1

Pemerintahan Keluarga Warmadewa di Serta Hubungannya Dengan Jawa Timur Oleh :Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si

NIP. 197410042002121001

Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana

Dipublikasikan dalam Buku Pusaka Budaya Dan Nilai-nilai Religiusitas, Editor : I Ketut Setiawan, Seri Penerbitan Ilmiah Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar, 2008. Hal 138-161.

I.Pendahuluan

Pembahasan mengenai keluarga Warmadewa di Bali serta hubungannya dengan Jawa Timur akan digunakan sumber-sumber prasasti sebagai data dalam menganalisis keterkaitan kedua kerajaan tersebut. Yang dimaksud prasasti dalam pembicaraan ini pada hakekatnya sesuai dengan penjelasan yang telah diberikan oleh J.G. de Casparis dan Boechari, yaitu sumber- sumber sejarah dari masa lampau yang umumnya tertulis pada batu atau logam. Sebagian besar di antaranya dikeluarkan oleh raja-raja yang memerintah di kepulauan sejak kira-kira abad XV. Ada yang panjang naskahnya, ada pula yang hanya memuat angka tahun atau nama seorang pejabat kerajaan. (Casparis 1925 : 21-23; Boechari 1975: 48; 1977 : 2). Khusus untuk pulau Bali, periode penerbitan prasasti-prasastinya lebih singkat dibandingkan dengan periode tersebut di atas, yaitu kira-kira antara abad VIII sampai dengan abad XIV (Goris 1954: 2-44; 108-115), (Semadi Astra, 1982: 61).

Dalam pengertian yang lebih luas data atau keterangan ikonologis yang termuat dalam prasasti mencakup tujuh bagian atau kelompok, yaitu : (a) dewa yang diseru pada awal prasasti, (b) dewa yang dipersamakan dengan raja, atau yang dianggap menjelma ke dalam diri raja, (c) dewa-dewa yang diseru pada bagian prasasti yang berisikan kutukan, (d) saji-saji yang disiapkan pada upacara peneguhan, (e) jalannya upacara peneguhan sima, (f) nama dan peranan pejabat keagamaan, dan (g) jenis-jenis tempat suci (Sedyawati dkk, 1981 : 1), (Semadi Astra, 1982 : 62).

Beberapa sarjana telah menulis topik pembicaraan dengan memanfaatkan prasasti sebagai sumber penulisan. Misalnya Boechari “Epigrafi dan Sejarah Indonesia”, (Boechari, 1977 c: 1- 40), Goris, R menulis Prasasti Bali I, (Goris, R 1954a) dan Prasasti Bali II, (Goris, R 1954b), I Gde Semadi Astra menulis Data Ikonologis dalam Prasasti-prasasti Bali: Sebuah Uraian Deskriptif, (Semadi Astra, 1982: 61-69), dan masih banyak karangan lainnya lagi yang dimuat dalam buku, majalah-majalah, penelitian-penelitian, maupun makalah yang dibawakan dalam seminar. 2

Pentingnya fungsi prasasti dilatarbelakangi karena prasasti merupakan piagam resmi seorang raja atau pejabat kerajaan tertentu, maka tanggapan pertama yang dapat diberikan kepada prasasti ialah kepercayaan dan kebenaran. Oleh karena itulah maka prasasti-prasasti dapat dikatakan menjadi sumber utama untuk mengetahui hak dan kewajiban seseorang, sesuatu desa ataupun sesuatu bangunan suci tertentu, bahkan kadang-kadang dapat pula peristiwa sejarah yang penting yang menyebabkan ditentukannya hak dan kewajiban tersebut. (Wibowo, 1977 : 63).

Pada kesempatan ini akan dicoba untuk menganalisis Pemerintahan Keluarga Warmadewa di Bali serta hubungannya dengan Jawa Timur dengan menggunakan sumber- sumber prasasti. Dalam artikel ini akan dijabarkan dalam beberapa pokok pengkajian yaitu mengkaji terlebih dahulu kronologi pemerintahan keluarga Warmadewa di Bali, pemerintahan keluarga Icanawamsa di Jawa Timur, dan memahami hubungan antara keluarga Warmadewa di Bali dengan Jawa Timur.

I.1 Kronologi Pemerintahan Keluarga Warmadewa Di Bali.

Sejarah politik dan Kebudayaan Bali banyak diwarnai oleh aktifitas sebuah dinasti yang terkenal dengan sebutan Warmadewa. Keluarga raja-raja Warmadewa pertama kali muncul dalam sejarah pada tahun 835 Caka (Bambang Sumadio, 1976 : 138), dan untuk mengungkapkan mengenai raja-raja ini secara kronologis maka kita lebih banyak akan menggunakan sumber- sumber prasasti.

