Studi Kasus Sengketa Wilayah Ambalat Antara

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Studi Kasus Sengketa Wilayah Ambalat Antara Lex et Societatis, Vol. I/No.2/Apr-Jun/2013 TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN (sovereignty). Ambalat adalah blok dasar SENGKETA TENTANG PENETAPAN BATAS laut yang berlokasi di sebelah timur pulau WILAYAH LAUT NEGARA (STUDI KASUS Borneo (Kalimantan). SENGKETA WILAYAH AMBALAT ANTARA Ambalat merupakan dasar laut yang INDONESIA DENGAN MALAYSIA)1 berada pada rejim Zona Ekonomi Eksklusif Oleh : Merilin L. I. Thomas2 (ZEE) dan landas kontinen yang artinya bukan dalam rejim kedaulatan, melainkan ABSTRAK hak berdaulat. Ambalat merupakan Terjadinya tumpang tindih pemberian ambang batas laut seluas 6.700km2 yang konsensi di Blok Ambalat menjadi pemicu banyak mengandung sumber daya migas sengketa. Malaysia mengklaim Blok yang terletak di perbatasan antara Sabah- Ambalat sebagai miliknya berdasarkan Peta Malaysia dan Kalimantan Timur-Indonesia. Baru 1979 yang dibuat secara sepihak oleh Pada tanggal 16 Februari 2005, Petronas Malaysia. Sedangkan Indonesia sejak tahun (perusahaan minyak Malaysia) memberikan 1960-an sudah lebih dahulu memberikan konsesi atas blok ND-6 dan ND-7 kepada konsensi kepada beberapa perusahaan Petronas Carigali yang bermitra dengan asing lainnya dengan nama yang berbeda di Royal Dutch/Shell Group. Blok yang wilayah Ambalat. Penyelesaian sengketa menjadi subjek konsesi Malaysia ini Blok Ambalat antara Indonesia dan tumpang tindih dengan Blok Ambalat dan Malaysia, menurut hukum internasional East Ambalat yang dikonsesikan oleh diwajibkan secara damai. Setiap organisasi Indonesia kepada ENI (perusahaan minyak internasional mewajibkan proses Italia), dan Unocal (perusahaan penyelesaian sengketa secara damai, selain multinasional Amerika) pada 12 Desember tidak merugikan dan mengakibatkan 2004. dampak yang buruk, penyelesaian sengketa secara damai memiliki nilai peradaban yang Faktor-faktor penyebab timbulnya lebih tinggi. persengketaan blok perairan ambalat Kata kunci: Batas wilayah, laut negara adalah: 1. Masing-masing negara baik Indonesia BAB I maupun Malaysia mengklaim bahwa blok perairan ambalat adalah wilayah Ambalat adalah blok laut luas yang teritorial kedaulatan negaranya. mencakup 15.235 kilometer persegi yang 2. Tidak adanya batas negara yang jelas terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makasar dikawasan perairan ambalat. dan berada di dekat perpanjangan 3. Tidak adanya kesepakatan antar kedua perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, negara atas batas negara. dan Kalimantan Timur, Indonesia. 4. Adanya sumber daya alam yang Penamaan blok laut ini didasarkan atas melimpah, yang terkandung dalam perut kepentingan eksplorasi kekayaan laut dan bumi di kawasan perairan ambalat yaitu bawah laut, khususnya dalam bidang minyak dan gas bumi. pertambangan minyak. Sebagian besar atau seluruh Blok Ambalat berada pada jarak Malaysia mengeluarkan Peta Baru pada lebih dari 12 mil dari garis pangkal sehingga bulan Desember 1979 dengan batas terluar termasuk dalam rejim hak berdaulat klaim maritim yang sangat eksesif di Laut (sovereign rights), bukan kedaulatan Sulawesi. Peta ini secara jelas memasukkan kawasan dasar laut, yang kemudian oleh 1 Artikel Skripsi Indonesia disebut Blok Ambalat, sebagai 2 NIM 080711048 160 Lex et Societatis, Vol. I/No.2/Apr-Jun/2013 bagian dari Malaysia. Indonesia dan Negara merupakan subjek utama dari beberapa negara tetangga lainnya tidak hukum internasional, baik ditinjau secara mengakui Peta ini dan mengajukan protes, historis maupun secara faktual. Secara Indonesia mengirim nota protes bulan historis yang pertama-tama merupakan Februari 1980 terkait Pulau Sipadan dan subjek hukum internasional pada awal mula Ligitan yang