Bab 3 Waruga Dalam Budaya Minahasa, Pembangunan Dan
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN DAN PERLAWANAN SOSIAL DI SULAWESI UTARA Dalam bab ini penulis akan membahas tentang temuan hasil penelitian terkait dengan resistensi masyarakat Minahasa terhadap desakralisasi situs suci Waruga atas nama pembangunan di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Deskripsi hasil penelitian ini akan diawali dengan uraian gambaran umum Desa Kawangkoan dan Desa Kuwil serta sejarah dan tradisi Waruga di Minahasa. 3.1 Gambaran Umum Desa Kawangkoan 3.1.1 Sejarah Singkat Desa Kawangkoan1 Berdasarkan penelitian, ada dua versi terkait dengan sejarah Desa Kawangkoan. Versi pertama, secara historis, ada sepasang suami dan istri yang berasal dari Walantakan Kembuan (Tonsea Lama) hendak mencari tempat untuk dijadikan pemukiman. Dalam perjalanan, mereka harus menyusuri tepi aliran sungai Tondano dan harus mendaki pegunungan yang bernama kero-kero. Ketika sampai puncak, mereka melihat suatu tanah datar yang sangat luas. Kemudian, mereka membuat sebuah patung batu di tepi tanah datar itu sebagai tanda serta tempat itu diberi nama Kina'engkoan yang artinya setelah melihat tanah datar. Lalu, sepasang suami dan istri tinggal di tempat tersebut. Berpuluh-puluh tahun lamanya, semakin banyak penduduk yang menempati kampung Kina'engkoan. Adapun seorang yang pandai dalam kampung tersebut bernama Makalow sekaligus juga adalah Kepala Balak atau yang sekarang ini disebut sebagai Kepala Distrik. Daerah kepemimpinannya yakni dari seluruh Kalawat sampai ke Lekepan 1 Arsip Desa Kawangkoan, diambil di Kantor Pemerintahan Desa Kawangkoan, Minahasa Utara. 44 (Likupang). Dalam masa kepemimpinannya, nama Kina'engkoan menjadi Kinawangkoan yang berarti kampung yang kecil telah terbit seorang pandai yang menjadi besar (wangke). Pada tahun 1845 terjadi peristiwa kebakaran besar di perkampungan tua sehingga penduduk harus berpindah ke tempat yang sekarang ini. Peristiwa tersebut terjadi pada zaman kepemimpinan Kepala Desa (Hukum Tua) yang bernama Paulus Rotinsulu. Kepindahan penduduk meninggalkan kubur Opo Makalow yang kemudian dipugar oleh Gubernur Muda Drs. H. R. Ticoalu pada tahun 1966. Penghidupan masyarakat saat itu bercocok tanah jagung, padi dan kelapa.2 Adapun versi kedua, para leluhur telah membangun Waruga sekaligus juga memberi nama tempat itu, yaitu Wanua ure Kina-angko‟an dan Wanua Ure Pinandeian.3 Tempat itu diyakini bukan hanya sekedar tempat pemukiman, tetapi tempat bagi para leluhur melakukan ritual ungkapan syukur karena telah berjuang dan memenangkan peperangan dari penjajahan. Nama „Kina-angko'an‟ terkait dengan kisah para leluhur dahulu ketika menemukan pemukiman tersebut. Nama itu jika dieja dalam bahasa Melayu Manado adalah sesampainya terlihat (pe tahoba kasana). Kata Kina-angko‟an yang kemudian menjadi Kawangkoan terkait dengan kisah tentang para leluhur yang mencari hunian baru. Menurut informan, perjalanan para leluhur untuk mendapatkan pemukiman tidaklah mudah. Mereka harus menyusuri sungai dan lembah, mendaki bukit dan melewati jurang. Ketika sampai puncak, para leluhur melihat tanah yang rata, lalu mereka memutuskan untuk menjadikan tempat itu sebagai