Annual Short Story Collection 2015 Koleksi Cerita Pendek

Minggu

2015

Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayai (1) atau Pasal 49 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Annual Sort Story Collection, Issue #2016. Reproduction of this collection is permitted as long as it is not sold, either by itself or as part of a collection, and the entire text of the issue remains unchanged. All stories Copyright © Januari-Desember 2015 by their respective authors. For submission guidelines, or for more information about this collection, send a message to . KOMPAS Daftar Isi Minggu Koleksi Cerita Pendek Tahunan 2015 Peti Mati Copyright © 2016 Ganda Pekasih ...... 1 Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati Agus Noor ...... 13 Penjor Arsiparis: I Wayan Suardika ...... 25 Ilham Q. Moehiddin Tenung Fandrik Ahmad ...... 35 Gambar Sampul Muka: Hartono Wibowo/Kompas Penguburan Kembali Sitaresmi Tata letak: ESas Triyanto Triwikromo ...... 45 Ceritanya

Diriset, disusun dan didokumentasikan Norman Erikson Pasaribu ...... 55 pertama kali di sebagai suatu dokumen. Upacara Hoe Guntur Alam ...... 65 Bakul Daun Cincau Parakitri T. Simbolon ...... 75 Saran Seorang Pengarang Versi pertama: Januari 2016 Sori Siregar ...... 85 Jumlah Halaman: Kebohongan Itu Manis, Vardhazh xii + 540 hlm; Indra Tranggono ...... 95 Dimensi: Tepi Shire 14 x 21 cm Tawakal M. Iqbal ...... 105 Sepotong Kaki untuk Ayah isi di luar tanggung awab arsiparis I Wayan Wirata ...... 117

v Balada Cun dan Suami Barunya Orang-Orang Dari Selatan Harus Mati Dedi Supendra ...... 125 Malam Ini Liang Liu Faisal Oddang ...... 255 Dewi Ria Utari ...... 135 Cincin Akik di Kamar Mandi Leteh Harris Effendi Thahar ...... 265 Oka Rusmini ...... 147 Merpati Nuh Linuwih Aroma Jarik Baru Genthong HSA...... 275 Anggun Prameswari ...... 159 Lelaki Ketujuh Jemari Kiri Fandrik Ahmad ...... 285 Djenar Maesa Ayu ...... 169 Sang Pemahat Basa-Basi Budi Darma ...... 295 Jujur Prananto ...... 177 Sepasang Kekasih di Bawah Reruntuhan Fokus AK. Basuki ...... 305 Putu Wijaya ...... 189 Tajen Terakhir Hidup Hanya Menunggu Penggorokan Gde Aryantha Soethama ...... 313 A. Muttaqin ...... 199 Bolu Delapan Jam Mey Tak Pernah Bisa Menulis Cerita Ini Guntur Alam ...... 325 Ahda Imran ...... 207 Pertengkaran Terakhir Hakim Sarmin Candra Malik ...... 335 Agus Noor ...... 217 Namaku Yuri Sebotol Hujan untuk Sapardi Mashdar Zainal ...... 347 Joko Pinurbo ...... 227 Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta? Surat Nurlan Daulay Kepada Junjungan Ahmad Tohari ...... 355 Jiwanya Katastrofa Martin Aleida ...... 235 Han Gagas ...... 369 Perkenalkan, Namaku Gerimis... Durian yang Bulat-Bulat Menerobos Yanusa Nugroho ...... 245 Kerongkongan Thomas Nung Atasana ...... 379 Kematian Puisi Ilustrators Sandi Firly ...... 389 Jaka Ompong Parakitri T. Simbolon ...... 399 Adinda Maya Nomor Amelia Budiman Seno Gumira Ajidarma ...... 411 Aminudin TH. Siregar Jenggo Anthok S. Putu Wijaya ...... 417 Bambang Herras Sebatang Lengkeng yang Bercerita Bayu Wardhana Miranda Seftiana ...... 429 Butet Kertaradjasa Lidah Ketut Rapti Didi SW. Ni Komang Ariani ...... 437 Dinan Hadyan Batu Lumut Kapas Greythama Tornado Gus tf. Sakai ...... 449 Guntur Timur Menjahit Gelombang Hadi Soesanto Mezra E. Pollondou ...... 459 Hanafi Sambal di Ranjang Handining Tenni Purwanti ...... 471 Henrycus Napitsumargo Dua Penyanyi Hari Budiono Budi Darma ...... 483 Hartono Wibowo Bunga Lili di Tenda Pengungsi Heri Pemad Triyanto Triwikromo ...... 493 I Gusti Nengah Sura Ardana Pohon Mati I Ketut Suasana Dewi Ria Utari ...... 503 I Made Somadita Savonette Ipong Purnama Sidhi Warih Wisatsana ...... 515 I Putu Wirantawan I Wayan Setem  Tentang Penulis ...... 527 I Wayan Suardika

ix Jaka Ompong Jaya Kaprus Jenny Ashbi Pemberitahuan Jitet Kustana Lucia Hartini Made Supena M. Adi Sumarna Melodia Nandanggawe UJUAN pengarsipan dan dokumentasi cerita- Nasirun cerita pendek ini adalah murni bertujuan sebagai Nyoman Shita mediaT belajar bagi siapa saja, dan tidak bertujuan Polenk Rediasa komersial. Penggunaan segala bentuk material untuk Rhino Ariefiansyah melengkapi dokumentasi ini, dilakukan sesuai cara-cara Rio Saren lazim sesuai standar referensial, menyebutkan sumber, Suprobo tidak mengubah konten material. Penambahan atau Yusuf Susilo Hartono pengurangan material dalam skala yang dapat Yuswantoro Adi ditoleransi. Semua material di dalamnya secara jelas Zusfa Roihan menyebut nama penulis (pemilik HAK CIPTA) dan nama media (KOMPAS) di mana karya yang bersangkutan dipublis pertama kali. Selamat membaca! Hak Cipta Penulis dilindungi oleh undang-undang dilarang memperbanyak dan/atau memperjual-belikan sebagai atau seluruh isi dokumen ini tanpa izin dari Penulis dan KOMPAS PETI MATI | Ganda Pekasih Peti Mati

Ganda Pekasih Minggu, 04 Januari 2015

ARI kuburan tua, beberapa gerobak kayu bergerak seakan dilahirkan oleh malam, menjemputD nasib di jalan-jalan yang sedikit kendur dari kendaraan yang tak pernah berhenti meraung. Menjelang subuh mereka semua kembali. Atap-atap kuburan yang lebar dan kokoh membuat mereka terlindung dari hujan, mereka tinggal membuat dinding dari plastik atau kardus-kardus bekas, lantai marmer hangat dengan alas seadanya menutupi huruf-huruf permohonan ampun yang tak penting artinya. Seperti biasa tak banyak benda berharga yang mereka dapat, hasil menjual botol-botol kosong minuman sekadar bisa untuk makan sehari. Beberapa kawan mereka pernah ditangkap, dibawa ke panti sosial, tapi kembali lagi jadi manusia Gerobak.

1 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PETI MATI | Ganda Pekasih

Dari kuburan tua itu lima hingga tujuh gerobak bergerak seperti kelabang yang keluar dari tanah, berpencar ke segala arah menuruti nasib. Sering ada gerobak ditabrak orang mabuk, dihanyutkan banjir atau dicuri orang. Anak-anak mereka lahir lalu diamuk penyakit hingga dimangsa paedofil atau dibunuh, mayatnya dibuang ke kali seperti orang membuang bangkai binatang. Di bawah lantai-lantai marmer kuburan itu mereka tahu ada jasad yang terkubur tinggal tulang belulang, huruf-huruf di batu nisan itu artinya bagi mereka cuma kapan tanggal lahir dan kapan mati saja, tak ada yang perlu ditakutkan, yang mereka takuti jika mereka tiba- tiba diusir dari situ, harus mencari lagi tempat gratis baru yang tak mudah, bersaing dengan sesama gerobak dan gelandangan bisa saling bunuh. Sebelum subuh mereka harus tiba kembali di kuburan jika tidak mau dihadang kemacetan atau tertangkap razia gepeng, beberapa pelacur tua kesiangan dengan mata yang menatap putus asa termenung di tepi kuburan saat mereka tiba, wadam- wadam berwajah kendur disuntik silikon semaunya yang membuat mereka bukan jadi menarik, tapi berubah menjadi makhluk-makhluk aneh. Menjelang sore beberapa orang masuk kuburan yang bersemak dipagari kawat berduri, tiang-tiang besi gerbangnya roboh dan sebagian raib hilang dicuri. Mereka membawa cangkul, lalu sibuk mencari-cari lokasi

2 3 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PETI MATI | Ganda Pekasih menggali. Dari balik dinding tembok-tembok kuburan amplop-amplop kertas bersama kembang dihambur- bermunculan anak-anak gerobak menontoni mereka hamburkan. seperti anak kanguru yang keluar dari kantung Anak-anak gerobak yang menonton upacara induknya, diikuti orang tua mereka. Akan ada singkat mulai bergerak, ibu-ibu dan para lelaki yang penguburan, pikir mereka senang karena kuburan ini berharap akan dapat rezeki menyerbu. Para pengubur sudah jarang dipakai, berarti akan ada rezeki, akan ada mayat lalu pergi meninggalkan pemakaman tanpa yang menyebar-nyebarkan uang. sepatah kata, tak ubahnya seperti hantu. Tak sampai dua jam mereka selesai menggali. Usai Rupanya ada yang akan menunggui mayat yang minum dari gelas-gelas plastik dan merokok, para dimakamkan itu, dia muncul menjelang senja dari penggali itu lalu pergi tanpa sepatah kata pun, tak gerbang samping bersemak, dia berjaga sampai pagi. ubahnya seperti hantu. Tapi upacara penguburan yang Malam kedua dia datang lagi dan seterusnya. mereka tunggu tak ada hari itu. Seorang manusia gerobak dengan pengait besi di Beberapa hari kemudian, ambulans dan dua tangan sudah tak sabar, dengan mengendap-endap kendaraan van masuk dari gerbang samping seperti kadal tanah dia mendekati makam mau pemakaman. Beberapa orang turun dengan cepat membongkarnya sejak malam pertama mayat dikubur. membawa hio yang sudah dibakar menuju kuburan, Dia yakin ada benda berharga di dalam peti mati itu, lampion merah berbentuk hewan dan buah-buah sesaji memang tak mudah, tapi mumpung kuburan belum dalam keranjang hias dibalut kertas berwarna warni dibatu, dia berharap bisa cepat membongkarnya. cerah. Orang-orang berkacamata gelap berwajah cemas “Hei, siapa itu, kemari kamu!” bentak penjaga itu dan pucat memikul peti mati yang diturunkan dari memainkan senternya. “Kalau tidak kutembak kau!” ambulans, berikat pita hitam di kepala. Beberapa orang Khawatir, akhirnya dia terpaksa keluar dari yang sudah turun lebih dulu cepat membantu, persembunyiannya. menggotong peti dengan awas, membuat upacara “Cepat ke sini, bantu aku!” singkat diiringi lonceng yang dibunyikan di atas lubang, Oh, apakah dia juga hendak membongkar makam lalu peti mayat itu diturunkan, beberapa orang itu? mengambil gambar dengan handphone. Para penggali “Dari kemarin kamu ngintip-ngintip.” langsung menguruknya kembali, batu nisan dipasang, “Maaf, Bang” lampion dibakar, keranjang-keranjang buah diletakkan, “Siapa namamu?” bentaknya.

4 5 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PETI MATI | Ganda Pekasih

“Roso, Bang,” jawabnya kikuk. diketahuinya sejak lama adalah sepotong jalan tempat “Eh, kau punya pacul? Bantu aku menggali kiriman, banyak orang mencari hiburan malam. kami kepepet, gudang lagi dikepung, kau punya Dia digiring lewat pesan singkat hingga ke belakang gerobak kan?” bisiknya berdesis. sebuah ruko yang katanya ada bak berisi banyak barang “Punya.” rongsokan. Saat dia mengais-ngais tempat sampah, “Bagus, sekarang kau cari pacul, setelah itu bawa seseorang datang memeriksa gerobaknya, lalu gerobakmu ke belakang.” mengambil barang titipan itu dan memberi dia sejumlah “Oke Bang,” jawabnya meluncur begitu saja. uang yang membuatnya lalu makin semangat mengais- Apakah ini rezeki besar? Pikirnya. Di dalam peti ngais bak sampah itu seperti anjing malam yang mayat itu pasti ada barang-barang berharga yang ikut kelaparan. mereka kubur dan sekarang mau diambil lagi. Lega, tapi waktu gerobak mulai didorong beberapa Rupanya makam itu mudah digali kembali, baru jam yang lalu dia takut, berusaha menenangkan diri tahu dia bahwa lubangnya tak terlalu dalam. Tak sampai menganggap barang itu tak ada artinya, yang dia satu jam penutup peti berhasil diungkit. “Siapa yang pikirkan cuma upah gede yang dibilang si Penjaga, mati?” sudah lama dia bermimpi mengajak anak dan istrinya “Jangan banyak tanya, tugas lu bawa barang pake meninggalkan kuburan itu mengontrak rumah petak gerobak. Oke?” di kawasan banjir kanal yang airnya jernih dan bisa “Hhh....” memancing. Penutup peti mati dibuka, lelaki itu mengambil Malam berikutnya dia kembali membawa barang sesuatu, terlihat samar di bawah sinar bulan dua itu. Di tengah jalan dia merasa akan tertangkap ketika bungkusan berwarna coklat. mobil patroli polisi mengikuti di belakang, Untung dia “Tutup lagi lubang cepat,” desisnya. melewati tempat sampah. Dia segera mendekat dan Bak robot mainan disengat listrik dia cepat mengais dengan pengait bengkoknya lalu sengaja menguruk tanah kembali. memakan sisa nasi dari bungkusan plastik berharap Gerobak berjalan lambat, sesekali mampir di polisi itu mual melihatnya lalu pergi. Benar saja, tempat pembuangan sampah. Makin lama gerobak melihatnya jorok menjijikkan seperti babi, polisi jadi makin jauh memasuki tengah kota, hingga ke sebuah tak punya pikiran curiga, mereka lalu pergi. Dia santai jalan yang dipenuhi lampu-lampu berwarna, lagi mendorong gerobaknya ke mana harus

6 7 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PETI MATI | Ganda Pekasih mengantarkan barang itu seperti malam kemarin. dibui bersama anak dan istrinya, itu sama saja dengan Lengang, sesekali dia masih memeriksa bak-bak masuk ke dalam peti. sampah sambil membayangkan akan tinggal di rumah Mobil patroli berhenti tak jauh dari gerobak, dua petak bersama anak dan istrinya dengan isi perabot polisi turun, membuka tutup plastiknya sehingga lengkap, ada kulkas dan televisi. terlihat oleh mereka semua apa yang ada di dalam, detik Sudah tak ingat dia berapa kali mengantarkan berikutnya tak diduga sontak anak balitanya menangis. barang-barang itu. Malam ini dia minta yang terakhir, Polisi itu terkejut, detik pertama yang mereka lihat pasti baginya upah sudah cukup bisa ngontrak, bahkan bisa istri dan anak balitanya yang tergolek kesempitan. Dia membuat beberapa gerobak untuk disewakan, tapi si segera bergerak mendekat seolah sangat khawatir Bos berkeras masih ada kiriman lagi. Maka rencana sesuatu akan terjadi menimpa anak balitanya dan berikutnya dia akan melarikan gerobaknya sejauh berharap para polisi tak menduga ada seorang balita mungkin. perempuan serta ibunya terbujur dalam gerobak yang Malam ini jantungnya berdetak lebih cepat, kaki membuat perasaan mereka tersentuh. Benar saja, bergetar memperhatikan tempat-tempat sampah yang mereka serba salah jadinya, tapi salah seorang masih dilaluinya, mengais mengumpulkan botol-botol serius memperhatikan istrinya yang selalu tak memakai minuman ke dalam karung plastik, meletakkannya ke beha itu membuka daster dan mendekatkan buah dalam gerobak dengan hati-hati. Hingga dia mulai dadanya yang besar ke mulut balita mereka yang memasuki kawasan bangunan bertingkat yang terang menangis. Akhirnya polisi itu menutup kembali seperti akuarium yang diberi lampu berwarna, suara gerobak dan berbalik cepat ke mobil mereka. bola biliar beradu dengan cekikikan tawa perempuan. Patroli polisi meninggalkan tempat itu, selama ini Sebelum sampai di tempat biasa lalu seseorang polisi-polisi itu pasti belum pernah melihat anak balita memberinya upah sungguh dia terkejut, muncul patroli dan ibunya terbujur dalam gerobak yang biasa mereka polisi di kejauhan menuju ke arahnya. Dia merasa akan lakukan kalau bepergian ditambah pula dengan suara tertangkap malam ini. Dia ingin cepat membelok agar tangisan anak balita mereka yang keras membuat para terhalang dari penglihatan polisi, tapi itu bisa membuat polisi itu cepat pergi. mereka malah curiga, maka dia mencoba santai Jantungnya masih berdebar belum siap mendorong mendorong gerobaknya berharap patroli itu cuma gerobak, kakinya juga masih bergetar, hanya tinggal lewat. Kalau ketahuan habislah, pikirnya, dia pasti akan beberapa ratus meter dia tiba di sana, maka urusan

8 9 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PETI MATI | Ganda Pekasih selesai lalu menerima upah yang dirasanya sudah cukup memperhatikan orang- orang itu dengan pandangan untuk lari. Dia tak akan kembali ke kuburan tua itu, dia curiga. tak akan mengantarkan barang-barang itu lagi. Perlahan Bergegas wajah-wajah pucat menggotong peti dia mulai mendorong gerobaknya lagi bersamaan turun dari ambulans menuju lubang makam, stanggi dengan tangis balitanya berhenti. kemenyan berasap, uang-uang receh dihambur- Terima kasih istriku, cepat gosokkan minyak kayu hamburkan bersama bunga-bunga. Lalu upacara putih ke tempat yang kau cubit itu, gumamnya lalu pelepasan mayat berjalan khidmat, singkat, ada yang membayangkan rumah kontrakan di tepi banjir kanal menangis, ada yang mengambil gambar dengan hati- yang jernih, tempat mereka yang baru siang nanti. Tapi hati, para pengubur mayat itu sendu menggumamkan beberapa meter akan membelok ke tempat barang bait-bait pengampunan dan pujian, dari balik diambil, tiba-tiba terdengar lagi sirene mobil patroli yang kacamata-kacamata gelap mereka dan kerudung- muncul di belakang, jantungnya nyaris copot kerudung penutup kepala berwarna hitam.  mendengar raungan tiba-tiba itu. Dia ingin istrinya segera mencubit anak mereka lagi biar dia menangis Jakarta, akhir tahun 2014 keras. Beberapa polisi turun mengepung gerobak, membuka tutupnya, tak peduli istrinya menghalangi mereka mengobrak-abrik dan menemukan dua bungkusan kertas coklat berisi barang yang mereka cari dalam daster istrinya. Mereka tampak puas seperti anjing yang telah lama mengendus bau bangkai. Kuburan digali dan polisi tak menemukan apa-apa lagi di sana kecuali peti mati kosong, orang-orang gerobak memandang sedih kawan mereka yang diborgol, anak dan istrinya masih di tahanan polisi katanya. Saat meninggalkan pekuburan, mereka berpapasan dengan rombongan orang-orang yang datang mau memakamkan mayat, mereka berdiri

10 11 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KOPI DAN CINTA YANG TAK PERNAH MATI | Agus Noor Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati Agus Noor Minggu, 11 Januari 2015

EBEBASAN selalu layak dirayakan. Maka selepas keluar penjara, yang diinginkan ialahK mengunjungi kedai kopi ini. Kebahagiaan akan semakin lengkap bila dinikmati dengan  secangkir kopi. Hanya di kedai kopi ini ia bisa menikmati kopi terbaik yang disajikan dengan cara paling baik. Ada orang-orang yang bersikeras mempertahankan kenangan dan kedai kopi ini seolah diperuntukkan bagi orang-orang seperti itu. Nyaris tak ada yang berubah. Meja kursi kayu hanya terlihat makin gelap dan tua. Yang dulu tak ada hanya poster bergambar siluet wajah lelaki berkumis tebal, yang terpasang dekat jendela. Ada tulisan bawah poster itu, seperti larik puisi. Pada kopi ada revolusi, juga cinta yang tak pernah mati. Ia tersenyum. Sejarah memang aneh: dulu lelaki itu

12 13 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KOPI DAN CINTA YANG TAK PERNAH MATI | Agus Noor

pembangkang, kini dianggap pejuang. Beberapa orang di kedai kopi langsung menatap tajam saat ia masuk. Ia mengenali beberapa dari mereka, para pembangkang yang sejak dulu memang selalu berkumpul di kedai kopi ini. ia tetap tenang. Apa pun bisa terjadi. Mungkin seseorang akan menyerangnya. Sepuluh tahun dalam penjara membuat kewaspadaannya makin terasah. Ia meraba pistol di balik jaket. Sekadar berjaga. Kita harus selalu berhati- hati menghadapi kebencian, batinnya, saat menatap anak muda penyaji kopi yang terus memandanginya. Mata itu mengingatkan pada mata laki-laki yang dulu dibunuhnya. Umur anak muda itu baru 11 tahun saat bapaknya mati. Kini terlihat seperti banteng muda yang siap meluapkan dendamnya. Pemuda itu mengangguk pelan saat ia memesan. Panas udara siang membuat aroma kopi terasa semakin kental. Tak akan pernah dilupakannya harum kopi yang menenteramkan ini, seolah aroma itu dicuri dari surga. Ketika ditugaskan ke kota ini, komandannya memberi tahu agar tak melewatkan kedai kopi ini dari ‘daftar yang harus dikunjungi’: Kedai kopi yang menyediakan kopi terbaik. Kedai kopi yang bukan saja istimewa, tetapi juga berbahaya. Bertahun lalu, ia dikirim ke kota ini untuk menghabisi seorang pembangkang yang dianggap berbahaya bagi negara. Saat itu demonstrasi nyaris meledak setiap hari. Kota ini menjadi kota yang selalu

14 15 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KOPI DAN CINTA YANG TAK PERNAH MATI | Agus Noor rusuh oleh gagasan gila perihal kemerdekaan. Para tepat untuk menyelesaikan masalah. Pertengkaran bisa perusuh itu, begitu tentara menyebut, tak hanya diselesaikan dengan secangkir kopi. Semua informasi bergerak di hutan-hutan, tetapi juga menyusup ke kota, di kota ini akan dengan mudah didapatkan di kedai menyerang pos keamanan atau menyergap pasukan kopi. patroli keamanan. Tentara melakukan pembersihan. Dari informasi yang dimiliki ia mengenali lelaki yang Puluhan orang ditangkap, diculik dan tak pernah mesti dihabisi. Yang dianggap musuh negara paling kembali. Ada peristiwa yang tak akan pernah dilupakan berbahaya ternyata bukan seorang berperawakan kekar, oleh penduduk kota ini, ketika suatu hari tentara yang hidup berpindah-pindah dalam hutan memimpin mengeksekusi delapan anak muda di perempatan pusat gerilyawan, dan karena itu tentara tak pernah berhasil kota. Mereka diseret, dibariskan satu per satu, menangkapnya. Orang yang dicarinya itu hanya kemudian ditembak tepat di kepala. Kekejian seperti bertubuh kecil, nyaris kurus, berkulit gelap, rambut agak itu terkadang diperlukan untuk menciptakan ketakutan. ikal. Ia terlihat keras, tetapi selalu berbicara dengan Tapi siapa yang bisa membunuh gagasan? Kepala bisa intonasi santun. Jadi inilah orang yang selalu menghasut ditembak sampai pecah, tetapi gagasan akan terus anak-anak muda untuk melakukan perlawanan dan hidup dalam kepala banyak orang. Peristiwa itu menuntut kemerdekaan. Dia hanya penyaji kopi. mendapat protes keras, dan makin memicu perlawanan. Amnesty International menekan pemerintah pusat. ANAK muda penyaji kopi itu telah berdiri di Saat operasi militer dianggap tak lagi efektif, ia pun dekatnya, menyodorkan secangkir kopi yang sedikit dikirim. bergetar ketika diletakkan di meja. Ia tahu anak muda Sebagai agen intelijen terlatih iapun dengan cepat itu gugup, tetapi berusaha mengendalikan emosinya. mengetahui, bagi orang-orang dikota ini kedai kopi “Ini kopi terbaik yang kusajikan untukmu yang di bukan sekadar tempat untuk menikmati kopi. Hampir dalamnya tersimpan rahasia, yang hanya bisa kau di setiap jalan di kota ini selalu ada kedai kopi. Rasanya ketahui setelah kau meminumnya.” Anak muda itu tak ada penduduk kota ini yang tak menyukai kopi. Di menatapnya. “Tapi aku tak yakin apakah kamu bernani kedai kopi waktu seperti berhenti. Orang bisa meminumnya habis.” sepanjang hari duduk di kedai kopi untuk berkumpul, Di luar, jalanan ramai lalu lalang kendaraan. Klakson berbual atau menyendiri, mempercakapkan hal-hal angkot, knalpot sepeda motor meraung kencang. Lagu rahasia, kasak-kusuk perlawanan, juga tempat paling dangdut terdengar dari kedai kopi seberang jalan. Tapi

16 17 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KOPI DAN CINTA YANG TAK PERNAH MATI | Agus Noor ia merasakan suasana begitu sunyi di kedai ini. Semua rokok di asbak masih panjang. Ia ingin meminum kopi orang dalam kedai terdiam dan memandang ke di cangkir itu pelan, tapi seperti ada yang menahannya, arahnya, seolah beharap terjadi perkelahian seru. insting yang mengharuskannya bersikap hati-hati “Duduklah,” akhirnya ia berkata. “Seperti yang dalam situasi seperti ini. Jari-jarinya berkedut, hal yang selalu dikatakan orang-orang di kota ini, mari kita selalu terjadi bila ia merasa cemas, hingga rokok di selesaikan semuanya dengan secangkir kopi.” jarinya nyaris lepas. “Aku telah menghabiskan sepuluh “Seperti ketika kamu menghabisi ayah aku!” tahun dalam penjara untuk sesuatu yang dituduhkan Terdengar kursi kayu digeser, dan anak muda itu padaku yang sebenarnya tak pernah kulakukan.” duduk. Lagu dangdut masih terdengar dari kedai “Pengecut tak akan pernah berani mengakui seberang: Tuduhlah aku, sepuas hatiiimuuuu, atau bila kau kejahatan yang dilakukan!” perlu bunuhlah akuuuu… “Aku sendiri hanya orang yag dikorbankan untuk “Kau pasti membenciku.” Ia mengisap rokok menutupi kesalahan orang lain. Salah alamat bila kau dalam-dalam. mendendam kepadaku.” “Untuk apa membenci seorang pengecut. Pengecut “Ini bukan soal dendam. Ini soal keadilan,” tatapan lebih pantas dikasihani.” anak muda itu makin tajam. “Kamu memang sudah “Kalau kukatakan aku bukan pembunuh ayahmu, dihukum. Dan aku yakin, sepanjang hidupmu, kamu kau pasti tahu kenapa ayahm harus dibunuh.” akan terus dihukum oleh kepengecutan dan “Selalu tersedia cukup banyak alasan untuk menjadi ketakutanmu. Tapi itu bukan alasan bagiku untuk pembunuh. Hanya pengecut yang membunuh dengan berhenti menuntut keadilan.” cara-cara licik.” “Apa yang kamu tuntut dari keadilan? Keadilan “Jangan terlalu percaya pada apa yang diberitakan tak pernah membuat yang mati hidup kembali.” koran-koran. Asal kau tahu, aku mengagumi ayahmu. “Yang mati memang tak akan pernah hidup Kematian ayahmu bukan tanggung jawabku. Itu kembali…” tanggung jawab negara.” “Kecuali Tuhan,” ia menimpal ucapan anak muda “Yang pertama-tama dilakukan para pengecut itu, mencoba berkelakar mencairkan suasana tegang. memang selalu mencari pembenaran. Itu sebabnya para “Keadilan bukan perkara orang per orang. Ini pengecut selalu selamat.” bukan persoalan antara aku dan kamu. Juga bukan Ia kembali menyalakan sebatang rokok. Padahal persoalan kamu dan ayahku. Jika kamu menganggap

18 19 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KOPI DAN CINTA YANG TAK PERNAH MATI | Agus Noor ini hanya persoalan pribadi, semestinya kamu hati musuh melalui apa yang disukainya. Ketika ia selalu menantang ayahku untuk berduel, sampai salah satu mengajaknya bicara tentang kopi, lelaki itu dengan cepat di antara kalian mati. Itu jauh lebih jantan dan menyukainya. Saat menikmati kopi di sore bergerimis, terhormat. Tapi aku tahu, pengecut semacammu tak dari lelaki itu ia tahu rahasia menyajikan kopi. Sentuhan akan pernah berani bersikap jantan seperti itu. tangan penyaji kopilah yang membedakan rasa kopi. Menyedihkan memang, pengecut selalu selamat oleh Biji kopi terbaik tetap saja tak akan enak bila tangan kepengecutannya.” penyaji kopi itu tak mengenali jiwa kopi. Ia pun “Aku bukan pengecut!” Suaranya terdengar mengerti kenapa di kedai ini tak ada mesin penggiling mengambang di udara. kopi. Lelaki itu mengolah sendiri biji-biji kopi dengan “Kalau begitu, minum kopi itu, dan kita tunggu tangannya. Sentuhlah biji-biji kopi itu dengan seluruh apa yang terjadi.” perasaanmu, kamu akan merasakan sesuatu yang Ketika ia hanya terdiam gamang memandangi lembut. Dan kamu akan tahu mana biji kopi terbaik cangkir kopi, anak muda itu tertawa masam. “Apa kamu yang pantas disajikan untuk pelanggan. pikir dengan berani datang ke kedai ayahku ini kamu Sebenarnya ia tak hendak percaya. Namun pada sudah membuktikan keberanianmu? Tidak! Aku yakin kenyataanya kopi di kedai kopi ini memang terasa kamu datang kemari bukan untuk meminta maaf. paling nikmat di lidahnya. Ia sudah sering menikmati Kamu datang kemari justru karena ingin membuktikan kopi di banyak kedai kopi, tetapi tak ada yang bisa bahwa kamu tidak bersalah telah membunuh ayahku. membuatnya merasa begitu nikmat senikmat setiap Kamu merasa, dengan dipenjara sepuluh tahun, sudah kali ia menikmati kopi di kedai kopi ini. Seakan dalam cukup untuk menganggap selesai persoalan. Bagiku, secangkir kopi itu ada kebahagiaan yang dikekalkan. tak ada kata lupa untuk kejahatan. Pembunuh selalu Bahkan ketika dalam penjara, diam-diam ia sering minta bersikeras melupakan korbannya. Bahkan, aku yakin, tolong pada sipir untuk membelikan kopi dari kedai kamu sudah lupa seperti apa ayahku.” ini. Dengan sogokan tentu saja. Ia diam-diam melirik pada poster di tembok kayu “Tak pernah ada sebelumnya yang membiarkan itu; wajah lelaki berkumis tebal itu tak akan pernah kopi di kedai ini menjadi dingin tanpa menyentuhnya,” mungkin dilupakannya. Wajah itu selalu muncul dalam suara anak muda itu membuyarkan ingatannya. “Itu mimpi buruknya. Ia tak akan pernah lupa pada saat- sudah cukup membuktikan bahwa kamu bukan saja saat ia mulai mendekati lelaki itu. Masuklah ke dalam pengecut karena tidak berani meminum kopi yang aku

20 21 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KOPI DAN CINTA YANG TAK PERNAH MATI | Agus Noor sajikan, tetapi juga meyakinkanku kalau kamu memang masa lalu yang tak ingin dilihatnya. pengecut yang dihantui ketakutanmu sendiri.” Kemudian ia berjalan menuju kelokan, dan untuk Anak muda itu bangkit meninggalkannya terakhir kali memandang kedai kopi itu dari kejauhan, sendirian. sebelum akhirnya menghilang ke dalam cahaya kota yang remang. Bila pada akhirnya ia benar-benar LANGIT gelap dan kosong ketika keluar dari kedai menghilang dari dunia ini, adakah seseorang yang masih itu. Tapi perasaan kosong dalam hatinya mengingat dan mengenangnya?  menghamparkan kehampaan melebihi luas langit yang dipandanginya. Rasanya ia merasa lebih terhormat bila anak muda itu menghajarnya hingga babak belur ketimbang membuatnya merasa terhina seperti ini. Tak akan pernah berani lagi ia kembali ke kedai kopi itu. Kopi yang disajikan anak muda itu benar- benar telah membuatnya diluapi perasaan takut; ia mengingatkannya pada peristiwa saat ia menuangkan arsenik ke dalam cangkir kopi lelaki berkumis itu. Ia melihat seorang gadis berjalan bergegas menyeberang jalan. Gadis itu memakai kaos bergambar sablon wajah lelaki berkumis itu. Kematian seorang pengecut seperti dirinya tak akan pernah mendapat kehormatan seperti kematian lelaki yang dibunuhnya. Saat melintas di depan toko kelontong berkaca lebar ia berhenti, memandangi bayangan muram tubuhnya (terketik sebagaimana yang tercetak di koran, admin); kulit coklat gelapnya tersamar warna jaket yang telah pudar, mata cekung dan alis matanya yang semurung sayap burung sedikit tertutup rambut yang mulai gondrong. Bayangan di kaca itu seperti hantu

22 23 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PENJOR | I Wayan Suardika Penjor

I Wayan Suardika Minggu, 18 Januari 2015

ERUMUNAN kecil di bale banjar itu perlahan menyusut ketika melihat I Beneh dariK kejauhan. Hanya tinggal dua orang yang masih bertahan di situ ketika I Beneh benar-  benar sampai di bale banjar. Seorang dari mereka menyapa lelaki itu. Tapi I Beneh tak ambil peduli. Perhatian lelaki itu lebih mengarah pada sebatang penjor[1] yang berdiri menjulang dengan ujung melengkung ke bawah. “Ada yang salah pada penjor itu,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri. “Apanya yang salah, Nang[2]?” I Beneh menoleh kepada orang yang bertanya itu, memandangnya sinis dan tajam. “Percuma aku jelaskan! Potong kupingku kalau kau mengerti penjelasanku. Tahumu cuma tajen[3] dan mamitra[4]!”

24 25 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PENJOR | I Wayan Suardika

Seseorang yang dihardik itu cuma tersenyum masam. Ketika I Beneh melangkah menjauhi mereka menuju sebatang penjor yang berdiri depan rumah seorang warga desa dekat bale banjar itu, barulah dua orang itu berani menggerutu. “Jelema[5] stres!” “Baru namanya I Beneh, belum tentu beneh[6]!” Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banyak yang tak menyukai I Beneh. Pembawaan lelaki paruh baya itu sering melukai orang-orang. Semua orang di desa itu dianggapnya dungu. Semua hal dianggapnya berlangsung salah. Aneh bahwa sejauh itu orang tak berani membantah I Beneh. Mereka hanya berani membantah dan menggerutu di belakang punggung lelaki itu. Mungkin karena mereka menganggap I Beneh pernah bersekolah tinggi di kota, dan meskipun tidak tamat, namun orang terlanjur menganggap ia pintar, merasa sebagai orang kota yang kembali ke desa dan juga omongannya tinggi, banyak istilah-istilah yang tak dimengerti oleh orang desa dan dia juga mengaku mengenal banyak orang-orang penting yang sering kelihatan di acara-acara berita di TV. Di sisi lain, mereka juga terpaksa mengakui kalau I Beneh banyak tahu tentang persoalan adat, agama dan masalah desa. Jika berlangsung mebat[7] di bale banjar atau di rumah warga yang mempunyai hajatan adat, maka I Beneh akan mengambil bagian pekerjaan yang

26 27 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PENJOR | I Wayan Suardika paling sulit, misalnya memotong babi dan dari mana digarap saat penampahan, sehari sebelum memasuki harus memulai mengirisnya kemudian membagi-bagi Galungan. Tapi tak masalah juga jika penjor dibikin dagingnya berdasarkan keperluan upacara. Hanya dua tiga hari sebelumnya. Penjor dibuat dari batang orang-orang tertentu saja yang bisa mengambil bambu panjang yang ujungnya makin meruncing ke pekerjaan ini, termasuk yang paling diperhitungkan ialah bawah. Sepanjang pokok bambu dihiasi dengan I Beneh! gulungan-gulungan janur melajur ke atas hingga sampai Prajuru[8] adat juga malas melangsungkan rapat jika ke ujung bambu yang melengkung. Di pokok bambu dilihatnya I Beneh hadir dalam rapat itu. Jika tidak setinggi 2-3 meter dari tanah, berimbun segala daun, mengkritik, maka dia akan berbicara panjang lebar beberapa ikat padi dan kelapa yang ditata sedemikin tentang bagaimana seharusnya pembangunan desa rupa mengembang indah dan menyenangkan dilihat. berjalan, pendidikan anak dikedepankan, Sebatang penjor dilengkapi dengan sanggah memandirikan desa dengan memajukan koperasi, cucuk[10] yang berfungsi sebagai tempat sesajian dan membangun kesadaran politik agar masyarakat desa persembahan suci. Pada bagian dasar anyaman segitiga tak mudah diperdaya dan memiliki daya tawar politik diselimuti kain kuning. Pagi di hari Galungan besok, dan seterusnya. sanggah cucuk itu akan dipenuhi banten[11], dupa dan Belum pernah ada yang berani membantah I persembahan lainnya. Hari penampahan adalah Beneh. rangkaian paling terakhir dari serangkaian panjang Tetapi bagi orang-orang di desa itu, I Beneh adalah sebelum sehari berikutnya memasuki hari suci yang orang setengah gila, sok pintar dan stres. Setengah dari dinanti-nanti: Galungan! percakapan mereka di warung kopi, di sawah, sungai Pagi masih berkabut di desa itu. Tapi kesibukan menjelang mandi atau ngobrol santai di bale banjar, dan suasana hari suci Galungan sudah sangat terasa. adalah tentang I Beneh. “Ngomongnya galak di Gaung gamelan dari pengeras suara berkumandang ke kampung sendiri, tapi waktu rapat di kantor camat, pelosok desa, beberapa perempuan dan anak-anak dia malah bungkam!” gerutu seorang prajuru adat sudah mengenakan pakaian adat, aroma banten dan dalam suatu obrolan di warung kopi samping bale dupa menyemarakkan jalan-jalan lebar di desa. banjar. Kesibukan paling tinggi di hari Galungan memang Memasuki hari penampahan[9] Galungan, orang- terjadi di pagi hari sebelum melewati tengah hari. orang sibuk membuat penjor. Kebanyakan penjor mulai Persembahan dan persembahyangan biasanya sangat

28 29 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PENJOR | I Wayan Suardika ramai pada pukul sembilan pagi. Jalanan umum jauh tak sesuai aturan!” lebih lengang dari hari biasa, dan jika ada kendaraan “Ini pasti kerjaan Nang Beneh!” biasanya juga untuk kepentingan menuju ke pura desa Makin riuh komentar-komentar dan mereka atau pura dadia[12], atau ke tempat-tempat yang akhirnya sampai pada nama I Beneh. Penjor itu berdiri dipandang suci. tegak di muka rumah lelaki yang mereka kenal sebagai Tapi ada pemandangan sedikit ganjil pagi itu. orang setengah gila, sok pintar dan stres itu. Semula orang-orang tak terlalu ambil peduli karena “Dasar jelema buduh[14]!” mungkin mereka lebih khusyuk pada kegiatan “Stres!” persembahyangan dan persembahan untuk hari “Merasa paling benar!” Galungan. Namun menjelang siang, terutama saat Ketika kehebohan makin sengit, dan guna orang-orang sudah selesai bersembahyang, satu dua mencegah kejadian yang tak diinginkan, prajuru adat orang mulai berkerumun, mempercakapkannya dengan dan beberapa pengelingsir[15] desa mendatangi I Beneh rasa heran. di rumahnya. Keganjilan itu ialah penjor depan rumah I Beneh. I Beneh ditegur secara kekeluargaan, diceramahi, Tak sebagaimana bentuk sosok penjor pada umumnya, dinasihati, bahwa sesuatu adat yang telah berlangsung penjor depan rumah I Beneh itu tegak lurus dan sama turun-temurun adalah warisan yang harus diteruskan sekali tak ada lengkungan ke bawah di ujung penjor. karena dasar kearifannya ada. “Kami tahu Nanang Penjor itu sepenuhnya tegak lurus. Selebihnya, kaidah adalah orang pintar, dan kami juga tahu Nanang penjor yang lain dipatuhi. sangat... sangat mengerti mengapa Nanang membikin Kerumunan itu makin membesar dan mengelilingi penjor yang tak lazim itu. Tapi mohon juga dipahami ‘penjor tegak lurus’ itu. Dan berbagai komentar pun bahwa kami sekalian adalah orang-orang desa, orang- mengemuka. orang sederhana yang terlalu mudah terperanjat oleh “Ini penjor atau umbul-umbul menyerupai penjor?” hal-hal baru yang tak dapat kami mengerti. Kami tanya seseorang. meminta Nanang memahami itu,” kata salah seorang “Ini tidak benar. Penjor harus ada lengkungan di prajuru adat. atasnya karena itulah yang kita sebut penjor,” ujar yang Orang-orang mengira I Beneh akan melakukan lain. serangan balik dengan bantahan-bantahannya yang “Badah, Galungan bisa leteh[13] karena penjor yang sengit sebagaimana yang sering mereka lihat di hari-

30 31 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PENJOR | I Wayan Suardika hari kemarin di berbagai situasi. Namun kali ini mereka membuat penjor dengan memanfaatkan bambu yang melihat I Beneh hanya diam dan menyeringai tipis. utuh dengan membiarkan lengkungannya tetap ada “Jadi, kami dengan rasa kekeluargaan memohon lalu kemudian baru dibikin artinya...” maaf kepada Nanang jika sebentar lagi penjor Nanang Apa pun penjelasan dan pembelaan I Beneh, akan kami cabut,” lanjut prajuru adat yang nampaknya namun di ujung pertemuan, penjor bikinan I Beneh menjadi juru bicara di antara prajuru adat itu. tetap saja dicabut. Namun salah seorang pengelingsir desa yang dari Dan orang-orang bersorak-sorai.  tadi diam saja akhirnya juga ingin tahu apa yang menjadi alasan I Beneh membikin penjor tegak lurus itu. Ketika ditanyakan hal itu, I Beneh tak segera Catatan: menjawab. Ia diam cukup lama dengan seringaian yang [1] Penjor = Hiasan bambu dengan janur, dedaunan, padi dan tak pernah lepas dari bibirnya. buah-buahan, dibuat sedemikian rupa sehingga nampak sangat “Mengapa, Neh? Mengapa kau bikin penjor seperti indah. Penjor dibuat biasanya menyertai hari raya suci Galungan. Penjor dimaknai sebagai gunung atau Naga Basuki. itu?” desak pengelingsir desa itu ingin tahu. [2] Nang = Pak, dari kata nanang = bapak “Menurut aku, seluruh penjor seharusnya tegak [3] Tajen = sabungan ayam lurus,” sahut I Beneh akhirnya. “Menurut aku juga, [4] Mamitra = selingkuh penjor yang tegak lurus mencerminkan juga makna [5] Jelema = orang Galungan. Kita semua tahu mengapa Galungan [6] Beneh = betul, benar [7] dirayakan, yaitu karena kita merayakan dan mensyukuri Mebat = menyiapkan segala jenis makanan untuk persembahan atau untuk perjamuan, biasanya dikerjakan oleh kemenangan dharma atas adharma. Dharma ialah kaum lelaki di Bali secara gotong royong. kelurusan hati, lurus pada hal-hal tulus, kebaikan, jalan [8] Prajuru = pengurus murni hati nurani menuju Hyang Widhi[16]. Penjor tegak [9] Penampahan = rangkaian dari hari raya Galungan. lurus menjulang ke langit karena kita semua ingin Penampahan dirayakan sehari sebelum Galungan, dimaknai menuju kepada-Nya... Dia Yang di Atas.” sebagai kegiatan penyembelihan hewan, umumnya babi, juga Semua diam dan mendengarkan. ayam atau bebek, sebagai persembahan perayaan hari raya Galungan. Dan I Beneh kembali menjelaskan arti penjor [10] Sanggah cucuk = tempat sarana sesajian dan persembahan menurut jalan pikirannya sendiri dengan penuh suci, dibuat dengan bahan serba bambu, berbentuk anyaman semangat. “...bukan tak mungkin pula pendahulu kita longgar segitiga yang ditopang oleh pokok bambu kurus kecil.

32 33 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TENUNG | Fandrik Ahmad

[11] Banten = sarana suci yang pada umumnya dibuat dari daun janur dan berbagai bunga disertai dupa [12] Dadia = sehimpunan kepala keluarga [13] Tenung Leteh = kotor [14] Jelema buduh = orang gila [15] Pengelingsir = tokoh, orang yang dihormati, orang yang dituakan [16] Hyang Widhi = Tuhan Yang Esa Fandrik Ahmad Minggu, 25 Januari 2015

ABAR kematiannya menyebar sangat cepat, seperti angin yang berbuah badai danK merontokkan dedaunan. Barangkali kabar kematian tak secepat itu jika yang meninggal  bukan si tukang tenung. “Siapa yang meninggal?” “Murtaep.” “Murtaep si tukang tenung itu?” “Ya, betul.” Di mana kabar itu singgah, dari muka segala arah, pembicaraan kerap bermuara pada perkara kesaktiannya. Tenung dan Murtaep bak gembok dan kunci. Tenung, ya, Murtaep. Murtaep, ya, tenung. Malam masuk waktu Isya ketika tubuh Murtaep tak lagi hangat. Sebagian kerabat berdatangan sebelum mata lelaki dekil itu benar- benar terpejam. Murtaep meninggal secara

34 35 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TENUNG | Fandrik Ahmad

wajar dan normal, tidak mendadak, apalagi misterius. Kematiannya tak seperti yang selalu ia koarkan pada penduduk. Ramalan yang meleset itu, kematian Murtaep, semakin menjadi buah bibir. Jauh hari Murtaep sudah mengabarkan perihal tanda kematiannya sendiri. Ia akan mati ketika pohon beringin di depan rumahnya tersambar petir. Tulangnya akan hangus bersama akar serabut beringin. Bagaimanapun Murtaep juga manusia. Bisa meramal, bukan penentu nasib. Lebih tiga bulan lelaki itu tak bisa melakukan apa- apa kecuali tergolek kaku. Ia sudah tak lihai memainkan persendian. Makan dan minum harus disuap. Buang hajat sudah di ranjang. Buang air tak pernah membilang. Murtaep tidak sakit, hanya terlalu tua untuk hidup. Usianya seratus tahun lebih. Melihat usia yang terlalu senja untuk ukuran manusia sekarang, sebagian orang percaya betapa ia tak bisa mati kecuali ada petir menyambar beringin itu. “Yang jelas usianya lebih seratus tahun. Seratus berapa, tidak ada yang tahu,” cerita Dulla pada Taris, cucunya. Istri Murtaep seorang dukun beranak. Sapinah namanya. “Perempuan itu yang memandikan anak kakek yang paling tua. Pamanmu, Aji,” kata Dulla.

36 37 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TENUNG | Fandrik Ahmad

“Dulu orang melahirkan tak secanggih sekarang. “Ya, kamu harus buat sendiri jawabannya dan Bukan perkara gampang. Sakit harus benar-benar tawarkan pada kendi itu.” dilawan, bertaruh nyawa. Sekarang enak pakai operasi. “Maksudnya?” Tinggal suntik, tak sadar, selesai,” sambung ibunya yang “Kalau jawabanmu benar, kendi itu akan berhenti tiba-tiba sudah berdiri dengan sekantong beras. berputar.” Taris memiliki sambung keturunan dengan “Oalaaah, kalau saya yang pegang kendi itu, saya Murtaep dari keluarga garis laki-laki. Dulla adalah adik tak akan menawarkan nasi kuning, sumpil, lemper, sepupu Murtaep. serabi, atau tajin.” Ayah Taris belum pulang. Ia memiliki jadwal piket “Lalu apa?” di palang pintu kereta dan baru tiba di rumah jam “Bisa yang lain yang lebih keren dan enak. Bisa sembilan. Dulla mengajak Taris melayat duluan. Ibunya panggang ayam, sate, soto babat atau makanan yang sudah berada di teras dengan sekantong beras untuk enak-enak lainnya... Hahaha.” Orang-orang melempar disedekahkan kepada keluarga duka. pandang di bawah terang bohlam yang menggantung, Para pelayat berdatangan ke rumah duka redup oleh asap cerutu. membawa gula, rempah-rempah, mie instan atau beras. Jenazah Murtaep jadi dikubur besok pagi, hasil Mereka datang untuk menghibur dan mengurangi musyawarah keluarga duka dengan tokoh masyarakat. beban keluarga dan menjadi saksi atas kebaikan- Gerimis yang kembali turun menjadi pertimbangan. kebaikan yang pernah dilakukan almarhum. Taris dan Dulla pulang. Di rumah tidak ada orang. “Siapa yang bakal gantikan Murtaep, ya?” Sementara ibunya masih membantu urusan di dapur. “Kamu saja, bagaimana?” Dalam perjalanan pulang, berlindung daun pisang, cerita “Hus, ngawur!” renyah mengalir dengan narasi tak begitu rapi. “Lha, ‘kan cuma mutar kendi, lalu bertanya, siapa “Tak banyak yang memiliki kemampuan seperti kamu, apa yang kamu minta. Mudah bukan?” dia,” mulainya. “Iya, ada benarnya juga tuh,” sindir yang lain. Sudah lama Murtaep jadi tukang tenung: sejak “Kendinya bisa menjawab pertanyaan itu?” menikah dengan Sapinah dan memiliki sebuah kendi. “Tentu tidak. Kendi itu cuma berputar-putar.” Tenung ala Murtaep berbeda dengan tenung yang biasa “Lalu, bagaimana bisa ketahuan bila makhluk gaib atau yang lebih dititikberatkan pada ilmu hitam untuk itu minta nasi kuning, serabi, tajin…?” mencelakai orang. Tidak. Tenung Murtaep menjadi juru

38 39 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TENUNG | Fandrik Ahmad selamat di kampung itu. Banyak penduduk yang bukanlah sembarang kendi. Orang menyebutnya kendi berobat padanya. tasoddul, milik perempuan hamil yang meninggal Murtaep hanya seorang pendatang biasa. sebelum melahirkan. Konon, ruang dalam kendi itu Kelebihan membaca perkara gaib diketahui ketika berpenghunikan arwah bocah yang mati sebelum lahir. seorang anak tetangga mendadak kejang-kejang. “Arwah bocah yang mati sebelum lahir dipercaya Tubuhnya menghitam. Matanya membelalak. dapat membaca perkara gaib. Arwah bocah itu Tangannya mencakar-cakar. Murtaep yang kala itu baru diibaratkan sehelai kapas putih tanpa noda.” tiba dari sawah melihat keganjilan itu. Ia mendekati “Kapas putih.” orangtua anak yang mukanya kacau panik, lalu “Ya, bayi yang baru lahir ibarat kapas putih, Nak. mendekat pada anak yang—kata orang—ayan. Anak Bersih tanpa noda dosa.” itu menyerangnya. Murtaep gesit menghindar. Pada Selain sebagai wadah minuman, kendi juga dipakai kondisi yang sangat sigap dan cepat, tangannya sebagai pelengkap kuburan. Benda itu diletakkan di menepok jidad anak itu dan roboh seketika. bagian kepala nisan. Isinya air yang dipakai peziarah Perkara gaib yang terjadi sangat cepat itu untuk menyiram aneka kembang yang ditabur di atas membelalakkan pasang mata. Anak itu tak lagi jarak kedua nisan. mengamuk. Murtaep berusaha menetralisir suasana. Murtaep memiliki penyakit semacam orang yang Berkoar betapa yang dilakukannya tadi sebuah usaha susah tidur. Malam-malam kerjanya melek seperti mengusir makhluk halus yang terperangkap di tubuh burung hantu. Kalau tidak punya jadwal ronda, kerjanya anak itu. Tak lupa ia membumbui aksinya dengan usaha main domino. Kalau pun sudah merasa lapar, ia dan campur tangan Tuhan. teman sepermainannya tinggal membuat api unggun, “Apa yang terjadi setelah itu, Kek?” menyeduh air, membuat kopi, atau memanggang “Kau tak sabaran, Nak,” tukasnya tersenyum. singkong. “Sejak saat itu Murtaep menjadi kepercayaan orang Suatu malam, di pos ronda, sangat kebetulan sekali, kampung. Bertanya soal penyakit yang tak sembuh- hanya Murtaep semalaman duduk sangkil. Tak ada sembuh sampai bertanya soal jodoh.” teman ternyata kantuk bisa juga datang ke pelupuk Hal lain yang membuat Murtaep menjadi matanya. Atau barangkali saja lelaki itu kecapaian karena terpandang adalah kendi yang dipakai untuk tenung. seharian mencangkul tegal. Tempat air bercerat yang terbuat dari tanah liat itu Ia tidur sebentar dan bermimpi samar-samar:

40 41 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TENUNG | Fandrik Ahmad perempuan, bayi, tangis, nisan, kemboja, dan kendi. Ia TUJUH hari pemakaman Murtaep tuntas, sanak tak tahu harus ditafsirkan macam apa mimpinya. Satu saudara sudah pulang dari rumah duka, termasuk Taris hal yang ada di pikirannya, bila ada perempuan hamil dan keluarganya. Rumah kembali sepi. Pada posisi meninggal dengan anak masih dalam kandungan, akan seperti ini, sangat baik bagi kenangan datang ada banyak orang yang menginginkannya. Semua orang bertandang. tahu betapa kematian semacam itu, anak dalam Setiap keluarga pasti setidaknya mempunyai satu kandungan bisa dibuat jimat kekebalan atau ritual buah benda keramat yang menjadi pusaka dan menjadi kaya. Cerita ini memang sudah melegenda, diwariskan turun-temurun. Pikiran seperti itu tidak hanya Murtaep yang tahu. merangsang Silus merasa paling berhak mewarisi kendi Mimpi itu tak menunggu lama untuk menjadi itu. Ia lelaki tunggal dari tiga bersaudara. Bukankah nyata. Sebelum matahari menyumbul, penduduk dalam proposisi tertentu lelaki lebih diunggulkan dihebohkan kematian Sumiati. Perempuan yang daripada perempuan? ditinggal suaminya menjadi TKI itu meninggal dengan Ayam baru berkokok sekali. Silus melihat kendi itu perut membuncit tujuh bulan. Murtaep dan kawan menggantung di langit-langit kamar tempat terapi seronda lainnya sadar, urusan berjaga-jaga bertambah Murtaep. Leher kendi terlilit kawat. Ia mengambil kendi berat, apalagi kalau bukan kematian tasoddul itu. Banyak itu dan memutarnya sebagaimana yang dilakukan oleh yang akan menginginkan kuburan Sumiati, sebelum ayahnya. Poros atas dan poros bawah kendi kuburan itu genap 41 hari. diseimbangkan dengan kedua jari telunjuk. Sementara Hal yang tak diinginkan terjadi sebelum kuburan telunjuk yang lain memutar kendi itu. Sumiati genap 41 hari. Ada yang membongkar kuburan Dicobanya, tidak bisa. itu. Jenazahnya hilang! Peronda kecolongan. Sepasang Dicoba lagi, tidak bisa. tatapan saling menaruh curiga. Siapa yang tak ingin Dicoba lagi, tetap. kaya? Sisa kesabaran berdengus. Silus membanting kendi “Bagaimana Murtaep memiliki kendi itu, Kek?” yang tak mau berputar. Prang! Kendi hancur berkeping tanya Taris. berserak di lantai. Silus keluar dari kamar yang gelap. “Entahlah, katanya kendi itu datang sendiri Tangannya menutup daun pintu yang cukup keras. kepadanya.” Sulastri yang lelap di kamar, seketika terbelalak mendengar suara itu. Ia hendak mengadu, namun Silus

42 43 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PENGUBURAN KEMBALI SITARESMI | Triyanto Triwikromo sudah tak ada di sampingnya. Ia yakin suara yang didengar tadi bukanlah kembang tidur, tapi entahlah, dari mana suara itu datang. Penguburan Kembali Sitaresmi Langkahnya bersigegas ke dapur. Pikirannya awas pada sesekor kucing milik tetangga yang sangat blenger. Sekali mencium aroma daging, pasti selalu mengintip. Sulastri was-was kucing belang itu memakan sisa ikan Triyanto Triwikromo sapi hari ketujuh wafat Murtaep. Sulastri tak Minggu, 01 Februari 2015 menemukan apa-apa. ia mengecek ruangan yang lain, tak ada tanda-tanda barang pecah. Di kamar yang digunakan mertuanya, ia juga tak melihat tanda ELAMA 50 tahun aku dipaksa menjadi kegaduhan ataupun barang yang berserak. Hanya saja orang bisu. Selama 50 tahun warga wajahnya tampak heran melihat kendi berada di lantai. kampungS mungkin sudah menganggap aku Sulastri mengembalikan kendi itu ke tempat semula, sebagai batu berlumut. Namun karena kau menggantungkannya di langit-langit kamar. Bila bersama puluhan anak muda tiba-tiba berniat suaminya ketemu, ia ingin bertanya beberapa hal: membongkar gundukan menyerupai kuburan tentang suara itu dan siapa yang meletakkan kendi di dan ingin memakamkan kembali siapa pun yang lantai.  dibunuh dan dikubur di gundukan batu menyerupai makam di Bukit Mangkang, aku harus menceritakan kisah pembantaian konyol kepada 24 perempuan tangguh itu kepadamu. Aku tak akan mengisahkan cerita lama kepada para penganggit kisah sepertimu. Aku tak akan bercerita tentang Lembulunyu dan 23 pasukan berani mati yang begitu ganas menyiksa para serdadu yang tersesat di hutan. Aku tak akan berkisah tentang perempuan- perempuan yang bisa berubah jadi lembu-

44 45 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PENGUBURAN KEMBALI SITARESMI | Triyanto Triwikromo

lembu terbang meskipun hujan terus-menerus menghajar rerimbun pohon jati. “Tetapi orang-orang sudah telanjur percaya pada cerita lama. Orang-orang telanjur percaya di Bukit Mangkang terkubur Lembulunyu bersama perempuan- perempuan tangguh yang setiap Kamis malam bisa dimintai nomor togel. Orang juga percaya Lembulunyu—yang bisa menghilang dan menyusup ke tubuh lembu paling tambun saat dikejar-kejar musuh—tak ditembak oleh serdadu, tetapi minum racun bersama 23 perempuan lain setelah sebelumnya mereka membunuh lebih dari 100 serdadu dengan menanduk lambung atau menginjak-injak kepala hingga pecah,” katamu. “Kau percaya pada kisah konyol yang diembuskan oleh para serdadu culas yang sedang mabuk itu?” “Apakah salah percaya pada hal-hal yang menakjubkan? Bukankah kisah-kisah para nabi di kitab- kitab suci juga menakjubkan?” Masalahnya kita tak hidup pada zaman para nabi. Masalahnya kita tak hidup di kitab-kitab suci, di alam yang serba-ajaib. Karena itu, sebaiknya percayailah kisahku. Kisah tentang pembantaian dalang bernama Sitaresmi dan 23 perempuan lain yang kelak kau ketahui sebagai sinden dan penabuh gamelan itu.

“TAK semua orang akan percaya pada kisahmu. Kecuali jika...”

46 47 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PENGUBURAN KEMBALI SITARESMI | Triyanto Triwikromo

Kecuali jika aku menjadi saksi pembantaian itu perempuan tak tembus peluru. Aku tak peduli kau bukan? Kurasa akulah satu-satunya saksi yang masih percaya atau tidak. Aku sekadar ingin mengatakan, hidup. Waktu peristiwa itu terjadi aku berusia 17 tahun hanya karena Sitaresmi dan 23 perempuan penabuh dan pandanganku—meski terhalang hujan yang turun gamelan dan sinden selalu memainkan lakon Dewa terus-menerus—masih sangat waras. Aku masih remaja Sampun Pejah, mereka dikejar-kejar serdadu. Mereka penasaran dan ingin tahu segala yang terjadi. Meskipun dianggap antek Gerwani. Mereka dianggap telah menyaksikan dengan gemetar, aku masih bisa menghina Gusti Allah. membedakan siapa yang ditembak, siapa yang Kau tahu apa isi lakon Dewa Sampun Pejah? Ini menembak. Aku masih bisa memergoki beberapa jip hanyalah kisah biasa tentang Drupadi yang yang dilucuti dan truk yang mengusung perempuan-perempuan pakaiannya di Istana Kuru oleh Dursasana. Kisah tak malang yang hendak dibantai di tengah hutan, masih istimewa tentang penelanjangan Drupadi oleh bisa menghitung berapa tentara yang pethenthengan Dursasana yang digagalkan Kresna. Saat itu Kresna sebelum mereka menghajar kepala-kepala ringkih menutupi tubuh Drupadi dengan bentangan jarit tak dengan gagang bayonet. putus-putus sehingga tak seorang pun bisa menatap Kepala-kepala mereka, sebagaimana kepala kita, tubuh tangguh istri Yudistira itu. sungguh sangat ringkih. Tak ada yang tidak pecah saat “Ya memang bukan cerita yang luar biasa,” katamu, dihajar popor tentara. Tak ada yang utuh dan tak “Jadi, apa yang membuat Sitaresmi dikejar-kejar para berceceran—kecuali kepala Sitaresmi—saat dihantam serdadu?” beberapa peluru serdadu. Tak ada yang luar biasa andaikata Drupadi dalam “Sitaresmi tidak bisa dibunuh saat itu?” lakon itu tidak bilang, “Dewa telah mati. Ya, Dewa Dalang perempuan asal Kendal yang mahir telah mati karena Dia—sebagaimana Yudistira, Bima, mengoprolkan wayang dengan sabetan-sabetan sangat Arjuna, Nakula, dan Sadewa—tak berkutik saat cepat itu sepertinya dilindungi oleh semacam karet tak Dursasana dan Duryudana melecehkan aku. Di mana tembus peluru. Semua peluru mental dari tubuh. Dewa saat manusia-manusia utama di dunia tak “Apakah karet pelindungnya berlapis-lapis?” sanggup menolongku?” Ya, karet pelindungnya berlapis-lapis. Kuharap kau “Lalu, apa hubungan lakon itu dengan tidak meledek kisah yang terdengar konyol ini. Aku pembantaian di Bukit Mangkang?” tahu siapa pun akan sulit memercayai kisah dalang Tentu saja tidak ada. Akan tetapi pada Desember

48 49 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PENGUBURAN KEMBALI SITARESMI | Triyanto Triwikromo

1965 setiap alasan bisa digunakan untuk membunuh berang. Tak hanya marah-marah, dia kemudian siapa pun yang dianggap musuh. Kau bisa membunuh meminta para penembak mengikat tubuh Sitaresmi di orang-orang yang kau benci hanya dengan menuduh pohon jati. mereka sebagai tukang santet. Kau bisa membunuh “Kalau tak mati ditembak, tusuk saja lambungnya perempuan paling cantik dengan hanya menuduh dia dengan bayonet!” teriak Komandan Regu Tembak sebagai penyebar agama sesat. memberi perintah. “Kau hendak memaksaku percaya bahwa Sitaresmi Para penembak pun menusukkan bayonet ke tidak bersalah?” tubuh Sitaresmi, tetapi hanya terdengar semacam Tentu saja dia tidak bersalah. benturan besi dengan besi. “Kau juga ingin memaksaku percaya pada kisah “Tusuk matanya!” kekebalan Sitaresmi?” Para penembak menusukkan bayonet ke mata, Aku tak membutuhkan persetujuan orang lain tetapi hanya terlihat semacam perisai cahaya yang untuk mengisahkan apa pun yang terjadi pada menghalangi siapa pun menatap Sitaresmi Sitaresmi. Kau boleh tertawa keras-keras saat menyanyikan tembang “Maskumambang”. Tembang mendengarkan kisah bunyi klonthang-klonthang yang berbunyi: kelek-kelek biyung sira aneng ngendi/ enggal berdentang teramat keras ketika para serdadu tulungana/ awakku kecemplung warih/gulagepan wus meh menghantam kepala Sitaresmi dengan popor senapan. pejah2 itu dinyanyikan lirih, tetapi entah mengapa bisa Kau juga boleh tertawa saat kukatakan Sitaresmi tak kudengarkan dengan sangat jelas. lebih dan tak kurang adalah penjelmaan Dewi Sri— Tetap tak bisa membunuh Sitaresmi, Komandan istri Batara Indra—yang tak akan bisa dibunuh oleh Regu Tembak rupa-rupanya tidak kehilangan akal. manusia sesakti apa pun. Dengan sigap, dia berteriak, “Jika salah satu dari kita “Baiklah, aku akan berusaha percaya,” katamu tak bisa membunuh Sitaresmi, bukan tidak mungkin memancing, “tetapi apa yang sesungguhnya terjadi saat para sinden, yang mungkin tahu rahasia sang majikan, itu sehingga 24 perempuan harus dibantai dan justru bisa dengan mudah menghabisi dalang sialan dikuburkan secara paksa?” itu. Beri mereka belati. Suruh mereka menguliti tubuh Segalanya bisa begitu gampang terjadi gara-gara Sitaresmi!” tak satu pun peluru serdadu bisa menembus tubuh Para penembak memanggil tiga sinden dan segera Sitaresmi. Ini membuat Komandan Regu Tembak memberi mereka belati.

50 51 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PENGUBURAN KEMBALI SITARESMI | Triyanto Triwikromo

Tiga sinden tegang. Mungkin mereka gamang Apakah perlu kuceritakan? melukai perempuan kencana yang sangat mereka “Tak perlu. Siapa pun akan mudah menebak apa kasihi. pun yang terjadi. Siapa pun akan menganggap kamu “Lakukan sekarang!” teriak Komandan Regu gila. Siapa pun akan menganggap ceritamu berlebihan.” Tembak. Aku tak peduli. Aku hanya ingin orang tak percaya Tiga sinden kian tegang. Mereka bergeming. lagi pada cerita tentang Lembulunyu dan lebih memilih Mereka ketakutan. Mereka gemetar. mengisahkan kepada siapa pun kisah Sitaresmi. “Lakukan sekarang!” teriak Komandan Regu “Dan itu tak mungkin terwujud. Kau akan Tembak sekali lagi. berhadapan dengan orang yang tidak percaya pada Di luar dugaan, tiga sinden itu justru berbalik ke kisahmu. Sebagian kisahmu memang bisa dianggap arah penembak dan berupaya menusukkan belati ke benar, sebagian yang lain sedikit keliru, sebagian lain, dada para penembak. Tindakan konyol itu berakibat aku yakin, hanya terjadi di kepalamu. Kau tidak bisa fatal. Para penembak lebih cepat melesatkan peluru ke melawan mitos dengan mitos. Kau jangan terlalu tubuh para sinden. Daging-daging tubuh para sinden percaya diri menganggap kau sebagai satu-satunya pun memburai. Darah mengucur di antara hujan yang saksi. Bisa saja akan ada saksi lain yang akan terus mengguyur. menceritakan penembakan Sitaresmi dan 23 “Masih ada yang akan melawan perintahku?” kata perempuan itu dalam versi lain.” Komandan Regu Tembak. Aku tak peduli akan ada saksi lain atau tidak. Tak ada yang berani menjawab. Tak ingin ada Kalaupun ada saksi lain, mereka—yang dipaksa korban lagi, Sitaresmi memberi isyarat kepada para menggali makam dan mengubur mayat-mayat penembak agar mendekat. Aku tak bisa mendengarkan berserakan—toh sudah mati diberondong senapan. segala yang mereka perbincangkan. Aku hanya tahu Jadi, mengertilah, aku hanya ingin mengatakan tiba-tiba para penembak mengeluarkan seluruh peluru kepadamu, tak ada gunanya lagi kisah ini ditutup- dari senapan dan mereka beramai-ramai mengencingi tutupi. Karena itulah, aku setuju ketika kau bersama timah pembunuh itu. Komunitas Rekonsiliasi Kanan Merah dan Kiri Putih “Apakah akhirnya Sitaresmi terbunuh oleh peluru akan membongkar makam dan menguburkan tulang- yang sudah bersepuh urine para penembak itu?” tulang mereka kembali dengan doa yang sebenar-benar tanyamu. doa. Dulu kami tak pernah bisa mendoakan mereka.

52 53 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 CERITANYA | Norman Erikson Pasaribu

Aku tahu membongkar makam berarti membongkar hal-hal lain. Membongkar kuburan ini sama saja membuat kuburan untuk orang-orang yang masih Ceritanya hidup. Bisa saja mereka yang terlibat dalam pembunuhan itu akan ganti dikejar-kejar serdadu, segera diadili dan bukan tidak mungkin juga ditembak mati. Norman Erikson Pasaribu Tidak! Tidak! Aku tak ingin para penembak itu Minggu, 08 Februari 2015 dibantai layak anjing buruan. Setelah semua kisah kuceritakan kepadamu aku tak akan mau menjadi saksi bagi siapa pun. Aku akan membisu lagi. Aku hanya UATU subuh ia tiba-tiba merasa ia hanyalah ingin menjadi saksi hidup bagi pembongkaran, seorang Homo Fictus*, dan kehidupan yang penguburan kembali tulang-belulang, pengiriman doa iaS jalani adalah ceritanya. bagi para arwah, dan senyum manis terakhir Sitaresmi. Sepanjang siang gadis itu mencoba tetap Senyum manis? Ya, sebab aku yakin setelah 50 mengerjakan tugasnya seperti biasa, ia tetap tahun dikubur di bawah rerimbun pohon jati, ketika menjerang air panas, tetap membobotkan semua tulang-belulang 23 perempuan lain membusuk bubuk kopi dengan timbangan, memasukkan dan merapuh, senyum dan tubuh Sitaresmi tak akan biji-biji kopi ke dalam mesin penggiling, berubah. Tubuhnya tak membusuk. Tak ada lubang mengucapkan terima kasih kepada pelanggan bekas peluru di tubuhnya yang berbau harum itu. Tak yang meninggalkan kedai, meskipun di dalam ada kulit yang disayat. Tak ada ulat yang menggerogoti. dirinya ada adonan tepung dengan soda kue Tak ada... terlalu banyak: adonan itu mengembang dan Karena itu, segera salin seluruh kisahku. Aku akan mengembang dan mengembang, membuat membisu lagi. Aku tak akan bicara lagi. Aku takut, dadanya sesak. seperti dulu, mereka memaksaku minum racun lagi.  Menjelang sore—sekitar pukul dua—ketika kedai kopi tempat ia bekerja tak terlalu ramai, ia masuk ke kamar mandi pegawai dan menatap bayangan dirinya sendiri di cermin. Ini adalah

54 55 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 CERITANYA | Norman Erikson Pasaribu

daging betulan, pikirnya; protein, air, bilayer-bilayer lipid sungguhan; tetapi ini sebetulnya hanyalah kata-kata, meskipun pada awal mula sedikit banyak adalah memang protein dan lipid, yaitu ketika mereka semua masih berbentuk jutaan neuron di kepala seseorang. Ia mengambil kartu nama pegawai yang tersemat di dadanya, dan mencopot peniti yang melekat di sana. Ia menusukkan ujung jarum peniti ke ujung jarinya. Sesuatu yang berwarna hitam keluar perlahan. Ia mencium aroma cairan itu, dan mencicipinya. Itu sesuatu yang tak pernah ia kenal. Ia tahu tentang darah. Ia paham mengenai darah. Dan ini bukan darah. (1) Warnanya tak merah, (2) aromanya memang sedikit anyir tapi bukan anyir-darah. Ia pun mencoba mengingat kali terakhir ia jatuh dan kakinya berdarah... dan ia tak bisa. Ia mencoba mengingat orangtuanya, tetapi yang muncul di kepalanya hanyalah seorang perempuan berambut keriting-gembung seperti brokoli. Tak ada ayah, ataupun seorang laki-laki yang dapat disangka ayah. Apa ia tak memiliki ayah dan hanya punya seorang ibu, seperti Yes... Hah? Apa yang baru ia pikirkan? Yes...? Ia tak ingat. Ia mencoba menelusuri masa kecilnya, tapi hanya gambar-gambar tak tampak saling berkaitan yang timbul. Sebuah pacuan kuda. Sebuah parade di mana seorang laki-laki muda berdandan sebagai balerina dan ia menertawakan laki-laki muda itu. Lalu sebuah danau; ia ada di atas perahu angsa bersama dengan seorang

56 57 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 CERITANYA | Norman Erikson Pasaribu bocah laki-laki. Tunggu... Apakah itu dirinya? Gadis yang memuakkan—ia menyukai buku. kecil itu kurus betul, tak mirip ia. Tetapi sesuatu di Ia pun mengganti instruksinya. Ia memikirkan “kue dalam dirinya mengatakan bahwa gadis itu memang bikinan ibu” dan akan memikirkan respons otaknya dirinya. Ia pun merasa pening. Ia keluar dari kamar terhadap rangsangan kata itu. mandi. “Boleh aku rehat selama lima menit?” katanya Tetapi yang terbit di kepalanya adalah laki-laki itu kepada Anton, teman kerjanya di kedai. Ia mencoba lagi! Ia teringat bagaimana pada suatu malam hujan mengingat segala hal tentang Anton. Yang muncul deras dan lelaki itu datang ke kedai; dia memesan hanyalah: (1) mereka telah bekerja bersama selama dua cokelat panas dan keks keju, dan lelaki itu bilang, tahun, (2) dan kini begitu akrab seolah lahir dari rahim “Tolong cheesecake-nya dipanaskan ya, Manis.” (“Dia yang sama, (3) dan ia seorang gay. Ia mencoba memanggilku ‘Manis’!” pikirnya.) Sementara mengenai mengingat tanggal lahir Anton... Tak ada yang muncul. “kue bikinan ibu”, yang timbul hanya kata “gurih” dan Bagaimana bisa? pikirnya putus asa. “marzipan”. Tak ada gambaran apapun mengenai kue “Kenapa? Pusing memikirkan ibu kosmu?” canda itu sendiri atau ruang makan keluarganya. Ia bahkan Anton. tak tahu apa itu “marzipan”! Ia menggeleng, meskipun benar Ibu kosnya orang Ia menghela napas putus asa. Siapapun yang paling memuakkan di seluruh semesta alam. menulis ceritaku ini, pikirnya, pastilah amatiran, dan Ia mengambil pena dan kertas, dan duduk di sudut kurang awas dengan detail. kedai. Ia mencoba untuk melakukan freewriting. Ia memutuskan untuk membaca, dan mengambil Minggu lalu ia datang ke sebuah kelas menulis, dan si majalah wanita yang tergeletak di meja. Belum ada dua pengajar bilang metode ini baik untuk memancing detik, ia langsung membelalak. Hanya ada putih polos ingatan-ingatan lampau ke permukaan. di semua halaman. Apa maksudnya ini semua, pikirnya, Ia pun berpikir, “Apa yang membuat ibu kosnya ketimpangan dan ketidaksempurnaan ini? Apa gunanya memuakkan?” dan kemudian menuliskan jawabannya. mencipta apabila kau tak mampu mencukupi apa yang Tetapi yang muncul di kepalanya hanyalah rupa ciptaanmu butuhkan? Ia berharap penulisnya paling seorang laki-laki. Ia menatap kertas, membaca kalimat tidak masih ingat bahwa semua orang memerlukan pertama tulisannya: “Ia biasanya membawa beberapa cinta, semua orang, termasuk dirinya. Ia berharap buku dan menghabiskan waktu dengan membaca.” Ia ceritanya bukanlah kisah sedih yang diniatkan untuk mengernyit, merasa membaca buku bukanlah karakter menjaring pembaca-pembaca putus asa. Ia berharap

58 59 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 CERITANYA | Norman Erikson Pasaribu ceritanya ditulis tanpa melibatkan alkohol. bintang-bintang, di balik tepi-tepi dari semesta yang Ia merasa ia butuh istirahat, berpikir kegilaan ini terus mengembang perlahan, ada seorang lelaki gemuk akan berakhir apabila ia tidur cukup. Ia berharap— yang juga sering bangun subuh-subuh, lalu memeriksa meski ia telah tahu ini mustahil—akan terbangun telepon genggamnya dan hanya menemukan iklan sebagai manusia biasa keesokan harinya. Ia pun izin operator, lalu bangkit karena hendak menyeduh kopi, pulang cepat. Ia melambai kepada Anton, dan berjalan tapi akhirnya urung karena ia ingat dia ingin meninggalkan kedai. menguruskan badan, kemudian juga teringat dengan Di dalam bus, ia teringat malam nanti ada kuliah seseorang yang membuatnya ingin menguruskan Kalkulus II dan Pengantar Kosmologi (ia mengambil badan, dan lalu juga teringat dia tak bisa menemui kuliah ekstensi Fisika di kampus tak ternama dekat seseorang itu meskipun sangat rindu, dan akhirnya kosnya) tetapi merasa tak bersemangat. Ia sebagai pengalih perhatian dia menyalakan laptop, mengirimkan pesan titip absen kepada teman mencoba menulis sesuatu. sekampusnya. Barangkali lelaki itu sudah lama ingin menulis Ia mencoba membayangkan rupa penulis yang sebuah cerita metafiksi, dan pagi buta itu memulainya menuliskan ceritanya itu. Apa dia laki-laki? Atau dengan: “Suatu subuh...”—lalu mungkin laki-laki itu tak perempuan? Sepertinya laki-laki, pikirnya, kalau dia sanggup menyelesaikan kalimat itu, dan kemudian perempuan, aku mustahil bernasib semalang ini. Kalau dengan putus asa dia memikirkan bahwa jauh di atas dia perempuan aku tentu memiliki kesempatan kuliah dunianya, di balik selimut atmosfir, di balik ribuan, layak, berpenghasilan sama dengan Anton, dan tidak jutaan komet dan asteroid, di balik tepi-tepi dari terus-menerus memikirkan laki-laki—seolah hanya itu semesta yang terus mengembang perlahan, ada seorang isu yang penting bagiku. Tetapi, apakah ia tampan dan perempuan gemuk yang tengah menuliskan kisahnya, orang-orang menyebutnya ‘penulis tampan’? Apakah dan perempuan itu sama sepertinya: juga bangun aku menyukai warna hijau? Apakah ia ramping, atau subuh-subuh, juga memeriksa telepon genggamnya dan malah gemuk, seperti aku? Apakah aku gemuk karena hanya menemukan iklan operator, juga... Gadis itu ia gemuk, atau ia gemuk karena aku gemuk? memberhentikan bus di depan gereja dan berjalan Jangan-jangan ceritaku itu adalah sebuah karya menuju kosnya. autobiografis atau semi-autobiografis, pikir gadis itu, Gadis itu berpikir, semua ini, kehidupanku ini, sehingga bisa jadi di atas sana, di balik awan, di balik adalah kesia-siaan, dan ada hanya karena seseorang

60 61 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 CERITANYA | Norman Erikson Pasaribu yang kurang kerjaan. Ia ragu sebentar, tetapi kemudian mulai menaiki tangga Jika lelaki gemuk itu tak pernah mencoba lagi itu, menikmati tiap-tiap tapaknya, dan tiba di lantai menulis cerita itu, pikir si gadis, aku tentu tak akan dua. Ia terpana. Ia menemukan dunia serba putih. Ia pernah ada dan tak harus mengalami ini semua. Gadis mencoba maju, namun menabrak suatu dinding tak itu akan terus berada di dalam kepala lelaki itu, tak terlihat. Dinding? Ia tertawa lama sekali. Ini bukan sadar mengenai keberadaan dirinya, seperti bayi di dinding, pikirnya, ini adalah Tak Ada, bagian semestaku dalam rahim. yang belum/tidak lelaki gemuk itu tuliskan. Ia kini pensaran mengapa ia tertulis sebagai seorang Gadis itu membayangkan ceritanya kelak gadis gemuk dan bukannya lelaki gemuk, tetapi ia diterbitkan di sebuah koran; dan di ujung kanan langsung sadar bahwa itu tak ada pengaruhnya—bila halaman tepat di atas tempat dan tanggal penulisn pun ada, tak signifikan. Apa bedanya gadis gemuk yang cerita, ada sebuah untuk yang diikuti satu nama, atau tak dicintai siapapun dari lelaki gemuk yang tak dicintai bisa juga dua. Gadis itu tentu tak tahu nama-nama siapapun? Ia memasukkan anak kunci ke lubang pintu macam apa yang tertera. Barangkali Maria, Mario? depan, dan kemudian masuk ke dalam kosnya. Leona atau Leo? Dias (?) atau Dias (?) Entahlah. Tetapi Ia ingin pada ceritanya itu ia tak disebut sebagai ia tahu pasti ia menjadi seperti teman-temannya di masa “aku” karena “aku” begitu terbatas, tetapi sebagai “ia” kecil yang berteriak Ayo! Ayo! Ayo! Kepadanya ketika atau—meskipun ini tak ideal—”si gadis gemuk”, ada lomba makan sayap ayam, membuatnya merasa tidak nada seorang narator tahu-segala yang mengatakan, sendirian. Ia hendak menyemangati si lelaki gemuk “dan lelaki itu mencintai gadis gemuk itu diam-diam, untuk menyelesaikan cerita itu, ceritanya, dengan dia mencintai gadis itu sejak kali pertama keks keju harapan lelaki itu tahu dia tak pernah sendirian, dan hangat bikinan gadis itu lumer di mulutnya, sejak ia agar pada akhirnya segala hal menjadi jernih, dan gadis menghirup teh hitam yang gadis itu seduh untuknya. itu tahu cerita macam apa yang didiaminya dan alasan Ketika kehangatan menyebar di lambungnya lelaki itu ia dituliskan. berpikir, Aku akan mencintai gadis ini sampai aku Untuk Leo dan Dias, yang akan berulang tahun.  mati.” Gadis itu menatap ke tangga di sebelah kiri *) Tokoh rekaan dalam sebuah karya fiksi. kamarnya. Ibu kosnya selalu melarang ia naik ke sana. “Hubungan kita cuma ibu dan anak kos. Tidak lebih!”

