TAKHRIJ AL-FURU’ ALAL USUL PERIODE DI MASA SHAHABAT DAN TABI’IN (Kajian Sosiologi - Antropologi Hukum )

Erwan Jurusan Syari’ah STAI-YDI Lubuk Sikaping Jl. Prof Dr. Hamka. No 16 Lubuk Sikaping e-mail: [email protected]

Abstract: This research reveals the truth about the reality of Islamic law and its scope. This study was a library research. The data were obtained through the library method, namely by collecting data and materials from books that are relevant to this discussion, by reading, studying, and analyzing all the sources. Sociological-anthropological understanding means discussing the truth of a fact in depth. Law as something that is related to humans, then the relationship between humans and other human beings is in a life interaction. Because without the interaction of life there will be no law (ibi societas ibi ius, zoon politicon). Law serves to regulate relations between people. But not all human actions have their regulation. Only actions or behavior that are classified as legal actions. Legal law relations consist of bonds between individuals and individuals and between individuals and communities. In its efforts to regulate, the law adapts to the interests of society well. As a collection of rules or principles, the law has a general and normative content, the legal principle aims to protect the interests of human beings as social beings. Therefore the law must be obeyed, must be carried out and maintained, but not violated. Humans are given the mind to think, then ijtihad is the deployment of the ability of the brain. The real fact shows that thisdynamics had existed during the Prophet's benediction and tabi'in.

Kata kunci: Sosiologi, Antropologi, Ijtihad, Hukum Islam

PENDAHULUAN Hubungan yang cukup lama antara osiologi Hukum dalam ilmu sistem hukum dari masyarakat dan S pengetahuan, bertolak kepada apa kebudayaan-kebudayaan lain (the other yang disebut disiplin ilmu, yaitu sistem cultures) selain state law (hukum negara) ajaran tentang kenyataan, yang meliputi menjadikan sistem- sistem hukum disiplin analitis dan disiplin hukum tersebut berjalan secara dinamis sesuai (perskriptif). Disiplin analitis, seperti dengan laju kebudayaannya. Sebagian sosilogis, psikologis, antropologis, sejarah, pihak menganggap the other laws bagian sedangkan disiplin hukum meliputi: ilmu- dari masa lalu, namun sebagian lagi ilmu hukum yang terpecah menjadi ilmu menyatakan bahwa mereka tetap eksis tentang kaidah atau patokan tentang hingga kini. Dan, sebagian lainnya prilaku yang sepantasnya, seharusnya, menyatakan ada, namun semakin terkikis. ilmu tentang pengertian-pengertian dasar Seperti diketahui, Alqur’an adalah dan sistem dari pada hukum dan lain-lain. satu bahkan satu-satunya kitab suci agama yang pada satu sisi

162 ` Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 17, Nomor 2, Juli-Desember 2018

melahirkan berbagai disiplin ilmu mengumpulkan data dan bahan-bahan pengetahuan yang dihasilkan untuk dari buku yang relevan dengan memahami Alqur’an itu sendiri. Tidak pembahasan ini, dengan cara membaca, ada kitab suci lain apalagi buku-buku mempelajari, dan menganalisa untuk biasa yang untuk memahaminya dapat dipahami. memerlukan perangkat ilmu pengetahuan yang dapat dibilang tidak PEMBAHASAN terbatas. Demikian pula dengan ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari padanya (kitab suci atau buku) selain al- Memaknai Sosiologi Dan Antropologi Qur’an. Pertumbuhan takhrij seiring Hukum dengan perkembangan ushul fiqh, fiqh atau 1. Sosiologi Hukum Hukum Islam. Periode shahabat dan tabi’in Sosiologi hukum (sociology of low) merupakan periode tafsir dan takmil the sociological study of the social context, (penjelasan dan penyempurnaan) yang development, and operation of law: the berlangsung selama 90 tahun kurang syistem of rules and sanctions, the lebihnya, yaitu terhitung mulai kewafatan specialist institutions and specialist Rasulullah pada tahun 11 H sampai personal, and the several types of low (for dengan akhir abad pertama Hijriah (101 H example, constitutional, civil, criminal) atau 632-720 M). Dan masa setelah that constitute the legal system in complex shahabat adalah masa thabi’in. Masa socienties (David Jarry & Julia Jary, n.d: thabi’in adalah masa yang gemilang 477). dalam perkembangan ijtihad. Maka dapat dipahami bahwa sosiologi hukum (sociology of law) METODE PENELITIAN adalah pengetahuan hukum terhadap Dalam penulisan ini, baru dikatakan pola perilaku masyarakat dalam ilmiah bila telah menggunakan metode konteks sosialnya. Dan juga sosiologi ilmiah, yakni presedur dan langkah- hukum adalah ilmu yang mempelajari langkah sistematis untuk mendapatkan hubungan timbal balik antara hukum pengetahuan-pengetahuan ilmiah (ilmu dengan gejala-gejala sosial lainnya tertentu). Sedangkan metode penelitian secara empiris analisis. Sociology af the adalah tata cara yang menjelaskan tentang law, menjadikan hukum sebagai alat bagaimana suatu penelitian dilaksanakan pusat penelitian secara sosiologis yakni (methods = tata cara). (Iqbal Hasan, 2002: sama halnya bagaimana sosiologi 21). Metode yang digunakan dalam meneliti suatu kelompok kecil lainnya. penelitian ini adalah metode deskriptif Tujuan penelitian adalah selain untuk dan analisis komparatif (analytical – menggambarkan betapa penting arti comporative method). Dalam pembahasan hukum bagi masyarakat luas juga dan penelitian dan pengumpulan data ini, untuk menggambarkan proses penulis memakai teknik pengumpulan internalnya hukum. bahan melalui metode kepustakaan Ruang lingkup sosiologi hukum (library research) yaitu dengan secara umum, yaitu berkisar pada: Takhrij al Furu’ Alal Usul Periode Ijtihad di Masa Sahabat dan Tabi’in (Kajian Sosiologi-Antropologi Hukum Islam) `163 a. Mempelajari dasar sosial dari bekerja sebagai perumus hukum yang hukum, berdasarkan anggapan akan diberlakukan, penting yang akan bahwa hukum timbul dari proses menjalankan hukum, dan penting bagi sosial lainnya (the genetic sociology of penguasa dan rakyatnya. Perumus law). hukum adalah perwakilan rakyat, b. Mempelajari efek hukum terhadp maka setiap anggotanya terlibat dalam gejala-gejala sosual lainnya dalam perumusan hukum, yakni pemerintah masyarakat (the operational sociology dan wakil rakyat. Apa yang hendak of law). dirumuskan dan kemana hukum Adapun persepektif penelitian hendak dibawa tidak terlepas dari sosiologi hukum dapat dibedakan penghayatan terhadap aspirasi antara: masyarakat dan nilai-nilai luhur a. Sosiologi hukum secara teoritis (Bustanuddin Agus, 2012: 4). bertujuan untuk menghasilkan Dengan demikian itu, bahwa generaliasi atau abstrak setelah terjadinya perbedaan di antara para pengumpulan data, pemeriksaan pakar tentang pendefenisian hukum terhadap keteraturan sosial, dan disebabkan oleh perbedaan sudut pengembangan hipotesis (yang pandang.Betapa luas aspek hukum didalamnya selalu terdapat sehingga menimbulkan beragam hubungan sebab akibat). defenisi yang luas cakupannya. Hukum b. Sosiologi hukum empiris atau terkadang dipandang dari sudut praktis, yang bertujuan untuk sosiologi, hukum biasanya ditinjau dari menguji berbagai hipotesis tersebut aspek kesejarahan, serta hukum melalui pendekatan yang sistematis adakalanya dilihat dari segi filsafat, dan metodologis. dan dari segi agama. Sosiologi adalah suatu kajian ilmiah tentang kehidupan masyarakat 2. Antopologi Hukum manusia. Sosiolog (ahli sosiologi) Hubungan yang cukup lama berusaha mengadakan penelitian yang antara sistem hukum dari masyarakat mendalam tentang hakikat dan sebab- dan kebudayaan-kebudayaan lain (the sebab dari berbagai keteraturan pola other cultures) selain state law (hukum pikiran dan tindakan manusia secara negara) menjadikan sistem- sistem berulang-ulang. berbeda dengan hukum tersebut berjalan secara psikolog, yan memfokuskan sasaran dinamis sesuai dengan laju penelitiannya kepada berbagai kebudayaannya. Sebagian pihak karekteristik pikiran dan tindakan menganggap the other laws bagian dari perorangan, sosiolog hanya tertarik masa lalu, namun sebagian lagi pada pikiran dan tindakan yang menyatakan bahwa mereka tetap eksis dimunculkan seseorang sebagai hingga kini. Dan, sebagian lainnya anggota suatu kelompok atau menyatakan ada, namun semakin masyarakat (Dadang Kahmad, 2002: 9). terkikis (Pasudi Suparlan, 1980: 20-23). Sosiologi hukum penting bagi yang