pemukiman. Ungkapan Kina-angko‟an 2 Rignolda Djamaluddin, Kabupaten Minahasa Utara: Profil: Sejarah dan Potensi Unggulan Desa, (Manado: Pusat Pengelolaan dan Pengembangan Kuliah Kerja Nyata Terpadu, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Unsrat, 2016) 157 3 Wanua berarti kampung atau negeri, sedangkan ure berarti tua. 45 mengekspresikan pandangan bahagia dan teriakan sukacita para leluhur karena telah menemukan tempat tersebut. Dataran itu tidak hanya rata tetapi memungkinkan bagi kelanjutannya sebagai sebuah pemukiman yang layak bagi suatu negeri. Ungkapan ini juga menandai persetujuan Tuhan Semesta Alam (Empung Wailan Wangko)4 oleh para leluhur melalui tanda “Kuwil” dari bilangan “Manguni”. Itulah kawasan Wanua ure Kina-angko‟an, tempat puluhan Waruga berada.5 Selain itu terkait dengan penelitian, perlu juga dijelaskan mengenai Pinandeian karena bukit itu berada di wilayah Desa Kawangkoan dan tempat adanya Waruga. Pinandeian yang berarti tempat para orangtua yang cerdas (tempat jadi pande atau pintar). Pinandeian juga adalah tempat masyarakat dididik ketika hendak berperang.6 3.1.2 Keadaan Geografis Desa Kawangkoan adalah salah satu desa dari wilayah Kecamatan Kalawat, Kabupaten Minahasa Utara yang terletak 1 km ke arah Timur dari kota Kecamatan. Desa Kawangkoan mempunyai luas wilayah seluas ± 270 hektar. Desa Kawangkoan berbatasan dengan: - Sebelah Utara : Desa Kolongan; - Sebelah Selatan : Desa Kolongan Suwaan dan Sukur; - Sebelah Timur : Kali Tondano, Desa Kuwil, Kaleosan; - Sebelah Barat : Desa Kalawat, Kawangkoan Baru.7 4 Istilah Empung Wailan Wangko merupakan istilah yang lama. Istilah ini kemudian mengalami transformasi, yakni dengan istilah Opo Empung. Kedua istilah itu memiliki esensi yang sama. 5 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul 18:18 WITA, di Sonder, Minahasa. 6 Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara 7 Arsip Desa Kawangkoan, diambil di Kantor Pemerintahan Desa Kawangkoan, Minahasa Utara. 46 Tabel 1. Pola Tata Guna Lahan Desa Kawangkoan No. Lahan Luas (ha) 1. Bangunan/Pekarangan 55 ha 2. Ladang Pekuburan 1 ha 3. Sawah 25 ha 4. Hutan8 - 5. Perkebunan 315 ha 6. Perkantoran 56 m² Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara. 3.1.3 Kependudukan Berdasarkan Data Pemerintah Desa, jumlah penduduk yang tercatat secara administrasi berjumlah 1.815 jiwa tahun 2019. Secara rinci jumlah penduduk pada tabel di bawah ini: Tabel 2. Jumlah Penduduk JUMLAH JIWA JUMLAH JAGA L P Total KK 1 130 132 262 79 2 117 130 247 80 3 163 156 319 85 4 181 193 374 102 5 123 128 251 85 6 172 193 365 89 Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara. 3.1.4 Mata Pencaharian Secara umum kondisi perekonomian Desa Kawangkoan ditopang oleh beberapa mata pencaharian warga masyarakat dan dapat teridentifikasi ke dalam beberapa bidang mata pencaharian, seperti petani, buruh, PNS/TNI/Polri, karyawan swasta, pedagang, wirausaha, pensiunan, buruh bangunan/tukang, 8 Hutan yang ada di Desa Kawangkoan sedang diratakan karena proses pembangunan Waduk dan Jalan Tol sehingga pemerintah Desa Kawangkoan belum bisa memastikan luas hutan yang tersisa atau bahkan sudah tidak ada hutan sama sekali di Desa ini nantinya. 