PRAPERLAKUAN FISIK DAN BIOLOGI TERHADAP BIOMASSA ECENG GONDOK UNTUK PRODUKSI ENZIM SELULASE OLEH ASPERGILLUS NIGER DAN TRICHODERMA REESEI

TESIS

Oleh FENI AMRIANI 117022003/TK

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

Universitas Sumatera Utara PRAPERLAKUAN FISIK DAN BIOLOGI TERHADAP BIOMASSA ECENG GONDOK UNTUK PRODUKSI ENZIM SELULASE OLEH ASPERGILLUS NIGER DAN TRICHODERMA REESEI

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik Pada Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

FENI AMRIANI 117022003/TK

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Eceng gondok yang tumbuh dengan cepat menyebabkan eutrofikasi badan air sehingga menghabiskan nutrisi dan oksigen dalam air. Namun, eceng gondok yang merupakan biomassa lignoselulosa berpotensi digunakan untuk produksi enzim selulase oleh beberapa jenis mikroba seperti Aspergillus niger dan Trichoderma reesei. Praperlakuan dilakukan untuk mendegradasi lignin dan meningkatkan aksesibilitas mikroba terhadap selulosa sebelum eceng gondok digunakan sebagai substrat. Pada penelitian ini, praperlakuan fisik dilakukandengan pengurangan ukuran biomassa dan praperlakuan biologi dengan menggunakan jamur pelapuk putih dengan variasi variable waktu fermentasi 3, 5, 7, 8 dan 9 hari, moisture content 65%, 70%, 75%, 80%, dan 85%, dan penggunaan mikroba mono dan mix kultur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eceng gondok mengandung selulosa 27,78%, hemiselulosa 37,50% dan lignin 5,99%, namun setelah dilakukan praperlakuan fisik dan biologi, lignin terdegradasi menjadi 4,63% dan 2,90% untuk masing-masing praperlakuan. Kondisi terbaik fermentasi untuk produksi enzim selulase pada sampel eceng gondok dengan praperlakuan fisik diperoleh pada hari ke-7, moisture content 75%, dan penggunaan mono kultur mikroba Aspergillus niger dengan aktivitas enzim selulase 0,207 IU/ml. Pada sampel eceng gondok dengan praperlakuan biologi kondisi terbaik fermentasi diperoleh pada hari ke-7, moisture content 80%, dan penggunaan mono kultur mikroba Aspergillus niger dengan aktivitas enzim selulase 0,107 IU/ml.

Kata kunci : Aspergillus niger, Eceng Gondok, Enzim Selulase, Praperlakuan, Selulosa, Trichoderma reesei.

Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

The Overgrowth of water hyacinth leads to eutrophication of water bodies as it exhausts nutrient and oxygen contents in water. However, it can be potentially used as lignocellulose biomass for cellulase production by several types of microbes such as Aspergillus niger and Trichoderma reesei. Physical pretreatment is conducted by size reduction of biomass and biological pretreatment by relying white rot in which used to degrade lignin and improve accessibility of microbes to the cellulose, using variance of variable fermentation time 3, 5, 7, 8 and 9 days; substrate moisture content 65%, 70%, 75%, 80%, and 85%, and the use of microbes in mono and mix cultures respectively. The result showed that water hyacinth contains cellulose 27.78%, hemicellulose 37.50% and lignin 5.99%. Physical and biological pretreatment to biomass showed lignin degradation to 4.63% and 2.90% respectively. The best conditions for cellulase production on water hyacinth biomass with physical pretreatment were at 7th day incubation period, 75% of moisture content by mono culture Aspergillus niger with cellulase activity 0.207 IU/ ml, and the best conditions for water hyacinth biomass with biological pretreatment were at 7th day incubation period, 80% of moisture content by mono culture Aspergillus niger with cellulase activity 0.107 IU/ml.

Keywords : Aspergillus niger, Cellulase, Cellulose, Pretreatment, Trichoderma reesei, Water Hyacinth.

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur kepada Allah SWT atas segala karunia dan ridho-Nya, sehingga tesis dengan judul “Praperlakuan Fisik dan Biologi Terhadap

Biomassa Eceng Gondok Untuk Produksi Enzim Selulase Oleh Aspergillus niger dan Trichoderma reesei” ini dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun setelah melalui penelitian dan konsultasi untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Teknik (M. T) di Program

Magister Teknik Kimia dengan sumber dana berasal dari Lembaga Pengelola Dana

Pendidikan Jakarta.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada :

1. Ibu Dr. Fatimah, M. T dan Ibu Dr. Iriany, M. Si atas bimbingan, arahan, dan

waktu yang telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi

Dosen pembimbing penelitian dan perkuliahan.

2. Bapak Dr. Taslim, M. Si dan Bapak Dr. Irvan, M. Eng yang telah memberikan

masukan dan saran pada saat seminar proposal dan seminar hasil tesis.

3. Ketua Program Studi Magister Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara, Dr.

Taslim, M. Si.

4. Sekretaris Program Studi Magister Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara,

Prof. Dr. Rosdanelly, M. Sc.

Universitas Sumatera Utara 5. Okta Bani, ST, MT, Ika Herawati Hasibuan, dan Wan Rizky atas banyak

bantuannya dalam penelitian dan penyusunan laporan tesis ini.

6. Ayahanda Alm. Ir. Amrul Ambia dan Ibunda Yeni Afriyani, serta adik-adik Vidi,

Vici, dan Devin yang telah menginspirasi dan segala dukungan dan doanya.

Suami tercinta dr. Rizky Julana dan anak-anak tercinta Harits, Sarah, Hammam,

dan Shafiyyah inspirasi dan semangat terbesar dan ucapan terima kasih atas

segala dukungan, kesabaran, dan doanya selama ini.

7. Rekan-rekan S-2 Teknik Kimia angkatan 2011 dan 2012. Semoga semua bisa

cepat selesai , dan

8. Semua civitas dan staf administrasi Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu pengembangan lebih lanjut agar benar-benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik agar tesis ini lebih sempurna serta sebagai masukan bagi penulis untuk penelitian dan penulisan karya ilmiah di masa yang akan datang .

Akhir kata, penulis berharap tesis ini memberikan manfaat bagi kita semua terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang ramah lingkungan.

Medan, November 2013

Penulis

Feni Amriani

Universitas Sumatera Utara RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 Februari 1984, dan merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Alm. Ir. Amrul Ambia dan Yeni

Afriyani. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SDN Pacet II Cipanas, Jawa Barat lulus tahun 1995, selanjutnya di SLTP Mardi Yuana Santo Yusuf Sindang Laya, Jawa

Barat lulus tahun 1998. Tahun 2001 penulis menamatkan Sekolah Menengah Atas di

SMU N 1 Cianjur.

Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di Teknik Kimia Universitas

Syiah Kuala Banda Aceh dan lulus pada tahun 2008. Kemudian pada tahun 2011 penulis mengambil program Magister Teknik Kimia di Fakultas Teknik Universitas

Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ...... i

Abstrak ...... ii

Abstract ...... iii

Kata Pengantar ...... iv

Riwayat Hidup ...... vi

Daftar Isi ...... vii

Daftar Tabel ...... x

Daftar Gambar ...... xi

I. PENDAHULUAN ...... 1

1.1 Latar Belakang ...... 1

1.2 Perumusan Masalah ...... 12

1.3 Tujuan Penelitian ...... 13

1.4 Manfaat Penelitian ...... 13

1.5 Lingkup Penelitian ...... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA ...... 15

2.1 Karakteristik dan Pola Pertumbuhan Eceng Gondok ...... 15

2.2 Pengendalian dan Pemanfaatan Eceng Gondok ...... 18

2.3 Eceng Gondok dalam Produksi Enzim ...... 22

2.4 Selulase ...... 24

2.5 Teknologi Produksi Enzim Selulase ...... 26

Universitas Sumatera Utara Halaman

2.5.1 Substrat, Mikroorganisme, dan Praperlakuan ...... 27

2.5.2 Fermentasi ...... 35

2.6 Produksi Enzim Selulase dengan Substrat Eceng Gondok

dan Perkembangannya ...... 42

III. METODOLOGI PENELITIAN ...... 45

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...... 45

3.2 Alat dan Bahan ...... 45

3.3 Rancangan Percobaan ...... 46

3.4 Prosedur Percobaan ...... 46

3.4.1 Pembenihan Mikroba ...... 46

3.4.2 Praperlakuan Eceng Gondok ...... 47

3.4.3 Penyiapan Inokulum Cair ...... 50

3.4.4 Produksi Enzim Selulase ...... 50

3.4.5 Pengambilan Enzim ...... 51

3. 5 Analisa Hasil Penelitian ...... 52

3.5.1 Analisa Kadar Lignin dan Selulosa ...... 52

3.5.2 Uji Aktivitas Enzim ...... 53

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 56

4.1 Persiapan Bahan Sampel Biomassa Eceng Gondok dan Mikroba ...... 56

4.1.1 Bahan Sampel Biomassa Eceng Gondok ...... 56

4.1.2 Pertumbuhan Mikroba ...... 58

Universitas Sumatera Utara Halaman

4.2 Produksi Enzim Selulase ...... 59

4.3 Pengambilan Enzim dan Pengujian Aktivitas Enzim ...... 60

4.4 Hasil Praperlakuan Fisik dan Biologi ...... 61

4.4.1 Hubungannya dengan Degradasi Lignin ...... 62

4.4.2 Hubungannya dengan Produksi Enzim Selulase ...... 65

4.5 Pengaruh Variasi Kultur Mikroba terhadap Aktivitas Enzim Selulase ...... 67

4.6 Pengaruh Variasi Moisture Content terhadap Aktivitas Enzim Selulase .... 70

4.7 Pengaruh Variasi Waktu Fermentasi (Incubation Period) terhadap

Aktivitas Enzim Selulase ...... 71

4.8 Respon Maksimum Aktivitas Enzim Selulase ...... 73

4.9 Ringkasan Produksi Enzim Selulase dengan Metode Praperlakuan Fisik

dan Biologi ...... 75

V. PENUTUP ...... 76

5.1 Kesimpulan ...... 76

5.2 Saran ...... 77

DAFTAR PUSTAKA ...... 78

LAMPIRAN ...... L-1 – L-13

Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Perkembangan Produksi Selulase dari Bahan Lignoselulosa/

Selulosa ...... 4

2.1 Kandungan Lignin, Selulosa, danHemiselulosaEcengGondok ...... 17

2.2 Metode Pengendalian dan Kekurangannya ...... 20

2.3 Mikroorganisme Penghasil Selulase ...... 29

2.4 Teknologi Praperlakuan, Deskripsi, Kekurangan, dan Kelebihan ...... 34

2.5 Komposisi Medium Mandel Weber ...... 42

2.6 Penelitian Mengenai Produksi Enzim Selulase Dengan Substrat

Eceng Gondok ...... 44

4.1 Kadar Lignin-Selulosa Biomassa Eceng Gondok ...... 62

4.2 Enzim dan Reaksinya yang Terlibat di Dalam Degradasi Lignin ...... 64

4.3 Perbandingan Antara Metode Praperlakuan Fisik dan Biologi ...... 75

Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Tanaman Eceng Gondok ...... 16

2.2 Skema Utilisasi Eceng Gondok ...... 22

2.3 Mekanisme Hidrolisis Selulosa ...... 25

2.4 Aspergillus Niger ...... 31

2.5 Trichoderma Reesei ...... 32

2.6 Skema Tujuan Pretreatment pada Biomassa Lignoselulosa ...... 33

3.1 Skema Praperlakuan Fisik ...... 48

3.2 Skema Praperlakuan Biologi ...... 49

3.3 Diagram Alir Produksi Enzim Selulase ...... 55

4.1 Eceng Gondok ...... 56

4.2 Sampel Kering Eceng Gondok Hasil Praperlakuan Fisik ...... 57

4.3 Pertumbuhan Jamur Pelapuk Putih ...... 58

4.4 Aspergillus Niger, Trichoderma Reesei, dan Ganoderma. B ...... 58

4.5 Kurva Standar Glukosa ...... 61

4.6 Pengaruh Variasi Kultur Mikroba terhadap Aktivitas Enzim Selulase

Padat = 7 Hari dan Moisture Content 70% ...... 68

4.7 Pengaruh Variasi Moisture Content terhadap Aktivitas Enzim Selulase

Pada t = 7 Hari dan Mikroba Aspergillus Niger ...... 70

Universitas Sumatera Utara Nomor Judul Halaman

4.8 Pengaruh Variasi Waktu Fermentasi terhadap Aktivitas Enzim

Selulase dari Crude Enzim dengan Fermentasi Sampel Moisture

Content 75% untuk Sampel Fisik dan 80% untuk Sampel Biologi...... 72

4.9 Respon Maksimum Aktivitas Enzim Selulase ...... 74

Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Eceng gondok () merupakan gulma air yang telah banyak dikenal orang. Penyebarannya yang sangat cepat membuat eceng gondok menjadi sebuah masalah baru perairan yang dapat mengganggu ekosistem. Hal ini disebabkan eutrofikasi yang terjadi di badan air. Eutrofikasi merupakan peristiwa meningkatnya bahan organik dan nutrien (terutama unsur nitrogen dan fosfor) yang terakumulasi di badan air. Peningkatan bahan organik dan nutrien ini berasal dari limbah domestik, limbah pertanian, dan lain-lain (Merina dkk, 2011).

International Union for Conservation of Nature(IUCN) telah mengelompokkan eceng gondok sebagai satu dari seratus tanaman yang termasuk spesies invasif (Te’lezz dkk, 2008), bahkan dikenal sebagai tanaman yang penyebarannya berdampak buruk di seluruh dunia. Masalah eceng gondok juga telah menjadi perhatian khusus di Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika Utara (Shanab dkk,

2010).

Pada umumnya, penanganan eceng gondok sebagai gulma air di perairan ini lebih kepada pengendalian secara fisik/konvensional dengan cara dibuang atau dibakar sehingga menimbulkan masalah lingkungan yang baru. Karena hal tersebut, maka studi sekarang ini banyak difokuskan untuk memanfaatkan/utilisasi eceng gondok dengan dasar komponen-komponen yang dimilikinya menjadi produk yang lebih ramah lingkungan dan lebih bermanfaat.

Universitas Sumatera Utara Salah satu pemanfaatan eceng gondok dengan memperhatikan komponen organiknyayaitu kontribusinya pada produksienzim yang banyak dimanfaatkan pada beberapa industri komersial. Kandungan senyawa karbon didalamnyayaitu bahan lignoselulosa sangat menjanjikan. Ketersediaannya yang melimpah bahkan menjadi ujung tombak dalam menciptakan sebuah proses hidrolisis enzimatis dari biomassa selulosa yang ekonomis (Singh dkk, 2009).

Selulase adalah sebuah enzim yang signifikan penggunaannya pada beberapa industri seperti makanan, tekstil, dan pemrosesan pulp dan kertas (Bhat, 2000).

Penggunaan selulase pada penghilangan kontaminan tinta pada pengolahan kertas bekas/deinking (Lee dkk, 2007), produksi asam laktat (Gullon dkk, 2008), hidrolisis selulosa untuk menghasilkan bioethanol (Gray dkk, 2006; Olsson dkk, 1996) dan produk lainnya dari selulase telah banyak dilaporkan. Harga jual enzim selulase yang tinggi (Novozyme, NCBE, UK: £12.00/100 mL pada November, 2012; www.sigmaaldrich.com, SGD 362/100 mL pada Maret 2013) akibat proses dan bahan baku selulosa murni yang mahal pemurniannya membuat para peneliti mencari sumber karbon dan proses yang lebih efisien, dan ini membawa para peneliti menginvestigasi beberapa tanaman yang dianggap menyediakan sumber karbon untuk produksi selulase. Salah satunya adalah eceng gondok yang selama ini menjadi masalah ekologi (merusak keseimbangan ekosistem dan mengurangi keanekaragaman aquatik), bahkan telah menjadi masalah sosial ekonomi karena mengganggu transportasi perairan.Pemanfaatan eceng gondok yang baik ini akan menjadikan eceng gondok sebagai tanaman yang lebih bernilai.

Universitas Sumatera Utara Proses produksi enzim selulase dari bahan lignoselulosa secara singkat meliputi metode praperlakuan bahan lignoselulosa, pemilihan mikroba, serta teknologi fermentasi. Metode praperlakuan pada bahan lignoselulosa dalam memproduksi enzim selulase merupakan salah satu bagian yang mempengaruhi tingginya biaya, hasil, dan kualitas enzim selulase yang dihasilkan. Metode praperlakuan yang sering digunakan baik skala kecil (penelitian) maupun industri dalam mendegradasi lignin dari bahan lignoselulosa ini adalah metode secara kimia dan fisik-kimia, yang tentu saja memerlukan bahan kimia dengan jumlah dan konsentrasi yang tinggi agar lignin yang terdegradasi diharapkan lebih besar sehingga selulosa semakin mudah dihidrolisis oleh mikroba baik untuk pertumbuhannya maupun untuk produksi enzim selulase (Gunam, 1997; Gunam dkk, 2004; Lee dkk,

2009).

Ketersediaan energi berbahan bakar fosil yang semakin menipis keberadaannya membuat penelitian semakin dikembangkan untuk mencari alternatif yang lebih baik atau sebanding nilainya dengan energi yang digunakan saat ini.

Sebagai senyawa yang paling melimpah di muka bumi, selulosa dapat menjadi sumber energi yang murah dan terbarukan. Di samping sebagai sumber energi, selulosa dapat juga dimanfaatkan untuk pembuatan sirup glukosa dan protein sel tunggal.

Perkembangan penelitian produksi enzim selulase dengan bahan lignoselulosa/selulosa dapat dilihat dalam Tabel 1.1.

Universitas Sumatera Utara Praperlakuan yang banyak digunakan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan adalah metode secara kimia dan fisik. Dalam skala besar metode secara kimia dan fisik praktis dan tidak memerlukan waktu yang lama dalam prosesnya hanya praperlakuan tersebut terkendala pada masalah baru seperti limbah kimia yang dihasilkan, dan penggunaan energi yang besar. Oleh karenanya pada penelitian ini praperlakuan secara fisik dan biologi dipilih sebagai metode praperlakuan dalam produksi enzim selulase karena lebih mungkin mengurangi limbah berbahaya dan aman bagi lingkungan.

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa praperlakuan memiliki peranan penting dalam membantu proses produksi enzim selulase menggunakan mikroba komersial seperti Aspergillus niger dan Trichoderma reesei, maka perumusan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana pengaruh kedua praperlakuan (fisik dan biologi) dalam

mendegradasi lignin sehingga selulosa dapat dihidrolisis mikroba untuk

pertumbuhannya maupun produksi enzim selulase.

b. Bagaimana aktivitas enzim selulase yang dihasilkan dengan dilakukannya

dua praperlakuan (fisik dan biologi) dan monokultur/mix kultur

penggunaan mikroba dalam proses fermentasi.

Universitas Sumatera Utara 1.3 Tujuan Penelitian

Pada penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat:

1. Menganalisis keberhasilan metode praperlakuan fisik dan biologi pada

aktivitas mikroba dalam memproduksi enzim selulase.

2. Menentukan kondisi terbaik (kelembaban/moisture content substrat, waktu

fermentasi, mono/mix kultur mikroba) terhadap aktivitas mikroba.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai produksi enzim selulase dengan praperlakuan yang lebih murah sehingga dapat dimanfaatkan/diaplikasikan oleh masyarakat yang berada di sekitar pertumbuhan eceng gondok.

