BAB 3

WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN DAN

PERLAWANAN SOSIAL DI UTARA

Dalam bab ini penulis akan membahas tentang temuan hasil penelitian terkait dengan resistensi masyarakat Minahasa terhadap desakralisasi situs suci Waruga atas nama pembangunan di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Deskripsi hasil penelitian ini akan diawali dengan uraian gambaran umum Desa Kawangkoan dan

Desa Kuwil serta sejarah dan tradisi Waruga di Minahasa.

3.1 Gambaran Umum Desa Kawangkoan

3.1.1 Sejarah Singkat Desa Kawangkoan1

Berdasarkan penelitian, ada dua versi terkait dengan sejarah Desa

Kawangkoan. Versi pertama, secara historis, ada sepasang suami dan istri yang berasal dari Walantakan Kembuan (Tonsea Lama) hendak mencari tempat untuk dijadikan pemukiman. Dalam perjalanan, mereka harus menyusuri tepi aliran sungai dan harus mendaki pegunungan yang bernama kero-kero. Ketika sampai puncak, mereka melihat suatu tanah datar yang sangat luas. Kemudian, mereka membuat sebuah patung batu di tepi tanah datar itu sebagai tanda serta tempat itu diberi nama Kina'engkoan yang artinya setelah melihat tanah datar.

Lalu, sepasang suami dan istri tinggal di tempat tersebut. Berpuluh-puluh tahun lamanya, semakin banyak penduduk yang menempati kampung Kina'engkoan.

Adapun seorang yang pandai dalam kampung tersebut bernama Makalow sekaligus juga adalah Kepala Balak atau yang sekarang ini disebut sebagai Kepala

Distrik. Daerah kepemimpinannya yakni dari seluruh Kalawat sampai ke Lekepan

1 Arsip Desa Kawangkoan, diambil di Kantor Pemerintahan Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.

44

(Likupang). Dalam masa kepemimpinannya, nama Kina'engkoan menjadi

Kinawangkoan yang berarti kampung yang kecil telah terbit seorang pandai yang menjadi besar (wangke). Pada tahun 1845 terjadi peristiwa kebakaran besar di perkampungan tua sehingga penduduk harus berpindah ke tempat yang sekarang ini. Peristiwa tersebut terjadi pada zaman kepemimpinan Kepala Desa (Hukum

Tua) yang bernama Paulus Rotinsulu. Kepindahan penduduk meninggalkan kubur

Opo Makalow yang kemudian dipugar oleh Gubernur Muda Drs. H. R. Ticoalu pada tahun 1966. Penghidupan masyarakat saat itu bercocok tanah jagung, padi dan kelapa.2

Adapun versi kedua, para leluhur telah membangun Waruga sekaligus juga memberi nama tempat itu, yaitu Wanua ure Kina-angko‟an dan Wanua Ure

Pinandeian.3 Tempat itu diyakini bukan hanya sekedar tempat pemukiman, tetapi tempat bagi para leluhur melakukan ritual ungkapan syukur karena telah berjuang dan memenangkan peperangan dari penjajahan. Nama „Kina-angko'an‟ terkait dengan kisah para leluhur dahulu ketika menemukan pemukiman tersebut. Nama itu jika dieja dalam bahasa Melayu adalah sesampainya terlihat (pe tahoba kasana). Kata Kina-angko‟an yang kemudian menjadi Kawangkoan terkait dengan kisah tentang para leluhur yang mencari hunian baru. Menurut informan, perjalanan para leluhur untuk mendapatkan pemukiman tidaklah mudah. Mereka harus menyusuri sungai dan lembah, mendaki bukit dan melewati jurang. Ketika sampai puncak, para leluhur melihat tanah yang rata, lalu mereka memutuskan untuk menjadikan tempat itu sebagai pemukiman. Ungkapan Kina-angko‟an

2 Rignolda Djamaluddin, Kabupaten Minahasa Utara: Profil: Sejarah dan Potensi Unggulan Desa, (Manado: Pusat Pengelolaan dan Pengembangan Kuliah Kerja Nyata Terpadu, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Unsrat, 2016) 157 3 Wanua berarti kampung atau negeri, sedangkan ure berarti tua.

45

mengekspresikan pandangan bahagia dan teriakan sukacita para leluhur karena telah menemukan tempat tersebut. Dataran itu tidak hanya rata tetapi memungkinkan bagi kelanjutannya sebagai sebuah pemukiman yang layak bagi suatu negeri. Ungkapan ini juga menandai persetujuan Tuhan Semesta Alam

(Empung Wailan Wangko)4 oleh para leluhur melalui tanda “Kuwil” dari bilangan

“Manguni”. Itulah kawasan Wanua ure Kina-angko‟an, tempat puluhan Waruga berada.5 Selain itu terkait dengan penelitian, perlu juga dijelaskan mengenai

Pinandeian karena bukit itu berada di wilayah Desa Kawangkoan dan tempat adanya Waruga. Pinandeian yang berarti tempat para orangtua yang cerdas

(tempat jadi pande atau pintar). Pinandeian juga adalah tempat masyarakat dididik ketika hendak berperang.6

3.1.2 Keadaan Geografis

Desa Kawangkoan adalah salah satu desa dari wilayah Kecamatan Kalawat,

Kabupaten Minahasa Utara yang terletak 1 km ke arah Timur dari kota

Kecamatan. Desa Kawangkoan mempunyai luas wilayah seluas ± 270 hektar.

Desa Kawangkoan berbatasan dengan:

- Sebelah Utara : Desa Kolongan;

- Sebelah Selatan : Desa Kolongan Suwaan dan Sukur;

- Sebelah Timur : Kali Tondano, Desa Kuwil, Kaleosan;

- Sebelah Barat : Desa Kalawat, Kawangkoan Baru.7

4 Istilah Empung Wailan Wangko merupakan istilah yang lama. Istilah ini kemudian mengalami transformasi, yakni dengan istilah Opo Empung. Kedua istilah itu memiliki esensi yang sama. 5 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul 18:18 WITA, di Sonder, Minahasa. 6 Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara 7 Arsip Desa Kawangkoan, diambil di Kantor Pemerintahan Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.

46

Tabel 1. Pola Tata Guna Lahan Desa Kawangkoan

No. Lahan Luas (ha) 1. Bangunan/Pekarangan 55 ha 2. Ladang Pekuburan 1 ha 3. Sawah 25 ha 4. Hutan8 - 5. Perkebunan 315 ha 6. Perkantoran 56 m²

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.

3.1.3 Kependudukan

Berdasarkan Data Pemerintah Desa, jumlah penduduk yang tercatat secara administrasi berjumlah 1.815 jiwa tahun 2019. Secara rinci jumlah penduduk pada tabel di bawah ini:

Tabel 2. Jumlah Penduduk

JUMLAH JIWA JUMLAH JAGA L P Total KK 1 130 132 262 79 2 117 130 247 80 3 163 156 319 85 4 181 193 374 102 5 123 128 251 85 6 172 193 365 89

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.

3.1.4 Mata Pencaharian

Secara umum kondisi perekonomian Desa Kawangkoan ditopang oleh beberapa mata pencaharian warga masyarakat dan dapat teridentifikasi ke dalam beberapa bidang mata pencaharian, seperti petani, buruh, PNS/TNI/Polri, karyawan swasta, pedagang, wirausaha, pensiunan, buruh bangunan/tukang,

8 Hutan yang ada di Desa Kawangkoan sedang diratakan karena proses pembangunan Waduk dan Jalan Tol sehingga pemerintah Desa Kawangkoan belum bisa memastikan luas hutan yang tersisa atau bahkan sudah tidak ada hutan sama sekali di Desa ini nantinya.

47

peternak, dan lain-lain. Secara khusus di bidang pertanian, masyarakat belum memakai alat teknologi yang memadai untuk membantu dalam proses menanam sehingga masih secara manual.

Tabel 3. Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Kawangkoan Menurut Mata Pencaharian.

No. Pekerjaan Jumlah 1. Petani 159 2. Buruh Tani 129 3. Peternak 4 4. Pedagang 26 5. Perawat 2 6. Wirausaha 11 7. Karyawan Swasta 67 8. PNS 44 9. TNI/POLRI 2 10. Pensiunan 2 11. Tukang Bangunan 11 12. Sopir/Ojek 13

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.

Selain itu, lahan kebun di Desa Kawangkoan banyak ditanami pisang dan palawija. Kedua komoditi pertanian tersebut masih menjadi andalan petani di desa ini, dan dapat dikembangkan. Selain kedua komoditi tersebut, pepaya banyak dihasilkan dari perkebunan di desa ini. Potensi lain yang dimiliki oleh Desa

Kawangkoan berupa pabrik minyak kelapa.

3.1.5 Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan masyarakat Desa Kawangkoan dapat dijabarkan sebagaimana tabel di bawah ini:

48

Tabel 4. Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah TK/PAUD 39 orang Sekolah Dasar (SD) 208 orang Sekolah Menengah Pertama 84 orang (SMP/SLTP) SMA/SMK 67 orang D2 – D4 2 orang S1 – S3 29 orang Tidak Sekolah9 161 orang

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.

3.1.6 Sistem Pemerintahan

Berikut ini nama-nama Kepala Desa (Hukum Tua10) yang telah bertugas dalam pemerintahan Desa Kawangkoan, Minahasa Utara:

9 Di Desa ini banyak anak-anak (seumuran SD) yang tidak sekolah disebabkan karena tingkat perekonomian dari keluarga yang rendah dan anak-anak memilih untuk membantu orangtua mereka di Kebun. Namun ada juga keluarga yang memiliki tingkat perekonomian yang baik, namun anak-anak mereka tidak berminat untuk sekolah – Hasil Wawancara dengan Anggreifi Manikome (Masyarakat Lokal Desa Kawangkoan), 05 Agustus 2019, pukul 14:30 WITA, di Desa Kawangkoan. 10 Sebutan Hukum Tua digunakan pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 di samping sebutan Walak. Sejak tahun 1825, sebutan Hukum Tua adalah sebutan resmi untuk seorang Kepala desa atau Kepala kampung – lih. F. S. Watuseke, Sejarah Minahasa, (Manado: Yayasan Penerbitan Merdeka, 1962) 65

49

Tabel 5. Nama-nama Kepala Desa Kawangkoan

No. Nama Kepala Desa Masa Jabatan 1. Paulus Rotinsulu - 2. Pontororing Wagiu 1845 – 1869 3. Bastianus Mandey - 4. Manuel Wariki 1869 – 1911 5. Hermanus Sumeisey 1911 – 1927 6. Alexander Andries Ticoalu 1927 – 1950 7. Samuel Hein Ticoalu 1950 – 1952 8. Bastian E. T. Gerung 1953 – 1959 9. Herling M. Rotinsulu 1959 – 1962 10. Frederik M. Pangemanan 1962 – 1964 11. Tayu Wellem Korah 1964 – 1965 12. Hendrik D. Rotinsulu 1981 - 1983 13. Petrus Dumanauw 1972 – 1976 14 Alex R. Wagiu 1976 – 1981 15. Hendrik D. Rotinsulu 1981 – 1983 16. Jopie Ticoalu 1983 – 1996 17. Tinneke Dumanauw 1996 – 2006 18. Franky Sigarlaki 2006 – 2013 19. Paulus Kodong 2013 – Sekarang

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.

3.1.7 Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama

Dalam kehidupan sosial di Desa Kawangkoan, masyarakat biasanya berbahasa Tonsea, Manado, Sangihe, serta bahasa . Kebanyakan masyarakat didominasi oleh masyarakat yang berasal dari Kepulauan Sangihe sehingga ada budaya Sangihe yang disebut Tulude yang baru diadakan sekali di

Desa ini.11 Dalam keseharian, masyarakat selalu menjaga ketentraman dan ketertiban serta saling membantu satu dengan yang lain. Masyarakat selalu memelihara budaya Mapalus (gotong royong). Misalnya, ketika ada salah satu

11 Hasil Wawancara dengan Anggreifi Manikome (Masyarakat Lokal Desa Kawangkoan), 05 Agustus 2019, pukul 13:00 WITA di Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.

50

anggota keluarga yang mengalami kedukaan, masyarakat secara spontan membantu keluarga melalui pendirian tenda di sekitaran rumah duka. Adapun ketika salah satu anggota keluarga yang hendak pindah rumah, masyarakat diberitahukan melalui pengeras suara desa kemudian dikumpulkan bersama.

Selain itu di Desa ini terdiri dari masyarakat yang plural dari segi agama yakni

Kristen Protestan (Gereja Masehi Injili di Minahasa atau GMIM, Advent,

Pantekosta) serta Katolik dan Islam. Meskipun begitu, mesyarakat menjalani kehidupan dengan rukun dan damai bahkan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi antarumat beragama.

3.2 Gambaran Umum Desa Kuwil

3.2.1 Sejarah Singkat Desa Kuwil12

Desa Kuwil merupakan desa pertanian yang terletak sekitar 10 km sebelah selatan pusat Kec. Kalawat. Desa ini memiliki luas wilayah 600 Ha yang sebagian besar wilayahnya berupa kawasan pertanian dan peternakan, sementara sisanya menjadi kawasan pemukiman, sarana, dan prasarana desa. Secara historis, asal- usul Desa Kuwil bermula dari perpindahan penduduk Kalewoan untuk menghindari serangan Suku Bantik sebagai balasan peristiwa Pinandean dan

Siridisa. Peristiwa tersebut banyak menelan korban jiwa karena orang yang akan melakukan musyawarah dijebak dan dijatuhkan saat berada di tengah jembatan.