juga dimasukkan dalam peta lahir dan pertumbuhan hukum itu, padahal penyelesaian sengketa internasional adalah negara. Peranan kepemilikan kedua pulau tersebut pada negara lama-kelamaan juga semakin waktu itu belum tuntas. dominan oleh karena bagian terbesar dari Protes ini diikuti oleh Filipina dan Cina hubungan-hubungan internasional yang terkait Spratly Island. Singapura dapat melahirkan prinsip-prinsip dan mengirimkan protesnya bulan April 1980 kaidah-kaidah hukum internasional terkait dengan Pedra Branca (Pulau Batu dilakukan oleh negara-negara. Bahkan Puteh). Protes juga dilayangkan oleh hukum internasional itu sendiri boleh Thailand, Vietnam, Taiwan, dan United dikatakan bagian terbesar terdiri atas Kingdom atas nama Brunei Darussalam. hubungan hukum antara negara dengan Singkatnya, Peta 1979 adalah peta sepihak negara. Suatu negara yang berdaulat, tetap Malaysia yang tidak mendapat pengakuan tunduk pada hukum internasional serta dari negara tetangga dan dunia tidak boleh melanggar atau merugikan internasional. Meski demikian, Peta 1979 kedaulatan negara lainnya. Hal ini tetap menjadi peta resmi yang berlaku di dikarenakan oleh kepatuhan hukum Malaysia (setidaknya secara sepihak) negara-negara yang melakukan suatu bahkan hingga saat ini. Fakta ini menjadi perjanjian, dimana negara-negara ini terikat dasar pandangan bahwa Malaysia dalam suatu hukum internasional yang mendasarkan klaimnya atas Ambalat pada diberikan sanksi jika terjadi suatu Peta 1979. pelanggaran hukum (onrecht matige daad). Ada satu pandangan bahwa dalam Konsepsi Kelsen mengenai negara, mengklaim Ambalat, Indonesia mengacu menekankan bahwa negara merupakan pada UNCLOS sementara Malaysia tetap suatu gagasan teknis yang semata-mata pada peta yang disiapkannya tahun 1979. menyatakan fakta bahwa serangkaian Perlu dipahami bahwa Indonesia dan kaidah hukum tertentu mengikat Malaysia sama-sama telah sekelompok individu yang hidup di dalam meratifikasi/menjadi anggota UNCLOS. suatu wilayah teritorial terbatas, dengan Indonesia bahkan sudah menandatangani perkataan lain, negara dan hukum UNCLOS pada tahun 1985 melalui UU No.17 merupakan suatu istilah yang sinonim. Hans Tahun 1985, sedangkan Malaysia Kelsen mengemukakan pernyataan ini, melakukan ratifikasi pada tanggal 14 sebab negara dan hukum memiliki Oktober 1996. Ini berarti bahwa Indonesia keterkaitan yang begitu erat, banyak yang dan Malaysia harus mengikuti ketentuan mengatakan hukum adalah negara, dan UNCLOS dalam melakukan klaim atas negara adalah hukum. Negara terbentuk kawasan laut seperti laut teritorial, ZEE dan karena adanya suatu masyarakat yang landas kontinen. Artinya, dalam mendiami suatu wilayah tertentu, dan menyatakan hak atas Ambalat pun kedua memproduksi hukum yang kemudian negara harus mengacu pada UNCLOS. menunjuk pemerintah yang memiliki kewenangan eksekutif menjalankan tugas- BAB II tugas dan fungsi negara. Sedangkan hukum A. Wilayah Negara 161 Lex et Societatis, Vol. I/No.2/Apr-Jun/2013 itu dijalankan oleh masyarakat yang berada Wilayah laut Indonesia pertama kali dalam suatu negara tertentu. ditentukan dengan Territoriale Zee en Wilayah negara merupakan ruang Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO) khusus yang dibatasi. Ia bukanlah belahan tahun 1939. Berdasarkan TZMKO tahun permukaan bumi yang dibatasi, melainkan 1939, lebar laut wilayah perairan Indonesia ruang tiga dimensi yang mencakup ruang di hanya meliputi jalur-jalur laut yang bawah tanah dan ruang di atas wilayah mengelilingi setiap pulau atau bagian pulau yang tercakup oleh apa yang dinamakan Indonesia. Lebar laut hanya 3 mil laut. tapal batas negara. Jelaslah bahwa Artinya, antar pulau di Indonesia terdapat kesatuan ruang ini bukanlah kesatuan laut internasional yang memisahkan satu geografis, alami. Wilayah negara yang sama pulau