Kalau kita membaca data-data yang diungkapkan dalam prasasti maka dapatlah kita menyusun kronologi pemerintahan raja-raja Warmadewa sebagai berikut :

1. Cri Kesari Warmadewa (835 Caka)

Sepanjang diketahui sampai saat ini, bagindalah nama raja Bali yang pertama yang terbaca dalam prasasti. (Semadi Astra, 1977: 12). Mengenai raja ini telah diketemukan tiga buah prasasti atas nama baginda yaitu berupa prasasti-prasasti yang bernomor : 005b Blanjong, Sanur (Nomor lama 103) = D.4., 005c Panempahan, 005d Malat Gede (Lihat Goris, P.B.I, P.9, p.64, Goris PB, II p.131,p.185,p.195). Ketiga prasasti dari raja Kesariwarmadewa ini merupakan tanda kemenangan terhadap musuh-musuhnya, atau dengan lain perkataan prasasti ini merupakan Jayastambha. Untuk lebih jelasnya diuraikan sepintas tentang data-data arkeologi sebagai berikut:

1. Prasasti Blanjong, menggunakan dua bahasa yaitu, yang berbahasa Bali Kuna dengan huruf Sanskerta dan berbahasa Sanskerta memakai tulisan Bali Kuna yang memuat angka tahun dalam candra sangkala, yang berbunyi “sara wahni murti” (sara=5, wahni=3,murti= 8) jadi 835 Caka. Selain tahun ada juga disebut nama seorang raja yaitu : Cri Kesari Warmadewa, dan keraton (istana) baginda tersebut di Singhadwala. (Goris, 1948: 4-5). 3

2. Prasasti Panempahan (Utara Tampaksiring). Prasasti ini isinya mirip dengan prasasti Malat Gede dan terdiri dari empat baris kalimat, angka tahunnya rusak, tetapi dapat dipastikan juga dari tahun 835 Caka, nama rajanya Sri Kaisari. 3. Prasasti Malat Gede, prasasti ini terdapat angka tahunnya dengan jelas 835 C.

2. Sang Ratu Cri Ugrasena (837 Caka)

Raja yang memerintah di Bali setelah pemerintah Cri Kesari Warmadewa adalah Sang Ratu Cri Ugrasena. Mengenai raja ini disebut dalam prasasti Babahan I yang menyebutkan pemerintahan seorang raja yaitu: “Sang Ratu Cri Ugrasena”, yang memerintah tahun 837 – 864 Caka (Goris, Prasasti Bali I, 104, 64 atau D7). Adapun masa pemerintahannya sejaman dengan masa pemerintahan raja Empu Sendok di Jawa Timur. Raja ini mengeluarkan 9 buah dan prasastinya yang terakhir berangka tahun 864 Caka (Prasasti Dausa, Pura Bukit Indrakila, PB I, 109, hal. 71-72). Bagaimana hubungan Kesari Warmadewa dengan Ugrasena tidak jelas sehingga perlu adanya penelitian yang seksama, dan setelah kerajaan Ugrasena, kita menjumpai lagi raja-raja yang memakai gelar Warmadewa, seperti halnya raja Kesari.

3. Sang Ratu Sri Aji Tabanendra Warmadewa (877 Caka)

Sang Ratu Sri Aji Tabanendra Warmadewa memerintah bersama dengan permaisurinya yang bernama Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi. Raja ini mengeluarkan juga beberapa prasasti atas nama beliau serta menyebutkan angka tahun pemerintahannya yaitu 877 Caka (Prasasti dari Manikliu, Goris no. 202-204, memang benar tahun 877 Caka). Dari salah satu prasastinya (Goris PB I, 206, 76 – 77) ada penyebutan tentang “sang ratu sang sidha dewata sang lumah di Air Mandatu”. Berdasarkan perbandingan dengan prasasti lain, dapat ditentukan bahwa yang dicandikan di Air Mandatu adalah raja Ugrasena (Bambang Sumadio, ed, 1976 : 140). Jadi dengan demikian berarti bahwa raja Tabanendra adalah salah seorang keturunan dari raja Ugrasena.

4. Indra Jayasingha Warmadewa (882 Caka)

Dari sebuah prasasti yang sekarang tersimpan di sebuah pura Sakenan desa Manukaya, disebut seorang raja yang bernama Jaya Singha Warmadewa. Prasasti ini berangka tahun 882 Caka, berdasarkan prasasti dari Manukaya (Tirta Empul, Goris no. 205). Stutterheim membaca 884 Caka, Damais membaca 882 Caka. Stutterheim dalam karangannya Oudheden Van Bali I, membaca nama raja di dalam prasasti ini Candrabhayasingha Warmadewa. Tetapi menurut Damais, nama rajanya bukan Candrabhayasingha Warmadewa, melainkan Wendra Jayasingha Warmadewa. Dalam penelitian lebih lanjut dibaca Indra Jayasingha Warmadewa. (Lihat, Bambang Sumadio, ed 1984: 295).

Keterangan yang sangat penting dari prasasti ini adalah penyebutan tentang pembuatan telaga dari sumber suci yang terdapat di desa Manukraya dan desa ini sekarang bernama 4

Manukaya serta permandian suci itu adalah Tirta Empul (di dalam prasasti disebut Tirtha di air Hampul) yang letaknya sekarang di Tampaksiring.

Melihat angka tahun ini jelas Indra Jaya Singha Warmadewa muncul di antara tahun pemerintahan Tabanendra (877-889 Caka). Timbul suatu pertanyaan mengapa Jayasingha Warmadewa muncul sebagai penguasa di tengah-tengah pemerintahan Tabanendra? Kalau kita melihat angka tahunnya tidak mungkin ada kesalahan pembacaan angka tahun, sebab Damais mengadakan pembacaan sangat teliti mengenai hal ini. Satu-satunya kemungkinan yaitu raja Indra Jayasingha Warmadewa ini merebut kekuasaan dari tangan Tabanendra untuk beberapa tahun tetapi kemudian dapat merebut kembali oleh Tabanendra. Sampai di mana akan kebenaran dugaan ini, memerlukan penelitian yang mendalam lagi.