Disa sebagai pemimpin di kala itu berupaya melarikan diri, tetapi kemudian tertangkap. Ia dibunuh dan jasadnya dibuang ke jurang. Lokasi pembangunan jasad Disa dengan masyarakat dengan sebutan Siridisa. Pada saat itu, penduduk

Kalewoan melakukan perjalanan dengan berpencar mengikuti arah mata angin.

12 Arsip Desa Kuwil, diambil di Kantor Pemerintahan Desa Kuwil, Minahasa Utara.

51

Mereka yang menuju arah utara membangun perkampungan Kina'engkoan yang kemudian bernama Kawangkoan, dan yang ke arah selatan membangun perkampungan Kina‟leosan yang kemudian bernama Kaleosan. Mereka yang menuju ke arah Barat bersama pemimpinnya Opo Pinatik Ne Kalawat Timani

Umbanua kemudian membangun perkampungan Wanue Ure yang merupakan cikal bakal berdirinya Desa Kuwil.

Desa Kuwil berdiri pada tahun 1878 di bawah pimpinan Tunduan Lucas

Sendow. Cerita dari tua-tua kampung bahwa nama tersebut diperoleh dari sebuah upacara adat yang dilakukan oleh Tona‟as, Tunduan, Walian dan beberapa tua- tua, yang memohon kepada leluhur untuk memberi suatu tempat yang baik sebagai tempat pemukiman yang baru. Saat upacara adat tengah berlangsung, seekor burung berkicau dari suatu tempat berjarak sekitar 250 m dari lokasi upacara dengan suara kicauan nyaring…koeil…koeil… sebanyak beberapa kali.

Atas kesepakatan bersama, pemukiman lama dipindahkan ke lokasi baru di sekitar asal bunyi suara burung. Mereka menamakan pemukiman baru dengan sebutan sebagaimana suara kicauan burung yaitu Koeil. Sebutan ini kemudian berubah menjadi Kuwil.

“Burung yang mengeluarkan bunyi kicauan… koeil… adalah jenis burung berukuran kecil, warna sayap hitam keabu-abuan dengan bulu bagian dada berwarna putih”.13

3.2.2 Keadaan Geografis

Desa Kuwil adalah salah satu desa wilayah Kecamatan Kalawat, Kabupaten

Minahasa Utara yang terletak 15 km dari ibukota Provinsi, 10 km dari ibukota

Kabupaten dan 5 km ke arah Timur dari kota kecamatan. Desa Kuwil mempunyai

13 Rignolda Djamaluddin, Kabupaten Minahasa Utara: Profil: Sejarah dan Potensi Unggulan Desa, 161

52

luas wilayah 600 hektar (918,49 km²) yang terdiri dari perkampungan, perkebunan, sawah, kolam ikan, hutan dan rawa. Desa Kuwil berbatasan dengan:

- Sebelah Utara : Sungai Tondano;

- Sebelah Selatan : Desa Kaleosan;

- Sebelah Timur : Desa Kawangkoan;

- Sebelah Barat : Desa Maumbi, Desa Watutumow, Desa

Sawangan.14

3.2.3 Kependudukan

Berdasarkan data dari Pemerintah Desa, jumlah penduduk yang tercatat secara administrasi, berjumlah 918 jiwa di tahun 2019. Secara rinci, jumlah penduduk dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 6. Jumlah Penduduk

JUMLAH JIWA JUMLAH JAGA L P Total KK 1 70 71 141 50 2 62 74 136 43 3 73 83 156 48 4 68 73 141 46 5 97 90 187 68 6 82 75 157 54

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kuwil, Minahasa Utara.

3.2.4 Mata Pencaharian

Secara umum kondisi perekonomian Desa Kuwil ditopang oleh beberapa mata pencaharian warga masyarakat dan dapat teridentifikasi ke dalam beberapa bidang mata pencaharian, seperti petani, buruh, PNS/TNI/Polri, karyawan swasta, pedagang, wirausaha, pensiunan, buruh bangunan/tukang, peternak, dan lain-lain.

14 Arsip Desa Kuwil, diambil di Kantor Pemerintahan Desa Kuwil, Minahasa Utara.

53

Tabel 7. Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Kawangkoan Menurut Mata Pencaharian.

No. Pekerjaan Jumlah 1. Petani 200 2. Buruh Tani 100 3. Peternak 20 4. Pedagang 20 5. Petani Ikan 5 6. Wirausaha 10 7. Karyawan Swasta 28 8. PNS 28 9. TNI/POLRI 3 10. Pensiunan 15 11. Tukang Bangunan 11 12. Sopir/Ojek 28

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kuwil, Minahasa Utara.

3.2.5 Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan masyarakat Desa Kuwil dapat dijabarkan sebagaimana tabel di bawah ini:

Tabel 8. Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah TK/PAUD 12 orang Sekolah Dasar (SD) 70 orang Sekolah Menengah Pertama 46 orang (SMP/SLTP) SMA/SMK 53 orang D2 – D4 6 orang S1 – S3 40 orang Tidak Sekolah 2 orang

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kuwil, Minahasa Utara.

3.2.6 Sistem Pemerintahan

Sejak berdirinya Pemukiman Koeil yang kemudian menjadi Desa Kuwil, tercacat kepemimpinan sebagai berikut:

54

Tabel 9. Nama-nama Kepala Desa Kuwil

No. Nama Kepala Desa Masa Jabatan 1. Lukas Sendow 1878 – 1880 2. Hermanus Maramis 1880 – 1882 Mesak Damapoli (Penghargaan 3. Hukum Tua Bintang oleh 1882 – 1927 Belanda) 4. Worotikan Tegas 1927 – 1945 5. James Wurangian 1945 – 1946 6. Andrias T. Okem 1946 – 1959 7. Sigar Lengkong (Pjs.) 1959 – 1960 8. Frans Sambow (Pjs.) 1960 – 1969 9. Andrias T. Okem - 10. Ratu Gustaf Okem 1969 – 1975 11. Frederik Wurangian 1975 – 1981 12. Herman Nicolas Wangania 1981 – 1982 13. Drs. Welly Wangania 1982 – 1986 14 Yopie Karongkong 1986 – 1989 15. Piet Damapoli 1989 – 1998 16. Max P. Sambow 1998 – 2007 17. Henkie L. Runtuwene 2007 – sekarang

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kuwil, Minahasa Utara.

3.2.7 Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama

Dalam kehidupan sosial, masyarakat selalu menjaga ketentraman dan ketertiban serta saling membantu satu dengan yang lain. Bahasa yang biasa digunakan ialah bahasa Manado, bahasa daerah Tonsea dan juga bahasa

Indonesia. Masyarakat selalu memelihara budaya Mapalus (gotong royong).

Misalnya, ketika ada salah satu anggota keluarga yang mengalami kedukaan, masyarakat secara spontan membantu keluarga melalui pendirian tenda di sekitaran rumah duka. Adapun ketika salah satu anggota keluarga yang hendak pindah rumah, masyarakat diberitahukan melalui pengeras suara desa kemudian dikumpulkan bersama. Selain itu, tradisi Pengucapan syukur (thanksgiving) pada

55

setiap tahun dilakukan oleh masyarakat Desa Kuwil yang pada waktu dan tanggalnya disesuaikan dengan program gereja. Dari segi keagamaan, Desa Kuwil membuat Badan Kerja Sama antarumat beragama (BKSAUA). Kerukunan keagamaan terjalin dengan baik dan kondusif. Misalnya setiap sebulan sekali,

BKSAUA membuat program Ibadah Oikoumene yang dihadiri oleh seluruh denominasi gereja yang berada di Desa Kuwil. Kemudian dalam ibadah duka misalnya dari anggota keluarga yang beragama Kristen, orang yang beragama lain diberi kesempatan untuk menyampaikan sambutan.15

3.3 Sejarah dan Tradisi Waruga

Secara umum kebanyakan orang melihat Waruga hanya sebuah kubur batu semata. Namun, bagi masyarakat adat, Waruga adalah asal-usul, identitas keluarga

(silsilah) dan memiliki nilai historis yang sangat penting terkait dengan perjuangan para leluhur.16 Ketika masyarakat melihat Waruga, maka mereka akan mengingat identitas dan sejarah hidup orang Minahasa. Waruga menjadi memori atau ingatan tentang para leluhur dengan nilai-nilai yang telah mereka tanamkan.

Hingga saat ini, kebaikan para leluhur sangat berharga bagi masyarakat Minahasa karena para leluhur telah menjaga dan memperjuangkan tanah ini.17

Waruga adalah artefak budaya berupa kubur batu berbentuk kubus dan beratap seperti rumah dengan hiasan motif-motif artistik yang tersebar di beberapa tempat di Sulawesi Utara. Penelitian yang dilakukan oleh Badan Arkeologi, menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan Waruga yang tersebar di seluruh tanah

15 Hasil Wawancara dengan Selvie Agu (Sekretaris Desa Kuwil), 07 Agustus 2019, pukul 09:30 WITA, di Desa Kuwil, Minahasa Utara. 16 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 04 Januari 2019, pukul 12:18 WITA, di Sonder, Minahasa dan Iswan Sual (Masyarakat Adat Minahasa), 12 Juli 2019, pukul 19:00 WITA, di Kota Manado. 17 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

56

Minahasa sebanyak 1.859 buah.18 Arti Waruga itu sendiri dari yang diperoleh penulis memiliki beberapa versi. Ada yang mendefinisikan Waruga berasal dari kata moruga yang berarti „direbus‟.19 Hal ini didasarkan karena jenazah yang diletakkan dalam Waruga setelah dimakamkan akan membengkak seperti daging yang direbus. Versi yang kedua, secara etimologis, Waruga berasal dari kata wa sebagai singkatan dari wawa, yang berarti „sepenuhnya, secara menyeluruh‟ dan kata ruga yang secara harafiah berarti „pakaian usang‟ atau „dirusak dari tubuh‟.20

Dari pengertian literal dua kata tersebut, Waruga berarti „tempat di mana tubuh larut‟. Versi yang ketiga, mendefinisikan Waruga dari kata Wale dan roha (Wale: rumah, roha: roh) yang berarti tempat bersemayam roh. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Minahasa terhadap roh leluhur yang senantiasa menolong manusia yang dianggap sebagai cucu mereka (puyun).

Gambar 1. Kubur Batu Waruga Sumber: Dokumentasi Pribadi di Situs Waruga, Minahasa Utara

18 Sriwigati, Persebaran Waruga: Situs-Situs dan Populasinya, cet. ketiga – sebuah bunga rampai- Waruga: Peti Kubur Baru dari Tanah Minahasa Sulawesi Utara, (Manado: Balai Arkeologi Sulawesi Utara, 2016) 77 19 Santoso Soegondho, Akar Budaya Waruga di Tanah Minahasa, cet. ketiga – sebuah bunga rampai- Waruga: Peti Kubur Baru dari Tanah Minahasa Sulawesi Utara, (Manado: Balai Arkeologi Sulawesi Utara, 2016) 20 Denni Pinontoan, “Waruga dan Pembangunan Sadar Budaya”, Center for Religious and Cross Cultural Studies Graduate School, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2018., https://crcs.ugm.ac.id/perspective/13260/waruga-dan-pembangunan-yang-sadar-budaya.html diakses pada tanggal 21 November 2018, pukul 13:11 WIB.

57

Para antropolog memperkirakan, cara pemakaman Waruga sudah berusia ribuan tahun. Secara historis, Waruga merupakan kuburan tua peninggalan zaman dan budaya Megalitikum (zaman batu besar) yang tersebar di Sulawesi Utara.

Awalnya Waruga masuk ke Sulawesi Utara melalui Minahasa Utara yaitu daerah

Likupang atau daerah-daerah sekitarnya lalu menyebar di tanah Tonsea dan terus berkembang ke Kabupaten Minahasa, Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa

Selatan dan Kabupaten Minahasa Tenggara. Dari hasil penelitian arkeologi menyebutkan bahwa kubur batu Waruga mulai dikenal sejak abad ke-4 SM.

Kemudian penggunaan Waruga mulai ditinggalkan sekitar awal abad 20 M. Kini peti kubur batu Waruga dan situsnya sebagian telah dialihkan fungsinya atau dimanfaatkan menjadi objek pariwisata dan budaya serta situs cagar alam budaya

Minahasa.21

Waruga terbuat dari jenis batuan beku atau sedimen dengan nama batuan tufa atau lava basal (dalam bahasa daerah disebut tras atau domato dan juga batu asli dari sungai)22, yang semakin mengeras, kuat dan tahan lama bila berada di tempat terbuka. Bentuk penutup Waruga yang tersebar di wilayah Minahasa umumnya berbentuk seperti atap rumah. Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa kubur harus dianggap sebagai tiruan rumah untuk penghormatan dan kenyamanan bagi orang yang telah meninggal. Pada bagian penutup dan di bawah, terdapat ornamen unik dan pola hias yang dipahatkan pada Waruga. Waruga yang tidak memiliki ornamen menunjukkan Waruga yang sudah sangat tua. Pola hias tersebut menunjukkan status sosial semasa hidupnya. Ada yang berupa manusia

(anthropomorphic), binatang, benda dan pola hias geometri. Penelitian Kolibu

21 Soegondho, Akar Budaya Waruga, 17. 22 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

58

menuliskan bahwa motif dan ornamen-ornamen pada Waruga merupakan simbol falsafah dan pedoman hidup masyarakat Minahasa. Di samping untuk kepentingan estetika, ornamen-ornamen Waruga merupakan gambaran keyakinan masyarakat

Minahasa terhadap kehidupan kekal setelah kematian. Sebagai sebuah kekekalan, maka berbagai usaha dilakukan guna mendapatkan kekekalan tersebut.23 Ornamen dan pola hias ini menggambarkan nilai-nilai kepercayaan yang pernah hadir di

Tanah Minahasa.

