Quick viewing(Text Mode)

Fantasi Dalam Dark Play Empat Vokalis Ekstrem Metal Perempuan Di Indonesia

Fantasi Dalam Dark Play Empat Vokalis Ekstrem Metal Perempuan Di Indonesia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BERMAIN- MAIN DALAM TRANSGRESI: FANTASI DALAM DARK PLAY EMPAT VOKALIS EKSTREM METAL PEREMPUAN DI INDONESIA

TITLE PAGE

Tesis Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum.) di Program Magister Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma

Disusun oleh Yulianus Febriarko NIM: 166322002

PROGRAM MAGISTER KAJIAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2020

i

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK

Febriarko, Yulianus. 2020. Bermain-main dalam Transgresi: Fantasi dalam Dark play Empat Vokalis Ekstrem Metal Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Magister Kajian Budaya. Universitas Sanata Dharma.

Skena musik ekstrem metal selama ini dipandang sebagai sebuah skena yang didominasi laki-laki dan dibangun berdasarkan imaji-imaji maskulinitas sehingga perempuan yang ingin ikut ambil bagian di dalamnya harus menyesuaikan dengan aturan-aturan dan kode- kode maskulin. Tindakan misoginis dan penyingkiran sifat-sifat feminin terlihat dari praktik-praktik yang terjadi di skena ekstrem metal yang membuat perempuan terpinggirkan. Hal ini memungkinkan kekuatan dan kontrol laki-laki direproduksi terus menerus lewat praktik transgresi yang menjadi ciri khas ekstrem metal. Meski begitu, banyak perempuan yang tetap terjun dan terlibat di skena ekstrem metal sebagai vokalis yang aktif dan berkarya dalam band ekstrem metal. Melalui pendekatan kualitatif, studi ini mengeksplorasi daya performance empat vokalis ekstrem metal perempuan di Indonesia yang terdiri dari Fransisca Ayu dari band asal Yogyakarta Killed on Juarez (KoJ) dan band matchcore Leftyfish, Lilin Purnamasari dari band asal GOADS, Popo Puji dari band asal Demons Damn, dan Hera Mary dari band asal Bandung OATH. Data-data mengenai performance mereka menunjukkan bahwa mereka melakukan dark play dengan mengadopsi transgresi khas ekstrem metal yaitu sonic transgression, discursive transgression, dan bodily transgression sebagi upaya mereka untuk mendisrupsi aturan-aturan yang bersifat maskulin yang melekat pada ekstrem metal. Daya disrupsi ini muncul dari cara mereka bermain-main dalam tiga transgresi yang dapat diamati dalam penggunaan teknik vokal growl/scream, panggung, aksi panggung, dan penulisan lirik mereka. Dark play yang mereka lakukan dapat disebut sebagai sebuah strategi resistensi mereka terhadap sistem patriarki dan sifat maskulin ekstrem metal yang selama ini memarjinalkan peran mereka. Konsep fantasi dalam psikoanalisis Lacanian digunakan sebagai perspektif yang mampu menjabarkan dasar atau penyangga dark play yang dilakukan oleh Ayu, Lilin, Popo, dan Hera dalam performance mereka. Kastrasi yang hadir lewat aturan-aturan tak tertulis (unwritten rules) yang dianggap bersifat maskulin membuat keempat vokalis tersebut mengalami keterasingan dengan skena ekstrem metal yang mereka masuki. Untuk mengatasi keterasingan itu, fantasi akan kebebasan dan fantasi akan kesetaraan menjadi dua fantasi yang menyangga strategi resistensi lewat dark play dalam performance mereka. Meski dapat dilhat bahwa di satu sisi mereka turut memperkuat aturan-aturan tak tertulis lewat performance mereka, tetapi dua fantasi tersebut menjadi penting untuk terus menerus menggulirkan wacana ekstrem metal yang bebas dan setara. Kata kunci: perempuan, ekstrem metal, performance, transgresi, dark play, fantasi.

vi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRACT

Febriarko, Yulianus. 2020. Playing in Transgression: Fantasy on the Dark Play of Four Women Vocalists in Indonesia. Yogyakarta: Graduate School of Cultural Studies. Sanata Dharma University. Extreme metal scene has been known as a male-dominated scene which built upon masculine images. Hence, women who want to participate in the scene must do things on men’s terms and masculine codes. Misogynists acts and marginalization of women often happened and can be seen from the scene’s practices. This results in reproduction of control and power of men through extreme metal’s transgression characteristics. However, many women still actively engaged in this scene as vocalists of extreme metal bands. Using qualitative approach, this study aims to explore the power of four women extreme metal vocalists’ performance. They are Fransisca Ayu from Yogyakarta’s metalcore band Killed on Juarez (KoJ) and matchcore band Leftyfish, Lilin Purnamasari dari from Jakarta’s grindcore band GOADS, Popo Puji from Bandung’s death metal band Demons Damn, and Hera Mary from Bandung sludge metal band’s OATH. The data show that the four vocalists do a dark play by adopting three characteristics of extreme metal transgression which are sonic transgression, discursive transgression, and bodily transgression. They did the dark play in order to disrupt the masculine codes that has been long associated to extreme metal. The power of this disruption can be seen in the way they use growl/scream style of vocal, fashion on the stage, stage act which includes and stage diving, and in their lyrics. The dark play also can be said as a strategy to resist extreme metal’s patriarchal system and masculine codes in which they are marginalized by. Then Lacanian concept of fantasy is used as a perspective to explain fantasy that frame the dark play throughout their performance. The castration which happened through the masculine codes and unwritten rules lead these four vocalists to alienation in extreme metal scene. In order to overcome it, fantasy about freedom and equality arise and framed the dark play in their performance. While their dark play can be empowered the law and unwritten rules, on the other hand these two fantasies become important in order to produce and reproduce the discourse of freedom and equality in extreme metal. Keywords: women, extreme metal, performance, transgression, dark play, fantasy.

vii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KATA PENGANTAR

Ungkapan terima kasih saya kirimkan kapada berbagai pihak yang mendukung penulisan tesis ini. Kepada keluarga saya, terutama Bapak dan Ibu saya, yang tidak pernah melarang saya untuk mendengarkan , , , Mayhem, hingga Eyehategod. Dari situlah kemudian muncul kerinduan saya untuk mempelajari dan memperdalam tentang kultur musik metal dan segala bentuk dinamikanya. Terima kasih untuk adikku yang selalu hadir di saat-saat genting. Kepada Ibu Devi Ardhiani yang darinya saya menyadari adanya banyak keruwetan dalam tulisan-tulisan saya dan kemudian membantu saya untuk menyederhanakannya. Juga kepada St. Sunardi, Katrin Bandel, Budi Subanar, SJ., Bagus Laksana, SJ., Baskara Tulus Wardaya, SJ., Budi Susanto, SJ., Hari Juliawan, SJ., Tri Subagya, dan Supratiknya. Lewat perjumpaan dengan mereka, saya menyadari bahwa saya perlu berbenah untuk berubah.

Diskusi-diskusi panjang nan melelahkan yang berujung pada saran dan masukan untuk tesis ini juga saya lalui dan terima dari kawan-kawan seperjuangan di IRB. Terima kasih khusus untuk kawan-kawan IRB Angkatan 2016. Kepada Albertus Harimurti, pemilik padepokan Berbah, saya ucapkan terima kasih atas masukan untuk tesis ini dan juga untuk bahan overthinking di malam hari yang diberikannya. Kepada kawan-kawan di Motherbase Nggerus Reading Club, saya ucapkan terima kasih untuk kopi dan cerita- ceritanya. Juga untuk kawan-kawan lintas angkatan dan juga para staff di Pascasarjana USD yang telah berdinamika dengan saya melalui cara yang berbeda-beda, saya ucapkan beribu terima kasih.

Kepada Francisca Ayu, Lilin Purnamasari, Popo Puji, serta Hera Mary saya ucapkan pula terima kasih atas cerita-cerita hidup kalian di dunia metal. Tesis ini secara khusus saya persembahkan untuk kalian yang tidak lelah berjuang di tengah himpitan berbagai tantangan dalam skena.

Terakhir, bukan berarti tidak utama, rasa terima kasih saya kirimkan juga untuk Lidwina Wimalasari yang membuat saya menyadari adanya kerapuhan-kerapuhan dalam diri saya dan untuk Elisabeth Tamara Sabatini yang telah menemukan lalu menemani saya ketika saya sedang berusaha memeluk kerapuhan-kerapuhan itu sembari menjalani kehidupan yang tidak akan pernah baik-baik saja ini.

viii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

JUDUL ...... i

HALAMAN PERSETUJUAN ...... ii

HALAMAN PENGESAHAN ...... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...... iv

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI ...... v

ABSTRAK ...... vi

ABSTRACT ...... vii

KATA PENGANTAR ...... viii

DAFTAR ISI ...... ix

BAB I ...... 1

PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 8 C. Tujuan Penelitian ...... 8 D. Manfaat Penelitian ...... 9 E. Tinjauan Pustaka ...... 9 F. Kerangka Teori ...... 21 G. Metode Penelitian ...... 29 H. Sistematika Penulisan ...... 31 BAB II ...... 32

PEREMPUAN DAN SKENA EKSTREM METAL ...... 32

A. Dari Heavy Metal ke Ekstrem Metal ...... 32 B. Mengonsumsi Distorsi: Skena Ekstrem Metal Indonesia ...... 43 C. Perempuan dan Hegemoni Maskulinitas dalam Skena Ekstrem Metal ...... 50 D. Rangkuman ...... 57

ix

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III ...... 59

BERMAIN-MAIN DALAM TRANSGRESI ...... 59

A. Geraman/Teriakan: Transgresi Suara ...... 60 B. Kuasa Kata: Transgresi Diskursif ...... 74 C. Dressing and Moshing: Transgresi Kebertubuhan ...... 84 D. Dark play dalam Transgresi: Disrupsi pada Dominasi ...... 91 E. Kastrasi Ekstrem Metal ...... 95 F. Fantasi dalam Dark play: Bebas dan Setara ...... 98 G. Rangkuman ...... 109 BAB IV ...... 111

PENUTUP ...... 111

A. Kesimpulan ...... 111

B. Rekomendasi ...... 113

DAFTAR PUSTAKA ...... 115

GLOSARIUM …………………………………………………………………119

x

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hari Rabu, 2 Oktober 2019 malam di sebuah kafe sempit di jalan Selokan

Mataram, Yogyakarta, saya berdesakkan dengan puluhan orang yang kebanyakan adalah laki-laki, menunggu penampilan Killed on Juarez (KoJ), sebuah band metal dari

Yogyakarta. Kepulan asap rokok, bau alkohol, dan parfum yang melebur dengan keringat menjadi satu menciptakan kondisi penat nan menyesakkan dada. Kepenatan itu tak menghalangi Fransisca Ayu, vokalis KoJ, untuk segera maju dan menyambar microphone. Sejurus kemudian, riffs gitar meraung, pukulan drum berdetak kencang, dan keriaan pun akhirnya dimulai. Puluhan orang yang berdesakan tadi mulai ber-moshing ria. Tak adanya sekat antara band penampil dan para penonton membuat kekacauan, tetapi bukanlah kekacauan yang menghancurkan. Kekacauan itu terasa menyenangkan dalam balutan musik yang terasa membebaskan kepenatan. Ayu pun berada di tengah para penonton sembari melakukan hal terbaik dari dirinya malam itu: menggeram dan berteriak merapalkan lirik-lirik yang ia tulis untuk band nya itu. Saya yang setengah mabuk merasakan energi luar biasa dan kegembiraan penuh dari situ. Ketika KoJ meng- cover lagu A Trigger Full of Promise dari Wall of Jericho, saya putuskan ikut ber-moshing ria hingga lagu-lagu selanjutnya selesai seolah esok adalah hari kiamat. Malam itu saya bersikukuh untuk bersenang-senang saja. Sepulang dari acara itu, kuping saya masih berdenging. Bisingnya scream dan growl dari Ayu yang ia lantangkan di sepanjang repertoar band nya masih membekas di kepala. Saya terkagum-kagum karena geraman dan teriakan Ayu tadi mewakili sekaligus meredamkan

1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2

perasaan saya yang sungguh marah, penat, dan kacau pada malam itu. Di perjalanan pulang, saya bertanya-tanya dalam hati: kok bisa ya scream dan growl semacam itu membangkitkan energi agresif milik saya sekaligus meredakannya?

Sejauh yang saya tahu, musik metal didominasi oleh laki-laki dan direpresentasikan serta diidentikkan dengan sessuatu yang bersifat maskulin. Deena

Weinstein, seorang sosiolog asal AS, pernah meneliti komunitas metal ini. Bagi

Weinstein, “musik dan komunitas metal bersifat maskulin dan para perempuan yang ingin ikut ambil bagian di dalamnya harus menyesuaikan aturan-aturan para lelaki di dalamnya”.1 Dalam beberapa tulisan lain, komunitas musik metal disimpulkan sebagai komunitas yang dibangun berdasarkan “imaji-imaji maskulin”2 dan menunjukkan berbagai “tindakan misoginis serta penghalangan terhadap sifat-sifat feminin”.3 Robert

Walser dalam buku Running with The Devil bahkan menyebut bahwa kultur metal dibentuk dalam kaitannya dengan sistem patriarki yang memungkinkan kekuatan dan kontrol laki-laki direproduksi terus menerus lewat lagu maupun video klip sehingga peran perempuan di dalamnya jadi terpinggirkan.4 Berbagai alasan tersebut tampaknya dapat membuat para perempuan enggan untuk terlibat dalam skena musik metal. Namun, pada kenyataannya, alih-alih menghindar, justru terdapat perempuan yang aktif terlibat dalam komunitas metal sebagai seorang vokalis yang mana adalah sebuah posisi yang bisa dibilang berpengaruh dalam kancah musik metal. Ayu adalah salah satu contohnya. Ia justru merasa bahwa ia bisa mengekspresikan dirinya, melepaskan kepenatan, dan

1 Deena Weinstein, Heavy Metal: The Music and Its Culture (New York: De Capo Press, 1991), hal. 134 2 Judith Grant, “Bring the Noise: Hypermasculinity in Heavy Metal and Rap,” dalam Journal of Social Philosophy (Vol 27, 1996) hal. 5-31. 3 Klypchak, B.C, Performed Identities: Heavy Metal Musicians between 1984 and 1991. (Disertasi, Graduate College of Bowling Green State University, 2007). 4 Robert Walser, Running With The Devil; Power, Gender, and Madness in (Middletown: Wesleyan University Press, 1993), hal. 110.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3

terutama melakukan hal yang amat ia cintai5 di tengah dominasi laki-laki di skena itu sendiri.

Penggunaan istilah skena dalam penelitian ini merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh Keith Kahn Harris dalam menyebut scene. Istilah scene memiliki asal dari dunia teater yang menunjukkan sebuah ruang di mana akting ditampilkan. Istilah ini umum digunakan oleh para pegiat musik underground (punk, hardcore, metal). Dalam ekstrem metal, Harris mendefinisikan scene sebagai wadah, tempat, atau kancah di mana produksi musik ekstrem metal, sirkulasi, diskusi, interaksi, dan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan ekstrem metal dilakukan. Dengan kata lain, istilah scene digunakan untuk mendeskripsikan sebuah konteks yang mana produksi, praktek, dan wacana tentang musik ekstrem metal diproduksi. Harus dipahami juga bahwa penggunaan istilah ini pun berbagai macam. Ada penyebutan global metal scene untuk merujuk musik metal secara umum di dunia. Ada juga penyebutan untuk local scene, contohnya di Indonesia, penggunaan istilah scene juga digunakan untuk menyebut scene metal Indonesia. Scene lokal menjadi bagian dari scene yang lebih luas. Dalam penelitian ini, istilah scene akan diterjemahkan dengan skena yang sanggup mewakili definisi scene menurut Harris tersebut. Di kalangan scene underground punk, metal, dan hardcore Indonesia, kata skena dijadikan sebagai terjemahan banal dari scene. Meski begitu, kata ini seolah menjadi kesepatakan tak resmi bagi para pegiat musik underground di Indonesia. Selain itu, istilah skena juga banyak digunakan dalam artikel-artikel media tentang scene musik underground di Indonesia.

Ayu tak hanya menjadi vokalis untuk KoJ. Ia juga menjadi vokalis untuk

LeftyFish, sebuah unit math metal/. Musikalitas band ini cenderung

5 Wawancara dengan Fransisca Ayu, 6 Juni 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4

mengawinkan metal dengan jazz. Oleh karena itu, Ayu tak hanya menggunakan teknik scream/growl saja, tetapi ia juga menggunakan sedikit suara clean dan terkesan seperti suara anak perempuan yang masih kecil. Ia piawai mengombinasikan dua taknik vokal itu dalam cara bernyanyinya bersama Leftyfish. Saya sempat menyaksikan kepiawaiannya itu ketika melihat Leftyfish tampil dalam sebuah acara tribute untuk idol grup JKT48 pada pertengahan tahun 2019. Kepiawaiannya itu mengundang apresiasi yang bagus dari para penonton. Ini terasa menyenangkan bagi Ayu. Beberapa kali ia mengucapkan terima kasih di jeda antar lagu. Selepas tampil, ia mengaku kepada saya bahwa penampilannya melam itu adalah salah satu penampilan terbaik dari dirinya. Meski begitu, Ayu menceritakan pula bahwa untuk mencapai hal itu ia sebelumnya kerap diremehkan hanya karena ia seorang perempuan. Ironisnya, hal itu datang dari komunitas musik metal itu sendiri. Peremehan serupa dialami oleh Lilin, vokalis dari grup grindcore asal Jakarta, GOADS. Ia seringkali dipandang sebelah mata oleh sesama musisi metal.

Menurutnya, pandangan sebelah mata itu kerap kali muncul dari para lelaki yang mendominasi komunitas musik metal. Bahkan, ia sempat mengalami pelecehan seksual secara fisik ketika ia menonton konser BANE, grup hardcore asal Amerika Serikat. “Ini jadi kesulitan gue terutama ketika menjadi seorang vokalis. Banyak yang enggak terima dengan skill perempuan ketika nge-band, apalagi band nya metal. Gue dipandang sebelah mata hanya gue perempuan”.6

Pengalaman Ayu dan Lilin itu menunjukkan asumsi bahwa musik metal dipandang sebagai sesuatu yang maskulin masih saja kental terasa. Persoalan perempuan dijadikan sebagai objek seksual semata pun kerap terjadi ketika mereka berada di panggung. Hera Mary, vokalis band metal Oath, menyatakan bahwa ketika para musisi

6 Wawancara denga Lilin, 23 September 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5

perempuan berani tampil di panggung, hal-hal berbau seksis dari penonton yang sebagian besar laki-laki muncul. “Dulu teman-teman perempuan kayak minder untuk bermusik, sekarang pas mereka berani, mereka malah jadi bahan bully, jadi bahan bercandaan, misalnya, ‘Eh nonton band ini nih, vokalisnya lucu’.”7

Ketika saya menikmati konser metal yang menampilkan vokalis-vokalis perempuan, saya mendapat kesan bahwa tersebut mereka tampak menikmati penampilannya di panggung dan seolah tak menghiraukan anggapan mengenai komunitas metal yang bersifat maskulin dan didominasi oleh laki-laki ini. Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa kultur komunitas metal yang memarjinalkan perempuan memang benar adanya. Tindakan merendahkan hingga pelecehan secara verbal terhadap musisi metal perempuan sering saya dengar dari banyak penonton laki-laki. Dengan kata lain, saya justru menemui sebuah kontradiksi antara anggapan komunitas metal yang bersifat maskulin dengan kenyataan bahwa para vokalis perempuan band-band metal tetap menikmati penampilannya sebagai seorang musisi di panggung. Lantas, mengapa vokalis ini tetap memilih terlibat dan masuk dalam komunitas metal yang diidentikkan dengan dunia laki-laki dan tindakan pelecehan secara verbal tersebut? Apa yang ingin mereka suarakan? Jenna Kummer berpendapat bahwa metal menawarkan kekuatan resistensi terhadap dunia pada umumnya, misalnya resistensi pada industri musik yang menghegemoni serta aturan-aturan yang berlaku di masyarakat, agama, maupun negara.

Kekuatan resistensi ini digunakan oleh perempuan untuk berpartisipasi di dalamnya.8

Apakah kemudian penampilan vokalis-vokalis metal perempuan dapat dibaca sebagai

7 Lih. Saraswati, Diah P. 2017. “Sudah ramahkah musik bagi perempuan?”, diakses dari https://hot.detik.com/music/3690831/sudah-ramahkah-musik-bagi-perempuan pada 17 Oktober 2017. 8 Jenna Kummer. “Powerslaves? Navigating Femininity in Heavy Metal” In G. Riches, D. Snell, B. Bardine, & B. G. Walter, Heavy Metal Studies and Popular Culture. (London: Palgrave Macmillan, 2016), hal. 145.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6

sebuah resistensi terhadap kultur metal yang didominasi laki-laki dan cenderung memarjinalkan mereka?

Penampilan Ayu sebagi vokalis KoJ dan Leftyfish menjadi salah satu contoh unik untuk ditelaah dengan memperhatikan pada asumsi adanya resistensi dari vokalis metal perempuan pada dominasi laki-laki di komunitas metal. Setidaknya ada dua alasan yang melandasinya. Pertama, seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Mereka bermain di ranah musik yang didominasi laki-laki. Kedua, mereka memilih menjadi vokalis di band metal yang tergolong ekstrem atau disebut sebagai band-band ekstrem metal. dalam film seri dokumenternya mengenai kultur metal menyebut bahwa ekstrem metal sebagai subgenre dari musik metal. Ia menyebut bahwa ekstrem metal merupakan sebuah sebutan bagi beberapa subgenre metal yang paling underground dan agresif. Beberapa subgenre itu antara lain adalah death metal, grindcore, , , dan lain sebagainya9. Ekstrem metal identik dengan musiknya yang cadas dan cenderung berisik, liriknya sebagian besar bertemakan kekerasan, melanggar peraturan, kritik tajam terhadap otoritas, dan juga misoginis. Dengan kata lain, meminjam istilah dari Keith Kahn Harris, ekstrem metal selalu identik dengan transgresi yang mengimplikasikan sesuatu yang melewati atau melampaui batas-batas dalam masyarakat pada umumnya.10 Lalu, seperti pertanyaan saya di awal, yang amat menarik perhatian saya adalah jenis vokal yang digunakan oleh vokalis di band-band ekstrem metal adalah jenis suara scream dan growl.

Banyak orang di luar komunitas metal tidak paham dengan jenis musik tersebut karena dianggap berisik dan pengucapan kata dalam vokalnya dianggap tidak jelas. Jenis vokal seperti ini pun direpresentasikan, diidentikkan, dan memiliki stereotipe sebagai sesuatu

9 Sam Dunn. “-Extreme Metal” .(2015). BANGERTV-All Metal. Diakses dari YouTube: https://www.youtube.com/watch?v=MoHOgfEoTlc&t=2366s pada 14 Juni 2018. 10 Harris, 2007. Op.Cit., hal 29.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7

yang maskulin11. Bukanlah sebuah hal yang mudah untuk menguasai sebuah teknik bernyanyi menggeram (growl) dan berteriak (scream) dalam jenis musik ekstrem metal dan menampilkannya di atas panggung. Matthew Unger menulis bahwa dibutuhkan musikalitas dengan standar tinggi untuk menciptakan lagu-lagu ekstrem metal karena materi, jenis vokal, tempo, serta ritme dalam musik ekstrem metal dapat memunculkan sebuah simbol transgresi dalam komunitas metal itu sendiri.12 Lalu, apakah teknik vokal growl dan scream yang dipilih oleh para vokalis metal perempuan dapat dikatakan sebagai resistensi lewat transgresi dalam transgresi? Bagaimana korelasi teknik semacam itu dengan lirik-lirik dan gaya mereka di panggung? Mengapa resistensi lewat penampilan dimunculkan oleh mereka?

Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan dan asumsi tersebut, penelitian ini berfokus menelaah penampilan (performance) dan karya-karya dari empat vokalis ekstrem metal perempuan yaitu Fransisca Ayu (KoJ, Leftyfish), Lilin Purnama

(GOADS), Hera Mary (Oath), dan Popo Puji (Demons Damn). Muncul sebuah asumsi di mana alih-alih menghindar, mereka justru mempertaruhkan diri mereka dan memberanikan diri untuk bermain-main (playing) lewat performance yang mereka lakukan dalam rangka resistensi terhadap skena yang cenderung memarjinalkan peran mereka. Membaca performance mereka menjadi penting untuk melihat bagaimana mereka bermain-main melalui performance mereka sebagai upaya resistensi terhadap skena metal yang didominasi laki-laki. Namun, di sisi lain menyampaikan daya bermain lewat performance mereka saja tentu akan menjadi sebuah hal deskriptif saja. Oleh karena

11 Pauwke Berkers & Julian Schaap. Gender Inequality in Metal Music Production. (Bingley: Emerald Publishing, 2018), hal 52. 12 Unger, Matthew. P. Sound, Symbol, Sociality;The Aesthetic Experience of Ekstrem Metal Music. (Hampshire: Palgrave Macmillan, 2016), hal. 18.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8

itu, pendekatan psikoanalisis Lacanian melalui konsep fantasi diperlukan untuk menunjukkan fantasi yang menggerakkan mereka dalam membangun performance itu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, pertanyaan utama yang ingin dijawab, yaitu:

Bagaimana fantasi berperan dalam performance Fransisca Ayu, Lilin Purnamasari, Popo

Puji, dan Hera Mary? Pertanyaan utama itu akan dijawab dengan pertanyaan-pertanyaan lain, yaitu:

1. Bagaimana perempuan direpresentasikan di skena ekstrem metal di

Indonesia?

2. Bagaimana daya performance dihadirkan oleh empat vokalis ekstrem

perempuan (Ayu, Popo, Hera, dan Lilin) dan wacana apa yang muncul dari

pertunjukan mereka?

3. Fantasi macam apa yang mendasari performance itu?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini berusaha menjelaskan fantasi yang mendasari daya performativitas empat vokalis ekstrem metal perempuan di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu:

1. Menjabarkan skena ekstrem metal di Indonesia dan kedudukan perempuan di

dalamnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9

2. Mengekplorasi dan membaca performance empat vokalis ekstrem metal

perempuan yaitu Fransisca Ayu, Popo Puji, Hera Mary, dan Lilin Purnama

dalam penampilan mereka.

3. Menjelaskan fantasi yang mendasari performance mereka.

D. Manfaat Penelitian

Sebagai sebuah studi ilmiah, penelitian ini ingin memberi kontribusi pada diskusi tentang keterlibatan perempuan dalam skena ekstrem metal di Indonesia. Penelitian ini diharapkan memberi informasi dan pengetahuan mendalam tantang daya performance

Fransisca Ayu, Popo Puji, Hera Mary, dan Lilin Purnama sebagai vokalis ekstrem metal dalam upaya mereka mengartikulasikan kedudukan mereka di dalam skena musik ekstrem metal yang didominasi laki-laki. Selain itu, dengan mengeklporasi fantasi yang mendasari performance mereka, penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan hal yang menggerakkan empat vokalis itu untuk terus berkarya dalam skena ekstrem metal di

Indonesia, sehingga para pelaku, pegiat, dan penggemar musik metal diharapkan memiliki perspektif dan pengetahuan baru dalam memandang wacana perempuan dalam skena ekstrem metal pada khususnya dan skena metal pada umumnya.

E. Tinjauan Pustaka

Dengan semakin bertambahnya perempuan yang terlibat dalam kancah ekstrem metal, studi akademis mengenai fenomena ini pun bertambah. Bagian ini akan memaparkan studi-studi tentang kultur metal dan keterlibatan perempuan dalam skena metal. Bagian pertama dalam tinjauan ini menguraikan studi-studi mengenai kultur metal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10

dan dominasi laki-laki di dalamnya. Sementara bagian kedua, secara komparatif akan menjabarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai keterlibatan perempuan dalam kultur metal.

Kultur dan Komunitas Musik Metal

Buku dari Robert Walser berjudul Running With The Devil: Power, Gender, and

Madness in Heavy Metal Music (1993) dan dari Deena Weinstein yang berjudul Heavy

Metal: The Music and Its Culture (1991) adalah dua karya akademik yang membahas musik dan kultur heavy metal dan secara khusus membahas mengenai keterlibatan perempuan di dalammnya. Weinstein, seorang sosiolog dari Amerika Serikat, berargumen bahwa estetika musik metal secara kultural dibangun melalui kekuatan dengan kode-kode maskulin13. Menurutnya, inilah yang menyebabkan absennya peran dan keterlibatan perempuan dalam komunitas metal. Sementara itu, Walser, juga berpendapat bahwa kultur heavy metal selama ini dianggap mengeluarkan peran perempuan di dalamnya. Menurutnya, hal itu terjadi karena musisi heavy metal dan para penggemarnya mengembangkan taktik untuk terus menerus meniru dan membayangkan kekuatan dan kontrol lelaki dalam konteks patriarki.14 Lebih lanjut lagi, Walser mengatakan bahwa musik metal dan video musik metal mereproduksi wacana patriarkal baik melalui musiknya sendiri, video musik, maupun penampilan para artisnya yang menggunakan simbol-simbol maskulinitas sebagai daya tarik visual atas transgresi yang spektakuler. 15

13 Weinstein, 2000, Op.Cit., hal. 67 14 Walser,1993, Op.Cit., hal. 110. 15 Ibid, hal 109.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11

Keterlibatan perempuan dalam komunitas metal juga dibahas oleh Keith Kahn

Harris. Sedikit berbeda dengan Weinstein dan Walser, Harris mengganggap bahwa infrastruktur dari komunitas metal secara teori dan ideal dibentuk untuk memungkinkan partisipasi perempuan. Meski begitu, para perempuan, dikatakannya, tidak masuk ke dalam komunitas secara mandiri. Harris berpendapat bahwa perempuan-perempuan yang masuk dalam komunitas cenderung melakukannya bersama kekasihnya atau bersama teman-temannya16. Inilah yang menurut Harris menyebabkan para perempuan yang terlibat kurang mendapat otonomi di antara para lelaki yang ada dalam komunitas metal.

Mereka dianggap tidak terlalu penting dan dipinggirkan. Peran perempuan sangat terbatas dibandingkan para lelaki dalam komunnitas metal itu.

Penelitian-penelitian di atas setidaknya membawa satu kesamaan gagasan bahwa kultur heavy metal didominasi oleh lelaki dan perempuan dimarjinalkan di dalamnya sehingga para perempuan harus mengikuti kode-kode maskulin tertentu untuk dapat masuk ke dalam sebuah komunitas metal dalam konteks ‘barat’. Namun, bagaimana kemudian ketika perempuan telah masuk, terlibat aktif, bahkan menjadi personel dalam sebuah band metal belum banyak dieksplorasi oleh penelitian-penelitian tersebut.

Terlebih lagi adalah bagaimana para perempuan musisi metal, secara khusus di Indonesia, menegosiasikan representasi diri mereka dengan kehidupan mereka sehari-hari ketika tidak berada di atas panggung. Hal inilah yang kemudian sangat menarik untuk diamati dan diteliti.

16 Harris, 2007, Op.Cit., hal 74.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

12

Perempuan dalam tatanan masyarakat Indonesia

Tulisan Laurie J.Sears sebagai editor dalam buku Fantasizing The Feminine in

Indonesia dengan jelas menyebutkan sebuah argumen yang menyatakan bahwa dalam perspektif psikoanalisis, generalisasi yang dapat dibuat mengenai perempuan Indonesia adalah bahwa mereka selalu didefinisikan dalam hubungannya dengan laki-laki.17

Sebagai contoh untuk menggambarkan pernyataan itu misalnya dalam tulisan Julia I.

