Pemerintahan Keluarga Warmadewa Di Bali Serta Hubungannya Dengan Jawa Timur Oleh :Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Pemerintahan Keluarga Warmadewa Di Bali Serta Hubungannya Dengan Jawa Timur Oleh :Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si 1 Pemerintahan Keluarga Warmadewa di Bali Serta Hubungannya Dengan Jawa Timur Oleh :Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si NIP. 197410042002121001 Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Dipublikasikan dalam Buku Pusaka Budaya Dan Nilai-nilai Religiusitas, Editor : I Ketut Setiawan, Seri Penerbitan Ilmiah Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar, 2008. Hal 138-161. I.Pendahuluan Pembahasan mengenai keluarga Warmadewa di Bali serta hubungannya dengan Jawa Timur akan digunakan sumber-sumber prasasti sebagai data dalam menganalisis keterkaitan kedua kerajaan tersebut. Yang dimaksud prasasti dalam pembicaraan ini pada hakekatnya sesuai dengan penjelasan yang telah diberikan oleh J.G. de Casparis dan Boechari, yaitu sumber- sumber sejarah dari masa lampau yang umumnya tertulis pada batu atau logam. Sebagian besar di antaranya dikeluarkan oleh raja-raja yang memerintah di kepulauan Indonesia sejak kira-kira abad XV. Ada yang panjang naskahnya, ada pula yang hanya memuat angka tahun atau nama seorang pejabat kerajaan. (Casparis 1925 : 21-23; Boechari 1975: 48; 1977 : 2). Khusus untuk pulau Bali, periode penerbitan prasasti-prasastinya lebih singkat dibandingkan dengan periode tersebut di atas, yaitu kira-kira antara abad VIII sampai dengan abad XIV (Goris 1954: 2-44; 108-115), (Semadi Astra, 1982: 61). Dalam pengertian yang lebih luas data atau keterangan ikonologis yang termuat dalam prasasti mencakup tujuh bagian atau kelompok, yaitu : (a) dewa yang diseru pada awal prasasti, (b) dewa yang dipersamakan dengan raja, atau yang dianggap menjelma ke dalam diri raja, (c) dewa-dewa yang diseru pada bagian prasasti yang berisikan kutukan, (d) saji-saji yang disiapkan pada upacara peneguhan, (e) jalannya upacara peneguhan sima, (f) nama dan peranan pejabat keagamaan, dan (g) jenis-jenis tempat suci (Sedyawati dkk, 1981 : 1), (Semadi Astra, 1982 : 62). Beberapa sarjana telah menulis topik pembicaraan dengan memanfaatkan prasasti sebagai sumber penulisan. Misalnya Boechari “Epigrafi dan Sejarah Indonesia”, (Boechari, 1977 c: 1- 40), Goris, R menulis Prasasti Bali I, (Goris, R 1954a) dan Prasasti Bali II, (Goris, R 1954b), I Gde Semadi Astra menulis Data Ikonologis dalam Prasasti-prasasti Bali: Sebuah Uraian Deskriptif, (Semadi Astra, 1982: 61-69), dan masih banyak karangan lainnya lagi yang dimuat dalam buku, majalah-majalah, penelitian-penelitian, maupun makalah yang dibawakan dalam seminar. 2 Pentingnya fungsi prasasti dilatarbelakangi karena prasasti merupakan piagam resmi seorang raja atau pejabat kerajaan tertentu, maka tanggapan pertama yang dapat diberikan kepada prasasti ialah kepercayaan dan kebenaran. Oleh karena itulah maka prasasti-prasasti dapat dikatakan menjadi sumber utama untuk mengetahui hak dan kewajiban seseorang, sesuatu desa ataupun sesuatu bangunan suci tertentu, bahkan kadang-kadang dapat pula peristiwa sejarah yang penting yang menyebabkan ditentukannya hak dan kewajiban tersebut. (Wibowo, 1977 : 63). Pada kesempatan ini akan dicoba untuk menganalisis Pemerintahan Keluarga Warmadewa di Bali serta hubungannya dengan Jawa Timur dengan menggunakan sumber- sumber prasasti. Dalam artikel ini akan dijabarkan dalam beberapa pokok pengkajian yaitu mengkaji terlebih dahulu kronologi pemerintahan keluarga Warmadewa di Bali, pemerintahan keluarga Icanawamsa di Jawa Timur, dan memahami hubungan antara keluarga Warmadewa di Bali dengan Jawa Timur. I.1 Kronologi Pemerintahan Keluarga Warmadewa Di Bali. Sejarah politik dan Kebudayaan Bali banyak diwarnai oleh aktifitas sebuah dinasti yang terkenal dengan sebutan Warmadewa. Keluarga raja-raja Warmadewa pertama kali muncul dalam sejarah pada tahun 