Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman https://ejournal.iai-tribakti.ac.id/index.php/intelektual Volume 9, Nomor 3, Desember 2019 p-ISSN: 1979-2050/e-ISSN: 2685-4155

Islam : Strategi Perjuangan “Keumatan”

Ahmad Khoirul Mustamir Program Pascasarjana Institut Agama Tribakti Kediri [email protected]

Abstract The Islamic Discourse of the Archipelago increasingly found its momentum in the struggle for the meaning of Islam. Many are pros and not a few cons. The pros, driven by the NU religious movement. While those who are cons, radical groups are identified. In this context, it is important to study more deeply about Islam Nusantara. This research uses the method of library research or Library Research. A literature study is a data collection technique by conducting a study of books, literature, notes, and reports that are related to the problem being solved. This article utilizes journals, materials and relevant information to be collected, read and reviewed, recorded as a guide or reference source. The results showed that the ability of Islamic da'wah to adapt to local culture made it easier for Islamic da'wah to enter the lowest strata of society. Inevitably, Islam as a religion that spreads throughout the world appears creatively in dialogue with the local community (local), is in a position to accept the traditions of the community, while modifying it into a new culture that can be accepted by the local community and still within the path of Islam. Therefore, the arrival of Islamic da'wah is enlightenment for the Southeast Asian region, especially .

Keywords: Islam Nusantara, Struggle Strategy, Nahdlatul Ulama

Abstrak Wacana Islam Nusantara semakin menemukan momentumnya dalam perebutan makna Islam. Banyak yang pro dan tidak sedikit yang kontra. Yang pro, dimotori oleh gerakan keagamaan NU. Sedangkan yang kontra, teridentifikasi kelompok-kelompok radikal. Dalam konteks inilah, penting untuk mengkaji lebih mendalam tentang Islam Nusantar. Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan atau Library Research. Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Artikel ini memanfaatkan jurnal, bahan-bahan dan informasi yang relevan untuk dikumpulkan, dibaca dan dikaji, dicatat sebagai pedoman ataupun sumber referensi. Hasil penelitian menunjukkan, kemampuan dakwah Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan dakwah Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Tak pelak lagi, Islam sebagai agama yang menyebar ke seluruh penjuru dunia tampil secara kreatif berdialog dengan masyarakat setempat (lokal), berada dalam posisi yang

Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Volume 9, Nomor 3, Desember 2019 297 Islam Nusantara: Strategi Perjuangan “Keumatan” Nahdlatul Ulama Oleh: Ahmad Khoirul Mustamir

menerima tradisi masyarakat, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat dan masih berada di dalam jalur Islam. Karena itu, kedatangan dakwah Islam merupakan pencerahan bagi kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia.

Kata Kunci: Islam Nusantara, Strategi Perjuangan

Pendahuluan sebagai “ashab al-Jawiyyin” atau “jama’ah Wacana Islam Nusantara semakin al-Jawiyyin”. 2 menemukan momentumnya dalam Dalam konteks ini, Islam perebutan makna Islam. Jika dilihat Nusantara mirip dengan karakter Islam kebelakang, wacana ini mengeras saat dalam tujuh ranah agama dan budaya. dijadikan tema pada Muktamar NU ke-33 Perspektif religio-cultural Islam Islam di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Nusantara seperti Islam Arab, Islam Agustus 2015. Tema “Meneguhkan Islam Persia/Iran, Islam Turki, Islam Anak Nusantara untuk Peradaban Indonesia Benua , Islam Sino Islamic, Islam dan Dunia” sepertinya menjadi lompatan Afrika Hitam dan Islam Dunia Barat. besar NU dalam penegasan kongkretisasi Kedelapan religio cultural tersebut, nilai-nilai Islam Nusantara yang secara mempunyai persamaan dalam bidang normatif doktrinal menganut ajaran akidah dan ibadah, akan tetapi memiliki Islam ahlussunnah wal jamaah an ranah karakter keagamaan berdasarkan nahdliyah.1 Diskursus inipun dijadakan budaya sendiri-sendiri. Islam dan budaya sarana dakwah keuamatan dalam akan menemukan prinsip yang saya membendung faham radikalisme. tentang nilai-nilai kemanusiaan universal Menurut “Islam (persamaan, keadilan, perdamaian, Nusantara” dalam dunia akademis penghormatan, toleransi dan lain mengacu kepada “Southeast Asian Islam” sebagainya. yang terdapat di wilayah Muslim Akhmad Sahal menuturkan, Indonesia, Malaysia, Brunei, Pattani pemahaman mengenai Islam Nusantara (Thailand Selatan) dan Mindanau mensyaratkan adanya hubungan yang (Filipina Selatan). Wilayah Islam saling terkait antara dimensi keagamaan Nusantara dalam literatur prakolonial dan budaya. Dimensi ini menjadikan disebut “negeri bawah angin” (lands below Islam mampu berdialektika dengan batas the wind). Lebih spesifik dalam literatur wilayah geografis teritorial yang Arab sejak abad ke-16, kawasan Islam memiliki akar budaya tertentu. Dengan Nusantara disebut “bilad al-Jawi” (Negeri demikian, Islam tidak lagi menampilkan Muslim Jawi), yaitu Asia Tenggara. Umat wajah suram, kaku dan tertutup, namun Muslimin Nusantara biasa disebut lebih menghargai perbedaan, membiar-

1 2

M. Ramlan, Tata Bahasa Indonesia: Azyumardi Azra, “Islam Indonesia Penggolongan Kata (Yogyakarta: Andi Offset, Berkelanjutan”, dalam Opini Kompas, 3 Agustus

298 1985). H. 37 2015.