dengan pulau lainnya. Hal ini dapat dapat mencakup area-area yang dipisahkan mengancam persatuan dan kesatuan oleh lautan, yang mana bukanlah teritorial bangsa. Pada tanggal 13 Desember 1957 satu negara, atau oleh teritorial negara lain. pemerintah Indonesia mengumumkan Berbicara tentang wilayah negara berarti Deklarasi Djuanda. Inti dari Deklarasi harus mendalami pengertian dari suatu Djuanda yaitu sebagai berikut: wilayah negara, sebab pengertian wilayah a. Laut dan perairan di antara pulau-pulau negara dapat berarti sempit dan dapat pula menjadi pemersatu karena memiliki arti yang luas. menghubungkan pulau yang satu dengan yang lain. B. Wilayah Laut b. Penarikan garis lurus pada titik terluar Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dari pulau terluar untuk menentukan Edisi Keempat (2008), pengertian laut wilayah perairan Indonesia. adalah kumpulan air asin (dalam jumlah c. Batas-batas wilayah Indonesia diukur banyak dan luas) yang menggenangi dan sejauh 12 mil dari garis dasar pantai membagi daratan atas benua atau pulau- pulau terluar. pulau. Ada juga yang berpendapat laut adalah sekumpulan air yang sangat luas di Indonesia dari ujung barat sampai ujung permukaan bumi yang memisahkan atau timur terbentang kepulauan besar dan kecil menghubungkan suatu benua atau pulau dan lebih banyak kawasan perairan dengan benua atau pulau lainnya. Laut merupakan salah satu kekayaan tersendiri, merupakan bagian dari samudra, laut dan dari sektor wisata, hasil laut; dalam hal ini samudra dapat dibedakan berdasarkan ikan dan yang lainnya juga kekayaan yang luasnya. Samudra adalah laut yang sangat terkandung di dalamnya. Zona laut luas, sehingga disebut juga lautan. Indonesia terdiri dari zona laut teritorial, Indonesia adalah negara kepulauan zona landas kontinen, zona ekonomi dengan wilayah yang sangat luas, terutama eksklusif. untuk wilayah perairannya. Keberadaan laut di sebuah negara juga menjadi C. Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah perlambang kekuatan sebuah negara. Laut Menurut UNCLOS Indonesia dengan jumlah kawasan laut Untuk bisa menerapkan kedaulatan atau yang cukup luas sejatinya menjadikan hak berdaulat di masing-masing zona Indonesia sebagai salah satu
Recommended publications
  • Lex Et Societatis Vol. VI/No. 9/Nov/2018
    Lex Et Societatis Vol. VI/No. 9/Nov/2018 KAJIAN YURIDIS PENETAPAN BATAS Kata kunci: Kajian Yuridis, Penetapan Batas WILAYAH AMBALAT ANTARA INDONESIA Wilayah Ambalat, Indonesia dengan Malaysia, DENGAN MALAYSIA MENURUT HUKUM Hukum Internasional INTERNASIONAL1 Oleh: Roky Stefanus Baureh2 PENDAHULUAN A. Latar Belakang ABSTRAK Tahun 60-an, slogan Ganyang Malaysia Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk adalah slogan yang sangat populer bagi mengetahui bagaimana pengaturan batas bangsa Indonesia ketika itu.Dan slogan ini wilayah laut menurut UNCLOS dan bagaimana muncul kembali di seantero Indonesia, ketika penetapan batas wilayah Ambalat antara Malaysia Mendeklarasikan kleim sepihak Indonesia dan Malaysia berdasarkan hukum terhadap blok Ambalat, berdasarkan peta internasional. Dengan menggunakan metode yang dibuatnya sendiri pada tahun 1979. penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengakuan tersebut kontan ditolak Ambalat adalah blok dasar laut (landas Indonesia.Alasannya, Malaysia bukan negara kontinen) yang berlokasi di sebelah timur kepulauan dan hanya berhak atas 12 mil dari Pulau Borneo (Kalimantan). Sebagian besar garis batas pantai Pulau Sipadan dan atau seluruh Blok Ambalat berada pada jarak Ligitan.Patut diketahui, konsep Wawasan lebih dari 12 M dari garis pangkal sehingga Nusantara atau status Indonesia sebagai termasuk dalam rejim hak berdaulat bukan negara kepulauan telah diakui dalam kedaulatan. Pada kawasan ini telah terjadi Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa- proses eksplorasi dan eksploitasi sejak tahun Bangsa