835 Caka (Bambang Sumadio, 1976 : 138), dan untuk mengungkapkan mengenai raja-raja ini secara kronologis maka kita lebih banyak akan menggunakan sumber- sumber prasasti. Kalau kita membaca data-data yang diungkapkan dalam prasasti maka dapatlah kita menyusun kronologi pemerintahan raja-raja Warmadewa sebagai berikut : 1. Cri Kesari Warmadewa (835 Caka) Sepanjang diketahui sampai saat ini, bagindalah nama raja Bali yang pertama yang terbaca dalam prasasti. (Semadi Astra, 1977: 12). Mengenai raja ini telah diketemukan tiga buah prasasti atas nama baginda yaitu berupa prasasti-prasasti yang bernomor : 005b Blanjong, Sanur (Nomor lama 103) = D.4., 005c Panempahan, 005d Malat Gede (Lihat Goris, P.B.I, P.9, p.64, Goris PB, II p.131,p.185,p.195). Ketiga prasasti dari raja Kesariwarmadewa ini merupakan tanda kemenangan terhadap musuh-musuhnya, atau dengan lain perkataan prasasti ini merupakan Jayastambha. Untuk lebih jelasnya diuraikan sepintas tentang data-data arkeologi sebagai berikut: 1. Prasasti Blanjong, menggunakan dua bahasa yaitu, yang berbahasa Bali Kuna dengan huruf Sanskerta dan berbahasa Sanskerta memakai tulisan Bali Kuna yang memuat angka tahun dalam candra sangkala, yang berbunyi “sara wahni murti” (sara=5, wahni=3,murti= 8) jadi 835 Caka. Selain tahun ada juga disebut nama seorang raja yaitu : Cri Kesari Warmadewa, dan keraton (istana) baginda tersebut di Singhadwala. (Goris, 1948: 4-5). 3 2. Prasasti Panempahan (Utara Tampaksiring). Prasasti ini isinya mirip dengan prasasti Malat Gede dan terdiri dari empat baris kalimat, angka tahunnya rusak, tetapi dapat dipastikan juga dari tahun 835 Caka, nama rajanya Sri Kaisari. 3. Prasasti Malat Gede, prasasti ini terdapat angka tahunnya dengan jelas 835 C. 2. Sang Ratu Cri Ugrasena (837 Caka) Raja yang memerintah di Bali setelah pemerintah Cri Kesari Warmadewa adalah Sang Ratu Cri Ugrasena. Mengenai raja ini disebut dalam prasasti Babahan I yang menyebutkan pemerintahan seorang raja yaitu: “Sang Ratu Cri Ugrasena”, yang memerintah tahun 837 – 864 Caka (Goris, Prasasti Bali I, 104, 64 atau D7). Adapun masa pemerintahannya sejaman dengan masa pemerintahan raja Empu Sendok di Jawa Timur. Raja ini mengeluarkan 9 buah dan prasastinya yang terakhir berangka tahun 864 Caka (Prasasti Dausa, Pura Bukit Indrakila, PB I, 109, hal. 71-72). Bagaimana hubungan Kesari Warmadewa dengan Ugrasena tidak jelas sehingga perlu adanya penelitian yang seksama, dan setelah kerajaan Ugrasena, kita menjumpai lagi raja-raja yang memakai gelar Warmadewa, seperti halnya raja Kesari. 3. Sang Ratu Sri Aji Tabanendra Warmadewa (877 Caka) Sang Ratu Sri Aji Tabanendra Warmadewa memerintah bersama dengan permaisurinya yang bernama Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi. Raja ini mengeluarkan juga beberapa prasasti atas nama beliau serta menyebutkan angka tahun pemerintahannya yaitu 877 Caka (Prasasti dari Manikliu, Goris no. 202-204, memang benar tahun 877 Caka). Dari salah satu prasastinya (Goris PB I, 206, 76 – 77) ada penyebutan tentang “sang ratu sang sidha dewata sang lumah di Air Mandatu”. Berdasarkan perbandingan dengan prasasti lain, dapat ditentukan bahwa yang dicandikan di Air Mandatu adalah raja Ugrasena (Bambang Sumadio, ed, 1976 : 140). Jadi dengan demikian berarti bahwa raja Tabanendra adalah salah seorang keturunan dari raja Ugrasena. 4. Indra Jayasingha Warmadewa (882 Caka) Dari sebuah prasasti yang sekarang tersimpan di sebuah pura Sakenan desa Manukaya, disebut seorang raja yang bernama Jaya Singha Warmadewa. Prasasti ini berangka tahun 882 Caka, berdasarkan prasasti dari Manukaya (Tirta Empul, Goris no. 205). Stutterheim membaca 884 Caka, Damais membaca 882 Caka. Stutterheim dalam karangannya Oudheden Van Bali I, membaca nama raja di dalam prasasti ini Candrabhayasingha Warmadewa. Tetapi menurut Damais, nama rajanya bukan Candrabhayasingha Warmadewa, melainkan Wendra Jayasingha Warmadewa. Dalam penelitian lebih lanjut dibaca Indra Jayasingha Warmadewa. (Lihat, Bambang