STUDI KRITIK SANAD HADIS MAN QȂ LA FȊ KITAB ALLAH BI AL-RA‘YIHI

DALAM BUKU HAJI PENGABDI SETAN KARYA PROF. KH ALI MUSTOFA YAQUB

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi dan melengkapi syarat

Guna untuk memperoleh gelar S.Ag.

Disusun Oleh :

Muhamad Abdul Qodir Zaelani

NIM: 1112034000140

PROGRAM STUDI ILMU ALQU’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H./2019 M. STUDI KRI「IK SANAD IIADIS厖釧解νπ肌43… ″Иル騒`コ堕

DALAM BUKU EAJIPENGABDISETAN KARYA PROF.KⅡ ALI MEISTOFA YAQUB

Skripsi

DiajukanuntukPIemenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sattalla Agama(SeAg.)

Oleh

Muhalllad Abdu1 0odir zaelani NコⅣl.1112034000140

Pembimbing

NIP。 195312311986031010

PRODI LMU ttQUR'AN DAN TAFSIR FAKIILTAS USⅡULUDDIN UNIVERSITASISLAM NEGERISYARIF EIDAYATULLAⅡ 144011/201914 PENGESAⅡAN PANITIA UЛAN

Skripsi bcttudul STUDI KRITIK SANAD HADIS MAⅣ ν M Ff

砕 3 ИttL4」 F BI∠Z溜 `И闘F DALAM BUKU HAЛ PENGABDISETAN KARYA PROF.KIIo ALI PIUSTOFA YAQUB tclah dttikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif IIIidayatullah Jakarta pada 08

Januari 2019. Skripsi ini telah diterillla sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sttana Agama(S,Ag)pada PrOgram Studi1lmu Al― Qur'an dan Taお ir.

Jakarta,08 Januari 2019

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota,

mm 197110031999032001 181999032001

Anggota,

Penguji I

Drso Ahmad RifqilⅦuchtar,MA NIP.196908221997031002 NIP。 19721024200312 1002

Pembimbing

二 。Salam PIoA.g. NIP,195312311986031010 LEⅣIBAR PERNYATAAN

Dengan illl saya mellyatakan bahwa:

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk mernenuhi

salah satu persyaratan memeperoleh gelar strata I di LllN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Semua Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarla.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarla.

Jakarta,21 Novel■ ber 2018

Muhamad Abdul Qodir Zaelani ABSTRAK

Muhamad Abdul Qodir Zaelani (Nim:1112034000140).Studi Kritik Sanad hadis Man Qȃ la Fȋ Kitab Allah Bi al-Ra‘yihi dalam buku Haji Pengabdi Setan karya Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub Al-Qur’ȃ n sebagai petunjuk untuk umat manusia dan menjadi landasan hukum pertama, dan hadis sebagai landasan hukum yang kedua selalu dikaji sejak zaman klasik sampai modern sekarang ini dalam berbagai aspeknya. pentingnya merujuk kepada al-Qur’ȃ n dalam menyeselesaikan persoalan, karena al-Qur’ȃ n sebagai landasan pertama, maka menjadi penting bagi muslim untuk mempelajari ilmu-ilmu al-Qur’ȃ n. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas sanad hadis-hadis larangan menafsirkan al-Qur’ȃ n bi al-Ra‘y yang tertera di dalam buku Haji Pengabdi Setan karya Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub. Dalam meneliti hadis-hadis tersebut penulis terlebih dahulu mengambil dua hadis larangan menafsirkan al-Qur’ȃ n bi al-Ra‘y. Adapun metode pembahasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode induktif, ekploratif, dan analisis. Dengan metode ini penulis berupaya menggali sejauh mungkin informasi data yang telah diperoleh dari kamus dengan merujuk kepada kitab-kitab induk yaitu : buku Haji Pengabdi Setan, al-Kutȗ b Tis’a, yaitu (Sahȋ h al-Bukhary, Sahȋ h Muslim, Sunan Abȋ Dȃ wud, Sunan Al-Tirmȋ dzi, Sunan al-Nasȃ ’i, Sunan Ibn Mȃ jjah, Musnȃ d Ahmȃ d ibn Hanbȃ l, Muwȃ ta’ ibn Mȃ lik, dan Sunȃ n Ad-Dȃ rimi). Dalam penelitian hadis ini merujuk kepada 4 metode dalam 5 kitab-kitab kamus al-Mu’jam al-alfȃ z al-Hadȋ ts al-Nabȃ wi, al-Mausȗ ’ah al-Atrȃ f, Jâmi’ al-Hâdīts Jâmi’ as-Soghȋ r wa Zawâiduh wa al-Jâmi’ al-Kabȋ r, Mȋ ftȃ ḥ al-Khunȗ zal- Sunnah,Jâmi’ al-Masânȋ d.Dan dalam penelitian sanad penulis merujuk kepada dua kitab Rijâl al-Hadȋ tsdiantaranya: Tahdzȋ b al-Tahdzȋ b,Tahdzȋ b al-Kamȃ l fȋ Asmȃ ’ al-Rijȃ l. Hasil penelitian mengenai hadis hadis larangan menafsirkan al-Qur’an bi al-Ra‘y dalam buku haji pengabdi setan berstatus Hasan li Ghairihi, Karena adanya Qalȋ l al-Dabt padasatu jalur periwayat hadis yang diriwayatkan Abu Dawud,al- Tirmȋ dzi, yang berstatus Hasan Lidzdzati. Dan ada sanad yang gugur pada periwayat yang pertama (Mua’allaq) dalam hadis Ahmad bin Hanbal, yang turun berstatus Da’ȋ f. Maka hadis hadis larangan menafsirkan al-Qur’an bi al-Ra’y berstatus Hasan, Dalam hal kualitas sanad hadis ini termasuk hadȋ ts maqbȗ l yaitu hadis yang dapat diterima sebagai hujjah, dan tidak diperkenankan bagi orang awam (orang yang tidak mempunyai dasar ilmu al-Qur’ȃ n) untuk menafsirkan al- Qur’an dengan ra’y (logika), karena imbalannya adalah neraka.

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhâna Wa Ta’âlâ, yang senantiasa melimpahkan nikmat, rahmat, taufiq, hidayah dan inayah- Nya kepada penulis. Sehingga penulis mampu menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Studi Kritik Sanad hadis-hadis yang melarang menafsirkan al- Qur‘an bi al-Ra‘y dalam buku Haji Pengabdi Setan karya Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub”. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi MuhammadSalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beserta keluarganya, para sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa patuh dan ta’at menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Ushuluddin (S.Ag). Dalam penyusunan ini menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekhilafan, kekurangan dan keterbatasan ilmu pengetahuan yang penulis miliki. Namun, berkat bimbingan, arahan, dan motivasi dari berbagai pihak, dan alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan. Oleh karena itu penulis secara khusus ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Amany Bahrudin Umar Lubis Lc. MA Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA Ketua Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir dan Ibu Banun Binaningrum, M.Pd Sekretaris Progam Studi Ilmu al- Qur’an dan Tafsir. 4. Dr. Isa H.A. Salam M.A.g. sebagai dosen pembimbing, yang telah begitu bijaksana memberikan ilmunya kepada penulis di tengah kesibukan yang padat, serta membimbing penulis dengan sabar agar penulis ini selesai dengan baik dan juga bermanfaat.

ii

5. Bapak/Ibu dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu dan pendidikan yang tidak ternilai harganya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Ayahanda tercinta Sumanang dan ibunda tercinta Edeh atas doa, cinta dan kasih sayang yang selalu dicurahkan. Serta dukungan, semangat dan motivasi. 7. Dan semua pihak yang telah membantu memberikan kontribusi terhadap penyelesain skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat penulis. Mungkin hanya ucapan terimakasih yang dapat penulis sampaikan semoga amal baiknya mendapatkan pahala dan balasan dari Allah Subhâna Wa Ta’âlâ, Amin.

Jakarta,30 Oktober 2018

Penulis,

Muhamad Abdul Qodir Zaelani

iii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...... i

KATA PENGANTAR ...... ii

DAFTAR ISI ...... iv

PEDOMAN TRANSLITERAS...... vii

BAB I. Pendahuluan......

A. Latar Belakang Masalah...... 1 B. Batasan Dan Rumusan Masalah...... 5 C. Tujuan Penelitian...... 6 D. Manfaat Penelitian...... 7 E. Tinjauan Pustaka...... 7 F. Metode Penelitian...... 8 G. Sistematika Penulisan...... 10 BAB II. Pembahasan Kualitas Hadis dan Kritik Sanad

A. Hadis Shahih...... 11 B. Hadis Hasan...... 16 C. Hadis Dha’if...... 19 D. Pengertian dan Sejarah Kritik Sanad Hadits...... 26 E. Langkah-Langkah dalam Kritik Sanad Hadis...... 29 BAB III. A. Biografi Prof. KH Ali Mustofa Yaqub......

1. Riwayat Hidup...... 46 a. Jejak Akademik dan Non- Akademik...... 47 b. Jenjang Karir Organisasi...... 47 c. Jejak Prestasi dan Legacy...... 48 d. Karya-karya...... 49

iv

B. Profil Buku Haji Pengabdi Setan...... 1. Latar Belakang Penulisan...... 50 2. Sistematika Penulisan...... 52 3. Haji Pengabdi Setan Perspektif Prof.Ali Mustafa Yaqub....53 4. Perspektif Prof. Ali Mustafa Yaqub dalam Sunnah Sebagai Penangkal Faham Global...... 56 BAB IV. Analisis Kualitas Sanad Hadis dan Tela’ah Matan Hadis...

A. Hadis Pertama...... 59

1. Teks Hadis Pertama...... 59

2. Takhrij Hadis...... 60

3. Skema Sanad...... 62

4. Kritik Sanad Hadis...... 62

1) Kritik Sanad Jalur Abu Dawud...... 63 i. Kesimpulan...... 69

B. Hadis Kedua......

1. Teks Hadis Kedua...... 69 2. Takhrij Hadis...... 70 3. Skema Sanad...... 72 4. Kritik Sanad Hadis...... 72 2) Kritik Sanad Jalur al-Tirmidzi...... 74 ii. Kesimpulan...... 82 3) Kritik Sanad Jalur Ahmad bin Hanbal...... 83 iii. Kesimpulan...... 87 A. Tela’ah Matan Hadis...... 88 BAB V. PENUTUP......

A. Kesimpulan...... 93

v

B. Saran-Saran...... 94 DAFTAR PUSTAKA...... 95

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman Akademik Program Strata I tahun 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah. a. Padanan Aksara Huruf Arab Huruf Latin Keterangan tidak dilambangkan ا B Be ب T Te ت ts te dan es ث j Je ج h h dengan garis bawah ح kh ka dan ha خ d De د dz de dan zet ذ r Er ر z Zet ز s Es س sy es dan ye ش s es dengan garis dibawah ص d de dengan garis di bawah ض t te dengan garis di bawah ط z zet dengan garis bawah ظ koma terbalik keatas,menghadap kekanan ` ع gh ge dan ha غ f Ef ف q Ki ق k ka ك

vii

l El ل m Em م n En ن w We و h Ha ه Apostrof ‘ ء y Ye ي b. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa , terdiri dari vokal tunngal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan A Fathah I Kasrah U Dammah Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan Ai a dan i ي Au a dan u و c. Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ȋ ȃ a dengan topi di atas ـَا ȋ i dengan topi di atas ـْي ȗ u dengan topi di atas ـْو

viii d. Kata Sandang Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkang dengan huruf, yaitu, dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-nisa bukan an-nisa, al-rijal bukan ar-rijal. e. Syaddah (Tasydid) Syaddah atau tasydid yang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda (ّ), dalam alihaksara ini dilambangkan denga huruf, yaitu menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yag menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang telah diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata tidak ditulis ad- darurah melainkan al-darurah, demikian seterusnya. f. Ta Marbutah

Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksaraka menjadi huruf /h/(lihat contoh di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti pada sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun jika huruf ta marbutah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/(lihat contoh 3).

No Tulisan Arab Keterangan

1. Tariqah

2. al-Jami’ah al-Islamiyyah

3. Wahdat al-wujud

g. Huruf Kapital Meskipun dalam system penulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alihaksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara

ix lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal, nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama iri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal atau kata sandanngya. (Contoh: Abu Hamid al-Ghazali bukan Abu Hamid Al-Ghazali, al- Kindi bukan Al-Kindi). Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak teball (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alihaksaranya, demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalya ditulis Abdussamad al-Palimbani, bukan Abdu al-Salam al-Palimbani; Nuruddin al-Raniri, tidak Nur al-Din al-Raniri.

x

BA B I BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Hadis yang diyakini sebagai ucapan, perbuatan, ketetapan (taqrȋ r) dan hal ihwal Nabi Muhammȃ d Salallahu„Alaihi Wa Sallam merupakan sumber ajaran kedua setelah al-Qur‟ȃ n. Ditinjau dari segi periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur‟ȃ n. Semua periwayatan ayat-ayat al-Qur„ȃ n berlangsung secara mutawȃ tir, sedangkan hadis Nabi diriwayatkan sebagiannya secara mutawatir dan sebagian lainnya diriwayatkan secara ahȃ d.1 Oleh karenanya, al-Qur„an memiliki kedudukan qat‟iy al-wurȗ d 2sedangkan hadis Nabi sebagiannya berkedudukan qat‟iya l-wurȗ d dan sebagian lainnya bahkan yang terbanyak berkedudukan zannȋ y al-wurȗ d. Berdasarkan asumsi di atas, maka dilihat dari segi periwayatannya seluruh al-Qur„ȃ n tidak perlu dilakukan penelitian kembali tentang orisinalitasnya, sedangkan terhadap hadis Nabi Saw khususnya yang termasuk kategori ahȃ d, maka diperlukan penelitian akan orisinalitas.3 Bertolak dari permasalahan tersebut,maka hadis Nabi Saw sebelum dipahami dan diamalkan, perlu diidentifikasi terlebih dahulu serta diteliti orisinalitasnya dalam rangka kehati-hatian dalam mengambil hujjah atasnya. Setelah dilakukan pengujian, baru kemudian suatu hadis yang diduga kuat berkualitas Sahȋ h ditelaah dan dipahami untuk selanjutnya dapat diamalkan, sebab ada di antara hadis-hadis yang sahih tersebut yang dapat segera diamalkan (ma„mȗ l bȋ h) dengan memahami redaksinya, namun adapula yang tidak segera dapat diamalkan (ghair ma„mȗ l bȋ h), karenanya menuntut pemahaman yang mendalam dengan memperhatikan latar belakang munculnya hadis (asbȃ b wurȗ d al-hadȋ ts) serta

1Istilah ahad dalam „Ulȗ m al-Hadis memiliki pengertian berita yang disampaikan oleh orang perorang yang tidak sampai pada derajat mutawati. 2Maksud dari qat‟iy al-wurȗ d atau qat‟iy al-tsubȗ t adalah kebenaran beritanya absolut (mutlak), sedangkan zanniy al-wurȗ d atau zanniy al-tsubȗ t adalah tingkatan kebenaran dari beritanya adalah nisbi (relatif). Lihat al-Syatibi, al-Muwafaqat fl usul al-Syari‟ah, (Mesir: al- Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, t.t), juz 3, h. 15-16. 3Syuhudi Ismail, MetodologiPenelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 4

1 2

piranti lainnya. Proses inilah yang dikenal kemudian dengan proses pemahaman hadis atau disebut dengan fiqh al-hadȋ ts. Sebagaimana umat Islam mengakui bahwa apa yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw yang kemudian dihimpun dalam hadis-hadis Nabawi merupakan bagian tak terpisahkan dari al-Qur„ȃ n itu sendiri, hal ini disadari karena salah satu fungsi Nabi Saw adalah menjelaskan al-Qur„ȃ n baik lisȃ ni maupun fi‟li agar maksud al-Qur„ȃ n dapat dengan segera dipahami dan diamalkan ummatnya. Namun manusia menyadari bahwa persoalan tidak pernah selesai, bahkan terus berkembang sementar sang penjelas (Nabi Saw) telah wafat, oleh karena itu persoalan ini menjadi tantangan bagi ummatnya untuk diselesaikan melalui teknik atau cara-cara yang dilakukan oleh Nabi Saw agar nilai Islam yang tertuang dalam al-Qur„ȃ n tetap relevan hingga akhir zaman, sebagaimana prinsip agama ini yang dikenal dengan sȃ 1ȋ h 1ikulli zamȃ n wa makȃ n. Bila ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat ini dihubungkan dengan berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan masyarakat, berarti di dalam ajaran Islam ada ajaran-ajaran yang berlakunya tidak terikat oleh waktu dan tempat, disamping ada ajaran-ajaran yang terikat oleh waktu dan tempat tertentu, sehingga di dalam ajaran Islam ada muatan universal, ada pula yang temporal maupun yang lokal.

Menurut petunjuk al-Qur‟ȃ n Nabi Muhammad Saw diutus oleh Allah untuk semua umat manusia, dan sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan li al-‟ȃ lamȋ n), artinya kehadiran Nabi Muhammad Saw membawa misi kebajikan dan kerahmatan bagi semua umat manusia dalam segala ruang dan waktu. Di sisi lain, hidup Nabi Muhammad Saw dibatasi oleh ruang dan waktu, dengan demikian apa yang direkam dari kehidupan Nabi Muhammad Saw dalam hadis-hadis Nabawi memiliki muatan ajaran yang bersifat universal, sekaligus ada muatan temporal dan lokal. Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa salah satu fungsi Nabi Saw adalah menjelaskan al-Qur„ȃ n serta mengejawantahkan Islam melalui ucapan, perbuatan serta perjalanan hidupnya baik dalam kesendiriannya maupun di tengah masyarakat, saat mukim ataupun saat bepergian, saat terjaga maupun 3

pada saat tidur, dalam kehidupan khusus maupun umum, dalam hubungannya kepada Allah ataupun dengan sesama makhluk, dengan orang-orang terdekat maupun orang-orang jauh, dengan mereka yang mencintai maupun yang memusuhi, pada masa damai maupun masa perang. saat sehat wal afiat maupun saat menerima musibah.4 Hal-hal di atas itulah yang menuntut umat Islam mempelajari serta memahami sunnah Nabi Saw dengan sebaik-baiknya, sebagaimana yang telah dicontohkan para sahabat dan generasi tabiin yang secara sungguh-sungguh berusaha menggali dan mempelajari aktualitas Nabi Saw untuk kemudian mereka amalkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dikenallah generasi ini sebagai generasi sebaik-baik ummat karena mereka mengikuti jejak Nabi Saw demikian pula bagi mereka yang senantiasa mengikuti jalan yang benar tersebut.5 Tidak sedikit hadis Nabi yang telah dibukukan oleh para , dan di dalamnya memuat berbagai persoalan yang tak habis-habisnya untuk diperbincangkan, salah satunya adalah hadis yang memuat tentang larangan Nabi Saw terhadap ummatnya untuk menafsirkan al-Qur‟ȃ n dengan ra„y, sementara pada masa sekarang banyak dijumpai dari sebagian umat Islam yang sengaja berlaku nifȃ q (munafik) guna mencari kedudukan, pangkat, atau apa saja yang dengan tafsirannya itu mampu melegitimasi pendapatnya demi tujuan pribadi ataupun kelompok, dan hal inilah yang paling dikhawatirkan Nabi Saw.6 Di sisi lain tafsir-tafsir al-Qur‟ȃ n yang berkembang sampai saat ini, ada di antaranya tafsir yang dikenal dengan sebutan tafsȋ r bi al–ra„y, di samping tafsȋ r bi al- riwȃ yat, lalu bagaimanakah mensikapi tafsȋ r bi al-ra„y tersebut. Guna memecahkan persoalan-persoalan tersebut, perlu kiranya mempelajari akar polemik di sekitar boleh dan tidaknya menafsirkan al-Qur„ȃ n dengan ra„y yaitu dengan mempelajari lebih jauh dan mendalam tentang hadis “larangan menafsirkan al-Qur„ȃ n dengan ra„y“, dengan harapan tersingkapnya maksud

4Yusuf Qardhawi, Metode Memahami al-sunnah dengan Benar, terj. Syaifullah Kamalie, (Jakarta: Media Dakwah, 1994), h. 35 5Yusuf Qardhawi, Metode Memahami al-sunnah dengan Benar, terj. Syaifullah Kamalie, h. 35. 6Munawar Cholil, Al-Qur‟ȃ n dari Masa ke Masa, (Solo: C.V.Ramadhani, 1985), h. 167. 4

Nabi Saw tersebut sekaligus bentuk-bentuk real pelarangannya. Berikut adalah hadis larangan menafsirkan al-Qur„ȃ n bi al-Ra„y :

يٍَْ لجلَ فِْٙ كِضَج حِ ثنّهِّ عَضّ َٔجَمّ دِشَأْ ِِّٚ فَؤَ صَجحَ فَمَذْ أَخؽَْؤَ ) سٔثِ أدٕ دثٔدعٍ جُذح دٍ عذذ ثهلل ( “Siapa yang berkata tentang kitabullah dengan ra„y-nya, kemudian ia tepat ( dalam menafsirkan ), maka sesungguhnya ia telah keliru.” ( HR Abu Dawud dan Jundub bin Abdullah ).7

َٔ يٍَْ لَجلَ فِٙ ثنْمُشْآٌِ دِشَأِِّْٚ فَهَْٛضَذََٕ يَمْعَذَُِ يٍَِ ثنَُج سِ ) سٔثِ ثنضش يٛز٘ (. “Siapa yang menafsirkan al-Qur‟an dengan ray‟-nya, maka hendaknya ia menempati tempatnya dineraka” ( HR al-Tirmidzi ).”8

Hadis di atas dipegangi oleh sebagian ulama sebagai dasar penolakan atas tafsȋ r bi al-ra„y, namun sebagian yang lain memahami hadis tersebutsebagai larangan menafsirkan dengan hawa nafsu dan bukan penafsiran melalui kemampuan ijtihad yang melahirkan tafsȋ r bi al-ra„y yang dikenal saat ini Tentang tafsȋ r bi al-ra„y, ulama juga berselisih pendapat hingga mengkristal pada dua model tafsir bi al-ra„y, yaitu tafsȋ r bi al-ra„y yang mahmȗ d (terpuji) dan tafsȋ r bi al-ra„y yang madzmȗ m (tercela).9 Terlepas dari klasifikasi tersebut, kata al-ra‟y itulah yang menjadi kata kunci dari perdebatan di atas. Kata al-ra„y sendiri dimaknai berbeda-beda oleh para ulama, sebagian memaknai al-ra„y dalam konteks hadis di atas sebagai. “ijtihȃ d”, ada pula yang memaknainya sebagai “penafsiran tanpa menggunakan ilmu”, artinya tidak

7Sulaimȃ n bin al-Asy‟ats al-Sijistȃ ni, Sunan Abȗ Dawud, Dar al-Fikr, Beriut, Juz III hlm 320 lihat dalam buku Prof.KH.Ali Mustafa Ya‟kub,MA, Haji Pengabdi Setan, (Jakarta: Pustaka Firdaus , 2015) h 51. 8Muhammad bin ‟Isa al-Tirmȋ dzi, Sunan al-Tirmȋ dzi, Beirut, Dar ihya‟ al-Turats al- Arabi, Juz V h 199.lihat dalam buku Prof..KH.Ali Mustafa Ya‟kub,MA, Haji Pengabdi Setan, h 51. 9Fahd bin „Abd al-Rahmȃ n al-Rȗ mi, ‟Ulȗ m al-Qur‟ȃ n: Studi Kompleksitas al-Qur‟ȃ n, tej. Amȋ rul Hasan dan Muhamad Halabi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), h. 210 5

didasarkan pada dalil-dalil syara‟, sebagian yang lain memaknainya sebagai “hawa nafsu”. Mereka yang memaknai al-ra„y dengan hawa nafsu inilah yang memfatwakan bahwa barang siapa berbicara mengenai al-Qur‟ȃ n menurut hawa nafsunya dan tidak memberikan perhatian kepada keterangan yang telah disampaikan kaum salaf, maka sekalipun pendapatnya itu benar, ia tetap dianggap sebagai perbuatan yang keliru, hal tersebut disebabkan karena telah menentukan makna ayat al-Qur‟ȃ n tanpa memperhatikan kaedah-kaedah yang ditentukan oleh ahli hadis.10 Bertolak dari permasalahan di atas, maka sangat urgen untuk melakukan pendalaman atas hadis larangan menafsirkan al-Qur‟ȃ n dengan al-ra„y, mengingat banyaknya tafsir al-Qur‟ȃ n yang berkembang hingga saat ini dikelompokkan pada kategori tafsir bi al-ra„y, apakah kemudian penafsiran-penafsiran tersebut jatuh pada kelompok yang diancam Nabi atau tidak. Menurut M Syuhudi Ismail ada enam hal mengapa penelitian hadis sangat penting : pertama, Hadis nabi merupakan salah satu sumber ajaran Islam, kedua, tidak seluruh hadis Nabi tertulis pada zaman Nabi, ketiga, sepanjang sejarah peradaban Islam telah timbul berbagai pemalsuan hadis, baik itu dikarenakan faktor kepentingan ekonomi,kesukuan,atau sangat terkenal adalah adanya faktor politik, keempat, proses penghimpunan hadis yang memakan waktu lama. Sejarah mencatat penghimpunan hadis secara resmi dan masa terjadi atas perintah khalifah „Umar bin „Abd al-Aziz ( w 101 H/20 M ), kelima jumlah kitab hadis banyak dengan metode penyusunan yang beragam, keenam, hal yang menyebabkan kegiatan penelitian hadis begitu penting yaitu telah terjadi periwayatan hadis secara makna.11 Hal ini membuktikan perlu adanya ke hati-hatian dalam penelitian yang mendalam menganalisa suatu hadis yang tampak bertentangan dengan al-Qur‟ȃ n maupun riwayat-riwayat hadis yang berbeda.

10Ahmad al-Syirbȃ si, Sejarah Tafsir al-Qur‟ȃ n, terj.Tim Pustaka firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 106-107 11M Syuhȗ di Ismaȋ l, Metode Penelitian Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007 M-1428 H), h. 7-20. 6

B. Batasan dan Rumusan Masalah.

Dari sekian banyak permasalahan yang timbul dan untuk memudahkan penulis dalam melakukan kajian dalam meneliti hadis-hadis yang melarang menafsirkan al-Qur‟ȃ n bi al-Ra„y dalam buku Haji Pengabdi Setan karangan Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub,MA, penulis meneliti kualitas sanad dan matan yang terkandung didalamnya, perlu kiranya penulis untuk membatasi permasalahan yang akan dikaji. Untuk itu, penulis skripsi ini dibatasi pada kajian analisis kualitas sanad matan hadis pada hadis yang melarang menafsirkan al- Qur‟ȃ n bi al-Ra„y dalam buku Haji Pengabdi Setan. Penulis menelusuri dalam kitab-kitab hadis yang terdiri dari al-Kutȗ b Tis‟a, yaitu (Sahȋ h al-Bukhary, Sahȋ h Muslim, Sunan Abi Dȃ wud, Sunan Al-Tirmȋ dzi, Sunan al-Nasȃ ‟i, Sunan Ibn Mȃ jjah, Musnȃ d Ahmȃ d ibn Hanbȃ l, Muwȃ ta‟ ibn Mȃ lik, dan Sunȃ n Ad- Dȃ rimi). Agar lebih Fokus dalam penulisan proposal ini, penulis merasa perlu untuk memberikan batasan sebagai berikut : 1. Dalama melakukan penelitian ini, penulis akan meneliti hadis dari segi sanad dan matan hadisnya. 2. Hadis yang akan diteliti adalah yang berasal dari buku Haji Pengabdi Setan tentang larangan menafsirkan al-Qur„ȃ n bi al-Ra„y terdapat ada 2 buah hadis dan peneliti akan meneliti dari 2 hadis tersebut. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah dalam penelitlan skripi ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah kedudukan sanad 2 hadis yang melarang menafsirkan Al- Qur„ȃ n bi al-ra„y dalam buku Haji Pengabdi Setan?

Berdasarkan rumusan masalah diatas,pembatasan masalah dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

Menjelaskan kualitas sanad 2 hadits yang menafsirkan Al-Qur„ȃ n bi al-ra„y dalam buku Haji Pengabdi Setan.. 7

Maka pembatasan skripsi ini bagaimana kualitas sanad hadis larangan menafsirkan al-Qur‟ȃ n bi al-ra„y dalam buku haji pengabdi setan. hanya menguraikan kualitas sanad 2 hadis dalam buku Haji Pengabdi Setan.

C. Tujuan Penelitian.

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui sanad hadis-hadis larangan menafsirkan al-Qur‟ȃ n dengan al-ra„y 2. Untuk mengetahui kedudukan tafsir bi al-ra„y dalam sumber al-Qur‟ȃ n 3. Untuk mengetahui batasan kualitas sanad hadis larangan menafsirkan al- Qur‟ȃ n dengan Ra„y tersebut dalam buku Haji Pengabdi Setan karangan Prof. KH. Mustafa Yaqub.

