Konferensi Internasional P

r PROSIDING nd International Conference

o The 22 on Literature s XXII

Internasional i

Konferensi d i n g Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY - HISKI

“The Role of Literature in Enhancing Humanity S

a and National Identity” s t

“Kontribusi Sastra dalam Menumbuhkembangkan Nilai-nilai r a

s e b a

Kemanusiaan dan Identitas Nasional” g a i

I d e

nd n Buku 1 t i t

The 22 International Conference a s

N a r a t i

on Literature f

d a

n SASTRA SEBAGAI IDENTITAS NARATIF

XXII U SASTRA SEBAGAI IDENTITAS NARATIF p a y a

S a

Kontribusi Sastra dalam Menumbuhkembangkan s t r

a DAN UPAYA SASTRA DALAM MENGHADAPI DAN UPAYA SASTRA DALAM MENGHADAPI d a l a Nilai-nilai kemanusiaan dan Identitas Nasional m

M e n g

h MASALAH MASYARAKAT DAN BANGSA a MASALAH MASYARAKAT DAN BANGSA d

“The Role of Literature in Enhancing Humanity a p i

and National Identity” M a s a l a h

M Editor: a s y

a Nurhadi, Wiyatmi, Sugi Iswalono, Maman Suryaman, Yeni Artanti r a k a t

d a n

B a n g s a

9 786021 921517

FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI B FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA u FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA k

Himpunan Sarjana Kesusastraan (HISKI) u Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI)

1

Prosiding Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI

“The Role of Literature in Enhancing Humanity and National Identity”

BUKU 1

SASTRA SEBAGAI IDENTITAS NARATIF DAN UPAYA SASTRA DALAM MENGHADAPI MASALAH MASYARAKAT DAN BANGSA

Editor: Nurhadi, Wiyatmi, Sugi Iswalono, Maman Suryaman, Yeni Artanti (Rumpun Sastra FBS UNY)

Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI)

Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta

Prosiding

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI: “The Role of Literature in Enhancing Humanity and National Identity”

SASTRA SEBAGAI IDENTITAS NARATIF DAN UPAYA SASTRA DALAM MENGHADAPI MASALAH MASYARAKAT DAN BANGSA

vi + 241 hlm; 21 x 29 cm

ISBN :

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Memfoto copy atau memperbanyak dengan cara apapun, sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penerbit adalah tindakan tidak bermoral dan melawan hokum

Judul Buku : Sastra sebagai Identitas Naratif dan Upaya Sastra dalam Menghadapi Masalah Masyarakat dan Bangsa Penyunting : Nurhadi Wiyatmi Sugi Iswalono Maman Suryaman Yeni Artanti Cetakan Pertama : November 2012 Penerbit : Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta Alamat : Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (Karangmalang – Yogyakarta)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena prosiding Konferensi Internasional HISKI XXII ini akhirnya dapat kami selesaikan sehingga dapat diapresiasi oleh pemerhati sastra dan budaya Indonesia, khususnya bagi para peserta konferensi ini.Tema utama konferensi kali ini yaitu “The Role of Literature in Enhancing Humanity and National Identity” sebuah usaha mempertinggi nilai kemanusiaan dan identitas nasional melalui peran sastra. Tentu saja hal tersebut merupakan suatu kajian yang relatif cair karena apa yang ditampilkan dalam konferensi ini tidak hanya difokuskan pada kajian tentang tema tersebut, tetapi juga menyangkut hal-hal lain yang seringkali mengkaji sesuatu yang lebih luas dari sekedar nilai kemanusiaan ataupun identitas nasional. Meski demikian, hal tersebut tidak terlepas dari kajian yang berkaitan dengan sastra ataupun karya sastra sebagai bidang kajian yang digeluti oleh sejumlah pemerhati yang terkait dengan HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia). Dalam konferensi kali ini, tema utama tersebut dipilah menjadi lima subtema yang terdiri atas: (1) “Sastra sebagai Identitas Naratif dan Upaya Sastra dalam Menghadapi Masalah Masyarakat dan Bangsa”, (2) “Sastra dan Masalah Lingkungan serta Masyarakat”, (3) “Peran Sastra dalam Pendidikan Moral dan Karakter”, (4) “Sastra Anak dan Kesadaran Feminis dalam Sastra”, dan (5) “Sastra, Kultur, dan Subkultur”. Kelima subtema tersebut kemudian dijadikan sebagai prosiding.Subtema keempat karena terlalu tebal kemudian dipecah menjadi dua prosiding sehingga semua berjumlah enam buah prosiding. Pemilahan dan pengelompokkan masing-masing makalah ke dalam lima subtema tersebut bukanlah perkara yang mudah mengingat seringkali sebuah makalah menyinggung sejumlah aspek sub-subtema secara bersamaan. Dengan demikian, seringkali ada sejumlah pengelompokan yang terasa tumpang tindih atau ada ketidaktepatan penempatannya.Awalnya, abstrak yang diterima panitia untuk dipresentasikan dalam konferensi ini sebanyak 180-an. Dalam perkembangannya hanya sekitar 150-an artikel yang memenuhi kriteria untuk dijadikan prosiding. Prosiding yang berjudul Sastra sebagai Identitas Naratif dan Upaya Sastra dalam Menghadapi Masalah Masyarakat dan Bangsaini merupakan satu dari serangkaian enam prosiding yang kami bukukan. Judul prosiding ini merupakan judul pertama dari judul- judul lainnya yang secara lengkap meliputi: (1) Sastra sebagai Identitas Naratif dan Upaya Sastra dalam Menghadapi Masalah Masyarakat dan Bangsa, (2) Sastra dan Masalah Lingkungan serta Masyarakat, (3) Peran Sastra dalam Pendidikan Moral dan Karakter,(4) Sastra Anak dan Kesadaran Feminis dalam Sastra[Bagian 1],(5) Sastra Anak dan Kesadaran Feminis dalam Sastra [Bagian 2], dan (6) Sastra, Kultur, dan Subkultur. Penyusunan prosiding kali ini yang dipecah menjadi 6 buku tersebut dilandaskan pada alasan teknis belaka, yakni guna menghindari kesan buku tebal sekiranya makalah- makalah ini dijilid dalam satu buku.Selain mudah dibawa, buku-buku prosiding ini diharapkan lebih nyaman untuk dibaca. Sebenarnya makalah-makalah yang terdapat dalam prosiding ini belumlah diedit secara menyeluruh. Panitia, khususnya seksi makalah, mengalami keterbatasan guna melakukan penyuntingan terhadap 150-an artikel dalam waktu yang relatif mendesak.Pada waktu mendatang hal ini bisa dilakukan sebagai bentuk revisi atas kekurangan tersebut.Meski demikian, sebagai sebuah kumpulan tulisan, prosiding- prosiding ini diharapkan dapat menjadi ajang tukar pemikiran mengenai sastra secara umum.Konferensi internasional semacam ini selain sebagai bentuk silaturahmi secara fisik, sebagai wahana pertemuan pemerhati sastra dari Indonesia dan luar negeri, juga pada hakikatnya adalah wahana silaturahmi pemikiran. Akhir kata, atas nama panitia, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya atas partisipasi pemakalah, baik dari dalam maupun luar negeri, yang turut menyukseskan konferensi internasional HISKI XXII kali ini. Sebagaimana diharapkan oleh panitia pelaksana konferensi sebelumnya di Surabaya tahun 2010, kami selaku panitia konferensi kali ini yang berlangsung di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, juga berharap agar penerbitan prosiding-prosiding ini menjadi tradisi yang terus dikembangkan dalam setiap konferensi HISKI di masa yang akan datang.

Selamat membaca. Salam budaya!

Yogyakarta, Awal November 2012 Ketua Konferensi HISKI XXII,

Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum.

DAFTAR ISI

. HALAMAN JUDUL ...... i . KATA PENGANTAR ...... iii . DAFTAR ISI ...... iv . Achibe and Ngugi: Literature of Decolonization (Lutfi Hamadi) ...... 1 . Borneo in the Eyes of Joseph Conrad (Suhana binti Sarkawi, Datu Sanib bin Said) ...... 10 . Looking at Through “Yhe Perforated Sheet” in Rushdie’ Midnight’s Children (Nita Novianti) ...... 21 . Negotiation in Diasporic Identity in Jhumpa Lahiri’s The Third and Final Continent and This Blessed House (Retno Wulandari) ...... 27 . Religious Identity in Chapter Ten of Narrative of the Life of Frederick Douglass American Slave (I.M. Hendrarti, M.A., Ph.D.) ...... 34 . Preparation and Validation of Literature and Multi- Intelligence based Lessons in Reading for Children with Hearing Impairment (Joel J. Pineda) ...... 40 . Pewacanaan Identiti Bangsa dalam Sastera Seepas Meredeka: Pengalaman Malaysia (Mohamad Saleeh Rahamad, Ph.D.) ...... 51 . Nasionalisme dalam Dua Novel Emigran Malaysia (Suharmono K.) ...... 73 . Menelusuri Pemikiran Mantan Perdana Menteri Malaysia Melalui Karya Puisi: Ke Arah Model Pemerintahan Negara (Tuan Nordin Tuan Kechik)...... 79 . Malay Identity in Malaysian and Indonesian Literature (Mugijatna) ...... 87 . Cerminan Masyarakat Jajahan Melalui La Colline Oubiee Karya Moulaud Mammeri (Iwan Khisnanto, M.Hum.) ...... 99 . Social Ills in the Short Stories of Filipino Natonal Artist for Literature F. Sionil Jose (Jayson E. Parba) ...... 105 . Revitalisasi Film Sastra dalam Pembangunan Budaya Bangsa (Ali Imron Al- Ma’ruf) ...... 113 . Pengajaran Sastra Frankofoni dalam Rangka Peningkatan Kesadaran Berbangsa (Tania Intan, S.S., M.Pd.) ...... 124 . Subjek Matter “Liyan/The Others” dalam Novel Sastra Indonesia Kontemporer (Arif Budi Wurianto) ...... 132 . Literature, Revealing Personality Identity (Mamik Tri Wedawati) ...... 139 . Krisis Identitas Manusia Indonesia dalam Fiksi Posmodernis (Dr. Pujiharto, M.Hum) ...... 147 . Sastra Indonesia dan Persoalan Bangsa: Mempertimbangkan Penulisan Ulang Sejarah Sastra (Yoseph Yapi Taum) ...... 158 . Kuasa Bahasa terhadap Sastra, Sejarah, dan Wacana Kekuasaan (Nurhadi) .. 172 . Peranan Sastra dalam Pembelajaran Sejarah Untuk Membentuk Karakter Siswa (Supardi) ...... 180 . Tafsir Atas Pasar, Pengakuan Pariyem, dan Gadis Pantai untuk Meredefinisikan Konsep Pembangunan Bangsa (Ratun Untoro) ...... 187 . Karya Sastra sebagai Media Pembangunan Budaya Bangsa (Umi Faizah, M.Pd.) ...... 195 . Refleksi dan Prediksi Nilai-nilai Kemanusiaan dalam Novel gadis Pantai dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Karya Pramudya Ananta Toer: Menuju Masyarakat yang Humanis (I.B. Putera Manuaba) ...... 205 . Identitas dan Resistensi Budak pada masa Kolonial dalam Novel Surapati dan Robert Anak Suropati Karya Abdul Moeis (I Nyoman Yasa, S.Pd., M.A.) ..... 214 . Peran Pendidikan Moral dalam Sastra Jawa (Afendy Widayat) ...... 222 . Logika Hati dalam Sastra “Kiri” Indonesia (1950-1965) (Rhoma Dwi Aria Yuliantri, M. Pd) ...... 232 . The Archeology of Football Fans: Footballl, Media and Identity (A Paper on Siwi Mars Wijayanti’s Novel Koloni Milanisti) (Muhammad Taufiqurrohman, S.S., M.Hum.) ...... 243 . Konstruksi Identitas Hibrid Pascakolonial dalam Lagu-lagu Populer Makulu (Falantino Eryk Latupapua) ...... 254 . The Dare Game: Space and Identity Consruction (Irna Febianti Evi Eliyanah) ...... 266 . Antara Jenderal Kayu dan Jenderal Kopi dalam Hikayat Mareskalek Karya Abdullah Bin Muhammad Al-Misri (Djoko Marihandono) ...... 275 . Njoo Cheong Seng dan Pemikirannya tentang Nasionalisme dan Bangsa (Dwi Susanto) ...... 287 . Membebaskan Fetish “Babu” dalam Sastra Indonesia? – Cerpen “Bukan Yem” oleh Etik Juwita (Shiho Sawai) ...... 295 . Peran Kompeni dalam Percaturan Politik Dinasti Mataram: Studi Kasus dalam Babad Tanah Jawi (Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum.) ...... 306 . Peningkatan Ketrampilan Apresiasi Sastra Dalam Pembelajaran Bahasa Jawa Dengan Media Campursari Pada Siswa Kelas XI IPA 1 SMAN 2 Banguntapan (Venny Indria Ekowati) ...... 315 . Mencari Sumber Rujukan Pendidikan Karakter Dalam Karya Sastra Jawa (Sri Harti Widyastuti, M. Hum.) ...... 333

Achebe and Ngugi: Literature of Decolonization

Lutfi Hamadi Beirut Arab University, Beirut, Libanon ;

Abstract The purpose of this paper is to shed light on the role postcolonial literature plays in European ex- colonies in rewriting history and establishing an identity by comparing and contrasting two of the most eminent contemporary African writers, the Nigerian Chinua Achebe and the Kenyan James Ngugi, known later as Ngugi wa Thiong’o. For this purpose, the paper traces the most common and different features in these writers’ works, which explore the histories of Nigeria and Kenya in pre-colonial, colonial, and postcolonial times. Like their characters, both writers were at crossroads of traditional culture and Christian influence, where they faced the dilemma of growing up in two different worlds as Africans and as Westerners. Their suffering from the corruption and violence practiced by post-colonial dictatorships and their incessant attempts to establish an independent personality and identity found their vent in remarkable creative writings of opposition and decolonization. Despite a few differences, Achebe’s and Ngugi’s works reveal the unspeakable effects of colonization on the natives and its persistence in the form of chaos, coups, corruption, civil wars, and bloodshed. Emphasizing on Achebe’s Things Fall Apart, Arrow of God, and Anthills of the Savannah and Ngugi’s Weep Not, Child, The River Between, and Petals of Blood, the paper demonstrates how the conflicts between the powerful colonizers and the defenseless colonized end up with the destruction of local cultures, histories, values, and languages, and the distortion of the image of the colonized subjects in the Western discourse, all done in the name of enlightening and civilizing them. It also highlights the corruption and oppression of the post-colonial regimes, reflecting the writers' disbelief in the independence African countries are supposed to have gained. Believing in the important role of literature and narratives in writing history and uncovering the truth, Achebe and Ngugi attempt to raise awareness to the horrible psychological, social, and political repercussions of the oppression and humiliation the Africans long suffered from by the white colonizers and, perhaps, help restore a lost identity.

Achebe and Ngugi: Literature of Decolonization Chinua Achebe and Ngugi wa Thiong’o not only witnessed but also were highly involved in and influenced by the critical political events their countries have been undergoing since the arrival of the white Europeans by the end of the Nineteenth century. Both of them were at crossroads of traditional culture and Christian influence, where they faced the dilemma of growing up in two different worlds as Africans and as Westerners. As young boys, both Achebe and Ngugi went to missionary schools where students were not allowed to speak their indigenous languages. On this matter, Ezenwa-Ohaeto, in his Chinua Achebe: A Biography quotes him saying that the children had to "put away their different mother tongues and communicate in the language of their colonizers" (30) Similarly, Lynne Duke wrote in the Washington Post how Ngugi was 12 when he "witnessed the beating. Teachers at his British colonial school in the 'white highlands' of Kenya caught one of the school chums speaking Gikuyu,"(1) the native language and how the child was humiliated and harshly whipped. Born in a Christian family in 1930, Achebe grew up in the Igbo village of Ogidi in South Nigeria and witnessed the horrors of colonization, Nigerian dictatorship, and civil

1 2 wars. When Biafra’s movement to break away and form an independent republic in 1967 was brutally crushed by the central government supported by the British, Achebe and his family narrowly escaped, but their houses had been destroyed. The loss and later harassment against Achebe's family such as banning him from traveling were so heavy on him. Such incident-packed life, however, found its vent in remarkable creative writings, where the characters in Achebe's novels reflect to a far extent the miserable conditions the Nigerians have been passing through for more than a century. Ngugi's personal experience in Kenya is not much different from Achebe's. Born in 1938 of Kikuyu descent in a Christian family, Ngugi saw his father losing his land after the British Imperial Act of 1915. During the Mau Mau armed rebellion of the Kenyans against the British, Ngugi's family suffered a lot as his stepbrother was killed, and his mother was arrested and tortured. While at mission school, he became a devout Christian, but renounced Christianity and English in 1967, changing his name, James, which he considered a colonial name. He was 24 years old when Kenya became independent, but his criticism of the Kenyan dictatorship led him to spend a whole year in prison, where he wrote Devil on the Cross, the first modern novel in Gikuyu on prison-issued toilet paper. After that, he lost his job and his family was harassed so he left on self-exile for London. Achebe’s and Ngugi’s painful experiences, together with the instability their countries have been long suffering from, are evident in their works. Like Edward Said's discourse in Orientalism, Achebe and Ngugi believe that the consequences of colonialism are still persisting in the form of chaos, coups, corruption, civil wars, bloodshed, and dictatorship. This has, in fact, been the situation in colonial and postcolonial Africa, of which Nigeria and Kenya are striking examples. Such conditions are common themes in Achebe's and Ngugi's works. Like other postcolonial writers, they try to show how cultures, histories, and languages of the natives have been not only ignored but also distorted by the colonialists in their pursuit to dominate these peoples and exploit their wealth in the name of enlightening, civilizing, and even humanizing them. For Achebe and Ngugi, as for other African writers, it was high time that they write their own history and reflect their own culture; it was time, as Bill Ashcroft entitles his remarkable book, that the empire writes back; it was time, to use Gayatri Spivak’s words, that the “subaltern speak”. Distorting Africa and stereotyping Africans in Western texts such as Joyce Cary's Mr. Johnson and Joseph Conrad's Heart of Darkness have provoked Achebe to say that "the story we had to tell could not be told for us by anyone else, no matter how gifted or well-intentioned" (qtd in Tonkin 1). In his essay "An Image of Africa", he reasons that "Heart of Darkness projects the image of Africa as 'the other world', the antithesis of Europe and, therefore, of civilization" (1043). After criticizing how Conrad describes Africans as 'rudimentary souls', he furiously attacks what he calls Conrad's "dehumanization of Africa and Africans" (1048). Likewise, in Postcolonial literatures, Michael Parker and Roger Starkey quote Ngugi criticizing the African figure in the Western discourse, saying that “great tradition of European literature [which] had invented and even defined the world view of the Calibans and the Fridays of the new literature were telling their story which was also my story” (9).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 3

Despite all these strikingly common points in Achebe's and Ngugi's views and themes, reflected in their literary works, still one important difference should be mentioned, namely their view towards the use of English by postcolonial writers. While Achebe's works are all written in English, Ngugi has quit it and moved to write in Gikuyu, his indigenous tongue. Ngugi argues that writing in African languages is a necessary step toward cultural identity and independence from centuries of European exploitation. In his Article, “The Language of African Literature”, he asserts that language has always been a tool of colonization, where the lives of Africans were more firmly put in the control of the colonists, thus his assurance that African literatures could only survive if they were written in native African languages. He says, “The bullet was the means of the physical subjugation. Language was the means of spiritual subjugation” (519). Achebe, on the other hand, disagrees, saying in a talk at West Chester University published in Global Literacy Project "It doesn't matter what language you write in, as long as what you write is good." He adds that "language is a weapon, and we use it… There's no point in fighting a language” (2). Nevertheless, believing in the importance of the role of literature and of the narratives in uncovering the truth, both present the tribal African societies from within, with their own strengths and weaknesses, agreements and disagreements, and positive and negative values, just like other society, unlike the stereotypical image given to Africans in the Western discourse. Besides, in their attempt to raise awareness of the oppression and humiliation that the Africans suffered from on the hands of the white man, Achebe and Ngugi describe the clash between African and the European traditions, values and religions. In addition, their works depict the corruption of oppressive post-colonial regimes, which reflects the writers' belief that the independence African countries are supposed to have won is totally devoid of any content, and that the white colonialists are still in power through a few black representatives. In Things Fall Apart, Achebe depicts the culture of the Umuofian society before colonialism, showing that the Ibos had their own system where, according to Jago Morrison in The Fiction of Chinua Achebe, "decision making centers around the democratic consultation of elders, and power is exercised with detailed regard for the peace and equilibrium of the community as a whole" (20). In other words, the Igbos had their moral and ethical principles on which their society was based. When a member of the clan violates these principles, he is punished no matter how powerful he is. The protagonist, Okonkwo, for example, is penalized when he beats his wife on the sacred Week of Peace, and he has to make some sacrifices to show repentance. And when he accidentally kills a young man, he is deprived of his property and exiled for seven years. Again Achebe's point here is that African societies weren't those primitive cannibals as they appear in Western texts. In her "The Tragic Conflict in Achebe's novels", Abiola Irele asserts that "Achebe presents the society as one that has positive qualities of its own. The coherence and order that make social life one long ceremonial, the intense warmth of personal relationships and the passionate energy of the religious life, all these reveal the other side of the coin" (171). Inclusion of ceremonial dancing, folk songs, story telling,

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 4

Ibo proverbs, vocabulary and sayings all "serve as a reminder of cultural distinctness and integrity of the community being described" (Morrison, 21). In the first chapter of Things Fall Apart, for example, we read, "Among the Ibo the art of conversation is regarded very highly, and proverbs are the palm oil with which words are eaten" (6) This society has its weaknesses too. With no room for feminine characteristics in a patriarchal community, we see through Nwoye, Okonkwo’s son, how some practices are unconvincing and brutal: the newborn twins are left in the forest to die alone; those who do not live up to the established standards, like Okonkwo's father, die in disgrace; and Ikemefuna, the boy raised and loved by Okonkwo, has to be killed according to the Oracle. Even Obierika, the wise man, is skeptical of some Igbo practices. This definitely reflects a main theme of Achebe's, which is the clash between the traditional African society and the Christian imperialism of Britain. Unlike Western discourse, in Things Fall Apart, even the white characters are not stereotyped. While Mr. Brown, the missionary leader criticizes the Igbo religions, he does that moderately and does not allow his followers to antagonize the clan. On the other hand, Reverend James Smith, who succeeds Mr. Brown, is so strict and intolerant that Enoch, a converter, dares to unmask an egwugwu during a religious ceremony, an infuriating act that is equivalent to killing a spirit. The villagers are told that their gods are false, so violence breaks out between the African clans and the white missionaries, resulting in Village Abame being destroyed, and the leaders of Umuofia insulted and imprisoned by the Whites. Unable to accept such humiliation, Okonkwo kills a white messenger, but being let down by his clansmen, he hangs himself, in an end not unlike his father's, a disreputed one. The title of the book that the British District Commissioner is writing according to the novel, The Pacification of the Primitive Tribes of the Lower Niger, ironically summarizes the Whites' view towards the Africans. In their attempt to dominate the Africans, they are indifferent about their lives or about their culture. Okonkwo’s death, for the commissioner, does not even deserve a chapter in his book, though it “would make interesting reading” (Things Fall Apart 187). Parker and Starkey see that "the novel insists that the Igbos have a story. This needs to be insisted on, for in the District Commissioner's eyes Okonkwo has no narrative of his own” (41). It can be clearly seen that Nwoye's conversion and Okonkwo's death in addition to other incidents are symbols of the falling apart of the old order, which cannot stand firm in the face of the powerful colonialists. In response to portrayal of Africans in Conrad's Heart of Darkness, says Patsy Daniels in The Voice of the Oppressed in the Language of the Oppressor, "Achebe was especially offended by the lack of speech, the lack of voice, of Conrad’s African characters” (68), thus his project to correct this situation by speaking up for Africans, by giving voice to the voiceless and showing the humanity of the dehumanized. Daniels concludes that “Achebe had to use the platform of imperialist literature in order to revise the history of Africans as written in literature in English” (4). Like Things Fall Apart, Arrow of God explores the intersections of Igbo and European traditions, shedding more light on the catastrophic results of this confrontation on African societies. The novel fictionalizes a true story that did happen in Colonial Nigeria

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 5

"in the village of Umuchu in 1913 [where] the chief priest of that village, Ezegu, was imprisoned by the colonial administration for refusing to take on the role of Warrant chief" (Morrison, 102). Set in the village of Umuaro in the Igbo land in the 1920s, when British colonization was well underway, the novel tells the story of Ezeulu, a chief priest of Ulu, who fails to stop war against a nearby village. This war makes their society vulnerable enough to be dominated by the British, who stop the war and break all the guns in both villages. Although Ezeulu is not as reckless as Okonkwo, he is trapped and crushed by the intervention of the British officers and Christian missionaries. Like in Thing Fall Apart, Achebe insists on depicting the well-established socio- economic and religious order in Umuaro long before the British arrival. For a century, the villages there have organized different aspects of their lives, starting from religious offers and rituals, to the agriculture calendar of the community, and not ending with matters of security. Morrison sees that "Within the political and religious structure of Umuaro, Ezeulu's power is importantly held in check by the council of elders" (103), which shows that "Achebe's fiction seems keen to establish the democratic credentials of the Ibo, especially by contrast to colonialism's autocratic tendencies" (102). However, no matter how well-established this system is, it fails to face the power of the British colonialism, and the consequence is inevitable disintegration and destruction, obviously not civilization brought to a group of cannibals. The novel exposes the Westerners’ false claims of a civilizing mission by showing their disrespect of the African elders and their religions. In short, both novels try to show that the triumph of the Christian God and the white man has destroyed not only Okonkwo and Ezeulu, but even "forever deviated the course of Umuaro's history" (Irele, 177) and, consequently, the continent's history. Another significant theme in Achebe's works is corruption and oppression of post- colonial regimes. For Achebe, the dictatorial colonial regimes were replaced after independence by corrupted governments which continued oppression, repression and persecution in all aspects of life. Achebe explores the plights in postcolonial Nigeria in several novels, the latest of which is Anthills of the Savannah, in which he shows that Nigeria is still undergoing the consequences of colonialism by tracing the failed leadership and the betrayed hope. In this novel, it is quite clear that Achebe cannot ignore the deaths of three million of his fellow Easterners out of war and famine during and after the Biafra experience. Nor can he turn his back to other catastrophic events across the continent, thus his concern of rewriting the history through narratives "creating a timeless and autonomous version of events [which] can speak to future generations [with] new forms of narration that might have the power to liberate us from the circle of our post- colonial moment" (130). In his The Trouble with Nigeria, Achebe comments on the failure of postcolonial regimes saying on the first page that "the Nigerian problem is the unwillingness or inability of its leaders to rise to the responsibility and to the challenge of personal example which are the hallmarks of true leadership." Anthills of the Savannah is set in Kangan, an imaginary African country, where the President, Sam, or his Excellency, and his boyhood classmates, Chris , the information minister, and Ikem, an independent-minded writer, but still the poet and editor of the

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 6

Government Gazette, are supposed to handle the country's affairs after a military coup brings Sam to power. However, instead of leading the country into peace and prosperity, Sam and his regime turn it to a dictatorship. Upon the advice of his commissioner for Home Affairs, Prof. Okong, a devout Christian, and Ikem's antagonism to his despotism, Sam is convinced that Chris and Ikem are Heretics and untrustworthy. As a result of a conspiracy by Sam and his men, both men are turned into outlaws and get killed. However, Achebe leaves a space for hope through Beatrice, Chris's girl friend, who recognizes the real story of Kangan, unlike the stories of the three friends. According to Morrison, the birth of Ikem’s and Elewa’s baby girl "in a period of social unrest through a union between a middle-class male intellectual and an illiterate working class woman suggests the emergent bonding between classes and the unlimited possibilities that a new path opens up” (145). Like Achebe's early novels, Ngugi’s The River Between depicts the conflict of cultures and the role of Christianity and English education in the Kenyans' lives. It is similar to Achebe's Things Fall Apart in showing the beginnings of clash between native Africans and white Europeans. Unlike Achebe, however, Ngugi does not go back to depict the Gikuyu life and traditions before the arrival of colonialists. He does that indirectly through the contrast between both cultures. The story takes place in two mountain ridges, where a Kenyan tribe lives on each, separated by the Honia River, which means cure, or bring-back-to life, a river which Edward Said sees as totally different from Conrad's river in Heart of Darkness. He believes that it "seemed to possess a strong will to live, scorning drought and weather changes" (Culture and Imperialism 211). The conflict here is internal, between the two tribes rather than being external, between the colonizers and the colonized. Waiyaki, the novel's protagonist lives on the Kameno ridge, whose inhabitants still stick to cultural traditions, while the inhabitants of the Makuyu ridge have changed and adopted Christianity and British values. Like Achebe's Ezeulu of Arrow of God, Waiyaki's father sends him to "learn all the wisdom and all the secrets of the white man. But do not follow his vices. Be true to your people and the ancient rites" (qtd in Gikandi17). Waiyaki’s belief that education will unite his people is opposed by those who want direct action against the other tribe. Like several of Achebe's characters, or perhaps like Achebe and Ngugi themselves, Waiyaki is stuck in the middle of two different cultures. His books, finally, seem unable to face either culture, and his education fails to solve the problem. The novel makes it clear that before the white man's arrival, peace had been prevalent in the region. In Ngugi Wa Thiong’o: An Exploration of His Writings, David Cook sees that the two villages "were in relative social harmony before being affected by alien religion and colonial politics" (29). Again like Achebe, Ngugi doesn't idealize the African society. On the contrary, he, too, shows that without internal weakness, traditional values wouldn't have given way and succumbed to the exigencies of colonialism. In The River Between, traditional culture has its flaws, mainly circumcision of girls. Ngugi criticizes this custom, but at the same time attacks the Christian's attitude towards it, considering that Christian missionaries condemn the act only because it acknowledges female sexuality, a point which makes

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 7 sense at a time when Europe was associated with masculinity juxtaposed against femininity of the "Other", who is here, the African. In Weep Not, Child, Ngugi shifts the light to the direct conflict between the colonizers and the colonized when white settlers, in cooperation with the wealthy Blacks, have already taken the native's land, and when nationalist awareness has been formed against oppression and humiliation. Through Njoroge, a young boy, and his family, Ngugi dwells on a variety of conflicts: political, cultural, religious, and class struggle. Njoroge’s high hopes for further education are crushed between his idealistic dreams to help his family and country through learning and the violent reality of the colonial exploitation. The violent resistance of the Mau Mau rebels against the British domination in Kenya and the government's repression of this resistance not only shatter Njoroge's plans to attend university but also destroy his family. His father and brother, Boro, are killed by the Regime, and Kamau, another brother is imprisoned for life. As a third brother had been killed in World War II, Njoroge remains alone with his mother and stepmother, a situation which means that all his dreams have come to an end, thus feeling depressed for being unable to offer any help to his family or country. Like Okonkwo's family, Njoroge's family likes to sit together and tell stories, an emphasis on the importance of African oral tradition. One of these stories is a folktale on how God created Gikuyu and his woman Mumbi, and offered them the most beautiful land. But this land was taken from them by the white man. During a strike, Kiarie explains how this happened saying, "Later, our fathers were taken captives in the first Big War to help in a war whose cause they never knew. And when they came back? Their land had been taken away for a settlement of the white soldiers" (Weep 65) Not unlike Achebe’s novels, Ngugi's Weep Not, Child shows the destructive role of Christianity on indigenous people. Kiarie, an activist, told the people on strike “how the land had been taken away, through the Bible and the sword. The Bible paved the way for the sword” (65). Petals of Blood, Ngugi's last novel in English, reflects Ngugi's change from portraying the colonial era to focusing on exploitation and corruption in present-day Kenya. Like Achebe's Anthills of the Savannah, yet more furiously and from a leftist point of view, Petals of Blood addresses contemporary social, moral, and political deterioration in urbanized Kenya, together with the indifference and oppression of its regime. The story takes place in the small remote village of Ilmorog, where each of the four main characters have arrived in an attempt to escape the ills of the city, the ills which have afflicted Kenya after independence. Ngugi paints a harsh picture of life in the neo-colonial period, or more accurately after what Frantz Fanon calls "the farce of national independence" (qtd in Boehmer 237). The novel harshly condemns the ruling elites who, mired in corruption and hypocrisy, exploit the country's workers and peasants through rotten religious, political, educational, and financial institutions. Cook summarizes the novel as an exposition “of the nature of capitalism, of the insensitivity, callousness and insatiable ambition of those who control vested interests in order to gain power and wealth, impoverishing the unprivileged, imposing misery and suffering upon the majority” (87).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 8

The village which was once a thriving commercial center has been turned dead “in the process dispossessing and making destitute its inhabitants” (Cook 89). It is evident that the harmonious relationship between its people and nature in the pre-colonial past explains its previous prosperity. However, as Gikandi contends, "The peasants' impoverishment in both the colonial and postcolonial economy could come to be represented in terms of the drought and the images of death associated with it" (135). Even when the village is transformed into another metropolitan center, it is not at all a kind of resurrection. It is merely false economic boom, as the village no more belongs to its people; it belongs to the greedy capitalists, instead. The destruction of the Mwathi's place is a clear symbol of heading towards mere materialistic values and vice, or, as Gikandi puts it, "the old community is destroyed by the more advanced forces of industrial capitalism" (145). In short, Petals of Blood depicts how those who are supposed to lead Kenya to real independence and true freedom have become the cause of its woes. According to Gikandi, the main characters, Munira, Karega, Wanja, and Abdulla "are defined by their acute awareness of the gap between the promise of independence and the travesty of colonialism" (137). Ngugi refers to Gikuyu culture and the lost traditional Kenya in a kind of nostalgia to a beautiful romantic past, a past that has been crushed by the forces of colonialism and postcolonialism. To summarize, in an attempt to rewrite the history of their countries, which has long been suppressed by European missionaries and colonialists, Achebe and Ngugi believe that before colonization, the Africans lived peacefully, having their own clashes, but living their daily life on their own land. When the whites came, things changed. Not only did family relations worsen and did people experience much harm but even the course of their history was deviated, and forever. The powerless natives couldn't but succumb to the powerful Europeans and suffer from what Frantz Fanon calls the psychological and sociological consequences of colonization (qtd in Ashcroft 124). Both writers dwell on the colonial and postcolonial situation in Africa, exposing colonization as being responsible for introducing a feeling of rootlessness among Africans, or to use Fanon's words, a kind of "cultural genocide". Both Achebe and Ngugi participate in what Ashcroft calls the process of literary decolonization, which "has involved a radical dismantling of the European codes and post-colonial subversion and appropriation of the dominant European discourses" (195). In a word, in their attempt to restore a lost identity, Achebe’s and Ngugi’s works are striking examples of a new discourse, a discourse which writes the history and culture of subordinate peoples from within, a discourse of decolonization, of opposition and resistance, against the political and cultural hegemony of the West.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 9

Works Cited Achebe, Chinua. “An Image of Africa: Racism in Conrad's Heart of Darkness." Ed. Brydon. Vol. III. 1042-1054. --- Anthills of the Savannah. New York: Doubleday Anchor,1988. --- Arrow of God. London: Heinemann, 1964. --- “Ngugi Wa Thiongo and Chinua Achebe on the politics of Language and Literature in Africa.” Global Literacy Project. Dec. 16, 2008 < ww.glpinc.org/classroom>. --- No Longer at Ease. London: Heinemann, 1960. --- The Trouble with Nigeria. London: Heinemann, 1984. --- Things Fall Apart. London: Heinemann, 1965. Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, and Helen Fiffin. The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures. London and New York: Routledge, 1989. Boehmer, Elleke. Colonial and Postcolonial Literature. USA: Oxford University Press, 1995. Brydon, Diana ed. And introduction. Postcolonialism: Critical Concepts in Literary and Cultural Studies. 5 vols. New York: Routledge, 2006 Cook, David. Ngugi Wa Thiong’o: An Exploration of His Writings. 2nd. ed. Oxford: James Curry Ltd., 1997. Daniels, Patsy J. The Voice of the oppressed in the Language of the Oppressor. Ed. William E. Cain. Literary Criticism and Cultural Theory: Outstanding Dissertations. New York: Routledge, 2001. Duke, Lynne. The Washington Post. Sept. 17, 2006. D O1. Sept. 15, 2008. . Ezenwa-Oheto. Chinua Achebe: A Biography. Bloomington: Indiana University Press, 1997. Gikandi, Simon. Ngugi wa Thiong’o. England: Cambridge University Press, 2000. Irele, Abiola. “The Tragic Conflict in Achebe’s Novels.” Introduction to African Literature. Ed. Ulli Beier. London: Longman Group Limited, 1970, 167-178. Morrison, Jago. The Fiction of Chinua Achebe. New York: Palgrave Macmillan, 2007. Ngugi wa Thiong’o. Petals of Blood. London: Heinemann, 1977. --- “The Language of African Literature”. Ed. Brydon. Vol.II, 514-540. --- The River Between. London: Heinemann,1965. --- Weep Not, Child. London: Heinemann, 1967. Parker, Michael and Roger Starkey. Ed. Postcolonial Literatures: Achebe, Ngugi, Desai, Walcott. London: Macmillan Press Limited, 1995. Said, Edward. Culture and Imperialism. New York: Vintage, 1994. Spivak, Gayatri. "Can the Subaltern Speak?" Ed. Brydon. Vol IV. 1427-1618 Tonkin, Boyd. “Chinua Achebe: the Storyteller”. The Independent. June 16, 2007. Sept. 20, 2008. .

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 10

Borneo in the Eyes of Joseph Conrad

Suhana binti Sarkawi, Datu Sanib bin Said, Universiti Malaysia Sarawak, Malaysia

Abstract The adventure and experience of European sailors in the Malay Archipelago in the 19th century narrated through the eyes of Orientalists had evocated the world of postcolonial literature. Joseph Conrad, a seaman turned a writer had constructed the identity of the native community in the Malay Archipelago region with particular reference to people of Patusan, Borneo. Conrad wrote his ‘Lord Jim’ and ‘Almayer’s Folly’ by reading other writers’ works and a brief encounter with the islands native communities at sea. His perspective about the natives that he read about and saw had become the constructed reality in his works representing the whole the native community. With the content analysis method through the perspective of postcolonial and with the approach of in-depth reading, this paper presents the views of Conrad of native Borneo society, especially the Malays, and how their identity was built in ‘Lord Jim’ and ‘Almayer’s Folly’. Hero characters in the stories had actually lost their integrity in the eyes of their own society.

Keywords: the Others, postcolonial, marginal, superior, identity

Introduction This paper is to present about two Borneo-based fictions entitled “Almayer’s Folly” (1895) and “Lord Jim” (1899) by Joseph Conrad (born Józef Teodor Konrad Korzeniowski ), a Polish-born English novelist who fictionalised account of British side of Borneo through a postcolonial discourse. Almayer’s Folly was written before he left Africa between the autumn 1889 and the end of winter 1894 after his stay in Congo. In this paper I will use LJ as reference to Lord Jim and AF for Almayer’s Folly. His first novel, AF, had a sentimental touch to Conrad as it was finally completed when his uncle who was also his guardian, Tadeusz Brobowski, suddenly passed away. It portrays Conrad’s traumatic past experience with his family, Poland, Russian colonialism and Belgian Congo.1 LJ was at first published in serials in 1899-1900.2 It contains two parts of Jim’s exploration to the Eastern waters. First, it tells us about Jim’s life at sea. Second part is where Jim arrives in Patusan and it is to a failed heroism with ends with Jim’s tragic death to redeem his honour. Conrad used incidents from real life, hearsay and readings to create the environment and reconstruct the characters of his novels. He admitted it in his Notes on Life and Letters: “Fiction is history, human history, or it is nothing. But it is also more than that; it stands on firmer ground, being based on the reality of forms and the observation of social phenomena, whereas history is based on documents, and the reading of print and handwriting — on second-hand impression. Thus fiction is nearer

1 Allen, Jerry. 1965. The Sea Years of Joseph Conrad. Methen & Co. Ltd. London: xix. 2 Lord Jim. http://www.conradfirst.net/view/periodical?id=35 retrived on 16.10.2012 at 10.00 pm.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 11 truth. But let that pass. A historian may be an artist too, and a novelist is a historian, the preserver, the keeper, the expounder, of human experience.” (Conrad, 1921:17). His writing was also influenced by other people’s works as noted in The Last Twelve Years of Joseph Conrad as “... over and over again ... Wallace’s Malay Archipelago was his favourite bedside companion.’ (Ridchard Curle, 1928: 120-121). It was also said that Brookiana and James Brooke’s memoirs, journals and letters in his way of becoming the ruler of a native state had been Conrad’s references to write LJ and AF. He constructed the setting and characters to suit the expectation3 of the Victorian readers of his time of writing. He also ‘feels no responsibility to remain systematic in a universe itself.: two universes may exist in the same place in the same time.’4 Conrad shifted the reader’s perspective from seeing the image construction of the natives or the colonised to the identification of the colonisers. It shows the conflict of identity between being the colonised and the coloniser. He wrote about Almayer, a Dutchman, who lived among the natives whom he sees as less superior and less charismatic than him. In AF, Conrad gave the readers the notion that it was Almayer who was not ‘one of them’ (the natives) rather than ‘one of us’ point of view. AF and LJ were written and shaped not only by Conrad’s psychological side but also his life as a seaman. His contact to the natives was very limited even though his observation was taken into account to the minimum as ‘Conrad’s knowing of the East as a seaman posits a special relationship between himself and the Eastern world which provided his source material” (Sherry, 1966: 6) in his Eastern novels. This makes us ponder: Can Conrad’s three visits to the East and a few months stay in Eastern land experience dictate the whole image of the natives represented in his novel be regarded as the truth? So, in this paperwork we can see how Conrad marginalised the natives in his narratives. The exoticness and bewilderness of the Eastern inhabitants that he built in his writings in “words, groups of words, words standing alone...” present the very thing you wish to hold up before the mental vision of your readers. They are ‘as they are’ exist in words would appeal to his audience imagination and by orientalist writings like in LJ and AF. AF and LJ show us how the representation of the Malays in Borneo is portrayed in various points of view5: Marlow- the narrator, Jim and Almayer- the protagonists and of Nina and Jewel- the females who have ‘the voices’ in the novels. The ambivalence feeling has successfully been created upon the completion of reading both fictions. He “did not really know anything about the Malays.”6 To Conrad, evil and savageness are equally embedded in both the colonised and the colonisers.7 Hybridity can be traced in Nina and

3 Arendt, Hannah. 1973. The Origins of Totalitarianism Harcourt, Brace, Jovanovich (New edition). Orlando, USA, p.125. 4 In Garnet, Letters: 143: as cited in Bonney, W. Wesly. 1980. Thorns &Arabesques Contexts for Conrad’s Fiction. The Johns Hopkins University Press. Baltimore, p. 5. 5 S. Koon, Wong. “Pertemuan Kolonial dan Strategi-Strategi Naratif di dalam Karya-Karya Conrad dan Clifford”, Jurnal Ilmu Kemanusiaan. Jld/Vol 1. Oktober 1994, p. 31. 6 Ibid., p. 31. 7 Ibid., p. 38.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 12

Jewel but the Others’ traits in them win as opposed to the European traits8 to be discussed in the next section of this paper.

The Malays: a construction of identity Who are the Malays as one of the Borneo natives through Conrad’s eyes? To enable us to see the construction of the Malay identity in his fictions, comparison between what had been written by cultural researchers and travellers to Borneo and The Malay Archipelagoes in their books and memoirs. The writings of Tom Pires, Baring-Gould, Brookes, Spenser St John, Swettenham, Hugh Low, and many others give us the insight of Malays and its society mirroring who and how the Malays were during their times of observation and travel. Their writings have generally been acknowledged as pioneering and important contributors to Malay cultural and historical studies. Shahruddin Maaruf (2002) noted that “...colonial writings on the Malays. They had left us valuable descriptions of culture and institutions of pre-colonial days to be sure for contemporary researches. We would be poorer academically or intellectually speaking without the records left behind by the colonials. In all objectivity, we can even say that they left us more records of the pre-colonial culture and society than the indigenous elite themselves.”9 Perhaps referring to this statement, Conrad wanted to prove that what the travelers had documented was true so Conrad imposed the idea of women in being less respected and therefore silenced (AF, Chapter VII:45) in his Eastern writings. In the general views of the Malay-Muslims, women are highly respected and their pride is protected from the evil men’s intentions. Limiting their contacts with the males and non- mahram10 is the sign of honour and preservation of dignity. Baring Gould states that [t]he Malay has been very variously judged. The Malay Pangiran, or noble, was rapacious, cruel, and often cowardly. But he had a grace of manner, a courtesy, and hospitality that were pleasing as a varnish. The evil repute that the Malay has acquired has been due to his possession of power, and to his unscrupulous use of it to oppress the aboriginal races. But the Malay out of power is by no means an objectionable character11. In LJ and AF, the Malays make up most of the characters, some Arabs and some mentions of Chinese. He did not quite really give the Malays and natives characters names as a symbol of respect. He would just call them ‘half-castes’ (AF, Chapter 1:7) (LJ, Chapter2:9), ‘savage’ (AF, Chapter II:11) (LJ, 41:224), ‘savage-looking Sumatrane’ (AF, Chapter IV:25) or merely mentioned the physical characteristic that he can see and relate it to the persons. Everytime he sees and encounters a Malay, he will describe the Malay’s from the European’s standard. He describes and ridicules the person as a physically and mentally immoral being as low as he could put into words. (AF,

8 Ibid., p. 37. 9 Maaruf, Shaharuddin. 2002. Possibilities for Alternative Discourses in Southeast Asia: Ideology and the Caricature of Culture, Singapore: National University of Singapore, pp. 4-5. 10 Non-mahram means a legible partner to be married with. 11 Baring-Gould, S., & Bampfylde, C. A. 1909. A History of Sarawak under its Two White Rajahs, 1839-1908. London: H. Sotheran & Co., p. 28.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 13

Chapter 1:6) For example, Conrad through a European labels the Malay pilgrims onboard Patna as “cattle,' said the German skipper to his new chief mate” (LJ, Chapter 1: 10) and also when he speaks about the passengers in Patna, the pilgrims to Mecca by relating them with "She was full of reptiles." (LJ, Chapter 5: 30) But in in History of Sarawak (Baring, 1909), a different view from the Ranee of Sarawak was cited about the characteristic of the Malays of Sarawak as opposed to Conrad’s constructed image of the Malays.

Indeed her [Ranee of Sarawak] presence in Sarawak has always been greatly valued by all, natives and Europeans alike. … She was the moving spirit in the promotion of the social and industrial welfare of the women and children, and was always an honoured and welcome guest at the social functions of the Malays, (p.414)

Natives in Patusan, the setting of LJ did not know his abandonment of responsibility in Patna and this had made it rather easy for Jim to poise himself as a superior stranger in a Malay village. They did not aware that his going there to a rural and less known place by a river was an escapism from his guilt and to mend his Eurocentric personality among the less fortunate and troubled native settlement. The presence of Dain Waris and Dain Marolla as brave and intelligent noble Malay men was felt and the impact of losing Dain Waris paved a memorable and tragic ending. The success of Dain Marolla in his homeland satisfies all Almayer’s jealousy’ over his gun power trade in his royal territory. In AF, Tom Lingard, a European, living in Sambir, Sarawak. After Lingard successfully ‘bribed’ Almayer with future wealth into marrying his adopted daughter of native blood, Lingard left him to pursue more hidden treasures elsewhere. At first, he was reluctant to marry her but after he thought of the treasure that his father in-law promised him to inherit, Almayer bitterly agreed with intention to divorce her as soon as he got it. Lingard actually wanted to make an offer to sell his adopted daughter to Almayer like a slave (AF, Chapter 1:8). The daughter was not given a proper personal name! He found her among the corpses if ‘pirates’ after a battle with them in the waters. Lingard assumed that it was his responsibility to raise this savage child as her pirate’s family was killed by him. Unfortunately, the adopted child viewed the act as a kidnap and imprisonment. She was treated badly by Lingard (AF, Chapter 2:13). Maybe to get rid of her for a certain mission of fortune in another place, he discussed with Almayer and convinced him to marry her. He promised Almayer his treasures will be Almayer’s if he agrees on the arranged marriage (AF, Chapter 1:8). AF and LJ show us how the representation of the Malays in Borneo is portrayed in various points of view12: Marlow- the narrator, Jim and Almayer- the protagonists and of Nina and Jewel- the females who have ‘the voices’ in the novels. The ambivalence feeling has successfully been created upon the completion

12 S. Koon, Wong. op. cit., p. 31.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 14 of reading both fictions. He “did not really know anything about the Malays.”13 To Conrad, evil and savageness are equally embedded in both the colonised and the colonisers.14 Hybridity can be traced in Nina and Jewel but the Others’ traits in them win as opposed to the European traits.15 Spenser St John16 said the Malays are found on the whole to be very truthful, faithful to their relatives and devotedly attached to their children. Remarkably free from crime and when they commit them it generally about jealousy, Brave when they well led, they inspire confidence in their commanders; highly sensetive to dishonour, and tenacious as to the conduct of their countrymen towards them, remarkably polite in their manners, they render agreeable all inter-course with them. Malays are greatly accused of great idleness; in one sense they deserve it; they do not like continous work, but they do enough to support themselves and families in comfort, and real poverty is unknown among them. No relative is abandoned because he is poor, or because an injury or an illness may have incapicitated him for work. I like the Malays, although I must allow that I become weary of having only them with whom to assosiate17. In my opinion, the Europeans sailing and expedition are viewed as exploration and holy mission to civilise the Eastern inhabitants however if the Malays do the same, venturing and exploring new routes or territories, they are viewed as ‘lanun’ or ‘pirates’. Jim, too, become quite lofty in Patusan. He impresses the natives and tries to do things ‘for the people’s good’ and gains himself a ‘Lordship’ (LJ, Chapter 1: 4). Jim is trapped in his new world in the process to cover his guilt over unwise decision on Patna. He is there in the mercy of the native leader, Doramin. (LJ, Chapter 23: 137) After a visit to Santubong, Sarawak in 1885, Alfred Russel Wallace agreed that ‘in the character, the Malay is impassive. He exhibits a reserve, diffidence, and even bashfulness, which some degree attractive and leads to think that the ferocious and bloodthristy character imputed to the race must be exaggerated18 (Chapter 40:442). Conrad condemns Doramin, his ally in Patusan as well as his former captor, Rajah Allang.

This is where I was prisoner for three days," he murmured to me (it was on the occasion of our visit to the Rajah), while we were making our way slowly through a kind of awestruck riot of dependants across Tunku Allang's courtyard. "Filthy place, isn't it? And I couldn't get anything to eat either, unless I made a row about it, and then it was only a small plate of rice and a fried fish not much bigger than a stickleback--confound them! … .. Some poor villagers had been waylaid and robbed while on their way to Doramin's house with a few pieces of gum or beeswax which they wished to exchange for rice. "It was Doramin who was a thief," burst out the Rajah Allang. (LJ, Chapter25:146)

13 Ibid., p. 31. 14 Ibid., p. 38. 15 Ibid., p. 37. 16 St. John, Spenser. 1862. Life in the forests of the Far East. Kuala Lumpur: Oxford University Press, as cited in G, Baring & C. A. Bampfylde. 1909. History of Sarawak. London: Henry Southen Co., p. 29. 17 St. John, Spenser, op. cit. 18 Wallace, Alfred Russell. 1862. The Malay Archipelago, Vol. II. London, Macmillan and Co.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 15

He detests the ways the natives bow and enslave themselves to Doramin. If Doramin were an evil person, the Patusanis may have rebelled and joined Rajah Allang side.

He [Doramin] was the chief of the second power in Patusan. … intelligent, enterprising, revengeful, but with a more frank courage than the other Malays, and restless under oppression. They formed the party opposed to the Rajah. (LJ, Chapter 26 : 150)

Conrads portrays Jim as a hero through Marlow’s narration. The natives then acknowledged the wisdom and guidance from this foreign man who is not ‘one of them’ so truthfully abide his advise not to charge the white pirates by the name of Gentleman Brown who secretly makes a plot to attack Dain Waris camp that causes his life and later Jim’s.

I know that Brown hated Jim at first sight. Whatever hopes he might have had vanished at once. This was not the man he had expected to see. He hated him for this-- … he cursed in his heart the other's youth and assurance,… (LJ, Chapter 41: 222)

Conrad placed ‘Jim’ as a pure and accessible. Marlow and Jim narrate to ‘us’ what are they doing, thinking and feeling. This ‘Jim’ must go through the dirt, stench, and mud- stained natives to regain the honour after the Patna Affair19 (LJ: Chapter 13: 89). Dain Waris is the only son of Doramin, the leader of Patusan (LF: Chapter 26:152). Jim is betrayed not by natives but his fellow Europeans, namely Cornelius and Gentleman Brown. He lets Brown passes through Patusan as an act of being a gentleman to a person who knows his secret. He regards Brown as one of his (kind) and this unwise decision makes him lose his sidekick, Dain Waris in the hands of Brown’s band.

Tamb' Itam, disordered, panting, with trembling lips and wild eyes, stood for a time before her as if a sudden spell had been laid on him. Then he broke out very quickly: "They have killed Dain Waris and many more. (LJ, Chapter 45: 23)

However, in order to show that he is an honourable white man, he had to choose whether to run for his life as asked by his mistress, a half-bred Jewel or to face the music (LJ, Chapter 9:65 ). He had ‘jumped off Patna’ once and had been feeling so guilty about it so he decided to see Doramin and die as a noble man

Eight hundred living people, and they were yelling after the one dead man to come down and be saved. 'Jump, George! Jump! Oh, jump!' (LJ: Chapter 9: 64)

In my observations, ‘Where there are seas and rivers, there will be Malays’. They look for food just enough to be consumed by their families and if there is extra, they will

19 A ship carrying 800 Muslim Pilgrims to Mecca that Jim and the crew abandoned out of fear it may sank. He went to a public Inquiry for it and was discharged from all his seafaring position before he went to Patusan.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 16 give it away as sedekah20 to their neighbours or relatives and rarely for them to sell it. They like to work by themselves and at their own convenient time. By this, they are not under anybody’s order. This way of life did not agree to what the coloniser wanted them to become. Working freely and not governed by the rules of the coloniser had cause them to be seen as living their lives as pirates – not complying to the Western standards. In a way, I personally feel think the colonisers have the oppurtunity to interfere with the Malays’ world to ‘save’ them from committing uncivilised act.

Anthony Milner (2011) says being Malay means “...different things in different places, and at different times,”21 and that Malay identity has “...entailed a fusion of Western notion of ethnicity and older, local ‘Malay’ concepts of community.”22 In other words, the formulation of Malay identity is a construct that is based on the changing circumstances surrounding the Malay communities, and that there are differences in the meaning of Malay identity in the different communities identified as Malay. Within this tradition are also those studies which assert that Malay as a group does not exist, and that Malay identity is not based on the group’s inherent cultural values and traditions, and that Malay identity is a construct of the British colonialists. These some how gave them the green light to civilise and modernise the ‘savage’ society. We can see in AF, Chapter II, 16: “You can’t make her white. It’s no use you swearing at me. You can’t. She is a good girl for all that.” MacIntyre (1967:71) states that the colonial reports emphasise the inordinate influence of colonial ideologies and the element of ‘racial superiority’ that as a whole represents how the Western generally perceived the indigenous world. Jim came to Patusan when the village was in the middle of a conflict with the aristocrats in powers. The village was caught in the power struggle between Raja Allang and Doramin. Let me show some contradicting notes describing the Malays. Generally, it is assumed that Conrad felt guilty of his betrayal to Poland and his writings in English Language. Reading his writings can make us feel confused of in what position actually Conrad was.23 He was seen as ambivalent towards the subject of his writings – the Malays. The Malays are stereotyped like the way the blacks are seen by the Victorian society. His portrayal of the Malays as dependent and indecisive thus they need to have a leader out from their circle from a greater knowledge and civilisation to rule. As the Malays are traditionally benevolent and loyal to their ruler, they empower the new leader from the West as seen in Lord Jim. In order to remain in the powerful alliance

20 A gift to (usually) less fortunate as a token of charity or goodwill, hoping to be blessed and may be receiving helps in the future if they are bound to any shortcomings. 21 Milner looked at different communities where the term Malay had been used to identify the communities, for example, Malays of Patani (South Thailand), Malays in Eastern , Malays in Northeast Sumatra or Riau regions and Malays on the Peninsula. Anthony Milner, 2008. The Malays. Oxford: Wiley-Blackwell Publication. 22 Ibid., p. xi. 23 Bignami, Marialuisa. 1987. “Joseph Conrad, The Malay Archipelago, and the Decent Hero”, RES New Series. Vol XXXVIII, No. 150, p. 199.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 17 when chaos struck their village, the Malays followed and respected the ‘white stranger’ whom their leader befriended. To endorse their acceptance of him, he was given a ‘Lordship’ title ‘Tuan Jim’ or ‘Lord Jim’. (LJ, Chapter 1:5) In Lord Jim, Marlow24 reported to the Court of Inquiry25 about his amazement regarding the attitude of the two Malay helmsmen. He said that “They were amongst the natives of all sorts brought over from Aden to give evidence at the inquiry. One of them... was very young, ... smooth... yellow,... looked younger” (LJ, Chapter 9:58). The image of youthfulness here suggests immaturity and inferior intelligence of these witnesses. Marlow added that the only contribution of the Malays witnesses of the Patna incident was by saying “nothing” and “thought of nothing” (LJ, Chapter 9:58). Marlow met Jim at the Inquiry. He introduced him to Stein26 and brought him to Patusan (LJ, Chapter 19:117). Starting from here, we can see how Conrad described more on the characteristics of the Malays or some time the natives of Patusan and their surrondings. Jim described “Doramin and his little motherly witch of a wife, gazing together upon the land and nursing secretly their dreams of parental ambition; Tunku Allang, wizened and greatly perplexed; Dain Waris, intelligent and brave, with his faith in Jim, with his firm glance and his ironic friendliness; the girl, absorbed in her frightened, suspicious adoration; Tamb' Itam, surly and faithful; .. (LJ, Chapter 35:193 ) and “Patusan establishment, ... four corner-posts of hardwood leaned sadly at different angles: the principal storeroom... oblong hut, built of mud and clay; it had at one end a wide door of stout planking, which so far had not come off the hinges, and in one of the side walls there was a square aperture, a sort of window, with three wooden bars”. (LJ, Chapter 31:174) The Europeans’ mission to the Patusan and Sambir through Conrad’s Malay Fictions affirms the white man’s burden27. It is the ‘burden’ that they have to carry everywhere the Europeans set their feet on as a symbol if responsiblity and noblity. Almayer hopes that Sambir to be taken over by the British, because to him, it shall be the Europeans “who knew how to develop a rich country.” (AF, Chapter V:28). The philoshofical messege behind ‘The White Man Burden’28 is showed in:

24 A narrator and a character in Lord Jim. 25 A public Inquiry was held to investigate the Patna Affair in which the ship white officials including Jim had abandoned at sea. This ship was in her passage to Mecca to send in about 800 Bugis Muslim pilgrims and commanded by a German. They reported that the ship had sank in the ocean but it was discovered later and towed safely, so an inquiry was initiated. 26 A German adventurer and a businessman who helped Jim to get a job in Patusan. 27 The supposed duty of the White race to bring education and Western culture to the non-White inhabitants of their colonies. Collins English Dictionary. 2003. HarperCollins Publishers. 28 A rhetorical argument to justify the needs of the white men to colonise and rule the Others and their nation for the benefit of those seen as ‘uncivilised’ and ‘immoral’ in their standard even though, the colonisers do not need to possess the quality that they want to commission unto the ‘savages’ or ‘the Others’. It consists of Eurocentric racism and of Western aspirations to dominate the eastern world.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 18

“This bunch of miserable hovels was the fishing village that boasted of the white lord's especial protection, and the two men crossing over were the old headman and his son-in-law. ...confidently. The Rajah's people would not leave them alone; there had been some trouble about a lot of turtles' eggs.” (Lord Jim: Chapter 35)

Conrad portrayed the natives as troublemakers out of a small issue and these ‘savages’ like to complain to their superiors. He showed that these natives needed guidance and continuous monitoring in order to do things within the law. The descriptions on the Malay characters in Lord Jim are juxtaposed. Conrad did not want to give much credit to the positive image to his Malay characters. Phrases like ‘motherly witch’ and ‘ironic friendliness’ show his recluctance to admit the good traits possessed by the Others. In Christopher29 explores the point of view of the colonizer through the works of a few Victorian writers such as Joseph Conrad and Rudyard Kipling. The portion reveals the injustices of the colonizers that are the roots of the traumatic experiences of the colonized (Jerry Ellen:238). Lane recalls the questions of Joseph Conrad as to why the colonizers set off to colonize in the first place. Most importantly, he recalls Conrad’s question as to what the colonizers desired from their colonies, and “why their unsuccessful search for internal safety and redemption often turns this wanting into a rigid demand” (p.404)30. The answers to these questions are somewhat explored in the article. The unenviable experiences of the colonized natives are thus depicted. Lingard and Almayer are both cunning characters and we can obviously see that in the novel.

Conclusion As Bignami said that ‘Conrad never really stated his attitude to the British Empire,’31 the way he drew up the images of natives and colonialists was different in both novels and we can sense the duality in the novelist’ psychological mind. In Almayer’s Folly, the European dies as an opium-addict and a failed trader (AF, Chapter IV:24). He was unable to keep up with the dynamic characters like the Arabs who succeeded in their business; Dain Marolla, a charismatic leader of a royal blood; Nina, his half-bred and Westernised daughter who left him for a Malay; and betrayed by his ‘savage’ wife (AF: Chapter XII: 53). AF, in a larger scale, a certain extend sympathises the natives and gives the winning to the Others. In Lord Jim, the natives are portrayed to be more idyllic and blindly obedient. The helmsmen of Patna, when they were asked during the Inquiry trial just doing their work as usual even though the ship was likely going to sink ‘they thought of nothing’. The same response was seen during the Patna affair itself whereby the pilgrims did not rebel or yell at the ship officials as they jumped off the ship and abandoned them (LJ, Chapter 14:

29 Lane, C. ‘Almayer’s Defeat: The Trauma of Colonialism in Conrad’s Early Work’, Novel: A Forum on Fiction 32, Vol. 3 (Summer 1999), pp. 401-28.

30 Joseph Conrad. http://www.nines.org/print_exhibit/385 retrieved on 11 October 2012, 6.50 pm. 31 Bignami, Marialuisa. 1987. op. cit., p. 199.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 19

94). They were indifferent and remained calm in the ship without any attempt to run or commit other foolish mistakes as the white officials expected them to be. Throughout the selected fictions, we can see that the Others’ representation and the colonisers’ eyes of expectations to the native to understand and be orderly in manners and ways to do business with outside world.

References:

Alatas, Syed. 1977. The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism. London: Cass. Andaya, Leonard .Y. 2011. Melayu: The Politics, Poetics and Paradoxes. Singapore. NU Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, & Helen Tiffin. 1989. The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures. New York: Routledge. Bignami, Marialuisa. 1987. “Joseph Conrad, The Malay Archipelago, and the Decent Hero”, RES New Series. Vol XXXVIII, No. 150, pp.199-210. Brooke, J., & Mundy, R. 1848. Narrative of events in Borneo and Celebes, down to the occupation of Labuan: From the Journal of James Brooke, esq., Rajah of Sarawak and Governor of Labuan, together with a narrative of the operations of H.M.S. Iris (2nd ed.). London: John Murray. Clifford, Hugh. 1929. Bushwhacking and Other Asiatic Tales and Memories. New York: Harper & Brothers Clifford, Hugh. 1966. Stories by Sir Hugh Clifford, (Selected and introduced by William R. Roff). Kuala Lumpur: Oxford University Press Conrad, J. 1895. Almayer’s Folly. London: Penguin Conrad, J. 1900. Lord Jim. London: J.M. Dent and Sons Ltd. Joseph N.F.M. a Campo. 2003. “Discourse without Discussion: Representation of Piracy in colonial ‘Indonesia’”, Journal of South Asian Conrad Studies, 34 (2) pp.199-238. Leo Gurko. 1960. “Under Western Eyes: Conrad and the Question of ‘Where to?’”, College English. Vol. 21, No. 8, pp. 445-450. Low, Hugh. 1848. Sarawak, Its Inhabitants and Productions: Being Notes during a Residency in That Country with H.H. the Rajah Brooke. London: Richard Bentley. Maaruf, Shaharuddin. 2002. Possibilities for Alternative Discourses in Southeast Asia: Ideology and the Caricature of Culture. Singapore: National University of Singapore. MacIntyre, W. D. 1967. The imperial frontier in the tropics, 1865-75. New York: St. Martin’s Press. Said, Edward W., 1978. Orientalism. Hammondsworth: Penguin Books Ltd.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 20

Said, Edward W., 2008. Culture and Inperialism. NY: Vintage Books. St. John, Spenser. 1862. Life in the forests of the Far East. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Stern, H.H. 1992. Issues and Options in Language Teaching. Hong Kong: Oxford University Press. Swettenham, Frank (1920). British Malaya: An Account of the Origin and Progress of British Influence in Malaya. Fourth Edition, London: John Lane. Zawiah Yahya, 1994. Resisting Colonialist Discourse. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 21

Unveiling India through “the Perforated Sheet” in Rushdie’s Midnight’s Children

Nita Novianti Indonesia University of Education (UPI)

Abstract Rushdie’s Midnight’s Children is one of his most famous works alongside The Satanic Verses, Shame, and some other great works. Midnight’s Children, in particular, has garnered critical acclaim worldwide for its attempts of reclaiming history of India and claiming the nation itself using various symbols and metaphors (cf. Mannone, 2004; Abraham, 2010). One of the most important symbols and metaphors Rushdie employs in the novel is “the Perforated Sheet,” which is also the title for the opening chapter. The perforated sheet has, indeed, generated various interpretations by a large number of interested critics. One of the many interpretations critics offer (see Grace, 2004) reveals that the perforated sheet is a metaphor of veiling, carrying various meanings on how the rhetoric of veiling is used by Rushdie to comment on religious affairs, and, ultimately it is used as a political statement, commentary and a means of finding or asserting an identity. What seems to be missing from the discussion on the perforated sheet is the fact that the perforation can also be interpreted as a means of unveiling India. If Naseem Ghani’s body—the body that is unveiled through the perforated sheet by Doctor Aadam Aziz—is the metaphorical India, the perforation or the hole of the sheet is a “peep-hole,” a lens through which India can be seen, understood and loved. With a big question of how Rushdie identifies India with Naseem’s body and a perforation on a sheet, this paper attempts at revealing Rushdie’s representation of India and his efforts of claiming what constitutes “India.” A close reading of the text reveals that the fragmented body of Naseem, as unveiled through the perforation of the sheet, represents India as a fragmented nation, both literally and metaphorically. In addition, the perforation offers a way of looking at India, not as a wholesome unity, but in parts—in fragments. Just like Doctor Aziz who loves Naseem (and her body) in fragments but not in her wholesomeness, it is safe to say that loving the diversity of a nation is dissimilar to loving the nation as a unity. Furthermore, the perforated sheet unveils women’s position in the narration of the nation and in the nation itself. The way Rushdie’s Midnight’s Children unveils India and represents the nation through “imagined midnight’s children” can be read as Rushdie’s way of using the narrative to (re)claim his (imagined) India.

Keywords: The perforated sheet, unveiling, fragments, diversity.

Midnight’s Children has been frequently regarded by many critics as a postmodern novel about an imagined nation. More specifically, it is a “speech about the discourse of the nation,” or, India, as revealed by Ágnes Györke (170), “an apocalyptic narrative” of a nation (Hoffman 471), a “re-reading of Milton’s Paradise Lost” focusing on “the affirmation of a nation” (Olalquiaga ii), and a “claim to the culture, identity, history, and magic that is Indian life” (Mannone 1). Midnight’s Children can, indeed, be read as an attempt of claiming the history of a nation and the nation itself by means of narration. Through the chronicler, Saleem Sinai, an imagined nation of India is narrated, a nation that is later fragmented into two nations consisting of Pakistan and Bangladesh. In doing so, the novel employs various symbolizations and metaphors that make Rushdie a master of symbols and metaphors. Thus, this paper will particularly focus on the use of “the Perforated Sheet,” one of the most important symbols used in narrating the nation that

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 22 also becomes the title of the opening chapter of the novel, to unveil how the nation is viewed and portrayed through the perforation. The perforated sheet works in layers of meanings. On the literal level, the perforated sheet is a form of veiling, referring to the tradition of hiding and or secluding daughters and wives by the patriarchal figures, either fathers or husbands. In the narrative, the perforated sheet is employed by Ghani to hide and simultaneously show the fragments of the supposedly “forbidden” body of his only daughter, Naseem, while being examined by Doctor Aadam Aziz; and two generations later, the same perforation is used to make it possible for Jamila Singer to sing for the new nation of Pakistan from behind the veil (cf. Grace, 2004; Novianti, 2010). Metaphorically, the perforated sheet is employed in the process of narrating and unveiling India. First and foremost, the perforated sheet serves as the departing point of the history of the Indian nation, and thus, the chronicler’s or Saleem Sinai’s personal history. It is an artifact marking the birth of a new generation—the generation that will foster the generation of midnight’s children—that is likened to the seed of India’s independence. Even in the beginning of the story Saleem already clarifies that it is impossible for him to narrate the personal history of his life that is entwined with the history of India without the existence of the perforated sheet:

Consumed multitudes are jostling and shoving inside me; and guided only by the memory of a large white bedsheet with a roughly circular hole some seven inches in diameter cut into the center, clutching at the dream of that holey, mutilated square of linen, which is my talisman, my open-sesame, I must commence the business of remaking my life from the point at which it really began, some thirty-two years before anything as obvious, as present, as my clock-ridden, crime-stained birth. (Rushdie 4)

Saleem the chronicler is clearly determined that the history of India should be entangled with his own personal history, that it should “really [begin] . . . some thirty-two years before” (4); in other words, it should begin with his birth. Through tangling the national history with the personal and selecting which events that should and should not be included, Saleem has made writing a national history a personal act. Saleem’s treatment of history in Midnight’s Children is what purports Jennifer Santos to label the novel a “narcissistic narrative,” an argument born from the postmodern thinking of Linda Hutcheon. Santos explains that “memory and the process of recalling memories produces individual histories that overlap some aspects of recorded history yet remain unique, individual versions of history.” By personalizing the writing process, Saleem or Midnight’s Children subverts the traditional way of telling history as an absolute truth and claims his or its own version of history. Saleem’s version of Indian history actually begins with his grandfather’s return to India, although he announces that the beginning of the history should be from his birth. He needs to go back as far as his grandfather’s return because without his grandfather’s return to India, and without many twisted accidents, Saleem will not be raised as one of the midnight’s children by the Sinai’s family. Saleem’s memory is, indeed, guided by the perforated sheet that records Aadam Aziz’s re-acquaintance with India—through the body

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 23 of Naseem Ghani—because as Saleem claims, the perforated sheet is his “talisman, [his] open-sesame” (4). The name of Saleem’s grandfather is also symbolic of a beginning: Aadam Aziz. The name is likened to Adam, the first man landing on earth after being expelled from heaven, “[evoking] . . . the biblical subtexts” (Karamcheti 83). Aadam Aziz has, indeed, just been “expelled” from Germany, a place where he studied medicine for five years and a place that has changed the way he sees and feels about India:

“[H]e had spent five years, five springs, away from home . . . Now, returning, he saw through travelled eyes. Instead of the beauty of the tiny valley circled by giant teeth, he noticed narrowness, the proximity of the horizon; and felt sad, to be at home and feel so utterly enclosed. He also felt—inexplicably— as though the old place resented his educated, stethoscoped return” (Rushdie 5).

Returning from a European country, Aadam Aziz is now a “westernized” doctor who feels foreign in his home country, as shown by the statement that he now “[sees] India through travelled eyes” (5). The dictions selected in the narration, such as “narrowness,” “sad,” “enclosed,” further prove that Aadam Aziz has fallen out of love with his home country. Later on, with the incident of the tussock and three drops of blood, readers learn that Aadam Aziz also falls out of his belief in his religion. Being a foreigner in his home country, Aadam Aziz is a target of mockery by Tai the boatman, who, according to Teresa Heffernan, is “a historian who scorns the very idea of progress” (477). Tai’s existence and implied position as a traditional historian is a stark contrast to Saleem Sinai’s—Aadam Aziz’s grandchild—as a chronicler who personalizes a national history. Tai scorns Aadam Aziz for his western education, western- influenced mind, and half-western lineage (his father is, in fact, a German soldier married to an Indian woman). Tai constantly reminds Aadam Aziz of what constitutes an Indian; however, it is through the perforated sheet that Aadam Aziz is re-acquainted with India. This is the point where the perforated sheet reveals its second function, which is as a lens through which Aadam Aziz unveils and, later on, rekindles his love for India. The perforated sheet is first introduced by Ghani, Naseem’s father. While plotting to seduce Aadam Aziz with the alluring fragments of Naseem’s body, Ghani lectures Aadam Aziz on what constitutes a good Indian woman. “Doctor Sahib, my daughter is a decent girl, it goes without saying. She does not flaunt her body under the noses of strange men. You will understand that you cannot be permitted to see her, no, not in any circumstances; accordingly I have required her to be positioned behind that sheet. She stands there, like a good girl” (19). The perforated sheet, then, works as a not only as a medium through which Aadam Aziz re-acquaintances and rekindles his love for the motherland through the body of an Indian woman, but also a reminder for Aadam Aziz that Indian women are different from the western women; they are decent. The first encounter with Naseem’s body through the perforated sheet held by three female wrestlers, thus, marks the re- acquaintance and re-learning of Aadam Aziz with India—its women, its tradition, its culture, its parts, its difficult-to-grasp wholeness due to its diversity.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 24

Aadam Aziz’s process of re-learning India is not a short one. For a few years, Naseem develops various illnesses, requiring Doctor Aziz to perpetuate his investigation of her body and his look at Naseem’s fragmented body: “So gradually Doctor Aziz came to have a picture of Naseem in his mind . . . this phantasm of a partitioned woman began to haunt him, and not only in his dreams. Glued together by his imagination, she accompanied him on all his rounds, she moved into the front room of his mind” (22). The body of Naseem that is seen by Doctor Aziz through the perforated sheet is equivalent to the body of India. Naseem’s body is “partitioned,” just like India. On the one hand, the Indian nation is partitioned into states with diverse ethnic groups, languages, and cultures, as is argued by Ananya Roy that “In his novel Midnight’s Children (1981), Salman Rushdie, tries to frame the notion of nation and national identity in a hugely heterogeneous postcolonial society” (2). The framing is done, one of them, through the symbolization and metaphor of the perforated sheet. The hole or perforation on the sheet works like a magnifying glass that provides a microscopic look at the nation. The perforated sheet unveils the fragments of the nation, that it is actually a singleness consists of multitudes, diversity. The heterogeneity of the Indian nation is not only represented by the fragments of Naseem’s body. Aadam Aziz, as a man born from a mixed marriage, and Naseem, as a purely Indian woman are also parts of the heterogeneity. On the other hand, the partitioned body refers to the point where, in its development, the nation is partitioned into three different nations: India, Pakistan, and Bangladesh. Years of getting acquainted with the fragments of Naseem’s body kindles the love of Aadam Aziz for her. Hence, love is developed through fragments. Aadam Aziz falls in love with Naseem because he sees fragments of her body: “[T]his phantasm of a partitioned woman began to haunt him, and not only in his dreams” (22). Metaphorically, it can be read that Aadam Aziz starts to fall in love with the fragments of India, with its huge diversity. In other words, India can only be understood and loved through its fragments, through its multitude ethnic groups, languages, and cultures. Once the fragments are unified into one, however, a realization strikes Aadam Aziz; that the love he feels for Naseem, and thus, India, is an illusion—something he merely imagines:

Waiting for him in the courtyard filled with malevolent geese were the disapproving features of my grandma, Naseem Aziz, whom he had made mistake of loving in fragments, and who was now unified and transmuted into the formidable figure she would always remain, and who was always known by the curious title of Reverend Mother. (40)

The statements can be read as a realization that the fragments of India, the people with diverse cultural, religious, and other related backgrounds cannot be unified into one—one nation, India. The failure of Aadam Aziz to love Naseem as a whole, not in fragments, reflects the failure of the people of the nation to love unity as they love diversity. Aadam Aziz represents one of these people, for whom tolerance for

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 25 disparateness will only “transmute” the beautiful diversity into “a formidable figure,” just like Naseem who is no longer attractive and lovable once her fragments are “unified.” It is interesting to note that a female body, female fragments, and a female wholeness are used throughout the narrative to represent the nation. Indeed, the last function served by the perforated sheet is to unveil the position of women in the narration of a nation and in the nation itself. Heffernan evinces that the unveiling of women in Midnight’s Children reveals the position of women in a nation—which is at its peripheral. To exemplify her contention, she particularly points to the status of Padma, whose voice is heard around Saleem’s efforts of narrating the nation, but is never involved in the narration itself. Heffernan argues, “Padma’s peripheral status reflects the position of women in nationalist struggles, where they are at once absolutely crucial and yet silent, especially on matters of gender” (483). Unfortunately, even though Heffernan discusses the unveiling of women’s position in a nation by mentioning the role served by the perforated sheet, she does not elaborate on the significance of the perforated sheet in this unveiling of women’s position in the nation. The significant relationship between women and the nation is already hinted at the beginning of the narrative, where Aadam Aziz is said to come back to India to literally return to his widowed mother. Hence, metaphorically, Aadam Aziz returns to his mother country, India. Then, as if to make the return to the motherland more conspicuous, Aadam Aziz encounters Naseem—more specifically, her body—and is re-acquainted with his mother country. The likening of a mother to a mother country is apparent here. If Heffernan believes that women occupy a peripheral position, the perforated sheet further unveils that women are still the silent objects both in the narration of a nation and in the struggle for the nation. Even though Naseem comes to represent the diverse nation of India, she is apparently the silent sexual object behind the perforated sheet, who is deployed by Ghani to lure Aadam Aziz to be his son-in-law. Later on, the descendant of Naseem, Jamila Singer, repeats the same pattern of women’s objectification: “Through the hole in a perforated sheet . . . dedicated herself to patriotism; and the diwan-i-khas, the hall of this private audience, rang with applause, polite . . . the regimented approbation of braided gongs-and-pips and the delighted clapping of weeping parents” (361). Although she is able to be the voice of the new nation and contributes to the struggle of this new country, Pakistan, she is still silenced by her invisibility. Jasbir Jain puts the situation this way: “the image of ‘Mother India’ is used to represent the nation, but within this image the relationship of women to the nation does not find a place” (1655). Women’s position, then, is left without any certainty. Even if women in the novel play a significant role in symbolizing the nation, eventually they are still silent objects. To conclude, Rushdie’s Midnight’s Children does require multiple readings, as each symbol and metaphor is pregnant with layers of meanings. The perforated sheet is no exception. The sheet is a form of veiling, and the perforation works in the opposite way: it unveils what is veiled. What unveiled are the fragmented body of the nation, the diversity of the nation that becomes its strength as well as its weakness because the

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 26 narrative proves that to unite a highly diverse society is something that might exist only in imagination, and the position of women that occupy no space in the nation.

References Grace, Daphne. The Woman in the Muslin Musk: Veiling Identity in Postcolonial Literature. London; Sterling: Pluto Press, 2004. Print. Györke, Ágnes. “Allegories of Nation in Midnight's Children.” Hungarian Journal of English and American Studies: Postcolonial Issues: Theories and Readings (HJEAS) 7,2 (2001): 169- 190. JSTOR. Web. 13 Oct 2012. Heffernan, Teresa. “Apocalyptic Narratives: The Nation in Salman Rushdie's Midnight's Children. Twentieth Century Literature: Literature and Apocalypse 46,4 (2000): 470-491. JSTOR. Web. 13 Oct 2012. Karamcheti, Indira. “Salman Rushdie's "Midnight's Children" and an Alternate Genesis.” Pacific Coast Philology 21,1/2 (1986): 81-84. JSTOR. Web. 13 Oct 2012. Jain, Jasbir. “Daughters of Mother India in Search of a Nation: Women's Narratives about the Nation.” Economic and Political Weekly, 41,17 (2006): 1654-1660. JSTOR. Web. 13 Oct 2012. Olalquiaga, Mayra Helena Alves. “Paradise Lost and the Narration of Nation in Salman Rushdie’s Midnight’s Children.” Thesis. Faculdade de Letras Universidade Federal de Minas Gerais Belo Horizonte, 2008. Web. 14 Oct 2012. Mannone, Diane Renee Sneva. Midnight’s Children: Reclaiming a Magical Beauty. Thesis. California State University Dominguez Hills, 2006. Web. 14 Oct 2012. Novianti, Nita. “Unveiling Rushdie.” Thesis. Texas State University-San Marcos. 2012. Print. Roy, Ananya. “In pursuit of Identity: A Study through Selected South Asian Novels.” The Criterion: An International Journal in English (2012): 1-6. Web. 19 Oct 2012. Rushdie, Salman. Midnight’s Children. New York: Penguin Books, 1980. Print. Santos, Jennifer. “Historical Truth in Salman Rushdie’s Midnight’s Children: A Question of Perspective. Arizona State University (2012). Web. 20 Oct 2012.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 27

Negotiation in Diasporic Identity in Jhumpa Lahiri’s The Third and Final Continent and This Blessed House

Retno Wulandari Faculty of Humanities Diponegoro University, Semarang

Abstract Nowadays diaspora becomes crucial issue once people actively involve in global world. In diasporic world, people inevitably engage with their new environment, adjust with the new life and adapt to the unaccustomed-yet habits. However, on the same time they will look back at their old homeland which is sometimes totally different from their new world. In that situation people will face the struggling condition to keep going with two different worlds by some process of negotiating, transforming, or even contesting. This paper aims at discussing the negotiation process experienced by the Asian Indian characters during their lives in America in Jhumpa Lahiri’s The Third and Final Continent and This Blessed House. As one of the ethnic groups which has been scattering throughout global world, Asian Indian people endure the situation when they are in in-betweeness in their daily lives. The short stories, which are parts of Lahiri’s short story collection, Interpreter of Maladies, concern mostly with the diasporic postcolonial topics. This paper draws the ideas of diaspora proposed by Steven Vertovec which mentions that diaspora can be as the type of consciousness, in which it is regarded as the dual or paradoxical nature. Through scrutinizing the wives and husbands characters in both short stories, the result shows that through some different ways, all the Asian Indian characters do both negotiation by adjusting to the new world--America, and old world--India. Both the Americaness and Indianess are reflected in their habits and apparatuses such as life styles, beliefs, foods, costumes, and others. The old world nostalgia, to which the characters feel deep meanings, have been created in some ways in their diasporic lives in the new world. Since the process of engaging two worlds is inherited through generations, the degree of in-betweeness is different among the characters. In The Third and Final Continent, since the characters can be categorized as the first generation of immigrant, their ties to the old world is bigger than those of the characters in This Blessed House. However, negotiation in diasporic life is a process, it may be different among persons, and it is fluid.

Keywords : negotiation, diaspora, identity, old world, new world.

A. Introduction Diaspora today becomes a crucial issue in global world. Developing into a field of study, it is not merely confined into people’s movement to the other countries. Cohen (2008) specifies the diaspora studies which has passed through four stages. First, the term was confined to the study of Jews’ exile experience, which later, in 1960s and 1970s the term was extended by involving the experience of Africans, Armenians, and the Irish. Second, in 1980s and onwards, Safran (as qtd. in Cohen, 2008:1) described diaspora as different categories of people, such as expatriates, expellees, political refugees, alien residents, immigrants, and etnic and racial minorities. In the third phase, in 1990s the concept of diaspora is more complex; it is deliminating, more over, identities

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 28 are deterritorialized, constructed and deconstructed flexibly. The fourth stage is the phase of consolidation among ideologies which then reaffirm the diasporic idea. In this stage Brubaker (2005 in Cohen, 2008:12) mentions three core elements in diaspora, namely dispersion from the homeland, homeland orientation, and boundary maintenance. As one of fields of study in postcolonial, diaspora emerges in wide array of other disciplines, including literature. Numerous works of literature are created mostly by writers who have self-experiences with diasporic life. Jhumpa Lahiri, one of Indian- American writers, created one of her masterpiece, The Third and Final Continent and This Blessed House as collection of her short story, Interpreter of Maladies which led her to receive 2000 Pulitzer Price for fiction. Born in London as daughter of Indian immigrant who later moved to the US when she was still three, Lahiri uses her personal experiences in most of her works. Her concern on Asian Indian diaspora in the US influences her alot in creating her works. The inspiration to write The Third and Final Continent is called coming from her father’s occupation as librarian at one of universities in the US. Both The Third and Final Continent and This Blessed House tell about the diasporic life experienced by the characters: “I” and the wife, Mala; and newlywed couple Sanjeev and Twinkle. Both stories represent the first and second generation of immigrants, how they have to adjust to the American life, but on the other side they still maintain their identity as Asian Indian. It can be seen how the negotiation and adaptation, and collective identity are different.

B. Diaspora and Identity Many scholars put some definitions of diaspora in some ways. Khachig Tololian (as quoted in Clifford, 1994: 303) writes that the term was articulated to the study of Jewish, Greek, and Armenian experience in which now share wider meaning as immigrant, expatriate, refugee, guest-worker, exile community, overseas community, and ethnic community. Safran as quoted by Clifford, (1994: 304) later defines main features of diaspora as the ‘expatriate minorities community’ that: 1) are dispersed; 2) maintain memory, vision, and myth about their original homeland; 3) cannot be fully accepted by the host land; 4) desire for eventual return; 5) commited to the homeland; 6) think that collective identity and solidarity are important. However, Safran’s idea on diaspora invites criticism from many scholars such as Clifford (1994) and Cohen (1997) who suggest that the definition is too limited to accommodate today’s migration. Cohen then proposes typologies of diaspora as victim, labor, trade, imperial, and cultural. Jews, African, and Armenian are examples of victim diaspora; Indian exemplifies labor diaspora; Chinese and Lebanese as trading diaspora; the British represents imperial diaspora, and Carribean exemplifies cultural diaspora. However, this boundaries are flexible and some ethnic group may be classified as two or more types of diaspora (Bhatia, 2007:78). Steven Vertovec(1999 ) asserts three definitions of diaspora, namely: 1) diaspora as social form; 2) diaspora as type of consciousness; and 3) diaspora as mode of cultural production. Diaspora as social forms is characterized by triadic relationship between globally dispersed but collectively self-identified ethnic group, the teritorial states

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 29 and contexts where the groups occupy, and homeland states and contexts whence they came (1999:5). Diaspora as type of consciousness is marked by dual or paradoxical nature experienced by the group in the host land. This may lead into ‘here’ and ‘there’, ‘past’ and ‘present’, and other forms of dualism (Gilroy qtd.in Vertovec 1999:8). While diaspora as mode of cultural production can be depicted as involving production and reproduction of transnational social and cultural phenomena (Appadurai qtd in Vertovec 1999:19). This paper discusses the term dispora as the type of consciousness experienced by the characters in Lahiri’s stories. In this second type, diaspora reveals the term of ‘new world’ and ‘old world’. New world is usually identified with the homeland, ‘the past’, the place where people come from with the thick characteristics of their home culture. New world refers to the land where people now live, where they must survive and adjust to. It is identified with ‘the present’. This situation leads into double-consciousness, a term firstly proposed by W.E.B. Du Bois. People will be in the condition of in-betweenness, between the ‘old world’ or ‘new world’. Both new world and old world are indispensable. In the effort of survival in the host land, people will adapt to the life and rules of host land, but on the other side they will at times look back at their home land. As both are important, thus what they can do is doing negotiation between the two worlds, as Clifford says, “ diaspora cultures thus mediate, in a lived tension, the experiences of separation and entaglement, of living here and remembering/desiring another place” (1994: 311). It is supported by Gilroy and Clifford that....“The ‘where you are at is a combination of roots and routes”(Gilroy 1993 and Clifford 1994 in Kalra et.al 2005:29).

C. Indian Diaspora, Dual Identity, and Negotiation Today approximately 1.7 million Indians live in the and based on 2000 US census, this ethnic group became of the fastest-growing immigrant communities (Bhatia, 2007: 14). In 1950s some Hindus and Moslem in India engaged in small business and East Coast. (Lee, 1998: 9). 1965 Immigration and Nationality Act basically changed the immigration pattern of Indian moving. That second wave immigration led the highly-skilled immigrants such as medical doctors, engineers, scientists, university professors, and doctoral and postdosctoral students come to the US (Bhatia, 2007: 14).

1. Negotiation in the Stories In The Third and Final Continent, the character “I” is depicted as a professional immigrant who works in the library of Massachussetts Institute of Technology (MIT). Coming to the US in 1969, America is not the first country he stepped on. After completing his degree in India, England is his first travel abroad for studying and working in library at the same time. America is metioned as his last or his third continent after Asia (India) and Europe (England). Thus, the character has already made some negotiation for both old and new world before coming to the US. Negotiation can be conducted through some ways, such as foods, costumes, traditions, and others. In foods, he starts his negotiation process with his new world by

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 30 having American food such as cereals and milk, while reinventing his old world is executed by cooking egg curry and having Darjeeling tea. This process of negotiation emerges as the efforts to survive in the new land. Sanjeev, the character in This Blessed House also tries to make negotiation in foods by having both foods from the two worlds. Serving both American and Indian food in his housewarming party is one of his forms of negotiation. ‘...there would be a case of champagne, and samosas from an Indian restaurant in Hartford, a big tray of rice with chicken and almonds and orange peels...’ (Lahiri, 1999: 150). Old world has significant meaning for diasporic people. As claimed by Safran in Cohen (2008:6) that the members of diasporic people “... retain a collective memory, vision or myth about their original homeland including its location, history, and achievements” (2008:6). Old world offers nostalgia and certain comfort that they may not find in new world. Since they cannot be uprooted from their ancestry, the ties to the homeland is important for them to balance with their new world Clifford claims that diaspora consciousness can be constituted in negative or positive way. In positive way, it is through identification with historical cultural/political forces.”...it is also about feeling global (Clifford, 1994:312). Diasporic people can produced positively when “....it can offer a sense of attachement elsewhere, to a different temporality and vision, a discrepant modernity.” (1994:314). In their daily interaction with people, both “I” and Sanjeev make intense interaction with American people. The work as librarian in MIT makes “I” inevitably meet a lot of people from various background. His first dealing with US citizen, a fussy alienated old woman, Mrs. Croft, who becomes his host, is one of his successful adaptation process. For Mrs. Croft, “I” become her only friend to whom she shares her feeling. The conducive social relation and environment make “I” feel to be accepted positively. It is shown by the end of story where it is told that “I” has been in the US for nearly thirty years. Being an American citizen and decides to grow old in the new land, “I” never leave his homeland. Mala and him still visit Calcutta every few years, bring back more drawstring pajamas and Darjeeling tea (Lahiri, 1999:197). This is in line with the idea of Bhattacharjee in Dasgupta (1998:954) who writes that however well adjusted to the American life, Asian Indian immigrants still insist on keeping their ties with their ancestry in many ways, one of them is through frequent visits to the homeland.” ...psychological closeness is maintained by reinventing ‘Indian culture’ on foreign soil” (1998:954). As the same with “I”, Sanjeev also makes very good relationship with American. His position as vice president in a firm near Hartford, who has a secretary of his own and a dozen people working under his command is a proof of positive diasporic consciousness. He can be well accepted,in addition, his acquaintances include not only Indian people living in the US but also the Americans. This type of successful diasporic model is usually called as model minority. People of minority resolve to perform the best to raise their living standard and career achievement based on the faith that meritocracy system is still open despite some discrimination for some minorities.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 31

Sharda (1990) in Jain and Belsky mentions that many Indians in the US still observe traditional festivals and rituals, seek guidance from parents, including having arranged marriage. Though having been internationally interacting with global world, the old world is still given attention, including for Sanjeev, the second generation of Indian immigrants. Both characters subjugate to the Indian tradition by having arranged marriage to Indian women, things that can be called as looking back at the old world. The comfort in getting along with Indian tradition is a proof that diasporic people cannot be uprooted from their ancestry. Though some conflicts and awkwardness do not rarely occur during the marriages, both characters attempt to adapt to their own couples. “I”confesses that he needs time to get to know and intimate to his wife. At night we kissed, shy at first but quickly bold, and discovered pleasure and solace in each other’s arm (Lahiri, 1999: 197).

2. Diasporic Life for Women in the Stories Clifford (1994:313) mentions that diasporic experiences are always gendered. “Life for women in diasporic situation can be doubly painful—struggling with the material and spiritual insecutiries of exile, with the demands of family and work, and with the claims of old and new patriarchies.”(1994:314). Women’s experience in diasporic life and adaptation process is different from men’s. When men usually face the new world as a new challenge for them and as a means for better life, women may encounter it as the opposite. Compared with “I”, Mala, the wife faces more obstruction in her adaptation process. As the 1969 first generation immigrant Indian woman who never travelled abroad, Mala is often found weeping at night remembering her parents, though it was still in India. The new world seems a questionable habitat which is far and to which she should rely her life on. Meanwhile, the old world, India, gives a big influence and comfort to her and thus it is too significant to leave. Hence, she keeps her identity as Indian woman by wearing sari and India accessories, rubbing coconut oil to her scalp at nights, cooking curry and oxtail soup, having Darjeeling tea, and bringing some pajamas.” ... a woman in sari, with a dot painted on her forehead and bracelets staked on her wrists” (1999:195). Her ability to cook, knit, emboider, and sketch landscape is reason to put her as a typical of ideal Indian woman. Like in India tradition, men are considered superior and powerful; while women must subjugate and bow down to their fathers, husbands, and then to their son as well. Men are the breadwinners, while women are domesticated at home (Derne, 1995 et.al. in Jain and Belsky, 1997:875). In both India and America, Mala’s position is restricted at home, handling domestic affairs, while her husband provides economic security. This working division reflects the divided gender roles in the diasporic life of Indian women. On the other side, Twinkle, Sanjeev’s wife in This Blessed House experiences different negotiation and adaptation process compared to Mala. As the second generation immigrant who is pursuing her master degree, Twinkle is described as a modern woman who more easily adapts to the new environment. In the matter of food and costumes, Twinkle has her own stream. When Mala is good at cooking and knitting, Twinkle chooses

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 32 to order food or cook practical recipes. Her habit of smoking and consumming wine are examples of her adaptation to the new world. In this case, modernity plays roles in transferring values in adaptation process. For Twinkle, new world is not a questionable matter. New world is regarded as the place which offers hopes and chance to raise her standard of living, hence there is no worry for Twinkle to involve in American life, including plunging herself into the most principles thing in her life : admiring the Christ statue she found in her new house. Though a Hindu devotee, she is interested in the statue. The situation of being Hindu but interested in Christ statue is part of dual nature in diasporic life. ”No, we’re not Christian. We’re good little Hindus.” She planted a kiss on top of Christ’s head, then placed the statue on top of the fireplace mantel...”(Lahiri, 1999: 137). However, Twinkle’s negotiation process to the old world also run smoothly. As an educated Indian woman, Twinkle, also agrees to have arranged marriage. The couple went back to India for wedding. “...At the urging of their matchmakers, they married in India, amid hundreds of weil-wishers whom he barely remembered from his childhood, in incessant August rain, under a red and orange tent strung with Christmas tree lights on Mandeville Road” (Lahiri, 1999: 143). Her negotiation process with her own husband Sanjeev become parts of her diasporic life. Sanjeev, who holds Indian tradition more than Twinkle reluctant to put Christ statue inside the room though Twinkle asks for. The religious belief difference is the cause of his reluctance though Twinkle convinces him that they are still Hindu devotees. The negotiation process between Sanjeev and Twinkle represents negotiation between old and new world. Eventually the negotiation can reach the agreement successfully when both sides can mediate, compromise each other and loose their rigid principles. Sanjeev is succeed in keeping his idealism to hide some statues, but on the other side he can compromise when Twinkle has willingness to display the statues in some certain rooms he determines. “Now look. I will tolerate, for now, you little biblical menagerie in the living room. But I refuse to have this,” he said flicking at one of the painted peanut-tears,”displayed in our home.”..... “I’d put it behind the door,” she offered. That way when they peek in, they won’t see. Happy?” (Lahiri, 1999: 139).

The situation is in line with Buriel in Jain and Belsky (1997) who writes that “...immigrants do not simply shed their old or native values for new ones, but rather select, shift, and modify to adapt to the new environment” (1997: 874). Sanjeev and Twinkle has executed the negotiation process smoothly.

D. Conclusion Diasporic experience becomes part of Lahiri’s The Third and Final Continent and This Blessed House which urge the characters to mediate the in-betweeness of the new world and old world. Both worlds are important for the continuation of the characters’ lives since both are energy for them to survive : adapt to the new environment and keeping the old tradition from the homeland. The negotiation processes among the characters are running differently. It is based on their historical experience, belief,

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 33 education, and to what extent modernity comes to them. Immigrants cannot simply drop their old values and take all of the new ones , but they rather select, shift, and modify (1997: 874) to adapt to the environment They will choose the values that they see it fit. Hence, negotiation in diasporic life is flexible and fluid.

Bibliography

Bhatia, Sunil. American Karma: Race, Culture, and Identity in the Indian Diaspora. New York: New York UP, 2007. Cohen, Robin. Global Diaspora: An Introduction. New York: Routledge,2008. Clifford, James. “Diasporas.” Cultural Anthropology, Vol. 9, No. 3 Further Inflections : Toward Ethnographies of the Future (Aug., 1994).pp.302-338. Willey-Blackwell on behalf of the American Anthropological Association. 28 Aug. 2012. Dasgupta, Shamita Das. “Gender Roles and Cultural Continuity in the Asian Indian Immigrant Community in the US.” Sex Roles Vol. 38. Nos. 11/12, 1998. Jain, Anju and Jay Belsky. “Immigrant Indian Families with Young Children.” Journal of Marriage and Family. Vol. 59, No.4 (Nov., 1997) pp.873-883. National Council of Family Relations. 5 July 2012 < http://www.jstor.org/stable/353789>. Kalra, Virinder, Raminder Kalhon, and John Hutynuk. Diaspora and Hybridity. London: Sage, 2005. Lahiri, Jhumpa. “The Third and Last Continent.” Interpreter of Maladies. New York: Houghton Mifflin Harcourt, 1999. Lahiri, Jhumpa. “This Blessed House.” Interpreter of Maladies. New York: Houghton Mifflin Harcourt, 1999. Le, C.N. Asian American Assimilation: Ethnicity, Immigration, and Socioeconomic Attainment. New York: LBF Scholarly Publishing LLC, 2007. Vertovec, Steven. “Three Meaning of ‘Diaspora’, Exemplified among South Asian Religions.”University of Oxford. 29 August 2012

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 34

Religious Identity in Chapter Ten of Narrative of the Life of Frederick Douglass, An American Slave

I.M. Hendrarti MA. Ph.D Faculty of Humanities, Diponegoro University

Abstract

This paper deals with a discursive analysis of a prominent Black American slave narrative, Narrative of the Life of Frederick Douglass, An American Slave. The analysis will be focused on the narrator’s identification of his struggle towards liberty with Christ’s myth. This identification is clearly shown in chapter ten of the narrative. Like other slave narratives, Narrative of the Life of Frederic Douglass presents the common skeptical perception about ‘Christianity.’ The narrator is cognizant of the effectiveness of spiritual slavery affected through the slaveholder’s religious doctrine. He is conscious that soul killing through an over- awareness of sin could effectively prevent resistance. It is extremely important, therefore, that the ex-slave, who wrote the narrative of her/his life, gives a strong emphasis on the crucial quest of what Douglass said as ‘the proper Christianity. He underlined the ‘pure, peaceable, and impartial Christianity of Christ’ as more preferable than the corrupt and hypocritical Christianity of the slave-holder. (Keywords: narrative identity, liberation, national identity, slave narrative)

Introduction

Upon perceiving Narrative of the Life of Frederick Douglass, readers and scholars of literature are usually dragged by the crucial issue of religion. Robert T.O. Meally (1979), in his essay, observed that Douglass, in his first autobiography, presents a sustained contrast between good and evil. The issue of religion, in fact, is especially used to expose the hypocrisy of professed Christians, the slaveholders who abused a ‘Christian’, and black slave. Such topic is also dominant in other slave narrative like Incidents in the Life of a Slave Girl, by Linda Brent.32 Church and preacher used various versions of scriptural myth and sermon as an effective weapon to make the slave contented and obedient. In this case, Frederick Douglass has common skeptical perception about ‘Christianity’ with other slave narrative writers such as Linda Brent. Douglass is cognizant of the effectiveness of spiritual slavery affected through the

32 In contrast to Douglas’ slave narratives, Linda Brent records more directly the active role of religious institution in justifying slavery. In her narrative, we see an incident in which a preacher, Mr. Pike, tortures the spiritual awareness of the slave by manipulating scriptural text and dogmatic rules. The sermon says: “Servants, be obedient to them that are your masters according to the flesh, with fear and trembling, in singleness of your heart, as unto Christ.” (Brent 1973: 70).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 35 slaveholder’s religious doctrine. He is conscious that soul killing through an over- awareness of sin could effectively prevent resistance. It is extremely important, therefore, that the ex-slave, who wrote the narrative of her/his life, gives a strong emphasis on the crucial quest of what Douglass said as ‘the proper Christianity. He argued that there is widest difference between American Christianity and the Christianity of Christ. He underlined the ‘pure, peaceable, and impartial Christianity of Christ’ as more preferable than the corrupt and hypocritical Christianity of the slaveholder. While such topics are integral in slave narratives, the authors of slave narrative, including Douglass, also created a form or technique that was either traditional or innovative. Speaking about form, Henry Louis Gates Jr. (1979: 214) argues that the slave narrative is a ‘counter-genre’, a form of narrative mediating between picaresque and sentimental novel. He makes a comparison between ‘the picaro’ and ‘the slave’ as having similar characteristics. However, at the same time, he also assumes that the slave narrative is a quasi-autobiography. Therefore, by taking his study as a clue, we can conclude that the slave narrative might also bear some elements of history, mimesis, and romance. In presenting the historical fact, the ex-salve not merely concerns with a vivid description of his experience as a slave, he will also emphasize on the utilization of whatever desirable form to achieve the accomplishment of didactic literature. Inherent in the slave narrative, there is usually a dominant purpose of the author to make both white and black readers aware of the evil of slavery. The most important thing to achieve this aim is by imposing the vivid description of slavery from the perspective of the slave, because the slave, who is also the hero, presents himself not only as the victim but also as the living witness of slavery. No wonder that mimetic impulse appears very strongly in the slave narrative too. On the level of mimesis, one can find that the hero appears to be superior to the rest of the slaves. He even appears to have authority, passion, and expression far greater that the rest of the common slaves. In other words, he depicts himself as the leader, the representative. Referring to Northrop Frye’s book, Anatomy of Criticism, one can find that the slave hero becomes the typical hero of high mimetic mode.33 On the other hand, the slave also falls into the category of typical romance hero, because he usually proves himself to having excessive courage and endurance to fight against the power of slavery. It seems clear, therefore, that besides meandering between picaresque and sentimental novel, the slave narratives takes the form of high mimetic mode and romance. The author depicts the slave as more than a ‘picaro’, s/he is the leader whose action and suffering are worth remembering, not the subject of ridiculing.

33 Northrop Frye (1973: 34) distinguishes the hero’s power of action in the fictions into five categories. The first is ‘myth’. It is when the hero is superior both to other men and to the environment. The second is ‘romance’ in which the hero’s action is spectacular. What are unnatural for the common men, are natural for him. The third is the high mimetic where the hero is presented as a leader. He has authority, power and passions greater than the common men. The fourth mode is low mimetic in which the hero is just like the common men. The fifth is ironic mode. The last mode can be found in ironic fictions. The hero of the last mode is inferior in power and intelligence to the rest of us.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 36

However, Narrative of the Life of Frederick Douglass: An American Slave, is not an imitation of life in the sense that life becomes anything more than the content. The author designs his work as one of literary work by imposing a kind of mythical form on the content of his work. The mythical form, which becomes the familiar model for American public readers, is the Christian myth. Frances S. Foster who studies the model of slave narrative says that American reading public was not only familiar with literature structuring in Judeo-Christian myth but also expected serious writing to be written this way (1979:83). Considering her findings, one can easily conclude that it is possible that Douglass is very much influenced by this tradition. It is clear that his first autobiography shows how he perceives his past life and situation using biblical terms. Not only does he argue about the propriety of the scriptural myth that was believed to be the cause of Afro-American destiny, an eternal slave, but also uses Christian myth as the literary device. Beside that, the canonical distinction in the biblical myth structure itself gives it a particular thematic importance to be used in any literary work. Before looking at the utilization of the Christian myth, it is important that one notice the position of Frederick Douglass, as the author, to his readers. In both oratorical and writing activities, Frederick Douglass seems to have a strong consciousness that his life as a slave is representative. The sense of the process of his becoming appears to the reader of his book to be more continuous and systematic than perhaps it is to the audience of his speech. In his autobiography, the meaning of his past always resounds in his present. We can also sense a strong impulse of a certain power in his personality, which is reflected in his ability to structure past incidents as part of the process of his becoming. The pattern of the process of his becoming can be structured in four phases. The first is his innocence followed by the dark awareness of his position as a slave. The second is the realization of the alternative key to both bondage and freedom. The third is the climax resolution or the struggle to retain his dignity as a human being. The final phase is the outcome of his struggle, the escape. Although the biblical myth pattern becomes dominant in this narrative, the allusion of himself as the contemporary ‘Christ figure’ in the climax of his struggle appears to be the most touching and peculiar adaptation he can take from the Christian myth. No other image, familiar to American reading public, but ‘Christ figure” to symbolize the equivalent suffering of the American slave. Take it for example the three-day incident with Covey, in chapter ten. It is perhaps for this only purpose, to create the image of ‘Christ figure’, that Douglass recalls the incident as the climax of his life as a slave. He also provides the reader with detail description focusing the incident on the quality of time, action and manner, despite the historical truthfulness of the incident. To some, it has been familiar that Easter myth cycle is usually signified by a three- day rhythm – death, disappearance, and resurrection (Frye 1973: 159). Such rhythm can be specifically found in chapter ten of Narrative of the Life of Frederick Douglas, An American Slave. Using the image of Christ’s suffering, death, and resurrection, Douglass

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 37 records the climax of his experience as an American slave. The description of the climax and bitterest experience of his life, as a slave, is as follows:

“If any one time of my life more than another, I was made to drink the bitterest dregs of slavery, that time was during the first six months of my stay with Mr.Covey. We were worked in all weathers. It was never too hot or too cold; it could never rain, blow, hail, or snow, too hard for us to work in the field (Douglass 1985: 105).

The image of Jesus’ agony, on holly Thursday, is used to lead the reader to imagine the intense anguish of Jesus in comparison to that of the slave. Douglass recalls his mental and physical suffering as equally compared only with Jesus’ agony in the garden when Jesus said, “My Father, if it is possible, let this cup pass me by. Still, let it be as you would have it, not as I.” (Matthew, 26:39). If the readers are familiar with the scriptural text, they will readily recognize the parallelism between Douglass and Jesus. On symbolic level, “the bitterest dregs of slavery” are parallel with the cup that Jesus should take (Douglass 1985: 105). Like Jesus, Douglass has to suffer the bitterest agony in his life, the life of a slave in America. On the level of meaning, the Christ myth gives the precise image of the condition of Douglass’ psyche. The myth is supposed to emphasize his confession that he ‘was broken in body, soul, and spirit’ (Douglass 1985: 105). Moreover, by depicting “Christ agony” as the symbolic pattern for his narrative, Douglass effectively comes before the reader as the ‘eternal victim’ of the sin of slavery. He leads the reader to reach back to his past, to become one with him in his physical and mental suffering. In this symbolic level, he shows his readers ‘Jesus’ coming down to the field of slavery, bearing the slave’s heavy cross. Douglass not only utilizes Jesus’ agony to symbolize his suffering, he also applies some other image around the Easter myth to emphasize the parallelism between him and Jesus. In his description of the incident with Covey, some Easter myth patterns such as three- day suffering, whipping, heavy ‘cross’, falling down, and resurrection. Douglass, moreover, can find the living figure of Pontius Pilate in Master Tomas Auld’s personality. Douglass has made a significant adoption of the three-day Eastern myth pattern. He only mentions Saturday morning, Sunday morning and Monday morning, while he only emphasizes on the quality of the Friday afternoon, rather than mentioning the name of the day. He describes the day as “one of the hottest day of the month of August 1833, about three o’clock of that day” (Douglass 1985: 109). At that time he was totally broken down. It is totally three days in which he should suffer the punishment, before he gains the greatest triumph against Covey, the slave-breaker. The three-day pattern is dramatized by the hero’s struggle as resemble to that of Jesus’ journey to Calvary. In specific detail, he describes himself falling down for three times before he succeeds in reaching Thomas Auld’s house. His falling down, literally shows the limit of his physical strength bearing the heavy burden of slavery. On the other hand, this struggle reflects his spiritual elevation to a total resistance. By falling down

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 38 three times, Douglass offers resistance against Covey. He goes on to seek protection and justice from Thomas Auld. His failure to get protection from Thomas has made him recognize a clear contemporary living figure of Pontius Pilate in Thomas’ personality. In My Bondage and My Freedom, Douglass directly points out his relationship with the white master: “My master, who I did not venture to hope would protect me as a man, had even now refused to protect me as his property” (Douglass 1960: 234). In Narrative of the Life of Frederick Douglas, An American Slave, Douglass recites almost explicitly the total ownership of slave, body and soul. He claims, “the master should not think of taking the slave from the slave breaker, that should he do so, he would lose the whole year’s wages” (Douglass 1985: 110). The master has denied the slave his property because the law of the economic system of slavery makes him do so. The master’s decision is influenced by his anxiety of losing either money or position as a slaveholder, despite the fact that he is affected by Douglass’ sympathetic condition.34 His decision reflects the mythical character of Pontius Pilate, the coward whose human nature is restricted by law and circumstances that prevents him from seeing justice. More than that, Douglass consciously learns that the slaveholder has excessive power to use the slave in the most profitable way. Therefore, as far as parallelism is concern, Thomas appears to be more villainous than Pontius Pilate.35 The slave, as the hero, has been denied justice and protection. He is presented as bearing the symbolic meaning of crucifixion. In the point of view of Douglass, the symbolic meaning of crucifixion resembles the dilemma of the black slave. For him, the basic dilemma faced by black slave is a choice between bondage and freedom. He sees the choice as a real and visible meaning of crucifixion, in which all black slaves should live. Douglass writes that the alternative is ‘to go home and be whipped to death, or stay in the woods and be starved to death (Douglass 1985: 111).36 Douglass signifies two different qualities of death. They are spiritual death and physical death. To achieve either of the alternatives, the slave should cross the death, which might be spiritual or physical. To liberate him from slavery means that the slave has to risk his life, while to remain in the bondage of slavery, the slave has to risk his spirit. It seems accidentally then, that the promise of the power of the root, which Sandy Jenkins gives him, makes it possible for Douglass to cross the barrier of spiritual death. He says, “From whence came the spirit I don’t know – I resolved to fight” (Douglass: 1985: 112). His resolution to deny spiritual death is by taking the risk of physical death.

34 Booker (1996:293) writes that slavery was primarily an economic institution. According to him, slavery constituted pre-capitalist economy. However, it was based more on race rather than class. 35 Pontious Pilate is presented as the Roman leader who hesitates wether he should punish or liberate Jesus (Matthew 27:11-26). 36 In My Bondage and My Freedom, Douglass writes the dilemma in a clearer description: “I must stay here and starve, (I was already hungry,) or go home to Covey’s, and have my flesh torn to pieces, and my spirit humbled under the cruel lash of Covey” (Douglass 1960: 235).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 39

The risk of physical death saves him. Douglass later concludes, after winning the fight, that his triumph “was a glorious resurrection, from the tomb of slavery, to the heaven of freedom” (Douglass 1985:113). In this case, he presents himself parallel to the Easter myth pattern, in which Jesus rises again three days after his death. Douglas obviously takes the image of Jesus rising from the tomb as the symbol of the slave’s liberation. The reader will not only see Douglass’ triumph, winning his own manhood, but also his liberation as representation of Jesus’ resurrection. It is clear then, that Douglass has completely mastered the use of Christian myth pattern to establish a strong image for the struggle of the black slave striving for freedom. This myth will provide black slave with a stronger and more positive self- esteem. At the same time, Douglass also strikes Southern propagandists who, using the power of words, create negative image for the black slave as a docile and simple-minded figure. In this autobiography, Douglass gives serious attention to his black and white audiences. He desires to create a particular response to the two different audiences. From his black audience, he demands confidence and proud of being black, while for his white readers he successfully stirs their feeling of shame. In this case, he accomplishes the main purpose of abolitionist movement to raise moral awareness among the white society in general, and the white South in particular. Beside that, his autobiography also succeeds in achieving the strict requirement of American literature.