Sumadio, ed 1984: 295). Keterangan yang sangat penting dari prasasti ini adalah penyebutan tentang pembuatan telaga dari sumber suci yang terdapat di desa Manukraya dan desa ini sekarang bernama 4 Manukaya serta permandian suci itu adalah Tirta Empul (di dalam prasasti disebut Tirtha di air Hampul) yang letaknya sekarang di Tampaksiring. Melihat angka tahun ini jelas Indra Jaya Singha Warmadewa muncul di antara tahun pemerintahan Tabanendra (877-889 Caka). Timbul suatu pertanyaan mengapa Jayasingha Warmadewa muncul sebagai penguasa di tengah-tengah pemerintahan Tabanendra? Kalau kita melihat angka tahunnya tidak mungkin ada kesalahan pembacaan angka tahun, sebab Damais mengadakan pembacaan sangat teliti mengenai hal ini. Satu-satunya kemungkinan yaitu raja Indra Jayasingha Warmadewa ini merebut kekuasaan dari tangan Tabanendra untuk beberapa tahun tetapi kemudian dapat merebut kembali oleh Tabanendra. Sampai di mana akan kebenaran dugaan ini, memerlukan penelitian yang mendalam lagi. 5). Janasadhu Warmadewa (897 Caka). Raja ini memerintah pada tahun 897 Caka. Tidak ada keterangan lain yang dapat kita peroleh dari raja ini kecuali tentang anugrah raja terhadap desa Julah. 6). Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (905 Caka) Pada tahun 905 Caka muncul seorang raja putri yang bernama “Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Ratu ini tidak mempergunakan abhiseka raja Kula Warmadewa sehingga menimbulkan banyak interpretasi mengenai raja ini. Prasasti nomor 210 Gobleg, Pura Desa II = D 18 yang bertahun Caka 905, adalah satu-satunya pula prasasti yang telah diketemukan atas nama ratu ini (Semadi Astra, 1977 : 15). Prasastinya menyebutkan desa air Tabar, yaitu sebuah desa di Buleleng. Tersebut juga nama Bukit Tunggal yang mungkin dengan bukit Sinunggal, yang kini terdapat di Buleleng bagian Timur. Selain itu dijumpai pula nama-nama jabatan yang lazim diketemukan dalam prasasti di Jawa, tetapi nama-nama ini tidak dikenal
Recommended publications
  • Bagian Pertama
    BAGIAN PERTAMA A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupannya sehari-hari sesungguhnya tidak terlepas dari kesenian, dimanapun dia berada dia dikelilingi oleh benda-benda bernilai seni. Tentu saja hal ini diartikan kesenian bagian dari kehidupan manusia memberikan rasa estetis dan menikmatinya. Mereka memandang benda-benda disekitarnya merupakan karya seni dapat kepuasan lahir dan batin, diantaranya seni lukis prasi. Seni lukis prasi menawarkan bentuk- bentuk visual yang sarat deangan filosofis kehidupan, menjadikannya kesenian tersebut sangat berguna. Jika melihat proses pengerjaan, seni prasi termasuk bentuk kerajinan dengan memanfaatkan daun lontar. Daun lontar lontar kering digambar dan ditulis dengan teks-teks aksara Bali. Periode Bali tahun 955-1343 ini diketahui sejumlah raja yang pernah memerintah Bali, tetapi belum ditemukan nama ibu kota yang menjadi pusat pemerintahannya. Raja pertama pada periode ini adalah Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama-sama dengan permaisurinya, yaitu Sri Subhadrika Dharmadewi, tahun 877-889 Saka (955-967) Mereka menggantikan raja Ugrasena. Ada empat prasasti yang memuat pasangan gelar suami-istri itu, yakni prasasti-prasasti Manik Liu AI (877 Saka), Manik Liu BI (877 Saka), Manik Liu C (877 Saka), dan Kintamani A (899 Saka) 11. Keempat prasasti itu tidak lengkap. Tiga yang pertama, selain ditemukan di tempat yang sama juga berkenaan dengan masalah pokok yang sama, yaitu pemberian izin oleh raja kepada Samgat Juru Mangjahit Kajang, dan anak bandut yang berdiam di desa Pakuwwan dan Talun (Goris, 1954a : 74-75). 1 Mereka dibebaskan dari tugas bergotong royong dan pelbagai pajak, kecuali pajak rot. Isi pokok prasasti Kintamani A, yang menurut Goris berkaitan dengan prasasti Kintamani B, telah disinggung di depan, yakni berkenaan dengan perintah Raja Tabanendra Warmadewa kepada sejumlah tokoh agar menangani pemnugaran pesanggarahan di Air Mih.