5). Janasadhu Warmadewa (897 Caka). Raja ini memerintah pada tahun 897 Caka. Tidak ada keterangan lain yang dapat kita peroleh dari raja ini kecuali tentang anugrah raja terhadap desa Julah. 6). Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (905 Caka) Pada tahun 905 Caka muncul seorang raja putri yang bernama “Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Ratu ini tidak mempergunakan abhiseka raja Kula Warmadewa sehingga menimbulkan banyak interpretasi mengenai raja ini. Prasasti nomor 210 Gobleg, Pura Desa II = D 18 yang bertahun Caka 905, adalah satu-satunya pula prasasti yang telah diketemukan atas nama ratu ini (Semadi Astra, 1977 : 15). Prasastinya menyebutkan desa air Tabar, yaitu sebuah desa di Buleleng. Tersebut juga nama Bukit Tunggal yang mungkin dengan bukit Sinunggal, yang kini terdapat di Buleleng bagian Timur. Selain itu dijumpai pula nama-nama jabatan yang lazim diketemukan dalam prasasti di Jawa, tetapi nama-nama ini tidak dikenal di Bali seperti Makudur, Wadihati dan Pangkaja (Bambang Sumadio, 1984 : 296). Mengingat sangat sedikitnya data-data mengenai ratu ini maka banyak interpretasi di antara para sarjana di antaranya : Pendapat Van Stein Callenfels dan sarjana lainnya. Van Stein Callenfels berpendapat bahwa ratu ini adalah seorang putri dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Hal ini berarti bahwa raja Sriwijaya memperluas kekuasaannya sampai ke Bali. Pendapat ini mula-mula didukung oleh Goris yang menjelaskan bahwa ratu ini juga berasal dari kerajaan Sriwijaya (Goris, 1957 : 19). Pendapat yang berbeda diungkapkan oleh Damais, yang berpendapat bahwa ratu ini adalah putri Empu Sindok yang bernama “Sri Isanatunggawijaya”. Pendapat ini juga didukung oleh Ida Ayu Putu Adri dalam karangannya “Sedikit Tentang Cri Maharaja Wijaya Mahadewi”, yang juga menyimpulkan bahwa Cri Maharaja Wijaya Mahadewi adalah putri Empu Sindok (Lihat Adri, 1979 : 24).

