Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Vol. 10 No. 1 (Januari-Juli) 2019, p. 35-45.

Capaian Pendidikan Dalam Pendekatan Prinsip Theologi (Qadariyah)

Oleh: Abdul Qodir UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Sanusi IAIN Kudus

Abstrak: Paham Qadariyah lahir sebagai respon atas rekayasa sosial keagamaan yang dibangun di bawah hegemoni kekuasaan yang cenderung menindas dan tidak lagi berpihak kepada kepentingan rakyat kecil. Agama dipandang sebagai alat untuk memapankan sistem yang dibangun oleh kepentingan penguasa. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Atas dasar tersebut, dijadikan sebagai bantahan terhadap kekuasaan yang menindas atas nama agama. Pembahasan mengenai teologi Qadariyah dan aspek pendidikan tidaklah berhubungan secara erat, bahkan tidak berhubungan sama sekali. Namun dalam hal ini, Qadariyah dijadikan penulis hanya sebatas tempat pengambilan i’tibar dan prinsip mengenai upaya dan kerja keras manusia dalam meraih sesuatu. Dalam konteks capaian pendidikan, berdasarkan pendekatan prinsip Qadariyah yang menekankan adanya kebebasan berkehendak dalam diri manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatannya, maka capaian pendidikan tersebut ditentukan oleh sejauh mana manusia melakukan usaha dan kerja keras dalam kegiatan pembelajaran untuk memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, capaian pendidikan melalui pendekatan prinsip teologi qadariyuah dengan tegas membantah adanya istilah “ilmu laduni” sebagai ilmu yang dianggap pemberian langsung dari Tuhan, tanpa melakukan proses pembelajaran dan proses pemikiran. Tetapi ilmu laduni dipahami sebagai ilmu yang diperoleh dengan tetap melalui proses belajar (mendengarkan.melihat) namun hal tersebut tidak disadarinya sebagai proses belajar. Jadi, ilmu sebagai capaian pendidikan yang meliputi tiga ranah (kognitif, afektif, dan psikomotor) tidak terlepas dari proses belajar dan usaha keras. Kata kunci: Capain Pendidikan; Kebebasan Berkehendak; Potensi Dasar Manusia

Pendahuluan Kajian ilmu pengetahuan sepanjang sejarah peradaban manusia selalu menempati porsi kedudukan tersendiri yang secara khusus menjadi pusat perhatian di setiap zamannya. Pencapaian ilmu pengetahuan menjadi bukti sekaligus sebagai saksi sejarah peradaban umat manusia. Kemajuan yang dihasilkan dwi tunggal “ilmu” dan “teknologi” seolah telah mengalami

