DINASTI ṢAFAWI: PERKEMBANGAN SENI ARSITEKTUR DAN LUKISAN MASA SHAH ABBAS I (1588-1629 M)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh:

HANA HANIFAH (1110022000015)

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M

i

ii

iii

UCAPAN TERIMAKASIH

“Cita-citaku ingin menjadi arsitek!”. Itulah jawaban penulis usia sekolah menengah pertama, ketika ditanya tentang mimpi. Tapi sepertinya kemampuan otak kiriku tak sebaik yang diharapkan. Beranjak dewasa, bahasa dan hal abstrak menjadi hal yang semakin menyenangkan. Maka cita-cita tadi terpaksa di cancle.

Tapi ternyata Tuhan sangat menyayangi penulis dengan mengarahkan kepada jurusan Sejarah Islam dan tema seni untuk tugas akhir ini. Penulis pikir ini adalah jawaban atas cita-cita itu, “tak bisa menjadi arsitek, kau bisa menjadi seorang ahli dalam pengetahuan seni”. Meski cara dan bentuknya yang berbeda, tetapi sama- sama untuk mendapatkan inti yang sama.

Maka, dengan kesungguhan, kerja keras dan do’a pekerjaan sesulit apapun akan teratasi. Dengan basmallah di awal, pada akhirnya penulis mengucapkan hamdallah, segala puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan kasih-Nya yang tiada batas, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan tugas akhir di jenjang strata pertama ini, dengan skripsi yang berjudul, DINASTI ṢAFAWI:

PERKEMBANGAN SENI ARSITEKTUR DAN LUKISAN MASA SHAH

ABBAS I (1588-1629 M).

Shalawat dan salam sejahtera semoga selalu tercurahkan kepada Baginda

Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan kita, umatnya, sehingga mampu untuk tetap memegang teguh warisan yang diamanahkannya kepada kita. Amiin.

Tak lupa, penulis juga mengucapkan terimakasih atas kasih sayang serta bantuan dan dukungan, baik materil maupun non materil, yang penulis dapatkan

iv

dari berbagai pihak selama studi yang dilakukan penulis hingga penyelesaian tugas akhir ini. Terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Dosen Pembimbing skripsi sekaligus Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode sekarang, Bapak Nurhasan, MA, yang dengan sabar membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini, 2. Sholikatus Sa’diyah, M.Pd, Sekertaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, yang selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik, 3. Drs. M. Ma’ruf Misbah, MA, Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN SyarifHidayatullah Jakarta periode 2010 – 2014, yang turut membantu proses terlaksananya skripsi ini 4. Dosen Pembimbing Akademik, Dr. Saidun Derani, MA, yang dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, selalu mengarahkan dan mendorong penulis dan teman-teman mahasiswa lainnya supaya terus maju dan lebih baik lagi dalam menuntut ilmu, 5. Para dosen jurusan SKI, yang telah mengajarkan penulis dan teman-teman berbagai ilmu dan kasih sayang, 6. Bapak Kasyfiyullah yang sudah bersedia menjadi teman diskusi sekaligus konsultan kedua bagi penulis dan Dr. Abd. Chair, MA yang turut mendukung agar terus melanjutkan penulisan skripsi ini, 7. Isna Fauziah yang selalu memberi masukan dan dukungannya kepada

penulis, Tati Rohayati dan Ela Hikmah Hayati yang bersedia menyediakan

waktunya untuk membaca dan memberikan saran serta masukan tentang

skripsi ini. Kemudian teman-teman lainnya: SKI seperjuangan, STF, kosan,

Participatory Rural Appraisal, serta teman-teman seperjuangan lainnya yang

tak bisa penulis sebutkan satu per satu, karena kalian semua spesial bagi

penulis. Kalian selalu menghibur dan mendukung di sela-sela rumitnya

penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini, banyak pelajaran berharga yang

v

penulis dapatkan dari kalian semua. Sukses selalu untuk kalian dan semoga

selalu bertambah menjadi lebih baik, dan

8. Abah dan Ummi, Endang Ahmad Suryana dan Hidayah Djunaedi, yang paling berusaha membimbing, membesarkan, dan menyekolahkan penulis hingga saat ini. Kakak-kakakku tersayang, Teh Imas dan Ka Media , yang selalu memberi semangat di saat-saat rentan, dan terus mendukung penulis untuk terus maju, melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Lalu Teh Ai, Teh Ima, Teh Ida, serta Teh Aam, atas limpahan kasih sayang serta dukungan untuk lebih baik lagi kepada adik kalian ini. Tak ada bentuk terimakasih yang mampu menandingi kasih dan sayang kalian, khususnya untuk kedua orang tua penulis, terimakasih penulis tak akan pernah berujung.

Hanya do’a yang dapat penulis berikan. Kebaikan tulus yang penulis dapatkan, hanya Tuhan yang mampu membalasnya. Semoga kita semua selalu berada dalam tuntunan, lindungan serta kasih-Nya.

Terakhir, harapan penulis, skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan tetapi semoga karya ini dapat menjadi contoh yang berbeda, sehingga dapat menginspirasi untuk menulis dengan lebih baik lagi. Kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penting untuk disampaikan kepada penulis, sehingga penulis juga dapat lebih baik lagi untuk studi di jenjang selanjutnya. Aamiin.

Tangerang Selatan, 06 Juli 2015

Hana Hanifah

vi

ABSTRAK

Dalam sejarahnya, menurut Oleg Grabar, seni arsitektur hampir selalu diangkat sebagai simbol keagungan sebuah kekuasaan. Tetapi, berbeda dengan yang dilakukan oleh Shah Abbas I dari Dinasti Ṣafawi, Persia. Ia mengangkat isu ekonomi dalam rencana pembangunannya. satu aspek penting yang mendukung tujuan tersebut adalah arsitektur dan lukisan. Keduanya merupakan ‘kemasan’ yang sangat menarik sehingga dapat meningkatkan daya tarik dari para wisatawan asing berkunjung ke negerinya sebagai pendapatan negara. Berdasarkan pada hal tersebut, kajian tentang perkembangan seni, khususnya arsitektur dan lukisan, masa pra hingga Shah Abbas I, menarik ditelaah lebih jauh guna melihat konstruksi budaya yang dapat dijadikan pelajaran di masa kini, khususnya di Indonesia yang kaya akan budaya. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sejarah seni, yaitu bagaimana seni berkembang di masa Dinasti Ṣafawi dan bagaimana seni dapat turut memengaruhi perkembangan ekonomi. Penulis menyimpulkan bahwa inovasi dalam bidang seni yang dilakukan Shah Abbas I sebenarnya melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh Tahmasp I, hanya saja ia memberikan perbedaan yang jelas dengan membangun kota imperial Isfahan dan secara tidak langsung ia juga melakukan branding terhadap barang- barang artistik, dengan mewakafkannya pada tempat-tempat ziarah suci, seperti permata, karpet, porselen dan manuskrip ilustratif, yang kemudian barang-barang tersebut menjadi populer untuk digunakan sebagai hadiah ataupun barang wakaf, tetapi yang paling populer adalah karpet. Selain itu, dukungan Shah Abbas I terhadap berbagai kegiatan artistik, khususnya arsitektur dan lukisan, juga memberikan pengaruh terhadap berkembang dan populernya barang-barang seni dan mewah dalam kegiatan ekonomi. Dan dari penelitian ini penulis juga mendapati bahwa tempat ziarah merupakan tempat yang sangat penting dalam kehidupan Dinasti Ṣafawi. Hal ini terlihat ketika Shah Abbas I merekonstruksi dan menyumbangkan sejumlah dana yang sangat besar ke beberapa tempat ziarah, yang hasil sumbangan tersebut sangat membantu kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar tempat ziarah itu.

Kata Kunci: Iran, Persia, Dinasti Ṣafawi, Seni, Arsitektur, Lukisan.

vii

KATA PENGANTAR

Mengutip Roger M. Savory, hal yang menarik dari Iran adalah perbedaannya dengan negara-negara tetangganya di Timur Tengah, yaitu dari segi ras, bahasa, agama, dan tradisi sejarahnya. Pertama, dari segi ras, penduduk Iran bukanlah Semit dan bukan pula keturunan orang-orang Turki, sebagaimana umumnya negara-negara tetangganya, tetapi merupakan orang-orang Arya

(Aryan), sesuai nama wilayahnya ‘Iran’. Yakni dari Aryan menjadi Iran, yang artinya tanah orang-orang Arya.

Kedua, bahasa yang digunakan orang-orang Iran berbeda dari negara- negara sekitarnya yang rata-rata bahasa utamanya Arab dan Turki. Sedangkan bahasa yang digunakan Aryan adalah bahasa ibu indo-iranian seperti bahasa

Hindi dan Bengali yang berakar kata dari bahasa Sansekerta. Ketiga, Iran adalah negara Islam dengan mazhab Syi’ah terbesar di dunia atau Islam Heterodoks.

Keempat, pada masa Persia Kuno, Iran merupakan kekuatan imperial yang sangat kuat, yang merupakan Kekaisaran Persia pertama yang didirikan oleh Cyrus

Agung pada 550 SM, dan Iran Modern sangat bangga dengan peninggalan kekuatan pertama Iran tersebut.

Dan salah satu faktor di atas, yaitu sektor budaya, khususnya arsitektur dan lukisan, dalam lingkup Isfahan dengan sedikit tambahan beberapa kota yang lain, akan menjadi topik bahasan penelitian ini, dengan judul Dinasti Ṣafawi:

Perkembangan Seni Arsitektur dan Lukisan Masa Shah Abbas I (1588-1629

M).

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...... i

UCAPAN TERIMAKASIH ...... iv

ABSTRAK ...... vii

KATA PENGANTAR ...... viii

DAFTAR ISI ...... ix

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang Masalah...... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ...... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 6

D. Tinjauan Pustaka ...... 6

E. Metode Penelitian ...... 10

F. Kerangka Teori ...... 12

G. Sistematika Penulisan ...... 13

BAB II DINASTI ṢAFAWI DALAM SEJARAH ISLAM ...... 15

Sejarah Berdirinya Dinasti Ṣafawi ...... 17

A. Tarekat Sufi ...... 18

B. Gerakan Politik ...... 19

C. Pemerintahan Resmi ...... 21

BAB III SEJARAH ARSITEKTUR DAN LUKISAN PRA-DINASTI

ṢAFAWI ...... 24

A. Seni dalam Sejarah Islam ...... 24

ix

1. Arsitektur Islam ...... 26

2. Lukisan Islam ...... 28

B. Seni pra-Dinasti Ṣafawi ...... 30

C. Isfahan ...... 33

BAB IV SENI PADA MASA SHAH ABBAS I ...... 36

A. Perkembangan Ekonomi Dinasti Ṣafawi ...... 36

B. Perkembangan Arsitektur dan Lukisan ...... 37

1. Pra-Shah Abbas I ...... 37

2. Era Shah Abbas I ...... 48

3. Pasca Shah Abbas I ...... 61

BAB V PENUTUP ...... 62

A. Kesimpulan ...... 62

B. Saran ...... 63

DAFTAR PUSTAKA ...... 65

LAMPIRAN-LAMPIRAN

x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam literatur sejarah mengenai seni arsitektur, dijelaskan bahwa arsitektur juga memiliki daya tarik untuk memancing perkembangan ekonomi.

Namun sayangnya, sangat jarang para penguasa dalam sejarah yang memanfaatkannya seperti itu,1 bahkan seperti Istana Topkapi di Istanbul dan

Fatehpur Sikri di India pun, konteks ekonominya seakan-akan tidak pernah muncul dalam rencana mahakarya tersebut.2

Di hampir setiap pembahasan yang penulis baca, seni selalu diangkat sebagai fungsi simbolis, yakni sebagai sebuah keagungan dan kesakralan dari suatu kekuasaan, yaitu dalam bentuk yang kita sebut kerajaan, kekaisaran, ataupun dinasti. Bahkan, meskipun karya itu merupakan sebuah tempat suci – tempat ibadah – karya tersebut juga tetap menjadi simbol keagungan bagi kekuasaannya.3 Keagungan di sini dapat kita lihat dari aspek kekuatan, kehebatan dan kekayaannya. Seperti tempat-tempat suci Syi’ah di Iran dan Iraq, keduanya melambangkan simbol kesucian sekaligus simbol kekayaan penguasanya.4

Padahal, menurut Grabar, arsitektur juga dapat digunakan untuk tujuan ekonomi, tetapi dalam sejarah hanya sedikit yang memanfaatkannya seperti itu. Di antara sedikitnya penguasa yang menggunakan seni sebagai pendorong

1 Oleg Grabar, “Architecture and Society: ‘The Architecture of Power: Palaces, Citadels and Fortifications’,” dalam George Michell, ed., Architecture of the Islamic World: Its History and Social Meaning (London: Thames and Hudson LTD, 1978), h. 65. 2 Ernst J. Grube, “Introduction,” dalam George Michell, ed., Architecture of the Islamic World: Its History and Social Meaning (London: Thames and Hudson LTD, 1978), h. 13. 3 Grabar, “Architecture and Society: ‘The Architecture of Power: Palaces, Citadels and Fortifications”, h. 65. 4 Ibid.

1

perkembangan ekonomi adalah Dinasti Ṣafawi yang diduga sebagai salah satu yang memanfaatkan arsitektur untuk perdagangan.5 Dalam tulisannya, Oleg

Grabar tidak menyebutkan nama penguasanya, tetapi penulis berasumsi bahwa masa yang dimaksud adalah era kekuasaan Shah Abbas I.

Pada masa tersebut, seni dijadikan sebagai salah satu strategi untuk memajukan negaranya. Shah Abbas I ingin menegaskan pemerintahan Dinasti

Ṣafawi berjaya di mata internasional dengan membangun ibukota barunya,

Isfahan.6

Kemudian, Ahmed menyebutkan bahwa gaya lukisan maupun desain ornamen pada era Shah Abbas I menjadi lebih realistik, sensualitas lebih ditonjolkan, dan lebih banyak menggambarkan kehidupan sehari-hari.7 Penulis memandang hal tersebut sebagai sebuah manifestasi dari kondisi sosial saat itu sekaligus sebagai sebuah inovasi dalam perencanaan pembangunannnya.

Jika seseorang ingin mempelajari aspek sejarah masa kebangkitan di Italia haruslah mengetahui terlebih dahulu berbagai seni konstruksi yang ada pada akhir abad pertengahan, karena dalam seni rupa benar-benar telah menjelaskan bagaimana seniman-seniman masa itu mengungkapkan tentang usaha yang keluar dari jiwa masa abad pertengahan dan melangkah ke arah modernisasi dan inovasi dalam mengungkapkan suatu kandungan jiwa manusia melalui apa yang nampak di dalam gerakan dan raut muka.8

5 Ibid. 6 Marika Sardar, “Shah ‘Abbas and the Arts of Isfahan”, dalam Heilbrunn Timeline of Art History (New York: The Metropolitan Museum of Art, 2000), artikel diakses pada 16 Maret 2015 dari http://www.metmuseum.org/toah/hd/shah/hd_shah.htm. 7 Akbar S. Ahmed, Discovering Islam: Making Sense of Muslim History and Society (London: Routledge, 1988), h. 70. 8 Hasan Usman, Metode Penelitian Sejarah,. Penerjemah Mu’in Umar dkk (Departemen Agama: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), h. 37.

2

Seperti yang Ahmed kemukakan bahwa mungkin cara terbaik untuk memahami Dinasti Ṣafawi adalah melalui lukisan mereka.9 Maka untuk mempelajari sejarah masa kebangkitan Islam di Persia pada abad pertengahan, penulis melakukan pendekatan sejarah seni,10 yaitu melihat bagaimana perkembangan seni di masa Dinasti Ṣafawi. Kemudian penulis akan lebih fokus pada bagaimana seni, khususnya arsitektur dan lukisan menjadi salah satu faktor yang turut mempengaruhi perkembangan pemerintahan, terutama ekonomi Dinasti

Ṣafawi.

Selanjutnya, sejauh yang penulis telusuri tentang seni di masa Dinasti

Ṣafawi, hampir semua penguasa dinasti ini cenderung menyukai seni, khususnya lukisan. Tetapi di setiap masa kepemimpinannya ekspresi apresiatif terhadap seni tersebut berbeda-beda. Dengan melihat perbedaan tersebut akan dapat diketahui dari pengembangan seni yang dilakukan dan apakah memberikan pengaruh terhadap perkembangan pemerintahannya.

Perkembangan seni arsitektur sebenarnya dimulai sekitar 1598 oleh Shah

Tahmasp I,11 namun secara ekonomis tidak sepesat masa Shah Abbas I, hal ini boleh jadi dikarenakan salah satu kebijakannya yang melarang para pedagang ataupun misionaris (utusan asing) datang ke negerinya.12 Klimaks perkembangan

9 Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi Sejarah Islam Di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban. Penerjemah Amru Nst (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), h. 127. 10 Kishwar Rizvi, “Art” dalam Jamal J. Elias, ed., Key Themes for the Study of Islam (Oxford: Oneworld Publications, 2010), h. 16 dan 20. 11 Andrew Petersen, Dictionary of Islamic Architecture (London: Routledge, 1996), h. 247. 12 Roger M. Savory, The Land of The Lion of The Sun: The Flowering of Iranian Civilization dalam Bernard Lewis, ed. The World of Islam: Faith, People, Culture (London: Thames and Hudson, 1976), h. 266.

