telah terdaftar sebagai lembaga resmi melalui Kementrian Perancangan dan Pela- poran Vietnam. Wilayah kerjanya di seluruh negara Vietnam. Lem- baga-lembaga tersebut juga bekerjasama dengan lembaga sertfikasi halal di luar negeri, seperti dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI)

191 Birokratisasi Islam di Indocina... dan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM). Lembaga yang telah terdaftar, misalnya di MUI, sertifikatnya diakui untuk diguna- kan sebagai referensi untuk menentukan kehalalan suatu produk. Ada 43 lembaga sertifikasi halal yang diakui MUI dari 25 negara, hanya ada satu lembaga dari Vietnam, yaitu Halal Certification Agency (HCA) yang dipimpin oleh Haji Muhammed Omar. Penga- kuan tersebut dalam kategori bahan baku dan bumbu. 103 Munculnya banyak lembaga halal di Vietnam, tidak hanya sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsi makanan halal untuk muslim lokal, tapi memiliki kepentingan ekonomi dan bisnis yang lebih besar. Fenomena ini merupakan langkah untuk memfa- silitasi kekayaan hasil pertanian dan perikanan Vietnam yang me- limpah ruah. Labelisasi suatu produk sangat penting untuk mema- suki pasar global, khususnya di negara-negara mayoritas penduduk Islam, seperti Indonesia dan Malaysia. Tren halal di pasar global, setidaknya dalam dekade terakhir, juga semakin meningkat di ne- gara-negara minoritas muslim yang juga bergelut dalam penyedia- an fasilitas halal, mulai dari makanan, kosmetik, hingga fesyen. Hal ini bisa dilihat dalam tawaran benefit yang ditawarkan oleh Halal Certitifation Agency (HCA), salah satu lembaga halal di Vietnam yang berkantor di Hanoi. Lembaga ini menawarkan bene- fit untuk perusahaan yang mengurus sertifikasi halal sebagai beri- kut: Sertifikasi halal memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan untuk melakukan import ke negara Islam atau negara mayoritas muslim; Produk yang telah tersertifikasi mendapatkan kepercayaan dari muslim untuk dibeli dan digunakan tanpa ada keraguan, se- hingga meningkatkan daya guna produk; Menjadikan konsumen percaya, setiap konsumen di dunia memilih untuk memiliki persya- ratan tertentu untuk mengontrol dan keamanan makanan; Sertfikasi halal untuk bahan baku adalah yang paling sederhana, dapat diper- caya dan menghemat waktu dalam melakukan labelisasi halal, khu- susnya yang bersumber dari binatang; Sertifikasi halal membantu perusahaan untuk memasok produk halalnya di seluruh dunia; Ser- tifikasi halal membantu pemasaran, memasok dan mengakses pasar muslim.104 Sebagai lembaga halal yang bersertifikat dan telah dia- kui oleh lembaga sertifikasi halal di beberapa negara, Halal

192 Birokratisasi Islam di Indocina...

Ceritification Agency (HCA) Vietnam telah terlibat dalam melaku- kan sertifikasi dan labelisasi halal terhadap beberapa produk yang diekspor ke negara-negara, seperti Taiwan dan Nepal, negara mi- noritas muslim yang memiliki pasar halal cukup besar. Beberapa produk dan perusahaan yang telah disertifikasi telah disertifikasi oleh HCA, diantaranya Orion Vina, Vinamilk, Nestle Vietnam, Cai Lan Oils and Fats Industries Company, Tuong An Vegetable Oil Company, Minh Phu Seafood Corporation, dan An Phu Seafood Corporation. 105 Selain itu, salah satu lembaga halal lainnya adalah Halal Authority Vietnam (HAV) lembaga ini dipimpin oleh Dr. Basiron Abdullah, seorang muslim dari Ninh Thuan, Vietnam Tengah. HAV berkantor di Jalan 53, Ho Hao Hon, distrik 1, kota Ho Chi Minh. Di tempat ini juda ada restoran halal bernama restoran Halal Syam- suddin. HAV juga telah terdaftar di bawah Kementrian Peranca- ngan dan Pelaporan Vietnam, berdiri sebagai sebuah lembaga (sya- rikah) resmi yang memiliki hak untuk mengeluarkan sertifikat (sijil) halal di Vietnam. Lembaga ini berdiri secara independent sebagai organisasi non-pemerintah (NGO). Tidak memiliki kekua- tan hirarkis yang bisa memaksa atau mengikat lembaga-lembaga di bawahnya. Seperti pada umumnya lembaga halal di Vietnam, HAV bersifat pasif menunggu pemilik produk atau usaha yang ingin mendapatkan sertifikasi halal resmi. Mereka tidak memiliki kewa- jiban untuk mengawal rumah makan tertentu dalam hal kehalalan makanannya, serta lembaga-lembaga ini tidak memiliki kewajiban untuk mengaudit dan memeriksa kehalalan makanan konsumsi umat Islam di Kamboja. Dalam posisi ini, satu-satunya cara untuk mendapatkan sertfikat halal harus melalui inisiatif dari pihak yang ingin mendapatkan sertifikat halal tersebut, yaitu mereka pemilik tempat makan atau pemilik usaha tertentu yang produknya ingin mendapatkan jaminan halal dari lembaga resmi, seperti HAV dan lembaga halal lainnya. Untuk mengajukan permohonan sertifikasi halal untuk sebuah produk atau rumah makan, berikut ini saya tam- pilkan prosedur pengajuannya, khusus untuk ke HAV (lihat gam- bar 8). Pada intinya semua.

193 Birokratisasi Islam di Indocina...

Gambar 8. Proses Penerbitan Sertifikat Halal di Vietnam106

Proses itu, sedikit demi sedikit berlangsung di Vietnam. Na- mun saat ini, meski lembaga-lembaga sertifikikasi halal bermuncu- lan, namun tidak ada kewajiban bagi pemilik tempat makan untuk melakukan sertifikasi halal secara resmi. Basiron Abdullah menga- takan salah satu alasan pemilik usaha-usaha makanan tidak mengu- rus Sertifikasi halal dikarenakan terkendala dengan biaya penguru- san. Sehingga banyak di antara para pengusaha makanan, cende- rung menulis sendiri label halal di tempat mereka. sertifikasi halal memang hanya bersifat opsional bagi mereka yang ingin menda- patkan sertifikat resmi. Posisi lembaga-lembaga tersebut bersifat lembaga mandiri yang tidak terikat pada negara dan tidak mengikat ke tempat-tempat makan halal. sertifikat yang dikeluarkan hanya bersifat saran dan jaminan kehalalan suatu tempat makan atau pro- duk tertentu.107

Parsel dan Perayaan Hari-Hari Besar Islam

Ketika saya bertanya tentang konstribusi pemerintah Vietnam terhadap komunitas muslim, Ustad Musa bin Abdul Qadir menja-

194 Birokratisasi Islam di Indocina... wab, mereka memberi kami parcel. Setiap perayaan hari-hari besar Islam dan agama-agama lainnya, pemerintah melalui pejabat-peja- bat di Government Committee for Religious Affairs (GCRA) mela- kukan kunjungan ke mesjid-mesjid untuk memberikan ucapan sela- mat kepada para umat muslim untuk melaksanakan hari-hari besar- nya dengan semangat. Salah satu jamaah di Mesjid Cholon, Distrik lima, kota Ho Chi Minh, menyampaikan ke saya :

“Saya mulai menyaksikan ini mungkin sekitar sepu- luh tahun belakang, pemerintah mengutus orangnya untuk datang ke mesjid ini, menemui para muslim. Mereka selalu membawa parsel atau hadiah, isinya berupa bahan-bahan sembako yang bisa dinikmati se- cara bersama-sama oleh para jamaah di mesjid ini. Sebagai contoh, biasanya dua atau satu hari menje- lang Ramadhan, pihak pemerintah datang dan mem- berikan menyemakati kami untuk berpuasa dan me- manfaatkan bulan Ramadhan sebaik mungkin. Pada kesempatan lain, utusan pemerintah juga biasanya da- tang dalam bulan ramadhan, mereka bergabung ber- sama kami untuk menikmati hidangan buka puasa.”

Fenomena ini dikonfirmasi oleh banyak pihak, termasuk imam dan pengurus, di delapan mesjid yang saya kunjungi di HO CHI MINH. Parsel merupakan bentuk apresiasi pemerintah yang diberikan kepada perwakilan komunitas muslim di setiap daerah, HCM, An Gianh, Thai Ninh, Ninh Thuan dan Bin Thuan. Parcel menjadi hal yang harus ada dalam setiap kunjungan-kunjungan perwakilan Komite Pemerintah untuk Urusan Agama (GCRA), bukan tuntutan dari komunitas muslim, melainkan menjadi hal yang semakin merekatkan hubungan dan pemerintah. Ustad Musa me- nyampaikan ke saya bahwa masyarakat muslim senang atas pem- berian parsel dari pihak pemerintah, meski tidak dalam jumlah banyak, tapi itu membuat kami (muslim minoritas) merasa aman, negara menjaga kami dengan baik, diperlakukan sama dengan umat agama lain yang lebih banyak jumlah umatnya di Vietnam.108

195 Birokratisasi Islam di Indocina...

Masyarakat muslim menyadari dirinya sebagai minoritas. Mereka dituntut untuk bersikap terbuka dan melakukan dialog dengan war- ga sekitar yang non-muslim. Pemberian parsel yang diberikan oleh utusan pemerintah, tidak dicurigai sama sekali, mereka yakin bah- wa parsel-parsel itu merupakan pemberian tulus, ungkapan peme- rintah yang secara tidak langsung ingin menerapkan janji konstitusi negara ini, memberikan hak kebebasan bagi setiap warga negara- nya untuk memeluk agama yang mereka pilih. Fenomena parsel pemerintah yang diberikan kepada organi- sasi dan komunitas keagamaan di Vietnam menjadi satu sudut pan- dang baru untuk melihat bagaimana hubungan negara dan agama di Vietnam sedang berubah. Vietnam dan Agama sempat berada dalam ketegangan, ajaran Marxisme semakin kuat mempengaruhi negara ini, termasuk urusan keagamaan. Mengakibatkan negara cenderung awas terhadap agama, setidaknya ada dua alasan: agama dinilai tidak dinilai penting dalam ajaran Komunisme dan agama dianggap sebagai bahan bakar yang bisa menyatukan masyarakat untuk melakukan pemberontakan. Namun, semua itu berubah sete- lah kebijakan Doi Moi diterapkan, negara ini berderap menuju negara yang terbuka. Menurut Nguyen Quang Hung, perubahan sikap negara Vietnam terhadap agama berubah setelah jatuhnya blok Komunis dan bangkitnya internasionalisasi setelah era perang dingin (cold war), keadaan ini merupakan kesempatan baik yang digunakan Vietnam untuk membentuk kebijakan tentang agama.109 Saat ini, hubungan pemerintah dengan Komunitas muslim semakin baik. Dalam beberapa kesempatan, pejabat-pejabat Vietnam me- ngunjungi komunitas muslim atau sebaliknya, komunitas muslim mengunjungi pejabat pemerintah. Sebagaimana yang dilakukan oleh para pengurus Masjid Al-Noor, Hanoi, yang mengunjungi oto- ritas kota Hanoi. Dalam kunjungan tersebut mereka membicarakan dan berusaha melakukan kerjasama dalam beberapa hal. Pengurus mesjid Al-Noor menyatakan diri untuk terlibat dalam pembangu- nan kota, sementara pihak otoritas pemerintah kota memastikan untuk mempertimbangkan banyak isu yang berkaitan dengan mus- lim.110

196 Birokratisasi Islam di Indocina...

Gambar 9. Contoh Parsel dari Perwakilan Pemerintah (GCRA) kepada Komite Islam di Tay Ninh

Beasiswa dan Interaksi Muslim dengan Negara Lain

Bagian ini merupakan bagian yang memperlihatkan bagai- mana minoritas muslim terhubung dengan masyarakat muslim di negara-negara Islam dan negara mayoritas muslim. Saya melihat- nya dari framing pendidikan, satu aspek ini menjadi jalur hilir mu- dik interaksi muslim Vietnam dengan muslim di negara lain, baik melalui beasiswa dan non-beasiswa. Pada tahun-tahun sebelum 1970an, Vietnam adalah negara tertutup yang poranda-poranda akibat perang. Untuk sekedar me- ngetahui cara menanam kopi dan mengelola lahan agraris yang baik, Vietnam harus mendatangkan orang Indonesia beserta biji kopinya. Orang Indonesia, atas intruksi Presiden Soekarno yang saat itu menjalin persahabatan dengan Presiden Ho Chi Minh, da- tang mengajar cara menanam kopi dan mengelola lahan pertanian yang subur. Atas kebaikan hati itu, orang Indonesia mendapatkan sapaan akrab kakak tua (the old brothers) dari orang Vietnam. Saat

197 Birokratisasi Islam di Indocina... ini, justru sebaliknya, orang-orang Indonesia ke Vietnam untuk belajar banyak hal tentang pertaniannya yang maju; industri kopi Vietnam menempati urutan kedua dunia setelah Brazil, posisi yang sebelumnya ditempati Indonesia; bahkan, secara laju perekonomi- an, Vietnam hampir mengungguli Indonesia. Fenomena tersebut, oleh banyak pihak menganggap bahwa orang-orang Vietnam ada- lah seorang pembelajar yang baik, cepat mengungguli guru-guru- nya. Sebagai orang Vietnam, masyarakat muslim juga punya pelu- ang untuk berkembang, setidaknya setelah era 1970an, setelah Vietnam memasuki masa-masa keterbukaan dengan dunia interna- sional. Namun, tidak sesuai harapan, sebagian besar masyarakat muslim di Vietnam masih tertinggal dan mengalami kesulitan dalam mengakses pekerjaan. sebagian besar orang muslim Vietnam menganggap itu bukan disebabkan diskriminasi pemerintah terha- dap kelompok minoritas, baik karena etnisitas mereka Champa atau karena mereka muslim. Hal ini, mungkin saja terjadi jika ingin menjadi pegawai negeri sipil (PNS), karena situasi dan suasana sosial dan politik yang tidak memungkinkan, namun tidak menutup kemungkinan, akan ada muslim yang menjadi PNS. Ketika saya bertanya tentang diskriminasi pemerintah terhadap kesulitan mus- lim atau orang Champa dalam mengakses pekerjaan, Dod Muham- mad, seorang muslim dan orang Champa, menyampaikan ke saya:

“kesulitan mengakses pekerjaan itu mungkin susah jika ingin pekerjaan menjadi pegawai negeri sipil (PNS), namun jika untuk bekerja di kantor swasta, peluangnya terbuka lebar. Walau demikian, orang muslim masih sulit mengakses, disebabkan karena tingkat pendidikan yang rendah. hal itu yang menjadi masalah utama orang muslim Cham di Vietnam, ting- kat pendidikan yang masih rendah, itu juga disebab- kan karena faktor ekonomi yang masih susah. Di Vietnam ini, persebaran perguruan tinggi atau univer- sitas belum merata, sehingga orang-orang muslim yang tinggalnya jauh di Chau Doc dan An Giant me- ngalami kesulitan untuk mendapatkan pendidikan

198 Birokratisasi Islam di Indocina...

yang layak. Universitas-universitas yang bagus hanya ada di kota Ho Chi Minh dan Hanoi, sementara biaya hidup di kedua kota itu mahal. Hal yang itulah yang menjadikan orang muslim sulit bersaing. Muslim champa kebanyakan hanya tamat SMA, sehingga un- tuk mendapatkan pekerjaan yang layak menjadi susah. Misalnya, teman-teman saya yang mendapatkan bea- siswa untuk belajar ke luar negeri, seperti Indonesia, saat mereka pulang, mereka mendapatkan pekerjaan yang layak, bekerja di perusahaan-perusahaan besar di kota.111

Fenomena tersebut tidak hanya masalah minoritas, tapi juga terjadi di negara mayoritas muslim. Banyak pemuda muslim di pedesaan yang sulit mengakses studi lanjutan ke kampus-kampus ternama karena kesulitan biaya pendidikan dan biaya hidup di kota-kota tempat universitas berada. Masalah ini, bukan hanya ma- salah minoritas, tapi masalah peluang yang diberikan pemerintah untuk mengakses pendidikan yang masih tidak merata. Program pemberian beasiswa untuk kelompok miskin dan tertinggal menja- di satu solusi, beberapa negara menerapkan pola seperti ini. Kebi- jakan untuk pemerataan akses pendidikan juga dilakukan di Viet- nam, kebijakan ini termasuk menyasar masyarakat muslim. tapi, bukan karena mereka muslim, melainkan karena mereka umumnya merupakan orang Champa, satu dari 53 etnik minoritas yang diakui oleh negara. siswa-siswa dari etnik minoritas mendapatkan bebera- pa keistimewaan dalam hal biaya pendidikan, diantaranya pemoto- ngan biaya pendidikan sehingga lebih rendah dari biaya yang dibe- bankan kepada siswa pada umumnya. Salah seorang yang menda- patkanya adalah Jamila, 26 tahun, ia menyampaikan ke saya:

“Di sekolah negeri, saya mendapatkan perlakuan khu- sus dari sekolah. Hal itu diberikan karena saya bera- sal dari salah satu etnik minoritas yang diakui oleh Vietnam, yaitu etnik Cham. Perlakuan yang diberikan, seperti kami mendapatkan diskon untuk pembayaran

199 Birokratisasi Islam di Indocina...

uang sekolah. Misalnya, secara umum orang memba- yar sekitar satu juta Dong, namun saya hanya mem- bayar ribu Dong”.112

Kebijakan itu diterapkan seiring dengan keterbukaan Viet- nam sebagai negera modern. Dampak positif lain dari keterbukaan itu adalah lembaga-lembaga donor dari negara muslim berdata- ngan. Lembaga-lembaga tersebut membawa bantuan kesejahteraan sosial dan beasiswa pendidikan. Salah satu lembaga donornya ada- lah Islamic Development Bank (IDB). Suatu hari di Institut Tekno- logi Bisnis Ahmad Dahlan di Ciputat, Bapak Bunyan Saptono, seo- rang diplomat yang pernah bekerja di kedutaan besar Indonesia untuk Vietnam di Hanoi, menyampaikan bahwa Ia merupakan salah seorang yang melakukan usaha negosiasi dengan Kementrian Pen- didikan Vietnam untuk memberikan izin kepada IDB dalam rangka pemberian beasiswa kepada pemuda muslim di Vietnam. Usaha negosiasi itu awalnya mendapatkan penolakan karena dianggap sebagai usaha ekspansi agama Islam, namun setelah dijelaskan secara baik bahwa ini menjadi satu bagian dari pembangunan sum- ber daya manusia Vietnam, pemerintah akhirnya setuju, dengan beberapa ketentuan: beasiswa IDB hanya diperuntukkan untuk mahasiswa Islam yang belajar di bidang non-sosial, seperti jurusan yang sifatnya teknikal dan merupakan kebutuhan industri, seperti jurusan teknik, kedokteran, dan pertanian. Tidak diperbolehkan untuk mengambil jurusan sosial dan budaya, seperti hukum dan studi agama.113 Karena keterbatasan ekonomi, khususnya muslim yang ada di pinggiran Vietnam, beasiswa IDB adalah salah satu jalan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, terlebih lagi ke universitas-universitas terbaik di luar dan di dalam negeri. Islamic Development Bank (IDB) adalah lembaga keuangan multilateral yang didirikan oleh Organization of Islamic Cooperati- on (OIC) bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup ma- syarakat muslim di negara-negara anggota dan bukan anggota. Negara anggota IDB berjumlah 57 negara. negara-negara tersebut merupakan negara-negara anggota OIC yang telah memenuhi sya- rat untuk menjadi anggota IDB, salah satunya dengan cara melaku-

200 Birokratisasi Islam di Indocina... kan membayarkan modal ke IDB. IDB berkantor pusat di Jeddah, Arab Saudi, dan memiliki beberapa kantor perwakilan di negara- negara anggota. Untuk wilayah Asia Tenggara, kantor perwakilan terletak di Kuala Lumpur, Malaysia dan Jakarta, Indonesia. Salah satu program IDB yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat muslim adalah melalui program beasiswa pendi- dikan. Diantaranya, program beasiswa untuk masyarakat muslim di negara-negara non-anggota, program beasiswa S2 ilmu pengetahu- an dan teknologi untuk negara-negara belum berkembang anggota IDB (M.Sc), dan program beasiswa prestasi untuk teknologi tinggi (MSP).114 Masyarakat muslim Vietnam termasuk kelompok peneri- ma beasiswa dari program beasiswa untuk masyarakat muslim di negara non-anggota. Beasiswa ini diberikan khusus kepada maha- siswa muslim di Vietnam yang secara ekonomi dinilai layak untuk mendapatkan bantuan biaya pendidikan, tidak mendapatkan beasis- wa dari pihan lain, serta memiliki komitmen untuk kembali mem- bangun komunitas dan negaranya. Kepada para penerima beasiswa ini, IDB menekankan bahwa beasiswa tersebut bersifat interest- free loan (pinjaman tanpa bunga). Sebagaimana yang tercantum dalam formulir pendaftaran peserta:

“Beasiswa ini adalah pinjaman tanpa bunga yang bisa digunakan untuk belajar kedokteran, teknik, atau per- tanian (atau wilayah studi lain yang telah disetujui oleh IDB) dan beasiswa tersebut meliputi biaya hidup, pakaian, buku, biaya pendidikan dan biaya pendidi- kan. Dengan demikian, para penerima beasiswa diha- rapkan, setelah lulus, dapat membayar kembali bea- siswa dan tunjangan lainnya kepada IDB, dengan cicilan yang mudah, yaitu melalui lembaga sosial di komunitas masing-masing. Ini penting karena beasis- wa ini bersifat dana investasi untuk komunitas lokal agar beasiswa itu berguna untuk masa depan sebuah komunitas, termasuk ke generasi berikutnya.”115

201 Birokratisasi Islam di Indocina...

Menurut ketua Asosiasi Alumni IDB Vietnam, Dod Muham- mad, pengembalian interest-free loan bersifat kesukarelaan (volun- tering), pengembaliannya langsung ke masyarakat, bukan ke IDB. Ini ditujukan kepada setiap alumni IDB yang telah pulang ke nega- ranya dan mendapatkan pekerjaan dan gaji yang layak. Mereka, para alumni, memiliki tanggung jawab moral untuk menyisihkan beberapa persen dari penghasilannya untuk disumbangkan ke IDB Trust, lembaga filantropi yang mengelola dana sumbangan tersebut untuk dijadikan beasiswa dan disalurkan kembali kepada generasi berikutnya. Sekalipun dianggap sukarela, tapi komitmen pengembalian beasiswa tersebut diikat melalui perjanjian yang ditandatangani. Perjanjian itu menunjukkan keseriusan IDB untuk memaksa para penerima beasiswa untuk pulang ke negara asalnya, untuk me- ngembangkan kualitas hidup minoritas muslim, alih-alih untuk menetap di negara tempatnya belajar.116 Cara ini efektif dilakukan, hampir semua alumni penerima beasiswa IDB yang belajar di luar negeri, kembali ke Vietnam. Setelah kembali, mereka menggeluti berbagai profesi: bekerja di perusahaan swasta, mengembangkan bisnis, dan mendirikan organisasi sosial non-pemerintah. Banyak di antara mereka berasal dari kampung-kampung Islam di bagian selatan Vietnam, lalu pindah ke pusat di Ho Chi Minh dan An Giant untuk mengakses pekerjaan. Dalam menyalurkan beasiswa, IDB bekerja sama dengan organisasi-organisasi lokal di setiap negara penerima. Di Vietnam, IDB bekerja sama dengan Rep. Islamic Community of Ho Chi Minh City, lembaga Islam yang memiliki otoritas untuk urusan-urusan umat Islam di kota Ho Chi Minh dan sekitarnya. Dalam penguru- sannya, setiap mahasiswa mengambil dan mengembalikan formulir pendaftaran di kantor Komite Islam. Untuk menentukan penerima beasiswa, mahasiswa melewati beberapa tahapan: setiap calon ma- hasiswa mengirimkan formulir aplikasi pendaftaran beserta lampi- ran persyaratan yang dibutuhkan ke komite Islam HCM; Komite Islam HCM akan mempelajari kelayakan aplikasi dan atau memas- tikan kelengkapan berkas, jika ada berkas yang kurang atau salah, maka para pelamar akan diberitahukan secepatnya; Mereka yang

202 Birokratisasi Islam di Indocina... dianggap memenuhi kelayakan akan melakukan wawancara dengan panitia seleksi, melalui pihak Komite Islam HCM; Kantor pemberi beasiswa, IDB, akan mempelajari hasil interview dan formulir apli- kasi pendaftaran sebelum memberikan rekomendasi kepada panitia eksekutif program beasiswa untuk seleksi tahap akhir; hasil dari tahapan seleksi akan disampaikan kepada Komite Islam HCM, lalu lembaga ini akan mengumpumkan hasilnya kepada seluruh pendaf- tar; Mereka yang dinyatakan terpilih sebagai penerima beasiswa akan diminta untuk menandatangi perjanjian beasiswa, menegas- kan komitmen untuk mengembalikan beasiswa dan pembiayaan lainnya yang diterima dari IDB, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, sebelum dimulainya perkuliahan. Program beasiswa IDB memberikan peluang kepada pemuda muslim untuk melanjutkan pendidikan di universitas-universitas terbaik di dalam dan luar negeri. Saya tidak mendapatkan data pas- ti mengenai berapa jumlah mahasiswa yang tersebar di universitas- universitas tersebut. Tapi menurut pengurus di Komite Islam HCM, setiap tahun ada sekitar 20an mahasiswa yang mendapatkan beasis- wa dari IDB. Ketua Asosiasi Alumni IDB menyampaikan ke saya bahwa pertahun 2016, mahasiswa muslim Vietnam yang kuliah di Indonesia ada 54 orang, tersebar di beberapa universitas di Jakarta, Bandung, Malang, Semarang dan Yogyakarta. Mahasiswa muslim Vietnam yang menerima beasiswa IDB tersebar di beberapa negara, umumnya di Indonesia dan Malaysia. Untuk dalam negeri, memilih kampus-kampus ternama di kota Ho Chi Minh dan Hanoi. Untuk mendapatkan beasiswa ini, calon mahasiswa terlebih dahulu men- daftarkan diri di lembaga yang telah ditunjuk oleh IDB sebagai lembaga penyeleksi penerima beasiswa. Lembaga tersebut adalah Jamiatul Islamiyah, dikenal juga Islamic Community of Ho Chi Minh. Jamiatul Islamiyah akan mengeluarkan pengumuman terkait persyaratan dan tahapan-tahapan untuk mendapatkan beasiswa, melakukan seleksi administrasi, seleksi tertulis dan wawancara, dan mengumumkan keputusan penerima beasiswa. Dod Muhammad adalah salah satu tokoh masyarakat muslim yang merupakan penerima beasiswa IDB. Dengan beasiswa terse- but, ia mampu mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada

203 Birokratisasi Islam di Indocina...

(UGM) Yogyakarta, Indonesia. Setelah pulang ke negaranya, Ia bekerja di beberapa perusahaan swasta, saat ini ia bekerja sebagai manajer konsultan konstruksi di salah satu perusahaan multinasio- nal dari Singapura yang berkantor di kota Ho Chi Minh. Saat ini, Dod Muhammad adalah ketua Asosiasi Alumni IDB (IDB Gradua- te Association), menurutnya beasiswa IDB tidak diberikan secara cuma-cuma, tetapi sebuah pinjaman yang bersifat jangka panjang dan tidak mengikat secara hukum. Pengembaliannya tidak langsung ke IDB, melainkan ke masyarakat. Pengembaliannya bersifat kesu- karelaan bagi alumni IDB yang telah mendapat pekerjaan yang layak dan menerima gaji. Mereka secara sukarela menyisihkan penghasilan mereka untuk disumbangkan ke IDB Trust, lembaga ini akan menyalurkan dana dalam bentuk beasiswa kepada calon- calon mahasiswa muslim dari Vietnam.117 Pertahun 2016-2017, jumlah mahasiswa muslim Vietnam yang sedang kuliah dengan beasiswa IDB di Indonesia berjumlah 54 orang, tersebar di bebe- rapa Universitas, seperti Universitas Gajah Mada, Universitas Indo- nesia, Universitas Diponegoro, dan beberapa universitas lainnya. Selain dari IDB, ada juga beberapa lembaga donor yang langsung melalui kedutaan negara tersebut atau secara pribadi. Ustad Basiron adalah satu dari beberapa mahasiswa asal Vietnam yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah Arab Saudi untuk melanjutkan kuliah di Universitas Internasional Madinah. Pertama- tama Basiron mendapatkan informasi beasiswa dari kedutaan Arab Saudi di Vietnam, lalu ia mengirimkan berkas-berkasnya ke Uni- versitas yang dituju, setelah menunggu sekian waktu, ia akhirnya mendapatkan pengumuman dan lulus. Jalur lain yang sering digu- nakan oleh calon mahasiswa muslim Vietnam untuk sekolah di luar negeri adalah melalui jalur beasiswa dari pribadi dermawan, umum- nya mereka adalah muslim-muslim kaya dari Malaysia. Hal ini didasari kuat oleh hubungan Melayu dan Champa yang sangat erat yang membentuk jalinan persaudaraan. Orang Champa, khususnya di bagian selatan yang umumnya mengikuti mazhab syafii, sering mengidentifikasi diri mereka sebagai Melayu Champa. Identitas sebagai orang melayu sangat kuat. Sementara, orang Champa di bagian tengah, mengidentifikasi diri mereka sebagai Champa yang

204 Birokratisasi Islam di Indocina... terpisah dari Melayu, mereka menempatkan Champa dan Melayu sebagai dua identitas yang berbeda.

Catatan untuk Bab IV

1 Abdul Karim Zaidan, Ahkam al-Dzimmiyyina wal al-Mustaminiina fi Daar al-Islam’, (Bagdad: Maktabah al-Quds, 1982), h. 18-21; Bernard Lewis, “Legal and Historical Reflections on the Position of Muslim Populations under Non-Muslim Rule”, dalam Journal Institute of Muslim Minority Affairs, (Vol.13, No.1, 1992), h. 5-7; Khaled Abou El Fadl, “Islamic Law and Muslim Minorities: The Juristic Discourse on Muslim Minorities From The Second/Eighth to the Eleventh/ Seventeenth Centuries”, dalam Islamic Law and Society, (Leiden: E.J. Brill, Vol. 1, No. 2, 1994), h. 146-147. 2 The Pew Forum on Religion and Public Life, Mapping the Global Muslim Population: A Report on the Size and Distribution of the World’s Muslim Population, Oktober 2009., h. 7; Houssain Kettani, “ World Muslim Population” dalam Proceeding of the th Hawaii International Conference on Arts and Humanities, Hololulu, Hawai, January 2010. 3 Ahmad Suaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai : Peran Civil Society Muslim di Thailand Selatan dan Filipina Selatan (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI dan CISEAS-The Wahid Institute, 2012) 4 Robert Mason (ed), Muslim Minority-State Relation: Violance, Integ- ration, and Policy, (New York: Palgrave Macmillan, 2016) 5 Adeeb Khalid, Islam after Communism: Religion and Politics in Central Asia, (California: University of Californis Press, 2007), h. 2-3, 50. 6 Ysa Osman, Oukoubah: Justice for the Cham Muslims under the Democratic Kampuchea Regime, (Phnom Penh: Documentation Center of Cambodia, 2002), 1; Farina So, The Hijab of Cambodia: Memories of Cham Muslim Women after the Khmer Rouge, (Phnom Penh, Documentation Center of Cambodia, 2011). 7 Bassam Tibi mengemukakan bahwa demokrasi tidak hanya dilihat dari kotak suara pemilu, tapi lebih jauh dari itu. Indikator bagaimana demokrasi berlangsung, seharusnya diukur dari sejauh mana masyarakat dilibatkan dan diberdayakan oleh negara, yang Ia sebut

205 Birokratisasi Islam di Indocina...

dengan the politic of engagement dan the politic of empowering. Bassam Tibi, Islamism and Islam, USA: Yale University Press, 2012. 94-95. 8 Sekitar abad ke-15, ketika Kerajaan Champa runtuh di Panduranga, Vietnam Tengah. Orang-orang Cham melakukan migrasi ke wilayah- wilayah tetangga, dalam gelombang besar menuju ke utara di Kam- boja, di bawah kekuasaan kerajaan Khmer. Mereka disambut baik oleh penguasa, diberikan lahan tinggal di daerah Kampong Cham saat ini. 9 Les Kosem dikenal sebagai salah satu pemimpin militer dan politik berpengaruh bagi orang Cham. Dia adalah Jendral yang loyal terhadap Lon Nol. Lihat juga dalam Arie Jayanthy Fitria Andi Fauzi, “The Winding Road of Cambodian Politics and Economy”, dalam Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari, The Cham Diaspora in Southeast Asia (Jakarta: LIPI Press, 2013), h. 37. 10 Farina So, The Hijab of Cambodia: Memories of Cham Muslim Women After Khmer Rouge, (Phnom Penh: Documentation Center of Cambodia, 2011) h. 15-16. 11 Farina So, The Hijab of Cambodia…, h. 55. 12 Islam Cambodia, Highest Islamic Council (Mufti), diakses dari http:// islamcambodia.org/highest-islamic-councilmufti pada 01 Maret 2019. 13 Data diambil dari kantor Majelis Muftih Tertinggi untuk Urusan Agama Islam Kamboja, terakhir diupdate tahun 2018. 14 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Daud bin Qosim, Phnom Penh, 16 February 2017. 15 Okhna adalah gelar dari kerajaan Kamboja yang diberikan kepada orang yang dinilai memiliki konstribusi penting terhadap Kamboja. 16 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Irsyad Muhammad Nur, Phnom Penh, 2 Oktober 2018. 17 Wawancara Pribadi secara Informal dengan Hambali bin Ibrahim, Phnom Penh, 15 Februari 2017. 18 Max Weber, Economy and Society, ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Barkeley: University of California Press, 1968) 19 Wawancara dengan Mansyur bin Sabri, Kantor HICIRAC Phnom Penh, 31 September 2018. 20 Koleksi gambar dari halaman facebook Highest Council for Islamic Religious Affairs Cambodia, diakses dari https://www.facebook.com/ mufticambodia/ pada 23 Februari 2019.