Page Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Volume 9, Nomor 3, Desember 2019 Islam Nusantara: Strategi Perjuangan “Keumatan” Nahdlatul Ulama Oleh: Ahmad Khoirul Mustamir kan yang lain hadir dalam ruang sosial Nusantara”.4 Menurut ulama-ulama dan dan budaya. Islam, dalam kapasitas cendekiawan NU, penjelasan Gus Mus di demikian, sangat mengakomodir nilai- atas memang tidak dalam konteks nilai sosial dan budaya yang sudah untuk meredam ketakutan-ketakutan berlangsung selama berabad-abad dalam suatu kelompok tertentu yang salah suatu wilayah tertentu. Hal ini dalam memahami Islam Nusantara. ditegaskan pula oleh Abdurrahman Namun perlu dipahami bahwa Wahid (Gus Dur), yang mengatakan, penunjukan tempat juga berarti menguak “Tumpang tindih antara agama dan unsur-unsur yang ada dalam tempat budaya akan terjadi terus menerus tersebut. Maka, mau tidak mau, suka atau sebagai suatu proses yang akan tidak suka, kita harus tetap merangkul memperkaya kehidupan dan watak dan karakteristik dari sebuah membuatnya tidak gersang.”3 wilayah yang bernama Nusantara. Pandangan ini sekaligus menegas- Ulasan secara akademik, seperti kan, Islam Nusantara menolak cara-cara yang disampaikan Teuku Kemal Fasya beragama yang diekspresikan oleh dalam esainya, Dimensi Puitis dan Kultural kelompok Islamisme atau kelompok Islam Nusantara,. Ia mendefinisikan radikal. Kelompok-kelompok ini bahwa Islam Nusantara ialah proses menolak Islam Nusantara, karena Islam penghayatan dan pengamalan lokalitas Nusantara diangap sebagai madzhab umat yang tinggal di Nusantara. baru. mereka berpendapat, madzhab Penabalan kata “Nusantara” bukan baru ini tidak mempunyai landasan sekadar penegasan nama tempat atau secara historis ataupun nasab keilmuan nomina, melainkan lebih penting, kepada madzhab-madzhab yang sudah penjelasan adjektiva atau kualitas Islam diakui dalam keilmuan keIslaman. “di sini” yang berbeda dengan Islam “di Pandangan ini pun mendaoatkan respon sana”. Keberhasilan Islam jadi agama dari KH. Mustofa Bisri (Gus Mus). Nusantara yang damai tak bisa Menurut KH. Mustofa Bisri (Gus dilepaskan dari daya adaptasi dan Mus) kata Nusantara itu akan salah resiliensi pengetahuan, kesenian dan maksud jika dipahami dalam struktur kebudayaan lokal. Kredo teologis yang na’at-man’ut (penyifatan) sehingga serba melangit itu bertemu dengan berarti, “Islam yang dinusantarakan.” dimensi kultural masyarakat dan Akan tetapi akan benar bila diletakkan beresonansi melalui pengetahuan lokal.5 dalam struktur idhafah (penunjukan Hal ini menemukan bentuk hitorisnya tempat) sehingga berarti “Islam di

3 5 Akhmad Sahal (eds.), Islam Nusantara Dari Teuku Kemal Fasya, “Dimensi Puitis dan Ushul hingga Paham Kebangsaan, Cet. I Kultural Islam Nusantara”, dalam Opini Kompas, 4

(Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 33. Agustus 2015. 299 4 Edi AH Iyubenu, “Ontran-Ontran Islam Nusantara”, dalam Opini Jawa Pos, 24 Juli 2015. Page Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Volume 9, Nomor 3, Desember 2019 Islam Nusantara: Strategi Perjuangan “Keumatan” Nahdlatul Ulama Oleh: Ahmad Khoirul Mustamir

dalam sejarah penyebaran Islam yang Melalui ketiga doktrin ortodoksi inilah, dilakukan oleh wali songo. NU telah berhasil memunculkan wajah Lepas dari beragam istilah yang Islam—yaitu Islam Nusantara—yang muncul untuk menunjuk kepada Islam berbeda dengan Islam di pelbagai Nusantara yang memiliki beragam belahan dunia. konsekuensi terminologis. Namun Pandangan terssebut menjadai demikian, dapat dipastikan secara cara pandang pemikiran Institut Agama kultural Islam Nusantara yang di Islam Tribakti (IAIT) Kediri. Perspektif dalamnya melekat pelbagai sistem nilai ini menjadi ruh ke-Islam-an yang masih terasa pengaruhnya dalam ditranformasikan ke dalam kehidupan perkembangan Islam di Indonesia hingga seluruh civitas akademis IAIT Kediri. saat ini. Benih-benih Islam Nusantara Meskipun demikian, IAIT sangat selama berabad-abad sudah tersemaikan menghormati cara pandang berbeda di negeri ini dan memberi perangkat tentang Islam Nusantara di lingkungan fungsional yang memberi warna akademis. Perbedaan ini justru akan keislaman kepada kehidupan bangsa membangun dan mengenbangkan secara keseluruhan. dinamika pemikiran dan keilmuan Islam Dengan demikian, khazanah Islam di lingkup IAIT Kediri. Nusantara yang menjadi blueprint (cetak Berdasarkan hal itu, penulis akan biru) karena ‘terlembagakan’ dalam membatasi tema tulisan ini dalam pelbagai sistem kepercayaan atau tradisi konteks pro terhadap Islam Nusantara. keagamaan NU tidak dapat dipisahkan Bagi yang menolak, penulis memohon dari proses dakwah atau penyebaran untuk menuliskan gagasannya melalui Islam di Indonesia sejak beberapa abad karya tulis Ilmiah sebagai bentuk sebelumnya.6 Dalam kapasitas demikian, kedewasaan intelaktual. Akhirnya, dalam NU telah berupaya ‘mengislamkan’ nilai- pendangan penulis, karya yang sudah nilai ke-Nusantara-an dan ’menusantara- dipublis, maka tafsir makna bukan milik kan’ nilai–nilai ke-Islam-an, setidaknya penulis akan tetapi milik publik. Bahasan melalui tiga doktrin ortodoksi. Ketiga penelitian ini dibatasi dalam menyoal ortodoksi itu adalah Pertama, dalam Islam Nusantara dalam Ideologi dan bidang teologi, NU menganut faham Tradisi, serta Islam Nusantara dalam Asyáriyah dan Maturidiyah. Kedua dalam lanskap pribumisasi Islam. bidang fiqih, NU mengikuti empat madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’í, Metode dan Hambali. Ketiga dalam bidang Penelitian ini menggunakan tasawuf, NU menganut pemikiran Imam metode studi kepustakaan atau Library Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali. Research. Studi kepustakaan adalah