Waruga dikenal sebagai wadah kubur komunal, artinya kubur batu ini dapat berisi lebih dari satu orang.24 Pada masa lalu di Tanah Minahasa, Waruga terletak di pekarangan rumah atau di sekitar rumah penduduk. Di setiap rumah penduduk, biasanya terdapat sebuah Waruga atau lebih. Di Waruga itu diletakkan benda- benda yang disebut bekal kubur. Bekal kubur identik dengan si mati. Benda-benda itu antara lain periuk, panci berisi beras atau nasi, piring, botol, saguer, keris, tombak dan lain-lain sebagainya. Bekal kubur tersebut ada yang terbuat dari tanah liat, keramik, perunggu, besi dan lain-lain. Dengan bekal kubur, masyarakat

Minahasa berharap agar orang yang meninggal memakai bekal kubur untuk pergi ke alam lain (arwah). Dari segi ekonomis, bekal-bekal kubur ini memiliki nilai jual yang sangat tinggi sehingga tak jarang Waruga dirusak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.25 Misalnya, observasi yang dilakukan oleh penulis di Desa Sawangan dan juga hasil perekaman dan dokumentasi dari Tim Peneliti

Badan Arkeologi Kota Manado menunjukkan beberapa Waruga yang pada bagian

23 Ronald Kolibu, “Ornamen Waruga Pada Rumah Minahasa Sebagai Pencitraan Budaya”, Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni Vol. 7 No. 2 2011, Surakarta, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, 260-281 24 Soegondho, Akar Budaya Waruga, 3 25 Hasil Wawancara dengan Aneth Umboh (Penjaga Situs Budaya Waruga), 02 Januari 2019, pukul 12:25 WITA, di Desa Sawangan, Minahasa Utara.

59

penutupnya ada bekas pemangkasan tanda seseorang yang berusaha mencuri bagian dari Waruga dan juga bekal kubur.26

Di dalam artefak Waruga ini, jenazah didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala mencium lutut. Posisi ini layaknya posisi jongkok. Filosofinya adalah “sebagaimana manusia dilahirkan dengan posisi jongkok, maka dengan posisi itulah saat manusia meninggal”.27 Masyarakat

Minahasa pada masa lalu menganut kepercayaan kelahiran kembali (rebirth).

Konsepsi lahir kembali adalah bahwa si mati akan lahir kembali di alam yang berbeda yaitu dari alam yang fana ke alam yang baka. Kepercayaan Minahasa ini disebut dengan Malesung (agama asli Minahasa). Dalam tradisi Minahasa tidak mengenal adanya sorga dan neraka, mereka meyakini sebuah tempat yang disebut

Kesendukan. Arti Kesendukan adalah suatu tempat yang tinggi dan di sana ada semua leluhur dan orangtua Minahasa yang sangat dirindukan oleh masyarakat

Minahasa. Konsep Tuhan menurut tradisi Minahasa adalah leluhur yang paling awal. Dia adalah sumber yang menentukan keberadaan manusia sampai saat ini.

Sistem kepercayaan Malesung mengenal adanya dewa atau Yang Maha Tinggi yang disebut Opo Empung. Penyebutan Opo Empung merupakan penyebutan yang terkemudian. Awalnya ungkapan tua yang disebut Empung Wailan Wangko adalah leluhur atau Tuhan.28 Opo Empung dianggap sebagai pencipta seluruh alam, dunia dan segala isinya, yang dikenal oleh manusia yang memujanya.

Kepercayaan Malesung mempercayai roh leluhur atau yang disebut dotu

26 Laporan Perekaman dan Pendokumentasian Situs Megalitik Kawangkoan, Kecamatan Kalawat, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Arkeologi Sulawesi Utara, 2016. 27 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa. 28 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

60

merupakan seorang yang sakti dan juga sebagai pahlawan, seperti pemimpin komunitas besar yang juga disebut kepala walak dan komunitas desa, Tona‟as.29

Sekalipun para leluhur sudah mati, mereka senantiasa menolong manusia, yang dianggap sebagai cucu mereka (puyun). Karena itu, Waruga merupakan manifestasi dari penghormatan masyarakat pendukung budaya megalitik terhadap leluhur atau nenek moyang (dotu-dotu). Ritual-ritual yang dilakukan masyarakat adat Minahasa sampai saat ini terus dilakukan untuk menunjukkan bahwa hidup mereka tidak dapat dilepaskan dengan Yang Maha Tinggi (Opo Empung) dan para leluhur (dotu-dotu).

Waruga bernilai tinggi bagi orang Minahasa karena merupakan penanda dari perjalanan para leluhur. Benda itu adalah tempat penitipan jiwa sementara para leluhur Minahasa. Zaman dahulu, jika ada orang yang dapat memperlihatkan kesungguhannya menjaga tanah tempat hidup bersama, maka dia akan sangat dihargai. Kuburannya dibuat dengan pahatan khusus yang mendeskripsikan mengenai peran semasa hidupnya di tengah masyarakat.30 Waruga menjadi penting karena di dalam kubur batu Waruga terdiri dari orang-orang penting, berwibawa dan merupakan pahlawan kehidupan dan pahlawan kemanusiaan.

Mereka juga dianggap memiliki kelebihan dengan anggota masyarakat lain pada umumnya.31

29 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cetakan ke-14, (Jakarta: Djambatan, 1993) 159-160 30 Marheini L. Mawuntu, “Redefinisi dan Rekonstruksi Tou: Kajian Sosial terhadap Identitas Sosial Minahasa dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia”, (Disertasi, Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2017) 2 31 Hasil Wawancara dengan Iswan Sual (Masyarakat adat Minahasa), 12 Juli 2019, pukul 19:00 WITA, di Kota Manado. Adapun dari beberapa informan yang mengatakan bahwa orang- orang yang diwarugakan (ada di dalam Waruga) adalah orang-orang yang penting, berjasa dan telah memberi diri mereka untuk menjaga tanah Minahasa ini. Penulis mempertanyakan bagaimana dengan orang-orang Minahasa atau masyarakat „biasa‟ dulu? Menurut informan orang-

61

Masyarakat Minahasa mempercayai roh leluhur memiliki kekuatan magis sehingga wadah harus dibuat sebaik dan seindah mungkin. Masyarakat juga percaya bahwa apabila manusia meninggal dunia, maka rohnya (spirit) akan pindah ke alam lain. Karena itu, kubur batu ini menjadi rumah jiwa (house of soul) bagi mereka yang meninggal. Dengan demikian, Waruga mengandung nilai- nilai leluhur yang patut mendapat apresiasi tinggi dari bangsa pewaris budaya nenek moyang itu.

3.3.1 Tata Cara Penghormatan Leluhur (Sumiri/Sumigi)

Ekspresi penghormatan dalam ritus-ritus di sekitaran Waruga terus dilakukan.

Masyarakat adat mempertahankan nilai-nilai luhur dengan melakukan ritual (tata cara) dengan menjadikan Waruga sebagai media. Waruga merupakan wujud dari kepercayaan asli Minahasa (agama lokal) atau Malesung.32 Praktik keagamaan yang biasa dilakukan oleh masyarakat adat Minahasa ialah ritual penghormatan leluhur (Sumigi atau Sumiri), ucapan syukur, ritual dalam rangka meminta petunjuk dan yang terpenting ialah “kembali mengingat dan mengenang”.

Misalnya permohonan bagi Yang Maha Tinggi (Opo Empung) untuk menurunkan hujan dan menjadikan lahan padi menjadi lahan subur dan sebagainya.33 Ekspresi penghormatan kepada leluhur juga menjadi bagian dalam tata cara orang

Minahasa.

Ritual penghormatan yang dilakukan oleh masyarakat adat Minahasa biasa disebut ritual Zumeta atau ba lepas dan ritual dengan sesajian. Secara sistematis,

orang Minahasa biasa (orang-orang yang tidak terlalu memiliki pengaruh signifikan) mereka hanya dikuburkan di dalam tanah dan di atasnya terdapat batu sebagai penanda. 32 Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea Lawat), 02 Januari 2019, pukul 14:31 WITA, di Desa Kuwil, Minahasa Utara. 33 Hasil Wawancara Via Telepon dengan Alfa Sumolang, 10 September 2018, pukul 14:33 WIB.

62

penghormatan pertama, dimulai ketika memasuki Waruga dengan melepaskan alas kaki, menghentakan kaki tiga kali (batada kaki) sambil mengucapkan

“permisi” dan “ehem” (batuk). Ketiga hal ini merupakan simbol dari masyarakat

Minahasa yang sedang mempraktekkan tradisi dari para leluhur tempo dulu saat bertamu masuk ke dalam rumah seseorang. Pada saat bertamu, seseorang harus menghentakkan kaki (batada kaki) sebagai simbol pembersihan alas kaki

(pembersihan diri). Masyarakat adat juga menghentakkan kaki di tanah sebagai simbol penghormatan seperti seseorang memasuki pintu rumah pada waktu bertamu.34 Kemudian, angka tiga memiliki arti relasi antara manusia, alam dan

Yang Maha Tinggi (Opo Empung).

Gambar 2. Alas kaki yang dilepas sebelum masuk dalam situs Waruga Sumber: Dokumentasi oleh Aneth Umboh (Penjaga Situs Waruga) di Desa Sawangan, Minahasa Utara.

Penghormatan kedua, masyarakat Minahasa melakukan pembersihan di sekitaran Waruga (ba bersih) sebagai wujud menyatunya masyarakat dengan tempat atau area Waruga serta menjadi bagian dari alam. Penghormatan ketiga, masyarakat adat memutari Waruga sebanyak tiga atau sembilan kali yang berarti masyarakat semakin dekat dengan para leluhur dan menunjukkan bahwa tradisi itu masih tetap dilakukan. Angka tiga merupakan simbol yang diyakini adanya relasi antara Yang Maha Tinggi (Opo Empung), alam dan manusia, sedangkan angka

34 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

63

sembilan bagi orang Minahasa adalah simbol angka kesempurnaan. Tetapi juga, makna simbol angka sembilan yakni bentuk kerendahan hati sebelum angka sepuluh yang hanya dimiliki oleh Yang Maha Tinggi (Opo Empung).

Penghormatan keempat, ritual dengan memasang rokok (Zumeta atau Ba

Lepas) di salah satu Waruga yang diyakini sebagai leluhur mereka. Asap dan api rokok memberi sebuah tanda bagi leluhur, bahwa ada yang berkunjung dan hendak memohon berkat atau petunjuk, rezeki untuk keluarga, permohonan memiliki keturunan, usaha dan pekerjaan dilancarkan, dan lain-lain sebagainya.

Rokok juga menjadi simbol purifikasi atau pemurnian untuk membersihkan area di sekitaran Waruga.35 Leluhur memang sudah mati tapi masih ada dalam hati semua masyarakat Minahasa serta mampu menolong manusia. Selain rokok, ada yang ba lepas saguer36, sirih, pinang, telur, nasi bungkus dan lain-lain. Benda- benda itu adalah hal yang disukai oleh para leluhur.37

Dalam proses ritual Zumeta, terjadi proses dialog antara orang yang masih hidup dan leluhur bagaikan seorang anak yang mengadu kepada orangtuanya. Di sekitaran Waruga, masyarakat biasanya bercerita dengan leluhur, mencurahkan isi hati mereka, menceritakan bagaimana usaha dan kerja yang sementara dilakukan.

Mereka juga rela menghabiskan waktu sepanjang hari duduk di sekitaran Waruga.

Karena itu, selain jadi panutan dan orangtua, leluhur bisa jadi teman bercerita.

Orang Minahasa memiliki ajaran agar anak-anak menghormati orangtua mereka.

Ketika berdialog, para leluhur akan memberikan pesan, mandat atau

35 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul 18:18 WITA, di Sonder, Minahasa. 36 Saguer merupakan minuman khas Minahasa yang keluar dari mayang pohon enau dan mengandung alkohol. Saguer dianggap sebagai minuman para leluhur dan dianggap suci oleh penduduk purba Minahasa. 37 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

64

menyampaikan hal-hal penting lainnya. Pesan moral seperti saling mengasihi

(baku-baku bae), jangan mencari masalah dengan orang lain (jang bking suka orang lain) serta tidak melupakan Yang Maha Tinggi (jang lupa ada Opo

Empung), dan lain-lain. Dengan maksud mengingatkan adanya Yang Maha Tinggi

(Opo Empung) maka masyarakat dapat menjalani hidup dengan tidak sembarangan. Setelah mendapatkan pesan tersebut, maka masyarakat Minahasa berupaya untuk menerapkan pesan tersebut dalam kehidupan mereka.38

Gambar 3. Rokok yang dinyalakan & Dialog dengan leluhur di dalam situs Waruga Sumber: Dokumentasi Pribadi di Situs Waruga Desa Tonsewer, Minahasa.

Masyarakat Minahasa mencurahkan kerinduan mereka terhadap para orangtua atau leluhur. Dalam pengertian bahwa Waruga menjadi tempat yang tepat untuk bisa meluapkan perasaan dan kerinduan mereka. Waruga menjadi simbol yang menegaskan siapa yang patut menjadi teladan. Teladan-teladan sosial yang ditinggalkan oleh para leluhur karena telah mempertahankan tanah Minahasa menjadi pembelajaran bagi generasi masa kini dalam mewujudkan keutuhan dari

Tou Minahasa (karakter bangsa).39 Kualitas dari para orangtua juga ada dan

38 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 04 Januari 2019, pukul 12:18 WITA, di Sonder, Minahasa. 39 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 04 Januari 2019, pukul 12:18 WITA, di Sonder, Minahasa.