3

seni arsitektur terjadi masa Shah Abbas I, yang ditandai dengan mahakarya arsitekturnya, yaitu pembangunan ibukota Isfahan.13

Ia menstimulir para senimannya untuk membuat sebuah gaya seni yang akan menjadi khas Persia, yang dimanifestasikan melalui berbagai obyek benda, mulai dari ubin (mural) dan dekorasi dinding istananya, masjid, karpet-karpet tempat ziarah, tekstil dan manuskrip ilustratif.14 Dalam hal ini pun sebagian sejarawan memiliki kecurigaan bahwa hal itu sebagai kedok untuk kepentingan politik dan ekonomi saja.

Dengan begitu seni juga memiliki peranan penting bagi kemajuan pemerintahannya. Bahkan jika para pelancong diminta keterangan tentang siapa yang membangun penginapan bagi kafilah, yang sebelumnya hancur, jawaban mereka pasti Shah Abbas I.15 Selanjutnya, meski pembangunan untuk pendorong perekonomian dilakukan juga oleh Shah Abbas II, tetapi tidak semasif era Shah

Abbas I, karena di masa Shah Abbas II mulai mengalami kemunduran.

Adapun kegiatan artistik yang berkembang masa penguasa kelima dinasti ini lebih menonjol pada arsitektur dan lukisan, baik lukisan pada dinding bangunan, manuskrip maupun pada karpet, maupun keramik. Kemudian seni lain yang berkembang adalah seni menenun, membuat keramik, dan musik. Menurut beberapa sumber, musik mengalami kemunduran, kecuali pada masa Shah Abbas

I.

13 Antony Hutt, “Key Monuments of Islamic Architecture: Iran,” dalam George Michell, ed., Architecture of the Islamic World: Its History and Social Meaning, h. 253. 14 Sheila R. Canby, Shah Abbas The Remaking of Iran (London: The British Museums, 2009), h. 13. 15 Savory, “The Land of The Lion of The Sun: The Flowering of Iranian Civilization,” h. 247.

4

Sebelum menelisik lebih jauh, untuk penyebutan wilayahnya dalam skripsi

karena periode waktu yang ,(ﻓﺎﺮﺲ) ini, penulis akan menggunakan nama Persia dibahas masih termasuk abad pertengahan (akhir pertengahan) dan saat itu wilayah tersebut masih dikenal dengan nama Persia.16 Secara khusus lagi, ketika masa Dinasti Pahlevi, nama Persia, merupakan sebuah nama untuk identitas negeri, bangsa, bahasa, budaya, dan peradaban,17 yang secara resmi diganti dengan Iran. Bahasan penulis termasuk ke dalam ranah budaya, sehingga penyebutan Persia dirasa lebih cocok. Dan penulis lebih berfokus pada budaya di

Isfahan, tetapi juga akan menyebut sebagian kecil di kota-kota lain.

Dan berdasarkan latar belakang di atas, muncul banyak pertanyaan, seperti bagaimana sejarah perkembangan seni di dunia Islam, terutama tentang arsitektur dan lukisannya? Bagaimana sejarah Dinasti Ṣafawi? Bagaimana seni dapat membantu perkembangan ekonominya? Apa saja yang dilakukan Shah Abbas dalam memanfaatkan seni? Mengapa hanya pada masa Shah Abbas I seni lebih dapat memengaruhi ekonomi? Dan bagaimanakah sejarah seni, khususnya arsitektur dan lukisannya, baik sebelum maupun pada masa Dinasti Ṣafawi?

B. Batasan dan Rumusan Permasalahan

a. Rumusan Masalah

Seni arsitektur dan lukisan memiliki pengaruh terhadap perkembangan ekonomi pada masa pemerintahan Shah Abbas I. Dengan begitu, ada inovasi yang

16 Persia merupakan sebutan orang-orang Yunani (Parsa, Persis) untuk wilayah bernama Pars, sekarang Fars, yang berada di bagian selatan Iran sekarang. Sebutan Persia ini digunakan hingga 1935, ketika pemerintah di Tehran (Dinasti Pahlavi) menggunakan Iran sebagai nama resmi negara. Lihat Shahrough Akhavi, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World: Iran, dalam John L. Esposito, ed., vol. 2 (New York: Oxford University Press, Inc., 1995), h. 224. 17 Husain Heriyanto, Revolusi Saintifik Iran (Jakarta: UI-Press, 2013), h. 18.

5

dilakukan oleh Shah Abbas I. Untuk melihat inovasi tersebut, maka berdasarkan identifikasi di atas, yang menjadi rumusan permasalahan pokoknya adalah tentang perkembangan dan pengaruh seni di masa pemerintahan Shah Abbas I dan strategi yang dilakukannya dalam mendorong perkembangan seni arsitektur dan lukisan sehingga memberikan pengaruh terhadap ekonomi pemerintahannya.

b. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun kerangka tujuan dan manfaat dari penelitian terhadap permasalahan pokok di atas adalah:

1. Untuk memahami, dan menjelaskan kehidupan seni pada masa Dinasti Ṣafawi

beserta pengaruhnya, sehingga dapat membentuk sebuah rekonstruksi baru

sejarah Dinasti Ṣafawi, dan

2. Dapat turut memperkaya karya tulis kesejarahan dari perspektif sosial-budaya.

c. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalah di atas, yang menjadi kajian pokok penulis adalah:

1. Sejarah Dinasti Ṣafawi,

2. Sejarah Seni Pra- Ṣafawi, dan

3. Perkembangan Seni era Shah Abbas I.

C. Tinjauan Pustaka

Awalnya, ide penelitian ini sebagian besar berdasarkan tinjauan pustaka yang penulis lakukan dari beberapa sumber mengenai Dinasti Ṣafawi, yang di dalamnya menyebutkan bahwa musik mengalami kemunduran pada zaman ini karena dilarang dan kembali berkembang pada masa Shah Abbas I. Namun

6

sayangnya masih belum ada kejelasan dan sumber-sumber tentang hal ini masih sangat sulit untuk penulis akses.

Karena itu, penulis memperlebar kajian budayanya, yakni termasuk budaya fisiknya, terutama arsitektur dan lukisan. Arah kajian ini berujung kepada strategi yang dilakukan oleh Shah Abbas I, sehingga inovasi dalam arsitektur dan lukisannya dapat berpengaruh bagi perkembangan ekonominya. Semua ini penulis dapatkan dari hasil tinjauan terhadap beberapa sumber sekunder, baik berupa buku maupun artikel dalam jurnal.

Beberapa literatur tersebut di antaranya, Kebangkitan Peran Budaya:

Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia, yang diedit oleh

Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntington.18 Buku ini menawarkan definisi dan lingkup yang lebih tegas, yaitu budaya dalam bentuk nilai-nilai yang memiliki peran terhadap bidang lain, seperti ekonomi, politik maupun sosial. Tetapi, budaya sebagai produk intelektual, seni, musik, dan sastra yang selama ini menjadi definisi umum,19 dalam kacamata penulis juga memiliki peran terhadap faktor lain: ekonomi, politik, dan sosial Bentuk-bentuk nilai yang ditawarkan buku ini akan sangat berguna bagi penulisan skripsi ini, di mana penulis dapat melihat perbedaan hasilnya dari pendekatan budaya secara nilai maupun fisik.

Kemudian, skripsi yang ditulis mahasiswi Jurusan Sejarah dan

Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, yang berjudul Safawi Pada Masa Kebangkitan: Kajian Tentang Prestasi

18 Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntington, ed., Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia. Penerjemah Retnowati (Jakarta: LP3ES Indonesia, 2006). 19 Ibid, h. xvi.

7

Shah Abbas I (1588-1628) Dalam Membangun Kembali Dinasti Safawi,20 karya

Devie Luciana Pratiwi. Isi dari skripsi tersebut seperti judulnya, hanya tentang prestasinya saja. Memang di dalamnya dijelaskan tentang pembangunan fisik dan seni juga ekonomi, namun hanya sepintas lalu saja dan tanpa penjelasan tentang relasi ataupun pengaruh masing-masing terhadap bidang lain. Pendekatan penulisannya pun lebih kepada pendekatan politik. Di samping itu, karya skripsi, tesis, ataupun disertasi di UIN ini yang membahas tentang Dinasti Ṣafawi, sejauh jangkauan pencarian penulis, baru ada satu saja. Maka, penulis ingin melengkapi dan melanjutkan bahasan Dinasti Ṣafawi itu.

Kemudian, artikel Kishwar Rizvi – seorang ahli bidang seni Dinasti

Ṣafawi – yang berjudul “Art” dalam Key Themes for the Study of Islam, suntingan

Jamal J. Elias.21 Dalam tulisannya, Rizvi berbicara tentang seni sebagai salah satu tema kunci untuk mempelajari sejarah Islam, dan seni juga ternyata cukup penting dalam legitimasi kekuasaan, serta berbagai pendekatan sejarah untuk mempelajari seni. Dari sini penulis mendapatkan ide untuk membahas Dinasti Ṣafawi melalui pendekatan sejarah seninya.

Lalu, tulisan seorang ahli bidang arsitektur, Oleg Grabar, yang berjudul

“Architecture and Society: ‘The Architecture of Power: Palaces, Citadels and

Fortifications’,” dalam Architecture of the Islamic World: Its History and Social

Meaning, disunting oleh George Michell.22 Seperti yang telah dipaparkan paling awal, Grabar menyatakan bahwa sangat jarang para penguasa dalam sejarah yang

20 Devie Luciana Pratiwi, Safawi Pada Masa Kebangkitan: Kajian Tentang Prestasi Shah Abbas I (1588-1628) Dalam Membangun Kembali Dinasti Safawi, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012). 21 Rizvi, “Art”, h. 6, 16, dan 20. 22 Grabar, “Architecture and Society: ‘The Architecture of Power: Palaces, Citadels and Fortifications’ ”, h. 65.

8

menggunakan arsitektur untuk tujuan ekonomi seperti yang terjadi pada masa

Dinasti Ṣafawi. Dari sinilah penulis mulai menyusun kerangka penelitian mengenai perkembangan seni yang berpengaruh pada perkembangan ekonomi pada masa dinasti ini.

“Artistic Expressions of Muslim Societies”, tulisan Stephen Vernoit, dalam The Cambridge Illustrated History of the Islamic World suntingan Francis

Robinson.23 Sumber ini banyak membantu penulis dalam menyusun sejarah perkembangan seni di dunia Islam secara umum.

Terakhir dan yang paling penting adalah State Promotion of Consumerism in Safavid Iran: Shah Abbas I and Royal Silk Textiles, yang ditulis oleh Yuko

Minowa dan Terrence H. Witkowski.24 Dengan menggunakan sumber-sumber sekunder, mereka mengatakan bahwa Shah Abbas I menggunakan arsitektur dan lukisan sebagai media untuk mempromosikan negaranya – memperindah Isfahan, untuk meningkatkan perkembangan ekonominya dengan memaksimalkan produksi tekstilnya, sutera (baik secara kualitas maupun kuantitas). Sehingga ketika wisatawan lokal maupun asing datang ke Isfahan, mereka juga membeli suteranya. Jadi, arsitektur ini dimanfaatkan sebagai media promosi untuk meningkatkan budaya konsumtif rakyatnya maupun pengunjung asing, dan hal ini dapat mendorong terhadap kemajuan ekonomi negara.

Dari paper ini penulis tidak menemukan strategi yang dilakukan Shah

Abbas I dalam memanfaatkan arsitektur dan lukisan yang sebelumnya hanya

23 Stephen, Vernoit, “Artistic Expressions of Muslim Societies” dalam Francis Robinson, ed., The Cambridge Illustrated History of the Islamic World (Cambridge: Cambridge University Press, 1996). 24 Yuko Minowa dan Terrence H. Witkowski, “State Promotion of Consumerism in Safavid Iran: Shah Abbas I and Royal Silk Textiles” dalam Journal of Historical Research in Marketing, vol. 1, no. 2 (USA: Emerald Group Publishing Limited, 2009), h. 295 – 317.

9

sebagai ekspresi spiritualitas saja, menjadi sebuah media promosi. Maka, strategi tersebut penulis angkat menjadi sebuah isu permasalahan yang perlu dikaji, sehingga dapat melengkapi karya tersebut.

D. Metode Penelitian

Dalam penulisan karya tulis ini, penulis menggunakan penelitian analisis- deskriptif yang berdasar pada metode historical research. Ada 4 (empat) langkah yang harus dilakukan penulis dengan metode historis ini, yaitu heuristik, kritik sumber (verifikasi data), interpretasi, dan historiografi.25

a. Heuristik atau Pengumpulan Data

Teknik heuristik ini, berasal dari kata Yunani heurishein, artinya memperoleh.26 Heuristik adalah suatu teknik, suatu seni, dan bukan suatu ilmu.27

Oleh karena itu, menurut Dudung Abdurrahman, teknik ini tidak mempunyai peraturan-peraturan umum dan lebih seringkali merupakan suatu keterampilan dalam menemukan, menangani, dan memerinci bibliografi, atau mengklasifikasi dan merawat catatan-catatan.28

Dalam mengumpulkan data-data terkait yang diperlukan, penulis menggunakan teknik library research (riset kepustakaan) dengan sumber-sumber tertulis, yang dilakukan dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari, serta menelaah sumber-sumber terkait, seperti buku, jurnal, artikel, yang kemudian mencatat dengan sistematis hasil penelaahan tersebut.

25 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, cet. ke-2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 54. 26 Ibid., h. 55. 27 G. J. Renier, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Penerjemah Muin Umar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1987), h. 113. 28 Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, h. 55.

10

Untuk keperluan heuristik ini penulis melakukan pencarian di Perpustakaan

Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan menemukan beberapa referensi salah satunya artikel tulisan Oleg Grabar dan Ernst J. Grube dalam Architecture of the

Islamic World: Its History and Social Meaning yang dieditori oleh George

Michell.

Di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta, penulis menemukan lebih sedikit lagi, salah satunya yaitu A Study of History:

Introduction the Geneses of Cizilizations volume ke-1 karya Arnold Toynbee.

Selanjutnya di Perpustakaan Jama’ Lebak Bulus, penulis mendapatkan tambahan referensi seperti karya Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam:

Bagian Kesatu & Kedua.

Kemudian di Perpustakaan Universitas Indonesia Depok penulis mendapatkan Iran: Past and Present karya Donald N. Wilber dan di

Perpustakaan Nasional RI, sebenarnya penulis mendapatkan lebih banyak dari situs onlinenya tetapi penulis juga menemukan tambahan buku referensi, yaitu

Domestic Culture in the Middle East: An Exploration of the Household Interior karya Jennifer Scarce.

Selebihnya, penulis lebih banyak menemukan sumber, khususnya berupa artikel, dari penelusuran secara online di situs-situs resmi yang menyediakan berbagai macam referensi seperti jstor.org, archive.org, libgen.org dan e- resources.pnpri.org.

11

b. Verifikasi Data

Di tahap kedua ini, penulis akan menilai dan menyeleksi keotentisitasan data-data yang telah terkumpul, kemudian dimasukkan sebagai bahan rujukan utama dan data penunjang untuk tema yang penulis angkat.

c. Interpretasi

Memberikan penafsiran atau analisis dan mensintesis dengan melakukan komparasi terhadap data-data yang telah didapat dan diseleksi, sehingga menjadi sebuah kesatuan yang masuk akal.

d. Historiografi

Setelah melakukan ketiga tahapan di atas, penulis akan merekonstruksi potongan-potongan fakta sejarah yang masih tercecer, sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh dan jelas dalam bentuk tulisan karya ilmiah yang sesuai etika dan aturan yang berlaku.

E. Kerangka Teori

Dalam penyusunan skripsi ini penulis berlandaskan pada pendapat Oleg

Grabar, bahwa arsitektur dapat juga digunakan untuk tujuan ekonomi tetapi dalam sejarah hanya beberapa penguasa yang menggunakannya seperti itu.29 Seperti yang ia sebutkan juga, bahwa Dinasti Ṣafawi adalah salah satu yang memanfaatkannya.30 Grabar tidak menyebutkan pada era siapa, tetapi sebagaimana yang penulis kemukakan di awal, arsitektur dan lukisan menjadi alat promosi negara untuk mendorong perkembangan ekonomi adalah pada masa Shah

29 Grabar, “Architecture and Society: ‘The Architecture of Power: Palaces, Citadels and Fortifications’ ”, h. 65. 30 Ibid.

12

Abbas I.

Melalui penelitian ini, penulis berusaha membuktikan hal tersebut dengan melihat bagaimana perkembangan seni, khususnya arsitektur dan lukisan pada masa Shah Abbas I. Seni biasanya merupakan simbol dari kehidupan keagamaan dan budaya lokal tempat si pembuat. Meski seringkali bersifat esoteris, dalam karya seni terdapat sesuatu yang dapat memberikan kesenangan ataupun kepuasan tersendiri bagi yang melihatnya.

Shah Abbas I yang merupakan salah satu patron di antara penguasa yang mendukung perkembangan seni. Ia membangun Isfahan dengan bangunan- bangunan artistik dan menjadikannya sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat kegiatan ekonomi dan budaya, dan seni termasuk di dalamnya serta menjadi salah satu perhatian utama sang Shah. Hal itu dapat terlihat ketika ia mewakafkan barang-barang yang tidak biasa, yakni hasil karya seni, salah satunya karpet, yang kemudian populer di masyarakatnya.

Hal ini menunjukkan bahwa ia tak sekedar seorang pecinta seni, tetapi ia juga dapat melihat potensi budaya seni untuk membantu meningkatkan perkembangan ekonomi, khususnya sektor arsitektur dan lukisan. Hal itu tampak pada semakin banyaknya wisatawan lokal maupun asing yang datang ke Isfahan dan membeli produk, termasuk barang seni di sana, dan mengakibatkan adanya peningkatan konsumerisme dan masuk ke dalam pendapatan negara.