    [Show full text]
  • Sejarah Indonesia Masa Hindu Budha
    DIKTAT KULIAH SEJARAH INDONESIA MASA HINDU BUDHA Oleh: Sudrajat, M. Pd. 197305242006041002 JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2012 [email protected]. BAB I PERKEMBANGAN AGAMA HINDU-BUDHA DI INDONESIA A. Perkembangan Agama Hindu Sejak ribuan tahun sebelum Masehi, di India telah berkembang kebudayaan besar di Lembah Sungai Indus. Dua pusat kebudayaan di daerah tersebut adalah ditemukannya dua kota kuno yakni di Mohenjodaro dan Harappa. Pengembang dua pusat kebudayaan tersebut adalah bangsa Dravida. Pada sekitar tahun 1500 SM, datanglah bangsa Arya dari Asia Tengah ke Lembah Sungai Indus. Bangsa Arya datang ke India dengan membawa pengaruh tulisan, bahasa, teknologi, dan juga kepercayaan. Kepercayaan bangsa Arya yang dibawa adalah Veda (Weda) yang setelah sampai di India melahirkan agama Hindu. Lahirnya agama Hindu ini merupakan bentuk percampuran kepercayaan antara bangsa Arya dengan bangsa Dravida. Agama Hindu bersifat politeisme, yaitu percaya kepada beberapa dewa. Tiga dewa utama yang dipuja oleh masyarakat Hindu adalah Dewa Brahmana (dewa pencipta), Dewa Wisnu (dewa pelindung), dan Dewa Syiwa (dewa pembinasa). Ketiga dewa itu dikenal dengan sebutan Trimurti. Kitab suci agama Hindu adalah Weda. Kitab Weda ini terdiri atas empat bagian, yaitu; 1. Reg-Weda, berisi puji-pujian terhadap dewa; 2. Sama-Weda, berisi nyanyian-nyanyian suci; 3. Yazur-Weda, berisi mantra-mantra; dan 4. Atharwa-Weda, berisi doa-doa untuk pengobatan. Disamping kitab Weda, ada juga kitab Brahmana dan Upanisad. Masyarakat Hindu terbagi dalam empat golongan yang disebut kasta. Kasta-kasta tersebut adalah kasta Brahmana, kasta Ksatria, kasta Waisya, dan kasta Sudra. Di luar itu masih ada golongan masyarakat yang tidak termasuk dalam kasta, yaitu mereka yang masuk dalam kelompok Paria.