206 Birokratisasi Islam di Indocina...

21 Wawancara dengan Ustad Daud, Phnom Penh. 15 Februari 2017. 22 Arie Jayanthy Fitria Andi Fauzi, “the Winding Road of Cambodian Politics and Economy…” h. . 23 Sebelumnya, Hambali pelaku kasus teror bom Bali pada 2002, diketahui memasuki Kamboja pada 2002. Sejak itu, Kamboja dicurigai menjadi salah satu tempat bersemainya jaringan Islam radikal di Asia Tenggara. Terlebih lagi, negara ini adalah negara yang sangat terbuka dengan bantuan-bantuan dari organisasi Islam di Timur Tengah. Merespon itu, umat Islam di Kamboja berusaha memperlihat- kan bahwa hal tersebut adalah sebuah kesalahpahaman. Hal tersebut, salah satunya ditekankan oleh Ustad Daud, bahwa meski berdiri banyak organisasi Islam, namun organisasi-organisasi tersebut tidak melakukan aktifitas yang bersifat radikal. Wawancara Pribadi dengan Ustad Daud, Phnom Penh, 17 Febrauari 2017. 24 Sles Nazy (Haji Nazy Saleh), Kantor Cambodian Muslim Media Center, Phnom Penh, 18 Feruari 2018. 25 Betti Rosita Sari, “Cambodian Cham Muslims and the Islamic World: Towards a Transnational Network”, dalam Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari, The Cham Diaspora in Southeast Asia: Social Integration and Transnational Networks The Case of Cambodia, (Jakarta: LIPI Press, 2013), h. 132. 26 Wawancara Pribadi dengan Haji Nazy Saleh, Pnhom Penh. 18 Februari 2018. 27 Melalui Facebook bisa diakses melalui https://www.facebook.com/ cammcenter/ dan Youtube https://www.youtube.com/user/Camm MediaCenter/videos. 28 Lihat juga John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern… 342. 29 Data diambil diambil dari dokumen organisasi CMMC 30 Marie Juul Peterseen, “Islamizing Aid: Transnational Muslim NGOs After . ” dalam Voluntas: International Journal of Voluntary and Nonprofit Organization, Vol. 23, No. 1, Civil Society in Africa (March 2012), DOI: 103.229.202.180 31 Arie Jayanthy Fitria Andi Fauzi, The Winding Road of Cambodian… h. 42. 32 Internasionalisasi Islam Kamboja dimulai sejak 1992. Fenomena ini menjadi babak baru perkembangan Islam di negara ini. lihat juga Philipp Bruckmayr, “Cambodian Muslims, Transnational NG s, and

207 Birokratisasi Islam di Indocina...

International Justice”, Peace Review: A Journal of Social Justice, (27:3, 2015) h. 337-345 DOI: 10.1080/10402659.2015.1063378 33 Bjorn Atle Blengsli, Muslim Metamorphosis : Islamic Education and Politics in Contemporary Cambodia… h. . 34 Wawancara pribadi secara informal terhadap beberapa masyarakat muslim yang tinggal di Kampung Batu 6,7,8, 9 kota Phnom Penh. 35 Wawancara pribadi dengan Muhammad Daud bin Qosim, 17 Februari 2017. 36 Bjorn Atle Blengli, “Muslim Metamorphosis: Islamic Education … h. 187. 37 Bjorn Atle Blengli, “Muslim Metamorphosis: Islamic Education … h. 190-191. 38 Bjorn Atle Blengsli, Muslim Metamorphosis: Islamic Education and Politics in Contemporary Cambodia… h. 172. 39 Sam Rith, “NG s Probe Jemaah Islamiyah Case”, Pnhom Penh Post, 12 Maret 2004. Diakses dari https://www.phnompenhpost.com/natio nal/ngos-probe-jemaah-islamiyah-case pada 28 Desember 2018. 40 A News, “Cambodian Linked to Jemaah Islamiyah Terrorist Group”. Diakses dari https://www.voanews.com/archive/cambodian- linked-jemaah-islamiyah-terrorist-group pada 28 Desember 2018. 41 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Daud bin Qosim, 17 Februari 2017. 42 Ysa Osman, Navigating the Rift: Muslim-Budhist Intermarriage in Cambodia, (Cambodia, 2010) h. 13. 43 Desi Purnamasari, Menunggu Pergi Haji Hingga 33 Tahun, diakses dari https://tirto.id/menunggu-pergi-haji-hingga-33-tahun-cvGU pada 23 Desember 2018. 44 Wawancara Pribadi dengan Sem Raty, Amazon Café-Phnom Penh, 30 September 2018. 45 Wawancara Pribadi dengan Firdaus, Phnom Penh, 2 September 2018. 46 Wawancara Pribadi dengan Ustad Mansyur, Phnom Penh, 2 Oktober 2018. 47 Perusahaan ini terdaftar pada 3 November 2016 dan terdaftar sebagai Lembaga penyelenggara tour pada 15 November 2017 di bawah Kementrian Pariwisata, dengan nomor 505. 48 Gambar diambil dari akun facebook Younes Tour and Travels https:// www.facebook.com/younestourism/photos/a.794002944107681/1227 319524109352/?type=3&theater pada 13 Desember 2018.

208 Birokratisasi Islam di Indocina...

49 Florence Bergeaud-Blacker dkk, Halal Matters: Islam, Politics and Markets in Global Perspective (London and New York: Routledge, 2016), 50 Florence Bergeaud-Blacker, (London and New York: Routledge, 2016), 105. 51 Wawancara dengan Ustad Syafii, January 2017 di Madrasah Ihya Uddin. 52 Saya bertemu dengan Hanafi di Mesjid Al-Arsekal, menjelang shalat dhuhur, pada hari kedua saya berada di kota Phnom Penh. Saya melakukan wawancara secara informal dengan berbahasa Melayu. Hanafi lancar berbahasa Melayu karena pernah tinggal dan bekerja di Malaysia selama sekitar satu tahun. 53 Zahra, bukan nama sebenarnya. Mereka menolak untuk disebutkan nama sebenarnya. Bersumber dari catatan lapangan. 54 Wawancara dengan Saliha Othsman melalui facebook messanger, ia mengatakan “we did consider a lot on foods when it come to Halal but not so much on drinks” 55 Lebih jauh tentang CMDF dijelaskan dalam bab ini. 56 Rann Reuy, “Cham Move For Halal Food”, Phnom Penh Post (Pnhom Penh, 23 Mei 2012) 57 Ith Souhoeuth, “Govt in Process of Setting up Halal Certification Body, dalam Phnom Penh Post (Phnom penh, 8 Januari 2010). 58 Wawancara dengan Wakil Mufti Besar Kamboja, Muhammad Daud bin Qosim, di Kantor Majlis Tertinggi Urusan Umat Islam Kamboja (Phnom Penh, 16 Februari 2017) 59 Cheng Sokhorng, “Halal Food Regulations Unveiled”, Phnom Penh, 07 Maret 2018) 60 Wawancara dengan Mas Firdaus (Phnom Penh, Warung Bali, Agustus 2018) 61 Walaupun empat tahun kemudian, setelah melalui perjalanan spiritual yang panjang, Bullock juga memeluk agama Islam dan memutuskan untuk menggunakan hijab, pakaian yang empat tahun sebelumnya, dianggapnya sebagai simbol ketertidasan perempuan muslim. liha juga dalam Katherine Bullock, Rethingking Muslim Women and The Veil : Challenging Historical & Modern Stereotypes (London: the Interna- tional Institute of Islamic Though, 2010), 1. 62 Lihat juga laporan BBC https://www.bbc.com/news/world-europe- 13038095 diakses pada 20 Agustus 2018.

209 Birokratisasi Islam di Indocina...

63 Kebijakan ini ditentang oleh Menteri Pendidikan, Najat Vallaud-Bel- kacem, menurutnya, mahasiswa adalah manusia dewasa dan mereka punya hak untuk menggunakan hijab, sebab dalam masyarakat Pran- cis, hijab tidak dilarang. Lihat juga https://www.theguardian.com/ world/2016/apr/13/french-pm-ban-islamic-headscarves-universities- manuel-valls , diakses pada 21 Agustus 2018. 64 Liha lebih detail https://www.bbc.com/news/world-europe-13038095 diakses pada 20 Agustus 2018 65 Mustafa Kemal Ataturk (1881-1938) adalah sosok penting dibalik modernisasi Turki. Upaya Ataturk berhasil membawa Turki memasuki era baru sebagai negara modern yang siap bersaing dengan negara- negara barat, namun gagal dalam memodernisasi Islam, bahkan me- ngabaikan Islam untuk menjadikan Turki sebagai negara sekuler. Berbagai kebijakan diterapkan untuk menutup ruang aktivitas keaga- maan demi hasrat untuk menjadi negara modern. lebih jauh lihat dalam Asyraf Hj Ab Rahman, Wan Ibrahim Wan Ahmad, dkk, “Modernization of under Kamal Ataturk” dalam Asian Social Science, Vol. 11, No. 4, 2015. 66 Hijab yang dimaksud adalah hijab yang tetap membiarkan wajah terlihat, bukan sejenis burka atau niqab yang menutupi seluruh wajah. 67 Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan mengatakan kepada di National Geoghrapchic bahwa “masa kegelapan Turki perlahan ber- lalu”, dan memakai hijab akan diperbolehkan di berbagai tempat, seperti orang-orang yang tidak memakai itu, mereka punya hak sama. Lihat juga di https://news.nationalgeographic.com/news/2013/10/ 131011-hijab-ban-turkey-islamic-headscarf-ataturk/ diakses 15 Januari 2018 68 Diakses dari https://quran.kemenag.go.id/index.php/tafsir/2/33/59 pada 15 Januari 2018. Kontraskan tafsir kemenag dengan tafsir al- Misbah. 69 Wawancara dengan Saliha Othsman, Maret 2019. 70 Fenomena ini seperti yang dinarasikan oleh Yiryak, seorang Traveler yang saya temui di Ho Chi Minh. Dia bercerita banyak soal nega- ranya, Austria, yang tidak ramah terhadap muslim. Hal ini terjadi karena adanya pemahaman di kalangan akar rumput, orang-orang di lingkungan Yiryak, yang kesulitan bergaul dengan para imigran mus- lim yang datang. Keadaan itu, semakin parah setelah media melaku-

210 Birokratisasi Islam di Indocina...

kan framing atas Islam dan terorisme, sebuah fenomena yang menyu- burkan islamophobia di kalangan masyarakat eropa. 71 Burqa adalah salah satu istilah dalam hijab, menutupi semua bagian wajah kecuali dua mata. 72 Dalam perkembangan satu dekade terakhir, tren hijab di negara-negara tersebut cenderung sama, khususnya untuk pakaian hangout, mereka melakukan sharing fesyen. Namun, dalam acara-acara resmi kenega- raan atau perayaan hari-hari besar keagamaan. memiliki perbedaan secara signifikan, misalnya Malaysia yang tetap mempertahankan gaya hijab khas pakaian Melayu. 73 Pernyataan ini saya simpulkan setelah melakukan observasi selama beberapa waktu di kota Phnom Penh: bergaul dengan masyarakat muslim pinggiran, mengunjungi kantor otoritas keagamaan, dan ikut dalam aktifitas beberapa muslim professional yang terlibat dalam beberapa organisasi dan beraktifitas di ruang publik. 74 Wawancara pribadi dengan Ustad Mansyur, Phnom Penh, 03 Oktober 2018. 75 Bassam Tibi, Islamism and Islam (New Haven & London: Yale University Press, 2012), h. 161. 76 Artikel ini menunjukkan bagaimana perempuan Malaysia keluar dari pola hidup tradisional dan mengikuti gaya hidup modern dengan segala perubahannya, namun tetap berusaha berada dalam tuntutan agama dan tradisi. Lihat juga dalam Hanisa Hassan, Biranul Anas Zaman dan Imam Santosa, “Tolerance of Islam: A Study on Fashion among Modern and Professional Malay Woman in Malaysia, dalam International Journal of Social Science and Humanity, Vol. 5, No. 5, May 2015. 77 Katherine Bullock, Rethingking Muslim Women and Veil: Challe- nging Historical & Modern Stereotypes (USA: International Institute of Islamic Though, 2010), 78 Konstruksi sosial merupakan refleksi dari pengalaman-pengalaman masyarakat. Menurt Berger, masyarakat (society) merupakan sebuah obyek dan subyek dalam membentuk sebuah realitas hidup. Segala aktifitas (every day life) merupakan subyek atas proses habituasi terhadap sebuah realitas. Aktifitas-aktifitas tersebut merupakan proses konstruksi dan rekonstruksi terhadap sebuah fenomena atau kejadian yang dialami manusia. Fenomena hijab dan keagamaan yang bela- kangan cenderung keluar dari tempatnya yang sederhana, merupakan

211 Birokratisasi Islam di Indocina...

hasil dari interaksi pengalaman-pengalama (every day life) manusia yang mengkonstruksi sebuah fenomena baru. Lihat juga dalam Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality (USA: Penguin Books, 1966), h. 7 & 70. 79 Surat keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kerajaan Kamboja tentang Pakaian pelajar Khmer-Islam di berbagai Lembaga Pendidi- kan di Kamboja. lihat juga di Ysa Osman, Navigating the Rift : Mus- lim-Budhist Intermarriage in Cambodia, (Cambodia: National Library of Cambodia, 2010), 9. Untuk membaca keputusan ini, terdapat di lampiran. 80 Bagian ini telah dijelaskan pada bagian awal sub-bab pembahasan tentang hijab. 81 Wawancara Pribadi dengan Sem Raty Radhi Qosim, Phnom Penh, 30 September 2018. 82 Wawancara Pribadi dengan Ly, melalui facebook messenger, 17 Maret 2019. 83 Diambil dari Dokumen Pribadi Ly, 17 Maret 2019. 84 Bjorn Atle Blengsli, “Muslim Metamorphosis : Islamic Education and Politics in Contemporary Cambodia”, dalam Robert W. Hefner, Ma- king Modern Muslims: the Politic of Islamic Education in Southeast Asia Honolulu: University of Hawai’I Press, , . 85 Nama lengkapnya adalah Zainab Binti Mustafa, dinikahi oleh Ly Mousa ketika berumur 31 tahun. Fa Nab adalah anak dari seorang keluarga terpandang di kampungnya. 86 Bjorn Atle Blengsli, “Muslim Metamorphosis : Islamic Education and Politics in Comtemporary Cambodia” h. -181. 87 Mohamad Zain Bin Musa, Dynamics of Faith: Imam Musa in the Revival of Islamic Teaching in Cambodia. h. 62. 88 Mohamad Zain Bin Musa, Dynamics of Faith … 6 . 89 Pada tataran konsep, Muhammadiyah bukan gerakan Islam politik murni yang menjalankan kerja-kerja politik secara praksis. Namun, dari segi semangat dan etos perjuangannya, Muhammadiyah adalah gerakan yang secara politik merupakan gerakan yang melawan penja- jahan dengan kerja-kerja Pendidikan. 90 Tentang kekejaman rezim khmer merah terhadap komunitas muslim, bisa dilihat di bab 3. 91 Lihat lebih lengkap dalam sub-bab sebelumnya, tentang hijab. 92 Hasil wawancara dengan Ustad Mansyur, Staff di Majlis Muftih, …..