Suryakusuma di dalam buku tersebut di mana ia memperkenalkan istilah “State Ibuism”.

Istilah ini dipakai oleh Suryakusuma untuk menggambarkan peran perempuan sebagai istri menjadi sama penting dengan perannya sebagai ibu. Melalui beberapa hukum perceraian yang dibuat pemerintah orde baru, budaya patriarki dilanggengkan dan mengontrol hasrat para perempuan. Dengan demikian, Suryakusuma pun berargumen bahwa hirarki ganda dipaksakan kepada perempuan. Perempuan, melalui peraturan- peraturan yang dilakukan pemerintah dipaksa untuk menerima identitas sebagai ibu dan istri. Hal ini menandakan bahwa pemerintah secara radikal menggambarkan bahwa kedudukan perempuan berbeda dan berada diabwah laki-laki. Hirarki ini menjadi ganda sebab digunakan pula demi melegitimasi hirarki kekuasaan birokrasi.18

Proses pembentukan dan kontestasi representasi perempuan di Indonesia diulas oleh Sylvia Tiwon dalam makalahnya yang berjudul Model and Maniacs; Articulating

The Female in Indonesia. Tiwon melihat bahwa di Indonesia perempuan seperti R.A

Kartini sebagai sebuah model bagi perempuan Indonesia sedangkan para perempuan dari organisasi Gerwani sebagai maniak yang harus disingkirkan. Studinya menangkap sebuah imaji perempuan seperti Kartini dapat membentuk konstruksi perempuan Jawa dan

17 Lih.Laurie Sears. J. Fantasizing the Feminine in Indonesia. (London: Duke University Press, 1999), hal. 19. 18 Ibid, hal. 35.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13

membantu pemerintah untuk mengontrol buruh perempuan. Menurut Tiwon, model perempuan seperti Kartini diartikulasikan terus menerus hingga menentukan sebuah standar perilaku perempuan yang harus dipenuhi oleh setiap perempuan di Indonesia. 19

Identitas perempuan yang ditunjukkan dalam tulisan-tulisan Suryakusuma dan

Tiwon itu rupanya adalah representasi yang membelenggu perempuan Indonesia.

Kreativitas dan suara mereka dimarginalkan demi kelanggengan kekuasaan. Mengambil definisi femininitas dari Julia Kristeva dengan mengutip Toril Moi, Sears menyingkat bahwa perempuan selalu ditempatkan dalam posisi yang marjinal dalam hirarki patriarkal.20 Argumen ini tentu kemudian dapat menjadi gambaran ketika musisi metal perempuan muncul. Mereka selalu ditempatkan di pinggir, di ambang batas, dan bahkan disebut sebagai perempuan yang berbahaya, penuh kekerasan, dan dipandang sebagai ancaman untuk negara.21 Dari gambaran tersebut, penelitian ini bermaksud untuk mengungkap representasi atau suara dari musisi metal perempuan di Indonesia.

Sementara itu, Khrisna Sen dalam tulisannya yang berjudul Indonesian Women at

Work; Reframing the Subject melihat peran perempuan di Indonesia di tahun 1990 an dengan menganalisis dokumen-dokumen kebijakan negara dan iklan-iklan yang muncul dalam masyarakat. Sen berpendapat bahwa ‘perempuan pekerja’ beroperasi sebagai pusat penanda yang berkembang dalam politik dan budaya pop di Indonesia meski sangat dipengaruhi dan juga mendapat tandingan-tandingan dari penanda-penanda lain.22

Perempuan pekerja sebagai sebuah penanda sentral dalam politik dan budaya pop di

19 Ibid, hal. 37. 20 Ibid, hal. 19. 21 Ibid. 22 Sen, Khrisna & Stivens, Maila (Ed.). Gender and Power in Affluent Asia (London: Routledge, 1998), hal 35.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

14

Indonesia dielaborasi oleh Sen dalam dua argumen utamanya yaitu pertama bahwa pekerja perempuan menjadi sebuah ikon di mana posisi Indonesia sebagai bangsa modern dalam kaitannya dengan ekonomi global dilegitimasi, dan kedua bahwa figur ikonik itu didasarkan pada pekerja profesional daripada perempuan proletar.23 Sen kemudian menganalisis dan kemudian memikirkan kembali politik kelas dan gender, serta bagaimana posisi perempuan-perempuan yang tidak termasuk sebagai ‘profesional’ tersebut. Dari analisisnya, ia menemukan bahwa terdapat posisi ambigu di mana perempuan-perempuan yang disebut Sen sebagai ‘a new middle-class working woman’ memunculkan sebuah kategori untuk memikirkan kembali kelas dan gender. Menurutnya, ide-ide, praktik, dan karya-karya dari perempuan-perempuan dalam kategori tersebut sangat signifikan dalam pengoperasian pemerintah dan pasar.24 Paparan di atas mendorong penelitian ini untuk mengungkap suara-suara dari kategori dan penanda baru yang diwujudkan dalam karya oleh para musisi metal perempuan di Indonesia.

Tulisan lain mengenai representasi perempuan di Indonesia yang cukup baru adalah dari Diah Ariani Arimbi yang meneliti mengenai representasi, identitas, dan religiositas perempuan Islam Indonesia dalam karya-karya fiksi. Arimbi menganalisis karya-karya fiksi dari Titis Basino P.I., Ratna Indraswari Ibrahim, Abidah El Khalieqy and Helvy Tiana Rosa, empat penulis beda generasi yang memproduksi karya-karya fiksi yang kental akan politik identitas perempuan muslim di Indonesia. Tulisan-tulisan mereka, dikatakan Arimbi, mampu mengungkap isu-isu otentisitas, representasi, dan kuasa yang saling tumpang tindih dalam berbagai bentuk estetika dan struktur-struktur

23 Ibid. 24 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

15

naratif25. Dengan menyebar kuesioner kepada para pembaca karya-karya keempat pengarang itu dan melalui analisis teks, Arimbi berfokus untuk melihat lebih jauh mengenai keempat pengarang itu, karya-karya mereka, dan respon dari para pembaca.

Secara lebih spesifik, Arimbi ingin melihat politik yang melingkupi teks-teks itu yang menjadi materi sekaligus produksi konteks dari teks-teks itu.26 Dari hasil analisisnya,

Arimbi menyimpulkan bahwa teks-teks dari keempat pengarang itu menawarkan narasi praktis wacana feminis yang menyediakan ruang pertemuan baru dan segar bagi perempuan dengan dunia Islam dan modernitas. Para pengarang itu, dikatakan Arimbi, memahami bahwa peran gender sangat bisa dinegosiasikan daripada sekedar hal yang sudah terberi. Dalam merepresentasi perempuan di berbagai wacana, keempat pengarang itu menggaambarkan perempuan-perempuan dari berbagai latar belakang yang berjuang melawan represi dan dominasi, serta menolak status mereka sebagai manusia yang ‘tak memiliki kuasa’. Yang menjadi penting dari keempat pengarang tersebut adalah penolakan mereka untuk mendefinisikan perempuan tidak dari sudut pandang perempuan itu sendiri. Mereka menempatkan diri mereka sebagai pusat kontruksi identitas dengan memberi ruang bagi perempuan-perempuan untuk bersuara.27

Dari kesimpulan yang diambil oleh Arimbi tersebut, ada sebuah usaha perjuangan dari para pengarang perempuan itu untuk melawan represi dan dominasi dan diwujudkan dalam karya-karya fiksi mereka. Penelitian Arimbi ini memberi gambaran strategi para perempuan pengarang Indonesia dalam budaya popular berbentuk karya-karya fiksi. Para perempuan pengarang menyuarakan suara mereka untuk membuat sebuah konstruksi

25 Arimbi, Diah Ariani. Reading Contemporary Indonesian Muslim Women Writers; Representation, Identity, and Religion of Muslim Women in Indonesian Fiction. (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2009), hal. 14. 26 Ibid, hal 14. 27 Ibid, hal 181

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16

identitas diri mereka. Ini memberi gambaran mengenai sebuah kreativitas yang dapat menjadi sebuah penanda baru untuk kemudian menjadi sebuah kontestasi dalam isu gender. Sayangnya, Arimbi tidak melakukan wawancara dengan para pengarang tersebut untuk melihat dari sudut pandang para pengarang itu sendiri. Seperti halnya para perempuan pengarang itu, para vokalis ekstrem metal perempuan di Indonesia memiliki karya bersama band mereka masing-masing. Bahkan, mereka banyak terlibat dalam penulisan lirik lagu. Oleh karena itu, penelitian ini tidak hanya menganalisis musik dan teks yang tercermin dalam lirik-lirik lagu musisi metal perempuan Indonesia, tetapi juga melihat sudut pandang dari musisi perempuan itu secara langsung dengan menyajikan negosiasi mereka dalam kehidupan di panggung dan di luar panggung.

Perempuan dalam Kultur Metal

Beberapa tulisan akademis yang membahas mengenai keterlibatan perempuan dalam komunitas subkultur metal selama ini banyak membahas keterlibatan penggemar atau perempuan dalam sebuah komunitas metal. Kebanyakan tulisan dan penelitian- penelitian tersebut dilakukan di luar Indonesia. Tulisan dari Rosemary Lucy Hill dalam bukunya yang berjudul Gender, Metal, and the Media; Woman Fans and the Gendered

Experience of Music adalah salah satunya. Hill menulis mengenai representasi para perempuan penggemar musik metal dalam majalah Kerrang!, sebuah majalah musik metal di Inggris. Ia melihat proses majalah Kerrang menciptakan sebuah komunitas terbayang penggemar metal dan secara khusus ia melihat bagaimana perempuan penggemar metal direpresentaikan dalam surat pembaca pada majalah tersebut. Hill menunjukkan bahwa media mengontrol dan menunjukkan ideologi seksis dalam skena metal di mana laki-laki direpresentasikan maskulin, dominan, dan kuat sementara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17

perempuan direpresentasikan sebagai kasta kedua yang lemah dan seringkali dijadikan objek seksual semata. Artinya, representasi perempuan dalam majalah itu mengakibatkan mereka dianggap sebagai tambahan atau pelengkap saja dalam komunitas metal yang dianggap maskulin.28

Sementara Hill menemukan bahwa perempuan penggemar musik metal direpresentasikan sebagai kasta kedua, penelitian yang dilakukan oleh Julian Schaap dan

Pauwkee Berkers dalam Gender Inequality in Metal Music Production (2018) menunjukkan adanya representasi serupa di mana perempuan dianggap sebagai gender kedua. Menggunakan pendekatan kuantitatif, Schaap dan Berkers menunjukkan adanya ketimpangan jumlah musisi perempuan dan laki-laki dalam skena metal. Mereka lalu mempertanyakan sejauh mana konstruksi gender berpengaruh pada kontribusi perempuan dalam produksi musik metal. Ketimpangan jumlah musisi perempuan dalam skena metal, menurut Schaap dan Berkers, mengindikasikan adanya ketidaksetaraan gender yang berakibat pada kurang dianggapnya musisi perempuan dalam memproduksi musik metal.

Dari temuan itu, nampak bahwa musisi perempuan metal masih direpresentasikan sebagai kasta kedua dalam skena metal. Hal ini mennyebabkan metal, bagi musisi perempuan, adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, metal memberi ruang untuk berekspresi, tetapi di sisi lain membatasi peran musisi metal perempuan dalam berkontribusi lewat inferiorisasi yang terjadi pada mereka serta penilaian yang didasarkan pada standar maskulin yang menghegemoni.

Sementara itu, Pierre Hecker dalam bukunya yang berjudul Turkish Metal; Music,

Meaning, and Morality in a Muslim Society (2012) menjabarkan bagaimana komunitas

28 Rosemary Lucy Hill, Gender, Metal, and the Media; Woman Fans and the Gendered Experience of Music. (Leeds: Palgrave Macmillan, 2016), hal. 20.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

18

subkultur metal berkembang di negara Turki. Dalam salah satu bab buku ini, Hecker menulis mengenai perempuan dalam subkultur metal di Turki. Ia banyak mengeksplorasi strategi para perempuan penggemar musik metal di Turki dalam menegosiasikan posisi gender mereka yang ada dalam norma patriarki serta Islam dengan kesukaan mereka terhadap musik metal. Ini berguna bagi saya untuk memberi gambaran bagaimana perempuan muslim menegosiasikan kecintaannya terhadap metal dengan gender serta identitasnya sebagai perempuan muslim. Setidaknya, gambaran itu nantinya berguna bagi saya karena penelitian yang akan dilakukan penulis pun ada dalam konteks negara muslim.

Artikel jurnal dari dua akademisi asal Swedia bernama Susanna Nordström dan

Marcus Herz menyajikan penelitian mereka mengenai pemosisian gender dan terbentuknya perbedaan di dalam subkultur heavy metal di Swedia. Penelitian mereka mencoba mengulas bagaimana perbedaan gender, khususnya pemosisian gender perempuan terbentuk dan termanifestasikan di dalam subkultur heavy metal. Nordström dan Herz melakukan wawancara secara personal dan secara kelompok terhadap para fans heavy metal usia 18-26 tahun sebagai metode pengambilan data. Para partisipan itu terdiri dari 19 orang laki-laki dan 9 orang perempuan yang aktif dalam sebuah komuntas daring penyuka musik heavy metal bernama “Helgon”. Di antara mereka ada pula yang merupakan personel band metal.

Sebagai latar belakang dalam pelaksanaan penelitian ini, kedua penulis memaparkan argumen bahwa subkultur heavy metal adalah subkultur yang dikenal sebagai kultur yang maskulin, macho, dan didominasi pria. Argumen-argumen itu mereka sebut dengan mengutip penelitian-penelitian terdahulu antara lain dari Deena Weinstein,

Robert Walser, serta Krenske dan McKay. Penelitian-penelitian ini memiliki kesamaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19

ide mengenai perempuan dalam heavy metal di mana kedudukan perempuan selalu dipinggirkan dan terhegemoni oleh para lelaki serta norma-norma maskulinitas yang juga dibentuk oleh para lelaki di dalam subkultur heavy metal. Representasi dan perbedaan gender yang bisa dilihat secara kasat mata di dalam subkultur tersebut membuat pemosisian gender menjadi sulit dilacak dalam hubungannya dengan bagaimana gender bisa menjadi salah satu faktor pembentuk kultur tersebut ataupun sebaliknya. Dengan latar belakang tersebut, Nordstrom dan Herz ingin mencari tahu dan menggaris bawahi bagaimana perbedaan-perbedaan tersebut diekspresikan dalam representasi dan dipraktikkan. Secara khusus, mereka juga ingin melihat terbentuknya konstruksi gender perempuan dalam hubungannya dengan pertanyaan mengenai makna menjadi perempuan di dalam subkultur heavy metal.

Dengan pendekatan teori mengenai wacana dari Foucoult, performativity dari

Butler, serta representasi yang dikemukakan oleh Hall, Nordstrom dan Herz mengolah data yang mereka peroleh. Teori wacana digunakan untuk melihat posisi diri tersebut dibentuk dari interaksi antara wacana, konteks, serta tindakan-tindakan setiap individu, dalam hal ini pada subkultur heavy metal. Teori performativity digunakan untuk membicarakan bagaimana pergerakan posisi, penolakan, dan perubahan yang terjadi di dalam subkultur metal terkait gender melalui tindakan-tindakan performatif yang dilakukan partisipan di dalam subkultur metal. Sementara teori representasi digunakan untuk melihat bagaimana perbedaan tiap partisipan, khususnya perbedaan antara lelaki dan perempuan, dalam merepresentasikan diri mereka di dalam subkultur metal, entah itu melalui pakaian yang mereka kenakan ataupun dari atribut-atribut lainnya, serta tindakan- tindakan mereka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20

Dari analisis data yang dilakukan oleh Nordstrom dan Herz, diketahui bahwa sementara gender adalah sebuah posisi yang bisa digerakkan secara umum, para perempuan dalam subkultur heavy metal yang menjadi informan kedua penulis menggerakkan posisi mereka lebih luas dari para laki-laki. Ini terlihat ketika mereka secara konstan dipaksa atau terpaksa untuk mengikuti nilai-nilai dan norma-norma laki- laki dalam subkultur heavy metal. Selain itu, Nordstrom dan Herz juga menemukan tiga dualitas dalam pemosisian perempuan di subkultur heavy metal. Pertama adalah paradigma “pelacur/dewi” berdasarkan pengetahuan para fans perempuan, kedua adalah tindakan penyeimbangan “berakting laki-laki” dan “terlihat perempuan”, dan yang ketiga adalah “zona abu-abu” di mana perempuan menjadi tidak cukup maskulin untuk subkultur heavy metal tetapi di sisi lain juga tidak cukup “feminin” untuk dunia luar.

Studi lain yang juga meneliti perempuan dalam komunitas metal adalah tulisan dari Sonia Vasan yang berjudul “Den Mothers” and “Band Whores”; Gender, Sex and

Power in the Death Metal Kancah (2010). Lagi-lagi tulisan ini masih berfokus pada para perempuan penggemar musik metal, utamanya dalam subgenre Death Metal. Tulisan ini merupakan sebuah esai dalam buku berjudul Heavy Fundametalism: Music, Metal, and

Politics. Tulisan dari Vasan banyak membahas tentang strategi para perempuan penggemar musik death metal dalam menegosiasikan identitas gender mereka di dalam musik Death Metal yang dianggap maskulin, misoginis, dan agresif. Temuan Vasan adalah bahwa ada dua kategori perempuan penggemar musik death metal. Dua kategori ini, kata Vasan, secara aktif membentuk konstruksi gender dalam dua cara yang berbeda yaitu dengan menyesuaikan norma-norma maskulin dan dengan mewujudkan fantasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

21

lelaki melalui feminitas yang sangat kerap dihubungkan dengan seksualitas29 Dua kategori itu disebut “Den Mothers” dan “Band Whores” yang merujuk kepada cara mereka untuk masuk ke dalam komunitas musik death metal itu.

Berkait dengan konteks Indonesia, penelitian mengenai komunitas metal yang berfokus pada keterlibatan perempuan masih sangat jarang. Namun, buku dari Jeremy

Wallach yang berjudul Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia 1997-

2001 (2008) sedikit memberi gambaran mengenai keterlibatan para perempuan dalam komunitas metal di Indonesia. Menurut pengamatan Wallach, perempuan dalam komunitas metal di Indonesia sangat jarang terlibat dalam praktik moshing atau praktik saling menabrakkan diri antar penonton di dalam sebuah konser metal. Selain moshing, praktik stage diving atau melompat dari panggung juga dilakukan oleh perempuan, tetapi

Wallach mencatat bahwa di Indonesia sangat jarang praktik stage diving dilakukan oleh perempuan.30 Tulisan Wallach ini menjadi sebuah tulisan yang setidaknya memberikan gambaran dan konteks mengenai sebuah komuntas terbayang alternatif yang dibentuk oleh anak-anak muda di Indonesia pada periode 1997-2001.

F. Kerangka Teori

Studi mengenai performance tentu tak bisa lepas dari konsep performance yang dikemukakan oleh Richard Schechner. Dalam membaca performance Fransisca Ayu,

Popo Puji, Hera Mary, dan Lilin Purnamasari sebagai vokalis band ekstrem metal, maka konsep performance pun diperlukan, khususnya konsep mengenai deep play/dark play.

29 Sonia Vasan, “Den Mothers” and “Band Whores”; Gender, Sex and Power in the Death Metal Scene, dalam Rosemary Hill & Karl Sprakclen (eds.) Heavy Fundametalism: Music, Metal, and Politics (Oxford: Inter-Disciplinary Press, 2010), hal. 69-77. 30 Wallach, J. Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia 1997-2001. (Wisconsin: The Univesity of Wisconsin Press, 2008), hal. 235.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

22

Pertunjukan, konser, atau gigs ekstrem metal yang ditunjukkan oleh empat vokalis perempuan yang disebut tadi menggambarkan manusia-manusia yang sedang bermain

(playing) di panggung musik. Schechner mengelaborasi bahwa playing merupakan jantung dari performance itu sendiri. Performance dapat dikatakan sebagai sebuah ritualisasi tingkah laku/aksi yang terkondisikan atau terserap dalam play. Meski sukar untuk didefinisikan secara tepat, play diartikan sebagai sesautu yang melingkupi rasa, aktivitas, maupun sesuatu yang muncul secara spontan. Dengan demikian, play dapat terjadi di dalam aturan atau dapat juga bersifat bebas. Play dapat terjadi di mana saja, dalam konteks ini terjadi di panggung pertunjukan musik, dan dapat menjadi sebuah tindakan yang dapat mengganggu (subversive) kekuatan dominan.31 Setiap orang memainkan play dan setiap orang juga melihat dan senang melihat play tersebut di mana saja. Dalam kacamata ini, asumsi yang muncul adalah bahwa Ayu, Hera Mary, dan Popo

Puji menunjukkaan sebuah play sebagai sebuah strategi subversif terhadap skena ekstrem metal yang didominasi laki-laki.

Play yang ditunjukkan oleh empat vokalis perempuan tadi lalu menjadi penting untuk dilihat dari skema bermainnya (playing). Schechner menjabarkan bahwa playing

(bermain) merupakan sesautu yang bermata dua dan selalu bergerak. Acap kali orang melibatkan play di dalamnya. Playing merupakan sebuah aktivitas atau penampilan yang menampilkan hal-hal yang berhubungan dengan seni dan kreativitas dengan tujuan untuk meringankan, mensubversi, atau bahkan menolak hal yang sedang dikomunikasikan.32

Misalnya Ayu sebagai vokalis Leftyfish justru bermain-main dengan stigma bahwa metal menunjukkan kelaki-lakian. Ia memakai dress panjang ketika tampil di panggung untuk

31 Richard Schechner. Performance Studies: An Introduction; Third Edition. (London & New York: Routledge, 2013), hal. 89. 32 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23

memperlihatkan bahwa perempuan pun dapat tampil dengan pakaian pilihannya tanpa harus mengakomodasi stigma bahwa metal bersifat maskulin. Playing menciptakan dalam dirinya sendiri realitas-realitas baru dengan batasan-batasan yang cair. Playing penuh dengan proses kreatif pembentukan suatu dunia atau wacana. Oleh karena itu, play yang juga merujuk pada playing adalah sebuah performance yang dilakukan secara terbuka atau dilakukan di publik dan bersifat performatif ketika merujuk pada orang yang sedang bermain sebagai sebuah strategi atau imajinasi untuk menunjukkan sesuatu dan melampaui hal yang ditunjukkan itu sendiri.33

Performance dan tindakan bermain (playing) yang dilakukan Ayu, Popo, Hera, dan Lilin tentu menjadi sesuatu yang memiliki resiko besar bagi diri mereka yang berada di dalam skena yang didominasi laki-laki. Schecner juga mengatakan bahwa playing dapat menjadi sesuatu yang beresiko dan berbahaya secara fisik maupun emosional.

Untuk lebih secara mendalam membaca performance (playing) yang dilakukan empat vokalis tersebut, konsep dark play diperlukan. Konsep ini ditawarkan oleh Schechner dengan mengeksplorasi konsep deep play yang sebelumnya sudah dikenalkan oleh

Clifford Geertz yang meminjam konsep itu dari Jeremy Bentham. Deep play digunakan

Geertz untuk menggambarkan tentang judi sabbung ayam di Bali di mana banyak orang yang mempertaruhkan banyak uang dalam judi tersebut. Tindakan bertaruh inilah yang dianggap oleh Geertz sebagai deep play di mana para laki-laki menjadi orang-orang yang irasional dengan mempertaruhkan banyak uang di arena sabung ayam. Meski begitu, uang yang dipertaruhkan ini bermakna lain bagi orang-orang itu. Uang menjadi simbol status dan kehormatan.34 Dalam deep play seperti ini, orang bersama-sama mencari kenikmatan

33 Ibid, hal 92. 34 Ibid, hal. 119. Lihat juga dalam Clifford Geertz. The Interpretation of Culture. (New York: Basic Books, 1973), hal. 32-33.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

24

dengan masuk ke dalam sebuah relasi yang membawa mereka ke dalam kesakitan daripada kenikmatan.35 Konsep ini lalu dikembangkan oleh Schechner dan ia menyebutnya sebagai dark play.

Konsep dark play, menurut Schechner, diibaratkan seperti bermain dengan api.

Sebuah tindakan playing yang menekankan adanya resiko, muslihat, dan rasa serta sensasi kenikmatan yang murni. Dark play juga melibatkan fantasi, resiko, keberuntungan, perhatian, dan penemuan. Dark play dapat bersifat privat, hanya pemainnya yang tahu atau dapat juga meledak secara tiba-tiba, melibatkan sebuah microplay, menahan pemainnya dan kemudian segera berangsur normal. Poin penting dari yang dipaparkan

Schechner adalah bahwa dark play mensubversi tatanan yang berlaku, mengaburkan bentuk-bentuk tertentu, dan dapat melanggar aturannya sendiri sehingga tindakan playing nya itu sendiri berpotensi untuk dihancurkan. Meski begitu, tetap saja dark play bersifat subversif, dan agendanya selalu tersembunyi. Dengan melakukan dark play, pemainnya akan terpuaskan dengan terbentuknya muslihat, disrupsi, dan ekses yang diperlukan oleh si pemain.36 Dalam konteks penelitian ini, konsep ini dipakai untuk menjelaskan strategi

Ayu, Popo, Hera, dan Lilin dalam penampilan mereka dalam usaha resistensi mereka terhadap skena ekstrem metal yang distigmakan sebagai dunia yang maskulin. Melalui performance mereka, akan ditunjukkan bahwa mereka bermain-main dengan narasi- narasi yang ada di skena ekstrem metal sebagai sebuah transgresi untuk mendisrupsi stigma/aturan yang telah ada. Sebagaimana ditunjukkan oleh Schechner, dark play yang dapat provokatif, menakutkan, dan juga nikmat, dapat dipahami sebagai sebuah keadaan bermain-main (playing) dalam rangka membentuk, mengekplorasi batas-batas kuasa hirarki dan resistensi terhadap dunia yang mendominasi mereka. Dengan adanya

35 Ibid. 36 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

25

resistensi itu dalam dark play itu, asumsinya adalah bahwa mereka mendapatkan kepuasan yang melibatkan tindakan-tindakan dari yang beresiko tinggi bagi fisik maupun emosi mereka ke penemuan sesuatu yang baru dan pelibatan diri mereka kepada Liyan.

Schechner menyebut dalam dark play terkandung sesuatu yang membebaskan dan memuaskan.37

Berkaitan dengan dark play, konsep transgresi juga menjadi relevan untuk melihat performance mereka. Transgresi menjadi jantung dan keunikan bagi skena ekstrem metal.

Membaca dark play keempat vokalis perempuan tersebut tak bisa dilepaskan dari transgresi itu sendiri. Keith Kahn Harris dalam bukunya yang berjudul Extreme Metal

Music and The Culture on the Edge memaparkan bahwa transgresi merupakan elemen sentral yang ada dalam praktik-praktik di skena ekstrem metal. Transgresi ini bersifat eksesif, melawan dan melewati batas-batas, menunjukkan kesenangan sekaligus ketakutan dalam skena dan di sisi lain juga secara terus menerus memperkuat rasa kontrol dan potensi yang ada di dalam diri.38 Pembacaan dark play dari Ayu, Popo, Hera, dan

Lilin akan dilakukan dalam lingkup tiga kategori transgresi dalam skena ekstrem metal yang dipaparkan oleh Harris. Ketiga kategori itu adalah sonic transgression, discursive transgression, dan bodily transgression.39 Sonic transgression, sebagaimana dijabarkan

Harris, meliputi bidang musik. Dalam konteks penelitian ini, dilakukan pembacaan pada teknik vokal scream dan growl dari para vokalis perempuan tadi. Sementara discursive transgression bertolak pada apapun yang diangkat atau dibicarakan oleh para pelaku dalam skena ekstrem metal.40 Dalam hal ini, lirik lagu yang ditulis oleh Ayu, Popo, Hera, dan Lilin akan menjadi topik utama yang akan dibahas beserta latar belakang penulisan

37 Ibid, hal 121. 38 Harris, 2007. Op.Cit., hal. 30. 39 Ibid. 40 Ibid, hal. 34.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

26

lirik lagu dan juga latar belakang penulisan lirik tersebut. Discursive transgression ini kemudian memiliki implikasi pada bodily transgression.41 Fahsion di panggung, keterlibatan dalam moshpit, serta bahasa tubuh dalam sebuah pertunjukan menjadi fokus pada pembahasan kategori bodily transgression. Dengan pembacaan melalui tiga kategori ini, akan ditunjukkan dark play yang dilakukan oleh Ayu, Popo, Hera, dan Lilin yang tercermin dalam performance mereka.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Schechner, dark play juga tak terlepas dari fantasi si pemain dalam membangun tindakan-tindakannya. Fantasi ini, dalam penelitian ini, adalah hal yang menggerakkan si pemain untuk bertindak atau dalam hal ini melakukan performance sebagai seorang vokalis band ekstrem metal. Maka, konsep fantasi yang ditawarkan dalam pendekatan psikoanalisis Lacanian menjadi konsep yang mampu menjelaskan fantasi yang menggerakkan performance empat vokalis ekstrem metal perempuan tersebut. Konsep ini dipakai Lacan dengan mengekplorasi gagasan dari

Freud. Ia menggunakan gagasan fantasi untuk merepresentasikan sebuah gambaran atau imagi yang ditampilkan ke dalam imajinasi dan dari situ membentuk “unconscious desire”. Lacan kemudian membandingkan konsep fantasi itu dengan imagi beku dalam sebuah sinema.42

Dalam pandangan psikoanalisis Lacanian, terdapat tiga fase yang dapat menjelaskan proses individu menjadi subjek. Ketiga fase itu adalah fase imajiner, simbolik, dan Real. Fase imajiner atau fase cermin terjadi ketika seorang anak masih berusia 6-18 bulan melihat dirinya secara utuh, tetapi ia kemudian mulai mengenali dirinya yang lain (a’) yang merupakan bayangannya di cermin. Tentu saja, cermin ini

41 Ibid, hal. 44. 42 Evans, Dylan. An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis, (London: Routledge, 2006), hal. 61.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

27

bersifat metaforis dan bukan berarti si bayi ini bercermin di cermin yang sesungguhnya.

Ia menyadari adanya liyan untuk pertama kalinya.43 Fase imajiner dapat dikatakan sebagai identifikasi pertama si Subjek akan adanya Liyan.44 Di sinilah ego terbentuk dalam diri si Subjek.45

Fase imajiner selanjutnya menjadi dasar untuk masuk ke dalam fase selanjutnya yaitu fase simbolik atau bahasa. Dalam fase ini, Subjek mulai mengenal bahasa (hukum, aturan) yang berlaku di masyarakat. Fase ini juga berhubungan dengan hasrat (desire).

Subjek mulai menyadari bahwa semua hasratnya tidak bisa diakomodasi oleh hukum dan tatanan yang ada di fase simbolik ini. Oleh karena itu, kastrasi terjadi dan Subjek menjadi terbelah ($). Manusia dilihat sebagai subjek yang terkastrasi atau subjek yang terbelah ($) sehingga subjek mengalami lack atau kekosongan. Subjek ini dalam hidupnya senantiasa mencari objet petit a untuk menutupi lack-nya itu. Subjek tidak mungkin bertemu langsung dengan objet petit a sebab hal ini bersifat traumatik. Inilah yang terjadi pada fese ketiga, yaitu fase Real. Fase ini adalah fase yang melampaui fase imajiner dan fase simbolik. Fase ini berkaitan ketidakmungkinan dan Real menolak untuk disimbolisasi.