    [Show full text]
  • Seni Pertunjukan Bali Pada Masa Dinasti Warmadewa
    MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 1, Februari 2017 p 81 - 91 P- ISSN 0854-3461, E-ISSN 2541-0407 Seni Pertunjukan Bali Pada Masa Dinasti Warmadewa Hendra Santosa,1 Nina Herlina Lubis,2 Kunto Sofianto,3 R.M. Mulyadi 4 1,2,3,4. Program Studi S3 Ilmu-ilmu Sastra, Konsentrasi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang Kilometer 21, Hegarmanah, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat 45363, Indonesia E-mail: [email protected] Tulisan ini merupakan bagian dari disertasi yang berjudul “Gamelan Perang di Bali, Abad ke-10 Sampai Awal Abad ke-21”, sebagai salah satu syarat untuk maju Ujian Naskah Disertasi pada program studi Ilmu Sastra Konsentrasi Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran (UNPAD). Tulisan ini mengulas tentang gamelan zaman Bali Kuno yang mengambil rentang waktu dari Tahun 882 sampai 1077 Masehi, yang kemudian dikembangkan dengan menggunakan seni pertunjukan agar tidak terlalu sama dengan bagian disertasi yang dimaksud tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kejelasan tentang seni pertunjukan pada masa pemerintahan Dinasti Warmadewa melalui penelusuran prasasti dan naskah-naskah Jawa Kuna.Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Pada tahap heuristik, prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada zaman Bali Kuno dikoroborasikan dengan karya kesusastraan yang sezaman dengan masanya. Pada zaman Dinasti Warmadewa tidak semua seni pertunjukan ditujukan untuk kegiatan upacara, tetapi ada juga seni pertunjukan untuk hiburan baik untuk kalangan istana maupun untuk rakyat biasa. The Performing Arts in the Era of Warmadewa Dynasty This paper is part of a dissertation entitled "War Gamelan in Bali, from the 10th Century to the Early 21st Century", as one of the requirements for advanced Exam Manuscript Dissertation on the courses in Litera- ture, concentrations of History, University of Padjadjaran (UNPAD).
    [Show full text]
  • BALI in a MULTICULTURALAND GLOBALISED WORLD: Religion, Tolerance, Solidarity and Harmonious Life
    1 BALI IN A MULTICULTURALAND GLOBALISED WORLD: Religion, Tolerance, Solidarity and Harmonious Life I Ketut Ardhana Widya Kerthi Foundation Hindu University of Indonesia, Denpasar-Bali [email protected] Abstract Everyone realizes that globalization that has come from the Western to the Eastern world has played a major role in whole parts of the world. One the one hand, this development gives a positive aspect, but on the other hand, it gives a negative impact to the development of a society. This fast development has changed the face of world. Due to the negative impacts, it is often argued, that the globalization has caused a failure to the local development in terms of the prosperious and the happiness of the people. It is not surprising, if there are some important questions emerge regarding on how the local people who lived in a harmonious life in the context of multicultural society. Accordingly, they have to face some crucial issues that they feel will threat their life not only in the short term, but also in the long term. Therefore, they have tried to solve their problems by looking at certain local values that they had already had, based on local tradition and already rooted in a long time of its history. By looking at this local perspective, they convince that they will be able to secure their life from the outside influences. Regarding on this issue, there are certain questions as follows.Firstly, how can we understand the existence of local culture in the context of national and universal culture? Secondly, what kinds of issues that have to be faced in the context of globalization, and thirdly what kinds of solutions that can be given in order to be answered the main issues in the context of globalization, not only in the present time, but also in the future in the context of sustainable community development? These are certain questionsthat will be addressed in this paper.
    [Show full text]
  • Department of Culture, Gianyar Regency in Collaboration with Program Doktor (S3) Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budayauniversitas Udayana 2017
    The Government Regency of Gianyar Udayana University Department Of Culture, Gianyar Regency In Collaboration With Program Doktor (s3) Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budayauniversitas Udayana 2017 Prof. Dr. phil. I Ketut Ardhana, M. A Prof. Dr. Ir. I Wayan Windia, S.U. Drs. I Wayan Geriya Prof. Dr. I Nyoman Wedakusuma, M. S. Dr. Drs. Anak Agung Gde Raka, M. Si. Ir. I Gusti Putu Rna Ir. I Wayan Gomudha, M.T. THE GOVERNMENT REGENCY OF GIANYAR IN COLLABORATION WITH DOCTORAL PROGRAM (S3) CULTURAL STUDIES FACULTY OF ARTS UDAYANA UNIVERSITY GIANYAR, 2017 The Sustainaible Life in Harmony: Managing Cultural and Natural Heritage for Prosperity Authors Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M. A Prof. Dr. Ir. I Wayan Windia, S.u. Drs. I Wayan Geriya Prof. Dr. I Nyoman Wedakusuma, M. S. Dr. Drs. Anak Agung Gde Raka, M. Si. Ir. I Gusti Putu Rna Ir. I Wayan Gomudha, M.t. Prepress Slamat Trisila Translators Sang Ayu Isnu Maharani, S.S., M.Hum et al. Publisher The Government Regency of Gianyar In Collaboration With Doctoral Program (S3) Cultural Studies Faculty of Arts Udayana University First Edition: 2017 ISBN 978-602-9320-73-2 iv TABLE OF CONTENS SPEECHES Welcome Speech of the Regent of Gianyar Speech by Head of Culture Office of Gianyar 1 FOREWORD ~1 2 THE ROLE ACTUALISATION OF GIANYAR REGENCY AS THE HERITAGE CITY THROUGH SCIENTIFIC ACTIVITIES ~ 11 3 NATIONAL COORDINATION MEETING OF INDONESIAN HERITAGE CITIES NETWORKING AND THE DEVELOPMENT OF HERITAGE CITY OF GIANYAR AS THE MEMBER OF WORLD HERITAGE CITIES ~ 25 4 THE ANNIVERSARY OF GIANYAR REGENCY AND THE DEVELOPMENT OF HERITAGE CITY OF GIANYAR AS THE WORLD HERITAGE CITY ~ 51 5 THE GIANYAR REGENCY AS THE HERITAGE CITY AND ITS SUSTAINABILITY ~ 67 6.