212 Birokratisasi Islam di Indocina...

93 Wawancara pribadi dengan Ustad Mansyur, 94 Wawancara pribadi dengan Sem Raty 95 John L. Esposito, the Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Terj. Eva Y.N. Dkk, Ensikloped Oxford: Dunia Islam Modern, Jilid 4 (Bandung: Mizan, 2002), 66. 96 Wawancara pribadi dengan Ustad Musa bin Abdul Qadir, Ho Chi Minh, 30 September 2017. 97 Hal ini bisa dilihat dalam ragam fenomena dan model otoritas keaga- maan dalam Islam. 98 Bahkan di negara-negara minoritas muslim atau di kota-kota minoritas muslim yang populasi muslimnya sangat sedikit, telah terbentuk orga- nisasi Islam. Misalnya di kota Hanoi, Vietnam, diperkirakan jumlah muslim yang menetap di kota ini hanya 150an orang, namun sejak 2018 telah dibentuk satu organisasi khusus yang telah diakui oleh pemerintah setempat. 99 Nama Xiaukh-Khul Islam hanya saya baca dalam karya Nguyen Than Xuan, saya tidak menemukan nama ini digunakan dalam referensi lainnya. 100 Wawancara Haji Ali, Mesjid Jamia Cholon (641 Nguyen Trai, Ho Chi Minh), 12 Februari 2018. 101 kerudung khas perempuan Champa, seperti juga kerudung perempuan melayu pada umumnya. Perempuan cenderung hanya menggunakan kerudung yang menutupi seluruh rambutnya, namun membiarkan lehernya tetap terlihat. 102 Ia tinggal di distrik lima, namun sengaja datang ke masjid di distrik satu untuk membeli daging ayam. 103 Sertifikat tersebut dikeluarkan oleh MUI, disebkan oleh setidaknya dua alasan: pertama sebagai referensi untuk pemerintah dalam mene- rima kebijakan import dari luar negeri; dan kedua, atas permintaan resmi lembaga-lembaga sertifikasi luar negeri untuk mendapat penga- kuan dari MUI. Sertifikat Pengakuan Lembaga Sertifikasi Halal Luar Negeri: nomor D-552/MUI/V/2017, bisa juga diakses melalui http:// www.halalmui.org/images/stories/pdf/LSH/halalmui-decree-hca.pdf 104 Halal Certification Agency (HCA), Benefit of Halal Certification, diakses dari https://halal.vn/en/chung-nhan-halal-co-loi-ich-gi/ pada 15 Desember 2018. 105 Dengan laju perekenomian yang kuat, modal sumber daya pertanian dan perikanan yang besar, Vietnam memiliki optimisme untuk mema-

213 Birokratisasi Islam di Indocina...

suki pasar global, termasuk bersaing dalam pasar halal global yang menyasar sekitar 1.5 miliar populasi muslim seluruh dunia. lihat juga dalam https://www.vietnambreakingnews.com/2019/06/halal-food- exports-offer-vietnam-big-opportunity/ 106 Halal Authority Vietnam (HAV), Guidelines for Halal Certification, diakses dari http://www.halalvn.vn/wp-content/uploads/2017/10/ GUIDELINES-FOR-HALAL-CERTIFICATION.pdf pada 25 Desem- ber 2018. 107 Wawancara pribadi dengan Basiron, Distrik 1 – Ho Chi Minh, 27 September 2018. 108 Wawancara pribadi dengan Musa bin Abdul Qadir, Distrik 8 – Ho Chi Minh, 30 Januari 2017. 109 Nguyen Quang Hung, “ ietnam’s Policy on Religious Affairs Since 1990: A Cultural-Religious iewpoint” dalam .. 110 Government Committee for Religious Affais, Management Board Mesjid of Al-Noor di Hanoi Untuk Memberikan Selamat Kepada Pemerintah Kota”. Diakses dari http://religion.vn/Plus.aspx/en/ News/71/0/9028/0/10955/Management_board_of_Al_Noor_Islamic_ mosque_in_Hanoi_extends_Tet_greetings_to_municipal_authorities pada 12 Desember 2018. 111 Wawancara pribadi dengan Dod Muhammad, Ho Chi Minh, 08 Februari 2017. 112 Wawancara Pribadi dengan Jamila, Ho Chi Minh, 27 September 2018. 113 Percakapan Informal dengan Bunyan Saptono, Jakarta, 26 Desember 2018. 114 Islamic Development Bank Group-Indonesia, “Program Khusus dan Beasiswa”. Artikel diakses pada Januari dari http://isdb-indo- nesia.org/id/product-and-service/special-programs-scholarships/# 115 Diterjemahkan dari lembaran formulir pendaftaran Scholarship Pro- gramme for Muslim Communities in non-member countries (SPMC). Lihat juga di lampiran no. 116 Wawancara Pribadi dengan Dod Muhammad, Ho Chi Minh, 08 February 2016. 117 Wawancara Pribadi dengan Dod Muhammad, Mesjid Musulman (Saigon Central Mosque), 08 February 2016.

214 KESIMPULAN

Penelitian ini membawa kajian birokratisasi Islam, tidak hanya dalam format normatif mengenai proses pelembagaan dan pembentukan kebijakan Islam, dalam kaitannya dengan negara mo- dern. Namun lebih jauh dari itu, memasuki wilayah kajian studi sosial dengan menempatkan birokratisasi sebagai fenomena sosial yang berlangsung dengan segala perubahan-perubahan sosial yang mengiringinya. Konsep birokrasi yang dilahirkan Weber merupa- kan refleksi dari fenomena transisi otoritas pada masanya, akhir abad ke-19 dan awal abad-ke-20, dari monarki-tradisional menuju legal-rasional1. Lahirnya birokrasi adalah perkembangan pemikiran dalam sistem otoritas pada sebuah organisasi negara yang secara dominan dipengaruhi oleh fenomena-fenomena perubahan sosial di masa-masa tersebut. Dari pandangan itu, saya menggunakan kerangka birokrati- sasi Islam untuk menelusuri secara fenomenologis bagaimana feno- mena minoritas muslim saat ini, secara spesifik dalam hubungan- nya dengan negara non-muslim. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam sepanjang sejarahnya, hubungan antara minoritas muslim dan negara non-muslim selalu berada dalam dilema. Dalam studi Islam. para ulama mutaqqadimin tidak membolehkan muslim untuk tinggal dalam wilayah selain daar al-Islam, negara yang dikuasai oleh muslim, dengan pertimbangan kekhawatiran akan mendapatkan kesulitan dalam menjalankan Islam2. Menyebabkan muslim berada dalam bayang-bayang syariah yang bias mayoritas (majority oriented)3, dan miskin imajinasi minoritas. Terlebih lagi, dalam beberapa periode, kekhawatiran itu benar terjadi, minoritas muslim selalu berada dalam ketegangan vis s vis negara non-mus- lim, khususnya setelah terbentuknya negara-bangsa (nation-state), misalnya kasus Filipina Selatan dan Thailand Selatan. Selain itu, minoritas muslim juga berhadap-hadapan dengan negara dan nega- ra yang menerapkan ideologi komunis sebagai ideologi negara, misalnya pada kasus negara Soviet terhadap muslim di Asia Tengah dan kasus Khmer Merah terhadap muslim di Kamboja. Ketegangan

215 Birokratisasi Islam di Indocina... demi ketegangan antara minoritas muslim dan negara, menyebab- kan minoritas muslim cenderung menjadi warga negara kelas dua, tidak memiliki kuasa bahkan hak untuk terlibat di ruang publik, melainkan hanya menjadi korban dominasi, subordinasi, dan pemi- nggiran hak. Hal-hal dasar yang menjadi pemicu kuat bagi mereka untuk melakukan perlawanan terhadap negara. Namun, kenyataan itu secara cepat berubah. Gelombang de- mokratisasi berlangsung di berbagai negara, dari negara monarki- diktator hingga negara komunis-otoriter. Negara-negara tersebut berusaha tampil menjadi negara demokratis: menjalankan pemili- han umum, mematuhi hak asasi manusia (human rights), dan men- jadi negara yang menegakkan rule of law. Tesis ini menangkap bagian penting dari perubahan-perubahan tersebut dengan muncul- nya serangkaian peraturan yang menyentuh kelompok minoritas muslim. Fenomena yang saya sebut sebagai birokratisasi Islam, dimana negara non-muslim, negara Komunis dan negara Monarki- Budha, mulai terlibat dalam urusan-urusan domestik umat Islam. Fenomena tersebut secara signifikan berlangsung di dua negara, Vietnam dan Kamboja. Fenomena tersebut merupakan sebuah perubahan besar da- lam sejarah hubungan negara dan Islam di kedua negara minoritas muslim, Vietnam dan Kamboja. Sebelumnya, kedua negara pernah memainkan peran dalam melakukan diskriminasi, alienasi hingga genosida terhadap muslim. Menyebabkan mayoritas dari mereka meninggalkan negara tersebut, secara umum mengungsi ke berba- gai negara di Asia Tenggara dan Cina4. Namun sebaliknya, dimulai pada periode 1990an, minoritas muslim justru diakomodasi oleh negara, melalui serangkaian kebijakan. Perubahan itu, tidak hanya berlangsung satu arah oleh negara. Tapi ada usaha masyarakat sipil Islam terlibat dalam menciptakan kondisi dengan memanfaatkan momentum gelora demokratisasi. Secara spesifik, saya membeda- kan sejauh mana birokratisasi Islam berlangsung di masing-masing negara dengan menggunakan indikator keterlibatan negara dalam urusan domestik muslim, yaitu dengan merujuk pada teori tipologi birokratisasi minoritas muslim. Dengan pertimbangan yang saya

216 Birokratisasi Islam di Indocina... uraikan dalam paragraf-paragraf berikutnya, saya menyimpulkan bahwa Vietnam dan Kamboja berada dalam tipologi yang berbeda.5 Vietnam masuk dalam tipologi birokrasi Islam terbatas (limi- ted bureaucracy). Negara terlibat dalam urusan muslim dengan batasan-batasan tertentu. Kebijakan yang diatur hanya meliputi hal- hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh muslim. Sementara lembaga Islam yang dibentuk, yaitu Komite Islam dan Lembaga Halal, negara hanya terlibat secara pasif (engaged) untuk mengelu- arkan izin operasional. Berbeda dengan Kamboja, negara ini saya kategorikan dalam tipologi birokrasi Islam minimum (minimum bureaucracy). Pemerintah Kerajaan terlibat secara aktif (empower- ing), hingga mengeluarkan kebijakan yang bersifat pemberdayaan muslim, seperti kebijakan pendidikan Islam, pembangunan infra- struktur Islam, dan Lembaga Halal Kamboja yang berada di bawah tanggung jawab Negara Kerajaan. Saya menjelaskan fenomena birokratisasi itu berlangsung melalui tiga tahapan, melibatkan tidak hanya aktor negara, tapi juga masyarakat sipil Islam: muslim melalukan negosiasi dengan peme- rintah lokal, Islam menjadi agama yang diatur secara birokratis oleh negara, dan terbentuknya lembaga-lembaga keislaman. Melalui tiga proses ini, birokratisasi Islam memberikan perubahan dan implika- si signifikan terhadap perkembangan diskursus Islam dan dinamika kehidupan muslim di negara minoritas, Vietnam dan Kamboja. Pertama, muslim melakukan negosiasi dengan pemerintah lokal berlangsung dalam dua masa: masa Islamisasi dan masa kolo- nialisme. Sejak Islamisasi yang berlangsung di dalam masyarakat kerajaan Champa, muslim pendatang memiliki nilai tawar politik dan ekonomi yang bagus. Para pendatang muslim merupakan orang-orang yang secara ekonomi telah mapan, sehingga memiliki akses untuk berinteraksi dengan petinggi kerajaan Champa. Di masa kolonialisme Prancis, pemerintah kolonial menerapkan kebi- jakan terbuka untuk menerima para pendatang dan menjadi pega- wai dan pekerja di dalam pemerintahan. Meskipun di masa ini dikenal dengan masa Katolikisasi Indocina, namun masyarakat muslim tetap memiliki akses ruang publik untuk mendapatkan pekerjaan dan membentuk lembaga keislaman. Muslim yang sebe-

217 Birokratisasi Islam di Indocina... lumnya melakukan migrasi, kembali lagi ke negaranya. Ini dilaku- kan oleh komunitas muslim Champa yang migrasi di masa kekua- saan Dai Viet, perlahan kembali ke Saigon, kota Ho Chi Minh saat ini, di masa-masa kolonialisme. Muslim dari negara lain, secara signifikan masuk ke Indocina melakukan perdagangan atau menca- ri pekerjaan. Misalnya muslim dari Asia Selatan berdatangan untuk tujuan membawa barang dagangan ke Hanoi dan Ho Chi Minh; Se- mentara muslim dari Indonesia (Bawean) masuk ke Ho Chi Minh untuk mencari pekerjaan. Berlangsungnya proses negosiasi muslim dengan pemerintah lokal di dua masa tersebut memberikan implikasi terhadap dinami- ka muslim saat ini, yaitu: terjadinya lokalisasi Islam dan kosmopo- litanisme Islam di dua negara, Vietnam dan Kamboja. Hal ini misalnya terlihat bagaimana muslim Vietnam diidentifikasi oleh negara sebagai orang Hui, etnik mayoritas muslim di Cina,6 dengan menyebut Islam sebagai Hoi Giao (Agama orang Hui). Istilah ter- sebut digunakan oleh masyarakat Vietnam secara umum dan secara resmi disahkan oleh negara melalui tulisan Hoi di kolom agama (Ton Giao) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) para muslim di Vietnam. Muslim di Kamboja diidentifikasi sebagai Khmer-Islam, sebuah frasa yang tercipta dari ide penyeragaman etnik minoritas dalam satu nasionalisme, bertujuan untuk melakukan harmonisasi antar etnik (mayoritas dan minoritas) di negara ini. Sebutan itu tetap digunakan hingga saat ini, digunakan oleh masyarakat non- Islam menyebut orang Islam dan oleh negara melalui dokumen- dokumen kerajaan dan pemerintah yang menggunakan nama Khmer-Islam. Walau demikian, di dalam masyarakat Islam lokal, mereka tetap mengidentifikasi diri mereka sebagai muslim Cham, orang Cham, atau Melayu-Muslim. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana masyarakat muslim memiliki cara pandang yang berbe- da dengan negara mengenai identitas mereka, namun alih-alih mempermasalahkan kenyataan itu, masyarakat muslim justru me- negosiasikan identitasnya. Kedua, Islam menjadi agama yang diatur secara birokratis oleh negara minoritas muslim. Vietnam mengatur kebebasan bera- gama secara tegas melalui konstitusi 1992 dan Kamboja melalui

218 Birokratisasi Islam di Indocina... konstitusi 1993. Walau demikian, dinamika agama dan negara secara signifikan telah berlangsung sekitar lima dekade sebelum masa itu. Di Vietnam, melalui keputusan Presiden Vietnam Utara, Ho Chi Minh (1954-1969) dibentuk Komite Pemerintah untuk Uru- san Agama (Ban Ton Giao Cuo Ching Phu). Secara struktural, Komite ini berada di bawah langsung kantor pemerintahan (Go- vernment Office), bertujuan untuk mengkosolidasikan umat beraga- ma untuk membantu Partai Komunis Vietnam (VCP) dalam perjua- ngan mempertahankan kemerdekaan dan melakukan agenda pem- bangunan nasional. Di Kamboja, sejak 1940an, samakum (perkum- pulan) muslim telah dibentuk. Pembentukannya melalui arahan dari Kementrian Agama. Namun, karena rezim komunis radikal Demokratik Kamboja berkuasa, semua hal yang berkaitan dengan keagamaan berusaha diberangus, termasuk lembaga keagamaan di- matikan. Selama hampir satu dekade Kamboja berada dalam kon- flik keras dengan agama. Saat ini, dimulai sejak periode 1990an, kedua negara telah mengalami perubahan sikap terhadap agama. Agama menjadi bagian penting dari kedua negara tersebut, terma- suk Islam. Di dalam Komite Pemerintah untuk Urusan Agama Vietnam, Islam merupakan salah satu dari enam agama yang diakui dan orga- nisasi Islam merupakan salah satu dari 36 organisasi keagamaan yang diresmikan oleh pemerintah. Di dalam Government Commit- tee for Religious Affairs (GCRA), Islam masuk dalam departement Urusan Agama lain, para pejabat di GCRA ini rutin melakukan kunjungan ke acara-acara keagamaan Islam dan melakukan perte- muan dengan tokoh-tokoh muslim, sementara komunitas dan lem- baga Islam secara rutin melaporkan kegiatan keagamaan mereka di lembaga atau di mesjid kepada pemerintah setempat. Di Kamboja, Islam merupakan agama kedua terbesar setelah Budha, agama yang secara resmi diakui sebagai agama resmi negara. Islam merupakan salah satu agama yang diatur oleh negara melalui Kementrian Agama. Di dalam Kementrian ini, terdapat beberapa muslim yang memiliki jabatan strategis. Kementrian Agama tidak memiliki garis struktural dengan Highest Islamic Council for Religious Affairs Cambodia (HICIRAC), lembaga Islam tertinggi di Kamboja. Mela-