Maka, Real juga bersifat traumatik. Trauma ini yang terus menerus kembali kepada si

Subjek, tetapi selalu dihindari.46

Dalam hal ini, fantasi muncul sebagai limpahan hasrat subjek dalam usahanya mencari objet petit a dari liyan karena tak mungkin. Poin penting dari pandangan psikoanalisa Lacanian ini, dikatakan Slavoj Žižek, adalah bahwa hasrat bukanlah sesuatu

43 Lorenzo Chiesa. Subjectivity and Otherness: A Philosopical Reading of Lacan. (Massachusetts: MIT Press, 2007), hal 16. 44 Jacques Lacan. Ecrits: A Selection. Terj. Alan Sheridan (London & New York: Routledge, 2001), hal 1-6. 45 Evans, 1996, Op. Cit., hal. 193. 46 Evans, 1996, Op. Cit., hal. 162-163.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

28

yang terberi, melainkan sesautu yang harus dikonstruksi. Di sinilah peran fantasi menjadi penting karena fantasi menunjukkan koordinat hasrat si subjek47. Dengan kata lain, fantasi mengajarkan subjek untuk menghasrati sesuatu. Ia menjadi narasi dan memberi panggung bagi subjek dalam upayanya menutup celah kekosongan akibat lack atau hilangnya objet petit a. Fantasi merupakan narasi yang menjadi sebab atas kebuntutan hasrat. Fantasi merupakan lapisan tipis yang memisahkan hasrat dan dorongan.

Ada tujuh ciri-ciri fantasi yang dielaborasi oleh Žižek. Ketujuh ciri-ciri itu adalah fantasi bergerak dalam mewadahi kelimpahan hasrat, intersubjektif, hadir sebagai bentuk narasi primordial, ketidakmungkinan, fantasi memperlihatkan momen kastrasi, fantasi merepresentasikan pelanggaran melekat (inherent transgression), dan tawaran tanpa wujud.48 Dalam konteks ini, fantasi memberikan narasi serta rasionalisasi. Dengan kata lain, fantasi menyediakan sebuah gambaran dan alasan kebuntuan hasrat karena jouissance telah diambil oleh liyan.49 Oleh karena itu, fantasi, mengutip Ormrod, adalah sebuah narasi tau gambaran yang bekerja dalam struktur penanda dalam dunia simbolik.

Fantasi menjadi alat untuk mewadahi kelimpahan hasrat yang tak lagi mampu dipenuhi oleh bahasa simbolik, tetapi tetap meminjam bahasa-bahasa simbolik untuknya bekerja.

Dengan kata lain, fantasi menyangga hasrat.50 Dalam penelitian ini, konsep fantasi akan digunakan untuk menjabarkan fantasi macam apa yang mendasari dark play melalui performance Fransisca Ayu, Lilin Purnamasari, Popo Puji, dan Hera Mary.

47 Slavoj Žižek. Looking Awry; An Introduction to Jacques Lacan through Popular Culture. (Cambridge: MIT Press, 1992) hal. 5 48 James Ormrod. Fantasy and Social Movements. (London: Palgrave Macmillan, 2014) hal. 113-116. 49 Slavoj Žižek.The Plague of Fantasy. (London: Verso, 2008), hal. 43. 50 Ormrod, J. Fantasy and Social Movements. (London: Palgrave Macmillan, 2014) hal. 103, 112.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29

G. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menyoroti performance empat vokalis ekstrem metal perempuan di Indonesia di Indonesia dan fantasi yang mendasarinya. Oleh karena itu, sebuah pendekatan hermeneutik diperlukan karena memiliki kekuatan berupa validitas dialogis. Menurut Saukko, pendekatan hermeneutik beserta validitas dialogisnya bisa digunakan untuk melihat pengalaman dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian51. Artinya, dengan pendekatan ini, penulis dimungkinkan untuk menyajikan pengalaman hidup subjek dari sudut pandang subjek itu sendiri. Ini sejalan dengan apa yang ditambahkan Saukko mengenai validitas dialogis. Ia mengatakan bahwa caliditas dialogis memiliki tujuan etnografis untuk memperlihatkan sudut pandang subjek yang diteliti52. Meski begitu, pendekatan ini pun harus dilakukan secara kritis mengingat para artis metal perempuan itupun ada dalam konteks masyarakat tertentu. Oleh karenanya, konteks sejarah dan kultural tidak akan diabaikan dalam pengalaman hidup mereka.

Pengambilan data untuk penelitan ini akan dilakukan dengan dua cara. Yang pertama adalah lewat wawancara. Oleh karena fokus penelitian ini adalah fantasi dalam performance vokalis ekstrem metal di Indonesia, maka untuk membatasi informan, penulis memilih empat vokalis ekstrem metal perempuan di Indonesia untuk diwawancarai. Pemilihan ini didasarkan atas dua kriteria. Kriteria pertama adalah mereka masih aktif dalam bermusik, kedua mereka telah menghasilkan karya berupa sebuah album bersama bandnya. Vokalis pertama adalah Fransisca Ayu dari band asal

Yogyakarta yang beraliran metalcore, Killed on Juarez (KoJ) dan band beraliran mathcore, Leftyfish. Ayu lahir di Yogyakarta pada 6 Juni 1992. Ia menjadi vokalis band

51 Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies (London: Sage Publications, 2003), hal. 19-20. 52 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30

KoJ sejak tahun 2012 dan kemudian bergabung dengan Leftyfish pada tahun 2014.

Vokalis kedua adalah Lilin Purnamasari. Lilin lahir di Jakarta pada 12 September 1988.

Selain aktif bersama GOADS, Lilin sehari-hari juga bekerja pada bidang marketing di salah satu perusahaan produk perawatan diri. Vokalis ketiga adalah Popo Puji

Apriantikasari dari band death metal asal Bandung, Demons Damn. Ia lahir di Bandung pada 1 Januari 1990. Selain mejadi vokalis Demons Damn sejak tahun 2009, ia sehari- hari juga menjalankan usaha clothing bernama Evergrind. Ia juga menjadi mentor bagi beberapa vokalis death metal di Bandung yang akan rekaman atau melakukan tur. Vokalis keempat adalah Hera Mary dari band sludge metal OATH. Hera lahir di Bandung pada

19 MAret 1988 dengan nama lengkap Hera Maryani. Selain menjadi vokalis OATH, ia juga pernah menyutradarai film dokumenter bertajuk “Ini Scene Kami Juga” yang menyorot peran perempuan dalam skena di Indonesia. Sehari-hari ia juga memiliki usaha clothing bernama Covin.

Selain wawancara dengan empat informan utama yang telah disebut di atas, wawancara informan pendukung juga dilakukan. Dua informan pendukung tersebut adalah Wendi Putranto dan Kartika Jahja. Wendi adalah mantan wartawan

Indonesia. Sebelumnya, ia merintis zine Brainwashed yang memiliki konten tentang skena metal di Indonesia. Dengan rekam jejak demikian, Wendi menjadi sosok penting untuk diwawancara guna melihat sejarah musik metal di Indonesia. Sementara Kartika

Jahja adalah seorang vokalis dalam band Tika & The Dissidents. Selain itu, ia juga seorang aktivis perempuan yang menaruh perhatian pada peran perempuan di skena musik di Indonesia, khususnya dalam skena musik independent. Ia aktif sebagai salah seorang inisiator Kolektif Betina.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31

Cara kedua adalah dengan melakukan pembacaan dan pengamatan rekaman penampilan (live performance) empat vokalis tadi bersama bandnya dan lagu-lagu yang mereka tulis. Kajian pustaka juga menjadi metode dalam penelitian ini untuk melihat konteks sosio-historis skena ekstrem metal di Indonesia dan keterlibatan perempuan di dalamnya.

H. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dibagi dalam empat bab. Bab pertama berisi latar belakang penulisan tesis ini perlu dilakukan. Selain itu, bab satu juga akan menyajikan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoretis, metode penelitian, serta sistematika penelitian. Bab dua merupakan konteks sosio- kultural bagaimana musik dan kultur metal masuk ke Indonesia dan berbagai dinamikanya hingga kini. Selain itu, bab ini juga menguraikan pertanyaan pertama dari penelitian ini yang adalah mengenai keterlibatan perempuan serta representasi mereka dalam komunitas metal di Indonesia bab ini. Dalam bab tiga, disajikan pembahasan pada pertanyaan penelitian yang kedua dan ketiga. Pertanyaan kedua adalah mengenai daya performance (dark play) dari Fransisca Ayu, Lilin Purnamasari, Popo Puji, dan Hera

Mary. Oleh karenanya, bab tiga ini berisi penjabaran mengenai performance empat vokalis ekstrem metal perempuan di Indonesia tersebut. Selain itu, pertanyaan penelitian ketiga yaitu mengenai fantasi yang mendasari performance (dark play) mereka juga akan diuraikan pada bab tiga ini. Maka, bab tiga juga berisi eksplorasi tentang fantasi yang mendasari performance (dark play) mereka. Terakhir adalah bab empat. Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian ini dan rekomendasi untuk penelitian di masa yang akan datang mengenai tema serupa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II

PEREMPUAN DAN SKENA EKSTREM METAL

Bagian ini menguraikan representasi perempuan dalam skena ekstrem metal secara global pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya. Namun, sebelum itu, penjelasan mengenai sejarah perkembangan skena metal hingga munculnya ekstrem metal yang terdiri dari death metal, black metal, grindcore, doom metal, hingga sludge metal dikhususkan untuk memberi konteks mengenai gaya (style) unik dari berbagai subgenre tersebut. Selanjutnya, representasi perempuan dalam skena ekstrem metal diuraikan sekaligus untuk mengeksplorasi dinamika keterlibatan perempuan dalam skena ekstrem metal baik dalam konteks global maupun secara khusus dalam konteks Indonesia.

A. Dari Heavy Metal ke Ekstrem Metal

Pada akhir dekade 60 an dan awal dekade 70 an, heavy metal53 lahir di Inggris sebagai sebuah turunan dari musik rock , , dan menjadi band-band yang dianggap bertanggungjawab atas perkembangan awal musik

Heavy Metal. Deena Wenstein menggambarkan bahwa yang esensial dari jenis musik ini adalah power (kekuatan, kuasa) yang diekspresikan dalam volume yang keras dan berisik guna membawa para pendengarnya kepada rasa power itu sendiri. Sound (suara) yang diproduksi dari heavy metal adalah hasil dari distorsi pada instrument gitar54. Tema-tema

53 Istiah Heavy Metal muncul pertama kali dalam lirik lagu “Born to Be Wild” dari band Steppenwolf. Lagu ini menjadi lagu anthem di kultur para biker sepeda motor di tahun 1968 karena dianggap merayakan “heavy metal thunder” dalam kehidupan mereka. Namun, istilah ini diyakini lebih dulu muncul di khalayak umum di tahun 1962 lewat novel Naked Lunch karya novelis William S. Burrough yang menceritakan fantasi dan pengakuan tentang obat-obatan terlarang dan kekerasan seksual. Burrough seringkali disebut sebagai penemu istilah ini. Walser, 1992, hal. 8; Weinstein, 1993, hal. 19. 54 Weinstein, 1993, hal. 23.

32

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33

lagu yang ditawarkan dari heavy metal beragam mulai dari tema occult, kegelapan, depresi hidup, hingga sex. Selama kurun satu dekade setelahnya, heavy metal menjadi lebih populer. Band-band mulai bermunculan. , , Saxon, dan

Motorhead menjadi penanda munculnya sebuah generasi dalam heavy metal yang disebut sebagai New Wave of British Heavy Metal (NWOBHM). Di saat yang sama, muncul pula subgenre lain yaitu yang ditandai dengan munculnya band-band macam

Manowar, Accept, , Anvil, Raven, dan sebagainya.

Pada tahap ini pula, menurut Deena Weinstein, terjadi sebuah fragmentasi dalam heavy metal. Ia menyebut perkembangan heavy metal bergerak ke dua arah. Pertama adalah ke arah lite pop atau yang banyak direpresentasikan antara lain oleh band Poison dan Motley Crue, sedangkan yang kedua adalah ke arah atau . Arah yang kedua ini disebut oleh Weinstein sebagai sebuah fundamentalisme dalam jenis musik metal.55 Band-band speed/thrash metal muncul dan berkembang justru di Amerika Serikat di awal dekade 80-an. Metallica, Exodus, Death

Angel, , Antrax, dan Slayer menjadi beberapa nama yang masuk dalam kategori band speed/thrash metal. Penggunaan istilah thrash menurut Dan Lilker, pemain bas band

Nuclear Assault, muncul dari scene hardcore punk. Band-band hardcore punk memainkan musik yang cepat dan band-band metal terpengaruh olehnya. Singkatnya, band-band thrash metal mengawinkan pengaruh musik heavy metal, power metal, dan hardcore punk dan membuat sebuah model metal baru bernama thrash metal. Arah heavy metal ke thrash metal ini menjadi titik fundamental sebagai jawaban atas munculnya pop/metal yang memainkan musik secara lebih “halus”. Penyematan fundamental terhadap speed/thrash metal oleh Wienstein ini dipahami sebagai usaha untuk mengklaim kembali metal yang

55 Ibid, hal. 48.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34

kembali kepada standar kultur heavy metal yang keras.56 Band-band speed/thrash metal memproduksi lagu dengan tempo yang lebih cepat daripada heavy metal tradisional dengan sound gitar yang tetap mengandalkan distorsi, tetapi lebih crunchy. Mereka juga mengutamakan lirik-lirik yang bertemakan pemberontakan anak-anak muda karena pengaruh dari hardcore/punk. Tema kekacauan juga melekat pada lirik-lirik kelompok ini dan sering terlihat dalam pertunjukan-pertunjukan mereka di mana para penggemarnya melakukan moshing dan stage diving. Cara bernyanyi para vokalis dari kelompak speed/thrash metal ini pun terdengar seperti diteriakkan atau berbentuk jeritan seperti orang kesakitan.57 Band-band speed/thrash dalam kacamata komersial disebut sebagai band-band underground layaknya band-band punk dan hardcore.

Speed/thrash metal kemudian menjadi pintu masuk bagi band-band lain yang masuk ekstrem metal. Jenis musik ini lahir dan berkembang di pertangahan dekade 80-an ketika thrash metal sedang sangat populer di kalangan para penikmat musik underground.

“Musik ekstrem untuk orang-orang ekstrem. Di dalamnya ada banyak nada, banyak agresi, juga banyak kemarahan, dan sangat cepat. Itulah komponen-komponen kunci dari musik ekstrem dan musik jenis itu bukan untuk semua orang”58. Begitulah David Vincent, pemain bas sekaligus vokalis band death metal , mendefinisikan musik ekstreme metal. Pernyataannya dirasa cukup tepat. Sebagai sebuah perkembangan dari musik heavy metal, ekstrem metal merupakan sebuah bentuk yang dapat dikatakan

56 Ibid. 57 Yuli Heryanto. “Sejarah Musik Underground” 1989-1999. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Padjajaran, 2011 dalam Anggawira Kusumah. Ujungberung Rebels. (Bandung: Minor Books, 2012), hal 22. 58 Dunn, 2015

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35

membawa metal ke arah yang lebih kompleks. Jenis musik ekstrem metal bukanlah jenis musik yang mudah didengarkan oleh orang secara umum.59

Tempo cepat yang menjadi kekhasan musik speed/thrash metal diambil sebagai salah satu elemen kunci ekstrem metal yang terdiri dari berbagai macam subgenre metal antara lain death metal, black metal, dan grindcore. Sementara itu, subgenre doom/sludge metal yang juga masuk dalam kategori ekstrem metal justru tidak menempatkan kecepatan tempo sebagai fondasi utamanya. Sebaliknya, kelompok doom/sludge mengambil tempo lambat dari heavy metal dan mengawinkannya dengan gaya vokal yang depresif. Keith Kahn Harris dalam bukunya yang berjudul Extreme Metal: Music and

Culture on The Edge berpendapat bahwa subgenre-subgenre yang telah disebutkan tadi menawarkan sebuah bentuk radikalisme musikal yang menandai mereka sebagai subgenre yang berbeda dari bentuk-bentuk turunan lain dari heavy metal. Berbeda dengan heavy metal yang memperoleh kepopuleran di industri mainstream, ekstrem metal justru berkembang melalui komunitas underground yang kecil yang kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia.60

Seperti dikatakan oleh David Vincent di atas, jenis musik ekstreme metal bukan untuk semua orang. Selain berkembang di kalangan underground, musik ekstreme metal seringkali dikatakan sebagai suara bising saja (noise) dan terdengar sebagai sesuatu yang bukan musik karena penggunaan gaya vokal menggeram (growl) dan berteriak (scream).

Meski begitu, Harris mengatakan bahwa sebenarnya ekstrem metal mengambil seluruh elemen dari heavy metal dan mendorongnya melampaui gaya tradisional heavy metal.

Banyak orang awam menyebutnya sebagai bentuk suara bising semata61. Oleh karena itu,

59 Ibid. 60 Harris, 2007, hal. 5. 61 Dunn, 2015, Op. Cit.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36

kontroversi dan asosiasi menyeramkan serta penuh agresi juga melekat dalam jenis musik ini. Lalu, kekhasan macam apa yang ada pada masing-masing subgenre dalam ekstreme metal ini?

Kekhasan pertama yang akan dibahas adalah kekhasan dari subgenre death metal.

Subgenre ini lahir pertama kali di kota Tampa, Florida, Amerika Serikat di tahun 1987.

Band yang dianggap menjadi pionir dalam subgenre ini adalah Death. Gitaris sekaligus vokalis Death, Charles Michael Schuldiner62 atau lebih dikenal dengan nama Chuck

Schuldiner dianggap sebagai godfather subgenre death metal. Album pertama Death,

Scream Bloody Gore, menjadi penanda kelahiran subgenre ini. Sam Dunn mengatakan bahwa Death memungkinkan scene Death Metal terbentuk dan rupa-rupanya scene ini berkembang di sebuah studio rekaman bernama Morrisound di Tampa, Florida.63Studio ini kemudian merekam band-band death metal lainnya antara lain Obituary, Morbid

Angel, Malevolent Creation, Deicide, hingga Cannibal Corpse, band yang khusus datang dari New York untuk merekam album mereka. Bersama-sama, band-band ini melahirkan

Florida Death Metal Scene.

Kekhasan yang muncul dari skena yang melahirkan generasi death metal ini terdapat pada karakteristik gitar, vokal, dan suara drum yang banyak disebut sebagai

Florida sound. Natalie Purcell dalam bukunya yang berjudul Death Metal Music; The

Passion and Politics of a Subculture mencatat bahwa Scott Burns, teknisi sound dari

62 Chuck Schuldiner meninggal dunia pada 13 Desember 2001 karena tumor otak yang dideritanya. (Mancini, 2001 diambil dari MTV.com: http://www.mtv.com/news/1451543/death-frontman-chuck- schuldiner-dies). Karena pengaruhnya yang begitu besat sebagai godfather of death metal, band-band ternama semacam Kid Rock, , hingga mengadakan lelang amal guna mendukung biaya pengobatannya. 63 Sam Dunn. “Metal Evolution-Extreme Metal”. (BANGERTV-All Metal, 2015). Diakses dari YouTube: https://www.youtube.com/watch?v=MoHOgfEoTlc&t=2366s pada 14 Juni 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

37

Morrisound berjasa bagi kekhasan sound Death Metal. Burns merekam album pertama

Death dan selanjutnya ia juga menjadi produser bagi band-band yang telah disebutkan di atas.64 Dalam wawancaranya dengan Sam Dunn, basis band Cannibal Corpse berkata:

“Ketika album Leprosy dari Death dirilis, kami tak tahu bahwa Chuck berasal dari Florida. Leprosy terdengar sangat hebat. Kami ingin tahu di mana album itu direkam dan ternyata di Morrisound. Ketika itu, band death metal lain yaitu Obituary dan Morbid Angel juga merilis album mereka dan album itu direkam di Morrissound juga. Jadi, kami berpikir bahwa studio ini adalah tempat yang kita inginkan untuk merekam album kami. Morrisound adalah studio pertama yang berhasil membuat suara double yang cepat terdengar dalam rekaman. Ini sesuatu yang amat penting bagi kami karena saya pikir waktu itu belum ada produser yang sanggup mengeksekusinya”.65

Scott Burns sendiri mengaku bahwa ketika itu musik thrash metal sedang jaya- jayanya dan semua orang di kalangan underground menganggap Death Metal adalah sampah. Namun, ia tak peduli dengan anggapan itu. Ia justru menyukai apa yang band- band death metal itu lakukan karena ia menyukai keekstreman mereka. Ia tak peduli anggapan itu dan justru menggali apapun itu tentang Death Metal karena ia merasa senang dengan hal-hal yang ekstrem. Menurutnya, band-band ini ingin terdengar lebih heavy, lebih cepat, dan ingin diakui. Akan tetapi, dari sudut pandang produksi kala itu, sangat susah untuk membuat sound yang cepat dan bising menjadi sesautu yang dapat didengar bersih dalam rekaman.

Upaya Burns memang membuahkan hasil. Ia secara langsung turut membidani kelahiran sound death metal yang tetap mengandalkan distorsi riffs gitar, tetapi dengan teknik downtune di mana pitch gitar diturunkan sebanyak satu atau dua pitch di bawahnya. Umumnya, band-band death metal menggunakan teknik ini dengan tuning

64 Natalie Purcell. Death Metal Music; The Passion and The Politic of A Subculture. (North Carolina: McFarland & Company, 2003), hal. 24. 65 Dunn, Op. Cit.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38

senar E bawah menjadi serendah B atau A. Teknik palm muting juga digunakan dengan kombinasi vokal overdrive dan frekuensi kecepatan yang tinggi untuk menghasilkan sebuah tembok noise dari gitar. 66 Di waktu yang hampir sama, di bagian dunia lain tepatnya di kota Gothenburg, Swedia, band-band death metal juga bermunculan. Mereka juga menghasilkan sound gitar yang cukup berbeda dengan yang dihasilkan dari Florida.

Mereka tetap menggunakan teknik downtune tetapi ditambah dengan efek fuzz untuk membuat distorsi. 67Di samping itu, seperti dikatakan Alex Webster, bas dobel pada kick drum juga ia atur sehingga teknik yang digunakan oleh para drummer band- band tersebut terdengar dalam rekaman. Teknik blast beat ini juga menjadi salah satu kekhasan dari subgenre ini. Blast beat memungkinkan band untuk memproduksi lagu dengan tempo yang cepat bahkan super cepat. Jika lagu biasanya diproduksi pada tempo

150-250 ketukan per menit (Beat Per Minute, BPM), maka band-band death metal melampauinya dengan teknik blast beat. Ketukan blast beat bisa mencapai 300-400 BPM, bahkan lebih.

Kekhasan terakhir yang paling kentara dalam subgenre ini adalah jenis teknik vokal dan konten lirik yang digunakan. Secara garis besar, teknik vokal yang digunakan band-band death metal adalah teknik vocal growl (menggeram), dan scream (teriak).68

Jenis vokal ini dilakukan dengan memanipulasi tenggorokan dikombinasikan dengan pernapasan perut. Vokal ini disebut Purcell sebagai vokal yang sesuai dengan instensitas dan distorsi gitar serta serangan blastbeat drum yang bertubi-tubi. Gaya vokal yang demikian juga sesuai dengan tema lirik lagu yang ditulis oleh band-band death metal.

Mereka umumnya mengangkat tema lirik lagu yang tidak biasa didengar dalam musik-

66 Kahn Harris, Op. Cit., hal 32. 67 Ibid. 68 Purcell, 2003, Op.Cit., hal 16; Harris, 2007, Op. Cit., hal. 32.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

39

musik mainstream. Dapat dikatakan lirik-lirik yang ditulis oleh band-band death metal juga ekstrem. Mereka biasanya menulis tema-tema kegelapan, kematian, kekerasan, mutilasi, hingga lirik-lirik misoginis. Lirik-lirik ini bersifat ofensif, menyinggung, mengganggu, hingga terkesan menjijikkan bila didengar oleh orang-orang di luar skena ekstreme metal, misalnya topik-topik tentang horror, gore, pornografi, satanisme, hingga antisosial. Ini juga didukung oleh cover album yang selaras denga lirik lagu-lagu yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, menurut Purcell, lirik-lirik death metal jadi salah satu keunikan band-band death metal untuk menunjukkan dan merepresentasikan agresivitas dan ke-ekstrem-an musik mereka. 69

Pergerakan skena death metal dalam membentuk ranah musik ekstrem juga dibarengi dengan adanya subgenre lainnya. Salah satunya adalah grindcore. Jika death metal lahir dan berkembang di Amerika Serikat, grindcore dianggap lahir di Inggris. Band

Napalm Death dianggap sebagai band pertama yang mempopulerkan jenis musik ini lewat album Scum di tahun 1987. Albert Mudrian, editor majalah metal Decibel, mengatakan bahwa band seperti dan band-band awal grindcore mennganggap bahwa musik heavy metal yang ditawarkan oleh Iron Maiden terdengar seperti musik pop rock untuk mereka. Hal ini dikonfirmasi oleh Shane Embury, bassist Napalm Death, dengan mengatakan bahwa mereka mendengarkan band-band heavy metal yang ketika itu populer sangat merajai di Inggris, tetapi mereka ingin menawarkan sesuatu yang lebih cepat, lebih keras dan lebih ekstrem dengan mengeskplorasi musik-musik dari ,

Bathory, , Metallica, dan Slayer. Selain itu, mereka juga mencoba mengombinasikannya dengan band-band hardcore dan punk dari Amerika Serikat antara

69 Ibid, hal. 43.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40

lain dari G.B.H, Discharge, Black Flag, dan sebagainya70. Maka, terbentuklah subgenre bernama Grindcore yang secara tempo lebih cepat. Band-band grindcore membawa metal ke level terbaru.

Level baru yang dibawa band-band grindcore dalam skena ekstrem metal adalah dari sisi sound musik yang diproduksi. Berbeda dengan thrash metal, dalam grindcore, hampir tidak ada struktur lagu atau bisa dikatakan samar karena kecepatan dan keagresifan musiknya. Perpaduan metal dan punk terakumulasi dengan teknik blast beat pada drum. Meski teknik yang sama digunakan pula oleh band-band death metal, band- band grindcore membuat standar baru pada skena musik underground terutama pada skena ekstrem metal. Ini membuat band-band grindcore dikenal sebagai band yang brutal dalam konteks kecepatan serta sound yang dihasilkan.71

Disarikan dari buku Rosemary Overell yang berjudul Affective Intensities in

Extreme Music Scenes: Case from Australia and Japan, grindcore juga membangun musiknya dengan tempo cepat dengan gaya blast beats pada drum dan vokal growl dan scream seperti band-band death metal. Namun, band-band grindcore memadukan gaya itu dengan gaya band-band punk yang politis. Umumnya, lagu-lagu grindcore berdurasi singkat, tak lebih dari dua menit dengan karakter riff-riff gitar punk. Lirik-lirik lagu mereka cenderung condong ke ranah yang lebih politis dengan mengedepankan agresi dan kekerasan sebagai protes maupun menggambarkan keadaan politik yang terjadi.

Agresi dan protes lewat lirik ditujukan kepada kapitalisme maupun budaya dominan yang merepresi masyarakat. Napalm Death, Axiom, Agathocles, Blood Duster,

70 Dunn, Op. Cit. 71 Ian Christe. Sound of The Beast; The Complete History of Heavy Metal. (New York: Harper Collins, 2004), hal. 93.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41

menjadi band-band grindcore yang berpengaruh dalam musik grindcore. Maka, tak heran bila grindcore juga dekat dengan skena musik punk. Meski begitu, dalam perkembangannya, lirik-lirik yang misoginis dan menggambarkan kekerasan terhadap perempuan juga terjadi dalam ranah musik ini. Band-band yang melakukan hal ini antara lain adalah Cock & Ball Torture, Die Pigeon Die, Fuck…I’m Dead, The County Medical

Examiners, The Kill, Undinism, hingga Vaginal Carnage. Band-band ini juga dilabeli sebagai turunan dalam grincore sebagai band-band gore-grindcore, atau porno- grindcore.72

Sementara death metal dan grindcore berkembang, subgenre lain bernama black metal juga lahir. Istilah Black Metal pertama kali dimunculkan oleh Venom, band Inggris yang terbentuk bersamaan dengan band-band New Wave of British Heavy Metal. Venom memberi judul “Black Metal” untuk album kedua mereka yang dirilis di tahun 1982.

Dapat dikatakan Venom merupakan embrio kelahiran black metal. Ketika band-band

New Wave of British Heavy Metal menggunakan tema kekuatan, macho, dan maskulin,

Venom justru hadir membawa tema horror dan satanisme melalui lagu-lagu mereka.

Bersama dengan Venom, band asal Swiss, yang kemudian berubah jadi

Celtic Frost, Bathory yang berasal dari Swedia, dan Mercyful Fate dari

Denmark, serta Death SS dari Italia juga manjadi band pionir Black Metal dan membentuk generasi pertama gelombang band-band Black Metal.73 Gelombang pertama black metal ini menawarkan blue print Black Metal yang diadopsi dengan lebih dahsyat oleh gelombang black metal kedua yang berpusat di Norwegia. Satanisme, okultisme,

72 Rosemary Overell. Affective Intensities in Extreme Music Scenes; Case from Australia and Japan. (New York: Palgrave Macmillan, 2014), hal. 34. 73 Anggoro, A. R. Retorika Visual Pada Praktik Representasi Hantu Sebagai Simbol Identitas Komunitas Musik Underground di Kota Surakarta. (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2014), hal. 25-32.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

42

paganisme, dan anti kristus kemudian diadopsi dengan lebih ekstrem oleh band-band

Black Metal dari Norwegia. Hal ini menjadikan Black Metal memiliki elemen penting dalam musiknya, yaitu penistaan agama. Tak hanya terwujud dalam lirik, penistaan agama dihadirkan oleh band-band Black Metal Norwegia dalam aksi pembakaran sejumlah gereja di Norwegia sehingga black metal juga diasosiasikan dengan aksi terror dan perlawanan terhadap kekristenan karena dianggap meminggirkan agama lokal mereka. Mayhem dan Burzum menjadi nama-nama band dari Norwegia yang banyak menimbulkan kontroversi di mana terdapat personel-personel band nya yang melakukan aksi pembakaran gereja.

Subgenre lain yang masuk dalam ekstrem metal adalah doom metal. Bila death metal dan grindcore mengandalkan kecepatan dalam musiknya, doom metal justru berkiblat pada band-band heavy metal awal semacam Black Sabbath. Lagu-lagu doom metal cenderung memiliki tempo lambat dengan mengandalkan riff gitar yang berat.