7) Dharma (911 Caka) Dharma Udayana Warmadewa muncul di atas panggung sejarah Bali setelah berakhirnya pemerintahan Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Dan nama gelarnya jelaslah bahwa Udayana adalah seorang keturunan dinasti Warmadewa yang sedarah dengan Sri Kesari Warmadewa yang 5 dianggap cakal bakal dinasti Warmadewa. Udayana Warmadewa memerintah bersama sama dengan permaisurinya yang bernama Sri Gunapriya Dharmapatni yakni putri yang berasal dari Jawa Timur. Putri ini adalah anak dari Makutawangsawardana, sedangkan Makutawangsawardana adalah cucu raja Sendok yang bertahta di Jawa Timur dari 992-943 M (851-865 Caka) sedangkan di Bali pada waktu itu bertahta Cri Ugrasena (Goris, 1948 : 6). Mengenai tokoh ini banyak sarjana mempunyai pendapat yang berbeda-beda dari para sarjana. F.D.K. Bosch berpendapat bahwa Udayana yang tersurat dalam petirtaan di Jalatunda anak seorang putri Kamboja yang melarikan diri ke Jawa Timur dan kemudian kawin dengan . Sedangkan J.L.Moens, berpendapat bahwa ada dua tokoh yang bernama Udayana yaitu Udayana I dan Udayana II. Udayana I memerintah di Jawa Timur kemudian dicandikan di pemandian Jalatunda. Udayana II adalah putra Udayana I dan memerintah di Bali, tetapi sebelum kawin dengan Mahendradatta, putri ini telah kawin dengan Dharmawangca yang akhirnya melahirkan (Bambang Sumadio, (ed) 1984 : 297). Pendapat ini disetujui oleh Goris (Goris, 1965 : 23), tetapi Goris menambahkan bahwa Airlangga lahir di Bali pada tahun 913 C. Kalau kita teliti secara seksama pendapat Moens berdasarkan atas data arkeologis maka ada kelemahan antara lain dalam prasasti tidak pernah termuat adanya dua tokoh prasasti Udayana. Terutama Jalatunda yang berisikan Short Inscription menyebutkan Udayana Gempeng Mrigayawati dan angka tahun 899 Caka kata gempeng sama sekali tidak sama dengan mati. Perkataan gempeng mungkin sama dengan gempung (Bali Baru) dan berarti: remuk, hancur, sedih. Dalam bahasa Jawa Baru gempung atine berarti: sedih hatinya (Bambang Sumadio, (ed) 1948: 298). Kata mati (wafat) dalam prasasti selalu diganti dengan lumah. Oleh karena kata gempeng bukan berarti mati maka teori Moens yang menyatakan Jalatunda adalah Percandian (pedharman) adalah tidak benar, karena tahun 899 Caka Udayana tidak mati. Moens menyatakan bahwa Mahendradatta adalah istri dari Darmawangsa yang melahirkan Airlangga. Data Arkeologi baik di Jawa Timur maupun di Bali tidak pernah menyebut perkawinan antara Mahendradatta dengan Darmawangsa malahan diperkirakan saudaranya. Menurut Goris ada sebuah prasasti di Bali yaitu prasasti Pucangan yang memuat angka kelahiran Airlangga yaitu tahun 922 Caka. Di sini jelas bahwa Airlangga lahir di Bali dari ayah Udayana dan ibunya Mahendradatta. Pada tahun 1016 Caka beliau dinikahkan dengan putri seperti yang disebutkan dalam prasasti Kalkuta. Ini berarti bahwa Airlangga dilahirkan bukan dari perkawinan Mahendardatta dengan Dharmawangsa, tetapi adalah sebagai hasil perkawinan Mahendradatta dengan Udayana lahirlah Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Menarik perhatian prasasti yang tersimpan di Pura Batu Madeg (di kompleks Pura Besakih). Prasasti ini berangka-tahun 1393 Caka. Tetapi di dalamnya menyebut lagi prasasti lainnya yang lebih tua dengan tahun candra sengkala “nawa sanga apit lawang” atau tahun 929 Caka. Prasasti ini dinamai bradah, isinya memperingati kunjungan Mpu Bharada yang pertama kali ke Bali sehubungan dengan mangkatnya Mahendradatta (Gunapriya). Kunjungan ini sangat penting Mahendatta adalah keturunan raja Sindok (Bambang Sumadio, (ed) 1984 : 299). Berdasarkan prasasti yang ditemukan dapat diduga bahwa Gunapriya mangkat antara tahun 923-933 Caka, sedangkan Udayana sendiri mangkat setelah tahun 933 Caka. Dengan ini didasarkan atas prasasti Air Hawang (933 Caka) yang hanya menyebut nama Udayana sendiri (Goris, PB. I, 305, hal 14). Dalam tahun Caka 938 Udayana mangkat. Hal ini dibuktikan oleh bunyi prasasti Sang ratu Cri Ajnadewi yang disimpan di desa Jullah. Dari prasasti Anak Wungsu 6 kita mengetahui bahwa Gunapriya dicandikan di Buruan dan Udayana dicandikan di Air Weka (=Banu Weka). Letak candi patung Gunapriya ini terdapat di desa Kutri (Buruan). Patungnya merupakan Durga Mahisa Sura-mardhini. Di desa Kutri terdapat 2 buah patung yang merupakan Durga yakni : sebuah terdapat di dalam pura Kedarman di Buruan (tingginya 220 cm) dan sebuah lagi terdapat di dalam pura Puseh (agak kecilan, tingginya 63 cm). Setelah menjadi duda, aktifitas Udayana tidak banyak karena prasasti-prasastinya nama sang permaisuri selalu disebutkan terlebih dahulu dan baru kemudian namanya sendiri. Prasasti terakhir yang menyebut nama Udayana adalah prasasti Air Hawang berangka tahun 933 Caka. Setelah prasasti tersebut ada prasasti yang memuat sebutan “Bhatara Lumah di Banu Weka” yaitu prasasti Hyang atau prasasti Ujung. Mungkin yang dimaksudkan Bhatara Lumah di banu Weka adalah Udayana sendiri karena setelah prasasti Air Hawang tidak ada catatan lagi tentang Udayana. Ada yang mengira Pura Yeh Mengening di sebelah Barat Daya Tirta Empul atau di sebelah Utara , Tampaksiring, mungkin merupakan tempat percandian dari Udayana (Bambang Sumadio, (ed) 1984 : 298). 8) Marakata (944 Caka) Setelah Udayana wafat pemerintahan selanjutnya dipegang oleh putra beliau yaitu Marakata dengan abhiseka “Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana Uttunggadewa”. Dari nama Abhiseka yang dipergunakannya dapat disimpulkan bahwa leluhur Marakata itu dari fihak ibunya yang dianggap lebih tinggi derajadnya dari derajat leluhur ayahnya, ternyata dari uraiannya sebagai berikut: Dharmawangca (Wardhana) yaitu nama dinasti Dharmawangsa. Dharmawangsa Teguh dan Mahendradatta, Uttunggadewa nama Sindok (Goris, 1957: 21). Di dalam prasasti Tengkulak I raja ini disebut “Weka” (anak) dari haji dewata Sang Lumah ring Air Weka Sejalu Stri”. Data-data arkeologi yang menjelaskan mengenai raja ini adalah: Prasasti dari baturan (sekarang Batuan), prasasti dari Bila (Sawan) dan Prasasti dari desa Tengkulak tahun Caka 945. Dilihat dari tahun pemerintahannya maka pemerintahan Marakata sejaman dengan pemerintahan Erlangga di Jawa Timur yaitu 943 Caka-964 Caka. Kedua tokoh ini menggunakan abhiseka Dharmawangca dan Uttunggadewa sehingga Sttuterheim berpendapat memerintah Jawa Timur dan di Bali. Raja Dharmawangcawardhana Marakata Pangkajasthana Uttunggadewa mangkat di antara tahun Caka 947-Caka 971. Beliau dicandikan di Camara dan pengganti beliau adalah Anak Wungsu.

