JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 02, Agst 2018- Jan2019 ISSN: 2620-5173
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 02, Agst 2018- Jan2019 ISSN: 2620-5173 POLITIK MAHAR DI INDONESIA Antara Ada dan Tiada Anak Agung Ngurah Agung Wira Bima Wikrama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mahendradatta, Denpasar E-mail:bimawikrama65.gmail.com Abstrak - Partai politik merupakan institusi satu-satunya yang berhak mengusulkan calon presiden dan wakil presiden seperti yang diatur dalam Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 sehing- ga nantinya memiliki kekuasaan dan legitimasi sebagai kepala negara dan kepala pemer- intahan. Hak konstitusional tersebut tidak dimiliki oleh lembaga demokrasi manapun se- lain partai politik. Namun dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum tersebut tidak selalu berjalan sesuai dengan yang diharapkan seperti tertulis dalam undang-undang dan aturan KPU. Terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh calon maupun oleh partai politik berupa Mahar Politik. Mengingat peristiwa mahar politik tersebut berada pada wilayah pemilihan umum maka berdasarkan prinsip hukum berupa Lex specialis derogat legi generali yang menya- takan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis) maka peristiwa Mahar Politik diselesaikan oleh sebuah lem- baga yaitu Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum). Selain Pasal 6A ayat 2 UUD 1945, terdapat pula UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Peru- bahan kedua atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 Tentang penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota khususnya pada Pasal 47, Pasal 187A, Pasal 187B, Pasal 187C dan Pasal 187D yang mengatur tentang pemilihan umum. Namun kenyataannya banyak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan UUD dan UU tersebut. Peristiwa berupa mahar politik tetap saja terjadi yang dibuktikan dari keterangan yang diberikan oleh beberapa saksi dan merupakan korban sekaligus pelaku dari mahar politik tersebut. Mengherankan lagi, Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu yang diberi amanat oleh UU untuk menegakkan aturan yang berlaku sangat sulit untuk men- jalankan tugasnya mengingat Bawaslu memiliki kelemahan dalam penanganan dugaan mahar politik tersebut. Kelemahan Bawaslu adalah, mereka tidak punya daya paksa untuk menghadirkan saksi atau orang yang mau dimintai keterangan. Penulis berpendapat bahwa perlu adanya payung hukum berupa undang-undang yang memberikan peluang yang lebih tegas kepada Bawaslu sehingga kedudukan Bawaslu sebagai badan pengawas pemilu dapat lebih kuat. Kata Kunci: Politik, Mahar. Abstract - Political parties are the only institution that has the right to propose candi- dates for president and vice president as stipulated in Article 6A paragraph 2 of the 1945 Constitution so that they will have power and legitimacy as heads of state and heads of government. These constitutional rights are not owned by any democratic institution other than political parties. However, in the process of holding the general election, it does not always go as expected, as stated in the KPU’s laws and regulations. There were irregulari- ties committed by candidates and by political parties in the form of Money Politics. According to the political dowry event is in the general election area based on the legal principle of Lex specialis derogat legimitation generaly which states that the law is specific (lex specialis) overrides the general law (lex generalis) the Money Politic event is resolved by an institution, namely Bawaslu (General Election Supervisory Board). Besides the Article 6A paragraph 2 of the 1945, there is also Law Number 10 of 2016 concerning the Second Amendment of Law No. 1 in 2015 concerning the stipulation of Perppu (the governmental regulation of low amandement) Number 1 in 2014 according to the governor’s election, regents and mayors, especially in Article 47, Article 187A, Anak Agung Ngurah Agung Wira Bima Wikrama 19 JURNAL CAKRAWARTI, Vol. 01, No. 02, Agst 2018- Jan2019 ISSN: 2620-5173 Article 187B, Article 187C and Article 187D which regulates general elections. But in reality there are many irregularities in the implementation of the Constitution and etc. Events in the form of political dowry still occured which is evidenced by the infor- mation given by several witnesses and as the victim and perpetrator of the political dowry. Surprisingly, the General Election Supervisory Board (Bawaslu) as an election watchdog institution mandated by the Act to enforce the prevailing regulations is very difficult to carry out its duties, reminding that Bawaslu has weaknesses in handling the alleged polit- ical dowry. The weakness of Bawaslu is that they do not have the power to take witnesses or people who will be questioned. The author argues that there is a need for a legal protection