1.5 Lingkup Penelitian

Penelitian ini terbatas pada produksi enzim selulase dengan batasan-batasan masalah:

a. Tahap praperlakuan: melakukan dua metode praperlakuan terhadap eceng

gondok yaitu secara fisik dengan pengecilan ukuran dan biologi dengan

menggunakan jamur pelapuk putih Ganoderma boninense yang berasal

dari Laboratorium Mikrobiologi FMIPA Jurusan Biologi Universitas

Sumatera Utara.

b. Tahap proses produksi enzim selulase:

Universitas Sumatera Utara 1. Mikroba yang digunakan dalam fermentasi untuk produksi enzim

selulase adalah Aspergillus niger dan Trichoderma reesei.

2. Variabel bebas yang digunakan antara lain: moisture content (65-

85%), waktu fermentasi (3-9 hari), dan pemakaian mono/mix kultur

mikroba.

3. Variabel terikat adalah medium pertumbuhan dan komposisi

nutrisinya, medium fermentasi (medium Mandel Weber), suhu

fermentasi 30oC, dan pH 5 (Oberoi dkk, 2010). c. Tahap analisis hasil proses: parameter pada penelitian ini adalah kadar

lignin, selulosa, dan aktivitas enzim selulase.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara Tabel 1.1 Perkembangan Produksi Enzim Selulase dari Bahan Lignoselulosa/Selulosa Peneliti/Judul Substrat/media/sumber Metode praperlakuan Jenis mikroba Hasil penelitian selulosa 1. Qin Liu-Hui Residu furfural dan Fisik : pengeringan Trichoderma viridee, T. - Produksi selulase pada MCC : dkk, 2012 / mikrokristal selulosa dan pengecilan ukuran Koningii, T. Reesi, pada waktu fermentasi 15 hari, T = Evaluation of 40-60 mesh(residu Aspergillus Niger 30oC, konsentrasi substrat 20 g/L cellulases furfural) aktivitas enzim selulase tertinggi produced from ditunjukkan oleh T.Koningii > T. four fungi viridee > A. Niger > T. Reesei. cultured on Walaupun demikian masing-masing furfural residues fungi unggul dalam satu atau dua and bagian enzim sinergis selulase. microcrystalline - Produksi selulase pada residu cellulose (MCC) furfural : waktu, suhu dan kinsentrasi yang sama menunjukkan T. viridee > A. Niger > T. Koningii > T. Reesei. Secara umum, aktivitas enzim selulase diperoleh pada waktu maksimum fermentasi hari ke 10-19.

2. Quiroz Estela Serbuk kayu oak dan Fisik : pengeringan Bjerkandera adusta and R dkk, 2010 / cedar, sekam padi, dan pengecilan ukuran Pycnoporus sanguineus Fermentasi oleh kedua fungi di- Evaluation of tunggul jagung, jerami maksimum 4 mm dan lakukan pada suhu 28oC, selama 6- different padi dan kulit biji minimum 0,5 mm. 15 hari. lignocellulosics jarak Aktivitas enzim selulase pada fungi substrates for the P. Sangineus pada ke enam bahan production of lignoselulosa menunjukkan : serbuk cellulases and kayu cedar > serbuk kayu oak >

Universitas Sumatera Utara Peneliti/Judul Substrat/media/sumber Metode praperlakuan Jenis mikroba Hasil penelitian selulosa xylanases by the jerami gandum > tunggul jagung > basiodiomycete kulit biji jarak > sekam padi fungi Waktu optimum fermentasi pada Bjerkandera hari ke delapan adusta and aktivitas enzim selulase pada fungi Pycnoporus B.adusta : serbuk kayu cedar > sanguineus jerami gandum > sekam padi > serbuk kayu oak > kulit biji jarak > tunggul jagung Waktu optimim fermentasi pada hari ke enam Waktu fermentasi 5 hari, pH 6, T = 30oC 3. Oberoi H.S Kinnow(jeruk) pulp, Fisik : pengeringan Trichoderma Reesei dkk, 2010/ dan dedak gandum dan pengecilan ukuran -Penelitian ini memvariasikan Production of (campuran untuk menggunakan antara: 1.substrat(kinnow pulp) (K) cellulases variasi perlakuan) cyclotec mill diayak + penambahan air(W) through solid sampai ukuran kurang 2. K + penambahan mandel weber state lebih 0,83 mm. medium (MW) fermentation 3. K + penambahan dedak gandum using kinnow (WB) + W (K:WB = 4:1) pulp as a major 4. K + WB + W (K:WB = 3:2) substrate 5. K + WB + MW (K:WB = 4:1) 6. K + WB + MW (K:WB = 3:2) Dengan waktu optimum hari ke-4, didapat aktivitas enzim selulase : 6 > 4 = 5 > 3 > 2 >1.

Universitas Sumatera Utara Peneliti/Judul Substrat/media/sumber Metode praperlakuan Jenis mikroba Hasil penelitian selulosa 4. De Castro A. Bagas tebu Kimia : Penicillium funiculosum -Penelitian ini memvariasikan media M dkk, 2010 / - Praperlakuan tanpa praperlakuan, dengan satu cellulases from asam : 3% v/v praperlakuan (asam/basa), dan dua Penicillium H2SO4(aq) praperlakuan campuran (asam dan funiculosum : - Praperlakuan basa basa). production, : 4% w/v -suhu fermentasi optimum pada properties, and 37oC, pH 4,82-4,96, waktu inkubasi application to 7-8 hari yaitu pada media dengan cellulose campuran dua praperlakuan. hydrolysis

5. Feng Yue dkk, Tangkai bunga Fisik : steam dengan Trichoderma viridee Penelitian ini membandingkan 2011 / Enzymatic Lespedeza tekanan 2 MPa selama aktivitas selulase hasil fermentasi degradation of 4 menit, dihaluskan antara lespedeza dengan tiga sumber steam-pretreated dengan ayakan 60 karbohidrat yaitu Filter paper (FP), lespedeza stalk mesh microcrystalin selulosa(MCC), dan by cellulosic carboxymethyl selulosa.(CMC) substrate Aktivitas enzim selulase terbaik induced adalah FP > lespedeza > MCC > cellulases CMC pada T = 30oC waktu fermentasi 7 hari.

6. Singh Anita Jerami gandum Tidak ada keterangan Aspergillus Penelitian ini memvariasikan pH (3- dkk, 2009 / praperlakuan Heteromorphus 8), suhu (20 – 45oC) dan waktu Production of fermentasi (0-7 hari). cellulases by Kondisi optimum aktivitas enzim Aspergillus selulase adalah pada hari ke-5 Heteromorphus fermentasi pada T=30oC dan pH 5.

Universitas Sumatera Utara Peneliti/Judul Substrat/media/sumber Metode praperlakuan Jenis mikroba Hasil penelitian selulosa from wheat straw under submerged Fermentation

7. Herculano P Ampas biji castor Fisik : Pengecilan Aspergillus Japonicus Penelitian ini memvariasikan jumlah Nunes dkk, 2011 (cake) ukuran antara 3 dan 8 substrat (5-10 g), kelembaban (15- / cellulase mm 35%), pH (4-6), suhu (25-35oC) production by Kondisi terbaik produksi emzim Aspergillus selulase adalah pada substrat 5 gr, Japonicus URM kelembaban 15%, pH 6, dan suhu 5620 using waste 25oC. from castor bean under solid state fermentation

8. Kumar Sanjay Dedak gandum,dedak Fisik :pengecilan Aspergillus Niger Kondisi optimum penelitian ini : dkk, 2011 / jagung dan kulit jeruk ukuran dengan -SMF : perolehan selulase optimum Effect of (2:1:2) pengayakan 40 mesh pada 5-6 hari, pH 4,6 , dan pada substrate and konsentrasi sumber karbon 65 g/L Fermentations -SSF : perolehan selulase optimum conditions on pada 6-7 hari, pH 4,5, moisture pectinase and content 65%. cellulase production by Aspergillus Niger NCIM 548 in Submerged and Solid state

Universitas Sumatera Utara Peneliti/Judul Substrat/media/sumber Metode praperlakuan Jenis mikroba Hasil penelitian selulosa fermentation

9. Ilyas Umbrin dkk, 2011 / Solid Vigna mungo (biji- Fisik-kimia : Aspergillus niger Penelitian ini memvariasikan state bijian)/black matpe pengecilan ukuran sumber N, moisture content (60- fermentation of bean Direndam NaOH dan 95%), waktu fermentasi (48-192 o Vigna Mungo for H2SO4 jam), suhu (25-45 C), dan cellulase konsentrasi alkali pada pretreatment production by kimia. Aspergillus Hasil terbaik aktivitas enzim Niger selulase ditunjukkan : -sumber N : (NH4)2SO4 > urea > NH4NO3 > yeast ekstrak > NH4Cl > (NH4)2PO4 > malt ekstrak > pepton > tripton > NaNO3. -moisture content 70% o -suhu 30 C, pH 4,5 , dan waktu 10. Juhasz T, fermentasi 96 jam / 4 hari. 2005 / Enzymes Solka flok, willow Fisik : untuk SPW, Mixed culture of T.Reesei for improved (SPW) ,spruce (SPS), SPS, dan SPCS dan A. Niger SPCS adalah sumber karbon terbaik hydrolysis of corn stover (SPCS) disteam dengan dalam fermentasi selulase, pada T = o lignocellulosic dengan steam impregnant SO2 pada 30 C dan pH 5 selama 168 jam = 7 pretreated, dan serat substrat pada hari. jagung chemical temperature dan pretreated (CPCF). waktu tertentu utk berbeda substrat Kimia: pada suhu 120oC selama 2 jam

Universitas Sumatera Utara Peneliti/Judul Substrat/media/sumber Metode praperlakuan Jenis mikroba Hasil penelitian selulosa direndam dalam 2,5% NaOH dan 0,006 larutan H2O2

11. Devi M. Charita dan Kertas dan limbah Fisik : dicuci, kedua Aspergillus Niger Kumar M. Sunil, industry kayu (serbuk substrat masing- Untuk mendapatkan titik optimum 2012 / kayu) masing diblend aktivitas enzim selulase penelitian Production dengan mixer dan ini memvariasikan suhu (30-50oC), optimization and dikeringkan. pH (3-8), waktu fermetasi (2-8 hari), partial dan didapat : purification of -waktu optimum adalah 7 hari untuk cellulose by kedua substrat Aspergillus -pH optimum 4,5 untuk kedua Niger fermented substrat with paper and -suhu optimum 45oC untuk kedua timber sawmill substrat industrial wastes

12.Pradnya Deshpande dkk, Eceng gondok Fisik : steam Trichoderma Reesei 2012 / Water Kimia : direndam Penelitian ini memvariasikan pH Hyacinth as dalam NaOH (1-5%), (4,5–8), konsentrasi NaOH pada Carbon Source H2PO4 praperlakuan (1-5%), suhu o for the fermentasi (25-50 C), konsentrasi Production of substrat (1-8% w/v). Cellulase by Hasil terbaik dicapai pada Trichoderma praperlakuan substrat dengan 1%

Universitas Sumatera Utara Peneliti/Judul Substrat/media/sumber Metode praperlakuan Jenis mikroba Hasil penelitian selulosa Reesei NaOH, pH 5 dan diatasnya, o temperature inkubasi 30 C, konsentrasi substrat 1% (w/v), dan waktu inokulasi hari ke 7 dan ke 15. Perolehan maksimal aktivitas selulase ±73,3 IU/g selulosa. Aktivitas spesifik enzim 6.25 IU/mg protein. Pada hidrolisis glukosa menggunakan 1,2 IU/g dapat mensakarifikasi 28,7 % dalam 1 jam 13. Heba I dkk, 2012 / Eceng gondok Tidak ada keterangan 12 strain fungi : Purification and praperlakuan Aspergillus candidus, Selain memvariasikan fungi, characterization A. flavus penelitian ini juga memvariasikan of CMCase and A.Niger sumber nitrogen, pH (3,6-5,2), suhu Protease by A. Terreus (20-70oC), konsentrasi substrat (0,4- A. Ustus 1,6% w/v) botrytis Preuss Fusarium scirbi Hasil terbaik dicapai oleh fungi ATCC 18042 Penicillium chrysogenum Ulocladium botrytis, dengan sumber using Water P. citrinum nitrogen dari yeast dan malt extract, Hyacinth as a P. claviforme pH 5,2, optimum temperatur substrate under P. velutinum inkubasi pada 60oC, dan konsentrasi solid state Trichoderma viridee substrat 1,2% w/v. Perolehan fermentation Ulocladium botrytis aktivitas spesifik enzim selulase 852,11 U/mg

Universitas Sumatera Utara Peneliti/Judul Substrat/media/sumber Metode praperlakuan Jenis mikroba Hasil penelitian selulosa

Universitas Sumatera Utara II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik dan Pola Pertumbuhan Eceng Gondok

Eceng gondok di Indonesia pada mulanya diperkenalkan oleh Kebun Raya

Bogor pada tahun 1894, yang akhirnya berkembang di sungai Ciliwung sebagai tanaman pengganggu (Brij dan Sarma, 1981). Klasifikasi eceng gondok secara umum adalah (Moenandir, 1990).

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Suku : Pontederiaceae

Marga : Eichornia

Spesies : Eichornia crassipes Solms

Eceng gondok hidup mengapung bebas bila airnya cukup dalam tetapi berakar di dasar kolam atau rawa jika airnya dangkal. Tingginya sekitar 0,4 - 0,8 meter. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut. Eceng gondok tampak pada Gambar 2.1.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Tanaman Eceng Gondok

Eceng gondok berkembang biak dengan sangat cepat, baik secara vegetatif maupun generatif. Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat berlipat ganda dua kali dalam waktu 7 - 10 hari. Hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak

Lingkungan Hidup Sumatera Utara di Danau Toba (2003) melaporkan bahwa satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 m2, atau dalam waktu 1 tahun mampu menutup area seluas 7 m2. Heyne (1987) menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan eceng gondok pada areal 1 Ha dapat mencapai bobot basah sebesar 125 ton.

Perkembangbiakannya yang sangat cepat menyebabkan tanaman eceng gondok telah berubah menjadi tanaman gulma di beberapa wilayah perairan di

Indonesia. Di kawasan perairan danau, eceng gondok tumbuh pada bibir-bibir pantai sampai sejauh 5 - 20 m. Perkembangbiakan ini juga dipicu oleh peningkatan kesuburan di wilayah perairan danau (eutrofikasi), sebagai akibat dari erosi dan

Universitas Sumatera Utara sedimentasi lahan, berbagai aktivitas masyarakat (mandi, cuci, kakus/MCK), budaya perikanan (keramba jaring apung), limbah transportasi dan limbah pertanian. Oleh karena itu, eceng gondok sudah menjadi sebuah masalah yang harus dikendalikan perkembangannya.

Analisis fitokimia dari ekstrak metanolik eceng gondok membuktikan bahwa metabolit sekunder sebagian besar menjadi alkaloid, komponen fenol, dan terpenoid

(Shanab dkk, 2010). Eceng gondok juga mengandung senyawa flavonoid (luteolin, apigenin, tricin, chrysoeriol, kaempferol, azaeleatin, gossypetin, dan orientin), asam amino (metionin, valine, asam teonin glutamate, tryptofan, tyrosin, leusin, dan lysine), fosfor, protein, komponen organic, dan sianida (Nyananyo dkk, 2007;

Chantiratikul dkk, 2009). Tanaman segar mengandung 95,5% kelembaban, 0,04% N,

1,0% abu, 0,06% P2O5, 0,20% K2O, 3,5% bahan organik. Pada basis kelembaban nol, terdapat 75,8% bahan organik, 1,5% N dan 24,2% abu. Abu mengandung 28,7%

K2O, 1,8% Na2O, 12,8% CaO, 21,0% Cl, dan 7,0% P2O5. Protein mentah mengandung, per 100 g, 0,72 g metionin, 4,72 g fenilalanin, 4,32 g treonin, 5,34 g lisin, 4,32 g isoleusin, 0,27 g valin, dan 7,2 g leusin (Matai dan Bagchi, 1980 dalam

Jafari 2010). Kandungan lignin, selulosa, dan hemiselulosa dari berbagai sumber ditunjukkan dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kandungan Lignin, Selulosa dan Hemiselulosa Eceng Gondok (Dry Base) Komponen Gunnarson dan Sornvoraweat dan Ahn dkk (2012) (%Berat) Peterson (2007) Kongkiattikajorn (2010) Lignin 7 – 26,36 4,37 ± 0,027 34,19 Selulosa 17,8 – 31 19,02 ± 0,017 17,66 Hemiselulosa 22 – 43,4 32,69 ± 0,024 34,19

Universitas Sumatera Utara

Pola pertumbuhan yang cepat, sehingga keberadaannya melimpah dan kandungan yang dimilikinya, membuat eceng gondok memiliki potensi yang layak dikembangkan agar bernilai ekonomis, bernilai jual tinggi dan menjadikan eceng gondok sebagai tanaman esensi yang patut diperhitungkan keberadaannya, bukan hanya tanaman hama atau gulma semata.

2.2 Pengendalian dan Pemanfaatan Eceng Gondok

Keberadaannya yang melimpah ruah dan pengaruhnya yang berdampak pada keberlangsungan ekosistem air, membuat eceng gondok dianggap sebagai tanaman invasif dan menjadi perhatian para pemerhati lingkungan diseluruh dunia. Eceng gondok bahkan termasuk dalam daftar karantina karena keberadaannya yang kurang diinginkan (Patel, 2012).

Pertumbuhannya yang sangat cepat dan penyebaran sporadik telah mengakibatkan kerusakan secara ekologi dan ekonomi badan air dan wetlands yang produktif. Eceng gondok sudah menjadi sebaran yang mendunia karena keberadaannya di beberapa Negara antara lain:

1. Beberapa Negara bagian Afrika: sebaran eceng gondok telah menghampar

hampir menutupi perairan sungai, maupun danau, seperti danau Victoria

di Afrika (Kateregga dkk, 2007), daerah sekitar Winam Gulf dimana

dalam jurnalnya, Opande dkk (2004) menyatakan bahwa kehidupan

masyarakatnya bergantung pada perairannya.

Universitas Sumatera Utara 2. Spanyol dan Portugal: sungai induk Guadiana di Spanyol baru-baru ini

juga dipenuhi oleh sebaran eceng gondok (Della Greca dkk, 2009).

3. Bangladesh: pengawasan keberadaan sebaran Eceng gondok yang mulai

meluas di hutan bakau Sundarbans (Biswas dkk, 2007).

4. : pendangkalan berat di wetland taman nasional Kaziranga akibat

invasi Eceng gondok, Deepor beel (danau yang terbentuk dari sungai

Brahmaputra) terancam karena sebaran Eceng gondok.

5. Meksiko: lebih dari 40.000 Ha terdiri dari waduk, danau, kanal, dan

saluran air tertutupi oleh Eceng gondok (Jime’nez dan Balandra, 2007).

6. Cina: Eceng gondok sebagai masalah lingkungan yang sangat serius (Chu

dkk, 2006).

7. Amerika: Eceng gondok juga menyebabkan dampak ekologis yang sangat

parah seperti di delta sungai Sacramento-San Joaquin di California

(Khanna dkk, 2011).

8. Indonesia: Eceng gondok telah tampak mengambang sejak 1990 di daerah

parapat, dan sekarang telah hampir menutupi sebagian besar perairan

Danau Toba Moedjojo dkk, 2006). Waduk Cirata dan Kali banjir Kanal

Timur juga tidak luput dari blooming tanaman gulma ini.