9) Anak Wungsu (971 Caka). Dalam prasasti 402 Trunyan AII (Caka 971) = D.32, untuk memaksudkan raja ini disebutkan “Padukahaji Anak Wungcu Nira Kalih Bhatari Sang Lumah I Burwan, Mwang Bhatara Dewata Sang Lumah Ring Banuwka” (Callenfels, EB, pp.22-23). Di antara raja-raja Bali Kuna Anak Wungsu boleh dikatakan merupakan raja yang paling aktif mencatat atau mengabdikan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di jamannya, tidak kurang dari 28 buah prasasti. Dalam sebuah prasasti 983 Caka diceritakan di desa Sukawana tentang Bhatari Mandul, di Gunung Penulisan (desa Sukawana) ditemukan arca yang memakai tulisan Bhatari Mandul 7 dan bertahun 999 Caka (Goris, 1948: 9). Maka dapat dipahami bahwa Bhatari Mandul itu seorang istri Anak Wungsu yang tiada mendapat putra. Di Pura Penataran, Tampaksiring ada sebuah arca tingginya 93 cm, yang dianggap sebagai arca Anak Wungsu beserta permaisurinya (Bernet Kempers, 1960: 85). Di dalam prasastinya disebut-sebut sebagai seorang raja yang penuh belas kasihan, senantiasa memikirkan kesempurnaan duniawi yang dikuasainya dan beliau merupakan penjelmaan dari dewa kebaikan. Suatu hal yang menarik perhatian adalah bahwa prasasti-prasasti dari Anak Wungsu ini diketemukan di Bali Selatan, Tengah dan Utara misalnya: Jullah (Bali Utara), Trunyan (Bali Tengah, dan Sukawati (Bali Selatan), dan ini berarti bahwa tidak mustahil bahwa temuan prasasti selanjutnya mungkin akan menambah keterangan luasnya daerah kekuasaan Anak Wungsu. Untuk Sejarah dinasti ini yang penting adalah (lihat Goris: 1957 : 28). 1. Prasasti tentang desa Luntungan yang kini tersimpan di desa Dawan (No.404 a, C 975). 2. Prasasti tentang desa Parcanigayan yang kini disimpan di desa Dausa (No. 407, C. 983). 3. Prasasti tentang desa Sukawati (No. 435 tidak ada tahunnya). 4. Prasasti tentang Simarajang yang kini disimpan di desa Pandak Badung (No.435, C.993). Raja Anak Wungsu (971-999) Lumah di Jalu dan istrinya Bhatari Mandul di atas Gunung Panulisan (Jalu itu adalah suatu candi yang terletak dekat “Wihara” Gunung Kawi (Tampaksiring).

Dengan berakhirnya pemerintahan Anak Wungsu di Bali berarti berakhir pulalah pemerintahan keluarga Warmadewa di Bali.

1.2. Pemerintahan Keluarga Icanawamsa di Jawa Timur

Mengenai pemerintahan keluarga Icana sedikit sekali dijumpai prasasti-prasasti pada masa itu, maka untuk memberikan gambaran tentang keluarga ini akan mempergunakan salah satu sumber yang berupa prasasti yaitu prasasti Pucangan yang dibuat oleh raja Airlangga pada tahun 963 Caka (Goris, 1957: 19). Mengenai prasasti Pucangan, yang sekarang masih disimpan di Museum Calkuta, merupakan batu bertulis, dan di atas batu terdapat inkripsi, satu dalam bahasa Sanskerta dan yang sebagian lagi dengan bahasa Jawa Kuna. Dalam prasasti itu disebutkan orang leluhur Erlangga yaitu yang dimulai dari (1) Sindok, (2) anak putri Sindok, Icanatunggawijaya, yang kawin dengan Lokapala. (3) Makutawangsawardhana, berputra dua orang yaitu: Teguh Anantawikrama dan Mahendradatta (4) Darmawangsa.

Mengenai pemerintah keluarga ini akan dikaji hal-hal yang mungkin ada sangkut pautnya dalam rangka kita mencari data-data tentang hubungan antara keluarga Warmadewa di Bali dengan Jawa Timur. Lebih jelasnya juga akan diuraikan kronologi pemerintahan raja di Jawa Timur.

1. Sindok (851-869 Caka) (92-947 M). 8

Dari prasasti yang dikeluarkan oleh Pu Sindok pada awal abad X terdapat kalimat yang mengatakan bahwa Pu Sindoklah raja pertama yang memindahkan pusat pemerintahannya di Jawa Timur sesuai dengan bunyi kalimat sebagai berikut: “kita prasidha manraksa kadatwan rakyanta I bhumi Mataram I watugaluh”, yang artinya kita berhasil memelihara kerajaan leluhur yang berada di bumi medang di pusat watugaluh. Kata watugaluh yang sampai saat ini dihubungkan dengan salah satu tempat di Jawa Timur tidak terdapat prasasti sebelum Pu Sindok, baik pada pemerintahan Wawa, Daksa. Kalimat hanya berbunyi: kita prasidha manraksa kadatwan rakryanta I mdang I bhumi Mataram. Di sini jelas bahwa walaupun raja-raja sebelum Pu Sindok telah meninggalkan prasasti di Jawa Timur, namun beliau belum memusatkan kerajaannya di Jawa Timur. Dalam masa pemerintahannya, Pu Sindok dibantu oleh istrinya, yang bernama Sri Parameswari Sriwardhani pu Kbi. Para sarjana memperkirakan Pu Sindok naik tahta kerajaan dengan latar belakang perkawinan dengan anak wawa. Maka setelah dinobatkan menjadi raja pada tahun 929 Sri Maharaja Rake Hino Sri Isanawikrama dharmmottunggadewa. Dari abhiseka Sindok kita melihat secara jelas bahwa setelah berhasil menjadi raja Sindok seolah-olah memproklamirkan diri sebagai cikal bakal Icanawamsa, yang berarti berbeda kewangsaannya dari raja-raja sebelumnya, adalah keturunan dari perpaduan Cailendrawamca dan Sanjayawamca. Pada masa pemerintahannya lebih dari dua puluh prasasti yang dikeluarkan oleh Pu Sindok, selama masa pemerintahannya yaitu 929-948 M. Dari prasasti-prasasti dapat dipahami pemerintahan Pu Sindok berjalan dengan aman dan tenteram. Hal dapat diketahui dari usaha-usaha yang dilakukannya antara lain dengan jalan memberikan hadiah-hadiah kepada bangunan suci berupa hak tanah dan juga perhatiannya pada bidang sastra. Ada sebuah kitab suci yang terhimpun selama Pu Sindok memerintahan yaitu: Sang Hyang Kamahayanikan, yang mengandung tentang ibadah dan ajaran Budha Tantrayana, sedangkan Sindok sendiri beragama Hindu (Bambang Sumadio, 1976 : 94). 2. Icanattunggawijaya dan Makutawangsawardhana.