Lirik-lirik yang diangkat dalam lagu-lagu doom metal umumnya bertemakan okultisme, tetapi tema-tema tentang kegelapan, depresi, dan misoginis juga ada sebagai bentuk- bentuk tema penulisan lirik-lirik dari band-band doom metal. Trouble, Witchfinder

General, the Obsessed, dan Candlemass, Pentagram, dan Saint Vitus adalah band-band

Doom Metal yang mulai menghiasai skena musik metal dunia pada tahun 1980-an. Lalu, di tahun 1990-an Cathedral, Sleep, dan Burning Witch menjadi nama-nama band yang muncul dalam ranah Doom Metal. Dari akar musik doom metal ini, beberapa band mulai mengombinasikan gaya heavy metal/doom metal dengan musik hardcore punk. Sludge

Metal, begitulah sebutan bagi subgenre baru ini. Dapat dikatakan, sludge metal lahir dari anak-anak hardcore punk yang tergila-gila pada musik tempo lambat dari band-band heavy dan doom metal. Saint Vitus menjadi pembuka adanya kemungkinan kawinnya dua

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

43

unsur musik ini. Mereka pernah menjadi pembuka band hardcore punk legendaris, Black

Flag, dan tak ambil pusing dengan tempo lambat yang mereka mainkan di depan para penonton Black Flag. Di sini justru tempo lambat itu didengar oleh mereka yang menggemari hardcore punk.74 Dari situ kemudian lahirlah sludge metal yang menjadi perkawinan antara doom metal dan hardcore punk. Sluge dikatakan lebih ‘kotor’ dari doom metal akibat unsur-unsur lo-fi dan kesan berantakan yang diambil dari hardcore punk. Sludge metal di sebut sebagai sepupu yang nakal dan kotor dari Doom Metal.75

Perkawinan dua subgenre itu kemudian terwujud dalam musik sludge metal dengan tempo yang lambat, ritme yang berat, gelap, depresif, dan pesimis serta dipadu dengan gaya vokal yang agresif dan kasar. Band-band Sludge Band dianggap menjadi pelopor dari subgenre ini. Merekalah yang pertama kali menggabungkan heavy metal dan doom metal dengan hardcore punk. Kemudian, band-band antara lain Eyehategod,

Crowbar, Down, Thou, dan The Body muncul dan semakin memperkuat subgenre ini dalam dunia musik metal.

B. Mengonsumsi Distorsi: Skena Ekstrem Metal Indonesia

Kemunculan musik metal di Indonesia pertama-tama difasilitasi oleh praktik konsumsi. Tentu saja musik metal tidak begitu saja jatuh dari langit. Ia hadir dalam suatu konteks sosial tertentu. Jeremy Wallach dalam buku Modern Noise, Fluid Genres:

Popular Music in Indonesia, 1997-2001 mencatat bahwa musik metal mulai muncul di

Indonesia di dekade 1990 an. Meski begitu, sebenarnya musik metal sudah muncul jauh sebelum dekade itu. Narendra menemukan bahwa musik metal sudah hadir di Indonesia sebelum dekade itu. Ia mencatat bahwa dekade 1990-an yang disebut oleh Wallach

74 Christe, 2004, Op. Cit. hal 336. 75 Noah Berlatsky. Sludge Metal: Doom’s Filthier Sibling. Diambil dari https://daily.bandcamp.com/lists/sludge-metal-list.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

44

merupakan dekade di mana para penggemar musik metal di Indonesia mulai membangun skenanya sendiri, skena metal Indonesia. Sedangkan, di dekade sebelumnya hanya ada beberapa catatan mengenai beberapa album, band, dan festival musik rock di Indonesia.

Dekade 1980-an lebih menjadi penanda adanya praktik konsumsi musik metal atau rock pada umumnya.

Praktik konsumsi musik rock juga perlu ditarik ke masa Orde Lama.

Mengonsumsi musik rock saat itu dianggap sebagai sebuah praktik kontra-revolusioner.

Sebab, Orde Lama menggaungkan semangat anti-“Barat” termasuk dalam konteks konsumsi musik. Presiden Soekarno saat itu bahkan menyebut musik dari “Barat” sebagai musik “ngak-ngik-ngok”. Artinya, konfrontasi atas imperialisme “Barat” tak hanya dilakukan dalam konteks politik internasional, tetapi juga dalam kebudayaan populer berupa musik dan film. Akibatnya, mengonsumsi musik populer dari “Barat”, termasuk musik rock, dianggap sebagai tindakan kontra revolusioner pada zaman itu. Semangat perlawanan yang melekat pada musik rock dianggap berseberangan dengan semangat perlawanan negara terhadap imperialisme.76 Stigma sebagai pendukung imperialisme barat pun kemudian menjadi implikasi kepada mereka yang mendengarkan ataupun memainkan musik “Barat” di era itu.

Pergantian Orde Lama ke Orde Baru menandai masuknya musik “Barat” ke

Indonesia dengan leluasa. Konsumsi musik rock yang lebih masif menjadi salah satu implikasi pada perubahan ini. Mengutip Narendra, kaum muda seolah-olah memiliki

“taman ria” gila-gilaan di dalam musik rock. Taman ria itu menjadi ekspresi baru bagi kaum muda selepas represi pemerintahan Soekarno terhadap kaum muda dengan

76 Yuka Dian Narendra & Gita Widya Laksmini Soerjoatdmojo. Heavy Metal Parents: Identitas Kultural Metalhead Indonesia 1980-an. (Yogyakarta: Octopus Publishing, 2018), hal. 9.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

45

kebijakan anti-Barat nya. Bukan sebuah kesalahan bila disebut sebagai Taman Ria.77 Di era 1970-an, konsumsi musik rock mencapai sebuah titik di mana band rock/heavy metal terkenal dunia pernah bermain di Jakarta. Band rock asal Inggris, Deep Purple, tampil di

Indonesia pada tahun 1975 di Gelora Bung Karno, Jakarta. Wendi Putranto, mantan wartawan Rolling Stone Indonesia, mengatakan bahwa tampilnya Deep Purple itu menjadi penanda musik rock/metal lebih dikenal di kalangan anak-anak muda di

Indonesia.

“Tahun 1975 dia (Deep Purple) pernah konser di GBK, 2 show waktu itu. Itu yang nonton 150 ribu, jadi bisa dibilang semua anak muda Indonesia nonton saat itu. Jadi berkat konser itulah nama Deep Purple lebih dikenal di Indonesia, karena itu konser rock kolosal pertama kali di Indonesia. Jadi, di situ kelihatan bahwa Deep Purple di tahun 1975 itu mempengaruhi band-band rock Indonesia, seperti God Bless. Mereka ngaku setelah konser Deep Purple itu banyak belajar showbiz dari Deep Purple”.78

Perkataan Wendi itu menunjukkan bahwa praktik konsumsi musik rock juga kemudian diikuti oleh produksinya. Band rock God Bless juga menjadi pembuka konser

Deep Purple itu dan belajar tentang showbiz dari Deep Purple. Konser itu membuka pintu seluas-luasnya bagi heavy metal, yang di awal dekade 1970-an mulai berkembang, untuk juga masuk ke Indonesia. Black Sabbath menjadi band heavy metal pertama yang mulai didengar oleh banyak anak muda di era itu, termasuk di Indonesia.

“Sesuai yang gue tahu, metal masuk di Indonesia ketika Black Sabbath masuk di Indonesia juga, karena Black Sabbath salah satu pionir heavy metal. Dulu ada 3 band yang sangat berpengaruh di dunia yaitu Led Zeppelin, Black Sabbath, dan Deep Purple. Tiga band itu di Indonesia juga sangat berpengaruh, cuma kalau di Indonesia posisinya dibalik, yang pertama Deep Purple, kedua Led Zeppelin, ketiga Black Sabbath. Kalau Deep Purple lebih ke , Led Zeppelin lebih blues rock, Black Sabbath menjadi heavy metal karena nada-nada yang diambil itu nada-nada yang miring, kegelapan, lebih gloomy, doom.”79

77 Ibid, hal. 11 78 Wawancara dengan Wendi Putranto di Lawless Jakarta, 23 April 2018. 79 Wawancara dengan Wendi Putranto di Lawless Jakarta, 23 April 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

46

Meski tidak pernah konser di Indonesia, nyatanya musik Black Sabbath lah yang menjadi tonggak masuknya musik heavy metal di Indonesia. Menurut Wendi, Indonesia sebenarnya ketinggalan dua tahun untuk mencicipi pertama kalinya musik heavy metal yang ditawarkan Black Sabbath. Album Black Sabbath yang bertajuk “Black Sabbath” yang dirilis tahun 1970 baru masuk sekitar tahun 1972-1973, dibawa oleh para pelajar yang belajar di luar negeri atau orang-orang kaya yang bepergian ke luar negeri lalu membawa pulang vinyl Black Sabbath. Kesusksesan Deep Purple bermain di Indonesia juga mengisnpsirasi anak-anak muda di Indonesia untuk membuat band rock.

Masuknya musik heavy metal lewat Black Sabbath dan band-band rock antara lain Led Zeppelin dan Deep Purple kemudian juga disusul oleh bentuk musik yang lebih ekstrim yaitu thrash metal. Pada dekade 1990-an terjadi ledakan metal di mana dua konser band thrash metal diadakan di Indonesia. Disebut ledakan metal sebab dua konser itu menjadi konser band metal di Indonesia yang jumlah penontonnya membludak. Konser pertama adalah band asal Brazil, Sepultura, yang dihelat di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1992. Konser kedua adalah dari band asal Amerika Serikat, Metallica, pada tahun

1993 di Stadion Lebak Bulus, Jakarta. Kedua konser ini dapat dibilang menjadi momentum yang penting bagi anak-anak muda penggemar musik metal di Indonesia.

Selain karena penontonnya membludak, ledakan metal yang dimaksud adalah munculnya band-band metal lokal setelah adanya konser dari Sepultura dan Metallica itu.

Kemunculan band-band metal ini juga tak lepas dari pelarangan konser rock/metal dari luar negeri. Pelarangan itu muncul karena konser Sepultura dan Metallica dibarengi oleh kerusuhan yang terjadi. Wendi menuturkan demikian mengenai rusuhnya dua konser itu:

“Yang bawa Sepultura dan Metallica tuh Setiawan Jody. Terjadi keributan pas Sepultura main di Surabaya yang akibatnya mereka cuma main delapan lagu. Kalau yang di Jakarta aman sih, cuma penontonnya waktu itu harus jalan jongkok

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

47

untuk masuk ke stadion. Itu termasuk konser yang mencekam. Bayangin aja jalan jongkok sepanjang 1 kilometer. Betapa enggak manusiawi sekali era itu. Untuk Metallica lebih ngeri lagi. Mereka kan main di Stadion Lebak Bulus. Di hari pertama itu rusuh karena banyak penonton yang enggak punya tiket nyoba buat jebol. Itu kan mereka terus dikejar-kejar polisi dan akhirnya rusuhnya merembet sampai ke Pondok Indah. Sepanjang jalan di Pondok Indah itu hancur. Penonton yang maksa masuk tapi enggak tembus akhirnya merembet keluar, merembet ke pedagang asongan lah, terus mobil-mobil dibakar, jadi mereka ini lebih sporadis. Sampai PIM-lah, itu di deket-deket PIM ada banner Toyota ancur, itu rumah- rumah di area PIM sampai ujung hancur, ya karena penonton itu yang lari, karena mereka dikejar polisi. Kan mereka lari sampai area Pondok Indah, diancurin itu kaca-kaca rumah, habis itu Pondok Indah.”80

Setelah konser Metallica, pemerintah Soeharto kemudian melarang adanya konser rock/metal dengan penampil dari luar negeri. Dikatakan oleh Wendi, dari tahun 1993 hingga 2001 tidak ada konser metal yang diselenggarakan di Indonesia denga npenampil dari luar negeri. Meski begitu, di era itulah kemudian muncul band-band metal lokal yang memainkan musik metal dengan pendekatan lebih ekstrim dan membentuk skena metal sendiri. Artinya, skena metal mulai berkembang di Indonesia di era itu. Wendi bahkan menyebut pertangahan era 1990-an sebagai kebangkitan generasi metal kedua setelah di era sebelumnya, lebih tepatnya akhir 1980-an band-band antara lain Rotor, Edane, dan

Roxx menjadi band-band Indonesia awal yang mengusung musik metal. Di generasi kedua ini, band-band metal lebih condong memainkan musik metal yang ekstrim seperti death metal, black metal, grindcore, hingga metalcore. Di era itu, skena ekstrem metal ini juga dibarengi oleh kemunculan skena punk dan skena hardcore. Secara umum, skena musik keras ini juga disebut sebagai skena underground.

Dalam payung skena underground, skena ektrem metal tumbuh berkembang di berbagai kota besar di Pulau Jawa. Bandung menjadi salah satu kota yang terkenal akan

80 Wawancara dengan Wendi Putranto di Lawless Jakarta, 23 April 2018. Wendi Putranto juga menjadi salah seorang penonton di konser Metallica tersebut dan melihat secara langsung kerusakan-kerusakan yang terjadi seusai menyaksikan konser tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

48

skena ekstrem metalnya. Daerah Ujungberung di Bandung menjadi cikal bakal adanya komunitas metal ekstrem itu. Funeral, Necromancy, Orthodox, Jasad, Toxic, dan Mocker

Shit adalah enam band yang menjadi tonggak adanya komunitas ektrem metal yang kini lebih dikenal dengan nama Ujungberung Rebels.81 Uwo, vokalis sekaligus gitaris Funeral, mengatakan bahwa Bandung Indah Plaza menjadi tempat di mana penikmat musik death metal kala itu berkumpul sehingga praktik dan diskursus mengenai musik underground terjadi. Komunitas underground di Ujungberung dapat dikatakan muncul secara organik melalui kegiatan nongkrong seperti yang dikatakan oleh Uwo itu. Ini juga diamini oleh

Addy Gembel, vokalis band Forgotten, yang dulu menjadi vokalis Toxic mengungkapkan bahwa mereka kala itu hanya memainkan musik metal saja dan komunitas itu muncul dengan sendirinya dan lama-lama semakin banyak baik itu penggemarnya maupun band- band yang muncul.82

Praktik bermusik atau nge-band menjadi penting dalam skena ini. Di awal-awal terbentuknya komunitas itu, band-band banyak menampilkan musik mereka di pentas seni sekolah karena mereka saat itu juga masih duduk di bangku SMA dan SMP. Seiring berjalannya waktu, tahun 1994 terjadi satu momen yang penting bagi skena underground di Bandung ini. Konser musik underground bertajuk Hullabalo digelar untuk pertama kalinya di GOR Saparua. Hullabalo menjadi penting sebab praktik musik underground bisa terjadi dalam skala yang lebih besar. Hullaballo tak hanya menampilkan band-band ekstrem metal, tetapi band-band hardcore, punk, hingga pop juga ikut serta. Hullabalo menjadi inspirasi bagi komunitas Ujungberung Rebels untuk membuat acara mereka sendiri dan secara penuh menampilkan musik ekstrem metal. Maka, di tahun 1995 mereka

81 Iman Rahman Anggawiria Kusumah. Ujungberung Rebels: Panceg Dina Galur. (Bandung: Minor Books, 2012), hal. 23. 82 Andoko, Tri. Minoritas: Indonesian Extreme Metal Documentaries (DVD). (Jakarta, 2019).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

49

menggelar acara dengan tajuk Bandung Berisik. Acara ini juga menginspirasi beberapa konser lainnya antara lain Bandung Death Fest, Rebellion Fest, dan Rottrevore Death

Fest.83 Bandung menjadi barometer musik ekstrem di Indonesia. Ratusan band metal lahir di skena ini. Band Jasad dan menjadi dua band aktif dari komunitas

Ujungberung Rebels yang kini memiliki basis penggemar paling banyak di Indonesia.

Mereka juga telah bermain di festival-festival metal besar dunia anatar lain di Wacken

Open Air di Jerman, Bloodstock Festival di Inggris, dan Obscene Ekstreme Fest di Ceko.

Burgerkill di tahun 2019 bahkan menjalani tur di Amerika Serikat. Wendi Putranto menyebut bahwa Ujungberung menjadi lokasi pergerakan skena metal yang penting di

Indonesia. Bukan saja mewakili Bandung, tetapi seluruh Indonesia.84

Kemunculan komunitas ekstrem metal di Ujungberung lantas juga dibarengi oleh kota-kota lain terutama di Pulau Jawa. Jakarta, Surabaya, Kediri, Solo, Malang,

Yogyakarta adalah kota-kota di mana ekstrem metal mulai banyak digemari di era itu.

Bali juga membentuk komunitas ekstrem metal mereka sendiri.85 Uniknya, antar komunitas atau skena ini juga saling terhubung melalui siaran radio, acara-acara konser, dan yang paling utama adalah zine.86 Selain itu, di tahun 1997 juga ada sebuah kaset kompilasi berjudul Metalik Klinik. Kompilasi ini disponsori Musica Studios. Menurut

Wendi Putranto, Metalik Klinik yang merupakan album kompilasi berskala nasional berperan sangat penting dalam membuat sebuah jaringan metal antar band-band ekstrem metal di berbagai kota di Indonesia. Sebab, kompilasi itu memungkinkan band-band di berbagai kota untuk mengirimkan satu lagu mereka dan ketika berhasil masuk, nama band

83 Lihat dalam https://fajarbrutaldeath.wordpress.com/bahan-ajar/sejarah/awal-perkembangan-musik- underground-indonesia/ 84 Andoko, 2019, Op. Cit. 85 Emma Baulch. Making Genres: Reggae, Punk, and Death Metal in 1990s Bali. (Durham: Duke University Press, 2007). 86 Wallach, 2008, Op. Cit., hal 226-246.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

50

mereka juga akan diketahui tak hanya oleh penggemar, tetapi juga oleh band-ban dlain yang masuk dalam kompilasi itu. Metalik Klinik sebagai sebuah album kompilasi musik ekstrem metal mencapai kesuksesan besar dan dirilis hingga edisi ke-9.

“Di kompilasi Metaliklinik yang pertama ada Betrayer, Tengkorak, Purgatory, Death Vomit, Trauma, dan lain-lain. Nah waktu itu album Metaliklinik ketika dirilis kabarnya laku sampai 100 juta copy, dan itu jadi gebrakan yang gila- gilaan. Harus diakui album kompilasi itu jadi penting buat mengekspos musik metal ke tingkat nasional. Jadi orang tahu ada kompilasi yang kayak gini band- bandnya dan itu laku”.87 Mereka, melalui berbagai cara itu, membentuk sebuah komunitas terbayang alternatif dalam payung ekstrem metal. Band-band ekstrem metal yang kini tergolong legendaris pun lahir dari skena-skena tiap kota itu. Sucker Head, Ritual Doom,

Tengkorak, Trauma, Betrayer, dan Siksakubur menjadi band-band yang lahir di skena

Jakarta. Yogyakarta yang menamakan komunitas mereka dengan Jogjakarta Corpse

Grinder (JCG) memunculkan nama-nama antara lain Death Vomit, Cranial Inscisored,

Detritivor, dan Venomed. Surabaya memunculkan nama-nama antara lain Slowdeath,

The Sinners, dan Klepto Opera. Sementara itu, Extreme Decay mewakili Malang dalam ranah ekstrem metal. Skena Kediri yang bernama Kediri Death Metal Kingdom memunculkan nama-nama semacam Immortal Rites, Demented Heart, Kilharmonis, hingga Tenggorokan. Solo terkenal dengan komunitas black metal-nya. Bandoso dan

Makam adalah dua band Black Metal yang lahir di Solo di era itu.

C. Perempuan dan Hegemoni Maskulinitas dalam Skena Ekstrem Metal

Pada bulan Oktober 2009 di Cologne, Jerman, diadakan sebuah konferensi internasional dengan tema Heavy Metal and Gender. Konferensi ini menjadi konferensi pertama yang secara khusus membahas keterlibatan perempuan dalam skena musik metal.

87 Wawancara dengan Wendi Putranto di Lawless Jakarta, 23 April 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

51

Salah satu sesi dalam konferensi itu turut menghadirkan empat vokalis metal perempuan.

Mereka adalah Angela Gossow dari band death metal , Pesch dari band

Doro, Britta Gortz dari band Cripper, dan Sabina Classen dari . Mereka berempat diundang dalam sesi diskusi panel yang bertajuk Frauen im Metal atau perempuan dalam dunia musik metal. Yang paling menarik dari momen itu adalah ketika

Angela Gossow memberi tanggapan terkait persepsi umum yang beredar bahwa dia, sebagai vokalis band death metal, dianggap sebagai ‘perempuan yang bisa nge-growl layaknya laki-laki’. Ini adalah tanggapan Gossow:

“Fakta bahwa saya terdengar seperti seorang laki-laki tentu saja terkait dengan peran gender dalam masyarakat. Laki-laki memiliki suara yang berat, gelap dan terlihat sangat marah. Mereka bahkan dibilang kadang-kadang berteriak (sambal mempraktikkan growl). Betul. Tetapi, perempuan, mereka harus terlihat kecil dan pendiam. Mereka tidak boleh bersuara terlalu banyak. Itu, menurut saya, adalah pemikiran bias gender yang sudah using, yang kini akan segera hilang.”

Ada dua hal menarik dari anggapan dan juga respon Gossow tersebut. Pertama, hal itu menunjukkan posisi perempuan yang dimarjinalkan dalam skena musik metal. Hecker menyebut bahwa tanggapan Gossow secara tersirat memberi tahu mengenai relasi gender dalam skena metal. Laki-laki mendominasi di skena metal, sehingga menyebut perempuan yang bisa nge-growl layaknya laki-laki mengindikasikan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki posisi yang tidak setara. Perempuan dianggap kurang, kalau bukan tidak, memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki dalam konteks sebagai vokalis band ekstrem metal.88 Hal kedua adalah bahwa tanggapan Gossow itu sekaligus menunjukkan skena metal yang selama ini dibangun berdasarkan kultur patriarki dan

88 Pierre Hecker. Turkish Metal: Music, Meaning, and Morality in a Muslim Society. (Surrey: Ashgate Publishing Limited, 2012), hal. 155.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

52

hegemoni maskulinitas sehingga baik secara jumlah, representasi, dan praktik di dalamnya, terjadi ketidaksetaraan terhadap perempuan.

Seperti yang sudah ditulis di bagian pendahuluan, perempuan yang terjun di skena ekstrem metal baik itu sebagai penggemar maupun musisi memiliki tantangan yang berat terutama karena skena ekstrem metal yang didominasi oleh laki-laki, bersifat maskulin, dan adanya praktik seksis di dalamnya. Secara kuantitaif, Berkers dan Schaap menemukan adanya ketidak setaraan dalam hal jumlah personel perempuan dalam band metal. Dalam peneltian mereka pada jumlah musisi metal perempuan yang dibagi dalam

Sembilan regional meliputi Afrika, Eropa, Amerika, Asia, dan Oseania, jumlah musisi perempuan sangat jauh lebih sedikit. Persentase paling banyak hanya mencapai empat persen musisi metal perempuan di regional Asia dan Eropa Timur, sedangkan jumlah paling sedikit ada di regional Oseania yang hanya dua persen. Ini menunjukkan bahwa tidak ada negara di dunia di mana perempuan menjadi mayoritas dalam produksi musik metal dan di 10 negara, jumlah perempuan mencapai 10 persen saja dari total keseluruhan musisi metal.89 Secara numerik, skena ekstrem metal dapat dikatakan didominasi oleh laki-laki dan secara simbolik dianggap bersifat maskulin, serta dibentuk berdasarkan hegemoni maskulinitas dan wacana patriarki. (Weinstein, 1991; Walser, 1993; Grant,

1996; Klypchak, 2007, Hill, Lucas & Riches, 2015).

Ketidaksetaraan gender dalam skena ekstrem metal itu lantas memicu sebuah kondisi di mana keterlibatan perempuan sebagai musisi ektrem metal dalam skena dilihat hanya dari kemampuan mereka dalam mengikuti aturan-aturan atau kode-kode maskulin dalam rangka doing gender. Dengan kata lain, perempuan diterima dalam skena ekstrem metal ketika mereka dapat menampilkan diri mereka sesuai aturan-aturan laki-laki.

89 Pauwke Berkers & Julian Schaap. Gender Inequality in Metal Music Production. (Bingley: Emerald Publishing Limited, 2018), hal. 41-42.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

53

Kondisi itu membatasi pertisipasi perempuan dalam skena metal menjadi dua yaitu sebagai den mothers yang mengadopsi gaya maskulin serta menjadi salah satu dari laki- laki dan band whores yang secara berlebihan menunjukkan seksualitas mereka sehingga sering dilihat sebagai objek seksual semata.90 Hal ini, juga menjadikan perempuan sangat sedikit sekali direpresentasikan di antara para musisi metal. Terlebih, perempuan dilihat sebagai sebuah token semata di mana mereka memiliki visibilitas yang tinggi karena jumlah mereka yang sedikit di skena ekstrem metal. Penilaian terhadap prempuan akhirnya seringkali dilakukan dengan bias gender/male gaze dan atau dinilai secara negatif ketika mereka melawan stereotipe gender di sken ekstrem metal, misalnya dihat dari cara mereka berpakaian. Alih-alih dilihat sebagai individu, mereka sering dinilai dengan romantic/erotic gaze ketika tampil sebagai seorang musisi metal. Dengan kata lain, mereka dilihat dari sisi feminin daripada kemampuan bermusik.91

Penilaian semacam itu kentara terlihat dari cara penggemar metal mengklasifikasikan band metal yang di dalamnya terdapat vokalis perempuan sebagai

‘female-fronted metal band’. Istilah ini, singkatnya, menrujuk pada sebuah band di mana vokalisnya adalah seorang perempuan. Istilah ini menyiratkan seolah band adalah lingkungan laki-laki dan latar belakangnya juga maskulin sehingga ketika ada perempuan yang menjadi vokalis lalu terjadi sebuah proses gendering dan klasifikasi sebagai sebuah female-fronted band. Seolah ada sebuah kejutan ketika seorang perempuan mengambil alih panggung sehingga dibutuhkan sebuah pengklasifikasian khusus.92 Pengklasifikasian

90 Susanna Nordstrom & Marcus Herz. 'It's a matter of eating or being eaten' Gender Positioning and Diffrence Making in The . European Journal of Cultural Studies, 2013. hal. 453- 467. Juga lihat dalam Chaterine Hoad (2017). Slashing through the Boundaries: Heavy Metal Ficition, Fandom, and Girl Culture. Metal Music Studies 3: 1, 2017, hal. 5-21. 91 Berkers & Schaap, 2018, Op. Cit, hal. 18. 92 Sam Lambert, S. (2018, January 10). Why We Need to Stop Using 'Female-Fronted' As a Genre. Diakses dari from louderthanwar.com: https://louderthanwar.com/stop-female-fronted-as-a-genre.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

54

ini dianggap sebagai sebuah tindakan seksis terhadap perempuan yang menjadi vokalis dalam sebuah band terutama dalam band ekstrem metal. Hal ini kerap terjaid dalam perbincangan dalam skena maupun juga dalam berbagai media antara lain dalam artikel media maupun dalam Youtube. Beberapa vokalis band ekstrem metal perempuan yang terkenal pun melontarkan ketidaksetujuan mereka dengan istilah ini. Allisa White-Gluz, vokalis band death metal Arch Enemy, adalah salah satunya. Menurutnya, istilah tersebut tidak merujuk pada satu genre musik, tetapi hanya membuat rujukan pada satu gender dari seorang anggota band saja.93 Istilah itu pada akhirnya menjadi kontroversial dalam skena ekstrem metal dan menunjukkan adanya tindakan diskriminasi terhadap vokalis perempuan dalam sebuah band ekstrem metal.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, ekstrem metal yang merupakan turunan atas genre heavy metal dianggap sebagai sebuah kultur yang dikonstruksi sesuai dengan sistem patriarki. Walser menyebut bahwa ini terlihat pada praktik-praktik di dalam heavy metal yang melingkupi teks, suara, dan gambar yang banyak memperlihatkan tindakan misoginis dan seksis.94 Hal ini diamini oleh Harris yang memfokuskan penelitiannya pada skena ekstrem metal. Contohnya adalah praktik penulisan lirik dan artwork dari band death metal Cannibal Corpse. Salah satu lirik lagu Cannibal Corpse yang berjudul “Fuck with a Knife” beserta cover album yang memperlihatkan ilustrasi perempuan telanjang dan dimutilasi menjadi contoh nyata adanya hal ini. Hoad bahkan menyebut istilah

“perempuan” menjadi penanda peliyanan yang terjadi dalam kultur ekstrem metal.95

93 REVOLVER. (18 Maret 2018). Arch Enemy's Alissa White-Gluz on Challenges Facing Women in Metal. Diakses dari Youtube.com: https://www.youtube.com/watch?v=HVjNCPXDomM 94 Walser, 1993, Op. Cit, hal 109. 95 Hoad, 2017, Op. Cit, hal. 7.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

55

Baginya, hal-hal seperti itu menjadi afirmasi adanya hegemoni maskulinitas yang dibentuk dan ada dalam skena ekstrem metal.

Lalu, bagaimana dengan vokalis ekstrem metal perempuan di Indonesia? Apakah representasi yang sama juga terjadi pada mereka? Wallach mencatat dalam skena underground Indonesia, terutama dalam skena ekstrem metal, keterlibatan perempuan terbilang sedikit. Perempuan yang menjadi personel band (performer) juga jarang dan umumnya peran mereka cenderung dimarjinalisasi sebagai peran pendukung saja.96

Kartika Jahja, seorang aktivis sekaligus vokalis band Tika and The Dissidents, melihat fenomena perempuan sebagai performer dalam band metal dalam kacamata yang sama.

Menurutnya, perempuan yang ada di scene metal mengalami perilaku dan kata-kata seksis.

“Kalau di skena metal, aku ngelihatnya perempuan-perempuan di-sexualized atau

kalau enggak, dia diidolakan karena perempuan semata, atau kayak gini ‘boleh nih

ada yang metal, tapi bening’.”97

Tika melanjutkan bahwa bagi orang-orang kemampuan bermain musik menjadi nomer dua. Ia melihat fenomena itu dari seorang Prisa Rianzi. Prisa adalah seorang gitaris perempuan yang pernah bermain dalam band death metal Deadsquad.98 Selain itu, Prisa juga pernah berkolaborasi dengan band rock J-Rocks dan Namanya menjadi populer saat itu. Bagi Tika, Prisa adalah sosok yang sangat jago bermain gitar, tetapi kemampuan dia justru jadi nomer dua buat orang-orang.99 Seksisme menjadi salah satu isu yang sangat kontroversial di skena underground di Indonesia. Anida Bajumi, pemain bas dari grup

96 Wallach, 2008. Op. Cit., hal. 226. 97 Wawancara dengan Kartika Jahja di Tanamera Coffee, Jakarta pada 23 Maret 2018. 98 Wawancara dengan Kartika Jahja di Tanamera Coffee, Jakarta pada 23 Maret 2018. 99 Wawancara dengan Kartika Jahja di Tanamera Coffee, Jakarta pada 23 Maret 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

56

band beraliran hardcore punk, Dental Surf Combat, menuliskan kegelisahannya terhadap isu seksisme, yang tak hanya datang dari anggota skena, tetapi juga dari media.