62 63 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 UPACARA HOE | Guntur Alam Upacara Hoe

Guntur Alam Minggu, 15 Februari 2015

EMINGGU sebelum kematiannya, Papa meminta Mei Lan menghubungi kedua adiknya,S A Feng dan Gina untuk pulang. Terutama A Feng karena dia anak lelaki satu-  satunya. Papa ingin menjemput ajal di tengah anak-anaknya, selain itu Papa ingin agar A Feng yang membawa hoe saat peti matinya diantar ke pemakaman. Hanya anak laki-laki yang berhak membawa hoe. Namun masalahnya, sejak dulu A Feng tak pernah merasa sebagai anak laki-laki. Papa meninggal kemarin malam, pukul dua belas setelah berjuang melawan kanker usus yang dia derita. Semenjak itu pula, anak-cucu Papa membakar nyuko untuk bekal perjalanannya. Uang kertas bergambar bujur sangkar berwarna perak di tengahnya itu dipercaya sebagai uang akhirat yang berlaku di

64 65 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 UPACARA HOE | Guntur Alam

dunia roh. Dunia baru Papa. Ruang tengah tempat peti mati Papa diletakkan sudah bersih dari sofa, lemari, dan perabotan rumah tangga lainnya. Asap hio meliuk-liuk, mengiringi doa- doa yang dipanjatkan. Isak-tangis dan ratapan terus memenuhi ruangan. Mata A Feng memerah. Dari dulu dia benci dengan ratapan di dekat peti mati, baginya kematian adalah awal sebuah kehidupan baru. Untuk apa diratapkan? Usai ini, Papa akan hidup bahagia di kahyangan atau bereinkarnasi untuk menebus dosa di kehidupan sebelumnya. Dosa. A Feng seakan baru saja mendengar satu dari sepuluh perintah Tuhan yang diceritakan Joshua saat mereka SMP dulu. Mengingat Joshua membuat A Feng ditarik ke dalam ruang kamar mandi yang gelap, sempit, basah, dan dia yang didera rasa takut serta kedinginan. “Anak gila kau! Anak gila!” Papa berteriak seperti kesetanan, lalu lecutan ikat pinggang mendarat ke punggungnya yang putih tanpa baju. Dia tersungkur di lantai. Meringis. Menahan sakit. Sementara gerimis sudah turun tanpa guntur di sudut matanya. “Oh Dewa! Karma apa yang menimpaku!” Papa meninggalkannya di dalam kamar mandi yang terkunci, di atas lantai dingin dengan tubuh bugil dan menggigil. Sementara di luar sana, dia mendengar isak tangis Mama yang tak berdaya, juga tangis kakak perempuannya; Mei Lan.

66 67 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 UPACARA HOE | Guntur Alam

Papa baru saja selesai dimandikan dan Mama “Feng!” Mei Lan membentaknya. A Feng tengah menyiapkan tujuh lapis pakaian yang akan melengos. “Kau jangan mengecewakan Papa.” dikenakan Papa sebelum dia berbaring di dalam peti “Jangan ceramahi aku, Ci.” matinya, saat Mei Lan membawa A Feng dan Gina ke “Ini bukan ceramah, tetapi ini tentang budaya kita dalam kamar yang dulu ditempati A Feng sebelum dia sebagai orang Tionghoa. Kita diwajibkan untuk tinggal di Jakarta. menghormati dan berbakti kepada orangtua. Dan kau “Mama ingin masa berkabung tidak terlalu lama,” tahu apa artinya itu?” Mei Lan memandang A Feng, ucap Mei Lan, dia satu-satunya anak Papa yang sudah laki-laki berwajah manis dengan jari jemari lentik itu menikah dan memberinya tiga orang cucu. “Besok kita tak menjawab. “Artinya kita harus membuat Papa akan memakamkan Papa.” tenang dan senang. Jangan menimpakan karma buruk “Baguslah,” Gina menyahut cepat. “Cutiku juga dalam hidupmu, dalam keluarga kita, dalam perjalanan sebentar. Aku harus kembali ke Jakarta.” Papa ke alam akhirat.” Mei Lan menghela napas mendengar ucapan Gina. Hening. Mei Lan tahu, A Feng tak pernah mau Anak bungsu Papa yang tomboy itu seakan tak peduli. berdebat dengannya. Sesungguhnya A Feng adalah adik “Pekerjaanku sangat banyak,” tambahnya, tanpa yang baik dan manis. Setidaknya bagi Mei Lan. Hanya dosa. saja, sejak dulu A Feng dan Papa tidak pernah akur. “Aku menunda kepergian ke Belanda bersama Terutama tentang pilihan hidup. Joshua untuk memenuhi keinginan Papa. Kurasa “Pokoknya, sebagai anak laki-laki Papa, kamu yang pengorbananku lebih banyak darimu,” A Feng akan membawa hoe di depan peti mati.” membuang wajah. Dari dulu, antara dia dan Gina “Suruh Gino. Dia anak laki-laki Papa,” A Feng memang jarang akur. A Feng merasa tubuh yang dia tergesa pergi, keluar dari pintu kamar, meninggalkan miliki adalah tubuh Gina, sementara tubuh Gina adalah Mei Lan yang nyaris saja jatuh ke lantai kamar. Di tubuhnya. Mungkin para dewa di kahyangan telah salah depannya, Gina hanya diam dan membuang muka ke menitiskan jiwa mereka. arah jendela. “Kau masih berhubungan dengan Joshua?” Mei Saat menyadari A Feng sudah menghilang di balik Lan melipat tangannya di dada. daun pintu kamar yang tertutup, Mei Lan terburu “Aku mencintainya, Tuaci. Dan kami akan menikah mengejarnya. Namun dia urung melakukan niatnya di Belanda.” karena berpapasan dengan Mama yang membawa

68 69 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 UPACARA HOE | Guntur Alam tujuh lapis baju yang akan dikenakan pada Papa. mulut, hidung, dan telinga Papa. Mei Lan ingat, dulu “Bantu Mama memasang baju ini,” pinta saat kematian kungkung, neneknya pernah bercerita perempuan dengan uban memutih di kepalanya itu. jika mutiara ini dipercaya sebagai penerang bagi mayit Mei Lan tak menjawab sepatah kata pun. Dadanya selama perjalanan menuju alam akhirat. terasa memar. Dia mengambil baju-baju yang ada di “Aku capek berpura-pura, Ci. Aku capek.” pangkuan Mama. Dalam diam dia mengekor di Mei Lan menggigit bibirnya. “Tapi ini salah. Kau belakang Mama. menyalahi aturan.” “Baju putih ini, baju yang Papa kenakan saat kami “Ci,” A Feng mengambil tangan Mei Lan, menikah dulu,” ucap Mama saat lapis pertama baju kemudian menggenggamnya, hangat. “Dari dulu Tuaci dikenakan pada Papa. Memang demikian aturannya. tahu apa yang kuinginkan.” Lapis pertama dari tujuh lapis baju yang akan Papa Mei Lan merasa nyawanya tercerabut saat itu juga. kenakan dalam perjalanan ke akhirat adalah baju putih Bayangan A Feng yang hobi mencoba lipstik dan yang dikenakan saat almarhum menikah dulu. bedak barunya, juga baju-baju dalam lemarinya. Tak Pikiran Mei Lan tidak tertuju dengan apa yang dia hanya itu. Mei Lan pernah memergoki A Feng dan kerjakan. Dia masih teringat dengan penolakan A Feng. Joshua berciuman dan... ah, Mei Lan tak sanggup Lalu bayangan-bayangan buruk di masa lalu itu mengingatnya. Dia pikir, apa yang A Feng dan Joshua menghantam ingatannya tanpa ampun. Tentang A lakukan di masa itu hanyalah kenakalan dan keingin- Feng dan kerasnya Papa mendidik anak laki-lakinya tahuan anak kelas tiga SMP. Sungguh dia masih itu. Namun A Feng tetaplah A Feng yang dia tahu. menyesal sampai detik ini, karena dialah yang Adik laki-lakinya yang lembut, yang gampang menangis, mengadukan apa yang dilihatnya kepada Papa. Tanpa tak pandai berkelahi dan lebih senang main boneka ampun, Papa menghajar A Feng dan mengurungnya dengannya tinimbang main perang-perangan. di kamar mandi. Sejak itu pula Papa melarang A Feng Setelah tujuh lapis baju dikenakan, Papa berteman dengan Joshua, satu-satunya teman yang dibaringkan di atas tempat tidurnya. Wajahnya yang dimiliki A Feng sejak dari TK. tirus membuat kepedihan menggelayuti mata Mei Lan. “Ini kesempatanku untuk menentukan pilihan Lenyap sudah kebengisan yang terpasang di wajah Papa hidup, Ci,” suara A Feng merambat perlahan di dulu. Mei Lan hanya dapat memerhatikan ketika telinganya. tangan keriput Mama memasangkan mutiara di mata, “Tapi kenapa harus sekarang? Kenapa harus di

70 71 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 UPACARA HOE | Guntur Alam upacara kematian Papa?” dengan kulit A Feng menerornya, dia meringkuk “Karena ini kesempatan terbaikku,” suara A Feng ketakutan dalam pelukan Mama. Mereka berdua terdengar mantap. bertangis-tangisan. Sementara Gina, dia hanya berdiri Mei Lan terdiam. Memandangnya. mematung, memandang siluet punggung Papa yang “Aku ingin menjadi anak perempuan Papa ada di depan pintu kamar mandi. seutuhnya. Anak perempuan kedua Papa. Tak peduli Entahlah, Mei Lan masih saja didera cemas dan orang lain mau berkata apa tentang pilihan hidupku. ketakutan. Dia merasa keputusan yang telah mereka Karena aku merasa diriku perempuan.” ambil sangatlah buruk. Bayangan karma dan feng shui Mei Lan merasa oksigen pergi menjauh dari buruk menghantui pikirannya. Juga ratapan Papa dari jangkauan hidung, mulut dan paru-parunya. alam akhirat. Namun, ucapan Mamalah yang “Tuaci juga tahu kan, kalau Gina pun membuatnya sedikit tenang. menginginkan hal yang sama,” A Feng melanjutkan “Tak apa. Jangan risau. Setiap orang punya pilihan ucapannya, terdengar santai, tanpa beban. “Dia ingin dalam hidupnya. Mama yakin Papa setuju dengan menjadi anak laki-laki Papa. Satu-satunya. Seutuhnya. keputusan kita. Sejak dulu, Papa sering bercerita betapa Tak peduli orang lain berkomentar apa pun tentang dia menyesal sudah begitu keras terhadap A Feng.” dia. Dan asal Tuaci tahu, Gina sudah punya pacar. Mama berusaha tersenyum. Namanya Riska. Teman kantornya. Gina pernah “Hanya saja Mama minta satu hal, sama seperti menceritakan semuanya. Dia bahagia. Aku bahagia keinginan Papa yang tak sempat dia utarakan pada dengan pilihan hidupku. Hanya itu. Tak ada yang lain. kalian,” Mama menelan ludahnya. “Kalian harus saling Urusan dosa, karma, dan lainnya itu urusan kami menjaga dan tetap berkumpul layaknya keluarga dengan Tuhan.” Tionghoa lainnya di mana pun kalian berada. Keluarga Mei Lan merasa mendengar suara lecutan ikat adalah nomor satu.” pinggang Papa yang mendarat di kulit punggung A Air mata Mei Lan tumpah ruah saat melihat A Feng bertahun-tahun lalu. Kulit punggung yang putih Feng memeluk dan mencium Mama. Mengingat semua tanpa sehelai kain. Tak ada jeritan. Tak ada tangis dari itu membuat Mei Lan perlahan tenang. Upacara dalam kamar mandi itu. Dia tahu, A Feng telah kematian Papa akan memasuki puncaknya. Meja menggigit tangisnya agar tak terdengar olehnya dan persembahan sepanjang dua meter sudah dipenuhi Mama. Sementara lecutan ikat pinggang yang beradu hidangan. Di bagian depan meja, kepala babi telah

72 73 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BAKUL DAUN CINCAU | Parakitri T. Simbolon tersedia, pun dengan kepala kambing di meja berikutnya. Tak lupa buah-buahan dan berbagai hidangan. Hidangan upacara kematian berupa sam seng Bakul Daun Cincau terdiri dari daging dan minyak babi, ayam, darah babi, telur bebek—semua direbus—pun sudah diletakkan dalam piring lonjong besar di atas meja. Cayma sudah meminta mereka untuk menyembah Parakitri T. Simbolon dan berlutut di depan peti mati Papa, lalu mengikutinya Minggu, 22 Februari 2015 untuk mengitari peti mati itu sambil berjongkok dan terus menangis. Mei Lan berusaha tenang, terutama melihat Mama yang terlihat tak cemas sama sekali. AKUL daun cincau. Bakul, daun, cincau! Dada Mei Lan bergemuruh ketika usai melakukan Bakul dan daun saya tahu. Cincau juga penghormatan terakhir dan melihat Gina yang berdiri sedikitB saya tahu. Namun, bakul daun cincau di depan peti mati Papa. Gina yang memegang foto dan daun cincau sama sekali saya tidak tahu. dan hoe. Beberapa kerabat menatap Mama, tetapi Saya baru mengetahuinya pada suatu sore, Mama seakan tak melihat tatapan mereka. A Feng sekitar pukul empat, ketika saya naik angkot perlahan tersenyum ke arah Mei Lan. warna biru jalur Parung-Lebakbulus di suatu Saat peti mati Papa diangkat, sebuah semangka tempat yang disebut “Pojok” di tepi Jalan dibanting ke lantai hingga pecah. Itulah tanda Cirendeu Raya, di sisi Lapangan Terbang kehidupan Papa di dunia fana telah usai. Hoe di tangan Pondok Cabe. Rencananya saya akan turun Gina berkibar-kibar, seakan penanda bila kehidupannya hampir di ujung jalur angkot itu, di tempat taksi dan A Feng baru saja dimulai.  “ngetem” persis menjelang pintu masuk tol Pondok Pinang. Dari sana saya akan meneruskan perjalanan dengan taksi. Sudah tujuh belas tahun saya tinggal di kampung dekat lapangan terbang itu, tapi baru pada tahun kelima belas saya mulai rajin naik angkot. Penyebabnya, kemacetan Jalan

74 75 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BAKUL DAUN CINCAU | Parakitri T. Simbolon

Cirendeu Raya sudah tak tertahankan. Hanya angkot dan motor yang bisa menerobosnya. Pada lima tahun pertama, dengan menyetir mobil sendiri saya hanya memerlukan delapan menit melalui jalan yang panjangnya sekitar sepuluh kilometer itu. Pada lima tahun kedua sudah menjadi lima belas menit; pada lima tahun ketiga sudah tiga puluh menit. Lalu pada dua tahun terakhir sedikit sudah satu jam. Sungguh makan hati rasanya saat mula-mula saya naik angkot. Sudah panas di dalam dan “sewa”-nya padat, sopirnya juga ugal-ugalan, sedang mobil sendiri nongkrong dan karatan di garasi. Terhadap sopir yang ugal-ugalan itu, anehnya sewa bukannya protes, malah ramai-ramai mengipasi agar dia lebih berani mencuri jalur. Saya ingat dulu saya suka memepet angkot yang gila-gilaan sembari membunyikan klakson sekeras- kerasnya. Lama-lama saya pasrah saja, dan dua tahun terakhir ini saya sudah berubah sama sekali: Benar- benar berdamai dengan angkot.

ENTAH kenapa, perubahan diri saya terhadap naik angkot menjadi istimewa pada sore hari itu. Yang pasti alasannya bukan karena saya tahu akan ketemu dengan seorang bakul daun cincau yang menawan hati. Selama menanti angkot warna biru itu, saya merasa enteng jasmani dan rohani, seenteng sehelai bulu angsa yang melayang-layang ditiup angin seperti yang tergambar dalam film bagus tahun 1994 yang berjudul

76 77 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BAKUL DAUN CINCAU | Parakitri T. Simbolon

Forest Gump itu. Setiap kali angkot warna putih merentangkan tangan kiri, tidak cukup dengan berhenti untuk mengajak saya naik, saya memberi tanda memberi tanda saja. Benarlah, saya hanya kebagian menolak dengan sikap hangat bersahabat. Saya dingklik yang terselip di tentang tangga naik, sehingga memang sengaja memilih naik angkot warna biru. saya harus duduk menghadap ke belakang. Saya Saya sempat tersenyum buat diri sendiri saat langsung melihat dua karung plastik berisi penuh di mengenang kebodohan saya dulu dalam urusan belakang, terapit di antara lutut-lutut penumpang memilih naik angkot yang mana. Semula saya boleh kanan-kiri. Dari balik kedua karung itu menyembul dibilang agak fanatik dengan angkot warna putih sebentuk kepala beruban, seputih uban saya. karena mengira lebih nyaman. Munculnya jauh lebih Agaknya hanya saya yang menaruh perhatian pada sering daripada warna biru, dan “rute”-nya lebih kedua karung dan kepala yang menyembul di baliknya singkat. Pamulang-Lebak Bulus. Saya pikir waktu itu, itu. Belum pernah saya melihat penumpang angkot angkotnya lebih longgar, dan tentu saja karena itu lebih membawa barang sebesar itu. Menurut saya dua karung bersih. makan tempat terlalu banyak. Mestinya dia naik Ternyata saya keliru sama sekali. Angkot putih angkutan barang, truk kek atau pick-up kek. Namun memang muncul lebih sering, mungkin karena “rute”- demikian tidak tampak ada yang keberatan. Semua nya lebih pendek, tapi berhentinya jauh lebih banyak tidak acuh. Juga tidak ada yang bicara satu sama lain. untuk “ngetem”. Akibatnya, perjalanan menjadi jauh Masing-masing sibuk dengan kegiatan remeh-temeh lebih lambat karena sopir terus menunggu-nunggu seperti dengan telepon genggam atau sekadar sewa. Tidak jarang juga sopir seenaknya saja memutar termenung saja. balik angkotnya. Penumpangnya diminta saja turun Terus-terang dudukan saya serba tanggung. Arah untuk dipindahkan ke angkot lain. Sebaliknya dengan kaki saya harus serong sehingga pinggang terasa angkot warna biru. Karena jalurnya panjang, angkot kepuntir. Boleh dikata saya meringkuk sehingga diam- jarang kekurangan sewa sejak dari Parung sehingga diam saya berharap agar dua karung dan kepala sopirnya tidak perlu “ngetem”. beruban itu segera turun entah di mana. Ternyata harapan saya sia-sia saja. Sampai menjelang akhir MENDADAK terlihat angkot warna biru yang perjalanan saya, karung dan kepala itu masih bertahan, sarat sewa melaju ke arah saya. Khawatir sopirnya tidak sementara penumpang lain sudah pada turun, termasuk mau berhenti, saya sampai mengumpankan diri dengan yang duduk di samping sopir.

78 79 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BAKUL DAUN CINCAU | Parakitri T. Simbolon

MESKI penumpang yang tinggal hanya kami semuanya berwarna sudah pudar. berdua, saya tidak beranjak dari dingklik saya. Saya “Saya yang terpaksa naik angkot,” katanya sama sengaja bersikap demikian agar bisa tetap mengamati lembutnya. “Sopir pick-up yang sudah janji akan kepala berkarung itu, dan sekaligus menunjukkan protes membawa saya, ingkar. Minta maaf pak. Kepada sopir bisu terhadap dirinya. Eh, lambat laun dia mengangkat dan dan penumpang lain saya sudah lebih dulu minta kepala sambil menyibakkan celah di antara kedua maaf.” karungnya. Maka tampaklah seorang tua-renta yang Selama percakapan kami yang pendek itu seluruh kulitnya kisut-misut sedang mengumbar berlangsung, sopir angkot yang juga tidak muda lagi senyuman teramat manis ke arah saya. itu mungkin sudah ada sepuluh kali menoleh ke arah “Maaf, terpaksa naik angkot,” katanya, seolah-olah kami. Dia juga tersenyum, pertanda buat saya bahwa dia tahu apa yang saya pikirkan. Suaranya terdengar ucapan orang tua itu benar adanya. Hati saya pun terasa bagus nyaring, bernada basso profondo, mirip suara lega selega angkasa, sekaligus merasa beruntung dapat presiden Jokowi. ketemu seseorang yang santun di tengah lingkungan “Yang terpaksa, saya atau bapak,” sahut saya yang sudah cemas dengan akuisme dan nafsu-nafsu dengan nada bertanya sambil menunjuk diri sendiri, pribadi. lalu diri orang tua itu. Saya sadar nada suara saya jauh “Bapak bawa apa dalam karung itu kalau boleh lebih lunak daripada sikap awal saya, tapi rupanya tetap tahu,” kata saya dengan niat tulus melanjutkan saja terasa kereng. Tandanya, senyuman orang tua itu percakapan. kembali mengembang, tapi dua kali lebih manis. “Barang halal bapak. Barang sangat bagus.” Saya merasa diri takluk, dan tanpa sadar balas Jawabannya bersayap, lagi-lagi pertanda selain beradab, tersenyum. Senyuman itu, suara itu, uban itu, dan kulit orang tua itu pasti sudah banyak mengenyam asam- kisut-misut itu langsung melantunkan pesona garam kehidupan. Kalau dia pernah jadi pejabat, kelembutan. Setelah saya perhatikan lebih jauh, giginya kemungkinan dia pejabat yang baik dan berpendidikan. pun tampak masih utuh dan bersih, meski mungkin Kalau swasta, sangat boleh jadi dia terpelajar, pernah hanya bagian depan, pertanda dia bukan perokok. Yang sukses, dan kegagalan pun tidak kuasa membunuh membuatnya lebih menawan lagi adalah sosoknya yang wataknya. mungil, semua bagian badan tampak serasi dalam celana Saya membalas senyumannya, semoga sama pendek, kemeja lengan pendek, dan sepatu tenis, yang manisnya, lalu tidak berkata apa-apa lagi karena percaya

80 81 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BAKUL DAUN CINCAU | Parakitri T. Simbolon dengan sikap dan kata-katanya. Mendadak dia Selatan, makanya dia harus turun sampai titik terakhir terdengar menegaskan. “Barang bagus ini daun cincau jalur angkot di Terminal Lebak Bulus. Dari sana dia bapak. Daun cincau hijau yang tanamannya merambat, akan mencari alat angkutan lain. bukan perdu, bukan juga janggelan. Semoga bapak Di Pasar Mede, orang tua itu akan menjual daun pernah suka minum cendol cincau.” cincaunya seharga Rp20.000 sekilo. Kaget juga saya mendengar angkat itu. Itu berarti dia akan mendapat DENGAN singkat dia lalu menerangkan seluk- keuntungan kotor sedikitnya 300%. Dia, katanya, setiap beluk daun cincau, yang bagi saya ternyata cukup rumit. minggu ke Ciseeng, memetik sendiri daun cincau dari Yang membuat saya kaget bukan hanya itu, tapi kebun penduduk. Dengan demikian dia akan terlebih keterangannya yang sungguh mati tidak pernah memperoleh hampir Rp2,5 juta keuntungan setiap saya tahu, bahwa cincau yang dulu sempat saya gemari bulan dari kegiatan sampingan seringan itu. itu ternyata terbuat langsung dari dedaunan, bukan dari Tanpa saya kehendaki, terbayanglah jutaan orang tepung biji-bijian. bodoh seperti saya, sebagian besar di antaranya anak Uh, sayang yang boleh dikata telah menjelajahi muda. Mereka kebanyakan hanya tahu menjadi buruh kebanyakan sudut-sudut bumi ini, dan merasa sudah dengan UMP (Upah Minimum Provinsi) yang tidak terpelajar hingga setinggi langit, ternyata tidak lebih besar daripada pendatapan sampingan orang tua ketulungan bodohnya. Cobalah timbang. Daun cincau itu. Saya melihat keluar. Pengendara motor masih tetap itu konon diambilnya dari Ciseeng, suatu kecamatan menyemut sepanjang jalan. Sepertinya semuanya anak dekat Pasar Parung, Bogor, yang tak sampai lima belas muda. Ah, betapa kecil kemungkinannya anak muda kilometer jauhnya dari kampung Bulak Timur tempat naik angkot dan ketemu dengan orang tua bakul daun saya tinggal. Selama ini saya pikir bahan cincau hanya cincau itu. Kalaupun ketemu, anak muda itu mungkin ada di Tiongkok, dan kita mengimpornya. sama tidak acuhnya sepeti penumpang lain. Yang lebih membuka mata saya lagi adalah Mendadak, sopir angkot memperingatkan bahwa keterangannya menjawab sederet pertanyaan saya saya sudah hampir tiba di tempat tujuan. Sekali lagi tentang tata-niaganya. Jawabannya jelas dan lugas. Dua saya menatap bakul daun cincau itu dengan nanap karung itu masing-masing berisi 20 kilo daun cincau sambil tersenyum semanis mungkin. Dia pun yang dibayarnya Rp5.000 per kilo. Dia akan membalasnya dengan senyumannya yang menawan. membawanya ke Pasar Mede di kawasan Cipete, Jakarta “Terima kasih bapak atas percakapan kita yang

82 83 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SARAN SEORANG PENGARANG | Sori Siregar menyenangkan,” kata saya sambil menyalaminya. “Kalau boleh tahu, berapa usia bapak?” “Usia kita mungkin kira-kira sama bapak,” Saran Seorang Pengarang sahutnya dengan mata berbinar. Terus terang saya sulit menerima dugannya tentang usia kami yang sama, sekurang-kurangnya karena saya belum sekeriput dia. Duh, dia sepertinya Sori Siregar menangkap protes bisu saya. Minggu, 01 Maret 2015 “Kita sama-sama ubanan bapak,” katanya menambahkan. Saya pun tertawa lepas, selepas saya meloncat turun dari angkot warna biru itu?  KRA memberikan tanggapan awal untuk karya pertama Radit yang dimuat di sebuah suratI kabar Jakarta pagi itu. Kalau menulis jangan meliuk-liuk begitu. Langsung saja. Lugas. Gambaran yang melelahkan itu, misalnya, kutemukan pada kalimat “Tubuhku saat ini membutuhkan asupan karbohidrat, karena memang waktunya telah tiba. Tak dapat ditunda lagi. Karena keterlambatan akan membuat lambungku menjerit. Itu yang tidak kuinginkan’. Mengapa tidak disingkatkan saja menjadi ‘Aku lapar. Kalau tidak segera makan lambungku sakit’. Radit yang cerpennya baru pertama kali dimuat di surat kabar, mengangguk mengiyakan. “Kalimat-kalimat pendek jauh lebih kuat. Bertele-tele itu penyakit, metafora juga jangan

84 85 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SARAN SEORANG PENGARANG | Sori Siregar

terlalu banyak.” Pengarang muda yang masih merasa dirinya perlu banyak belajar itu mengangguk lagi. Ini yang membuat Ikra senang. Pendapat dan sarannya pun mengalir dan melimpah-ruah tidak tertahan. “Karya yang rumit dan sukar dipahami walaupun telah dibaca berkali-kali, bukanlah karya yang baik. Karangan yang rumit karena pengarangnya tidak dapat berpikir jernih. Akibatnya, karyanya juga keruh. Nah, sekarang ini banyak orang yang tidak lagi dapat berpikir jernih, termasuk pengarangan sehingga karangan- karangan yang super sulit sangat banyak beredar. Pesan moralnya tidak jelas dan apa yang sebenarnya diinginkan pengarangnya tidak ada yang tahu. Mereka sangat senang disebut pengarang kontemporer, karena bagi mereka kata kontemporer itu sendiri memiliki makna khusus, seakan-akan mengangkat mereka memasuki sebuah status sosial baru yang lebih tinggi. Padahal arti kontemporer menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional adalah pada waktu yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini dan dewasa ini. Kalau kamu tidak percaya silakan periksa di kamus yang kusebutkan itu. Mereka lebih tersanjung lagi jika dikelompokkan sebagai avant-garde yang maknanya golongan perintis/ pelopor (terutama dalam seni). Menurut Kamus Inggris-Indonesia susunan John M. Echols dan Hassan

86 87 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SARAN SEORANG PENGARANG | Sori Siregar

Shadily. Gagah, kan? Ada pengarang yang seperti itu, hadiah itu menyebutnya ‘master of the contemporary shorts bahkan mungkin banyak. Menjadi pengarang sebaiknya story’. Bacalah karya-karya Munro yang dapat kau beli tidak berangkat dari pemikiran seperti itu. Jadikanlah di toko buku (akan tidak etis jika menyebutkan nama mengarang itu seperti berolahraga. Berolahraga untuk toko buku itu). Bacalah dan bacalah. Gunakan bahasa sehat bukan untuk menjadi juara PON, SEA Games, Inggrismu yang lumayan baik itu untuk membaca Asian Games atau Olimpiade. Artinya, selagi masih karya-karya dunia. Jangan jadi pengarang ‘seperti katak kreatif menulislah terus. Selagi sehat teruslah di bawah tempurung’ yang hanya membaca karya-karya berolahraga. kawan sendiri. Kalau kamu sering membaca karya sastra, kamu “Kalau kamu tetap ingin dikelompokkan sebagai pasti merasakan mana karya sastra yang ditulis dengan avant-garde boleh saja. Cuma kalau kamu tidak berhasil, jujur dan sepenuh hati dan mana yang berambisi untuk jangan kecewa atau berhenti mengarang. Banyak menjadi perintis atau pelopor. Karya yang baik tidak pengarang muda yang juga mati muda. Maksudnya, harus karya perintis atau pelopor itu. Pramoedya itu setelah merasa tidak berhasil menjadi tokoh penting bukan pelopor, tapi siapa yang berani membantah dalam sastra Indonesia, mereka berhenti menulis. Bisa bahwa karyanya baik. “Pulang” karangan Toha juga kekeringan ide, karena malas membaca karya Mochtar tetap menyentuh, mengharukan, indah dan sastra yang baik dan sibuk dengan karyanya sendiri. enak dibaca karena ditulis dengan jujur lebih dari 50 Kalau kamu mau menjadi pengarang, jadilah pengarang tahun lalu. “Mercy” tulisan pemenang Hadiah Nobel, seumur hidup, bukan karena terlalu banyak waktu luang, Toni Morrison, yang berkisah tentang penderitaan iseng-iseng, atau mengisi waktu sambil menunggu hasil warga kulit hitam di Amerika tidak membuat pembaca lamaran kerja yang kamu kirimkan. Jangan pula kamu mengerutkan kening, begitu pula karya para pemenang berhenti mengarang karena kamu menjadi birokrat Nobel lainnya. yang memegang jabatan penting”. Karya Alice Munro, penulis cerpen pemenang Ikra menatap Radit yang dengan tekun Hadiah Nobel tahun 2013 itu, enak dibaca karena ditulis mendengarkan orasinya. Radit merasa dirinya dibekali dengan jernih tanpa tendensi bersulit ria. Memang aku dengan berbagai saran dan nasihat yang memang baru membaca dua cerpennya yaitu “Dear Life” (2013) dibutuhkannya. dan “Corrie” (2012). Kau harus tahu ketika Alice Munro “Ada yang mau ditanyakan?” menerima hadiah Nobel, Akademi yang memberikan “Tidak”

88 89 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SARAN SEORANG PENGARANG | Sori Siregar

“Tidak?” juga ada dalam dunia karang mengarang. “Rasanya semua sudah lengkap. Saya tinggal Selain itu kamu harus dapat menangkap melaksanakan anjuran itu.” kecenderungan yang ada. Misalnya, kalau ada Belum. Itu baru awal. Masih banyak yang lain yang sayembara menulis fiksi, tulislah yang kedalamannya harus kamu ketahui. Kalau karyamu telah banyak dan luar biasa sehingga untuk memahaminya orang harus kamu ingin menerbitkannya dalam sebuah buku, jangan minimal membacanya sepuluh kali. Karena para juri lupa meminta pengantar dari pengarang terkenal. Di sekarang ini umumnya menyukai karya seperti itu. Eh, sampul belakang buku juga jangan lupa dicantumkan kok saranku ini bertolak belakang dengan saran yang pendapat sejumlah pengarang, dosen, redaktur atau kusebutkan tadi, ya? tokoh penting. Bukumu bisa laku dengan pengantar Apa lagi, Radit? O, ya, aku heran mengapa kau dan komentar itu. memilih menjadi pengarang, profesi (kalau ini boleh Jangan lupa sebagai pengarang kau harus sabar. disebut profesi) yang sama sekali tidak menguntungkan Jika mengirimkan karangan ke sebuah media cetak kau secara ekonomi. Honorariummu yang akan kau terima harus siap untuk menunggu Godot (Merujuk kepada kecil sekali, walaupun ada juga koran yang memberikan karya Samuel Beckett, “Waiting for Godot”). Artinya, honorarium lumayan. Orang yang telah telanjur masuk tidak ada kepastian kapan karya itu akan dimuat. ke dunia kepengarangan ini banyak yang mundur Sebelum ada kepastian karyamu ditolak atau dimuat, teratur. Nah, pengarang kreatif yang tidak mampu lagi jangan coba-coba mengirimkan karanganmu itu kepada menulis ini disebut ‘budayawan’. Paling tidak begitulah media cetak yang lain. Kalau itu kau lakukan, kau akan kata seorang penyair yang sangat serius menulis puisi. masuk “daftar hitam” para redaktur yang sangat Bisa saja ini sinisme yang dilontarkan sang penyair menentukan itu. karena ia merasa kesal karena media cetak dan media Di Jakarta ini ada redaktur yang suka sekali memberi elektronik terlalu mudah menyebut seseorang dengan pelajaran mengarang kepada para penulis baru. Kalau sebutan budayawan. ajarannya dituruti karya pengarang itu pasti akan Ada lagi yang juga penting kusampaikan padamu. muncul dan tidak jarang dipuji pula. Karena itu karya Jika kau mengarang janganlah semata-mata bagus para pengarang lain sering ditolak sang redaktur, menggantungkan diri pada imajinasi betapa hebat dan karena para pengarang itu tidak mau mematuhi liar pun imajinasimu itu. Banyak sumber yang dapat “perintah” sang redaktur. Kamu harus tahu, nepotisme dijadikan titik tolak. Misalnya, sejarah, kondisi sosial

90 91 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SARAN SEORANG PENGARANG | Sori Siregar politik, ekonomi, pendidikan, pelanggaran HAM, tiri yang terpinggirkan. Sudah anak tiri terpinggirkan penegakan hukum dan lain-lain. Jadi karyamu akan lagi. Yang laris itu karya tulis populer yang dicetak memilih tempat berpijak dan tidak terus-menerus belasan kali dan diterjemahkan ke dalam puluhan terbang di awang-awang karena tidak mampu bahasa asing. Mata para produser sangat tajam seperti mendarat di bumi. mata elang. Karena itu mereka berani memfilmkan Dengan banyak membaca karya sastra dunia kau karya-karya populer itu yan dijamin pasti laris dan akan tahu bahwa pengarang besar dunia Leo Tolstoy menggemukkan pundi-pundi. Terlalu banyak saranku pernah menulis novel pendek berjudul ‘Hadji Murat’. kepadamu. Jangan-jangan ini melemahkan hasratmu Siapa menduga bahwa Tolstoy juga mengenal kata haji untuk menjadi pengarang. Kalau itu yang terjadi yang kita hormati itu. Ini fiksi sejarah yang bercerita alangkah berdosanya aku. Karena itu kusudahi di sini, tentang seorang pemimpin pemberontak Avar yang Radit. Selamat mengarang.  bersekutu dengan Rusia yang pernah diperanginya hanya karena rasa dendam. Jadi bukan tulisan murni fiksi tapi ada kaitannya dengan sejarah. Seperti halnya kamu, saat ini banyak muncul pengarang muda. Mereka tidak peduli apakah disebut sastrawan dan kontemporer atau tidak. Mereka terus berkarya. Jika ada penulis resensi menyebut karya mereka beraliran realisme magis, realisme sosial, konvensional, surealisme, absurd, mereka tenang- tenang saja. Umumnya begitu. Tidak semua tentunya, karena ada juga yang membusungkan dada karena dipuji oleh penulis resensi. Disebutkan penulis resensi karena jumlah kritikus sastra saat ini sangat minim. Mungkin kau bertanya-tanya mengapa karya sastra yang bagus jarang sekali difilmkan atau tidak ditoleh oleh para produser. Agar kau tidak terus bertanya-tanya, haruslah kau ketahui bahwa karya sastra adalah anak

92 93 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KEBOHONGAN ITU MANIS, VERDHAZH | Indra Tranggono Kebohongan Itu Manis, Vardhazh Indra Tranggono Minggu, 08 Maret 2015

ELURUH rakyat republik Garpallo sangat yakin, Presiden Grag-Gaz telah mati.S Di layar televisi, rakyat menyaksikan peti jenazah Presiden Grag-Gaz diturunkan ke  liang lahat diiringi musik dan tembakan salvo, sebelum akhirnya ditimbun tanah. Kamera televisi juga menyapa wajah-wajah istri, anak, menantu, sanak keluarga Presiden Grag, pejabat-pejabat tinggi, duta-duta besar berbagai negara, para konglomerat, tokoh-tokoh agama, politisi, akademisi, seniman, militer, dan pelayat lainnya yang menyiratkan duka mendalam. “Sungguh...negeri ini sangat kehilangan putra terbaik bangsa. Tuan Grag-Gaz telah membawa menuju horizon cahaya,” kata Sarvantina Tunner, Ketua Majelis Tinggi Perwakilan Rakyat Republik Garpallo, di akhir pidato sambutannya.

94 95 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KEBOHONGAN ITU MANIS, VERDHAZH | Indra Tranggono

KOMPLEKS Taman Makam Pahlawan seluas sepuluh hektar itu disulap menjadi arena yang penuh warna. Terpampang baliho-baliho besar yang memasang wajah tampan Presiden Grag serta berbagai kegiatan sosialnya, foto empat istrinya, 25 anaknya, 25 menantunya, dan puluhan cucunya. Semua foto itu tidak dicetak tapi dilukis oleh belasan maestro. Di beberapa tempat ada kemah-kemah yang dijaga perempuan-perempuan cantik yang siap melayani berbagai permintaan makanan dan minuman. Ada juga kemah besar yang memajang seluruh memorabilia sang presiden, misalnya album sejarah yang menggambarkan perjalanan kariernya, sejak ia mahasiswa, terjun di partai politik, jadi tokoh oposisi, jadi ketua partai, dan jadi presiden. Istri keempat Tuan Grag, Nyonya Zabathini yang berusia sekitar 35 tahun dan cantik itu, kepada para wartawan bilang bahwa pihak keluarga harus memenuhi pesan dari suaminya agar membuat pesta ketika Tuan Grag meninggal. “Kematian harus dirayakan karena kematian adalah kemenangan mengatasi waktu menuju keabadian, begitu kata Tuan Grag saat beliau selesai menjalani operasi jantung yang ternyata gagal...,” ucap Nyonya Zabathini terisak. Berbagai medi massa cetak dan elektronik mencatat bahwa upacara kematian Tuan Grag adalah upacara paling besar dan sukses dalam sejarah meninggalnya tokoh-tokoh penting negeri Garpallo.

96 97 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KEBOHONGAN ITU MANIS, VERDHAZH | Indra Tranggono

Tempat pemakaman telah berubah jadi arena pesta orang luka. Berdarah. Para demonstran tak menyerah, dan bazar. Tercatat sekitar hampir dua juta orang namun tembakan gas air mata membuat mereka lari melayat, 500.007 karangan bunga, omzet pedagang kali lintang pukang. lima mencapai 600 ribu dollar, dan omzet parkir “Saya tidak suka anarki! Kepada adik-adik kendaraan menjadi 200 ribu dollar. mahasiswa saya pesan, hentikan semua hujatan dan makian jika kalian tidak ingin bobok manis di sel ENTAH siapa yang menggerakkan mendadak tahanan,” ujar Vardhazh. muncul gelombang demonstrasi mahasiswa.Ratusan ribu massa meluberi Grag-Gaz Square. Bendera- VARDHAZH disertai para pengawal bersenjata bendera berkibar-kibar. Poster-poster menyala. Mereka lengkap, melaju dengan mobilnya menuju vila di Bukit menuntut seluruh harta Tuan Grag disita. “Selama 25 Sutra. Bukit ini sering disebut orang sebagai bukit tahun Presiden Grag berkuasa, negara telah dirugikan pengampunan yang dipilih para penguasa untuk sebesar 800 miliar dollar!!” teriak anak muda dengan istirahat dan merenung. pita merah terbebat di kepala. Kehadiran Vardhazh memecah sunyi tafakur Vardhazh, presiden pengganti Tuan Grag, telah seorang laki-laki gagah yang bersimpuh di atas karpet. memerintahkan Menteri Pertahanan Gargano Laki-laki itu memberi isyarat melalui pandangan Zappulato untuk melibas aksi mahasiswa. Jaksa Agung matanya. Vardhazh pun duduk di kursi agak jauh dari Valoe Bessy pun telah ditugaskan untuk menutup posisi laki-laki gagah itu. Beberapa saat kemudian, laki- pengusutan kasus dugaan korupsi Tuan Grag. laki gagah itu beranjak dan menemui dan memeluk “Tuan Grag itu junjungan kita semua. Tidak elok Vardhazh erat-erat. kita mencari-cari kesalahan beliau. Dan kalau toh beliau “Tuan Grag...,” ucap Vardhazh spontan. ini bersalah, maka aku sudah mengampuni sebelum “Sssttt... jangan keras-keras...,” ucap laki-laki dimohon. Bangsa yang berbudi luhur adalah bangsa tambun itu lirih. yang mau memberi maaf sebelum diminta,” kata “Maafkan saya Tuan....” Vardhazh dalam jumpa pers di istana negara. “Bagaimana perkembangan keadaan, Tuan Para demonstran semakin merangsek. Namun, Presiden Vardhazh?” orang-orang berseragam dan berwajah garang “Tuan Grag jangan mengolok-olok saya. Saya tak menghalau mereka. Terjadi baku hantam. Banyak lebih dari pembantu Tuan....”

98 99 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KEBOHONGAN ITU MANIS, VERDHAZH | Indra Tranggono

“Riil, kamu ini presiden, boy. Kenapa masih tahu, rakyat selalu kecanduan untuk dibohongi.” gamang? Aku memang sengaja memilihmu untuk “Ooo tentu, Tuan... Dalam soal kebohongan Tuan menggantikan aku melalui sidang Majelis Tinggi.Oya, adalah maestronya. Aduh maaf Tuan, maaf...” apa yang bisa kamu laporkan, Vardhazh?” “No problem, boy. Itu predikat yang elegan. Maestro “Rakyat percaya bahwa Tuan telah mati. Ya, mereka kebohongan. Dan aku suka,” Tuan Grag tertawa. sangat yakin bahwa Tuan Grag ada di dalam peti mati Ketegangan yang sempat dirasakan Vardhazh yang dimaskkan dalam liang lahat dalam pemakaman langsung mengendor. Suasana pun cair. Vardahzh itu. Sungguh, ini teater paling sempurna dan ajaib.” mengusap keringat di keningnya dengan tisu basah. “Begitulah yang kuinginkan. Begitulah yang “Di balik kebohongan ada tambang emas yang terjadi.Oo ya, aku sangat terkesan dengan tak pernah habis dikuras. Tapi ingat, kebohongan butuh pernyataanmu dalam jumpa pers bahwa setiap hari aku konsistensi dan keyakinan untuk menjadi kebenaran.” hanya makan kentang, ikan asin, dan kecap. Kamu Kepala Vardhazh mengangguk-angguk seperti pintar mengambil hati rakyat...” mesin. “Maafkan saya Tuan...maafkan. Saya telah “Kamu telah melihat sendiri bagaimana aku berbohong....” mementaskan sandiwara kematianku. Aku susun “Itu kebohongan yang manis, Vardhazh... Sangat skenarionya sendiri. Aku jadi sutradaranya sekaligus manis... Begitulah seharusnya. Seorang penguasa harus produsernya. Aku rekrut para profesioal dari direktur pintar beternak kebohongan. Hanya dengan menanam rumah sakit, dokter-dokter spesialis, pers, ahli rias, dan kebohongan di mulut, orang macam kit abisa busana hingga para jenderal dan event organizer,” ujar bertahan.” Tuan Grag sambil menuangkan anggur merah di gelas. “Benar, Tuan. Semua itu seperti yang pernah saya “Tuan tidak khawatir rahasia ini bocor?” baca dalam buku Kebohongan yang Sopan yang Tuan tulis.” “Kekhawatiran itu tetap ada meskipun aku sudah “Kamu telah tuntas membacanya?” melenyapkan para profesional yang terlibat dalam “Bukankah itu bacaan wajib bagi seluruh kader proyek besar sandiwara kematianku. Oya, aku punya partai kita, Tuan?” ide. Aku akan operasi wajah. Semua sudah siap. Minggu Tuan Grag tersenyum. “Berarti kamu sudah depan kulaksanakan.” menyerap sari pati kebohongan. Ini tak ada “Tuan memang hebat. Cerdas.” hubungannya dengan dosa atau apa... Yang harus kamu “Aku masih bingung menentukan bentuk dan rupa

100 101 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KEBOHONGAN ITU MANIS, VERDHAZH | Indra Tranggono wajahku nanti.... Ada usul? Yang penting jangan mirip pori atau kerut-merutnya. wajah aktor opera sabun.” Dengan wajah Vardahzh kini Tuan Grag tampil “Bagaimana kalau hidung tuan dibikin lebih dalam berbagai acara kenegaraan. Ia pun kembali mancung dan mata Tuan dibikin lebih lebar? menguasai parlemen, kejaksaan, kehakiman, sektor “Ah itu mirip tukang jual obat di Golden Park. pajak, sektor migas, anggaran belanja negara, dan Dan lagi, hidung saya kan sudah mancung. Mosok saya lainnya. Namun, rakyat tetap yakin bahwa orang yang harus mirip Pinokio? Boy, aku ingin wajahku berubah memimpin Republik Garpallo saat ini tetaplah total. Misalnya mirip wajah seorang rabi atau orang- Vardhazh yang menggantikan Grag-Gaz yang sudah orang suci.” meninggal enam bulan lalu. Nasib Vardhazh sendiri Vardahzh disergap rasa heran. Tapi hanya diam. tidak jelas. Soal ini, hanya keluarga Vardahzh yang tahu. Tuan Grag tampak berpikir keras. “Bagaimana jika wajahmu saja yang kupinjam SETIAP hari terjadi demonstrasi. Rakyat tidak untuk dijadikan model? Wajahmu polos. Tak ada aura puas pada kepemimpinan “Vardhazh” yang dianggap kejahatan. Bagaimana?” korup. Rakyat merindukan kembalinya kekuatan politik Vardahzh tersengat. Dadanya sesak. Jantungnya Grag-Gaz untuk mengendalikan Republik Garpallp. berdetak cepat. “Barangkali Tuan bisa mencari model Mereka pun kini semakin yakin bahwa mantan Presiden wajah yang lain...,” ujar Vardahzh gugup. Grag-Gaz sangat bersih. Maka, skenarion pengganti Tuan Grag menggeleng. “Aku ingin jadi dirimu. “Vardhazh” pun telah disiapkan Tuan Grag. Nyonya Aku ingin ikut mengendalikan pemerintahan di negara Zabhatini, istri keempat Tuan Grag, telah dipilih untuk kita. Kamu keberatan?” menjadi presiden.  Darah Vardahzh berdesir. “Tentu tidak, Tuan....” “Bagus. Aku harus menjadi presiden lagi dengan meminjam wajahmu! Oke, boy?” Dada Vardahzh terasa semakin sesak. Mendadak ia tumbang. Tuan Grag tersenyum. Operasi wajah Tuan Grag berjalan lancar dan hasilnya sempurna. Wajah Tuan Grag kini sama persis dengan wajah Vardazh, bahkan hingga jumlah pori-

102 103 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TEPI SHIRE | Tawakal M. Iqbal Tepi Shire

Tawakal M. Iqbal Minggu, 15 Maret 2015

USIM gugur tiba. Saatnya bekerja di luar ruang. Kantor-kantor di tempatku bekerjaM memiliki kebiasaan aneh, boleh membawa pekerjaan ke manapun yang kita  suka saat musim gugur. Pekerja di sini diberikan keleluasaan untuk menikmat musim gugur selama tiga bulan penuh. Tetapi tetap saja kerjaan yang diberikan luar biasa banyak. Aku biasanya memilih sungai Shire untuk menghabiskan musim gugur bersama setumpuk pekerjaan yang mesti segera diselesaikan. Di sungai ini terdapat taman sepanjang kiri-kanan jalur sungai. Pada saatnya nanti di puncak musim gugur, dedaunannya akan jatuh beterbangan langsung ke muka sungai. Selain itu, di sungai ini jarang sekali ada anak-anak. Orang tua melarang anaknya untuk berlibur ke tempat ini. Sebab sebagian mereka

104 105 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TEPI SHIRE | Tawakal M. Iqbal

percaya bahwa Shire adalah tempat mistis yang selalu meminta korban. Aku sendiri tidak percaya terhadap hal itu. Ini adalah musim gugur yang kedelapan bagiku, dan hingga kini aku masih ada. Jadi lupakan soal Shire yang sering memakan korban. Angin berembus kencang sekali, mengibaskan mantelku yang beberapa kancingnya sudah rusak. Sungai mengalir begitu deras dan sesekali menciptakan gelombang pengusir burung-burung dari tubuhnya. Di seberang tempatku duduk, penjaga kebersihan terlihat sibuk menyapu dedaunan di taman. Tubuhnya bungkuk. Kulitnya hitam. Tampaknya ia bukan berasal dari tanah ini. Aku menyukai tempat ini karena di antara yang lain, Shire adalah sungai panjang yang menyimpan banyak sejarah. Meskipun umumnya tentang kekejaman perang. Di sungai ini ribuan manusia korban perang pernah dihanyutkan. Kala itu bau amis darah, air merah, dan kicauan burung bangkai menjadi sebuah fenomena yang biasa. Raja Shire V pernah digantung di bawah jembatan Sulera oleh bangsa Sinewood. Sisa- sisa perang masih dapat kita temukan di museum Shirewar yang terletak di hulu sungai. Bahkan beberapa tahun lalu ada sepasang pengantin yang sedang berfoto mesra, dengan sangat tiba-tiba terbunuh. Mereka tanpa sengaja menginjak ranjau darat yang masih tertanam dekat pohon maple, di km 8. Akibat peristiwa itu Shire ditutup untuk sementara waktu.

106 107 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TEPI SHIRE | Tawakal M. Iqbal

“Untung saja bukan musim gugur,” pikirku. Aku memulainya dari akuntabilia. tidak tahu apa yang mesti kulakukan bila peristiwa itu “Kehidupan memang memuakkan!” terjadi di musim gugur. Sejak peristiwa itu, Shire menjadi Tiba-tiba saja tukang sapu itu berteriak pada pohon sangat sepi. Tetapi entah mengapa aku merasa jatuh di depannya. Sungai kali ini sangat sepi. Sebab masih cinta dengan sungai ini. Aku dan sejarah tentang terlalu pagi tampaknya untuk orang-orang datang perang seolah memiliki ikatan batin kuat, meskipun kemari hanya sekadar mengobrol dan mengambil aku belum pernah merasakan bagaimana rasanya hidup gambar. Biasanya siang menjelang sore sungai ini mulai di zaman perang. ramai. Di sungai ini jelas hanya ada kami berdua. Aku Perang memang selalu menyisakan kepedihan. dan tukang sapu itu. Meski begitu, memenangkan perang selalu menjadi Aku memilih untuk tidak peduli terhadap tingkah impian banyak orang. Kemenangan dirasa lebih nikmat. tukang sapu itu. Di tanah ini, aku diajarkan untuk mulai Meski sesudahnya, kepedihan tengah menanti. Sebab tidak peduli terhadap sesuatu hal yang bisa membuat kepedihan setelah perang tidak akan pernah dikenang rugi. Dalam posisi ini aku akan dirugikan bila aku meski tengah dirasakan. Tetapi kemenangan, selamanya memedulikannya. Pekerjaanku akan abai dan dia akan akan terus dikenang. Tiba-tiba saja ingatan mengenai merasa menang, sebab telah mampu menarik perhatian. pertanyaan yang tertera dalam buku sejarah yang pernah “Rugi!” kubaca itu muncul. Tak satupun orang di Woodyshire “Kehidupan itu memuakkan!” memungkiri itu. Meskipun kini kondisi mereka sedang Ia berteriak lagi. Kali ini lebih keras. Sapu di dalam keadaan pedih. Kenangan terhadap tangannya dipatahkan kemudian dilemparkan ke kemenangan peranglah yang mampu membuat sungai. Tangannya terlihat dikepal. Aku mencoba untuk masyarakat Woodyshire tetap kuat. tidak memerhatikan. Tapi tetap saja rasa penasaran Kursi kegemaranku adalah nomor C38, tempat ini selalu mendorongku untuk melirik ke arahnya. “Sial!” berada di taman kanan jalur sungai. Sangat strategis kataku dalam hati. aku rasa. Dari tempat ini, aku bisa melihat sekitar tanpa Aku mulai terganggu dengan tingkahnya yang harus mendorong-dorongkan kepala ke depan. Atau aneh. Kali ini pohon maple dipukul-pukul menggunakan melakukan kegiatan lain yang membuang banyak tangannya hingga beberapa rantingnya patah. Ia stamina. Kursi ini sangat nyaman. Aku kira seperti itu. terlihat tidak merasakan sakit, meskipun tangannya Ada banyak pekerjaan yang mesti dikerjakan. Aku mulai berdarah.

108 109 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TEPI SHIRE | Tawakal M. Iqbal

Angin berembus kencang menerpa kami. Ia agak tidak bekerja di hari Jumat. sedikit goyah. Tiba-tiba topi yang dikenakannya “Aku muak dengan ini!” terbang dan mendarat di muka sungai. Daun-daun Pohon maple itu kembali dipukulnya. Bahkan kali beterbangan ke arahku. Kepala orang itu tampak seperti ini menggunakan kepala. Aku tak mungkin melompat terluka. Banyak bekas jahitan di kepalanya, mirip ke sungai itu dan menolong atau setidaknya gumpalan darah yang membusuk. menghentikan tingkahnya. Tapi pekerjaanku “Tanah ini memuakkan!” menumpuk dan hari ini mesti kuselesaikan Aku tidak Sekali lagi ia berteriak. Dua kali, tiga kali dan berkali- mungkin bekerja dengan pakaian basah. Sebetulnya kali. aku bisa saja telanjang dan langsung menceburkan diri Aku jelas sekali sangat terganggu dengan itu. Aku ke sungai, tapi apa kata orang nanti. Kemaluanku akan mulai menenangkan diri. Tidak mungkin mengerjakan terlihat dan aku tidak ingin hal itu sampai terjadi. Aku kalkulasi yang amat rumit dalam kondisi seperti ini. memilih mendengar musik, barangkali dengan begitu Aku buka bekal yang dibawa dari rumah. Roti, sayur, aku jadi tidak akan peduli lagi dengan tingkahnya. saus, mayones, dan daging sapi. Bahan-bahan itu aku “Semuanya keparat!” susun menjadi semacam hamburger. Di benturan yang entah ke berapa, dahinya sobek. Orang itu melompat-lompat menabrakkan diri ke Pipinya pecak. Giginya remuk. Dalam sekejap wajahnya pohon. Kemudian ia menarik-narik pakaiannya hingga dipenuhi darah. Aku mulai tak nyaman duduk. “Ini sobek. Aku tak mengerti mengapa ia melakukan hal sangat keterlaluan!” itu. Ia teriakkan kata itu lagi. Rasanya aku ingin Aku tidak diajarkan peduli di tanah ini, tetapi aku mendekat dan menanyakan banyak hal, tapi hatiku akan sangat bersalah bila tidak melakukan tindakan. menginginkan agar aku tak peduli. Lagi untuk Aku mulai berdiri, tapi angka-angka ini akhirnya mendekat ke sana rasanya tidak mungkin. Kami membawaku kembali. Delapan tahun tampaknya sudah dipisahkan sungai. Untuk menyeberang ke tempat cukup berhasil mengubah karakter seseorang sepertiku. tukang sapu itu aku mesti berjalan ke hulu kemudian Kadang di tempat tinggal, aku merasa tidak menyeberang menggunakan jembatan. Tetapi untuk mengenal siapa tetanggaku karena satu dan lain hal. sampai ke seberang memerlukan 1 jam perjalanan. Kehidupan di sini begitu soliter. Biasanya pengunjung Shire akan menggunakan sampan Roti yang sudah dibuat sama sekali tidak kusentuh. untuk menyeberang. Tetapi ini Jumat, tukang sampan Aku mulai mual melihat kondisi orang di depanku yang

110 111 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TEPI SHIRE | Tawakal M. Iqbal begitu mengerikan. Pekerjaanku akhirnya kumasukkan Semua dibunuh dengan cara yang mengerikan. Ada ke dalam tas. Aku memilih untuk tidak melakukan apa- yang dikirim ke Roma untuk dijadikan santapan singa apa, dengan begini tidak ada dari kami yang dirugikan di Colosseum. Ada yang dikirim ke hutan Papua untuk ataupun sebaliknya. diasingkan. Kemudian banyak dari mereka tidak tahan “Mante!” dan memilih menyantap dirinya sendiri.” Kakek “Kekak!” bercerita dengan sangat serius. “Rangpe!” Aku selalu bergidik bila kakek sudah mulai “Namjaha!” menceritakan itu. Meskipun kakek selamat, tapi tidak “Pise!” tidak dalam kondisi yang sempurna. Tangan kanannya “Kitsa!” hilang. Ini dilakukannya sebagai upaya untuk melarikan “Nuhbu!” diri dari musuh. Tangan kakek ketika itu diikat Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya. Lalu menggunakan rotan. Ia memotong tangannya sendiri tersadar dengan kondisi Shire yang maha luas. dengan golok. Bila tidak begitu, kakek tidak akan Kemudian aku lihat sekitar, khawatir ia sedang pernah bisa lepas. memanggil-manggil temannya. Suaranya tidak Kakek bilang, “butuh pengorbanan untuk terlepas terdengar jelas. Rasa sakit membuat suaranya menjadi dari beban yang diderita.” bergetar. Cerita lainnya yang paling aku benci dari kakek Tiba-tiba saja bayanganku terbang jauh ke adalah ketika bercerita tentang penyiksaan yang kampung, di Priangan sana. Orang itu seumur kakekku. dilakukan musuh pada temannya di sungai Cidurian. Kakek pernah bercerita padaku tentang dampak yang Wajah temannya digosok-gosokkan ke pohon berenuk dihadirkan oleh perang. hingga kulitnya terkelupas dan dipenuhi darah. Setelah “Mereka yang selamat dari perang akan kembali, wajahnya benar-benar merah, musuh akan namun menjadi asing.” menceburkannya ke kali hingga darahnya hilang. Ketika muda ia pernah mengalami kenangan pahit, Kemudian setelah itu digosokkan kembali wajah bersama teman lainnya menjadi buronan perang. temannya ke pohon. Tidak tahu apakah temannya itu Teman-temannya tertangkap oleh musuh. Kata kakek tewas atau selamat. Kakek sangat tersiksa mengenang hanya ia yang selamat. itu. “Hingga kini tak seorangpun yang masih hidup. Orang itu berteriak dengan keras. Aku tidak tahu

112 113 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TEPI SHIRE | Tawakal M. Iqbal ia mengumpat siapa. Tapi tatapannya tertuju padaku. mengarah lurus kepadaku. Kembali nama-nama aneh Aku gemetar. Sesekali aku membetulkan earphone dan mulai disebut-sebutkan. Ia lari dengan kencang lalu mencoba mengamat kupu-kupu yang hinggap di bunga melompat ke sungai lagi. Kali ini ia biarkan tubuhnya dekat tempatku duduk. Semoga saja ia menganggap hanyut mengikuti sungai, tetapi tatapan tajamnya tidak kalau aku tidak tahu tentang apa yang sedang lepas tertuju padaku. dilakukannya sedari tadi. Angin mulai berhenti berembus. Pohon maple di Aku perhatikan kupu-kupu itu secara mendalam. seberang itu penuh darah. Langit mulai meniru warna “Sial!” Kupu-kupu itu terbang entah ke mana. Aku darahnya. Aku mulai mengemasi barang-barangku, bergegas merogoh kembali berkas-berkas pekerjaanku untuk bersegera pulang. Tapi kakiku sulit untuk kupakai di dalam tas. Kubuka satu demi satu. Tapi benar-benar berjalan.  sial. Orang itu terus-menerus menatapku. Aku dalam keadaan tertekan. Kakiku bergetar, keringat mulai mengalir. Ini kali pertama aku duduk di sungai Shire saat musim gugur dan tubuhku tak henti-hentinya mengalirkan keringat. Mata orang itu begitu tajam. Wajahnya penuh darah, hitam, bercampur serat-serat pohon. “Apa yang sebetulnya ia inginkan?” Sesekali aku melirik ke arahnya. Ia terlihat mundur beberapa langkah. “Gawat, ia sedang mengambil ancang-ancang untuk berlari.” Aku hendak pergi, tetapi kaki begitu sulit kugerakkan. Orang itu berlari dan menceburkan diri, “Mengapa?” Darah dari kepalaku mulai turun. Ia biarkan tubuhnya hanyut, lalu tiba-tiba kembali lagi naik ke darataan, menatapku kembali dengan acungan telunjuk

114 115 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEPOTONG KAKI UNTUK AYAH | I Nyoman Wirata Sepotong Kaki untuk Ayah

I Nyoman Wirata Minggu, 22 Maret 2015

IA aku sebut saja pohon ayah. Sebab memiliki kekuatan hidup bertahan pada akarnya.D Dia sangat tabah walau badai menerpanya dari waktu ke waktu. Seperti  pohon, akarnya kuat berpegangan di tempat dia tumbuh. Badai revolusi, badai politik di tahun 65, dan badai niskala atau kekuatan yang tak kasatmata, sama saja dapat memberangus akarnya. Itu sebabnya, baginya kemiskinan belum berarti apa-apa, sebab seperti pohon, musim akan memberi harapan hidup, titik embun adalah berkah untuk menumbuhkan harapan. Akar adalah sumber spirit. Tidak akan ada kata menyerah dan selanjutnya benih-benih kehidupan baru tumbuh. “Aku tamatan revolusi, seorang residivis,”

116 117 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEPOTONG KAKI UNTUK AYAH | I Nyoman Wirata

katanya. Dia dikerangkeng semasa revolusi dan sesudah masa kemerdekaan bekerja di penjara tempat dia dikerangkeng dulu. Kemudian dia terancam dikerangkeng kembali tidak bisa ke mana-mana karena kakinya diamputasi. Keseimbangan terancam karena kehilangan sebuah tungkai penyangga tubuhnya. Dia sangat gembira. Matanya berkaca-kaca. Itu saat terindah bagiku dan itu saat pertama kali aku rasakan dia pulih. Agak ceria dan mulai banyak bicara seperti sebelum kakinya diamputasi. “Persis!” katanya, sambil memperhatikan bentuk kaki palsu dari kayu bentawas buatanku. Tapi ketika dia menimang-nimang, “Agak berat,” katanya. Kita coba saja pasang engselnya dan kalep kulitnya. Dia senang dengan kaki palsu kayu pertama buatanku. Di hari ketujuh dia menyerah. “Pahaku terasa copot menahan berat.” Tapi dia tetap percaya kaki palsu buatanku selanjutnya akan lebih baik. Itu membuat aku merasa sangat dihargai. “Saya akan mencari kayu yang lebih ringan,” kataku suatu petang. “Kalau pakai waru, gimana, ya,” tanyaku membuka percakapan. “Waru, wani, sandat, kayu yang ringan, tapi rapuh. Kalau mau cari waru agak besar dan alot, pergilah ke Umadui. Atau ke Kepaon. Di sana banyak pohon yang sudah berumur.” Saya ingat tempat itu. Dulu ketika masih punya sepeda dengan bunyi cik-cik-cik dan remnya menyentak dengan suara menjerit, dia sering

118 119 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEPOTONG KAKI UNTUK AYAH | I Nyoman Wirata mengajakku ke sana. Sepeda itu dijual, lalu membangun di atas pilihan lontar, lalu berubah wujud menjadi pulpen bale delod, sebuah rumah dengan jendela kaca, tembok Parker lalu berubah menjadi sepeda dengan bunyi cik- luar setengah badan berisi hiasan granit berupa batu- cik-cik dengan bunyi rem menjerit, kemudian menjadi batu kecil, dipadu dengan pecahan beling dan batu rumah yang merupakan sebuah kemewahan. Seorang saga merah yang tersebar sebagai ornamen. Sepeda peneliti dari Belanda kehilangan jejak cerita dalam prasi itu hasil penjualan pulpen Parker dan pulpen Parker itu tersebut lalu seorang yang sama sekali tak dinyana hadiah karena mengungkap misteri dalam sepilah kitab mampu menguak misterinya. Suatu hal yang tak atau lontar kuno. Itu hal yang paling membuatnya terduga, semua itu dapat mengubah cara berpikir bahwa tersanjung. kehidupan nampak sangat ramah, tapi di lain waktu Kenangan itu mengembalikan suasana hatinya begitu ganas dan tak terduga mengamputasi kekuatan kemudian menjadi obrolan panjang. Bisa sangat berdiri dan keseimbangan. panjang kalau dia bercerita tentang dunia pewayangan. “Apakah kaki palsu itu begitu penting?” Dia memiliki simpanan cerita menarik tentang isi kitab Pertanyaannya mengagetkan dan membuat aku kuno yang ditulis di atas daun ental atau rontal. Ketika kehilangan keseimbangan sebab aku tengah kitab berupa ental, lontar, sebagai teks berada di dalam mengkhayal sebagai Mpu Kuturan. Konon, seorang ruang dengan pintu tertutup bagi seorang sudra, dia mpu bernama Kuturan didatangi oleh pohon-pohon sudra yang memiliki kesempatan untuk membuka pilah- seraya mempersembahkan diri dengan khasiatnya pilah kitab kuno di sebuah puri di mana beragam lontar sebagai obat. Jika saja pohon-pohon datang kuno disimpan secara turun-temurun. menjelaskan diri memiliki tubuh alot dan ringan, maka Itu mungkin sebabnya, seperti kataku, dia seperti pekerjaan membuat kaki palsu akan lebih mudah. pohon, memiliki akar yang kuat karena nyastra atau Petualangan menemukan kayu dimulai dari belukar hubungan intens dengan ajaran dalam karya sastra. ke belukar. Waru, wani, sandat berada di lekuk-lekuk Itu mungkin sebabnya, ia tetap bisa bertahan dalam jalan subak. Pohon pandan berduri memagari perubahan yang kadang penuh ancaman. Karena itulah sepanjang sisi jalan. Sandat ada di teba atau wilayah dia mengajarkan agar selalu membaca ulang seluruh belakang rumah atau di sanggah sebagai wilayah suci kenangan hidup yang paling pahit untuk menguatkan tempat persembahyangan di setiap rumah. Pantang akar kehidupan. menanamnya di natah umah atau di halaman tengah Bayangkanlah, dari sepilah prasi, semacam komik rumah. Wani ada di dekat grembengan atau tebing

120 121 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEPOTONG KAKI UNTUK AYAH | I Nyoman Wirata dengan palung sungai kering di bawahnya, tempat melukis dalam seni lukis klasik, pada skets tersebut. makhluk halus menyembunyikan anak-anak. Waru Dia melukis kembali. tumbuh subur di muntig atau tanah timbul di tengah Mata saya berbinar. Sudah lama dia menderita payau. Les waru atau inti kayu waru memiliki alur dengan erangan panjang karena rasa sakit. Sudah melingkar dan berwarna, bagus untuk patung celeng. lampau rasanya hubungan dengan kanvas, tinta bak, Kaki kedua selesai. Kemudian yang ketiga lalu yang kuas, pena bambu dan cerita wayang yang terhimpun keempat. Secara bentuk berani jamin, persis. Dipulas dalam-dalam di benaknya. Sudah lama tak kedengaran agar sesuai warna kulit. Dipasang engsel dari pelat dia nembang sambil ngoceh tentang cerita di balik diambil dari rantang aluminium. Kalep dari kulit diambil tembang itu. Sudah lama, meme, ibu, tidak duduk di dari kulit bagian atas sepatu tentara yang berisi kasper sebelah meja tempat alat-alat melukisnya sambil ngobrol logam. Dia mencoba satu per satu. “Pas!” katanya. tentang I Dagdag, I Kelor, dan orang-orang yang Tapi belum tiga bulan dia mengeluh. Ujung pada pernah numpang di rumah dan hilang di tahun enam potongan kakinya mengelupas panas dan lecet. Suasana puluh lima. rumah surut, tapi dia tak hanyut. Seperti sebatang pohon akarnya begitu kuat. Dia seperti pohon, sangat tegar. Aku yang kalah. Setelah badai menerpanya, setelah seluruh daunnya Hilang rasa gembira setelah gagal membuat sepotong ranggas, pokoknya kering seperti tak ada harapan kaki palsu untuk ayah. Sepotong kaki palsu yang hidup, kini pucuk-pucuknya tumbuh. Secercah sinar membuatnya nyaman berjalan atau sekadar menolong dari timur di sana arah kehidupan dimulai, ke sana arah dirinya sendiri. tubuh disujudkan, tempat para hyang bersemayam, Suatu hari dia menyuruhku mengambil sebidang kiblat kebaktian dan sujud kepada Ilahi. kanvas ukuran satu meter kali satu meter. Ternyata dia “Ya, sudah! Tak usah mikir kaki palsu. Meja itu telah menyelesaikan figur-figur aneh di atas kanvas. juga cacat, tapi indah walau memiliki tiga kaki. Kamu Bentuk potongan-potongan kaki melayang di langit. sudah menakik, mengukir potongan kayu sisa untuk Di kanvas belacu ukuran besar itu penuh kepala kaki palsu menjadi meja yang cacat dengan hanya tiga terpenggal ditopang seonggok kaki. Kepala yang buah kaki tapi indah. Indah karena mengikuti lekuk tersambung dengan potongan kaki melayang di udara dan alur kayu. Alur kayu, alur waktu alur kehidupan dan ada yang nongol dari sisi kanvas. Dia sudah menyatu di sana. Kita hanya memberi sedikit ukiran memulai dengan memberi sigarmangsi, sebuah teknik dan membiarkan bagian lain tetap utuh karena dapat

122 123 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BALADA CUN DAN SUAMI BARUNYA | Dedi Supendra mengingatkan kita tentang meja cacat itu berasal dari sebatang pohon yang kuat akarnya.” Kemudian saya menemukan kayu dari sepotong Balada Cun dan Suami Barunya pohon kayun, pohon keinginan, yang tumbuh di jagat diri, menjadi kaki pengganti kaki ayah yang hilang dan menjadi bagian ke mana pun dia pergi.  Dedi Supendra Minggu, 29 Maret 2015

KHIRNYA setelah berbulan-bulan menjanda, Cun menampakkan roman akanA menikah lagi. Bagi para tetangga, keputusan ini sangat dilematis. Keluarga besar, dunsanak, dan anak-anaknya—sudah pasang pagar besi dari awal, Mereka sama sekali tidak setuju sebab rekam-catatannya dalam bersuami- istri tidaklah bagus. Suami pertama digugat cerai karena hidupnya miskin terus-menerus. Pria malang itu kembali ke rumah orang tuanya dengan meninggalkan seorang anak. Lalu suami kedua—seorang lelaki tua—pergi untuk menikah lagi dan menitipkan sepasang buah perkawinan. Padahal mereka sudah hidup mapan. Suaminya itu bekerja sebagai pegawai negeri di sebuah institusi pendidikan. Sementara dari mantan suami ketiga, ia mendapatkan tambahan sepasang anak tiri. Itu pun tak lama.

124 125 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BALADA CUN DAN SUAMI BARUNYA | Dedi Supendra

Hanya hitungan minggu, perempuan itu kembali kehilangan seorang suami dan sepasang anak tiri. Cekcok antar anak menjadi penyebabnya. Sedangkan suami keempat bertahan beberapa bulan saja karena di suatu siang seorang wanita datang ke rumahnya dan mengaku sebagai istri dari suaminya. Perang mulut seketika bergejolak di teras rumah. Siang itu juga secara tidak resmi, perempuan empatpuluh tahunan itu kembali menjanda. Bagi para lelaki, matanya adalah mantra; tempat bermuaranya semua kenikmatan-kenikmatan duia, dan mata itu siap menyihir pria-pria gatal mana saja. Lelaki- lelaki tua tanggung, baik yang duda maupun beristri dan beranak lima sering menggoda, sering memberi uang, atau membelikan makanan. Tapi sayang tak satupun lelaki yang tersangkut dalam jeratan mata Cun. Suami satu seumur hidup yang diidam-idamkan Cun hingga kini belum tampak juga batang hidungnya. “Tuhan, apa memang ada perempuan yang sengaja diciptakan untuk selalu gagal dalam bersuami?” Ratapnya di dalam kamar, setelah perang mulut tempo hari dengan istri pertama suami barunya. Sungguh pailit. Cun, perempuan berpinggul bahenol itu pailit nian dalam berumah tangga.

KERAP pagi-pagi setelah urusan di rumah selesai, Cun meluncur ke rumah tetangga, sekadar melanjutkan pembicaraan yang terpotong karena malam tadi yang

126 127 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BALADA CUN DAN SUAMI BARUNYA | Dedi Supendra begitu cepat larut, atau membahas soal baru yang tiba- Bagaimana tidak, nyaris tiap hari Cun menerima tiba hidup dan menggeliat-geliat di kepalanya. Ada yang telepon dari lelaki yang sama. Hampir tiap minggu, hanya gosip, ada juga yang benar. Tapi, seperti kata- Cun ke pasar raya. Alasannya berbelanja kebutuhan kata tetangganya: Dari sepuluh kata-kata yang dapur. Tapi seluruh kampung tahu, bahwa ia sedang dikeluarkan Cun, bahkan satu saja belum tentu bisa indehoi dengan lelaki berkumis tebal di sebuah pondok dipercaya. mesra di tepi laut. Salah seorang warga pernah Tetangga yang sudah paham dengan tabiat Cun memergokinya. Kepada salah seorang tetangga, ia juga biasanya hanya melayani obrolan Cun dengan sedikit tak segan-segan mengakui bahwa ia telah menemukan anggukan, satu-dua lengosan, dan banyak upaya untuk lelaki yang selama ini ia impi-impikan. Kepada anak menghindar secepatnya; ada yang beralasan ke toilet, dan sesanaknya, ia berkilah bahwa itu cuma teman, lalu tidak pernah kembali lagi ke dalam percakapan, kenalan lama waktu bekerja di kota dulu. atau pura-pura ingin memasak, atau malah tertidur “Seharusnya, Si Cun tidak lagi sibuk memikirkan karena dongengan Cun yang begitu melenakan. Bila siapa calon suaminya. Anaknya, Si Ros itu, sudah patut sudah begitu, Cun surut tanpa kata, kembali ke pula dicarikan laki!” kata Ni Nah mengomentari. rumahnya. Tentu saja, Cun yang tak mudah patah “Dasar perempuan tak tahu diri. Ingin enak semangat itu kembali keesokan harinya dengan cerita sendiri,” kata perempuan lainnya. yang lebih pedas-pedas-manis dari hari sebelumnya. Cun bukan tak tahu soal komentar tak sedap dari Bila kata-kata Cun adalah asap-asap tipis, maka tetangga-tetangga usil itu. Apa hendak dikata, matanya rumah-rumah yang pernah didatanginya telah sudah tertutup cinta. Rasa cintanya kepada Da Ji, yang berjelaga-jelaga pekat karenanya. Dari dapur tetangga ternyata dukun kampung sebelah itu sudah menjalar satu, asap-asap itu meninggi, merayap sampai ke dapur ke seluruh tubuhnya, mengebalkan organ-organnya dari tetangga lainnya. Kemudian, apa yang dirahasiakan serangan hina-caci-maki orang-orang. Ia yakin, Da Ji Cun kepada tetangga telah menjadi rahasia bagi ibu- adalah dermaga terakhir kasih sayangnya akan berlabuh. ibu di kampung itu. Cun menjadi gelap mata, sepekat malam saat ia Kebiasaan Cun menggunjingi tetangga yang satu kabur, meninggalkan rumah dan anak-anaknya yang ke tetangga yang lain terhenti saat ia disibukkan dengan sedang tidur pulas, untuk hidup bersama calon suami kasmaran yang baru. Cun jatuh cinta lagi. yang begitu diagung-agungkannya. Kepada Mak Iti, Gelagat Cun ini tercium juga oleh sesanaknya. perempuan tua sebelah rumah, ia menitip pesan untuk

128 129 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BALADA CUN DAN SUAMI BARUNYA | Dedi Supendra tidak memberitahukan perihal pelariannya ini kepada RUMAH Cun kini ramai. Tiap hari selalu ada siapa-siapa. Ia juga titip beban untuk menjaga anak- orang yang datang bertamu, bahkan sampai tengah anaknya dari jauh. malam. Bukan tamu Cun. Tapi tamu suaminya; orang- “Ini pilihan hidup saya, Mak. Orang-orang hanya orng yang merasa berpenyakit di badan dan di hatinya. pandai menilai, tapi tak mampu memberikan makan. “Jadinya bagaimana, Mak Ji?” Pasiennya, seorang Biarkan saya hidup senang,” katanya. wanita, ingin suaminya menurut kepadanya, tidak Sebelum azan subuh, Cun sudah jauh. Pagi-pagi berminat melirik perempuan lain. sekali, raungan pecah dari rumah Cun. Mak Iti tahu, Mak Ji mendehem sekali dan menggulung-gulung anak-anak Cun tak akan lagi bertemu emaknya. kumis tebalnya, seperti sedang berpikir keras. “Ini akan sangat sulit, Nak Tina,” ujarnya kemudian. “Suamimu TENTU bukan Cun namanya, bila tak jadi biang juga sudah diguna-guna dukun lain. Dukun ini juga berita besar. Setahun setelah melarikan diri, ia pulang. hebat sekali.” Tina tampak cemas. Di suatu siang, sebuah mobil pick up hitam berhenti di “Tapi, tenang saja,” katanya lagi. “Tak ada masalah depan rumahnya. Cun turun besama suaminya. Orang yang tak bisa diselesaikan oleh Mak Ji-mu ini. Apa kau kampung yang melihat kepulangannya hanya terpana, mau suamimu dibuat seperti kerbau yang dicucuk tak mampu berbuat apa-apa. hidungnya?” Mak Ji berbesar dada guna membesarkan “Apa masalahnya? Saya hanya pulang ke rumah hati Tina. Jika si pasien menatap matanya, maka ia saya sendiri. Siapa yang berani melarang!” tantangnya. akan melihat padang luas hijau, dengan angin sepoi- Salah seorang kerabatnya, perempuan tua pingsan sepoi membelai rumput-rumput. seketika. Anak-anaknya hanya pasrah. Antara lega Tina tersenyum. “Terserah Mak Ji. Saya hanya ingin emak mereka akhirnya pulang dan malu dengan warga suami saya tidak selingkuh. Semakin dia lekat, semakin kampung. bagus, Mak Ji.” Orang-orang kembali ramai membicarakan Cun. “Tunggu sebentar,” Mak Ji mengurai sila dan Tapi tak ada yang berani terang-terangan lantaran takut melangkah ke kamar. Ada sekitaran sepuluh menit dengan merek suami barunya yang tukang obat itu. sebelum akhirnya dia keluar dengan sebotol plastik Mereka takut dikerjai, dibuat sakit aneh, atau mati cairan kekuningan. Di dalamnya juga ada beberapa jenis seketika. Siapa yang tahu apa yang akan dilakukan bunga berwarna merah dan kuning, serta beberapa dukun kampung seandainya dia murka? butir beras yang mengendap di dasar botol. Juga

130 131 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BALADA CUN DAN SUAMI BARUNYA | Dedi Supendra sepotong kunyit dan jahe. bergeming. Cintanya kepadanya Da Ji tak akan goyah “Minumkan air ini kepada suami kau. Jangan hanya karena selentingan yang tak bisa diterima akal sampai dia tahu. Habiskan air itu. Kau mengerti?” Mak itu. Cun berjanji, inilah cinta terakhirnya. “Da Ji tidak Ji menyerahkan botol itu. Tina menerimanya sambil mungkin melakukan hal itu,” Cun membela diri. mengangguk, paham akan apa yang dibicarakan Mak “Lagipula, Si Inga itu tak ada menarik-nariknya. Anjing Ji. Sebelum pulang, Tina mengangsurkan sejumlah uang. saja tak minat.” Mak Ji pun tidak perlu berbasa-basi menolaknya. Namun ketika Cun tahu bahwa Da Ji adalah kucing Dari ruang tamu, Cun hanya mendengarkan urusan jantan berhidung belang sedang menggoda Inga, Cun Mak Ji dengan Tina. Cun tidak boleh ikut campur dalam marah besar kepada suaminya. “Apalagi kurang saya, hal itu, Mak Ji berpesan, Cun ikut saja. Dia tidak perlu Da Ji? Saya sudah melakukan apapun yang Da Ji mau.” repot-repot memikirkan apa yang dilakukan suaminya, “Kau sudah tua, Cun. Sudah hambar. Tak terbit selama uang jajan selalu diberikan tiap hari; hanya itu lagi seleraku melihat kau.” Da Ji bahkan tak hal yang paling diimpikan Cun ketika menjadi seorang memandang Cun ketika mengatakan itu. Cun istri. Dia bahkan tidak lagi peduli, apakah obat-obat menggagai-gagai kepada Da Ji. Ia tersujud-sujud di kaki yang diberikan Mak Ji dapat menyembuhkan pasien Da Ji. “Bunuh saja saya, Da Ji. Bunuh! Kalau memang yang datang kepadanya. Bahkan ketika dia tahu bahwa si Inga juga yang Da Ji inginkan, biarlah saya mati.” cairan yang diberikan kepada pasien itu hanyalah Ancam Cun. Da Ji acuh. campuran air kencing dan air putih, Cun pura-pura Para tetangga hanya menonton dari kejauhan. Si acuh saja. Inga, yang tak lain adalah adik kandung Cun sedang “Da Ji tahu apa yang dia lakukan,” kata Cun suatu berkemas di kamarnya, tepat di sebelah rumah Cun. kali sambil mematut-matut cincin emas yang baru saja Hari itu, ia begitu bahagia. Da Ji akan mengajaknya dibelikan Da Ji. Begitulah, di belakang Da Ji yang pindah ke desa lain. Mereka akan memulai hidup baru. brengsek, selalu ada Cun yang dungu. Yang tidak ada Cun-nya. Cun tidak segan mengguling-gulingkan badannya “Kemarin, kau menyuruhku bercerai dengan di teras rumah sore itu. Urat malunya telah putus suamiku. Sekarang, bagaimana rasanya jika suamimu ditebas kenyataan. jadi suamiku, Ni Cun.” Mata Inga berkaca-kaca. Dari kemarin-kemarin orang-orang sudah curiga senyumnya selebar dunia. dan mengantarkan syak itu kepada Cun. Tapi Cun Dan dermaga Cun akhirnya kandas jua. 