Sindok memerintah sampai tahun 947 M (Soekmono, 1973: 50). Dari prasasti yang dikeluarkan oleh Airlangga dan yang disimpan kini di Museum Calcutta (Prasasti Calcutta), kita mengetahui bahwa Sindok digantikan oleh anak perempuannya yang bernama Cri Icanattunggawijaya yang bersuamikan raja Lokapala dan dari perkawinan ini lahirlah anak laki-laki yang bernama Makutawangsawardhana. Mengenai kedua raja pengganti Sindok ini tidak banyak yang bias kita sampaikan, tetapi suatu hal yang perlu dan bahkan harus kita sampaikan adalah bahwa Makutawangsawardhana, yang digambarkan sebagai “matahari dalam keluarga Icana”, mempunyai seorang anak perempuan yang cantik sekali yang bernama Mahendadatta atau Gunapriyadharmapatni dan yang bersuamikan raja Udayana dari keluarga Warmadewa di Bali.

3. Dharmawangsa 991-1016 M 9

Pengganti Makutawangsawardhana adalah Cri Dharmawangca Teguh Anantawikramottunggadewa. Tidak diketahui apakah raja ini saudara Mahendradatta dan demikian termasuk keluarga Icana atau bukan. Pada saat pemerintahannya kitab Mahabharata disadur dalam Bahasa Jawa Kuna, dan ada pula disusun sebuah kitab hukum yang bernama Ciwasasana (tahun 991). Di dalam bidang politik Dharmawangca berusaha keras untuk menundukan Criwijaya dan cita-citanya ini memang berhasil. Yang menjadi tanda tanya apakah raja ini ada hubungannya dengan keluarga Warmadewa di Bali. Mengenai hal ini kami akan permasalahakan pada bab berikutnya. Dalam tahun 1016 M kerajaan Dharmawangca sekonyong-konyong mengalami pralaya (=kehancuran). Sang raja beserta pembesar lainnya gugur dari pralaya ini dapat meloloskan diri Airlangga, anak Mahendradatta yang waktu itu ada di Jawa dan telah kawin dengan anak Dharmawangsa. Apa sesungguhkan yang menyebabkan pralaya ini tidak dapat dipastikan, hanya ada perkataan “raja Wurawari sewaktu keluar dari Lwaran” pada prasasti Calcuta itu memberi kesan, bahwa kerajaan Dharmawangsa dimusnakan oleh raja Wurawari tersebut.

4. Airlangga 1019-1042 M Di dalam prasasti Pucangan disebutkan, bahwa keraton Dharmawangca Teguh dirusakan dalam tahun 938 Caka (Raja dibunuh, sedangkan Airlangga yang baru berumur 16 tahun (lahir 922 Caka) lari ke hutan dengan pengikutnya yang bernama Narotama. Pada tahun 1019 M, Airlangga dinobatkan menjadi raja sebagai pengganti Dharmawangca dengan gelar Cri Maharaja Rake Halu Cri Lokecwara Dharmawangca Airlangga Anantawikramottunggadewa. Dalam prasastinya yang kini tersimpan di Calcuta, Airlangga menjelaskan tentang asal-usulnya yaitu mulai dari Sindok, untuk membenarkan kedudukannya sebagai raja yang sesungguhnya atas wilayah dahulunya. Dalam tahun 943 Caka terbit prasasti Airlangga yang pertama. Raja ini menerbitkan prasasti-prasasti sampai tahun 964 Caka. Dalam tahun 963 Caka beliau menerbitkan sebuah prasasti tentang Pucangan. Jadi masa itu Airlangga menjadi raja di Jawa Timur (Keraton Koripan), sedangkan saudaranya bertahta di Bali (Goris, 1957: 27). Airlangga mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Sanggramawijaya tetapi setelah tiba masanya, putri ini menolak menjadi raja dan memilih penghidupan sebagai pertapa dan atas usaha Airlangga dibuatlah untuknya sebuah pertapaan di Pucangan dan di sinilah Sanggramawijaya menarik diri sebagai Kili Suci. Timbullah kini kesulitan bagi Airlangga, karena dengan kepergiannya putri mahkota ini dua orang anaknya laki-laki mungkin akan merebut tahta. Diputuskan dalam tahun 1041 M untuk membagi negaranya di Jawa Timur, terlebih dahulu beliau mengutus Empu Bharada ke Bali, untuk menyarankan agar salah seorang putranya menjadi raja di Bali. Tetapi rencana ini ditolak oleh Empu Kuturan. Oleh karena demikian, maka Airlangga menyuruh Empu Bharada hendak memutuskan batas-batas antara bagian Jenggala (Koripan) dan bagian Kediri. 10

Setelah membagi kerajaannya, Airlangga mengundurkan diri sebagai pertapa dengan nama Rsi Gentayu. Ia wafat dalam tahun 1049 M dan dimakamkan di Tirtha, sebuah bangunan suci yang terdiri atas kolam-kolam di lereng Gunung Bagian Timur Gunung Penanggungan dan yang terkenal sebagai Candi Belahan.