219 Birokratisasi Islam di Indocina... inkan hanya memiliki garis kordinasi. Lembaga Islam di kedua negara memiliki dua peran: Pertama, sebagai pemberi fatwa keaga- maan, seperti penetapan tanggal 1 ramadhan untuk memulai puasa dan tanggal 1 syawal untuk melaksanakan hari raya idul fitri; dan mengurus hal ihwal masyarakat muslim dalam hubungannya de- ngan negara dan lembaga Islam lainnya, dari luar negeri atau dalam negeri: hubungannya dengan negara seperti menyampaikan masa- lah-masalah yang dihadapi muslim kepada pemerintah agar bisa diselesaikan, misalnya tentang pendidikan Islam, kebutuhan halal, dan kebebasan beragama. Serta dengan lembaga Islam, seperti me- nyalurkan bantuan hewan kurban, pembagian kurma, renovasi dan pembangunan infrastruktur untuk muslim dan bertindak sebagai fasilitator dalam seleksi penerima beasiswa muslim dengan lemba- ga-lembaga Islam di luar negeri. Ketiga, terbentuknya lembaga-lembaga keislaman yang me- miliki daya dorong (driving force) dalam perkembangan Islam di Vietnam dan Kamboja. Terdapat dua bentuk lembaga keislaman yang ada di kedua negara, dilihat dari hubungannya dengan negara: lembaga Islam yang dibentuk atas inisiasi negara bersama komu- nitas muslim dan diresmikan oleh negara sebagai perwakilan; dan lembaga Islam yang dibentuk atas inisiasi individu dari dalam dan luar negeri yang hanya mengurus urusan muslim secara parsial, mi- salnya lembaga halal, lembaga pendidikan Islam, dan perkumpulan pemuda muslim. Kategori pertama, meliputi: Komite Islam di Viet- nam dan HICIRAC di Kamboja. Komite Islam di Vietnam pertama kali diresmikan di bagian selatan, di bawah pemerintahan Presiden Republik Vietnam, Ngo Dinh Diem (1955-1963). Lembaga tersebut bernama Asosiasi Muslim Cham-Vietnam (Cham Vietnam Muslim Association-CVMA). Namun, karena situasi politik nasional dan dinamika pemahaman keislaman, lembaga ini tidak berkembang dan bubar. Dalam perkembangannya, lembaga keislaman di Viet- nam mengalami perkembangan signifikan setelah tahun 1990an, seiring dengan berlangsungnya re-birokratisasi keagamaaan di ke- dua negara. Komite Islam (Islamic Community-Jamiatul Islami- yah) untuk kota Ho Chi Minh berdiri pada 1992, disusul Komite Islam untuk provinsi An Giant, Thay Ninh, Ninh Thuan, dan

220 Birokratisasi Islam di Indocina...

Komite Islam kelima berdiri untuk kota Hanoi pada 2018. Setiap Komite Islam memiliki garis kordinasi dengan mesjid-mesjid di dalam lingkungan kerjanya. Misalnya, Komite Islam kota Ho Chi Minh yang mengatur 15 mesjid dan lima musholla. Setiap tiga dan enam bulan mereka mengadakan pertemuan antar pengurus mesjid melalui arahan Komite Islam. Setiap mesjid memiliki perwakilan masing-masing yang bekerja di kantor Komite Islam, bertujuan untuk memudahkan garis kordinasi antara Komite Islam dan mesjid-mesjid dalam kota Ho Chi Minh, Di Kamboja, atas inisiasi Kementrian Agama dan komunitas muslim, dibentuk lembaga Majelis Tertinggi untuk Urusan Umat Islam Kamboja (Highest Council for Islamic Religious Affairs Cambodia – HICIRAC). Lembaga ini merupakan lembaga Islam tertinggi yang secara struktural memiliki garis hirarkis ke lembaga di bawahnya: Imam Kota dan Provinsi, Imam Distrik, Imam Kam- pung (Hakeem), dan Imam Mesjid. Lembaga ini dipimpin oleh seo- rang Muftih Besar (Grand Muftih) yang dipilih oleh sekitar 350an Imam mesjid seluruh Kamboja dan dilantik langsung oleh Raja Norodom Sihanouk pada 1999. Sejak itu, Muftih Besar Kamboja dijabat Okhna Haji Sos Kamry (Haji Kamaruddin Bin Yusof). Dalam perkembangannya, lembaga Muftih melakukan kerjasama dan kolaborasi dengan negara dalam mengorganisasi urusan ma- syarakat muslim. Misalnya: dalam mengorganisasi sekolah-sekolah Islam dan penjaminan kebutuhan makanan halal. Dalam hal penja- minan makanan halal, negara melalui Kementrian Perdagangan (Ministry of Commerce) bekerja sama dengan Majelis Muftih mem- bentuk lembaga sendiri yang bertugas untuk melakukan sertifikasi halal, lembaga tersebut telah menjalankan tugasnya sejak tahun 2018. Bentuk kedua, lembaga yang dibentuk atas inisiasi individu atau lembaga luar negara yang bersifat non-pemerintah. Terdapat banyak lembaga dengan bentuk tersebut yang terdaftar secara res- mi di kedua negara. Lembaga ini memiliki fokus program yang berbeda-beda: media, pendidikan, filantropi, dan sosial budaya. Namun, diantara yang terdaftar, hanya sedikit yang masih aktif, beberapa diantaranya: Cambodian Muslim Development Founda-

221 Birokratisasi Islam di Indocina... tion (CMDF), Cambodian Muslim Media Centre (CMMC), Cam- bodia Muslim Intellectuals Alliance (CMIA), Mercy Charitable Association of Cambodia (MCAC), Halal Authority Vietnam (HAV), Halal Certification Agency (HCA) Vietnam, IDB Graduate Association Vietnam.

Catatan untuk Kesimpulan

1 Max Weber, Economy and Society, Ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1968), h. 108. 2 Abdul Karim Zaidan, Ahkam al-Dzimmiyyina wal al-Mustaminiina fi Daar al-Islam’, (Bagdad: Maktabah al-Quds, 1982), h. 18-21; Bernard Lewis, “Legal and Historical Reflections on the Position of Muslim Populations under Non-Muslim Rule”, dalam Journal Institute of Muslim Minority Affairs, (Vol.13, No.1, 1992), h. 5-7; Khaled Abou El Fadl, “Islamic Law and Muslim Minorities: The Juristic Discourse on Muslim Minorities From The Second/Eighth to the Eleventh/ Seventeenth Centuries”, dalam Islamic Law and Society, (Leiden: E.J. Brill, Vol. 1, No. 2, 1994), h. 146-147. 3 Ahmad Suedy, Dkk, Islam dan Kaum Minoritas (Jakarta, Wahid Institute), h. 21-22. 4 Ysa Osman, Oukoubah: Justice for the Cham Muslims under the Democratic Kampuchea Regime, (Phnom Penh: Documentation Center of Cambodia, 2002), 1; Farina So, The Hijab of Cambodia: Memories of Cham Muslim Women after the Khmer Rouge, (Phnom Penh, Documentation Center of Cambodia, 2011); Betti Rosita Sari, “Trans- national Migration and Ethnic Entrepreneurship Among the Cham Diaspora in Malaysia” dalam Jurnal Kajian Wilayah, ol. , No. , 2017. 5 Lebih jauh tentang teori tipologi birokratisasi minoritas muslim, lihat dalam BAB II, h. 48; Penggunaan konsep engaged dan empowering, dengan merujuk kepada Bassam Tibi. Ia mengemukakan bahwa uku- ran sebuah negara demokratis tidak hanya dilihat dari pemilihan umum. Tapi lebih jauh dari itu, bagaimana negara meibatkan (enga- ged) dan memberdayakan masyarakat (empowering) adalah bagian penting dari proses demokratisasi. Lihat dalam Bassam Tibi, Islam and Islamism, (USA, Yale University Press, 2012), h. 95-96.

222 Birokratisasi Islam di Indocina...

6 Meskipun secara etnisitas, orang Viet berbeda dengan orang Cina, namun secara tradisi dan kebiasaan, keduanya memiliki kesamaan yang signifikan.

223 DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdul Karim Zaidan, Ahkam al-Dzimmiyyina wal al-Mustaminiina fi Daar al-Islam’, (Bagdad: Maktabah al-Quds, 1982) Ahmad Khoirul Umam, “Wajah Damai Minoritas Islam di Austra- lia” dalam Sumanto Al-Qurtuby (Ed), Berguru ke Kiai Bule, (Jakarta, Noura Books, 2012). al-Alwani, Thaha Jabir. Towards a Fiqh for Minority : Some Basic Reflection, (London: The International Institute of Islamic Thought, 2003). Ali, Ahmad, Menguak Tabir Hukum, Bogor: Ghalia Indonsia, 2008. Andaya, Leonard, The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, (Lei- den: KITLV, 1981) h. 11. Aymonier, M. E., Les Tchames et Leurs Religions, (Paris: Ernest Leroux, 1891) Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. (Jakarta: Kencana, 2013). Benite, Zvi Ben-Dor, "Introduction." In The Dao of Muhammad: A Cultural History of Muslims in Late Imperial China, . (Cambridge, Massachusetts; London: Harvard University Asia Center, 2005). Blacker, Florence Bergeaud- dkk, Halal Matters: Islam, Politics and Markets in Global Perspective (London and New York: Routledge, 2016), Blacker, Florence Bergeaud. dkk, Halal Matters: Islam, Politics and Markets in Global Perspective. (London and New York: Routledge, 2016). Brown, David. the State and Ethnic Politis in South-East Asia, (Canada: Routledge, 1994). Brown, Judith M., Global South Asians: Introducing the Modern Diaspora, (Cambridge: Cambridge University Press, 2006),

224 Birokratisasi Islam di Indocina...

Bruckmayr, Philip. Cambodia’s Muslims and the Malay Language, Jawi Script, and Islamic Factionalism from the 19th Century to the Present, (Boston: Brill, 2019). Bullock, Katherine. Rethingking Muslim Women and The Veil : Challenging Historical & Modern Stereotypes. (London: the International Institute of Islamic Though, 2010) Cummings, William P., A Chains of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq, (Leiden: KITLV Press, 2007), Dahlan, Ahmad. Sejarah Melayu, Jakarta: Gramedia, 2015. Desai, D.R. Sar. Southeast Asia : Past & Present, USA: West View: 2004. Dicey, A.V. Introduction to the Study of the Law of The Constitu- tion, terj. Nurhadi, “Pengantar Studi Hukum Konstitusi”, (Bandung: Nusamedia, 2008). Esposito, John L., Ensikloped Oxford: Dunia Islam Modern, Jilid I, (Bandung: Mizan, 2002) terj. The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, (Oxford: Oxford University Press). Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatul- lah, 2010). Farouk, Omar and Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at The Mar- gins: the Muslim of Indochina, (Kyoto: Center for Integrated Area Studies, 2008). Faruk, Omar dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins : The Muslims of Indonchina. Kyoto: Center for Integrated Area Studies, 2008. Fealy, Greg and Virginia Hooker,. Voices of Islam In Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook, Singapore: ISEAS Pub- lications, 2006. Feener, R. Michael dan Terenjit Sever, Islamic Connections : Mus- lim Societis in South and Southeast Asia, Singapore, Institute of Souhteast Asian Studies. Friedman, Thomas L. The World is Flat : A Brief History of The Twenty-First Century. United States of America: Picador, 2007.

225 Birokratisasi Islam di Indocina...

Fuady, Munir. Teori-Teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum. Jakarta: Kencana, 2013. Gladney, Dru C. Ethnic Identity in China: The Making of a Muslim Minority Nationality, USA: Wadsworth/Thomson Leraning, 2003. Gould, William. Bureaucrcay, Community and Influencen in India: Society and the State 1930s-1960s (USA and Canada: Rout- ledge, 2011) Halevy, Eva Etzioni-, Bureaucracy and Democracy: A Political Dilemma (Boston: Routledge & Kegan Paul, 1983). Hall, D. G.E., “The Kingdom of Champa”, dalam A History of South-East Asia, (London: Palgrave, 1981), 202. DOI: https://doi.org/10.1007/978-1-349-16521-6_8, Hall, Kenneth R., A History of Early Southeast Asia: Maritime Trade and Societal Development, 100-1500, (Maryland: Rownman & Littlefield Publishers, Inc, 1992), h. 68-69. Harris, Ian, Cambodian Buddhism: History and Practice, (Honolu- lu: University of Hawai’i Press, , Harvey, David. The New Imperialism, Oxford: Oxford University Press, 2003. Hill, Clauspeter and Jorg Menzel, Constitutionalism in Southeast Asia, Singapore: Konrad Adenauer Stiftung, 2009. Hirosato, Yasushi dan Yuto Kitamura, the Political Economy of Educational Reforms and Capacity Development in South- east Asia, Springer, 2009. Hume, L.J. Bentham and Bureaucracy. Cambridge: Cambridge University Press, 1981. Hungtiton, Samuel, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, New York: Touchstone, 1997. Karim, Hassan Bin Abdul dan Abdul Halim Ahmed, Thiên Kinh Qur’an, (Madina: Kerajaan Arab Saudi) Karnow, Stanley. Vietnam: A History. USA: Penguin Books, 1984. Kettani, M. Ali. Muslim Minorities in the World Today, England; Mansel Publishing Limited,1986.

226 Birokratisasi Islam di Indocina...

Khalid, Adeeb, Islam after Communism: Religion and Politics in Central Asia, (California: University of Californis Press, 2007) Lefort, Claude. The Political Forms of Modern Society : Bureau- cracy, Democracy, Totalitarianism. Great Britain: MIT Press, 1986. Lenin, V.I. Religion, (Read Book, 2007) Lewis, B. Pellat, dan J. Schacht CH, (ed), The Encyclopedia of Islam, (Netherlands: E.J. Brill: Vol. II: 1983). Liow, Joseph Chinyong and Nadirsyah Hosen, Islam in Southeast Asia: Histories, Cultures, and Identities, New York: Rout- ledge, 2009. Liow, Joseph Chinyong, Piety and Politics: Islamism in Contempo- rary Malaysia, (Oxford: Oxford University Press, 2009) Magid, Imam Mohamed and Humera Khan, the Roles of Muslim- Majority and Muslim-Minority Communities in a Global Context, (Brookings: Saban Center, 2011) Mahbubani, Kishore. The New Asian Hemisphere: The Irrestible Shift of Global Power to the East, Terj. Bambang Murtianto, Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global yang Tak Terelakkan, Jakarta: Kompas, 2011. Majid, Nurcholis. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Ban- dung: Mizan Pustaka, 2008. Marx, Karl. Manifesto of Communist Party, New York: the New York Labour News, 1908. Mason, Robert (ed), Muslim Minority-State Relation: Violance, Integration, and Policy, (New York: Palgrave Macmillan, 2016) Masyhuri, A. Aziz, Masalah Keagamaan Hasil Muktamat dan Munas Ulama Nahdhatul Ulama Kesatu – 1926 s.d Kedua Puluh Sembilan – 1994 (Surabaya: Dinamika Press Group, 1996) Maussen, M.J.M. Construcing Mosques: the Governance of Islam in France and the Netherlands (University of Amsterdam, 2009).