D. Manfaat Penelitian.

Berdasarkan rumusan masalah diatas, manfaat dari penelitian skripsi ini adalah:

1. Menambah wawasan serta memperkaya hazanah intelektual, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya 2. Menambah kepustakaan bagi Institut, Fakultas dan Jurusan pada khususnya. 3. Guna melengkapi salah satu persyaratan akhir pada program S1 untuk meraih gelar S.Ag (Sarjana Agama) di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Tinjauan Pustaka.

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, penulis menemukan beberapa literatur yang berhubungan dengan masalah yang dibahas, antara lain: Pertama, DaIam kitab Tuhfȃ h al-Ahwazi Syarh Jami„ al-Turmȗ dzi, pengarang kitab ini menjelaskan cukup panjang tentang menafsirkan al-Qur„ȃ n 8

dengan al-ra„y,12 hanya saja pembahasan di dalamnya terfokus pada perdebatan hadis tersebut ansich, sedangkan aspek yang terkait dengan tafsȋ rbi al-ra„y sebagai sisi lain dari tafsȋ r bi al-riwayah masih ada peluang untuk diperbincangkan lagi. Kedua, Dalam kitab „Aun ȃ l-Ma‟bȗ d Syarh Sunan Abi Dȃ wud, Juga secara ringkas telah menjelaskan tentang larangan menafsirkan al-Qur„ȃ n dengan al-ra‟y yaitu dalam bab ilmu. Ketiga, dalam kitab al-Tafsȋ r wa al-Mufassirȗ n, al-Zahabi menguraikan tentang apa itu tafsir, ahli tafsir karya-karya tafsir dan lainnya, termasuk di dalamnya tentang tafsȋ r bi al-ra„y yang diperbolehkan maupun tafsȋ r bial-ra„y yang tidak diperbolehkan.13 Keempat, Ahmad al-Syirbasi dalam bukunya yang telah diIndonesiakan dengan judul Sejarah Tafsȋ r al-Qur‟ȃ n, juga menguraikan tentang kekhawatirannya atas penafsiran al-Qur„ȃ n dikarenakan adanya nash hadis tentang larangan menafsirkan al-Qur„ȃ n dengan al-ra„y, namun pada sisi lain ia juga menjelaskan tentang tafsȋ r bi al-‟aql dan tafsȋ r bi al-naql.14 Kelima, dalam jurnal menimbang otoritas sufi dalam menfsirkan al-Qur„an yang ditulis oleh M. Anwar Syarifudin,jurnal ini menjelaskan seperti yang dikemukakan Al-Syuty dalam kitabnya Al-itqȃ n fȋ „ulȗ m Al-Qur‟ȃ nmembuka pasal tentang penafsiran Al-Qur„ȃ n oleh para sufi dengan pernyataan yang klarifikatif. Keenam,dalam skripsi kualitas hadis nabi tentang penanggulangan marah dengan cara duduk atau berbaring (kajian sanad dan matan hadis) Dari beberapa penelusuran pustaka tersebut di atas, penulis masih memiliki peluang untuk mengkaji secara khusus dan mendalam dari sisi kualitas sanad terhadap hadis larangan menafsirkan al-Qur‟ȃ n dengan al-ra„ydalam buku Haji

12Al-Mubarakfuri, Abu al-Ula Muhammad „Abd al-Rahman bin „Abd al-Rahim, tuhfah al-Ahwazi SyarhJami‟ al-Turmuzi, (al-Madinah al-Munawarah: al-Maktabah al-Salafiyyah, 1967), juz 8, h. 228; Lihat pula „Arabi al-Maliki, „Aridah al-Ahwazi Sahih al-Turmuzi, (Beirut: Dar al-Kutub al-‟Alamiyyah, 1997), juz 4, h. 5 13Husain al-Zahabi, al-Tafsir al-Mufassirun, (Kaero: Multazam al-Taba‟ wa asr Dar Kutub al-Hadisah, 1961), cet. I, h. 176 14Husain al-Zahabi, al-Tafsir al-Mufassirun, cet. I, h. 176 . 9

Pengabdi Setan.Oleh karena itu perlu kiranya menguji kembali kualitas hadis dari larangan asasi pada hadis tersebut.

F. Metode Penelitian.

Dalam rangka menemukan jawaban atas persoalan-persoalan di atas, penulis hendak mengungkap dengan langkah-langkah metodologis sebagai berikut; 1. Metode Pengumpulan Data. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library reasearch) yaitu mengumpulkan dat-data yang memiliki relevansinya dengan masalah yang dibahas, baik itu yang bersumber dari buku atau sumber tertulis lainnya (makalah, artikel, atau laporan penelitian) dengan langkah-langkah penelitian kepustakaan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Setelah data terkumpul kemudian penulis klasifikasi menjadi dua jenis yaitu :

a. Sumber data primer yang terdiri dari kitab kamus dengan merujuk kepada kitab-kitab induk yaitu : al-Kutȗ b Tis‟a, yaitu (Sahȋ h al-Bukhary, Sahȋ h Muslim, Sunan Abi Dȃ wud, Sunan Al-Tirmȋ dzi, Sunan al-Nasȃ ‟i, Sunan Ibn Mȃ jjah, Musnȃ d Ahmȃ d ibn Hanbȃ l, Muwȃ ta‟ ibn Mȃ lik, dan Sunȃ n Ad-Dȃ rimi). b. Sumber data sekunder yang terdiri dari buku dan tulisan lainnya yang memiliki relevansi dengan pokok masalah yang dikaji dalam penelitian ini.

2. Metode pembahasan

Adapun metode pembahasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode induktif,ekploratif,dan analisis.15 Dengan metode ini penulis berupaya menggali sejauh mungkin informasi data yang telah diperoleh dari kamus dengan merujuk kepada kitab-kitab induk yaitu : al-Kutȗ b Tis‟a, yaitu (Sahȋ h al- Bukhary, Sahȋ h Muslim, Sunan Abi Dȃ wud, Sunan Al-Tirmȋ dzi, Sunan al-

15 Metode eksploratif adalah sebuah metode penelitian yang berupaya menganalisa menggali sejauh mungkin informasi yang terdapat pada objek penelitian. Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam (Bogor, Granada Sarana Pustaka,2005), cet. I, h. 23-24. Sedangkan metode analisis Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999),h.6. 10

Nasȃ ‟i, Sunan Ibn Mȃ jjah, Musnȃ d Ahmȃ d ibn Hanbȃ l, Muwȃ ta‟ ibn Mȃ lik, dan Sunȃ n Ad-Dȃ rimi).

Penelitian hadis ini, yaitu merujuk kepada lafaz hadis dari al-Mu‟jam al- alfȃ z al-Hadȋ ts al-Nabȃ wi karya Arnold Jhon Wensick dan kitab al-Mausȗ ‟ah al-Atrȃ f karya Abu Hajjar Muhammad Sȃ ‟ib Basuni Zaglul, untuk merujuk kepada awal hadis, Jâmi‟ al-Hâdīts Jâmi‟ as-Sagȋ r wa Zawâiduh wa al-Jâmi‟ al- Kabȋ r karya Jalâluddȋ n ‟Abd ar-Rahmân as-Suyȗ tȋ , untuk merujuk kepada awal matan hadis atau alfabetis,kitab Miftāḥ al-Kunȗ zal-Ḥadīts karya Muhammad Fuad Abdul Bȃ qi, untuk merujuk kepada tema hadis Jâmi‟ al- Masânȋ d karya Abi al-Faraj ‟Abd ar-Rahmân bin ‟Alȋ bin al-Jauzȋ al- Hanbalȋ , untuk merujuk kepada perawi sahabat dalam hadis.

G.Sistematika Penulisan.

Secara garis besar penyusunan skripsi ini dibagi ke dalam tiga bagian yaitu pendahuluan, isi dan penutup.Ketiga bagian tersebut saling terkait atau satu bagian yang integralistis. Adapun sistematika secara rinci sebagai berikut: Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, telaah pustaka, metodologi penelitian serta sistematika pembahasan. Bab II berisi pembahasankualitas hadisdan kritik sanad, hadis shahih, hadis hasan, hadis dha‟if, pengertian dan sejarah kritik sanad hadis, langkah-langkah dalam kritik sanad hadis..Bab III Biografi Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, riwayat hidup, karya-karya, profil buku Haji Pengabdi Setan, latar belakang penulisan, sistematika penulisan, hadis dalam buku haji pengabdi setan, pandangan haji pengabdi setan menurut Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, Perspektif Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub dalam sunnah sebagai penangkal faham global, tabel hadis, hadis yang digunakan,Bab IV analisis kualitas sanad hadis,. Bab V berisi kesimpulan, saran-saran penutup.

BAB II

PEMBAHASAN KUALITAS HADIS DAN KRITIK SANAD

Hadis mutawatir sebagaimana diterangkan dalam ilmu hadis, memberikan faedah “Yaqȋ n bi al-Qat‟ȋ ” (sepositif-positifnya), bahwa nabi Muhammad Saw. Bener-bener bersabda, berbuat atau menyatakan ikrar (persetujuan)-nya di hadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak sekali, yang mustahil mereka sama-sama mengadakan persepakatan untuk berdusta. Oleh karena sumber-sumbernya sudah menyakinkan akan kebenarannya, maka tidak perlu diperiksa dan diselidiki dengan mendalam identitas para rawi itu. Berlainan dengan hadȋ ts ahȃ d, yang memberikan faedah “zanny” (prasangka yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan yang seksama, mengenai identitas (kelakuan dan keadaan) para rawinya, disamping keharusan mengadakan penyelidikan mengenai segi-segi lain, agar hadis ahad tersebut dapat diterima sebagai hujjah atau ditolak, bila ternyata terapat cacat-cacat yang menyebabkan penolakan. Dari segi ini. Hadis ahad terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : Hadȋ ts Sahȋ h, hasan, dan da‟ȋ f.1 A. Hadis Shahih 1. Pengertian Hadits Shahih

Sahih menurut bahasa berarti “sehat”, sedang menurut istilah ialah hadits yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, tidak syadz dan tidak pula terdapat „illat (cacat) yang merusak.2

2. Syarat-syarat Hadits Shahih

Para ahli hadits seperti Ibn al-Salȃ h (w.643/1245), al-Nawȃ wi, (w.676/1277), Ibn Katsȋ r (w.774), Ibn Hȃ jar Al-„Asqalȃ ni (w. 852/1449), Jalȃ l al-Dȋ n al-Suyȗ ti (w. 911/1505) dan lain-lain telah mengajukan definisi yang

1Drs.Facthur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadit, (Bandung: PT Alma „Arif, 1974) h. 117. 2Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis,(Yogyakart: Pustaka Pelajar, 2009). h.52.

11 12

mereka ajukan mewakili apa yang (diduga) telah diterapkan oleh al-Bukhȃ rȋ dan Muslim. Definisinya dapat disimpulkan sebagai berikut:

(a) kesinambungan periwayatan.

(b) rawi-rawinya adil.

(c) rawi-rawinya sempurna kedabitannya.

(d) sanad dan matan harus bebas dari kejagalan (syadz).

(e) sanad dan matan harus bebas dari cacat („Illat).

Semua syarat ini akan diuraikan secara kritis berikut ini.

a. Kesinambungan periwayatan

Bahwa kesinambungan jalur periwayatan berarti semua perawi dalam jalur periwayatan dari awal (mukharij) sampai akhir (sahabat) telah meriwayatkan hadis dengan cara yang dapat dipercaya enurut konsep tahammul wa al-ada‟ al hadȋ ts. Maksudnya, setiap perawai dalam jalur periwayatan telah meriwayatkan hadits tertentu langsung dari perawi sebelumnya dan semua perawi adalah tsiqah, yakni „adl (adil) dan dabit (kuat ingatan).3

b. Rawi-rawinya ’adil

Adil adalah perangai yang senantiasa menunjukkan pribadi yang yaqwa dan muru‟ah (menjauhkan diri dari sifat atau tingkah laku yang tidak pantas untuk dilakukan). Yang dimaksud adil disini ialah adil dalam hal meriwayatkan hadits, yaitu orang Islam yang miskallah (cakap bertindak hukum) yang selamat dari fasiq, gila dan orang yang tidak pernah dikenal, tidak termasuk orang yang adil, sedangkan orang perempuan budak, dan anak yang sudah baligh bias digolongkan orang yang adil apabila memenuhi kriteria tersebut.

3Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A, Metodologi Para Ahli Hadis Klasik, ( Jakarta: PT. Mizan Publika, 2009 ). h.21 13

c. Rawi-rawinya sempurna kedabitannya

Yang dimaksud sempurna kedhabitannya ialah kedhabitan pada tingkat yang tinggi, artinya bahwa ingatannya lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikannya kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki, disebut orang yang dabithu assahdari.

Dalam hal ini dabit ada dua macam, yaitu:

1) Dabit hati. Seseorang dikatakan dhabit hati apabila dia mampu menghafal setiap hadits yang didengarnya dan sewaktu –waktu dia bisa mengutarakan atau menyampaikannya.

2) Dabit kitab. Seseorang dikatakan dabit kitab apabila setiap hadits yang dia riwayatkan tertulis dalam kitabnya yang sudah ditashih (dicek kebenarannya) dan selalu dijaga.4

d. Bebas dari Syadz

Syudzȗ dz disini ialah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang rawi yang terpercaya, itu tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tingkat dipercayanya lebih tinggi.

Dalam karangan Dr. Phil Komaruddin Ain, MA, hadits syadz, menurut al- Syafȋ ‟i adalah hadȋ ts yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah, tetapi bertentangan dengan hadits riwayat orang-orang yang dianggap lebih dapat dipercaya darinya. Sebuah hadȋ ts diriwayatkan hanya oleh satu perawi yang dipercaya dan tidak didukung oleh perawi-perawi yang lain, tidak dapat dianggap hadȋ ts syudzȗ dz. Dengan kata lain, “perawi tunggal” (faid mutlaq) tidak mempengaruhi keterpercayaan hadȋ ts sepanjang hadȋ ts tersebut diriwayatkan oleh perawi yang dapat dipercaya.

4Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushȗ l Hadȋ s, h.53.

14

e. Bebas dari ‘illat

Hadȋ ts ma‟lul atau cacat adalah hadȋ ts yang tampak shahih pada pandangan pertama, tetapi ketika dipelajari secara seksama dan hati-hati ditemukan faktor-faktor yang dapat membatalkan keshahihannya. Faktor tersebut misalnya, seorang perawi meriwayatkan sebuah hadits dari seseorang guru, padahal kenyataannya ia tidak pernah bertemu dengannya, atau menyadarkan sebuah hadits kepada sahabat tertentu, padahal sebenarnya berasal dari shabat lain.5 „Illat disini ialah cacat yang samar yang mengakibatkan hadits tersebut tidak dapat diterima.

3. Hukum-hukum Hadȋ ts Sahȋ h

Adapun hukum-hukum hadȋ ts Sahȋ h adalah sebagai beirkut: a. Berakibat kepastian hukum. Hal ini apabila hadits tersebut terdapat pada shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pendapat yang dipilih dan dibenarkan oleh Ibn al-Sȃ lah. b. Imperatif diamalkan. Menurut Ibn Hȃ jar dalam kitab syarah al-Nuhbah, wajib mengamalkan setiap hadits yang shahih, meskipun hadits dimaksud tidak termasuk yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. c. Imperatif untuk menerimanya. Menurut al-Qȃ sim dalam kitab qawȃ ‟idu al- Hadȋ ts, bahwa wajib menerima hadis shahih walaupun hadis shahih itu tidak pernah diamalkan oleh seorang pun. d. Imperatif segera diamalkan tanpa menunggu sampai adanya dalil yang bertentangan. Menurut Syekh al-Fallȃ ni di dalam kitab Liqȃ dzu al-Himȃ mi, bahwa mengamalkan hadȋ ts sahȋ h tidak usah menunggu mengetahui tidak adanya snasikh (hadȋ ts lain yang menganulir), atau tidak adanya ijma‟ atau dalil- dalil lain yang bertentangan dengan hadis itu. Akan tetapi, harus segera diamalkan

5Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A, Metodologi Para Ahli Hadis Klasik, h.34.

15

sampai benar-benar diketahui adanya dalil-dalil yang bertentangan dengannya dan kalau toh ada maka harus diadakan penelitian terlebih dahulu. e. Hadȋ ts sahȋ h tidak membahaykan. Menurut Ibn Qayyim dalam kitab Ighȃ tsatu al-Lahfȃ n, bahwa hadȋ ts sahȋ h walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja, tidak membahayakan, yakni tidak mengurangi kadar keshahihannya f. Tidak harus diriwayatkan oleh orang banyak. Hadis yang shahih tidak pasti diriwayatkan oleh orang banyak, sebagai dasarnya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhȃ rȋ dan Muslim dari Mu‟ȃ dz yang berbunyi sebagai berikut:

يَج يٍِْ ثَدٍ َٚشَْٓذُ ثٌَْ الَ ثِنََّ ثِالَّ ثهلل ُ َٔثٌََّ يُذًََّذًث سَعُٕلُ ثهللِ ثِالَّ دَشَّيَُّ

ٗثهلل ُ عَهَ ثنَُّجسِ فَمَجلَ يُعَجرُ: َٚجسُعُْٕلُثهللِ ثَفَالَ أُخْذِشُدِِّ فََٛغْضَذْشِشُٔث لَجلَ صهعى ثِرَث َٚضَكَّهُٕث فَؤَخْذَشَ ُْىْ يُعَجرُ عُِْذَ يَْٕصِِّ

“Tidak seorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat kecuali Allah mengharamkanya masuk neraka. Mu‟adz bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya hadis ini aku beritahukan kepada orang-orang supaya mereka bergembira?” Nabi saw menjawab,” Hadis tersebut baru di ceritakan kepada orang-orang oleh Mu‟adz menjelang wafatnya karena takut berdosa jika tidak mengamalkannya.

Imam Bukhari meriwayatkan secara ta‟liq dari sahabat Ali ra:

دَذِ ثنَُّجطَ دًَِج َٚغْشِفٌَُٕ ثَصَذَذَُّٕ ثٌَْ ُٚكَزَّحَ ثهلل ُ َٔسَعُٕنُُّ

“Ceritakanlah (hadis) kepada orang-orang sesuai dengan pengetahuannya, apakah kalian senang, Allah dan Rasulnya didustakan?”

Ibn Mas‟ud juga berkata :

يَجثََْشَ يُذَذِّطٌ لَْٕيًج دَذِٚغًج الَ صِذْهُغُُّ عُمُٕنُ ُٓىْثِالَّ نِذَعْعِِٓىْ فِضَُْزٌ)سٔثِ يغهى(

“Engkau tidak boleh menceritakan kepada suatu kaum sesuatu hadis yang tidak terjangkau oleh akal mereka, melainkan hanya akan menimbulkan fitnah di antara mereka,” (HR.Muslim).

al-Hȃ fidz Ibn Hȃ jar berkata, di antara ulama yang tidak suka menceritakan hadis secara sepotong-sepotong dengan maksud-maksud tertentu, di 16

antaranya untuk menghindari kewajiban-kewajiban atau menghilangkan hukum- hukum, tindakannya itu akan menimbulkan kerusakan dunia dan akhirat. Bagaimana mereka sampai bida berbuat demikian, padahal semestinya semakin giat pula ibadahnya. Seperti halnya ketika Nabi Muhammad saw ditanya, “Mengapa engkau selalu Qiyȃ m al-Lail padahal Allah Swt telah memaafkan engkau? Kontan Nabi saw menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”

B. Hadȋ ts Hasan

1). Pengertian Hadȋ ts Hasan

Para ulama Muhadditsȋ n tidak sependapat dalam mendefinisikan hadits hasan, perbedaan sudah barang tentu mempunyai efek yang berlain-lainan. al- Turmȗ dzi mendefinisikan hadȋ ts hasan dengan:

يَجنَجَٚكٌُُْٕ فِْٗ ثِعَُْجدِِِ يٍَْ ُٚضََٓىُ دِج نْكَزِحِ َٔنَج َٚكٌُُْٕ شَجرًث َُٚٔشَْٖٔ يٍِْ غَْٛشِ َٔجٍّْ ََذِْٕ فِٗ ثنًَْعَُْٗ.

“ialah hadis yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadis itu diriwayatkan tiak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepakat maknanya6”.

Sedangkan secara istilah, hadȋ ts hasan didefinisikan secara beragam oleh ahli hadȋ ts lainnya, sebagai berikut :

1. Menurut Ibn Hȃ jar al-‟Asqalȃ ni َٔخذشثألدجد دُمم عذل صجو ثنعذػ يضصم ثنغُذ غٛش يعهم ٔال شج ر ْٕثنصذٛخ نزثصّ ، فئ ٌ خّفَ ثنعذػ فج ثنذغٍ نزث صّ. "Khabar ahȃ d yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabit-annya, bersambung sanadnya, tidak ber‟illat, dan tidak ada syadz dinamakn sahih lidzdzȃ ti. Jika kurang sedikit ke-dhabit-annya disebut hasan lidzȃ tih”.7

يج َمهّ عذل لهٛم ثنعذػ يضصم ثنغُذ غٛش يعهم ٔال شج ر .

66 Drs. Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits,), h 134. 7Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, cet-3(Jakarta: Amzah,2009), h 159. 17

"Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang `adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung „illat, dan tidak pula mengandung syadz.8 2. Menurut Imam al-Tirmidzȋ كم دذٚظ ٚشٖٔ ال ٚكٕ ٌ فٗ إعُج دِ يٍ ّٚضّٓى دج نكزح ٔال ٚكٕ ٌ ثنذذٚظ شج دّث ٔ ٚشٖٔ يٍ غٛش ٔجّ َذٕ رثنك . Tiap-tiap hadits yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada matannya tidak terdapat keganjalan, dan hadȋ ts itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan dengannya.

Definisi hadȋ ts hasan menurut al-Tirmidzȋ ini terlihat kurang jelas, sebab bisa jadi hadits yang perawinya tidak tertuduh dusta dan juga hadȋ ts gharȋ b, sekalipun pada hakikatnya berstatus hasan. Tidak dapat dirimuskan dalam definisi ini sebab dalam definisi tersebut disyariatkan tidak hanya melalui satu jalan periwayatan (mempunyai banyak jalan periwayatan). Meskipun demikian, melalui definisi ini al-Tirmidzȋ tidak bermaksud menyamakan hadȋ ts hasan dengan hadȋ ts sahȋ h, sebab justru al-Tirmidzȋ lah yang mula-mula memunculkan istilah hadȋ ts hasan ini.9

3. Menurut At-Thibi يغُذ يٍ لشح يٍ دسجز ثنغمز أٔ يشعم عمز ٔسٔ٘ كال ًْج يٍ غٛش ٔجّ ٔعهى يٍ شذٔ رٍ ث ٔال عهز Hadȋ ts musnad ( muttasȋ l dan marfu‟ ) yang sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah. Atau hadȋ ts mursal yang sanad-sanadnya tsiqah, tetapi pada keduanya ada perawi lain, dan hadis itu terhindar dari syadz ( kejanggalan ) dan illat (kekacauan).10 Dengan kata lain hadis hasan adalah : ْٕ يج ث صصم عُذِ دُمم ثنعذل ثنزٖ لمَ ظذؽّ ٔ خال يٍ ثنشّزٔر ٔثنعهز . Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit ke-dhabit-annya, tidak ada keganjilan (syadz) dan tidak ada „illat. 11 Dengan kata lain, syarat hadȋ ts hasan dapat dirinci sebagai berikut.

 Sanadnya bersambung

 Perawinya adil

8Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Kencana,2010) .h159 9Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia,2002) , h 114. 10Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, h 115. 11Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, h 159. 18

 Perawinya dabit tetapi ke-dhabit-annya dibawah ke-dabit-an perawi hadȋ ts sahȋ h

 Tidak terdapat kejanggalan (syadz) 12  Tidak ada illat (cacat) 2). Hukum-hukum Hadis Hasan Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah haidts shahih. Semua fuqaha, sebagian muhadditsin dan ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadȋ ts (musyaddidȋ n). Bahkan sebagian muhadditsȋ n yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilȋ n) memasukannya ke dalam hadȋ ts sahȋ h, seperti al-Hȃ kim, Ibn Hibbȃ n, dan Ibn Khuzaimah.13 Disamping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadȋ ts hasan dapat digunakan sebagi hujjah, bilamana memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab, sifat-sifat yang dapat diterima itu ada yang tinggi, menengah, dan rendah. Hadȋ ts yang sifat dapat diterima tinggi dan menengah adalah hadȋ ts sahȋ h, sedangkan hadȋ ts yang sifat dapat diterimanya rendah adalah hadȋ ts hasan. Hadis-hadis yang mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah disebut hadȋ ts maqbȗ l, dan hadits yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima disebut hadȋ ts mardȗ d. Yang termasuk hadȋ ts maqbȗ l adalah :

1. Hadȋ ts sahȋ h, baik sahȋ h lidzȃ tihi maupun sahȋ h li ghairih

2. Hadȋ ts hasan, baik hasan lidzȃ tihi maupun hasan li ghairih. Yang termasuk hadȋ ts mardȗ d adalah segala macam hadȋ ts da‟ȋ f. Hadȋ ts mardȗ d tidak dapat diterima sebagai hujjah karena terdapat sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya atau pada sanadnya.14

C. Hadȋ ts Da’ȋ f

1). Pengertian Hadȋ ts Da’ȋ f

12Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, cet-1, h 116. 13Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, cet-3,h 161. 14 Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, cet-1 (Bandung: Pustaka Setia, 2009) h 147. 19

Hadis Dha‟ȋ f ialah :

يَج فَمِذَ شَشؼًْج أَْٔ ثَكْغَشَ يٍِْ شُشُٔغِ ثنصَذْٛخِ أَِٔثنْذَغٍَِ.

"Ialah hadȋ ts yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadȋ ts sahȋ h atau hadȋ ts hasan.”

Hadȋ ts da‟ȋ f itu banyak macam ragamnya, dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits Sahih atau hadits hasan yang tidak dipenuhi. Hadȋ ts da‟ȋ f yang karena tidak bersambung-sambung sanadnya dan tidak adil rawinya, adalah lebih dha‟ȋ f dari pada hadits yang hanya keguguran satu syarat makbul (syarat-syarat yang diterima untuk hadȋ ts sahȋ h dan hadȋ ts hasan) saja, baik pada sanadnya, maupun pada rawinya. Hadȋ ts da‟ȋ f yang keguguran tiga syarat maqbul, adalah lebih da‟ȋ f daripada hadȋ ts da‟ȋ f yang keguguran dua syarat.

Al-‟Iraqy membagi hadȋ ts da‟ȋ f menjadi 42 bagian dan sebagian ulama yang lain, membagi menjadi 129 bagian.15

Hadȋ ts da‟ȋ f menurut ahli hadis

Dari segi diterima atau tidaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah, maka hadis ahȃ d itu pada prinsipnya terbagi kepada dua bagian, yaitu hadits makbul dan hadȋ ts mardȗ d. Yang termasuk hadȋ ts maqbul, ialah hadȋ ts sahȋ h dan hadȋ ts hasan dan yang termasuk hadȋ ts mardȗ d ialah hadȋ ts da‟ȋ f dengan segala macamnya. Untuk mengetahui syarat-syarat suatu hadȋ ts dapat diterima (maqbul), tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan tentang ditolahnya suatu hadȋ ts. Para muhaditsȋ n mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadȋ ts dari dua jurusan sanȃ d dan jurusan matan.

a. Dari jurusan sanȃ d diperinci menjadi dua bagian:

Pertama: “Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun hafalannya.”

15 Syaikh Mahfudz al-Tarmasi, Manhaj Zawi al-Nazar, (Beirut: Dar al-Kutub al- Alamiyah,1424 H- 2003 M), h. 29. 20

Kedua: “Ketidak bersambung-sambungnya sanȃ d”, dikarenakan adanya seseorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.

I. Cacat-cacat pada keadilan dan kedabitan rawi ada 10 macam.16

1. Dusta. Hadȋ ts da‟ȋ f yang karena rawinya dusta, disebut Hadȋ ts maudȗ ‟.

2. Tetuduh dusta. Hadȋ ts da‟ȋ f yang karena rawinya tertuduh dusta, disebut hadȋ ts matrȗ k.

3. Fasik.

4. Banyak salah.

5. Lengah dalam menghafal. Hadȋ ts da‟ȋ f yang karena rawinya fasik, banyak salah dan lengah disebut hadȋ ts munkar.

6. Banyak waham (purbasangka). Hadȋ ts da‟ȋ f yang karena rawinya waham, disebut hadȋ ts mu‟allal.

7. Menyalahi riwayat orang kepercayaan. Kalau menyalahi riwayat kepercayaan tersebut karena menambahkan suatu sisipan, hadȋ ts nya disebut hadȋ ts mudrȃ j, kalau menyalahi riwayatnya orang kepercayaan tersebutdengan memutarbalikan, hadȋ tsnya disebut hadȋ ts maqlȗ b, kalau menyalahi riwayat tsiqah tersebut tersebut dengan menukar-nukar rawi, hadȋ tsnya disebut hadȋ ts mudtarȋ b, kalau menyalahi riwayat orang kepercayaan tersebut dengan perubahan itu dengan titik-titik kata, hadȋ tsnya disebut hadȋ ts musahhaf.