65

diteruskan oleh keturunannya sehingga tradisi menghormati orangtua harus tetap dijaga dari generasi ke generasi. Generasi saat ini dituntut untuk terus mengoptimalkan diri bahkan menapaki jalan yang lurus (Karondoran). Artinya masyarakat Minahasa melakukan kebaikan bagi sesama, selalu mengoreksi diri, tidak membuat masalah dan sebagainya: “Karena kita hidup dari kasih sayang

Tuhan” (Karna torang ini hidop dari Opo Empung pe sayang)”.40

Selanjutnya, ritual sebagai simbol dan ekspresi penghormatan leluhur melalui ritual dengan menyediakan sesajian. Orang Minahasa menyebutnya ritual dengan tata cara (ba ator). Sesajian ini antara lain sirih pinang, rokok, kapur, bulu yang berisikan saguer, telur, nasi bungkus, daun, lilin, darah segar ayam, terkadang juga kepala babi dan lain-lain. Tujuan dari ritual ini ialah masyarakat menghormati leluhur, berobat, bernazar, dan meminta petunjuk sesuai kebutuhan masyarakat.

Bagi masyarakat adat, sesajian merupakan simbol makanan pokok atau bahan alami yang sering dimakan oleh para leluhur ketika mereka masih hidup.41 Karena itu, makanan-makanan tersebut bukanlah dimakan dalam pengertian harafiah oleh roh leluhur, tetapi sebagai simbol penghormatan kepada leluhur.42 Berkaitan dengan waktu pelaksanaan ritual di Waruga biasanya ketika terjadi bulan purnama, tapi juga sifatnya relatif karena sesuai dengan tanda-tanda, yakni melalui mimpi atau ketika burung Manguni (lambang atau simbol Minahasa)

40 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa. 41 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 04 Januari 2019, pukul 12:18 WITA, di Sonder, Minahasa. 42 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

66

mengeluarkan bunyi. Hal itu menandakan bahwa para leluhur meminta untuk dikunjungi dan dihormati.43

Gambar 4. Proses Ritual dengan Sesajian Sumber: Dokumentasi oleh Aneth Umboh (Penjaga Situs Waruga) di Desa Sawangan, Minahasa Utara.

Pada akhirnya, masyarakat Minahasa menaikkan doa (kunci deng doa) sambil mengangkat kedua tangan layaknya seorang anak yang meminta kepada orangtua dan mensyukuri kehidupan manusia. Doa menghubungkan manusia dengan para leluhur dan juga alam semesta ini. Pada saat berdoa atau selesai berdoa, masyarakat biasanya melihat suatu tanda atau merasakan dan mendengar bisikkan yang berisi pesan-pesan, petunjuk atau mandat dari para leluhur. Berikut ini adalah isi doa yang biasanya disampaikan di sekitar Waruga:

Opo Empung, Opo Ririmpuran Iko si timani, timotol langi‟ lesar wo Untampa kenu Endo inaniya kenu Nikai si makawia lesar kenu Pahaleien nai, rapitenai nikai Wo pakelu-kelunganla, piki-pikian an reges lewo Toro tumoro nikai, lekep.44

43 Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara. 44 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa. Menurut Charlie Samola, masyarakat diajarkan oleh Tona‟as bagaimana melakukan ritual penghormatan kepada leluhur ketika berziarah ke situs Waruga. Setelah itu, masyarakat dapat melakukan ritual sendiri tanpa ada Tona‟as karena telah diajarkan sebelumnya – Hasil Wawancara Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado.

67

Secara harfiah dapat diterjemahkan:

Ya Tuhan, Engkau yang memulai menciptakan langit dan tempat ini. Di hari ini, kami yang telah berada di tempat ini, yang meminta, Mendekatlah kepada kami dan lindungilah kami serta jauh-jauhkanlah angin jahat/yang jahat/tak baik. Boleh-bolehkanlah kami, sempurna/genap.

3.3.2 Ziarah Kultural (Lumales)

Masyarakat adat dan pemerhati budaya mendapatkan mandat dari para leluhur ketika mereka melaksanakan ritual untuk melakukan ziarah kultural atau yang disebut dengan Lumales. Dalam istilah filosofis, tradisi Lumales berarti

“menapaki jalan leluhur”.45 Ziarah ini biasa dilakukan masyarakat Minahasa pada saat berkunjung ke situs Waruga, tempat rumah jiwanya para leluhur. Sejak tahun

± 2004, masyarakat adat dan para pemerhati budaya melakukan ziarah kultural dan menyaksikan secara langsung situs-situs budaya secara khusus kubur batu

Waruga yang telah menjadi korban vandalisasi, penjarahan, pengkrusakkan

Waruga, pencurian Waruga, serta Waruga yang rusak karena waktu atau proses alam.46 Secara historis, pada tahun 1960-1970, telah terjadi pencurian Waruga dan juga perdagangan barang antik (Pasar Gelap) tahun 2005.47 Tetapi juga di tahun

2019, telah terjadi pengrusakkan Waruga oleh oknum yang tidak bertanggungjawab di Desa Kaima, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa

Utara.48

45 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa. 46 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul 18:18 WITA, di Sonder, Minahasa. 47 Hasil Wawancara dengan Rikson Karundeng (Pemerhati Budaya Minahasa dan Gerakan Minahasa Muda), 26 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kota Tomohon. 48 Harian Komentar Manado, Senin, 17 Juni 2019 Nomor 5332 Tahun XIX.

68

Ziarah Lumales ini bertujuan untuk memperbaiki dan mengatur benda-benda kultural yang telah mengalami kehancuran serta yang terpenting ialah penghormatan kepada leluhur. Selain itu, dengan melakukan perjalanan ziarah, masyarakat dapat menemukan, mempelajari sejarah dan asal-usul benda-benda budaya seluruh daerah Minahasa, termasuk Waruga yang ada di Minahasa Utara.

Menurut informan, dalam selang beberapa tahun ini, masyarakat adat dan para pemerhati budaya semakin menggebu-gebu untuk mencari lebih dalam mengenai jati diri orang Minahasa. Karena itu, Minahasa sedang mengalami kebangkitan kultural. Selain komunitas adat atau penghayat adat mendapatkan mandat dari leluhur, Lumales ini juga dilakukan oleh komunitas intelektual. Masyarakat adat dan juga para pemerhati budaya terdiri atas orang-orang yang berpendidikan

Sarjana, Magister dan juga Doktoral. Karena itu, melalui komunitas intelektual yang melakukan ziarah kultural serta menyaksikan ritual dari masyarakat adat, mereka dapat merekonstruksi makna-makna, nilai historis dan kultural, lalu mempublikasikannya melalui media cetak, media sosial serta tulisan-tulisan, sehingga semua orang memiliki pemahaman tentang betapa pentingnya Waruga sebagai budaya Minahasa.

3.3.3 Tindakan Penyimpangan terhadap Waruga

Orang Minahasa khususnya masyarakat adat dan pemerhati budaya meyakini ada akibat-akibat bagi mereka yang mencoba mengganggu Waruga. Menurut penjaga situs Waruga di Desa Sawangan, Minahasa Utara, menyaksikan ada dampak-dampak secara langsung terjadi bagi tindakan yang mengganggu Waruga

(mo dapa depe katula).49 Bagi masyarakat adat, Waruga adalah tempat yang tidak

49 Hasil Wawancara dengan Aneth Umboh (Penjaga Situs Budaya Waruga), 02 Januari 2019, pukul 12:25 WITA, di Desa Sawangan, Minahasa Utara.

69

sembarangan (nd boleh tasalah akang kwa). Salah satu kasus akibat tidak menghormati Waruga, yakni seorang laki-laki yang jatuh akibat memiliki niat jahat dan ingin menentang roh leluhur ketika hendak masuk ke dalam situs

Waruga. Selain itu salah satu keluarga atau sanak saudara mengalami sakit yang parah bahkan mengalami kematian.50 Seperti yang dijelaskan sebelumnya, di dalam Waruga bukan hanya diletakkan jenazah, tapi apa yang disebut dengan

„bekal kubur‟. Bekal kubur berkaitan dengan „si mati‟ yang juga merupakan benda-benda kesayangan mereka sewaktu hidup. Berbagai jenis bekal kubur ialah benda-benda seperti logam, pedang, tombak, gelang perunggu maupun piring.

Fungsi bekal kubur dianggap akan membekali „si mati‟ ke alam lain. Bagi masyarakat adat, bekal kubur diyakini memiliki daya kekuatan. Berikut ini sebuah kesaksian dari masyarakat lokal:

Seorang bapak mencoba mengambil barang (bekal kubur) yang ada di Waruga. Di dalam Waruga terdapat peninggalan dari leluhur saat dia meninggal. Tujuan dari bapak mengambil barang tersebut, ialah untuk mendapatkan kekuatan agar dapat memindahkan gunung klabat. Besoknya, ketika ia bangun, ia terkejut karena tidak bisa berjalan. Keluarganya pun shock beserta dengan warga sekitar. Ketika ditelusuri penyebabnya, masyarakat (tua-tua) menganjurkan agar beliau mengembalikan barang tersebut. Masyarakat dan keluarganya mengangkat dia dan bersama-sama pergi ke tempat Waruga berada. Pada besok hari, bapak ini kembali berjalan seperti semula.51

Bukan hanya itu, beberapa orang mencoba mencuri barang tersebut karena nilai jualnya yang sangat tinggi, serta penawaran untuk menjual Waruga kepada orang asing. Dampak yang ditimbulkan yaitu sakit, gangguan mental dan sampai kepada kematian.

50 Hasil Wawancara dengan Aneth Umboh, (Penjaga Situs Budaya Waruga), 02 Januari 2019, pukul 12:25 WITA, di Desa Sawangan, Minahasa Utara. 51 Hasil Wawancara dengan Aneth Umboh (Penjaga Situs Budaya Waruga), 02 Januari 2019, pukul 12:25 WITA, di Desa Sawangan, Minahasa Utara.

70

3.3.4 Penetrasi Kekristenan dan Kepercayaan Lokal Minahasa

Secara historis, tradisi penguburan menggunakan Waruga di Minahasa mulai ditinggalkan pada pertengahan abad ke-19 ditandai dengan munculnya sistem penguburan tanah yang diperkenalkan oleh bangsa Belanda. Perubahan ini terjadi bersamaan dengan semakin kuatnya agama Kristen di Minahasa. Belanda mendatangkan para penginjil, mendirikan sekolah-sekolah Kristen, munculnya komunitas-komunitas kecil, serta para pedagang asing. Egoisme Barat yang memandang orang Minahasa memiliki pemikiran yang kuno sehingga mendorong mereka memperkenalkan konsep Tuhan yang benar.52 Tradisi penguburan menggunakan Waruga yang dilatarbelakangi kepercayaan Malesung yakni pengkultusan arwah leluhur dan nenek moyang lambat laun beralih ke tradisi penguburan dalam tanah dengan konsep kepercayaan agama Kristen.53 Jenazah yang dikuburkan dalam Waruga mengeluarkan bau yang tidak sedap dan menjadi wabah penyakit kolera sehingga banyak anggota masyarakat mengalami kematian.54 Karena itu, Belanda dan Kekristenan memperkenalkan kuburan yang dikenal sampai saat ini, yakni jenazah dikuburkan di dalam tanah. Perubahan seperti itu tidak terjadi seketika, melainkan secara bertahap hingga pada awal abad

52 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul 18:18 WITA, di Sonder, Minahasa. 53 Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara. 54 Pinontoan mengutip Watuseke dalam bukunya menjelaskan di Minahasa terjadi epidemik wabah cacar yang menewaskan sebanyak 15.600 atau ± 1/6 dari total jumlah penduduk waktu itu. Menurutnya karena banyaknya orang yang meninggal pada waktu bersamaan, maka cara pemakaman Waruga berubah menjadi cara pemahaman di kubur di dalam tanah - lih. Denni H. R. Pinontoan, Walian dan Tuang Pandita: Perjumpaan Agama Minahasa dan Agama Kristen pada abad XIX, (Yogyakarta: Pustaka Pranala, 2019) 63. Bila dibandingkan dengan informan yang lain, ada yang tidak setuju dengan mengatakan bahwa wabah penyakit tersebut hanya bagian dari politik kolonial Belanda di saat itu agar kuburan batu Waruga digantikan dengan kuburan dalam tanah mengikuti kuburan Kekristenan seperti sekarang ini. Hal ini masih menjadi perbincangan dan perlu untuk dikaji lebih lanjut.

71

ke-20.55 Belanda menyebut masyarakat lokal Minahasa sebagai bangsa Alifuru.