164 ` Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 17, Nomor 2, Juli-Desember 2018

Implikasi konkrit di lapangan dari yang bersifat holistik, yaitu konsep dan unifikasi hukum ini patut diduga teori dari berbagai disiplin ilmu terjadinya tumpang tindih, ambivalensi dikombinasikan dan digabungkan dan ketidak pastian hukum salah satu untuk mengkaji fenomena hukum, fakta yang terjadi adalah: a) dari sisi yang tidak diisolasi dari konteks sosial, masyarakat pemilik hukum lokal, politik, ekonomi, budaya, di mana mereka semakin tidak leluasa dalam hukum itu mengalir. mengimplementasikan hukumnya, b) Menurut Ihromi (Sartono Sahlan, dari sisi state, hukum-hukum lain 2010: 150), relevansi menelaah hukum ditanggapi sebagai ganjalan yang dapat dari segi antropologi, antara lain menghambat proses pembangunan adalah: (a). Berkenaan dengan masalah (semesta) (Roger M. Keesing, 1992: yang dihadapi oleh negara-negara 294). berkembang (tentunya termasuk Gesekan antara dua kutub diatas Indonesia) yang secara budaya bersifat memang acapkali disikapi dengan pluralistis dalam cita-citanya disharmonisasi hubungan keduanya, mewujudkan unifikasi hukum atau dan pasang surut hubungan keduanya modernisasi hukum; (b). berkenaan memunculkan dinamika dalam dengan kemungkinan munculnya perilaku, norma dalam masyarakat. masalah bila warga masyarakat dari Hukum memiliki banyak dimensi, oleh lingkungan sukubangsa tertentu masih karenanya di kalangan ilmuwan mempunyai norma-norma tradisional (hukum) tidak ada kesepakatan yang yang kuat dan menuntut ketaatan tunggal tentang pengertiannya. mengenai hal-hal tertentu, sedangkan Menurut J.M Otto, Pada umumnya dalam norma hukum yang sudah hukum diartikan sebagai seperangkat tertulis dan berlaku secara nasional, rules of conduct yang mengatur dan hal- hal yang harus ditaati itu justru memaksa masyarakat, juga mengatur dirumuskan sebagai hal yang terlarang. tentang penyelesaian sengketa Implikasi pendekatan semacam (Sulistyowati Irianto, 2012: 1-2). ini menjadikan bahwa hukum memberi Studi hukum di negara input kepada pranata pengendalian berkembang memerlukan kedua sosial (apapun variant-nya) dan pendekatan baik pendekatan ilmu kemudian kepada rujukan berpikir hukum maupun ilmu sosial. masyarakat, dan sebaliknya. Hukum, di Pendekatan dan analisis ilmu hukum sisi lain, dapat pula menyebabkan diperlukan untuk mengetahui isi dari perubahan perangkat berpikir, dan legislasi dan kasus hukum. Namun rujukan kemasyarakatan lainnya atau pendekatan ini tidak menolong dikenal dalam sosiologi hukum sebagai memberi pemahaman tentang “law as tool of social engineering”. bagaimana hukum bekerja dalam Pendekatan antropologi hukum kenyataan sehari-hari, dan bagaimana sengaja menggeser pusat perhatian dari hubungan hukum dengan konteks aturan-aturan kepada individu atau kemasyarakatan. Oleh karena itu manusia sebagai aktor yang dalam dibutuhkan pendekatan interdisipliner mengambil keputusan mengenai Takhrij al Furu’ Alal Usul Periode Ijtihad di Masa Sahabat dan Tabi’in (Kajian Sosiologi-Antropologi Hukum Islam) `165 perilakunya dihadapkan kepada (setempat), yaitu berdasarkan tuntutan-tuntutan dari tatanan hukum pengarahan etnologi yang mempelajari yang dihadapinya (Ihromi, 2003: 3). lembaga - lembaga hukum dari suatu Kajian antropologi hukum masyarakat tertentu. Titik tolaknya memiliki karakteristik metode pada anggapan bahwa sebelum penelitian yang dapat diidentifikasi penelitian sudah ada pengertian melalui dua hal berikut ini.Pertama, hukum. Penelitian ini dapat dilakukan seorang antropolog hukum melakukan dalam bentuk penjajakan (eksploratif) studi tekstual, pasal-pasal dalam dengan mempelajari kaidah - kaidah peraturan perundang-undangan dan hukum yang ideal, baik yang tertulis kebijakan yang dapat dianalisis secara atau tidak tertulis; (b).diskriptif, kritikal dan dijelaskan makna dan penelitian ini digunakan untuk implikasinya terhadap subjek mengetahui hal - hal yang praktis hukum.Kedua, studi sosio-legal dengan melihat pola perilaku yang mengembangkan berbagai metode sesungguhnya terjadi, metode ini tidak ‘baru’ hasil perkawinan antara metode mengutamakan perhatiannya pada apa hukum dengan ilmu sosial, seperti yang tertulis sebagai norma hukum, penelitian kualitatif sosio-legal, dan atau yang dikatakan norma hukum etnografi sosiolegal. Pada umumnya oleh para pemuka masyarakat, para antropolog hukum melainkan tujuannya untuk mengembangkan etnografi hukum mengetahui sejauh mana aturan - untuk mengkaji forum penyelesaian aturan tersebut dapat diterima anggota sengketa berbasis komunitas yang biasa masyarakat; (c). studi kasus (meneliti dijumpai dalam kehidupan keseharian. permasalahan), untuk mengetahui Para peneliti yang mempelajari hukum kausalitas dari berbagai pluralisme hukum mengembangkan kasus yang ada. Perselisihan metode etnografi hukum modern kepentinganyang berakhir pada suatu seiring dengan isu-isu global yang kasus - kasus merupakan salah satu membuat pendekatan pluralisme bagian dari metode ini, sebagaimana hukum semakin tajam memandang yang dikatakan oleh Roscoe Pound fenomena keberagaman hukum. yang dikutip oleh Hilman Metode yang dikembangkan secara Hadikusuma: “Jadi hukum itu interdisipliner itu dapat menjelaskan berperan di sekitar adanya fenomena hukum yang sangat luas, dan pertentangan kepentingan, karena keterkaitannya dengan relasi hukum itu merupakan usaha untuk kekuasaan dan konteks sosial, budaya mendamaikan, menyelaraskan, untuk dan ekonomi di mana hukum berada mempertemukan…kepentingan yang (Sulistyowati Irianto, 2012: 7). berlebihan atau yang bertentangan” Dalam penelitian Antropologi (Hilman Hadikusuma, 2013, 38). hukum terdapat tiga cara yang pokok Namun, kesimpulan ini tidak dapat sebagai berikut: (a). ideologi, penelitian digeneralisasikan pada semua bagian ini hendaklah bersifat etnologi hukum hukum yang ada. Dalam penelitian