35

Abdul Qodir: Capaian Pendidikan Dalam Pendekatan Prinsip Theologi (Qadariyah) puncaknya. Apa yang dianggap mustahil di zaman lalu, kini menjadi kenyataan yang menakjubkan1. Makin maju peradaban, makin besar ilmu pengetahuan dan teknologi dan dalam banyak hal ia menggeser peranan takhayul, kekuatan supranatural, dan pengetahuan tradisional suatu masyarakat2. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai produk yang dihasilkan, manusia mampu menjawab berbagai asumsi yang pada mulanya tidak terbayangkan sama sekali dan dianggap sebagai sesuatu yang mustahil. Puncak kejayaan ilmu pengetahuan sebagai muara dari proses ikhtiar manusia dengan berbagai potensi yang dimilikinya. Dalam pandangan Islam, setiap manusia dilahirkan dengan membawa fitrah serta dibekali dengan berbagai potensi (pendengaran, penglihatan dan hati)3. Dengan bekal potensi tersebut selanjutnya proses belajar terjadi melalui beberapa tahapan, mulai dari proses panca indra (pandangan dan penglihatan) bekerja sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan sampai pada tahapan selanjutnya, yaitu transformasi dari panca indera (yang dapat dilihat dan didengar) kepada yang dapat dipahami. Tahapan tersebut mencerminkan hakikat manusia sebagai makhluk yang dinamis dan bertumbuh kembang menuju tingkat kematangan dan kedewasaan. Proses pendewasaan tersebut disebut dengan istilah pendidikan4. Hal ini senada dengan pernyataan Nursid Sumaatmadja, menurutnya pendidikan merupakan kegiatan mengubah perilaku individu ke arah kedewasaan dan kematangan5. Memahami pengertian pendidikan di atas setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa proses pendidikan merupakan upaya yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu, yaitu suatu perubahan dalam hal kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Tujuan tertentu akan dicapai dengan melalui proses latihan atau biasa kita sebut dengan istilah belajar. Berdasarkan rumusan di atas, dengan jelas digambarkan bahwa pencapaian dalam proses pendidikan ditentukan oleh pelaku pendidikan itu sendiri melalui proses belajar. Manusia dalam hal ini mendominasi peranannya sebagai penentu capaian pendidikan melalui proses belajar. Potensi yang dimiliki dan usaha keras yang dilakukan manusia menentukan sejauhmana capaian yang akan didapat. Muhammah Hamid al-Fandi memberi penjelasan bahwa pendidikan Islam memberikan kesadaran akan betapa pentingnya usaha dan kerja keras6. Singkatnya, capaian pendidikan tidak mungkin akan didapatkan tanpa usaha dan kerja keras untuk belajar. Tuhan dalam hal ini akan memberikan sesuatu kepada hambanya sejauh dari usaha dan kerja keras yang dilakukan olah manusia itu

1 Cecep Sumarna. Rekonstruksi Ilmu: dari empirik rasional ateistik ke empirik-rasional teistik. (Bandung: benang Merah Press. 2005) h. 5 2 T. jacob. Menuju teknologi berperikemanusiaan: pikiran-pikiran tentang Indonesia masa depan. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1995) h. 17 3 Depag RI. Al- dan Terjemahnya (surat an-Nahl ayat 78). Surabaya: UD Mekar. 1998. h. 413 4 Jamali sahrodi. Filsafat Pendidikan islam (cirebon: nurjati IAIN Publishr). h. 66 5 Nursid Sumaatmadja. Pendidikan pemanusiaan manusia manusiawi. (Bandung: Alfabeta.2002) h. 40 6 hamid al-fandi (esensi pendidikan islam) dalam H.A.R. tilaar, dkk. 0ntologi pendidikan islam. (yogyakarta: pilar edukasia.2010). h. 60 36

Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juli) 2019, p. 35-45. sendiri. Tuhan hanya sebatas memberi bekal potensi yang kemudian sepenuhnya dikelola oleh kehendak manusia. Berkaitan dengan penjelasan di atas mengenai pandangan tentang kebebasan manusia untuk berkehendak dalam menentukan dan mengelola segala potensinya, khususnya dalam proses pencapaian pendidikan, tampaknya ini senada dengan pandangan suatu paham aliran teologi7 yang menekankan bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan untuk mewujudkan perbuatannya8. Paham teologi tersebut yang dimaksud adalah paham aliran Qodariyah9. Tema ini menarik kiranya untuk kita kaji sebagai bahan refleksi sekaligus memaparkan satu pemahaman dari dua arus besar pemikiran yang berlawanan, dua arus pemikiran yang dimaksudkan adalah penolakan sekaligus penerimaan antara pemahaman tentang kekuasaan Tuhan yang mengintervensi dan kehendak manusia, sebagai dua subjek yang dipandang mempunyai peran penting dalam penentuan segala hal khususnya dalam proses pencapain pendidikan. Namun perlu disampaikan bahwa dalam pembahasan ini bukan bermaksud membahas secara detail mengenai konsep qadariyah, melainkan ini sebatas dijadikan sebagai dasar yang menginspirasi dari makna yang terkandung di dalamnya. Term Pendidikan Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh manusia secara terus menerus untuk memperoleh tujuan tertentu yang dibarengi dengan proses belajar. Nursid Sumaatmadja, mengartikan pendidikan sebagai proses kegiatan mengubah perilaku individu ke arah kedewasaan dan kematangan10. Muhibbin Syah mengartikan pendidikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman

7 Joesoep sou’yb memberi penjelasan mengenai makna theologi sebagai berikut: Theologi dalam bahasa Indonesia berasal dari (Inggeris) ataupun theologie (Perancis, Belanda) dan dua sebutan terakhir itu berasal dari theologia dalam bahasa Latin dan bahasa Grik Tua. Terhadap setiap kata dalam berbagai bahasa di Eropah itu orang senantiasa mencari akarnya pada bahasa Latin, sedangkan bahasa Latin itu berakar pada bahasa Grik Tua. Theology itu terdiri dari dua suku kata yaitu theo dan logia. Kata theo (kata tunggal) dan theos (kata banyak) sepanjang mithologi Grik Tua maupun mithologi Roma adalah panggilan bagi dewata dan para dewa-dewa. Akan tetapi kata theo itu dalam terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dinamakan dengan Tuhan. Kata logia itu, yang dalam bahasa Grik tua berasal dari kata (akal), bermakna: ajaran pokok (doctrine) atau teori (theory) atau ilmu (science). Justru theologia itu bermakna sebuah ajaran pokok ataupun sebuah teori ataupun sebuah teori ataupun sebuah ilmu tentang permasalahan tuhan dalam pengertian yang seluas-luasnya. Joesoep sou’yb. Perkembangan theology modern. 1987. Medan: Rinbow. h. 1-2 8 Harun nasution. Teologi islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan.jakarta: UI Press. 2002. h. 33 9 Qodariyah dalam pengertian terminologi yaitu suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak di intervensi oleh Tuhan. Abd. Rozak dan Rosihon Anwar. Ilmu . Bandung. Pustaka Setia. 2006. h.70 10 Nursid sumaatmadja. Pendidikan pemanusiaan manusia manusiawi. (bandung: alfabeta.2002) h.40 37

Abdul Qodir: Capaian Pendidikan Dalam Pendekatan Prinsip Theologi (Qadariyah) dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan11. Menurut Lawrence A. Cremin dalam Masdudi, mengartikan pendidikan sebagai sebuah upaya yang cermat, sistematis, berkesinambungan untuk melahirkan, menularkan dan memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, keterampilan dan perasaan dalam setiap kegiatan belajar yang dihasilkan dari kegiatan tersebut baik langsung maupun tidak langsung, baik sengaja maupun tidak12. Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1), pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terancana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara13. Dari beberapa penjelasan di atas, dengan demikian, pendidikan membantu manusia merealisasikan segala kemampuan potensi yang ada dalam dirinya untuk menjadi pribadi manusia yang mandiri. Melelui pendidikan, manusia akan lebih menjadi bernilai yang diikuti oleh peningkatan harkat, derajat dan martabatnya.

Antara Potensi Dasar (Fitrah) Manusia dan Pendidikan Ditinjau dari segi bahasa, fitrah berarti ciptaan, sifat tertentu yang mana setiap yang maujud disifati dengannya pada awal masa penciptaannya, sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir). Dengan deikian makna fitrah adalah suatu kekuatan atau kemampuan pada diri manusia sejak awal kejadiannya untuk komitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepadanya, cenderung kepada kebenaran dan potensi itu ciptaan Allah14. Berkaitan dengan fitrah manusia, Islam memberi pandangan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan membawa fitrah serta dibekali dengan berbagai potensi yang berbeda dengan manusia lainnya. Dengan bekal tersebut selanjutnya proses belajar terjadi melalui beberapa tahapan, mulai dari proses panca indra (pandangan dan penglihatan) bekerja sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan sampai pada tahapan selanjutnya, yaitu transformasi dari panca indera (yang dapat dilihat dan didengar) kepada yang dapat dipahami. Dari penjelasan di atas, nampaknya fitrah manusia tidak bisa terlepas dari proses pendidikan. Taqiyuddin menyebutkan bahwa manusia tanpa pendidikan, ia seakan-akan tidak memiliki panduan dan pedoman hidup. Keterpaduan antara manusia dan pendidikan juga dapat dilihat pada beberapa keistimewaan yang Allah SWT. berikan kepada manusia. Manusia adalah mahluk Allah SWT. yang sangat sempurna (Ahsan al-Khaliqin), jika dibandingkan dengan mahluk lainnya. Allah SWT Telah memberikan bekal kehidupan berupa seperangkat instrument dan content pendidikan yaitu akal pikiran (Al-‘Aql), hati nurani (Nur al-Qalb), dan panca indera. Melalui seperangkat instrument dan content pendidikan itulah