REFERENCES: Anonymous. 1976. Alkitab. : Lembaga Alkitab Indonesia. Booker, Keith M. 1996. Practical Introduction to Literary Theory and Criticism. New York: Longman. Brent, Linda. 1973. Incidents in the Life of A Slave Girl. New York: Harcourt Brace Jovanovich. Douglass, Frederick.1960. My Bondage and My Freedom. New York: Dover Publications Inc. Douglass, Frederick. 1985. Narrative of the Life of Frederick Douglass, An American Slave. New York: Penguin Books. Foster, Francess S. 1979. Witnessing Slavery. Connecticut: Greenwood Press. Frye, Northrop. 1973. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP. Gates Jr, Henry Louis. 1979 “Binary Opposition in Chapter One in Narrative of the Life of Frederick Douglas, An American Slave.” In Dexter Fisher and Robert Stepto (eds). Afro-American Literature: The Reconstruction of Instruction. New York: MLA. Meally, Robert G.O. 1979. “Frederick Douglass’ 1845 Narrative: The Text Meant to be Preached” in Dexter Fisher and Robert Stepto (eds). Afro-American Literature: The Reconstruction of Instruction. New York: MLA.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 40

Preparation and Validation of Multi- Intelligence Based Lesson Plans in Reading for Grade Six Hearing Impaired Students

by: Joel Pineda

Abstract Addressing the idea of how high comprehension skill acquisition can transform a child with Hearing Impairment into an independent succeeding reader is becoming a trend in Deaf Education nowadays. A way to address it is through the consideration of Deaf individuals’ intelligences when planning and implementing lessons. This study investigated the effectiveness of Multi-Intelligence based lesson plans in improving the comprehension skills of Deaf students enrolled in Grade 6. A pre-test was given to seven Grade 6 Deaf students to determine the least mastered skills, results of which showed poor performance in following directions and identifying the correct suffix. These skills served as the topic of the MI lesson plans for validation and for implementation. Posttest was given after the implementation and results were analyzed through a t test. Results show favorable and significant increase on the least mastered skills when they were immersed to Multi-Intelligence based atmosphere of learning.

INTRODUCTION The No Child Left Behind (NCLB) plan for comprehensive educational reform has been used for over a decade seeking to close the achievement gap between disadvantaged, limited-English proficient students, and students with disabilities compared with their peers. To address this challenge, schools must demonstrate that all children are succeeding. Because there is no single "right way" for all children to learn, schools must employ a variety of instructional approaches, strategies, and materials (Dorsey, 2002). Since reading has been considered as the foundation of learning, it is one of the main responsibilities of schools to educate their students to read. This implies that being able to read is very important. It is essential for achieving in school, being an informed citizen, succeeding in one’s career, and experiencing personal fulfillment (Lukner, Handley, 2008). It was been said that those who read more tend to be smarter than their peers who do not read much (A Cunningham and Stanovich, 1998). Unfortunately, as noted by Lyon and Reid in 2002, learning to read is a formidable challenge for about 60 percent of the nation’s children, and for 20 to 30 percent of children, reading is one of the most difficult skills they will have to master throughout their school career. Not only students who are to be considered “regular” would experience the difficulty but also Students with disabilities like those who are hearing impaired. The idea of how high comprehension skill acquisition can transform a child with Hearing Impairment into an independent succeeding reader is widely studied, but many questions are still to be answered (Harris and Beech, 1995; Bresson, 1996; Kyle and Woll, 1985; Lichteinstein, 1998; Marschark&Harris, 1996; Paul and Jackson, 1994; Torres et. Al 2008). A plethora of researches have shown that reading for the Deaf and Hard of Hearing is a complex process affecting their performance in school and even after

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 41 schooling ( Luckner and Handley, 2008; Myklebust, 1960; Pintner & Patterson, 1916; Conrad, 1979; Torres & Santana, 2005; Traxler,2000; ). There are many factors that may contribute to the above situation. One of this may be attributed to the lack of the mastery of the literacy skills, primarily on the capitalization of the comprehension skills acquisition and strategies. This has been considered as one of the primary source of this dilemma (Blocher, Heppner, & Johnson, 2009; Rice, 2010).This means that the Deaf students have different ways of acquiring the meaning of words and application of it to a context. Acquiring this word meaning may be equated to the three levels of text representation. These are: identification (at the word level), comprehension at the sentence level and interpretation at the text level ( Long, Seely, Oppy, 1996; Dijk et. Al, 1983, Zwan, 1996). The first level is the level where identifying printed words is being capitalized. However, this does not provide explanation as to how it can affect Deaf children’s’ comprehension difficulties. The second level is comprehension which deals with the understanding of how the word was used in the sentence and combining those words into propositions. To achieve the goal of getting meaning from words used, vocabulary and syntax have to be considered (Wauters et. Al, 2006). Furthermore, it was said that Deaf student’s vocabulary knowledge may significantly affect their comprehension. Aside from vocabulary, Deaf encounters dilemma in understanding the language structure or commonly known as syntax. The third level is more on prediction and foreseeing what can happen next and this is known as interpretation. Cain, Oakhill, Long et. Al as cited by Wauters in 2006 found out that the skill of making inferences have varied on the reading ability of children. The skill of making inferences has not – as far as the researcher knows- been investigated but it is fair to consider this aspect as something that may affect the comprehension of deaf children. Many efforts were then focused on interventions that may prevent reading difficulties and foster higher rate of literacy skills (Rice, 2002). To address this, a need for a more specialized tool has to be known (Fierros, 2004). Multiple intelligence is one of the best examples of this specialized tool that can provide every learner more specific ways of learning. The theory of MI was developed by Howard Gardner in 1983. Gardner took a different perspective of how every individual learns. He viewed intelligences in a deeper perspective not relying from the IQ score but on the importance of biological and psychological characteristics to the solving of a problem and creating a product ( Gardner, 1983; Fierros, 2004). Based on the criteria Gardner has used, he identified some intelligences like: Verbally linguistics, Visual-spatial, Logical- Mathematical, Bodily- kinesthetic, Interpersonal, Intrapersonal, Musical and Naturalistic. Visual- Spatial thinks in terms of physical space. Bodily- kinesthetic use the body effectively. Musical shows sensitivity to rhythm and sound. Interpersonal understands, interacting with others. Intrapersonal understands one's own interests, goals. Linguistic is using words effectively. Logical -Mathematical is reasoning, calculating. Think conceptually, abstractly and are able to see and explore patterns and relationships and people with Naturalist intelligence have a sensitivity to and appreciation for nature The Multiple Intelligences have a significant implication in Special Education (Fierros, 2004). Since MI focuses on a wide range of abilities, it helps place “special needs” in a broader perspective. Armstrong (2000) said that those Educators who are using MI as a backdrop, begins to perceive children with special needs as a person who possesses many strength in different disciplines; thus, allowing Educators to put into realization the intelligences. Numerous educators (Cushner, McClelland, & Safford, 2003; Gardner, 1999; Kornhaber, Fierros, & Veenema, 2004; Perkins, 1992) have argued that the best learning opportunities are those that are most successful for all students. What may need emphasis, however, is the way in which lessons are specifically tailored to the

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 42 needs of individual students or small groups of students. An MI program not only provides teachers with ways to personalize education for students, it can also help to cultivate a passion for life and career goals (Armstrong, 2000). Several papers have been presented to show the effect of using an MI instruction in addressing special need. Schirduan and Case in 2004 and was mentioned by Fierros in 2004 examined how MI strategies can help students with ADHD and saw how effective it was and the importance of the curriculum leaders in providing differentiated instruction. Rubado (2002) worked on applying MI strategies to students with learning difficulties in a mainstreamed class and found out that students had the opportunity to find their intelligence. Students participated actively with all the activities they have implemented in the classroom. Rubado also found out that thorough reflection, students were able to identify their strength in the context of MI. Others ( Kornhaber, Fierros, Veena,2004; Waldron , 1999) reported that students were able to learn and realized that there were other ways of learning and each one of them possess life skill that will enable them to succeed in the future. Towards using MI in a Deaf Curriculum, as far as the Researcher has investigated, nothing has made any report as to how it affects students with the said Exceptionality. However, its effectiveness towards other exceptionalities may give a new paradigm that may be used in teaching Deaf students the ability to comprehend text in a deeper context. This paper tries to investigate the extent of effectiveness of the Multi Intelligence based lesson plans to the improvement of the Deaf Students Comprehension skills. It is guided by the following objectives: (a) identify the comprehension level of Deaf students who are in Grades 6 and 7; (b) create and execute a multi- intelligence oriented lesson plan for the group and; (c) determine the extent of effectiveness of the Multi-intelligence- based lessons to the improvement of the student’s level of comprehension

METHODOLOGY Research Design This study aims to investigate the extent of effectiveness of the Multi Intelligence based lesson plans to the improvement of the Deaf Students Comprehension skills. It is guided by the following objectives: (a) identify the comprehension level of Deaf students who are in Grades 6; (b) create and execute a multi- intelligence oriented lesson plan for the group and ; (c) determine the extent of effectiveness of the Multi-intelligence- based lessons to the improvement of the student’s comprehension skills . A descriptive research design was utilized in this study to appraise carefully the worthiness of the prepared lesson plan. . However, pretest and posttest were also used to determine the effectiveness of the MI lessons to Deaf students. In general, it follows the four stages of preparing materials namely Planning, Writing, Evaluating, and Finalizing and Implementing.

Participants 1. School Administrators. There were two administrators in MC SAID. One of them took the role of checking the reliability of the assessment tool given and the lesson plans to be implemented. 2. Teachers. Three teachers handling Reading were also asked to evaluate the assessment tool of the researcher and also the lesson plans created before these were submitted and re-evaluated by the principal. 3. Students. Seven Grade six students from Miriam College Southeast Asian Institute for the Deaf were part of this study. The students were all assessed having Hearing Impairment. The period of the study is from Second Quarter of the Academic Year 2011-2012

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 43

Procedure

Planning

The researcher has prepared a pre-test. The pre-test was based on the competencies set by the Department of Education. The purpose of the pretest was to determine the extent of knowledge the students have in terms of the identified competencies. To address the competencies, a table of specification was also prepared. The items were thoroughly assessed through the use of the table of specification. The pre-test was given to a group to determine whether the items can be easily understood by Deaf test takers. It was found out that the items were valid and were easily answered by the learners. The assistant principal went over the exam to check if all items were correctly spelled and made it sure that items are parallel to the expected skills expected for the 2nd Quarter. The researcher gave the examination to the students and allowed them to answer it in an hour. After that, the researcher took the mean of every skill and rank them from greatest to least mastered.

10 Context clues 8 Prefix and Based Word 6 Suffix 4 Synonyms and Antonyms 8.29 5.71 2 5 References 2.43 5.86 Following Directions 0 3.43 2.29 Noting

Table 1.presents the mean for every skills. Suffix and following direction were the least mastered skills.

Writing

The researcher started preparing lesson plans that have integrated Multi- intelligences in the different activities basing it from the three least mastered skills. Since the school is implementing a weekly lesson plan preparation, the researcher has patterned it also to what the school is doing. On a week, all the intelligences were tapped and were tried by everyone. This was done so as to appraise or balance the intelligences of everyone.

Evaluating

After carefully preparing the lesson plan, it went through a comprehensive evaluation. The researcher adopted the Nicholson- Nelson’s MI Lesson Plan Checklist. The first evaluation was done by two faculties of the school handling the subject reading. After the teachers, it was validated by the school administrators. The checklist presents a yes answer to all criteria; thus, indicating that lessons prepared were able to tap the different intelligences for the week.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 44

Checklist T1 T2 T3 A1 Overall

Lesson Plan included reading, speaking, listening, Yes Yes Yes Yes Yes writing, spelling, word activities?

Lesson Plan included grammar practice, problem Yes Yes Yes Yes Yes solving task, logic puzzles, critical thinking activities

Lesson Plan included movement, role play, drama, Yes Yes Yes Yes Yes hands-on activities?

Lesson Plan included music, sounds, intonation Yes Yes Yes Yes Yes practice, or rhythm.

Lesson Plan included private learning time. Yes Yes Yes Yes Yes

Has included communicative tasks, role play, group Yes Yes Yes Yes Yes work.

Lesson Plan tapped nature related topic or activities. Yes Yes Yes Yes Yes

Lesson Plan included values-oriented processing Yes Yes Yes Yes Yes

Table 2 presents the summary of the evaluation of the Multi-Intelligence-based Lesson Plans by the different reading teachers.

Finalizing and Implementing

The comments were considered by the researcher for the modification of the lesson plan. After the modification it was tried and implemented on the class. The teacher of the subject designed schedule of the class to have 80 minutes session every Monday and 40 minutes every Tuesday to Friday. This was the schedule used to accommodate the literature based approach of the teacher every Monday.

As a summary, a pretest was given to address the first objective. The researcher used the periodical exam developed the other year. The items for the Pretest went through a critical item analysis through the use of the table of specification. The Pretest has 30 items and different comprehension skills were touched. The second objective was addressed through a comprehensive preparation of a lesson plan that incorporates different multi intelligence strategies. These lesson plans were validated by teachers who are teaching the Reading subject through Nicholson- Nelson’s MI Lesson Plan Checklist . The third objective was determined through the use of the Post Test. The significant of the result was analyzed through a t-test.

RESULTS AND DISCUSSION

The Researcher aims to determine the extent of effectiveness of implementing Multi- Intelligences based Lesson Plan to Grade Six Deaf Learners. To do it so, the researcher made used of a pre-test to determine the least mastered skill of the quarter. Table 2 presents the score of the students, the mean for every score and the rank of the skill whether it was mastered or not.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 45

It can be seen that students have a great knowledge on prefix and based word identification. However, difficulty was seen on following directions and identifying the meaning of suffixes.

Students A J M L B J R Total Mean Rank Number of SKILLS items

Context clues 8 8 5 5 7 4 4 7 40 5.71 4 Prefix and Based Word 5 5 5 5 5 5 5 5 35 5.00 1

Suffix 5 2 4 1 1 2 3 4 17 2.43 6 Synonyms and Antonyms 10 10 9 9 9 5 7 9 58 8.29 2

References 5 4 3 4 2 2 4 5 24 3.43 5 Following Directions 6 3 2 2 4 1 2 2 20 2.29 7

Noting 8 7 6 8 7 3 3 7 41 5.86 3 Table 3 presents the Pre-test results.

Table 3 presents the scores of the different students in the different part of the Pre- assessment tool. Notice that the least mastered skills were Suffix which got a mean of 2.43 and Following Directions that has a 2.29 mean. It was also noticed that Prefix was the most mastered.

Students Total Mean Number SKILLS of items Context clues 8 8 7 7 7 6 6 6 47 6.71 Prefix and Based Word 5 5 5 5 4 5 5 5 35 5.00 Suffix 5 4 5 3 3 4 4 5 26 4.00 Synonyms and Antonyms 10 10 10 9 9 7 7 9 61 8.71 References 5 5 5 5 3 4 4 5 25 3.57 Following Directions 6 6 5 4 4 3 3 3 28 4.00 Noting 8 8 8 8 7 8 8 8 50 7.57 Table 4 presents the Post Test results.

The posttest presents an increase in every score of the Deaf individuals who were immersed to a Multiple Intelligence based lesson.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 46

Post Pre- - Sig test SE SD P SKILLS SD SEM Test SD t df or (Mea M diff Value (Me Not n) an) Context clues 5.71 1.60 .61 6.71 .76 .29 1.49 12 .67 .1614 Not Prefix and Based Word 5.00 5 0 4.86 .38 .14 1 12 .143 .3370 Not .57 .017 Suffix 2.43 1.27 .82 4.00 .82 .31 2.75 12 1 6 Sig Synonyms and Antonyms 8.29 1.70 .64 8.71 1.25 .47 .5359 12 .800 .6018 Not References 3.43 1.13 .43 4.43 .79 .30 .2739 12 .522 .0793 Not Following .56 .010 Directions 2.29 .95 .36 4.00 1.15 .44 3.03 12 5 4 Sig 2.556 .78 .025 Noting 5.86 2.04 .77 7.86 .38 .14 6 12 2 2 Sig Table 5 presents the pre-test and the post test results.

The posttest results present that there were significant changes that happened on the least mastered skills after the application of the Multi- intelligence based lesson plans. This implies that the capitalization of the different intelligences in addressing the least mastered skills of the Deaf students were very effective towards a meaningful learning and understanding of the said topics since more sense application was maximized so as to master those skills. Furthermore, proficient reading becomes more significant since students were immersed to diverse situations where more strategies for processing and understanding were. Another implication is on the mentoring and on the motivation of students. Many activities aroused their curiosity of learning and had a great impact to daily instruction specially to students’ academic achievement and student motivation (Fierros, 2004; Rice, 2009; Luckner J.L & C.M Handley, 2008 ; McFarlene, D.A. , 2011). This was appraised when Perkins in 1992 and Vialle in 1997 said that an approach to instruction that motivates students to learn is more likely to have a positive impact on student achievement and, by extension, test scores. The key is that MI allows teachers to think differently about how students learn (Kornhaber & Krechevsky, 1995; Cushner, McClelland, & Safford, 2003; Gardner, 1999; Kornhaber, Fierros, & Veenema, 2004; Perkins, 1992); thus, allowing the teachers to instantly expand their curricular offerings to address students’ different intelligences and to provide all students with situated learning experiences that can lead to better learning opportunities for students and teachers alike. This happened to the students who were taught in a MI atmosphere. Everything was maximized and all were motivated to perform the activities since activities vary and their interest was touched. Not only that they have enjoyed the activities, but the activities itself where source of lessons.

CONCLUSION AND RECOMMENDATION

The study investigated the extent of effectiveness of using Multiple Intelligence based lesson plan in developing the comprehension skills of Grade 6 Deaf learners. It was

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 47 seen that after the implementation of the program and the evaluation, students were able to increase the level of the least mastered skill. This may imply that the integration of MI in teaching the deaf learners may be considered effective since capitalizing their strengths were very much maximized. An implication to this study is that when teaching our Deaf learners how to read, it will be good to integrate multiple activities that may allow them to experience the topic meaningfully. If it is effective to deaf learners, it may mean that it will also be effective to those who are hearing since strength if every child will be the focus of the theme.

However, the researcher believes that the program has to be given in a longer phase to see the improvement of the other skills. Thus, the researcher recommends further studies on bigger population to really see its impact.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 48

Appendix A TABLE OF SPECIFICATION GRADE: __6__

SKILLS # of items BLOOM’S TAXONOMY (COGNITIVE SKILLS) Point s K C A A S E

A. Identifying 8 1 pt. 16,17,18, 8 meaning each 19,20, through Context 21,22,23 Clues

B. Identifying 5 1 pt. 31, 5 Prefix and the each 32,33, Based Word 34,35

C. Suffix 5 1 pt. 41,42, 5 each 43,44, 45

D Synonyms 10 1 pt. 24, 25 7,8,9, 10 and antonyms each 26, 27, 28, 29, 30

E. Getting the 5 1 pt. 36, 5 meaning from each 37,38 the References ,39,40

J. Following 6 1 pt. 46 11,12, 6 directions each 13,14,

15

K. Noting 8 1 pt. 1 2,3,4,5 10 6 47 8 Details each

TOTAL 47 8 14 2 12 6 5 47

Table 1 presents the skills covered by the Assessment as based from the Budget of Work Prepared by the Reading Teacher

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 49

Appendix B Multi- Intelligences Lesson Plan Checklist

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 50

References

Armstrong, Thomas. Multiple Intelligences in the Classroom 3rd ed. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development, 2009. Bresson, J. (1996). The young Deaf and the Reading. Doctoral dissertation. University of Nancy II. Cunningham, A.E & Stanovich, K. (1998).What Reading does for the Mind American Educators, 22(1-2), 8-15 Fierros, E. G. (2004). How Multiple Intelligences Theory Can Guide Teachers Practices. Arizona. Urban School Improvement Gardner, H., & Hatch, T. (1989). Educational Implications of the Theory of Multiple Intelligences. Educational esearcher, November 1989; Volume 18, No. 8, pp. 4- 10 Harris, M. & Beech, J. (1995). Reading Development in Prelingually deaf Children. In E. Keith & Z. Nelson, Childrens Language, vol 8, chap9 (181-20 3), Hillsdale, New York: LEA Kyle, J.G., & Woll, B. (1985). Language in sign, an international perspective on sign language. London: Croom Helm. Lichtenstein, E.H. (1998). The relationships between reading processes and Reading Comprehension of an Inferential Text 55 English skills of deaf college students. Journal of Deaf Studies and Deaf Education, 3, 80-134. Luckner, J.L. & Handley, C.M (2008). A Summary of the reading Comprehension Research Undertaken with Students who are Deaf or Hard of Hearing. American Annals of the Deaf Volume 153, 5-36 Marschark, M., & Harris, M. (1996). Success and failure in reading: The special case of deaf children. In C. Cornoldi & J. Oakhill (Eds.), Reading comprehension difficulties: Processes and intervention (pp. 279-300). Mahwah, NJ:Lawrence Erlbaum Associates. Paul, P., & Jackson, D.W. (1994). Toward a psychology of deafness: Theoretical and empirical perspectives. Boston: AUyn & Bacon. Rice, M.(2009). Reading Comprehension Skills and Strategies:Educators Publishing service Wauters, L.N. et.al (2006).In Search for Factors in Deaf and Hearing Children’s Reading Comprehension.American Annals of Deaf Volume 152. 371-380. Rubado, K. (2002) . Empowering Students through Multiple Intelligences. Reclaiming Children and Youth, 10, 233-235 Torres S. T et al.(2000). Reading comprehension of an Inferential Text by Deaf students With cochlear Implants Using Cued Speech. The volta Review, Volume 108 (1), 37-59

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 51

PEWACANAAN IDENTITI BANGSA DALAM SASTERA SELEPAS MERDEKA: PENGALAMAN MALAYSIA

Mohamad Saleeh Rahamad (Ph.D. Malaya) Universiti Malaya, Kuala Lumpur [email protected]

ABSTRAK Makalah ini membincangkan corak oksidentalisme dalam karya sastera terpilih pada era awal kemerdekaan di Malaysia atau Persekutuan Tanah Melayu di bawah Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman yang bermula pada tahun 1957. Perbincangannya yang menggunakan perspektif kritikan pascakolonial berkisar pada pewacanaan identiti bagi imej bangsa penjajah (Barat) dan sekali gus refleksinya, iaitu imej peribumi. Rasional kajian ini berasaskan tanggapan bahawa dalam era pascakolonial pengarang peribumi tidak terlepas daripada memberikan persepsi mereka tentang imej penjajah dan sekali gus merefleksikan identiti peribumi. Sama ada perspektif mereka positif atau negatif terhadap kedua-dua belahan identiti itu tidaklah merupakan suatu ketetapan, bahkan boleh wujud dalam pelbagai perspektif. Dalam konteks Malaysia, penjajahan atau pentadbiran British yang berakhir pada tahun 1957 turut memperlihatkan kesan pada karya sasteranya. Era Tunku Abdul Rahman memperlihatkan usaha mencari identiti bangsa merdeka ketika legasi kuasa Barat masih berkekalan dalam beberapa bidang kerana masih banyak perkara yang memerlukan pergantungan kepada mereka. Oleh itu, dasar luar Malaysia dan bentuk hubungannya dengan kuasa Barat dapat dianggap sebagai faktor utama yang membentuk sikap pengarang oksidentalis. Paparan corak oksidentalisme ini akan dilihat pada novel Panglima Awang (Harun Aminurrashid, 1958), Lingkaran (Arena Wati, 1971), dan Pulanglah Perantau (Aziz Jahpin, 1971). Dapatan daripada analisis ini memperlihatkan oksidentalisme atau pewacanaan identiti bagi imej peribumi Timur dan Barat tidak bersifat binarisme mutlak sebabagimana dalam wacana Orientalisme. Pengarang Timur masih memiliki sikap yang objektif dengan hanya meruntuhkan legasi keagungan Barat sekadar yang perlu bagi menegakkan kebaikan Timur, bukannya untuk menguasai atau menghina Barat secara mutlak. Pewacanaan identiti Timur adalah untuk mengembalikan kehormatan bangsa manakala keburukan dan kebaikan imej Barat masih diperlihatkan secara seimbang.

Kata kunci: pascakolonial, oksidentalisme, orientalisme, comprador, identiti

Pengenalan Dalam era pascakolonial pengarang peribumi tidak terlepas daripada memberikan persepsi mereka tentang imej penjajah dan sekali gus merefleksikan identiti peribumi. Sama ada perspektif mereka positif atau negatif terhadap kedua-dua belahan identiti itu tidaklah merupakan suatu ketetapan, bahkan boleh wujud dalam pelbagai perspektif. Kepelbagaian perspektif wujud disebabkan faktor kontekstual yang mempengaruhi corak pemikiran pengarang. Dalam konteks Malaysia, penjajahan atau pentadbiran British yang berakhir pada tahun 1957 turut memperlihatkan kesan pada karya sasteranya. Era Tunku Abdul Rahman memperlihatkan usaha mencari identiti bangsa merdeka ketika legasi kuasa Barat masih berkekalan dalam beberapa bidang kerana masih banyak perkara yang memerlukan pergantungan pada Barat. Pengarang peribumi telah mewacanakan identiti

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 52 bangsanya secara tidak langsung mahupun secara langsung. Pewacanaan secara tidak langsung adalah dengan mencitrakan imej negatif watak Barat yang secara halus menonjolkan imej positif watak peribumi, manakala pewacanaan secara langsung adalah dengan cara menonjolkan watak-watak peribumi yang positif. Perbincangan tekstual ini akan dibuat dengan jurus pandang kritikan pascakolonial.

Pengaruh Barat di Malaysia pada Awal Kemerdekaan Dalam era kolonial wujud ideologi hierarki tentang ras di Eropah yang bersumberkan kesarjanaan Zaman Pencerahan pada abad ke-18. Bangsa Eropah mempercayai bahawa bangsa yang lebih tinggi darjatnya berhak mendapat kehidupan yang terbaik. Itulah sebabnya bijih timah di Tanah Melayu tidak melahirkan industri pengeluaran yang berasaskan bijih, dan getah tidak menghasilkan industri berasaskan getah. Tanggapan bahawa pembangunan industri moden dianggap sebagai milik eksklusif manusia yang bertamadun dan bangsa yang berdarjat merupakan kepercayaan umum pada Zaman Victoria. Bagi bangsa Eropah, membenarkan pembangunan industri moden berkembang di negara koloni samalah seperti mengangkat bangsa yang terjajah ke martabat yang tinggi (Zalanga, 2000:249). Pandangan sebegini bukan sahaja lumrah malah turut mempunyai justifikasi agama sebagaimana yang wujud dalam aliran Calvinism, iaitu satu aliran dalam agama Kristian yang diasaskan oleh John Calvin, seorang reformis Protestan pada penghujung Abad 16.37 Pemikiran masyarakat peribumi telah dikuasai secara hegemonik. Kolonial melakukan penaklukan minda dengan meyakinkan peribumi bahawa kedatangan British membawa banyak pembangunan yang tidak diperoleh sebelumnya seperti yang dinyatakan oleh Swettenham [dlm. Kratoska (ed.), 1983:187]: Without British help there had been no progress, no development of rich resources, no order, no safety for life and property; only fighting, oppression, poverty, and debts contracted on behalf of the State by those who claimed authority to incur them without thought of how they were to be repaid. With the coming of British residents, and the steps taken under their instructions by those they brought in from outside the States to help them, the revenues increased so fast that, in a few years, all public debts were paid, and there were available ample means to carry out even ambitious schemes of public works, all of which contributed–directly or indirectly–to an ever-growing revenue which not only paid for roads, railways, postal and telegraph service, water works, irrigation, hospitals and public works generally, but produced enough to add considerably to the modest allowances allotted to the Rulers, the Chiefs, and to all Malay officers helping in the new methods of administration. Those facts convinced Malay rulers, their Chiefs, and their people, that they had been right in supporting the and the men who designed and fashioned it.

Dengan kerangka pemikiran imperialisme, Swettenham meletakkan British sebagai kuasa tamadun yang membangunkan Tanah Melayu. Maksudnya, tanpa British, orang

37Dalam fahaman Calvinism, seseorang manusia mendapat darjatnya daripada ihsan tuhan, bukan atas kebebasannya membuat pilihan. “In contrast to the free-will decisionism …. Calvinism places strong emphasis not only on the abiding goodness of the original creation, but also on the total ruin of men’s accomplishments and the frustration of the whole creation caused by sin, and therefore views salvation as a new creating of God rather than an achievement of those who are saved from sin and death.” Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Calvinism#Historical_background.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 53

Melayu akan terus ketinggalan dalam zaman kegelapan atau sinonim dengan Abad Pertengahan yang digelar sebagai Zaman Gelap (Dark Ages) di Eropah. Tanggapan bersifat discursive ini berperanan sebagai tenaga hegemoni yang menguasai pemikiran peribumi. Mungkin penguasaan pemikiran ini tidak berleluasa cakupannya, tetapi paradigma terancang sebegini berfungsi sebagai asas kepada perancangan British dalam pendidikan dan pentadbirannya. Melalui comprador yang dilahirkan oleh Malay College Kuala Kangsar (MCKK) dan Sultan Idris Training College (SITC) misalnya, pegawai Malayan Administrative Service (MAS) diharapkan oleh British supaya menjadi jurupandu pemikiran masyarakat peribumi sehingga mereka beranggapan bahawa Inggeris benar- benar membawa kemajuan. Sebagai bangsa yang sekian lama tertakluk di bawah telunjuk penjajah, orang Melayu berhadapan dengan rasa rendah diri dan sentiasa beranggapan bahawa Inggeris lebih hebat dalam segenap bidang. Permasalahan psikologi ini telah dibangkitkan oleh Harun Aminurrashid, seorang nasionalis yang terasuh di SITC. Harun Aminurrashid (1965:237) membangkitkan persoalan ini dan menyatakan kekesalannya: Saya gali lombong2 sejarah, saya mengembara di-hutan rimba sejarah tanah-ayer. Saya dapati mengapa sa-bahagian manusia sa-jenis, sa-keturunan dan sa-kebudayaan dengan saya, banyak yang telah mengambil sikap dan pendapat, apa boleh buat kami lemah di-semua lapangan. Ada yang tegas berpendapat, kami mentimun berhadapan dengan durian, iaitu menggolek pun luka, kena golek pun luka.

Persoalannya, selepas Merdeka, adakah pemikiran ini masih terlekat dalam jiwa rakyat Tanah Melayu, lebih-lebih lagi suasana zaman tidak mendesak mereka untuk melontarkan cercaan yang sarkastik kepada bekas penjajah. Mungkinkah jiwa sebahagian besar masyarakat masih dibelenggu oleh rasa rendah diri di samping menyifatkan bangsa Eropah atau British sebagai bangsa paling bertamadun dan telah menyumbang kepada proses ketamadunan orang Melayu seperti yang dikatakan oleh Swettenham itu? Adakah pengarang-pengarang nasionalis lebih agresif dalam mewacanakan Barat kerana mereka tidak lagi terikat dengan undang-undang British dan ancaman bersifat politik?

Persoalan tersebut perlu dijawab dengan pemahaman sejarah, yakni dalam era ini permusuhan dengan kolonial tidak lagi berlangsung secara tegar. Perundingan antara elit politik dengan wakil kerajaan British dan disusuli proses Pilihan Raya Kebangsaan 1955 yang mendahului tarikh kemerdekaan telah memperlahankan gerakan antikolonial secara tegar walaupun usaha daripada kumpulan radikal masih wujud secara subversif. Parti Komunis Malaya masih berleluasa melancarkan gerakan secara gerila dan subversif dan tempoh darurat masih berkuat kuasa. Apabila kemerdekaan tercapai pada tahun 1957, secara rasminya Malaysia telah cuba membina negara menurut acuan sendiri, tetapi sebagai sebuah negara yang sedang membangun atau disebut sebagai Negara Dunia Ketiga,38 Malaysia terpaksa atau dipaksa

38Dunia Ketiga ditakrifkan daripada dua dimensi: daripada dimensi ekonomi negara- negara itu kurang membangun manakala dari segi ideologi mereka memperjuangkan ideologi egalitarian. Dari segi geografi Dunia Ketiga terdiri daripada negara-negara Asia, Arab Pasifik Selatan dan Amerika Latin. Begitupun, timbul persoalan sama ada Jepun dan Korea Selatan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 54 bergantung pada negara maju atau negara industri, sama ada dalam aspek pertahanan, pentadbiran, permodalan, mahupun unsur modeniti yang lain. Kuasa hegemoni yang dimiliki oleh pelabur asing di Negara Sedang Membangun, yang dipanggil neokolonialisme, menakutkan Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Pada masa yang sama, negara-negara tersebut kekurangan wang untuk tujuan modal pelaburan di dalam Negara. Oleh sebab itu, pelaburan asing terpaksa digalakkan walaupun pengalamannya menyakitkan apabila pelabur asing bersikap menindas. Dapat difahami bahawa dilema ini menyebabkan rakyat Negara Sedang Membangun bersikap defensif dalam soal status mereka dengan hubungan antarabangsa (Baradat, 1997:293). Neokolonialisme berlaku apabila negara industri memiliki saham yang besar dalam industri asas di Negara Dunia Ketiga. Bantuan kewangan, yang biasanya mempunyai kaitan politik–satu lagi cara manipulasi yang dikenakan terhadap Negara Dunia Ketiga yang dahaga akan modal dan teknologi–memerangkap negara-negara ini ke dalam neokolonialisme. Fenomena ini lazim disebut sebagai diplomasi dollar dan disifatkan sebagai imperialisme tanpa kolonialisme (Baradat, 1997:300). Dalam masa yang sama kerajaan Tanah Melayu memerlukan bantuan dan sokongan daripada Britain. Pergantungan Tanah Melayu pada Barat terpamer dalam bentuk pewarisan sistem common law, Perjanjian Bretton Woods,39 dan campur tangan dalam hal-ehwal akademik. Pemimpin-pemimpin Persekutuan Tanah Melayu yang diketuai oleh Tunku Abdul Rahman juga masih mempunyai hubungan bilateral dengan British yang mendorong kepada pembentukan dasar luar Malaysia yang pro-Barat dan Komanwel serta bersikap antikomunis. Bagi menterjemahkan sikap pro-Barat dan antikomunis, kerajaan Malaysia pada zaman Tunku menandatangani Anglo-Malaysia Defence Agreement (AMDA) walaupun tindakan itu menerima tentangan daripada parti dominan kerajaan, iaitu United Malay National Organization (UMNO). Tanah Melayu juga amat setia dengan Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu (PBB), menentang dasar Aparteid, menyokong negara-negara Arab dan negara Islam lain yang menentang kolonialisme, mengkritik pendaratan Amerika di Lebanon pada tahun 1958, menentang langkah Britain menghantar tentera ke Jordan, dan mengkritik Israel kerana tidak menghormati prinsip yang diputuskan oleh PBB pada tahun 1948.

juga termasuk dalam kelompok ini. Konsep dunia yang lebih jelas dirumuskan dalam Perhimpunan Agung Pertubuhan Bangsa Bersatu (PBB) pada tahun 1974 yang membahagikan Negara Maju dengan Negara Sedang Membangun. Dunia Ketiga termasuk dalam kategori Negara Sedang Membangun (Norbu, 1992:18). 39Semua ini diinsipirasikan oleh Marshall Plan, program bantuan yang dicadangkan oleh Setiausaha Negara Amerika Syarikat, George C. Marshall pada tahun 1947 untuk membina semula Eropah dan Jepun selepas Perang Dunia Kedua. Bretton Woods menjadi gelanggang bagi merasmikan dominasi Amerika Syarikat dalam ekonomi dunia baharu, khususnya hegemoni kewangan yang berpusat kepada dollar Amerika, lengkap dengan institusi yang menguatkuasakannya. Dengan ini, Tanah Melayu telah dicorakkan oleh persaingan, perdagangan, dan pasaran dari sudut ekonomi klasik, dan negara kini dinilai dari segi jumlah keseluruhan keluaran dalam negara atau gross domestic product (GDP) dan jumlah pendapatan dalam negara atau gross domestic income (GDI).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 55

Selain itu, Tanah Melayu banyak bergantung pada Barat dalam bidang ekonomi, dan dasar luarnya memperlihatkan sokongan yang penuh terhadap perjanjian yang berkaitan. Oleh itu, Malaysia banyak menjalin hubungan dengan organisasi antarabangsa dengan menyertai pelbagai perjanjian seperti The International Labour Organization (ILO) pada tahun 1963, Food and Agricultural Organization (FAO), UN Education, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), World Health Organization (WHO), International Monetary Fund (IMF), International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), International Development Association (IDA), International Civil Aviation Organization (ICAO), Universal Postal Union (UPU), International Telecommunications Union (ITU), World Meteorological Union (WMU), UN Children’s Fund (UNICEF), International Tin Council (ITC), International Rubber Study Group, General Agreement on Trade and Tariffs (GATT), Economic Commission for Asia and the Far East (ECAFE), dan Colombo Plan. Tanah Melayu mempunyai pertalian mesra dengan Amerika Syarikat apabila menerima lambakan dan jualan stok simpanan getah daripada General Services Administration (GSA) (J. Saravanamuttu, 1983:40). Pengeluaran komoditi utamanya bijih timah dan getah yang kebanyakannya kepunyaan syarikat British. Hubungan dagang dua hala juga dijalin dengan Jerman Barat, Jepun, dan Amerika Syarikat.40 Malaysia juga bergantung pada bantuan daripada Amerika Syarikat dan Britain dalam krisisnya dengan Indonesia pada tahun 1963.41 Tetapi apabila Britain mula mengurangkan kedudukannya di Malaysia ekoran masalah tekanan politik domestik, Malaysia merapati negara-negara Afro-Asia dan negara Islam yang lain (Abdullah Ahmad, 1985:131). Kebergantungan Malaysia pada kuasa besar dunia selepas kemerdekaan disebabkan oleh sejarah yang telah merantai keupayaannya. Keterbatasan upaya untuk berdikari dan menguruskan hal-ehwal sendiri sedikit demi sedikit diatasi dengan cara mengubah corak hubungan luarnya dengan negara-negara lain yang tidak dominatif. Namun begitu, dalam konteks persuratan, apakah yang tergambar? Bagaimanakah rupa nasionalisme yang ditampilkan dalam karya sastera? Hal ini tentunya berkait dengan identiti atau imej peribumi yang diprojeksikan atau direpresentasikan oleh pengarang peribumi bagi menonjolkan paradigma kebangsaan. Hal ini dapat dikaitkan dengan pandangan oleh Dawa Norbu (1992:26–27) yang memperkatakan perihal kebangkitan nasionalisme di Negara Dunia Ketiga. Menurutnya, persoalan yang dibangkitkan bukan lagi “apakah sifat peribadi kita?” tetapi “siapakah

40Disebabkan terlalu bergantung pada perdagangan eksport, ekonomi Malaysia tertakluk kepada negara industri. Daripada enam buah negara pengimport, tiga buah ialah negara maju di Eropah, iaitu United Kingdom, Jerman Barat dan (sebuah negara komunis); selainnya ialah Amerika Syarikat, Jepun, dan Singapura yang menjadi pelabuhan transit untuk dieksport semula ke luar negara. Tanah Melayu juga bergantung pada Britain bagi mengimport barangan, dan ini menyebabkan Tanah Melayu bergantung pada Britain secara berganda (J. Saravanamuttu, 1983:30).

41Keadaan ini dikatakan sebagai kesan pentadbiran kolonial British dan darurat (J. Saravanamuttu, 1983:49). Pentadbiran British menyediakan etos politik yang asas tentang norma demokrasi Barat dan prasarana pentadbiran politik Barat. Peralihan kuasa secara aman dalam kemerdekaan Malaysia menjamin kesinambungan etos politik selepas Merdeka.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 56 kita?” Masyarakat Dunia Ketiga akan mencari dan menonjolkan identiti mereka bagi membalas wacana Orientalisme dalam zaman kolonial yang telah menafikan identiti peribumi dan sejarah kewujudannya. Kerangka nasionalisme itu mempunyai tiga dimensi: Dimensi pertama ialah tradisi yang menghubungkan bangsa dengan masa lalunya sebagai pencetus inspirasi dan kesedaran tentang kewujudan yang berterusan. Dimensi kedua ialah kepentingan dalam aspek ekonomi dan budaya yang menghubungkan bangsa dengan situasi semasa dan memberikan insentif untuk menangani masalah masyarakat. Dimensi ketiga ialah ideologi–kebanyakannya bersifat politik–yang menghubungkan bangsa dengan masa depan. Ringkasnya, masa depan bangsa itu akan dicorakkan dengan ideologi politik, kepentingan ekonomi, dan tradisi. Dalam era awal kemerdekaan ini, dengan pergantungan terhadap Barat masih erat, lahir karya oksidentalisme yang pelbagai corak daripada pengarang peribumi. Daripada pengarang itu lahir teks yang bernuansa oksidentalisme, iaitu Panglima Awang (Harun Aminurrashid, 1958), Lingkaran (Arena Wati, 1965), dan Pulanglah Perantau (Aziz Jahpin, 1971). Karya mereka dianggap representatif kerana menampilkan wacana oksidentalisme yang dominan demi mencari identiti bangsa bagi menghadapi zaman baharu.

Novel Panglima Awang: Mencari Keakuan Harun Aminurrashid telah menulis Panglima Awang yang dianggap karya fenomenal dan mendapat sambutan hangat daripada khalayak kerana kandungannya yang dianggap dapat menimbulkan national pride bagi bangsa Melayu. Kebanggaan bangsa itu disebabkan novel ini mengemukakan satu versi sejarah yang mengangkat orang Melayu sebagai pengeliling dunia yang pertama, bukannya Ferdinand Magellan sebagaimana yang dicanangkan dalam buku-buku sejarah Orientalis. Novel ini siap ditulis pada 11 September 1957, sebulan selepas kemerdekaan diisytiharkan oleh Tunku Abdul Rahman. Harun Aminurrashid yang telah banyak menulis novel sebelum itu berasa tidak puas dan jiwanya “menjadi resah”. Keresahannya itu disebabkan ada keinginan yang belum tertunai, iaitu hendak “mengenal diri saya berada di mana dan bagaimana” serta “mencari keakuan” atau identiti diri bangsanya (Harun Aminurrashid, 1965:237). Dalam pencariannya beliau mendapati wujud sikap fatalistik dalam kalangan bangsanya apabila berhadapan dengan penjajah kerana perasaan rendah diri yang begitu tebal. Harun Aminurrashid (1965:238) berkata: Kadang kali hati saya timbul geram kepada manusia yang sa-bangsa dengan saya, mengapa berpendapat begitu. Tidak-kah mereka mengenal diri mereka, tidak-kah mereka mengenal KEAKUAN mereka bangsa yang pernah berkuasa besar, bangsa yang pernah menguasai di-seluroh samudera Alam Melayu, bangsa yang menguasai lapangan perniagaan di-alam-nya, bangsa yang berdiri tegak dengan kebudayaan- nya, bangsa yang pandai membuat perhubongan dengan bangsa2 asing yang datang ka-Alam Melayu, bangsa yang pandai melayari dan mengunjongi negara2 tetangga di-luar Alam Melayu? Maka dengan pendapat ini-lah saya berazam akan chuba menyusun cherita2 berlatarkan sejarah tanah-ayer.

Pengakuan pengarang ini menjelaskan bahawa tujuannya menulis Panglima Awang adalah untuk mengembalikan keyakinan diri atau identiti bangsa yang merdeka

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 57 tanpa perlu berasa terjajah sepanjang masa. Harun melakukannya dengan menonjolkan ketokohan dan kewiraan seorang anak Melayu yang mampu menghabiskan ekspedisi mengelilingi dunia walaupun ketuanya, Ferdinand Magellan, mati di pertengahan jalan. Walaupun kajiannya hanya bersandar pada beberapa sumber, Harun meyakini bahawa anak Melayu yang dibawa oleh Ferdinand Magellan mengelilingi dunia pada tahun 1519 itu memiliki semangat juang yang tinggi di samping beberapa ciri wira yang sempurna. Oleh itu, beliau mengangkat lelaki yang diberi nama Enrique itu dengan nama fiktifnya, Panglima Awang, sesuai dengan sifat kemelayuan dan keperwiraannya. Bergerak dalam masyarakat pascakolonial yang sudah tidak lagi tertakluk kepada dominasi penjajahnya, pengarang telah melaksanakan tugas dekolonisasinya dengan lebih bebas. Inilah masa pengarang pascakolonial mengejek dan menghina semua nilai kolonial serta memuntahkannya kembali (bdk. Fanon, 1966:35). Oleh itu, tanpa sebarang keraguan, Harun memaparkan kezaliman orang Eropah terhadap bangsa Timur. Pencitraan yang sebegitu berupaya membangkitkan sentimen antikolonial dan bakal mengundang ancaman daripada pemerintah kolonial sekiranya dilakukan dalam era penjajahan British, tetapi disebabkan era penjajahan sudah berakhir, penulisan sebegitu tidak dibimbangi lagi. Watak-watak hitam penjajah itu tidak diberi peluang untuk menyatakan rasa hati bagi membela tindakan kejam itu kerana pengarang telah menafikan kebebasan mereka melalui haknya sebagai penentu kebenaran (rujuk konsep power/knowledge oleh Foucault, 1980:93). Dengan mencitrakan watak kolonial sebagai hitam, secara tidak langsung imej peribumi telah dimurnikan. Pencitraan oksidentalisme bersifat antikolonial itu dikesan pada watak askar Peringgi/Portugis yang menakluk Melaka dengan kekerasan. Watak-watak penjajah ini tidak diberi simpati sama sekali apabila mereka digambarkan sebagai “tidak mengenal peri kemanusiaan” dengan memperkosa perempuan dan membunuh anak-anak, orang tua atau sesiapa sahaja. Askar Portugis yang digelar Benggali Putih ini menyeksa laki-laki tawanan dengan menjemur dan mengembunkan mereka tanpa diberi makanan dan minuman (Harun Aminurrashid, 1966:2).

Dalam satu peristiwa apabila Enrique ternampak orang Portugis membawa wanita cantik dari sebuah pelabuhan di Benua Afrika, dia membuat penilaian yang bercorak penentangan. Harun memanipulasi kebebasannya sebagai pengarang serba tahu untuk menyisipkan gejolak stream of consciousness watak Enrique yang bercorak wacana balas: Ketika itu barulah Enrique sedar, rupanya orang-orang yang dijadikan hamba itu menjadi seperti binatang dijual ikut suka hati kepada siapa saja yang hendak membelinya. Ia merasa orang2 Portugis mempunyai perasaan yang sangat kejam tidak berperi kemanusiaan, kerana manusia yang dijadikan Tuhan yang berlainan kulit itu di-pandang oleh mereka bukan manusia. (Harun Aminurrashid, 1966:79)

Perbuatan orang Eropah itu sememangnya menjadi amalan mereka atas prinsip teori sains sosial Charles Darwin bahawa manusia teragung ialah manusia yang boleh membunuh manusia lain. Dalam teori Darwinisme persaingan antara kelompok haiwan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 58 terpilih digalakkan biarpun melalui proses peperangan dan pembunuhan kejam. Disebabkan Darwinisme lahir di Eropah sewaktu penjajahan ke atas bangsa kulit hitam sedang giat berlangsung, maka bangsa Eropah berkulit putih dianggap sebagai bangsa terpilih. Bagi orang Eropah, semakin hitam kulit sesuatu bangsa itu semakin dekatlah mereka dengan kejahatan dan kegasaran (Houghton, 1957:209–231 dan Brantlinger, 1988:184–186, Azmi Ariffin, 2006:20). Oleh itu, mereka wajar dilayan seperti abdi. Pemikiran tersebut menjadi teras agenda imperialisme di seluruh dunia bagi menghalalkan tindakan kuasa Eropah menguasai benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sebagai pengarang pascakolonial, Harun Aminurrashid cuba membongkar agenda itu secara halus bagi menunjukkan tembelang sebenar penjajah. Walaupun cerita itu diambil daripada kisah sejarah, mesejnya terpakai dalam zaman pascakolonial dan awal kemerdekaan di Tanah Melayu. Selain memperlihatkan keburukan kuasa Eropah secara menyeluruh, Harun juga mencitrakan individu Eropah, De Gama dan Duarte Barbosa, dengan imej buruk kerana perilakunya yang jahat. De Gama mewakili manusia penjajah yang rakus kerana sanggup cuba memperkosa wanita-wanita Afrika tawanan di dalam kapal rombongan Fernado. Apabila dimarahi oleh Fernado, De Gama menjawab (Harun Aminurrashid, 1966:80): “Engkau apa peduli, aku bukan macam engkau sudah tidak kenal dunia, hari2 dengan bible-mu.” De Gama terus digambarkan sebagai watak Barat berhati jahat apabila dia berdendam kepada Fernado dan mencari kesempatan untuk membalas dendamnya (Harun Aminurrashid, 1966:81). Dalam kejadian berasingan, tindakan De Gama cuba memperhamba Panglima Awang dengan menyuruhnya melakukan kerja yang berbahaya telah dibalas dengan kekalahan De Gama dalam pergelutan. Pergelutan antara Panglima Awang dengan De Gama berlaku apabila Fernado yang cuba membela Panglima Awang hampir ditewaskan oleh De Gama. Panglima Awang segera menyelamatkan Fernado lalu bergelut dengan De Gama sehingga menyebabkan De Gama terhumban ke laut (Harun Aminurrashid, 1966:83). Sementara itu, Duarte Barbosa yang cuba mengkhianati Raja Hamabun dan membenci Panglima Awang juga tidak diberi kesempatan muncul lama sebelum dimatikan dalam satu pertempuran dengan Panglima Awang. Barbosa ialah orang Portugis yang ikut serta dalam rombongan Fernado tetapi cuba menyerang Raja Hamabun selepas kematian Fernado (Harun Aminurrashid, 1966:181). Apabila Panglima Awang menyedari konspirasi tersebut, dia menyampaikan berita itu kepada Raja Hamabun dan mengambil tindakan terlebih dahulu menyerang Barbosa bersama askar Raja Hamabun (Harun Aminurrashid, 1966:192). Panglima Awang memperlihatkan permusuhannya dengan dua watak Eropah yang mempunyai prinsip Darwinisme, iaitu De Gama dan Barbosa. Perebutan imej antara Panglima Awang dengan Barbosa dan De Gama itu merupakan pertandingan wacana yang berunsur antikolonialisme. Harun secara halus menyisipkan mesej nasionalisme melalui peristiwa itu apabila memberikan kemenangan kepada watak peribumi sedangkan Barbosa dan De Gama merupakan watak Eropah yang memiliki mitos kehebatan dari segi

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 59 fizikal mahupun imej. Bagi Harun, orang Barat yang jahat dan memegang prinsip kolonialisme perlu dihapuskan oleh wira Melayu. Paradigma ini diterapkan sebagai suatu bentuk pembudayaan fikiran dalam masyarakat pascakolonial supaya tidak terus memandang orang Barat sebagai manusia agung. Nilai keagungan bagi Harun bukan terletak pada warna kulit dan bangsa Eropah tetapi terletak pada budi pekerti dan sikap saling menghormati tanpa mengira bangsa. Oleh itu, Harun tidak melihat Barat secara dikotomi, sebaliknya mengekalkan tasawur Melayu Islam yang tidak memandang bangsa untuk membuat penilaian. Dengan paradigma sebegitu, Harun mencitrakan watak-watak Eropah yang lain sebagai mulia kerana sifat mereka yang tidak dipengaruhi oleh pemikiran kolonialisme. Misalnya, Fernado yang menjadi majikan dan sahabat baik Panglima Awang serta sentiasa mempertahankannya daripada sebarang gangguan orang Eropah yang lain telah dicitrakan sebagai protagonis, lebih-lebih lagi kerana dia membenci kezaliman orang Portugis (Harun Aminurrashid, 1966:65). Fernado menjaga Panglima Awang dengan baik dan membawanya belayar. Dalam pelayaran itu juga pengarang memperlihatkan simpatinya yang tinggi kepada Fernado. Ketika orang Portugis lain melihat Panglima Awang “ta’ ubah macham binatang”, Fernado pula direpresentasikan sebaliknya (Harun Aminurrashid, 1966:70): “Hanya Kapitan Fernado sahaja yang lain sa-kali tabiatnya dari kawan2-nya. Masa tiada membuat apa2 kerja kapitan muda itu dudok membaca buku bible.” Sebagai pemerhati, Harun menanggapi Barat tidak lebih sebagai manusia biasa yang perlu dilihat dengan keadilan: yang jahat dipandang jahat; yang baik diterima dengan baik. Namun begitu, kecintaannya tetap pada bangsa dan tanah air sendiri biar bagaimanapun cantiknya bangsa asing. Perkembalian rasa kecintaan kepada bangsa dan tanah air sendiri merupakan bayangan semangat nasionalisme dan patriotisme Harun. Dalam zaman awal kemerdekaan, penegasan semangat bangsa itu menjadi agenda penting bagi membina keyakinan diri bangsa agar tidak terus-menerus mengagumi Barat. Sikap sebegini mempunyai kaitannya dengan kesan daripada hubungan timbal balik antara kuasa Barat dengan negara sendiri. Kebencian terhadap bekas negara penjajah tidak dalam bentuk yang menyeluruh tetapi hanya secara terpilih. Sebaliknya, dalam merepresentasikan watak Timur, sifat mulia mereka sahaja yang dipaparkan sebagaimana watak Panglima Awang dipaparkan sebagai manusia Timur yang berperibadi mulia, setia, dan tahu membalas jasa. Ketekalan Harun sebagai orang Islam dan Timur tergambar pada cara dia merepresentasikan agama Kristian dan citra manusia Timur. Panglima Awang tetap kekal dalam agama Islam walaupun namanya berubah dan berpura-pura menganut agama Kristian. Pengekalan agama Panglima Awang di tengah-tengah masyarakat beragama Kristian merupakan simbol penegasan Harun tentang agama. Baginya, agama tidak boleh ditukar ganti walaupun tindakan itu akan memberikan kelebihan duniawi kepada penganutnya. Seterusnya, sifat orang Melayu yang berbudi juga ditegaskan melalui ujaran Panglima Awang apabila dia dicurigai oleh Fernado (Harun Aminurrashid, 1966:95, 1966:73): “Cheh, orang muda Peringgi. Anak Melaka ta’ pernah memberakkan pinggan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 60 yang di-jadikan tempat makan-nya, asalkan dia tidak di-khianati.” Perkara ini diakui sendiri oleh Fernado melalui aliran kesedarannya: “...`adat orang2 Melayu kalau telah mengaku ta’at, biasa-nya mereka akan tetap tidak menderhaka dan mereka akan menjadi kawan yang baik sa-kali pada bila2 masa.” (Harun Aminurrashid, 1966:74; lihat juga hlm. 77, 91, 92–93, 98). Panglima Awang muncul sebagai wira unggul Melayu/Timur dengan kelebihan dari segi fizikal, mental, dan keimanan yang teguh. Projeksi imej Timur sebegini membentuk suatu paradigma yang disalurkan kepada masyarakat Melayu yang baru mencapai kemerdekaan supaya mereka memiliki sifat yang sedemikian bagi mengimbangi mitos kepercayaan selama berada di bawah hegemoni Barat. Dengan melihat imej orang Timur yang hebat di samping melihat imej orang Eropah yang renah akhlaknya, akan tertanam suatu keyakinan dan seterusnya memungkinkan berlakunya proses dekolonisasi rohani dalam kalangan masyarakat peribumi. Secara keseluruhan, Harun menanggapi Barat secara axiological (Todorov, 1999:185) dengan cara membuat penilaian tanpa kecenderungan untuk menjadi manusia mimikri. Barat tidak ditiru tetapi hanya ditakrifkan dan dinilai secara luaran. Representasi imej Barat secara keseluruhan sebagai negatif dan secara individu sebagai positif, merupakan manifestasi nasionalisme Harun yang pragmatik. Beliau membenci kolonial dengan segala kekejamannya tetapi menerima kebaikan individu orang Eropah sebagai seorang manusia. Kebaikan itu dibalas dengan kebaikan juga oleh orang Timur bagi merepresentasikan sifat orang Timur yang tidak khianat kepada orang yang mengasihi mereka. Representasi imej sebegitu sesuai dalam zaman kemerdekaan, yakni orang Barat tidak perlu dipandang lebih tinggi daripada orang Timur. Hanya orang Barat yang mahu menerima kesamarataan antara orang Timur dengan orang Barat diterima dengan baik. Itulah sebabnya watak yang memihak kepada Panglima Awang diberi citra istimewa. Dalam zaman kemerdekaan, suasana politik sudah berubah dengan wujudnya kebebasan untuk mencitrakan watak Barat tetapi tidak pula menghapuskan citra Barat yang baik. Oksidentalisme Harun bertujuan mengembalikan rasa yakin diri pada anak bangsanya, bukan untuk membangkitkan semangat untuk melawan penjajah. Harun berusaha memadamkan mitos keagungan Barat, sebaliknya membangkitkan kegemilangan sejarah orang Melayu untuk berhadapan dengan Barat sebagai asas kepada pencarian identiti bangsa Merdeka. Strategi ini selari dengan gagasan oksidentalisme Hassan Hanafi (2000:21) bahawa oksidentalisme perlu mengembalikan emosi Timur ke tempat asalnya, menghilangkan keterasingannya, mengembalikan akar lamanya yang gemilang, dan mengambil satu sikap terhadap peradaban Eropah. Oleh hal yang demikian langkah Harun menimbulkan kegemilangan wira zaman lampau adalah strategi budaya yang dapat menghilangkan rasa rendah diri bangsanya apabila berdepan dengan mitos keagungan Barat pada masa awal kemerdekaan di Tanah Melayu.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 61

Novel Lingkaran: Membina Kefahaman Baharu Arena Wati menyingkap peranan dan citra watak Barat yang menjadi dalang memporak-perandakan Tanah Melayu selepas Merdeka dalam novel Lingkaran (1965). Novel yang disifatkan oleh A. Teeuw (1982:133–145) sebagai “karya besar dalam zamannya” ini memberikan dampak besar dalam representasi imej Barat di sisi imej peribumi yang terpapar secara neutral. Latar zaman penciptaan novel ini, iaitu sejurus selepas Merdeka, menjadi asas kepada pemikirannya, yakni kuasa Barat masih memperlihatkan pengaruhnya dalam pembangunan dan Tanah Melayu tetapi masyarakatnya sudah mencapai kebebasan dari segi tekanan politik. Satu kenyataan yang lahir daripada gejolak dalaman diri watak Enche’ Ramli dapat diandaikan sebagai pernyataan tema novel ini. Dalam pertemuan antara Enche’ Ramli dengan Tuan Hess (bekas pegawai kolonial yang cuba menyambung legasi imperialisme melalui teknik pecah dan perintah), berlaku dialog peradaban yang mencerminkan tema antikolonial:

Dia anak jajahan yang sudah belajar dari penjajahnya. Dia anak jajahan yang sudah merdeka kembali. Dan sa-bagai hamba yang sudah bebas kembali, ego-nya datang, keperibadian-nya tumboh, sifat- nya sa-bagai manusia berkembang dan mengukoh kuat; walau hanya untok sa-lapis benteng bertahan. Sa- kurang-kurang-nya benteng anggapan–kami juga manusia yang sa-taraf dengan tuan... (Arena Wati, 1965:21).

Pernyataan ini sejajar dengan keperluan psikologi rakyat Tanah Melayu yang baru terlepas daripada belenggu penjajahan. Sebagai bangsa yang merdeka, mereka memerlukan suatu identiti yang kuat bagi mengimbangi statusnya dengan mana-mana bangsa di dunia, terutama kuasa penjajah. Dalam novel ini, Arena Wati merepresentasikan watak dan nilai Barat yang melakukan konspirasi neoimperialisme secara negatif. Pencitraan oksidentalisme sebegini bercorak wacana balas yang bertujuan memugar semangat bangsa Timur untuk mengenali identiti sendiri sebagai umat merdeka. Pendukung agenda neoimperialisme itu diwakili oleh Tuan Hess, Franken, dan Si Misai. Si Misai ialah saudagar terkemuka di Asia Tenggara, mengepalai pelaksanaan dasar perekonomian negara-negara Eropah Barat di Asia Tenggara dan mewakili sebuah industri di England untuk pasaran di Singapura dan Tanah Melayu. Si Misai hanya muncul dalam perbualan orang lain tetapi dialah perancang utama di belakang ejen-ejennya, iaitu Tuan Hess dan Franken. Franken hanya menjadi pembantu Tuan Hess yang melengkapkan misi penghancuran ekonomi dan masyarakat Tanah Melayu secara sulit. Sebagai alat yang diprogramkan, Tuan Hess pula hanya menurut arahan Si Misai. Dari awal lagi Tuan Hess ditampilkan sebagai watak baik yang menganut agama Islam dan melepaskan kewarganegaraannya lalu menjadi warganegara Tanah Melayu. Tetapi dia sebenarnya manusia mimikri yang bertujuan meruntuhkan negara dan masyarakat Tanah Melayu yang berbilang kaum dan baru mengecap kemerdekaan. Watak mimikri dalam dunia pascakolonial muncul daripada ketidakseimbangan psikologi antara mahu mengekalkan imej sendiri dengan meniru imej the Other sebagai langkah untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai orang yang berkuasa (Bhabha,

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 62

1994:44, 95). Namun demikian, ada juga watak mimikri yang diprogramkan demi memenuhi agenda kolonialisme seperti Snouck Hurgronje yang menganut Islam untuk menyelami masyarakat Indonesia sebagai kaedah penaklukan yang halus. Pengaruh Snouck Hurgronje turut menular di Tanah Melayu kerana bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris, The Achehnese, Jilid1 oleh A.W.S. O’Sullivan dan diberi indeks oleh R.J. Wilkinson pasti turut dirujuk oleh pegawai kolonial Inggeris. Melalui sarana ironi, Arena Wati membongkar identiti sebenar Tuan Hess melalui aliran kesedarannya untuk pengetahuan pembaca sahaja, manakala secara luaran dan pada tanggapan watak-watak lain dia tetap seorang yang baik. Tuan Hess ialah watak Barat yang hipokrit, menyembunyikan agenda neokolonialisme kapitalisnya dengan penampilan dan cara hidup peribumi, sehingga sanggup menganut agama Islam. Apabila ditanya oleh Enche’ Ramli tentang tindakannya menganut Islam dan menukar kewarganegaraan, Tuan Hess menjawab:

“Jangan lupa, Che Ramli. Jangan lupa bahawa sa-tiap manusia berhak menentukan sendiri arah jalan hidup yang di-tuju-nya. Atau dengan kata lain, tujuan itu satu;–kebahagiaan–. Tetapi bagi saya, ta’ ada kebahagiaan kalau ta’ ada ketenangan. Dan saya ini orang tua, umor saya enam puloh lebeh. Saya perlu ketenangan itu untok mengejar kebahagiaan hidup yang ku-chita-chita-kan. Tapi satu hal pula jangan di- lupakan, kita hidup berhutang dari kehidupan keliling dan perkembangan kita dalam ujud, itu pun mesti di- bayar”, Tuan Hess berhenti sa-ketika mempelajari gerak Enche’ Ramli, kalau2 ada gerak yang memberikan gambaran tanggapan-nya. Tetapi Enche’ Ramli beku dalam penantian. (Arena Wati, 1965:25)

Jawapannya itu bertopengkan keikhlasan dan berjaya memukau persepsi watak Timur agar mempercayainya sehingga dia tetap terselamat pada akhir cerita walaupun orang lain yang diperalatinya menerima padah. Tuan Hess juga sedar akan kuasa budaya untuk memerangkap Timur. Semasa di dalam kapal, apabila melihat penumpang kulit putih menukar siaran radio daripada lagu joget kepada lagu “hangat” daripada studio Manila, Tuan Hess menyatakan kekesalannya: “Sikap macam inilah yang akan membuang kepentingan Barat di-Timor”... “Dia mesti belajar baik2, orang2 Timor dapat di-tunggangnya dengan menggunakan kesenian mereka menjadi tali ras...tali ras itu-lah yang mesti kita pegang.” (Arena Wati, 1965:32) Permainan kuasa oleh imperialis merangkumi aspek budaya kerana inilah senjata yang dapat menakluki pemikiran secara hegemonik. Dalam satu lagi petikan, identiti imperialis Tuan Hess telah diperincikan (Arena Wati, 1965:106): “Kalau sudah ku-buat bagini, menggunakan semua waktu, tempat dan keadaan, dan ada juga yang lolos dari jaring2-ku, engkau diri ta’ perlu menyesal. Tapi aku yakin benar, ketiga-tiga orang ini ta’ lebeh dari binatang dalam kandang sarkes.” Dengan mendedahkan kesedaran Tuan Hess itu, secara tidak langsung Arena Wati menyedarkan bangsanya tentang muslihat orang Barat yang sentiasa menyimpan niat untuk berkuasa. Barat memiliki agenda itu kerana mewarisi falsafah Darwinisme dan sentiasa merasakan bahawa mereka bertanggungjawab mentamadunkan orang Timur sebagai beban bagi kulit putih (white men burden). Pemikiran Darwinisme ini dijelmakan dalam frasa “binatang dalam kandang sarkes” sebagai manifestasi watak-watak Timur yang perlu

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 63 dijinakkan oleh peradaban Barat. Di tangan pengarang pascakolonial hal itu senagaja didedahkan supaya peribumi mengenal identiti diri mereka serta memperoleh kekuatannya semula. Untuk mengidentifikasikan diri, imej bandingannya perlu dipaparkan, iaitu Barat yang manipulatif dan dominatif. Tuan Hess mewakili neoimperialis yang mempergunakan kepelbagaian ras peribumi demi agenda ekonomi mereka. Paparan oksidentalisme sebegini sejajar dengan hakikat sejarah neoimperialisme di Tanah Melayu. Selepas Merdeka, ekonomi Tanah Melayu masih di bawah pengaruh kuasa Barat, dan hal ini memang dirancang sejak awal oleh British. Begitulah keadaannya apabila Tuan Hess merancang dan melaksanakan misi penguasaan ekonominya dengan licin dan sistematik sehingga tidak disedari oleh kerajaan sekalipun. Pembinaan plot ini memberi makna bahawa dalam zaman awal kemerdekaan, Tanah Melayu masih berhadapan dengan ancaman neoimperialis yang tidak henti-henti menajamkan serangannya secara halus melalui pelbagai cara. Pembongkaran agenda neoimperialis itu merupakan saranan kepada masyarakat supaya berhati-hati dengan agenda Barat. Selain ancaman konspirasi ekonomi, teks ini mewacanakan budaya hedonisme tajaan Barat sebagai perosak dan penyakit masyarakat. Budaya hedonisme itu diterapkan dalam keluarga Enche’ Ramli ketika mengadakan majlis meraikan penerimaan anugerah gelaran Datuk sebagai gambaran situasi sosial yang mengalami gejala ambivalence. Gejala ambivalence itu menyebabkan masyarakat peribumi menjadi manusia mimikri, meniru gaya hidup Barat yang dianggap sebagai ciri kebangsawanan. Dalam perspektif pascakolonial peribumi akan melihat penjajah sebagai golongan yang mulia lalu meniru kehidupan mereka untuk mengidentifikasikan diri sebagai setaraf dengan penjajah (Childs dan Williams, 1997:125). Inilah yang menjadi kritikan Arena Wati melalui persepsi Basir, anak angkat Enche’ Ramli yang ditunangkan dengan anaknya, Rosnah. Basir menanggapi perlakuan keluarga Enche’ Ramli itu sebagai penyakit, dan dia tidak mahu bersekongkol dengannya. Basir tidak mampu berbuat apa-apa selain menentangnya dalam hati kerana baginya, “...buat apa kepura-puraan ini diadakan, dan dengan pemborosan pula, membuang belanja, waktu, dan mungkin menimbulkan kedengkian orang... .” (Arena Wati, 1965:251). Majlis itu benar-benar mengikut gaya Barat dan meminggirkan adat dan adab Melayu serta agama Islam: dihidangi arak, diserikan majlis tari-menari, dan “ta’ sa-orang lelaki berbaju Melayu, semua dalam dandan chara Barat” (Arena Wati, 1965:250). Bagaimanapun, Basir tidak membawa nada Islam dalam penentangannya yang sekali gus menggambarkan mesej Arena Wati mendedahkan keburukan nilai Barat ini hanya dari perspektif moral dan budaya, bukannya agama. Sisipan nuansa Islam hanya terdetik pada kata hati Basir ketika disuruh minum arak oleh Rosnah: Basir hendak menangis mendengar perkataan itu. Ada suatu tikaman yang ta’ di-sengaja oleh Rosnah mengenai tali jantong-nya, lalu munajat dalam batin dan berkata dalam hati. Ya Allah, samoga bukan- lah itu kegirangan-nya yang terakhir. (Arena Wati, 1965:252)

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 64

Ketiadaan nilai agama sebagai penyaring dan pencorak wacana oksidentalisme ini mempunyai pertaliannya dengan zaman penghasilan karya. Bukan sahaja pewacanaan sebegitu disebabkan oleh penjurusan mesejnya untuk mencari identiti bangsa merdeka, malahan dalam zaman itu juga kesedaran Islam tidak meluas dalam masyarakat dan tidak menjadi motif penting dalam sastera. Walaupun watak dan budaya Barat secara amnya diberi imej buruk, sikap neutraliti Arena Wati masih dapat dikesan. Dari sisi lain, Tuan Hess diberi peluang untuk mendedahkan identiti dirinya yang ambivalence. Walaupun setia menjalankan konspirasi neoimperialisme, Tuan Hess masih dipaparkan sebagai manusia berperasaan yang melihat keburukan nilai Barat dan kemurnian nilai Timur (Arena Wati, 1965:31): “...ketenangan ini ... ta’ akan dapat saya temui di-England. ... Saya hanya ada satu jalan; ia-itu menetap di- Malaya untok mendapatkan ketenangan hidup saya.” Sejarah hidupnya yang lama mendiami Tanah Melayu dan terus menjadi warganegara Tanah Melayu membuktikan kebenaran pujiannya terhadap Tanah Melayu. Selain itu, isteri Franken yang tidak mahu bersekongkol dengan watak-watak neoimperialis serta manipulatif telah diselamatkan. Wanita itu memisahkan dirinya daripada Franken apabila mengetahui suaminya menjalankan siasah yang keji serta menggunakan wanita untuk mencapai matlamatnya. Dari sisi lain, secara tidak langsung pengarang ingin menyatakan bahawa orang Barat hanya bersikap pragmatik, bukannya benar-benar menjunjung ideologi egalitarian. Wanita itu berpisah daripada Franken hanya disebabkan Franken sudah mencuranginya dan memilih jalan salah untuk mencari kekayaan. Jelas bahawa kekayaan masih menjadi matlamat orang Barat. Begitupun, lantaran sikap berani menentang arus, wanita Barat itu diselamatkan. Isteri Franken melambangkan watak Barat yang pragmatik tetapi masih dianggap bersih kerana tidak memegang falsafah Darwinisme. Ini tergambar pada deskripsi batiniahnya semasa mengenangkan nasibnya selepas berpisah dengan Franken (Arena Wati, 1965:261): “Dia merasa ada suatu sorak kemenangan dalam dada-nya, kerana sanggup menghadapi itu semua, demi kebersehan diri-nya, tidak terlibat dalam kerja2 suami-nya.” Pencitraan terpilih sebegini melanjutkan sikap pengarang oksidentalis terdahulu yang tidak keterlaluan dalam mendikotomikan Timur–Barat. Masih wujud sikap neutral yang bersumberkan tasawur Timur dan agama Islam dalam sikapnya. Biasan daripada representasi watak Barat itu ialah imej watak-watak Timur yang rencam. Arena Wati juga tidak mendikotomikan Timur-Barat dalam pencitraan watak Timur tetapi menampilkan citra manusia mimikri akibat gejala ambivalence (Bhabha, 1994:37). Enche’ Ramli yang pada awalnya diidentifikasikan sebagai manusia berpendirian tegas dan bersemangat patriotik tegar, akhirnya tewas dalam godaan kemewahan yang disalurkan oleh Foo Seng Kow. Dia berbelah bahagi antara hendak mempertahankan integriti sebagai bangsa Merdeka yang bebas menentukan identiti sendiri atau memasuki dunia neokolonial, dan akhirnya dia terjerat dalam dunia the Other itu. Begitu juga halnya dengan isterinya (Tinah), anaknya (Rosnah), dan Enche’ Ghani. Mereka menjadi manusia mimikri akibat gejala ambivalence dan menuruti gaya hidup Barat yang hedonistik untuk menempatkan diri di strata bangsawan. Tinah dan Enche’

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 65

Ghani menjadi gelap mata apabila berhadapan dengan kemewahan lalu menerima sogokan demi status dan kemewahan. Rosnah pula sanggup mengetepikan moraliti demi melengkapkan imej kebangsawanan palsu ibu bapanya dengan cara meniru perlakuan budaya Barat dalam majlis jamuan di rumahnya. Dia minum arak dan menyertai acara tari-menari serta mengajak tunangnya, Basir, ikut serta. Bagaimanapun, Rosnah sebagai manusia naif yang hanya menjadi pengikut arus terselamat dalam pertimbangan poetic justice pengarang. Dia kembali menjadi manusia waras dan menyambung pelajarannya bersama Basir. Penyelamatan Rosnah ini dapat disifatkan sebagai wacana balas terhadap paradigma Orientalisme. Jika wacana Orientalisme menyifatkan peribumi Timur tidak bertamadun dan perlu diselamatkan dengan peradaban Eropah, oksidentalisme Arena Wati dalam novel ini bertindak sebaliknya dengan menjadikan budaya Barat sebagai gasar manakala budaya Timur sebagai penyelamatnya. Strategi ini bersifat ideologikal, yakni menumbangkan ideologi Darwinisme yang mendasari agenda kolonialisme dan imperialisme Eropah. Persepsi neutral Arena Wati terhadap orang Melayu juga terkesan pada ulasan Enche’ Ramli terhadap anak-anak kapal yang buruk akhlaknya. Inilah prinsip Arena Wati dalam oksidentalismenya yang tidak bercorak binarism: “Saya berterus terang kepada tuan, tuan ada mendengar apa yang mereka katakan, tuan ada melihat apa yang mereka buat, dan tuan juga tahu, mereka itu bangsa Melayu, saya bangsa Melayu, tuan bangsa British yang telah menjadi orang Malaya, akan ku-sembunyikan ka-mana muka-ku terhadap tuan, yang tuan sendiri mengakui sa-bagaimana juga saya mengakui, bahawa bangsa Melayu itu lembut perangai dan berbudi halus.” (Arena Wati, 1965:59)

Selain watak orang Melayu, watak Timur juga diwakili oleh kaum lain yang menjadi warganegara Tanah Melayu, iaitu Arumugam dan Foo Seng Kow. Kedua-dua mereka yang berperanan sebagai penggerak pembangunan Tanah Melayu telah bersekongkol dengan neokolonialis dan merasuah Enche’ Ramli. Mereka ialah watak Timur yang dihitamkan kerana mereka sendiri mewarnakan diri sebagai kolonial dalam bentuk penjajahan dalaman (internal colonialism). Akhirnya, alat neokolonial ini terpaksa disingkirkan ke negara lain melalui penyingkiran terhormat sebagai petanda sikap pengarang yang menolak golongan seperti itu. Cara pemaparan imej Barat dalam novel ini memperlihatkan kesendengan pemikiran Arena Wati kepada gaya indoktrinasi yang halus, bukan lagi dengan cara menerbitkan kebencian yang melampau. Daripada perspektif peribumi yang merdeka dan ingin mencari identiti nasional, Barat direpresentasikan sebagai neokolonialis yang licik dan menjadi faktor keruntuhan sistem masyarakat dan ekonomi Tanah Melayu. Paparan peranan Barat dalam novel ini adalah sebagai kolonialisme eksploitasi, iaitu penjajahan yang hanya bertujuan mengaut kekayaan di sesebuah negara untuk dibawa pulang ke negara sendiri (Young, 2001:32). Demikianlah peranan Tuan Hess dan Si Misai yang merancang untuk mengawal ekonomi Tanah Melayu dengan menjerat pegawai-pegawai Tanah Melayu supaya membeli bahan pembinaan daripada mereka.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 66

Arena Wati menolak Barat yang imperialis dan menyifatkannya sebagai punca kerosakan negara yang perlu dijauhi, tetapi dalam masa yang sama beliau menerima individu Barat yang tidak rakus tetapi tidak pula melakukan penyerupaan identiti. Sesekali sikapnya terhadap Barat berada pada aras epistemic, yakni pada tahap ilmu, bukan pada amalan. Kebenciannya juga tidak mutlak kerana masih membuka pintu kepada orang Eropah untuk dibersihkan dengan cara membuang sikap dan pemikiran Darwinisme seperti yang tergambar pada watak isteri Franken. Semua ini menunjukkan keterbukaan pengarang Timur dalam menanggapi Barat dan seterusnya menampilkan oksidentalisme dalam corak yang kompleks. Pemaparan imej negatif watak peribumi pula dapat dianggap sebagai suatu ciri intelektual pengarang kerana sanggup mengakui keburukan bangsa sendiri. Unsur nasionalismenya terpancar pada ideanya bahawa keburukan sikap dan saifat watak peribumi itu disebabkan oleh pengaruh hedonisme yang dibawa oleh Barat dan perencanaan halus neoimperialis. Oleh itu, pada aras ini, dapat ditanggapi bahawa pengarang mahu menyedarkan bangsanya sendiri supaya tidak terus terpedaya dengan diayah dan pengaruh hedonisme Barat dan neoimperialis. Pewacanaan identiti dalam novel ini cenderung bersifat pengajaran atau penyaluran paradigma yang melahirkan kefahaman baharu tentang makna bangsa yang merdeka.

Novel Pulanglah Perantau: Menegakkan Peribadi Merdeka Novel Pulanglah Perantau karya Aziz Jahpin (1971), iaitu pemenang sagu hati Peraduan Novel Sepuluh Tahun Merdeka, memaparkan rentang masa yang panjang tentang sejarah nasionalisme Malaysia, iaitu sejak zaman pendudukan Jepun sehingga penghujung tahun 60-an. Watak-watak pentingnya, Irwan dan Johari, mewakili nasionalis Melayu yang menentang penjajah Jepun, komunis, Malayan Union, Konfrontasi Malaysia- Indonesia, dan legasi pemikiran neokolonialisme. Motif pengarang jelas untuk memunculkan identiti nasional sebagai manusia baharu selepas Merdeka tanpa takut- takut lagi mempersoalkan legasi neokolonialisme. Oleh itu, Barat dipersepsi sebagai warisan yang tidak diperlukan lagi, malah dihina dengan sewenang-wenangnya tanpa rasa takut akan ancaman penguasa. Oksidentalismenya meruntuhkan neokolonialisme untuk memancarkan identiti bangsa yang merdeka. Sejarah perjuangan orang Melayu dalam episod penentangan terhadap kolonial diwakili oleh dua watak utamanya, Irwan dan Johari. Dari awal cerita paradigma menegaskan identiti peribumi yang merdeka secara lahir dan batin sudah ditonjolkan melalui pertembungan Irwan dengan Lawrence von Groot (anak Malaysia keturunan Belanda). Walaupun bekerja dalam satu hubungan profesionalisme, pertembungan dua watak ini diwacanakan sebagai satu dialog peradaban. Sementara Irwan yang mewakili orang Melayu merdeka dan sudah mempunyai keyakinan dan jati diri, Lawrence pula direpresentasikan sebagai benih kolonial yang tidak lagi memiliki kemegahan walaupun dia cuba mengekalkannya. Dalam dialog dan paparan batiniah kedua-dua watak tersebut terlihat unsur dekolonisasi rohani apabila kemegahan bangsa Eropah diruntuhkan oleh kemegahan orang Melayu sebagai bangsa yang merdeka.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 67

Orang Timur kini menjadi subjek yang berkuasa mewacanakan orang Eropah sebagai objek, lalu melahirkan wacana oksidentalisme yang hegemonik. Kebesaran jiwa bangsa Melayu ditonjolkan sebagai perbandingan imej dengan watak Eropah sehingga Lawrence menjadi manusia kerdil yang boleh diperkotak-katikkan. Irwan sebagai pengarah bagi sebuah produksi filem dokumentari perang bertindak dengan penuh yakin dalam usaha meruntuhkan kemegahan palsu Lawrence yang hanya bertugas sebagai jurugambar. Sebagai orang yang berketurunan bangsa Eropah, Lawrence merasakan dirinya lebih besar daripada orang Melayu. Ini merupakan bayangan pemikiran Darwinisme. Dengan paradigma sedemikian dia cuba menunjukkan keberaniannya menyanggah arahan Irwan selaku pengarah dalam satu penggambaran dengan berkata (Aziz Jahpin, 1978:1): “Cannot!” Lawrence menghentakkan kakinya di belakang kaki kamera. “Tak pernah orang buat macam itu–never before!” Namun begitu, selari dengan paradigma oksidentalisme antikolonial bahawa Barat kini bukan lagi kuasa dominan dan tidak perlu dihormati, Aziz Jahpin menyedarkan masyarakat melalui wacana dekolonisasi yang disalurkan melalui protagonisnya, Irwan. Ketegasan Irwan yang bersifat wacana tandingan diterjemahkan dengan tindakannya menghalau Lawrence dari lokasi (Aziz Jahpin, 1978:2): “Go home. Leave the camera, lenses, magazines and all other ancillaries behind. Go ... go!” Penggunaan bahasa Inggeris untuk meledakkan kemarahan peribumi dan sekali gus meninggikan imejnya di mata watak Barat ini merupakan strategi mimikri yang bertujuan mengejek (mockery) (Childs dan Williams, 1997:124). Dalam sistem pendidikan di Tanah Melayu sebelum Merdeka, British menyediakan pelajaran bahasa Inggeris kepada segelintir anak peribumi untuk memudahkan mereka menyampaikan idea kolonialisme secara hegemonik (Ibrahim Saad, 1977:25). Sebaliknya, peribumi memanfaatkan pendidikan Inggeris untuk melancarkan tindakan dekolonisasi dengan lebih jelas sehingga meruntuhkan keegoan watak benih kolonial itu dan mendorongnya untuk memohon kemaafan:

“Tuan, give me a chance. Saya minta ampun. I apologise, tuan.” Bertelut Lawrence mencari-cari cahaya rahim mata Irwan yang sedang terlekap pada peninjau pemandangan. Tuan Irwan ialah seorang Eropah, Mr. Whites, berbangsa Inggeris. Irwan faham apa maknanya “I apologise” bagi seseorang Inggeris. Tetapi Lawrence von Groot adalah anak Malaysia keturunan Belanda. (Aziz Jahpin, 1978:2)

Petikan ini diprojeksikan oleh pengarang untuk menonjolkan semangat nasionalisme yang tekal dengan cara merendah-rendahkan watak Barat. Penegasan itu terlihat pada deskripsi aksi Lawrence yang merayu kepada Irwan dan menghuraikan frasa “I apologise” dalam makna yang pragmatik. Ini merupakan petanda kesedaran dan agenda dekolonisasi pengarang. Selain itu, kesedaran pengarang tentang agenda dekolonisasi dengan mencabar sikap Eurosentrisme digambarkan dengan hujah Irwan:

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 68

“Kerana kau pandang aku sebagai orang Melayulah, maka kau tak hormat kami. Jauh dalam hati, kau menganggap kami orang Melayu sebagai a backward race. Demikian bukan, tertulis dalam suratkhabar- suratkhabar tempatan, dalam Ensiklopedia seperti Pax Brittannica dan dilaung-laungkan oleh ahli-ahli politik?” (Aziz Jahpin, 1978:14)

Hujah Irwan ini jelas memaparkan idea dekolonisasi rohani terhadap mitos kolonial terutama dengan menyebut frasa Pax Brittannica, suatu istilah yang menerangkan agenda kolonialisme British. Pax Brittannica yang berasal daripada bahasa Latin dengan maksud “the British Peace” merujuk kepada era penjajahan British hingga ke seberang laut selepas Perang Trafalgar 1805. Istilah ini dipakai kerana bersesuaian dengan situasi semasa yang menunjukkan keamanan di Eropah sehingga membolehkan Empayar British mengawal kebanyakan laluan perdagangan di laut tanpa tentangan. Britain menguasai pasaran seberang laut dan berupaya mempengaruhi pasaran di China selepas Perang Candu (http://www.statemaster.com/encyclopedia/Pax Brittannica. Diakses pada 4 Mac 2010). Lawrence yang pada mulanya berasa dirinya lebih hebat daripada orang Melayu akhirnya tidak dapat mempertahankan keangkuhan kulit putihnya lalu dia dideskripsikan sebagai manusia kulit putih yang lemah: Segala langkahnya tak kena. Terasa dirinya seperti anjing berekor bengkok. Apalagi hendak dibuatnya untuk menunjukkan taat setianya. Tidak pernah dia mentuan-tuankan pengarah-pengarah lain. Inilah kali pertama. Sekali bengkok; nampaknya terus-menerus bengkok. Dia berdiri menghentakkan kakinya, serba salah. (Aziz Jahpin, 1978:15)

Kelemahan watak Barat ini direpresentasikan secara ideologikal bagi meruntuhkan mitos ketinggian darjat manusia Eropah yang menjadi paksi falsafah Darwinisme. Hal ini ada kaitannya dengan masa kerana dalam era Merdeka atau era pascakolonial, Barat bukan lagi kuasa besar yang mesti disanjung, malahan mereka juga dapat dikuasai. Oleh sebab itulah Aziz Jahpin memilih corak penguasaan dengan cara mengembalikan kedudukan Timur ke tempat yang sewajarnya. Sebagai pengarang yang mempunyai pertimbangan berdasarkan tasawur Timur dan Islam, Aziz merepresentasikan Lawrence sebagai manusia biasa dan ditamadunkan dengan pengislamannya. Apabila Lawrence memilih Islam dan dikenali sebagai Abdul Hakim, bermakna pengarang memandangnya sebagai spesies yang setaraf dengan manusia lain, tidak seperti paradigma Darwinisme yang menjadikan race atau warna kulit sebagai penentu kemuliaan spesies manusia (Morris, 1968:137–138). Dalam pandangan Orientalisme, Timur sentiasa dilihat sebagai rendah dan apabila dikuasai oleh Barat statusnya tetap rendah, sedangkan oksidentalisme hanya memberi Barat jalan keluar daripada kegelapan lalu menyamatarafkan mereka dengan manusia lain. Perincian strategi oksidentalisme dalam novel ini sejajar dengan gagasan Hassan Hanafi (2000:26), iaitu bertujuan menghilangkan rasa tidak percaya diri (murakab al- naqish) di hadapan Barat dan seterusnya menimbulkan rasa tinggi diri (murakab al- uzhma). Berasaskan tasawur yang tidak bersifat dikotomis, Barat tidak dimusuhi seluruhnya, malah diterima selagi tidak kekal sebagai penindas atau neokolonialis.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 69

Penyerupaan sebahagian pada tahap praxeological juga dilakukan dalam aspek ilmu (teknologi semasa) dan kepentingan bahasa Inggeris misalnya, selagi aspek itu tidak meletakkan Timur di strata bawahan, malahan penyerupaan itu menjadi alat untuk melepaskan diri daripada rasa rendah diri. Dalam zaman awal kemerdekaan oksidentalisme sebegini berupaya memugar semangat bangsa untuk mengenali identiti diri yang tidak lagi berada di bawah telunjuk kolonial lalu terus menegakkan peribadi bangsa yang merdeka.

Kesimpulan Dalam era Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman, teks yang dibincangkan ialah novel Panglima Awang (Harun Aminurrashid), Lingkaran (Arena Wati), dan Pulanglah Perantau (Aziz Jahpin). Dalam ketiga-tiga novel ini terlihat usaha pengarang untuk mengembalikan keyakinan diri bangsanya dengan cara meruntuhkan mitos keagungan Barat dan menegakkan peribadi bangsa yang merdeka. Kebanyakan teks memperlihatkan sebahagian nilai Barat yang berpotensi untuk diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat peribumi yang merdeka. Dalam teks awal era kemerdekaan ini, nilai Barat yang telah meresap dalam pemikiran generasi kedua dianggap sebagai unsur positif dan diterima dengan baik. Sehubungan dengan itu, tanggapan terhadap watak kolonial adalah berbeza-beza, bergantung pada representasi sikap watak tersebut. Sejajar dengan zaman yang sudah terlepas daripada tekanan kolonial, pewacanaan tentang Barat atau kolonialisme lebih bebas. Kesan ini diperoleh daripada karya yang mewacanakan idea kolonialisme sama ada secara langsung mahupun tidak langsung. Imej kolonial yang berpaksikan falsafah Darwinisme diruntuhkan dengan sarkastik seperti dalam Panglima Awang, Pulanglah Perantau. Ungkapan sarkastik dan penghinaan balas ditujukan kepada watak-watak kolonial yang rakus dan generasi kolonial yang tidak menghormati peribumi. Di samping melakukan serangan ideologikal secara keras, representasi watak kolonial atau orang Barat telah diseimbangkan dengan perspektif yang lunak. Ada karya yang merepresentasikan Barat sebagai pihak yang budiman kerana mereka tidak melaksanakan misi kolonialisme berpaksikan falsafah Darwinisme. Dalam era Tunku Abdul Rahman, sewaktu pengaruh kolonial British masih berbekas, wacana oksidentalismenya terkawal dalam pertimbangan. Kecaman terhadap kolonial masih berbelah bahagi kerana matlamat oksidentalismenya hanya bertujuan mencari identiti bangsa. Matlamat itu menjadi acuan pembentukan representasi Barat. Walaupun kolonialisme dan neokolonialisme diwacanakan, perspektif pengarang cenderung ke arah pemulihan harga diri, bukan meruntuhkan Barat seluruhnya. Atas dasar itu, sikap benci dan sayang berbaur, membentuk wacana ambivalence. Satu ciri kolektif dalam hampir semua teks oksidentalisme era ini terkesan dalam corak identifikasi imej peribumi. Berpaksikan tasawur Timur dan Islam, pengarang peribumi tidak ragu-ragu mengakui kelemahan bangsa sendiri apabila bertanding dengan Barat. Dalam setiap konflik, wujud watak peribumi antagonis yang mengkhianati bangsa dan negaranya, atau sekurang-kurangnya mengalami gejolak ambivalence antara

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 70 menerima dengan menolak Barat. Pengakuan sebegini mencerminkan sikap terbuka pengarang yang tidak diikat oleh paradigma pertentangan binari seperti yang menjadi penyangga wacana Orientalisme.

Bibliografi Abdullah Ahmad. 1985. Tengku Abdul Rahman and Malaysia’s Foreign Policy 1963–1970. Kuala Lumpur: Berita Publishing. Arena Wati. 1965. Lingkaran. Kuala Lumpur: Penerbitan Pustaka Antara. Aziz Jahpin. 1978. Pulanglah Perantau. Cetakan kelima. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Azmi Ariffin. 2006. “Imperialisme Eropah dan Warisan Pemikiran Tentang Nasionalisme Melayu” dlm. Abdul Rahman Haji Ismail, Azmi Ariffin, dan Nazarudin Zainun. Nasionalisme dan Revolusi di Malaysia dan Indonesia. Pulau Pinang: Penerbit Universiti sains Malaysia. Hlm. 16–45. Baradat, Leon P.. 1997. Political Ideologies: Their Origin and Impact. Sixth Edition. New Jersey: Prentice Hall. Bhabha, Homi K.. 1994. The Location of Culture. London: Routledge. Brantlinger, Patrick. 1988. Rule of Darkness: British Literature and Imperialism, 1830– 1914. Ithaca dan London: Cornell University Press. Childs, Peter dan R.J. Patrick Williams. 1997. An Introduction to Post-Colonial Theory. London: Prentice Hall. Fanon, Frantz. 1966. The Wretched of the Earth. Terjemahan oleh Constance Farrington, First Evergreen Edition. New York: Grove Press. Foucault, Michel, 1980. Power Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972– 1977. New York: Pantheon Books. Harun Aminurrashid. 1966. Panglima Awang. Cetakan kesembilan. Singapura: Pustaka Melayu. Hassan Hanafi. 2000. Oksidentalisme: Sikap kita Terhadap Tradisi Barat. (Terjemahan). Jakarta Selatan: Paramadina. Houghton, Walter E.. 1957. The Victorian Frame of Mind, 1830–1870. New Haven dan London: Yale University Press. Ibrahim Saad. 1977. Pendidikan dan Politik di Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. J. Saravanamuttu. 1983. The Dilemma of Independence: Two Decades of Malaysia’s Foreign Policy, 1957–1977. Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysi Kratoska, Paul H. (ed.). 1983. Honourable Intentions: Talks on the British Empire in South-East Asia Delivered at the Royal Colonial Institute 1874–1928. Singapura: Oxford University Press. Norbu, Dawa. 1992. Culture and the Politis of Third World Nationalism. London: Routledge.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 71

Todorov, Tzvetan. 1999. The Conquest of America. Terjemahan oleh Richard Howard. Norman: University of Oklahoma Press. Young, Robert J.C.. 2001. Postcolonialism: An Historical Introduction. Massachusetts:Blackwell Publishers Ltd. Zalanga, Samuel Inuwa. 2000. “The Postcolonial State and the Development Agenda: A Comparative Study of the Role of Ruling Elites in Development Policy Formulation and Implementation”. Tesis Ph.D., University of Minnesota, Minnesota. http://en.wikipedia.org/wiki/Calvinism#Historical_background http://www.statemaster.com/encyclopedia/Pax Brittannica. Diakses pada 4 Mac 2010).

Biodata 1. Mohamad Saleeh Rahamad lahir pada 1964 di Chemor, Perak. 2. Berkelulusan Ijazah Sarjana Sastera, 3. Pensyarah kanan di Jabatan Pengajian Media, Universiti Malaya 4. Presiden Persatuan Penulis Nasional Malayaisa (PENA) 5. Pernah menjadi wartawan dan subeditor akhbar Watan selama hampir dua tahun.

6. Karyanya pernah tersiar di dalam akhbar dan majalah tempatan selain beberapa antologi bersama seperti Pentas, Kuala Lumpur, Penantian, Kepak-Kepak Menggapai, Rindu Bersemi di Kundasang, Di Manakah Tangkai Nyawamu, Sayembara Cerpen Esso-Gapena VII, Bingkisan Media: Wacana Kenangan untuk Profesor Datuk Abu Bakar Hamid, Shaharom Husain: Gapura Sastera Johor, Usman Awang dalam Esei dan Kritikan, Pemikiran Sasterawan Negara S. Othman Kelantan (prosiding), Konsep Nilai Dalam Sastera Melayu, Aksara Merdeka, Salam Buat Mahathir, dan Peterana Kasih.

7. Buku yang pernah dihasilkannya ialah Strategi Bahasa: Panduan Nahu dan Retorik untuk Penulisan (bersama Mohd. Sidin Ahmad Ishak), Pencerekaan dalam Novel Sejarah (2005), Memartabatkan Persuratan Melayu (bersama Baha Zain dan Zainal Abidin Borhan 2006), Bunga-Bunga Bahasa untuk Penulisan (bersama Azizul Rahman Abdul Rahman). Buku yang diselenggarakan secara bersama ialah Idealisme dan Intelektualiti dalam Karya (2005), Idealisme Penulis Muda (2005), dan Biques Legasi: Antologi Cereka Sains (2006), Persuratan dan Peradaban Nasional (2006), dan Budaya Serumpun Mendepani Globalisasi (2007), Memorabilia (2009), Dialog Serantau: Malaysia-Sumatera (2008). Beliau juga pernah memenangi beberapa sayembara penulisan seperti Utusan Melayu--Public Bank (cerpen 1986 dan puisi 1998), Sayembara Cerpen Esso Gapena VII, Sayembara Cerpen DBKL-DBP (1990), Sayembara Cerpen Inter-Varsiti.

8. Kerap dilantik sebagai juri bagi beberapa sayembara penulisan kreatif dan penilaian sastera seperti Hadiah Sastera Kumpulan Utusan, Hadiah Sastera Perdana Malaysia, Anugerah Sastera Asia Tenggara (SEA Write Award) dan hadiah sastera peringkat negeri.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 72

ooOoo

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 73

NASIONALISME DALAM DUA NOVEL EMIGRAN MALAYSIA

Suharmono K. Universitas Negeri Surabaya

Abstrak Nasionalisme berkaitan erat dengan kewarganegaraan seseorang, karena nasionalisme berkaitan dengan cinta seorang warga negara terhadap negara tempat kewarganegaraannya. Namun demikian banyak orang yang berpindah kewarganegaraannya, karena sesuatu hal, seperti yang pernah dilakukan oleh N.H. Dini yang berpindah menjadi warga Negara Prancis, karena perkawinannya dengan warga negara tersebut. Hal serupa dilakukan oleh penyanyi Anggun C. Sasmi. Perpindahan warga negara Indonesia menjadi warga negara lain juga dilakukan oleh sastrawan, salah satu di antaranya adalah pengarang Arena Wati. Perpindahan seseorang menjadi warga negara lain perlu dipertanyakan sejauh manakah rasa nasionalisme mereka terhadap negara asal dan negara baru tempat ia berlindung. Arena Wati telah diangkat menjadi sastrawan negara oleh Pemerintah Malaysia. Ia dilahirkan di Jeneponto, Selatan, dengan nama asli Muhammad Dahlan bin Abdul Biang. Unsur nasionalisme dalam karya-karya Arena Wati tampak pada tokoh-tokoh yang diciptakan yang penuh heroik dalam melawan penjajah. Meskipun ia sudah berubah kewarganegaraannya, namun karya-karyanya banyak yang berlatar Indonesia, yaitu Makassar, dan tokoh- tokohnya banyak yang berasal dari Indonesia. Karya-karyanya juga masih menunjukkan kecintaannya pada tanah kelahirannya meskipun ia sudah menjadi warga negara Malaysia, dan diangkat sebagai Sastrawan Negara, seperti dalam dua novelnya yang berjudul Sandera dan Sukma Angin.

Kata kunci: nasionalisme, novel, emigran

Pendahuluan Ada pertanyaan mendasar yang dapat diajukan pada seorang emigran, “Bagaimanakah jiwa nasionalismenya?” Sementara putra-putra bangsa yang lain rela mengorbankan jiwa raganya demi membela tanah air. Tidakkah mereka cinta pada tanah airnya? Namun pada kenyataannya setiap saat ribuan warga Negara berbondong- bondong meninggalkan negaranya seperti yang terjadi pada warga Afganistan,Iran, Vietnam dan warga negara lain yang dengan aiat transportasi ala kadarnya menembus samudra mencari kehidupan baru. Nasionalisme adalah suatu paham, bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan pada negara kebangsaan (Kohn, 2007:11). Sesuai dengan pendapat Kohn, dapat ditarik simpulan bahwa inti nasinalisme adalah kesetiaan, yaitu kesetiaan terhadap negara. Kesetiaan erat kaitannya dengan rela berkorban, termasuk mengorbankan jiwa dan raga seperti diungkapkan Gunawan Muhammad dalam larik puisinya yang berjudul “Dongeng Sebelum Tidur”, Dalam bagian dari larik puisi itu dinyatakan, “Batik Madrim, Batik Madrim mengapa patihku. Mengapa kesetiaan melebihi kehidupan dan sebagainya dan sebagainya.”

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 74

Elie Kedeurine (dalam Abdullah, 1995: 2) menyatakan bahwa nasionalisme merupakan satu gerakan kesedaran yang menumpukan perhatian bagi menentukan nasib sendiri, bangsa dan negara untuk mencapai kebebasan dan kesejahteraan serta memupuk kepribadian sejati, Masalah nasionalisme tidak bisa dipisahkan dengan Negara, dengan demikian nasionalisme berkaitan dengan daerah tertentu serta pemerintah yang berdaulat. Bahtiar (dalam Abdullah, 1995:2) gejala nasionalisme merupakan suatu usaha untuk berfikir dan bertindak sesuai dengan keyakinan, bahwa kepentingan bangsa harus diutamakan, lebih-lebih apabila kekuatan dari luar dan dalam mengancam kehidupannya. Nasionalisme berkaitan dengan kesetiaan dan sikap individu terhadap negara. Dengan demikian seseorang yang memunyai jiwa nasionalisme idealnya memunyai sikap setia dan rela berkorban bagi negara tempat dia sebagai warga negaranya. Namun demikian sikap setia dan rela berkorban itu perlu dipertanyakan bagi seorang yang berpindah kewarganegaraannya, karena kesetiaan terhadap negara bagi orang yang berjiwa nasionalisme melebihi kecintaan terhadap jiwa raganya. Dalam sastra Malaysia, ada seorang pengarang negara yang bernama Arenawati, nama aslinya Muhammad Dahlan bin Abdul Biang, lahir di Kalumpang, Jeneponto, Makassar, Sulawesi Selatan 30 Juli 1925. Ia menempuh pendidikan Sekolah Menengah Islam di Makassar, kemudian bekerja di Jawatan Angkutan Angkatan Darat Teritorium VII, bagian Pelabuhan. Sejak tahun 1943 menjalani profesi sebagai pelaut, mengarungi laut di perairan Indonesia, Singapura, Pulau Penang, Bangkok. Dalam usia tujuh belas tahun ia sudah diangkat menjadi nakhoda kapal. Ia pernah hendak dilantik menjadi gunner, tetapi dibatalkan karena bukan warga negara Inggis di Singapura, Selanjutnya Arenawati menjadi warga negara Malaysia, dan diangkat menjadi sastrawan negara. Perpindahan kewarganegaraan seseorang menjadi warga negara lain berbeda dengan perpindahan seseorang dari daerah yang satu ke daerah yang lain dalam satu negara, karena perpindahan kewarganegaraan menyangkut masalah kesetiaan pada tanah air, dan kebangsaan. Oleh karena itu dapat dimunculkan permasalahan berkenaan dengan kepindahan seseorang (sastrawan) menjadi warga negara lain, yaitu (1) bagaimanakah konsep nasionalisme dalam novel Sandera dan Sukma Angin? (2) bagaimanakah hubungan nasionalisme dalam karya sastra yang diciptakan dengan pribadi pengarang? Sastra berkaitan dengan pemikiran pengarang, berkaitan dengan tema yang diangkat serta permasalahan dalam karya sastra yang ditulis. Sastra sering dipandang sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus, atau sebagai bentuk filsafat (Wellek dan Warren, 1995: 134). Sastra dianalisis untuk mengemukakan pemikiran- pemikiran hebat. Sastra sebagai sebuah produk pemikiran, tidak lepas dari berbagai produk pemikiran lain, tidak lepas dari kerangka berpikir dan sikap hidup yang melahirkan berbagai produk pemikiran tersebut (Darma, 2007: 95). Selanjutnya Darma menyatakan bahwa faktor yang menentukan kerangka berpikir dan sikap hidup di antaranya adalah faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor pendidikan.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 75

Sikap dan pemikiran yang digarap oleh seorang pengarang tidak lepas dari permasalahan yang dihadapi oleh pengarang itu sendiri. Unger menyatakan ada lima klasifikasi permasalahan yang digarap oleh pengarang. Kelima klasifikasi itu: (1) masalah nasib; (2) masalah keagamaan; (3) masalah alam; (4) masalah manusia; (5) masalah masyarakat, keluarga, dan negara (Wellek dan Warren, 1995:141-142). Masalah nasib berkaitan dengan kebebasan dan keterpaksaan dalam menghadapi orang lain,kelompok, lembaga dan lain-lain. Masalah keagamaan berkaitan dengan kepercayaan, perlindungan dari Atas, keselamatan, dan lain-lain. Masalah alam berkaitan hubungan manusia dengan alam, mitos, dan alam gaib. Masalah manusia berkaitan dengan cinta, kematian, kebahagiaan, dan lain-lain. Masalah masyarakat, keluarga, dan negara berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (Darma, 2004:47). Kelima klasifikasi permasalahan di atas saling berkaitan. Pemikir Jerman menyederhanakan permasalahan sikap pengarang dalam klasifikasi berdasarkan tipe weltanschauung. Weltanschauung dan Worldview mengangkat realita dalam karya sastra. Weltanschauung merupakan sikap pengarang berdasarkan perasaan pengarang, sedangkan worldview adalah pandangan dunia (Darma, 2004;48). Weltanschauung dan Worldview bertolak dari teori mimesis. Pengarang sebagai bagian dari masyarakat. Dalam menghadapi kondisi zamannya pengarang akan menentukan sikap dan pemikiran sejalan dengan kondisi zaman yang dihadapi

Nasionalisme dalam Sandera dan Sukma Angin Ada dua novel Arenawati yang berkaitan dengan nasionalisme, yaitu novel yang berjudul Sandera dan Sukma Angin. Sandera. Sandera menceritakan seorang tokoh bernama Busad bersama saudara jauh bernama Zubir yang ditahan di penjara Karebosi Makassar karena menentang Belanda. Ia diberi dua pilihan oleh direktur penjaramau bekerja sama atau dibuang di tanah Merah di Papua. Busad menolak tawaran bekerjasama, dan dalam perjalanan menuju ke pembuangan di tanah Merah, ia berhasil bekerja sama dengan teman-temannya di luar penjara, membuat perahu yang membawanya terbakar. Selanjutnya Busad melarkan diri ke Malaysia. Di Malaysia ia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, bahu-membahu bersama dengan tokoh-tokoh Malaysia yang juga berjuang untuk kemerdekaan negaranya. Ia menikahi gadis dari Kuala Trenggani yang masih ada hubungan saudara dari pihak ayah. Ketika Busad berhasil meloloskan diri, Belanda menangkap Sariyah Ibu Busad, setela ditahan beberapa saat lamanya. Ibu Busad berhasil dibebaskan Romo saudara sepupu Busad, Kemudian Sariyah masuk hutan ikut bergerilya. Tokoh-tokoh dalam Sandera adalah tokoh yang berjiwa nasionalisme, baik nasionalisme dalam lingkup Indonesia maupun Malaysia. Tokoh utama yang bernama Busad dari keluarga yang berjiwa nasionalisme. Ayah Busad penganut ajaran Muhammad Abduh di Trengganu menyingkir ke Makassar karena akibat tekanan politik, akibat raja yang selalu mengalah kepada Inggris.. Ibu Busad yang ikut bergerilya anak seorang tokoh Syariat Islam.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 76

Busad merasa dirinya bukan saja sebagai orang Indonesia, tetapi ia juga merasa orang Melayu karena ayahnya berasal dari Kuala Trengganu yang menyingkir ke Makassar akibat menentang penjajah Inggris. Berkat kerja sama Busad dengan tokoh-tokoh dari Malaysia, kemudian Indonesia dan Malaysia dapat merdeka. Busad tetap menjadi pejabat penting Indonesia. Novel Sukma Angin menceritakan kegigihan para pelaut mengarungi samodra dengan perahu tradisionalnya yang bernama Sukma Angin. Seperti Sandera, tokoh utama novel ini juga pemuda Indonesia. Bagi para pelaut tradisional, perahu Sukma Angin bukan sekedar benda mati yang dapat dikemudikan mengarungi samodra, tetapi Sukma Angin merupakan sosok perahu yang berjiwa, yang menyatu dengan para awak kapal. Seorang pemuda bernama Darusi, anak nakhoda Sapuk berusaha mengubah perahu tradisional menjadi perahu modern. Novel Sukma Angin pada awal cerita berlatar di Kalumpang, Jeneponto Makassar.Seperti halnya Sandera, pada awal cerita novel ini juga sudah menampilkan konflik tokoh dengan penjajah Belanda, dan perasaan antipati terhadap penjajah itu. Latar novel Sukma Angin lebih banyak di laut daripada di daratan. Tokoh-tokoh novel Sandera maupun Sukma Angin adalah tokoh yang mempunyai jiwa nasionalisme yang kuat. Sikap jiwa nasionalisme itu diwujudkan dalam perlawanan kepada penjajah, baik penjajah Belanda maupun penjajah Inggris. Dalam novel Sandera para tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh di pihak Indonesia dan tokoh di pihak Malaysia. Tokoh dari kedua belah pihak itu masing-masing berupa keluarga. Dari Indonesia adalah keluarga Busad, sedang tokoh-tokoh di pihak Malaysia adalah keluarga Hakim Mahmud. Isin (1977:193) menyatakan bahwa Sandera mengungkapkan tema kenyataan dan persoalan-persoalan tentang perjuangan dan penentangan yang gigih dan tidak mengenal kecewa di antara tokoh-tokoh. Arena Wati menggambarkan kenyataan dan permasalahan masyarakat tentang pergerakan serta pergolakan beberapa tokoh pemimpin Melayu dan Indonesia sebelum kedua negara mencapai kemerdekaan. Tahir (1977:44-45) menyatakan pengarang mengungkapkan unsur kerjasama di antara angsa yang serumpun. Menurut tahir pengarang member empesis bahwa kedua Negara serumpun tak mungkin dapat dipisahkan lagi. Pernyataan Isin itu didasarkan pada sikap dan tindakan tokoh-tokoh dalam Sandera. Konsep nasionalisme bagi Busad bukan hanya Indonesia, tetapi juga Malaysia karena di tubuhnya mengalir darah Melayu dari Ibrahim ayahnya. Konsep nasionalisme Indonesia-Malaysia juga diwujudkan dalam bentuk perkawinannya dengan saudara sepupu dari ayahnya yang bernama Kalsom, dan dengan Midah anak Hakim Mahmud. Tokoh-tokoh dalam novel Sandera bergerak dalam kelompok-kelompok, baik dalam kelompok keluarga maupun kelompok organisasi. Dari sekian banyak tokoh dalam Sandera, baik tokoh dari Keluarga Busad maupun tokoh dari Keluarga Hakim Mahmud semua pejuang, tokoh putih, tokoh yang mempunyai jiwa nasionalisme. Perkawinan antara Busad dengan Kalsom maupun Midah anak Hakim Mahmud mempersatukan nasionalisme antara Indonesia dengan Malaysia.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 77

Busad sebagai tokoh pejuang Indonesia di Malaysia mempunyai peran yang dominan dalam perjuangan perjuangan kemerdekaan Malaysia. Bahkan ia sebagai kunci dalam mengatur strategi perjuangan. Tahir (1977:45) menyatakan bahwa peran Busad yang dominan itu disebabkan pengarang mencoba memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa orang Indonesia ikut memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Malaysia. Busad sebagai pejuang sejati tidak terikat oleh pandangan nasionalisme yang sempit, tidak terikat oleh kewarganegaraan yang fanatik. Nasionalisme dalam Sandera bersifat filosofis. Menurut Soemowidagdo (Dewan Sastera, Desember 1972) Arena Wati menyatakan bahwa perasaan nasionalisme tidak terbatas pada satu negeri tertentu. Perasaan nasionalisme dapat mencakup lebih dari satu negeri. Sikap Busad yang mendua itu tampak dalam kutipan berikut ini. Dan kepada Busad, yang berada di negerinya yang sudah merdeka. Tetapi dia cinta kepada Tanah Melayu, kerana katanya, dirinya sendiri adalah petaruh dari seorang ayah yang datang dari Trengganu (Sandera, 1978:222) Baik tokoh laki-laki maupun perempuan dalam Sandera menunjukkan perjuangan yang gigih sebagai perwujudan jiwa nasionalisme. Ibu Busad harus menghadapi siksaan yang keji ketika ditangkap, “Sariyah dengan tangan terpaku pada lantai kereta itu, berjalan mengikutkan kereta kuda itu dikawal oleh tiga orang serdadu (Sandera, 1978:26). Sikap keras sariyah Ibu Busad mirip dengan sikap Sapiah yang dengan berani memimpin gerilya melawan Inggris. Sikap Sapiah sebagai perwujudan jiwa nasionalisme tampak dalam kutipan berikut. “Aku anak dara. Menurut adat, kalau ada pemuda yang mau kawin dengan aku, dia mesti meminang aku pada orang tuaku.Dia mesti bayar mas kawin. Dia mesti bawa wang belanja kawin. Tapi aku tidak mau itu, dan tidak akan kawin cara itu,” kata Sapiah berapi-api. “Cara apa kaukehendaki?” tanya Bahar berseloroh. “Bawa kepala Inggris. Itu maskawin aku (Sandera, 1978:174-175)

Novel Sandera adalah novel yang bertemakan perjuangan melawan penjajah, berbeda dengan novel Sukma Angin. Novel Sukma Angin menceritakan dunia bahari yang yang didominasi oleh pandangan tradisi. Dalam Sukma Angin Arena Wati sebagai seorang Bogis dan mantan nakhoda tampak menguasai betul dunia bahari. Segala ihwal yang berkaitan dengan perahu tradisional, perbintangan, dan biota laut dideskripsikan secara njlimet. Indonesia adalah negara kepulauan dengan wilayah laut lebih luas daripada daratan. Namun demikian tidak ada sastrawan yang mengangkat dunia bahari dengan serius seperti Arena Wati, atau Ernest Hemingway dalam The Old Man and The Sea. Banyak pelaut Indonesia yang mengarungi samodra di dunia, namun tidak ada yang tertarik menulis karya sastra seperti Arena Wati. Setiap sen daripada keuntungan dagang seludup dalam negeri jajahan kalau digunakan jadi alat menentang penjajahan, itu bakti besar dalam kehidupan dunia. Apabila dibayar zakatnya dan disertai amal zariah, itu pahala besar di sisi Islam (SA, Hlm. 29).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 78

Selain faktor politik, nasionalisme juga dapat dikaitkan dengan factor-faktor agama, ekonomi, dan sosial. Radin Soenarni membagikan tiga tahap nasionalisme di Tanah Melayu. Peringkat pertama 1906-1926 disebabkan oleh factor keagamaan. Peringkat kedua 1926-1937 disebabkan oleh faktor ekonomi. Peringkat ketiga 1937-1948 disebabkan oleh factor Politik.

Bawah Sadar Freud yakin bahwa perilaku seseorang kerap dipengaruhi oleh alam bawah sadar yang mencoba memunculkan diri (Minderop, 2011:13). Alam bawah sadar merupakan subsistem dinamis dalam jiwa manusia yang mengandung dorongan-dorongan naluri seksual yang berkaitan dengan gambaran=gambaran tertentu di masa lalu (usia dini). Dalam bentuk tersamar dorongan-dorongan itu terpenuhi melalui suatu pemuasan semu atau khayalan (fantasi) (23) Demikianlah impian ditafsirkan seagai pemenuhan keinginan yang tidak disadari.