    [Show full text]
  • Today's Ambalat: Neglecting the Basepoints of Sipadan and Ligitan
    View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by Hasanuddin University Repository X JEAIL 1 (2017) East Asian Observer 283 Today’s Ambalat: Neglecting the Basepoints of Sipadan and Ligitan Islands for Maintaining the Equidistance Principle in the Disputed Area M. Hendrapati, M. Ashri, A. Ruslan, S. Muchtar, ∗ F. Patittingi, S.M. Noor, R. Hambali & J. Sumardi The “Sipadan and Ligitan” dispute was settled by the ICJ (2002), but its impact on basepoint for baseline and maritime delimitation on the Ambalat remains a contentious issue until now. Since the islands are used as basepoints by Malaysia that results in controversy between Indonesia and Malaysia. This essay will investigate the current situation over Ambalat regarding two basepoints islands for maintaining Equidistance Line in Disputed Area. It will discuss why Malaysia has no right to use the straight baseline or straight archipelagic baseline to connect the basepoints of Sipadan and Ligitan at Sabah and suggest measures to maintain equidistance line in Ambalat. Keywords Neglecting, Basepoint, Straight Archipelagic Baseline, Ambalat, Maritime Delimitation, Separate Opinion. 1. Introduction Sipadan and Ligitan islands are owned by Malaysia as per the International Court of Justice’s (“ICJ”) decision on December 16, 2002.1 In 1996, President Soeharto of Indonesian Republic and Prime Minister Mahathir Mohammad of Malaysia agreed that both would obey any decision reached by the ICJ and implement it in order to ∗ Marcel Hendrapati, Muhammad Ashri, Achmad Ruslan,Syamsuddin Muchtar, Farida Patittingi, Syamsuddin Muhammad Noor, Ruslan Hambali & Juajir Sumardi. The authors are lecturers in the Faculty of Law, Hasanuddin University, Indonesia.
    [Show full text]
  • 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan
    BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman di era globalisasi saat ini terus mendorong kemajuan di berbagai bidang teknologi. Teknologi terbaru terus bermunculan dari berbagai aspek, tidak terkecuali pada bidang militer, dimana perkembangan teknologi tersebut dapat kita rasakan dengan berkembangannya gaya perang dari masa ke masa seperti perang pada zaman perang dunia pertama, perang dunia kedua hingga begitu melesatnya sejak tercetusnya perang dingin yang memunculkan istilah bipolar dalam kekuasaan kekuatan dunia. Di era globalisasi yang terus berkembang pesat hingga saat ini telah membuat terjadinya pergeseran ancaman terhadap pertahanan negara. Pada konteks negara Indonesia, hal seperti ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan pun turut ikut serta mengalami pergeseran. Ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia bukan lagi dalam bentuk agresi militer akan tetapi berupa penjajahan ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya. Di sinilah globalisasi memegang peranan sebagai pembawa arus ancaman tersebut dari luar menuju ke Indonesia (Febrinanto dkk, 2017:69). Oleh karena itu hingga saat ini setiap negara terus berusaha untuk menjaga keamanan negaranya dengan terus berupaya untuk dapat menyeimbangi atau bahkan melebihi kapasitas kekuatan negaranya sendiri. Hal ini pun memiliki aspek penting bagi setiap negara yang ada di dunia. Negara dapat dikatakan memiliki pertahanan yang kuat jika negara dan seluruh bagiannya yang ada di dalamnya saling bersama dan bersatu padu untuk selalu menjaga dan mempertahankan serta memperjuangkan serta melindungi hak-hak untuk warga negaranya. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 mengenai Pertahanan Negara pasal 1 ayat 1 UPN VETERAN JAKARTA (1), “Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara”.