    [Show full text]
  • The Gods & the Forge
    ificah International Foundation of Indonesian Culture and Asian Heritage The Gods & the Forge Balinese Ceremonial Blades The Gods & the Forge in a Cultural Context This publication is the companion volume for the exhibition of the same name at the IFICAH Museum of Asian Culture in Hollenstedt-Wohlesbostel, Germany December 2015 to October 2016. Title number IFICAH V01E © IFICAH, International Foundation of Indonesian Culture and Asian Heritage Text: Dr. Achim Weihrauch, Efringen-Kirchen, Germany Dr. Udo Kloubert, Erkrath, Germany Adni Aljunied, Singapore Photography: Günther Heckmann, Hollenstedt, Germany Printing: Digital Repro Druck GmbH, Ostfildern, Germany Layout: S&K Kommunikation, Osnabrück, Germany Editing: Kerstin Thierschmidt, Düsseldorf, Germany Image editing: Concept 33, Ostfildern, Germany Exhibition design: IFICAH Display cases: Glaserei Ahlgrim, Zeven, Germany "Tradition is not holding onto the ashes, Metallbau Stamer, Grauen, Germany Conservation care: but the passing on of the flame." Daniela Heckmann, Hollenstedt, Germany Thomas Moore (1477–1535) Translation: Comlogos, Fellbach, Germany 04 05 Foreword Summer 2015. Ketut, a native of Bali, picks me Years earlier, the fishermen had sold the land up on an ancient motorcycle. With our feet bordering the beach to Western estate agents, clad in nothing more resilient than sandals, we which meant however that they can now no ride along streets barely worthy of the name longer access the sea with their boats ... to the hinterland. We meet people from dif- ferent generations who live in impoverished It is precisely these experiences that underline conditions by western standards and who wel- the urgency of the work carried out by IFICAH – come the "giants from the West" with typi- International Foundation of Indonesian Culture cal Balinese warmth.
    [Show full text]
  • 5B725968a59c9889b45c5c55b4
    1 Balinese Hinduism: Religion, Politics, and Multiculturalism1 I Ketut Ardhana2 Widya Kerthi Foundation <[email protected]> Abstract Bali is the last Hindu mosaic in Southeast Asia. The Balinese Hindu culture has been rooted in the island for a long period of time and has already successfully adopted and adapted to aspects of foreign cultures, such as other religions in order to be able to live side by side in the context of a multicultural society. The existence of Balinese culture has long been a topic of discussion, particularly since the local culture has been influenced by the impacts of globalization. Thus, this paper seeks to address some pertinent questions. Firstly, what kinds of social, cultural, and political atmospheres did the Balinese absorb from foreign influences? Secondly, how can we understand the impacts of globalization in Bali which occurred parallel to the arrival of Islam, Europeans, and the recent development of the tourism industry? Thirdly, how can we understand the existence of the Balinese culture in the context of the dominant or hegemonic culture of Islam? What kinds of strategies need to be introduced so that the Balinese, as a creative minority, can contribute to national and global interest? It is expected that this paper will provide a better understanding regarding Balinese Hindu culture in the modern and postmodern time. Key words: Balinese Hindu culture, creative minority, hegemonic culture, multiculturalism I. Introduction In the last two decades, particularly after the Reformation period began in 1998, Indonesia has faced many challenges in order to be a democratic society in a modern world.