“Pernah melihat judul artikel semacam “10 Musisi Indie Perempuan Yang Wajib Kalian Ketahui!”? Saya sempat beberapa kali masuk ke artikel macam begitu dan tidak merasa bangga. Tidak ada satupun artikel seperti itu yang membahas bagaimana perempuan bermain dengan instrumen secara teknis. Sebagian besar hanya menggembar-gemborkan perempuan yang bermain musik sebagai hal yang begitu luar biasa. Apa yang salah sih dengan perempuan yang bermain musik?”100

Demikian ia mempertanyakan media massa baik online maupun cetak yang menggunakan judul bombastis. Bagi Anida, hal seperti itu sering ia temui dengan berbagai komentar seksis yang mengikutinya. Ia melihat bahwa hal itu seperti menjadi stigma bagi perempuan yang menjadi musisi di skena yang didominasi oleh laki-laki. Perempuan di skena sering dianggap sebagai gimmick, objek, atau hanya pemanis dalam band.101

Fakta yang dikemukakan Anida ini juga sejalan dengan yang dikatakan oleh

Kartika Jahja, Yacko, dan Hera Mary dalam acara Archipelago Fest 2017. Dalam acara ini, diadakan sebuah bincang-bincang tentang beragam topik yang erat hubungannya dengan skena musik di Indonesia, terutama skena musik independen. Tika dan Hera menjadi pembicara pada salah satu panel yang bertajuk “Women: Gender Equality within

Local Scene”. Tika mengungkapkan soal kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dalam skena. Senada dengan Tika, Hera juga menyoroti hal yang sama dengan menambahkan adanya perundungan pada musisi perempuan. Sebagai dua orang yang aktif baik sebagai musisi maupun aktivis di skena underground, Tika dan Hera menunjukkan adanya ketimpangan sekaligus diskriminasi bagi para perempuan yang aktif sebagai musisi di skena underground. Yacko juga menggarisbawahi bahwa

100 Anida Bajumi. (2019) Menggugat Seksisme Skena Musik Kita. Diakses dari https://jurnalruang.com/read/1552558467-menggugat-seksisme-skena-musik-kita. 101 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

57

diskriminasi itu datang dari semua lini, baik itu dari produser, sesama musisi, hingga ke penonton. Dengan latar belakang dan konteks yang demikian, mengapa musisi perempuan di skena underground, dalam hal ini skena ekstrem metal, tetap berjuang dan teguh berkarya? Apakah skena yang demikian sudah ramah bagi vokalis ekstrem metal, dalam penelitian ini, antara lain Fransisca Ayu, Lilin Purnamasari, Popo Puji, dan Hera

Mary? Lantas, mengenai cara mereka bernegosiasi dengan skena ekstrem metal yang maskulin dan bermain-main dengan kemampuan mereka di dalam skena akan diuraikan dalam bagian selanjutnya.

D. Rangkuman

Pada bagian ini, telah dibahas sejarah singkat tentang kultur metal dan perkembangannya menjadi berbagai subgenre, terutama ekstrem metal. Dari pembahasan itu terlihat bahwa ekstrem metal muncul sebagai sebuah transgresi pada musik mainstream yang dalam konteks global menguasai pasar atau industri musik dengan segala macam dinamikanya. Transgresi ekstrem metal dapat dilihat dari cara-cara para pelakunya dalam menolak unsur-unsur musik mainstream, oleh karenanya eksterm metal disebut sebagai kultur underground dalam menantang musik mainstream. Penggunaan teknik vokal growl/scream, musikalitas dengan tempo yang lebih cepat, cara berpakaian, hingga tema-tema lirik lagu yang ditawarkan oleh band-band ekstrem metal menjadi contoh nyata transgresi yang ada di ekstrem metal dalam menantang musik mainstream.

Hal ini juga terjadi dalam konteks skena ekstrem metal di Indonesia di mana para pelakunya megonsumsi lalu menggunakan musik ekstrem metal sebagai sebuah jalan untuk melakukan resistensi terhadap Orde Baru dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi yang mengimpit mereka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

58

Selain pembahasan mengenai sejarah ekstrem metal, bagian ini juga telah membahas konstruksi maskulinitas yang memarjinalisasi peran perempuan di dalamnya.

Lirik-lirik misoginis, representasi yang seksis, hingga praktik yang misoginis dan seksis yang terjadi dalam skena ekstrem metal menjadi hal-hal yang membuat ekstrem metal dianggap sebagai sebuah skena yang maskulin dan dibentuk berdasarkan sistem patriarki.

Peran perempuan di dalamnya acap kali dianggap sebagai nomer dua. Ini juga terjadi kepada perempuan yang terlibat dalam skena secara aktif di Indonesia.

Pembahasan dalam bagian ini menjadi pintu masuk pada bagian selanjutnya yang mengeksplorasi performance Fransisca Ayu, Lilin Purnamasari, Hera Mary, dan Popo

Puji sebagai vokalis band ekstrem metal dalam wujud dark play sebagai strategi mereka melakukan transgresi dalam transgresi untuk melawan inferiorisasi yang mereka alami.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III

BERMAIN-MAIN DALAM TRANSGRESI

Pada bagian sebelumnya, telah dijabarkan mengenai skena ekstrem metal baik kekhasannya hingga wacana dominan yang ada di dalamnya. Selain itu, representasi perempuan di skena ekstrem metal di Indonesia juga telah diekplorasi. Lantas, bagaimana kemudian strategi Ayu, Lilin, Popo, dan Hera dalam konteks performance di tengah skena yang didominasi laki-laki? Bagaimana performance mereka berbicara mengenai skena ekstrem metal? Apa yang ingin mereka suarakan lewat performance itu?

Bagian ini menjelaskan performance dari empat vokalis extrem metal perempuan yaitu Fransisca Ayu dari band Leftyfish dan Killed on Juarez, Popo Puji dari Demons

Damn, Lilin dari Goads, dan Hera Mary dari Oath. Performance mereka akan dijelaskan dalam tiga bagian transgresi yang ditawarkan oleh Harris.102 Ketiga bagian itu adalah sonic transgression (transgresi suara), discursive transgression (transgresi diskursif), dan bodily transgression (transgresi kebertubuhan). Selanjutnya, ketiga jenis transgresi itu dibaca dengan konsep dark play dari Richard Schecnhner.

Selain itu, bagian ini juga menguraikan fantasi yang muncul dan mendasari dark play yang dilakukan keempat vokalis perempuan tersebut. Berbicara mengenai fantasi dalam perspektif psikoanalisa Lacanian tentu tak bisa terlepas dari pembentukan subjek dan tentang hasrat. Bagaimana Ayu, Lilin, Popo, dan Hera masuk ke dalam dunia simbolik bernama skena ekstrem metal itu? Bagaimana kastrasi terjadi pada mereka sebagai subjek yang terbelah ($)? Sebelum masuk pada uraian mengenai fantasi yang

102 Harris., Op. Cit., 2007, hal. 30-43.

59

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

60

muncul dan mendasari dark play mereka, terlebih dahulu pada bagian ini akan diurikantentang proses pembentukan subjek keempat vokalis perempuan tersebut di dalam skena ekstrem metal.

Lantas, dalam dunia simbolik berupa skena ekstrem metal, mengapa Ayu, Lilin,

Popo, dan Hera tetap berkarya di tengah inferiorisasi dan mitos maskulin yang amat kuat dalam skena ekstrem metal? Mengapa strategi berupa dark play dalam performance mereka muncul sebagai negosiasi mereka dengan skena ekstrem metal? Hal apa yang mendasarinya?

A. Geraman/Teriakan: Transgresi Suara

Growl/scream (Geraman/teriakan) menjadi salah satu karakteristik dari ekstrem metal. Dalam performancenya, Fransisca Ayu mengombinasikan kedua teknik itu baik ketika rekaman maupun ketika di panggung. Ia bermain dalam dua band yang memiliki karakteristik cukup berbeda. Seperti sudah saya singgung di bagian pendahuluan, di band metalcore Killed on Juarez, Ayu lebih menonjolkan kekuatan geraman dan teriakan.

Sementara itu, di Leftyfish, ia menambahkan suara clean dan terkesan centil seperti gadis kecil yang sedang asyik bermain. Ketika bermain di Leftyfish ia menggunakan pendekatan sedikit berbeda dalam teknik vokalnya. Berikut catatan saya ketika menyaksikan penampilan Fransisca Ayu ketika ia tampil sebagai vokalis Leftyfish dalam gelaran Bingo YK pada bulan Juni 2019 lalu.

Sebuah band metal membawakan lagu pop dengan gaya metal tentu adalah sebuah hal yang akan membuat rasa penasaran naik ke level tertinggi. Hal ini pun yang saya rasakan ketika LeftyFish, band math-core asal Yogyakarta, mengumumkan bahwa mereka akan tampil di gelaran Bingo YK, sebuah acara tribute untuk 48 Family atau para

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

61

penggemar JKT 48 pada akhir Juni 2019 lalu. Tentu saja dalam acara dengan tajuk tribute,

LeftyFish akan membawakan salah satu lagu dari JKT48 di depan para penggemar grup idol yang sangat populer itu.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam lebih sedikit ketika saya sampai di Kedai

Kebun Forum, Yogyakarta, tempat Bingo YK digelar. Tak selang berapa lama, para personel LeftyFish datang. Halim Budiono, gitaris yang adalah otak di balik terbentuknya

LeftyFish, hadir terlebih dadulu. Kemudian personel lainnya pun datang hampir bersamaan. Vokalis Fransisca Ayu datang setelah Halim dan kemudian bertegur sapa dengan saya. Ia berkata bahwa LeftyFish akan membawakan “River”, salah satu lagu hits dari JKT48. Berikutnya, Arya Andy Putra, sang drummer, dan pemain keyboard, Winan

Pratama, hadir menyusul. Malam itu, LeftyFish juga dibantu oleh pemain trumpet Dodi

Rahmadi.

Rasa penasaran saya semakin mencapai puncaknya tatkala saya membayangkan akan jadi seperti apa lagu “River” diolah oleh unit mathcore bernama LeftyFish, band yang dikenal dengan kerumitan musikal sebagai keunikan mereka. Kerumitan itu sebelumnya telah terpatri dalam EP bertajuk “You, Fish!” yang dirilis akhir 2015 silam dan dalam album bertajuk “Hello ’s Spank” yang keluar tahun lalu. Bagaimana tidak penasaran, kedua album LeftyFish itu adalah perwujudan eksperimen-eksperimen

LeftyFish dalam meramu elemen-elemen metal dan jazz sebagai suatu kesatuan. Lagu- lagu di dalamnya terdengar kacau dan rumit namun tetap menimbulkan sensasi ecstatic.

Ketukan drum yang janggal dan tempo yang berubah-ubah secara mendadak dipadu dengan distorsi gitar serta sensasi jazzy dari kibor, trumpet, trombone dan saxophone memantapkan premis saya mengenai LeftyFish: rumit namun manis. Premis saya itu juga terwujud dari gaya vokal Fransisca Ayu yang garang penuh dengan scream dan growl

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

62

namun bisa tiba-tiba berubah menjadi suara centil nan manis. Bermodalkan mendengarkan dua album itulah yang menjadi alasan saya sangat penasaran dengan apa yang akan mereka lakukan terhadap “River” dari JKT48.

Saat yang ditunggu tiba, LeftyFish mengambil alih panggung. Di depan para penonton yang kebanyakan adalah para penggemar JKT48, LeftyFish membawakan lagu- lagu dari album mereka. Alih-alih beranjak dari tempat mereka berdiri karena musik rumit yang dibawakan LeftyFish, para penonton justru memberikan apresiasi tinggi bagi mereka. Beberapa kali vokalis Ayu mengatakan rasa terharu dan terima kasihnya karena bisa bermain di sebuah acara yang langka terjadi bagi LeftyFish serta mendapat apresiasi tinggi dari para penontonnya. Apresiasi tersebut juga mencapai puncak tertingginya ketika akhirnya mereka mambawakan “River”. Ini sekaligus menandakan terbayarnya rasa penasaran saya. LeftyFish berhasil menyuntikan nafas musikal yang rumit dan kacau pada “River”. Ayu sebagai vokalis pun menunjukkan kemampuannya. Ia dapat bernyayi dengan gaya centil layaknya personel JKT48 namun tiba-tiba berubah menjadi garang dengan suara growlnya. Sebagai contoh, dalam lirik “Tepat di depan matamu ada sungai mengalir, luas, sebuah sungai yang besar, walaupun gelap dan dalam, walaupun arusnya deras”. Di awal bagian itu, ia menyanyikan dengan suara clean. Namun, setelah itu, secara tiba-tiba ia mengubah gaya vokalnya dengan growl yang ganas serta scream di beberapa bagian lagu. Aransemen musiknya pun sangat khas LeftyFish: ketukan tempo drum yang cepat dan berubah-ubah, distorsi gitar meraung-raung, serta sensai jazzy dari kibor dan trumpet yang membuat premis saya mengenai LeftyFish yang rumit namun manis terbukti kembali. Penonton pun bertepuk tangan dan banyak dari wajah mereka yang menyiratkan kekaguman, serta kekagetan bahwa lagu “River” bisa dibawakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

63

dengan gaya yang demikian. LeftyFish mampu memunculkan kerumitan dan kekacauan, tetapi manis dan nikmat di saat bersamaan.

Seusai pertunjukan itu saya berbincang dengan Ayu mengenai penampilannya. Ia berkata bahwa penambahan clean vocal yang terdengar centil itu merupakan kebutuhan dari lagu serta bentuk eksperimen dia sebagai seorang vokalis. Ini senada dengan yang ia ceritakan ketika saya berbincang dengannya secara lebih mendalam tentang teknik vocal growl/scream yang ia miliki. Hal yang mengejutkan adalah ia tidak pernah mengikuti les vokal untuk belajar teknik vokal tersebut. Selain itu, ia juga mengaku bahwa ia awalnya tidak bermain di band metal melainkan band punk bernama Bingoenx and Crazy (BAC).

Gambar 3.1 Fransisca Ayu tampil bersama Leftyfish. Foto oleh: Yulianus Febriarko.

Gaya vokal clean yang ia terapkan di Leftyfish tidak ia terapkan di band Killed on Juarez (KoJ). Sesuai dengan musik metalcore yang diusung oleh KoJ, Ayu justru tak menggunakan clean vokal meski banyak band-band metalcore serupa menyisipkan vokal clean seperti yang terjadi di band As I Lay Dying dan Killwitch Engage yang merupakan dedengkot aliran metalcore ini. Dalam sebuah acara gigs kecil di AoA Space, Yogyakarta pada 2 Oktober 2019, Ayu menunjukkan kemampuan gaya vokal scream dan growl

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

64

miliknya. Intensitas musik yang cepat dan padat disertai frekuensi yang tinggi tak membuat ia kendur. Malahan, suaranya terdengar sangat berdaya meski ia juga lompat ke sana-sini. Usai tampil, ia bercerita pada saya bahwa gigs malam itu adalah salah satu gigs paling menyenangkan dan memuaskan bagi dirinya. Ia memberi dua alasan. Pertama, sudah lama ia tak tampil bersama KoJ. Ia merasa gigs malam itu menjadi pengobat rindu akan hasratnya untuk manggung. Alasan kedua berkelindan pula dengan alasan pertama.

Ia merasa puas karena ia malam itu sanggup memproduksi suara growl dan scream dengan maksimal setelah sekitar setahun tak manggung dengan KoJ.

Gambar 3.2 Fransisca Ayu tampil bersama Killed on Juarez (Foto oleh: Putro Setiawan)

Dalam wawancara di tempat terpisah, ia mengaku bahwa nge-scream dan nge- growl bukanlah hal yang mudah. Sejak aktif sebagi vokalis band, ia selalu belajar secara otodidak. Tak ada yang mengajarinya tentang cara melakukan scream dan growl.

Karakter scream dan growl ia latih sendiri bermodalkan mendengarkan gaya vokalis dari band-band setipe yang lain, terutama gaya vokal Candace Kucsulain, vokalis perempuan band hardcore legendaris Wall of Jericho. Dari dialah Ayu pertama kali memulai mempraktikan gaya vokal scream dan growl.103

103 Wawancara dengan Ayu di rumahnya di Yogyakarta pada 6 Juni 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

65

Bagi Ayu, menguasai teknik scream dan growl bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Ia menyadari bahwa gaya vokal seperti itu sangat beresiko bila tak dilatih dan dilakukan dengan benar. Maka, ia selalu memperbaharui musik dari album band- band se-genre sebagai upayanya untuk mengeksplorasi gaya vokalnya. Ia menuturkan bahwa ia tidak mau terkotak-kotakkan oleh jenis musik tertentu. Bila ada warna baru yang bisa ia masukkan dalam gaya vokalnya, dia tak ragu untuk mempelajari dan kemudian mengimplementasikan pengaruh atau warna baru itu. Selain itu, ia juga mengimplementasikan gaya hidup sehat agar suara yang ia hasilkan dapat maksimal.

Sedari pertama nge-band, ia tak pernah merokok dan minum alcohol. Kata dia, hal tersebut sangat berpengaruh positif bagi gaya vokal yang ia ekplorasi terus menerus.

Ruang eksplorasi itulah yang membuat Ayu semakin berhasrat untuk terus belajar mengenai teknik vokal ini.104

Meski ia begitu serius dalam usahanya itu, inferiorisasi masih sering terjadi kepada dirinya. Misalnya saja, ia menuturkan sehabis manggung seringkali para penonton, terutama yang laki-laki, memandangnya bukan dari skill dan performance yang ia tampilkan. Kata Ayu, komentar-komentar yang meragukan kemampuannya seringkali muncul.

“Justru dari selesai manggung, terus sering ada yang nanya : ‘mbak habis makan apa e? kok bisa sih?’ Kadang-kadang yang meragukan gitu adalah cowok-cowok tapi yang ga berkarya, jadi mungkin mereka merasa jenjang sosial karena aku cewek. Terus mereka akhirnya meragukan gitu. Atau dia punya band tapi belum bisa sampai level itu, ada beda gender yang membuat kesenjangan sosial dan memunculkan dengki-dengki ga jelas gitu”. Ayu menjelaskan, inferiorisasi semacam itu di satu sisi memang membuatnya merasa tidak percaya diri, tetapi di sisi lain, ia menganggap hal itu sebagai suatu

104 Wawancara dengan Ayu di rumahnya di Yogyakarta pada 6 Juni 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

66

pencapaian dan kepuasan. Sebab, ia bisa menunjukkan bahwa ia, yang kerap diinferiorisasi, mampu menguasai teknik vokal yang tak semua orang mampu menguasai.

Perubahan akan cara pandang tentang gaya vokal yang selama ini dinilai bersifat maskulin menjadi suatu hal yang diidamkannya. Baginya, pengorbanan vokalis perempuan, termasuk dirinya lebih banyak bila dibandingkan dengan laki-laki. Maka, ia menilai ketika ia mampu menguasai dan menampilkan gaya vokal scream/growl, harusnya orang-orang juga bisa melihat dari perspektif yang berbeda dan tidak melulu meragukan dan “nyinyir”.

Serupa dengan apa yang ditampilkan oleh Ayu di Killed on Juarez, Lilin

Purnamasari dari Goads juga menggunakan teknik vokal growl dan scream. Menariknya, ia justru awalnya tak tertarik untuk menjadi vokalis band. Ia awalnya bergabung di skena hardcore Jakarta sebagai seorang fotografer panggung. Di tahun 2006 ia diajak bergabung sebagai vokalis di band hardcore Before Down. Ia awalnya mencoba-coba saja. Dengan modal nekat dan coba-coba itu, ia justru baru menyadari bahwa ia bisa menggunakan teknik growl/scream ketika latihan pertama dengan Before Down. Kebiasaan menonton band-band hardcore menjadi modal Lilin sebagai pengaruhnya untuk menggunakan teknik serupa hingga akhirnya ia bergabung dengan Goads yang mengusung aliran grindcore. Pembaharuan referensi musik demi pembelajaran juga dilakukan oleh Lilin sebagai upaya untuk eksplorasi gaya vokal scream/growl. Dari awalnya mendengarkan band-band hardcore, ia mulai juga mendengarkan band-band dari berbagai subgenre metal, antara lain grindcore dan death metal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

67

Gambar 3.3 Lilin tampil bersama GOADS. Foto oleh: Stagehunter

Perjalanan Lilin menguasai teknik vokal growl/scream tidaklah mudah. Berbagai tantangan ia temui. Pertama, adalah latar belakang keluarga yang religius. Ayah Ibunya adalah guru ngaji sehingga ia mengaku ada rasa tidak nyaman ketika harus terbuka kepada orangtuanya perihal kegiatan nge-bandnya. Bahkan, ketika orangtuanya pernah berkata kepada Lilin bahwa musik ekstrem seperti itu adalah musik setan ketika mereka mengetahui bahwa Lilin suka mendengarkan musik-musik hardcore dan metal. Bahkan, sampai kini Lilin tidak pernah mengaku kepada orangtuanya kalau ia menjadi vokalis band grindcore bernama Goads meski Lilin juga yakin orangtuanya sudah mengetahui kegiatannya sebagai seorang vokalis band grindcore. Tantangan kedua justru datang dari kawan se-band-nya. Lilin mengisahkan bahwa di Goads, ia pernah merasa “dijual” oleh drummer bandnya. Goads ketika itu memiliki tiga anggota perempuan dan satu drummer laki-laki. Ketika pemain bas-nya keluar, si drummer bersikeras untuk mencari pengganti ang juga seorang perempuan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

68

“Lama-lama gue dan Venny (red-gitaris Goads) ngerasa kok kita kayak dijual ya? Kayaknya dia ngejual kita deh biar banyak yg nonton kan kalau personelya cewek kan pasti banyak yang nonton. Nah, gue sama Venny memberanikan diri buat ngomong ke dia. Dia juga ketahuan enggak jujur soal fee manggung. Akhirnya dia yang keluar dari band. Habis itu, gue sama Venny nyari personel lain dan g aharus cewek. Kan ini ngeband, ya siapa aja yang cocok sama musikalitas band ini”.105

Yang ketiga adalah terkait dengan gaya vokal scream/growl yang ia gunakan. Sama dengan yang dialami Ayu, Lilin juga mengalami inferiorisasi yang datang dari sesama anggota skena extrem metal. Kala itu, kenang Lilin, ia bersama Goads ikut serta dalam pembuatan album tribute untuk , band grindcore legenda asal Swedia. Salah seorang petugas studio rekaman dan juga beberapa anggota band lain meremehkan dia.

“Gue dengar salah seorang dari mereka ngomong ‘Ini serius vokalisnya cewek? Suaranya aja lembut gitu’. Nah, di situ gue sempat minder sih, cuma waktu itu gue jadi mau ngebuktiin bahwa gue bisa”106 Selain itu, Lilin juga mengaku bahwa ketika album EP Goads dan album LP pertama keluar, banyak anak-anak skena yang bilang kalau vokal milik Lilin ‘digambar’. Kata

‘digambar’ ini berarti vokal yang direkam di album itu disunting dan diperbaiki sedemikian rupa sehingga terdengar bagus.

“Banyak yang bilang sih kalau gue cewek yang bisa ngegrowl, gitu aja. Bahkan banyak yg bilang ‘ah elu cowok’. Belum familiar aja sih mereka. Baru percaya kalau pernah ngelihat gue manggung. Awalnya meragukan karena blm pernah ngelihat gue nge-growl atau scream, makanya ragu untuk ngajak bikin band atau project. Toh kalau pun mereka sudah tahu, mereka tuh tetap ga percaya. Ada yang bilang ‘ah ini vokalnya digambar. Tetap aja ada pandangan negative kayak gitu. Padahal, ini satu album gue rekaman vokalnya 3 jam, plus gue dobelin vokalnya, ga ada itu di situ yang ngegambar vokal”107 Ketika tampil di panggung pun, Lilin juga mendapat pernyataan-pernyataan merendahkan mengenai penampilannya bersama Goads. Lilin bercerita bahwa ketika

105 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan 28 September 2018. 106 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan 28 September 2018. 107 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan 28 September 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

69

manggung di salah satu acara metal besar di GOR Bulungan, ada yang meremehkan band- nya terutama karena ia dilihat semata sebagai seorang perempuan sehingga dianggap ia tak mampu menguasai dan memproduksi gaya vokal growl dan scream. Meski begitu,

Lilin mengaku peremehan seperti itu justru menjadi bahan bakar dirinya untuk tampil maksimal di panggung. Salah satu contohnya adalah ketika manggung dalam acara The

Karnival 2019 yang dihelat di Solo pada 9 Juni 2019 lalu. Saat membawakan lagu

“Ironi”108, Lilin nampak sangat percaya diri dan kualitas growl/suaranya terlihat sangat prima. Beberapa kali ia terlihat berjingkrak-jingkrak serta melakukan headbang di panggung di saat ia tak nge-growl, tetapi ketika kembali nge-growl, kualitasnya tetap bisa stabil dan prima. Di panggung, ia menantang dirinya untuk tidak minum air putih di jeda antar lagu. Seusai manggung, orang yang meremehkan tadi mengaku kaget karena vokal

Lilin stabil dan tone-nya tidak turun di sepanjang penampilannya. Ia berujar demikian:

“Gue merasa puas sih karena bisa membuktikan dan kasih challenge ke diri gue sendiri meski waktu itu gue juga ga terlalu peduli amat”109

Sedikit berbeda dengan pengalaman Ayu dan Lilin, Hera Mary bersama Oath cenderung tak banyak menggunakan teknik growl/scream. Gaya vokal Hera cenderung berada di antara dua teknik itu. Hera awalnya bergabung dengan Oath sebagai seorang gitaris. Mendaku sebagai band sludge metal, Oath rupanya tak lahir dari skena metal pada awalnya, tetapi lahir dalam skena hardcore-punk. Perubahan musikal juga terjadi di tubuh

Oath yang dari awalnya band hardcore punk lalu berubah menjadi sludge metal.

Perubahan personel dan juga perluasan pengaruh musik menjadi titik balik Oath menjadi

108 Lihat dalam https://www.youtube.com/watch?v=sT2fAzz3ihM. Video penampilan GOADS ini diupload oleh akun Holy Label TV. 109 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan 28 September 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

70

sebuah band Sludge Metal. Hera mengaku ia awalnya merasa kurang percaya diri ketika beralih menjadi seorang vokalis. Ia sempat bingung dengan gaya vokal yang akan ia gunakan, sebab sebelumnya vokal diserahkan kepada personel laki-laki. Selain itu, Hera juga sebelumnya sama sekali belum pernah menajdi vokalis sebuah band. Dengan Hera berpindah sebagai seorang vokalis, anggota band lain menyerahkan urusan gaya vokal kepada Hera sesuai dengan yang ia mampu lakukan. Tak seperti gaya vokal grindcore dan death metal, vokal sludge metal masih dapat didengar dengan jelas pelafalannya, tetapi terdengar abrasif dan bernuansa depresif. Gaya inilah yang kemudian diadopsi oleh

Hera. Dalam penampilannya bersama OATH, ia terdengar seperti merapal mantra-mantra keluhan dengan gaya diteriakkan misalnya ketika ia tampil dalam acara HSTD Fest 2015 di Bandung yang rekamannya diunggah oleh akun Hungry Heart Project di YouTube pada

22 Mei 2015.110 Musik bertempo lambat bernuansa gelap dan depresif ala sludge metal yang dibawakan OATH berpadu dengan gaya vokal scream kasar nan abrasif yang digunakan oleh Hera. Dalam video penampilannya itu, terlihat Hera cukup ekspresif meski tak enerjik. Ekspresi sedih, muram, dan depresif nampak pada raut wajah Hera sembari menggelontorkan scream kasar miliknya. Menurut Hera, gaya ini juga ia adopsi dari band-band Sludge Metal luar negeri, antara lain adalah gaya vokal dari Mike

Williams dari band Eyehategod, Nathan Misterek dari Graves at Sea, dan Gary

Niederhoof dari Noothgrush.

110 Lihat dalam https://www.youtube.com/watch?v=VANakHZZbBU

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

71

Gambar 3.4 Hera Mary tampil bersama Oath. Foto oleh: Dokumentasi OATH.

Perbedaan besar terlihat di Popo Puji sebagai seorang vokalis death metal. Gaya yang ia terapkan adalah deep growl. Vokalis-vokalis Death Metal menggunakan lipatan membran di atas pita suara untuk memberi tekanan pada laring guna memproduksi growl yang dalam atau disebut sebagai guttural growl.111 Teknik ini bahkan disebut sebagai suara “cookie monster”112 sejak vokalis Cannibal Corpse, Chris Barnes, menggunakannya di album Eaten Back to Life pada tahun 1990. Teknik growling seperti ini digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan nuansa berat dan gelap dengan melibatkan timbre vokal yang intens. Eliminasi vokal yang dapat dikenali dan dapat didengar menjadi elemen penting dari death metal, termasuk dalam hal ini adalah gaya vokal yang digunakan oleh Popo bersama Demons Damn. Sebagai contoh adalah penampilannya di Bandung dalam acara Terror Attack pada 15 November 2015 yang diunggah di YouTube oleh akun whyyouseeiswhyyouhear.113 Dalam video itu, Popo menunjukkaan penguasaan teknik vokal guttural tersebut ketika memainkan lagu

111 Michelle Phillipov. Death Metal and Music Criticism: Analysis at The Limits (New York: Lexington Books, 2012), hal 100. 112 Ibid, hal 102. 113 Lihat dalam https://www.youtube.com/watch?v=5ScH8jHogn8

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

72

“Menggenggam Dendam” dengan dibarengi aksi panggung yang enerjik sembari beberapa kali terlihat melakukan headbang. Dari penampilannya itu, terlihat bahwa Popo sangat ahli dan menyiratkan bahwa Popo memiliki stamina yang prima sebagai seorang vokalis death metal yang menggunakan teknik vokal guttural. Intensitas musik yang kencang dan rapat semakin memantapkan gaya guttural yang dimiliki oleh Popo. Inilah yang dinamakan dengan death metal dengan kebrutalan suara yang dihasilkannya.

Gambar 3. 4. Popo Puji tampil bersama Demons Damn. (Foto 1 oleh: ndrphotography, Foto 2 oleh: Anggi Sidik)

Vokal guttural yang digunakan oleh Popo ini memang memerlukan latihan yang keras dan melelahkan karena jenis vokal ini berbeda dengan scream dan growl yang biasanya didapat dari suara yang dikeluarkan (exhale). Guttural lebih menggunakan teknik suara yang disedot (inhale) sehingga lebih cenderung terdengar rendah dan pelan.

Popo mengutarakan bahwa ia tak serta merta menguasai teknik itu. Ia pun selalu berstrategi untuk mendapatkan hasil maksimal, misalnya dengan menjaga kebugaran tubuh. Ia mengaku juga bahwa latihan mengausai teknik seperti itu juga sama dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

73

menyiksa diri dalam arti ia melatih tenggorokan dan pita suaranya untuk memproduksi suara guttural itu. Beberapa kali ia pernah salah dan merasakan sakit pada tenggorokannya. Namun, itu menjadi sebuah keharusan yang harus dilalui oleh Popo. Ia mengatakan bahwa apapun yang diinginkan, termasuk menguasai teknik vokal tersebut, harus ia kejar terus. Latihan berkelanjutan dan pengulangan-pengulangan yang telah ia lalui menjadi sebuah kepuasan bagi dirinya.114

Meski banyak apresiasi bagi dirinya atas kemampuannya ini, inferiorisasi juga dialaminya. Ia sampai merasa stress ketika dia berhasil menguasai teknik seperti itu, tetapi pandangan tentang vokal yang maskulin masih kental melekat. Stress yang dialami Popo lebih karena ia mempertanyakan alasan mengapa perempuan tidak mudah diterima di skena meski sudah menghasilkan karya. Ia berkata demikian:

“Sampe stressnya juga jadi kalau misalkan komunitas ini cuma buat cowok, vokal yang seperti ini juga pandangannya jadi cowok banget. Ya emang bener mayoritas juga cowok. Ketika ada perempuan dan bagus, cowok pun banyak juga yang mengapresiasi. Tapi, sorry to say music ini memang diciptakan laki-laki dan awalnya mungkin mereka pikir cuma untuk laki-laki. Tapi ketika ada perempuan yang mencoba dan akhirnya berhasil mereka tidak semudah itu diterima. Sampe sekarang masih ada yang mikir ‘apasih perempuan masuk- masuk sini’. Bahkan ada yang bilang “lha ini apa ya kaya sensasi aja karena perempuan. Hal-hal seperti itu salah satunya yang harus dihajar dengan karya”115 Popo menyorot adanya ketimpangan dan bias gender ketika membicarakan tentang gaya vokal scream/growl pada umumnya dan guttural pada khususnya. Ia menunjukkan ada usaha yang lebih ekstra dari vokalis-vokalis perempuan untuk dapat masuk dan diterima di skena ekstrem metal. Meski ia sudah berada di posisi dengan privilege sebagai seorang vokalis di band death metal yang sudah banyak dikenal, ia tetap merasakan bahwa

114 Wawancara dengan Popo Puji via Whatsapp video call pada 21 April 2020. 115 Wawancara dengan Popo Puji via Whatsapp video call pada 21 April 2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

74

ketimpangan itu masih tetap ada. Bias gender dalam menilai gaya vokal gutturalnya pun masih sering terjadi.