227 Birokratisasi Islam di Indocina...

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. 33: Bandung: Remaja Rosdakarya: 2014. Mommsen, Wolfgang J., The Age of Bureaucracy: Perspectives on the Political Sociology of Max Weber, (Oxford: Basil Blackweel, 1974) Muhammad, Mahathir. the Malay Dilemma, Singapore: Asia Paci- fic Press, 1970. Mutalib, Hussin, Islam in Southeast Asia, (Singapore: ISEAS Publications, 2008. Muzani, Saiful. Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka LP3ES, 1993. Niazi, Tariq H., Deconcentration and Decentralization Reforms in Cambodia, Philipines: Asian Development Bank, 2011. Noorduyn, J., Islamisasi Makassar, (Yogyakarta: Ombak, 2018). Nor, Mohd Roslan Mohd. Muslim Minority, Kuala Lumpur: Uni- versity Malaya, 2011. Oehring, Otmar. Human Rights in the Socialist Republic of Viet- nam – Religious Freedom, Aachen, Missio, 2003. Osman, Ysa. Navigating the Rift : Muslim-Budhist Intermarriage in Cambodia. Cambodia, 2010. Osman, Ysa. Oukoubah: Justice for the Cham Muslim under the Democratic Kampuchea Regime. Phnom Penh, Documenta- tion Center of Cambodia, 2002. Osman, Ysa. The Cham Rebellion: Survivors Stories from the Villages, Phnom Penh: Documentatation Center of Cambo- dia, 2006. Osnorne, Milton, the Khmer Islam Community in Cambodia and Its Foreign Patrons, Lowly Institute for International Policy, 2004. Parekh, Bhikhu. Rethingking Multiculturalism: Keberagaman Bu- daya dan Teori Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2008. Peleg, Ilan. Democratizing the Hegemonic State : Political Trans- formation in the Age of Identity, Cambridge: Cambridge University Press, 2007. Phuong, Tran Ky dan Bruce M. Lockhart, The Cham of Vietnam: History, Society, and Art, (Singapore: NUS Press, 2011)

228 Birokratisasi Islam di Indocina...

Qardlawi, Yusuf. Fi Fiqh al-Qalliyat al-Muslimah : Hayat al- Muslimin Wasath al-Mujtama’ al-Ukra” terj. Adillah Obid, “Fikih Minoritas : Fatwa Kontemporer terhadap Kehidupan Kaum Muslimin di Tengah Masyarakat Non Muslim”, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2014). Reid, Anthony, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, terj. Mochtar Pabotinggi, “Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011. Rohim, Abdul, Principles of Muhammadan Jurisprudence (Mad- rats. 1991) Roy, Oliver. Globalized Islam : the Search for New Ummah, New York: Columbia University Press, 2004. Saidi, Anas (ed). Menekuk Agama, Membangun Tahta : Kebijakan Agama Orde Baru. Jakarta: Desantara Utama, 2004. Salim, Arskal, Challenging the Secular State : the Islamization of Law in Modern Indonesia, Honolulu: University of Hawai’i Press, 2008) Sarwat, Ahmad, Fiqih Minoritas, Jakarta: DU Center Press, 2010. Sesei, Claudia, The Cham Minority in Cambodia: Introduction to Contemporary Changes in Cham Communities. Sharon, Azmi dkk. An Introduction Human Rights in Southeast Asia, SEAHRN, Sida, Raoul Wallenberg Institute. Shiddiqi, Hasbi. Hukum Antargolongan dalam Fikih Islam, (Jakar- ta: Bulan Bintang, 1971). Shoujiang, Mi dan You Jia, Islam in China. Penerjemah Min Chang, (T.tp: China Intercontinental Press, t.t), So, Farina, the Hijab of Cambodia: Memories of the Cham Muslim Women After the Khmer Rouge, Phnom Penh: Documenta- tion Center of Cambodia, 2011. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: CV. Rajawali, 1986. Soesastro, Hadi. “Setelah Muncul “Globaphobia”, Harus Bagaima- na Hadapi Globalisasi”, dalam Indonesia Abad XXI: di Te- ngah Kepungan Perubahan Global (Jakarta: Kompas, 2000).

229 Birokratisasi Islam di Indocina...

Sofjan, Dicky, Religion, Public Policy, and Social Transformation in Southeast Asia : Managing Religious Diversity vol. 1, Geneva: Globethics.net Focus, 2016. Straus, Alsen & Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Suaedy, Ahmad. Dkk, Islam dan Kaum Minoritas, Jakarta: Wahid Institute, 2012. Suaedy, Ahmad. Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai : Peran Civil Society Muslim di Thailand Selatan dan Filipina Sela- tan (Jakarta: CISEAS-Wahid Institute, 2012) Tagliacozzo, Eric (ed). Southeast Asia and the Middle East : Islam, Movement, and the Longue Duree. Singapore: NUS Press, 2009. Tarling, Nicholas (ed), The Cambridge History of Southeast Asia: From Early Times to c. 1800, (Vol.1: Cambridge: Cambrid- ge University Press,1992) Taylor, Philip (ed), Modernity and Re-enchantment: Religion in Post-Revolutionary Vietnam, Singapore: ISEAS, 2007. Taylor, Philip. Cham Muslims of the Mekong Delta : Place and Mobility in the Cosmopolitan Periphery. Singapore : NUS Press, 2007. The Pew Forum on Religion and Public Life, Mapping the Global Muslim Population: A Report on the Size and Distribution of the World’s Muslim Population, Oktober 2009. Thu, Ha Van dan Tran Hong Duc, A Brief Chronology of Vietna- mase History, Viet Nam: the Gioi Publishers, 2012. Tibi, Bassam, Islamism and Islam, USA: Yale University Press Turner, Bryan S., Religion and Social Theory. Diterjemahkan Inyi- ak Ridwan Munzir, Relasi Agama dan Teori Sosial Kontem- porer, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012). Unger, Roberto M. Law and Modern Society : Toward a Criticism of Social Theory, terj. Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, “Teori Hukum Kritis”, Bandung: Nusamedia, 2008. Wahid, Wawan Gunawan Abd. Dkk (ed), Fikih Kebinekaan : Pan- dangan Islam Indonesia tentang Umat, Kewargaan, dan Ke- pemimpinan Non-Muslim, Bandung: Mizan Pustaka, 2015.

230 Birokratisasi Islam di Indocina...

Warwick, Donald P., A Theory of Public Bureaucracy (London: Harvard University Press, 1975) Watt, W. Montgomery, Muhammad : Prophet and Statesman (UK: Oxford University Press, 1961) Weber, Max Economy and Society, Ed. Guenther Roth and Claus Wittich (Berkeley: University of California Press, 1968). Weber, Nicolas, Exploring Cam Narratice Sources for History of the Cam Diaspora of Cambodia, Singapore: ISEAS, 2015. Xuan, Nguyen Thanh, Religions in Viet Nam.Vietnam: the Gioi Publishers, 2012. Yahuda, Michael. The International Politics of the Asia-Pacific. London: Routledge Curzon. Zakaria, Fareed. The Post-American World, terj. Reni Indardini, Gejolak Dunia Pasca-Kekuasaan Amerika. Yogyakarta: Ben- tang, 2015. Zein, Satria Effendi M. Ushul Fiqh, Jakarta, Fajar Interpratama Mandiri, 2005.

Jurnal

Abdullah, Fatimah, Mohamad Zain Musa dan Farid Mat Zain, “Struktur dan rganisasi Sosial rang Cam di Malaysia” diakses di https://www.researchgate.net/publication/272488 231 Abdullah, Walid Jumblatt, “Bureaucratising Islam: State Strategies and Muslim Responses in Singapore”, dalam Journal of Religious and Political Practice, (Vol. 4, No. 3, 2018), h. 297-313. DOI: https://doi.org/10.1080/20566093.2018.1525 898 Abu-Sahlieh, Sami A. Aldeeb, “The Islamic Conception of Migra- tion” Jurnal The International Migration Review, Vol. 30, No. 1 (Spring, 1996): Rasheed, Madawi, “The Shia of Saudi Arabia: A Minority in Search of Cultural Authencity”, dalam British Society for Middle Eastern Studies” (Vol. 25, No. 1, 1998) diakses dari http://www.jstor.org/stable/195850 .

231 Birokratisasi Islam di Indocina...

Alam, Bachtiar. Globalisasi Dan Perubahan Budaya : Perspektif Teori-Teori Kebudayaan, sumber, Makalah untuk dipresen- tasikan pada Widyakarya Nasional “Antropologi dan Pem- bangunan,” 6-28 Agustus 1997, di Jakarta. Aldridge Alan, dan Christian Karner.“Theorizing Religion in a Globalizing World”, dalam International Journal of Politics, Culture, and Society, Vol. 18, No. 1/2, Religionand Globali- zation (Fall - Winter, 2004), pp. 5-32, akses 07 Maret 2017. Anshor, Ahmad Muhtadi, “Daar al-Islam, Daar al-Harb, Daar al- Shulh : Kajian Fikih Siyasah”, dalam Jurnal Episteme (Vol. 8, no. 1, Juni 2013) Bakti, Andi Faisal, “Islam in Cambodia: Cham Religious Learning Groups and Their Constribution to Civil Society” diakses dari https://www.researchgate.net/publication/265118286 _ISLAM_IN_CAMBODIA_CHAM_RELIGIOUS_LEARN ING_GROUPS_AND_THEIR_CONTRIBUTION_TO_CIV IL_SOCIETY/citation/download Bakti, Andi Faisal, “Presentation Paper on Islam in Cambodia: Phnom Penh and Its Surroundings”, Dokumen Tidak Di- publikasikan) Blengsli, Bjorn Atle. “Muslim Metamorphosis : Islamic Education and Politics in Contemporary Cambodia”, dalam Robert W. Hefner, Making Modern Muslims: the Politic of Islamic Education in Southeast Asia (Honolulu: University of Hawai’I Press, . Bouquet, Mathieu. Vietnamese party-State and Religious Pluralism since 1986: Building the Fatherland? Dalam journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 25, no. 1, Religion and Politics in Souteast Asia (April 2010). Brown, David. From Peripheral Community to Ethnic Nations : Separatism in Southeast Asia, Pasific Affairs, 61, no. 1 (Spring, 1988), 51-57. Bruckmayr, Philip. “The Cham Muslim of Cambodia : From Forgotten Minority to Focal Point of Islamic Internasiona- lism”, The American Journal of Islamic Social Sciences,

232 Birokratisasi Islam di Indocina...

volume 23. http://www.academia.edu./11006570/ diakses 09 Oktober 2016. Bruckmayr, Philipp, “Persian Kings, Arab Conu uerors and Ma- lays Islam: Comparative Perpspectoves on the Place of Muslim Epics in the Islamisation of the Chams”, diakses dari https://www.academia.edu/34273918/Persian_Kings_ Arab_conquerors_and_Malay_Islam_Comparative_perspecti ves_on_the_place_of_Muslim_epics_in_the_Islamisation_of _the_Chams Bruckmayr, Philipp. “Cambodian Muslims, Transnational NG s, and International Justice”, dalam A Journal of Social Justice, 27:3, 337-345, DOI: 10.1080/10402659.2015.1063378 Brucmayr, Philipp, “Between Institutionalized Syncretitism and Official Particularism Religion among the Chams of Vietnam and Cambodia”, diakses dari https://www.academia.edu/ 11006958/Between_Institutionalized_Syncretism_and_Offic ial_Particularism_Religion_among_the_Chams_of_Vietnam _and_Cambodia Burke, Farkhhunda. “Muslim Minorities and Majorities of South- east Asia: Focus on Realities”, dalam Pakistan Horizon, Vol. 57, No. 2 (April 2004), pp. 37-49, diakses 24 Februari 2017 (doi: 103.229.202.180) Claire Tran Thi Lien, “Communist State and Religious Policy in Vietnam: A Hostorical Perspective”, dalam Hague Journal on the Rule of Law, (5: 229-252, 2013) doi:10.1017/S187640 4512001133 Cotter, Michael G. “Toward a Social History of The Vietnamese Southward Movement”, dalam K.G Tregonning ed , Jour- nal of Southeast Asian History, vol. 9. 1968, Amsterdam : Swet and Zeitlinger, 1977 Dijk, Kees an. “the Indonesia Archipelago From 1913 to 2013 : Celebrating and Dress Codes Between International, Local, and Islamic Culture”, dalam Mauleman ed Islam in the Era of Globalization : Muslim attitudes towards modernity and identity, London and New York: Routledge Curzon, 2002.

233 Birokratisasi Islam di Indocina...

El Fadl, Khaled Abou, “Islamic Law and Muslim Minorities : The Juristic Discourse on Muslim Minorities From the Second/ Eighth to the Eleventh/Seventeenth Centuries” dalam Isla- mic Law and Society 1, 2 (DOI: 128.97.27.21; Leiden; E.J. Brill, 1994) Engelbert, Thomas (ed), Vietnams Ethnic and Religious Minori- ties: A Historical Perpspective, DOI: http://dx.doi.org/10. 3726/978-3-653-05334-0 Fogg, Kevin W., Reinforcing Charisma in the Bureaucratisation of Indonesian Islamic Organisations, in: Journal of Current Southeast Asian Affairs, Vol. 37, No. 1, 2018. Goodman, Jim, Delta to Delta: the Vietnamese Move South, Viet Nam: the Gioi Publishers, 2015. Hamid, Mohammad Effendy bin Abdul. “Understanding the Cham Identity in Mainland Southeast Asia : Contending iews”. Dalam Journal of Social Issues in Southeast Asia, vol. 21, no. 2, 2006. Handler, Joel F. Down from Bureaucracy: the Ambiguity of Priva- tization and Empowerment, New Jersey: Princenton Univer- sity Press, 1996. Hasbiansyah, ., “Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi”, MediaTor, Vol. 9, No. 1, Juni 2008. Hassan, Hanisa, Biranul Anas Zaman dan Imam Santosa, “Toleran- ce of Islam: A Study on Fashion among Modern and Profes- sional Malay Woman in Malaysia, dalam International Jour- nal of Social Science and Humanity, Vol. 5, No. 5, May 2015 Horowitz, Ruth L. “Phenomenology and Citizenship: A Constribu- tion by Alfred Schutz” dalam Philosophy and Phenomeno- logical Research (Vol. 37, No. 3, 1977), h. 293-311. DOI: 125.165.47.221 Hunter, F. Robert, Egypt Under The Khedives 1805-1879: From the Household Government to Modern Bureaucracy, Cairo: the American University in Cairo Press, 1999.

234 Birokratisasi Islam di Indocina...

Jørgensen, T.B., Weber and Kafka: The Rational and the Enigma- tic Bureaucracy, dalam Public Administration (Vol. 90, No. 1, 2012. Kamali, Masoud, “Civil Society and Islam: A Sociological Pers- pective”, dalam European Journal of Sociology Archives Europ ennes de Sociologie Europ isches Archiv f r Sozio- logie, ol. , No. , L interpersonnel et la rationalit des acteurs, 2001, h. 457-482, DOI: 103.229.203.164 Kazemipur, Abdolmohammad, “Reckoning with the Minority Sta- tus: On Fiqh al-Aqalliyat al-Muslema (Jurisprudence of Muslim Minoirties ”, dalam M. Peucker and R. Ceyland (ed), Muslim Community Organization in the West, Springer, 2017, DOI: 10.1007/978-3-658-13889-9_2 Ken, Danny Wong Tze, “the Nguyen and Champa during 17th and 18th Century – A Study of Foreign Relation” dalam Cham- paka Monograph 5. Kettani, Houssain, “ World Muslim Population” dalam Proceeding of the 8th Hawaii International Conference on Arts and Humanities, Hololulu, Hawai, January 2010. Krishna, Gopal. “Islam, Minority Status and Citizenship : Muslim Experience in India” dalam European Jurnal of Sociology, Vol. 27, No. 2 (1986). Kymlicka, Will. “Multiculturalism and Minority Right : West and East” dalam Jurnal of Ethnopolitics and Minority Issues in Europe, issue 4, 2002. Lambourn, Elizabeth, “Tombstones, Te ts, and Typologies: Seeing Sources for the Early History of Islam in Southeast Asia”, Journal of the Economic and Social History of the Orient, Vol. 51, No. 2, 2008, h. 252-286, DOI: 103.229.202.180 Laws, Glenda. “Globalization, Immigration, and Changing Social Relations in U. S. Cities” dalam The Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 551,Globali- zation and the Changing U. S. City (May, 1997), pp. 89-104 diakses 07 Maret 2017 (doi: 103.229.203.250) Lewis, Bernard, “Legal and Historical Reflections on the Position of Muslim Populations under Non-Muslim Rule”, dalam

235 Birokratisasi Islam di Indocina...

Journal Institute of Muslim Minority Affairs, (Vol.13, No.1, 1992) Lieber, Robert J. and Ruth E. Weisberg. “Globalization, Culture and Identities in Crisis” dalam International Journal of Poli- tics, Culture and Society, Vol. 16, No. 2, Winter, 2002. Lieberthal, Kenneth G. dan David M. Lampton, Bureauacrcy, Politics, and Decision Making in Post-Mao China, Califor- nia: University of California Press, 1992. Lien, Claire Tran Thi “Communist State and Religious Policy in Vietnam: A Hostorical Perspective”, dalam Hague Journal on the Rule of Law, (5: 229-252, 2013) doi:10.1017/S18764 04512001133 Liow, Joseph Chinyong, Piety and Politics: Islamism in Contem- porary Malaysia, (Oxford: Oxford University Press, 2009). Lombard, Denys, “Champa dipandang dari Selatan”, dalam Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu, (3,1, Desember, 2011), h. 3-11 Lombard, Denys, “Champa Dipandang dari Selatan”, Jurnal Terje- mahan Alam dan Tamadun Melayu, 3:1 Desember 2011, h. 3.11. Manen, Ma an, “Practicing Phenomenological Writing”, Pheno- melogogy+Pedagogy, Vol. 2, No. 1. 1984. Religious Studi- es, Vol. 16, No. 3, Sep., 1980, h. 253-262, DOI: 125.161. 136.103 Manguin, Pierre-Yves and Robert Nicholl, “the Introduction of Islam into Champa”, dalam (Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, (Vol. 58, No) Manguin, Pierre-Yves, “The Introduction of Islam into Champa”, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 58, No. 1 (248),1985. Marrison, G.E., “The Chams and Their Literature” dalam Jorunal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 58, No. 2, 1985. Maspero, G. (1910). “Le Royaume De Champa”. T’oung Pao, Vol 11, No. 1, 164. doi:10.1163/156853210x00117