Bagi mereka, Alifuru dikaitkan dengan ketidakberadaban, liar (barbar) dan memiliki pemikiran kuno. Kekristenan melihat bahwa masyarakat adat melakukan penyembahan atau „mentuhankan‟ kubur batu Waruga. Karena itu pemahaman terhadap penyembahan berhala tersebut harus dijauhi. Menurut informan, masyarakat adat melihat bahwa Kekristenan menjadi anti-adat dan budaya bahkan dengan statement „kebudayaan Minahasa itu sesat‟.56

“Jauh sebelum Kekristenan datang, orang Minahasa sudah memuja pada Yang Maha Tinggi (Opo Empung). Zaman dahulu tidak pernah memuja patung-patung atau berhala”57 – Kepala Adat Desa Kuwil

Seiring berjalannya waktu hingga saat ini, kepercayaan lokal masyarakat

Minahasa yang disebut dengan Malesung mulai tergerus dengan pemahaman dan pemikiran dari Kekristenan. Karena itu, bagi masyarakat adat dan pemerhati budaya, kebanyakan orang Minahasa telah melupakan leluhurnya akibat dari pengkristenan dan juga ajaran dan doktrin yang menyebutkan bahwa kepercayaan lokal adalah menyembah batu (ba opo-opo). Adapun istilah-istilah seperti:

“Mereka yang sering pergi ke batu dan memanggil arwah orang mati” (dorang kwa tu ja pigi-pigi di batu, pi balapas deng pangge arwah orang so mati).

“Hebat sekali orang yang berasal dari luar, datang cari makan di sini lalu berbuat seenaknya kepada kami!” (Hebat sekali orang dari luar, cari makang dari sini, kong beking sagala rupa bgni pa torang).58

55 Jhohannes Marbun, “Misionaris dan Perubahan Budaya Masyarakat Minahasa di balik Waruga”, 2010, https://joemarbun.wordpress.com/2010/08/31/missionaris-dan-perubahan-budaya- masyarakat-minahasa-di-balik-waruga., diakses tanggal tanggal 19 November 2018, pukul 14:50 WIB. 56 Hasil Wawancara Via Telepon dengan Alfa Sumolang, 10 September 2018, pukul 14:33 WIB. 57 Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara. 58 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh, (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

72

Bagi masyarakat adat, istilah ba opo-opo dari Kekristenan menjadi stigma yang sangat kejam. Kekristenan menganggap bahwa masyarakat adat Minahasa terdiri dari orang-orang yang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Menurut informan, mereka tidak menyadari bahwa mereka telah kehilangan pijakan, identitas dan jati diri.59

Ketika Kekristenan dan bangsa Belanda datang di tanah Minahasa, kepercayaan lokal dalam hal ini dari para leluhur menerima Kekristenan dengan tangan terbuka. Lambat laun, masyarakat Minahasa mulai melepaskan kepercayaan lokal dan menganut agama yang datang dari luar Indonesia. Pada tahun 2016, terkait dengan pembangunan di Minahasa Utara, menurut informan, ketika proses pembangunan pelaksana proyek melaksanakan ibadah menurut kepercayaan

Kekristenan di lokasi Waruga Kina-angko‟an. Ibadah tersebut dipimpin oleh seorang Pendeta dengan menggunakan Liturgi Kematian. Tata cara untuk mendoakan orang-orang mati karena Waruga adalah kuburan. Setelah ibadah menurut kepercayaan Kekristenan, masyarakat adat melakukan ritual-ritual terkait dengan pemindahan Waruga (Mera Waruga atau I To‟tol Sumaup).60 Dalam ritual

Mera Waruga, masyarakat adat memerlukan sesajian. Karena itu, masyarakat meminta kepada pihak pelaksana proyek untuk bertanggungjawab dalam hal pendanaan. Menurut informan yang menyaksikan secara langsung ritual tersebut, terlihat seorang Tona‟as mendapat izin pada leluhur untuk memindahkan

Waruga.61 Pada tahun 2018, ketika pembangunan sampai di lokasi Waruga Wanua

59 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa. 60 Hal ini juga senada dengan pendapat dari Balai Arkeologi Manado: „berdoa saja‟ tidak perlu melakukan ritual-ritual seperti itu. Tapi di sisi lain, menolak juga pemindahan dengan menggunakan alat berat. 61 Dalam hasil wawancara dengan beberapa informan, pemindahan melakukan ritual ini dilakukan oleh seorang Tona‟as yang berasal dari luar Minahasa Utara. Ini menjadi permasalahan besar bagi seluruh komunitas adat Minahasa juga karena yang memimpin bukan dari Minahasa

73

Ure Pinandeian, tidak lagi menggunakan ritual pemindahan Waruga. Menurut informan, pemerintah telah bekerja sama dan sepakat dengan masyarakat adat

Desa Kawangkoan dengan hanya doa menurut kepercayaan Kekristenan, namun dengan bahasa daerah Tonsea.62 Menurut informan, pemerintah sempat mengeluarkan statement dengan menyatakan:

Hanya masalah kecil saja kok, berdoa saja kepada Tuhan bukan kepada Alifuru! (ngoni le cuma begitu, berdoa jo pa Tuhan, nd usah pa Alifuru!”).63

3.4 Dinamika dan Kronologi Pembangunan Waduk dan Jalan Tol

Keputusan untuk melaksanakan pembangunan awalnya diterima secara baik melalui institusi Presiden tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang di dalamnya pembangunan Jalan Tol Manado- dan Waduk Kuwil, Minahasa

Utara. Namun, seiring berjalannya waktu, situasi dan kondisi pembangunan mengandung kompleksitas, dinamika dan dilema antara pemerintah dan masyarakat sehingga terjadi pro dan kontra. Pembangunan ini dilakukan di wilayah Desa Kawangkoan sekitar 315 hektar dan Desa Kuwil sekitar 19 hektar di bawah pelaksana proyek Balai Wilayah Sungai Provinsi Sulawesi Utara I yang bekerja sama dengan Perusahaan PT. Wika – DMT, KSO, PT. Nindya Karya

(Persero) dengan supervisi Konsultan PT. Indra Karya (Persero) Wilayah II – PT.

Darma Dedana Cipta Consultans – PT. Maxitech Utama Indonesia.

Utara tapi dari luar. Informan yang lain berpendapat bahwa sudah ada kepentingan di antara yang membuat ritual dan dengan pihak pelaksana proyek. Semua Tona‟as menolak ketika dihubungi untuk melaksanakan ritual karena mereka tidak setuju Waruga harus dipindahkan. Namun, tiba- tiba muncul Tona‟as yang menyetujui pemindahan tersebut dan selanjutnya melakukan upacara adat sehingga proyek pemindahan tetap berjalan. 62 Hasil Wawancara dengan anggota Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Minahasa Utara, 25 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Minahasa Utara. 63 Hasil Wawancara Via Telepon dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 05 September 2018, pukul 13:50 WIB.

74

Kawasan pembangunan Waduk Kuwil-Kawangkoan merupakan salah satu program pembangunan nasional, yang direncanakan sebagai daerah tangkapan air dan sumber air yang berada di sekitar wilayah tersebut, sehingga pada musim hujan, air akan mengalir ke arah waduk tersebut dan bahaya banjir dapat dicegah.64 Waduk berfungsi sebagai tempat menampung aliran air yang berasal dari DAS (Daerah Aliran Sungai) Tondano dan juga dapat mengontrol curah hujan. Selain itu, Waduk juga bisa jadi tempat rekreasi, destinasi pariwisata, tenaga listrik, dan penyediaan air bersih.65 Alasan dinamakan Waduk Kuwil itu karena melihat aliran sungai melewati Desa Kuwil dan berdampak pula bagi Desa.

Karena itu, masyarakat lokal Desa Kuwil mengizinkan pembangunan tersebut dengan tanda tangan dari masyarakat menjadi bukti dilaksanakannya pembangunan Waduk ini.66

Pengerjaan proyek strategis nasional ini berdasarkan peraturan yang tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) RI 3/2016 tentang Percepatan

Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan perubahannya, yaitu Perpres 56/2017,

Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara Nomor 01

Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Minahasa Utara

2013-2033 yang pada bagian tentang sistem jaringan sumber daya air, menyebutkan pembangunan waduk multifungsi di Desa Kuwil-Kawangkoan.

64 Banjir Bandang pernah terjadi di Kota Manado tahun 2014 dan beberapa tahun belakangan ini. 65 Hasil Wawancara dengan anggota Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Minahasa Utara, 25 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Minahasa Utara. 66 Hasil Wawancara dengan Henkie Runtuwene (Kepala Desa Kuwil), 30 Juli 2019, 14:00 WITA, di Desa Kuwil, Minahasa Utara. Berdasarkan observasi penulis, seperti halnya yang disampaikan Kepala Desa, dampak yang dimaksud ialah dampak dari curah hujan yang sangat tinggi yang terjadi pada tahun 2014 sehingga membuat jembatan dari Desa Kuwil mengalami kerusakan yang cukup parah. Karena itu, pemerintah dan masyarakat berinisiatif untuk membangun kembali jembatan yang terbuat dari kayu-kayu sehingga jembatan dapat diakses bagi pengguna jalan transportasi.

75

Rencana tersebut dipertegas pula dalam Perda 1/2014 tentang RT/RW Provinsi

Sulawesi Utara tahun 2014-2034, yang juga menyebutkan rencana pembangunan bendungan di Desa Kuwil dan Sawangan.67 Dalam harian Kompas, menyebutkan bahwa Waruga harus dipindahkan untuk kelanjutan pembangunan Bendungan

Kuwil senilai Rp. 1.413.605.000.000 (termasuk PPN) atau 1,4 Triliun atas biaya

Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).68 Selain itu, berdasarkan informasi umum, masa pelaksanaan konstruksi pembangunan yakni 8 Agustus

2016 – 6 Agustus 2020 dengan tahun anggaran 2016-2020.

Pada Oktober 2016 dan Juli 2018, pembangunan ini menggerus Waruga yang terletak di dua lokasi yakni Waruga Kinaengkoan dan Waruga di Bukit

Pinandeian dengan wilayah yang sama. Mega proyek tersebut membuat Waruga yang harus dipindahkan ke lokasi strategis yang tidak terkena pembangunan.

Lokasi tersebut masih berada di wilayah Desa Kawangkoan. Bagi pihak pelaksana proyek, kedudukkan awal masing-masing Waruga berada di “zona inti” yang menjadi daerah genangan air waduk.69 Polemik pembangunan mulai terjadi.

Waruga yang berada di Bukit Pinandean yang berada di wilayah Desa

Kawangkoan. Tapi menurut informan, memang Waruga berada di wilayah Desa

Kawangkoan, tapi pemiliknya berasal dari Desa Kuwil. Selain itu, Kepala Desa

Kuwil mengaku tidak dilibatkan dalam proses relokasi tersebut.70 Proses relokasi menggunakan fasilitas pengangkutan atau alat berat yang disebut alat eskavator.

67 Denni Pinontoan, “Waruga dan Pembangunan Sadar Budaya”, Center for Religious and Cross Cultural Studies Graduate School, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2018., https://crcs.ugm.ac.id/perspective/13260/waruga-dan-pembangunan-yang-sadar-budaya.html diakses pada tanggal 21 November 2018, pukul 13:11 WIB. 68 Koran Harian Kompas, Kamis, 26 Juli 2018. Jumlah anggaran tersebut juga dicantumkan dalam Informasi Umum di lokasi pembangunan Waduk Kuwil-Kawangkoan. 69 Hasil Wawancara dengan Ipak Fahriani (Peneliti Balai Arkeologi Manado), 15 Juli 2019, 11:34 WITA, di Kota Manado. 70 Hasil Wawancara dengan Henkie Runtuwene (Kepala Desa Kuwil), 30 Juli 2019, 14:00 WITA, di Desa Kuwil, Minahasa Utara.

76

Alasannya kubur batu tersebut tidak dapat diangkat dengan tenaga manusia dan juga ada beberapa Waruga tertahan dengan akar pohon. Akan tetapi, hal ini juga menuai polemik dari masyarakat Minahasa yang dengan tegas menolak relokasi dengan cara tidak etis tersebut karena mengakibatkan Waruga menjadi rusak dan hancur. Apalagi ketika masyarakat menyaksikan secara langsung, bekas puing hancurnya Waruga, gigi-gigi dan tulang dari para leluhur berserakan di jalan dan di atas tanah.71 Padahal, menurut informan, di beberapa tempat di Minahasa, pemindahan Waruga dilakukan masyarakat adat secara Mapalus (gotong royong) dengan cara memikul serta harus dilakukan dengan hati-hati.72 Cara pemindahan ini menuai polemik dan kontroversial. Ada yang setuju dengan pemindahan tapi harus disertai dengan perbaikan terhadap Waruga. Di sisi lain, ada yang tidak setuju karena bukan hanya melihat Waruga tetapi juga melihat nilai-nilai dari tanah tersebut.

Gambar 5. Gigi para leluhur yang ditemukan. Sumber: Dokumentasi oleh Rinto Taroreh

Pada tahun 2016, awalnya Waruga dipindahkan secara manual yakni dengan menggunakan bambu dan diangkat oleh masyarakat. Akan tetapi, hanya dua

71 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa. 72 Hasil Wawancara dengan Bode Talumewo (Sejahrawan Minahasa), 23 Juli 2019, 15:03 WITA, di Kota Manado. Ketika membandingkan hasil wawancara dengan beberapa informan, mereka mengaku kaget ketika Waruga dipindahkan dengan menggunakan alat berat.

77

Waruga saja yang dapat diangkat secara manual karena kondisi masyarakat sudah dalam keadaan lelah. Karena itu, pihak kontraktor menawarkan cara dengan menggunakan alat eskavator kepada masyarakat mengingat proyek ini memiliki target yakni waktu yang harus ditempuh. Sedangkan pada tahun 2018, proses pemindahan Waruga di Bukit Pinandeian, langsung menggunakan alat eskavator dan tidak melalui ritual dan pengangkatan secara manual.