132 133 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LIANG LIU | Dewi Ria Utari Liang Liu

Dewi Ria Utari Minggu, 05 April 2015

EPAT di seberang rumahku, kira-kira 100 meter jaraknya dari pintu gerbang, terdapatT sepetak tanah seluas 500 meter persegi. Tanah kosong itu kabarnya milik  seorang kaya raya dari Jakarta yang ia beli tujuh tahun silam untuk ia jadikan rumah tinggal namun sampai sekarang tak sebongkah bata pun dipasang di sana. Yang ada justru puluhan pohon liang liu yang ditanam berderet rapi membentuk barisan seperti penari berbaju hijau yang meliuk-liuk diterpa angin, menunduk mengangguk-angguk anggun dalam kearifan yang muncul menjelang senja. Siapa yang tak mengetahui alasan pemilik tanah rumah menanami pohon liang liu itu karena sepanjang 60 tahun hidupku di sini, aku belum pernah bertemu pemiliknya. Sebenarnya

134 135 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LIANG LIU | Dewi Ria Utari

ini memalukan karena aku di sini sudah seperti sesepuh yang bahkan kepala desa pun kerap meminta pendapatku. Masakan aku sampai tidak tahu siapa yang membeli tanah itu tujuh tahun lalu. Padahal aku juga sering terjaga terutama di usia tuaku ini dan tak pernah sekali pun melihat siapa pun menjenguk tanah itu. Akhirnya karena aku semakin menyukai pohon-pohon itu, aku memerintahkan Yanto, tukang kebunku, untuk menyirami dan memberi pupuk secara berkala. Setiap sore aku juga mengajak Lanang, anjing herderku, untuk berjalan-jalan di antara pohon liang itu. Kebiasan ini mulai menjadi bagian hidupku sejak pohon-pohon itu melampaui tinggiku. Sepekan lalu, aku melihat keganjilan pada Lanang. Setiap jam tiga dini hari, ia terbangun dan berjalan ke arah balkon yang langsung menghadap ke tanah kosong itu dan berdiri tegak. Tak lama ia menggonggong pelan membuatku terjaga. Sembari memulihkan kesadaranku, aku berjalan ke arahnya dan mencoba melihat ke arah yang sama dengan Lanang. Tak ada apa pun. Hanya bayang-bayang gelap liang liu yang sesekali bergesekan tertiup angin dini hari. Begitu seterusnya hingga di malam ketujuh, aku melihat seorang perempuan berdiri di antara pepohonan. Ia memandang ke arahku dan melambaikan tangannya. Sejenak aku ragu. Bayangkan, jam tiga dini hari. Mana mungkin ada orang yang terjaga pada waktu seperti ini. Apalagi berdiri di antara pepohonan itu.

136 137 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LIANG LIU | Dewi Ria Utari namun aku bukanlah penakut. Toh ada Lanang di Anak muda zaman sekarang, pikirku. Tidakkah sebelahku. Konon jika itu makhluk halus, seekor anjing mereka punya kehidupan di siang hari. akan merasakannya. namun kulihat Lanang terdiam. “Kamu mau singgah ke rumahku? Tak jauh dari Tidak tampak gelisah. Akhirnya aku memutuskan turun sini. Di tikungan jalan. Aku baru pindah sebulan lalu,” bersama Lanang dan kuajak dia keluar rumah menuju ujarnya. tempat perempuan itu berada. Di rumahnya, ia bercerita tentang dirinya, tanah Sembari menarik tali kekang yang kusangkutkan kosong itu, dan liang liu. Ia mengaku membeli tanah ke tali leher Lanang, aku menyeberang jalan dan itu dari temannya yang kesulitan keuangan. Ia mengaku mendekati perempuan itu. Aku membawa senter meski tak memiliki rencana apa pun untuk tanah itu. lampu jalanan sebenarnya sudah cukup menerangi Setidaknya belum. Karena sejak lama ia menyukai jalanan namun tak cukup kuat menembus barisan liang pohon liang liu, ia kemudian memutuskan liu. Kini aku telah berada di depannya. Kuarahkan menanamkan pohon-pohon itu di sana. Total ada 19 senter menerangi wajahnya. Ia langsung memejamkan pohon di tanah itu. mata. “Kenapa 19?” “Jangan takut,” ujarnya sambil menghalangi sinar “Karena hanya cukup ditanami 19 pohon,” ujarnya senter dan kuarahkan ke tanah. Ia tersenyum dan sambil menuangkan anggur merah ke dalam gelas mengelus Lanang yang mengendusnya. untukku. “Kamu tak bisa tidur?” tanyanya. “Apa yang membuatmu menyukai pohon itu?” “Aku terjaga karena anjingku selalu terbangun pada Dia terdiam. Seperti berpikir memilih jawaban yang jam sekitar ini sejak seminggu terakhir. Apakah itu tepat. Entah mengapa ia begitu berhati-hati bercakap- karena kamu?” cakap denganku. Bahkan sejak awal kusadari, semua “Mungkin. Aku ke sini sejak seminggu ini. ceritanya tentang dirinya, tanah itu, dan pohon itu, Menengok pepohonan ini.” terkesan meragukan. “Pohon liang liu ini punyamu?” “Aku merasa bentuk pohon itu puitis sekali. Ia mengangguk. Merunduk namun tak jatuh. Di Barat, pohon itu “Kenapa jam tiga pagi?” dinamakan Weeping Willow. Di sini, banyak yang “Karena aku masih terbangun hingga subuh. Aku menamainya Janda Merana. Kurasa-rasa pohon itu insomnia. Sering kali tidur dengan jam yang berbeda.” memang tampak sedih. Mungkin karena itu aku

138 139 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LIANG LIU | Dewi Ria Utari menyukainya. Karena aku menyukai kesedihan.” “Kenapa selalu tampak samping?” Seketika aku melihat kerapuhan yang memikat dari “Karena aku suka duduk di samping orang dirinya. Ia begitu tak yakin. Ragu-ragu. Matanya yang ketimbang di depannya. Dan buatku, setiap orang lebih bulat menatap mataku lekat. Dan saat itulah aku seolah menarik jika diketahui sebagian dari dirinya, sebagian merasa dia mengenalku. Bertahun-tahun lamanya. wajahnya. Bagian lainnya bisa ia simpan atau ia “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” perlihatkan pada orang lain yang berada di sisi sana. tanyaku sambil menyalakan rokok. Aku sudah cukup puas untuk melihat dari satu sisi,” “Mungkin. Entahlah. Apakah itu penting saat ini?” ujarnya sambil berjalan ke arahku dan menyodorkan “Tidak,” kataku sambil mengisap rokokku pelan- secangkir teh panas. pelan. Kami saling menatap dalam diam. Di ujung Sambil meminum perlahan teh itu, aku menyadari mataku, aku melihat Lanang yang sudah tidur pernah mendengar pendapat semacam ini dan melihat mendengkur dekat kakiku. lukisan-lulisan ini entah di mana dan kapan. “Kamu mau kubuatkan teh hangat manis dan mi goreng? Aku sedikit lapar. Kamu bisa melihat-lihat AKU terbangun pukul 11 siang di kamarku dengan lukisanku sembari menungguku masak,” ujarnya sambil kepala berdenyut. Aku tak ingat kapan aku pulang dari beranjak berdiri. rumahnya. Sambil menatap langit-langit kamarku, Baru kusadari banyak lukisan yang terpasang di kubiarkan pikiranku menuntunku perlahan-lahan pada rumah ini. Sambil memasak, ia bercerita bahwa pertemuan dan percakapanku dengan perempuan itu. sebagian lukisan itu karyanya dan sebagian lagi ia beli Semua ceritanya tentang tanah itu, pohon liang liu, dari beberapa temannya. lukisan-lukisan yang pernah kulihat, rasa teh manis yang “Yang mana karyamu?” masih tersisa di lidahku, menyusun suatu mozaik yang “Kamu pasti menyadarinya.” masih menyisakan sejumlah lubang di sana-sini. Namun Ia benar. Setelah berkeliling, aku menyadari ada aku merasakan ketakutan yang tanpa dasar tentang sejumlah kesamaan di sebagian besar lukisan. bentuk mozaik seperti apa yang akan tersusun ketika “Yang ini kan?” tanyaku sambil menunjuk lukisan- semua kepingannya terkumpul. Belum-belum aku lukisan wajah manusia tampak samping yang dilukis sudah merasa pengecut. dengan charcoal. Seharian itu aku gelisah. Tak sabar menunggu Ia mengangguk. tengah malam. Kemarin ia bilang jika ingin

140 141 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LIANG LIU | Dewi Ria Utari menemuinya, tunggu setelah jam 12 malam. Nocturnal Aku tak menghitung berapa malam yang sekali perempuan itu, pikirku. Mungkin itu yang kuhabiskan bersamanya. Namun semakin sering membuat kulitnya pucat. Kurang terkena sinar matahari. bersamanya, aku gelisah dengan lubang-lubang mozaik Malam itu dan malam-malam selanjutnya, aku di otakku yang seperti menggelitikku untuk mencari menghabiskan waktu bersamanya. Setiap malam ia potongannya yang hilang. Kegelisahan inilah yang menceritakan sebuah kisah yang berbeda-beda tentang membuatku nekat malam ini untuk mendatanginya. orang-orang yang ia kenal maupun tidak ia kenal Aku sengaja melanggar permintaannya untuk tidak namun ia dengar dari kenalannya, yang merapuh datang tanpa seizinnya. ingatannya. “Aku baru menyadari bahwa dari semua Kususuri ruang demi ruang di rumah ini dan kulihat yang ada pada diri manusia, ingatan adalah hal yang lebih seksama lukisan-lukisan yang dipanjang di terapuh. Tahukah kamu film-film tentang zombi itu? dindingnya. Kepalaku berdenyut. Lukisan-lukisan ini Aku yakin mereka menjadi mayat hidup karena mereka pernah kulihat sebelum aku bertemu dengannya. gagal mengingat kemanusiaan mereka. Gagal Bahkan benda-benda antik yang menjadi pajangan di mengingat jejak sejarah yang telah mereka jalani. rumah ini juga terasa akrab buatku. Dalam kesunyian Tahukah kamu tak ada yang lebih menyedihkan ketika yang membuatku menggigil, aku merasa semua detil kita tak lebih seonggok jasad tanpa makna di hadapan di rumah ini kukenali. orang yang kita sayangi. Bahkan kupikir-pikir, definisi Perlahan aku berjalan mendekati kamar yang cinta itu tak ada tanpa adanya ingatan. Dan mungkin terletak di ujung ruangan. Sedikit gamang aku Einstein ketika itu tidak sedang mencoba menemukan memegang pegangan pintu. Ragu membentur dadaku. cara untuk melengkungkan luang waktu, tapi ia ingin Membuatku sesak dan berkeringat dingin. Aku berdiri mencari jawab bagaimana mengabadikan ingatan,” setengah bertopang di pintu menahan tubuhku yang ujarnya dengan kesedihan yang muncul tiba-tiba. terasa sedikit lemas. Namun seperti halnya Hawa yang Karena itulah ia tidak pernah memberi jawab atas telah tergoda buah kuldi, demikianlah aku yang begitu pertanyaanku tentang sebuah kamar di rumahnya yang berhasrat membuka pintu ini. selalu dikuncinya. Menurutnya, kamar itu menyimpan Kamar ini gelap. Aku meraba dinding dan kudapati semua ingatannya. Dan menurutnya, ingatan harus sakelar lampu yang segera kupijit. Begitu terang tersimpan dengan caranya masing-masing supaya tidak menguasai ruangan, aku mendapati ruangan ini hanya tersia-sia. berisi sebuah kursi yang diletakkan menghadap sebuah

142 143 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LIANG LIU | Dewi Ria Utari lukisan besar seukuran 5 x 2 meter. Aku mendekati tulisan terakhirnya saat mengirimkan lukisan ini kursi yang sepertinya sengaja ditempatkan bagi siapa kepadaku 19 tahun lalu. pun yang ingin melihat lukisan itu. “Sayangku, aku tak pernah tahu dengan cara apa Sambil perlahan duduk, degup jantungku makin aku bisa kamu kenang selamanya. Mungkin dengan cepat saat menyadari figur yang ada di bidang gambar lukisan ini, aku bisa meniadakan kesementaraan di lukisan itu. Di sana tampak sebatang liang liu berwarna antara kita.” merah. Liang liu itu tumbuh di sebelah sungai yang Di lukisan itulah ia menciptakan merah dengan juga berwarna merah. Tanah tempat pohon itu juga semua darah yang ia keluarkan sendiri dari sayatan di berwarna merah, hanya cenderung lebih tua hingga pergelangan tangannya. Di lukisan itu pula ia mendekati warna cokelat. Semua di lukisan itu merah. memberiku kenangan yang merenggut semua Juga sebuah rumah berasitektur menyerupai kelenteng ingatanku.  yang berdiri di kejauhan sebagai latar belakang pohon itu. Seketika semua potongan mozaik itu bermunculan. Bergerak sendiri menyusun sebuah pola kisah yang menyakitkan dan menghantam batok kepalaku. Aku mengerang kesakitan seiring semua ingatan itu bermunculan. Ingatan tentang dirinya yang begitu takut kehilanganku; matanya yang selalu menyimpan harap untuk bersamaku setiap kali aku berpamitan pulang; senyum kekanak-kanakannya saat aku mengatakan sweter yang ia rajut untukku—meski kemudian tak pernah kupakai; kekhawatirannya yang berlebihan pada lambungku yang lemah; kebingungannya saat kukatakan aku tak pernah memiliki pilihan favorit atas semua lukisan dan barang-barang antik milikku, atau apa pun yang kumiliki di rumah ini; tentang pohon liang liu tempat aku menciumnya pertama kali; dan

144 145 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LETEH | Oka Rusmini Leteh

Oka Rusmini Minggu, 12 April 2015

AK ada yang tahu dari mana Ni Luh Wayan Arimbi berasal. Kehadiran perempuanT cantik berkulit gelap itu tetap diselimuti misteri. Pan Kobar juga tidak mau  pusing menelusuri riwayat pembantunya itu. “Orang mana dia, Pan Kobar?” “Kau ini mau ngopi apa nggosip? Kayak perempuan saja. Suka omong yang tidak penting.” Begitu selalu jawaban Pan Kobar, pemilik warung kopi di pinggir jalan besar itu. Warung Pan Kobar terkenal, ramai dikunjungi sopir truk-truk besar. Para lelaki dari desa seberang pun suka nongkrong di warung kopi Pan Kobar. Konon kopi Pan Kobar lezatnya luar biasa. Apalagi kalau diminum sambil memandang wajah Arimbi yang berkilau menggairahkan. Badan dan pikiran langsung terasa segar.

146 147 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LETEH | Oka Rusmini

Pan Kobar ingat betul bagaimana Arimbi ditemukan. Mungkinkah dia berasal dari alam lain? Bidadari yang dikirim Sang Hyang Jagat untuk menemani hidup Pan Kobar? Mungkin menjadi istrinya? Istri? Pan kobar tercenung. Merasa nelangsa. I Wayan Kobar nama lengkap lelaki kekar itu. Kobar berarti semangat membara, kekuatan dahsyat yang mampu melumat apapun yang ada di depannya. Nama yang gagah. Maskulin. Menyeramkan. Juga agak mistis. Menurut cerita orang desa, ketika Kobar dilahirkan, guntur meledak bersahutan. Hujan membadai. Sungai meluap dan mengamuk. Alam seakan murka. Dalam alam pikiran warga desa, itu pertanda buruk. Desa akan ditimpa grubug, bencana besar. Desa akan leteh, kotor, cemar. Upacara besar harus dihaturkan untuk Ida Betara, dewa-dewa dan para leluhur. Sebelum kelahiran Kobar, sudah bertahun-tahun desa itu seperti kena kutuk. Tidak ada anak laki-laki dilahirkan di desa itu. Semua bayi yang lahir berjenis kelamin perempuan. Warga desa sudah lelah minta petunjuk kepada banyak balian, tanpa hasil. Beragam upacara dan sesaji telah mereka tumpahkan demi mencari jawaban. Kenapa di desa mereka tidak lahir anak lelaki? Lalu pada suatu pagi, matahari tak terbit lagi. Desa dililit kegelapan. Kegelapan kelabu. Orang-orang desa

148 149 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LETEH | Oka Rusmini tidak lagi bisa membaca waktu. Tidak ada lagi siang Para lelaki itu terkapar dengan luka tusuk yang dan malam. Senja dan subuh sama saja. Malam purnama parah. Mereka mati tertikam dahan-dahan pohon dan malam rembulan mati tak bisa dibedakan lagi. beringin. Ranting-ranting menjelma jadi keris yang “Kalau alam jadi kacau begini, apa yang harus kita mengoyak tubuh mereka. lakukan?” Laki-laki yang tersisa di desa itu tinggal seorang “Haturkan sesaji besar. Mungkin kalau diberi upeti, pemangku tua. Mangku Siwi, demikian warga desa alam mau kompromi.” biasa menyebut pendeta pura desa itu. Sesungguhnya “Ngawur. Memangnya alam itu kayak politisi atau sudah lama Mangku Siwi menyampaikan pawisik pejabat yang bisa disogok?” bahwa desanya akan mengalami serentetan kejadian “Siapa tahu. Namanya juga usaha. Patut dicoba. aneh yang buruk. Namun tak ada yang percaya. Orang- Bukankah begitu budaya yang dicontohkan para orang di desanya hanya sibuk memperkaya diri. Ingin pemimpin negeri kita? Istilahnya, gotong-royong....” cepat hidup enak dengan menjual tanah warisan. Sudah Ketika itu warga lelaki sedang berembuk di balai lama pura dan subak tidak berfungsi dengan banjar. Sudah sebulan desa mereka tidak diguyur sinar semestinya. Lahan desa makin marak ditumbuhi pohon matahari. Lalu hujan turun begitu deras. Pohon-pohon beton. berderak, meliuk-liuk. Tidak ada lelaki yang berani keluar Sejak terjadinya kematian aneh warga lelaki di balai dari ruangan. Semua terlihat cemas. Semua banjar, desa itu dijuluki Desa Luh, Desa Perempuan. memanjatkan doa. Menyeru para leluhur. Mencoba Para investor yang telah membeli tanah di desa itu mohon ampun. kabur ketakutan. Tidak ada orang luar yang berani Tiba-tiba sebatang pohon beringin tua rubuh mengunjungi desa itu. Mereka takut terkena leteh yang menimpa balai banjar. Para lelaki itu terluka, darah mengepul dari tanah Desa Luh. Desa itu menjadi sepi, membasahi lantai. Mereka menjerit-jerit dan memaki- kelam dan terkucil. Meski alam telah meminta tumbal maki. Namun makin banyak makian mereka, makin nyawa hampir semua warga lelaki, matahari belum juga banyak pula dahan pohon yang jatuh menghajar tubuh muncul di desa itu. mereka. Dahan-dahan itu menancap pada tubuh Pada suatu hari, para perempuan berkumpul di pura mereka. Darah mereka muncrat membasuh daun-daun desa. pohon beringin. Daun-daun menyerap darah mereka “Jero Mangku Siwi, bagaimana nasib desa kita? Apa dengan rakus. yang harus kita lakukan?”

150 151 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LETEH | Oka Rusmini

“Saat ini kita hanya menunggu kelahiran.” Kunti cuma mengarang cerita sebagai trik supaya “Kelahiran? Siapa yang akan melahirkan? selamat. Biar lolos dari cibiran. Aku sudah lama jadi Bukankah sudah tidak ada lelaki di desa ini?” perempuan. Aku tahu bagaimana cara mengakali Para perempuan itu berharap Mangku Siwi perkara begituan. Kalau dilukai, perempuan bisa membocorkan rahasia yang dititipkan alam padanya. menjelma jadi makhluk paling jahat di muka bumi. Bisa Mereka tahu, sang pemangku bisa membaca pertanda. menghancurkan apa saja. Apalagi perempuan kayak Dialah satu-satunya tempat para perempuan itu minta Kunti. Perempuan cerdik. Semua cerita itu cuma taktik petunjuk atau minta tolong. supaya dia tetap dipandang suci.” “Nunas iwang, Jero Mangku. Mohon maaf. Mangku Siwi mengangkat dupa tinggi-tinggi. Bolehkah kami tahu, siapa perempuan yang “Seorang lelaki akan lahir di desa ini,” ujarnya lirih. mengandung? Apakah ada lelaki datang ke desa ini Selang beberapa hari, I Wayan Kobar lahir dari dan menyentuh salah satu perempuan tanpa kami rahim perempuan bisu-tuli yang hidup sebatang kara. ketahui?” Ibu Kobar seorang perempuan cantik berkulit gelap Wajah perempuan-perempuan itu terlihat yang selalu menundukkan wajah. Semua warga ikut ketakutan. Alam telah menghukum mereka dengan merawat bocah lelaki yang menjadi harapan untuk kejam. Azab apa lagi yang akan mendera mereka jika melanjutkan keturunan mereka di desa itu. ada perempuan di desa itu yang hamil tanpa suami? Bertahun-tahun kemudian, ketika Kobar telah Mangku Siwi hanya membisu. tumbuh menjadi seorang pemuda, warga menemukan “Mungkin hamil sendiri. Bukankah Kunti bisa seorang pemudi asing terikat di pohon pule dekat melahirkan Karna tanpa disentuh laki-laki?” ujar seorang kuburan desa. Tubuh perempuan ini penuh luka dan perempuan. berbau amis. Tak ada sinar kehidupan di matanya yang “Siapa bilang?” bantah perempuan lain. “Kunti cekung. Wajahnya begitu mengerikan. Rambutnya tentu bersentuhan dengan laki-laki. Dia memang bilang gimbal, panjang sepinggang. Dia tampak lebih mirip tidak berhubungan badan dengan laki-laki. Tapi monster atau raksasi. bagaimana kalau dia bohong untuk menutupi aib? “Masih hidup?” tanya seorang perempuan sambil Mungkin dia main sama pacarnya yang tidak bisa dia menutup hidungnya. miliki.” “Jangan kausentuh!” “Benar juga,” dukung perempuan lain. “Mungkin “Dia tidak beracun. Tidak akan menularkan

152 153 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LETEH | Oka Rusmini penyakit pada kalian,” seru Mangku Siwi yang datang Dengan hening.” membawa air dan dupa. Tubuh perempuan itu “Otakmu memang kacau!” dipercikinya dengan air. “Jelas kacaulah. Sudah lama sekali tidak tidur sama “Ini pertanda apa lagi, Jero Mangku?” laki-laki.” “Kita rawat dia.” “Husss. Sudah. Kau ini kayak bisa basah saja “Sayang sekali dia perempuan,” celutuk seorang melihat gaya Mangku Siwi merapal mantra.” perempuan. “Kapan laki-laki datang ke desa ini? Aku Perempuan-perempuan itu terdiam. Mereka sudah hampir lupa bau tubuh laki-laki.” memang tidak dapat merasakan setetes pun nafsu birahi “Dasar gatal!” sahut perempuan lain. terhadap Mangku Siwi. Melihat gerak-gerik lelaki itu, Mereka tertawa cekikikan sambil memandang urat gairah seluruh perempuan di desa itu langsung Mangku Siwi. Lelaki itu tak peduli. Mulutnya komat- putus. Pupus. kamit. Tampaknya sedang merapal mantra. Mangku Siwi terlalu mencintai Kosmis. Otak dan “Mangku Siwi juga laki-laki,” bisik seorang hatinya hanya berisi manta-mantra. Semua yang perempuan. bergerak, segala yang berdetak, ditangkapnya sebagai “Maksudmu?” sasmita untuk kelanjutan hidup desanya. “Kenapa kita tidak giliran tidur sama dia saja?” “Namakan perempuan ini Ni Luh Wayan Arimbi. “Apa?!” Mandikan dia,” ujar Mangku Siwi datar. “Ssst. Tidak usah mendelik seperti itu. Tadi kau Perempuan-perempuan desa itu bergerak bilang sudah lupa bau laki-laki. Kenapa kita tidak coba menjalankan perintah sang pemangku sambil menahan mengingat kembali rasa tubuh laki-laki dengan tidur napas. Tubuh perempuan asing itu benar-benar berbau sama Mangku Siwi?” sangat busuk. Seluruh isi perut mereka terasa berontak “Gak sudi.” minta keluar. “Aku juga tidak!” sahut perempuan lain. Mereka memandikan Arimbi di sungai. Daki tebal “Mendingan menggosokkan tubuhku ke pohon pada tubuhnya dirontokkan dengan batu kali. Sekujur kecapi habis buang air. Lebih terasa.” badannya digosok dengan batu bata tumbuk supaya “Benar. Memangnya kau mau main sama lenyap segala korengnya. Setelah dikeramasi puluhan pemangku itu?” kali dengan bubuk merang, barulah rambut perempuan “Baru ide. Harus dipikirkan lebih matang lagi. itu menunjukkan warna aslinya. Hitam pekat.

154 155 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LETEH | Oka Rusmini

Para perempuan desa itu rajin melumuri tubuh menyelamatkan desa mereka dari ancaman kepunahan? Arimbi dengan beras tumbuk campur kunyit agar “Jero Mangku, bagaimana kelanjutan nasib desa kulitnya bersinar. Setiap pagi ia wajib meneguk ramuan kita?” demikian warga sering bertanya kepada sang asam untuk melancarkan peredaran darah di tubuhnya. tetua desa tentang hubungan antara Kobar dan Arimbi. Tepat satu bulan tujuh hari kemudian, Arimbi Dan yang ditanya selalu membisu. Mangku Siwi seperti seperti menjelma jadi perempuan baru. Pipinya merah. sengaja membiarkan warga terus bertanya. Terus Tubuhnya segar berisi. Matanya cerah. Parasnya berharap-harap cemas. bercahaya, mengingatkan pada Ken Dedes yang Kobar sendiri bukan tak tahuharapan warga memikat Ken Arok dengan cahaya yang meluap dari kepadanya. Tapi dia juga tak punya jawaban. Di dasar tubuhnya. Untuk pertama kalinya, ia tersenyum. hatinya, ia hanya bisa mencangkuli dirinya. Wujudku Dan di langit timur, matahari juga tersenyum. Para memang laki-laki, tapi aku tak punya gairah terhadap perempuan desa memejamkan mata, silau diterpa sinar perempuan.  matahari yang datang sesudah begitu lama menghilang. Mereka berharap Arimbi menikah dengan Kobar dan menyemaikan benih manusia baru, sebanyak- banyaknya, yang akan melanjutkan riwayat desa mereka. Sebagai ungkapan terima kasihnya kepada warga desa, Arimbi membantu Kobar berjualan di warung kopi. Ia segera menjadi primadona. Warung kopi Kobar menjadi laris. Kobar pun bisa menyumbangkan dana untuk pembangunan pura, jembatan dan berbagai fasilitas lain di desanya. Namun Kobar dan Arimbi belum juga membina rumah-tangga. Warga desa tak habis pikir. Bukankah Kobar pemuda yang tampan, badannya bagus, pujaan banyak gadis dari desa lain? Dan Arimbi bunga desa, incaran banyak lelaki? Tidakkah mereka ingin

156 157 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LINUWIH AROMA JARIK BARU | Anggun Prameswari Linuwih Aroma Jarik Baru

Anggun Prameswari Minggu, 19 April 2015

AULAH perempuan itu; perempuan yang bangun dari kematian. Entah untung atau buntung,K Tuhan mengembalikan ruhmu tak lama setelah mencabutnya paksa; seperti  menyentak gulma dari tanah, lalu menjejalkannya kembali sedemikian rupa. Seminggu sebelum kejadian itu, kau tengah berladang di sawah ibumu yang cuma sepetak. Hujan deras membuatmu kuyup. Karena awalnya memang kau tak sehat betul, hawa dingin dengan cepat membuat badanmu membara setiba di rumah. Bergelung jarik, kau mengigau tak keruan. Segala obat kau telan, tetap sia-sia. Tepat di malam purnama, hari ketujuh demammu, tiba-tiba tanganmu terulur ke udara, seakan menahan sesuatu. Apakah malaikat datang merenggut paksa jiwamu, tapi kau teguh memperjuangkannya?

158 159 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LINUWIH AROMA JARIK BARU | Anggun Prameswari

Samar kau ingat, air mata ibumu luruh saat melihatmu meregang nyawa. Tangisnya menyayat ke seluruh penjuru dusun. Tetangga berdatangan. Sebagian besar karena tak tega mendengar isak ibumu yang mendadak sebatang kara. Tubuhmu disemayamkan berselimut jarik baru bermotif kawung yang aroma lilinnya belum luntur. Doa para tamu dan tangis ibumu bersahut-sahutan; tak ada yang mau kalah. Lalu, di antara riuh itu, menyeruaklah suara batuk- batuk. Pertama lirih, lama-lama melantang. Tahu-tahu kau bangkit, membuat jantung mereka setengah terlontar lepas. Mulut-mulut menganga, persis ikan-ikan yang menggelepar. Kau yang bangun-bangun bingung—masih pening oleh aroma kain penutup jenazah—ditubruk peluk limbung ibumu. Sejak itu kau memiliki linuwih. Kemampuan “lebih” tiba-tiba dijatuhkan begitu saja dari langit. Kau bisa tahu siapa saja yang dijemput ajal. Pertanda itu menghampirimu dalam bentuk aroma jarik baru, yang bau lilinnya masih pekat. Persis bau pertama yang kau cium setelah bangun dari matimu. Awalnya samar serupa liukan tangan penari yang menuntunmu ke atas panggung. Mau tak mau kau mengikutinya. Jika aroma itu makin kuat, makan makin dekatlah kau pada si calon mayat. Maka selelah atau sesibuk apapun, bila aroma jarik baru mendatangimu, kau akan mencari sumbernya dan mengunjunginya untuk tanda penghormatan.

160 161 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LINUWIH AROMA JARIK BARU | Anggun Prameswari

Bukankah itu inti hidup? Perjalanan demi pencarian “Jarik selalu ada dalam siklus hidup orang Jawa,” yang mengantar pada kepulangan sesungguhnya? papar ibumu tanpa diminta. “Alas tidur bayi, gedongan, Hanya ibu yang tahu linuwih ini. Padanya kau kain basahan untuk mandi, semuanya memakai jarik. memberanikan diri bertanya kenapa kau dilimpahi Menikah nanti, kamu dan suamimu akan berkain jarik. linuwih aroma jarik baru. Kelak akan ada satu kematian Bahkan ketika meninggal, jarik kawung akan yang mengajarimu makna linuwih itu sendiri, begitu katanya menyelimutimu kembali ke alam suwung.” sambil melipat kain jarik yang baru dicuci. Ada yang membuatmu pilu saat ibu menyebutkan Ah, jarik selalu identik dengan ibu. Kain batik selalu kata suami. Namun kau belajar menyimpan gundah, membungkus tubuh mungilnya yang mirip ranting; karena itulah dada perempuan diciptakan. Ibu pun berkali-kali meliuk ditiup angin, tapi tak kunjung patah. melanjutkan mewiru jarik, yang kau ketahui di kemudian Suatu kali kau menjulurkan kepala di ambang kamar hari, dikenakan ibu di pesta pernikahan bapakmu ibu. Wanita itu bersimpuh. Hening dan tenang, dengan istri mudanya. tangannya mewiru selembar jarik. Dilipat-lipatnya “Kamu tahu kenapa bapak menghadiahi jarik ini?” pinggiran kain dengan telaten, rapi bertumpuk sama bisik ibu di tengah kerumunan tamu bapak. “Jarik lebar. Garis putih pada ujungnya tak ditekuk ke dalam. artinya aja gampang serik. Mengingatkan ibu tidak boleh “Temani ibu ngawiron jarik dari bapak. Cium bau iri pada apa-apa yang bukan milik.” malamnya, masih baru.” Ibu mengangsurkan kain itu Tersembul getir di nada ibu. Hatimu ikut teriris. padamu. Sepasang matamu merekam ibu yang berbalut jarik Kau menghirup pekat aroma lilin. Kaubayangkan melangkah hati-hati, tanpa terburu; menghampiri wajah bapak, tapi gagal. Bagaimana bisa mengingat kedua pengantin. orang yang kepulangannya nyenyai? Begitukah keinginan bapak terhadap jalan hidup “Ngawiron iku aja nganti kleru. Lipatannya harus kalian? Tidak iri dan berjalan lambat menghayati tiap sama. Jangan sampai keliru, apalagi merusak ketentuan yang dipilihkan, tanpa bisa menggugat? keseimbangan. Hidup tidak akan harmonis dan Dan di sanalah kau mencium aroma itu. Pekat lilin bahagia.” baru di lembar kain mori. Samar awalnya, kemudian Kau membatin, apa ibu bahagia? Selembar kain menguat di tiap langkahmu mendekat ke pelaminan batik dari bapak apa cukup mengisi kekosongan besar bapak. di hati ibu yang terlalu lama ditinggalkan? Bagimu, tidak. Kau tahu apa yang akan terjadi. Namun, kau

162 163 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LINUWIH AROMA JARIK BARU | Anggun Prameswari memilih diam. Bahkan ketika lelaki itu harus tewas di jarik yang tengah dirapikan. atas pelaminan, ditancap perutnya berkali-kali oleh “Mari ke kota, Bu. Membeli jarik baru,” begitu belati, karena amuk pemuda yang geram kekasihnya katamu tiba-tiba. “Ada sedikit uang. Aku ingin memberi dinikahi bapak, kau bergeming. Bukankah itu yang dia ibu hadiah.” telah tanamkan di hatimu dan ibu? Kepasrahan. Sejenak mata sayu ibu mencoba membacamu. Termasuk pasrah menghayati tangis ibu; Jantungmu berderap, siap merancang kebohongan berkelindan dengan ruap aroma jarik baru yang lainnya. Namun, ibu mengiyakan dan menyuruhmu perlahan memudar. menunggunya berganti baju. Jarik terbaik dikenakannya. Rambutnya digelung KETIKA pagi itu kau menghirup aroma yang rapi. Tak ada gincu atau bedak berlebihan. Dari rumah, sama, ada rasa tak enak yang luar biasa. Tak pernah kalian menyusuri setapak menuju jalan besar. Tak jauh sebelumnya, rasa takut menderamu seperti itu. Kau dari sana ada perempatan dengan pos menunggu menuju dapur, berusaha menenangkan diri dengan mobil angkutan menuju kota. Tak sedetik pun tangan segelas air. ibu lepas menggamit lenganmu. Dadamu sesak. Udara yang kau hirup beraroma tajam, mengiris hatimu lamat- Betapa rusuh benak dan isi dadamu; aroma jarik lamat. baru itu menguat saat ibu melintas di depanmu. Nyaris Ada keakraban yang tiba-tiba muncul. Sepanjang saja gelas di tangan meluncur jatuh, persis jantungmu perjalanan, ibu bercerita banyak, termasuk bagaimana yang mencelus. kau dulu nyaris tak berhasil dilahirkan. “Kau seperti baru melihat hantu,” ujar ibu berlalu “Ibu sudah ikhlas, tapi ibu tetap berjuang.” menuju kamar. Hatimu menghangat mendengarnya. Dua gelas air habis kau teguk untuk menutupi “Persis ketika kamu sempat mati. Ibu ikhlas.” kebohongan. Dalam kepalamu, segala bayang buruk Namun jika hal itu bisa dibalik, kau tak yakin apa berlesatan. Apa kau sanggup hidup membayangkan juga bisa ikhlas. hidup tanpa ibu? Sungguh, sepanjang kau memiliki “Yang sudah ditulis takdir, tak mungkin dicurangi.” linuwih ini, tak sekali pun terpikirkan ini. Kau curiga ibu mengintip isi pikiranmu. Selanjutnya, Tak tahan lagi, kau terobos pintu bilik kamar ibu. ibu tak berkata apa-apa lagi. Kalian hanya diam sampai Wanita itu menegakkan tubuh, menjauh dari tumpukan angkutan berhenti di depan pasar. Di sebuah kios,

164 165 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LINUWIH AROMA JARIK BARU | Anggun Prameswari seorang emak tambun berwajah lembap keringat dan Kata terakhir itu membuatmu bergidik. Pulang ke bertangan kemerincing gelang emas sepuhan mana? Tentu saja ke rumah yang telah kalian huni menyambut kalian. Ibumu meminta diambilkan bertahun-tahun. Bukan menuju keabadian. selembar batik kawung. Hatimu langsung terjun bebas. Saat menunggu angkutan ke dusun, di depanmu Emak tambun itu membentangkan lembar batik ada selembar daun tertiup angin. Kau genggam tangan motif kawung. Tak lagi bisa kau bedakan aroma linuwih ibu kuat-kuat. Kau takut ibu seperti daun itu; tahu- atau kain pilihan ibu. Dominan hitam dan cokelat tua tahu terbawa pergi. membuat pandanganmu sekejap menggelap. Bentuk- Saat angkutan menghampiri, kau hitung detik yang bentuk lonjong sama besar dengan garis tersisa. Sembari mendekap bungkusan berisi batik bersinggungan, mengingatkan pada lengkung kolang- kawung itu, ibu memiringkan kepala menyuruhmu lekas kaling dengan motif serupa keping uang sen kuno. naik. Batik kawung memang terkenal sebagai lurup—kau “Ayo, pulang,” ujar ibu tersenyum, seakan tahu ingat dulu kain inilah yang menutupi jasadmu. segala rahasia yang berimpitan di kepalamu. “Yang ini saja,” ujarnya mantap. Walau ragu, tetap saja kau naik. Kau pejamkan mata Kau tersenyum sekenanya, menutupi rasa gamam sambil terus menggenggam tangan ibu. Iya, Bu. Kita di dada. Ibu selalu tahu gundah apa di hatimu, binar pulang sekarang. Mobil itu melaju, sesekali berguncang riang di matamu, bahkan hela napasmu yang melintasi jalan bergelombang. Di luar, kau lihat langit mendadak lain. Kau adalah buku yang tak pernah gagal menggelap. Seakan apa yang kau punya di dada, tertular dibaca ibu. Namun, pernahkah kau bertanya, kematian ke semesta. Kau menatap wajah ibu sekali lagi. Matanya seperti apa yang diinginkan ibu? terpejam, damai sekali. Mungkin bungkusan jarik “Kenapa jarik kawung, Bu?” barunya memberikan ketenangan. Kau makin takut, “Apa seharusnya ibu pilih truntum atau sidomukti? kalau-kalau mata itu tak terbuka lagi. Memangnya sudah ada yang melamarmu?” Langit pecah jadi hujan. Jalan basah makin rawan. Seharusnya pipimu memerah. Mestinya kau salah Saat mobil berbelok di tikungan tajam, kau hendak tingkah. Namun, kau makin susah bernapas. Udara di mengingatkan sopir untuk hati-hati. Lelaki tua bertopi sekelilingmu dipenuhi aroma, yang untuk pertama lebar dan berkalung handuk itu menoleh sekilas. kalinya sejak memiliki linuwih itu, sangat kau benci. Namun, kau takkan lupa sorot di sudut matanya. Kelam “Bayarlah, lalu kita pulang,” ujar ibu. dan kosong. Kalian pernah jumpa, kau bisa merasakan

166 167 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JEMARI KIRI | Djenar Maesa Ayu itu. Mengingatkanmu pada hening alam suwung yang pernah kau kunjungi, di suatu masa. Kembali kau disergap sesuatu. Aroma itu. Jemari Kiri Tunggu! Ya, aku juga menciumnya. Bau lilin batik di kain yang masih baru. Makin lama makin kuat... 

Djenar Maesa Ayu Minggu, 26 April 2015

EBERAPA waktu setelah cincin itu melingkar di jari manis tangan kanannya, sulitB bagi Nayla untuk menggerakkan jari-jemari di tangan kirinya. Tiba-tiba seluruh jemari tangan kirinya layu. Sehingga mengerjakan apa pun ia terpaksa hanya menggunakan jari-jemari di tangan yang satu. Kesal sekali Nayla dibuatnya. Bukan hanya karena ia sudah tak mampu lagi mengerjakan hal-hal besar dengan keseluruhan jemari di kedua tangannya saja. Tapi membersihkan kotoran yang menempel di duburnya setelah buang air besar pun ia tidak bisa. Walaupun tangan kirinya bisa bergerak seperti biasa, tapi diam saja kelima jarinya. Telapak tangannya seolah cuma berfungsi sebagai penyanggah jari- jemari yang kesemuanya merunduk ke bawah. Semakin besar upaya Nayla untuk

168 169 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JEMARI KIRI | Djenar Maesa Ayu

mengguncangkan tangan kirinya, maka jejemari itu justru semakin terlihat lemah. Nayla sudah mencoba berbagai cara agar jari-jemari di tangan kirinya berfungsi normal kembali. Di luar tindakan yang dilakukannya sendiri, ia pun mencoba berbagai macam jenis terapi. Mulai dari dokter spesialis tulang, sampai cenayang. Mulai dari ahli nujum, sampai spesialis tusuk jarum. Tapi tetap saja jari-jemari di tangan kirinya tak berfungsi seperti biasanya. Bahkan tak jarang beberapa terapi mengakibatkan jari-jemari di tangan kirinya itu berubah dari ukuran yang semestinya. Membengkak mereka. Kadang sebentar, kadang cukup lama. Terapi yang harus dilakukan pun jadi ekstra. Membuat Nayla semakin putus asa.

NAYLA menatap jari-jemari tangan kirinya yang terkulai. Lalu dengan jari-jemari tangan kanannya ia belai. Pada saat itulah ia memerhatikan cincin di jari manis tangan kanannya. Cincin emas putih bertatahkan permata itu masih cantik terlihatnya. Tapi perasaannya tidak sama dengan ketika Nayla pertama kali melihatnya. Masih jelas di ingatan Nayla betapa rikuh pacarnya saat itu. Di sebuah restoran yang menghadap hamparan laut, pacarnya menggenggam kedua tangan Nayla dengan wajah bersemu. Diucapkannya satu kata demi kata dengan terbata-bata seperti orang yang lidahnya kelu. Tak berapa lama kemudian ia

170 171 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JEMARI KIRI | Djenar Maesa Ayu mengeluarkan cincin itu. Bahagia yang Nayla rasakan “Gausah ngikutin saya. Mending kamu beresin membuatnya tak lagi bisa mendengar saat mulutnya rumah sana!” mengucap “I do”. Langkah Nayla segera terhenti. Terasa sembilu Saat itu Nayla benar-benar sudah lupa pada apa mengerat lubuk hati. Dengan langkah gontai ia berbalik yang merisaukannya setiap hari. Saat itu Nayla benar- arah. Sambil telinganya terus merekam suara derit benar sudah lupa pada mimpi buruk yang tiap malam koper yang ditarik dari dalam lemari oleh suami yang selalu menghantui. Saat itu Nayla benar-benar sudah mulutnya belum juga berhenti mengeluarkan sumpah- lupa pada apa yang sangat ia hindari. Saat itu Nayla serapah. Tak berapa lama kemudian suaminya keluar benar-benar sudah lupa diri! kamar dengan menjinjing satu koper besar. Dan Segala petuah yang dulu orang tuanya katakan, secepat datangnya, secepat itu pulalah ia melangkah Nayla hiraukan. Segala logika yang tertanam di keluar. Meninggalkan Nayla yang hanya bisa menatap kepalanya, Nayla abaikan. Segala peristiwa di masa nanar. Menonjok hati Nayla hingga memar. lalunya, Nayla singkirkan. Cincin emas putih Andai dulu Nayla tidak silau karena cincin emas bertatahkan permata yang sudah tersemat di jari manis putih bertatahkan permata yang meringkuk manis di tangan kanannya bagaikan jendela yang terkuak lebar dalam kotak beludru warna merah muda, andai dulu menatap masa depan. Nayla tetap pada rencananya untuk tidak menikah selamanya, apakah hidupnya akan terasa jauh lebih baik? “NGELAMUN aja kerjanya setiap hari. Andai orangtuanya tidak melarang Nayla bercerita pada Perempuan ga ada gunanya sama sekali!” siapa-siapa tentang pelecehan seksual yang pernah Bukan karena Nayla sedemikian larut ke dalam dilakukan oleh guru sekolah dasarnya, lantas Nayla lamunanlah yang membuatnya tak sadar akan menceritakan kebenaran itu pada suaminya, apakah kedatangan suaminya. Tapi karena ia sudah terbiasa suaminya akan bisa menerima dengan baik? Bulu kuduk dengan ketidakhadiran suaminya di rumahlah Nayla bergidik. Teringat kedua mata suaminya di malam penyebabnya. Apalagi saat itu hari belum juga petang. pertama yang menatap Nayla dengan jijik. Kenapa suaminya sudah pulang? “Kalau saja perceraian bukan aib buat keluarga Nayla mengikuti langkah suaminya yang bergegas besar saya yang terpandang, sudah pasti saya ceraikan menuju kamar tidur. Tapi baru beberapa langkah, kamu, perempuan jalang!” suaminya sudah langsung menegur. Mulut Nayla serasa tercekat. Sekujur tubuhnya

172 173 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JEMARI KIRI | Djenar Maesa Ayu dingin bagaikan mayat. Apa yang selama ini ia takuti menimpa lantai batu. Darah bercucuran seperti anak akhirnya terjadi. Dan ternyata rasanya jauh lebih panah hujan. Mengubur jari-jemari kirinya yang menakutkan dari mimpi-mimpi buruk yang setiap berceceran. malam tak pernah berhenti menghantui. Bagaimana- “Nay, Nay, bangun, Nay!” pun, Nayla masih berusaha percaya bahwa itu semua Tubuh Nayla berguncang-guncang. Saat matanya tak terjadi. Ia berusaha percaya jika itu semua hanya terbuka, yang paling pertama dilihatnya adalah siluet mimpi. Ia pun berusaha menyubit dirinya dengan jari ibunya yang tengah membelakangi lampu di luar kamar tangan kiri. Dan pada saat itulah baru Nayla sadari jika yang menyala terang. jari-jemari tangan kirinya sudah tak bisa digerakkan “Nay, tenang, Nay. Kamu cuma mimpi buruk lagi. lagi. Ada ibu di sini.” Ibu membelai mesra rambut Nayla yang tak NAYLA kembali menatap cincin di jari manisnya. mengatakan sepatah pun kata. Ibu segera merebahkan Cincin emas putih bertatahkan permata itu tetap cantik tubuhnya di sebelah Nayla. Diciumnya kening Nayla terlihatnya. Tapi perasaannya tidak sama dengan ketika dengan mesra. Namun Nayla malah membuang muka Nayla pertama kali melihatnya. dan membalikkan tubuhnya. Tiba-tiba betapa ingin Nayla melepas cincin itu. “Besok kita ke dokter lagi ya, Nay.” Tapi bagaimana mampu jika jari-jemari tangan kirinya Nay tetap tak mengatakan sepatah pun kata. Tak terkulai layu? Dengan sabar Nayla mendorong cincin juga membalikkan tubuhnya. Tak juga melihat mata di jari manisnya dengan ibu jari tangan kanannya. Tapi ibunya yang sedang berkaca-kaca. Seperti matanya.  usahanya itu sia-sia belaka. Dan setiap kali ia gagal, semakin serasa gila Nayla dibuatnya. Ia guncang- guncangkan jari-jemari tangan kirinya yang layu. Dihantam-hantamkannya ke atas meja kayu. Tapi tetap saja tak ada reaksi. Jari-jemari tangan kirinya benar- benar sudah mati. Nayla pun segera berlari ke dapur untuk mengambil pisau lalu memotong jari-jemari tangan kirinya satu per satu. Betapa puasnya ia melihat jari-jemari itu jatuh

174 175 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BASA-BASI | Jujur Prananto Basa-Basi

Jujur Prananto Minggu, 03 Mei 2015

ESTINYA betul yang disebutkan dalam kamus bahasa Indonesia, bahwa basa- basiM mengandung pengertian adat sopan- santun atau pun tata-krama pergaulan, yang  pastinya memiliki konotasi maupun denotasi yang serba positif. Bukankah kata-kata sopan, santun, pergaulan yang tertata, memang sulit mengarahkan pikiran kita pada sesuatu yang negatif? Mestinya memang begitu. Namun bagi Jumardi, formula dua kata itu ternyata bermakna sebaliknya. Saat masuk ke telinga dia, yang lebih nyaring terdengar bukan kata basa-nya, tapi justru basi-nya, yang sungguh-sungguh mencitrakan sesuatu yang serba buruk. Nasi basi, sayur basi, susu basi... tak ada alamat yang lebih tepat bagi zat-zat itu selain dikirim ke dalam tong sampah. Lebih- lebih lagi: ucapan basi!

176 177 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BASA-BASI | Jujur Prananto

“Aku nggak mau datang!” seru Jumardi pada Ratih, istrinya, yang sudah selesai mandi dan siap berdandan. “Aku sudah memutuskan untuk tidak mau lagi memenuhi undangan bu Siska buat datang ke acara- acara di rumah dia! Apalagi kalau jelas-jelas itu acara keluarga.” “Kenapa???” “Aku sudah muak dengar omongan basa-basi!” Bu Siska, atasan Jumardi, direktur utama BUMN tempat Jumardi berkarier, memang gemar menyelenggarakan acara kumpul-kumpul di rumahnya yang megah di bilangan Jakarta Selatan. Sekali dalam sebulan sudah pasti ada arisan bagi para pejabat eselon dua dan satu. Di samping itu banyak pertemuan tidak rutin seperti pesta ulang-tahun enam putra-putri dan empat cucu bu Siska, seperti yang diselenggarakan malam ini. “Kamu ingat pesta ulang tahun anak keduanya bulan lalu? Ada cucunya yang main piano, kan? Nah menurut kamu main pianonya bagus apa nggak?” “Susah dong menilai bagus nggak-nya. Kan masih kecil.” “Permainan piano nggak ada hubungannya dengan umur pemainnya. Kamu nilai secara obyektif saja: bagus nggak permainan piano cucu bu Siska?” “Yaaaa... memang kelihatannya belum bisa main.” “Persis! Tapi apa komentar teman-teman waktu itu? Duh, pinter banget... Cucu ibu hebat sekali... Ntar

178 179 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BASA-BASI | Jujur Prananto kalau udah gede bikin konser tunggal deh... Halahh.” menjerit: emang gue pikirin!” “Ya masa bilang ’cucu ibu belum bisa main’. Nggak “Jadi serius nih nggak mau datang ke rumah bu mungkinlah.” Siska?” “Terus waktu bu Siska cerita soal anak SMA-nya “Nggak!” yang masuk ranking sepuluh besar. Semua pada Keesokan harinya Jumardi dihubungi sekretaris bu komentar, ’Oh pinter yaa... Hebat ya...’ Hebat Siska yang memintanya agar segera menghadap “ibu”. apanya??? Kalau jadi juara umum itu baru hebat!” Jumardi sempat menduga panggilan ini berkaitan “Memang kita harus ngasih komentar gimana kalau dengan ketidakhadirannya pada pesta ulang tahun anak bu Siska bercerita penuh rasa bangga? Masa kita diam bu Siska semalam, tapi lalu dibantahnya sendiri dengan saja.” berucap dalam hati, “Kalau memang benar begitu “Itu lebih bagus.” berarti kebangetan!” “Tapi tidak pantas.” Bu Siska menyambut pemunculan Jumardi dengan “Jadi demi kepantasan kita harus berbohong? senyum lebar sambil menyodorkan sekotak cokelat Membohongi bu Siska, membohongi anaknya, produksi Swiss. “Silakan dicoba. Ini oleh-oleh dari cucunya, membohongi diri kita sendiri...” Ninda, anak saya yang kuliah di Milan. Liburan summer “Jangan berpikir sejauh itulah.” tahun ini dia lagi malas ambil short course. Kangen “Kamu cuma sebulan sekali ketemu dia. Aku tiap sama siomay Bandung, katanya.” hari kerja! Hampir tiap hari aku mendengar orang-orang Jumardi mengangguk-angguk mengiyakan sambil berbasa-basi di hadapan bu Siska.” membuka bungkus cokelat dan mencicipinya. “Enak, “Kenapa di kantor masih harus berbasa-basi juga?” bu.” “Kamu tahu apa yang terjadi setiap meeting sama “Saya ingat pertama makan cokelat merek ini pas bu Siska? Minimal dua puluh menit pertama akan habis saya sama bapak berdua berlibur keliling Eropa lima sia-sia buat menyimak dia bercerita segala rupa tentang belas tahun yang lalu.” dirinya. Tentang tasnya yang dia beli di Paris, tentang “Mulai deh,” ucap Jumardi dalam hati. Untunglah pizza paling enak yang pernah dia makan di Milan, dugaan Jumardi kali ini meleset. Pembicaraan tentang tentang wajahnya yang baru dirawat di Singapore... Eropa hanya berlangsung kurang dari sepuluh menit, Dan para pendengarnya terpaksa mengangguk-angguk dan setelah itu—alhamdulillah—bu Siska sendiri seolah penuh rasa kagum, padahal dalam hati pada membelokkan subyek pembicaraan.

180 181 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BASA-BASI | Jujur Prananto

“Dik Jumardi dari Yogyakarta ya?” menurut saya paling pas untuk Anda. Bagaimana “Lebih tepatnya dari Kabupaten Gunung Kidul.” menurut Anda sendiri?” “Waktu SMA dulu tiap hari ke sekolah dari dusun “Eeee... atas nama loyalitas pada perusahaan, saya ke kota naik sepeda ya?” akan menerima penugasan apa pun yang diberikan ke Jumardi terperanjat. “Ibu tahu dari mana?” saya.” “Kemarin saya ketemu dengan pak Mukhtar, “Itu jawaban basa-basi. Tolong dik Jumardi jawab asisten menteri. Katanya satu sekolah sama dik Jumardi yang jujur!” di SMA. Dulu tinggalnya di Kotagede.” “Saya bersedia, bu.” “Oooh.. kenal sekali, bu.” “Waaah saya bangga sekali punya direktur muda SEBAGAI direktur pengawasan, Jumardi harus seperti Anda. Sejak awal saya sudah melihat Anda ini makin sering bertemu dengan bu Siska. Bertemu dalam memiliki kegigihan dan ketahanan mental di atas rata- rapat-rapat direksi maupun pertemuan empat mata di rata. Rupanya sudah terlatih sejak usia dini.” ruang kerjanya. Celakanya, dengan begitu ia harus Jumardi jadi tersipu. makin sering menyimak ocehan bu Siska tentang segala “Gigih, bermental kuat, punya rasa percaya diri hal yang bersifat pribadi. Dan otomatis ia harus makin yang tinggi, dan... ini yang nampaknya menjadi ciri sering pula berbasa-basi. paling khas dik Jumardi: tidak suka basa-basi.” “Sabar, bang,” Ratih selalu menasihati. “Aku yakin Jumardi terperanjat untuk kedua kalinya. Ia terpana kamu bisa mengatasi masalah yang sebetulnya sekaligus bertanya-tanya, apakah pembicaraan ini sederhana ini.” ujung-ujungnya akan bermuara ke masalah pesta “Apanya yang sederhana? Kamu harus tahu apa semalam. yang terjadi kalau aku sendirian menghadap bu Siska “Betul, dik?” di ruang kerjanya. Pernah terjadi dia tiba-tiba masuk Jumardi tergagap-gagap. “Betul apanya, bu?” ke toilet dan kemudian keluar mengenakan baju baru “Kalau Anda tidak suka basa-basi?” model kimono yang konon dia beli di Tokyo. Tolong “Eeee.. sepertinya memang begitu, bu.” kamu bayangkan: bu Siska dengan berat badan hampir “Berarti pilihan saya tidak salah mengusulkan ke seratus kilo mengenakan pakaian yang biasa dipakai pak Menteri agar nantinya Anda dipromosikan mengisi gadis-gadis Jepang yang super-langsing, dengan nada posisi direktur pengawasan, sebuah jabatan yang sangat serius bertanya, ’Bagus kan, saya pakai baju ini?’

182 183 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BASA-BASI | Jujur Prananto

Hampir saja aku jawab, ’Nggak, bu. Bajunya memang komentar dari para anggota grup: Sedaap... Enak sekali, bagus banget, tapi sama-sekali nggak cocok buat ibu!’” bu... Delicious... dan semacamnya. Setelah itu kiriman Untung aku ingat anak-anak kita masih kecil, masih foto apa saja dari bu Siska bisa muncul kapan saja: perlu banyak biaya buat menyelesaikan pendidikan suvenir kincir angin dari anak waktu berlibur ke sampai perguruan tinggi.Jadi dengan sangat terpaksa Belanda, gaun “murah banget” yang baru dibeli di aku jawab ’Bagus, bu’. bazaar di sebuah mal, lengkap dengan label harga Rp Begitulah dengan gaji yang naik hampir dua kali 600.000, sampai lembar ulangan matematika sang cucu lipat, berat badan Jumardi justru berangsur turun akibat yang mendapat nilai sembilan. (Yang terakhir ini stres berat. Sampai-sampai suatu hari dia membanting menuai banyak komentar, “Congrats, bu! Selamat!” , smartphone-nya hingga berantakan. “Cucu ibu hebat sekali...”, “Pintar seperti eyangnya...” “Kenapa lagi, bang?? Ada apa???” “Calon juara”... dan ucapan sanjungan lainnya). Jumardi pun bercerita, sudah hampir sebulan yang “Semuanya cuma basa-basi!!!” seru Jumardi dengan lalu bu Siska mengundang semua direktur, manajer dan suara menggigil. Tapi yang membuatnya paling gusar para staf ahli bergabung di chatting group Whatsapp ialah ketika bu Siska masuk rumah-sakit akibat yang dia buat. Bu Siska berharap dengan chatting group kelelahan setelah beberapa hari blusukan ke kantor- bisa terjalin komunikasi yang lebih cair di antara mereka. kantor cabang di beberapa kota. Puluhan ucapan pun “Untuk mengimbangi suasana kerja yang serba formal membanjiri chatting group. “Kami sekeluarga dan melelahkan, kita perlu mewujudkan suasana akrab senantiasa berdoa, semoga Tuhan segera memberikan dan penuh kekeluargaan di antara kita. Kalau selama kesembuhan bagi ibu...” berikut ucapan-ucapan serupa ini situasi itu hanya bisa terwujud lewat outing keluar yang bernada penuh simpati. kota yang hanya terselenggara setahun sekali, lewat “Kenapa kamu kesal? Kenapa harus marah?” tanya chatting group kita bisa tiap hari mewujudkannya.” Ratih. “Mendoakan orang yang sakit kan bagus.” Apa yang kemudian terjadi? Tiap pagi para “Bukan cuma bagus, tapi harus. Masalahnya, apakah anggota grup membaca ucapan “Selamat pagi” dari yang mereka ucapkan itu benar-benar mereka jalani? bu Siska, dan semuanya menjawab “Selamat pagi” pula. Apa pernah kegiatan berdoa untuk kesembuhan bu Berikutnya muncul kiriman foto hidangan sarapan di Siska itu benar-benar mereka lakukan, entah itu di rumah bu Siska, atau snack dan secangkir minuman rumah, di masjid, di gereja, di wihara atau di mana panas, yang akan direspons dengan munculnya berbagai pun mereka berada? Atau mereka sekadar mengetikkan

184 185 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BASA-BASI | Jujur Prananto kata-kata di keyboard smartphone dan memencet untuk merintis pendirian kantor cabang baru di tombol send untuk menyenang-nyenangkan bu Siska? Kabupaten Boven Digul, Papua. Jumardi menolak Aku yakin yang mereka lakukan basa-basi belaka!!!” tugas itu dan mengajukan permohonan pengunduran “Jangan suka curiga...” diri. Bu Siska memaklumi dan dengan berat hati “Mereka sendiri yang bicara.” melepas kepergian Jumardi. Rupanya, teman-teman sekantor Jumardi—yang “Anda orang hebat. Tapi sepertinya kurang cocok sebelumnya berlomba-lomba mengirimkan ucapan doa, untuk bekerja di Indonesia.” baru saja pada mengajaknya hangout ke kafe tertentu Berbekal surat referensi yang diberikan perusahaan, “mumpung bu Siska tidak ada” dan pada berharap” Jumardi diterima bekerja di sebuah oil company di mudah-mudahan dokter menyarankan bu Siska untuk Kanada. Kariernya melesat pesat dan dihargai sejajar beristirahat lama agar kita bisa beristirahat pula dengan tenaga ahli lokal, dan bahkan kemudian mendengarkan ocehan-ocehannya”. menempati jabatan tertentu yang sangat strategis. Setelah kekesalannya mereda, Jumari merakit Sekian tahun kemudian ia ditugaskan sebagai wakil smartphone-nya yang berantakan, menghidupkannya perusahaan untuk merintis kemungkinan lagi dan menjalankan prosedur leave group. pengembangan investasi di Indonesia. “Saya yakin misi Anda akan berhasil,” kata “KENAPA dik Jumardi keluar dari grup?” tanya pemimpin perusahaan. “Anda harus bertemu dengan bu Siska, pada hari pertama ia masuk kantor setelah Menteri Muda Urusan Penanaman Modal Asing yang beberapa hari dirawat di rumah-sakit. baru diangkat dan dilantik oleh presiden. Menurut info “Saya tidak tahan lagi terlalu banyak membaca yang saya terima, menteri baru ini kenal baik dengan ucapan basa-basi.” Anda.” “Ucapan mana yang Anda anggap basa-basi?” “Maaf saya tidak sempat mengikuti perkembangan Awalnya Jumardi terdiam, tapi akhirnya berita politik di Indonesia. Siapa nama menteri itu?” memutuskan untuk berterus-terang, bahwa segala puja- “Namanya Mrs. Siska Indrayati”. puji dan doa terhadap bu Siska dan keluarganya itu Bu Siska menerima kedatangan Jumardi di ruang semuanya basa-basi semata. Lama bu Siska terdiam, kerjanya, menyambutnya dengan senyum lebar dan lalu memejamkan matanya yang membasah. jabatan tangan yang sangat erat. Sebulan kemudian Jumardi mendapat tugas khusus “Dik Jumardi hebat sekali. Sebagai mantan atasan

186 187 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 FOKUS | Putu Wijaya

Anda saya merasa sangat berbangga.” “Terima kasih, bu.” Jumardi pun duduk dan mengedarkan pandang Fokus ke sekeliling ruangan yang dihiasi tujuh buah lukisan. “Ibu sekarang jadi penggemar lukisan, rupanya.” “Bagaimana menurut Anda lukisan-lukisan koleksi saya ini?” Putu Wijaya Jumardi terdiam sesaat dan mengamati satu demi Minggu, 10 Mei 2015 satu. Sebagai orang awam di bidang seni Jumardi merasa bahwa enam lukisan di dinding kiri dan kanan terkesan ‘matang’. Sayang justru satu lukisan yang ASUS pembegalan yang diungkap tv, ditempatkan langsung berhadapan dengan tempat seperti mengembalikan kita ke zaman duduk bu Siska terkesan acak-acakan. cerita-ceritaK yang sering digelar oleh teater “Enam yang ini menurut saya bagus.” rakyat,” kata seorang tetangga, membuka “Yang satu itu?” percakapan, di pertemuan rutin tahunan warga. Jumardi terdiam sesaat untuk menyusun kata-kata “Kita dibawa kembali ke masa ketika jalan- yang tepat. “Eeee...” jalan yang sepi dan gelap, menjadi angker. “Menurut saya yang satu itu yang paling istimewa, Karena bromocorah gentayangan. Tidak ada makanya saya tempatkan terpisah dengan yang lain,” polisi yang menjaga kenyamanan hidup warga. potong bu Siska, seolah tak sabar menanti penilaian Adanya hanya prajurit untuk berperang demi Jumardi. “Anda kenal kok dengan pelukisnya.” membela negara,” sambut tetangga yang lain. “Siapa, bu?” “Jadi keselamatan negara memang terjaga, “Rayhan, anak saya. Setelah lulus Senirupa ITB dia tapi keamanan rakyat tidak!” ambil S2 di Perancis. Sayasendiri tidak menyangka dia “Itu berarti kita sudah melangkah punya bakat seni yang luar biasa. Lukisannya bagus mundur,” sambut tetangga lain lagi. sekali dik, ya.” “Dan ironisnya, itu terjadi di tepi Jakarta! Jumardi menelan ludah. Tak kunjung menimpali Ibukota negara dan jendela ke mancanegara! ucapan bu Siska.  Bagaimana nanti pandangan dunia kepada

188 189 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 FOKUS | Putu Wijaya

kita? Pasti minat untuk invest di Indonesia berkurang drastis! Yang sudah ada pun bisa kabur!” “Betul! Banyak orang tidak ngeh, apa sebenarnya yang sedang terjadi. Akan kemana kita dibawa oleh globalisasi?” “Menurut paranormal, penasihat spiritual saya, yang baru pulang dari Afrika, dia bilang....” “Pak Jenggot?” “Betul.” “Wah paranormal berbobot itu! Ngapain beliau ke Afrika?” “Katanya akhir tahun lalu, yang namanya ’kebenaran’ ada di situ. Pak Jenggot mau mencegatnya, karena tidak ada skejulnya ke Jakarta. Jadi, Pak Jenggot mau mengkonfirmasikan praduganya pada tahun 2015 ini.” “Sudah?” “Belum sempat, karena ada satu dan lain hal yang memerlukan prioritas. Mendengar ada gesekan antara KPK dengan Polri, ia cepat-cepat pulang.” “Terkait masalah prioritas, apa eksekusi terpidana mati yang dihimbau beberapa suara, agar diberikan grasi, tidak dianggap prioritas?” “O, ya, itu juga sudah pasti termasuk dalam agendanya!” “Betul! Tapi kita sudah kebanyakan prioritas. Saya heran juga, gunung meletus, banjir, pesawat jatuh, gesek-gesekan, semua prioritas. Apalagi yang akan

190 191 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 FOKUS | Putu Wijaya menyusul besok, ya? Segalanya datang beruntun, Amat tersenyum, lalu tertawa, tapi tidak menjawab. sambung-menyambung. Baru selesai pemilu yang Malahan kemudian berdiri dan berjalan pulang. menegangkan, ada lagi, ada lagi yang lain. Yang untung Meninggalkan pertemuan. tv dapat berita panas terus. Iklan mengucur, kita “Semua ngaco. Tidak ada yang bener,” gerutu hancur!” Amat setelah sampai di rumah. “Ngomong seenak “O ya, maaf, rumah Pak Alit denger-denger kena perut saja. Asu tenan! Semua! Apa yang ada di perut, banjir?! Itu juga prioritas buat kita, sebab bisa merembet langsung disemburkan. Ngumpul-ngumpul memang ke rumah kita!” lebih banyak negatifnya! Pembicaraan ngalor-ngidul “Jelas! Rumah saya kan juga sudah mulai tidak pernah fokus! Hanya tambah mengacaukan, digerayangi. Itu gara-gara sungai yang di belakang kita mengapungkan persoalan. Itulah wajah kita sekarang!” itu, ditutup, jadi airnya meluap ke kita.” “Kita?” potong Bu Amat keluar dari kamar sambil “Kita harus protes itu!” menyodorkan lis sumbangan warga untuk perbaikan “Siapa yang berani? Ada rumah jenderal di situ! saluran air agar rumah Pak Alit bebas banjir. Mau dikarungin apa?” Amat melirik lis itu sinis. “Nanti dulu! Yang begal itu sebenarnya sudah “Dia yang kebanjiran, karena bandel tidak mau ditangkap habis belum? Ada yang ditembak mati kan?!” meninggikan lantai rumahnya, kenapa kita yang “Tembak mati saja kalau ketangkap, kata ibu dari ditodong menyumbang?” anak yang mati ketika pembegalan itu. Muka ibu itu “Karena banjir itu kalau dipelihara, bisa menular tenang tapi usulnya sadis!” ke rumah kita. Ini bukan masalah Pak Alit saja, tapi “Itu lumrah-lumrah saja. Kata orang, perempuan upaya demi kepentingan kita!” memang bisa lebih sadis dari lelaki!” “Itu kata Pak Alit, kan!” “Ya, itu perempuan yang Bapak kenal. Istri saya “Bukan! Itu keputusan rapat warga yang tidak mau tidak!” Bapak hadiri!” Semua ketawa berderai. “Karena tahu hasilnya begini!” “Ah sama saja! Cuma ada yang kelihatan, ada yang “Salah! Kalau Bapak datang, hasilnya akan lain! tidak. Kata orang wanita kan sebuah buku yang tidak Akan lain! Akan lain! Akan lain!!!” pernah habis dibaca!” Amat tercengang. “Betul, tidak, Pak Amat?” “Akan lain?”

192 193 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 FOKUS | Putu Wijaya

“Ya! Karena, jangan salah! Mereka sebetulnya Amat siap untuk memberikan fokus. Menjawab sangat segan, hormat, menghargai Bapak, yang kalau ada pertanyaan. Agar pertemuan itu bermakna. terhitung paling senior di hunian kita ini! Mereka yakin Tidak hanya sekadar menguruk sumur yang tanpa apa yang Bapak katakan pasti adil, waras dan betul. dasar. Tadi, apa yang Bapak katakan, tadi?” Lima jam Amat terpental-pental oleh berbagai usul, “Apa ya, di pertemuan tadi, semua orang opini, curhat, kabar-kabur dan segala macam berita ngomong, ngomong, ngomong terus, ngalor-ngidul, panas kutipan dari tv dan media massa lainnya. ngalor-ngidul, tidak ada fokus, sampai pertemuan Tengah malam Amat kembali ke rumah. Mukanya selesai. Tidak ada keputusan mau apa komunitas kita seperti penjudi yang terkuras habis. Wajah kuyu dan ke depan ini. Habis waktu untuk menggunjingkan kuyup oleh kecewa. politik!!” “Bagaimana hasilnya, Pak,” tanya Bu Amat sambil “Lho itu kan berarti semua orang mau memberikan memijit punggung suaminya. Amat menjawab kesal. masukan pada Bapak. Semua warga percaya Bapak “Sama saja. Cuma buang-buang waktu. Ramai akan memilihkan mereka fokus. Ada kan yang bertanya seperti pasar. Semua rebutan bicara. Tapi bukan tadi bagaimana pendapat Bapak? Ada, tidak?” mencari solusi buat hunian kita. Walhasil buntutnya “Ya, ada.” nol!” “Nah itu, mereka pasti minta fokus! Mereka “Bapak sempat ngomong?” menunggu fokus dari Bapak! Itu tandanya Bapak punya “Ngomong apa? Tidak ada fokus!” wibawa pemimpin. Makanya awas, jangan suka “Kenapa tidak difokuskan?!” membegal diri-sendiri. Jiwa kepemimpinanmu itu “Habis tidak ada yang nanya!” kelebihan, karunia dari Yang Maha Kuasa di atas situ! Bu Amat ketawa. Harus dijunjung tinggi! Paham?” “Lho bagaimana sih Bapak! Kalau melongo saja Amat bengong. ngapain ikut rapat!? Jangan tunggu sampai ada yang Di kesempatan berikutnya, Amat hadir lagi dengan nanya! Asal sudah ketemu celah, langsung saja diembat! kiat baru. Pasti mereka akan ikut. Jadi pemimpin itu, begitu! Harus Seperti sebelumnya, percakapan terlempar ke sana di depan mengambil inisiatif. Belok kanan, belok kiri, kemari. Dari soal turunnya harga bahan bakar, sampai melompat, kalau perlu mundur atau balik arah! fenomena ISIS. Pemimpin tidak boleh nunggu kesempatan! Justru

194 195 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 FOKUS | Putu Wijaya harus bikin kesempatan!” Sembari mengantuk ia menghibur. Amat tak menjawab. Karena terlalu ngantuk. Ia “Sudahlah, Pak, tak apa, kebesaran seorang tergelincir tidur. pemimpin, tidak hanya ditentukan oleh sukses dan Tapi dalam pertemuan warga berikutnya (karena keberhasilannya. Tetapi juga oleh segala kekalahan, belum juga ada keputusan), Amat mempraktekkan kegagalan dan kekecewaannya! Karena itu, pikir yang usulan istrinya. matang-matang. Mau jadi pemimpin atau rakyat biasa Sebelum sempat warga lain buka mulut, Amat saja?!” langsung ngoceh. Suaranya lantang dan jernih. “Ya sudah, jadi rakyat jelata saja.” “Saudara-saudara, jangan lupa, kita harus cari solusi Namun demikian, Amat tidak kapok. Ketika untuk melindungi anak-anak remaja kita dari ancaman diundang rapat lagi, ia datang dengan bersemangat. Ia narkoba dan pornografi lewat internet, sebelum nasi ikut rebutan buka mulut, dengan berbagai isyu panas jadi bubur!” dari tv dan media massa lain. Rapat jadi riuh dan galau. Tak ada yang menjawab. Dengan semangat berapi- Tapi hangat, ceria dan berhasil menelorkan keputusan. api, Amat terus menembaki kerawanan moral masa “Bagaimana, berhasil?” sambut Bu Amat menyapa kini, membentangkan teorinya sendiri, bagaimana suaminya yang pulang dengan wajah berseri-seri. caranya bilang “tidak”. Tapi peserta rapat tidak ada “Sip!” yang peduli. Mereka mulai ngobrol dengan teman- “Apa keputusannya?” teman di sebelahnya. Akhirnya Amat terpaksa “Terus menggelinding, mengalir seperti sungai.” menghentikan ceramahnya. “Maksudnya?” Hanya satu jam, pertemuan bubar. Tahun-tahun “Keputusannya singkat, padat dan tepat.” sebelumnya, pertemuan pernah baru berakhir subuh, “Apa?” itu pun juga belum tentu berhasil membuat keputusan. “Secara aklamasi rapat memutuskan: tidak perlu Amat yang terakhir meninggalkan ruangan. Ia ada keputusan!”  merasa, itulah hari yang paling menyebalkan, sepanjang sejarah rapat rutin warga yang sudah 5 tahun jalan itu. Singkat, menyebalkan dan kosong-melompong. Di rumah, Bu Amat terpaksa lembur memijit lagi. Bukan hanya pundak, tapi seluruh tubuh Amat.