F. Sistematika Penulisan

Sesuai dengan pedoman penulisan, skripsi ini dibagi dalam lima bab yang berisi beberapa sub-bagian pembahasan, yaitu:

13

BAB I Pendahuluan: Latar Belakang Masalah, Permasalahan: 1.

Identifikasi Masalah, 2. Pembatasan Masalah, 3. Perumusan Masalah. Kemudian,

Tujuan dan Manfaat Studi, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, Kerangka

Teori, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Dinasti Ṣafawi dalam Lintasan Sejarah Islam: Sejarah Dinasti

Ṣafawi yang dimulai dari tarekat sufi, gerakan politik, hingga pemerintahan resmi.

BAB III Sejarah Seni Pra-Ṣafawi: Seni dalam Sejarah Islam, Seni

Arsitektur dan Lukisan pra-Ṣafawiyah, serta deskripsi singkat tentang Isfahan.

BAB IV Seni Masa Shah Abbas I: Ulasan singkat tentang perkembangan

Ekonomi Dinasti Safawiyah, serta Arsitektur dan Lukisan pra-Shah Abbas I hingga pasca Shah Abbas I.

BAB V Kesimpulan dan Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

14

BAB II

DINASTI ṢAFAWIYAH DALAM LINTASAN SEJARAH ISLAM

Sebelum kedatangan Islam di tanah Arab pada abad ke-7 Masehi, Persia telah memiliki sejarah peradaban yang panjang dan cukup berpengaruh sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Dalam sejarah tercatat dimulai dari Kekaisaran

Achaemeniyah (550 – 323 SM), Kekaisaran Seleuciyah (323 – 247 SM), Dinasti

Parthian (247 SM – 224 M), dan Dinasti Sasaniyah (224 – 651 M).31

Kemudian, setelah nabi Muhammad saw mendirikan pemerintahan Islam di Madinah pada awal abad ke-7 M, penyebaran Islam, baik secara doktrin dan geografis, semakin aktif dilakukan. Pada 651 M, Islam berhasil menaklukkan

Dinasti Sasaniyah, yang saat itu dipimpin oleh Kaisar Yazdagird III, dan Persia pun akhirnya berada di bawah kekuasaan Arab Islam (baca: Daulah Umayyah).32

Selanjutnya, Daulah Umayyah yang cenderung rasis, terutama terhadap orang

Persia, dikalahkan oleh Abu al-Abbas yang bekerjasama dengan orang-orang

Persia pada 750 M, dan berdirilah Dinasti Bani Abbas.

Pada masa ini, banyak orang Persia yang dilibatkan dalam kegiatan, baik dalam perpolitikan maupun budaya. Banyak nama-nama mereka yang menjadi aktor penting dalam mengembangkan Islam yang kaya akan khazanah ilmu pengetahuan dan budaya. Beberapa di antaranya seperti teolog al-Ghazali (w.

1111) dan al Raghib al Isfahani (w.1058), lalu peneliti Hadits seperti al-Bukhari

(w. 870), Muslim (w. 875), para filsuf seperti Ibnu Sina (sekaligus dokter, w.

1037), al-Farabi (w. 950), kemudian matematikawan al-Khawarizmi (w. 850),

31 John. H. Lorentz, Asian Historical Dictionaries no. 16: Historical Dictionary of Iran (USA: Scarecrow Press, Inc., 1995), h. 190. 32 Ibid., h. 191.

15

fisikawan Kamal al-Din al-Farisi (penemu teori pelangi), bapak kimia Jabir ibn

Hayyan (721-825), dan masih banyak lagi tokoh karakter penting lainnya yang berasal dari Persia.33 Mereka berjasa dalam memajukan berbagai bidang, khususnya pada bidang budaya yang meliputi ilmu pengetahuan eksak, bahasa, sastra, dan seni. Maka, merupakan sebuah keniscayaan jika dunia Islam hampir selalu terkait dengan budaya Persia ataupun sebaliknya. Tetapi tidak berarti bahwa budaya Islam adalah budaya Persia dan budaya Persia adalah budaya

Islam.

Selanjutnya, pada abad ke-9 dan 10 M, pemerintah pusat Daulah

Abbassiyah melemah, hal ini tampak dengan munculnya pemberontakan di berbagai wilayah yang kemudian memerdekakan diri. Adapun dinasti-dinasti independen di Persia antara lain, Dinasti Tahiriyah di Khurasan (820 – 872),

Saffariyah di dataran tinggi Iran (Iranian Plateau/867 – 903 M), Samaniyah di

Transoxiana dan Khurasan (872 – 999 M), Buwaihiyah di bagian barat Persia

(932 – 945 M), Ghaznawiyah di Khurasan dan bagian timur Persia (962 – 1186

M) yang kemudian dikalahkan oleh orang-orang Turki pada 1040 M, dan hingga abad ke-12 Iran dikuasai oleh dinasti orang Turki lokal, yakni Dinasti Seljuk.34

Lalu, Genghis Khan menggempur pusat pemerintahan di Baghdad pada

1258 M dan kemudian mengganti Dinasti Abbasiyah dengan Dinasti Ilkhan.35

Setelah penguasa terakhir dinasti ini wafat, dari kurun 1335 – 1501 M, muncul dinasti-dinasti kecil seperti Dinasti Timuriyah dan dinasti orang-orang Turki yang

33 Heriyanto, Revolusi Saintifik Iran, h. 20-23. 34 Lorentz, Asian Historical Dictionaries no. 16: Historical Dictionary of Iran, h. 191- 193. 35 Ibid.

16

terpisah menjadi kelompok Domba Hitam (Kara Koyunlu) dan Domba Putih (Ak

Koyunlu).36

Di akhir abad pertengahan, 1501 M, Dinasti Ṣafawi muncul dalam panggung sejarah (menurut Badri Yatim, 1500 – 1800 M).37 Dalam Dunia Islam – meski tidak berdiri secara bersamaan – Dinasti Ṣafawi semasa dengan dua kerajaan besar Islam lainnya, yaitu Turki Utsmani dan Mughal di India. Karena ketiga kerajaan ini, peran politik Islam di kancah internasional menguat kembali.38

Era ini adalah masa kebangkitan Islam pasca keruntuhan masa klasik di Baghdad pada 1258 Masehi.

A. Sejarah Berdirinya Dinasti Ṣafawi

Munculnya dinasti ini berawal dari sebuah tarekat sufi yang termasyhur di

Persia yang didirikan oleh Safi al-Din Ishaq.39 Kelompok ini menjadi pusat perkumpulan sufi yang kemudian semakin hari kian kuat dan mendominasi. Hal ini membuat khawatir pemerintah dan benar saja kelompok ini menjadi sebuah gerakan politik yang sangat kuat, yang akhirnya berhasil menguasai tampuk kekuasaan.

Perubahan gerakan tarekat sufi ini, hingga menjadi sebuah pemerintahan, penulis membaginya ke dalam tiga fase, pertama, saat masih merupakan tarekat sufi lokal. Kedua, kemudian berubah menjadi sebuah gerakan politik, dan ketiga, sebuah gerakan politik dalam bentuk pemerintahan resmi.

36 Ibid. 37 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, ed. ke-1 (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 129. 38 Ibid. 39 Adel Allouche, The Origins and Development of the Ottoman-Safavid Conflict (906- 962/1500-1555) (Berlin: Klaus Schwarz Verlag, 1983), h. 32.

17

1. Tarekat Sufi

Pada fase tarekat, gerakan Ṣafawiyah mempunyai dua corak, yaitu corak

Sunni pada masa kepemimpinan Safi al-Din dan Sadruddin Musa bin Safiuddin, dan corak Shi’ah pada masa kepemimpinan cucu Safi al-Din, Khawaja Ali dan

Ibrahim.40

Setelah gempuran bangsa Mongol, dunia Islam mengalami kemunduran di berbagai sektor, salah satunya yang paling penting adalah kemerosotan dalam bidang ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan kepercayaan terhadap hal-hal berbau mistis serta hidup menyendiri muncul kembali dan menjamur di mana- mana. Di berbagai pelosok Iran sendiri, muncul banyak tarekat sufi. Dan tarekat

Safi al-Din41 tersebut merupakan pusat kaum sufi42 yang terkenal dan memiliki pengaruh di Ardabil, Azerbaijan, yang di kemudian hari semakin meluas hingga ke Asia Kecil, Syria, dan timur Anatolia.43

Sebelumnya, awal terbentuknya tarekat ini yaitu ketika Safi al-Din kembali ke Ardabil pasca kematian gurunya. Sekembalinya dari sana, orang-orang banyak yang datang kepadanya untuk menjadi muridnya. Akhirnya, ia pun membentuk tarekatnya sendiri, Ṣafawiyah, yang diambil dari namanya.

40Muhammad Syafii Antonio dan Tim Tazkia, Ensiklopedi Peradaban Islam: Persia (Jakarta: Tazkia Publishing, 2012), h. 50. 41Safi al-Din lahir pada 650 H/1252 M di Ardabil. Ia merupakan putra kelima dari tujuh bersaudara. Ayahnya adalah Khawaja Kamal al Din Arabshah, yang kemudian meninggal enam tahun kemudian. Masa pertumbuhannya lebih ia curahkan untuk berkelana menekuni kehidupan spiritual yang akhirnya mengantarkannya pada gurunya yang terakhir, Shaykh Zahid-i Gilani, yang merupakan pemimpin dari sebuah tarekat sufi di Shiraz, Zahidiyyah, pada 700/1301. Selanjutnya, di samping menjadi murid yang paling disayangi sang Guru, Safi al Din juga direstui untuk menikahi putrinya. Dari pernikahan tersebut ia memiliki anak, yang kemudian dinikahkan dengan putra gurunya. Safi al Din wafat pada 735/12 September, 1334. (Iysa Ade Bello, “The Safavid Episode: Transition From Spiritual To Temporal Leaders”, dalam Islamic Studies, vol. 23, no. 1, (Islamabad: Islamic Research Institute International Islamic University, 1984), h. 3-4.) 42 Di Iran disebut dengan Khaneqan. Lihat Rangkuman Muhammad Hasyim Assagaf, Lintasan Sejarah Islam Iran: Dari Dinasti Achaemenia ke Revolusi Islam, h. 325. 43 Bello, The Safavid Episode: Transition From Spiritual To Temporal Leaders, h. 4.

18

Pada mulanya, gerakan tarekat sufi ini hanya bertujuan untuk memerangi bid’ah dan penyelewengan agama. Seperti yang disebutkan di atas, sejak masa

Safi al-Din pun, gerakan ini telah mempunyai pengaruh besar dan menarik banyak massa. Tidak hanya itu, sosok Safi al-Din ini juga disegani oleh para tokoh politik. Meski demikian, ia tidak mempunyai keinginan untuk memiliki peran dalam dunia politik. Tetapi itu tidak menyurutkan pengaruhnya, justru gerakan tarekat yang ia pimpin semakin hari semakin mendominasi. Bahkan, para menteri

Dinasti Mongol Ilkhan pun banyak yang bergabung dengan tarekat ini.44

2. Gerakan Politik

Selanjutnya, tarekat ini menjadi semakin berkembang, yang mana hal ini menyebabkan lahirnya kefanatikan di antara para pengikutnya serta kehendak ingin menguasai. Dengan begitu, tarekat ini pun memasuki fase kedua, berubah menjadi sebuah gerakan politik yang masif. Tahap tersebut terjadi ketika gerakan berada di bawah kepemimpinan Djunayd (851 H/1447 M – 864 H/1460 M)45, yang merupakan kakek dari Shah Ismail I.46

Djunayd secara terang-terangan berusaha untuk meninggalkan prinsip- prinsip ajaran tarekat yang dibawa oleh para pendahulu sebelumnya dan merevolusionerkan praktek Dinasti Ṣafawi. Ia mencoba keberuntungannya dalam arena politik dan kemiliteran yang saat itu di Iran dan Iraq sedang terjadi kevakuman serta disintegrasi politik akibat kematian Shaykh Rukh, penguasa

Dinasti Timuriyah.47

44 Ibid. 45 Encyclopaedia of Islam New Edition, vol. IV, cet. ke-3 (Leiden: E. J. Brill, 1997), h. 34. 46 Arnold Toynbee, A Study of History: Introduction the Geneses of Cizilizations, vol. 1, cet. ke-7 (London: Oxford University Press, 1956), h. 366. 47 Ibid.

19

Salah satu konflik yang terjadi adalah perebutan kekuasaan antara Kara

Koyunlu dan Ak Koyunlu. Sebagian Persia – sekarang barat Iran – ketika itu sedang berada dalam kekuasaan raja Kara Koyunlu, Djahanshah.48 Ia menyadari ancaman gerakan Ṣafawiyah yang kian mendominasi ini, lalu ia memberikan peringatan kepada Djunayd agar membubarkan gerakannya dan meninggalkan

Ardabil. Jika tidak, maka kota tersebut akan diserang dan dibumihanguskan.49

Meski telah diberi ancaman seperti itu, Djunayd tidak mengindahkannya, ia beserta pengikutnya yang juga sekaligus prajuritnyanya, melarikan diri dan mencari perlindungan kepada penguasa Ak Koyunlu, Uzun Hasan, di Diyar

Bakr.50 Kedua belah pihak, antara Djunayd dan Uzun Hasan, sebenarnya memiliki pemahaman agama Islam yang sangat berbeda. Di mana gerakan Ṣafawiyah memegang paham Shi’ah, sedangkan Ak Koyunlu merupakan Sunni. Akan tetapi mereka mengesampingkan perbedaan tersebut dan justru semakin mempererat aliansi mereka dengan pernikahan antara Djunayd dengan saudara perempuan

Uzun Hasan, Khadijah Begum.51

Adapun alasan tentang penerimaan hangat yang dilakukan oleh Uzun

Hasan, diduga ada dua faktor, pertama, untuk mencegah kemungkinan serangan gerakan Ṣafawiyah ke wilayahnya di masa yang akan datang, dan kedua, untuk memperkuat posisinya sendiri dalam melawan Djahanshah, Kara Koyunlu.52

48 Encyclopaedia of Islam New Edition, h. 34. 49 Ibid. 50 Ibid. 51 Allouche,The Origins and Development of the Ottoman-Safavid Conflict (906- 962/1500-1555), h. 46. 52 Ibid. Lihat Persia in A.D. 1478-1490, h. 64.

20

Kemudian, terjadi beberapa peperangan antara pihak mereka dengan Kara

Koyunlu. Djunayd akhirnya terbunuh di sebuah peperangan di Shirwan.53 Aliansi antara Ṣafawiyah dengan Ak Koyunlu dilanjutkan oleh pengganti Djunayd,

Haydar, dengan menikahi putri dari Uzun Hasan. Permusuhan dengan Kara

Koyunlu terus berlanjut dan semakin memanas. Pada 872/1468 M,54 pihak Kara

Koyunlu mengadakan serangan ke Ak Koyunlu, namun dapat dihadapi dan dikalahkan. Kara Koyunlu pun berhasil digulingkan.

Tetapi pada 848/1473 M,55 Ak Koyunlu dikalahkan oleh Kekaisaran

Ottoman. Tiga puluh empat tahun kemudian, 882/1478 M, Uzun Hasan meninggal, dan kematiannya menjadikan Ak Koyunlu semakin lemah.

Pada masa selanjutnya, penerus Uzun Hasan memandang gerakan

Ṣafawiyah sebagai sebuah rival yang mengancam tahtanya. Oleh karena itu, ketika pasukan gerakan Ṣafawiyah akan menyerang Sircassia dan Shirwan, pihak

Ak Koyunlu justru membantu Shirwan dan berbalik menjatuhkan gerakan

Ṣafawiyah, dan hal ini menyebabkan Haydar terbunuh.56 Tidak hanya itu, pihak

Ak Koyunlu kemudian memenjarakan putera-putera penerus gerakan Ṣafawiyah , salah satunya Isma’il, tetapi ia berhasil diselamatkan.

3. Pemerintahan Resmi

Fase ini terjadi ketika Isma’il akhirnya menjadi penerus gerakan

Ṣafawiyah. Ia lalu mempersiapkan prajuritnya untuk menyerang Tabriz, ibukota

Ak Koyunlu. Pada musim panas tahun 1501, ia berhasil memasuki Tabriz.57 Lalu,

53 Encyclopaedia of Islam New Edition, h. 34. 54 Ibid. 55 Ibid. 56 Antonio dan Tim Tazkia, Ensiklopedi Peradaban Islam Persia: Dinasti Safawi ‘Kerajaan Islam Pertama Bangsa Persia’, h. 51. 57 Ibid.

21

sebelum menjadi Shah – Isma’il juga mengusir penguasa terkahir Ak Koyunlu,

Murad. Dan Ak koyunlu pun mengalami keruntuhan.