Pemerintah setempat dan pelaksana proyek menilai masyarakat adat

Minahasa dan para pemerhati budaya tidak merawat Waruga sebelum dipindahkan. Menurut observasi yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan, mereka menemukan kubur batu Waruga dalam keadaan terlilit dengan pohon dan bagian kepala Waruga dipenuhi rerumputan bahkan terpisah dengan badan dari Waruga itu sendiri. Namun, dengan tegas masyarakat

Minahasa menolak hal tersebut, karena sebelum pembangunan dilakukan di Desa

Kuwil-Kawangkoan, mereka telah melakukan ziarah kultural terlebih dahulu dan merawat Waruga atas mandat dari para leluhur.73

Awalnya masyarakat sebenarnya mengetahui akan ada pembangunan di daerah Kawangkoan pada tahun 2016, tetapi mereka tidak mengetahui jika pembangunan terkena situs budaya Waruga. Ketika masyarakat ber-Lumales, mereka terkejut di tempat adanya Waruga telah dilingkari dengan police line.

Melihat hal itu, aparat keamanan mengusir masyarakat secara langsung.74

Masyarakat mengakui bahwa mereka tidak menerima pemberitahuan dari pemerintah dan pihak pelaksana proyek terkait dengan pembangunan yang akan

73 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul 18:18 WITA, di Sonder, Minahasa. 74 Hasil Wawancara dengan Charles Somba (Pemerhati Budaya Minahasa), 17 Juli 2019, pukul 15:00 WITA, di Mapanget, Kota Manado.

78

dilakukan di sekitaran situs dan di atas tanah tersebut. Padahal tanah itu bukanlah tanah pribadi, tapi merupakan tanah adat satu-satunya di Minahasa. Segera setelah itu, masyarakat melakukan semacam sosialisasi di Balai Desa Kawangkoan.

Sosialisasi tersebut berisikan makna dan pentingnya Waruga beserta tanah yang memiliki nilai historis dan kultural. Tetapi juga mereka menyatakan tidak setuju terhadap pemindahan Waruga. Pembangunan tersebut juga membuat penduduk yang tinggal di lokasi pembangunan, menimbulkan persoalan mengenai tanah mereka.

“Coba bayangkan bila itu kuburan orangtua sendiri, bagaimana perasaan kita bila ada yang seenaknya mengobrak-abrik!”.75

Selain itu, masyarakat telah mendengarkan janji dari pemerintah. Janji tersebut ialah setelah pemindahan akan dilakukan perbaikan terhadap Waruga, mengitari Waruga dengan pagar dan mengatur kembali semua Waruga sesuai dengan tradisi kultural masyarakat adat. Setelah melakukan perbaikan, pemerintah juga berjanji untuk membangun tempat itu sebagai tempat pariwisata sehingga ada pendapatan daerah secara ekonomis. Namun, janji-janji tersebut tidak ditepati oleh pemerintah sampai penulis melakukan observasi di lokasi pembangunan. Karena itu, masyarakat Minahasa berinisiatif untuk memperbaiki Waruga Kuwil-

Kawangkoan. “Tidak usah menunggu pemerintah, kita saja yang bergerak!“

(sudah jo mo tunggu tu pemerintah, torang jo bergerak). Menurut informan, masyarakat adat dan pemerhati budaya tidak perlu menunggu pemerintah atau dari siapapun untuk memperbaiki Waruga-Waruga yang sudah hancur ini.76

75 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa. 76 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

79

3.4.1 Konflik di antara Masyarakat Minahasa

Berdasarkan penelitian, dinamika pembangunan menyebabkan perpecahan di antara masyarakat adat, pemerhati budaya dan organisasi-organisasi masyarakat adat karena perbedaan pemahaman di antara mereka. Dari satu sisi, menyetujui pemindahan Waruga asalkan pemerintah memperbaiki Waruga tersebut. Di sisi lain, tidak menyetujui pemindahan Waruga karena bukan hanya sekedar objek atau kubur batu semata, tetapi juga berkaitan dengan tanah. Tanah tersebut diyakini merupakan tanah adat dan masyarakat menyebutnya sebagai tanah milik bersama (Kalakeran). Masyarakat memahami bahwa Waruga menyatu dengan tanah, tempat Waruga didirikan.77 Secara spontan, masyarakat Minahasa merespon serta melakukan perlawanan di tempat pelaksana proyek pembangunan.

Di tempat tersebut terjadi perpecahan yakni saling mengancam di antara anggota masyarakat satu dengan yang lain: “Mereka berbaju budaya, tapi mendukung pelaksana proyek. Kami melihat sudah ada kepentingan di antara mereka dengan pelaksana proyek pembangunan”. Masyarakat yang melakukan kepentingan dengan pihak pelaksana proyek yakni penduduk lokal Desa Kawangkoan dan

Desa Kuwil. Situasi lebih memanas ketika semua masyarakat berada di lokasi pembangunan, ada seorang laki-laki yang tiba-tiba kemasukkan arwah leluhur.

Setelah itu seorang bapak yang dianggap sebagai pemimpin dari suatu kelompok memarahinya secara langsung karena ia hanya berpura-pura kemasukkan arwah.

Hal itu diketahui karena leluhur tidak pernah berbicara dengan dialek Manado, tapi menggunakan bahasa daerah (bahasa asli). Bapak tersebut mengecewakan situasi „memalukan‟ ini terjadi di atas tanah para leluhur. Tetapi juga, berdasarkan

77 Hasil Wawancara dengan Charles Somba (Pemerhati Budaya Minahasa), 17 Juli 2019, pukul 15:00 WITA, di Mapanget, Kota Manado.

80

wawancara penelitian dengan beberapa informan yang menyatakan kekecewaan dengan teman-teman mereka yang baru saja muncul pada saat pembangunan yang menggerus Waruga Pinandeian di tahun 2018. Padahal, kejadian ini sudah terjadi sejak tahun 2016 pada Waruga Kina'engkoan. Mereka tiba-tiba muncul dan berlagak seperti Pahlawan Kesiangan.

3.5 Resistensi Masyarakat Minahasa

Penghancuran, ketidakadilan serta keberpihakan dari pembangunan proyek raksasa dari pemerintah membuat masyarakat Minahasa yang terdiri atas masyarakat adat, komunitas-komunitas adat, organisasi-organisasi masyarakat adat (ormas adat) dan para pemerhati budaya melakukan perlawanan (resistensi).

Komunitas-komunitas adat ini adalah orang-orang yang memang sejak dulu peduli terhadap situs-situs budaya, merawat dan melakukan penataan tanpa dibayar dan apa yang mereka lakukan dipublikasikan di media sosial. Masyarakat ini bukan hanya yang ada di wilayah Tonsea78, tapi juga dari semua wilayah Minahasa turut melakukan perlawanan.79 Selain itu, masyarakat mainstream80 yang awalnya tidak menaruh perhatian besar dengan budaya dan tradisi Minahasa, juga turun ambil bagian dalam upaya perlawanan ini dan mengakui diri sebagai masyarakat adat.

Masyarakat merasa sepenanggungan karena ini terkait dengan persoalan

Minahasa. Gugatan masyarakat berangkat dari pemindahan Waruga Kina- angko‟an dan Waruga Pinandeian. Pembangunan mega proyek dinilai

78 Suku Tonsea adalah salah satu sub-etnis di Provinsi Sulawesi Utara yang meliputi Kota Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, Tatelu, Talawaan dan Likupung Timur. Terdapat sembilan sub-etnis Minahasa yakni Tontemboan, Tonsea, Toulour, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan, Pasan, Babontehu dan Bantik. 79 Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019, pukul 14:00 WITA, di Kota Manado. 80 Penyebutan mainstream oleh informan dimaksudkan kepada masyarakat “kekinian” yang berpijak pada pengetahuan modern - Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019, pukul 14:00 WITA, di Kota Manado.

81

mengabaikan nilai-nilai historis dan kultural yang diyakini oleh masyarakat

Minahasa. Padahal kubur batu Waruga ini juga telah diakui dan dilindungi oleh

UNESCO. Secara prinsipal-kultural, pemerintah tidak bisa memindahkan Waruga dengan menggunakan alat berat.81 Waruga menjadi bukti adanya peradaban, masyarakat juga memandang penting mengenai tanah atau tempat tersebut sebagai:“Tempat yang sangatlah spesial!”.82

Tanah Adat di Bukit Pinandeian yang merupakan tanah kedudukan Waruga. Itu adalah “Negeri Tua” yang merupakan milik dari Masyarakat Budaya”. “Pemerintah harus peka terhadap budaya, ini kekayaan budaya”.83

Masyarakat memaknai tanah sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan dengan

Waruga. Tanah Kina'engkoan dan Pinandeian merupakan tanah adat sekaligus tanah kedudukkan tempat Waruga berada. Tempat tersebut seharusnya tidak diganggu, apalagi dengan proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

Jika diganggu, maka masyarakat Minahasa akan kehilangan pijakan serta penanda identitas budaya.84 Pemindahan dan perubahan lokasi menghilangkan makna aslinya. Masyarakat menginginkan agar Waruga dan tanah tetap dalam kondisi keaslian dan apa adanya. Selain itu, tanah itu adalah penanda dan bukti peradaban paling pertama dan tertua masyarakat Tonsea.85 “Bagaimana dengan anak dan

81 Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara. 82 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa. 83 Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara. 84 Hasil Wawancara Via Telepon dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 24 April 2019, pukul 11:25 WITA. 85 Hasil Wawancara dengan Rikson Karundeng (Pemerhati Budaya Minahasa dan Gerakan Minahasa Muda), 26 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kota Tomohon.

82

cucu kita nanti secara khusus bagi masyarakat Tonsea? Ketika mereka lahir, mereka sudah tidak memiliki pijakan dan jati diri”.86

“Tanah itu adalah milik adat. Tanah itu bukan tanah biasa. Tanah itu adalah warisan leluhur kami dari satu generasi ke generasi lainnya”.87

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa masyarakat melakukan perlawanan karena kubur batu Waruga sebagai penanda identitas dan jati diri orang Minahasa, tetapi juga persoalan tanah yang merupakan tanah adat satu- satunya di Minahasa. Tujuan perlawanan adalah untuk menegur, mengingatkan serta menolak keras kepada pemerintah atau lembaga pelaksana proyek untuk tidak memindahkan Waruga.88 Perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Minahasa, yakni sebagai berikut:

3.5.1 Aksi Protes

Aksi Protes ini langsung dilakukan oleh masyarakat Minahasa di tempat pelaksana proyek pembangunan tersebut dengan kemarahan, kesedihan, kekecewaan mereka karena hancurnya Waruga-Waruga. Mereka menilai pemerintah telah sengaja melakukan pengrusakkan atas nama pembangunan.89

Dalam aksi protes tersebut masyarakat menggunakan pakaian adat Minahasa serta ada di antara mereka membawa senjata tajam.90 Di saat itu hendak terjadi

86 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa. 87 Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019, pukul 14:00 WITA, di Kota Manado. 88 Hasil Wawancara Via Telepon dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 24 April 2019, pukul 11:25 WITA. 89 Hasil Wawancara dengan Rikson Karundeng (Pemerhati Budaya Minahasa dan Gerakan Minahasa Muda), 26 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kota Tomohon. 90 Dalam wawancara dengan Ipak Fahriani (Tim Peneliti Balai Arkeologi Kota Manado), mereka juga mengaku tidak mendapatkan pemberitahuan secara langsung untuk melakukan perekaman dan dokumentasi Waruga sebagai upaya penyelamatan data terhadap situs megalitik. Seperti halnya yang dilakukan sebelumnya pada tahun 2016 pada situs megalitik Waruga Kina'engkoan. Dari pihak arkeologi, mereka menyatakan tidak setuju dengan pemindahan

83

pertumpahan darah: “waktu itu semua masyarakat sudah siap untuk mati!”

(samua tu masyarakat so siap skali for mati!). Masyarakat lebih memilih kematian fisik dibandingkan kematian ingatan para leluhur dan identitas kultural.

Menurut informan, aksi yang dilakukan tidak hanya sampai pada aksi protes, tapi juga masyarakat dengan jumlah yang sangat besar bersamaan dengan komunitas- komunitas adat seluruh Minahasa bergantian mendatangi lokasi pembangunan dan menetap di sana dengan tujuan menjaga Waruga beserta tanah di lokasi proyek.

Selama ± 1 (satu) bulan masyarakat bertahan dan menjaga tempat itu dengan membuat tenda (camp) dan tidur di lokasi pembangunan serta mereka memilih untuk tidak makan sekalipun.

“Kami cinta Minahasa, ini jati diri Minahasa. Jati diri kami seperti dihina dan diinjak-injak!”.91

Namun, masyarakat tidak mampu melanjutkan aksi karena langsung diblok oleh aparat keamanan. Menurut informan, beberapa aparat keamanan saat itu pun mengalami dilema, di mana di sisi lain mereka harus menjalankan tugas untuk mengamankan lokasi pembangunan dan polemik yang terjadi, namun di sisi pula, mereka mengaku sedih dengan kondisi Waruga yang telah mengalami kehancuran karena mereka juga ada dalam identitas yang sama sebagai orang Minahasa.

Pada tanggal 22 April 2019 di Bundaran Airmadidi, Minahasa Utara bertepatan dengan Hari Lingkungan Nasional, komunitas adat yang terdiri atas para aktivis dan seniman turun ke jalan melakukan “aksi solidaritas”. Selain menolak pengrusakkan alam oleh manusia, aksi tersebut banyak menyinggung serta menolak pengrusakkan Waruga yang terjadi akibat pembangunan di memakai alat berat eskavator. Akan tetapi, pembangunan terus berjalan dan Waruga menjadi hancur. 91 Hasil Wawancara dengan anggota Masyarakat adat Minahasa, 03 Januari 2019, pukul 11:51 WITA, di Watu Pinabetengan, Minahasa.