Dari cerita-cerita Ayu, Lilin, Popo, dan Hera, dapat diketahui bahwa mereka menggunakan dan menempatkan gaya vokal scream/growl sebagai gaya vokal mereka sebagai vokalis band-band ekstrem metal. Sebagai sebuah transgresi yang menjadi ciri khas ekstrem metal, gaya vokal ini membedakan mereka dengan genre musik lain yang lebih mengutamakan gaya vokal clean/jelas pelafalan lirknya. Gaya vokal ekstrem metal ini melanggar/menolak ide tentang melodi, tmbre, dan teknik bernyanyi tradisional yang dinilai sebagia acuan cara bernyanyi yang bagus. Alih-alih memeluk gagasan gaya bernyanyi yang bagus, gaya vokal scream/growl menjadi sesuatu yang inovatif yang tak ditemukan di jenis musik populer lain. Scream/Growl yang secara teknik bisa dihasilkan dari false vocal chords diketahui harus dilatih dengan usaha yang keras dan berkesinambungan.116 Inilah yang disebut sebagai sonic transgression atau transgresi bunyi (suara).

B. Kuasa Kata: Transgresi Diskursif

Trangresi selanjutnya adalah transgresi diskursif. Dalam ekstrem metal transgresi diskurisf ini adalah transgresi yang dapat dilihat dari bagaimana metal membicarakan hal- hal yang tak dibicarakan dalam musik mainstream, terutama dalam lirik-lirik yang ditulis.

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa lirik-lirik dalam lagu-lagu ekstrem metal mengambil tema-tema “aneh” bagi orang-orang di luar skena metal. Misalnya, lirik-lirik band death metal Cannibal Corpse mengambil tema mutilasi, kematian, dan seks, termasuk yang memarjinalkan perempuan. Diskursus semacam ini juga semakin

116 Matthew P. Unger. Sound, Symbol, Sociality: The Aesthetic Expereience of Extreme Metal Music. (London: Palgrave Macmillan, 2016), hal. 18.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

75

menguatkan mitos maskulinitas dan skena metal yang androsentris. Meski begitu, amat menarik untuk melihat cara Ayu, Lilin, Hera, dan Popo sebagai seorang penulis lirik dalam band mereka. Di tengah tema-tema lirik yang memarjinalkan perempuan, keempat vokalis perempuan tersebut justru menyisipkan lirik-lirik yang bertemakan resistensi mereka akibat dimarjinalkan sebagai seorang perempuan. Peran besar keempat vokalis tersebut dalam band bukan hanya sebagai vokalis dengan gaya vokal scream/growl, tetapi juga sebagai penulis lirik utama dalam lagu-lagu mereka. Hal ini menjadi peluang besar mereka untuk menumpahkan amunisi berupa kata-kata berdasarkan pengalaman, pemikiran, serta refleksi mereka terhadap kehidupan sehari-hari, baik itu ketika berdinamika di dalam skena maupun ketika berdada di luar skena. Ayu yang juga berperan besar sebagai penulis lirik di dua band-nya menulis lirik-lirik demikian:

Commitment to Unwarranted117 You, Fish!118

There is always a reason It referred to the fish The reason can always in search Often found in the river The reason can always appear Or the sea, Even as much of the millions Take a look at him, Of stars in the sky As small as it is capable Of crashing on The Process of sacrificing Flow profusely A success does not need a reason Struggling mightly Just enough willing or not or can not to be Not to get carried away with the something flow That is needed is a commitment to unwarranted Strong, strong, strong Or can not to be something Keep focus stays on purpose That is needed Then why don’t you? Commitment to unwarranted

Ayu memilih menggunakan bahasa inggris dalam menulis lirik untuk kedua bandnya,

KoJ dan Leftyfish. Pilihan itu didasarkannya pada kesepakatan antara dia dan anggota

117 Lirik diambil dari album Killed on Juarez bertajuk Gemini yang dirilis pada 8 Januari 2017. 118 Lirik diambil dari album Leftyfish bertajuk Hello Kittie’s Spank yang dirilis pada 23 Maret 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

76

band yang lain. Diihat dari kedua lirik itu, Ayu menceritakan tentang sebuah perjuangan berat yang harus ditempuh untuk mencapai sesuatu. Dalam Commitment to Unwarranted, ia bercerita tentang sebuah komitmen dalam menjalani sesuatu, dalam hal ini komitmen dirinya menjadi vokalis untuk band metalcore. Komitmen yang tak tergaransi, tapi diperlukan untuk segala perjuangan dan pengorbanannya.119 Di KoJ tema tentang perjuangan hidup, kemarahan, dan inner self adalah yang dikedepankan. Topik-topik yang tergolong serius ini menjadi pilihan Ayu bersama sebagai sarana bagi Ayu untuk

“curhat” dan berdiskursus di dalam skena.

Tak seperti di KoJ, Leftyfish adalah band yang lebih memilih untuk menulis lirik dengan gaya yang santai dan lucu. Selain Ayu, pemain gitar Halim Budiono juga menjadi penulis lirik di Leftyfish. Fenomena keseharian yang dilihat, misalnya keliru makan jahe yang dikira daging, perang layangan, menangkap belut, kesenanangan memencet bubble wrap menjadi beberapa topik yang ditulis menjadi lirik oleh Halim. Hal yang sepele namun terjadi dalam kehidupan. Musik Leftyfish yang tergolong absurd menjadi selaras dengan pilihan tema untuk lirik-liriknya: lucu, absurd, tapi terjadi. Meski begitu, lagu- lagu yang liriknya ditulis oleh Ayu di Leftyfish cenderung memiliki makna yang tak berbeda dengan lirik-lirik yang dituliskannya di KoJ. Perbedaan yang terjadi adalah di

Leftyfish, Ayu lebih santai dan menggunakan analogi sederhana, misalnya dalam lagu

“You, Fish!” di atas. Ia menempatkan analogi ikan sebagai sebuah caranya bertutur tentang sebuah perjuangan. Layaknya ikan yang berenang di sungai dalam arus yang kencang, ia menunjukkan perjuangannya sebagai vokalis perempuan yang diterpa berbagai macam arus deras berupa lingkungan yang didominasi laki-laki dan sering

119 Wawancara dengan Fransisca Ayu di Konkrite Café, Yogyakarta, 25 September 2019.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

77

meremehkannya.120 Namun, layaknya ikan pula, ia tetap berenang dan menjadi tambah kuat. Struggling mightly!, demikian ia menyimpulkannya.

Sama dengan Ayu, peran penulis lirik juga disandang oleh Lilin di band grindcorenya, GOADS. Style grindcore milik GOADS yang cepat, intens, dan berisik bersanding dengan tema tentang protes sosial dan inner-self. Penulisan lirik yang straightforward, to the point, dan tanpa tedeng aling-aling dipilih oleh Lilin sebagai cara untuk menumpahkan segala kegelisahannya. Dalam lirik lagu “Lantang”, misalnya, ia menuliskan kegelisahan pada objektifikasi perempuan di skena ekstrem metal dan juga di masyarakat umum yang masih sangat patriarkis. Di lagu ini, ia ingin bersuara dan memberikan pesan untuk melawan segala bentuk objektifikasi terhadap perempuan, bahwa perempuan memiliki pilihan dan berhak untuk melakukan apapun yang menjadi pilihan mereka.121 Penulisan lirik “Lantang” diakui Lilin juga tak terlepas dari pengalamannya ikut aktif dalam sebuah kolektif bernama Kolektif Betina. Dalam sebuah acara, kata Lilin, ia melihat adanya semangat perlawanan dan juga kegigihan serta solidaritas tinggi aknatar perempuan untuk saling mendukung dalam berkarya. Oleh karena hal itu, ia pun menulis lirik lagu “Lantang” tersebut. Dengan durasi lagu yang tidak lebih dari dua menit, lirik “Lantang” terdengar penuh agresi ketika dimainkan.

Persoalan to the point dan straightforward juga amat terasa dengan pilihan diksi yang dituangkan Lilin dalam lirik “Lantang” . Berikut ini adalah lirik “Lantang” yang ditulis oleh Lilin:

120Wawancara dengan Fransisca Ayu di Konkrite Café, Yogyakarta, 25 September 2019. 121 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan 28 September 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

78

Lantang122 Lantang! Lantang! Dan teriakkan Lawan! Lawan! Lawan! Maju ke depan -- Rampas kebebasanku, jatuhkan martabatku Terhadap tubuhku, terhadap hidupku Lawan dan lawan stigma, lepas dari dogma Lawan! Lawan! Kau tercipta sempurna! Lawan! Lawan! Jangan hiraukan mereka! Otak dangkal, tak bermoral Lawan! Inilah tubuhku, inilah hidupku, inilah keputusanku Inilah tubuhku, inilah hidupku, inilah pilihanku Lawan! Lawan! Kau tercipta sempurna Lawan! Lawan! Jangan hiraukan mereka!

“Lantang” juga dipilih menjadi single pertama yang dirilis untuk album Datang

Melawan GOADS. Lilin menuturkan bahwa lagu ini menjadi sebuah bentuk perlawanan dan sebagai ajang pembuktian bahwa perempuan ada di dalam skena ekstrem metal dan bisa membuat sebuah karya dan menyuarakan apa yang ingin mereka suarakan.

“Lantang” berdurasi tak sampai dua menit. Lilin mengaku bahwa grindcore yang umumnya memiliki durasi lagu yang pendek sangat cocok untuk penulisan lirik yang straightforward dan to the point seperti gaya nya menulis lirik di lagu Lantang tersebut.

Selain terinsirasi oleeh kegiatan yang dilakukan oleh Kolektif Betina, pengalaman pribadi

Lilin sebagai seorang perempuan yang pernah dilecehkan dan dipandang remeh di dalam skena menjadi alasan lain bagi Lilin untuk menulis lirik itu.123 Semangat grindcore pada tema-tema perlawanan diejawantahkan oleh Lilin berdasarkan pengalaman yang ia miliki di tengah skena yang didominasi laki-laki. Ia bercerita demikian tentang semangat

122 Lirik diambil dari album GOADS bertajuk Datang Melawan yang dirilis pada 6 September 2018. 123 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan, 28 September 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

79

perlawanan dan usahanya untuk membelokkan pandangan tentang perempuan dalam sebuah band:

“Di manapun, band apapun, skill apapun, kalau itu yang nampilin perempuan pasti dianggap bagus aja. Itu pasti menarik aja. Kita dilihat secara display, bukan skill. Wajar aja, tapi kita mau belokin aja pandangan itu. Mau nunjukin aja kalau sebenarnya ini kita latihannya disiplin, bikin lagunya susah, latihannya berat, nyari liriknya susah loh, manggungnya juga ga sembarangan. Bukan sekadar tampil aja”.124

Dari perkataan Lilin di atas, dapat diketahui bahwa Lilin, sebagai vokalis, selama ini banyak dipandang dari sisi fisiknya sebagai perempuan saja. Ada sebuah hal tersirat bahwa dalam sebuah band yang ada personel perempuannya, terutama vokalis, band itu pasti akan langsung dianggap menarik, tetapi dengan sebuah cara pandang seksis. Hal ini sampai-sampai membuatnya kesal dan muak. Ia ingin dilihat secara skill, dilihat dari cara dia menulis lirik, dan dilihat dari cara dia mempersiapkan diri sebagai seorang vokalis band grindcore.

“Ketika gue tampil pasti ada yang berpandangan ‘wah dia seksi lo’. Cuma gue udah di titik muak aja, kok gini amat ya pandangannya. Padahal kan ada hal yang lebih menark daripada itu. Gue jadi sebel sendiri. Jadi vokalis di skena kan resikonya juga tinggi. Dilecehkan, di-cat calling. Gue jarang berpakaian seksi juga masih ada aja yang nge-DM (direct message-red) aneh-aneh gitu, mungkin mereka mikirnya ‘wah vokalis nih, wah pasti gampang nih’. Gitu. Gue perempuan, bisa aja menunjukan keseksian, tapi gue punya hal lain yang lebih menarik, misal effort gue, vokal gue, usaha bikin lirik. Sampai ga tidur juga bikinnya lho bikin lirik itu. Kan bikinnya susah, tergantung mood, vibe nya juga gimana. Eh, masih aja ga sering dilihat dari sisi ini”.125 Pengakuan Lilin ini menunjukkan adanya resiko tinggi yang dihadapi oleh perempuan di skena ekstrem metal menjadi hal yang digarisbawahi oleh Lilin untuk menggambarkan posisinya dalam skena. Ini menunjukkan bahwa skena ekstrem metal merupakan arena konflik dan arena yang berbahaya (hostile) di mana Lilin dan kawan-kawan perempuan

124 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Kopi Kalyan, Jakarta Selatan, 13 Oktober 2019. 125 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan, 28 September 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

80

lainnya terpinggirkan dan dianggap sebagai yang nomer dua. Konflik terjadi ketika represi menjadi sebuah hal yang berulang-ulang terjadi kepada dirinya. Meski begitu, ia justru tak berhenti. Dari situ, ia melawan (resist) dengan menunjukkan bahwa ia mampu menghasilkan sebuah karya dengan pengorbanan yang cukup besar lewat segala usahanya untuk sedikit demi sedikit mengubah cara pandang yang dominan di dalam skena.

Selaras dengan Lilin, Popo Puji juga mengejawantahkan perjuangannya sebagai seorang perempuan dalam skena ekstrem metal dalam lirik-lirik lagunya, tetapi dengan konsep berbeda yang menempatkan sisi brutalitas death metal ke dalam lirik. Sebagai salah satu contoh adalah dalam lagu “Gemulai Samar Perkasa” dalam album Retaliation.

Gemulai Samar Perkasa126 Cantik gemulai seorang perempuan Ini diriku….ini takdirku Slalu dipandang manusia Ku kan bertahan, Ku kan tingkat dua melawan Dalam pandangan dalam Aku bosan terus mengalah ketidak percayaan Aku lelah terus diam Meski sendiri tetap kuat menghadapi siksa Cantik bukan senjata, baik hanya sementara Senjata bukan air mata dan Gemulai samar perkasa, kata manja pintar siasati murka Tangan halus lembut Ku akan terus melawan memegang parang dan gada Ku lahir bukan tuk Mampu mengoyak, merobek, dilecehkan mencabut nyawa Meski terancam ku bertahan Pada setiap nafas yang Siasati strategi pembalasan memandang hina

(Perempuan) bangkit Berdiri tegap rapatkan mengangkat dagu barisan Bersiap melepas belenggu Kita berbeda, kita istimewa Melawan rasa ragu Diam bukan jawaban, rapikan barisan

126 Lirik diambil dari album Demons Damn bertajuk Retaliation yang dirilis pada 6 September 2011.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

81

Bersiap mengancam, Senyum dan tawa membawa membalas perihnya mati

Senyum dan tawa menarik Ku dongakkan kepalaku hati Kuharap kalian begitu Senyum dan tawa penenang Kebiri harga diri penghina diri berotak dungu Senyum dan tawa seperti Balaskan rasa sakit yang belati membelenggu

Cerita dalam lirik tersebut menggambarkan resiliensi seorang perempuan yang dijadikan sebagai gender kedua dalam dunia yang didominasi laki-laki dan bersifat patriarki. Dengan bernapaskan deth metal yang brutal, Popo memasukkan tema balas dendam dalam lagu tersebut. Ia bercerita bahwa “Gemulai Samar Perkasa” adalah permainan kata-kata yang menunjukkan sebuah cerita tentang perempuan menyamarkan keperkasaanya dalam gemulai. Ia membayangkan sebuah cerita tentang perempuan yang bengis dan kejam, tetapi tersamar dalam sikap lemah gemulainya. Ia menuturkan bahwa maksud dari lagu itu adalah metafora bahwa perempuan juga memiliki potensi untuk berkarya. Perempuan yang selalu dianggap lemah gemulai bisa membuat sesuatu yang luar biasa berdasarkan potensi yang mereka miliki masing-masing. Dalam hal ini, Popo menulis lirik lagu tersebut berdasarkan pengalaman dan perjuangannya terjun di skena ekstrem metal, terutama dalam sebuah band death metal.

Bila band-band death metal pada umumnya memiliki peratruran tak tertulis tentang penggunaan lirik yang bersifat misoginis, Popo justru menggunakan logika berbeda untuk pendekatannya menulis lirik-lirik death metal. Ia membalik peraturan tak tertulis itu dan mendistorsi sifat misoginis yang ada dalam death metal. Alih-alih menjadikan perempuan sebagai objek dalam lirik-liriknya, ia justru menempatkan perempuan sebagai aktor utama dalam lirik-liriknya. Popo mengatakan bahwa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

82

keseluruhan lagu alam album Retaliation ia bentuk sebagai suatu kesatuan cerita tentang seorang perempuan, dalam hal ini adalah dirinya, yang dikhianati orang hingga akhirnya dia sadar. Konsep itu ia sebut seperti sebuah konsep penulisan cerita dalam sebuah novel.

Popo berkata demikian:

“Ngebayangin dan ngerasain sakit hatinya atau gondoknya dikhianatin itu seperti apa, ditusuk dari belakang keselnya seperti apa. Sampe akhirnya berputar arah sampai mau membalaskan dendam sampe eksekusi. Itu aku tulis satu-satu lirik- liriknya. It utu kayak..eeee..aku dikhianatin sama orang aku akhirnya ngeh gitu kan. Kok bego banget kok gini lagi kok gini terus. Dah gitu ngumpulin kekuatan buat ngebalesin dendam kemarahan kesal. Sampe eksekusinya aku tulisin juga, sebagai perempuan.”127 Dari pernyataan Popo dan juga dari lirik yang ia tulis, ada agensi untuk mengubah persepsi tentang penulisan lirik dalam balutan musik death metal. Pembalikan logika tentang death metal yang misoginis oleh Popo menjadi sebuah hal yang tak terduga. Ia melihat adanya potensi akan sebuah transgresi di mana alih-alih mengafirmasi lirik misoginis, ia justru melanggar peraturan tak tertulis untuk membuat lirik dengan tema yang berada di luar pakem lirik-lirik death metal. Selain itu, dalam proses penulisan lirik,

Popo mengutarakan bahwa ada keinginan untuk tidak terlalu memasukkan kata-kata dan cerita yang terkesan “brutal” meski band-nya adalah band death metal. Ia harus mengubah hampir 80 persen lirik karena setelah ia baca ulang, ia merasa lirik-lirik itu terlalu “brutal” untuk dimasukkan. Ia mengatakan berada dalam dilemma karena di satu sisi band nya menganut genre death metal yang brutal, tetapi di sisi lain ia tak mau kata-kata yang ada di dalam lagu terlalu sadis dan brutal. Bukan menghindari sisi “brutal”nya, tapi ia tak mau kata-kata itu menggambarkan hal yang terlalu sadis.128

127 Wawancara dengan Popo Puji via Whatsapp video call pada 21 April 2020. 128 Wawancara dengan Popo Puji via Whatsapp video call pada 21 April 2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

83

Sementara itu, Hera Mary sebagai penulis lirik band sludge metalnya, OATH, mendasarkan penulisan liriknya sesuai dengan musik OATH yang depresif, abrasive, dan lambat. Maka, tema-tema depresi, keputusaan, kemurungan, dan kemuraman menjadi senjata utama baginya dalam menulis lirik. Memosisikan diri sebagai seorang korban yang seolah tak punya harapan untuk hari esok, Hera lebih ingin menyuarakan dan menggambarkan posisi marjinal dari kaum-kaum tertindas dan terpinggirkan, terutama perempuan dalam skena. Sebagai contoh adalah lirik dari lagu berjudul Saksi Bisu

Kesakitan/Terbekam yang dirilis OATH pada tahun 2016 lalu berikut ini.

Saksi Bisu Kesakitan129 Terbekam130

Bongkahan kayu using terdiam Hitam menebar Terbuka tertutup sepnajang hari Rasa tertanam Saksi bisu kesakitan Putus asa yang hampa Teriakan benci menggema Kesakitan Akibat ketidakadilan Patah, retak, dan tetap tinggal Ku kunci rapat dan tertutup Rasa itu masih tersimpan rapi Keterpurukan asa terbelenggu Cahaya berubah gelap

Hera menuturkan bahwa penulisan lirik ini ia dasarkan pada kegelisahannya pada penggusuran-penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah kepada warga. Meski begitu, ia membuat lirik ini dnegan melihat kepada konteks yang lebih luas yaitu

129 Lirik diambil dari single OATH yang dirilis online via bandcamp.com pada 20 Februari 2016. https://sludgeoath.bandcamp.com/ 130 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

84

tersingkirkannya kaum marjinal. Saksi Bisu Kesakitan/Terbekam menjadi manifestasi dari kegelisahnnya itu.

Secara khusus, kaum marjinal yang ia maksud adalah eksistensi perempuan di skena ekstrem metal. Menurutnya, laki-laki pegang kendali adalah sebuah konsep yang usang. Kesetaraan yang kerap digemborkan juga kadang terasa inskonsisten denga napa yang kemudian terjadi. Dengan nada kesal, Hera mempertanyakan dan mencontohkan ini dengan berkata demikian:

“Kenapa ada laki-laki terancam gitu dengan perempuan-perempuan yang bersuara lantang gitu. Dan itu banyak banget sampai sekarang terjadi. Mereka ngomong kesetaraan tapi Ketika perempuan bersuara malah dianggap lebay, lah gimana coba?”131 Bukan ingin menguasai balik, tetapi suara lantang yang dimaksudkan Hera adalah demi sebuah ekosistem skena yang setara dan adil. Baginya, apapun gendernya, ekosistem sebuah skena akan lebih terasa menyenangkan kalau saling bekerjasama dan tak menjatuhkan berdasarkan ketidakadilan gender. “Kan kalau bareng-bareng bakal lebih enak dan asyik. Toh, kan kita di sini membangun skena juga bareng-bareng.”132 Begitu kata Hera. Singkatnya, bukan tatanan yang ingin diganti, tetapi, bagi Hera, ia lebih ingin menggulirkan narasi baru tentang perempuan di dalam skena ekstrem metal demi kesetaraan di dalamnya.

C. Dressing and Moshing: Transgresi Kebertubuhan

Transgresi ketiga adalah transgresi kebertubuhan (bodily transgression). Dalam skena ekstrem metal, transgresi ini terjadi pada dua hal, pertama adalah fashion di panggung dan yang kedua adalah moshing. Berbicara mengenai fashion, dalam skena

131 Wawancara dengan Hera Mary via Whatsapp video call pada 23 April 2020. 132 Wawancara dengan Hera Mary via Whatsapp video call pada 23 April 2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

85

ekstrem metal ada juga semacam unwritten rules. Aturan semacam ini terlihat dari cara berpakaian para anggota skena yang lekat dengan kaos band berwarna hitam celana jeans/kargo, jaket kulit hitam, hingga vest yang dihiasi emblem-emblem logo band. Gaya fashion seperti ini merupakan transgresi dari cara berpakaian orang di luar skena. Selain itu, label maskulin dan androsentris juga melekat pada gaya fashion ini.133

Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan narasumber yaitu Ayu, Lilin, Hera, dan Popo, terlihat berbagai cara mereka dalam menampilkan fashion di panggung. Popo dalam acara Terror Attack di Sandi’s Café pada 2015134 lalu terlihat sangat nyaman dengan fashion khas death metal: celana kargo panjang dan t-shirt band berwarna hitam.

Gaya fashion ini, menurut Popo, juga ia lakukan di setiap panggung yang ia sambangi. Ia beralasan bahwa gaya fashion itu memang nyaman buat dia ketika manggung. Selain itu, ia juga ingin terlihat sebagi sosok vokalis death metal dengan menyesuaikan gaya fashionnya sehingga senada dengan ciri khas fashion death metal135. Alasan untuk memakai pakaian yang dirasa nyaman juga muncul dari Hera. Ia mengaku tak terlalu memusingkan tentang fashion di panggung meski ia memang merasa cocok dengan gaya berpakaian t-shirt yang dipadu dengan celana jeans. Dalam beberapa penampilannya, ia terlihat mengenakan pakaian itu. Ia tak mau terjebak dalam pandangan bahwa gaya berpakaian seperti itu identik dengan laki-laki. Baginya, setiap orang di skena berhak memakai apapun yang membuat mereka nyaman dan menjadi dirinya sendiri.136

Hal cukup berbeda dikemukakan oleh Ayu dan Lilin. Ayu, misalnya, dalam penampilannya bersama Leftyfish, ia mengenakan rok panjang yang dapat dikatakan

133 Lihat dalam Harris, Op. Cit., 2007, hal. 55; Purcell, Op. Cit., hal 21; dan Overell, Op. Cit., hal. 93. 134 Lihat dalam https://www.youtube.com/watch?v=5ScH8jHogn8, diunggah oleh akun whyouseeiswhyouhear pada 5 Januari 2016. 135 Wawancara dengan Popo Puji via Whatsapp video call pada 21 April 2020. 136 Wawancara dengan Hera Mary via Whatsapp video call pada 23 April 2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

86

sebagai sesuatu yang “tidak metal” atau ketika ia tampil bersama KoJ, ia justru mengenakan kaos pink yang dalam tatanan masyarkat dikonstruk sebagai sesuatu yang bersifat feminin.

“Kalau di Leftyfish memang sengaja gitu, kan emang mau mencari image yang cewek banget dan agak centil. DI KoJ juga pernah kok pakai rok dan waktu itu dikatain sama personel lain kalau dandanan ku ga metal banget”137

Meski mengaku begitu, ia justru acuh pada omongan orang lain. Ia mengaku bahwa ia tak mau membuat image kalau dia adalah anak metal atau punk. Justru dengan berpakaian seperti itu, orang tak ada yang menduga. Ia sengaja berpakaian seperti itu agar orang lain ketika melihatnya justru malah meremehkan dia terlebih dahulu sehingga nantinya ia bisa membuat mereka kaget dengan kualitas penampilannya di panggung.

Ayu lebih memilih cuek dengan tujuan ia ingin mencari identitasnya sendiri dalam skena.

Ia berkata bahwa ia tak harus jadi metal banget dan mencoba untuk tampil beda dengan gaya berpakaian ala skena ekstrem metal.138

Hal senada juga diungkapkan oleh Lilin. Ia justru sangat ingin keluar dari aturan- aturan tak tertulis di skena ekstrem metal yang terkait soal fashion. Meski dalam pengamatan saya, ia kerap memakai pakaian yang identic dengan ekstrem metal, ia mengaku bahwa ia ingin membangun konsep dan menunjukkan dirinya sebagai seorang perempuan. Hal itu dimulainya degan menggunakan kaos polos yang tidak ada tulisan band-nya. Selain itu, ia berkata begini:

“Gue nyiapain kaos misalnya tulisannya “I’m a woman” dipakai kalau lagi manggung. Gue pengin ggasih tau kalau perempuan di scene ini juga eksis, bukan karena dominasi laki-laki trus perempuan ga ada. Bukan karena musik keras, trus perempuan ga bisa. Selama ini kan musik keras identiknya dengan laki-laki. Jadi, perlawananku ya di situ”139

137 Wawancara dengan Ayu di rumahnya di Yogyakarta pada 6 Juni 2018. 138 Wawancara dengan Ayu di rumahnya di Yogyakarta pada 6 Juni 2018. 139 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan, 28 September 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

87

Transgresi kebertubuhan kedua setalah fashion adalah praktik moshing. Praktik ini merupakan praktik yang lazim terjadi dalam konser-konser musik ekstrem metal.

Moshing diadopsi dari skena punk oleh skena thrash dan crossover metal. Praktik ini melibatkan para penonton di area yang disebut pit atau area di depan panggung. Layaknya sebuah ritual, para penonton ini menabrakkan tubuh meraka satu sama lain. Tentu saja praktik ini berbahaya dan berseiko tinggi. Agresivitas tinggi dalam moshing dapat menyebabkan cedera fisik. Praktik ini juga dianggap bersifat sangat maskulin karena agresivitas yang terjadi antar mosher. Bagi fans, praktik ini juga menjadi ajang katarsis, sebagai jalan untuk meluapkan emosi dan agresi. 140Meski begitu, praktik moshing ini juga menunjukkan adanya solidaritas antar fans di mana setiap kali ada yang jatuh ketika ber-moshing ria, peserta moshing harus membantunya untuk berdiri lagi. Meski terlihat seperti ajang perkelahian, tetapi di dalam moshing justru tidak terjadi perkelahian yang serius. Sekali lagi, ini merupakan ajang katarsis untuk melepaskan emosi dalam bentuk agresi.

Philip dan Cogan juga menyebut aktivitas ini tak ramah bagi perempuan karena seringkali para perempuan yang terlibat dalam moshpit mengalami pelecehan seksual. 141

Meski begitu, Ayu sebagai vokalis perempuan KoJ tetap melakukan moshing. Dalam hal ini, ia mengaku kerap moshing dan stage-diving ketika tampil bersama KoJ. Namun, dalam praktiknya ada kehati-hatian dalam diri Ayu ketika ingin terlibat moshing atau stage-diving. Rasa hati-hati ini disebabkan oleh skena yang masih tak ramah bagi perempuan.

140 William Phillips & Brian Cogan. Ensyclopedia of Heavy Metal Music. (Wesport: Greenwood Press, 2009), hal 167. 141 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88

“Pernah sih (ikut moshing dan stage diving), cuma ngelihat dulu sih siapa penontonnya, biasanya kalau teman-teman sendiri ya hajar aja, tapi kalau ngelihat kok banyak yang enggak familiar biasanya mikir lagi. Karena kalau orang lain kan nyatanya banyak yg pelecehan seksusal jadinya, kan banyak terjadi tuh di scene kita. Image di laki-laki masih gitu. Laki-laki di scene kita itu masih melihat perempuan main band tuh masih sebelah mata sebetulnya.”142

Gambar 3. 5 Fransisca Ayu melakukan stage diving. Foto oleh: Are You Ready Kids.

Ia merasa bahwa arena moshing (moshpit) merupakan arena yang berbahaya bagi perempuan, tetapi sebagai seorang vokalis ia merasa bahwa moshing, stage dive, dan juga headbanging menjadi caranya untuk membangun semangat para penonton. Sebab, musik

KoJ yang intens memang cocok untuk moshing, stage-diving, maupun headbang. Ayu menuturkan bahwa hal itu menjadi jembatannya untuk menyalurkan aura dan semangatnya kepada penonton ketika ia tampil di panggung sehingga interaksi antara dirinya, band-nya, dan juga para penonton menjadi sesuatu yang menyenangkan. Di samping itu, bagi Ayu, moshing adalah sarana baginya untuk bisa bebas berekspresi selain tenttunya dalam hal penggunaan gaya vokal scream/growl dan juga dalam penulisan lirik.

142 Wawancara dengan Ayu di rumahnya di Yogyakarta pada 6 Juni 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

89

Ketiga hal ini menjadi kesempatannya untuk menjadi bebas dan merdeka melakukan hal yang dicintainya.143

Sementara itu, sebagai seorang vokalis, Lilin menggunakan arena moshing sebagai ajang untuk mengajak perempuan agar berani jika ingin ikut moshing. Ia menuturkan jika sedang tampil, ketika jeda antar lagu, ia sring menyisipkan ajakan untuk ber-moshing dengan aman. Ia memberi pengertian agar tetap saling menjaga dan menghormati orang lain ketika moshing. Selain itu, Lilin juga mengajak perempuan yang hadir untuk ikut moshing jika mereka memang ingin ikut.