Setelah menyingkirkan Ak Koyunlu, Isma’il menyatakan dirinya sebagai penguasa pertama Dinasti Ṣafawi dengan mengambil gelar Shah,58 dan mendeklarasikan Shi’ah Dua Belas Imam sebagai mazhab resmi negaranya.59

Browne mengatakan, kita akan membicarakannya sebagai Shah, namun oleh para sejarawan Persia, ia sering disebut sebagai Kháqán-i-Iskandar-shán (the Prince like unto Alxander in state atau setara dengan sebutan sang Pangeran bagi

Alexander dalam pemerintahan), sedangkan puteranya yang kemudian menjadi penerusnya, Shah Tahmasp, disebut Sháh-i-Dín-panáh (the King who is the

Refuge of Religion atau sang Raja yang menjadi Tempat Perlindungan bagi

Agama).60

Dengan begitu, Dinasti Ṣafawipun mencapai fase ketiga, yaitu menjadi sebuah pemerintahan resmi. Seperti pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa perjalanan gerakan ini menjadi sebuah dinasti memerlukan waktu sekitar, kurang lebih 200 tahun. Yaitu, sejak Safi al-Din mendirikan tarekat ini pada 1300-an61 hingga Isma’il memproklamirkan kekuasaannya pada 1501. Dinasti ini dipimpin oleh sebelas penguasa, yaitu:

Pemimpin Tarekat Ṣafawiyah 62 Penguasa Dinasti Ṣafawi Safi al Din 700/1301 – 735/1334 Ismail I 1501 – 1524 Sadr al Din Musa 735/1334 – 794/1392 Tahmasp I 1524 – 1576

58 H. R. Roemer, “The Safavid Period”, dalam Peter Jackson dan Laurence Lockhart, ed., The Cambridge History of Iran: The Timurid and Safavid Periods, vol. 6 (United Kingdom: Cambridge University Press, 1986), h. 189. 59 Lorentz, Asian Historical Dictionaries no. 16: Historical Dictionary of Iran, h. 194- 195. 60 Edward G. Browne, A Literary History of Persia, Vol. 4: Modern Times (1500-1924), cet. ke-5 (London: The Syndics of the Cambridge University Press, 1959) 61 P.M. Holt, The Cambridge History of Islam, vol. IV (London: Cambridge University Press, 1977), h. 399. 62 Bello, The Safavid Episode: Transition From Spiritual To Temporal Leaders, h. 3-9.

22

Khwaja Ali 794/1392 – 830/1427 Ismail II 1576 – 1578 Shaykh Ibrahim Muhammad 830/1427 – 851/1447 1578 – 1587 (Shaykh Shah) Khudabende Junayd 851/1447 – 864/1460 Abbas I 1587 – 1629 Haydar Ali 864/1460 – 893/1488 Safi I 1629 – 1642 Sultan Ali63 893/1488 – 905/1500 Abbas II 1642 – 1667 Ismail (Ismail I) 905/1500 – 906/1501 Sulaiman 1667 – 1694 Husain 1694 – 1722 Tahmasp II 1722 – 1731 Abbas III 1731 – 1736

63 Ibid,. Sultan Ali memang diaksesi sebagai pemimpin tarekat, pengganti ayahnya, Haydar, akan tetapi kemudian ia dan kedua saudaranya, Isma’il dan Ibrahim, dipenjarakan oleh Ya’qub – Raja Ak Koyunlu saat itu – karena melihat gerakan sufi ini semakin berpengaruh, sehingga ia khawatir akan mengancam kekuasaannya. Sultan Ali dan kedua saudaranya ditahan selama empat setengah tahun (Februari 1489 – Agustus 1493).

23

BAB III

SEJARAH ARSITEKTUR DAN LUKISAN PRA- DINASTI ṢAFAWIYAH

Dalam perspektif historis, terdapat tiga faktor fundamental kehidupan manusia yang menjadi sumber dan muara penciptaan seni, yakni bidang agama, sosial, dan individual.64 Dengan kata lain, karya-karya seni, apapun bentuk dan genrenya, yang dipertimbangkan dari sudut kreatif dan fungsional, akan senantiasa berurusan dengan masalah manusia dan hubungannya dengan Tuhan, dalam hubungannya dengan manusia lain atau alam, dan dalam hubungannya dengan dirinya sendiri.65

A. Seni dalam Sejarah Islam

Dalam sejarah peradaban Islam, seni yang berkembang tentunya dari kebudayaan sebelum Islam yang kemudian berakulturasi dengan nilai dan corak

Islam, sehingga muncul seni Islam yang merupakan manifestasi dari budaya

Islam.66

Syair ataupun persajakan merupakan seni paling awal yang berkembang dalam Islam. Sebelum Islam disampaikan, masyarakat Arab sudah terkenal dan mapan dengan seni syairnya. Selanjutnya setelah kedatangan Islam, syair semakin berkembang dan menjadikan kedua sumber utama, al-Qur’an dan Hadits, sebagai dasarnya, bahkan setelah wafatnya nabi Muhammad saw syair terus berkembang.

Berbeda dengan musik dan seni visual, karena pelarangan terhadap berhala dan

64 Amri Yahya, “Agama Sebagai Sumber Inspirasi Kreativitas dan Implikasinya: Hubungan Islam dan Seni” dalam Jurnal Humaniora, No. 1/2000 (Yogyakarta: UNY Press, 2000), h. 105. 65 Ibid. 66 Vernoit, “Artistic Expressions of Muslim Societies”, h. 250.

24

gambar, di masa Islam awal perkembangan keduanya tidak begitu signifikan seperti syair.67

Kemudian, yang termasuk seni Islam awal, di samping kesusasteraannya, adalah arsitektur dan seni lukis kaligrafi dan flora, sedangkan lukisan fauna semakin populer setelah abad ke-12 M, meskipun abad sebelumnya sudah dibuat lukisan figuratif. Hal ini terkait pada abad ke-11 dan 12 M, ketika para ulama fiqih sangat dominan menggantikan peranan golongan Mu’tazilah.68

Sebelum abad ke-11 M , agama dan seni terbukti selalu berdampingan, para ulama dan seniman duduk berdialog bersama, yaitu pada masa kejayaan

Islam klasik – Daulah Umayyah dan Abbassiyah – Islam tidak sekedar bersinggungan dengan seni rupa, sastra, teater, musik, dan arsitektur yang luar biasa indahnya, tetapi juga terjadi hubungan timbal balik di antara keduanya, di mana agama bisa mewarnai napas kebudayaan dan hadirnya kebudayaan bisa memperkaya seperangkat hukum dan seluk beluk agama.69

Kemudian, sebagaimana kebanyakan negara Islam muncul sebagai dinasti kekhalifahan atau kesultanan, seni Islam kerapkali muncul sebagai gaya (style) dari dinasti yang sedang berkuasa.70 Gaya tersebut akan menjadi sebuah corak khas yang membedakan sekaligus simbol keagungan suatu era kekuasaan. Di dunia Islam, corak ini biasanya tertuang dalam arsitekturnya, khususnya pada arsitektur masjid. Dalam perkembangan selanjutnya, masjid hanya dijadikan

67 Ibid. 68 Abdul Hadi W. M., Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya, cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 349. 69 Aguk Irawan MN, NU Online: Melacak Hubungan Agama dan Kesenian, (Selasa, 16 Januari 2010). Diakses pada 20 Februari 2015. 70 Rebecca Naylor, “The Sasanian Inheritance”, dalam Palace and Mosque (London: V&A Publications, 2004), h. 24.

25

simbol pemerintahan Islam walaupun terletak berdampingan dengan pusat kekuasaan.71

Lalu, ketika masyarakat Islam semakin berkembang, muncul tipe-tipe bangunan baru, di luar bangunan masjid, dengan fungsi yang lebih spesifik, seperti karavan untuk para pedagang (caravansery),72 sekolah, mausoleum dan bangunan lainnya.73 Dan spesifikasi tersebut sangat berkaitan erat dengan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu yang men-support kegiatan pembangunan itu.74

Maka, hampir selalu disebutkan bahwa arsitektur dalam sejarahnya sering digunakan sebagai salah satu alat untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dan keagungan (glory). Salah satu pandangan pertama yang mengemukakan tentang hubungan arsitektur dengan negara adalah sejarawan dari Maghribi, Ibn Khaldun

(1332-1406), ia menegaskan bahwa kota termasuk segala monumennya merefleksikan dinasti yang membangunnya.75

1. Arsitektur Islam

Seperti yang dikemukakan sebelumnya tentang seni dalam Islam,

Noer juga menjelaskan bahwa,

71 Aulia Fadhli, Masjid-Masjid Paling Menakjubkan dan Berpengaruh di Dunia (Yogyakarta: Qudsi Media, 2013), h. 5. 72 Berasal dari kata Persia kārwān, sekelompok orang yang bepergian, dan sarāi, istana atau hotel besar. Karavanserai adalah bangunan di tepi jalan yang menyediakan tempat penginapan dan tempat berteduh bagi orang-orang yang bepergian. Istilah karavanserai tampaknya digunakan pertama kali pada abad ke-6 H/12 M pada periode kekuasaan Dinasti Seljuk dan mungkin menunjukkan bentuk khān yang lebih besar dan lengkap. Khān memiliki fungsi yang sama dengan karavanserai, hanya saja khān lebih kecil dan terletak di daerah sekitar dusun. Kautsar Azhari Noer, “Arsitektur” dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), h. 326. 73 Vernoit, Artistic Expressions of Muslim Societies, h. 253. 74 Ibid. 75 Ibid.

26

Arsitektur Islam dipahami sebagai corak arsitektur yang memancarkan pandangan hidup keislaman. Hubungan antara arsitektur dan Islam diwujudkan oleh kreativitas estetik dan teknik yang bertolak dari ilham keagamaan. Arsitektur yang secara fungsional dipakai untuk keperluan keduniawian juga diberi nuansa keislaman.76

Arsitektur Islam bermula dari bangunan masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah saw di Madinah, Jazirah Arab, yang dikenal sebagai Masjid Quba.

Bangunan ini masih hanya sekedar bangunan kubus, berlantaikan tanah dan beratapkan pelepah kurma saja, dari sanalah beliau membangun peradaban, sesuai dengan nama kotanya, Madinah.77

Dalam bidang arsitektur, orang-orang Arab kurang memiliki corak yang bervariasi. Tetapi karena sifat mereka yang terbuka dan adaptif serta Islam sendiri adalah agama yang luwes, arsitektur di dunia Islam menjadi lebih mudah berkembang. Sehingga kelengkapan atau ciri-ciri khusus arsitektural di dunia

Islampun muncul seperti, menara dan kubah yang berasal dari tradisi arsitektural

Byzantium, kemudian hiasan, gaya, corak, dan penampilan dari setiap kurun waktu, setiap daerah, lingkungan kehidupan dengan budaya serta latar belakang manusia yang menciptakannya.78

Setelah nabi Muhammad saw wafat, tempat berkhotbah atau yang lebih sering disebut dengan minbar/mimbar, dipandang sebagai keuntungan atau hadiah yang dapat disamakan dengan takhta yang diterima oleh pemimpin umat, maka

76 Noer, “Arsitektur”, h. 305. 77 Fadhli, Masjid-Masjid Paling Menakjubkan dan Berpengaruh di Dunia, h. 2. 78 Abdul Rochym, Sejarah Arsitektur Islam: Sebuah Tinjauan, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1983), h. 3-4.

27

penggunaan mimbar melambangkan hubungan dekat agama dan politik dalam

Islam.79

Dengan demikian, tidak heran jika masjid kemudian menjadi simbol sebuah kekuasaan Islam. Oleh karena itu, semakin penting bagi kekuasaan, perkembangan arsitektur beserta elemennya pun semakin pesat. Sehingga pembangunan fisik dengan semegah-megahnya dilakukan secara masif, terutama untuk bangunan masjid, istana, dan pusara para tokoh.

2. Lukisan Islam

Seperti yang telah dipaparkan di atas, dalam arsitektur Islam juga terdapat ciri-cirinya, salah satunya adalah ornamen, yang biasanya berupa lukisan dan ukiran pada dinding, kubah, maupun jendelanya. Di awal perkembangan seni

Islam, napas agama terlihat pada penggunaan ornamen tulisan Arab untuk konten dekorasi sebuah karya seni.80 Hal ini mengingat pada yang menggerakkan seni arsitektur Islam adalah agama, di mana terdapat ikonoklasme atau anikonisme, yaitu larangan agama untuk menggambar makhluk bernyawa dan larangan ini termanifestasi pada hiasan atau dekorasi dinding bangunan yang bersih dari gambar makhluk bernyawa, sehingga konsekuensinya, dekorasi yang digemari adalah kaligrafi sebagai sarana untuk mengungkapkan ayat-ayat al-Qur’an, bentuk-bentuk geometris (geometrical patterns) dan arabesk (arabesque).81

Lukisan Islam tertua dijumpai pada dinding istana Daulah Umayyah yang dibangun oleh khalifah al-Walid I pada tahun 712 M di Qusair Amrah, Syria,

79 Noer, “Arsitektur”, h. 311. 80 Tim Stanley, “Textiles and Burial”, dalam Palace and Mosque (London: V&A Publications, 2004), h. 34. 81 Ibid., h. 306.

28

yaitu lukisan alegoris dan gambar berbagai jenis tumbuhan serta hewan,82 kemudian di langit-langit kubahnya dipenuhi dengan ikonografi kehidupan istana dengan gambar para musisi, peminum, akrobat, hadiah-hadiah mewah, perburuan, olah raga gulat, dan orang sedang mandi.83

Perkembangan selanjutnya yang penting yaitu lukisan di tembok bekas istana khalifah al-Mu’tasim dari Daulah Abbassiyah di , Iraq, yang dibangun pada tahun 836-9 M, yaitu lukisan gadis-gadis yang sedang menari, menyanyi dan bermain musik, yang mana menggambarkan meriahnya kehidupan seni pertunjukan di istana kekhalifahan Daulah Abbassiyah di Baghdad sejak awal.84

Kemudian, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, ketika persentuhan dunia Islam dengan kebudayaan lain semakin meluas, akulturasi dengan budaya baru itupun tidak dapat terelakkan. Seperti, setelah bangsa Mongol menginvasi Baghdad pada pertengahan abad ke-13, motif China diperkenalkan.

Salah satu hasil dari akulturasi tersebut telah mentransformasi motif makhluk mitos warisan Persia kuno menjadi seekor burung phoenix dalam corak China.85

Salah satu contoh tersebut seringkali merupakan ekspresi suatu kelompok masyarakat untuk menunjukkan identitas dan keadaan mereka di tengah-tengah masyarakat Muslim yang semakin heterogen. Hal serupa juga ditemukan pada karya-karya orang Georgia dan Armenia di tengah masyarakat Muslim Persia.

Perbedaan unik dari komunitas-komunitas seperti ini dimanfaatkan oleh Shah

Abbas I untuk mendukung perkembangan dalam bidang seni.

82 Hadi, Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya, h. 350. 83 Vernoit, Artistic Expressions of Muslim Societies, h. 272. 84 Ibid. 85 Stanley, “Textiles and Burial”, h. 34.

29

B. Seni Pra-Dinasti Ṣafawi

Persia memiliki sejarah arsitektur yang panjang dan kaya, yang peninggalannya dapat kita temukan dari Syria hingga India dan China.86

Arsitektur Persia menggunakan berbagai macam teknik seperti ukiran pada batu, lapisan dengan semen, ubin, tembok, penggunaan kaca cermin, dan elemen ornamental lainnya.87 Kondisi geografi, agama, politik dan teknologi yang sedang berkembang tentu saja turut memengaruhi terhadap kualitas dan kuantitas arsitekturnya.88

Kemudian, salah satu topik budaya Persia kuno untuk ornamen lukisannya sendiri adalah lukisan pertarungan antara raja dan singa. Bagi para raja Persia kuno, perburuan singa tersebut merupakan hak istimewa mereka, yang mana lukisan itu merepresentasikan kedudukan raja sebagai penguasa. Simbol seperti ini sudah ada sejak masa Dinasti Akhaemeniyah yang tertuang pada relief di dinding istananya.89 Pada masa Islam, lukisan seperti ini dianggap sebagai sebuah prestasi heroik.

Pada akhir abad ke-12, di dunia Muslim mulai muncul lukisan figuratif yang disematkan di berbagai media, termasuk manuskrip bergambar, lalu menjelang abad ke-13 dan 14 beragam style lukisan semakin banyak muncul, termasuk corak dan dekoratif dari Dinasti Seljuk. Di mana gaya yang

86 Elton L. Daniel dan Ali Akbar Mahdi, Culture and Cunstoms of Iran (Westport: Greenwood Press, 2006), h. 119. 87 Ibid. 88 Ibid. 89 Galina Lassikova, “Hushang the Dragon-slayer: Fire and Firearms in Safavid Art and Diplomacy” dalam Iranian Studies, vol. 43, no. 1 (Routledge, 2010), h. 45.

30

memperlihatkan realisme yang cukup tajam ini, dipraktikkan juga di Mesopotamia dan Syria untuk para patron Arab.90

Tradisi menghiasi barang-barang dari logam dengan hiasan kaligrafi maupun figuratif juga muncul pertama kali di Khurasan, masih di bawah kekuasaan Dinasti Seljuk, dan mulai dikembangkan pada permulaan abad ke-13, kemudian berkembang juga di bawah Dinasti Mamluk di Kairo.91

Lukisan Persia semakin berkembang pesat pada abad ke-14, beberapa corak, termasuk pengaruh dari China, secara perlahan mulai melebur dengan corak lokal sehingga muncul gaya baru.92 Pada paruh kedua abad ini, Dinasti

Timuriyah menghasilkan karya manuskrip ilustratif terkenalnya seperti

Shahnama93, dengan nama yang sama, di Tabriz, yang menggambarkan aksi yang sengit dan emosional. Lalu, di akhir abad ini, masa Dinasti Jalayriyah dan

Muzzafariyah, muncul style lukisan baru yang lebih lembut dengan komposisi ruang yang lebih kompleks, yang juga sekaligus menandakan corak Dinasti

Timuriyah pada abad ke-15.