Masalah global yang ditimbulkan akibat pertumbuhan pesat eceng gondok terutama di perairan tanah air, bukan hanya menjadi masalah ekologi semata bahkan telah menjadi ancaman bagi keseimbangan ekosistem. Berbagai upaya telah

Universitas Sumatera Utara dilakukan untuk mengatasi masalah ini, diantaranya seperti yang ditabulasikan dalam

Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Metode Pengendalian dan Kekurangannya Metode Langkah-langkah pengendalian Kekurangan pengendalian a. Fisik - Drainase perairan daerah - Metode ini dianggap tidak setempat cukup walaupun telah - Secara manual mencabut dilengkapi dengan mesin- atau menarik mesin yang dirancang - Secara massal untuk memotong, menggunakan jaring, dan menghancurkan, sampai lain sebagainya . pada transportasi yang diperlukan untuk peng- hapusan tanaman ini. - Penggunaan mesin seperti pemanen gulma, alat penghancur dan lainnya me-merlukan biaya yang sangat mahal karena pemeliharaan, - Masalah pembuangan limbah (Malik, 2007)

b. Kimia Penggunaan herbisida kimia Telah terbukti efektif, hanya yaitu asam 2,4-diklorofenoksi, pada penggunaan jangka garam dipotassium endothall, panjang dapat menurunkan dan garam dimethylalkylamine kualitas air serta berisiko endothall. tinggi terhadap habitat alami perairan (Malik, 2007)

c. Biologi Biokontrol oleh : Hanya memberikan sedikit - Serangga seperti kumbang hasil, tidak maksimal. Neochetina sp yang telah diuji coba pada danau Viktoria di Afrika (Williams dkk, 2007), - Wereng Megamelus scutellaris dari ordo Hemiptera (Sosa dkk, 2007), - Jamur cercospora piaropi

Universitas Sumatera Utara Metode Langkah-langkah pengendalian Kekurangan pengendalian tharp menghasilkan fitotoksin yang dapat menurunkan populasi eceng gondok (Tessman dkk, 2008), - Ekstrak tumbuh-tumbuhan allelopati.

Ketiga metode penanggulangan tersebut sangat membutuhkan biaya yang tinggi dan tidak memberikan timbal balik secara ekonomis. Oleh karena itu, para peneliti terdorong untuk mengembangkan potensi eceng gondok yang banyak ini menjadi sesuatu/utilisasi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Pemanfaatan Eceng gondok antara lain:

1. Kerajinan tangan dan seni.

2. Adsorben untuk logam berat, dan digunakan pada pengolahan air limbah

baik domestik (Alade dan Ojoawo, 2009), maupun limbah industri (Jafari,

2010).

3. Sumber energi bio-listrik (Mohan dkk, 2011).

4. Sebagai bahan kimia berguna bagi industri (Girisuta dkk, 2008).

5. Produksi anti oksidan (Chantiratikul dkk, 2009).

6. Pakan ternak (Aboud dkk, 2005).

7. Pupuk (Chukwuka dan Omotayo, 2008).

8. Produk enzim seperti selulase, protease (Heba dkk, 2012).

9. Sumber bahan baku karbon untuk produk renewable energi, seperti

produksi bio-etanol (takagi dkk, 2012) dan bio-gas (Malik, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Secara skematis oleh Patel (2012) pemanfaatan Eceng gondok ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Electricity generation Irrigation Clean water Metal recovery

Embedded fuel cell Sewage Purification Heavy metal accumulation

E. Crassipes Biomass

Sun drying or fermentation Decomposition or vermicomposting

Ruminant, poultry, or fish feed Pretreatment Biofertilizer soil augmentation

Cellulose hydrolisis

Microbial fermentation Acid hydrolisate

Biohydrogen Biomethane Microbial fermentation

Biogas Bioethanol

Gambar 2.2 Skema Utilisasi Eceng Gondok

2.3 Eceng Gondok dalam Produksi Enzim

Enzim digunakan dalam sebagian besar sektor industri, terutama industri makanan. Selain itu, enzim juga digunakan dalam industri deterjen, farmasi, pulp and paper, pakan ternak, tekstil dan laundry (Bhat, 2000). Lebih dari 2000 enzim telah diisolasi, tetapi hanya 14 enzim yang diproduksi secara komersial. Kebanyakan dari

Universitas Sumatera Utara enzim ini adalah hidrolase, misalnya amilase, protease, pektinase, dan selulase.

Enzim penting lainnya adalah glukosa isomerase dan glukosa oksidase. Alasan digunakannya enzim dalam industri adalah karena enzim mempunyai beberapa kelebihan antara lain:

a. Kemampuan katalitik yang tinggi, mencapai 109-1012 kali laju reaksi

non-aktivitas enzim.

b. Spesifikasi substrat yang tinggi.

c. Reaksi dapat dilakukan pada kondisi yang lunak, yaitu pada tekanan dan

temperatur rendah (Bhat, 2000).

Enzim yang dihasilkan dari komponen organik juga menjanjikan sebagai sebuah peluang untuk menciptakan sumber energi baru, semisal komponen selulosa yang dimanfaatkan sebagai bahan dalam membuat etanol sebagai sumber energi.

Sumber energi dari bahan baku yang terbarukan menjadi salah satu fokus utama penelitian sejak beberapa dekade yang lalu. Ketersediaan energi berbahan bakar fosil yang semakin menipis keberadaannya membuat penelitian semakin dikembangkan untuk mencari alternatif yang lebih baik atau sebanding nilainya dengan energi yang digunakan saat ini. Sebagai senyawa yang paling melimpah di muka bumi, selulosa dapat menjadi sumber energi yang murah dan terbarukan. Di samping sebagai sumber energi, selulosa dapat juga dimanfaatkan untuk pembuatan sirup glukosa dan protein sel tunggal.

Eceng gondok tersusun dari beberapa komponen organik diantaranya selulosa.

Keberadaan selulosa pada eceng gondok memusatkan perhatian para peneliti untuk

Universitas Sumatera Utara mengkonversi eceng gondok sebagai biomassa/substrat untuk menghasilkan sumber energi. Tetapi, untuk dapat dimanfaatkan selulosa membutuhkan proses hidrolisis dan penggunaan enzim selulase menjadi pilihan utama. Peran enzim selulase dalam industri yang berhubungan dengan selulosa tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, produksi enzim selulase perlu dikembangkan untuk menjawab tantangan pemanfaatan bahan selulosa dalam industri bioproses.

2.4 Selulase

Selulase merupakan kumpulan dari beberapa enzim yang bekerja secara bersama/sinergis untuk hidrolisis selulosa. Mikroorganisme tertentu menghasilkan partikel yang dinamakan selulosom. Partikel inilah yang akan terdisintegrasi menjadi enzim yang secara sinergis mendegradasi selulosa (Belitz dkk, 2008). Sedikitnya ada tiga tipe enzim yang terlibat dalam degradasi atau hidrolisis selulosa, yaitu:

1. Endo-1,4-β-D-glucanase (endoselulase, carboxymethylcellulase atau

CMCase), yang mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan

internal α-1,4-glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang

rantai yang bervariasi.

2. Exo-1,4-β-D-glucanase (cellobiohydrolase), yang mengurai selulosa dari

ujung pereduksi dan non pereduksi untuk menghasilkan selobiosa.

3. β–glucosidase (cellobiase), yang mengurai selobiosa untuk menghasilkan

glukosa (Belitz dkk, 2008).

Universitas Sumatera Utara Mekanisme hidrolisis selulosa oleh enzim selulase dapat dilihat dalam

Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Mekanisme Hidrolisis Selulosa (Ghori, 2001)

Pada awalnya selulase diteliti untuk keperluan biokonversi biomassa yang membuka peluang untuk aplikasi beberapa industri. Beberapa jenis industri yang memanfaatkan enzim selulase diantaranya industri tekstil, makanan, deterjen, dan kertas. Tetapi kemudian seiring menipisnya cadangan bahan bakar fosil mendorong pemanfaatan enzim selulase untuk biokonversi bahan lignoselulosa menjadi sumber energi.

Universitas Sumatera Utara

2.5 Teknologi Produksi Enzim Selulase

Dalam memproduksi enzim dibutuhkan teknologi, karena pada umumnya enzim dihasilkan dari hewan, tumbuhan dan sel mikroba. Dahulu hewan dan tumbuhan merupakan sumber enzim tradisional, namun dengan berkembangnya ilmu bioteknologi, masa depan terletak pada sistem mikrobial. Sebagian besar sumber enzim termasuk enzim selulase dalam skala industri adalah mikroorganisme.

Beberapa alasan digunakan mikroba adalah:

1. Sistem produksi mikrobial mudah dikendalikan.

2. Level/tingkat enzim, sehingga produktivitas enzim dapat dimanipulasi secara

lingkungan dan genetika.

3. Pemilihan metode untuk sistem mikrobial yang cukup sederhana.

Kebanyakan enzim mikroba yang digunakan secara komersial adalah ekstraseluler, dimana enzim diproduksi dalam sel kemudian dikeluarkan atau berdifusi keluar sehingga memungkinkan untuk di-recovery. Seleksi organisme adalah kunci dalam pengembangan proses sistem mikrobial. Berikut ini hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih mikroorganisme:

a. Sumber organisme stabil.

b. Mudah tumbuh dan berkembang sehingga biaya produksi rendah.

c. Produktivitas enzim tinggi.

d. Tidak mengeluarkan racun.

Universitas Sumatera Utara Dari semua hal tersebut, yang paling penting adalah stabilitas strain dan produktivitas enzim yang tinggi (Heba dkk, 2012).

Penggunaan komponen organik sebagai sumber utama enzim juga tidak lepas dari perhatian. Pada produksi enzim selulase berbahan dasar selulosa, mikroba memerlukan selulosa dan nutrien lainnya dalam prosesnya. Proses produksi enzim selulase ini terangkai sebuah teknologi dari awal hingga akhir produksi.

2.5.1 Substrat, Mikroorganisme dan Praperlakuan

Pada produksi enzim selulase pemilihan bahan baku seperti substrat, mikroorganisme penghasil enzim sellulase dan metode praperlakuan pada prosesnya sangat mempengaruhi kualitas maupun kuantitas enzim selulase yang dihasilkan.

Berikut ini adalah uraian tentang bahan baku dan metode praperlakuan: a. Substrat

Industri fermentasi merupakan industri yang terus mengalami kemajuan dalam inovasi teknologi produksinya. Salah satunya adalah pada pemilihan substrat untuk fermentasi. Pada industri enzim, pemilihan substrat sangat kritis untuk bisa menghasilkan produk enzim dengan harga yang kompetitif tetapi dapat menekan biaya produksi.

Pada produksi enzim selulase digunakan substrat sumber karbon selulosa yang dihidrolisis oleh mikroorganisme. Pemilihan substrat sumber karbon selulosa didasarkan atas keberadaan sumber karbon tersebut yang melimpah/banyak dijumpai

Universitas Sumatera Utara dan harga yang murah, karenanya limbah agroindustri atau tanaman gulma yang memiliki kandungan lignoselulosa patut diperhitungkan.

Biomassa eceng gondok tersusun dari lignoselulosa. Lignoselulosa sebagai penyusun dinding sel tanaman eceng gondok terdiri dari polimer selulosa dan hemiselulosa yang dilindungi oleh lignin. Lignoselulosa memiliki bagian kristalin dan amorf. Struktur kristalin lignoselulosa adalah selulosa yang tersusun dari rantai glukosa yang saling terikat dengan ikatan 1-4 β glikosida dan adanya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan, sehingga strukturnya menjadi kokoh. Struktur amorf lignoselulosa adalah hemiselulosa yang tersusun dari glukosa, manosa, galaktosa, xylosa, arabinosa, sejumlah kecil ramnosa dan asam galaktonik.

Struktur amorf ini tidak sekuat struktur kristalin sehingga lebih mudah diuraikan melalui proses pretreatment. b. Mikroorganisme

Mikroorganisme penghasil selulase umumnya merupakan pengurai karbohidrat dan tidak dapat memanfaatkan protein atau lipid sebagai sumber energi.

Mikroba penghasil selulase terutama bakteri Cellulomonas dan Cytophaga serta kebanyakan fungi dapat mengutilisasi berbagai jenis karbohidrat lainnya selain selulosa, sedangkan spesies mikroba selulolitik anaerobik terbatas pada selulosa dan/atau produk hidrolisisnya. Contoh-contoh utama mikroorganisme penghasil selulase dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tidak semua mikroorganisme yang dapat mengutilisasi selulosa sebagai sumber energi menghasilkan kompleks enzim selulase yang lengkap. Hanya beberapa

Universitas Sumatera Utara strain yang dapat menghasilkan kompleks enzim selulase yang terdiri dari tiga komponen utama yaitu endo-β-glukanase, ekso-β-glukanase, dan β-glukosidase.

Mikroba yang digunakan secara komersial untuk produksi enzim selulase umumnya terbatas pada T. reesei, H. insolens, A. niger, Thermomonospora fusca, dan Bacillus sp. (Sukumaran dkk, 2005).

Tabel 2.3 Mikroorganisme Penghasil Selulase (Sukumaran dkk, 2005) Kelompok Mikroorganisme Genus Spesies Fungi Aspergillus A. niger A. nidulans Fusarium F. solani F. oxysporum Humicola H. insolens H. grisea Melanocarpus M. albomyces Penicillium P. bracillianum P. occitanis P. decumbans Trichoderma T. reesei T. longibrachiatum T. harzianum Bacteria Acidothermus A. cellulolycitus Bacillus Bacillus sp Bacillus subtilis Clostridium C.acetobutylicum C.thermocellum Pseudomonas P. cellulose Rhodotermas R. Marinus Actinomycetes Cellulomonas C.fimi C.bioazotea C.uda Streptomyces S.drozdowiczii S.sp S.lividans Thermomonospora T.fusca T.curvata

Universitas Sumatera Utara Secara luas Aspergillus didefinisikan sebagai suatu kelompok mukosis penyebab dari macam-macam fotogenosa. Aspergillus niger termasuk ke dalam kelas

Ascomycetes. Di dalam industri Aspergillus niger banyak dipakai dalam proses produksi asam sitrat, sedangkan di dalam laboratorium spesies ini digunakan untuk mempelajari tentang metabolisme pada jamur dan kegiatan enzimatis. Pada penelitian ini digunakan Aspergillus niger karena spesies ini termasuk fungi berfilamen penghasil selulase dan crude enzyme secara komersial serta penanganannya mudah dan murah. Fungi-fungi tersebut sangat efisien dalam memproduksi selulase.

Karakteristik umum dari Aspergillus niger antara lain:

a. Warna konidia hitam kelam atau hitam kecoklatan dan berbentuk bulat.

b. Termofilik, tidak terganggu pertumbuhannya karena adanya peningkatan

suhu.

c. Dapat hidup dalam kelembaban nisbi 80 % (Ilyas umbrin dkk, 2011).

d. Dapat menguraikan benzoat dengan hidroksilasi menggunakan enzim

benzoat-4 hidroksilase menjadi 4-hidroksibenzoat.

e. Memiliki enzim 4-hidroksibenzoat hidroksilase yang dapat menghidrolisa

4-hidroksibenzoat menjadi 3,4-dihidroksi benzoat.

f. Menghasilkan lebih banyak enzim endoglukanase dan β-glukosidase dan

sedikit enzim eksoglukanase (Hui-Qin Liu dkk, 2012).

g. Pertumbuhannya dihambat oleh Natrium & Formalin.

h. Dapat merusak bahan pangan yang dikeringkan atau bahan makanan yang

memiliki kadar garam tinggi.

Universitas Sumatera Utara i. Dapat mengakumulasi asam sitrat.

Aspergillus niger tampak pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Aspergillus niger (http://en.wikipedia.org/wiki/Aspergillus_niger)

Genus Trichoderma mencakup kelompok ascomycetes yang digunakan secara luas dalam industri karena kemampuannya menghasilkan enzim hidrolase ekstraselular untuk degradasi lignoselulosa dalam jumlah besar (Miettinen, 2004).

Karakteristik umum Trichoderma reesei (Gambar 2.5) adalah:

a. Dikenal juga sebagai Hypocrea jecorina merupakan fungi mesofilik.

b. Kemampuan tinggi menghasilkan enzim selulase secara efisien. Selulase

yang dihasilkan juga resisten terhadap inhibitor kimia dan stabil di dalam

reaktor tangki berpengaduk pada pH 4,8, 50oC selama 48 jam atau lebih.

c. Lebih banyak menghasilkan enzim eksoglukanase dan endoglukanase,

sedikit menghasilkan enzim β-glukosidase (Hui-Qin Liu dkk, 2012).

d. Strain industrial dari Trichoderma reesei mampu mencapai produksi

protein ekstraselular hingga 100 g/L (Xiong, 2004).

Universitas Sumatera Utara e. Mudah dan murah dikultivasi, tergolong mikroorganisme yang aman

karena tidak bersifat patogen dan tidak menghasilkan mycotoksin atau

antibiotik dalam kondisi produksi enzim.

f. Tidak dapat menghidrolisis lignin.

g. Terinhibisi oleh produk (glukosa) dan pelarut organic seperti etanol,

butanol, dan aseton.

h. Inaktivasi pada temperature diatas 50oC (Ryu dkk, 1980).

Gambar 2.5 Trichoderma reesei (sumber: www.science.energi.gov) c. Praperlakuan

Teknologi pretreatment/praperlakuan yang dilakukan pada dasarnya adalah untuk mengubah atau memindahkan komposisi dan struktur yang menghalangi proses hidrolisis yang bertujuan untuk meningkatkan laju aktivitas enzimatis dan hasil fermentasi yang menghasilkan glukosa dari selulosa atau hemiselulosa (Mosier dkk,

2005).

Universitas Sumatera Utara Praperlakuan biasanya dibutuhkan untuk membantu hidrolisis enzimatis dan biasanya dilakukan pada substrat berbahan lignoselulosa. Lignin yang melindungi selulosa sekaligus sebuah penghalang bagi mikroorganisme untuk memproduksi enzim khususnya selulase sehingga praperlakuan perlu dilakukan. Praperlakuan yang dilakukan memberikan beberapa dampak dan persentase keberhasilan yang relatif.

Pada dasarnya, pada produksi enzim selulase yang menginduksi produksi adalah selulosa, dan substrat lignoselulosa yang tidak hanya terdiri dari selulosa saja, tetapi juga terdapat komponen lain membuat perolehan enzim selulase rendah dibandingkan dengan substrat selulosa murni. Ketika perolehan selulosa murni ini menjadi kendala akibat faktor biaya, dan sebagainya, membuat para peneliti terus mencari cara sebagai langkah untuk meningkatkan efektifitas produksi enzim dari substrat lignoselulosa seperti teknologi praperlakuan yang diuji coba skala laboratorium sebelum dapat digunakan dalam skala industri. Mekanisme praperlakuan ditunjukkan dalam Gambar

2.6.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.6 Skema Tujuan Pretreatment pada Biomassa Lignoselulosa (Mosier dkk, 2005) Pra perlakuan dapat disebut efektif bila memenuhi beberapa kriteria seperti:

1. Keefektifan dalam memecah ukuran biomassa partikel.

2. Tetap menjaga keutuhan komponen tanpa terkonversi dalam bentuk lain.

3. Tidak memberikan batas degradasi yang dapat menghambat pertumbuhan

mikroorganisme.