in the form of a law that provides better opportunities to Bawaslu so that the position of Bawaslu as an election supervisory bord can be much stronger. Keywords: money , politics 1 Latar Belakang lis) maka peristiwa Mahar Politik disele- Dalam sistem ketatanegaraan, partai saikan oleh sebuah lembaga yaitu Bawas- politik memiliki kedudukan dan peran lu (Badan Pengawas Pemilihan Umum). yang sangat penting dan strategis. Partai politik merupakan institusi satu-satunya 2 Landasan Teori yang berhak mengusulkan calon presiden 2.1 Teori Materialisme Historis dan wakil presiden seperti yang diatur da- Kata materialisme dalam Kamus Be- lam Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 sehingga sar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat di- nantinya memiliki kekuasaan dan legit- artikan sebagai pandangan hidup yang imasi sebagai kepala negara dan kepala mencari dasar segala sesuatu yang ter- pemerintahan. Hak konstitusional terse- masuk kehidupan manusia di dalam alam but tidak dimiliki oleh lembaga demokra- kebendaan semata-mata dengan mengesa- si manapun selain partai politik. mpingkan segala sesuatu yang mengatasi Seorang tokoh politik, kharismatik, alam indra. Dapat pula diartikan sebagai populer, dan atau tokoh yang memiliki pandangan manusia terhadap segala se- tingkat elektoral tinggi hanya dapat ber- suatu berdasarkan terhadap kebendaan mimpi untuk menjadi Presiden, Guber- atau materi semata-mata untuk memuas- nur, Bupati atau Walikota. Tetapi jika par- kan indra. Historis dapat diartikan se- tai politik tidak mengusulkannya dalam bagai sesuatu yang berkaitan dengan masa pemilihan umum maka mimpi tersebut sebelumnya atau lampau. Jadi Meterial- tidak akan terjadi. ime Historis dapat diartikan sebagai pan- Namun dalam proses penyelengga- dangan manusia terhadap segala sesuatu raan pemilihan umum tersebut tidak sela- berdasarkan terhadap kebendaan atau ma- lu berjalan sesuai dengan yang diharapkan teri dengan melihat keadaan masyarakat seperti tertulis dalam undang-undang dan yang terjadi sebelumnya untuk mengejar aturan KPU. Terjadi penyimpangan yang kepuasan indra. dilakukan oleh calon maupun oleh partai Berdasarkan penjelasan di atas dapat politik berupa Mahar Politik. Mahar poli- dikatakan bahwa memberi atau menerima tik dapat digolongkan peristiwa pidana, segala sesuatu untuk kepentingan tertentu sama seperti pidana umum lainnya karena tanpa mengindahkan atau memperhatikan telah terjadinya peristiwa penyuapan atau aturan yang berlaku dengan tujuan untuk pemberian yang mengakibatkan sistem pemuasan indra dapat dikatakan sebagai atau aturan tidak berjalan secara normal. meterialisme. Peristiwa ini terjadi karena Mengingat peristiwa mahar politik terse- adanya konstruksi budaya materialisme but berada pada wilayah pemilihan umum yang sebelumnya telah terjadi dan diang- maka berdasarkan prinsip hukum berupa gap benar. Kesalahan yang dilakukan ter- Lex specialis derogat legi generali yang us menerus tanpa ada sangsi akan menjadi menyatakan bahwa hukum yang bersifat budaya dan lambat laun akan menjadi ke- khusus (lex specialis) mengesampingkan benaran. hukum yang bersifat umum (lex genera- Realitas di atas ditangkap oleh Karl Anak Agung Ngurah Agung Wira Bima Wikrama 20 Marx dengan teorinya yang terkenal yai- taran yang sama. tu Teori Materialisme Historis. Karl Marx Pemikiran sosiologi hukum lebih mengungkap bahwa bukanlah ide yang berfokus pada keberlakuan empiris atau akan menentukan realitas akan tetapi re- faktual dari hukum. Hal ini, memperli- alitas sosial yang akan menentukan cara hatkan bahwa sosiologi hukum tidak se- bagaimana manusia berpikir dan bekerja cara langsung diarahkan pada hukum se- atau berproduksi. Cara berproduksi ma- bagai sistem konseptual, melainkan pada nusia yang akan menentukan interaksi dan kenyataan sistem kemasyarakatan yang hubungan sosial di lingkungannya. Marx idalamnya hukum hadir sebagai pemer- juga berpendapat bahwa insititusi-institusi an utama. Objek tingkatan kedua adalah dan lembaga-lembaga negara bergantung kaidah-kaidah hukum. pada kondisi ekonomi sebagai pendorong Hal tersebut di atas berbeda dengan utama penciptaan struktur sosial yang be- ilmu hukum normatif, yang memandang gitu luas. Seperti kapitalisme yang men- hukum dalam hukum itu sendiri (apa yang ciptakan hasrat terhadap uang dan barang tertuang dalam peraturan). Eksponen dari serta penindasan terhadap buruh yang ti- aliran positifisme John Austin, menga- dak mempunyai alat-alat produksi. takan bahwa studi tentang filsafat hukum Sangat jelas diungkapkan oleh Karl seharusnya merupakan studi tentang hu- Marx bahwa pendorong utama material- kum yang benar-benar terdapat dalam isme adalah kapitalisme yang mendorong sistem hukum, dan bukan hukum yang se- hasrat terhadap uang dan barang untuk harusnya ada dalam norma-norma moral memuaskan indra. Terjadinya mahar poli- (Achmad Ali, Sosiologi Hukum, hal 9). tik,