196 197 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 HIDUP HANYA MENUNGGU PENGGOROKAN | A. Muttaqin Hidup Hanya Menunggu Penggorokan A. Muttaqin Minggu, 17 Mei 2015

DA semacam linuwih yang diturunkan Tuhan kepadaku, tapi justru sering membuatA aku gelagapan, yaitu kemampuan mengerti bahasa binatang.  Aku tak ingat pasti, kapan kemampuan ini kudapat. Yang kuingat, di suatu sore yang sejuk, ketika umurku masih bau kencur, seekor kelinci melompat dari gerumbul kembang lalu mengajak aku bicara dan ajaibnya, begitu saja aku mengerti bahasanya. Seperti dapat perkenan ilmu-tiban, sejak itu aku mengerti bahasa macam-macam binatang, termasuk bebek, ayam, merpati, sapi, kambing, kucing, kuda, bahkan kadal. Tapi jangan kau menyangka aku keturunan Sulaiman. Tidak. Tak ada potongan aku yang semprul ini keturunan nabi. Aku hanya keturunan dari kakek-buyut yang semua berprofesi sebagai

198 199 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 HIDUP HANYA MENUNGGU PENGGOROKAN | A. Muttaqin

tukang jagal. Sialnya, walau aku mengerti bahasa binatang tapi itu tidak membuat aku disegani para binatang seperti Tarzan. Sewaktu bocah, ketika aku masih suka diajak bapakku ke lokasi penjagalan, aku bahkan kerap dilanda ketakutan lantaran melihat prilaku terakhir para binatang itu. Setelah golok besar bapakku memutus dua urat leher binatang-binatang itu, macam-macam reaksinya: ada yang melotot, ada yang merintih, ada yang mengancam, ada yang mengumpat, ada yang mengutuk, namun kebanyakan berupa jerit ketakutan. Sebagai anak tukang jagal yang tersohor tidak hanya oleh orang kampungku tapi juga oleh mayoritas binatang piaraan di kampung itu, aku pernah dilabrak seekor kambing. Kambing betina itu, entah dapat bisikan dari setan mana, mengaku bahwa ia akan mati di tangan bapakku. Spontan kutonjok congor kambing itu. Kambing itu terjerungup, tapi tetap menyerbu aku dengan macam-macam makian. Ia bilang, minggu lalu pejantannya telah digorok bapakku dan dagingnya diecer sebagai sate. Perbuatan ini sungguh keji, kata kambing betina itu, sebab pejantannya adalah pejuang hak asasi para kambing. Entah ini betul atau tidak, aku tak tahu. Yang jelas, melihat cara pidato si kambing betina yang kelewat bersemangat, aku yakin ia bukan golongan kambing sembarangan. Pernah pula aku dilabrak seekor bebek jantan. Tampaknya, ia golongan bebek terpelajar. Bebek itu

200 201 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 HIDUP HANYA MENUNGGU PENGGOROKAN | A. Muttaqin menghadang langkahku pada suatu pagi sambil ini, si bebek kembali bergumam: “Hidup hanya memelintir sajak abang kita, Chairil Anwar: “Hidup menunda penggorokan.” hanya menunda penggorokan”. “Hai Bebek, kau tak usah sok membebek Chairil.” Merasa tak percaya dengan pendengaranku, lekas “Sebagai bebek tugasku memang membebek, aku tanya bebek itu sekali lagi: “Apa katamu?” Bung. Dan betul kata penyair tengik itu, hidup hanya “Hidup hanya menunda penggorokan.” menunda penggorokan.” “Maksudmu?” “Menunda kekalahan.” “Kau anak tukang jagal sama betul dengan “Tidak. Tidak, Bung. Kami para bebek tidak bisa bapakmu yang bebal.” dikalahkan. Kami hanya bisa digorok.” “Maksudmu?” “Maksudmu.” “Kami para binatang punya keistimewaan?” “Itu harfiah belaka, Bung. Kami hanya digorok “Maksudmu?” dan digorok.” “Kami tahu kapan dan bagaimana kami akan “Maksudmu?” mati.” “Ah, percuma ngomong sama, Bung.” “Maksudmu?” Kurasa bebek brengsek itu sudah menyepelekan “Semprul. Besok pagi leherku putus oleh golok aku, maka tanpa babibu kuayunkan kaki ke arah bapakmu.” bokongnya. Beruntung tendanganku hanya menyepak “Bapakku penjagal kakap. Ia hanya menjagal sapi, angin, sebab bebek itu ternyata terbang melipir ke pagar kerbau, kuda, atau paling remeh kambing. Bukan bebek depan rumahku. Aku buka pintu pagar itu dan si bebek macam kau.” melompat sambil kembali memekik: “Hidup hanya “Sudah kubilang, kami para binatang tahu kapan menunda penggorokan.” dan bagaimana kami mati. Ini keistimewaan kami yang Tiga hari setelah aku bertemu bebek itu, aku tersembunyi. Boleh-boleh saja kau tak percaya, bego!” bertandang ke pasar. Seperti biasa, jika tidak menggarap Aku terdiam. Memikirkan apa betul omelan bebek ini-itu, aku mendatangi ibuku yang tiap pagi berjualan ini, bahwa para binatang tahu kapan dan dengan cara daging segar. Aku berjalan ke kanan lalu belok ke kiri apa mereka mati. Ini sukar dipercaya. Tapi, bukankah kemudian ke kanan lagi, merunut lapak-lapak di pasar kambing betina yang menghadangku tempo hari juga itu. Tapi, sebelum sampai di lapak milik ibuku, aku berkata demikian. Sebelum aku mendapat jawaban atas dikejutkan suara kucing: “Hidup hanya menunda

202 203 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 HIDUP HANYA MENUNGGU PENGGOROKAN | A. Muttaqin penggorokan.” Terdengar beberapa perempuan menjerit. Mereka Aku tersentak. Kutatap kucing itu. Kucing itu juga mengira kucing itu berniat bunuh diri, tanpa tahu akulah menatapku. Aku melihat ke kiri dan ke kanan. Takut yang menendang kucing keparat itu. dianggap gendeng karena kepergok bicara sama kucing, Aku pun buru-buru menuju lapak ibuku. kuseret buntut kucing itu ke tempat sepi lalu aku tanya Di lapak itu, ibu tidak berjualan sendirian. Di lapak kenapa ia ikut-ikutan bebek, membebek Chairil Anwar. 3x4 meter itu, ia dibantu tetanggaku, Siti Tillis. “Dia bebek pintar,” kata kucing itu, “tepat benar Ketahuilah, Si Siti adalah gadis (sebetulnya perawan memelintir sajak Chairil untuk menggambarkan nasib tua) yang pemurung dan pendiam. Ibuku menyukainya kami.” (mungkin juga iba) sebab Siti Tillis tidak banyak omong “Taruhlah betul begitu,” kataku, “tapi kau kucing. walau kadang suka berlaku aneh. Mana mungkin kau digorok dan digoreng seperti Pernah ibu menyuruh Siti menimbang 10 kg daging bebek? Dan lagi, kalaulah bebek digorok dan dimakan, sapi. Ibu menyuruh Siti menimbang daging bagus itu puncak kemuliaannya sebagai binatang piaraan.” untuk pelanggannya yang mempunyai usaha rumah “Ah, sampean kayak tak tahu saja.” steak. Namun tanpa sepengetahuan ibuku, Siti “Astaga, kenapa para binatang suka bertele-tele. memasukkan gajih yang oleh ibu sudah dibuang ke To the point saja.” keranjang sampah. Tidak hanya itu. Waktu ibu sakit “Apa sampean tidak melek. Berjalanlah sepanjang dan memercayakan Siti Tillis berjualan sendirian, ia pasar. Tengok ke warung-warung. Plakatnya memang bahkan sangat semberono mencampur daging anjing menyebut ayam goreng atau bebek goreng. Tapi untuk penjual soto langganan ibu. Penjual soto yang minyak yang mendidih bisa membuat keajaiban. sudah hafal seluk-beluk tekstur daging itu tentu Apalagi ini zaman lidah manusia tidak lagi peka. Setelah menaruh curiga dan akhirnya membawa daging itu ke digoreng dan dicampur bumbu, siapa tahu yang mereka laboratorium setempat. makan adalah daging kucing, anjing, tikus, bahkan Terang saja si penjual soto melabrak ibu, keesokan daging babi.” harinya. Setelah dilabrak tukang soto, ibu langsung Apa boleh buat. Belum tuntas si kucing pulang dan melabrak bapak. Ibu memaki-maki bapak, berkhutbah, kutendang ia keras-keras. Tubuh kucing karena mengira bapaklah yang curang dan mencampur itu menghantam lapak merah muda yang menjual aneka daging sapi dengan daging anjing. Sebagai penjagal BH, celana dalam dan kosmetik khusus perempuan. kakap, bapak balik melabrak ibu. Setelah diusut dengan

204 205 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MEY TAK PERNAH BISA MENULIS CERITA INI | Ahda Imran seksama, barulah mereka tahu bahwa biang keroknya adalah Siti Tillis. Kendati demikian, ibu tak melabrak Siti. Ibu hanya menegur dengan halus dan berjanji akan Mey Tak Pernah Bisa Menulis menaikkan upah Siti jika ia bekerja dengan betul. Setelah menikung tiga kali dan berjalan sekitar Cerita Ini sebelas lapak, aku sampai di depan lapak milik ibu. Di situ, orang-orang berkerumun dengan suara ribut. Ahda Imran Beberapa perempuan menjerit. Beberapa lagi memaki. Minggu, 24 Mei 2015 Dan, ketika aku berhasil menerobos kerumunan, aku hampir mati berdiri melihat tubuh ibuku tersungkur ke tumpukan daging sapi. Dari lehernya, darah masih ETIKA Mey memulai cerita ini dengan sesekali mengucur. Sementara di pojok lapak, aku lihat adegan orang mati yang mendatangi Siti Tillis meringkuk gemetar. Ia hampir modar dihajar istanaK presiden, tiba-tiba saja Bapak muncul orang-orang di pasar. dalam kepala Mey. Menghadang dan menyeret Seperti kena teluh aku dekati jenazah ibu. orang mati itu keluar sebelum mencapai Seekor kucing yang kutendang tadi tiba-tiba gerbang istana, memasukkan tubuh yang penuh nyelonong dari bawah meja dan melompati jenazah bekas penyiksaan itu ke dalam drum, menutup ibu-walau dilompati kucing itu tubuh ibu tetap tergeletak drum dengan cara mengelas, memberinya kaku. pemberat, membuangnya ke laut. Melihat jenazah ibu, aku ingat binatang-binatang Tak ada yang bisa dilakukan Mey, selain yang digorok bapakku. Dalam kejang menyambut membayangkan bahwa ia tak bisa lagi sakaratul maut, mereka masih sempat memelintir sajak menemukan orang mati itu sepanjang hari Chairil Anwar: “Hidup hanya menunda penggorokan”, berdiri di bawah pepohonan, di tepi jalan, dan mengejang kuat sekali sebelum akhirnya betul-betul memandang lurus ke arah Istana Presiden. mati.  Yang tinggal hanya sebatang pohon itu, tumbuh bersama ingatan Mey pada orang mati dan peristiwa kematiannya. Tidak, bukan sebatang pohon. Kau tahu bukan, ada banyak

206 207 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MEY TAK PERNAH BISA MENULIS CERITA INI | Ahda Imran

lagi pohon serupa itu, tumbuh di tepi jalan, di seberang Istana Presiden. Dalam bayangan Mey pohon-pohon itu memiliki batang dan dahan yang hitamnya menyerupai arang. Jika hujan turun, air di sleuruh pepohonan itu menjadi merah, menetes atau bergelayutan di daun dan dahannya. Bila kau melewatinya tempias datang dari arah pepohonan itu, kau akan terkejut menemukan pakaianmu dipenuhi percik darah. Bapak mustahil tidak mengetahui hubungan Mey dengan pohon itu. Tetapi, Bapak membiarkan pohon itu tetap tumbuh sekaligus mengawasi pertumbuhan- nya, memangkasnya jika ranting dan dahan-dahannya sudah kelewat rimbun. Bapak tak pernah berpikir untuk menebangnya. Dan itu sengaja dilakukan Bapak untuk menyakiti ingatan Mey. Kau tahu bukan, Bapak tak pernah berubah. Sejak kecil Mey menemukan Bapak sebagai orang yang pandai bersiasat, bukan hanya mengawasi tetapi juga menciptakan ingatan bagi Mey, Adik, dan Ibu. Bahkan Bapak bisa menciptakan ingatan dari sebatang pohon tomat. Ini pernah terjadi ketika Bapak membunuh kucing kesayangan Mey dan Adik. Seorang pembantu diam-diam memberitahu bahwa ia melihat Bapak mengubur kucing itu hidup-hidup di halaman samping rumah, meski cerita Bapak kucing itu, mati tertabrak truk sewaktu lari ke jalan. Mey menduga Bapak melakukannya bukan hanya

208 209 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MEY TAK PERNAH BISA MENULIS CERITA INI | Ahda Imran karena Si Meong, kucing itu, sering berak di dalam Meong. Dan itu telah cukup membuat Adik menjerit- rumah sehingga beberapa kali tahinya terinjak Bapak, jerit... tetapi ia memang tidak menyukai Mey dan Adik terlalu Ibu dan Bapak lalu bertengkar. Ibu akhirnya menyayangi kucing itu. Atau, mungkin ada sebab lain membiarkan Bapak terus berteriak-teriak dari loteng. yang Mey tidak tahu. Yang terang, Bapak hanya Mey dan Adik tak mengerti apa yang dikatakan Bapak. mengatakan bahwa ia sudah mengubur kucing itu dan Mey ketakutan sambil memeluk Adik, memandang Ibu menanam sebatang pohon tomat di atasnya. yang mengambil parang, menebang dan membuang Mey dan Adik mememandang pohon tomat itu, pohon tomat itu bersama semua buahnya. Bapak tumbuh di atas kubur kucing kesayangan mereka. berdiri di teras loteng. Semakin tumbuh besar, pohon tomat itu semakin Sebulan setelah itu Bapak membawa seekor anjing menghubungkan ingatan Mey dan Adik dengan Si untuk Mey dan Adik. Anjing kampung warna hitam Meong, sehingga pernah Adik bercerita bahwa ia dengan airnya liur yang selalu menetes. Entah dari mana ditertawakan teman-temannya karena mengatakan Bapak mendapatkan binatang yang kelihatan tak kucingnya berubah jadi pohon tomat. terurus itu. Walau tak terbiasa dengan anjing, Mey dan Ketika pohon tomat itu berbuah lebat, Mey dan Adik akhirnya merasa senang juga bermain dengan Adik membiarkan tomat-tomat bergelantungan di binatang itu. Bapak lalu memberi nama anjing itu batang pohonnya dengan indah. Ibu lalu memasang “Fao”. “Nama yang pantas untuk seekor anjing, kayu penyangga agar di dahan pohon itu tidak rubuh bukan?” kata Bapak pada Ibu, Mey dan Adik setuju, karena digelantungi oleh buah-buahnya. Suatu hari ibu hanya diam. Bapak memetik buah-buah tomat itu, lalu dengan Kesenangan Mey dan adik bermain dengan anjing sengaja memakannya bulat-bulat di depan Mey dan itu tidak pernah membuat Bapak marah. Bapak selalu Adik. Bapak menggigit dan mengunyah tomat besar tertawa senang setiap kali melihat anjing itu menyalak- dari pohon yang akarnya menghisap sari makanan dari nyalak dan mendekat jika namanya dipanggil. Ia tertawa tubuh Si Meong dengan lahap, perlahan, sambil keras dan terdengar berlebihan. Saat itu Adik berpikir memandang ke arah Mey dan Adik dengan wajah Bapak ternyata lebih senang mereka memelihara anjing puas. Mey dan Adik terpaku ngeri melihat air tomat ketimbang kucing, Mey setuju dengan pikiran Adik. itu berleleran dari mulut Bapak, menetesi pakaiannya, Malah Bapak sering menyuruh Mey atau Adik bening sedikit kemerahan seperti cairan tubuh Si menggoda Ibu dengan membawa Fao ke dekatnya.

210 211 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MEY TAK PERNAH BISA MENULIS CERITA INI | Ahda Imran

Mereka senang sekali melihat Ibu bersikap serba salah di mana kafe itu berada, ia melihat garis-garis hujan dan tergesa menjauh pergi, menutup pintu kamar. Mey yang melayang berjatuhan, deras seperti jutaan anak dan Adik menduga mungkin Ibu memang tidak suka panah. pada anjing seperti Bapak tidak menyukai kucing. Setelah pelayan itu menghilang, Mey memanggil Sampai suatu kali ketika Mey dan Adik melakukannya pelayan yang lain, memesan menu yang lain, sambil lagi, wajah serta suara Ibu membuat kedua anak itu mengatakan agar pelayan sebelumnya tidak perlu terdiam, kaget, takut. “Tanyakan pada dia, mengapa membawa kembali makanannya tadi. “Sebaiknya dia tidak sejak dulu dia menguburku hidup-hidup!” Mey membawakan saya segelas air putih daripada membawa dan Adik merasa tidak sedang berhadapan dengan Ibu. lagi makanan yang sudah terkena irisan tomat itu,” Dan di kemudian hari barulah Bapak mengatakan kata Mey. pada Mey dengan puas mengapa ia dulu memberi nama Irisan-irisan tomat itu telah menghubungkan Mey “Fao” pada anjing itu. “Fao adalah nama lelaki yang dengan Bapak. Seseorang yang sejak kecil Mey tak pernah menjadi kekasih gelap Ibumu!” pernah mengenalnya melebihi segala ingatan buruk Mey ingin menceritakan hal itu pada Adik, tetapi tentang loteng. Loteng yang pelan-pelan mengubah Mey tidak tahu di mana adik lelakinya itu berada, Bapak menjadi sesuatu yang tak pernah dikenali, selalu bahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Diam-diam mengirimkan bisikan-bisikan yang menakutkan. Bisikan Mey merasa Bapak sudah melakukan sesuatu yang yang menjadi amarah ketika ia ditentang sebagaimana buruk pada Adik. Bapak memang selalu menganggap Mey selalu mengingatnya, ketika tiba-tiba rumah Adik suka menghasut, merongrong, bahkan berani dipenuhi api. Dalam kobaran api Mey melihat tubuh menentang Bapak. Mey bertambah cemas ketika suatu Ibu hangus terbakar, di tengah suara Bapak yang hari Bapak menanam sebatang pohon tomat di tertawa sambil menyeret dan menindih tubuh Mey. halaman samping rumah. Mey menatap halaman kosong layar laptopnya, Mey memanggil pelayan, memintanya membawa setelah tadi ia menghapus alinea pertama cerita ini. kembali pesanannya yang baru datang untuk Orang mati itu dicegat Bapak sebelum mencapai menyingkirkan irisan-irisan tomat dari makanannya. gerbang Istana Presiden. Kau pasti paham benar, Mey melarikan pandangan ke luar sewaktu pelayan Bapak mustahil membiarkan seseorang menghidupkan mengangkat piring makanan berisi irisan tomat itu dari kembali orang mati itu meski Mey hanya ingin meja. Di luar, dari ketinggian tingkat sebuah gedung menuliskannya dalam suatu cerita. Mey hanya boleh

212 213 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MEY TAK PERNAH BISA MENULIS CERITA INI | Ahda Imran memiliki masa lalu sebagaimana Bapak menginginkan- Di luar hujan telah reda dan pelayan di kafe itu nya sebab masa lalu hanya milik Bapak. Untuk Mey, hafal benar kebiasaan Mey; menutup laptopnya, Bapak hanya memberi masa lalu berupa ingatan meminta segelas air putih lagi, memandang ke luar, lalu tentang orang-orang mati dan seorang anak. Anak meminta bill. “Ceritanya sudah selesai, Tante?” Begitu perempuan yang lahir tanpa lidah. selalu pelayan bertanya meski ia sudah tahu jawaban Semestinya Mey hidup dengan masa depan di kota Mey, “Besok, besok, Tante akan datang lagi, sedikit yang lain. Mey bukan tidak tahu bahwa itulah yang lagi ceritanya selesai.” Hari itu Mey mengucapkannya juga diinginkan Bapak agar ia pergi dan melupakan dengan suara perlahan. kota itu, satu-satunya cara untuk keluar dari ingatan Mey tidak menuju basement mengambil mobilnya. yang dikuasai Bapak. Mey hanya tersenyum setiap kali Ia terus berjalan menuju sebatang pohon yang tumbuh pikiran itu muncul, seakan ingatan itu berupa lorong di tepi jalan, di seberang Istana Presiden. Pohon tempat yang terputus ketika kau memasuki kota yang lain. Mey orang mati itu berdiri menatap Istana Presiden. Hanya tahu bahwa sebenarnya ia diam-diam sedang pohon itu yang tersisa sebagai ingatan Mey karena menentang Bapak, bertahan di kota itu untuk Bapak selalu menyembunyikan orang mati itu di dasar menerima semua ingatan tentang masa lalu, untuk laut, juga orang-orang mati lainnya. Dan ketika kau merebutnya dari Bapak. sampai di kalimat terakhir sebuah cerita yang tak Tetapi, nyatanya Mey harus menghapus adegan pernah bisa ditulis oleh Mey, Mey sedang berdiri di dalam alinea pertama cerita ini. Mey tak bisa merebut bawah pohon itu, memandang dan berjalan ke arah ingatan itu dari Bapak. Ia tak berani berbuat apa pun, Istana Presiden. Lalu Bapak...  membiarkan Bapak menyingkirkan orang mati itu ke dasar laut yang paling gelap sebelum mencapai gerbang Istana Presiden. Selama belasan tahun, setiap sore Mey mendatangi kafe itu untuk menulis cerita ini dengan alinea pertama yang selalu dihapusnya kembali dan ditulisnya kembali di hari berikutnya, lalu berjam-jam ia hanya memandangi halaman kosong laptopnya dengan tangan yang terkulai lemas. Bapak selalu muncul dari arah yang tak terduga dalam ingatan Mey.

214 215 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 HAKIM SARMIN | Agus Noor Hakim Sarmin

Agus Noor Minggu, 31 Mei 2015

EADILAN memang lebih mudah didapatkan di luar pengadilan, batin HakimK Sarmin saat memandang perempuan yang duduk di kursi terdakwa itu. Selama  persidangan perempuan itu hanya membisu, seolah yakin bahwa apa pun yang dikatakan tak akan membuatnya mendapatkan keadilan. Umurnya 36 tahun, berkulit langsat dan terlihat menjadi semakin bersih dengan kemeja warna lembut yang dikenakan. Rambutnya agak ikal panjang sebahu. Bibir, pipi dan alisnya yang tanpa riasan seolah tak tersentuh dosa. Hanya matanya yang gelap keruh, seperti biji salak lisut, tapi dengan sorot tajam, membuat siapa pun yang menatapnya akan cepat-cepat mencari cara untuk menghindar. Mata seperti itu tak hanya misterius, tapi juga pintar menyimpan rahasia. Siapa pun tak akan

216 217 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 HAKIM SARMIN | Agus Noor

menyangka ia membunuh lima lelaki, setelah menyimpan dendamnya begitu lama. Pembunuhan itu begitu rapi, dengan detail rencana yang nyaris sempurna, berlangsung selama dua tahun, dari pembunuhan lelaki pertama sampai lelaki kelima. Lelaki pertama mati dengan leher terjerat kawat. Lelaki kedua mati disiram bensin dan dibakar. Lelaki ketiga mati dengan wajah pucat ketakutan: lidah dan kedua telinganya dipotong, sementara kemaluannya hancur dihantam lonjoran besi. Lelaki keempat mati dengan kepala remuk. Dan mayat lelaki kelima ditemukan terpotong-potong dalam kantong plastik hitam yang dibuang ke selokan. Serangkaian pembunuhan itu mungkin akan selamanya tak terungkap, bila bukan karena sesuatu yang tak diduga-duga. Seseorang menemukan dompet yang terjatuh di jalan, dan menyerahkannya ke kantor polisi. Di dompet itu ada KTP dan satu foto lelaki yang kemudian dikenali polisi sebagai orang yang oleh keluarganya dilaporkan telah hilang sejak setahun lewat. KTP itu membawa polisi ke alamat perempuan itu, dan ketika menelisik lebih jauh, ditemukan lima potret lelaki di album foto yang disimpan perempuan itu di laci lemari kamarnya. Lalu polisi tahu, kelima lelaki tersebut sudah tewas. Banyak memang kasus-kasus pembunuhan akhirnya terbongkar karena hal-hal yang sepele. Dari foto-foto itulah kemudian polisi bisa membuktikan kalau perempuan itu memang sudah

218 219 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 HAKIM SARMIN | Agus Noor lama merencanakan membunuh lima lelaki itu. Lima penegakan hukum, begitu koran dan televisi menyebut lelaki yang telah memperkosanya. keputusannya. Hakim kini lebih lucu dari pelawak, Perempuan itu tak banyak bicara, sejak polisi komentar lainnya. menangkap dan menginterogasi. Dan hanya diam Itu pelajaran terpenting baginya selama 22 tahun membisu selama persidangan, membuat senewen jaksa menjadi hakim. yang terus mencecarnya. Dalam kebisuannya ia seakan Kini Hakim Sarmin mesti memutuskan hukuman ingin menegaskan: dendam adalah jalan terbaik untuk perempuan itu. Sidang berlangsung tertutup, tapi mendapatkan keadilan. Dan hukum yang buruk Hakim Sarmin tahu, di luar sana puluhan wartawan membuat orang lebih percaya pada dendam. Bertahun- menunggu dan siap menyambar apa yang tahun menjadi hakim, Hakim Sarmin bisa mengenali diputuskannya. Pemberitaan media seringkali lebih keteguhan seorang terdakwa dari sorot matanya. Mata kejam dari hasil akhir persidangan. perempuan itu mata yang tak lagi takut pada apa pun, “Saudari terdakwa, apakah Saudari dalam keadaan bahkan pada kematian. Kematian memang tak lagi sehat?” menakutkan bagi mereka yang menuntut keadilan. Perempuan itu tetap diam. Hakim Sarmin telah menangani bermacam perkara “Apakah Saudari ingin menjawab apa yang berat, tapi ini akan menjadi yang terberat dalam dikatakan jaksa?” Hakim Sarmin bertanya dengan suara karirnya. Ia pernah mengalami tekanan ketika pelan, tapi menekan. Seringkali ia menikmati saat-saat menangani kasus korupsi seorang Jenderal polisi seperti ini, ketika para terdakwa dengan tatapan pasrah bintang tiga. Pada mulanya, ia merasa bangga karena menyerahkan nasib kepadanya. Tapi perempuan itu dipercaya menjadi hakim yang menyidangkan Jenderal tetap bergeming. polisi. Ia merasa, itu adalah lompatan terbesar dalam “Apakah Saudari akan membantah, bahwa Saudari karirnya. Sampai kemudian ia menyadari, ia ternyata melakukan semua pembunuhan itu?” hanya dikorbankan; karena seperti Tuhan yang bekerja Mata perempuan itu makin menatap tajam. dengan cara rahasia, dalam hukum ada tangan-tangan Dalam persidangan pembela telah menjelaskan tak terlihat yang bisa mengatur hasil akhir perkara. semuanya. Peristiwa pemerkosaan itu terjadi enam belas Nyaris setiap hari ia menjadi bahan ledekan dan lelucon tahun lalu, saat perempuan itu berumur dua puluh di koran dan televisi ketika ia membebaskan Jenderal tahunan. Malam itu ia pulang kerja naik angkot. Ada itu dari semua tuntutan. Lelucon terbesar dalam dua lelaki di angkot itu yang membuatnya gelisah. Ia

220 221 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 HAKIM SARMIN | Agus Noor ingin turun segera, tetapi angkot malah melaju makin pembela, para pelaku akan melupakan, sementara cepat dan tiba-tiba berbelok keluar jalan yang korban menanggung penderitaannya seumur hidup. seharusnya dilewati. Ia melawan sekuat tenaga ketika Hakim Sarmin menarik napas dalam-dalam ketika dua lelaki itu menyekapnya. Angkot berhenti di perempuan itu terus menatapnya. Mata yang menuntut pinggiran sawah, dan ia diseret ke sebuah rumah. Telah keadilan memang selalu menggelisahkan. Pernah Hakim menunggu beberapa lelaki di rumah itu. Malam itu Sarmin mengadili seorang nenek berumur 70 tahun menjadi malam paling celaka yang tak pernah ingin yang mencuri sebungkus biskuit di minimarket. Selama diingatnya, tetapi terus menghantui sepanjang persidangan nenek itu terus menangis dan mengiba, hidupnya. Ia memendamnya. Apalagi ketika ia tahu, meratap dan bahkan bersujud minta ampun. Ia salah seorang pemerkosanya anak seorang politisi. Ia terpaksa mencuri biskuit itu untuk cucunya yang masih mengenali wajahnya dari poster-poster yang banyak bayi dan sudah dua hari tak makan. Hakim Sarmin terpasang di jalanan saat kampanye pemilu. selalu teringat pada mata tak berdaya nenek tua itu Ia tahu, ketakutan hanya akan membuat hidupnya ketika akhirnya ia menvonis dua tahun penjara. makin tak berdaya. Dendam yang tak diselesaikan Beberapa bulan kemudian Hakim Sarmin adalah dendam yang menyedihkan. Seperti kesabaran, mendengar nenek tua itu mati karena sakit di penjara. dendam juga punya batas. Lalu mulailah ia Lalu pada suatu malam almarhum ibunya muncul dalam merencanakan semua pembunuhan itu. Bertahun- mimpinya. Hakim Sarmin melihat bayangan ibunya tahun ia merencanakannya dengan sabar, menunggu berdiri di bawah pohon besar hitam penuh ular melilit saat terbaik. Pembunuhan pertama selalu menjadi cabang-cabang yang bagai tangan terulur menjulur pembunuhan yang tersulit. Ia mesti berjuang keras hendak mencekik. Makin lama pohon itu makin mengatasi ketakutannya. Dendam memang selalu membesar, dan ibunya menjelma bidadari bersayap membutuhkan keberanian. Tapi kemudian ia berhasil cahaya yang gemerlapan. Ibunya terlihat menggandeng melewati ketakutan itu. Baginya rasa takut tak lebih nenek tua itu. “Lihatlah, anakku,” kata ibunya. Hakim mengerikan dari maut. Dari lelaki pertama yang Sarmin menyaksikan pohon besar penuh ular itu dibunuhnya itulah ia bisa tahu nama-nama pemerkosa bergemuruh seolah dihantam angin puyuh. Sementara lainnya. Pembela berkali-kali menegaskan bahwa apa nenek tua yang digandeng ibunya memandangi Hakim yang dialami perempuan itu mesti menjadi Sarmin, sampai Hakim Sarmin menyadari bila mata pertimbangan. Dalam kasus pemerkosaan, tegas nenek itu hanya hitam serupa kepompong. “Jika kau

222 223 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 HAKIM SARMIN | Agus Noor tak bisa melihat kebenaran, suatu hari kebenaran akan akan terlihat pucat ketika ia melihat bayangan hitam mengambil matamu.” bersayap yang berdiri di pojok belakang ruang sidang. Ibu Hakim Sarmin meninggal dunia ketika Hakim Kedua alis Hakim Sarmin yang lebat tampak melorot Sarmin masih kanak-kanak. Sebelum meninggal ibunya ketika ia menyipitkan matanya. Hakim Sarmin gemetar. pernah bercerita sembari dengan lembut mengusap Keadilan tak akan pernah terpuaskan oleh dendam, kepala Sarmin yang berbaring di pangkuan. “Tahukah karena itulah hukum diperlukan. Hakim Sarmin tahu kau, Sarmin anakku, ketika seseorang mendekati ajalnya, apa yang harus ia putuskan. Jaksa menuntut penjara akan muncul bidadari. Bila semasa hidupnya orang itu seumur hidup. Tapi ia akan menvonis mati perempuan penuh kebaikan, bidadari itu akan tersenyum dan itu. Tuhan mengetahui semua kebenaran, tapi di membawanya ke surga. Tapi bila orang itu jahat, maka pengadilan, hakimlah yang menentukan. Hakim Sarmin bidadari akan mengambil matanya hingga dalam tahu, ia pasti akan kembali diolok-olok karena kematian orang itu hanya merasakan kegelapan.” Dalam keputusannya ini. Tapi hukuman mati untuk mimpinya itu, Hakim Sarmin hanya bisa terpana ketika perempuan itu ia anggap yang terbaik. ibunya mencabut kedua matanya dan memberikan Hakim Sarmin bisa memahami dan menerima kepada nenek tua itu. Seketika Hakim Sarmin disergap semua argumen hukum dalam tuntutan jaksa. Tapi kegelapan, dan ia mendengar ibunya berkata, “Yang Hakim Sarmin tahu persis, ada yang salah dan tak membahagiakan seorang ibu hanyalah perbuatan baik pernah terungkap dalam persidangan. Jaksa dan anak-anaknya...” Hakim Sarmin melihat nenek tua yang pembela mengatakan bahwa perempuan itu diperkosa mengenakan matanya. Tapi ia tak lagi mengenali lima lelaki. Itu keliru. Bukan lima. Tapi enam. Hakim matanya sendiri itu. Sarmin tahu persis, karena ia ada di sana ketika Kini dalam pandangan Hakim Sarmin, perempuan peristiwa itu terjadi...  yang duduk di kursi terdakwa seperti mengenakan mata nenek tua itu. Mata yang menuntut keadilan! (Cerita buat Budi Darma) Ruangan terasa gerah padahal berpenyejuk udara. Hakim Sarmin mengusap ujung lengan toga pelan- pelan, sekadar mengalihkan kegelisahannya. Hakim Sarmin tak bisa menyembunyikan gemetar di rahangnya yang kekar. Bila kulitnya tak hitam kusam, pasti kini ia

224 225 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEBOTOL HUJAN UNTUK SAPARDI | Joko Pinurbo Sebotol Hujan untuk Sapardi

Joko Pinurbo Minggu, 07 Juni 2015

AYA jatuh cinta pada puisi gara-gara pada suatu malam, sebelum tidur, membaca seuntaiS kata dalam sebuah sajak Sapardi Djoko Damono: “masih terdengar sampai di sini  dukaMu abadi”. Waktu itu saya masih duduk di kelas 2 SMA dan belum punya cita-cita. Kata-kata itu terus menggema dalam kepala saya dan membuat saya semakin suka bersendiri bersama puisi. Sempat terbetik keinginan untuk ikut-ikutan menjadi penyair, tapi menurut sahabat dekat saya, kepala saya kurang abnormal untuk mendukung keinginan saya. “Lebih baik jadi teman penyair saja,” ujarnya dan saya mengiyakannya. Saya gemar mengoleksi buku puisi. Bila ada buku puisi yang hilang, saya akan mencarinya lagi di toko buku sampai ketemu. Pernah seorang teman meminjam buku puisi yang baru

226 227 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEBOTOL HUJAN UNTUK SAPARDI | Joko Pinurbo

saya beli dan belum sempat saya buka. Diam-diam buku puisi itu ia berikan kepada pacarnya sebagai hadiah ulang tahun. Kepada banyak orang, teman saya itu sering mengungkapkan rasa bangganya karena berkat hadiah buku puisi darinyalah pacarnya tumbuh menjadi seorang pengusaha kata yang sukses dan kaya. Saya sendiri, sekian tahun setelah malam yang diguncang puisi itu, sudah menjadi seorang karyawan yang mapan di sebuah perusahaan di Jakarta dan saya tetap belum mengerti apa sebenarnya cita-cita saya. Kecintaan saya terhadap puisi masih terpelihara dengan baik. Di tengah kesibukan saya yang tiada habisnya, saya masih bisa mencuri waktu untuk menghadiri berbagai acara pembacaan puisi, minta tanda tangan dan berfoto bersama penyair-penyair kesayangan saya. Kadang saya membantu penyair-penyair dari daerah mencari tempat untuk sekadar numpang tidur dan mandi. Ada satu impian lama yang ingin segera saya wujudkan: berfoto bersama Sapardi dan minta tanda tangannya. Sebenarnya saya pernah punya kesempatan bagus untuk berkenalan dengannya. Dalam sebuah acara pesta puisi Sapardi lewat persis di depan saya. Ia mengenakan kaos oblong putih bertuliskan “Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma”. Keren sekali. Sayang, dalam sekejap ia sudah diserbu oleh para penggemarnya dan saya tidak kebagian waktu. Selain itu, saya masih ragu untuk mendekat dan berhadapan

228 229 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEBOTOL HUJAN UNTUK SAPARDI | Joko Pinurbo dengannya. Saya takut ditanya, “Anda siapa ya?” Dan antara tanah dan hujan. Tanpa sempat mengucapkan saya bukan siapa-siapa. sepatah kata pun, saya balik badan dan pulang. Malam itu, sepulang dari lembur di kantor, saya Dalam perjalanan pulang saya menemukan sebuah sempatkan berbicara dengan diri saya sendiri. Dalam amplop berisi sepotong senja tergeletak di dekat tiang naungan hangat kopi, saya membaca tulisan Seno listrik. Pastilah itu sepotong senja yang dikirim Seno Gumira Ajidarma: “Alangkah mengerikannya menjadi untuk seseorang yang sangat merindukannya. Burung tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi yang diminta untuk mengantarkannya ke tujuan kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, agaknya kemalaman, kemudian menjatuhkannya begitu tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan saja di tengah kemacetan jalan. Saya ambil amplop itu, kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir saya selipkan di saku baju. Sesampai saya di rumah, dengan pensiun tidak seberapa.” saku baju saya belepotan oleh cairan berwarna kuning Asu! Kepala saya langsung menggigil. Saya kemerah-merahan. Senja yang luntur. Senja orang- memerlukan miras (minuman waras) atau obat orang Jakarta. “Itu bukan senjaku,” kata Seno yang penenang untuk menghadapi bayangan kengerian saat itu ternyata sedang tidak berada di dunia nyata. menjadi tua di Jakarta. Saat itu juga saya mengontak Saya ceritakan kepada Subagus perihal kedatangan teman saya, Subagus, yang kenal baik dengan Sapardi. saya ke rumah Sapardi seraya minta tolong lagi Saya minta tolong Subagus untuk mencarikan dicarikan kesempatan kedua untuk berjumpa kesempatan bertemu dengan Sapardi dan Subagus dengannya dan Subagus menyanggupi. Tidak lupa saya menyanggupi. berpesan, “Cari tahu jam yang paling tepat untuk Pada hari yang telah disepakati oleh Subagus dan bertemu beliau ya, Su.” Memperhatikan gaya bicara Sapardi, hujan mengantar saya ke rumah penyair kurus Subagus yang terkesan kurang serius, diam-diam saya itu. Saya lihat Sapardi sedang duduk khidmat di beranda mencium ada sesuatu yang tidak beres. Namun saya mendengarkan suara hujan. Ia khusyuk sekali tidak mau berprasangka. memperhatikan hujan menerpa daun bugenvil dan Gelap baru saja datang ketika saya tiba di tempat daun bugenvil bergerak-gerak memukul-mukul jendela. kediaman Sapardi. Rumahnya kelihatan sepi dan gelap. Ia tidak menyadari kedatangan saya dan saya tidak Saya ketuk-ketuk pintunya dengan sopan. Setelah ingin mengusik kesendirian dan kesunyiannya. Saya diketuk-ketuk tiga kali, pintu terbuka. Dari balik pintu membayangkan ia sedang tersihir oleh hubungan gaib muncullah Tuan Sapardi. Tanpa ba-bi-bu ia melepaskan

230 231 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEBOTOL HUJAN UNTUK SAPARDI | Joko Pinurbo kata-kata: “Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya mana terdapat sebuah kolam kecil yang jernih airnya. sedang keluar.” Pintu segera ditutup. Saya terperangah Kami duduk di tepi kolam. Kami bercermin pada dan terpana, lalu balik badan dan pulang. kolam. Melalui air kolam saya dapat melihat dengan Dua kali gagal tidak membuat saya menyerah dan jelas sosok penyair hujan itu: di dalam tubuhnya yang kehilangan akal. Tanpa sepengetahuan Subagus, saya tampak ringkih terdapat daya yang lebih. mempersiapkan kesempatan ketiga. Untuk usaha ketiga Sapardi mengenakan sarung dan kaos oblong putih ini, saya akan datang menjumpai Sapardi tanpa janji bertuliskan “Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dan pemberitahuan terlebih dulu. Saya akan memilih dirayakan dengan secangkir kopi”. Keren sekali. sebuah hari yang istimewa. Saya akan menjumpainya Rupanya dia habis nonton film “Filosofi Kopi”. Dan dengan cara yang jitu, yang akan membuatnya tidak ia menghidangkan kopi seraya berkata, “Seno dan bisa menghindari saya. Subagus juga barusan ngopi-ngopi sini.” Kopi saya Saya siapkan semua buku kumpulan puisi Sapardi terima dengan takzim. Saya dan kopi tidak bertengkar yang saya punya untuk saya mintakan tanda tangan tentang siapa di antara kami yang lebih haus. Kopi penyairnya. Saya siapkan pula sebuah bingkisan dan saya tidak bertengkar tentang siapa di antara kami sederhana sebagai tanda terima kasih saya karena sajak- yang lebih pahit. sajaknya telah berhasil menjebloskan saya ke dunia kata- Saya buka tas gendong saya, saya keluarkan kata yang mengacak-acak ruang dan waktu. Saya sejumlah buku puisi Sapardi untuk ditandatangani oleh merasa sudah siap mental untuk menemuinya lagi. Saya penyairnya. Setelah itu kami berfoto berdua. Sah. tidak tahu apakah dia juga siap mental. Sempurna. Dan saat itu pun tiba. Saya datang ke rumahnya Hari itu Sapardi genap berusia 75 tahun. Saya ambil malam hari. Saya ketuk-ketuk pintu rumahnya dengan sebuah bingkisan dari dalam tas. Saya ulurkan padanya lembut. Setelah saya ketuk-ketuk tiga kali, pintu terbuka. sebuah botol besar berisi hujan bercampur senja. Ia Dari balik pintu muncullah Tuan Sapardi. Saya langsung mengucapkan terima kasih. Ia tempelkan botol itu di menembaknya: “Tuan Tuhan, bukan? Tunggu di luar, telinganya. Ia berbinar-binar mendengarkan suara hujan saya sedang berdoa sebentar.” di dalam botol. Hujan yang hangat dan jingga oleh Ia tertawa tergelak-gelak dengan nada suara yang senja. tak terlukiskan indahnya. Ia mempersilakan saya masuk, Ia bangkit berdiri. Dikocok-kocoknya botol hujan lalu membimbing saya menuju halaman belakang di itu berulang kali. Tutup botol tiba-tiba terlepas dan

232 233 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SURAT NURLAN DAULAY KEPADA JUNJUNGAN JIWANYA | Martin Aleida menyemburlah air berwarna jingga. Menyembur tinggi ke udara. Saya masih mendongak takjub ketika semburan air berwarna jingga sudah lenyap tak Surat Nurlan Daulay Kepada berbekas. Sapardi menepuk punggung saya. “Lihat!” katanya sambil jari tangannya menunjuk ke arah kolam. Junjungan Jiwanya Saya lihat di atas kolam sudah ada sekuntum bunga berwarna jingga. Saya tidak tahu bunga apa namanya. Martin Aleida Cahaya bulan memenuhi kolam, membuat bunga jingga Minggu, 14 Juni 2015 itu tampak kian menyala. Kami terdiam beberapa lama. Hening malam membekukan bahasa. Dengan suara pelan dan dalam Sapardi berkata, “Yang fana adalah AS, sesungguhnya aku ingin tak henti- waktu. Kita abadi.”  hentinya menulis kepadamu, tetapi kalaupunL yang ini menjadi penutup tumpukan surat-surat kita sejak lima puluh tahun lalu, maka ia akan kuterima sebagai takdir. Suka atau tidak, segala sesuatu ada akhirnya. Juga pertalian antara kau dan aku. Bila kutengok ke belakang, surat-surat kita yang balas-berbalas itu telah melampaui kodratnya sendiri sebagai muara tempat kita melabuhkan perasaan. Dia membebaskan... Ketika aku digelandang keluar kamp, mereka yang berkuasa, berselempang bedil, tidak menjelaskan—dan memang aku tak peduli— mengapa aku dipulangkan. Sementara ratusan kawanku digiring ke penjara, dan sebagian besar dilemparkan, disiksa, mati, di pulau pembuangan. Dijadikan budak kerja paksa

234 235 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SURAT NURLAN DAULAY KEPADA JUNJUNGAN JIWANYA | Martin Aleida

untuk membangun pulau yang nyaris tiga kali lebih besar dari Bali, di timur sana, hanya dengan tangan kosong. Dan, tanpa alat seprimitif macam apa pun, mereka telah menyulap Buru menjadi swasembada beras. Tragisnya, bukan mereka yang menikmati hasil, melainkan tentara yang mengawal dengan todongan senjata. Sulit aku untuk tidak sampai pada kesimpulan bahwa kata-kata kita, yang saling bersambut di dalam surat-surat yang mereka sita dari kantongku itu, telah membalikkan anggapan mereka mengenai diriku. Ah..., si anak cengeng yang romantis. Bagai merpati yang sedang giring. Ditahan lebih lama hanya akan menjadi beban. Begitulah kira-kira pikiran mereka. Kebodohan mereka juga, barangkali, yang menduga bahwa aku sesungguhnya adalah calon penghuni surga, setelah mereka menyimak surat warisan yang ditulis ayahku, manakala beliau bersama emak bersiap-siap mengarungi lautan, yang acapkali menelan korban, untuk mencium tangga rumah Tuhan di jazirah Arab. Ketika namaku dipanggil untuk dibebaskan, sempat juga kecurigaan menyesakkan dadaku. Jangan- jangan aku akan dijadikan cecunguk. Tukang tunjuk. Seperti Burhan, Sartono, Djibal. Tapi, siapalagi yang belum mereka ringkus? Timpas sudah kaumku yang terhina “sampai ke akar-akarnya!” Tak ada yang tersisa, walau keraknya sekalipun. Tak terhitung berapa kali, dengan menyeret sandal jepit, aku berjalan menyusuri rel kereta api dari rumah pemondokanku di Ancol

236 237 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SURAT NURLAN DAULAY KEPADA JUNJUNGAN JIWANYA | Martin Aleida sampai Bekasi, Tambun, kalau-kalau bertemu kawan. sebesek lagi sore hari, kujamin dalam setengah tahun Tapi, tak sebatang hidung pun! Kecuali lalat langau yang aku mati tinggal tulang. Tahanan yang menerima uang terbang dari timbunan sampah dan sebentar-sebentar sekadarnya, saat besuk, yang dijulurkan istri atau sanak- mengerubungi kepalaku. saudara dari celah kawat berduri, bisa membeli bahan Tanpa kawan, kebebasan hanyalah penjara besar makanan dari tukang sayur yang lewat. dalam bentuk lain dengan tembok-tembok khayali yang Retak tangan tak menunjukkan nasib. Mujur, aku menyiksa. Sesakit-sakitnya di dalam kamp, ada bisa diterima oleh kelompok riungan yang terdiri dari kemewahan komunal dari orang-orang yang memuja beberapa tahanan. Jangan tertawakan aku, Las. Orang kekayaan batin di sana: kesetiakawanan. Aku boleh mengatakan aku terlalu muda untuk ditahan. menemukan kebebasan ini hanya menawarkan Sayang untuk tidak ditaksir gadis-gadis. Tubuhku kehampaan. Mungkin ini bagian dari taktik militer untuk bertenaga. Di dalam bui, semua itu tak ada gunanya. melumatkan pikiranku, tekad hidupku. Sama seperti Aku tak punya apa-apa. Modalku cuma satu: aku bisa teror yang mereka tonjokkan dengan menjebloskan menanak nasi tak berkerak di kaleng mentega. Itu tukang copet, tukang santet, pencuri kambing, dan artinya aku bisa membuat kawan-kawan riunganku bajingan-bajingan kecil ke tengah-tengah kami para menghemat paling tidak dua loyang nasi dalam sehari. tahanan. Sama melecehkannya seperti interogator yang Sekali waktu, pada jam besuk, namaku diteriakkan. bertanya kepada penyair Hr. Bandaharo, apa Ada seorang gadis, manis, yang mengunjungiku, pekerjaannya. “Pengarang,” jawab si penyair. “Sehari membawa sekeranjang bekal. Aku tertanya-tanya di dapat berapa karung arang?” ejek si tukang siksa. dalam hati. Siapa gerangan? Kakakku dari kampung? Pinjamkanlah kupingmu kepadaku, tidak untuk “Terima saja, Bung... Jangan tanya,” bisik seseorang kupagut lagi, dan lagi, tapi untuk kubisiki. Dengarlah, menghampiriku. Kutandai dia dulunya adalah pegawai Las. Ingin kuceritakan bagaimana solidaritas dimuliakan tinggi kementerian pendidikan. Dengan gadis itu aku di dalam kamp kami, tapi kumohon kau, wahai bertukar senyum. Kuucapkan terima kasih, dan dia junjungan jiwaku, janganlah cemburu. Aku seorang diri berpaling, untuk selamanya. Selamanya. di tanah Jawa ini. Tak ada yang menengok. Surat-surat kita itu, Las. Surat-surat itu untunglah Kamp itu dikelilingi kawat berduri. Kalau hanya tidak membangkitkan rentetan pertanyaan yang bisa mengandalkan jatah sebesek dua kepal nasi campur berakhir dengan siksaan. Di setiap pojoknya tertulis, kacang-panjang berbelatung pada waktu siang, dan di antara dua tanda kutip, “SER”. Dengan tatapan

238 239 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SURAT NURLAN DAULAY KEPADA JUNJUNGAN JIWANYA | Martin Aleida mata yang tajam menyelidik, interogator menyidik apa ingatan itu. Betapa manis, betapa getir pun ia. Karena artinya? Kukuatkan hatiku, kutatap balik matanya kita adalah korban. Bukan seperti kekuasaan yang dengan gentar, dan kubilang bahwa itu adalah kode ingin—dan sudah—menggerus semua tanda-tanda kasih-sayang di antara aku dan kekasihku. Dia kejahatannya. Sementara sejarah kita, kenangan kawan- kelihatannya yakin. Kalau dia terus mendesak dan kawan kita, akan mengepung mereka senantiasa. mengancam dengan kejutan listrik, atau kaki meja yang Kemarin, aku ke Bank Indonesia. Bukan yang akan digencetkan ke jempol kakiku, apakah aku kuat berdiri anggun di Jalan Thamrin, tetapi yang di bagian bertahan untuk tidak menyerah dan mengatakan belakangnya, yang menghadap Jalan Budi Kemuliaan. bahwa itu adalah singkatan “Semangat Elang Rajawali” Aku menahan napas. Menginjakkan kakiku kuat-kuat. yang kita kutip dari pidato Soekarno. Bahwa saling- Di situ sudah tak ada Komando Distrik Militer 0501, mengasihi di antara kita, akan kita pertahankan dengan markas Operasi Kalong untuk membinasakan orang- semangat burung semberani, yang tidak hanya kuat orang yang harus ditumpas habis, sebagai balasan menadah terjangan badai, tetapi juga mampu terhadap para jenderal yang diculik dan dibunuh oleh mengalahkannya. Semboyan itu juga ditemukan si satu gerakan militer yang hanya berumur beberapa jam. interogator di pojok selampai yang kau berikan Kekerasan berdarah dengan bedil yang dikokang, kepadaku. Syukur, dia tak bertanya lagi. Surat-surat itu, maupun golok dan pedang kampung yang ditebaskan, selampai itu, tidak mengkhianat. Tidak! Dan, tahulah membuat negeri ini malu di depan sebuah peradaban. aku, cinta tak terkalahkan. Jika ia sejati. Aku layangkan pandanganku menyeberangi Jalan Las, Budi Kemuliaan. Jalan dari mana, dulu, ibu-ibu hamil Aku bahagia, sama melambungnya perasaanku yang baru pulang dari rumah sakit bersalin di ujung seperti ketika untuk pertama kali kau membalas tatapan sana, sering, dengan mencuri-curi, melambaikan tangan, mataku, jari kita saling bertemu, manakala aku tahu paling tidak kerlingan simpati, kepada kami para kau masih menyimpan surat-surat kita itu. Surat wasiat tahanan. Kamp konsentrasi bergelung kawat berduri ayahku itu. Selampai putih itu. Kau simpan baik-baik, sudah tak ada di situ. Kutarik napasku, kuinjakkan seperti kau menjaga hatimu sendiri. Mereka adalah kakiku kuat-kuat. Sakitnya hatiku, Las. Begitu mudahnya pertanda zaman yang telah kita lalui selama setengah kekuasaan menghilangkan jejak kezalimannya.Di situ, abad. Kita akan terus memelihara kenangan itu. Karena sekarang, dengan pongahnya berdiri gedung Indosat. kau, aku juga, tidak punya rasa takut untuk menyimpan Aku masuk ke ruangan tamu. Berada di dalam

240 241 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SURAT NURLAN DAULAY KEPADA JUNJUNGAN JIWANYA | Martin Aleida ruangan itu terasa seperti terkurung di kardus raksasa Butet, yang baru berusia dua bulan, masih merah... yang terbuat dari pualam. Terang keemasan. Aku tegak Dapur ini cuma selangkah dari kamar interogasi. Dan persis di tengah-tengah, mengamati sekeliling. saban malam istri Njoto itu, juga anak-anaknya, “Mau ketemu siapa?” tanya seseorang berpakaian dibangunkan jerit dan rintih pesakitan yang disiksa serba hijau. dengan rupa-rupa cara. Kau juga, Las, kau disekap di “Nyaman. Nikmat sekali berada di sini. Tidak situ, digaruk bersama Bulikmu yang dituduh aktivis seperti lima puluh tahun yang lalu,” jawabku sekenanya, Gerwani. Pedih hatiku, ingin rasanya aku membalas, memperteguh pijakan kakiku. Sebelum petugas itu karena ketika kita sudah berumahtangga, kau ceritakan melanjutkan pertanyaan, cepat kubilang: “Maaf, saya bahwa kau sering dipanggil tengah malam untuk tidak ingin bertemu sesiapa. Hanya ingin minta izin. mengepel darah yang berceceran di lantai ruangan Bolehkah saya berdiri barang sesaat di pekarangan itu?” interogasi. Dan .., dan.., kau bilang.., kau katakan.., kau Dia menoleh ke arah telunjukku, ke pekarangan dengan pernah gemetaran, berdoa gemelatuk, memohon dalam hamparan rumput hijau. Petugas itu menganggukkan hati, karena kau percaya pada kekuatan doa, Ya Allah, dagunya dan aku melangkah ke luar. lenturkanlah hati komandan Operasi Kalong itu, si Di bawah terik matahari aku mencari-cari di mana Kapten Suroso, untuk tidak melecehkanmu, kamar mandi Komando Distrik Militer 0501 itu dulu. memperkosamu... Padahal, dia yang minum berbotol- Masih terang dalam ingatanku, di situ pemimpin redaksi botol bir untuk mematikan perasaan, sudah meraih Harian Rakyat, MulaNaibaho, disiksa dengan kejutan tanganmu, mendudukkanmu di pangkuannya. listrik. Disuruh buka baju, dan belakangnya hancur Di manakah letak bekas dapur dan kamar mandi digerus ekor pari kering. Teman dekat Cornel itu di halaman yang terhampar begitu mewah? Aku Simanjuntak itu tidak menjerit kesakitan. Dia hanya berdiri tepat di jantung batu yang menjadi pusat sebuah menggelatuk. Disuruh masuk bak kamar mandi. Dia lingkaran besar. Kurenggangkan kakiku. Kutancapkan dicemplungkan ke situ dengan darah yang terus tapak kaki sekokoh-kokohnya. Di sini dapur dan kamar meleleh di punggungnya. Dikeluarkan dari bak mandi, mandi jahanam itu, kataku meyakinkan langit. “Pak, lantas dengan bentakan dia dipaksa menghabiskan saya hanya menjalankan perintah. Tak boleh berdiri di sepiring sambal merah. situ,” sekonyong-konyong petugas yang mengenakan Di mana pula dapur yang dijadikan tempat stelan hijau-hijau tadi menghalauku. kurungan untuk Tarni dan lima anaknya, termasuk si

242 243 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PERKENALKAN, NAMAKU GERIMIS | Yanusa Nugroho

Las, Orang itu, siapa pun, bisa mengusirku, namun tak mungkin membungkam kenanganku. Juga ingatanmu. Perkenalkan, Namaku Gerimis... Tidak! Sampai sini dulu, Las. Tertumpang pelukanku yang lama, selalu, Nurlan Daulay.  Yanusa Nugroho Minggu, 21 Juni 2015

Begitulah suara yang tiba-tiba muncul, di suatu sore musim kering.

IA terhenyak di antara sunyi yang mengepungnya. Begitu saja, perempuan mudaD itu datang dan berucap salam kepadanya. Tiba-tiba saja, dia seperti terdesak dan terpaksa masuk ke sebuah dunia yang selalu disebutnya sebagai kenangan. Kenangan, di manakah sebenarnya tempat itu? Maka, demikianlah yang terjadi. Setiap kalimat yang diucapkan bibir cantik itu, memaksa lidahnya sendiri untuk menciptakan —atau paling tidak—mengambil kosa kata lain, yang lebih indah tentu saja, menurut pertimbangannya. Percakapan mengalir di beranda itu. Senja melorot dengan sangat cepat, dan menelanjangi

244 245 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PERKENALKAN, NAMAKU GERIMIS | Yanusa Nugroho

tubuh malam yang molek. Laki-laki muda itu kembali di sebuah kenangan. “Jadi... apa judulnya?” laki-laki itu selalu memulai percakapan dengan pertanyaan seperti itu. Dan pada saat-saat seperti itu, dia selalu saja merasa menjadi laki- laki terbodoh di dunia, yang selalu tak sempat menyisir rambut, mandi, atau bahkan memakai sandal jepit dengan benar. Kegugupan selalu saja mengepungnya. Selalu saja dia merasa tak pernah siap. “Nggak tahu...” sebuah jawaban lincah, singkat, tajam dan begitu muda, melenting begitu saja. “Novel apa sih, yang mau ditulis?” “Pokoknya, yang romantic,” dan seraut wajah riang menyertai ucapan singkat itu. Mereka di pantai. Laut pasang-naik, karena bulan tanggal empat belas. Lalu, entah mengapa laki-laki itu mengajaknya diam. Mereka menangkap debur ombak, dan menjadikannya sebagai debur jantung mereka sendiri. Desau angin menjelma desah napas. “Kenapa sih, gak mau pakai BB? Atau WA, kan, jadi lebih gampang ngobrol. Kan, ’memudahkan berhubungan dengan orang terdekat’, kata iklannya...” lalu debur ombak dan gelak tawa menyatu, di malam itu. Mereka menertawakan ketololan yang mengepung mereka. Mereka menertawakan kebutaan dan kedunguan manusia, yang bahkan mengobrol pun harus menggunakan alat bantu. Tidak. Laki-laki itu memang tak mau menggunakan

246 247 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PERKENALKAN, NAMAKU GERIMIS | Yanusa Nugroho alat bantu apa-apa. Dunia maya telah menyata dalam Laki-laki itu tersenyum. Angin laut menjambak kehidupan yang mengepungnya. Semuanya maya. rambutnya yang beruban, mengelabu, di sana-sini. Itulah sebabnya dia selalu rindu. Jiwanya gelisah karena “Buat apa?” kesunyian yang mengepungnya. Kesunyian yang “Biar kalau nggak bisa bobo, kita bisa berbagi mengungkungnya. Inikah hidup yang dihadapinya saat dongeng..Ya, please...mau, ya?” ini? “Aku tidak punya dongeng apa-apa.” Lantas kemanakah perginya gelak tawa, canda “Ih, gitu deh... Sombong. Angkuh. Egois. Makanya jenaka, pekik geli, atau sekadar “aww...” , atau “iih...”, ditinggalin istrinya. Biar kapok.” dan “genit, ah...” yang dulu selalu mengisi ruang-ruang Begitu saja, tanpa kata dan hanya debur jantung di rumahnya? Mendadak semuanya lenyap. Mendadak? yang menguat, laki-laki itu meraih si dara, memeluknya Mungkin juga sebenarnya tidak, hanya saja, perubahan erat dan menciumnya dengan sepenuh hangat. “Kamu itu terlalu membosankan untuk diperhatikan. Mungkin nggemesin,” bisiknya sesaat kemudian. juga terlalu sia-sia untuk dicermati. Atau dia sendiri “Aku nggak mau BB... aku mau AT...” canda laki- terlalu bebal untuk bisa menangkap gejala? laki itu sambil meraih si dara duduk di sampingnya. Anak-anaknya telah beranjak dewasa. Mereka telah Pasir hangat. Dihangati cahaya dan debur ombak. memiliki dunia masing-masing. Begitu juga istrinya, “AT? Apa tuh?” yang entah mengapa telah menjelma bidadari dan selalu “Aroma Tubuh.” berada di istana kemayaannya. Istrinya berada di “Iiih...lagi kangen sama istrinya, ya?” sebuah ruang yang entah di mana. Mungkin memang Laki-laki itu diam saja. tengah menikmati ruang yang dibentuknya sendiri, “Kok masih kangen sama dia, sih? Bego.” sehingga tak mau lagi keluar menemui suaminya. Ah, Laki-laki itu masih saja diam. Bulan terlalu bulat. entahlah, laki-laki itu bingung sendiri, merasa begitu Bulan terlalu jauh untuk bisa direngkuh. bodoh, menjadi pecundang tak ketulungan. Merasa “Emang, aku kurang cantik dibanding dia, ya?” menunggu sesuatu yang sia-sia, dan kembali harus Cecar si dara dengan suara nyaris tertelan debur ombak. mengalah, meringkuk dalam sarung tuanya yang mulai “Sudah, ah. Mau ngobrolin novel kamu, atau bolong di sana-sini. ngomongin orang lain?” ucap laki-laki itu dengan suara “Nanti kalau dapat honor, aku beli-in BB, ya? Mau, dingin. ya? Please...” Debur ombak mengguruh. Langit bersih. Angin

248 249 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PERKENALKAN, NAMAKU GERIMIS | Yanusa Nugroho menarik-narik rambut dua orang itu. Bau asin laut oleh sebuah kesepakatan—tepatnya kesempatan, untuk mengisi sunyi. “Lelaki Tua dan Laut,” tiba-tiba si laki- bertemu dan duduk di pasir pantai. Tak ada yang laki menggumam. Entah mengapa dia ingin mengajak mereka rencanakan, selain duduk diam, sesekali gadisnya menjelma Santiago(*) tua, yang selama 84 hari bercanda, dan membiarkan semuanya mengalir begitu mengarungi lautan lepas dengan biduk kecilnya, dan saja. kembali membawa ikan todak sepanjang hampir 6 “Kamu itu, kalau aku bayangin, kayak Loemadara,” meter ke kampungnya. ujar laki-laki itu sambil membayangkan pantai-pantai “...tapi tinggal rangkanya, kan? Kan, dagingnya di Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan. Sesaat dia habis dimakan hiu? Gak mau, ah, sia-sia,” jawab si mengembara di larik-larik kalimat novel Romo Mangun. gadis sambil menyandarkan kepalanya ke pundak si Sementara si dara yang di sampingnya, yang sambil lelaki tua. menyandarkan kepala di pundak laki-laki itu tak “Tapi, setidak-tidaknya dia bisa mengatakan pada mendapatkan gambaran apa-apa dari kalimat itu. hidup, ini lho yang namanya setia. Nah, sekarang, kita, “Siapa, tuh? Pasti cantik, kayak, aku.” apa yang bisa kita katakan pada hidup kita sendiri; ’ini “Bayangkan, begini. Jauh di sebelah sana...dan lho hp versi baru, asyik bisa ceting, bisa cetong, bisa layangkan kenanganmu, nun, di abad ke-16. Di kencing dan tampil kinclong?” kerajaan Jailolo, yang sudah takluk pada kekuasaan Sekali lagi debur ombak tenggelam oleh gelak tawa Ternate,” sengaja laki-laki itu menciptakan jeda agak si dara. Laki-laki itu mulai sejuk, dia kembali mendengar panjang, seakan memberi ruang bagi si dara untuk kegembiraan melonjak-lonjak memijari jiwanya. membangun “dunia”-nya. “Kalimatmu lucu, kaya’ kalimat iklan...eh, nglamar jadi “Kok, mandeg? Terusin, dong,” si dara menggoda. copywriter aja...gajinya gede.” Laki-laki itu kembali membangun Dowingo-Jo— “Sudah pernah.” sebuah kampung di Teluk Kau, yang penduduknya “Idiih...sombong!” sangat terampil membuat kapal-kapal. “Hanya para “Aku bisa lebih sombong daripada batu, kalau aku dewa yang tahu, sejak kapan kampung itu melahirkan mau,” gumamnya entah kepada siapa. para pembuat kapal dan perahu, yang sanggup melayari Jadi, begitulah. Beberapa sore, setelah kemunculan samudera raya. Dan di sana, hiduplah seorang kepala yang begitu tiba-tiba itu, mereka menikmati pergantian kampung yang ketika muda terkenal sebagai perompak warna langit barat. Dan mereka selalu saja seperti diikat lautan: Kiemelaha Kiemadudu,” tambah lelaki itu.

250 251 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PERKENALKAN, NAMAKU GERIMIS | Yanusa Nugroho

“Terus, hubungannya dengan Loemadara? Oh, aku “Lha, terus, mau jawab apa, coba?” tahu, pasti dia gadis yang jadi rebutan...terus, dia sudah Tak ada yang berani mengisi sunyi yang tiba-tiba punya pacar...terus, pacarnya disuruh raja pergi tercipta saat itu. Kedua bibir manusia itu terkunci begitu perang...tapi sebetulnya tidak ada perang...lantas...” saja. Meskipun, sesungguhnya, kalimat dan anak- Laki-laki itu tergelak, dan sambil memencet hidung anaknya berdesakan, menggemuruh, tak sabar dalam bangir itu, dia katakan bahwa si dara sudah men- antrian panjang untuk keluar dan menghambur campuradukkan kisah Loemadara dengan Layonsari- menemui kebebasan. Jayaprana. Mungkin rasa saling memiliki itu, ada. Mungkin, Dunia yang perlahan dibangunnya itu, ternyata perasaan hampa itu telah menjadi milik bersama. Di lebih indah dari dugaannya semula. Laki-laki itu kini hiruk-pikuk kota, yang bukan hanya disesaki oleh bunyi menemukan kembali gelak tawanya yang kekanak- dan asap, yang dijejali oleh manusia, kendaraan dan kanakan. Dia tak ingin menjadi tua, dia ingin tetap gedung-gedung, tetapi juga gelombang elektronik dari menjadi anak-anak ingusan, yang membiarkan ingusnya pelengkap peradaban, mereka seperti terjebak oleh rasa keluar masuk lubang hidung, atau memantrai angin agar sepi mereka sendiri. berembus, ketika menaikkan layang-layang. Dia ingin “Kok, kamu jadi gampang nyerah, gitu, sih,” bisik tetap berkalung katapel, dan menembaki buah-buah si cantik itu sambil kembali menyandarkan kepalanya kenari di pinggiran jalan, memecahkannya dengan batu, ke pundak laki-laki itu. Rambut panjangnya yang hitam, lalu memakan daging gurihnya di pinggiran jalan itu sesekali dimainkan angin. juga. “Aku ini Arjuna, lho,” ucap si laki-laki dengan nada “Masalahnya, aku enggak pengen jadi Loemadara,” canda yang hangat, yang disambut dengan sebuah begitu saja bibir cantik itu membisikkan kata-kata ke cubitan dipinggangnya. telinganya. Laki-laki itu diam, paham. Kaukah “Ge-er.” Loemadara-ku? tanya laki-laki itu dalam hatinya. “Lho, berapa ratus peperangan sudah kuhadapi, “Kenapa? Kan, cantik,” goda laki-laki itu. dan semuanya menyimpulkan satu hal: yang ada hanya “Ya, tapi...dia bukan milik Kiemadudu satu- kekalahan. Tak ada yang namanya kemenangan.” satunya, kan?” “Serius amat.” “Ooo...itu. Yaah...nggak apa-apa.” “Biarin. Yang terjadi di kita ini, nggak serius, “Kok, gitu, sih? Kok, nggak apa-apa?” menurut kamu?”

252 253 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 ORANG-ORANG DARI SELATAN HARUS MATI MALAM INI | Faisal Oddang

“Kenapa jadi rumit, sih? Sebenarnya, kamu, gimana, sih, ke aku?” “Aku ingin bangun dari tidur ini. Aku ingin ngobrol Orang-Orang Dari Selatan biasa, dengan suara yang jelas bisa kubedakan intonasinya. Aku ingin menghirup sebatok Kopi Kawa, Harus Mati Malam Itu yang segar, lalu berkelakar tanpa hitung-hitungan untung rugi. Aku berharap banyak, kamu yang bisa Faisal Oddang membangunkanku dari tidur panjang ini. Aku ingin, Minggu, 28 Juni 2015 kau bisa mendatangkan gerimis di sore kemarau ini. Tak usah hujan, gerimis saja cukup, bagiku.” Laki-laki itu menghirup kopinya yang telah dingin. AMI dipaksa menganut agama resmi, Menyibak beberapa halaman buku, mengetikkan mencantumkannya di KTP, dan dipaksa kutipan kalimat yang ada di buku, dan tersenyum- menjauhiK Tuhan kami—Dewata Sewwae, tentu senyum sendiri. Dia tengah merampungkan sebuah kami tidak berdaya lantas harus menerimanya kisah. Tepat pukul 24, teks itu hancur, menjadi partikel, dengan dada lapang yang perih. Jumat, pada memasuki lorong gelombang, kemudian memasuki akhir tahun enam puluhan, pada siang yang kotak surat masuk entah milik siapa. hujan, segerombol tentara mendatangi Uwak— Hening di luar sana, juga di sini. Laki-laki itu tetua yang dipercaya akan menyelamatkan mencoba berjalan kembali, menelusuri sisa kenangan orang Tolotang saat hidup dan setelah mati. yang mungkin masih dimilikinya.  Aku bergegas menuju bilik. “Uwak harus memilih, atau hak sebagai warga negara tidak kalian dapatkan, bisa saja Catatan: diusir, bisa saja ada yang bertindak di luar (*) Tokoh dalam novel, The Oldman an he Sea karya kendali, Uwak sudah tahu sendiri, bukan, apa Hemingway yang akan terjadi?” Aku mendengarnya dari balik bilikku yang hanya disekat dengan pembungkus semen setelah direkatkan pada tiang-tiang bambu

254 255 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 ORANG-ORANG DARI SELATAN HARUS MATI MALAM INI | Faisal Oddang

dengan ramuan rebusan sagu. Aku anak Uwak satu- satunya—dan aku lebih banyak tinggal di dalam bilik. Percakapan Uwak dengan tamu-tamunya, jika tak boleh kusebutkan selalu—aku menjamin, hampir semuanya kudengarkan. Cukup, Uwak, cukup! batinku. Aku tidak ingin ada korban lagi. Dewata Sewwae begitu mencintai kita, sehingga Ia menguji seberapa kuat kita bertahan, Uwak pernah mengatakan itu padaku pada suatu malam, di dalam hutan, saat pelarian kami menjauhi pasukan gerilya yang membakar kampung kami. Di antara pasukan itu, ada kau salah satunya, Upe, lelaki yang berjanji akan menikahiku setelah kemerdekaan berhasil direbut dari tangan penjajah. Sekalipun pernah kau katakan bahwa setelah tugasmu membela negara selesai, kau akan kembali menemaniku mengabdi pada Dewata, kenyataan yang kudapati sungguh berbeda; kau harus membunuhku dan aku tidak pernah lagi bertanya apakah kau masih mencintaiku atau tidak setelah malam tujuh Agustus 1954. Malam yang tidak akan kulupakan. Tepat setahun ketika pimpinanmu—dan kau, tentu saja, sebagai bagian Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan menyerukan perlawanan terhadap pemerintah. Sungguh, tidak perlu kau jelaskan alasannya; aku tahu kalian ditolak masuk Angkatan Perang Republik Indonesia. Semua itu jelas, kau, dan kawanmu yang lain tak lolos administrasi. Kau

256 257 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 ORANG-ORANG DARI SELATAN HARUS MATI MALAM INI | Faisal Oddang sendiri yang bercerita padaku sehari sebelum kau ikut kusempatkan; Upe, sadar! berjuang keluar-masuk hutan. Ada yang perlu kau “Mateko!” jelaskan melebihi semuanya, ada yang masih terus Kau membentak sekaligus menyumpahiku segera mengganggu hingga pada pelarianku menjauhi maut mati dengan bahasa Bugis yang kasar. aku masih terus bertanya; bukankah kita saling Suara letusan senapan terdengar. Tiga kali mencintai, kenapa kau ingin membunuhku tanpa alasan tembakan dan kau sepertinya lupa cara mengenai yang dengan mudah bisa kumengerti? Apakah hanya sasaran dari jarak tiga meter, semuanya meleset. Namun, karena Tuhanku dengan Tuhan yang diakui negara kita aku tidak ingin bertaruh lantas menebak-nebak apa berbeda? yang akan terjadi selanjutnya. Aku berdiri menjelang “Kau pulang, Upe, akhirnya,” sambutku malam itu. tubuhmu yang geming. Sejenak, aku menatap matamu Dan kupersilakan kau masuk begitu pintu rumah lagi, berusaha menerka sisa-sisa cinta yang ada. Kita panggungku yang menimbulkan derit kasar terbuka. sama-sama diam. Hingga beberapa saat air mataku “Di luar dingin, kalau malam, ya begini. Siang, akhirnya jatuh karena tangisanmu yang tanpa suara. panasnya minta ampun.” Dan kupikir gerilyawan seperti Aku jauh lebih mudah menemukan penyesalan kau akan merasa kalimatku tadi adalah basa-basi paling dibanding cinta di matamu—yang dulu membuatku lucu. tergila-gila dan membuat kita sempat berjanji untuk Akhirnya kekasihku pulang, gumamku dalam hati. hidup bersama, selama yang kita bisa untuk bertahan Belum selesai kurayakan kebahagiaan itu dengan cara hidup. berdiam menatap wajahmu yang tirus dan lekang— Semua berubah, kau berubah, dan aku harus belum habis kutatapi bola matamu yang tidak sejernih menerima kenyataan bahwa kau mungkin tidak punya dulu, sesuatu menghunjam dadaku. Kau memoporku cinta lagi setelah malam ketika aku kehilanganmu. dan begitu aku terhuyung-terempas ke lantai papan, Kehilangan dirimu yang dulu, maksudku, Upe. kulihat kau mulai mengarahkan moncong senapanmu “Lari,” bisikmu lirih dan aku bergegas ke tubuhku. Sekilas kulihat beberapa anak buahmu membangunkan Uwak kemudian kami lari lewat pintu mengintip di celah jendela. belakang ke arah hutan tanpa pernah tahu akan Masih sempat kulihat matamu. Masih sempat berakhir di mana. kulihat air yang hampir menetes ke pipimu, dan masih “Dewata Sewwae begitu mencintai kita, sehingga sempat kusebut namamu, menyadarkanmu, selalu Ia menguji seberapa kuat kita bertahan,” lenguh Uwak

258 259 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 ORANG-ORANG DARI SELATAN HARUS MATI MALAM INI | Faisal Oddang begitu langkah kami yang payah terhenti lantaran tembakau terjepit di antara telunjuk dan jari kehabisan tenaga. tengahnya—dia Uwak. “Uwak, ayo jawab!” Tampak seseorang yang kuduga paling tua dari Aku tersentak, Uwak dibentak dengan keras oleh ketiga tentara itu berdeham lalu menenangkan Uwak. tentara itu. Aku jelas mendengarnya dan hal itu “Kami sedang bertugas, Uwak,” jelasnya, lebih melamurkan ingatanku tentangmu dan malam yang lembut dari rekannya, “kami sedang mengadakan memisahkan kita itu, Upe. operasi malilu sipakainge, kami hanya menjalankan Setelah tiga belas tahun, kini kami seluruh penganut perintah,” sambungnya lantas berdiri diikuti yang lain kepercayaan Tolotang harus kembali berhadapan sambil tersenyum sinis mengucapkan: kami akan dengan keresahan-keresahan dan ingatan-ingatan kembali membawa berkas buat diteken. mengerikan. Tentang aroma daging bakar dan anyir Selama hampir sebulan aku dan Uwak bertahan di darah yang tercecer di sekitar rongsokan bekas gubuk sederhana yang kami bangun seadanya di dalam pembakaran rumah, dan tentang sungai yang ikannya hutan sebelum Uwak memutuskan untuk mengunjungi tidak ingin dimakan penduduk sekitar karena dipercaya kerabat di Sengkang—yang mujur bagi kami, bersedia memakan daging manusia. menampung. Kami berpindah-pindah, dari kerabat “Kalian siapa?” balas Uwak dengan bentakan, yang satu ke kerabat yang lain. Dari Sengkang, “sopan santun bertamu belum tahu, ha? Ini rumah Soppeng, Bone, dan sempat pula beberapa bulan di saya, sopanlah. Atau saya usir?” Ujungpandang, rumah keluarga Ibu. Tidak perlu kau Aku tahu jelas bagaimana watak Uwak, keras, bertanya soal kabar Ibu, Upe. Aku tahu, kau tak sebagaimana imannya pada ajaran Tolotang. Aku mungkin luput mendengar berita istri ketua adat sedikit beringsut, membetulkan kerah daster yang Tolotang yang ditemukan kepalanya oleh warga, di bertahun-tahun lalu kau hadiahkan saat kau masih sungai yang membelah kampung kita. Berita itu belum bertani. Di sudut bilik ada celah untuk mengintip akibat juga reda ketika kau mendatangi rumah kami dan sekat bungkus semen yang robek. Aku melihat ada memopor dadaku yang sampai hari ini masih tiga orang berpakaian loreng yang duduk bersila. menyisakan luka. Luka yang sembuh—dengan rasa Seorangnya lagi, juga bersila, tidak dengan pakaian sakit yang tidak pernah hilang. loreng, melainkan dengan sarung yang ia sampirkan “Isuri!” ke pundak, dan peci berwarna hitam, lintingan Kudengar Uwak berteriak dari ruang depan. Aku

260 261 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 ORANG-ORANG DARI SELATAN HARUS MATI MALAM INI | Faisal Oddang bergegas. daripada menodai agama orang lain, paham?” “Kita harus siap,” bukanya, “demi Dewata Aku mengangguk lemah, namun tetap saja aku Sewwae, kau juga siaplah,” ia menekan di kata-kata tidak setuju untuk melawan pemerintah, aku bisa apa, terakhirnya. Aku sudah paham apa yang ingin Uwak aku lebih tidak berani melawan Uwak. lakukan. Dia akan menolak memilih agama selain Dua tahun lalu, aku berunding setegang ini bersama Tolotang. Tentu kau tahu, di saat seperti inilah aku Uwak. Kami harus memutuskan kembali ke Sidrap atau akan mudah mengingatmu, Upe; apa kabarmu? Kau tetap merepotkan kerabat Ibu di Ujungpandang. Uwak di mana? Dan, o iya, sudah berapa anakmu sekarang? menimbang, aku memperhitungkan. Sehari sebelum Atau masih tetap sendiri sepertiku, bahkan pada usia perundingan untuk menentukan sikap itu, ada kabar yang menuju kepala empat ini. Mataku mulai berkaca- menyenangkan sekaligus membuatku meresahkanmu, kaca. Aku tidak sadar Uwak telah merangkulku. lewat radio dan selebaran yang disebar. Bahkan toa “Saya tahu yang kau pikir, Isuri.” Uwak menepuk masjid tidak luput memberitakannya. Tanggal 3 halus pundakku. “Kita sudah kehilangan banyak orang, Februari 1965, di dalam hutan—tubir Sungai Lasolo, bahkan Ibu kau sendiri. Jangan setengah-setengah buat orang-orangmu mati ditumpas pasukan kiriman Tuhan.” pemerintah—yang akhirnya juga mengirim orang- Aku tidak sanggup menahan air mata yang kuduga orangnya untuk menumpas kepercayaan kami. kini telah basah di lengan Uwak. Terisak. Dadaku sesak. Hujan belum berhenti. Sebentar lagi tentara itu “Cukup, Uwak,” ucapku terbata-bata di sela datang, dan kami harus memilih. tangisan, “turuti saja mereka itu, jangan korbankan “Pilih saja, Uwak,” bujukku. siapapun, sudah cukup. Lagipula Dewata Sewwae tidak “Mau berjanji?” peduli KTP kita, Uwak. Agama apa pun yang ada di “Apa pun, demi Uwak, demi Dewata Sewwae.” KTP, selama kita menyembah dan beragama dengan “Apa pun agama di KTP, kita harus tetap cara Tolotang, tidak akan jadi masalah.” Tolotang.” “Pikirlah dulu, Isuri,” Kami sepakat, dan ketika tentara datang, Uwak “Tapi, Uwak—” tidak banyak bicara sebelum dan setelah meneken surat “Saya belum selesai,” sanggah Uwak, “lebih baik pernyataan. ditembaki tentara daripada dibunuh orang-orang di Sudah sepuluh tahun berlalu setelah KTP kami kampung ini. Lebih baik menodai aturan pemerintah resmi berubah. Aku masih menunggumu datang,

262 263 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 CINCIN AKIK DI KAMAR MANDI | Harris Affendi Thahar

Upe—begitu juga Uwak. Kini ia terbaring lemah di ranjang kami, batuknya semakin parah, kobokan yang kuisi pasir untuk wadah ludahnya yang bercampur Cincin Akik di Kamar Mandi darah sudah sangat amis. Beberapa saat, berselang setelah batuk yang panjang, Uwak mendoakan kebahagiaan buat pernikahan kita yang sepuluh tahun lalu kujanjikan buatnya. Doanya yang terakhir. Harris Affendi Thahar Air mataku jatuh, aku menyesal membohonginya. Minggu, 05 Juli 2015 Kami akan menikah, dia akan datang, dan jika kita tidak mengikuti pemerintah, artinya kita cacat administrasi. Pernikahan kami akan susah, orang ELUM selesai jamaah berzikir sehabis kampung tidak akan sepakat, dan kami tidak akan shalat subuh, terdengar garin masjid tenang, Uwak. Kumohon, mengertilah, memilihlah. meraihB mikrofon. Hati Wen sudah berdetak, Aku membujuk. ini pasti pemberitahuan bahwa adawarga yang Uwak luluh. Demi kebahagiaan kita dan demi kau meninggal. Benar saja, Haji Jamal pensiunan yang akan menjadikanku istri. Sejak hari itu kami Kantor Pajak, meninggal dini hari tadi di menunggumu, Upe. Meskipun aku tidak pernah tahu Rumah Sakit Besar. Kabarnya, sebelum masuk kau selamat atau tidak saat penyerangan 3 Februari Rumah Sakit Besar seminggu sebelumnya, Haji 1965.  Jamal terjatuh di kamar mandi sehabis buang air besar. Memang, beberapa hari belakangan Haji Catatan: Jamal tidak kelihatan ikut shalat magrib dan Tolotang, kepercayaan tradisional di Sulawesi Selatan yang merujuk subuh berjamaah di masjid. Biasanya, kalau Wen pada arti orang-orang dari Selatan. duluan datang ke masjid, ia mendatangi dan menyalami Wen. Gampang menandainya, karena kebiasaan Haji Jamal memakai peci hitam bersulam benang emas, seperti biasa dipakai engku-engku datuk di tanah Minang

264 265 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 CINCIN AKIK DI KAMAR MANDI | Harris Affendi Thahar

serta berbaju koko berenda-renda. Hanya dia yang memakai peci seperti itu. Selain itu,Haji Jamal selalu memakai parfum khas Arab tiap datang ke masjid. Wen suka shalat di samping dia, ketimbang di samping Bang Malo, penjual ayam potong, berkumis ubanan yang bau tembakau dan apak asap rokok. Wen juga tidak suka shalat di samping lelaki muda penjual pulsa telepon yang kebiasaannya tiap sebentar mendehem dan sendawa seperti habis menegak tuak meski sedang shalat. Haji Jamal orang baik, setidaknya di mata Wen. Dia selalu memberi kabar bahwa dia sudah baca tulisan Wen di koran lokal dan dia senang, lalu menyalami Wen. Tempo-tempo Wen menulis kolom dan kadang- kadang menulis komentar. Sejak Wen pensiun, Wen semakin gencar menulis untuk koran lokal, sekadar untuk menangkal atau menunda datangnya pikun, andaikata usia Wen dipanjangkan Allah. Kata orang, kalau usia senja tidak dibarengi dengan kegiatan membaca, kalau dapat sekalian menulis, bakal cepat pikun. Sejak muda Wen memang terbiasa menulis di koran-koran lokal sekadar menyalurkan hobi. Hobi itulah yang dilanjutkannya lagi setelah pensiun. Belum lagi seminggu, Senin sebelumnya, Ustad Qamat pula yang meninggal. Beliau sering menjadi imam pengganti shalat subuh di masjid kalau imam tetap berhalangan. Akhir-akhir ini imam tetap memang sibuk setelah diangkat menjadi salah seorang anggota MUI. Ustad Qamat belum tua benar, tapi konon