6 Arbiyah Lubis, Pemikiran

300 dan Muhammad Abduh:Suatu studi Perbandingan (Jakarta: Bulan Bintang, 1993). h, 137

Page Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Volume 9, Nomor 3, Desember 2019 Islam Nusantara: Strategi Perjuangan “Keumatan” Nahdlatul Ulama Oleh: Ahmad Khoirul Mustamir teknik pengumpulan data dengan Berbeda dengan pandangan mengadakan studi penelaahan terhadap keagamaan Islam eksklusif. Islam buku-buku, literatur-literatur, catatan- eklusifisme menjadikan pemahaman catatan, dan laporan-laporan yang ada keagamaan kearah radikal. Secara hubungannya dengan masalah yang sederhana radikalisme adalah pemikiran dipecahkan. Artikel ini memanfaatkan atau sikap yang ditandai oleh empat hal jurnal, bahan-bahan dan informasi yang yang sekaligus menjadi karakteristiknya, relevan untuk dikumpulkan, dibaca dan yaitu: pertama, sikap tidak toleran dan dikaji, dicatat sebagai pedoman ataupun tidak mau menghargai pendapat atau sumber referensi. Metode studi pustaka keyakinan orang lain. Kedua, sikap dalam artikel ini dapat dijadikan sebagai fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri data dan sumber data mengenai topik dan menganggap orang lain salah. masalah. Library Research ini bertujuan Ketiga, sikap eksklusif, yaitu membeda- untuk memberikan gambaran kepada kan diri dari kebiasaan orang kebanya- pembaca, tentang topik masalah yang kan. Keempat, sikap revolusioner, yaitu sedang diteliti. cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.7 Hasil dan Pembahasan Dalam konteks Indonesia, kondisi Seperti disinggung di awal, Islam Kehidupan keagamaan umat Islam pada Nusantara adalah Islam khas Indonesia saat ini tidak dapat dipisahkan dari yang mengutamakan toleransi, menerima proses dakwah atau penyebaran Islam perbedaan, baik agama, suku, ras, sejak beberapa abad sebelumnya. Ketika maupun budaya. Dengan demikian, Islam masuk di Indonesia, kebudayaan doktrin Islam Nusantara menjadi palang Nusantara telah dipengaruhi oleh agama- pintu pertama dalam membangun agama yang telah datang sebelumnya, kebersamaan melalui nilai-nilai inklusif seperti Hindu dan Budha, termasuk seperti tawasuth (moderat), tasamuh pelbagai kepercayaan tradisional, sebut (toleransi), tawazun (tolong menolong), saja animisme, dinamisme, (mohon maaf, tawazun (harmoni), dan lain-lain. aliran kepercayaan dalam konteks Pemahaman ini, jelas sebagai penjelas sekarang) dan sebagainya. Kebudayaan identifikasi terhadap akar nilai-nilai Islam akhirnya menjadi tradisi kecil di inklusif tersebut telah menghunjam di tengah pusaran tradisi Hinduisme dan dasar kesadaran mayoritas umat Islam di Budhisme. Tradisi-tradisi kecil inilah Indonesia. Ekspresi keagamaan muslim Indonesia syarat melekat kuat di dalamnya, aspek budaya, tradisi dan istiadat.

301 7 Agil asshofie, Radikalisme Gerakan Islam, alisme-gerakan-politik.html, diakses pada 10 http://agilasshofie.blogspot.com/2011/10/radik Desember 2019. Page Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Volume 9, Nomor 3, Desember 2019 Islam Nusantara: Strategi Perjuangan “Keumatan” Nahdlatul Ulama Oleh: Ahmad Khoirul Mustamir

yang kemudian saling mempengaruhi kebudayaan Islam mengalami transfor- dan mempertahankan eksistensinya.8 masi bukan saja karena jarak geografis Dalam sejarahnya, Nusantara antara Arab dan Indonesia, tetapi juga yang pertama dan menjadi bidikan karena ada jarak-jarak kultural.10 Proses penyebaran Islam adalah pusat-pusat kompromi kebudayaan seperti ini tentu perdagangan yang ada di wilayah membawa resiko yang tidak sedikit, perkotaan di daerah pesisir. Sementara karena dalam keadaan tertentu seringkali Islam ortodok dapat masuk secara bersikap toleran terhadap penafsiran mendalam di wilayah luar Jawa yang yang mungkin dianggap menyimpang memang tidak banyak terpengaruh oleh dari ajaran Islam yang murni. Kompromi nilai-nilai dan tradisi-tradisi baik itu dari kebudayaan ini pada akhirnya Hindu atau Budha. Berbeda dengan di melahirkan, apa yang di pulau Jawa Jawa. Di wilayah ini, agama Islam dikenal sebagai sinkretisme atau Islam menghadapi resistensi dari Hinduisme . Sementara di pulau Lombok dan Budhisme yang telah mapan. Dalam dikenal dengan istilah Islam .11 proses seperti ini, Islam tidak saja harus Proses islamisasi yang ber- menjinakkan sasarannya, tapi juga harus langsung di Nusantara tidak terlepas dari memperjinak diri.9 Benturan dan proses akulturasi. Seperti telah diketahui resistensi dengan kebudayaan-kebudaya- bahwa Islam disebarkan ke Nusantara an setempat memaksa Islam untuk sebagai kaedah normatif di samping mendapatkan simbol yang selaras aspek seni budaya. Sementara itu, dengan kemampuan penangkapan masyarakat dan budaya di mana Islam itu kultural dari masyarakat setempat. disosialisasikan adalah sebuah alam Kemampuan Islam untuk empiris. Dalam konteks ini, sebagai beradaptasi dengan budaya setempat, makhluk berakal, manusia pada dasarnya memudahkan Islam masuk ke lapisan beragama dan dengan akalnya pula paling bawah dari masyarakat. mereka paling mengetahui dunianya Akibatnya, kebudayaan Islam sangat sendiri. Pada alur logika inilah manusia, dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan melalui perilaku budayanya senantiasa kebudayaan pedalaman, sehingga meningkatkan aktualisasi diri. Karena