236 Birokratisasi Islam di Indocina...

Mauleman, Johan H. “the History of Islam in Southeast Asia : Some Question and Debates”, dalam K.S. Nathan dan Mo- hammad Hashim Kamali (ed), Islam in Southeast Asia : Political, Social and Strategic Challenges for 21st Century, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2005. Maunati, Yekti dan Betti Rositasari (ed), the Cham Diaspora in Southeast Asia: Social Integration and Transnational Net- works the Case of Cambodia, Jakarta, LIPI Press, 2013. McLeod, Mark,. “Nationalism and Religion in ietnam: Phan Boi Chau and the Catholic Question” The International History Review, Vol. 14, No. 4 (Nov., 1992), pp. 661-680, DOI: 103.229.202.180 Meier, J. Kenneth dan Laurence J. ’toole Jr, Bureaucracy ia a Democratic State: A Governance Perspective, Maryland: the John Hopkins University Press, 2006. Metthews, Bruce, “the Place of Religion in ietnam Today” Bud- dhist-Christian Studies, Vol. 12, 1992, h. 65-74, DOI: 103.229.203.164 Morrison, G.E., “the Chams and Their Literature”, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 58, No. 2 (249),1985. M ller, Dominik M., “Hybrid Pathways to rthodo y in Brunei Darussalam: Bureaucratised Exorcism, Scientisation and the Mainstreaming of Deviant-Declared Practices”, dalam Jour- nal of Current Southeast Asian Affairs, Vol. 37, No. 1, 2018. Muller, Dominik M., “the Bureaucratization of Islam and its Socio- Legal Dimension in Southeast Asia: Conceptual Countours of a Research Project (working paper), Max Planck Institute for Social Antroplogy, 2017. M ller, Dominik M., and Kerstin Steiner, The Bureaucratisation of Islam in Southeast Asia: Transdisciplinary Perspectives, in: Journal of Current Southeast Asian Affairs, Vol. 37, No. 1, 2018. Musa, Mohamad Zain Bin, “Malay and Cham Relations With the Kingdom of Cambodia During and After the French Protec-

237 Birokratisasi Islam di Indocina...

torate Period (1863-2000), Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 74, No. 2 (281), 2001. Mutalib, Hussin. “Islam In Southeast Asia And The st Century: Managing The Inevitablechallenges, Dilemmas And Tensi- ons” dalam Islamic Studies, Vol. 37, No. 2 (Summer 1998), pp. 201-227, diakses 24 February 2017 (doi: 103.229.202. 180 Nakamura, Rie “the Coming of Islam to Champa”, Journal of the Malaysian Branch of Royal Asiatic Society (Vol. 73, No. 1, 2000), Nghia, Pham Duy, “Confucianism and the Concepction of the Law in Vietnam” dalam John Gillespie dan Pip Nicholson, Asian Socialism and Legal Change, ANU Press, 2005. Noseworthy, William B., “Articulations of Southeast Asian Reli- gious Modernism: Islam in Early 20th Century Cambodia and Cochinchina” Suvannabhumi, Vol. 9, No. 1, Jun. 2017. Obsorne, Milton, The Khmer Islam Community in Cambodia and Its Foreign Patrons, dalam Issues Brief Lowy Institute for International Policy, November 2004, Okawa, Reiko. “Hidden Islamic Literature in A Cambodian illa- ge: The Cham in the Khmer Rouge Period”. Dalam Interna- tional & Regional Studies, Meiji Gakuin University, no. 45, 1-20, Maret 2014 Ollier, Leakthina Chau-Pech dan Tim Winter (ed), Expressions of Cambodia: the Politics fo Tradition, Identity and Change, New York: Routledge, 2006. Pelzer, Kristin, “ n Defining ietnamese Religion: Reflections on Bruce Maththews Article” Buddhist-Christian Studies, Vol. 12, 1992, 75-79, DOI: 103.229.202.180. Peterseen, Marie Juul. “Islamizing Aid: Transnational Muslim NG s After . ” dalam Voluntas: International Journal of Voluntary and Nonprofit Organization, Vol. 23, No. 1, Civil Society in Africa (March 2012), DOI: 103.229.202.180 Philip Bruckmayr, “Persian Kings, Arab Con uerors and Malay Islam: Comparative Perspectives on the Place of Muslim in the Islamisation of the Chams” diakses dari https://www.

238 Birokratisasi Islam di Indocina...

academia.edu/34273918/Persian_Kings_Arab_conquerors_a nd_Malay_Islam_Comparative_perspectives_on_the_place_ of_Muslim_epics_in_the_Islamisation_of_the_Chams pada 12 Desember 2018. Phuong, Ky Tran dan Bruce M. Lockhart (ed), the Cham of Viet- nam: History, Society and Art, Singapore: NUS Press, 2011. Pillsbury, Barbara L.K., “Muslim history in China: a 1300‐year chronology”, dalam Journal Institute of Muslim Minority Affairs, Vol. 3, No. 2, 1981, 10-29, DOI: 10.1080/0266695 8108715833 Putra, Heddy Shri Ahimsa, “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi Untuk Memahami Agama”, Walisongo, Vol. 20, No. 2, November 2012. Rahman, Asyraf Hj Ab, Wan Ibrahim Wan Ahmad, dkk, “Moder- nization of Turkey under Kamal Ataturk” dalam Asian Social Science, Vol. 11, No. 4, 2015. Salim, Arskal, Challenging the Secular State : the Islamization of Law in Modern Indonesia, Honolulu: University of Hawai’i Press, 2008) Sari, Betti Rosita, “Transnational Migration and Ethnic Entrepre- neurship among the Cham Diaspora in Malaysia”, Jurnal Kajian Wilayah, Vol. 8, No. 1, 2017. Scupin, Raymod. “Historical, Ethnographic, and Contemporary Political Analyses of the Muslims of Kampuchea and Viet- nam”, dalam Journal of Social Issues in Southeast Asia, vol. 10, no. 2, Oktober 1995. Seddik Taouti, “The Forgotten Muslims of Kampuchea and iet Nam” dalam Reading on Islam in Southeast Asia (ed) Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique dan Yasmin Hussain (Singapore : Institute of Southeast Asian Studies, 1985. Siddi ue, Sharon, “the Phenomenology of Ethnicity: A Singapore Case Study” Journal of Social Issues in Southeast Asia, ol. 5, No. 1, FEBRUARY 1990, h. 35-62, DOI: 125.165.47.221 Sinaga, Lidya Cristin.Pelaksanaa Prinsip-Prinsip Demokrasi dan HAM di ASEAN: Studi Kasus Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam, (Jurnal Penelitian Politik: vol, 10 no. 1 Juni 2013.

239 Birokratisasi Islam di Indocina...

Steiner, Kerstin, “Branding Islam: Islam, Law, and Bureaucracies in Southeast Asia” dalam Juournal of Current Southeast Asian Affairs, Vol. 37, No. 1, 2018. Taha, Dina. Muslim Minorities in the West : Between Fiqh of Minorities and Integration, (Electronic Journal of Islamic and Middle Eastrern Law, Vol.1 (2013)) Taylor, Philip, “Minorities at Large: New Approaches to Minority Ethnicity in Vietnam” Journal of Vietnamese Studies, Vol. 3, No. 3, Fall 2008, h. 3-43, DOI: 103.229.203.164 Warraich, Tau eer Ahmad, “Early Mos ues of South Asia and Impact of Native Architecture: A Case Study of Banbhore, Mansura, Udigram and Quwwat-ul-Islam Mosques, dalam JRSP, Vol. 45, No. 2, 2008. Yakin, Ayang Utriza, “Dialectic Between Islamic Law and Adat Law in the Nusantara: A Reinterpretation of the Terennganu Inscription in the 14th Century” dalam International Journal of Religious Literature and Heritage (Heritage of Nusanta- ra), Vol. 3 No. 2, Desember 2014. Yasuko Yoshimoto, “A Study the Hoi Giao Religion in Vietnam: With A Reference to Islamic Religious Practices of Cham Bani” dalam Southeast Asian Studies (Vol. 1, No. 3, Desem- ber 2012)

Situs internet

Baylis, J. dan Smith, S., The Globalization of world Politics: An Introduction to International Relation: Oxford, 1997. Artikel diambil dari http://www.unesco.org/new/en/social-and- human-sciences/themes/international-migration/glossary/ nation-state/ diakses pada 20 Januari 2019. Central Intelligence Agency, The World Factbook, Diakses dari https://www.cia.gov/library/publications/the-world- factbook/geos/vm.html pada 7 Mei 2018. Government Committee for Religious Affairs, Catholic People in Quang Binh Proactively engange in Social Work, diakses dari http://religion.vn/Plus.aspx/en/News/71/0/9028/0/114

240 Birokratisasi Islam di Indocina...

04/Catholic_people_in_Quang_Binh_proactively_engage_in _social_works pada 14 Desember 2018. Herlambang P. Wiratraman, Penelitian Sosio-Legal dan Konseku- ensi Metodologisnya, diakses: 21.56 WIB; Minggu, 09 Oktober 2016; http://herlambangperdana.files.wordpress. com/2008/06/penelitian-sosio-legal-dalam-tun.pdf http://islamcambodia.org/highest-islamic-councilmufti http://news.nationalgeographic.com/news/2014/06/140616-south- china-sea-vietnam-china-cambodia-Champa/ diakses, 10 Oktober 2016. http://www.religion-facts.com/id/108 diiakses Ahad, 16 Juli 2017. https://www.cia.gov/library/publications/resources/the-world- factbook/geos/cb.html diakses Ahad, 16 Juli 2017. https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ vm.html V.I. Lenin, Socialism and Religion, diakses dari https://www. marxists.org/archive/lenin/works/1905/dec/03.htm pada 13 Desember 2018.

Majalah dan Koran

Azra, Azyumardi. “Islam dan Dunia Multikultur” dalam Repub- lika, 15 Maret 2007; Cheng Sokhorng, “Halal Food Regulations Unveiled”. Phnom Penh, 07 Maret 2018. Newman, Cathy. “Found After Years An Afghan Refugee’s Story”, dalam National Geographic, April 2002. Nguyen Khac Huy (Government Committee for Religious Affairs), “ ietnamese Law and Policy on Religion and Belief” diak- ses dari http://vietnamlawmagazine.vn/vietnamese-law-and- policy-on-religion-and-belief-3491.html pada 12 Desember 2018. Parfit, Michael. “Human Migration”, dalam National Geographic (No.4, Oktober, 1998). Rann Reuy, “Cham Move For Halal Food”, Phnom Penh Post. Pnhom Penh, 23 Mei 2012.

241 Birokratisasi Islam di Indocina...

Swerdlow, Joel L. “Making Sense of Millenium” dalam National Geographic (Vol. 193, No. 1, January, 1998),

Dokumen Cambodia's Constitution of 1993 with Amendments through 2008 (Translated by International IDEA's Constitution building Programme) diakses dari https://www.constituteproject.org/ constitution/Cambodia_2008.pdf?lang=en Government Committee for Religious Affais, Management Board Mesjid of Al-Noor di Hanoi Untuk Memberikan Selamat Kepada Pemerintah Kota”. Diakses dari http://religion.vn/ Plus.aspx/en/News/71/0/9028/0/10955/Management_board_ of_Al_Noor_Islamic_mosque_in_Hanoi_extends_Tet_greeti ngs_to_municipal_authorities pada 12 Desember 2018. Halal Authority Vietnam (HAV), Guidelines for Halal Certifica- tion, diakses dari http://www.halalvn.vn/wp-content/uplo ads/2017/10/GUIDELINES-FOR-HALAL-CERTIFICATI ON.pdf pada 25 Desember 2018. Halal Certification Agency (HCA), Benefit of Halal Certification, diakses dari https://halal.vn/en/chung-nhan-halal-co-loi-ich- gi/ pada 15 Desember 2018. Socialist Republic of Vietnam – Government Committee of Reli- gious Affairs, Religion and Policies Regarding Religion in Vietnam, (Hanoi, 2006) Viet Nam's Constitution of 1992 with Amendments through 2013 (Translated by International IDEA's Constitution building Programme) diakses dari https://www.constituteproject.org/ constitution/Socialist_Republic_of_Vietnam_2013.pdf?lang =en

242 GLOSARIUM

Birokrasi : Sebuah sistem kekuasaan yang secara prin- sip menggunakan prinsip legal-rasional. Me- nurut Max Weber, sistem kekuasaan (Autho- rity) dibagi ke dalam tiga tipologi, berdasar- kan kepatuhan masyarakat pada sebuah ke- kuasaan: Kekuasaan Tradisional, Kekuasaan Kharisma, dan Kekuasaan Birokratis. Cham : Nama etnik untuk menyebut orang-orang keturunan dari Kerajaan Champa. Cham Jahid : Kelompok muslim di Kamboja yang masih mengamalkan tradisi sinkretik dengan ajaran leluhur. Memiliki beberapa kesamaan dengan Cham Bani di Vietnam. Champa : Nama sebuah kerajaan Hindu yang mengua- sai wilayah Vietnam Tengah (abad ke-2 sam- pai abad ke-17). Merupakan leluhur lahirnya komunitas muslim di Vietnam dan Kamboja Chau Doc : Nama sebuah wilayah di provinsi An Giang, Vietnam, yang secara mayoritas dihuni oleh banyak muslim Cham dan menjadi salah satu tempat berlangsungnya dinamika Islam di Vietnam. Chvea : Nama salah satu muslim di Kamboja yang berbeda dari mayoritas muslim Cham, sering juga disebut sebagai orang Melayu; Kelom- pok muslim yang berbahasa Khmer dan me- nganggap dirinya merupakan keturuan dari Jawa, Indonesia. Doi Moi : Reformasi ekonomi yang dilakukan Vietnam pada 1986, momentum yang membuka akses pasar Vietnam ke pasar global. Fiqh Aqalliyat : Sebuah term baru dalam fikih Islam yang se- cara spesifik membahas persoalan-persoalan

243 Birokratisasi Islam di Indocina...

minoritas muslim. Tokohnya adalah Thaha Jabir al-Alwani dan Yusuf al-Qardhawi Genosida : Penghilangan nyawa secara massal. Peristi- wa yang menimpa umat muslim Kamboja pada era Khmer Merah Hakeem : Nama jabatan untuk ketua kampung, berlaku di pemukiman muslim di Kamboja dan di Vietnam. Halal : Segala sesuatu, berupa objek benda dan kegiatan, yang diperbolehkan sesuai dengan aturan hukum Islam: Makanan. Hanoi : Nama ibu kota Republik Sosialis Vietnam yang terletak di bagian utara negara ini. Hijab : Sinonim dengan kata kerudung, tudung. Ber- arti sesuatu yang menutupi bagian kepala: rambut dan telinga, yang termasuk aurat dalam hukum Islam. Ho Chi Minh : Nama seorang tokoh revolusioner Vietnam dan Presiden pertama Vietnam Utara (1954- 1969). Saat ini, terkenal dengan nama kota terbesar di bagian selatan Vietnam, dulu ber- nama Saigon Hoi Giao : Nama yang digunakan pemerintah Vietnam untuk mengidentifikasi muslim asli Vietnam. Merupakan pengaruh dari tradisi Cina dalam menyebut muslim, khususnya mayoritas muslim Hui. Imam : Dalam bahasa Arab berarti pemimpin. Dalam komunitas masyarakat muslim, digunakan dengan makna yang sama: misalnya untuk menyebut Imam Mesjid, Imam Kampung, dan Imam Kota atau Provinsi. Di kedua ne- gara, sosok Imam memainkan peran penting dalam masyarakat, tidak sekedar menjadi Imam shalat. Tapi juga bertindak sebagai

244 Birokratisasi Islam di Indocina...

pemimpin yang mengurus hal ihwal kebutu- han muslim di dalam wilayahnya. Indocina : Secara geografik dikenal sebagai nama sebu- ah semenanjung yang meliputi wilayah Da- ratan Asia Tenggara, berada di utara kepu- lauan Indonesia, selatan Cina, dan sebelah timur India. Sering juga digunakan untuk menyebut bekas wilayah kolonialisme Pran- cis: Vietnam, Laos, dan Kamboja. Secara kultural, wilayah Indocina merujuk kepada sebuah kawasan yang mendapatkan pengaruh India dan Cina, termasuk dua negara lain- nya: Thailand dan Myanmar. Kamboja : Sebuah negara di Asia Tenggara, terletak di semenanjung Indocina. Memiliki sistem pe- merintahan monarki konstitusional. Raja adalah kepala negara dan Perdana Menteri adalah Kepala Pemerintahan Khemerisasi : Sebuah proses untuk menerapkan ide harmo- nisasi etnik di Kamboja. etnik-etnik minori- tas dipersatukan dalam satu nasionalisme orang Khmer. Misalnya, Khmer-Islam. Khmer : Nama salah satu etnik di Asia Tenggara, me- miliki tradisi dan bahasa sendiri. Secara signifikan berada di Kamboja, dan dalam jumlah minoritas tersebar di negara-negara Indocina. Khmer-Islam : Nama yang digunakan pemerintah untuk mengidentifikasi masyarakat muslim di Kamboja. Merupakan hasil dari ide harmo- nisasi etnik di Kamboja. Komite Islam : Frasa untuk menyebut organisasi Islam: sino- nim dengan Islamic Community dan Jamia- tul Islamiyah Komunisme : Sebuah paham ideologi dari Karl Marx yang digunakan sebagai ideologi oleh negara-