4. Dapat meminimalkan energi dan biaya (National Resort Council, 1999).

Teknologi praperlakuan dikategorikan dalam praperlakuan fisik dan kimia, bahkan beberapa metode menggabungkan kedua efek tersebut (McMilan, 1994; Hsu,

1996). Untuk mengklasifikasikan, uap dan air yang digunakan pada praperlakuan dikecualikan dari praperlakuan secara kimia karena bukan merupakan bahan kimia

Universitas Sumatera Utara yang ditambahkan pada biomassa. Ringkasan teknologi praperlakuan ditunjukkan dalam Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Teknologi Praperlakuan, Deskripsi, Kekurangan dan Kelebihan Teknologi Deskripsi Kekurangan / kelebihan praperlakuan a. Fisik - Kominusi (pengurangan ukuran - Tidak banyak partikel dari biomassa secara mendegradasi lignin. mekanik). Kominusi kering, - Efektif, mudah, dan basah, dan getaran bola murah. penggilingan (Millet dkk, 1979 ; Rivers, dan Emert, 1987; Sidiras dan Koukios, 1989), dan kompresi penggilingan (Tassinari dkk, 1980) - Steam explosion - Hidrotermolisis..

b. Kimia - Menggunakan asam atau basa - Dapat mengurangi seperti H2SO4 dan NaOH. kristalinitas selulosa (Ladisch dkk, 1978; Hamilton - Melepas lignin dari dkk, 1984). selulosa dan - Menggunakan peroksida, ozon, melarutkan organosolv (menggunakan asam hemiselulosa. lewis, FeCl3, Al2SO4 dalam cairan - teknologi ini alcohol), gliserol, dioksan, fenol, memang efektif, akan atau etilen glikol (Wood dan tetapi memerlukan Saddler, 1988). biaya tinggi (Mosier - Menggunakan pelarut berbahan dkk, 2005). amoniak (NH3 dan hidrazin), pelarut aprotik (DMSO), logam kompleks (Feri sodium tartarate).

c. Biologi - Menggunakan mikroorganisme Pretreatment secara seperti white root fungi (jamur biologis sangat pelapuk putih) (Blanchette, 1984), memberikan keuntungan semisal elfvingia applanata yang banyak, karena (Ganoderma applanatum), P. efisiensi biaya dan energi chrysosporium (Boominathan and serta aman terhadap Reddy. 1992) lingkungan.

Universitas Sumatera Utara Teknologi Deskripsi Kekurangan / kelebihan praperlakuan - Mendegradasi lignin dengan menggunakan enzim yang disebut enzim lignilase yang merupakan sinergis dari lignin peroxidase (LiP), manganese peroxidase (MnP), and laccase (Ohkuma M dkk, 2001 : Lee dkk. 1999 : Rivela dkk, 2000)

2.5.2 Fermentasi

Fermentasi berasal dari kata latin “fervere” yang berarti mendidih. Seiring perkembangan teknologi, definisi fermentasi meluas, menjadi semua proses yang melibatkan mikroorganisme untuk menghasilkan suatu produk yang disebut metabolit primer dan sekunder dalam suatu lingkungan yang dikendalikan. Pada mulanya istilah fermentasi digunakan untuk menunjukkan proses pengubahan glukosa menjadi alkohol yang berlangsung secara anaerob. Namun, kemudian istilah fermentasi berkembang lagi menjadi seluruh perombakan senyawa organik yang dilakukan mikroorganisme yang melibatkan enzim yang dihasilkannya. Dengan kata lain, fermentasi adalah perubahan struktur kimia dari bahan-bahan organik dengan memanfaatkan agen biologis terutama enzim sebagai biokatalis. Produk fermentasi dapat digolongkan menjadi 4 jenis, yaitu:

1. Produk biomassa.

2. Produk enzim.

3. Produk metabolit.

Universitas Sumatera Utara 4. Produk transformasi.

Pada penelitian ini produk fermentasi yang dihasilkan adalah enzim dengan memanfaatkan Aspergillus niger dan Trichoderma reesei yang dapat menghasilkan enzim selulase ketika terinduksi oleh selulosa.

Fermentasi dibagi menjadi 3, yakni:

1. Fermentasi permukaan.

2. Sistem fermentasi cair.

3. Sistem fermentasi padat.

Penelitian yang dilakukan menggunakan metode sistem fermentasi padat.

Sistem fermentasi padat pada umumnya diidentikkan dengan pertumbuhan mikroorganisme dalam partikel pada substrat dalam berbagai variasi kadar air.

Substrat padat bertindak sebagai sumber karbon, nitrogen, mineral, dan faktor-faktor penunjang pertumbuhan, dan memiliki kemampuan untuk menyerap air, dan untuk pertumbuhan mikroba (Tanyildizi dkk, 2007).

Mikroorganisme yang tumbuh melalui sistem fermentasi padat berada pada kondisi pertumbuhan di bawah habitat alaminya, mikroorganisme tersebut dapat menghasilkan enzim dan metabolisme yang lebih efisien dibandingkan dengan sistem fermentasi cair. Sistem fermentasi padat memiliki lebih banyak manfaat dibandingkan dengan sistem fermentasi cair, diantaranya tingkat produktivitasnya tinggi, tekniknya sederhana, biaya investasi rendah, kebutuhan energi rendah, jumlah air yang dibuang sedikit, recovery produknya lebih baik, dan busa yang terbentuk sedikit. Sistem fermentasi padat ini dilaporkan lebih cocok digunakan di negara-

Universitas Sumatera Utara negara berkembang. Manfaat lain dari sistem fermentasi padat adalah murah dan substratnya mudah didapat, seperti produk pertanian dan industri makanan

(Tanyildizi dkk, 2007).

Enzim yang dihasilkan melalui proses sistem fermentasi padat baik yang belum dimurnikan atau yang dimurnikan secara parsial dapat diaplikasikan di industri

(seperti pektinase digunakan untuk klarifikasi jus buah, alpha amilase untuk sakarifikasi pati). Murahnya harga residu pertanian dan agro-industri merupakan salah satu sumber yang kaya akan energi yang dapat digunakan sebagai substrat dalam sistem fermentasi padat. Fakta menunjukkan bahwa residu ini merupakan salah satu reservoir campuran karbon terbaik yang ada di alam. Dalam sistem fermentasi padat, substrat padat tidak hanya menyediakan nutrien bagi kultur tetapi juga sebagai tempat penyimpanan air untuk sel mikroba (Tanyildizi dkk, 2007).

Komposisi dan konsentrasi dari media dan kondisi fermentasi sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan produksi enzim ekstraseluler dari mikroorganisme. Biaya dan ketersediaan substrat merupakan faktor yang penting untuk dipertimbangkan, dan karena itulah pemilihan substrat padat memegang peranan penting dalam menentukan efisiensi sistem fermentasi padat. Untuk biaya analisa awal, kira-kira 50 - 60% untuk biaya medium fermentasi dan pengaturan proses down-stream. Sehingga dapat diketahui bahwa sistem fermentasi padat cocok untuk pengembangan fungi dan tidak cocok untuk proses kultur bakteri karena membutuhkan air yang lebih banyak (Tanyildizi dkk, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pertumbuhan fungi:

Universitas Sumatera Utara a. Konsentrasi substrat

Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi fungi. Fungi dekomposer seperti Trichoderma reesei dan Aspergillus niger memiliki kebutuhan nutrien Karbon dalam jumlah tertentu. Nutrien-nutrien baru dapat dimanfaatkan sesudah fungi mengeksresi enzim-enzim ekstraselular yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks dari substrat tersebut menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana

(Gandjar, 2006). b. Sumber nitrogen

Bahan yang banyak sebagai sumber nitrogen adalah ammonium nitrat, ammonium sulfat, dan urea. Nitrogen diperlukan dalam proses fermentasi karena dapat mempengaruhi aktivitas dari fungi dalam sintesis protein, dan diperlukan dalam pembentukan protein sel utama. Pada proses fermentasi untuk menghasilkan enzim selulase ada beberapa sumber nitrogen yang dapat digunakan dengan urutan

(NH4)2SO4 > urea > NH4NO3 > ekstrak ragi > NH4Cl > (NH4)2PO4 > ekstrak malt > pepton > tripton > NaNO3 (Ilyas dkk, 2011). c. Phospat

Kebutuhan phospat dalam proses pertumbuhan fungi tidak banyak dijelaskan tetapi keseimbangan antara mangan, seng, dan phospat merupakan salah satu faktor penentu dalam beberapa kasus dimana terjadi kontaminasi ion logam tertentu maka adanya phospat dapat memberikan keuntungan (Gandjar, 2006). d. Magnesium

Universitas Sumatera Utara Magnesium berfungsi sebagai kofaktor dalam mengatur jumlah enzim yang terlibat dalam reaksi. Dalam sel konsentrasi optimal dari penambahan magnesium adalah 0,002 - 0,0025% (Gandjar, 2006). Magnesium juga berperan dalam stabilisasi ribosom, membran dan dindng sel. e. Aerasi

Dalam media fermentasi padat, aerasi diatur dengan cara memperhatikan pori- pori bahan yang difermentasikan (Gandjar, 2006). Mikroba yang digunakan tidak memiliki klorofil sehingga oksigen dan karbondioksida sangat diperlukan sebagai senyawa pada pertumbuhannya. Lingkungan yang kurang unsur O2 akan mengakibatkan pertumbuhan buah kecil, abnormal dan mudah layu yang akhirnya menimbulkan kematian (Djarijah, 2001).

Pertumbuhan miselium membutuhkan kandungan karbondioksida tinggi sekitar 15 - 20% dari volume udara. Jika kandungan tersebut terlalu tinggi akan terjadi gangguan pertumbuhan sehingga bentuk tudung jamur akan lebih kecil dari tangkainya (Adiyuwono, 2001). f. pH

pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya fungi menyenangi pH di bawah 7. Jenis-jenis khamir tertentu seperti selolutik fungal bahkan tumbuh pada pH yang cukup rendah, yaitu pH 4,5 -

5,5. Pengaturan pH sangat penting dalam industri agar fungi yang ditumbuhkan menghasilkan produk yang optimal, misalnya pada produksi asam sitrat, produksi

Universitas Sumatera Utara enzim, produksi antibiotik, dan juga untuk mencegah pembusukan bahan pangan

(Gandjar, 2006). g. Temperatur inkubasi

Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan, fungi dapat dikelompokkan sebagai fungi psikrofil, mesofil, dan termofil. Pengetahuan tentang kisaran temperatur pertumbuhan suatu fungi sangat penting, terutama bila isolat-isolat tertentu akan digunakan di industri. Misalnya, fungi yang termofil atau termotoleran (Candida tropicalis, Paecilomyces variotii, dan Mucor miehei), dapat memberikan produk yang optimal meskipun terjadi peningkatan temperatur, karena metabolisme funginya, sehingga industri tidak memerlukan penambahan alat pendingin (Gandjar, 2006).

h. Waktu fermentasi

Pada awal fermentasi aktivitas enzim masih sangat rendah. Aktivitas enzim akan meningkat sejalan dengan bertambahnya waktu fermentasi dan menurun saat memasuki fase pertumbuhan lambat ketika nutrisi sudah mulai terbatas. Hal ini mengikuti pola pertumbuhan mikroorganisme yang mengalami beberapa fase pertumbuhan yaitu fase adaptasi/lag phase, fase eksponensial, fase pertumbuhan lambat, fase stasioner, dan fase kematian. Organisme pembentuk spora biasanya memproduksi enzim pada fase pasca eksponensial. Jadi dapat diduga bahwa pada saat akttivitas enzim yang dihasilkan tinggi, maka kapang telah berada pada fase tersebut

Universitas Sumatera Utara (Suhartono, 1989). Pada Aspergillus niger waktu fermentasi dengan aktivitas enzim selulase terbaik antara hari ke-4 sampai hari ke-8 (Ilyas dkk, 2011; Kumar dkk,

2011). Waktu terbaik aktivitas enzim selulase pada Trichoderma Reesei antara 10 -

19 hari (Qin Liu-Hui dkk, 2012). i. Moisture Content

Moisture content merupakan faktor penting dalam proses sistem fermentasi padat karena variabel ini dapat berpengaruh pada pertumbuhan mikroorganisme, biosintesis, dan sekresi enzim. Moisture content yang rendah menyebabkan berkurangnya kelarutan nutrien di dalam substrat, derajat pertumbuhan rendah, dan tegangan air tinggi. Sedangkan level moisture content yang lebih tinggi dapat menyebabkan berkurangnya yield enzim yang dihasilkan karena dapat mereduksi porositas (jarak interpartikel) pada matriks padatan, sehingga menghalangi transfer oksigen (Alam dkk, 2005). Moisture content yang optimal untuk pertumbuhan

Aspergillus niger adalah 70% (Ilyas dkk, 2011; Kumar dkk, 2011).

Beberapa medium dengan komposisi nutrisi bervariasi telah banyak diuji coba pada penelitian-penelitian sebelumnya dan berhasil dengan baik memberikan nutrisi bagi pertumbuhan mikroba dengan banyaknya jumlah spora mikroba yang terbentuk.

Pada penelitian ini direncanakan menggunakan komposisi medium Mandel Weber

(Oberoi dkk, 2010) untuk medium fermentasi sebagai kebutuhan tambahan nutrisi bagi mikroba yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Aspergillus niger dan

Trichoderma reesei. Komposisi medium Mandel Weber ditunjukkkan dalam

Tabel 2.5.

Universitas Sumatera Utara Tabel 2.5 Komposisi Medium Mandel Weber Komponen Kuantitas (g) (NH4)2SO4 1,4 KH2PO4 2 CaCl2. 2H2O 0,3 MgSO4.7H2O 0,3 FeSO4.7H2O 0,005 MnSO4. H2O 0,0016 ZnSO4. 7H2O 0,0014 CoCl2. 6H2O 0,002 Peptone 0,1 Tween 80 0,1 Air suling 1 L Sumber : Oberoi dkk (2010).

2.6 Produksi Enzim Selulase dengan Substrat Eceng Gondok dan Perkembangannya

Penelitian mengenai pembuatan enzim selulase dari eceng gondok masih sangat sedikit. Produksi enzim selulase umumnya menggunakan substrat bahan lignoselulosa seperti jerami padi, jerami gandum, ampas tebu, limbah kulit jagung, kinnow peel, dan limbah agro industri lainnya. Tidak sedikit juga yang memanfaatkan limbah domestik, industri kertas dan lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Deshpande dkk (2008) menggunakan Eceng gondok sebagai sumber karbon dan Heba dkk (2012) juga menggunakan Eceng gondok sebagai substrat dalam memproduksi enzim selulase. Keduanya menggunakan teknologi fermentasi padat tetapi menggunakan mikroba dan praperlakuan substrat yang berbeda seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.6.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.6 Penelitian Mengenai Produksi Enzim Selulase dengan Substrat Eceng Gondok

Judul Penelitian Metodologi Hasil Pradnya Deshpande - Praperlakuan : NaOH, Hasil terbaik dicapai pada dkk, 2012 “Water H2PO4, steam treatment praperlakuan substrat Hyacinth as Carbon - variasi : metode dengan 1% NaOH, pH 5 Source for the praperlakuan (NaOH : 1- dan diatasnya, temperatur Production of 5% w/v, steam, dan inkubasi 30oC,konsentrasi Cellulase by keduanya), pH medium substrat 1% (w/v), dan Trichoderma Reesei” (4,5-8), temperatur waktu inokulasi hari ke 7 inkubasi (25-50oC), dan ke 15. Perolehan konsentrasi substrat (1- maksimal aktivitas 8% w/v), waktu inokulasi selulase ±73,3 IU/g selulosa. Aktivitas spesifik enzim 6.25 IU/mg protein. Pada hidrolisis glukosa meng- gunakan 1,2 IU/g dapat

Universitas Sumatera Utara men-sakarifikasi 28,7 % dalam 1 jam. Heba I dkk, 2012 - Eceng gondok segar Hasil terbaik dicapai oleh “Purification and tanpa praperlakuan fungiUlocladium botrytis, characterization of - Teknologi fermentasi dengan sumber nitrogen CMCase and padat / solid state fer- dari yeast dan malt pProtease by mentation extract, pH 5,2. optimum Ulocladium botrytis - Variasi: mikroorganisme tem-peratur inkubasi pada Preuss ATCC 18042 (12 strain fungi), sumber 60oC, dan konsentrasi using Water Hyacinth nutrisi nitrogen, pH (3,6- substrat 1,2% w/v. as a substrate under 5,2), temperatur inkubasi Perolehan aktivitas solid state (20-70oC), konsentrasi spesifik enzim selulase fermentation” substrat (0,4-1,6% w/v), 852,11 U/mg

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Operasi Teknik Kimia, Proses

Industri KimiaDepartemen Teknik Kimia. Fakultas Teknik, Universitas Sumatera

Utara, Medan, Laboratorium Politeknik Negeri Lhokseumawe, dan Laboratorium

Mikrobiologi Arun Hospital, Lhokseumawe. Penelitian dilaksanakan pada bulan

April - September 2013.

Universitas Sumatera Utara

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven, inkubator, timbangan, kawat ose, autoclave, dan alat-alat gelas. Peralatan yang digunakan untuk analisa adalah condenser refluks, centrifuge, spektrofotometer visibel.

Bahan-bahan yang digunakan adalah eceng gondok, aquadest, Mandels medium (sukrosa, KH2PO4, dan amonium sulfat), Mandel Weber medium (MgSO4.

7H2O; CaCl2. 2H2O; FeSO4. 7H2O; MnSO4. H2O; ZnSO4. 7H2O; CoCl2. 6H2O; pepton; tween 80; amonium sulfat), reagen DNS (Na-K-Tartrate; fenol; Na2SO4;

NaOH; DNS), H2SO4, PDA, glukosa, alkohol 96%, dan larutan buffer sitrat fosfat.

Mikroba yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Fungi pengurai lignin (Jamur pelapuk putih).

2. Fungi penghasil selulase (Trichoderma reesei, Aspergillus niger).

3.3 Rancangan Percobaan

Pada penelitian ini digunakan beberapa variabel, di antaranya:

a. Moisture content(%) : 65, 70, 75, 80, 85.

b. Waktu fermentasi (hari) : 3, 5, 7, 8, 9.

c. Penggunaan fungi: Trichoderma reesei (T), Aspergillus niger(A),

kombinasi kedua fungi (T&A).

Kondisi yang dipertahankan adalah:

a. Komposisi nutrisi dalam media (mandels medium) (Oberoi dkk, 2010).

Universitas Sumatera Utara b. Suhufermentasi: ±30°C (Juhasz, 2005; Deshpande dkk, 2012; Ilyas,

2011).

c. pH fermentasi: 5 (Juhasz, 2005).

3.4 Prosedur Percobaan

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan dimulai dari persiapan bahan baku dan mikroba, produksi enzim selulase dengan metode fermentasi padat hingga pengambilan enzim. Berikut ini adalah prosedur sistematis dari pengerjaan masing- masing tahapan.

3.4.1 Pembenihan Mikroba

Prosedur untuk pembenihan mikroba adalah sebagai berikut:

1. Mikroba yang digunakan adalah Aspergillus niger dan Trichoderma

reesei. Pembenihan dilakukan pada media PDA (Potato Dextrose Agar)

secara zig-zag dengan menggunakan kawat inokulasi di dalam cawan petri

secara aseptik.

2. Mikroba diinkubasi pada suhu ± 30°C selama 72 jam.

3.4.2 Praperlakuan Eceng Gondok

Prosedur praperlakuan eceng gondok adalah sebagai berikut:

1. Praperlakuan fisik

a. Eceng gondok dipotong-potong dengan pisau, dikeringkan dalam

oven, lalu dianalisa kadar lignin dan selulosa awal.