8 George W. Braswell, Islam: Its Prophet, 9 Taufik Abdullah, Taufik, “Pengantar: Peoples, Politics and Power (Nashville: Islam, Sejarah dan Masyarakat”, dalam Taufik Broadman & Holman Publishers, 1996). Lihat juga Abdullah [ed.], Sejarah dan Masyarakat:Lintasan Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Historis Islam di Indoensia, (Jakarta: Pustaka Muhammad Abduh, Suatu studi Perbandingan, Firdaus, 1987), h. 3. (Jakarta: Bulan Bintang, 1993); Hamid Algadari, 10 Hildred Geertz, “Indonesian Cultures Dutch Policy Against Islam and Indonesian of Arab and Communities,” in Indonesia, ed. Ruth T. Descent in Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1994), 21; McVey (New Haven, CT: Human Relations Area Arohman Prayitno, Trubus Rahardiansyah P., Files, 1963), h. 6. 11

Ethics for a Multicultural Society: Strategic Solutions Lihat Muhammad Harfin Zuhdi, for Interweaving Togetherness the Frame Work of Parokialitas Adat terhadap Pola Keberagamaan

302 Pluralism (Jakarta: Trisakti University Press, 2008), Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok h. 67. (Jakarta: Lemlit UIN Jakarta, 2009), h. 111.

Page Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Volume 9, Nomor 3, Desember 2019 Islam Nusantara: Strategi Perjuangan “Keumatan” Nahdlatul Ulama Oleh: Ahmad Khoirul Mustamir itu, dalam setiap akulturasi budaya, yaitu aspek doktrinal normatif, historis manusia membentuk, memanfaatkan, dan budaya. Karena itu, para ulama NU mengubah hal-hal paling sesuai dengan dengan piawai mampu menyemaikan kebutuhannya. benih-benih ajaran Islam ahlussunnah wal Dari paradigma inilah, masih jamaah an nahdliyah dengan cara damai dalam kerangka akulturasi, lahir apa dan santun dalam setiap perjumpaannya yang kemudian apa yang dikenal sebagai dengan beragam budaya, tradisi dan local genius. Di sini local genius bisa adat-istiadat yang diwarisi dari pola diartikan sebagai kemampuan menyerap dakwah Walisongo. Dalam konteks sambil mengadakan seleksi dan inilah, diperlukan proses reideologisasi pengolahan aktif terhadap pengaruh dan retradisionalisasi Islam Nusantara kebudayaan asing, sehingga dapat dalam bentuknya yang sangat kultural. dicapai suatu ciptaan baru yang unik, Artinya, nilai-nilai Islam yang telah lama yang tidak terdapat di wilayah bangsa menjiwai kehidupan umat Islam di yang membawa pengaruh budayanya.12 Indonesia misalnya, dicoba dihidupkan Pada sisi lain, secara implisit local genius kembali secara bulat dan utuh. Dari dapat dirinci karakteristiknya, yakni: sinilah maka kerangka ideologis adalah mampu bertahan terhadap dunia luar; suatu keniscayaan. Tentu ideologi yang mempunyai kemamapuan megakomo- dimaksudkan di sini bukan ideologi dasi unsur-unsur dunia luar; mempunyai politik, melainkan ideologi kultural, kemampuan mengintegrasi unsur seperti desakan untuk menciptakan budaya luar ke dalam budaya asli; dan dalam bahasa Gus Dur (Abdurrahman memiliki kemampuan mengendalikan Wahid) masyarakat Islam yang ‘tuntas’, dan memberikan arah pada perkem- yang di dalamnya nilai-nilai Islam bangan budaya selanjutnya.13 berkembang secara penuh tanpa penyimpangan atau distorsi apapun.14 Kembali kepada Ideologi dan Tradisi Dengan demikian, proses yang seperti ini Islam Nusantara yang seolah juga memunculkan retradisionalisasinya menjadi garis kesadaran sejarah dapat sendiri, yaitu ketika tradisi masa lalu dilihat dengan jelas dalam kiprah NU direkatkan dan dikaitkan satu sama lain sebagai ormas terbesar di negeri ini. dengan sebuah kerangka tradisi yang Dalam kapasitas ini, NU sangat jenius utuh, antara tradisi dan ideologi, mendialogkan ajaran-ajaran agama yang walaupun hanya ideologi kultural, lalu bertumpu, setidaknya dari tiga aspek,

12 Harry Parkin, Batak Fruit of Hindu Thought 14 , Islam Kosmopolitan: (India: Christian Literature Society, 1978), h. 28 Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, 13 Soerjanto Poespowardojo, “Pengertian (Jakarta: , 2007), h. 193. A. Local Genius dan Relevansinya dalam Jauhar Fuad, “Tlatah Dan Tradisi Keagamaan