266 267 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 CINCIN AKIK DI KAMAR MANDI | Harris Affendi Thahar mengidap tekanan darah tinggi. Menurut kabar yang shalat subuh Wen selesaikan saja di rumah. Setelah berkembang, Ustad Qamat terjatuh di kamar mandi sarapan, cepat-cepat Wen berangkat ke tempat kerja rumah istri mudanya, lalu pingsan dan dilarikan ke meski masih pagi sekali. Begitu juga sore hari, Wen Rumah Sakit Besar. Sampai meninggal dua hari sampai di rumah hampir selalu bertepatan dengan kemudian, dia tak sadar-sadarkan diri. waktu magrib. Barulah ketika masa pensiun itu datang Sewaktu melayat di rumah duka Ustad Qamat, Wen Wen berusaha menjadi jamaah tetap masjid Almakmur, duduk bersebelahan dengan Haji Jamal. Malah terlibat terutama untuk waktu magrib, isya, dan subuh. percakapan serius mengenai ajal manusia. Satu kalimat Masjid Almakmur sepertinya ditakdirkan untuk Haji Jamal yang masih terngiang di telinga Wen waktu orang-orang pensiunan. Tidak banyak memang, lebih di rumah duka itu adalah, “Inilah rahasia Allah. Siapa kurang dua puluhan untuk jamaah harian laki-laki. yang tahu, tak berapa lama lagi, salah seorang di antara Jamaah perempuan lebih kurang sama karena sebagian kita yang hadir ini menyusul Ustad Qamat. Entah besar ikut suami ke masjid. Oleh karena itu, Wen hafal besok entah lusa...” betul wajah-wajah jamaah harian masjid Almakmur. “Ya, Ji. Allah yang tahu,” balas Wen. Sebutlah Pak Mul, bendaharawan masjid, paling Mengingat itu, Wen jadi bergidik. Sepertinya Haji gampang menemuinya. Sebelum waktu shalat masuk, Jamal meramalkan sendiri hari kematiannya. Kata biasanya ia telah duduk di samping tiang besar sayap orang, biasanya jika seseorang sudah dekat ajalnya, akan kanan masjid sambil bersandar. Pak Mul selalu berbaju keluarlah ucapan-ucapan yang mengarah ke pintu kubur koko putih dan berpeci putih menandakan bahwa ia dari mulutnya. Kadang-kadang diikuti oleh tingkah laku sudah berhaji. Sepengetahuan Wen dia tak pernah pakai aneh yang tidak biasa dilakukannya. batik. Batik panjang lengan selalu dipakai mantan Ketua Wen masih ingat, setahun lalu, subuh pertama Wen RT yang juga pensiunan kepala tata usaha sebuah SMA shalat di masjid yang cuma tak sampai tiga ratus meter ternama. Ia selalu membawa sajadah kecil berwarna dari rumahnya itu, Wen merasa asing. Masjid itu terletak biru dan setia mengambil tempat di belakang imam. di antara dua kompleks perumahan yang dibangun Akan tetapi, Pak RT ini, begitu ia dipanggil, tidak bersamaan dengan kepindahan Wen ke salah satu bersedia disuruh menjadi imam pengganti meskipun kompleks itu dulu, lebih tiga puluh tahun lalu. Bukan ia berada tepat di belakang sajadah imam. Biasanya, apa-apa, hanya karena selama ini Wen khawatir orang yang tepat berdiri di belakang imam harus terlambat karena terjebak macet pergi ke kantor, maka bersedia menggantikan imam apabila sewaktu-waktu

268 269 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 CINCIN AKIK DI KAMAR MANDI | Harris Affendi Thahar diperlukan. Tidak demikian halnya Pak RT, meski ia bersedia menerimanya,” kata Wen merayu. tetap berdiri di situ, di belakang imam. Seolah-olah “Oh, jangan begitulah Pak Wen. Jika Pak Wen mau, tempat itu sudah menjadi miliknya sejak dulu kala. besok setelah shalat Jumat saya kasih Pak Wen. Cincin Jamaah lain seperti tidak mau mengusiknya kalau dia akik saya banyak. Ha-ha-ha...Alhamdulillah.” datang. Kamis malam, sebelum tidur Wen ceritakan juga Lain lagi Profesor Kuman, wajahnya selalu cerah, pada istrinya bahwa kalau Profesor Kuman tidak lupa, klimis dan murah senyum. Senyumnya selalu sehabis shalat Jumat esok ia akan mendapatkan cincin mengambang seakan memamerkan kerapian gigi akik. Akan tetapi, setelah selesai shalat sunat sehabis tiruannya yang putih kekuning-kuningan. Meski shalat Jumat, Wen tidak melihat Profesor Kuman. usianya sudah di atas tujuh puluh, pecinya selalu modis, Padahal, malamnya Wen bermimpi menerima berganti-ganti setiap hari. Kadang memakai peci segenggam cincin akik dari Profesor Kuman di Pakistan, kadang seperti orang Arab, kadang memakai halaman masjid. Akhirnya Wen menafsirkan sendiri peci hitam ala Soekarno, dan ada kalanya memakai peci mimpinya bahwa dia tidak akan pernah mendapatkan Makassar yang pernah dipromosikan Gus Dur sewaktu cincin akik dari lelaki tua itu. Tapi, apakah dia sakit? menjadi presiden. Profesor Kuman inilah orang yang Kabar itulah yang belum didapat Wen. paling rajin berjabat tangan. Begitu dia masuk masjid, Barulah selesai shalat magrib Wen dapat cerita langsung menyalami setiap orang, tua-muda, besar-kecil, bahwa Profesor Kuman masuk rumah sakit akibat tidak peduli anak-anak balita. Begitu juga kalau dia mau terjatuh di kamar mandi. Konon, Profesor Kuman keluar masjid, juga bersalaman dulu hampir ke setiap terpeleset sewaktu mau mengeruk lubang WC orang. Wen tahu betul, begitu melihat Profesor Kuman mengambil cincin akiknya yang jatuh ke situ. datang, ia langsung menyodorkan tangan kanannya, Kemungkinan besar lantai kamar mandinya licin karena bersalaman, lalu bertanya sedikit mengenai nama batu lelehan sabun cair yang tumpah. Tidak ada yang tahu akik yang sedang dipakai Profesor Kuman di jari persis bagaimana peristiwa itu sesungguhnya, karena manisnya. Biasanya dia mengganti setiap kali ke masjid istrinya yang juga sudah tua juga baru tahu setelah ia cincin akiknya yang aneka warna. Menurut dia, semua ingin menggunakan WC, tiba-tiba melihat suaminya itu merupakan kiriman anaknya yang bekerja di sebuah sudah tergeletak. kota di Kalimantan. Sambil mengikat tali sepatu Wen berpikir-pikir “Apa ada cincin akik yang Prof kurang suka, saya tentang Profesor Kuman yang kini sedang dirawat di

270 271 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 CINCIN AKIK DI KAMAR MANDI | Harris Affendi Thahar

ICU Rumah Sakit Besar. Wen meneguhkan hatinya dikriminalisasi saja, saya stres.” untuk jalan kaki tiga kilometer Sabtu pagi itu. Olahraga “Sama dok. Tapi, bukankah itu normal?” jalan kaki itu telah rutin dilakukannya tiga kali seminggu “Bapak harus segera periksa tekanan darah kalau kalau tidak hujan dan kalau tidak sedang sakit. Menurut sudah merasa tidak enak badan. Ini, kalau sudah 180 Wen, hanya jalan kakilah olahraga yang paling murah ini, Bapak harus hati-hati. Jangan dibiarkan,” kata dokter agar tetap sehat dan bersemangat. Sejak pensiun, Wen Askes itu sambil memanggil pasien giliran berikutnya. selalu menambah butir doanya dengan meminta Baru saja shalat magrib selesai, garin masjid disehatkan dan dijauhkan dari segala macam penyakit. terdengar meraih mikrofon. Hati Wen sudah berdetak, Tentulah tidak serta merta dikabulkan Tuhan kalau tidak ini pasti pemberitahuan bahwa ada warga yang diiringi dengan usaha, antara lain dengan berolahraga meninggal. Jangan-jangan jamaah tetap masjid. dan tidak merokok. Memang, seperti yang diduga Wen, Profesor Kuman “Apa yang bapak pikirkan?” meninggal senja tadi. Semua jamaah magrib diminta “Banyak. Orang setua saya tentu banyak pula yang untuk melayat serentak ke rumah duka yang tidak dipikirkan.” seberapa jauh dari masjid. “Bukan berarti saya melarang Bapak berpikir. Tapi, Di rumah duka, didorong rasa penasaran, Wen janganlah yang berat-berat, yang bisa menyebabkan sempat nyelonong memeriksa kamar mandi Profesor Bapak stres.” Kuman. Kamar mandi itu berlantai keramik putih Wen hanya tersenyum kecut sambil berpikir-pikir, bersih. Wen penasaran, lalu masuk dan mencoba “Hal apa ya, yang menyebabkan saya berpikir hingga menginjak lantainya yang bersih itu dengan debaran stres?” jantung seperti gendang. Ternyata tidak licin. Wen “Bapak kebanyakan nonton berita televisi ya?” mencoba membuka penutup kloset, spontan saja “Biasalah dokter, namanya orang pensiun.” memeriksa kalau-kalau masih ada cincin akik Profesor “Bapak suka berita politik apa gosip?” Kuman seperti yang diberitakan di dalamnya. Ketika “Kalau politik bagaimana?” Wen secara spontan mencoba memasukkan tangan “Nah. Itu!” kirinya ke dalam gua kloset itu, pintu kamar mandi itu “Kenapa dokter?” berderit, seseorang membukanya. Wen kaget, tidak “Saya saja yang masih muda bisa stres menyimak menduga akan dipergoki, ditimpa rasa sesal mengapa berita politik sekarang. Apalagi Bapak? Soal KPK tidak mengunci pintu dari dalam. Dalam keadaan kaget

272 273 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MERPATI NUH | Genthong HSA itulah ia terlonjak dan terpeleset jatuh. Wen merasa pusing sepusing-pusingnya, tertelentang, sementara orang yang tadi membuka pintu dan melihat ada Merpati Nuh orang, juga kaget dan cepat-cepat pergi. Wen merasa melayang-layang dan berusaha berdiri. Akan tetapi semua anggota tubuhnya seperti tidak mau digerakkan. Lidahnya pun kelu. Tiba-tiba pandangan- Genthong HSA nya gelap dan akhirnya tersadar setelah berada di kamar Minggu, 12 Juli 2015 rawat inap Rumah Sakit Besar. Begitu tersadar, kata pertama yang keluar dari mulut Wen adalah, “kamar mandi.” EBELUM turun dari bahteranya ketika air “Kenapa kamar mandi?” tanya istrinya. bah telah surut, Nuh mengutus burung “Kamar mandi kita harus dipasang pegangan di MerpatiS putih berjambul memeriksa, sudahkah dinding-dindingnya,” katanya terbata-bata. air tuntas terserap bumi, demikian sahibul “Pegangan apa?” hikayat. Yang pertama, merpati kembali “Besi pegangan, tempat berpegang agar tidak membawa daun-daun pohon Zaitun. Yang jatuh...,” kata Wen. kedua tujuh hari kemudian, merpati kembali Setelah menyampaikan pesan itu kepada istrinya, dengan kaki-kaki terbalut lumpur. Wen tidak berkata-kata lagi hingga dinyatakan Jauh hari sebelum kisah merpati ini, meninggal seminggu setelah percakapan itu. Lembah Tengah Dua Sungai, Mesopotamia, Ketika jasad Wen dimandikan di rumahnya, dilanda kekeringan hebat. Lama hujan ditunggu pemasangan pegangan tangan di kamar mandi Wen tak kunjung bertamu, ketika akhirnya tiba, ia belum selesai dikerjakan tukang.  turun sedemikian lebatnya. Kaum Bani Rasib yang berlega-hati ketika itu was-was, khawatir Wadd, Suwwa, Nasr, Ya’uq maupun Yaghuts habis sabar, menunggu persembahan lengkap yang belum dihaturkan. Menurut Ubara-Tutu dari Shuruppag, hanya berkurban dua

274 275 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MERPATI NUH | Genthong HSA

gelundung kepala musuh dan dua ekor kerbau jantan jelas tidak cukup. Dibutuhkan kurban jiwa anak-anak yang masih murni, laki-laki dan perempuan. Mungkinkah terjadi isi orakel Lembah Sungai Nil, ’bah’ akan menggenangi muka bumi?! Per-Wadjet, Ular Cobra Kuil Mesir yang diagungkan, membisikkan akan datangnya air bah, tidak sendirian. Nahm atau Nuh, anak Lamik Lamaka cucu Matu Salij, mengaku dirinya nabi utusan Tuhan, memperingatkan hal yang sama. “Hukuman Tuhan atas orang-orang yang tak mau beriman kepada-Nya bisa berupa apa saja,” katanya. “Bila Tuhan Seru Sekalian Alam berkehendak, betapa mudah bagi-Nya menenggelamkan seluruh muka bumi ini,” tambahnya. Kebebalan manusia tetapi, suka menantang celaka. Sebelum ada peristiwa mereka tidak percaya, pongah mengundang bencana. Nuh dengan tekun dan prihatin terus berusaha menyadarkan kaumnya, para penyembah berhala. Dan bukannya sadar, mereka malah mendirikan ziggurat, kuil persembahan, yang lebih besar lagi. Di Bukit Buto, baru setahun yang lalu ziggurat dengan tiga ratus anak tangga, didirikan. Patung-patungnya terbuat dari batu khusus asal Kirk’uk, yang dikerjakan sangat teliti oleh Togrodus dari Eshnunna. Sejak Ziggurat Bukit Buto berdiri, upacara penyerahan kurban dilakukan di sini. Orang berduyun datang. Bila ada anak manusia yang dikurbankan, orangtua dan keluarganya mendapat tempat

276 277 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MERPATI NUH | Genthong HSA kehormatan di baris pertama. Tangis mereka kepala berdarah, terkena batu atau pukulan kayu. Bila dibutuhkan untuk meyakinkan para dewa, betapa itu yang terjadi, seekor merpati putih akan datang kurban adalah anak-anak yang dikasihi dan disayangi. menghampiri memasukkan sebutir kurma ke mulutnya. Saat hujan badai terjadi, tak ada yang sempat ke Baru ketika sadar Nuh tahu, dirinya telah dibuang Bukit Buto. Air sungai meninggi, luapan tinggal dinanti. orang ke pecomberan. Orang berdoa menyebut nama dewa mereka dengan Nuh dan kaumnya hidup di daerah yang sangat gemetar, ndremimil memohon perlindungan, agar subur, kawasan peluberan air sungai Eufrat dan sungai banjir yang pernah melanda tidak terjadi lagi. Banjir Tigris itu dilapisi sedimen aquatik, endapan lumpur yang yang menghancurkan, banjir mematikan. Ladang menjadikannya layak ditanami dan dihuni. Di luar pertanian ludes, ternak lenyap, penduduk Ur keluasan tanah pertanian bumi gersang-kerontang, seperempatnya hilang tak pernah pulang. Doa mereka tanah gurun berbatu, tak tampak pohon walau hanya terjawab petir terang-benderang, gemuruh guntur dan sebatang. Selain beternak ayam, kambing, babi dan bunyi gedebum keras menderak bumi, sungguh sapi, warga bertanam gandum, biji-bijian, sayuran, ubi- menciutkan hati. ubian, bumbu dapur dan obat-obatan. Meniru bangsa Nuh sedang membangun perahu. Sebuah perahu Mesir, mereka mengatur pengairan ladangnya dengan besar dari kayu, sangat besar, disebutnya bahtera. bantuan instalasi irigasi, membuat kanal-kanal, Perahu raksasa itu untuk mengangkut keluarga dan membangun bendungan dan waduk tandon air. pengikutnya, bila bah tiba. Tetapi Nuh membangun Mereka juga membangun sarana pengendalian banjir, perahunya di punggung bukit, tidak di pinggir pantai. yang kerap memberi manfaat. Entah bagaimana ia akan meluncurkannya ke laut, Hujan badai sederas itu membuat warga curiga bahtera seukuran kandang sapi isi tiga ribu ekor itu dewa-dewa marah, orang gila itu dibiarkan hidup menjelang jadi. Orang berkelakar tentang keledai bersama mereka. Nuh, siapa lagi! Orang mengumpatnya pembuat angsa gembung di puncak gunung, berencana ’Keledai Dogol’, perangai halus mulut bodhol. Mereka tamasya membawa keluarga ke tengah laut, diiring benci melihat Nuh mengajak orang menyembah Tuhan gelak-tawa tak ada habisnya. Nuh biasa dicemooh Yang Satu, lalu mengejek tuhan-tuhan kaumnya sebagai orang. Kemana pun ia pergi mengajak orang beriman dewa semati batu. Wadd bersaudara disebutnya tuhan kepada Tuhan, ia dicibir, dimaki, dilempari sandal, batu, tanpa kesaktian, lebih bodoh dari kerbau. Memelihara dilempari kotoran lembu. Beberapa kali ia pingsan diri sendiri pun berhala tidak mampu, bagaimana bisa

278 279 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MERPATI NUH | Genthong HSA berkuasa atas manusia? Nuh mengakui, kaumnya bukan menghitung lingkaran 360 derajat, memiliki kalender bangsa pemalas dan dungu, tetapi mengapa 12 bulan berdasar perhitungan bulan dan perhitungan menyembah berhala, patung buatan sendiri?! Patung matahari, Nuh dianggap dukun dengan segudang ilmu yang bahkan tak bisa marah bila ada anak nakal sihir. Berapa kali orang mencarinya untuk dijahati, Nuh mengencingi mukanya. tersembunyi, tak dijumpai. Kalau orang sudah “Anak Lamik Lamaka harus mati!” melupakannya, ia muncul lagi mengajak orang beriman “Nuh harus mati, Nuh harus mati...,” terdengar kepada Tuhan. Ketika ada yang berniat membakar suara geram sementara orang. Namun..., mendadak perahunya, Nuh beserta perahu sebesar itu lenyap. Dan hujan berhenti. Begitu saja, tanpa tanda-tanda. di sekitar rumahnya mendadak banyak singa Sedemikian deras, bagai dituang dari langit jatuhnya berkeliaran. air, lalu tiba-tiba mandeg. Orang tercengang tak Waktu berjalan, peristiwa berlalu. Bahtera selesai percaya. Lalu matahari muncul dari balik awan, bersinar dibangun, sempurna. Langit biru, awan tipis bagai indah sekali. Mereka keluar, berdiri di depan pintu. kapas putih menyaput rata. Matahari terik, udara panas, Seluruh pemukiman dikepung air, air. Bila hujan tidak angin mati. Kerbau bersungut mencari lumpur tempat berhenti, segera semuanya akan tersapu banjir, pasti. berkubang. Di atas Ur gagak-gagak hitam terbang Meski sejauh mata memandang hanya air, lantai gelisah mengitari kota, menggambar gelap, berkaok rumah tidak terbenam. Mereka bergerak menuju serak menusuk gendang telinga. Ziggurat-ziggurat ladang, yang begitu mereka khawatirkan. Baru pekan dipenuhi persembahan, kegersangan kembali depan hasil akan dipanen, hujan badai tiba di tengah bersinggasana. malam buta. Dan mereka melangkahkan kaki, perlahan, Benar-benar hanya gagak, burung yang lain tak tak bisa berlari. Hingga mereka terhenti, takjub. Ladang tampak. Dari sebuah pondok di pinggiran kota, masih ada, lengkap bersama hasilnya. Kerusakan kecil Rahmah istri Sam anak Nuh pergi tergesa-gesa, ada di sana-sini, tak seberapa, siapa percaya?! Segera mencari bapak mertuanya. Bukan kebetulan, pasti, yang mereka berlari ke arah datangnya suara berdentum saat dicari sedang berjalan ke arah dari mana ia datang. hujan tadi, ke ziggurat Bukit Buto. Orang pun gemetar Terbata-bata ia mengabarkan, air telah memancar keluar ketakutan, ziggurat ambrol. Patung-patung dewa dari tempat pemanggangan roti di dapurnya, sangat roboh, pecah berantakan. deras. Bergegas Nuh mempercepat langkahnya dan Walaupun kaum Nuh pandai matematika, benarlah, dari rumah anaknya air membanjir dan mulai

280 281 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MERPATI NUH | Genthong HSA menggenangi pekarangan, terus mengalir menuju perahu Nuh, hujan turun dengan derasnya. Ketika lembah bawah. Nuh meniup terompetnya, cangkang kedua orang yang jatuh tadi meniti tangga hendak kerang laut bersuara merdu, panjang berulang. Lalu ia memasuki bahtera, lagi-lagi mereka terpeleset dan jatuh mengajak anak, menantu dan cucu-cucunya ke tanah. Tak ada keributan. Semua takut memandang meninggalkan rumah mereka. Nuh, yang mendekati keduanya sambil berkata, “Ada Kesibukan di lokasi bahtera terutama memuatkan apa dengan kalian? Jangan engkau menaiki perahuku barang dan ransum makanan untuk jangka waktu membawa kesangsian dan kotornya pikiran. Berserah- panjang. Segala jenis binatang, sepasang-sepasang, dirilah kepada Tuhan Seru Sekalian Alam, apakah kalian lengkap makanan mereka, diikutsertakan. Ketika telah berdoa dan menyebut Asma-Nya?” Kedua orang terdengar suara jeritan diiring bunyi barang jatuh, Nuh itu mengangguk. mengusap muka dan dadanya, memohon ampun ke “Apa kalian membawa sesuatu yang mengotori hadirat Ilahi. Ia menyesalkan sebagian anak buahnya hati, memberati iman?” Kedua orang itu yang belum mantap beriman. Nuh mendatangi dua menggelengkan kepalanya. Nuh lalu bersiul, seekor orang lelaki yang jatuh terpeleset saat meniti anak merpati yang ia lepas terbang dan telah kembali, datang tangga, hendak memasuki bahtera. Mereka mengerang. menghampiri, menjatuhkan secuil pecahan batu di “Tak usah mengaduh, bangun kalian,” perintah tangannya. Setelah memeriksanya Nuh bertanya, “Batu Nuh. Dengan susah-payah kedua orang itu berdiri. apakah ini?” Kedua orang itu geleng kepala sambil “Semua yang naik bahtera harus memulai dengan menunduk. Lengang..., sekian lama sunyi. Semua orang menyebut Asma Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, sudah takut, bahkan hanya untuk bernapas. kalian lakukan?” Terdengar jawaban “Ya,” walau tidak Lalu seorang perempuan berteriak dari atas perahu, serentak. “Lalu, mengapa kalian terjatuh?!” Nuh “Itu batu pecahan patung Ziggurat Buto, ia yang bawa. menggelengkan kepalanya lalu berkata, “Cepat, Ia suami saya.” Segera Nuh memerintahkan kepada mintalah ampun ke hadirat-Nya, Tuhan Yang Maha siapa saja, membuang batu pecahan berhala bila ada Pengampun.” Kedua orang itu segera melakukannya yang membawa. Ternyata selain kedua lelaki itu tak dengan bersujud mencium bumi. ada yang melakukannya. Dan setelah mereka Mereka kembali bekerja, memuatkan yang masih membuang batu-batunya, termasuk yang dipakainya tertinggal. Dari bawah terdengar gemuruh air yang sebagai mata cincin, batu akik, di jari tangannya, kedua mulai membanjiri seluruh lembah. Kecuali di sekitar lelaki itu berhasil menaiki bahtera. Kelegaan nampak

282 283 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LELAKI KETUJUH | Fandrik Ahmad di wajah-wajahnya, beban serasa hilang. Air semakin tinggi, bahtera telah diangkat air kaki-kakinya dan mulai bisa mengapung, bisa berlayar. Lelaki Ketujuh Badai kencang sekali, bersuit-suit membekukan hati. Warga Ur berlarian mendaki bukit dan kaki gunung, berusaha menyelamatkan diri. Yang jatuh ke air melolong minta tolong, tak ada yang bisa mendekat Fandrik Ahmad meraihnya, kecuali gulungan ombak yang segera Minggu, 26 Juli 2015 menelannya. Kan’an putera Nuh, menolak datang ke perahu ketika ayahnya memanggilnya. Dengan sombong ia berteriak, ia pasti selamat naik ke puncak ERCAYAKAH kawan, setiap malam bukit tertinggi. Nuh kecewa, hanya bisa mengusap air pasca menikah, dengan siapa pun, suami matanya. Dan air terus meninggi. Merpati putih Nuh sayaP berubah menjadi binatang. Kadang yang selalu setia menemani tuannya hinggap di pucuk serigala, harimau, singa, kadang pula anjing, tiang utama bahtera. Ia perkasa kerna ia tanpa dosa.  babi, atau bermacam-macam rupa binatang lain. Perupaan itu tak pernah berakhir kecuali saya resmi bercerai dengannya. Engkau tak harus percaya pada cerita ini. Pada usia yang baru menginjak dua puluh lima tahun, saya sudah menikah enam kali, dengan laki-laki berbeda. Seperti pernikahan sebelum- nya, tak pernah berumur lebih dari sebulan. Pernikahan saya yang keenam hanya sepuluh hari lamanya. Umpatan betapa saya perempuan yang gemar gonta-ganti suami menjadi buah bibir siap petik kapan saja. Air mata tentu menitik. Saya tersiksa— namun di suatu sudut lain saya memang merasa

284 285 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LELAKI KETUJUH | Fandrik Ahmad

pantas menerima—dengan pernikahan yang tak pernah berujung sakinah-mawaddah. Siapa yang ingin seperti ini? Bermimpi pun tidak. Saya pasrah pada takdir. Saya bukan tipikal orang yang suka memandang dunia dengan segala kerumitan- kerumitan. Sejatinya hidup ini tidak ada kata sakit apalagi tersakiti. Yah, persoalannya sederhana; perasaan kita sendirilah yang kerap menyiksa sendiri. Hanya saja kerap persoalan sederhana tidak bisa dipikirkan secara sederhana pula. Saya memang sudah menikah enam kali dengan lelaki yang berbeda. Namun bunga kesuburan saya tetap ranum, mekar tak tersentuh. Tak ada satu pun di antara keenam kelaki itu yang berhasil memetiknya. Ketika matahari sempurna rebah dan suami saya mengajak tidur, selalu sesosok rupa binatang di hadapan saya. Perempuan mana yang tak ketakutan bila tiba-tiba suaminya berubah menjadi binatang. Anehnya, semua kembali normal ketika cahaya fajar berpintal dan memanjang di ufuk timur. Kerap secara tiba-tiba kekasih pertama yang saya tinggalkan—sebelum pernikahan pertama— bertandang di pikiran. Banyak alasan yang membuat saya memilih lelaki lain daripada menikah dengannya— namun rasanya kurang bijak bila saya harus memaparkan alasan itu. “Kau tak akan pernah bahagia kecuali menikah denganku,” tukasnya sebelum pergi dengan luka yang menganga dan sorot mata serupa

286 287 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LELAKI KETUJUH | Fandrik Ahmad bara korek api. Rasanya saya ingin kembali kepadanya. terlantun doa dari bibirnya yang lembut... Bertekuk lutut pun tak apa asal dapat menemukan Amin. kebahagiaan. Tetapi sekarang saya tidak tahu di mana “Dik, bangun. Waktunya shalat tahajjud,” ia keberadaannya. mengguncang-guncang pundak saya. Saya menggeliat Entah dengan pernikahan yang ketujuh ini. Lelaki pelan. yang menjadi pilihan ibu. Kata ibu, ia sempurna. “Dik, sudah waktunya shalat tahajjud,” ujarnya lagi. Wajahnya teduh dengan mata yang serupa pendar Saya membuka mata. Pelan. Ya, Tuhan! Seekor serigala langit. Tunggu. Bukankah keenam lelaki sebelumnya dengan seringai menyeramkan siap menerkam. Saya juga berwajah sama; teduh dengan mata serupa memejamkan mata. Menutup diri dengan selimut. tatapan malaikat? Perempuan mana yang tak tergoda “Pergi! Jangan mendekat...” Saya mengerang di dengan tatapan seperti itu. Dan, semua berubah pojok kamar. Wajahnya menjelma bunglon. Bersisik menakutkan. tajam dengan kelopak mata semerah saga. Ah, sudahlah. Apa pun yang terjadi, saya yakinkan “Dik, apa yang terjadi? Ada apa denganmu?” Suara pilihan ibu sebaik-baik pilihan. Sudah seharusnya saya itu lembut namun tampak ditekan. memberikan kesempatan kepada perempuan bermata “Pergi!!!” ilalang itu setelah berkali-kali saya tolak pilihannya. Ini hanya halusinasi. Saya harus melawannya. “Dik, mari shalat. Sebentar lagi Ashar,” tukas lelaki “Shalatlah duluan. Taris menyusul,” akhirnya. ketujuh itu. Aku beranjak mengikuti langkahnya ke Terdengar langkah menjauhi kamar. Lalu bunyi perigi. Ia berbeda dengan keenam lelaki sebelumnya. pintu. Derek engsel. Hening. Saya membuka mata. Sejak pernikahan saya dengan lelaki pertama, baru lelaki Menatap langit-langit kamar. Lagi dan kesekian kali, ketujuh ini yang senantiasa menjaga lima tiang waktu saya mengusir suami yang seharusnya saya manja saya sebagai manusia beragama. dengan pelukan. Bagaimana saya bisa merebahkan Selesai shalat, selayak seorang istri, saya mencium kepala di dadanya agar saya menemukan ketenangan? tangannya. Sementara acapkali matahari terbenam perupaan “Berdoalah. Pinta apa yang Dik Taris inginkan.” binatang tak ada hentinya. Kata-katanya bagai aliran telaga yang sangat Pagi masih belum sempurna ketika ia menyejukkan. Saya mengangguk. Ia menengadahkan menggenggam tangan saya dan mengajak jalan-jalan tangan dengan khusyuk. Saya mengikuti. Lamat-lamat, mengitari perkampungan. Menikmati denyar pagi dan

288 289 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LELAKI KETUJUH | Fandrik Ahmad melihat petakan sawah yang menghijau. Burung- matahari kembali ke peraduan, ia selalu menjauh. Saya burung keluar dari sarang. Satu hal yang sangat indah sampai bertanya, tidakkah bosan dengan keadaan di pagi itu adalah wajahnya tak berubah keruh setelah seperti ini? Bukankah pernikahan itu hanya sebagai semalam saya usir dengan sadis. alat pemuas nafsu? “Apa yang terjadi semalam?” “Itu anggapan yang salah. Keinginan biologis tentu Saya duduk di pondok bambu di sebuah pematang pasti ada. Tetapi tujuan menikah semata karena untuk sawah menghadap matahari yang perlahan terbit. Saya menyempurnakan agama. Tahukah Dik Taris bahwa menghela napas dan mengembuskan pelan. Semoga kesenangan dan kebahagiaan itu berbeda? Kesenangan semua bisa terjawab pagi ini. muncul dari nafsu, sementara kebahagiaan datang dari “Setiap malam merenggut, halusinasi itu pasti hati. Kesenanganlah yang membuat kita tidak pernah datang. Perubahan wajah pada semua orang yang puas,” tukasnya. menjadi suami Taris. Taris tidak tahu apa penyebabnya. “Lau apa gunanya jika seorang istri tidak bisa Semuanya kembali normal ketika adzan Subuh memanjakan suami?” berkumandang. Saya melihatmu menjadi seekor “Soal Dik Taris tidak bisa melaksanakan kewajiban bunglon dan serigala. Kejadian seperti ini sudah layaknya seorang istri, saya ikhlas. Barangkali ini adalah berlangsung lama, sejak pernikahan pertama. Rasanya cobaan bagi saya, bagi keluarga kita.” Taris lelah sekali.” Saya tatap-lekat wajahnya yang bening. Mata yang “Saya bisa mengerti. Mari bersama-sama untuk tak jauh berbeda dengan pendar langit pagi. Mata itu menyembuhkan penyakit itu. Dik Taris tidak keberatan seolah memberi energi kesabaran. kan jika saya sebut penyakit?” Air mata tak bisa saya sembunyikan. “Tidak. Taris memang selalu menganggap Ia berdiri di ambang pintu. Krek. Krek. Tangannya ketidakwajaran adalah penyakit. Ibu juga selalu bilang membandul daun pintu berulang ke depan-belakang. bahwa apa yang Taris rasakan adalah penyakit.” Sesekali memainkan gerendel. Tampaknya ada sesuatu “Tak ada yang sulit selama kita mau berusaha dan yang dicari. Entah apa. Bubungan tak lepas dari berdoa. Matahari sudah tinggi, kita pulang sekarang,” perhatiannya. katanya seraya membantuku berdiri. Ia mundur dua langkah. Pandangannya ke depan Sudah dua bulan lima hari kami menikah. Selama tak terbatas. Diam cukup lama, lalu kembali lagi posisi itu saya tidak pernah tidur dengan suami saya. Setiap semula, dan maju dua langkah hingga kedua kakinya

290 291 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LELAKI KETUJUH | Fandrik Ahmad menyentuh tanah. Ia menatap langit. Mega belum sepenuhnya hilang saat Kiai Zainur “Aneh,” desisnya setelah melintasi pintu berulang mengetuk daun pintu. Namun, saya sudah mengunci kali. pintu kamar sebelum gelap menancapkan cakarnya. “Ada apa?” saya coba memberanikan diri. Saya mencuri pandang dari celah-celah pintu. “Tidak apa-apa. Sudah shalat?” Keduanya, guru dan murid itu, terlibat sebuah “Ya.” percakapan serius. Air mukanya tampak keruh. Saya diam tidak tahu Adzan Maghrib berkumandang. Suami saya harus berkata apa. Tanpa memberi tahu, saya yakin mengetuk pintu kamar, mengajak shalat berjamaah. ada sesuatu yang disembunyikan dalam pikirannya. Saya jadi deg-degan membayangkan rupa “Coba ke sini.” bagaimanakah yang akan saya temui. Pelan daun pintu Saya mendekat. saya buka dan saya menutup mata serapat-rapatnya. “Pandangilah langit itu.” “Buang rasa takut itu. Dia suamimu,” tukas Kiai Zainur. Saya manut. Saya masih belum berani menyingkirkan kedua “Sekarang lewati pintu itu dan pandangi lagi langit telapak tangan dari muka saya, hingga sepasang telapak yang tadi pandang.” tangan memberikan kekuatan keyakinan dan Saya melewati daun pintu dan memandang langit keberanian betapa yang hadir di hadapan saya adalah pada titik yang sama. sebenarnya suami. Senyum dan pandangannya adalah “Apa Dik Taris merasakan sesuatu yang janggal?” sebenarnya imam dalam hidup.Perlahan sepasang Saya terhenyak. Benar. Langit tampak berbeda. tangan itu menyibak tangan saya. ketakutan seketika Lebih hitam dan gelap. Saya mendekat ke sisinya dan menghilang oleh senyum yang mengembang dari sudut kembali memandang langit pada titik yang sama. Langit bibirnya. tampak lebih cerah. Lebih berenergi. Kiai Zainur duduk khidmat di atas hamparan “Kenapa bisa berbeda?” sajadah. Ia minta segelas air putih. Tasbihnya berputar- “Entahlah. Saya juga tidak tahu. Nanti saya coba putar. Dengan sebuah isyarat ia meminta kami tanyakan pada Kiai Zainur,” tukasnya. Kiai Zainur mengikuti apa yang diucapkannya. Selesai berdoa dan adalah pengasuh pesantren di mana ia menimba ilmu meniup air putih, Kiai Zainur melangkah ke beranda. agama. Katanya Kiai Zainur ahli dalam perkara ilmu- Langkahnya pelan, tegak, dan berwibawa. Pintu ilmu gaib. terbuka. Segelas air putih itu disiramkan pada undakan

292 293 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SANG PEMAHAT | Budi Darma tanah di depan pintu. Pada tanah basah itu, ia menyuruh suami saya menggalinya dengan tangan. Selang beberapa menit, ada yang tampak di permukaan. Sang Pemahat Sehelai kain usang. Panjangnya kira-kira dua jengkal. Suami saya segera menyerahkannya. “Sehelai kain kafan,” tukas Kiai Zainur. Kami bersipaku. Diam dalam bahasa masing- Budi Darma masing, mempertanyakan kain itu mengapa bisa Minggu, 02 Agustus 2015 terpendam di depan pintu rumah. Sesungging senyum dari masa lalu tiba-tiba hadir dalam pikiran. Tetapi saya tak berniat untuk menceritakannya. NI dia, sang pemahat terkenal, Jiglong Bulan menggantung di pelepah randu. Dua buah namanya, nama asli dari kedua orangtuanya bohlam dikerubung serangga malam. Gigil, tentu saja. diI desa, bukan nama buatan setelah dia terkenal Paras bulan sempurna rebah di wajahnya yang teduh. atau ingin terkenal. Dua gigi depan Jiglong Matanya serupa langit berbintang. Kami menghabiskan sudah lama rontok, dan tidak pernah diperbaiki. separuh malam dengan dzikir. Tentu, setelah kami Wajahnya memendam bekas luka-luka lama, menunaikan kebahagiaan yang sempurna.  yang juga tidak pernah diobati. Cara Jiglong berjalan biasa, tapi kalau diamat-amati akan tampak, dia agak pincang. Kendati memendam bekas luka-luka lama, wajah Jiglong memberi kesan teduh, damai, dan pasrah. Barang siapa berdekatan dengan dia dan mau berkata dengan jujur, pasti mengaku terus terang bahwa wajah Jiglong memancarkan rasa tenang. Rumah Jiglong terletak di Ketintang Wiyata, dari depan tampak biasa, tapi begitu seseorang masuk ke dalam rumah akan

294 295 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SANG PEMAHAT | Budi Darma

mengetahui, bahwa bagian belakang rumah itu luas, dan seperti wajah Jiglong sendiri, terasa teduh. Di bagian belakang rumahnya itulah Jiglong bekerja sebagai pemahat. Dia tidak mau gagah-gagahan, tidak mau memasang papan nama sebagai pemahat, tapi, awalnya, dari cerita dari mulut ke mulut, nama dia dikenal di banyak kota di Indonesia, kemudian menyebar ke beberapa negara di luar negeri, apalagi setelah dia mengunggah gambar karya-karyanya melalui internet. Berapa umur Jiglong tidak ada yang tahu, bahkan Jiglong sendiri pun tidak tahu. Dia lahir dari rahim seorang perempuan desa, buta huruf, dan tidak mempunyai pekerjaan kecuali kalau disewa untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar. Ayahnya, Sowirono namanya, sama dengan istrinya, buta huruf, tidak mempunyai apa-apa. Kendati tidak tahu umur tepatnya, Jiglong sadar, pada suatu saat dia harus memiliki istri, dan memiliki anak dari darah Jiglong dan istrinya. Pada suatu malam Jiglong bermimpi, naik sepeda tanpa arah, dan ketika sampai di kawasan Kawatan tidak jauh dari Tugu Pahlawan, tampaklah sebuah pemandangan yang menakjubkan. Ada pengemis perempuan, buta, duduk di pinggir jalan. Kemudian lewatlah seorang perempuan rupawan, wajahnya memancarkan rasa tenang, mendekati pengemis buta, lalu memberi sedekah berupa uang dalam jumlah besar. Jiglong terbangun, lalu berkata kepada dirinya sendiri,

296 297 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SANG PEMAHAT | Budi Darma

“Mungkin perempuan itulah yang kelak akan menjadi menangisi kedua orangtuanya. Orangtua yang baik hati istri saya.” itu, selalu siap untuk berkorban, tanpa memikirkan Jiglong sadar, menolong sesama, apalagi kepada pahala. Berbuat baik adalah kewajiban yang digariskan orang-orang duafa, adalah kewajiban hidup oleh Tuhan Seru Sekalian Alam, kewajiban yang sebagaimana telah digariskan oleh Tuhan Seru Sekalian memang harus dilaksanakan. Alam melalui para Nabi-Nya. Dan Jiglong juga benar- Pada suatu hari, ketika sedang iseng membaca benar tahu, penghasilan dia bukanlah milik dia, tetapi koran, dengan mendadak Jiglong terperanjat ketika milik Tuhan Seru Sekalian Alam yang dititipkan kepada melihat potret seseorang mirip Jiglong sendiri bersama dia, sementara sebagian dari penghasilan itu wajib istrinya. Mereka suami istri, sama-sama ahli bedah diteruskan kepada orang-orang jujur yang memerlukan- jantung terkemuka, tamatan Fakultas Kedokteran nya. Tidak seperti kebanyakan orang, memberi dengan Hannover, Jerman, sudah pernah praktek di banyak harapan mendapat pahala setelah nyawanya dicabut negara di Eropa, Amerika, dan Kanada. Karena mereka oleh Malaikat Maut, Jiglong memberi karena memberi sadar bahwa dokter bedah jantung di Indonesia sangat adalah kewajiban. jarang, mereka merasa berkewajiban untuk pulang ke Jiglong punya beberapa mobil, semuanya mobil Indonesia. Nama dokter itu Gerry Dewata Raja, dan untuk bekerja, bukan untuk bermewah-mewah. Tapi, istrinya dokter Ruth Anita Dewayani. Jiglong yakin kalau ada waktu senggang Jiglong suka naik sepeda, berita mengenai dua dokter ini tidak murni, semacam entah ke mana tidak peduli, semua diserahkan kepada iklan terselubung. kehendak hati dan kakinya. Kadang-kadang, setelah Sebetulnya malam itu Jiglong mengantuk, tapi naik sepeda ke sana kemari, Jiglong duduk tidak jauh karena gelisah, tidak bisa tidur. dari rel kereta api Surabaya-Yogya di kawasan Dokter suami istri itu praktek di sebuah rumah Ketintang Selatan. Jiglong melamun, kadang-kadang besar di Citraland, kawasan mewah dan sepi, meneteskan air mata. Dulu, ketika masih kecil, oleh bertetangga dengan tiga atau empat rumah saja, saudara angkat dan teman-temannya, Jiglong pernah masing-masing dijaga satpam. Serangan jantung bisa dilemparkan ke rel kereta api, ketika kereta api sudah terjadi setiap saat, tidak peduli jam berapa. Karena itu benar-benar mendekat. pasien boleh datang jam berapa pun, dan karena Kalau teringat peristiwa mengerikan itu, Jiglong pasiennya banyak, tempat praktek itu tidak pernah sepi. tidak sekadar menangisi dirinya sendiri, tapi juga Dua dokter itu menyewa beberapa dokter, perawat,

298 299 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SANG PEMAHAT | Budi Darma dan pegawai, datang bergiliran, dua puluh empat jam suka berkelahi, berbohong, dan kadang-kadang setiap hari. Rasa mengantuk datang merayap-rayap, mencuri. Dan mulai saat itulah, Jiglong sering disakiti dan Jiglong pun tertidur, dan bermimpi masa anak- dan difitnah oleh Juntrung. anak di desa dulu. Pada suatu malam, rumah bobrok Jiglong menaruh curiga, dokter Gerry Dewata Raja ayahnya dimasuki dua orang dari Desa Gelambir, tidak lain adalah Juntrung. Sejak kecil Juntrung memang memberi tahu bahwa Pak Jalidin, abang kandung ayah pandai, dan disegani teman-teman sekolahnya. Hampir Jiglong, meninggal tadi pagi. Istri Pak Jalidin sudah lama semua perintah Juntung dituruti oleh teman-temannya. meninggal, dan anak satu-satunya, Juntrung namanya, Mula-mula semua guru menyayangi Juntrung, tapi lama- akan telantar kalau tidak ditolong, dan karena itu tidak kelamaan mereka sadar bahwa Juntrung tidak lain ada yang merawat Juntrung. Setelah berbisik-bisik adalah anak berbahaya. beberapa saat kepada ayah Jiglong, dua orang itu minta Untuk membuktikan kecurigaannya, pada hari diri karena mereka mendapat panggilan untuk bekerja Kamis, 13 Agustus 2015, sekitar jam enam senja, Jiglong di kapal pesiar berbendera Turki. mendatangi tempat praktek dokter Gerry Dewata Raja, Malam itu juga Jiglong diajak ayahnya menuju Desa menyamar sebagai pasien. Dari layar di komputernya, Gelambir, dengan bekal dua batang gula jawa utuh, penerima tamu melihat kedatangan Jiglong dengan dan pecahan-pecahan gula jawa yang sorenya rontok mobil kotornya, dan melihat Jiglong berpakaian di jalan menuju ke pasar. Gula jawa adalah senjata sembarangan. ampuh untuk menahan rasa lapar. Ketika Jiglong mendekat, penerima tamu berbisik: Pagi hari mereka tiba di Desa Gelambir, menuju “Maaf, Bapak, sebaiknya Bapak ke dokter lain saja.” ke rumah mBok Minem, janda tanpa anak, sambil Senyum, wajah, dan kilat mata Jiglong yang serba membawa dua batang gula jawa utuh. Di rumah mBok teduh justru membuat penerima tamu gugup. Minem mereka menemukan Juntrung, anak yang, Dengan sabar Jiglong antre, dan begitu dipersilakan menurut mBok Minem dan beberapa tetangga, tidak masuk oleh perawat, mata Jiglong langsung bertabrakan disenangi oleh siapa pun. dengan mata dokter Gerry Dewata Raja. Sama dengan Mulai pagi itulah ayah dan ibu Jiglong menganggap dahulu, mata dokter Gerry Dewata Raja memancarkan Juntrung sebagai anaknya, sebagai saudara Jiglong. Dan sinar yang sangat merendahkan Jiglong. mulai saat itulah, ayah dan ibu Jiglong merasakan “Ayah kamu selamanya sok bijaksana, ya. Mengutip kesengsaraan karena Juntrung benar-benar kurang ajar, kata-kata Nabi, ’nasib tidak ditentukan oleh Tuhan,

300 301 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SANG PEMAHAT | Budi Darma tapi oleh usaha diri sendiri.’ Apa ayah kamu mampu Dengan alat suntik bekas, darah Juntrung disedot mengubah nasibnya, he?” banyak-banyak, lalu dibuang. Darah Jiglong disedot Jiglong pulang, hatinya terketar-ketar, keringat banyak-banyak, lalu dimasukkan ke tubuh Juntrung. dingin membasahi tubuhnya. Lalu dengan nada penuh keyakinan Kepala Sekolah Setelah tiba di rumah, dengan perasaan tidak jelas berkata: “Mulai hari ini, Juntrung, kamu akan menjadi Jiglong membongkar setumpukan koran, dan anak baik seperti saudara kamu, si Jiglong.” tampaklah koran hari Kamis, tanggal 16 Juli 2015, tepat Selama berminggu-minggu Juntrung dan Jiglong sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri 1436 tahun Hijriah. sakit keras. Kepala Sekolah ditangkap polisi, dan Mata Jiglong tertumbuk pada berita di halaman keesokan harinya kena serangan jantung, meninggal. pertama, “Warna Kulit Berubah Sama Dengan Donor Begitu terbangun dari mimpi, tanpa sadar Jiglong Liver”. Terceritalah, seorang laki-laki bernama Igor mengambil alat-alatnya, lalu dengan sedu-sedan Semen Glender dari kota Krasnodar, barat daya Rusia, memahat dua pasang nisan dengan ukiran yang sangat pernah menderita kanker hati. Lalu dia terbang ke indah. Nisan pertama ditandai “Dokter Gerry Dewata Amerika, ganti hati, donornya seorang kulit hitam Raja alias Juntrung, meninggal pada hari Jumat pagi, keturunan Afrika. Ternyata, kulit Igor makin lama jam 03.17, tanggal 14 Agustus, 2015,” dan nisan kedua makin hitam, dan wajahnya pun lama-kelamaan mengabarkan, dokter Ruth Anita Dewayani, meninggal berubah, mirip wajah donor. Sumber berita pada hari dan tanggal sama, jam 03.45. mirror.co.uk/c6/sof. Malam itu, Kamis, 13 Agustus, 2015, tanpa alasan Jiglong tertidur, dan dalam mimpinya terputarlah yang jelas semua dokter pembantu, perawat, pegawai, pengalaman masa lalu. Kepala Sekolah membeli bekas dan satpam pulang hanya beberapa saat setelah Jiglong alat suntik dari seorang tukang rombeng. Karena diusir. Mereka merasa udara tiba-tiba menjadi panas, merangkap sebagai guru Ilmu Kesehatan, Kepala padahal angin bertiup dengan kencang, tidak seperti Sekolah merasa tahu bagaimana membuat orang sakit biasa. Dan, beberapa jam kemudian, Jumat, tanggal jadi sehat. Dengan disaksikan Wakil Kepala Sekolah, 14 Agustus, sekitar jam 03.00 pagi, dua perampok Kepala Sekolah memanggil Juntrung dan Jiglong. membunuh dua orang dokter itu.  “Juntrung,” kata Kepala Sekolah. “Jiglong adalah saudara kamu. Dia anak baik. Berhati mulia. Kamu anak jahat. Darah kamu busuk.”

302 303 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEPASANG KEKASIH DI BAWAH RERUNTUHAN | AK Basuki Sepasang Kekasih di Bawah Reruntuhan AK Basuki Minggu, 09 Agustus 2015

IBUAN malaikat akan turun ke bumi di malam-malam suci yang bahagia. Begitu punR pada malam-malam tersunyi menjelang ajal. Di pintu-pintu rumah mereka menunggu, di  ambang jendela, di sudut-sudut kamar, di sela- sela genting, usuk, dan di mana saja cahaya langit bisa menerobos. Mereka ada sebagai perpanjangan tangan Tuhan. Utusan-utusan berupa cahaya mulia yang tak kenal angkara, hanya kasih sayang dan kesetiaan. Salah satunya mendatangi sepasang suami istri yang sama-sama merasa waktu telah hampir berhenti. Menanti, ia, seperti abdi yang menjagai sepasang raja dan ratu. Sosoknya tak kasatmata, namun telah dikenali lewat suara sang istri yang gemetar. “Aku melihat malaikat maut. Seorang lelaki berperangai halus dan berwajah rupawan.

304 305 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEPASANG KEKASIH DI BAWAH RERUNTUHAN | AK Basuki

Awalnya tak sedekat ini, tapi semakin lama semakin dekat hingga embusan napasnya serasa akan mencapai leherku.” Dia melantur. Sang suami, yang pernah mendengar kisah-kisah tentang malaikat, hanya tahu bahwa makhluk-makhluk suci itu tak punya jenis kelamin. Dan dia percaya, seperti apa kau ingin melihatnya, begitulah jadinya mereka. “Kau melantur,” katanya. Perkataan istrinya sebisanya dia anggap omong kosong. Halusinasi yang muncul akibat kejadian luar biasa yang menantang batas kekuatan dan ketabahan mereka. Tapi tetap saja hatinya tak mampu memungkiri kemungkinan bahwa itu adalah sebuah firasat. Pikiran yang mau tak mau membuatnya semakin takut kehilangan. Di ranjang yang hancur, sepasang suami istri itu tak berdaya terhimpit reruntuhan tembok, perabot, plafon, dan genting ambrol yang timpa-menimpa hingga hanya menciptakan sedikit rongga. Dalam ruang gerak sesempit itu, hanya sang suami yang masih mampu bergerak. Itu pun sekadar memindahkan tekanan pada beberapa titik di tubuhnya dengan menggunakan kedua siku berganti-ganti. Istrinya telungkup tak bergerak. Reruntuhan rumah telah menghantam punggungnya ketika amukan bumi membuat tanah seperti hamparan tikar pandan yang dikebutkan hingga meratakan seluruh desa. Sang suami masih bisa meraih punggung dan

306 307 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEPASANG KEKASIH DI BAWAH RERUNTUHAN | AK Basuki bagian belakang kepala istrinya walaupun tubuh mereka patah. Tak tertahankan, dia mengaduh. terhalang sebuah balok. Tangannya bisa mencapai leher Istrinya mendengar dan bertanya khawatir, “Kau yang dingin itu, mencoba sekadar terus merasakan tidak apa-apa?” denyut kehidupan yang akan terus memompa “Tidak.” semangat hidupnya. Tidak dia pikirkan dirinya sendiri. Lalu diam. Selama hampir 40 jam yang telah dilalui, Jika ada yang harus mati, dialah orangnya. Bahkan jika bukan hanya sakit dan dingin yang mereka rasakan. saja nyawanya hanya tinggal separuh, akan dia berikan Lapar dan dahaga pun menantang. Sesekali tertidur, semua demi kehidupan istrinya. sesekali saling membangunkan karena dalam keadaan “Yang akan datang kemari adalah malaikat seperti itu, tetap dalam keadaan sadar adalah pilihan pembawa keselamatan,” gumamnya yang hanya dibalas terbaik. dengan getaran ritmis tubuh istrinya, menahan dingin. Berkali-kali mereka merasakan gerakan-gerakan di Dia tahu tubuh perempuan itu telah ringkih sebelum atas sana, bising alat-alat berat yang bekerja, juga suara- ini. Dia pun tak kalah ringkih, tapi daya tahan tubuhnya suara orang memanggil tepat di atas reruntuhan, tapi sendiri masih bisa diandalkan. mereka tidak mampu balas berteriak. Pastilah Sekuat tenaga dia mencoba menggerakkan tubuh, yang sulit membuat pertolongan yang diharapkan terasa berusaha keras melepas baju tidur untuk melingkupi lama sekali mencapai mereka. tubuh istrinya. Gagal, tetapi reruntuhan di sekitar “Dia semakin dekat, malaikat itu,” sang istri mereka justru bergerak. bergumam lagi. “Beradu cepat dengan orang-orang “Apa yang kau lakukan?” yang membongkar puing-puing di atas sana. Jika dia “Melepas bajuku.” lebih cepat dari mereka, yang tersisa di sini hanya “Untuk apa?” tinggal mayat untuk dikuburkan.” “Untukmu. Kau mulai gemetar kedinginan.” “Heh, bicaralah tentang hal lain saja.” “Jangan. Kau pun pasti kedinginan,” kata sang istri. “Sudah habis bahan pembicaraan kita. Tidak ada “Sama sekali tidak,” balas sang suami. Dia bohong. apa pun yang tidak pernah kita bicarakan selama 50 Saat itu hawa dingin justru sedang gencar-gencarnya tahun ini. Hal kematian justru adalah sebuah memakan setiap senti kulitnya. Tanpa terasa, gigi- pembicaraan yang baru.” giginya saling mengetuk tanpa bisa tertahan. Dibukanya Sang suami terdiam. Sejak hari pertama dia ingin mulut lebar-lebar, tapi sendi rahangnya malah serasa sekali mendekat pada istrinya, berpelukan untuk saling

308 309 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEPASANG KEKASIH DI BAWAH RERUNTUHAN | AK Basuki membagi ketakutan dan semangat mereka. Bisa saja “Aku hanya ingin mendekat. Orang-orang yang dia memaksakan untuk menarik kedua kakinya yang membongkar puing-puing di atas sana justru bisa terjepit reruntuhan itu tanpa menghiraukan rasa membahayakanmu.” sakitnya, tapi dia sangat takut jika gerakan apa pun Reruntuhan di atas mereka bergerak sedikit demi yang melebihi ruang yang dimilikinya akan sedikit, seperti hidup dan semakin mempersempit membahayakan mereka berdua. rongga yang mereka diami. Sang suami tahu, gerakan- “Aku sudah tidak berharap lagi untuk hidup. Kau?” gerakan para penyelamat di atas mereka bisa menjadi “Kau harus hidup. Bahkan jika aku harus mati, bahaya yang baru. Dia hanya ingin melindungi istrinya. kau tidak akan kubiarkan mati.” Tangannya meraba-raba lalu menggapai balok yang Sang istri terkekeh, sepertinya kesadarannya sudah melintang memisahkan mereka, menjadikannya mulai tercerabut sedikit demi sedikit hingga hanya tumpuan untuk menarik tubuhnya sekuat tenaga. Tak tinggal ekstase yang dirasakannya. Kata-katanya dirasakannya nyeri di kedua kaki yang membuat sekujur melantur. tubuhnya bergetar hebat. Tapi dia harus berpacu “Sebentar lagi mungkin aku akan melihat seluruh dengan waktu. riwayat hidupku dipampangkan oleh malaikat itu.” “Aku akan mati, bukan?” terdengar lagi istrinya “Diamlah,” suaminya memohon. Oleh rasa takut berkata sebelum kelopaknya benar-benar tertutup. yang bukan untuk dirinya sendiri, juga merasa bahwa “Kau tidak akan mati, Sayang,” sahut sang suami waktu semakin habis, lelaki itu akhirnya nekat mencoba setelah tubuhnya sempurna berada di atas punggung menarik tubuh bagian bawahnya. Akibat gerakannya istrinya, menjadi perisai. yang justru tidak terlalu kuat, pecahan-pecahan Lalu reruntuhan di atas mereka benar-benar jatuh. bangunan longsor menjatuhi kepalanya. Tapi “Ada dua orang!” teriak seseorang dan misi kegigihannya membuat sebelah kakinya lepas. penyelamatan segera difokuskan pada titik di bawah “Jangan banyak bergerak. Reruntuhan ini bisa kakinya. Dua hari setelah bencana, menemukan korban semakin mengubur kita sebelum pertolongan datang selamat yang tertimbun reruntuhan adalah keajaiban. akibat gerakanmu. Bukannya aku takut mati. Jika saja “Posisi sang suami telungkup di atas tubuh istrinya,” kita bisa memperlambat kematian, itu bukan lagi karena kata seorang anggota tim penyelamat dengan prihatin aku mengharapkan keselamatan, tapi hanya untuk lebih setelah tubuh kedua suami istri itu telah berhasil lama lagi bersamamu.” dievakuasi tiga jam setelah ditemukan. “Bersama hingga

310 311 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TAJEN TERAKHIR | Gde Aryaantha Soethama maut memisahkan. Mengharukan dan membuatku iri.” “Maksudmu, kau rela mati demi orang yang kau sayangi?” bisik kawannya. Tajen Terakhir “Yang jelas, seorang dari mereka akan melalui sisa hidupnya tanpa yang lain. Kau sendiri lebih suka mengenang atau dikenang? Kau lebih memilih membawa kembang ke kubur orang yang kau cintai Gde Aryantha Soethama atau sebaliknya?” Minggu, 16 Agustus 2015 Lalu hening di antara mereka. Di sebuah tempat berdimensi tak berbatas yang putih tanpa noda, sepasang suami istri duduk ONTAR Pengayam Pegat cuma sembilan berdampingan. lembar, berbahasa campuran Jawa Kuno “Di mana kita?” tanya sang istri. “Di surga? danL Bali Tengahan. Made Sambrag kebetulan Malaikat itu benar telah menjemput kita?” mendapatkan lontar itu teronggok dalam almari “Bukan, Sayang. Kita ada dalam mimpi.” lapuk milik kakeknya. Dibantu orang-orang “Mimpi siapa?” desa yang senang membaca kakawin, mereka “Mimpi siapa lagi? Ini mimpimu.” sadar itu lontar penting bagi siapa saja yang “Cih!” sang istri mencubit pinggang suaminya dan ingin berhenti judi menyabung ayam. tertawa. “Aku tidak merasa sedang bermimpi. Ini pasti Dulu Made Sambrag bebotoh kelas wahid. mimpimu. Aku sudah mati.” Tapi, ketika ia melaksanakan ajaran lontar Sang suami membuat ekspresi wajah kesakitan Pengayam Pegat, ia ogah ke tajen. Ia seperti yang lucu. Lalu dikecupnya kening istrinya itu lama sekali. lahir kembali, jadi manusia arif penasihat bagi Sangat lama sehingga rasa-rasanya puluhan tahun siapa saja yang berniat meninggalkan tajen, kehidupan yang telah mereka lalui bersama telah menjadikannya cuma sekerat masa lalu yang kembali dijalani hanya dengan sebuah ciuman. getir. Kepada mereka yang bersungguh- “Begini saja, mimpi siapa pun ini, jangan pernah sungguh, Sambrag meminjamkan lontar terbangun. Kau setuju?”  Pengayam Pegat. Cigugur, 16 Mei 2014 Nyoman Pongkod bertekad berhenti

312 313 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TAJEN TERAKHIR | Gde Aryaantha Soethama

menyabung ayam. Lontar sudah dalam genggaman. Ia cakupkan tangan di dada, setengah membungkuk menyampaikan terima kasih kepada Made Sambrag, karib yang meminjamkan lontar itu. “Suksma, Sam. Aku akan berjuang melakoni aturan dalam lontar.” “Syaratnya tidak berat, Pong,” ujar Sambrag membesarkan hati. “Bacalah dengan saksama, dan patuhi semua syarat.” Lontar itu harus diletakkan di kamar tersendiri, di hulu tempat tidur, disajeni saban hari. Di kamar itu Pongkod mesti tidur sendiri, menunggu hari baik ke tajen. Ia meminta bantuan penekun sastra klasik untuk membaca aksara Bali di lontar itu, memahami dengan saksama maknanya. Lontar itu akan memberi dewasa ayu, disesuaikan perhitungan hari lahir. Berulang ia dapatkan hari baik kelahiran, tetapi tak ada tajen berlangsung. Atau ketika tajen digelar, itu bukan hari baik sesuai kelahirannya. Sebelum membaca dan menghayati isi lontar, ia tepekur seolah menjadi orang suci. Sejak belajar meresapi makna lontar ia pantang menggauli istri. Pongkod nyaris putus asa, sudah lebih empat bulan ia menunggu. “Bersabarlah, dewasa ayu kelak menjadi milikmu,” bujuk Sambrag cuma berselang sepekan ketika Pongkod mendapat kabar ada tajen di Dusun Pengalun, setengah jam jalan kaki dari rumahnya. Ia berseri-seri

314 315 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TAJEN TERAKHIR | Gde Aryaantha Soethama ketika tajen itu berlangsung padu dengan hari baik akan kambuh. Harus dicari hari baik yang baru. Ini kelahirannya. sungguh-sungguh perjalanan sunyi sepi sendiri. “Akhirnya tiba juga hari milikku,” kata Pongkod Pongkod memilih jalan sempit, mengendap-endap gembira menyambangi Sambrag. di pematang, menelusup ke tegalan, dan menelusuri “Puaskan dirimu menikmati tajen terakhir, Pong. tebing Tukad Petanu berair jernih, yang selepas pagi Bertaruhlah sampai petang, hingga adu ayam hingga sore riuh oleh perahu-perahu karet mengantar penghabisan, sampai tajen selesai,” saran Sambrag. turis-turis rafting, meliuk-liuk di antara batu-batu sebesar Lontar mensyaratkan Pongkod harus puasa bicara gerobak. sepekan, sebelum datang ke tajen. Di depan lontar ia Hari itu di tajen Dusun Pengalun, Pongkod suntuk bersamadi. Terus-menerus memusatkan pikiran bebotoh pertama tiba. Pedagang ayam betutu dan babi dan niat, memohon agar tajen yang akan ia datangi guling berdatangan silih berganti dengan penjual benar-benar yang terakhir. Ia bertekad, tak peduli kalah cangkul, caluk, sabit dan parang, yang menggelar atau menang, akan menyudahi judi. Niat buka warung dagangan di bawah pohon kemiri. Pongkod berkeliling, menjual jus buah bulat sudah karena di desanya mulai menoleh kiri-kanan, kemudian memergoki James Brolin ramai para pendatang yang tinggal di permukiman berteduh di bawah rimbun rumpun bambu. baru. Mereka pekerja di restoran dan hotel di Nusa “Halo Bro, sudah punya lawan?” sapa Pongkod. Dua, Jimbaran atau Kuta. Dari pada bayar sewa kos “Om swastiastu Pong, apa kabar?” seru James mahal, mereka memilih mencicil rumah, dan pulang- menjabat tangan Pongkod. “Belum, belum ada yang pergi ke tempat kerja naik motor sejam lebih. Merekalah melawan saya. Kamu?” sasaran penikmat jus yang akan dijual di warung Pongkod menggeleng. “Belum juga.” Pongkod. Beberapa bulan belakangan James Brolin, Di hari keberangkatan, Pongkod menghaturkan antropolog dari Universitas British Columbia, Kanada, sesaji dengan anak ayam yang ia pelintir lehernya hingga hilir mudik ke berbagai sabungan ayam untuk tewas di depan gerbang rumah. Ia berangkat dini hari, melengkapi disertasinya tentang hiruk-pikuk psikologi masih gelap, agar tak bersua siapa pun di jalan. Tak tajen. Tentu disertasi itu akan diterbitkan menjadi buku boleh ada orang menyapanya, seperti disyaratkan dan para pakar sosial Tanah Air ramai-ramai lontar. Jika ada yang menegur sapa, perjalanan ke tajen merujuknya. Sudah lazim begitu, banyak orang bangga terakhir dianggap gagal, niat menyabung ayam pun mengutip hasil penelitian bumi sendiri yang dikerjakan

316 317 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TAJEN TERAKHIR | Gde Aryaantha Soethama peneliti asing. maju ingin tahu si brumbun atau si merah yang akan James Brolin dikenal akrab dan luas para penyabung terkapar. ayam karena ikut langsung berjudi untuk mendalami Tiba-tiba sepi sejenak ketika si brumbun dan si apa yang ia teliti. Banyak yang menyukai James karena merah dilepas. Dua jago itu berhadapan penuh amarah, ia bertaruh dengan dollar, selain ia fasih berbahasa buku-bulu leher berdiri, sayap direntangkan, mata Indonesia, kadang menggunakan bahasa Bali, kendati membelalak tajam penuh awas. Si merah terbang sengit sepotong-sepotong. Logatnya khas bule, percakapan menyerang mengayunkan kaki, si brumbun merunduk jadi jenaka, membuat para bebotoh tergelak-gelak. gesit. Si merah berbalik, maju empat langkah mendekati James dan Pongkod sepakat bertaruh, mencari si brumbun, mengulang sergapan. Si brumbun celah ke bibir arena, di antara bebotoh yang merebahkan diri tengadah dengan kaki terangkat. Para berdatangan. Ada yang bergabung dengan santai, bebotoh berseru “Huuuuu...!” Mereka tahu, taji si banyak pula yang tergopoh-gopoh. brumbun menyabet dada si merah. “Aku pegang yang merah saja, Pong,” tawar James Si merah penasaran, menggebu-gebu mencoba Brolin. berbalik untuk menggebuk dalam serangan ketiga. Tapi “Oke, Bro. Aku yang brumbun kalau begitu. kali ini ia terhuyung, tak kuat melangkah, kemudian Seperti biasa, kamu pakai dollar, kan?” terjerembab. Taji si brumbun menembus temboloknya, James Brolin tersenyum, merogoh saku celana, darah mengucur membasahi bulu-bulu leher dan dada. mengeluarkan dollar, dan menggoyang-goyangkannya Si merah terkulai disertai teriakan gaduh para bebotoh, di depan wajah Pongkod dengan mata terbelalak. berbaur antara desah sedih yang kalah dengan teriakan “Dollar lagi unggul, Pong. Kita hitung satu dollar tiga si pemenang. Si brumbun berkokok, mematuk-matuk belas ribu, oke?” pial si merah yang terkapar tidak berkutik. Pertarungan Pongkod mengangguk-angguk, ditingkah pertama hari itu berakhir singkat. lengkingan “Huuuuu...!” gemuruh bebotoh ketika dua James Brolin menghampiri Pongkod, menggamit- ayam jago itu siap dilepas dengan taji berkilat di kaki. nya ke luar dari kerumunan. “Selamat, Pong,” ujar James Teriakan-teriakan gaduh bebotoh mencari lawan menyerahkan ratusan dollar sembari menjabat sembari mengacung-acungkan tangan menggenggam Pongkod. “Senang bertaruh dengan kamu, ha-ha-ha..” uang, membuat sabung ayam itu hiruk-pikuk. Yang Nyoman Pongkod berseri-seri menerima dollar itu. baru datang, tak ada lawan, tetap mendesak-desak Tapi, bukan dollar itu benar yang membuatnya girang.

318 319 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TAJEN TERAKHIR | Gde Aryaantha Soethama

Memang ia bersyukur ada tambahan modal untuk melihat sepasang sandal perempuan tergeletak di atas mendirikan warung jus buah, tapi yang terpenting ia serakan potongan rumput. Kepalanya berdenyut harus menjadikan ini tajen terakhir. Butuh waktu mendengar suara seperti lenguhan sapi berulang dari setahun Pongkod tidak ke tajen, agar ia bebas ruang bersekat daun kelapa kering, dengan tiang-tiang selamanya dari godaan menyabung ayam. Memang kayu santan. Ia ragu meneruskan langkah. Tak pantas ajaib pengaruh lontar Pengayam Pegat yang membuat mengganggu orang dalam kobaran asmara. Tapi, hasrat Pongkod ingin cepat-cepat pulang. Tak ada niat lagi segera menyampaikan syukur dan terima kasih berada di wilayah dengan puluhan jago terbaik siap membuat ia melanjutkan ayunan kaki, perlahan-lahan. menyabung nyawa. Tak berhasrat sedikit pun ia “Sam.. Sammmm..!” panggil Pongkod memberi meneruskan ke pertarungan berikut. Kedua petarung isyarat kalau ia bertamu. itu sesungguhnya tak benar-benar berniat bertaruh. Melangkahi karung berisi konsentrat makanan sapi, Bagi James Brolin pertaruhan itu untuk melengkapi Pongkod terperanjat menyaksikan pergumulan penelitiannya. Bagi Pongkod itu pertaruhan untuk sepasang manusia hanya enam langkah dari tempat mewujudkan tajen terakhir. dia kini berdiri ternganga. Laki dan perempuan itu “Mau cari lawan lagi, Pong?” tanya James. terperangah, tiba-tiba Pongkod berdiri di hadapan “Tak usah, Bro. Aku mau pulang. Suksma untuk mereka dengan mata terbelalak, geraham bergerak- dollar-dollar ini.” gerak, gigi gemeletuk, menahan bara amarah. Nyoman Pongkod melewati pematang kering, Sambrag melepas pelukan, mendorong perempuan panen belum sepekan usai. Ia berniat mampir ke itu, berdiri sigap, mendobrak dinding dari daun kelapa pondok Made Sambrag, menyampaikan terima kasih. kering, berlari kencang sekuat ia sanggup. Semak-semak Sebelum tengah hari Sambrag biasanya ada di gubuk pohon kem dan ketket berduri ia labrak. Petani yang tempat ia memelihara sapi-sapi kereman. Sebulan sekali sedang menyabit rumput kaget menyaksikan Sambrag Sambrag menjual sapi itu ke pasar hewan Beringkit. berlari kencang telanjang. Ujung kemaluannya masih Tak lama lagi ia akan menjadi saudagar sapi, karena ia menyisakan sperma, berdarah-darah diiris-iris onak mulai sibuk membeli dan menjual sapi-sapi petani. yang tajam. Dada dan lengannya tergores luka. Tak Semua itu berkat jasa lontar Pengayam Pegat, yang peduli perih di sekujur tubuh, berulang ia menoleh ke membuat Sambrag berhenti menyabung ayam. belakang, seakan Pongkod mengejarnya mengacung- Tiba dekat kandang dada Pongkod berdegup acungkan sabit.

320 321 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 TAJEN TERAKHIR | Gde Aryaantha Soethama

Dalam ketakutan amat sangat, ia memerosotkan Aroma gairah percintaan berkobar-kobar masih tubuh berguling-guling di tebing Tukad Petanu. terendus kuat di pondok itu. Pongkod terengah-engah Kepalanya berkali-kali membentur karang, berulang- dalam bekapan amarah, menatap sabit terselip di ulang ia gagal menggapai akar belukar. Tubuhnya terus dinding. Seekor sapi di kandang memamah rumput meluncur, terjun ke sungai. Tiga turis berbikini yang menatapnya tajam mengedip-edipkan mata, seakan sedang rafting bersorak girang ketika Sambrag mengejek dan mendorong-dorong agar ia menyelesai- terjungkal membentur batu. Mereka menduga itu kan perselingkuhan itu dengan tebasan sabit. atraksi dari water sport yang asyik mereka nikmati. Nyoman Pongkod menatap tengkuk istrinya yang Tadi di hulu seorang pendeta memercikkan air suci mulus, jelas berkilat karena rambut tergerai tersibak. buat mereka, memberi kembang sandat dan mantra, Sekujur tubuh Pongkod gemetar hebat, dadanya sesak. demi keselamatan dan kesenangan. “Nikmatilah Perempuan yang ia cintai menunduk beku menunggu perjalanan indah kalian yang penuh atraksi di Tukad keputusan, siap menerima segala tiba.  Petanu,” ujar pendeta. Turis itu bertepuk tangan, mengira Sambrag penyelam hebat, karena ia tak kunjung muncul ke permukaan. Di gubuk, Pongkod termangu seperti orang dungu menatap istrinya duduk merunduk telanjang, dengan rambut tergerai mengusap payudaranya yang subur. “Bunuh saya, Bli! Bunuh.!” isak perempuan itu. “Bunuh, Bli.. sekarang, Bli!” Pongkod menatap istrinya terguncang-guncang oleh rasa bersalah dan pengkhianatan. Kini ia sadar, perempuan yang berbulan-bulan tidak ia jamah demi melaksanakan perintah lontar Pengayam Pegat agar sampai ke tajen terakhir, adalah wanita sintal dengan pinggul padat dalam remasan serakan potongan rumput. Sejak kapan Sambrag membidik sebelum menggumulinya?

322 323 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BOLU DELAPAN JAM | Guntur Alam Balu Delapan Jam

Guntur Alam Minggu, 23 Agustus 2015

EBARAN tanpa bolu delapan jam bukanlah Lebaran bagi ayah. Anehnya walaupunL ibu positif mengidap diabetes kering, ayah tetap saja meminta ibu membuat bolu ini  saat Ramadhan memasuki hari-hari terakhir- pastinya saat Lebaran ibu harus mencicipi juga. Bagiku, menyuruh ibu membuat bolu ini sama saja membunuh ibu secara perlahan. Kadar gula bolu ini berlipat-lipat, gigimu akan ngilu saat gigitan pertama menyentuh lidah. Ganjilnya ibu tak mengeluh, tak membantah, tetap memenuhi permintaan ayah. Mungkin benar cinta dan kesetiaan membuat orang rela melakukan apa pun termasuk mati. Namun, apakah benar cintalah yang membuat ibu seperti itu? Bertahun kemudian, aku tahu jawabannya. Diabetes kering dan usia ibu tak mengubah tradisi di rumah ini. Kata ibu, sejak puluhan

324 325 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BOLU DELAPAN JAM | Guntur Alam

tahun lalu, bolu delapan jam sudah menjadi makanan wajib di setiap rumah saat Idul Fitri di Sumatera Selatan. Aku ingat, ibu mengucapkan itu sembari mengaduk adonan bolu delapan jam. Matanya memandang adonan kue berwarna kekuningan di dalam baskom kecil. Seakan dia ingin menembusnya sampai ke dasar, melihat sesuatu yang gelap, hitam, bergumpal, mengendap di bawah sana, seperti hatinya. Kusadari sekarang, saat mengaduk adonan bola itu, ibu melakukannya tanpa ekspresi tapi penuh tenaga, seolah dia tengah menumpahkan segala amarah di dalam sana. Seakan-akan ada bakteri dalam adonan itu yang harus ibu lumat sampai mati, tetapi sayangnya tak pernah mati. Ibu tak pernah mau menggunakan mikser saat membuat adonan, dia bersetia pada pengencot yang terbuat dari sebatang kayu dan gulungan kawat berbentuk sarang tawon di ujungnya. Alasannya, rasa bolu delapan jam yang dibuat dengan mikser tak sesedap bila menggunakan pengencot kayu. Begitulah ayah dan ibu menjalani kehidupan mereka seperti itu saat menjelang Lebaran, apa pun yang terjadi pada ibu, dia tetap harus membuat bolu delapan jam dan memakannya bersama ayah di hari Idul Fitri, walau itu sama saja dengan bunuh diri secara perlahan. “Apa kau tahu kenapa aku menggunakan dua puluh butir telur bebek untuk adonan ini?” Aku menggeleng. Dalam resep bolu delapan jam yang ibu tuliskan untukku seharusnya ibu

326 327 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BOLU DELAPAN JAM | Guntur Alam menggunakan dua puluh dua butir telur bebek dan adonan. Dia memecahkannya dengan menekan sarang dua butir telur ayam. Namun, ibu menggunakan hanya tawon di ujung pengencot kayu. dua puluh butir. “Gula pasir.” Ibu menunjuk 420 gram gula pasir “Ayahmu suka bolu delapan jam yang rapuh, putih, yang ada di atas meja. Aku tersengat. “Tuangkan!” cantik tapi mudah hancur.” Mata ibu menjelma seperti perintah ibu sembari tangannya masih terus mengaduk lorong panjang yang gelap dan pekat. adonan bolu dengan kuat tetapi hati-hati. Bolu delapan “Dua puluh butir memang pas. Kombinasi yang jam memang seperti gadis muda yang rapuh, matang. Sedang. Mengkal. Begitu enak dikunyah. Terasa adonannya tidak boleh dikocok terlalu kuat karena tak legit. Membuat ayahmu ketagihan. Bila dua puluh dua boleh mengembang, tapi bila tak mengaduk dengan butir telur bebek, bolunya terlalu padat.” tenaga gula pasir di dalamnya tak bisa larut. Perlu teknik Aku tak bersuara, hanya menyimak, kemudian memadukan irama kekuatan dan perasaan. Dan ibu mencatat dalam hati. Suatu saat nanti aku juga akan mahir melakukannya. membuatkan bolu delapan jam untuk suamiku. Bisa Dengan sedikit gugup, aku menuang gula pasir itu. jadi dia juga lebih menyukai bolu delapan jam yang Semuanya. Rasanya aku ingin menuang setengah saja mengkal, rapuh, putih, cantik tapi mudah hancur seperti gula pasir itu, tersebab selain gula ini ibu sudah ayah. menyiapkan sekaleng susu kental manis berwarna putih. Ibu menghantamkan satu per satu telur bebek ke Susu itu pasti akan ibu tuangkan semuanya. Aku sangat tepian baskom, membuat cangkang birunya retak, lalu khawatir bolu ini kemanisan dan ibu akan mati bila cairan bening lengket dan kental menetes, kedua jempol memakannya. tangan ibu menekuknya, memaksa putih dan kuning “Aku tak akan mati. Lihat, aku masih sehat bahkan telur meluncur ke dalam baskom. Namun, pada telur masih bisa membuat bolu yang memeras tenaga dan kedua puluh, ibu tak menghantamkannya seperti perasaan ini.” Dia seakan paham apa yang bersemayam sembilan belas telur lainnya, ibu justru meremas dalam tempurung kepalaku. cangkang telur itu, membuat isi telur menetes-netes Mataku berkaca-kaca. Aku jadi teringat rengekanku dari jarinya. Aku bergetar, tapi ibu tersenyum padaku. dulu, saat tahu ibu mengidap diabetes kering, “Kalau Senyum yang mekar, tapi dingin. ibu mati, nanti ibu jadi sundel bolong.” Hal yang membuatku menelan ludah, dua butir telur “Kau ini,” ibu mencubit lembut pipiku. “Kenapa ayam berikutnya ibu masukkan langsung ke dalam harus jadi sundel bolong? Kenapa tidak jadi bidadari

328 329 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BOLU DELAPAN JAM | Guntur Alam atau peri?” menggerogoti dan dengan beringas melumatmu. Aku menghirup ingus yang tak ada. “Kan ibu “Tuangkan susunya!” sendiri bilang ada lubang di dada ibu, lubang hitam Aku tak membantah. Tanganku gemetar ketika yang tembus ke punggung. Sundel bolong ada lubang susu kental manis berwarna putih itu terjun seperti di punggungnya.” hujan ke dalam baskom adonan. Ibu mengaduknya. Ibu terkekeh. Tawa yang kering. Hambar. Jauh. Cairan susu itu seperti airmata yang mengalir, tak akan Mataku terus mengikuti gerakan tangan ibu yang berhenti sampai kering. Dan aku tak tahu apakah air menggenjot adonan, menyatukan telur dan gula di mata ibu sudah lama kerontang? dalamnya. Ketika membayangkan ibu yang menggigit Saat susu itu habis, aku meletakkan kalengnya di seiris demi seiris bolu delapan jam sambil menahan air atas meja, lalu meraih dua sendok makan terigu dan matanya di depan ayah, ingin sekali aku mengambil satu sendok teh vanili. Ibu belum meminta, tapi aku baskom berisi adonan ini dan menuangkan ke dalam tahu, aku harus menuangkan terigu dan vanili itu ke saluran air. Namun, aku tak punya keberanian. Karena dalam adonan. Tanpa berkata, ibu mengaduk lebih ayah adalah raja di rumah ini, sebagai raja dia berhak keras adonan bolu delapan jamnya saat terigu dan vanili mengatur siapa pun, termasuk aku dan ibu. Sebagai itu kutuang. Keringat tumbuh laksana bentol-bentol raja, ayah berhak memerintahkan apa pun kepada kami. penyakit kulit di pelipis ibu. Dia tak menyekanya, Sebagai raja, ayah boleh menggiring ibu ke dalam peti mungkin ibu berharap keringat itu jatuh ke dalam mati yang pekat. Peti mati yang akan memenjarakan adonan dan menjadi racun yang akan membunuh siapa ibu dalam kegelapan panjang. pun kelak yang memakan bolunya. Ah, imajinasiku “Saringan!” terlalu tinggi. Ucapan ibu membuatku tergesa menarik baskom “Siapkan loyang pengukusnya.” bersih yang ada di samping kanan dan meletakkan Seperti tadi, aku tak membantah. Kutarik loyang saringan plastik di atasnya. Ibu menuangkan adonan aluminium persegi empat berukuran 20 sentimeter x telur dan gula pasir, sisa-sisa cangkang telur yang lebur 20 sentimeter yang sudah kubersihkan. Ibu menuang tertinggal di atasnya, seperti kenangan buruk. Ah, andai perlahan adonan bolu delapan jam ke dalam loyang. saja kenangan buruk bisa disaring seperti itu, tentu “Kau sudah menyiapkan tungku api?” saja aku akan melakukannya. Namun, tidak demikian, Aku mengangguk. Kata ibu, mengukus bolu kenangan akan terus menempel seperti kanker yang delapan jam memang harus memakan waktu delapan

330 331 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BOLU DELAPAN JAM | Guntur Alam jam. Tak boleh lebih, tak boleh kurang. Bila kurang, kepatuhannya pada ayah yang dia selubungi dengan bolunya tidak kenyal, kalau kelebihan bolunya akan kain hitam, tebal, pekat; pada bola matanya yang terlalu padat. Mungkin ibu benar, bolu ini seperti gelas berkaca, aku tahu ibu terus menelan ludah yang begitu kaca yang rapuh, terlalu kuat menggosoknya akan pahit dan mencekik, mungkin bila dia tak tahan lagi, membuat gelas pecah, tapi jika tak digosok akan ibu akan menggigit dan menelan lidahnya sendiri. membiarkan kuman menggerogotinya tanpa ampun. Aku tak pernah tahu, apa alasan ibu terus Selain tak ingin menggunakan mikser, ibu tak memenuhi permintaan ayah saat Lebaran tiba? pernah mau mengukus bolu delapan jam dengan Membuat dan memakan bolu delapan jam bersamanya, menggunakan kompor gas. Harus kayu bakar. Tungku padahal ibu sadar bila kadar gula dalam bolu itu akan api pun harus kusiapkan sebelum ibu membuat adonan, membunuhnya. Dan seiring waktu yang terus aku harus memastikan air mendidih sebelum loyang membesarkanku, aku mulai melupakan pertanyaan itu. adonan dimasukkan dan mengecilkan api serta Mungkin apa yang ibu lakukan adalah wujud kesetiaan. menjaga besaran api itu agar tetap stabil selama delapan Kesetiaan yang menyakitkan sekaligus menakutkan, jam. Bila nanti airnya menyusut dan delapan jam masih tapi romantis. jauh, ibu harus menambah airnya dengan air panas Namun, suatu hari, seminggu sebelum dia dilarikan sedikit demi sedikit. Benar-benar membuat bolu yang ke IGD rumah sakit, ibu membuka sebuah cerita yang merepotkan dan mengancam nyawa ibu, tapi ibu tetap membuatku tak pernah paham arti pernikahan dan melakukannya. cinta serta kesetiaan yang selama ini kupelajari dari ayah Dulu, aku pernah bertanya kepada ibu; “Kenapa dan ibu. ibu terus membuat bolu ini dan memakannya padahal “Aku tak pernah mencintai ayahmu. Dia teman ibu tahu, ibu akan mati olehnya?” pacarku, tapi ayahmu menyukaiku. Dia menipuku. Dan jawaban ibu akan selalu sama; “Tak semua Malam itu dia mengatakan Antoni kecelakaan dan dia hal butuh alasan, kan? Sama seperti kenapa ibu menikah menjemputku. Ternyata aku dijebak. Dia menyekap dengan ayahmu, bertahan sampai detik ini. Ada hal- dan memerkosaku. Semalam suntuk. Delapan jam yang hal yang kita tak memerlukan jawaban karena.” bagai neraka. Sialnya, aku hamil. Mengandungmu. Dan Ibu melapisi penutup dandang kukusan dengan aku terpaksa menikah dengannya. Usiaku dua puluh kain. Aku tahu, kain itu dipasang agar uap air tak tahun waktu itu.” menetes ke permukaan bolu. Seperti hati ibu dan rahasia Kutelan ludah.