Lukisan pada masa Dinasti Timuriyah diproduksi untuk berbagai patron, berkembang subur, terutama di Herat, di bawah kepemimpinan pangeran

Baysunghur (w. 1433), namun kemudian perkembangannya semakin melemah di

90 Vernoit, Artistic Expressions of Muslim Societies, h. 272. 91 Ibid. 92 Ibid. 93 Shahnama, atau shahnameh, atau Book of Kings merupakan salah satu karya sastra epik terpanjang di dunia dari Persia yang ditulis sekitar tahun 977 – 1010 M oleh Abu’l Qasim Firdausi Tusi (935-1020) dan didedikasikan untuk penguasa Dinasti Ghaznawiyah, Mahmud dari Ghazna yang berhasil menguasai seluruh wilayah Timur Persia dan wilayah Afghanistan sekarang menjelang akhir abad ke-10 M. Epik ini berisikan 50000 bait sajak yang menceritakan tentang raja-raja dari mitologi dan sejarah Persia kuno hingga kedatangan Islam ke Persia. Pada masa- masa selanjutnya muncul karya-karya serupa – biasanya atas permintaan penguasanya – yang dinamai dengan judul yang sama. Hingga sekarang karya ini tidak hanya menjadi epik nasional di Iran, tetapi juga di wilayah-wilayah yang sebelumnya terpengaruh budaya Persia seperti Afghanistan, Azerbaijan, Georgia, Armenia, Turki, dan Dagestan.

31

akhir abad ini, ketika pelukis Bihzad muncul dan aktif berkarya.94 Tentang seni lain pada masa dinasti ini, seperti seni menenun, masih sedikit informasi tentangnya.95

Perkembangan seni Dinasti Ṣafawi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh seni yang berkembang pada masa sebelumnya dan begitu seterusnya hingga ke masa-masa paling awal manusia. Seiring dengan perkembangan pemikiran manusia maka berbagai inovasi muncul secara bertahap. Meski Dinasti Ṣafawi sangat terpengaruh dengan seni masa sebelumnya namun ia juga membentuk gaya ataupun corak tersendiri sehingga menyebabkannya berbeda dari masa sebelumnya meski mungkin terlihat sama. Misalnya penemuan 22 lukisan dengan dua gaya yang berbeda, yaitu 11 di antaranya berasal dari masa Ak Koyunlu dan sisanya dari masa Dinasti Ṣafawi. Dalam lukisan figuratifnya ada penambahan ikat kepala (turban) berbeda – dari masa sebelumnya – yang diikatkan pada penutup kepala tinggi dan berwarna merah.96

Periode Ṣafawiyah ini juga gaya berkilauan dari masa Dinasti Ilkhan mulai ditinggalkan dengan harapan agar gaya desainnya lebih terbuka dan berkembang, sedangkan teknik menenun dan celup, mulai dikembangkan kembali.97

Dari paparan di atas, dapat kita lihat bahwa pada perkembangannya, seni hampir selalu berdasarkan pada gaya ataupun corak yang berkembang pada masa sebelumnya yang kemudian diberi sentuhan baru dan begitu pun pada masa-masa selanjutnya. Sentuhan baru tersebut dapat kita sebut sebagai inovasi. Inilah yang

94 Ibid. 95 Douglas Baret, The Islamic Art of Persia, A.J. Arberry, ed. (Oxford: Goodword Books, 1953), h. 142. 96Jonathan M. Bloom, “Epic Images Revisited: An Ilkhanid Legacy in Early Safavid Painting” dalam Andrew J. Newman, ed., Society and Culture in the Early Modern Middle East: Studies on Iran in the Safavid Period (Leiden: Brill, 2003), h. 238. 97 Ibid.

32

membuat karya seni memiliki kekhasan masing-masing pada setiap zamannya.

Seperti yang terjadi pada paparan sejarah seni di Persia hingga Dinasti Ṣafawi di atas, dasar yang lama tetap dipakai tapi kemudian diberi corak baru sesuai era yang sedang berkembang.

C. Isfahan

Merupakan sebuah keniscayaan untuk membahas tentang kota ini, karena kota ini termasuk ke dalam objek bahasan penulis, mengingat kota ini yang dijadikan sebagai ibukota Dinasti Ṣafawi sekaligus tempat untuk rencana pembangunan oleh Shah Abbas I.

Kota ini terletak di sekitar sungai Zayandeh,98 dan merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yaitu Jayy – tempat berdirinya Syahrastan – dan

Yahudiyyah, yang didirikan oleh Buchtanashshar atau Yazdajird I atas anjuran istrinya yang beragama Yahudi.99 Di kota ini juga pernah dibangun irigasi oleh raja Ardasyir, dari Dinasti Akhaemeniyah (550–330 SM).100 Pada masa Dinasti

Sassaniyah (226-640 M), kota ini dikenal dengan nama Aspadana.101 Sebelum kedatangan Islam, kota ini merupakan basis militer dan pertahanan yang sangat kuat.102

Pengaruh Islam dikatakan mulai masuk ke Isfahan ketika khalifah Umar bin Khattab berkuasa, namun, mengenai kapan dan dibawa oleh siapa Islam

98 Farhad Arshad, "Isfahan", dalam Encyclopedia.com: Encyclopedia of the Modern Middle East and North Africa, artikel diakses pada 31 Maret, 2015 dari (http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3424601359.html. 99 Lihat Ahmad al Santanawi dkk, Dairat al-Ma’ruf al Islamiyah, Jilid 2, h. 258-259. 100 Arshad, "Isfahan". 101 Dilip Hiro, Dictionary of the Middle East (New York: St. Martin Press, 1996), h. 131. 102 Antonio dan Tim Tazkia, Ensiklopedi Peradaban Islam: Persia ‘Dinasti Safawi ‘Kerajaan Islam Pertama Bangsa Persia’, h. 197.

33

mencapai kota ini terdapat dua pendapat.103 Pendapat pertama, yaitu pada tahun

19 H (640 M) di bawah pimpinan Abdullah Ibn Atban. Lalu menurut al- Thabari,

Islam sampai di Isfahan pada tahun 21 H (642M), sedangkan aliran Bashrah menyebutkan pada tahun 23 H (644 M) di bawah pimpinan Abu Musa al-Asy’ari.

Pada perkembangan selanjutnya, Isfahan merupakan kota penting di Iran tengah sejak abad ke-8 M.104 Kemudian pada pertengahan abad ke-11, kota ini menjadi ibukota Dinasi Seljuk tetapi kemudian status ibukotanya hilang setelah invasi Tamerlane pada 1387.105

Pada masa Dinasti Ṣafawi, kota ini dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dengan delapan buah pintu dan di dalamnya terdapat banyak bangunan, seperti istana, sekolah, masjid, menara, pasar, serta rumah yang indah, terukir rapi dengan warna-warna yang menarik.106

Selanjutnya, pada tahun 1597, dengan motif politik dan ekonomi, Shah

Abbas I memindahkan ibukota Dinasti Ṣafawi, yang sebelumnya di Qazvin, ke

Isfahan.107 Berbeda dengan penguasa pendahulunya yang masih cenderung eksklusif, terutama terhadap kepercayaan lain, melalui Isfahan, Shah Abbas I membuka negaranya ke dunia luar sehingga kota ini menjadi kaleidoskop berbagai ras, bahasa, budaya, dan agama.

Meski begitu, masing-masing grup yang terkelompok secara ras tetap mempertahankan identitas asli mereka seperti tetap menggunakan bahasa ibu

103 Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, h. 284-285. 104 Kishwar Rizvi, “Architecture and the Representations of Kingship during the Reign of the Safavid Shah ‘Abbas I” dalam Lynette Mitchell dan Charles Melville, ed. Every Inch a King: Comparative Studies on Kings and Kingship in the Ancient and Medieval Worlds (Leiden: Brill, 2013), h. 384. 105 Hiro, Dictionary of the Middle East, h. 131. 106 Rizvi, Architecture and the Representations of Kingship during the Reign of the Safavid Shah ‘Abbas I, h. 286. 107 Alice Taylor, Book Arts of Isfahan: Diversity and Identity in Seventeenth-Century Persia, (California: The J. Paul Getty Museum, 1996), h. 1.

34

mereka dalam kehidupan sehari-hari, membuat karya yang memuat atau melukiskan corak mereka seperti ke dalam buku-buku, manuskrip108 maupun karya lukisan itu sendiri, motif pada kain, keramik, dan lain-lain. Tentu saja yang mereka lakukan itu membuat corak lukisan Dinasti Ṣafawi menjadi lebih beragam. Selanjutnya, bagian kehidupan sosial lain yang terjadi di kota ini yaitu tentang kehidupan para wanitanya dan bagaimana status mereka, baik dalam keluarga maupun masyarakat.

Ketika Shah Abbas I menganggap bahwa wanita dalam keluarganya memiliki potensi untuk menggulingkan tahtanya,109 maka ia membuat sebuah aturan kehidupan yang tertutup bagi mereka. Anggapannya itu diduga sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya. Shah Abbas I berasal dari tradisi yang mendukung wanita yang berpendidikan dan memiliki kesadaran diri yang tinggi serta dia juga mendapati beberapa saudarinya yang juga turut ikut campur dalam urusan politik, bahkan terlibat dalam sebuah suksesi, dan Shah Abbas I menyadari kekuatan dan pengaruh mereka sehingga ia memutuskan untuk membatasinya.110

Dalam bagian area Isfahan, tempatnya dibagi dua menjadi biruni, yaitu area publik bagi semua laki-laki, dan anderuni, yaitu lingkungan khusus yang terbuka bagi para wanita, Shah sendiri, dan para pelayan terpercaya.111 Dalam

‘sangkar emas’ tersebut mereka dimanjakan dengan kebebasan memanggil para seniman ataupun para penulis hebat untuk membuat barang-barang yang sesuai dengan keinginan mereka, seperti karpet.

108 Ibid., h. 2. 109 Emma Loosley, “Ladies who Lounge: Class, Religion and Social Interaction in Seventeenth-Century Isfahan” dalam Gender & History, vol. 23, no. 3 (Oxford: Blackwell Publishing Ltd., 2011), h. 619. 110 Ibid, h. 615. 111 Ibid, 617.

35

BAB IV

SENI PADA MASA SHAH ABBAS I

A. Perkembangan Ekonomi Dinasti Ṣafawi

Dalam sektor ini, penulis menemukan perubahan yang dapat dikatakan cukup signifikan dalam mendukung argumen tentang bahasan yang penulis angkat. Ada dua tahap perkembangan ekonomi yang terjadi pada masa Dinasti

Ṣafawi. Pertama, kegiatan ekonomi Persia saat itu sebagian besar berasal dari agraris. Setelah Shah Isma’il I naik tahta ia mulai banyak melakukan berbagai tindakan untuk pengembangan sektor pertaniannya sehingga lebih baik lagi.

Tapi kemudian – masih abad ke-16 – mulai terdapat perubahan yang signifikan, kemungkinan besar pada masa Shah Tahmasp I, yaitu karya-karya seniman mulai menonjol di pasaran. Dan hal ini mencapai puncaknya, dimana permintaan akan barang-barang seni dan mewah dapat dikatakan turut mendominasi pasar, sekitar abad ke-17.112

Sebagian produsen di perkotaan, yang kebanyakan adalah seniman, tetap memproduksi barang-barang kebutuhan sehari-hari, dan sebagian yang lain fokus pada produksi barang-barang seni dan mewah.113 Ada dugaan bahwa ini dipengaruhi oleh karya-karya arsitektur hebat pada saat itu.114 Masa ini dapat dikatakan sudah mencapai tahap kedua dari perkembangan ekonomi periode dinasti Safawiyah. Jika begitu, maka seperti yang dibicarakan Grabar, arsitektur

112 “Economy: From the Safavids Through the Zands”, artikel diakses pada 7 Oktober 2015 dari http://www.iranicaonline.org/articles/economy-vii-from-the-safavids-through-the-zands. 113 Ibid. 114 Ibid.

36

dapat memengaruhi aktifitas perdagangan Dinasti Ṣafawi yang merupakan bagian sektor ekonomi.115

Selanjutnya, pada masa Shah Abbas I, dibangun lokasi pusat dagang di lokasi yang strategis, yaitu Bandar Abbas di sela Hormuz, sehingga Bandar ini memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan ekonomi Safawiyah.

Pengaruh ini tampak pada perebutan atas wilayah itu oleh berbagai pihak, bahkan hingga sekarang, seperti Inggris, Portugis, dan Belanda. Sebelumnya, pada masa

Shah Ismail I, wilayah tersebut dikuasai oleh Portugis hingga 1622 dan merupakan pusat dagang untuk perdagangan jalur darat menuju India, yang ekspor utamanya di antaranya seperti karpet, katun, wol, buah-buahan dan getah.116

Bandar ini menjadi transit dagang dan tempat bertemunya para pedagang lokal maupun dari luar Persia. Interaksi seperti itu juga yang menyebabkan munculnya berbagai inovasi teknik dan desain untuk barang-barang seni ataupun barang mewah sehingga tidak monoton, seperti pada perhiasan, barang-barang tekstil, karpet, manuskrip, barang-barang untuk dekorasi dan keperluan kegiatan lainnya.117

B. Perkembangan Arsitektur dan Lukisan

1. Pra-Shah Abbas I

Tidak ada perubahan yang cukup signifikan dalam bidang arsitektur pada masa ini. Gaya bangunan pun masih mengikuti corak Dinasti Timuriyah, baik

115 Grabar, “Architecture and Society: ‘The Architecture of Power: Palaces, Citadels and Fortifications’ ”, h. 65. 116 Philip K. Hitti, The Near East in History: A 5000 Year Story (Kanada: D. Van Nostrand Company, Inc., 1961), h. 381. 117 “Economy: From the Safavids Through the Zands”.

37

dalam pemilihan elemen kubah, halaman, dan bagian muka bangunan. Meski begitu, sempat ada beberapa bagian hiasan dalam skala kecil yang hampir menyaingi karya terbaik pada masa sebelumnya, tetapi gairah untuk lebih berinovasi masih terlalu sedikit bahkan cenderung tidak ada sama sekali.118

Banyak karya-karya lukisan dari masa Dinasti Timuriyah yang selesai dikerjakan pada masa Shah Isma’il I di mana ia sebagai patronnya, tetapi dibandingkan dengan yang selesai, yang belum terselesaikan lebih banyak lagi.119

Shah Ismail I juga menjadi patron utama untuk karya ilustrasi kisah cinta paling terkenal dalam literatur Persia, yaitu Shirin dan Khusraw.120

Ia disebut sebagai penyair,121 maka tidak heran jika persajakan, lukisan, kaligrafi dan musik lebih mendapat perhatiannya dibandingkan dengan arsitektur.122 Dalam bidang seni kaligrafi dan beberapa bidang ilmu pengetahuan, seperti astronomi dan matematika, ia mendatangkan orang-orang dari Dinasti

Timuriyah untuk membantu dalam mengelolanya,123 Pengaruh mereka semakin terlihat setelah tahun 1514,124 yaitu pada gaya dan estetika dalam kaligrafi.

Dalam tulisannya, Canby mengemukakan ada dua corak (style) artistik pada masa ini, yaitu di timur Persia, yang berpusat di Herat dan masih bergaya

Dinasti Timuriyah, dan di bagian barat Persia, yakni corak orang-orang Turki

(Turkman style) – corak ini lebih banyak mempengaruhi kepada lukisannya –

118 Nagendra Kr. Singh, ed., International Encyclopaedia of Islamic Dynasties (New Delhi: Anmol Publications Pvt. Ltd., 2002), h. 1610. 119 Jonathan M. Bloom, Epic Images Revisited: An Ilkhanid Legacy in Early Safavid Painting, h. 237. 120 Ibid, h. 238. 121 Ahmed, Discovering Islam: Making Sense of Muslim History and Society, h. 70. 122 International Encyclopaedia of Islamic Dynasties, h. 1610, lihat M.K. Yusuf Jamali, The Life and Personality of Shah Isma’il I (1487-1524), Unpublished Ph.D. Thesis (Edinburgh, 1981), h. 154-70 dan 232-45. 123 Andrew J. Newman, Society and Culture in The Early Modern Middle East: Studies on Iran in the Safavid Period (Leiden: Brill, 2003), h. 124 Ibid.

38

yang masih banyak diterapkan di Tabriz.125 Hal ini terlihat pada 1510 M, dengan dipindahkannya sekolah lukis Dinasti Timuriyah dari Herat ke Tabriz.126

Kemudian, kemajuan seni lukis yang paling penting dan populer dari masa ini yaitu, atas perintah Shah Ismail I, tercipta karya agung sebanyak 250 serial miniatur ilustratif yang diberi nama sama seperti karya epik Firdausi, Shahnama, yang ia dedikasikan untuk puteranya, Tahmasp I.127

Lemahnya perhatian Shah Ismail I terhadap arsitektur dapat dikatakan wajar mengingat fokus utamanya lebih kepada geografis, yaitu memperluas wilayah kekuasaannya ke seluruh wilayah Iran (Iranic World) dan menggunakan kekuatannya untuk mengkonversikan mayoritas Sunni di Iran kepada paham

Shi’ah yang minoritas.128 Ia juga menggunakan lukisan kaligrafi dan syair sebagai alat untuk menyukseskan misinya, yaitu dengan memerintahkan untuk menuliskan sajak-sajak yang menghujat ketiga khalifah pertama dalam Islam pada dinding dan langit-langit di masjid-masjid di Qazvin.129 Ia akan menghukum tanpa pandang bulu, baik itu pujangga, filsuf, ahli agama, atau siapapun yang menolak untuk menerima doktrin yang diwajibkannya, sehingga mudah untuk mengatakan bahwa pada masa ini pedang lebih aktif dibandingkan dengan pena.130

Walau begitu, dalam bidang pembangunan terdapat karya besar pada era ini, yaitu pusara Harun-I Vilayat di Isfahan, yang dibangun pada 918 Rabi’ul

Awwal (Mei – Juni 1513). Tetapi secara arsitektur, komplek pusara ini masih mengikuti corak zaman sebelumnya, begitu juga dengan lukisannya.