Universitas Sumatera Utara b. Eceng gondok dilumatkan dengan penggerus, diautoclave suhu 120oC

selama 15 menit lalu dikeringkan, lalu dianalisa kadar lignin dan

selulosa akhir.

c. Eceng gondok ditambahkan aquadest untuk diatur kelembabannya.

2. Praperlakuan biologi

a. Eceng gondok dipotong-potong dengan pisau, dilumatkan dengan

penggerus. Dianalisa kadar lignin dan selulosa awal.

b. Eceng gondok disterilkan dengan autoclave suhu 120oC selama 15

menit, lalu didinginkan.

c. Eceng gondok didegradasi lignin dengan jamur pelapuk putihdengan

penambahan nutrisi pada suhu kamar selama 7 hari. Dicuci,

dikeringkan, lalu dianalisa kadar lignin dan selulosa akhir.

d. Eceng gondok diatur kelembabannya.

Skema praperlakuan fisik dan biologi ditunjukkan oleh Gambar 3.1 dan 3.2.

Mulai 

 Eceng GondokDi Cuci

 Di Cacah

Universitas Sumatera Utara 

Dikeringkan pada Suhu  105oC

Apakah Eceng Gondok Tidak Sudah Kering 

 Ya

Dilakukan Analisa Kadar Lignin-Selulosa Sampel Awal

 Di Gerus 

Dilakukan Analisa Kadar Lignin-Selulosa Sampel Fisik 

  

Data Kadar Lignin-Selulosa  Sampel Fisik

  Gambar 3.1 Skema PraperlakuanFisik Mulai

Disterilkan Bubuk Eceng Gondok pada T = 121oC selama 15 menit

Di Fermentasi oleh Jamur Pelapuk Putih selama 7 hari

Di Cuci

Universitas Sumatera Utara

Dikeringkan pada Suhu 105oC

Tidak  Apakah Eceng Gondok Sudah Kering  Ya 

Dilakukan Analisa Kadar Lignin-Selulosa Sampel Biologi 

Data Kadar Lignin-Selulosa  Sampel Biologi

 Gambar 3.2 Skema Praperlakuan Biologi

3.4.3 Penyiapan Inokulum Cair

Prosedur penyiapan inokulum cair mikroba adalah sebagai berikut:

1. Seratus mililiter media cair (media cair ini terdiri dari sukrosa 22% (w/v),

(NH4)2SO4 1% (w/v), KH2PO4 1%(w/v)) (Junior dkk, 2009), api bunsen,

dan kawat ose disiapkan.

2. pH media cair diatur dengan HCl hingga pH=3.

Universitas Sumatera Utara 3. Ujung kawat ose dicelupkan ke dalam alkohol 96% lalu dipanaskan pada

api bunsen sampai berwarna merah.

4. Biakan Aspergillus nigerdan Trichoderma reeseidari media PDA diambil

dengan menggunakan kawat ose lalu dicelupkan beberapa saat pada media

cair hingga tampak keruh.

5. Media cair ditutup dengan kapas dan diinkubasi pada suhu ± 30°C selama

48 jam.

6. Pekerjaan ini dilakukan di ruang aseptic (Sa’adah Z dkk, 2010).

3.4.4 Produksi Enzim Selulase

Prosedur sistematis fermentasi untuk produksi enzim selulase adalah sebagai berikut:

1. Eceng gondok dari dua perlakuan berbeda masing-masing diatur

kelembabannya.

2. Aquadest ditambahkan dalam eceng gondok hingga didapat moisture

content 65%, 70%, 75%, 80%, 85%.

3. Eceng gondok 10 gram dimasukkan ke dalam beaker glass 250 ml sesuai

variabel (moisture content/kelembaban yang telah diaturdan waktu

fermentasi) ditambah 30 ml komposisi nutriri medium Mandel Weber.

4. pH diatur hingga pH=5 lalu media disterilkan di dalam autoclave pada

suhu 120ºC selama 15 menit.

5. Media yang telah disterilkan kemudian didinginkan.

Universitas Sumatera Utara 6. Suspensi spora ditambahkan dengan konsentrasi 15% (w/w) (Junior dkk,

2009).

7. Media diinkubasi pada suhu ±30oC dengan waktu fermentasi (hari) 3, 5, 7,

8, 9(Oberoi dkk, 2010).

3.4.5 Pengambilan Enzim

Prosedur pengambilan enzim dari hasil fermentasi adalah sebagai berikut:

1. Hasil fermentasi diekstrak dengan aquadest dengan perbandingan 5 bagian

aquadest per 1 bagian massa.

2. Endapan dan cairan hasil fermentasi dipisahkan dengan menggunakan

centrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 15 menit.

3. Cairan yang diperoleh kemudian diambil untuk diuji aktivitas enzimnya

(Sa’adah Z dkk, 2010).

3.5 Analisis Hasil Penelitian

Keberhasilan suatu penelitian diukur melalui beberapa analisa yang dilakukan terhadap suatu hasil penelitian. Analisa yang dilakukan dalam penelitian ini untuk mengetahui keberhasilan metode praperlakuan dalam mendegradasi lignin adalah analisa kadar lignin-selulosa, sedangkan untuk mengetahui keberhasilan proses

Universitas Sumatera Utara fermentasi dalam menghasilkan enzim selulase adalah dengan pengujian aktivitas enzim selulase.

3.5.1 AnalisisKadar Lignin dan Selulosa

Pengujian kadar lignin dan selulosa menggunakan metode Chesson. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui jumlah lignin yang terdegradasi serta jumlah selulosa yang dihasilkan baik dari metode praperlakuan yang dilakukan. Tahapan analisa sebagai berikut (Isroi, 2011):

1. Satu gram (a) sampel kering ditambahkan 150 mL H2O. direfluks pada suhu

100oC dengan water bath selama 1 jam. Hasilnya disaring, residu dicuci

dengan air panas (300 mL). Residu kemudian dikeringkan dengan oven

sampai konstan kemudian ditimbang (b).

2. Residu ditambahkan 150 mL H2SO4 1 N kemudian direfluks dengan water

bath selama satu jam suhu 100oC. Hasilnya disaring sampai netral (300 mL)

dan dikeringkan (c).

3. Residu kering ditambahkan 10 mL H2SO4 72% dan direndam pada suhu

kamar selama 4 jam. Ditambahkan 150 mL H2SO4 1N dan direfluks pada

water bath selama satu jam pada pendingin balik. Residu disaring dan dicuci

dengan H2O sampai netral (400 mL) kemudian dipanaskan dengan oven

dengan suhu 105oC dan hasilnya ditimbang (d).

Perhitungan untuk mencari kadar selulosa adalah:

kadar selulosa = x 100% ...... (3.1) 𝑐𝑐−𝑑𝑑 𝑎𝑎

Universitas Sumatera Utara Perhitungan untuk mencari kadar lignin adalah:

kadar lignin = x 100% ...... (3.2) 𝑑𝑑 𝑎𝑎 3.5.2 Uji Aktivitas Enzim

Untuk mengetahui ada atau tidaknya enzim selulase maka perlu dilakukan uji aktivitas dengan menentukan kadar glukosa sebagai hasil hidrolisa berdasarkan acuan

IUPAC (Ghose, 1987) dengan tahapan analisasebagai berikut:

1. Pembuatan kurva standar:

Berikut ini adalah tahapan pembuatan kurva standar:

a. 1 ml aquadest dimasukkan ke dalam tabung reaksi kosong dan 8

tabung reaksi kosong lainnya diisi dengan 1 ml larutan glukosa

standart (0,05-0,4 mg/ml).

b. 1 ml reagen DNS (18,2% w/v Na-K-Tartarate, 0,2% w/v fenol,

0,05% w/v Na2SO4, 1% w/v NaOH, dan 1% w/v 3,5 dinitrosalicylic

acid/DNS ) ditambahkan pada tiap tabung reaksi menggunakan

pipet.

c. Semua tabung reaksi dipanaskan di dalam water bath selama 5 menit

agar terjadi reaksi antara glukosa dengan DNS.

d. Absorbansi tiap larutan diukur pada panjang gelombang maksimum

dengan spektrofotometer visibel.

e. Konsentrasi glukosa standar ditunjukkan oleh kurva standar.

2. Analisis Glukosa:

Universitas Sumatera Utara Berikut ini adalah tahapan analisis glukosa sebagai hasil aktivitas enzim selulase:

a. Uji aktivitas enzim selulase menggunakan enzim aktif untuk sampel,

enzim inaktif sebagai kontrol dan buffer sitrat fosfat pH 5 sebagai

blanko.

b. 0,5 ml sampel, enzim inaktif, dan buffer masing-masing diambil

kemudian ditambahkan 1,8 ml substrat ( CMC 1% dalam 1,8 ml

larutan buffer). Lalu divorteks.

c. Inkubasi ketiganya selama 30 menit pada suhu 30oC.

d. 1 ml reagen DNS (18,2% w/v Na-K-Tartarate, 0,2% w/v fenol,

0,05% w/v Na2SO4, 1% w/v NaOH, dan 1% w/v 3,5 dinitrosalicylic

acid/DNS) ditambahkan pada tiap tabung reaksi menggunakan pipet.

e. Tabung reaksi dipanaskan di dalam water bath selama 5 menit agar

terjadi reaksi antara glukosa dengan DNS.

f. Tabung reaksi didinginkan dan ditambah dengan aquadest hingga

volumenya menjadi 10 ml kemudian dikocok agar bercampur.

g. Absorbansi tiap larutan diukur pada panjang gelombang maksimum

kurva standar.

h. Harga absorbansi yang diperoleh diplotkan pada kurva standar untuk

mengetahui konsentrasi glukosa pada sampel.

i. Harga tiap konsentrasi dikonversi dalam satuan IU/ml. (Ghose,

1987).

Universitas Sumatera Utara Adapun proses secara singkat dapat dilihat dari Gambar 3.3.

Pembibitan mikroba Persiapan bahan Pembibitan mikroba baku

Penyiapan inokulum Praperlakuan Penyiapan inokulum cair biomassa cair

Inokulasi Inokulasi

Praperlakuan fisik Praperlakuan biologi

Fermentasi Fermentasi

Sentrifugasi Sentrifugasi

Pengambilan enzim Pengambilan enzim

Analisa aktivitas enzim Analisa aktivitas enzim

Gambar 3.3 Diagram Alir Produksi Enzim Selulase

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Persiapan Bahan Sampel Biomasa Eceng Gondok dan Mikroba

Universitas Sumatera Utara Beberapa bahan penelitian yang digunakan seperti biomassa eceng gondok dan mikroba yang digunakan dalam penelitian ini memerlukan persiapan sebelum digunakan dalam proses produksi enzim selulase. Berikut ini adalah uraian hasil penelitian dari tahapan persiapan bahan baku utama yaitu biomassa eceng gondok dan mikroba-mikroba yang digunakan dalam penelitian.

4.1.1 Bahan Sampel Biomassa Eceng Gondok

Pada penelitian ini digunakan dua metode praperlakuan yang dilakukan pada sampel biomassa eceng gondok. Eceng gondok diambil dari perairan sekitar kampus

Universitas Sumatera Utara dan sekitar pemukiman penduduk. Pertumbuhan eceng gondok yang liar dan menutupi salah satu perairan lingkungan kampus ditunjukkan oleh Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Eceng Gondok

Massa eceng gondok basah rata-rata yang dibutuhkan untuk membuat 100 gram sampel biomassa kering eceng gondok adalah ±1 kg. massa kering sampel

Universitas Sumatera Utara dihasilkan dari proses pengeringan yang dilakukan pada temperatur 105oC selama ±2 jam.

Sampel kering biomassa kemudian dihaluskan dengan crusher hingga menjadi bubuk eceng gondok seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 4.2. Dalam tulisannya,

Deshpande (2009) menjelaskan bahwa bentuk bubuk atau tidak dengan ukuran tertentu (sembarang ukuran) dari biomassa tidak mempengaruhi produksi enzim selulase oleh Trichoderma reesei. Oleh karena itu dalam penelitian ini biomassa eceng gondok yang dibubukkan tidak ditentukan ukurannya. Metode pengecilan ukuran ini merupakan metode praperlakuan biomassa secara fisika.

Gambar 4.2 Sampel Kering Eceng Gondok Hasil Praperlakuan Fisik

Jamur pelapuk putih yang digunakan dalam metode praperlakuan diisolasi dari tanaman kelapa sawit yang telah tumbang. Jamur pelapuk putih diisolasi dalam media PDA selama tiga hari. Metode praperlakuan biologi dilakukan dengan menambahkan medium Mandel Weber dan penambahan air sebagai pengatur

Universitas Sumatera Utara kelembaban sampel lalu difermentasi selama tujuh hari. Gambar 4.3 menunjukkan pertumbuhan jamur pelapuk putih pada biomassa eceng gondok.

(a) (b) (c) Gambar 4.3 Pertumbuhan Jamur Pelapuk Putih (a) Eceng Gondok dengan Praperlakuan Biologi yang Telah Difermentasi 2 Hari. (b) Eceng Gondok dengan Praperlakuan Biologi yang Telah Difermentasi 7 Hari. (c) Eceng Gondok Hasil Praperlakuan Biologi (Sampel Biologi).

4.1.2 Pertumbuhan Mikroba

Mikroba yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aspergillus niger dan

Trichoderma reesei sebagai mikroba penghasil enzim selulase dan Ganoderma boninense sebagai jamur pelapuk putih untuk mendelignifikasi biomassa eceng gondok. Pembibitan ketiga mikro organisme dilakukan dalam media PDA yang telah disterilkan dalam auto clave. Pertumbuhan berlangsung tanpa kendala untuk ketiganya. Gambar 4.4 menunjukkan pertumbuhan mikroba yang digunakan dalam penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara (a) (b) Gambar 4.4 (a) Aspergillus niger dan Trichoderma reesei; (b) Ganoderma boninense

Kultur dalam media PDA berlangsung selama 3 hari (72 jam) pada temperatur

30oC (Kumar dkk, 2011). Dalam waktu tersebut spora tumbuh hingga memenuhi cawan (ukuran diameter 9 cm). Pertumbuhan Aspergillus niger dan Trichoderma reesei tidak sama dengan pertumbuhan Ganoderma boninense, karena kedua mikroba tersebut merupakan mikroba dengan kelas berbeda. Ganoderma boninense berasal dari kelas basidiomycetes yang memiliki badan buah dan tumbuh lebih teratur mulai dari tengah cawan hingga tumbuh seperti terpola mengelilingi spora utama yang berada di tengah. Aspergillus niger dan Trichoderma reesei yang berasal dari kelas ascomycetes tumbuh menyebar, tidak beraturan dan tidak terpola seperti pertumbuhan jamur pelapuk putih.

4.2 Produksi Enzim Selulase

Teknologi fermentasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah teknologi fermentasi padat / solid state fermentation (SSF). Teknologi ini adalah teknologi yang umum digunakan dalam memproduksi enzim selulase karena tidak memerlukan investasi tinggi dan rendahnya biaya produksi (Cen dan Xia 1999), selain itu teknologi ini mampu mengurangi represi katabolit pada beberapa jenis enzim

(Aguilar dan Huitron, 1986; Archana dan Satayanaryana, 1997; Siquiera dkk, 1997;

Solis-Pereyra, 1996). Pada prosesnya, sampel biomassa baik fisik maupun biologi

Universitas Sumatera Utara diatur kelembaban, penggunaan mikroba, waktu fermentasi, pH media dan temperatur fermentasi.

Mikroba dalam media PDA diambil dan dibuat sebagai inokulum cair dengan menggunakan kawat ose yang diperkirakan mengandung 104 - 106 spora yang diinokulasikan dalam 100 ml medium Mandel’s (Deshpande, 2009). Suspensi spora ditambahkan dengan konsentrasi 15% (w/w) ke dalam media fermentasi yang juga telah ditambahkan nutrisi dalam komposisi medium Mandel Weber (Oberoi dkk,

2010). Pertumbuhan mikroba setiap harinya diawasi untuk mencegah kontaminasi media.

4.3 Pengambilan Enzim dan Pengujian Aktivitas Enzim

Pengambilan enzim dilakukan dengan sentrifugasi 1500 rpm selama 15 menit, lalu filtrat diambil sebagai supernatan yang diperkirakan berisi enzim selulase untuk kemudian dilakukan pengujian dengan metode DNS. Rata-rata supernatan yang diperoleh ±30 ml untuk semua run dalam penelitian ini.

Pengujian aktivitas enzim dilakukan dengan metode DNS (dinitro salicyl acid). Nilai konsentrasi glukosa hasil aktivitas sampel enzim dihitung dari persamaan kurva standar glukosa. Sebelum itu penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan untuk melihat titik spektrum sampel agar absorbansi maksimal. Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan terhadap larutan glukosa, untuk kemudian dideviasikan hingga menjadi kurva standar glukosa. Panjang gelombang maksimum ini juga digunakan dalam pengukuran konsentrasi glukosa tiap sampel enzim.

Universitas Sumatera Utara Panjang gelombang yang digunakan dalam penelitian ini adalah 503,30 nm. Gambar

4.5 menunjukkan kurva standar glukosa dengan memvariasikan larutan glukosa dengan beberapa nilai konsentrasi.

0.80 0.70 y = 1.458x - 0.087 0.60 R² = 0.923 0.50 0.40 0.30 0.20 Absorbansi 0.10 0.00 -0.100.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 konsentrasi (mg/ml) -0.20

Gambar 4.5 Kurva Standar Glukosa

Persamaan kurva standar dengan r2 = 0,9239 pada panjang gelombang 503,3 adalah:

y = 1,44027 x – 0,07445

Keterangan: y = nilai absorbansi; x = konsentrasi glukosa (mg/ml)

Konsentrasi glukosa kemudian dikonversi dalam satuan IU/ml (Ghose, 1987):

1 IU = 1 µmol/menit glukosa yang dihasilkan

= 0,18 mg/menit glukosa

Sehingga,

massa glukosa Konsentrasi glukosa = µmol/menit ml (IU/ml). 0,18 x 0,5 x 30

Universitas Sumatera Utara 4.4 Hasil Praperlakuan Fisik dan Biologi

Pada penelitian ini dilakukan dua metode praperlakuan yang berbeda yaitu fisik dan biologi untuk membandingkan keefektifan kedua praperlakuan tersebut terhadap produksi enzim selulase. Pada hasil yang diperoleh, praperlakuan yang telah dilakukan berhubungan dengan beberapa keadaan seperti degradasi lignin yang merupakan tujuan dari praperlakuan tersebut sehingga mampu memudahkan aktivitas mikroba mengutilisasi selulosa lebih banyak dan pengaruhnya terhadap hasil produksi enzim selulase oleh mikroba. Berikut ini adalah pembahasan lebih lanjut mengenai hasil praperlakuan fisik dan biologi.

4.4.1 Hubungan Praperlakuan Fisik dan Biologi dengan Degradasi Lignin

Praperlakuan merupakan salah satu dari rangkaian produksi enzim selulase dari bahan lignoselulosa. Kandungan lignin yang merupakan penghalang akses hidrolisis selulosa didegradasi sehingga memudahkan aktivitas mikro organisme menghidrolisis selulosa dan menghasilkan enzim selulase. Pada penelitian ini metode praperlakuan biologi memberikan hasil yang baik dalam tinjauannya mendelignifikasi bila dibandingkan dengan metode praperlakuan secara fisik yang hanya mereduksi ukuran dan memperluas permukaan biomassa. Hal ini didukung oleh hasil analisis kadar lignin-selulosa dengan metode Chesson. Tabel 4.1 berikut adalah hasil analisis kadar lignin-selulosa biomassa eceng gondok awal, setelah praperlakuan fisik, dan biologi.