332 333 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PERTENGKARAN TERAKHIR | Candra Malik

“Dia tahu aku meracuninya dengan cinta dan dia akan mati oleh cinta itu. Itulah sebab dia pun ingin membunuhku dengan bolu delapan jam. Delapan jam Pertengkaran Terakhir semacam pengingat untukku. Setiap Lebaran, Antoni akan pulang kampung dan bolu delapan jam melebarkan jurang kembali antara aku dan Antoni.” Kurasa aku tak pernah benar-benar mengenal ayah Candra Malik dan ibuku. Dan aku tak akan pernah mau membuat Minggu, 30 Agustus 2015 bolu delapan jam untuk suamiku, kelak. 

ERLU lima belas jam terbang untuk mendapati diriku jauh darimu dan lebih dekatP pada rindu. Tetanggaku kini dua perempuan berambut pirang, satu darinya lebih tinggi dan memiliki seringai tawa lebih lebar dari satu lainnya. Sempat kami akrab sebentar, sangat sebentar, ketika sama-sama baru saja duduk di deret kursi nomor 31 dan keduanya menyela kesibukan baruku membuka lembar-lembar koran De Telegraf, sesudah menghabiskan majalah Holland Herald. Padahal, aku tidak membaca, melainkan melihat-lihat saja gambar- gambarnya. Entah menyapa bagaimana, dua perempuan berkaus oblong dan bercelana panjang jeans ini menyangka aku pun berbicara dalam bahasa Belanda. Saat melihatku hanya

334 335 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PERTENGKARAN TERAKHIR | Candra Malik

tersenyum sopan, dan kujawab dengan bahasa Inggris ala kadarnya, mereka menjadi paham dan tak mengajakku berbincang. Sesekali ketika perlu ke toilet, mereka permisi melangkah melewati aku yang duduk paling pinggir dekat lorong. Selebihnya, masing-masing asyik dengan remote berkabel yang menempel di belakang sandaran kursi di depannya, memilih menu hiburan di layar. Beragam pilihan tersedia. Mulai dari kanal Entertainment berisi highlights, movies, TV, musik, hingga games, kemudian kanal Kids berisi movies, teens, TV Cartoons, TV Channels, CD’s, Audiobooks, dan games, sampai kanal flight tracking yang meliputi gambar globe dengan lintasan perjalanan yang telah ditempuh; 12 jam dari ke Amsterdam, kecepatan pesawat di angkasa, suhu di daratan dan di ketinggian angkasa yang ditembus, laporan terkini cuaca, hingga pukul berapa akan tiba di tujuan. Tetanggaku dari Jakarta hingga Kuala Lumpur adalah seorang laki-laki berkulit gelap yang rajin berdoa. Sejak dari duduk hingga beranjak keluar kabin ke terminal C2 di bandara KLIA, ia terus-menerus menangkupkan kedua tangan dan komat-kamit. Pun ketika pramugari menawarinya pilihan, segelas plastik teh atau kopi, dengan susu atau gula, tentu dengan bahasa Inggris, laki-laki itu tertegun sesaat lalu menoleh padaku. Masih dengan mulut merapal wirid. Aku sampaikan pertanyaan pramugari padanya,” Teh atau

336 337 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PERTENGKARAN TERAKHIR | Candra Malik kopi?” akhir babak, entah siapa yang lebih dulu meminta maaf, Baru sekali ini sepanjang perjalanan satu jam biasanya kita lalu saling menyesali kebodohan masing- pertama, kudengar suaranya. “Ya, ya, mau. Kopi tanpa masing dengan segala ucapan dan perbuatan yang gula.” Tidak keras suaranya, masih bercampur doa yang konyol. Mulai dari berteriak, sampai membanting pintu. belum selesai ia baca, tapi cukup jelas. Mungkin ia Sudah bertahun-tahun kita begitu. Sejak anak masih memohon minuman penghilang kantuk pada Tuhan, satu, masih saja kita tak tahu malu. dan doanya terjawab. Tidak kudapati ia naik pesawat Malu aku pada sepasang laki-laki dan perempuan KLM Royal Dutch Airlines KL 0810 seusai waktu Belanda berpostur tinggi besar itu. Di lengan yang laki- transit yang cuma 30 menit. Dua perempuan Belanda laki, ada tattoo nama, mungkin nama perempuan yang itulah yang menggantikannya. Tetangga di depanku ia peluk sejak menit pertama dua manusia itu duduk di masih dua perempuan Indonesia, ditambah satu kursi nomor 30 di deret tengah. ELEANOR, dalam perempuan berambut gelap namun berbahasa asing. huruf latin yang ayu. Yang perempuan memangku Dari aksennya berbicara, aku menduga ia dari Italia. bocah laki-laki, setahun barangkali umurnya. Aku pergi darimu, dari pertengkaran kita yang tak Menyusuinya hingga tertidur. Yang laki-laki melipat- berguna, membawa rindu yang masih utuh. Bahkan lipat selimut biru yang disediakan pramugari, menjadi kita belum kumpul layaknya suami istri. Kau sibuk alas tidur bayi mereka. Sang ayah lantas duduk di lantai, dengan anak-anak di kamar utama, berdesak- sama rendah dengan bayinya, sedangkan ibunya tetap desakan—namun itulah pengertian kita yang paling duduk di kursi. baru tentang kehangatan. Sedangkan aku cuma bisa Dihitung sejak berangkat dari Cengkareng pukul bergabung beberapa menit, lalu tenggelam lagi dalam 18.45, transit di Kuala Lumpur sejenak, dan terbang kesibukan mengejar tenggat tulisan. Tiba-tiba, pagi lagi menuju Amsterdam, tiga kali sudah kami mendapat kemarin pecah tangis si bungsu yang membelah pula jatah makan. Yang pertama, mie goreng dengan separo kerukunan kita sejak beberapa hari dari kepulanganku. telur rebus, salad, roti, dan kue keju. Yang kedua, ayam Kita bertengkar. dengan pasta, salad, roti, dan kue coklat. Dan yang Setiap kali bertengkar, setiap kali itu pula kau ketiga, dua potong telor dadar beserta sepotong daging menangis dan aku gagal berempati pada airmata. Entah dan sosis, salad, roti, dan yogurt. Selalu aku minta mengapa, tangis bagiku adalah pusaka, yang jika tidak secangkir kopi selesai makan, tapi ada satu persoalan sangat diperlukan maka tidak usahlah digunakan. Di besar yang tak pernah ada jalan keluarnya: di mana

338 339 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PERTENGKARAN TERAKHIR | Candra Malik aku bisa menghisap tembakau? Tidak ada jalan keluar, ibu bermata sipit itu untuk pergi ke toilet, mungkin meski kursiku dekat pintu darurat. laki-laki itu guru yang penuh budi pekerti dan ilmu yang Melewati malam di angkasa, dengan turbulensi mumpuni. Tapi, belum tentu ia sanggup hidup di Jawa. beberapa kali, akhirnya toh aku bisa tertidur. Ingin sekali Dengan gaya kuncir dan kepala botak seperti itu, ia kupeluk perempuan Belanda yang duduk di kursi akan jadi bahan olok-olok dan tertawaan dari mulai tengah, di sampingku, sayangnya ia bukan kau. Kami anak sekolah dasar sampai profesor. Dari pejalan kaki bahkan tak saling berkenalan. Tapi, tubuhnya menjorok sampai pengendara mercy. Mungkin bahkan ia disangka padaku, memberiku punggung, seperti memberi isyarat gila, atau seniman gagal. untuk merangkulnya. Ah, perempuan dan pelukan Satu lagi yang terlambat kusadari, laki-laki mirip memang seperti oksigen dan paru-paru. Jika tak biksu itu komat-kamit pula. Entah berdoa, entah menghirupnya, matilah manusia. Jika menghirupnya, merapal mantra. Yang kulihat, sejak tak lagi mengambil hiduplah kita dalam ketergantungan luar biasa. kerupuk besar sampai yang remah-remah, kini tangan Seorang perempuan tua, bermata sipit, bersenyum kanannya masuk ke sebuah kantong kecil. Kain putih. lebar, dan berlindung pada syal dan selimut dari Ketika ia bergeser posisi duduk, kucuri pandang ke serangan dingin yang menusuk tulang, semula acuh arah tangannya yang sibuk itu: ternyata sedang saja pada kiri-kanannya, sampai kemudian ia terkekeh menggerakkan jari-jemarinya pada biji-biji tasbih. Di pada lelaki kekar bertato singa di lengan kirinya. Laki- antara keramaian orang-orang, yang sebagian mulai laki itu membotaki kepalanya, menyisakan sedikit beranjak dari kursi, ada ternyata satu orang yang tak rambut untuk dikuncir. Ia begitu bersemangat melahap berhenti memuja. kerupuk dalam plastik sambil terus menonton film di Tapi, ia tidak sendiri berdiri mengantre di depan layar di depannya. Kerupuk khas Malaysia, barangkali. toilet. Pagi, ketika jam mulai bangun tidur, hilir-mudik Yang pasti, ia tak menghiraukan apa pun, mungkin penumpang ke toilet menjelma ajang rerumpian di juga pada hausnya sendiri. Ah, betapa serak kampung. Dan yang ini lebih menarik lagi. Mereka tak tenggorokan jika dipakai menelan kerupuk sedemikian saling kenal, namun bertegur-sapa, ngobrol tentang apa banyaknya tanpa minuman sama sekali. saja, sama-sama pula mengeluhkan entah siapa orang Laki-laki itu mungkin biksu. Sejak awal, aku sudah yang terlalu lama di dalam kakus, dan suasana seperti mencurigai itu. Atau mungkin ia pendekar. Tapi, dari ini tak ada di toilet pesawat-pesawat di jalur sikapnya yang sangat sopan ketika permisi melangkahi penerbangan dalam negeri di Indonesia, apalagi di

340 341 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PERTENGKARAN TERAKHIR | Candra Malik kereta-kereta api yang menusuk hidung aroma mengirim pesan pendek. toiletnya. Mengantre di bordes, ah, apa enaknya, apalagi Memantik api, menyalakan tembakau di tak boleh lagi merokok meski di sambungan kereta. Rookruimte, ruang merokok di bandara, kubaca Aku duduk di kabin kelas ekonomi. Sisi kiri-kanan kalimatmu tegas dan tegar. “Kalau mau marah, marah kabin ini masing-masing tiga kursi, sisi tengah empat saja. Kalau mau menangis, menangis saja. Aku pun kursi. Berderet ke belakang 15 baris, dan ada tiga kabin letih luar biasa, tapi apa ada yang percaya?” serumu. di pesawat ini, belum termasuk kabin kelas bisnis. Para Aku jadi ingat tatapan matamu yang berapi-api, setiap pramugara dan pramugari dalam penerbangan ini kali pertengkaran kita dimulai. menyenangkan dan sopan. Membagi-bagikan tisu Duduk di lounge, menghadap ke dinding kaca yang basah, menawarkan tambahan minum, dan tembus pandang ke landasan, kulihat kesibukan di membolehkan penumpang membawa majalah Holland Schipol sudah dimulai sejak matahari masih semburat Herald. Earphone juga tak harus dikembalikan. di timur. Tidak kalah sibuk dari Cengkareng, tapi lebih Kita tak seharusnya bertengkar, dan aku tak pula cekatan dan rapi. Kusebut kehidupan di atas pesawat seharusnya pergi sendiri. Dua kawanku membawa istri. tadi sebagai Kampung Amsterdam. Lebih dari seribu Pasangan yang satu telah memiliki anak dan yang satu orang terbang ke tujuan yang sama dalam sebuah lainnya masih pengantin baru, belum dua bulan mereka pesawat berbadan biru. Dan, hiruk-pikuk di bandara menikah. Kepergianku memang atas ajakan mereka, ini selayaknya disebut Kecamatan Schipol. Dari balik dan kebetulan kita kemarin bertengkar. Ah, tapi mana jendela, ketika pesawat membawaku ke Roma, tujuan ada yang kebetulan dalam kehidupan ini? Sudah sebelas berikutnya, kulihat ke bawah berderet rumah-rumah tahun kita menjadi suami-istri, empat anak kita, dan rapi tertata, persegi-persegi panjang lahan persawahan, satu di antaranya laki-laki. Pada kalian, aku mungkin dan kota yang sepi lalu-lalang. Beda benar dari Jakarta. terlalu sering marah, sesering aku pergi dari rumah. Aku percaya kau capek. Di rumah melulu ternyata Tapi, barangkali memang beginilah hidup: lebih mudah juga bisa melelahkan, bahkan sangat. Tapi, kau tidak tersenyum pada orang yang tidak kita kenal. Dan benar-benar selalu di rumah saja sebenarnya. Berapa beginilah hidupku. kali dalam sebulan kau keluar, mulai dari sekadar jalan- “Tidak ada yang mengerti kita. Berharap orang jalan, nonton film di bioskop, belanja, sampai hal-hal lain mengerti justru bikin kecewa,” katamu. Transit di yang remeh-temeh dengan kawan-kawanmu yang bandara Schiphol, Amsterdam, baru kusadari kau kalian namai arisan itu, atau reuni, atau entah apa.

342 343 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 PERTENGKARAN TERAKHIR | Candra Malik

Semoga kau pun percaya, keluar rumah, entah untuk pertengkaran kita. Padahal, aku masih laki-laki yang bekerja atau berpetualang, terasa menyenangkan hanya sama: masih menyesali pertengkaran, kemarahan, dan pada permulaan. Lama-lama meletihkan. Membosan- siap menerimamu kembali ketika kau minta maaf. Tapi, kan. Turun-naik pesawat, keluar-masuk kafe dan resto, dalam pertengkaran kita yang terakhir, kukatakan, “Kau atau warung kaki lima, dan bermalam di hotel itu tak perlu memohon-mohon maaf padaku lagi. Sudah menjenuhkan. aku maafkan sedari sekarang.” Tak ada yang lebih kurindukan daripada kalian, Semoga, ini pertengkaran kita yang terakhir. rumah, dan makanan apa pun yang kau masak. Aku Semoga membawa kita pada penyesalan. Bukan pada ingin pulang dan berhenti pergi. Ingin tidur cukup, main perpisahan. Aku ke Italia hanya satu pekan, semoga dengan anak-anak, menemanimu nonton televisi kau masih menghendaki perjumpaan. Meski aku mera- melewati malam, dan mengisi waktu untuk menulis. sa kau menunjukkan sikap terhadapku untuk berhenti Tapi, aku ingin di rumah bukan untuk bertengkar. percaya, semoga itu bukan berarti terhadapku kau mulai Hidup rukun dan berhasil membuatmu, membuat curiga. Berhenti mencintai toh tidak harus mulai kalian bahagia, adalah niat terbaik yang pernah kubatin, membenci. Lagipula, aku masih mencintaimu. Jika kau dan cita-cita yang terus kuperjuangkan. Hanya saja, bilang bahwa anak-anaklah yang membuatmu bertahan, pernah terlontar dari bibirmu betapa kau lebih tenang maka kukatakan hal yang kurang-lebih sama. Tapi, jika aku di luar rumah saja. Pergi. Yang lama. Agar tak pertahanan jangan sampai dijadikan pelampiasan.  ada yang suka mengatur-atur, dan marah-marah. Dan, tentang pertengkaran kita yang terakhir, kau mengirim pesan pendek yang kubaca sebelum di bandara sebelum ke Roma. Kau berkata, “Aku mungkin memendam sampai akhirnya meledak dan marah betul. Aku tidak menyesal.” Pertanyaan terbesar dalam hidupku adalah mengapa kau sama sekali tidak pernah tampak takut padaku. Bahkan dalam cinta dikenal rasa takut. Kini, kau bahkan terang-terangan mengatakan tidak menyesali kemarahanmu, begitu pula perasaanmu atas

344 345 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 NAMAKU YURI | Mashdar Zainal Namaku Yuri

Mashdar Zainal Minggu, 06 September 2015

EMULA, aku hanya sebuah patung lilin yang dipahat seorang lelaki yang patah hati. AkulahS satu-satunya patung paling sempurna yang pernah ia pahat. Patung yang ia serupakan  dengan wajah seorang gadis cantik yang ia gilai. Ia memahatku tepat pada hari ulang tahun gadis itu. Dan pahatan terakhir adalah pada bagian bibir. Selesai tepat pukul tiga dini hari. Ini bagian tersulit, dan ini bagian terindah. Oh, bagaimana Tuhan menciptakannya? Pukul tiga dini hari lebih beberapa detik. Lelaki itu memasang wig yang sudah ia siapkan. Lantas mengusap bibir patung pahatannya, mengoleskan lipstik merah muda. Sewarna bibir alami. Dan menyesapnya. Seperti orang lupa diri. Warna merah muda itu pun berpindah ke bibirnya. Selamat ulang tahun, Sayang, bisiknya. Selamat hari jadi.

346 347 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 NAMAKU YURI | Mashdar Zainal

Gadis itu bernama Yuri. Aku tahu nama itu karena ia juga memberiku nama itu: Yuri. Kulitnya selembut krim susu dan matanya sesipit biji kuaci. Nenek buyut Yuri adalah perempuan Jepang, dan karenanya Yuri memiliki sedikit aroma Jepang. Aku tahu seperti apa Yuri ketika lelaki itu membawaku ke depan cermin. Sempurna, kau sempurna, gumamnya. Ya, sempurna, aku memang sempurna. Aku tahu perihal nasab keturunan Yuri karena lelaki itu menceritakannya padaku. Lelaki itu tahu segala sesuatu tentang Yuri, seolah ia ibu yang melahirkannya. Atau sosok yang menciptakannya. Lelaki itu kerap mengajakku bercakap. Tentang apa saja. Tentang dunia dan kehidupan. Tentang kisah- kisah yang tak dikenal. Tentang cerita romantisme yang dangkal. Tapi cerita paling banyak—yang ia ceritakan adalah cerita tentang Yuri. Cerita tentangku sendiri. Kau tahu, Yuri menyukai kenanga, ia menatap wajahku, tepat di mata, dan aku pun jadi menyukai kenanga. Padahal aroma kenanga selalu membuat kepalaku pusing. Aku tahu, diam-diam Yuri suka memetik bunga kuning muda itu dari pohon kenanga kerdil di tikungan jalan dekat kampus. Pohon itu hampir mati karena tak ada yang mengurus, maka diam-diam pula, aku selalu membawa botol air mineral dari rumah dan menyiramkannya ke pohon itu setiap kali melewatinya. Bunga itu harus terus mekar untuk Yuriku. Lelaki itu tampak bangga. Seperti kuncup yang

348 349 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 NAMAKU YURI | Mashdar Zainal mengembang oleh sinar matahari pagi. Setiap kali dengan yang dipakai Yuri, mengubah tatanan rambut, bercerita tentang Yuri, ia memang selalu bangga. dan seterusnya... Hari ini Yuri mengenakan pita yang Seolah, semua hal yang ia lakukan secara diam-diam serupa bunga ilalang di rambutnya, cantik sekali... Aku itu akan membantunya. Aku benar-benar tak paham. sudah mencari pita yang seperti itu ke mana-mana, Cara lelaki itu mengagumi Yuri membuatku berpikir tapi tak mendapatkannya, aku minta maaf, untuk bahwa jatuh cinta berarti jatuh tolol. kesekian kali pula lelaki bodoh itu berkata padaku. Dan Maukah kau menikah denganku, Manis? Suatu aku tetaplah patung, yang terus bisu namun terus ketika, tiba-tiba lelaki itu berlutut di hadapanku. Dengan tersenyum—lelaki itu merancangku begitu: terus sebuah cincin dan setangkai mawar. Sejak pertama aku tersenyum. Senyum yang terinspirasi dari senyuman sudah menduga: lelaki itu gila. seorang bidadari bernama Yuri. Kita akan menikah dan memiliki tiga anak, Dalam hitungan tahun aku menemani lelaki bodoh ungkapnya lagi. Kita akan membangun rumah di itu. Dan aku tak tahan lagi. Aku menyesal menjadi perkampungan, di kaki gunung. Kita akan beternak patung yang bisa memikirkan sesuatu, melihat sesuatu, itik dan memelihara koi. Kita akan menanam mentimun mendengar sesuatu, tapi tak bisa bergerak ataupun juga paprika. Apa kau mau menikah denganku, Manis? mengatakan sesuatu. Barangkali keadaanku sama Lelaki itu menciumku. Mencium bibir patung yang menyedihkannya dengan lelaki itu, lelaki yang bisu—untuk kesekian kalinya. Tentu saja aku hanya memahatku. diam. Aku hanya seonggok patung. Patung yang nahas. Hingga suatu malam, setelah hampir seharian tidak Ia memang kelewat bodoh. Dan ia seorang menampakkan muka naifnya, lelaki itu pulang dengan pengecut sejati. Ia mengagumi Yuri dari kejauhan dan langkah terseret dan raut rupa menyedihkan. Ia berdiri tak pernah berani mendekat. Ia tahu segala tentang di hadapanku dengan tatapan mengerikan. Matanya Yuri, tapi Yuri, bahkan mungkin tak tahu siapa seperti sepasang samurai yang siap menebas leherku, namanya. Ia lebih menyedihkan dari seekor pungguk mencincang tubuhku. Kau mengkhianatiku, Yuri, kau yang merindukan bulan. Ia lebih menyedihkan dari mengkhianatiku, dengus napasnya penuh kekecewaan. perumpamaan apa pun. Aromanya berkelebat dendam. Setiap hari lelaki bodoh itu membawa sesuatu yang Rupanya, hari itu, Yuri dipinang seorang lelaki berhubungan dengan Yuri dan menyematkannya di Jepang yang tampan dan tidak pengecut. Konon, lelaki tubuhku. Kalung, gelang, cincin, pakaian yang sama itu akan segera memboyong Yuri ke Jepang. Mereka

350 351 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 NAMAKU YURI | Mashdar Zainal berencana menikah pada bulan-bulan ketika sakura ia beranjak entah ke mana dan kembali dengan sebilah bermekaran (membayangkan hal-hal indah seperti itu pisau pemotong kertas. Ia mengiris nadinya sendiri dan terkadang membuatku ingin hidup, menjadi manusia memeluk tubuhku lebih erat lagi. seutuhnya—dan bukan hanya seonggok patung). Darah meleleh membasahi dadaku, tepat di tempat Lelaki pengecut itu tahu semuanya, dan ia hati seseorang tersemat. Tempat segala sesuatu terasa. menceritakannya padaku. Lelaki Jepang itu, ia merebut Lelaki itu pernah bilang, di situlah tempatnya, sebuah Yuriku, ia merebut Yuriku, ia membawa lari Yuriku, ia benda berwarna merah tua. Benda yang acap kali merengek seperti anak kecil. Ia merebutmu dariku, ia menyengsarakan manusia. Seperti dirinya. Aku tak membawamu lari. Kenapa kau diam saja, Yuri, bicaralah, berkutik. Diapit lengan lelaki itu. Hingga pada detik katakanlah sesuatu, ia yang sudah gila semakin gila. kesekian, pelukan lelaki itu melonggar. Ia terkulai tanpa Aku menatapnya penuh kejenuhan. Saat itu aku daya, memeluk patung pahatannya, memeluk Yurinya. berharap tubuhku meledak dan penderitaanku sebagai Ketika lelaki itu mengembuskan napas terakhirnya, patung segera berakhir. Aku menyumpahi lelaki itu, Yuri udara hangat dan panjang seperti berkelebat bukan milikmu. Kau hanya lelaki tolol, kau tak pantas menyentak pipiku. Sesuatu mulai menghentak, untuk Yuri. Bahkan aku, seonggok patung yang tak mendesak, memasuki tubuhku. Aku tergagap. Sesuatu bisa apa-apa ini, takkan sudi menerima lelaki yang hangat menyembul di antara mulut dan ujung menyedihkan sepertimu. Tuhan memberimu banyak hidungku. Apa aku mengembuskan napas pertamaku? waktu untuk mengenal Yuri lebih dekat dan Apakah ini yang disebut bernapas? Tubuhku mengungkapkan perasaanmu, dan kau malah memilih menghangat. Seperti tanah basah yang dirayapi berbicara dengan patung sepanjang hari, sepanjang matahari pagi. tahun. Apa itu namanya kalau bukan tolol? Sebaiknya Darah lelaki itu telah melekat di tubuhku. Partikel- kau pergi saja ke neraka. partikel paling kecil mulai meresap ke kedalaman, Dengan air mata yang membasahi wajahnya, tiba- perlahan-lahan. Dan sesuatu di balik dadaku mulai tiba ia mengangkat tubuhku, membaringkanku di atas berdetak. Cuping hidungku mulai mengendus. ranjang. Ingatlah! Aku masih patung yang tak bisa Sepasang tungkaiku mulai menggeliat. Jari-jemariku menolak apa pun. Lelaki itu menangis, sambil terus mulai bergerak. Kedua mataku mulai berkedip. Dan... memandangiku. Memelukku. Menciumku. Bibirnya “Yuri,” aku pun mulai bisa mengatakan sesuatu, bergumam, Yuri, Yuri, Yuri... beberapa menit kemudian “Namaku Yuri.”

352 353 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 ANAK INI MAU MENGENCINGI JAKARTA? | Ahmad Tohari

Aku bangkit, menyingkirkan lengan lelaki itu dan beranjak ke depan cermin. Aku tak percaya. Aku bisa menyentuhnya. Tubuh itu. Mata itu. Bibir itu. Aku pun Anak Ini Mau Mengencingi berujar lagi, “Kau Yuri. Namamu Yuri.” Ya, kau Yuri. Namamu Yuri. Dan aku Jakarta? mengagumimu.  Ahmad Tohari Malang, 2015 Minggu, 13 September 2015

ENTU tidak ada penumpang yang setuju kereta api malam dari timur itu berhenti sesaatT menjelang stasiun Pasar Senen. Tapi nyatanya kereta api itu benar-benar berhenti. Entah ada apa di depan sana. Penumpang yang sudah bangun banyak yang mengeluh. Tiga laki-laki secara bersamaan melihat jam tangan mereka dengan wajah kecut. Masinis di ruang kemudi dan dua kondektur di gerbong paling depan mendesah kesal. Di mata mereka sudah kelihatan kopi panas dalam salah satu ruang dinas di stasiun Pasar Senen. Ada juga lelaki necis yang keluar dari kakus kereta sambil menggenggam sikat gigi. Atau di sana, di bagian sudut, ada lelaki berwajah saleh sedang shalat subuh sambil duduk. Dan yang paling banyak suara adalah penumpang- penumpang perempuan yang membawa anak.

354 355 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 ANAK INI MAU MENGENCINGI JAKARTA? | Ahmad Tohari

Kereta itu berhenti di wilayah kehidupan orang- orang pinggir rel. Kehidupan yang sungguh merdeka dan berdaulat, sedang mulai bergerak. Tetapi, sebagian besar mereka masih terbaring dalam gubuk-gubuk kardus yang menyandar ke tembok pembatas jalur- jalur rel. Ada yang hanya tampak kaki, dan tubuh mereka terlindung di bawah atap sangat rendah lembaran rongsok. Dan di sebelah kanan rangkaian kereta, di balik semak yang meranggas dan berdebu, seorang lelaki dan anak kecilnya sudah bangun. Di dekat mereka ada perempuan masih tertidur, berbantal buntalan kain melingkar di atas gelaran kardus. Wajah perempuan yang masih lelap itu tampak lelah. Tetapi gincu bibir dan bedak pipinya tebal. Entahlah, mungkin perempuan itu tadi malam berjualan birahi sampai pagi. Laki-laki itu bangkit, berjalan menyeberang menuju warung yang sepagi itu sudah buka, bahkan sudah ada dua penjaga malam duduk menghadapi gelas kopi mereka. Di tangan kanan laki-laki itu ada sebungkus mi instan. Di warung kopi seberang jalan, sudut bungkus mi disobek dengan hati-hati sekadar untuk membuat lubang. Saset-saset bumbunya dikeluarkan. Lalu disodorkan selembar uang ribuan kepada perempuan warung yang segera mengambil termos dan membuka tutupnya. Keduanya kelihatan akrab, saling bersikap manis, dan tampak telah biasa bekerja sama. Maka perlahan dan sangat hati-hati air panas dari termos di

356 357 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 ANAK INI MAU MENGENCINGI JAKARTA? | Ahmad Tohari tangan perempuan warung mengalir dengan cermat menerima makanan. Jakunnya turun-naik. Dan ayah ke dalam kantung plastik mi instan lewat lubang itu memindahkan kantung mi dari tangan kanan ke sobekan di sudut. Cukup. tangan kiri. Kemudian telunjuk dan ibu jari tangan Kemudian dengan gerak yang sudah terbiasa laki- kanan menyatu dan masuk ke lubang sobekan di sudut laki itu menyobeki saset-saset bumbu dengan gigi, kantung mi dengan hati-hati. Ketika ditarik keluar, mengucurkan bubuk bumbu melalui lubang sobekan, telunjuk dan ibu jari tangan kanan laki-laki itu sudah dan berbalik melangkah menuju anak laki-laki kecil yang menjepit dua sulur mi yang masih mengepulkan uap. sedang menunggu dekat tubuh emaknya. Sambil Kedua mata si anak menyala. Tetapi si ayah tidak segera berjalan lelaki itu mengocok-kocok kantung mi yang memasukkan ujung sulur mi itu ke mulut anaknya yang dijimpit dengan jemari tangan kanan. sudah terbuka. Malah mengayun-ayunkan lagi di udara. Masih sambil berjalan lelaki itu terus mengocok- “Pa!” seru si anak kepada ayahnya. Dia kelihatan kocok, lalu menggoyang-goyang kantung plastik itu, sudah tidak sabar. Matanya lekat pada sulur-sulur mi tentu agar mi instan di dalamnya cepat melunak. yang menggantung di tangan ayahnya. Kemudian jongkok dekat anak yang terus menatap “Tahan, ini masih panas. Mulutmu bisa melepuh.” kantung mi itu. Istrinya atau apanya masih tidur. “Pa!” anak itu menepuk-nepuk pahanya sendiri Rasanya laki-laki itu sadar di hadapannya ada sepasang dengan kedua telapak tangan untuk melampiaskan rasa mata bocah yang terus menatap dengan sepenuh tidak sabar. Air matanya mulai meleleh di kedua pipinya harap. Mata anak yang masih sejati itu bergulir-gulir yang masih sejati itu. Ada anak usia lima tahunan mengikuti gerak ayunan tangan ayahnya yang menangis di hadapan ayunan sulur mi instan yang sudah menjimpit kantung mi istan. Roman muka bocah itu lunak. mulai menunjukkan ketidaksabaran. Dia seperti sudah “Pa, lapar, lapar!” lama menahan rasa lapar. Bibir bocahnya yang masih “Bapa bilang, tunggu. Ini masih panas.” Kata si begitu sejati juga bergerak-gerak menuruti ayunan ayah. Dia berhenti mengayun-ayun sulur mi itu, ganti kantong mi yang terus digoyang oleh ayahnya. Kadang meniup-niup dengan mulutnya yang monyong. lidahnya agak terjulur dan liurnya menitik di sudut mulut. Anaknya terisak tetapi entahlah, dia bangkit berdiri. Anak ini sudah belasan kali menelan-nelan ludah. Berbalik dan menyingkap celana sendiri di bagian paha. Kantung mi berhenti berayun-ayun. Mata anak itu Anak usia lima tahunan itu kencing. menyala. Bibirnya bergerak-gerak seakan siap “Hus! Jangan kencing di situ. Nanti kena punggung

358 359 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 ANAK INI MAU MENGENCINGI JAKARTA? | Ahmad Tohari emakmu.” Tegur si ayah. Anak itu mengejan, tahunan itu. mengekang kemaluannya dan kencingnya berhenti “Pa, aku seperti anak yang di TV-nya ibu warung mengucur; memutar badan sembilan puluh derajat, kopi, kan?” kemudian cairan kekuningan mengucur lagi dari “Di TV, bagaimana?” kemaluan yang masih sejati. “Iya, Pa. Di TV juga ada anak nyedot mi, kan? “Nah begitu, kamu tidak boleh kencing dekat Anaknya cakep. Bajunya bagus banget. Rumahnya punggung emakmu. Ayo, mi ini sudah agak dingin,” bagus banget. Jadi sekarang aku sama seperti anak yang kata si ayah. Kini laki-laki itu menggerak-gerakkan makan mi di TV kan ?” tanya anak usia lima tahunan tangan kanan yang menjepit tiga sulur mi tidak itu dengan roman muka yang sejati. Sejenak si ayah mengayun, tetapi naik turun. Anaknya jongkok dengan kelihatan terpana. Namun sesaat kemudian tawanya wajah agak menengadah, mulutnya terbuka, matanya meledak. Tubuhnya terguncang. Kuah mi instan sampai setengah terpejam. Si ayah dengan hati-hati muncrat dari lubang kantung plastik yang sedang menjatuhkan ujung sulur mi ke dalam mulut anaknya. dipegang dengan tangan kirinya. Mulut mungil yang masih sejati itu cepat mengatup; “Kenapa Bapa tertawa?” telunjuk dan ibu jari tangan kanan si ayah melepaskan “Ah, tidak apa-apa. Tapi kamu lebih hebat dari jepitan; ujung lain sulur mi terkulai ke bawah dagu kecil. anak yang makan mi di TV itu.” Tetapi semuanya cepat melesat naik. Ada bunyi ’slulup’ “Aku lebih hebat?” ketika sulur mi terhisap oleh sedotan kuat mulut yang “Ya, karena kamu sudah bisa kencing agak jauh masih sejati tapi amat lapar. Anak laki-laki itu hampir dari punggung emakmu. Hebat kan? Ayo makan lagi, tersedak. bapa akan terus suapi kamu.” “Sabarlah! Enak?” “Tapi aku ingin minum kuahnya juga, Pa.” “Enak sekali.” “Kuahnya masih terlalu panas. Lagi pula kamu “Ya. Ayo, buka lagi mulutmu,” perintah si ayah jangan serakah. Kuah mi selalu buat emak. Dia suka setelah jemarinya menjepit lagi beberapa sulur mi yang sekali.” tidak lagi mengepulkan uap. Seperti suapan yang “Tapi dia masih tidur.” pertama, sulur mi itu segera tersedot dan menghilang “Nanti kan bangun. Ayo buka mulut lagi,” perintah dengan bunyi slulup ke dalam mulut si bocah. Rona si ayah. Anak kecil itu tidak memberikan tanggapan. nikmat dan puas muncul di wajah anak usia lima “Emak memang suka ngenyot-enyot kuah mi dari

360 361 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 ANAK INI MAU MENGENCINGI JAKARTA? | Ahmad Tohari kantung plastik ya Pa?” empat puluhan. Gincu dan bedak pipinya memang “Iya, emakmu memang suka begitu.” tebal. Atau lebih tebal di awal malam ketika dia mulai “Bapa suka melihat Emak ngenyot-enyot kuah mi berjualan. Dan kehidupan yang amat berdebu dan jauh dari kantung plastik?” dari air membuat perempuan itu sewarna dengan “Kamu usil.” sekelilingnya yang juga penuh debu. “Suka ya, Pa?” “Nah, emak bangun. Emak suka ngenyot-enyot “Ya, suka.” kuah mi dari kantung plastik, kan?” “Kenapa suka?” Anak itu sungguh-sungguh Tidak ada tanggapan. Apalagi si ayah telah bertanya. Kedua matanya mengatakan itu. Si ayah mendahului mengulurkan dengan tangan kanan kelihatan malas menanggapi, tapi kemudian laki-laki kantung mi kepada istri atau apanya yang baru bangun. itu bersuara juga. Dan ternyata semua benar; perempuan itu kelihatan “Ah, ketika ngenyot-enyot kuah mi dari kantung sangat lahap ngenyot kuah mi instan langsung dari plastik, emakmu kelihatan menyenangkan, seperti kantung plastik. Ada sepasang mata bocah yang begitu masih anak-anak.” bening dan sejati menatap gerak mulut dan pipi Mata anak lelaki itu membulat. Ada kesan dia emaknya yang sedang ngenyot-enyot. Lalu mata bening sedang berfikir dengan otak bocahnya yang tentu itu berpindah menatap wajah ayahnya. Tatapan sejati masih amat sejati. itu ingin menguji apa benar si ayah suka melihat istri “Hore, Bapa hebat. Bapa suka melihat emak atau apanya ketika perempuan itu sedang ngenyot- ngenyot kuah mi dari kantung plastik.” enyot kantung plastik seperti seorang bocah. Ternyata “Hus!” juga benar adanya. Mata anak lelaki usia lima tahunan “Tapi iya kan? Bapa juga suka melihat emak kayak itu menyala, pipinya menyala, dan kedua bibir sejatinya anak-anak, iya kan?” merekah. Dia tertawa karena melihat wajah ayahnya Mata anak itu lekat ke wajah ayahnya, menunggu menjadi wajah seorang yang sedang bersuka. tanggapan. Sepi. Hanya terdengar kerocak bunyi kuah “Ayah memang hebat,” teriak anak itu sambil mi instan dalam kantung plastik yang dikocok-kocok bertepuk tangan. “Ayah benar-benar suka melihat emak lagi. Perempuan itu menggeliat lalu duduk dan sedang ngenyot kuah dari kantung plastik. Seperti anak bertopang tangan kiri. Pagi sudah terang. Sosok kecil ya? Hore!” perempuan itu menjadi lebih jelas. Usianya mungkin Si ayah bergeming, tidak mengubah arah

362 363 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 ANAK INI MAU MENGENCINGI JAKARTA? | Ahmad Tohari pandangan bahkan tidak juga mengedipkan mata. keras ayahnya. Lelaki itu memandang penuh ke arah istri atau apanya “Jangan kencing di situ! Nanti kena buntalan yang kini duduk setengah menengadah, mulutnya pakaian emakmu. Tadi kamu hampir kencing dekat tersambung dengan sempurna dengan lubang sobekan punggung, sekarang mau kencing dekat buntalan pada sudut kantung mi instan yang ada di atas pakaian.” wajahnya. Perempuan yang baru bangun dan masih Anak itu mengembalikan letak celananya. Dia bersolek tebal itu berusaha ngenyot kuah hingga tetes memang tidak terdesak untuk segera kencing, tapi terakhir. Ada suara kecup-kecup, juga decap-decap hanya tersihir oleh ulah anjing yang tadi kencing di ketika perempuan itu mencecap endapan bumbu kimia sana. yang mengental dalam tetes-tetes terakhir kuah mi. Lalu “Kencing dekat punggung emak, tidak boleh. telapak tangan kanannya menyentil-nyentil kantung Kencing dekat buntalan pakaian, juga tidak boleh. Yang plastik yang sedang dienyotnya agar remah mi yang boleh di mana, Pa?” tersisa bisa tanggal dan jatuh ke mulutnya. Si ayah tersenyum. Wajahnya sungguh Kantung plastik sudah sempurna kosong, menampakkan wajah manusia bebas-merdeka, khas dilemparkan oleh perempuan bersolek tebal itu ke wajah warga kehidupan pinggir rel kereta api. samping dengan sikap tak peduli. Kantung itu “Nah, dengar ini! Kamu boleh kencing di mana menyangkut di ranting semak yang meranggas dan pun seluruh Jakarta; di Menteng, di pinggir Jalan berdebu. Senyum perempuan itu membuat mulutnya Thamrin, di lapangan belakang Stasiun Gambir, di seperti bagian dari sebuah topeng. Tapi dia sungguh sepanjang gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing kelihatan puas. Ada anjing kuning belang putih melintas. di Senayan. Dengar itu?” Tepat di kaki tonggak besi penyangga lampu sinyal Mata anak lelaki usia lima tahunan itu membulat. binatang itu berhenti. Dia membuat gerakan sangat Bingung, karena dia tidak tahu di mana tempat-tempat anggun; mengangkat kaki belakang yang kiri, pinggul yang tadi disebut ayahnya. Sejenak lengang. Si ayah dimiringkan, lalu kencing membasahi tonggak besi itu. menunggu; si emak tertawa-tawa. Dan tiba-tiba Anak laki-laki usia lima tahunan memandangi ulah terdengar suara lelaki terbatuk dari arah belakang. anjing itu dan tersihir. Maka anak laki-laki itu Serentak ketiga warga pinggir rel itu menoleh ke menyingkap celananya di bagian pangkal paha mau belakang. Dan terpana. Di sana, pintu terdekat kereta kencing juga. Tetapi dia mendadak tertegun oleh suara api sudah terbuka. Atau sudah lama terbuka. Ada satu

364 365 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 ANAK INI MAU MENGENCINGI JAKARTA? | Ahmad Tohari kondektur dan satu penumpang berdiri tegak. Mereka juga oleh mereka yang sedang berdiri di pintu kereta berasa sedang menonton pentas dari alam yang api? berbeda. Kemudian kedua laki-laki itu merapat ke sisi- “Mari kita pergi,” kata si ayah kepada anak dan sisi yang berlawanan untuk memberi jalan kepada orang istri atau apanya. “Di sini kita malah jadi tontonan.” ketiga yang ingin muncul. Orang ketiga adalah gadis Dalam satu menit ketiga warga pinggir rel itu pramusaji yang cantik seperti pramugari. Di tangannya berkemas. Si ayah mengambil satu kotak kardus kecil ada kantung warna hitam, tentu berisi sampah sisa dari bawah semak berdebu yang meranggas. Si istri makanan. Kantung itu dilempar ke bawah dan jatuh atau apa menyambar buntalan pakaian, dan si anak empat meter di hadapan tiga warga pinggir rel. Nasi laki-laki usia lima tahunan mengambil harta sisa, tulang-tulang ayam goreng, ada juga paha ayam kesayangannya berupa bekas antena kanopi radio. goreng yang masih utuh, potongan daging bakar, Kemudian ketiganya bergerak melawan arah datangnya berserakan di pelataran batu koral. kereta api. Setelah agak jauh di sana mereka tertawa- Siapa yang tahu maksud si pembuang sampah tawa. makanan dari restoran kereta api? Apakah sisa “Tadi selagi saya masih tidur kalian bicara apa? makanan itu dilempar dan ditujukan kepada tiga warga Anak ini mau mengencingi Jakarta?” tanya si pinggir rel? Mahasuci Tuhan Yang Mahatahu. Mata perempuan. Si ayah dan si anak berpandangan, anak laki-laki usia lima tahun itu menyala dan membulat tersenyum lalu tertawa lebih lepas. Benar, tiga warga ketika melihat ada paha ayam goreng tergeletak di pinggir rel itu menikmati hidup yang gembira dan antara serakan sisa makan. Dan anjing yang tadi kencing merdeka.  di dekat lampu sinyal ternyata bergerak lebih cepat. Si anak tertahan. Apalagi si ayah menekan pundak anaknya agar tidak melangkah. Terasa ada semacam ketegangan. Anak laki-laki warga pinggir rel itu merasa tangan ayahnya dingin dan sedikit gemetar. Maka siapa yang tahu si ayah itu merasa cemas karena telah mengatakan anaknya boleh kencing di mana pun di Jakarta asal tidak di dekat punggung emaknya? Apakah kata-kata tadi didengar

366 367 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KATASTROFA | Han Gagas Katastrofa

Han Gagas Minggu, 20 September 2015

EGITU Astrid turun di sebuah stasiun kecil yang lengang, cahaya rembulan membiusB sepasang rel membuatnya tampak lebih pucat dan kaku. Lampu-lampu merkuri  berpendar redup membuat segalanya tampak murung. Penumpang yang turun tak lebih dari tiga orang, kecuali Astrid, mereka bergegas ke pintu keluar. Dingin makin menggigit tulang, jarum jam menunjuk pukul 02.30, Astrid merekatkan jaket, dan duduk di sebuah kursi panjang di koridor stasiun. Toko-toko telah tutup padahal perutnya keroncongan. Seorang petugas stasiun memer- hatikannya sebentar lalu kembali mengurung diri dalam siaran televisi di depan loket karcis yang tutup. Saat Astrid meregangkan tubuh, tiba-tiba muncul sosok kecil dari dalam gerbong yang

368 369 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KATASTROFA | Han Gagas

mangkrak. Langkahnya pincang. Terbawa hatinya, Astrid mendekat tapi ia nyaris mati ketakutan saat melihat sepasang mata anak itu yang mendelik. Bulatan hitamnya nyaris tiada, bagian putihnya melotot sempurna! Ketakutannya buyar, saat jaraknya dengan anak itu makin dekat dan cahaya lampu merkuri menyinari sosoknya lebih jelas. Wajahnya seperti bengkak dengan dahi yang lebar, sedang rahangnya ciut, tangan kanannya bergerak acak tak terkendali. Kepalanya selalu meleng. Sosok itu langsung menikam perasaan Astrid. “Maaf, aku bantu...” Astrid memapahnya pelan, mengajaknya duduk. Angin musim kemarau menghempas kencang. Atap stasiun yang melengkung dan lebar berderit-derit. Kawanan kelelawar terbang, mencicit menghunus senyap malam, lenyap di balik menara pengawas. “Mengapa keluar malam-malam, dingin sekali bukan?” kata Astrid sambil menuntunnya duduk. Anak itu hanya diam. Bajunya kumal robek bau apak, dan tubuhnya yang penuh daki membuat bau tubuhnya menyengat tajam. Astrid sesekali menahan napas. Si petugas datang mendekat. ”Anda hendak ke mana?” tanyanya ringan. “Saya...hmmm, belum tahu, tampaknya saya ingin menunggu kereta selanjutnya.”

370 371 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KATASTROFA | Han Gagas

“Masih lama. O ya, dia hanya gembel yang tidur itu seperti kandang buatnya, namun itu pula yang dalam gerbong itu, anda tak perlu repot, dan cukup membuatnya tak kedinginan dan kehujanan. Dia hanya kasihan saja dengan memberinya uang buat beli akan keluar saat stasiun sepi seperti sekarang. makan,” tunjuknya pada si bocah. Kerumunan orang membuatnya takut.” Astrid tak mengerti arah bicara petugas itu, apakah Penjelasan petugas itu bagi Astrid terlalu banyak, sedang memerasnya dengan memakai anak ini, ataukah ia bosan dengan kata-kata, ia mengelus rambut anak tengah bersimpati padanya yang masih berpikir antara itu yang rasanya seperti mengelus dirinya sendiri, ingin menolong atau segera mengurus keperluan rasanya ada kesepian yang sama, kesendirian, dan derita sendiri. yang sama sebagai sesama perempuan. “Bapak tahu?” hanya itu yang keluar dari mulutnya. “Tidakkah selama ini ada seseorang yang mencoba “Semua orang stasiun tahu, ia anak yang sangat untuk membantunya?” menyedihkan. Kita semua harus kasihan padanya, “Anda boleh bertanya demikian namun jangan orang tua yang kejam, bapak ibunya meninggalkannya sampai anda berpikir akan mengajaknya pergi. Telah begitu saja dalam gerbong. Ia tak hanya buta, bisu tapi banyak orang yang mengajaknya bahkan membawanya juga...” Ia tak melanjutkan kata-katanya. ke panti asuhan, merawatnya dengan baik, namun ia Astrid tak ingin mendengar apa yang mau selalu kembali ke sini. Otaknya lemah, mungkin juga dikatakannya karena dengan melihat anak ini saja telah rusak, dan karenanya banyak orang yang merasa rasanya sudah cukup. Kata-kata bisa menjadi garam punya hak menghina dan merendahkannya. Barangkali yang menaburi luka pedih, membuat rasa sakit makin karena itu ia pilih kembali ke sini.” bertambah sakit. Ia pilih mengelus rambut anak itu Udara dingin kembali menggigit tulang saat angin yang kasar bagai ijuk. Pasti sudah berminggu-minggu menghempas kencang menerbangkan koran dan kertas tak keramas. Mulutnya menguap memerlihatkan gigi- tisu. Lampu merkuri stasiun berpendar di sepanjang gigi kuning dan kotor, menguarkan bau tak sedap yang koridor menyinari kursi-kursi panjang yang diam, dan menyengat, Astrid menahan napas, dan memalingkan membeku. Kaca-kaca toko, papan reklame, dan muka. Sikapnya terbaca si petugas. neonbox mulai mengembun. “Oh tentu ia tak pernah mandi, orang-orang yang Astrid merogoh saku, mengambil sejumlah uang, kasihan hanya melemparkan makanan ke dalam dan mengangsurkannya pada bocah gembel itu. gerbong dan ia memakannya seperti monyet. Gerbong “Apa kau lapar?”

372 373 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KATASTROFA | Han Gagas

Bocah itu mengangguk, langsung berdiri dan orang akan melihat caranya makan seperti binatang. berjalan terseok-seok. Astrid mengikuti dan menggan- Wajahnya tak menghadap apa yang dimakan, dengnya. menengadah tanpa ekspresi, dan makan cepat dengan “Hati-hati di jalan, percayalah kau tak perlu jemari yang belepotan. membawanya lebih jauh dari warung di ujung stasiun. “Mbak tak makan?” tanya si penjual. Sesudah ia makan, biarlah ia kembali ke sini, dan kau Seolah ingin menghapus rasa tak percayanya melanjutkan perjalanan!” teriak petugas itu dengan nada melihat cara makan anak itu, tanpa menjawab panggilan kau yang aneh, tak lagi bersikap sopan santun pertanyaan, Astrid mendekati makanan yang tersaji, seperti tadi. Kali ini ada nada perintah yang otoriter mengambil sebungkus nasi, lauk, dan duduk di samping dalam ucapannya. si bocah. Astrid mengangguk. Mereka menyusuri rel, menuju “Jahe panas,” katanya lirih. terang lampu yang berkerlip dari sebuah warung tenda Penjual itu langsung membakar jahe di atas bara kaki lima. dari arang. Ia memutar radio baterai kecilnya, membuat Sepanjang jalan, gadis itu melenguh namun suara kerit sebentar yang kemudian melatunkan lagu suaranya seperti tersangkut di tenggorokan. Hanya kenangan. terdengar suara hah-huh yang keluar. Kepalanya selalu Widuri elok bagai rembulan... oh sayang... meleng, dan tangan kanannya bergerak tak terkendali. Widuri indah bagai lukisan... oh sayang.... Mereka memasuki warung yang sepi. Hanya Penjual itu ikut menyanyi mengikuti lagu dari radio. seorang penjual yang duduk terkantuk-kantuk. Wajahnya mulai bersinar, tampaknya telah hilang rasa Mendengar pembeli datang ia terbangun, dan melihat kantuknya. Sembari bernyanyi asal-asalan, ia melangkah si bocah gerbong, tanpa bertanya ia membuat teh mengambil sebungkus nasi lagi, membuka, mengambil hangat, mengambil nasi, membuka bungkus dan lauk, dan kembali menaruhnya di depan bocah itu. menyajikan semuanya di muka bocah itu. Melihatnya seperti melakukan hal yang sudah biasa Tangan si anak mulai meraba-raba, menemukan menimbulkan pertanyaan pada diri Astrid. nasi dan makan dengan lahap. Kepalanya yang meleng “Apakah ia sering makan di sini?” nyaris menempel pada permukaan meja. Jemari tangan “Sering. Ada saja orang yang mengajaknya ke sini.” kanannya dengan cekatan menjumput nasi dan “Termasuk petugas itu?” memasukkannya ke mulut. Dari kejauhan barangkali “Petugas mana?”

374 375 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KATASTROFA | Han Gagas

“Petugas stasiun yang tua dan botak.” disadari Astrid, dia berdiri, menundukkan badan, dan Penjual itu tak menjawab, wajahnya terlihat tersenyum, bibirnya lebih tampak seperti menyeringai, mengerut aneh seperti tak biasa, hal yang ditangkap lalu berjalan terseok-seok menyusuri rel kembali. Astrid sebagai sebuah ketidakwajaran. “Mbak tak usah heran, setelah kenyang dia “Petugas itu bilang banyak orang yang ingin langsung pulang, dia sudah hapal jalannya,” katanya mengajak anak ini pergi, namun ia selalu kembali, sambil menyajikan segelas jahe yang mengebulkan uap. kembali ke dalam gerbong itu,” tunjuk Astrid pada Astrid hanya ternganga heran, menatap sosoknya gerbong mangkrak yang nyaris tenggelam dalam yang membelah kegelapan. Punggungnya tersapu kegelapan. cahaya samar lampu merkuri. Sepasang rel yang pucat Penjual itu seakan malas mendengar ucapannya, mengiringi langkahnya yang sesekali tersaruk-saruk bibirnya tersenyum kecut. karena tersandung batu bantalan rel. “Apakah ada yang salah dengan perkataan saya?” “Mbak tak perlu merasa bersalah, dunia memang “Tanyalah pada orang lain, aku takut dikira bikin kejam, kabarnya ibunya ingin anak itu mati dalam onar!” serunya sambil duduk di kursi, matanya kandungannya, ia minum banyak pil, namun nyatanya memejam, bibirnya mengatup beku. Udara makin terasa anak itu lebih kuat dari obat aborsi, ia lahir dalam dingin. Angin menggoyang-goyang ke-4 ujung tenda keadaan yang begitu menyedihkan.” yang masing-masing diikat oleh tali tambang ke sebuah Astrid hanya diam, perasaannya ngilu. pengait di lantai. Astrid memerhatikan bocah itu yang “Ibunya, apakah punya alasan?” tengah makan, tampaknya itu suapan terakhir, dan si “Apa maksud Mbak?” penjual mendiamkan saja. Barangkali memang sudah “Apakah ibunya korban perkosaan?” tanya Astrid. jadi kebiasaan ia makan nasi dua bungkus. Tangannya Ia ingat nasibnya sendiri, ia tahu pula bahwa korban meraih segelas teh hangat, dan meminumnya beberapa perkosaan bisa hamil. tegukan. “Tidak, tidak. Kakeknya tak menyetujui pernikahan “Apakah kau nyaman tinggal di gerbong itu?” mereka.” tanya Astrid ragu. Ia tak tahu apakah bocah ini “Kakek? Masihkah ada kejadian itu di jaman mengerti atau tidak, ia hanya mengikuti nalurinya untuk sekarang.” mengajaknya berbicara. “Masih, lihat itu, lelaki botak petugas itu, dia adalah Gadis kecil hanya melenguh pendek. Tanpa kakeknya. Ah...” Lelaki tua itu seperti menyesal karena

376 377 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 DURIAN YANG BULAT-BULAT MENEROBOS KERONGKONGAN | Thomas N.A. terlalu banyak bicara. “Petugas itu?” “Ya, kalau tanpanya, bagaimana bisa seorang Durian yang Bulat-Bulat gembel boleh tidur seenaknya di gerbong yang walaupun mangkrak, stasiun ini juga jawatan resmi milik Menerobos Kerongkongan pemerintah.” Dari kejauhan, Astrid melihat si petugas mendekati Thomas Nung Atasana langkah anak itu, meraih tangan kanan, dan Minggu, 27 September 2015 menggandengnya berjalan. Lampu merkuri yang paling dekat dengan mereka berkedip-kedip seperti hendak mati. Angin masih bertiup kencang menghempas URIAN memang raja buah yang tenda warung. Astrid menguatkan kelopak matanya, statusnya masih aman karena belum ada menahan air mata yang hendak jatuh.  buahD tandingan yang bernyali mendongkel takhtanya. Cuma, raja yang satu ini mesti rela dikuliti cangkang berdurinya, agar daging buahnya yang harum legit menyengat dapat tuntas dinikmati penggemar hingga tinggal menyisakan biji-biji kesepian yang tandas dikulumi. Namun, ada saja raja yang nekat bulat-bulat menerobos masuk tenggorokan sebelum sempat dikuliti cangkang berdurinya... Dan itu kerongkongan ibu! Enam tahun lalu... “Nin, kayaknya hanya kematian yang akan membebaskan Bunda,” desah ibu waktu itu sungguh mengagetkan tatkala menelepon. Aku yang kebetulan tidak bekerja mesti lekas pesan tiket bis malam, pulang kampung, meninggal-

378 379 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 DURIAN YANG BULAT-BULAT MENEROBOS KERONGKONGAN | Thomas N.A.

kan suami dan anak tunggal di rumah kami di pinggiran Ibu Kota. Tiba di rumah ibu, Sinem pembantu ibu yang setia tergopoh membukakan pintu. Rupanya ibu masih tiduran di kamarnya. Ya ampun..., pagi itu wajah ibu pias. Pucat pasi. “Aku mimpi itu lagi, itu lagi,” rintihnya, memelas. “Ya, Bunda?” “Menelan durian utuh dengan duri-duri tajamnya.” Astaga...! Ya, selain beberapa pohon kelapa, mendiang ayah meninggalkan warisan pohon buah-buahan di kebun pekarangan rumah. Ada rambutan, duku, kueni, srikaya, kedondong, jambu biji, sawo, dan durian. Tapi memang pohon durianlah yang paling sensasional. Ditambah lagi itulah satu-satunya pohon durian yang masih tersisa di kampung kami waktu itu. Apalagi saat musim berbuah, buahnya selalu lebat pula, hasil kerja pasukan malam regu kelelawar dan bala tentara siang koloni lebah yang giat melakukan penyerbukan di medan hamparan bunga durian dengan bau harum yang khas. Pohon-pohon durian lain milik tetangga sudah tewas duluan, tampaknya tak tahan disambar hawa panas yang makin menyengat dan dizalimi polusi udara yang mulai gentayangan masuk desa. Memang, paling tidak kayu pohon dan cabang-cabangnya masih sempat kasih pemasukan tambahan ke pemiliknya setelah dijual ke tobong gamping, tempat pembakaran

380 381 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 DURIAN YANG BULAT-BULAT MENEROBOS KERONGKONGAN | Thomas N.A. batu kapur di kampung sebelah. durian yang menggelar dagangannya di pasar Ada yang berubah setelah ayah wafat. Menurut kecamatan. Langsung dapat dipastikan bahwa ibu, begitu pohon durian tunggal itu memasuki musim pembelinya bukan dari kampung kami. Bahkan beredar berbuah dan buahnya mulai masak, suasana kampung info kalau di kota kabupaten sudah ada pasar swalayan pun jadi heboh. Maklum, sikap terhadap buah durian yang menjual durian impor, info yang mubazir bagi konon cuma dua: disukai atau dibenci! Tak ada wilayah warga kampung kami. abu-abu dan celah buat mendua. Sepanjang Setelah ayah wafat pula, siang hari di musim buah pengetahuan ibu pun, tak ada warga kampung yang durian mulai masak adalah saat ibu jadi kembang desa, benci durian. Maka malam hari para pemuda dan dikerumuni lebah-lebah yang kemecer dapat jatah bapak-bapak kompak meningkatkan kerajinan mereka durian. Ada-ada saja ikhtiar para ibu warga kampung meronda kampung, tentu saja dengan fokus pantauan agar tak terlupa masuk nominasi daftar antrean calon pekarangan rumah kami. Ada saja yang berlagak kasih penerima si raja buah. Maklum, ibu meneruskan tradisi alasan, demi menjaga keamanan ibu yang telah ditinggal almarhum ayah untuk mengonsumsi sendiri buah hasil suami menghadap Sang Pencipta. Padahal bunyi “buk” kebun termasuk durian secukupnya saja, dan membagi- durian jatuhlah yang mereka jaga dan tunggu-tunggu. bagi sebagian besar sisanya ke tetangga dan sanak Apalagi mereka tahu benar ibu pantang keluar rumah saudara. Ibu sendiri hanya menikmati satu dua buah bila bunyi itu memecah kesunyian malam. Saat ayah durian bersama Sinem. Ibu bilang, tiap kali menikmati masih hidup, ayahlah yang selalu keluar bila malam hari buah durian, kenangan akan mendiang ayah selalu ada panggilan bunyi khas itu. Ayah sudah punya daftar terbayang. “Ayahmu itu seperti buah durian. Kata- di luar kepala siapa-siapa saja yang akan dapat jatah katanya setajam duri-durinya—saat mengungkapkan durian, baik para tetangga maupun kerabat. Para kebenaran, dan justru karena itu namanya harum seperti pemuda dan bapak-bapak di kampung kami tidak perlu daging buahnya,” kata ibu. Jadi hanya buah kelapa saja meronda dan tinggal tidur pulas sembari menunggu yang dipanen untuk dijual mengingat para tetangga kiriman. Kondisi tersebut rupanya juga membuat buah rata-rata juga punya pohonnya di samping buat durian aman dari pencurian. Yah, warga kampung meski menambah pemasukan. Lihat saja, pagi hari saat ibu doyan durian tetapi pantang beli karena mahal. pergi belanja ke pasar kecamatan, ibu-ibu pemilik kios Uangnya mendingan buat beli beras dan lauk. langganan dan para sahabat yang kebetulan ketemu Sebetulnya saat musim durian tiba ada juga pedagang ibu langsung buru-buru mendaftar agar dapat jatah

382 383 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 DURIAN YANG BULAT-BULAT MENEROBOS KERONGKONGAN | Thomas N.A. durian. Pokoknya mereka sukses membuat ibu stres. terdengar gemericik air susup-menyusup di antara suara Dan mulailah serentetan mimpi-mimpi mengerikan itu... ibu yang renyah menelepon. “Buk!” “Nin, akhirnya pohon durian itu mati juga. Bunyi yang merdu di telinga para peronda itu Kemarin ibu pun dapat tambahan uang belanja dari melontarkan durian bulat-bulat menembus kabut mimpi menjual kayunya ke tobong gamping.” Aku lega menerobos kerongkongan ibu. Sungguh kurang ajar! mendengarnya. Duri-duri tajamnya langsung menggores dinding Hasrat kuat ibu rupanya diam-diam menyusup tempat makanan dan minuman lewat menuju lambung. masuk ke dalam tanah pekarangan. Tak bertepuk Pedihnya tak terbayangkan. sebelah tangan, hasrat itu pun disambut gembira oleh “Buk, buk!” ratusan uret tanah yang lantas bancakan menggerek Stres siang hari membuat serangan malam durian akar durian. Pelan namun pasti daun rimbun mulai layu menerobos kerongkongan di tubir mimpi ibu terasa dan luruh. Pohon si raja buah pun gering dan akhirnya berlipat-lipat nyerinya. Sadis betul modus si raja buah mengering. Kematian pohon durian otomatis menjajal ketajaman duri-duri andalannya. membebaskan ibu dari stres menghadapi order durian “Buk, buk, buk!” gratis dari para tetangga dan saudara, serta terlebih Tak kenal ampun, serangan makin runcing dari mimpi-mimpi pedihnya. Telepon ibu beberapa membabi buta. Lengkap sudah penderitaan ibu... waktu kemudian, kegiatan meronda kampung pun “Mauku, Nin, biar pohon durian yang bikin stres langsung surut. itu mati saja!” rutuk ibu. Ibu sadar bahwa tidak mungkin Setelah itu aku absen mengunjungi ibu. Maklum, menyuruh orang untuk menebang habis pohon durian suami dapat tugas baru dari kantornya untuk membuka tunggal itu. Pasti bakal heboh seisi kampung dibuatnya. kantor cabang di salah satu pulau besar arah matahari Bagaimanapun setelah tuntas memuntahkan curahan terbit. Kami sekeluarga jadi ikut pindah juga. Untunglah hati padaku, muncul sebersit kelegaan di wajah ibu. ada keluarga kenalan suami yang berminat mengontrak Peranku memang sebatas menjadi pendengar yang baik. rumah kami untuk saudaranya saat kami pindah. Setelah seminggu menemani ibu, aku pun pamit pulang. Saran ibu, karena jarak kami berjauhan, aku dan Dua tahun kemudian semenjak mimpi-mimpi keluarga tidak perlu mengunjungi ibu saat anak kami durian yang bulat-bulat menerobos kerongkongan ibu libur sekolah. Cukup lewat telepon saja. Kalau ada dana itu, rupanya ada kejadian penting. Kali ini seolah ekstra, lebih baik digunakan untuk acara liburan keluarga

384 385 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 DURIAN YANG BULAT-BULAT MENEROBOS KERONGKONGAN | Thomas N.A. ke mana kalian ingin, pesannya. Pesan yang memang Mestinya lebih baik aku bersikap ikhlas menerima kami jalankan. permintaan jatah durian dari tetangga dan kerabat, Akhirnya kesempatan berkunjung kembali ke dan aku yakin keikhlasan itu akan menjauhkanku dari rumah ibu pun tiba setelah belum lama ini suami ditarik mimpi-mimpi buruk. Ibaratnya aku rela melakukannya kembali ke kantor pusat dipromosikan untuk bila si raja buah bertitah, ’Langkahi dulu duri-duriku!’” menangani unit usaha baru di kantornya. Otomatis senyum ibu. Ya, dalam hati aku pun tidak mengingkari kami kembali ke rumah kami di pinggiran Ibu Kota, bahwa menjadi kembang desa bertabur perhatian yang kini makin sumpek lingkungannya dengan banyak melimpah memang terasa manis dan membanggakan. bangunan baru yang berdesak-desakan. Ya hari-hari Ibu kemudian mencari info ke adikku yang tinggal ini aku menikmati kampung ibu yang meskipun sudah di pulau arah matahari terbenam, tentang kemungkinan terkena polusi toh terasa lebih lapang dan ramah. mengirim bibit unggul durian lokal yang terutama tahan Namun, yang pertama-tama membuatku kaget saat cuaca panas. Adik bilang ada, dan menenteng bibit tiba di rumah ibu adalah kehadiran pohon durian di pesanan ibu itu sendiri saat mengunjungi ibu dan kebun. Dari tingginya, kutafsir pohon itu sudah sekaligus menanamnya di kebun. Diperkirakan umur berumur sekitar tiga tahun. empat tahun nanti pohon durian mulai berbunga, pesan “Bunda, kok menanam pohon durian lagi?” adik pula. “Oalah, Nin, aku dulu merasa stres karena Pagi ini aku berkunjung ke rumah Tina sahabat permintaan bertubi-tubi dari tetangga dan saudara saat karibku di masa kecil. Ibu bilang kalau Tina baru saja buah durian mulai masak. Belum lagi serangan mimpi- melahirkan anak ketiganya, yang usianya terpaut jauh mimpi menyakitkan yang terakhir kualami, yang telah dari anak sulung dan anak keduanya. Rumahnya di kuceritakan padamu waktu itu. Namun, begitu ujung kampung, berjarak beberapa rumah dari rumah pohonnya mati, ternyata kelegaanku cuma berlangsung ibu. Tina yang tidak menduga kedatanganku begitu sementara saja. Muncul perasaan aneh saat musim gembira dan langsung menarikku untuk melihat durian tiba dan tak ada lagi durian untuk dibagi-bagi. bayinya. Setelah kulontarkan pujian betapa cakep buah Suasana jadi sepi, suwung! Kurasakan orang-orang tak hatinya, Tina mengajakku minum teh hangat di lagi antusias saat ketemu aku, terutama saat belanja di beranda belakang, menghadap kebun yang lumayan pasar. Kurangnya perhatian ini rupanya justru lebih luas yang dipagari rumpun bambu yang rapat. Tiba- terasa nyeri di hati. Rasanya aku tak dibutuhkan lagi…! tiba mataku tertumbuk pada pohon durian yang

386 387 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KEMATIAN PUISI | Sandi Firly tingginya kira-kira sama dengan pohon durian umur tiga tahunan di rumah ibu. Otomatis benakku langsung bereaksi: wah, ibu punya kandidat pesaing! Kematian Puisi Ah, tidak juga bila Tina memutuskan untuk tidak berbagi... Atau jangan-jangan ibu justru senang dapat teman berbagi... Sandi Firly Huh, apa-apaan ini, kedua pohon durian belum Minggu, 04 Oktober 2015 juga berbuah malah benakku sudah memanen rasa khawatir duluan... Aduh.., mendadak sosok buah durian raksasa yang ELOPAK matanya yang kendur dan memamerkan keruncingan durinya berkelebat keriput perlahan membuka. Kemudian mengoyak benakku!  menutupK lagi—mungkin karena cahaya lampu ruangan yang putih terang terlalu menusuk matanya yang sudah tua. Sesaat, bola mata yang sudah tak lagi benar-benar hitam, lebih cenderung coklat, karena dimakan usia itu pelan-pelan terbuka lagi. Dan dilihatnya dua perempuan muda cantik berpakaian putih- putih sedang menatapnya dekat-dekat. “Aku sudah mati?” “Beruntung, Bapak masih selamat.” “Kalian bidadari surga?” “Bukan, Pak.” “Jadi...?” “Bapak di rumah sakit.” “Akh..,” lenguhnya, dan kembali memejam- kan mata.

388 389 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KEMATIAN PUISI | Sandi Firly

Besok paginya penyair tua Badra sudah dibolehkan pulang. Ia hanya dinyatakan kelelahan karena faktor usia. Pada malam dia ambruk di atas pentas saat pembacaan puisi di gedung seni utama kota itu, Badra memang tampil energik. Membacakan lima puisi hampir tanpa jeda, bergerak ke sana kemari, kadang juga sambil jumpalitan, dengan suara kencang penuh luapan emosi dan entakan. Pada puisi terakhirlah dia akhirnya terduduk, lantas rebah persis seperti ikan besar terdampar. Semula orang-orang menduga itu bagian dari pertunjukannya. Tepuk tangan panjang membahana menggetarkan ruangan pembacaan. Tetapi, hingga tepuk tangan terakhir, Badra tidak bangun juga. Seketika ruangan menjadi hening, dan lantas berubah riuh geremengan orang-orang yang saling bertanya dan tak tahu apa yang telah terjadi terhadap penyair tua itu. Panitia acara—seperti juga para penonton yang semula mengira Badra hanya sedang berakting— akhirnya naik ke atas panggung. Ditepuk-tepuk, tidak juga bangun. Dan ketika tubuh tua kurus itu dibalikkan, dari mulutnya keluar air liur yang cukup banyak, mungkin juga sedikit muntah. Suasana pun berubah gempar. Tubuh lelaki berusia 68 tahun itu segera dibawa mobil panitia menuju rumah sakit terdekat—yang di sana kemudian dia mengira telah mati dan bertemu bidadari.

390 391 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KEMATIAN PUISI | Sandi Firly

Sudah hampir dua bulan ini Badra memang ingin puisi.” mati. Tetapi, bukan kematian biasa. Dia ingin mati di Lalu, dia pun membacakan puisinya yang juga atas pentas, saat membaca puisi. Dia juga sudah bertema kematian. Penampilan Badra memang selalu meminta kepada Tuhan, di dalam doa-doanya, agar memukau. Tidak saja gaya pembacaannya, tapi dimatikan ketika tengah menjalankan ritual yang telah keseluruhan dirinya yang bagai puisi itu sendiri. Rambut dilakoninya lebih dari separuh hidupnya. putih panjangnya hingga menyentuh pundak yang Keinginan itu tepatnya disampaikan saat dia kadang berkibar-kibar, pahatan wajahnya yang tegas— mendapatkan hadiah kehormatan atas pengabdiannya juga kerutan-kerutan ketuaannya, dan liukan liat kepada puisi oleh pemerintah ibu kota. Di atas podium, tubuhnya yang agak kurus tinggi, seolah puisi yang di dalam pidatonya yang cukup pendek, namun hidup. Puisi yang mewujud. mendapatkan aplaus panjang dari para hadirin, yang Sejak itu, dia hampir tidak pernah melewatkan acara tidak saja dari kalangan penyair, seniman, tetapi juga pembacaan puisi. Tidak saja di ibu kota tempat dia para pejabat pemerintahan, dia menyampaikan amanat tinggal seorang diri—tanpa anak bini serta sanak kematiannya. keluarga, tapi juga ke daerah-daerah yang mengundang “...Bila John F Kennedy mengatakan, ’Jika politik dirinya. Puisi yang dia baca selalu bertema kematian. itu kotor, maka puisilah yang membersihkannya’, aku Dan peristiwa dia ambruk di atas pentas kemarin justru ingin mengatakan, ’Jika di dunia ini tidak ada malam adalah untuk yang kali ketiga. Tapi, dia tidak puisi, maka sebaiknya aku mati’. Aku telah mati. Karena itu juga, setiap mendapati dirinya masih mengabdikan diri kepada puisi berpuluh-puluh tahun, hidup, dia merasa kecewa. mungkin lebih setengah abad, hingga memutih kumis, “Mengapa tidak biarkan saja aku mati di atas pentas jenggot, dan rambutku. Telah juga kuraih banyak pembacaan puisi itu?” katanya suatu ketika kepada prestasi lewat puisi, hingga yang kuraih kini yang Darmo, sahabatnya yang seorang kritikus sastra. kuanggap penghargaan tertinggi bagiku dan bagi puisi. “Memangnya kamu serius ingin mati?” tanya Lalu aku pun berpikir, rasanya sudah tak ada lagi yang Darmo heran. kuharapkan dari dunia ini, selain sebuah kematian “Seperti puisi, aku tidak sedang bercanda. Aku bersama puisi. Aku ingin mati di saat membacakan serius ingin mati saat membaca puisi,” sergahnya. puisi, mungkin di atas pentas ini nanti. Sebab aku sendiri “Tidak usah kau minta pun, kau juga pasti mati. adalah puisi. Jiwa, tubuh, dan pikiranku telah menjadi Mungkin juga sebentar lagi,” ujar Darmo agak

392 393 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KEMATIAN PUISI | Sandi Firly bercanda. Seumur-umur berkawan dengan Badra, keanehan sebagai tanda Badra memang tidak lama lagi memang baru kali ini Darmo mendapati sikap aneh akan menemui kematiannya, pikir Darmo. sahabatnya itu. Hidup sendiri di kamar kos pinjaman dari seorang “Aku tahu, Darmo, aku pasti akan mati,” seru teman yang setengah pebisnis setengah seniman, Badra kesal. “Tapi, aku meminta kematian yang khusus. kehidupan Badra sangatlah sederhana. Kamarnya Kematian yang puitis.” hanya berisi sebuah kasur lepek, satu kursi busa yang “Tidak ada kematian yang puitis, Badra. Mati ya sudah usang beserta meja—juga pemberian temannya, mati. Paling-paling yang ada juga kematian yang tragis.” satu kompor gas yang sangat jarang dinyalakan, kecuali “Sialan sekali, kau Darmo. Kau bisanya hanya memasak air panas untuk membuat kopi, gelas-gelas membedah-bedah puisi, tapi tidak bisa membedah jiwa dan beberapa piring, satu komputer tua—kalau ini dia penyair.” beli sendiri dari uang hadiah ketika memenangkan Darmo tertawa. Badra kecewa. Penyair itu merasa lomba pembacaan puisi berpuluh tahun lalu—yang sahabatnya sudah tumpul analisisnya terhadap jiwa hanya digunakannya untuk mengetik puisi-puisinya, penyair. Terhadap dirinya. Terhadap puisi dalam selebihnya buku-buku di satu rak cukup besar yang keinginannya mati. menempel di dinding. Tidak ada lemari pakaian karena “Apakah permintaanku itu terlalu berlebihan, dia merasa tidak membutuhkannya. Pakaiannya terlalu Darmo?” tanyanya. sedikit untuk disimpan di dalam sebuah lemari. “Bukan berlebihan. Tapi aneh!” Makannya tidak terlalu banyak. Bisa dibilang dia “Kau sama sekali tidak menghormati keinginanku, tidak terlalu doyan makan. Sekalipun makanan enak, Darmo...” porsinya tetap standar. Itu sudah terlihat jelas dari “Aku menghormatimu, Badra. Seperti juga aku ukuran tubuhnya yang tidak pernah melar sejak muda selalu menghormati puisi-puisimu, dan jalan puisi dulu. sebagai jalan hidup yang kau pilih.” Untuk transportasi, Badra hanya menggunakan “Jika begitu, semestinya kau pun menghormati angkutan kota. Jadi, dia sudah mengalami hampir semua jalan kematian puitis yang kupilih.” perubahan tarif naik angkot. Tidak banyak pekerjaan Kali ini Darmo terdiam. Dia sudah tidak ingin yang dilakukannya, selain menulis puisi-puisi dan mendebat sahabatnya itu lagi. Mungkin inilah, seperti memenuhi undangan pembacaan puisi. Makan, rokok, sering terjadi kepada orang-orang yang akan mati, dan kopinya dari honor puisi yang dimuat koran-koran

394 395 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KEMATIAN PUISI | Sandi Firly setempat. Honor yang tak seberapa. Terkadang, karena di kota itu. Biasanya sore atau malam-malam. Semua dia berteman dengan semua redaktur koran di kota temannya juga tahu. Di sana dia hanya duduk itu, dia meminta honor terlebih dulu sebelum puisinya memandangi sungai yang mengalir membelah kota, diterbitkan. Untungnya, para redaktur koran yang kapal-kapal yang tambat, juga elang, dan menikmati memahami kehidupan para seniman, setidaknya embusan angin yang datang dari arah laut. Saat-saat kehidupan Badra, tidak pernah merasa keberatan untuk seperti itulah puisi-puisi menghampirinya yang membayarkan honor di depan walau itu dari uang kemudian dituangkannya ke dalam buku catatannya mereka sendiri. Bahkan para redaktur itu pun telah yang selalu dibawa di dalam tas kain pundaknya yang menjadwalkan penerbitan puisi Badra setiap bulannya, sudah lecek. agar penyair tua itu tetap bisa makan. Perkara kesehatan, Badra merasa sehat-sehat saja. Hidupnya terlalu sederhana memang. Apalah hidup Kecuali batuk-batuk atau masuk angin yang sesekali di dunia ini, hanya bagai sebuah puisi yang sebentar datang. Dia jarang sakit kepala, juga sudah lupa kapan telah habis dibaca, begitu dia pernah berucap. Tidak terakhir sakit gigi karena gigi-giginya sebagian besar ada sesuatu atau siapa pun yang membuat Badra memang sudah habis, termasuk gigi bagian depan. merasa iri dalam hidupnya. Hanya kepada penyair Chairil Mungkin saja dia mengidap kanker paru-paru atau Anwar dia pernah cemburu. penyakit dalam lainnya, hanya saja tidak diketahui “Chairil beruntung mati muda. Karena selamanya lantaran tidak pernah periksa kesehatan secara orang-orang akan tetap menganggapnya sebagai menyeluruh. Tepatnya, dia takut mengetahui ada penyair muda walau telah terkubur beratus bahkan penyakit gawat di dalam tubuhnya. beribu tahun kelak,” ucapnya kepada Darmo kali ketika. Dia sudah lama meninggalkan minum minuman “Jadi, dulu kamu juga pernah berharap mati muda?” keras, seingatnya itu menjelang usianya yang ke-40 tanya Darmo. tahun. Hanya merokok yang tidak bisa dihentikannya “Ah, tidak juga. Hanya saja sekarang aku merasa sejak remaja. Merokoknya keras. Ngopinya juga lebih siap untuk mati, di usiaku sekarang ini. Dan itu kuat.Merokok sudah dianggapnya sebagai obat stres adalah kematian yang puitis, seperti halnya juga menghadapi keruwetan hidup. Sementara kopi, kematian yang dialami Chairil,” ucapnya. menurutnya, sudah ditakdirkan sebagai teman setia Bila tidak sedang di kamar kos, dan tidak ada acara rokok. sastra, Badra sering pergi ke pelabuhan tua dekat laut Andai kematian yang dia minta datang tiba-tiba—

396 397 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JAKA OMPONG | Parakitri T. Simbolon dan ini yang selalu diharapkannya, itu pastilah serangan jantung. Tempat dan waktu yang sangat diharapkannya serangan itu datang, tidak lain adalah saat membaca Jaka Ompong puisi di atas panggung. Yang akhir-akhir ini sangat dinantikannya. Dirindukannya. Karena dia sudah siap menyambut kematian yang puitis itu. Kematian yang diminta akhirnya datang juga. Parakitri T. Simbolon Tetapi tidak saat membacakan puisi. Minggu, 11 Oktober 2015 Badra ditemukan telah menjadi mayat setelah tiga hari menghilang dan mengundang tanya kawan- kawannya. Sang penyair tua tenggelam di bawah AKA namanya, tapi orangnya sudah tua. pelabuhan dekat laut tempat biasa dia menyepi. Umurnya hampir tujuh puluh. Tidak juga dia Para penyair di kota itu berduka. lajang.J Dia sudah berkeluarga. Istrinya yang Dan Darmo, pada acara pembacaan puisi sekarang malah yang kedua. Namun demikian mengenang kematian sahabatnya itu pun bersaksi, anaknya hanya seorang, lelaki, dari istri pertama “Sungguh kematianmu puitis, Badra. Melebihi kematian yang sudah meninggal. Jaka pun sudah bercucu yang kau minta kepada Tuhanmu. Mungkin laut, seperti dari anak satu-satunya itu. Sayang, dia mengaku kau pernah mencemburui Chairil, juga telah tidak bisa sering ketemu dengan keluarga mencemburui hidupmu yang puitis. Laut pun ingin anaknya karena mereka tinggal cukup jauh. merasakan puisi. Merengkuhmu. Menelanmu. Keterangan tersebut barusan, saya sarikan Hidupmu puisi, matimu puisi.”  dari percakapan kami saat berkenalan pada suatu pagi menjelang siang di pekarangan rumah saya. Waktu itu saya agak sibuk bersama dua orang tukang yang memperbaiki kandang anjing. Cukup lama kami bertiga tidak menyadari adanya seseorang yang mengetuk- ngetuk pintu pagar dari luar. Saya baru mendengar setelah orang itu memanggil-

398 399 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JAKA OMPONG | Parakitri T. Simbolon

manggil nama salah satu tukang saya. Saya sendiri yang pergi membukakan pintu pagar untuknya, tapi dia tidak mengacuhkan saya. Dia langsung masuk dan jalan cepat ke arah kandang anjing dengan tetap memanggil-manggil nama tukang yang seorang itu. Saya biarkan saja dia beberapa lama bicara dengan tukang itu, sedang saya tetap tinggal berdiri di pintu pagar. Saya berharap dia tidak akan lama berada di pekarangan saya. Saat dia kembali menuju pintu pagar, saya memperhatikan dirinya dengan saksama. Langkahnya mantap, badannya tegap. Kumisnya hitam tebal dan rambutnya hitam ikal. Sosoknya memang cukup gagah. Namun demikian seluruh sikapnya tampak berubah setelah dekat dengan saya. Dia tersenyum, ah tepatnya nyaris tertawa dengan raut muka malu sambil menyodorkan tangan. Saya kaget menyadari bahwa dia ternyata ompong sama sekali. Ompong pisan, kata penduduk asli kampung tempat saya tinggal. Saya pun menyalami tangannya yang masih tersodor. Duh, genggamannya keras banget. “Maaf,” katanya, “tadi saya kira bapak tukang juga. Saya Jaka pak.” Dia menyebut namanya sambil tertawa lepas, sepertinya banyak yang lucu terkandung dalam namanya itu. Saya pun tertawa sama lepasnya karena kaget. Habis, siapa duga pria segagah itu, dengan rambut dan kumis yang masih hitam legam, ternyata ompong pisan, dan bernama “Jaka” pula.