245 Birokratisasi Islam di Indocina...

negara komunis: ideologi ini memuat ajaran ekonomi, sosial dan politik yang ingin men- ciptakan masyarakat tanpa kelas, melalui penerapan kebijakan ekonomi kepemilikan alat produksi bersama. Merupakan antitesis dari ideologi Kapitalisme yang bertumpu pada modal dan kepemilikan pribadi. Lembaga Islam : Organisasi sosial yang memiliki tujuan untuk mengembangkan dan membina ajaran Islam dan kehidupan muslim Lokalisasi : Proses membawa hal-hal yang bersifat umum masuk dalam satu lokalitas tertentu: Islam disebut Hoi Giao, muslim disebut Khmer- Islam Madrasah : Memiliki arti sinonim dengan sekolah, na- mun memiliki muatan pelajaran keislaman yang lebih banyak dibandingkan sekolah bia- sanya: Madrasah Ihya Uddin, Phnom Penh. Melayu : Nama sebuah ras manusia yang umumnya tinggal di wilayah-wilayah Asia Tenggara kepulauan, meliputi Malaysia, Indonesia, Brunei, Singapura, dan Filipina. Secara umum, ras Melayu merupakan bagian dari ras Mongoloid dan menutur dalam bahasa Austronesia. Minoritas Muslim : Masyarakat muslim yang berada di suatu wilayah-negara yang dihuni oleh mayoritas non-muslim. Muftih : Dalam bahasa Arab berarti seseorang yang memberi fatwa keagamaan. Di Kamboja, gelar Muftih juga berarti pemimpin lembaga Islam tertinggi, saat ini dijabat oleh Okhna Sos Kamry. Muslim Bani : Sebuah nama kelompok muslim di Vietnam tengah yang memiliki tradisi Islam yang

246 Birokratisasi Islam di Indocina...

berbeda dengan muslim Sunni di Vietnam selatan. Muslim Bawean : Salah satu komunitas muslim lokal di kota Ho Chi Minh, merupakan masyarakat mus- lim yang berasal dari pulau Bawean, terletak di sebelah utara Jawa Timur, Indonesia. Mereka berdatangan ke Ho Chi Minh (dulu Saigon) pada abad ke-19 - awal abad-20, saat ini mereka telah telah menjadi warga lokal Vietnam. Okhna : Gelar kehormatan yang diberikan oleh raja Kamboja kepada orang-orang yang memiliki konstribusi penting untuk negaranya. Othman Hassan : Tokoh politisi muslim yang sekarang menja- bat sebagai Menteri Senior di kabinet Perda- na Menteri Hun Sen. Phnom Penh : Nama ibu kota Kamboja, terletak di bagian selatan Kamboja dan berada di utara kota Ho Chi Minh Vietnam. Terletak di jalur strate- gis yang dilewati oleh aliran sungai Mekong, sungai terpanjang di Asia Tenggara. Ramuwan : Nama yang digunakan komunitas muslim Bani untuk menyebut perayaan Ramadhan. Saigon : Nama sebuah kota besar di Vietnam selatan, merupakan Ibu Kota Pemerintahan Kolonial Prancis di Chochincina. Sejak 1975 hingga saat ini, nama kota ini diubah menjadi kota Ho Chi Minh. Sos Kamry : Tokoh muslim yang menjabat sebagai Grand Muftih – Ketua Lembaga Majelis Tertinggi untuk Urusan Umat Islam Kamboja. Sunni : Nama yang disematkan kepada kelompok muslim Ahlu Sunnah wal Jamaah. Kelom- pok Islam yang dianut oleh 90 persen ma- syarakat muslim di seluruh dunia. Mayoritas

247 Birokratisasi Islam di Indocina...

mereka menggunakan mazhab Syafi’i, teolo- gi asy’ari, dan tasawuf al-Gazali. Syiah : Nama yang disematkan kepada kelompok muslim pengikut Ali bin Abi Thalib, secara signifikan dianut oleh mayoritas muslim di Iran dan wilayah Persia. Timbalan : Sebutan untuk jabatan wakil: Timbalan Muf- tih berarti wakil Muftih; Timbalan Hakeem berarti wakil Hakeem. Vietnam : Sebuah negara di Asia Tenggara, wilayah- nya menghampar di sepanjag semananjung Indocina, berhadapan dengan laut Cina sela- tan. Secara politik menerapkan ideologi ko- munisme dalam pemerintahan, dengan meng- gunakan sistem satu partai. Vietnamisasi : Sebuah langkah yang digunakan oleh peme- rintahan Dai Viet untuk untuk melakukan usaha penyeragaman etnik-etnik minoritas untuk mengikuti budaya, tradisi dan gaya hidup orang Viet.

248 INDEKS

73, 74, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, A 84, 88, 89, 90, 91, 92, 94, 95, 97, 98, 99, 100, 101, 119, 126, 128, 133, 136, 140, 148, 154, 156, Ahmad Yahya · 3, 148 160, 164, 180, 187, 188, 190, An Giang · 78, 193, 245 200, 201, 207, 208, 209, 211, Asia Selatan · 49, 51, 77, 80, 81, 220, 222, 224, 230, 231, 232, 82, 84, 91, 94, 95, 96, 97, 188, 234, 236, 237, 239, 240, 241, 220 242, 243, 245 Asia Tengah · 49, 50, 51, 90, 106, Champa · 4, 5, 7, 9, 12, 13, 61, 66, 139, 217 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, Asia Tenggara · 2, 4, 8, 10, 11, 39, 76, 77, 88, 91, 92, 93, 98, 99, 51, 52, 66, 70, 72, 73, 74, 76, 77, 100, 101, 103, 126, 127, 140, 81, 82, 90, 97, 98, 105, 128, 153, 174, 200, 201, 206, 208, 215, 158, 159, 164, 174, 180, 187, 219, 228, 237, 238, 240, 243, 188, 203, 209, 218, 230, 231, 245 247, 248, 249, 250 Chau Doc · 78, 79, 80, 95, 181, Ateisme · 106, 111, 125, 126, 133 189, 200, 245 Chvea · 88, 90, 245 Cina · 4, 5, 7, 45, 46, 47, 49, 54, 66, B 68, 70, 71, 74, 75, 76, 77, 81, 86, 87, 93, 97, 98, 99, 100, 106, 107, Bani · 6, 9, 14, 75, 110, 242, 245, 109, 112, 138, 218, 220, 225, 248, 249 246, 247, 250 Bawean · 9, 81, 91, 102, 220, 249 CMDF · 166, 211, 224 Beasiswa · 156, 190, 199, 203, 216 CMMC · 149, 150, 151, 209, 224 Binh Thuan · 5, 67 Birokrasi · 16, 17, 18, 20, 23, 27, 48, 53, 132, 245 D Birokratisasi · 19, 23, 24, 26, 27, 41, 48, 132, 137 Doi Moi · 198, 245 Budhisme · 91, 125, 126, 129, 133

C F Fiqh Aqalliyat · 44, 245 Cham · 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 12, 13, 14, 35, 61, 66, 67, 68, 69, 70, 72, 249 Birokratisasi Islam di Indocina...

G I

GCRA · 133, 197, 199, 221 Imam · 14, 30, 62, 82, 89, 103, 116, Genosida · 246 144, 153, 156, 165, 190, 213, 214, 223, 229, 236, 246, 257 India · 5, 24, 30, 39, 49, 50, 51, 54, H 56, 62, 66, 70, 73, 74, 76, 80, 90, 95, 96, 112, 164, 180, 190, 228, Hakeem · 156, 223, 246, 250 237, 247 Halal · 161, 162, 170, 190, 191, Indocina · 1, 2, 5, 6, 7, 66, 67, 73, 192, 193, 194, 195, 196, 211, 76, 78, 80, 82, 83, 84, 89, 90, 93, 215, 216, 219, 224, 226, 243, 94, 96, 100, 113, 135, 181, 188, 244, 246, 257 219, 247, 250 Hanoi · 77, 80, 84, 96, 99, 101, 102, Indonesia · 1, 7, 13, 15, 25, 30, 31, 117, 135, 136, 194, 198, 201, 36, 46, 47, 54, 55, 57, 62, 68, 69, 202, 205, 215, 216, 220, 223, 72, 74, 81, 88, 90, 97, 98, 127, 244, 246 133, 136, 159, 164, 165, 167, HAV · 193, 195, 216, 224, 244 179, 181, 188, 191, 192, 193, HCA · 193, 194, 215, 224, 244 194, 199, 201, 202, 203, 205, HICIRAC · 91, 131, 139, 143, 144, 206, 216, 220, 231, 232, 235, 145, 146, 147, 169, 208, 221, 241, 245, 247, 248, 249, 256 222, 223 Hijab · 10, 14, 133, 161, 170, 171, 174, 175, 176, 207, 208, 212, J 224, 231, 246 Ho Chi Minh · 3, 9, 14, 77, 81, 84, Jahid · 73, 245 86, 88, 94, 95, 96, 101, 102, 104, JAKIM · 168, 194 106, 108, 110, 120, 134, 135, 139, 185, 187, 189, 190, 191, 192, 193, 195, 197, 199, 201, K 204, 205, 206, 212, 215, 216, 220, 221, 222, 246, 249 Kamboja · 1, 2, 4, 7, 8, 9, 11, 15, Hoi Giao · 136, 220, 242, 246, 248 35, 66, 67, 68, 73, 78, 79, 80, 85, Hui · 36, 63, 87, 88, 102, 220, 246 88, 89, 90, 91, 92, 97, 105, 106, 119, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 133, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 158, 159, 160, 161, 162, 164, 165,

250 Birokratisasi Islam di Indocina...

166, 167, 168, 169, 170, 173, 164, 167, 168, 174, 176, 179, 174, 175, 177, 178, 179, 180, 182, 183, 188, 191, 194, 203, 181, 182, 183, 185, 195, 208, 205, 206, 211, 213, 224, 229, 209, 211, 214, 217, 218, 219, 233, 236, 238, 241, 248, 257 220, 221, 222, 223, 241, 245, Masjid · 94, 95, 183, 190, 198 246, 247, 248, 249 Melayu · 5, 7, 9, 12, 13, 49, 54, 66, Kampong Batu · 162, 164, 174 69, 72, 76, 77, 81, 85, 88, 89, 90, Kampong Cham · 128, 140, 153, 93, 97, 100, 101, 105, 158, 164, 155, 180, 208 180, 191, 206, 211, 213, 220, Khemerisasi · 247 227, 238, 245, 248 Khmer · 1, 3, 4, 10, 11, 14, 36, 66, Minoritas · 1, 6, 10, 28, 32, 41, 44, 71, 77, 79, 88, 89, 90, 103, 106, 45, 48, 57, 58, 59, 60, 63, 64, 119, 125, 126, 127, 128, 133, 102, 207, 226, 231, 232, 248 136, 139, 140, 142, 148, 156, Muftih · 82, 139, 142, 144, 145, 174, 177, 178, 180, 207, 208, 146, 147, 156, 169, 170, 175, 214, 217, 220, 230, 231, 240, 182, 183, 208, 223, 248, 249, 245, 246, 247, 248 250 Komite Islam · 88, 110, 124, 183, MUI · 193, 215 184, 199, 204, 205, 219, 222, MUIS · 35, 54, 65 247 Muslim · 1, 3, 6, 7, 10, 11, 12, 13, Komunisme · 2, 106, 111, 134, 138, 14, 25, 30, 32, 34, 41, 44, 46, 47, 185, 198, 247 48, 49, 51, 52, 53, 54, 58, 59, 60, Konstitusi · 129, 132, 133, 136, 227 61, 62, 63, 64, 66, 67, 76, 85, 86, 87, 89, 90, 92, 100, 101, 102, 103, 105, 110, 128, 132, 133, L 136, 138, 140, 142, 143, 147, 148, 149, 150, 151, 155, 156, Lembaga Islam · 27, 131, 132, 222, 165, 166, 188, 199, 201, 207, 248 208, 209, 210, 211, 213, 214, Lokalisasi · 85, 136, 248 216, 219, 220, 222, 223, 224, Ly Mousa · 90, 180, 181, 214 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 240, 241, 242, 248, 249, 257 M

Madrasah · 95, 162, 179, 211, 248 N Malaysia · 3, 4, 7, 9, 13, 15, 25, 35, 36, 40, 53, 54, 57, 69, 72, 74, 90, NGO · 3, 34, 139, 148, 149, 151, 101, 105, 127, 132, 136, 144, 152, 195 147, 150, 153, 159, 162, 163, Ninh Thuan · 5, 67, 195, 197, 222

251 Birokratisasi Islam di Indocina...

O SRV · 86, 107, 124, 133 Sunni · 72, 81, 90, 128, 249 Syiah · 1, 75, 90, 250 Okhna · 144, 208, 223, 248, 249 Othman Hassan · 159, 249 T P Tay Ninh · 199 Timbalan · 146, 156, 167, 250 Parsel · 190, 196, 197, 199 Pemerintah Kerajaan · 152, 156, 177, 214, 219 V Phnom Penh · 3, 4, 14, 78, 79, 80, 101, 102, 103, 128, 133, 136, 137, 144, 146, 150, 154, 157, VCP · 119, 133, 221 158, 162, 164, 165, 166, 167, Vietnam · 1, 2, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 168, 169, 171, 173, 174, 178, 12, 13, 14, 15, 35, 66, 67, 68, 70, 180, 182, 183, 207, 208, 209, 71, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80, 210, 211, 213, 214, 224, 230, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 91, 92, 231, 234, 243, 248, 249 93, 94, 96, 97, 98, 99, 101, 102, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 112, 113, 115, 116, 117, 118, R 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 127, 128, 132, 133, 134, 135, 136, 138, 174, 181, 183, Ramuwan · 249 184, 185, 186, 188, 189, 190, 191, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, S 204, 205, 206, 208, 215, 216, 218, 219, 220, 221, 222, 224, Saigon · 78, 79, 80, 81, 82, 84, 94, 228, 230, 232, 233, 235, 238, 96, 115, 117, 216, 220, 246, 249 239, 240, 241, 242, 244, 245, Sos Kamry · 11, 142, 143, 223, 246, 247, 248, 249, 250, 257 248, 249 Vietnamisasi · 7, 250

252 BIODATA PENULIS

Khaidir Hasram, lahir di Garing, salah satu desa di Kabu- paten Gowa, Sulawesi Selatan, pada 5 Mei 1993. Menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Inpres Garing (1999-2005). Sekolah di Mad- rasah Tsanawiyah dan Aliyah Pondok Pesantren Sultan Hasanud- din, Gowa, dan lulus pada 2011. Melanjutkan S1 pada Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Alauddin Makassar, selesai pada 2015. Sejak sekolah di madrasah Aliyah, masa-masa kuliah, hingga saat ini, penulis menikmati dan berproses di beberapa organisasi sosial, pemuda dan kemahasiswaan ekstra dan intra kampus, diantaranya: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Peradilan Semu UIN Makassar, BEM Syariah dan Hukum UIN Makassar, Organisasi Insan Bahari Indonesia Sulawesi Sela- tan, dan sebagai relawan di Kelas Inspirasi. Penulis pernah bekerja sebagai Peneliti part-time pada Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) Makassar-(2015), Jurnalis di Media Online (2016), dan secara freelance menjadi Tour Guide dan Tour Leader di Meida Wisata, membawa peserta tur ke beberapa negara. Selain itu, penulis juga kerap kali menulis artikel opini di koran lokal dan media online: Tulisan penulis banyak berkutat de- ngan tema keislamanan, beberapa diantaranya misalnya: Mengenal

253 Birokratisasi Islam di Indocina...

Kelompok Abu Sayyaf di Filipina (2016), Pesantren, Optimisme Islam, dan Kebijakan Daerah (2016), Ekofeminisme dan Imam Kita Kepada Alam (2016), Professor dan Wajah Kusam Politik Kita (2017), Ada Apa di Jerussalem (2017), Masuk Neraka itu Susah, tak Semudah Membeli Kopi di Starbucks (2018), Islam Seragam, Muslim yang Beragam (2018), Islam Kita Butuh Slogal Politis: Belajar dari Islam Hadhari ( , Nasi Uduk McDonald’s dan Islam Nusantara (2018), Islam, Mahathir, dan Malaysia (2018), Resah di Negara Islam, Damai di Negara Non-Muslim (2019), Bijak Menanggapi Muslim Uighur (2019), Miskinnya imajinasi mayoritas (2019), dan seterusnya. Serta penulis juga telah mener- bitkan buku berjudul “Muslim dan Halal di Vietnam” , yang ditulis bersama Jaorana Amiruddin.

254