Pemerintahan Keluarga Warmadewa Di Bali Serta Hubungannya Dengan Jawa Timur Oleh :Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
1 Pemerintahan Keluarga Warmadewa di Bali Serta Hubungannya Dengan Jawa Timur Oleh :Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si NIP. 197410042002121001 Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Dipublikasikan dalam Buku Pusaka Budaya Dan Nilai-nilai Religiusitas, Editor : I Ketut Setiawan, Seri Penerbitan Ilmiah Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar, 2008. Hal 138-161. I.Pendahuluan Pembahasan mengenai keluarga Warmadewa di Bali serta hubungannya dengan Jawa Timur akan digunakan sumber-sumber prasasti sebagai data dalam menganalisis keterkaitan kedua kerajaan tersebut. Yang dimaksud prasasti dalam pembicaraan ini pada hakekatnya sesuai dengan penjelasan yang telah diberikan oleh J.G. de Casparis dan Boechari, yaitu sumber- sumber sejarah dari masa lampau yang umumnya tertulis pada batu atau logam. Sebagian besar di antaranya dikeluarkan oleh raja-raja yang memerintah di kepulauan Indonesia sejak kira-kira abad XV. Ada yang panjang naskahnya, ada pula yang hanya memuat angka tahun atau nama seorang pejabat kerajaan. (Casparis 1925 : 21-23; Boechari 1975: 48; 1977 : 2). Khusus untuk pulau Bali, periode penerbitan prasasti-prasastinya lebih singkat dibandingkan dengan periode tersebut di atas, yaitu kira-kira antara abad VIII sampai dengan abad XIV (Goris 1954: 2-44; 108-115), (Semadi Astra, 1982: 61). Dalam pengertian yang lebih luas data atau keterangan ikonologis yang termuat dalam prasasti mencakup tujuh bagian atau kelompok, yaitu : (a) dewa yang diseru pada awal prasasti, (b) dewa yang dipersamakan dengan raja, atau yang dianggap menjelma ke dalam diri raja, (c) dewa-dewa yang diseru pada bagian prasasti yang berisikan kutukan, (d) saji-saji yang disiapkan pada upacara peneguhan, (e) jalannya upacara peneguhan sima, (f) nama dan peranan pejabat keagamaan, dan (g) jenis-jenis tempat suci (Sedyawati dkk, 1981 : 1), (Semadi Astra, 1982 : 62). Beberapa sarjana telah menulis topik pembicaraan dengan memanfaatkan prasasti sebagai sumber penulisan. Misalnya Boechari “Epigrafi dan Sejarah Indonesia”, (Boechari, 1977 c: 1- 40), Goris, R menulis Prasasti Bali I, (Goris, R 1954a) dan Prasasti Bali II, (Goris, R 1954b), I Gde Semadi Astra menulis Data Ikonologis dalam Prasasti-prasasti Bali: Sebuah Uraian Deskriptif, (Semadi Astra, 1982: 61-69), dan masih banyak karangan lainnya lagi yang dimuat dalam buku, majalah-majalah, penelitian-penelitian, maupun makalah yang dibawakan dalam seminar. 2 Pentingnya fungsi prasasti dilatarbelakangi karena prasasti merupakan piagam resmi seorang raja atau pejabat kerajaan tertentu, maka tanggapan pertama yang dapat diberikan kepada prasasti ialah kepercayaan dan kebenaran. Oleh karena itulah maka prasasti-prasasti dapat dikatakan menjadi sumber utama untuk mengetahui hak dan kewajiban seseorang, sesuatu desa ataupun sesuatu bangunan suci tertentu, bahkan kadang-kadang dapat pula peristiwa sejarah yang penting yang menyebabkan ditentukannya hak dan kewajiban tersebut. (Wibowo, 1977 : 63). Pada kesempatan ini akan dicoba untuk menganalisis Pemerintahan Keluarga Warmadewa di Bali serta hubungannya dengan Jawa