8. Tidak diketahui identitasnya (jahalah): Hadȋ ts da‟ȋ f yang karena jahalah ini, disebut hadȋ ts mubham.

16Drs. Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, h 167. 21

9. Penganut bid‟ah: Hadȋ ts da‟ȋ f yang karena rawinya penganut bid‟ah disebut hadȋ ts mardȗ d.

10.Tidak baik hafalannya: Hadȋ ts da‟ȋ f yang karena ini, isebut hadits syadz dan mukhtalȋ t.

II. Sebab-sebab tertolaknya hadits karena sanȃ d digugurkan (tak bersambung).

1. Kalau yang digugurkan itu sanȃ d pertama, maka hadȋ tsnya disebut hadȋ ts mu‟allaq.

2. Kalau yang digugurkan itu sanȃ d terakhir (sahabat), disebut hadȋ ts mursȃ l.

3. Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut, disebut hadȋ ts mu‟dhal.

4. Jika tidak berturut-turut, disebut dengan hadȋ ts munqathi‟.

III. Dari jurusan matan.

Hadȋ ts da‟ȋ f yang disebabkan suatu sifat terdapat pada matan, ialah:

1. Hadȋ ts Mauqȗ f.

2. Hadȋ ts Maqtu.17

2). Hukum-hukum Hadȋ ts Da’ȋ f.

Di kalangan ulama, ustadz dan kyai sudah tersebar bahwa hadis-hadis da‟ȋ f boleh dipakai untuk fadȃ „ilul a‟mȃ l. Mereka menyangka tentang bolehnya itu tidak ada khilaf di antara ulama. Mereka berpegang kepada perka-taan Imam al-Nawȃ wi yang menyatakan bahwa bolehnya hal itu sudah disepakati oleh ahli ilmu.

17Drs. Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, h 167. 22

Apa yang dinyatakan Imam al-Nawȃ wi rahimahullah tentang adanya kesepakatan ulama yang membolehkan memakai hadits dha‟if untuk fadhaa-ilul a‟maal ini merupakan satu kekeliruan yang nyata. Sebab, ada ulama yang tidak sepakat dan tidak setuju digunakannya hadȋ ts da‟ȋ f untuk fadȃ „ilul a‟mȃ l. Ada beberapa pakar hadȋ ts dan ulama-ulama ahli tahqȋ q yang berpendapat bahwa hadȋ ts da‟ȋ f tidak boleh dipakai secara mutlak, baik hal itu dalam masalah ahkȃ m (hukum-hukum) maupun fadȃ ‟il. a. Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi menyebutkan dalam kitabnya, Qawȃ id al-Tahdȋ ts: “Hadis-hadis da‟ȋ f tidak bisa dipakai secara mutlak untuk ahkaam maupun untuk fadȃ „ilul a‟mȃ l, hal ini disebutkan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam kitabnya, „Uyun al-Atsȃ r, dari Yahya bin Ma‟ȋ n dan disebutkan juga di dalam kitab Fathul Mughȋ ts. Ulama yang berpendapat demikian adalah Abȗ Bakar Ibnal-‟Arȃ bi, Imam al-Bukhȃ rȋ , Imam Muslim dan Imam Ibn Hazm. 18 b. Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albȃ ny rahimahullah (Ahli Hadȋ ts zaman sekarang ini), ia berpendapat: “Pendapat Imam al- Bukhȃ rȋ inilah yang benar dan aku tidak meragukan tentang kebenarannya.”19

Menurut para ulama, hadȋ ts da‟ȋ f tidak boleh diamalkan, karena:

Pertama: Hadȋ ts da‟ȋ f hanyalah mendatangkan sangkaan yang sangat lemah, orang mengamalkan sesuatu dengan prasangka, bukan sesuatu yang pasti diyakini. Firman Allah:

إٌَِ ٱنّظٍََ نَج ُٚغُِْٗ يٍَِ ٱنْذَكِ شَْٛـًٔج ۚ إٌَِ ٱنهََّ عَهِٛىٌۢ دًَِج َٚفْعَهٌَُٕ

18 Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawaid al-Tahdits Min Funun Musthalah al- Hadits, (Baerut: Dar Ilmiyah, 1979), hlm. 202. 19Muhamad Nashiruddin al-Albani, Tahammul Minnahfii Ta‟liq „ala Fiqhi Sunnah,( Tegal:Dar ar-Rayah,1423 H-2002 M), hlm 34.

23

“Artinya : Sesungguhnya sangka-sangka itu sedikit pun tidak bisa mengalahkan kebenaran.” (Yunus: 36)

Nabi Sallallahu ‟alaihi wa sallam bersabda:

إَِٚجكُىْ ٔثنَّظٍََّ فَئٌَِ ثنّظٍََ أَكْزَحُ ثنْذَذِْٚظِ

“Artinya : Jauhkanlah dirimu dari sangka-sangka, karena sesungguhnya sangka-sangka itu sedusta-dusta perkataan.” (HR. Al-Bukhȃ ri no. 5143, 6066 dan Muslim no. 2563 dari Abu Hurairȃ h radhiyallahu „anhu)

Kedua: Kata-kata fadȃ il al-a‟mȃ l menunjukkan bahwa amal-amal tersebut harus sudah ada nashnya yang shahih. Adapun hadȋ ts da‟ȋ f itu sekedar penambah semangat (targhȋ b), atau untuk mengancam (tarhȋ b) dari amalan yang sudah diperintahkan atau dilarang dalam hadȋ ts atau riwayat yang shahih.

Ketiga: Hadȋ ts da‟ȋ f itu masih meragukan, apakah sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam atau bukan. Rasulullah Sallallahu ‟alaihi wa sallam bersabda:

دَعْ يَج َٚشِْٚذُكَ إِنَٗ يَج الَ َٚشِْٚذُكَ

“Artinya Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu (menuju) kepada yang tidak meragukan.” (HR. Ahmad I/200, at-Tirmȋ dzi no. 2518 dan an-Nasa-i VIII/327-328, ath-Tabrȃ ni dalam al-Mu‟jam al- Kabȋ rno. 2708, 2711, dan al- Tirmȋ dziberkata, “Hadȋ ts hasan sahȋ h).”

Keempat: Penjelasan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah tentang perkataan Imȃ m Ahmad, “Apabila kami meriwayatkan masalah yang halal dan haram, kami sangat keras (harus hadits yang shahih), tetapi apabila kami meriwayatkan masalah fadȃ „il, targhȋ b wat tarhȋ b, kami tasȃ hul (bermudah-mudah).” Kata Syaikhul Islam: “Maksud perkataan ini bukanlah menyunnahkan suatu amalan dengan hadȋ ts da‟ȋ f yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena masalah sunnah adalah masalah syar‟i, maka yang harus dipakai pun haruslah dalil syar‟i. Barangsiapa yang mengabarkan bahwa Allah cinta pada suatu amalan, tetapi dia 24

tidak bawakan dalil syar‟i (hadȋ ts yang sahȋ h), maka sesungguhnya dia telah mengadakan syarȋ ‟at yang tidak diizinkan oleh Allah, sebagaimana dia menetapkan hukum wajib dan haram.20

Kelima.: Syaikh Ahmad Muhammad Syakȋ r menerangkan tentang maksud perkataan Imȃ m Ahmad, Abdurahman bin Mahdi

dan ‟Abdullah Ibnal-Mubȃ rak tersebut, beliau berkata, “Bahwa yang dimaksud tasȃ hul (bermudah-mudah) di sini ialah mereka mengambil hadis-hadis hasan yang tidak sampai ke derajat sahȋ h untuk masalah fadȃ „il. Karena istilah untuk membedakan antara hadits shahih dengan hadȋ ts hasan belum terkenal pada masa itu. Bahkan kebanyakan dari ulama mutaqadimin (ulama terdahulu) hanyalah membagi derajat hadȋ ts itu kepada sahȋ h atau da‟ȋ f saja. (Sedang yang dimaksud da‟ȋ f itu sebagiannya adalah hadits hasan yang bisa dipakai untuk fadȃ „il al-a‟mȃ l).21

Sebagai tambahan dan penguat pendapat ulama yang tidak membolehkan dipakainya hadȋ ts da‟ȋ funtuk fadhaa-ilul a‟maal. Saya bawakan pendapat Dr. Subhi Shalih, ia berkata: “Menurut pendapat agama yang tidak diragukan lagi bahwa riwayat lemah tidak mungkin untuk dijadikan sumber dalam masalah ahkam syar‟i dan tidak juga untuk fadȋ lah akhlȃ q (targhȋ b wat tarhȋ b), karena sesungguhnya zan atau persangkaan tidak bisa mengalahkan yang haq sedikit pun. Dalam masalah fadȃ „il sama seperti ahkȃ m, ia termasuk pondasi agama yang pokok, dan tidak boleh sama sekali bangunan pondasi ini lemah yang berada di tepi jurang yang dalam. Oleh karena itu, kita tidak bisa selamat bila kita meriwayatkan hadis-hadis da‟ȋ f untuk fadȃ „il al-a‟mȃ l, meskipun sudah disebutkan syarat-syaratnya.”22

20Syaikhul Islam Ahmad Ibn Taimiyah, Majmu‟ah al-Fatȃ wa (Mesir: dar al-Wafa, 738 H). juz 18, h 65. 21Muhamad Nasȋ ruddin al-Albȃ ni, Tahammul Minnahfii Ta‟lȋ q „ala Fiqhi Sunnah,( Tegal:Dar ar-Rayah,1423 H-2002 M), h 35.

22Dr. Subhi Sȃ lih, Ulumul Hadȋ ts wa Mustalȃ huhu, ( Beirut: Dar al „Ilm,1988 M), hlm 211 25

Syarat-syarat diterimanya hadȋ ts da‟ȋ f untuk fadȃ „il al-a‟mȃ l Di atas sudah saya kemukakan bahwa pendapat yang terkuat adalah pendapat Imam al-Bukhȃ rȋ , Muslim dan Ibn Hazm tentang tidak diterimanya hadȋ ts da‟ȋ f untuk fadȃ „il al-a‟mȃ l. Akan tetapi tentunya sejak dulu sampai hari ini masih saja ada ulama yang memakainya. Oleh karena itu, saya bawakan pendapat al-Hafȋ zh Ibnu Hajar al-Asqalany tentang syarat-syarat diterimanya hadȋ ts da‟ȋ f untuk fadȃ „il al-a‟mȃ l, beliau berkata: “Sudah masyhur di kalangan ulama bahwa ada di antara mereka orang-orang yang tasȃ hul (bermudah- mudah/menggampang-gampangkan) dalam membawakan hadis-hadis fadha‟il kendatipun banyak di antaranya yang da‟ȋ fbahkan ada yang maudȗ ‟ (palsu). Oleh karena itu wajiblah atas ulama untuk mengetahui syarat-syarat dibolehkannya beramal dengan hadȋ ts da‟ȋ f, yaitu ia (ulama) harus meyakini bahwa itu da‟ȋ f dan tidak boleh dimasyhurkan agar orang tidak mengamalkannya yakni tidak menjadikan hadȋ ts da‟ȋ f itu syari‟at atau mungkin akan disangka oleh orang-orang jahil bahwa hadȋ ts da‟ȋ f itu mempunyai Sunnah (untuk diamalkan).” 23

Syaikh Muhammad ibn Abdis Salȃ m telah menjelaskan hal ini dan hendaklah seseorang berhati-hati terkena ancaman Rasulullah Sallallahu ‟alaihi wa sallam (hadis Samurah di atas). Bila sudah ada ancaman ini bagaimana mungkin kita akan mengamalkan hadȋ ts da‟ȋ f?

Dalam hal ini (ancaman Rasulullah Sallallahu „alaihi wa sallam) terkena bagi orang yang mengamalkan hadȋ ts da‟ȋ f dalam masalah ahkam (hukum- hukum) ataupun fadȃ „il al-a‟mȃ l, karena semua ini termasuk syari‟at.

Al-Hȃ fizh al-Sakhȃ wy, murid al- Hȃ fizh Ibnu Hȃ jar al-‟Asqalȃ ny , beliau berkata: “Aku sering mendengar syaikhku (IbnHȃ jar) berkata: “Syarat- syarat bolehnya beramal dengan hadȋ ts da‟ȋ f:

23 Muhamad Nashiruddin al-Albani, Tahammul Minnahfii Ta‟liq „ala Fiqhis Sunnah, h 36. 26

1. Hadȋ ts itu tidak sangat lemah. Maksudnya, tidak boleh ada rawi pendusta, atau dituduh berdusta atau hal-hal yang sangat berat kekeliurannya.

2. Tidak boleh hadȋ ts da‟ȋ f jadi pokok, tetapi dia harus berada dibawah nash yang sudah sahȋ h.

3. Tidak boleh hadȋ ts itu dimasyhurkan, yang akan berakibat orang menyandarkan kepada Nabi Sallallahu „alaihi wa sallam apa-apa yang tidak beliau Sallallahu „alaihi wa sallam sabdakan.”

Imȃ m al-Sakhȃ wi berkata: “Syarat-syarat kedua dan ketiga dari Ibnu Abdis Salȃ m dan dari shahabatnya Ibn Daqiqȋ al-„Ied.”

Bila kita perhatikan syarat pertama saja, maka kewajiban bagi ulama dan orang yang mengerti hadȋ ts, untuk menjelaskan kepada umat Islam dua hal yang penting:

Pertama: Mereka harus dapat membedakan hadis-hadis da‟ȋ f dan yang sahȋ h agar orang-orang yang menga-malkannya tidak meyakini bahwa itu shahih, hingga mereka tidak terjatuh ke dalam bahaya dusta atas nama Nabi Sallallahu „alaihi wa sallam.

Kedua: Mereka harus dapat membedakan hadits-hadits yang sangat lemah dengan hadis-hadis yang tidak sangat lemah.

D. Pengertian dan Sejarah Kritik Sanad Hadis.

naqd).24) َلد Kata kritik merupakan alih bahasa dari bahasa Arab Sekalipun kata tersebut tidak terdapat dalam al-Qur‟ȃ n maupun dalam al-Hadis, namun tidak berarti bahwa kegiatan kritik hadis bukan sebuah kegiatan ilmiah

24Ahmad Wirson Munawwir, Kamus Al-munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Unit PBIK PP Al-Munawwir,1984), h. 1551. 27

dalam kajian hadis, karena kegiatan ini memang muncul belakangan. Sedangkan kata kritik sendiri dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti sebuah usaha menemukan kekeliruan dan kesalahan,25 dalam rangka menemukan kebenaran. Sementara Mahmȗ d Al-Tahhan berpendapat bahwa sanad adalah struktur pertalian orang-orang yang terlibat dalam menyampaikan matan hadis26. Dengan demikian kritik sanad yang dimaksud di sini adalah sebagai upaya serius dalam mengkaji hadis Rasulullah saw. untuk menentukan hadis tersebut benar-benar merupakan hadis yang bersumber dari beliau dengan menelusuri sanadnya.27

Meskipun penggunaan kata an–naqd dalam pengertian kritik seperti di atas tidak ditemukan dalam al-Qur‟ȃ n dan Hadis, hal tersebut bukanlah berarti bahwa konsep kritik hadis datang jauh terlambat dalam perbendaharaan Ilmu Hadis. Fakta menujukkan bahwa al-Qur‟ȃ n telah menggunakan kata yamiz untuk maksud tersebut, yang berarti “memisahkan yang buruk dari yang baik”.28

Imam Muslim yang hidup pada abad ke-3 H, menamakan bukunya al- Tamyȋ z, yang isi bahasannya adalah metodologi kritik hadis. Sebagian ulama hadis di abad ke-2 H juga menggunakan kata an-naqd di dalam karya mereka, namun mereka tidak menampilkannya di dalam judul buku mereka tersebut. Mereka justru memberi judul bagi karya yang membahas mengenai kritik hadis ini dengan nama al-Jarh wa al-Ta‟dil, yaitu ilmu yang berfungsi membatalkan dan menetapkan keotentikan riwayat dalam hadis. Pada periode sahabat, Abu Bakar al-Siddȋ q r.a. adalah pelopor dalam kritik hadis dan dia menempatkan metode kritik Hadis Nabi saw. pada posisi yang penting.29 Pusat penelitian hadis

25W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h 965. 26Ambo Asse, Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi Saw, (Makassar: Dar al- Hikmah wa al-„Ulum Alauddin Press, 2010),Cet. I, h. 18. 27Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Matan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h 5 dan h 59. 28Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, ( Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001) cet I, h. 330. 29Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 333-334. 28

awalnya hanya di Madinah, selanjutnya menyebar ke Irak, Kufah, Wasith, Beirut, Mekkah, Mesir, dan beberapa daerah lainya.30

Untuk meneliti hadis diperlukan sebuah acuan. Acuan yang dipergunakan adalah kaidah kesahihan hadis bila ternyata hadis yang diteliti bukanlah hadis mutawȃ tir. Kaidah kesahihan hadis yang telah dirumuskan oleh ulama dan berlaku hingga sekarang, telah muncul benih-benihnya pada zaman Rasul Saw. dan sahabat Rasul. Bahkan Imam Syafȋ ‟i, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ulama lain telah memperjelas benih-benih kaidah itu dan menerapkannya pada hadis-hadis yang mereka teliti dan mereka riwayatkan. Terbukti bahwa kaidah kesahihan sanȃ d dan matan hadis memiliki tingkat akurasi yang cukup tinggi sebagai acuan untuk meneliti kesahihan sanȃ d hadis.31

Muhȃ ditsȋ n sangat besar perhatiannya terhadap sanȃ d hadis, di samping juga terhadap matannya. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada tiga hal: Pertama. Pernyataan-pernyataan bahwa sanȃ d dan matan merupakan bagian yang tidak terpisahan dari hadis. Kedua. Banyaknya karya atau buku yang berkenaan dengan sanȃ d hadis. Kitab-kitab tentang rijȃ l al-hadȋ ts muncul dalam berbagai bentuk dan sifatnya. Dan yang ketiga, apabila mereka menghadapi hadis, maka sanȃ d hadis menjadi salah satu bagian yang mendapat perhatian khusus disamping matan.32

Kaidah kesahihan sanȃ d hadis adalah segala syarat, kriteria atau unsur yang harus dipenuhi oleh suatu sanȃ d hadis yang berkualitas sahih. Segala syarat, kriteria atau unsur itu ada yang berstatus khusus dan ada pula yang berstatus umum. Dikatakan berstatus umum karena keberadaannya menjadikan definisi sanȃ d hadis sahih bersifat jȃ mi‟ (melingkupi) dan mani‟ (tidak mengurangi ketercakupan) serta melingkupi seluruh bagian sanȃ d tetapi masih dalam batas tidak terinci. Sedangkan dinyatakan bersifat khusus karena keberadaannya

30Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 330.

31Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 75. 32Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Matan., h. 7-10. 29

merupakan rincian lebih lanjut dari masing-masing syarat, kriteria atau unsur umum tadi. Sifat umum di atas dapat diberi istilah sebagai kaidah mayor sedangkan yang bersifat khusus dapat diberi istilah sebagai kaidah minor. 33

A. Pengertian Sanad Sanad menurut bahasa berarti sandaran atau pegangan (al-mu‟tamad). Sementara pengertian sanȃ d menurut istilah ilmu hadits adalah jajaran orang- orang yang membawa hadȋ ts dari Rasul, Sahabat, Tabi‟ȋ n, Tabi‟ At- Tabi‟ȋ n, dan seterusnya sampai kepada orang yang membukukan hadȋ ts tersebut.

Sementara „Ajjaj al-Khȃ tib sebagaimana dikutip oleh Totok Jumantoro, mengemukakan pengertian sanad sebagai berikut:

ْٕ ؼش ٚك ثهيضٍ أ٘ غهعنز ثهش ٕثر ثهز ٍٚ َلهٕث ثهيضٍ عٌ ًصدسِ ثالٕم. Artinya: “Sanȃ d adalah jalan kepada matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkan matan dari sumbernya yang pertama.”

E. Langkah-langkah kegiatan dalam kritik sanad hadis

a) Melakukan I’tibar

1. Arti dan Kegunaan I‟tibar

yang menurutثعضذش adalah masdhar dari kata ( ثالعضذجس ) Kata al-I‟tibȃ r bahasa berarti peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatunya yang sejenis.34

Sedangkan menurut istilah ilmu hadis, I‟tibar adalah menyertakan sanȃ d yang lain untuk suatu hadis tertentu yang hadis itu pada bagian sanȃ dnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan menyertakan sanȃ d yang lain

33M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 123. 34Mahmud Tahan, Taisir Mustalȃ h al-hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr,1985 M.1405 H), h. 115 30

tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanȃ d dari sanȃ d hadits yang dimaksud.35

Kegunaan I‟tibȃ r adalah untuk mengetahui keadaan sanȃ d hadȋ ts seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus muttabī atau syȃ hid.36Dengan adanya I‟tibȃ r ini maka akan diketahui apakah hadits yang diteliti itu memiliki muttabȋ dan syȃ hid ataukah tidak.

1. Pembuatan Skema sanȃ d

Untuk mempermudah proses kegiatan I‟tibȃ r itu diperlukan adanya pembuatan skema untuk seluruh sanȃ d untuk hadits yang akan diteliti. Ada 3 hal yang harus diperhatikan :

1. Jalur seluruh sanȃ d, 2. Nama-nama periwayat untuk seluruh sanȃ d 3. Metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.

b) Meneliti Pribadi Periwayat dan Metode Periwayatannya

Untuk meneliti hadits diperlukan sebuah acuan yaitu acuan yang akan digunakan untuk meneliti kesahȋ han hadȋ ts bila hadȋ ts yang diteliti bukanlah hadits yang mutawȃ tir.

Abȗ „Amr Usmȃ n bin Abdirrahman bin al-Salȃ h al-Syahrazuri yang biasa disebut Ibnu Salȃ h (w. 577 H/ 1245 M), beliau merumuskan sebagai berikut :

ثنذذٚظ ثنصذٛخ ْٕ ثنًغُذ ثنز٘ ٚضصم إعُجدِ دُمم ثنعذل ثنعجدػ إنٗ يُضٓجِ ٔالٚكٌٕ شجرث ٔال يعهال.

35Lihat Ibn al-Salȃ h, Abū „Amr Usman bin Abdirrahman,Ulum al-Hadits, (naskah diteliti oleh Nuruddin “itr (al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-„Ilmiyyah, 1972 M), h. 74 – 75. 36Muttabī adalah disebut juga tabī jamak dengan tawabī yang artinya periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Nabi. Sedangkan syāhid jamaknya syawahid yang artinya periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat Nabi. 31

Hadȋ ts sahȋ h ialah hadits yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi SAW), diriwayatkan oleh (periwayat) yang ‟adil dan dābit sampai akhir sanȃ d (di dalam hadȋ ts itu) tidak terdapat kejanggalan (Syudzȗ dz) dan cacat („illat).37

Jadi unsur-unsur hadȋ ts dikatakan shahih apabīla sesuai dengan kaidah- kaidah sebagai berikut :

1. sanȃ d hadȋ ts yang bersangkutan harus bersambung mulai dari mukharrijnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw 2. Seluruh periwayat dalam hadȋ ts itu harus bersifat `ȃ dil dan dȃ bit. 3. Hadȋ ts itu, jadi sanad dan matannya harus terhindar dari kejanggalan (Syudzȗ dz) dan cacat („illat).

Dari ketiga kaidah di atas ada yang berhubungan dengan sanȃ d dan ada pula yang berhubungan dengan matan hadȋ ts.

1. Yang berhubungan dengan sanȃ d:

1) Sanad bersambung

2) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat `ȃ dil

3) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dȃ bit.

4) Sanad hadits itu terhindar dari kejanggalan (Syudzȗ dz)

5) Sanad hadits itu terhindar dari cacat („illat)38

1. Yang berhubungan dengan matan : 2. Terhindar dari kejanggalan (Syudzȗ dz) 3. Terhindar dari cacat („illat)

37Muhammad „Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al Fikr, 1989 M/1409 H), hlm. 304 38M. Syuhudi Isma‟īl, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, h. 126 32

Berikut ini akan dijelaskan kaidah-kaidah kesahȋ han hadȋ ts yang berhubungan dengan sanȃ d, yaitu sebagai berikut :

1. Sanad Bersambung Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam sanȃ d hadȋ ts menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya; keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanȃ d hadȋ ts itu.39

Dr. M. Syuhȗ di Isma‟īl menjelaskan bahwa sanȃ d hadȋ ts dikatakan bersambung jika mengandung usnur-unsur : muttasil, marfu‟, mahfȗ z, dan bukan mu‟allal.40

Muttasil, artinya :

يج ثصصم عُذِ يشفٕعج كجٌ أٔ يٕلٕفج.

Hadȋ ts yang bersambung sanȃ dnya baik persambungan itu sampai kepada Nabi (marfu‟) maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi saja (mauqȗ f).41

Marfu‟, artinya :

يج أظّٛف ثنٗ ثنُذٗ صهٗ ثهلل عهّٛ ٔعهى يٍ لٕل أٔ فعم أٔ صمشٚش أٔ صفز

Apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik perkataan, perbuatan, taqrȋ r maupun sifat beliau.42

Mahfȗ z artinya terhindar dari syudzȗ dz

Mu‟allal, artinya :

ْٕ ثنذذٚظ ثنز٘ ثؼهع فّٛ عهٗ عهز صمذح فٗ صذضّ يع أٌ ثنّظجْش ثنغاليز يُٓج

39. Subhi Sȃ lih, Ulumul Hadȋ ts wa Mustalȃ huhu, cet IX, h 145. 40Dr. H.M. Syuhudi Isma‟īl dalam buku Yunahar Ilyas dkk, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadits, (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta: LPPI, 1996),Cet. 1, h 7. 41Mahmud Tahan, Taisir Mustalȃ h al-hadits,h 111. 42Mahmud Tahan, Taisir Mustalȃ h al-hadits, h 105. 33

Yaitu hadȋ ts yang setelah diadakan penelitian terdapat di dalamnya cacat yang disembunyikan kecacatannya dan terlihat selamat dari keacatatan itu pada zahirnya.43

Jadi, hadȋ ts tersebut harus terhindar dari kecacatan tersebut.

Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanȃ d, biasanya ulama hadȋ ts menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :

1. Mencatat nama semua periwayat dalam sanȃ d yang diteliti 2. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat untuk mengetahui keadilan dan kedābitan perawi ataukah tidak; apakah terdapat hubungan kesamaan zaman atau hubungan guru murid dalam periwayatan hadȋ ts tersebut. 3. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanȃ d, apakah menggunakan kata-kata dan yang lainnya.44 عًعُج, دذعُٙ, دذعُج,عًعش

Dalam Kitab Ilmu Hadits ada 8 macam cara-cara periwayatan yaitu : as Sama‟, al-qirâ‟ah, al-Ijâzah, al-Munâwalah, al-Mukâtabah, al I‟lam, al-wasiyyah dan al-wijādah. Kedelapan metode periwayatan tersebut memiliki perbedaan dalam tingkat akurasinya.

Sanad hadits selain memuat nama-nama periwayat juga membuat lafal-lafal yang memberi petunjuk tentang metode periwayatan yang digunakan masing- masing periwayat yang bersangkutan. Dari sinilah dapat diketahui dan dapat diteliti tingkat akurasi metode periwayatan yang digunakan oleh periwayat yang namanya termuat dalam sanad.

Kegiatan menerima riwayat hadits dalam dalam ilmu hadits dinamakan dengan tahammul al-hadȋ ts, sedangkan kegiatan menyampaikan riwayat hadits disebut ada‟u al hadȋ ts. Lafal yang digunakan dalam kegiatan tahammul al-

43M.Syuhudi Isma‟īl, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya¸(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h 77. 44M. Syuhudi Isma‟īl, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, h 128. 34

عًعش, عًعُج, دذعُٙ, دذعُج, عُٕ hadȋ ts bentuknya bermacam-macam seperti

Sebagian dari lambang-lambang itu ada yang disepakati dan ada juga yang . ,عُج tidak.