    [Show full text]
  • IMPROVED TURTLE CONSERVATION in SEBATIK ISLAND Page 1
    REPORT ON IMPROVED TURTLE CONSERVATION IN SEBATIK ISLAND Page 1 IMPROVED TURTLE CONSERVATION IN SEBATIK ISLAND, NORTH KALIMANTAN, INDONESIA 10 November 2017 FINAL REPORT1 1 Prepared by the Faculty of Marine Science and Fisheries, Hasanuddin University (UNHAS). COASTAL AND MARINE RESOURCES MANAGEMENT IN THE CORAL TRIANGLE: SOUTHEAST ASIA, INDONESIA, MALAYSIA, PHILIPPINES (TA 7813-REG) REPORT ON IMPROVED TURTLE CONSERVATION IN SEBATIK ISLAND Page i Page i TABLE OF CONTENTS Page List of Tables .............................................................................................................................. ii List of Figures ............................................................................................................................. ii I. INTRODUCTION ............................................................................................................ 1 II. THE ECONOMIC ROLE OF MARINE FISHERIES IN COASTAL COMMUNITIES ........ 2 A. Demographic data ............................................................................................... 2 B. Marine Fisheries Production Data ....................................................................... 3 C. Coastal community fisheries-related economic activities ..................................... 6 1. Dried Fish Production .................................................................................................. 6 2. Production of dried ebi (small shrimp) .................................................................... 7 3. Salt Production .............................................................................................................
    [Show full text]
  • Territorial and Cross-Border Issues Getting Hotter
    INDONESIA-MALAYSIA RELATIONS: TERRITORIAL AND CROSS-BORDER ISSUES GETTING HOTTER Vyacheslav F.Urlyapov (Institute of Oriental Studies,Russian Academy of Sciences Moscow) A song named “Kalimantan Utara” (Northern Kalimantan) was quite popular in Indonesia in the early the 1960s. It invariably accompanied the Indonesian army soldiers or volunteers departing to fight Malaysia. Then President Soekarno attacked this newly established state as “Western imperialism creation” and declared a policy of confrontation with it. Forty years later the theme of confrontation between Indonesia and Malaysia is suddenly debated anew. Relations between the two neighbor countries are turning sour because of a whole set of issues not settled during the last decades. In February 2005 Malaysia's oil company Petronas struck an exploration deal with Anglo-Dutch giant Royal Dutch Shell to start operations in the Ambalat area of the Sulawesi Sea – the area that Indonesia considered its own territory. In response Jakarta lodged an official protest to Kuala Lumpur. The Royal Malaysian Navy battleships started to appear more frequently in the area of Ambalat. The ships of the two countries began confronting each other. In April, as the Indonesian vessel tried to drive away the Malaysian one, the ships collided three times but fortunately nobody from the crews was hurt. The development of events in the disputed area showed that Jakarta's authorities were in the resolute mood. President Susilo Bambang Yudhoyono immediately visited an island near the 1 4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok border with Malaysia and ordered the chief of the national army to restore Indonesia's sovereignty over the Ambalat area by all means.