166 ` Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 17, Nomor 2, Juli-Desember 2018

terhadap kasus - kasus perselisihan “Sungguh seperti inilah wafat Nabi SAW memerlukan pendekatan yang telah diizinkan orang yang mengamalkan eklektika, yang berpandangan luas dan pertama kali dari amal-amal yang masuk pluralitas. ijtihad dalam perhatian yang besar dibandingkan sebelumnya dan telah banyak Dinamika Hukum Islam Pada Masa yang membolehkannya”. Ijtihad Dengan Mempertimbangkan Pada masa ini daerah kekuasaan Sosiologi Dan Antropologi Hukum Islam semakin luas, meliputi beberapa daerah di luar semenanjung Arabia, 1. Masa Shahabat seperti Mesir, Syria, Iran (Persia) dan Iraq. Dan bersamaan dengan itu pula, Pengertian shahabat menurut agama Islam berkembang dengan pesat terminologi ulama fiqh dan ushul fiqh mengikuti perkembangan daerah adalah setiap orang yang pernah tersebut. bertemu dengan Nabi Muhammad Di periode shahabat ini, kaum Saw. dalam status kepadanya, muslimin telah memiliki rujukan dan meninggal dunia dalam keadaan hukum syari’at yang sempurna berupa beriman pula. Al-qur’an dan Hadits Rasul. Kemudian òÓ âìôàË Ì å•î¿• : ”‘Ž¤¼ß• ªì˜Ÿ• dilengkapi dengan ijma’ dan qiyas, âà³ í êôàË Ì ðà» Ì Ýߕ “Žô£ diperkaya dengan adat istiadat dan œ œ ê´à ã òÓ âìÌã é©îŸí ÝŽ£ òÓ ï•î³ peraturan-peraturan berbagai daerah êèË âì’ôЗ ÝŽ£ òÓ íƒ ,- êç«„‘ yang bernaung dibawah naungan “Shahabat ber-ijtihad: Allah SWT Islam. Dapat kita tegaskan bahwa di meredhai mereka pada kehidupan zaman khulafaur Rasyidin lengkaplah Rasulullah SAW sama ada dalam dalil-dalil tasyri Islami (dasar-dasar keadaan adanya pada majelis Rasulullah fiqh Islam) yang empat, yaitu: Al-Kitab, – dengan izinnya- atau pada keadaan As Sunnah, Al-Qiyas atau ijtihad, atau ketidakhadiran (ghaib) mereka pada ra’yu dan ijma’ yang bersandar pada majelis Rasulullah” (Usman bin Al-Kitab, atau As-Sunnah, atau Qiyas. Muhammad al-Akhdar Syausany, tt: âìß •ƒ®Áí âì˜ìŸ• í ”‘Ž¤¼ß• ªìË òÓí 108). âìß ƒ®Ä— âßí æôäà´äß• êŸ•î— îß ,ï••îÁ Masa mulai dari periode ©Žì˜Ÿû• Þëƒ ŽìôÓ ªì˜ŸŽÓ ,Ýߕ ªìË òÓ khulafaur Rasyidin dan shahabat- shahabat yang senior , hingga lahirnya •îÓŽ¿ƒ í •îË®· í •î˜Óƒ í •îÀ×í âìèã Imam Madzhab yaitu dari tahun 11-132 áŽÜ£ƒ “ªË ðßí÷• ”Ëîä äß• ð߃ H. Ini meliputi periode khulafaur ”Ëîä ã –çŽÜÓ , â멎옟Ž‘ ŽëîÁŽ’蘳• Rasyidin (11-40 H = 632-661 M). æã ”çîÜã ð玜ߕ Žë•îÁ òÓ ”ôìØÔß• áŽÜ£û• âà³í êôàË Ì ðà» ð’èß• “ŽÓí –çŽÛ •¬Üëí í ”‘Ž¤¼ß• ïíŽ˜Ó í êß í Ì áŽÜ£• ©Žì˜Ÿû• ð˜ß• Þã•îÌß• æã ÞãŽË Ýíƒ å«ƒ .âìôÀ׃ í ,Þ’× æã ê‘ ŽãŽä˜ë• âÈ˃ •í© òÓ Þ§ªó “Pada masa shahabat dan ijtihad mereka êôß• •ïî ß ®œÛƒ dan perkembangan sebagaimana perkembangan mereka, walaupun dari Takhrij al Furu’ Alal Usul Periode Ijtihad di Masa Sahabat dan Tabi’in (Kajian Sosiologi-Antropologi Hukum Islam) `167

penjelasan orang-orang muslim dan ÝŽ£ òÓ âìèË Ì ð¿• â멎옟• Žã•í belum terjadi pada masa Rasulullah Þ’× êß•ïî³ æã âìèÜä— áªÌß ê´à ã æË SAW. Maka di antara mereka berijtihad, mengadili, memberi fatwa, Ž’ßŽÏ ÊØó Žäç„Ó , êèË âëªÌ’ß ,Úß« menetapkan hukum, dan menyandarkan : æô’’´ß dengan semua kumpulan awal yang û ŽóŽÀ× âìß –¿®Ë •«ƒ : Ýíõ• •’´ß• beragam penetapan hukum dengan ijtihad mereka. maka kumpulan hukum Þ’× æã ŽäÜ£ Žìß åîäàÌó fiqhiyah dalam perkembangannya padac ºç âìÓ òÓ •îÔà˜§• •«ƒ : ðèœß• •’´ß• dekade ke 2 yang terbentuk dari hukum êèã âܤߕ ÁŽ’蘳• òÓ íƒ æôÌã Allah, Rasul, fatwa shahabat, dan “Adapun ijtihad mereka semoga ketetapan mereka” (Abdul Wahab Allah SWT meredhai dalam kondisi Khalaf, n.d.: 15). di majelis Nabi untuk menolak Shahabat-shahabat besar dalam kemungkinan mereka dari periode ini menafsirkan nash-nash keburukkan sebelum itu utk sesudah hukum dari Al Qur’an maupun dari Al mereka. maka secarabiasa disebabkan Hadits, yang kemudian menjadi oleh dua hal; sebab yang pertama: pegangan untuk menafsirkan dan apabila bertentangan bagi mereka menjelaskan nash-nash itu. Selain itu ketetapan tidak mereka ketahui bagi para shahabat besar memberi pula nya dari sebelum itu, sebab yang fatwa-fatwa dalam berbagai masalah kedua: apabila terjadi perbedaan pada besar memberi pula fatwa-fatwa dalam pemahaman nash yang jelas atau berbagai masalah terhadap kejadian- dalam penetapan hukum.” (Usman kejadian yang tidak ada nashnya yang bin Muhammad al-Akhdar jelas mengenai hal itu, yang kemudian Syausany, n.d: 109). menjadi dasar ijtihad. Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru para a. Metode dalam Mengenal Hukum shahabat kembali kepada Alqur’an Para Khulafaur Rasyidin dalam dan Sunnah Nabi. Para shahabat menghadap suatu masalah atau banyak yang hafal Alqur’an, kendati berbagai masalah mereka lebih pernah timbul keresahan ketika dahulu mencari nashnya dari banyak yang gugur ketika Alquran atau Sunnah, kalau mereka menghadapi peperangan. Karenanya tidak menemukan dalam Alquran kembali kepada Alqur’an itu mudah. dan Sunnah mereka mengadakan Hadits memang diriwayatkan dan pertemuan dengan fuqoha shahabat dihafal. Tetapi nasib hadits tidak untuk meminta pendapat mereka. sebagus Alqur’an karena perhatian Apabila mereka telah sepakati suatu mereka lebih terpusat kepada pendapat, maka mereka menetapkan Alqur’an. Disamping dihafal, pendapat itu sebagai suatu Alqur’an juga ditulis. Namun keputusan. Inilah yang disebut ijma’ demikian, sumber hukum Islam dimasa ini adalah Alqur’an dan