47 peternak, dan lain-lain. Secara khusus di bidang pertanian, masyarakat belum memakai alat teknologi yang memadai untuk membantu dalam proses menanam sehingga masih secara manual. Tabel 3. Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Kawangkoan Menurut Mata Pencaharian. No. Pekerjaan Jumlah 1. Petani 159 2. Buruh Tani 129 3. Peternak 4 4. Pedagang 26 5. Perawat 2 6. Wirausaha 11 7. Karyawan Swasta 67 8. PNS 44 9. TNI/POLRI 2 10. Pensiunan 2 11. Tukang Bangunan 11 12. Sopir/Ojek 13 Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara. Selain itu, lahan kebun di Desa Kawangkoan banyak ditanami pisang dan palawija. Kedua komoditi pertanian tersebut masih menjadi andalan petani di desa ini, dan dapat dikembangkan. Selain kedua komoditi tersebut, pepaya banyak dihasilkan dari perkebunan di desa ini. Potensi lain yang dimiliki oleh Desa Kawangkoan berupa pabrik minyak kelapa. 3.1.5 Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan masyarakat Desa Kawangkoan dapat dijabarkan sebagaimana tabel di bawah ini: 48 Tabel 4. Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Jumlah TK/PAUD 39 orang Sekolah Dasar (SD) 208 orang Sekolah Menengah Pertama 84 orang (SMP/SLTP) SMA/SMK 67 orang D2 – D4 2 orang S1 – S3 29 orang Tidak Sekolah9 161 orang Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara. 3.1.6 Sistem Pemerintahan Berikut ini nama-nama Kepala Desa (Hukum Tua10) yang telah bertugas dalam pemerintahan Desa Kawangkoan, Minahasa Utara: 9 Di Desa ini banyak anak-anak (seumuran SD) yang tidak sekolah disebabkan karena tingkat perekonomian dari keluarga yang rendah dan anak-anak memilih untuk membantu orangtua mereka di Kebun. Namun ada juga keluarga yang memiliki tingkat perekonomian yang baik, namun anak-anak mereka tidak berminat untuk sekolah – Hasil Wawancara dengan Anggreifi Manikome (Masyarakat Lokal Desa Kawangkoan), 05 Agustus 2019, pukul 14:30 WITA, di Desa Kawangkoan. 10 Sebutan Hukum Tua digunakan pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 di samping sebutan Walak. Sejak tahun 1825, sebutan Hukum Tua adalah sebutan resmi untuk seorang Kepala desa atau Kepala kampung – lih. F. S. Watuseke, Sejarah Minahasa, (Manado: Yayasan Penerbitan Merdeka, 1962) 65 49 Tabel 5. Nama-nama Kepala Desa Kawangkoan No. Nama Kepala Desa Masa Jabatan 1. Paulus Rotinsulu - 2. Pontororing Wagiu 1845 – 1869 3. Bastianus Mandey - 4. Manuel Wariki 1869 – 1911 5. Hermanus Sumeisey 1911 – 1927 6. Alexander Andries Ticoalu 1927 – 1950 7. Samuel Hein Ticoalu 1950 – 1952 8. Bastian E. T. Gerung 1953 – 1959 9. Herling M. Rotinsulu 1959 – 1962 10. Frederik M. Pangemanan 1962 – 1964 11. Tayu Wellem Korah 1964 – 1965 12. Hendrik D. Rotinsulu 1981 - 1983 13. Petrus Dumanauw 1972 – 1976 14 Alex R. Wagiu 1976 – 1981 15. Hendrik D. Rotinsulu 1981 – 1983 16. Jopie Ticoalu 1983 – 1996 17. Tinneke Dumanauw 1996 – 2006 18. Franky Sigarlaki 2006 – 2013 19. Paulus Kodong 2013 – Sekarang Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara. 3.1.7 Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama Dalam kehidupan sosial di Desa Kawangkoan, masyarakat biasanya berbahasa Tonsea, Manado, Sangihe, serta bahasa Indonesia. Kebanyakan masyarakat didominasi oleh masyarakat yang berasal dari