    [Show full text]
  • Penyelesaian Sengketa Antara Indonesia Dan Malaysia Diwilayah Ambalat Menurut Hukum Laut Internasional
    PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DIWILAYAH AMBALAT MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL Aziz Ikhsan Bakhtiar Staf Dinas Pengadaan TNI AL MABESAL Cilangkap Jakarta Email: [email protected] Abstract Ambalat block which is geographically directly borders with Malaysia and is rich in natural resources make Ambalat be prone to conflict. The study aims to determine the legal basis for Malaysia to make a claim over the disputed ownership of the Ambalat block, suitability kalim Malaysia to the border Ambalat in accordance with UNCLOS, 1982, settlement of dispute between Indonesia and Malaysia in the border area of Ambalat according to UNCLOS 1982 and to determine the legal measures that Indonesia carried out in the face of claims of Malaysia over Ambalat border. The method in this research is a normative juridical research approach to law (Statute Approach) and the historical background. The results showed that the Ambalat which in Malaysia is Indonesia's claim under the provisions of the convention on the law of the sea 1982 because Indonesia is an archipelago. Malaysia is just an ordinary coastal state is justified only draw baselines of normal (regular) and the straight baselines if it meets the requirements. Key words: ambalat block, conflict, UNCLOS 1982, the Indonesia-Malaysia Abstrak Blok Ambalat yang secara geografis langsung berbatasan langsung dengan negara Malaysia dan kaya akan potensi sumber daya alam menjadikan Blok Ambalat menjadi rawan konflik. Penelitian bertujuan untuk mengetahui dasar hukum Malaysia untuk melakukan klaim atas sengketa kepemilikan terhadap Blok Ambalat, kesesuaian kalim Malaysia terhadap perbatasan Ambalat sesuai dengan UNCLOS 1982, cara penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Malaysia di perbatasan wilayah Ambalat menurut UNCLOS 1982 dan untuk mengetahui langkah-langkah hukum yang dilakukan Indonesia dalam menghadapi klaim Malaysia atas perbatasan Ambalat.
    [Show full text]
  • Border Issue: Misperception Between Indonesia and Malaysia
    DOI: 10.1051/ shsconf/20173300058 SHS Web of Conferences 33, 00058 (2017) i-COME'16 Border Issue: Misperception between Indonesia and Malaysia Irwansyah Irwansyah1,* 1Universitas Indonesia, Communication Department, Kampus UI Depok 16424, Indonesia Abstract. Indonesia and Malaysia border has been disputed and led to misperception. By using Krauss and Morsella’s misperception concept, this study described that the border issue was occurred only online community member who never existed at the border area. Online community members constructed the discourse about border issue based on the agenda of mass media. While online community members and mass media lead discussion on sovereignty and nationalistic ideology, local border people concerned how they maintain the mutual relationship. The misperception which leads to conflict in online community forum showed the extent of civil conflict mediated by mass and new media. 1 Introduction: Border Issue between Indonesia and Malaysia Mass media has shown the Indonesian–Malaysian relationship to be one of conflict rather than one of cooperation [1]. Conflict between Indonesia and Malaysia date to 1960. At that time, Indonesia refused to recognize the emergence of the Malaysia Federal State, which was considered a colony under British imperialism. The conflict has continued and the border dispute between Indonesia and Malaysia has resulted in high tension between the two governments, including their military forces [2]. Since both countries proclaimed their liberty, at least four serious issues concerning border claims have fueled discourse in the mass media. First was the dispute over the Sipadan–Ligitan islands, which Malaysia won through the International Tribute to Justice (ITJ) on December, 2012.