400 401 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JAKA OMPONG | Parakitri T. Simbolon

Ternyata dia pun jago bercakap-cakap. Berbeda “Betul pak. Pekerjaan saya security!” dengan kebanyakan orang kita, kata-katanya sarat Sejujurnya saya tidak dapat memastikan arti security, keterangan, bukan sarat basa-basi. Dia mengaku berasal istilahnya itu. Karena itu saya memilih diam. Bagi orang dari Malang, blasteran ayah Madura dan ibu Jawa. Sudah yang tampak cerdas dan gagah seperti dia, security bisa empat puluh tahun dia menetap di Jakarta, tapi “Kota berarti bekas anggota polisi atau tentara atau informan Metropolitan ini”, katanya, sama sekali tidak atau intel. Namun mengingat dia akhirnya memilih mengenalnya. tinggal di kampung pinggir kota, bisa saja dia hanya Selain lucu, cerdas juga orang ini, pikir saya, sambil hansip atau satpam. Sekali pun demikian, saya merasa menahan tawa. Agar percakapannya yang terasa bernas jauh lebih terpikat pada penampilannya yang terbuka itu tidak sampai mati angin, cepat-cepat saya menukas: daripada pekerjaannya yang beristilah kabur itu. “Tapi Pak Jaka yang sangat mengenal Jakarta kan?” Saya kira dengan diamnya saya, saya berhasil “Maaf pak,” sahutnya serta-merta dengan raut membuat suasana cocok untuk percakapan yang santai muka kegelian, “sangat mengenalnya sampai bosan.” dan akrab. Percakapan kami pun berlanjut dengan Saya lihat dia memperhatikan reaksi saya. “Makanya tenang sehingga saya berani bertanya tentang saya akhirnya milih tinggal di kampung ini, pinggiran pekerjaannya sebagai security itu. Sikapnya menjawab Metropolitan ini, seperti bapak!” tidak berubah, santai dan lepas seperti ompongnya. Terenyak juga saya mendengarnya, lalu coba Katanya security itu istilah kerennya. Orang juga menebak belokan pembicaraannya. Hm, dia merasa menyebutnya “hansip” atau “satpam”. “Bahkan saya sama seperti saya. Apakah dia menghargai atau jaga malam serabutan juga,” katanya mengaku. meremehkan orang yang tinggal di kampung, Keterangannya masih lebih jauh lagi, termasuk suka- pinggiran Metropolitan, seperti saya? Lagi-lagi saya lihat dukanya sehari-hari. dia memperhatikan reaksi saya. Sepertinya dia tahu apa yang saya pikirkan mendengar kata-katanya itu, karena SUATU malam saya merasa salah satu geraham dia secepatnya melanjutkan. kiri atas saya nyeri. Saya pikir sebabnya mungkin “Apa boleh buat pak,” katanya, lalu jeda sejenak.” kebanjiran kuah lauk masakan rumah gaya tom yam Semua gara-gara pekerjaan saya.” itu. Sebenarnyasaya sudah sikat gigi, sebagaimana biasa “Gara-gara pekerjaan bapak?” tanya saya setiap habis makan, tapi masih nyeri juga. Bisa juga penasaran. gusi saya sampai terluka karena saya ngotot

402 403 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JAKA OMPONG | Parakitri T. Simbolon membersihkannya lagi dengan gesekan benang. tapi apa boleh buat. Benarlah, saya hanya dapat nomor Sebentar juga reda, begitu saya sangka. cadangan untuk pagi. Untunglah petugas rumah sakit Ternyata nyeri geraham saya itu makin ngeri, sempat menyarankan saya makan obat anti nyeri, yang seolah-olah sebatang jarum setan beracun ditusukkan bisa dibeli di apotek. dalam-dalam ke geraham saya itu. Pada pukul dua dini Salah seorang anak saya jadi repot juga keluar hari saya tidak kuat lagi menahannya. Tepat saat itu rumah dini hari untuk beli obat anti nyeri di apotek. terdengar tiang listrik dekat rumah dipukul dua kali. Sambil menunggu dia pulang saya coba menahan sakit Sudah lama tidak ada jaga malam yang melakukan hal dengan membayangkan derita Pak Jaka setiap kali itu. Saya duga pelakunya Jaka Ompong. Duh, menjelang ompong. Jika dia bisa tahan, mengapa saya ompongnya. Tiga geraham atas saya sudah dicabut, tidak? Benar juga, sesudah menelan sebutir obat itu, dan bakal jadi empat jika yang satu lagi harus dicabut. nyeri gigi saya lambat laun susut sampai hilang sama Apa jadinya saya dengan hanya sisa dua geraham? sekali. Saya jadi sempat tidur pulas dan bangun cukup Tentu ompong seperti dia! segar untuk langsung ke rumah sakit. Saya berangkat Terus terang saya tidak mau ompong pisan seperti sendiri. Sepanjang jalan saya banyak berpikir tentang dia. Ketika bertemu dengannya, saya sempat agak ompongnya Pak Jaka. bangga karena usia kami sama, tapi gigi saya masih Setelah empat tahun sejak terakhir saya pernah cukup lengkap. Namun nyeri gigi saya sudah tak menginjak rumah sakit bernama besar ini, tertahankan. Sayang dokter gigi langganan saya hanya perubahannya luar biasa. Gedungnya bertambah luas, praktik pribadi pada sore hari di rumahnya. Dia dan tampak makinmewah. Pengunjung pun berjubel meneruskan profesi ayahnya yang terkenal karena seperti di supermal. Tapi yang paling mengagetkan bagi keahlian dan kesederhanaannya, tapi karena dia saya adalah semua petunjuk dituliskan dalam bahasa perempuan, suasana bersahaja di tempat praktiknya Inggris. Petugas pun demikian. Pertanyaan saya di mana itu melantunkan kecerahan. poli gigi dijawab: Terus lalu turun ke underground. Maunya saya ke dokter gigi langganan saya itu Mula-mula saya protes dalam hati mengapa ada besok sore, tapi saya sudah tidak tahan. Karena itu poli di underground. Apa cukup udara di sana. Ternyata saya terpaksa menghubungi rumah sakit terdekat yang ruangan poli itu sama lapang dan bersihnya dengan di mata umum bernama besar untuk mendaftar di poli yang ada di lantai dasar. Begitu masuk saya langsung gigi. Saya sering merasa enggan terhadap nama besar, menghadapi counter dengan tiga petugas perempuan,

404 405 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JAKA OMPONG | Parakitri T. Simbolon muda-muda lagi. Setelah melapor saya diminta menjalani pemeriksaan sinar-X. Tanpa banyak pikir menunggu. Ruang tunggunya cukup luas, lengkap saya minta agar geraham saya dicabut saja kalau bisa dengan pesawat tv tempel di dinding. tanpa pemeriksaan dengan sinar-X. Tidak begitu lama menunggu, saya diberi tahu Rupanya Prof Dr Drg itu menangkap kegelisahan dapat giliran karena ada pasien yang tidak jadi datang. saya. Dengan sikap lebih ramah dia menjelaskan bahwa Seorang dari perempuan muda petugas di counter mencabut gigi, apalagi geraham orang seusia saya, harus mengantar saya ke ruangan pemeriksaan. Di sana hati-hati sekali. Akar gigi orang setua saya, katanya, sudah ada petugas lain lagi, juga perempuan muda, tapi sangat rentan kerapuhan sehingga sering ada akar gigi tidak ada dokter. Rupanya ruangan itu hanya tempat yang terputus. Mencabut geraham tanpa panduan hasil periksa tekanan darah dan ukur tinggi-berat badan. sinar-X timbul risiko ada akar gigi yang tersisa. Itu Hasilnya konon cukup baik buat saya, dan saya diminta berbahaya, katanya. Apalagi sinar-X-nya di kamar kembali menunggu. sebelah saja, katanya. Cuma perlu tiga menit, selesai Sempat saya terlelap ketika nama saya dipanggil. semua. Di samping pintu masuk ke ruangan dokter, terbaca Semua yang dikatakan Prof Dr Drg itu betul terjadi. nama dokternya yang bergelar Prof Dr Drg. Saya Saya pun tidak perlu membawa hasil pemeriksaan sinar- mengira dia sudah tua, ternyata tampak jauh lebih muda X. Sekembali ke ruangan dokter, saya melihat hasilnya daripada saya. “Siang Prof,” sapa saya, dan “Pagi Bu terpapar jelas di layar komputer yang tertempel di Suster” kepada suster pembantunya. Tidak ada dinding. Canggih juga ya. Tapi, justru karena sahutan, tapi suster itu membimbing saya berbaring di kecanggihan itu saya memutuskan tidak jadi cabut kursi pasien. Terlihat semua peralatan di ruangan itu geraham. Sejak di ruangan sinar-X pun saya sudah ragu. jauh lebih mewah daripada di tempat praktik dokter Bayangan Jaka Ompong melela terus. Saya tidak yakin gigi langganan saya. Di dinding tertempel juga televisi dia pernah mengalami kecanggihan ini, tapi dia tampak tempel sebesar yang di luar, tetapi tidak menyala. Baru baik-baik saja dengan ompongnya. Sial sekali saya tidak kemudian saya tahu itu layar komputer. sempat menanyai dia sebelum pergi ke rumah sakit Selama Prof Dr Drg itu memeriksa mulut saya, ini. lalu mengetuk-ngetuk geraham saya yang sakit, saya Prof Dr Drg itu menjelaskan panjang lebar gambar membayangkan besarnya biaya perawatan gigi saya. geraham saya hasil pemeriksaan sinar-X. Semua bagus Bayangan itu makin menjadi-jadi ketika saya diminta katanya, dan boleh langsung dicabut. Saya merasa ciut

406 407 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JAKA OMPONG | Parakitri T. Simbolon juga. “Yah, dan saya jadi lebih ompong,” tukas saya memberi saran agar menggosok gigi dengan odol asal omong. Dokter itu tertawa lepas. Ompong merek tertentu, yang ternyata sudah lama saya pakai. gampang diatasi katanya. Dia lantas menerangkan Kapan-kapan bisa dicabut. Dalam hal ini pun saya beberapa macam teknik pemasangan gigi palsu. Yang merasa perlu beguru kepada Jaka Ompong. Jangan- paling canggih katanya, gigi palsu bisa tertanam seperti jangan dia malah tidak perlu cabut gigi, tapi hanya gigi asli, sedangkan bahannya jauh lebih kuat daripada membuang giginya yang tanggal setelah dikili-kili gigi asli. Betul-betul asli tapi palsu, katanya, atau betul- dengan ujung lidahnya. Pokoknya, Jaka Ompong bagi betul palsu tapi asli. saya mendadak jadi tokoh terpenting di dunia?  “Asli dan palsu sudah tidak bisa dibedakan,” begitu kata saya dalam hati, dan saya bergidik mendengarnya. Rumusan itu sepertinya tidak mau keluar dari kuping saya. Mula-mula saya merasa gendang telinga saya dikili- kili oleh kata-kata itu, tapi kemudian mulai terngiang, lalu berubah jadi denyutan menyakitkan. Mendadak saya merasa konyol karena repot memilih antara asli dan palsu, pilihan yang mestinya paling gampang di dunia. Benar-benar tidak waras. Lagi-lagi bayangan Jaka Ompong! Pernahkah gerangan dia berpikir untuk memasang gigi palsu? Bagiamana pula dia mencumbu istrinya? Yang lebih penting lagi bagaimana dia makan? Saya sungguh menyesal tidak menanyakan hal-hal semacam itu tatkala saya bertemu dan melihatnya tertawa lepas, sama sekali tidak acuh dengan ompong pisannya. Ah, saya harus bertindak benar, pikir saya. Maka saya memutuskan menunda cabut gigi. Prof Dr Drg itu terlihat agak kaget, tapi berhasil kembali santai. Tidak apa, katanya. Kapan-kapan juga bisa dicabut. Dia lalu

408 409 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 NOMOR | Seno Gumira Ajidarma Nomor

Seno Gumira Ajidarma Minggu, 18 Oktober 2015

Setelah aku mati diriku adalah sebuah nomor dalam telepon genggam.

EMANG benar setelah jantung pada  tubuh tempatku bermukim berhenti berdetak,M dan pemilik tubuh itu menghembuskan napas yang penghabisan, aku yang sudah bukan diriku terleburkan ke dalam ruang dan menyatu bersama waktu. Setelah aku mati keberadaanku tidak terhapuskan, tetapi diriku tetap saja tiada, tidak terlacak, tidak tertunjuk, dan tidak terpetakan. Bagaimanakah caranya mencari udara di antara udara? Betapapun, karena tidak lagi merasa dan tidak lagi berpikir, terpisahnya roh dari tubuh itu tidaklah menjadi masalah bagiku. Bagaimana caranya menjadi masalah jika ada dan tiadanya diriku tiadalah dapat kuketahui pula bukan?

410 411 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 NOMOR | Seno Gumira Ajidarma

Aku memang sudah tidak ada lagi di dunia, tetapi di dunia ini ternyata nomorku pada telepon genggam masih ada! Meskipun diriku sudah almarhum, begitu terdapat jari memijit tombol yang membuat nomor itu dipanggil-panggil, diriku yang sudah tiada kembali ada—tetapi menjadi ada bukanlah soalnya. Panggilan itu bagaikan undangan bagi triliunan butir-butir pasir, yang tersebar dengan keterpisahan sejauh-jauhnya dalam keluasan semesta lain. Panggilan yang akan membuat setiap butir pasir itu seketika melesat lebih cepat dari cahaya—meski tidak ada sebutir pasir pun di sini, ukurannya tentu lebih kecil, sepersetriliun dari sebutir pasir, dan setiap butir yang sepersetriliun dari sebutir pasir ini masih dibagi sepersetriliun lagi. Namun, tiada sesuatu pun yang dapat disebut butir, karena tiada benda padat, tiada pula yang cair, bukan pula semacam udara. Hanya sesuatu, yang hanya bisa dikenali orang mati, sebagai keberadaan dari kematian itu sendiri, yang ternyata bukanlah kematian sama sekali! Tidak ada butir, hanya ada titik, tetapi titik ini tidak dapat dipegang dan dirasakan, tidak berbau dan tidak berwarna, bahkan tiada pula titiknya. Hanya a-d-a. Semburat dalam semesta yang berbeda. Dalam sekali pencet bertriliun-triliun titik yang tersebar menyatu kembali menjadi diriku. Zzzzzzaaaaaaapppp!!! Panggilan itu membuat diriku masuk ke dalam

412 413 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 NOMOR | Seno Gumira Ajidarma telepon genggam. Aku terhisap sampai ke batas dunia. “Lho, bagaimana kamu bisa tidak tahu, waktu itu Kubilang batas, karena seperti terdapat selaput tak beritanya dimuat di mana-mana. Semua koran, televisi, terlihat dan tak terasa yang menahanku hanya sampai internet, dan media sosial memuat tampangnya!” di situ. Perempuan itu memandang ke arahku, artinya “Aduh! Aku lupa! Terlalu banyak orang mati yang memandang ke layar telepon genggamnya, mungkin juga dimuat tampangnya di mana-mana!” ia membaca sebuah nama dan menatap sebuah wajah, “Seharusnya ingat! Memang sudah lama sekali, tetapi jelas tidak sedang mengamatiku. Tidak dukun, tetapi kematiannya yang sangat misterius sepertinya tidak sinar inframerah bisa membuat diriku terlihat. selalu diperingati!” Semua itu cuma omong kosong. “Sama saja! Terlalu banyak orang yang kematiannya Di balik layar, akulah yang mengamatinya. Tentu sangat misterius dan setiap tahun diperingati dengan saja aku tidak bermata dan tidak berotak lagi, tetapi tampang yang dimuat di mana-mana! Aku tidak bisa dalam kenyataannya diriku mengetahui dan ingat semua! Terlalu banyak berita!” memahami, setidaknya aku dapat bertanya-tanya, “Tapi mengapa nomornya bisa ada di sini ya?” apakah kiranya yang sedang dipikirkannya? “Barangkali karena sebetulnya pernah dekat Apakah ia mengenali nama dan wajah pada layar denganmu.” telepon genggam ini? “Tidak mungkin.” “Orang ini sudah mati!” katanya. “Mungkin saja.” “Kenapa kamu meneleponnya?” “Nyatanya aku lupa.” Wah, ada orang di sebelahnya, suaranya suara pria. “Hmm, kamu beli telepon bekas ya?” “Karena aku penasaran,” jawab perempuan itu, “Tidak, ini dari ibuku.” “seperti kenal namanya, tetapi wajahnya tidak terlalu “Kalau begitu hubungannya dengan ibumu.” jelas, jadi kutelepon saja. Hanya teman-teman dekat “Tapi ibuku dapat telepon genggam ini dari yang namanya ada di sini.” kakekku!” “Jadi kamu mengenalnya?” “Hmm. Aku baru sadar, kalau kita terima warisan, “Kurasa tidak. Jika iya, aku sudah mengenali rupanya kita juga mewarisi semua persoalannya.” namanya!” “Ah, ini tidak perlu menjadi persoalan bagiku!” “Bagaimana kamu tahu bahwa orang ini sudah Perempuan itu rupanya lantas mematikan mati?” teleponnya. Mungkin pula menghapus nomor itu dari

414 415 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JENGGO | Putu Wijaya simpanan nomor-nomor dalam telepon genggamnya. Zzzzzziiiiiiiiippppppp! Aku pun terlontar lepas dari dalam telepon Jenggo genggam itu, terpecah kembali menjadi bertriliun-triliun titik dengan besaran sepersetriliun titik dibagi sepersetriliun lagi yang terus menyusut dengan keterkecilan tak terhingga dalam kecepatan tak Putu Wijaya terhingga pula meskipun tak pernah lenyap karena Minggu, 25 Oktober 2015 memang ada, hanya ada, dan tiada lain selain ada. Aku pun semburat menjadi bukan diriku dalam bertriliun-triliun titik yang bukan titik sepanjang semesta UTRA tunggal Pan Jenggo mau masuk lain di tempat yang sama. Terpisah-pisah sejauh- ABRI. Pan Jenggo dengan bangga jauhnya dalam kejauhan tiada terhingga selama entah mengumumkanP itu pada para tetangga. Ia berapa lama, mengembara di antara bertriliun-triliun- sendiri mengaku pernah gagal masuk ABRI triliun titik yang bukan titik yang tiada terhingga karena matanya jereng sebelah. banyaknya... “Maka Jenggo sekarang harus jadi ’balas ...sampai entah kapan ketika jari seseorang entah dendam’ saya!” kata Pan Jenggo. di mana menekan sebuah tombol yang menyentuh Tetapi, istrinya sendiri tak setuju. Men nomor itu, barangkali nomorku waktu masih bertubuh Jenggo lebih sreg, Wayan Jenggo membantu dulu, pada sebuah telepon genggam... jaga warungnya. Karena itulah sumber utama Zzzzzzzzzzzzzzzzzzz !  nafkah keluarga. “Saya sendiri sudah kena rematik, susah untuk meneruskan ngurus warung. Sementara bapak kan seniman pengangguran yang merasa berdagang itu pekerjaan jahat. Ia memang suka perang, tapi sebatas nonton film. Sejatinya ia penakut. Itu sebabnya ia memaksa anaknya jadi pahlawan.”

416 417 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JENGGO | Putu Wijaya

Men Jenggo lantas konsultasi ke Bu RT. Meminta petunjuk bagaimana caranya supaya suaminya berhenti memaksa Jenggo memanggul senjata. “Saya setuju dengan Bu RT, menjadi pahlawan itu bisa dengan banyak cara. Jaga warung sumber nafkah keluarga, misalnya. Atau jadi warga yang baik, tidak ikut-ikutan narkoba. Kenapa harus jauh-jauh mencari kepahlawanan kalau di depan mata saja sudah ada wadahnya?” Bu RT langsung lapor suaminya. “Saya heran, Pak, Jenggo itu kan orangnya lemah- lembut. Jangankan berperang, bunuh nyamuk pun ia tidak mau, kalau tidak terlalu perlu. Bagaimana bisa memanggul senjata, lihat, memanggul pacul kalau masyarakat lagi kerja bakti saja, ia sering diketawain, karena kelihatan kikuk!” “Betul.” “Kenapa Pan Jenggo mau anaknya jadi tentara?” “Supaya Jenggo jadi laki-laki sejati!” “Maksud Bapak?” “Aduh, ibu masak tidak tahu, Jenggo itu kan banci!” Bu RT tertegun. “Jadi Pan Jenggo mau menterapi anaknya supaya jadi laki-laki normal dengan memaksanya memanggul senjata?” “Betul! Tapi mana mungkin banci diterima jadi tentara!” Bu RT menarik napas lega. Karena itu berarti

418 419 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JENGGO | Putu Wijaya

Jenggo akan selamat dan bisa jaga warung ibunya. hasilnya hanya akan remuk!” Tetapi, setelah berpikir, ia terkejut. Pan Jenggo termenung. “Tapi, kalau Jenggo ditolak jadi tentara, apa itu “Betul, hanya masalahnya Wayan sendiri juga sudah tidak akan membuat Pan Jenggo kecewa dan Jenggo ngebet sekali jadi tentara, Pak RT.” sendiri minder, Pak? Karena naga-naganya Nak Jenggo Pak RT heran, nyaris tak percaya. sendiri juga begitu bersemangat akan bisa panggul “Masak? Jenggo sendiri yang ingin jadi tentara? senjata?!” Bukannya dulu Pak yang sudah mendesaknya?” “Ya, itulah!” Pan Jenggo menghela napas panjang, lalu menatap. “Kalau begitu, cepat dong temui Pan Jenggo. Ajak “Mula-mula memang begitu, Pak RT. Saya ini kan ngomong, kasih masukan. Kasihan. Mereka kan lacur. Punya anak hanya satu, kok banci. Nanti siapa keluarga baik-baik dan cs kita!” melanjutkan keturunan? Saya terpaksa cari second Pak RT tak menjawab. Tapi esoknya ia menemui opinion ke balian. Dia nyuruh saya memasukkan Wayan Pan Jenggo. jadi tentara, supaya jadi jantan. Istri saya yang pertama- “Bagaimana? Jadi memasukkan Wayan jadi ABRI, tama menentang. Saya tidak peduli. Eh, lama-lama dia Pak?” menyerah juga. Entah konsultasi dengan siapa, dia Beda dari sebelum-sebelumnya, Pan Jenggo mendadak setuju dengan anjuran dukun. Dia izinkan menunduk sedih. Ia tak bisa berbohong kepada Pak saya memaksa anaknya jadi tentara, supaya jadi laki- RT. laki sejati. Sudahlah sekarang terserah Bapak, saya “Kelihatannya, tidak mungkin, Pak RT.” pasrah, katanya. Mau diapain saja Wayan, yang penting “Kenapa?” Wayan tidak ngambul, lari dari rumah seperti Sobrat “Pak kan tahu sendiri. Anak saya Wayan itu banci.” itu. Istri saya berbalik begitu mungkin karena melihat Pak RT terkejut sekaligus trenyuh. Ia tak menduga sekarang tidak ada kemungkinan Perang Dunia Ketiga sahabatnya itu akan ngeceplos begitu blakblakan. Ia akan meletus. Jadi tidak ada bahayanya anak kami jadi hampir tak tahu harus bilang apa. tentara. Asal nanti setelah jadi ABRI, Wayan harus ikut “Jadi batal?” di barisan musik saja. Pegang alat kecret-kecret asal- “Ya iyalah, daripada malu karena ditolak, lebih baik asalan juga tidak apa-apa, yang penting bukan bedil. mundur teratur. Kecuali kalau nanti dapat koneksi.” Tidak dibunuh dan tidak membunuh. Begitu, Pak.” “O, jangan. Dimulai dengan yang tidak baik, “Wah, ibu pintar juga, taktiknya!”

420 421 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JENGGO | Putu Wijaya

“Ya, saya jadi terharu juga. Baru ingat, bahwa “Sebenarnya saya juga mula-mula tak percaya juga, daripada jadi pahlawan tapi mati, anak semata wayang Pak. Baru setelah Men Jenggo menunjukkan surat lebih baik hidup, Pak RT. Meskipun nanti pangkatnya ancaman yang ditulis Jenggo, saya percaya. Surat itu balok terus sampai tua, tidak naik-naik karena tidak ditandatangani dengan cap jempol berdarah.” pernah ikut berperang. Tapi kemudian kembali ada Pak RT terperanjat. masaalah. Ada lagi yang bilangin saya, anak tunggal “Cap jempol berdarah?” tidak diperkenankan masuk militer. Betul itu, Pak RT?” “Ya.” “Saya kira itu masuk akal.” “Darah asli atau tinta merah atau darah ayam?” “Nah, itu bikin masalah baru. Bagaimana kalau “Katanya darah asli tangan Jenggo sendiri!” Wayan ketahuan anak tunggal? Terpaksa lagi saya putar “Katanya? Jadi surat ancaman itu, Ibu tidak lihat otak, lalu memutuskan: sebelum ditolak, lebih baik sendiri alias hanya omongan Men Jenggo.” mundur teratur daripada hancur-lebur. Tapi begitu saya “Tapi kata Men Jenggo, sudah pasti itu darah mau mundur, istri saya marah, mendesak: Jenggo harus Jenggo asli. Sekarang sebaiknya Bapak cepat bertindak. masuk militer!!” Orang begitu kan susah dikendalikan kalau sudah Pak RT kaget emosi. Cepat, Pak, jangan sampai terlambat, mereka “Masak?” kan warga kita.” “Ya!” Akhirnya Pak RT langsung menemui Jenggo. Ia “Kenapa?” tak merasa mampu bicara dengan ibunya. Karena “Katanya, anaknya sendiri yang menangis-nangis dengan Jenggo, ia bisa tembak langsung. supaya diizinkan jadi tentara. Bahkan mengancam akan “Coba lihat jempolmu, Wayan.” bunuh diri kalau dilarang.” Jenggo menunjukkan jempol kanannya yang Pak RT tertegun. Ia tak berani melanjutkan ditensoplas. Pak RT mengangguk. percakapan. Merasa itu sebagai bagian dari misteri “Jadi betul kamu mengancam mau bunuh diri kalau perempuan, ia mendesak istrinya bertanya-tanya kepada dilarang jadi tentara?” Men Jenggo. Jenggo tak berani membantah. “Apa betul, Wayan mengancam akan bunuh diri “Betul, Pak.” kalau dilarang masuk jadi tentara, Bu?” “Kenapa?” Menurut Bu RT, betul. “Saya ingin jadi pahlawan.”

422 423 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JENGGO | Putu Wijaya

Pak RT menahan tertawa. “Kenapa anak tunggal ditolak jadi tentara, Pak RT” “Pahlawan?” Pak RT tak bisa menjawab. Tiba-tiba suara Jenggo menanjak. “Apalagi banci!!!?” “Ya! Apa salahnya orang banci jadi pahlawan?!!” Suara Jenggo bergetar perih. Pak RT betul-betul kaget. Tak menyangka anak “Banci tidak mungkin jadi pahlawan, Pak RT! yang lembut itu bisa galak. Seakan kesabarannya telah Orangtuaku sudah salah kaprah!” habis. Hatinya yang tampak luluh membuat Pak RT Tiba-tiba Jenggo menarik belati yang sedih. disembunyikan di pinggangnya. Pak RT tersirap. Protes Jenggo, lamat-lamat bagai salak anjing di “Wayan, jangan!” kejauhan di malam sepi. Tak berdaya. Tak ada yang Terlambat. Jenggo sudah mengayunkan belati itu, peduli. Tapi, itu justru menimbun simpati. Entah sudah menikam tangan kirinya. Trak! Mantap betul. Di balik berapa tebal marah, tangis, rasa terhina yang ditahan- tubuhnya yang lembut itu ternyata tersimpan tenaga tahannya. lelaki sejati. Beberapa lama Pak RT membisu. Ia tak mampu Pak RT menjerit dalam hati sambil memejamkan menggoyang keharuannya. Sebab ia kenal Wayan sejak mata. Ia merasakan darah tumpah mengguyur meja. bayi. Anaknya lucu, manis, dan baik budi. Kini ia sudah Ketika Jenggo mengisak Pak RT memaksa mulai terluka oleh lingkungan yang tak bisa matanya terbuka. Belati itu menembus meja, di antara menerimanya. telunjuk dan ibu jari Jenggo. Tidak ada darah. Akhirnya Pak RT minta maaf. Pak RT mengusap dada. Waktu Jenggo menarik “Maaf Wayan, bukan itu maksud, bapak. Tidak kembali belati dari meja, seperti hendak mengulang seorang pun berhak melarang siapa pun yang ingin menikam, Pak RT langsung memeluk. menjadi pahlawan. Kalau itu memang cita-citamu, itu “Jangan, jangan. Bapak mohon, jangan! Jangan!” cita-cita yang luhur. Kejarlah, berjuanglah dengan Jenggo bersikeras hendak mengulangi tikamannya. seluruh jiwa-ragamu jadikan kenyataan. Berhasil atau Pak RT akhirnya membentak. gagal itu bukan masalah. Berjuang habis-habisan itulah “Jangan!!!!” makna kepahlawanan yang sesungguh-sungguhnya!” Suara keras dan tegas Pak RT membuat Jenggo Jenggo menundukkan kepalanya seperti terlalu senyap. Pak RT terus menyerang dengan beringas. berat. Bibirnya bergetar. Tidak ada orang berhak memaksa orang lain, anak

424 425 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 JENGGO | Putu Wijaya kandungnya sendiri sekalipun, untuk jadi pahlawan! jadi pahlawan.” Siapa bilang kamu bukan pahlawan? Setiap orang Pan Jenggo mengulurkan tangan untuk bersalaman. adalah pahlawan untuk dirimu sendiri, tahu?!!” Pak RT menyambut heran. Ia baru melihat Pan Jenggo Jenggo menangis. memakai seragam Go-Jek ketika mendorong motornya “Tahu?!!” ke jalan. Jenggo terisak-isak. Subuh masih terlalu muda. Langit belum merah, “Jenggo!! Kamu tak perlu jadi pahlawan! Kamu banyak orang masih tidur. Tapi ada suara klatak-klitik sudah pahlawan, ngerti?!!” di samping. Waktu Pak RT menoleh, tampak Jenggo Jenggo mengangkat mukanya. Bibirnya gemetar. mulai buka warung. Kehidupan rupanya sudah Sambil bercucuran air mata ia berbisik. bergerak.  “Pak RT, tolong bilang pada orangtuaku, aku tidak ingin jadi pahlawan. Aku tidak mau jadi pahlawan! Biar aku begini saja. Aku sudah cukup!!” Jenggo menelungkup, seperti memasukkan tangisnya ke meja. Perlahan-lahan dan lembut, Pak RT mengambil belati di tangan Jenggo, lalu mengungsikannya keluar. “Ada apa, Pak?” sapa Bu RT, menegur suaminya yang pulang membawa belati. Pak RT tak menjawab. Ia menyimpan belati itu ke kotak berisi beberapa senjata tajam, yang sebelumnya ia lucuti dari beberapa pemuda yang lain. Subuh esok harinya, ketika keluar rumah hendak menyiram kebun, Pan Jenggo muncul. Ia menyapa Pak RT dengan ramah. “Pak RT, Wayan sudah bulat tekadnya sekarang. Ia bilang ia sudah meyakini mau jadi pahlawan. Tapi saya pikir-pikir lagi, bukan hanya dia, saya juga harus

426 427 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEBATANG LENGKENG YANG BERCERITA | Miranda Seftiana Sebatang Lengkeng yang Bercerita Miranda Seftiana Minggu, 01 November 2015

IDAK mudah menjadi seorang perempuan. Sebab berkali-kali nyawanya harusT digadaikan pada meja persalinan. Bernegosiasi dengan malaikat maut demi  sebuah kehidupan lain. Pun tidak mudah pula menjadi seorang lelaki. Lantaran di tangan kukuhnyalah kehidupan baru itu meminta ketentuan. Apakah akan berlanjut atau cukup hingga air susu habis masanya? Meski demikian, menjadi keduanya tentu lebih tak mudah. Hidup di alam antara, ketika jiwa dan raga tidak seirama. Begitulah yang sering dikatakan oleh Rajab kepadaku setiap ia duduk di ayunan ban bekas yang bergantung pada dahanku. Saat itulah biasanya ia akan bercerita banyak tentang kehidupan sebagai manusia perpaduan. Makhluk yang sering dicibir, juga diperbincangkan saat menyantap

428 429 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEBATANG LENGKENG YANG BERCERITA | Miranda Seftiana

pisang goreng bersama secangkir kopi hitam pahit. Bertahun-tahun menjadi teman bicara Rajab—jika ia tak sedang bersama Landung, lelaki yang dicintai manusia perpaduan itu—membuatku sering merasa kami memiliki nasib yang serupa. Aku adalah sebatang pohon lengkeng yang masih perawan. Belum pernah sekali pun berbuah, bahkan berbunga saja tidak. Mungkin jika manusia, aku seperti gadis yang belum pernah disentuh lelaki mana pun jua. Tetapi tunggu! Aku sudah sering memangku Rajab. Bukankah dia juga sebenarnya lelaki? Meski ia sendiri tak pernah mau mengakui itu. Katanya ia hanya terjebak di raga yang salah. Sama seperti aku yang nyatanya adalah sebatang lengkeng “bujang”. “Rajab kada handak kawin!1)” Kudengar suara manusia perpaduan itu terisak. Langkahnya menghempas hamparan kulit kemiri yang menjadi pelindung tanah agar tak berlumpur jika terkena hujan. Ia berlari ke arah ayunan di dahanku yang tumbuh rendah. Tangisnya pelan seperti air sungai yang mengalir lambat di bawah kami. Mungkin agar tak didengar Abah yang masih berteriak memarahinya dari atas tangga rumah panggung gajah baliku berusia puluhan tahun itu. “Rajab, ikam lain binian, jangan manangis! Ini pang marga rancak main dakuan jadi minda kadada tagahnya. Balalu kaya bancir haja!2)” Abah mengumpat anak lelaki satu- satunya itu lalu berjalan memasuki rumah dengan wajah

430 431 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEBATANG LENGKENG YANG BERCERITA | Miranda Seftiana merah padam. Rajab menatap ragu. “Apa tidak akan ada yang Di dahanku Rajab tertunduk. Kurasakan sesuatu tahu?” yang hangat dari matanya membasahi tubuhku. Aahh... Landung menggeleng. Tapi aku berteriak dalam Selalu begini. Abah terlalu keras padanya. Tidakkah lelaki diamku. Aku tahu Rajab, aku tahu rencana kalian. paruh baya bertubuh tambun itu dapat memahami Hanya saja aku tak mampu mengatakannya. Daun- perasaan yang dimiliki Rajab? Sebab perasaan itu sama daun berguguran itu sajalah yang berbicara meski dengan yang dimiliki oleh tiga kakak perempuannya. mungkin kau tak memahaminya. Duhai Rajabku, Aku iba. Tak sadar beberapa daunku berguguran ke sebegitu teganyakah engkau padaku? Bertahun-tahun sungai bersama air mata manusia perpaduan yang terus kutemani engkau, menjadi tempat berayunmu, menangis. melindungi dari teriknya raja siang yang membakar, juga “pundak” apabila kau menangis tanpa Landung. “RAJAB kada handak dikawinakan lawan Hayatun....3) Lalu kini kau akan meninggalkanku dan pergi Lirih Rajab berujar pada lelaki yang menyandarkan bersama lelaki itu? Aku bukan cemburu Rajab. Karena kepala manusia perpaduan itu di pundaknya. kutahu kau akan lebih bahagia bersamanya, takkan lagi Landung menatap pilu. Lalu mengusap beberapa diperbincangkan di warung sedari pagi hingga malam, bulir bening yang berebut hendak jatuh dari mata sang bahkan tiada lagi yang akan memarahimu seperti Abah. kekasih. Kekasih yang bagi banyak orang bukanlah Tetapi, aku tak ingin sendiri, Rajab. Pohon di sini tidak sesuatu yang wajar. Sebab secara raga mereka adalah ada yang senasib denganku seperti dirimu. Mereka telah sama. Meski bagi Rajab dan Landung, jiwa mereka berbuah bahkan beranak. Sekarang aku yang terisak, berbeda. Dan hanya Landung sajalah yang memahami Rajab... hati Rajab. Rajab, lelaki yang raganya terlalu ringkih untuk Di senja yang perlahan membias langit dengan disebut sebagai lelaki. semburat tembaga itu kusaksikan kalian berbincang “Kalau Rajab mau, besok biar ikut Landung ke dengan bahagia. Siluet Landung yang menggenggam Nagara, bagaimana? Sebelum subuh lanting4)Amang5) dari tanganmu tampak begitu indah terpantul di atas Loksado akan tiba di sini untuk dijual ke Nagara,” ucap jembatan kayu ulin itu Rajab. Kembali tangisku pecah Landung dengan usapan di rambut panjang milik dibuatnya. Rajab. Rambut yang berkali-kali pernah Abah coba “Kemasi barangmu setelah ini. Kita akan pergi potong secara diam-diam. besok sebelum orang datang untuk memasak di

432 433 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SEBATANG LENGKENG YANG BERCERITA | Miranda Seftiana pernikahanmu,” ujar Landung sembari merengkuh mayangnya. Kelapa marah bukan kepalang menyadari tubuh Rajab. bakal buahnya rusak tak beraturan. Walhasil ia tak Manusia perpaduan itu mengangguk dengan seulas bersedia membantuku untuk membangunkan Abah ceruk bulan sabit di wajahnya. Sekilas ia memang lebih dan Umbui. Meski sudah kubujuk agar ia mau pantas disebut galuh6) dengan rupa yang begitu cantik. menjatuhkan sebiji saja buahnya yang telah tua sehingga Berpadu manis dengan kulit sewarna kulit langsat. bisa menghadirkan suara gaduh ketika menghunjam Pantas saja Landung, lelaki Dayak dari Loksado itu, hamparan pecahan kulit kemiri. jatuh hati kepadanya. Sayang, Tuhan mana pun takkan Kulihat lanting milik Amang Landung yang dibawa pernah merestui cinta keduanya. Sebab itu sebuah dari aliran Sungai Amandit di Loksado telah menepi. kenistaan yang nyata. Tak lama mereka mulai menjauh, membelah pekatnya kabut jelang subuh. Aku terisak nyaring bersama daun TIRAI langit malam belumlah terbuka dengan yang terus gugur juga ranting yang sengaja kupatahkan. sempurna saat dua manusia itu mulai menuruni anak Pohon tigarun, nangka, dan lua menatap iba. Aku tak tangga menuju titian ulin di sebuah batang. Tangan peduli. Dalam benakku hanya ada kepedihan setelah mereka tampak bergenggaman erat. Aku dapat melihat ditinggal sendiri di sini oleh manusia perpaduan itu. itu dari pantulan cahaya suluh7) yang tergantung di Tepat ketika cahaya sang raja siang mulai samping jamban. Mataku sebenarnya menelusup di balik rimbun dedaunan, Lok Lua bergeliat masih terasa berat, tetapi mendengar suara kaki nyaring. Mendadak permukiman di tepi aliran Sungai melangkah di hamparan pecahan kulit kemiri itu jelas Amandit itu gempar. Pengantin yang hendak membuatku terganggu. Tetapi, mataku seakan dipaksa dikawinkan raib tak berjejak. Hanya gadang9) pisang dan terbuka ketika mengetahui dua orang itu adalah Rajab umbut kelapa serta kawah10) yang tersisa di halaman. dan Landung. Juga tangis Umbui di beranda rumah panggung gajah Bergegas kugugurkan beberapa daun. Tetapi, itu baliku. Seperti tangisku tadi saat melepas Rajab pergi rasanya tak cukup membantu untuk membuat Abah bersama Landung. dan Umbui8) terbangun. Menyadari sang pengantin “Itai11)-ku hilang dibawa pergi orang ... Aluh... Ke akan pergi dengan mempelai lain, aku kalap. mana kau, Nak?” Umbui berujar lirih menatap aliran Kubangunkan pohon kelapa dengan mematahkan Sungai Amandit dari beranda rumah panggung. beberapa ranting yang kemudian jatuh mengenai Berkali-kali ia menyebut kata Aluh12), sebuah

434 435 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LIDAH KETUT RAPTI | Ni Komang Ariani panggilan yang sejak dulu diminta oleh Rajab. Namun, tak pernah ia dapatkan. Picingan mata Abah selalu mampu merejam hasrat itu. Sebab Rajab adalah Utuh, Lidah Ketut Rapti bukan Aluh. 

Catatan: Ni Komang Ariani 1) Rajab tidak mau menikah! 2) Rajab, kamu bukan perempuan, jangan menangis! Ini pasti Minggu, 08 November 2015 gara-gara terlalu sering bermain congklak jadi seperti tidak gagah. Malah seperti banci! 3) Rajab tidak ingin dikawinkan dengan Hayatun. PA yang dapat terjadi dalam sepuluh tahun 4) Rakit bambu hidup seseorang? Bisa jadi bukan apa-apa. 5) Paman SetiapA pulang kampung ke Karangasem, aku 6) Panggilan kesayangan bagi anak perempuan dalam bahasa melihat orang-orang yang melakukan hal yang Banjar sama. Perempuan tua penjual pindang itu masih 7) Obor dari bambu 8) Ibu setia menyunggi sayur-mayur, tahu, pindang, 9) Gedebong bawang merah, bawang putih, yang menjadi 10) Wajan besar barang dagangannya. Mas penjual dawet itu 11) Panggilan kesayangan dalam bahasa Banjar masih menjual dawet dengan rasa dan warna 12) Aluh (Galuh) merupakan panggilan kesayangan untuk anak yang sama persis. Bahkan dengan wajah yang perempuan. sama. Seolah ia tidak pernah menua. Sepuluh tahun bisa menjadi sangat berarti, atau tidak sama sekali. Kecuali Ketut Rapti. Perempuan itu berhasil melintasi busur menuju titik seratus delapan puluh derajat untuk menjadi dirinya yang sekarang. Tidak pernah kubayangkan, Ketut Rapti yang sering berbicara dengan terbata-bata

436 437 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LIDAH KETUT RAPTI | Ni Komang Ariani

dan memandang dengan senyum malu sekarang tinggal di rumah gedongan, tempat para artis atau pejabat tinggi biasanya menetap. Semua karena lidahnya eh...lukisannya...eh bukan... lidahnya. Beberapa kali Ketut mengirim SMS, agar aku mampir ke kantornya. Namun, aku selalu tolak dengan berbagai alasan. Entahlah. Aku minder untuk menemuinya. Hidupku tidak banyak berubah dalam sepuluh tahun terakhir. Kecuali bahwa aku juga pindah ke Jakarta sepertinya. Kecuali bahwa aku juga mening- galkan kampung kami yang sunyi di Karangasem, Bali. “Made, mainlah ke kantorku. Tiang kangen sama kamu. Tiang ingin membantumu kalau kamu butuh sesuatu.” “Ya Tut, tiang pasti mampir. Tapi, pekerjaan menumpuk. Kapan-kapanlah kalau senggang.” Ajakan Ketut Rapti sejak setahun yang lalu itu tidak pernah aku sanggupi. Mungkin karena aku pun tidak ingin menceritakan alasanku pindah ke Jakarta kepadanya adalah tergiur pada kemewahan yang dimilikinya, yang berulang kali disorot TV, dan barangkali aku terlampau lelah dengan hidupku sendiri di Denpasar, yang hanya begitu-begitu saja. Entah mengapa, Bali dengan taksu-nya yang menjadi magnet bagi siapa saja membuat aku muak. Ketut Rapti dan keberhasilannya seperti menyedotku untuk ikut berkerumun di sekitar terang yang menyilaukan. Aku mencoba terbang sebagai laron-laron

438 439 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LIDAH KETUT RAPTI | Ni Komang Ariani yang hanya berpegang pada sayap-sayapnya yang biasa.” lemah. Mencoba satu peruntungan untuk bisa Aku ketik sebuah tanda titik dua dengan kurung. menemukan cahaya paling terang. Agar ia memercayai ucapanku. Mulai berkelebatan Pagi ini pun, SMS itu mampir kembali. gambaran tentang bagaimana pertemuanku dengan “Pagi Made. Apa kabarmu. Tidak tampak juga Ketut Rapti sore ini. Saat aku memasuki kantornya batang hidungmu di kantorku.” yang dipenuhi oleh lukisan-lukisan lidah karyanya. “Seperti biasa Tut. Sibuk. Bos seperti tidak bisa Apakah itu akan terlihat menyeramkan atau melihat tiang santai barang sejenak.” menakjubkan seperti kata-kata kritikus yang memuji- “Kali ini, aku mohon datanglah. Tiang sedang ada nya? Seingatku, aku sering bergidik membayangkannya. perayaan kecil-kecilan di rumah. Sepuluh tahun, tiang Bagaimana mungkin lidah yang terlihat menyeramkan menginjakkan kaki di Jakarta. Tiang ingin mengucap itu bisa membuat Ketut Rapti menjadi kaya-raya. Aku syukur kepada Ida Betara atas keadaan tiang yang termenung-menung. sekarang. Tiang sangat mengharapkan kedatanganmu. Memasuki ruangan demi ruangan Ketut Rapti sore Kedatanganmu akan menjadi hadiah buat saya. ini, aku memaksakan sebuah senyum termanis Tolonglah. Tiang mohon padamu.” untuknya. Ketut Rapti, seorang tokoh ternama, apalah SMS yang sangat panjang dari Ketut Rapti. diriku dibanding dirinya. Mengandung permohonan, yang sepertinya tidak kuasa “Masuklah, Made, jangan sungkan-sungkan. Tiang aku tolak. Ada apa dengan Ketut Rapti, yang kaya- senang sekali ada teman sekampung di Jakarta.” raya itu, sampai memohon-mohon kepadaku. Aku hanya mengangguk lemah dengan senyum “Baiklah Tut. Tiang akan usahakan untuk mampir. manis yang telah terpasang sempurna di wajah. Bahuku Tidak perlu memohon-mohon seperti itu.” agak membungkuk, seolah menghormat kepada Sebuah tanda titik dua dengan kurung dikirimkan keberhasilan perempuan sebaya di hadapanku. Aku Ketut Rapti sebagai pertanda kegembiraannya. berusaha keras menahan gejolak pada perutku. Rupa- “Lain kali kita harus berkirim SMS dengan WA, rupa lidah sudah menyambutku sejak pintu berpapan jadi aku bisa mengirim senyum betulan padamu. Juga nama “Ketut Rapti House of Art” itu dibuka. Lidah terima kasih yang berbunga-bunga.” yang menjulur. Lidah yang menjilat. Lidah yang sedang Tanda titik dua dan tanda kurung lagi. mengunyah atau lidah yang sedang diam di dalam “Tidak apa-apa. Tiang lebih senang berkirim SMS mulut yang tertutup rapat. Aku hampir menjerit ketika

440 441 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LIDAH KETUT RAPTI | Ni Komang Ariani kakiku membentur sebuah lidah seukuran raksasa “Aduh kok wajahmu merah sekali. Kamu sakit berbentuk ranjang bayi. apa?” Ketut Rapti terlihat semakin riang membawaku “Tut, sepertinya tiang harus pulang. Tiang tidak enak menikmati koleksi lidahnya. Ia terlihat puas dengan badan.” ekspresi wajahku yang menunjukkan rasa takjub. Ketut “Waduh, kok cepat sekali. Kita belum sempat terlihat semakin riang ketika kami tiba di ruangan bicara. Istirahatlah di kamar tamu. Besok pagi kita terakhir. bicara.” “Ini ruangan utama kantorku.” “Tidak Tut. Ini beda sekali. Rasanya tiangkerauhan. Segumpal cairan hampir saja terlontar dari mulutku Dipanggil-panggil roh leluhur untuk pulang ke Bali?” kalau saja aku tak cepat menutupnya dengan kedua “Iyakah? Tiang belum pernah tahu ada kejadian tangan dan berpura-pura batuk. seperti itu?” “Huk... huk... huk...” “Tiang merasakannya kuat sekali. Maafkan Tut. “Kamar mandi di sana De. Kenapa kamu, sakit? Tiang harus pulang. Begitu mendapatkan tiket bus, tiang Jangan terlalu keraslah bekerja.” langsung pulang ke Karangasem.” Ketut masih bicara di luar ruangan ketika aku “Naiklah pesawat. Tiang belikan untukmu.” mengeluarkan cairan kental ke lubang kakus Ketut Rapti “Tut, tiang harus pulang sekarang. Maafkan.” yang mewah. Aku bergegas pergi, sebelum Ketut Rapti “Made bekerja saja di sini. Tiang bisa gaji dengan mencegahku dengan kata-katanya yang tidak bisa tinggi. Tiang senang berada di sekitar teman-teman dibantah. sekampung. Hampir semua orang yang bekerja di sini “Tunggu Made...!” orang Bali.” Aku tak menghiraukan panggilan Ketut Rapti dan Bermenit-menit lewat, setelah aku mengeluarkan terus melangkah bergegas menuju lift terdekat. Ketika lima episode cairan kental itu. Menyiramnya cepat- tubuh Ketut Rapti tidak terlihat, aku berlari tanpa suara. cepat, dan menuangkan banyak sabun, untuk Suara Ketut Rapti masih terdengar memanggilku. menghilangkan baunya yang menyengat. Aku berusaha Namun, lift yang terbuka, menyelamatkan aku dari memulihkan ekspresi wajahku untuk menemui Ketut kedatangannya. Rapti. Namun, wajahku masih memerah. Mudah- Aku menghela napas lega sambil memegangi mudahan Ketut Rapti tidak mengetahui. kepalaku yang masih pengar oleh aneka rupa lidah yang

442 443 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LIDAH KETUT RAPTI | Ni Komang Ariani berjejer di lorong panjang menuju ruangan utama Ketut “Kenapa tidak jadi pulang kampung? Kehabisan Rapti. Sebuah ruangan berbentuk rongga mulut, ongkos?” dengan lidah merah darah menjuntai ke bawah. Aku “Tidak, Tut. Tiang memang tidak berencana pulang bergidik. Perutku kembali bergolak ketika otakku kampung. Maafkan tiang berbohong padamu. Tiang memutar kembali gambar jejeran boneka berbulu takut berkata jujur padamu.” berbentuk lidah yang menyesaki lantai marmer yang “Takut kenapa, tiang bukan monster.” kami lewati. “Sebenarnya tiang ngeri melihat lidah-lidah di kantor Mulai hari ini, aku harus menemukan cara untuk Ketut. Tiang mabuk, dan tak sanggup lagi berada di menghindari Ketut Rapti. Nomor HP ini harus aku ruangan itu.” buang. Ketut Rapti tidak boleh tahu bahwa aku tidak “Hanya itu...ha...ha...ha.... Mengapa harus takut pernah pulang kampung seperti yang aku ceritakan. mengatakannya. Made seperti tidak mengenal tiang. Atau kerauhan roh leluhur seperti ceritaku. Tiang tidak gampang marah pada apa saja.” Tringgg.... “Ketut sudah menjadi orang sukses, tiang tidak “Halo...” pantas mengatakan itu.” “Halo Made?” “Made... Made... tiang yang dulu dengan yang Darahku berdesir. Suara ini sangat aku kenal. sekarang sama saja.” “Halo Made, ini Ketut Rapti.” “Maafkan tiang yang sudah membohongimu.” Jantungku seperti berhenti beberapa saat. Ketut Rapti masih tertawa terbahak-bahak di “Bagaimana Ketut tahu nomor HP tiang?” ujung telepon. Aku hanya terdiam mendengarkan. “Tiang sedang ada di rumahmu di kampung.” Ketut Rapti mengatakan dirinya tidak berbeda dengan Jantungku makin berdebar cepat. ia sepuluh tahun yang lalu. Nyatanya, Ketut Rapti yang “Untuk apa Ketut ke rumah tiang.” pernah dikenalnya dulu adalah Ketut Rapti yang pemalu “Kan Made bilang, Made akan pulang kampung dan sering menyembunyikan dirinya di sudut kelas. secepatnya. Karena tidak bisa menelepon Made, tiang Ketut Rapti yang sekarang adalah Ketut Rapti yang memutuskan untuk terbang ke Bali untuk menemui gemar tertawa terbahak-bahak. Seolah-olah semua Made. Meme bilang, handphone Made dicopet orang, apa kesedihan telah disuling dari hatinya. benar?” Mendadak, suara tawa terbahak-bahak itu berhenti. Aku tercekat. Kehabisan kata-kata. Seperti ada geledek yang menyambarnya.

444 445 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 LIDAH KETUT RAPTI | Ni Komang Ariani

“Sebelum Made kabur lagi, saya akan langsung “Malapetaka?” mengutarakan maksud saya di telepon ini.” “Tiang tidak mampu lagi menghasilkan lukisan lidah “Ya Tut, katakanlah.” yang tiang bangga-banggakan. Ternyata mukjizat itu “Maksud tiang mengundang Made ke rumah.” hanya terjadi pada saat lidah tiang menimbulkan Aku mengangguk takzim pada telepon di telingaku, tekanan yang dalam pada huruf T.” percaya Ketut Rapti bisa melihatnya. Mungkin sejak “Ajaib sekali.” lama, aku percaya Ketut Rapti mempunyai kesaktian “Itulah mengapa tiang menemui Made.” yang ia simpan rapat-rapat. “Apa hubungannya tiang dengan semua itu.” “Setelah sepuluh tahun, ternyata lidah tiang tidak “Tiang ingin Made menularkan tekanan dalam pada lagi menimbulkan tekanan yang dalam pada huruf T. hurut T itu kepada tiang.” Lidah tiang menjadi datar. Umum.” “Apakah hal itu, sesuatu yang bisa ditularkan Tut?” “Apa yang salah dengan itu Tut. Ketut sudah lama “Bisa. Harus bisa. Tanpanya, tiang bisa jatuh miskin di Jakarta. Sudah banyak bergaul dengan berbagai lagi, dan menjadi Ketut Rapti yang dulu. Ketut Rapti macam suku. Waktu adalah buldoser. Mungkin waktu yang konyol. Made baru setahun di Jakarta. Tekanan pula yang meratakan lidah Ketut. Tiang kira itu lebih pada huruf T Made masih sangat dalam.” baik. Tiang masih sering malu, bila ada orang yang “Tiang masih belum yakin bahwa hal itu bisa menandai tekanan yang dalam pada huruf T tiang. Tiang menular.” sering merasa takut dikenali. Itu membuat tiang menjadi “Yakinlah Made.” Suara Ketut Rapti meninggi. berbeda. Tiang takut kepada orang-orang yang “Tiang akan membayarmu dengan sangat mahal.” Aku membenci perbedaan.” menciut pada tekanan yang dalam pada suara Ketut “Masalahnya lebih dari itu Made.” Rapti. “Bahkan kalau perlu, kita bisa menukarnya “Lalu apa masalahnya?” dengan operasi plastik.” “Beberapa hari ini tiang kaget mendapati lidah tiang Byarrr... Telepon genggam itu jatuh dengan yang datar. Kaget pada komentar sejumlah orang yang hantaman keras ke lantai keramik. Beberapa bagiannya mengatakan lidah tiang yang datar. Sepuluh tahun yang terlempar ke empat penjuru mata angin. Aku lalu, mungkin tiang akan merasa gembira. Tiang bisa memandangi beberapa saat dan tidak melakukan apa- diterima bekerja di mana saja. Namun, sekarang, lidah apa. Hhhh.... Aku menarik napas lega.  yang datar itu adalah malapetaka yang besar.”

446 447 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BATU LUMUT KAPAS | Gus tf Sakai

Arti Kata: - Pindang: ikan tongkol Batu Lumut Kapas - Tiang: saya - Meme: ibu - Kerauhan: kerasukan - Menyunggi: membawa dengan kepala. Gus tf Sakai Minggu, 15 November 2015

ERITA yang kau dengar itu benar belaka. Tubuh Tuak Ije bagai menggigil ketika tanganC Wan Ijun keluar dari saku celana, memegang sebentuk cincin dengan ujung jempol dan telunjuknya, lalu menyorongkan sangat dekat ke mata Tuak Ije. Kata Wan Ijun, “Lihatlah. Airnya sangat bening. Permukaannya sangat berkilau. Kristal! Perhatikan serat lumutnya. Hijau cincau! Begitu halus. Begitu teratur. Melenggok-lenggok seperti menari.” Gemetar, tangan Tuak Ije pelan terangkat. Hati-hati, meraih akik itu dari jari-jari Wan Ijun, lalu menerawangkannya ke matahari. “Batu... lumut kapas?” suaranya juga gemetar. “Ya, batu lumut kapas,” suara Wan Ijun tegas. “Lumut... Suliki?” “Ya, batu kampung sini lumut Suliki.”

448 449 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BATU LUMUT KAPAS | Gus tf Sakai

Mata Tuak Ije menyipit, mengamati akik itu. Mendekat dan menjauhkan dari matanya. Memutar, membolak-balik si akik, mendekatkan lagi, menjauhkan lagi, menerawangkan lagi ke matahari. Benar-benar jernih! Dan serat lumutnya, benar-benar kapas! Pelan, dialihkannya tatap ke mata Wan Ijun. Tubuhnya masih menggigil, suaranya masih gemetar, “Bagaimana... bagaimana kau mendapatkannya?” “Jakarta. Dari Rawabening. Di Rawabening batu ini melimpah!” Melimpah? M-e-l-i-m-p-a-h? Dari menggigil, dari menegang, wajah Tuak Ije pelan berubah: pias, layu, mrucut. Seperti kerupuk disiram. Serupa karung goni bocor. “Me... limpah?” suaranya melemah. “Ya, melimpah!”

CERITA yang kau dengar itu benar belaka. Setelah peristiwa itu, Tuak Ije, lelaki tua tinggi bedegap yang terkenal sebagai pengumpul dan pemilik semua jenis batu akik lumut Suliki itu, seperti lenyap dari kampung. Konon, batu lumut kapas yang ia lihat dari Wan Ijun, telah menghancurkan hidupnya. Batu lumut kapas, itulah satu-satunya jenis batu lumut Suliki yang belum ia punya. Batu itu hanya dimiliki oleh orang-orang tua zaman ratusan tahun lalu di Suliki, dan Tuak Ije telah mencari batu lumut kapas itu sepanjang hidupnya. Ya, sepanjang hidup. Bukan hanya kini, ketika semua orang bagai dijangkiti oleh demam akik.

450 451 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BATU LUMUT KAPAS | Gus tf Sakai

Dan lalu, tiba-tiba, batu itu muncul. Bukan Batu itu ia dapatkan di Rawabening, tak sengaja, dari ditemukan di kampungnya, melainkan dibawa dari seorang penjual akik yang bahkan si penjual pun juga Jakarta. tak tahu entah batu apa dan entah dari mana asalnya. Dan pula, kata Wan Ijun, melimpah! Saat pertama Wan Ijun melihat akik itu, pikirannya Melimpah... sungguh tak mungkin, sungguh Tuak langsung berkelebat kepada Tuak Ije dan sebuah Ije tak percaya. Tetapi begitulah kenyataannya. Saat rencana di kepalanya. Tuak Ije pertama mendengar batu lumut kapas itu ada Tuak Ije dan batu lumut kapas, memang, sudah pada Wan Ijun, ia segera menduga kabar itu pastilah jadi rahasia umum di Suliki. bohong. Ia tahu siapa Wan Ijun, sang semenda jelatang, Setelah memiliki akik-akik bagus dan indah dari lelaki kampung lain yang menikah dengan perempuan 99 jenis batu lumut Suliki, Tuak Ije masih mencari satu kampung sini dan selalu ribut dengan istrinya. jenis batu lumut lagi yang konon bernama batu lumut Pekerjaannya tak jelas. Istrinya yang di kampung sini kapas. Dikatakan konon, karena tak seorang pun pernah adalah istri yang entah keberapa setelah istri-istrinya di melihat seperti apa batu itu sebenarnya. Semua orang kampung lain yang juga tak jelas. Yang Tuak Ije tahu, di Suliki hanya mendengar turun-temurun, dari orang- Wan Ijun sering ke mana-mana, termasuk ke Jakarta orang tua, dari mulut ke mulut, bahwa batu itu sangat dan, sejak musim akik, Wan Ijun ikut mencari akik- keras dan bening seperti jenis batu lumut Suliki dari akik berkualitas super di Suliki ini lalu menjualnya ke Sauik, tetapi memiliki serat sangat halus, lebih halus lain kota. Pernah, beberapa kali, Wan Ijun meminta dan indah dari serat lumut Suliki dari Ulu Banda. Sauik, Tuak Ije agar melepas atau menjual koleksi akik Tuak Ulu Banda, adalah nama-nama kampung di Suliki Ije kepadanya. Tetapi tentu, Tuak Ije tak mau. Bukan tempat di mana batu-batu akik itu digali. Selain Sauik hanya karena Wan Ijun menawar dengan harga sangat dan Ulu Banda, masih ada sejumlah kampung galian murah, tetapi juga karena sikap Wan Ijun yang seperti lain dengan ciri batu yang tentu juga lain. meremehkan atau memandang akik-akik lumut Suliki Sudah ke semua tempat itu Tuak Ije menggali, Tuak Ije dengan rendah. tetapi tetap tak ia temukan batu lumut kapas. Sudah Tuak Ije coba membuka galian baru di sejumlah lokasi, CERITA yang kau dengar itu benar belaka. Batu tetap juga tak ia temukan. Bahkan Tuak Ije sampai lumut kapas yang diperlihatkan Wan Ijun kepada Tuak pernah melakukan ritual mistik seperti disarankan Ije waktu itu bukanlah batu lumut kapas sebenarnya. seorang “pintar”, tetapi hasilnya tetap: batu lumut

452 453 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BATU LUMUT KAPAS | Gus tf Sakai kapas bagai ditakdirkan bukan milik Tuak Ije. berpikir, berharap, Tuak Ije tak lagi bangga akan akik- Dan, hal itulah yang dimanfaatkan oleh Wan Ijun. akiknya. Tetapi ternyata, bukan hanya hilang bangga, Akan ia runtuhkan mental Tuak Ije: agar Tuak Ije tak Tuak Ije malah memberi menyerahkan akik-akiknya lagi angkuh, agar Tuak Ije tak lagi sok jual mahal dengan kepada orang-orang. Ya, bukan menjual. Bukan menjual akik-akiknya. murah seperti harapan Wan Ijun. Dan, tubuh itu, tubuh yang tiba-tiba menjelma renta, juga jauh dari sangkaan CERITA yang kau dengar itu benar belaka. Tuak Wan Ijun. Bisa begitu terpukulkah, bisa begitu Ije bukan lenyap dari kampung, melainkan mengurung hancurkah Tuak Ije, hanya oleh batu lumut kapas? diri di rumahnya. Dan pada hari Tuak Ije keluar Dan ternyata pula, bukan hanya hancur. Melainkan, menampakkan diri, betapa orang-orang sangat terkejut. sungguh-sungguh hancur. Tak sampai sebulan setelah Tubuh lelaki tua yang dulu besar bedegap itu, sekarang hari Tuak Ije pertama keluar dari rumah, kabar itu pun menjelma jadi kurus. Kesan gagah yang dulu masih beredar: Tuak Ije meninggal. kentara, sama sekali hilang, sirna, berganti jadi seorang Semua orang kampung terpana. tua yang kuyu, renta, tak ubahnya kakek-kakek dalam Tak terkecuali Wan Ijun. usia senja. Dan yang juga sangat mengejutkan, Tuak Ije CERITA yang kau dengar itu benar belaka. Tubuh membawa akik-akiknya, lalu memberikan kepada Wan Ijun bagai menggigil ketika tangan Din Kudil orang-orang. Memberikan! Bukan menjual! Akik-akik keluar dari saku celana, memegang sebentuk cincin yang ia sayang. Akik-akik yang ia cinta. Akik-akik yang dengan ujung jempol dan telunjuknya, lalu telah dengan susah-payah ia kumpulkan selama puluhan menyorongkan sangat dekat ke mata Wan Ijun. Kata tahun. Sejak remaja. Sejak belia. Din Kudil, “Lihatlah. Airnya sangat bening. Semua orang kampung, tentu, jadi bertanya-tanya. Permukaannya sangat berkilau. Kristal! Perhatikan serat Kenapa Tuak Ije jadi berubah? Apakah yang telah lumutnya. Hijau cincau! Begitu halus. Begitu teratur. terjadi pada Tuak Ije? Melenggok-lenggok seperti menari.” Kecuali seorang, tentu, yang jauh dari rasa heran. Gemetar, tangan Wan Ijun pelan terangkat. Hati- Wan Ijun. Si semenda jelatang itu bungah dalam rasa hati, meraih akik itu dari jari-jari Din Kudil, lalu lega. Bahagia. menerawangkannya ke matahari. “Batu... umut kapas?” Hanya saja, Wan Ijun tak menyangka. Ia memang suaranya juga gemetar.

454 455 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BATU LUMUT KAPAS | Gus tf Sakai

“Ya, batu lumut kapas,” suara Din Kudil tegas. di kolong rumah, ia berikan kepada keluarga Tuak Ije. “Lumut... Suliki?” Sebagai sumbangan, sebagai tanda ikut berdukacita. “Ya, batu kampung kami lumut Suliki.” Atau, seperti yang biasa Wan Ijun lakukan, semacam Tak mungkin... tak mungkin batu lumut kapas cara untuk cari muka. ternyata benar-benar ada. Wan Ijun mengamati, Dan makanya, bila kau datang ke kampung kami membolak-balik batu itu tak percaya. Dialihkannya Suliki, kau akan mendengar cerita tentang Wan Ijun tatap ke mata Din Kudil. Tubuhnya makin menggigil, yang tiba-tiba juga meninggal. Dan, seperti halnya suaranya makin gemetar, “Bagaimana... bagaimana kau kematian Tuak Ije, orang-orang juga merasa heran. mendapatkannya?” Tetapi, kita, kau dan aku, tak perlu merasa heran, “Makam Tuak Ije. Batu-batu di makam Tuak Ije.” bukan? Apalagi, seperti kata polisi, Wan Ijun mati bunuh “Maksudmu?” diri.  “Batu-batu tatok itu. Batu-batu tatok di makam Tuak Ije ternyata adalah batu lumut kapas.” “Batu-batu tatok?!” mendadak, suara Wan Ijun berubah jadi menyentak. Wajahnya juga berubah drastis. “Ya, cobalah lihat ke pengasahan. Orang-orang ribut, heboh, ramai mengasah batu lumut kapas.”

CERITA yang kau dengar itu benar belaka. Batu- batu tatok adalah batu-batu yang diletakkan di sekeliling gundukan makam untuk sementara, sebelum makam disemen atau ditembok beberapa hari sesudahnya. Tetapi, cerita yang tak pernah kau dengar adalah, batu- batu tatok itu berasal dari pemberian Wan Ijun! Ya! Batu-batu yang, konon, dulu sekali, diangkut dan dibawa oleh kakek istrinya. Batu yang kata si istri adalah bongkah-bongkah batu biasa dan, daripada menyempit

456 457 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MENJAHIT GELOMBANG | Mezra E. Pellondou Menjahit Gelombang

Mezra E. Pellondou Minggu, 22 November 2015

AMI berciuman di atas gelombang yang dahsyat ketika kapal cepat yang kami tumpangiK menuju Rote membelah Selat Pukuafu. Ya, kami berciuman. Benar-benar  berciuman sambil memandang kedahsyatan gelombang yang kami yakini cuma sementara karena setelah melewati Pukuafu, di depan kami akan terhampar lautan luas yang tenang dengan jejeran bakau, kelapa, serta batu Termanu yang terkenal eksotik itu. Ciuman dan gelombang benar-benar gambaran kehidupan kami berdua yang sesungguhnya. Dan lautan yang tenang dengan kekayaan bakau, kelapa, dan kekokohan batu Termanu merupakan impian kami di masa depan. Sebenarnya aku seorang gadis perawan kelahiran Rote, pulau paling selatan Indonesia. Dalam darahku mengalir dengan deras semua

458 459 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MENJAHIT GELOMBANG | Mezra E. Pellondou

adat Rote, termasuk keterbukaan dan keberanian meminta maaf jika pernah mengalami masa lalu yang pahit bersama orang lain atau sebaliknya, keberanian untuk berkukuh dengan prinsip dan keputusan yang sudah diambil tanpa bisa dipengaruhi oleh siapa pun, apa pun, termasuk oleh dahsyatnya gelombang Pukuafu. Sementara laki-laki di depanku ini, yang lima menit lalu telah berciuman denganku, adalah seorang pemuda kelahiran Pulau Sabu yang juga memegang teguh adat dan budayanya, dan makna ciuman telah melekat dan mendarah daging dalam dirinya sebagai bentuk maaf yang paling tinggi, tulus, dan suci untuk dihargai. Ya, aku telah berkeputusan untuk terbuka dan berani memaafkan dan menerima maaf dari laki-laki Sabu ini dengan harga yang sangat mahal dan tulus, yaitu berupa sebuah ciuman. Ciuman adat. Bukan ciuman sepasang muda-mudi yang dimabuk cinta. Selain kami sudah tidak terbilang muda lagi, kami memang bukan sepasang kekasih. Justru sebaliknya, sepasang musuh, dan ciuman telah memerdekakan kami. “Bagaimana kabar Ina Yuli?” aku membuka percakapan untuk mencairkan kebekuan ini. “Sudah meninggal, kami baru memakamkannya seminggu yang lalu. Hari ini aku harus kembali ke Rote karena besok aku harus kembali bekerja.” “Jadi...” “Ya, aku sudah bekerja menjadi pegawai negeri

460 461 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MENJAHIT GELOMBANG | Mezra E. Pellondou sipil di Rote. Sejak mama memutuskan kembali ke membaca langit serta ujung cakrawala di depan kami tanah kelahiran kami di Sabu Mesara, aku seakan dia bisa menemukan jawaban atas menemaninya dan kuputuskan tetap bersamanya pertanyaannya di sana. sampai ajal menjemput. Namun, ajakan hidupku sudah “Hei, kenapa diam?” digariskan Tuhan, aku lulus tes PNS dan ditempatkan Laki-laki itu kembali bertanya, dan aku sibuk di Rote. Kutinggalkan Sabu dengan mama yang berat memikirkan kata-kata yang pantas untuk sebuah melepaskanku. Sejak itu mama sakit-sakitan dan kami jawaban yang sopan pada laki-laki ini. belum lama memakamkannya. Maafkan aku, kalau aku “Ya, aku dan papa sangat bahagia. Walau kami terlihat cengeng di depanmu.” cuma berdua dan kondisi papa sakit-sakitan, dan Aku meneteskan air mata. Ibu lelaki itu telah sebagai anak semata wayangnya aku yang merawatnya, meninggal dan dimakamkan seminggu lalu? Berarti namun aku sangat bahagia” kataku jujur. orang tua itu meninggal di usia yang renta. Dan lelaki “Jadi papa ikut kamu? Bagaimana dengan rumah ini telah menetap di Rote. besar?” “Bagaimana dengan Teo Lin?” lelaki itu telah “Tidak! Justru selamanya aku yang terus ikut papa. menanyakan tentang ibuku sebelum aku sempat Percaya atau tidak, aku belum menikah hingga menyatakan turut berdukacita atas kematian ibunya. sekarang.” “Aku turut berduka atas kematian Ina Yuli. Ibu Betapa terenyaknya diriku saat aku juga mendapati juga sudah meninggal lebih cepat dari Ina Yuli, tepatnya bahwa laki-laki di depanku ini juga sama dengan diriku, ibuku meninggal saat aku menamatkan sekolah melajang hingga detik ini. menengah pertama. “Apa artinya pernikahan buatmu?” “Wah, sudah lama sekali.” Laki-laki itu bertanya perlahan dan aku menangga- Aku mengangguk dan memandang wajah lelaki pinya dengan jujur. Mungkinkah sebuah pertanyaan itu. Tampak satu-dua kerutan di bawah matanya. bisa menjadi alasan yang melilit lelaki itu hingga belum “Ya, sudah lama dan itu berarti kita sudah semakin berani memutuskan menikah hingga detik ini? Aku tua,” kataku lepas begitu saja. mencoba tersenyum sebelum menjawab pertanyaan itu. “Ya, dan kita bahagia dengan keluarga kita masing- “Menikah bagi saya adalah membentuk keluarga masing. Bukankah begitu?” tanya laki-laki itu sambil bahagia bersama orang yang saya cintai, keluarga yang tidak memandang padaku, namun matanya mencoba taat pada agama dan adat, serta memiliki anak untuk

462 463 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MENJAHIT GELOMBANG | Mezra E. Pellondou melanjutkan keturunan.” menggendong seorang anak laki-laki kecil sekitar 3 Lelaki itu memandang ke laut lepas. Nyaris tidak tahun. percaya masih ada alasan sesuci itu untuk sebuah “Mungkinkah itu bisa membuka kenanganmu pernikahan bagi perempuan modern. tentang aku?” “Jangan lupa, aku masih tetap seorang perempuan Debaran di jantungku makin kencang mengingat Rote. Gadis Rote yang taat pada adat dan agama. laki-laki itu selalu menyimpan kenangan itu dalam Nenek moyangku mengajarkan hal terbaik soal hatinya. pernikahan dan itu kuagung-agungkan hingga “Benarkah kamu masih mengingat semuanya itu?” sekarang.” Laki laki itu berbinar. “Mungkinkah aku bisa melamarmu untuk maksud “Janganlah ingatkan aku hal itu. Aku takut terikat baikmu itu? Itu juga impianku.” pada kenangan itu!” “Jangan! Aku menerima ciumanmu bukan untuk “Kenapa?” laki laki itu menyentuhku dengan sebuah lamaran pernikahan, namun untuk sebuah tatapannya yang lembut. dendam masa lalu orangtua kita yang harus diakhiri.” “Kenangan itu telah membuatku selalu hidup.” Laki-laki itu mengalihkan pandangannya dari laut “Benarkah?” lepas ke bola mataku yang terlihat protes. “Dan aku tidak percaya kamu masih tetap ada “Jangan dipikirkan,” katanya perlahan, namun untuk aku.” sempat menghentikan debaran jantungku. Mungkinkah “Yakinkah kau akan hal itu?” ia tidak memiliki perasaan apa-apa padaku? “Entah mengapa aku selalu percaya, di hari tuaku Mungkinkah aku harus jujur bahwa sejak kita kecil dulu... nanti, aku akan mengulangi masa-masa bersamamu aku sudah sangat mengasihinya dan tidak ingin seperti halnya masa kecil kita itu.” kehilangan dirinya? Jika perasaan masa kecil dulu “Hm..tapi…” berbeda warnanya dengan perasaanku sekarang, “Jangan khawatir aku tidak ingin minta digendong. mungkinkah itu tetap membuatku tidak kehilangan dia? Justru aku telah siap menjaga dan melindungimu.” Laki-laki itu tersenyum. Kami pun tertawa bersama. Membuatku melupa- “Kenapa? Ada yang lucu?” kan banyak hal. Mungkinkah ini sebuah mimpi? Apakah “Lihatlah itu,” laki-laki itu menunjuk kepada hidup sedang meminjamkan padaku waktu untuk aku seorang perempuan kecil berusia sekitar 8 tahun sedang kembali ke masa laluku?

464 465 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MENJAHIT GELOMBANG | Mezra E. Pellondou

Aku selalu ingat. Siang itu. Siang yang sangat anakmu,” ibu gadis kecil itu tersinggung dan ikut mencekik di bulan Oktober. Dua orang perempuan lantang. dewasa yang sebaya sedang menumbuk padi, ditemani “Siapa yang memintanya menggendong anakku? dua orang anak kecil. Seorangnya lelaki kecil berusia 3 Dia sendiri kan? Digendong untuk dijatuhkan!” ibu tahun, berada dalam gendongan gadis kecil berusia 8 lelaki kecil itu memeluk anaknya lebih erat dan tahun. Lelaki kecil itu terus menangis, sementara dua memunggungi sang gadis kecil dan ibunya. Suasana perempuan dewasa yang sebaya itu terus saja itu semakin memanas dan si gadis kecil menangis menumbuk padi. Belum ada sebutir padi pun telah memohon-mohon agar ibu lelaki kecil itu percaya menjadi beras sehingga tidak ada yang bisa dimakan bahwa dia tidak bermaksud menjatuhkan lelaki kecil hari itu. Tiba-tiba gadis kecil itu bangkit dari duduknya itu. hendak mengambil air buat lelaki kecil dalam “Sudahlah, Nak, pergilah dari sini, biar ibu yang gendongannya. Gadis itu terjatuh dan lelaki kecil itu akan menjelaskannya. Mungkin dengan cara begini terlepas dari gendongannya, kepala kedua anak itu perempuan ini bisa paham.” membentur tanah. Dan bruuk! “Hei, kamu jahat, kenapa kamu jatuhkan adikmu,” Ibu si gadis kecil itu telah melempari punggung salah seorang dari perempuan dewasa itu memekik ibu lelaki kecil itu dengan batu pemecah jerami. Wanita lantang. Perempuan itu adalah ibu lelaki kecil yang itu ambruk, berdarah, dan si gadis kecil itu berlari terjatuh itu. mengambil si lelaki kecil dari gendongan ibunya yang “Bukan... adik... adik terjatuh. Bukan maksudku ambruk. Mereka berdua bersembunyi di antara menjatuhkan...,” gadis kecil itu tertatih menjawab. tumpukan jerami. Hingga akhirnya polisi menemukan “He, kamu beraninya melawan? Ini anak laki-laki kedua bocah itu. Orang-orang melarikan ibu lelaki kecil saya, seenaknya saja kamu jatuhkan,” perempuan itu ke rumah sakit. dewasa itu telah berteriak mengangkat lelaki kecil Matahari memanggang di atas 30 derajat. Ibu gadis anaknya yang meledak tangisnya, bukan karena jatuh, kecil itu digiring ke penjara setelah menjalani tetapi karena suara ibunya sangat memekakkan telinga. persidangan pengadilan. Sejak saat itu kedua bocah “Hei, kamu beraninya membentak anak saya. Ini itu dipisahkan oleh dendam kedua ibunya yang tidak anak perempuan saya satu-satunya, seenaknya saja pernah berakhir. kamu bentak. Bagaimanapun dia telah menggendong “Hei... sejak tadi telah berada di depanku tetapi

466 467 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 MENJAHIT GELOMBANG | Mezra E. Pellondou seperti tiada.” “Ya, tujuh puluh kali tujuh kali, ampunilah orang Aku dikejutkan oleh suara lelaki yang masih setia lain.” di depanku. Rote terlihat begitu letih. Orang-orang masuk “Ayo turun, kita sudah sampai. Lihat kapal telah keluar wilayah terselatan Indonesia ini dengan bersandar, dan semua orang sedang antre di pintu kepentingannya masing-masing. Para pelancong dari keluar. Ayolah.” mancanegara yang hendak berselancar di pantai “Apa yang sedang kamu pikirkan?” Nemberalla yang terkenal itu, bahkan hingga manusia- “Sepanjang perjalanan ini aku memikirkan tentang manusia perahu yang sering tertangkap di pintu gerbang kita.” selatan ini. “Katakan sesuatu,” desakku berdebar. Berdua, aku dan lelaki ini menginjakkan kaki di “Seberapa dalam kamu telah mengampuni aku dan tanah Rote. Ini bukan yang pertama bagi kami, namun keluargaku?” sesungguhnya ini yang pertama untuk kemerdekaan Debaran di hatiku memanjang lirih. kami. Semoga selamanya demikian, kami jangan lagi “Seberapa dalam menurutmu?” aku berdebar keletihan oleh dendam masa lalu. Tujuh puluh kali tujuh mengembalikan pertanyaan itu. kali, kami telah dimerdekakan...  “Kamu tidak bersalah telah menjatuhkan aku dari gendonganmu. Itu peristiwa biasa.” lelaki itu telah berbicara serius. “Ya, itu peristiwa biasa. Yang luar biasa adalah cinta ibumu padamu.” “Tapi, semua itu telah membuat ibumu terluka dan ibuku masuk penjara,” aku memelas. “Jadi seberapa dalam kamu telah mengampuni peristiwa masa lalu itu?” aku lanjutkan ucapanku. “Satu ciuman kita tadi adalah bukti bahwa kita berdua telah mengampuni peristiwa masa lalu itu sebanyak tujuh puluh kali tujuh kali.” “Tujuh puluh kali tujuh kali?”