دذعُٙ, َٕنLambang-lambang yang penggunaannya disepakati yaitu ,ُٙ

kedua lambang yang disebutkan pertama digunakan dalam metode .َٕنُج, عًعُج periwayatan dengan as-Sama‟ sebagai metode yang menurut jumhur ulama hadits memiliki tingkat akurasi yang tinggi, dan dua lambang berikutnya disepakati sebagai lambang periwayatan al-munȃ walah, yakni metode periwayatan yang masih dipersoalkan tingkat akurasinya.45

Sedangkan lambang-lambang yang tidak disepakati penggunaannya seperti sebagian periwayat عًعش Untuk kata . عًعش, دذعُج, أخذشَج, لجنهُج menggunakannya untuk metode as Sama‟ dan sebagian yang lainnya untuk sebagian دذعُج, أخذشَج, لجنهُج menggunakannya untuk al-qirȃ „ah. Kata-kata periwayat digunakan dalam metode as Sama„, dan sebagian yang lain menggunakannya untuk metode al qirȃ „ah, dan oleh sebagian periwayat yang lain lagi digunakan untuk metode al Ijȃ zah.46

Adapun dikhususkan untuk lambang-lambang berupa kata-kata seperti ulama telah banyak mempersoalkannya. Sebagian ulama mengatakan , عٍ,عُج sebagai hadits mu‟an‟an, yakni hadits yang sanadnya mengandung lambang ‟an, dan hadits mu‟annan yakni hadits yang sanadnya mengandung lambang ‟anna memiliki sanad yang putus. Sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa hadits mu‟an‟an dapat dinilai bersambung sanadnya jika dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

45M. Syuhudi Isma‟īl, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, h 52-56-64. 46M. Syuhudi Isma‟īl, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah,, h 52-56-64. 35

1. Pada sanȃ d hadȋ ts yang bersangkutan tidak terdapat tadlȋ s (penyembunyian cacat). 2. Para periwayat yang namanya beriring dan diantarai oleh lambang „an ataupun „anna itu telah terjadi pertemuan. 3. Periwayat yang menggunakan lambang-lambang „an ataupun „anna itu adalah periwayat yang tsiqȃ h.47

Adapun keadaan periwayat dapat dibagi kepada yang tsiqȃ h dan yang tidak tsiqȃ h. Dalam hubungannya dengan persambungan sanad, kualitas periwayat sangat menentukan. Periwayat yang tidak tsiqȃ h yang menyatakan telah menerima riwayat dengan metode sami‟na, misalnya walaupun metode itu diakui oleh para ulama hadȋ ts memiliki tingkat akurasi yang tinggi, tetapi karena yang meriwayatkannya orang yang tidak tsiqȃ h, maka informasinya itu tetap tidak dapat dipercaya. Selain itu ada periwayat yang dinilai tsiqȃ h oleh ulama kritik hadits namun dengan syarat bila dia menggunakan lambang periwayatan haddatsanȋ atau sami‟tu¸sanadnya bersambung, tetapi bila menggunakan selain kedua lambang itu sanadnya terdapat tadlȋ s (penyembunyian cacat), seperti ‟Abd al-Mȃ lik bin ‟Abdal-‟Azȋ z bin Jurȃ ij (IbnJurȃ ij) (w. 149 H / 150 H).48

2. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil

Kata`ȃ dil dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti “tidak berat sebelah (tidak memihak) atau “sepatutnya; tidak sewenang-wenang”.49

Sedangkan pengertian `ȃ dil yang dimaksud dalam ilmu hadȋ ts, para ulama berbeda pendapat. Dari berbagai perbedaan pendapat itu dapat dihimpunkan kriteria sifat `ȃ dil yaitu :

1. Beragama Islam 2. Mukallaf

47M. Syuhudi Isma‟īl, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, h 62-63. 48Ahmad bin Alī bin Hajar al-„Asqalani, Tahzib at Tahzib, (India: Majlis Da‟irat al- Ma‟arif an-Nizamiyyah, 1325 H), Juz II, h. 402 – 406 dan Juz XII, h 288. 49W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, , h 16 36

3. Melaksanakan ketentuan agama 4. Memelihara murȗ ‟ah.

Beragama Islam merupakan satu kriteria keadilan periwayat apabīla yang bersangkutan melakukan kegiatan menyampaikan hadȋ ts, sedangkan untuk kegiatan menerima hadȋ ts kriteria itu tidak berlaku. Periwayat boleh saja tidak beragama Islam tatkala ia menerima hadȋ ts dari Rasulullah Saw asalkan ketika dia menyampaikan hadȋ ts itu dia telah memeluk agama Islam.50

Mukallaf yaitu bȃ ligh dan berakal sehat untuk kriteria ketika dia menyampaikan sebuah riwayat hadits, akan tetapi boleh saja periwayat masih belum mukallaf asal dia telah mumayyiz dalam kegiatan menerima hadȋ ts. Maka tidak diterima riwayat dari seseorang yang belum memenuhi ketentuan syarat mukallaf sebagaimana hadȋ ts Nabi Saw :

سفع ثنمهى عٍ عالعز : عٍ ثنًجٌُٕ ثنًغهٕح عهٗ عمهّ دضٗ ٚذشأ ٔعٍ ثنُجةى دضٗ ٚغضٛمظ ٔعٍ ثنصذٙ دضٗ ٚذضهى.51

Yang ketiga adalah kriteria “melaksanakan ketentuan agama”, yang dimaksud adalah teguh dalam agama, tidak berbuat dosa besar, tidak berbuat bid‟ah, tidak berbuat maksiat dan harus berakhlak mulia.52

Sedangkan yang dimaksud dengan “memelihara murȗ ‟ah”, artinya kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia pada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan. Hal itu dapat diketahui melalui adat istiadat yang berlaku di masing-masing tempat.53

Berdasarkan kriteria sifat `ȃ dil yang telah dikemukakan di atas, maka hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang suka berdusta, suka berbuat munkar, atau sejenisnya tidak dapat diterima sebagai hujjah. Bila riwayatnya juga diterima

50Muhammad „Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits. h. 227 – 232. As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an Nawawi, (Beirut: Dar Ihya‟ as-Sunnah an-Nabawiyah, 1979 M), Juz II, h 4 – 7. 51Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abū Daud dan Hakim dari Umar dan Alī r.a, dan lebih banyak dari jalan lain yaitu dari Sayyidah Aisyah r.a. lihat Fathul al-Kubra, JUz II, h 135. 52M. Syuhudi Isma‟īl, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, h116 – 118. 53M. Syuhudi Isma‟īl, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, h 115 – 117. 37

sebagai hadȋ ts, maka kedudukannya adalah sebagai hadits da‟ȋ f (lemah) dan oleh sebagian ulama dinyatakan sebagai hadits maudȗ ‟(palsu).54

Secara umum ulama telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat hadits yaitu berdasarkan :

1. Popularitas keutamaan periwayat dikalangan ulama hadȋ ts periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya, misalnya Mȃ lik bin Anas dan Sufyȃ n al-tsaurȋ , tidak lagi diragukan keadilannya. 2. Penilaian dari para kritikus periwayat hadȋ ts; penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadȋ ts. 3. Penerapan kaidah al-Jarh wa at-Ta‟dil ; cara ini ditempuh bila para kritikus periwayat hadits tidak sepakat tentang kualitas peribadi periwayat tertentu.55

Khusus mengenai perawi hadits pada tingkat sahabat, menurut jumhur ulama ahli sunnah, dikatakan bahwa seluruh sahabat adil. Sedangkan golongan Mu‟tazilah menganggap bahwa sahabat-sahabat yang terlibat dalam pembunuhan `Alȋ dianggap fasiq, yang periwayatannya ditolak.56

Jadi, untuk mengetahui adil atau tidaknya seorang periwayat hadȋ tsharuslah diteliti terlebih dahulu kualitas peribadinya dengan kesaksian para ulama, dalam hal ini adalah ulama ahli kritik periwayat.

3. Seluruh Periwayat Dalam Sanad bersifat dȃ bit

54Al-Thahan, Taisir Mushtalahul Hadits, h. 87 – 91, Muhammad „Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, h. 433, Abū Lubabah Husain, al-Jarh wa Ta‟dil, (Riad: Dar al Liwa, 1399 H / 1979 M), h 133 – 134. 55M. Syuhudi Isma‟īl, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, h. 134 56Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h 131 – 132. 38

Arti harfiah dȃ bit ada beberapa macam yakni dapat berarti: yang kokoh, yang kuat, dan yang hafal dengan sempurna.57 Ulama hadits berbeda pendapat dalam memberikan pengertian istilah untuk kata dȃ bit, namun perbedaan itu dapt dipertemukan dengan rumusan sebagai berikut :

1. Periwayat yang bersifat dȃ bit ialah :

1) Periwayat yang hafal dengan sempurna hadȋ ts yang diterimanya.

2) Mampu menyampaikan dengan baik hadȋ ts yang dihafalnya itu kepada orang lain.

Periwayat yang bersifat dȃ bit ialah periwayat yang selain disebutkan dalam butir pertama di atas juga dia mampu memahami dengan baik hadits yang dihafalnya itu.58

Rumusan pertama merupakan rumusan kriteria sifat dȃ bit umum, sedangkan yang kedua disebut sebagai tam dȃ bit atau dȃ bit plus.

Selain kedua macam rumusan kedhābitan itu dikenal pula istilah khafifud dȃ bit, yaitu kedȃ bitan yang disifatkan kepada periwayat yang kualitas haditsnya digolongkan kepada hadits hasan.59

Adapun cara penetapan kedȃ bitan seorang periwayat menurut pendapat berbagai ulama dapat dinyatakan sebagai berikut :

1. Kedhābitan periwayat dapat diketahui berdasarkan persaksian para ulama 2. Kedȃ bitan periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang

57Al-Fayumi, Ahmad bin Muhammad, al-Misbah al-Munir fi Gharib asy-Syarh al-Kabīr li ar-Rafi‟I, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1398 H / 1978 M), Juz II, h. 420 – 421 dalam Syuhudi Isma‟īl, Metodologi Penelitian hadits Nabi, ¸(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), h 69. 58M. Syuhudi Isma‟īl, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, h 122. 59Subhi Sȃ lih, Ulumul Hadȋ ts wa Mustalȃ huhu, h 156. 39

telah dikenal kedȃ bitannya. Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat harfiah.

Apabīla seorang periwayat sekali-sekali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dȃ bit. Tetapi apabīla kesalahan itu sering terjadi maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi sebagai periwayat yang dȃ bit.60

4. Terhindar dari Syudzȗ dz (kejanggalan)

Menurut bahasa kata syadz, dapat berarti; jarang, yang menyendiri, yang asing, yang menyalahi aturan dan yang menyalahi orang banyak.

Mahmȗ dTahhan dalam kitab “Taisȋ r Mustalȃ h al-Hadȋ ts” menyebutkan

ثنشزٔر ْٕ يخجنفز ثنغمز نًٍ ْٕ أٔعك يُّ

Syudzȗ dz ialah berbeda dengan hadits yang tsiqȃ t atau berbeda dengan yang lebih tsiqȃ t daripadanya.61

Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian syudzȗ dz suatu hadits, dari pendapat-pendapat itu ada 3 pendapat yang menonjol yaitu :

1. Al-Hȃ kim an-Naisabȗ ri (w.405 H / 1014 M) mengemukakan bahwa hadits syudzȗ dz ialah hadȋ ts yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqāh, tetapi orang yang tsiqāh lainnya tidak meriwayatkan hadȋ ts itu. 2. Abū Ya‟la al-Khalȋ li (w.446 H) mengemukakan hadȋ ts syudzȗ dz ialah hadȋ ts yang sanȃ dnya hanya satu buah saja, baik periwayatnya bersifat tsiqȃ hmaupun tidak bersifat tsiqȃ h. 3. Imam Syafȋ ‟i (w.204 H / 820 M) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan hadȋ ts syudzȗ dz ialah hadȋ ts yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqȃ h, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak perawi yang tsiqȃ h juga. Pendapat ini yang banyak diikuti oleh ulama hadits sampai saat ini.

60. K.H. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h 126. 61Mahmȗ d Tahan,Taisȋ r Mustalāh al-hadits, h 30. 40

Dari penjelasan al-Syafȋ ‟i di atas dapat dinyatakan bahwa hadȋ ts syadz tidak disebabkan oleh :

1. Kesendirian individu periwayat dalam sanad hadits, yang dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah fard mutlaq. 2. Periwayat yang tidak tsiqȃ t.

hadȋ ts baru berkemungkinan mengandung sydzȗ dz, apabīla :

1. Hadȋ ts itu memiliki lebih dari satu sanȃ d 2. Para periwayat hadits itu seluruhnya tsiqȃ h. 3. Matan dan atau sanȃ d hadits itu ada yang mengandung pertentangan.

Ulama hadȋ ts pada umumnya mengakui bahwa meneliti syudzȗ dz dan „illat hadȋ ts tidaklah mudah. Sebagian ulama menyatakan :

1. Penelitian tentang syudzȗ dz dan „illat hadits hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mendalam pengetahuan hadis mereka dan telah terbiasa melakukan penelitian hadis. 2. Penelitian terhadap syudzȗ dz hadits lebih sulit daripada penelitian terhadap „illat hadȋ ts.62

5. Terhindar dari ‘Illat (cacat)

„Illat menurut istilah ilmu hadis sebagaimana yang terdapat dalam kitab “Taisȋ r Mustalȃ h al-Hadȋ ts”Mahmȗ d Tahan menyebutkan :

ثنعهز عذخ غجيط خفٚ ٙمذح فٗ صذز ثنذذٚظ يع أٌ ثنّظجْش ثنغاليز يُٓج

„Illat ialah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadȋ ts. Keberadaannya menyebabkan hadȋ ts yang pada lahirnya tampak berkualitas sahȋ h menjadi tidak sahȋ h.

62Jalȃ luddin „Abdurrahmȃ n bin Abī Bakr as Suyuti, Tadrȋ b ar Rawi fi Syarh Taqrȋ b an Nawawi, (Beirut: Dar Ihya as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1979 M), Juz I, h 233. 41

Adapun cara meneliti „illat suatu hadȋ ts adalah dengan cara membanding- bandingkan semua sanȃ d yang ada untuk matan yang isinya semakna. Ibnal- Madȋ ni (w.234 H / 849 M) dan al-Khȃ tib al-Baghdȃ di (w. 463 H / 1072 M) memberi petunjuk bahwa untuk meneliti „illat hadȋ ts adalah dengan langkah- langkah :

1. Seluruh sanȃ d hadȋ ts yang matannya semakna dihimpunkan dan diteliti, bila hadȋ ts yang bersangkutan memang memiliki muttabī‟ ataupun syȃ hid. 2. Seluruh periwayat dalam berbagai sanȃ d diteliti berdasarkan kritik yang telah dikemukakan oleh para ahli kritik hadȋ ts.

Menurut penjelasan ulama ahli kritik hadȋ ts, „illat hadȋ ts umumnya ditemukan pada :

1. Sanad yang tampak muttasil (bersambung) dan marfu‟ (bersandar kepada Nabi), tetapi kenyataanya mauqȗ f (bersandar kepada sahabat Nabi) walaupun sanadnya dalam keadaan muttasil (bersambung). 2. Sanad yang tampak muttasil dan marfu‟ tetapi kenyataanya mursal (bersandar kepada tabȋ ‟i), walapun sanadnya muttasil. 3. Dalam hadis itu telah terjadi kerancuan karena bercampur dengan hadis lain. 4. Dalam sanȃ d hadȋ ts itu terdapat kekeliruan penyebutan nama periwayat yang memiliki kemiripan atau kesamaan dengan periwayat lain yang kualitasnya berbeda.

Dalam kegiatan kritik sanȃ d, beberapa massalah sering di hadapi oleh peneliti hadis, misalnya :

1. Adanya periwayat yang tidak disepakati kualitasnya oleh para kritikus hadis 2. Adanya sanȃ d yang mengandung lambang-lambang `anna, `an, dan yang semacamnya. 42

3. Adanya matan hadȋ ts yang memiliki banyak sanȃ d, tetapi semuanya lemah (da‟ȋ f).63

6. Jarh wa Ta’dȋ l untuk mengetahui nilai pribadi perawi

Al- Jarh menurut bahasa artinya melukai, sedangkan menurut istilah dalam ilmu hadits al-Jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk dibidang hafalannya dan kecermatannya, yang keadaan itu menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut. 64

Al--Ta`dȋ l artinya menurut bahasa adalah masdar dari kata `adala, yakni mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu hadis al-Ta`dȋ l berarti mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima.

Berikut ini akan dikemukakan sebagian dari teori-teori yang telah dikemukakan oleh ulama-ulama ahli al-jarh wa ta`dȋ l berkenaan dengan penelitian para periwayat hadis.

.(al-Ta`dȋ l didahulukan atas al-Jarh) ثنضعذٚم يمذو عهٗ ثنجشح .A Maksudnya adalah jika seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, jadi yang dipilih adalah kritikan yang berisi pujian.

Alasannya adalah sifat dasar periwayat hadȋ ts adalah terpuji sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian. Karenanya bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang kemudian maka yang harus dimenangkan adalah sifat dasarnya. Pendukung teori ini adalah An-Nasā‟i (w. 303 H / 915 M),

Pada umumnya ulama hadits tidak menerima teori tersebut karena kritikus yang memuji tidak mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat yang

63Yunahar Ilyas dkk,Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadits, (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta: LPPI, 1996),Cet. 1, hlm 10-11. 64Muhammad „Ajjaj al-Khatib, Usȗ l al-Hadȋ ts, h 260. 43

dinilainya, sedangkan kritikus yang mengemukakan celaan adalah kritikus yang telah mengetahui ketercelaan periwayat yang dinilainya. 65

.(al-Jarh didahulukan atas al-Ta`dȋ l) ثنجشح يمذو عهٗ ثنضعذٚم .B Maksudnya adalah jika kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus yang lainnya, maka yang didahulukan dan yang dipilih adalah kritikan yang berisi celaan.

Alasannya ialah:

1. Kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya itu. 2. Yang menjadi dasar untuk memuji seseorang periwayat adalah persangkaan baik dari pribadi kritikus hadits dan prasangka baik itu harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan.

Kalangan ulama hadis, ulama fiqih dan ulama ushul fiqih banyak yang menganut teori tersebut. Dalam pada itu, banyak pula ulama kritikus hadits yang menuntut pembuktian atau penjelasan yang menjadi latar belakang atas ketercelaan yang dikemukakan terhadap periwayat tersebut.

Ustadz ‟Abd al-Qadir Hasan dalam bukunya ‟Ilmu Mustalȃ h al-Hadȋ ts halaman 468 menerangkan kaidah ini dengan gamblang,: “Apabīla seorang rawi dipuji oleh seseorang (Abȗ Ahmad: Ta`dȋ l), tetapi ada juga yang mencacat dia atau menunjukkan celaannya (Abū Ahmad: Jarh), maka yang dipakai ialah celaan orang itu, jika celaannya beralasan (Abū Ahmad: Jarh Mufassar).

Contohnya seperti: Ibrahȋ m bin Abȋ Yahya Abȗ Ishȃ q. Imam Syafȋ ‟i dan Ibn al-Bahȃ ni menganggap dia sebagai seorang kepercayaan. Tetapi berkata Ibn Hibbȃ n: “Adalah ia berpendirian Qadȃ riyah, dan bermadzhab kepada omongan Jahmiyah, tambahan pula ia pernah berdusta dalam urusan hadis” Syafȋ ‟i dan Ibn al-Asbahȃ ni memuji dia, sedang Ibn Hibbȃ n menunjukkan celanya. Jadi yang dipakai disini adalah omongan Ibnu Hibbȃ n”

65M. Syuhudi Isma‟īl, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, , h 78. 44

إرث صعجسض ثنججسح ٔثنًعذل فجنذكى نهًعذل إال إرث عذش ثنجشح ثنًفغش .1 (Apabīla terjadi pertentangan antara kritikan yang mencela dan yang memuji, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabīla kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab- sebabnya).

Alasannya adalah kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama.

Pendukung teori ini adalah jumhur ulama ahli kritik hadȋ ts. Sebagian dari mereka ada yang menyatakan bahwa :

1. Penjelasan ketercelaan yang dikemukakan itu haruslah relevan dengan upaya penelitian. 2. Bila kritikus yang memuji telah mengetahui juga sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya itu dan dia memandang sebab-sebab ketercelaannya itu memang tidak relevan ataupun telah tidak ada lagi, maka kritikan yang memuji itu yang harus dipilih.66

Dari keterangan diatas jelaslah bahwa jika ada sekelompok ulama ahlus sunnah memuji/menta‟dil seseorang namun ada ulama ahlu sunnah yang mencela/menjarh orang itu maka kita lebih mendahulukan jarh tersebut jika jarh itu beralasan. Namun jika jarh tidak beralasan atau tidak dijelaskan sebab sebab jarh maka ta‟dil lebih diutamakan.

Apabīla kritikus yang) إرث كجٌ ثنججسح ظعٛفج فال ٚمذم جشدّ نهغمز .1 mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong da‟ȋ f, maka kritikannya terhadap orang yang tsiqah tidak diterima). Maksudnya ialah apabīla yang mengkritik adalah orang yang tidak tsiqah, sedangkan yang dikritik adalah orang yang tsiqah,maka kritikan orang yang tidak tsiqah tersebut harus ditolak.

66M. Syuhudi Isma‟īl, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, h 79. 45

Alasannya adalah karena orang yang bersifat tsiqah dikenal lebih berhati- hati dan lebih cermat daripada orang yang bersifat tidak tsiqah. Pendukung teori ini adalah jumhur ulama ahli kritik hadis.67

Al-Jarh tidak) الٚمذم ثنجشح ثال ثنضغذش خشٛز ثالشذجِ فٗ ثنًجشٔدٍٛ .1 diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti dengan cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya). Maksudnya ialah apabīla nama periwayat memiliki kesamaan ataupun kemiripan dengan nama periwayat lain lalu salah seorang periwayat itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut.

Alasannya adalah suatu kritikan harus jelas sasarannya. Dalam mengkritik pribadi seseorang maka orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari keragu-raguan atau kekacauan. Pendukung teori ini adalah jumhur ulama ahli kritik hadis.

Al-Jarh yang dikemukakan) ثنجشح ثنُجشب عٍ عذٔثر دَٕٚٛز ال ٚعضذدّ .1 oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan).

Alasannya adalah pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlaku tidak jujur karena didorong oleh rasa kebencian.68

67M. Syuhudi Isma‟īl, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, h. 80. 68M. Syuhudi Isma‟īl, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, h 79.

BAB III

BIOGRAFI PROF. KH ALI MUSTAFA YAQUB MA DAN PROFIL BUKU HAJI PENGABDI SETAN

A. Riwayat Hidup

Nama Lengkap beliau Ali Mustafa Yaqub. Lahir di Desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, pada tanggal 2 Maret 1952. Ayahanda, Yaqub, Seorang dai terkemuka dan imam di masjid-masjid Jawa Tengah; Ibunda, Zulaikha, Seorang ustadzah sekaligus ibu rumah tangga. Oleh sebab itu, sejak kecil kiai Mustafa sudah hidup dalam suasana religius yang kenal bersama tujuh orang saudaranya,.

Meskipun hidup dalam keluarga yang kaya atau berkecukupan, kiai Mustofa tetap dididik hidup sederhana, anti foya-foya, mandiri dan taat agama. Akhlak terpuji tersebut selalu diterapkan sepanjang hayat, sehingga membuat kiai Mustafa menjadi sosok sangat menginspirasi para muridnya, Sikap tegas dan disiplin selalu beliau ajarkan dalam pertemuan pembelajaran tanpa henti, dengan harapan semua muridnya menjadi ulama besar di dunia, bahkan mampu melampaui beliau. Sikap tegas dan disiplin juga tampak ketika beliau berusia muda, Kiai Mustafa rela mengetuk pintu kamar para kamar muridnya setiap pukul 03:30 WIB untuk membangunkan mereka agar melaksanakan shalat malam.

Kiai Mustafa beserta keluarga tinggal di Jl. SD Inpres No. 11, RT 2, RW 9, Pisangan Barat, Ciputat, Kota Tangerang Selatan; yang berada diarea Darus- Sunnah International for Hadith Sciences yang beliau dirikan pada tahun 1997.

Kiai Mustafa wafat pada hari kamis, 28 April 2016, pukul 06.30 WIB, di Rumah Sakit Hermina, Ciputat, dalam usia 64 tahun, Beliau wafat dengan meninggalkan seorang istri dan seorang anak.1

1M. Faisal Fatawi, Manaqib Ulama Nusantara Sejarah Hidup dan Mata Air Keteladanan, (Yogyakarta: Penerbit Dialektika,2017) Cet 1, h.293.

46 47

a. Jejak Akademik dan Non- Akademik

Jejak akademik kiai Mustafa dimuulai dengan menempuh studi tingkat dasar di SD dan SMP yang berlokasi didesa tempat tinggalnya.

Setelah tamat SMP, kiai Mustafa mondok di Pondok Seblak Jombang (1966-1969). Kemudian beliau mondok di Pesantren Tebuireng ( 1966-1972). kiai Mustafa Melanjutkan studi sarjana pada Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy‟ȃ ri Jombang (1972-1975). Di Pesantren Tebuireng, kiai Mustafa juga menekuni kitab-kitab kuning di bawah asuhan para kiai sepuh, antara lain : KH. Idris Kamȃ li, KH. Adlan Ali, KH. Sabari, dan KH. Syansuri badȃ wi. Beliau juga sempat dipercaya mengajar Bahasa Arab Sampe awal 1976.

Selanjutnya kiai Mustafa melanjutkan studi ke mancanegara dengan berkuliah di Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad ibnu Saud, Riyadh, Saudi Arabia (1976-1980) dan meraih gelar License (LC). Kemudian beliau melanjutkan jenjang Megister di Universitas King Saud dengan Konsentrasi Tafsir Hadis (1976-1980). Pada peiode ini, kiai Mustafa bertemu dan menimba ilmu dari dosen beliau yang merupakan pakar al-Qur‟ân dan Hadis kaliber internasional, yaitu Muhammad Mustafa al-A‟zami. Bahkan kiai Mustafa menjalin hubungan yang begitu akrab, sehingga diizinkan menerjemahkan buku al-A‟zami tentang sejarah Teks al-Qur‟ân ke dalam bahasa Indonesia. Setelah itu, kiai Mustafa menyelesaikan studi doktor di Universitas Nizamia, Hyderabad, India, dengan Konsentrasi Hukum Islam (2005-2008).

b. Jenjang Karir Organisasi

Di bidang organisasi, karir kiai Mustafa meliputi : anggota komisi fatwa MUI pusat (1987); sekjen pimpinan pusat ittihadul muballighin (1990-1996); ketua dewan pakar, merangkap ketua dewan luar negeri Ittihadul Muballighin (1996- 2000); anggota delegasi MUI untuk memantau pemotongan hewan di Amerika (2000); anggota delegasi Departemen Agama untuk studi banding tentang cara menjaga kelestarian al-Qur‟ân, di Iran, Mesir, Saudi Arabia dan Turki (2005- 48

2006)2; ketua umum perhimpunan pelajar Indonesia (PPI) Riyadh; wakil ketua komisi fatwa MUI pusat sejak (2005); anggota lajnah pentashih al-Qur‟an DEPAGRI (2005); ketua delegasi MUI untuk memantau pemotongan hewan di Kanada (2007); ketua Lembaga Pengkajian Hadis Indonesia (LepHI); anggota dewan syari‟ah majlis al-Dzikra; anggota dewan syari‟ah Bank Bukopin Syari‟ah; wakil ketua komisi fatwa MUI pusat (2005-2010); wakil ketua dewan syari‟ah nasional (DSN) majlis ulama indonesia (MUI) (1997-2010); rais syuriah PBNU bidang fatwa (2010); dan penasehat Syariah Halal Transactions og OmahaAmerika Serikat (2010).

Di bidang pendidikan, Kiai Mustafa menjadi tenaga pendidik disejumlah perguruan tinggi berikut: Institut Ilmu al-Qur‟an (IIQ) Jakarta (1985); Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur‟an (PTIQ) Jakarta (1987-1988); Institt Agama Islam Shalahuddin al-Ayyubi (INNISA) Bekasi (1989-1990); Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2012). Beliau dipercaya menjadi ketua Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamdiyah Jakarta (1995-1997) dan pengasuh Pesantren al-Hamdiyah Depok (1995-1997).

Di bidang dakwah , Kiai Mustafa aktif menjadi narasumber di berbagai dakwah lisan maupun tulisan, pengajian di Masjid Agung Sunda kelapa; Pengajian di Masjid Agung at-Tin; pengajian di Masjid Raya Pondok indah; Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI; Imam Besar Masjid Istiqlal (2005) serta menjadi Kolumnis Pelita dan Majalah Amanah Jakarta.

c. Jejak Prestasi dan Legacy

Jejak akademik Kiai Mustafa yang luar biasa, Terutama di bidang Hadis,akhirnya berubah penobatan Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis dari Institut Ilmu-ilmu al-Qur‟ân (IIQ) Jakarta pada tahun 1998, sehingga beliau berhak menyandang gelar profesor. Bahkan Kiai Mustafa merupakan profesor pertama dalam bidang Hadis di Indonesia.