84

Minahasa Utara. Masyarakat Minahasa meyakini bahwa alam juga menjadi bagian dari hidup mereka terutama terkait dengan warisan leluhur. Menurut informan, aksi tersebut secara langsung berfokus pada pembangunan yang mengorbankan peninggalan leluhur dan tambang yang merusak tanah dan air sebagai sumber hidup.92 Masyarakat mendukung jalannya pembangunan, tapi tidak dengan menghancurkan Waruga karena tidak hanya sekedar kubur batu biasa. Masyarakat menilai bahwa pembangunan dilakukan hanya untuk segelintir orang saja, dan tidak bagi masyarakat adat dan para pemerhati budaya. Menurut informan, pembangunan bukannya menghidupkan dan memajukan masyarakat Minahasa, namun justru pembangunan secara perlahan membunuh orang Minahasa itu sendiri.93 Dalam aksi solidaritas, masyarakat membuat sebuah pementasan teater.

Gambar 6. Pementasan Teater di Bundaran, Airmadidi, Minahasa Utara Sumber: Dokumentasi oleh Bode Grey Talumewo94

Dalam gambar tersebut terlihat dua orang yang tubuhnya dicat masing- masing berwarna biru dan merah. Biru melambangkan alam dan bumi yang dihuni oleh manusia, sedangkan merah melambangkan keserakahan manusia

92 Hasil Wawancara dengan Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado. 93 Hasil Wawancara dengan Rikson Karundeng (Pemerhati Budaya Minahasa dan Gerakan Minahasa Muda), 26 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kota Tomohon. 94 Bode Grey Talumewo, “Peringatan Hari Bumi, 22 April 2019, di Bundaran Tumatenden Airmadidi”., https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10217113202115635&set=p.10217113202115635&ty pe=3&theater diakses pada tanggal 15 Juli 2019, pukul 20:16 WITA.

85

menghancurkan alam karena lajunya modernisasi dan pembangunan. Adapun sekelompok orang yang memakai pakaian Kawasaran yang melambangkan orang

Minahasa yang selama ini menjaga tanah dan alam tempat mereka tinggal.95

3.5.2 Aksi Save Waruga

Aksi tersebut ternyata tidak berhenti sampai di situ, pada bulan Juli 2019, ketika Presiden Indonesia berkunjung ke Kota Bitung, Sulawesi Utara, komunitas adat dan organisasi masyarakat adat Kota Bitung juga melakukan aksi dan menunjukkan tulisan spanduk “Selamat datang Pak De”. Namun, di balik itu ada tulisan-tulisan #SaveWaruga #SaveTanahAdat. Aksi tersebut secara spontan dilakukan dengan harapan bahwa Presiden Indonesia dapat memberikan solusi dan memperhatikan situasi situs Waruga yang menjadi korban pembangunan di

Minahasa Utara. Secara spontan, aksi tersebut dihentikan oleh aparat yang sedang menjaga keamanan di daerah tersebut karena tidak memiliki izin melakukan aksi serta kalimat: “Di sini bukan tempat yang cocok mengatakan hal itu!” (bukang di sini depe tampa ngoni bilang begitu).96 Adapun momen Hari Ulang Tahun

Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2018 di Istana Presiden, beberapa anggota masyarakat Minahasa diundang untuk melakonkan Tarian

Kawasaran. Momen tersebut mereka pakai untuk mengunggah foto di media sosial dengan latar belakang Istana Presiden dengan memakai pakaian adat serta memegang secarik kertas dengan tulisan #SaveWaruga.

Selain itu, beberapa anggota masyarakat adat Minahasa yang diutus pada

Kongres Masyarakat adat Nasional yang diselenggarakan oleh AMAN (Aliansi

95 Hasil Wawancara dengan Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado. 96 Hasil Wawancara dengan Charles Somba (Pemerhati Budaya Minahasa), 17 Juli 2019, pukul 15:00 WITA, di Mapanget, Kota Manado.

86

Masyarakat Adat Nusantara) tahun 2017 memakai momen ini untuk menyuarakan

#SaveWaruga. Menurut informan, dalam Kongres tersebut pihak AMAN mengundang Presiden Joko Widodo untuk datang dalam Kongres AMAN tahun

2017, tapi Presiden saat itu berhalangan hadir. Beberapa waktu kemudian

Presiden mengundang AMAN di Istana Presiden dan membicarakan terkait dengan masyarakat adat. Di saat itu AMAN membawa Surat Terbuka “Titip

Salam untuk Jokowi”97 yang di dalamnya merupakan suara dari masyarakat adat

Minahasa terkait dengan proyek pembangunan nasional yang menggerus warisan- warisan kultural. Surat terbuka tersebut tertulis demikian:

“Titip Salam Buat Jokowi”98 Kebijakan pemerintah yang berpihak pada Masyarakat Adat selama ini sangat baik. Apresiasi tentu harus diberikan untuk Pak Presiden, Jokowi, terutama dari masyarakat adat. Tetapi berbarengan dengan itu (bahkan lebih cepat dari itu) proyek-proyek pembangunan nasional pemerintahan Jokowi- JK sering menyakitkan hati masyarakat adat. Di Sulawesi Utara, Proyek Strategis Nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2016, secara sistematis telah menghancurkan kawasan situs sejarah budaya masyarakat adat Minahasa. Proyek tersebut adalah Pembangunan Waduk Kuwil di Minahasa Utara yang ditinjau langsung oleh Jokowi Desember 2016 lalu dan Pembangunan Jalan Tol Manado-Bitung. Masyarakat Minahasa adalah masyarakat yang kondisinya termasuk paling tragis. Hampir seluruh ingatan tentang jati dirinya, nilai-nilai warisan leluhur telah dirampas sejak era kolonial hingga kini. Situs sejarah budaya seperti Waruga (makam tua leluhur Minahasa) dan Watu Tumotowa (situs penanda pendirian kampung) adalah sedikit ingatan yang tersisa. Karena itulah Waruga dan Watu Tumotowa sangat berharga bagi masyarakat Minahasa. Situs-situs itu bukan hanya sekedar objek penelitian, sumber studi yang dilindungi Undang-Undang tapi terutama adalah bukti peradaban, pintu masuk menuju ingatan tentang siapa orang Minahasa dan tempat persemayaman para leluhur.

97 Surat ini juga dimuat di Surat Kabar Media Sulut berjudul “Sorot Kezaliman atas Situs Budaya: AMAN Sulawesi utara Titip Salam Buat Jokowi”, Kamis 19 Juli 2018. 98 Surat ini diambil dari Rivo Gosal (Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi Utara), Agustus 2019.

87

Penghormatan terhadap leluhur adalah hal penting bagi masyarakat Minahasa. Karena itu, penghancuran situs-situs ini juga dianggap tindakan kurang ajar, bentuk penghinaan terhadap orang Minahasa. Sejak awal teriakan demi teriakan disuarakan masyarakat Minahasa, mengritisi rencana penghancuran kawasan situs tersebut. Sayang, teriakan itu tak pernah didengar. Ada harapan besar, tangis masyarakat adat Minahasa ini bisa didengar Bapak Presiden Joko Widodo yang kami banggakan. Hingga segala bentuk penghancuran situs sejarah budaya atas nama pembangunan di Minahasa bisa dihentikan. Masyarakat Minahasa tidak pernah menolak pembangunan, apalagi dengan alasan untuk kesejahteraan masyarakat. Tapi pembangunan yang mengabaikan situs sejarah budaya, harta penting warisan leluhur Minahasa, tentu akan selalu ditolak.

Namun, setelah disampaikan, tidak ada jawaban bahkan hingga saat ini pembangunan masih terus berlanjut. Selain itu, pada Hari Masyarakat Adat di

Bali, mereka mengkampanyekan hal yang sama. Menurut informan, mereka melakukan hal tersebut „keluar daerah‟ supaya upaya menyelamatkan budaya di

Minahasa dapat diketahui oleh masyarakat secara nasional bahkan internasional.99

3.5.3 Mediasi dan Dialog di Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara

Dengan berpakaian adat Minahasa, masyarakat melakukan hearing atau mendatangi Kantor DPRD Kota Manado untuk berdialog dengan pihak dan oknum yang terkait dengan persoalan pembangunan di Minahasa Utara.100

Gerakan ini merupakan perwakilan komunitas adat di Sulawesi Utara. Menurut informan, sebelum masyarakat melakukan gerakan, mereka mengadakan upacara adat di Waruga Wanue Ure Lotta, Pineleng. Tujuan diadakan upacara adat, masyarakat memohon restu dan perlindungan dari Yang Maha Tinggi (Opo

Empung) karena persoalan yang sedang mereka hadapi adalah persoalan yang

99 Hasil Wawancara dengan Charles Somba (Pemerhati Budaya Minahasa), 17 Juli 2019, pukul 15:00 WITA, di Mapanget, Kota Manado. 100 Hasil Wawancara dengan Charles Somba (Pemerhati Budaya Minahasa), 17 Juli 2019, pukul 15:00 WITA, di Mapanget, Kota Manado.

88

sangat serius. Mereka juga memohon agar para leluhur ikut terlibat dalam upaya perjuangan yang dilakukan.

Di Kantor Dewan, terjadi mediasi dan dialog dengan pemerintah. Dalam proses dialog, masyarakat membaca gagasan pengetahuan yang merupakan hasil diskusi dari 29 orang mengenai pentingnya Waruga dan tanah adat Kina-angko‟an dan Pinandeian.101 Masyarakat menyatakan untuk tetap melanjutkan pembangunan, tapi dengan tegas menolak untuk memindahkan Waruga. Gugatan- gugatan masyarakat Minahasa termuat dalam tulisan antara lain:

 Mengutuk tindakan penghancuran Waruga Kuwil-Kawangkoan;

 Menolak relokasi Waruga tersebut dari tempat aslinya, Wanua Ure

Kina-angko‟an;

 Meminta DPRD Sulawesi Utara untuk bersama-sama dengan

masyarakat Adat Minahasa menuntut oknum-oknum yang tidak

bertanggungjawab karena telah merusak situs-situs budaya di

Kuwil-Kawangkoan;

 Meminta DPRD Sulut untuk bersama-sama mendesak aparat

hukum mengusut kasus pengrusakkan situs budaya di Kuwil-

Kawangkoan hingga tuntas;

101 Ke-29 orang tersebut merupakan perwakilan dari komunitas-komunitas adat di Minahasa antara lain: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi Utara (AMAN), Gerakan Minahasa Muda, Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur, Institut Kajian Budaya Minahasa, Mawale Cultural Center, Tou Muda Sumonder, Pinaesaan Tontemboan, Waraney Wuaya, Barisan Pemuda Adat Nusantara, Komunitas Mapatik, Tou Muda Tolour, Gerakan Mahasiswa Minahasa, Tou Muda Tombulu, Tou Muda Tonsawang, Tontemboan Muda, Komunitas Tondano, Tou Rangow Muda, Masyarakat Muda Bersatu Wuwuk, Pawowasan Tondano, Klabat Muda, Tou Muda Tonsea, Pinawetengan Muda, Sanggar Tumondei, Kama Mawale, Sanggar Bukit Berbunga Amurang, Tou Muda Bitung Tonsea, Mahasiswa Pecinta Budaya dari Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT), Universitas Negeri Manado (UNIMA), dan Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT).

89

 Mendesak Pemerintah (termasuk DPRD) untuk mencegah pihak

manapun melakukan pengrusakkan terhadap situs sejarah budaya

di Minahasa;

 Meminta kepada pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Eksekutif

dan Legislatif) dan Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara untuk

membuat program yang bisa merangsang kesadaran masyarakat

agar bisa mencintai warisan budaya leluhur, membuat Perda

(Peraturan Daerah) perlindungan terhadap situs-situs budaya

Minahasa, melakukan penataan kembali Waruga yang telah dirusak

dan dijarah.102

Gambar 7. Komunitas Adat di Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara Sumber: Dokumentasi oleh Rikson Karundeng103

Hasil-hasil dari dialog tersebut ialah meninjau kembali lokasi pembangunan, mengeluarkan Surat Resmi dan menyampaikan aspirasi masyarakat ke Pemerintah

Pusat serta mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) untuk melindungi situs dan warisan budaya. Menurut informan, pemerintah telah melakukan peninjauan

102 Jaringan Komunitas Budaya, “Save Waruga, Save Minahasa”, 10 November 2016 di Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara. 103 Rikson Childwan Karundeng, Album Foto Facebook “Save Waruga, Save Minahasa”., https://www.facebook.com/rikson.karundeng/media_set?set=a.10209668856135757&type=3 diakses pada tanggal 17 Juli 2019, pukul 18:00 WITA.

90

kembali, tapi setelah itu, tidak ada hasil bahkan sampai saat ini belum ada informasi terkait dengan aturan yang dibuat oleh pemerintah.104 Hal ini membuat masyarakat semakin kecewa dan marah dengan tindakan pemerintah. Ditambah lagi tidak ada perwakilan pemerintah dari Kabupaten Minahasa Utara dalam proses mediasi dan dialog tersebut.

Sebelum melakukan dialog, beberapa anggota komunitas adat secara kolektif melakukan tarian Kawasaran di depan Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara.