168 ` Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 17, Nomor 2, Juli-Desember 2018

hadits. Berdasar kedua sumber Khalifah Umar pun berbuat hukum itulah para kahlifah dan demikian, yaitu apabila sulit baginya shahabat berijtihad dengan mendapatkan hukum dalam menggunakan akal pikiran. Alqur’an dan as-Sunnah, maka Pada umumnya dalam diperhatikan apakah telah ada memutuskan hukum, shahabat tidak keputusan-keputusan terhadap sendirian, tetapi bertanya terlebih masal itu. Jika Abu Bakar dahulu kepada shahabat lain, takut mendapatkan suatu keputusan kalau salah. Sikap ini menunjukkan hukum, maka Umar memutuskan bahwa penafsiran terhadap Alqur’an dengan hukum itu, dan kalau tidak bukan hak perogratif shahabat. maka beliau memanggil pemuka- Selanjutanya keputusan diambil dari pemuka kaum muslimin, apabila hasil consensus, yang lazim disebut sepakat tentang hukum tersebut, ijma’. Melihat luasnya kekuasaan maka belau memeberikan keputusan Islam, tetapi kesepakatan beberapa dengan hukum yang telah di pemuka Islam yang dipandang sepakati tersebut. mewakili keseluruhan. Metode yang digunakan pada ”ô玜ߕ ”࣮äß• ((”‘Ž¤¼ß• ªìË)) ®’˜Ìó masa shahabat dapat ditempuh ê—„¸ç òÓ ðãü³õ• êØÔß• Þ£•®ã æã melalui beberapa cara diantaranya : 1) Dengan semata pemahaman lafaz Ì ðà» ð’èß• “ŽÓî‘ ƒª˜‘• , é•îÄ—í yaitu memahami maksud yang ”‘Ž¤¼ß• ®œÛƒ “ŽÓî‘ ðì˜ç•í , âà³ í êôàË terkandung dalam lahir lafaz. ®§•íƒ òÓ Úß« í , âìèË Ì ð¿• Umpamanya bagaimana hokum Ýí÷• å®Øß• membakar harta anak yatim. “Terkenal (masa shahabat) tahapan Ketentuan yang jelas dalamm kedua dari tahapan fiqh Islamy dalam alquran hanya larangan memakan pertumbuhan dan perkembangannya, harta anak yatim. Ketentuan jelas dimulai dengan wafat nabi SAW dan dalam alquran hanya larangan berakhir dengan wafat banyak dari memakan harta anak yatim secara shahabat, itu pada akhir abad aniaya, sedangkan hukum pertama” (Usman bin Muhammad membakarnya tidak ada. Karena al-Akhdar Syausany, n.d: 114). semua orang itu tahu bahwa Pada awal masa shahabat ini, membakar dan memakan harta itu yaitu pada masa khalifah Abu Bakar sama dalam hal mengurangi atau dan masa kholifah Umar, para menghilangkan harta anak yatim, shahabat dengan cara bersama- maka keduanya juga sama bersama menetapkan hukum hukumnya yaitu haram. Cara ini terhadap sesuatu yang tidak ada kemudian disebut penggunaan nashnya. Hukum yang di keluarkan metode mafhum.

oleh para shahabat dengan cara 2) Dengan cara memahami alasan bersama-sama ini di sebut sebagai atau illat yang terdapat dalam ijma’ shahabat. suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian menghubungkannya Takhrij al Furu’ Alal Usul Periode Ijtihad di Masa Sahabat dan Tabi’in (Kajian Sosiologi-Antropologi Hukum Islam) `169

kepada dalil nash yang memiliki 661 M) dan periode Umayyah (40- alasan atau illat yang sama 132 H = 661-750 M). Keistimewaan dengan kasus tersebut. Cara ini yang menonjol pada masa Khulafaur kemudian disebut metode qiyas. Rasyidin, yaitu: b. Keistimewaan Takhrij Pada Masa 1) Kodifikasi ayat-ayat al-Qur’an Shahabat serta menyebarkannya yang dimaksudkan untuk æÜäó êç„Ó ,âìèË Ì ò¿• â멎옟• Žãƒ mempersatukan umat Islam : : ðàó ŽäôÓ êË•îçƒ ÝŽäŸƒ dalam satu wajah tentang bacaan •Ž˜Üß• ¹î¼èß ®ô´Ô˜ß• í åŽô’ß• : ûíƒ al-Qur’an agar tidak ada perbedaan yang berakibat ”è´ß•í perpecahan. Žäã ÝŽœã÷•í 鎒·÷• ðàË ±ŽôØß• : Žô玛 2) Pertumbuhan tasyri’ dengan ra’yu ”è´ß• í •Ž˜Üß• òÓ sebagai motivasi besar terhadap ºç ðàË ªä˜Ìó û ñ¬ß• ñƒ®ß• : ŽœßŽ› para fuqaha untuk menggunakan ”Ìó®¸ß• ¡í• ðàË Žäçƒ í ¹Ž§ rasio sebagai sumber ketiga yaitu , qiyas. Žì»î¼ç ÊôäŸ òÓ ”›îœ’äß• Setelah masa Khulafaur “Adapun ijtihad shahabat semoga Rasyidin kemudian diganti dengan Allah meredhai mereka, maka masa Dinasti Umayyah, sesungguhnyabentuk yang terbaik itu berkembanglah Ahlul Hadist di berupa; pertama: Keteranagan dan samping Ahlu Ra’yi. Bahkan penjelasan terhadapa nash-nash al- perbedaan pendapat antara 2 Qur’an dan as-Sunnah, kedua: Analogi kelompok ini semakin tajam pada (qiyas) terhadap hal yang sesuai dan dinasti Abbasiyah (132-656 H) dan misal-misal yang ada dalam al-Qur’an kian bertambah subur dan dan as-Sunnah, ketiga: pendapat yang berkembang dengan baik serta tidak berseberangan terhadap nash menjadi gerakan ilmiah yang khas dan hanya saja terhadap ruh berpengaruh luas yang kemudian pensyari’atan yang ditetapkan dalam melahirkan mazhab-mazhab fiqhi kumpulan nash-nash” (Usman bin dalam Islam. Muhammad al-Akhdar Syausany, Keistimewaan pada periode n.d: 116). Khulafaur Rasyidin bahwa fiqh pada Pada masa Shahabat masa ini muncul sesuai dengan merupakan masa perkembangan perjalannya waktu. Dalam artian, fiqh yang diistilahkan sebagai masa kapan ada suatu permasalahan yang muda remaja yang dimulai dari tidak terdapat di dalam Nash, maka periode Khulafaur Rasyidin dan para mujtahidin berusaha menggali shahabat-shahabat senior hingga hukumnya dari Alqur’an dan lahirnya imam mazhab dari tahun sunnah. Dalam masa ini terjadi 11-132 H. Meliputi periode pengumpulan Alqur’an dan Khulafaur Rasyidin (11-40 H = 632- menjadikannya dalam satu mushaf.