2M. Faisal Fatawi, Manaqib Ulama Nusantara Sejarah Hidup dan Mata Air Keteladanan, , h.294. 49

Kiai Mustafa meninggalkan warisan sejumlah lembaga pendidikan. Antara lain: pendiri Pondok Pesantren Darussalam (1989) di Desa Kemiri (desa kelahiran beliau) yang kemudian diasuh oleh kakak beliau sendiri, KH Ahmad Dahlan Nuri Yaqub; pendiri Madrasah Darus-Sunnah, setingkat SMP dan SMA (2014); pendiri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciencens di Indonesia dan (1997).3

d. Karya-Karya Prof. Ali Mustafa Yaqub

Kiai Mustafa juga aktif menghasilkan karya tulis, terutama terkait al-Qur‟ân dan Hadis yang merupakan spesialisasi beliau. Berikut ini karya-karya kiai Mustafa pada periode tahun 1986-2015;

1. Memahami Hakikat Hukum Islam (1986) 2. Nasihat Nabi kepada para Pembaca dan Penghafal al-Qur‟ân (1990) 3. Imam al-Bukhori dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis (1991) 4. Hadȋ ts Nabâwi dan Sejarah Kodifikasinya (1994) 5. Kritik Hadis (1995) 6. Sejarah dan Metode Dakwah Kerukunan Umat dalam Perspektif al- Qur‟ân dan Hadis (2000) 7. Aqidah Imam Empat, Abȗ Hanȋ fah, Mâlik, Syafi‟ȋ , dan Ahmad (2001) 8. Fatwa-fatwa Kontemporer (2002) 9. MM Azami Pembela Eksistensi Hadis (2002) 10. Hadis-hadis Bermasalah (2003) 11. Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003) 12. Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Qur‟ân dan Hadȋ s (2005) 13. Imam Perempuan (2006) 14. Haji Pengabdi Setan (2006) 15. Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007) 16. Toleransi antar Umat Beragama (2008) 17. Islam di Amerika (2009)

3M. Faisal Fatawi, Manaqib Ulama Nusantara Sejarah Hidup dan Mata Air Keteladanan, , h. 295. 50

18. Kriteria Halal Haram untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika dalam Perspektif al-Qur‟an dan Hadis (2009) 19. Islam Between War and Piece (2009) 20. Kidung Bilik Pesantren (2009) 21. Kiblat antara Bangunan dan Arah Ka‟bah (2010) 22. 25 Menit Bersama Obama (2010) 23. Kiblat menurut al-Qur‟ân dan Hadis; Kritik atas Fatwa MUI No /2010 (2011). 24. Ramadhan Bersama Ali Mustafa Yaqub (2011) 25. Makan Tak Pernah Kenyang (2012) 26. Ijtihad, Terorisme, dan Liberalisme (2012) 27. Panduan Amar Makruf Nahi Munkar (2012) 28. Isbat Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah Menurut al-Kitab dan Sunnah (2013) 29. Menghafal al-Qur‟ân di Amerika Serikat (2014) 30. Cara Temu Wahabi-NU (2015) Adapun Karya beliau yang ditulis dalam bahasa arab antara lain : 1. Ma‟ayir al-Halal wa al-Haram(2010) 2. Al-Itsbat Ramadân wa Syawwȃ l DzilHijjah „ala Dau‟ al-Kitâb wa al- Sunnah (2013) 3. Al-Turȗ q al-Sahȋ hah fi Fahm al-Sunnah al-Nabâwiyyah (2014) 4. Al-Wahhâbiyah waal-Nahdat al-‟Ulamâ‟ : Ittifȃ q fi al-Ushȗ l la Ikhtilâf (2015)4

B. Profil Buku Haji Pengabdi Setan

1. Latar Belakang Penulisan Menurut Nurul Huda Maarif. Darah Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub MA, adalah darah penulis, kendati tidak dilahirkan dari keluarga penulis. Alih-alih menulis, bahkan ayah bundanya hanya mampu membaca penulisan arab dan tak

4M. Faisal Fatawi, Manaqib Ulama Nusantara Sejarah Hidup dan Mata Air Keteladanan, h .296. 51

mampu membaca huruf latin sama sekali. Inilah kenyataan yang bertolak belakang antara beliau dengan ayah bundanya. Tapi itulah kehendak Allah Swt. Inna Allah ‟ala kulli syai„in qadȋ r. Wa mȃ syi„ta kȃ na in lam asyȃ „/wa ma syi„ta in lam tasyȃ „ lam yakun. Dan profesor Hadis dan Ilmu Hadis Institute Ilmu al-Qur‟ȃ n (IIQ) Jakarta yang oleh kawan-kawan dan maha santrinya akrab di sapa kiai Duladi, karena karya fiksinya Pengajian Ramadhan kiai Duladi(Pustaka Firdaus 2003), ini merupakan kehendak Allah Swt yang tak terduga itu, disamping beliau sendiri menempuh ikhtiar kearah sana tentunya. Ayah zia al-Harȃ main yang juga pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Jakarta ini, Selain dikehendakinya piawai menyampaikan ajaran agama melalui mimbar (lisan), juga melalui lembar (tulisan). Ini menjadi kelengkapannya. Tercatat, sedikitnya 20 buah buku telah dihasilkannya dalam rentan waktu 1986-2006,baik berupa terjemahan maupun karya pribadi. Waktu ykat melahirkan yang relative singkat melahirkan sedret karya itu. Dan buku berjudul „provokatif‟ yang sedang anda nikmati ini, Haji Pengabdi Setan, menjadi salah satu koleksi karyanya, sekaligus akan kian mengkukuhkan predikatnya sebagai kiai yang penulis-penulis yang kiat. Bahkan ditengah proses penerbitan buku ini, beliau telah rampung menyusun buku lain yang sangat penting, Imam Perempuan, dan telah diterbitkan sebelum buku ini terbit. Sungguh, keuletan yang patut diteladani. Buku ditangan anda ini adaalah „bunga rampai‟, Kumpulan artikel beliau tercecer dalam berbagai waktu dan kesempatan. Sebagai kumpulan artikel, ada beberapa kelemahan yang akan anda jumpai didalamnya. Misalnya. pertama, buku initidak mencerminkan pemikiran yang utuh tentang sebuah persoalan. Ini nyata-nyata berbeda dengan buku yang ditulis secara khusus dan utuh untuk mengupas sebuah isu tertentu. Kedua, sifatnya yang kumpulan artikel memungkinkannya menampilkan pembahasan dan atau informasi yang sama dalam beberapa kesempatan. Karenanya, acap kali dilakukan siasat penggabungan antara beberapa artikel yang membincang tema serupa. 52

Ketiga, tidak semua artikel dilengkapi catatan kaki atau catatan akhir, sehingga mengesankan buku ini jauh dari nilai akademis, kendati secara substantive ilmiah. Keempat, judul yang dipilih tidak mampu merangkum kekseluruhan isi buku. Ujungnya, judul dipilih yang „paling provokatif, tak lain, karena strategi pasar. Tapi, itulah sejatinya kesulitan dasar menen tukan judul bagi bunga rampai. Namun demikian, dibalik tumpukan kelemahan itu, kita tak menafikan kelebihan-kelebihan yang ada. Misalnya, kendati secara akademis penulisnya berlatar keilmuan Hadis-Hadis, buku ini menunjukan konsen yang tidak hanya pada satu, melainkan banyak isu. Dari persoalan aqidah hingga ibadah dan mu‟amalah. Dari ritual hingga sosial. Dari ilmu Hadis hingga wisata. Termasuk juga persoalan ekonomi syariah, tafsir, dan sebagainya, tak luput dari sorotannya. Ini menjadi sisi lain yang patut dilihat dari pribadi Imam Besar Masjid Istiqlal dan pengajar tetap di bidang hadis Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta ini. Inilah sosok muslim interdisipliner yang kritis terhadap banyak persoalan.

2. Sistematika Penulisanan Adapun sistematika penulisan sebagai berikut: Daftar Isi, Pengantar Editor. BAB I : Aqidah, Haji Pengabdi Setan, Tarekat dalam Perspektif islam, Pluralisme dalam Pandangan Islam, Legitimasi Politik Ahli Kubur, Imam Mahdi dan Gerhana: Perspektif Hadis, Membusukkan Ajaran Agama, Menanggulangi Faham Radikal Islam, Ada Setan di Jamrah Mina, Sunnah Sebagai Penangkal Paham Global. BAB II: Ibadah, Membongkar Kepalsuan Kisah Yusuf-Zulaikha, Mencegah Tragedi Mina, Invaliditas Imam Perempuan, al-Qur‟an dan Aktualisasi Kitab Samawi, Metode Hisab Rukyat dan Kesatuan Internal Umat, Idul Fitri an Formalisme Agama, Idul Adha: Membunuh Kepentingan Pribadi, Hukum dan Etika Khutbah. BAB III: Muamalah, Peran Bahasa Arab dalam Memahami al- Qur‟an dan Hadis, Metode Pembinaan Rohani, Cara Benar Memahami Hadis, Geger Fatwa Ulama, Kajian Hadis Dikalangan Orientalis, Kreteria Bisnis dan Bankir Syariah, Otentisitas dan Otoritas Hadis: Perspektif Ulama dan Sarjana Barat, Wisata Dan Maksiat, Menegakkan Supremasi Hukum, Plus-Minus Belajar di Kairo, Pelik-Pelik Akad Asuransi Syariah, Budaya Arab dan Hadis Nabawi, 53

Pornografi dalam Pandangan Islam. Khatimah, Maraji, Karya Tulis Ali Mustafa Yaqub.

3. Haji Pengabdi Setan perspektif Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub.

Ibadah haji 1426 H, usai sudah. Jemaah haji Indonesia mulai pulang ke tanah air. Bila mereka ditanya, apakah anda ingin kembali ke Makkah ? Hampir seluruhnya menjawab, ingin. Hanya segelintir yang menjawab, “ saya ingin beribadah haji sekali saja, seperti nabi Muhammad Saw.”

Jawaban itu menunjukan antusiasme umat islam Indonesia untuk beribadah haji. Sekilas, jawaban itu menunjukkan nilai positif. Karena beribadah haji berkali-kali dianggap sebagai barometer ketakwaan dan ketebalan kantong.

Tapi dari kacamata agama, itu tidak selamanya positif.

Kendati ibadah haji telah ada sejak masa Nabi Ibrahim, namun bagi umat islam, ia baru diwajibkan pada 6 H. Walau begitu, nabi Muhammad Saw dan para sahabat belum dapat menjalankan ibadah haji, karena saat itu Makkah masih ikuasai kaum muasyrik. Setelah nabi Muhammad Saw menguasai Makkah (Fath

Makkah) pada 12 Ramadhan 8 H, sejak itu beliau berkesempatan beribadah haji.

Tapi nabi Muhammad Saw tidak beribadah haji pada 8 H itu. Juga tidak pada 9 H. pada 10 H, Nabi Muhammad Saw baru menjalankan ibadah haji. Beliau disebut haji wada‟ (haji perpisahan). Itu artinya, nabi Muhammad Saw berkesempatan beribadah haji wada‟ (haji perpisahan). Itu artinya, nabi

Muhammad Saw berkesempatan beribadah haji tiga kali, namun beliau menjalaninya hanya sekali. Nabi Muhammad Saw juga berkesempatan beribadah umrah ribuan, namun beliau hanya melakukan umrah sunnah tiga kali dan umrah 54

wajib. Mengapa beliau hanya beribadah umrah sunnah tiga kali, padahal berkesempatan ribuan kali.?

Sekiranya haji dan atau umrah berkali-kali itu baik, tentu nabi Muhammad

Saw adalah memberi uswah (teladan) bagi umatnya. Selama tiga kali Ramadhan, nabi Muhammad Saw juga tidak pernah mondar-mandir menggiring jamaah umrah dari Madinah ke Makkah.

Dalam islam, ada dua kategori ibadah: pertama: „ibadah qashirah (ibadah individual) yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya, kedua: „ibadah muta‟addiyah (ibadah sosial) yang manfaatnya dirasakan pelakunya dan orang lain. Ibadah haji dan umrah termasuk ibadah qashirah. Karenanya, ketika pada saat bersamaan terdapat ibadah qashirah, melainkan memilih „ibadah muta‟addiyah.5

Menyantuni anak yatim, yang termasuk ibadah muta‟addiyah misalnya, oleh nabi Muhammad Saw penyantunnya dijanjikan surga, malah kelak hidup berdampingan bersama beliau. Sementara haji mabrur, nabi Muhammad Saw hanya menjanjikan surga, tanpa janji beerdampingan bersama beliau. Ini bukti ibadah sosial lebih utama ketimbang ibadah individual.

Di Madinah banyak mahasiswa belajar pada nabi Muhammad Saw mereka tinggal shuffah masjid nabawi dan berjumlah ratusan. Mereka yang disebut ahlu al-Shuffȃ h itu, adalah Mahasiwa nabi Muhammad Saw yang tidak memiliki apa- apa kecuali dirinya sendiri, seperti Abȗ Hurairȃ h. Bersama para sahabat nabi

Muhammad Saw menanggung makan mereka, ibadah muta‟addiyah seperti ini yang diteladankan beliau, bukan pergi haji berkali-kali atau menggiring

5Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2015), h. 4. 55

jamȃ ‟ahumrah tiap bulan. Karenanya para ulama dari kalangan tabi‟in seperti

Muhammad ibn Sirin, Ibrahȋ m al-Nakhȃ ‟i, dan Mȃ lik ibn „Anas berpendapat beribadah umrah setahun dua kali hukumnya makrȗ h (tidak disukai), karena nabi

Muhammad Saw dan ulma salaf tidak pernah melakukannya.

Dalam hadis qudsi riwayat imam Muslim ditegaskan, Allah Swt dapat ditemui disisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang yang menerita. Nabi Muhammad Saw tidak menyatakan Allah Swt dapat ditemui di sisi

Ka‟bah. Jadi Allah Swt berada disisi orang lemah dan menderita. Dengan kata lain, Allah Swt dapat ditemui melalui ibadah sosial, bukan ibadah individual.

Kaidah fiqih menyebutkan, al-Muta‟addiyah afdȃ l min al-qashȋ rah (ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual).6

Jumlah jama‟ah haji Indonesia yang tiap tahun diatas dua ratus ribu, sekilas menggembirakan. Namun bila ditelaah lebih jauh, kenyataan itu justru memperhatinkan, karena sebagian dari jumlah itu sudah beribadah haji berkali- kali. Boleh jadi kepergian mereka yang berkali-kali itu bukan lagi sunnah, melainkan makrȗ h, bahkan harȃ m.

Ketika banyak anak yatim terlantar, puluhan ribu orang menjadi tuna wisma akibat bencana alam, banyak wanita busung lapar, banyak rumah Allah

Swt yang roboh, banyak orang yang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak makan nasi aking, dan banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai, lalu kita pergi haji yang kedua kali atau ketiga kalinya, maka kita patut bertanya kepada pada diri sendiri, apakah haji kita itu karena melaksnakan perintah Allah

Swt ?. ayat mana yang menyuuruh kita melaksanakan ibadah haji berkali-kali,

6Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan, h..5.

56

sementara kewajiban agama masih segudang didepan kita ?. apakah haji kita itu mengikuti nabi Muhammad Saw ?. kapan nabi Muhammad memberi tauladan atau perintah seperti itu ?, atau sejatinya kita mengikuti bisikan setan melalui hawa nafsu, agar dimata orang awam kita disebut orang luhur disisi Allah Swt ?. apakah motivasi ini mendorong kita, maka berarti kita beribadah haji bukan karena Allah Swt, melainkan menurut perintah setan.7

4. Perspektif Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub dalam sunnah sebagai

penangkal faham global

Dalam hadis al-Hȃ kim dari Abȗ Hurairȃ h, nabi Muhammad Saw bersabda:

صَشَكْشُ فِْٛكُىْ شَْٛتٍَِْٛ نٍَْ صَعِهُْٕثدَعْذًََُْج كِضَجحَ ثهللِ َٔعَُُضِْٙ َٔنٍَْ َٚضَفَشَلَج دَضَٗ َٚشِدَث عَهَٗ ثنْذَْٕضِ )سٔثِ ثنذجكى(

“ Aku tinggalkan kalian dua pedoman, kalian tidak akan tersesat selama berpegang dengan keduanya, yaitu kitabullah (al-Qur‟ȃ n) dan sunnahku. Keduanya tidak akan berpisah hingga sampai ke telaga (hari kiamat) (HR. al- Hȃ kim).8

Hadis ini dengan jelas menyatakan, umat islam tidak akan mengalami kesesatan selama mereka menjadikan al-Qur‟ȃ n dan sunnah sebagai pegangan hidup. Hadis ini juga sekaligus mengandung perintah kepada umat islam untuk selalu berpegang teguh kepada al-Qur‟ȃ n dan sunnah. Disamping itu, hadis ini juga menyiratkan kesan, suatu saat umat islam akan meninggalkan al-Qur‟ȃ n dan sunnah, kendati mereka masih dinamakan muslim. Hadis ini juga menyebutkan hingga hari kiamat.meninggalkan al-Qur‟ȃ n dan sunnah seperti diprediksikan dalam hadis diatas, dapat berwujud dua sikap. Pertama, tidak mau menggunakan al-Qur‟ȃ n dan sunnah sebagai pedoman hidup. Kedua, al-Qur‟ȃ n dan sunnah tetap dijadikan peoman hidup, tapi dengan pemahaman dan penafsiran yang

7 Prof.KH.Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan, h. 6.

8Prof.KH.Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan, h. 50.

57

bertentangan dengan ajaran islam secara umum, baik yang terdapat dalam al- Qur‟ȃ n maupun sunnah. penafsiran model ini biasanya lebih mengedepankan ra‟y (rasionalitas) dan selera penafsir, dengan tanpa memperhatikan ajaran islam secara umum. Karenanya, penafsiran ini dianggap salah yang oleh nabi Muhammad Saw pelakunya diancam neraka. Nabi Muhammad Saw bersabda: يٍَْ لَجلَ فِٙكِضَجحِ ثهللِ عَضَ َٔ جَمَ دَشَأَْٚزِ فَجَصَجحَ فَمَذْ أَخؽَْؤَ )سٔثِ أدٕدثٔد عٍ جُذح دٍ عذذثهلل ( “Siapa yang berkata tentang kitabullah dengan ra„yunya, kemudian ia tepat ( dalam menafsirkan ), maka sesungguhnya ia telah keliru.”( HR.Abu Dawud dari Jundub bin ‟Abdillah )9

Dalam hadis yang diriwayatkan al-Tirmȋ dzi dalam sunan al- Tirmȋ dzidari ibn ‟Abbȃ s ra, nabi Muhammad Saw bersabda: َٔ يٍَْ لَجلَ فِٙ ثنْمُشْآٌِ دِشَأِِّْٚ فَهَْٛضَذََٕ يَمْعَذَُِ يٍَِ ثنَُج سِ ) سٔثِ ثنضش يٛز٘ ( “Siapa yang menafsirkan al-Qur‟ȃ n dengan ra„yunya, maka hendaknya ia menempati tempatnya dineraka.” ( HR al-Tirmidzi )10

Pada hadis diatas pak kyai Mustafa mengatakan bahwa penafsiran al- Qur‟ȃ n dengan ra‟y yang masuk dalam ancaman siksa neraka adalah apa yang dilakukan sekelompok orang yang manamakan diri penganut faham islam liberal dan paham pluralisme agamanya. Secara kebahasaan, pluralisme terambil dari kata „plural‟ yang bermakna majemuk. Menurut istilah, pluralisme adalah faham yang mengajarkan relatifitas kebenaran setiap agama karena kebenaran mutlak hanya milik tuhan. Berangkat dari prinsip ini, pluralisme mengajarkan bahwa tiap agama tidak boleh diklaim sebagai satu-satunya kebenaran, sebagaimana tiap pemeluk agama juga tidak boleh mengklaim hanya dirinya yang masuk surga. Sebaliknya menurut faham ini, tiap agama memiliki kebenaran sehingga tiap pemeluk agama berhak tinggal disurga bersatu dengan pemeluk agama lain.11

9Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, Dar al-Fikr, Beriut, Juz III hlm 320 lihat dalam buku Prof.KH.Ali Mustafa Ya‟kub,MA, Haji Pengabdi Setan, h. 51. 10Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Dar ihya‟ al-Turats al-Arabi, Beirut, Juz V hlm 199. lihat dalam buku Prof.KH.Ali Mustafa Ya‟kub,MA, Haji Pengabdi Setan, h. 51. 11Prof.KH.Ali Mustafa Ya‟kub,MA, Haji Pengabdi Setan, h.52. 58

Karenanya, kelompok penganut paham ini gemar mengusung ayat al- Qur‟ȃ n yang menurut pemahaman dalam penafsiran mereka mendukung klaim itu. Misalnya, Qs. al-Baqarah ayat 62: ثٌَِّ ثنَّزٍَِٚ آيَُُٕث َٔثنَّزٍَِٚ َْجدُٔث َٔثنَُّصَجسَٰٖ َٔثنصَّجدِتٍَِٛ يٍَْ آيٍََ دِجنهَّـِّ َٔثنَْْٕٛوِ ثنْآخِشِ َٔعًَِمَ صَجنِذًج فَهَُٓىْ أَجْشُُْىْ عُِذَ سَدِِّٓىْ َٔنَج خَْٕفٌ عَهَِْٛٓىْ َٔنَج ُْىْ َٚذْضٌَََُٕ

“sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yahudi, orang- orang nasrani, dan golongan sȃ bi‟ȋ n, siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebaikan, mereka mendapat pahala dari tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah).

Menurut kelompok pluralis-liberalis, ayat ini mendukung dan membenarkn faham pluralisme yang menyatakan semua umat beraga, baik islam, yahudi, nashrani, dan sȃ bi‟ȋ n (penyembah binatang), akan masuk surga dan tidak perlu khawatir apalagi takut masuk neraka.

BAB IV KRITIK SANAD HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN BIL RA„Y DAN TELA’AH MATAN HADIS

Sebelum penulis melakukan penelitian terhadap sanadhadis, penulis terlebih dahulu akan melakukan takhrij hadissebagai bagian dari kegiatan penelitian hadis. Kaidah dan metodenya adalah suatu yang penting bagi orang yang mempelajari ilmu-ilmu syariat agar mampu melacak suatu hadis sampai pada sumber aslinya.1 Dalam melakukan kegiatan penelusuran hadis ini penulis menggunakan tiga metode, yang ke-1 dengan metode melaluikata-kata, jika dengan menggunakan metode yang pertama tidak dapat menemukan data yang dicapai maka penulis menggunakan metode yang ke-2, yaitu melalui awal matan dan begitu pula apabila dengan menggunakan metode yang kedua masih tidak dapat menemukan data yang dicari maka penulis menggunakan metode yang ke-3, yaitu melalui tema hadis dengan menggunakan tiga dan apabila dengan metode yang ketiga tidak menemukan data yang dicari maka penulis menggunakan metode yang ke-4, yaitu melalui sahabat. kitab kamus hadis sebagai rujukan untuk penelusuran sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yaitu: kitab al-Muʻ jam al- Mufahras li Al-fâdz al-Hadīts al-Nabawwi karya A.J. Wensinck, kitab Mausȗ ʻ aḥ al-Atrâf al Hadȋ ts al-Nabawwī al-Syarȋ f karya Abū Hajar Muhammad al-Sâ‟idi, Jâmi‟ al-Hâdīts Jâmi‟ as-Sogȋ r wa Zawâiduh wa al-Jâmi‟ al-Kabȋ r karya Jalâluddȋ n ‟Abd ar-Rahmân as-Suyȗ tȋ ,kitab Miftâh al- Kunȗ zal Hadȋ ts karya Muhammad Fuad Abdul Baqi dan Jâmi‟ al-Masânȋ d karya Abi al-Faraj ‟Abd ar-Rahmân bin ‟Alȋ bin al-Jauzȋ al-Hanbali. A. Hadis Pertama 1. Teks Hadis يٍَْ لَجلَ فِٙكِضَجحِ ثهللِ عَضَ َٔ جَمَ دَشَأَْٚزِ فَجَصَجحَ فَمَذْ أَخؽَْؤَ ) سٔثِ أدٕدثٔد عٍ جُذح دٍ عذذثهلل (

1Maḥ mūd Ṭ ahān, Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadis, terj. Ridwan Nasir,(: PT. Bina Ilmu, 1995), cet. 1, h. 7.

59 60

“Siapa yang berkata tentang kitabullah dengan ra„yunya, kemudian ia tepat ( dalam menafsirkan ), maka sesungguhnya ia telah keliru.”( HR.Abȗ Dâwud dari Jundub bin Abdillah ).”2

2. Takhrij Hadis A.Berdasarkan penelusuran yang menggunakan metode kata melalui kitab al-Muʻ jam al-Mufahras li Al-fâdz al-Hadīts al-Nabawwi, dengan penelusuran ditemukan data sebagai berikut:3 رءىkata

يٍ لجل فٗ كضجح ثهلل...... دشأٚز فؤصجح فمذ أخؽؤ د : عهى 5

دَذَعََُج عَذْذُ ثنهَِّ دٍُْ يُذًََذِ دٍِْ َٚذَْٛٗ، دَذَعََُج َٚعْمُٕحُ دٍُْ إِعْذَجقَ ثنًُْمْشِاُ ثنْذَعْشَيُِٙ، دَذَعََُج عَُْٛٓمُ دٍُْ يِْٓشَثٌَ، أَخِٙ دَضْوٍ ثنْمؽَُعُِٙ، دَذَعََُج أَدُٕ عًِْشَثٌَ، عٍَْ جُُْذُحٍ، لَجلَ: لَجلَ سَعُٕلُ ثنهَِّ صَهَٗثهللُ عَهَِّْٛ َٔعَهَىَ: " يٍَْ لَجلَ: فِٙ كِضَجحِ ثنهَِّ عَضَ َٔجَمَ دِشَأِِّْٚ فَؤَصَجحَ، فَمَذْ أَخؽَْؤَ B. Berdasarkan penulusuran yang menggunakan metode awal matan melalui kitab Mausu‟at al-Atraf dengan awal matan. دشأّٚ فؤصجح فمذ أَخؽَْؤَيٍ لجل فٗ كضجح ثهلل ditemukan data sebagai berikut:5 د : عهى ح5

2Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, Dar al-Fikr, Beriut, Juz III hlm 320 lihat dalam buku Prof. KH. Ali Mustafa Ya‟kub MA, Haji Pengabdi Setan, ( Jakarta:Pustaka Firdaus, 2015 ) h 51. 3A.J.wensinck., al-Mu‟jam al-Mufahras li a-fȃ z al-Hadits al-nabawi (terj),m.fuad „ abd al-baqi (leiden : EJ.Brill,1943),j.II,h 204. 4Sulaiman bin al asy‟ats bin syaddad bin amrin bin amir, sunan abu daud (Kairo : Daar el-Hadis,2010) j.III, h 320. 5Muhammad Said Zaghul, Mausu‟at al-Atrȃ f al-Hadȋ ts al-Nabawi (Beirut : dar al- fikr,1994 ) j.VIII, h.440. 61

دَذَعََُج عَذْذُ ثنهَِّ دٍُْ يُذًََذِ دٍِْ َٚذَْٛٗ، دَذَعََُج َٚعْمُٕحُ دٍُْ إِعْذَجقَ ثنًُْمْشِاُ ثنْذَعْشَيُِٙ، دَذَعََُج عَُْٛٓمُ دٍُْ يِْٓشَثٌَ، أَخِٙ دَضْوٍ ثنْمؽَُعُِٙ، دَذَعََُج أَدُٕ عًِْشَثٌَ، عٍَْ جُُْذُحٍ، لَجلَ: لَجلَ سَعُٕلُ ثنهَِّ صَهَٗثهللُ عَهَِّْٛ َٔعَهَىَ: " يٍَْ لَجلَ: فِٙ كِضَجحِ ثنهَِّ عَضَ َٔجَمَ دِشَأِِّْٚ فَؤَصَجحَ، فَمَذْ أَخؽَْؤَ C.Berdasarkan penulusuran yang menggunakan metode awal matan atau alfabetis melalui kitab Jâmi‟ al-Hâdīts Jâmi‟ as-Sogȋ r wa Zawâiduh wa al- Jâmi‟ al-Kabȋ r karya Jalâluddȋ n ‟Abd ar-Rahmân as-Suyȗ tȋ dengan awal matan يٍ لجل فٗ كضجح ثهلل دشأّٚ فؤصجح فمذ أخؽؤ فؤصجح فمذ دشأّٚ Tidak ditemukan data hadis diatas. D.Berdasarkan penelusuran yang menggunakan metode tematik melalui kitab Miftâh al-Kunȗ zal Hadȋ ts karya Muhammad Fuad Abdul Baqi dengan .tidak ditemukan data hadis diatas ثنُجس ,ثنمشآٌ ,سَأُْ٘ tema E. Berdasarkan penelusuran yang menggunakan metode sahabat melalui kitab Jâmi‟ al-Masânȋ d karya Abi al-Faraj ‟Abd ar-Rahmân bin ‟Alȋ dengan tidak ditemukan data hadis جُُْذُح دٍ عذذثهلل دٍ عفٛجٌ melalui nama sahabat diatas.

dari tiga hadis diatas maka skema sanad hadisnya terdapat pada halaman berikut.

Keterangan.