“Yang gue sayangkan adalah ketika moshing kenapa ada yang memanfaatkan buat melakukan pelecehan seksual gitu. Ada yang beranggapan bahwa ya kalau lo ikut moshing ya lo harus siap digituin (digrepe), nah itu buat geu cuma pembenaran aja. Itu yang gue sayangkan. Ini kan musiknya enak-enak, kok ceweknya sedikit? Jadi, pas manggung gue sering encourage mereka buat ikut moshing kalau emang pengin ikut dan gue juga kasih pengertian di panggung kalau harus saling menghargai ketika moshing, jangan ada yang memanfaatkan. Kan di acara ini kita tujuannya bersenang-senang dalam musik bareng- bareng”.144 Sebagai vokalis, Lilin merasa perlu untuk memberi semacam edukasi ketika ia tampil di panggung. Ini, menurutnya, demi ekosistem skena agar lebih setara dan ramah bagi siapapun yang ingin terlibat. Tindakan yang dilakukan Lilin ini, kata dia, berakar dari pengalamannya sendiri yang pernah dilecehkan ketika ia ikut ber-moshing ria. Ia mengisahkan bahwa kejadian itu berlangsung ketika ia menonton konser band hardcore

BANE. Karena ia mengidolakan band tersebut, ia lantas ikut moshing. Tak sampai lima menit, ia mengaku bahwa dia digrepe. Kejadian itu membuatnya kaget dan lantas mundur dari moshpit. Oleh karena itu, Lilin yang kini berada di posisi sebagai vokalis selalu memberi pengertian ketika ia sedang manggung. Ia paham betul bahwa kejadian yang dialaminya adalah kejadian yang sangat tak nyaman. Semua itu, kata dia, ia lakukan demi

143 Wawancara dengan Ayu di rumahnya di Yogyakarta pada 6 Juni 2018. 144 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan, 28 September 2018

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

90

menciptakan skena yang ramah dan orang yang terlibat bisa bebas berekspresi tanpa adanya ketakutan-ketakutan akan pelecehan.145

Pengalaman berbeda disampaikan Hera berkait dengan praktik moshing ini. Ia tak mengalami pelecehan seperti yang terjadi pada Lilin, tetapi ia kerap kali mendengar baik dari penyintas maupun dari orang lain tentang adanya pelecehan baik secara verbal maupun fisik kepada sesama perempuan di moshpit. Salah satu yang diceritakannya adalah kasus di mana vokalis band SLOST, Janet, dilecehkan secara seksual ketika manggung dalam sebuah acara gigs kecil di Semarang pada November 2016 lalu146.

Kejadian itu terekam dalam sebuah video berdurasi kira-kira satu menit. Mendengar cerita tersebut, ia mengaku merasa sangat sedih dan marah. Lantas, ia mengungunggah video itu dalam akun Facebook Ini Scene Kami Juga yang dikelola oleh Hera. Sebagai informasi, Ini Scene Kami Juga merupakan film documenter yang disutradarai oleh Hera.

Film ini mendokumentasikan sepak terjang perempuan dalam skena hardcore punk di

Indonesia. Unggahan di akun itu lalu menuai banyak komentar dan kebanyakan berbau seksis. Bagi Hera, ini merupakan sebuah hal yang harus terus dilawan sebab moshpit seharusnya menjadi tempat yang ramah dan menyenangkan bagi siapapun yang ingin terlibat tanpa memedulikan gender, ras, maupun agama.147

145 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan, 28 September 2018. 146 Lihat dalam Yudistira Agato. Pelecehan Seksual Jadi Bara dalam Sekam Kancah Musik Independen Indonesia. https://www.vice.com/id/article/gvqmg3/pelecehan-seksual-bara-dalam-sekam-kancah-musik- independen-indonesia diakses pada 21 September 2020. 147 Wawancara dengan Hera Mary via Whatsapp video call pada 23 April 2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

91

D. Dark play dalam Transgresi: Disrupsi pada Dominasi

Schecner mengatakan bahwa playing dapat menjadi sesuatu yang beresiko dan berbahaya secara fisik maupun emosional. Penggunaan gaya vokal itu justru menjadi sebuah strategi yang mensubversi dan mencoba merubah tatanan dominan yang berlaku dalam skena ekstrem metal. Sebagaimana ditunjukkan oleh Schechner, dark play yang dapat provokatif, menakutkan, dan juga nikmat, dapat dipahami sebagai sebuah keadaan bermain-main (playing) dalam rangka membentuk, mengekplorasi batas-batas kuasa hirarki dan resistensi terhadap dunia yang mendominasi mereka.148 Dengan adanya resistensi itu dalam dark play itu, asumsinya adalah bahwa mereka mendapatkan kepuasan yang melibatkan tindakan-tindakan dari yang beresiko tinggi bagi fisik maupun emosi mereka ke penemuan sesuatu yang baru dan pelibatan diri mereka kepada Liyan.

Schechner menyebut dalam dark play terkandung sesuatu yang membebaskan dan memuaskan. Ini terlihat dari pengakuan Ayu, Lilin, Popo, dan Hera mengenai rasa puas setelah tampil karena bisa mengekspresikan diri dan keberhasilan karena mampu menguasai teknik vokal growl/scream secara otodidak.

Gaya vokal scream/growl yang diimplementasikan dalam ekstrem metal ini diasosiasikan sebagai gaya vokal yang bersifat maskulin. Sebab, mengutip Heesch, skena ekstrem metal yang didominasi laki-laki dan juga wacana maskulinisasi direproduksi terus menerus dalam skena ekstrem metal.149 Heesch juga menemukan bahwa agresivitas, timbre yang tebal dan keras, serta nuansa gelap yang ada dalam gaya tersebut menjadi faktor yang menyebabkan growl dan scream diasosiasikan dengan maskulinitas.150 Bagi

148 Schechner, Op. Cit., 2013, hal. 121. 149 Florian Heesch, Sound of Anarchy: Gender Aspects of Aggressive Metal Vocals. The Example of Angela Gossow (Arch Enemy). (Criminocorpus. journals.openedition.org, 2019). 150 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

92

telinga pendengar musik populer, orang sering mengasosiasikasn suara dengan identitas gender. Firth menulis bahwa kita belajar mendengar suara dan mengidentifikasi apakah suara tersebut suara perempuan atau laki-laki.151 Dari sini dapat dilihat bahwa ketika ada perempuan yang menguasai teknik scream/growl, akan ada kebingungan pada para pendengar atau penonton sehingga ketika mereka melihat sosok perempuan yang melakukannya, penilaian yang bias gender dan inferiorisasi terjadi.

Hal tersebut dapat dilihat dari pengalaman Ayu, Lilin, Popo, dan Hera tentang inferiorisasi yang terjadi kepada mereka meski mereka telah berhasil menguasai gaya vokal tersebut. Komentar-komentar dari para penonton kerap kali melihat karakter vokal mereka sebagai sesuatu yang maskulin. Ini menjadi problematik sebab keempat vokalis tadi memiliki agenda dan misi tersendiri. Dari penuturan mereka, ada sebuah kesamaan bahwa dengan menggunakan gaya vokal scream/growl, mereka ingin mengubah cara pandang orang-orang bahwa gaya vokal tersebut bukan milik laki-laki saja. Dari sini dapat diketahui adanya usaha mereka untuk mendisrupsi mitos maskulin gaya vokal scream/growl. Disrupsi ini, lebih tepatnya menyasar pada stereotipe gender yang terbentuk di dalam skena ekstrem metal. Dari penggunaan gaya vokal tersebut, mereka menantang hegemoni norma gender maskulin152 yang selama ini menjadi wacana dominan di dalam skena. Mereka menyiratkan bahwa gender bukanlah sesuatu yang terberi, tetapi merupakan konstruk sosial melalui bahasa, gestur, dan simbol.153 Inilah

151 Simon Frith. Performing Rites: On the Value of Popular Music. (Cambridge: Harvard University Press, 1996), hal. 193. 152 Raewyn Connel. Masculinities. (Sydney: Allen and Unwin, 1995). 153 Judith Butler. Performative acts and gender constitusion: An esssay in phenomology and feminist theory dalam Theatre Journal, 49 (1988), hal 519-531. Lihat juga konsep gender dalam Judith Butler. Gender Trouble: Feminism and the subversion of identity. (New York: Routlege, 1990).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

93

dark play dari keempat vokalis perempuan tersebut yang terkandung dalam gaya vokal scream/growl yang mereka gunakan.

Ayu, Lilin, Popo, dan Hera sadar betul bahwa dengan menggunakan teknik demikian, akan muncul inferiorisasi dari para anggota skena. Selain itu, mereka juga tahu betul bahwa teknik seperti itu membutuhkan kemampuan, daya tahan, dan stamina tubuh yang prima. Praktik mereka ini, senada dengan konsep deep/dark play, dapat dibaca sebagai sebuah proses negosiasi mereka untuk meruntuhkan (disrupsi) mitos bahwa teknik vokal growl/scream adalah milik laki-laki saja. Mereka tampil (playing) mempertaruhkan diri demi sebuah keinginan akan adanya perubahan. Cara mereka bermain-main dengan teknik vokal growl/scream jelas menjadi sesuatu yang beresiko baik secara fisik maupun emosional mereka. Mereka melakukan transgresi khas ekstrem metal, tetapi di sisi lain mereka sering menjumpai inferiorisasi sekaligus peliyanan dari skena ekstrem metal itu sendiri. Artinya, skena ekstrem metal dapat dipandang sebagai teritori yang sebenarnya tidak ramah (hostile) bagi mereka akibat dominasi laki-laki beserta wacana maskulinitas yang menyertainya.

Selain itu, menyisipkan tema perempuan juga menjadi strategi mereka dalam dark play yang mereka lakukan. Perempuan yang dalam lirik-lirik lagu ekstrem metal sering digambarkan sebagai objek dan praktik misoginis kini dijadikan sebagi subjek atau aktor utama oleh Ayu, Lilin, Popo, dan Hera dengan berbagai macam narasi dalam lirik-lirik yang mereka tulis. Dalam konteks ini, mereka justru melakukan transgresi pada pakem- pakem penulisan lirik ala band-band ekstrem metal. Sekali lagi, kali ini melalui lirik-lirik lagu, mereka mencoba untuk menerobos dan mendisrupsi batas-batas yang ada di skena itu sendiri. Peluang atau kemungkinan yang ditawarkan oleh ekstrem metal digunakan oleh keempat vokalis perempuan itu untuk benar-benar berdaya menyuarakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

94

kegelisahan mereka. Dengan kata lain, dark play yang ada dalam performance mereka bersifat subversif dalam rangka resistensi mreka terhadap wacana dominan yang ada di skena ekstrem metal.

Praktik moshing dapat dikatakan juga mengafirmasi sebuah dark play. Dari penuturan para vokalis perempuan ini, mereka cenderung melihat-lihat situasi dan kondisi terlebih dahulu sebelum ikut terjun dalam moshpit atau melakukan stage diving.

Pernyataan Ayu menjadi sedikit kontradiktif karena ia juga mengaku bahwa moshing dan stage diving menjadi salah satu arena baginya untuk mengekspresikan diri dan mendapat kepuasan dari bermain musik metal. Mereka sadar dengan resiko yang akan mereka hadapi, tetapi dalam beberapa kesempatan mereka tetap melakukannya. Ini menjadi sebuah arena bermain bagi mereka, arena dark play bagi mereka karena mereka ingin bebas melakukan moshing. Disrupsi pada mitos bahwa moshing adalah praktik yang sangat maskulin dilakukan oleh mereka. Harganya pun mahal. Lilin, misalnya, ia bercerita bahwa ia pernah mengalami pelecehan seksual ketika terlihat moshing. Meski tak mengalami langsung, Hera menyaksikan dan mendengar cerita kawan perempuannya mengalami pelecehan serupa. Perasaan sedih dan marah menjadi hal yang pertama muncul. Namun, ia menggunakan kejadian itu untuk bersuara dan memberi dukungan bagi kawannya itu. Dari cerita-cerita para vokalis itu, performance mereka dapat dilihat sebagai disrupsi pada praktik moshing yang dianggap maskulin. Mereka tahu bahwa resiko itu akan terjadi pada mereka, tetapi tujuan untuk bisa bebas bereskpresi dan bersuara untuk kesetaraan manjadi satu hal yang menjadi bahan bakar mereka untuk tetap melakukan dan membicarakannya.

Dark play juga terkandung dari cara mereka ber-fashion di panggung. Ayu dan

Lilin contohnya. Mereka justru sengaja membaut sebuah kebingungan dengan memakai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

95

pakaian yang tak sesuai dengan pakem-pakem fashion ekstrem metal. Sementara Hera dan Popo yang banyak menyesuaikan dengan pakem fashion ekstrem metal di panggung justru mengaku bahwa hal itu bukanlah sebuah masalah yang mereka pusingkan. Alasan nyaman dan menjadi diri sendiri muncul dari mereka. Selain itu, mereka juga mengutarakan bahwa dengan berpakaian seperti itu menunjukkan bahwa mereka bebas untuk berpakaian seperti yang mereka inginkan. Ini juga terjadi pada Ayu dan Lilin.

Dark play yang mereka lakukan dalam performance mereka menjadi sebuah strategi untuk mempertanyakan, memkikirkan ulang, melawan, dan juga mendisrupsi hegemoni maskulinitas yang melekat erat pada skena ekstrem metal. Kebebasan sebagai seorang individu merdeka yang bebas berekspresi serta kesetaraan di dalam skena ekstrem metal menjadi hal yang mereka idamkan melalui dark play itu. Dapat dikatakan bahwa Ayu, Lilin, Hera, dan Popo bermain-main dalam wilayah berbahaya (hostile) yaitu skena ekstrem metal itu sendiri. Mereka bermain-main dengan aturan-aturan tak tertulis, mitos, dan juga wacana-wacana ekstrem metal yang androsentris dan maskulin.

Permainan dark play mereka gunakan dalam rangka membentuk, mengekplorasi batas- batas kuasa hirarki dan resistensi terhadap dunia yang mendominasi mereka.

E. Kastrasi Ekstrem Metal

Mengikuti alur pemikiran Lacan soal pembentukan subjek, skena ekstrem metal dalam penelitian dini disejajarkan dengan fase simbolik. Ayu, Lilin, Popo, dan Hera sebagai subjek masuk ke dalam dunia simbolik berupa skena ekstrem metal. Skena ini, berdasarkan data yang diperoleh, memiliki aturan-aturan tak tertulis yang terpatri dalam sifat maskulin dan androsentris yang melekat pada ekstrem metal. Inilah yang kemudian dapat dilihat sebagai the Law (hukum) yang berlaku di dunia simbolik bernama ekstrem

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

96

metal ini. Hukum ini jugalah yang kemudian mengkastrasi keempat vokalis ini sehingga posisi mereka menjadi subjek terbelah ($). Masuknya keempat vokalis ke dalam bahasa

(hukum) simbolik ekstrem metal dapat diketahui dari pengalaman mereka ketika tertarik untuk terlibat dalam skena ini melalui kegemaran mereka pada musik ekstrem metal. Ayu,

Lilin, Popo, dan Hera memutuskan untuk terlibat berawal dari sekadar nongkrong, mendnegarkan musik ekstrem metal, lalu mulai secara aktif terlibat sebagai vokalis.

Bebunyian dan suara ekstrem metal lewat suara scream/growl membuat mereka menjadi tahu bahwa gaya vokal ekstrem metal adalah growl/scream. Suara ini bangkit dari luar subjek. Suara yang memanggil mereka untuk menjadi ‘metal’. Dalam perspektif

Lacanian, ini adalah suara yang memanggil keempat vokalis tersebut masuk ke dalam tatanan simbolik bernama ekstrem metal. Interpelasi berupa scream dan growl ini memanggil mereka masuk ke dalam tatanan itu sendiri.154

Hukum/aturan dalam tatanan ekstrem metal selanjutnya dapat dilihat dari dominasi jumlah laki-laki di dalam skena ekstrem metal dan secara simbolik, ekstrem metal dianggap bersifat maskulin, serta dibentuk berdasarkan hegemoni maskulinitas dan wacana patriarki. (Weinstein, 1991; Walser, 1993; Grant, 1996; Klypchak, 2007, Hill,

Lucas & Riches, 2015). Selain itu, perempuan yang terlibat di dalam skena ekstrem metal banyak dimarjinalisasi dan dianggap sebagai pelengkap serta diobjektifikasi secara seksual semata.155 Selain itu, inferiorisasi juga terjadi pada Ayu, Lilin, Popo, dan Hera ketika mereka tampil di panggung. Inferiorisasi ini terlihat dari pengakuan mereka.

Misalnya, pengalaman Lilin pernah dituding “menggambar” vokalnya ketika merekam album. Contoh lain adalah pengalaman Ayu, Popo, dan Hera yang kemampuan nge-

154 Lihat dalam Duncan, 2004. Duncan menyebut pula bahwa suara diasosiasikan dengan performative act yang terikat kepada suara ideologi atau hukum. 155 Wawancara dengan Kartika Jahja.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

97

scream dan nge-growl diragukan hanya karena mereka adalah seorang perempuan. Lalu adanya hal-hal berbau seksis dan misoginis yang ada dalam lirik lagu-lagu ekstrem metal serta pelecehan baik secara verbal maupun fisik membuat ekstrem metal dianggap memiliki kode-kode maskulin dan setiap orang yang ingin masuk ke dalamnya harus mematuhi aturan-aturan tak tertulis itu. Bahkan, mengutip Vasan, perempuan yang memiliki posisi tinggi, misalnya sebagai vokalis atau personel band ekstrem metal, di dalam skena harus berkompromi dengan kode-kode itu. Tak ada laki-laki maupun perempuan yang melanggar kode-kode itu.156 Dari hal-hal tersebut, dapat dilihat bahwa hukum dan aturan-aturan tak tertulis dalam skena ekstrem metal menjadi sebuah hegemoni Liyan. Ayu, Lilin, Popo, dan Hera masuk ke dalam sebuah tatanan di mana mereka terbentuk menjadi subjek bahasa dan mengenal hukum atau aturan yang berlaku di dalam skena ekstrem metal. Sebagai subjek yang terkastrasi oleh hukum dalam tatanan simbolik ekstrem metal, mereka mengalami keterasingan (otherness). Hasrat mereka tak terakomodasi sepenuhnya di skena ekstrem metal dan menimbulkan adanya lack. Mereka menyadari keterasingannya karena hukum dan aturan (bahasa) di skena ekstrem metal dan akhirnya mereka menjadi subjek hasrat karena bertemu dengan hasrat Liyan.

Situasi paradoksal terjadi dalam fase ini. Dalam konteks budaya populer, di satu sisi ekstrem metal menawarkan sebuah alternatif untuk bersikap bebas. Ekstrem metal juga menawarkan sebuah ruang untuk resisten dan subversif terhadap segala yang berbau mainstream dalam budaya musik populer lewat transgresi yang terkandung di dalamnya.

Selain itu, ekstrem metal juga menawarkan empowerment bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Namun, di sisi lain, ketika perempuan terlibat di dalamnya, skena ekstrem metal justru memiliki kode-kode atau aturan tak tertulis yang memarjinalkan perempuan.

156 Vasan, 2010, Op. Cit, hal. 73.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

98

Femininitas dan pasivitas direpresi di dalam tatanan simbolik ini.157 Ada jurang keterpisahan yang membuat Ayu, Lilin, Popo, dan Hera terasing dengan skena ekstrem metal itu sendiri. Situasi seperti ini kemudian terkait dengan fase ketiga yang adalah

Real. Fase ini adalah fase yang melampaui fase imajiner dan fase simbolik. Fase ini berkaitan ketidakmungkinan dan Real menolak untuk disimbolisasi. Maka, Real juga bersifat traumatik. Trauma ini yang terus menerus kembali kepada si Subjek, tetapi selalu dihindari.158

Lalu, bagaimana kemudian Ayu, Lilin, Popo, dan Hera bernegosiasi dengan situasi yang demikian? Fantasi menjadi penting dalam fase-fase yang saling terkait satu sama lain tersebut. Sebagai subjek terbelah ($), keempat vokalis ini kemudian berhadapan dengan objek a atau objek penyebab hasrat. Hubungan ini kemudian dirumuskan demikian $◊a. Dalam hal ini, fantasi menjadi cara bagi keempat vokalis perempuan tadi untuk belajar menghasrati sesuatu agar perjumpaan dengan objek a tidak terjadi sebab perjumpaan ini bersifat traumatis. Fantasi keempat vokalis perempuan tadi dapat dilihat dari performance mereka yang dalam penelitian ini dibaca sebagai sebuah dark play. Hal ini menjadi ssiasat atau strategi mereka dalam bernegosiasi dengan Liyan dalam dunia simbolik ekstrem metal. Lantas fantasi macam apa yang muncul dan mendasari dark play mereka akan diuraikan di bagian berikutnya.

F. Fantasi dalam Dark play: Bebas dan Setara

Dalam dark play yang ada dalam performance Ayu, Lillin, Popo, Hera, ada dua fantasi yang mendasarinya. Yang pertama adalah fantasi tentang individu merdeka dan

157 Paul Verhaeghe. Does The Woman Exists? From Freud Hysteric To Lacan Feminine. (NewYork: Other Press, 1997), hal. 38. 158 Evans, 1996, Op. Cit., hal. 162-163.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

99

kebebasan dan kedua adalah fantasi akan kesetaraan. Dalam kedua fantasi tersebut, kondisi ideal/hasrat akan skena ekstrem metal yang bebas, merdeka, dan setara muncul dari keterpisahan Ayu, Lilin, Popo, dan Hera dengan kondisi yang mereka hasrati itu.

Dark play yang mereka lakukan dalam performance mereka menjadi tindakan yang bisa menjadi tumpuan untuk melampaui (traversing) kedua fantasi yang muncul.

F.1 Fantasi tentang Kebebasan

Bagaimana mungkin perempuan mau terlibat secara aktif dan konsisten di dalam skena ekstrem metal yang bersifat maskulin dan didominasi oleh laki-laki? Terlebih, skena ekstrem metal juga dikenal dan dipandang sebagai sebuah skena yang dalam praktiknya mengeksklusi peran perempuan. Hal ini yang menjadi pertanyaan saya ketika saya menyaksikan penampilan Ayu bersama Leftyfish dan KoJ. Kemudian, pertanyaan itu semakin menguat ketika saya menjumpai adanya vokalis-vokalis perempuan lain antara lain Lilin, Popo, dan Hera yang aktif dalam skena ekstrem metal Indonesia.

Membawakan berbagai variasi subgenre dalam ekstrem metal, keempat vokalis ini aktif dan berkarya dalam band mereka masing-masing. Performance mereka dapat dibilang menabrak aturan-aturan tak tertulis dalam ekstrem metal yang terwujud pada cara mereka melakukan transgresi bunyi, transgresi diskursif, dan transgresi kebertubuhan ala ekstrem metal. Tak hanya membawa maskulin dan didominasi laki-laki, ekstrem metal juga dikonstruk sebagai sebuah mitos yang mengeksklusi perempuan. Namun, justru keempat vokalis perempuan tadi masuk dan berada dalam “sistem ekstrem metal” beserta transgresi-trangresinya. Dalam perspektif Lacanian, ekstrem metal dapat dibaca sebagai dunia simbolik dan segala mitos sifat maskulin dan androsentrisnya menjadi hukum

(Law/master signifier). Mengikuti alur pemikiran Lacan tentang pembentukan subjek,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

100

dari dark play yang ada dalam transgresi yang dilakukan oleh Ayu, Lilin Hera, dan Popo sebagai act, dapat dilihat adanya fantasi tentang kebebasan yang mendasari dark play itu.

Pertama dilihat dari gaya vokal yang mereka gunakan. Dengan adanya stereotipe bahwa gaya vokal scream/growl adalah gaya vokal yang maskulin, ini menandakan adanya sebuah aturan tak tertulis yang ada dalam skena metal. Pengalaman Ayu, Lilin,

Hera, dan Popo mengindisasikan bahwa voice, dalam hal ini scream/growl, menjadi sebuah performative act yang berkelindan dengan aturan tak tertulis tadi. Keempat vokalis perempuan tersebut mengaku menggunakan gaya vokal scream/growl karena mereka memang mengenal ekstrem metal dengan ciri penggunaan vokal semacam itu.

Mereka memilih menggunakan teknik seperti itu untuk menunjukkan bahwa sebagai perempuan mereka dapat menguasai teknik yang dianggap bersifat maskulin itu. Ini menunjukkan adanya kebebasan dalam memilih, tetapi mereka tetap terikat dengan hukum yang ada dalam dunia simbolik ekstrem metal tadi.

Penggunaan scream/growl dapat dilihat sebagai sebuah cara atau strategi untuk bernegosiasi dan menyampaikan pesan bahwa scream/growl bukanlah milik laki-laki saja. Hal ini terlihat dari pengakuan mereka. Mereka mendisrupsi mitos atau aturan tak tertulis bahwa scream/growl bersifat maskulin dengan menggunakan kendaraan yang sama, yaitu scream/growl. Dari hal ini, dapat dilihat bahwa scream/growl yang digunakan oleh keempat vokalis tersebut mengandung sebuah daya (force) yang lahir dari suara atau narasi lain yang digunakan sebagai usaha demistifikasi mitos scream/growl yang bersifat maskulin. Scream/growl menjadi sebuah performative utterance yang memiliki daya.

Oleh karena scream/growl bukanlah hal yang mudah dicerna, dayanya bukan saja hanya persoalan linguistik, tetapi juga tentang konteks, isu, dan juga energi yang terkandung

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

101

dari diskursus yang dibawanya.159 Keempat vokalis ini memiliki agensi ketika menggunakan scream/growl sebagai gaya vokal mereka yang didasari pada isu maskulinitas scream/growl dan akhirnya melahirkan efek berupa materi atau narasi baru yang ingin digulirkan yaitu scream/growl bukanlah milik laki-laki saja.

Hal tersebut juga semakin terlihat ketika mereka mengaku bahwa proses itu juga sebenarnya muncul seiring berjalannya waktu dan mereka terus menerus belajar tentang skena dan dunia ekstrem metal yang mereka geluti. Lilin, misalnya, ia mengatakan bahwa ia terus memperdalam motivasi dirinya untuk bermain dalam band setelah melihat dan mengalami sendiri inferiorisasi yang ia terima. Ia berujar bahwa yang ia tekuni sekarang adalah caranya untuk memerdekakan diri dan menjadi bebas sebagai seorang individu. Ia berkata demikian:

“Aku milih kerja, aku milih ini itu kan bagian dari memerdekakan diri. Beneran cara hidup dan pilihan. Dari segi gue, ini pilihan hidup. Pilihan untuk menjadi merdeka. Waktu dulu pertama ngeband kan main hardcore. Sebatas main, ayo, seru. Dan dengerin hardcore. Aku juga ga sadar. Aku jadi lama-lama tau dan ngulik. Aku perdalam soal motivasiku ngeband di arena ini tuh apa. Mau membelokkan perspektif yang udah kuat banget. Kan ada pandangan ngegrowl tuh laki banget.”160 Hal yang sama juga diutarakan oleh Hera terkait sudut pandangnya mengenai gaya vokal scream/growl ini. Ia mengatakan demikian:

“Nah kalau kayak gitu kan ada hubungannya dengan kalau ngeband itu hubungannya sama maskulinitas. Oh, ini suaranya cowok atau dipikirnya suara cowok, ya sah-sah aja sih. Ga bisa ngebuktiin ini suara cowok atau cewek kalau belum ngelihat atau tahu bandnya. Nah, maskulinitas di musik udah melatar banget. Apapun yang perempuan lakukan di musik itu sendiri ya emang jadi ga kelihatan karena identiknya dengan laki-laki. Masalah budaya aja sih itu. Kita terbiasa yang laki-laki terus, sekalinya ada perempuan yang menawarkan suara scream kayak saya atau band-band lain juga jadinya dikiranya laki-laki. Udah

159 Lihat dalam Duncan, M. The Operatic Scandal of the Body: Voice, Presence, Performativity. Cambridge Opera Journal, Vol. 16, No. 3, Performance Studies and Opera, (Nobember, 2004), hal. 283-306. Lihat juga dalam Shoshana Felman. The Scandal of The Speaking Body: Don Juan with J.L Austin, or Seduction in Two Languages. (California: Stanford University Press, 2003). 160 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan, 28 September 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

102

jadi kebiasaan pandangan kayak gitu. Pengaruh budaya aja sih itu. Struktur patriarki juga masuk sih di sini. Nomer satu laki-laki terus. Tapi, kan itu juga perempuan udah hebat dong bisa ngegrowl, lha lo bisa apa? Harusnya sih bisa ngelihat prosesnya juga. Aku bisa membuktikan diri lebih dari itu.161 Fantasi tentang kebebasan ini juga terungkap dari strategi mereka dalam berpakaian ketika manggung. Meski Popo dan Hera lebih mengapropriasi gaya berpakaian mereka dengan kode-kode maskulin yang ada dalam skena ekstrem metal, narasi yang mereka gunakan untuk menjelaskan alasannya justru berbeda. Kenyamanan menjadi salah satu alasan mereka.162 Sedangkan alasan yang lain adalah bahwa gaya fashion seperti itu digunakan untuk keluar dari stereotipe gender yang berkembang. Hera mengungkapkan bahwa setiap orang di skena berhak memakai apapun yang membuat mereka nyaman dan menjadi dirinya sendiri.163

Perbedaan dikemukakan oleh Ayu dan Lilin berkait dengan fashion ini. Ayu mengenakan rok panjang yang dapat dikatakan sebagai sesuatu yang “tidak metal” atau ketika ia tampil bersama KoJ, ia justru mengenakan kaos pink yang dalam tatanan masyarakat dikonstruk sebagai sesuatu yang bersifat feminin. Menurut Ayu, ia memang sengaja memakai pakaian demikian dengan tujuan untuk menampilkan identitasnya sebagai seorang perempuan. Selain itu, ia memang sengaja ingin membangun image yang

“cewek banget dan centil”.164

Selain itu, dengan pemilihan gaya berpakaian seperti itu, ia memiliki tujuan agar orang lain tak menduga sehingga akan merasa kaget ketika melihatnya tampil bersama bandnya. Ia mengaku ingin mencari identitas dirinya sendiri dan tidak mau terjebak dalam image “anak metal”. Tampil beda adalah hal yang dilontarkannya untuk menggambarkan

161 Wawancara dengan Hera Mary via Whatsapp video call pada 23 April 2020. 162 Wawancara dengan Popo Puji via Whatsapp video call pada 21 April 2020. 163 Wawancara dengan Hera Mary via Whatsapp video call pada 23 April 2020. 164 Wawancara dengan Ayu di rumahnya di Yogyakarta pada 6 Juni 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

103

tindakannya itu.165 Sementara itu, Lilin juga menggunakan strategi yang hampir mirip untuk menunjukkna identitasnya sebagai seorang perempuan. Memakai kaos khusus dengan tulisan “I’m a woman” menjadi salah satu alternatif bagi Lilin untuk menunjukkannya. Lilin menganggap bahwa hal itu merupakan sebuah strategi dirinya untuk menunjukkan bahwa perempuan juga eksis di dalam skena ekstrem metal meski dominasi laki-laki masih sangat kentara di dalamnya. Terlebih, Lilin mengaku bahwa cara seperti itu juga menunjukkan bahwa sebagai perempuan ia mampu menunjukkan kemampuannya sebagai perempuan yang aktif berkarya di skena ekstrem metal. Ia menaggap bahwa hal tersebut menjadi bentuk perlawanannya di skena yang didominasi oleh laki-laki dan dianggap maskulin itu.166

Sekali lagi, kebebasan juga menjadi hal yang dididamkan oleh keempat vokalis itu dalam tindakan mereka dalam memainkan kode-kode maskulin soal fashion di skena ekstrem metal. Kebebasan, terutama sebagai ekspresi, menjadi fantasi yang menyangga dark play yang mereka lakukan dalam transgresi suara dan juga transgresi kebertubuhan dalam ekstrem metal.