170 ` Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 17, Nomor 2, Juli-Desember 2018

Hal ini terjadi karena untuk menjelaskan keumumannya dan menghindari perpecahan diantara nash serta cara-cara umat islam yang sudah mulai penerapannya. merambah ke seluruh tanah arab. 2) Fatwa-fatwa hasil ijtihad yang di Dalam masa ini juga belum ada berikan oleh tokoh-tokoh periwayatan hadits, kecuali jika ada shahabat, terhadap kejadian- sebuah kebutuhan untuk kejadian yang tidak ada nashnya. mengetahui suatu hukum. Di masa Cara mujtahid dikalangan ini juga telah menghadirkan sumber shahabat itu apabila tidak hukum baru yaitu ijma’. Dan ini mendapatkan nash dalan banyak sekali timbul permasalahan Alqur’an atau as-sunah yang merujuk pada ijma’. tentang hukum sesuatu Adapun peninggalan- kejadian yang diajukan. Mereka peninggalan masa shahabat yang berijtihad untuk menemukan ada hubungannyadengan fiqh ialah: hukum dengan berbagai jalan 1) Penjelasan-penjelasan yang istinbath. Mereka sangat dekat bersifat yuridis terhadap nash- dan bertemu langsung dengan nash hukum Alqur’an dan as- Nabi Saw., sehingga Sunah. Penjelasan-penjelasan memudahkan mereka untuk yang demikian iti terjadi, ialah mengetahui asbabun nuzul ayat ketika shahabat membahas nash- dan asbabul wurud hadis. Mereka nash hukum untuk di terapkan juga mengetahui penafsiran kepada kejadian-kejadian lalu Rasulullah tentang beberapa ayat timbul pendapat-pendapat disamping juga mengetahui ‘illat tentang pengertian dan maksud hukum dan hikmahnya, sehingga sebenarnya dari nash-nash. Dalam memudahkan dalam melakukan melahirkan pendapat-pendapat qiyas nash-nash yang ada itu mereka bersandar pada bakat kemiripan lalu menetapkan serta kemampuan mereka dalam hukumnya. Mereka memiliki bidang bahasa, pada bakat serta pemahaman yang tinggi terhadap kemampuan mereka dalam bahasa Arab yang merupakan penetapan hukum dan pada bahasa Alquran. Mereka pengetahuan mereka, tentang menghafal Alquran dan sunnah hikmah diturunkannya syari’at Rasulullah Saw., menjadi orang serta sebab –sebab turunnya pertama yang mempelajari ilmu al;qur’andan di datangkannya al- syariat dan hukumnya. hadits. Dari kumpulan pendapat- c. Contoh ijtihad yang dilakukan pendapat itu terbentuklah syarah pada masa shahabat yang bersifat yuridis terhadap nash-nash hukum, yang syarah Ijtihad adalah pengerahan itu dianggap sebagai landasan kesungguhan dalam mengeluarkan terpercaya dalam menafsirkan hukum syara’ dari apa yang nash-nash tersebut dan untuk dianggap syari’ sebagai dalil yaitu Takhrij al Furu’ Alal Usul Periode Ijtihad di Masa Sahabat dan Tabi’in (Kajian Sosiologi-Antropologi Hukum Islam) `171 kitabullah dan Sunnah Nabi SAW. berkata, “ Saya pernah disuruh ini dibagi dua macam yakni: Rasulullah memerangi orang 1) Mengambil hukum dari yang sampai mereka mengucap la ilaha zhahir-zhahir nash apabila illa Allah. Kalau mereka sudah hukum itu diperoleh dari nash- mengucapkannya, Allah menjaga nash itu. harta dan darahnya, kecuali 2) Mengambil hukum dari ma’qul dengan “hak”nya. Semua urusan nash karena nash itu ditangan Tuhan”. Abu bakar mengandung ‘illat yang menyahut, “ Demi Allah, sungguh menerangkannya, atau ‘illat itu saya akan memerangi siapa saja dapat diketahui dan tempat yang membedakan sholat dengan kejadian yang di dalamnya . Sebab zakat termasuk mengandung ‘illat, sedang nash “hak”nya atas harta. itu tidak memuat hukum itu. 2) Ahli waris Inilah yang dinamakan dengan Pada zaman Umar Bin qiyas. (Hudhari Bik, 1980: 256) Khattab terdapat serombongan Ž£üÄ»• œ ¢¼ó üÓ , •¬ë ðàËí ahli waris yang terdiri dari Ì ð¿• ”‘Ž¤¼ß• åƒ :ÝŽØó åƒ œ suami(1/2) ibu (1,6) dan tiga ¢ô¤¼ß• Þ‘ . æôŸ®¨ã •îçŽÛ âìèË orang saudara seibu semuanya æóªì˜ ã •îçŽÛ âìçƒ : ÝŽØó åƒ sesuai dengan ketentuan Dan terhadap ini, maka tidak Alqur’an. Kebetulan dalam benar – istilah – bahwa dia (asy- rombongan itu ada pula saudara Syausyani) mengatakan: bahwa laki-laki kandung yang shahabat semoga Allah meredhai berdasarkan hadits nabi adalah mereka tentang mereka orang- “ahli waris sisa harta”. Karena orang yang keluar, tetapi yang harta sudah terbagi habis maka benar adalah dia mengatakan : saudara kandung tidak dapat bahwa shahabat itu merupakan bagian apa-apa. Tidak dapatnya para mujtahid” (Usman bin saudara kandung, sedangkan Muhammad al-Akhdar saudara seibu mendapat, tentu Syausany, n.d: 127). tidak enak dirasakannya. Dalam Di antara beberapa contoh hal ini umar menetapkan bahwa ijtihad yang dilakukan oleh saudara kandung bergabung shahabat, antara lain: dengan saudara seibu dalam 1) Memerangi orang yang tidak mau mengambil hak 1/3 harta yaitu membayar zakat hak saudara seibu. Hak istri atas Diriwayatkan, Abu Bakar peninggalan mendiang suaminya sebagai Khalifah pernah dijelaskan secara pasti dalam memerangi orang yang menolak Alqur’an Surat An Nisa 12 yaitu ¼ membayar zakat. Umar bin al- bila suami tidak meninggalkan Khattab menegurnya dengan anak dan 1/8 bila suami

172 ` Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 17, Nomor 2, Juli-Desember 2018

meninggalkan anak. Istri ini tidak menutup pintu kesalahan yang mendapat hak apa-apa bila sama bagi orang lain. sebelum suami mati istri sudah di Tentang iddah wanita yang cerai terlebih dahulu. kematian suami disebutkan oleh 3) Hukuman diyat karena Allah secara pasti dalam Surat Al- pengampunan salah seorang Wali Baqarah ayat 234 yaitu 4 bulan 10 Ketika haji wada’ Nabi hari: menyuruh pilih keluarga korban “Orang-orang yang meninggal dunia dimaksud, qishas atau denda bagi di antaramu dengan meninggalkan pembunuh (pembunuh isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) disengaja). Ini sesuai firman Allah menangguhkan dirinya (ber'iddah) dalam surat Al-Baqarah ayat 178. empat bulan sepuluh hari. kemudian “Hai orang-orang yang beriman, apabila telah habis 'iddahnya, Maka diwajibkan atas kamu qishaash tiada dosa bagimu (para wali) berkenaan dengan orang-orang yang membiarkan mereka berbuat terhadap dibunuh; orang merdeka dengan diri mereka menurut yang patut. orang merdeka, hamba dengan Allah mengetahui apa yang kamu hamba, dan wanita dengan wanita. perbuat. Maka barangsiapa yang mendapat òÓ âìèË Ì ò¿• ”‘Ž¤¼ß• Õ®Ô— suatu pema'afan dari saudaranya, ÊŸ®ó •î¤’»ƒ í ,”£î˜Ôäß• •Ž¼ã÷• hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, ,âìèó© ”Ó®Ìäß âìçŽÜã âìô߃ dan hendaklah (yang diberi ma'af) áŽÜŸõ• âìß åîИ’ó•îçŽÜÓ membayar (diat) kepada yang í , ”ó ©Žì˜Ÿõ• ®ôÏ ”»î¼èäß• memberi ma'af dengan cara yang baik Ž»î¼èã éíª ó âߎã âÜ£ åîĒ蘴ó (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu ©Žì˜Ÿ•í ”è´ß• í 僮Øß• òÓ êôàË dan suatu rahmat. Barangsiapa yang ®§ƒ ©Žì˜Ÿ• æã Òà˜¨ó ªì˜ äß• melampaui batas sesudah itu, maka í ,ŽìäôôØ— í Ê×îàß ®óªØ˜ß• Ñü˜§Ž‘ baginya siksa yang sangat pedih” í ,Žì‘ ݪ˜´ó ò˜ß• ”ß©õ• Ñü˜§• 4) Pernikahan seorang wanita yang –¤— •Žóï° ß• •••©ƒ òÓ Ñü˜§û• sedang dalam ‘iddah ,”ãŽÌß• ªË•îØß•í ,”ôߎäŸõ• ”ß©õ• Tentang kasus semacam ini ”»Ž¨ß• ”ôèë¬ß• žëŽèäß• Ñü˜§•í terdapat dalam sunnah maupun Alqur’an. Ali ra. dalam menjawab áªÌßí ,æóªì˜ äß• æã ª£•í ÞÜ‘ masalah ini berpegang pada ð߃ ŽÌôäŸ ”Ôó®¸ß• šó©Ž£÷• Ýî»í prinsip umum, tidak ada .âìÌäŸ “larangan abadi”. Maka, cukuplah “Perbedaan shahabat semoga Allah diberi hukuman fisik dan SWT meredhai mereka pada kota- perceraian, serta “iddah ganda”. kota yang telah dikuasai, dan Sementara Umar ra. dalam menjadikan mereka kembali kepada mengambil sikap keras itu karena tempat-tempat mereka utnuk mengetahui dunia mereka, maka Takhrij al Furu’ Alal Usul Periode Ijtihad di Masa Sahabat dan Tabi’in (Kajian Sosiologi-Antropologi Hukum Islam) `173