125 Canby, Shah Abbas: The Remaking of Iran, h. 19. 126 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam: Bagian Kesatu & Kedua. Penerjemah Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), h. 454. 127 Ahmed, Discovering Islam: Making Sense of Muslim History and Society, h. 70. 128 Toynbee, h. 367. 129 Ibid. 130 Browne, A Literary History of Persia, h. 69-83.

39

Kemudian ketika berlibur pada musim panas selama dua minggu di

Isfahan (915/1509), Shah Ismail I memerintahkan untuk memperluas komplek pusara tersebut untuk tempat bermain polo, arena pacuan kuda, dan qabāq.131 Tiga tahun kemudian, Mirza Shah Husayn, seorang bawahan gubernur Durmish Khān

Shāmlū, mengkonstruksi komplek pusara bagian barat daya, dan masih di masa

Shah Ismail I, pada 928/1521-22 seorang arsitek tidak dikenal mendirikan Masjid-

I ‘Alī.132 Hal ini, dapat diasumsikan bahwa pada masa ini ada patron independen yang mendirikan beberapa monumen.

Sebenarnya Isfahan sudah memiliki bazaar, karavanserai, tempat pemandian umum, kedai kopi, istana, madrasah, dan masjid, yang semua itu dapat dipandang cukup potensial dalam pengembangan ekonomi. Namun Shah Ismail I hanya menganggap Isfahan sebagai tempat peristirahatan di pinggiran kota. Ini sedikit memperjelas bahwa arsitektur memang tidak begitu mendapat perhatian serius dari penguasanya.

Tetapi ada sedikit perubahan yang jelas juga pada masa ini, yaitu perhatian difokuskan lebih pada bagian eksterior daripada tata ruang interior, dan gaya ini masih digunakan pada bangunan-bangunan Dinasti Ṣafawi lainnya.

Kemudian, arsitektur mulai dikembangkan oleh Shah Tahmasp I133 dan seni lukis memasuki pencapaian paling tinggi pada masanya (1524-76), yaitu ketika Sultan Muhammad, murid dari Mirak yang merupakan murid dari Bihzad,

131 Stephen P. Blake, “Shah ‘Abbas and the Transfer of Safavid Capital From Qazvin to Isfahan” dalam Andrew J. Newman, ed., Society and Culture in the Early Modern Middle East: Studies on Iran in the Safavid Period (Leiden: Brill, 2003), h. 148. Lihat juga Ghulam Sarwar, History of Shah Ismail Safawi, (Aligarh: Aligarh Muslim University, 1939), h. 50. Qabāq adalah sebuah kayu tinggi yang diletakkan di tengah-tengah lapangan, yang di atas kayu tersebut diletakkan sebuah apel atau melon lalu pemain qabāq akan berusaha membidik buah tersebut dengan panah sambil berkuda. 132 Ibid. 133 Petersen, Dictionary of Islamic Architecture, h. 247.

40

menjabat sebagai ketua pelukis sekaligus direktur studio istana.134 Produksi buku di Tabriz merupakan di antara yang paling mewah dari yang pernah dibuat dan memiliki kualitas terbaik sejajar dengan kualitas pada masa Dinasti Timuriyah.

Miniatur dilukis dengan teknik tinggi, kualitas terjamin serta keindahan yang rumit.

Pada era ini, kecerahan warna-warnanya sama telitinya seperti pada masa

Dinasti Timuriyah. Tetapi lebihnya era ini, garis-garis pembatas sering dilukis dengan perak dan emas dengan berbagai macam warna seperti hijau dan kuning pucat serta dilengkapi dengan lukisan pemandangan, berburu, dan suasana lainnya dengan sedetail mungkin.

Berkembangnya seni, khususnya lukisan, tentu dipengaruhi oleh dukungan penguasa terhadap bidang ini. Dalam tulisannya, Browne menjelaskan bahwa berdasarkan Ahsamu’t Tawáríkh, sejak masih muda, Shah Tahmasp sangat tertarik dengan kaligrafi dan lukisan dan dia juga senang mengendarai kuda-kuda dari

Mesir, bahkan kudanya dihiasi dengan pelana yang disulam dengan warna keemasan, dan memberi corak pada pelana yang kemudian menjadi populer.135

Lapidus menyatakan bahwa Shah Tahmasp I juga merupakan seorang tokoh seniman yang menghasilkan pakaian jubah, hiasan dinding dari sutera, serta sejumlah karya seni logam dan keramik.136 Ia menata karya-karyanya sebagai perhiasan pribadi dan perhiasan kerajaan, dan berusaha untuk tidak memasangnya

134 Blake, “Shah ‘Abbas and the Transfer of Safavid Capital From Qazvin to Isfahan”, h. 143. 135 Browne, A Literary History of Persia, h. 97. 136 Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian Kesatu & Kedua, h. 454.

41

di masjid, tempat suci, perguruan atau tempat-tempat ekspresi publik lainnya yang bisa menimbulkan pengaruh kejiwaan terhadap otoritas kerajaan.137

Dari sikapnya sebagai pemimpin tersebut, dapat terlihat jelas bahwa pada masa pemerintahannya sangat hati-hati namun justru cenderung eksklusif terhadap hal yang di atas, meskipun ia tetap mendorong perkembangan seni, khususnya arsitektur dan seni lukis.

Mengenai peran seni pada masa Shah Tahmasp I ini, penulis menemukan satu literatur sekunder yang ditulis oleh Galina Lassikova, ia menunjukkan bahwa penguasa kedua ini menggunakan lukisan pada hasil tekstil, yaitu kain katun

(velvet) – jubah dan kain untuk tenda (Gambar 1, 2, dan 3138) – sebagai alat untuk hubungan diplomatis dengan Rusia, yaitu untuk meminta bantuan suplai persenjataan untuk Dinasti Ṣafawi .139

137 Ibid. 138 Lassikova, “Hushang the Dragon-slayer: Fire and Firearms in Safavid Art and Diplomacy”, h. 30, 31, dan 43. 139 Ibid, h. 42.

42

Gambar 1. Jubah.

43

Gambar 2. Kain Katun

Gambar 3. Dekorasi “berburu” pada kain tenda.

44

Hiasan pada jubah dan kain (Gambar 1 dan 2) tersebut adalah gambar figur Shah Hushang yang melindungi Simurgh – burung mistis (a Divine bird) dalam tradisi pra-Islam – dari seekor naga dengan bersenjatakan batu besar, yang secara keseluruhan lukisan ini menggambarkan pertempuran antara yang baik dan yang buruk/jahat.140 Naga dikiaskan sebagai musuh jahat yang merupakan perwujudan dari iblis dan perbuatan dosa, sedangkan Simurgh adalah sufi yang merupakan metafora dari esensi universal/alam (Universal Essence).141

Sedangkan dekorasi berburu pada tenda beludru – velvet – (Gambar 3) merupakan penyanding untuk gambar pertarungan antara Simurgh dan Naga.

Dalam artian, kebiasaan dekorasi pada karpet pada saat itu, gambar berburu selalu disandingkan bersamaan dengan gambar pertarungan antara Simurgh dengan

Naga.142

Dengan mengirim hadiah ini, Shah Tahmasp I mengajak Tsar Rusia untuk turut andil menyelamatkan dunia dari musuh abadi yang sama, yaitu Dinasti Turki

Utsmani. Lassikova melanjutkan, memang tak ada bukti langsung bahwa hadiah kain tersebut berhubungan dengan permintaan bantuan senjata yang dipaparkan di atas, namun aliansi militer dan suplai senjata Rusia ke Dinasti Ṣafawi bertepatan dengan kemunculan tekstil tadi.143

Selanjutnya, pada masa ini karya seni lebih cenderung banyak mengandung unsur mistik. Hal ini tampak pada karya-karya syair dan lukisan para pujangga dan pelukis ternama era ini. Dari kalangan pelukis yaitu Sultan

Muhammad. Ia bekerja di istana Shah Tahmasp I dan menjadi salah satu pelukis

140 Ibid, h. 33. 141 Ibid. 142 Ibid, h. 42. 143 Ibid, 41.

45

favorit di antara para pelukis Persia. Sama seperti Hafiz – salah satu penulis syair

Persia terkenal – dalam syair-syairnya, Sultan Muhammad mengkombinasikan antara spiritualitas dan humor sindiran tentang kondisi manusia.144

Seperti yang ditunjukkan Gambar 4, lukisan minum anggur, musik dan tarian ini merupakan gambaran dari syair-syair yang tertulis di atasnya, yang merupakan metafora tentang pengalaman mistik di mana seseorangi tidak lagi terikat dengan duniawi sehingga ia bersatu dengan Ilahi.145 Lukisan ini melukiskan beberapa level kesukariaan dan keadaan mabuk, mulai dari kesukariaan mistis, terpesona akan hilangnya kesadaran diri dengan musik sederhana, tarian, dan persahabatan.146

Gambar 4.

144 Marilyn Jenkins, Marie Lukens Swietochowski dan Carolyn Kane, “Islamic Art” dalam The Metropolitan Museum of Art Bulletin, New Series, Vol. 47, No. 2 (The Metropolitan Museum of Art, 1989), h. 13. 145 Ibid. 146 Ibid.

46

Selanjutnya, pasca stagnansi dari masa-masa akhir Shah Tahmasp I, perkembangan arsitektur dan lukisan pada era kedua penerus tahta Dinasti Ṣafawi ini jika dapat dikatakan cenderung stagnan atau bahkan menurun. Keduanya dianggap raja yang inkompeten.147

Sedikit keluar dari fokus bahasan, tetapi perihal masa pemerintahannya sulit dilepaskan dari raja yang berkuasa, maka kedua penguasa ini masih perlu dikaji lebih jauh lagi, karena episode catatan tentang keduanya masih sangat samar dan terdapat perbedaan pendapat yang cukup kuat, terutama tentang figur

Shah Ismail II. Banyak sejarawan yang menggambarkannya sebagai tokoh antagonis, raja yang tiran dan haus darah – yang hal ini dikatakan merupakan efek dari ayahnya, Shah Tahmasp I, yang memenjarakannya hingga 19 tahun lamanya dengan alasan yang masih belum didapatkan kejelasannya – tetapi beberapa sejarawan lainnya menggambarkan Shah Ismail II sebagai seorang pemberani, cinta perdamaian, gemar belajar, sangat menyukai astronomi, sejarah dan syair.148

Kembali pada perkembangan seni Dinasti Ṣafawi, jika mendasarkan pada versi kedua, asumsi yang mungkin muncul adalah pada masa Shah Ismail II berkuasa seni, khususnya persajakan, sempat mendapatkan perhatian dan ada kesempatan untuk berkembang meski ia hanya berkuasa kurang dari 2 tahun.

Kemudian penguasa Dinasti Ṣafawi keempat, Shah Muhammad

Khudabendeh hanya berkuasa sekitar 9 tahun saja. Awalnya ia adalah putera mahkota dari Shah Tahmasp I, namun karena penyakit matanya yang hampir membutakannya, dan kecacatan ini tidak sesuai dengan syarat pemimpin ideal

147 Canby, Shah Abba: The Remaking of Iran, h. 20. 148 Shohreh Gholsorkhi, “Ismail II and Mirza Makhdum Sharifi: An Interlude in Safavid History” dalam International Journal of Middle East Studies, vol. 26, no. 23 (London: Cambridge University Press, 1994), h. 478-479.

47

dalam hukum Islam bahwa tanggung jawab seorang penguasa adalah untuk melindungi serta membela rakyatnya dan ia juga merupakan pemimpin pasukannya, maka tugas-tugas ini dipandang mustahil dapat dilaksanakan oleh seorang yang tidak dapat melihat dengan baik, sehingga Khudabendeh pun kemudian didiskulifikasi149 dan digantikan oleh Shah Ismail II.

Setelah kematian Shah Ismail II,150 Shah Muhammad Khudabendeh terpaksa menggantikannya, namun dikatakan bahwa justru yang sebenarnya berkuasa adalah istrinya, dan hal ini tidak disukai oleh para pemimpin yang kemudian membunuhnya.151 Tahta masih dipegang Shah Khudabendeh tetapi yang menonjol justru dari pihak Qizilbash hingga akhirnya Shah Abbas I mengambil tahta dari ayahnya. Adapun jejak rekam era pemerintahannya penulis hanya menemukan bahwa masa ini tidak ada perkembangan sama sekali, baik secara politik, ekonomi, maupun budaya.

2. Era Shah Abbas I

Ia adalah seorang yang cerdas dan pandai berhadapan dengan berbagai situasi namun ia tidak segan untuk menyingkirkan segala hal yang mengancam kekuasaan serta kerajaannya tanpa pandang bulu.152 Masanya disebut-sebut sebagai dasar bagi Republik Iran yang sekarang ini.

Pada masa para penguasa Dinasti Ṣafawi sebelum Shah Abbas I, Persia terpecah belah dan masih terjadi instabilitas di mana-mana. Ketika ia menduduki

149 Blow, Shah Abbas; The Ruthless King who Became an Iranian Legend, h. 16 dan 245. 150Gholsorkhi menyebutkan bahwa kematiannya masih diselimuti misteri. Lihat Gholsorkhi, Ismail II and Mirza Makhdum Sharifi: An Interlude in Safavid History, h. 479. Sedangkan Hamka mengatakan bahwa penyebab kematiannya adalah karena diracun. Lihat Hamka, Sejarah Umat Islam Edisi Baru, h. 443. 151 Hamka, Sejarah Umat Islam Edisi Baru, cet. ke-3 (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2001), h. 444. 152 Nikki R. Keddie, Roots of Revolution: An Interpretive History of Modern Iran, with A Section by Yann Richard (New Haven: Yale University Press, 1981), h. 13.

48

tampuk kekuasaan pada usia 16 tahun pada 1580 M,153 ia mulai banyak melakukan langkah-langkah perubahan yang pasti sehingga Dinasti Ṣafawi mencapai kejayaannya di bawah kepemimpinannya. Hal ini diakui oleh semua sejarawan. Tetapi, oleh pemerintah Republik Islam Iran ia tidak dianggap sebagai

Sang Penguasa Agung, sebagaimana sebagian sejarawan menyebutnya seperti itu

(Shah Abbas The Great).154

Setelah memperkuat pertahanan negara, Shah Abbas I melakukan beberapa kebijakan selanjutnya,155 yaitu pertama, pada 1598 ia memindahkan ibukota dari Qazvin ke Isfahan yang kemudian disemarakkan dengan aktifitas seni dan kerajinan, terutama arsitektur dan lukisan Ia juga merekonstruksi dan membenahi kota Shiraz, Ardabil, dan Tabriz, serta tempat-tempat ziarah/suci, terutama pusara Imam Reza di dan pusara Shah Tahmasp I di Ardabil.

Kedua, ia membangun relasi diplomatik dengan negara-negara Eropa sehingga para pedagang mereka berniaga di Bandar Abbas.

Ketiga, pada masa Shah Abbas I, istana menjadi patron utama dalam seni dan perdagangan, yang mana keduanya merupakan faktor yang sangat penting dalam meningkatkan perekonomian negara, khususnya pendapatan dari industri karpet.156 Dukungan terhadap seni yang sekaligus untuk kepentingan ekonomi juga terlihat dalam langkah yang diambil Shah Abbas I, yaitu memindahkan kelompok para seniman Armenia dari Julfa di Azerbaijan ke New Julfa, seberang sungai Isfahan. Hal ini berkaitan erat dengan kegiatan artistik di Isfahan, untuk

153 Sheila R. Canby, Shah Abbas: The Remaking of Iran (London: The British Museum Press, 2009), h. 9. 154 Muhammad Hasyim Assagaf, Lintasan Sejarah Iran: Dari Dinasti Achaemenia ke Republik Revolusi Islam (Jakarta: The Cultural Section of Embassy of The of Iran, 2009), h. 331. 155 Donald N. Wilber, Iran: Past and Present, edisi ke-4 (New Jersey: Princeton University Press, 1958), h. 68 – 69. 156 Elton L. Daniel dan Ali Akbar Mahdi, Culture and Cunstoms of Iran, 143.

49

mengurus perdagangan tekstil tenunan, sutera, dan karpet.157 Orang-orang

Armenia ini terkenal sebagai kelompok pengrajin, penerjemah158 dan ahli dagang yang memiliki jaringan dagang melalui Turki, ke Eropa juga di India.

Keempat, ia menghapuskan intoleransi terhadap non-Muslim, yang hal tersebut bisa jadi merupakan faktor lain yang membuat agenda kota imperialnya berhasil. Tidak hanya pelancong dan pedagang non-Muslim saja yang datang ke

Isfahan – orang Inggris, Belanda, Portugis, Rusia – tetapi juga para misionaris, terutama dari berbagai macam sekte Katolik, seperti Agustinian, Carmelite, dan

Dominican.159

Masa ini melahirkan pelukis terkenal, yaitu Riza Abbasi, dari Tabriz dan pelukis favorit Shah Abbas I, yang karyanya dianggap sebagai perwujudan dari apresiasi keindahan Persia abad ke-17 M.160 Ia juga yang banyak menulis inskripsi pada dinding berbagai bangunan di Isfahan.161 Selain itu, ia juga terkenal dengan corak lukisan seorang tokoh atau pasangan di kertas folio (loose folio).162

Selanjutnya, Shah Abbas I juga menciptakan corak publik tentang ibukota Isfahan dan ia juga mengembangkan lukisan-lukisan tentang peperangan, pemandangan perburuan, dan upacara kerajaan.163

Selanjutnya, dalam seni rupa, permasalahan warna, cahaya, volume, nuansa, bentuk, dan garis dalam harmoni tertentu dapat melahirkan efek

157 Canby, Shah Abbas: The Remaking of Iran, h. 9. 158 Loosley, “Ladies who Lounge: Class, Religion and Social Interaction in Seventeenth- Century Isfahan”, h. 620. 159 Taylor, Book Arts of Isfahan: Diversity and Identity in Seventeenth-Century Persia, h. 4. 160 Massumeh Farhad, “Searching for the New: Later Safavid Painting and the "Suz u Gawdaz" ("Burning and Melting") by Nau'i Khabushani”, dalam The Journal of the Walters Art Museum, vol. 59, Focus on the Collections, (US: The Walters Art Museum, 2001), h. 115. 161 Vernoit, Artistic Expressions of Muslim Societies, h. 281. 162 Ibid. 163 Lapidus, h. 454.