Tabel 4.1 Kadar Lignin-Selulosa Biomassa Eceng Gondok Biomassa eceng gondok Kadar lignin Kadar selulosa

Universitas Sumatera Utara Sebelum praperlakuan 5,99% 27,78% Setelah praperlakuan fisik 4,63% 29,91% Setelah praperlakuan biologi 2,90% 32,20%

Pada penelitian ini metode praperlakuan biologi terhadap biomassa eceng gondok memberikan hasil yang diharapkan yaitu mampu mengurangi kadar lignin pada biomassa ligno-selulosa seperti eceng gondok ini. Persentase keberhasilan metode praperlakuan biologi dalam mendegradasi lignin mencapai 51,5% dari kadar lignin biomassa sebelum praperlakuan. Metode praperlakuan biologi berlangsung selama tujuh hari dengan menambahkan medium Mandel Weber sebagai tambahan nutrisi dan menggunakan jamur pelapuk putih/jamur pelapuk putih (Ganoderma boninense) yang diisolasi dari tanaman kelapa sawit yang tumbang.

Praperlakuan fisika dan biologi terbukti lebih baik dalam mendegradasi lignin, ini terlihat dari penurunan kadar lignin dari biomassa sebelum praperlakuan sebesar

5,99% menjadi 4,63% setelah praperlakuan fisika dan 2,90% setelah praperlakuan biologi, tetapi praperlakuan biologi mampu mendelignifikasi biomassa dua kali lebih besar dari praperlakuan fisik. Hal ini menjadi lebih baik karena dengan terdegradasinya lignin maka akses mikroba mengutilisasi selulosa lebih besar.

Kemampuan jamur pelapuk putih telah terbukti dapat mendegradasi lignin yang terdapat dalam biomassa lignoselulosa seperti eceng gondok. Pemanfaatan jamur pelapuk putih untuk praperlakuan biomassa lignoselulosa ini sudah dimulai sejak akhir tahun 1970-an (Isroi dkk, 2011). Jamur pelapuk putih adalah satu-satunya mikroba yang dapat mendegradasi lignin secara sempurna menjadi CO2 dan H2O

Universitas Sumatera Utara (Lundquist dkk, 1997; Hattaka 1983). Jamur pelapuk putih menghasilkan enzim lignin peroksidase (LiP), Mangan Peroksidase (MnP), Versatile Peroksidase (VP), dan Lakase (Lac) yang berperan didalam degradasi lignin (Hammel dan Cullen,

2008). Perombakan lignin oleh jamur pelapuk putih melibatkan aktivitas ligninolitik enzim yang merupakan enzim ekstraseluler. Aktivitas enzim ligninolitik tersebut dipaparkan dalam Tabel 4.2.

Kelompok baru dari lignin peroksidase, mengkombinasikan sifat struktural dan fungsional dari LiP dan MnP, adalah versatile peroksidase (VP) (Hammel dan

Cullen, 2008). VP dapat mengoksidasi Mn2+ dan senyawa phenolic, seperti halnya dapat mengoksidasi senyawa aromatik non-phenolik seperti veratryl alcohol.

Beberapa enzim aksesori tambahan juga terlibat dalam produksi hidrogen peroksidase. Glyoxal oxidase (GLOX) dan Aryl alcohol oxidase (AAO; EC 1.1.3.7) termasuk dalam kelompok ini (Isroi dkk, 2011).

Tabel 4.2 Enzim dan Reaksinya yang Terlibat di Dalam Degradasi Lignin (Hattaka (2001) dalam Isroi (2013) ) Aktivitas enzim, singkatan Kofaktor atau substrat, Pengaruh utama atau “mediator” reaksi Lignin peroksidase. LiP H2O2, veratryl alcohol Oksidasi cincin aromatik menjadi radikal kation Mangan peroksidase, MnP H2O2,, Mn, asam organic Oksidasi Mn (II) menjadi sebagai agen pengkelat, Mn (III), mengkelat se- thiol, lemak tak larut nyawa phenolic Mn(III) teroksidasi menjadi ra- dikal phenolic; reaksi lain didalam kehadiran se- nyawa lain Lakase, Lacc O2, mediator, misalnya : Phenol dioksidasi men- hidroxybenzotiazole atau jadi radikal phenolic; ABTS reaksi lain didalam ke- hadiran mediator

Universitas Sumatera Utara Aktivitas enzim, singkatan Kofaktor atau substrat, Pengaruh utama atau “mediator” reaksi Glyoxal oksidase, GLOX Glyoxal, methyl glyoxal Glyoxal dioksidasi men- jadi asam glyoxilic; Produksi H2O2 Aryl alcohol oxidase, Aromatik alcohol (anisyl, Alcohol aromatik di- AAO veratyl alcohol) oksidasi menjadi aldehid; produksi H2O2 Enzim lain yang Beberapa senyawa organic O2 direduksi menjadi memproduksi H2O2 H2O2

Hasil dari analisis kandungan lignin-selulosa (ditunjukkan pada Tabel 4.1) yang dilakukan pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa jamur pelapuk putih yang digunakan merupakan jenis jamur pelapuk selektif dimana menurut Blanchette

(1995) jenis ini hanya merusak komponen lignin dan hanya sedikit mengganggu komponen selulosa dan hemiselulosa. Sejalan dengan ini penelitian oleh Adaskaveg dkk (1995) juga melaporkan bahwa spesies lain Ganoderma yaitu Ganoderma colossum juga merupakan tipe jamur pelapuk putih selektif.

Biomassa eceng gondok dengan praperlakuan fisik (dengan kominusi- pengecilan ukuran) juga memberikan hasil yang baik untuk delignifikasi, hal ini ditunjukkan dari kadar lignin yang lebih rendah dari kadar lignin biomassa sebelum praperlakuan seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4.1. Walaupun persentase penurunan kadar ligninnya tidak lebih besar dari biomassa eceng gondok dengan praperlakuan biologi, tapi hal ini merupakan titik terang dalam memanfaatkan biomassa ini untuk memproduksi enzim selulase. Metode praperlakuan secara fisika ini menyebabkan beberapa perubahan pada biomasa yang bertujuan mengurangi

Universitas Sumatera Utara ukuran partikel, meningkatkan luas permukaan kontak dan mengurangi kristalinitas selulosa (Isroi, 2013).

4.4.2 Hubungan Praperlakuan Fisik dan Biologi dengan Produksi Enzim Selulase

Kadar lignin yang semakin kecil dan kadar selulosa yang bertambah besar dalam biomassa eceng gondok dengan praperlakuan biologi ternyata tidak berbanding lurus dengan produksi enzim selulase. Produksi enzim selulase yang diukur melalui uji aktivitasnya memberikan hasil hampir dua kali lebih besar untuk enzim dari hasil fermentasi dengan substrat biomassa eceng gondok dengan praperlakuan fisika/sampel fisika (dengan kominusi-reduksi ukuran biomassa) yaitu sebesar 0,207

IU/ml dari pada hasil fermentasi dengan substrat biomassa eceng gondok dengan praperlakuan biologi/sampel biologi sebesar 0,107 IU/ml. Satu IU didefinisikan sebagai jumlah glukosa (mM) yang dihasilkan per mili liter larutan enzim per menit.

Ada beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan rendahnya aktivitas enzim selulase yang diperoleh dari sampel biologi, yaitu:

1. Inhibitor yang merupakan dimmer glukosa.

2. Kristalinitas selulosa yang dapat memicu produksi enzim selulase.

3. Afinitas enzim terhadap substrat.

Penurunan aktivitas enzim selulase dapat disebabkan oleh selulobiose yang merupakan dimmer glukosa yang dikenal dapat menghambat aktivitas endoglukanase dan glukosidase (bagian dari enzim selulase) (Singh, 2009). Mikroba penghasil selulase sekelas Aspergilus maupun Trichoderma biasa memanfaatkan glukosa

Universitas Sumatera Utara sebagai gugus sederhana penyusun selulosa sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya, sehingga dugaan adanya dimmer glukosa yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh mikroba dapat menekan sekresi enzim selulase oleh mikroba yang digunakan untuk memecah selulosa menjadi glukosa.

Kristalinitas selulosa yang rendah juga diduga sebagai faktor rendahnya produksi enzim selulase dari sampel biologi. Kristalinitas selulosa pada sampel fisika kemungkinan masih lebih tinggi dari sampel biologi, mengingat jamur pelapuk putih juga mampu menghasilkan enzim selulase (Isroi, 2011; Al azam, 2008) sehingga dapat merusak kristalinitas selulosa lebih banyak. Untuk mencerna selulosa kristalin memerlukan tindakan bersama dari exo-dan endoglucanase. Sifat kristal sumber karbon yang digunakan untuk memicu ekspresi selulolitik dalam banyak jenis jamur secara signifikan mempengaruhi potensi hidrolitik dari persiapan enzim (Hartree dkk,

1988). Kristalinitas selulosa bisa mengubah tidak hanya kualitas dari enzim (proporsi berbagai kegiatan dengan kompleks enzim selulolitik), tetapi juga jumlah enzim yang dihasilkan (Brijwani dan Vadlani, 2011), sehingga kristalinitas selulosa yang tinggi lebih baik untuk memicu mikroba menghasilkan enzim selulase.

Afinitas enzim terhadap substrat diduga juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi enzim selulase, hal ini berkaitan dengan dugaan adanya enzim yang terperangkap dalam substrat (biomassa selulosa) sehingga saat pengambilan enzim sejumlah enzim masih berada dalam bubur biomassa. Penentuan afinitas enzim terhadap substratnya diperoleh dari harga konstanta kinetic Michaelis-

Universitas Sumatera Utara Menten (Km) dan laju reaksi maksimum (vmax) dengan mem-plotkan variasi konsentrasi substrat terhadap aktivitas enzim (Nasir Iqbal dkk, 2011).

4.5 Pengaruh Variasi Kultur Mikroba Terhadap Aktivitas Enzim Selulase

Pada penelitian ini divariasikan penggunaan kultur mikoba penghasil enzim selulase. Ada dua mikroba yang digunakan yaitu jamur Aspergillus niger dan

Trichoderma reesei. Kedua mikroba digunakan dalam mono kultur dan mix kultur

(mengkombinasikan keduanya) dalam proses fermentasi menghasilkan enzim selulase. Gambar 4.6 berikut ini menunjukkan variasi kultur terhadap aktivitas enzim selulase (IU/ml).

praperlakuan biologi praperlakuan fisik T. reesei A. niger dan niger A. T. reesei Variasi Kultur Variasi A. niger

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 Aktivitas Enzim (IU/ml) Gambar 4.6 Pengaruh Variasi Kultur Mikroba Terhadap Aktivitas Enzim Selulase pada t = 7 Hari dan Moisture Content 70%

Universitas Sumatera Utara Hasil variasi kultur mikroba pada proses fermentasi dalam gambar menunjukkan bahwa penggunaan mikroba mono kultur baik menggunakan jamur

Aspergillus niger maupun Trichoderma reesei memberikan aktivitas enzim yang lebih besar dari penggunaan mikroba mix kultur. Aktivitas enzim dari sampel dengan mikroba A. niger berbeda sangat tipis dari sampel dengan T.reesei, tetapi untuk efektifitas dan efisiensi, penggunaan mikroba A. niger lebih baik dari T. reesei karena

A. niger lebih mudah dikultur dan waktu pembibitannya lebih singkat.

Tingginya nilai aktivitas enzim oleh mono kultur A. niger disebabkan oleh sumber nutrien mayor pertumbuhan mikroba seperti nitrogen. Pada proses fermentasi, nutrisi nitrogen dalam medium Mandel Weber berasal dari amonium sulfat

(NH4)2SO4) dimana Ilyas dkk (2011) membahas dalam jurnalnya bahwa amonium sulfat adalah sumber nutrisi nitrogen terbaik diantara sumber nitrogen lain seperti urea, yeast extract, pepton, dan lainnya untuk pertumbuhan A. niger karena garam amonium mampu diserap secara langsung dalam sintesis protein (Mandels, 1975).

Tidak hanya A. niger bahkan penggunaan amonium sulfat memberikan hasil yang potensial dalam aktivitas selulolitik untuk spesies lain Aspergillus (Vyas dkk, 2005).

Pertumbuhan Trichoderma reesei diketahui jauh lebih baik dengan penambahan 1% pepton sebagai sumber nitrogen daripada menggunakan amonium sulfat, tetapi pada proses lanjutannya, penggunaan yeast cream sebagai sumber nitrogen memicu produksi enzim selulase dengan hasil maksimum (He Jun dkk,

2009). Aktivitas selulolitik yang dihasilkan dari Trichoderma reesei pada penelitian ini kurang lebih mendekati perolehan enzim selulase maksimum sebesar 0,22 IU/ml

Universitas Sumatera Utara dalam penelitian Deshpande (2009) yang sama-sama menggunakan eceng gondok sebagai sumber karbon dan mikroba Trichoderma reesei, hanya praperlakuan yang dilakukannya adalah praperlakuan kimia yang menghasilkan limbah kimia sehingga kurang ramah lingkungan.

Penggunaan mix kultur mikroba menghasilkan aktivitas selulolitik enzim lebih rendah dari mono kultur mikroba. Nilai aktivitas tersebut disebabkan oleh keterbatasan nutrisi yang digunakan oleh kedua mikroba sehingga tidak maksimal dalam memproduksi enzim selulase, sejalan dengan ini dalam tulisannya, Brijwani dan Vadlani (2011) juga memperoleh hasil yang lebih rendah dalam produksi enzim selulase menggunakan mix kultur Trichoderma reesei dan Aspergillus oryzae.

Aktivitas maksimum dalam penelitiannya juga dicapai pada fermentasi dengan penggunaan mikroba mono kultur Aspergillus oryzae.

4.6 Pengaruh Variasi Moisture Content Terhadap Aktivitas Enzim Selulase

Kelembaban (moisture) adalah faktor yang sangat signifikan pada proses

Solid State Fermentation (SSF) seperti yang dilakukan dalam penelitian ini. Kadar kelembaban (moisture content) ini membuat utilisasi substrat lebih baik oleh mikroorganisme dan mengefisiensikan perpindahan massa pada partikel solid bergantung pada karakteristik substrat dan kelembaban yang sesuai (Liu dan Yang,

2007). Gambar 4.7 berikut menghubungkan pengaruh moisture content terhadap aktivitas enzim selulase.

Universitas Sumatera Utara 0.25 praperlakuan fisik 0.20 praperlakuan biologi

0.15

0.10

0.05 Aktivitas Enzim Enzim (IU/ml) Aktivitas 0.00 65 70 75 80 85

Moisture Content (%) Gambar 4.7 Pengaruh Variasi Moisture Content Terhadap Aktivitas Enzim Selulase pada t = 7 Hari dengan Mikroba Aspergillus niger

Pada penelitian ini diketahui bahwa kecenderungan grafik pada moisture content 65% - 75% pada sampel fisik dan 65% - 80% pada sampel biologi adalah keadaan paling baik untuk pertumbuhan dan pemicu produksi enzim selulase, hal ini disebabkan oleh porositas dan kemampuan biomassa mengikat air sehingga mikroba dapat tumbuh di solid matriks (Rahardjo dkk, 2005).

Pada penelitian ini hasil terbaik dari aktivitas enzim yaitu pada moisture content 75% untuk sampel fisik dan moisture content 80% untuk sampel biologi. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian oleh beberapa peneliti (Brijwani dan Vadlani,

2011; Kumar dkk, 2011). Moisture content dengan kadar rendah mengurangi pembengkakan substrat, difusi nutrien dan kelarutan substansi padatan. Fakta ini menyebabkan ketidakcukupan suplai nutrien untuk mikro organisme yang

Universitas Sumatera Utara mengakibatkan penurunan pertumbuhan mikroba dan produksi enzim (Prior dkk,

1992).

4.7 Pengaruh Variasi Waktu Fermentasi (Incubation Period) Terhadap Aktivitas Enzim Selulase

Waktu fermentasi untuk memproduksi enzim selulase merupakan salah satu aspek esensial karena pertumbuhan mikroba berpengaruh pada produksi enzim

(Singh, 2009). Gambar 4.8 menunjukkan hubungan pengaruh variasi waktu fermentasi terhadap aktivitas enzim selulase. Pada gambar menunjukkan kenaikan nilai aktivitas enzim dari hari ke-3 baik dari sampel fisik maupun biologi hingga mencapai keadaan optimum di hari ke-7 fermentasi. Setelah hari ke-7 penurunan secara signifikan terjadi dan hal yang serupa juga dilaporkan Devi dan Kumar (2012) dalam produksi selulase dengan substrat limbah serbuk gergaji dan kertas yang mencapai hasil optimum pada hari ke-7 kemudian penurunan secara signifikan terjadi setelah hari ke-8. Di penelitian lainnya, produksi enzim selulase dilaporkan terjadi pada keadaan optimum di hari ke-7 fermentasi kemudian turun pada hari ke-8 hingga hari ke-11 fermentasi, dan selanjutnya produksi selulase mengalami peningkatan lebih besar dari hasil hari ke-7 hingga puncaknya di hari ke-15 fermentasi

(Deshpande, 2009). Hari ke-6 dan ke-7 adalah waktu terbaik untuk perkecambahan spora dan pembentukan miselia sekaligus produksi enzim selulase (Deshpande,

2009).

Universitas Sumatera Utara 0.25 praperlakuan fisik 0.20 praperlakuan biologi

0.15

0.10

0.05 Aktivitas Enzim Enzim (IU/ml) Aktivitas 0.00 0 2 4 6 8 10 Waktu Fermentasi (Hari) Gambar 4.8 Pengaruh Variasi Waktu Fermentasi terhadap Aktivitas Enzim Selulase dari Crude Enzim dengan Fermentasi Sampel Moisture Content 75% untuk Sampel Fisik dan 80% untuk Sampel Biologi.

Waktu fermentasi ini juga berhubungan dengan tahapan dalam pertumbuhan mikroba. Pada fase stasioner mikroba berada pada fase stag, dimana nutrisi sudah mulai habis dan ini memicu mikroba untuk menghasilkan enzim selulase yang digunakan untuk memecah gusus selulosa menjadi gugus sederhananya yaitu glukosa.

Bukan hanya enzim selulase tetapi banyak enzim lainnya dimana bagi mikroba lain yang tumbuh bersama dapat menjadi toksin/anti biotik sehingga dapat melumpuhkan mikroba lain (Griffin, 1996). Cara ini digunakan untuk mempertahankan hidupnya, sehingga pada penelitian ini hari ke-7 fermentasi yang merupakan waktu optimum aktivitas selulase dianggap sebagai fase stationer.

4.8 Respon Maksimum Aktivitas Enzim Selulase

Universitas Sumatera Utara Banyaknya biomassa yang digunakan dalam memproduksi enzim selulase juga memberikan pengaruh bagi aktivitas enzim selulase. Belum tentu mikroba dapat memanfaatkan biomassa yang ada dalam menghasilkan enzim selulase. Nutrisi tambahan yang ada bagi pertumbuhan mikroba bisa saja mencukupi hingga mikroba tidak menggunakan biomassa tersebut sehingga produksi enzim selulase rendah atau mikroba mungkin saja hanya memanfaatkan sedikit biomassa sehingga produksi enzim selulase yang dihasilkan juga rendah.