sungguh mereka mencari bagi wasallam dalam keadaan ia beriman mereka hukum-hukum nash tanpa kepada Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam ijtihad, mereka menetapkan hukum meskipun ia tidak melihat Beliau yang belum ditemukan nash Shallallahu ‘alayhi wasallam dan ia mati terhadapnya berdasarkan di atas keislamannya. Di dalam kitab Alqur’an, as-Sunnah dan ijtihad al-Hadits wa al-Muhadditsuun, para mujtahid yang berbeda dari menyetir pendapat al-Khatib, dikatakan ijtihad yang lain dengan bahwa Tabi'in adalah orang yang perbedaan ketetapan untuk menyertai shahabat, tidak cukup hanya kejadian dan tempatnya, dan bertemu saja—seperti batasan arti berbeda dalil-dalil yang mereka shahabat, mereka cukup dengan hanya jadikan dalil bagi nya, dan bertemu saja dengan Nabi Muhammad perbedaan pada tingkatan juz’i di SAW, karena nilai kemuliaan, atas dalil yang ijmali, dan qawaid ketinggian budi Nabi. Berkumpul umum, dan perbedaan manhaj sebentar dengan Nabi bisa mazhab yang khusus dengan berpengaruh terhadap Nur Ilahi setiap pribadi mujtahid dan seseorang, sedangkian bertemu dengan menolak sampainya hadist-hadist orang lainnya tidak (termasuk dengan yang mulia semua ke pada kumpulan-kumpulan mereka” para shahabat) meskipun waktunya lebih lama. Sedangkan kebanyakan ahli ( Muhammad Musa, n.d: hadits berpendapat bahwa, Tabi'in 56-57). adalah orang yang bertemu shahabat 2. Takhrij Pada Masa Tabi’in meskipun tidak berguru kepadanya. Lain halnya dengan batasan al-Hakim, ”‘Ž¤» •îØß æó¬ß• æ㯠îë æôÌ‘Ž˜ß• æ㯠ia mendefinisikan tabi'in sebagai orang åŽÛ ª×í , âà³ í êôàË Ì Þ» Ì Ý yang menjumpai shahabat dan pernah , âìèË Ì ð¿• ”‘Ž¤¼ß• á¯û æã âìèô‘ meriwayatkan daripadanya. Sedangkan û• í ©Žì˜Ÿû• òÓ âì ìèã í âììØÔ‘ ®›„˜Ó dalam buku lain disebutkan, tabi’in adalah setiap muslim yang belum ÁŽ’蘳 sempat melihat Nabi SAW namun ia sempat melihat dan bertemu dengan “zaman tabi’in adalah zaman orang- shahabat, baik ia meriwayatkan atau orang yang bertemu dengan shahabat tidak darinya. Rasulullah SAW, dan sungguh diantara

mereka dari keleaziman shahabat semoga a. Langkah – Langkah Tabi’in dalam Allah meredhai mereka, berbekas dengan Takhrij dan Tasyri’ pemahaman, manhaj mereka dalam Bila artian sederhana tentang berijtihad dan beristibath” (Usman bin hukum Islam itu dihubungkan Muhammad al-Akhdar Syausany, n.d: kepada pengertian fiqh sebagaimana 129). dijelaskan sebelumnya, dapat Jadi dapat dipahami bahwa tabi’in dikatakan bahwa yang dimaksud adalah orang yang berjumpa dengan dengan hukum Islam itu adalah shahabat Nabi Shallallahu ‘alayhi yang bernama fiqh dalam literatur

174 ` Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 17, Nomor 2, Juli-Desember 2018