Daftar Pustaka

Abdullah, A. Rahim. 1995. Pemikiran Sasterawan Nusantara: Suatu Kajian Perbandingan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Isin, Ramli. 1997. Novel Melayu Mutakhir Tema dan Persoalan Karya. Selangor: Fajar Bakti SDN BHD. Kadir, Kamaruzzaman A.1985. “Nasionalisme dan Kesusasteraan Melayu Moden” dalam Nasionalisme dalam Persyuratan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Kohn, Hans.1955. Nationalism, Its Meaning and History. Princeton, New Jersey: D. Van Nostrand Company. Minderop, Albertine. 2011. Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Saman, Sahlan Mohd. 2001. Novel-Novel Perang dalam Kesusasteraan Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Jakarta: Gaya Media Pratama. Soehino. 2001. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Tahir, Abdullah. 1977. Ulasan dan Kajian Teks Sastra Sandera Arena Wati.Kota haru- Kelantan: Mohd. Nawi Book Store. Wati, Arena. 1978. Sandera. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Wati, Arena. 1999. Sukma Angin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Sastra. Jakarta: Gramedia.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 79

MENELUSURI PEMIKIRAN MANTAN PERDANA MENTERI MALAYSIA MELALUI KARYA PUISI: KE ARAH MODEL PEMERINTAHAN NEGARA

Tuan Nordin Tuan Kechik Universiti Sains Malaysia [email protected]

Abstrak Keberhasilan mantan Perdana Menteri Malaysia yang keempat Tun Dr. Mahathir Mohamad yang telah berjaya mengubah Malaysia sebagai sebuah negara berasaskan pertanian yang mundur kepada sebuah negara perindustrian dan menjadi negara perdagangan ke-17 terbesar di dunia. Dr. Mahathir telah memerintah negara Malaysia selama 22 tahun bermula pada tahun 1981 hingga 2003. Dr. Mahathr disifatkan sebagai seorang pemimpin yang disegani oleh kawan dan musuh politiknya. Sepanjang pemerintahan beliau, banyak perkara baru yang diperkenalkan untuk menjadikan Malaysia sebuah negara yang mampu bersaing pada peringkat dunia. Dasar pemerintahannya yang terkenal seperti Dasar Penswastaan kepentingan kerajaan seperti penswastaan Tenaga National, Pos Malaysia dan Telekom Malaysia. Dasar Pandang Ke Timur yang menjadikan Korea dan Jepun sebagai negara yang perlu dicontohi terutama dalam budaya kerja yang sebelum ini menjadikan negara Barat dan Eropah sebagai model keberhasilan negara. Tekad yang tinggi Dr. Mahathir yang ingin menjadikan Malaysia sebagai sebuah negara maju di dunia telah direalisasikan melalui Wawasan 2020. Pada peringkat internasional, Dr. Mahathir merupakan seorang pemimpin yang lantang dalam memberikan pandangan dan mengkritik kuasa-kuasa besar dunia terhadap ketidakadilan dan penindasan yang berlaku terhadap negara-negara ketiga terutama penindasan Israel terhadap rakyat Palestin. Keberhasilan Dr. Mahathir dalam menangani masalah kemelesetan ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1997 sehingga Malaysia bebas dari masalah kemelesetan ekonomi telah menaikkan nama beliau sebagai pemimpin yang istimewa. Dalam kesibukan menjalankan tugas sebagai pemimpin no.1 negara, Dr. Mahathir telah menghasilkan sebuah puisi yang berjudul Perjuangan Belum Selesai (Mei 1996). Sehubungan itu, makalah ini akan berusaha membincangkan perkaitan antara pemikiran Dr. Mahathir Mohamad dalam menentukan arah dan model pemerintahan negara dan bangsa yang dipimpin oleh beliau melalui karya puisinya. Hasil karya beliau dalam bentuk puisi tersebut telah menggambarkan hasrat murni dan cita-cita besar seorang negarawan ulung yang tidak pernah menyerah kalah dalam pelbagai situasi untuk melihat bangsanya terus maju dan tidak menjadi bangsa yang mengemis di bumi sendiri. Puisi ini juga menggambarkan bahawa segala perancangan yang dijalankan oleh beliau dalam membangunkan negara dan bangsanya telah diluahkan melalui puisi keramat beliau ini. Aliran pemikiran beliau yang cukup jelas, tanpa berselindung ingin bersama-sama dengan bangsanya agar gigih berusaha untuk menjadikan Malaysia sebuah negara yang merdeka dan bangsanya yang terpelihara. Tradisi kepimpinan beliau yang unggul dan cemerlang telah meletakkan Malaysia sebagai salah sebuah negara yang pesat membangun dengan kadar pertumbuhan ekonomi yang progresif.

PENDAHULUAN Legendaris Tun Dr. Mahathir Mohamad merupakan anak bongsu daripada sembilan adik-beradik dilahirkan pada 10 Julai 1925. Beliau dikenali sebagai DR M dan merupakan Perdana Menteri Malaysia yang keempat yang telah banyak mencorakkan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 80 warna ke arah kecemerlangan negara Malaysia dan bangsa yang dipimpinnya. Berasal dari keluarga orang biasa, bapanya seorang guru. Dr. Mahathir memerintah Malaysia bermula 16 Julai 1981 hingga 31 Oktober 2003. Keupayaan beliau membawa pembangunan melalui dasar dan perancangan yang hebat dengan menjadikan keberhasilan negara luar sebagai sumber ilham telah berupaya mengangkat Malaysia sebagai sebuah negara yang berdaya maju di pentas dunia sehinggakan suatu ketika Malaysia disebut sebagai negara “Harimau Ekonomi Asia”. Dalam bidang politik Dr. Mahathir terkenal sebagai seorang yang vokal dalam memperjuangkan hak negara-negara kecil yang ditindas sehingga menimbulkan kontroversi dalam kalangan kuasa besar dunia. Beliau sering dikritik sehinggakan dilabelkan sebagai pemimpin yang autokratik oleh pelbagai pihak termasuk media dan organisasi antarabangsa yang lain terutama kerana tindakan beliau yang mempertahankan Akta Keselamatan Dalam Negeri (ISA) yang membenarkan setiap individu ditahan tanpa pembicaraan walaupun beliau sering kali menjelaskan bahawa akta tersebut sebagai tindakan pencegahan yang hanya diambil atas desakan semasa. Dr. Mahathir telah berusaha meningkatkan taraf hidup orang Melayu dalam pelbagai bidang termasuk pendidikan, pentadbiran, politik dan ekonomi, tetapi malangnya orang Melayu masih gagal menyaingi kaum yang lain dalam pemilikan saham dan penguasaan ekonomi negara. Kekecewaan Dr. Mahathir terhadap orang Melayu diungkapkan melalui puisi beliau yang berjudul Perjuangan Belum Selesai. Puisi ini memberikan gambaran bahawa kesukaran yang dihadapi oleh Melayu dalam menuntut kemerdekaan dan pegisian kemerdekaan daripada penjajah. Di samping itu juga, Dr. Mahathir melalui puisinya mengharapkan agar orang Melayu gigih berusaha supaya menjadi bangsa yang maju dan tidak menjadi hamba di tanah air sendiri.

METODOLOGI KAJIAN Metodologi pengumpulan data meliputi kajian kepustakaan yang relevan dengan objek kajian dan seterusnya melakukan dokumentasi terhadap data yang diperoleh dengan menjadikan puisi Perjuangan Belum Selesai karya Dr. Mahathir Mohamad sebagai asas rujukan utama. Manakala analisis data disajikan dengan analisis deskriptif kritis, iaitu metode analisis yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta berupa kata, ayat dan wcana yang kemudian dieksplorasi dengan analisis kritis, (Ratna, 2004:53).

TUJUAN KAJIAN Kajian ini bertujuan melihat dan menelusuri kaitan pemikiran negarawan ulung negara Malaysia dengan karya puisi yang dihasilkan oleh beliau yang berjudul Perjuangan Belum Selesai dalam membangunkan sebuah negara bangsa yang pada asalnya merupakan negara yang berasaskan pertanian dan berubah menjadi sebuah negara industri yang terkemal di dunia.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 81

KEDUDUKAN ORANG MELAYU SEBELUM MERDEKA Umum mengetahui bahawa sebelum Malaysia mencapai kemerdekaan, negara ini pernah dijajah oleh beberapa kuasa besar penjajah. Malaysia pernah dijajah oleh Portugis, Belanda, Inggeris, Siam, dan Jepun. Penderitaan orang Melayu sebagai penduduk asal Tanah Melayu semasa penjajahan telah memberikan pengajaran yang bermakna kepada orang Melayu pada masa itu. Sikap dan dasar penjajah hanyalah untuk mendapatkan kepentingan bagi negara masing-masing. Mereka mengaut kekayaan yang ada di Negara jajahan mereka dan dibawa pulang ke negara asal mereka. Orang Melayu ditindas dan diseksa tanpa belas kasihan. Penjajah Inggeris meletakkan kedudukan orang Melayu sebagai bangsa yang malas, bodoh dan tidak mahu berusaha. Orang Melayu tidak diberikan tempat yang sewajarnya dalam pemerintahan negara seperti dilantik sebagai pentadbir ataupun pengurus. Orang Melayu hanya diberi jawatan sebagai pemandu, kerani dan pekerja kelas bawahan. Bagi mereka, orang Melayu yang tidak mampu memberikan apa-apa peranan dan sumbangan terhadap perkembangan negara. Orang Melayu dnafikan haknya di bumi sendiri. Orang asing dari India dan Cina dibawa masuk menggantikan kedudukan orang Melayu yang dikatakan malas dan bodoh. Orang Melayu hanya layak berada di kampung- kampung sahaja. Kedatangan penjajah Jepun menambahkan kesengsaraan dan kedukaan orang Melayu. Orang Melayu dilayan dengan kasar tanpa nilai kemanusiaan. Mereka ditampar dan dipukul tanpa belas kasihan. Kesengsaraan zaman penjajahan menjadikan orang Melayu bangkit menuntut kemerdekaan. Kesedihan dan kepiluan ini telah digambarkan oleh Dr. Mahathir melalui bait-bait puisinya seperti berikut. Sesungguhnya tidak ada yang lebih menyayatkan dari melihat bangsaku dijajah Tidak ada yang lebih menyedihkan dari membiarkan bangsaku dihina

Air mata tiada ertinya sejarah silam tiada maknanya sekiranya bangsa tercinta terpinggir dipersenda dan dilupakan Kesedaran untuk menuntut kemerdekaan daripada penjajah asing mula digerakkan oleh cendikiawan Melayu melalui pelbagai pertubuhan politik seperti UMNO. Gerakan nasionalisme ini telah berjaya mendapatkan kemerdekaan daripada penjajah Inggeris pada 31 Ogos 1957 melalui meja rundingan. Kejayaan Malaysia mencapai kemerdekaan melalui usaha perundingan dan bukan peperangan amat dihargai oleh orang Melayu khasnya. Tidak ada pertumpahan darah atau persengketaan yang berpanjangan, tidak seperti Indonesia, Vietnam yang terpaksa menuntut kemerdekaan dengan penentangan yang mengorbankan nyawa yang banyak.

PEMBENTUKAN NEGARA PASCAMERDEKA Awal pemerintahan Dr. Mahathir, Malaysia bukanlah sebuah negara yang terkenal, kebanyakan orang asing tidak mengetahui kedudukan negara Malaysia. Ada orang asing yang menyangka Malaysia berada di bahagian negara Cina, Himalaya malah ada yang

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 82 mengatakan bahawa Malaysia berada di benua Afrika. Namun tidak kurang juga terdapat orang asing yang keliru mengatakan bahawa Malaysia itu Madagaskar atau Malawi. Sebenarnya tugas untuk mengisi kemerdekaan merupakan suatu perkara yang amat sukar. Ia memerlukan kefahaman dan kerjasama yang erat antara pemerintan dan yang diperintah. Hal ini kerana mengisi kemerdekaan merupakan perkara yang sukar dan memerlukan pengorbanan yang besar oleh rakyat dan pemerintah seperti dalam bait puisi beliau . Tugas kita bukan kecil kerana mengisi kemrdekaan rupanya lebih sukar dari bermandi keringat dan darah menuntutnya

Kerisauan Dr. Mahathir terhadap bangsa Melayu pada masa akan datang biarpun keadaan negara pesat membangun dan menjadi sebuah negara maju setaraf dengan negara maju yang lain adalah tentang nasib bangsa Melayu. Orang Melayu tidak seharusnya menjadi bangsa yang diperintah dan dipermain-mainkan oleh bangsa lain serta menjadi alat pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepentingan dalam menentu arah kedudukan negara. Orang Melayu seharusnya menjadi tuan di negara sendiri dan dapat mentadbir urus negara dengan cemerlang. Lagi pula apalah ertinya kemerdekaan kalau bangsaku asyik mengia dan menidakkan, mengangguk dan membenarkan, kerana sekalipun bangganya negara kerana makmur dan mewahnya, bangsaku masih melata dan meminta-minta di negaranya sendiri

MASA DEPAN BANGSA MELAYU Bangsa Melayu seperti yang digambarkan oleh Dr. Mahathir merupakan bangsa yang tamak untuk mendapatkan kuasa politik. Ketamakan ini menjadikan orang Melayu berpecah-belah sehinggakan wujudnya parti-parti politik serpihan daripada parti utama bagi orang Melayu iaitu UMNO seperti Parti Semangat 46 yang berkubur setelah kehilangan kepercayaan daripada orang Melyu sendiri. Kalaulah sebelum ini orang Melayu hanya dipisahkan melalui dua parti politik yang besar itu Parti Islam Semalaysia (PAS) dan UMNO sahaja, tetapi hari ini wujudnya Parti Keadilan Rakyat (PKR) yang memberikan pilihan kepada pengundi Melayu bagi menentukan aspirasi politik mereka. Perebutan kuasa dalam kalangan orang Melayu menjadikan orang Melayu lemah dan negara dalam keadaan yang tidak stabil kerana terdapat sekumpulan orang Melayu yang sanggup berkerjasama dengan pihak luar semata-mata untuk mendapatkan kuasa politik. Dr. Mahathir merasakan bahawa bangsa Melayu berada dalam keadaan belum pasti masa depannya. Hal ini dapat digambarkan melalui bait puisinya seperti berikut; Hari ini, jalan ini pasti semakin berliku kerana masa depan belum tentu menjanjikan syurga bagi mereka yang lemah dan mudah kecewa

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 83

Kekecewaan Dr. Mahathir terhadap orang Melayu dapat dilihat melalui tulisan beliau dalam sebuah akhbar tempatan baru-baru ini.

“Saya sedih. Bukanlah saya berharap kerana kesedihan saya akan menarik simpati sesiapa. Hanya saya ingin menyatakan perasaan saya perasaan apabila melihat kaum bangsa saya , orang Melayu, begitu sekali tidak tahu bersyukur, begitu sekali mudah lupa, begitu sekali mudah dipengaruhi dan diperalat oleh orang lain sehingga sanggup memburukkan bangsa sendiri” Dr. Mahathir Mohamed (Mingguan Malaysia, 22 September 2012)

BIDANG EKONOMI Walaupun pelbagai usaha dan kaedah dilakukan oleh Dr. Mahathir untuk meningkatkan penglibatan orang Melayu dalam bidang ekonomi, namun kegagalan orang Melayu dalam bidang tersebut masih ketara. Hasrat Dr. Mahathir agar orang Melayu menguasai 30 peratus pemilikan modal belum lagi berhasil. Bagi menjayakan hasrat ini, beliau menegaskan perubahan pemikiran amat diperlukan, tetapi hal tersebut tidak mencukupi kerana orang Melayu perlu melakukan perubahan sikap dan perwatakan. Bagi sesorang yang ingin mencapai keberhasilan dalam ekonomi moden dan dunia moden memerlukan dedikasi, disiplin serta pemikiran jangka panjang yang strategik yang perlu dipelajari oleh orang Melayu. Kesunguhan dan komitmen yang tinggi amat dibutuhkan bagi mencapai sesuah keberhasilan dan keunggulan peribadi dan orang Melayu itu sendiri seperti yang ditulis dalam bait puisinya.

Perjuangan kita belum selesai kerana hanya yang cekal dan tabah dapat membina mercu tanda bangsanya yang berjaya

Antara projek besar Dr. Mahathir yang berfrofil tinggi iaitu projek yang dinamakan projek mega yang dibangunkan pada zaman peperintahannya adalah seperti Jambatan Pulau Pinang, Menara Berkembanr Petronas, Lapangan Terbang Antarabangsa Kuala Lumpur (KLIA), Pusat Pentadbiran Putrajaya , Projek Kereta Nasional (Proton dan Perodua) dan Litar Antarabangsa Sepang. Kegigihan Dr. Mahathir dalam usaha memartabatkan bangsa dan negara tercinta dapat dilihat melalui bait puisinya seperti berikut. Tugas kita belum selesai rupanya bagi memartabat dan memuliakan bangsa kerana hanya bangsa yang berjaya akan sentiasa dihormati

Rupanya masih jauh dan berliku jalan kita bukan sekadar memerdeka dan mengisinya tetapi mengangkat darjat dan kemuliaan buat selama-lamanya

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 84

DASAR BERSIH CEKAP AMANAH Pada awal pemerintahan Dr. Mahathir, beliau memperkenalkan satu dasar yang dinamakan Bersih, Cekap, Amanah. Dasar ini mendapat sambutan dalam kalangan rakyat. Perubahan mula berlaku. Rakyat mula menyedari bahawa korupsi itu sebagai suatu perkara yang buruk dan menjijikkan. Walau bagaimanapun, korupsi tidak dapat dihapuskan secara menyeluruh, tetapi korupsi boleh dikurangkan. Apabila indek korupsi menurun, dan rakyat dapat memberikan kerjasama yang sewajarnya, maka senanglah bagi pihak pemerintah untuk mengatur segala program pembangunan bagi kepentingan bangsa dan negaranya.

DASAR PENSWASTAAN Asas pemikiran semasa era sosialis dan komunisme yang berkembang suatu waktu dahulu dengan dasar sama rata sama rasa sangat popular iaitu dengan memiliknegarakan kepentingan awam agar segala keutungan dapat dibagikan sama rata antara penduduk. Dasar ini menjadi resipi sejagat pembangunan nasional pada ketika itu. Bagi Dr. Mahathir, pandangan dan dasar tersebut kurang tepat dan tidak sesuai diamalkan dalam sesetengah keadaan. Pemikiran tentang penswastaan dan penghapusan pengawalan pusat mula mendapat tempat dalam penjanaan idea baru. Percubaan pertama kerajaan di bawah pimpinan Dr. Mahathir iaitu dengan mengadakan penswastaan terhadap Jabatan Telekom. Setiap tahun kerajaan terpaksa memperuntukkan RM 200 juta bagi menguruskan jabatan tersebut, dan jumlah itu terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 1987 Jabatan Telekom diswastakan menjadi Syarikat Telekom Malaysia Berhad (STMB) dan kemudian menjadi Telekom Malaysia (TM). Selepas penswastaan Telekom Malaysia, banyak lagi kepentingan kerajaan yang diswastakan seperti Pos Malaysia, Tenaga Nasional Berhad, Lebuh Raya, Kereta api dan sebagainya. Langkah ini dapat meningkatkan kecekapan dan mutu perkhidmatan yang diberikan. Kerajaan juga dapat menjimatkan wang kerana tidak lagi perlu menanggung pembayaran gaji mereka, sebaliknya kerajaan boleh mengaut hasil daripada cukai yang dikenakan.

DASAR PANDANG KE TIMUR Persepsi tentang kehebatan orang Barat dalam semua bidang menjadikan bangsa Melayu begitu mendewa-dewakan bangsa tersebut. Penaklukan Tanah Melayu oleh Jepun menjadikan orang Melayu mula membuka mata dan menyedari bahawa Jepun juga merupakan satu kuasa yang tidak boleh diketepikan. Dr. Mahathir mengakui bahawa Jepun dan Korea Selatan merupakan kuasa besar dalam bidang perindustrian dan perusahaan yang perlu dicontohi oleh orang Melayu dan Malaysia. Hal ini terbukti apabila dalam masa yang singkat orang Jepun dan Korea Selatan dapat membangunkan industri dan perusahaan negara mereka pada tahap yang cemerlang. Menyedari hakikat inilah maka Dasar Pandang Ke Timur dirumuskan dan dilancarkan. Intipati daripada dasar tersebut adalah untuk mengetahui kaedah yang tersembunyi di sebalik kejayaan mereka.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 85

Mencari asas sosial dan budaya yang menjadikan mereka kuat dan berdaya saing serta menjadikan budaya kerja mereka sebagai ikutan.

WAWASAN 2020 Wawasan 2020 merupakan rancangan 30 tahun kerajaan di bawah kepimpinan Dr. Mahathir yang mula diperkenalkan pada tahun 1991 untuk menjadikan Malaysia sebuah negara yang maju setanding dengan negara-negara maju yang ada pada hari ini iaitu pada tahun 2020. Namun, bagi Dr. Mahathir negara maju yang menjadi impian beliau ialah sebuah negara yang bukan hanya melihat kemajuan pada aspek material yang keterlaluan dan membiarkan runtuhnya nilai-nilai moral masyarakat. Berdasarkan hal inlah maka Malaysia perlu mengatur perjalanan untuk mencapai sebuah negara maju dengan acuan sejarah dan budaya sendiri . Malaysia komited pada pembentukan sebuah masyarakat yang penyayang dan saling membantu serta dinamik.

BIDANG PENDIDIKAN Kesedaran Dr. Mahathir yang tinggi terhadap kepentingan pendidikan agar rakyat mendapat peluang yang sama rata untuk mendapat pendidikan bermula daripada pendidikan peringkat sekolah rendah hinggi ke peringkat pengajian tingi. Kesedaran beliau terhadap keciciran pelajar Malayu dalam bidang pendidikan telah mencetuskan idea beliau untuk mewujudkan sekolah berasrama penuh yang kemudiannya direalisasikan sewaktu beliau menjadi Menteri Pelajaran. Sekolah berasrama sebelum ini hanya untuk golongan atasan dalam masyarakat sahaja. Keperluan sekolah berasrama sangat penting kerana suasana persekitaran rumah orang Melayu pada masa itu tidak memungkinkan orang Melayu mendapat keputusan peperiksaan yang baik. Orang Melayu perlu diberikan peluang kerana tanpa peluang yang sewajarnya orang Melayu akan ketinggalan dalam bidang pelajaran. Sekolah berasrama penuh seperi Maktab Rendah Sains Mara (MRSM) merupakan sekolah yang berprestasi tinggi yang cuma menempatkan anak-anak dalam kalangan orang Melayu sahaja. Melalui MRSM, maka lahirlah banyak cendikiawan Melayu yang akhirnya dapat memainkan peranan penting dalam pembangunan negara. Mereka menjadi ahli politik, ahli ekonomi, pendidik, pentadbir dan profesional lain yang berjaya. Keperluan terhadap pendidikan tinggi turut menjadi keutamaan Dr. Mahathir. Masa pemerintahannya bayak universiti didirikan bagi memenuhi keperluan rakyat. Universiti Islam Antarabangsa Malaysia, Universiti Utara Malaysia, Universiti Malaysia Sabah, Universiti Malaysia Sarawak antara contoh untiversiti awam yang didirikan semasa beliau menjadi Perdana Menteri. Sstem pengajian tinggi di Malaysia turut mendapat sambutan bagi pelajar luar negara terutama dari Indonesia, Cina , Afrika Selatan, Libya, Jordan, Sudan, Iran, Iraq, Palestin dan banyak lagi negara yang menjadikan Malaysia sebagai tempat melanjutkan pelajaran.

KESIMPULAN Setelah 22 tahun Dr. Mahathir menjadi Perdana Menteri Malaysia, berlaku perubahan yang cukup besar yang menjadikan Malaysia sebuah negara berprofil tinggi di

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 86 pentas dunia kini. Malaysia bukan lagi sebuah negara yang tidak diketahui kedudukannya tetapi telah terbukti bahawa Malaysia sudah dapat berdiri sama tinggi dengan negara- negara lain yang menguasai ekonomi dunia hari ini dan Malaysia juga dipandang tinggi sebagai peminpin negara dunia ketiga. Banyak orang datang ke Malaysia untuk mempelajari cara sebuah negara yang asalnya negara berasskan bidang pertanian boleh berubah menajadi negara perindustrian. Komposisi penduduk yang berbilang kaum bukan menjadi faktor halangan kepada Malaysia untuk terus berkembang dan maju dengan kemudahan infrasturuktur seperti bekalan air yang bersih, jaringan jalan raya yang sistematik dan juga bekalan elektrik ke seluruh pelosok negara. Dr. Mahathir mengambil keputusan untuk bersara daripada jawatan Perdana Menteri walaupun pada waktu itu karier beliau berada pada puncak kejayaan untuk memberikan laluan kepada penggantinya Abdullah Ahmad Badawi. Sebaik sahaja berliau bersara, beliau dianugrahi Darjah Kebesaran Seri Maharaja Mangku Negara yang membawa gelaran Tun. Beliau juga digelar sebagai “Bapa Pemodenan Malaysia” sebagai mengiktiraf sumbangan beliau terhadap bangsa dan negara Malaysia.

BIBLIOGRAFI

A. Aziz Deraman. 2005. Peradaban Melayu Timur Laut: Memperkasakan Warisan Persuratan Melayu Wilayah Timur Laut. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Johan Jaafar, Mohd Thani Ahmad, Safian Hussain. 1992. History of Modern Malay Literature. (vol.1). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustak Mahathir Mohamad. 2011. Doktor Umum: Memoir Tun Dr Mahathir Mohamad. Kuala Lumpur MPH Group Publishing Sdn. Bhd. Mohd Yusof Hassan. 1991. Dunia Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian sastra. Yogyakarta: Pustak Pelajar. S. Jaafar Husin. 1995. Penelitian Sastera: Metodologi dan Penerapan Teori. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 87

MALAY IDENTITY IN MALAYSIAN AND INDONESIAN LITERATURE

By: Mugijatna (Faculty of Letters and Fine Arts and Language Center UNS) ykesl suparto

Abstract

Identity makes existence possible, no identity no existence. In this article I explore Malay identity in Malaysian and Indonesian literature. How Malay identity was crushed during colonilization and then, after colonilizatino, Malay people grasb again their identity is reflected in Malaysian and Indonesian literature. Keris Mas short stories, “Cerita Sepanjang Jalan” and “Salah Pimpin”, reflect identity crisis in Malaysia and Abdoel Moeis’novel Salah Asuhan reflects identity crisis in Indonesia during colonialism. Malay identity itself is described by Usman Awang in his poem “Sajak Melayu”. He ends his description of Malay people with a hope that in 21st century Malay people will be more progressive and confident. Muhammad Haji Salleh, as if to respond to Usman Awang’s poem, modified Si Tanggang, Malaysian version of Malin Kundang, to become a true Malay who returned home with gifts of knowledge and money for his Malay brothers. In Indonesian literature, the reflection of Malay people identity can be found in Laskar Pelangi by Andrea Hirata and Negeri 5 Menara by Ahmad Fuadi. The characters of both novels are youngsters who are building their identity to become a progressive and confident Malays. The characters who are students of a Muhammadiyah school and a traditional Islamic boarding school are successfully continued their study abroad.

Key words: identity, Malay, literature, confident

Introduction Identity makes existence possible. One’s existence is recognized through his identity. No identity no existence. First of all is name, then gender, age, address, nationality, and so on. ID card, from citizenship up to passport, at least contains name, date and place of birth, gender, and address. So is the identity of a nation, first of all it is recognized by its name, the location on the world, and physical attributes. As far as nationality concerns, there is an important aspect, that is, culture. Culture ads to physical traits like the color of the skin and the shape of face. That is why to sustain their colonialism colonial governments invented their culture in the culture of the colonialized people. English literature, for example, was firstly taught in India to anglicanized Indian people (Bertens, 2001: 9) in order that Indian people received British colonialism willingly. In Indonesia, Dutch-Colonial Government “hollandised” Indonesian culture through literary works in accordance with Dutch literary taste at that time. Malay language was categorized into high Malay and low Malay and it was only literary works in high Malay that migh be published by Balai Pustaka. The literary works written by Chinese descendant were banned because they used low Malay (Kutha Ratna, 2008: 224).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 88

The colonial policy had brought about crisis on the identity of Malay people in Indonesia and Malaysia as well. The identity crisis is reflected in literary works produced in both countries during colonialism. Hamid (2006: 107-121) in her reseach compares Husin, the character in Keris Mas short story, “Cerita Sepanjang Jalan”, and Halimah, the character in “Salah Pimpin”, Keris Mas’ another short story, with Hanafi, the main character of Salah Asuhan by Abdoel Moeis.. Halimah was influenced by Western culture, she didn’t want to cook unless she got kitchen utensil like the ones used by White people. But, Agus, her husband was able to make her realize that it was a mistake. Husin who worked in a British company and lived in Tangling Road where white community lived despised Malay from the Peninsula because when visiting Singapore they spent the night in cheap lodgings in Kampung Melayu. More than tha, he wanted to marry Malay girl graduated from British school but failed. Compared to Husin and Halimah, the identity crisis undergone by Hanafi was worse. Hanafi made his statul equal with Dutch status and loved and then married Corrie, an Indo girl, leaving his Mingkabau wife. But his marriage broke down. Corrie left him and then died. Hanafi was unnable to stand the crisis, he went home to Solok and eventualy commited suicide by drinking poison. The identify crisis caused by colonialism in both countries is over now. If “In fact, identities are often created in the crucible of colonialism, racial and sexual subordination, and national conflicts, but also in the specificity of group histories and structural position,” (Alcoff, 2003: 30), Malay identity in Indonesia and Malaysia is still the same. Some literary works produced by the writers of the two countries betray this identity. This makes me interested in conducting a research on Malay identity in Indonesian and Malaysian literature.

Methodology This research belongs to comparative literature. In his book, Comparative Literature, Theory, Method, Application, Totosy de Zepetnek (1998: 15-18) elaborates ten general principles of Comparative Literature. The sixth general principle is its focus on literature within the context of culture. The importance of this principle is that focus on literature is far from being self-evident. With regard to the current prominent of cultural/culture studies, focus on aspects of literature is not of primary factor. In this research I focus on how identity (an aspect of culture), that is Malay identity, is reflected in literature, that is Indonesian and Malaysian literature. As far as politic concerns, Indonesia and Malaysia are two different countries so that comparing the literary works from the two countries may fall into Totosy de Zepetnel’s third general principle of Comparative Literature, that is, that Comparatist needs to acquire in-depth grounding .in several languages and literature. But in regard to culture, Malaysia and Indonesia are of the same entities, so that comparative study of the literary works from the two countries may fall into inter-literature analysis.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 89

Parthasarathi in his article, “The theory of Comparative Literature”, (http://yabaluri.org/TRIVENI/CDWEB/thetheoryofcomparativeliteraturejul82.htm.)elaborates the catagories that can provide motivation for inter-literature analysis and function. The catagories are literary themes, types or genre tendencies or influence or movements or periods, styles of expression and literary theories. This research belongs to the category of literary themes.

Malay Identity in Malaysian Literature Malaysian literary work that describes Malay identity explicitly is “Sajak Melayu” by Usman Awang. Usman Awang (12th July 1929 – 29th November 2001) was Malaysian Poet Laureate. The title was awaded to him in 1983. In “Sajak Melayu” Usman Awang describes Malay essential identity. Sajak “Melayu” Melayu itu orang yang bijaksana Nakalnya bersulam jenaka Budi bahasanya tidak terkira Kurang ajarnya tetap santun Jika menipu pun masih bersopan Bila mengampu bijak beralas tangan Melayu itu berani jika bersalah Kecut takut kerana benar Janji simpan di perut Selalu pecah di mulut Biar mati adat Jangan mati anak Dalam sejarahnya Melayu itu pengembara lautan Melorongkan jalur sejarah zaman Begitu luas daerah sempadan Sayangnya kini segala kehilangan Melayu itu kaya falsafahnya Kias kata bidal pusaka Akar budi bersulamkan daya Gedung akal laut bicara Malangnya Melayu itu kuat bersorak Terlalu ghairah pesta temasya Sedangkan kampung telah tergadai Sawah sejalur tinggal sejengkal Tanah sebidang mudah terjual Meski telah memiliki telaga Tangan masih memegang tali Sedang orang mencapai timba Berbuahlah pisang tiga kali Melayu itu masih bermimpi Walaupun sudah mengenal universiti Masih berdagang di rumah sendiri Berkelahi cara Melayu Menikam dengan pantun

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 90

Menyanggah dengan senyum Marahnya dengan diam Merendah bukan menyembah Meninggi bukan melonjak Watak Melayu menolak permusuhan Setia dan sabar tiada sempadan Tapi jika marah tak nampak telinga Musuh dicari ke lubang cacing Tak dapat tanduk telinga dijinjing Maruah dan agama dihina jangan Hebat amuknya tak kenal lawan Berdamai cara Melayu indah sekali Silaturrahim hati yang murni Maaf diungkap senantiasa bersahut Tangan diulur sentiasa bersambut Luka pun tidak lagi berparut Baiknya hati Melayu itu tak terbandingkan Segala yang ada sanggup diberikan Sehingga tercipta sebuah kiasan: “Dagang lalu nasi ditanakkan Suami pulang lapar tak makan Kera di hutan disusu-susukan Anak di pangkuan mati kebuluran” Bagaimanakah Melayu abad dua puluh satu Masihkan tunduk tersipu-sipu ? Jangan takut melanggar pantang Jika pantang menghalang kemajuan; Jangan segan menentang larangan Jika yakin kepada kebenaran; Jangan malu mengucapkan keyakinan Jika percaya kepada keadilan Jadilah bangsa yang bijaksana Memegang tali memegang timba Memiliki ekonomi mencipta budaya Menjadi tuan di negara Merdeka! (By Usman Awang)

The poem describes not only of Malay idenitty from Malaysia but also from Indonesia. Let us pay attention to the following lines. “Kurang ajarnya tetap santun/Jika menipu pun masih bersopan” (bait 1). “Melayu itu berani jika bersalah/Kecut takut kerana benar/Janji simpan di perut/Selalu pecah di mulut” (bait 2). The paradoxes in the lines fit not only for Malaysian Malay but also for Indonesian Malay. Javanese pople, in particular Javanese people from south central Java, are wellknown for their polite expression. The description in the following lines, “Malangnya Melayu itu kuat bersorak/Terlalu ghairah pesta temasya/Sedangkan kampung telah tergadai/Sawah sejalur tinggal sejengkal” (bait 5), also fits for the Javanese people condition. The lands are sold up to hold celebrations or to by things like motorcycle and t.v. They are proud of having great celebration and luxurious things. They sell their lands to fund the celebration and to buy

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 91 the luxurious things. This has made the native of great cities like Jakarta are driven out from the the city. The ways Malays fight and get angry described in the following lines, “Berkelahi cara Melayu/Menikam dengan pantun/Menyanggah dengan senyum/Marahnya dengan diam” (stanza 7), are the same as the ways Javanese fight and get angry. The way Javanese express disagreement is by smiling. In his research, Mulder (1989: 53) found that in face-to-face communication Javanese like to use “semu” to express their real feeling, like “smiling” as a sign of being humiliated. The ways Malays refuse conflict is described in the following lines, “Watak Melayu menolak permusuhan/Setia dan sabar tiada sempadan.” But when unable to stand being angry anymore, they may pursue their enemy into the hole of worms. “Tapi jika marah tak nampak telinga/Musuh dicari ke lubang cacing/Tak dapat tanduk telinga dijinjing.” (Stanza 8). It fits very well for the way Javanese get angry. Solonese people are well known for their holding their anger, but when they couldn’t stand their anger anymore, they may burn even the city. Anyhow, Malays are generous. They are even ready to give away their heart. “Baiknya hati Melayu itu tak terbandingkan/Segala yang ada sanggup diberikan/Sehingga tercipta sebuah kiasan:/“Dagang lalu nasi ditanakkan/Suami pulang lapar tak makan/Kera di hutan disusu-susukan/Anak di pangkuan mati kebuluran” (stanza 10). Those are Malay identity described by Usman Awang in his poem. Then, what is Usman Awang hope about Malays in the 21st Centuries? In stanza 11 Usman Awang expected the followings. “Bagaimanakah Melayu abad dua puluh satu/Masihkan tunduk tersipu-sipu?/Jangan takut melanggar pantang/Jika pantang menghalang kemajuan;/Jangan segan menentang larangan/Jika yakin kepada kebenaran;/Jangan malu mengucapkan keyakinan/Jika percaya kepada keadilan/”. As if to reply Usman Awang, Muhammad Haji Salleh, Malaysian another Poet Laureate, modified Si Tenggang, Malaysian version of “Malin Kundang”, to become Si Tenggang II who went home not as a cursed son but as a new Malay with experience and knowledge

Si Tenggang and Malin Kundang

Si Tenggang II is described in “si tenggang’s homecoming”. It is the first poem of an anthology intitled “The Travel Journals of Si Tenggang II” . si tenggang’s homecoming

I the physical journey that i traverse is a journey of the soul, transport of the self from a fatherland to a country collected by sight and mind, the knowledge that sweats from it is a stranger’s knowledge, from one who has learnt to see, think and choose between

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 92 the changing realities.

II it’s true i have growled at my mother and grandmother but only after having told of my predicament that they have never brought to reason. the wife that i begun to love in my loneliness, in the country that alienated me they took to their predecisions i have not entirely returned, i know, having been changed by time and place, coarsened by problems estranged by absence.

III but look, i have brought myself home, seasoned by confidence, broadened by land and languages, i am no longer afraid of the oceans or the differences between people, not easily fooled by words or ideas. the journey was a loyal teacher who was never tardy in explaining cultures or variousness look, i am just like you, still malay, sensitive to what i believe is good, and more ready to understand than my brothers. the contents of these boats are yours too because i have returned.

IV travels made me a seeker who does not take what is given without sincerity or that which demands payments from beliefs. the years at sea and coastal states have taught me to choose, to accept only those tested by comparison, or that which matches the words of my ancestors, which returns me to my village and its perfection.

V i’ve learnt the ways of the rude to hold reality in a new logic, debate with hard and loud facts.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 93 but i too am humble, respecting, man and life.

VI i am not a new man, not very different from you; the people and cities of coastal ports taught me not to brood over a foreign world, suffer difficulties or fear possibilities. i am you, freed from the village, its soils and ways, independent, because i have found myself (By Muhammad Haji Salleh)

Stanza 3 of the poem describes how Si Tenggang returned home not as cursed son because of denying his parents, but as a seasoned Malay, as Malay as other Malays at home, “seasoned by confidence,/broadened by land and languages,/i am no longer afraid of the oceans/or the differences between people,/not easily fooled/by words or ideas./the journey was a loyal teacher/who was never tardy/in explaining cultures or variousness/look, i am just like you,/still malay,/sensitive to what i believe is good,/and more ready to understand/than my brothers./the contents of these boats are yours too/because i have returned.” True, he has growled at his mother and grandmother, but after being told of his predicament in his journey they have never brought it to reason (stanza 2). The modern Si Tenggang makes hisself free from his land and tradititon (ways), meaning that he is bold enough to transgress taboo in his tradition. But he does don’t deny his essential identity as a Malay. He is still Malay, the change made by his introduction to different people and different culture is a change into mature, confident Malay. Different from Muhammad Haji Salleh, Goenawan Mohamad, Indonesian poet, in his essay “Potret Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang”, does not modify Malin Kundang, instead identify hisself as a Malin Kundang. He uses Malin Kundang who denies his own mother as a metaphor for hisself as a young poet who denies old tradition.

Malin Kundang telah terkutuk, dan tak seorang pun mencoba memahaminya. Perahunya kandas di depan pantai, dan dalam legenda disebutkan, bahwa pemuda durhaka itu kemudian menjadi batu. Ibunya telah mengucapkan kutuk atas dirinya. Perempuan tua yang miskin itu kecewa dan sakit hati: anak tunggalnya tak mau mengenalnya lagi, ketika ia singgah sebentar di desa kelahirannya sebagai seorang kaya setelah mengembara bertahun-tabun. Dan kisah turun- temurun ini pun berkata, bahwa dewa-dewa telah memihak sang ibu. Ini berarti bahwa semua soal berakhir dengan beres: bagaimana pun, setiap pendurhakaan harus celaka. Tak seorang pun

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 94

patut memaafkan Si Malin Kundang. Kita tak pernah merasa perlu memahami perasaan- perasaannya.

It is the introduction of the essay. The last sentence of the introduction “Kita tak pernah merasa perlu memahami perasaan-perasaannya”, betrays Goenawan Mohamad’s respond to the message of the story. The respond is made explicit in the following quotations from the essay.

Pada umur yang kedelapan-belas, seorang anak muda menulis sajak. Ia tak tahu kenapa seorang harus jadi penyair. Namun pada umur kesembilanbelas, setahun kemudian, anak muda itulah yang juga menulis: “Salah satu kebebasan pertama seorang pencipta adalah kebebasannya dari sikap kolektif yang mengikat diri, dan bahaya orang yang terlalu memperhatikan rumus-rumus umum yang dikenakan di atas kesadaran keseorangannya ialah terbentuknya diri dalam lingkungan kolektivisme, sehingga hasilnya nanti tidak akan lebih dari hasil tukang proyeksi, “suara umum” dan penyodor kemutlakan ajaran…. In the quotation, Goenawan Mohamad as a young poet needed to let free himself from collective bound in order that not to become “projector”, the representative of common view and presenter of absolute teaching. He moved to Jakarta, entered university, plunged himself into artist circle, and his village in far away north coast of central Java was seen half hearted. Now the faces of his neighbors were strange to him. Kini yang teringat olehnya dari tahun-tahun itu adalah orang-orang yang tak dekat, laut yang lamban dan tidak biru, pohon-pohon yang tak hijau. Mengapa ia tak akan ingin membebaskan diri dari semua itu sebagai suatu hiburan, seperti dulu ia menghibur dirinya di bawah cemara dengan membaca, setiap kali kawan-kawannya sepermainan menjauh? Goenawan Mohamad as a young poet became a Malin Kiundang, “Stands up freely without any pasts.” In the essay Goenawan Mohamad does not describe Malay essential identity. Instead. he describes hisself as a poet which does not have any traditions, except for the tradition established by Chairil Anwar and Chairil Anwar deliberately denied Indonesian tradition. In “Surat kepercayaan Gelangang” (in Sumardjo, 1999: 250), the creed of 45th Literary Generation, he says that he does not remember to brush old culture in order to make it bright. This attitude is rooted in STA’s proposal to let free from prae-Indonesian culture if Indonesian culturalists would like to make Indonesian culture as developed as Western culture. “Pada pikiran saya pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus bebas benar berdiri dari kebudayaan zaman prae-Indionesia.” (STA, (1954: 16). The idea has brought about debate about the orientation of indonesian culture, wether to Western culture or Eastern culture. (Mugijatna, 2007). Umar Junus discusses Muhammad Haji Salleh’s new interpretation on Si Tenggang and Gunawan Muhammad’s essay about Malin Kundang in his article, “Malin Kundang Masa Kini” http://wa-iki.blogspot.com/2010/11/malin-kundang-dan-dunia-kini.htm. About Muhammad Haji Salleh he says that “Dengan mengakui diri Tenggang II, Muhammad tidak ikut mengutuk Tenggang; tetapi meletakkannya pada proporsi tertentu” and about

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 95

Goenawan Mohamad he says that “Bagi Goenawan, dia dan penyair Indonesia adalah Malin Kundang. Kepenyairan memaksa mereka keluar dari budaya nenek moyang - Jawa, Minang, Sunda dan lain-lain dan menjadikan budaya Indonesia budaya mereka.” Si Tenggang has undergone changes; the travel he made has changed him into different Malay, yet still Malay. Goenawan Mohamad’s Malin Kundang is still the same Malin Kundang who denies his mother. Muhammad Haji Salleh changes the tale, while Goenawan Mohamad does not change the tale. Muhammad Haji Salleh uses the modified Si Tenggang as a metaphor for his own journey abroad, while Goenawan Mohammad uses the tale as a metaphor for his denying Indonesian literary tradition.

Malay Identity in Indonesian Literary Works Malay essential identity can be found in Indonesian contemporary novels, in particular Laskar Pelangi by Andrea Hirata and the subsequent novels written by Andrea Hirata. Laskar Pelangi describes Malay Belitong people as marginal People. Tin which had made Belitong as one of the richest islands in Indonesia did not make Melayu Belitong people prosperous. In the island there was a State Tin Mine, PN Timah, a legacy from Dutch Colonial Government. Physically it was a glamorous enclave, surrounded by high wall with an inscription “Bagi yang Tidak Berkepentingan Dilarang Masuk” that made it detached from Malay Belitong community. Culturally the community in the enclave inherited Dutch way of life. Malay Belitong people were the lowest layer of Belitong inhabitants; the uppermost layer was the bosses of the State Tin Company. Malay Belitong people lived from plantation, or from becoming the lowest workers in the State Tin Company, or from becoming local state government officials of the lowest ones too. The layers are described as follows. Kekuatan ekonimi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi dalama lapisan yang sangat tipis. Kelas menengah tidak ada, oh atau mungkin juga ada, yitu para camat, para kepala dinas dan pejabat-pejabat publik yang korupsi kecil-kecilan, dan aparat penegak hukum yang mendapat uang dari menggertaki cukong-cukong itu. Sisanya berada di lapisan terrendah, jumlahnya sangat banyak dan perbedaannya amat mencolok disbanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor desa, karyawan rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang, semua orang Tionghoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga honorer Pemda, dan semua guru dan kepala sekolah – baik sekolah negeri maupun sekolah kampung – kecuali guru dan kepala sekolah PN Timah. (Hirata, 2008: 55). The characters in the novel are the children of the marginalized Malay and Chinese people. They studied in SD Muhammadiyah Gantong, a very poor kampong school. The building of the school was almost broken down, the roof was leaking, and when raining goats often went into the class to have a shade. Yet, the sincere and dedicative teachers

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 96 of the school who taught the students based on Islamic values were able to make the poor students have high spirit for leaning and loved knowledge. The students and the Muhammadiyah’s school were put in binary-opposition with SD PN Timah school and its students. (Mugijatna, 2010: 312). PN Timah’s school was luxurious, completed with all facilities needed by the school. The students were also completed with facilities they needed. If the students of SD Muhamnmadiyah Gantong had no shoes so that they went to school bare foot, the students of SD PN Timah not only had shoes, but also had more than one uniform. Yet, in a cerdas-cermat competition the students of SD Muhammadiyah Gantong were able to beat the students of SD PN Timah. In the subsequent novel, Sang Pemimpi, the main character in Laskar Pelangi, Ikal, successfully won a scholarship to continue his study in Sorbonne University. His far relative, Arai, who had been a very poor orphan and was adopted by Ikal’s father, also won a scholarship to study abroad. The two novels describe Malay identity as poor people who were struggling to emancipate themselves. They were successful in their emancipation due to their education based on Islamic value by sincere and dedicative teacher in an Islamic education institution. That kind of struggle was also performed by Alif Fikri, the main character of Negeri 5 Menara, a novel by Ahmad Fuadi. He really wanted to continue his study to SMA Negeri Bukittinggi in order that later he could continue his study to UI or ITB, but her mother insisted to have him continue his study to Islamic school. As a protest to her mother, he wanted to have his parents continue his study not in West Sumatra, instead in Pondok Madani, a traditional Islamic education institution in East Java. Pondok Madani, which is an icon for Pondok Gontor, a traditional Islamic boarding scholl in East Java, turned to be a true choice. There Alif Fikri with his friends called Sahibul Menara (Minaret Dwellers) had high dreams and they could make their dreams come true. Alif Fikri who then became a journalist had an office in Washington D.C., USA. Atang continued his study to a PhD program in Cairo. Raja, while keeping a mosque in London, took master degree there. Baso got a scholarship from Saudi Arabia Kingdom to study in Mecca. Only Said and Dulmajid stayed in Indonesia to become merchants. The characters of the novels show up Malay identity, 21st century Malay identity. Different from “Si Tenggang” who had already returned home with knowledge and experiences for his Malay brothers, the characters in the novels are struggling to emancipate themselves. But they will return home soon with knowledge and experiences too in order to become dignified and confident Malays. Both, Indonesian Malays and Malaysian Malays will not bend down their head shyly anymore as hoped by Usman Awang.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 97

Closing Literature is “mirror held on nature”, so says one view in theory of literature. Usman Awang and Muhammad Haji Salleh’s poems reflect Malay identity in Malaysia, while Andrea Hirata and Ahmad Fuadi’s novels reflect Malay identity in Indonesia. Malaysian Malays are keeping their traditional identity while stepping forward for knowledge and progress. Indonesia Malays are struggling to show that their traditional identity is not a hindrance for progress, except for Gunawan Mohamad. This article successfully describes Malay identity reflected in Indonesian and Malaysian literature. Based on the conclusion, Indonesia and Malaysia need to work together for common progress of both countries. The similar historical experience and cultural background can be base for the collaboration. Political and social problems should be overcome by the similarity in historical and cultural background.

DAFTAR PUSTAKA

Alcof, Linda Martin and Eduardo Mendieta. (2003). Race, Class, Gender, and Nationality. United Kingdom: Blackwell Publishing. Bertens, Hans. (2001). Literary Theory. London and New York: Routledge. Fuadi, A, (2009). Negeri 5 Menara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Hamid, Rahmah Haji A. (2007). “Pemaparan Krisis Identiti dalam Karya Pengarang Malaysia dan Indonesia.” Dalam Amin Sweeney, et. al. Keindonesiaan dan Kemelayuan. Depok, Jawa Barat: Desantara. Hirata, Andrea. (2008). Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang. Junus, Umar. “Malin Kundang Masa Kini”. http://wa-iki.blogspot.com/2010/11/malin- kundang-dan-dunia-kini.htm. Kutha Ratna, Nyoman, Prof. Dr. (2008). Postkolonialisme di Indonesia, Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mohamad, Goenawan. “Potret Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang” http://www.jalantelawi.com/2010/07/potret-penyair-muda-sebagai-si-malin- kundang Mugijatna. (2007). “Tegangan antara Universalisme dan Lokalisme dalam Sastra Indonesia. Dalam Amin Sweeney, et. al. Keindonesiaan dan Kemelayuan. Depok, Jawa Barat: Desantara. Mugijatna. (2010). “Sastra Islami dan Kritik Sastra Islam”. Dalam Adi Setijowati, dkk, Sastra dan Budaya Urban dalam Kajian Lintas Media. Prosiding Konferensi Intgernasional Kesusastraan XXI Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia. Surabaya: Pusat Penerbitgan dan Percetakan Unir (AUP), hal. 294-317. Parthasarathi, Dr. J. “The Theory of Comparative Literature” http://yabaluri.org/TRIVENI/CDWEB/thetheoryofcomparativeliteraturejul82.htm Sumardjo, Jakob. (1999). Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. : Penerbit Alumni.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 98

Si Tanggang. http://ms.wikipedia.org/wiki/Si_Tanggang. S.T.A. (1954). “Menudju Masjarakat Baru”. Dalam Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan. Djakarta: Perpustakaan Keguruan, Kementerian P.P. dan K. Totosy de Zepetnek, Steven (1998). Comparative Literature Theory, Method, Applications. Amsterdam-Atlanta: Radopi.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 99

CERMINAN MASYARAKAT JAJAHAN MELALUI NOVEL LA COLLINE OUBLIEE KARYA MOULOUD MAMMERI

Iwan Khrisnanto, M.Hum Sastra Prancis, Universitas Padjadjaran

Abstrak Aljazair merupakan sebuah negara yang terletak di Afrika Utara dan memiliki berbagai macam suku. Salah satu suku yang terdapat di negara tersebut adalah suku Kabyli dan masyarakatnya merupakan masyarakat kolonial hasil dari penjajahan Prancis. Untuk itu cara pandang dan hidup masyarakat Kabyli yang pada awalnya menganut budaya nenek moyang atau budaya tradisional, dipengaruhi oleh cara pandang Prancis yang menghasilkan sebuah masyarakat yang ambivalen.

Pendahuluan Aljazair merupakan negara yang pernah dijajah oleh Prancis dengan tujuan untuk menjadikan Aljazair negara bagian dari Prancis. Oleh karena itu masyarakat Aljazair yang di dalamnya terdapat masyarakat Kabyli, menjadi sebuah masyarakat kolonial. Pada hakikatnya, masyarakat Kabyli merupakan masyarakat yang menjalani hidup dengan menggunakan kebudayaan tradisional suku Kabyli. Salah satu kebudayaan kabyli yang biasa mereka jalani adalah ritual menyembah makam untuk mendapatkan kebahagiaan serta kesejahteraan. Namun praktek ritual tersebut diperdebatkan secara religi dan logika masyarakat. Perubahan pemikiran masyarakat Kabyli ini merupakan sebuah hasil dari penjajahan Prancis terhadap Aljazair dan ekspansi beberapa masyarakat Kabyli ke Prancis guna melanjutkan pendidikan tinggi. Kedua hal tersebut sedikit banyak mengubah cara pandang masyarakat Kabyli terhadap kehidupan budaya mereka sendiri. Maka kebudayaan asli nenek moyang suku Kabyli ini terancam tidak mengalami regenerasi. Dengan kata lain masyarakat Kabyli yang dianggap sebagai masyarakat jajahan atau kolonial mengalami konflik budaya anatara budaya Eropa dan Kabyli akibat dari penguasaan ideologi kolonial yang menguasai pemikiran, tubuh serta ruang gerak masyarakat Kabyli. Kemudian, untuk melihat lebih jelas cara pandang masyarakat Kabyli terhadap budaya lokal dan budaya asing, penulis akan menggunakan sudut pandang naratif terbatas (Schmit & Viala, Savoir Lire, 1982).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 100

Sudut pandang adalah pandangan pembaca untuk dapat mengetahui peristiwa- peristiwa dalam sebuah cerita. Sebagai cara pandang pengarang dan pembaca yang diwakilkan pada pencerita (narrateur) dalam karya sastra, sudut pandang atau perspektif sangat penting keberadaannya dalam memberitahukan tendensi dari pesan yang akan disampaikan pengarang, karena teks sastra bukanlah teks yang bersifat netral, tetapi selalu memuat perasaan-perasaan dan ideologi pengarang dari sudut pandang tertentu. Mokrane, tokoh utama dalam novel ini, merupakan bagian masyarakat Kabyli yang mengenyam pendidikan tinggi di Prancis. Saat studinya selesai, dirinya harus kembali ke Kabyli untuk membangun daerahnya yang secara geografis merupakan daerah yang sangat kering dari sumber daya alamnya. Namun hal tersebut bukan sebuah halangan bagi Mokrane untuk mengabdikan dirinya untuk tanah kelahirannya. Akan tetapi hal lain yang menjadi bahan pemikiran bagi Mokrane adalah kehidupan masyarakat Kabyli yang semakin aneh baginya. Di sinilah peran dan hati Mokrane sebagai lulusan perguruan tinggi di Prancis terpanggil untuk mengentaskan kesulitan-kesulitan yang selama ini dialami oleh masyarakat Kabyli.

A. Pengklasifikasian Masyarakat Pada awalnya masyarakat Kabyli merupakan masyarakat yang hidup penuh dengan damai dan suasana persaudaraan. Hal ini diakibatkan oleh kekuatan budaya nenek moyang suku Kabyili yang selama ini menjadi pijakan hidup masyarakat Kabyli. Salah satu budaya nenek moyang mereka yang berfungsi sebagai alat pemersatu masyarakat adalah tarian yang dinamakan Sehjas. ‘’Quand les rapports n’étaient pas trop tendus entre eux et nous, nous participions aux sehjas des camarades d’Ouali. Mais c’était plutôt rare.’’ (p.25) ‘’Ketika hubungan kami dan mereka tidak terlalu kuat, kami ikut juga menari sehjas bersama teman-teman Ouali.’’ (h.25)

Melalui kutipan di atas ini dapat dilihat bahwa budaya nenek moyang memiliki peran yang cukup kuat dalam membentuk keharmonisan masyarakat Kabyli. Dalam hal ini budaya nenek moyang atau biasa disebut dengan budaya asli tradisional selalu mengajak dan menginspirasi masyarakat untuk berpikir bahwa persatuan di dalam sebuah komunitas sangat penting. Namun, praktik budaya tradisional yang berfungsi sebagai alat pemersatu itu mulai berubah secara perlahan. Hal ini disebabkan oleh datangnya pemikiran asing dalam hal ini Prancis untuk membuka mata masyarakat Kabyli bahwa budaya Prancis jauh lebih baik dibandingkan budaya nenek moyang mereka. Oleh karena itu, masyarakat Kabyli mulai terpecah menjadi dua bagian, yaitu masyarakat terdidik dan non-terdidik. Terdidik di sini berarti golongan masyarakat yang memiliki kemampuan finansial untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas, sedangkan non-terdidik berarti golongan masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk melanjutkan pendidikan ke universitas. Pemikiran yang membedakan kelas masyarakat tersebut merupakan ciri dari

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 101 masyarakat jajahan, karena hal ini merupakan propaganda penjajah untuk memecah belah masyarakat agar dapat menguasai teritori jajahan. ‘’Nous formions deux groupes rivaux d’adolescents et l’histoire de nos démêlés a remplie toute ma jeunesse. Nous étions <> et eux <> tout court. (…) Toute une bande de jeune gens sans travail, sans ressources, le plus souvent aussi sans scrupules. La plupart étaient pauvres et certains vraiment misérables. Nous de Taasast, à qui rien ne manquait, savions très bien que, s’ils buvaient souvent à leur soif, ils ne mangeaient pas toujours à leur faim.’’ (p.23-24) ‘’Kami membentuk kelompok remaja yang bersaing dan cerita masa muda kami telah mengisi kehidupanku di saat remaja. Kami adalah kelompok Taasast dan mereka adalah kelompok yang bernama la bande, sangat singkat namanya. Semua anggota dari kelompok bande ini tidak memiliki pekerjaan, penghasilan dan yang paling sering dibicarakan adalah hilangnya moral mereka. Kebanyakan dari mereka hidup dalam kemiskinan dan beberapa di antaranya sangat menyedihkan. Sementara kami dari kelompok Taasast tidak kekurangan suatu apapun, dan kami pun mengerti kalau mereka hanya dapat minum saat mereka dahaga dan belum tentu dapat makan saat mereka lapar.’’ (h.23-24)

Kutipan tentang pembagian kelas masyarakat di atas ini merupakan sebuah situasi yang menginspirasi Mammeri sebagai pengarang, untuk menciptakan novel ini dengan tujuan bahwa di dalam pemikiran masyarakat jajahan terdapat dualisme pemikiran. Pada umumnya dualisme pemikiran seperti ini lahir sejak datangnya budaya asing dan pengaruhnya terhadap budaya lokal, karena masyarakat lokal dihinggapi virus yang dinamakan euphoria, sehingga mereka begitu antusias menyambut pembaharuan dan cenderung melupakan budaya lokal.

B. Pergesekan Pemikiran Lokal (tradisional) dan Barat Pada umumnya cara pandang penduduk Kabyli dalam menjalani hidup selalu berdasarkan budaya lokal dan agama. Namun akibat hadirnya pemikiran modern yang didatangkan dari negara penjajah, cara memandang manusia mulai berubah ke arah yang bersifat materiil. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini : ‘’Je dois avouer qu’il fit les choses magnifiquement, puisqu’il égorgea deux moutons, qu’il y eut tant de couscous que les grains s’en répandirent partout dans la vaste cour de son Moulin à huile.’’ (p.79) ‘’Aku harus mengakui bahwa dia membuat banyak hal sangat indah, karena dia memotong dua domba dan ada pula kuskus dan gandum yang tersebar di sekitar pabrik minyaknya.’’ (h.79) Pemikiran yang terdapat pada kutipan di atas ini ingin menjelaskan bahwa cara pandang masyarakat yang sedikit memiliki cara pemikiran barat secara perlahan berubah. Dalam hal ini melihat apa-apa yang dimiliki oleh seseorang daripada melihat usaha atau kerja keras seseorang untuk mendapatkan hasil yang terbaik di dalam hidupnya. Kemudian, hadirnya pemikiran tentang modernisasi yang diusung oleh barat tidak hanya melahirkan ide-ide baru dalam perubahan sebuah sistem kehidupan, tetapi juga seakan-akan membebaskan masyarakat Kabyli ini dari belenggu budaya nenek moyang mereka. ‘’Notre groupe était distendu, bigarré. Il avait fallu embaucher du monde pour charger sur les bêtes les marmites, les casseroles, les écuelles, les pots à eau, les grands plats, les gaules, les grandes couvertures de laine et les tambourins qui allaient servir tout à l’heure à la fête des femmes.’’ (p.80) ‘’Kelompok kami tidak terlalu terikat dan ramai. Kami harus mempekerjakan orang lain untuk mengurus keledai-keledai, panci-panci, piring-piring yang besar, tempat-tempat air, hidangan-hidangan yang besar,

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 102 galah-galah, selimut-selimut dari wol dan tamborin yang nantinya akan berguna saat pesta para wanita.’’ (h.80)

Penggalan cerita di atas ini menggambarkan bahwa pekerjaan sehari-hari yang bersifat tradisional, karena telah hadir sejak dulu, mulai ditinggalkan oleh masyarakat Kabyli yang memiliki pemikiran yang lebih modern. Hal ini dilakukan karena pekerjaan yang bersifat tradisional itu sudah tidak dianggap lagi memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu mereka rela untuk meninggalkannya dengan memilih untuk berpihak kepada barat. Dengan demikian keberpihakkan masyarakat Kabyli terhadap barat ini diperkuat dengan kesukarelaan mereka menjadi pasukan militer dalam perang dunia ke 2 untuk Perancis. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini :

‘’La guerre et l’occupation allemande avaient ramené presque tous les jeunes gens à Tasga. Les rues, les places n’avaient jamais été si bruyantes et si pleines. Il y avait là de tous les types : ceux qui étaient revenus de France gardaient le béret et les pantalons longs, on le leur permettait maintenant qu’on ne trouvait plus que peu d’étoffe et encore à quel prix, pour confectionner des habits comme en portaient nos ancêtres ; ceux qui revenaient des pays arabes avaient le turban et le large pantalon (…) La variété des costumes n’était qu’un signe de la bigarrure des pensées.’’ (p.71-72) ‘’Perang dan penjajahan Jerman telah mengembalikan hampir seluruh anak muda ke Tasga. Jalan- jalan dan tempat-tempat mulai ramai dan penuh. Semua pria sedang berkumpul : mereka yang datang dari Prancis mengenakan topi ala Prancis dan celana panjang yang saat ini diperbolehkan karena ada kain yang lebih hemat daripada menggunakan pakaian yang biasa digunakan nenek moyang kita ; mereka yang datang dari negara-negara Arab mengenakan sorban dan celana panjang yang besar (…). Keberagaman pakaian ini merupakan sebuah tanda adanya gangguan dalam pemikiran.’’ (h.71-72)

Dengan ini, terlihat bahwa masyarakat Kabyli merupakan masyarakat yang ambivalen. Hal ini terjadi sejak datangnya Prancis untuk meminta bantuan pada suku ini untuk perang melawan Jerman, kesetiaan mereka mulai luntur sedikit demi sedikit. Hal ini diungkapkan pada kutipan di atas yang berbicara tentang kebanggaan memiliki identitas baru daripada menjaga identitas aslinya. Hal lain yang dapat diungkap pada bagian ini adalah barat (Prancis) memiliki kekuatan untuk mengubah pola hidup dan pikir. Secara tidak langsung negara penjajah itu memiliki kekuatan penuh untuk mengubah cara pandang suatu masyarakat. Penjajahan yang dimaksud di sini bukan proses menguasai suatu tanah jajahan, tetapi lebih berpijak pada kekuatan penjajah dalam mengubah cara pandang dan identitas suatu masyarakat. ‘’Dans un monde où le sort changeant des armes remettait tout en question et que la secousse universelle avaient très profondément ébranlé, chacun cherchait la voie qui mènerait à un nouveau salut : il y avait ceux que hantaient vaguement le souvenir de l’ancienne grandeur de l’Islam et qui rêvaient d’y revenir en employant des moyens nouveaux, ceux qui, ayant travaillé à l’usine avec les ouvriers français (…)’’ (p.72) "Dalam dunia di mana perubahan nasib dipertanyakan dan pergerakan universal telah sangat mengguncang dunia, masing-masing orang mencari jalan yang akan membawa kepada kehidupan baru: ada orang-orang yang samar-samar teringat selalu akan kebesaran Islam dan yang bermimpi untuk kembali menggunakan cara yang baru saat mereka telah bekerja di pabrik dengan buruh Perancis (...)" (p.72) Uraian sitasi di atas menunjukkan adanya keinginan yang cukup kuat pada masyarakat Kabyli untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang telah diatur oleh

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 103 budaya nenek moyang. Dalam hal ini mereka ingin menemukan sebuah kehidupan yang baru dengan atmosfer yang baru. Untuk dapat memiliki kehidupan yang baru, mereka rela untuk bergabung dengan masyarakat yang menjajah. Kemudian hal ini menjelaskan pula bahwa barat menawarkan nilai-nilai positif yang dapat memperbaiki kualitas kehidupan secara materi sedangkan timur tidak dapat memberikan hal yang sama. Kemudian perubahan yang terjadi pada masyarakat Kabyli ini tidak hanya berbicara mengenai kebiasaan-kebiasaan yang ditinggalkan, namun mengungkap pula permasalahan tentang hilangnya ideologi sebuah kehidupan. ‘’On n’en avait jamais tant vu à Tasga, car les jeunes ne se mariaient plus. Ils disaient comme les Iroumien qu’il leur fallait d’abord gagner assez d’argent pour deux ; ils croyaient, les impies, que c’est du travail de leurs bras que sortirait la nourriture de leurs enfants ; ils ignoraient que c’est Dieu qui comble et Dieu qui appauvrit.’’ (p.33) ‘’Un jour nous lûmes, effarés, sur les gros titres des journaux que la paix ne tenait plus qu’à un fil et que des millions d’hommes, mécontents de leur sort, allaient, pour l’améliorer, se jeter sur des million d’autres hommes.’’ (p.28) "Itu tidak sering melihatnya di Tasga, karena generasi muda lebih memilih untuk tidak menikah. Mereka berpikir seperti orang Prancis bahwa untuk menikah hal pertama yang diperlukan adalah uang agar dapat hidup berdua dengan pasangan; mereka berpikir bahwa orang yang kurang beriman, nafkah untuk anak-anak mereka hanya datang dari hasil usahanya ; mereka pun lupa bahwa Tuhan yang memberikan rezeki dan memutuskannya. " (hal.33) "Suatu hari kami baca sebuah judul besar di surat kabar bahwa kedamaian tidak lagi merupakan tujuan hidup dan ribuan orang yang tidak dapat menerima nasib mereka memilih untuk pergi agar kehidupan mereka membaik, dengan cara bergabung dengan orang lain." (h. 28)

Pada bagian ini narator ingin menyampaikan pemikirannya tentang sebuah cara pandang yang dinilai kebarat-baratan, karena semua keputusan dalam hidup ini harus berdasarkan materi yang dimiliki. Dengan demikian masyrakat Kabyli ini mulai melupakan kehadiran kuasa Tuhan dalam kehidupan, karena mereka lebih percaya bahwa semua kebahagiaan akan datang melalui hasil karya manusia. Pemikiran seperti ini merupakan karakter dari pemikiran barat yang memang tidak terlalu percaya kepada Tuhan yang kadang dianggap absurd atau tidak jelas. Oleh karena itu beberapa anggota masyarakat Kabyli ini sependapat dengan pemikiran yang bersifat sekuler itu, karena mereka butuh uang agar dapat melanjutkan kehidupan mereka. Simpulan Setelah menguraikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat jajahan, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam jiwa dan pemikiran masyrakat jajahan terdapat sebuah ambivalensi yang diakibatkan oleh lahirnya ide-ide baru dari pemikiran penjajah. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa masyarakat jajahan merupakan masyarakat yang dikendalikan secara penuh oleh penjajah, sehingga mereka terbelenggu oleh keraguan yang tiada henti untuk lebih memilih budaya lokal atau budaya asing. Namun demikian, masyarakat memiliki kecenderungan untuk lebih memilih budaya asing, karena merupakan hal yang baru guna melepaskan diri mereka dari rutinitas yang berhubungan dengan budaya lokal.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 104

Daftar Pustaka

Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Loomba Ania. 2003. Kolonialisme / Pascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang Budaya Mammeri, Mouloud, 1992. La Colline Oubliée, Folio Schmitt, M.P & Viala, A. 1982. Savoir Lire. Paris : Les Éditions Didier.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 105

Social Ills in the Short Stories of Filipino National Artist for Literature F. Sionil Jose

by Jayson E. Parba University in Cagayan de Oro City, Philipines

ABSTRACT This paper identified the themes found in the four short stories of Filipino National Artist for Literature Francisco Sionil Jose. It also discussed the social implications of these themes. Using formalism, the following themes were distilled from Waywaya, Flotsam, Offertory, and Progress: 1) War inhibits progress and prosperity to take place; 2) Prostitution is a result of society’s degrading morality; 3) Man’s inhumanity to man is caused by greed; and) With or without progress, evil exists in society. The social implication of the themes is an array of social issues, which emanate from society’s basic unit, the family, and then moves on to issues facing the bigger world outside the home. These include the negative consequences of war, society’s moral decay shown in the existence of prostitution, corruption, and other forms of crimes like extortion, robbery, and sexual harassment. All of these speak of one general truth—literature is a reflection of life in a given society. These stories are no doubt a reflection of the lives of many Filipinos in general.

I. F. Sionil Jose, the Fictionist Francisco Sionil Jose, more popularly known as F. Sionil Jose, is one of the popularly read and renowned writers in the Philippines. According to Yabes (1990), “He is the only writer who has produced a series of novels that constitute an epic imaginative creation of a century of Philippine life, and he is perhaps the most widely known abroad, his writings having been translated into more languages than those of any other Filipino writer (The only exception would be that greatest of all Filipino writers and patriots, Jose Rizal).” Some of Jose’s works were also translated into different languages and were published here and abroad. One of these is The Pretenders (1962) a novel whose hero is alienated from both the poor rural background of his birth and the corrupt luxury of his wife’s wealthy family. “This is the most widely read of Sionil Jose’s works and has been translated into Russian, Latvian, Ukrainian, Dutch, Indonesian, and Ilocano” (Yabes, 1990). Christine Chapman of the International Herald Tribune, Paris, said, “Sionil Jose writes in English with a passion that, at its best moments, transcends the immediate scene…is a masterful short story writer.” Another writer Lynne Bundesen of Los Angeles Times comments, “The reader of his well crafted stories will learn more about the Philippines, its people and its concerns than from any journalistic account or from a

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 106 holiday trip there. Sionil Jose’s books take us to the heart of the Filipino mind and soul, to the strengths and weaknesses of its men, women, and culture.”

II. Using the Lens of Formalism in Distilling Jose’s Works Formalism’s main objective is to focus on the work itself and to treat all its parts and various elements as essential to the whole. In this regard, criticism is achieved on showing how the various parts such as characters, plot, setting, conflict, and theme of the work have been woven and put up together into the whole (Roberts & Jacobs, 1998, p. 1373). In formalism, the work is also subjected to careful scrutiny of its merits apart from any outside influences including that of the author’s personal life and background. In other words, the author’s life, his times, sociological, political, economic, or psychological implications are unimportant. Maramba (1990) said: The selection is read and viewed intrinsically, or for itself; independent of author, age, or any other extrinsic factor. This approach is close to the “art for art’s sake” dictum. The study of the selection is more or less based on the so-called literary elements which more or less boil down to the literal level (subject matter), the affective values (emotion, mood, atmosphere, tone, attitudes, empathy), the ideational values (themes, “vision,” universal truths, character), technical values (plot, structure, scene, language, point of view, imagery, figure, metrics, etc.) and total effect (the interrelation of the foregoing elements) and communication. (p. xxiv)

Thus, the formalist critic takes note of the formal elements that constitute good writing. In a mechanism called "close reading," formalism tackles the organization and structure of the text, including the word choice and word play, which can include figurative language and multiple meanings. Studies which seek to unravel the themes in short stories are therefore fitting under the lens of formalism since all of the stories’ devices such as flashback, symbolism, straight narration, dramatic presentation, irony and the like, and the stories’ elements like plot, setting, conflict, and character are examined closely and accounted for in eliciting or distilling the theme/s in each short story. Trimner and Wade (1985) wrote: We…also gain insight into the theme by looking at the ways in which writers use literary devices that compress a good deal of meaning into a small piece…Symbols often help to reveal or emphasize major themes” (p. 8).

With all this in mind, this researcher analyzed four of the short stories of F. Sionil Jose compiled in his book Waywaya and Other Short Stories from the Philippines which includes Waywaya, Flotsam, Offertory, and Progress. In achieving this purpose of analysis, the researcher formulated and answered this question: a) what are the themes in the selected short stories of F. Sionil Jose, and b) what are the social implications of these themes?

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 107

III. Social Ills and their Social Implications In Waywaya, Jose conveys that war inhibits progress and prosperity. The love story of the main characters and their life are presented as a price for peace to come between their two warring tribes. The importance of ending war is also stressed out through the two main characters named Dayaw and Waywaya who come from two warring communities. Jose communicates the importance of peace in attaining prosperity through Dayaw. Being son of the Ulo (Head), Dayaw is expected to lead his tribe in the future. However, his ideas are always different from those of his father’s. He argues with him especially when they talk about war. While his father thinks that war is important to build a strong community, Dayaw thinks that hatred and war has not done them any good but insecurities and pains. The situation tightens when Dayaw decides to marry. This is also when Dayaw’s desire for ending war heightens. He does not want his future children to be caught in the middle of a very insecure condition where war is always bound to happen. Our roofs are lined with the skulls of our enemies and they do not evoke their ghosts to rampage in our midst, they don’t disturb our sleep for their death is a joy to us. But their homes also bear the skulls of our beloved ones and they are there without honor. What has war brought us? Women wailing when they should be singing. (Jose, 1980, p. 20) For Dayaw, changes should be instigated. He longs to see his tribe to have peace and be open to the possibility of friendship with the Taga Laud. He also sees the importance of collaborating with other tribes in the future so that they would have progress. As of the present though, he wants conflicts to be resolved. He wants war to end. Jose also strengthens this theme as he ends the story with the death of the two main characters. Before Dayaw breathes his last, he told Waywaya’s father, who is also head of their tribe, that their death might hopefully bring forth peace. And yes, a realization also dawns on the latter: “There is something about an old tree,” he said, “it grows no more. At the same time, it is difficult to cut it down. Its roots are deep although it can draw no more sustenance from the earth. Maybe, it is right that new trees should grow…” (Jose, 1980, p. 28)

Waywaya therefore stresses the importance of social change by striving to attain peace so that people may enjoy progress and prosperity. This means that while there is war, it is impossible for people to enjoy living because of fear and insecurity. This is true in a country like the Philippines whose peace condition is very unstable, especially in the Southern part which is often buffeted by terrorism and armed conflicts between the soldiers and the Moro rebels. This has scared away foreign investors and tourists. The story likewise communicates the message that people should strive to have peace in their community. When there is peace, people become open to reach out to other people. Solidarity and cooperation take place in a peaceful community, making progress and

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 108 prosperity possible. Likewise, this also implies that leaders of different countries around the world should work for peace with their international neighbors, instead of waging war against each other. The second story Flotsam communicates the idea that prostitution is a result of the societies’ degrading morality. Jose portrays this problem through the narrator who cites his observation about the degrading morality happening around him: The Mabini area where I now live was not what it is now. In the thirties, it was the residential preserve of the upper class. We lived away from here, across the river in Sta. Cruz, among clerks, small shopkeepers and people with character. Mabini then was free from touts and street walkers as you see them now practicing their wiles even before nightfall. Still I am not making a moral judgment. (Jose, 1980, p. 88) Additionally, the narrator recalls his past memories of the prostitutes who has become part of his life. He meets many of them but two of which become very significant to him. The first is Lita whom he met when he was fourteen, while the other is Mimi whom he met when he was part of the medical corps of the Americans after the Japanese left the Philippines. Lita is one of those prostitutes who live near the narrator’s foster family, his aunt and uncle. When he was fourteen, the narrator had to leave his place and move to his aunt and uncle in Manila for his studies. That is where he meets Lita who becomes his love interest. One night however a raid happens, and Lita and her friend prostitutes run away. The narrator never finds them after that. The two only meet again when they are already old. Lita is now peddling sweepstake tickets in Quiapo and is still poor. She sells tickets to him, and although he recognizes Lita they fail to have a conversation. Everything has changed. The narrator meets another prostitute named Mimi when he joined the medical corps of the Americans after the Japanese left the Philippines. Mimi seems to have been exclusive for Dr. Amorosi, their chief officer. She has some education and is ambitious. Later on, the narrator meets Mimi with a college degree and a wealthy husband. While the story centers on the narrator’s different meetings with many prostitutes, Sionil Jose communicates the message that there are two kinds of prostitutes. On one hand, Lita who succumbs to her fate represents one of them. She is one of those that do not have any ambition and who, after their youth, are still in the depths of poverty and still struggle to earn a living. On the other hand, Mimi exemplifies those prostitutes who are daring and ambitious. She uses her body for the sake of achieving her ambition to have a better life, and she uses her money very well, shown in her pursuit of a college degree. In return, she gets what she wants. She even has the fortune of marrying a wealthy man after earning a college degree. Although the story’s subject is prostitution, Sionil Jose makes a very strong statement about it through the narrator who says that yes, this problem exists and through the years, the Philippines faces the same problem. However, if people judge the prostitutes and condemn them for such immorality, they might as well make the same judgments toward corrupt politicians:

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 109

So today, I sometimes wander around Quiapo downwards to Avenida, poking around the greasy restaurants and the teeming shops for that part of the past that badgers the mind. I come across the flotsam which the tide wafts and many of them, I know, are not the derelicts that we often think they are. It is easy to make judgments but we may just as well stigmatize, too, those who glide around the ozone regions of our society, knowing that they stink with corruption---a debasement which needs no description—for such is exposed for all of us to see. (Jose, 1980, p. 106)

There is no doubt that Flotsam mirrors one of Philippines’ social problems— prostitution. This is also common for countries who are poor. The theme also mirrors what happens as a result to people’s moral decay. Prostitution is just a result of corruption and of people’s failure to take part in their social responsibility. According to sociological theories on deviance, in this case, prostitution, “The deviant or criminal person is a product of social sickness or social disintegration…a result from the failure of social structures to function properly” (Kornblum, 1997, p. 191). As a country, the Philippines needs to solve poverty first. In the case of prostitution, we might ask: why are some women doing this? And often the answer is it is the only means of living they know after not having finished college. This also implies that something has to be done about our educational system. We need to work harder to be able to have high school graduates who are already skillful and marketable, who can already find decent jobs, and we still have a long way to go. On the other hand, what the theme really speaks is that it is nobody’s right to judge prostitutes. After all, they are just victims of circumstances, and everyone is accountable for their sad plight. In the third story Offertory Jose presents the idea that man’s inhumanity to man is caused by greed. This story focuses on how men could become so cruel to others. Here, Jose communicates the theme by focusing on Jose Samson who undergoes horrifying experiences. He has been mistakenly identified as one of those who allegedly try to bring down the government although in truth he is completely innocent. Jose Samson is held captive and is imprisoned by soldiers who starve, torture, and even electrocute him at his testicles. All brutalities were basically done to him. He is initiated to a world, which has its rules—rules that prisoners themselves enforce because within the jail there is another law—not the law of those who guard them. This experience shatters Samson’s being. In the Bilibid prison, the King of the prisoners rapes him. And although he survives, it is evident that his experience is indeed a manifestation of how man could be so cruel to others. Jose explicitly states the theme through the main character, who said that greed is evil which will make men inflict pain on other people: I have wondered why it happened at all—and what it did to me. I have not accepted, and will never accept, the mindless act of Tarzan, even if he was just following orders, or the depravity of Bing-Bong, as machinations of a supreme will, or even of fate. These men and what they did were the end products of a modern malaise which is spreading like a blob that covers, disfigures everything, the green of leaves, the fragrance

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 110 of flowers, the blue sky. It is evil that greed is and these men were transformed by it. (Jose, 1980, p. 203) Offertory implies two things: first, it is people’s responsibility to do good to others and second, people’s greed for power and ambition could transform them into evil. In a society where survival is critical, competition is prevalent. However, because of personal greed, some people have become evil. This is very true in the case of the main character in the story who has been been tortured and abducted because of greed and of society’s degrading morality. This should also remind our law enforces that even criminals or suspects have fundamental human rights. They deserve to be treated well and fairly. In his essay titled, “The Rich Get Richer and the Poor Get Prison,” Jeffrey Reiman (2001) notes that most crimes fall more frequently and more harshly upon the poor than upon the better off. Just like in the story, Jose Samson suffers because he could not afford to get a good lawyer, just like many poor Filipinos. He suffers because he is poor. He suffers because nobody cares. Again, the activist Jose wants Filipinos to examine their own morals and that of their society. It is high time people look into the whole justice system, which seems to be biased against the poor. In Progress, Jose tells his readers that with or without progress, evil exists in society. This short story focuses on Marina Salcedo who struggles and faces many forms of evil as she tries to get her long overdue salary increase. Marina suffers from evil through the different forms of injustices that happen to her when she reached Manila, a progressive city. What happens to her is more than injustice, for it happens in the same Ministry where her office is directly connected with. First, she is extorted twice by the one in-charge of the promotion, a large woman who tells her that her forms got misplaced. She has to give a twenty-peso bill for the boy who would look for her papers through the files. The truth, however, is that this has initiated her to the world of corruption which is just one of the evils that loom before her. She shook her head without the plastic smile leaving her face. “Mrs. Salcedo,” she said coyly, “I will have to go through the files—stacks and stacks of them. I am very busy. I will have to ask one of the boys…” She opened her drawer close to Mrs. Salcedo. “Why don’t you drop a twenty peso bill for him…” (Jose, 1980, p. 228) This experience is very shocking for Marina because this is the same ministry where she works for, only she has been assigned to the province. Nevertheless, she gives twenty pesos and she is told to come back the next day. All that she could say is that she comes from the province. She does not know that this is just going to be the first. Another form of evil happens to Marina the following day when the woman tells her that one of her forms is missing again, so she needs to go back to the Administrative section to get one. When she goes there, the man in charge tells her that they run out of copies. But when Marina gives one peso bill and drops it into the open drawer, the man goes directly to the rusting cabinet, and it does not take him one minute to find one copy: The man’s top drawer was open. She looked into her handbag and found a five peso bill—the smallest denomination there. She made a mental note, she should have two peso bills. She took one and dropped it into the open drawer. (Jose, 1980, p. 231)

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 111

The next form of evil which happens to her, probably the worst, is when she goes to the office of Chief Lobo, the finance officer. He is an opportunistic person who takes advantage of women. He wants Marina to treat him out for dinner at a very expensive restaurant. At the restaurant Marina experiences the most shocking experience she ever has. Chief Lobo wants to spend the night with her. No matter how she pleads, telling him that she is already a grandmother, Chief Lobo is persistent: “He looked hungrily at her breasts and Marina felt the blood rush to her face. ‘And you are full breasted. Well, I will see if they are still firm after three children”(Jose, 1980, p. 237). However, Marina’s tragedy does not end there. She experiences another blow when as she is about to reach home, her handbag, which contains all the documents, is robbed away from her. All she will have done is to show them to the paymaster so that she can have her raise. But, it all vanished and the thought of going back to Manila terrifies her. It is only when she reaches home that finally, everything sinks in: To their torrent of questions, she gave no reply as the dam broke and Marina Salcedo crumpled on her knees, she grief, the anger, torn from her in bitter sobs. No word of comfort, of solitude, no embrace could staunch the flow. (Jose, 1980, p. 241) Social crimes like extortion, bribery, sexual harassment, and robbery are apparent in Progress. Just like what happens to Marina Salcedo, the story’s main character, anybody can be antagonized by these crimes. In the Philippines, many of these crimes usually happen in cities not just because these cities are overpopulated but because of unemployment and poverty. According to a study conducted by Onofre D. Corpuz in 1955, societies like the Philippines encounter many problems. Although the study was conducted many decades ago, Javier et al. (2002) noted that the same problems still exist. Some of these crimes are robbery, extortion, and sexual harassment. The implication of these crimes is that wherever one is, s/he should be wary to keep himself/herself safe. This also implies that laws against these crimes have not been enforced effectively. This is to say that people must help one another to keep these crimes from happening to them or to keep themselves away from these forms of violence and injustice. Additionally, these crimes also imply that poverty is prevalent in the Philippines. Poverty is no doubt one of the reasons for people to commit crimes like robbery and extortion to be able to feed their families.

IV. Conclusion Jose believes that the main purpose of his writing is to “move people” or “to change society.” The various themes distilled depict the universal appeal of his stories, which speak not only for the Filipinos but also for other peoples. Although the different settings and characters mirror Filipino life, Jose’s themes are very universal. Jose’s themes speak about the general significant human experiences. The stories also provide insights about the social implication of their themes. Most of these issues center on how people feel and think about themselves in relation to how other people’s treatment. This in turn affects how they interact with other people. Since social issues are mere results of

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 112 how the individuals and the families handle their respective problems, the presence of all social problems is a reflection of society’s fundamental unit—the family. This study allows the opportunity of seeing and looking into what Filipino authors like Jose wants to say about social issues and life in general. Sionil Jose’s stories provide an opportunity of making the readers being immersed into the life of many Filipinos especially that his stories are a depiction of authentic Filipino experiences.

References

Javier, J. et al. (2002). Introductory sociology and anthropology: A pedagogy. Manila, Philippines: Rex Book Store. Jose, F. S. (1980). Waywaya and other short stories from the Philippines. Hong Kong: Heinemann Educational Books (Asia) LTD. Kornblum, W. (1997). Sociology in a changing world. USA. University of New York, 1997. Maramba, A. (1990). Philippine contemporary literature. SSP. Makati City, Philippines: The Bookmark Inc. Reiman, J. (2001). The rich get richer and the poor get prison. Understanding Society: An introductory reader. Margaret Andersen, ed. USA: Wadsworth Thomson Learning. Roberts, E. & Jacobs, C. (1998). Literature: An introduction to reading and writing. USA. Prentice Hall, Inc. Yabes, L. (2007). Critical studies: F. Sionil Jose and his fiction. 1990 e.d. Morales, Alfredo T. Retrieved from http://www.biography.jrank.org/pages/4741/Sionil-Jose-F- rancisco.html>. ______. Francisco Sionil Jose. Retrieved from: http://www.engr.uvic.ca/~amakosin/afsj.html

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 113

REVITALISASI FILM SASTRA DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA BANGSA

Ali Imron Al-Ma’ruf FKIP & Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Pos-El: [email protected]

ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) memaparkan eksistensi film sastra sebagai media unggulan dalam pembangunan budaya; (2) mengungkapkan film sastra Indonesia yang berpotensi dalam upaya pembangunan budaya bangsa; (3) mendeskripsikan revitalisasi film sastra Indonesia dalam pembangunan budaya bangsa termasuk di dalamnya moral/karakter. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan fenomenologis; sampel data diperoleh melalui purposive sampling; pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka, simak dan catat; validasi data melalui trianggulasi data dan metode; analisis data dilakukan dengan content analisis, analitis kritis, dan metode induktif. Hasil penelitiannya adalah: (1) eksistensi film sastra dalam pembangunan budaya bangsa (cultural engeneering) antara lain dalam mempresentasikan kesaksian tentang keadaan masyarakat (kehidupan sosial) pada zamannya, memberikan kesaksian akan pikiran dan perasaan yang hidup dalam masyarakat (kehidupan budaya), dapat mengembangkan rasa empati dan toleransi, mampu membuat penontonnya mengenal dirinya sendiri melalui tokoh-tokohnya; (2) film sastra Indonesia yang berpotensi dalam upaya pembangunan budaya bangsa antara lain novel Badai Pasti Berlalu (1980-an), Detik-detik Cinta Menyentuh karya Ali Shahab (1986), Kadarwati Wanita dengan Lima Nama karya Pandir Kelana (1992), Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (Srintil Sang Primadona,1992/Sang Penari, 2011), Si Doel Anak Sekolahan (1993), Perempuan Berkalung Surban (2007), Ayat-Ayat Cinta (2008), Ketika Cinta Bertasbih (2010) karya Habiburrrahman Elshirazy, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (2010), Sang Pencerah (2011); (3) revitalisasi film sastra Indonesia dalam pembangunan budaya bangsa dimungkinkan antara lain mengingat film sastra sebagai media massa akan dapat memerankan fungsi (a) memberi informasi, (b) mendidik, (c) menghibur, (d) mempengaruhi, (e) membimbing, dan (f) mengeritik. Kelebihan film sastra terletak pada aspek kemanfaatan yang menawarkan nilai-nilai kehidupan baik sosial, kultural, moral, religius, maupun psikologis sekaligus daya pikatnya dalam menghibur penontonnya; menyampaikan keunggulan kultural tanpa menggurui, enak ditonton, dan menghibur; dan mengingat masih rendahnya minat membaca sastra di kalangan masyarakat kita, maka film sastra dapat menjadi alternatif media yang menjembatani masyarakat dalam apresiasi karya sastra.

1. Pendahuluan Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan era globalisasi, masyarakat Indonesia dewasa ini dapat dikatakan tidak dapat melepaskan diri dari acara televisi. Dengan menonton televisi, masyarakat telah menyaksikan berbagai karya sinema seperti film (bioskup), film televisi (FTV), sinema elektronik (sinetron), telenovela, dan cerita serial lainnya. Menurut data, hingga akhir dekade 1990-an, 60-80% tayangan televisi di Indonesia berupa film atau sinema lainnya. Kebanyakan film yang diputar berasal dari negara asing. Keadaan itu kini telah berubah menjadi sekitar 50-60% acara televisi kita berupa film. Peran strategis film sebagai media massa dalam rangka sosialisasi nilai-nilai budaya bangsa tidak dapat dipungkiri. Karena peran strategisnya, pakar perfilman, Kracauer (1974), menyatakan bahwa “Film suatu bangsa mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media artistik lainnya.” Pendapat Kracauer

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 114 tersebut dilandasi paling tidak oleh dua alasan. Pertama, film adalah karya bersama (kolektif). Artinya, dalam proses pembuatan film, sutradara memimpin sekelompok seniman dan teknisi dalam berbagai bidang. Dalam proses kerja, sutradara tidak dapat menghindar dari mengakomodasikan sumbangan pendapat dari berbagai pihak. Kedua, film dibuat untuk orang banyak. Karena memperhitungkan selera massa itulah maka film tidak dapat jauh dari masyarakat penontonnya. Rasanya tidak mungkin seorang pemilik modal berminat mengeluarkan dana milyaran rupiah untuk memproduksi film dengan sutradara dan pemain-pemain yang hebat sekali pun jika secara logika teoretis tidak akan diminati khalayak penonton atau masyarakat. Kebanyakan sinema Indonesia belum dapat menjadi tontonan yang mampu memberikan hiburan sekaligus bermanfaat bagi pembangunan kultural. Mayoritas sinema kita telah kehilangan daya teatrikalnya sebagai sebuah tontonan yang dramatik kecuali beberapa sinema seperti Tjut Nja’ Dhien karya Eros Djarot, Langitku Rumahku karya Slamet Raharjo, Taksi karya Teguh Karya, Daun di Atas Bantal karya Garin Nugraha, Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto, Si Doel Anak Sekolahan karya Rano Karno, Naga Bonar dan Qiyamat Sudah Dekat karya Deddy Mizwar, Laskar Pelangi karya Riri Reza, Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo, Pengemis dan Tukang Becak, Pasir Berbisik, dan Tiga Orang Perempuan. Sebagai sarana komunikasi kultural, mayoritas sinema kita belum mampu menawarkan permasalahan-permasalahan yang inovatif, yang khas Indonesia, dan yang sesuai dengan mainstream masyarakat Indonesia yang cita rasanya terus meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan/intelektualitasnya terlebih dengan berlangsungnya globalisasi. Inilah salah satu sebab mengapa sinema Indonesia banyak yang 'ditinggalkan' oleh masyarakat penontonnya yang kritis. Dalam posisi film sebagai media pembangunan budaya bangsa, cukup banyak fenomena yang memprihatinkan. Membanjirnya film-film asing yang notabene sering bertentangan dengan nilai budaya bangsa dan minimnya perfilman nasional yang memiliki nilai edukatif kultural, terlebih film anak-anak (terakhir baru film Petualangan Sherina (2000) dan Yoshua Oh Yoshua (2000), merupakan realitas memprihatinkan sekaligus mencerminkan keterpurukan perfilman nasional. Seiring dengan itu, makin banyaknya televisi swasta di Indonesia di samping TVRI membuat televisi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tak terhindarkan. Sudah saatnya kita memikirkan film sastra yang memiliki nilai strategis sebagai media revitalisasi budaya bangsa, baik di institusi pendidikan (sekolah, kampus) maupun di masyarakat tanpa harus memberi khutbah, menggurui dan mengindoktrinasi masyarakat. Permasalahannya adalah seberapa jauh film nasional telah melakukan fungsi kulturalnya; dan bagaimana peran kalangan sastrawan (dan pendidik) bekerja sama dengan para sineas untuk menciptakan film sastra dalam rangka pembangunan budaya bangsa.

2. Minat Baca Sastra Masyarakat Rendah Masalah yang paling Nampak adalah minimnya minat membaca karya sastra di kalangan masyarakat Indonesia. Kondisi itu tidak terlepas dari ketidakberhasilan pembelajaran sastra di sekolah-sekolah dari SD hingga SMA, yang sederajat, seperti yang sering dilontarkan oleh Taufik ismail (1999). Bahkan, Taufik Ismail (2003) berdasarkan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 115 hasil penelitiannya (2002) menyatakan bahwa, para siswa sekolah kita kebanyakan “Rabun Membaca, dan Lumpuh Menulis”. Meskipun Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) (2004) yang kemudian menjelma menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (2006) mewajibkan setiap lulusan SMA harus sudah membaca 15 karya sastra fiksi, dalam dataran praksis hal itu belum dapat terwujud karena berbagai alasan. Lebih-lebih pada era global yang penuh kompetisi dalam segala bidang kehidupan yang serba cepat serta kemajuan teknologi komunikasi yang memanjakan masyarakat dengan berbagai produk teknologi komunikasi yang memberikan informasi dan hiburan murah seperti radio, tape recorder, televisi, video, VCD/DVD, home theatre, telepon seluler (hand phone), komputer, dan internet, maka minat membaca karya sastra semakin memprihatinkan. Tidak banyak warga masyarakat Indonesia yang suka membaca karya sastra. Jika ada itu pun terbatas pada kaum terpelajar atau kalangan intelektual dan ibu-ibu muda kelas menengah ke atas. Karya sastra literer misalnya kebanyakan pembacanya adalah komunitas sastra. Mereka adalah pecandu sastra yang berlatar belakang sastra seperti mahasiswa dan dosen Fakultas Sastra atau FKIP Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra, dan sebagian lagi adalah kalangan intelektual/terpelajar tertentu yang memiliki kegemaran membaca karya sastra yang jumlahnya relatif sedikit. Adapun karya sastra popular, mayoritas pembacanya adalah kaum remaja belia (Anak Baru Gedhe/ABG) dan ibu-ibu muda kelas menengah ke atas. Jadi, pembaca sastra kita sebagian besar adalah masyarakat kota kelas menengah ke atas yang memiliki kesempatan dan dana untuk membeli atau menyewa Kondisi tersebut terungkap dalam berbagai seminar sastra dan seminar pengajaran sastra di samping dapat dilihat dari minimnya jumlah pembelian karya sastra di toko-toko buku dan sedikitnya cetak ulang karya sastra. Tentu saja ada pengecualian dalam hal ini untuk beberapa karya sastra fenomenal. Misalnya novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (2006), Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi (2010), Mereka Bilang saya Monyet (2003) dan Nayla (2007) karya Djenar Mahesa Ayu, Saman (1998) dan Larung (2001) karya Ayu Utami, Supernova karya Deedee (2001), trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1982-1986), Pengakuan Pariyem Dunia Batin Wanita Jawa karya Linus Suryadi A.G. (1981), Khutbah di Atas Bukit (1976) dan Mantera Penjinak Ular (2000) karya Kuntowijoyo, Sri Sumarah (1975) dan Para Priyayi (1992) karya Umar Kayam, Keluarga Permana (1987) dan Ladang Perminus (1992) karya Ramadhan K.H., Burung-Burung Manyar (1981) dan Burung-Burung Rantau (1987) karya Y.B. Mangunwijaya (1981), Godlob (1974) dan Adam Ma’rifat (1981) karya Danarto, kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami (1967) dan novel Kemarau (1971) karya A.A. Navis, dan sederet novel popular yang sangat laris manis.

3. Fungsi Ganda Film Sastra Film sastra sebagai karya seni memiliki fungsi ganda yakni menghibur sekaligus berguna (dulce et utile)(Horatius), menghibur sekaligus mengajarkan sesuatu (didactic heresy)(Edgar Allan Poe, 1995). Film merupakan karya artistik yang indah dan memberikan efek didaktis. Namun, film juga merupakan karya sintetik (perpaduan berbagai cabang seni) dan karya kolektif. Artinya, film melibatkan para seniman dari berbagai cabang kesenian, seperti seni rupa, seni desain, seni musik, seni peran (acting), seni sastra, seni tari, dan lain-lain, di samping melibatkan para ahli teknologi komunikasi

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 116 dan informasi di samping ahli elektronik, kameraman, dan komputer dalam menampilkan adegan-adegan action dan atraktif lainnya dengan trik-trik yang menawan. Karena itu film dan jenis sinema lainnya dikatakan sebagai media artistik yang paling kompleks dan memiliki daya pikat yang tinggi. Sebagai media massa, film sastra dan jenis sinema lainnya memiliki tiga fungsi utama yakni; (1) memberi informasi (to inform), (2) mendidik (to educate), dan (3) menghibur (to entertain). Di samping itu, ada tiga fungsi lain media massa yakni: (4) mempengaruhi (to influence), membimbing (to guide), dan mengeritik (to criticise) (lihat Effendi, 1986). Melihat keenam fungsi film tersebut, alangkah baiknya jika kita dapat memanfaatkannya sebagai media sosialisasi kultural bagi kaum muda ataupun masyarakat pada umumnya. Sebab, dengan daya artistiknya, film tidak saja memberi penonton hiburan melainkan juga memberi informasi sekaligus memberikan efek edukasi secara persuasif. Sehingga, seperti halnya karya sastra, tanpa memaksa, bahkan sebaliknya memanjakan, film mengajak para pentonton memperoleh edukasi kultural tanpa harus menggurui atau menceramahi penontonnya. Film sastra, pada hakikatnya menyangkut dua jenis ungkapan sosial-budaya (Soebadio, 1993). Di satu sisi film memberikan kesaksian tentang keadaan masyarakat (kehidupan sosial) pada zamannya dan di sisi lain film juga memberikan kesaksian akan pikiran dan perasaan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (kehidupan budaya). Film memberikan kesaksiannya melalui gambar. Dengan kata lain, film menggunakan cara visual untuk mengungkapkan kehidupan sosial-budaya masyarakat. Landasan bagi ungkapan sosial-budaya tersebut adalah keadaan kehidupan sosial- budaya masyarakat yang bersangkutan. Artinya, keadaan suatu masyarakat tertentu, dalam wilayah dan kurun waktu tertentu, mempengaruhi sifat ungkapan yang dikemukakan. Dengan kata lain, dalam memberikan penilaian atas isinya, perlu diperhatikan keadaan sosial-budaya masyarakat yang bersangkutan. Implikasinya, bahwa isi film tidak dapat dinilai terlepas dari keadaan masyarakat yang berkaitan. Hal itu menyangkut perhatian terhadap tingkatan masyarakat dalam pendidikan. Film merupakan media massa modern dan baru berkembang pada abad XX, sehingga budaya sinema pun belum berkembang dalam kehidupan masyarakat kita. Artinya, persoalan film atau sinema pada umumnya masih menjadi persoalan kalangan terbatas yakni para insan perfilman (lihat Wardhana, 1997). Karena itu, diperlukan sikap lain dalam menilai dan memahaminya. Film menggunakan media audiovisual. Ini berarti, film dapat dilihat dan dinikmati oleh siapa saja, termasuk mereka yang berpendidikan rendah, bahkan mereka yang belum dapat membaca dan menulis. Akibatnya, dampak film dan karya sinema lainnya jauh lebih luas dan jika ada dampak negatifnya lebih mengkhawatirkan daripada sastra (Al-Ma’ruf, 1993). Itulah agaknya yang melatarbelakangi dibentuknya Lembaga Sensor Film di Indonesia untuk menyensor adegan-adegan yang dipandang kurang etis atau dinilai tidak mendidik, yang dikhawatirkan dapat merusak sendi-sendi budaya bangsa. Jika kita melihat film dan kemungkinan disensor karena alasan pendidikan, maka sekali lagi perlu diperhitungkan tingkatan kependidikan dan keberadaban masyarakat penonton ataupun kreativitas kalangan sineas.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 117

3. Fungsi Edukatif Kultural Film 'For us, the most importance of all art, is cinema', kata Vladimir Ilyich Lenin (dalam Sumardjono, 1993). Pernyataannnya itu dilandasai oleh pengertian bahwa sinema dapat berfungsi sebagai guru sekaligus propagandis. Di Indonesia, pencanangan fungsi edukatif kultural sinema ini dimulai pada era orde baru ketika Ali Murtopo menjadi Menteri Penerangan RI (Sumardjono, 1993). Saat itu pemahaman mengenai asas edukatif kultural sangat sempit. Seolah-olah asas itu hanya dasar pembinaan produksi film Indonesia, sedangkan sektor perfilman lainnya tetap pada asas ekonomi yang komersial. Menghadapi situasi yang kontroversial demikian para produser film mengeluh bahwa asas edukatif kultural itu membuat film Indonesia sulit dipasarkan. Sayang sekali bahwa “ruh” kebijakan Menpen Ali Murtopo tersebut tidak dijabarkan lebih jauh sehingga asas kebijakan pembinaan film berdimensi kultural edukatif yang begitu luhur dan bernilai strategis tidak mencapai tujuan esensinya. Sebagai sarana edukatif kultural merupakan salah satu fungsi kultural sinema Indonesia. Namun dalam ruang lingkup kebijakan mencerdaskan kehidupan bangsa, sinema sebagai sarana edukatif kultural tampaknya perlu kita kaji lebih mendalam. Sebab, sinema sebagai salah satu media massa memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan wawasan dan pembentukan persepsi masyarakat sehingga pada gilirannya akan dapat berpengaruh pada perilaku mereka. Hal ini dimungkinkan mengingat “khutbah-khutbahnya lebih sering didengar mereka ketimbang khutbah para kyai di masjid atau khutbah pendeta di gereja, sebab langsung masuk di kamar-kamar rumah di berbagai pelosok” (lihat Rachmat, 1992). Pesan-pesan film yang ditayangkan media elektronik sering lebih didengar daripada pesan-pesan para khatib, ustadz, dan para kyai di masjid atau para pendeta dan pastur di gereja. Film sastra agaknya dapat menjadi alternatif dalam merevitalisasi budaya bangsa yang berkecenderungan semakin mengalami degradasi dan erosi akibat gempuran budaya asing seiring dengan era global, tanpa harus berkhutbah. Inilah kekuatan film sastra: menghibur sekaligus menawarkan alternatif nilai-nilai budaya bangsa untuk memperkaya khazanah batin manusia yang sangat berguna bagi penguatan moral dan mental spiritual.

4. Film Sastra: Sinergi Sastrawan, (Pendidik), dan Sineas Ada dua faktor penting dalam hal film sastra ini, yakni pertama pembuatan sarana (produk media) dan kedua adalah sistem penggunaan sarana (eksibisi media). Dalam sistem produk, sinema harus mandiri dari asas ekonomi yang sudah lazim dalam produksi sinema Indonesia. Dengan kata lain, sistem pembuatan sinema itu harus dijauhkan dari perhitungan perputaran modal secara komersial (meskipun film komersial yang baik juga dapat melakukan fungsi edukatif). Tegasnya, sudah sangat mendesak perlu dipikirkan kebijakan penyelenggara negara dalam penyediaan dana secara khusus untuk memproduksi sinema yang memiliki daya kultural yang tinggi. Dari pemikiran itu perlu dimunculkan paradigma baru dalam perfilman nasional yang tidak saja memfokuskan pada hegemoni pemilik modal melainkan juga pada dimensi kulturalnya secara benar. Artinya, sumber daya manusia (SDM) sebagai faktor yang sangat esensial sebaiknya tidak dari sektor produksi film komersial. Harus dibangun tradisi baru dalam penyediaan SDM, yakni SDM dari sektor pendidikan yang dipercaya memiliki

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 118 dedikasi kepada pembangunan budaya bangsa. Karena itu, SDM memang sudah harus bermuatan ilmu dan berkepribadian sebagai pendidik, paling tidak memiliki kepedulian terhadap pembangunan kultural bangsa, bukan sekadar berorientasi pada bisnis. Secara sederhana mereka memiliki kapasitas dalam hal sinematografi sekaligus memiliki komitmen terhadap pembangunan budaya bangsa. Perlu disadari pula bahwa sinema hanya media seperti buku. Perbedaannya adalah sinema memiliki prosedur kebahasaannya yang unik, kebahasaan piktorial yang dapat berfungsi universal. Buku dan guru menggunakan bahasa lisan atau tulisan dalam sistem linguistik berdasarkan pemahaman bahasa yang secara kultural dikenal dan dipahami siswa sebagai komunikan. Bahasa-bahasa dalam ragam tulisan dan lisan sebagai sarana komunikasi pendidikan memerlukan kekuatan daya penafsiran yang cukup canggih dari siswa (komunikan) untuk memahami pengertian pesan komunikatif baik secara denotatif maupun konotatif. Adapun daya tafsir para siswa sebagai sikap persepsional dapat beragam berdasarkan kondisi intelektual, kondisi sosial-kultural, dan mungkin kondisi pribadi dalam fenomena psikologis. Jika bahasa tulisan dan lisan yang hanya mampu menyajikan bentuk abstrak (imajiner), maka bahasa sinema mampu menyajikan bentuk secara konkrit. Bahasa sinema (bahasa piktorial) membantu para siswa menafsirkan pesan praktis dan mudah. Namun, sebenarnya bahasa sinema dipandang dari aspek semiotik juga memerlukan kemampuan membaca atau mengeja bentuk sebagai unsur visual untuk mencapai pemahaman secara optimal. Itu sebabnya James Monaco membuat judul bukunya tentang tinjauan berbagai masalah sinematografi bukan How to See Film melainkan How to Read a Film. Guna mencapai pemahaman optimal terhadap misi pesan yang disampaikan dengan sarana komunikasi sinematik, tidak cukup hanya menonton tetapi juga harus membaca simbol-simbol komunikasi yang terwujud dengan beragam bentuk fisik dan mungkin juga berbagai ciri eksistensi makhluk terutama manusia tentang karakter dan latar belakag pribadinya. Dalam arti sederhana, film sastra sebagai sinema edukatif diartikan sebagai merekam dan menayangkan kegiatan sang guru di depan kelas. Dalam pengertian yang maju, sinema edukatif harus diartikan sebagai transformasi pelajaran yang biasa disampaikan oleh guru ke dalam bentuk sinematik atau melalui pendekatan sinematografik. Di tengah kebangkitan film nasional, kita perlu memikirkan pentingnya film yang berwawasan edukatif kultural. Inilah salah satu peluang untuk mengisi dan membangkitkannya. Bukankah kini banyak televisi swasta dan/atau rumah produksi (production house) yang peduli edukasi kultural yang mau diajak bekerja sama untuk menggulirkan gagasan tersebut. Selain itu, sebenarnya ada beberapa solusi untuk menggairahkan kembali film nasional dan memfungsikannya sebagai media edukatif kultural. Paling tidak ada empat pihak terkait yang dapat melakukannya. Pertama, pihak insan film sendiri harus meningkatkan profesionalitasnya, baik dalam acting, manajemen, teknologi, pamasaran, dan lain-lain. Kedua, masyarakat kita yang rata-rata kelas menengah ke bawah perlu diberikan apresiasi film; termasuk juga perlu didirikannya Cine Club-Cine Club untuk membentuk komunitas film dan budaya film. Ketiga, pihak produser mestinya tidak hanya mengejar profit (komersial) melulu, melainkan juga berorientasi

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 119 pada aspek edukatif kultural dan berorientasi kebangsaan (nasionalisme) sehingga mau membiayai film-film bermutu (lihat Said, 1991). Keempat pihak pemerintah, sudah semestinya membuat kebijakan proteksi terhadap masuknya film-film asing (dengan berlangsungnaya era globalisasi dan datangnya era pasar bebas yang dimulai dengan AFTA pada 2003, hal itu tidak mudah) untuk memberi kesempatan kepada film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kita dapat belajar dari India dan Filipina dalam hal ini (Al-Ma’ruf, 1999). Jika keempat pihak terkait itu dapat menjalankan fungsi masing- masing secara optimal niscaya film nasional akan dapat bergairah kembali. Betapa penting kerja sama sinergis antara sastrawan sebagai kreator cerita berbobot, pendidik yang menguasai metode edukasi, dan sineas yang memiliki kompetensi di bidang sinematografi. Dengan kerja sama ketiga pihak tersebut –tentu saja ditambah dengan produser/ pemilik modal atau institusi penyandang dana—niscaya akan lahir banyak film sastra, genre sinema yang mampu melakukan fungsi pembangunan kultural bangsa.