Modernisasi” dalam Kepribadian Budaya Bangsa Islam Mataraman,” Jurnal Pemikiran Keislaman 30, 303 (local genius), Ayotrohaedi (ed.) (Jakarta: Pustaka no. 1 (January 31, 2019): 1–27, Jaya, 1986), h. 28-38. https://doi.org/10.33367/tribakti.v30i1.659 Page Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Volume 9, Nomor 3, Desember 2019 Islam Nusantara: Strategi Perjuangan “Keumatan” Nahdlatul Ulama Oleh: Ahmad Khoirul Mustamir

terjadi kaitan simbiosis untuk saling persemaian nilai-nilai luhur Islam mendukung dan saling menguatkan. Nusantara, setidaknya dengan dakwah Wajah keberagamaan di Indonesia (propagation) dalam segala bentuknya.17 justru menemui kematangannya karena Dakwah tidak lain adalah seruan bagi telah bersalin rupa dalam paras umat manusia menuju jalan Tuhan, yaitu Nusantara. Islam Nusantara adalah jalan menuju Islam. Islam yang wujud kematangan yang terrefleksikan bersumber dari wahyu Tuhan dan dari ajaran-ajaran Islam universal. Secara sunnah Rasul-Nya, adalah sumber nilai empiris, ia terbukti bisa bertahan dalam yang akan memberikan corak, warna dan sekian banyak kebudayaan non-Arab. Ia bentuk kebudayaan Islam. Suatu bentuk bahkan ikut menciptakan ruang-ruang kebudayaan yang berisikan pesan atau kebudayaan yang sampai hari ini ikut nilai-nilai Islami, boleh jadi muncul dari dihuni oleh mereka yang non-muslim orang atau masyarakat di luar Islam. sekalipun.15 Demikian juga sebaliknya, tidak Dalam konteks ini, budaya atau dikatakan budaya Islam, walau ia lahir kebudayaan adalah bersifat spesifik dari orang atau masyarakat yang manusiawi. Artinya, manifestasi dan menganut ajaranIslam, jika tidak memuat perwujudan dari segala aktivitas manusia pesan atau nilai-nilai Islami. Sebagai sebagai upaya untuk memudahkan dan aktualisasi imani (teologis), dakwah memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam teraktualisasikan dalam pelbagai Kebudayaan terdiri dari nilai dan sistem kegiatan sosial kemasyarakatan, simbol.16 Nilai-nilai budaya itu tidak setidaknya untuk mempengaruhi warga kasat mata, sedangkan simbol budaya masyarakat dalam upaya untuk yang merupakan perwujudan nilai itulah merealisasikan ajaran Islam dalam semua yang kasat mata. Pelbagai bentuk simbol segi kehidupan dengan menggunakan budaya, seperti masjid, pasar, sekolah, cara tertentu. rumah misalnya adalah perwujudan dari Dalam perspektif ini, budaya atau nilai-nilai budaya masyarakatnya. Dalam kebudayaan adalah aktualisasi dari sikap setiap aktivitas manusia, nilai-nilai tunduk manusia kepada Tuhan. budaya senantiasa hadir dan melekat di Sebagaimana dalam Al-Qur’an yang dalamnya sistem nilai, yaitu nilai budaya, artinya: “Dan penyair-penyair itu diikuti meski terkadang tidak serta merta oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu merupakan simbol budaya. melihat bahwasanya mereka mengembara di Dalam konteks ini pula, manusia tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka mampu mengetahuinya melalui pola suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)?, kecuali orang-

15 A. Musthofa Haroen, Meneguhkan Islam 16 Lihat F Allan Hanson, Meaning in Culture

Nusantara: Biografi Pemikiran dan Kebangsaan Prof. (London and New York: Routledge, 2004), h.99- Dr, KH. Said Aqil Siroj, MA (Jakarta: Khalista, 100. 17 304 2015), h.121. Majma’ al-Lughah al-‘arabiyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), h. 286.

Page Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Volume 9, Nomor 3, Desember 2019 Islam Nusantara: Strategi Perjuangan “Keumatan” Nahdlatul Ulama Oleh: Ahmad Khoirul Mustamir orang (penyair-penyair) yang beriman dan Selanjutnya berkaitan dengan beramal saleh dan banyak menyebut Allah relasi antara Islam sebagai agama dengan dan mendapat kemenangan sesudah budaya lokal sangat jelas dalam kajian menderita kezaliman. Dan orang-orang yang antropologi agama. Dalam perspektif ini zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat diyakini bahwa agama merupakan mana mereka akan kembali".18 penjelmaan dari sistem budaya.19 Ayat di atas menginformasikan Berdasarkan teori ini, Islam sebagai bahwa ada dua jenis budaya yang agama samawi dianggap penjelmaan dari diwakili oleh sosok pelakunya. Pertama, sistem budaya suatu masyarakat Muslim. budaya yang dibangun dengan dimensi Tesis ini kemudian dikembangkan pada taqwa yang diwakili oleh sosok pelaku aspek-aspek ajaran Islam, termasuk budaya yang beriman, beramal shaleh, aspek hukumnya. Para pakar antropologi dan senantiasa berdzikir mengingat dan sosiologi mendekati hukum Islam Allah serta sabar menghadapi kezaliman. sebagai sebuah institusi kebudayaan Jika disepakati bahwa budaya itu spesifik Muslim. Pada konteks sekarang, manusiawi, maka pengaruh ideologi, pengkajian hukum dengan pendekatan pandangan hidup, sikap hidup, dan cara sosiologis dan antrologis sudah berpikir pelaku atau peletek budaya itu dikembangkan oleh para ahli hukum menjadi nilai dasar dari bentuk budaya Islam yang peduli terhadap nasib tersebut. Dengan demikian, seseorang syari’ah. Dalam pandangan mereka, jika yang memiliki kesalehan individual dan syari’ah hanya didekati secara doktrinal kesalehan sosial dalam dirinya, tentu tidak didekati secara sosio-historis, maka akan melahirkan jenis budaya yang juga yang terjadi adalah pembakuan terhadap beroreintasi memudahkan jalan orang norma syariah yang sejatinya bersifat lain atau masyarakat untuk menjadi dinamis dan mengakomodasi perubahan shaleh (al-Khair al-). Kedua, masyarakat.20 budaya yang dibangun dengan dimensi Islam sebagai agama, kebudayaan kesesatan dan kezhaliman. Seseorang dan peradaban besar dunia sudah sejak yang berlatar belakang ideologi komunis awal masuk ke Indonesia pada abad ke-7 atau kapitalis, misalnya, tentu juga akan dan terus berkembang hingga kini. Ia menampilkan bentuk budaya dengan telah memberi sumbangsih terhadap orientasi dan cara berpikir ideologi keanekaragaman kebudayaan Nusantara. dimaksud dalam membangun tatanan Islam tidak saja hadir dalam tradisi agung masyarakatnya. [great tradition] bahkan memperkaya pluralitas dengan islamisasi kebudayaan