Islam yang berbahasa Arab. Dengan besar Persi hingga sampai sungai demikian, setiap kata fiqh dalam Jihon (Amudariya), dari utara atas buku ini berarti hukum Islam (Amir Suriyah dan negeri Armenia. Dari Syarifuddin, 2009: 6). barat atas Mesir. Pada zaman itu Kajian tentang hukum Islam itu dibangun kota-kota Besar Islam mengandung dua bidang pokok seperti Fusthath, Kufah, dan yang masing-masing luas Bashrah. Dan sebagian besar kaum cakupannya, yaitu: Pertama, kajian Muslimin tinggal disana, di antara tentang perangkat peraturan terinci mereka banyak tedapat shahabat. yang bersifat amaliah dan harus Banyak orang-orang yang bukan diikuti umat Islam dalam kehidupan bangsa Arab memasuki Islam. beragama. Inilah yang secara Pada masa Ustman sederhana disebut fiqh dalam artian penaklukan-penaklukan itu meluas khusus dengan segala lingkub ke timur dan ke barat, hanya saja bahasannya. Kedua, kajian tentang bangunan yang tinggi itu hampir ketentuan serta cara dan usaha yang tidak sempurna, karena tertimpa sistematis dalam menghasilkan dengan pertarungan hebat, yaitu perangkat peraturan yang terinci itu kehebohan melawan Amirul disebut ushul fiqh atau dalam arti Mukminin Utsman bin Affan r.a, lain sistem metodologi fiqh. yang dimulai dengan permufakatan Rasulullah SAW wafat dan orang-orang yang membencinya dan Abu Bakr r.a menjabat sebagai berakhir dengan tindakan kumpulan khalifah. Pada masa dijumpai tiga negara besar ke Madinah sebagian besar bangsa Arab dimana mereka menghabisi berpaling dari Islam. Cita-cita hidupnya. Hal ini menjadi sebab mantap dari Abu Bakr dan kekuatan perpecahan pendapat kaum Iman dalam hati orang Muhajirin Muslimin, yaitu satu golongan yang dan orang Anshar adalah obat yang dendam atas Utsman dan merka paling berguna untuk mengokohkan adalah orang-orang yang membai’at tiang-tiang Islam. Maka Abu Bakr Ali bin Abu Thalib r.a dan satu menyiapkan menyiapkan beberapa golongan yang dendam atas bala tentara untuk dikirim ke Irak terbunuhnya Utsman dan mereka dan Syam, untuk menyiarkan adalah orang-orang yang mengikuti dakwah Islam pada kerajaan Persi Mu’awiyah bin Abi Sofyan r.a. dan Rumawi, dan Abu Bakr Tempat tinggal golongan yang meninggal sebelum itu terealisir dan pertama adalah Kufah ibukota belum diketahui siapa yang negeri Irak dan tempat tinggal melanjutkannya (Hudhari Bik, 2008: golongan yang kedua adalah 243). Damaskus ibukota negeri Syam. Dua Kemudian datanglah Umar, golongan ini saling membenci satu maka ditangannya sempurnalah sama lainnya dan yang satu saling penaklukan dan kaum Muslimin mengutuk dan akhirnya masalah itu, memerintah dari timur atas sebagian menimbulkan perperangan besar Takhrij al Furu’ Alal Usul Periode Ijtihad di Masa Sahabat dan Tabi’in (Kajian Sosiologi-Antropologi Hukum Islam) `175 antara golongan itu di padang padanan masalahnya dengan apa Shiffin. Orang-orang yang berperang yang terdapat dalam nash. Bila tidak dari dua kelompok itu adalah orang- mungkin, mereka menempatkan orang pilihan di dunia Islam. maslahatan umum sebagai bahan Di zaman tabi’in, permasalahan rujukan dalam berijtihad. hukum yang muncul pun semakin Dalam masa ini terlihat cara kompleks. Para tabi’in melakukan mereka melakukan ijtihad mengarah ijtihad di berbagai daerah Islam kepada dua bentuk, yaitu: (Nasrun Haroen, 1996: 8). Dalam 1) Kalangan shahabat yang lebih masa tabi’in ini Islam semakin luas banyak menggunakan hadits atau wilayahnya, kehidupan masyarakat al-Sunnah dibandingkan ra’yu. juga semakin maju dan komplek. Cara ijtihad seperti ini Penganut Islam pun bukan lagi berkembang di kalangan ulama hanya orang-orang Arab, tetapi Madinah dengan tokohnya Sa’id sudah berbaur dengan bangsa lain ibn al-Musayyab. Kalangan yang berbeda-beda bahasanya. shahabat ini kemudian Perkembangan ini menyebabkan berkembnag dengan sebutan pengetahuan umat Islam akan “Madrasah Madinah” sumber Islam yaitu Alqur’an dan al- 2) Kalangan shahabat yang lebih Sunnah yang berbahasa Arab itu banyak menggunakan ra’yu tidak lagi sesempurna orang dibandingkan dengan pengunaan sebelumnya. Di samping itu, al-Sunnah. Cara ijtihad seperti ini permasalahan kehidupan yang berkembang di kalangan ulama memerlukan jawaban hukum Kufah dengan tokohnya Ibrahim semakin meningkat yang lebih al-Nakh’i. Kalangan shahabat ini menuntut pelaksanaan ijtihad. kemudian berkembang dengan Cara ulama tabi’in melakukan sebutan “Madrash Kufah” (Amir ijtihad adalah mengikuti cara yang Syarifuddin, 2009: 260). sudah dirintis sebelumnya oleh Kenapa ulama Madinah lebih shahabat. Mereka menggunakan banyak menggunakan Hadits Alqur’an dan al-Sunnah nabi sebagai ketimbang ra’yu dan kenapa pula rujukan utama. Selanjutnya mereka ulama Kufah atau Irak lebih mengikuti ijma’ shahabat. Jika tidak menggunakan ra’yu ketimbang ditemukan dalam ijma’ mereka Hadits? Hal ini dapat dipahami berpedoman kepada hasil ijtihad dengan melihat kepada kondisi dan pribadi dari shahabat yang mereka perkembangan masyarakat di dua kuat dalilnya. Disamping itu, mereka lokasi yang berbeda ini. Kufah atau menggunakan ra’yu sebagaimana Irak adalah suatu wilayah yang lebih yang dilakukan oleh shahabat. maju kehidupan masyarakatnya, Dalam penggunaan ra’yu sedapat sehingga masalah hukum yang mungkin mereka tempuh melalui dihadapinya sangat kompleks. qiyas, bila mereka menemukan Letaknya yang berjauhan dengan

176 ` Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 17, Nomor 2, Juli-Desember 2018

pusat kedudukan Nabi yang perempuan keluar rumah untuk menyebabkan ulamanya lebih pergi ke mesjid karena pada masa itu cenderung (terdorong) untuk banyak orang yang usil dan fasik menggunakan ra’yu. Sedangkan yang akan menganggu perempuan Madinah adalah suatu wilayah yang yang keluar rumah (Amir kehidupan masyarakatnya masih Syarifuddin, 2009: 259). sederhana, sehingga masalah hukum Sa’id ibn al-Musayyab sebagai yang dihadapinya tidak begitu mujtahid tabi’in banyak kompleks. Di sisi lain mereka hidup menghasilkan ijtihad yang di kalangan kaum yang berdekatan kelihatannya berbeda dengan apa dengan Nabi sehingga banyak yang diketahui sebelumnya. Seperti mempunyai koleksi Hadits. Karena pendapatnya yang mengatakan diberikan jawabannya dengan bahwa seorang isteri yang ditalak Hadits Nabi yang banyak mereka tiga yang akan kemabli kepada ketahui. Hal ini menyebabkan suaminya yang pertama adalah mereka tidak begitu terdorong untuk cukup jika telah melakukan akad menggunakan ra’yu. nikah dengan suami kedua dan tidak Hasil yang dicapai oleh ijtihad perlu bercampur terlebih dahulu. ulama tabi’in ini, meskipun mereka Beliau berdalil dengan umumnya mengikuti petunjuk dari cara ijtihad firman Allah dalam surat al-Baqarah ulama shahabat, namun dalam (2): 230; beberapa hal mereka berbeda “Kemudian jika si suami pendapat dengan ulama Shahabat, mentalaknya (sesudah talak yang bahkan berbeda dengan apa yang kedua), maka perempuan itu tidak berlaku pada waktu nabi. Ali bin Abi lagi halal baginya hingga dia kawin Thalib dan sebagian ulama shahabat dengan suami yang lain. Kemudian menerima kesaksian salah seorang jika suami yang lain itu suami isteri terhadap yang lain menceraikannya, maka tidak ada dosa dalam pengadilan. Begitu pula, bagi keduanya (bekas suami pertama mereka menerima kesaksian anak- dan isteri) untuk kawin kembali jika anak terhadap orang tua dan keduanya berpendapat akan dapat kesaksian orang tua terhadap anak- menjalankan hukum-hukum Allah. anak. Tetapi Qadhi Syureih dan Itulah hukum-hukum Allah, sebagian ulama tabi’in menerima diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. kesaksian seperti itu, karena adanya Pendapat berbeda dengan unsur tuhmah dan kecintaan yang pendapat ulama shahabat yang akan mempengaruhi mereka dalam berpedoman kepada Hadits Nabi kesaksiannya. yang mengatakan bahwa isteri yang Dalam masa Nabi dan masa ditalak tiga itu baru boleh nikah lagi shahabat, perempuan biasa keluar dengan suami pertamanya bila dia rumah untuk pergi ke mesjid asal telah bercampur dengan suami tidak memakai wewangian. Ulama kedua dan tidak cukup dengan akad tabi’in menetapkan tidak bolehnya Takhrij al Furu’ Alal Usul Periode Ijtihad di Masa Sahabat dan Tabi’in (Kajian Sosiologi-Antropologi Hukum Islam) `177