5. Film Sastra sebagai Media Revitalisasi Budaya Film atau genre sinema lain seperti film bioskup, film televisi (FTV), sinetron, dan telenovela, yang dibuat berdasarkan karya sastra sehingga film itu memiliki bobot literer disebut film sastra. Sebagai sinema yang memiliki bobot literer maka sinema itu paling tidak memiliki keharmonisan antara hakikat dan metodenya, struktur dalam (deep structure) dan struktur luar surface structure). Dari segi hakikat/isi berarti aspek cerita yang terjalin dalam alur kisah memiliki gagasan/makna yang berguna bagi kehidupan manusia, mampu memperkaya khazanah batin manusia dengan menawarkan alternatif nilai-nilai kehidupan. Adapun dari segi metode/bentuk menyangkut bagaimana cara mempresentasikan makna kehidupan yang berupa mosaik-mosaik dari kehidupan universal kepada khalayak penonton tanpa harus mencekokinya dengan doktrin yang dogmatis atau menggurui. Dengan kata lain, film sastra memiliki daya edukatif kultural yang tinggi sekaligus enak ditonton karena memiliki kekuatan artistik. Setiap hari kita disuguhi telenovela atau film yang didatangkan dari negara Barat atau Amerika Latin yang kadang-kadang budayanya sering bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Mengapa kita tidak memproduksi sendiri film sastra yang dapat dipakai untuk mempresentasikan nilai-nilai kultural bangsa. Kita menyadari betapa besar dampak film sastra bagi masyarakat dalam membentuk pemikiran, image, persepsi, sikap, dan perilaku masyarakat. Budaya asing yang membawa dampak negatif terhadap budaya nasional bukan lagi sekedar bersifat penetrasi, atau infiltrasi, melainkan membanjir dalam kehidupan masyarakat karena kini arus informasi tidak mungkin dibendung dengan upaya politik sekalipun. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari era globalisasi dan merebaknya era cyberspace yang memungkinkan manusia melihat dunia cukup melalui media elektronik khususnya internet sehingga arus informasi kultural dari seluruh dunia akan melanda bangsa kita. Dalam rangka membangun budaya bangsa Indonesia sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia, maka memberdayakan film sastra sebagai media revitalisasi budaya bangsa merupakan kebutuhan. Untuk menanggulangi dampak negatif arus globalisasi terhadap keluhuran budaya bangsa Indonesia maka kepercayaan atas jati diri bangsa yang memiliki kebenaran

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 120 falsafah hidup bangsa yang sarat dengan nilai moral relegius harus diperkuat. Dalam konteks ini revitalisasi film sastra sebagai media revitalisasi pembangunan budaya bangsa menjadi teramat penting artinya. Nilai-nilai kultural yang disampaikan dengan media sinema niscaya akan mampu menampilkan keterpaduan manusia (karakter), ruang, dan waktu dalam aneka ragam peristiwa kehidupan sebagai pencerminan pengalaman dan manusia mencapai kesempurnaan seperti terlihat dalam perkembangan budaya dan peradabannya. Revitalisasi pembangunan budaya bangsa melalui film sastra dapat dibuat dengan dimensi dramatik dan estetik yang memikat dan dapat bermanfaat sebagai metode kognetif dan afektif yang efektif, bahkan aspek psikomotorik dapat pula terangkum dalam satu langkah sekaligus. Sebagai ilustrasi, sampai saat ini sudah ada beberapa karya sastra khususnya novel yang difilmkan dan sempat mendapat sambutan positif dari masyarakat di samping cukup sukses dari aspek bisnis hiburan. Beberapa novel yang pernah difilmkan tersebut antara lain Si Doel Anak Sekolahan garapan Rano Karno (1993) yang mendapat sambutan luar biasa dari khalayak penonton dan dari segi bisnis hiburan pun sukses luar biasa, Kadarwati Wanita dengan Lima Nama karya Pandir Kelana (1982), Detik-detik Cinta Menyentuh karya Ali Shahab (1986), dan Srintil Sang Primadona (1995) dan Sang Penari (film terbaik dalam Festival Film Indonesia tahun 2011) yang diangkat dari trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, dan Ayat-ayat Cinta (2008), Ketika Cinta Bertasbih (2010), Dalam Mihrab Cinta (2012) karya Habiburrahman El-Sirazy, Laskar Pelangi garapan Riri Riza (2006) dari novel berjudul sama karya Andrea Hirata, yang mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat penonton, bahkan para menteri kabinet Gotong Rorong pun banyak yang menontonnya, lalu Sang Pencerah garapan Hanung Bramantyo (2010), Negeri 5 Menara (2011). Karya-karya masterpeace atau mahakarya yang pernah difilmkan antara lain Mahabharata dan Ramayana, keduanya epos dari India yang sukses mendapat sambutan antusias di Indonesia. Layak dicatat bahwa dalam lima tahun terakhir film sastra, sinema yang mengangkat karya sastra cukup banyak. Yang dominan dalam tayangan televisi dan di bioskup adalah karya sinema yang sekadar banyak digandrungi penonton (berdasarkan pantauan Survey Research Indonesia) yang memang diminati banyak advertiser. Jadi, kecenderungan kriterianya adalah laku: laku ditonton dan laku dipasangi iklan (lihat Wardhana, 1997). Karena itu, sudah saatnya diciptakan film sastra yang dapat menjadi media sosialisasi dan internalisasi nilai edukatif kultural dalam kehidupan masyarakat yang haus tontonan. Hal itu sekaligus akan dapat menjembatani antara rendahnya minat membaca sastra warga masyarakat dengan upaya apresiasi sastra bagi masyarakat. Pengembangan film sastra sebagai salah satu cultural engineering masyarakat (meminjam istilah Kuntowijoyo, 1987) berkaitan erat dengan latar belakang struktural sebuah masyarakat. Kemampuan memupuk dan mengembangkan rasa empati, toleransi, dan membuat penilaian etis –yang dapat diperoleh antara lain melalui penikmatan film sastra-- merupakan modal penting yang sama sekali tidak dapat diabaikan dalam pembangunan bangsa (nation building). Pembangunan bangsa telah melahirkan pula sejumlah persoalan seperti perubahan nilai dan pilihan nilai. Sebagian persoalan ini timbul akibat terputusnya gaya hidup tertentu untuk digantikan dengan gaya hidup baru yang sama sekali berbeda

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 121 karakternya –sebuah diskontinuitas yang merupakan pelengkap yang nyaris tak terhindarkan dalam pembangunan--. Adapun sebagian masalah lain muncul sebagai efek dari ketimpangan yang makin meningkat antarberbagai golongan masyarakat. Timbullah semacam kecemburuan sosial yang telah tersebar cukup luas bahwa pembangunan telah mendorong banyak manusia melampiaskan sifat-sifat negatifnya, termasuk ketamakan dan keserakahannya. Dalam konteks inilah film sastra dapat menjadi alternatif dalam mempresentasikan nilai-nilai kultural dan kearifan lokal (local genius) yang terkandung dalam khasanah sastra Indonesia kepada masyarakat sambil memberikan hiburan untuk penyegaran kembali (refreshing) bagi fisik dan mental yang lelah. Dari segi kecendernagan global, kita sedang menuju suatu masa depan yang tidak dapat diramalkan (unpredictable). Kita harus mampu menghadapinya tanpa harus kehilangan arah atau bahkan menjadi teralienasi, tanpa kehilangan rasa sopan santun kita, identitas kita, rasionalitas kita, dan sumber-sumber inspirasi kita. Dalam konteks inilah, seperti dinyatakan Bennet (dalam Moglen, 1984), film sastra dapat membantu kita dalam penyusunan kerangka imajinatif untuk tindakan kita. Memang tidak semua karya sastra layak diangkat menjadi film. Yang relatif mudah untuk diangkat ke dalam sinema adalah genre novel, itu pun yang memenuhi kriteria tertentu. Novel yang layak difilmkan adalah novel literer, yakni karya memiliki keharmonisan antara bentuk dan isi atau metode ekspresi dengan hakikat gagasan yang dikemukakan. Atau, secara semiotik novel yang mengandung gagasan/makna yang penting bagi kehidupan manusia dan bermanfaat untuk memperkaya khasanah batinnya, baik dimensi kemanusiaan, moral, cinta dan kasih sayang, relegiusitas, sosial, politik, maupun nasionalisme. Sebagai ilustrasi, novel-novel literer di bawah ini layak untuk difilmkan. Misalnya: Sang Guru karya Gerson Poyk (1973), Sri Sumarah (1975) dan Para Priyayi (1992) karya Umar Kayam, Pengakuan Pariyem Dunia Batin Wanita Jawa karya Linus Suryadi A.G. (1981), Khutbah di Atas Bukit (1976) dan Mantera Penjinak Ular (2000) karya Kuntowijoyo, Keluarga Permana (1987) dan Ladang Perminus (1992) karya Ramadhan K.H., Burung-Burung Manyar (1981) dan Burung-Burung Rantau (1987) karya Y.B. Mangunwijaya (1981), Godlob (1974) dan Adam Ma’rifat (1981) karya Danarto, novel Kemarau (1971) karya A.A. Navis, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1983), Telegram karya Putuwijaya (1987), Gaun Hitam Seorang Hostess karya Ali Shahab (1977), Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis (1975), Ayat-Ayat Cinta (2007), Ketika Cinta Bertasbih (2009) karya Habiburrahman Elshirazy, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (2006), Sang Pencerah (2011), Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi (2010). Masih banyak lagi novel yang dapat difilmkan yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Dalam realisasinya, judul novel terkadang diadaptasi sedemikian rupa agar dari lebih memiliki daya pikat bagi khalayak penonton atau lebih marketable dari kacamata bisnis hiburan. Yang pasti, untuk memfilmkan novel diperlukan kerja sama secara sinergis antara sastrawan, jika perlu pendidik, dan sineas/insan perfilman yang menguasai sinematografi, dan tentu saja produser/penyandang dana yang dapat berupa perorangan ataupun institusi misalnya Perusahaan Film Nasional (PFN), atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ketika kita menyaksikan film sastra, secara otomatis kita akan menerobos lingkungan ruang dan batas waktu yang ada di sekitar kita. Karya fiksi yang termasuk

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 122 dalam karya sastra literer adalah karya yang berhasil membangunkan manusia terhadap rasa empati dengan tokoh-tokoh dalam karya termaksud. Film sastra membuat kita sanggup memahami segenap perjuangan tokoh-tokoh yang dilukiskannya, turut gembira dengan kebahagiaan yang dicapainya, dan turut bersedih dengan kemalangan yang dialaminya. Kita juga dapat mengenali diri kita sendiri pada tokoh-tokoh dalam film sastra yang kita saksikan. Kita turut menghayati nasib yang dialami tokoh-tokohnya. Dalam penghayatan ini dunia kita diperluas, menembus batas-batas duniawi yang ada di sekitar kita. Kemampuan untuk memproyeksikan daya imajinasi kita dalam pengalaman orang lain memupuk kesadaran kita akan adanya persamaan dalam pengalaman dan aspirasi manusia. Ini merupakan modal permulaan dan kemampuan untuk mengembangkan empati dan toleransi. Sesuatu yang esensial yang kita butuhkan dalam merengkuh hidup ini. Inilah kekuatan film sastra --juga karya sastra-- yang tidak diperoleh dalam buku-buku ilmu pengetahuan atau majalah.

7. Penutup Di tengah minimnya produksi film nasional yang bermutu dan di pihak lain membanjirnya film-film asing di tengah kehidupan bangsa kita, kiranya perlu dipikirkan pemberdayaan film sastra sebagai media revitalisasi budaya bangsa. Dengan kerja sama sinergis kalangan sastrawan, pendidik, dan sineas, yang dikomandani Pusat Tekonologi Komunikasi (Pustekkom) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, atau Perusahaan Film Nasional (PFN), serta lembaga terkait, sudah selayaknya berbagai kalangan dan institusi memikirkan hal ini. Sudah saatnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beserta institusi pendidikan yang memiliki komitmen terhadap revitalisasi budaya bangsa dalam upaya pembangunan moral bangsa, untuk memikirkan dan merealisasikan kerja sama sinergis antara sastrawan, pendidik, dan sineas. Produksi film sastra yang berdimensi edukatif kultural perlu dimasukkan ke dalam kebijakan yang terprogram, terarah, dan berkesinambungan. Mengingat keringnya film nasional dari unsur keunggulan kultural, terlebih minimnya film anak-anak yang kaya akan nilai kultural, moral, relegiusitas dan nasionalisme. Institusi perguruan tinggi sudah selayaknya melakukan studi/kajian-kajian mendalam mengenai film sastra dengan berbagai aktivitas akademik seperti penelitian, diskusi, seminar, sarasehan, dialog. Pembentukan unit kajian film semacam Cine Club merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kegiatan-kegiatan yang memfokuskan kajiannya pada sinema-sinema. Selain itu perguruan tinggi dapat pula berperan sebagai mediator atau fasilitator dalam menjajaki berbagai kemungkinan untuk pelaksanaan kerja sama berbagai pihak terkait agar gagasan untuk melahirkan film sastra tersebut dapat menjadi realita bukan hanya obsesi.

Daftar Pustaka

Effendi, Onong Uchjana. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Karya.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 123

Hauser, Arnold. 1982. The Sociology of Art. Chicago and London: The University of Chicago Press.

Al-Ma’ruf, Ali Imron. 1999. “Mengurai Benang Kusut Perfilman Nasional”. Makalah pada Dialog Perfilman Nasional pada tanggal 28 April 1999 di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

______. 1993. “Revolusi Televisi: Imperialisme Budaya Masyarakat Modern”. Makalah dalam Seminar Nasional tentang “Era Televisi Swasta di Indonesia” Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 30 Oktober 1993.

Kracauer, Sigfried. 1974. From Caligary to Hitler: A Psychological History of the German Film. New Yersey: Princeton University Press.

Moglen, Helena. 1984. “Erosion in theHumanities” dalam Change, Volume 16 No. 7, Oktober 1984.

Rachmat, Djalaluddin. 1992. Islam Aktual: Refleksi Seorang Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan.

Said, Salim. 1991. Pantulan Layar Putih. Jakarta: Sinar Harapan.

Soebadio, Haryati. 1993. “Memahami Sastra dan Film sebagai Ungkapan Sosial-Budaya dan Konsekuensinya untuk Pendidikan”. Makalah pada Seminar Internasional dengan tema Sastra, Film, dan Pendidikan pada tanggal 19-20 November 1993 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta.

Sumardjo, Jakob. 1979. Novel Indonesia Mutakhir Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nur Cahaya.

Sumardjono. 1993. “Sinema sebagai Sarana Edukatif”. Makalah pada Seminar Internasional dengan tema Sastra, Film, dan Pendidikan pada tanggal 19-20 November 1993 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta.

Wardhana, Veven Sp. 1997. Kapitalisme Televisi dan Strategi Budaya Massa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ooOoo

*) Dipresentasikan pada Konferensi Internasional Kesusastraan XXII Universitas Negeri Yogyakarta dan Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI), 7-9 November 2012.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 124

PENGAJARAN SASTRA FRANKOFONI DALAM RANGKA PENINGKATAN KESADARAN BERBANGSA

Tania Intan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran

ABSTRAK Saat ini terdapat lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia yang menggunakan bahasa Perancis. Secara linguistik, istilah francophonie mengacu pada semua daerah bukan Perancis yang menggunakan bahasa Perancis, seperti Belgia, Kepulauan Karibia, Guyana, Mesir, Libanon, Magreb (Afrika Utara), Kanada, Swiss, hingga Indochina. Apabila ditinjau dari perkembangan penggunaan bahasa Perancis, saat ini kesusastraan Perancis bukan hanya didominasi oleh orang-orang Perancis, tetapi juga diwarnai oleh para penulis Frankofon. Keadaan ini berkembang terutama dalam 40 tahun terakhir ini, tepatnya setelah tahun-tahun kemerdekaan bagi negara-negara bekas jajahan Perancis. Dari latar belakang sosial, letak geografis, tradisi budaya, dan pengalaman sejarah yang beragam, muncullah berbagai macam jenis karya sastra, yang seluruhnya memiliki persamaan, yaitu berbahasa Perancis. Dengan segala karakteristik lokal mereka, para penulis Frankofon menunjukkan kualitas dirinya sebagai sastrawan yang menggunakan bahasa Perancis dengan sangat piawai. Banyak penghargaan sastra telah diterima para penulis Frankofon. Berbagai macam tema dapat dijumpai secara umum pada roman-roman karya pengarang Frankofon, mulai tema perbudakan, penjajahan, kritik budaya, pencarian identitas dan juga masalah rasisme.

SEJARAH SASTRA FRANKOFON Kesusastraan Frankofon lahir setelah berakhirnya Perang Dunia II, yang membangkitkan kesadaran dan semangat berbangsa dari negara-negara yang baru merdeka. Sejumlah penulis Afrika Utara, termasuk di dalamnya dari Tunisia, Aljazair, dan Maroko, mengungkapkan perasaannya justru dalam bahasa Perancis, untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai bekas bangsa terjajah. Apabila kebanyakan karya tersebut ditulis dalam bentuk prosa, hal itu terjadi karena genre ini memudahkan bagi para penulis, untuk menyampaikan kesaksian mereka mengenai penderitaan, penyiksaan, ketidakadilan, keterasingan, perasaan rendah diri, dan tentu saja semangat perlawanan mereka terhadap bangsa penjajah. Bentuk puisi dan esai juga banyak digunakan, misalnya oleh Tahar Ben Jelloun, yang mengungkapkan sudut pandangnya terhadap imigrasi dan rasisme yang meraja lela, lalu ada Albert Memmi

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 125 yang berbicara tentang neokolonialisme dan hubungan antarkomunitas pasca- kemerdekaan. Kekerasan dan tindakan agresif dari penguasa yang menimpa penulis-penulis pemberani tersebut ternyata tidak hanya berupa kata-kata, karena kenyataannya ada sejumlah pengarang yang mati terbunuh, seperti yang terjadi pada Mouloud Feraoun pada tahun 1962, Jean Sénac pada tahun 1973, Tahar Djaout dan Youcef Sebti pada tahun 1993 di tanah Aljazair. Dalam hal ini, terbukti bahwa neokolonialisme terjadi dan dapat dilakukan oleh bangsa sendiri. Para penulis ini dapat diklasifikasikan berdasarkan periodisasi keaktifannya dalam tiga generasi, yaitu : Generasi Pelopor, ditandai oleh karya-karya klasik mereka, yang mengungkapkan lahirnya nasionalisme dan identitas bangsa pribumi. Yang termasuk dalam generasi ini adalah : Albert Memmi (Tunisia), Mouloud Feraoun, Mouloud Mammeri, Mohammed Dib, Malek Haddad, dan Kateb Yacine (Aljazair), sedangkan dari Maroko adalah Ahmed Sefrioui dan Driss Chraibi. Dengan mengusung tema yang serupa dengan generasi pertama, kelompok kedua lahir sekitar tahun 1970. Yang membedakan adalah tingkat kekerasan verbal yang meningkat tajam dan adanya upaya pencarian bentuk-bentuk tulisan orisinal lokal. Para penulis yang tergolong dalam generasi kedua adalah Assia Djebar, Mourad Bourboune, Nabile Fares dan Rachid Boujedra (Aljazair), Abdelkebir Khatibi, Mohammed Khair-Eddine, Abdellatif Laabi dan Tahar Ben Jelloun (Maroko). Generasi ketiga didominasi para penulis roman, dengan bentuk penulisan tradisional, namun tidak terlepas dari realitas nyata kehidupan sosial-politik modern. Dalam kelompok ini dapat dicatat peran Abdelwahab Meddeb (Tunisia). Di Aljazair, yang menonjol adalah kehadiran Rachid Mimouni, Rabah Belamri, Boualem Sansal, Maïssa Bey, Tahar Djaout dan Yasmina Khadra, sedangkan di Maroko, Abdelhak Serhane dan Fouad Laroui. Pada masa aktif generasi pertama, para penulis muda pun tak urung bermunculan, yang didukung sepenuhnya oleh bakat mereka yang luar biasa. Ada kelompok tersendiri yang disebut “Sepupu” yaitu penulis keturunan Arab/ Beurs seperti Azouz Begag, Farida Belghoul, Nina Bouraoui, Mehdi Charef, Nacer Kettane, dan Leïla Sebbar. Tema yang mereka usung pun tidak jauh berbeda dengan saudara-saudara mereka di tanah Afrika Utara, namun akar budaya utama telah berubah menjadi Eropa. Di sisi lain, sebagai penulis Frankofon, mereka tentu menulis langsung dalam bahasa Perancis yang memang dikuasai dengan baik, dengan pertimbangan keluasan wilayah publik pembaca. Namun demikian, ada pendapat kontra yang menyatakan bahwa bahasa Perancis adalah bahasa penjajah, selain juga penggunaan eksesif bahasa ini mengakibatkan menurunnya minat anak-anak mereka mempelajari bahasa Al Quran, bahasa Arab klasik. Mewakili para penulis Frankofon, Albert Memmi menyatakan pendapatnya dengan istilah “bahasa Perancis, ungkapan Arab”.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 126

KODE BAHASA, KODE SASTRA, KODE BUDAYA Karya sastra dibentuk oleh konvensi yang beragam dan memiliki kompleksitas struktur tersendiri. Culler menyarankan bahwa apabila ingin mempelajari tulisan kesusastraan, kita harus memusatkan perhatian pada konvensi-konvensi yang mengarahkan permainan, perbedaan-perbedaan dan proses makna yang dibangun (1975:133-134). Secara konvensional, karya sastra melibatkan penggunaan bahasa sebagai salah satu sistemnya. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan bahasa Perancis yang memadai tentu dibutuhkan dalam proses pemahaman karya sastra Frankofon. Selain unsur formal bahasa, karya sastra pun tidak terlepas dari unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik sebagai komponen pembentuknya. Pengetahuan mengenai alur, tokoh, sudut pandang, latar hingga pengetahuan mengenai riwayat hidup penulis akan sangat membantu pemahaman terhadap karya tersebut. Seorang penulis Frankofon tentu akan memperlihatkan gaya pengungkapan yang berbeda dengan penulis Perancis karena perbedaan latar belakang mereka. Ternyata diketahui bahwa faktor budaya pun merupakan sistem organisme pembangun cerita yang penting, karena ia turut membantu pemahaman makna secara universal, mengingat sebuah karya sastra tidak muncul dari situasi kekosongan budaya. Demikian pula pada karya sastra Frankofon yang memiliki unsur-unsur kebudayaan yang khas, akan memiliki warna tersendiri pada karya tersebut. Pemahaman pada tradisi dan adat masyarakat yang dimunculkan oleh penulis, memungkinkan bagi pembaca untuk menyelami hakikat pesan yang ingin disampaikan penulis tersebut. Lebih jauh lagi, faktor budaya memberi peluang yang sangat potensial dalam menguasai pendidikan humaniora. Keragaman konvensi sistem organisasi dalam sebuah karya sastra seperti diuraikan di atas (bahasa-sastra-budaya), menghadapkan kita pada beberapa permasalahan, di antaranya kesulitan pembaca dalam memahami karya sastra secara menyeluruh. Teeuw (1988:110) berpendapat bahwa karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan invensi. Ini berarti bahwa dalam proses pembacaan sering timbul pertentangan antara keberadaan konvensi dengan pemahaman pembaca itu sendiri. Disinyalir bahwa kemungkinan pembaca yang menemukan kesulitan dalam memahami karya sastra secara utuh, berada pada kerumitan konvensi sistem bahasa, sistem sastra dan sistem budaya. Kerumitan konvensi sistem bahasa misalnya, terjadi pada kesulitan dalam memahami kebahasaan, struktur bahasa (kosa kata, frase, klausa, kalimat) dan keambiguan makna. Sedangkan kerumitan konvensi sistem sastra, misalnya berkaitan dengan unsur-unsur kreatifitas pengarang dalam menggunakan nilai-nilai kesusastraan. Di samping itu rentang waktu dan kebudayaan melahirkan suatu karya yang berbeda-beda sesuai dengan zamannya. Hal ini semua dapat membuat pembaca menemui kesulitan dalam menafsirkan dan menalarkannya. Maka dari itu, Teeuw menekankan bahwa dalam usaha pemahaman terhadap karya sastra, seorang pembaca tidak akan terlepas dari penguasaan ketiga sistem kode: kode bahasa, kode sastra dan kode budaya.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 127

Atas dasar pemikiran dan pertimbangan dari berbagai fenomena yang dipaparkan di atas, ketiga sistem kode tersebut tersebut harus diamati sebagai upaya peningkatan pemahaman terhadap karya sastra, khususnya sastra Frankofon. Penelitian ini diarahkan kepada analisis terhadap buku Moha le Fou Moha le Sage karya Tahar Ben Jelloun yang dapat dipilih untuk dijadikan salah satu alternatif bahan ajar sastra.

TINJAUAN SASTRA DAN BUDAYA DALAM BUKU MOHA LE FOU MOHA LE SAGE KARYA TAHAR BEN JELLOUN

Biografi Pengarang Tahar Ben Jelloun adalah pengarang dan penulis puisi asal Maroko. Ia lahir tanggal 1 Desember 1944 di Fès. Setelah menyelesaikan sekolah dasar bilingual Arab- Perancis, ia melanjutkan studi ke sekolah menengah Perancis di Tanger, dan pada umur 18 tahun mempelajari filsafat di Universitas Mohammed-V dI Rabat. Di sini ia pertama kali menulis kumpulan puisi Hommes sous linceul de silence (1971). Ben Jelloun kemudian mengajar filsafat di Maroko namun kemudian hijrah ke Perancis pada tahun 1971, karena pengajaran filsafat di negaranya harus berdasarkan kultur Arab-Islam, padahal ia merasa tidak memiliki kapasitas tersebut. Ben Jelloun menulis sejumlah artikel untuk surat kabar Le Monde sejak tahun 1972. Ia meraih gelar doktor psikiatri sosial tahun 1975. Beberapa tulisannya dilandasi pengalamannya memberi terapi kejiwaan (La Réclusion solitaire, 1976). Pada tahun 1985, ia mempublikasikan buku L'Enfant de sable yang membuatnya sangat terkenal, terutama berkat hadiah kesusastraan le prix Goncourt pada 1987 untuk lanjutan buku pertamanya, yang berjudul La Nuit sacrée. Tahar Ben Jelloun saat ini tinggal di Paris bersama istrinya, seorang warga negara Perancis, dan putrinya Mérième. Untuk putrinya ini, ia menulis sejumlah karya yang bersifat pendidikan, misalnya Le Racisme expliqué à ma fille, 1997. Ben Jelloun adalah salah satu pengarang Frankofon yang karyanya paling banyak diterjemahkan di seluruh dunia, termasuk L'Enfant de sable et La Nuit sacrée yang telah dialihbahasakan ke dalam 43 bahasa.

Ringkasan Cerita Di negara Magreb, tidak ada yang tidak mengenal Moha. Lelaki tua ini senantiasa dikelilingi anak-anak yang tertawa menyorakinya. Sama tidak berdosa dan cerdas seperti anak-anak itu, Moha mengembara menembus batas ruang dan waktu, sambil mengumandangkan ucapan-ucapan dari orang-orang tertindas, dari mereka yang terkekang, yang keinginannya dibatasi, yang nyanyiannya dibungkam, yang teriakannya dipendam dalam-dalam. Orang banyak sering kali mendengarnya bersajak di alun-alun. Orang banyak pun termangu melihatnya menyobek-nyobek uang kertas di depan bank negara. Moha menceritakan dengan gamblang kisah busuk dari sebuah keluarga kaya dan ternama, melalui tangisan seorang budak hitam yang cantik yang dianiaya sang Majikan. Moha juga menyampaikan cerita pilu seorang anak gadis yang dijual ayahnya sendiri.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 128

Lelaki tua ini memainkan peran sebagai teknokrat sekaligus psikiater bagi masyarakat. Ia pun banyak menghabiskan waktunya dengan Moché, seorang Yahudi gila, dan dengan seorang India yang lututnya luka. Selain mereka, tak ada yang mau mendekatinya. Pada suatu hari, beberapa orang jahat menangkapnya, membunuhnya, dan menguburnya dalam tanah. Namun demikian, di bawah nisannya, Moha tetap berbicara. Kata-katanya tidak dapat dihentikan, karena itulah tradisi Magreb yang membuat kenyataan lirik bertahan. Moha tetap bercerita mengenai rakyatnya dengan sepenuh hati.

Analisis Tokoh Dalam roman Moha le Fou Moha le Sage, kita dapat menjumpai sekitar dua puluhan tokoh, yang masing-masing memainkan peran tersendiri, baik sebagai tokoh utama, sekunder, atau pun pelengkap. Tokoh utama cerita ini, tentu saja Moha, suatu individu yang enigmatik, berumur 140 tahun tapi berpenampilan bagaikan seorang pemuda biasa. Kondisi ini tentu tidak normal, namun masih memiliki kadar plausibilitas karena sesungguhnya ia bukanlah manusia biasa. Sejak dilahirkan oleh seorang budak hitam yang cantik, ia ditinggalkan oleh sang ayah di dekat sebuah sumber mata air, dan hidup bergantung pada kebaikan alam. Kenangan itu menyakitinya, sehingga Moha menganggap sang mata air sebagai ibu kandungnya, dan mulai berteman dengan pohon-pohon dan binatang yang memberinya bakat dan pengetahuan luar biasa. Ia pun dapat berbicara dengan binatang. Karena selalu dekat dengan Alam, Moha tidak ingin tinggal dalam rumah dan memilih untuk berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Ia datang dan pergi seperti angin hingga anak-anak memanggilnya penjaga malam dari surga (veilleur de nuit du paradis). Moha tahu bahwa nasib anak-anak jalanan itu pun tidak beruntung, sama seperti dirinya. Untuk melindungi mereka dari kejahatan kehidupan, Moha memperingatkan orang-orang dewasa yang ditemuinya untuk senantiasa menyayangi anak-anak mereka. Pada mereka yang mengabaikan peringatannya, Moha mengancam dengan keras, terutama pada orang tua yang menyia-nyiakan atau bahkan menjual anaknya (hal.27). Moha juga sangat bersimpati dan membela kaum wanita yang tak berdaya dan dianiaya pria. Dengan tak mengenal lelah, ia memberi semangat pada mereka untuk melawan ketidakadilan dunia karena kodratnya sebagai wanita. Keberpihakan Moha pada kaum lemah ini, anak-anak dan wanita, bukanlah suatu pilihan yang populer dalam masyarakat, sehingga ia dianggap gila. Ironisnya, Moha yang merasakan dirinya memang berbeda, menerima panggilan itu dengan lapang dada. Walaupun dianggap aneh dan gila, sebenarnya Moha adalah seorang patriot sejati bagi bangsanya dan ikut berjuang melawan imperialisme Perancis. Ia memuja negaranya dan mengungkapkan perasaan itu dalam kata-katanya. Karena kegilaannya, ia bebas menunjukkan kemarahannya pada bangsa Perancis, namun karenanya ia sering ditangkap tentara untuk dibebaskan keesokan harinya. Kadang kala, Moha pun menasihati dengan bijaksana orang-orang yang sedang tergesa-gesa di jalan untuk tidak bekerja terlalu keras, karena hal itu akan merusak diri

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 129 mereka sendiri dan bangsa itu. Dalam kata-katanya yang keras dan menyakitkan, sesungguhnya banyak mengandung kebenaran. Dengan demikian kita memahami potret diri Moha, seorang lelaki gila (le Fou) karena memosisikan dirinya berseberangan dengan opini publik yang konvensional. Ia bahkan membenci uang dan selalu konsekuen dalam mempertahankan prinsipnya. Selama hidupnya, dan bahkan setelah kematiannya, Moha tidak berhenti berbicara, karena kekuatannya terletak dalam kata-kata. Moha juga dijuluki si Bijak (le Sage) karena ia selalu mengungkapkan kebenaran dan tidak lelah memberi nasihat pada orang-orang tak acuh, egois, dan materialis yang ditemuinya sepanjang hari, yang sebenarnya sangat ia benci. Dalam Moha le Fou Moha le Sage ini, selain Moha, terdapat beberapa tokoh yang keberadaannya penting dalam menggulirkan cerita, di antaranya adalah: Ahmed, lelaki muda yang disiksa sampai mati oleh kepolisian negara itu, karena perjuangannya yang prorakyat. Aicha adalah seorang gadis berusia 12 tahun yang dijual ayahnya untuk menjadi budak di rumah sang Majikan. Kemudian Dada, atau Fatem Zohra, budak hitam yang cantik namun bisu milik si Majikan, yang menjadi obyek pelampiasan nafsunya. Lalu ada tokoh lain, seorang anak yang terlahir dewasa, karena sejak lahir ia selalu menderita. Sedangkan Moché dan Harrouda adalah tokoh-tokoh yang mirip Moha, karena latar belakang mereka yang suram dan kemampuan supranatural keduanya. Selain tokoh protagonis, ada juga tokoh antagonis, seperti si Majikan yang kaya raya dan religius, namun sangat munafik dan berperilaku seksual menyimpang. Kemudian istri si Majikan, yang materialis dan depresi karenanya. Lalu anak mereka yang pandai memperalat para pegawai dan membayar murah upah mereka.

Analisis Latar Pada bagian ini, kita mempelajari latar spasial dalam buku Moha le Fou Moha le Sage, yang menjadi dekor bagi keseluruhan cerita. Cerita terjadi di Aljazair, sebuah negara di Afrika Utara yang disebut juga Magreb. Ibukotanya, Alger, terletak di tepi utara dibatasi laut Mediterania. Negara ini dikelilingi oleh Tunisia, Libya, Nigeria, Sahara barat, Mauritania, Mali dan Maroko. Secara umum, bangsa Magreb menghuni daerah-daerah di Afrika Utara yang terdiri dari Maroko, Aljazair dan Tunisia. Daerah Magreb yang termasuk dalam wilayah Mediterania, memiliki identitas bangsa yang kuat karena menjadi persimpangan dari berbagai pengaruh terutama Arab-Islam, kemudian secara kesejarahan bangsa ini pernah menjadi daerah kolonisasi Perancis, selain juga ada kedekatan geografis dengan benua Eropa. Bangsa asli dari wilayah Magreb ini menyebut dirinya Imazighen (manusia bebas), sedangkan orang Eropa memanggil mereka Berbères, yang menunjukkan nama suku bangsa Tamazgha. Mereka beranggapan bahwa itulah nama yang sesungguhnya, karena Magreb adalah istilah yang diberikan oleh bangsa Arab saat melakukan ekspansi ke daerah Afrika Utara ini.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 130

Berbeda dengan situasi di Maroko dan Tunisia, pendudukan Perancis di Algeria berlangsung lama dan alot. Tentara Perancis menundukkan satu persatu desa dengan susah payah. Jenis pendudukan ini adalah kolonisasi populasi, artinya Perancis mendatangkan koloni-koloni sedangkan penduduk asli dikerahkan untuk menggerakkan mesin ekonomi sang penguasa. Untuk menyingkirkan elemen-elemen sosial yang berpotensi mengganggu stabilitas kolonisasi mereka, Perancis mengirim tahanan politik mereka jauh-jauh ke daerah lain. Di bidang politik, Aljazair menerapkan rezim republik sejak pengakuan kedaulatan mereka tahun 1962. Konstitusi aktual memungkinkan pemimpin negara menjadi pusat kekuasaan. Dengan latar demikian, narator menjelaskan situasi Negara setelah periode kolonisasi Perancis yang membuka peluang bagi rakyat untuk mengembangkan diri dan mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Namun demikian, Moha juga menuduh bahwa karena fantasi mereka, banyak orang berlomba memperkaya diri dengan berbagai cara, termasuk melakukan korupsi. Keadaan ini terjadi karena memang situasi tatanan sosial yang sangat memungkinkan untuk itu, sehingga kecenderungan korupsi seolah seperti penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi. Justru orang-orang jujur adalah orang “bodoh dan pemimpi”. Kemiskinan, pengangguran, dan kebodohan tidak menjadi prioritas masalah negara bagi pemerintah yang berkuasa. Kesenjangan sosial pun tidak dapat dihindari lagi. Di sisi lain dari tempat itu, ada rumah-rumah yang sangat mewah, misalnya villa milik Direktur Bank yang dikunjungi oleh Moha. Analisis latar ini membuat kita mengenal topografi nyata dari negara Magreb, baik Aljazair maupun Maroko. Bahkan nama kota yang dimaksud pun tidak penting bagi pencerita. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan, kesenjangan, dan penderitaan manusia merupakan fenomena universal. Setelah menganalisis aspek-aspek sastra yang terdapat dalam buku Moha le Fou Moha le Sage, kita dapat menyimpulkan secara ringkas bahwa pengetahuan mengenai konteks sejarah, sosial, dan ekonomi merupakan penunjang yang sangat penting untuk dapat memahami suatu karya sastra.

KESIMPULAN Kekayaan tema dalam karya sastra Frankofon ini dapat menjadi salah satu faktor yang menarik untuk dipelajari dalam kelas. Pada dasarnya sastra adalah pengajaran tentang kehidupan. Oleh sebab itu, pengajaran sastra menjadi komponen penting dalam pendidikan dan etika humaniora. Joubert (2006 : 23) menyatakan bahwa keberadaan literatur Frankofon saat ini memainkan peran penting dalam usaha perluasan penyebaran bahasa Perancis di seluruh dunia. Keanekaragaman budaya akan dapat menarik minat pembelajar untuk mengenal lebih jauh bahasa ini dan pemakainya di luar Perancis. Kini karya sastra Frankofon seharusnya tidak lagi berada di «baris ke dua» di bawah posisi utama karya sastra Prancis.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 131

Masih menurut Joubert, cara pengajaran sastra Frankofon pada dasarnya sama seperti yang dilakukan terhadap teks sastra lain, artinya dengan segala cara. Namun demikian tentu saja ada beberapa poin tertentu yang menjadi karakter sastra Frankofon yang harus dipelajari secara khusus, yaitu latar belakang (geografi, sosial, sejarah,...) yang diacu teks tersebut. Yang juga harus menjadi pertimbangan bagi pengajar adalah kebutuhan publik (umum atau khusus), tingkat kemampuan bahasa (pemula, menengah, lanjutan), jenis korpus (cuplikan, teks integral), jenis karya sastra (drama, prosa, puisi), serta kegiatan pengajaran (analisis teks, diskusi, komposisi, ...). Pada hakikatnya pengajaran sastra ini bertujuan untuk membangkitkan keinginan membaca para pembelajar dan agar mereka mengenal lebih jauh penulis-penulis karya sastra Frankofon, untuk selanjutnya dapat mengenal dan menghargai karya sastra dari budayanya sendiri. Bahkan, dengan mempelajari sastra, diharapkan para pembelajar dapat memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berbahasa dan pengetahuan budaya yang ada di dunia. Tak heran bila di berbagai kampus yang telah mapan, pembelajaran sastra dikaitkan dengan sejarah dan politik. Bagian terpenting dari pemahaman karya sastra sesungguhnya adalah bahwa pembelajar diajak untuk merenung dan berpikir dengan lebih terbuka, bahwa hidup itu untuk saling menghargai apapun latar belakang kehidupan mereka, dan bahwa karena ada perbedaanlah hidup akan menjadi lebih menarik.

DAFTAR PUSTAKA

Benny H.Hoed, Memandang Fenomena Budaya dengan kaca mata semiotik, 2005, FIB UI Denise Brahimi, Langue et littératures Francophones, 2001, Ellipses Dix ans de litteratures I Magreb-Afrique Noire, 1990, Notre Librairie Irzanti Sutanto, Prancis dan Kita, 2003, Wedatama Widya Sastra Jean-Louis Joubert, Petit guide des Littératures Frankofons, 2006, Nathan Tahar ben Jelloun, Moha le fou Moha le sage, 1978, Seuil

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 132

SUBJECT MATTER “LIYAN/THE OTHERS” DALAM NOVEL SASTRA INDONESIA KONTEMPORER

ARIF BUDI WURIANTO Universitas Muhammadiyah Malang [email protected]

ABSTRAK Perkembangan sastra Indonesia kontemporer dalam salah satu aspeknya mengalami kemajuan dalam tema dan gaya penceritaan yang semakin terbuka. Sastra tidak lagi mengusung pengisahan tema- tema konvensional, nilai-nilai standard, dan narasi besar sesuai dengan arus utama sosial masyarakat. Novel kontemporer Indonesia mengalami keterbukaan dalam mengungkap tema kehidupan sosial masyarakat, bukan saja kelompok masyarakat pada umumnya, tetapi tema penceritaan tentang kelompok yang termarginalkan dalam masyarakat . Meskipun belum ada data atau hasil penelitian sosiologi sastra yang menunjukkan keterterimaan genre novel bertema seperti ini, namun dalam produksi novel Indonesia telah ada novel yang berkisah tentang sisi lain dan perspektif lain (“liyan/The Others”) yang telah beredar di masyarakat. Tema yang secara berani dan muncul adalah tema-tema “Queer” yaitu kehidupan manusia yang mengalami perbedaan orientasi kehidupan/disorientasi seksual. Makalah ini akan membahas secara konsep mengenai Tema Queer dalam Novel Indonesia Modern dan Kajian atas Novel yang berkisah tentang Kepribadian Tokoh yang Disorientasi Seksual. . Dengan menggunakan pendekatan Kajian Budaya (Cultural Studies), makalah ini selain membahas novel akan menginformasikan pengetahuan tentang Sastra dan Ideologi, khusunya membaca persoalan ideology secara post-strukturalisme- dan secara khusus akan menemukan konsep paradigma anti representasionalis-dalam sastra. Dengan bertolak pada konsep kajian budaya yang menolak hegemoni budaya dengan pendasaran bahwa kultur itu sifatnya beraneka ragam, tidak ada pusat atau inti atau budaya yang sama (common culture) dan munculnya fenomena terfragmentasikannya budaya-budaya yang mendasarkan identasnya pada gaya hidup (lifestyle) yang merupakan konsekuensi dari migrasi, topik anak muda, gender, gaya hidup konsumtif.

Kata Kunci : Kajian Budaya, Tema Liyan/The Other

Pendahuluan Keterkaitan sastra dengan kajian budaya bersamaan dengan lahirnya kajian budaya pada Pusat Kajian Kebudayaan Kontemporer di Universitas Birmingham Inggris 1964 oleh Raymond Williams, Richard Hoggart, EP Thompson dan Stuary Hall. Dalam kaitan ini studi cultural bertujuan mempelajari produksi, resepsi dan penggunaan beragam teks, dan bukan semata-mata karena sifat-sifat internnya. Sebagai suatu kajian kritis, kajian budaya (studi cultural) menggali masalah-masalah kebudayaan dalam arti yang luas seperti identitas, ras, dunia kesusastraan, masalah imperalisme, kapitalisme dan kehidupan masyarakat yang terpinggirkan (marginalized), budaya massa, dan budaya masa kini. Kajian Budaya juga membahas ranah pemikiran yang pada masa sekarang mendominasi kehidupan bersama antarmanusia, seperti persoalan kekuasaan, hegemoni,

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 133

Wacana poskolonialisme di Negara-negara berkembang, gerakan kesetaraan gender (feminism), pengaruh media massa dalam perkembangan kebudayaan modern, globalisasi, teknokultur, dan teori-teori yang masih asing dalam tradisi keilmuan di perguruan tinggi maupun dalam perubahan modern seperti teori Querr. Dalam bidang kesusasteraan, studi budaya masuk secara luas dalam berbagai aspek, seperti kajian budaya di yang melanjutkan tradisi Inggris yang merangkul sastra untuk nasionalisme dan pengembangan citra film untuk nasionalisme, di Perancis yang mengarah pada pengaruh perubahan teknologi atas sastra dan seni. Di Perancis dalam bidang teknologi kemunikasi terjadi penyebaran yang luas dari sastra kuno maupun modern yang terjadi pula dalam teater , seni lukis dan lain-lain. Perkembangan kesusasteraan di Indonesia sebagai suatu bagian dari studi kebudayaan yang dalam perkembangannya memberi warna yang lebih beragam apabila ditinjau dari sejarah pertumbuhan dan perkembangannya sejak Balai Pustaka 1920. Awal pertumbuhannya menggambarkan kajian budaya karena warna nasionalisme, kolonialisme, kesetaraan gender dalam kurun Balai Pustaka sampai Pujangga Baru, dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang. Selain nasionalisme juga penumbuhan identitas dan sastra menjadi bagian dari politik identitas kebangsaan baik dari aspek tema-tema yang disajikan maupun dalam pemakaian bahasa Indonesia. Selanjutnya muncul persoalan multikulturalisme dan perjuangan kelas dalam menghadapi ketidakadilan sosial. Perkembangan sastra Indonesia kontemporer dalam salah satu aspeknya mengalami kemajuan dalam tema dan gaya penceritaan yang semakin terbuka. Sastra tidak lagi mengusung pengisahan tema-tema konvensional, nilai-nilai standard, dan narasi besar sesuai dengan arus utama sosial masyarakat. Novel kontemporer Indonesia mengalami keterbukaan dalam mengungkap tema kehidupan sosial masyarakat, bukan saja kelompok masyarakat pada umumnya, tetapi tema penceritaan tentang kelompok yang termarginalkan dalam masyarakat . Meskipun belum ada data atau hasil penelitian sosiologi sastra yang menunjukkan keterterimaan genre novel bertema seperti ini, namun dalam produksi novel Indonesia telah ada novel yang berkisah tentang sisi lain dan perspektif lain (“liyan/The Others”) yang telah beredar di masyarakat. Pada mulanya keberanian dalam tema lewat novel Ayu Utami berjudul Saman yang berkisah pada persoalan kapitalisme dan pembukaan lahan sawit yang dibumbui dengan kisah-kisah romantisme dan realisme kehidupan manusia melalui konflik-konflik kepentingan. Sebagai penulis sastra perempuan cukup berani dalam mengungkap tema dan eksplorasi kehidupan seksualitas dari sudut pandang tradisi timur. Muncul pula D. Lestari lewat Supernova yang mencoba bermain tema-tema kontemporer dan pengarang perempuan lain seperti Djenar Maesa Ayu, dll. Kajian Budaya yang mengangkat kesetaraan gender, jauh sebelumnya juga pernah diangkat oleh NH Dini pada hampir semua novelnya yang bertema perempuan berkarir, ordinat dan subordinat perempuan, Toety Herati Noerhadi dengan perjuangan perempuan dalam kesetaraan, dan sastrawan perempuan lain di atasnya. Pada persoalan sekarang muncul topik yang jarang ditulis dalam mainstream tema cerita. Tema yang secara berani dan muncul adalah tema-tema “Queer” yaitu kehidupan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 134 manusia yang mengalami perbedaan orientasi kehidupan/disorientasi seksual. Makalah ini akan membahas secara konsep mengenai Tema Queer dalam Novel Indonesia Modern dan Kajian atas Novel yang berkisah tentang Kepribadian Tokoh yang Disorientasi Seksual. Ketika persoalan seks muncul dalam sastra, sebuah kondisi perkembangan sastra yang menjadi perdebatan adalah antara kebebasan dalam tematik novel dengan persoalan nilai. Antara fakta dan “kelayakan diperbincangkan” dalam sastra publik.

Ancangan Post-Strukturalisme Secara struktur tema-tema yang berkembang dalam dunia sastra Indonesia adalah tema yang mapan dan berkembang sebagai oposisi biner antara pahlawan dan pengkhianat, baik hati dan jahat, kekayaan dan kemiskinan, dll. Tema dimaknai sebagai satu hal yang pasti dan final. Post-Strkturalisme mengikuti konsep bahwa mana selalu berada dalam proses yang tidak pernah final, karena pada dasarnya makna merupakan sebuah jeda untuk arus penafsiran atas penafsiran. Dalam perspektif strukturalisme, bahasa adalah hubungan antara penanda dan petanda, namun dalam tafsiran post- strukturalisme, bahasa jauh lebih rumit dibandingkan dengan sekedar hubungan antar penanda dan petanda. Demikian halnya dengan subjek matter sebuah novel tentang kehidupan manusia, bukan sekedar beberapa penanda dan petanda tentang tema dalam satu kata, melainkan pemberian koma pada kata tersebut, misalnya tema percintaan yang disusul dengan percintaan yang seperti apa? Antara siapa dengan siapa? Model apa? Dan beberapa pertanyaan lain yang menggambarkan belum finalnya sebuah kata penanda tema/subjek matter karya sastra. Jaques Derrida memiliki pandangan berbeda dengan Saussure yang menekankan bahwa tanda akan bermakna karena mempunyai perbedaan, sementara Derrida menggambarkan sifat tanda sebagai hal yang terpecah yang berarti mempertahankan dan membedakan. Dalam sebuah karya sastra, tema dekonstruktif harus selalu tampak pada hubungan-hubungan tertentu. Hubungan ini adalah sebuah struktur penandaan kritis (dekonstruktif) yang akan dihasilkan dari bacaan yang menjadikan pembaca ingin lebih mengetahui terhadap apa yang tersirat. Jaques Lacan menekankan pada ideology novel/roman sebagai pencarian subjek matter/tema tanpa akhir. Michel Foucault dan Edward Said menekankan pada penggunaan bahasa. Bagaimana bahasa digunakan dan bahasa diartikulasikan dalam praktik budaya dan praktik sosial. Hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah dialogis. Berkaitan seksualitas dalam sastra, Foucault menolak hipotesis represif yang terkait sensor dan pelarangan. Seksualitas dalam sastra harus didekati dalam wilayah diskursif. Foucault menaruh minat pada cara manusia memproblematisasikan dirinya dan apa yang dilakukannya . Sementara itu Jacques Lacan menekankan pada bahasa sebagai dimensi simbolik, penanda tidak memiliki kandungan makna positif kecuali bila didefinisikan melalu perbedaan. Tema-tema karya sastra sebagai wacana ketidaksadaran dan “the others”. Ego yang diciptakan oleh serangkaian identifikasi imajiner dan subjek

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 135 yang dipandang merupakan hasil efek bahasa. Langkah pemikiran Lacan lebih mengarah pada depersonalisasi teori psikoanalisis. Post-Strukturalisme dalam kajian sastra ditekankan pada pemakaian bahasa dalam fiksi naratif yaitu heterogenitas penggunaan bahasa sebagai intervensi pengarang sekaligus pengkisah, visi fiksionalitas, terutama dalam bagaimana dunia dipandang oleh pengarang dalam cerita (vokalisasi) dan susunan dunia fiksi dalam alur cerita yang dikisahkan. Dalam analisis novel, resepsi sastra dapat dijadikan pijakan teori. Resepsi sastra digunakan dalam analisis novel dengan pertimbangan (a) sebagai jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme yang dianggap hanya memberikan perhatian terhadap unsure-unsur, (b) timbulnya kesadaran untuk membangkitkan kembali nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka kesadaran humanism universal, (c) kesadaran bahwa nilai- nilai karya sastra dapat dikembangkan hanya melalui kompetensi pembaca, (d) kesadaran bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh pembaca, dan (e) kesadaran bahwa makna terkandung dalam hubungan ambiguitas antara karya sastra dengan pembaca (Ratna, 2002:166).

Subjektivitas dan Identitas Subjektivitas dan Identitas adalah dua kata yang saling keterkaitan dalam kajian budaya. Subjektivitas dipahami sebagai kondisi keberadaan seseorang dan proses yang dialami ketika menjadi subjek. Subjek akan patuh pada proses-proses sosial yang menjadikan “subjek bagi” diri sendiri maupun orang lain. Identitas diri merupakan konsep yang dipegang oleh “self”, sedangkan harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial diri. Keduanya berbentuk narasi bagaimana diri sendiri melihat diri sendiri dan orang lain melihat diri sendiri. Dalam kajian budaya, subjektivitas dan identitas bersifat sosial dan cultural. Sementara konsep yang mengarah pada upaya menyusun dunia tergambarkan dalam konsep representasi. Novel yang dibahas dalam makalah ini, adalah Subjektivitas pengarang dalam mengungkapkan pikiran dan gagasannya sebagai identitas yang “ berlawanan “ dengan identitas pada umumnya. Ia merupakan sebuah cara mengartikulasikan sebuah fakta yang menunjukkan identitas diri sekaligus identitas sosial, personal sekaligus sosial tentang diri serta hubungannyaan orange lain. Novel yang dikaji dalam makalah ini mempersoalkan subjektivitas dan identitas. Tema seksualitas dan persoalan kelompok yang nir identitas dalam masyarakat. Dalam kajian budaya, tema yang diungkap termasuk dalam bahasan seksualitas yang “tak terkelaminkan”. Identitas diri sebagai lelaki atau perempuan merupakan landasan sebuah identitas diri yang dipandang sebagai fungsi dari tubuh dan atribut-atributnya. Persoalan jenis kelamin merupakan identitas dengan sikap- sikap cultural, baik terhadap maskulinitas dan femininitas, dan menurut perubahan sosial, ada peran yang ditukar atau sudut pandang seksualitas tertentu. Pada masa Pujangga Baru, ketika Novel Belenggu karya Armijn Pane muncul di masyarakat, persoalan kebebasan perempuan menjadi pembicaraan, belum persoalan perselingkuhan. Namun, ketika Layar Terkembang lewat tokoh Tuti yang aktif di masyarakat, masyarakat

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 136 merespon positif karena seiring dengan semangat Pujangga Baru dan tahun-tahun Sumpah Pemuda. Pada masa sekarang ketika semangat keterbukaan masyarakat semakin meningkat, tema-tema dan subjek matter karya sastra semakin berkembang melewati batas-batas identitas kelamin dan subjek-subjek terkelaminkan. Budaya dan bahasa menempati peran penting dalam pemahaman kelamin dan gender. Pada Novel “Lelaki Terindah” (Andrei Laksana, PT Gramedia Pustaka Utama, 2010) mengambil subject matter manusia-manusia tanpa identitas seksualitas yang termarginalisasikan secara sosial-kultural di masyarakat. Demikian juga pada Novel Bila Hasrat Telah Usai (Andi Lotex, 2007) yang lebih menonjolkan ungkapan pribadi tentang hasrat-hasrat yang tak tersalurkan dan terkendala persoalan nilai –nilai masyarakat khususnyakultural. Kedua novel Indonesia kontemporer ini bukanlah sebuah cerminan dari kondisi keberadaan yang alami, melainkan sebuah persoalan representasi. Tubuh yang terkelaminkan selalu direpresentasikan sebagai hasil wacana regulative. Dalam post-strukturalisme, variasi- variasi cultural yang membedakan “hasrat/ketertarikan seksualitas” sudah tentu tidak bisa terstruktur secara oposisi binner melainkan dimaknai sebagai sesuai yang lain (the other). Novel “Lelaki yang Terindah” (2010, 214 halaman), menggambarkan sebuah perjalanan batin tokoh Valent. Ditulis dengan gaya jurnalis, puitis dan naratif berbasis plot. Valent seorang eksekutif muda, professional, mapan, kondisi tubuh ideal sebagai tubuh lelaki, baik wajah maupun postur, sebagai akibat “kekeliruan pengasuhan” mengalami gangguan disorientasi seksual menjadi seorang laki-laki yang tertarik kepada laki-laki. Ia kehilangan figure seorang ayah dan hidup dalam proteksionis ibu karena masa kecil yang sudah menderita sakit diabetis. Disebabkan latar belakang sosial dan keluarga, Valent mampu menutupi kegelisahan dan bersandiwara demi nama baik keluarga, diri sendiri, dan karirnya. Pada usia mapan ia akan menikahi seorang gadis bernama Kinan. Untuk mengisi hari-hari di akhir lajang, Valent mengadakan perjalanan wisata ke Thailand. Secara kebetulan bertemu dengan Rafky, seorang wartawan, lajang, professional, menyukai petualangan. Selama dalam pesawat sampai tak terduga satu hotel di Bangkok, menjadikan Valent berupaya menyalurkan hasrat yang selama ini terpendam dan terahasiakan. Rafky seorang laki-laki heteroseksual. Pada awalnya hanya menganggap Valent sebagai teman perjalanan dan teman mengobrol selama dalam perjalanan. Sampai pada suatu saat terjadi hubungan yang semestinya tidak dilakukan dan sempat membuat Rafky marah, namun kondisi Valent yang rapuh dan hidupnya tergantung suntikan insulin, nalurinya berubah menjadi kasihan dan berusaha memperpanjang kesempatan hidup Valent. Kondisi ini justru menjadikan Rafky juga menjadi tertarik dan terjadilah hubungan homoseksualitas diantara keduanya sampai seusai perjalanan Thailand. Di Jakarta hubungan berlanjut sampai akhirnya rahasia itu terbuka. Kinan sebagai tunangan Valent pada awalnya shock namun akhirnya ia menyadari fakta dari sebuah sisi masyarakat yang terpinggirkan dan belum diakui baik secara agama, sosial dan cultural ini. Kemarahan keluarga, kekecewaan, menjadi akhir cerita dan berakhir kematian Valent karena penyakit diabetis yang diderita. Kematian Valent digambarkan dengan kepuasan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 137 karena telah jujur pada semua orang dan mengajarkan kepada semua orang bahwa kelompok identitas semacam ini hidupnya penuh dengan penderitaan. Valent adalah tokoh sentral novel yang mengemban tema, amanat dari subject matter identas kelamin dan seksualitas. Komentas atas novel ini sebagaimana tertulis pada halaman sampul bagian belakang berasal dari Ramadhan KH, budayawan dan sastrawan yang mengomentari dengan pernyataan keberanian mengungkap subject matter sebagaimana Sanusi Pane dan Armijn Pane pada masanya. Media massa yang mengomentari berasal dari Koran Tempo dan Harian Bisnis yang memberi komentar atas munculnya sastrawan kontemporer laki-laki. Sementara Kompas memuji keberanian mengambil tema kehidupan gay dan subject matter cinta dalam pandangan sisi lain. Sementara pada novel Bila Hasrat Telah Usai yang ditulis Andi Lotex (2007:500 halaman), lebih mengedepankan solilokui, curhat pada diri sendiri mengenai kehidupan gay yang selalu jatuh cinta tanpa memiliki dan selalu dalam ketidakberhasilan. Bahasa yang digunakan lebih menggunakan gaya kontemporer dengan bahasa gaul cirri khas anak muda. Berbeda dengan Andrei Laksana yang naratif, Adi lebih pada gaya yang bebas. Andi berkisah tentang nasibnya sebagai laki-laki yang mencintai laki-laki yang tidak pernah berlabuh dan selalu ditinggalkan karena orientasi bukan cinta melainkan libidalitas saja. Dikisahkan kekecewaan seorang lelaki yang memiliki kekasih lelaki tanpa status dan tujuan yang jelas, mengisahkan sejumlah pacar yang pernah menjadi teman kencan, dan kegalauan hati. Novel ditulis tanpa narasi yang jelas, semacam catatan harian, bahasa dalam status face book, sms dan ungkapan- ungkapan persolal. Berdasarkan kedua novel tersebut tampak bahwa dua-duanya berbicara persoalan kehidupan gay dengan praktik homoseksual dalam sastra. Keduanya menginformasikan sebuah dunia, sebuah identitas yang jauh dari pemahaman struktur rata-rata orang Indonesia tentang laki-laki, perempuan, percintaan, menikah dan keberanian mengungkap subject matter “liyan/the other” yang menjadi cirri khas kajian budaya, yang mencoba menjadi peran advokatif bagi persoalan sosial yang terpinggirkan, kritis, dan partisipatorik. Novel ini berada dalam tataran di luar struktur narasi besar. Jumlah produksi karya sastra ini sangat terbatas dan hanya diterbitkan untuk pemahaman akan persamaan hak individu. Novel kontemporer ini berkisah tentang anak muda, gaya dan perlawanannya lewat subject matter yang dihadirkan. Sebuah novel kontemporer Indonesia dengan sub kultur anak muda dengan persoalan baru yang bersifat “liyan”. Persoalan gender, sebuah ruang budaya anak muda dan sekaligus perlawanan. Tema- tema Querr, dengan sub tema kelamin, gender, identitas, subjek terkelaminkan, representasi, mulai muncul dalam khazanah sastra Indonesia kontemporer meskipun dengan jumlah yang sangat sedikit. Hal ini dimungkinkan karena faktor keterterimaan masyarakat tentang nilai-nilai. Munculnya karya seperti Jangan Main-main dengan Kelaminmu (Nayla, 2004) , Renungan Kloset (Rieke Dyah Pitaloka) juga mempersoalkan tema-tema kelamin, subjektivitas dan representasi. Subjek matter dalam konteks perubahan sosial budaya dalam sastra Indonesia Kontemporer.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 138

Penutup Subject matter “liyan/the other” dalam karya sastra Indonesia menggambarkan semakin bervariasinya tema-tema cerita yang diangkat dalam perkembangan kontemporer sastra Indonesia. Salah satu bagian sastra Indonesia kontemporer muncul karya sastra dengan ide cerita pada sekelompok masyarakat yang “terkucilkan” secara sosial budaya, misalnya kelompok homoseksual, atau kelompok termarginalkan yang lain merupakan liyan/the other. Liyan memang terpahami sebagai kelompok minoritas, kelompok di luar pranata sosial yang lazim. Hal ini bukan sekedar persoalan struktur dalam masyarakat. Hal ini sebagai persoalan yang memerlukan analisis ideologis dan bukan sekedar analisis bentuk dan isi. Sastra Indonesia kontemporer yang diawali munculnya novel Saman (Ayu Utami,1998) membawa pemahaman semakin identitas dan representasi menjadi topik-topik dengan subject matter yang menyiratkan keterbukaan dan ruang dialog. Demikian juga dengan Lelaki Terindah (Andrei Laksana) yang tetap santun dalam bertutur, jelas dalam menggabarkan narasinya serta amanat yang hendak disampaikan. Subject matter liyan/the other dalam sastra Indonesia kontemporer, persoalan yang terkait kelamin, gender, dan subjek tak terkelaminkan sebagai konstruksi-konstruksi sosial yang secara intrinsic terimplikasi dalam persoalan representasi. Contoh-contoh novel seperti Lelaki Terindah (Andrei Aksana, 2010), Bila Hasrat Telah Usai (Andi Lotex,2007), Saman (Ayu Utami, 1998), dll. bukan sekedar berkisah tentang esensi biologis dan seksualitas semata, melainkan persoalan identitas dibicarakan. Kajian Budaya mempelajari representasi subjek dan identitas terkelaminkan dalam sastra dan budaya poluler. Keberadaan sastra Indonesia kontemporer dari kacamata teori representasi menggambarkan (a) mengungkap sifat arbriter proses signifikasi sastra dan perubahan sosial,(b) membongkar makna lebih dalam daripada sekedar melakukan oposisi biner yang cenderung hitam putih, (c) mendorong kemauan untuk hidup dalam keragaman.

DAFTAR PUSTAKA

Aksana, Andrei. 2010. Lelaki Terindah. Novel. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Barker, Chris.2005. Cultural Studies. Teori dan Praktik. Jogjakarta: Bentang. Beilharz, Peter. (terj. Sigit Jatmiko). 2002. Teori-teori Sosial. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Lotex, Andi. 2007. Bila Hasrat Telah Usai (Novel).Jakarta: Daya Cipta. Ratna, I Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Sutrisno, Mudji. (Ed.) 2006. Cultural Studies.Tantangan bagi Teori-teori Besar Kebudayaan. Yogyakarta: Koekoesan. Storey, John. (Terj. Dede Nurdin). 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Memetakan Lanskap Konsep Cultural Studies. Yogyakarta: Qalam. Strinati, Dominic. (terj.Abd.Muchid).2009. Popular Culture Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Ar Ruzz Media. Tilaar, HAR. 2009. Kekuasaan dan Pendidikan. Bandung: Rineka Cipta

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 139

Revealing Personal Identity in Randa Abdel Fattah’s Does my head look big in this? and Ten things I hate about me

Mamik Tri Wedawati Surabaya State University, Language and Art Faculty Email: [email protected]

Abstract Human will always life bounded to their identity. Identity which are born, life, stayed, grown, and viscous forever until they die, is a value experiment to be shared to anyone through literature. Since, a baby can identify him/herself as oneself; he/she has life and it empowers them to be a precious human for all he/she can achieve. Randa Abdel Fattah, a young writer from Australia who expresses her idea about the identity of a young generation in several contexts of social life in Australia. One of her famous novel is Does my head look big in this? Which tell the reader about how a young generation try to be survive in the society that has different thought, culture, and attitude about being a female Muslim from eleven years old until teenager is. Does my head look big in this? and Ten things I hate about me can be an effort to build and empower the identity of the youths through literature. Literature is very flexible to any topic discussions which are come up especially from the society, because literature is the society itself. From the worse until the most beautiful moment ever happened in the society, literature cover it into a creative works which can be enjoyed by the reader without limitation. This article which focus on how does literature through its literary works establish an identity? and how does literature though literary works facilitate the process of self discover? Through a library research which is conducted using sociological approach, this article shows that several good topics literary work is able to be delivered to the reader and it may be a good way to raise the idea of identity then teach them how to live with the identity. The creativity of the writer is the other important idea in showing how literary works facilitates the process of the society.

Introduction Published in 2005, Does my head look big in this? is a novel about a sixteenyear- old girl named Amal Abdel-Hakim who identifies as an ‘Australian-Palestinian-Muslim’. The second novel I focus on here is Ten things I hate about me, which was published in 2006. This novel is about a teenager white Australian girl named Jamilah who is not confident to admit that she is from Muslim family. All three novels are written from the point of view of their respective female protagonists, Amal and Jamilah whose ‘first person’ narratives are analogous to entries in a personal diary. Like other teenage fiction in the ‘coming of age’ genre, all two characters describe their teenager active live and share their daily life full of hopes, dreams, fears and desires as well as the more typical adolescent concerns about ‘fitting in’ with peers, schoolwork, and relationships with friends and family. These two girls struggle to establish their own identity as a Muslim teenager and they would like to be notice as her not based on family or community. Being part of the community and society, it is impossible to know ‘self’ as a character separated from the

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 140 otherness, friends, family, school, religion, and culture. Through Does my head look big in this? and Ten things I hate about me, Amal and Jamilah finally find their own ways to introduce their own identity. Sosiological approach, some theories of the self and narrative form of Bildungroman facilitate the revealing identity of these two girls. The discussion will be directed through some subtitles.

The Identity of Amal and Jamilah Each society has unique ways to clarify themselves in the context in one same environment with other member of societies. There will be “I”, “us” and “them”. What makes “I” different? When a person they to figure his identity out, he will be trapped by the context of being stereotyped. Self identity is reflected as community, country or cultural identity. All these issues of defining oneself, of belonging to a certain community, society, country, leads us to the complex concept of identity. “Identity” may be defined as the distinctive character belonging to certain individual, or shared to all members of a community. The term comes from the French word identité or identitas, -tatis in Latin. It has meaning "the same." This term is thus essentially compares the degree of sameness or oneness with others in a particular context. Rummers states that “Identity” whereas the latter refers to the classifying act of the person is admitted to be different with the word identification. Identity is bounded together in both relational and contextual, while the act of identification is best viewed as a process to achieve an identity (1993: 157-159). Does my head look big in this? and Ten things I hate about me are two novels talking about two girls in the process of developing their identity. The development of identity through the reconciliation of self and the society represents narrative form of Bildungsroman-the novel of self development. The bildungsroman tells about protagonist’s actual or metaphorical journey from youth to maturity which contains reconciliation between the desire for individuation and the demands of socialization (Rau, 28). The novel Does my head look big in this? introduces complication in the forging of the protagonist identity, Amal. It closes where Amal is feeling comfortable about who she is. The novel Ten things I hate about me begins the story by presenting the protagonist who hides her identity and ends with a comfortable feeling having her real identity, as an Lebanese-Muslim, moreover friends are already accept her friendly. The narrative style does not discuss the other aspects of Amal’s identity (gender, race, class, etc.) including deep discussion of religious and national identity. Amal has no confussions on her gendered identity. She is clearly known as a daughter of a couple of doctors and her existence does not concern to the class but how to be accepted by the society as a Muslim with the performance of wearing head scarf freely. Growing to be an adolescent, every girl will question their own identity. They growth together with family which more and less let her embrace their identity. “The onset of cognitive thinking triggers a host of emotional tasks to be completed, not the least of which is the development of a positive self-esteem and some degree of autonomy from their parents” (Irvin 25). In this time of great change, emotionally, psychologically and physically, children should be able to feel comfortable with their metamorphosis. Adolescents should be given great opportunity to understand the context and comment on their own change by experienced independently of being themselves in the forms of:

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 141 thinking, behaving, acting, delivering argument and deciding a particular case based on their own perspectives. Amal, a girl from Australian-Palestinian-Muslim family background grows to be a matur in mind before her adult age. Growing in modern and educated family, Amal found small difficulties to her family. Not in the terms of refusing Amal wears hijab (a cloth covering all part of body from hair to feet except face, fingers and feet), but they want to make sure precisely about the decision to wear it at school and any occasion afterwards. Being introduced by the religion and influenced indirectly by the social context of being Muslim, Amal meets big challenge from her friends and neighborhood. When Amal presents at school or a new society (school), she deals with many contexts. As stated by Stryker that the self emerges in social interaction will absolutely deals with the context of a complex, organized and differentiated society reflecting the dictum that the “self reflects society” (Stryker, 1980). This idea is rooted in James’ (1890) notion that there are many different selves get involve into different positions hold in society and accept responds from different groups. The identities are the meanings one has as a group member, as a role-holder, or as a person. What does it mean to be a daughter, or a student, or a friend? These meanings are the content of the identities. Amal is a lovely daughter, diligent students and friendly neighbor. She has no gendered problems due to her friends. Amal meets problems only related to her hijab and when he put on her hijab. A. Stix and M. George claims that the universality of exploring one’s own identity is through the adolescent experience (George and Stix, 3). Both Jamilah and Amal struggle with a lot of identity conflicts. At first one could argue that their conflicts are just about the same, however I have found that they differ from each other in some ways. Adler explains the state of being a multicultural person partly like this: “He or she is neither totally a part of nor totally apart from his or her culture; instead, he or she lives on the boundary.” When Amal starts to wear the hijab she shows her multicultural identity more than before, and therefore she lives even more on the boundary now than earlier. If the students become more aware and used to the fact that everyone has their own struggles and that it is common for teenagers to search for an identity, they might see who a person like Amal really is. In Ten things I hate about me, Jamilah feels no confidence to her identity as a Muslim. She hides it from friends and she keep it for quiet long time until she gets her own belief that her friends are expecting her to be honest. An interaction will only happen if there is interaction between persons who occupy positions (statuses) in groups or organizations in society. Interaction is thus not between whole persons, but between aspects of persons having to do with their roles and memberships in particular groups or organizations: their identities. As Burke said that there is an assumption and implication of having interaction that any identity is always related to a corresponding counter-identity (Burke, 1980). When one claims an identity in an interaction with others, there is an alternative identity claimed by another to which it is related. The father identity is enacted as it relates to the daughter identity; the teacher identity is played out in relation to the student identity and so forth. In each of these cases, there are things that are not talked about because they are not relevant to that identity, and there are things that are more likely to be talked about given the identity that is currently being claimed.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 142

There are various styles of interaction that are appropriate in each situation for each identity. We move into and out of these modalities very easily and generally with very little thought. Amal realizes that she is actually a Muslim, but it is not easy thing to say directly to others. She introduces herself thus at first: 'I'm an Australian–Muslim– Palestinian. That means I was born an Aussie and whacked with some bloody confusing identity hyphens' (Abdel-Fattah 2005, 5). Amal, however, is a result of society's treating her as a stranger. She suddenly aware of her identity issues and loses her confidence in herself as someone with the identity of Australian–Muslim. At the first time she interacts with friends, Jamilah has a plan to say if someone asks who she rely is. She decides to not tell the truth that she in a Lebanese-Muslim. She chooses better to say that she is an Anglos and one definite thing she does is dyed her hair blonde (Abdel-Fattah 2006, 5-9). Then she will avoid getting too close to two of her close friends or anyone else at school. A. Bellows describes in her article that there are five typical ways that teenagers use to demonstrate their struggles with identity. They are: status symbols, forbidden behaviors, rebellion, idols and cliquish exclusion. She explains all these ways closer and describes them as common ways of behavior while searching for identity. A lot of different ethnic groups are represented at the school. Jamilah attends and she explains that all of them are labeled (Bellows, 5). Confessing one’s identity is not a simple thing. Jamilah has to struggle with her own belief that she actually know exactly which one is right (being honest) and wrong (being liar). All questions direct her to the right is part of negotiating a formation of reality (Adler ). Beside being active in regular school, Jamilah also attends an Arabic school once a week. In that class she is not Jamie, there she is Jamilah, her other identity can show without risking others having preconceptions about her. As it is drawn in the novel, Jamilah does not have to decide which culture she wants to belong to, it is about accepting and relating to them both. Therefore it is proven that fiction can be a good tool to use when one wants to make it easier for teenagers with their own search for identity. In chapter fourteen Jamilah writes down the ten things she hates about herself (80-85). This list shows the reader how she looks at herself. She does not have a good self-image and it becomes quite clear that she does have a rather big problem with finding herself and who she really is. Once again Adler shows how one could look at this:

Nation, culture, and society exert tremendous influence on each of our lives, structuring our values, engineering our view of the world, and patterning our responses to experience. Human beings cannot hold themselves apart from some form of cultural influence. No one is culture free.14

Jamilah is affected by the environment she lives in, she belongs to two cultures, on the one hand, she belongs to her school and the life in Australia and on the other hand, to the culture she has from her family and their background. The strength of the attention and support from to Jamilah, she can overcome her feeing being uncomfortable performing herself as Lebanese-Muslim, bright skin, brown hair and eyes.

The Muslim Girls It is important to realize that part of our identity is related to our own culture and our interaction with other cultures. With this idea in mind, we will enter this unit with a

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 143 multicultural perspective. Since the students will be given the opportunity to discuss the literature they read in this unit, they will be able to better understand their own identity in relation to culture. Many different cultures mix in our society today, so students must think of their own identity in relation to their culture as well as their identity with other cultures. According to Jerry Adler’s article in Newsweek Magazine, “High-school kids are more tolerant of differences than they were a generation ago. Minority kids, penetrate deep into the heartland” (56). As students enter into groups their identity will change: “As adolescents spend less and less time with their parents, cliques increasingly fill the emotional vacuum, and the…game of acceptance or rejection is being played for even higher emotional stakes” (Adler 56). Many of these groups could easily include students from different cultures than their own, thus affecting their own identity. In Does My Head Look Big In This there is a scene where Adam asks Amal if she saw a documentary about Muslim the day before, Amal becomes very upset and starts to yell at Adam. He tries to explain to Amal that not everyone is trying to judge her (152- 153). It must be hard for Amal to have these two identities to struggle with. Amal wants to be proud of whom she is, but on the other hand she feels that she has to defend herself when people ask questions. She had this conflict as much even when she did not wear the veil, but it was not until she started to wear it that she became aware of the problems for real. In another occasion, the narrative shows the Bali bomb attacks (2002). This tragedy affects Amal’s status as part of the terrorist and its difficulty is rising for many people around her. To this situation, Amal feels really stressful.

I cry, but it's bizarre because I can't even break down and grieve without wondering about what people are thinking of me. I wince every time Ms Walsh says the word 'massacre' with the word 'Islamic', as though these barbarians somehow belong to my Muslim community. (Abdel-Fattah 2005, 237)

In deep of her heart, she feels sad, but she does not want to cry. Showing her sadness to others, means that she agrees of being treated as enemy. In fact, she has no relation to that accident. Amal puts to express her opinion about them, challenging their being related to Islam. She is disgusted by the Bali bombings. She expresses wonder at how killers of innocent people could be considered Muslims or the representatives of any religion: '… why can't you and other people get that ou can't be very holy if you're going around blowing people to smithereens?' (Abdel-Fattah 2005, 148). Amal is also very angry that Leila's mother considers the traditions of her village as the instructions of Islam: 'any moron would realise that she's following her village's culture, not Islam. So for her to go around and tell the world it's Islam is so dumb' (Abdel-Fattah 2005, 83). Leila, likewise, tells Amal that her mum has never read the Quran. 'Do you know my mum hasn't even read the Koran? She goes on what her mum told her and what her mum's mum told her. That's her scripture … She is the one offending Islam … not me' (Abdel-Fattah 2005, 86). One consideration in the novel is that Australia views the first settlers and those who have come later are not equal and the first settlers are considered to have more rights:

There will always be a cultural imbalance between those (one or two communities) whose history is foundational to the nation and those who have come, as equal citizens, no doubt,but whose presence

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 144

can only have the same legitimacy (in terms of national ideology) retrospectively and even then only after their discrepant narratives have been incorporated into the 'foundational narrative' or when the necessity for the latter has been dispensed with altogether. (2004, 2–3)

In Australia, the white Anglo-Saxon, largely Christian people from Britain who comprise the founding nation of modern Australia. This notion is also affirmed by research which argues that the imaginary Australian identity is mainly defined by press and ordinary citizens as morally reprobate, and associated with a series of pejorative images' (2004, 3). As related to the discussion of Does my head look big in this? (2005), Amal is neither Christian nor 'white' (in the sense of being Anglo-Saxon or of European origin), which further complicates her belonging to the Australian nation. Being excluded because of the September 11th tragedy and part of the second settlers, Amal decides to be visible Muslim by wearing the head scarf. It becomes more difficult than before. But as Mishra points out 'It is important … to locate multiculturalism as a problematic essentially around the visible, for without that cultural visibility (colour, religion, dress, food) multicultural theory may be replaced by a theory of 'critical assimilation' (2005, 4). Another views presented by Ghassan Hage, a cultural studies scholar. He states that there are some attributes that individuals need to acquire in order to make their belonging to a nation possible. He believes in a hierarchy in these factors and states that visual appearance has more value than idiom and accent (1998, 56–64). This point is also true in the depiction of Amal in the novel. The language of Amal in the novel is the Australian vernacular. Also, nowhere in the novel it is mentioned that anybody has picked on her for her accent. Her visual appearance, her hijab, however, obscures other factors that can signify her as Australian. In Imtaoul's words, 'the hijab is the primary sign by which non-Muslim viewers make meanings. In many cases it is read as a sign of migrancy' (2006, 198). The narrative views also the effort to deconstruct Muslim image of Australian girl and shows that they are belong to feel becoming westerner. The novel presents Muslim easily and familiar recognized through colorful cover which express happiness and confidence. This representation helps the Muslim girl to be similar to the ideal of Western teenager. Amal has two close friends which unveiled. Clare Bradford comments that the veiled girl's depiction among the girls in Western clothes implies that she is living with Western non-Muslim people, and 'that she is agential and active in her identity formation' (2007, 61). Amal is very confident girl with her belief that wearing hijab is part of being Muslim woman. Hijab is the symbol of Amal’s faith and such describes the experience of wearing hijab:

I believe it will make me feel so close to God….[When I am wearing my hijab, it is as if] something special and warm and extraordinary is happening and nobody in the world knows about it because it is your own experience, your own personal friendship with your creator. I guess when I am not wearing the hijab, I feel like I'm missing out. I feel cheated out of that special bond. (Abdel-Fattah 2005, 6)

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 145

Wearing hijab seems for Amal as having a spiritual straight connection with God, represented in the text as a visceral experience associated with warmth, passion, intimacy and friendship. As a citizen who lives and was born in Australia, she consciously realizes that she is Australian girl. Being an Australian, she has different understanding of being citizen from her classmates. For example, she thinks about her national identity. When she feels that her being an Australian is being questioned by people around her. A day after the Bali bomb attacks, she says:

I have nowhere else to go and nowhere else I want to go. Once again I don't know where I stand in the country in which I took my first breath of life. (Abdel-Fattah 2005, 237–238)

The phrase 'taking my first breath of life' in the quotation above shows Amal's intimate and emotional attachment to Australia. To Amal, being born in Australia and feeling that Australia is her country is enough for being a true Australian. However, as discussed above, the question of being Australian, from the perspective of some Australians, is rather different.

Conclusion Both, Amal and Jamilah are Australian girl who typically still think only about their happiness with teenagers lives. In the novel Does my head look big in this? and Ten things I hate about me, either Amal or Jamilah shows a self development from being not confident with their real identity, an Australian-Palestinian-Muslim and an Lebanese- Muslim. They think that others would not accept them easily especially the tragedy accident in 2002. Through family’s and friend’s support adding to the good representation from them at school and home at the end of the story finally they can overcome the problems.

Works Cited

Adler, Jerry. The Truth About High School. Newsweek 10 May 1999: 56-58. Bellows, Amy. Your Teen’s Search for Identity. PsychCentral.com, June 22 2007, April 2011. Web. Bradford, C. (2007). Representing Islam: female subjects in Suzanne Fisher Staples's novels. Children's literature association quarterly 32(1): 47-62. Burke, P. J. (1980). The self: Measurement implications from a symbolic interactionist perspective. Social Psychology Quarterly, 43, 18-29. Imtoual, A. S. (2006). Taking things personally' : young Muslim women in South Australia discuss identity, religious racism and media representations. Unpublished PhD dissertation. University of Adelaide. Mishra,V. (2005). What was multiculturalism? Portal: Journal of Multidisciplinary International Studies 2(2).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 146

Rau, P. (2002). Bildungsroman. The Literary Encyclopedia. http://www.litencyc.com/php/stopics.php?rec=true&UID=119. Rummens, J. (1993). Personal Identity and Social Structure in Sint Maartin/Saint Martin: a Plural Identities Approach. Unpublished Thesis/Dissertation: York University. Stix, Andi and George, Marshall. Using Multi-level Young Adult Literature in the Middle School American Studies. Social Studies Journal. 1998. April 2011. Web Stryker, S. (1980). Symbolic interactionism: A social structural version. Menlo Park: Benjamin Cummings.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 147

STRATEGI PENGHAPUSAN DIRI KAJIAN PUITIKA PASCAMODERNISME TERHADAP CERPEN-CERPEN DANARTO

Dr. Pujiharto, M.Hum. FIB, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta [email protected]

1. Pendahuluan Sebagai salah satu entitas yang berproses dalam sejarah, adalah suatu keniscaya- an bahwa karya fiksi itu mengalami perubahan. Demikian pula halnya dengan fiksi Indonesia yang ditengarai telah mengalami perubahan dari fiksi modern ke fiksi pascamodern. Penandanya adalah terjadinya perubahan sifat pada unsur-unsur di dalam karya fiksi bersangkutan. Fiksi adalah hasil konstruksi pengarangnya. Dalam mengkonstruksi karya fiksi pengarang menggunakan strategi-strategi tertentu. Penggunaan strategi-strategi ini tidak bisa dilepaskan dari konteks historis sebelumnya. Oleh karena itu, unsur-unsur yang membangun karya fiksi itu tidak bisa dilepaskan dari segala hal yang pernah ada sebelumnya. Muncullah repertoar-repertoar baru dalam fiksi yang diciptakan pengarang. Salah satu unsur yang ada dalam karya fiksi, sebagaimana dikemukakan oleh Ingarden (1973: 217—254), adalah objek-objek yang direpresentasikan. Objek-objek yang direpresentasikan dalam fiksi juga mengalami perubahan sejalan dengan diterapkannya strategi-strategi baru dalam pengkonstruksiannya. Penggunaan strategi- strategi baru dalam pengkonstruksian objek-objek yang direpresentasikan dan hasil konstruksinya menarik untuk diteliti lebih jauh. Sejauh yang dapat diamati, strategi baru dalam pengkonstruksian objek-objek yang direpresentasikan dan hasil konstruksinya tampak mengedepan dalam fiksi karya-karya Danarto.

2. Landasan Teori Untuk menjelaskan fenomena di atas tulisan ini menggunakan konsep perubahan yang dominan dan konsep dunia-dunia di bawah penghapusan.

2.1 Perubahan Yang Dominan dalam Fiksi Menurut McHale (1991), perubahan dari fiksi modern ke fiksi pascamodern ditandai oleh terjadinya perubahan yang dominan: dari sifat epistemologis yang dominan ke sifat ontologis yang dominan. Yang dimaksud dengan yang dominan adalah yang mengatur, menentukan, dan mentransformasikan komponen-komponen yang tampak dengan jelas. Yang dominanlah yang menjamin integritas strukturnya (Jakobson, 1994: 41—46). Dengan yang dominan ini akan diketahui proses evolusi yang terjadi dalam

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 148 karya fiksi. Dengan proses evolusi itu, elemen-elemen yang semula sekunder bisa berubah menjadi penting dan primer, demikian pula sebaliknya. Bentuk-bentuk kepuitisan berubah dan berkembang tidak secara acak, melainkan sebagai hasil sebuah “pergeseran yang dominan”: ada suatu pergeseran yang terus-menerus dalam saling hubungan di antara bermacam-macam unsur dalam sebuah sistem puitik (Selden, 1991: 11). Sebuah karya fiksi dikatakan bersifat epistemologis bila karya fiksi tersebut memiliki strategi-strategi formal yang secara implisit mengangkat isu-isu tentang aksesibilitas, reliabilitas atau unreliabilitas, transmisi, sirkulasi, dan sebagainya mengenai pengetahuan tentang dunia (McHale, 1992: 146). Sebuah karya fiksi dikatakan bersifat ontologis bila karya fiksi tersebut memiliki strategi-strategi formal yang secara implisit mengangkat isu-isu mode keberadaan dunia-dunia fiksional dan penduduknya, dan/atau merefleksikan pluralitas dan diversitas dunia-dunia, apakah “nyata”, mungkin, fiksional, atau yang lainnya (McHale, 1992: 147). Namun, dengan pengertian ontologi yang demikian hanya bisa digambarkan repertoar strategi-strategi yang sama, bahwa seluruh pengedepanan yang dilakukan para pengarang pascamodernis merupakan sikap ontologis. Tidak bisa digambarkan bagaimana pengedepanan sifat ontologis itu diselesaikan, strategi-strategi apa yang telah disebarkan. Untuk bisa melakukan hal itu terlebih dahulu perlu dikemukakan secara garis besar tema ontologis dalam puitika yang berkenaan dengan pengkonstruksian objek-objek yang direpresentasikan, yaitu teori Roman Ingarden. Sebelum diuraikan teori Roman Ingarden mengenai objek-objek yang direpresentasikan, terlebih dahulu diuraikan beberapa konsep yang dipergunakan, yaitu ontologi, repertoar, strategi, pengedepanan, latar belakang, dan pengedepanan. Yang dimaksud dengan ontologi adalah deskripsi teoretis tentang sebuah semesta (a theoretical description of a universe). Dengan a universe (sebuah semesta)—bukan the universe (semesta besar)—maka dimungkinkan untuk mendeskripsikan beberapa semesta. Hal itu berarti bahwa secara potensial terdapat pluralitas semesta (McHale, 1991: 27). Repertoar adalah konvensi-konvensi yang perlu untuk pemantapan suatu situasi. Repertoar terdiri atas seluruh teritori yang familiar di dalam teks. Repertoar ini barangkali ada dalam bentuk acuan-acuan pada karya-karya yang lebih awal, atau pada norma- norma sosial dan historis, atau pada seluruh kebudayaan dari yang teks itu muncul (Iser, 1987: 69). Repertoar teks disusun dari materi yang diseleksi dari sistem sosial dan tradisi- tradisi sastra. Seleksi norma-norma sosial dan alusi-alusi sastra ini menyusun karya di dalam suatu konteks referensial yang sistem ekuivalensinya harus diaktualisasikan (Iser, 1987: 86). Dalam konteks penelitian ini, repertoar dimaksud ada dan disusun dengan mendasarkan pada acuan karya-karya yang telah lalu. Karya dimaksud menunjuk pada teori Roman Ingarden, khususnya berkenaan dengan objek-objek yang direpresentasikan. Teori ontologi fiksi, khususnya lapis objek-objek yang direpresentasikan, yang dikemukakan Roman Ingarden tidak lagi mewujud dalam bentuk asli sesuai dengan konteks kelahirannya, tetapi muncul dalam fiksi Indonesia dengan wujud baru dan konteks yang baru pula. Strategi adalah prosedur-prosedur yang diterima oleh pembicara dan penerima dalam ucapan performatif (Iser, 1987: 69). Strategi sebagaimana dikemukakan Iser

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 149

(1987: 86) berfungsi untuk mengorganisasi pengaktualisasian repertoar, dan strategi- strategi itu mengerjakan hal yang demikian itu dalam cara-cara yang beragam. Sementara itu, repertoar yang diaktualisasikan dengan strategi di atas muncul dari latar belakang (background) tertentu hingga mengedepankan (foreground) elemen terpilih. Dengan demikian, proses seleksi secara tak terhindarkan menciptakan hubungan latar belakang-pengedepanan (background-foreground), dengan elemen terpilih muncul pada pengedepanan dan konteks aslinya pada latar belakang. Tanpa hubungan yang demikian, elemen terpilih akan muncul tanpa arti (Iser, 1987: 93). Namun, latar belakang dan pengedepanan dalam tulisan ini muncul dalam dua hubungan, yaitu (1) hubungan antara fiksi modern dengan fiksi pascamodern dan (2) hubungan antara ontologi fiksi dalam konteks yang lama dengan repertoar strategi pengedepanan ontologis yang baru. Pada (1) terjadi hubungan yang menunjuk pada terjadinya perubahan sifat yang dominan: dari sifat epistemologis ke sifat ontologis. Lebih lanjut, perubahan yang dominan yang telah diuraikan dijadikan dasar bagi pengedepanan sifat ontologis. Dalam konteks ini, sifat epistemologis yang merupakan sifat yang dominan pada fiksi modern hanya dijadikan sebagai latar belakang bagi pengedepanan sifat ontologis yang merupakan sifat yang dominan pada fiksi pascamodern. Selanjutnya, sifat ontologis yang dikedepankan pada (1) adalah sifat ontologis dalam pengertian umum. Agar repertoar strategi-strategi pengedepanan sifat ontologis yang spesifik bisa dideskripsikan terlebih dahulu diuraikan ontologi yang telah dikemukakan dalam teori Roman Ingarden, khususnya berkenaan dengan objek-objek yang direpresentasikan. Uraian mengenai ontologi objek-objek yang direpresentasikan dalam teori Ingarden ini merupakan latar belakang bagi pengedepanan repertoar strategi pengedepanan sifat ontologis yang muncul dalam cerpen-cerpen Danarto. Dalam pengertian seperti itulah hubungan (2) di atas dipahami. Dalam teori Roman Ingarden, karya fiksi merupakan karya yang terdiri atas beberapa lapisan, yaitu lapis bunyi, lapis arti, lapis objek-objek yang direpresentasikan, dan lapis dunia. Menurut Ingarden, meskipun terdiri atas beberapa lapisan, dunia fiksi yang tampil dalam karya fiksi tampak terang benderang. Hal itu berarti bahwa lapisan- lapisan itu membangun satu tatanan yang rapi dan membentuk satu kesatuan. Dalam fiksi pascamodern, masing-masing lapisan itu rupanya tampak menonjol. Kemenonjolan lapisan-lapisan itu memunculkan struktur-struktur ontologis di dalamnya. Salah satu struktur ontologis itu adalah unsur objek-objek yang direpresentasikan. Penonjolan unsur- unsur objek-objek yang direpresentasikan menunjukkan bahwa tiap-tiap strata dalam karya fiksi, termasuk cerpen, pada dasarnya merupakan struktur ontologis tersendiri.

2.2 Dunia-dunia di Bawah Penghapusan Salah satu strata karya sastra, menurut Ingarden (1973: 217—254), adalah strata objek-objek yang direpresentasikan. Segala sesuatu di dalam strata itu dalam keadaan tidak menentu. Akan tetapi, beberapa di antaranya lebih tidak menentu daripada yang lainnya. Beberapa tidak menentu secara permanen dan secara radikal di antara dua atau lebih keadaan: mereka warna-warni (iridesce) atau berubah warna (opalesce). Pernyataan Ingarden itu, menurut McHale (1991: 99), menunjuk pada kalimat-kalimat yang memproyeksikan keadaan yang dapat direkonstruksi di dalam lebih dari satu cara, jenis kalimat yang ditangani oleh kritik sastra konvensional di bawah rubrik ambiguitas.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 150

Dengan dikatakan ambiguitas, yang sesungguhnya terjadi adalah adanya pemahaman ganda mengenai objek tertentu. Objeknya sendiri satu dan pasti. Dengan pemahaman serupa itu, yang dominan adalah sifat epistemologisnya. Apa yang dikemukakan Ingarden tersebut ternyata tidak bisa diterapkan pada fiksi pascamodern. Bila dalam fiksi yang dibayangkan Ingarden objek-objek itu menjadi tidak menentu karena kalimat yang dipergunakan untuk mengungkapkan objek-objek itu yang ambigu, yang berarti pula objeknya jelas, dalam fiksi pascamodern, ketidakmenentuan itu memang terjadi pada objek-objek yang direpresentasikan. Ketidakmenentuan objek-objek itu terwujud dalam penghapusan diri terhadap objek-objek itu sendiri. Narasi penghapusan diri ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan Derrida mengenai praktik penempatan tanda-tanda verbal tertentu, sous rature, di bawah penghapusan ( ). Melakukan sous rature berarti menuliskan kata, memberi tanda silang pada kata tersebut, dan mencetak, baik kata maupun tanda silang tersebut. Inti gagasannya adalah, karena kata tidak akurat, atau lebih tepatnya tidak memadai, dalam menggambarkan realitas, kata itu diberi tanda silang. Karena masih berguna, kata tersebut dibiarkan tetap dapat terbaca. Derrida mengadopsi alat yang secara strategis penting ini dari Heidegger, yang sering menyilang kata ”Mengada” (seperti ini: mengada) dan membiarkan, baik kata maupun tanda silang itu, karena meskipun tidak memadai kata tersebut masih berguna. Heidegger merasa bahwa konsep Mengada tidak dapat ter- muat, selalu mendahului, dan memang melampaui, penandaan. Mengada adalah petanda terakhir yang dirujuk semua penanda, ”petanda transendental” (Sarup, 1993: 33). Tujuan Derrida menggunakan tanda silang itu adalah untuk mengingatkan bahwa konsep-konsep kunci tertentu dalam metafisika Barat—seperti existence dan objecthood— tetap penting pada wacana filosofis meskipun wacana yang sama itu mendemonstrasikan ketidaklegitimatifannya. Konsep-konsep itu tidak diakui, tetapi sekaligus tidak dikeluarkan; karenanya Derrida menempatkan konsep-konsep itu sous rature, di bawah penghapusan. Tentu saja di bawah penghapusan yang ada dalam fiksi pascamodern bukanlah penanda-penanda konsep di dalam wacana filosofis, tetapi objek-objek yang direpresentasikan di dalam dunia yang diproyeksikan. Tujuannya bukanlah untuk menunjukkan adanya aporia42 pada metafisika barat, tetapi lebih dari itu menunjukkan proses dengan para pembaca, di dalam kolaborasi dengan teks, konstruksi objek-objek dan dunia-dunia fiksional. Dalam fiksi modern, narasi penghapusan diri secara tipikal diacukan sebagai antisipasi-antisipasi, harapan-harapan, atau ingatan-ingatan mental tokoh. Peristiwa- peristiwa yang dihapus terjadi dalam wilayah subjektif atau subdunia seorang tokoh atau tokoh lain. Dalam fiksi pascamodern, narasi penghapusan diri hadir sebagai suatu paradoks yang tidak terpecahkan pada dunia di luar pikiran tokoh-tokohnya. Terdapat beberapa strategi penghapusan diri yang bisa menimbulkan efek ganda, yaitu (1) penghapusan peristiwa yang terjadi, (2) penghapusan ada—objek-objek, lokal- lokal, dan tokoh-tokoh, (3) penghapusan diri yang bersifat implisit pada dua atau lebih keadaan yang diproyeksikan oleh teks yang sama tanpa keadaan yang saling bersaing itu

42 Aporia adalah situasi pemberian arti yang menghadapi jalan buntu. Hal itu dikarenakan setiap tindak pemberian arti memanfaatkan tanda yang sendiri perlu diberi arti; setiap tanda berdasarkan pertentangan, oposisi, tetapi setiap pertentangan sendiri berdasarkan tanda (Eagleton, 1983: 132).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 151 secara eksplisit ditempatkan sous rature, dan (4) penghapusan pengakhiran. Tulisan ini hanya membahas strategi penghapusan diri yang (1) dan (2).

3. Strategi Penghapusan Diri dalam Cerpen-Cerpen Danarto Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tulisan ini akan membahas cerpen- cerpen Danarto. Hal itu karena cerpen-cerpen Danarto cukup kuat mengedepankan strategi penghapusan diri.

3.1 Penghapusan Peristiwa (Sesuatu Terjadi)

Penghapusan peristiwa yang terjadi (something happened) mengedepan dalam cerpen ”Lahirnya Sebuah Kota Suci” (Danarto, 1982: 62—65) dan “Panggung” (Danarto, 1987: 13—21). Dalam cerpen “Lahirnya Sebuah Kota Suci” diceritakan bahwa di Kotagede, sebuah wilayah yang berada lima kilometer di sebelah selatan kota Yogyakarta ada sebuah rumah milik tukang jam. Di dalam rumah itu terdapat sebuah kamar yang di atas papan nama bergantung lonceng tua, lonceng saku berantai yang besar yang merupakan hasil karya tukang jam itu. Orang-orang yang masuk ke dalam kamar itu merasakan keajaiban. Mereka yang memasuki kamar yang di dinding bagian atasnya ada lonceng tua itu juga mengalami keajaiban. Keajaiban itu mengacu pada terhapusnya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pikiran yang baru saja dialami yang kemudian digantikan oleh peristiwa lain. Kami juga melihatnya. Tapi entahlah. Seperti ... o, hiya aku ingat, seperti ... jelas sekali. Seperti ... Ah, sulit kami menyebutnya. Apa itu? Aku melihatnya. Aku telah melihatnya. Nanti dulu. Pikiran kami saling berebut dengan perasaan kami. Lihatlah seribu, o, bukan, lebih banyak lagi, puluhan ribu jantung layang-melayang saling sergap melawan puluhan ribu gerombolan otak. O, bukan. Bukan semuanya. Bukan itu. Bukan itu. Ya, bongkahan-bongkahan bermunculan. Semuanya melihat bongkahan itu. Ia seperti ... Ah, bukan juga. Bukan itu. (Danarto, 1982: 62)

Pada paragraf pertama disebutkan bahwa ’aku’ telah melihat suatu peristiwa. Peristiwa itu, seperti disebutkan pada paragraf kedua, adalah seribu jantung layang-melayang saling sergap melawan seribu gerombolan otak. Namun, peristiwa itu kemudian dihapus dengan pernyataan bahwa jumlahnya bukan seribu, tetapi puluhan ribu. Pernyataan yang terakhir itu pun dihapus lagi dengan pernyataan bahwa semuanya itu ’bukan’; yang terlihat bukan peristiwa puluhan ribu jantung saling sergap melawan puluhan ribu gerombolan otak, tetapi bongkahan-bongkahan, suatu ada. Terjadi penghapusan peristiwa yang kemudian digantikan dengan objek. Ternyata objek itu juga dihapus dengan pernyataan bukan. Peristiwa dan objek yang dihapus yang berlangsung terus-menerus seperti terurai di atas terus berlanjut pada paragraf berikutnya. Bila uraian di atas menggambarkan penghapusan peristiwa dan objek, kutipan di bawah ini menggambarkan penghapusan lokasi, yang kemudian diikuti dengan penghapusan peristiwa.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 152

”Aku kenal tempat ini,” begitu teriak kami tiba-tiba secara serempak. Tapi secepatnya kami teriak kenal, secepat itu pula kami tak mengenalnya kembali. Secepat kami sadar, secepat itu pula kami tak sadar. Kami melingkar bersama. Melingkari lonceng itu. Tapi kami sebenarnya tak melingkarinya. Kami tersebar. Kami berjalan, meskipun kami sebenarnya bukan berjalan. Kami melayang (agaknya ini lebih tepat). Ternyata atas dan bawah sama saja: tidak ada. (Danarto, 1982:62)

Masing-masing dari kami, yaitu aku, mengatakan secara bersama-sama, ”Aku kenal tempat ini.” ”Tempat ini”, yang menunjuk pada lokal tertentu kemudian dihapus dengan pernyataan ”kami tak mengenalnya kembali”. Kata ’mengenal’ yang prosesnya berkenaan dengan indra penglihatan, yang berarti pula ”kami melihat tempat itu” kemudian dinaikkan ke level yang lebih abstrak, yaitu persoalan kesadaran. Muncullah pernyataan ”Secepat kami sadar, secepat itu pula kami tak sadar”. Dalam pernyataan itu, penghapusan yang terjadi bukan berkenaan dengan lokal, tetapi peristiwa, yaitu peristiwa menyadari. Pada paragraf berikutnya terjadi penghapusan lagi, yaitu pada level aktivitas. ”Kami melingkar bersama. Melingkari lonceng itu. Tapi kami sebenarnya tak melingkarinya.” Dalam pernyataan itu terkandung sekaligus dua penghapusan: pertama, penghapusan peristiwa, yaitu kami melingkari; kedua, penghapusan objek, yaitu lonceng. Namun, penghapusan yang terwujud dalam pernyataan ”kami sebenarnya tidak melingkarinya” juga dihapus. Yang terjadi adalah ”Kami tersebar”. Tersebar dimaksud adalah berjalan. Namun, ”Kami berjalan” pun dihapus karena ”Kami sebenarnya bukan berjalan”, tetapi melayang. Narasi penghapusan di atas ternyata masih terus berlanjut. Pada paragraf berikut tergambarkan penghapusan peristiwa. Di dalam kenyamanan inilah memancar keheningan yang mutlak menguasai kita. “Aku tak ingin kembali. Aku tak ingin kembali,” teriak kami serempak, yang lalu disusul teriakan berikutnya: “Aku harus kembali. Aku harus kembali.” Kenapa susah amat mengendalikan semuanya itu. (Danarto, 1982: 63)

Kami yang tidak ingin kembali dihapus dan kemudian digantikan dengan kami harus kembali. Penghapusan peristiwa, objek, atau lokal yang satu oleh peristiwa, objek, atau lokal yang terjadi secara berulang di atas telah memunculkan kedipan ontologis. Terjadi kegandaan dan bahkan pluralitas ontologis berkenaan dengan peristiwa, objek, dan lokal43. Berbeda dengan penghapusan dalam cerpen ”Lahirnya Sebuah Kota Suci” yang dinarasikan/dideskripsikan dalam satu atau dua kalimat hingga dalam beberapa paragraf,

43 Sengaja uraian mengenai penghapusan di atas sekaligus berkenaan dengan peristiwa, objek, dan lokal karena dalam data (kutipan) yang dianalisis memang terdapat penghapusan ketiganya dan penghapusan itu saling melintasi: peristiwa dihapus oleh objek atau lokal, dan sebaliknya. Oleh karena itu, penghapusan objek dan lokal yang sama tidak dilakukan pada subbagian penghapusan ada.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 153 penghapusan dalam cerpen “Panggung” (Danarto, 1987: 13—21) tergambarkan dalam keseluruhan ceritanya. Pembaca akan mengetahui bahwa di dalamnya pengarang menggunakan strategi penghapusan diri bila sudah membaca keseluruhan cerita. Karena surat-surat kaleng yang diterimanya berisi keburukan Ayah, saya pun kemudian sangat membenci Ayah. Puncak dari kebencian itu saya wujudkan dengan menembak Ayah hingga mati. Saya kemudian dipenjara. Ketika mayat Ayah dikuburkan, saya dengan dikawal dua orang pengawal diberi kesempatan menghadiri upacara pemakaman Ayah. Ternyata, peristiwa pembunuhan itu oleh ibu dikatakan hanya sebuah sandiwara belaka. Pembunuhan yang ’saya’ lakukan itu tidak pernah terjadi. Saya sendiri kemudian mengetahui bahwa Ayah memang belum mati. Sangkaan saya selama ini bahwa Ayah telah mati ternyata tidak benar. Pemakaman Ayah yang saya saksikan sendiri juga tidak pernah terjadi. Semuanya cuma aktor-aktor dan dekor yang jauh-jauh hari sudah dipersiapkan oleh Ibu dengan jempolan. Ibu membimbing saya masuk kamar. Lalu kami berdua saja. “Jadi saya tidak membunuh Ayah?” tanya saya. “Tak pernah. Dan tak akan pernah kamu bisa membunuhnya,” jawab ibu. (Danarto, 1987: 19—20)

Apa yang pernah saya lakukan, yaitu menembak Ayah yang kemudian saya menyangkanya sudah mati dihapus. Pemakaman Ayah yang saya saksikan sendiri juga dihapus. Semua peristiwa itu sebenarnya tidak pernah terjadi dan hanya merupakan sandiwara belaka. Penghapusan peristiwa-peristiwa itu berdampak pada terjadinya kedipan ontologis: peristiwa-peristiwa itu berada dalam situasi antara terjadi dan tidak terjadi.

3.2 Penghapusan Ada (Sesuatu Ada) Strategi penghapusan diri, sous rature, tidak hanya berkenaan dengan peristiwa, tetapi bisa juga berkenaan dengan masalah ada—lokal-lokal, objek-objek, tokoh-tokoh, dan yang lainnya—yang diproyeksikan (McHale, 1991: 103). Narasi penghapusan diri mengenai ke-ada-an sesuatu mengedepan dalam cerpen “Bedoyo Robot Membelot” (Danarto, 1982: 66—71), “Langit Menganga” (Danarto, 1987: 118—126), “Matahari Mabuk”, “Gaharu”, “Bulan Melahap Madu”, “Kolam Merah” (Danarto, 1993: 64—84; 85— 98; 99—120; 187—215), “Percintaan dengan Pohon”, “Garasi” (Danarto, 2001: 66— 72;79—91), “Sampah” (Wijaya, 1994: 5—8), dan novel Kitab Omong Kosong (Ajidarma, 2004). Cerpen ”Bedoyo Robot Membelot” menceritakan sebuah upacara resepsi pernikahan yang akan berlangsung selama 2 jam. Salah satu acara selingannya adalah pementasan tari Bedoyo. Namun, pementasan tari yang mestinya selesai dalam waktu 15 menit, ternyata sampai setengah jam pementasan itu belum apa-apa. Bahkan para penari itu turun dari pentas dan keluar ruangan. Para penari itu makin lama makin tak tampak, menuju horison yang tak terhingga. Mereka seperti ditelan cakrawala. Lenyap. Tarian Bedoyo yang telah berlangsung lama itu bagi para tamu resepsi pernikahan ternyata tidak pernah ada. Begitu pula dengan pelatih tarian dan para penarinya. Bahkan,

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 154 lebih dari itu, mereka yakin bahwa di undangan yang diedarkan juga tidak pernah dican- tumkan adanya tarian. Di mata para tamu, tarian, pelatih tari, dan para penari yang telah berpentas selama lebih dari 15 menit itu tidak ada. Ke-ada-an mereka semua dihapus. Bahkan para niyaga yang jelas-jelas menabuh instrumen gamelan pengiring tarian yang berlangsung dalam pesta itu, karena ketika para penari dan pelatih tari itu turun dari arena mereka semua tertidur, juga merasa tidak pernah menabuh gamelan mengiringi tarian bedoyo itu. Mereka merasa tidak pernah terjadi apa-apa selama pesta. Uraian di atas menunjukkan bahwa tarian, pelatih tari, dan para penari itu dihapus. Penghapusan mereka telah menimbulkan goyangan ontologis antara ada dan tidak ada. Cerpen ”Langit Menganga” menggambarkan hilangnya orang-orang yang datang kepada Ayah. Mereka menjadi hilang karena bergemerucuk kemudian mencair menjadi air setelah Ayah menyingkap rasa malu mereka. Setelah itu, yang dilakukan Ayah adalah mengelap cairan itu dengan kain blacu yang seluas kain blacu yang dipakai membungkus mayat. Karena mereka yang bergemerucuk dan kemudian mencair menjadi air jumlahnya banyak, kain blacu yang dijemur dan kemudian disimpan di peti oleh Ayah itu berjumlah banyak pula. Dengan kenyataan serupa itu Ayah pun dituduh telah melakukan pembunuhan. Ayahpun ditahan. Selama Ayah ditahan, di tempat tahanan itu terjadi kegemparan. Beberapa orang dalam tahanan juga hilang, lenyap. Tak terelakkan Ayah pun dianggap sebagai dukun santet. Ketika proses peradilan berlangsung Ayah bercerita mengenai bagaimana hilangnya orang-orang yang datang kepadanya. Namun, jaksa tidak percaya pada pengakuan Ayah. Untuk meyakinkan dirinya, jaksa itu pun bersedia disingkap rasa malunya oleh Ayah. Setelah Ayah menyingkap rasa malu jaksa itu, tubuh jaksa itu tiba- tiba mengalami proses gemerucuk dan mencair. Jaksa itu hilang lenyap menjadi cairan dan airnya meleleh di lantai pengadilan. Hilangnya orang-orang yang datang pada Ayah, para tahanan yang satu ruang dengan ayah, dan jaksa yang disingkap rasa malunya oleh Ayah menunjukkan bahwa ke- ada-an mereka dihapus. Mereka semua ada sebelum disingkap rasa malunya, tetapi menjadi tidak ada setelah disingkap rasa malunya. Terjadinya perubahan dari ada menjadi tidak ada pada mereka semua menunjukkan bahwa ke-ada-an mereka dihapus. Penghapusan di atas mengakibatkan terjadinya kedipan ontologis antara ada dan tiada pada tokoh-tokoh itu. Cerpen ”Matahari Mabuk” menceritakan Ayah, lulusan Harvard, seorang manajer andal yang bekerja di sebuah bank di Jalan . Karena kesuksesannya bekerja di bank itu, Ayah menyelenggarakan pesta di villa Puncak. Namun, setelah satu jam mene- mui tamu-tamunya, Ayah lenyap. Lenyapnya ke mana tidak ada yang mengetahui. Agar segera dapat ditemukan, lenyapnya Ayah kemudian diberitakan di media. Meskipun demikian, Ayah tetap tak kunjung ditemukan. Akibatnya, ibu pun jatuh sakit. Dalam keadaan sakit itulah Ibu didatangi Ayah yang diapit oleh dua orang bersayap, yang disinyalir malaikat. Kemunculan Ayah itu rupanya dilihat media hingga kemudian menjadi berita besar. Mendengar itu, pasukan Badan Intelijen Bank kemudian berusaha mencari dua orang yang membawa lari Ayah, yang kemudian diikuti oleh pasukan yang dibentuk secara mendadak oleh seluruh bank

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 155 yang ada di Jakarta. Namun, ke manapun dicari, dua orang bersayap itu tidak ditemukan. Akhirnya, ditemukanlah Ayah dalam keadaan sudah meninggal di sebuah bangunan bank yang belum jadi. Jenazah Ayah kemudian dibawa pulang. Sementara itu, dalam sakitnya Ibu merasa didatangi suaminya bersama dua malaikat yang mengapitnya. Karena itu, ketika saya katakan bahwa Ayah sudah meninggal dan siap dimakamkan, Ibu segera ingin menjenguknya pulang. Namun, begitu sampai di rumah dan kemudian Ibu mendekap jenazah suaminya, yang ditemukan bukan jenazah tetapi batang pisang. Peristiwa itu pun kemudian menjadi berita nasional. Akhirnya, ketika keluarga Ayah bersama Badan Intelijen Bank melakukan pemburuan, saat itulah Ayah muncul dan duduk di tiap kursi pimpinan di seluruh bank Jakarta dalam detik yang bersamaan. Uraian di atas menunjukkan bahwa cerpen ”Matahari Mabuk” menggambarkan Ayah yang dihapus berkali-kali hingga menimbulkan kedipan ontologis antara ada dan tiada. Cerpen ”Gaharu” mengisahkan seorang Pangeran di sebuah kerajaan yang tidak memiliki pasukan perang. Pangeran tersebut memimpin kerajaannya dengan cinta kasih. Akibatnya, Pangeran pun menjadi rebutan para pemimpin kerajaan tetangga yang mereka semua memiliki pasukan perang. Ketika sedang diperebutkan itu, Pangeran tiba-tiba lenyap, entah ke mana. ”Pada suatu hari yang cerah, mendadak Pangeran lenyap. Pagi hari masih terlihat sarapan bersama para ulama, siang hari Pangeran raib” (Danarto, 1993: 89). Para pasukan negara tetangga pun mencari ke manapun Pangeran pergi. Ketika pasukan-pasukan negara tetangga mulai menyerbu hutan yang diduga merupakan tempat raibnya Pangeran, pohon-pohon hutan, dengan mengutus pohon ilalang, menyerbu balik pasukan itu. Pasukan-pasukan itu pun hancur berantakan. Akhirnya, para ulama kerajaan itu mencari Pangeran. Namun, Pangeran tak kunjung ditemukan. Kerajaan itu pun kosong mlompong tanpa pemimpin. Lenyapnya Pangeran dalam cerpen ”Gaharu” di atas adalah ada yang dihapus. Pangeran berada dalam situasi goyangan ontologis antara ada dan tiada. Dalam cerpen ”Bulan Melahap Madu” diceritakan seorang ibu yang hamil, tetapi menolak kehamilannya. Sang ibu pun berniat menggugurkan kandungannya. Niatan itu tidak bisa terlaksana karena sang suami tidak menyetujuinya. Ketika anak itu—yang diberi nama Putri—lahir dan kemudian menjadi besar, yang terjadi kemudian antara Putri dan ibunya selalu berkelahi. Karena sudah besar, tibalah waktunya Putri menikah dengan Pontoh. Hari pernikahan mereka dibarengkan dengan acara akad nikah. Namun, ketika acara akad nikah akan dilangsungkan, Putri tidak ada, lenyap. Akad nikah pun gagal. Akibatnya, ayah dan ibu putri jatuh sakit dan kemudian dirawat di rumah sakit. Karena cukup tegar, ibu Putri pun segera sembuh dari sakitnya. Beberapa hari kemudian seluruh anggota keluarga—istri dan kedua adik Putri: Ego dan Alina—datang memberitahu Ayah kalau Putri meninggal dunia karena serangan jantung. Akhirnya, upacara penguburan Putri pun segera dilaksanakan. Ternyata, yang sesungguhnya terjadi Putri belum meninggal dunia. Jenazah yang dikuburkan bukanlah Putri yang sesungguhnya, tetapi patung yang dibuat oleh seorang pematung hiperrealis.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 156

Uraian di atas menunjukkan bahwa Putri adalah ada yang dihapus yang kemudian dimunculkan kembali. Dengan keadaan serupa itu, Putri adalah sosok ada yang berkedip antara ada dan tiada. Dalam cerpen ”Kolam Merah” diceritakan bahwa Ayah adalah seorang pengusaha yang memiliki banyak sekali perusahaan di Jakarta. Suatu ketika Ayah meminta ijin kepada ibu untuk menikah lagi dengan seorang pramugari yang masih muda. Ketika Ayah dan istri mudanya masuk ke dalam rumah dan kemudian masuk ke dalam kamar, anak- anak istri pertamanya berusaha melabraknya dan kemudian mendobrak pintu kamar itu. Namun, ketika pintu didobrak, Ayah dan istri mudanya sudah tidak ada di kamar padahal semua jendelanya masih terkunci dengan rapi. Ketika saya membuntuti Ayah yang naik mobil, mobilnya berhenti tetapi Ayah tidak turun-turun. Ketika saya bertanya pada sopirnya, sopirnya bilang Ayah sudah masuk ke kantornya sejak tadi. Demikianlah, ketika saya mengejar ke manapun pergi, ternyata Ayah selalu menghilang dan tidak bisa ditemukan. Ayah selalu berada dalam penghapusan terus-menerus. Dalam cerpen ”Percintaan dengan Pohon” (Danarto, 2001: 66—72) diceritakan tentang sebuah pohon yang ada lubangnya di sebuah desa. Lubang itu bisa melahap apa saja yang masuk ke dalamnya. Bahkan, lubang pohon itu juga pernah menyedot manusia dan orang itu lenyap tak kembali lagi. ”... seorang tersedot ke dalam lubang pohon yang menganga di akar pohon itu, dan lenyap tak pernah kembali (Danarto, 2001: 67). Yang lebih mengerikan lagi, lubang pohon itu juga telah digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan pelenyapan orang lain. Keanehan pohon itu telah menimbulkan kegemparan pada warga. Banyak orang berduyun-duyun datang ke desa itu. Desa tempat pohon itu berada pun kemudian menjadi tempat wisata. Desa itu menjadi ramai dalam setiap harinya. Bahkan, di desa itu juga berdiri sebuah pondok pesantren. Namun, suatu saat ketika Bapak Gubernur berniat menengok pohon ajaib itu tak ada satu pun orang di sekitar pohon itu. Orang-orang itu lenyap entah ke mana. Tersedotnya semua benda, dan bahkan juga manusia oleh lubang pohon di desa itu merupakan wujud ada yang dihapus. Dalam cerpen ”Garasi” (Danarto, 2001: 79—91) diceritakan mengenai lenyapnya orang-orang dan barang-barang yang masuk dalam garasi rumah. Orang-orang itu adalah Ayah, sopir Ayah, dua orang polisi, sopir ibu, ibu. Barang-barangnya meliputi tiga mobil, kursi, dan sebuah benda lain. Misteri itu berusaha disingkap oleh aku, tetapi tidak berhasil. Namun, di akhir cerpen diceritakan, ketika tiba-tiba diangkat oleh malaikat untuk meninggalkan dunia ini, aku melihat orang-orang yang ada di dalam garasi itu sedang berpesta pora dan garasi itu telah dibangun menjadi ruang yang mewah dan baunya wangi. Lenyapnya orang-orang dan benda-benda yang masuk ke dalam garasi dan dari sudut aku (yang dituntun malaikat) orang-orang dan benda-benda itu tidak lenyap, menunjukkan terjadinya kedipan ontologis antara ada dan tiada.