1.3. Hubungan Keluarga Warmadewa di Bali Dengan Jawa Timur

Dari uraian kami tersebut di atas maka dapatlah kita membayangkan sampai di manakah hubungan antara keluarga Warmadewa di Bali dengan Jawa Timur terutama dengan keluarga Icanawamsa, sebab berdasarkan atas data-data yang kita dapatkan meskipun data-data ini mungkin perlu mendapatkan penelitian yang lebih seksama, kita jelas mengetahui bahwa keluarga Warmadewa di Bali mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Jawa Timur.

Ketika raja-raja Dinasti Warmadewa memerintah di Bali maka yang memerintah di Jawa Timur berdasarkan prasasti Pucangan adalah: keluarga Icanawamsa. Untuk mengungkapkan masalah ini, maka pertama-tama akan menyampaikan asal-usul seorang raja putri yang sampai saat ini masih merupakan tanda tanya di antara para sarjana, sehingga menimbulkan bermacam-macam pendapat, yaitu Cri Maharaja Mahadewi. Pada tahun 905 Caka muncul seorang maharaja putri yang bernama Cri Maharaja Cri Wijaya Mahadewi”. Ratu ini tidak mempergunakan abhiseka raja Kula Warmadewa sehingga banyak menimbulkan interpretasi di antara para sarjana. Seperti yang telah kami uraikan di atas, para sarjana mempunyai pendapat serta interpretasi yang berbeda-beda dari putri ini. Misalnya Van Stein Callenfels berpendapat bahwa putri adalah seorang putri kerajaan dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan pendapat ini mula-mula didukung oleh Goris (Goris, 1957: 19).

Pendapat lain adalah dari Damais yang mengatakan bahwa putri ini adalah putri dari Empu Sindok yang bernama “Sri Isana Tunggawijaya” dari Jawa Timur. Hal ini didasarkan pada prasasti ratu ini yang menyebut nama-nama pejabat yang asing di Bali, sering disebut dalam prasasti-prasasti di Jawa, terutama nama jabatan-jabatan = makudur, wadihati dan pangkaja. Jadi nama jabatan-jabatan ini hanya terdapat di Jawa Timur dan tidak ada di Bali. Pendapat ini mendapat dukungan dari beberapa orang sarjana di antaranya yang menulis secara mengkhusus oleh, Ida Ayu Putu Adri, (1979) dalam tulisannya “Sedikit Tentang Cri Maharaja Cri Wijaya Mahadewi”, yang juga menyimpulkan Sri Maharaja Cri Wijaya Mahadewi adalah putri dari Pu Sindok. 11

Memang pendapat ini lebih bisa kita terima, dan sebagai bukti yang lain bahwa putri ini berasal dari Jawa Timur adalah sari sebuah prasasti yang tersimpan di salah satu Museum di kota Frangkfurtam Main (Jerman) berangka tahun 937 Caka yang menyebutkan nama “Cri Mahadewi Siniwi di Kediri”.

Di dalam prasastinya disebutkan desa Air Tabar, yaitu sebuah desa yang sekarang letaknya di bagian Timur dari Buleleng. Mengingat akan hal-hal sebagai yang kami sebutkan di atas maka hubungan Bali dengan Jawa Timur sudah dimulai sejak jaman pemerintahan Cri Maharaja Cri Wijaya Mahadewi. Hanya yang menjadi tanda tanya yang perlu mendapatkan penelitian yang lebih mendalam adalah bagaimana asalnya sehingga ratu ini bisa memerintah di Bali, apakah munculnya beliau di Bali, didasarkan oleh penaklukan Bali oleh Jawa Timur atas asalnya ratu ini sampai memerintah di Bali mungkin atas dasar perdamaian (perkawinan). Di samping adanya data seperti yang tersebut di atas maka ada satu data yang sangat penting yang memberikan gambaran kepada kita bahwa keluarga Warmadewa mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Jawa Timur adalah adanya perkawinan antara Udayana dengan Mahendradatta putri Makutawangsawardhana. Mengenai Tokoh Udayana ini para sarjana mempunyai pendapat yang berbeda-beda seperti apa yang kami uraikan di atas. Tetapi suatu hal yang perlu disampaikan bahwa Udayana di Jawa Timur pada saat beliau masih muda yang akhirnya dapat mempersunting putri Makutawangsawardhana yaitu Mahendradatta atas jasa dari Cri maharaja Cri Wijaya Mahadewi, yang bermaksud mempersiapkan Udayana untuk menjadi raja di Bali.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa dari hasil perkawinan antara raja Udayana dengan Mahendradatta lahirlah tiga orang putra yaitu: Airlangga, Marakata dan Anak Wungcu, meskipun ada pendapat dari seorang sarjana yang bernama Moens yang mengatakan bahwa sebelum Udayana II kawin dengan Mahendradatta, putri ini telah kawin dengan Dharmawangca yang akhirnya melahirkan Airlangga Pendapat dari Moens ini masih meragukan sekali sebab dari data-data arkeologi baik yang ada di Jawa Timur maupun di Bali tidak pernah menyebutkan perkawinan antara Mahendradatta dengan Dharmawangca malahan diperkirakan saudaranya. Berdasarkan atas prasasti Pucangan disebutkan bahwa Airlangga lahir pada tahun 922 Caka. Di sini jelas bahwa Airlangga lahir di Bali dari ayah Udayana dan ibunya Mahendradatta. Suatu hal yang lebih memperjelas adanya hubungan antara Bali (khususnya keluarga Warmadewa) dengan Jawa Timur adalah dengan memerintahnya Airlangga di Jawa Timur sebagai penggantinya dari Dharmawangca. Pada tahun 1019 M ia dinobatkan menjadi raja sebagai pengganti Dharmawangca mengalami pralaya, di mana Dharmawangca terbunuh sedangkan Airlangga yang ada di sana yang sudah kawin dengan putri Dharmawangca dapat meloloskan diri ke hutan. Di dalam prasasti Calcuta disebutkan bahwa pada tahun 1016 Caka= Airlangga dikawinkan dengan putri Dharmawangca. Memperhatikan data- 12