دذعُج

عٍ

6Sulaiman bin al Asy‟ats bin Syaddad bin Amrin bin Amir, Sunan Abi Daud, j.III, h.320. 62

3. Skema Sanad

لجل

عٍ

دذّعُج

دذّعُج

دذّعُج

دذّعُج

4. Kritik Sanad Hadis

1 Jalur Riwayat Abu Dawud

NO Nama Perawi

1 Abȗ Dȃ wud

2 ‟Abdullah bin Muhammad bin Yahya

3 Ya‟qȗ b bin Ishȃ q

4 Suhail bin Mihrȃ n

5 Abȗ ‟Imrȃ n

6 Jundub 63

1). Kritik Sanad Hadis Jalur Abȗ Dȃ wud

A. Abȗ Dȃ wud a. Biografi: nama Abȗ Dȃ wud Sulaiman ibnu al-Asy‟ats bin Ishaq ibnu Basyir bin `Amr al-Azdi al-Sajistȃ ni. Beliau dilahirkan di Kota Sijistan (terletak antara Iraq dan Afganistan) pada tahun 202 H dan wafat pada tahun 275 H di Basrah. Beliau merantau mengelilingi negeri-negeri tetangga untuk mencari hadis dan ilmu-ilmu lain yakni ke Iraq, Khurasan, Syam, Mesir. b. Guru-gurunya: adalahAhmad bin Hanbal, Abȗ `Umar al-Darir, Muslim bin Ibrahȋ m, Abȗ Wȃ lid al-Tayȃ lisi, `Abdullah bin Muhammad, Sulaimȃ n bin`Abdu al-Rahmȃ n al-Dimisqȋ . c. Murid-muridnya: adalah Abȗ `Isa al-Turmudzi, Abȗ „Ali Muhammad bin Ahmad bin „Amr al-Lu‟luay, „Abdu al-Rahman al-Asynani, Abȗ „Abdu al- Rahmȃ n al-Nasȃ ‟i, putranya Abȗ Bakr bin Abȗ Dȃ wud. d. Sighat tahammul wa al-ada:`:Haddȃ tsana e. al-Jarh wa Ta’dȋ l: Ibn Hibbȃ n : Orang yang berilmu dan saleh

فمّ عجنى ٔسع

Maslamah bin Qȃ sim : Dapat di percaya dan stabil

عمز عذش7

B. `Abdullah bin Muhammad bin Yahya a. Biografi: nama `Abdullah bin Muhammad bin Yahya al-Tartȗ si, Abȗ Muhammad, yang dikenal dengan al-Da‟ȋ f.

7Yusuf Ibn „Abd al-Raḥ man Ibn Yusuf, Abu al-Ḥujjāj, Jamāl al-Dīn Ibn al-Zakī Abī Muḥ ammad al-Qadla‟ī al-Kilabī al-Mizī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1980) Cet. I,j. 11,h.355.

64

b. Guru-gurunya: adalah Ahmad bin al-Farsyi, Ishȃ k bin Yȗ suf al- Azrȃ q, al-Wȃ lid bin Muslim al-Farsyi, Ziyad bin Hiyab al-Tamȋ mi, Sufyan bin„Iyanah al-Halȃ la, `Abdullah bin Tamȋ r al-Hamdȃ ni, `Abdu al-Wahhȃ b bin„Abdu al-Majȋ d al-Nafaqa, Ali bin al-Hasan al-`Abdi, Muamal bin Isma‟ȋ l al-`Adawȋ , Muhammad bin Hazam al-Wasati, Ya’qȗ b bin Ishȃ k al-Hadrȃ mi, Muhammad bin Mughȋ rah Al-Mahzumi, Mughȋ roh bin Matruf al-Rasȃ wȋ . c. Murid-muridnya: adalah Abȗ Dȃ wud al-Sajastȃ ni, Ahmad bin Syu‟ab Al-Nasȃ ni, Ahmad bin Muhammad al-Zanjȃ ni, Ishȃ k bin Ibrahȋ m al- Munjaniki, `Abdullah bin Sa‟id al-Dȃ bi, `Abdullah bin Abȗ Dȃ wud al- Sajastȃ ni, Muhammad bin Yȗ suf al-Saqofa, Musa bin Harȗ n al-Baghdȃ di, Muhammad bin Jabȃ n al-Jundu Yusȃ yȗ ri, `Abdullah bin al-Sȃ nam al-Romli. d. Sighat tahammul wa al-ada`: :Haddȃ tsana e. al-Jarh wa al-Ta’dȋ l: Abȗ al-Farj bin al-Jauzi mengatakan : telah disebutkannya dalam daftar nama selubung: dan dikatakan: julukan da‟ȋ f, yang di riwayatkan dari „Abȗ ‟Abdu al-Rahmȃ n al-Nasȃ „i.

ركشِ فٙ كشّف ثنُمج ح,ٔلجل: نمذز ثنععّٛف, سٔ٘ عُّ أدٕ عذذ ثنشدًٍ ثنُغجا

Ahmad bin Sya‟ab al-Nasȃ ni mengatakan: dapat dipercaya, pemimpin yang shaleh, dan mempunyai julukan da‟ȋ f untuk yang banyak beribadah.

عمز,شٛخ صجنخ, ٔثنععّٛف نمخ نكغشر ثنعذجدصّ

Ibnu Hajar al-‟Asqalȃ ni mengatakan : telah disebutkannya didalam kitab Buzhah al-Bȃ b, dan telah dikatakan dalam al-Taqrȋ b :dapat dipercaya, beliau mengetahui da‟ȋ f dikarenakannya banyak beribadah, dan Nahif mengatakan, kesempurnaannya yang sangat.

ركشِ فٙ دضْز ثألنذجح لجل فٙ ثنضمشٚخ : عمز, ٚعشف دجنععّٛف ألَّّ كجٌ كغٛش ثنعذجدر, ٔلٛم َذّٛف, ثنشذر إلصمج َّ.8

8Yusuf Ibn „Abd al-Raḥ man Ibn Yusuf, Abu al-Ḥujjāj, Jamāl al-Dīn Ibn al-Zakī Abī Muḥ ammad al-Qadla‟ī al-Kilabī al-Mizī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl,Cet. I,j. 10,h.519- 520.

65

C. Ya’qȗ b bin Ishȃ q a. Biografi: nama Ya‟qȗ b bin Ishȃ q bin Zaid bin‟Abdullah bin Abȋ Ishȃ q al-Hadrȃ mi Abu Muhammad al-Bashari al-Makroi al-Nahi anak laki-laki al-Hadrȃ main saudara Ahmad bin Ishak al-Hadrȃ mi dan ketika kecil telah mendapatkannya, ‟Abdullah bin Abi Ishȃ q saudara Yahya bin Abȋ Ishȃ q. b. Guru-gurunya: adalah al-Aswȃ d bin Syaibȃ n, Basyar bin Ayȗ b al- Naqȃ t, Himȃ d bin Salȃ mah, Ziyal bin „Ubaid al-Mȃ liki, Rabi‟ah bin Qulsum, Zaidah bin Qadamah, Zakariyya bin Salȋ m, dan Kakeknya Ziyad bin ‟Abdillah bapa Abȋ Ishȃ q al-Hadrȃ mi, Sa‟id bin Khȃ lid al-Khazȃ „i, Salim bin Zarir, Salim bin Hayan al-Hazali, Sulaiman bin Mu‟az al-Dȃ bi, Suhail bin Mihrȃ n al- Qoti’i, Syu‟bah bin al-Hijȃ j Tam, „Amȋ r bin Sȃ lih bin Rastam Fak dan Beliau adalah bin Abȋ ‟Amir al-Khozȃ z, ‟Abdu al-Rahmȃ n bin Ibrahȋ m al-Qȃ si, „Abdu al-Rahmȃ n bin Maimun anak laki-laki bin Samrah,‟Abdu al-Salam bin ‟Ujlȃ n. c. Murid-muridnya: adalah Ahmad bin Sabit al-Jahdȃ ri, Ahmad bin Nasr al-Naisȃ bȗ ri, Ishȃ q bin Ibrahȋ m Syȃ zan al-Farȋ si, al-Hasan bin Salȃ mah bin Abȋ Kabsyah, al-Husain bin Salȃ mah bin Yazȋ d al-Shodȃ i, Razȃ kullah bin Mȗ sa al-Karȗ zȃ ni, Sahal bin Sȃ leh al-Antȃ qi, ’Abdullah bin Muhammad bin Yahya al-Tartusi yang diketahui dengan do‟ȋ f ,‟Abdu al-A‟la bin Hamȃ d al-Narsȋ , ‟Abdu al-Rahmah bin‟Abdu al-Wahhab al-‟Umi, Abȗ Qodamah „Ubaid Allah bin Sȃ ‟id al-Sarkhosi, „Abdu al-Rahmȃ n bin Salȃ m al- Tartȗ si, „Usman bin Talȗ tbin „Ibad, ‟Uqbah bin Tolut bin ‟Ibad, ‟Alȋ bin‟Alȋ al-Falȃ si, ‟Umar bin Muhammad al-Naqad, al-Fȃ di bin Sahȃ l al-A‟rȃ j. d. Sighat tahammul wa al-ada`:Haddȃ tsana. e. al-Jarh wa al-Ta’dil: Abȗ Hȃ tim al-Rȃ zi mengatakan : dipercaya

صذٔق

Abȗ Dȃ wud al-Sajastȃ ni mengatakan :beliau lebih mengetahui apa yang telah aku lihat dengan perbedaan didalam al-Qur‟an dan kesalahan dan mazhab-mazhab dan mazhab nahwu

66

ْٕثعهى يٍ سأٚش دجنذشٔف ٔثالخضالف فٙ ثنمشآٌ ٔعهز ٔيزثْذّ ٔ يزثْخ ثنُذٕ

Ahmad bin Hanbȃ l mengatakan : dipercaya dan tidak ada keraguan dengannya. صذٔق نى ٚكٍ دّ دؤط9

D. Suhail bin Mihrȃ n a. Biografi: nama Suhail bin Abȋ Hazm dan Namanya Mihrȃ n, dan Abdullah al-Qot‟i berkata, Abȗ Bakar al-Basari saudara Hazm bin Abi Hazm al- Qot‟i dan paman Muhammad binYahya bin Abi Hazm, dan Muhammad bin‟Abdu al-Wȃ hid bin Abi Hazm. b. Guru-gurunya: adalah Sȃ bit al-Banȃ ni, Khȃ lid al-Hazȃ „i, Malik bin Dinar, Ghȃ lib al-Qatȃ ni, Yȗ nus bin„Ubaid, Abȗ ‘Imrȃ n al-Jawni. c. Murid-muridnya: adalah Basyar bin al-Wȃ lid al-Kandi al-Qȃ di, Hibbȃ n bin Hilȃ l, Khilad bin Bazȋ g, Ziyȃ d bin al-Habȃ b, Sȃ lim bin Nȗ h, Sarȋ j bin al-Nu‟mȃ ni al-Jauhȃ ri, Sufyȃ n bin ‟Iyȃ nah, Salȃ m bin Sȃ lim al- Balkhi, Abȗ Qatȋ bah Salȃ m bin Qotȋ bah, Syu‟ab bin Mihrȃ z, ‟Abdullah bin al-Mubaroq, ‟Amru bin Muhammad bin Abȋ Razȋ n, Kunȃ nah bin Jiblah, Muhammad bin Mȗ sa, Murja bin Wada‟, al-Ma‟ȃ fi bin Imrȃ n al-Mausȗ l, Abȗ Salȃ mah Mȗ sa bin Isma‟ȋ l, Wahdȃ bah bin Khȃ lid, al-Haisam bin„Ubaid al- Said, Ya’qub bin Ishȃ q al-Hadrȃ mi al-Maqrȃ . d. Sighat tahammul wa al-ada`::Haddȃ tsana. e. al-Jarh wa al-Ta’dȋ l: Ishȃ k bin Mansȗ r mengatakan : Dari Yahya bin mu‟ȋ n Shaleh.

عٍ ٚذٙ دٍ يعٍٛ صجنخ

Al-Bukhȃ ri mengatakan : Tidak mengikuti didalam hadisnya perkataan- perkataan mereka didalamnya, dan dalam pernyataan yang lain tidak kuat pada mereka.

الٚضج دع فٙ دذٚغّ ٚضكهًٌٕ فّٛ

9Yusuf Ibn „Abd al-Raḥ man Ibn Yusuf, Abu al-Ḥujjāj, Jamāl al-Dīn Ibn al-Zakī Abī Muḥ ammad al-Qadla‟ī al-Kilabī al-Mizī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl,Cet. I,j. 34,h,314.

67

ٔلجل فٙ يٕظع آخشنٛظ دج نمٕ٘ عُذْى

Abȗ Hȃ tim mengatakan : Tidak kuat menulis hadisnya, dan saudaranya Hazm mengetahui darinya.

نٛغذجنمٕ٘, ٚكضخ دذٚغّ, ٔأخِٕ دضو أصمٍ يُّ

Al-Nasȃ i mengatakan : Tidak dengan kuat.

نٛظ دجنم10ٕ٘

E. Abȗ I’mrȃ n a. Biografi: nama „Abdu al-Mȃ lik bin al-Habȋ b al-Azhar, dan al-Kandi Abȗ ‟Umar al-Jauni al-Basȃ ri Ra„yi,‟Imrȃ n bin Hisȃ m. b. Guru-gurunya: adalah ‟Asir bin Jabir, Jundub bin’Abdullah al- Bajȃ li, Anas bin Mȃ lik, Abȋ Farȃ s Rabi‟ah bin Ka‟ab al-Aslȃ mi, Zuhair bin ‟Abdullah al-Basȃ ri, Talhah bin ‟Abdullah bin ‟Usman bin ‟Abdullah bin Ma‟ar al-Tȋ mi, ‟Aiz bin ‟Amru al-Mazȃ ni, „Abdullah bin Ribah al-Anshari, Abdullah bin Samat, „Ilqomah bin„Abdullah al-Mazȃ ni, Qais bin Zayid Qȃ di al-Misrȋ n, al-Mas‟at bin Tarȋ f, Yazȋ d bin Banus Bah, Abi Ayub al-Azdȋ al-Marȃ gi, Abȋ Bakar bin Abȋ Mȗ sa al-As‟ȃ ri, Abȋ Asȋ m. c. Murid-muridnya:adalah Basyar bin al-Wȃ lid al-Kandi al-Qȃ di, Hibbȃ n bin Hilȃ l, Khilȃ d bin Bazȋ g, Ziyȃ d bin al-Habȃ b, Sȃ lim bin Nȗ h, Sarij bin al-Nu‟mȃ ni al-Jauhȃ ri, Sufyȃ n bin ‟Iyanah, Salȃ m bin Salȋ m al- Balkhi, Abȗ Qatȋ bah Salȃ m bin Qotȋ bah, Syu‟ab bin Mihrȃ z, ‟Abdullah bin al-Mubȃ raq, ‟Amru bin Muhammad Abȋ Rȃ zi, Kinȃ nah bin Jiblah, Muhammad Musa, Murja bin Wada‟, al-Ma‟ȃ fi bin Imrȃ n al-Masȃ li, Abȗ Salamah Mȗ sa bin Isma‟ȋ l, Wahdabah bin Khȃ lid, al-Haisam bin „Ubaid al-Sa‟id, Ya’qub bin Ishȃ q al-Hadrȃ mi al-Maqrȃ i. d. Sighat tahammul wa al-ada`::Haddȃ tsana. e. al-Jarh wa al-Ta’dȋ l: Ishȃ k bin Mansȗ r mengatakan : Dari Yahya bin mu‟in dapat dipercaya.

10Yusuf Ibn „Abd al-Raḥ man Ibn Yusuf, Abu al-Ḥujjāj, Jamāl al-Dīn Ibn al-Zakī Abī Muḥ ammad al-Qadla‟ī al-Kilabī al-Mizī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl, Cet. I,j. 12,h.217. 68

عٍ ٚذٙ دٍ يعٍٛ عمز عٍ ٚذٙ دٍ Abȗ Ishȃ k Sȃ lih dan al-Nasȃ ‟i mengatakan : tidak ada keraguan dengannya.

نٛظ دّ دؤ ط نٛظ دّ دؤ

Ibnu Hibbȃ n mengatakan : dalam kita al-Tsiqȃ t meninggal tahun 123 yang telah diriwayatkan jama‟ah untuknya.

فٙ كضج ح ثنغمجس يجس عُز عالط ٔعششٍٚ ٔيجةز سٔ٘ نّ جًج عز11

F. Jundub a. Biografi: nama Jundub bin`Abdullah bin Sufyȃ n al-Bajȃ li, kemudian ada sebuah pendapat bahwaal-Jundub itu tinggal di Bajilah, yaitu Aba `Abdullah adalah sahabatnya, Menasab terus kepada bapaknya dan terus kepada kakeknya, dan telah dikatakan ibnu Khȃ lid bin Sufyȃ n. b. Guru-gurunya: adalah Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam, An Hafzah bin Yamȃ n. c. Murid-muridnya: adalah al-Aswȃ bin Qays, Anas bin Sayrȋ , al-Hasan al-Basȃ ri, Salȃ mah bin Kuhail, Syahar bin Hausyab, Sufwȃ n bin Mahrȃ z, Abȗ Tamȋ mah Tȃ rif bin Mujȃ lȋ d al-Hajȋ mi, `Abdullah bin Haris al-Najrȃ ni, Abȗ ‘Imrȃ n Abdu al-Mȃ lik bin Habȋ b al-Jawni, `Abdu al-Mȃ lik bin `Amir, Muhammad bin Sayrin, Abȗ Basyar al-Wȃ lid bin Muslim al-`Inbȃ ri, Abȗ Majȋ z al-Ahqȃ bin Hamȋ d, Abȗ al-Siwȃ r al-`Adȃ wi, Abȗ `Abdullah al- Jasymi, Selain Mereka yaitu dari orang-orang Kufah, dan orang-orang al-Bashroh. d. Sighat tahammul wa al-ada` :`an e. al-Jarh wa al-Ta’dil: Abȗ Hȃ tim al-Rȃ zi mengatakan : Beliau sahabat

نّ صذذز

Abȗ Hȃ tim bin Hibbȃ n al-Basȃ ti mengatakan : Telah disebutkannya didalam sahabat

11Yusuf Ibn „Abd al-Raḥ man Ibn Yusuf, Abu al-Ḥujjāj, Jamāl al-Dīn Ibn al-Zakī Abī Muḥ ammad al-Qadla‟ī al-Kilabī al-Mizī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl,Cet. I,j. 18,h.297.

69

ركشِ فٙ ثنصذجدز12

i.. Kesimpulan Berdasarkan penelitian terhadap sanad-sanad diatas, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil antara lain : 1. Semua hadis di atas bersandar kepada Rasulallah Saw, artinya berkategori marfu‟,lebih spesifikasinya marfu‟ qauli haqȋ qi. 2. Ditinjau dari isi hadis, kesemuanya berupa ungkapan Nabi Saw, artinya termasuk kategori hadis qauli. 3. Ditinjau dari Jumlah Perawi yang meriwayatkan hadis diatas, hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Jundub. 4. Ditinjau dari penelitian sanad pada jalur hadis Imam Abȗ Dȃ wud semuanya terjadi pertemuan antara guru sama murid. Maka hadis ini adalah bersambung sanadnya. 5. Ditinjau dari pandangan ulama terhadap hadis diatas, bahwa ada ulama yang berpendapat pada jalur Suhail ibnu Mihrȃ n,yakni: Ahmad bin Hanbal mengatakan Munkar, namun penulis memakai komentar, al- Bukhȃ ri, Abȗ Hȃ tim,al-Nasȃ ‟i, mengatakan tidak kuat. Karena ada qolȋ l al-dȃ bit pada jalur ini, maka hadis ini berstatus Hasan Lidzdzȃ ti.

B. Hadis kedua 1. Teks Hadis

َٔ يٍَْ لَجلَ فِٙ ثنْمُشْآٌِ دِشَأِِّْٚ فَهَْٛضَذََٕ يَمْعَذَُِ يٍَِ ثنَُج سِ ) سٔثِ ثنضش يٛز٘ (.

“Siapa yang menafsirkan Al-Qur‟an dengan ra‟runya, maka hendaknya ia menempati tempatnya dineraka.” ( HR al-Tirmidzi ).13

12Yusuf Ibn „Abd al-Raḥ man Ibn Yusuf, Abu al-Ḥujjāj, Jamāl al-Dīn Ibn al-Zakī Abī Muḥ ammad al-Qadla‟ī al-Kilabī al-Mizī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl, Cet. I,j. 5,h.131.

13Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Dar ihya‟ al-Turats al-Arabi, Beirut, Juz V hlm 199. lihat dalam buku Prof.KH.Ali Mustafa Ya‟kub,MA, Haji Pengabdi Setan, h 51 70

2. Takhrij Hadis A.Berdasarkan penelusuran yang menggunakan metode kata melalui kitab ditemukan data sebagai سءٖ al-Mu‟jam al- Mufahros, dengan penelusuran kata berikut :14

ٔيٍ لجل فٗ ثنمشآٌ دشأّٚ س صفغٛش 1 دى 5, 115

A, Susunan riwayat yang mukharrijnya Sunan al-Tirmȋ dzi

2550 - دَذَعََُج يَذًُْٕدُ دٍُْ غَْٛهَجٌَ لَجلَ: دَذَعََُج دِشْشُ دٍُْ ثنغَشِِ٘ لَجلَ: دَذَعََُج عُفَْٛجٌُ، عٍَْ عَذْذِ ثألَعْهَٗ، عٍَْ عَعِٛذِ دٍِْ جُذَْٛشٍ، عٍَْ ثدٍِْ عَذَجطٍ لَجلَ: لَجلَ سَعُٕلُ ثنهَِّ صَهَٗ ثنهَُّ عَهَِّْٛ َٔعَهَىَ: »يٍَْ لَجلَ فِٙ ثنمُشْآٌِ دِغَْٛشِ عِهْىٍ فَهَْٛضَذََٕأْ يَمْعَذَُِ يٍَِ ثنَُجسِ«15

B. Susunan riwayat yang mukharrijnya Ahmad bin Hanbȃ l

2065 - دذعُج عذذ ثهلل دذعُٙ أدٗ دذعُج ٔكٛع دذعُج عفٛجٌ عٍ عذذ ثألعهٗ ثنغعهذٙ عٍ ععٛذ دٍ جذٛش عٍ دٍ عذجط لجل لجل سعٕل ثهلل صهٗ ثهلل عهّٛ ٔ عهى يٍ لجل فٙ ثنمشآٌ دغٛش عهى فهٛضذٕأ يمعذِ يٍ ثنُجس16 2425- دذعُج عذذ ثهلل دذعُٙ أدٗ دذ عُج يؤيم دذعُج عفٛجٌ دذعُج عذذ ثألعهٗ عٍ ععٛذ دٍ جذٛش عٍ دٍ عذجط لجل لجل سعٕل ثهلل صهٗ ثهلل 17 عهّٛ ٔ عهى يٍ لجل فٙ ثنمشآٌ دغٛش عهى فهٛضذٕأ يمعذِ يٍ ثنُجس

B. Berdasarkan penulusan yang menggunakan metode awal matan melalui kitab Mausu‟ah al-Atrâf dengan awal matan

يٍَْ لَجلَ فِٙ ثنْمُشْآٌِ دِشَأِِّْٚ فَهَْٛضَذََٕ يَمْعَذَُِ يٍَِ ثنَُج سِ

14A.J.wensinck.,Al mu‟jam al-mufharas li al faz al hadits al-nabawi (terj),m.fuad „ abd al-baqi. j.II,h.204. 15Muhammad bin 'Isa bin Saurah bin Musa bin adl Dlahhak, Sunan at-Tirmidzi (Kairo : Daar el-Hadis, 2010). Juz 5, h 199. 16Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal (Turki: Muassasat al-Risalah, 2001), j. 1, h. 233. 17Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad al-Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal (Turki: Muassasat al-Risalah, 2001), j. 1, h. 269.

71

tidak ditemukan data apapun yang sesuai dengan hadis tersebut.

C.Berdasarkan penulusuran yang menggunakan metode awal matan atau alfabetis melalui kitab Jâmi‟ al-Hâdīts Jâmi‟ as-Sogȋ r wa Zawâiduh wa al- Jâmi‟ al-Kabȋ r karya Jalâluddȋ n ‟Abd ar-Rahmân as-Suyȗ tȋ dengan awal matan

يٍَْ لَجلَ فِٙ ثنْمُشْآٌِ دِشَأِِّْٚ فَهَْٛضَذََٕ يَمْعَذَُِ يٍَِ ثنَُج سِ

tidak ditemukan data hadis diatas.

D. Berdasarkan penelusuran yang menggunakan metode tematik melalui kitab Miftâh al-Kunȗ zal Hadȋ ts karya Muhammad Fuâd Abdul Bâqi dengan .tidak ditemukan data hadis diatas ثنُجس ,ثنمشآٌ ,سَأُْ٘ tema

E. Berdasarkan penelusuran yang menggunakan metode sahabat melalui kitab Jâmi‟ al-Masânȋ d karya Abi al-Faraj ‟Abd ar-Rahmân bin ‟Alȋ dengan .tidak ditemukan data hadis diatas عذذ ثهلل دٍ عذّج ط melalui nama sahabat

dari tiga hadis diatas maka skema sanad hadisnya terdapat pada halaman berikut.

Keterangan.

دذعُج

عٍ

72

3. Skema Sanad رَسُولُالّلَهِ

قال ابْهِ عَّبَاسٍ

عن

سَعِيدِ بْهِ جُّبَيْزٍ

عن

عَّبْدِ األَعّْلَي

حدثنا سُفْيَانُ حدثنا حدثنا حدثنا بِشْزُ بْهُالّسَزًِِ مؤمل وكيع

حدثنا حدثنا حدثنا احمد به حنّبل مَحْمُودُ بْهُ غَيّْلَانَ

حدثنا

التزميذى

4. Kritik Sanad

1. Jalur Riwayat al-Turmudzi

NO Nama Perawi

1 al-Tirmȋ dzi

2 Mahmȗ dbinGhailȃ n

3 Bisyru al-Sari

4 Sufyȃ n 73

5 `Abdu al-A’la

6 Sa’ȋ d bin Jubair

7 Ibnu `Abbȃ s

2 Jalur Ahmad ibnu Hanbal

NO Nama Perawi

1 Ahmad binHanbal

2 Wakȋ ’

3 Sufyȃ n

4 ’Abdu al-A’la

5 Sa’ȋ d binJubair

6 ibnu ’Abbȃ s

3 Jalur Ahmad ibnu Hanbal

NO Nama Perawi

1 Ahmad binHanbal

2 muamal

3 Sufyȃ n

4 ‘Abdu al-A’la

5 Sa’ȋ d bin Jubair

6 ibnu ‘Abbȃ s 74

1). Kritik sanad jalur imam al-Tirmidzi

A. al-Tirmȋ dzi

a. Biografi:Nama lengkapnya adalah Abȗ `Isa bin Surȃ h, beliau adalah seorang muhȃ ddits yang dilahirkan di kota Turmudz, sebuah kota kecil dipinggir utara sungai Amuderiya, sebelah utara Iran, Beliau dilahirkan di kota tersebut pada bulan dzulhijjah tahun 200 H (824) dan wafat di turmudz juga pada akhir Rajab tahun 279 H (892 M).18

Beliau menyusun kitab Sunan dan kitab „Illal al-Hadȋ ts. Pada akhir kitabnya beliau menerangkan, bahwa semua hadis yang terdapat dalam kitab ini adalah mu‟mal (dapat diamalkan).19

b. Guru-gurunya: adalah Qutaibah bin Sa‟ȋ d Ishȃ q bin Rahawȃ h, Muhammad bin Amru al-Sawȃ d al-Balkhi, Mahmȗ d bin Ghaylȃ n, Isma‟ȋ l bin Mȗ sa al-Farȃ zi, Abȗ Mȗ sa‟ab al-Zuhri, Bisyri bin Mu‟ȃ dz al-Aqdi, al- Hasan bin Ahmad bin Abȋ Syu‟ab, Sufyȃ n bin Wakȋ ‟ , „Alȋ bin Hujr, Hannad, ‟Abdu bin Humaid, Yȗ suf bin ‟Isa, Muhammad bin Yahya, Khȃ lad bin Salȃ m, Ahmad bin Muni‟, Bukhȃ ri, Muslim, Ahma bin Hanbal, Abȗ ‟Umar al-Darȋ r, Muslim bin Ibrahȋ m, Abȗ Quraib dan Lainnya.

c. Murid-muridnya: adalah Abȗ Hamȋ d Ahmad bin ‟Abdillah bin Dȃ wud al-Marwȃ zi, Makhlul bin Fadl, Muhammad bin Mahmud bin ‟Anbar, Hammad bin Syȃ kir, Ahmad bin Yȗ suf al-Nasȃ fi, ‟Abdu al-Rahmȃ n Mubȃ raq furi dan lainnya.

d. Sighat tahammul wa al-ada`::Haddȃ tsana.

e. al-Jarh wa Ta’dil:

Ibnu Hibbȃ n mengatakan : Dipercaya

18Fathur Rahman, Ikhtisar Mustalahul Hadits,(Bandung: PT al-Ma‟arif ,1974). h 382-383. 19Fathur Rahman, Ikhtisar Mustalahul Hadits, h.383.