4. Kesimpulan Uraian di atas menunjukkan bahwa cerpen-cerpen Danarto cukup kuat mengeksplorasi dua strategi penghapusan diri, yaitu penghapusan peristiwa dan penghapusan ada. Penggunaan dua strategi penghapusan diri itu telah menandai cerpen- cerpen Danarto sebagai cerpen pascamodern.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 157

DAFTAR PUSTAKA

Danarto. 1982. Adam Ma’rifat, Jakarta: Balai Pustaka. ______. 1987. Berhala, Jakarta: Pustaka Firdaus. ______. 1993. Gergasi, Jakarta: Pustaka Firdaus. ______. 2001. Setangkai Melati di Sayap Jibril, Yogyakarta: Bentang Budaya. Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory An Introduction, Oxford: Basil Blackwell. Ingarden, Roman. 1973. The Literary Work of Art An Investigation on the Borderlines of Ontology, Logic, and Theory of Literature, diterjemahkan dari Das Literarische Kunswerk oleh George G. Grabowich, Evanston: Northwestern University Press. Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading A Theory of Aesthetic Response, Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press. Jakobson, Roman. 1994. “The Dominant”, Language in Literature, Krystyna Pomorska, ed., cet. ke-5, United States of America: The Jacobson Trust. McHale, Brian. 1991. Postmodernist Fiction, London and New York: Routledge. ______. 1992. Constructing Postmodernism, London and New York: Routledge. Sarup, Madan. 1993. An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernism, second edition, Athens: The University of Georgia Press. Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini, diterjemahkan dari A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory oleh Rachmat Djoko Pradopo dan disunting oleh Imran T. Abdullah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1956. Theory of Literature, fourth printed, New York: A Harvest Book Harcourt, Brace and Company.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 158

SASTRA INDONESIA DAN PERSOALAN BANGSA: MEMPERTIMBANGKAN PENULISAN ULANG SEJARAH SASTRA 44

Oleh Yoseph Yapi Taum Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma

Abstract Kesusastraan bukanlah sekadar produk imajinatif-estetik, melainkan juga ekspresi dari pergulatan pemikiran yang merekam keterlibatannya dalam berbagai aspek sosio-kultural zamannya. Kesusastraan adalah saksi zaman dan menjadi bagian terpenting dari formasi kebudayaan. Akan tetapi, sejarah kesusastraan Indonesia yang ditulis selama ini merupakan sejarah sastra yang telah diseleksi agar sesuai dengan ideologi kesenian tertentu dan tidak (boleh) bertentangan dengan ideologi kekuasaan yang sedang berlaku. Pakar sejarah sastra seperti H. B. Jassin (1953), Nugroho Notosusanto (1963), Ajib Rosidi (1973), Rachmat Djoko Pradopo (1995), Jacob Sumardjo (1992), dan Yudiono KS (2007) belum mempertimbangkan domain-domain kesusastraan Indonesia yang bertentangan dengan hasrat kekuasaan. Selama bertahun-tahun, sejak kemerdekaan bangsa kita, sejarah kesusastraan Indonesia menyisihkan diri dari persoalan historis bangsanya dan menempati wilayah nyaman dalam domain estetika humanisme universal yang ahistoris. Sebagai ilustrasi, ada dua kelompok sastra yang disisihkan dari sejarah kesusastraan Indonesia, yaitu kelompok sastra “Batjaan Liar” dan “Sastra Lekra”. Kalaupun disebutkan, selalu diduplikasi pernyatan bahwa kedua jenis kesusatraan itu tidak memiliki ‘estetika’ sehingga tidak dapat dimasukkan dalam kanon sastra Indonesia. Akibatnya, kontribusi kesusastraan pada kehidupan berbangsa tidak terlihat dan para sastrawan tidak diperhitungkan sebagai bagian dari cendekiawan Indonesia yang terlihat dalam persoalan-persoalan hidup bangsa. Makalah ini bertujuan mengajukan sebuah alternatif penulisan sejarah sastra Indonesia yang baru, yang mempertimbangkan domain diskursif kesusastraan dalam formasi-formasi diskursif zamannya. Dengan demikian, sastra Indonesia terlibat dalam persoalan-persoalan bangsa.

Kata Kunci: sejarah sastra, formasi diskursif, new historicism.

1. Pengantar Dalam Rethinking Literary History: A Dialogue on Theory (2002), Valdes dan Hutcheon menegaskan perlunya memikirkan ulang sejarah sastra karena dua hal, yaitu munculnya paradigma metodologis yang baru dalam memandang kesusastraan serta terbukanya kemungkinan baru karena berubahnya konteks sosial masyarakat. Perubahan paradigma dapat berakibat berubahnya penulisan sejarah sastra secara sangat signifikan.45 Memikirkan ulang (to rethink) bukan hanya sekadar merevisi, mengoreksi,

44 Makalah dibawakan dalam Konferensi Internasional Kesusastraan XXII, tanggal 7 – 9 November 2012 di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), bekerjasama dengan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI).

45 Dalam sejarah sastra Barat, sejarah sastra pernah ditulis berdasarkan gerakan internasional (romantisisme, simbolisme, ekspresionisme, avant-garde, dan postmodernisme); berdasarkan wilayah geografis linguistik (bahasa-bahasa Eropa, bahasa-bahas Afrika), atau periodisasi historis kultural (periode renaisans, periode barok, periode modern, dan periode postmodern).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 159 dan mengajukan alternatif yang lain. Memikirkan ulang adalah secara serius merefleksikan kembali sejarah sastra dengan perhitungan yang lebih cermat. Alasan utama perlunya dikaji dan ditulis ulang sejarah sastra Indonesia. Pertama, asumsi mengenai sastra dalam ilmu sastra telah mengalami kemajuan yang signifikan. Greenblatt (2005: 6-7) dalam “The Touch of the Real” menegaskan bahwa dunia yang digambarkan dalam karya sastra bukanlah sebuah dunia alternatif melainkan sebuah cara mengintensifkan dunia tunggal (single realm) yang kita huni ini. Sastra, menurut Greenblatt, tak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik pada sebuah periode yang sama karena sastra menjadi bagian di dalamnya.46 Hal ini demikian karena sastra berkaitan erat dengan jaringan praktik material. Tulisan ini memiliki dua tujuan, yakni (1) memberikan sebuah evaluasi terhadap penulisan sejarah sastra yang sudah dilakukan selama ini, dan (2) mengusulkan sebuah ikhtisar sejarah sastra yang baru, yang mempertimbangkan sastra sebagai domain diskursif yang memebntuk totalitas diskursus bangsa. Dalam tulisan ini, sastra dipandang sebagai produk budaya yang menjadi bagian dari formasi-formasi diskursif yang bersama-sama membentuk formasi diskursif pada sebuah fase historis tertentu. Penempatan teks-teks sastra dalam formasi diskursif zaman merupakan persoalan penting dalam perspektif pendekatan ‘arkeologi’ dan ‘diskursus’ Foucault. Formasi-formasi diskursif, menurut Foucault, adalah kelompok-kelompok pernyataan yang memiliki aturan, korelasi, posisi, atau fungsi sebagai penentu keragaman. Sebuah formasi diskursif merupakan sebuah sistem keragaman (system of disperse). Diskursus-diskursus dan sifatnya yang penuh dengan diskontinuitas dan dispersif itu disatukan oleh sebuah praktik diskursif yang memunculkan episteme yang mengatur totalitas hubungan (interconnection) dalam sebuah periode. Episteme bisa ditemukan di antara berbagai ilmu pengetahuan ketika orang menganalisis formasi-formasi diskursif untuk menemukan regularitas diskursus (Foucault, 1972: 191-192). Regularitas itu ditentukan terutama oleh pemangku kekuasaan yang merupakan regim kebenaran: apa yang boleh dan tidak boleh diungkapkan dalam batas-batas diskursus tertentu.

2. Penulisan Sejarah Sastra Terdahulu Beberapa pakar sejarah sastra yang pernah mengajukan pandangannya tentang periodisasi sastra Indonesia adalah: H. B. Jassin (1953), Nugroho Notosusanto (1963), Ajib Rosidi (1973), Rachmat Djoko Pradopo (1995), Jacob Sumardjo (1992), dan Yudiono KS (2007).47 Periodisasi sejarah sastra Indonesia yang dilakukan H. B. Jassin (1953 dan 1967) adalah sebagai berikut. A. Sastra Melayu Lama B. Sastra Indonesia Modern: 1. Angkatan 20

46 Dalam kata-kata Stephen Greenblatt (2005: 6-7) sendiri, “Such a statement appears to welcome the collapse of the working distinction between the aesthetic and the real; the aesthetic is not an alternative realm but a way of intensifying the single realm we all inhabit. 47 Perjalanan sejarah sastra, antara sejarah prosa dan sejarah puisi seringkali dapat beriringan tetapi seringkali pula berbeda bahkan berseberangan. Karena itu, menurut hemat saya, lebih baik jika sejarah sastra dipisahkan antara sejarah puisi dan sejarah prosa.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 160

2. Angkatan 33 (Pujangga Baru) 3. Angkatan 45 4. Angkatan 66 Tampak dalam pembagian itu bahwa Jassin tidak secara jelas menyebutkan periode kesusastraan, tetapi langsung menyebutkan “angkatan” kemudian memberikan gambaran mengenai ciri-ciri angkatan itu. Istilah “angkatan” adalah istilah yang hanya digunakan oleh H.B. Jassin. Para pakar lainnya lebih menggunakan istilah ‘periode.’ Nugroho Notosusanto (1963) mengemukakan periodisasi sastra Indonesia yang tidak jauh berbeda dari periodisasi yang dibuat H. B. Jassin. Secara umum dia membagi sejarah sastra Indonesia atas dua bagian besar, yaitu sastra lama dan sastra modern. Perbedaannya, Nugroho Notosusanto lebih memperinci sastra Indonesia modern atas dua bagian, yakni masa kebangkitan dan masa perkembangan, yang masing-masingnya dibedakan lagi atas beberapa periode. Selengkapnya pembagian Nugroho Notosusanto sebagai berikut. I. Sastra Melayu Lama II. Sastra Indonesia Modern: A. Masa Kebangkitan (1920-1945) 1. Periode ‘20 2. Periode ‘33 3. Periode ‘42 B. Masa Perkembangan (1945 – sekarang) 1. Periode ‘45 2. Periode ‘50 Nugroho Notosusanto menggunakan istilah “periode” tetapi sebenarnya dia mengacu kepada pengertian “angkatan” seperti yang telah dikemukakan oleh H.B. Jassin. Periode waktu seharusnya menunjukkan secara jelas kurun waktu tertentu di mana hidup dan berkembang karya-karya sastra yang memiliki ciri-ciri intrinsik yang sama. Nugroho Notosusanto hanya menyebutkan periode yang ditandai oleh sebuah angka tahun. Yang dia maksudkan sebenarnya adalah ciri-ciri sebuah ‘angkatan’. Ajib Rosidi tidak melakukan pembaharuan yang penting dan signifikan. Ia tidak membedakan antara ‘sastra lama’ dan ‘sastra modern’. Bagi Ajib Rosidi, pembabakan sejarah sastra lebih dipandang sebagai suatu kontinuitas. Atas dasar itulah, ia membaginya sebagai berikut. I. Masa Kelahiran/Kebangkitan (1900-1945) 1. Periode awal hingga 1933 2. Periode 1933 – 1942 3. Periode 1942 - 1945 II. Masa Perkembangan (1945-sekarang) 1. Periode 1945 – 1953 2. Periode 1953 – 1961 3. Periode 1961 – sekarang Ajib Rosidi menggunakan istilah periode dalam pengertian sebagai sebuah kurun waktu tertentu yang dibatasi dengan cukup jelas. Hal yang menarik dari pembagian Ajib Rosidi adalah konsistensinya dalam menyebut periodisasi sastra sebagai sebuah kurun waktu tertentu tanpa menyebut adanya angkatan-angkatan sebagai pengelompokkan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 161 sastrawan-sastrawan yang memiliki kesamaan ciri intriksik dalam karya-karya mereka. Hal yang terakhir ini menjadi kelemahan dalam pembagian yang dilakukan Ajib Rosidi. Periodisasi yang dilakukan oleh Rachmat Djoko Pradopo didasarkan pada ciri-ciri intrinsik yang terdapat dalam setiap periode. Berdasarkan hal itu, ia mengusulkan periodisasi sebagai berikut. 1. Periode Balai Pustaka (1920 – 1940) 2. Periode Pujangga Baru (1930 – 1945) 3. Periode Angkatan 45 (1940 – 1955) 4. Periode Angkatan 50 (1950 – 1970) 5. Periode Angkatan 70 (1965 – sekarang). Jelas terlihat bahwa pembagian yang dilakukan Rachmat Djoko Pradopo kembali menggabungkan antara periodisasi dengan angkatan. Ia bahkan menyebutkan nama sebuah periode dengan angkatan tertentu, yang belum tentu menjadi satu-satunya wakil dari periode tersebut. Rachmat Djoko Pradopo menggabungkan istilah periode dan angkatan, misalnya dengan menyebut ‘Periode Angkatan 45’. Periodisasi yang dilakukan Jacob Sumardjo (1992) secara langsung menyebut nama ‘angkatan’ tanpa mengacu pada periode waktu tertentu. Hal yang menarik dari pembagian Jacob Sumardjo adalah uraiannya yang cukup luas mengenai konteks sejarah yang melingkupi lahirnya sebuah ‘angkatan’. Jacob Sumardjo tidak menyebut istilah periode, angkatan, ataupun masa. Ia langsung menyebutkan, misalnya sastra Balai Pustaka. Pembagian yang dilakukannya sebagai berikut. 1. Sastra Awal (termasuk sastra Melayu Rendah, Melayu Rendah Tionghoa) 2. Sastra Balai Pustaka 3. Sastra Pujangga Baru 4. Sastra Angkatan 45 5. Sastra Generasi Kisah. Periodisasi yang paling baru dilakukan oleh Yudiono K.S (2007). Yudiono membagi periode sastra Indonesia atas empat masa, yaitu: 1. Masa Pertumbuhan (1900 – 1945): Balai Pustaka dan Pujangga Baru termasuk dalam masa pertumbuhan. 2. Masa Pergolakan (1945-1965): Sastra Lekra dan Majalah Kisah termasuk dalam masa pergolakan. 3. Masa Pemapanan (1965 – 1998): Sastra Majalah Horison. 4. Masa Pembebasan (1998 – sekarang): Sastra Pembebasan. Periodisasi yang dilakukan oleh Yudiono K. S merupakan sebuah pembabakan sejarah sastra yang cukup menarik. Di dalam periode waktu yang dipatiknya, terdapat angkatan-angkatan yang merupakan pengelompokkan sastrawan berdasarkan kemiripan ciri-ciri intrinsik karya-karaya mereka. Keberatan utama terhadap model pembagian Yudiono K.S adalah pemberian nama pada periode atau masa menjadi Masa Pertumbuhan (1900 – 1945), Masa Pergolakan (1945-1965), Masa Pemapanan (1965 – 1998), dan Masa Pembebasan (1998 – sekarang).

3. Penulisan Ulang Sejarah Sastra Indonesia Pembagian yang dilakukan Yudiono KS merupakan sebuah model pembagian yang baru, yang tidak mengikuti model-model pembagian terdahulu. Idenya benar-benar

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 162 orisinal dan kreatif. Sayang sekali upanya yang seperti memaksakan kehendak dengan memberikan sebuah masa (atau periode) dengan nama tertentu (seperti orang memberikan cap pada sebuah angkatan) mengaburkan makna pembagian yang sudah dengan baik dilakukannya. Penamaan ‘masa pemapanan’ dan ‘masa pembebasan’, misalnya, akan menimbulkan banyak pertanyaan. Misalnya, karya-karya sastra pada tahun 1966 – 1970 (yang dalam pembagian Yudiono termasuk dalam masa pergolakan) banyak memiliki ciri sebagai sastra pembebasan, yaitu sebuah upaya membebaskan manusia dari berbagai pengekangan kekuasaan yang sewenang-wenang. Apakah semua jenis sastra yang terbit pada tahun 1966 – 1970 harus memikul beban penamaan sebagai sastra pergolakan? Bukanlah tidak lebih baik jika sebuah periode itu ditandai hanya oleh sebuah kurun waktu tertentu, dan jika ada kelompok karya sastra yang memiliki kemiripan cara berekspresi dan isinya dapat dikategorikan ke dalam angkatan tertentu? Di dalam melakukan penulisan terhadap sejarah sastra, seringkali digunakan istilah “angkatan” (misalnya Angkatan 65) dan “periode” (misalnya Periode Balai Pustaka). Kedua istilah itu seringkali digunakan secara bergantian dengan makna yang tumpang tindih untuk menyebutkan persoalan yang sama. Akibatnya banyak orang tidak bisa membedakan kedua istilah tersebut. Sebaliknya kedua istilah tersebut kadang-kadang dipandang memiliki pengertian yang sama. Sebaiknya kedua istilah itu dipahami dengan baik dan benar agar dapat dipergunakan secara tepat. Istilah periode sastra merupakan sebuah istilah untuk menyebut perkembangan sejarah sastra dari sebuah masa ke masa yang lain. Seperti diungkapkan Renne Wellek (lihat Pradopo, 1995: 2), periode sastra adalah sebuah ‘kurun waktu’ yang dikuasai oleh norma-norma sastra atau standar-standar konvensi sastra yang kemunculannya, penyebarannya, keberagaman, integrasi, dan kelenyapannya dapat dirunut. Sedangkan istilah “angkatan” sebenarnya mengacu pada ‘orang’ atau sekumpulan sastrawan yang hidup dalam sebuah kurun waktu tertentu (Pradopo, 1995: 2). Para sastrawan itu diklasifikasikan ke dalam sebuah angkatan karena memiliki kesamaan visi, gagasan, semangat, dan ideologi kreatif yang tertuang dalam karya-karya sastra yang dihasilkannya. Karena itulah, dalam sebuah periode sastra, bisa terdapat lebih dari satu angkatan atau kelompok sastrawan. Seperti halnya di kalangan Angkatan Bersenjata, terdapat empat angkatan yang masing-masingnya memiliki kesamaan visi, misi, dan strategi kerja, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian. Mereka hadir dalam sebuah periode waktu yang sama tetapi dengan fungsi dan kedudukan yang berbeda-beda. Saya sendiri berpendapat bahwa periodisasi sastra sebaiknya mengacu kepada timeline saja tanpa dibebani dengan nama-nama tertentu yang jelas akan membatasi periode yang luas itu. Untuk mendapatkan sebuah sejarah sastra yang lebih memadai, diperlukan sebuah projek penelitian yang lebih mendalam dan meluas. Studi ini memberikan kontribusi yang terbatas, yaitu pada sastra Indonesia Periode 1950-1960. Dapat dikatakan bahwa tulisan ini merupakan sebuah ajakan untuk membuka kembali sebuah diskusi mengenai sejarah sastra Indonesia daripada sebuah solusi. Saya mengusulkan penulisan ulang sejarah sastra Indonesia dengan pembagian sebagai berikut.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 163

Tabel 1 Usulan Nama Periode dan Angkatan dalam Puisi Nama Periode Nama Angkatan dalam Puisi

Periode 1900 - 1933 a. Angkatan Balai Pustaka . b. Angkatan Pengarang Liar

Periode 1933 - 1942 Angkatan Pujangga Baru .

Periode 1942 - 1945 Angkatan Jepang .

Periode 1945 - 1953 a. Angkatan Chairil Anwar .

Periode 1950 - 1965 a. Angkatan Lekra . b. Angkatan Manikebu

Periode 1966 - 1970 a. Angkatan Sastra Demonstran 66 . b. Angkatan Sastra Imajis

Periode 1970 - 1980 a. Angkatan Sutardji Calzoum Bacri . b. Angkatan Penyair Mbeling

Periode 1980 - 2000 .

Angkatan yang disebutkan dalam satu periode belum bisa dikatakan sebagai satu- satunya wakil sastra yang sah bagi periode sastranya. Masih diperlukan kajian yang mendalam sebelum dilakukan pembakuan ‘ilmu sejarah sastra Indonesia’. Pembakuan atau kanonisasi penting artinya bagi kemajuan ilmu sejarah sastra, agar para pakar tidak hanya berhenti pada satu titik yang sama dan mempersoalkan hal yang sama secara terus-menerus. Jika hal terakhir ini terjadi, maka akan terjadi involusi ilmu pengetahuan. Mengingat keterbatasan tempat, tulisan ini hanya membahas dua periode sastra, yakni sastra Periode 1900 – 1933 dan Periode 1950-1965.

4. Sejarah Sastra Indonesia yang Baru: Dua Kasus 4.1 Sastra Periode 1900 – 1933 Persoalan utama yang dihadapi ‘bangsa Indonesia‘ pada periode 1900-1930 adalah bangkit dan meluasnya semangat nasionalisme sebagai akibat kebijakan politik etis Belanda. Semangat kebangsaan ini memuasuki semua wilayah kehidupan masyarakat, termasuk dalam bidang kesusastraan. Untuk menghambat dan mematikan kesadaran berbangsa dan bertanah air dalam bidang sastra, pemerintahan kolonial Belanda membatasi kreativitas sastra dengan menetapkan kebijakan kesusastraan yang menabukan ideologi, agama, dan politik (Teeuw, 1989: 31). Sekalipun muncul pula hasil-

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 164 hasil karya sastra politis48 dan “bacaan liar“ pada masa kolonial tersebut, kebijakan ini memiliki andil membentuk preferensi sastra Indonesia sekadar sebagai belles lettres.49 Nasionalisme dalam karya-karya Balai Pustaka itu pun terbatas pada pemujaan keindahaan alam Indonesia. Salah satu misi didirikannya Balai Pustaka pada masa itu adalah mencegah pengaruh ‘buruk’ dari bacaan liar yang dianggap memiliki misi politis yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah. Dalam periode 1900 - 1933, terdapat dua angkatan yang sangat menonjol, yaitu Angkatan Balai Pustaka dan Angkatan Batjaan Liar. Kedua angkatan ini masing-masing memiliki visi perjuangan dan cara berekspresi yang berbeda.

4.1.1 Sastra Angkatan Balai Pustaka Angkatan Balai Pustaka tak pernah dilupakan dalam setiap penulisan sejarah sastra Indonesia dan secara resmi dipelajari dalam pendidikan formal. Angkatan yang ‘dibina’ pemerintahan kolonial Belanda ini bahkan dipandang sebagai perintis sastra Indonesia modern karena mulai menggantikan syair, pantun, hikayat, dan gurindam dalam tradisi lama. Yang disebut Angkatan Balai Pustaka yaitu kelompok sastra, penyair dan penulis prosa yang menerbitkan karyanya melalui penerbit Balai Pustaka. Balai Pustaka adalah sebuah lembaga resmi yang dibangun pemerintah Belanda yakni ‘Comissie voor de Volkslectuur’ (Komisi Batjaan Rakyat) tahun 1908. Lembaga ini dibangun sebagai konsekuensi politik etis yang mendirikan sekolah bagi kaum Bumi Putera. Banyak pemuda yang dididik secara Barat mendapatkan wawasan tentang nasionalisme, demokrasi, dan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Hasil kesusastraan Balai Pustaka sudah dikenal luas oleh pembaca Indonesia. Apabila dilihat dari daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah "novel Sumatera", dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya. Sastrawan-sastrawan seperti Merari Siregar, Marah Roesli, Muhammad Yamin, Nur Sutan Iskandar, Abdul Moeis, Tulis Sutan Sati, Djamaludin Adinegoro, dan Aman Datuk Madjoindo merupakan sastrawan Sastrawan Sumatra. Ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka. Angkatan ini banyak berbicara tentang pertentangan adat dan kawin paksa, dominasi orang tua dalam perkawinan. Gaya penceritaan terpengaruh oleh sastra Melayu yang mendayu-dayu, masih menggunakan bahasa klise seperti peribahasa dan pepatah-petitih. Karya-karya yang diterbitkan Balai Pustaka diharuskan memenuhi ketentuan Nota Rinkes yang mensyaratkan karya yang didaktis serta netral dalam soal-soal agama dan politik.

4.1.2 Sastra Angkatan Pengarang Liar Di luar angkatan resmi, yaitu angkatan yang didirikan dan dibina oleh pemerintahan kolonial, terdapat sekelompok sastrawan yang sangat aktif pula menulis karya-karya sastra dalam bahasa Melayu Rendah. Mereka tidak mempublikasikan karya-

48 Uraian tentang “Roman-roman Politk yang mula-mula” dikemukakan oleh Teeuw (1978: 31-35). Yang dimaksudkan dengan karya-karya sastra politis adalah karya-karya yang bersifat nasionalis dan mengembangkan identitas kebangsaan. Karya-karya ini dipelopori oleh sastrawan Marxis seperti Semaun (Hikayat Kadirun), Mas Marco Kartodikromo (Student Hidjo, Rasa Merdika, Hikajat Sudjarmo). 49 Belles-lettres adalah istilah bahasa Prancis yang berarti tulisan yang indah (beautiful or fine writing). Karya-karya sastra, baik fiksi, puisi, drama, dan esai dinilai sebagai belles-lettres atau karya-karya yang indah karena kualitas estetisnya, gaya, serta nadanya yang asli, dan bukan sebagai sarana informasi atau tujuan- tujuan moral lainnya.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 165 karyanya melalui penerbit Balai Pustaka. Kaum penguasa kolonial menyebut bacaan yang diproduksi oleh kaum pergerakan nasionalisme itu sebagai ‘batjaan liar’ karena memiliki misi-misi politis. Angkatan ini saya namakan sebagai Angkatan Pengarang Liar. Istilah “Bacaan Liar” sebenarnya pertama kali digunakan oleh kaum kolonial Belanda untuk menyebut bacaan-bacaan yang dianggap mengancam kedudukan dan stabilitas kekuasaan mereka. Tahun 1920-1926 merupakan masa subur menjamurnya “bacaan liar” yang antara lain dipelopori oleh PKI. Tahun 1924, PKI mendirikan Kommissi Batjaan Hoofdbestuur PKI yang melakukan oposisi terhadap dominasi penerbitan Balai Pustaka atau Commissie voor de Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat). Orang-orang pergerakan ini jelas-jelas menjadikan media sastra sebagai sarana perjuangan politiknya, yaitu untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia (Razif, 2010). Kekuasaan kolonial memberi pandangan dan makna untuk "batjaan liar" sebagai bacaan yang mengagitasi rakyat untuk melakukan "pemberontakan," sehingga penulisnya pun diberi cap sebagai pengarang liar. Angkatan Pengarang Liar memiliki konsep dan visi kreatif dalam karya sastra sebagai "literatuur socialistisch" atau sastra sosialis. Istilah ‘sastra sosialis’ pertama kali diperkenalkan oleh Semaoen (tokoh PKI). Menurut Semaoen, “socialisme jalah ilmoe mengatoer pergaoelan idoep, soepaja dalem pergaoelan idoep itoe orang-orangnja djangan ada jang memeres satoe sama lain “ (Razif, 2011). Karya-karya sastra sosialis (atau batjaan liar) pada umumnya bertemakan perjuangan kemerdekaan dan perjuangan ideologi sosialis. Sastra Angkatan Pengarang Liar antara lain Semaoen (Hikayat Kadirun), Mas Marco Kartodikromo (Student Hidjo,50 Matahariah, Mata gelap, dan Rasa mardika); R.M. Tirtoadhisoerjo (Doenia Pertjintaan 101 Tjerita jang Soenggoe Terjadi di Tanah Priangan, Tjerita Njai Ratna, Membeli Bini Orang, dan Busono); F. Pangemanan (Tjerita Si Tjonat dan Sjair Rossina); Liem Kim Hok (Siti Akbari), Nio Joe Lan (yang menyadur Hikayat Sultan Ibrahim), dan Liem Koen Hian (Ni Hoe Kong Kapitein Tionghoa di Betawi dalem Tahoen 1740). Dalam bidang puisi, Mas Marco Kartodikromo menerbitkan Syair Rempah- Rempah, Sair Sama Rasa Sama Rata, dan Babad Tanah Djawa.

4.2 Sastra Periode 1950-1965: Angkatan Lekra dan Manikebu Kehidupan masyarakat Indonesia di bidang sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya pada periode 1955-1965 cukup dinamis, bahkan dapat dikatakan bergejolak, baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional. Indonesia pada waktu itu adalah sebuah negara yang baru merdeka, yang memiliki semangat dan harapan-harapan yang tinggi untuk menentukan masa depannya sendiri. Indonesia menghadapi berbagai persoalan besar, terutama di bidang politik, ideologi, dan kebudayaan. Selama 20 tahun pertama kehidupan berbangsa, yaitu periode 1945 – 1965, pencarian jati diri bangsa Indonesia di bidang kebudayaan, politik, dan ekonomi mengalami perbincangan bahkan polemik yang sangat dinamis (lihat Ricklefs, 2001: 471- 557). Dinamika sosial-politik itu antara lain ditandai dengan adanya persaingan yang dikenal sebagai ’perang dingin,’ peristiwa Madiun, diberlakukannya sistem demokrasi

50 Paul Tickell membandingkangkan roman Salah Asuhan karya Abdul Moeis yang diterbitkan Balai Pustaka dengan Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 166 terpimpin, digelorakannya ajaran Nasakom, dikumandangkannya semangat dan jiwa revolusioner, dan dilancarkankan sebuah konfrontasi ’Ganyang Malaysia’. Persoalan- persoalan ini akan dikaji dalam teks-teks sejarah dan representasinya dalam teks-teks sastra. Parkai Komunis Indonesia (PKI) yang dihancurkan tahun 1948 muncul kembali di tahun 1951 dengan kepemimpinan dari kalangan kaum muda: Aidit, Lukman, Nyonto, dan Soedisman. Sejak awal, Aidit menekankan bahwa Marxisme merupakan pedoman untuk bertindak, bukannya dogma yang harus diikuti dengan kaku (Ricklefs, 2004: 478). Kepemimpinannya membawa suatu pragmatisme baru bagi PKI yang memungkinkan partai ini segera menjadi salah satu partai politik terbesar. Perkembangan pesat PKI itu, menurut Van der Kroef (1965: 357), juga disebabkan karena selama tahun 1961-1962 PKI sangat vokal mengeritik kebijakan-kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan militeristik yang sangat membatasi aktivitas politik Pada periode 1955-1965, PKI merupakan sebuah partai yang sangat besar dan menjadi partai komunis terbesar di seluruh dunia, di luar RRC dan Uni Soviet. Periode itu dapat disebut sebagai periode kebangkitan PKI. Ketakutan bahwa komunis “akan memimpin permainan’ yang berarti komunis semakin dominan dalam kehidupan sosial masyarakat tampak jelas. Kebijakan Soekarno tentang Manipol dan Nasakom amat menguntungkan PKI dan menimbulkan persaingan yang semakin tajam, terutama dengan kelompok militer (Human Right Watch, 1989: 11). PKI mendapat keuntungan politik yang besar karena memberikan dukungan penuh pada kebijakan Soekarno dalam ‘mengganyang’ Malaysia. Sejak saat itu, taktik-taktik PKI beserta simbol dan ideologi anti kolonialisme dan dan anti imperealisme menjadi kebijakan resmi pemerintah (Van der Kroef, 1965: 359-360). Sejak tahun 1957, dengan tekanan sistem demokrasi terpimpin, keseimbangan kekuatan antara Militer (kanan), Soekarno (tengah), dan PKI (kiri) selalu mengalami krisis. Struktur kekuasaan di Indonesia menjadi tidak seimbang, khususnya antara Militer dan PKI. Konflik antar kedua kekuatan ini tidak mungkin terelakkan. 51 Pada tahun 1965 PKI mengalami kemajuan yang sangat signifikan dalam bidang politik, sehingga hampir bisa dipastikan bahwa Indonesia akan segera berada di bawah kekuasaan komunis (Thomas, 1981: 369-370). PKI semakin mendominasi panggung politik di Indonesia dengan memanfaatkan pemikiran dan slogan-slogan yang diciptakan oleh Presiden Soekarno. Bertambah kuatnya komunis dipandang sebagai sebuah ancaman terhadap kekuasaan, termasuk ancaman terhadap militer (Goodfellow, 1975: 1). Iklim politik sampai dengan terjadinya peristiwa G30S diwarnai dengan polarisasi kekuatan politik di antara dua kekuatan besar yang bersaing merebut kekuasaan dari Soekarno, yakni PKI dan militer (Crouch, 1973: 2-4). Dari perspektif militer, PKI ‘anti-peraturan’ dan dengan demikian anti kehendak rakyat. Peristiwa Madiun tahun 1948, Aksi Sepihak tahun 1964, dan pembentukan kekuatan bersenjata angkatan kelima merupakan ancaman yang nyata bagi Indonesia. Dalam situasi seperti inilah, peristiwa G30S berlangsung. Perjuangan ideologi di Indonesia berlangsung sama tuanya dengan revolusi atau bahkan dengan pergerakan kebangsaan (Teeuw, 1989: 30). Pertarungan ideologis antara

51 Penjelasan yang lebih mendetail tentang “konfrontasi”, tentara Angkatan Kelima, dan perimbangan kekuatan di Indonesia, lihat John O. Sutter, “Two Faces of Konfrontasi: "Crush Malaysia" and the Gestapu” in Asian Survey, Vol. 6, No. 10, (Oct., 1966), pp. 523-546. University of California Press.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 167 para cendekiawan mengenai kebudayaan Indonesia sebenarnya sudah tumbuh subur sebelum kemerdekaan diraih bangsa ini.

4.5.1 Sastra Angkatan Lekra Lembaga Kebudajaan Rakjat atau dikenal dengan akronim Lekra, merupakan organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia yang didirikan atas inisiatif DN Aidit, Nyoto, MS Ashar, dan AS Dharta pada 17 Agustus 1950 (Foulcher, 1986: 17; Moeljanto dan Taufiq Ismail, 1995: 32).52 D.N. Aidit dan Nyoto adalah para pemimpin PKI yang dibentuk kembali setelah kegagalan gerakan Muso.53 Pada awalnya pengurus Lekra terdiri atas A.S Dharta (Sekretaris I), M.S. Ashar (Sekretaris II), dan Herman Arjuno (Sekretaris III), sedangkan Henk Ngantung, Nyoto, dan Joebaar Ajoeb menjadi anggotanya. Sekretariat Pusat Lekra mempunyai beberapa lembaga, yaitu Lembaga Seni Sastra, Seni Suara, Seni Drama dan Film, Filsafat, dan Olahraga. Lekra bekerja khususnya di bidang kebudayaan, kesenian dan ilmu. Lekra bertujuan menghimpun tenaga dan kegiatan para penulis, seniman, dan pelaku kebudayaan lainnya, serta berkeyakinan bahwa kebudayaan dan seni tidak bisa dipisahkan dari rakyat. Semboyannya adalah: sastra untuk buruh dan tani. Pada periode ini politik dijadikan panglima. Puisi pun mengabdi kepada kepentingan politik. Puisi-puisi diciptakan untuk mengganyang kapitalis birokrat, nekolim, tujuh setan kota dan tujuh setan desa. Lekra sesungguhnya muncul sebagai tanggapan para cendekiawan terhadap kegagalan konferensi Meja Bundar dan sikap sebagian besar cendekiawan yang pro-barat dan pro-kapitalisme (Foulcher, 1986: 13-26). Lekra memang didirikan enam bulan setelah diumumkannya Surat Kepercayaan Gelanggang (18 Februari 1950). Meskipun demikian, Lekra tidak didirikan secara khusus untuk menjadi pesaing bagi kelompok Seniman. Keprihatian Lekra terutama adalah pada elemen-elemen kapitalisme dan kolonialisme, yang pada saat itu (1950) sedang berupaya mencengkeramkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Lekra menjalankan prinsip ”politik sebagai panglima’ yang berarti sebelum melakukan penggarapan seni orang harus mengkajinya terlebih dahulu dari aspek politik. Seperti dikatakan Nyoto, penggagas motto tersebut, ”Jika kita menghindarinya, kita akan digilas mati olehnya. Oleh karena itu, dalam hal apapun dan kapan sajapun, politik harus menuntun segala kegiatan kita. Politik adalah panglima!” (Yuliantri dan Dahlan, 2008: 25- 32). Karena itu, prinsip ini pun dituangkan dalam metode kreatif Lekra yang dirumuskan sebagai kombinasi 1-5-1. Satu yang pertama adalah prinsip politik adalah panglima. Kelima asas yang kedua adalah: (1) meluas dan meninggi; (2) tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik atau 2 tinggi; (3) tradisi baik dan kekinian revolusioner; (4) kreativitas individual dan kearifan massa; dan (5) realisme-sosial dan romantik revolusioner. Satu

52 Ada beberapa pandangan yang menolak adanya hubungan organisasional antara Lekra dengan PKI. Lihat misalnya wawancara penulis dengan sastrawan Lekra Putu Oka Sukanta. Bantahan seperti itu mungkin ada benarnya tetapi tidak sepenuhnya bermanfaat. Fakta bahwa organisasi ini didirikan oleh para pemimpin PKI serta memiliki kedekatan ideologis menunjukkan bahwa Lekra dan PKI memiliki banyak kesamaan ideologis. 53 Gerakan Muso yang gagal itu dikenal sebagai Peristiwa Madiun tahun 1948. Selama Orde Baru, Peristiwa Madiun disosialisasikan sebagai sebuah upaya Kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 168 yang terakhir adalah metode yang harus dipakai untuk mencapai jalan berkebudayaan itu, yaitu turun ke bawah atau Turba. Lekra mendapat kesempatan emas karena menerapkan prinsip Demokrasi Terpimpin54. Garis perjuangan PKI telah menjadi dasar bagi setiap langkah dalam kebudayaan, di mana sokoguru revolusi adalah buruh, tani, dan prajurit. Hal ini ditegaskan oleh DN Aidit dalam Konperensi Seni dan Sastra Revolusioner (KSSR). Salah satu pernyataan Lekra dan PKI adalah mereka akan membabat dan membasmi musuh- musuhnya. Selama kurun waktu 1950-1965, Lekra sangat mendominasi dunia kreatif penciptaan karya sastra di Indonesia, bahkan dapat dikatakan bahwa Lekra menguasai panggung kebudayaan Indonesia. Karya-karya sastra para seniman Lekra dipublikasikan melalui harian-harian beraliran komunis seperti Harian Rakjat, Warta Bakti, Terompet Masjarakat, Bintang Timur. Harian Bintang Timur memiliki sisipan ruang seni-budava bertajuk Lentera (1963-1965) dengan pemimpin redaksi Pramoedya Ananta Toer. Lentera adalah terompet yang paling lantang suaranva. Di samping menyiarkan propaganda ideologi, di ruangan ini secara sistematik dilakukan serangan-serangan terhadap seniman- sastrawan yang berseberangan dengan Lekra/PKI, termasuk polemik yang sangat tajam dengan sastrawan Manikebu. Akan tetapi, sejak Lekra dilarang pada tahun 1966, masyarakat tidak lagi mengenal sosok karya sastra, sastrawan, maupun peranannya di dalam sejarah sastra Indonesia. Yang dikenang masyarakat kesusastraan Indonesia hanyalah bahwa Lekra berhadap-hadapan dan berseteru dengan sastrawan Manifes Kebudayaan (manikebuis), seolah-olah kepedulian Lekra hanya tertuju pada polemik dengan Manikebu. Dalam kenyataannya, Lekra menghasilkan banyak karya seni (sastra, drama, seni lukis, dll) yang memiliki peran transformatif dalam masyarakat pada waktu itu. Hasil karya Lekra itu benar-benar terlupakan. Amnesia terhadap peran transformatif Lekra disebabkan karena lembaga ini dipandang sebagai sebuah organisasi terlarang, sehingga karya-karya seniman Lekra pun secara sengaja dan sistematis dihilangkan dari sejarah Indonesia.

4.5.2 Sastra Angkatan Manikebu Istilah ‘Angkatan Manikebu’ belum digunakan sebelumnya. Istilah yang lebih populer untuk menyebut angkatan dalam periode 1955-1965 adalah Angkatan Majalah Kisah karena sastrawan-sastrawan non-Lekra cenderung mempublikasikan karya-karyanya melalui Majalah Kisah. Istilah ini digunakan karena pertikaian yang keras atantara Lekra dan Manikebu dipandang merupakan salah satu tonggak penting sejarah sastra Indonesia. Mabikebu pada awalnya merupakan sebuah gerakan kekusastraan yang muncul sebagai reaksi atas dominasi Lekra. Dalam suasana kehidupan sosial-budaya yang terkotak-kotak pada periode 1955-1966, pada bulan September 1963, muncul sebuah dokumen di dalam Majalah Sastra yang diberi judul “Manifes Kebudayaan” (Mohammad, 1993: 12). Dokumen itu ditandatangani oleh 20 orang seniman dan sastrawan itu telah diumumkan tanggal 17 Agustus 1963. Kelompok lawannya menyebutnya dengan olok-

54 Tanggal 17 Agustus 1959 Soekarno berpidato tentang manifesto politik yang dijadikan manifesto politik bagi penerapan model Demokrasi Terpimpin.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 169 olokan sebagai “manikebu” yang merujuk pada kata “mani kebo” atau sperma kerbau (Setiawan, 2003: 178-179). Goenawan Mohammad (1993: 14) mengungkapkan bahwa 95% isi Manikebu itu ditulis oleh Wiratmo Soekito dan bahwa banyak dari penandatangan itu tidak sepenuhnya memahami isinya. Pernyataan ini mengandung pengertian tertentu. Studi Supartono (2000) menunjukkan latar belakang si penyusun naskah Manikebu, Wiratmo Soekito, yang memiliki hubungan khusus dengan tentara Angkatan Darat. Dapat diduga bahwa Manifes Kebudayaan juga merupakan sebuah gerakan politik dan bukan gerakan kebudayaan. Keterlibatan militer dalam kelompok Manikebu tampak jelas dari susunan penyelenggara Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) yang memasukkan tiga perwira sebagai dewan penasihat dan seorang brigjen sebagai ketua kehormatan. Dalam kegiatan KKPI yang dilaksanakan di Jakarta, 1 – 7 Maret 1964, sebagian besar fasilitas dan akomodasi disumbangkan oleh militer. Lekra mencoba menggagalkan konferensi ini, akan tetapi karena dukungan yang kuat dari Nasution, maka konferensi itu dapat berjalan dengan baik (Foulcher, 1986: 126). Dengan demikian, Manikebu bukan hanya sebuah persoalan kebudayaan tetapi juga persoalan politik atau bahkan sebuah gerakan politik. KKPI menghasilkan sebuah Ikrar Pengarang Indonesia yang ditandatangani ketua presidiumnya Brigjen Dr. Soedjono. Ikrar itu menggunakan bahasa-bahasa politik seperti yang digunakan Lekra, misalnya berjuang bersama rakyat untuk mencapai tujuan revolusi Indonesia. Ikrar semacam ini jelas memiliki tendensi politis. Foulcher (1986: 124-127) bahkan mendudukkan kelahiran Manikebu dalam sebuah konteks yang benar-benar politis, sebagai bagian dari perjuangan Angkatan Darat yang anti-PKI dan antigerakan kiri pada umumnya. Wiratmo Sukito adalah salah seorang yang bekerja pada Badan Intelijen Militer. Kehadiran kelompok Manifes, bagi Foulcher, tak lain daripada pamer kekuatan kelompok kebudayaan antikomunis. Oleh karena itu, seperti dikemukakan salah satu pelaku penandatangan Manikebu, Goenawan Mohamad (1993: 13), Manikebu itu tampil seperti sebuah surat tantangan, atau juga sebuah undangan untuk pengganyangan dari kelompok Lekra yang memiliki ideologi berkesenian ’politik adalah panglima’. Pramoedya Ananta Toer, tokoh Lekra, yang pada waktu itu menjadi pemimpin redaksi rubrik ”Lentara” pada Harian Bintang Timur merupakan orang yang paling keras dalam menyerang kaum Manikebu. Pram bahkan dipandang ”memimpin penindasan kreativitas”, ”melecehkan kebebasan berekspresi, ”menyambut pelarangan buku dan piringan hitam”, mengelu-elukan pembakaran buku besar-besaran di Jakarta dan Surabaya, melancarkan kampanye fitnah dan pemburukan nama secara teratur terhadap seniman-seniman non-Lekra”, ”teror mental dan intimidasi”, melakukan kampanye pembabatan terhadap penerbit-penerbit independen.55 Lekra dan Manikebu adalah dua kubu yang bertentangan dalam hal ideologi keseniannya. Pertentangan, konflik, bahkan friksi ideologi berkesenian antara Lekra dan Manikebu, termasuk pula polemik dan tindakan-tindakan pengganyangan terhadap

55 Pandangan tersebut diambil dari “Pernyataan” 26 sastrawan dan budayawan (dipelopori oleh Taufiq Ismail) untuk menolak pemberian hadiah Magsaysay terhadap Pramoedya Ananta Toer, tanggal 19 Juli 1995. (Lihat Sambodja, 2010: 28-29).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 170 lawannya masing-masing yang berupa pelarangan mempublikasikan tulisan, pelengseran dari posisi kepegawaian, tertuang pula di dalam karya-karya sastra. Berbeda dari Angkatan Sastrawan Lekra yang menggubah karya-karya yang sifatnya revolusioner dan berapi-api dan penuh semangat perjuangan, Angkatan Manikebu ini memilih jalan kesenian yang berbeda. Banyak muncul dari mereka puisi bercorak romantik dan kedaerahan, atau mencoba menggali akar kebudayaan daerah. Penyair-penyair Angkatan Majalah Kisah antara lain Ramadhan KH (Priangan Si Jelita), WS Rendra (Empat Kumpulan Sajak, Ballada Orang-orang Tercinta, Sajak-sajak Sepatu Tua, Blues untuk Bonnie, Potret Pembangunan dalam Puisi), Toto Sudarto Bachtiar (Suara, Etsa), Subagio Sastrowardoyo (Simphoni, Daerah perbatasan, Salju), Hartoyo Andang Jaya (Buku Puisi), dll.

5. Kesimpulan Dari dua buah studi kasus di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, sastra Indonesia senantiasa terlibat (engaged) dengan persoalan- persoalan besar bangsa Indonesia, termasuk dalam persoalan-persoalan sosial politik. Pada periode 1900- 1930, sastra terlibat dalam persoalan nasionalisme dan pendidikan politik bagi rakyat Indonesia. Sedangkan pada periode 1955-1965, kesusastraan Indonesia juga terlihat dalam berbagai issu besar bangsa, seperti perang dingin, ganyang Malaysia, nasakom bersatu, landreform, dan sebagainya. Kedua, tampak jelas bahwa ‘sastra terlibat’ (engaged literature) kemudian tidak masuk ke dalam arus utama (main stream) sejarah sastra Indonesia. Sebaliknya, dapat dikatakan bahwa jenis sastra yang historis dikalahkan oleh paradigm ilmu sastra yang ahistoris dengan dasar teoretis seperti strukturalisme dan berbagai pendekatan quasi sosiologis. Ketiga, diperlukan sebuah perumusan dan penulisan ulang sejarah sastra Indonesia modern yang memandang sastra sebagai bagian dari formasi diskursif yang membentuk totalitas kebudayaan bangsa.

Daftar Bacaan Aveling, Harry, 1975. Gestapu: Indonesian Short Stories on the Abortive Communist Coup of 30th September 1965. Southeast Asian Studies Working Paper No. 6. Hawaii: Southeast Asian Studies Program. Bressler, Charles E., 2007. Literary Cristicism: An Introduction to Theory and Practice (Fourth Edition). New Jersey: Pearson Prentice Hall. Crouch, Harold, 1973. “Another Look at the Indonesian "Coup" in Indonesia, Vol. 15, (Apr., 1973), pp. 1-20. Cornell University: Southeast Asia Program Publications. Dhakidae, Daniel, 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Foucault, Michel, 1972. The Archeology of Knowledge. New York: Pantheon Books. Foulcher, Keith, 1986. Social Commitment in Literature and the Arts: The Indonesian “Institute of Peoples Culture” 1950 – 1965. Victoria: Monash University Press. Geertz, Clifford, 1973. "Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture?" in The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Books.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 171

Goodfellow, Rob, 1995. “Api Dalam Sekam: the new Order and the Ideology of Anticommunism” dalam Centre of Southeast Asian Studies Working Papers. Australia: Monash University. Greenblatt, Stephen, 2005. “The Touch of the Real” dalam The Greenblatt Reader Stephen Greenblatt. (Edited by Michael Payne). Malden, MA: Blackwell Publishing. Jassin, H. B., 1985. Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Jakarta: PN Balai Pustaka. Muhammad, Goenawan, 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: PT Pustaka Firdaus. Pradopo, Rachmat Djoko, 1985. Beberapa Teori Sastra Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Razif, 2010. “Batjaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan”. Diunduh dari http://www.fortunecity.com/millennium/oldemill/498/selectedworks/B- Liar3.html tanggal 17 Agustus 2010 Ricklefs, M.C., 1993. A History of Modern Indonesia Since c.1300, Second Edition. London: MacMillan. Rosidi, Ajib, 1973. Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya. Sambodja, Asep, 2010. Asep Sambodja Menulis. Bandung: Ultimus. Setiawan, Hersri, 2003. Kamus Gestok. Yogyakarta: Galang Press. Sumardjo, Jacob, 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern Jilid I. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Sutter, John O, 1966. Two Faces of Konfrontasi: "Crush Malaysia" and the Gestapu” in Asian Survey, Vol. 6, No. 10, (Oct., 1966), pp. 523-546. University of California Press. Teeuw, A., 1978. Sastra Baru Indonesia. Ende: Percetakan Arnoldus. Thomas, R. Murray, 1981. “Indonesian Education: Communist Strategies (1950- 1965) and Governmental Counter Strategies (1966-1980)” in Asian Survey, Vol. 21, No. 3, (Mar., 1981), pp. 369-392. University of California Press. Valdes, Mario J dan Linda Hutcheon, 2002. Literary History: A Dialogue on Theory. USA: Oxford University Press. Van der Kroef , Justus M. 1977. “Interpretations of the 1965 Indonesian Coup: A Review of the Literature” in Pacific Affairs, Vol. 43, No. 4, (Winter, 1970- 1971), pp. 557-577. Pacific Affairs, University of British Columbia. Yudiono, K.S., 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan, 2008. Lekra Tak Membakar Buku. Yogyakarta: Merakesumba.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 172

Kuasa Bahasa terhadap Sastra, Sejarah, dan Wacana Kekuasaan

Nurhadi PBSI FBS UNY [email protected]

Abstrak Dalam berbagai aspek, bahasa memiliki peran tersendiri yang seringkali bersinggungan dengan kekuasaan. Pemakaian tiga huruf dalam konteks frase G-30-S-1965/PKI menjadi daya tarik menarik antara berbagai pihak yang berkepentingan dalam penulisan sejarah Indonesia. Ada sejumlah pihak yang berusaha mengukuhkan tiga kata terakhir itu untuk tetap eksis dalam rangkaian istilah tersebut, di lain pihak ada sejumlah kelompok yang ingin menghapusnya. Penulisan sejumlah karya sastra seperti Anne Frank yang terkait dengan holocaust, penulisan sejarah tentang knight templar dalam sejarah abad pertengahan Eropa, ataupun kajian tentang wacana orientalisme yang menempatkan Barat sebagai pihak dominan terhadap Timur yang subordinat, merupakan aspek- aspek yang terkait dengan sebuah sistem kekuasaan. Kekuasaan yang dibangun oleh sejumlah konstruksi bahasa. Sastra, sejarah, dan wacana kekuasaan tidak lain adalah pilar-pilar yang terbangun atas peran bahasa sebagai ranah kekuasaan.

Kata-kata kunci: bahasa, sejarah Indonesia, holocaust, sastra, dominasi, kekuasaan

-1- Pelarangan buku di Indonesia masih terjadi pada masa reformasi, tidak hanya pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Ketika sejumlah buku yang terkait dengan G-30-S 1965 dilarang, biasanya terjadi pada masa pemerintahan Soeharto. Meski demikian, setelah melewati masa reformasi, pelarangan serupa juga masih terjadi. Juga terhadap buku yang masih terkait dengan peristiwa tersebut. Buku yang dimaksud adalah Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Rosa pada penghujung 2009. Sebetulnya ada lima buku yang dilarang pada tahun tersebut. Selain buku John Rosa, buku lainnya berjudul: Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950—1965 (karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan), Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri (karya Cocrates Sofyan Yoman), Enam Jalan Menuju Tuhan (karya Darmawan), dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama (karya Syahrudin Ahmad). Dua dari lima buku yang dilarang oleh pihak Kejaksaan Agung Indonesia ini terkait dengan PKI, yakni buku tentang Dalih Pembunuhan Massal dan buku tentang Lekra (Yusuf, 2012). Sebelumnya, juga pada masa pemerintahan SBY, tepatnya pada 9 Maret 2007, Kejaksaan Agung juga melarang beberapa buku sejarah kurikulum 2004. Beberapa buku sejarah untuk SMP dan SMA tersebut secara resmi dilarang terbit dan dilarang beredar. Buku-buku tersebut antara lain berjudul Kronik Sejarah untuk SMP (karya Anwar Kurnia), Sejarah I untuk SMA (karya TB Purwanto, dkk), dan sejumlah buku lain yang mengacu pada kurikulum 2004. Buku-buku tersebut dilarang karena memuat peristiwa

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 173

Pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965 yang hanya mencantumkan Gerakan 30 September tanpa menyebutkan keterlibatan PKI (Yusuf, 2012). Tiga huruf tersebut, yakni PKI menjadi kata kunci yang sangat penting. Pengingkaran penulisan kata G-30-S 1965 tanpa mencantumkan kata PKI di belakangnya merupakan suatu bentuk yang tidak diizinkan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini pemerintah, termasuk juga pemerintah reformasi, pemerintahan pasca Orde Baru yang dilegitimasi sebagai rezim yang berbeda dengan Orde Baru. Meski demikian, faktanya sejumlah pelarangan sejumlah buku yang tidak mencantumkan keterlibatan PKI atau yang mengingkarinya dalam bentuk lain adalah sebuah pertarungan wacana yang cukup menarik. Dalam banyak bayangan orang, pemerintahan sekarang setidaknya cukup permisif terhadap hal itu. Meskipun pada kenyataan tidaklah demikian.

-2- Versi resmi pemerintah Indonesia menyatakan peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat oleh pasukan Cakra Birawa itu dikenal dan ditulis dengan istilah G-30-S 1965/PKI. Tidak dengan istilah lain, termasuk dengan istilah Gestok (Gerakan Satu Oktober) meskipun berdasarkan waktunya, istilah ini malah lebih dekat dengan fakta kejadian sebenarnya. Juga terhadap penulisan G-30-S 1965 tanpa tiga huruf di belakangnya yang mengaburkan pelaku penculikan tersebut. Tanpa kata PKI di belakangnya, peristiwa tersebut menjadi diambangkan penafsirannya. Pelakunya belum tentu PKI. Itulah tafsir sejarah. Juga termasuk penafsiran John Rosa (2008:xv—xxi) yang menganggap bahwa peristiwa penculikan tersebut menjadi dalih untuk melakukan pembunuhan massal yang lebih besar. Tentu saja penafsiran seperti ini berbeda dengan otoritas penafsiran sejarah resmi pemerintah Indonesia. Setelah keran demokratisasi dibuka lebar sehabis masa reformasi, sejumlah wacana penafsiran yang berbeda terhadap pemerintah, khususnya terkait dengan peristiwa 1965 itu, sudah relatif terbuka. Sejumlah pihak yang mempertanyakan ataupun menolak terhadap tafsir sejarah peristiwa tersebut menulisnya dengan G-30-S 1965, tanpa menambahkan tiga huruf dengan urutan tertentu: PKI. Pihak yang berseberangan dengan pemerintah Indonesia ataupun yang mempertanyakan kebenaran “versi resmi” memang sengaja menanggalkan kata PKI sebagai tafsir peristiwa penculikan tersebut tidak dilakukan oleh PKI atau sejumlah tafsir lainnya yang terbuka, bukan seperti tafsir pemerintah. Begitulah pertarungan wacana itu terjadi. Di balik penggunaan atau penambahan tiga huruf dengan susunan atau urutan huruf P, K, lalu I telah menjadi ajang pertarungan bahasa. Konsekuensinya bisa luar biasa. Seperti yang disampaikan oleh John Rosa dalam bukunya, pencantuman kata PKI dalam peristiwa itu menjadi legitimasi untuk melakukan pembunuhan yang jauh lebih besar lagi terhadap orang-orang PKI atau orang-orang kiri yang berseberangan dengan Soeharto. Menurut Anderson, jumlah korban tewas pasca G-30-S 1965/PKI mencapai 500 ribu orang. Coba bayangkan jika PKI memang tidak terlibat dalam penculikan itu, dosa seperti apa yang harus dilekatkan kepada pihak pembunuh massal ini? Pun kalau petinggi PKI pelakunya, mengapa “seluruh” orang PKI menanggung dosa para petinggi partainya? Sejarah sudah terjadi. Baik penculikan tersebut maupun pembunuhan massalnya telah terjadi, telah menjadi sejarah. Akan tetapi, penafsiran terhadap hal tersebut masih terus berlangsung. Tarik menarik antara pihak yang membenarkan keterlibatan PKI

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 174 dengan pihak yang mempertanyakan atau menyangkal keterlibatan PKI masih berlangsung hingga kini, ketika rezim Orde Baru telah tumbang setidaknya 14 tahun. Pertarungan itu terjadi dalam berbagai skala dan habitus yang beragam. Mulai dari berbagai seminar, diskusi, penulisan buku, acara TV, dan lainnya termasuk dalam skala kecil penggunaan istilah: G-30-S 1965/PKI atau hanya G-30-S 1965. Ini tidak hanya sekedar pertaruhan pemakaian tiga huruf tetapi konsekuensi di belakangnya: pemulihan nama baik orang-orang PKI hingga penamaan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan (jika kekuasaan wacana suatu ketika berbalik). Di sinilah peran penting pemakaian bahasa. Penafsiran terhadap siapa yang terlibat dalam kasus penculikan sejumlah jenderal Angkatan Darat pada malam penghujung bulan September 1965, salah satunya ditentukan dengan tiga huruf yang terkait dengan istilah G-30-S 1965. Tidak hanya itu, dalam sejumlah tulisan orang-orang yang menentang Soeharto atau setidaknya sebagai pihak yang mempertanyakan keligitimasian pemerintahannya, mereka menuliskan namanya secara khas. Penulis-penulis semacam ini tidak menuliskan presiden kedua Indonesia itu dengan ejaan lama tetapi dengan ejaan baru. Presiden yang naik kursi kepresidenan berkat peristiwa G-30-S 1965/PKI ini ditulis oleh pihak-pihak tersebut dengan “” bukan dengan “Soeharto”. Ini kelihatan seperti persoalan yang sepele, seakan salah ketik belaka. Kalau ditelusuri secara lebih cermat, ada sebuah kesengajaan. Sebuah perlawanan tata tulis, sebuah perlawanan bahasa, perlawanan wacana yang lebih lanjut berujung pada perlawanan kekuasaan.

-3- Peristiwa G-30-S 1965/(PKI) di Indonesia bukanlah sebuah anomali. Kalau kita tengok peristiwa pembantaian Yahudi dalam Perang Dunia II, khususnya di wilayah yang dikuasai Nazi waktu itu di bawah kepemimpinan Hitler yang dikenal dengan istilah holocaust akan dijumpai hal yang serupa. Holocaust dalam sejarah dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan. Pembantaian etnis atau bangsa Yahudi dalam PD II di kamar gas tersebut sebagai bentuk genosida, pembantaian massal berdasarkan etnis atau bangsa tertentu. Konon, peristiwa holocaust inilah yang menjadi salah satu pilar penting pendirian negara Israel. Di sini kita tidak membicarakan tentang peristiwa holocaust itu sendiri, atau membahas tentang benar tidaknya holocaust, atau lainnya. Pada poin ini hanya akan dibicarakan mengenai penafsiran tunggal yang dilakukan oleh pihak hegemonik dalam menafsirkan peristiwa pembunuhan massal tersebut. Mengapa pihak-pihak tertentu yang ternyata tidak hanya Israel tetapi juga negara-negara yang sepihak dengan Israel mengklaim versi “resmi” holocaust dengan tindakan-tindakan represif. Mengapa untuk peristiwa sejarah ini mereka tidak menerima penafsiran yang berbeda dengan penafsiran versi sejarah mereka? Peristiwa holocaust menjadi perbincangan yang menghangat manakala Presiden Iran, Ahmadinejad, mempertanyakan kebenaran versi sejarah holocaust. Ahmadinejad mempertanyakan kebenaran sejarah holocaust. Karena tanpa holocaust, eksistensi Israel bisa dipertanyakan. Dengan adanya pengusiran warga Yahudi di berbagai wilayah pada PD II seolah menjadi legitimasi kepindahan orang-orang Yahudi ke wilayah Timur Tengah yang kini dikenal dengan negara Israel. Ada yang beranggapan kalau PD I memang

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 175 dicanangkan untuk menghasilkan wilayah atau tanah Israel dan PD II dicanangkan untuk menghasilkan penduduk di tanah Israel. Menurut Yahya (2006:13), holocaust ini merupakan suatu topik yang penting. Kebiadaban Nazi dan tragedi kaum Yahudi yang menjadi korbannya telah digunakan sebagai alat politik sejak Perang Dunia II hingga kini. Untuk membenarkan kebijakan pendudukan dan terornya, dan membungkam kecaman yang terarah padanya, negara Israel terus bersembunyi di balik konsep holocaust. Sesungguhnya, berdirinya negara Israel sebagian besar dimungkinkan berkat dukungan dan simpati dunia yang diilhami konsep genosida itu. Meski demikian, kebijakan pemusnahan Nazi tak hanya ditujukan pada kaum Yahudi, namun juga pada etnis, kelompok agama dan kelompok etnis lain, seperti orang-orang gipsi, Polandia, Slavia, penganut Katolik yang taat, penganut Kesaksian Yehova (sebuah aliran agama Nasrani), serta para penyandang cacat fisik dan mental. Kini, holocaust seolah-olah hanya “milik” orang-orang Yahudi. Lebih lanjut Yahya (2006:13) menyatakan bahwa kaum Yahudi, yang 5,5 juta orang di antaranya terbunuh di kamp-kamp konsentrasi, adalah korban terbanyak kebiadaban Nazi. Namun, sebenarnya, jumlah seluruh korban yang terbunuh di kamp-kamp itu mencapai lebih dari 11 juta orang, dan lebih dari setengah jumlah itu mencakup anggota bangsa-bangsa yang disebutkan di atas. Genosida yang ditimpakan kepada orang-orang ini harus dikenang tak kurang daripada yang ditimpakan kepada kaum Yahudi. Penggambaran bahwa kebiadaban Nazi khusus ditujukan kepada kaum Yahudi adalah bagian dari upaya ‘mengubah holocaust menjadi alat politik’, sebagaimana kami terangkan di muka, dan ini amat salah. Hal ini sejalan dengan buku The Holocaust Industry yang ditulis oleh Finkelstein (2000:3—6) yang menganggap kalau peristiwa holocaust ini tidak lain sebagai “tambang uang” bagi negara Israel. Sejumlah pihak malah ada yang meragukan holocaust seperti versi resminya. Ada yang mempertanyakan sejumlah hal tentang kebohongan holocaust seperti: sejumlah foto korban kematiannya bukan karena pembunuhan kamar gas tetapi karena penyakit types, jumlah korban yang terlalu banyak (6 juta orang) untuk kapasitas kamar gas yang hanya mampu menampung ribuan orang saja, penemuan tentang gas yang hanya berupa obat anti-fungi, dan sejumlah hal lain yang meragukan (Weber, 2012). Terlepas dari berbagai pro dan kontra tentang holocaust dan pendirian negara Israel, penafsiran tentang holocaust menarik untuk dibicarakan. Bagi Israel dan sejumlah negara pendukung versi resmi holocaust, penafsiran sejarah terhadap peristiwa itu sudah pasti. Tidak ada penafsiran lain. Mempertanyakan apalagi menolak terhadap peristiwa itu adalah sebuah tindak kejahatan, sebuah tindakan anti-semit (yang maknanya dipersempit menjadi anti-Yahudi). Pelakunya bisa dijebloskan ke dalam penjara di Israel atau di dua belas negara yang mendukung hal tersebut. Pelarangan dan pemenjaraan terhadap penafsiran lain atas versi holocaust jelas- jelas merupakan pertarungan wacana, pertarungan penulisan sejarah, pertarungan bahasa. Tidak diperkenankannya penafsiran lain atau sekedar mempertanyakan versi resmi holocaust memperlihatkan kalau hal ini merupakan pertarungan kekuasaan. Tentu saja ada sejumlah konsekuensi yang harus ditanggung baik oleh pemegang otoritas yang berkuasa terhadap versi holocaust ataupun terhadap orang-orang yang menentangnya. Bagi penentang versi resmi holocaust ada yang mengalami pemenjaraan hingga ke pembunuhan. Bagi Israel, jika terbukti holocaust tidak terjadi seperti versi resminya,

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 176 logika Ahmadinejad yang mempertanyakan keberadaan negara Israel bakal mendapatkan legitimasinya.

-4- Pilar utama kisah atau versi resmi holocaust didasarkan pada karya sastra, khususnya pada Catatan Harian Anne Frank. Dari Wikipedia dipaparkan Annelies Marie "Anne" Frank (12 Juni 1929–Februari/Maret 1945) adalah seorang perempuan Yahudi yang menulis sebuah buku harian ketika ia bersembunyi bersama keluarga dan empat temannya di Amsterdam semasa pendudukan Nazi di Belanda pada Perang Dunia II. Setelah bersembunyi selama dua tahun, kelompok mereka dikhianati dan mereka dibawa ke kamp konsentrasi yang mengakibatkan seluruhnya tewas kecuali Otto, ayah Anne. Otto kembali ke Amsterdam dan dia menemukan buku harian anaknya. Karena yakin akan uniknya catatan tersebut, Otto berusaha mempublikasikannya. Buku harian tersebut diberikan kepada Anne pada ulang tahunnya yang ketiga belas dan mencatat rentetan peristiwa-peristiwa kehidupan Anne dari 12 Juni 1942 hingga catatan terakhir pada 1 Agustus 1944. Akhirnya buku harian itu diterjemahkan dari bahasa Belanda ke berbagai bahasa dan menjadi salah satu buku yang paling banyak dibaca di dunia. Beberapa produksi teater dan film juga mengangkat tema diary ini. Buku harian yang digambarkan sebagai karya yang dewasa dan berwawasan ini menyodorkan potret kehidupan sehari-hari yang mendalam di bawah pendudukan Nazi; melalui tulisannya, Anne Frank menjadi salah satu korban holocaust yang paling banyak dibicarakan. Buku inilah yang mengukuhkan kejadian holocaust pada masa Perang Dunia II. Terlepas dari berbagai kontroversi di balik penulisannya, buku ini menjadi dasar untuk membenarkan dan menjadi sejarah penulisan holocaust. Sebagai diary atau catatan harian, tulisan Anne Frank ini sebetulnya berada antara batas fiksi dan realitas. Artinya, yang menjadi dasar penulisan holocaust sebetulnya juga tidak lebih dari karya fiksi (atau setengah sejarah) yang kemudian direproduksi dalam berbagai karya termasuk dalam karya film. Penunjang lain dari peristiwa holocaust adalah karya-karya fiksi semacam film Schindler's List. Schindler's List, seperti dipaparkan dalam Wikipedia, adalah film 1993 yang diproduksi berdasarkan novel Schindler's Ark karya Thomas Keneally, yang diterbitkan di Amerika Serikat dengan judul Schindler's List dan kemudian diedarkan kembali di negara- negara Persemakmuran dengan judul itu pula. Filmnya, yang diadaptasi oleh Steven Zaillian dan disutradarai oleh Steven Spielberg, mengisahkan riwayat Oskar Schindler, seorang pengusaha Katolik Jerman yang berperan dalam menyelamatkan nyawa lebih dari seribu orang Yahudi Polandia pada masa Holocaust. Judulnya merujuk kepada daftar nama dari 1.100 orang Yahudi yang dipekerjakan Schindler di pabriknya dan karenanya tidak dikirim ke kamp-kamp konsentrasi. Karya-karya fiksi seperti Catatan Harian Anne Frank atau film Schindler's List setidaknya menjadi pilar utama penulisan versi resmi peristiwa holocaust. Penulisan versi inilah yang secara hegemonik bahkan seringkali bersifat represif terhadap versi lain. Di sini dapat ditengarai bahwa sebuah wacana sejarah, seperti peristiwa holocaust, dapat ditopang oleh karya sastra atau karya fiksi. Karya-karya semacam Catatan Harian Anne Frank, film Schindler's List, dan sejenisnya dapat menjadi pelegitimasi sebuah wacana,

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 177 pelegitimasi sebuah kekuasaan. Dan seperti kita tahu, karya sastra adalah sebuah konstruksi struktur yang dibangun oleh bahasa. Sekali lagi di sini dapat ditarik sebuah simpulan betapa pentingnya peran bahasa dalam mengkonstruk sebuah kekuasaan. Dalam kasus ini dapat dinyatakan betapa kuasanya bahasa dalam membentuk sebuah wacana, wacana kekuasaan.

-5- Dalam konteks lain, hal serupa terjadi pada masa abad ke-18 hingga awal abad ke-20 yang dikenal dengan istilah orientalisme. Orientalisme muncul seiring dengan praktik kolonialisme negara-negara Eropa terhadap negara-negara kawasan Asia Afrika dan Amerika selatan. Orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa. Bagi Eropa, Timur bukan hanya dekat; ia juga merupakan tempat koloni-koloni Eropa yang terbesar, terkaya dan tertua, sumber peradaban dan bahasa-bahasanya, saingan budayanya, dan salah satu imajinasinya yang paling dalam dan paling sering muncul tentang “dunia yang lain” (Said, 1994:2). Lebih lanjut Said (1994:2) menyatakan studi tentang Timur telah membantu mendefinisikan Eropa atau Barat sebagai imaji, idea, kepribadian, dan pengalaman yang berlawanan dengannya. Tidak ada sesuatu pun dari Timur yang bersifat khayalan semata- mata. Timur adalah suatu bagian integral dari peradaban dan kebudayaan material Eropa. Orientalisme mengungkapkan dan menampilkan bagian tersebut secara budaya dan bahkan secara ideologis sebagai suatu mode of discourse dengan lembaga-lembaga, perbendaharaan bahasa, studi kesarjanaan, lambang-lambang dan doktrin-doktrin yang mendukungnya, bahkan birokrasi kolonial dan gaya kolonialisme. Pada intinya, seperti yang dinyatakan Said (1994:4), orientalisme adalah gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai Timur. Kajian orientalisme adalah sebuah kajian yang luas, tidak sebatas bahasa yang menempatkan Timur sebagai pihak yang inferior (yang seringkali dianggap kurang beradab atau bahkan biadab) dibandingkan Barat yang superior (yang beradab atau berbudaya lebih tinggi). Seperti telah diungkapkan dalam buku Said, kajian tentang Timur melibatkan berbagai aspek, disiplin, rentang waktu ataupun ruang yang cukup kompleks; suatu kajian yang membedakannya dengan sang subjek, dalam konteks ini adalah Barat. Sejak pembongkaran wacana dominasi Barat di balik studi orientalisme oleh Said, tidak banyak orang yang mengaku dengan predikat sebagai seorang orientalis. Kajian orientalisme pada dasarnya juga tidak terlepas dari kajian bahasa, mengingat pengantar utama sebagai sebuah kajian adalah bahasa. Oleh karena itu, bahasa juga turut berperan dalam pengenalan, penyebarluasan, dan pendominasian kajian orientalisme sehingga pada masanya pernah menjadi bidang kajian yang cukup terpandang. Tokoh semacam Snouck Hurgronje adalah tokoh orientalis yang cukup terpandang dalam kajian tentang Aceh atau tentang Indonesia. Istilah orientalis kini telah menjadi pejoratif. Sebetulnya, kajian tentang “Timur” hingga kini masih eksis, istilah orientalis atau orientalisme telah digeser menjadi kajian Asia, kajian Asia Tenggara, kajian Timur Tengah, dan lainnya. Dominasi Barat yang kala itu identik dengan Eropa, kini posisinya juga bergeser ke Amerika Serikat.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 178

-6- Pertarungan yang masih relatif sengit terjadi pada wacana yang lebih khusus tentang knight templar. Dalam sejumlah kajian, knight templar yang identik dengan kabalah, iluminati, priory of sion, atau kini dengan freemasonry adalah sebuah kajian yang juga menimbulkan pro dan kontra, khususnya dengan sejarah gereja. Tampaknya bukan fenomena yang lumrah jika kini sejumlah novel atau karya sastra dunia seperti serial karya Dan Brown mulai dari Angels and Demons, The Da Vinci Code, dan The Lost Symbol mengisahkan sebuah cerita yang berlatar belakang tentang iluminati, priory of Sion, dan freemasonry. Novel-novel Brown bersifat membela kelompok-kelompok rahasia ini yang biasanya mendapat stigma negatif oleh pihak gereja atau kelompok agama lainnya. Selain novel-novel Dan Brown, tema tentang knight templar dan kelompok terkait lainnya juga muncul dalam novel Umberto Eco yang berjudul Foucault’s Pendulum. Sejumlah tulisan yang bersifat historis tentang kelompok knight templar juga muncul seperti The Holy Blood and Holy Grail dan The Messianic Legacy karya Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln; atau seperti pada buku The Templar Revelation karya Linn Picknet dan Clive Prince (yang dapat dibaca dalam bahasa Indonesia). Sejumlah buku Harun Yahya juga mengangkat tentang sepak terjang knight templar. Di Indonesia tulisan tentang hal ini muncul dalam buku Knights Templar Knights of Christ karya Rizki Widyaswara, dan sejumlah buku lainnya. Sejumlah film Hollywood turut meramaikan tema tentang knight templar. Masing-masing pihak, baik yang mendukung knight templar maupun yang menjatuhkannya, sama-sama bersaing dengan menampilkannya dalam sejumlah tulisan, baik sebagai kajian sejarah ataupun karya sastra. Sekali lagi, dalam konteks ini diperlihatkan betapa karya sastra (dan kini juga karya film) menjadi pilihan untuk membentuk wacana. Dalam konteks tertentu, pembentukan wacana itu akan terkait dengan kekuasaan. Karya sastra tidak lain adalah karya seni yang menggunakan bahasa sebagai media utamanya. Dalam hal ini, kita jadi teringat dengan pembongkaran dominasi teori evolusi (Darwinisme) oleh Harun Yahya dalam sejumlah bukunya yang dapat diunduh dalam http://www.harunyahya.com. Dalam hal ini, pengungkapan sejumlah kelemahan teori evolusi adalah sebuah pertarungan epistemologi. Teori evolusi Darwin menurut Yahya tidak lain hanyalah bersifat fiksi belaka, jauh dari sifat ilmiah. Pertarungan ini tidak bisa dilepaskan dari peran bahasa sebagai media untuk mengungkapkan ide-ide atau untuk mengkonter suatu tesis.

-7- Kebenaran suatu ilmu atau suatu wacana seringkali mirip seperti hakikat suatu kata dalam sebuah bahasa. Seringkali kebenaran suatu ilmu atau wacana, sebut saja seperti kasus teori evolusi Darwin, kajian tentang knight templar, kajian tentang orientalisme, kajian tentang holocaust, atau peristiwa G-30-S 1965/(PKI) pada hakikatnya adalah sebuah “konvensi”. Seringkali kelompok tertentu dengan berbagai kekuasaannya bisa membuat suatu peristiwa atau suatu fakta sejarah menjadi suatu yang bersifat “konvensional” dengan adanya persetujuan dari kelompok mayoritas atau kelompok dominan.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 179

Untuk memperoleh persetujuan dari kelompok lain guna mendapatkan “konvensi kebenaran” tersebut seringkali dibangun dari karya-karya fiksi seperti novel yang tidak lain struktur karya seni yang dibangun dari bahasa. Dari bahasalah kemudian disusun menjadi narasi, bahkan menjadi grand-naratif.

Daftar Pustaka

Anonim. 2012. Schindler's List, http://id.wikipedia.org/wiki/Schindler%27s_List. Diakses 25 Mei. Anonim. 2012. Anne Frank, http://id.wikipedia.org/wiki/Anne_Frank. Diakses 25 Mei. Finkelstein, Norman G. 2000. The Holocaust Industry. Online edition (http://www. geocities.com/holocaustindustry/acknowledgments.html) Rosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (penerjemah Hersri Setiawan). Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra. Said, Edward W. 1994. Orientalisme (terjemahan Asep Hikmat). Bandung: Penerbit Pustaka. Weber, Mark. 2012. “Is the Holocaust is a Hoax?”, http://www.biblebelievers.org.au/ holohoax.htm. Diakses 25 Mei. Yahya, Harun. 2006. The Holocaust Violence (Translated by Carl Nino Rossini). Istanbul: Global Publishing. Yusuf, Iwan Awaluddin. 2012. “Pelarangan Buku dan Pemasungan Demokrasi,” http:// bincangmedia.wordpress.com/, Diakses 1 April.

Catatan 1. Artikel ini dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Kesusastraan HISKI di FBS Universitas Negeri Yogyakarta 7—9 November 2012. 2. Nurhadi adalah staf pengajar pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNY sejak 1999. Mengajar matakuliah Sejarah Sastra, Kritik Sastra, Kajian Drama, dan lainnya. Menyelesaikan: S1 Jurusan PBSI IKIP Yogyakarta 1995, S2 pada bidang Sastra UGM Yogyakarta tahun 2004, S3 juga bidang Sastra UGM tahun 2010.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 180

PERANAN SASTRA DALAM PEMBELAJARAN

SEJARAH UNTUK MEMBENTUK KARAKTER SISWA

Supardi Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Email : [email protected], Hp. 081226916503

Abstrak Sastra dan sejarah ibarat dua sisi keping mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Sejarah memerlukan sastra, dan sastra memerlukan sejarah. Sastra merupakan ungkapan pribadi dari pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, semangat,keyakinan, dalam suatu bentuk gambaran kongkret yangmembangkitkan pesona dengan alat-alat bahasa. Sejarah merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan manusia masa lalu untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang. Mempelajari kehidupan masa lalu bukan sekedar melihat deretan fakta-fakta masa lalu. Fakta-fakta tersebut harus dihidupkan melalui imajinasi. Sastra merupakan salah satu kajian yang memiliki pilar sangat kuat dalam imajinasi. Melalui imajinasi itulah fakta-fakta sejarah dapat dibangun dan dihidupkan, sehingga mampu berkomunikasi dengan kehidupan sekarang. Jelaslah bahwa sastra dan sejarah sama-sama membutuhkan bahasa dan imajinasi. Kenyataannya, guru sejarah kurang memahami bagaimana pentingnya sastra dalam pembelajaran sejarah. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan ; 1) pentingnya sastra dan pembelajaran sejarah, 2) penggunaan sastra dalam pembelajaran sejarah untuk membangun karakter siswa. Hasil kajian menunjukkan bahwa; 1) dalam pembelajaran sejarah, sastra sangat berperanan dalam membantu menghidupkan kehidupan manusia masa lalu. Guru sejarah ibaratnya adalah pemutar mesin waktu, menghadirkan masa lalu di dalam kehidupan kekinian. Berbagai karya sastra terbukti mampu menghidupkan kejadian sejarah. Sastra dapat menjadi sumber sejarah, sekaligus menjadi penjelas sejarah. Hasil karya sastra dari masa ke masa menggambarkan kehidupan masyarakat masa tersebut. 2) Upaya menggunakan sastra dalam pembelajaran sejarah untuk membangun karakter siswa dapat dilakukan melalui penyusunan bahan ajar dan dalam metode pembelajaran. Bahan ajar sejarah yang berbasis pada sastra akan lebih hidup dan memudahkan siswa memahami masa lalu. Bahan ajar yang disajikan menarik sebagaimana halnya orang menyajikan karya sastra, akan lebih memotivasi dan memudahkan siswa mempelajari fakta-fakta sejarah. Pesan-pesan sejarahpun akan lebih mudah terinternalisasi dalam diri anak melalui penyajian yang mudah menyentuh batin siswa. Metode pembelajaran yang menggunakan sastra seperti dalam bermain drama dan puisi akan lebih mudah menghidupkan empati siswa. Penyusunan karya sastra sejarah juga merupakan salah satu cara untuk membelajarkan sejarah berbasis karya sastra. Rasa empati akan memudahkan munculnya nilai-nilai seperti semangat perjuangan, persatuan, dan nasionalisme dan nilai-nilai lainnya pada diri siswa. Kesadaran akan nilai-nilai tersebut merupakan dasar pembentukan karakter, karena salah satu pembentuk karakter adalah kesadaran yang muncul dari dalam diri individu.

Kata kunci : pembelajaran, sastra, sejarah, karakter

A.Pendahuluan Sastra dan sejarah ibarat dua sisi keping mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Sejarah memerlukan sastra, dan sastra memerlukan sejarah. Sastra merupakan ungkapan pribadi dari pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, semangat,keyakinan, dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat-alat bahasa. Sejarah merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan manusia masa lalu. Mempelajari kehidupan masa lalu bukanlah sekedar melihat deretan fakta-fakta masa lalu. Fakta-fakta tersebut harus dihidupkan melalui imajinasi. Sastra merupakan salah satu kajian yang memiliki pilar sangat kuat dalam imajinasi. Melalui imajinasi itulah fakta-fakta sejarah dapat dibangun dan dihidupkan, sehingga mampu berkomunikasi dengan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 181 kehidupan sekarang. Jelaslah bahwa sastra dan sejarah memiliki banyak kemiripan, diantaranya sama-sama membutuhkan bahasa dan imajinasi. Pembelajaran juga merupakan unsur yang sangat membutuhkan seni, dan dalam sastra pasti ada seni. Karena itulah, sastra, sejarah, dan pembelajaran akan menjadi sangat menarik dan bermakna apabila dipadukan dengan baik. Mengajarkan sejarah dengan sastra dipastikan akan lebih menarik dan bermakna, dibandingkan mengajarkan sejarah sendirian. Untuk mampu mengajarkan sejarah dengan sastra sebenarnya tidaklah sulit apabila guru memahami hakekat keduanya memiliki niat dan sikap yang nyata. Bagaimana hubungan sastra dan pendidikan sejarah, serta bagaimana peranan sastra dalam pembelajarans sejarah diuraikan dalam kajian di bawah ini.

B.Sastra dan Sejarah Sebagai Pendidikan Karakter Kata ‘sastra’ berasal dalam bahasa Inggris yakni literature, dalam bahasa Jerman literatur, yang berarti tulisan (Faruk, 2010:40). Sastra secara etimologis berasal dari kata sas dan tra. Akar kata sas- berarti mendidik, mengajar, memberikan instruksi, sedangkan akhiran –tra menunjuk pada alat. Jadi, sastra secara etimologis berarti alat untuk mendidik, alat untuk mengajar, dan alat untuk memberi petunjuk (Haryadi, 2012). Oleh karena itu, sastra pada masa lampau bersifat edukatif (mendidik). Banyak hal yang dapat diperoleh dari sastra. Tjokrowinoto dalam Haryadi (1994) memperkenalkan istilah ”pancaguna” untuk menjelaskan manfaat sastra lama, yaitu (1) mempertebal pendidikan agama dan budi pekerti, (2) meningkatkan rasa cinta tanah air, (3) memahami pengorbanan pahlawan bangsa, (4) menambah pengetahuan sejarah, (5) menghibur. Sangat nyata bahwa sastra memiliki peran penting dalam pembentukan karakter. Melalui sastra, petuah-petuah, nasehat-nasehat, perintah, dan bahkan larangan akan terasa tidak memberatkan seseorang karena disampaikan melalui bahasa yang lebih enak, bahkan jenaka. Hal ini berbeda dengan bahasa lisan sehari-hari, kadang nasehat- nasehat disampaikan secara lugas yang menyebabkan seseorang tersinggung atau tidak suka. Sastra sarat dengan nilai-nilai yang tersirat, sehingga melatih seseorang untuk berperasaan halus dan mudah tanggap. Sastra dapat dilihat dari berbagai aspek. Dari aspek isi, jelas bahwa karya sastra sebagai karya imajinatif tidak lepas dari realitas. Karya sastra merupakan cermin zaman. Berbagai hal yang terjadi pada suatu waktu, baik positif maupun negatif direspon oleh pengarang. Dalam proses penciptaannya, pengarang akan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat itu secara kritis, kemudian mereka mengungkapkannya dalam bentuk yang imajinatif. Ketika seseorang membaca, mendengarkan, atau menonton pikiran dan perasaan diasah. Mereka harus memahami karya karya sastra secara kritis dan komprehensif, menangkap tema dan amanat yang terdapat di dalamnya dan memanfaatkannya. Bersamaan dengan kerja pikiran itu, kepekaan perasaan diasah sehingga condong pada tokoh protogonis dengan karakternya yang baik dan menolak tokoh antagonis yang berkarakter jahat. Apabila sastra diidentifikasi sebagai salah satu karya seni, maka sejarah diidentifikasi sebagai salah satu ilmu sosial. Menurut Kuntowijoyo (1995:17) sejarah adalah rekonstruksi masa lalu, rekonstruksi tentang apa yang dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami manusia. Sejarah sebagai ilmu karena sejarah

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 182 memiliki ciri-ciri keilmiahan seperti sejarah itu empiris, memiliki objek, memiliki teori, memiliki generalisasi, dan memiliki metode. Sejarah juga dapat disebut sebagai seni seperti disebutkan Kuntowijoyo (1995:69), karena sejarah memerlukan intuisi, imajinasi, emosi, dan gaya bahasa. Dalam merekonstruksi masa lalu, sejarawan akan kesulitan tanpa menggunakan intuisi. Merangkai berbagai data, dan menghubungkan berbagai fakta bukan pekerjaan mudah. Sering sejarawan berhenti karena sulit meneruskan deskripsi tentang masa lalu, sehingga ia terus mengotak-atik data tersebut hingga memperoleh intuisi. Perbedaan intuisi sejarawan dengan seniman hanyalah pada dasar apa yang digunakan. Seniman bebas menggunakan cara seperti melamun, membayangkan, dan sebagainya, tetapi sejarawan harus tetap berpegangan kepada fakta. Imajinasi yang digunakan sejarawan, mirip imajinasi seniman. Ketika sejarawan sedang menggambarkan terjadinya peperangan di suatu tempat, tentu akan menggunakan imajinasi bagaimana kondisi tempat peperangan tersebut. Tanpa bisa menggunakan imajinasi, mustahil sejarawan dapat merangkai fakta menjadi hidup. Sejarawan juga menggunakan emosi, untuk mengajak pembaca seolah-olah hadir dalam peristiwa yang ditulis sejarawan. Karena itulah sejarawan juga memerlukan gaya bahasa, sehingga tulisan sejarah selalu hidup. Secara umum pembelajaran sejarah mempunyai maksud seperti yang dikemukakan oleh Garvey dan Krug (1977: 2-6) yakni : 1. to acquire knowledge of historical facts 2. to gain an understanding or appreciation of past events or periods or people 3. to acquire the ability to evaluate and criticize historical writing 4. to learn the techniques of historical research 5. to learn how to write history

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah menyebutkan bahwa Mata pelajaran Sejarah di SMA bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan 2. Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan 3. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau 4. Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang 5. Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 183

Berdasarkan tujuan pendidikan sejarah seperti ditegaskan di atas, sangat nyata bahwa ranah utama pendidikan sejarah adalah untuk membentuk kepribadian siswa dan mengembangkan keilmuan sejarah. Bagaimana sejarah dan sastra dapat membentuk karakter siswa? Karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Pendidikan karakter tidak berbeda dengan pendidikan nilai (Zuchdi, 2008), juga tidak berbeda dengan pendidikan moral. Peran sejarah dan sastra dalam pendidikan karakter dapat dilihat bagaimana proses pendidikan karakter dilakukan. Kirschenbaum dalam Zuchdi (2003:3-5) menjelaskan pendekatan dalam pendidikan nilai dengan metode : 1) Penanaman (Inkulkasi), yang bertolak belakang dengan indoktrinasi. Inkulkasi menitikberatkan pada mengomunikasikan kepercayaan secara logis, memperlakukan orang lain secara adil, menghargai pandangan orang lain, mengakui perbedaan, dan sebagainya. 2) Keteladanan, pendidik harus mampu menempatkan diri sebagai model yang baik dan patut ditiru oleh siswa. Hal ini sinergi dengan tuntutan Undang-undang Guru dan Dosen yang menyaratkan 4 kompetensi guru yakni pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. 3) Fasilitasi. Bagian ini menekankan pemberian kesempatan kepada anak didik untuk mengembangkan kepribadian mereka. Fasilitasi dapat dilakukan dengan melakukan komunikasi aktif dengan siswa, memperjelas pemahaman makna nilai-nilai, mendorong siswa menerima suatu nilai untuk mengamalkan. 4) Pengembangan ketrampilan akademik dan sosial. Ketrampilan yang perlu dikembangkan adalah berfikir kritis, kreatif, berkomunikasi dengan jelas, menyimak, menemukan resolusi konflik sebagai ketrampilan akademik dan ketrampilan sosial. Berdasarkan empat strategi pendidikan nilai yang dikemukakan Kirschenbaum di atas, sejarah dan sastra sangat potensial sebagai wahana pendidikan karakter. Nilai-nilai dan keteladanan yang ada dalam sejarah kehidupan manusia dapat disampaikan melalui wahana sastra. Empat hal yang dijelaskan Kirschenbaum di atas dapat diterapkan dalam penggunaan karya sastra dalam pembelajaran sejarah.

C. Membelajarkan Sejarah Menggunakan Sastra untuk Menanamkan Karakter Dalam sebuah ruang kelas, seorang guru membagikan satu lembar puisi berjudul Kerawang Bekasi, karya Chairil Anwar. Selanjutnya guru berdialog dengan para siswa, “Anak-anak, coba kalian hayati dan resapi puisi di atas. Silahkan salah satu maju ke depan, dan membacakan puisi tersebut!” Kemudian seorang siswa maju dan membacakan puisi di atas. Guru lenajutkan dialog, “Kira-kira apa makna puisi di atas? Bisakah kalian menjelaskan maksud puisi tersebut ditulis? Nilai apa yang kamu dapatkan dari puisi di atas?” Sebagian siswa menebak isi dan maksud puisi di atas, sebagian lain bingung dan sama sekali tidak memahami maksud puisi di atas. Sejenak kelas agak ramai, karena para siswa saling bertanya. Guru kemudian membagikan foto kopi kliping majalah tentang pembantaian Rawa Gede oleh Belanda pada tahun 1947 saat agresi militer Belanda I. Setidaknya 431 penduduk desa Rawagede yang terletak di antara Kerawang dan Bekasi meninggal pada peristiwa tersebut. Kemudian Belanda menyerbu Bekasi yang menyebabkan terjadinya banyak korban.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 184

Peristiwa berdarah terus berlanjut hingga terjadinya penyerbuan ke Rawagede kembali yang menyebabkan puluhan penduduk meninggal dunia. Kliping juga memuat berbagai upaya keluarga korban pembantaian Rawagede menuntut tanggungjawab Pemerintah Belanda hingga pada masa sekarang. Secara berkelompok siswa mendiskusikan hubungan puisi dengan peristiwa sejarah, hingga akhirnya setiap siswa memiliki tafsiran yang beragam tentang isi puisi tersebut. Kemudian guru meminta lagi anak untuk membacakan puisi tersebut. Pasti penghayatannya akan berbeda dibanding pada saat awal sebelum siswa tersebut memahami isi puisi. Pada tahap selanjutnya guru dapat menggunakan berbagai variasi metode pembelajaran berkaitan dengan perjuangan revolusi fisik mempertahankan kedaulatan 1945-1950. Bagaimana perjuangan diplomasi dan bersenjata saling membahu untuk mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan 17 Agustus 1945. Guru dapat melakukan kegiatan inkuiri, bermain peran, diskusi, jigsaw, dan sebagainya. Pembelajaran akan menarik dan bermakna bagi siswa. Kegiatan belajar seperti di atas menunjukkan bagaimana dekatnya hubungan sastra dan sejarah. Dengan satu halaman puisi, siswa mampu memprediksi sebagian kejadian sejarah, dan turut merasakan peristiwa pada masa lampau. Dengan pencarian ilmiah siswa semakin menghayati puisi dan tentunya dengan puisi tersebut siswa semakin simpati dan empati terhadap perjuangan para pahlawan pada masa lalu. Dengan demikian pembelajaran sejarah tidak kering dan membosankan. Contoh penggunaan puisi untuk pembelajaran sejarah seperti di atas menunjukkan bagaimana peranan sastra dalam pembelajaran sejarah. Banyak karya sastra lain yang dapat digunakan guru untuk menjadi media dalam pembelajaran sejarah. Pembelajaran juga dapat menggunakan berbagai variasi metode untuk menggunakan sastra dalam pembelajaran sejarah. Bagaimana menggunakan sastra dalam pembelajaran sejarah dapat digolongkan menjadi dua, yakni sastra sebagai media dan sastra sebagai metode. Pertama, menjadikan sastra sebagai media dalam pembelajaran sejarah dicontohkan dalam penggunaan puisi “Kerawang Bekasi “ karya Chairil Anwar di atas. Puisi yang digunakan dalam pembelajaran seperti contoh di atas menjadi media untuk membantu siswa memahami dan menghayati masa lalu. Menggunakan media untuk memahami masa lalu dalam pembelajaran sejarah, juga dapat dilakukan dengan berbagai bentuk. Misalnya menggunakan kitab, babad, cerpen, novel, dan sebagainya. Menghadirkan berbagai bentuk karya sastra pada masa lalu akan mudah membawa peserta didik memahami konteks kehidupan pada masa tersebut. Guru sejarah juga dapat menggunakan karya sastra masa lalu untuk menggambarkan konteks kehidupan masyarakat masa lalu, misalnya novel karya Marah Rusli yang berjudul Siti Nurbaya, mampu menggambarkan konteks kehidupan sosial masa awal abad XX. Begitulah karya sastra merupakan cerminan jiwa jaman sehingga sangat mudah menjadi media penghubung masa lalu dan masa sekarang. Guru dapat menggunakan berbagai karya sastra setiap periode untuk melukiskan jiwa yang berkecamuk pada masa tersebut. Pada masa pendudukan Jepang, guru dapat menggunakan karya para pujangga yang bernafaskan suasana masa pendudukan Jepang. Pada masa revolusi kemerdekaan, guru dapat menjadikan berbagai karya sastra heroik untuk menggugah emosi siswa, pada masa demokrasi terpimpin guru dapat menjadikan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 185 pertentangan para sastrawan karena perbedaan ideologi pada masa tersebut, dan begitu seterusnya. Karya sastra merupakan ekspresi jiwa pengarang (Faruk, 2010:44), menggunakan berbagai karya sastra yang mewakili jamannya, memudahkan siswa memahami konteks kehidupan masa tersebut, sekaligus mampu melakukan klarifikasi nilai-nilai yang dapat dikembangkan dalam jiwa anak. Sastra apa saja yang dapat digunakan sebagai media dalam pembelajaran sejarah? Pada hakikatnya semua sastra dapat dikembangkan sebagai media pembelajaran sejarah, tetapi apabila mengikuti periodisasi Sastra Indonesia menurut H.B. Jassin dalam Suwardi (2004:19) terdapat dua pembabakan besar sastra Indonesia yakni Sastra Melayu Lama dam Sastra Indonesia Modern. Sastra Melayu lama sebenarnya juga merupakan lukisan sejarah yang dilihat pada masa tersebut. Penulisan babad dan hikayat merupakan bentuk historiografi pada masa tersebut. Pada masa perkembangan Hindu Buddha dan Islam belum ditemukan penulisan sejarah ilmiah. Baru pada masa kolonialisme Barat, penulisan sejarah ilmiah tentang Indonesia dimulai. Sastra Indonesia Modern dapat dibagi dalam beberapa tahap yakni Angkatan 20, Angkatan 33 (Pujangga baru), Angakatan 45, dan Angkatan 66. Masing-masing periodisasi sastra memiliki hubungan erat dengan perkembangan jaman masa sastra tersebut disusun. Baru pada abad XX kegiatan penulisan sejarah Indonesia giat dilakukan, terutama setelah lahirnya para penulis sejarah orang Indonesia. Karya-karya sastra angkatan 20 dan 30 mampu menggambarkan kondidi Indonesia pada masa penjajahan. Berbagai karya sastra pada angkatan 45 banyak menggambarkan suasana revolusi kemerdekaan Indonesia. Demikian halnya dengan berbagai karya sastra angkatan 60, dapat menjadi sarana memahami perkembangan bangsa Indonesia pada masa kemerdekaan. Kedua, menggunakan sastra sebagai metode dalam pembelajaran sejarah. Ide ini didasari ungkapan Kuntowijoyo seperti disebutkan di atas, bahwa hakikatnya sejarah adalah seni, dan sejarah bisa menjadi sastra. Penggunaan sastra sebagai metode dalam pembelajaran sejarah, maksudnya adalah mendorong peserta didik membuat karya sastra atau mengembangkan karya sastra untuk pembelajaran sejarah. Selama ini pembelajaran sejarah sering dianggap membosankan karena terlalu informatif ekspositoris. Persepsi tersebut dapat diubah dengan menjadikan pembelajaran sejarah sebagai suatu hal yang menyenangkan. Sastra adalah bagian suatu hal yang menyenangkan bagi siswa. Karena itu guru dapat memberikan tugas kepada siswa untuk menyusun sastra dalam berbagai bentuk untuk mendorong peserta didik memahami dan menghayati kehidupan pada masa lalu. Contoh sederhana dalam hal ini adalah memberi tugas siswa menyusun puisi, cerpen, novel, naskah drama, dan sebagainya yang menggambarkan kehidupan pada masa lalu. Kebebasan menyusun karya sastra yang berhubungan dengan sejarah masa lalu, akan menjadikan pembelajaran menyenangkan dan bermakna. Sebagai contoh ketika guru membelajarkan tentang peristiwa Rengas Dengklok. Menyusun naskah drama dan memainkan drama tersebut akan melibatkan banyak siswa dalam kegiatan belajar. Dengan melakukan peran yang berbeda-beda, maka siswa akan sangat memahami dan menghayati kejadian pada masa lalu. Metode-metode ini dapat divariasikan dengan berbagai teknik dan metode lainnya, sehingga tujuan pembelajaran yang sesungguhnya dapat tercapai.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 186

D.Kesimpulan Sastra dan sejarah ibarat dua sisi mata uang yang keduanya saling mengisi. Sastra dan sejarah sangat potensial sebagai wahana pendidikan karakter. Berbagai watak manusia yang pantas diteladani dan perlu dihindari muncul dalam berbagai karya sejarah dan sastra. Peranan sastra dalam pembelajaran sangat besar. Sastra dapat ‘menghidupkan’ sejarah kehidupan masa lalu melalui seni dan bahasa. Berbagai karya sastra menunjukkan begitu besarnya kaitan karya sastra dengan jiwa jaman yang sedang berjalan. Dalam pembelajaran sejarah, sastra berperan penting baik sebagai sumber belajar dan metode pembelajaran. Penggunaan karya sastra dalam pembelajaran sejarah menjadikan pembelajaran sejarah bervariasi dan penuh makna. Menggunakan sastra sebagai metode dalam pembelajaran sejarah, juga akan menjadikan pembelajaran sejarah lebih menantang dan mampu membawa peserta didik memasuki relung waktu yang telah lalu. Dengan mempertebal empati dan simpati siswa, maka nilai-nilai kehidupan masa lalu dapat tertanam pada peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA

Darmiyati Zuchdi.(2008). ”Humanisasi Pendidikan” Makalah. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Faruk. (2010). Pengantar Sosiologi Sastra, dari Strukturalisme sampai Post-moderisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Krattwohl, DavidR, Bloom, BenjaminS., & Masia, Betram B., (Eds). (1964). Taxonomi of Educational Objectives Handbook II. Affective Domain. London: Longman Group Garvey, Brian & Mary Krug. (1977). Models of history teaching in the secondary school, Oxford: Oxford University Press Gerlach, Vernon, and Donald P. Ely (1980). Teaching and media a systematic aproach. New Jersey: Prentice-Hall;inc. Haryadi. (1994). Sastra Melayu. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta. Kartodirdjo, Sartono. (1992). Pendekatan ilmu sosial dalam metodologi sejarah. Jakarta: Gramedia Kuntowijoyo. (1994). Metodologi sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana ------. (1995). Pengantar ilmu sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya Lee.P.J (1987). Historical imagination. P.J. Lee, and P.J. Rogers (eds). Learning History.(pp. 154-167) London: Heinemann educational book. Lichtman, Alan J, & Veleire French. (1978). Historian and the living past. Arlington Heights: Harlan Davidson Suwardi. (2004). Sejarah Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media. Widja, I. Gde. (1989). Dasar-dasar pengembangan strategi serta metode pengajaran sejarah. Jakarta: Depdikbud.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 187

TAFSIR ATAS PASAR, PENGAKUAN PARIYEM, DAN GADIS PANTAI UNTUK MEREDEFINISI KONSEP PEMBANGUNAN BANGSA

Oleh: Ratun Untoro56 (Pos-el: [email protected])

Abstrak

Makalah ini merupakan tafsir makna atas tiga buah novel karya tiga pengarang (Pasar karya Koentowijoyo, Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, dan Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer). Ketiga novel tersebut tanpa disadari oleh para pengarangnya telah berdialog mengenai priyayi dan wong cilik. Makalah ini menafsirkan dialog ketiga novel tersebut dengan teori strukturalisme Levi-Strauss. Ketiga novel itu layaknya sebuah fonem dalam ilmu linguistik. Ia akan menjadi bermakna ketika dipasangkan dengan sistem atau elemen yang lain. Tafsir makna berdasarkan struktur ala Levi-Strauss atas ketiga novel tersebut rupanya mampu melihat dengan jernih bagaimana sebenarnya kedudukan priyayi dimata wong cilik dan sebaliknya.

Seperti disarankan oleh Levi-Strauss bahwa berdasarkan struktur kasat mata tersebut, dapat dilihat pula struktur dalamnya (deep structure). Struktur kasat mata adalah hal yang disadari dan struktur dalam adalah nirsadar (unconsciousnes) seperti halnya dalam bahasa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun masyarakat Jawa mempunyai tingakt struktur sosial priyayi dan wong cilik, namun rupanya kebahagiaan seseorang tidak ditentukan oleh tingginya status sosial. Tanpa disadari, kebahagiaan orang Jawa muncul dalam sikap nrimo (menerima apa adanya), namung sadermo nglampahi (hanya sekadar menjalani hidup seperti apa yang digariskan sang Pencipta). Dengan demikian, pangkat, derajat, apalagi materi bukanlah sesuatu yang bisa membahagiakan. Sikap orang Jawa yang terungkap dalam penelitian ini bisa menjadi awal meredefinisi konsep pembangunan.

Kata kunci: priyayi, wong cilik, strukturalisme, pembangunan, bahagia

1. Latar Belakang Gadis Pantai (2003) selanjutnya ditulis GP karya Pramoedya Anata Toer, Pengakuan Pariyem (1994) selanjutnya ditulis PP karya Linus Suryadi Ag, dan Pasar (2002) karya Koentowijoyo adalah tiga buah novel atau cerita tentang hubungan tuan dan hamba yang menarik untuk diteliti. PP dan Pasar bercerita mengenai keunggulan priyayi sedangkan GP sebaliknya. GP seolah-olah menjadi novel pembanding dua novel lainnya. PP dan Pasar menjadi lebih bermakna ketika disandingkan dengan GP, demikian pula sebaliknya. Ketiga cerita yang tertulis oleh orang yang berbeda-beda ini mempunyai relasi timbal balik yang harus diungkap. Ketiga novel ini berdialog panjang mengenai priyayi dan wong cilik. Meskipun ketiga pengarang mungkin tidak pernah bersepakat untuk membuat cerita tentang priyayi dan wong cilik menurut versi dan pandangan masing- masing, tetapi kita sebagai penikmat seni berhak memberikan tafsir ketika selesai membaca ketiga karya tersebut. Dialog ketiga karya sastra tersebut dapat ditarik ‘benang

56 Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara Jalan Diponegoro No.25 Manado

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 188 merah’ dengan menghadirkan relasi-relasi melalui ceriteme-ceriteme yang ada dan menyusunnya secara sintagmatis dan paradigmatic (Ahimsa, 2001:272). Untuk memahami ceriteme-ceriteme mana yang cocok dengan masalah yang diangkat, perlu perhatian khusus pada tokoh-tokoh tertentu agar mampu menampakkan makna-makna yang diharapkan. Dalam PP dan Pasar dapat diketahui bagaimana perilaku priyayi dan bagaimana kawula begitu mengagungkan dan menjadikan perilaku priyayi sebagai model dan standar norma dan niali kehidupan yang baik. Dengan bekal dua cerita di atas kita dapat memahami bagaimana para priyayi menghadapi wong cilik dan bagaimana pengabdian wong cilik kepada priyayi. Namun ketika membaca novel GP, kita akan menghadapi sesuatu yang bertentangan dengan dua bekal yang telah kita miliki. Bekal itu akan dirusak dengan kehadiran seorang bendoro yang rajin ibadah sekaligus sering kawin cerai dan menganggap wong cilik tidak berguna dan tidak berharga. Kehidupan priyayi adalah mengerikan dan lebih ganas dari ganasnya laut. Hal lain yang menarik adalah ketika salah seorang pembantu bendoro, Mardinah, yang sebenarnya adalah anak seorang priyayi dipaksa kawin oleh penduduk dengan Si Dul Gendeng, wong cilik dari pesisir pantai yang malas bekerja. Namun demikian Mardinah merasa senang dan bahagia. Inilah yang membuat GP berbeda dengan dua novel sebelumnya. Untuk mengetahui ‘benang merah’ ketiga novel diatas, makalah ini menerapkan analisis struktural ala Levi’s-Strauss seperti yang elah dicoba oleh Ahimsa (2001) dalam menganalisis Para Priyayi, Bawuk, dan Sri Sumarah.

2. Strukturalisme Levi-Strauss Strukturalisme Lévi-Strauss secara implisit menganggap bahwa teks naratif, misalnya mitos (atau cerita), sejajar atau mirip dengan kalimat berdasarkan atas dua hal. Pertama, teks tersebut adalah kesatuan yang bermakna (meaningful whole), yang dapat dianggap mewujudkan, mengekspresikan, keadaan pemikiran seseorang, seperti halnya sebuah kalimat memperlihatkan atau mengejawantahkan pemikiran seorang pembicara. Kedua, teks tersebut memberikan pengertian bahwa dia diartikulasikan dari bagian- bagian, sebagaimana halnya kalimat-kalimat diartikulasikan oleh kata-kata yang membentuk kalimat tersebut. Sebuah teks merupakan kumpulan peristiwa atau bagian- bagian yang bersama-sama membentuk sebuah cerita atau menampilkan berbagai tokoh dalam gerak. Strukturalisme Lévi-Strauss ini secara implisit menganut pandangan bahwa sebuah cerita, seperti halnya sebuah kalimat, maknanya merupakan hasil dari suatu proses artikulasi (Pettit, 1977:40-43). Mitos tersusun dari satuan-satuan yang disebut mytheme (mythemes) atau gross constituent unit. Setiap mytheme akan terdiri atas satu relasi yang bukan merupakan relasi terisolasi, melainkan satu bundel relasi. Satu bundel relasi adalah relasi-relasi dalam satu kolom yang akan menghasilkan makna jika menetapkan satu bundel relasi dan mengombinasikannya. Dengan kata lain, bila substansi mitos adalah cerita, satuan-satuan yang membentuknya adalah bukan sebagaimana yang terdapat dalam bahasa. Satuan- satuan mitos tersebut tidak dapat ditemukan dalam fonem, morfem, ataupun semem, tetapi pada tataran yang lebih tinggi lagi sehingga untuk mengidentifikasinya dan mengisolasi mytheme yang ada sebaiknya dicari dalam tataran kalimat (Lévi-Strauss, 1963: 206-207).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 189

Analisis struktural tentang struktur ini dibedakan menjadi dua, yakni struktur lahir, struktur luar (surface structure) dan struktur batin, struktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-relasi antarunsur yang dapat dibuat berdasarkan atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut, sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang dibangun berdasarkan atas struktur lahir yang telah dibuat, tetapi tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang dipelajari. Struktur dalam ini dapat disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil ditemukan atau dibangun. Struktur dalam inilah yang lebih tepat disebut sebagai model untuk memahami fenomena yang diteliti karena melalui struktur inilah peneliti kemudian dapat memahami berbagai fenomena budaya yang dipelajarinya (Ahimsa-Putra, 2001:63-66). Relasi-relasi yang berada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan, oposisi biner yang paling tidak memiliki dua pengertian, yakni oposisi biner yang bersifat eksklusif, seperti pada kategori: menikah-tidak menikah dan lulus-tidak lulus; dan oposisi biner yang tidak eksklusif, yang dapat ditemukan dalam berbagai macam kebudayaan, seperti: air-api, gagak-elang, siang-malam, matahari- rembulan, hitam-putih, besar-kecil, dan panjang-pendek. Logikanya, oposisi-oposisi ini memang tidak eksklusif, tetapi dalam konteks yang khusus, dapat pula dikategorikan sebagai oposisi eksklusif, sebagaimana terlihat dalam mitos-mitos yang dianalisis oleh Lévi-Strauss, yang antara lain terlihat dalam Kisah Oedipus. Makalah ini membandingkan tiga novel secara bersama-sama dan masing-masing diperlakukan seperti fonem yang mempunyai arti atau makna saat disandingkan dengan dipasangkan dengan sistem atau elemen yang lain seperti kata /batu/ dan /satu/. Fonem /b/ dan /s/ menjadi sangat jelas maknanya. Fonem-fonem tersebut mempunyai ciri pembeda sehingga masing-masing bisa dikenali dengan ciri pembedanya tersebut. Pada makalah ini, ketiga novel dicari ciri pembedanya sehingga maknanya bisa lebih dijelaskan.

3. Pandangan Tokoh Terhadap Priyayi Beberapa ceriteme yang ada dalam PP, Pasar, dan GP dapat dirangkum dalam latar belakang pandangan tokoh terhadap priyayi. Dari rangkuman ini akan terlihat berbagai persamaan dan perbedaan pandangan sehingga ditemukan ‘benang merah’ di antara ketiga novel. Dalam GP, priyayi sejati menurut keluarga bendoro adalah Bendoro yang justru tidak pernah mengurusi wong cilik, bujang, atau pembantu. Dalam PP, Pariyem adalah pembantu di keluarga priyayi. Kedudukannya sebagai pembantu, babu, disadari dan diterimanya sebagai sebuah kodrat yang harus dijalani dengan sepenuh hati tanpa harus nggresula. Rasa terpanggil dalam pengabdiannya lebih utama ketimbang bandha donya. Kedudukannya dan pandangan wong cilik terhadap priyayi adalah sepenuhnya mengabdi. Pengabdian yang mutlak tanpa mempertimbangkan imbalan. Paijo dalam pasar adalah tukang karcis yang menarik uang dari para pedagang di pasar. Dia adalah satu-satunya pembantu mantri pasar. Bagi Paijo, tingkah laku, ucapan dan pendapat seorang bendoro, seorang priyayi, seorang Pak Mantri adalah baik dan ideal. Hal itu menjadikan ia sebagai priyayi baru, manggantikan Pak Mantri. Menurut Pak Mantri, sebagai priyayi ia harus terlihat tenang, sabar, dan mampu menghadapi segala cobaan.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 190

Pandangan priyayi terhadap dirinya dan hubungannya dengan wong cilik adalah memberi, tetapi terdapat bayang-bayang bahwa pemberian itu dalam rangka mempertahankan martabat kepriyayiannya. Priyayi Priyayi

Memberi Wong cilik Gumpalan ilmu

Gadis Pantai dalam GP adalah anak nelayan yang hidup di pesisir pantai. Dengan modal kecantikan gadis Pantai, orang tuanya menikahkannya dengan seorang bendoro. Perkawinan inipun atas kehendak bendoro setelah melihat kecantikannya. Sebenarnya Gadis Pantai tidak suka dikawinkan dengan bendoro. Perkawinannya dengan bendoro, yang waktu itu digantikan dengan sebilah keris, merupakan awal dari perampasan kebebasannya. Ia tak tahu apa yang ada di hadapannya. Ia hanya tahu: ia kehilangan seluruh hidupnya kadang dalam ketakutan ia bertanya: mengapa tak boleh tinggal di mana ia suka, di antara orang-orang tersayang dan tercinta, di bumi dengan pantai dan ombaknya yang amis. (GP, 2003:12). Penggambaran yang jelas dalam GP adalah bahwa priyayi menginginkan penghormatan dan pengabdian dari wong cilik. Segala hal yang diperbuat dan diberikan kepada wong cilik adalah semata-mata untuk kehidupan priyayi itu sendiri.

Priyayi

memberi Wong cilik

Pariyem, Paijo, dan Gadis Pantai sebagai wong cilik yang berhubungan langsung dengan priyayi mempunyai harapan dan pandangan sendiri-sendiri. Pariyem ingin mengabdi sepenuhnya kepada bendoro tanpa mengharapkan balasan. Paijo ingin menunjukkan bahwa ia setia kepada atasannya. Gadis Pantai yang sebenarnya tidak menyukai kehidupan priyayi berusaha ingin menuruti kehendak orang tuanya agar ia bisa jadi priyayi. Dari uraian tentang pandangan tokoh terhadap priyayi dalam tiga novel di atas kita akan melihat rangkaian berikut.