    [Show full text]
  • Proceedings Public Policy and Event International Seminar
    KA ITA RA I H N R A T Universitas Ngurah Rai PROCEEDINGS PUBLIC POLICY AND EVENT INTERNATIONAL SEMINAR Popular Culture and Cultural Values From the Perspective of Public Policy Reviewer A/Prof. David Reeve Dr. Diane Butler, Ph.D. Dr. Gede Wirata, S.Sos, SH, MAP Dr. I Ngurah Suryawan, S.Sos., M.Si. Editors Dr. Ida Ayu Putu Sri Widnyani, S.Sos., M.AP. Dr. Suroyo, S.Pd., M.Pd. Anak Agung Istri Putera Widiastiti, S.Sos., M.Si. Dr. Novena Ade F.S., S.S., M.Hum. Slamat Trisila Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Ngurah Rai, Bali, Indonesia 8 April 2017 ii PROCEEDINGS PUBLIC POLICY AND EVENT INTERNATIONAL SEMINAR: Popular Culture And Cultural Values From The Perspective Of Public Policy Reviewer A/Prof. David Reeve Dr. Diane Butler, Ph.D. Dr. Gede Wirata, S.Sos, SH, MAP Dr. I Ngurah Suryawan, S.Sos., M.Si. Editors: Dr. Ida Ayu Putu Sri Widnyani, S.Sos., M.AP. Dr. Suroyo, S.Pd., M.Pd. Anak Agung Istri Putera Widiastiti, S.Sos., M.Si. Dr. Novena Ade F.S., S.S., M.Hum. Slamat Trisila Publisher: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Ngurah Rai Denpasar, Bali First Edition: April 2017 ISBN 978-602-61231-0-7 iii SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS NGURAH RAI Om Swastiastu, Assalammualaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera, Namo Budaya, First of all, let us together say praise to God Almighty because over His grace so that the activities of the International Seminar on the theme “Popular Culture and Culture Values from the Perspective of Public Policy” on this day, Saturday, 8 April 2017 is housed in Ngurah Rai University’s Auditorium can be accomplished.
    [Show full text]
  • Download Article
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 542 Proceedings of the 2nd Annual Conference on Social Science and Humanities (ANCOSH 2020) The Power of the King of Java in the Indonesian Novel Gatot Sarmidi*, Suryantoro Universitas PGRI Kanjuruhan Malang Malang, Indonesia *[email protected], [email protected] Abstract—Indonesian literature reflects and represents the The subject of power is commonly discussed in critical power narrated by the figures of the kings of Java. The narrative discourse analysis, namely the discussion of power discourse. can be seen in the novels of Airlangga, Arok Dedes, and Minak In literature, there is a discourse on power in the discussion of Jinggo Sekar Kedaton. Research that uses socio-historical hegemony and the representation of power politics in literature. approach is analysed based on critical discourse analysis and As a discourse, a novel is a form of the author's way of interpreted using hermeneutics as a qualitative descriptive describing, saying and discussing the reality of life events in research method. The result of this study are in the form of human life that are represented imaginatively. descriptive and power conflicts of Javanese kings in the Airlangga, Arok Dedes, and Minak Jinggo Sekar Kedaton novels Novel as a discourse is a fixation and stabilization of from the ideological, sociological, and cultural aspects which reality, events or experiences into writing. As a discourse, presented critically according to their review. Ideologically, novels are structured, determined and controlled by a particular sociologically and culturally presented in the novel Airlangga, episteme or represented by appreciation, reflection, reminder, Arok Dedes, and Minak Jinggo Sekar Kedston are nostalgic thoughts, ideas and views of reality, events, life experiences representations of history and heroism, Javanese human history and even human life and life itself.
    [Show full text]
  • Female Deities in Balinese Society: Local Genious, Indian Influences, and Their Worship
    International Journal of Interreligious and Intercultural Studies (IJIIS) ISSN: 2654-2706, Volume I, Number 1, October 2018 FEMALE DEITIES IN BALINESE SOCIETY: LOCAL GENIOUS, INDIAN INFLUENCES, AND THEIR WORSHIP I Ketut Ardhana Faculty of Cultural Science, Universitas Udayana Universitas Hindu Indonesia (UNHI), Denpasar-Bali < [email protected]> Abstract One of the main issues that has been discussed in Indonesia regarding the democracy process in a modern world is about the feminism and gender issues. On the one hand, women are con- sidered to play limited roles, whilst on the other hand, the men have always been considered to play a signi›cant role. This can be traced back in the long process of the Balinese history not only in terms of political aspect, but also in the context of socio cultural aspects. It is important to look at what has happened in the Balinese societies, since Bali is known as a Hindu mozaic in Southeast Asia. The Balinese society has its own culture based on local culture that is strongly infiuenced by the Indian or Indic culture. The Balinese society is a patrilineal system, in which a man has a higher position, but in fact it was even Bali had a woman princess, who was of mixed Javanese and Balinese heritage, a wife of King Udayana of Bali between the 10th and 11th century. Both of them were considered as the Balinese kings at the same time. In the era of these two kings they were successful in integrating between Hinduism and Buddhism. Until now, the Balinese believe the soul of Mahendradatta as Durga.