F.2. Fantasi akan Kesetaraan

Kebebasan yang diidamkan oleh Ayu, Lilin, Popo, dan Hera rupanya menjadi fantasi yang berkaitan dengan fantasi selanjutnya, yaitu fantasi akan kesetaraan.

Kebebasan yang ditawarkan ekstrem metal melalui transgresi-transgresi di dalamnya ternyata tetap menjadi sebuah hal yang problematis. Sebab, kebebasan itu juga tak terlepas dari aturan-aturan tak tertulis yang mengikutinya. Artinya, keempat vokalis tadi

165 Wawancara dengan Ayu di rumahnya di Yogyakarta pada 6 Juni 2018. 166 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan, 28 September 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

104

tetap mengalami peliyanan dan dinilai secara bias gender. Dengan kata lain: mereka metal, tapi tak cukup metal! Kontradiksi dan ironi semacam ini menjadi hal yang membuat mereka mengalami keterasingan. Frustasi keterpisahan dengan kebebasan yang mereka idamkan itu terlihat dari cara mereka menampilkan rasa frustasi itu dalam lirik- lirik lagu mereka. Dalam ekstrem metal, penulisan lirik menjadi sebuah transgresi diskursus di mana tema lagu yang diangkat menjadi wacana yang diperbincangkan di skena. Seperti sudah dijelaskan di bab dua, lirik-lirik ekstrem metal berkutat pada tema kekerasan, protes, agresi, depresi, kematian, hingga tema-tema misoginis yang mengerdilkan perempuan. Namun, seperti yang telah diuraikan di bagian discursive transgression pada bagian ini, diketahui bahwa Ayu, Lilin, Popo, dan Hera justru memasukkan tema perempuan sebagai aktor utama dalam tema lagu mereka.

Sebagai contoh adalah Ayu yang bercerita tentang sebuah komitmen dalam menjalani peran sebagai seorang vokalis grup metalcore di lagu “Commitment to

Unwarranted” yang liriknya ia tulis untuk KoJ. Di Leftyfish, Ayu menceritakan perjuangan untuk tetap berkarya di skena ekstrem metal dengan menggunakan analogi ikan dalam lagu “You Fish!”. Sebagai seorang perempuan, Ayu merasa memiliki agensi untuk menyuarakan perjuangan perempuan di dalam skena ekstrem metal yang didominasi laki-laki. Personifikasi ikan yang berjuang melawan arus menjadi sebuah cara cerdas bagi Ayu untuk menggambarkannya. Bagi Ayu, ini menjadi kesempatan bagi dirinya untuk menunjukkan semangat perlawanan dan perjuangannya di dalam skena ekstrem metal.

Sementara itu, dalam lagu “Lantang”, misalnya, Lilin menuliskan kegelisahan pada objektifikasi perempuan di skena ekstrem metal dan juga di masyarakat umum yang masih sangat patriarkis. Di lagu ini, ia ingin bersuara dan memberikan pesan untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

105

melawan segala bentuk objektifikasi terhadap perempuan, bahwa perempuan memiliki pilihan dan berhak untuk melakukan apapun yang menjadi pilihan mereka.167 Lilin berpendapat bahwa selama ini terjadi bias gender ketika seorang perempuan berkarya dalam sebuah band ekstrem metal. Bias gender yang dimaksud Lilin terlihat dari pengalamannya sendiri ketika penampilannya hanya dilihat secara display semata dan bukan karena skill bermusik yang ia miliki. Ini menjadi sebuah keprihatinan bagi Lilin dan ia ingin membelokkan cara pandang seperti itu dengan memperlihatkan bahwa ia sebagai seorang vokalis band ekstrem metal juga menjalani latihan dengan disiplin dan mengorbankan banyak hal untuk membuat lagu, menulis lirik, dan membuat konsep penampilan di panggung. Bagi Lilin, hal itu menjadi pengorbanan sekaligus kebanggaan.

Ia ingin para pelaku di skena ekstrem metal tahu tentang hal itu dan pada akhirnya cara pendang bias gender itu dapat berubah.168

Pandangan Lilin itu secara tersirat juga menunjukkan adanya keterasingan terjadi dalam dirinya sebagai subjek. Keterasingan ini menjadi sebuah hal yang membuat ia juga mengalami kekesalan. Misalnya ketika ia mengalami tindakan seksis dari penggemar band-nya baik secara langsung maupun lewat sosial media. Lilin mengaku pelecehan seksual secara verbal berupa cat-calling kerapkali ia terima meski ia tidak berpakaian seksi. Lilin sudah sampai di titik muak mendapat perlakuan seperti itu. Ia mengaku bahwa ia bisa saja berpakaian seksi, tetapi bukan itu yang ingin ia lakukan. Ia ingin agar ia dilihat dari kualitasnya dalam bermusik dan ingin agar orang lain menghargai dia berdasarkan usaha yang telah ia lakukan.169

167 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan 28 September 2018. 168 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Kopi Kalyan, Jakarta Selatan, 13 Oktober 2019. 169 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan, 28 September 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

106

Fantasi tentang kesetaraan juga diperlihatkan Popo dalam lagu “Gemulai Samar

Perkasa” yang ditulisnya. Cerita dalam lirik tersebut menggambarkan resiliensi seorang perempuan yang dijadikan sebagai gender kedua dalam dunia yang didominasi laki-laki dan bersifat patriarki. Popo justru menggunakan logika berbeda untuk pendekatannya menulis lirik-lirik death metal. Ia membalik peraturan tak tertulis (unwritten rules) itu dan mendistorsi sifat misoginis yang ada dalam death metal. Alih-alih menjadikan perempuan sebagai objek dalam lirik-liriknya, ia justru menempatkan perempuan sebagai aktor utama dalam lirik-liriknya. Memosisikan diri sebagai seorang korban yang seolah tak punya harapan untuk hari esok, Hera lebih ingin menyuarakan dan menggambarkan posisi marjinal dari kaum-kaum tertindas dan terpinggirkan, terutama perempuan dalam skena.

Sebagai contoh adalah lirik dari lagu berjudul Saksi Bisu Kesakitan/Terbekam yang dirilis OATH pada tahun 2016 lalu berikut ini.

Selain dari trangresi diskursif, fantasi tentang kesetaraan ini juga terlihat dari transgresi suara dan transgresi kebertubuhan dalam praktik moshing. Pengalaman keempat vokalis tersebut dalam mempelajari gaya vocal scream/growl menandakan adanya usaha dari mereka untuk dianggap setara dan tak lagi dinilai dengan penilaian semacam “cewek yang bisa nge-growl saja”. Bagi Ayu, misalnya, penguasaan teknik gaya vokal scream dan growl bukanlah hal yang gampang karena hal itu adalah hal yang beresiko. Demi menguasainya, ia harus bekerja keras secara otodidak. Mendengarkan musik-musik baru sejenis ia lakukan demi eksplorasi dan menjaga gaya hidup sehat menjadi ruang baginya untuk menguasai dan memperdalam kualitas gaya vokal scream/growl nya.170 Baginya, pengorbanan vokalis perempuan, termasuk dirinya lebih banyak bila dibandingkan dengan laki-laki. Maka, ia menilai ketika ia mampu menguasai

170 Wawancara dengan Ayu di rumahnya di Yogyakarta pada 6 Juni 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

107

dan menampilkan gaya vokal scream/growl, harusnya orang-orang juga bisa melihat dari perspektif yang berbeda dan tidak melulu meragukan dan “nyinyir”.

Pengorbanan yang lebih besar ini juga terlihat dari Lilin, Hera, dan Popo.

Pengorbanan semacam ini menjadi tantangan bagi mereka untuk membuktikan diri bahwa mereka mampu menguasai teknik vokal growl/scream. Misalnya ketika Lilin harus menerima inferiorisasi atas gaya vokal scream/growl yang dilakukannya. Inferiorisasi ini datang dari salah seorang petugas rekaman yang meragukan kemmapuannya melakukan growl/scream hanya karena dia dalah seorang prempuan. Di sini, Lilin mengaku bahwa ia sempat minder, tetapi hal itu justru membuatnya semakin ingin membuktikan bahwa ia bisa. Ia melawan inferiorisasi itu sekaligus dengan menantang dirinya sendiri untuk mencapai level tertentu di mana ia bisa melakukan growl/scream dengan lebih baik dari sebelumnya. Ketika berhasil, Lilin mengaku bahwa ia merasa bangga. Di sini dapat dilihat bahwa pengorbanan itu ia lalui demi sebuah kebanggan atas pencapaiannya sendiri.

Pengorbanan yang sama juga dialami oleh Popo sebagai vokalis band death metal.

Vokal guttural yang digunakan oleh Popo ini memerlukan latihan yang keras dan melelahkan karena jenis vokal ini berbeda dengan scream dan growl yang biasanya didapat dari suara yang dikeluarkan (exhale). Guttural lebih menggunakan teknik suara yang disedot (inhale) sehingga lebih cenderung terdengar rendah dan pelan. Popo mengutarakan bahwa ia tak serta merta menguasai teknik itu. Ia pun selalu berstrategi untuk mendapatkan hasil maksimal, misalnya dengan menjaga kebugaran tubuh. Ia menganggap juga bahwa latihan scream/growl dengan spesifikasi gaya vokal guttural adalah sebuah penyiksaan diri karena ia memilih untuk menggunakan tenggorokan dan pita suaranya lebih dari penggunaan sehari-hari demi mampu memproduksi suara guttural

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

108

itu. Akibatnya, ia pernah beberapa kali merasakan sakit pada tenggorokannya. Namun, segala proses itu disadari Popo sebagai sebuah kewajiban yang harus ia lakukan dan ia kejar terus demi penguasaan teknik vokal guttural. Ada kepuasaan dan kebanggaan ketika ia berhasil melakukannya terlebih ketika ia tampil dalam konser ataupun ketika mempraktikkannya dalam rekaman.171

Pengorbanan tersebut kemudian berhubungan erat dengan resiko yang harus mereka hadapi ketika tampil. Inferiorisasi dan marjinalisasi dalam skena ekstrem metal terhadap mereka membuat mereka tahu akan resiko yang mereka hadapi. Ini terjadi juga ketika mereka malakukan praktik moshing. Meski mereka tahu resikonya, mereka tetap melakukannya. Lilin dan Hera misalnya, yang pernah mengalami dan juga mendengar adanya pelecehan seksual yang terjadi di dalam moshpit ketika mereka tampil. Alih-alih menarik diri, mereka kemudian menggunakan kejadian semacam itu untuk bersuara.

Mereka menggunakannya untuk melakukan disrupsi pada praktik moshing yang selama ini dianggap sebagai praktik yang maskulin. Dengan begitu, tujuan untuk bebas berekspresi dan bersuara untuk kesetaraan sangat terlihat dari performance mereka.

Dengan kata lain, performance itu mereka gunakan untuk menggulirkan wacana bebas berekspresi dan juga kesetaraan.

Dalam kedua sub-bab di atas, telah diuraikan mengenai dua fantasi yang mendasari dark play keempat vokalis perempuan ekstrem metal yaitu Ayu, Lilin, Popo, dan Hera. Fantasi akan kebebasan dan kesetaraan di sini, mengutip Ormrod, adalah sebuah narasi atau gambaran yang bekerja dalam struktur penanda dalam dunia simbolik.

Kedua fantasi tersebut menjadi alat untuk mewadahi kelimpahan hasrat yang tak lagi

171 Wawancara dengan Popo Puji via Whatsapp video call pada 21 April 2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

109

mampu dipenuhi oleh bahasa simbolik, tetapi tetap meminjam bahasa-bahasa simbolik untuknya bekerja. Dengan kata lain, fantasi menyangga hasrat.172 Kondisi fantasmatik tentang kebebasan dan kesetaraan di dalam skena ekstrem metal yang mendasari dark play keempat vokalis perempuan itu kemudian dapat dikatakan mengisi kekosongan

(lack) sehingga realitas yang ada dalam skena ekstrem metal terkesan masuk akal.173

Sebagai subjek yang terbelah, mereka terus menerus melakukan pelanggaran melekat

(inherent transgression) dengan dark play itu guna mendisrupsi tatanan simbolik yang ada dalam skena ekstrem metal. Transgresi ini menjadi suatu hal yang paradoksal.174

Kenikmatan dialami, tetapi juga menyakitkan karena di saat yang sama aturan tak tertulis di skena ekstrem metal juga semakin diperkuat dengan munculnya inferiorisasi terhadap keempat vokalis tersebut. Situsai ini memunculkan keadaan fetisistik yang mana keempat vokalis tersebut hanya bersenang-senang di dalam sistem tersebut. Meski begitu, fantasi tentang kebebasan dan kesetaraan menjadi perlu untuk terus menerus digulirkan guna menciptakan bahasa baru (traversing the fantasy) di dalam skena ekstrem metal tersebut.

G. Rangkuman

Inferiorisasi dan marjinalisasi yang dialami oleh Ayu, Lilin, Hera, dan Popo dalam dunia simbolik bernama ekstrem metal memungkinkan mereka untuk berstrategi dalam melawannya. Strategi tersebut telihat dalam upaya mereka menggunakan transgresi ala ekstrem metal yaitu sonic transgression, discursive transgression, dan bodily transgression pada performance mereka. Dengan meminjam ketiga penanda itu, mereka dapat dikatakan melakukan dark play yang bertujuan untuk mendisrupsi hegemoni

172 James Ormrod. Fantasy and Social Movements. (London: Palgrave Macmillan, 2014), hal. 103, 112. 173 Jan Jagodzinski.Youth Fantasies. (Hampshire: Palgrave Macmillan, 2004), hal. 67. 174 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

110

wacana maskulinitas dan patriarki yang ada dalam skena ekstrem metal. Selain mendisrupsi, dark play yang mereka lakukan juga menjadi sebuah siasat negosiasi dan resistensi dalam rangka transgresi yang mereka lakukan. Dengan kata lain, dark play itu menjadi perwujudan transgresi dalam transgresi. Mereka memilih siasat yang penuh resiko, tapi juga menjadi sebuah kehormatan dan kebanggaan bagi mereka untuk mempertanyakan dan mendisrupsi konstruksi maskulinitas yang amat kental dalam skena ekstrem metal.

Memakai perspektif psikoanalisa Lacanian dengan konsep fantasinya, dark play yang dilakukan oleh Ayu, Lilin, Hera, dan Popo menjadi sesbuah strategi yang disangga oleh fantasi akan kebebasan dan juga kesetaraan. Keterasingan keempat vokalis eksterm metal perempuan tersebut dengan skena nya sendiri adalah buah dari kastrasi yang mereka alami. Kastrasi itu terlihat dari inferiorisasi dan marjinalisasi yang mereka terima dari skena ekstrem metal. Dengan melakukan dark play tersebut, mereka menggulirkan wacana kebebasan dan juga kesetaraan yang selama ini tak mereka alami. Di sini, fantasi akan kebebasan dan kesetaraan menjadi penting bagi mereka untuk terus bergairah dalam bermusik dan berkarya di dalam skena yang memarjinalisasi peran mereka. Dark play pada akhirnya menjadi sebuah tindakan (act) untuk terus menerus menggulirkan wacana akan kebebasan dan kesetaraan dalam skena ekstrem metal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Keseluruhan tulisan ini berusaha menguraikan fenomena keterlibatan empat perempuan sebagai vokalis band ekstrem metal dalam skena ekstrem metal yang dianggap maskulin, androsentris, dan memarjinalkan perempuan di dalamnya.

Keempat vokalis tersebut adalah Fransisca Ayu (KoJ, Leftyfish), Lilin Purnama

(GOADS), Hera Mary (Oath), dan Popo Puji (Demons Damn). Tiga hal dijawab dalam pertanyaan ini berdasarkan fenomena tersebut. Ketiga pertanyaan itu adalah (1)

Bagaimana prempuan direpresentasikan di skena ekstrem metal di Indonesia? (2)

Bagaimana daya performance empat vokalis ekstrem perempuan di Indonesia?

Wacana apa yang digulirkan? dan (3) Fantasi macam apa yang mendasari performance itu?

Dari ketiga pertanyaan itu, diperlihatkan bahwa perempuan di dalam skena ekstrem metal Indonesia mendapat representasi yang tak setara. Praktik-praktik seksis, misoginis, dan penilaian yang bias gender masih banyak terjadi di skena ekstrem metal

Indonesia. Representasi seperti ini terjadi berkat konstruksi ekstrem metal yang bersifat maskulin, androsentris, dan mengekslusi peran perempuan di dalamnya.

Dengan latar belakang yang demikian, Fransisca Ayu (KoJ, Leftyfish), Lilin Purnama

(GOADS), Hera Mary (Oath), dan Popo Puji (Demons Damn) sebagai vokalis perempuan band ekstrem metal bernegosiasi dengan siasat dark play melalui performance mereka. Dark play ini menjadi siasat dalam rangka untuk mendisrupsi konstruksi sistem yang meng-hegemoni mereka yaitu ekstrem metal itu sendiri. Dari analisis data, keempat vokalis tersebut, melalui performance yang mereka lakukan

111

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

112

melakukan siasat atau strategi dark play ini lewat trangresi yang menjadi ciri ekstrem

metal. Transgresi tersebut ada tiga, yakni trangresi suara/bunyi (sonic trangression),

transgresi diskurif (discursive transgression), dan transgresi kebertubuhan (bodily

transgression). Lewat ketiga transgresi itu, mereka mendisrupsi wacana ekstrem metal

yang bersifat maskulin, androsentris, dan memarjinalkan peran perempuan di

dalamnya. Disrupsi tersebut terlihat dalam empat hal yaitu penguasaan teknik vokal

scream/growl keempat vokalis perempuan tersebut, penulisan lirik lagu yang

menyematkan tema perempuan sebagai subjek utama, praktik moshing, dan juga gaya

fashion keempat vokalis perempuan tersebut di panggung.

Berdasarkan pembacaan dengan perspektif psikoanalisa Lacanian, kebebasan

dan kesetaraan menjadi dua fantasi yang mendasari dark play yang dilakukan oleh

Ayu, Lilin, Hera, dan Popo. Fantasi ini muncul dari kondisi

keterpisahan/keterasingan mereka dengan skena ekstrem metal yang mereka idam-

idamkan berkat adanya inferiorisasi yang mereka terima. Skena ekstrem metal

dengan segala wacana yang menyertainya menjadi arena hostile meski menawarkan

sebuah empowerment bagi mereka. Keterasingan ini lantas menimbulkan kondisi

fantasmatik tentang kebebasan dan kesetaraan di dalam skena ekstrem metal yang

mendasari dark play keempat vokalis perempuan itu kemudian dapat dikatakan

mengisi kekosongan (lack) sehingga realitas yang ada dalam skena ekstrem metal

terkesan masuk akal.175 Sebagai subjek yang terbelah, mereka terus menerus

melakukan pelanggaran melekat (inherent transgression) dengan dark play itu guna

mendisrupsi tatanan simbolik yang ada dalam skena ekstrem metal. Transgresi ini

175 Jan Jagodzinski. Youth Fantasies. (Hampshire: Palgrave Macmillan, 2004), hal. 42-47.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

113

menjadi suatu hal yang paradoksal.176 Kenikmatan dialami, tetapi juga menyakitkan

karena di saat yang sama (unwritten rules) juga semakin diperkuat dengan

munculnya inferiorisasi terhadap keempat vokalis tersebut. Situsai ini memunculkan

keadaan fetisistik yang mana keempat vokalis tersebut hanya bersenang-senang di

dalam sistem tersebut. Meski begitu, fantasi tentang kebebasan dan kesetaraan

menjadi perlu untuk terus menerus digulirkan guna menciptakan bahasa baru

(traversing the fantasy) di dalam skena ekstrem metal tersebut.

B. Rekomendasi

Tesis ini membahas tentang fantasi dalam dark play yang dilakukan oleh

Franssica Ayu, Lilin Purnamasari, Hera Mary, dan Popo Puji sebagai vokalis ekstrem

metal perempuan di Indonesia. Tentu saja pengalaman dan penampilan mereka

sebagai vokalis menjadi hal yang banyak dibahas dalam penelitian ini dalam payung

kajian budaya. Daya performance yang terwujud dalam dark play menjadi satu

bahasan dalam tesis ini untuk kemudian dibaca dengan konsep fantasi Lacanian.

Meski begitu, penelitian ini terbatas pada pembahasan mengenai strategi resistensi

dalam transgresi yang dilakukan oleh keempat vokalis ekstrem metal perempuan

yang telah disebut di atas.

Maka, sebagai rekomendasi untuk penelitian lanjutan dan juga untuk

melengkapi diskusi mengenai tema ini, topik mengenai pengalaman estetis vokalis

ekstrem metal perempuan maupun dari para penggemarnya bisa menjadi sebuah

topik yang sangat menarik untuk diangkat. Pertanyaan mengenai sejauh mana

pengalaman estetis dapat dibaca sebagai sebuah menjadi penting untuk mengetahui

176 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

114

secara lebih jauh tentang performance vokalis ekstrem metal perempuan. Selain itu, membaca pengalaman estetis juga dapat mengakomodir wilayah-wilayah khusus antara lain dari sisi musikal untuk lebih banyak dibahas secara detail. Pada akhirnya, penelitian ini dan penelitian selanjutnya akan sangat berguna untuk memperdalam diskusi mengenai pembahasan mengenai fenomena keterlibatan perempuan dalam skena ekstrem metal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Anggoro, A. R. (2014). Retorika Visual Pada Praktik Representasi Hantu Sebagai Simbol Identitas Komunitas Musik Underground di Kota Surakarta. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Arimbi, Diah Ariani. (2009). Reading Contemporary Indonesian Muslim Women Writers; Representation, Identity, and Religion of Muslim Women in Indonesian Fiction. Amsterdam: Amsterdam University Press. Baulch, E. (2007). Making Genres: Reggae, Punk, and Death Metal in 1990s Bali. Durham : Duke University Press. Berkers, P., & Schaap, J. (2018). Gender Inequality in Metal Music Production. Bingley: Emerald Publishing Limited. Butler, J. (1988). Performative acts and gender constitution: An essay in phenomology and feminist theory. Theatre Journal 49, pp. 519-531. Butler, J. (1990). Gender Trouble: Feminism and the SUbversion of Identity. New York: Routledge. Butler, J., Laclau, E., & Žižek, S. (2000). Contingency, Hegemony, Universality: Contemporaty Dialogues on The Left. London: Verso. Chiesa, L. (2007). Subjectivity and Otherness: A Philosopical Reading of Lacan. Massachusetts: MIT Press. Christe, I. (2004). Sound of The Beast; The Complete Headbanging History of Heavy Metal. New York: Harper Collins. Connel, R. W. (1995). Masculinities. Sydney: Allen and Unwin. Dolar, M. (1996). The Object Voice. In R. Salecl, & S. Zizek, Gaze and Voice as Lobe Objects (p. 10). Durham: Duke University Press. Dolar, M. (2006). A Voice and Nothing More. Cambridge: MIT Press. Duncan, M. (2004, November). The Operatic Scandal of the Singing Body: Voice, Presence, Performativity. Cambridge Opera Journal, Vol. 16, No. 3, Performance Studies and Opera, pp. 283-306. Evans, D. (1996). An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London & New York: Routledge. Felman, S. (2003). The Scandal of The Speaking Body: Don Juan with J.L Austin, or Seduction in Two Languages. California: Stanford University Press. Frith, S. (1996). Performing Rites: On the Value of Popular Music. Cambridge: Harvard University Press. Geertz, C. (1973). The Interpretation of Culture. New York: Basic Books.

115

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Grant, J. (1996). Bring the Noise: Hypermasculinity in Heavy Metal and Rap. Journal of Social Philosophy, 27, 5-31. Harris, K. K. (2007). Extreme Metal; Music and Culture on The Edge. Oxford: Berg. Hecker, P. (2012). Turkish Metal: Music, Meaning, and Morality in a Muslim Society. Surrey: Ashgate Publishing Limited. Heesch, F. (2019). Sound of Anarchy: Gender Aspects of Aggressive Metal Vocals. The Example of Angela Gossow (Arch Enemy). Criminocorpus. journals.openedition.org. Hill, R. L. (2016). Gender, Metal, and the Media; Woman Fans and the Gendered Experience of Music. Leeds: Palgrave Macmillan. Hoad, C. (2017). Slashing through the Boundaries: Heavy Metal Ficition, Fandom, and Girl Culture. Metal Music Studies 3: 1, 5-21. Jagodzinski, J. (2004). Youth Fantasies. Hampshire: Palgrave Macmillan. Klypchak, B. C. (2007). Performed Identities: Heavy Metal Musicians between 1984 and 1991. Ohio: Bowling Green State University. Kummer, J. (2016). Powerslaves? Navigating Femininity in Heavy Metal. In G. Riches, D. Snell, B. Bardine, & B. G. Walter, Heavy Metal Studies and Popular Culture (pp. 145-167). London: Palgrave Macmillan. Kusumah, I. R. (2012). Ujungberung Rebels: Panceg Dina Galur. Bandung: Minor Books. Lacan, J. (2001). Ecrits: A Selection. . London & New York: Routledge. Narendra, Y. D., & Soerjoatdmojo, G. W. (2018). Heavy Metal Parents: Identitas Kultural Metalhead Indonesia 1980-an. Yogyakarta: Octopus Publishing. Nordstrom, S., & Herz, M. (2013). 'It's a matter of eating or being eaten' Gender Positioning and Diffrence Making in The Heavy Metal Subculture. European Journal of Cultural Studies, 453-467. Ormrod, J. (2014). Fantasy and Social Movement. London: Palgrave Macmillan. Overell, R. (2014). Affective Intensities in Extreme Music Scenes; Case from Australia and Japan. New York: Palgrave Macmillan. Phillipov, M. (2012). Death Metal and Music Criticism: Analysis at The Limits. New York: Lexington Books. Phillips, W., & Cogan, B. (2009). Ensyclopedia of Heavy Metal Music. Westport: Greenwood Press. Purcell, N. (2003). Death Metal Music; The PAssion and The Politic of A Subculture. North Carolina: McFarland & Company.

116

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Saukko, P. (2003). Doing Research in Cultural Studies. London: Sage Publications. Schechner, R. (2013). Performance Studies: An Introduction; Third Edition. London & New York: Routledge. Sears, L. J. (1999) Fantasizing the Feminine in Indonesia. London: Duke University Press. Sen, Khrisna & Stivens, Maila (Ed.). (1998). Gender and Power in Affluent Asia. London: Routledge. Unger, M. P. (2016). Sound, Symbol, Sociality: The Aesthetic Experience of Extreme Metal Music. London: Palgrave Macmillan. Vasan, S. (2010). "Den Mothers" and "Band Whores"; Gender, Sex, and Power in the Death Metal Scene. In R. L. Hill, & K. Sprakclen (Eds.), Heavy Fundametalism; Music, Metal, and Politics (pp. 69-77). Oxford: Inter-Disciplinary Press. Verhaeghe, P. (1997). Does The Woman Exists? From Freud Hysteric To Lacan Feminine. New York: Other Press. Wallach, J. (2008). Modern Noise, Fluid Genres; Popular Music in Indonesia 1997- 2001. Wisconsin: University of Wisconsin Press. Walser, R. (1993). Running With The Devil; Power, Gender, and Madness in Heavy Metal Music. Middletown: Wesleyan University Press. Weinstein, D. (2000). Heavy Metal: The Music and Its Culture. Boston: DaCapo Press. William, T. (2006). Rules of Rebbellion: Slamdancing, Moshing, and the American Alternative Scene. In A. Bennett, & B. &. Shank, The Popular Music Studies Reader (p. 125). New York: Routledge. Žižek, S. (1992). Looking Awry; An Introduction to Jacques Lacan through Popular Culture. Cambridge: The MIT Press. Žižek, S. (2008). The Plague of Fantasy. London: Verso.

117

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sumber Media Andoko, Tri. Minoritas: Indonesian Extreme Metal Documentaries (DVD). (Jakarta, 2019).

Bajumi, A. (2019, Maret 14). Menggugat Seksisme Skena Musik Kita. Retrieved from juranalruang.com: https://jurnalruang.com/read/1552558467-menggugat- seksisme-skena-musik-kita Berlatsky, N. (2017, 10 5). daily.bandcamp. Retrieved from bandcamp.com: https://daily.bandcamp.com/lists/sludge-metal-list Dunn, S. “Metal Evolution-Extreme Metal” .(2015). BANGERTV-All Metal. Diakses dari YouTube: https://www.youtube.com/watch?v=MoHOgfEoTlc&t=2366s pada 14 Juni 2018. https://fajarbrutaldeath.wordpress.com/bahan-ajar/sejarah/awal-perkembangan-musik- underground-indonesia/ https://www.youtube.com/watch?v=sT2fAzz3ihM. GOADS live at The Karnival 2019, Solo. Diunggah oleh Holy Label TV pada 8 Desember 2019. https://www.youtube.com/watch?v=VANakHZZbBU. OATH live at HSTD Fest 2015, Bandung. Diunggah oleh Hungry Heart Project pada 22 Mei 2015. https://www.youtube.com/watch?v=5ScH8jHogn8. Demons Damn live at Terror Attack 2015, Bandung. Diunggah oleh whyyouseeiswhyyouhear.

Lambert, S. (2018, January 10). Why We Need to Stop Using 'Female-Fronted' As a Genre. Retrieved from louderthanwar.com: https://louderthanwar.com/stop- female-fronted-as-a-genre Mancini, R. (2001, 12 13). Retrieved from MTV.com: http://www.mtv.com/news/1451543/death-frontman-chuck-schuldiner-dies/ REVOLVER. (2018, Maret 18). Arch Enemy's Alissa White-Gluz on Challenges Facing Women in Metal. Retrieved from Youtube.com: https://www.youtube.com/watch?v=HVjNCPXDomM Saraswati, Diah P. 2017. “Sudah ramahkah musik bagi perempuan?, diunduh dari https://hot.detik.com/music/3690831/sudah-ramahkah-musik-bagi-perempuan pada 17 Oktober 2017.

118

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

GLOSARIUM

Circle pit : Salah satu kekhasan moshing ala ekstrem metal. Umumnya para penonton membentuk sebuah lingkaran dalam skala kecil maupun besar dalam moshpit dan melakukan moshing di dalamnya. Praktik ini umumnya dimulai dari komando vokalis band yang sedang tampil, tetapi juga bisa terjadi secara organik ketika musik dimainkan.

Crowd Surfing : Salah satu praktik dalam konser musik metal di mana penonton diangkat dan kemudian disangga oleh penonton lain untuk kemudian “berselancar” di atas crowd

(kerumunan) penonton. Praktik ini dilakukan juga oleh anggota band yang sedang tampil.

Moshing : Gaya dansa dalam musik ekstrem metal. Ketika melakukan moshing, para penonton saling membenturkan badan mereka satu sama lain secara komunal seiring musik yang dimainkan oleh band.

Moshpit : Sebuah ruang/arena di dalam sebuah konser musik metal yang menjadi tempat para penonton melakukan moshing.

Stage diving : Praktik moshing di mana pelakunya melompat dari panggung kea rah penonton untuk kemudian ditangkap oleh para penonton. Praktik ini umumnya dilakukan oleh para penonton dan juga anggota band.

119