Pariyem : PP - mengabdi Wong cilik - tidak mengharap balas Paijo : Pasar tidak mengabdi Gadis Pantai : GP …… - ingin jadi priyayi *)

*) menuruti keinginan orang tuanya

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 191

Gadis Pantai : GP …...... …… Hidup sengsara Jadi priyayi Paijo : Pasar Hidup bahagia Pariyem : PP ….. tidak jadi priyayi

Dalam rangkaian di atas kita dapat melihat pasangan oposisi dan elemen yang menyatukannya. Pariyem, Paijo dan Gadis Pantai adalah sama-sama wong cilik. Hal yang menjadikan mereka berbeda (beroposisi) Paijo dan Pariyem bertekad untuk mengabdi kepada priyayi sedangkan Gadis Pantai tidak. Paijo dan Pariyem tidak mengharapkan balas jasa sedangkan Gadis Pantai ingin mendapat perhatian lebih dari priyayi. Sementara pada rangkaian selanjutnya, Paijo dan Gadis Pantai bersatu menjadi priyayi dan beroposisi dengan Pariyem yang tidak menjadi priyayi. Namun, posisi Paijo dan Pariyem bersatu lagi yaitu sama-sama hidup bahagia beroposisi kembali dengan Gadis Pantai yang tidak hidup bahagia.

4. Relasi-Relasi Antartokoh Pariyem sebagai babu bergaul akrab dengan majikannya tanpa meninggalkan batas sopan-santun. Ketika Pariyem dihamili Ario Atmojo, anak majikan, dia merasa bangga dan tidak menuntut dikawini. Anak hasil perbuatan Aria Atmojo pun tinggal di Wonosari. Hal ini dapat dimaknai bahwa anaknya tidak diangkat dalam susunan keluarga priyayi. Meskipun demikian hal itu tidak membuat Pariyem kecewa. Meskipun berbeda cerita, tetapi kejadian yang dialami Pariyem hampir sama dengan yang dialami paijo. Paijo dalam Pasar selalu dimarahi oleh Pak Mantri. Banyak pekerjaan yang telah dilakukannya dianggap salah. Hampir setiap hari Paijo selalu mendapat omelan dan menjadi tumpuan kemarahannya. Namun semua itu diterima Paijo dengan ikhlas sampai akhirnya dia dapat memahami setiap perkataan Pak Mantri bahkan dapat menerapkan dalam pola pikirnya. Hal yang membuat berbeda dengan Pariyem adalah Paijo akhirnya diangkat menjadi priyayi, menggantikan kedudukan Pak Mantri sedangkan Pariyem tidak menjadi Priyayi. Kejadian yang dialami Pariyem dan Paijo itu berlawanan dengan keadaan yang menimpa Gadis Pantai. Gadis Pantai adalah orang yang sama sekali belum mengenal Bendoro. Namum begitu sebelum bertemu ia telah dikawinkan dengan Bendoro meskipun hanya diwakili sebilas keris. Sampai cerita tentang kehidupannya di rumah Bendoro, Gadis Pantai merasa tersiksa. Ketika Gadis Pantai melahirkan, dia dicerai tetapi anaknya diangkat menjadi keluarga priyayi. Perpisahan dengan anaknya ini melengkapi penderitaan Gadis Pantai. Kedua kejadian yang berlawanan tersebut dapat dirangkai berikut.

Pariyem Akrap dengan priyayi ----- Tidak dinikahi Wong cilik hamil Gadis Pantai Tidak kenal dengan priyayi ------dinikahi

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 192

Anak tidak diangkat jadi priyayi ------Kembali bersatu dengan priyayi hamil Anak diangkat jadi priyayi ------Berpisah dengan priyayi

Dialog yang terjadi pada kedua novel adalah pandangan terhadap kehidupan priyayi. PP memandang bahwa kehidupan Priyayi menyenangkan. Sedangkan GP memandang bahwa kehidupan Priyayi sangat tidak mengenakkan. Pandangan ini semakin jelas dengan munculnya tokoh Mardinah yang sangat senang hidup di kalangan wong cilik meskipun ia berasal dari keluarga priyayi. Relasi antara Mardinah dan Gadis Pantai dapat dirangkai sebagai berikut.

Gadis Pantai : wong cilik ---- tidak ingin menikah dengan priyayi menikah Mardinah : priyayi ---- ingin menikah dengan priyayi

Dengan priyayi ----- tidak bahagia menikah Dengan wong cilik ----- bahagia

Kasan Ngali, pedagang kaya yang jelas bukan priyayi mengingat perkataan dan tingkah laku dan pakaian yang tidak rapi (Sartono. 1978:26-56) sebenarnya mempunyai kedudukan sebagai majikan sehubungan dengan buruh-buruhnya. Kedudukannya sebagai majikan hampir mirip dengan keluarga Cokro Sentoso sebagai majikan Pariyem dan Pak Mantri sebagai atasan Paijo. Dengan demikian Kasan Ngali dapat ditempatkan pada posisi luminal antara priyayi dan bukan priyayi. Demikian halnya Paijo. Dia adalah wong cilik yang berkat kepandaiannya diangkat menjadi priyayi. Kebahagiaan Paijo tidak kalah dengan kebahagiaan Mardinah yang turun kelas dari keluarga priyayi menjadi kelas wong cilik. Oleh karenanya kita dapat menempatkan tokoh-tokoh tersebut dalam posisi berikut. Dunia Liminal

Priyayi Wong cilik - Bendoro - Pariyem - Pak Mantri - Kel. Gadis Pantai - Kel. Cokro Sentoso - Dul Gendeng

Paijo, Mardinah, Kasan Ngali

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 193

Berdasarkan ulasan di atas, kita dapat menggunakan model yang ditemukan Levi- Strauss dalam uraiannya tentang segitiga kuliner dan segitiga konsonan-vokal seperti yang telah diterapkan Ahimsa (2001) dalam menganalisis Sri Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi. Pertama kita dapat menempatkan Pariyem yang memandang positif priyayi berlawanan dengan Gadis Pantai yang memandang negatif priyayi. Kedua, kita dapat menempatkan kebahagiaan Paijo yang menjadi priyayi pada struktur dan menempatkan kebahagiaan Mardinah yang menjadi wong cilik dalam antistruktur.

Gadis Pantai (-) (+) Pariyem Paijo (+)

Mardinah (-) Penggabungan dua oposisi berpasangan ini adalah sebagai berikut Paijo (+)

Gadis Pantai (-) Pariyem (+)

Kasan Ngali Mardinah (-)

Paijo naik menjadi priyayi (+), mardinah turun menjadi wong cilik (-) dalam garis vertical kebahagiaan. Sementara itu, Gadis Pantai memandang negatif priyayi (-), Pariyem memandang positif priyayi (+) dalam garis horizontal hubungan dengan priyayi. Kasan Ngali berada di pusat antara priyayi dan wong cilik, antara bahagia dan sedih, antara pandangan negatif dan positif terhadap priyayi.

5. Penutup Dengan menggunakan analisis struktural ala Levi-Strauss, kita dapat menemukan relasi-relasi antartokoh dan dapat memaknai tokoh-tokohnya. Paijo adalah tokoh wong cilik yang akhirnya menjadi priyayi tulen meski ia tidak mempunyai bekal bibit, bebet, dan bobot. Ia menjadi priyayi karena belajar dan menggali ilmu kepriyayian dari Pak Mantri. Sementara itu, Pariyem tidak menjadi priyayi karena memahami posisinya sebagai pelengkap konsep dualisme :bendoro—priyayi. Ia dengan bangga menjadi bagian dari keluarga priyayi tanpa harus menjadi priyayi. Paijo dan Pariyem bahagia menjalani kehidupannya. Tokoh lain yang mengalami kebahagiaan adalah Mardinah, seorang priyayi yang menikah dengan wong cilik, Dul Gendheng. Mardinah bahagia menjadi wong cilik dan melepaskan derajat kepriyayiannya. Hal itu berbeda dengan Gadis Pantai yang menderita saat menjadi priyayi. Kehadiran tokoh-tokoh itu bisa ditafsirkan dan dimaknai bahwa kebahagiaan seseorang tidak ditentukan oleh derajat priyayi atau bukan priyayi, tetapi bagaimana

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 194 orang bisa menjalani kehidupan dengan senang dan seimbang. Itulah makna pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya. Pembangunan bukanlah sekadar pembangunan fisik atau materi, tetapi harus pula menyentuh pembangunan mental dan spiritual. Keseimbangan pembangunan fisik, mental, dan spiritual akan membawa kesejateraan rakyat yang hakiki. Makalah ini telah menemukan konsep hidup orang Jawa yang tidak mengutamakan kehidupan lahiriah, tetapi lebih mengutamakan kesejateraan batin. Oleh karena itu, rupanya kita perlu meredefinisi pembangunan yang tengah berjalan di negeri ini.

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press Kuntowijoyo. 2002. Pasar. Yogyakarta: Bentang Budaya Levi-Strauss, C. 1963. Structural Anthropology. New York: Basic Books Pettit, L. 1977. The Concept of Structuralism. Berkeley University of California Press Suryadi AG, Linus. 1994. Pengakuan Pariyem. Yogyakarta: Sinar Harapan Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 195

KARYA SASTRA SEBAGAI MEDIA PEMBANGUN BUDAYA BANGSA

Umi Faizah, M.Pd. Universitas Muhammadiyah Purworejo

Abstrak Para sastrawan yang telah bekerja dengan penanya telah menuai sukses besar dengan berbagai karya. Sebut saja novelis Jenar Maesya Ayu, Pramoedya Ananta Toer, N.H Dini yang sukses mengibarkan bendera karyanya hanya karena goresan tinta emasnya. Bukan hal mustahil jika muatan karya sastra yang diajarkan baik di sekolah maupun perguruan tinggi utamannya program studi sastra dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia mengacu pada hasil akhir karya sastra. Tidak hanya novel yang mendapat perhatian serius bagi para siswa dan mahasiswa, tetapi juga cerpen, drama, serta puisi yang selalu digarap dan mendapat perhatian serius ketika mereka mendapatkan materi tentang sastra. Sebuah mimpi yang tidak muluk-muluk jika sebagai pengajar sastra menginginkan peserta didiknya mampu menelurkan karya sastra itu sendiri, bukan hanya mengkonsumsinya. Materi sastra diharapkan bisa membina peserta didik untuk mampu bersaing dalam pasar global. Berkaca dari dunia perfilman ternyata lagi-lagi sukses dari sastra. Hanung Bramantyo sebagai sutradara ternama pun banyak memutar film yang diilhami dari novel. Karya spektakuler Hanung ditunjukkan lewat film AYAT-AYAT CINTA (2008), sebuah film religi yang diangkat dari novel sukses karya Habiburrahman El Shirazy dengan judul yang sama. Sama halnya pada tahun ini (2012), film “Perahu Kertas” yang diadaptasi dari novel karya Dewi Lestari (Dee) itu juga melibatkan sutradara Hanung Bramantyo. “Perahu Kertas” mendapat tempat khusus dalam pemasaran, karena menjadi film yang ditunggu-tunggu, menyusul novelnya yang sukses di pasaran. Kirannya sebuah solusi untuk menggugah prestasi anak bangsa dalam dunia sastra harus dimulai di meja pendidikan. Bayangkan saja, ternyata berdasarkan survei bahwa penulis-penulis sastra andal dan produser film itu sedikit yang berlatar belakang pendidikan sastra. Bayangkan saja sebenarnya betapa kompleksnya mata kuliah sastra yang telah diajarkan dalam perkulihan, mulai dari teori sastra, sajarah sastra, kritik sastra, apresiasi puisi, apresiasi prosa, apresiasi drama, pengkajian puisi, pengkajian prosa, pengkajian drama, bahkan penyutradaraan. Nah, melalui kurikulum yang sudah disiapkan pada program studi sastra maupun pendidikan bahasa dan sastra yang sebenarnya teori-teori tentang sastra jauh lebih dikuasai dibanding yang tidak megenyam pendidikan sastra. Permasalahannya adalah mengapa setelah mendapat berbagai ilmu sastra, peserta didik tidak dapat menelurkan karyannya yang sukses di pasaran? Pembenahan yang perlu dilakukan adalah dengan memberikan rangsangan kepada mahasiswa sastra untuk berkarya dan berusaha menerbitkannya melalui penerbit terpercaya, tentunya harus melalui seleksi dari penerbit itu sendiri, kemudian melalui redaksi koran, tabloid dan majalah. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendukung kualitas menulis sastra, antara lain: seorang penulis harus mempersiapkan dirinya; selanjutnya memfokuskan diri pada genre yang akan ditulis (puisi, drama, cerpen, atau novel); setelah karya terbentuk segeralah mencari akses penerbit atau dilombakan. Dengan demikian pembelajaran sastra di meja pendidikan akan meninggalkan bekas, yakni menggiring pengarang-pengarang muda yang digemari masyarakat dan pada akhirnya kualitas sastra anak negeri ini bisa diberangkatkan melalui pendidikan.

I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra baik novel, drama, maupun puisi ditulis agar dapat dinikmati pembaca. Pembaca diajak memasuki dunia imajinasi, kreasi dan interpretasi yang dimanifestasikan dalam bentuk kata-kata.Penulis yang berkecimpung dalam dunia sastra harus memiliki daya kreatif dalam menyusun kata-kata yang biasa menjadi bermakna luar biasa. Melalui cerita yang ada di dalamnya, baik novel, drama maupun puisi mengisahkan sebuah interaksi yang sesungguhnya antara pengarang dengan pembaca yang hiburan tersendiri. Karya sastra selain berguna untuk hiburan, juga banyak manfaat lain yang dapat dipetik. Semakin banyak nilai pendidikan, moral dan atau agama

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 196 yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, semakin tinggi pula nilai karya sastra tersebut. Nilai pendidikan, moral, dan agama yang tertuang dalam karya sastra tersebut dapat dijadikan contoh yang baik bagi pembaca, karena karya sastra tersebut bermuatan karakter dan pendidikan. Berkaca dari hasil kajian sastra dalam pendidikan kirannya sebuah solusi untuk menggugah prestasi anak bangsa dalam dunia sastra harus dimulai di meja pendidikan. Bayangkan saja, ternyata berdasarkan survei bahwa penulis-penulis sastra andal dan produser film itu sedikit yang berlatar belakang pendidikan sastra. Bayangkan saja sebenarnya betapa kompleksnya mata kuliah sastra yang telah diajarkan dalam perkulihan, mulai dari teori sastra, sajarah sastra, kritik sastra, apresiasi puisi, apresiasi prosa, apresiasi drama, pengkajian puisi, pengkajian prosa, pengkajian drama, bahkan penyutradaraan. Nah, melalui kurikulum yang sudah disiapkan pada program studi sastra maupun pendidikan bahasa dan sastra yang sebenarnya teori-teori tentang sastra jauh lebih dikuasai dibanding yang tidak megenyam pendidikan sastra. Permasalahannya adalah mengapa setelah mendapat berbagai ilmu sastra, peserta didik tidak dapat menelurkan karyannya yang sukses di pasaran? Pembenahan yang perlu dilakukan adalah dengan memberikan rangsangan kepada mahasiswa sastra untuk berkarya dan berusaha menerbitkannya melalui penerbit terpercaya, tentunya harus melalui seleksi dari penerbit itu sendiri, kemudian melalui redaksi koran, tabloid dan majalah. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendukung kualitas menulis sastra, antara lain: seorang penulis harus mempersiapkan dirinya; selanjutnya memfokuskan diri pada genre yang akan ditulis (puisi, drama, cerpen, atau novel); setelah karya terbentuk segeralah mencari akses penerbit atau dilombakan. Dengan demikian pembelajaran sastra di meja pendidikan akan meninggalkan bekas, yakni menggiring pengarang-pengarang muda yang digemari masyarakat dan pada akhirnya kualitas sastra anak negeri ini bisa diberangkatkan melalui pendidikan. Para peserta didik harus terus diberikan motivasi dalam menulis dan mempublikasikan hasil tulisannya. Perlu adanya contoh konkret dari para praktisi yang berkiprah dalam dunia sastra, selanjutnya layak disebut sastrawan. Para sastrawan yang telah bekerja dengan penanya telah menuai sukses besar dengan berbagai karya. Sebut saja novelis Jenar Maesya Ayu, Pramoedya Ananta Toer, N.H Dini yang sukses mengibarkan bendera karyanya hanya karena goresan tinta emasnya. Bukan hal mustahil jika muatan karya sastra yang diajarkan baik di sekolah maupun perguruan tinggi utamannya program studi sastra dan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia mengacu pada hasil akhir karya sastra. Tidak hanya novel yang mendapat perhatian serius bagi para siswa dan mahasiswa, tetapi juga cerpen, drama, serta puisi yang selalu digarap dan mendapat perhatian serius ketika mereka mendapatkan materi tentang sastra. Sebuah mimpi yang tidak muluk-muluk jika sebagai pengajar sastra menginginkan peserta didiknya mampu menelurkan karya sastra itu sendiri, bukan hanya mengkonsumsinya. Materi sastra diharapkan bisa membina peserta didik untuk mampu bersaing dalam pasar global. Berkaca dari dunia perfilman ternyata lagi-lagi sukses dari sastra. Hanung Bramantyo sebagai sutradara ternama pun banyak memutar film yang diilhami dari novel. Karya spektakuler Hanung ditunjukkan lewat film AYAT-AYAT CINTA (2008), sebuah film religi yang diangkat dari novel sukses karya Habiburrahman El Shirazy dengan judul yang

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 197 sama. Sama halnya pada tahun ini (2012), film “Perahu Kertas” yang diadaptasi dari novel karya Dewi Lestari (Dee) itu juga melibatkan sutradara Hanung Bramantyo. “Perahu Kertas” mendapat tempat khusus dalam pemasaran, karena menjadi film yang ditunggu- tunggu, menyusul novelnya yang sukses di pasaran. Nah, berdasarkan realita-realita tersebut, mari refleksi dan mencari solusi bagaimana caranya agar peserta didik kita mampu menghasilkan karya yang dicintai dan diminati masyarakat.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimakah cara menumbuhkan sikap cinta terhadap sastra pada mahasiswa? 2. Bagaimakah cara mengembangkan kreativitas peserta didik (mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia) dalam menelurkan karya sastra?

C. Tujuan 1. mendeskripsikan cara menumbuhkan sikap cinta terhadap sastra pada mahasiswa; 2. mendeskripsikan cara mengembangkan kreatifitas peserta didik (mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia) dalam menelurkan karya sastra.

II. PEMBAHASAN 1. Cara Menumbuhkan Sikap Cinta Terhadap Sastra Sikap-sikap yang selayaknya ditanamkan kepada mahasiswa sastra sebelum memulai menulis fiksi adalah (1) menumbuhkan bahwa betapa hebatnya sebuah karya sastra yang cara penulisan unsur-unsurnya tidak melalui ketepatan kaidah bahasa; (2) berusaha menggali potensi dalam penulisan puisi, drama, dan novel; (3) memahami secara utuh pengertian dan spesifikasi karya sastra. Kekuatan menulis fiksi terletak pada narasinya. Di dalam menulis, kita bisa memilih apakah narasi yang bergerak ke depan dengan lurus-lurus, yang menurut pakar disebut dengan alur linier atau alur melingkar baik puisi, drama, dan novel. Hal lain dalam rangka menumbuhkan budaya menulis sastra adalah menghadirkan semangat dalam rangka penulisan yang sekaligus merupakan konsekuensi dari sikap kreatif, yang dikatakan oleh Nadiak (1983: 11) sama halnya dengan memelihara bayi yang tidak pernah dewasa karena membutuhkan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa. Motivasi dalam menulis juga tidak kalah menarik untuk terus disiangi. Beberapa alasan yang mendorong seseorang menulis, yaitu alasan atau motivasi tugas, motivasi komersil dan motivasi intelektual (Yudiono, 1984: 6).

(a) Puisi Coleridge dan Pradopo (1993) mengemukakan bahwa puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur yang lain sangat erat hubungannya, dan sebagainya. Selanjutnya Carlyle (1993) mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, katakata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yakni dengan mempergunakan orkestra bunyi.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 198

Berdasarkan pendapat tentang pengertian puisi di atas dapat diambil simpulan bahwa puisi merupakan sarana untuk mengungkapkan berbagai perasaan, pengalaman, kritikan, dan juga harapan yang ditulis secara sistematis dengan bahasa yang ekspresif dan imajinatif sehingga menimbulkan serangkaian bunyi yang merdu. Penugasan kepada mahasiswa selayaknya mengarah pada hasil karya puisi yang dapat dikirimkan ke penerbit, majalah, tabloid dan surat kabar. Dalam menyusun dan membuat kata pada puisi hendaklah mempunyai hasrat yang mencerminkan rasa dan jiwa sehingga menjadi representasi dari setiap kata yang lahir dari jiwa dan bermakna puitis sekaligus estetis (Matroni el-Moezany, 2012). Puisi berikut adalah hasil karya mahasiswa semester III PBSI UMP.

RATAP HAMPA

Tak ada yang menatap hari ini Ada,,, pada,,,dan selalu bersih tak tergores Sucinya kertas putih berubah bergaris dan bertulis Otak, kosong, isi Bergaris menjadi ilmu Tertulis dalam ilusi, pergi? Lalu ada yang menjadi gila Berkaca pada keindahan mala petaka Bergulat pada bayang api neraka Bercermin pada keindahan bangkai Kebimbangan yang terus bergulir, mengukir Mengalir tanpa batas, tanpa harapan Setapak terlipat pada angan Sembari menengadahkan cinta Pada yang di atas, pada yang di bawah… Tetapi tidak temukan apa-apa

(b) Novel Karya sastra termasuk novel merupakan hasil ciptaan manusia yang berasal dari imajinasi pikiran pengarang kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Karya sastra menampilkan gambaran kehidupan sosial yang nyata di dalam masyarakat. Karya sastra merupakan hasil perpaduan harmonis antara kerja perasaan dan pikiran. Selanjutnya karya tidak hanya mementingkan isi, juga tidak hanya mengutamakan bentuk. Karya sastra diciptakan pengarang bukan sekadar untuk menghibur, melainkan juga untuk menyampaikan nasihat-nasihat pendidikan. Sebagaimana diungkapkan Nurgiyantoro ( 2010: 31) novel dibangun dari sejumlah unsur, dan setiap unsur saling berhubungan dan saling menentukan, yang kesemuanya itu akan menyebabkan novel tersebut menjadi sebuah karya yang bermakna hidup. Berikut adalah cuplikan novel mahasiswa semester IV PBSI UMP.

“Dalam diamku hanya bisa bergumam, kenapa saya tidak bisa semenarik mereka, bisa bercanda bareng, janjian pulang bersama.Oh..apa yang salah dengan diriku ini Tuhan,

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 199 mengapa aku tak dapat mengalirkan energi dan darahku untuk sekedar bercanda dengan teman-teman dengan menyenangkan. Lantas aku berpikir, barangkali aku menyebalkan, pendiam, penyendiri dan pasti siapa mau menghardikku. Sungguh kerdil (Azimat Berduri, 2012: 1).

(c) Drama Film merupakan bagian dari drama. Dalam film terdapat unsur intrinsik seperti halnya dalam drama yang terdiri dari tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, amanat, dialog dan akting. Namun, terdapat perbedaan antara keduanya, yaitu dalam cara pementasannya. Drama dipentaskan secara lansung di atas panggung dan menggunakan properti buatan sedangkan film dipentaskan di layar kaca dan menggunakan properti yang sudah ada dalam kehidupan nyata. Menurut Herman J. Waluyo (2003:158) dalam bukunya Drama Teori dan Pengajarannya, drama bermanfaat untuk: a. dapat membantu siswa dalam pemahaman dan penggunaan bahasa (untuk berkomunikasi) b. melatih keterampilan membaca (bentuk teks) c. melatih keterampilan menyimak (bentuk pementasan) d. melatih keterampilan menulis (resensi naskah drama, resensi pementasan drama) e. melatih wacana (melakukan pementasan drama). Cuplikan drama berikut adalah karya mahasiswa semester VI PBSI UMP.

KUPU-KUPU KUNING

DI SEBUAH RUMAH SEDERHANA, TERJADI PERCAKAPAN ANTARA ANAK DENGAN IBUNYA) Muntaha : “Mbok…. Simbok….!aku pulang….mbok…! Simbok : “ Oalah koe to le….simbok seneng banget koe biso mulih. Muntaha : “ Iya mbok, saya juga senang bisa bertemu ibu lagi setelah satu semester ini mbok ! Simbok : “ Rasah nganngo bahasa Indonesia, aku ora ngerti karepmu! Muntaha : “Nah, ini …ini yang menjadi kelemahan orang Indonesia, tidak mau mendengar, bahkan memahami bahasanya sendiri.Piye to mbok!!Bisa saja nanti bahasa kita di klaim oleh Negara lain”. Simbok : “ Ya udah!. Sana makan dulu kamu! Muntaha :”Mbok!bapak ke mana mbok!O ya mbok kapan mbak Rini pulang? Simbok : “ kamu..pertanyaan satu belum dijawab sudah tanya lagi.” Bapakmu lagi nggarap sawah punya pakdemu. Mbak ayumu jare kontrak kerjane diperpanjang. Kemarin mbakyumu nelpon lewat Siti anake manten lurah kae!Jare durung biso mulih mergo gaweane apik njur juragane njaluk diperpanjang”. Kenapa to kok nanya mbakyumu, mesti arep njaluk duit kiriman yo?” Muntaha ::weh enak aja. Sekarang aku nyambi kerja yen ora ono kuliah. Jadi pegawai SPBU dengan sistem sif, mbok! Simbok : Kerjo opo kui?

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 200

Muntaha : Itu lo mbok, ngisi bensin motor dan mobil yang bangunannya besar. Simbok : Oalah, itu to! Aku tahu, eh ngomong-ngomong kamu sering curang ya? Ujare yen dadi pengisi bensin kui wonge do cepet sugih mergone carane ora halal. Simbok pesene sing ngati-ati, ojo tiru kancane sing ora bener!

Petikan dan cuplikan karya sastra di atas masih dalam taraf latihan yang harus terus dipupuk agar polesan-polesan diksi serta alur cerita semakin baik lagi.

2. Cara Mengembangkan Kreatifitas Peserta Didik (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) dalam Menelurkan Karya Sastra Meminjam pendapat Suparno dan Mohammad Yunus (2008: 1.14) menulis merupakan serangkaian aktivitas yang terjadi dan melibatkan beberapa tahap, yaitu tahap prapenulisan (persiapan), tahap penulisan (pengembangan isi karangan), dan tahap pasca penulisan (telaah dan revisi penyempurnaan tulisan). Kreativitas yang harus dimunculkan kepada mahasiswa adalah dengan cara menjalin kerja sama dengan penerbit utuk mengorbitkan karya dari insan terdidik, mengirimkan karya sastra pada surat kabar tertentu, dan selanjutnya dapat mengikutkan karya mahasiswa dalam berbagai kompetisi atau perlombaan.

(1) Tahap Pra-penulisan Seperti halnya orang yang sedang berolahraga pemanasan perlu dilakukan, begitu pula dengan menulis. Sebenarnya, hampir semua orang mengalami fase ini dalam mengarang. Untuk menulis yang sederhana, keberadaan fase ini tidak terasa, tetapi ketika menulis sesuatu yang relatif kompleks dan serius, fase persiapan ini terasa dan perlu. Umumnya penulis, terlebih penulis pemula seperti mahasiswa belum memiliki pengetahuan atau ide yang benar-benar lengkap, siap, dan tersusun secara sistematis mengenai topik yang akan ditulisnya. Penulis perlu mencari tambahan informasi, memilih dan mengolahnya, serta mensistematikannya agar hasil tulisannya tajam, tidak dangkal, kaya, tidak kering, teratur, dan enak dibaca. Pada fase penulisan ini, terdapat aktivitas memilih topik, menetapkan tujuan dan sasaran, mengumpulkan bahan atau informasi yang diperlukan, serta mengorganisasikan ide atau gagasan. Penulis pemula perlu dihargai seperti apa pun bentuk tulisannya agar lebih produktif dalam menulis. Sepantasnya, dosen memberi pujian, ucapan selamat, atau bahkan hadiah atas karyanya itu. a) Menentukan topik Topik adalah pokok persoalan atau permasalahan yang menjiwai seluruh karangan. Ada beberapa pertanyaan yang dapat digunakan untuk mencari topik,misalnya “Saya mau menulis apa?”, “Apa yang akan saya tulis?”, “Tulisan saya berbicara tentang apa?”. Penulis pemula seperti mahasiswa sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan topik yang pas. Masalah yang sering muncul dalam memilih atau menentukan topik diantaranya sebagai berikut. 1) Terlalu banyak topik yang dipilih, semua topik menarik dan cukup dikenali.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 201

Untuk mengatasi hal itu, hendaknya memilih topik yang sesuai dengan maksud dan tujuan menulis.Sebaliknya, banyak topik pilihan dan semua topik menarik, tetapi pengetahuan tentang topik-topik itu sedikit. Untuk mengatasinya, hendaknya memilih topik yang paling dikuasai, paling mudah dicari informasi pendukungnya, serta paling sesuai dengan tujuan seseorang menulis.

2) Tidak memiliki ide sama sekali tentang topik yang menarik hati penulis. Sebenarnya, kasus seperti ini jarang terjadi karena jika seseorang ingin menulis lazimnya telah memiliki ide tantang tulisannya. Persoalannya, wawasan topik itu terlalu umum atau terlalu sempit sehingga kesulitan mencari arah atau fokus dari ide tersebut. Untuk mengatasi hal itu, penulis dapat berdiskusi atau meminta saran dari orang lain, membaca referensi, melakukan refleksi atau pengamatan.

3) Terlalu ambisius sehingga jangkauan topik yang dipilih terlalu luas. Kasus ini kerap menghinggapi penulis pemula. Begitu banyak hal yang ingin dicakup, dan dikupas dalam tulisannya, sedangkan waktu, pengetahuan, dan referensi yang dimilikinya sangat terbatas. Di sini, penulis dituntut untuk pandai mengendalikan diri, jika tidak maka yang dihasilkannya akan cenderung dangkal. Topik merupakan persoalan yang menjiwai isi karangan yang mempertautkan seluruh bagian atau ide karangan yang menjadi satu keutuhan. Tanpa topik yang jelas maka isi karangan pun akan kabur fokusnya. b) Mempertimbangkan maksud atau tujuan penulisan Setelah mendapatkan topik yang baik, langkah selanjutnya adalah menentukan maksud dan tujuan penulisan. Untuk membantu merumuskan tujuan, penulis dapat bertanya kepada dirinya sendiri, “Mengapa saya menulis karangan dengan topik ini?”, “Dalam rangka apa saya menulis topik ini?” Tujuan dalam konteks ini adalah tujuan mengarang, seperti menghibur, memberitahu atau menginformasikan, mengklarifikasiatau membuktikan, membujuk dan lain sebagainya. Tujuan penulisan ini perlu diperhatikan selama penulisan berlangsung agar misi karangan tersampaikan dengan baik karena tujuan akan mempengaruhi corak (genre) dan bentuk karangan, gaya penyampaian, serta tingkat kerincian isi karangan. c) Memperhatikan sasaran karangan (pembaca) Agar isi tulisan sampai kepada pembaca, penulis harus memperhatikan siapa yang akan membaca tulisan itu, bagaimana level pendidikan status sosialnya, serta apa yang diperlukan. Dengan kata lain, penulis harus memperhatikan dan menyesuaikan tulisannya dengan level sosial, tingkat pengalaman, pengetahuan, dan kebutuhan pembaca. Britton menyatakan bahwa keberhasilan menulis dipengaruhi oleh ketepatan pemahaman penulis terhadap pembaca tulisannya. Kemampuan ini memungkinkan penulis untuk memilih informasi serta cara penyajian yang sesuai. Alasan ini pula yang mendorong penulis berulang-ulang meminta orang lain membaca tulisannya dan memperbaikinya.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 202 d) Mengumpulkan informasi pendukung Ketika akan menulis, penulis tidak selalu memiliki bahan dan informasi yang benar-benar siap dan lengkap. Oleh karena itu, penulis perlu mencari, mengumpulkan, dan memilih informasi yang dapat mendukung, memperluas, memperdalam, dan memperkaya isi tulisannya .Tanpa pengetahuan dan wawasan yang memadai, tulisan akan dangkal dan kurang bermakna sehingga penelusuran dan pengumpulan informasi sebagai bahan tulisan sangat diperlukan.Pengumpulan informasi itu dapat dilakukan sebelum, sewaktu, atau sesudah penulisan terjadi. Meskipun demikian, akan lebih baik jika informasi yang relevan telah terkumpul secukupnya sebelum menulis sehingga proses penulisan tidak banyak terganggu . e) Mengorganisasikan ide dan informasi Setelah memilih topik, menentukan tujuan dan corak wacana, mempertimbangkan sasaran karangan, mengumpulkan informasi pendukung maka langkah selanjutnya adalah mengorganisasikan atau menata ide-ide karangan agar menjadi saling bertaut, runtut, dan padu. Hasil pengorganisasian ide-ide itu disebut kerangka karangan atau ragangan. Ide dapat diperoleh dari berbagai sudut pandang, sesuai dengan pendapat Maskun Iskandar dari Lembaga pers Dr. Soetomo Jakarta (dalam Romli, 2003:48). Sumber ide yang dapat ditangkap oleh mahasiswa antara lain dari bacaan, pengamatan, pengalaman, pendapat, obrolan, pengetahuan, perasaan, keinginan, dan tontonan.

2) Tahap Penulisan Pada saat mengembangkan setiap ide, penulis dituntut untuk mengambil keputusan, antara lain: (1) keputusan tentang kedalaman serta keluasan isi, (2) jenis informasi yang akan disajikan, (3) gaya bahasa dan cara penyampaian (pemilihan kata, rima, irama, ritme, dan makna). Keputusan itu harus selaras dengan topik, tujuan, corak karangan, dan pembaca karangan.Secara tegas dikemukakan oleh Margontoro (2002:v) bahwa dalam penulisan karya sastra mengandung unsur tidak perdiktabel, artinya isinya tidak dapat langsung ditebak oleh pembaca ketika pembaca melihat judulnya. Tambunan (1982: 65) berpendapat bahwa syarat menulis judul antara lain (1) akurat, (2) menarik, (3) pasti atau tepat sasaran, (4) komunikatif, (5) pendek, tetapi skopnya luas, (6) gayanya menarik, dan (7) mengandung selera dan memegang unsur kesatuan. Tahap penulisan bagi pemula sebaiknya tidak perlu terlalu lama dalam memikirkannya. Langsung tuliskan apa yang ada di pikiran dengan gaya bebas seperti ketika kita menulis surat cinta, buku harian, menulis status pada facebook yang mengalir tanpa beban. Seperti ungkapan James G. Robbins dan Barbara S. Jones (dalam Romli, 2003: 52) yakni jangan menunggu sampai menemukan tulisan yang sempurna, berangkatlah dari tulisan yang kacau balau.

3) Tahap Pascapenulisan Tahap ini merupakan penghalusan dan penyempurnaan karya yang dihasilkan. Kegiatannya terdiri atas penyuntingan dan perbaikan (revisi), saling bertegur sapa tentang ilmu pengetahuan dengan orang lain atau teman sejawat. Defelice, proet, Gill, serta Kemnitz menyamakan pengertian baik penyuntingan atau pun revisi mengacu pada

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 203 kegiatan pemeriksaan, membaca ulang, serta memperbaiki unsur mekanik dan isi karangan. Penyuntingan di sini diartikan sebagai kegiatan membaca ulang suatu karangan dengan maksud untuk merasakan, menilai dan memeriksa baik unsur mekanik maupun isi karangan. Tujuannya adalah untuk menemukan atau memperoleh informasi tentang unsur-unsur karangan yang perlu disempurnakan. Kegiatan ini dapat dikolaborasikan dengan teman sejawat. Berdasarkan hasil penyuntingan itulah, kegiatan revisi atau perbaikan dilakukan. Kegiatan revisi itu dapat berupa penambahan, penggantian, penghilangan, atau pemberian komentar. Kegiatan penyuntingan dan perbaikan tulisan fiksi (puisi, drama dan novel) dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1) Membaca keseluruhan tulisan. 2) Menandai hal-hal yang perlu diperbaiki, atau memberikan catatan bila ada hal-hal yang harus diganti, ditambahkan dan disempurnakan. 3) Melakukan perbaikan sesuai dengan temuan saat penyuntingan.

III. SIMPULAN Berangkat dari uraian di atas, dapat disimpulkan solusi untuk menggugah prestasi anak bangsa dalam dunia sastra harus dimulai di meja pendidikan dengan: 1. Menumbuhkan Sikap Cinta terhadap Sastra Sikap-sikap yang selayaknya ditanamkan kepada mahasiswa sastra sebelum memulai menulis fiksi adalah (1) menumbuhkan bahwa betapa hebatnya sebuah karya sastra yang cara penulisan unsur-unsurnya tidak melalui ketepatan kaidah bahasa; (2) berusaha menggali potensi dalam penulisan puisi, drama, dan novel; (3) memahami secara utuh pengertian dan spesifikasi karya sastra. 2. Mengembangkan Kreativitas Peserta Didik (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) dalam Menelurkan Karya Sastra Kreativitas yang harus dimunculkan kepada mahasiswa adalah dengan cara menjalin kerja sama dengan penerbit utuk mengorbitkan karya dari insan terdidik, mengirimkan karya sastra pada surat kabar tertentu, dan selanjutnya dapat mengikutkan mahasiswa dalam berbagai kompetisi atau perlombaan.Melakukan kegiatan penyuntingan dan perbaikan tulisan fiksi (puisi, drama dan novel) dapat dilakukan yakni dengan membaca keseluruhan karangan, menandai hal-hal yang perlu diperbaiki, atau memberikan catatan bila ada hal-hal yang harus diganti, ditambahkan dan disempurnakan, dan melakukan perbaikan sesuai dengan temuan saat penyuntingan.

DAFTAR PUSTAKA

El-Moezany, Matroni. 2012. Suara Merdeka. Edisi, Minggu 14 Oktober 2012. Margontoro, Y.B. (e.d) 2002. Menulis itu Panggilan. Yogyakarta: Media Pressido. Nadiak, Wilson. 1983. Bagaimana Menjadi Penulis yang Sukses. Bandung: Sinar Baru. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 204

Romli, Asep samsul M. 2003. Lincah Menulis Pandai Berbicara: Panduan Ringkas Menulis Artikel dan Teknik Berpidato di depan Umum. Bandung: Nuansa Cendekia. Suparno dan Muhammad Yunus. 2008. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka. Tambunan, E.H. 1982. Dasar-dasar Penulisan Berita dan Teknik Mengarang. Bandung: Patmo. Waluyo, Herman J. 2003. Drama - Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia. Yudiono K.S. 1984. Bahasa Indonesia untuk Penulisan Ilmiah. Semarang: Universitas Diponegoro.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 205

Refleksi dan Prediksi Nilai-nilai Kemanusiaan dalam Gadis Pantai dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Karya Pramoedya Ananta Toer: Menuju Masyarakat yang Humanis

I.B. Putera Manuaba Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya e-mail: [email protected]

Abstrak Dalam keseluruhan novel Pramoedya Ananta Toer, salah satu tipologi penting yang mewarnai karya-karyanya adalah kuatnya pencarian nilai-nilai kemanusiaan, yang terutama direfleksikan melalui kegetiran, pergulatan, dan perlawanan yang dialami tokoh-tokoh utamanya yang hidup tertindas. Dalam karya-karya Pramoedya yang diarusi aliran realisme, di dalamnya berkisah soal pembelengguan hidup, baik yang dialami sendiri maupun yang diamatinya terjadi pada orang-orang yang ada di dalam lingkungan masyarakatnya. Kendatipun Toer berkisah yang diangkat dari kondisi sosial lingkungannya, namun pengarang tidaklah berkisah terbatas dalam konteks itu saja. Melalui penulisan novel-novel yang kisahnya diangkat dari konteks kondisi sosialnya, pengarang menggagas soal kemanusiaan universal yang telah, sedang, dan akan dialami manusia. Gadis Pantai dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu merupakan dua karya penting Toer yang ditulis dari sebuah keprihatinan mendalam terhadap pendegradasian nilai-nilai kemanusiaan. Di dalam dua karya ini, ia merefleksikan betapa kekerasan dan kekejaman telah menindas kemanusiaan orang- orang yang tak berdaya, yang adalah warga masyarakat dan bangsanya sendiri. Melalui dua karya ini, Toer menyajikan realitas sosial kekerasan dan kekejaman atas kemanusiaan. Bagi pembaca siapa pun yang sempat membaca, akan tersentuh rasa kemanusiaannya bahwa betapa kekerasan dan kekejaman itu dapat menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan, dan mengoyak hak hidup manusia. Dua karya itu sangat keras menentang pendegradasian kemanusiaan yang menindas harkat dan martabat manusia. Kedua karya diciptakannya sebagai sebuah pencarian nilai-nilai kemanusiaan, yang apabila dihayati masyarakat dapat menjadikannya lebih berkemanusiaan dan beradab. Pesan kuat yang terimplisit dalam kedua karya ini adalah sebuah kemajuan masyarakat dan bangsa semestinya ditandai dengan semakin tingginya penghargaan atas kemanusiaan. Kekuasaan yang dipegang oleh siapa pun yang berkuasa bukanlah untuk mendegradasi dan menguasai rakyat atau masyarakatnya sekehendak hati, tetapi justru semestinya digunakan sebagai kewajiban dan kesempatan emas untuk memuliakan kemanusiaan agar masyarakat dan bangsa menjadi beradab. Gadis Pantai dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang ditulis pada masa Orde Baru ini, di samping merefleksikan fakta mental pada masa itu yang sarat diwarnai kekerasan dan kekejaman kemanusiaan, juga menghadirkan suatu prediksi dan universalitas nilai-nilai kemanusiaan yang berguna dalam kehidupan manusia, baik pada saat ini maupun yang akan datang. Refleksi dan prediksi nilai-nilai kemanusiaan inilah yang memberi arti penting kesinambungan kehadiran sastra di tengah masyarakat dan bangsa.

Kata-kata Kunci: karya, masyarakat dan bangsa, refleksi dan prediksi, nilai-nilai kemanusiaan

Pengantar: Menelusuri Garis Humanis Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta Toer--seorang pengarang humanis Indonesia—memiliki gaya bersastra yang berpenciri, yang menandai kebesaran dirinya sebagai pengarang.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 206

Keseluruhan karya monumental yang diciptakannya sejak awal hingga akhir kepengarangannya tak lepas dari satu spirit besar yang secara konsisten diperjuangkannya melalui penciptaan karya-karyanya dengan kisah yang variatif secara terus-menerus. Spirit itu adalah penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Ketika menelusuri dokumen proses kreatif Toer, diketahui bahwa di awal kepengarangannya, Toer dalam sebuah hasil wawancaranya yang kemudian dimuat dalam sebuah majalah pernah mengatakan terinspirasi oleh karya sastra Hindia Belanda berjudul Max Havelaar yang berarti ‘Aku yang Menderita’ karya Multatuli alias Douwes Dekker. Max Havelaar berisi kisah penderitaan rakyat Indonesia akibat kekuasaan dan kekejaman Belanda. Di dalamnya juga ada kisah romantis Saijah dan Adinda yang berakhir tragis. Toer—dan juga sastrawan Romo Mangunwijaya—sama-sama mengakui bahwa Multatuli adalah seorang inspirator besar bagi terciptanya karya-karya yang menyuarakan tentang semangat humanisme. Multatuli adalah seorang Belanda yang sangat setia pada hati nurani dan jiwa kemanusiaannya, ia tak kuasa melihat penderitaan, pemerasan, dan penindasan terhadap rakyat Indonesia. Oleh karenanya ia kemudian berhenti menjadi Bupati Lebak dari bawah kekuasaan Pemerintahan Belanda, dan kemudian nmengasingkan diri. Di pengasingan, ia menulis semua penderitaan rakyat yang dilihat dan diketahuinya dalam sebuah roman yakni Max Havelaar. Ia menggugat yang berwajib dan membongkar segala kejahatan yang menjadi tanggung jawabnya. Sastrawan Hindia Belanda Multatuli adalah seorang humanis sejati, peletak perjuangan nilai-nilai kemanusiaan atau penghargaan harkat dan martabat kemanusiaan di bumi Indonesia. Karya besar Max Havelaar karya Multatuli ini tentunya tak dibaca oleh sastrawan saja seperti Toer, tetapi juga oleh orang-orang yang memiliki kepedulian pada perjuangan kemerdekaan. Maka itu, karya ini juga memiliki fungsi sosial bagi pembaca nonsastrawan untuk menggerakkan dan membangkitkan kesadaran perjuangan kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Namun, hal ini hampir tidak banyak diungkap. Bung Karno misalnya, pasti membaca karya ini, karena ia adalah pembaca buku-buku terbaik dan yang inspiratif. Toer—dan pengarang sezaman seperti Mangunwijaya—adalah generasi humanis pasca-Hindia Belanda. Jika Multatuli menulis hanya satu karya yakni Max Havelaar saja untuk mengukuhkan dirinya sebagai seorang humanis sejati, maka kedua pengarang ini meneruskan semangat perjuangan nilai-nilai kemanusiaan itu dalam banyak dan bahkan keseluruhan karya-karyanya. Dalam penciptaan karya-karyanya, baik Toer maupun Mangunwijaya, memang kemudian berkisah dalam gaya berceritanya sendiri-sendiri, yang kemudian menandai dirinya masing-masing sebagai pengarang besar. Toer dalam aliran seni realismenya, berkisah dalam kisah yang bermacam-macam dan dalam satu garis perjuangan nilai-nilai kemanusiaan. Karya-karyanya mulai dari Cerita dari Blora, Keluarga Gerilya, Perburuan, Bumi Manusia, Jejak Langkah, Rumah Kaca, Arus Balik, Gadis Pantai, sampai Nyanyi Sunyi Seorang Bisu57, menjadi karya sastra yang di dalamnya berkisah tentang pencarian nilai-nilai kemanusiaan dari kondisi masyarakat yang terdegradasikan. Goldmann (1977:6), seorang kritikus Prancis para Marxis dan pencetus struktural-genetik, menyebut nilai-nilai kemanusiaan ini sebagai nilai-nilai

57 Lihat juga tulisan Keith Foulcher, Bumi Manusia and Anak Semua Bangsa: Pramoedya Ananta Toer Enters 1980s”, in Indonesia, Vol 32 (Oct., 1981), pp 1—15. Ia menerjemahkan Bumi Manusia menjadi Man’s World dan Anak Semua Bangsa menjadi Child of All Nations.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 207 otentik (authentic values). Baginya, di mana suatu masyarakat terdegradasikan, di sana akan lahir karya atau novel, yang novel itu sendiri diciptakan dalam rangka pencarian nilai-nilai otentik. Dalam novel-novel Toer dapat diketahui betapa banyaknya kekerasan kemanusiaan terjadi di lingkungan di mana ia hidup. Kekerasan ini disebabkan oleh banyak kepentingan, yang menurut Toer seharusnya tak terjadi di tengah bangsa ini. Namun, kekerasan kemanusiaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa justru melanggar hak-hak individu, sipil, sehingga rakyat menderita di tengah bangsanya sendiri (Manuaba, 2003). Dikatakan demikian, karena dengan kekuasaan orang melakukan perampasan atas hak-hak sipil warga bangsa. Pencarian nilai-nilai kemanusiaan (otentik) inilah yang senantiasa mewarnai karya- karya Toer, yang dituliskannya secara konsisten sebagai kekuatan dalam karya-karyanya. Dalam bingkai aliran realisme, yang oleh Toer dipadukan dengan latar sejarah yang amat kuat, Toer bertutut tentang segala ketimpangan dan kebejatan penguasa. Di dalam karya-karya yang ditulisnya, Toer mencoba mengungkap dan mengeskspresikan segala kejadian yang dialaminya sebagai bagian dari pengalaman bangsanya. Dengan demikian, karya-karya Toer juga merupakan pengalaman sejarah yang dialaminya sendiri yang merupakan bagian dari potret sejarah bangsa Indonesia. Ia mencoba mengungkap segala apa pun yang dianggapnya sebagai kejadian yang harus diketahui generasi bangsanya.

Refleksi Nilai-nilai Kemanusiaan dalam Gadis Pantai dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1. Refleksi melalui Peristiwa Tokoh dalam Gadis Pantai Gadis Pantai merupakan salah satu karya Toer yang berupa roman keluarga, yakni tentang nenek dari garis ibunya. Gadis Pantai dengan Sang Pemula dulu pernah diberangus karena dinilai menyebarluaskan ajaran marxisme dan lelinisme yang terlarang terutama ketika rezim Orde Baru. Kendati karya ini baru diterbitkan setelah karya tetraloginya, namun sesungguhnya karya ini sudah ada sebelum karya-karyanya yang lain seperti Bumi Manusia dn beberapa novel lainnya. Toer sendiri selaku pengarangnya ketika menyerahkan naskahnya kepada penyunting menjelaskan bahwa Gadis Pantai sebenarnya merupakan kisah hasil imajinasi dirinya tentang neneknya dari pihak ibu, seorang nenek yang mandiri yang sangat dihormati dan dicintainya. Sekalipun Toer mengatakan karya- karyanya adalah fiksi atau imajinasi, namun karya-karya Toer selalu berkait dan berangkat dari kenyataan pengalaman sejarah sosial-budaya manusia Indonesia. Karya Gadis Pantai merupakan satu roman keluarga yang sebenarnya belum selesai. Dikatakan demikian, karena semestinya ada dua buku berikutnya lagi yang merupakan seri dari Gadis Pantai. Namun, ketika terjadi vandalisme politik tahun 1965, semua naskah lainnya itu dibawa oleh penguasa dan kemudian hilang. Naskah yang kemudian terbaca dengan judul Gadis Pantai ini merupakan satu-satunya naskah yang berhasil terselamatkan. Naskah ini terekam dalam bentuk fotokopi mikrofilm yang diterima dari bagian dokumentasi perpustakaan A.N.U., Australia, dengan kondisi yang juga tak lengkap dan hasil mikrofilmnya banyak yang tak jelas. Kisah ini berhasil dimikrofilmkan karena dulunya pernah disiarkan melalui cerita bersambung. Kisah Gadis Pantai ini berkait dengan keluarga Toer sendiri, sehingga karya ini disebut sebagai roman

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 208 keluarga. Namun, di dalamnya sarat mempersoalkan tentang penindasa kaum priyayi kepada orang-orang desa ketika tinggal di kota, di rumah Bendoro. Roman Gadis Pantai berkisah tentang seorang gadis 14 belasan tahun yang kemudian tanpa disangka harus menjadi Nyonya Bendoro. Kehidupannya pun berubah total, dari kehidupan yang serba minus di pantai ke kehidupan orang kota yang serba ada. Toer memulai gambaran dari keberadaan sang gadis pantai dengan penuh suasana anak pantai: “Empat belas tahun umurnya waktu itu. Kulit langsat tubuh kecil mungil. Mata agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang” (Toer, 2000:1). Namun, ketika ia kemudian diserahkan dan diminta menjadi salah satu istri Bendoro, Gadis Pantai harus mengubah total kehidupannya. Sejak kecil ia hidup sebagai gadis pantai, dalam kondisi kehidupan yang keras, namun di dalam kehidupan itu ia seperti mendapatkan dirinya yang dihargai sebagai manusia. Sebaliknya, ketika menjadi istri Bendoro, sebagai orang yang memiliki kedudukan, sebagai seorang bangsawan, seorang ningrat, ia justru tak mendapatkan kebebasan asasinya sebagai manusia. Ia sering dicurigai macam-macam, dituduh macam- macam, direndahkan, sambil menyebut dan mengumpat keberadaan dirinya sebagai anak pantai, anak ndeso. Ketika pada suatu saat di rumah Bendoro Mas Nganten kehilangan uang misalnya, orang-orang ribut-ribut, dan hilangnya uang itu dituduhkan pada Gadis Pantai. Pelayan wanita tua yang menyayangi merasakan ketakutan yang dialami Gadis Pantai: “Dengan mata berapi-api pemuda kerabat-kerabat Bendoro itu menentang mata Gadis Pantai. Dan wanita tua itu merasai tangannya mengigil, wajahnya lesu. Dikencangkan pegangannya untuk memberanikan wanita utama itu. Dengan mata berapi-api karena merasa di hina, seorang pemuda angkat bicara: ‘Kau pikir apa kami ini? Orang Kampng? Orang dusun? Orang pantai yang tidak pernah lhat duit? (Toer, 2000:90). Di kota di rumah Bendoro, Gadis Pantai dan juga orang-orang yang berasal dari desa, harus memiliki sikap yang berbeda dengan keluarga priyayi. Sikap, cara duduk, posisi, tidak sama, harus berada di bawah, yang tercermin dari petikan teks berikut: “’Ampun Bendoro’, perempuan tua itu memelas setelah menggelosot di lantai. Juga Gadis Pantai duduk menggelosot di lantai” (Toer, 2000:92). Selain itu, tampak juga reflleksi ketertekanan Gadis Pantai: “’Ampun, Gadis Pantai menjawab sambil semakin menundukkan kepala, dengan kedua tangan menjagangkan di lantai”. ....”’Ampun Bendoro,”sekali lagi Gadis Pantai bersuara semakin perlahan” (Toer, 2000:93). Gadis Pantai merasakan hidup yang penuh dengan ketegangan, bukan kedamaian. Bahkan jiwanya sering terguncang, karena ia begitu sulit menerima kehidupan yang sebenarnya bukan menjadi dunianya. Awal tujuannya mengabdi di rumah Bendoro, berbuah kesakitan: “Untuk kedua kalinya Gadis Pantai terguncang. Ketakutan menjamah seluruh batinnya. Ia mencoba memberanikan diri” (Toer, 2000:102). Kejadian-kejadian seperti itulah yang selama ia tinggal di rumah Bendoro selalu dialaminya. Kontras kehidupan desa-kota begitu dirasakannya. Dalam kehidupan desa yang lugu, alami, jujur, dan penuh kedamaian hanya dirasakan Gadis Pantai di mana ia dilahirkan dan dibesarkan, yakni di sebuah desa pinggir pantai. Ketika ia menjadi orang desa di pinggir pantai, ia merasakan sebagai manusia yang dihargai keberadaannya. Namun, sangat jauh sekali dengan apa yang ia sebelumnya bayangkan dengan kehidupan kota. Walaupun cara mendidik bapaknya keras, tetapi kini ia rasakan sebenarnya di situ

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 209 terdapat cinta yang tulus dari bapaknya. Ia merindukan bapaknya, tetapi ia juga sering tidak menerima perlakuan bapaknya yang terlalu mengatur hidupnya. Di rumah Bendoro, dalam kehidupan kota, ia merasakan kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadikan dirinya sebagai manusia. Di kota ini ia justru tak mendapatkan kebahagiaan, walau harta melimpah, tetapi harta dirinya sebagai manusia telah lenyap dan ia tidak ubahnya disetarakan dengan barang. Apalagi Gadis Pantai berasal dari desa, semakin membuat orang-orang priyayi merendahkan derajatnya sebagai manusia. Di akhir-akhir kisah Gadis Pantai ini terjadi penolakan pada kehidupan priyayi yang digambarkannya tidak memberikan ruang bagi kemanusiaan: “Ah, tidak. Aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedung berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan, Tak ada mau dengarkan tangisnya.” (Toer, 2000:229). Ketika dalam akhir cerita ini dikisahkan Gadis Pantai mengunjungi rumahnya di desa, disambut oleh orang-orang desa dan Emak dan Bapaknya, namun ia juga tak memutuskan tinggal di desanya kendatipun kedua orang tuanya mengharapkannya kembali, juga tak akan kembali ke rumah ke kota yang berlimpah harta tetapi memberangus kemanusiaannya. Gadis Pantai tak kuasa menatap emak dan bersimpuh mencium kaki bapak, ia sudah berjanji tak akan kembali ke kota, tetapi ia justru pergi mau menuju arah ke pelayan perempuan yang sudah diusir dari kota, seorang pelayan tua yang menyayanginya, ia mau pergi ke Blora.

2. Refleksi melalui Peristiwa Tokoh dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu merupakan karya Pramoedya Ananta Toer yang wujudnya lebih berupa catatan-catatan pengalaman dirinya ketika dituduhkan sebagai penganut marxisme-leninisme oleh penguasa pada masa Orde baru, yang membuat dirinya dipenjara dari satu penjara ke penjara yang lain, dari penjara di Jakarta, Nusa Kambangan, hingga di Pulau Buru. Buku ini berisi catatan perjalanan dari Jakarta ke Nusa Kambangan dan kemudian ke Pulau Buru (Toer, 1995:viii). Buku ini ditulis dalam kondisi tidak menentu, seperti halnya orang main layang-layang, kalau anginnya kencang ulur benang dan kalau tidak kencang tarik benang. Sebuah karya yang dibuat dalam masa pembuangan sebagai tahanan tapol, yang di akhir pembebasan dinyatakan tidak bersalah tetapi tetap diperlakukan sebagai tahanan. Kalau ada yang menganggap buku ini sebagai karya sastra, tentunya boleh-boleh saja, sebab dalam halaman depan buku ini juga memang tidak dicantumkan secara khusus apakah karya ini sebuah karya sastra atau kisah pribadi pengarangnya. Di samping itu, kendatipun karya-karya yang terangkum di dalamnya, namun kalau dibaca masih dapat dirunut adanya jalinan cerita yang menarasikan perjalan hidup pengarang sejak ditahan hingga dilepaskan kembali setelah belasan tahun. Namun, satu hal yang jelas, data-data yang ditulis dalam karya ini memang sangat realistis, menyebut nama, tahun, tempat, kejadian, dan disertai dengan dokunen yang mendukung apa yang dikisahkan di dalamnya. Namun, menurut Toer (1995:viii), naskah ini juga termasuk yang tidak lengkap karena banyak bagiannya yang sengaja dihancurkan, setelah I seorang sarjana muda sejarah melaporkan kepada penguasa. Karya ini semula memang ditulis lebih bersifat pribadi, yang dimaksudkan untuk mengenang kembali apa yang sudah terjadi. Namun demikian, kendatipun dituliskan dalam sifatnya yang pribadi, tentu saja tidak dapat dianggap sekadar sebagai karya pribadi. Toer (1995:ix) mengatakan bahwa betapa pun tampak pribadi namun sebetulnya

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 210 dapat juga dibaca sebagai pengalaman sebagai sebuah bangsa. Hal ini dapat disimak dalam pernyataan Toer berikut: “Penerbitan ini didasarkan pada pertimbangan apa pun dan bagaimana pun pengalaman inderawi dan batin seorang pribadi, apalagi dituliskan, ia jadi bagian dari pengalaman suatu bangsa dan umat manusia pada umumnya”. Artinya, kendatipun tampak pengarang berkisah tentang apa yang pernah dialaminya sendiri, sebenarnya apa yang dialaminya itu menjadi cermin yang dialami bangsanya. Catatan- catatan ini juga ditulis dalam kondisi yang terburu-buru, karena kondisi yang memang tidak memungkinkan ketika itu, sebagaimana yang dikatakan Toer dalam buku ini: “Catatan-catatan dan surat-surat yang terhimpun di dalam buku ini ditulis terburu-buru tanpa diperiksa kembali, kecuali beberapa bagian. Ini tidak lain karena keadaan tidak memungkinkan menempuh jalan lebih baik dan lebih luas” (Toer, 1995:viii). Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ini menjadi buku yang penting untuk melihat refleksi manusia yang terdegradasikan, terutama terkait dengan kejadian pasca-G30S PKI. Kejadian ini, oleh dunia internasional, memang disoroti sebagai kejadian yang paling tidak beradab dan tidak berkemanusiaan. Banyak orang tidak berdosa menjadi korban tuduhan tidak berdasar karena ada wacana penguasa yang menyalahkan pihak-pihak yang belum tentu kesalahannya. Toer sebagai pengarang buku ini termasuk salah satu dari ratusan orang yang hak-hak asasinya diberangus oleh penguasa. Ia mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosiologis dalam waktu yang sangat panjang yakni sekitar dua tahun di tahanan di Jakarta dan Nusa Kambangan, serta empat belas tahun, dan setelah bebas pun ia tak memiliki kebebasan di luar penjara. Toer mengalami hidup semacam itu dengan ratusan teman lainnya yang juga mengalami nasib yang sama. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ini merekam dan merefleksikan jeritan penderitaan Toer dan ratusan teman lainnya yang seperti tak ada yang mendengarkannya, dan karena itulah diibaratkan: nyanyi sunyi seorang bisu. Namun, bersyukur Toer memiliki kemahiran menulis, karena sebagaimana telah diungkap dalam biografinya ia memang di masa mudanya pernah menjadi seorang wartawan. Jadilah kemudian nyanyi sunyi itu tak bisu selamanya. Ada dokumen yang terselamatkan yang kemudian dapat diterbitkan dan dibaca oleh anak bangsa ini. Dalam bagian awal catatan ini tergambar betapa kejadian ini membuat kita terenyuh: “Surat ini takkan mungkin bisa dikirimkan. Takkan mungkin sampai ke tanganmu. Lihat, dia tetap kutulis, untukmu—kau, yang sedang berbahagia dalam suasana pengantin baru. Akan tetap kukenang perisistiwa yang satu itu. Kau datang bersama calon suamimu dan seorang penghulu, yang begitu terburu-buru kuatir terttinggal karena rejeki” (Toer, 1995:1). Kutipan tersebut merupakan refleksi bagaimana ia terakhir kalinya dijenguk oleh putrinya, dan setelah itu Toer tak pernah bisa menghubungi keluarganya, karena ia dipaksa mengalami masa tahanan dari Jakarta menuju Nusa Kambangan dan kemudian ke Pulau Buru. Dalam masa perjalanan inilah kisah ini dituturkan oleh Toer, sebagai refleksi bagaimana para tahanan—yang notabene sebagai manusia—diperlakukan oleh penguasa bangsa ini. Dari sinilah penderitaan demi penderitaan harus diterima, bahkan ada teman-temannya yang tidak kuat dan kemudian mendahuluinya pergi ke alam kubur. Kisah pendegradasian nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana terefleksikan dalam buku ini, terutama dimulai ketika kapal yang akan mengangkutnya dari Nusa Kambangan ke Pulau Buru. Ketika menunggu kapal datang, para tahanan—termasuk Toer—sudah dijemur seharian tanpa makan dan kelaparan yang sangat tinggi yang membuat para

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 211 tahanan merengguti daun bluntas penuh debu jalanan dan mengganyangnya mentah- mentah tanpa dicuci lebih dahulu karena untuk mencuci akan meninggalkan barisan dan kena hajar (Toer, 1995:4—5). Tidak hanya itu, dalam perjalanan ke Buru itu dapat juga dilihat refleksi pendegradasian lebih jauh melalui apa yang dikisahkan dalam buku ini: “... Dan jangan kau muntah melihat kami makan tikus-tikus kakus yang gemuk lagi besar itu, atau bonggol batang pepaya atau bonggol pisang—mentah-mentah—atau lintah darat yang ditusuk dengan lidi. Bahkan drs.J.P. bisa menelan cicak hidup-hidup....” (Toer, 1995:5). Begitupun ketika masuk dalam dek kapal yang sangat tidak layak dipenuhi tumpukan kotoran manusia, dan juga tak ada saluran pembuangannya. Toer dan kawan- kawan tahanannya seperti terkurung besi, seperti tanpa sama sekali memiliki hak untuk melihat langit dan udara: “Ruangan itu penuh dengan bukitan kotoran.... Genangan air kotoran ternyata menjelma menjadi rawa lumpur. Saluran air pampan semua. Setan pun mungkin takkan tahu lagi di mana sesungguhnya lubang-lubang pembuangan itu.....” (Toer, 1995:5). Begitulah awal pendegradasian yang terfeleksikan dalam buku ini, dan selanjutnya berbagai pendegradasian terjadi susul-menyusul, semakin tragis, semakin menghempas, dan semakin membuat para tahanan ingin mengakhiri hidupnya. Namun, dengan saling memberi semangat satu sama lain, dengan perasaan senasib seperjuangan di kalangan tahanan, mereka kemudian dapat melanjutkan hidupnya, walau tanpa masa depan yang jelas. Beberapa di antara teman-teman tahanannya yang tidak kuat, mental, fisik, atau psikis, kemudian meninggal. Di Pulau Buru sudah banyak teman tahanannya yang meninggal dan dikuburkan di sana. Rata-rata mereka di penjara dari tahun 1967—1977. Karya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ini merupakan karya yang lebih terang berupa dokumen sosial tentang pengalaman pengarang yang sekaligus merupakan bagian dari pengalaman bangsa. Sebagai dokumen sosial, karya ini dilengkapi juga dengan lampiran data para tahanan yang meninggal, luas area pertanian tapol, dan foto-toto ketika ada di Pulau Buru. Di dalam karya ini, kita dapat melihat potret kekejaman atas kemanusiaan, yang berlangsung lama dan menyengsarakan, tidak hanya orang-orang yang ditahan tetapi juga keluarga yang ditahan. Semua yang diungkapkan Toer dalam karya ini adalah nyata, sebuah kenyataan sejarah. Dengan adanya tekanan lembaga dunia, pada tahun 1977 barulah dilaksanakan pembebasan pertama. Toer tidak diikutkan dalam pembebasan pertama itu, walaupun orang-orang yang bergerak dalam lembaga HAM di dunia sebenarnya sudah mengetahui bahwa namanya juga tercantum. Tidak diikutkannya Toer dalam pembebasan pertama itu, karena dalam wawancara oleh penguasa kepada Toer, jawaban-jawaban Toer masih dianggap bernuansa mempertahankan aliran marxisme-leninisme. Perlu diungkapkan di sini, batalnya pembebasan Toer ini juga diliput oleh media dunia. Namun, dua tahun setelah itu ia baru dibebaskan, dan kemudian diangkut ke Jawa, dan Toer termasuk dalam rombongan yang tidak langsung diangkut ke Jakarta. Ia diturunkan dalam rombongan yang jumlahnya 400 orang karena dianggap sebagai tahanan yang tidak sepenuhnya bebas. Ia masih diminta wajib lapor seminggu sekali, kemudian sebulan sekali. Intinya, Toer memang dalam masa tahanan dan sampai pasca-tahanan sebagai orang yang tidak memiliki kekebasannnya, hak-hak sipilnya terampas, serta harkat dan derajatnya direndahkan oleh penguasa.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 212

Namun, sebagai pribadi yang kuat dan tak pernah menyerah, Toer menuliskan semua pengalaman dan perjalanan hidupnya ini dalam karya-karya besarnya, yang membuat siapa pun generasi dalam kurun waktu yang berbeda jadi merenung. Dengan membaca karya-karya Toer, kita dapat merasakan betapa bangsa ini memiliki sejarah yang kelam yang memperlakukan anak bangsanya dengan tidak beradab dan tidak manusiawi. Sebuah bangsa yang tidak melindungi anak bangsanya sendiri, dan justru mendegradasinya hanya karena adanya dugaan yang juga belum tentu kejelasannya. Refleksi-refleksi—yang dalam hal ini disimak dari dua karya Toer ini— mengungkapkan bahwa bangsa ini memang perlu belajar dari sejarah, agar sejarah kelam sebagaimana yang dialami oleh anak-anak bangsa ini tidak terulang kembali di masa mendatang. Rakyat adalah pemilik bangsa ini, yang harus dilindungi dan juga harus diberikan hak-hak sipilnya. Penguasa betapa pun berkuasanya, tidak boleh memperlakukan rakyatnya semena-mena, apalagi memperlakukan rakyat yang tidak berdosa.

Prediksi: Nilai-nilai Kemanusiaan Universal dalam Gadis Pantai dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Sebagaimana dikemukakan, dua karya Toer Gadis Pantai dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu merefleksikan pendegradasian kemanusiaan. Di dalam dua karya ini tokoh- tokohnya mengalami ketertindasan hak hidup, hak sipil, hak kemerdekaan, dan hak-hak lainnya yang bersifat asasi. Tokoh Gadis Pantai misalnya, ia kehilangan kebebasan asasinya sebagai manusia, sehingga ia tidak ingin kembali ke kota ke rumah Bendoro walaupun di sana bergelimangan kekayaan. Toer sendiri sebagai tokoh yang hadir di dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, merupakan tokoh yang ditindas hak-hak hidup dan kebebasannya, hanya karena ia dituduhkan menganut dan menyebarkan aliran marxisme- leninisme. Dalam kondisi tertindas dan ditindas seperti yang dialami tokoh-tokoh karya itu, para tokohnya bukannya hanya menerima begitu saja, tetapi juga melakukan perlawanan. Perlawanan ini tampak dari apa yang dilakukan perempuan tua yang selalu membela Gadis Pantai: “Aku cuma bilang,” pelayan tua itu jadi kasar, “kembalikan uang itu! Di sini ada hukum, kalau hukum tidak ditaati lagi, mari, mari kita panggil hakim.” (Toer, 2000:92). Perlawanan Gadis Pantai ini juga tampak ketika bagaimana ia menentukan pilihannya sendiri untuk mau tinggal mencari pelayan tua yang pernah menyayanginya ketika berada di kota. Ia tidak mengikuti kehendak bapaknya agar kembali ke desa, dan juga tidak kembali ke kota: “Gadis Pantai mengambil cambuk dan melecut kuda dari bawah perutnya. Kuda pun melompat dan lari. Roda-rodanya menggilas jalanan pasir, lari laju menuju jalan pos. Tanpa menengok ke belakang lagi Gadis Pantai memusatkan mata ke depan.” (Toer, 2000:231). Begitu juga halnya dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, penindasan kemanusiaan itu menyadarkan si tokoh aku: “Juga sejak itu aku mengerti apa yang dituduhkan pada tapol sebenarnya apa yang diharapkan dilakukan oleh para tapol. Suatu metode dalam kejahatan politik yang baru pertama kali kukenal.” (Toer, 1995:289). Jadi, prediksi yang dimaksudkan adalah adanya nilai-nilai kemanusiaan universal yang terpola bertolak dari berbagai pendegradasian kemanusiaan yang dialami oleh tokoh-tokoh dari dua karya Toer ini. Nilai-nilai kemanusiaan itu berupa: penghargaan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 213 pada harkat kemanusiaan, pemberian hak-hak sipil, kemerdekaan pribadi, dan penegakan keadilan.

Penutup Karya Gadis Pantai dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu merupakan karya yang merefleksikan pendegradasian kemanusiaan, sebagaimana yang dialami tokoh-tokoh karya tersebut. Kisah yang mengandung pendegradasian kemanusiaan itu diangkat dari pengalaman yang dialami pengarangnya sebagai bagian dari pengalaman bangsanya. Dalam Gadis Pantai, yang merupakan roman keluarga yang mengisahkan nenek dari keluarga ibunya merefleksikan kegigihan seorang perempuan desa yang sempat tinggal di kota untuk mencari hak-hak hidup, kebebasan, dan keadilannya. Begitu juga dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, sang tokoh aku yang mengekspresikan kejadian-kejadian yang dialami pengarangnya mencoba tidak menyerah walaupun penderitaan demi penderitaan dialaminya. Ia menuliskan kejadian demi kejadian, walaupun ketika menulis ia tidak mengetahui apakah karyanya ini akan dapat diselamatkan dan dapat dibaca orang atau tidak. Adanya pendegradasian ini memunculkan universalitas yang berupa nilai kemanusiaan yang menyangkut penghargaan pada harkat dan martabat manusia, penghargaan hak-hak sipil, dan penegakan keadilan. Nilai-nilai universalitas inilah yang merupakan prediksi yang berguna bagi masyarakat untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.

Daftar Pustaka

Foulcher, Keith. 1981. “Bumi Manusia and Anak Semua Bangsa: Pramoedya Ananta Toer Enters 1980s”, in Indonesia, Vol 32 (Oct., 1981), pp 1—15 Goldmann, Lucien. 1977. Towards a Sociology of the Novel. London: The Cambridge University Press. Multatuli. 1985. Max Havelaar. Jakarta: Jambatan Toer, Pramoedya Ananta. 2000. Gadis Pantai. Jakarta: Hasta Mitra ______1995. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Lentera. Manuaba, I. B. Putera. 2003. “Novel-novel Pramoedya Ananta Toer: Refleksi Pendegradasian dan Interpretasi Makna Perjuangan Martabat Manusia”, dalam Humaniora: Jurnal Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Volume XV,, No.3), halaman 276-284 Multatuli. 1985. Max Havelaar. Jakarta: Djambatan.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 214

IDENTITAS DAN RESISTENSI BUDAK PADA MASA KOLONIAL: SEBUAH KAJIAN POSKOLONIAL TERHADAP NOVEL SURAPATI DAN ROBERT ANAK SURAPATI KARYA ABDOEL MOEIS58

I Nyoman Yasa, S.Pd, M.A59. Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali [email protected]

Abstract This research is conducted based on the problem of slavery found in Indonesian literary texts. Using a deconsructive technique, this research intends to show (1) the relations between the colonizer and colonized people found in the novel Surapati and Robert Anak Surapati (SdRAS), (2) the resistance of slaves to his masters, (3) the characteristics of SdRAS novels according to postcolonial perspectives. The result of this research shows unequal relations between the colonizer, Dutch, and colonized people, native Indonesian. These unequal relations can be found through Dutch’s expression by stereotyping Indonesian as animals, and by referring to their skin color. The Dutch characters in the novel viewed themselves more civilized than those indigenous characters, and this categorization was formulated based on skin colors. This point of view constructed the colonizer’s mind and behaviors that impacted to the emergence of negative depictions of native Indonesians as left behind, slow, lazy people, and other animal likes such as monkey. Such negative depictions and domination (discrimination, racism, and marginalization) led Indonesian slaves into resistance in the form of mimicry and mockery by mocking Dutch colonizers. These were performed as an effort to abolish their powerful position. Mimicry and Mockery, however, reveals the hybrid attitude of colonized Indonesians which, at the same time, shows that ambiguity of the discourse constructed in the novels. Therefore, according the postcolonial approach, the novels SdRAS can be characterized as ambiguous novels. These novels show their resistance to the dominant on the one hand. They are also hegemonized by colonial discourse on the other hand.

Key words: resistance, slave Surapati and Robert Anak Surapati, postcolonial

1. PENDAHULUAN Secara universal, manusia dilahirkan tanpa memiliki kelas atau strata sosial, apalagi diberikan identitas sebagai budak. Sarup (2003: 30) menyatakan bahwa men and women are not born with an identity. Seseorang atau sekelompok orang diberikan identitas sebagai budak menandakan bahwa ada superioritas dibalik pemberian identitas itu. Superioritas (Barat) menciptakan inferioritas (Timur). Anggapan inferior ini

58 Makalah ini diseminarkan pada tanggal 7-9 November 2012 di Yogyakarta dalam kegiatan HISKI. 59 Pengajar Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja-Bali

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 215 menjadikan manusia yang satu menindas manusia yang lain. Superioritas yang demikian memunculkan masalah bagi kemanusiaan itu sendiri. Masalah kemanusiaan itu pernah dialami bangsa Indonesia masa silam dalam sebuah peristiwa perbudakan (Wertheim, 1998: 186). Walaupun demikian, budak dan perbudakan jarang diteliti (Anatona, 2000), padahal budak pernah mencatatkan perlawanan-perlawanan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Peristiwa perbudakan tersebut diangkat dalam novel Surapati dan Robert Anak Surapati (SdRAS) oleh Abdoel Moeis. Objek material dalam penelitian ini adalah novel Surapati terbit pada tahun 1965 (cet. Ke-4) dan novel Robert Anak Surapati yang terbit pada tahun 1953 (cet. I) Novel SdRAS tersebut perlu dikaji melalui pendekatan poskolonial karena pendekatan poskolonial mampu mengungkap jejak-jejak kolonialisme dalam karya sastra dan mengidentifikasi adanya tanda-tanda kolonialisme didalamnya serta menilai sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda itu (Foulcher, 2002: 3). Dalam kajian poskolonial, karya sastra itu sesungguhnya mengungkap jejak-jejak perjumpaann kolonial, yaitu konfrontasi antarras, antarbangsa, dan antarbudaya dalam hubungan kekuasaan yang tidak setara semenjak masa imperialisme (ibid). Sementara itu, Sumarwan (2004: 61) menyampaikan bahwa pendekatan poskolonial sebagai salah satu alternatif untuk membaca dan menafsirkan sastra Indonesia dalam upaya mencari oposisi antara penjajah melawan terjajah, menunjukkan potensi kekerasan didalamnya. Dengan demikian, poskolonialisme memberikan ruang agar lapisan yang semula termajinalisasi mampu menyuarakan pendapat mereka sendiri (Bhaha, 2006). Dalam hal ini, poskolonial memandang bahwa realitas merupakan hasil imajinasi atau diskursus para pelakunya sebagai representasi dari pengetahuannya. Pengetahuan yang dimiliki kaum penjajah digunakan untuk mensistemasisasikan adanya pihak lain (Other), yang sekaligus dipandang terbelakang (Said, 1978: 3). Makalah ini berupaya untuk mendeskripsikan (1) relasi antara penjajah dengan terjajah, (2) resistensi budak terhadap kaum majikan, dan (3) sifat novel SdRAS, memiliki tujuan untuk mengakumulasi ilmu sastra, terutama teori poskolonial, menjembatani pemahaman pembaca terhadap SdRAS, dan menyuarakan kembali pemikiran-pemikiran kaum subaltern (budak) agar suaranya dapat didengar kembali, antara lain mengenai perjuangan membebaskan dirinya dari belenggu penjajah. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat menikatkan nasionalisme generasi muda bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan pada zaman global ini. Pembahasan pada makalah ini menggunakan konsep relasi Barat dan Timur dalam Orientalism karangan Edward Said, konsep resistensi pasif dan radikal dalam Postcolonial Transformation karangan Bill Ashcroft, dan konsep Mimikri, Hibriditas, dan Ambigu dalam The Location of Culture karangan Homi Bhabha. Menurut Said (1978:5), hubungan antara Timur dan Barat adalah hubungan kekuatan, dominasi, hubungan berbagai derajat hegemoni yang kompleks. Timur ditimurkan tidak hanya karena ia didapati dalam keadaan “bersifat Timur” dalam semua hal yang dipandang umum oleh rata-rata yakni mudah untuk—dijadikan Timur. Orientalisme menurut Said bukanlah fantasi kosong Eropa mengenai dunia Timur, melainkan suatu sosok teori dan praktek yang sengaja diciptakan. Ada hegemoni gagasan-gagasan Eropa mengenai dunia Timur yang mengulangi pernyataan mengenai keunggulan Eropa atas keterbelakangan Timur. Realitas Timur adalah berbeda dengan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 216 realitas Barat; kebiasaannya, warna kulitnya yang eksotik, kenangan dan pengalaman yang indah. Timur harus dipahami memiliki keterbatasan dan kelemahan sehingga membutuhkan kekuatan dan pengetahuan Barat. Oleh karena itu, Timur siap untuk diatur kembali, diperintah, dikuasai, dan direkonstruksi. Akibat perlakuan Barat (penjajah) yang mensistematisasi, perlawanan-perlawanan (resistensi) muncul dari pihak bangsa terjajah (Timur). Ashcroft (2001: 19-20) menyatakan bahwa resistensi memiliki dua bentuk, yakni bentuk pasif dan bentuk radikal. Resistensi yang berbentuk pasif dapat dilakukan dengan melakukan mimikri dalam upaya untuk melebarkan harapan dan cita-cita pihak terjajah (Ashcroft: 2001: 3). Mimikri dalam konsepnya Bhabha (2006: 122-123) sebagai sebuah strategi bagi pihak terjajah dengan cara menyesuaikan diri dengan “yang lain” karena mimikri itu memvisualisasikan kekuatan dan mimikri itu memberi efek yang dalam dan bersifat mengganggu terhadap kekuasaan kolonial. Oleh karena itu, mimikri mengandung mockery ( Lo and Gilbert, 1998: 12). Sementara itu, resistensi radikal sebagai bentuk perlawanan masyarakat terjajah terhadap kekuasaann kolonial. Bentuk resistensi radikal ini dicirikan oleh adanya rencana-rencana pergerakan yang terorganisasi, yang dilakukan dengan menyerang secara langsung melalui peperangan atau dengan memproduksi teks bacaan (ibid). Adanya perlawanan-perlawanan dari kaum terjajah dan dominasi atas kekuasaan kolonial, keambiguan sifat pada diri kaum terjajah muncul ( Bhabha, 2006: 122-123), termasuk dalam karya sastranya. Hasil penelitian Faruk ( 2007) terhadap beberapa novel Indonesia menunjukkan data bahwa novel-novel Indonesia, seperti Siti Nurbaya, Hikayat Kadiroen, dan lain-lain, memperlihatkan keambiguan. Penelitian Liliani (2005) terhadap drama 9 Oktober 1740 juga menunjukkan sifat tersebut. Berkaitan dengan keambiguan ini, sifat novel SdRAS sangat perlu diteliti. Oleh karena itu, penerapan teori poskolonial pada novel SdRAS dilakukan dengan menggunakan teknik dekonstruksi.

2. PEMBAHASAN Sebagai mana disampaikan sebelumnya, makalah ini berupaya mendeskripsikan (1) relasi antara penjajah dan terjajah, (2) resistensi budak dan majikan, dan (3) sifat novel SdRAS. Pembahasan dari permasalahan tersebut dapat diuraikan seperti di bawah ini.

2.1. Relasi antara Penjajah dan Terjajah Penjajah dan pihak terjajah memiliki relasi yang tidak setara. Ketidaksetaraan itu ditandai dengan dominasi penjajah atas kaum terjajah. Dominasi itu tampak pada kaum majikan, yakni Tuan edeleer Moor dan Suzanne terhadap si Untung, Robert terhadap Untung Surapati, masyarakat Belanda terhadap Robert, dan kolonial Belanda terhadap masyarakat pribumi. Ketidaksetaraan perlakuan Tuan edeleer Moor kepada si Untung tampak pada peristiwa tenggelamnya Suzanne di laut, walaupun ia akhirnya dapat diselamatkan oleh si Untung. Tuan edeleer Moor menyalahkan si Untung. Dalam konteks itu, si Untung adalah pihak subaltern, pihak yang tidak dapat menentukan pilihan dan menyatakan bahwa dirinya benar. Sebagai seorang budak, ia memang menyerahkan diri sepenuhnya kepada majikannya karena seutuh dirinya menjadi hak milik majikannya (Nooij, dkk., 1996: 90).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 217

Berdasarkan pandangan Ashcroft (2002: 102), Tuan edeleer Moor telah mengklaim dirinya sebagai kelas superior yang memiliki hak-hak istimewa jika dibandingkan si Untung. Perilaku itulah yang telah memunculkan pemarjinalisasian (Ashcroft, 1998: 135). Relasi dominasi lain majikan terhadap budak adalah perlakuan Tuan edeleer Moor terhadap si Untung dan perlakuan Nyonya Voorneman dan Nyonya Dammers kepada budaknya. Kaum majikan itu melakukan penyiksaan kepada budak, bahkan penyiksaan itu dilakukan dengan membayar para petugas kepolisian agar mereka dapat menyiksa budak. “Nyonja Voorneman jang meninggal, tahu benar tjara apa ia bergaul dengan segala budaknya. Tiap-tiap mereke berbuat salah, haruslah dirotan 20 sampai 40 kali. Asal kita suka membajar 10 atau 12 ketip, budak itu boleh dihukum dihadapan pulisi dengan pukulan rotan. Tak usah kita menghadapi teriakannya tak usah pula kita dengarkan. Perkaaranya tidak diperiksa asal kita mengadu dan membajar, hukumannja sudah boleh dijalankan. Saja sendiri kemarin dulu telah menghukum budak 40 rotan (Moeis, 1953: 53). Penyiksaan majikan kepada budak memposisikan budak bukan sebagai manusia, melainkan sebagai binatang. Budak tidak lagi didengar suara-suranya. Dalam penemuan Breman (1997: 213) di daerah Deli (Sumatera), pembinatangan ini sebagai cara-cara majikan untuk menghilangkan identitas kemanusiaan dan mengingkari sifat-sifat manusia yang paling dasar dan setiap perlakuan terhadap mereka dapat dianggap legal dan sama sekali tidak perlu dipertanggungjawabkan. Fanon (2000: 269) memandang hal itu sebagai upaya penolakan secara sistematis terhadap orang lain dan adanya tekad untuk mengakui segala atribut kemanusiaan orang lain. Selain menyiksa budak secara fisik, majikan juga tidak mengakui pemikiran- pemikiran budak. Suzanne tidak mengakui bahwa si Untung bisa berpikir karena ia adalah budak. Sebagai mana budak, ia adalah bodoh dan tidak beradab. Pandangan seperti ini juga muncul pada diri Robert yang memandang Untung Surapati, pandangan Belanda kepada pribumi secara menyeluruh, hanyalah sebagai budak Djawa. Mereka tidak memiliki peradaban sebagaimana Belanda. Dalam pandangan Gouda (1995: 215), pandangan seperti itu adalah cara-cara Belanda yang memandang pribumi sebagai spesies yang belum berkembang atau sebagai reinkarnasi dari “diri’ orang Eropa Abad Pertengahan. Dalam pandangan Ashcroft (1998: 198), pandangan kolonial serupa itu bertolak dari ras. Dalam pandangan kolonial, kulit putihlah yang memiliki kedudukan yang paling tinggi. Oleh karena itu, ia mengakui dirinya sebagai kelas yang superior dan warna kulit lainnya adalah kelas inferior. Jean Chetian Baud (dalam Houben, 2009: 71) menyatakan bahwa pertemuan antara kulit putih dan kulit berwarna selalu memunculkan peristiwa penaklukan. Dalam penaklukan, kulit putih selalu sebagai pemenang. Rasisme sebagai alat untuk mengukuhkan keunggulan diri penjajah (Fritsch, 2001: 3).

2.2. Resistensi Budak terhadap Majikan Resistensi atau perlawanan dapat dilakukan dalam bentuk pasif dan radikal (Ashcroft, 2001: 20). Resistensi dalam bentuk pasif sebagaimana disampaikan oleh Ashcroft dapat melebarkan cita-cita atau harapan, dan resistensi pasif ini dilakukan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 218 dengan cara mimikri atau melakukan peniuruan. Peniruan yang dilakukan oleh pribumi seringkali ada dalam upaya mockery. Perilaku mimikri yang sekaligus mockery itu tampak pada diri si Untung. Ia belajar dari diri Suzanne sehingga ia menjadi sadar terhadap diri dan kaumnya sebagai kuam yang terjajah atau tertindas.

Nasib budak-budak di kota Jakarta tak asing lagi baginya. Mendengar mereka disiksa oleh tuannya masing-masing, naiklah darahnya, dan ia pun tahu bahwa mereka itu menjadi budak, bukan karena menjual diri, melainkan telah jatuh menjadi korban daripada keganasan saudagar- saudagar budak, dan sebagai akibat dari peperangan- peperangan yang ditimbulkan oleh Kompeni di segala daerah yang hendak dikuasainya ( Moeis, 1965: 1) Penyadaran dirinya sebagai kaum yang tertindas membuat si Untung melawan. Ia menikahi Suzanne tanpa sepengetahuan Tuan edeleer Moor. Dalam pernikahan itu, si Untung melawan Tuan edeleer Moor dengan menikahi Suzanne. Dari perlawanan itu, Tuan edeleer Moor diruntuhkan kekuasaannya oleh si Untung. Tuan edeleer Moor kehilangan harapan untuk menikahkan anaknya dengan lelaki Belanda asli bernama Herman de Wilde. Sesuai dengan pernyataan Sharpe (1995: 99), si Untung dapat dikatakan sebagai mimic man yakni pihak yang menolak pribumi sebagai kelas subaltern. Ia melakukan peniruan terhadap cara-cara Belanda, misalnya menggunakan pangkat letnan ketika ia ingin ditangkap oleh pasukan kompeni di tengah Hutan. Dalam upaya menjaga diri dan hak miliknya, yakni Pangeran Purbaya, dan kawan-kawan seperjuangannya, ia mengakui bahwa dirinya sebagai tentara kompeni dengan berpangkat letnan. Si Untung melakukan itu dalam upaya untuk menjaga hak miliknya. Ashcroft ( 2001: 20) menyampaikan bahwa resistensi pasif seperti peniruan itu, dalam upaya mempertahankan identitas dan hak miliknya. Selain melakukan resistensi pasif, Si Untung melakukan resistensi radikal. ia melakukan perlawanan dengan melakukan pembunuhan terhadap tentara-tentara Belanda. Sebagaimana disampaikan oleh Lo and Gilbert (1998: 12), resistensi dilakukan secara terorganisir dalam upaya membebaskan diri dari penjajah. Dalam novel SdRAS, pengorganisasian itu dilakukan oleh si Untung bersama dengan Ki Ebun, dan Wirayuda di dalam sebuah penjara. Mereka menggalang persatuan kepada para budak dan para tahanan lainnya untuk menghancurkan kompeni. Setelah itu, mereka bergerak menuju kerajaan Kartasura, dan si Untung diberikan hak untuk memimpin sebuah kerajaan di Pasuruan. Sebagai seorang raja, si Untung sangat berani dan ditakuti kompeni. Akhirnya, ia mampu mempertahankan kekuasaannya dan mengalahkan kompeni pada saat mereka diserang oleh serdadu Belanda.

2.3. Sifat novel SdRAS Novel SdRAS memiliki sifat ambigu. Bhabha (2006: 122-123) menyatakan bahwa keambiguan muncul karena subjek kolonial bukan hanya mendukung kekuasaan kolonial, tetapi juga melawan dan meruntuhkan kekuasaan kolonial. Keambiguan ini disebabkan oleh mimikri (mockery) yang dilakukan oleh pribumi (subjek kolonial) dan mimikri memberikan efek yang dapat mengganggu kekuasaan kolonial. Wacana kolonial itu

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 219 cenderung ambivalen karena subjek kolonial tidak pernah secara tepat melakukan peniruan terhadap kekuasaan penjajah. Keambiguan novel SdRAS terlihat dari peristiwa- peristiwa yang membentuknya yang menampilkan pemikiran, sikap, dan perilaku yang ambigu. Keambiguan itu tampak pada tokoh-tokoh Suzanne, si Untung, Robert, dan Raja Sunan Mas (Amangkurat II). Keambiguan-keambiguan yang dibangun oleh Suzanne dan si Untung terletak pada pandangan-pandangan mereka bahwa antara pribumi dan Belanda harus berdamai, tetapi mereka justru menyangkal pandangan mereka sendiri, melalui perlawanan-perlawanan. Selain itu, Suzanne dan si Untung memandang bahwa percintaan (perkawinan) mereka sebagai sebuah jalan sesat, padahal sebelumnya mereka memiliki pandangan pernikahan sebagai salah satu jalan yang bisa mengharmonisasikan hubungan Belanda dan pribumi. Sementara itu, keambiguan-keambiguan novel ini juga terbentuk dari wacana- wacana tentang Robert. Pada awalnya Robert memiliki pandangan bahwa ia harus membenci Belanda karena Belanda telah menghina dirinya sebagai seekor beruk, akan tetapi ia membantah pandangannya sendiri dengan mengakui bahwa bangsa Belanda adalah bangsa yang beradab sehingga ia pantas menjadi bagian dari warga Belanda. Pada bagian lain, Robert yang sebelumnya membenci dan tidak mengakui Untung Surapati sebagai ayah kandungnya, akhirnya mengakui bahwa Untung Surapati adalah ayah kandungnya walaupun ia berasal dari bangsa budak. Sunan Mas juga memerlihatkan keambiguan. Di satu sisi, ia harus menyelamatkan kaum budak dan pribumi, akan tetapi, di sisi lain, ia bekerja sama dengan kolonial Belanda. Keambiguan itu tidak terlepas dari hegemoni kolonial Belanda yang masih mengikat pribumi, walaupun pribumi melakukan perlawanan-perlawanan. Akan tetapi, wacana novel SdRAS tidak terlepas dari kekuasaan pemerintah kolonial. Hasil penelitian pada permasalahan ketiga ini menunjukkan kesesesuaian pandangan dengan hasil penelitian Faruk (2007) yang menyatakan bahwa novel sastra Indonesia, seperti Siti Nurbaya dan Hikayat Kadiroen. Begitupula, hasil penelitian Liliani (2005) yang mengungkap bahwa karya sastra drama 9 Oktober 1970 karya Remy Sylado ada pada sifat yang ambigu.

3. SIMPULAN Relasi antara penjajah dan terjajah, antara Belanda dengan Pribumi ada dalam keadaan tidak seimbang. Belanda mendominasi pribumi. Dominasi Belanda kepada pribumi ditunjukkan dengan pikiran, sikap, dan perilaku kolonial Belanda kepada pribumi (Hindia Belanda). Pribumi dihina, disiksa, didiskriminasi, dan dimarginalkan. Adanya perilaku memarjinalkan ini berawal dari claim kolonial Belanda bahwa dirinya memiliki hak-hak istimewa yang berbeda dengan pribumi, sehingga orang lain diluar dirinya dipandang sebagai Other. Perlakuan-perlakuan kolonial Belanda itu diperlihatkan oleh tokoh-tokoh dalam novel SdRAS, yakni Tuan edeleer Moor kepada si Untung, Suzanne kepada si Untung, masyarakat Belanda kepada Robert, kompeni kepada Robert, kompeni Belanda kepada si Untung dan pribumi. Belanda melakukan penindasan dan perebutan kekuasaan dengan cara menindas dan melakukan peperangan atau pertempuran. Akibat penindasan penjajah Belanda, pribumi melakukan perlawanan-perlawanan. Perlawanan atau resistensi yang dilakukan oleh pihak pribumi dilakukan melalui dua cara,

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 220 yakni dengan cara mimikri mockery dan perlawanan secara radikal. Resistensi yang bersifat mimikri dan mockery itu dilakukan oleh si Untung kepada Suzanne. Mimikri lain juga dilakukan oleh si Untung ketika ia berhadapan dengan serdadu Belanda. Ia berpura- pura atau memperolok-olok serdadu dengan mengakui bahwa dirinya adalah pasukan Belanda. Ia menggunakan cara-cara Belanda agar selamat dari serdadu Belanda. Dalam peniruan itu, si Untung tidak secara tepat dan utuh menjadikan dirinya sebagai Belanda. Sementara itu, mimikri yang dilakukan oleh Robert justru menghancurkan dirinya sendiri. Ia diingkari kebelandaannya oleh massyarakat Belanda tetapi ia justru mengagungkan kebelandaannya itu. Akan tetapi, pada saat ia tewas dalam peperangan, ia tidak dipedulikan oleh Belanda. Novel SdRAS memiliki sifat ambigu. Keambiguan novel SdRAS terlihat dari peristiwa-peristiwa yang membentuknya yang menampilkan pemikiran, sikap, dan perilaku yang ambigu. Keambiguan itu tampak pada tokoh-tokoh Suzanne, si Untung, Robert, dan Raja Sunan Mas (Amangkurat II).

DAFTAR PUSTAKA

Anatona. 2000. Perdagangan Budak di Pulau Nias 1820-1860. Tesis UGM tidak Diterbitkan. Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin. 1998. Key Concept in Postcolonial Studies. London and New York: Routledge. ------.2002. The Empires Writes Back, Theory and Practice in Postcolonial Literatures: Routledge Tylor and Francis Group. Ashcroft, Bill. 2001. Postcolonial Transformation. London and New York: Routledge Tyalor & Francis Bhaha, Homi K. 2006. The Location Culture. London and New York. Routledge Classics. Breman, Jan. 1997. Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial pada Awal Abad 20. (Pe- nerjemah Koesalah Soebaagyo Toer. Judul Asli Koelies, Planters en Koloniele Politiek: het arbeidsregime op de grootlandbouwondernemin-gen aan Sumatra’s Oostkust in het begin van de twintigste eeuw diterbitkan oleh KITLV Uitgecerij di Leiden). Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. Fanon, Frantz. 2000. Bumi Berantakan, Buku Pegangan untuk Revolusi Hitam yang Me- ngubah Wajah Dunia. (Penerjemah Ahmad Asnawi. Judul Asli The Wretched of the Earth diterbitkan oleh Grove Press di New York). Jakarta: Teplok Press. Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial, Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Foulcher, Keith and Tony Day. 2002. “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature Introductory Remarks”. Dalam Postcolonial Readings of Modern Indonesia Literature Clearing a Space. Leiden: KITLV Press. Fritsch, Ryan. 2001. Racism, Nationlaism, Colonialism: A Reading of Loomba and Memmi. Political Science 347, 9 Oktober. Gilbert, Helen dan Jacqueline Lo. 1998. “Postcoloniality and The Question of Modern Indonesian Literature”. An International Reasearch Worksop, The Rex Cramphorn Studio Centre for Performance Studies University of Sydney, Maret, 29-31. Gouda, Frances. 1995. Ducth Culture Overseas, Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900- 1942. (Penerjemah Jugiarie Soegiarto dan Suma Riella Rusdiarti. Judul Asli Ducth Culture Overseas: Colonial Practice in The Netherland Indies 1900-1942 diterbitkan di Amsterdam oleh Amsterdam University Press). Jakarta: Serambi.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 221

Houben, Vincent J.H. “Boundaries of Race, Representations of Indisch in Colonial Indonesia Revisited”. Eds. Harald Fischer-Tine and Susanne Gehrmann. Dalam Empire and Boundaries, Rethinking Race, Class, and Gender in Colonial Settings. New York, London: Routledge Taylor & Francis Group. Liliani, Else. 2007. “Struktur Naratif 9 Oktober 1740 karya Remy Sylado: Kajian Postokolonial”. Yogyakarta. Tesis UGM tidak Diterbitkan. Moeis, Abdoel. 1953. Robert Anak Surapati. Djakarta: Balai Pustaka. ------. 1965. Surapati. Jakarta: Balai Pustaka. Nooij, A.T.J dkk. 1966. “Slavery as a System of Production in Tribal Society”, BKI, hal. 122 Said, Edward W. 1978. Orientalism. London and Henley: Routledge and Kegan Paul. Sarup, Madan. 2002. Identity, Culture, and The Postmodern World. Edinburgh: Edinburgh University Press. Sharpe, Jenny. 1995. “Figures of Colonial Resistance”. Eds. Bill Aschroft, dkk. Dalam The Postcolonial Studies Reader. Lonodn and New York: Routledge. Sumarwan, A. 2004. ”Menguak Potensi Pembebasan Pendekatan Poskolonial Atas Sastra Indonesia”. Basis. Nomor 03-04, tahun ke-53, Maret-April 2004. Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial (Penerjemah Mishbah Zilfa Elizabeth. Judul Asli Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change. Bandung: W. van Hoeve ltd-The Hougue). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 222

Peran Pendidikan Moral dalam Sastra Jawa sebagai Pendukung Identitas Nasional

Afendy Widayat (Pendidikan Bahasa Jawa, UNY)

Abstrak Dalam hubungannya dengan masyarakat, karya sastra selalu menyampaikan pesan-pesan moral, baik secara langsung maupun secara terselubung atau dramatik. Demikian halnya dengan sastra Jawa, bahkan dalam sastra Jawa terdapat jenis sastra khusus yang berisi ajaran moral yang disampaikan secara vulgar, yakni jenis sastra niti atau sastra piwulang. Tulisan ini mengetengahkan ajaran moral dalam sastra Jawa yang dapat menjadi pendukung identitas nasional. Ajaran moral dalam sastra Jawa, tidak bertentangan dengan Pancasila. Ajaran yang sangat mendukung keberadaan sila-sila dalam Pancasila, antara lain dalam Serat Wulang Reh, dalam Serat Tripama, Serat Nitisruti, Serat Nitipraja, Serat Sewaka, dan dalam Serat Partawigena. Ajaran moral yang ada menjadi pendukung identitas nasional, yakni sebagai bangsa yang ramah, bangsa yang sopan santun, suka tolong menolong, dan sebagainya.

A.Pendahuluan Kata sastra diketahui berasal dari bahasa Sansekerta, yakni dari akar kata sas yang berarti ‘mengajar’ dan tra yang berarti ‘alat’. Kata sastra kemudian dimaknai sebagai alat untuk mengajar. Pada kenyataannya sastra memang selalu berisi tuntunan-tuntunan ajaran, baik yang disampaikan secara simbolik maupun secara vulgar. Dalam sastra Jawa, keadaan sastra sebagai alat mengajar itu juga terlihat jelas, yakni dalam berbagai jenis sastra yang ada dan terlebih lagi pada jenis sastra piwulang atau sastra niti. Pada jenis sastra niti, berbagai ajaran moral disampaikan secara vulgar, namun dikemas dalam bentuk tembang macapat, sehingga terasa sangat mengena. Banyak masyarakat Jawa yang sangat hafal dengan bait-bait dari judul sastra niti tertentu, atau ajaran-ajaran tertentu. Hafalan-hafalan ini sering menjadi semacam kontrol sosial yang mendasari berbagai tindakan orang Jawa, dan bahkan kelompok masyarakat tertentu dalam hubungannya dengan moralitas. Pada gilirannya, berbagai landasan moral yang ada mampu membingkai dan memagari atau bahkan mengarahkan terbentuknya suasana masyarakat yang sangat nyaman yang dalam formula bahasa Jawa sering disebutkan sebagai keadaan yang ayem-tentem (aman-tenteram). Keadaan yang ayem-tentrem tersebut tentu saja didukung oleh sikap-sikap moral lainnya yang telah lama dikenal oleh berbagai bangsa, sebagai suatu identitas, yang ditujukan secara umum terutama yang dikategorikan sebagai bangsa Timur, yang secara lebih khusus menjadi ciri-ciri watak bangsa Indonesia, yang berwatak ramah-tamah, suka tolong-menolong atau bergotong royong, penuh etika sopan santun serta menghargai orang lain, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Dewasa ini identitas itu terasa semakin menghilang dari realitas di masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Pengaruh pandangan pragmatisme ke arah subjektivisme semakin banyak diterapkan oleh generasi muda, yang antara lain menghasilkan hedonism negative, kesemau-guean, dan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 223 sebagainya. Pada beberapa kota besar di Jawa telah terekam dan tercatat seringnya terjadi tawuran antar warga, tawuran antar sekolah, bahkan tawuran antara para mahasiswa, yang sunguh sangat memalukan dan terlebih lagi sangat mengkhawatirkan dalam rangka kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi bagi para generasi muda yang akan meneruskan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di waktu yang akan datang. Karya sastra Jawa sesungguhnya telah mewacanakan dasar-dasar moralitas yang mendasar yang sesunguhnya dapat diandalkan bila karya-karya yang bersangkutan dapat lebih diterima, dibaca dan diapresiasi, hingga dapat dijadikan sebagai pedoman hidupnya. Kertas kerja ini hendak mencoba menguraikan permasalahan yang terjadi dalam khasanah sastra Jawa, khususnya yang berhubungan dengan pendidikan moral di dalamnya yang diharapkan dapat tetap menjadi pendukung identitas nasional.

B. Karya Sastra dan Masyarakatnya Kata sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik (Ratna, 2003: 1-2). Dalam hubungannya dengan masyarakat, pendekatan pada karya sastra termasuk dalam pendekatan sosiologi sastra yang dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realita sosial yang terjadi dalam masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Damono (2002: 1) bahwa karya sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, sehingga dalam memahami dan menilai sastra dengan cara mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial). Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Sosiologi sastra terfokus pada masalah manusia dan masyarakatnya (Endraswara, 2003: 77-79). Semi (1985: 52-53) juga menekankan bahwa sastra tidak dapat terlepas dari masyarakatnya dan sosiologi sastra adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra, yang mengkhususkan diri dalam menelaah sastra dengan memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan. Karya sastra diketahui sebagai cermin kondisi sosial budaya pada suatu waktu dan daerah tertentu. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Keberadaannya sering dimengerti sebagai catatan-catatan atau mozaik-mozaik peristiwa yang satu dengan yang lain, meskipun tidak selalu tampil dalam keutuhan-keutuhan penggalan peristiwa. Kenyataan ini telah menjadi bagian yang menempatkan karya sastra sebagai realitas pendamping yang akan selalu mengikuti realitas sosial budaya yang bersangkutan. Segala pergeseran dan perubahan yang terjadi dalam realitas sosial sering kali tercatat dalam berbagai bentuk karya sastra dari waktu ke waktu dan dari tempat yang satu ke bagian daerah lainnya. Sejarah sastra sering kali sulit untuk dipisahkan dengan realitas historis dalam masyarakat tertentu, tidak terkecuali dengan yang terjadi di Indonesia. Di Indonesia dimunculkannya istilah angkatan-angkatan tertentu seperti angkatan Balai Pustaka, angkatan Pujangga Baru, angkatan 45, setelah kemerdekaan, dan seterusnya merupakan catatan yang tak tersangkal lagi. Di sisi lain, karya sastra bukanlah sekedar catatan realitas social. Karya sastra sekaligus juga merupakan wadah idealisasi pengarang yang notabene merupakan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 224 anggota kelompok social. Karya sastra sering mencatat persoalan-persoalan atau kepincangan-kepincangan atau keburukan-keburukan yang terjadi dalam masyarakat, yang sekaligus menawarkan solusi yang membangun, baik sekedar mengingatkan akan norma-norma yang telah ada, maupun menawarkan norma-norma baru yang mungkin dapat diberlakukan. Dalam hal ini karya sastra hadir sebagai control social sekaligus sebagai kritik yang mengarahkan tujuan kehidupan menuju kehidupan yang lebih baik, yakni kehidupan yang lebih manusiawi, lebih mulia, baik di mata dunia maupun di mata Tuhannya. Karya sastra sering dinilai sebagai karya yang baik bila karya sastra itu akan selalu mampu mempengaruhi pembacanya menjadi manusia yang lebih mulia itu. Terlepas dari seberapa tingkat keterpengaruhan pembaca pada suatu karya sastra, namun penghafalan dan pengapresiasian pada karya sastra atau bahkan bagian- bagiannya saja jelas merupakan hasil tersendiri yang tidak begitu saja dapat dinafikan. Secara umum karya sastra yang baik juga merupakan karya yang berhasil menjadi bacaan banyak orang. Karya sastra yang termasuk best seller ini menjadi pertanda bahwa tingkat keberterimaan orang semakin banyak maka kandungan isinya juga semakin universal, sehingga diasumsikan mengandung nilai-nilai kemuliaan yang juga lebih bersifat universal. Kenyataan keterbacaaan seperti ini sering kali terkecoh oleh iklan atau sponsor tertentu yang bersifat politis. Pembaca sering kali terkecoh dan penasaran pada karya sastra tertentu yang sengaja dipopulerkan oleh kelompok tertentu, sehingga univesalitas nilai yang dikandungnya juga lalu dipertanyakan di kemudian hari. Terlepas dari adanya sponsor atau tidak, masyarakat pembaca juga memiliki filter-filter tertentu dalam rangka kesesuaian-kesesuaian nilai-nilai yang telah menjadi cirri identitas budayanya. Penilaian karya sastra yang juga tidak kalah penting ialah bahwa karya yang baik akan bertahan pada usia yang panjang, tidak mudah dilupakan orang, dan dapat diapresiasi dari waktu ke waktu bahkan dari generasi ke generasi berikutnya. Pembaca yang baik sering kali memiliki catatan-catatan tentang berbagai hal yang dibacanya, termasuk dalam hal membaca karya sastra. Terlepas dari catatan itu tertulis atau tidak, bila catatan-catatan ini terjadi dengan jangkauan waktu yang relative panjang, dan oleh banyak pembaca, maka kesangsian akan nilai karya sastra itu semestinya tidak muncul lagi. Pergeseran-pergeseran nilai dalam masyarakat tentu juga terjadi, namun juga akan selalu terjadi bargaining secara perlahan. Kepastian yang terjadi dalam bargaining itu ditentukan oleh banyak factor, antara lain oleh kebijakan-kebijakan para penguasa atau tokoh-tokoh yang berpengaruh. Justru oleh karena itu, pembicaraan-pembicaraan seperti pada kesempatan ini perlu ditekankan dalam upaya mempertahankan nilai-nilai yang positif dan yang mengakar dalam budaya nusantara sebagai akar budaya nasional. Pada kesempatan ini yang lebih perlu digaris-bawahi adalah bahwa karya sastra sering kali menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat, tidak hanya bagi kelompok masyarakat tertentu, tetapi dapat juga menembus batas-batas social, bahkan batas-batas waktu dan batas-batas tempat. Dewasa ini penggunaan media massa yang sangat maju semakin menjadikan kemungkian keterbatasan-keterbatasan semacam itu menjadi semakin kabur, oleh karena itu diperlukan kebijakan-kebijakan dalam strategi kebudayaan nasional, termasuk di dalamnya dalam menyiasati lunturnya nilai-nilai yang mengakar dalam masyarakat nusantara.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 225

C. Sastra Daerah sebagai Latar dan Identitas Nasional Sejumlah karya sastra selalu muncul di Indonesia dari waktu-ke waktu di daerah yang satu ke daerah lainnya, baik dengan sarana bahasa Nasional bahasa Indonesia maupun dalam bentuk sastra daerah dengan bahasa daerah tertentu. Mengklasifikasikan sastra berdasarkan kebahasaannya tidaklah merupakan kesalahan, namun sengaja memisahkan antara sastra Indonesia sebagai sastra yang berbahasa Indonesia dengan sastra daerah yang berbahasa Daerah, sesungguhnya terasa menafikan realitas historis yang tercermin dalam bentuk sastra secara keseluruhan yang merupakan hasil dari keutuhan nasional. Permasalahan ini menjadi ironis manakala sastra daerah tidak mendapatkan tempat dalam rangka ikut mengisi program-program kemajuan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, setiap pemerintah daerah juga harus membuka diri dalam wacana identitas daerah sekaligus bagian dari identitas nasional. Bagi Indonesia, permasalahan ini terdukung dengan realitas historis bahwa bangsa Indonesia termasuk masih sangat muda untuk dinyatakan bahwa bangsa ini memiliki budaya nasional. Bangsa ini baru merdeka beberapa tahun yang lalu, dan secara politis baru dapat mempersatukan diri atas berbagai daerah yang ada di dalamnya, yang bila ditinjau dari perkembangan tradisi dan budaya termasuk masih sangat muda. Sebagai konsekuensinya, sastra nasional harus mengakui dan mendudukkan sastra daerah sebagai bagiannya yang secara integral telah lama mendasari munculnya sastra Indonesia dan kemudian ikut mendampingi hidup sebagai realitas sastra sebagai cerminan realitas sosial. Bahasa Indonesia sebagai sarana kebahasaan nasional, secara politis memang menggunakan istilah bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah tertentu, misalnya bahasa Melayu. Kenyataan ini telah membentuk kebersamaan pengakuan adanya bahasa milik bersama yang bersifat nasional, bahkan hal ini telah menjadi ideology, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, yakni setidaknya sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Secara politis hal itu kemudian didukung dengan dimuatnya bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Di sisi lain, penguasaan bahasa Indonesia pada setiap warga negara lebih cepat berkembang dari pada penguasaan setiap warga negara pada kebahasaan dari daerah lain. Orang Jawa lebih mudah berbahasa Indonesia dari pada menerima bahasa Sunda, Bali, Padang, dan seterusnya. Orang Sunda lebih mudah berbahasa Indonesia dari pada menerima bahasa Jawa, Bali, Madura, dan seterusnya. Hal ini di satu sisi merupakan kebanggaan yang harus dipertahankan, untuk mencapai kesepakatan cita-cita luhur nasionalisme bangsa Indonesia. Pada kenyataannya, bahasa Indonesia telah mampu mewadahi berbagai ekspresi dari bermacam-macam aspirasi dan imajinasi setiap pengarang sastra Indonesia. Sastra Indonesia telah diakui eksistensinya justru karena memang telah terbukti dalam mengisi sejarah sastra Indonesia itu sendiri. Sastra Indonesia telah mampu berdiri secara mandiri terlepas dari kategori sastera induknya, yakni sastera-sastera daerah, khususnya sastera Melayu. Di lain pihak, bila mau jujur, sastra Indonesia sebelum kemerdekaan sesungguhnya belum ada. Yang ada, adalah sastra-sastra daerah, seperti sastra berbahasa Melayu di daerah-daerah tertentu. Para pengarang, tentu saja secara eksis tidak pernah merasa risih karena memang belum terjadi adanya panggilan untuk mengabdikan diri pada sastera dan bahasa Nasional. Hal serupa jelas terjadi juga pada sasterawan-sasterawan di daerah lainnya, seperti sastera Jawa, Sunda, Bali, dan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 226 sebagainya, yang juga eksis menggunakan bahasa masing-masing. Kenyataan ini sering kali terabaikan, terutama justru sastera Indonesia (sastera di Indonesia) itu dalam hubungannya dengan kondisi social di masyarakatnya, dan terlebih lagi dalam hubungannya dengan sejarah sastera Indonesia (sastera berbahasa Indonesia dan sastera di Indonesia). Bahasa Indonesia, sebagai bahasa yang mandiri, ditinjau dari umurnya, memang masih relative muda sekali, namun demikian telah diakui ekisistensinya. Sebaliknya, bila dipertanyakan, kebudayaan yang manakah yang disebut budaya Indonesia itu? Jawabannya, sebagaimana telah diperdebatkan dalam Konggres Kebudayaan Indonesia, antara lain mencuatkan isu tentang puncak- puncak kebudayaan daerah. Hal ini yang kemudian juga dicantumkan dalam Penjelasan UUD 45 pasal 32 tentang Kebudayaan Bangsa, yang mengangkat atau mengakui puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di Indonesia. Meskipun tidak juga pernah dijelaskan apakah yang dimaksud dengan puncak-puncak kebudayaan di daerah itu, namun setidaknya terdapat kesadaran bernegara dan berbangsa akan pentingnya kebudayaan-kebudayaan daerah dalam hubungannya dengan kebudayaan nasional. Dalam hubungannya dengan sejarah sastera Indonesia, bila disetujui bahwa sebelum kemerdekaan belum ada sastera Indonesia, maka wajar bila memunculkan salah satu pemikiran yakni puncak-puncak kesusasteraan daerah sebagai pendukung sastera nasional, meskipun kemudian, juga muncul pertanyan yang manakah itu ? Secara historis, suatu kebudayaan tidak pernah putus, kecuali pemangku kebudayaan itu sendiri punah. Yang sering terjadi adalah pergeseran demi pergeseran budaya. Sejarah budaya Indonesia merupakan rentetan sejarah budaya yang tentu saja didasari oleh sejarah kebudayaan-kebudayaan daerah, yang baru di kemudian hari, hidup berdampingan secara linear dan saling mempengaruhi. Bila setelah kemerdekaan, memunculkan sastera-sastera Indonesia (berbahasa Indonesia) dan menjadi salah satu tonggak sejarah sastera Indonesia, maka secara historis tidak terlepas dari sejarah berbagai kondisi dan berbagai lembaga yang terlibat di dalamnya, termasuk sejarah hidup pengarang dan kepengarangannya. Dengan kata lain sastera-sastera daerahlah yang mengisi sejarah itu, atau sastra berbahasa Indonesia dengan kebudayaan-kebudayaan daerah sebagai ideologinya. Artinya, sastera Indonesia yang relative masih sangat muda untuk ukuran perkembangan kebudayaannya, belum terjadi kekhususan yang mandiri. Bila ditegaskan, maka yang ada adalah sastera-sastera daerah yang berbaju sastera berbahasa Indonesia. Isinya adalah sastera Melayu, sastera Jawa, sastera Sunda, sastera Bali, sastera Batak, dan seterusnya, atau sastera yang bersifat multi cultural yang juga telah diwarnai oleh peradaban modern. Tidak berlebihan bila sering kali tampak adanya pencangkokan-pencangkokan budaya daerah ke ranah nasional. Dari pandangan tertentu, Ajip Rosidi (2010: 12) menyinggung hal demikian itu merupakan pencangkokan yang memerlukan berbagai penyesuaian, yang terasa memaksakan bila pencangkokan itu hanya sekedar menjual nasionalisme, tanpa penggarapan yang lebih mendasar pada masyarakat pendukungnya. Seperti telah disinggung di atas, bahwa secara kebahasaan, sastera dan dengan bahasa Indonesia dapat hidup eksis meninggalkan sastera dan bahasa-bahasa daerah. Hal ini di satu sisi, bila pemerintah tidak juga memperhatikan kebudayaan atau sastera daerah, tampak mengabaikan atau bahkan menafikan keberadaan sastra-sastra daearah.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 227

Dengan kata lain, sastera Indonesia tampak tidak memerlukan kehidupan sastra lainnya sebagai bagian dari sejarah sastra nasional. Namun demkian, terutama dalam hubungannya dengan kondisi social budaya yang melatar-belakanginya, sastera Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan bahasa dan budaya-budaya daerah. Hal ini bukan saja dalam hubungannya dengan sejarah sastera Indonesia seperti diuraikan di atas, namun terlebih dasar, yakni kebudayaan-kebudayaan daerahlah yang memang menjadi tumpuannya hingga sekarang. Kebudayaaan-kebudayaan daerah khususnya pada tataran idiologis (alam ide) lah yang tetap mendasari karya-karya sastera berbahasa Indonesia. Pemaknaan sastera Indonesia tidak mungkin terlepas dari konvensi budaya yang mendasarinya. Misalnya, sajak Subagio Sastrowardojo tidak dapat dipahami secara baik tanpa mengenal wayang dan peranan wayang. Seandainya pun sejumlah pengarang memiliki idiologi baru demi Indonesia dan menolak idiologi kedaerahannya, itu pun hanya dapat dibaca mulai dari dan dalam rangka kebudayaan yang melatarbelakanginya (kebudayaan daerahnya), sebagaimana dalam prinsip ketegangan sastra, yakni antara konvensi dan invansi, dan seterusnya (Teeuw, 1984: 100-101). Pada kenyataannya, sastera daerah, pada saat ini hidup pada kelas kedua, yakni di bawah kelas sastera Indonesia. Hal ini bukanlah suatu kesalahan, karena kesadaran menasional telah menjadikan situasi yang lebih menekankan kepentingan nasional, namun demikian, pemaknaan sastera Indonesia pada berbagai aspek harus dan mau tidak mau, mendasarkan diri pada ideology kebudayaan suku-suku di sepanjang dataran pulau-pulau di Nusantara. Hal ini didukung oleh realitas historis bahwa kekhususan budaya Indonesia juga masih merupakan ramuan yang diusung dari budaya-budaya Nusantara. Tidak dipungkiri bahwa sebagian budaya-budaya daerah itu menunjukkan ideology yang sama atau seiring sejalan, namun sebagiannya lagi juga harus diakui bahwa terdapat perbedaan-perbedaan yang merupakan ciri kekhususan kebudayaan masing-masing daerah yang bersangkutan, bahkan sebagiannya lagi terdapat nilai-nilai budaya yang dikemas dengan keadaan atau kebahasaan tertentu yang tidak juga ditemukan pada daerah lain. Sebagian kehidupan kebudayaan-kebudayaan daerah itu, mau tidak mau mewarnai kehidupan sastera Indonesia, baik dalam baju bahasa Indonesia maupun tetap mempertahankan kebahasaan daerah masing-masing. Dalam hal ini karya sastra sebagai cerminan realitas social, juga akan berperan sebagai catatan identitas nasional. Berbagai ajaran dan pandangan hidup yang tertuang di dalamnya merupakan pandangan hidup masyarakat yang melahirkannya. Sastra daerah, sebagai latar belakang munculnya sastra Indonesia, juga merupakan latar tentang identitas nasional.