    [Show full text]
  • 60 JURIS GENTIUM LAW REVIEW, September 2014, Page 60 – 70
    60 JURIS GENTIUM LAW REVIEW, September 2014, Page 60 – 70 POSSIBLE DISPUTE SETTLEMENT FOR AMBALAT DISPUTE* Ni Made Nungki Suardhani Giri** Abstract Intisari Ambalat dispute occurs in the area of Ambalat, Sengketa kasus Ambalat terjadi di sekitar located off the coast of the Indonesian province wilayah Ambalat, terletak di lepas pantai of East Kalimantan and southeast of the Indonesia bagian Kalimantan Timur dan Malaysian State of Sabah. Many accidents sebelah tenggara dari Sabah, Malaysia. have occurred in this area, and some of them Banyak masalah yang terjadi di wilayah ini, involving navies from both of the state. dan sebagian besar melibatkan angkatan Although this dispute has called for a need of laut dari kedua negara. Walaupun sengketa serious settlement, none of this State has taken ambalat harus diselesaikan dengan segera, an effort to solve this long-term dispute that has kedua belah pihak tidak melakukan become a problem to their harmony life as a tindakan untuk mengakhirinya, yang neighboring State. Diplomatic protest, navy hot menyebabkan terganggunya harmonisasi pursuit, and battle of natural resource hubungan antara kedua negara exploitation are the dispute that be on the list bertetangga tersebut. Protes secara of the effect of this Ambalat dispute, and if this diplomatis, pengejaran oleh angkatan laut, dispute will not be solved in any time soon, the eksploitasi sumber daya alam adalah contoh future generation of both state will still inherit dampak dari sengketa kasus Ambalat ini, and cannot use the natural resources contained apabila tidak diselesaikan dengan segera, in Ambalat area effectively. Seeing the maka generasi Indonesia mendatang tidak urgency to solve this Ambalat dispute, the bisa mengakses sumber daya alam yang author would like to analyze the possible tersedia di pulau itu secara efektif.
    [Show full text]
  • Download This PDF File
    Wacana, Vol. 13 No. 1 (April 2011): 105—120 A people-state negotiation in a borderland A case study of the Indonesia–Malaysia frontier in Sebatik Island LINA PURYANTI AND SARKAWI B. HUSAIN Abstract This paper aims to show the dynamics of the Indonesian – Malaysian border area in Sebatik Island, East Kalimantan, Indonesia. Take into account as a background is the territorial dispute between Indonesia and Malaysia over the Ligitan and Sipadan Islands which were awarded to Malaysia by the decision of the ICJ (International Court of Justice) in 2002, which was followed by the dispute over the Ambalat sea block in 2005. Sebatik Island is geographically very strategic since it faces the disputed areas. Therefore the concerns of the Indonesian state with regard to the island pertain to issues of nation-state sovereignty and territorial security, which she tries to safeguard through intensive campaigns. Research conducted in Sebatik in 2009 showed how people willingly reinforced the state by incorporating its programs, despite their ambiguous position as people in a border area, which support they used subsequently in negotiating with the state for their own local purpose. Keywords sebatik Island, borderland, negotiation, local people, state. Introduction “Our sovereignty over Ambalat is the bottom line”1 (President Yudhoyono, Kompas 3 June 2009) 1 “Daulat Ambalat Harga Mati”. LINA PURYANTI is a staff member of the English Department, Faculty of Humanities, Airlangga University. Her interests are literature and the study of the Indonesian - Malaysian border areas. Lina Puryanti may be contacted at: [email protected]. SARKAWI B. HUSAIN is a staff member at the Department of History, Faculty of Humanities, Airlangga University.
    [Show full text]
  • Mending the Imaginary Wall Between Indonesia and Malaysia the Case of Maritime Delimitation in the Waters Off Tanjung Berakit
    PB Wacana, Vol. 13 No. 1 (April 2011) I MADEWacana ANDI, Vol. ARSANA 13 No. ,1 Mending (April 2011): imaginary 1—28 wall 1 Mending the imaginary wall between Indonesia and Malaysia The case of maritime delimitation in the waters off Tanjung Berakit I MADE ANDI ARSANA Abstract Due to its geographical location, Indonesia shares border areas with at least ten neighbouring countries with which maritime boundaries must be settled. As of March 2011, Indonesia is yet to finalize its maritime boundaries with various States including Malaysia with which four maritime boundaries need to be settled: the Malacca Strait, the South China Sea, the Sulawesi Sea, and the Singapore Strait (off Tanjung Berakit). It is evident that pending maritime boundaries can spark problems between Indonesia and Malaysia. The dispute over the Ambalat Block in 2005 and 2009 and an incident in the waters off Tanjung Berakit on 13 August 2010 are two significant examples. This paper discusses the incident in the waters off Tanjung Berakit, but will be preceded by a description of the principles of coastal States’ maritime entitlement pursuant to international law of the sea. Following the discussion, this paper provides suggestions for settling maritime boundaries in the area from technical/geospatial and legal perspectives. Keywords Indonesia, Malaysia, maritime boundary, delimitation, sovereignty, sovereign rights, technical/geospatial aspects of the law of the sea. “Good fences make good neighbours” (Robert Frost 1917) I MADE ANDI ARSANA is a lecturer and researcher in the Department Geodetic Engineering, Gadjah Mada University, Indonesia. He is currently an Australian Leadership Awards Scholar (PhD candidate) at the Australian National Centre for Ocean Resources and Security (ANCORS), University of Wollongong.