nikah. Sa’id bin al-Musayyab juga Mereka tidak meluaskan dalam menfatwakan bolehnya seseorang menetapakan masalah-masalah dan yang sedang junub untuk membaca menjawabnya, bahkan mereka tidak Alqur’an asal tidak memegang menampakkan pendapat tentang mushaf Alqur’an itu. Pendapat ini sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi. Jika berbeda dengan pendapat ulama sesuatu itu terjadi maka mereka sebelumnya. Masa tabi’in ini dalam berijtihad untuk mengistimbathkan hal pelaksanaan ijtihad dikenal hukumnya. Oleh karena itu fatwa- sebagai masa perantara antara masa fatwa yang dinukil dari shahabat- sahahabat dengan masa imam shahabat besar adalah sedikit. mujtahid, karena motode ijtihad Dinamika sosial dan hukum Islam yang dilakukan ulama ulama saling memiliki keterkaitan dalam shahabat diperdalam dan dipolakan melakukan perubahan. Satu sisi perubahan dalam masa tabi’in ini. Hasil yang sosial karena hukum Islam. Di sisi lain, telah dicapai masa tabi’in inilah yang perubahan hukum Islam karena perubahan dikembangkan secara sistematis dan sosial. Keberadaan hukum Islam yang terstruktur oleh imam mujtahid. dibawa oleh Rasulullah Saw. dengan jelas merubah sosial masyarakat pada waktu itu b. Ijtihad dan Khazanah Fikihiyah di dari masyarakat jahiliyyah yang berpegang Zaman Tabi’in kepada adat kebiasaan mereka menjadi Ijtihad adalah pengerahan masyarakat Islam yang berpegang kepada kesungguhan dalam mengeluarkan hukum Islam. Tetapi hukum Islam juga hukum syara’ dari apa yang dianggap melakukan perubahan karena terjadinya syari’ sebagai dalil yaitu kitabullah dan perubahan sosial. Sesuai dengan kaidah Sunnah Nabi SAW. ini dibagi dua fikih yang dibuat oleh fuqaha: “berubahnya fatwa dengan sebab berubahnya masa, macam yakni: tempat, keadaan (niat) dan adat kebiasaan.” 1) Mengambil hukum dari yang zhahir- Dengan melakukan perubahan hukum, zhahir nash apabila hukum itu maka hukum Islam itu dinamis, dan diperoleh dari nash-nash itu. mampu beradaptasi, sehingga hukum Islam 2) Mengambil hukum dari ma’qul nash itu op tu date sesuai dengan perkembangan ‘illat karena nash itu mengandung zaman dan perubahan social illat yang menerangkannya, atau ‘ (Fathurrahman az-Zhari, 2016). itu dapat diketahui dan tempat kejadian yang di dalamnya mengandung ‘illat, sedang nash itu PENUTUP tidak memuat hukum itu. Inilah Sosiologi hukum; mempelajari, yang dinamakan dengan qiyas. menjelaskan secara analitisempiris (Hudhari Bik, 2008: 256). tentang persoalan hukum dihadapkan Pengeluaran hukum (istimbath) dengan fenomena-fenomena lain pada masa itu terbatas pada fatwa- dimasyarakat.Hubungan timbal balik fatwa yang difatwakan oleh orang yang antara hukum dengan gejala-gejala ditanya tentang suatu peristiwa. sosial lainnya merupakan bagian yang

178 ` Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 17, Nomor 2, Juli-Desember 2018

tidak terpisahkan dalam mempelajari a. Mengambil hukum dari yang zhahir- sosiologi hukum. zhahir nash apabila hukum itu Pengembangan kajian hukum diperoleh dari nash-nash itu. selalu bersifat dinamis dan adaptif b. Mengambil hukum dari ma’qul nash terhadap kebutuhan zamannya. karena nash itu mengandung ‘illat Hukum tidak hadir “terberikan” dalam yang menerangkannya, atau ‘illat itu kehidupan masyarakat untuk mengatur dapat diketahui dan tempat kejadian dan mengawasi dan memberikan yang di dalamnya mengandung sanksi, melainkan hukum merupakan ‘illat, sedang nash itu tidak memuat interaksi manusia dengan dirinya hukum itu. Inilah yang dinamakan pribadi, sesama manusia, alam dan dengan qiyas Sang Maha Pencipta. Hal yang penting Para shahabat dan tabi’in sangat dapat diperhatikan adalah hukum cerdas dalam menetapkan suatu tidak hanya berisi konsepsi normatif: ketetapan hukum. Hal ini dilihat dari hal-hal yang dilarang dan dibolehkan: pengembangan hukum dengan tetapi juga berisi konsepsi kognitif. penetapan melalui ijtihad yang Tidak dapat dipungkiri, bahwasanya mengacu kepada nilai dari kajian kajian hukum yang hanya sosiologi dan antropologi hukum. berlandaskan metode normatif - yuridis atau normatif - positivistik hanya akan mengarah kepada hilangnya nilai DAFTAR KEPUSTAKAAN substantif dalam hukum atau norma Abdul Wahab Khalaf. (n.d.). Ushul Fiqh. tersebut. Kajian Antropologi Hukum Beirut: Dar- Alfikri. telah memberikan perspektif baru dan solusi alternatif dalam memahami Amir Syarifuddin. (2009). Ushul Fiqh (Jilid hukum dan berbagai aspek yang 1). Jakarta: Kencana. muncul dari hukum itu sendiri.Kajian Bustanuddin Agus. (2012). Sosiologi dengan pendekatan ini sangat Hukum. Padang. membatu terhadap subjek dan objek Dadang Kahmad. (2002). Sosiologi Agama. dari hukum, dan menghindari praktek “cucuk cabut” dalam penyusunan dan Bandung: PT Remaja Rosdakarya. penegakan hukum dalam masyarakat. David Jarry & Julia Jary. (n.d.). The Harper Periode shahabat dan tabi’in Collins Dictionary Sociology. Harper merupakan periode tafsir dan takmil Perennial A Division of Harper (penjelasan dan penyempurnaan) Collins Publisher. Ijtihad adalah pengerahan Fathurrahman az-Zhari. (2016). Dinamika kesungguhan dalam mengeluarkan Perubahan Hukum Dalam Islam. At- hukum syara’ dari apa yang dianggap Tahrir - Jurnal Pemikiran Islam. syari’ sebagai dalil yaitu kitabullah dan Sunnah Nabi SAW. ini dibagi dua Hilman Hadikusuma. (2013). Antropologi macam yakni: Hukum Indonesia. Bandung: PT. Alumni Bandung. Hudhari Bik. (2008). Tarikh al-Tasyri’ Al- Takhrij al Furu’ Alal Usul Periode Ijtihad di Masa Sahabat dan Tabi’in (Kajian Sosiologi-Antropologi Hukum Islam) `179

Islami (Sejarah Pembinaan Hukum Roger M. Keesing. (1992). Antropologi Islam), alih bahasa Muhammad Zuhri. Budaya (Jilid 1). Jakarta: Erlangga. Semarang: Darul Ikhya Indonesia. Sartono Sahlan. (2010). The Other Laws di Ihromi. (2003). Antropologi Hukum Islam. Era Otonomi Daerah (Studi Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Antropologi Hukum). Pandecta Iqbal Hasan. (2002). Metodologi Penelitian Fakultas Hukum UNNES Semarang. dan Aplikasinya. Bogor: Ghalia Sayyid Muhammad Musa. (n.d.). al-Ijtihad Indonesia. wa mada hajatuna ilahi fi haza al-‘asry. Nasrun Haroen. (1996). Ushul Fiqh I. Darul Kutubal-Haditsah. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu. Sulistyowati Irianto, dkk. (2012). Kajian Pasudi Suparlan. (1980). Kebudayaan, Sosio Legal. Denpasar: Pustaka Masyarakat dan Agama: Agama Larasan. Sebagai Sasaran Penelitian Usman bin Muhammad al-Akhdar Antropologi. Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Syausany. (n.d.). Takhrij al-Furu’ ‘Ala Indonesia (Indonesian Journal of Cultural Al-Ushul Dirasah Tarikhiyah wa Studies), 10(1). Minhajiyah wa Tabqiyah. Mamlikiyah.