D. Bahasa Jawa sebagai Sarana Bersastra Jawa Kesusasteraan Jawa, adalah karya-karya sastra yang berbahasa Jawa, baik berbahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan (Pertengahan), maupun bahasa Jawa Baru (Poerbatjaraka, 1957: v). Pada pembicaraan sub bab ini pembahasan akan ditekankan pada bahasa Jawa Baru. Bahasa Jawa Baru merupakan bahasa Jawa yang dipergunakan sebagai wahana komunikasi mulai sekitar abad XVI hingga saat ini. Berbeda dengan bahasa Jawa Kuna dan Pertengahan yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta, bahasa Jawa Baru antara lain memiliki ciri pengenal yakni banyaknya pengaruh dari bahasa Arab, karena telah berhubungan dengan sejarah masuknya agama Islam di Jawa.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 228

Masing-masing dari ketiga jenis bahasa Jawa di atas, juga memiliki karakteristik yang khas, yang berhubungan dengan karakteristik sosial tertentu dan estetikanya masing-masing. Sebagai misal, bahasa Jawa Kuna, dalam banyak kasus menekankan aspek keindahan (kalangwan) dalam hubungannya antara penyair dan karya sastranya dengan raja, dewa dan lingkungan alam, baik alam dalam pola pikir di India maupun di Jawa. Bahasa Jawa Pertengahan, pada beberapa hasil sastra kidung tampak menekankan aspek historis dan penokohan pahlawan-pahlawan tertentu, serta kondisi lingkungan sosial di Jawa terutama dari Kerajaan . Sedang pada bahasa Jawa Baru, sebagiannya merupakan penulisan kembali karya-karya sastra lama, sebagiannya lagi merupakan karya baru yang bernuansa Islami atau lingkungan sosial pada jaman Pesisiran, atau karya-karya jaman Mataram. Sebagian lagi merupakan karya modern yang telah mendapat pengaruh Barat dengan menekankan kehidupan keseharian. Di samping hal-hal di atas, dalam hubungannya dengan jenis karya sastra Jawa, sering kali dijumpai jenis-jenis sastra Jawa tertentu yang banyak menekankan penggunaan bahasa Jawa tertentu pula. Dalam sastra wayang, misalnya, meskipun muncul dengan bahasa Jawa Baru pada dekade belakangan, namun penggunaan bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Pertengahan masih relatif dominan. Dalam sastra suluk atau wirid dan sastra Islami lainnya, termasuk sastra Pesisiran, tentu saja penggunaan bahasa dengan pengaruh bahasa Arab akan tampak dominan. Sedang dalam sastra Jawa yang berjenis novel, novelet cerpen (cerkak), geguritan, dan sandiwara modern, penggunaan bahasa Jawa Baru sehari-hari tampak paling dominan. Yang perlu juga dicatat adalah bahwa dalam bahasa Jawa Baru ditekankan adanya undha-usuk, yakni tataran kebahasaan dalam hubungannya dengan status pembicara terhadap orang yang diajak berbicara. Dalam konteks sosial, penggunaan bahasa jawa Baru telah membantu pengkajian sastra untuk merekonstruksi struktur sosial yang ada dalam karya sastra dalam hubungannya dengan struktur sosial yang sesungguhnya dalam realita kehidupan orang Jawa (Widayat, 2011: 23-24). Dalam undha usuk basa Jawa, secara teoritis ada yang membagi tingkatannya itu menjadi 13 macam, namun juga ada yang menyederhanakan hanya menjadi 3 macam saja, yakni basa ngoko, ngoko alus dan basa krama . Basa ngoko yakni bahasa Jawa yang dipakai untuk orang yang sejajar umurnya, sejajar kedudukannya sosialnya, atau orang yang telah akrab. Basa ngoko alus yakni bahasa Jawa yang dipakai bagi orang yang sejajar umurnya, sejajar kedudukannya sosialnya, atau orang yang telah akrab, tetapi lebih menghormati pada yang diajak berbicara. Adapun basa krama adalah bahasa Jawa yang paling halus, yang dipergunakan oleh orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua, orang yang kedudukan sosialnya lebih rendah kepada yang lebih tingi, atau orang yang belum dikenalnya. Dalam hal ini pembicara yang lebih tua atau yang lebih tingi kedudukan sosialnya, lebih bebas menggunakan tataran undha usuk yang manapun, artinya dia juga boleh menggunakan ragam karma sekalipun, tidak harus dengan ragam ngoko. Ajip Rosidi (2010: 119-121) memandang undha usuk basa, yang dalam hal ini bahasa Sunda, sebagai bahasa yang negative karena hasil rekonstruksi feodalisme. Dinyatakan bahwa undha usuk basa Sunda sebaiknya diabaikan, tidak perlu diajarkan di sekolah, karena Tatar Sunda termasuk wilayah Indonesia yang demokratis, sehinga tak pantas mempertahankan yang feodalistis, yang membedakan manusia berdasarkan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 229 kedudukan sosialnya. Berbeda dengan pandangan itu, undha usuk bahasa Jawa dalam berbagai kesempatan, termasuk pada kurikulum di sekolah, sengaja diajarkan. Alasan yang mendasar tentu saja, bukan karena feodalismenya, tetapi dalam rangka menghormati orang lain, dan dalam rangka sopan santun berbahasa. Menurut hemat penulis, apapun alasannya, peringkat social di mana pun tetap terjadi, hingga pada efek sikap penghormatannya. Tentu saja hal ini tidak menjadi alasan bagi status social atas untuk tetap juga menghormati tingkat social di bawahnya, sehingga banyak pula atasan- atasan yang tetap mempergunakan bahasa Jawa halus (krama atau ngoko alus) kepada bawahannya, apa lagi bila bawahannya itu lebih tua. Artinya, tampak sekali bahwa penggunaan undha usuk basa Jawa, lebih menekankan penghormatannya kepada orang lain, bukan meremehkan orang lain. Hal ini didukung adanya bukti bahwa, kepada orang yang belum dikenalnya, meskipun dengan orang yang lebih muda pun, yang lebih sering dipergunakan adalah bahasa Jawa halus (krama atau setidaknya ngoko alus). Dalam pembicaraan ini, terutama pada karya sastra Jawa modern, penggunaan undha usuk basa tetap dilakukan oleh para penulis sastra Jawa yang relative masih muda pun. Pada hemat penulis, penggunaan undha usuk basa dalam karya sastra ini, secara tidak langsung akan memberikan ajaran pada para pembacanya yakni tentang pentingnya menghormati orang lain, sopan santun, dan seterusnya, yang pada mulanya menjadi identitas masyarakat Nusantara pada umumnya. Bagaimana pun tata caranya, namun identitas nasional sebagai bangsa yang sopan santun, yang ramah, yang suka tolong menolong, perlu dipertahankan, termasuk dalam rangka sopan santun berkomunikasi menggunakan bahasa apa pun.

E. Ajaran Moral Sastera Jawa sebagai Pendukung Identitas Nasional Di samping ajaran secara tidak langsung yang terdapat dalam undha usuk basa yang dipergunakan dalam sastra Jawa, karya sastra Jawa juga banyak berisi ajaran- ajaran moral yang telah tertuliskan dan sudah dikenal secara luas dalam rentang waktu yang cukup lama, dan yang mesti harus dipertahankan sebagai pendukung identitas nasional. Menurut Ahmad Tohari (2009: 1) pada masa lampau karya sastra tidak hanya mengandung pemikiran penulisnya, melainkan juga mengandung nasihat dan pengajaran. Nasihat ataupun pengajaran yang terdapat dalam karya sastra biasanya berkaitan dengan sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Kebudayaan pada Jaman Majapahit misalnya, juga menghasilkan karya-karya sastra yang berisi piwulang atau sastra tuntunan yang berisi ajaran moral. Kitab-kitab piwulang yang digubah pada jaman Majapahit antara lain Nitisastra dan Darmasunya. Kitab-kitab piwulang itu sebagian sangat populer pada masa itu dan sebagian menjadi acuan untuk disalin atau ditulis kembali. Menurut Robson, dalam artikelnya berjudul Java at the Cross Road, pada jaman Majapahit, disinyalir agama Islam telah menunjukkan jejaknya di Jawa (Kartodirdjo, dkk., 1988: 21). Kitab-kitab ajaran moral yang berasal dari jaman Hindu pada saat itu, dengan demikian, sangat mungkin telah mendapat pengaruh dari ajaran dan budaya Islam, oleh karenanya tidak berlebihan bila serat-serat niti dalam sastra Jawa merupakan karya jaman Hindu yang telah terpengaruh Islam. Kebudayaan pada jaman Mataram Islam memang juga menghasilkan karya-karya piwulang seperti Serat Nitisruti, Serat Nitipraja dan Serat Sewaka. Ketiganya berisi petunjuk sikap dan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 230 moral bagaimana cara mengabdi dan bagaimana cara memerintah kerajaan (Kartodirdjo, dkk., 1988: 22-23). Suatu contoh ajaran moral yang dikandung dalam Serat Wulang Reh yaitu anjuran agar setiap orang bersedia bertindak rendah hati kepada sesama hidup, hormat kepada yang lebih tua, mengasihi kepada yang lebih muda. Apabila terjadi perselisihan, disarankan supaya mau mengalah. Kata-kata kasar mesti harus dihindari, dan mau mencegah kelakuan yang merugikan. Demikian itu cara orang untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan menurut Serat wulang Reh (Soetrisno, 2004 : 17). Adapun Serat Centhini, menggariskan kewajiban atau syarat etis seorang calon sarjana-sujana (cendekia yang baik), yaitu: nastiti (berhati-hati), nestapa (sanggup bersusah-payah), kulina (membiasakan diri), diwasa (bersikap dewasa), santosa (berteguh hati), engetan (mengingat-ingat), santika (pandai), lana (berketetapan). Sarjana sujana, haruslah memenuhi kualifikasi: paramasastra (pandai bersastra), paramakawi (menguasai budaya tradisional), mardibasa (menguasai bahasa), mardawalagu (menguasai tembang), hawicarita (berpengaruh), mandraguna (terpercaya), nawungkridha (berketerampilan), sambegana (berbudi baik). Berbagai ajaran yang disampaikan kepada masyarakat, setelah Indonesia merdeka, tentu saja tolok ukur kebaikannya mesti harus sesuai dengan idealisme jamannya. Setelah Indonesia merdeka, landasan ideal bangsa Indonesia adalah Pancasila. Kelima sila dalam Pancasila merupakan dasar dari segala kebijakan dan praktek kehidupan bangsa Indonesia. Tidak berlebihan bila Pancasila menjadi objek kajian dari berbagai sudut pandang, antara lain Pancasila dipandang sebagai alat pemersatu, sebagai pandangan hidup bangsa. Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai yang digali dari nilai-nilai yang telah dimiliki oleh bangsa-bangsa di Nusantara, termasuk suku bangsa Jawa, yang pada akhirnya menjadi bangsa Indonesia. Sutadi pada bukunya Mbangun Praja kangge Nanggapi Ewah-ewahan Jaman (2006: 13-26 ), menyatakan bahwa hasil-hasil karya sastra Jawa secara umum banyak berisi berbagai ajaran yang sangat mendukung keberadaan sila-sila dalam Pancasila, antara lain dalam Serat Wulang Reh, dalam Serat Tripama, dan dalam Serat Partawigena.

F. Simpulan dan Saran Ajaran moral dalam sastera Jawa secara umum tidak bertentangan dengan nilai- nilai Pancasila. Hal ini tidak mustahil karena nilai-nilai Pancasila memang digali dari nilai- nilai budaya bangsa Indonesia sejak lampau, termasuk bangsa Jawa. Bila demikian halnya, maka nilai-nilai ajaran moral yang ada dalam karya-karya sastra Jawa, yang sesuai dengan Pancasila menjadi pendukung identitas nasional Indonesia, oleh karena itu masih perlu banyak diteliti kembali berbagai ajaran moral yang terdapat dalam karya- karya sastra Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 231

Franz Magnis Suseno, 1996. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafah tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Kartodirdjo Sartono, dkk. 1988, Beberapa Segi Etika dan Etiket Jawa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta Poerbatjaraka, R. Ng., 1957, Kapustakan Jawi, Djambatan, Jakarta. Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rosidi, Ajip. 2010, cet II. Masa Depan Budaya Daertah: Kasus Bahasa dan Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya Semi, Atar. 1985. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. Soetrisno, 1977. Falsafah Hidup Pancasila sebagaimana Tercermin dalam Falsafah Hidup Orang Jawa. Yogyakarta : Lembaga Pengembangan Masyarakat Universitas Gadjah Mada. Sutadi, 2006, Mbangun Praja kangge Nanggapi Ewah-ewahan Jaman, Pepadi, Jawa Tengah

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 232

Logika Hati dalam Sastra “Kiri” Indonesia (1950-1965)60

Rhoma Dwi Aria Yuliantri, M. Pd Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, UNY

Abstrak Penelitian hitoris ini mencoba melihat perkembangan sastra “kiri” yang berkembang di Indonesia pada tahun 1950-1965. Penelitian ini sangat penting karena memahami sastra “kiri” yang berkembang di Indonesia pada tahun 1950-1965 tidak saja hanya melihat perkembangan karya sastra, namum membuka jalan melihat politik, budaya, dan proses pembentukan identitas menjadi sebuah bangsa bernama Indonesia. Lepas dari salah benar ideologi “kiri” tersebut namun penelitian ini menjadi penting untuk menambah kekayaan wacana, refleksi sejarah khususnya sejarah sastra yang pernah ada yang dapat membukakan pintu untuk mengenal zaman pada masa itu. Naiknya sastra “kiri” ke panggung kebudayaan Indonesia menjadi unik dan penting untuk dikaji dalam rangka pembentukan sebuah identitas kebudayaan Indonesia. Pertayaan yang muncul adalah bagaimana perkembangan sastra “kiri” Bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan sastra Indonesia? Bagaimana penggaruh tokoh/politikus partai kiri (Partai Komunis Indonesia) dalam perkembangan sastra “kiri? Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang akan dibahas dalam artikel ini. Data yang berhasil saya catat di Riset ini bersandar pada sumber utama surat kabar Harian Rakjat (HR) karena dari data yang saya catat sepanjang hari, sekira tahun 1961, cerpen-cerpen maupun puisi-puisi satrawan LEKRA maupun satrawan yang satu ideologi selalu di muat di HR. Selain itu penulis juga menggunakan sumber pendukung seperti, wawancara dengan satrawan LEKRA. Penggunaan sumber tersebut tentu berpengaruh dalam hasil penelitian, yaitu sastra kiri menjadi “nampak” besar dalam perkembangan dan penggaruhnya. Pada fase inilah seni budaya Indonesia dipandang sebagai produk proses politik. Politikus sekaligus tokoh inti Partai Komunis Indonesia, dan pendiri LEKRA, Njoto adalah salah satu sosok yang memberikan penggaruh yang besar bagi perkembangan sastra kiri saat itu. Ia merupakan “penghubung” antara sastra, “politik” saat itu.

Pengantar Definisi “kiri” dalam politik adalah definisi yang kabur karena pada setiap masa, tempat, dan kondisi tertentu “kiri” bisa bermakna berbeda-beda.61 Pada konteks Indonesia, “kiri” yang dimaksud seringkali mengacu pada oposan pemerintah. Pada masa Kolonial Belanda, kelompok “kiri” yang dimaksud adalah kaum oposisi bagi pemerintah Hindia Belanda, baik itu kelompok agama, nasionalis, sosialis, maupun komunis. Pada masa Soekarno yang dianggap kelompok oposan adalah kaum imperialis dan anti nasakom. Sedangkan pada masa orde baru yang dianggap kiri adalah kelompok “komunis”.

60 Riset ini adalah bagian dari riset yang didukung oleh KITLV (Royal Nederlands Institute of Southeast Asia and Caribbbean Studies) Leiden. 61 Munculnya istilah "kiri" dan "kanan" terjadi ketika Revolusi Perancis (1789) ketika anggota Majelis dibagi menjadi pendukung raja ke kanan presiden dan pendukung revolusi di sebelah kirinya.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 233

Seorang ahli politik Klaus Von Beyme mengurutkan kelompok politik dari kiri ke kanan, menurutnya posisi sebelah kiri adalah kelompok komunis, sosialis. Parni Hadi dalam buku Prahara Kebudayaan, menyatakan bahwa Lekra sebagai pendukung realisme sosialis, sebagai kelompok kiri.62 Maka, “kiri” dalam artikel ini yang dimaksud adalah seseorang/sekelompok yang seideologi/satu rumpun dengan sosialisme atau komunisme. Pada artikel ini, mengkhususkan karya sastra yang seideologi dengan aliran tersebut adalah karya sastra sastrawan/seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Pada era Soekarno yang diawali dengan diajukannya gagasan mengenai Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) sangat mempengaruhi seluruh aktifitas politik dan kebudayaan. Pada konteks ini kedudukan Lekra yang seideologi dengan Komunis setidaknya menjadi unsur penting dalam poros Nasakom.63 Unsur penting lainnya64 dalam poros Nasakom di bidang kebudayaan yang dianggap mewakili kelompok agama adalah kehadiran Lesbumi, dan LKN (PNI) dari kelompok Nasionalis. Masa demokrasi terpimpin (1950-65) dipilih karena masa itu merupakan masa- masa yang paling menarik. Pada saat itulah proses identitas kebudayaan Indonesia tengah dibangun. Kala itu cara membangun indentitas kebudayaan nasional sangat beragam, namun yang paling menarik adalah media massa yang berafiliasi, atau bersimpati pada partai politik turut mempromosikan dan mempublikasikan karya seni kebudayaan tersebut. Media massa yang berada digaris depan untuk mempublikasikan hasil karya-karya seniman-seniman Lekra adalah Harian Rakjat (HR). Hal ini disebabkan karena HR diasuh oleh salah satu pendiri Lekra yaitu Njoto sebagai kepala dewan redaksi. Selain HR, Bintang Timur65 dan Zaman Baru66 juga menjadi wadah bagi karya seniman-seniman Lekra. Penting dicatat dari sekian banyak produksi naskah kreatif sastrawan Lekra seperti, cerpen tidak hanya dituliskan tetapi juga kemudian diceritakan, naskah novel yang kemudian dibacakan dengan hikmah. Naskah-naskah tersebut dapat ditemui dalam edisi Harian Rakjat (HR). HR sebagai harian politik dan bukan koran kebudayaan memang sangat tidak lazim memberikan tempat yang sederajat antara berita reguler dan cerpen. Publikasi lewat media massa masing-masing lembaga kebudayaan itulah yang sering kali memunculkan perdebatan politik dalam ranah kebudayaan. Pada pembahasan ini tidak akan memfokuskan pada polimik tersebut, karena sudah banyak diulas oleh banyak peneliti. Tulisan ini akan membahas khusus mengenai Lekra, karya-karya, serta salah satu sosok yang memberikan penggaruh politik dalam karya sastra seniman Lekra.

62 D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Kebudayaan; Kilas Balik Ofensif Lekra dan PKI, Bandung: Mizan dan HU Republika, 1995, p. 11. 63 Tanpa bermaksud mengesampingkan kelompok kebudayaan lain, pada konteks ini unsur penting lainnya dalam poros Nasakom di bidang kebudayaan yang dianggap mewakili kelompok agama adalah kehadiran Lesbumi, dan LKN (PNI) dari kelompok Nasionalis. 64 Tanpa bermaksud mengesampingkan lembaga-lembaga kebudayaan yang lain misalya Lembaga Seniman Budayawan Muslimim Indonesia (Lesbumi/NU), Himpunan Kebudayaan Indonesia Katolik (LKIK/Partai Katolik), Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi/Partindo) dan lain-lain. 65 Pramoedya Ananta Toer dan S Rukiah Kertaparti mengasuh lembar kebudyaan Lentera di Bintang Timur. 66 Tabloit seni-budaya yang terbit setiap bulan dan diterbitkan secara independen oleh Lekra.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 234

Lestra Wadah Sastrawan Lekra Paska Revolusi Agustus 1945, Indonesia mencari identitas kebudayaan nasional. Dalam perjalanannya muncul sebuah organisasi kebudayaan, LEKRA, dideklarasikan D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta, dan Njoto pada 17 Agustus 1950.67 LEKRA dimaksudkan untuk menghimpun dan memperkuat buhul kebudayaan nasional dan teguh mendukung Revolusi. Sikap ini semakin jelas ketika Sekretaris Umum LEKRA Joebaar Ajoeb68 menyampaikan laporan umum Pengurus Pusat organisasi ini dihadapan peserta Kongres Nasional I LEKRA di Solo 1959:

LEKRA didirikan di tahun 1950 dari kesadaran tentang hakekat Revolusi Agustus 1945 dan tentang hubungannja antara Revolusi itu dengan kebudajaan. Bahwa Revolusi itu besar sekali artinja bagi kebudajaan, dan bahwa sekaligus, sebaliknja, kebudajaan besar sekali artinja bagi Revolusi Agustus.69

Mengenai sifat organisasinya, sejak awal LEKRA sudah menegaskan diri sebagai organisasi terbuka, dalam arti terbuka terhadap setiap aliran kesenian, dan terbuka untuk bekerja sama dengan organisasi kebudayaan lain yang sealiran.70 Hal ini diperjelas dalam Mukadimah LEKRA (1950).71

LEKRA menempatkan rakyat sebagai akar penciptaan, seperti yang tercermin dalam konsepsi kebudayaan rakyat 1950. Menurut Mukadimah LEKRA, ‘Perjuangan Kebudayaan Rakyat adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan Rakyat umum’.72

67 ‘Laporan umum pengurus pusat LEKRA kepada Konggres Nasional ke I LEKRA’, Harian Rakjat, 31-1-1959. Lihat lebih lanjut Keith Foulcher 1986:20 yang menyebut enam anggota Sekretariat LEKRA pertama: A.S. Dharta, M.S. Ashar, Herman Ardjuno, Henk Ngantung, Njoto dan Joebaar Ajoeb. A.S. (Adhi Sidharta) Dharta (1924-2007), penulis yang juga menggunakan banyak nama samaran termasuk Klara Akustia and Jogaswara, menjabat Sekretaris Umum LEKRA yang pertama, sampai 1959. Setelah coup 1965, ia ditahan 1965-78. Njoto (1925-65), musikus dan penulis, diangkat menjadi salah satu dari lima anggota Politbiro PKI pada tahun 1951, tetapi pada tahun 1964, “dipecat” dari jabatannya sebagai Wakil Ketua II CC PKI. Pada tahun 1965 dia lenyap, diperkirakan dibunuh. Pelukis Henk Ngantung (1921-1991), menjabat beberapa kedudukan di LEKRA, juga Gubernur Jakarta pada tahun 1964. Setelah peristiwa 1965, ia tidak ditahan. 68 Joebaar Ajoeb lahir 1926 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, dan meninggal dunia 1996 di Bandung. Tahun 1959, ia diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi anggota DPR-GR/MPRS RI. Berdasarkan hasil Pleno I LEKRA, 28 Januari 1959 di Solo, Jawa Tengah, dia terpilih menjadi sekretaris umum LEKRA. Sebelum tahun 1959 Joebaar Ajoeb pernah menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Pemuda Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Anggota Dewan Penasihat Siaran Radio Departemen Penerangan Republik Indonesia, dan Anggota Dewan Film Departemen Penerangan Republik. Sejauh ini saya belum menemukan waktu dan tahun yang pasti tentang keterlibatan Joebaar Ajoeb dalam lembaga-lembaga tersebut. Setelah peristiwa 30 September-1 Oktober 1965, ia ditahan tanpa proses hukum. 69 ‘Laporan umum pengurus pusat LEKRA kepada Konggres Nasional ke I LEKRA’, Harian Rakjat 31-1-1959. 70 Sabar Anantaguna (1929- ), salah satu anggota sekretariat pusat LEKRA (hasil Kongres Nasional 24-29 Januari 1959 Solo, Jawa Tengah) menjelaskan sifat terbuka organisasi LEKRA (wawancara 4-9-2009). Teman sekolah Njoto di Jember, Jawa Timur, Anantaguna ditahan setelah peristiwa 1965, dan di pulau Buru 1970-78. 71 Foulcher, Keith, Social commitment in literature and the arts; The Indonesian institute of people’s culture 1950-1965. Australia: Southeast Asian Studies, Monash University, P. 212. 72 Ibid., P. 211.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 235

Secara keorganisasian, LEKRA mempunyai tujuh lembaga kreatif,73 empat di antaranya hasil bentukan pada bulan-bulan setelah Kongres LEKRA di Solo 1959, yaitu Lembaga Sastera Indonesia, Lembaga Senirupa Indonesia, Lembaga Film Indonesia, dan Lembaga Senidrama Indonesia. Ketiga lembaga kreatif lainnya, yaitu Lembaga Musik Indonesia (LMI), Lembaga Senitari Indonesia, dan Lembaga Ilmu Indonesia, dibentuk setelah sidang pleno LEKRA Agustus 1960.74 Lembaga Sastra Indonesia (Lestra) didirikan sekira Maret-April 1959. Sebagai ketua Bakri Siregar dan wakil ketua Pramoedya Ananta Toer. Lestra melakukan Konfrensi Nasional di Medan dari tanggal 22 sampai 25 Maret 1963. Sidang Pleno dilaksanakan di Palembang pada tanggal 23 Februari 1964. Sidang ini menjadi penting dicatat karena salah satu keputusan dalam sidang adalah penggayangan aktivitas-aktivitas kebudayaan yang bersebrangan, termasuk Manikebu. Dua bulan berselang, Manikebu dilarang oleh presiden Soekarno. Banyak hal yang dilakukan dan dipikirkan oleh anggota Lestra dalam proses pencarian indetitas nasional yang sesuai dengan jalur yang dianut organisasi Lekra. Diantaranya adalah tindakan-tindakan untuk mengubah “pengajaran sastra” yang dinilai oleh anggota Lestra berbau Neokolonialis dan Manikebu. Perubahan ini dilakukan dengan mendukung departemen P.D. dan K untuk meritul buku-buku yang tidak sesuai dengan semangat Manipol dan TAVIP. Selain itu Lestra mendesak agar pelajaran bahasa Indonesia dikembalikan dalam kelompok dasar susunan mata pelajaran. Beberapa tindakan lain yang diambil untuk memperbaiki mata pelajaran sastra adalah: (1) melancarkan kritik terus menerus akan bahaya laten Manikebu, (2) koordinasi antar elemen gerakan yang serasas, (3) perluasan pendapat umum dan usaha menyeleksi kembali kelayakan buku ajar, (4) memproduksi karya sebanyak-banyaknya karya yang diluar Balai Pustaka, (5) menyusun buku utama sejarah sastra (modern) Indonesia yang Indonesia-sentris. Selain dalam pendidikan sastra, lestra juga meletakan perhatian pada satra anak. Sastra anak yang ideal menurut garis Lestra adalah satra anak yang mendidik untuk memperteguh sikap anak, mudah dimengerti, sederhana, dan dibuat kompleks sesuai dengan pertumbuhan anak-anak. Salah satu yang disorot dalam sastra anak adalah membajirnya komik-komik terjemahan yang ceritanya dinilai kurang mendidik. Selain itu kontak-kontak kesetiawakawan sastrawan sastrawan dunia terus dijaga oleh para anggota Lestra dengan hadir dalam Konfrensi Sastrawan Asia pertama diadakan di Republik Sosialis Uzbekistan pada 7 Oktober 1958, konfrensi ke dua diadakan di Mesir pada 13-20 November 1962, Konfrensi Sastrawan Asia Jepang (1958), Konfrensi Sastrawan Berlin 1961, dan lainnya. Keikut sertaan anggota Lestra ini membuktikan bahwa sastrawan Indonesia secara aktif terlibat dalam kancah kesusastraan dunia. Selain itu yang menjadi salah satu fokus dari Lestra adalah semangat untuk merevitalisasi sastra daerah. Sebagai contoh, melakukan revitalisasi dalam sastra Jawa

73 Dalam Rhoma D. A. Yuliantri 2008:35-8 disebutkan bahwa LEKRA memiliki hanya 6 lembaga kreatif tanpa menyebutkan Lembaga Ilmu Indonesia. Mengenai Lembaga Ilmu Indonesia, saya belum menemukan informasi lebih lanjut. 74 Tidak diketahui pasti kapan LMI ini didirikan terpisah dari Lembaga Tari Indonesia. Dalam Kongres I LEKRA di Solo tahun 1959, lembaga itu disebut bersamaan dengan Lembaga Tari sebagai ‘Lembaga Musik Indonesia dan Lembaga Tari Indonesia’. Lihat Laporan Kebudajaan Rakjat II, diterbitkan oleh bagian Penerbitan Lembaga Kebudajaan Rakjat, h. 165. LMI Djogja baru didirikan kemudian pada 15 April 1963. Lihat ‘Laporan Kusni Sulang melawan musik ngak- ngik-ngok mengembangkan musik jang kerajatan’, Harian Rakjat 2-1-1964.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 236 dengan mencegah bahasa-bahasa untuk “ngelmu klenik yang abstrak”, namun tidak menghilangkan sastra asli yang biasa memakai bahasa simbolik, wangsalan, parikan, bebasan, saloka, paribasan, sendon, sesindiran, rumpakan, dan sebagainya. Sastra daerah diharapkan menjadi satra yang berpihak kepada rakyat bawah bukan elitis. Agar satrawan Lekra –dalam hal ini Lestra- terus meningkatkan dan bergiat dalam berkarya, HR memiliki andil dengan memilih puisi, cerita bersambung, naskah lakon, esai, cerita pendek dan naskah terjemahan terbaik disetiap akhir minggu. Selain itu pergelaran malam puisi juga acapkali diadakan, sebagai contoh digelarnya acara Malam Puis II di Dewan kesenian Djakarta, tanpa membatasi penampil. Tidak hanya di Jakarta acara-acara seperti ini juga digelar di daerah-daerah seperti, Yogyakarta, Bandung, Palembang, dan sebagainya. Acara-acara seperti inilah yang menarik banyak massa.

Garis Mencipta Sastrawan Lekra Rujukan bagi pekerja kreatif Lekra termasuk para sastrawan adalah 1-5-1 yang menempatkan “Rakyat sebagai satu-satunya pencipta kebudayaan”. “Politik adalah Panglima” ditempatkan sebagai asas dan basis dari lima kombinasi kerja; (1) meluas dan meninggi. Kesenian dapat dimengerti masyarakat secara luas tetapi harus juga dipadukan dengan meninggi yang bertujuan mendidik masyarakat, (2) tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik. Mutu ideologi dalam arti seni bertendensi yang berpihak pada rakyat namun artistiknya juga harus tinggi. (3) tradisi baik kekinian dan revolusioner. Bukan berarti mengelap-ngelap budaya “kuno” tetapi mengambil dari yang baik dari budaya tersebut lalu memadukan dengan yang kekinian bersifat ilmiah. (4) kreatifitas individual dan kearifan massa. Kreatifitas individual adalah anugrah alam yang harus disyukuri, tetapi harus digunakan dengan kearifan massa. Kreatifitas individu yang tidak dihubungkan dengan kreatifan sosial dan politik menjadi subjektifisme dalam berkesenian. Subjektifisme berarti berkesenian tanpa memperdulikan orang lain. (5) realisme sosial/realisme revolusioner dan turun ke bawah. Realisme memerlukan pengertian umum dan khusus, yang meliputi faktor-faktor tipikal dan karakteristik. Turun ke bawah bukan berarti turisme, tetapi benar-benar menjadi bagian dari masyarakat. Namun, sejauh riset yang telah saya lakukan rujukan 1-5-1 bagi pekerja kreatif Lekra hanya diterapkan oleh beberapa orang dan tidak konsep tersebut tidak diambil secara “untuh”. Menurut Anantaguna (sastrawan Lerkra) realisme sosial sendiri merupakan “teologi” yang dianjurkan namun penafsirannya berbeda-beda.75 Bahkan di tataran anggota Lekra paling bawah (desa) konsep 1-5-1 ini tidak dikenal atau dipahami. Karya bertendensi sejatinya merupakan hal biasa dalam karya sastra. Jauh sebelumnya pada masa Pujangga baru karya-karya sastra juga bertendensi, bahkan Chairil Anwar juga memiliki tendensi dalam karyanya. Namun, yang menjadi unik dalam karya Lekra tendes kadang-kadang diartikan sebagai juru bicara partai PKI. Sebagai contoh karya Kuslan Budiman, “Ganyang Setan Pitu”;76 Bung Njoto terus sesorah Ganyang lintah darat Ganyang tuwantanah Musnahkan bangsane kabir

75 Wawancara dengan S. Anantaguna, 2009. 76 Lih. Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan, Gugur Merah, P. 434.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 237

Sirnake pejabat jahat

Ing pedesaan akeh setan Tukang ngijo-bandit kepruk Keparat tengkulak jahat

Ayo konco ayo kadang Setan pitu kita ganyang Ganyang, ganyang! Ayo ganyang! Revolusi mesti menang. Selain puisi yang bertendensi, ada pula puisi karya sastrawan Lekra yang menggunakan bahasa ungkap yang jauh dari puisi famplet, sebut saja Agam Wispi, Risakotta, Kusni Sulang, dan Amarzan. Sebagai contoh, karya Agam Wispi “Suara dari Piano”: dentang penghabisan telah tinggal bersama kelam rakyat pekerja telah keluar dari debu dan api dentang penghabisan telah membuka pintu malam dengan persahabatan tak bertepi yang matang bersama hari aduh-mak-oi manisnya pagi ini sekawan merpati terbang tinggi

Pintubesar 30-9-58

Berdasarkan puisi yang saya himpun (sekira 300 puisi),77 tema-tema yang diambil dalam puisi sastrawan Lekra sangat luas dari soal partai, solidaritas A-A, nasi, buruh, Konfrensi Meja Bundar, tuan tanah, jendral-jendral, pemodal asing dan lainnya, karena pada konsepnya puisi tidak boleh jauh dari realitas rakyat. Namun yang jauh dari rakyat dan realitas sosial diyakini sebagai puisi hanya dipahami oleh seniman itu sendiri dan hanya dijadikan sebuah monumen. Puisi-puisi seniman Lekra selain dibacakan juga diadopsi sebagai syair lagu. Sebagai contoh dapat dipetik dari kisah komponis lagu bernama Michael Karatem (1929).78 Pada tahun 1964, ia mengaransemen lagu dari syair Putu Oka Sukanta yang berjudul Dikaki-kaki Tangkuban Perahu, dengan memasukkan irama khas daerah Sunda.79 Puisi Njoto “Merah Kesumba”, kemudian diarasemen oleh Amir Pasaribu sebagai sebuah lagu.

77 Lih. Rhoma Dwi Aria dan Muhidin Dahlan, Sehimpunan Puisi Lekra. 78 Michael Karatem adalah musisi yang banyak mencipta lagu seperti Gugur ditanah garapan, Pemuda njalakan api Revolusi dan mengarasemen lagu Bunga merah, Djangan djamah Tukin, Ketaon dan lainnya. 79 Putu Oka Sukanta (1939- ) adalah sastrawan yang pernah bergabung dengan LEKRA. Ia ditahan pada bulan Oktober 1965 sampai 1976. Dalam riset ini saya menemukan partitur lagu Dikaki-kaki Tangkuban Perahu yang diaransemen oleh Karatem. Lagu ini sempat menjadi lagu wajib dalam perlombaan Bintang Radio, seriosa jenis bariton, pada tahun 1967, pada saat Karatem dan Putu Oka di penjara. Lagu Dikaki-kaki Tangkuban Perahu juga merupakan cerminan kerjasama antar penyair dan musisi. Terima kasih atas penguluran tangan Karatem, Titik dan Putu Oka yang telah memberi keterangan tentang lagu Dikaki Tangkuban Perahu.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 238

Berdasarkan cerpen-cerpen karya sastrawan Lekra (sebanyak 100 cerpen) yang telah saya himpun,80 secara umum cerpen-cerpen tersebut berbasis semangat revolusioner dan kerakyatan. Barangkali karena semangat “politik adalah panglima”, maka, banyak cerpen-cerpen menyerupai “reportase” laporan atas kondisi masyarakat sehingga karya tersebut cenderung bergaya “pamflet”. Tema-temannya tentu saja merespon tentang bahaya imperialisme, serta rekaman-rekaman atas peristiwa politik yang tengah terjadi. Sesuai dengan konsep pandangan 1-5-1 maka dalam karya-karya tersebut hampir tidak ada cerita yang berbau tahayul, hantu-hantuan, rasial, atau tema- tema “abstrak” yang jauh dari masyarakat.

Njoto Pikiran dan Pengaruhnya dalam Sastra Kiri Njoto menjadi ‘satu-satunya’ petinggi Partai Komunis Indonesia yang memiliki perhatian lebih dalam bidang kebudayaan. Sebagai politikus Njoto tampil sebagai sosok yang lebih humanis menyoal budaya dan seni. Perhatian Njoto dalam bidang sastra semakin besar seiring dengan didirikannya LEKRA 1950, serta dibangunnya PKI ‘baru” bersama Aidit. Njoto nampaknya cukup sadar sebagai seorang politikus ia harus tanggap terhadap soal-soal budaya dan kesenian. Pernyataan Njoto yang cukup menarik dan patut disimak adalah kritiknya terhadap para pejabat negara yang tidak terlalu memperhatikan kesenian. Tulis Njoto: “Sungguh menyedihkan sekali bahwa begitu banjak pembesar jang tidak tahu bahwa kesenian itu mempunjai funksi sosial jang besar...Djika pembesar2 itu mau berusaha kearah perombakan keadaan taksehat ini, disamping meringankan penghidupan seniman2 kita, mereka djuga akan turut berdjasa kepada kehidupan kesenian kita. Seniman2 kita harus hidup, tetapi diatas se-gala2nja kesenian harus hidup!”81

Bagi Njoto, kesadaran budaya memiliki posisi penting sama halnya dengan kesadaran ideologi dan kesadaran politik untuk menjadi benteng spiritual budaya feodal dan kebudayaan imperialis.82 Kesadaran budaya yang diposisikan sama penting dengan kesadaran politik barangkali menjadi alasan Njoto untuk lebih memperhatiakan soal-soal budaya. Njoto, nampaknya sadar bahwa kesadaran budaya memiliki penggaruh begitu besar terhadap sola-soal politik termasuk dalam upaya pencarian identitas budaya Indonesia yang dianggap nasional. Njoto memiliki posisi penting, ia adalah juru bicara yang menangkis pendapat- pendapat yang dianggapnya “miring” tentang LEKRA, khususnya tentang kedudukan “politik dalam seni” dan karya sastra Lekra yang diangap pamflet. Hal ini bisa dilihat dari pemikiran-pemikiran dan pembelaan-pembelaan dia baik dalam bidang sastra, musik maupun seni lainnya yang dibahas dalam bab-bab berikutnya. Sebagai pengurus sekretariat pusat LEKRA, Njoto memiliki banyak pandangan dan pemikiran tentang karya sastra kala itu. Tentu saja, pandangannya tentang sastra dipengaruhi oleh ideologi politiknya. Ketika kondisi Indonesia memanas yaitu yang dikenalkan oleh istilah Soekarno dengan tahun-tahun menyerempet bahaya “Viveri

80 Lih. Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Laporan dari Bawah; Sehimpunan Cerita Pendek Lekra-Harian Rakjat 1950-65, Yogyakarta: Merakesumba, 2008. 81 Iramani, ‘Pelukis Rakjat” 14 Agustus 1954. 82 Njoto, “Sambutan Laporan Umum”, P. 56

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 239

Pericoloso”, keadaan budaya pun ikut memanas. Njoto sendiri menjadi pihak yang giat menyuarakan tentang “satra revolusioner” kepada para sastrawan LEKRA.

“...tidak ada gunanja kita berbitjara tentang perasaan [sic] perasaan serta emosi yang murni dalam penulisan sastera. Tugas kita adalah mentjerminkan abad kita, mentjerminkannja-....”83

Njoto memiliki definisi sendiri tentang bagaimana sastrawan berekpresi. Menurutnya isi pemikiran dan perasaan-perasaan harus jelas ditujukan untuk siapa, dan kelas yang mana? Atau dengan kata lain kejujuran seorang seniman itu memiliki arti bagi kelas tertentu yang tentu saja kelas proletar. Njoto, mengamini pendapat Aidit, bahwa sikap yang paling tepat, paling revolusioner yang ilmiah adalah pendirian proletariat.84 Bagi mereka berdua kelas yang paling bebas dari kepalsuan serta kemunafikan adalah proletariat, kelas yang terus terang dan memiliki humanisme kelas. Menurut Njoto, ada sebuah kejujuran yang tidak “baik” dalam karya sastra. Misalnya, kejujuran Boris Pasternak dalam karya Doctor Zhivago. Boris Pasternak adalah satrawan dari Soviet, karyanya Doctor Zhivago ditolak dan ditentang oleh pemerintah Soviet. Zhivago dinilai pemerintah Soviet kala itu pertetangan dengan garis Marxis, menunjukan kesejahteraan individual bukan kesejahteraan masyarakat dan meniratkan kritik atas penjara Stalin. Buku ini sepat diterbitkan di Italia (1957), tahun kemudian diterbitkan dalam 18 bahasa. Atas karyanya Boris Pasternak dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra pada tahun 1958. Pasternak menolaknya atas permintaan pemerintah Soviet. Barangkali karena karya Pasternak yang dianggap bertentangann dengan Soviet dan bertetanga dengan Marxis maka dimata Njoto karya ini dianggapnya kurang baik. Meskipun Njoto juga mengakui bahwa bahasa Rusia yang digunakan Pasternak sangat bagus, namun Njoto menilai karya Pasternak jujur, tetapi jujur yang tidak memiliki arti sama sekali. Menurut Njoto” Pasternak rasanja djudjur mengira dan berpendapat bahwa Revolusi Oktober hanja menghantjurkan keradjaan inteligensia, padahal sesungguhnja Revolusi Oktober hanja menghandjurkan keradjaan inteligensia burdjuasi, sebagai syarat mutlak bagi pembangunan ,,keradjaan baru—Republik inteligensia proletar”.85 Bagi Njoto kejujuran Pasternak adalah kejujuran kotra-revolusioner. Menurut Njoto, tugas kesusastraan revolusioner adalah melukiskan watak-watak manusia baru, yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah dan kesusastraan.86 Maksudnya adalah satrawan dengan genre revolusioner rakyat pekerja bukan feodalis atau borjuis. Menurut Njoto, sastrawan revolusioner akan akan mengutamakan pengolahan tentang soal-soal sekarang, tentang Indonesia, akan menguliti kaum penghisap (tuan tanah dan kapitalis birokrat) dan mengutamakan tema-tema rakyat pekerja, terhadap kesusastreraan asing sasterawan revolusioner bersikap kritis dan menapis, mengambil yang baik dan membuang yang buruk.87 K Kesusasteraan yang dinilai baik oleh Njoto

83 Njoto didepan Konfernas I LEKRA: Kesusastraan revolusioner dan gerakan revolusioner, HR. 13 April 1963. 84 Ibid. 85 Ibid. 86 Ibid. 87 Njoto. “Njoto; Galang persatu2an semua saterawan patriotik”. HR. 6 April 1963. P. III

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 240 tentu saja kesustraan secara umum yang berasal dari negara-negara komunis dan sosialis dan atau karya sastra yang memiliki gaya realisme serta dianggap revolusioner. Terhadap seni yang dianggap borjuis Njoto menentang keras tetapi dalam karya tradisi yang dianggap sebagai feodalis Njoto memiliki pendapat sendiri. Bagi Njoto penggunaan bentuk-bentuk lama untuk pengolahan tema-tema baru tidak perlu adanya pembatasan, tradisi baginya bukan hanya sekedar bentuk.88 Pernyataan Njoto ini sekaligus dapat menjelaskan posisi tradisi dalam konsep yang dianut oleh LEKRA. Selain itu sikap ini juga menjelaskan keterbukaan terhadap aliran lain. Menggenai keterbukaan terhadap aliran lain Njoto mengamini yang dinyatakan Rivai Apin yang menurutnya sesuai dengan Mukadimmah LEKRA, menurutnya peninggalan nenek moyang, peninggalan klasik, maupun modern harus dipelajari dengan seksama dan meneruskan secara kreatif untuk menciptakan budaya baru yang nasional dan ilmiah.89 Keterangan ini berarti penerimaan terhadap tradisi maupun aliran lain tidak serta merta atau mentah-mentah diterima begitu saja, tetapi ada tujuan untuk meneruskan tradisi tersebut dengan “pembaharuan” untuk menuju kebudayaan yang dicita-citakan. Njoto tidak menerima begitu saja karya-karya klasik, dalam bidang karya sastra misalnya, Njoto menyebutkan Ronggowarsito satrawan Jawa karyanya dianggap menyebarkan kegiatan mistik dan ultra-mistik atas nama tradisi. Kritik terhadap Ronggowarsito sejatinya bukanlah hal yang baru, Poerbatjaraka juga memandang Serat Pustaka Raja sebagai ‘omong kosongnya” Ranggawarsita.90 Kritik Njoto terhadap Ronggowarsito bukanlah hal yang membuatnya alergi terhadap Ronggowarsito. Pandangan mendua dari Njoto atas karya pujangga Rongggowarsito bukanlah sesuatu yang mengherankan, karena Njoto juga memiliki falsafah untuk agar tidak segan-segan untuk membuang yang buruk tetapi mengambil yang baik. Demikian pula Njoto dalam bersikap terhadap Ronggowarsito dan karyanya. Pada sebuah pidato Njoto tak segan-segan untuk mengutip Ronggowarsito untuk memberikan semangat dan pandangan kepada para sastrawan agar berani menjadi satrawan revolusioner “Ronggowarsito sekali pernah berkata: ,,wanio lamun perang (beranilah djika berperang).91 Njoto juga memiliki padangan tentang ukuran kritik isi dan bentuk sastra.92 Realisme yang dimaksud Njoto bukan hanya sebuah potret tetapi juga menunjukkan tujuan dan arah jelas kemana karya sastra itu ditujukan, bukan saja untuk rakyat tetapi juga terlihat cita-cita untuk masa depan. Realisme dimata Njoto tentu saja tidak lepas dari realisme ala Gorki. Karya sastra dalam kacamata Njoto, memiliki mutu yang baik jika karya sastra tersebut syarat akan nilai moral. Njoto percaya bahwa tidak ada kebebasan individu dalam bidang sastra. Menurut Njoto manusia yang mendambakan kebebasan individu 100% diartikannya sebagai manusia yang abstrak yang hidup dalam dunia yang abstrak.93

88 Ibid 89 Ibid 90 Poerbatjaraka, Kepustakaan Jawa,....dalam S. Margana, Pujangga dalam Bayang-bayang Kolonial, p. 199. 91 Njoto. “Njoto; Galang persatu2an semua saterawan patriotik”. HR. 6 April 1963. P. IV. 92 A.S. Dharta. “Ukuran Bagi Kritik Sastra Indonesia Dewasa Ini”. Zaman Baru. No. 3 bulan Djuni 1950, p. 20. 93 Njoto, “10 Tahun Lekra: Persatuan Tenaga2 Kebudajaan Patriotik dan Demokratik”, Zaman Baru, No. 18-19 1960, Nomor Pleno Agustus, p. 10.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 241

Njoto juga menyadari bahwa seniman Lekra memang tidak bebas 100%, tetapi bergantung pada rakyat. Maka tidak heran kalau kemudian karya sastrwan-sastrawan Lekra (Lestra) bertendensi.

PENUTUP Sastra kerakyatan menemukan masa keemasan pada saat demokrasi terpimpin di bawah penggaruh LEKRA. Pada saat itu sastra sepenuhnya diarahkan pada pemihakan yang jelas baik pemihakan pada rakyat yang tertindas maupun pemihakan secara politik. Partai politik (Partai Komunis Indonesia) juga memberikan andil yang besar dalam perkembangan sastra kiri saat itu dengan memberikan ruang yang luas bagi seniman- seniman seideologi untuk menulis cerpen di halaman HR. Sastra “kiri” memiliki pandangan bahwa sastra adalah keterwakilan dari suara kelas, berbicara tentang realitas dan suara atas keadaan rakyat. Baginya sastra adalah bagian dari politik yang tidak terpisahkan. Seniman harus mengetahui untuk siapa karya itu ditujukan. Keterlibatan tokoh politik seperti Njoto, dalam bidang kebudayaan (termasuk sastra) membuat warna kesusastraan Indonesia kian berwarna. Lepas dari benar salahnya ideologi yang mereka anut, itulah warna sastra yang pernah hadir dan mewarnai sejarah sastra Indonesia. Kini, sastrawan anggota Lekra dan simpatisannya di pojok-pojok dunia masih mengangsur hidup di batas senja, tetap berkarya dan menambah keragaman sastra Indonesia kini. Menuju proses pembentukan jati diri sastra nasional Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Kebudayaan; Kilas Balik Ofensif Lekra dan PKI, Bandung: Mizan dan HU Republika, 1995. Foulcher, Keith, Social commitment in literature and the arts; The Indonesian institute of people’s culture 1950-1965. Australia: Southeast Asian Studies, Monash University, 1986. Rhoma D. A. Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Lekra Tidak Membakar Buku; Suara Senyap Lembar Kebudyaan Harian Rakjat 1950-1965, Yogyakarta: Merakesumba, 2008. , Gugur Merah; Sehimpunan Pusisi Lekra 1950-1965, Yogyakarta: Merakesumba, 2008. , Laporan dari Bawah; Sehimpunan Cerita Pendek Lekra-Harian Rakjat 1950-65, Yogyakarta: Merakesumba, 2008. S. Margana, Pujangga dalam Bayang-bayang Kolonial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Surat Kabar

Iramani, ‘Pelukis Rakjat”, Harian Rakjat 14 Agustus 1954. ‘Laporan umum pengurus pusat LEKRA kepada Konggres Nasional ke I LEKRA’, Harian Rakjat 31-1-1959.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 242

‘Laporan Kusni Sulang melawan musik ngak-ngik-ngok mengembangkan musik jang kerajatan’, Harian Rakjat 2-1-1964. Njoto didepan Konfernas I LEKRA: Kesusastraan revolusioner dan gerakan revolusioner, HR. 13 April 1963. Njoto. “Njoto; Galang persatu2an semua saterawan patriotik”. HR. 6 April 1963. Njoto. “Njoto; Galang persatu2an semua saterawan patriotik”. HR. 6 April 1963. P. IV. A.S. Dharta. “Ukuran Bagi Kritik Sastra Indonesia Dewasa Ini”. Zaman Baru. No. 3 bulan Djuni 1950. Njoto, “10 Tahun Lekra: Persatuan Tenaga2 Kebudajaan Patriotik dan Demokratik”, Zaman Baru, No. 18-19 1960, Nomor Pleno Agustus.

Wawancara

Wawancara dengan S. Anantaguna, 2009. Wawancara dengan Michael Karatem 2010.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 243

The Archeology of Football Fans: Football, Media and Identity (A paper on Siwi Mars Wijayanti’s Novel Koloni Milanisti)

Muhammad Taufiqurrohman, S.S., M.Hum. Departement of English Literature, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto [email protected]

Abstract Football as one of the most today popular cultures has been very potential in shaping the identity of its fans. Through intensely media broadcast, the internationalized football constructs the birth of the ‘hybrid’ identity faster: identity that was built in the frontiers of ‘national’ and ‘international’ discourses. In line with the issue, it is very surprising that this phenomenon of the archeology—in the sense of Foucauldian ‘archeology’—of football fans has been intentionally depicted in Koloni Milanisti, a novel written by Indonesian author. This paper deliberately addresses the need (1) to capture the process on creating the archeology of football fans that leads us to investigate the role of media in shaping the identity of football fans in Indonesia, as depicted within the novel. Besides, it also suspiciously concerns (2) to interrogate the potent problems that may rise from this global phenomenon, particularly in the context of issuing postcolonial identity of Indonesian people as the ‘third world country’. This paper applies one of Cultural Studies approaches namely ‘textual analysis’—in the sense that ‘text’ is any communicative or expressive artifact produced by the media industry. To deepen the analysis, this paper applies relevant theories to discuss the issues of identity including mimicry theory, hegemony theory, discourse analysis theory, and media culture theory. The result of the analysis reflects that the archeology of football fans has been mainly built by the role of media, such as radio, newspaper, and television. These media intentionally deliver the discourse of ‘national’ and ‘international’ identity and other discourses. Then, these discourses strongly influence the identity of football fans. This result leads to potent problems that may rise, there are (1) practicing ‘mimicry’ by east people (Mars) to west people (AC Milan’s players) that strongly implies the era of culturally neo-colonization, and (2) establishing endlessly inferiority complex of the people of ‘third world country’ (Mars) which always extremely opposing “kampung” and “international”.

Keywords: football fans, identity, media

This paper is actually an experiment on literature-cultural studies research. By literature research, I simply mean that the object of the research is a literary work, a novel Koloni Milanisti by Siwi Mars Wijayanti who creates the main character “Mars” as one of million Indonesian women who proudly claims as ‘milanisti’—a name for a big football fans of the much-love Italian football club, AC Milan. Thus, the intrinsic elements of the novel become the primary data of the research as a literature research always does. Nevertheless, through cultural studies research, I intentionally apply cultural studies as the approach of the research. This leads me to use some theories related to cultural studies approach, particularly theories on discourse analysis, postcolonial identity and media culture.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 244

I intentionally borrow Foucault’s notion of “the archeology of knowledge”94 as the title of the paper to comparatively analyze “the archeology of football fans”. However, I don’t intend to rigorously apply the theory for the analysis. Yet, the applied theories have already been mentioned above. All in all, it focuses on (1) how ideologically95 the intensive media broadcasts of “international football” construct the identity of the main character which is an Indonesian woman football fans; and (2) what issues of postcolonial identities which are resulted by the discursive practice96 of media as seen in the shifting identity of the main character “Mars”. Football and Media: Creating “International” Football Fans In this sub-chapter, I present how the media create football fans with their intensely broadcast of football. The broadcasts I mention are not only about football match which becomes the most important site, but also any kind of broadcasts related to football. They could be the TV programs of sport news, radio broadcast on football, TV ads using football players, poster of “international” football player, sport magazines and some newspaper desks on sports, propaganda films, and so on. As reflected in the novel, I focus only on two major media which bring the most significant influence in shaping the identity of the main character. Both are radio and television. For these reasons, those ‘imaginary’ media are actually the sites which I am going to discuss one by one in the sequent analysis. After mapping on those media, I finally conclude the important role of the media through football in creating “international” football fans, especially focusing on only the milanisti “Mars”. In brief, this analysis is a kind of archeological biography of Mars as a milanisti through media she always engages with.

The Radio Phase “Aku telah diracuni sebuah permainan yang membuatku kecanduan—mungkin karena sejak dulu sudah ada bibitnya sejak aku sering mendengarkan pertandingan sepak bola di radio butut milik kakekku, dan percaya sepenuhnya pada omongan Sutan Harahap.” (Wijayanti, 2012:16)

94 In his book The Archeology of Knowledge, Foucault insists that language can’t be isolated from “a historical given moment or continuum, there exists a radical and marked connection or difference between individual linguistic elements.” He further proposes that “the way in which certain of these elements, referred as statements, are linked by a coherence to form and define a distinct field of objects (for example, ‘madness’, ‘illness’, ‘criminality’), a particular repertoire of concepts, a specific ‘regime of truth’ (that is, what can be said and what must be left unsaid) and a definite set of subject positions. Such coherent formations are defined by Foucault as discursive practices.” (Hall, ed., 1980:202)

95 I primarily borrow Althusser’s theory of ideology as “providing the frameworks of understanding through which men interpret, make sense of, experience, and ‘live’ the material conditions in which they find themselves. … Thus, for Althusser, ideologies were those images, representations, categories through which men ‘live’, in an imaginary way, their real relation to their conditions of existence. … Ideologies were materially located and were therefore best examined, in their practico-social effect, in the institutional sites and apparatuses (the ISAs) which are elaborated them.” (Hall, ed., 1980:20)

96 By all of “discursive practice” notion in this paper, I referred the notion to Foucault’s theory of discourse which has already been written in the previous footnote.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 245

The first and foremost media which constructs Mars as a football fans is radio. Through this media, she at the very beginning recognizes the football game. It is her grandfather’s old radio which she always looks forward to listening the broadcasts of Indonesian football league named League. Amazingly, she warily listens the up-down voices of the radio which at that time broadcasted a deadly match, Indonesian El Classico, Persebaya (a Surabaya football) against Persija (a Jakarta football club) (p.11). To her, this experience always becomes unforgettable memory when she traces her story about falling in love with football. Moreover, the social context of the story brings deep nuance on the story. The place she lives in is an extremely remote area. It is a small village in the corner of Kebumen where still does not link to private TVs in the year of 1996 (p.22). This nostalgic rendezvous with radio becomes the most important step of becoming football fans in the main character’s life. From this background, I treasure some findings. First, the radio functions as a cultural artifact which makes the creation of making football fans become worldly possible. By putting “worldly”, I state that the process of being football fans won’t be possible without this rendezvous. Second, it reflects that the first known and admired football by Mars is national football. Before admiring and announcing herself as milanisti, she firstly becomes a fans of Indonesian Federation League and some national clubs which make him addict to football, such as Persebaya and Persija. Third, this fact brings us the indication that radio primarily becomes the sites of “contestation of “national” versus “international” football which ideologically attaches the body97 of the main character. For instance, a particular act of building the discourse in this step is the voice of the famous commentator Sutan Harahap which makes her totally believe in anything the man delivers (p.16). Thus, in this phase (I call it as the radio phase) the ideology winning the contestation is “national” football—signed by the fact that Mars becomes fans of national club and league. However, the main reason for the winning of “national” football is not merely about the presence of worthy national club/league, but also (and to me this is the most possible reason) the absence of other media as cultural sites bringing the discourse of “international” football as counter- discourse. Finally, after the emergence of TVRI and the following private TVs after 1996 into the village she can reach the so-called “international” football or vice versa—that the TVs broadcasting football finally attaches her body to the “international” football.

The TVRI Phase “Apalagi saat TVRI, satu-satunya stasiun TV yang bisa tertangkap di kampungku, menayangkan liga Jerman setiap malam Minggu.” (Wijayanti, 2012:17)

97 In line with the Foucault’s theory of discourse, the body becomes the main site of contested ideologies because it is the first and closest site for the subject of knowledge to be attached by determining historical conditions bringing the so-called “language”. Then, this overall language under the conditions of certain formation is called “discourse”. In short, the body is a battleground of discourses.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 246

The second but most important media which creates Mars as football fans is Television. Her story about childhood memory of the old radio soon ends when TVRI (the official TV of Indonesian Republic) finally broadcasts Indonesian football match. Very amused, she always waits for the football match named the First Dunhill League which is always lively broadcasted by TVRI (p.16-17). The league leads her to see a complete football competition. Indeed, the “football poison” successfully pours her nerve and brain. She becomes more addicted with football during this phase, especially when finally TVRI broadcasts Bundesliga (Germany League) every weekend (p.17). As we see from the data above, this phase finally ends the radio phase, but at the same time, it leads us to a new phase that I call as the TVRI phase. The end of the radio phase obviously signs the end of the triumph of “national” football discourse over “international” football discourse. Instead, the coming of the TVRI phase slowly indicates the rise of “international” football in the life of Mars. The rise is clearly reflected in the TVRI programs which broadcast not only Dunhill League but also Bundesliga which makes the main character becomes more addicted with football. From this data, I can state that the presence of Bundesliga in TVRI has just signed the beginning triumph of “international” football over “national” football in Indonesia—which is actually symbolized on the self of Mars. The sign of the rise of new triumph is clearly seen in the way of how Mars easily accepts Bundesliga without any single resistance. She even accepts it amusingly because the coming league is a world class football league (p.23). Besides, at that time it is the only “international” league that she recognizes well through TVRI before the coming of another world class leagues broadcasted by private TVs which have just come after 1996 (p.18). Although she amusingly accepts the “international” league, but fortunately she still becomes the Dunhill League fans during this phase (p.16-17). In short, both leagues have the same rank in the eye of Mars and both are broadcasted regularly every weekend in TVRI. On one side, Mars always waits for Dunhill League, on the other side she always enthusiastically supports Germany national football team in Europe Cup1996, especially when Germany fights against the Czech Republic in the final match (p.18). It concludes that TVRI phase signs equal position and power between “national” football and “international” football in the contestation (battleground) of both competitive discourses trying to attach the body of Mars. As a result, the TVRI phase actually brings significant influence on Mars’s process of becoming football fans. To Mars, it is a transition phase from “national football fans” to “international football fans” in which Bundesliga as the first “international” league constructs the discourse of being football fans of “international” football in Mars. Soon, after the coming of private TVs bringing other “international” football leagues, the TVRI phase gradually fades up, and so does Bundesliga. Then, the new phase comes.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 247

The Private TVs’ Phase “Karena selain menikmati Bundesliga, akhirnya setelah Piala Eropa 1996 daerahku terjamah TV swasta dan mulailah menonton pertandingan kelas dunia lainnya.” (Wijayanti, 2012:23) Unlike the radio phase and the TVRI phase, the private TVs’ phase is not primarily signed with football match. Beside football match, there are some cultural sites which mainly indicate the presence of the private TVs and its influence in constructing Mars as an “international” football fans. First, the presence of “international” football leagues proves the existence of the private TVs and its role. After Europe Cup 1996, some private TVs live broadcast some “international” leagues which are mentioned by Mars in his story, such as England League (p.25), Champions League (p.25), World Cup (p.25), and Italian League-Real Madrid (p.25). Second, the presence of “international” football clubs mentioned by Mars shows how familiar she is with the clubs, such as Manchester United (p.25), Real Madrid (p.25), AC Milan (p.26), Fiorentina (p.26), Atalanta (p.34), Lazio (p.35), AS Roma (p.152), and so on. Third, she also mentions many “international” stadiums, such as Old Trafford (p.25), Bernebeu (p.25), St. Etienne (p.25), San Siro (254) and so on. Fourth, the Ads uses “international” football players, such as David Beckham’s ads on Brylcream which to Mars magically leads her to experience world class football leagues (p.23). The Ads strongly indicates the presence of the private TVs and also its role in leading Mars to become an “international” football fans. Perhaps, it is the first and pioneer Ads which uses “international” football player. Then, Mars takes the Ads as her first reason to experience more “international” leagues and to claim herself as “international” football fans. As stated in the novel, Beckham is her first “three secret men”. It shows that the first league bringing the idea of “international” football to her in this phase is England League since David Beckham in Manchester United is the most popular player in the world at that time (p.24). Fifth, there are some other “international” football players who are proudly mentioned by Mars. They are Christiano Ronaldo (p.26), Gabriel Batistuta (p.26), Cesar Manuel Rui Costa (p.26), Ricardo Icetzson Santos Leite or Kaka (p.27), Fillippo Inzaghi or Pippo (p.32), Allesandro Nesta (p.34), Gattuso (p.149), Del Piero (p.149), Francesco Totti (p.152), Zlatan Ibrahimovic (p.285), and so on. However, there are other two of “three secret men” after Beckham. They are Rui Costa and Kaka. Beside England League, the private TVs phase gives her more opportunity to experience Italian League and it brings her to be the big fans of Rui Costa and lastly Kaka (p.26-27). From these famous names she mentions familiarly, it is clear that her last favorite “international” league in this phase is Italian League. Sixth, the only private TV which Mars mentions is RCTI. She mentions it when she tells about Arif Suditomo, a news anchor which always becomes her figure of Indonesian man. Although it doesn’t relate directly to football, it brings the sign of how massively the influence of the private TVs shape Mars identity as woman football fans, particular in seeing a man. The last, there is a film which is ever broadcasted by a private TV in

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 248

Indonesia, Sandra Bullock’s “While You were Sleeping”. This film tells about a woman obsession for having Italian passport and then vising Firenze. Mars watch it many times and get inspired of the “obsession” dream sold by this film so much. All of these “international” discourses, moreover, significantly shape Mars identity, especially her identity as an “international” football fans coming from “the third world country” like Indonesia. The data reveals that anything about “international” football— from football match to David Beckham’s Ads—has already shaped her visions du monde which means that her identity has always fluidly shifted from one identity to another. In this phase, the triumph has obviously come to “international” football over “national” football and the most striking proof is that her “madness” on “international” football club AC Milan which brings her to the long adventure as reflected in the title of the novel Koloni Milanisti. In short, all is about football, football, football and Milan, Milan, Milan (p.97). These findings are in line with the theory of media culture stated by Kellner (1995:237) that, “People regularly watch certain shows and events; there are fans for various series and stars who possess an often incredible expertise and knowledge of the subjects of their fascination; people do model their behavior, style, and attitudes on television images; television ads do play a role in managing consumer demand.” In conclusion, the analysis reveals how the identity of the main character as a football fans has fluidly shifted in line with the control and power of media discourses; (1) a football fans of Persebaya and Persija (Indonesian Federation League) in the radio phase, (2) a football fans of (Dunhill League) in the TVRI phase, (3) a football fans of Bundesliga (Germany League) and Germany National Football Team in the TVRI phase, (4) a football fans of Manchester United (England League) in the private TVs phase, and (5) a football fans of AC Milan (Italian League) in the private TVs phase. From the perspective of media culture, this fluid shifting identity, however, is constructed by the media which has specific characteristics, particularly television, “As television is nothing more than a fragmented collage of images that people only fitfully watch or connect with what goes before or comes after. Many individuals today use devices to “zap” from one program to another, channel hopping or “grazing” to merely “see what’s happening,” to go with the disconnected flow of images. Many individuals who watch entire programs merely focus on the surface of images, with programs, ads, station breaks, and so on flowing into each other, collapsing meaning in a play of disconnected signifiers. Many people cannot remember what they watched the night before, or cannot provide coherent accounts of the previous night’s programming. (Kellner, 1995:237) Those findings lead me to a further investigation about some potent issues related to the identity of the main character, particularly when I theoretically put her identity of “international” football fans on the eye of post-colonialism. “International” Football Fans: Some Problems on Postcolonial Identity From the previous analysis, it is clear that becoming an “international” football fans is not a given fact, but it is massively constructed by media. This finding brings us to consider that the identity of the “international” football fans has always fluidly shifted under the

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 249 control of media discourse. The body of the fans becomes a site of contested discourse to challenge the always on-going identity. The fact that “international” football has already won the contestation brings Mars to become an “international” football fans. Thus, this brings us to challenge some possible issues related to her identity as an “international” football fans coming from the “third world country” like Indonesia. In short, this chapter focuses on what kind of possible postcolonial issues found in the novel and how they are resulted by “international” football discourses brought by media which significantly attach the identity of Mars as “postcolonial subject”. All in all, I found at least two main problems that I am going to discuss in the following analysis. They are (1) Mimicry and the happy colonized and (2) Complex Inferior signed by extremely opposing kampung vs “international” by Mars.

Mimicry and the Happy Colonized “Kiky telah memproklamasikan diri sebagai Signora Inzaghi karena jatuh cinta pada Fillipo Inzaghi…Iinesta dari awal sudah melekatkan nama sang Pangeran Roma, Allesandro Nesta di belakang namanya, sudah pasti menyandang Signora Nesta…Sedangkan aku telah menjadi Signora Kaka karena kesengsem berat dengan permainan jogobonito-nya itu (Wijayanti, 2012:34-35) The novel tells all about Koloni Milanisti. It is actually a group of four Indonesian “milanisti”, big fans of the much-love football club coming from Italia, AC Milan. They are Kiky, Iin, Mars and Gufi, the only man in the group. They always meet in their campus and the topics they always discuss are always about AC Milan. This club becomes the center of the community. They even have their own “secret password”, that is “Salam Koloni Milanisti!”. Moreover, they have special “secret names”. First, Kiki proclaims herself as Signora Inzaghi because she has fallen in love with Fillipo Inzaghi since he was in Atalanta. Second, Iin for the first time has put the name of Allesandro Nesta on the back of her name, Signora Nesta. Since she was in senior high school, she has already changed her name from Iin Marlina Husein becomes Iinesta. Third, Mars has already become Signora Kaka because she has been touched with his excellent jogobonito. The only member of the community who doesn’t have “secret name” is Gufi (p.34-35). From the data above, I see the culture of mimicry. According to Oxford Advanced Learners Dictionary, “mimicry is the art of mimicking somebody/something” while “mimic is (1) to copy somebody’s voice, gesture, etc. in order to amuse people or (2) to resemble something closely” (Fifth edition, 1995:739). In line with the purpose of the reserach, I borrow mimicry theory of Hommi Bhabha which mainly states that “As Lacan reminds us, mimicry is like camouflage, not a harmonization of repression of difference, but a form of resemblance, that differs from or defends presence by displaying it in part, metonymically.” (Bhabha, 1994: 90). Furthermore, Bhabha defines mimicry in term of ambivalence as similar and dissimilar. Similarity defines its resemblance to the masters, colonized subjects to be like masters and dissimilarity: “a difference that is almost the same, but not quite.” (Bhabha, 1994:86).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 250

According to the mentioned theory, it always assumes that the culture of mimicry is always located in the so-called “colonizer-colonized” relation. By applying this theory, I ideologically see this kind of relation in the novel; the group of Koloni Milanisti as the colonized and AC Milan as the colonizer. The word “koloni” itself means “colonized land”, so that by naming their community Koloni Milanisty they intentionally declare themselves as the happy colonized land of AC Milan. It proves that they becomes the colonized not by neither coercion nor oppression but by consent. Moreover, Koloni Milanisti can be seen as the symbol of the “third world country” while AC Milan is a symbol of “international-first world country” football. To me, the action of Koloni Milanisti as the colonized—changing their name to the names of AC Milan players as the colonizer—obviously shows the culture of mimicry. It is a form of resemblance and more than that, a camouflage. This camouflage deeply operates in the unconscious psychology of the colonized and keeps them proud of being the resemblance of the colonizer. Being closely mimetic or similar to the colonizer is the ultimate purpose of the colonized. Although, the resemblance is always dissimilar, “a difference that is almost the same, but not quite.” For instance, Signora Inzaghi has never been same with the real Signora Inzaghi, and so on. More than imitating the names, they like and adore anything coming from Italia, like classical music which mostly use Italian language, such as Josh Groban, Charlotte Church, Andrea Bocelli, Russel Watson (p.37). All of these mimicry practices are mainly constructed by the television and other media bringing successfully the discursive practice of “international” football domination over “national” football, because “…television and other forms of media culture play key roles in the structuring of contemporary identity and shaping thought and behavior. I have argued elsewhere that television today assumes some of the functions traditionally ascribed to myth and ritual (i.e. integrating individuals into the social order, celebrating dominant values, offering models of thought, behavior, and gender for imitation, and so on)” (Kellner, 1995:237). As a result, Koloni Milanisti enjoys their position as the colonized that is always inferior in front of the superior power coming from AC Milan. They freely let AC Milan to hegemonically98 colonize and control them by proclaiming that AC Milan is “the peak of their dreams” (p.254). Moreover, their pride of being “milanisti” can be seen from the “milanisti national anthem” they always proudly sing entitled “Inno Ufficiale del Milan” (p.259)”99. Consequently, this culture keeps the status quo of the colonizer cultural

98 The concept of hegemony originally coming from Antonio Gramsci is any condition of cultural or political or ideological domination with consent and without any coercion. However, this kind of domination is “never a permanent state of affairs and never uncontested. It is always the (temporary) mastery of a particular theater of struggle.” (Hall, ed., 1980:24) 99 Here is the lyric of “Inno Ufficiale del Milan”: Milan… Milan solo con te [Milan Milan only with you]/Milan… Milan sempre per te [Milan Milan always for you]/Camminiamo noi accanto ai nostril eroi [we walk beside our heroes]/Sopra un campo verde sotto un cielo blu [on a green field under a blue sky]/Conquistare voi una stella in piu [you, do again one more star]/A brillar per noi [which will shine for us]/E insieme cantiamo [and together we sing]

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 251 domination alive. Thus, the question I offer is that where this “madness” of mimicry comes from? I am suspicious of a deathly disease keeping the “postcolonial subject” impotent and weak, named “complex inferiority”.

Complex Inferiority: Extremely Opposing “Kampung”” versus “International” Terus terang saja, masakan ini terasa aneh di mulutku, tak dikenali saat beradu dengan lidahku, mungkin lidah orisinal anak kampungku tidak cocok dengan selera berkelas internasional, ehehe, tapi lumayan juga untuk mengganjal perut.” (Wijayanti, 2012:96) I don’t bring particular theory about complex inferiority. To me, the meaning and the definition of this term is commonly known. I just take a look on Oxford Advanced Leraner’s Dictionary stating complex inferiority as “a feeling that one is less important, less clever or less admired than other people. This feeling makes some people aggressive and others shy.” (Fifth edition, 1995:609). By this definition, I will examine some signs of complex inferiority as reflected in the behavior or the main character. One of them is her belief in extremely opposing “kampung” and “international” which indicates the lower position of “kampung” than “international”. Both “kampung” and “international” become the epicenters of contested identity in the body of the main character since “kampung” and “international” is not put in an “equal position”. In short, one is less civilized than others and vice versa. In the eye of Mars, anything coming from “kampung” seems always less worthy than anything namely “international”. It can be seen from the way she describes those things with her voices of “inferiority”. She also continually uses the word kampung” many times in the novel. I found the word at least thirteen times in different context, yet same discourse—that is the discourse of preserving “complex inferiority”. Thus, I categorize the using of the word into some points. First, the word is used to modify “persons”, such as “orang-orang kampung” (the people of kampung) (p.15 & p.19) and “anak kampung” (kampung boy or kampung girl) (p.95, p. 96 & p.113). Describing her parents, she says that her father is “just” a teacher of elementary school in the neighbor village while her mother is a dressmaker who receives orders from “orang-orang kampung” (the people of kampung) (p.15). She actually can use the word “tetangga-tetangga” (neighbors) or “warga desa” (villagers) that sounds more respectful than the word “kampung”, because Indonesian language refers to the phrase “orang kampung” less respectful than “tetangga” or “warga”. She also uses “orang kampung when telling about “how useful (meaningful) the radio given by the local government for “orang-orang kampung” like us” (p.19). This brings us the clue of her belief that the radio as a symbol of “modern” civilization is the barometer to categorize people as “kampung” or “modern”. If you (people of the kampung) don’t have radio, you are “orang kampung”. Moreover, you haven’t been “orang modern” yet. In short, “orang kampung” must always be less civilized than “orang modern”. She also uses the word “kampung” to describe her own identity as “anak kampung” (kampung girl). Once she talks to herself, “”Anak kampung” must work hard

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 252 and be brave, unless, she or he can’t succeed.” (p.95). It reveals that to become successful person is not easy for “anak kampung”, and becoming successful is an extraordinary achievement for “orang kampung”. She positions “orang kampung” always under “non-orang kampung” (“orang kota”) so that if once “orang kampung” succeeds it is a miracle. But if you are “orang kota”, it is easy for you to succeed and it isn’t a surprise if you are successful. By believing this notion, she actually brings the discourse that “orang kampung” is always less potent/powerful/dominant than “orang kota” (metropolitan people)—a voice coming from an inferior “anak kampung”. This inferior identity becomes worse when her idea of “anak kampung” finally come across its opposite, anything namely “international”. Telling about her first experience when eating fillet of salmon, she says that her “anak kampung” tongue can’t taste the “international” class dish (p.96). This statement strongly implies that because you can’t taste fillet salmon you are still “anak kampung” which means that you don’t have “international” class flavor. However, how can she accept the fillet of salmon coming from Italia becomes the symbol of “international” flavor, like radio as the symbol of “modern” civilization? And who is the authoritative jury who can justify or standardize “international” flavor? Again, the flavor of “anak kampung” becomes less worthy than “international” flavor. If you want to belong to the group of “international” class people, you have to totally follow their flavor. Second, the word “kampung” is used to modify “place”, either geographical, such as “kampung nan kecil” (the small village) (p.18), “di kampungku” (in my village) (p. 32, p.98, p.261), “dari kampung” (from village) (p.102), or sociological, like “sepak bola kampung” (football in village) (p.261). By modifying the word “kampung” to place, the opposition between “kampung” and “international” becomes more obvious. As a student of junior high school in a “kampung nan kecil”, she dreams of going abroad one day (p.18). Going abroad becomes a great dream, particularly when you are coming from “kampung nan kecil”. Moreover, once she also mocks football “di kampungku” because of some magic or supernatural power believed by people (p.32). Lastly, the most evident statement of this oppositional discourse is when arriving at Dubai Airport, she is very amazed with the architecture, and says “we take some pictures and record the places which must be impossible to reach if we are still “in kampung” like a rusty (berkarat di kampung)” (p.99). In line with her dream of being successful person, the absolute requirement is that she has to go away from her village. This statement implies “kampung” always becomes the site of backwardness or under- development while “living abroad” always becomes the symbol of enlightenment and development. If you want to be a successful man, you have to leave your “kampung”, otherwise, you will always be under-development, then become a rusty and never reach success. Especially, if you want to get an “international” success, going abroad is an absolute requirement. In short, that kind of poor paradigm in extremely opposing “kampung” and “international” keeps the status quo of the present “international” discourse domination over our “kampung”. Consequently, it makes the dream of equal

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 253 position between “third world country” (symbolized in “kampung”) and “first world country” (the present “international”) becomes farther and farther to reach.

References

Bhabha, H.K. 1994. Location of Culture.London: Routledge Durham M.G., Kellner, D.M. (ed.) 2001. Media and Cultural Studies. Oxford: Blackwell Publishing Hall, S., Hobson, D., Lowe, A., Willis, P. ed. 1980. Culture, Media, Language. London and New York: Routledge Kellner, Douglas. 1995. Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Postmodern. London and New York: Routledge Wijayanti, S.M. 2012. Koloni Milanisti. Yogyakarta: Leutikaprio

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 254

KONSTRUKSI IDENTITAS HIBRID PASCAKOLONIAL DALAM DUA LIRIK LAGU POPULER MALUKU100

Falantino Eryk Latupapua PBSI, FKIP Universitas Pattimura, Maluku

Abstrak: Konstruksi superioritas kolonialis yang beroposisi terhadap inferioritas pribumi yang subordinatif senyatanya telah disebarkan oleh bangsa kolonial dan mendapat perlawanan dari bangsa terjajah melalui berbagai pengetahuan dan pemikiran. Pada masa pascakolonial, rekonstruksi identitas keduanya terjadi secara alamiah melalui keterpengaruhan atas anasir tertentu yang mengindikasikan adanya residu hegemoni kolonialis dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek kebudayaannya. Masyarakat pribumi Maluku (baca: Ambon) memiliki sejarah interaksi yang panjang dengan bangsa Eropa melalui imperialisasi dan kolonialisasi. Berbagai aspek kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan Eropa, terutama bangsa Portugis dan bangsa Belanda. Jejak-jejak hegemoni kolonial hingga saat ini masih dapat ditemukan dan diidentifikasi dalam berbagai anasir kebudayaan, baik fisik maupun mental. Relasi-relasi saling memandang penjajah-terjajah, Barat-Timur, superior-inferior tersebut hadir dalam teks yang diproduksi secara lokal, terutama dalam lirik lagu-lagu populer Maluku sebagai kontinum material yang dominatif dan populer dalam etos sastrawi masyarakat Maluku. Di sisi lain, faktor historis yang menegaskan posisi kaum diaspora Maluku di Negeri Belanda, baik sebagai fakta teks maupun sebagai fakta material, sesungguhnya memainkan peran penting dalam konstruksi identitas tersebut. Relasi saling memandang di dalam teks antara identitas Maluku dan Belanda kemudian menjadi unik sekaligus kompleks, yang melibatkan Belanda dan Negeri Belanda sebagai bangsa dan tanah kolonialis, Maluku sebagai bekas koloni, dan kaum diaspora Maluku di Negeri Belanda sebagai akibat dari interaksi pascakolonial, sekaligus sebagai semacam ‘agen penghubung’ antara keduanya. Dengan demikian, melalui pendekatan pascakolonial, khususnya konsep identitas dan hibriditas, makalah ini bertujuan untuk menunjukkan relasi konstruktif dan saling memandang terkait dengan identitas hibrid yang direpresentasikan dalam lirik lagu-lagu populer Maluku. Selain itu, proses pembentukan identitas hibrid melalui relasi paradoksal antara identitas pascakolonial tersebut dengan akar tradisi Belanda, yang masih kuat pengaruhnya dalam masyarakat (Kristen) Maluku, termasuk kehadiran kaum diaspora Maluku di Negeri Belanda, menjadi penting untuk dibicarakan. Sebagai sebuah penelusuran awal, makalah ini disasarkan untuk menjadi dasar kajian selanjutnya dalam upaya untuk memahami relasi dan posisi identitas pascakolonial di Maluku maupun di Indonesia.

Kata Kunci: Identitas hibrid, pascakolonial, lirik lagu populer Maluku.

Sastra Indonesia lahir dari suatu masyarakat yang terkolonisasi, yakni suatu masyarakat yang bertumbuh dan berkembang tidak sepenuhnya dalam dialektika internalnya sendiri. Kolonialisasi sebagai sebuah proses yang digerakkan oleh kekuatan yang berasal dari luar secara berangsur-angsur, sejak abad XVII sampai dengan awal abad XX, membentuk formasi sosial tertentu, posisi-posisi, dan komposisi tertentu (Faruk, 2001:8). Formasi sosial, posisi-posisi, dan komposisi dimaksud membentuk tatanan

100 Makalah ini dipresentasikan dalam Konferensi Internasional HISKI Ke-22 Tahun 2012 di Universitas Negeri Yogyakarta

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 255 masyarakat yang baru dengan intensitas yang berbeda-beda pada wilayah-wilayah di Indonesia. Sejauh mana perubahan terjadi dalam struktur masyarakat tergantung pada interval interaksi dengan bangsa kolonial dan ketahanan sosial budaya masyarakat itu sendiri. Perubahan-perubahan akibat kolonisasi Eropa dapat terlihat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk yang direpresentasikan dalam teks-teks yang dihasilkan oleh masyarakat koloni. Salah satunya adalah teks sastra, baik teks pada wilayah ”pusat” atau kanonik, maupun teks sastra periferi, atau sastra populer. Formasi sosial, posisi-posisi, dan komposisi dimaksud membentuk tatanan masyarakat yang baru dengan intensitas yang berbeda-beda pada wilayah-wilayah di Indonesia. Sejauh mana perubahan terjadi dalam struktur masyarakat tergantung pada interval interaksi dengan bangsa kolonial dan ketahanan sosial budaya masyarakat itu sendiri. Perubahan-perubahan akibat kolonisasi Eropa tersebut dewasa ini dapat terlihat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk yang direpresentasikan dalam teks-teks yang dihasilkan oleh masyarakat koloni. Salah satunya adalah teks-teks sastra, baik teks-teks berada pada wilayah ”pusat” atau teks-teks kanonik, maupun teks- teks sastra periferi, atau sastra populer. Secara historis, masyarakat Maluku memiliki kedekatan yang istimewa dengan Belanda oleh sebab penerimaan misi agama Kristen, kecenderungan afiliatif ke dalam struktur birokrasi pemerintahan dan militer Belanda, pendidikan kolonial, serta distribusi perkawinan antarras yang saat ini menghasilkan keturunan Mestizo dalam jumlah besar (Pieris, 2004:160-168). Di lain pihak, secara umum “Indonesia” sendiri turut memposisikan diri sebagai kekuatan kultural yang “membelandakan” orang-orang Maluku, sejak masa penjajahan. Hal inilah yang kemudian menjadi relevan dengan apa yang dimaksud oleh Deane sebagai ‘ikatan yang lemah’ itu. Julukan idiomatis Belanda Hitam atau Londo Ireng yang dikenakan oleh orang-orang pribumi Hindia Belanda lainnya terhadap orang-orang Maluku yang berafiliasi ke tubuh birokrasi kolonial melalui proses- proses pendidikan, perkawinan dan misi penginjilan merupakan akibat lain dari disparitas dan ketimpangan perlakuan di masa kolonial Belanda yang menempatkan orang-orang Maluku pada tingkat privilese yang berbeda dari warga pribumi lain (Kadir, 2009:71). Di masa sekarang kedekatan masyarakat Maluku dengan Belanda tetap berlangsung, bahkan semakin menguat melalui ikatan-ikatan kekeluargaan yang akrab antara generasi-generasi baru Maluku dengan generasi-generasi baru kaum diaspora keturunan Maluku di Negeri Belanda. Kaum diaspora Maluku di Belanda merupakan keturunan para bekas tentara KNIL, para birokrat dalam pemerintahan kolonial, serta simpatisan gerakan Republik Maluku Selatan (selanjutnya disingkat menjadi RMS). Pada tahun 1951, mereka mengalami pemindahan ke Negeri Belanda setelah pecahnya pemberontakan gerakan RMS pada tahun 1950. Keberadaan kaum diaspora inilah merupakan salah satu faktor penting lain dalam membangun dan mempertahankan relasi- relasi penuh nostalgia dan keterpesonaan antara orang Maluku dan “Belanda” sebagai penjajah hingga berpuluh tahun sesudah kemerdekaan. Relasi-relasi yang terbentuk selama dan setelah berakhirnya masa kolonial tersebut pada akhirnya mengkondisikan dan membentuk mind set orang Maluku

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 256 mengenai Belanda, yakni mengenai posisi dan relasi antara mereka dan “Belanda”, dan sebaliknya. Selain itu, perilaku-perilaku orang Maluku sebagai hasil identifikasi diri sebagai Belanda itu masih tertanam dan masih bisa dijumpai dalam berbagai pola tertentu, termasuk identifikasi tubuh dan gaya yang menyerupai Belanda (Kadir, 2009: 68-72). Posisi-posisi dan relasi-relasi yang mengesankan adanya kecenderungan nostalgia dan keterpesonaan, serta kecenderungan mengidentifikasi diri sebagai “Belanda” disebabkan oleh adanya hegemoni residual kolonial Belanda dalam kehidupan masyarakat Maluku khususnya di kalangan masyarakat Kristen hingga saat ini. Situasi demikian dapat memunculkan asumsi bahwa formasi, posisi, dan komposisi tersebut terkonstruksi dalam karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan asal Maluku, baik pada masa kolonialisme maupun setelah kemerdekaan. Akan tetapi, perkembangan sastra kanonik regional atau sastra “serius” di Maluku dari aspek persebaran sastrawan dan persebaran karya-karyanya tidak cukup signifikan, terutama yang secara langsung merepresentasikan kehidupan suatu masyarakat yang terkolonisasi dalam jangka waktu yang lama, atau menegaskan adanya persoalan-persoalan yang timbul sebagai pengaruh langsung dari proses panjang kolonialisme. Keberadaan para pengarang atau penyair asal Maluku pun tidak memperlihatkan peran yang signifikan, baik dari segi distribusi jumlah pengarang maupun persebaran karya sastra. Sebaliknya, industri musik populer Maluku bertumbuh secara signifikan. Lagu-lagu tersebut diproduksi secara independen oleh para pencipta lagu, musisi, dan penyanyi asal Maluku. Lirik lagu-lagu adalah salah satu genre sastra populer yang lahir dari dan memiliki ciri-ciri puisi populer (Faruk dan Sayuti, 1997). Lagu-lagu populer Maluku secara masif mengartikulasikan kisah cinta muda-mudi Maluku, parodi terhadap tata cara hidup orang Maluku, nilai-nilai persaudaraan dan kekerabatan, kecintaan dan puja-puji terhadap tanah asal, dsb. Berdasarkan realitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Maluku”terlibat” dalam kegiatan cipta sastra dan apresiasi sastra melalui melalui lirik-lirik lagu populer. Perkembangan musik populer Maluku tidak terpisahkan dari struktur masyarakat yang amat dipengaruhi oleh budaya kolonial. Musisi-musisi Maluku yang berkarya dalam ranah musik pop Indonesia didominasi oleh musisi beragama Kristen yang bertumbuh dalam kultur musik gereja atau musik liturgi warisan zaman kolonial yang bernuansa musik klasik Eropa. Nyanyian-nyanyian yang dipergunakan dalam tata ibadah, misalnya, sebagian besar merupakan lagu-lagu terjemahan yang diadaptasi dari liturgi Eropa, khususnya Belanda. Kultur musik gereja sebagai bagian dari sistem ritual Kristen yang mulai dikenal sejak zaman kolonial itulah yang kemudian berperan dalam konstruksi masyarakat Maluku sebagai singing community. Dalam kaitan dengan uraian di atas, masalah representasi masyarakat pascakolonial di Maluku dan pencarian identitas tokoh atau subjek dalam dua lirik lagu populer Maluku yang dipilih sebagai objek materi kajian menjadi sangat menarik untuk diuraikan. Dengan demikian, analisis terhadap beberapa lirik lagu populer Maluku dalam makalah ini akan difokuskan pada upaya untuk menjelaskan representasi pribumi hibrid dalam hubungan dengan relasi dan oposisi penjajah-pribumi, setelah menjelaskan proses

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 257 pembentukan identitas hibrid tersebut oleh sebab berbagai faktor; relasi antara masyarakat Maluku sebagai masyarakat kolonial, Belanda sebagai penjajah, serta dengan warga diaspora dalam bingkai sejarah, disparitas ruang, serta proses-proses budaya tertentu.

Kerangka Konseptual Secara etimologis, istilah pascakolonial berasal dari bahasa Inggris postcolonial dibentuk oleh kata post ‘setelah’ dan kata colonial ‘ kolonial, artinya setelah kolonial. Menurut Adipuwawidjana, secara harafiah istilah pascakolonial dijelaskan sebagai sekadar situasi setelah kolonalisme atau bahkan kolonialisme setelah kolonialisme (Noor, 2002:27). Namun, Ascroft, dkk., menjelaskan Post-colonialism sebagai “…deals with the effects of colonization on cultures and societies”. Artinya, pascakolonialisme mengedepankan kajian terhadap efek atau pengaruh kolonialisme terhadap kebudayaan atau masyarakat tertentu (Ascroft, dkk, 2009:168). Lebih lanjut, Ascroft menjelaskan bahwa di masa kini, teori pascakolonial digunakan untuk mereaksi efek, bukan saja kolonialisasi Eropa, tetapi termasuk apa yang disebut sebagai pra-kolonial dan neo-kolonialisme, yang antara lain dicontohkan; suku Inca dan pendudukan Indonesia atas Timor Leste, sebagai sebuah fenomena transhistoris yang selalu hadir dan kemudian terpecah pada satu wilayah atau bagian dunia lainnya (Ascroft, dkk: 2009:169). Dengan demikian, istilah post-colonial bukan berarti ‘post- independence’ (pasca/setelah kemerdekaan) atau after colonialism (setelah zaman penjajahan, karena post-colonial bukan ujung atau akhir proses kolonial. Pascakolonialisme bisa digunakan dalam konteks akibat paling awal dari kontak dengan kolonialisme, termasuk prakolonialisme dan neo-kolonialisme.. Sastra pascakolonial seperti yang didefinisikan oleh Christopher O’Reilly adalah karya-karya yang ditulis berdasarkan pengalaman-pengalaman bersentuhan dengan penjajah. Sastra pascakolonial merefleksikan dengan banyak cara berbeda tentang efek- efek kolonialisme. Ia mencontohkan bahwa efek-efek pascakolonialisme tersebut dapat mencakup migrasi secara paksa akibat perdagangan budak, atau pengaruh kolonialisme terhadap masyarakat pribumi. Menurutnya, meskipun sastra pascakolonial jelas merupakan tanggapan terhadap penjajahan, ia tidak seharusnya didefinisikan semata- mata sebagai perlawanan terhadapnya (O’Reilly, 2007:6). Karya sastra yang ditulis oleh penjajah maupun terjajah dapat menyerap, mengambil, dan menulis aspek-aspek dari budaya ”lain”, menciptakan genre, gagasan, dan identitas baru. Teks sastra kemudian menjadi penting bagi pembentukan wacana- wacana kolonial karena sastra bekerja secara imajinatif dan berpengaruh terhadap orang- orang sebagai individu-individu. Teks sastra dapat mencerminkan ideologi dominan dan hegemonik, yang menyebabkan masyarakat terjajah berada pada posisi subordinat dan inferior atau kompleks inferioritas, yakni terciptanya ”jiwa” bangsa terjajah dalam suatu bentuk inferioritas yang diakibatkan ”kematian” dan ”penguburan” orisinalitas budaya lokal (Fanon dalam Loomba, 2003:31).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 258

Dalam hubungan dengan identitas pascakolonial, konsep Hall (1994: 394-395) memandang identitas sebagai proses menjadi yang tidak pernah selesai. Identitas budaya dikonstruksi oleh tempat, waktu, sejarah, dan budaya tertentu. Konsep identitas berkaitan erat dengan istilah being dan becoming. Identitas, menurutnya adalah the names we give to the different ways we are positioned, and position ourselves within, the narratives of the past.” Esensi identitas budaya sebagai sebuah pemosisian itu dapat menjelaskan terbentuknya identitas hibrid pascakolonial yang dijelaskan oleh Aschroft, dkk (1995:183) sebagai suatu kekuatan yang timbul dari adanya saling pengaruh antara kebudayaan ‘yang berkuasa’ dan ‘yang dikuasai’, juga menyangkut daya tahan dan kemungkinan untuk membentuk kebudayaan baru, termasuk munculnya fenomena artikulasi ganda atau mimikri (Bhabha, 1994b:86).

Maluku dan Belanda: Identitas Naratif yang Oposisional dan Romantik Sebagai sebuah identitas naratif, lirik lagu populer Maluku banyak mengandung relasi saling bertentangan yang umumnya mengisyaratkan adanya pertentangan antarsesama orang Maluku dalam kaitan dengan cara mereka bersikap terhadap Belanda dan cara memandang Belanda dalam konstruksi sebagai Barat dan sebagai penjajah. Bentuk relasi pertentangan ini adalah suatu bentuk relasi yang memposisikan unsur-unsur tersebut saling bertolak belakang atau saling berhadap-hadapan dalam etos, situasi, perilaku, dan pemahaman yang berlawanan. Relasi-relasi yang mengandung pertentangan antarsesama orang Maluku dalam memposisikan pandangan mereka tentang Barat atau Belanda muncul dalam lirik-lirik lagu secara mencolok. Salah satunya seperti yang teridentifikasi di dalam lirik lagu Gaya Nona Belanda, berikut ini : Rambut itam coba top lady merah, rambut pirang tipe orang Eropa Abis cilaka gaya baru stok lama Bibir mera kaning takikis rata, pinggang alus seng talalu kurus Bajalang lenggang ator langka palang

Pi ka kota gaya biasa, pulang dar kota rambu su beruba Gaya baru stok lama, nona kampong berubah, gaya Nona Balanda Tinggi satu cupa stenga spatu banya hak tinggi samua Hobby calana kaki kipas tana, tipe bagaya kaya madona Kalakuang logat mulu tarika sangsara pukul testa Nona kampong berubah, gaya Nona Balanda (Gaya Nona Belanda – Sonny dan Stevi)

Terjemahan bebas: Gaya Nona Belanda

Rambut hitam lalu mencoba top lady101 merah, rambut pirang seperti orang Eropa Luar biasa gaya baru stok lama Bibir merah kening dicukur habis, pinggang kecil tidak terlalu kurus Berjalan lenggak-lenggok perlahan-lahan

101 Top Lady adalah merek salah satu produk pewarna rambut yang cukup populer di Maluku.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 259

Pergi ke kota gaya masih seperti biasa, pulang dari kota rambut telah berubah Gaya baru stok lama, gadis desa berubah, gayanya seperti Nona Belanda

Tinggi badan secupak setengah, sepatu banyak berhak tinggi semua Kesukaannya celana cutbrai bergaya seperti Madonna Beraksi logat Belanda, mulut keseleo, tepuk dahi Gadis desa berubah, gayanya seperti Nona Belanda

Dalam lirik lagu di atas, secara eksplisit narator menggambarkan sekaligus mengkritik sebuah fenomena manipulasi tubuh dan imitasi penampilan gadis Maluku sedemikian rupa sehingga menyerupai gadis Belanda, sebagai gambaran kecantikan kelas atas yang ideal, superior, dan dominatif. Penampilan ala gadis Belanda tersebut dapat dicapai melalui manipulasi tubuh; pinggang yang kecil namun tidak terlalu kurus, duplikasi dan rekonstruksi wajah; bibir diberi warna merah dan kening dicukur rata; rambut yang semula hitam kemudian diwarnai menjadi merah102. Hal-hal tersebut diikuti pula dengan aksi kamuflase tinggi badan menjadi serupa gadis Belanda melalui penggunaan sepatu hak tinggi, dan busana ala Barat. Proses peniruan dan manipulasi seperti yang ditunjukkan dalam teks kemudian menjadi cara metamorfosis dari gadis Maluku “kampung” atau pinggiran, menjadi gadis serupa “Belanda” yang cantik dan metropolis. Oposisi biner “kampung” atau “desa” dan “kota” sebagai unit-unit ekspresi juga menciptakan ruang makna yang sejalan dengan oposisi Barat dan Timur. Bagi si gadis, kota adalah dunia idealnya, simbol Barat yang berperadaban, modern dan metropolis, yang menawarkan perubahan serta keindahan. Sementara itu, “kampung” adalah dunia nyata, simbol Timur yang kotor, terbelakang, ketinggalan zaman, serta membutuhkan, menginginkan dan merindukan perubahan yang hanya dapat terjadi ketika bertemu dengan modernitas Barat tersebut. Hal sedemikian itu juga antara lain dikemukakan oleh Williams (Faruk, 2002:70). Oposisi antara kampung atau desa dengan kota berhubungan dengan konsep ideal dan dunia nyata dalam pandangan romantisisme. Desa cenderung dianggap sebagai situasi yang utuh, harmonis, tanpa konflik, sedangkan kota sebagai tempat yang penuh dengan pertentangan dan konflik, baik antara manusia dengan sesamanya maupun dengan alam. Makna demikian juga diperkuat oleh Furst (1976:31, dalam Faruk, 2002:70) yang melihat pertentangan tersebut sebagai pertentangan antara dunia sosial yang alamiah dengan hubungan sosial yang dikuasai oleh peradaban, hukum hak milik, ketidakadilan, dan ketidaksamaan. Temuan mengenai hubungan desa dengan kota di atas relevan dengan temuan dalam karya-karya Rousseau, seperti yang dikemukakan oleh Thacker (1983:90-99, dalam Faruk, 2002:70), bahwa desa atau alam cenderung dianggap sebagai tempat satu- satunya yang dapat menyatukan sepasang kekasih, sementara kota atau peradaban sebagai pemisah. Oleh sebab itu, Timur yang berubah karena “bertemu” dengan Barat

102 Kata merah dapat merujuk pada warna merah yang sebenarnya maupun warna pirang (blonde).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 260 atau “kampung” yang berubah menjadi “kota” pada akhirnya bukanlah sesuatu yang dikehendaki oleh “Timur”, yakni penyatuan, kehidupan dan ketenangan, melainkan perusakan/penghancuran atas dunianya itu. Penampilan fisik yang merupakan reduplikasi terhadap gaya gadis Belanda tersebut dilengkapi dengan perilaku yang seakan-akan menjadi representasi komplementer kehebatan dan keagungan konsep kecantikan Barat yang superior, ideal, dan dominatif. Aspek perilaku yang bersifat komplementer tersebut muncul dalam “gaya berjalan berlenggak-lenggok” serupa gadis Belanda dan aktivitas verbal campur kode dengan bahasa atau dialek Belanda, meski tidak sepenuhnya sempurna. Jadi, kecantikan Belanda seakan-akan menjadi sempurna apabila diikuti dengan serangkaian tindakan penyerta berupa perubahan gaya berjalan dari “biasa saja” menjadi harus “berlenggak- lenggok” serupa gadis-gadis Belanda, dan peniruan bahasa Belanda. Peniruan serupa itu merupakan simbolisasi keinginan dan kerinduan si gadis untuk menerobos batas-batas yang telah terbangun antara Timur dan Barat; antara desa dan kota; antara dunia nyata dan dunia ideal. Upaya si gadis untuk mencoba memasukinya dilakukan melalui cara menanggalkan identitasnya yang lama. Upaya penanggalan identitas merupakan cara perjuangannya untuk melebur dengan Belanda, supaya dianggap dan diterima sebagai Belanda yang berbeda dengan Timur yang dikenalnya. Namun upaya itu tidak menemui hasil karena ia menjadi Belanda yang “ditelanjangi”, diolok-olok” dan “dipermalukan karena terlihat tidak sempurna. Hal tersebut ditunjukkan dalam kalimat “Kalakuang logat mulu tarika sangsara pukul testa; nona kampong berubah, gaya Nona Balanda”. Olok-olokan tersebut juga dirasakan melalui fakta teks ”Nona kampong berubah, gaya baru stok lama”. Fakta-fakta teks tersebut menunjukkan adanya suatu upaya peniruan terhadap Belanda, yang pada akhirnya hanya menghasilkan tiruan yang tidak sempurna; white but not quite. Tiruan demikian dapat disebut sebagai self mockery. Artinya, dengan meniru gaya gadis Belanda, sesungguhnya tokoh dalam narasi tersebut mengejek diri sendiri oleh sebab kenyataan bahwa dirinya tidak pernah akan menjadi sama dengan Belanda. Ia ingin menjadi makhluk Belanda yang sempurna, tetapi sesungguhnya tidak akan pernah sempurna. Secara umum, teks tersebut mengkritik perilaku imitatif terhadap kecantikan penampilan Barat, Eropa, atau Belanda yang pada akhirnya hanya menghasilkan ketidakindahan, keterpecahan, dan kerusakan. Teks di atas mendekonstruksi wacana umum mengenai kecantikan modern dan penampilan fisik Barat, yang meskipun tetap superior dan penuh dengan keindahan bagi Timur, tetapi pada akhirnya tetap tak terjangkau, bersifat merusak dan menghasilkan ketidaktertiban karena segala sesuatu tidak berada pada tempat atau posisi yang semestinya. Perubahan menuju modernitas dan kecantikan Barat bukanlah sesuatu yang sungguh-sungguh membawa kebaikan bagi Timur, melainkan hanya impian semu pada akhirnya. Bagi si pria, kecantikan Barat, modernitas kota yang menjelma lewat perubahan dalam penampilan si gadis sebagai hasil persentuhan dengan dunia idealnya adalah sesuatu yang profan, dan tidak suci. Dalam keadaan yang seakan-akan “bersatu” atau

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 261

“melebur” antara dunia nyata dan dunia ideal itulah sesungguhnya terjadi proses fragmentasi atau keterpecahan antara keduanya. Selanjutnya, relasi yang bertentangan antarsesama orang Maluku dalam teks yang mirip dengan fenomena dalam teks terdahulu, antara lain juga terdapat dalam lirik lagu berikut ini: Mangapa su seng ada lai? Nona mangapa sampe se seng sayang beta lai? Jang cuma tagal beta orang seng punya lalu ale putar muka dar beta Cuma karna ini samua seng usah alasan banya par pi dar beta Mungkin se biking samua tagal par hidop lalu pi seng bale

Jang Cuma tagal ale su dapa laki-laki puti dari Balanda Jang Cuma tagal ale pung kabaya su ganti deng baju sampe di atas pusa Jang Cuma tagal ale su kaya Lalu ale lupa katong pung cinta yang dolo perna katong bina Jang Cuma tagal ale pung konde su baruba deng rambu tamera taure jang Cuma tagal ale pung bicara akang su sama deng B’landa manta-manta jang Cuma tagal akang samua lalu ale lupa katong pung cinta. (Jang Cuma Tagal - Naruwe)

Terjemahan bebas:

Jangan Hanya Karena

Mengapa sudah tidak ada lagi? Nona, mengapa kamu tidak sayang padaku lagi? Jangan hanya karena aku orang tak punya lalu kamu membuang muka dariku Hanya karena ini semua tidak usah kamu banyak beralasan untuk meninggalkan aku. Mungkin semua ini kamu lakukan demi kehidupanmu, hingga kamu pergi dan tidak kembali. Jangan hanya karena kamu sudah mendapatkan laki-laki putih dari Belanda

Jangan hanya karena kebayamu sudah berganti dengan baju kelihatan pusar103 Jangan hanya karena kamu sudah kaya Lalu kamu melupakan cinta kita yang dulu pernah kita bina Jangan hanya karena sanggulmu sudah berubah menjadi rambut merah terurai Jangan hanya karena bicaramu sudah sama dengan orang Belanda asli Jangan hanya karena itu semua lalu kamu melupakan cinta kita

Lirik lagu di atas secara umum mengandung hubungan pertentangan antara laki- laki Maluku dengan gadisnya secara langsung di satu sisi, dan hubungan hierarkis dominatif antara superioritas pria Belanda yang mewakili modernitas Barat dan si pria Maluku maupun si gadis yang mewakili marginalitas Timur, secara tidak langsung di sisi yang lainnya. Pertentangan yang terjadi dalam teks di atas dapat diidentifikasi melalui adanya preferensi dan orientasi pandangan tiap individu tentang percintaan dan perjodohan ideal.

103 Istilah yang paling tepat untuk menggantikan ungkapan ini adalah baju tanktop.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 262

Hal demikian menempatkan keduanya, yakni si pria Maluku dan pria Belanda, maupun dengan si gadis yang dipandang telah “menyeberang” dalam hubungan yang oposisional. Si gadis yang adalah kekasih si priaa akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada pria Belanda yang berkulit putih dan menawarkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya, melalui perubahan cara berpakaian dan penampilan, peningkatan status sosial (mungkin se biking samua tagal par hidop), status ekonomi (jang cuma tagal ale su kaya), penguasaan bahasa Belanda (bicara akang su sama deng Blanda manta-manta). Cinta yang mudah berpaling serta alasan preferensi si gadis terhadap pria Belanda dengan segala unsur-unsur atributif yang seakan-akan meniru atau ingin menyamakan diri dengan Belanda itulah yang dikritik oleh si pria dalam teks ini. Beberapa pasangan kata yang beroposisi biner menunjukan perbedaan-penanda oposisi biner dalam teks yang sekaligus menggambarkan adanya hubungan pertentangan di dalamnya. Dalam teks di atas, Belanda atau Barat digambarkan sebagai yang kaya, kulit putih, berbaju minim, rambut berwarna merah dan terurai, dan bahasa Belanda yang fasih. Penanda-penanda tersebut dalam sudut pandang si gadis Maluku, seperti yang secara eksplisit termuat dalam teks, merupakan suatu kondisi dan prasyarat yang ideal, dunia yang ideal adalah tempat segala gagasan yang berkaitan dengan keindahan, kewajaran, dan modernitas menyatu dan memikatnya. Keterpikatan akan dunia ideal itulah yang menyebabkan ia terpikat, berubah pikiran, lalu bersedia menikah dengan pria Belanda dan melupakan cintanya terhadap kekasihnya. Maluku sebagai dunia nyata adalah Timur, digambarkan sebagai yang miskin, berkulit sawo matang104, mengenakan kebaya, rambutnya bersanggul, serta berinteraksi verbal dalam bahasa Melayu Ambon. Hal-hal itu bukan merupakan kondisi ideal, bukan keindahan, bukan kewajaran, dan bukan modern. Dalam perspektif si gadis, distorsi modernitas dan keindahan Belanda dalam wujud rambut merah, bahasa Belanda yang fasih, model baju masa kini dan kekayaannya, dan dengan keterbatasan estetik serta “kemiskinan” Maluku yang tersimbolisasi dalam busana kebaya, rambut bersanggul, dan bahasa Melayu Ambon, merupakan penyebab utama preferensinya terhadap pria Belanda dan penyangkalan terhadap cinta sang kekasih. Hubungan pertentangan pertama yang terbangun yakni antara si gadis dengan si pria Maluku sebagai konsekuensi dari pilihannya untuk beralih mencintai pria Belanda atau Barat. Peralihan itu semata-mata terjadi karena penolakannya terhadap eksistensi ketimuran pria Maluku yang menurutnya hanya menawarkan cinta dalam keadaan diri yang tidak superior, dan tidak modern, sehingga itu bukanlah dunia ideal baginya. Hal itu berbeda dengan pria Belanda yang sembari menawarkan cinta yang diimpikan, juga menawarkan prestise, kemapanan sosial ekonomi lewat kekayaan, dan asimilasi kultural yang lebih superior.