75

عمز

Al-Khalȋ l mengatakan : Disetujui dan dapat di percaya atasnya

عمز يضفك عهّٛ.20

B. Mahmȗ d bin Ghaylȃ n

a. Biografi: nama Mahmȗ d bin Ghaylȃ n al-Adawi sahabat al-Marȗ zi tinggal di Baghdad.

b. Guru-gurunya: adalah Ibrahȋ m bin Habȋ b bin al-Syȃ hid, Ahmad bin Sȃ leh al-Misri, Azhar bin Sa‟ad al-Samȃ n, Azhar bin al-Qȃ sim, Bisyru bin al- Sariyyi, Hujaini bin al-Musanna, Husain bin ‟Ali al-Ja‟far, Hafsȃ bin„Umar bin „Ubaid al-Tonȃ fasi, bin Asamah Hamȃ d bin Asamah, Hamȋ d bin Hamȃ d bin Abi al-Khiwȃ r, Ziyȃ d bin al-Habȃ b, Sa‟ȋ d bin ‟Amȋ r al-Dab‟i, Sufyȃ n bin‟Uqbah, Sufyȃ n bin ‟Iyȃ nah, Syabȃ bah bin Siwȃ r, Abi ‟Asim al-Dhohhaq bin Mukhallad, ‟Abdullah bin Bakar al-Sahmi, ‟Abdullah bin Namik, Abȋ ‟Abdu al-Rahmȃ n ‟Abdullah bin Yazȋ d al-Maqrȃ „i, ‟Abdu al-Hamȋ d bin „Abdu al- Rahmȃ n al-Hamȃ ni.

c. Murid-muridnya: adalah jamȃ ’ah kecuali Abȋ Dȃ wud, Ishȃ k bin Ibrahim al-Nabȃ ti, Ishȃ k bin al-Hasan al-Harȃ bi, Ibrahȋ m bin Abȋ Thȃ lib, al- Hasan bin„Alȋ bin Syubaib al-Ma‟mȃ ri, al-Hasan bin Sufyȃ n al-Syaibȃ n, ‟Abdullah bin Muhammad bin Hayan bin Mȗ qir, ‟Abdullah bin Muhammad bin Abi al-Dunya, ‟Abdullah bin Muhammad bin Abȋ Siyȃ r, ‟Abdullah bin Muhammad ‟Abdu al-‟Azȋ z al-Baghȃ wi, Muhammad bin Jabȃ ni al-Jundi sȃ bȗ ri, Muhammad bin Syadzan al-Naisȃ bȗ ri, Muhammad bin ‟Abdullah bin Sulaimȃ n al-Hadrȃ mi, Muhammad bin Hȃ run bin Hamȋ d bin al-Majdȃ r, Muhammad bin Yahya al-Zahli, al-Haitam bin Kholȃ f al-Dȃ wuri, Abȗ al- Ahusso Qȃ di ‟Aqbaron, Abȗ Khȃ tim.

20Shihab al-Din Ahmad bin „Ali bin Hajar al-„Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, (Beirut: Dar al-Fikr,1984), juz 10,h 113. 76

d. Sighat tahammul wa al-ada`:Haddȃ tsana.

e. al-Jarh wa al-Ta’dil:

Abȗ Hȃ tim al-Rȃ zi mengatakan : Dapat dipercaya

عمز

Abȗ Hȃ tim bin Hibbȃ n al-Basȃ ti mengatakan : Telah sebutkannya dialam al-Tsiqȃ t

ركشِ فٙ ثنغمجس

Ahmad bin Hanbal mengatakan : Aku mengetahui dengan Hadis sunnah, dan telah memenjarakan dengan sebab al-Qur‟ȃ n

أعشفّ دج نذذٚظ, صج دخ عُز, لذ دذظ دغذخ ثنمشآ21ٌ

C. Bisyru ibnu al-Sari

a. Biografi: nama Bisyrubin al-Sariyyi al-Basariyyi Abȗ ‟Amru, al- ‟Afwah tinggal di Makkah, dan dipanggil al-Afwah, ketika sedang mengatakan nasehat.

b. Guru-gurunya: adalah Ibrahȋ m bin Thohmȃ n, Ibrahȋ m bin Mahdi saudara ‟Abdu al-Rahmȃ n bin Mahdi, Ibrahȋ m bin Yazȋ d al-Khawȃ zi, Sawȃ b bin‟Utbah al-Mahȃ ri, Hamȃ d Salȃ mah, Dȃ wud bin Abȋ al-Farȃ t al-Kindi, Zaidah bin Qodamah Zakariyya bin Ishȃ k, Sȃ lim al-Khiyȃ t, Sa‟ȋ d bin ‟Ubaidillah al-Saqȃ fa, Sufyȃ n al-Sauri, ‟Abdullah bin Mubaroq, ‟Abdu al- Razȃ k bin Hamȃ m, ‟Umar bin Sa‟ȋ d bin Abi Husain, al-Layis bin Sa‟ad, Muhammad bin „Uqbah al-Rifȃ ‟i, Mas‟ar bin Qidam, Musna‟ȃ b bin Sabit, Mu‟awiyah bin Shȃ lih al-Hadrȃ mi, Nafi‟ bin‟Umar al-Jamhi.

c. Murid-muridnya: adalah Ahmad bin Bakar al-Harȃ ni, Ahmad bin Abȋ al-Hawȃ ri, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Khȃ lis bin Yazȋ d al- Qarȃ ni dan telah disebutkan sesungguhnya beliau itu buta huruf, Abȗ Khisamah

21Yusuf Ibn „Abd al-Raḥ man Ibn Yusuf, Abu al-Ḥujjāj, Jamāl al-Dīn Ibn al-Zakī Abī Muḥ ammad al-Qadla‟ī al-Kilabī al-Mizī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl, Cet. I,j.21,h.305. 77

Zȃ hir bin Harȃ b, Salȋ m bin Nuh, al-‟Ibas bin Yazȋ d al-Bahroni, Abȗ Sȃ leh ‟Abdullah bin Sȃ leh al-Misri, ‟Abdullah bin Muhammad al-Musnȃ di, ‟Abdu al- A‟la bin Himȃ d Basyar bin al-Hikȃ m al-Naisȃ bȗ ri, ‟Alȋ bin al-Madȋ ni, ‟Ali bin Ma‟mun al-Rȃ qi, ‟Amru bin‟Usmȃ n bin Sa‟ȋ d bin Katsȋ r bin Dinȃ r al- Hamsi, „Amru bin „Alȋ al-Falȃ si, Muhammad bin Khȃ tim bin Ma‟mun, Muhammad bin Yahya bin Sa‟ȋ d al-Qatȃ ni, Muhammad bin Yahya bin Abȋ ‟Umar al-‟Adȃ ni, Mahmȗ d bin Ghaylȃ n al-Marȗ zi.

d. Sighat tahammul wa al-ada`:Haddȃ tsana.

e. al-Jarh wa al-Ta’dil:

Abȗ Ja‟far al-‟Aqȋ li mengatakan : Beliau didalam hadis yang benar

ْٕفٙ ثنذذٚظ يغضمٛى

Abȗ Hȃ tim al-Rȃ zi mengatakan : Tetap shaleh

عذش صج نخ

Abȗ Hȃ tim bin Hibbȃ n al-Basȃ ti mengatakan : dan telah disebutkan dalam al-Tsiqȃ t

ركشِ فٗ ثنغمج س22

D. Sufyȃ n

a. Biografi: namaSufyȃ n bin Sa‟ȋ d bin Masruk al-Sauri Abȗ ‟Abdullah al-Kaufi dari Sauri bin‟Abdu Manȃ h bin Ad binTabȋ khah bin Ilyas bin Mansyur bin Nazar bin Ma‟ad bin „Adnan, dan dikatakan sesunguhnya dari Sur Hamdȃ n.

b. Guru-gurunya: adalah Ibrahȋ m bin‟Abdu al-A’la, Ibrahȋ m bin ‟Uqbah, Ibrahȋ m bin Muhammad bin al-Manshur, Ibrahȋ m bin Mahȃ jir, Ibrahȋ m bin Maysarah, Ibrahȋ m bin Yazȋ d al-Khazȃ wi, al-Ahlȃ j, bin‟Abdullah al-Kindi, Adȃ m bin Sulaimȃ n dan anak Yahya bin Adȃ m,

22Yusuf Ibn „Abd al-Raḥ man Ibn Yusuf, Abu al-Ḥujjāj, Jamāl al-Dīn Ibn al-Zakī Abī Muḥ ammad al-Qadla‟ī al-Kilabī al-Mizī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl, Cet. I,j.4,h.122.

78

Asamah bin Ziyȃ d al-Laysi, Isrȃ il Abȋ Mȗ sa, Aslȃ m al-Munqȃ ri, Isma‟ȋ l bin Abȋ Khȃ lid, isma‟ȋ l bin Samih, Isma‟ȋ l bin‟Abdu al-Rahmȃ n al-Sada, Abȋ Hasyim Isma‟ȋ l bin Katsȋ r, al-Aswȃ d bin Qayyis, Asy‟as bin Abȋ al-Sya‟syai, al-Agrȃ bin al-Sȃ bah.

c. Murid-muridnya: adalah Aban bin Taghlȗ b dan meninggal sebelumnya, Ibrahȋ m bin Sa‟ad, Abȗ Ishȃ k Ibrahȋ m bin Muhammad al- Fazȃ ri, Ahmad bin‟Abdullah bin Yȗ nus, Abȗ al-Jawȃ bi al-Ahwȃ si bin Jawȃ bi al-Dȃ biyi, Asbat bin Muhammd bin al-Quraysi, Amȋ nah bin Khȃ lid, Bisyru bin al-Sariyyi, Basyar bin Mansur al-Silmi, Bakar bin ‟Abdullah bin al-Syurȗ d, Sȃ bit bin Muhammad al-‟Abȋ d, Sa‟labah bin Barqȃ n dan beliau dari kalangan orang tua, Ja‟far bin‟Aun, al-Hasan bin Muhammad bin‟Usman anak seorang perempuan al-Sya‟bi, al-Haris bin Mansur al-Wasȃ ti, Wakȋ ’ bin al-Jarȃ h, Muamal bin Isma’ȋ l.

d. Sighat tahammul wa al-ada`::Haddȃ tsana.

e. Al-Jarh wa al-Ta’dil:

Abȗ Dȃ wud al-Sajastȃ ni mengatakan : telah dijaga dari Abȋ Mu‟ȃ wiyah

أدفظ يٍ أدٗ يعجٚٔز

Abȗ Hȃ tim al-Rȃ zi mengatakan : Pakar hukum islam yang menjaga kezuhudan (tidak mngejar dunia) imam ahlu ‟Iraq : dan mngetahui sahabat Abȋ Ishȃ k

فمّٛ دج فّظج صثْذ ثيجو أْم ثنعشثق : ٔثصمٍ أصذجح أدٙ إعذجق

Ayyȗ b bin Tamȋ mah al-Sakhtiyȃ ni mengatakan : aku tidak melihat orang-orang Kuffah lebih utama atas Sufyȃ n.

يج سأٚش كٕفٛج أفعهّ عهٗ عفٛجٌ.23

E. ’Abdual-A’la

23Yusuf Ibn „Abd al-Raḥ man Ibn Yusuf, Abu al-Ḥujjāj, Jamāl al-Dīn Ibn al-Zakī Abī Muḥ ammad al-Qadla‟ī al-Kilabī al-Mizī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl, Cet. I,j.11,h.112.

79

a. Biografi: nama ‟Abdu al-‟A‟la bin‟Amir al-Tsa‟labi al-Kȗ fi.

b. Guru-gurunya: adalah Ibrahȋ m al-Tȋ mi, Bilȃ l bin Abȋ Mȗ sa al- Fazari, Sa’ȋ d bin Jubair, Syarȋ h al-Qȃ di, ‟Amir al-Sya‟bi, ‟Abdu al-Rahmȃ n bin Abȋ Layli, Abȋ Ja‟far Muhammad bin ‟Alȋ binal-Hazȋ fah, Muhammad bin ‟Alȋ bin al-Hanȋ fah, Abȋ al-Bukhtȃ ri al-Thȃ i, Abȋ Jamȋ lah al-Tohwi, Abȋ ‟Abdu al-Rahmȃ n al-Silmi.

c. Murid-muridnya: adalah Ibrahȋ m bin Tahmȃ n, Isrȃȋ l bin Yȗ nus, Dȃ wud bin al-Zayriqan, Sufyȃ n al-Sauri, Abȗ al-Ahwȃ s Salȃ m bin Salȋ m, Syarȋ k bin‟Abdullah, Syu‟bah bin al-Hujȃ j, ‟Abdu al-Malik bin Jarȋ j, anaknya ‟Alȋ bin al-A‟la, Abȗ Dȃ wud „Irsya bin Muslim al-Tahwi, Muhammad bin Jihȃ dah, Muhammad bin Talhah bin Misrȃ f, Warqar bin ‟Umar, „Abȗ ‟Awȃ nah al-Wadahbin‟Abdullah al-Yusykȃ riyan, Abȗ Tȃ lib al-Qȃ di Yahya bin Ya‟qȗ b bin Madruk bin Sa‟ad bin Khisamah al-Ansȃ ri Kholi al-Qȃ di Abȋ Yȗ suf.

d. Sighat tahammul wa al-ada`:„an.

e. Al-Jarh wa al-Ta’dil:

Al-Daruqutni mengatakan : Mengambil tauladan dengannya terus, tidak kuat pada mereka

ٚعضذشدّ ٔ يشر: نٛظ دجنمٕٖ عُذْى

Al-Zahȃ bi mengatakan : lembut, dan terus: hadis yang lembut

نٍٛ, ٔيشر: نٍٛ ثنذذٚظ

Ahmad bin Syu‟ab al-Nasȃ ni mengatakan : tidak kuat dalam penulisan hadisnya.

نٛظ دجنمٕٖ ٔ ٚكضخ دذٚغّ

F. Sa’ȋ d bin Jubair 80

a. Biografi: nama Sa‟ȋ d bin Jubair bin Hisyȃ m al-Asdi al-Walbi pemimpin mereka Abȗ Muhammad, Dan dikatakan Abȗ ‟Abdullah al-Kȗ fiyyi dan Walbah adalah bin al-Hȃ rits bin Sa‟labah bin Dȃ wud bin Asad bin Khazȋ mah, ketika dikatakannya untuknya Muhammad bin Habȋ b.

b. Guru-gurunya adalah Anas bin Malik, al-Dahhaq bin Qays al-Fahri, ‟Abdullah bin Zubair, ‟Abdullah bin ’Abbȃ s, ‟Abdullah bin‟Umar bin al- Khȃ tib, ‟Abdullah bin Mughfal, ‟Adȋ bin Hȃ tim, ‟Amru bin Mamun al-Awdi, Abȋ Sa‟id al-Khadri, Abȋ ‟Abdu al-Rahmȃ n al-Silmi, Abȋ Mas‟ud al-Ansȃ ri, Abȋ Mȗ sa al-Asy‟ȃ ri, Abi Hurairȃ h, ‟Aisyah

c. Murid-muridnya adalah Adam bin Sulaimȃ n orang tua Yahya Adam, Aslȃ m al-Munqȃ ri, Asy‟as bin Abȋ al-Sya‟sai, Ayfa‟, Ayyub al-Sakhtiyȃ ni, Bakȋ r bin Syihȃ b, Sȃ bit bin„Ujlan, Abȗ al-Muqoddam Sȃ bit bin Hurzȗ ma al- Haddad, Ja‟far bin Abȋ al-Mugȋ roh, Ayyȗ b Bisyru Ja‟far bin Abȋ Wahsyiyah, Habȋ b bin Abȋ Sȃ bit, Sȃ bit bin Abȋ „Amrah, Husmȃ n bin Abȋ al-Asyrȃ s, Hasȋ n bin Abȋ al-Rahmȃ n, al-Hakȃ m bin ‟Atȋ bah, Hamȃ d bin Abȋ Sulaimȃ n, Hanzalah bin Abi Hamzah, Khosif bin „Abdu al-Rahman al-Juzri, Zar bin „Abdullah al-Rahmȃ n, Zakwan bin Mȗ sa,’Abdu al-A’la bin ‘Amir al- Sa’labi.

d. Sighat tahammul wa al-ada`:„an.

e. Al-Jarh wa al-Ta’dil:

Abȗ Bakar al-Baihȃ qi mengatakan : Dan telah disebutkan di dalam Ma‟rifat al-Sunan dan telah dikatakan: dapat di percaya.

ركشِ فٗ يعشفز ثنغٍُ ٔلجل:عمز

Abȗ Hȃ tim ibn Hibbȃ n al-Basȃ ti mengatakan : Telah disebutkan dalam al-Tsiqȃ t dan telah dikatakan: Terdapat pakar ilmunya yang jauh keutamaan shalehnya.

ركشِ فٗ ثنغمجس ٔلجل: كجٌ فمٛٓج عج دذث فج ظال ٔسعج

Abȗ Zar‟ah al-Rȃ zi mengatakan : dapat dipercaya 81

عمز24

G. Ibn ’Abbȃ s

a. Biografi: nama ‟Abdullah bin‟Abbȃ sbin‟Abdu al-Mutȃ lib al-Quraisyi al-Hȃ syim Abȗ al-‟Abbȃ s al-Madȃ ni, anak paman Rasulallah Saw ketika dikatakan kepadanya bersuka hati dan laut untuk kuantitas ilmunya, ketika nabi Salallahu ‟Alaihi Wassalam memanggilnya dengan hikmah dua kali, dan ‟Abdullah bin Mas‟ud berkata, iya menerjemahkan al-Qur‟an „Abdullah bin‟Abbȃ s.

b. Guru-gurunya: adalah Nabi Shalallahu ’Alaihi Wassalam, Abȋ bin Ka‟ab, Asamȃ h bin Zaid, Baridah bin al-Husib al-Aslȃ mi, Tamȋ m al-Dȃ rimi, Hasin bin„Aufal al-Khasyami, Himȃ l bin Malik bin al-Nabaghah al-Khazali, Khȃ lid bin al-Wȃ lid dan adalah anak khalȋ tah, Zuyab al-Khaza‟i anak Qasibah bin Zuyab, Sa‟ad bin ‟Ibadah, al-Shȗ ba bin Jasamah, bapaknya al-‟Abbȃ s bin ‟Abdu al-Muthȃ lib, ‟Abdu al-Rahmȃ n bin ‟Auf, ‟Usman bin‟Affan, „Ali bin Abȋ Thȃ lib, „Umar binYasir, „Umar bin al-Khattab, kakeknya al-Fadl bin ‟Abbȃ s, Ka‟ab al-Ahbar, Ma‟ad bin Jabal.

c. Murid-muridnya adalah Ibrahȋ m bin‟Abdullah bin Ma‟ad bin ‟Abbȃ s, Aridah al-Tamȋ mi Sahabat al-Tafsir, al-Arqam bin Syarhȃ bi al-Awdi, Ishȃ k bin ‟Abdullah bin Kinȃ nah, Abȗ Amȃ mah As‟ad bin Sahȃ l bin Hanif, Isma‟ȋ l bin‟Abdu al-Rahmȃ n al-Sadi, Anas bin Malik pembantu Nabi Salallahu ‟Alaihi Wassalam, Anas al-Basȃ ri bin‟Am Asmal anak perempuan Yazȋ d al- Basȃ riyah, Abȗ al-Jawzai Aws bin ‟Abdullah al-Rab‟i, Abu Sȃ lih Bazam tuan Ibu Hani, Abu Sȃ bit Ayman bin Sȃ bit, Bajalah bin „Abdah al-Tamȋ mi, Barkah Abȗ al-Wȗ lid al-Maja Sya‟i, Bakar bin‟Abdullah al-Mazȃ ni, Sa‟labah bin al- Hikȃ m al-Laitsi dan baginya sahabat, Abȗ Sya‟sai Jȃ bir bin Ziyȃ d, Habȋ b bin Sȃ bit, Hajar bin Qoys al-Madȃ ri, al-Hasan binAbȋ al-Hasan al-Basȃ ri, al- Hasan al-‟Arni dan dikatakan belum mendengar darinya, Sa’id bin Jubair.

24Yusuf Ibn „Abd al-Raḥ man Ibn Yusuf, Abu al-Ḥujjāj, Jamāl al-Dīn Ibn al-Zakī Abī Muḥ ammad al-Qadla‟ī al-Kilabī al-Mizī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl, Cet. 1,j.10,h.358.

82

d. Sighat tahammul wa al-ada`:„an.

e. Al-Jarh wa al-Ta’dil:

Abȗ Hȃ tim ibnu Hibbȃ n al-Basȃ ti mengatakan : Telah disebutkan didalam al-Tsiqȃ t, dan dikatakan : meninggal Rasulallah Saw empat puluh tahun.

ركشِ فٗ ثنغمجس, ٔلجل: صٕفٙ ثنُذٙ صهٖجهلل عهّٛ ٔعهى دؤسدعٍٛ عٍُٛ

Ibnu Abȗ Hȃ tim al-Rȃ zi mengatakan : Telah disebutkan dalam Jarh wa Ta‟dȋ l, dan dikatakan untuknya sahabat.

ركشِ فٗ جشح ٔصعذٚم, ٔلجل نّ صذذز

Ibnu Hajar al-„Asqalȃ ni mengatakan : Dikatakan dalam pendekatan dan tepat pada sararan, sahabatku lahir sebelum hijrah di tiga tahun, dan Rasulallah Saw do‟a untuknya dengan pemahaman al-Qur‟an, dan persatuan ‟ibadah dari pakar-pakar ilmunya shahabat.

لجل فٙ ثنضمشٚخ ٔثإلصجدز, صذج دٙ ٔنذ لذم ثنٓجشر دغالط عٍُٛ, ٔدعجءنّ سعٕالهلل عهّٛ ٔعهى دجنفًٓجنمشآٌ, ٔأدذثنعذجدر, يُجنفمٓجء ثنصذج دز25

ii. Kesimpulan Berdasarkan penelitian terhadap sanad-sanad di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil antara lain : 1. Semua hadis diatas bersandar kepada Rasulallah Saw, artinya berkategori marfu‟,lebih spesifikasinya marfu‟ qauli haqȋ qi. 2. Ditinjau dari isi hadis, kesemuanya berupa ungkapan Nabi Saw, artinya termasuk kategori hadis qauli. 3. Ditinjau dari Jumlah Perawi yang meriwayatkan 3 hadis diatas, hadis yang diriwayatkan oleh sahabat ibnu ‟Abbȃ s. 4. Ditinjau dari penelitian sanad pada jalur hadis al-Tirmȋ dzi semuanya terjadi pertemuan antara guru sama murid, maka hadis ini bersambung sanadnya. 5. Menurut pandangan Ulama dalam dalam hadis yang diriwayatkan al- Tirmȋ dzi ada komentar dalam satu jalur, yaitu di ‟Abdu al-‟A‟la. Ulama

25Yusuf Ibn „Abd al-Raḥ man Ibn Yusuf, Abu al-Ḥujjāj, Jamāl al-Dīn Ibn al-Zakī Abī Muḥ ammad al-Qadla‟ī al-Kilabī al-Mizī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl, Cet. 1,j.15,hlm.154 83

yang berkomentar antara lain : al-Daruqutni, laysa bi al-Qawiy, dan Ahmad ibnu Syu‟ab al-Nasȃ ni mengatakan, laysa bi al-Qawiy wa yaktubu Hadȋ tsahu. Maka kualitas Hadȋ ts Hasan Lidzdzȃ ti.

2. Kritik Sanad jalur Ahmad bin Hanbȃ l

A. Ahmad bin Hanbȃ l

a. Biografi: nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibani al-Marwȃ zi al-Baghdȃ di, Beliau lahir pada bulan Rabi‟ul Awal tahun 164 H di Baghdad, dan wafat pada bulan Rabi‟ul Awal juga pada tahun 241 H di Baghdad, beliau merantau ke kota Makkah, Madinah, Syam,Yaman dan Basrah untuk belajar ilmu hadis pada ulama yang ada di Negara itu.26

b. Guru-gurunya: adalah Sufyȃ n bin ‟Uyainah, Yahya bin Sa‟ȋ d al- Qattȃ n, Ibrahȋ m bin Sa‟ad, Wakȋ ’ bin al-Jarrah, Muamal bin Isma’ȋ l, „Affȃ n bin Muslim, Yazȋ dbin Hȃ run bin Wȃ di dan lainnya.

c. Murid-muridnya: adalah al-Bukhȃ ri, Muslim, Abȗ Dȃ wud, Yahya bin Ma‟in, dua orang putranya ‟Abdullah dan Sȃ lih dan lainnya.

d. Sighat tahammul wa al-ada`::Haddȃ tsana

e. Al-Jarh wa Ta’dil:

al-Nasȃ i mengatakan : Dapat dipercaya orang beriman

عمز يؤيٍ

Ibnu Hibbȃ n mengatakan : Pakar ilmu yang menjaga kesempurnaan

دفظ يضمٍ فجلّ

Ibnu Sa‟ȃ d mengatakan :Setabil dapat dipercaya

26Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalahul Hadits, h. 373-375. 84

عمز عذش صذٔق27

B. Wakȋ ’

a. Biografi : nama Wakȋ ‟ al-Jarah bin Mȃ lih al-Ruasi Abȗ Sufyȃ n al- Kaufi dari Qayis ‟Aylȃ n dan sungguh telah disebutkan sisa keturunan disisa keturunan dipenafsiran Bapaknya.

Jawaban jika asalnya dari perkampungan dari kumpulan Naisȃ bȗ ri dan jawaban dari al-Saghad. Dan telah diriwayatkan tentangnya dilahirkan disuatu perkampungan Bu‟dah dari dusun Asbahan.

b. Guru-gurunya : adalah Abȃ n bin Som‟ah, Abȃ n bin ‟Abdullah al- Bajȃ li, Abȃ n bin Yazȋ d al-‟Atȃ r, Ibrahȋ m bin Isma‟ȋ l bin Mujma‟ al-Ansȃ ri, Ibrahȋ m bin al-Fadl al-Makhzȗ mi, Ibrahȋ m bin Yazȋ d al-Awdi, Asamah bin Ziyȃ d al-Laysi, Ishȃ k bin Sa‟ȋ d, bin‟Amru al-Qorsy, Isrȃ „ȋ l bin Yȗ nus bin Abȋ Ishȃ k, Isma‟ȋ l bin Ibrahȋ m bin ‟Abdu al-Rahmȃ n bin ‟Abdullah bin Abȋ Rabȋ ‟ahal-Makzȗ mi, Isma‟ȋ l bin Ibrahȋ m bin Mahȃ jir, Isma‟ȋ l bin Abȋ Khȃ lid, Isma‟ȋ l bin Rȃ fi‟ al-Madȃ ni, Isma‟ȋ l bin‟Abdu al-Salman al-Azraq, Isma‟ȋ l bin „Abdu al-Malik bin Abȋ al-Safȋ ra, Isma‟ȋ l bin Muslim al-‟Abadi, al-Aswadi bin Syaiban, Aflah bin Hamȋ d, Ayman bin Nabȃ l al-Maki, Sufyȃ n al-Sauri.

c. Murid-muridnya adalah Ibrahȋ m bin Sa‟ȋ d al-Jawhȃ ri, Ibrahȋ m bin „Abdullah bin Abȋ al-Khabȋ ri al-‟Abbȃ si al-Qasȃ r al-Kaufi dan ia berbeda periwayatan tentangnya, Ibrahȋ m bin Mȗ sa al-Farȃ i al-Rȃ zi, Abȗ „Abdu al- Rahmȃ n Ahmad bin Ja‟far al-Wakȋ ‟ al-Darȋ r al-Hȃ fiz, Ahmad bin Hanbȃ l, Ahmad bin al-Hawari, Ahmad bin Abȋ Syu‟ab, ‟Abdullah bin Yȗ nus, Ahmad bin al-„Abdu al-Jabbȃ r al-„Atȃ ridi, Abȗ Ja‟far Ahmad bin „Umar al-Wakȋ ‟, Ahmad bin Muhammad bin Syabwiyah al-Marȗ zi, Ahmad bin Muhammad bin„Ubaidillah bin Abȋ Rajȃ al-Saghari,Ahmad bin Mani‟ al-Baghawi, Ahmad

27Shihab al-Din Ahmad bin „Ali bin Hajar al-„Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, juz 1,h -16 12

85

bin Hisyȃ m bin Bahrȃ m al-Madȋ ni, Ishȃ k bin Rahȃ wiyah, al-Jarȗ d bin Mu‟az al-Tȋ ri, Hajȋ b bin Sulaimȃ n al-Munbȃ li, al-Hasan bin ‟Urfah al-‟Abdi, al- Hasan bin‟Alȋ al-Halwȃ li.

d. Sighat tahammul wa al-ada`::Haddȃ tsana

e. al-Jarh wa al-Ta’dil:

Abȗ Qȃ sim bin Sakwal mengatakan : Telah disebutkannya dalam Syakh ‟Abdullah bin Wahhab, dan dikatakan orang-orang kufah dapat di percaya

شركشِ فٗ ٛخ عذذثهلل دٍ ْٔخ, ٔلجل كٕفٗ عمز

Abȗ Hȃ tim al-Rȃ zi mengatakan : Dapat dipercaya

عمز

Abȗ Dȃ wud al-Sajastȃ ni mengatakan : Wakȋ ‟ menjaga dan ‟Abdu al- Rahman bin Mahdȋ mengenal dengan baik.