468 469 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SAMBAL DI RANJANG | Tenni Purwanti Sambal di Ranjang

Tenni Purwanti Minggu, 29 November 2015

UAMIKU memiliki kebiasaan sebelum tidur. Ia harus makan malam lengkap dengan sambalS cobek di atas ranjang. Kebiasaan ini dilakukannya sejak kami menikah. Seminggu  setelah malam pertama, ia memintaku segera menyiapkan makan malam dengan sambal, di atas ranjang. Aku sebetulnya agak kewalahan dengan kebiasaan ini. Tapi, sebagai istri, aku harus menuruti keinginan suamiku. Aku membeli meja kayu kecil untuk menempatkan cobek- cobek kecil agar ia bisa makan di atas ranjang tanpa mengotori seprai dan selimut. Aku awalnya tidak begitu bisa membuat sambal. Sambal pertama yang kubuat adalah sambal tomat dan rasanya keasinan. Kedua kali membuat sambal, aku mencoba membuat sambal terasi, tetapi malah terasinya kebanyak-

470 471 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SAMBAL DI RANJANG | Tenni Purwanti

an dan suamiku membuangnya. Akhirnya suamiku membelikan buku resep aneka sambal. Setiap hari aku belajar mengulek sambal berdasarkan resep. Lama- kelamaan aku hafal satu per satu resep sambal itu dan aku mulai mahir membuatnya tanpa bantuan resep. Ditambah lagi, ibuku sengaja datang untuk mengajariku mengulek sambal dengan baik dan benar saat suamiku bekerja. “Istri idaman adalah perempuan yang pandai membuat sambal,” begitu pernah ibuku berpesan saat aku remaja. Kata-kata itu kemudian diulangnya ketika mengajariku sekarang, “Ibu kan sudah pernah bilang, istri idaman adalah perempuan yang pandai membuat sambal.” Ibu mengatakan, sambal yang baik tidak hanya berasal dari bahan-bahan berkualitas dengan komposisi tepat. Di luar semua itu, proses mengulek adalah hal paling menentukan dalam menciptakan rasa sambal yang enak. Jika kamu ikhlas, rasa sambalmu pasti lezat karena semuanya tergerus sempurna. Tangan yang berbeda akan menghasilkan rasa sambal yang berbeda. Maka kamu harus bisa membuat sambal yang khas, yang membuat suamimu selalu kangen sambalmu. Aku percaya kata-kata ibuku. Sambal tomat, sambal bajak, sambal terasi, sambal matah, sambal mangga, sambal belut, sambal dabu- dabu, hingga sambal bawang. Setiap hari, apa pun lauknya, aku akan menghidangkan sambal dalam cobek

472 473 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SAMBAL DI RANJANG | Tenni Purwanti kecil di atas ranjang, dengan variasi yang berbeda. Jika makan dengan sambal buatanku sebagai andalannya. Senin kuhidangkan sambal matah, Selasa berganti Tentu saja ini kesempatan tak terduga yang tak boleh sambal mangga. Aku tak pernah tahu kalau sambal dilewatkan. Tetapi, saat aku mendiskusikannya dengan juga termasuk afrodisiak. Suamiku mengaku, setiap kali suami, aku tak menyangka ia menolaknya. melahap sambal buatanku, ia selalu ingin bercinta “Aku tahu siapa pengusaha itu,” ujar suamiku saat denganku. aku menyebut nama pengusaha yang mendatangiku. Maka setiap kali bertugas ke luar kota dan aku tak “Aku sebetulnya mengidolakan dia, tetapi aku tidak bisa ikut, suamiku akan memintaku membuat sambal rela kamu bekerja untuknya.” dan memasukkannya ke dalam wadah kaca bekas selai. “Bukannya bagus? Bukankah Mas seharusnya Untuk mengobati kerinduannya kepadaku, ia akan bangga kalau istri Mas bisa berkolaborasi dengan memakan sambal sebelum tidur. Hanya saja, jika ia pengusaha idola Mas?” terbiasa bercinta setelah memakan sambal, kalau ke “Aku tidak ingin sambal buatanmu jadi pasaran. luar kota, aku jadi khawatir bagaimana cara suamiku Sebaiknya kamu berhenti berjualan sambal. Cukup aku melampiaskan libidonya? saja yang menikmati sambalmu, Dik.” Tapi, aku berusaha untuk memberinya kepercaya- “Tapi, Mas. kalau aku menerima tawaran pengusaha an. Selama masih meminta dibuatkan sambal setiap itu, aku bisa membantu ekonomi keluarga. Bukankah kali akan ke luar kota, itu berarti ia masih menganggap- sejak pacaran kita memimpikan punya usaha makanan? ku spesial. Tapi, semakin tinggi jabatannya, suamiku Ini kesempatan buat kita, Mas.” semakin sering ke luar kota, bahkan luar negeri. Aku “Aku ingin punya food truck yang menjual pun berinisiatif untuk membangun bisnis kuliner agar milkshake, terutama milkshake vanila, bukan restoran tak kesepian di rumah. yang menjual sambal.” Awalnya aku hanya membuka warung kecil-kecilan “Aku tahu Mas sangat menyukai milkshake vanila, di garasi rumah yang kosong karena kami belum minuman yang tidak ada cocok-cocoknya dengan memiliki mobil. Tapi, karena sambal buatanku ternyata sambal tradisional itu. Tapi, kalau kita mulai dulu dengan memikat lidah siapa pun yang berkunjung, sambalku usaha restoran sambal, nanti kita bisa beli food truck semakin terkenal dari mulut ke mulut. Suatu hari, impianmu, Mas.” seorang pengusaha muda mendatangi warungku dan “Aku ingin beli food truck dari tabunganku sendiri, menawarkan kerja sama untuk membangun rumah bukan dari hasil usahamu dengan pengusaha itu! Sekali

474 475 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SAMBAL DI RANJANG | Tenni Purwanti aku bilang tidak, ya tidak!” “Rumit ya. Aku juga tidak bisa memaksa kalau ini Aku tak menyangka suamiku akan menolak soal rumah tangga. Sebagai istri, kamu tentu harus tawaran pengusaha itu. Saat kusampaikan hal ini kepada patuh pada suami dan aku tidak bisa mengganggu itu. pengusaha yang bernama Dimas itu, ia menjadi heran. Tapi, aku akan coba bicara dengan suamimu. Bisa “Suamimu menolak karena dia tidak ingin sambal bantu aku bertemu dengannya?” istrinya jadi pasaran? Bukankah seharusnya ia malah “Tentu saja. Dia mengaku fans beratmu.” bangga karena sambal buatan istrinya terkenal dan “Oh ya? Bagus dong. Jadi aku lebih mudah untuk disukai banyak orang?” tanya Dimas. membujuknya.” “Suamiku malah ingin agar sambal buatanku “Tidak semudah yang dibayangkan. Suamiku cukup menjadi eksklusif karena hanya dia sendiri yang tegas orangnya. Sekali dia bilang tidak, ya tidak. Tapi menikmatinya,” jelasku sambil menunduk. Aku tak kita bisa coba.” berani menatap wajah Dimas. Ternyata, suamiku tak mau bertemu dengan “Bagaimana dengan dirimu sendiri? Apakah kamu Dimas. ingin membangun restoran makanan dengan “Sebetulnya di antara kalian ini ada apa? Kenapa sambalmu sebagai andalan, atau ingin sambalmu hanya ngotot harus jadi restoran itu? Kalau aku bilang tidak, dinikmati suamimu?” ya tidak. Masih mau usaha negosiasi lagi?” “Aku awalnya tak bisa membuat sambal. Justru “Aku hanya ingin mencoba, Mas. Ini kan bukan suamiku yang ingin aku menyajikan sambal sampai hal yang negatif. Kenapa Mas melarangku membelikan buku resep. Berkat suamiku, aku jadi bisa berkembang?” membuat sambal enak. Aku membuka warung tadinya “Aku tidak melarangmu berkembang, tapi aku tidak hanya agar tidak bosan ditinggal suami bekerja bahkan ingin sambal buatanmu jadi dinikmati banyak orang. sering ke luar kota. Aku tidak menyangka kalau akhirnya Aku ingin aku saja yang menikmatinya. Masih kurang banyak yang menyukai sambalku. Aku sebetulnya jelas?” bangga, sambalku membuat orang ketagihan. Dan aku “Tapi, ini hanya sambal, Mas. Bukan hatiku. Hatiku mau menerima tawaran untuk buka usaha restoran agar pastinya hanya untuk Mas. Tapi, relakanlah sambalku sambalku makin banyak yang menikmati. Tapi, kalau dijual bebas. Toh nanti kalau sukses, kita bisa beli food suamiku tidak mengizinkan, aku harus berhenti. Sebab, truck impian Mas itu. Sekarang bayangkan, butuh urusan sambal ini kan bermula dari suamiku juga.” berapa puluh tahun menabung gaji Mas untuk bisa

476 477 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SAMBAL DI RANJANG | Tenni Purwanti beli food truck dibandingkan dari hasil usaha restoran memang tidak cocok dengan kesukaannya akan sambal yang mungkin saja akan laku keras. Tidak ada salahnya tradisional, tapi itu soal selera dan tak perlu didebat. kan aku coba dulu, Mas?” “Kalau memang Mas tidak mengizinkan aku “Kamu meremehkan penghasilanku?” menjual sambal, apakah aku tetap boleh membangun “Bukan begitu, Mas. Maksudku..” restoran dengan Dimas tanpa harus menjual sambal?” “Belum bangun restoran saja sudah meremehkan “Sore ini aku ingin membahas mobil yang baru penghasilanku. Apalagi nanti kalau restoranmu sukses. kubeli dan kamu malah membuka percakapan dengan Belum lagi kalau banyak lelaki yang mendekatimu, menyebut nama Dimas?” termasuk si Dimas itu. Jangan-jangan kamu memang “Mas, ada apa dengan Dimas?” sebetulnya mengincar itu.” “Seharusnya aku yang bertanya padamu. Ada apa “Aku tidak bermaksud meremehkan penghasilan dengan Dimas? Kenapa kamu begitu ingin bekerja Mas. Tolong juga jangan berpikiran negatif bahwa aku dengannya? Kamu ini sebetulnya mau jual sambal atau akan selingkuh. Aku tidak serendah itu, Mas.” mau kolaborasi dengan Dimas?” “Jawabanku tetap tidak. Mulai besok, aku juga ingin “Justru aku juga ingin tahu, Mas melarangku hanya warungmu itu ditutup. Karena aku mau beli mobil dan karena tak ingin sambalku jadi pasaran atau tak ingin garasi itu akan terpakai. Aku mau tunjukkan bahwa aku bekerja dengan Dimas?” penghasilanku tidak sekecil yang kamu pikir.” “Dua-duanya.” Keesokan harinya suamiku memang serius membeli “Mas cemburu?” mobil. Aku tak berani bertanya apakah mobil itu dibayar “Aku tak boleh cemburu?” lunas atau dicicil. Aku tak ingin suamiku tersinggung “Boleh, Mas. Tapi, bukan begini caranya.” lagi. Aku sudah membongkar warungku sejak pagi “Bagaimana cara cemburu yang baik dan benar? dengan hati yang kecewa, namun tak bisa berbuat apa- Sudah, hilang nafsuku menikmati senja sambil minum apa. Suamiku bahkan tidak memberikan pilihan ke milkshake vanila dan membicarakan mobil baruku. mana warung itu harus dipindahkan. Ia betulan ingin Kamu sama sekali tidak peduli akan diriku dan aku tidak menjual sambalku lagi. pencapaianku. Sejak kenal Dimas, di kepalamu hanya Menjelang senja, aku membuatkan milkshake vanila Dimas dan obsesimu menjadi pengusaha.” kesukaannya, sedangkan untukku sendiri aku lebih Suamiku masuk ke rumah sambil membanting memilih wedang jahe. Untuk minuman, selera suamiku pintu.

478 479 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SAMBAL DI RANJANG | Tenni Purwanti

Aku hanya bisa menghela napas berat, lalu dari ranjang, ada dua orang perempuan mengenakan membereskan dua gelas minuman yang belum lingerie sedang duduk memegang gelas berisi milkshake tersentuh. vanila. Mungkin tadi salah satu dari mereka Malam hari kami tidur saling memunggungi. Pagi membukakan pintu karena berpikir aku adalah bagian harinya pun suamiku mendiamkan aku sampai ia masuk dari mereka, yang akan bergabung malam itu. ke dalam mobil dan pergi ke kantor tanpa pamit. Aku tak butuh penjelasan apa pun. Aku akan Hatiku kosong. Hari-hari berikutnya suamiku tak membangun restoran sambal bersama Dimas, dengan pulang. Aku mencoba menghubungi ke kantornya, tapi atau tanpa persetujuan suamiku.  selalu tak ada di tempat. Hal ini berlangsung sampai dua minggu. Ponselnya juga tak pernah aktif. Bagaimana mungkin orang sesibuk dia bisa mematikan ponsel sampai dua minggu? Aku terpaksa menemui atasannya di kantor dan mendapat informasi bahwa suamiku ditugaskan ke luar kota selama satu bulan. Aku segera membeli tiket pesawat dan mencari hotel tempat suamiku menginap, sesuai dengan data dari perusahaan tempatnya bekerja. Jantungku berdebar kencang saat aku mengetuk pintu kamar hotelnya. Aku tahu, pintu hotel dilengkapi lubang kecil untuk mengintip sehingga suamiku bisa saja tidak membukakan pintu saat melihatku di depan pintu. Ternyata ada yang membuka pintu, tapi bukan suamiku yang membukanya. Seorang perempuan berbalut baju tidur tampak heran memandangku. Dengan nekat, dalam hitungan detik aku terus melangkah masuk ke dalam dan menemukan aneka sambal di atas ranjang, lengkap dengan cobek-cobek kecil untuk setiap sambal. Di atas sofa yang tak jauh

480 481 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 DUA PENYANYI | Budi Darma Dua Penyanyi

Budi Darma Minggu, 06 Desember 2015

I sebuah kota yang tidak perlu disebut namanya, ada dua rumah sakit besar dan terkenal,D yaitu Rumah Sakit Kandang Kerbau di kota bagian barat, dan Rumah Sakit  Kandang Lembu di kota bagian timur. Kendati tidak khusus mengurusi kelahiran, dua rumah sakit itu menjadi terkenal karena banyak bayi yang dilahirkan di sana akhirnya menjadi orang- orang terkenal. Menurut catatan, dua Menteri Luar Negeri India, tiga Duta Besar Filipina untuk PBB, dan seorang Perdana Menteri Australia lahir di Rumah Sakit Kandang Kerbau, dan seorang Perdana Menteri Thailand, seorang Menteri Luar Negeri Malaysia, seorang Duta Besar Indonesia untuk Amerika, dan seorang konglomerat paling kaya di Indonesia lahir di Rumah Sakit Kandang Lembu.

482 483 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 DUA PENYANYI | Budi Darma

Jangan heran, manakala begitu banyak calon ibu di banyak negara bermimpi-mimpi untuk melahirkan bayi mereka di salah satu rumah sakit itu. Tentu saja, di samping orang-orang besar itu, banyak pula bayi kelahiran dua rumah sakit itu yang akhirnya tidak menjadi apa-apa, tidak punya nama, dan sama sekali tidak perlu dibanggakan. Terceritalah, di kota bagian barat ada seorang laki- laki bernama Latiff Ariffin, dan di kota bagian timur ada seorang laki-laki bernama Latif Arifin. Dengan mengendarai sepeda motor besar, setiap hari kerja Latiff Ariffin mengantarkan istrinya, Latifa, ke kantornya di kota bagian timur, dan setiap hari kerja pula, dengan mengendarai sepeda motor besar, Latif Arifin mengantarkan istrinya, Latifah, ke kantornya di kota bagian barat. Dua pasangan ini, Latiff Ariffin dan Latifa, tidak saling mengenal dengan Latif Arifin dan Latifah, tapi dalam catatan pernikahan di Kantor Agama, dua pasangan ini menikah pada hari, tanggal, dan jam yang sama di dua tempat berbeda. Kalau ditelusur lebih lanjut akan ketahuan bahwa Latiff Ariffin dan Latif Arifin lahir pada hari, tanggal, dan jam yang sama pula, di dua rumah sakit berbeda. Latiff Ariffin lahir di Kandang Kerbau, dan Latif Arifin lahir di Kandang Lembu. Kalau ditelusur, ternyata istri mereka, Latifa dan Latifah, juga lahir pada hari, tanggal, dan jam yang

484 485 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 DUA PENYANYI | Budi Darma sama, di dua rumah sakit berbeda. Latifa lahir di Pada suatu hari, dalam bergaduh, Latifah berseru: Kandang Lembu, dan Latifah lahir di Kandang Kerbau. “Wahai, Latif Arifin, janganlah kau bergantung pada Latiff Ariffin benar-benar mirip Latif Arifin, dan nama orang-orang besar. Bergantunglah pada Latifa betul-betul mirip Latifah. Seandainya mereka dermawan-dermawan besar. Yang banyak jasanya. berjumpa bersama-sama, mereka tidak akan tahu mana Yang tidak ingin dikenal. Bergantunglah pada Antonio yang mana. Barabak. Dia datang ke negeri kita dengan tujuan mulia. Sudah lama mereka menginginkan anak, tapi anak Menyembuhkan orang-orang sakit. Tanpa pamrih. Dia yang mereka tunggu tidak pernah datang. Akhirnya, meninggal di negeri kita. Tertular lepra ketika wabah setelah menunggu sepuluh tahun dan tidak ada lepra menyerbu negeri ini.” ujungnya, masing-masing mereka setiap malam berzikir, Tepat pada saat yang sama, Latifa juga menyeru memohon kepada Tuhan Seru Sekalian Alam, agar kepada suaminya dengan nada sama. mereka segera memperoleh keturunan. Akhirnya Tuhan Kata orang-orang bijak, manusia bisa merencana- Seru Sekalian Alam mengabulkan permohonan mereka. kan, takdir menentukan, demikian pulalah yang terjadi Setelah mengandung, Latifa sering bergaduh pada Latifa dan Latifah. Pada saat yang sama, Latifa dengan suaminya, demikian pula Latifah dengan dan Latifah merasa nyeri pada selangkangan, perut suaminya. Latifa ingin melahirkan di rumah sakit sakit, serta mulas. Latifa merasa akan segera melahirkan, Antonio Barabak, dan Latifah ingin melahirkan di demikian pula Latifah. Sementara itu, sebagaimana rumah sakit Antonio Barabak pula. Suami Latifa ngotot yang terjadi selama beberapa hari sebelumnya, langit ingin Latifa melahirkan di Kandang Kerbau atau mengamuk, kilat demi kilat saling bersambaran, hujan Kandang Lembu, demikian pula suami Latifah. deras pun yang sudah berlangsung tujuh jam menolak “Wahai, Latiff Ariffin, kamu lahir di Kandang untuk berhenti. Kerbau karena orangtuamu ingin kamu menjadi orang Latifa segera memberi aba-aba kepada suaminya besar,” seru Latifa. “Ternyata kamu bukan apa-apa. agar segera memanggil taksi untuk membawanya ke Saya lahir di Kandang Lembu karena orangtua saya Rumah Sakit Antonio Barabak, demikian pula Latifah. ingin saya menjadi orang besar. Ternyata saya juga Begitu mendekati Rumah Sakit Antonio Barabak, bukan apa-apa.” mereka melihat pemandangan mengerikan: sebuah Dalam bergaduh dengan suaminya, seruan Latifah tiang listrik roboh menimpa atap rumah sakit, sama dengan seruan Latifa kepada suaminya. memercikkan lidah-lidah api, lalu cepat menyebar ke

486 487 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 DUA PENYANYI | Budi Darma sudut-sudut lain. dan Latifah. Dalam keadaan lemah sehabis melahirkan Latiff Ariffin segera melarikan istrinya ke Kandang mereka menerima berita yang tidak pernah mereka Kerbau, dan Latif Arifin segera melarikan istrinya ke duga, dan tanpa sempat mengurusi bayi mereka, Kandang Lembu. mereka meregang nyawa menyusul suami mereka. Dua bayi, satu anak Latiff Ariffin dan yang lain Apa yang kemudian terjadi pada dua bayi itu tidak anak Latif Arifin, tepat pada detik yang sama lahir. diketahui, tapi, setelah mereka berumur 20 tahun, takdir Anak Latiff Ariffin diberi nama Sulaiman bin Ariffin, mereka menjadi jelas. Mereka sama-sama pandai dan anak Latif Arifin diberi nama Sulaiman bin Arifin. menyanyi dan memainkan berbagai alat tabuh-tabuhan. Dua bayi ini menimbulkan rasa heran: tangis mereka Yang satu, entah yang mana, buta, dan lainnya, entah bagaikan nyanyian-nyanyian syahdu yang menyayat itu Sulaiman bin Ariffin atau Sulaiman bin Arifin, hati, jauh berbeda dengan tangisan bayi-bayi lain ketika matanya tidak buta. mereka baru lahir. Mereka menjadi penyanyi, dan dua-duanya mencari Meskipun wajah Latifa sangat pucat, demikian pula nafkah di stasiun bawah tanah yang sama. Kendati wajah Latifah, dokter di dua rumah sakit berbeda itu stasiun ini paling ramai, jalan keluar-masuknya hanya menjamin, berdasarkan pemeriksaan-pemeriksaan dua, satu di barat, satu di timur. Penyanyi buta yang sangat teliti, ibu-ibu muda ini benar-benar sehat. mengamen di pintu barat, penyanyi yang tidak buta Keesokan harinya ketika Latiff Ariffin naik sepeda mengamen di pintu timur. motor besar menuju ke kantornya, demikian pula Latif Dua penyanyi ini tidak saling mengenal, tapi saling Arifin, hujan makin deras, langit makin gelap, angin mendengar. Dari tahun ke tahun keadaannya sama: makin menderu-deru, dan halilintar demi halilintar saling setiap hari penyanyi buta selalu mendapat uang banyak, bertabrakan. Tepat pada waktu bersamaan, malaikat dan setiap hari penyanyi yang tidak buta tidak pernah Izrail mencabut nyawa Latiff Ariffin di Labuh Raya mendapat uang banyak. 15 A, dan nyawa Latif Arifin di Labuh Raya 15 B. Pada suatu malam, tepat pada waktu sama, dua Sepeda motor dua laki-laki ini tergelincir, helm mereka penyanyi ini tertimpa oleh mimpi. Dalam mimpi, dua melesat, mereka jatuh, lalu kepala mereka terlindas truk. penyanyi ini mendengar suara bisik-bisik: “Dua orang Dalam kisah mengenai raja-raja, tertulislah sebuah yang berbeda bisa menjadi saudara bukan karena kalimat: “Raja wafat, dan karena sedih, permaisuri pun darah, tapi karena takdir. Kau penyanyi, dan saudaramu menyusul wafat,” dan inilah yang terjadi pada Latifa juga penyanyi.”

488 489 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 DUA PENYANYI | Budi Darma

Bisik-bisik ini berlanjut terus, sampai akhirnya, Suara bisik-bisik terdengar: “Takdir telah membuat penyanyi yang tidak buta mendengar bisik-bisik: kamu lahir tepat pada saat yang sama dengan “Takdirmu buruk, karena kamu tidak buta. Takdir saudaramu, dan akhir hidup kalian akan datang saudaramu bagus, karena dia buta.” Tanpa sadar, dalam bersama-sama pula.”  keadaan masih bermimpi, penyanyi yang tidak buta mengambil pisau, lalu menusuk-nusuk matanya. Maka, di stasiun bawah tanah itu sekarang ada dua penyanyi, sama-sama buta. Dua penyanyi tetap tidak saling mengenal, tapi tetap saling mengetahui. Pada suatu malam, tepat pada waktu bersamaan, dua penyanyi ini di rumahnya masing-masing bersembahyang memohon ampunan kepada Tuhan Seru Sekalian Alam. Begitu selesai bersembahyang, tubuh dua penyanyi ini bergetar-getar hebat, dan mereka segera teringat pada bisik-bisik lain dalam mimpi mereka beberapa hari lalu: “Apabila tubuhmu bergetar- getar hebat, kamu akan segera bergabung dengan ayah bundamu.” Malam makin gelap, angin bertiup tenang, dan hampir semua rumah di kota yang tidak perlu disebutkan namanya ini sudah padam lampunya. Lampu-lampu jalan yang dianggap tidak begitu penting juga sudah dimatikan. Dalam waktu bersamaan dua penyanyi keluar dari rumah masing-masing, melangkahkan kaki dengan dibantu oleh tongkat mereka, tanpa tahu harus ke mana. Hanya kaki merekalah, dengan dibantu tongkat, yang menuntun mereka.

490 491 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BUNGA LILI DI TENDA PENGUNGSI | Triyanto Triwikromo Bunga Lili di Tenda Pengungsi

Triyanto Triwikromo Minggu, 13 Desember 2015

ENCANA untuk membakar seluruh gedung dan tenda-tenda pengungsi itu kudengarR semalam dari mulut Adonis Perseus, suamiku. Tentu saja aku heran. Aku yakin dia  tidak sedang mabuk. Karena itu, aneh jika penulis cerita yang biasanya lembut hati itu, ingin melakukan tindakan yang mencederai kemanusiaan. Atau jangan-jangan tanpa sepengetahuanku Adonis1) ternyata seorang pemuja bangsa yang radikal? “Kau sangka semua pengungsi perlu dikasihani, Amara? Kau sangka mereka seperti bayi tanpa dosa tanpa pisau yang menghunus ke jantung kita?” ujar Adonis kepadaku sambil berjalan cepat menembus kabut dari Jalan Ludwig ke Stasiun Ladermuseum. Aku tidak segera merespons perkataan konyol itu. Pagi itu, selain seperti bertemu

492 493 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BUNGA LILI DI TENDA PENGUNGSI | Triyanto Triwikromo

dengan satu dari mungkin 1.000 jiwa buruk suamiku, aku terganggu oleh bau yang menguar dari tubuh Adonis. Aku mencium bangkai 100 tikus. Aku mencium bau mayat busuk. Aku merasa ada setan-setan tengik pada masa Zeus menyusup ke tubuh suamiku. “Aku akan memulai tindakan agungku ini dari Stasiun Utama Frankfurt. Aku sudah menyiapkan bom molotov,” desis Adonis lagi sambil mempercepat langkah. “Tindakan agung? Membakar tenda orang-orang yang seharusnya kau beri ranjang hangat dan tungku pemanas, kau katakan sebagai tindakan agung?” aku memprotes sambil terus berusaha menutup hidung dengan syal. “Tidak ada ranjang hangat dan tungku pemanas untuk mereka, Amara. Tidak ada!” kata Adonis lagi dengan nada yang kian meninggi, “Pemerintah tidak tahu siapa mereka. Mereka bukan orang-orang yang teraniaya seperti yang kita sangka. Mereka hanyalah iblis yang disusupkan. Tubuh mereka penuh ideologi. Kelak mereka justru akan jadi duri di dalam daging bangsa ini. Kalau Hitler masih hidup, aku yakin Sang Pemimpin Agung itu akan mengusir atau membakar mereka hidup-hidup.” Diberondong kalimat-kalimat ganas dari mulut berbau kencing kuda Adonis, aku ingin muntah. Sesuatu menyerupai tendangan kaki bayi menghantam perut. Aku kian tersiksa. Rasanya aku ingin berbalik

494 495 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BUNGA LILI DI TENDA PENGUNGSI | Triyanto Triwikromo arah. Tak mengikuti ke mana pun Adonis pergi. Tak pendengar radio telah memprotes penyiar yang melihat apa pun yang akan dilakukan oleh pria yang sepanjang waktu membeberkan persoalan pengungsi. saat mabuk selalu menganggap diri sebagai Herkules, Mereka bilang, ’Tak ada tema lainkah dalam hidup pahlawan Yunani itu. kalian?’” Tidak! Tidak! Tidak boleh aku membiarkan penulis “Kau pikir memang ada tema lain?” kisah-kisah imigran-Yunani di Jerman ini jadi penjahat. “Tentu saja ada tema lain,” Adonis mencerocos Aku harus mengurungkan niat Adonis membakar lagi, “Tema lain itu, misalnya, mengapa orang-orang tenda para pengungsi. Karena itu, kubiarkan saja keturunan Yunani di Jerman, seperti kita ini, Adonis membentak-bentak. Kubiarkan Adonis diperlakukan semata-mata sebagai pekerja atau sekadar menganggap segala yang diucapkan sebagai kebenaran. robot. Aku dan kau—jelas-jelas lahir di Jerman, Yang penting aku bisa mengikuti ke mana pun dia menghirup udara, dan makan makanan Jerman—tetapi pergi. mengapa kita diperlakukan sebagai orang asing, sebagai “Kini jumlah pengungsi yang masuk ke Jerman gelandangan tengik? Hanya karena sekarang Yunani mendekati 1.000.000, Amara. Berapa lagi yang akan bangkrut, lantas mereka boleh menganggap kita dibiarkan menjadi musuh bangsa ini pada masa depan? sebagai budak?” Angela Merkel telah melakukan kesalahan besar.” “Tentu saja tidak boleh,” aku mendesis. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Adonis. Yang “Memang tidak boleh. Karena itu kau tidak perlu aku tahu, pemerintah memang membutuhkan banyak melarangku membakar tenda yang didirikan di dalam pekerja berharga murah. Ini memungkinkan Merkel stasiun,” kata Adonis menohokku. menerima pengungsi-pengungsi dari Suriah dan Terus terang bukan hanya ucapan jahat itu yang Afganistan dengan tangan terbuka. menekanku. Pada saat sama, aku tertekan juga oleh “Pemerintah sebaiknya mendengar suara rakyat. bau busuk Adonis yang kian menyengat. Bau Adonis, Jangan hanya ingin dianggap sebagai juru selamat. kau tahu, mungkin gabungan antara pesing air kencing, Tidak semua rakyat menerima kedatangan pengungsi. tinja lumer di pispot, koreng basah, keringat orang tak Percayalah kepadaku, tidak lama lagi di beberapa kota, mandi 100 hari, dan mayat dikerubung lalat. gedung-gedung yang akan digunakan untuk Bau itu bisa berubah dengan cepat dan tampaknya menampung pengungsi pasti dibakar. Tenda-tenda juga berbanding lurus dengan kemunculan hasrat jahat akan dilempari batu,” kata Adonis, “Malah para Adonis. Bau itu bermetamorfosis dari sengat

496 497 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BUNGA LILI DI TENDA PENGUNGSI | Triyanto Triwikromo kebusukan satu mayat, 10 mayat, hingga lebih dari 100 takhta itu.” mayat... “Apa hubungan antara cintaku dan berdoa di Saat itu aku membayangkan ada lebih 100 mayat katedral itu?” busuk melayang-layang di langit, lalu badai membentur- “Tentu saja tidak ada.” benturkan mayat-mayat itu, menggiling hingga lumer Ya, tentu saja tidak ada. Aku hanya ingin menunda ke kubangan raksasa, dan Adonis tercebur ke dalam kematian Adonis. Siapa tahu begitu melihat patung kubangan itu. Jadi, jika berada di dekatku, pasti perutmu Yesus menderita di kayu salib, Adonis yang tidak pernah mual, hidung tidak sanggup menghadapi serangan bau, percaya pada gagasan “Tuhan Sudah Mati”3), tak ingin dan kau akan muntah tidak keruan. lagi membakar atau membunuh para pengungsi. Siapa Apakah Adonis juga merasakan bau itu? Mungkin tahu Yesus, yang kuyakini sedang melayang-layang di tidak. Mungkin hanya aku yang merasakan bau itu langit, bisa melembutkan suamiku yang jika jiwanya karena ibuku pernah bilang, “Keluarga kita dikutuk terbelah, begitu galak dan menganggap diri sebagai untuk mahir mengendus bau kematian pasangan Lucifer itu. hidupnya, Amara. Mati hidup kekasihmu bisa kau “Iblis tidak mungkin masuk ke gereja, Amara,” ketahui dari bau tubuhnya. Kian busuk bau tubuh Adonis menemukan cara mengelak yang cemerlang. kekasihmu, kian dekat dia dengan kematian. Orang “Tetapi, kau bukan iblis, Adonis.” yang akan hidup lama, bau tubuhnya sewangi bunga “Ya, aku bukan iblis, tetapi Raja Iblis! Aku dewa lili. Sebaliknya mereka yang akan mati, bau tubuhnya perang musuh utama Tuhan,” canda Adonis sambil sebusuk ribuan mayat tanpa pengawet dan pewangi.” menyeretku menuruni tangga menuju ke stasiun bawah Sewangi bunga lili yang kerap dianggap sebagai tanah. penghias taman surgawi? Aku tidak percaya kepada Apa boleh buat aku pun menyerah. Aku mengikuti kata-kata ibuku. Akan tetapi, tentu saja aku tak Adonis. Aku bahkan menurut saja ketika suamiku menginginkan Adonis cepat mati. mengajakku berdansa di gerbong kereta tanpa musik. “Apakah kau mencintaiku, Adonis?” aku “Aku mencintaimu, Amara, tetapi kau tidak perlu menemukan cara untuk mengalihkan arah perjalanan memaksaku berdoa di gereja. Aku akan berdoa kami, “Apakah kau mau membawaku ke Katedral untukmu begitu sampai di stasiun utama. Aku akan Santo Bartolomeus?2) Aku ingin sekali waktu dalam berdoa untuk...” hidup, kita berdoa di tempat Raja Romawi Jerman naik Ah, bagaimana mungkin Adonis akan berdoa

498 499 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 BUNGA LILI DI TENDA PENGUNGSI | Triyanto Triwikromo untukku jika begitu sampai di Stasiun Utama Frankfurt, yang kian lama kian banyak. dia langsung menuju ke tenda penampungan sementara “Telepon polisi!” aku berteriak kepada salah para pengungsi? Bagaimana Adonis akan berdoa seorang sukarelawan yang sedang bercakap-cakap untukku jika dia begitu cepat menyibak kerumunan dengan sukarelawan lain, “Seseorang akan membakar manusia dari berbagai bangsa hanya untuk membunuh tenda ini. Orang itu sedang menuju ke sini.” manusia lain? “Jangan mengacau! Tak ada yang mengejarmu!” Tidak! Tidak! Mungkin Adonis benar. Mungkin kata salah seorang. Adonis tahu segala yang terjadi pada masa depan “Apakah kau sedang mabuk?” tanya yang lain sehingga hari ini dia berhasrat membakar para setengah melecehkan aku. pengungsi? Jangan-jangan jika dibiarkan hidup, para Adonis memang belum tampak. Akan tetapi, pengungsi itu kelak akan menjadi orang-orang yang karena merasa diabaikan, aku langsung menerobos ke pada waktu bersamaan menembak secara sembarangan tenda. Aku berteriak-teriak tak keruan kepada para warga Jerman dan meledakkan bom bunuh diri di pengungsi di tenda penampungan sementara itu, Berlin, Frankfurt, Hamburg, atau kota-kota lain. “Pergi! Pergi! Tinggalkan tenda ini. Seseorang akan “Karena itu biarkan Adonis membakar mereka!” membakar kalian! Ayo, pergi!” seru suara entah siapa di kepalaku. Tak ada yang bergegas meninggalkan tenda. Tak “Robohkan tenda mereka!” ada yang menghindar dari kemungkinan kematian yang “Usir mereka ke negeri asal!” segera menyergap. Tak ada. Dan Adonis? Di mana “Ayo, jadilah saksi hidup pembakaran ini. Foto Adonis? Mengapa dia tidak tampak-tampak juga? seluruh kejadian! Sebarkan ke seluruh dunia betapa Tunggu dulu! Adakah wangi bunga lili di tenda mereka benar-benar manusia tidak berguna!” teriak ini? Tentu saja ada. Tetapi, tidak terlalu harum. Bau- Adonis sambil menyeretku. bau lain—anggur busuk, kentut, dan darah beku—juga Karena terus-menerus diperlakukan sebagai menebar dari tubuh-tubuh para pengungsi. Apakah binatang, aku justru memberontak. Aku melepaskan bau campur aduk ini mengisyaratkan sebagian diri dari gandengan Adonis. Aku berlari secepat pengungsi akan segera mati? mungkin menuju tenda para pengungsi yang tidak Aku tidak tahu. Yang jelas, tak lama kemudian, dijaga dengan ketat itu. Adonis berusaha mengejarku, Adonis mulai tampak. Bau gabungan antara pesing air tetapi agaknya dia terhalang oleh kerumunan manusia kencing, tinja lumer di pispot, koreng basah, keringat

500 501 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 POHON MATI | Dewi Ria Utari orang tak mandi 100 hari, dan mayat dikerubung lalat menguar dengan sengit lagi. Mungkin bom molotov akan segera dilemparkan Pohon Mati ke tenda dan aku tidak tahu apakah aku berbau wangi bunga lili atau tidak. Saat itu aku hanya bisa berteriak, “Aku bukan pengungsi, Adonis! Aku lili terindahmu! Aku...” Dewi Ria Utari Mungkin Adonis tidak mendengar suaraku. Minggu, 20 Desember 2015 Mungkin Adonis tetap saja melemparkan bom molotov itu ke arah tenda pengungsi. Sekali lagi aku hanya berteriak, “Aku bukan pengungsi, Adonis. Kau ELAH ratusan kali anakku memintaku akan kehilangan aku. Kau akan kehilangan putri Yunani untuk menebang pohon itu dan ratusan terindahmu. Kau juga akan mati karena puluhan polisi kaliT pula aku menolaknya. Awalnya aku mengira akan menembakmu. Kau...”  ia menginginkan pohon itu lenyap karena merencanakan ingin membangun sesuatu di tanah kosong di belakang rumah. Di tanah itu, Catatan: hanya ada sebatang pohon mati yang berdiri 1) Saya perlu mengucapkan terima kasih kepada Jannis Plastargias, tegak dalam keangkuhan antah berantah. Ya novelis Jerman keturunan Yunani, yang menceritakan begitu banyak memang. Meski pohon itu dulunya adalah kisah terkini kehidupan pengungsi di Jerman kepada saya dan menginspirasi kemunculan tokoh Adonis. Pohon Pinus, batang-batang tanpa dedaunan 2) Katedral Santo Bartolomeus adalah gereja utama di Kota Frankfurt. yang menghitam yang menjulur ke berbagai 3) Teks ini berasal dari bahasa Jerman “Gott ist tot” dan muncul arah menggiring imajinasi siapa pun yang dalam buku klasik Friedrich Nietzsche, Also sprach Zarathustra. melewati tanah kosong itu pada makhluk buruk rupa bertangan banyak penghuni dunia dongeng pengganggu tidur anak-anak pengecut. Namun, bagi anak pemberani, sosok pohon itu serupa kakek kurus angkuh pemberang yang siap melayani kenakalan anak-

502 503 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 POHON MATI | Dewi Ria Utari

anak bengal. Bergemingnya aku terhadap permintaan anakku membuatnya meninggalkan rumah ini tujuh tahun lalu. Aku masih ingat matanya yang penuh kemarahan dan luka, menatapku yang tengah duduk di ruangan kerjaku di lantai dua. Saat itu aku tengah duduk menghadap jendela, memandang ke arah pohon mati itu yang tampak jelas dari jendela ini. Dia datang dalam murka ketika mendengar aku melarang Welas, tukang yang sudah bekerja denganku sejak ia remaja, untuk menebang pohon itu. “Kenapa Bapak menghalangi aku untuk menebang pohon itu?” “Itu hakku, karena itu pohonku dan berdiri di atas tanahku. Kamu sendiri kenapa menyuruh Welas menebangnya?” “Karena pohon itu sudah mati. Buat apa Ayah memelihara sesuatu yang sudah mati?” “Kamu tak tahu apa-apa,” balasku sengit. “Aku tahu, Pak. Tahu bahwa gara-gara pohon keparat itu, setiap tahun ada saja yang mati bunuh diri di pohon itu. Jika Bapak terus mempertahankan pohon itu, seluruh desa ini akan mati satu per satu karena kekeraskepalaan Bapak! Dan aku sudah tak punya muka lagi di depan orang-orang karena pohon mati itu dan orang-orang yang sudah mati di sana. Sekarang Bapak tinggal pilih aku atau pohon bangkai itu!” Alih-alih khawatir akan gertakan anakku itu, aku

504 505 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 POHON MATI | Dewi Ria Utari lebih memilih diam melihatnya pergi. Tiwi bunuh diri karena terlibat utang dengan lintah Kematian mengiringi pohon itu yang mati tiga darat dari kampung sebelah. Sebagian lagi bersangka tahun lalu. Beberapa bulan setelah pohon itu mati, bahwa Tiwi kesurupan karena sehari sebelumnya ia kematian pertama datang di suatu pagi selepas hujan nekat pulang melintasi kuburan selepas menonton layar yang turun sepanjang malam dan baru berhenti pada tancap di lapangan bola. Setelah Tiwi, setahun kemudian subuh. Pagi hari itu, Sangaji, bocah 9 tahun yang sering Badar ditemukan mati dalam keadaan seperti tengah berdiri paling depan saat ada konser dangdut di tertidur. Dokter di kecamatan memutuskan ia mati kampung dan tak menyia-nyiakan kesempatan itu karena serangan jantung. Tapi, istri Badar tak percaya untuk memotret payudara atau celana dalam penyanyi dengan keputusan dokter itu karena Badar sekuat dangdut yang ngibing kesetanan di pinggir panggung, kerbau yang diangonnya tiap hari. Disusul kemudian kebetulan lewat di depan pohon itu dengan kematian Parta setahun lalu dengan kedua pergelangan kedongkolan yang membara setelah bapak tirinya tangannya teriris. Seperti halnya Tiwi, banyak orang memukul punggungnya karena Sangaji ketahuan mengira Parta bunuh diri. Tapi, lagi-lagi keluarganya mengambil sebatang rokok bapak tirinya yang tak yakin, dan keyakinan mereka pun mulai tergeletak di atas meja tamu. Sambil menggerundel, memengaruhi banyak orang di desa ini. Satu per satu Sangaji berjalan sambil menendang-nendang benda apa mereka mulai berpikir pohon mati ini menarik pun yang ada di jalanan di depannya, hingga melintasi kematian. tanah kosong milikku. Semua kematian itu terjadi setiap tanggal 24 Gerundelan Sangaji menghilang ketika ia Desember. Membuat persiapan Natal keluargaku jadi mendengar suara berderit dan saat ia mendongak, terganggu. Padahal, sudah menjadi tradisi di rumahku terlihatlah ujung kaki Tiwi yang pucat. Sangaji tak sejak bertahun-tahun lamanya, aku dan istriku akan menjerit. Ia terdiam dan jatuh terduduk. Setengah jam bagi-bagi uang dan makanan untuk seluruh buruh kemudian ia bangkit dan berlari pulang memanggil kebun kopiku. Biasanya pagi hari, aku, istriku, dan bapak tirinya. Seketika, kematian Tiwi merukunkan anakku akan ke gudang kopi dan membagikan amplop keduanya. dan sembako satu per satu ke semua buruhku. Sesudah Tak ada yang tahu kenapa Tiwi, janda berusia 20- itu, sore harinya kami akan ke gereja di kecamatan. an tahun yang setiap hari berjualan kelapa di pasar, Tapi, sejak ada kematian itu, kebiasaan ini jadi menggantung lehernya. Tapi, banyak orang menduga, terganggu karena semua orang di desa memilih diam

506 507 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 POHON MATI | Dewi Ria Utari di rumah atau kasak-kusuk menggunjingkannya entah di kebunku. Dan kelak, jika anakku mau kembali lagi ketika sedang nongkrong di warung kopi atau di toko ke rumah ini, dialah yang akan mewarisi semuanya. kelontong milik Ruslan. Tapi, ia belum-belum sudah terlalu takut dengan Tiga kematian itu toh tak membuatku kepingin omongan orang. menebang pohon itu. Bahkan ketika akhirnya anak Karena anakku, aku telah bersumpah dalam hati dan istriku hengkang dari rumah karena tak tahan tidak akan menceritakan kepada siapa pun tentang dengan gunjingan orang-orang desa. Mereka tak habis pohon itu. Baik tentang kenapa pohon itu mati hingga pikir kenapa aku mempertahankan pohon mati itu, kenapa ada orang mati di pohon itu pada tanggal yang padahal gara-gara pohon itulah, jumlah pekerja di kebun sama setiap tahun. Tapi, anakku tidak mengetahuinya kopiku mulai berkurang. Sementara aku memilih diam bahwa dialah yang menjadi alasanku untuk tak mengabaikan anjuran siapa pun untuk merahasiakan tentang pohon itu dan kematian yang menghilangkan pohon itu. “Setiap orang toh pada mengiringinya. Juga tidak siapa pun, kecuali diriku akhirnya mati. Tinggal bagaimana ia memilih cara untuk sendiri. mengakhiri hidupnya. Kebetulan saja kejadiannya di Aku menanam pohon pinus itu lima tahun silam, pohon itu,” ujarku kepada Kartono, kepala desa ini setahun setelah aku mengenal Yayi. Tak ada yang yang khusus datang ke rumahku setelah dua kematian mengetahui keberadaan Yayi karena hanya aku yang didapati di pohon mati itu. Ia tak bisa banyak bisa melihat dan menemuinya. Harus bagaimana aku membantah karena akulah yang menyekolahkan tiga menceritakan tentang Yayi karena aku yakin tidak ada anaknya hingga jadi sarjana. Ia hanya berpesan supaya yang akan memahami perasaan yang terjalin antara aku aku hati-hati karena banyak penduduk desa yang mulai dan Yayi. Apalagi memahami bagaimana aku terus menganggap pohon itu adalah pesugihanku. terbayang-bayang raut muka Yayi, senyumannya, Pohon itu bukan pesugihanku. Aku tak perlu sentuhannya tak hanya ketika aku tengah sendiri, tapi pohon atau benda apa pun untuk jadi sugih. Tanpa bahkan ketika aku sedang berkumpul bersama buruh- harus kujelaskan, penduduk desa ini harusnya ingat buruh kopiku, saat bersama tengkulak kopi, bahkan bahwa kekayaanku sudah turun-temurun sejak buyutku ketika aku menyusuri setiap ruang di rumahku. yang memiliki separuh lereng gunung di desa ini untuk “Kamu terus menghantuiku, Yi,” ujarku sambil dijadikan kebun kopi. Tanpa kebun kopi, bisa apa membelai rambutnya. Ia mengecup pipiku dan penduduk desa ini hidup. Hampir semuanya bekerja tersenyum.

508 509 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 POHON MATI | Dewi Ria Utari

“Biar kamu rindu terus denganku,” bisiknya sambil anaklain. mengerling nakal. Jika sudah seperti itu, aku tak lagi Tanpa memberitahukan kegelisahanku, Yayi sudah bisa protes dan hanya bisa memeluknya erat-erat di mengetahuinya. dadaku. “Sayang, di tempat asalku, kami memercayai bahwa Ketika aku menemukan pohon itu ketika pergi ke kematian sering kali lebih abadi daripada kehidupan. Bogor, aku segera menyampaikan ke Yayi, apakah ia Kami merayakan dan menghargai kematian lebih dari menyukai pohon pinus. siapa pun. Tahukah kamu bahwa ketika aku “Aku menyukainya. Dari dulu aku menyukai pinus. menceritakan kepadamu bahwa aku mengandung Ketimbang cemara, pinus lebih kokoh. Seperti kamu, anakmu, aku telah memutuskan untuk membawanya Sayang.” ke tempat asalku, di mana aku akan mengajarkan “Ah kamu ini, selalu pandai merayu,” tukasku kepadanya tentang makna kematian,” ujar Yayi sambil sambil mencubit pipinya. mengelus kepalaku yang tengah kusandarkan di “Beneran. Lagi pula kamu bisa menaruh lampu- pangkuannya. Saat itu angin tak berembus ketika kami lampu dan hiasan kalau pas Natal kan?” tengah duduk berdua di bawah pohon pinus itu. Aku mengangguk dan segera menanam pohon itu “Jangan khawatir, aku dan anak kita tidak akan di tanah kosong di belakang rumah. Setelah pohon itu merepotkanmu. Bukankah itu janjiku ketika aku berdiri dan tumbuh subur, aku jadi lebih bisa mengatur memutuskan untuk mencintaimu. Aku tak ingin pertemuanku dengan Yayi. Ia tak terus-terusan mengubah apa pun dalam kehidupanmu. Kamu akan membayangiku dan menghantui pikiranku karena ia tahu kapan saatnya kamu akan merindukanku dan begitu menyukai pohon itu. Ia merawat pohon itu siang menemukanku. Aku akan selalu menunggumu. Dalam dan malam dan menjadikan pohon itu begitu indah keabadian.” dan berkilau. Aku tak hanya mengakhiri pertemuan kami, tapi Hingga kemudian ketenangan itu harus terkoyak juga mengakhiri hidup Yayi. Aku menguburkan seluruh ketika Yayi bilang bahwa ia mengandung anakku. Aku kenangan tentang Yayi di pohon itu yang kemudian begitu panik dan tak bisa membayangkan bahwa aku mengering dan mati. Dan setahun setelah pohon itu akan memiliki anak selain Darma. Aku terlalu mati, ada kematian yang terjadi di pohon itu tepat di menyayangi Darma dan tak akan menggeser posisinya hari perpisahanku dan Savitri. Tak ada yang tahu bahwa sebagai anakku satu-satunya dengan keberadaan mereka yang mati di pohon itu, sehari sebelumnya

510 511 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 POHON MATI | Dewi Ria Utari mendatangiku dan berkisah bahwa mereka tiba-tiba matahari yang perlahan-lahan terasa hangat di kulitku, berpikir tentang makna kematian yang berbeda-beda. membuatku mengantuk dan mengantarkanku pada “Tanpa disadari, sebenarnya manusia berpikir bayangan Yayi. Kurasakan angin tiba-tiba berembus bahwa ada keabadian yang mengiringi kematian. lirih dan kudengar suara bisikan Yayi di telingaku, Karena itulah nisan, prasasti, dan monumen justru memanggil namaku.  dibangun untuk manusia yang telah mati. Pohon mati di tempat Bapak itu sebenarnya harus dipandang sebagai pengingat akan keabadian itu. Lihat saja bahwa ketika pohon itu mati, ia tak memerlukan siapa pun untuk menyiramnya, memupuknya, merawatnya. Ia tetap tegak berdiri dalam kematiannya. Harusnya penduduk desa ini menyadarinya,” ujar Badar sehari sebelum ia mati, sambil minum teh hangat dan pisang goreng di beranda belakang rumahku, memandang pohon mati itu yang berdiri diam di kejauhan. Kini di tahun keempat, menjelang tanggal 24, aku tak lagi mendapat kunjungan siapa pun ke rumahku. Tadi malam, anakku telepon dan mengatakan masih tidak akan pulang Natalan nanti karena masih merasa jengah dengan penduduk desa jika pohon mati itu masih berdiri. Subuh ini, sebelum matahari terbit, aku berjalan menuju pohon itu. Sambil mengelus batang pohonnya, aku berbisik. “Sayang, aku sudah rindu. Denganmu, dengan semua kenangan tentang kita.” Ada kelegaan di dadaku saat dengan perlahan aku duduk di tanah dan menyandarkan punggungku di batang pohon. Sambil terpejam, kubiarkan nyala

512 513 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SAVONETTE | Warih Wisatsana Savonette

Warih Wisatsana Minggu, 27 Desember 2015

ANGAN percaya sepenuhnya pada cerita ini. Sebab sebagian yang kualami, kusangsikanJ kebenarannya. Sebagaimana kebanyakan cerita tentang  benda antik, tak sengaja aku temukan jam saku tua savonette, pada selipan baju Ibu di lemari kayu. Warnanya kusam dan muram, sepuhan emasnya pupus terhapus waktu. Ketika penutupnya kubuka, engselnya hendak lepas. Percuma menyipitkan mata berkali, tak tersisa lagi merk atau lambang pembuatnya. Hanya seuntai rantai terjuntai, seakan jam itu sempat direnggut paksa dari pemiliknya. Bukan lantaran bentuknya yang antik membuat perhatianku tercurah, melainkan gerak jarum jamnya yang bersilang arah. Yang lebih panjang beringsut tersengal ke arah kanan, yang pendek bergerak sebaliknya secara

514 515 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SAVONETTE | Warih Wisatsana

perlahan beraturan, sedangkan jarum terpendek diam bergeming. Seakan yang satu mengikuti matahari ke ambang petang, yang lainnya undur menuju terang siang. Namun, bila kudengarkan seksama, bunyi tik- taknya yang samar itu masih terjaga. Dirundung tanya, pikiranku terbawa ke mana- mana. Bagaimana kisahnya hingga jam itu ada di lemari kami? Seingatku, Ibu tidak sekalipun pernah bercerita tentang jam saku ini. Apakah milik Ayah? Warisan dari kakek atau leluhur? Akan tetapi yang pasti, hingga pengujung hidupnya, sewaktu aku mulai beranjak dewasa, Ibu lebih suka mengulang-ulang cerita tentang Ayah. Selalu berakhir pada peristiwa yang sama, Ayah direnggut sakit, tak ada sanak keluarga yang sudi menjenguk hingga kematiannya tiba. Kata Ibu, umurku waktu itu baru dua tahun. Tidak menangis, hanya berdiam saja sewaktu orang-orang mengantar Ayah ke kuburan. Masih kata Ibu, tak ada kakak, adik, atau keluarga dari Ayah atau Ibu yang turut mengiringi. “Begitulah Nak, dari dulu kita memang terbiasa sendiri.” Terdorong rasa haru pada Ibu, kuputuskan memperbaiki savonette itu. Sudah kudatangi banyak tempat reparasi di kota kelahiranku ini. Mulai outlet- outlet jam ternama di mal hingga toko dan tukang jam kaki lima, mereka terkesan enggan memperbaiki. Ada saja alasannya, tapi intinya meyakinkanku bahwa sudah tak ada lagi onderdil yang sesuai dengan savonette itu.

516 517 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SAVONETTE | Warih Wisatsana

Jam saku ini boleh jadi dibuat masa kompeni dulu, awal bermacam-macam jam. Juga seorang lelaki renta, atau akhir abad ke-18. Seorang tukang jam setengah mungkin mendekati 80-an tahun. Wajah lelaki itu bergurau menyampaikan, “Ini pasti milik Nyai Dasima, membayang samar di bawah lampu yang lebih terfokus atau asisten residen zaman VOC.” pada tangannya, tengah menggenggam sebuah jam. “Sudahlah Pak, sebaiknya mesinnya diganti saja Segera kukeluarkan savonette dari saku dan yang digital. Casing-nya yang antik ini tetap kutunjukkan padanya. Si tua bergeming. Seorang dipertahankan. Tiga hari pasti jadi,” tukas tukang arloji perempuan paruh baya, muncul begitu saja, mungkin lainnya di salah satu pasar yang dulu sering dikunjungi anaknya atau bisa juga istrinya. Ia menyapa sekaligus Ibu. bertanya apa keperluanku. Nyaris saja aku mengikuti saran itu. Namun, wajah “Bisakah savonette-ku ini diperbaiki di sini?” Ibu membayangi pikiranku, membuatku ragu-ragu jawabku seketika, lelah basa-basi berulang dengan mengambil keputusan. Ibu memang gemati, penuh tukang jam selama ini. cinta merawat benda-benda lama; dari kendi Perempuan itu tak menjawab, ia malah berbisik peninggalan nenek hingga sabuk kulit yang katanya pada si tua, entah apa yang diucapkannya. Dalam dibeli Ayah sewaktu janji bertemu Ibu kali pertama. bayangan samar di dinding, kulihat anggukan kepalanya Suara bujukan itu selalu datang berulang justru seakan tanda memahami keinginanku. Tanpa banyak ketika aku menunggu kereta hendak pulang ke rumah. bicara, perempuan itu memberikan catatan tanda Suara-suara itu berbaur hiruk-pikuk dan lalu-lalang terima dan menyerahkannya padaku sambil orang. Berulang datang, berulang membuatku semakin meyakinkanku bahwa jam itu akan beres diperbaiki pening. Akibatnya, belakangan ini, seringkali aku tak sepekan lagi. sadar bahwa stasiun tujuanku sudah terlewat. Apakah Sewaktu aku pamit dan melangkah perlahan, aku tertidur? Mungkin saja, atau seluruh perhatianku kudengar suara si tua. Aku berhenti, ingin tahu apa terhanyut, terbawa simpang pilihan itu. Demikian juga yang dikatakannya tentang savonette itu. Mungkinkah hari ini, pikiranku nanar, turun di stasiun berikutnya. diperbaiki? Atau jangan-jangan akan dia ganti mesinnya Boleh jadi ini memang sebuah kebetulan. Tak jauh tanpa seizinku. Yang kutangkap hanyalah kalimat dari tempatku makan, ada kios kecil, bertuliskan singkat ini, “Ini peruntungan, kau tahu bukan, jam ini “terima service arloji”. Segera kudatangi, rupanya sudah lama kutunggu.” hampir tutup. Ada lemari kaca antik berisi aneka jam, Jam itu kini selalu di sakuku, terbawa kemana-mana,

518 519 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SAVONETTE | Warih Wisatsana dan kutunjukkan kepada siapa saja. Kecintaanku “Konon,” ujarku meyakinkan, “Jenis jam saku ini bertambah, bahkan setiap malam sebelum tidur, aku diciptakan perajin ulung Jerman, Peter Henlein sekitar suka menimang-nimangnya. Melekatkan telinga, tahun 1574. Selain menjadi kebanggaan para mendengar samar bunyi tik-taknya. Sungguh aku harus bangsawan, belakangan jam saku ini digunakan pula berterima kasih kepada pak tua itu. Ketiga jarumnya para masinis guna mengatur kecepatan kereta agar kini seiring sejalan memastikan waktu, tak pernah sesuai jadwal dan rencana perjalanannya. Coba lambat atau lebih cepat sekalipun. Begitulah selalu, bayangkan, bila tak ada savonette, kereta-kereta akan sebelum lelap, berlintasan kenangan masa kecil bersama saling bertabrakan di banyak stasiun atau bertemu di Ibu; ke pasar, menyeberang jalan, membeli es krim, jembatan secara bersamaan. Ini tragedi.” naik kereta; dan di pengujungnya adalah pemandangan Sesekali aku diundang pimpinan untuk petang hari di kuburan. mempresentasikan kiat-kiat dan strategi meraih prestasi. Seluruh hariku kini digenangi kenangan pada Ibu. Pada saat seperti itulah, mengolah sumber bacaan dari Di rumah tua tempat lahirku ini, aku tak lagi merasa berbagai buku, kutegaskan bahwa sesungguhnya sang sendiri. Kawan-kawanku di kantor pun mengaku waktu tidak berjalan linier sebagaimana keyakinan keheranan. Kata mereka, aku kini lebih riang dan orang. “Bapak-bapak Ibu-ibu dan Saudara-saudara, terbuka, bukan lagi seperti tugu batu, penyendiri. waktu dalam jam saku saya, berbeda dengan waktu Relasiku bertambah dan capaian kerjaku melampaui pada jam-jam lain, terlebih jam digital yang bersifat target. Ya, the best employee of the month, dengan lompatan linier. Waktu dalam savonette saya bersifat kronometrik, penjualan yang tak pernah terjadi dalam perusahaan melingkar. Itu berarti bahwa kemarin dan esok bisa ini sebelumnya. Jabatan marketing manajer bereinkarnasi menjadi waktu yang menyekarang.” melambaiku. Tamu-tamu tertegun, terkagum-kagum, mengangguk- Kemana-mana, setiap berjumpa klien, mereka angguk, seakan memahami. Kusaksikan wajah Ibu memuji komunikasiku yang optimistis, semangat, serta memenuhi dinding, senyumnya begitu lembut. inspiratif. Padahal bagiku tak ada yang berubah, masih Sesungguhnya kuyakin kesuksesanku bukan karena seperti dulu. Hanya memang, sesekali kutunjukkan keajaiban atau tuah peruntungan dari savonette itu. savonette sekadar menyelingi pembicaraan. Tanggapan Itu buah kerja keras, dan tentu restu Ibu. Prestasiku mereka antusias, mendorongku mencari referensi lebih kian gemilang, hari-hariku riang. Aku bukan lagi si sungguh tentang sejarah savonette. penyendiri yang serba terbata-bata mengucapkan

520 521 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SAVONETTE | Warih Wisatsana pikiran. Puncaknya, aku diam-diam ditaksir dara jelita. menjawab sekenanya, tak acuh pada kebingunganku. Rekan kantorku yang memperkenalkannya. Aku bertanya kepada petugas stasiun, dia hanya Aneh, seketika itu aku suka padanya dan perasaan menunjukkan ke bagian informasi. Di tengah kegalauan cinta mulai merekah. Matanya yang hening tenang itu, dorongan ke kamar kecil memuncak, penjaga di mengingatkan pada tatapan Ibu yang memandangku sana sama saja, menjawab sekenanya. berulang sebelum tidur. Rambutnya memang berbeda, Kuperhatikan sekali lagi jam di dinding, ya pukul Ibuku lurus, ia ikal bergelombang. Tapi sama-sama enam lebih dua puluh menit kini. Lalu mataku beralih, sebahu dan selalu ada scarf tembus pandang yang kuperhatikan sungguh-sungguh savonette ini, Astaga! membayangi leher jenjangnya. Ternyata masih seperti tadi, tak beranjak dari pukul Biasanya kami selalu bertemu bersama kawan- empat. Masih tak percaya, kupicingkan mata. Aduh, kawan. Tapi esok petang, kami sepakat akan berjumpa celaka! Jarum jamnya kini malah bersilangan persis berdua saja di kafe dekat taman tepi kota, di mana seperti saat kutemukan. Yang panjang tersengal ke sebuah pohon kamboja besar meneduhi berandanya. kanan, yang pendek undur ke arah sebaliknya, dan yang Ya, pukul enam sore, ini kali kencanku yang pertama. paling kecil, diam hening sempurna. Hancurlah semua Sebelum itu, pukul lima sore, aku ada janji dengan calon peruntunganku. Gagal, gagal. klien yang sudah deal, sepakat membeli produk Begitu kesal dan marahnya, kuputuskan malam ini perusahaan kami. Sekadar singgah lima belas menit juga menemui si tua tukang reparasi arloji. Ingin saja, menyerahkan surat kontrak resmi yang sekalian kuluapkan seluruh emosiku. nanti ditandatangani. “Permisi, apakah ada orang?” pekikku tertahan. Langkahku ringan, seringan batinku. Ketika tiba Sejenak hening, “Ya, ada apa anak muda?” jawab di stasiun, sempat kulihat kereta baru saja berlalu. seseorang di balik lemari penuh arloji itu. Lelaki tua itu Setengah tak percaya dan menduga-duga, aku merasa muncul begitu saja. Ruang remang, hanya ada lampu itulah kereta yang seharusnya kunaiki. Astaga, kecil yang menyorot tangannya, kosong tanpa sesuatu. kupandangi jam dinding besar di koridor stasiun, pukul Menahan jengkel, “Bagaimana ini, Bapak. Jarum enam lebih lima belas menit. Kemudian kuperiksa jam savonette saya kumat lagi seperti dulu. Apakah kembali jam saku milikku dan ternyata masih sewaktu diperbaiki, kurang kencang menyetelnya?” menunjukkan pukul empat. Nanar, aku bertanya tukasku ketus. kepada orang-orang. Mereka serba tergesa dan Nadanya masih datar tak berubah, “Ya, mari aku

522 523 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 SAVONETTE | Warih Wisatsana akan lihat dulu,” timpal si tua. dengan suara reporter yang melaporkan pandangan Setelah jam saku itu kembali dipegang olehnya, ia mata. Sementara wajah-wajah orang panik memenuhi letakkan dekat dengan telinga. Kemudian ia hanya layar kaca bergantian. Masih tak percaya, kubuka menyentuh crown jam tersebut, lalu berkata sekenanya, Twitter, berduyun tak putus me-retweet tragedi itu. bahwa tidak ada masalah pada jam ini, baik-baik saja. Wajah Ibu, wajah si tua itu, menggenangi seluruh “Benarkah? Gara-gara jam ini, gara-gara jarum jam diriku.  yang berkhianat ini, saya kehilangan seorang klien, saya kehilangan seorang calon istri yang baik!” Meluap sudah marahku. Ia tak seketika menjawab, hanya bergumaman, tak jelas, seperti menyebut sesuatu atau sepotong kata tertentu: antara kata buntung atau untung, samar kabur. Darahku tersirap naik, seketika kurenggut paksa savonette dari tangannya. Si tua itu seperti mencoba menahan, wajah kami begitu dekat. Aku tertegun, matanya seperti kosong tanpa cahaya. Sempat terlintas di dalam pikiranku, apakah ia buta... “Sabar Nak, coba lihat sekali lagi jarum jamnya.” Nadanya kini lebih lembut, dan jam itu terlepas, seketika berpindah ke tanganku. Masih terbawa ngungun, kupandangi savonette itu, tak percaya, sungguh aku tak percaya, ketiga jarum jam itu seiring sejalan, tak satu pun bersimpangan. Setibanya di rumah, dengan sepenuh rasa lelah, kunyalakan televisi. Pada setiap channel terdengar breaking news bahwa ada kereta petang tadi terguling setelah bertabrakan dengan kereta lainnya. Mobil-mobil ambulans berlintasan, suara sirinenya ramai berselingan

524 525 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015

Agus Noor  punya latar belakang pendidikan teater di ISI Yogyakarta, tetapi lebih populer sebagai cerpenis dan aktivis media sosial. Cerpennya pernah dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Kompas Tahun 2011. Penulis yang lahir di Tegal, Jawa Tengah, ini menjadi sutradara dan penulis lakon dalam seri seni pertunjukan Indonesia Kita yang digagas seniman Butet Kartaredjasa. Agus Noor baru saja menerbitkan buku Cerita Buat Para Kekasih (Gramedia 2014). Bukunya yang sudah terbit antara lain Bapak Presiden yang Terhormat, Memorabilia, Selingkuh Itu Indah, Potongan Cerita di Kartu Pos, Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, dan  banyak lagi. Ahmad Tohari  lahir 13 Juni 1948 di Banyumas, Jawa Tengah. Ia dikenal luas setelah menulis trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruh (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985) dan Jentera Bianglala (1986). Kini menetap di Purwokerto.

Anggun Prameswari  lahir di Surabaya, 3 Juni. Selain menulis fiksi, saat ini bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di SMP-SMA Harapan Bangsa, Tangerang, dan penerjemah lepas. Telah menelurkan novel After Rain (2013) dan kumpulan cerpen Kedai Bianglala (2014).

526 527 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015

Aris Kurniawan Basuki  tinggal di Desa Cigugur, pendeknya telah dibukukan bersama Antologi Negeri Kuningan, Jawa Barat. Berprofesi sebagai fisioterapis Kesuda (2010) dan Antologi Cerita Setelah Keramaian di sebuah rumah sakit swasta di Cigugur, Kuningan. (2009). Mulai menekuni dunia kepenulisan sejak tahun 2010. Cerpennya Rumah Tuhan termasuk dalam antologi Dewi Ria Utari  lahir di Jepara, kini mukin di Jakarta. Cerpen Pilihan Kompas Tahun 2013. Pemimpin redaksi Majalah Seni dan Gaya Hidup Saraswati. Cerpen-cerpennya kerap terpilih dalam Budi Darma  sehari-hari bekerja sebagai guru besar Cerpen Pilihan Kompas, antara lain Rumah Hujan (tahun UNESA (Universitas Negeri Surabaya). Budi Darma 2005-2006), Sinai (2007), Merah Pekat (2008), Ibu Pulang pernah menerbitkan beberapa esai, cerpen, dan novel, (2011). Ia telah menerbitkan buku kumpulan cerpen dan pernah mendapat penghargaan antara lain dari Kekasih Marionette dan buku novel remaja, The Swan. Balai Pustaka, Kompas, SEA-Write Award (Bangkok), Anugerah Seni Pemerintah RI, Satya Lencana dari Djenar Maesa Ayu  lahir di Jakarta 14 Januari 1973. Presiden Republik Indonesia, dan Anugerah Ia telah menerbitkan enam kumpulan cerpen berjudul MISTERA (Brunei Darussalam). Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-Main (dengan kelaminmu), Cerita Pendek Tentang Cerita Pendek, 1 Candra Malik  lahir di Surakarta, Jawa Tengah. Perempuan 14 Laki-laki, T(w)ITIT!, SAIA dan sebuah Namanya juga dikenal sebagai tokoh sufi, sastrawan, novel berjudul Nayla. Cerpennya yang berjudul Menyusu wartawan, penyanyi lagu religi, pemeran film, dan Ayah menjadi terbaik Jurnal Perempuan 2003, penulis sejumlah kolom di berbagai media massa. sementara Waktu Nayla meraih penghargaan Cerpen Lagunya, Syahadat Cinta, menjadi original sound track Terbaik Kompas di tahun yang sama. (OST) Cinta Tapi Beda, film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Faisal Oddang  lahir 18 September 1994, sedang menempuh pendidikan Sastra Indonesia di Universitas Dedi Supendra  lahir di Pekanbaru. Sekarang Hasanuddin dan bergiat di Komunitas Penulis Lego- bermukim di Pariaman, Sumatera Barat. Cerita Lego. Faisal menerima ASEAN Young Writers Awards

528 529 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015

2014 dan novelnya Puya ke Puya menjadi salah satu Gus tf Sakai  penulis cerpen dan kolektor akik lumut pemenang Sayembara Novel DKJ 2014. Cerpennya hijau Suliki. Menulis cerpen sejak 1979 dan telah menjadi Cerpen Terbaik Kompas 2014. menerbitkan 5 buku kumpulan cerpen. Sekarang menetap di kampungnya, Payakumbuh, Sumatera Barat. Fandrik Ahmad  bernama asli Fandrik Haris Setia Putra, lahir di Jember, 29 Juli 1990. Alumni Ponpes Han Gagas  alumni UGM Yogyakarta, penulis buku Annuqayah, Guluk-Guluk, Madura. Saat ini menjadi Catatan Orang Gila; Kompilasi Cerita Pendek dan Novela tenaga pendidik di Yayasan Pendidikan Islam Nurul Kisah Para Pasien Rumah Sakit Jiwa (Penerbit Gramedia, Mannan, Sukogidri, Ledokombo, Jember. Antologi 2014). cerpen Lembaran yang Hilang (KCN: 2010). Harris Effendi Thahar  lahir di Tembilahan Riau, 4 Gde Aryantha Soethama  lahir dan bermukim di Januari 1950. Bekerja sebagai profesor di Universitas Bali. Menerima penghargaan Khatulistiwa Literary Negeri Padang. Sejumlah cerpennya termuat dalam Award (2006) untuk kumpulan cerpennya Mandi Api. beberapa antologi Cerpen Pilihan Kompas. Dua buku Cerpennya hampir selalu termuat dalam antologi kumpulan cerpennya Si Padang dan Anjing Bagus Cerpen Pilihan Kompas setiap tahun. diterbitkan Penerbit Buku Kompas.

Genthong HSA  adalah pekerja teater, pembina Indra Tranggono  penulis esai dan cerpen, tinggal generasi muda seni, penulis dan pelukis. Kini tinggal di di Yogyakarta. Buku cerpennya yang sudah terbit Sang Yogyakarta. Terdakwa (Yayasan untuk Indonesia, 1999) dan Iblis Ngambek (Penerbit Buku Kompas, 2003). Sembilan kali Guntur Alam  buku kumpulan cerpen gotiknya akan cerpennya terpilih untuk diterbitkan dalam buku Cerpen segera terbit; Magi Perempuan dan Malam Kunang-Kunang, Pilihan Kompas. Gramedia Pustaka Utama. Cerpennya beberapa kali Mmasuk dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas. I Nyoman Wirata  guru seni rupa, penyair, dan pelukis, tinggal di Denpasar, Bali. Novelnya, Bantiran

530 531 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015

Bedag Poleng, dinobatkan sebagai novel terbaik se-Bali. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, guru SMA di Kupang, Nusa Tenggara Timur, dan pendiri Uma Joko Pinurbo  adalah seorang penyair yang sesekali Kreatif Mezra. menulis cerpen. Menetap di Yogyakarta, tapi kerap kali ke Jakarta untuk acara kesusastraan. Cerpennya masuk Miranda Seftiana  lahir di Hulu Sungai Selatan, dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas 2013 dan Kalimantan Selatan. Kesehariannya diisi dengan menulis Cerpen Pilihan Kompas 2014. di beberapa media baik cetak maupun daring (online). Salah satu buku karyanya berjudul Senandung Cinta untuk Martin Aleida  lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara, Bunda diterbitkan Leutika Prio pada tahun 2011. Selain menghabiskan lebih 50 tahun usianya di Jakarta. sebagai penulis, ia juga bekerja di salah satu penerbit Menerima Penghargaan Kesetiaan Berkarya Kompas buku yang berlokasi di Yogyakarta sebagai proofreader. 2013 dan Anugerah Seni Kementerian P & K Tahun 2014. Ni Komang Ariani  penulis buku Jas Putih, Bukan Permaisuri, Senjakala dan Lidah. Dua kali masuk 10 Besar Mashdar Zainal  lahir di Madiun 5 Juni 1984. Suka Khatulistiwa Literary Award dan Cerpen Pilihan membaca dan menulis puisi serta prosa, Kini bermukim Kompas. Saat ini bekerja sebagai dosen dan bergiat di di Malang. Teroka Indonesia.

Mezra E Pellondou  lahir di Kupang, 21 Oktober Norman Erikson Pasaribu  lahir di Jakarta 1990. 1969. Mezra telah menghasilkan beberapa novel di Kumpulan cerpen pertamanya, Hanya Kamu yang Tahu antaranya Surga Retak (1997) dan Loge (2008), antologi Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu diterbitkan oleh puisi dan cerpen. Pemenang Pertama Nasional Gramedia Pustaka Utama pada April 2014. Penghargaan Sastra untuk Pendidikan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 2012, penerima NTT Oka Rusmini  menulis puisi, cerpen, novel. Peraih Award 2013 Kategori Sastra dan Humaniora, SEA Write Award (Thailand, 2012) untuk novel Pemenang Pertama Penulisan Cerpen 2006 oleh Tempurung, dan Kusala Sastra Khatulistiwa 2013-2014

532 533 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015

untuk buku puisi Saiban. Saat ini sedang menyiapkan Sandi Firly  lahir di Kuala Pembuang, Seruyan, buku Men Coblong, tinggal di Denpasar, Bali. Kalimantan Tengah, dan menetap di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Bekerja sebagai wartawan. Menulis Parakitri T. Simbolon  lahir Pulau Samosir, Sumatera cerpen dan novel. Cerpennya Perempuan Balian termuat Utara. Esais, cerpenis, novelis, dan wartawan senior. dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2012. Novel Karya-karyanya memperoleh berbagai penghargaan terbarunya Catatan Ayah tentang Cintanya kepada Ibu dari berbagai institusi. Mendapat pendidikan di Institut (2015). International d’Administration Publique, Perancis. Seno Gumiro Ajidarma  dilahirkan di Boston, Putu Wijaya  lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Putra Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Bekerja sebagai wartawan ketiga (bungsu) dari pasangan I Gusti Ngurah raka sejak 1977. Menulis tentang kebudayaan kontemporer dan Mekel Erwati. Setelah tamat dari SMAN Singaraja di berbagai media, menerima sejumlah penghargaan dan Fakultas Hukum UGM, ia lantas pindah ke Jakarta sastra, dan mengajar di berbagai perguruan tinggi. lalu menjadi wartawan Tempo, Zaman, Warisan Masih menyambung cerita silat Nagabumi. Seno menjadi Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri yang tetap lebih dikenal setelah menulis trilogi karyanya tentang produktif sampai sekarang, menyutradarai film dan Timor Timur, yakni Saksi Mata (kumpulan cerpen), sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel dan lakon. Jazz, Parfum, dan Insiden (novel), dan Ketika Jurnalisme Karya-karya mengalir deras meski kini harus menulis Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai). Pada menggunakan telepon seluler. Beberapa novelnya 2014, dia meluncurkan blog bernama Panajournal.com mendapat hadiah di berbagai sayembara. Sejak akhir tentang human interest stories bersama sejumlah wartawan 2012 mulai melukis. Bersama istri (Dewi Pramunawati) dan profesional di bidang komunikasi. dan putranya (Taksu Wijaya) kini bermukim di Perum Astya Puri 2, Blok A9, Jl. Kertamukti, Cirendeu, Ciputat, Sori Siregar  lahir di Medan, 12 November 1939. Tangerang Selatan. Ribuan cerpen dan puluhan novel Bernama lengkap Sori Sultan Sirovi Siregar, mulai sudah lahir dari tangan Putu. menulis sejak tahun 1960. Tahun 1970-1971, bersama Gerson Poyk jadi pengarang Indonesia pertama yang

534 535 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015

mengikuti International Writing Program di Universitas kumpulan cerpen Celeng Satu Celeng Semua. Adapun A Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Conspiracy of God-killers, Upside-Down Heaven, The Serpent in The Holy Grail, dan Children Sharpening the Knives adalah Tawakal M. Iqbal  lahir dan besar di Ciasahan, buku-buku Triyanto dalam bahasa Inggris yang Kabupaten Bogor. Kampung yang diapit oleh dua dipamerkan di Frankfurt Book Fair belum lama ini. sungai dan dikelilingi perbukitan. Kini menjabat sebagai Litbang Desa Barengkok dan Ketua Umum Komunitas Warih Wisatsana  penyair dan kurator seni tinggal Pasar Sastra Leuwiliang (KPSL). di Denpasar, Bali. Puisi-puisinya terkumpul dalam Ikan Terbang Tak Berkawan. Ia menginisiasi terbentuknya Tenni Purwanti  lahir 2 Mei 1986, berprofesi sebagai Kelompok Sahaja di Bali, sebuah komunitas wartawan sejak 2011 hingga sekarang. Pernah cendekiawan muda yang menyelenggarakan diskusi, menerbitkan kumpulan cerpen bertajuk Luka (2010) pemutaran film, pementasan teater, serta mengadakan secara self-publishing. Cerpennya pertama kali masuk lokakarya penulisan sastra. dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2014. Yanusa Nugroho  lahir di Surabaya, 2 Januari 1960. Triyanto Triwikromo  lahir di Salatiga. Selain Kumpulan cerpennya antara lain Bulan Bugil Bulat wartawan ia adalah dosen penulis kreatif di Universitas (1989), Cerita di Daun Tal (1992), Menggenggam Petir Diponegoro, Semarang. Kumpulan cerpennya Rezim (1996), Segulung Cerita Tua (2002), Kuda Kayu Bersayap Seks (1987), Ragaula (2002), Sayap Anjing (2003), (2004) dan Tamu dari Paris (2005), dan Setubuh Seribu Malam Sepasang Lampion (2004), dan Ular di Mangkuk Mawar (2013). Novel karyanya, Di Batas Angin (2003), Nabi (2009). Pemeroleh Penghargaan Sastra Pusat Manyura (2004), dan Boma (2005). Saat ini tengah Bahasa 2009 dan Balai Bahasa 2015. Ia juga merampungkan novel wayangnya: Karna. mendapatkan penghargaan Lima Besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2014 untuk buku cerita Surga Sungsang. Telah 12 kali cerpennya masuk buku Cerpen Pilihan Kompas. Sepuluh di antaranya termaktub dalam

536 537 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015

538 539 KOMPAS | Annual Short Story Collection 2015

540