data yang sangat singkat ini maka dapatlah dibayangkan bahwa keluarga Warmadewa di Bali mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Jawa Timur.

II. Kesimpulan

Memperhatikan uraian-uraian kami seperti tersebut di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan sementara, tentang keluarga Warmadewa di Bali dalam hubungannya dengan Jawa Timur sebagai berikut :

1. Bahwa keluarga Warmadewa muncul dalam panggung sejarah sejak tahun 835 Caka dengan diketemukannya sebuah prasasti Blanjong yang menyebutkan nama raja Cri Ksari Warmadewa yang merupakan cakal bakal keluarga Warmadewa di Bali. 2. Pada waktu itu yang memerintah di Jawa Timur adalah keluarga Icanawamca dengan Empu Sindok sebagai raja pertama (berdasarkan prasasti Pucangan). 3. Bahwa hubungan antara keluarga Warmadewa dengan Jawa Timur sudah dimulai sejak pemerintahan raja Cri Maharaja Cri Wijaya mahadewi, putri Jawa Timur yang memerintah di Bali, pada tahun 905 Caka. 4. Bahwa hubungan Jawa Timur dengan keluarga Warmadewa bertambah erat dengan adanya perkawinan antara Udayana dengan Mahendradatta putri Makutawangsawardhana, dan setelah kawin keduanya memerintah di Bali. 5. Pada jaman pemerintah Marakata di Bali maka yang memerintah di Jawa Timur adalah Airlangga saudara kandung dari Marakata. Airlangga menikah dengan putri Dharmawangsa dan pada tahun 1019 M dinobatkan menjadi raja menggantikan Dharmawangca dan dengan hal ini lebih memperjelas lagi bahwa hubungan antara keluarga Warmadewa dengan Jawa Timur adalah sangat erat sekali.

13

Daftar Pustaka

Adri, Ida Ayu Putu,

1979 Sedikit Tentang Cri Maharaja Cri Wijaya Mahadewi, Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Ardana, I Gusti Gede,

1981 Pemerintahan Dharma Udayana di Bali. Denpasar, Bali.

Bambang Sumadio (ed)

1976 “Jaman Kuno” Sejarah Nasional Indonesia II. Edisi ke-2 Depdikbud.

1984 “Jaman Kuna” Sejarah Nasional Indonesia II. Edisi ke-4 Jakarta: Depdikbud. P.N. Balai Pustaka.

Bernet Kempers, A.J.,

1960 Bali Purbakala, (Petunjuk Tentang Peninggalan Peninggalan Purbakala di Bali), disalin oleh Drs. R. Soekmono, PT Ichtiar-Djakarta.

Boechari,M.,

1977 “Epigrafi Sejarah Indonesia”, artikel Majalah Arkeologi, Tahun I Nomor 2, halaman 1-25, Jakarta.

Callenfels,P.V. van Stein,

1926 “Epigrapia Balicia”, VBG. LXVI. LXVI, G.Kolff & CO.

Damais, L.C. 14

1955 Etudes D’Epigraphie Indonesia IV, Discussion de la Data des Inscriptions, BEFFO, Paris – Saigon.

Goris, R.,

1948 Sejarah Bali Kuna, Singaraja.

1954a Prasasti Bali I, NV.Masa Baru, Bandung.

1954b Prasasti Bali II, NV.Masa Baru, Bandung.

1957 “Dinasti Warmadewa dan Dharmawangsa Di Pulau Bali”, Majalah Ilmiah Populer Bahasa dan Budaja, Th. V No.3, halaman 18-31. Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta.

1974 Beberapa Data Sejarah dan Sosiologi dari Piagam-Piagam Bali (terjemahan). Jakarta : Bharata.

Machi Suhadi,

1982 “Sedikit Tinjauan Tentang Struktur Pemerintahan Zaman Sindok dan Zaman Majapahit “kertas kerja PIA II, Jakarta 25-29 Februari 1980, halaman 295-332, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta.

Moen, J.L.,

1948 “De Eenhoorn van Skanda”, TBG. LXXXXII, hal. 347-361.

Semadi Astra, I Gde,

1977 “Jaman Pemerintahan Maharaja Jayapangus di Bali (1178- 1181 M), “ Lembaran Pengkajian Budaya, Denpasar, Fakultas Sastra Universitas Udayana.

1982 “Data Ikonologis dalam Prasasti-prasasti Bali : Sebuah Uraian Deskriptif”, kertas kerja Majalah Arkeologi, Tahun V Nomor 1-2, halaman 61- 69, Lembaga Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Soekmono, R.,

1973 Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid II, Yayasan Kanisius, Jakarta.

Wibowo, A.S., 15

1977 “Riwayat Penyelidikan Prasasti Indonesia”, dalam 50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional 1913-1963, halaman 63-105, Proyek Pelita Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional, Jakarta.