18 (Q.S.Asy-Syua’ara [26]: 224-227). the Literature (London, Greenwood Press, 1999), 19 Bassas Tibbi, Islam and Cultutral h.127 Accommodation of Social Change (San Francisco: 20 Muhammad Harfin Zuhdi, “Dakwah dan

Westview Pres, 1991), 1. Lihat juga Mary-Paula Dialektika Akulturasi Budaya”, dalam Religia, 305 Walsh, Feminism and Christian Tradition: An jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 15, No. 1, April, Annotated Bibliography and Critical Introduction to 2012, h.18 Page Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Volume 9, Nomor 3, Desember 2019 Islam Nusantara: Strategi Perjuangan “Keumatan” Nahdlatul Ulama Oleh: Ahmad Khoirul Mustamir

dan pribumisasi Islam yang pada memiliki pijakan yang kokoh baik dari gilirannya banyak melahirkan tradisi- sisi doktrinal, historis maupun budaya. tardisi kecil (little tradition) Islam. Pribumisasi Islam Dalam Lanskap Islam Berbagai warna Islam—dari Aceh, Nusantara Melayu, Jawa, Sunda, Sasak, Bugis, dan Sejak awal kelahirannya, Islam lainnya—riuh rendah memberi corak tumbuh dan berkembang dalam suatu tertentu keragaman, yang akibatnya kondisi yang tidak hampa budaya. dapat berwajah ambigu. Ambiguitas atau Realitas kehidupan ini diakui atau tidak juga disebut ambivalensi adalah fungsi memiliki peran yang cukup signifikan agama yang sudah diterima secara umum dalam mengantarkan Islam menuju dari sudut pandang sosiologis.21 perkembangannya yang aktual sehingga Berbicara tentang pengaruh sampai pada suatu peradaban yang budaya dan adat lokal dalam kaitannya mewakili dan diakui oleh masyarakat dengan agama, tak dapat dipungkiri ada dunia. pergulatan dalam upaya mendialogkan Aktualisasi Islam dalam lintasan antara pesan religiusitas dengan muatan sejarah telah menjadikan Islam tidak lokal. Perjumpaan agama dengan budaya dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, lokal itu mengambil banyak bentuk. mulai dari budaya Arab, Persi, Turki, Pertama, mengalami benturan [clash] yang India sampai Melayu. Masing-masing sampai pada titik di mana budaya dengan karakteristiknya sendiri, tapi setempat dihabisi dan diganti yang baru sekaligus mencerminkan nilai-nilai dengan islamisasi misalnya, seperti yang ketauhidan sebagai suatu unity sebagai terjadi di Padang tempo dulu. Kedua, ada benang merah yang mengikat secara yang mengambil jalan akomodasi. kokoh satu sama lain. Islam sejarah yang Artinya, ada pertemuan saling mengisi beragam tapi satu ini merupakan dan tidak saling menjatuhkan. Islam penerjemahan Islam universal ke dalam diterima tapi sebatas simboliknya. realitas kehidupan umat manusia. Adapun substansi seperti kepercayaan Gagasan Islam pribumi dalam terhadap leluhur tetap lestari. Ketiga, istilah penulis, Islam Nusantara—secara mengambil bentuk hibriditas. Artinya genealogis, diilhami oleh gagasan menerima agama tapi separohnya saja, pribumisasi Islam yang pernah sisanya tradisi setempat. Bentuk ini dilontarkan oleh Abdurrahman Wahid kemudian biasa dikenal dengan pada paruh akhir tahun 80-an. Dalam misalnya, Islam Jawa, Islam Banjar, Islam “pribumisasi Islam”, tergambar Sasak dan sebagainya.22 Dengan bagaimana Islam sebagai sebuah ajaran demikian, upaya reideologisasi dan yang normatif berasal dari Tuhan yang retradisionalisasi Islam Nusantara diakomodasikan ke dalam ruang budaya

21 John Bresnan, Indonesia: The Great 22 Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas: Politik

306 Tradition (Maryland, Roman and Littlefield Pribumisasi Islam (Jakarta: Desantara, 2002),h. 3. Publishers, Inc., 2005), h. 83