50

psikologis yang cukup kuat bagi penerimanya.164 Oleh karena itu, suatu sajian karya seni rupa dapat memiliki segi informatif dan kekuatan sugesti tertentu.165

Fungsi informatif ini telah digunakan oleh hampir setiap bangsa di sepanjang zaman untuk berbagai macam keperluan sesuai dengan kepentingan masing- masing.166

Fungsi ini juga dimanfaatkan oleh Shah Abbas I untuk menyukseskan agenda pembangunan kota imperialnya yang dipenuhi dengan bangunan berarsitektur megah, seperti yang dijelaskan oleh Minowa dan Witkowski dalam artikelnya, yaitu untuk kepentingan politik sekaligus kepentingan ekonomi negaranya, yang ia bungkus dengan menggunakan kesalehan populer dan kreasi agama nasional.167

Tabriz dan Qazvin merupakan ibukota Dinasti Ṣafawi di bawah kekuasaan

4 Shah sebelumnya. Maka untuk melakukan rencana pembangunan tadi, perlu sebuah kota baru yang aman dan strategis sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu, Isfahan sangat penting bagi legitimasi simbolik

Dinasti Ṣafawi. seperti yang dijelaskan oleh Lapidus,

Shah Abbas I membangun kota baru tersebut mengitari Maydani- Syah, yakni sebuah alun-alun yang sangat besar yang luasnya sekitar 160 x 500 meter. Alun-alun tersebut berfungsi sebagai pasar, tempat perayaan dan sebagai lapangan permainan polo. Ia dikelilingi sederetan toko bertingkat dua dan oleh sejumlah gedung utama pada setiap sisinya. Di bagian timur terdapat Masjid Shaikh Lutfallah, yang mulai dibangun pada 1603 dan selesai pada 1618, merupakan sebuah oratorium yang disediakan sebagai tempat peribadatan pribadi Shah. Pada sisi bagian selatan terdapat mesjid kerajaan, yang mulai dibangun pada 1611 dan selesai pada 1629.

164 Yahya, Agama Sebagai Sumber Inspirasi Kreativitas dan Implikasinya: Hubungan Islam dan Seni, h. 109. 165 Ibid. 166 Ibid. 167 Loosley, Ladies who Lounge: Class, Religion and Social Interaction in Seventeenth- Century Isfahan, h. 615.

51

Di bagian barat berdiri istana Ali Qapu yang merupakan gedung pusat pemerintahan. Pada sisi utara dari Maydani-Syah berdiri bangunan monumental yang menjadi simbol bagi gerbang menuju bazaar kerajaan dan sejumlah pertokoan, tempat pemandian, karavan bagi para kafilah maupun pedagang, masjid, dan sejumlah perguruan. Dari Maydani, terdapat sebuah jalan raya dari Chahar Bagh sepanjang 2,5 mil menuju istana musim panas yang merupakan tempat bagi sang penguasa memberikan saran-saran kepada para duta besar dan mengadakan upacara resmi kenegaraan. Pada sisi lainnya dari jalan raya ini, terdapat sejumlah taman yang luas, tempat tinggal para harem Shah, dan tempat tinggal para pegawai istana serta para duta asing. Seluruh kota Isfahan ini merupakan masterpiece bagi tata kota Timur Tengah. Isfahan melambangkan legitimasi dinasti ini. sejumlah plaza dan bazar merupakan simbol bagi sebuah penertiban dunia melalui keputusan-keputusan raja, sejumlah monumen keagamaan yang terdapat di dalamnya menandakan perhatian raja terhadap agama, dekorasi kota yang sangat megah merupakan pertanda universal bagi keagungan sang raja. Demikianlah beberapa klaim legitimasi Dinasti Ṣafawi telah dibentangkan dari basis keagamaan mereka hingga motif-motif tradisional dan kebesaran kerajaan Iran. 168

168 Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam: Bagian Kesatu & Kedua, h. 452-454.

52

Gambar 6. Rencana Pembangunan Isfahan pada masa Shah Abbas I.169

169 Roemer, “The Safavid Period”, h. 776.

53

Gambar 7. Isfahan, rencana area Maydani-Syah.170

170 Ibid, h. 780.

54

Gambar 8. Peta Maydan-i Shah. Berasal dari peta tahun 1923-4 tetapi juga

termasuk beberapa bangunan yang sebelumnya ada pada masa Dinasti Ṣafawi,

seperti beberapa karavanseris yang banyak diisi oleh para pedagang India, Lala

Beg “Ali-quli Khan, yang sudah tidak ada lagi.171

171 Masashi Haneda, “The Character of the Urbanisation of Isfahan in the Later Safavid Period” dalam Charles Peter Melville, ed. Safavid Persia: The History and Politics of an Islamic Society (London: I.B. Tauris & Co Ltd, 1996), h. 374-375.

55

Gambar 9. Isfahan, bagian Ali Qapu.172

Gambar 10. Exterior dan interior Masjid Shaikh Lutfallah.173

172 Roemer, “The Safavid Period”, h. 783. 173 Roemer, “The Safavid Period”, h. 785.

56

Kemudian, sama seperti yang dikemukakan oleh Roger Stevens dalam tulisannya tentang para pendatang Eropa pada masa Dinasti Ṣafawi , bahwa yang paling menarik bagi para pelancong yang sekaligus mencatat apa yang mereka lihat (chroniclers) adalah Maydani Shah.174 Ia juga mengemukakan beberapa catatan para pelancong itu tentang Maydan, salah satunya seorang pelancong asal

Italia, Pietro della Valle, yang datang ke Persia pada 1617 karena mendengar ketenaran Shah Abbas I, ia menggambarkan Maydan sebagai berikut,175

“Arsitekturnya sangat hebat dan sangat menyenangkan dipandang. Meskipun bangunan-bangunan di Piazza Navona lebih tinggi dan lebih banyak dekorasi, namun mereka tak ada keteraturan, sehingga membuatnya biasa saja dibandingkan dengan yang ada di Maydan, Isfahan.”

Kemudian, dinding-dinding istana dan paviliun dihiasi dengan komposisi ubin dan mural. Seperti yang terdapat pada dinding gapura/pintu menuju Bazar

Isfahan, yaitu mural berbagai macam binatang dan orang yang sedang menunggangi kuda dan di bagian depan (facade) istana di sebelah utara Chahar

Bagh terdapat mural yang dikatakan cukup berpengaruh terhadap peningkatan konsumerisme, yaitu kiasan kehidupan surga (paradise) melalui mural “a gathering in a garden”, figur dua laki-laki dan empat wanita yang sedang bersantai di kebun, yang mereka semua memakai pakaian dan aksesoris mewah

(Gambar 11).176 Lukisan dengan komposisi identik juga terdapat pada dinding

Chihil Sutun.177

174 Roger Stevens, “European Visitors to the Safavid Court” dalam Iranian Studies: Studies of Isfahan Proceedings of the Isfahan Colloquium Part II, vol. 7, no. 3/4 (US: Taylor & Francis, Ltd., 1974), h. 430. 175 Ibid., h. 422-423 dan 430-431. 176 Minowa dan Witkowski, “State Promotion of Consumerism in Safavid Iran: Shah Abbas I and Royal Silk Textiles”, h. 305 dan 307. 177 Ibid, h. 308.

57

Gambar 11. Lukisan di bagian dinding Chahar Bagh

Rizvi juga menuliskan bahwa selama pemerintahan Shah Abbas I, manuskrip ilustratif Shahnama menjadi media populer untuk memamerkan ideologi dan kekuasaan imperial Dinasti Ṣafawi .178 Keddie menjelaskan bahwa

Shah Abbas I mendukung perdagangan internasional Dinasti Ṣafawi melalui

178 Kishwar Rizvi, “The Suggestive Portrait of Shah ‘Abbas: Prayer and Likeness in a Safavid Shahnama” dalam Jurnal The Art Bulletin edisi Juni, vol. XCIV, no. 2 (New York: College Art Association, 2012), h. 226.

58

bangunan, karavansaris, dan tempat-tempat untuk memproduksi barang tekstil mewah dan keramik yang diminati di Barat.179

Sejalan dengan agenda tersebut, Shah Abbas I juga meningkatkan kualitas tekstilnya, karena memang yang menjadi tujuan akhir adalah agar tidak hanya mendatangkan wisatawan lokal maupun mancanegara, tetapi juga agar mereka membeli barang-barang dari negaranya.

Selain itu, cara lain yang digunakan Shah Abbas I dalam promosi negaranya, adalah dengan menggunakan hasil karya seni untuk waqf

(endowment).180 Ia memperbaiki dan menggunakan kembali karpet (medallion carpet) yang diminta oleh Tahmasp I untuk tempat ziarah. Ia menyumbangkan sejumlah besar karya seni untuk merekonstruksi tempat ziarah, makam Syaikh

Safi al-Din dan Shah Tahmasp I, – di samping senjata, kambing, dan biri-biri – yaitu dengan perhiasan dari karpet, permata, porselen, dan manuskrip.181 Setelah wakaf besar-besaran yang dilakukannya, karpet menjadi barang yang populer untuk kegiatan memberi hadiah.182

Dari caranya berwakaf, meski tujuan utamanya tentang perihal garis keluarga dan agama, tetapi secara tidak langsung Shah Abbas I telah melakukan branding karya-karya seni yang diwakafkannya.

Kemudian, untuk mendukung produksi karpet yang berkualitas didirikan tempat khusus untuk membuatnya (workshop) yang secara eksklusif milik

179 Keddie, Roots of Revolution: An Interpretive History of Modern Iran, with A Section by Yann Richard, h. 13. 180 Sheila S. Blair, “The Ardabil Carpet in Context” dalam Andrew J. Newman, ed., Society and Culture in the Early Modern Middle East: Studies on Iran in the Safavid Period Islamic History and Civilization (Leiden: Brill, 2003), h. 132. 181 Ibid. 182 Ibid.

59

istana,183 sehingga dapat terkontrol proses produksinya. Kebun-kebun, arsitektur bangunan, berbagai monumen yang ada menjadi sumber inspirasi untuk mendesain karpet pada masa ini.184

Shah Tahmasp I dan Abbas I tercatat sebagai penguasa Dinasti Ṣafawi yang mengembangkan industri ini dan menggunakan karpet sebagai hadiah untuk para penguasa asing dan orang-orang terkemuka yang berpengaruh.185

Karpet Persia benar-benar menarik perhatian raja-raja di Eropa, yang bahkan mengirimkan para pedagang dan pengrajin mereka untuk mempelajari seni membuat karpet. Raja Perancis, Louis XIV, mengirim beberapa pengrajinnya untuk mempelajari cara menenun karpet seperti yang dilakukan orang-orang

Persia, dan pada 1601 M, raja Polandia, Sigismund III Vasa, mengirimkan pedagangnya ke Kashhan untuk membeli karpetnya.186

Kemudian, lebih dari 1000 karpet yang tersebar di berbagai museum umum maupun koleksi pribadi di seluruh dunia berasal dari karpet awal tahun

1600-an yang kebanyakan dibuat di Isfahan dan Kashhan, khususnya karpet dari sutera, tetapi memang kebanyakan bercorak karpet Polonaise karena dipesan untuk raja Polandia, yaitu dengan benang serta lengkungan emas dan perak.187

Dari paparan di atas, dapat dikatakan Shah Abbas I menggunakan Isfahan yang sudah direkonstruksi ulang dengan megah sebagai alat promosi negaranya.

Hal ini sesuai dengan pendapat Grabar bahwa arsitektur juga dapat turut digunakan untuk tujuan ekonomi dan Dinasti Ṣafawi merupakan yang salah satu

183 Elton L. Daniel dan Ali Akbar Mahdi, Culture and Cunstoms of Iran, h. 143. 184 Ibid. 185 Ibid. 186 Ibid., h. 144. 187 Ibid.

60

memanfaatkan arsitektur untuk kepentingan ekonomi.188 Hal ini juga membuktikan asumsi penulis, bahwa masa itu terjadi pada era Shah Abbas I. Tak hanya arsitektur, ia juga mengembangkan seni lain, seperti seni tenun, sebagai tambahan dorongan untuk mengembangkan perdagangannya sehingga dapat meningkatkan perkembangan ekonomi negara.

3. Pasca-Shah Abbas I

Style pada masa pasca-Shah Abbas I kecenderungan terhadap vulgaritas dan seduktif semakin populer, baik gambar atau lukisan satuan maupun dalam album.189 Gaya ini sebagian dipengaruhi oleh gaya Eropa yang juga diambil oleh

Riza Abbasi dan dituangkan dalam karyanya Sleeping Women (1959), yaitu dari potret model Eropa karya seorang seniman Italia, Marcantanio Raimondi.190

Dalam perkembangannya para pelukis Dinasti Ṣafawi mengembangkan sendiri corak sensualitasnya, seperti pada karya Muhammad Qasim, Standing

Nude and Lovers, dan corak tersebut bahkan menjadi standar pokok dalam pementasan opera pada masa Dinasti Ṣafawi selanjutnya.191

188 Grabar, “Architecture and Society: ‘The Architecture of Power: Palaces, Citadels and Fortifications’ ”, h. 65.

189 Contohnya seperti perempuan dengan pakaian yang terbuka atau minimalis (dengan dada terbuka). Sheila S. Blair, “The Ardabil Carpet in Context”, h. 124. 190 Ibid. 191 Ibid.

61

Bab V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Seni arsitektur dan lukisan dimulai sejak Shah Tahmasp I, tetapi seni lukis lebih menonjol dengan berdirinya sekolah melukis. Kemudian, masa dua penguasa berikutnya (Shah Ismail II dan Muhammad Khudabendeh), mengalami kemunduran. Shah Tahmasp I dan Abbas I merupakan dua patron

(pendukung/penunjang) yang paling menonjol dalam perkembangan seni Dinasti

Safawiyah.

Pemanfaatan seni untuk media diplomasi sudah pernah dilakukan pada pra-Shah Abbas I, tetapi semakin masif pada era Shah Abbas I. Ia melihat budaya seni dapat mendatangkan keuntungan ekonomi untuk negaranya, maka ia pun kemudian mendukung penuh kegiatan artistik, khususnya untuk arsitektur dan lukisan. Keterbukaan terhadap dunia luar dan dukungan penuh terhadap kegiatan artistik menjadi faktor yang mempengaruhi terhadap semakin berkembang dan populernya, baik secara teknik maupun desain, produk seni dan barang mewah dalam kegiatan ekonomi saat itu.

Selanjutnya, yang membedakan hasil dukungan Shah Tahmasp dengan

Shah Abbas I terhadap seni adalah inovasi ataupun strategi yang dilakukan. Tak seperti pada era Shah Tahmasp I, masa Shah Abbas I lebih inklusif terhadap dunia luar, terutama terhadap para pendatang dan misionaris asing. Selain memindahkan ibukota dari Qazvin ke Isfahan, Shah Abbas I kemudian merelokasi imigran

62

Armenia – yang terkenal sebagai kelompok seniman, pengrajin, dan penerjemah – dari Julfa di Azerbaijan ke dekat Isfahan, yang disebut New Julfa.

Shah Abbas I juga merekonstruksi tempat-tempat ziarah dan ada dugaan ia juga memberlakukan pajak ziarah (pilgrimage tax) sehingga menjadi pemasukan yang cukup besar untuk kas negara. Lalu penulis mendapati bahwa Shah Abbas I secara tidak langsung melakukan branding hasil karya seni – perhiasan dari permata, karpet (baik yang bergambar maupun inskripsi), manuskrip dan porselen

– dengan cara mewakafkannya untuk tempat ziarah, seperti ke Mashhad dan

Ardabil. Di antara produk yang diwakafkan adalah karpet yang menjadi paling terkenal. Wakaf ataupun kegiatan saling memberi hadiah dengan karpet terbaik menjadi trend baru pada saat itu. Maka, konsumerisme terhadap barang-barang senipun meningkat dan menjadi tambahan pemasukan bagi negara.

B. Saran

Penelitian ini menunjukkan bahwa sektor budaya, khususnya seni, juga memberikan peran dalam mengembangkan negara. Dalam kasus ini, budaya mempunyai nilai yang turut menguntungkan untuk ekonomi negara. Berangkat dari sini, penulis sebagai warga negara Indonesia yang sangat kaya akan budaya, merasa bahwa Indonesia memiliki banyak sumber potensial yang dapat turut mengembangkan perekonomian.

Tetapi hal di atas tentunya memerlukan dukungan penuh dari pemerintah dan kerjasama dari masyarakat, sehingga kesejahteraan yang diidamkan dapat diraih lebih cepat. Maka dari itu, menurut hemat penulis, penelitian lebih lanjut mengenai antar disiplin yang saling mempengaruhi seperti seni dan ekonomi

63

ataupun antar bidang lainnya, seperti politik dan budaya, fisika dan agama, sejarah dan budaya, agama dan budaya serta lainnya, sangat perlu dilakukan sehingga dapat memberikan sumbangsih yang sangat bermanfaat bagi perkembangan saat ini, khususnya bagi Indonesia.