Gambar 4.9 mendeskripsikan respon maksimum aktivitas enzim selulase.

Respon maksimum yang diperoleh dicapai pada penggunaan biomassa kering 2,5 gram pada sampel fisik dan penggunaan biomassa kering 2 gram pada sampel biologi. Pada jumlah itu mikroba mampu menghasilkan enzim dengan aktivitas 2,484

IU per gram biomassa untuk sampel fisik dan 1,5825 IU per gram biomassa kering untuk sampel biologi dengan moisture content 75% dan 80% temperature 30oC dan pada pH 5 untuk masing-masing sampel, fisika dan biologi.

Hal ini menunjukkan keefektifan biomassa kering dari kedua sampel (sampel biologi dan fisika) dalam memicu produksi enzim selulase oleh mikroba. Selain itu dari jumlah biomassa kering yang digunakan pada proses fermentasi terlihat mikroba lebih banyak menggunakan sampel dengan biomassa yang jumlahnya lebih sedikit karena ketersediaan nutrisi yang cukup bagi kelangsungan hidup mikroba tersebut dibandingkan dengan jumlah biomassa yang lebih banyak.

Universitas Sumatera Utara 3.00 praperlakuan fisik 2.50 praperlakuan biologi 2.00

1.50

1.00

0.50 Respon Maksimum Respon Maksimum (IU/gr) 0.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 Massa Substrat (Gram) Gambar 4.9 Respon Maksimum Aktivitas Enzim Selulase

Respon maksimum terukur juga terdapat dalam penelitian Brijwani dan

Vadlani (2011) yang mencapai 8,13 IU/ g substrat kering pada moisture content 70% pH 4,5 dan temperatur 30oC. Dalam tulisannya dijelaskan bahwa respon maksimum ini bukan hanya disebabkan oleh kemampuan mikroba tetapi juga ikatan molekul air pada substrat, tergantung pada tipe substrat yang digunakan, serta kelembaban yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba, oleh karena itu pada penelitian ini respon maksimum diukur untuk mengetahui sejauh mana pengaruhnya terhadap aktivitas mikroba memproduksi enzim selulase.

4.9 Ringkasan Produksi Enzim Selulase dengan Metode Praperlakuan Fisik dan Biologi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapat beberapa perbandingan antara produksi enzim selulase dari hasil praperlakuan fisik dan

Universitas Sumatera Utara praperlakuan biologi. Ringkasan perbandingan tersebut ditabulasikan dalam Tabel

4.3.

Tabel 4.3 Perbandingan Antara Metode Praperlakuan Fisik dan Biologi Praperlakuan Fisik Praperlakuan Biologi 1. Metode - Waktu Persiapan 1 hari 7 hari fermentasi oleh Biomassa eceng Ganoderma boninense gondok - Waktu Persiapan 5 hari 5 hari Mikroba

2. Hasil Terbaik - Persentase keberhasilan mendegradasi lignin 22,7% 51,5% - Mikroba Aspergillus niger Aspergillus niger - Moisture Content 75% 80% - Waktu Fermentasi 7 hari 7 hari - Respon maksimum massa substrat 2,5 gram 2 gram - Suhu Fermentasi 30oC 30oC - pH 5 5 - Nilai aktivitas enzim 0, 207 IU glukosa/ml 0,107 IU glukosa/ml

V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dengan mengamati dan berdasarkan dari data-data baik kualitatif maupun kuantitatif, maka kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah:

Universitas Sumatera Utara 1. Penurunan kadar lignin pada biomassa eceng gondok terjadi pada kedua

praperlakuan. Kadar lignin awal biomassa sebelum praperlakuan adalah

5,99%, kadar lignin setelah praperlakuan fisik adalah 4,63%, dan setelah

paperlakuan biologi adalah 2,90%.

2. Nilai aktivitas enzim selulase pada kondisi optimum dari produksi enzim

menggunakan biomassa eceng gondok dengan praperlakuan fisik (sampel

fisik) adalah 0,207 IU/ml dan produksi enzim menggunakan biomassa

eceng gondok dengan praperlakuan biologi (sampel biologi) adalah 0,107

IU/ml .

3. Berdasarkan nilai aktivitas enzim selulolitik pada kedua sampel (fisik dan

biologi) menunjukkan kultur mikroba Aspergillus niger dalam media

fermentasi sebagai mikroba terbaik dalam menghasilkan enzim selulase.

4. Kadar kelembaban (moisture content) 75% untuk sampel fisik dan

moisture content 80% untuk sampel biologi adalah kadar terbaik

perolehan enzim selulase.

5. Aktivitas enzim selulase terbaik dari sampel fisik dan biologi diperoleh

pada hari ke-7 fermentasi yang dianggap sebagai fase stationer dan

mengalami penurunan secara signifikan setelahnya.

6. Secara umum perolehan terbaik aktivitas enzim selulase terjadi pada

media fermentasi dengan substrat eceng gondok yang mengalami

praperlakuan fisik, waktu fermentasi tujuh hari pH 5, temperatur 30oC,

Universitas Sumatera Utara moisture content 75% oleh mikroba Aspergillus niger yaitu sebesar 0,2077

IU/ml.

5.2 Saran

Saran-saran yang dapat dikemukakan untuk melengkapi penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Analisis tambahan untuk pengujian faktor-faktor yang dianggap sebagai

pemicu produksi enzim selulase oleh mikroba seperti kristalinitas selulosa,

adanya inhibitor seperti selulobiose dan afinitas enzim terhadap substrat.

2. Supernatan enzim yang merupakan crude enzim yang diperoleh tidak

terbatas hanya pada enzim selulase sehingga penelitian lanjutan dapat

dilakukan untuk mengetahui enzim lain yang terdapat dalam supernatan.

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

Aboud AAO., Kidunda RS., dan Osarya J. 2005. “Potential of Water Hyacinth (Eicchornia crassipes) in Ruminant Nutrition in Tanzania”. Livestock Res Rural Dev 17:8. Adaskaveg J. E., Gilbertson R. L., dan Dunlap M. R. 1995. “Effects of Incubation Time and Temperature on In Vitro Selective Delignification of Silver Leaf Oak by Ganoderma Colossum”. Applied and Environmental Microbiology. p 138- 144. Adiyuwono H. 2001. “Mengenal Kayu untuk Media Jamur”. Trubus XXXI (362). Aguilar G dan Huitron C. 1986. “Application of Fed-Batch Treatments in The Production of Extracellular Pectinases by Aspergillus sp”. Enzyme Microb Technol;8:541-545. Ahn DJ., Kim S.K., dan Yun H.S. 2012. “Optimization of Pretreatment and Saccharification For The Production of Bioethanol from Water Hyacinth by Saccharomyces cerevisae”. Bioprocess Biosyst Eng Vol 35: 35-41. Alade G. A dan Ojoawo S. O. 2009. “Purification of Domestic Sewage by Water- Hyacinth (Eichhornia crassipes)”. Int J Environ Technol Manage 10:286– 294. Aline Machado de Castro., Marcelle Lins de Albuquerque de Carvalho., Selma Gomes Ferreira Leite., dan Nei Pereira Jr. 2009. “Cellulases from Penicillium funiculosum: Production, Properties and Application to Cellulose Hydrolysis”. J Ind Microbiol Biotechnol 37: 151-158. Al Azam Yusuf Basuni. 2008. “Aktivitas Selulase dari Ganoderma Lucidum yang Diinkubasi dalam Media Jerami Padi”. Institut Pertanian Bogor. Archana A dan Satyanarayana T. 1997. “Xylanase Production by Thermophilic Bacillus licheniformis yyA99 in Solid State Fermentation”. Enzyme Microb Technol;8:541-545. Belitz H. D., Grosch, W., dan Schieberle, P. 2008. “Food Chemistry”, 4th ed. Berlin: Springer-Verlag. (hal: 327-337). Bhat M. K. 2000. “Cellulases and Related Enzymes in Biotechnology”. Elsevier Biotechnology advances, 18, 355-383. United Kingdom. Biswas SR., Choudhury JK., Nishat A., dan Rahman MM. 2007. “Do Invasive Plants Threaten the Sundarbans Mangrove Forest of Bangladesh?” Forest Ecol Manag 245:1–9. Blanchette R.A. 1991. Ann. Rev. Phytopathol. 29: 381 – 398.

Universitas Sumatera Utara Boominathan K dan Reddy C.A. 1992. Proc. Natl. Acad. Sci. U S A 89 (12): 5586 – 5590. Brij D dan Sarma K. P. 1981. “Water Hyacinth (Eichornia crassipes (Mart.) Solm.) The Most Trouble Oweed On The World”.Hindiasia Publisher, India. Brijwani Khushal dan Vadlani Praveen V. 2011. “Solid state Fermentation of Soybean Hulls for Cellulolytic Enzymes Production”. Soybean-Applications and Technology (17). Brunov G., P Karhunen., K. Lundquist., S. Olson., dan R. Stomberg. 1995. “Investigation of Lignin Models of The Biphenyl Type by X-Ray Cristallography and NMR Spectroscopy”. Chem Christalloghr. 25 1-10. Cen P dan Xia L. 1999. “Production of Cellulase in Solid State Fermentation”. In: Scheper T, editor. Recent progress in bioconversion of lignocellulosics. Advances in Biochemical Engineering/Biotechnology. vol. 65. Berlin: Springer: p. 69. Chantiratikul P., Meechai P., dan Nakbanpotecc W. 2009. “Antioxidant Activities and Phenolic Contents of Extracts from Salvinia molesta and Eichornia crassipes”. Res J Biol Sci 4:1113–1117. Chu TP., Lee CK., Low KS., dan Hishamuddin O. 2006. “Accumulation of Chromium (VI) from Aqueous Solutions Using Water Lilies (Nymphaea spontanea)”. Chemosphere 62: 961–996. Chukwuka K. S dan Omotayo O. E. 2008. “Effects of Tithonia Green Manure and Water Hyacinth Compost Application to Nutrient Depleted Soil in South- Western Nigeria”. Int J Soil Sci 3:69–74 DellaGreca M., Previtera L., dan Zarrelli A. 2009. “Structures of New Phenylphenalene-Related Compounds from Eichhornia crassipes (water hyacinth)”. Tetrahedron 65:8206–8208. Deshpande Pradnya., Sajitha Nair., dan Shubhangi Khedkar. 2009. “Water Hyacinth as Carbon Source for The Production of Cellulase by Trichoderma Reesei”. Appl Biochem Biotechnol 158: 552-560. Devi M. Charita dan Kumar M Sunil. 2012. “Production, Optimization and Partial Purification of Cellulase by Aspergillus niger Fermented with Paper and Timber Sawmill Industrial Wastes” J. Microbiol Biotech Res 2(1): 120-128. Djarijah. 2001. “Budidaya Jamur Tiram”. Kanisius. Jakarta pp 67. Gandjar Indrawati dan Wellyzar Sjamsuridzal. 2006. “Mikologi Dasar dan Terapan” . Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Universitas Sumatera Utara Ghori M. I. 2001. “Production and Kinetic Study of Cellulases From Agricultural Wastes”. Thesis for the degree of Doctor of Philosophy in Chemistry: Bahauddin Zakryia University, . Ghose T. K. 1987. “Measurement of Cellulase Activities”. Pure & Appl. Chem, Vol 59 No.2 pp 257-268. Girisuta B., Danon B., Manurung R., Janssen L., dan Heeres H. 2008. “Experimental and Kinetic Modelling Studies on The Acid-Catalysed Hydrolysis of The Water Hyacinth Plant to Levulinic Acid”. Bioresour Technol 99(17):8367–8375.

Gray, K. A., Zhao, L., dan Emptage, M. 2006. “Bioethanol”. Elsevier Current opinion in chemical biology, 10(2);141-146. USA.

Griffin David H. 1996. “Fungal Physiology”. Wiley Science Paper Back Series. Gullon B., Yanez R., Alonso J. L., dan Parajo J. C. 2008. “L-Lactic Acid Production from Apple Pomace by Sequential Hydrolysis and Fermentation”. Bioresource Technology 99(2); 308-319. Spain. Gusakov A. V. 2011. “Alternatives to Trichoderma reesei in Biofuel Production”. Trends Biotechnol 29:419–425 Hamilton T. J., Dale B. E., Ladisch M. R., dan Tsao G. T. 1984. “Effect of Ferric Tartrate/Sodium Hydroxide Solvent Pretreatment on Enzyme Hydrolysis of Cellulose in Corn Residue”. Biotechnology and Bioengineering 26, 781– 787. Hammel Kenneth E dan Cullen Dan. 2008. “Role of Fungal Peroxidases in Biological Ligninolysis”. Current Opinion in Plant Biology 11: 349-355. Hartree-Mes M., Hogan CM., dan Saddler JN. 1988. “Influence of Growth Substrate on Production of Cellulase Enzymes by Trichoderma harzianum E58”. Biotechnol Bioeng;31:725-729. Hattaka A. 2001. “Biodegradation of Lignin”. In: Biopolymer, Biology, Chemistry, Biotecnology, Applications. Vol 1. Lignin, Humic Substances and Coal, M. Hofrichter and A. Steinbuchel (eds), Wiley-WCH , 129-180. Hattaka A. 1983. “Pretreatment of Wheat Straw by White Rot Fungi for Enzymatic Saccharification of Cellulose”. Eur. J. Appl. Microbiol. Biotechnol 18. 350- 357. Heba I., Abo-Elmagd., dan Manal M Housseiny. 2012. “Purification and Characterization of CMC-ase and Protease by Ulocladium botrytis Preuss ATCC 18042 using Water Hyacinth as a Substrate Under Solid State Fermentation”. Ann Microbiol 62:1547-1556.

Universitas Sumatera Utara Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. He Jun., Yu Bing., Zhang Keying., Ding Xuemei., dan Chem Daiwen. 2009. “Strain Improvement of Trichoderma reesei Rut C-30 for Increased Cellulase Production”. Indian J Microbiol 49:188-195. Howard RL., Abotsi E., van Rensburg ELJ., dan Howard S. 2003. “Lignocellulose Biotechnology: issues of bioconversion and enzyme production”. Afr J Biotechnol 2:602–619. Hsu T. A. 1996. “Pretreatment of Biomass”. In: Wyman, C.E. (Ed.), Handbook on Bioethanol, Production and Utilization. Taylor & Francis, Washington, DC. Hui-Qin Liu., Yue Feng., Dan-Qing Zhao., dan Jian-Xin Jiang. 2012. “Evaluation of Cellulases Produced from Four Fungi Cultured on Furfural Residues and Microcrystalline Cellulose”. Biodegradation23:465-472. Ilyas Umbrin., Abdual Majeed., Khalid Hussain., Khalid Nawaz., Shakil Ahmed., dan Muhammad Nadeem. 2011. “Solid State Fermentation of Vigna Mungo for Cellulase Production from Aspergillus Niger”. World Applied Science Journal 12(8): 1172-1178. Isroi., Millati Ria., Syamsiah Siti., Niklasson Claes., Nur Cahyanto Muhammad., Lundquist Knut., dan Taherzadeh M. J. 2011. “Biological Pretreatment of Lignocelluloses wth White Rot Fungi and Its Applications: A review”. Bioresources 6(4) November. Isroi. 2013. “Improvement of Digestibility and Structural Changes of Oil Palm Empty Fruit Bunches by Pleorotus Floridanus and Phosphoric Acid Pretreatment”. Dissertasion Summary. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Jafari N. 2010. “Ecological and Socio-Economic Utilization of Water Hyacinth (Eichhornia crassipes Mart Solms)”. J Appl Sci Environ Manag 14:43–49. Jime’nez M dan Balandra MA. 2007. “Integrated Control of Eichhornia crassipes by Using Insects and Plant Pathogens in Mexico”. Crop Prot 26:1234–1238. Juhasz Tamas. 2005. “Enzymes for Improved Hydrolysis of Lignocellulosics”. Doctoral Dissertation. Junior MM., Batistote M., Cilli EM., dan Ernandes JR. 2009. “Sucrose Fermentation by Brazilian Ethanol Production Yeast in Media Containing Structurally Complex Nitrogen Sources”. J. Inst. Brewing, 115: 191-197. Kateregga E dan Sterner T. 2007. “Indicators for An Invasive Species: Water Hyacinths in Lake Victoria”. Ecol Indic 7:362–370.

Universitas Sumatera Utara Khanna S., Santos M., Ustin S., dan Haverkamp P. 2011. “An Integrated Approach to A Biophysiologically Based Classification of Floating Aquatic Macrophytes”. Int J Remote Sens 32:067–1094. Kumar Sanjay., H. K Sharma., dan B. C Sharkar. 2011. “Effect of Substrate and Fermentation Conditions on Pectinase and Cellulase Production by Aspergillus niger NCIM 548 in Submerged (SmF) and Solid State Fermentation (SSF)”. Food Sci Biotechnol 20(5): 1289-1298. Ladisch M. R., Ladisch C. M., dan Tsao, G.T. 1978. “Cellulose to Sugars: New path Gives Quantitative Yield”. Science 201, 743–745. Leticia M. Sánchez-Herrera., Ana C. Ramos-Valdivia., Mayra de la Torre., Luis M. Salgado., dan Teresa Ponce-Noyola. 2007. “Differential Expression of Cellulases and Xylanases by Cellulomonas flavigena Grown on Different Carbon Sources”. Appl Microbial Biotechnol 77: 589-595.

Lee C. K., Darah I., dan Ibrahim C. O. 2009. “Enzymatic Deinking of Laser Printed Office Waste Papers: Some Governing Parameters on Deinking Efficiency”. Elsevier Bioresource Technology, vol 98; 1684-1689. Malaysia.

Lee Y.Y., Iyer P., dan Torget R.W. 1999. “Dilute-Acid Hydrolysis of Lignocellulosic Biomass”. Advances in Biochemical Engineering and Biotechnology 65, 93. Liu J dan Yang J. 2007. “Cellulase Production by Trichoderma koningii AS3. 4262 in Solid State of Fermentation using Lignocellulosic Waste from The Vinegar Industry”. Food Technol. Biotechnol 45:420-425. Lundquist K., Kirk T. K., dan Connors W. J. 1977. “Fungal Degradation of Kraft Lignin and Lignin Sulfonate Prepared from Synthetic 14C- Lignin”. Arch. Microbiol 112. 291-296. Malik A. 2007. “Environmental Challenge Vis A Vis Opportunity: The Case of Water Hyacinth”. Environ Int 33(1):122–138. Mandels M. 1975. “Microbial Source of Cellulase”. Biotechnol. Bioeng., 5:81-105. McMillan J.D. 1994. “Pretreatment of Lignocellulosic Biomass”. In: Himmel, M.E., Baker, J.O., Overend, R.P. (Eds.), Enzymatic Conversion of Biomass for Fuels Production, ACS Symposium Series, vol. 566. ACS, Washington, DC, pp. 292–324. Md. Zahangir Alam., Mahamat ME., dan Muhammad N. 2005. “Production of Cellulase from Oil Palm Biomass as Substrate by Solid State Bioconversion”. Am. J. Appl. Sci., 2: 569–572. Merina Fitria dan Yulinah Trihadiningrum. 2011, “Produksi Bioetanol dari Eceng Gondok (Eichorrnia crassipes) dengan Zymomonas mobilis dan

Universitas Sumatera Utara Saccharomycess cerevisae”. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIII. Surabaya. Miettinen A. 2004. “Trichoderma reesei Strains for Production of Cellulases for the Textile Industry”. Helsinki: VTT Biotechnology. Millett M.A., Effland, M.J., dan Caulfield, D.P. 1979. “Influence of Fine grinding on the Hydrolysis of Cellulosic Materials––Acid Versus Enzymatic”. Advances in Chemistry Series 181, 71–89. Mishima D., M. Kuniki K., Sei S., Soda M. Ik., dan M. Fujita. 2008. “Ethanol Production from Candidate Energy Crops : Water Hyacinth (Eichhornia crassipes) and Water Lettuce (Pistia stratiotes L.)”. Bioresource Technology. Vol. 99:2495-2500. Moedjojo H., Simanjuntak P., Hehanussa P., dan Lufiandi. 2006. “Lake Toba : Experience and Lessons Learned Brief”. International Lake Environment Committee Foundation. Moenandir J. 1990. Pengendalian Gulma (Ilmu Gulma–Buku I). Universitas Brawijaya, Rajawali Pers, Jakarta. Mohan SV., Mohanakrishna G., dan Chiranjeevi P. 2011. “Sustainable Power Generation from Floating Macrophytes Based Ecological Microenvironment Through Embedded Fuel Cells Along with Simultaneous Wastewater Treatment”. Bioresour Technol 102:7036–7042.