ٔكٛع ثدفظ ٔعذذثنشدًٍ دٍ يٓذٖ أصم28ٍ

c. Sufyȃ n (sudah dijelaskan dihalaman 16-17)

d. ’Abdu al-A’la (sudah dijelaskan dihalaman 17-18)

e. Sa’ȋ d ibnu Jubair (sudah dijelaskan dihalaman 18-19)

f. ibnu ‘Abbȃ s (sudah dijelaskan dihalaman 19-20)

3. Kritik Sanad jalurAhmad bin Hambal

a. Ahmad bin Hanbȃ l (sudah dijelaskan dihalaman 20-21)

B. Mu‘amal

28Yusuf Ibn „Abd al-Raḥ man Ibn Yusuf, Abu al-Ḥujjāj, Jamāl al-Dīn Ibn al-Zakī Abī Muḥ ammad al-Qadla‟ī al-Kilabī al-Mizī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl, Cet. 1,j.30,h.462.

86

a. Biografi : nama Mu„amal Isma‟ȋ l al-Qurosyiyyi al-‟Adawi Abȗ ‟Abdu al-Rahmȃ n al-Basari tamu khalȋ fah ‟Umar bin al-Khattab, dan dikatakan tuan Banȋ Bakar bin‟Abdu Manah bin Kunȃ nah.

b. Guru-gurunya adalah Ibrahȋ m bin Yazȋ d al-Khawȃ ziz, Himȃ d bin Zayd, Himȃ d bin Salamah, Sufyȃ n al-Sauri, Sufyȃ n bin‟Iyanah, Syu‟bah bin al-Hujjaj, Ikrȃ mah bin‟Imar al-Yamȃ mi, „Imȃ rah bin zadzan al-Soldalȃ ni, Fadil bin‟Iyȃ d, Muroq bin Fadȃ lah, Nafi‟u bin ‟Umar al-Jamhi, Abi Halȃ l al- Rasȃ bi.

c. Murid-muridnya adalah Ahmad bin Ibrahȋ m al-Darȗ qi al-‟Abdi, Ahmad binHanbal, Abȗ al-Jauzȃ i Ahmad bin‟Usman al-Naufȃ li, Ahmad binNasar, al-Farȃ i al-Naisȃ bȗ ri, Ishȃ k bin Rahȃ wiyah, Abȗ Bisyru Bakar bin Khalȃ f, Ja‟far bin Musafar al-Tanȋ si, ‟Usman binYahya al-Qurqusȃ ni, ‟Alȋ bin Sahal al-Ramli, ‟Alȋ binal-Madȃ ni, Abȗ ‟Amir ‟Isa bin Muhammad bin al-Hunȃ s al-Romli, Mutsana bin Mu‟ȃ z anak Mu‟ȃ z al-‟Inbȃ ri, Muhammad bin Basyar Binidar, Muhammad bin Sahal binMahȃ jir al-Rȃ qi, Muhammad bin‟Abdu al-Majȋ d al-Tamȋ mi, Abȗ Karib Muhammad bin al- „Alȃ „i, Abȗ Mȗ sa Muhammad bin al-Mutsana, Mahmȗ d bin Goylȃ n al- Marȗ zi, Ma‟mȗ l bin Ihab, Abȗ Yȗ suf Ya‟qub bin Ishȃ k al-Jȋ zi

d. Sighat tahammul wa al-ada`:Haddȃ tsana

e. Al-Jarh wa al-Ta’dil

Ahmad bin Syu‟ab al-Nasȃ ni mengatakan : Dapat dipercaya عمز Ishȃ k bin Rahȃ wiyah mengatakan :Dapat dipercaya عمز

Ibnu Hajar al-‟Asqalȃ ni mengatakan : Dapat dipercaya

قصذٔ 29

29Yusuf Ibn „Abd al-Raḥ man Ibn Yusuf, Abu al-Ḥujjāj, Jamāl al-Dīn Ibn al-Zakī Abī Muḥ ammad al-Qadla‟ī al-Kilabī al-Mizī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl, Cet. 1,j.25,h.116. 87

c. Sufyȃ n (sudah dijelaskan dihalaman 16-17) d. ’Abdu al-A’la (sudah dijelaskan dihalaman 17-18) e. Sa’ȋ dbin Jubair (sudah dijelaskan dihalaman 18-19) f. ibnu ’Abbȃ s (sudah dijelaskan dihalaman 19-20) iii. Kesimpulan Berdasarkan penelitian terhadap sanad-sanad di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil antara lain : 1. Semua hadis diatas bersandar kepada Rasulallah Saw, artinya berkategori marfu‟,lebih spesifikasinya marfu‟ qauli haqȋ qi. 2. Ditinjau dari isi hadis, kesemuanya berupa ungkapan Nabi Saw, artinya termasuk kategori hadis qauli. 3. Ditinjau dari Jumlah Perawi yang meriwayatkan 2 hadis Ahmad ibnu Hanbal diatas, hadis yang diriwayatkan oleh sahabat ibnu „Abbas 4.Ditinjau dari penelitian sanad pada jalur hadis pertama Ahmad ibnu Hanbal semuanya terjadi pertemuan antara guru sama murid, Maka hadis ini bersambung sanadnya. 5. Ditinjau dari penelitian sanad pada jalur hadis Kedua Ahmad ibnu Hanbal semuanya terjadi pertemuan antara guru sama murid, Maka hadis ini bersambung sanadnya. 6. Dalam 2 hadis Ahmad ibnu Hanbal tidak ditemukannya Biografi pada 1 perawi, yaitu „Abdullah didalam kitab Tahdzȋ b al-Kamȃ l, maupun kitab Tahdzȋ b al-Tahdzȋ b. 6. Menurut pandangan Ulama dalam dalam hadis yang diriwayatkan dua hadis Ahmad ibnu Hanbal, ada komentar dalam satu jalur, yaitu di „Abdu al-„A‟la. Ulama yang berkomentar antara lain : al-Daruqutni, laisa bi al- Qowi, dan Ahmad ibnu Syu‟ab al-Nasani mengatakan, laisa bi al-Qawi wa yaktubu Hadȋ tsahu. Maka kualitas hadis Hasan lizzati, karena qolȋ l al- Dȃ bit dan pada perawi lainnya bersifat Tsiqah.

88

7. Dalam 2 hadis Ahmad ibnu Hanbal tidak ditemukannya Biografi pertama pada 1 perawi, yaitu „Abdullah didalam kitab Tahdzȋ b al- Kamȃ l, maupun kitab Tahdzȋ b al-Tahdzȋ b,dan tidak ditemukannya antara guru dengan murid. Maka hadis ini adalah hadis Mu‟allaq yang gugurnya seorang perawi hadis, maka hadis ini ini berderajat Da‟ȋ f.

A. Telaah Matan Hadis Hadis larangan menafsirkan al-Qur‟an yang telah dipaparkan di atas, bila dipilah-pilah berdasarkan penggalan syarat kalimat akan keragaman interpretasi adalah sebagai berikut: Pertama, man qȃ la, Kedua, fȋ al-Qur‟ȃ n atau „ala al-Qur‟ȃ n, dalam riwayat lain fȋ kitȃ billah; Ketigat bi ra‟yihi, dalam riwayat lain bi gair „ilm; Keempat, fa asȃ ba, faqad akhta„a dan Kelima, falyatabawwa‟ maq‟adahu min al-nȃ r. Adapun penjelasan secara rinci penggalan-penggalan hadis di atas adalah sebagai berikut:

1. Hadis di atas diawali statement Nabi Saw. man qȃ la (siapa yang menyatakan), mengandung pengertian siapa saja (umat Muhammad sendiri ataupun bukan, orang yang ada pada masa Nabi ataupun sesudahnya) dan siapa saja (tanpa terikat oleh apapun khususnya setelah ucapan ini diluncurkan), untuk tidak menyatakan (baik secara lisan maupun tertulis), dalam syarah „Aun al-Ma‟bȗ d mencakup pula makna “memperbincangkan” (takallama),30sesuatu yang disebutkan dalam kalimat berikutnya. al-Manȃ wi juga memberikan pengertian lain dalam kitab al-Musykil yaitu pernyataan yang tidak ia kenali, atau tidak diketahui atau tidak dimengerti.31

30 Muhammad Syam al-Haq al-‟Azim Abadi Abu al-Tayyib, „Aun al-Ma‟bȗ d, (Beirut: Dar al-Kutub al-‟ilmiyyah, 1415 H), juz 10, h. 61 31Al-Mubarak furi, Abu al-‟Ula Muhammad „Abd al-Rahman ibn „Abd al-Rahim (1283-1353), Tuhfah al-Ahwazi bi Syarh Jami„ al-Turmuzi, (Beirut: Dar al-Kutub al-‟Ilmiyyah, 1997.), juz 8, hlm. 223; Lihat pula al-Sa‟ati, Ahmad „Abd al-Rahman al-Banna al-Fath al-Rabbani, (Beirut: Dar Ihya‟ al-Turas al-‟Arabi,.), Juz 18, h. 62 89

2. Sesuatu yang dinyatakan atau diperbincangkan tersebut adalah sesuatu yang ada fȋ al-Qur‟ȃ n atau dalam riwayat lain fȋ kitȃ billah sebagai istilah atau sebutan lain dari al-Qur‟ȃ n itu sendiri. Sudah barang tentu yang diperbincangkan bukan al-Qur‟ȃ nnya itu sendiri melainkan apa yang ada di dalamnya, ada yang memaknai arti yang dikandung di dalamnya adalah tentang lafaznya maupun maknanya.32 Artinya khitab hadis ini ditujukan kepada siapa saja yang mengucapkan atau mengungkapkan, lebih-lebih berbohong (mengungkapkan yang tidak benar atau menyalahi yang sebanarnya) dari apa-apa yang ada di dalam al-Qur‟ȃ n baik lafaz (wilayah qirȃ ‟at) maupun maknanya (wilayah ta‟wȋ l dan tafsȋ r).

3. Keterangan lebih lanjut pengungkapan tentang isi al-Qur‟ȃ n (lafaz maupun makna) tersebut dilakukan dengan cara atau timbulnya dari ra‟yu atau dalam riwayat lain diungkapkan dengan kata bi ghair „ilm (tanpa pengetahuan). Al-Ra‟yu yang bentuk jamaknya adalah ar„a„u, atau ara„u mengandung pengertian pendapat yang bukan bersumber dari nas, sebagaimana kalangan Muhadditsȗ n menyebut para ulama yang menggunakan qiyas sebagai ahl al-ra‟y, yang mereka maksudkan adalah karena mereka berpegang kepada pendapat mereka sendiri terhadap hal-hal yang musykil pada nash, atau dengan kata lain mereka yang tidak menghadirkan argumen didalamnya dengan hadis atau atsar.33 Lebih jauh para syarih hadis memahami kata bi ra‟yihi sebagai ungkapan yang didasarkan pada akalnya semata atau simbol dari nafsunya sendiri tanpa diikuti pernyataan para tokoh atau ahli bahasa Arab yang sesuai dengan kaedah-kaedah syar‟iyyah.34 Artinya bahwa mengungkapkan makna al-Qur‟ȃ n dengan menggunakan kaedah-kaedah bahasa Arab yang sesuai dengan manhaj al-syar‟iyyah tidak termasuk dalam kategori bi ra‟yihi. Lebih-lebih dalam riwayat lain diungkapkan dengan term bi gair „ilm yang

32Al-Mubarakfuri, Abȗ al-‟Ula Muhammad „Abd al-Rahman ibn „Abd al-Rahim (1283-1353), Tuhfah al-Ahwȃ zi bi Syarh Jami„ al-Turmȗ dzi, juz 8, h. 225. 33Ibn Manzur, Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram al-Ifriqi al-Misri, Lisȃ n al-‟Arab, (Beirut: Dar al-Sadir, 1990), juz 14, h. 300 34Al-Mubarakfuri, Abȗ al-‟Ula Muhammad „Abd al-Rahman ibn „Abd al-Rahim (1283-1353), Tuhfah al-Ahwȃ zi bi Syarh Jami„ al-Turmȗ dzi, juz 8, h. 224. 90

dimaknai oleh para syarih sebagai ungkapan yang tidak di dasari dalil yaqȋ ni maupun dalil zanniy baik naql (nash al-Qur‟ȃ n maupun hadis, atsar) maupun „aql (logika-logika, mantȋ q, qiyȃ s dan sejenisnya) yang masih selaras dengan syarȋ ‟at.35 Artinya bahwa hasil ijtihad dalam konteks hadis ini tidak masuk dalam kategori bi ghair „ilm selama menggunakan kaedah-kaedah atau selaras dengan prinsip-prinsip syar‟i. Lebih-lebih Nabi Saw sendiri memperkenankan penggunaan ijtihad ketika tidak ada dasar nash al-Qur‟ȃ n maupun hadis bahkan Nabi Saw sendiri dalam beberapa hal menggunakan qiyas untuk menjawab suatu permasalahan dan sebagainya. 4. Hadis di atas dilanjutkan dengan penegasan fa asȃ ba faqad akhta„a (sekiranya benar maka ia telah berbuat kesalahan), artinya hasil. dari pengungkapan yang muncul dari dorongan nafsu semata, atau muncul dari otaknya tanpa dilandasi kaedah-kaedah atau tidak selaras dengan prinsip-prinsip syar„i, maka sekalipun benar maka tetap bersalah, sebab benarnya adalah suatu kebetulan sedangakan salahnya karena faktor prosedurnya. Dernikianlah ulama memberikan penjelasan atas kalimat ini, seperti Ibn Hȃ jar yang menyatakan kesalahannya. karena prosedur yang diberlakukan secara tidak konsisten, padahal Kalam Allah satu kata saja bila tidak dipahami dari kaedah bahasa, seperti nahwu saraf, balagah, dan lainnya akan mernbawa konsekwensi makna yang berbeda, demikian pula suatu ayat yang didalamnya terkait dengan ayat lain membutuhkan telaah historis (asbȃ b al-nuzȗ l), nasȋ kh mansȗ kh dan lain sebagainya.36 Al-Tarbusti yang dikutip al-Mubȃ rakfuri menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan bi al-ra‟y adalah sesuatu yang tidak dilandasi atau melandaskan pada ilmu-ilmu al-Qur‟ȃ n dan al-Sunnah, (di antaranya tolok ukur kebahasaan, dalam hal ini bahasa Arab, lalu „ilmu asbȃ b al-Nuzul, al-nasȋ kh wa al-mansȗ kh, „ȃ m dan khas, mujmal dan mufassal serta yang lainnya) melainkan pernyataan yang

35Al-Mubarakfuri, Abȗ al-‟Ula Muhammad „Abd al-Rahman ibn „Abd al-Rahim (1283-1353), Tuhfah al-Ahwȃ zi bi Syarh Jami„ al-Turmȗ dzi, juz 8, h. 223 36Al-Mubarakfuri, Abȗ al-‟Ula Muhammad „Abd al-Rahman ibn „Abd al-Rahim (1283-1353), Tuhfah al-Ahwȃ zi bi Syarh Jami„ al-Turmȗ dzi, juz 8, h. 225. 91

muncul karena tuntutan akalnya sendiri, maka siapa saja yang melakukan tanpa memenuhi persyaratan di atas adalah salah di atas hal yang benar, itulah sebabnya ia membedakan antara mujtahad dan mutakkallȋ f, mujtahid diberi pahala sekalipun salah, sedangkan mutakkalȋ f diazab sekalipun benar.37 Perbedaan antara keduanya menurut penulis terletak pada prosedur (manhȃ j). Abadi menambahkan bahwa maksud pernyataan dengan al-ra‟y adalah tanpa landasan pengetahuan akan pokok-pokok serta cabang-cabang ilmu yang terkait sehingga sekiranya ada kesesuaian yang tanpa disadarinya, bukanlah sesuatu yang terpuji.38 5. Sebagai konsekuensi mereka yang mengungkapkan isi al-Qur‟an dengan prosedur yang salah yaitu melalui nalar ansich atau tanpa dasar ilmu-ilmu yang terkait, lebih lebih muncul dari hawa nafsunya, maka disediakan bagi mereka tempat yang sesuai dengan kecerobohannya tersebut yaitu falyatabawwa‟ maq‟adahu min al-nȃ r (maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api), umumnya ulama menerjemahkan kata al-nȃ r dengan api neraka terutama yang terkait dengan ancaman- ancaman agama. Bentuk perintah didalam hadis ini dipahami sebagai bentuk ancaman, ada pula yang memaknai perintah dalam hadis ini menunjukkan berita saja, artinya diberitakan bahwa mereka yang sengaja mengungkapkan isi al-Qur‟ȃ n tanpa dasar ilmu atau muncul dari nafsu atau akal-nya semata akan ditempatkan ditempat dari api neraka. Ibn Hȃ jar al-‟Asqalȃ ni yang dikutip al-Asȃ ‟ati menyatakan bahwa ancaman ini ditujukan kepada kaum pembuat bid‟ah yang menghilangkan begitu saja lafaz al-Qur‟ȃ n untuk maksud yang mereka kehendaki sehingga dari segi prosedur mereka telah rnembuat kesalahan dalam pengambilan dalil maupun nashnya.39 6. Semakin jelas sudah makna hadis di atas ditinjau dari sisi lafzinya dengan berbagai kemungkinan kandungan di dalamnya jelas sekali bahwa

37Al-Mubarakfuri, Abȗ al-‟Ula Muhammad „Abd al-Rahman ibn „Abd al-Rahim (1283-1353), Tuhfah al-Ahwȃ zi bi Syarh Jami„ al-Turmȗ dzi, juz 8, h. 226. 38 Muhammad Syam al-Haq al-‟Azim Abadi Abu al-Tayyib, „Aun al-Ma‟bȗ d, juz 10, h. 61. 39Al-Mubarakfuri, Abȗ al-‟Ula Muhammad „Abd al-Rahman ibn „Abd al-Rahim (1283-1353), Tuhfah al-Ahwȃ zi bi Syarh Jami„ al-Turmȗ dzi, juz 8, h. 226.

92

ancaman hadis ini diberikan kepada siapa saja yang melakukan upaya pemaknaan al-Qur‟ȃ n dengan akal semata lebih-lebih dengan nafsunya atau tanpa landasan pengetahuan yang memadai dan terkait dengan al-Qur‟ȃ n. Kalau diperhatikan lebih jauh dari setting statemen ini, tampaknya hadis ini sedang membicarakan tentang keharusan umat Islarn atau siapa saja yang akan mendalami al-Qur‟ȃ n memiliki bekali ilmu khususnya terhadap sunnah Nabi yang di dalamnya memuat penjelasan beliau (sebagai mubayyin al-Qur‟ȃ n) guna memahami al-Qur‟ȃ n secara benar dan bukan sebaliknya tergesa menafsiri dengan akal-nya sendiri dengan mengabaikan apa yang telah dijelaskan Nabi. Kalau hal itu dilakukan berarti dia telah berbohong atas nama Nabi Saw, karena otoritas penjelasan ada padanya, tanpa berkonsultasi dengan penafsirannya atau manhaj penafsiran Nabi Saw tersebut berarti telah berbohong atas namanya. Ungkapan inilah yang tampak pada bagian hadis lain ini yaitu: ittaqu al-haditsa anni illa mȃ „alimtum (takutlah kalian/hati-hatilah terhadap hadis-hadis dariku kecuali yang benar-benar telah aku ajarkan kepada kalian), makna takutlah kalian di atas adalah anjuran untuk waspada kalau perlu menjauhi apa apa yang dinyatakan sebagai hadis dari Nabi, kecuali benar-benar hal itu telah diajarkan Nabi Saw (disimak dan dipelajari sahabatnya). Lebih-lebih menyatakan sesuatu untuk menguatkan argumennya atau pelaksanaan agamanya dengan mengatasnamakan hadis Nabi Saw, atau bersumber dari Nabi Saw.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan. Setelah dilakukan penelitian terhadap dua hadis larangan menafsirkan al- Qur‟ȃ n bi al-Ra„y dalam buku Haji Pengabdi Setan. Maka dapat disimpulkan bahwa kualitas hadis hadis tersebut tidak sampai derajat Sahȋ h, melainkan derajat Hasan. 1. Ditinjau dari pembahasan hadis di atas dalam Buku Haji Pengabdi Setan karya Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, Pak Kiai mengatakan bahwa Hadȋ ts Man Qala Fȋ Kitab Allah Bi al-Ra‟y ini dapat menangkal faham global. 2. Ditinjau hadis pertama dari pandangan ulama terhadap hadis diatas, bahwa ada ulama yang berpendapat pada jalur Suhail ibnu Mihran,yakni: Ahmad bin Hanbal mengatakan Munkar, namun penulis memakai komentar, al-Bukhȃ ri, Abȗ Hȃ tim,al-Nasȃ „i, mengatakan tidak kuat. Karena ada qolȋ l al-Dȃ bit pada jalur ini, maka hadis ini berstatus Hasan Lidzdzati. 3. Ditinjau hadis kedua Dalam hadis Ahmad bin Hanbal tidak ditemukannya Biografi pada 1 perawi, yaitu ‟Abdullah didalam kitab Tahdzȋ b al-Kamȃ l, maupun kitab Tahdzȋ b al-Tahdzȋ b. Maka hadis ini adalah hadis Mu‟allaq yang gugurnya seorang perawi hadis, maka hadis ini ini berderajat Da‟ȋ f. Namun hadis ini naik derajat menjadi Hadȋ ts Hasan karena jalur periwayatan al-Tirmȋ dzi yang derajat Hasan Lidzdzȃ ti, dan karna ada problem dalam satu jalur perawi ini, maka hadis yang kedua ini derajat Hasan. 4. Ditinjau lafaz dan hadis ini bersifat Hadȋ ts Marfu‟, yakni hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. 5. Ditinjau dalam jumlah periwayatan hadis, hadis ini masuk kategori hadis Gharȋ b, yaitu hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya. Dan masuk Hadȋ ts Gharȋ b Mutlaq, Yaitu menyendiri periwayatan pada personalia sanadnya. 6. Ditinjau dari Jumlah Perawi yang meriwayatkan 4 hadis diatas, hadis yang diriwayatkan oleh sahabat ibnu „Abbȃ s dan Jundub.

93 94

7. Ditinjau dari matan hadis diatas tidak diperkenankan bagi orang awam (orang yang tidak mempunyai dasar ilmu al-Qur‟ȃ n) untuk menafsirkan al-Qur‟an dengan ra‟y (logika), karena imbalannya adalah neraka. 8. Ditinjau dari kualitas sanad hadis ini termasuk hadȋ ts maqbȗ l yaitu hadis yang dapat diterima sebagai hujjah, yang termasuk hadȋ ts mardȗ d adalah segala macam hadȋ ts da‟ȋ f. Hadȋ ts mardȗ d tidak dapat diterima sebagai hujjah karena terdapat sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya atau pada sanadnya

B. Saran-saran 1. Penulis berharap agar penelitian ini dapat dilanjutkan dengan melengkapi penelitian riwayat yang belum penulis teliti. 2. Penulis berharap agar penelitian ini juga dilanjutkan dengan meneliti matannya. 3. penulis juga berharap semoga penelitian ini bermanfaat dan bisa memunculkan inspirasi agar terus semangat dalam menimba ilmu.

95

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, Jakarta: Renaisan, 2005.

Alȋ , Nizȃ r, Memahami Hadȋ s Nabi: Metode dan Pendekatan, Yogyakarta: YPI al-Rahmah, 2001.

Asse, Ambo, Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi Saw., Cet. I; Makassar: Dar al-Hikmah wa al-„Ulum Alauddin Press, 2010.

Amir, Sulaimân bin al-asy‟ats bin Syaddad bin Amrin bin, Sunan Abȗ Dâwud, Kairo : Daar el-Hadis,2010. Al-Bâqi, Muhammad Fu‟ad Abd, Miftâh al-Kunȗ z al-Sunnah, Lahore: Idarah Tarjuman al-Sunnah ,1978M. Buchori,Didin Saefuddin, Metodologi Studi Islam, Bogor, Granada Sarana Pustaka,2005.

Cholil,Munawar, Al-Qur‟ȃ n dari Masake Masa, Solo: C.V.Ramadhani, 1985.

Fatawi, M. Faisal, Manaqib Ulama Nusantara Sejarah Hidup dan Mata Air Keteladanan, Penerbit Dialektika Yogyakarta 2017. al-Hanbal,Abi al-Faraj ‟Abd ar-Rahmân bin ‟Alȋ bin al-Jauzi, Jâmi‟ al- Masânȋ d, Maktabah al-Rusydu 795 H. Ilyas ,buku Yunahar dkk, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadits, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta: LPPI, 1996.

Isma‟īl, M. Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya¸Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

------, Syuhudi , Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma‟ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

------, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1988. 96

------, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Jalȃ luddin, Al-Suyȗ thi, al-Itqȃ n fȋ ‟Ulȗ m al-Qur‟ȃ n, Beirut: Dar al-Fikr 2008 M-1429H. al-Khâtib,Muhammad „Ajjâj, Ushȗ lul al-Hadȋ ts, Beirut: Dar al Fikr, 1989 M/1409 H. al-Mȃ liki, „Arȃ bi, „Arȋ dah al-Ahwȃ zi Sahȋ h al-Turmȗ zi, Beirut: Dar al-Kutub al-‟Alamiyyah, 1997. al-Misri, Ibn Manzur, Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram al- Ifriqi, Lisȃ n al-‟Arab, Beirut: Dar al-Sadir, 1990. al-Mȋ zi, Yȗ suf Ibn „Abd al-Raḥ mȃ n Ibn Yȗ suf, Abȗ al-Ḥujjāj, Jamāl al-Din Ibn al-Zaki Abȋ Muḥ ammad al-Qadla‟i al-Kilabī al-Mii, Tahdzīb al- Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl, Beirut: Muassasah al-Risālah, 1980. Munawwir,Ahmad Wirson, Kamus Al-munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Unit PBIK PP Al-Munawwir, 1984.

Poerwadarminta,W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Qardhawi,Yusuf, Metode Memahami al-sunnah dengan Benar, terj. Syaifullah Kamalie, Jakarta: Media Dakwah, 1994. al-Qaththan, Manna. Mabāhit fȋ Ulȗ m al-Qur‟ān.Beirut: Dar al-Fikr 1973.

Rahman,Fathur, Ikhtisar Mustalahul Hadits, (Bandung, PT al-Ma‟arif 1974) al-Rȗ mi,Fahd bin „Abd al-Rahmān, Ulȗ m al-Qur‟ān: Studi Kompleksitas al-Qur‟ān, tej. Amirul Hasan dan Muhamad Halābi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999.

Salam,Bustamin, M. Isa H. A, Metodologi Kritik Matan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. al-Salȋ h, Subhi ,„Ulȗ m.al-Hadȋ ts wa Mustalāhuhu, Beirut: Dar al-‟Ilm li al-Malayin, 1997 97

Al-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟ân Tafsīr, Jakarta: Bulan Bintang,1954.

Sihȃ b al-Din Ahmad bin „Alȋ bin Hȃ jar al-„Asqalȃ ni, Tahdzȋ b al-Tahdzȋ b, Beirut: Dar al-Fikr,1984. al-Suyȗ tȋ ,Jalâluddȋ n ‟Abd ar-Rahmân, Jâmi‟ al-Hâdīts Jâmi‟ as-Sogȋ r wa Zawâiduh wa al-Jâmi‟ al-Kabȋ r, Beirut : dar al-Fikr,119 H. ------, Jalāluddin „Abdu al-Rahmān bin Abī Bakr, Tadrīb ar Rawi fī Syarh Taqrīb an Nawāwi, Beirut: Dar Ihya as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1979 M. al-Syaibani, Abȗ Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad, Musnad Ahmad bin Hambal, Turki: Muassasat al-Risalah, 2001.

Al-Ṭ ahān,Maḥ mūd, Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadis, terj. Ridwan Nasir, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995. ------, Mahmūd , Taisȋ rMustalȃ hul Hadȋ ts, Beirut: Dar Al-Fikr,1985 M.1405 H.

------, Mahmȗ d, Taisīr Mustalâh al-Hadīs, Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, 1985. al-Tayyib, Muhammad Syam al-Haq al-‟Azim Abadi Abu, „Aun al-Ma‟bȗ d, Beirut: Dar al-Kutub al-‟ilmiyyah, 1415 H al-Tirmīdzi, Muhammad bin 'īsa bin Saurah bin Mȗ sa bin al-Dahhak, Sunan al- Tirmīdzi, Kairo : Daar el-Hadis, 2010. Wensinck,A.J.Al, Mu‟jam al-Mufahrȃ s li al-Fȃ z al-Hadȋ ts al-Nabȃ wi (terj),m.fuad „ abd al-baqi , leiden : EJ.Brill,1943. Yaqub, Ali Mustafa, Haji Pengabdi Setan, Pustaka Firdaus Jakarta 2015.

------,K.H. Ali Mustafa, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001.

Zaghȗ l, Muhammad Sa‟id, Mausȗ ‟at al-Atrȃ f al-Hadȋ ts al-Nabȃ wi, Beirut:dar al-fikr,1994 . 98

al-Zahabi, Husain, al-Tafsīr al-Mufassirȗ n, Kaero: Multazam al-Taba‟ wa asr Dar Kutub al-Hadisah, 1961.