64

DAFTAR PUSTAKA

Buku Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Abisaab, Rula Jurdi. Converting Persia: Religion and Power in the Safavid Empire. London: I.B Tauris & Co Ltd, 2004. Ahmed, Akbar S. Discovering Islam: Making Sense of Muslim History and Society. London: Routledge, 1988. Ahmed, Akbar S. Rekonstruksi Sejarah Islam Di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban, terj. Amru Nst, cet. ke-1. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002. Alisjahbana, S. Takdir. Antropologi Baru: Nilai-nilai Sebagai Tenaga Integrasi Dalam Pribadi, Masyarakat dan Kebudayaan, cet. ke-3. Jakarta: Universitas Nasional P.T. Dian Rakyat, 1986. Allouche, Adel. The Origins and Development of the Ottoman-Safavid Conflict (906-962/1500-1555). Berlin: Klaus Schwarz Verlag, 1983. Assagaf, Muhammad Hasyim. Lintasan Sejarah Iran: Dari Achaemenia Ke Republik Revolusi Islam. The Cultural Section of Embassy of The Islamic Republic of Iran, 2009. Baret, Douglas. The Islamic Art of Persia, A.J. Arberry, ed. Oxford: Goodword Books, 1953. Blake, Stephen P. “Shah ‘Abbas and the Transfer of Safavid Capital From Qazvin to Isfahan” dalam Andrew J. Newman, ed., Society and Culture in the Early Modern Middle East: Studies on Iran in the Safavid Period. Leiden: Brill, 2003. Bloom, Jonathan M. “Epic Images Revisited: An Ilkhanid Legacy in Early Safavid Painting” dalam Andrew J. Newman, ed., Society and Culture in the Early Modern Middle East: Studies on Iran in the Safavid Period. Leiden: Brill, 2003. Blow, David. Shah Abbas: The Ruthless King who Became an Iranian Legend. London: I.B. Tauris & Co. Ltd, 2009. Browne, Edward G. A Literary History of Persia, Vol. 4: Modern Times (1500- 1924), cet. ke-5. London: The Syndics of the Cambridge University Press, 1959. Canby, Sheila R. Shah Abbas The Remaking of Iran. London: The British Museums, 2009. Daniel, Elton L. dan Ali Akbar Mahdi. Culture and Cunstoms of Iran. Westport: Greenwood Press, 2006.. Fadhli, Aulia. Masjid-Masjid Paling Menakjubkan dan Berpengaruh di Dunia. Yogyakarta: Qudsi Media, 2013. Gholsorkhi, Shohreh. “Ismail II and Mirza Makhdum Sharifi: An Interlude in Safavid History” dalam International Journal of Middle East Studies, vol. 26, no. 23. London: Cambridge University Press, 1994. Hamka. Sejarah Umat Islam Edisi Baru, cet. ke-3. Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2001.

65

Harrison, Lawrence E. dan Huntington, Samuel P., ed., “Culture Matters: How Values Shape Human Progress”, Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia. Penerjemah Retnowati. Jakarta: LP3ES Indonesia, 2006. Heriyanto, Husain. Revolusi Saintifik Iran. Jakarta: UI-Press, 2013. Hitti, Philip K. The Near East in History: A 5000 Year Story. Kanada: D. Van Nostrand Company, Inc., 1961. Holt, P.M. The Cambridge History of Islam, vol. IV. London: Cambridge University Press, 1977. Ibn Khaldun, Al- Abdurrahman ibn Muhammad. Mukaddimah Ibnu Khaldun, terj. Masturi Irham dan Malik Supar, cet. ke-3. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2003. Intelegensi & Spiritualitas Agama-agama. Jakarta: Inisiasi Press, 2004. Jackson, Peter dan Lockhart, the late Laurence, ed. The Cambridge History of Iran: The Timurid and Safavid Periods, vol. 6. United Kingdom: Cambridge University Press, 1986. Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia, 1992. Keddie, Nikki R. Roots of Revolution: An Interpretive History of Modern Iran, with A Section by Yann Richard. New Haven: Yale University Press, 1981. Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam: Bagian Kesatu & Kedua, terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999. Nasuhi, Hamid, dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: Center for Quality Development and Assurance Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Naylor, Rebecca. “The Sasanian Inheritance”, dalam Palace and Mosque. London: V&A Publications, 2004. Newman, Andrew J. Safavid Iran: Rebirth of a Persian Empire. New York: I. B. Tauris & Co Ltd, 2006. Newman, Andrew J. Society and Culture in The Early Modern Middle East: Studies on Iran in the Safavid Period. Leiden: Brill, 2003. Parekh, Bikhu. Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik, cet. ke-5. Yogyakarta: Kanisius, 2012. Renier, G. J. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Penerjemah Muin Umar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1987. Rizvi, Kishwar. “Architecture and the Representations of Kingship during the Reign of the Safavid Shah ‘Abbas I” dalam Lynette Mitchell dan Charles Melville, ed., Every Inch a King: Comparative Studies on Kings and Kingship in the Ancient and Medieval Worlds. Leiden: Brill, 2013. Rochym, Abdul. Sejarah Arsitektur Islam: Sebuah Tinjauan. Bandung: Penerbit Angkasa, 1983. Roemer, H. R. “The Safavid Period”, dalam Peter Jackson dan Laurence Lockhart, ed., The Cambridge History of Iran: The Timurid and Safavid Periods, vol. 6. United Kingdom: Cambridge University Press, 1986. Sarwar, Ghulam. History of Shah Ismail Safawi. Aligarh: Aligarh Muslim University, 1939. Scarce, Jennifer. Domestic Culture in the Middle East: An Exploration of the Household Interior. Edinburgh: National Museum of Scotland, 1996.

66

Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Taylor, Alice. Book Arts of Isfahan: Diversity and Identity in Seventeenth-Century Persia. California: The J. Paul Getty Museum, 1996. Toynbee, Arnold. A Study of History: Introduction the Geneses of Cizilizations, vol. 1, cet. ke-7. London: Oxford University Press, 1956. Usman, Hasan. Metode Penelitian Sejarah, terj. Mu’in Umar dkk. Departemen Agama: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986. Van Peursen, C. A. Strategi Kebudayaan. Penerjemah Dick Hartoko, ed. ke-2. Yogyakarta: Kanisius, 1988. W. M, Abdul Hadi. Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya, cet. ke-1. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, ed. ke-1. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Skripsi dan Artikel dalam Jurnal

Babayan, Kathryn. “Safavid Synthesis: From Qizilbash Islam Imamite Shi’ism” dalam Iranian Studies: Religion and Society in Islamic Iran during the Pre Modern Era, vol. 27, no. 1/4. Taylor & Francis Ltd., 1994: 135 – 161. Bello, Iysa Ade. “The Safavid Episode: Transition From Spiritual To Temporal Leaders”, dalam Islamic Studies, vol. 23, no. 1. Islamabad: Islamic Research Institute International Islamic University, 1984: 1 – 19. Bier, Carol. “Art: Crafts, Technology, and Material Culture.” Iranian Studies, vol. 31, no. 3-4 (1998): h. 349-359. Review dari Encyclopaedia Iranica, (Summer-Autumn). Taylor & Francis, Ltd., 1998. Caulkins, D. Dauglas. “Identifying Culture as A Treshold of Shared Knowledge: A Consensus Analysis Method” dalam International Journal of Cross Cultural Management, vol. 4(3). SAGE Publications, 2004: 317 – 333. Farhad, Massumeh. “Searching for the New: Later Safavid Painting and the "Suz u Gawdaz" ("Burning and Melting") by Nau'i Khabushani”, dalam The Journal of the Walters Art Museum, vol. 59, Focus on the Collections. US: The Walters Art Museum, 2001: 115 – 130. Grabar, Oleg. “Architecture and Society: The Architecture of Power: Palaces, Citadels and Fortifications,” dalam George Michell, ed. Architecture of the Islamic World: Its History and Social Meaning. London: Thames and Hudson LTD, 1978: 48-79. Grube, Ernst J. “Introduction: What is Islamic Architecture?,” dalam George Michell, ed. Architecture of the Islamic World: Its History and Social Meaning. London: Thames and Hudson LTD, 1978: 10-14. Haneda, Masashi. “The Character of the Urbanisation of Isfahan in the Later Safavid Period” dalam Charles Peter Melville, ed. Safavid Persia: The History and Politics of an Islamic Society. London: I.B. Tauris & Co Ltd, 1996. Hutt, Antony. “Key Monuments of Islamic Architecture: Iran,” dalam George Michell, ed., Architecture of the Islamic World: Its History and Social Meaning. London: Thames and Hudson LTD, 1978: 251 – 258.

67

Jenkins, Marilyn, Marie Lukens Swietochowski dan Carolyn Kane, “Islamic Art” dalam The Metropolitan Museum of Art Bulletin, New Series, vol. 47, no. 2. The Metropolitan Museum of Art, 1989: 10 – 13. Lassikova, Galina. “Hushang the Dragon-slayer: Fire and Firearms in Safavid Art and Diplomacy” dalam Iranian Studies, vol. 43, no. 1. Routledge, 2010: 29 – 51. Loosley, Emma. “Ladies who Lounge: Class, Religion and Social Interaction in Seventeenth-Century Isfahan”, dalam Gender & History, vol. 23, no. 3. Oxford: Blackwell Publishing Ltd., 2011: 615 – 629. Mathee, Rudi. “Coffee in Safavid Iran: Commerce and Consumption.” Journal of the Economic and Social History of the Orient, vol. 37, no. 1. BRILL, 1994: 1-32. Minowa, Yuko dan Terrence H. Witkowski. “State Promotion of Consumerism in Safavid Iran: Shah Abbas I and Royal Silk Textiles” dalam Journal of Historical Research in Marketing, vol. 1, no. 2. Emerald Group Publishing Limited, 2009: 295-317. Pratiwi, Devie Luciana. “Safawi Pada Masa Kebangkitan: Kajian Tentang Prestasi Shah Abbas I (1588-1628) Dalam Membangun Kembali Dinasti Safawi.” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012. Rizvi, Kishwar. “Art” dalam Key Themes for the Study of Islam, Jamal J. Elias, ed. Oxford: Oneworld Publications, 2010. Rizvi, Kishwar. “The Suggestive Portrait of Shah ‘Abbas: Prayer and Likeness in a Safavid Shahnama” dalam The Art Bulletin edisi Juni, vol. XCIV, no. 2. New York: College Art Association, 2012: 226 – 250. Savory, Roger M. “The Land of The Lion of The Sun: The Flowering of Iranian Civilization.” dalam Bernard Lewis, ed. The World of Islam: Faith, Ṣafawi People, Culture. London: Thames and Hudson, 1976: 245-272. Stanley, Tim. “Textiles and Burial”, dalam Palace and Mosque. London: V&A Publications, 2004. Stevens, Roger. “European Visitors to the Safavid Court” dalam Iranian Studies: Studies of Isfahan Proceedings of the Isfahan Colloquium Part II, vol. 7, no. 3/4. US: Taylor & Francis, Ltd., 1974: 421 – 457. Uluç, Lāle. “A Group of Artists Associated with the "Āsitāna" of Ḥusām al-Dīn Ibrāhīm” dalam Artibus Asiae: Pearls from Water. Rubies from Stone. Studies in Islamic Art in Honor of Priscilla Soucek Bagian II, vol. 67, no. 1. Artibus Asiae Publishers, 2007: 113-145. Yahya, Amri. “Agama Sebagai Sumber Inspirasi Kreativitas dan Implikasinya: Hubungan Islam dan Seni” dalam Jurnal Humaniora, No. 1/2000. Yogyakarta: UNY Press, 2000: 105 – 111.

Ensiklopedia dan Kamus

Akhavi, Shahrough. The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World: Iran, dalam John L. Esposito, ed., vol. 2. New York: Oxford University Press, Inc., 1995.

68

Antonio, Muhammad Syafii dan Tim Tazkia. Ensiklopedi Peradaban Islam: Persia. Jakarta: Tazkia Publishing, 2012. Encyclopaedia of Islam New Edition, vol. IV, cet. ke-3. Leiden: E. J. Brill, 1997. Hiro, Dilip. Dictionary of the Middle East. New York: St. Martin Press, 1996. International Encyclopaedia of Islamic Dynasties. Nagendra Kr. Singh, ed. New Delhi: Anmol Publications Pvt. Ltd., 2002. Lorentz, John. H. Asian Historical Dictionaries no. 16: Historical Dictionary of Iran. USA: Scarecrow Press, Inc., 1995. Noer, Kautsar Azhari. “Arsitektur” dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Petersen, Andrew. Dictionary of Islamic Architecture. London: Routledge, 1996. Vernoit, Stephen. “Artistic Expressions of Muslim Societies” dalam Francis Robinson, ed., The Cambridge Illustrated History of the Islamic World. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.

Artikel dari Web Site

Arshad, Farhad, "Isfahan", dalam Encyclopedia.com: Encyclopedia of the Modern Middle East and North Africa. (2004), artikel diakses pada 31 Maret, 2015 dari http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3424601359.html. “Economy: From the Safavids Through the Zands”, artikel diakses pada 7 Oktober 2015 dari http://www.iranicaonline.org/articles/economy-vii-from-the- safavids-through-the-zands. Irawan MN, Aguk, Melacak Hubungan Agama dan Kesenian. (Selasa, 16 Januari 2010), artikel diakses pada 20 Februari 2015 dari NU Online. Sardar, Marika. Shah ‘Abbas and the Arts of Isfahan, dalam Heilbrunn Timeline of Art History (New York: The Metropolitan Museum of Art, 2000), artikel diakses pada 16 Maret 2015 dari http://www.metmuseum.org/toah/hd/shah/hd_shah.htm.

69

LAMPIRAN

Gambar 1. Peta Dinasti Safawi Abad ke-1

Gambar 1. Isfahan, Abad ke-17 M.

Gambar 2. Tanah Persia. Sumber: Tārīkh al-Daulah as-Safawiyah (fī Irāni).

Gambar 3. Areal Maydan-I Shah, Isfahan. Paling utara adalah portal menuju bazaar, sebelah barat merupakan istana Ali Qapu, sebelah timur merupakan masjid Shaikh Lutfallah, dan di selatan adalah Masjid-I Shah. Sumber: http://www.corbisimages.com/stock-photo/rights-managed/RW002469/aerial- view-of-the-maydani-shah-and

Gambar 4. Area New Julfa, dekat Isfahan. Sumber: http://www.pgt.co.ir/iran/sensitive_map/esfahan/

Gambar 5. Pintu masuk bazaar, Isfahan. Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Naqsh- e_Jahan_Square#/media/File:Esfahan_bazaar_entrance.jpg

Gambar 6. Bagian perpustakaan khusus wanita di Rehnân, Isfahan. Interior bangunan ini sebelumnya merupakan bagian dari tempat pemandian tradisional umum (hammâm) yang sekarang menjadi perpustakaan. Tulisan yang ditempel di tembok pemisah antara tempat pria dan wanita mengatakan: “Sebelumnya, sebuah tempat untuk membersihkan badan, dan sekarang merupakan tempat untuk membersihkan jiwa”. Difoto pada tahun 2005. Sumber: Culture and Customs of Iran

Gambar 7. Seorang pengrajin tembaga di bazaar kerajinan, Isfahan. Kota ini hingga kini terkenal dengan kerajinannya, permadani, gula-gula (makanan ringan), dan sebagai monument bersejarah. Difoto pada 1995. Sumber: Culture and Customs of Iran

Gambar 8. Jembatan Siosepol (Si-u-sih Pul), Isfahan. Difoto pada tahun 2008. Sumber: Journal of Shi’ah Islamic Studies: The Symbolic Expression of Power and Religion in the Public Buildings in Safavid Iran: A Conceptual Interpretation

Gambar 9. Halaman pusara di Ardabil. Sumber: Society and Culture in the Early Modern Middle East (Studies on Iran in the Safavid Period): The Ardabil Carpets In Context

Gambar 10. Karpet Medallion yang digunakan di pusara Ardabil. Sumber: Society and Culture in the Early Modern Middle East (Studies on Iran in the Safavid Period): The Ardabil Carpets In Context

Gambar 11. Seorang pemuda berbaring di taman. Menggambarkan kenyamanan dan kemewahan. Isfahan, sekitar tahun 1620 M. Sumber: Book Arts of Isfahan: Diversity and Identity in Seventeenth-Century Persia

Gambar 12. Manuskrip ilustratif tentang Khosrou dan Shirin: Farhad memangku Shirin dengan kudanya, karya Nizami. Shiraz, sekitar tahun 1550 M, masa Shah Tahmasp I. Sumber: Book Arts of Isfahan: Diversity and Identity in Seventeenth-Century Persia

Gambar 13. Seorang Lelaki Berjenggot sedang Membaca di Taman. Isfahan, sekitar tahun 1625 M. Sumber: Book Arts of Isfahan: Diversity and Identity in Seventeenth-Century Persia

Gsmbar 14. Piring dengan dekorasi seorang wanita muda. Sumber: http://mini-site.louvre.fr/trois-empires/en/ceramiques-safavides-9-z2.php

Gambar 15. Bagian ubin (tile) bergambar seorang pemuda Sumber: http://mini-site.louvre.fr/trois-empires/en/ceramiques-safavides-1-z2.php

Gambar 16. Ibu Menyusui dan Seorang Pelayan, di dinding istana Chihil Sutun. Abad 17 M, pasca Shah Abbas I.