Moriya Ohkuma., Yoshimada Maeda., Toru Johjima., dan Toshiaki Kudo. 2001. “Lignin Degradation and Roles of White Rot Fungi: Study on an Efficient Symbiotic System in Fungus Growing Termites and its Application to Bioremediation”. RIKEN Review No. 42.

Mosier Nathan., Charles Wyman., Bruce Dale C., dan Richard Elander D., Y. Y. Lee., Mark Holtzapple., dan Michael Ladisch. 2005. “Features of Promising Technologies for Pretreatment of Lignocellulosic Biomass”. Bioresource Technology 96: 673–686. Nasir Iqbal H. M., Ahmed Ishtiaq., Zia Muhammad A., dan Irfan Muhammad. 2011. “Purification and Characterization of The Kinetics Parameter of Cellulase Produced from Wheat Straw by Trichoderma Viridee under SSF and Its Detergent Compatibility”. Advances in Bioscience and Biotechnology (2):149-156. National Research Council, 1999. “Committee on Biobased Industrial Products, Biobased Industrial Products––Priorities for Research and Commercialization”. National Academy Press.

Universitas Sumatera Utara NCBE http://www.yumpu.com/en/document/view/12315628/ncbe-price-list-national- centre-for-biotechnology-education-. NCBE Price List. Mikrobiologi. Tanggal akses 7 desember 2012.

Nigam J. N. 2002. “Bioconversion of Water Hyacinth (Eichhornia crassipes) Hemicellulose Acid Hydrolysate to Motor Fuel Ethanol by Xylose-Fermenting Yeast”, Journal of Biotechnology, Vol. 97: 107-116. Nyananyo BL., Gijo A., dan Ogamba EN. 2007. “The Physicochemistry and Distribution of Water Hyacinth (Eichhornia cressipes) on The River Nun in The Niger Delta”. J Appl Sci Environ Manag 11:133–137.

Oberoi Harinder Singh., Yogita Chavan., Sunil Bansal., dan Gurpreet Singh Dhillon. 2010. “Production of Cellulases Through Solid State Fermentation Using Kinnow Pulp as a Major Substrate”. Food Bioprocess Technol 3: 528-536.

Olsson L dan Hahn-Hagerdahl, B. 1996. “Fermentation of Lignocellulosic Hydrolisates for Ethanol Production”. Enzyme and Microbial Technology, 18:312-331.

Opande G. O., Onyango J. C., dan Wagai S. O. 2004. “Lake Victoria: The Water Hyacinth (Eichhornia crassipes [MART.] SOLMS), Its Socio-Economic Effects, Control Measures and Resurgence in The Winam Gulf”. Limnologica 34:105–109. Paripok Phitsuwan., Nata Laohakunjit., Orapin Kerdchoechuen., Khin Lay Kyu., dan Khanok Ratanakhanokchai. 2012. “Present and Potential Applications of Cellulases in Agriculture, Biotechnology, and Bioenergy”. Folia Microbiol 58: 163-176.

Parveen Kumar., Diane M Barret., Michael J Delwiche., dan Pieter strove. 2009. “Methods for Pretreatment of Lignocellulosic Biomass for Efficient Hydrolysis and Biofuel Production”. I&EC Research Review.

Polyanna Nunes Herculano., Tatiana Souza Porto., Keila Aparecida Moreira., Gustavo A. S. Pinto., Cristina Maria Souza-Motta., dan Ana Lúcia F. Porto. 2011. “Cellulase Production by Aspergillus japonicus URM5620 Using Waste from Castor Bean (Ricinus communis L.) Under Solid-State Fermentation”. Appl Biochem Biotechnol 65: 1057-1067. Prior B. A., Du Preez, J. C., dan Rein, P. W. 1992. “Environmental Parameters in Doelle, H. W Mitchell dan Rolz, C (eds) Solid State Cultivation. London, Elsevier p.65-85.

Universitas Sumatera Utara Rivela I., Couto SR., dan Sanroman A. 2000. “Extracellular Ligninolytic Enzyme Production by Phanerochaete chrysosporium in A New Solid-State Bioreactor”. Biotechnol. Lett. 22: 1443–1447. Rivers D. B dan Emert, G.H. 1987. “Lignocellulose Pretreatment: A Comparison of Wet and Dry Ball Attrition”. Biotechnology Letters 9 (5), 365–368. Rosa Estela Quiroz-Castaneda., Nancy Pe´rez-Mejı´a., Claudia Martı´nez-Anaya., Lourdes Acosta-Urdapilleta., dan Jorge Folch-Mallol. 2010. “Evaluation of Different Lignocellulosic Substrates for The Production of Cellulases and Xylanases by The Basidiomycete Fungi Bjerkandera adusta and Pycnoporus sanguineus”. Biodgradation 22: 565-572. Ryu D. D. Y dan Mandels M. 1980. “Cellulases: Biosynthesis and Applications”. Journal of Enzyme Microb. Technol. April 1980, Vol 2, pp. 91-102. Sa’adah Z., Ika S Noviana., dan Abdullah. 2010. “Produksi Enzim Selulase oleh Aspergillus niger Menggunakan Substrat Jerami dengan Sistem Fermentasi Padat”. Jurusan Tenik Kimia Fakultas Teknik UNDIP Semarang. Seema Patel. 2012. “Threats, Management and Envisaged Utilizations of Aquatic Weed Eichhornia Crassipes: An Overview”. Rev Environ Sci Biotechnol 11:249–259. Shanab SMM., Shalaby EA., Lightfoot DA., dan El-Shemy HA. 2010. “Allelopathic Effects of Water Hyacinth (Eichhornia Crassipes)”. Plos one 5(10):e13200. India Singh Anita., Namita Singh., dan Nashi R Bishnoi. 2009. “Production of Cellulases by Aspergillus heteromorphus from Wheat Straw Under Submerged Fermentation”. International Journal of Civil and Environmental Engineering. Sidiras., D.K dan Koukios, E.G. 1989. “Acid saccharification of Ball Milled Straw”. Biomass 19 (4), 289–306. Siqueira EMD., Mizuta K., dan Giglio JR. 1997. “Pycnoporus sanguineus: A Novel Source of Alpha-Amylase”. Mycol Res;101:188-190. Solis-Pereyra S., Favela-Torres E., dan Gutierrez-Rojas M. “1996”. “Production of Pectinase by Aspergillus niger in Solid State Fermentation at High Initial Glucose Concentrations”. World J Microbiol Biotechnol;12:257-260. Sornvoraweat B dan Kongkiattikajorn J. 2010. “Separated Hydrolysis and Fermentation of Water Hyacinth Leaves for Ethanol Production”. KKU Res J Vol 15:794-802.

Universitas Sumatera Utara Sosa AJ., Cordo HA., dan Sacco J. 2007. “Preliminary Evaluation of Megamelus Scutellaris Berg (Hemiptera: Delphacidae), A Candidate for Biological Control of Water Hyacinth”. Biol Control 42:129–138. Suhartono, MT. 1989. “Enzim dan Bioteknologi”. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. 172-220. Sukumaran RK., Singhania RR., Mathew GM., dan Pandey A. 2009. “Cellulase Production Using Biomass Feed Stock and Its Application in Lignocellulose Saccharification for Bio-Ethanol Production”. Renew Energy 34(2):421–424. Tanyildizi M., Saban., D. Özer, dan M. Elibol. 2007. “Production of Bacterial α- Amylase by B. amyloliquefaciens Under Solid Substrate Fermentation”. Biochemical Engineering Journal Volume 37, Issue 3, 15 December 2007, Pages 294-297 Tassinari T., Macy C., dan Spano, L. 1980. “Energy Requirements and Process Design Considerations in Compression-Milling Pretreatment of Cellulosic Wastes for Enzymatic Hydrolysis”. Biotechnology and Bioengineering 22, 1689–1705. Te´llez TR., Lo´pez EMDR., Granado GL., Pe´rez EA., Lo´pez RM., dan Guzma´n JMS. 2008. “The Water Hyacinth, Eichhornia crassipes: An Invasive Plant in the Guadiana River Basin”. Aquat Invasions 3:42–53. Spain. Tessmann DJ., Charudattan R., dan Preston JF. 2008. “Variability in Aggressiveness, Cultural Characteristics, Cercosporin Production and Fatty Acid Profile of Cercospora piaropi, A Biocontrol Agent of Water Hyacinth”. Plant Pathol 57: 957–966. Toshiyuki Takagi., Motoharu Uchida., Ryoji Matsushima., Masami Ishida., dan Naoto Urano. 2012. “Efficient Bioethanol Production from Water Hyacinth Eichhornia Crassipes by Both Preparation of The Saccharified Solution and Selection of Fermenting Yeasts”. Fish Sci 78:905–910. Vyas A., D. Vyas., dan K. M. Vyas. 2005. “Production and Optimization of Cellulases on Pretreated Groundnut Shells by Aspergillus Terreus AV49”. J. Sci and Ind Res., 64: 281-286. Williams AE., Hecky RE., dan Duthie HC. 2007. “Water Hyacinth Decline Across Lake Victoria-Was It Caused by Climatic Perturbation or Biological control? A reply”. Aquatic Bot 87:94–96. Wilson DB. 2009. “Cellulases and Biofuels”. Curr Opin Biotechnol 20:295–299 Wood T. M dan Saddler, J.N. 1988. “Increasing The Availability Of Cellulose In Biomass Materials”. In: Wood, W.A., Kellogg, S.T. (Eds.). Methods in Enzymology 160, 3–11.

Universitas Sumatera Utara Xiong H. 2004. “Production and Chareacterization of Trichoderma reesei and Thermomyces lanuginosus Xilanases”. Dissertation for the degree of Doctor of Science in Technology: Helsinki University of Technology, Finlandia. Yue Feng., Hui-Qin Liu., Feng Xu., dan Jian-Xin Jiang. 2011. “Enzymatic Degradation Of Steam-Pretreated Lespedeza Stalk (Lespedeza crytobotrya) By Cellulosic-Substrate Induced Cellulases”. Bioprocess Biosyst Eng 34:357- 365.

Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN 1

DATA HASIL PERCOBAAN

A.1 Kandungan Lignin Selulosa

Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui jumlah lignin yang terdegradasi oleh Ganoderma boninense (jamur pelapuk putih) dan menentukan tipe jamur pelapuk putih (selektif/non selektif). Metode yang digunakan dalam pengujian ini adalah Metode Chesson. Tabel A.1, A. 2, dan A. 3 berikut ini adalah kandungan lignin, selulosa, hemiselulosa dan hot water soluble sebelum praperlakuan, setelah praperlakuan fisik ,dan setelah praperlakuan biologi.

Tabel A. 1 Kandungan Awal Eceng Gondok Kandungan Kadar (%) Water soluble 28,722 Hemiselulosa 37,504 Selulosa 27,782 Lignin 5,99 Total 99,998

Tabel A. 2 Kandungan Eceng Gondok Setelah Praperlakuan Fisik Kandungan Kadar (%) Water soluble 44,37 Hemiselulosa 21,09 Selulosa 29,91 Lignin 4,63 Total 100

Universitas Sumatera Utara Tabel A. 3 Kandungan Eceng Gondok Setelah Praperlakuan Biologi Kandungan Kadar (%) Water soluble 49,775 Hemiselulosa 15,125 Selulosa 32,2 Lignin 2,9 Total 100

A.2 Kurva Standar Glukosa

Gambar A.1 Kurva Standar Glukosa

Tabel A.4 Data Kurva Standar Glukosa WL 503,3 Sampel Konsentrasi Absorbansi Blanko 0,000 0,005 Standar 1 0,200 0,108 Standar 2 0,300 0,283 Standar 3 0,350 0,381 Standar 4 0,400 0,505 Standar 5 0,450 0,601 Standar 6 0,500 0,714

Universitas Sumatera Utara A.3 Konsentrasi Glukosa Hasil Aktivitas Enzim

Tabel A.5 Konsentrasi Glukosa Aktivitas Enzim dan Absorbansi pada WL 503,3 Sampel Konsentrasi Konsentrasi Absorbansi Glukosa (mg/ml) Glukosa (IU/ml) Sampel fisik 1 0,446 0,165 0,563 Sampel fisik 2 0,443 0,162 0,560 Sampel fisik 3 0,341 0,125 0,410 Sampel fisik 4 0,342 0,127 0,412 Sampel fisik 5 0,560 0,207 0,730 Sampel fisik 6 0,442 0,164 0,557 Sampel fisik 7 0,252 0,093 0,280 Sampel fisik 8 0,344 0,127 0,414 Sampel fisik 9 0,436 0,161 0,549 Sampel fisik 0,182 0,067 0,178 10 Sampel fisik 0,086 0,032 0,038 11 Sampel bio 1 0,204 0,075 0,211 Sampel bio 2 0,197 0,073 0,200 Sampel bio 3 0.177 0,065 0,171 Sampel bio 4 0,215 0,079 0,227 Sampel bio 5 0,222 0,082 0,236 Sampel bio 6 0,290 0,107 0,336 Sampel bio 7 0,152 0,056 0,135 Sampel bio 8 0,140 0,052 0,117 Sampel bio 9 0,140 0,052 0,117 Sampel bio 10 0,189 0,07 0,189 Sampel bio 11 0,187 0,069 0,185

Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN 2

HASIL ANALISIS SPEKTROFOTOMETER

B.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Gambar B. 1 Overlay Spectrum Graph Report

Universitas Sumatera Utara

Gambar B.2 Panjang Gelombang Maksimum Spectrum Peak

Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN 3

CONTOH PERHITUNGAN

C.1 Perhitungan Kadar Lignin-Selulosa

Tabel C.1 Data Perhitungan Kadar Lignin-Selulosa Praperlakuan A b c d Sebelum 1,01 0,7199 0,3411 0,0605 praperlakuan Praperlakuan 1,00 0,5563 0,3454 0,0463 fisik Praperlakuan 1,00 0,502 0,351 0,029 biologi

Dari data pada tabel C. 1 dihitung kadar selulosa, dan lignin dengan menggunakan rumus dalam metode Chesson (Datta, 1981).

kadar selulosa = x 100% 𝑐𝑐−𝑑𝑑 𝑎𝑎 kadar lignin = x 100% 𝑑𝑑 𝑎𝑎 Contoh : nilai a = 1,01; b = 0,7199; c = 0,3411; d = 0,0605 Maka:

kadar selulosa = x 100% 𝑐𝑐−𝑑𝑑 0,3411 0,0605 = 𝑎𝑎 x 100% 1,01 − = 27, 782%

kadar lignin = x 100% 𝑑𝑑 𝑎𝑎

Universitas Sumatera Utara 0,0605 = x 100% 1,01 = 5,99%

C.2 Konversi Satuan Aktivitas Enzim selulase

Konsentrasi glukosa dikonversi dalam satuan IU/ml (Ghose, 1987) :

1 IU = 1 µmol/menit glukosa yang dihasilkan

= 0,18 mg/menit glukosa

Sehingga,

massa glukosa Konsentrasi glukosa = µmol/menit ml (IU/ml). 0,18 x 0,5 x 30

Dimana : 0,5 = volume enzim (ml); 30 = waktu inkubasi (menit)

Contoh : Untuk konsentrasi glukosa 0,446 mg/ml :

0,446 Konsentrasi glukosa = µmol/menit ml (IU/ml) 0,18 x 0,5 x 30

= 0,165 IU/ml

C.3 Perhitungan Respon Maksimum Aktivitas Enzim Selulase

Respon maksimum adalah banyaknya massa eceng gondok yang digunakan untuk menghasilkan enzim selulase. Respon maksimum dihitung dari nilai aktivitas enzim sebanyak volume enzim yang dihasilkan dibagi dengan massa eceng gondok.

Aktivitas enzim x volume enzim Respon maksimum = massa eceng gondok

Universitas Sumatera Utara Contoh : pada massa 2,5 gram aktivitas enzim yang dihasilkan adalah 0, 207 IU/ml dengan volume enzim yang dihasilkan 30 ml, maka :

IU 0,207 x 30ml ml Respon maksimum = 2,5 gram

= 2, 484 IU/gram.

C. 4 Perhitungan Persentasi degradasi lignin oleh Kedua Metode

Praperlakuan

Persentasi degradasi lignin dihitung dengan membandingkan kadar lignin pada biomassa eceng gondok hasil praperlakuan fisik/biologi dengan kadar lignin biomassa eceng gondok sebelum dilakukannya praperlakuan.

A1 Persentasi Degradasi Lignin = 1 x 100% A � − � Keterangan: A1 = kadar lignin biomassa eceng gondok hasil praperlakuan fisik

A2 = kadar lignin biomassa eceng gondok hasil praperlakuan biologi

Contoh perhitungan : Persentasi degradasi lignin biomassa eceng gondok hasil praperlakuan fisik adalah :

A1 = 4, 63 % ; A = 5, 99%, maka :

A1 Persentasi Degradasi Lignin = 1 x 100% = 22,7 % A � − �

Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN 4

DOKUMENTASI PENELITIAN

D.1 Dokumentasi Pengadaan Bahan Baku (Eceng Gondok)

Gambar D. 1 Eceng Gondok Hasil Praperlakuan Fisik

Gambar D. 2 Eceng Gondok Hasil Praperlakuan Biologi

Universitas Sumatera Utara D. 2 Dokumentasi Saat Proses Fermentasi

Gambar D. 3 Awal Proses Fermentasi

Gambar D. 4 Setelah Proses Fermentasi 7 hari Moisture Content 70%

Universitas Sumatera Utara

Gambar D. 5 Setelah Proses Fermentasi 7 hari Moisture Content 75%

D. 3 Dokumentasi Enzim Hasil Fermentasi

Berikut ini adalah dokumentasi crude enzim hasil sentrifugasi pada 2500 rpm selama 15 menit.

Gambar D. 6 Crude enzim hasil fermentasi

Universitas Sumatera Utara D. 4 Dokumentasi saat Analisa Hasil Penelitian

Berikut ini adalah dokumentasi saat biomassa eceng gondok dianalisa kadar lignin-selulosa.

Gambar D. 7 Rangkaian Refluks Kondenser Analisa kadar Lignin-Selulosa

Berikut ini adalah dokumentasi pembuatan kurva standar dan analisa aktivitas enzim dengan metode DNS

Gambar D. 8 Larutan glukosa untuk pembuatan kurva standar glukosa

Universitas Sumatera Utara

Gambar D. 9 Perubahan warna hasil analisa aktivitas enzim

Universitas Sumatera Utara