11 Muhibbin syah. Psikologi pendidikan dengan pendekatan. Bandung: remaja rosda karya. 2005. h. 10 12 Masdudi. Ilmu pengetahuan dalam perspektif islam. Cirebon: STAIN. 2007. h. 2 13 Ibid h. 2 14 Ibid h. 16 38

Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juli) 2019, p. 35-45. sehingga begitu manusia terlahir atau terlahirkan di atas bumi ini, ia telah siap menerima ajaran dari alam atau dari manusia lain yang telah lebih dulu ada. Begitulah seterusnya, bahwa proses terwujudnya manusia selalu beriringan dengan proses pendidikan15. . Longevel dalam Taqiyuddin mengklasifikasi manusia ke dalam tiga golongan. Pertama, manusia digolongkan sebagai mahluk yang dapat dididik (educable animal), kedua, manusia sebagai mahluk yang harus dididik (animal educandum), ketiga, manusia sebagai mahluk Allah yang dapat menerima materi pendidikan (homo education)16. Dari ketiga poin yang telah di sebutkan Longevel di atas mengindikasikan bahwa antara manusia dan pendidikan ibarat sesuatu yang tidak terpisahkan, begitu terlihat erat kaitannya antara keduanya.

Sosio Historis Lahirnya Qadariyah Menurut Luwis Ma’luf yang dikutip dalam bukunya Abdul Razak dan Rosihon Anwar menyebutkan bahwa Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang berarti kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan17. Dalam konteks ini Harun Nasution memberi penjelasan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan18. Dari rumusan di atas, dapat dipahami bahwa Qadariyah merupakan suatu nama aliran yang berkecenderungan menganggap manusia mempunyai kekuatan dan kebebasan berkehendak dalam mewujudkan tindakan-tindakannya. Dalam hal ini, manusia berada pada posisi yang mendominasi setiap tindakan-tindakannya. Persoalan mengenai kapan Qadariyah lahir dan siapa tokoh-tokohnya merupakan dua hal yang diperdebatkan19. Namun, Shalihun A. Nasir memberi penjelasan mengenai kemunculan Qadariyah, menurutnya Qadariyah mula-mula timbul sekitar tahun 70H./ 689 M. dipimpim oleh Ma’bad al-Juhni al-Bisri dan Ja’ad bin Dirham pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M)20. Namun dalam bukunya yang lain Shalihun menyatakan bahwa ada pendapat lain yang mengatakan bahwa sebenarnya yang mengembangkan ajaran- ajaran Qadariyah itu bukan Ma,bad al-Juhni. Ada seorang penduduk negeri Irak yang mulanya beragama Kristen kemudian masuk Islam, namun akhirnya kembali

15 Taqiyuddin. Pendidikan untuk semua dan falsafah pendidikan luar sekolah. Jakarta: kalam mulia.2008 16 ibid 17 Abd. Rozak dan Rosihon Anwar. Ilmu kalam. Bandung. Pustaka setia. 2006. h.70 18 Harun Nasution. Teologi Islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan.Jakarta: UI Press. 2002. h. 31 19 Abd. Rozak dan Rosihon Anwar. Ilmu kalam. Bandung. Pustaka setia. 2006. h.71 20 Shalihun A. Nasir. Pengantar ilmu kalam. Cet.2. 1994. Jakarta: Raja Grafindo. Hlm 128- 129 39