Timur dengan menggunakan sumber- sumber prasasti. Dalam artikel ini akan dijabarkan dalam beberapa pokok pengkajian yaitu mengkaji terlebih dahulu kronologi pemerintahan keluarga Warmadewa di Bali, pemerintahan keluarga Icanawamsa di Jawa Timur, dan memahami hubungan antara keluarga Warmadewa di Bali dengan Jawa Timur. I.1 Kronologi Pemerintahan Keluarga Warmadewa Di Bali. Sejarah politik dan Kebudayaan Bali banyak diwarnai oleh aktifitas sebuah dinasti yang terkenal dengan sebutan Warmadewa. Keluarga raja-raja Warmadewa pertama kali muncul dalam sejarah pada tahun 835 Caka (Bambang Sumadio, 1976 : 138), dan untuk mengungkapkan mengenai raja-raja ini secara kronologis maka kita lebih banyak akan menggunakan sumber- sumber prasasti. Kalau kita membaca data-data yang diungkapkan dalam prasasti maka dapatlah kita menyusun kronologi pemerintahan raja-raja Warmadewa sebagai berikut : 1. Cri Kesari Warmadewa (835 Caka) Sepanjang diketahui sampai saat ini, bagindalah nama raja Bali yang pertama yang terbaca dalam prasasti. (Semadi Astra, 1977: 12). Mengenai raja ini telah diketemukan tiga buah prasasti atas nama baginda yaitu berupa prasasti-prasasti yang bernomor : 005b Blanjong, Sanur (Nomor lama 103) = D.4., 005c Panempahan, 005d Malat Gede (Lihat Goris, P.B.I, P.9, p.64, Goris PB, II p.131,p.185,p.195). Ketiga prasasti dari raja Kesariwarmadewa ini merupakan tanda kemenangan terhadap musuh-musuhnya, atau dengan lain perkataan prasasti ini merupakan Jayastambha. Untuk lebih jelasnya diuraikan sepintas tentang data-data arkeologi sebagai berikut: 1. Prasasti Blanjong, menggunakan dua bahasa yaitu, yang berbahasa Bali Kuna dengan huruf Sanskerta dan berbahasa Sanskerta memakai tulisan Bali Kuna yang memuat angka tahun dalam candra sangkala, yang berbunyi “sara wahni murti” (sara=5, wahni=3,murti= 8) jadi 835 Caka. Selain tahun ada juga disebut nama seorang raja yaitu : Cri Kesari Warmadewa, dan keraton (istana) baginda tersebut di Singhadwala. (Goris, 1948: 4-5). 3 2. Prasasti Panempahan (Utara Tampaksiring). Prasasti ini isinya mirip dengan prasasti Malat Gede dan terdiri dari empat baris kalimat, angka tahunnya rusak, tetapi dapat dipastikan juga dari tahun 835 Caka, nama rajanya Sri Kaisari. 3. Prasasti Malat Gede, prasasti ini terdapat angka tahunnya dengan jelas 835 C. 2. Sang Ratu Cri Ugrasena (837 Caka) Raja yang memerintah di Bali setelah pemerintah Cri Kesari Warmadewa adalah Sang Ratu Cri Ugrasena. Mengenai raja ini disebut dalam prasasti Babahan I yang menyebutkan pemerintahan seorang raja yaitu: “Sang Ratu Cri Ugrasena”, yang memerintah tahun 837 – 864 Caka (Goris, Prasasti Bali I, 104, 64 atau D7). Adapun masa pemerintahannya sejaman dengan masa pemerintahan raja Empu Sendok di Jawa Timur. Raja ini mengeluarkan 9 buah dan prasastinya yang terakhir berangka tahun 864 Caka (Prasasti Dausa, Pura Bukit Indrakila, PB I, 109, hal. 71-72). Bagaimana hubungan Kesari Warmadewa dengan Ugrasena tidak jelas sehingga perlu adanya penelitian yang seksama, dan setelah kerajaan Ugrasena, kita menjumpai lagi raja-raja yang memakai gelar Warmadewa, seperti halnya raja Kesari. 