Page Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Volume 9, Nomor 3, Desember 2019 Islam Nusantara: Strategi Perjuangan “Keumatan” Nahdlatul Ulama Oleh: Ahmad Khoirul Mustamir yang berasal dari manusia tanpa kecintaan pada kehidupan transendental. kehilangan identitasnya masing-masing. Tembang “” adalah salah satu Pribumisasi bukan sebagai upaya karyanya. Lebih jauh dalam pentas menghindari timbulnya perlawanan dari pewayangan, mengubah kekuatan-kekuatan budaya setempat, lakon dan memasukkan tafsir-tafsir akan tetapi justru agar budaya itu tidak bernuansa Islam. hilang. Karena itu, inti pribumisasi Islam Oleh karenanya, ‘Islam Pribumi’ adalah bukan untuk melakukan sebagai jawaban dari Islam otentik polarisasi antara agama dan budaya, mengandaikan tiga hal. Pertama, ‘Islam sebab polariasi demikian memang tidak Pribumi’ memiliki sifat kontekstual, terhindarkan.23 yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang Pribumisasi Islam ini, sejatinya terkait dengan konteks zaman dan mengambil semangat yang diajarkan oleh tempat. Perubahan waktu dan perbedaan Walisongo dalam dakwahnya ke wilayah wilayah menjadi kunci untuk mengin- Nusantara sekitar abad ke-15 dan ke-16 di terpretasikan ajaran. Dengan demikian, pulau Jawa. Dalam konteks ini Walisongo Islam akan mengalami perubahan dan telah berhasil memasukkan nilai-nilai dinamika dalam merespons perubahan lokal dalam Islam yang khas Indonesia. zaman. Kedua, ‘Islam Pribumi’ bersifat Kreativitas ini melahirkan gugusan baru progresif, yakni kemajuan zaman bukan bagi nalar Islam Indonesia yang tidak dipahami sebagai ancaman terhadap harfiah dan tekstual meniru Islam di penyimpangan terhadap ajaran dasar Arab. Tidak ada nalar Arabisasi yang agama (Islam), tetapi dilihat sebagai melekat dalam penyebaran Islam awal di pemicu untuk melakukan respons kreatif Nusantara. Hal ini tentu saja berbeda secara intens. Ketiga, ‘Islam Pribumi’ dengan apa yang telah dilakukan pada memiliki karakter membebaskan. Dalam masa selanjutnya, yakni abad ke-17 oleh pengertian, Islam menjadi ajaran yang Abdurrauf al-Sinkili dan Muhammad dapat menjawab problem-problem Yusuf al-Makasari yang lebih bercorak kemanusiaan secara universal tanpa purifikasi dalam pembaruan Islam. melihat perbedaan agama dan etnik. Walisongo justru mengakomo- Dengan demikian, Islam tidak kaku dan dasikan Islam sebagai ajaran agama yang rigid dalam menghadapi realitas sosial mengalami historisasi dengan masyarakat yang selalu berubah. Artinya, kebudayaan. Misalnya, apa yang Islam Pribumi dengan Islam mempunyai dilakukan oleh Sunan Bonang dengan kesamaan secara tipologi bukan seperti mengubah gamelan Jawa yang saat itu madzhab. kental dengan estetika Hindu menjadi Konsep yang demikian, bernuansa zikir yang mendorong Azyumardi Azra menganggap bahwa

23 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, 307 Agama, dan Kebudayaan (Jakarta: Desantara, 2001), h. 111. Page Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Volume 9, Nomor 3, Desember 2019 Islam Nusantara: Strategi Perjuangan “Keumatan” Nahdlatul Ulama Oleh: Ahmad Khoirul Mustamir

Islam Nusantara seperti diwakili oleh NU Islam. Ia juga bukan hendak memindah dan ormas-ormas washatiyyah yang lain kiblat umat Islam Indonesia dari Mekkah memiliki hampir seluruh potensi untuk ke Indonesia. Ia hanya ingin mencari cara tampil dalam mewujudkan peradaban bagaimana melabuhkan Islam dalam yang rahmatan lil alamin. Modal besarnya konteks budaya masyarakat yang adalah kekayaan dan keragaman lembaga beragam. Islam Nusantara hanya ingin mulai dari masjid, sekolah, madrasah, menyemai dan menampilkan wajah , perguruan tinggi, rumah sakit Islam yang teduh dan ramah bukan dan klinik, panti penyantunan sosial, marah. koperasi, hingga usaha ekonomi lain. Dengan melihat serpihan-sepihan Sehingga banyak kalangan asing sejarah yang cukup panjang, Islam (di) sejak akhir 1980-an, semisal Fazlur Nusantara telah mengalami pergumulan Rahman memandang potensi besar Islam dengan lokalitas yang beragam. Ia hadir Nusantara untuk berdiri terdepan dalam bukan untuk mendobrak atau membabat memajukan peradaban Islam global. habis tradisi dan budaya lokal yang ada, Dengan peradaban Islam wasathiyah melainkan coba untuk berdialektika (jalan tengah) Islam Nusantara dapat dengan konteks di mana ia berada. Oleh memberikan kontribusi peradaban dunia karena sifat fleksibelnya itu, ia mampu lebih damai dan harmonis. Harapan bertahan dan berkembang sehingga seperti ini, menurut Azyumardi Azra, memunculkan ekspresi keislaman baru kian meningkat di tengah berlanjutnya yang khas dan tidak ada di belahan dunia konflik di negara-negara Muslim dunia manapun. Arab, Asia Selatan, Asia Barat dan Afrika. Akhirnya, hasil kajian, dapat Untuk itu, NU dan ormas-ormas Islam disimpulkan bahwa kemampuan wasathiyah lain, tidak hanya perlu dakwah Islam untuk beradaptasi dengan meningkatkan pemikiran dan amal usaha budaya setempat, memudahkan dakwah di dalam negeri, tetapi juga harus lebih Islam masuk ke lapisan paling bawah ekspansif menyebarkan Islam wasathiyah dari masyarakat. Tak pelak lagi, Islam ke manca-negara. Dengan begitu, Islam sebagai agama yang menyebar ke seluruh Nusantara dapat berdiri paling depan penjuru dunia tampil secara kreatif dalam mewujudkan Islam sebagai berdialog dengan masyarakat setempat rahmatan lil alamin.24 (lokal), berada dalam posisi yang menerima tradisi masyarakat, sekaligus Kesimpulan memodifikasinya menjadi budaya baru Islam Nusantara bukanlah suatu yang dapat diterima oleh masyarakat bentuk pengkotak-kotakan ataupun setempat dan masih berada di dalam jalur sebuah gerakan untuk mengubah doktrin Islam. Karena itu, kedatangan dakwah