Abdul Qodir: Capaian Pendidikan Dalam Pendekatan Prinsip Theologi (Qadariyah) ke Kristen lagi. Dari orang inilah, Ma’bad al-Juhni mengambil pemikirannya21. Orang Irak yang dimaksud menurut al-Baghdadi dalam Abd. Rozak dan Rosihon, sebagaimana dikatakan Muhammad ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari al-Auzai adalah Susan22. Menurut Ahmad Amin dalam Abd. Rozak dan Rosihon Anwar, menyebutkan bahwa ada ahli theology yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghailan ad-Dimasqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan al-Basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan23. Adapun yang melatar belakangi munculnya Qadariyah, Shalihun berpendapat hal tersebut merupakan sebagai isyarat menentang kebijakan politik Bani Umayah yang dianggap kejam. Bani Umayah sebagai pengikut Jabariyah yang berpendapat bahwa khalifah Bani Umayah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah dan hal ini tidak berarti merupakan topeng kekejaman Bani Umayah24. Hal tersebut yang barangkali menjadi salah satu alasan mengapa Qadariyah perlu memberi batasan qadar. Menurut Qadariyah jika Allah telah menentukan terlebih dahulu nasib manusia, maka Allah itu dzalim25. Dalam hal ini, Mustopa memberi pandangan bahwa secara ringkas motif munculnya paham Qadariyah ada dua faktor. Pertama. Faktor eksternal: yaitu agama Nasrani. Pembicaraan tentang qadar telah terjadi jauh sebelum masa nabi Muhammad saw. Di kalangan pemeluk agama Nasrani pembahasan tentang qadar masih tetap dilakukan meskipun mereka telah masuk Islam. Kedua. Faktor internal, yaitu adanya tindakan protes dari kekuasaan Bani Umayah yang menganut paham Jabariyah yang selalu berdalih kepada takdir Tuhan26. Berdasarkan penjelasan di atas, Qadariyah lahir sebagai respon atas dinamika sosial dan keagamaan yang tidak lagi berpihak pada nilai-nilai keadilan di tengah struktur masyarakat. Qadariyah memandang bahwa agama seolah tergadaikan oleh kekuasaan, sehingga agama dipandang hanya berpihak pada penguasa, sekalipun penguasa itu dzalim. Agama tidak lagi berpihak pada rakyat kecil. Maka sebagai gerakan perlawanan atas kekuasaan yang dzalim, lahirlah suatu paham yang secara keras menentang paham yang sebelumnya dibangun secara mapan di bawah kekuasaan.

Doktrin Qadariyah Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang

21 Shalihun A. Nasir. Pemikiran kalam (Teologi Islam) sejarah, ajaran, dan perkembangannya. Cet.1. 2010. Jakarta: Raja Grafindo. h. 141 22 Abd. Rozak dan rosihon anwar. Ilmu kalam. Bandung. Pustaka setia. 2006. h.71 23 ibid 24 Shalihun A. Nasir. Pengantar ilmu kalam. Cet.2. 1994. Jakarta: Raja Grafindo. Hlm 129 25 Ibid 26 Mustopa. Mazhab-Mazhab dalam ilmu kalam. Dari klasik hingga modern. 2010. Cirebon: IAIN Publisher. h. 33 40

Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juli) 2019, p. 35-45. melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri27. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa doktrin Qadariyah pada dasarnya berpandangan bahwa manusia berkuasa atas tindakannya. Segala tingkah laku manusia ditentukan oleh kehendaknya sendiri. Dalam hal ini, manusia berada pada kekuasaanya sendiri. Manusia tidak lagi dikendalikan oleh Tuhan. Sebagai konsekuensinya, manusia harus mempertanggungjawabkan atas segala tindakan yang dilakukannya.