    [Show full text]
  • The International Court of Justice and the Territorial Dispute Between Indonesia and Malaysia in the Sulawesi Sea
    The international court of justice and the territorial dispute between Indonesia and Malaysia in the Sulawesi Sea Author Butcher, John Published 2013 Journal Title Contemporary Southeast Asia DOI https://doi.org/10.1355/cs35-2e Copyright Statement © 2013 Institute of Southeast Asian Studies. The attached file is reproduced here in accordance with the copyright policy of the publisher. Please refer to the journal's website for access to the definitive, published version. Downloaded from http://hdl.handle.net/10072/56385 Griffith Research Online https://research-repository.griffith.edu.au Contemporary Southeast Asia Vol. 35, No. 2 (2013), pp. 235–57 DOI: 10.1355/cs35-2e © 2013 ISEAS ISSN 0129-797X print / ISSN 1793-284X electronic The International Court of Justice and the Territorial Dispute between Indonesia and Malaysia in the Sulawesi Sea JOHN G. BUTCHER In the early 1990s Indonesia and Malaysia were locked in a long- running and bitter dispute over the ownership of two tiny islands in the Sulawesi Sea and the associated question of maritime boundaries in this area rich in oil and gas deposits. Neither government had ever referred a dispute with another state to the International Court of Justice but in 1996 President Soeharto agreed to Malaysia’s proposal to ask the ICJ to issue a ruling on the dispute between the two countries. In 1998 Indonesia and Malaysia asked the ICJ to rule on the ownership of the islands. They did not, however, ask it to rule on the far more important question of their maritime boundaries in the Sulawesi Sea. The ICJ’s judgement in 2002 that the islands belonged to Malaysia therefore left that question unresolved.
    [Show full text]
  • Trends in Indonesia-Malaysia Bilateral Relations in Post -Suharto Period1
    B.L.S.W. Wardhani: Trend in Indonesia -Malaysia Bilateral Relations in Post -Suharto Period Trends in Indonesia-Malaysia Bilateral Relations in Post -Suharto Period1 Baiq L.S.W.Wardhani 2 International Relations Department, Airlangga University, Surabaya, Indonesia ABSTRACT: The relations between Indonesia and Malaysia is best termed by ‘love an d hate’ relationship. Despite having a sort of ‘familial’ bond, during more than three decades, both countries have been involved in series deeds affect the harmonious relationship they had forged in the past. However, there is a tendency that elites from both countries managed to improve relationship, which shows significant progress. Geography is something cannot be altered, thus to quit the hassle Indonesia and Malaysia have no other choice than managed the relationship as best as they might do by minimizing the emotional dimension to a more realistic one. Indonesia -Malaysia bilateral relations should now be reaching a new phase, one which produces more substance and reduces the “romantic” sense of the past. Key Words: bilateral relations, ethnic stock, emotional, realistic. Bilateral relations between Indonesia and Malaysia have been marked by ups and downs. This is not unusual, as being neighbors it reflects the dynamics of the relationship. But as the people of both countries are coined as originated from the same ethnic stock and considered themselves as blood brothers, the dynamics of the relationship worth to be examined. History has indicated that as the two countries grow as separate nations, the relationship sometimes becomes problematic. Indeed, there has been a trend since the fall of Suharto in 1998 that the relationship of both countries has faced various challenges that has often led it deteriorated to its lowest point.
    [Show full text]