3. Sang Ratu Sri Aji Tabanendra Warmadewa (877 Caka) Sang Ratu Sri Aji Tabanendra Warmadewa memerintah bersama dengan permaisurinya yang bernama Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi. Raja ini mengeluarkan juga beberapa prasasti atas nama beliau serta menyebutkan angka tahun pemerintahannya yaitu 877 Caka (Prasasti dari Manikliu, Goris no. 202-204, memang benar tahun 877 Caka). Dari salah satu prasastinya (Goris PB I, 206, 76 – 77) ada penyebutan tentang “sang ratu sang sidha dewata sang lumah di Air Mandatu”. Berdasarkan perbandingan dengan prasasti lain, dapat ditentukan bahwa yang dicandikan di Air Mandatu adalah raja Ugrasena (Bambang Sumadio, ed, 1976 : 140). Jadi dengan demikian berarti bahwa raja Tabanendra adalah salah seorang keturunan dari raja Ugrasena. 4. Indra Jayasingha Warmadewa (882 Caka) Dari sebuah prasasti yang sekarang tersimpan di sebuah pura Sakenan desa Manukaya, disebut seorang raja yang bernama Jaya Singha Warmadewa. Prasasti ini berangka tahun 882 Caka, berdasarkan prasasti dari Manukaya (Tirta Empul, Goris no. 205). Stutterheim membaca 884 Caka, Damais membaca 882 Caka. Stutterheim dalam karangannya Oudheden Van Bali I, membaca nama raja di dalam prasasti ini Candrabhayasingha Warmadewa. Tetapi menurut Damais, nama rajanya bukan Candrabhayasingha Warmadewa, melainkan Wendra Jayasingha Warmadewa. Dalam penelitian lebih lanjut dibaca Indra Jayasingha Warmadewa. (Lihat, Bambang Sumadio, ed 1984: 295). Keterangan yang sangat penting dari prasasti ini adalah penyebutan tentang pembuatan telaga dari sumber suci yang terdapat di desa Manukraya dan desa ini sekarang bernama 4 Manukaya serta permandian suci itu adalah Tirta Empul (di dalam prasasti disebut Tirtha di air Hampul) yang letaknya sekarang di Tampaksiring. Melihat angka tahun ini jelas Indra Jaya Singha Warmadewa muncul di antara tahun pemerintahan Tabanendra (877-889 Caka). Timbul suatu pertanyaan mengapa Jayasingha Warmadewa muncul sebagai penguasa di tengah-tengah pemerintahan Tabanendra? Kalau kita melihat angka tahunnya tidak mungkin ada kesalahan pembacaan angka tahun, sebab Damais mengadakan pembacaan sangat teliti mengenai hal ini. Satu-satunya kemungkinan yaitu raja Indra Jayasingha Warmadewa ini merebut kekuasaan dari tangan Tabanendra untuk beberapa tahun tetapi kemudian dapat merebut kembali oleh Tabanendra. Sampai di mana akan kebenaran dugaan ini, memerlukan penelitian yang mendalam lagi. 5). Janasadhu Warmadewa (897 Caka). Raja ini memerintah pada tahun 897 Caka. Tidak ada keterangan lain yang dapat kita peroleh dari raja ini kecuali tentang anugrah raja terhadap desa Julah. 6). Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (905 Caka) Pada tahun 905 Caka muncul seorang raja putri yang bernama “Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Ratu ini tidak mempergunakan abhiseka raja Kula Warmadewa sehingga menimbulkan banyak interpretasi mengenai raja ini. Prasasti nomor 210 Gobleg, Pura Desa II = D 18 yang bertahun Caka 905, adalah satu-satunya pula prasasti yang telah diketemukan atas nama ratu ini (Semadi Astra, 1977 : 15). Prasastinya menyebutkan desa air Tabar, yaitu sebuah desa di Buleleng. Tersebut juga nama Bukit Tunggal yang mungkin dengan bukit Sinunggal, yang kini terdapat di Buleleng bagian Timur. Selain itu dijumpai pula nama-nama jabatan yang lazim diketemukan dalam prasasti di Jawa, tetapi nama-nama ini tidak dikenal