Rasionalitas Prinsip Theology Qadariyah dalam Konteks Pendidikan Qadariyah merupakan salah satu aliran yang lebih mengedepankan aspek rasio, sehingga peranan akal lebih diutamakan. Berkaitan dengan masalah pendidikan, maka Rasionalisasinya adalah bahwa untuk mencapai sesuatu yang kita harapkan dalam konteks pendidikan yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik itu tidak mungkin kita raih tanpa adanya proses belajar dan latihan secara terus-menerus. Maka dalam hal ini, ketiga ranah tersebut akan didapatkan tergantung sejauhmana usaha keras dalam proses belajar dan latihan sesorang. Tidak mungkin seseorang yang tidak melakukan proses belajar kemudian tiba-tiba memiliki ilmu pengetahuan yang ditandai dengan kematangan aspek (kognitif, afektif dan psikomotor).

Relasi Manusia dan Tuhan Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Allah tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang berat, akan tetapi, manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif. Dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dilatih terampil, manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan sehingga ia juga dapat berenang di laut lepas. Demikian juga, manusia dapat membuat benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat yang dibawa gajah, bahkan lebih dari itu. Dalam hal ini dipahami bahwa peran Tuhan adalah pencipta takdir yang tidak dapat dirubah oleh manusia, tetapi Tuhan memberinya daya pikir kreatif kepada manusia untuk melakukan sesuatu yang dikehendakinya.

Capaian Pendidikan Pendidikan merupakan proses ikhtiar manusia yang dilakukan demi memperoleh penambahan pengetahuan yang dibarengi dengan pengembangan potensi. Manusia dengan bekal alat-alat potensi dan kebebasannya untuk berkehendak melakukan segala perbuatannya mampu melahirkan kekuatan dahsyat sebagai hasil perpaduan antara keduanya. Dengan pendidikan, potensi

27 Harun Nasution. Teologi Islam. h. 31 41

Abdul Qodir: Capaian Pendidikan Dalam Pendekatan Prinsip Theologi (Qadariyah) yang dimiliki manusia dapat teroptimalisasikan dengan kerja keras melalui proses belajar. Dari proses belajar tersebut selanjutnya ilmu pengetahuan dapat diperoleh. Proses belajar dalam dunia pendidikan tidak terlepas daripada tujuan, tujuan pendidikan yang dimaksud harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu: 1) Ranah proses berfikir (cognitive domain) 2) Ranah nilai atau sikap (affective domain) 3) Ranah keterampilan (psychomotor domain)

1. Kognitif (proses berfikir) Kognitif adalah kemampuan intelektual siswa dalam berpikir, mengetahui dan memecahkan masalah. Aspek kognitif lebih didominasi oleh alur-alur teoritis dan abstrak. Pengetahuan akan menjadi standar umum untuk melihat kemampuan kognitif seseorang dalam proses pengajaran. Menurut Bloom (1956) tujuan domain kognitif terdiri atas enam bagian : a. Pengetahuan (knowledge); mengacu kepada kemampuan mengenal materi yang sudah dipelajari dari yang sederhana sampai pada teori-teori yang sukar. Yang penting adalah kemampuan mengingat keterangan dengan benar. b. Pemahaman (comprehension); mengacu kepada kemampuan memahami makna materi. Aspek ini satu tingkat di atas pengetahuan dan merupakan tingkat berfikir yang rendah. c. Penerapan (application); mengacu kepada kemampuan menggunakan atau menerapkan materi yang sudah dipelajari pada situasi yang baru dan menyangkut penggunaan aturan dan prinsip. Penerapan merupakan tingkat kemampuan berfikir yang lebih tinggi daripada pemahaman. d. Analisis (analysis); mengacu kepada kemampun menguraikan materi ke dalam komponen-komponen atau faktor-faktor penyebabnya dan mampu memahami hubungan di antara bagian yang satu dengan yang lainnya sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti. Analisis merupakan tingkat kemampuan berfikir yang lebih tinggi daripada aspek pemahaman maupun penerapan. e. Sintesa (evaluation); mengacu kepada kemampuan memadukan konsep atau komponen-komponen sehingga membentuk suatu pola struktur atau bentuk baru. Aspek ini memerlukan tingkah laku yang kreatif. Sintesis merupakan kemampuan tingkat berfikir yang lebih tinggi daripada kemampuan sebelumnya. f. Evaluasi (evaluation); mengacu kepada kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan tertentu. Evaluasi merupakan tingkat kemampuan berfikir yang tinggi. 2. Afektif (nilai atau sikap) Afektif atau intelektual adalah mengenai sikap, minat, emosi, nilai hidup dan operasiasi siswa. Menurut Krathwol (1964) klasifikasi tujuan domain afektif terbagi lima kategori:

42

Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juli) 2019, p. 35-45.

a. Penerimaan (recerving); mengacu kepada kemampuan memperhatikan dan memberikan respon terhadap sitimulasi yang tepat. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar terendah dalam domain afektif. b. Pemberian respon atau partisipasi (responding); satu tingkat di atas penerimaan. Dalam hal ini siswa menjadi terlibat secara afektif, menjadi peserta dan tertarik. c. Penilaian atau penentuan sikap (valung); mengacu kepada nilai atau pentingnya kita menterikatkan diri pada objek atau kejadian tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima, menolak atau tidak menghiraukan. Tujuan- tujuan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi “sikap dan apresiasi”. d. Organisasi (organization); mengacu kepada penyatuan nilai, sikap-sikap yang berbeda yang membuat lebih konsisten dapat menimbulkan konflik- konflik internal dan membentuk suatu sistem nilai internal, mencakup tingkah laku yang tercermin dalam suatu filsafat hidup. e. Karakterisasi / pembentukan pola hidup (characterization by a value or value complex); mengacu kepada karakter dan daya hidup sesorang. Nilai- nilai sangat berkembang nilai teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan lebih mudah diperkirakan. Tujuan dalam kategori ini ada hubungannya dengan keteraturan pribadi, sosial dan emosi jiwa.

Variable-variabel di atas juga telah memberikan kejelasan bagi proses pemahaman taksonomi afektif ini, berlangsungnya proses afektif adalah akibat perjalanan kognitif terlebih dahulu seperti pernah diungkapkan bahwa:

“Semua sikap bersumber pada organisasi kognitif pada informasi dan pengatahuan yang kita miliki. Sikap selalu diarahkan pada objek, kelompok atau orang hubungan kita dengan mereka pasti di dasarkan pada informasi yanag kita peroleh tentang sifat-sifat mereka.”

Bidang afektif dalam psikologi akan memberi peran tersendiri untuk dapat menyimpan menginternalisasikan sebuah nilai yang diperoleh lewat kognitif dan kemampuan organisasi afektif itu sendiri. Jadi eksistensi afektif dalam dunia psikologi pengajaran adalah sangat urgen untuk dijadikan pola pengajaran yang lebih baik tentunya. 3. Psikomotorik (keterampilan) Psikomotorik adalah kemampuan yang menyangkut kegiatan otot dan fisik. Menurut Davc (1970) klasifikasi tujuan domain psikomotor terbagi lima kategori yaitu : a. Peniruan ; terjadi ketika siswa mengamati suatu gerakan. Mulai memberi respons serupa dengan yang diamati. Mengurangi koordinasi dan kontrol otot-otot saraf. Peniruan ini pada umumnya dalam bentuk global dan tidak sempurna. b. Manipulasi ; menekankan perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan, penampilan, gerakan-gerakan pilihan yang menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Pada tingkat ini siswa menampilkan sesuatu menurut petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru tingkah laku saja. 43

Abdul Qodir: Capaian Pendidikan Dalam Pendekatan Prinsip Theologi (Qadariyah)

c. Ketetapan ; memerlukan kecermatan, proporsi dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan. Respon-respon lebih terkoreksi dan kesalahan- kesalahan dibatasi sampai pada tingkat minimum. d. Artikulasi ; menekankan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat dan mencapai yang diharapkan atau konsistensi internal di antara gerakan-gerakan yang berbeda. e. Pengalamiahan ; menurut tingkah laku yang ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan energi fisik maupun psikis. Gerakannya dilakukan secara rutin. Pengalamiahan merupakan tingkat kemampuan tertinggi dalam domain psikomotorik.