24 Azyumardi Azra, “Islam Indonesia

308 Berkelanjutan”, dalam Opini Kompas, 3 Agustus 2015.”

Page Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Volume 9, Nomor 3, Desember 2019 Islam Nusantara: Strategi Perjuangan “Keumatan” Nahdlatul Ulama Oleh: Ahmad Khoirul Mustamir

Islam merupakan pencerahan bagi Bresnan, John. Indonesia: The Great kawasan Asia Tenggara, khususnya Tradition. Maryland, Roman and Indonesia. Littlefield Publishers, Inc. 2005. Braswell, George W. Islam: Its Prophet, Peoples, Politics and Power. Daftar Pustaka Nashville: Broadman & Holman Publishers. 1996. Abdullah, Taufik. “Pengantar: Islam, Sejarah dan Masyarakat”, dalam Cornell, Vincent J. (ed.). Voices of Islam, Taufik Abdullah [ed.], Sejarah dan Vol. 5. London: Praeger Publisher. Masyarakat: Lintasan Historis Islam di 2007. Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus. Fealy, Greg (eds.). Tradisionalisme Radikal: 1987. Persinggungan Nahdlatul Ali, Fachry. Agama, Islam dan UlamaNegara. Terj. Pembangunan. Yogyakarta: PLP2M. Fasya, Teuku Kemal. “Dimensi Puitis dan 1985. Kultural Islam Nusantara”, dalam Algadari, Hamid. Dutch Policy Against Opini Kompas. 4 Agustus 2015. Islam and Indonesian of Arab Descent Fuad, A. Jauhar, “Tlatah Dan Tradisi in Indonesia. Jakarta: LP3ES. 1994. Keagamaan Islam Mataraman,” Ambary, Hasan Muarif. Menemukan Jurnal Pemikiran Keislaman 30, no. 1 Peradaban; Jejak Arkeologis dan (January 31, 2019): 1–27, Historis Islam Indonesia. Jakarta: https://doi.org/10.33367/tribakti. Logos Wacana Ilmu. 2001. v30i1.659 Azra, Azyumardi dan Hudson, Wayne Geertz, Hildred. “Indonesian Cultures and (eds.). Islam beyond Conflict: Communities,” in Indonesia, Ruth T. Indonesian Islam and Western Political McVey (ed.). New Haven, CT: Theory. England: Ashgate Human Relations Area Files. 1963. Publishing Limited. 2008. Geerrtz, Clifford. The Interpretation of Azra, Azyumardi. “Islam Indonesia Cultures.New York: Basic Books. Berkelanjutan”, dalam Opini 1973. Hanson, F. Allan, Meaning in Kompas. 3 Agustus 2015. Culture. London and New York: Routledge. 2004. Arbiyah, Lubis. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh:Suatu studi Iyubenu, Edi AH. “Ontran-Ontran Islam Perbandingan Jakarta: Bulan Nusantara”, dalam Opini Jawa Pos. Bintang. 1993. 24 Juli 2015. Baso, Ahmad. Plesetan Lokalitas: Politik Maula, Jadul. “Syariat [Kebudayaan] Pribumisasi Islam. Jakarta: Islam: Lokalitas dan Universalitas”, Desantara. 2002. makalah Islam Transformatif dan Toleran. Yogyakarta: LkiS. 2002. ------Islam Nusantara Ijtihad Jenius dan

Ijma’ Ulama Indonesia, Jilid I,. Munandar, Agus Aris. “Kegiatan Jakarta: Pustaka Afid. 2015. Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14-15”, 309 Tesis, Magister Humaniora

Page Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Volume 9, Nomor 3, Desember 2019 Islam Nusantara: Strategi Perjuangan “Keumatan” Nahdlatul Ulama Oleh: Ahmad Khoirul Mustamir

Fakultas Sastra Universitas Wahid, Abdurrahman. Pergulatan Negara, Indonesia. 1990. Agama, dan Kebudayaan. Jakarta: Desantara. 2001. Parkin, Harry. Batak Fruit of Hindu Thought. India: Christian Literature ------Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Societ., 1978. Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Poespowardojo, Soerjanto. “Pengertian Institute. 2007 Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi” dalam Walsh, Mary-Paula. Feminism and Kepribadian Budaya Bangsa (local Christian Tradition: An Annotated genius), Ayotrohaedi (ed.). Jakarta: Bibliography and Critical Introduction Pustaka Jaya. 1986. to the Literature. London, Greenwood Press. 1999. Prayitno, Arohman dan Rahardiansyah P., Trubus. Ethics for a Multicultural Zada, Khamami. “Islam Pribumi: Society: Strategic Solutions for Mencari Wajah Islam Indonesia”, Interweaving Togetherness the Frame dalam Tashwirul Afkar, jurnal Work of Pluralism. Jakarta: Trisakti Refleksi Pemikiran Keagamaan & University Press. 2008. Kebudayaan, Edisi No. 14 tahun Renard, John. Tales of God's Friends: 2003. Islamic Hagiography in Translation. Zuhdi, Muhammad Harfin. Parokialitas California: University of California Adat terhadap Pola Keberagamaan Press. 2009. Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok.Jakarta: Lemlit UIN Jakarta. Sahal, Akhmad (eds.). Islam Nusantara 2009. Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan. Bandung: Mizan Pustaka. 2015. Siroj, Said Aqil. Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara Menuju Masyarakat Mutamaddin. Jakarta Pusat: LTN NU. 2015. Suaedy, Ahmad. Yogyakarta: LkiS. 1997. Sunyoto, Agus. Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. Jakarta: Transpustaka. 2011. Tibbi, Bassas. Islam and Cultutral Accommodation of Social Change. San Francisco: Westview Press. 1991. Utama, Edy. “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, dalam Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam.Jakarta:

Desantara. 2002.

310

Page Jurnal Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Volume 9, Nomor 3, Desember 2019