    [Show full text]
  • Sinar Dharma 27.Pdf
    Tidak terasa Sinar Dharma hampir mencapai edisi yang ke-30. Tahun 2011 adalah tahun DISTRIBUTOR SINAR DHARMA diadakannya banyak even-even besar Buddhis di Indonesia. Sinar Dharma tetap menyajikan DI KOTA ANDA berita Buddhis lokal maupun internasional yang patut mendapat perhatian seluruh umat Buddhis dalam mengembangkan Buddha Dharma. Sinar Dharma juga tetap maksimal BATAM dalam menyajikan rubrik unggulannya yaitu Selebritis Buddhis, salah satunya adalah Steve Suwarno 08127020450 Jobs yang santer dibicarakan akhir-akhir ini. BEKASI Kali ini Sinar Dharma muncul dalam wajah baru dengan layout yang cukup berbeda dari Himawan 08128439092 edisi-edisi sebelumnya. Semoga para pembaca semakin menikmati ulasan-ulasan Dharma di edisi ini, yang tentu tidak kalah menarik dengan ulasan Tripitaka dan Darwin-nya! Selamat JAMBI Waisak dan Asadha! Ferry 085274546333 KLATEN Redaktur Pelaksana (Executive Editor), Puryono 081575064382 Hendrick Tanuwidjaja, S.T. MEDAN Lie Ching 0811652564 PALEMBANG Visit Us At: Hengky 081808690508 PEKANBARU Wismina 08127556328 www.becsurabaya.org TANGERANG Lina 08151818473 http://www.facebook.com/bec.surabaya Bec Surabaya Sinar Dharma Mengundang Pembaca: Artikel Dharma Anda dapat mengirimkan kepada Get Sinar Dharma Online! kami artikel-artikel ajaran Dharma yang anda tulis. http://dhammacitta.org/perpustakaan/ Berita Kegiatan Vihara / organisasi Buddhis anda kategori/ezine/sinar-dharma/ mengadakan kegiatan yang menarik? Silahkan mengirimkan liputannya pada kami. Kesaksian Buddhis Anda punya pengalaman bagaimana Dharma mengubah hidup anda dan lingkungan sekitar anda menjadi lebih baik? Anda dapat mengirimkan pada kami. Redaksi ALAMAT REDAKSI PELINDUNG Jl. HR. Muhammad 179 Dirjen Bimas Buddha Depag RI Komp. Pertokoan Surya Inti Permata II Direktur Bimas Agama Buddha Depag RI Blok D 8-9 Telp. 031.7345135 Fax.
    [Show full text]
  • Balinese Historian Chatbot Using Full-Text Search and Artificial Intelligence Markup Language Method
    I.J. Intelligent Systems and Applications, 2019, 8, 21-34 Published Online August 2019 in MECS (http://www.mecs-press.org/) DOI: 10.5815/ijisa.2019.08.03 Balinese Historian Chatbot using Full-Text Search and Artificial Intelligence Markup Language Method Kadek Teguh Wirawan Student, Departement of Information Technology, Udayana University, Bali, Indonesia E-mail: [email protected] I Made Sukarsa Lecturer, Departement of Information Technology, Udayana University, Bali, Indonesia E-mail: [email protected] I Putu Agung Bayupati Lecturer, Departement of Information Technology, Udayana University, Bali, Indonesia E-mail: [email protected] Received: 26 February 2019; Accepted: 19 March 2019; Published: 08 August 2019 Abstract—In the era of technology, various information expected to be obtained faster [1]. Various types of could be obtained quickly and easily. The history of Bali information could be obtained relatively quick and easy is one of the information that could be obtained. Balinese today; one of them is information about the history of have known their history through Babad and stories Bali. Balinese had known their traditional history (Babad) which are told through generations. Babad is traditional- which generally talks about certain clan (Soroh) and is historical writing which tells important event that has decorated with mystical things. happened. As technology evolves, Balinese‘s interest in Babad is traditional-historical writing that tells studying their own history has been decreased. It is important event that has happened. In addition of Babad, caused by people interest in studying history books and the existence of history books of Bali could help to chronicles tend to decrease over time.
    [Show full text]