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa domain psikomotorik dalam taksonomi instruksional pengajaran adalah lebih mengorientasikan pada proses tingkah laku atau pelaksanaan, di mana sebagai fungsinya adalah untuk meneruskan nilai yang terdapat lewat kognitif dan diinternalisasikan lewat afektif sehingga mengorganisasi dan diaplikasikan dalam bentuk nyata oleh domain psikomotorik ini.

Kesimpulan Capaian pendidikan (ilmu pengetahuan) seperti yang kita rasakan sampai sekarang ini adalah buah karya dari hasil kerja keras para ilmuan yang dengan kebebasan berfikirnya mampu membongkar rahasia Tuhan yang terdapat di jagat raya ini. Dengan kebebasannya, manusia hadir sebagai sosok mahluk yang kreatif dan dinamis. Upaya dan kerja keras belajar dalam proses pendidikan pada gilirannya menghantarkan pada kematangan, baik kematangan dalam ranah kognitif, ranah afektif maupun ranah psikomotorik. Konsep yang ditawarkan dalam doktrin-doktrin Qadariyah, satu sisi dinilai sebagai pembawa perubahan yang signifikan sebagai suatu paham yang menekankan tentang kekuasaan manusia untuk berkehendak yang melahirkan produk manusia-manusia kreatif. Namun di sisi lain paham Qadariyah berimplikasi pada tercerabutnya pemahaman pada diri manusia tentang adanya dzat yang maha kuasa. Manusia terlampau lalai akan sesuatu yang hakiki yang pada gilirannya manusia lahir justru sebagai monster menakutkan yang eksploitatif terhadap alam sesuai dengan kehendaknya, tanpa mempertimbangan faktor keseimbangan.

Daftar Pustaka

Abd. Rozak dan Rosihon Anwar. Ilmu kalam. Bandung. Pustaka Setia. 2006 Abu Ahmadi Dan Joko Tri Prasetya. Setrategi Belajar Mengajar. (Bandung: Pustaka Setia. 2005) Ahmad . Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan. 2004. Bandung: Remaja Rosda Karya Cecep Sumarna. Rekonstruksi Ilmu: Dari Empirik Rasional Ateistik ke Empirik- Rasional Teistik.(Bandung: benang Merah Press. 2005)

44

Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 10 No. 1 (Januari-Juli) 2019, p. 35-45.

Depag RI. Al-Quran dan Terjemahnya (surat an-Nahl ayat 78). Surabaya: UD Mekar. 1998. Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.Jakarta: UI Press. 2002 H.A.R. Tilaar, Dkk. 0ntologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pilar Edukasia.2010 Jamali sahrodi. Filsafat Pendidikan Islam (cirebon: nurjati IAIN Publishr). Joesoep Sou’yb. Perkembangan Theology Modern. Medan: Rinbow. 1987 Masdudi. Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam. Cirebon: STAIN. 2007 Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2005 Mustopa. Mazhab-Mazhab dalam Ilmu Kalam. Dari Klasik Hingga Modern. Cirebon: IAIN Publisher. 2010 Nursid Sumaatmadja. Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi. Bandung: Alfabeta.2002 Shalihun A. Nasir. Pengantar Ilmu Kalam. Cet.2. Jakarta: Raja Grafindo. 1994 ------, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Cet.1. Jakarta: Raja Grafindo. 2010 Taqiyuddin. Pendidikan untuk Semua dan Falsafah Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Kalam Mulia.2008 T. Jacob. Menuju Teknologi Berperikemanusiaan: Pikiran-Pikiran Tentang Indonesia Masa Depan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1995

45

Abdul Qodir: Capaian Pendidikan Dalam Pendekatan Prinsip Theologi (Qadariyah)

Blank paper

46