Tarian Kawasaran adalah tarian perang tradisional Minahasa yang berfungsi sebagai penunjuk jalan dan perintis jalan. Dengan melakonkan tarian Kawasaran menjadi simbol masyarakat melakukan peperangan terhadap jiwa keserakahan dan bagi oknum-oknum yang berusaha menghancurkan Waruga. Tarian ini juga menunjukkan bahwa eksistensi keminahasaan itu masih dan akan terus ada.

Dalam pengertian yang lain pula, tarian Kawasaran berada di posisi terdepan untuk menuntun masyarakat agar proses mediasi berlangsung lancar dan damai.

Menurut informan, ketika memasuki Kantor Dewan, masyarakat memiliki rasa kecewa dan kemarahan yang sangat besar terhadap pemerintah. Karena itu, tarian

Kawasaran berperan sebagai penengah atas persoalan yang terjadi antara masyarakat dan pemerintah.105 Perlawanan ini juga dilakukan di tempat-tempat yang dapat menarik perhatian banyak orang seperti di pusat kota Manado yakni daerah pertokoan modern yang berada di Jl. Boulevard Manado. Dalam aksinya, setiap anggota masyarakat memegang sebuah kertas dengan tulisan #SaveWaruga

#SaveTanahAdat.

104 Hasil Wawancara dengan Rikson Karundeng (Pemerhati Budaya Minahasa dan Gerakan Minahasa Muda), 26 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kota Tomohon. 105 Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019, pukul 14:00 WITA, di Kota Manado.

91

Gambar 8. Tarian Kawasaran sebelum proses mediasi di Kantor Dewan (kiri); Masyarakat adat melakukan aksi #SaveWaruga (kanan) dengan melakonkan Tarian Kawasaran di sekitar pertokoan modern di Kota Manado. Sumber: Dokumentasi oleh Rikson Karundeng106

3.5.4 Perlawanan berbasis Seni dan Sastra

Masyarakat adat dan pemerhati budaya juga melakukan perlawanan yang berbasis pada sastra dan budaya. Respon masyarakat bukan hanya aksi secara langsung tapi melalui seni. Melalui komunitas Mawale Movement, anggota- anggota yang mempunyai minat di bidang seni memiliki tujuan: (1) Menanamkan kembali spirit keminahasaan: (2) Menyorot isu-isu kebudayaan yang terjadi di

Minahasa.107 Dinamika pembangunan yang terjadi di Minahasa Utara membuat komunitas seni ini menggambar sebuah lukisan, seperti berikut:

106 Rikson Childwan Karundeng, Album Foto “Save Waruga, Save Minahasa”., https://www.facebook.com/rikson.karundeng/media_set?set=a.10209668856135757&type=3 diakses pada tanggal 17 Juli 2019, pukul 18:00 WITA. 107 Hasil Wawancara dengan Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado.

92

Gambar 9. “Mawalui” karya Charlie Samola.

Mawalui berarti orang yang kelihatannya berasal dari Minahasa, tapi memiliki kepentingan di baliknya dan suatu saat akan berkhianat. Gambar yang menyerupai „hantu‟ tersebut merupakan simbol dari suatu kekuasaan atau energi yang sangat kuat dan orang Minahasa tidak mampu untuk melawan. Menurut informan, komunitas sastra memiliki harapan bahwa karya mereka akan memberikan penyadaran kepada seluruh masyarakat Minahasa tentang pentingnya budaya sebagai jati diri dan identitas orang Minahasa.108 Melalui gambar ini juga hendak memberi peringatan agar kasus seperti pembangunan di Minahasa Utara dan ketidakpedulian kultural ini tidak akan pernah terjadi lagi. Selain itu, gambar ini memberikan pemahaman kepada generasi muda yang tak lagi peduli dengan budaya karena adanya pengaruh modernisasi yang menimbulkan sikap

“pembiaran budaya”. Hal tersebut menyebabkan krisis identitas dari seluruh masyarakat Minahasa.109

108 Hasil Wawancara dengan Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado. 109 Hasil Wawancara dengan Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado.

93

3.5.5 Mulut Ke Mulut, Media Sosial, Lagu “Rumah Jiwa”

Dampak pembangunan ini ternyata tidak main-main. Informasi mengenai pembangunan dan hancurnya situs Waruga mewabah yakni dengan istilah mulut ke mulut masyarakat Minahasa bahkan di dalam media sosial. Menurut informan, mulut ke mulut ini merupakan cara tua dan sederhana dari masyarakat sehingga masyarakat yang sejak awal tidak menaruh perhatian mengenai adat dan budaya

Minahasa ikut mencari informasi lebih mendalam mengenai persoalan pembangunan yang terjadi.110 Diskusi-diskusi, seminar dan focus group discussion (FGD) mulai bermunculan akibat dari pembangunan tersebut, seperti

Diskusi Ilmiah yang bertemakan “Waruga, mau ke mana?” yang dimediasi oleh

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sam Ratulangi Manado, Forum Bakudapa “Selamatkan

Waruga”, dan lain-lain sebagainya. Hasil dari diskusi tersebut dilanjutkan dengan aksi oleh masyarakat dengan kembali mengunjungi situs-situs dan benda-benda purbakala seperti Waruga dan melakukan perawatan (ba bersih). Mereka telah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah sehingga tidak lagi menunggu janji pemerintah untuk menindaklanjuti mengenai keberadaan Waruga. “Hari ini kita bicara baik-baik, besoknya mereka langsung bongkar”.111 Karena itu, muncul inisiatif dari berbagai kalangan komunitas untuk meninjau warisan budaya yang ada di Minahasa. Selain itu, masyarakat Minahasa juga menciptakan sebuah lagu:

110 Menurut informan, masyarakat juga yang awalnya merasa budaya dan adat Minahasa sebagai sesuatu yang menjijikan, ikut dalam pencarian informasi bahkan mulai mencintai budaya Minahasa - Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019, pukul 14:00 WITA, di Kota Manado. 111 Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019, pukul 14:00 WITA, di Kota Manado.

94

Di masa lampau itu keringat darah terbuang dan Tanah pijakan ini pengorbanan Terima kasih mereka atas kedamaian ini Ketenangan sukacita kami. *Reff: Saudara lihatlah sejenak Rumah Jiwa para leluhur kita Mengenang semua terlintas angin Hati menangis bangga menatap kita.

Kini raga terkulai, tulang gigi tersebar. Suara hati kami terabaikan! Dengarkan jerit kami, dengarkan tangis kami! Ketenangan sukacita kami*.

(Ciptaan: Andre Lengkong)

Sebuah lagu dan video diciptakan oleh masyarakat Minahasa sebagai bagian dari ekspresi kekecewaan dan kesedihan mereka terhadap tindakan pembangunan yang menggusur jati diri mereka. Lagu ini ternyata berdampak bagi orang-orang yang bukan berasal dari Minahasa. Mereka menyatakan kepedulian mereka dengan budaya Minahasa. Salah satunya ialah seseorang yang berasal dari

Sangihe ketika mendengar lagu “Rumah Jiwa” secara spontan teringat dengan leluhurnya di tanah Sangihe bahkan langsung memberi diri untuk menyanyikan lagu ini dan dimasukan dalam bentuk video tersebut ke dalam dunia maya. Video dan lagu tersebut diunggah di sosial media dan You Tube.112 Lagu ini juga dinyanyikan dalam festival budaya Minahasa seperti festival Kimuwu.113 Adapun propaganda media melalui video yang disebarluaskan dengan #SaveWaruga

#SaveTanahAdat. Dari seluruh masyarakat adat se-nusantara dan Aliansi

Masyarakat Adat Nusantara bahkan film dokumenter #SaveWaruga “Rumah Jiwa

112 Minahasa Poenya, “Lagu Minahasa – Rumah Jiwa”, https://www.youtube.com/watch?v=_AX09yP4Lq8 Published on Oct 16, 2018, diakses pada tanggal 16 Juli 2019, pukul 19:30 WITA dengan 2.151 views. 113 Hasil Wawancara dengan Andre Lengkong (Pemerhati Budaya Minahasa), 1 Agustus 2019, pukul 15:18 WITA, di Kota Manado.

95

Leluhur”.114 Masyarakat nusantara tersebut dari Kalimantan Barat, Kalimantan

Tengah, Jawa Timur, Bogor, Palu, Halmahera, Lombok, Goa, Sumatera Utara,

Palembang, Jawa Barat, Maluku Utara, Maluku Tengah dan juga Swiss menyatakan mendukung gerakan masyarakat Minahasa “Selamatkan Waruga!” serta mendukung kembalinya jati diri Minahasa. Mereka juga menyatakan bahwa pengrusakkan Waruga adalah bunuh diri.115

Tragis! Hampir seluruh ingatan tentang jati diri telah dirampas oleh era kolonial hingga kini. Ini merupakan tindakan kurang ajar! Bentuk penghinaan terhadap orang Minahasa Pengrusakkan secara sistematis ini akan selalu kami tolak! I Yayat U Santi!116 Beberapa kali kami mencoba melawan, tapi apalah daya tangan kapitalis terlalu besar!

3.5.6 Perlawanan Alam

Dalam pemahaman masyarakat Minahasa khususnya masyarakat adat,

Waruga bukanlah kubur biasa, tapi Waruga itu sakral. Menurut para informan, mereka memaknai ketika ada yang mengganggu, merusak, mencuri, bahkan tidak menghormati Waruga maka akan ada dampak yang serius. Persoalan pembangunan ini ternyata meninggalkan korban yang tidak sedikit, yakni 7

(tujuh) korban yang meninggal dunia.117 Ada yang mengalami sakit hingga pada akhirnya meninggal. Selain itu, mesin yang dipakai dalam pembangunan dan alat

114 Armando Loho, “Film Dokumenter #SaveWaruga Rumah Jiwa Leluhur”, https://www.youtube.com/watch?v=Uippp7e5Ol4&t=452s, published on Sept 24, 2019, diakses pada tanggal 30 September 2019, pukul 00:34 WITA dengan 5.586 views. 115 Rikson Karundeng, “Masyarakat Adat Se-Nusantara Gugat Pengrusakkan Waruga”, https://www.youtube.com/watch?v=yCLc8Y1tPAI, published on Aug 2, 2018, diakses pada tanggal 23 Juli 2019, pukul 12:06 WITA dengan 1.575 views. 116 Akar Kanonang, “Waruga, Warisan Leluhur Minahasa Terancam”, https://www.youtube.com/watch?v=04tiuGbnTuY&t=19s , published on Jul 19, 2018, diakses pada tanggal 23 Juli 2019, pukul 11:00 WITA dengan 1.741 views. 117 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul 18:18 WITA, di Sonder, Minahasa.

96

berat seperti eskavator masing-masing mengalami kerusakkan. Masyarakat meyakini hal tersebut adalah bagian dari karma karena menggerus Waruga dan tanah leluhur mereka. Tetapi juga menjadi tanda untuk memberhentikan proyek pemerintah ini. Ketika hal itu terjadi serta aksi yang dilakukan oleh masyarakat

Minahasa, selama 3 (tiga) bulan proyek tersebut terjeda untuk sementara waktu.

Menurut masyarakat adat dan lokal, waktu selesai relokasi Waruga Kina'engkoan, badai dan hujan keras dari sore menjelang malam terjadi usai mengangkat Waruga

Kepala Walak Kalawat Atas, Dotu Makalew ne Wurangian Dua. Karena itu, muncul istilah dari masyarakat yakni “Pinandeian Menangis”. Menurut kesaksian warga sekitar, bagian tangan alat eskavator patah. Truk pekerja terperosok dan para pekerja meninggal dunia akibat jatuh ke sungai, lalu diikuti longsor. Ada juga penampakan nenek, penghuni negeri tua, Waruga yang bergerak serta mengeluarkan suara, bahkan seseorang yang mengaku didatangi arwah leluhur.

Tak sampai di situ, seorang mantan pejabat Minahasa Utara, yang memfasilitasi pemindahan waruga, tak berselang lama diberhentikan dan jatuh sakit. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ini merupakan fenomena yang diyakini oleh masyarakat adat, karena karma.

3.6 Kesimpulan

Dalam penelitian ini didapati betapa dalamnya pemaknaan masyarakat

Minahasa terhadap warisan leluhur kubur batu Waruga. Waruga tidak hanya dilihat dari objeknya, tapi nilai-nilai yang merefleksikan siapa, bagaimana dan jati diri orang Minahasa serta tanah adat (kalekeran). Waruga merupakan memori atau ingatan tentang para leluhur dengan nilai-nilai yang mereka tanamkan, sehingga melalui ritual-ritual di sekitaran Waruga membuktikan masyarakat terus

97

mempertahankan tradisi luhur Minahasa. Pemaknaan itu yang membuat masyarakat mengeskpresikan kemarahan, kesedihan, kekecewaan dengan melakukan perlawanan. Mereka bahkan bersedia untuk mengorbankan nyawa dan bentrok dengan aparat keamanan demi menjaga ikatan dari generasi ke generasi dengan para orangtua (leluhur). Selain dengan tujuan menolak dan mengutuk tindakan pemerintah atas pembangunan yang menghancurkan warisan leluhur

Minahasa, mereka juga berkeinginan agar melalui aksi memberi peringatan kepada seluruh masyarakat Minahasa bahwa lambat laun pijakan, identitas kultural serta jati diri tentang siapa orang Minahasa akan semakin hilang.

Masyararakat memang tidak bisa menahan lajunya modernitas dan pembangunan, namun pembangunan yang tidak melihat tradisi dan kepercayaan adalah bukti

Minahasa sedang dihancurkan perlahan-lahan.

98