104 Dalam Bahasa Melayu Ambon, ungkapan sawo matang hampir tak pernah dikenal dan digunakan. Ungkapan yang paling dekat dan sering digunakan untuk menggantikannya adalah kuli itang atau kulit hitam, meskipun pada kenyataannya, warna kulit orang Maluku pada umumnya bukan hitam melainkan sawo matang atau coklat tua.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 263

Sebaliknya, dalam perspektif pria Maluku, modernitas Barat dan keterbatasan Timur itu tidak hanya dikontradiksikan atau dipertentangkan, melainkan dipertanyakan dan dikritik oleh si pria Maluku sebagai narator dalam teks. Judul lagu ini Jang Cuma Tagal yang secara leksikal berarti “jangan hanya karena” dimaksudkan untuk memberi penekanan terhadap “kesementang-mentangan” yang terjadi. Artinya, sikap mentang- mentang sudah kaya, sudah seperti orang Belanda dalam penampilan, bahasa, dll, dengan mudah melupakan atau “membelakangi” asal atau akar. Ungkapan Jang Cuma Tagal seakan-akan menegaskan bahwa si gadis tidak perlu melepaskan atribut-atribut ketimurannya, tidak usah menjadi “seperti” Belanda, untuk dicintai atau mencintai. Pada akhirnya, kritik yang terkandung lirik lagu ini sebenarnya merefleksikan suatu kecemasan dalam diri si pria akan kenyataan bahwa si gadis telah menjadi “Belanda” dan secara otomatis menjadi orang lain, atau orang asing bagi dirinya. Pada akhirnya, jika ditinjau dari sudut pandang narator, teks ini mendobrak dan menghancurkan wacana modernitas Barat yang secara umum sering dipersepsikan sebagai suatu yang superior oleh Timur maupun oleh Barat sendiri. Menurut Said (2001:51), Eropa atau Barat sebagai pusat peradaban manusia modern yang dianggap maju serta pusat ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berada dalam kedudukan yang kuat, untuk tidak mengatakan mendominasi. Oleh karena itu, bagi sebagian besar penduduk dunia, Eropa atau Barat pada umumnya merupakan kiblat mereka akan kehidupan ideal dan modern tersebut. Sesuatu yang berasal dari “:Barat” selalu lebih indah, lebih maju, lebih modern, lebih beradab, dsb, dalam cara pandang Timur. Bagi narator; si pria Maluku, ekspektasi si gadis untuk menikahi pria Belanda tagal (karena) ingin menjadi kaya, menjadi modern, menjadi cantik gemerlapan bukanlah sesuatu yang ideal. Kalimat dalam lirik lagu yang berbunyi : “jang Cuma tagal akang samua lalu ale lupa katong pung cinta”, menunjukkan situasi ‘salah tempat’ akibat tindakannya sendiri. Menjadi Barat atau “seperti Barat” yang kaya, modern, putih, dan cantik bukanlah suatu hal yang baik karena secara sengaja menjadikan diri sendiri sebagai “orang lain”, yang bukan dari dunia nyata. Konsepsi Barat dengan segala atributnya yang superior dipandang oleh narator telah merusak relasi-relasi yang telah lebih dahulu terbangun. Upaya si gadis untuk bersentuhan dengan Barat dan memasuki dunia idealnya juga berarti membuahkan anarki, selain karena menanggalkan sifat-sifat khas yang asli atau murni, perjuangannya itu juga telah menimbulkan efek ganda mencederai perasaan orang lain bahkan mengingkari nasionalisme. Dengan demikian, dalam lirik lagu ini, terjadi perpecahan pandangan bahwa Belanda atau Barat selalu lebih indah dari tradisi ketimuran, meskipun bagi si gadis, keindahan itulah yang mempengaruhi ekspektasi dan preferensinya. Meskipun bagi si gadis segala yang ada di dunia idealnya tetap dianggap lebih indah dan lebih baik daripada dunia nyata, sekuat apapun usaha Timur untuk memasuki kehidupan Barat atau Belanda sebagai dunia ideal, usaha itu tidak sepenuhnya akan membawa hasil yang sempurna. Belanda dengan segala “kelebihannya” yang superior adalah sesuatu yang berpotensi destruktif, atau profan. Sehingga ia akan tetap menjadi “makhluk” Belanda yang seakan-akan sempurna, menyerupai Belanda, tetapi tetap tidak akan pernah

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 264 menjadi sempurna. Oleh karena itu, menurut si pria, tidak perlu menjadi Belanda untuk dicintai. Menjadi modern seperti Belanda berarti juga mendestruksi nilai-nilai tradisi tersebut, yang menurutnya merupakan sesuatu yang tidak mesti ditinggalkan.

Penutup Konstruksi identitas hibrid dalam dua lirik lagu populer Maluku yang telah dianalisis menunjukkan proses pembentukan identitas hibrid orang Maluku yang erat kaitannya dengan faktor kesejarahan dan kewilayahan yang melibatkan beberapa pihak yang pernah berhubungan erat di masa lalu; Belanda, Maluku, dan diaspora. Dalam kenyataannya, kedua teks tersebut mengandung pertentangan dalam berbagai bentuk. Namun, di belakang fakta empiris itu sesungguhnya yang menjadi roh identitas hibrid tersebut adalah romantisisme yang terbentuk secara ulang-alik antara orang Maluku, tanah Belanda, dan kaum diaspora. Belanda adalah simbol idealisme, yang oleh karenanya, terjadi suatu proses identifikasi diri orang Maluku sebagai bentuk mimikri pascakolonial. Sementara itu, romantisisme antara kaum diaspora dengan “Maluku” terus berlangsung dalam bentuknya sendiri, sebagai akibat identity searching oleh sebab faktor historis yang ‘mendudukkan” mereka pada ruang yang “bukan mereka”.

Daftar Rujukan

Ashcroft, Bill, Garreth Griffiths, dan Helen Tiffin. l995. The Postcolonial Studies Reader. London: Routledge. ______. 2009. Post-Colonial Studies The Key Concepts (Second Edition). London&New York: Routledge. Bhabha, Homi K. 1994. Nation and Narration. London and New York : Routledge. Deane, Shirley. 1979. Ambon, Island of Spices. London: Cox and Wyman Ltd, Fakenham and Reading. Faruk. 2001. Beyond Imagination, Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta: Gama Media. ______. 2002. Novel-Novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka 1920 – 1942. Yogyakarta: Gama Media. Faruk dan Suminto A. Sayuti. 1997. Sastra Populer. Jakarta: Universitas Terbuka. Kadir, Hatib Abdul. 2009. Bergaya di Kota Konflik – Mencari Akar Konflik Ambon Melalui Gaya Hidup Anak Muda. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Noor, Rusdian. 2002. ”Mimikri dan Resistensi Radikal Pribumi terhadap Kolonialisme Belanda dalam Roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer ”. Tesis Jurusan Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. O’Reilly, Christopher. 2007. Post-Kolonial Literature. London: Cambridge University Press.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 265

Pieris, John. 2004. Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Strinati, Dominic. 2009. Popular Culture. (diterjemahkan oleh Abdul Muchid ). Yogyakarta: Ar-Ruz Media.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 266

THE DARE GAME: SPACE AND IDENTITY CONSTRUCTION

Irna Fibianti dan Evi Eliyanah English Department, Faculty of Letters, State University of Malang [email protected] dan [email protected]

ABSTRACT: As space is closely related to identity construction, The Dare Game demonstrates the reciprocal and dynamic relationship between people and space. The Dare Game is a children’s book centering on a female character named Tracy Beaker, a ten-year-old girl who desperately wants to have a place she can call her home. In order to interpret the novel properly, a close reading was done. Specific passages from the novel are analyzed to embrace larger ideas implied in the book. This paper also discusses spatial identity theories, which explore the links between people and place. Tracy actively constructs her spatial identity around her homes. Tracy has constructed and internalized certain meanings and symbols associated with home, like sense of belonging, safety, and comfort. She seeks and attributes these meanings into her homes. A close reading to the book supported by spatial identity theories reveals that Tracy’s complicated relationship with her home demonstrates the complex and fractured nature of children’s literature. In one hand, The Dare Game challenges the clichéd image of home as a safe haven because Tracy is constantly exposed to bad perilous homes. As Tracy chooses her foster mother’s home instead of her biological mother’s, the book challenges the cliché that family is defined by blood. On the other hand, The Dare Game also enforces the clichéd image of home typically found in children's literature, such as children’s need for an ideal home and construction of home as a gendered space for women. Tracy’s strong yearning for an ideal home makes the development of her identity constructed around her home.

Keywords: spatial identity, place, home, The Dare Game

In literature, home is often romanticized as a haven where people can retreat and relax (Moore, quoted in Mallett, 2004: 70). Home is deemed so important that most people spend their lives in search of their ideal home (Tucker, quoted in Mallett, 2004: 69). For Tracy Beaker, finding an ideal home is also of paramount importance that every chapter of the thirteen chapters in The Dare Game is titled home. It opens with No Home and closed with Home Sweet Home. The Dare Game is a children’s book written by Jacqueline Wilson. It is part of a trilogy centering on Tracy Beaker. The Dare Game is chosen to be analyzed as it extensively explores Tracy’s struggle to find and make her home. Tracy’s story in The Dare Game illustrates the dynamic and reciprocal relationship between space, place, and identity construction. As Tracy expresses a sense of who she is through stories of where she is, this article questions and aims to describe Tracy Beaker’s identity construction related to her story about her homes. From the comparison of home portrayals in The Dare Game with the ones from children’s literature in general, it reveals that The Dare Game paradoxically challenges and enforces the cultural clichéd image of home in children’s literature. The writers hope that an insight into Tracy’s identity construction would provide deeper insight into children who live in the street. Although Tracy does not really live in the street, her

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 267 experience with abandonment and violence may resonate with the difficulties experienced by street children. Her success to overcome her problems with the help of responsible adults who care about her may help communities and society to understand street children better and provide better home for them.

THEORETICAL FRAMEWORK In order to interpret the novel properly, a close reading is done. Specific passages from the novel are analyzed to embrace larger ideas implied in the book. It uses inductive reasoning as it moves from the observations of particular details to a conclusion or interpretation based on those observations.

Narrative, Place and Identity Although similar, space is different from place. Speller, quoted in Hauge (2007: 3), defines place as space that has acquired meanings. Barker (2004: 144) explains that the embedded meanings of place result from social relations of power. Tuan, cited in Manzo (2003: 49), claims that what begins as undifferentiated space evolves into place as we come to know it better and endow it with value. Thus, house, apartment, or condominium becomes a home as the residents endow it with values and meanings associated with home. Because home is implicated with power and symbolism, Somerville, cited in Mallett (2004: 81-82) argues that home is also an ideological construct. He further characterizes several key signifiers of home, namely ‘shelter, hearth, privacy, roots, abode and (possibly) paradise’. Shelter refers to physical features of home which provide protection. Hearth refers to the welcoming and secure atmosphere which provides emotional well-being. Privacy allows the home residents to establish and control their personal boundary. Roots denote home as a source of identity construction. Paradise refers to the idealized notions of home. Thus, people may have a sense of home even though they have no experience or memory of it because they already internalized these key signifiers of home. Contemporary narrative theory is one of the theories that postulates the links between space, place and identity. According to Benwell and Stokoe (2006: 212), people indicate a sense of their identity through stories about where they are. One of the most important features of stories is their spatial component. People can tell different stories about places and provide many potential and contingent identities depending on how they construct the boundaries around them. Moreover, the way people describe or tell stories about places may indicate the identity of a person who claims to belong or not belong to that place. Benwell and Stokoe (2006: 211) further argue that the relationship between people and place is reciprocal and dynamic. People affect places and the way places are affected influences how people see themselves. Place identity is one of the emerging concepts that link the physical environment with identity. Proshansky, quoted in Manzo (2003: 47), defines place identity as the dimensions of self that define the individual’s

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 268 identity in relation to the physical environment. These dimensions are not the only dimensions of identity. Instead, these dimensions work in tandem with other dimensions of the self to constantly reconstruct, maintain and transform identity. Hauge (2007: 5) views place identity as a sub-structure of people’s identity. People make sense of their “self” by attributing meanings to places. People use places to communicate qualities of their identity and express identification with a place. (Twigger-Ross and Uzzel, 1996: 206). Hauge (2007: 6) states that places are important sources of identity elements because places have symbols that have meaning and significance to people. People also use space and place to forge a sense of attachment. Barker (2004: 144) deems places as the target of emotional identification because places are the focus of human experience, memory, desire and identity. Brocato (2006: 10-11) defines place attachment as the process by which human forms emotional or positive affective bonds to places that has been given meanings through interaction. Manzo (2003: 57) argues that place attachment is associated with both positive and negative emotional bonds. Thus, people may constitute mixed emotional bonds to home. As space is made meaningful by social relations of power, it enacts the struggle over power between genders. The politics of space are implicated with gender differences through the distribution of human activity, delimiting and demarcating the interaction of male/female bodies in space (Lico, 2001: 36). Benwell and Stokoe (2006: 213) further argue that the physical environments maintain and regulate gender identities and relations. For this reason, there is a structural dichotomy that locates women within domestic spaces, as opposed to men that belong to public spaces. Women are located in the private rather than public sphere, at home rather than at work.

Tracy Beaker’s story in The Dare Game The Dare Game focuses on a ten-year-old girl named Tracy Beaker who has been in state care for years. Tracy has gone through physical and verbal abuse as well as being abandoned by her biological mother, Carly. Thus, when Cam, a writer who visits Tracy’s orphanage, decides to be Tracy’s foster mother, Tracy has a hard time trusting Cam. At school, Tracy is an outcast. So she plays truant and spends her school hours in an abandoned house. She meets Alexander and Football who also run away from school. They play the dare game and develop a strong friendship. Surprisingly, Tracy’s biological mother, Carly, contacts Tracy because she wants to live with Tracy again permanently. Tracy’s feeling is split between moving in with her long-lost mother and staying with Cam. When Tracy finally decides to move into her Carly’s home, she is actually heartbroken that Cam does not try to stop her from doing so. Tracy says some hurtful things to Cam. When Tracy finally lives with her biological mom her mom often leaves Tracy alone and neglected in the apartment. So Tracy decides to run away. Tracy returns to the abandoned house again and tells her story to Alexander and Football. Alexander points out that her mother is not a good mother because she has left Tracy in the orphanage for years. Tracy is furious, so she hurts Alexander and Football. Unintentionally, Tracy kicks Alexander and breaks his leg. Tracy and Football brought

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 269

Alexander to the hospital. After Alexander gets medical treatment, they all visit Alexander’s home. Despite the luxurious food she eats there, Tracy feels really lonely and misses Cam terribly. So she goes back to Cam’s apartment. To her surprise, Cam still loves Tracy very much and she has been looking for Tracy. Tracy lives with Cam again and this time, she feels that she has found her home.

Home and Tracy Beaker’s Spatial Identities As Tracy admittedly states that she does not have a home and she really yearns for a home, she actively constructs her identity around her homes. Tracy has three potential places to be her home, Cam’s apartment, Carly’s apartment, and the abandoned house. As the story unfolds, Carly’s apartment and the abandoned house fail to be her home because they fail to resonate with meanings and values associated with home that Tracy has internalized. Cam’s apartment is Tracy’s first home. Both of them are learning to renegotiate their positions. Cam used to have the apartment all for herself and Tracy has not lived with a parent for years. Cam opens up her space and symbolically accepts Tracy’s presence in her home by giving Tracy a bedroom. “...I was allowed to choose the colour paint and pick a new duvet cover and curtains. I chose black to match my mood. I didn’t think Cam would take me seriously but she gave in on that one. Black walls.Black ceiling. She suggested luminous silver stars which are kind of a good idea....Cam hunted around and found some black sheets with silver stars and made curtains to match. She’s pretty useless at sewing and the hems go up and down a bit but I suppose she was trying her best. She calls my black room the ‘bat cave’. She’s bought me several little black velvet toy bats to hang from the ceiling. They’re quite cute really. And my python lies on the floor by the door and acts like a draught excluder and attacks anyone who dares try to barge in on us.” (pp. 37-39)

Here, Tracy enacts her place identity by decorating her room. As Tracy was angry because her room is too small and cheap, the black paint color illustrates her frustration and sad mood. However, Tracy shows her willingness to opens up her personal space to Cam by accepting Cam’s suggestions. Tracy expresses territoriality of her personal space by imagining that her stuffed animal is a guard. As Tracy personifies her bedroom and even names it, she starts to develop positive emotional investment to Cam’s home. Tracy finds almost all of Somerville’s key signifiers of home in Cam’s apartment, but Tracy is not sure if she finds ‘hearth’ there. Cam’s home is stable, warm and secure, but Tracy has doubts about Cam’s love for her. Tracy thinks that Cam does not love her like a mother because she is not her biological daughter. As home is closely related to family, especially mother, Tracy cannot consider Cam’s apartment as her home yet. As a result, Tracy continuously tests Cam’s love for her by playing truant, stealing Cam’s money, insulting Cam’s apartment, and quarrelling with Cam.

“Her home is just as shabby too...Cam lives in this poky little flat. She hasn’t even got any proper carpet,” (pp. 35) “I ended up in this little rubbish room...” (pp. 36)

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 270

“‘Hovel Hideous, more like,’ I said, getting up and roaming round the shabby furniture, giving it a kick.” (pp. 45)

Tracy’s insults to Cam’s apartment represent her anger toward Cam because she thinks that Cam does not love her enough to be her mother. The inadequate furniture in Cam’s apartment symbolizes Cam’s inadequate love for Tracy. As Tracy cannot appreciate Cam’s apartment, she embarks on a journey to Carly’s apartment. At first, Tracy’s identity construction related to Carly’s place is filled with ambiguity and contradictions. Tracy’s relations to Carly’s place are constituted mainly by her earlier childhood memory. As Lewicka (2008: 214) notes that memory contents are also shaped by ideologies. Tracy’s memories with her biological mother are filled with society’s ideologies that the best place for a child is a home with her biological mother. A biological mother is supposedly better than a foster mother. Because Tracy is constructed to build a sense of belonging to her biological mother’s place, she is constructed to focus to the positive attributes of her biological mother’s place rather than the negative attributes. However, years of abandonment in the orphanage and the fact that she already builds a sense of attachment on Cam’s home have made Tracy’s feelings toward her biological mother’s place split. On one hand she wants to like the place, on the other hand, the place is awful. “And her house is like a fairy palace too, even better than I ever imagined. OK, it’s not all that wonderful outside. Mum lives in this big block of flats on an estate and it’s all car tyres and rubbish and scraggy kids outside. Mum’s flat is right on the top floor and the lift swoops up faster than your stomach can cope. That’s why I suddenly felt so weird – that and the pee smell in the lift. I got this feeling that the walls of the lift were pressing in on me, squashing me up so small I couldn’t breathe. I wanted someone to come and hoick me out quick and tuck me up tight in my black bat cave...... But it was all OK the minute I stepped out of the smelly old lift and into Mum’s wonderful flat. It’s deep red – the carpet and the velvet curtains and the cushions, just as I’d hoped. The sofa is white leather – s-o-o-o glamorous – and there’s a white fur rug in front of it....I didn’t notice the amazing twirly light fitting and the pictures of pretty ladies on the walls and the musical globe and the china figures at first because my eyes just got fixated on the sofa.” (pp. 133-134)

Tracy’s ambivalent feelings toward Carly’s place are indicated by the flow of her description. She switches from positive to negative then to positive aspects of the place. She is unsure whether she really likes the place even though she has been dreaming to live with Carly for years. Moreover, the moment she feels uncomfortable with Carly’s place, she wants to run away to Cam’s place. At this stage, Tracy’s emotional attachment to her home is still split between Cam’s home and Carly’s home. As the story develops, Tracy knows for sure that she cannot find ‘hearth’ in Carly’s apartment. Carly fails to demonstrate her love for Tracy as she often leaves Tracy unattended in the apartment. She leaves booze and cigarettes around. Ultimately, she blatantly lies to Tracy because she chooses some random guy over Tracy.

I wondered how she was going to break it to me, whether she’d tell me it straight or spin me some story. It was the story ... I understood .... I knew what I was going to do .... Then I ran. And ran and ran and ran.” (pp. 207-209)

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 271

Carly’s lies make Tracy feels alienated in Carly’s home because the environment is unkind and confusing. On one hand Carly acts like she wants Tracy, on the other hand Carly does not put Tracy as her priority. Carly’s lies also remind Tracy of her past when she waited for Carly in orphanage days after days only to be disappointed. Moreover, Tracy was hit by Carly’s boyfriend because Carly left her alone at her apartment. Now, Carly’s place is filled with Tracy’s bad memories from her earlier childhood. Because Tracy can no longer build positive bonds with Carly’s place, she cannot forge and feel a sense of belonging to Carly’s place anymore. The place is filled with negative meanings derived from Tracy’s past experience with Carly. So Tracy ran away from Carly’s place to the abandoned house. As Tracy deludes herself that she can make the abandoned house her home, she is forced to face the lack of security and love from a family. She then expresses her frustration by smashing the cardboard furniture.

“’It’s my house and I don’t want a single rubbish thing in it. I’m sick of homes, I’m sick of stuff. I want it to be empty.’ I smashed his stupid bookcase flat” (pp. 216)

Tracy is frustrated that she cannot find a decent home. Her determination to make the house empty represents the lack of family member in her life. Even though Tracy tries to persuade herself that she does not need a family, she has already identified family as one of the main signifiers of home. Furthermore, the abandoned house fails to provide proper food and proper security. The lack of adult’s supervision in the house has enabled Tracy, Football, and Alexander to escalate their quarreling. Football nearly burns down the house and Tracy accidentally breaks Alexander’s leg. Had there been an adult who was responsible for watching them, the accident could have been prevented. As Tracy suffers the loneliness and dangers in the abandoned house, she cannot make the abandoned house her home. At the same time, she starts to appreciate Cam’s home more. In the end, Tracy goes back to Cam’s place. This time, Tracy’s identification to Cam’s place is less ambiguous and fragmented because Tracy has gone through a journey which enables her to render outside and exclude places that are not home. In this case, the abandoned house and Carly’s apartment are the places that fail to be her home. Thus, the negative meanings that Tracy gradually develops and attaches to those places make Cam’s safe and comfortable apartment to appear more homely. When Tracy wholeheartedly tries to develop positive bonds with Carly’s place and gets disappointed, inadvertently she develops stronger positive bonds to Cam’s place. Moreover, Tracy is now sure that Cam sincerely loves her as her daughter because Cam still accepts and opens up her apartment for Tracy despite the bitter insults Tracy has said to her. The fact that Cam is worried and tries to find Tracy has ensures Tracy that Cam really wants to have her in her home. Tracy finally manages to overcome her fear and insecurities as she eliminates her doubts about Cam’s sincere love for her. Cam gestures have helped Tracy ensure herself that she has her home in Cam’s apartment.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 272

Drawing Comparisons between Homes Campbell (1193:47) remarks that a cultural product may challenge and enforce certain ideological beliefs and practices because power is by nature fragmented and contingent. It explains why The Dare Game, as a product of culture, enforces and challenges certain cultural cliché about home in children's literature because children’s literature is also a vehicle of power where power and resistance to it are exerted. Tracy’s decision to choose her foster parent’s home instead of her birth mother’s home resonates with both conservative and more contemporary image of home. The Dare Game enforces the clichéd image of home because it puts family at the heart of Tracy’s home, like many other homes in children’s literature. However, the portrayal of family in The Dare Game is a bit unusual which makes her home unusual too. As Tracy chooses her foster mother instead of her biological mother, The Dare Game challenges the cliché that blood is thicker than water. Tracy’s decision demonstrates that parenthood is not a pre-given right to biological parent, but it is a responsibility that should be earned. It also shows that an ideal home does not necessarily need a family that is related by blood. Rather, it needs a family who truly cares about and loves each other. The Dare Game promotes the clichéd need for an ideal home typically found in children’s literature. Tracy’s exposure to several imperfect homes where she was abused and hurt is not very common in children’s literature. Home in children’s literature is usually depicted as a safe haven (Aston, 2008: 73). However, Tracy always longs for an ideal home where she can feel safe and happy. In the end, Tracy has to Cam’s apartment as her home because she feels a sense of love, comfort and security there. The Dare Game evidently enforces the utopian cliché of home. It ensures that the readers recognize and internalize the importance of an ideal home. Tracy’s relationship with Carly and Cam demonstrates how The Dare Game challenges and enforces the clichéd image of home. Home in children's literature usually is depicted as a safe haven accompanied by a good and nurturing mother (Alston: 83). Instead, The Dare Game antagonizes Tracy’s birth mother, Carly, and her home. Carly is portrayed as an irresponsible mother who does not really want Tracy. She also fails to take care of Tracy properly. Carly’s place is associated with alcohol, physical abuse, and abandonment. Nevertheless, Carly’s role as an irresponsible mother is outweighed by Cam’s role as a good and nurturing mother. Cam’s personality and apartment fit the image of home typically found in children’s literature. The Dare Game further demonstrates the conservative image of home as Tracy only associates her home with mothers. It shows that home is a gendered space dedicated for women and children. For Tracy, an ideal home is a place where she has a loving mother who accepts her and is capable of taking care of her. According to Alston (2008: 83), the mother in children’s literature is usually portrayed as patiently waiting for their children. Home is secured by the knowledge that the mother will always be at the beck and call of her family. Cam, also kindly wait for Tracy as Tracy goes from one home to another home before ultimately comes back to Cam’s home. Cam’s occupation as a freelance writer also enables her to work from home and always be with Tracy. Thus, The

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 273

Dare Game enforces the clichéd image home where home is a gendered space dedicated for women and children.

CONCLUSIONS The interrelatedness of space and identity is evident in The Dare Game. Tracy’s strong yearning for a home makes the development of her identity to be constructed around home. Tracy Beaker is culturally constructed to long for an ideal home. Tracy has three possible places where she can make her home, the abandoned house, her biological mother’s home, and her foster mother’s home. Along the course of the story, Carly’s apartment and the abandoned house fail to be Tracy’s home as Tracy cannot attribute meanings attached to home to those places. Cam’s apartment is the one Tracy chooses to be her home because Tracy feels safe in Cam’s home and all of her basic human needs are catered there. Most importantly, Cam’s gestures ensure Tracy that she really wants to be her mother. Here, Tracy successfully overcome her insecurity and fear because Cam truly cares about Tracy. The Dare Game challenges and enforces cultural cliché related to home. The book challenges the notion that family is defined by blood because Tracy chooses her foster parent over her biological mother. It seemingly challenges the notion that home is a safe haven accompanied by a kind and loving mother because Tracy’s biological mother is depicted as irresponsible and her apartment is associated with abandonment, alcohol and physical abuse. Nevertheless, the book mostly enforces the cultural cliché of home and family because Tracy finally has an ideal home. Cam’s apartment is a stable environment filled with love and a sense of security. Tracy’s home is also secured by the idea that she has Cam waiting for her in the apartment. As Tracy only associate ideal home with mothers, it enforces the cultural cliché that home is a gendered space dedicated for women and children.

REFERENCES

Alston, A. 2008. The Family in English Children’s Literature. London: Routledge. Barker, C. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. London: Sage Publications. Benwell, B. & Stokoe, E. 2006. Discourse and Identity. Edinburgh: Edinburgh University Press. Brocato, E. D. 2006. Place Attachment: An Investigation of Environments and Outcomes in a Service Context. Dissertation is not published. Arlington: The University of Texas. Coats, K. 2004. Looking Glasses and Neverlands: Lacan, Desire, and Subjectivity in Children’s Literature. Iowa City: University of Iowa Press.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 274

Hall, S. 1996. Introduction: Who Needs Identity?. In S. Hall & P. Gay (Eds.), Questions of Cultural Identity (p. 1-17). New Delhi: SAGE Publications India Pvt Ltd. Hauge, A. L. 2007. Identity and Place: a Critical Comparison of Three Identity Theories. Highbeam Research, (Online), 50 (1): 1-15, (www.highbeamresearch.com), retrieved 5 april 2012. Lewicka, M. 2008. Place Attachment, Place Identity, and Place Memory: Restoring the Forgotten City Past. Journal of Environmental Psychology, (Online), 28 (1): 209-231, (www.elsevier.com/locate/jep), retrieved 6 June 2012. Lico, G. R. A. 2001. Architecture and Sexuality:The Politics of Gendered Space. Humanities Diliman,2 (1): 30-44. Manzo, L. C. 2003. Beyond House and Haven: Toward a Revisioning of Emotional Relationships with Places. Journal of Environmental Psychology, (Online), 23 (1): 47–61, (www.elsevier.com/locate/jep), retrieved 6 June 2012. Mallett, S. 2004. Understanding Home: a Critical Review of the Literature. The Sociological Review, (Online), 52 (1): 62-89, (http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1467- 954X.2004.00442.x/full), retreived 20 September 2012. Twigger-Ross, C. L. & Uzzell, D. L. 1996. Place and Identity Processes. Journal of Environmental Psychology, (Online), 16 (1): 205-220, (www.elsevier.com/locate/jep), retrieved 6 June 2012. Wilson, J. 2008. The Tracy Beaker Trilogy. London: Random House Group Company, (Online), (www.rbooks.co.uk), retrieved 18 December 2011.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 275

ANTARA JENDERAL KAYU DAN JENDERAL KOPI DALAM HIKAYAT MARESKALEK KARYA ABDULLAH BIN MUHAMMAD AL- MISRI105

Djoko Marihandono Prodi Prancis, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI, Jakarta

Abstrak Abdullah bin Muhammad Al-Misri was a writer who was born in the end of XVIII century. He had many experiences particularly in four eras: during the colonization of the Bataavsche Republiek, Franco-Dutch (until 1808), The French (1808—1810), the British (1811—1816), and the Dutch (after 1816). He wrote several works. One of his works entitled Hikayat Mareskalk. It was written in this work that the General Mareskalk called his staffs as Coffee’s General, Wood’s General. Based on the historical archives, who were the generals. This paper will discuss about who were they, what were their jobs, and why the author mentioned this generals on the story. To explain all of those above, it will be used the colonial archives on the early of XIX century.

Keywords: Abdullah bin Muhammad Al-Misri, Hikayat Mareskalk, colonialism, Daendels,

Pendahuluan Abdullah albin Muhammad Al-Misri atau juga sering disebut sebagai Abdullah Al- Misri adalah seorang pengarang Indonesia yang belum banyak dikenal orang. Dalam pelajaran Sastra baik di sekolah menengah umum maupun di perguruan tinggi, pengarang ini tidak pernah disinggung keberadaannya. Karya Abdullah Bin Muhammad Al-Misri berjumlah tujuh dokumen, yang terdiri dari lima naskah ditulis tangan dalam aksara Jawi, satu naskah tercetak ditulis dalam aksara Jawi, dan satu naskah ditulis dalam aksara Latin. (Lajoubert: 2008:9). Ketujuh karyanya ini menggunakan bahasa Melayu. Dari ketujuh karyanya ini tiga di antaranya dikenal dengan Hikayat Mareskalek, yang menceritakan tentang aktivitas Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Timur pada 1808 hingga 1811. Menurut penulis yang mengalihaksarakan naskah ini, ketiga naskah tersebut sebenarnya hanya berisi dua naskah, yaitu Hikayat Mareskalek dan Hikayat Al-Muluk. Sementara sisanya, empat dokumen, berisi tiga teks yang berjudul Bayan al-Asma, Cerita Siam juga dikenal

105Makalah ini disajikan pada The 22nd International Conference on Literature yang diselenggarakan Universitas Negeri Yogyakarta bekerjasama dengan HISKI pada 7-9 November 2012 di Yogyakarta.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 276 dengan Hikayat Raja Siam, dan Hikayat Tanah Bali. Ketujuh naskah tersebut masing- masing berangka 1809, 1827, 1831—1832, 1885, dan 1845. Makalah ini akan membahas Hikayat Mareskalek, salah satu dari karya Abdullah bin Muhammad Al-Misri yang ditulis pada 1813. Menurut beberapa sumber Abdullah kemungkinan besar dilahirkan sebelum 1800, karena karya pertamanya dihasilkan pada 1809. Dengan demikian, kemungkinan besar ia mengalami empat peristiwa penting di wilayah koloni Hindia Timur, antara lain pergantian pengelolaan wilayah Hindia Timur dari VOC ke Republik Bataf106 (1 Januari 1800), pemerintahan Republik Bataf (1800—1808), Pemerintahan Prancis-Belanda di bawah kekuasaan Daendels (1808—1811), pemerintahan Prancis di bawah Daendels dan Janssens (1811), pemerintahan Inggris (1811—1816) dan pemerintahan Belanda (Komisaris Jenderal) pada 1816 dan sesudahnya. Dengan demikian, berdasarkan data yang ada, ia mengalami masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels yang menjabat dari 14 Januari 1808 sampai dengan 16 Mei 1811. Ada kemungkinan Hikayat Mareskalk berkaitan dengan pemerintahan Daendels karena ia mengalami pemerintahan itu. Sementara itu, naskah Hikayat Mareskalek ini baru ditulis pada 1813. Pada tahun itu pemerintahan di Hindia Timur berada di bawah pemerintahan Inggris (Letnan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles). Penyerahan pulau Jawa ke Inggris ditandai dengan ditandatanganinya Kapitulasi Tuntang yang berlangsung pada 18 September 1811. Setelah tanggal dan tahun itu, pengelolaan pulau Jawa dan beberapa pulau lainnya berada di bawah kekuasaan Inggris. Dengan demikian, naskah Hikayat Mareskalk yang menceritakan tentang pemerintahan Daendels di Jawa ditulis pada masa pemerintahan Inggris, tatkala Daendels sudah meninggalkan pulau Jawa107.

Hikayat Mareskalk Abdullah bin Muhammad Al Misri (1813) Naskah Hikayat Mareskalk terdiri atas 93 halaman. Setelah ditransliterasi oleh Monique Zaini-Lajoubert, naskah pengarang ini dikumpulkan dalam satu buku yang berjudul Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri, diterbitkan pada 2008 oleh EFEO dan Komunitas Bambu. Hikayat Mareskalk terdapat pada Bab 2, hlm. 37—72. Isi dari hikayat ini terdiri atas beberapa bagian yang menceritakan tentang masa pemerintahan Daendels yang berlangsung dari 14 Januari 1808 sampai dengan 16 Mei

106 Pada Januari 1795, Republik Bataf didirikan di Belanda atas dukungan pemerintah Prancis menggantikan pemerintahan Willem van Oranye. Republik Bataf dipimpin oleh 5 orang (directie) yang diketuai oleh Jan Rutger Schimmelpenninck. Republik Bataf berakhir pada Juni 1806 ketika Napoléon Bonaparte membubarkan Republik Bataf dan menggantinya dengan Kerajaan Belanda dengan Louis Napoléon (adik kandung Napoléon Bonaparte) sebagai rajanya. Kondisi ini berubah pada bulan Juli 1810, ketika Napoléon Bonaparte menurunkan tahta Louis Napoléon. Sejak saat itu Belanda berada langsung di bawah kekuasaan Napoléon Bonaparte sampai dengan ditandatanganinya Kongres Wina pada 1813 sebagai konsekuensi kalahnya Napoléon Bonaparte dalam peperangan di kota Leipzig. Berdasarkan Kongres Wina tersebut, kekuasaan di Belanda dikembalikan kepada Willem van Oranye yang hampir 20 tahun lamanya mengungsi di London. 107 Daendels menyerahkan kekuasaannya kepada Jan Willem Janssens pada tanggal 16 Mei 1811. Berdasarkan Surat Keputusan yang ditandatangani oleh Napoléon Bonaparte yang diberikan kepada Janssens, Daendels harus menyerahkan kekuasaan pulau Jawa dan sekitarnya dalam waktu maksimal 24 jam setelah pertemuan pertama Janssens dan Daendels. Ia baru meninggalkan Jawa pada 29 Juni 1811 dengan menggunakan kapal Claudillus Civillis yang ditumpangi oleh Janssens dari Eropa ke pulau Jawa.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 277

1811. Berdasarkan analisis yang dibuat, berdasarkan karya ini, permasalahan yang diceritakan dalam hikayat itu antara lain: Pemerintahan sentralistik Daendels Perdagangan dan komoditi dagang Pemberlakuan sistem administrasi yang baru Pembangunan benteng pertahanan Pembangunan jalan raya pos jalan Daendels Perang melawan Inggris Masa Pemerintahan Inggris

2a. Pemerintahan Sentralistik Daendels Pemerintahan Daendels yang sentralistik disebutkan dalam Hikayat Mareskalek pada halaman 8. Dikatakan bahwa surat-surat negeri dan desa wetan, kulon, dan kidul berada di dalam kantor Betawi. Surat-surat itu dikirimkan dari dan ke Batavia. Surat-surat itu dikehendaki oleh Gubernur Jenderal karena membicarakan adat dan peruntungan Kompeni dan banyak desa. Selain itu di hlm. 18 dikatakan bahwa manusia di Jawa dalam segala kondisi, dalam segala kedudukan berada di bawah perintah Tuan Besar di Betawi.

2b. Perdagangan dan Komoditi Dagang Perdagangan di Jawa berdasarkan hikayat ini didasarkan pada banyak nahkoda yang berniaga di tanah Jawa (hlm. 16-17). Hal ini terjadi karena banyak dagangan. Disebutkan terdapat lilin yang jumlahnya beribu-ribu pikul, kemenyan dan gambir yang jumlahnya juga beribu pikul habis di tanah Jawa dibawa ke negeri yang lain. Pernyataan ini menunjukkan bahwa perdagangan telah terjadi di wilayah ini. Komoditi dagang berhasil dijual ke luar negeri, yang jumlahnya cukup banyak, sehingga mengakibatkan barang-barang tersebut tidak terdapat lagi di Jawa.

2c. Pembenahan Sistem Administrasi yang baru Pada hlm. 76--77 hikayat ini disebutkan bahwa Daendels masuk ke dalam kantor, didapatnya buku negeri Syarah Bayan al-akbar yang menyatakan keuntungan Kompeni dalam satu tahun. Keuntungan beras, padi yang jumlah berpuluh laksa rial, dan dari peruntungan garam diperoleh keuntungan berpuluh ribu laksa rial, dari menyembelih kerbau berpuluh ribu laksa rial, dan dari peruntungan sapi, pajak pasar, kopi berpuluh laksa rial. Maka heranlah Janssens (pengganti Daendels) melihat peruntungan kompeni terlalu banyak.

2d. Pembangunan Benteng Naskah hikayat ini, terutama hlm. 44 menyebutkan bahwa Jenderal Mareskalek (Daendels) menyuruh menambak pulau antara tanah Jawa dengan tanah Madura, yang memiliki nama Selat Menari, tempat berperang berkukuh seteru yang datang. Taruh

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 278 negeri di atas pulau itu beberapa banyak meriam dan manusia, ada dengan pasir, terlalu indah pekerjaan itu. Di hlm 74, dikatakan bahwa disuruh oleh Mareskalek robohkan kota Betawi dibongkar dengan obat bedil, disuruhnya buat peperangan di Pasar Senen, ada padang luas, dikerjakan di loji Meester Cornelis, tempat berkukuh diri. Jika datang seteru, jangan dilawan berperang di dalam negeri, supaya dipelihara orang kecil jangan mati.

2e. Pembangunan Jalan Raya Pos Pembangunan jalan pos terdapat pada hikayat ini di hlm. 28. Disebutkan bahwa ada kepada suatu hari datang segala kiahi dan santri menghadap Duli Telapakan Jenderal Mareskalek berdatang sembah, ”Aduk Tuan Besar, ada kiahi lurah menyuruh gua sekalian memotong Gunung Megamendung , kerja jalan besar dengan orang banyak. Maka adalah gua sekalian pergi memotong Gunung Megamendung itu ”. Pada hlm.35 juga disebutkan bahwa …… dan tiap kampung yang jauh dengan sebuah kampung yang lain disuruh kerjakan jalan besar antara kampung dua itu supaya jadi kemudahan atas orang dua kampung itu.

2f. Perang Melawan Inggris Perang melawan Inggris terdapat dalam hikayat ini di hlm. 80-81. Dikatakan bahwa dan adalah kira-kira enam bulan Janssens jadi Mangkurat memerintah jagat tanah Jawa, maka kapal perang Inggris pun datang ke Betawi, lalu naik baris, berjalan masuk ke negeri Betawi, ada di Pasar Senen. Sementara itu, di halaman yang sama juga dikatakan bahwa surat daripada Janssens pun dibawa orang kepada kepala perang, kata Janssens. ”Adalah kota Betawi sudah dibinasakan oleh Mareskalek tempat berperang di Pasar Senen ada loji di Meester Cornelis, jika kapitan perang hendak bermain-main, datang jikalau Anda suka. Maka Kapitan perang pun berjalan dengan baris, datang ke Pasar Senen, lalu berperang. Di hlm. 82 dikatakan bahwa maka orang banyak mati dari pada kedua pihak. Kira-kira perangnya ada dua bulan. Maka kapal perang ada tiga puluh di labuhan Betawi, merampas segala perahu dagang, maka perang Janssens pun tewas.

2g. Masa Pemerintahan Inggris Di hlm. 83 naskah hikayat ini disebutkan bahwa ”Maka duduklah Inggris memerintah jagat tanah Jawa dan sawah dan tanah kampung sekalian menilik manusia itu. Disuruhnya yang punya tanah itu dijual kepada orang yang lain yang berkehendak akan tanah itu dan segala orang yang menruh budak disuruhnya merdhehekakan budak itu….. Maka sesungguhnya kami meminta doa kepada Allah supaya segera Inggris mengambil tanah Jawa kalau-kalau ada mudah senang sedikit daripada perintah kompeni Wolanda, maka ini terlebih keras perintah Inggris daripada Wolanda.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 279

Pemerintahan Daendels Berdasarkan Arsip Sejarah Berdasarkan arsip sejarah, Daendels menjabat Gubernur Jenderal di wilayah koloni Hindia Timur dari 14 Januari 1808 hingga 16 Mei 1811. Ia diangkat sebagai Gubernur Jenderal berdasarkan Instruksi Raja Belanda Louis tanggal 28 januari 1807. Ada beberapa karakteristik pada pemerintahan Daendels dibandingkan dengan pemerintahan gubernur jenderal lainnya. Berikut beberapa karakteristik dari pemerintahan Daendels di wilayah koloni Hindia Timur.

3a. Pemerintahan Sentralistik Untuk pertama kali di wilayah koloni, diberlakukan sistem pemerintahan yang sentralistik. Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal berdasarkan Surat Keputusan Raja Louis Napoléon tanggal 28 Januari 1807. Surat keputusan ini dikeluarkan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh pemerintahan Kerajaan Belanda, yakni ancaman Inggris yang hendak menyerang wilayah koloni Hindia Timur. Selain itu, keputusan ini dikeluarkan untuk mengatasi permasalahan internal yang dihadapi pemerintahan di wilayah koloni ini, yakni merajalelanya korupsi, sehingga Negara induk tidak memperoleh apa-apa dari koloni ini. Padahal analisis pejabat tinggi baik Prancis maupun Belanda yang dikirim ke Jawa, wilayah ini sangat kaya akan komoditi dagang yang sangat laku di pasaran Eropa, namun salah dalam mengelolanya. Oleh karena itu, tugas kedua yang dibebankan kepada Daendels oleh Raja Louis Napoléon terhadap Daendels adalah membenahi sistem administrasi di wilayah koloni ini agar memberikan keuntungan bagi Negara induk. Untuk memperkuat posisi Gubernur Jenderal, ia selain menerima Surat Keputusan pengangkatannya sebagai Gubernur Jenderal, juga menerima beberapa surat keputusan lain, antara lain Instruksi Raja Belanda untuk membubarkan Pemerintahan Tinggi di Batavia (Hautes Regences des Grandes Indes) dengan membentuk Pemerintahan Tinggi sementara di Batavia (SK tanggal 9 Februari 1807), Instruksi bagi Gubernur Jenderal tertanggal 9 Februari 1807 (37 pasal). Sentralisme kekuasaan ini diuylangi kembali dalam Instruksi Raja Belanda kepada Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia pada tanggal yang sama (sebanyak 25 pasal).

3b. Pengelolaan Komoditi Dagang Sebagai orang yang dipercaya oleh Raja Belanda untuk memajukan wilayah koloni di Jawa dan sekitarnya, Daendels berupaya untuk mengembangkan komoditi dagang yang laku di pasaran Eropa, seperti kopi, padi, dan gula. Kopi menjadi promadona utama perdagangan yang memberikan banyak keuntungan bagi pemerintah. Untuk mendukung kebijakan itu, setiap keluarga wajib bekerja di perkebunan kopi di Jawa dengan menanam sebanyak 200 pohon kopi setiap keluarga. Bahkan ada keluarga yang ditargetkan untuk menanam kopi sebanyak 500 buah pohon kopi. Oleh karena itu, diperintahkan bagi kepala daerah untuk menjalankan perintah itu tanpa ada alasan untuk menundanya.108

108 Lihat Lampiran Laporan Daendels tentang Koffie Culture LD 2 KC 2

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 280

Penerapan instruksi penanaman kopi ini dikhususkan bagi penduduk yang tinggal di wilayah pedalaman Batavia Batavia Ommelanden terutama di wilayah Priangan. Kebijakan untuk menanam padi diterapkan pada wilayah di sekitar Cirebon, yang merupakan lumbung padi di Jawa. Berdasarkan laporan wilayah Cirebon pada 7 Mei 1808 ditetapkan bahwa wilayah Cirebon diharuskan untuk menyerahkan 1/10 dari hasil panen padi. Penyerahan hasil komoditi berupa padi dinaikkan pada 19 Juni 1808 dari 1/10 menjadi 1/5 dari seluruh hasil panen harus diserahkan kepada pemerintah. Semua wilayah yang termasuk dalam wilayah kerajaan Cirebon.109 Bahkan, dalam realisasinya para sultan di Cirebon diharuskan membayar pajak kepada pemerintah dengan perincian antara lain:

Sultan Sepuh 10 ribu ringgit dan 800 koyang beras per tahun; Sultan Anom 10 ribu ringgit dan 500 koyang per tahun Sultan Cirebon 10 ribu ringgit dan 700 koyang per tahun.110 Berhubung tidak semua sultan mampu menyerahkan pajak dan hasil bumi kepada pemerintah pusat, maka pada 12 Maret 1811, Sultan Cirebon diberhentikan sebagai sultan, dan tanahnya diserahkan kepada dua sultan lainnya agar penyerahan komoditi dagang kepada pemerintah pusat tetap lancar dan jumlahnya mencapai target yang ditentukan.111

3c. Pemberlakuan sistem administrasi yang baru Kebijakan untuk memperbaiki sistem administrasi di wilayah koloni dilakukan oleh Gubernur Jenderal di segala bidang, terutama di bidang keuangan dan perdagangan, serta pertanahan dan kehutanan. Hal ini dikarenakan sejak VOC masih berdiri di wilayah ini selalu menderita kerugian. Beberapa laporan telah diberikan kepada Kaisar Prancis oleh Komandan militer Divisi XII yang bertugas di Jawa. Dikatakan bahwa pulau Jawa sangat kaya akan hasil komoditi namun salah mengurusnya, sehingga tidak ada keuntungan sedikit pun yang dapat dikirimkan ke negara induk. 112 Upaya Gubernur Jenderal untuk melakukan pembenahan sistem administrasi yaitu dengan membuat sistem pembukuan yang baru. Sistem pembukuan yang baru dilakukan untuk mengelola bagian keuangan, pergudangan, kurs mata uang. Gubernur Jenderal mengeluh tentang kondisi wilayah koloni ini dan menyatakan dengan tegas bahwa pendahulkunya (Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiesse) yang telah meninggalkan

109 Lihat Lampiran Laporan Daendels 2 tentang pengelolaan tanah-tanah Cirebon (LD2 Cirebon 4) 110 Ketentuan pembayaran pajak bagi para sultan Cirebon berdasarkan peraturan tanggal 25 Maret 1808 ini tidak pernah terpenuhi. Oleh karena itu, Gubernur Jenderal menata kembali Kesultanan Cirebon berdasarkan peraturan tanggal 2 Maret 1811. Berdasarkan peraturan tersebut, Gubernur Jenderal memberhentikan Sukltan Cirebon dari jabatannya dan tanahnya diserahkan kepada dua sultan lainnya (J. Hageman. 1857:218—219) 111 Pada 1804, pemerintah pusat memberikan subsidi ke Cirebon sebesar 600 ribu ringgit. Sementara wilayah itu mengirimkan berbagai komoditi dagang seperti: kopi 2.025.00 pon, 312.500 pon gula, 8.875 pon nila, 1.000 pon lada, 2.387.000 pon beras (J. Hageman 1857: 370-371). 112 Lihat Eymeret, tt :35. Napoléon Bonaparte berdasarkan laporan dari Divisi Ke XII yang pernah dikirimkan ke wilayah koloni Hindia Timur, kekayaan di wilayah ini melebihi kekayaan semua negara Eropa, sehingga wilayah ini perlu pembenahan.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 281

Negara dalam kondisi yang sangat parah, sehingga pada awal pemerintahannya terjadi stagnasi dalam pemerintahannya selama beberapa bulan. Hal ini diakibatkan karena tidak tertibnya sistem administrasi yang diterapkan oleh pendahulunya.113

3d. Pembangunan Benteng Pertahanan Setelah menerima tongkat pemerintahan di wilayah Hindia Timur, Daendels merencanakanuntuk membangun dua pangkalan armada laut, yakni di Teluk Meeuwen di Ujung Kulon dan di Teluk Manari di dekat Gresik. Konsep yang diterapkan untuk mempertahankan wilayah ini adalah menyatukan pulau Jawa dengan memperkuat di kedua ujung pulau Jawa, yaitu di Ujung Kulon (teluk Meeuwen) dan Teluk Manarie. Pembangunan dua pelabuhan ini memerlukan biaya yang sangat besar. Namun, pembangunan kedua pangkalan armada laut ini harus dilaksanakan untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris, agar amanah Raja Belanda dapat dilaksanakan.114 Saat membangun Fort Lodewijk, Daendels melihat pentingnya pengamanan sungai Brantas yang melewati kota Solo. Dengan dibangunnya benteng itu, diharapkan kota Surabaya dan kota Solo terlindungi dari ancaman Inggris. Beberapa parit yang dalam dibuat yang mengalir dari wilayah Ujung Pangka di sekitar benteng tersebut. Perlindungan terhadap kota Surabaya dilakukan dengan membuat timbunan batu yang menghubungkan antara Jawa dan Madura. Namun, pembangunan dam dari timbunan batu ini tidak dapat dilanjutkan oleh Daendels karena sebelum proyek ini selesai, Daendels telah dipanggil kembali ke Eropa.

3e. Pambangunan Jalan Raya Pos Jalan Daendels Pembangunan jalan raya yang dilakukan oleh Daendels didasarkan padsa Instruksi Raja Belanda kepada Gubernur Jenderal (pasal 29). Dalam pasal itu disebutkan bahwa Gubernur Jenderal wajib memperhatikan sarana yang paling cocok dirancang melalui kesepakatan dengan para bupati dan diterapkan untuk memperbaiki nasib penduduk yang tinggal di wilayah ini. Satrana yang paling cocok di sini bukanlah sarana perhubungan

113Lihat Deventer (1891 : 537—538). Dikatakan bahwa untuk mengatasi hal ini Daendels memerintahkan untuk memperluas perkebunan dan tetap mempertahankan hubungan dagang dengan pihak- pihak yang netral. Meskipun banyak kendala, upaya ini membuahkan hasil, sehingga pendapatan Negara mengalami kenaikan. Keluhan petani yang berupa mahalnya ongkos transport untuk membawa hasil bumi dari desa ke gudang pemerintah mendapatkan respons positif. Respon dari pemerintah yakni dikeluarkan instruksi untuk membuat jalan dari Cisarua (Buitenzorg) menuju ke Kandang Haur (Cirebon) yang menghubungkan jalan-jalan yang telah ada. Jalan yang telah ada, dilebarkan, sehingga terhubung jalan antara Anyer dan Surabaya (kemudian dilanjutkan ke Panarukan) yang difungsikan sebagai jalan pos pada 1808. 114 Lihat Von Faber 1931 : 33. Dikatakan bahwa akhirnya pembangunan pangkalan armada di Teluk Meeuwen di Ujung Kulon tidak dapat dilanjutkan karena ketahuan oleh armada laut Inggris dan segera dihancurkan. Sementara itu, pangkalan armada laut di Teluk Manarie diserahkan pembangunannya kepada Laksamana Buyskess. Setelah berhasil dibangun, pangkalan armada di timur ini diberni nama Fort Lodewijk sebagai penghargaan kepada Raja Belanda Louis Napoléon (Lodewijk Napoléon) yang telah mengangkat mereka menjadi pejabat di wilayah koloni Hindia Timur.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 282 laut, namun sarana perhubungan darat. Instruksi ini direalisasikan oleh Daendels dengan membangun jalan raya itu. Berhubung keuangan negara saat itu sangat tipis, Daendels memutuskan untuk membangun jalan dari Cisarua, menuju kea rah puncak, menuruni gunung menuju ke Cianjur. Dari Cianjur, pembangunan jalan dilanjutkan menghubungkannya dengan kota Bandung. Dari Bandung pembangunan dilanjutkan melalui Parakan Muncang, kemudian berbelok ke kiri menuju ke Sumedang, melalui Cadas Pangeran. Dari Sumedang, dilanjutkan dengan membuat jalan menuju ke Kandang Haur di Cirebon. Sementara itu, jalan-jalan yang sudah ada, misalnya dari Anyer sampai ke Batavia, dan dari Batavia sampai ke Buitenzorg, jalan dilebarkan sepanjang 36 kaki Belanda (sama dengan 2 roed Belanda) dan pada kedua sisinya dibuat saluran air yang memadai agar tidak menyebabkan banjir di kala hujan. Jalan juga harus memiliki tinggi 2-3 kaki di atas aliran sungai, yang ditutup dengan pasir dan kerikil yang diambil dari beberapa sungai di sekitar wilayah itu. Setiap jarak 400 roed, harus dibuat tonggal (paal) . Seluruh biaya pembangunan jalan antara Cisarua dan Kandang Haur menelan biaya sebesar 30.000 ringgit. Selanjutnya, berhubung pemerintah tidak memiliki uang lagi, untuk jalur Cirebon, Semarang hingga Surabaya, pembangunannya diserahkan kepada para bupati.115 Para pekerja yang mengerjakan jalur Cisarua-Kandang haur memperoleh gaji ditambah dengan beras dan garam. Oleh karena pembangunan jalur Cirebon menuju Surabaya dikerjakan oleh para pejabat pribumi, mereka tidak dituntut pertanggungjawaban secara tertulis. Dengan demikian, tidak banyak ditemui arsip yang membicarakan tentang pembangunan jalur Cirebon menuju Surabaya karena para pejabat pribumi tidak harus mempertanggungjawabkan atau mengirimkan laporannya kepada pemerintah di pusat. Itulah sebabnya dalam pembangunan jalur ini tidak banyak diperoleh arsip yang menyatakan tentang pembangunan jalur tersebut.

3f. Perang Melawan Inggris Daendels tidak mengalami perang melawan Inggris, karena ia telah meninggalkan Jawa pada tanggal 29 Juni 1811 dengan menggunakan kapal Claudillus Civillis yang digunakan oleh Janssens menuju Jawa. Penyerahan kekuasaan sudah dilakukan pada tanggal 16 Mei 1811, sehari setelah Janssens bertemu dengan Daendels seperti bunyi instruksi yang dikeluarkan oleh Napoléon Bonaparte. Sistem pertahanan territorial untuk melawan Inggris sudah dipersiapkan oleh Daendels setelah ia memperoleh berita melalui awak kapal Amerika yang singgah di Jawa. Strategi pertahanan darat yang telah direncanakan oleh Daendels tidak dipatuhi oleh Janssens. Jembatan dan saluran air yang telah diputus oleh Daendels disambung kembali atas perintah Janssens. Tak hayal tiga hari setelah pendaratan Inggris di

115 Lihat Stephen 1991 :75-76. Jalan jalur Cirebon hingga Surabaya dibuat dalam bentuk kerja wajib di bawah pimpinan pejabat setempat, karena mereka telah memiliki sistem kerja yang berupa kerja wajib di bawah pimpinan para pejabat pribumi karena pemerintah sudah tidak memiliki dana lagi.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 283

Cilincing,116 Weltevreden sudah dapat dikuasai oleh Inggris tanpa perlawanan yang berarti. Dalam waktu satu setengah bulan, Jenderal Auchmuty, komandan pasukan ekspedisi Inggris berhasil menaklukkan Jansses di benteng Jatingaleh dan memaksanya untuk menandatangani kapitulasi yang dinamai Kapitulasi Tuntang pada 18 September 1811. Isi kapitulasi itu antara lain penyerahan pulau Jawa ke tangan Inggris. Sejak saat itu berakhirlah dominasi kekuasaan Franco-Belanda di Jawa, berganti dengan pemerintahan Inggris di bawah Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles yang berkedudukan di Batavia. Wilayah Jawa tetap berada di bawah pengawasan Gubernur Jenderal Lord Minto yang berkedudukan di Calcutta.

3g. Masa Pemerintahan Inggris Masa pemerintahan Inggris ditandai dengan perubahan sistem administrasi. Semula sistem yang berlaku adalah sistem penyerahan wajib (contingenten). Pada masa Inggris, sistem ini diganti dengan sistem sewa tanah (landrente). Perubahan ini membawa dampak yang berarti dalam perkembangan kehidupan masyarakat di Jawa. Pajak diberlakukan di mana-mana. Akhirnya tidak hanya tanah yang dikenai pajak, tetapi harta kekayaan penduduk lainnya juga dikenai pajak. Masa pemerintahan Inggris di Jawa berlangsung hingga 1816. Hal ini disebabkan karena semua Negara Eropa harus mentaati isi kongres Wina. Kongres Wina dilaksanakan sebagai akibat dari ditangkapnya Napoléon Bonaparte. Sebagai akibat dari ekspansionisme Napoléon di Eropa, batas wilayah negera Eropa menjadi berubah. Untuk mempermudah pengembalian batas wilayah, salah satu isi dari Kongres Wina adalah mengembalikan batas-batas wilayah Negara pada posisi tahun 1793, yaitu tahun tatkala dimulainya ekspansionisme Napoléon. Sebagai konsekuensi dari disepakatinya Kongres Wina itu, wilayah koloni Belanda di Jawa harus dikembalikan pada posisi tahun 1793. Pada tahun tersebut wilayah koloni di Hindia Timur berada di bawah kekuasaan Belanda. Oleh karena itu, Inggris harus segera meninggal wilayah Hindia Timur pada 1816 sesuai kesepakatan Kongrtes Wina. Sejak tahun tersebut Jawa diserahkan kepada pemerintah Belanda di bawah pemerintahan Komisaris Jenderal.

4. Siapakah Jenderal Kayu dan Jenderal Kopi. Dalam Hikayat Mareskalek, (hlm.61) disebutkan bahwa : ”Adalah Jenderal Mareskalek menjadikan beberapa banyak orang yang di bawahnya itu dinamakan

116 Inggris mendaratkan 12.000 pasukannya di Cilincing yang diangkut dengan sekitar 100 kapal perang berhasil menduduki Weltevreden dalam 3 haru setelah pendaratannya. Peperangan dahsyat terjadi di Matraman, tatkala pasukan Inggris dihadang oleh pasukan Franco-Belanda yang bertahan di benteng Meester Cornelis. Setelah pertempuran selama dua minggu, benteng Meester Cornelis dapat dilumpuhkan setelah Inggris menerima laporan dari tentara Franco-Belanda yang disersi. Setelah benteng Meester Cornelis direbut Inggris, Janssens bertahan di Buitenzorg, kemudian mundur selalui Cirebon. Di Cirebon, pasukan Janssens sudah dihadang oleh Inggris yang didaratkan dari laut, sehingga memaksa Janssens mundur hingga kota Semarang. Di kota ini, Inggris mendaratkan pasukan Sepoy, yang berasal dari Hindustan, untuk mendesak Jansens dan pasukannya. Janssens akhirnya bertahan di benteng Jatingaleh, hingga penyerahan dirinya kepada Jenderal Auchmuty, pemimpin ekspedisi Inggris ke Jawa. Pada 18 September Jansses menandatangani kapitulasi Tuntang yang menandai diserahkannya wilayah koloni Jawa ke tangan Inggris.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 284

Jenderal, ada yang bernama Jenderal Kopi, ada yang bernama Jenderal Kayu, masing- masing dengan kerajaannya. Siapakah yang dimaksudkan para jenderal itu? Kopi merupakan komoditi ekspor yang sangat laku di pasaran dunia. Dengan dihasilkannya banyak kopi di wilayah koloni ini, maka banyak keuntungan yang akan didapat. Selain kopi, kayu juga membawa keuntungan yang sangat besar bagi pemerintah kolonial. Oleh karena itu, kedua komoditi ini ditangani langsung oleh suatu lembaga khusus yang disebut sebagai Inspektorat Jenderal. Selama pemerintahan Daendels, dibentuk beberapa Inspektorat Jenderal dengan Inspektur Jenderal sebagai kepalanya. Inspektur Jenderal tanaman kopi dibentuk pertama kali pada 9 Juni 1808. Gubernur Jenderal membentuk Inspektorat Jenderal Tanaman Kopi dengan direkturnya Winckelman. Ia membentuk Direktorat Jenderal Tanaman kopi yang berisi 17 Pasal.117 Winckelman diberikan wewenang untuk membuka kebun kopi yang baru untuk meningkatkan hasil kopi yang pada saat itu laku di pasaran dunia. Ia harus memperhatikan cara penanaman benih kopi yang benar, perawatannya, pemetikannya, hingga pengumpulannya yang diharuskan menggunakan metode yang baik. Para penduduk pribumi diharuskan untuk menanam kopi yang hasilnya diserahkan kepada bupati dan bangsawan pribumi lainnya berdasarkan keputusan pemerintah tanggal 15 Maret 1808 tentang penyetoran, dan pembayaran kopi di wilayah Batavia Ommelanden. Berdasarkan instruksi ini Inspektur Jenderal yang sering disebut sebagai Jenderal Kopi, menyampaikan instruksi kepada pengawas baik pengawas Eropa maupun pribumi. Inspektur Jenderal juga dapat meminta bantuan dari para residen demi keberhasilan penanaman kopi. Berdasarkan laporan Inspektur Jenderal Kopi, setiap keluarga semula diwajibkan untuk menanam 200 pohon kopi. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, setiap keluarga diharapkan berhasil menanam dan merawat kopi lebih dari 500 pohon. Untuk menjamin peningkatan hasil bumi kopi, para pengawas kopi diberikan pangkat militer setara dengan kapten. Sesuai jabatan dan pangkat ini, pengawas perkebunan diinstruksikan untuk menyerahkan 3.000 pikul kopi seberat 126-128 pon per pikulnya. Oleh karena itu, tugas para pengawas kopi ini adalah mendorong penduduk untuk menanam dan merawat kopi serta menjaga kualitasnya. Untuk urusan kayu, Gubernur Jenderal telah membentuk Pengelola Hutan yang bertugas mengatur dan mengelola hutan. Lembaga Pengelola Hutan ini berada di bawah Inspektorat Jenderal Urusan Hutan. Di lapangan Pengawas Hutan memiliki aktivitas untuk mengawasi penimbunan kayu, penilik dan penjaga hutan, dan mengawasi pegawai rendahan lainnya termasuk administrasi kehutanan. Pengelola hutan selalu berhubungan dengan semua unsur pekerja kehutanan, dari blandong (penyeret kayu yang telah ditebang), penebang hutan, dan hewan penarik kayu. Para Pengelola hutan ini setiap tahun harus melaporkan kegiatannya kepada Inspektur Jenderal, yakni pada bulan Desember. Untuk menjaga agar pengelola hutan tidak berbuat curang, maka di kalangan lembaga pengelola, seorang kepala pengelola

117 Lihat Lampiran 1 Daendels tentang KC nomor 1.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 285 hutan harus menyerahkan uang jaminan sebesar 5.000 ringgit sementara anggotanya sebesar 2.000 ringgit kepada pemerintah. Jaminan ini diperlukan untuk menutup kerugian apabila terjadi resiko ataupun kelemahan dan kelengahan mereka. Dalam pelaksanaannya, para pengelola hutan harus melaksanakan keputusan yang sudah diambil sehubungan dengan pemberian kode kayu yang sudah ditebang. Di Jawa terdapat beberapa kode, antara lain: kayu yang berasal dari Surabaya diberi kode S1, dari Gresik G2, dari Rembang R3, dari Juwana J4, dari Semarang S5, dari Pekalongan P6, dari Tegal T7, dari Cirebon C8, dan Indramayu I9. Para pengelola hutan yang mendapatkan kayu yang tidak berkode memiliki hak untuk menangkap siapa saja yang membawanya. Mereka yang melanggar akan mendapatkan hukuman yang setimpal.

Kesimpulan Setelah menganalisis Hikayat Mareskalek karya Abdullah bin Muhammad Al-Misri, maka dapat disimpulkan bahwa karya ini dibuat berdasarkan peristiwa yang terjadi pada saat pemerintahan Daendels, Janssens dan Raffles. Pembahasan tentang sistem pemerintahan yang sentralistik, pengelolaan komoditi dagang, penerapan sistem administrasi Negara yang baru oleh Daendels, Pembangunan pangkalan armada laut di Teluk Meeuwen dan Selat Manarie, peristiwa pembangunan jalan raja Daendels jalan pos, perang Franco-Belanda melawan Inggris termasuk di dalamnya peperangan di daerah Pasar Senen dan pemerintahan Raffles merupakan peristiwa sejarah yang terjadi masa lalu (berdasarkan arsip kolonial) terpotret dalam hikayat ini. Oleh karena itu, pernyataan yang menyatakan bahwa penulis hikayat ini, Abdullah bin Muhammad al-Misri mengalami sendiri peristiwa itu. Walaupun ia menuliskannya pada masa pemerintahan Inggris (1813), sementara peristiwanya berlangsung antara 1808—1811 semua peristiwa yang digambarkan dalam hikayat ini juga tersurat dalam arsip kolonial. Naskah ini ditulis dengan menggunakan gaya penulisan seorang penulis fiksi, hikayat ini mampu menguak pandangan masyarakat (mentalité) yang ada pada waktu itu. Penyebutan Jenderal Kopi, Jenderal Beras merupakan cerminan bahwa para jenderal inilah yang memberikan perintah langsung kepada para penduduk. Mereka berhubungan langsung dengan rakyat yang diberi tugas untuk mengelola tanaman yang menghasilkan komoditi ekspor yang sangat laku dijual di pasa Eropa. Penyebutan Jenderal kopi berhubungan langsung dengan Inspektur jenderal kopi, sementara penyebutan Jenderal Kayu mengacu kepada Pengelola hutan yang melakukan kontak langsung dengan penduduk yang mengelola hutan Naskah Hikayat Mareskalek karya Abdullah bin Muhammad Al-Misri dapat dijadikan sumber sejarah yang akan memunculkan mentaliuté yang ada di dalam masyarakat, khususnya pada masa pemerintahan Daendels-Raffles.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 286

Daftar Pustaka

Data: Lajoubert, Monique Zaini. 2008. Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri. Jakarta: Efeo, Komunitas Bambu

Arsip. Daendels, Herman Willem. 1814. Staat der Nederlandsche Oostbezittingen Onder Het Bestuur van den Gouverneur Generaal Herman Willem Daendels in de jaaren 1808— 181. Bijlagen eerste stuck. ‘S Gravenhague. Koffijj-Culture nomor 1 ------Bijlagen tweede stuck. Koffij Culture no. 2 Cheribon no. 4

Buku/Majalah

Deventer , M.L. van 1891. “Daendels-Raffles” dalam Indische Gids, Jilid I . Faber, von. GH. 1931. Oud Soerabaia. Uitgegeven door de gemeente Soerabaia ter gelegenheid van haar ziloveren jubileum op. 1 April 1931. Haak, A. 1938. Daendels. Rijswijk. Hageman, J. 1857. “De Engelschen op Java”, dalam Tijdschrift van bataviaasche Genootschaap voor Taal-, Land, en Volkenkunde Jilid VI. Pereboom, F dan HA Stalknecht. 1989. Herman Willem Daendels (1762—1818). Kampen. Akihari, H. Et all. 1991. Herman Willem Daendels 1762—1818. Utrecht: Matrijs.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 287

Njoo Cheong Seng dan pemikirannya tentang nasioanalisme dan bangsa

Dwi Susanto Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret, Surakarta [email protected] Aning naafiah [email protected]

Abstrak Njoo Cheong Seng (1902-1962), dramawan, sastrawan, dan jurnalis, memutuskan untuk memilih Hindia Belanda (Indonesia) sebagai bagian dari perjuangan intelektual dan politiknya. Pemikiran itu dilandasi oleh berbagai faktor di luar dirinya (kulturkebundenheid). Pemikiran nasionalisme dan gagasan bangsa sebagai budaya di kalangan masyarakatnya diduga akibat interaksi antara gerakan politik dan kebudayaan peranakan Tionghoa untuk berproses menjadi “Tionghoa-Indonesia” melalui karirnya sebagai seniman. Tujuan dari tulisan ini menuliskan perjuangan intelektual dan politik Njoo Cheong Seng dalam dunia sastra dalam menyebarkan ide nasionalisme dan bangsa sebagai budaya. Dalam mencapai tujuan itu, tulisan ini mengunakan penelitian kualitatif. Objek penelitian ini adalah karya-karya Njoo Cheong Seng dan pemikiran Njoo Cheong Seng. Data yang digunakan adalah karya-karya Njoo Cheong Seng, biografi Njoo Cheong Seng, dan berbagai data yang lain. Teknik analisis data dilakukan dengan teknik interpretatif dengan mendasarkan pada prosedur kerangka/konsep (teori) sastra sebagai produk sosial. Tulisan ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, Njoo Cheong Seng berhaluan moderat, tetapi anti terhadap internalisasi nilai-nilai Barat. Kedua, Njoo Cheong Seng memilih Barat sebagai instrumen dan nilai budaya Tionghoa sebagai sumber identitas, terutama konsep makro Khonghucu. Ketiga, nasionalisme Njoo Cheong Seng diwujudkan melalui gerakan kebudayaan yang menghidupkan lokalitas untuk etnik Tionghoa sebagai unsur pelengkap identitas. Keempat, secara politis dan ideologis Njoo Cheong Seng menganjurkan untuk memilih Indonesia sebagai tanah air dan tempat hidup bagi masyarakat peranakan Tionghoa, tetapi secara budaya tetap pada tradisi Tionghoa. Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa nasionalisme dan bangsa dalam pandangan Njoo Cheong Seng dijadikan sebagai perjuangan hidup untuk berproses menjadi “orang Tionghoa-Indonesia” yang manifestasinya dalam aktivitas dan karya-karyanya.

Kata kunci: Njoo Cheong Seng, nasionalisme dan bangsa, pemikiran

1. Pengantar Era c. 1925-1942 diindikasikan telah terjadi perubahan struktur sosial dalam masyarakat peranakan Tionghoa. Hal ini dibuktikan dari gejolak politik, ideologi, dan kebudayaaan yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Sebagai contohnya adalah munculnya identitas politis, seperti Sin Po, Chung Hua Hui, dan Persatuan Tionghoa Indonesia (Suryadinata, 1986). Selain itu, gerakan liberalisme, terutama emansipasi perempuan, ditandai dengan gerakan perempuan dan munculnya majalah perempuan, Fu Len (1937), Fu Nu Tsa Chih (1932), dan Maanblad Istri (1935) (Chan,1995 :46-47). Indikasi perubahan struktur sosial ini ditandai dengan gerakan sosialisme di Hindia Belanda (pemberontakan Partai Komunis Indonesia c.1927) (Rickles, 2011), Perang

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 288

Jepang di Tiongkok, dan lain-lain. Hal ini membawa pengaruh terhadap pilihan-pilihan identitas politis dan unsur pembangun identitas masyarakat peranakan Tionghoa. Njoo Cheong Seng berada dalam perubahan struktur sosial zaman ini. Meskipun dia terdidik dalam sekolah Tiong Hua Hwee Kuan (THHK), dia menyerap pendidikan dari tradisi dan budaya Barat, seperti Shakesperae, Goethe, Tennyson, dan lain-lain (Salmon, 1981). Selain itu, pergaulannya di dunia sandiwara tidak terlepas dari berbagai tradisi, terutama tradisi Barat. Dia tercatat pernah tergabung di Miss Riboet’s Orien, Moonlight Cyrstal Follies, Pantjawarna, dan mendirikan Fifi Young’s Pagoda. Njoo Cheong Seng, bersama kelompok sandiwara, pernah pentas di Singapura, Burma, Malaya, Shanghai, dan lain-lain. Pergaulan dan persentuhan dengan berbagai tradisi dalam waktu dan ruang yang berbeda dicurigai mempengaruhi pandangannya terhadap tradisi kebudayaan sebagai sumber identitasnya. Pilihan-pilihan budaya dan identitas politis diasumsikan tidak terlepas dari persentuhan dengan berbagai tradisi tersebut. Persentuhan dengan berbagai tradisi diasumsikan mempengaruhi pandangannya terhadap identitas politis dan pembangun unsur identitas budaya atau bangsa. Sebagai contoh adalah tradisi lokal. Melalui perjalanan ke berbagai wilayah Nusantara, Njoo Cheong Seng memberikan interpretasi terhadap masyarakat lokal yang dikunjungi dan ditempati, seperti Bales membalas (sebagi peringatan dari ia poenja toernee ke Atjeh) (1929-1930), Kembang mendoeroe dari Minahasa (1934), Marisang Manoekwari (1935), Sirada dari telaga Toba (1932), dan lain-lain. Persentuhan dengan lokalitas disinyalir membawa pengaruh yang cukup dominan terhadap pilihan identitas politis dan bangsa (tradisi budaya), selain unsur tradisi Tionghoa, dalam diri Njoo Cheong Seng sebagai figur yang dominan dalam kesusastraan peranakan Tionghoa pada periode ini. Karya-karya Njoo Cheong Seng yang berisi tradisi Tionghoa bernada anti Barat. Bahkan, tradisi atau nilai-nilai Barat itu diluruhkan, seperti Nona Olanda Sebagi Istri Tionghoa (1925). Penilaian budaya Barat terhadap kaum pribumi yang bersifat negatif mempertegas sikap Njoo Cheong Seng terhadap budaya dan tradisi Barat, seperti dalam Raden Adjeng Moerhia (1934). Begitu juga manusia Barat yang lemah dan tidak bisa bersatu dengan budaya Timur melalui simbol laki-laki Barat yang tergila-gila pada perempuan Timur, seperti dalam Gwi Hian Nio alias Helena (1925). Berbagai contoh itu memperkuat indikasi bahwa pilihan-pilihan politis atau nasionalisme dan penilaian terhadap bangsa (tradisi budaya) dipengaruhi oleh berbagai faktor dan proses waktu. Sebagai contohnya, penilaian negatif terhadap budaya Barat itu tidak terlepas dari peristiwa politis dan penetrasi budaya Barat di kalangan masyarakat peranakan Tionghoa melalui pendidikan dan segmentasi politis. Berdasarkan kenyataan itu, pilihan-pilihan identitas politis (nasionalisme) dan identitas bangsa (sumber pembangun identitas) dari Njoo Cheong Seng menjadi tidak terpisahkan dari proses waktu dan perubahan dalam masyarakat peranakan Tionghoa itu sendiri dalam merespon perubahan struktur masyarakat. Berdasarkan beberapa alasan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk menuliskan pilihan politis terhadap bangsa sebagai pembangun identitas Njoo Cheong Seng. Pilihan politis itu diartikan sebagai nasionalisme terhadap bangsa. Bangsa diartikan sebagai unsur

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 289 pembangun identitas dari Njoo Cheong Seng. Dengan pengertian itu, tulisan ini menjawab masalah pandangan atau pemikiran Njoo Cheong Seng terhadap pilihan identitas politis (nasionalisme dalam arti unsur pembangun identitas atau bangsa).

2. Teori dan Metode Sastra dipandang sebagai produk sosial (Wolff, 1981). Karya sastra dan penulisnya merupakan wakil dari kelompoknya. Penulis terbentuk dan terikat dalam lingkungan sosial atau struktur sosial tertentu. Sebagai produk sosial, pemikiran dan pandangan Njoo Cheong Seng dilepaskan dari pandangan romantik dan pandangan tentang intensi pengarang yang melepaskan konteks sosialnya. Yang menjadi fokus utama kajian ini bukan pemikiran Njoo Cheong Seng sebagai individu, tetapi pemikiran Njoo Cheong Seng yang dibentuk oleh struktur sosialnya. Metode yang digunakan adalah kualitatif, yang mengutamakan kualitas data dan bukan jumlah data. Objek yang dikaji adalah karya sastra Njoo Cheong Seng periode c.1925- 1942 dan pandangannya terhadap pilihan identitas politis-bangsa (nasionalisme-budaya sebagai identitas). Sumber data diperoleh dari karya sastra Njoo Cheong Seng dan berbagai sumber yang relevan terhadap topik kajian ini. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca dan mencatat informasi yang ada dalam berbagai sumber data yang ada. Teknik analisis data dilakukan secara interpretatif melalui berbagai tahap. Pertama adalah menghubungkan karya-karya Njoo Cheong Seng dengan konteks struktur sosial masyarakat pada zamannya, yakni menemukan “petanda” yang mengidentifikasikan isi karya dengan konteks di luar dirinya. Kedua adalah hasil dari yang pertama dicari hubungannya dengan topik kajian (nasionalisme-budaya) yang kemudian diinterpretasikan relasi-relasi antara isi karya dengan konteks sosial dengan bantuan latar atau situasi sosialnya.

3. Nasioalisme Budaya dalam Pandangan Njoo Cheong Seng 3.1. Anti Barat-Kolonial Pandangan yang negatif terhadap budaya dan nilai-nilai Barat diungkapkan secara tegas dalam teks Nona Olanda Sebagi Istri Tionghoa (1925). Diana, seorang perempuan Belanda, harus meluruhkan semua kebiasaan dan tata cara pergaulan Eropa agar diterima di keluarga besar Tionghoa, Kong Liang. Nilai-nilai Eropa harus tunduk pada nilai-nilai Tionghoa yang dipandang agung dan baik. Hal serupa dimunculkan dalam teks Raden Adjeng Moerhia (1934) yang memandang nilai dan kebiasaan Barat secara negatif. Barat tetap Barat dan Timur tetap Timur, mereka sulit bersatu. Willy van Galen kembali pada tradisi dan kebiasaan Eropa dan meninggalkan R.A, Moeriah, karena perbedaan bangsa. Meski “berdarah biru” dan terdidik dalam kalangan aristrokrat Jawa, R.A. Moeriah tetap tidak sejajar dengan nilai Eropa. Teks ini adalah sindiran terhadap nilai Eropa dan melakukan perlawanan terhadap nilai Eropa itu sendiri sekaligus kritik terhadap masyarakat lokal yang meninggalkan tradisi budayanya. Korpus ini ditemukan dalam teks yang lain, seperti Kesopanan Timoer (1932) karya Dahlia. Namun, pada era ini ada yang

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 290 menerima nilai-nilai Barat sebagai pembangun identitasnya dan sekaligus sebagai instrumen, bukan tujuan. Isu anti nilai-nilai Barat pada Njoo Cheong Seng ini berhubungan dengan Revolusi Kebudayaan Mei 1919, diterimanya nilai-nilai Barat sebagai pedoman identitas masyarakat Tionghoa, yang dipandang meluruhkan nilai-nilai lokal. Selain itu, modernisasi dalam arti pembaratan muncul di kalangan masyarakat peranakan Tionghoa. Kondisi Hindia Belanda dihadapkan pada gerakan sosial dan kebudayaan, seperti Taman Siswa yang berorientasi pada lokalitas dan anti kolonial-feodal, Djawa Dipa (Sinar Jawa) (1914) yang anti kolonial, dan gerakan THHK sendiri yang anti pada nilai-nilai Barat (pendidikan Barat). Selain itu, munculnya polemik kebudayaan, antara kubu Sultan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, mempengaruhi keragaman isu ataupu isi karya para penulis peranakan Tionghoa, terutama Njoo Cheong Seng yang mengikuti pandangan kembali pada nilai lokalitas. Pembaratan kebudayaan dalam kalangan masyarakat peranakan Tionghoa dianggap sebagai kolonialisme sehingga Njoo Cheong Seng melakukan resistensi terhadap gerakan itu. Kenyataan ini menunjukan bahwa Njoo Cheong Seng dihadapkan pada pilihan untuk meluruhkan nilai Eropa dan mengunggulkan nilai Tionghoa. Dengan asumsi tersebut, kemunculan karya-karya anti Barat dari Njoo Cheong Seng merupakan wujud penolakan terhadap modernisasi, pembaratan masyarakat Tionghoa, yang sama artinya dengan kolonialisme kebudayaan. Dalam konteks ini, nasionalisme Njoo Cheong Seng adalah nasionalisme anti-kolonial dalam masayarakat peranakan Tionghoa. Gagasan bangsa (budaya) adalah gagasan budaya Tionghoa, sesuai dengan etnisitasnya. Namun, secara politis Njoo Cheong Seng lebih memilih Indonesia sebagai tanah airnya. Hal ini terlihat dari gagasan imajinernya tentang kebudayaan Nusantara.

3.2. Penguatan Tradisi Tionghoa Secara langsung, pembalikan dari isu anti Barat-kolonial berdampak pada upaya penguatan tradisi Tionghoa. Melalui luruhnya budaya Eropa dan menangnya budaya Tionghoa, Nona Olanda Sebagi Istri Tionghoa (1925), menunjukan pilihan pembangun identitasnya, nilai Tionghoa. Njoo Cheong Seng secara etnik dan ras lebih dekat pada budaya Tionghoa, baik melalui pewarisan dan pendidikan formalnya, meski belajar pada tradisi nilai Barat. Karya yang berjudul Swami jang Boeta (1923) dan Gwi Nio alias Helena (1925) adalah contoh yang lain dari penguatan tradisi Tionghoa. Ketika secara politis Tiongkok dan geografi fisik dijajah Jepang, isu penjajahan fisik dikuatkan dengan isu penjajahan budaya, Battalion Setan (1938). Njoo Cheong Seng menempatkan tradisi dan nilai pembangun identitas Tionghoa sebagai pilihan yang utamanya. Secara geografis fisik, pilihan nasionalisme, yang politis, tidak teridentifikasi dalam karya-karya tentang isu penguatan tradisi Tionghoa. Berbagai fakta itu menunjukan bahwa, secara struktur sosial, tradisi dan nilai-nilai ketionghoan diperjuangkan dari berbagai ancaman penjajahan kolonial. THHK adalah sebagai contohnya. Tulisan-tulisan di berbagai surat kabar menunjukan perdebatan usaha mempertahankan dan menguatkan tradisi yang bersumber pada negeri Tiongkok dan juga debat kewarganegaran ataupun orientasi sikap politis. Hal ini terbukti dari isu

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 291 pendidikan dan perempuan yang dipandang sebagai pintu gerbang masuknya budaya Barat. Gerakan sosial, pendidikan, dan organisasi perkumpulan Tionghoa peranakan ditujukan untuk menguatkan tradisi Tionghoa. Karya-karya sezaman yang mengangkat isu identitas Tionghoa dibangun atas dasar nilai dan tradisi Tionghoa antara lain tema pendidikan, seperti Ruma Sekola jang saja Impeken (1925) karya Kwee Tek Hoay, Nona Tjoe Joe, Pertjinta’an Jang Membawa Tjilka (1922), Koerang dapet Pendidikan (1928) karya Louw Seng Hoejin, Boenga Roos Merah (1939) karya Chang Mung Tze, dan lain- lain. Isu perempuan, seperti dalam Resianja Satoe Gadis (1931) karya Tjio Peng Hong, Brantaslah Itoe Kekoenoan (1927) karya Missagrict, Pelita Penghidoepan (1937) karya Yang Lioe, dan lain-lain mejadi bagian dari gerakan ini, yang dikuatkan dengan organisasi dan gerakan penulis perempuan. Isu yang berhubungan dengan situasi sosial masyarakat peranakan Tionghoa, yang ditulis oleh Njoo Cheong Seng, diwujudkan dalam terminologi seperti gila Barat, ultra Barat, pendidikan Barat, tidak mengindahkan adat dan kesopanan Tionghoa, dan sejenisnya. Jargon-jargon tersebut muncul dalam karya Njoo Cheong Seng dan penulis yang lain. Teks-teks kesusastraan dari Njoo Cheong Seng pada dasarnya merupakan gerakan resistensi terhadap upaya perubahan struktur masyarakat peranakan Tionghoa, yang diarahkan mengambil tradisi Barat sebagai sumber identitas budaya atau bangsanya. Isu-isu tersebut sejalan dengan garis pemikiran kaum konservatif yang memandang makro dan mikro Khonghucu sebagai tujuan pembentuk identitas ketionghoan. Namun, posisi Njoo Cheong Seng sedikit berbeda. Njoo Cheong Seng tidak memperjuangkan mikro Khonghucu, tetapi menjadikan mikro Khonghucu sebagai pilihan yang bebas bagi masyarakat peranakan Tionghoa. Njoo Cheong Seng justru mempertahakan makro Khonghucu sebagai unsur yang melekat atau yang utama dari identitas masyarakat peranakan Tionghoa dengan menambah berbagai kemungkinan unsur yang lain, lokalitas, sebagai pembentuk manusia Tionghoa-Indonesia. Hal inilah yang membedakan Njoo Cheong Seng dengan para penulis yang tergolongan dalam kelompok sosial konservatif. Njoo Cheong Seng secara sadar menempatkan dirinya dalam struktur masyarakat kelas moderat-adaptif. Meskipun demikian, Njoo Cheong Seng tidak serta merta menelan “pil anti Barat” secara “membabi buta”. Njoo Cheong Seng tetap bersandar pada tradisi Barat sebagai alat atau instrumen, bukan tujuan. Hal ini dibuktikan dengan karya-karya drama ataupun pementasan sandiwara yang mengambil tradisi Barat, dari seni teknik, tujuan komersial, dan pegelolahan. Njoo Cheong Seng sependapat dengan kemajuan teknologi Barat sebagai penguat kemajuan masyarakat Tionghoa, tetapi tidak menginternasilsasi nilai-nilai Barat ke dalam unsur pembentuk identitas. Jejak pendidikan dan situasi sosial menunjukan sikap mendua dari masyarakat peranakan, misalnya mempergunakan dan memuja/kagum terhadap produk teknologi Barat, tetapi anti pada nilai-nilai Barat ataupun menyekolahkan anak-anak mereka ke Barat, tetapi tidak menginternalisasi Barat.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 292

3.3. Lokalitas Sebagai Sumber Kedua Njoo Cheong Seng menempati kelas sosial moderat-adaptif, selain sebagai seniman yang merakyat. Hal ini dibuktikan dengan pandangannya terhadap unsur lokalitas. Lokalitas dijadikan sebagai pembangun unsur identitas atau lokalitas sebagai unsur pembangun yang kedua dari nasionalisme bangsa atau nasionalisme budaya. Fakta ini tidak hanya dibuktikan dengan karya-karyanya yang memberikan isu tentang pentingnya lokalitas. Salah satu contohnya adalah cerita Gagaklodra yang membuktikan tentang nasionalisme, secara politis, yang berpihak pada Indonesia dari kelompok hibrid (Chandra, 2011). Isu tentang gagasan lokalitas sebagai bagian dari unsur pembangun identitas dapat dilihat dari tulisannya tentang suku-suku di Indonesia yang dikunjunginya. Gagasan kembali kepada tradisi sendiri juga dihadirkan oleh gerakan kebudayaan di Hindia Belanda, seperti pemikiran Sanusi Pane. Melalui imajinasi tentang suku-suku bangsa, Njoo Cheong Seng mengembangkan gagasan tentang keberagaman Nusantara. Satu pemikiran bangsa sebagai wilayah politis, geografi fisik, dan budaya dihadirkan dalam karya perjalanan. Sebagai contohnya adalah Bales membalas (sebagi peringatan dari ia poenja toernee ke Atjeh) (1929-1930), Kembang mendoeroe dari Minahasa (1934), Marisang Manoekwari (1935), Sirada dari telaga Toba (1932), dan lain-lain. Secara umum, isu lokalitas dari Njoo Cheong Seng menghadirkan deskripsi etnografi etnis di Nusantara. Deskripsi itu diberi penilaian secara positif. Masyarakat Aceh, Padang, Papua, Lampung, Batak, dan lain-lain adalah contohnya. Kisah perjalanan Njoo Cheong Seng ini menunjukan interaksi kultural dengan lokalitas sehingga Njoo Cheong Seng dipandang sebagai seniman yang merakyat. Sikap moderat dibuktikan dengan menerima sebagaian unsur lokal sebagai sumber tradisi yang kedua, sekaligus sumber pelengkap identitas. Selain itu, hal ini berhubungan dengan gerakan membentuk satu konsep bangsa, baik secara politis dan geografis. Usaha ini dilakukan untuk memberikan pemahaman dan membangun hubungan etnisitas yang selama ini tersekat-sekat oleh kebijakan pemerintah Belanda, sekaligus membuktikan bahwa orang Tionghoa bisa merakyat dan menempati berbagai lapisan sosial dalam masyarakat atau tidak ekslusif. Secara khusus, Njoo Cheong Seng memberikan kutukan pada budaya priyayi yang tidak mempergunakan kelebihannya dalam membangun masyarakat sekitar, tetapi justru meninggalkan budaya dan nilai Jawa, seperti dalam Raden Adjeng Moeria (1934). Sementara, mitos yang membangun adat dan tradisi masyarakat Batak, di sekitar telaga Toba, diungkapkan dalam Sirada dari Telaga Toba (1932), yang berkisah tentang misteri danau Toba dan percintaan. Sejarah masyarakat Batak juga diungkapkan dalam teks tersebut. Hal ini menjadi salah satu contoh usaha memasukan sejarah lokal menjadi bagian dari sejarah masyarakatnya atau berusaha menginternalisasikan nilai-nilai sejarah lokal ke dalam bagian dirinya, atau konsep nasionalisme-bangsa. Gagaklodra adalah salah satu contoh yang nyata dari semangat nasionalisme Indonesia dan resistensi terhadap kolonialisme Belanda, yang mengambil tradisi dari masyarakat Sunda.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 293

4. Kesimpulan Tulisan ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, Njoo Cheong Seng berhaluan moderat, tetapi anti terhadap internalisasi nilai-nilai Barat. Kedua, Njoo Cheong Seng memilih Barat sebagai instrumen dan lokalitas/nilai budaya Tionghoa sebagai identitas yang utama, terutama nilai-nilai makro Khonghucu. Ketiga, nasionalisme Njoo Cheong Seng diwujudkan melalui gerakan kebudayaan yang menghidupkan lokalitas sebagai unsur pelengkap identitas. Keempat, secara politis dan ideologis Njoo Cheong Seng menganjurkan untuk memilih Indonesia sebagai tanah air dan tempat hidup bagi masyarakat peranakan Tionghoa, tetapi secara budaya tetap pada tradisi Tionghoa. Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa nasionalisme dan bangsa dalam pandangan Njoo Cheong Seng dijadikan sebagai perjuangan hidup untuk berproses menjadi “orang Tionghoa-Indonesia” yang manifestasinya dalam aktivitas dan karya-karyanya.

Daftar Pustaka

Chan, Faye Yik-Wei. 1991. “Mrs. Tjoa Hin Hoeij; Profile of a Women Writer in Late Colonial Indonesia” dalam Archipel, Volume 42, 1991 Chandra, Elizabeth. 2011. “Fantasingzing Chinese/Indonesian Hero: Njoo Cheong Seng and the Gagaklodra Series” dalam Archipel 82, Paris 2011, pp. 83-113 Njoo Cheong Seng. 1923. Swami jang boeta, Swatoe tjerita jang kedjadian di Soerabaja. Batavia: Tjio Kim Siong Njoo Cheong Seng. 1925. Gwi Hian Nio alias Helena. Batavia: Lie Tok Long Njoo Cheong Seng. 1925. Nona Olanda Sebagi Istri Tionghoa, Penghidoepan Januari 1925 Njoo Cheong Seng. 1932. Sirada dari Telaga Toba, ditoelis sebagi peringetan dari ia poenja perdjalanan mengoelilingi Telaga Toba, meliwati Haranggul, Prapat dan Bahge, dan teroes sebrangi telaga Toba menoedjoe ke Poelau Samosir dimana ada mendjadi tempat kediamannja bangsa Batak Toba,... Poelau Samosir 27 September 1929, Tjerita Roman, Maret 1932 Njoo Cheong Seng. 1934. Raden Adjeng Moeria, peringetan Medan 1929-1933, Tjerita Roman Juni 1934 Njoo Cheong Seng (Monsieur’d Amour). 1938. Battalion Setan, Tjerita Roman, Maret 1938 Oen Hong Sing Tan (Dahlia). 1932. Kesopanan Timoer, Tjerita Roman, Juni 1932. Rickles, M.C., 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Salmon, Claudine. 1981. Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: a provisional annotated bibbliography. Paris: Editions de la Mansion des Sciences de l’Homme Suryadinta, Leo. 1986. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942 (penerjemah: F.S. Handoyo). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Wolff, Janet. 1991. The Social Production of Arts. New York: St. Martin’s Press

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 294

Gambar 1: halaman pertama teks Nona Olanda sebagi Istri Tionghoa (1925)

Gambar 2: Njoo Cheong Seng (1902-1962)118

118 . Foto diambil dari Myra Sidharta. 2004. Biografi Delapan Penulis Peranakan; Dari Penjaja Tekstil sampai Superwomen. Jakarta: Gramedia, hlm. 23

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 295

Membebaskan Fetish “Babu” dalam Sastra Indonesia? – Cerpen “Bukan Yem” oleh Etik Juwita

Shiho Sawai

To be called a name is one of the first forms of linguistic injury that one learns. But not all name-calling is injurious. Being called a name is also one of the conditions by which a subject is constituted in a language; …Does the power of language to injure follow from its interpellative power? And how, if at all, linguistic agency emerge from this scene of enabling vulnerability?

(Judith Butler, Excitable Speech, 1997:2)

Judith Butler menekankan bahwa setiap kata menimbulkan suatu “agency119”, arena suatu perkataan selalu memulai subyektivitas baik dalam/secara bahasa maupun dalam fisik dan keduanya terkait satu sama lain. Pernyataan tersebut merujuk pada pembahasan John Austin tentang hubungan antara aksi “illocutioinary” (suatu tindakan perkataan) dan aksi “perlocutionary” (suatu tindakan melalui perkataan tertentu, seperti “menamakan seseorang”, atau “menikahkan sepasang orang”) dalam kajian linguistik (lihat Austin, 1975, Butler, 1998:5); Dalam arti, memberikan nama julukan yang jelek merupakan salah satu contoh bagaimana aksi “illocutionary” dan “perlocutionary” saling berkaitan. Pada saat seseorang mendapatkan nama julukan yang jelek, julukan tersebut dikaitkan dengan subyektivitas yang negatif.

Di lain pihak, pada saat yang sama sebuah subyek baru akan dapat muncul dari orang yang dijelekkan, terutama jika dia dapat mengalihkan arti julukannya melalui cara respon tersendiri, dengan memanfaatkan agency fisik maupun linguistik dia miliki. (Butler, 1998: 2-5). Artinya, suatu ejekan selalu melibatkan peluang untuk penciptaan arti kata yang baru, diantara tubuh dan bahasa yang ditukarkan di antara para pembicaranya, dan di antara ucapannya secara halfiah (akibat illocutionary) dan efek tindakan perkataannya (akibat perlocutionary). Inilah yang dinamai “linguistic vulnerability” oleh Judith Butler (1997: 2-3), karena makna suatu bahasa selalu tidak stabil, dan itu merupakan alasan mengapa politik kekuasaan selalu muncul di antara pembicaranya, dan melibatkan indikasi seperti ras, gender dan kelas sosial.

119 Menurut Parker (2005) mendefinisikan agency sebagai “an active subaltern” yang memiliki kapasitas secara sosial dan budaya untuk menyarakan pendapatnya, meski kapasitas dia selalu dibatasi. Demikian, seatu agency selalu berjuang di antara otonomi dan keterbatasan dalam struktur sosial, untuk menempatkan diri dalam hubungan sosial yang lebih menggairahkan. Selain itu, Parker juga menekankan pentingnya memikirkan daya agency untuk mengonstitusi diri melalui imajinasi atau fantasi, serta kemampuannya sebagai individu maupun yang kolektif (2005:2-13).

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 296

Linguistic vulnerability ini selalu beroperasi secara kontekstual, melalui nilai-nilai yang dikembangan dalam sejarah di masyarakat setempat (Butler, 1997: 36). Bila sebuah perkataan selalu diartikan berdasarkan makna yang disepakati oleh masyarakat setempat, makna yang diciptakan dalam tindakan illocutionary dan perlocutionary pun selalu merujuk pada nilai-nilai dan konvensi sosial di masyarakat setempat. Inilah proses yang sebuah masyarakat menciptakan julukan tertentu berdasarkan indikasi tentang ras/jender/kelas sosial. Jika demikian kenyataannya, bagaimana sebuah julukan dapat membangkitkan agency alternatif, melalui penentangan arti kata yang sudah diakui dalam masyarakat pembicaranya? Dalam keadaan seperti apakah makna suatu kata baru, atau agency alternatif itu menjelma di antara dunia nyata dan dunia bahasa?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, esai ini akan mengevaluasi sebuah cerpen berjudul “Bukan Yem” (selanjutnya BY) yang ditullis oleh pengarang yang pernah bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Hong Kong (selanjutnya dinyatakan sebagai Buruh Migran Indonesia/BMI), untuk menunjukkan agency alternatif dalam sebuah karya sastra. Karya ini sangat relevan dengan permasalahan yang disebut di atas, karena karya ini ditulis oleh seorang BMI tentang para BMI, sehingga membawa pesan yang kuat untuk menolak julukan negatif terhadap buruh migran perempuan, yang eksis baik di masyarakat Indonesia maupun di negara lain. Sebenarnya, konotasi negatif tentang buruh migran perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga telah ada sejak lama di masyarakat Indonesia, khususnya di pulau Jawa, berlandaskan tradisi untuk mempekerjakan pembantu perempuan yang berasal dari desa. Karena itu, esai ini akan menyelidiki keterkaitan budaya tradisi pembantu dengan julukan negatif BMI yang ada saat ini, dan memperlihatkan bagaimana dalam karya ini, julukan BMI diartikan secara berbeda dari konotasi sebelumnya. Pembahasan di dalam esai ini akan mendemonstrasikan keunikan karya tersebut – yang melihatkan agency baik secara illocutionary maupun perlocutionary, dengan mengaitkan subyektivitas pengarang dan subyektivitas tokoh dalam karyanya, tentang apa artinya menjadi seorang buruh migran atau pembantu perempuan. Dengan kata lain, esai ini akan menyoroti proses karya sastra dalam memperluas batas makna apa artinya menjadi pembantu dalam konteks zaman migrasi perempuan secara transnasional.

Esai ini akan menganalisa pengaruh karya sastra sebelumnya dalam penciptaan imaj pembantu yang tersebar di masyarakat Indonesia sampai sekarang. Selanjutnya, esai ini akan memperkenalkan strategi naratif karya ini dalam melawan penggambaran negatif pembantu yang selama ini eksis dan dalam membangun sosok yang berbeda. Hal ini menjadi pembuktian radikalitas karya ini, dalam memutarbalikkan fantasi tentang penggambaran konvensional pembantu dengan sengaja menggunakan kesan pembantu yang menggerikan, atau “the Uncanny” dalam istilah Freud (Freud, 2003[1919]).

Esai ini akan dibagi dalam empat bagian sebagai berikut. Pada bagian pertama, esai ini memperkenalkan latar belakang pengarang karya BY, bersamaan dengan mengulas mengapa karya ini menarik perhatian masyarakat ketika diterbitkan di Indonesia. Pada bagian kedua, sosok BMI dalam karya BY dibandingkan dengan penggambaran pembantu seperti yang dinyatakan dalam beberapa karya sastra terkenal sebelum- sebelumnya, sebagai contoh atas penggambaran historis tanda “fetish” yang dikaitkan dengan pembantu perempuan di dalam sastra berbahasa Indonesia. Ketiga, sosok

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 297 pembantu dalam teks BY akan diulas, untuk melihatkan bagaimana sosok yang menggerikan/membinggungkan (“the Uncanny”) berfungsi sebagai antithesis/tanda penolakan terhadap fetish pembantu secara konvensional.

Dengan demikian, esai ini akan medemonstrasikan bagaimana sosok seorang pembantu yang awalnya mengerikan berubah seiring dengan alur ceritanya, ketika teks berhasil memperlihatkan kesedihan, amarah dan solidaritas seorang pembantu yang selama ini jarang dipresentasikan dibalik imaj tersubordinasi. Di samping itu, naratif tentang tokoh-tokoh pihak lokal yang mengeksploitasi para BMI juga dievaluasi, untuk menggaris-bawahi daya resistensi dan solidaritas perempuan yang mucul. Namun demikian, esai ini juga menyoroti pesan penting pada akhir cerita, di mana simpati dan solidaritas narator sebagai seorang BMI terhadap kawan sekerjanya ditolak, dan justru penolakan ini yang menampilkan agency seorang BMI yang alternatif, yang tidak di posisi tersubordinasi, men-subordinasi, dan juga tidak pada solidaritas seprofesi, sejenis, sekelas, atau sebangsa secara gampangan. Pemunculan agency BMI melalui penolakan seperti ini memberi pesan bahwa sebuah subyektivitas yang non-opresif (atau agency alternatif) hanya dapat ditemukan secara temporer, maka linguistic vulnerability perlu dibaca melalui subyektivitas-subyektivitas dalam naratif sastra yang tampak secara performatif dan komunikatif.

Latar belakang Bukan Yem

Sebelum membahas konsep analisa karya sastra, esai ini akan memperkenalkan alur cerita BY dan latar belakang pengarangnya, Etik Juwita, yang terkait erat dengan pesan dalam cerita tersebut.

Pada tahun 2007, BY yang ditulis oleh seorang BMI di Hong Kong, Etik Juwita dinominasi sebagai juara ke-5 untuk Anugerah Sastra Pena Kencana 2008, yang dipilih di antara cerpen yang diterbit di beberapa Koran nasional dan daerah pada tahun itu (Anugerah Sastra Pena Kencana, 2008). Nominasi BY mendapatkan perhatian sosial, sebagian karena latar belakang pengarang Etik yang sedang bekerja sebagai BMI di Hong Kong. Etik berusia akhir 20-an berasal dari Blitar pada saat nominasi anugerah tersebut. Dia memiliki pengalaman kerja di luar negeri, seperti di Singapore and Hong Kong setelah tamat SMA. Latar belakang Etik ini menarik minat pembaca, karena selama ini tidak umum bagi pengarang perempuan yang tidak berpendidikan tinggi, apalagi berprofesi sebagai buruh migran transnasional menerbitkan karya sastra. Namun demikian, para pembacanya tertarik originalitas BY yang menolak penggambaran pembantu perempuan secara stereotip misalnya lugu, bodoh dan korban eksploitasi seksual dan/atau hanya sebagai obyek seksual. Ini merupakan dua keunikan inti dari BY, yaitu tokoh dan pengarangnya sama-sama menunjukkan antithesis terhadap stereotip pembantu/BMI di Indonesia.

Profesi pembantu bagi perempuan yang berasal dari keluarga yang miskin di daerah pedesaan merupakan tradisi lama di Indonesia. Sejak zaman kolonial, profesi itu menjadi umum bagi keluarga bangsawan yang mengangkat anak berusia muda dari

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 298 keluarga golongan miskin di desa dan mempekerjakannya untuk urusan rumah tangga, seperti mencuci, memasak dan membersihkan (Locher-Scholten, 2000). Pembantu tidak dianggap sebagai pekerja secara hanafiah, karena dia sering dianggap sebagai salah satu anggota keluarga majikannya, sebagaimana sering dikatakan “ikut keluarga (majikannya)” (Wolf, 2000). Demikian, pembantu seringkali tidak menerima gaji tetap, namun bekerja hanya dengan uang saku dan/atau hadiah tertentu. Ini alasannya pembantu memiliki posisi di antara keluarga dan pekerja, dan juga merasa berutang budi bagi keluarga majikannya yang “mengangkat” dia dengan status setengah-keluarga dan setengah pekerja. Ke-tidak-jelasan posisinya seperti itu seringkali mengakibatkan eksploitasi bagi mereka; contohnya, pembantu dipekerjakan dalam lingkungan tidak sehat, atau disuruh mengerjakan tugas yang sebetulnya bagi anggota keluarga, seperti berhubungan intim dengan anggota keluarga lelaki. Inilah keadaan di mana pembantu dijadikan istri simpanan atau pacar gelap bagi Bapak, suami atau anak laki-laki di keluarga majikannya, yang menindas sang pembantu dalam sistem feodalisme dan patriarki yang menguasai masyarakat zaman kolonial. Bahkan, tradisi ini lama-kelamaan tidak hanya terlihat di keluarga bangsawan, melainkan menjadi bagian budaya kelas menengah baru yang muncul di daerah perkotaan pada awal abad ke-20 (Locher-Scholten, 2000). Hal ini menginspirasi banyak penulis sastra untuk menghasilkan karya sastra dengan motif ini, dengan menggunakan pembantu sebagai tokoh kunci. Sejarah seperti ini melahirkan beberapa karya sastra yang terkenal di Indonesia yang menampilkan pembantu sebagai tokoh utama, tetapi juga menyebarkan citra pembantu seperti perempuan dari keluarga golongan bawah dan berpendidikan minim, sehingga dapat dengan mudah dieksploitasi secara ekonomi maupun seksual.

Sejak tahun 1990an, makin banyak perempuan Indonesia bermigrasi ke luar negeri seperti negara-negara Timur-tengah atau Asia Tenggara/Asia Timur, untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dan hal ini memunculkan image BMI yang sebagian terpengaruh oleh imaj pembantu yang telah tersebar di masyarakat. Misalnya, kesan BMI yang melakukan “seks bebas” atau “pergaulan sesama wanita” karena “kehilangan moral” yang diakibatkan dalam proses rantauan dari tempat asalnya yang pedesaan ke kota Metropolitan. Wacana seperti ini terlihat dalam berita Koran lokal seperti Jawa Pos, dan hal ini mungkin menunjukkan bahwa citra buruk BMI seperti ini sebagian tergabung ke stereotip pembantu yang disebut di atas.

Padahal pada kenyataannya, para perempuan yang menjadi BMI mayoritas memiliki tingkat pendidikan yang cukup seperti SMP atau SMA, dan berasal dari wilayah kota, sehingga sebenarnya tingkat sosial mereka sedikit lebih baik dibandingkan golongan yang menjadi pembantu rumah tangga di dalam Indonesia sendiri. Ini berarti bahwa BMI mengalami dua stigma sekaligus, sebagai BMI dan sebagai pembantu (Sim, 2007).

Tanda fetish pembantu dalam sastra berbahasa Indonesia

Seperti dibahas di atas, imaj pembantu yang negatif muncul berulang kali di beberapa karya sastra terkenal di Indonesia, dan karya tersebut menampilkan tanda

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 299

“fetish” (lihat Siegel, 1997) pembantu yang terkait dengan konotasi jelek tersebut di atas, yang direpresentasikan melalui julukan “babu”. Fetish babu ini menandai beberapa symbol yang kadang saling-berkaitan, dan terkadang saling-bertentangan, misalnya; tersubordinasi, berpendidikan rendah, materialistik dan penggoda. Misalnya, cerpen oleh Pramoedya Ananta Toer, berjudul “Inem” (1952), menggambarkan subordinasi pembantu berusia 9 tahun bernama Inem yang dikawinkan. Di sini, tanda pembantu dihadirkan sebagai subordinasi, kurang pendidikan dan obyek seksual. Karya lain oleh Pramoedya, berjudul “Jongos dan Babu” (2003[1963]) menceritakan sifat penggoda dan subordinasi seorang pembantu Indo demi memperoleh harta kekayaan majikannya, orang Belanda, pada zaman kolonial. Sedangkan, karya Linus Suryadi “Pengakuan Pariyem” (1981) bercerita tentang seorang pembantu dari desa di dekat Yogyakarta yang dipekerjakan pada keluarga bangsawan di Yogyakarta, dan berhubungan intim dengan anak laki-laki keluarga majikannya serta melahirkan anak di luar nikah. Karya ini tidak hanya menyoroti sisi eksploitatif-nya hubungan sang pembantu dan anak majikan, namun juga menyisipkan rasa bahagia dan bangga bagi pembantunya yang memang mencintai seorang lelaki muda dari keluarga bangsawan, serta sikap keluarga majikannya yang memperdulikan dengan baik kesejahteraan sang pembantu dan anak yang dilahirkannya. Meskipun demikian, susah dipungkiri bahwa karya ini juga menciptakan imaj pembantu sebagai penggoda lelaki.

Dengan demikian, karya-karya tersebut, walau penggambarannya cukup beragam , namun juga tetap cukup konsisten untuk menghadirkan fetish pembantu dan hubungan sosial di antaranya yang menjadi stigma secara jender, ras dan tingkat social bagi mereka. Sebagai akibatnya, fetish tersebut telah menembus ke mentalitas sosial yang otomatis menginterpretasikan subyektivitas pembantu perempuan terutama dengan imajinasi tersebut.

Namun, BY menggunakan stigma pembantu tersebut untuk men-jungkir balikkan stigma tersebut. Hal ini terlihat dari tokoh utamanya yang seorang BMI bernama Yem, yang mungkin menirukan nama pembantu yang secara umum ditemukan dalam karya sastra seperti “Pariyem” atau “Inem”. Penamaan seperti ini meningkatkan ekspektansi pembaca bahwa sang tokoh pembantu akan memiliki sifat stereotip seorang pembantu seperti, penakut, materialistis dan/atau penggoda. Akan tetapi, naratif berikutnya menunjukkan sifat Yem bahkan sangat berbeda dari ekspektansi tersebut. Karena itu, pembahasan berikut akan mengulas teks secara rinci untuk mendemonstrasikan bagaimana imaj pembantu yang tersebar di masyarakat diputar-balikkan dalam pandangan sang narator.

Destabilisasi tanda fetish pembantu – seorang Ibu yang “Uncanny” dan melanggar moral sosial

BY menghadirkan dua tokoh pembantu sebagai tokoh utama, yaitu Yem dan aku. Yem berperan sebagai protagonis dan aku sebagai narator, dan kisah ini dimulai ketika kedua perempuan itu bertemu dalam sebuah mobil travel yang mengantarkan para BMI dari Bandara Soekarno-Hatta ke daerah-daerah di pulau Jawa. Yem baru pulang untuk selamanya dari Timur Tengah, dan aku dari Singapore untuk berlibur sementara.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 300

Meskipun memiliki nama yang tipikal bagi seorang pembantu, Yem itu menampilkan sifat yang sama sekali berbeda/a-tipikal di mata aku, sang narator, dengan perkataannya yang menggerikan:

"Kau percaya? Ada kawanku yang memasukkan bayi majikannya ke dalam mesin cuci sesaat menjelang pulang kampung," katanya tanpa emosi. …Perempuan ini berhasil meneror saya. Sial! Bergidik saya membayangkan yang baru dikatakannya.

…"Aku mencampur susu anak majikanku dengan racun tikus," (Juwita, 2007)

…"Anak Mbak berapa?"

…"Tiga yang hidup. Tiga yang kugugurkan." (Juwita, 2007)

Dalam ucapan pertama dan kedua di kutipan atas, aku kaget dengan komentar Yem yang menerornya, karena itu tidak hanya kejam, melainkan juga karena meliputi konotasi yang menjatuhkan citra BMI yang positif, seperti Ibu pengasuh yang penyayang. Dalam ucapan ketiga, aku menyadari bahwa Yem berani membunuh anaknya sendiri. Tiga perkataan Yem memberi kesan bahwa dia sama sekali tidak sesuai dengan peran seorang Ibu asuh, apa lagi Ibu asli. Maka pernyataan tersebut mengganggu perasaan aku, karena dia yang memiliki profesionalisme dan moralitas yang tinggi sebagai seorang BMI tidak dapat menerima ucapannya yang merusak citra BMI, karena berarti ucapan itu merusak solidaritas di antara mereka. Dengan kata lain, sudut pandang aku di bagian ini berfungsi sebagai super-egonya pembantu yang ideal, yang sekalian men-close-up sosok Yem sebagai “the Uncanny” di matanya, sebagai fungsi the Uncanny yang menonjolkan kehadiran sesuatu yang terlihat hal yang biasa dengan memberi karakteristik yang tidak biasa.

Pembantu sebagai sosok miskin dan tidak menarik Contoh lain sosok Yem yang tidak sesuai dengan fetish pembantu yang umum bisa terlihat di penggambaran tentang fisiknya. Yem digambarkan berusia tua, miskin, tidak menarik dan juga tidak sehat baik secara fisik dan maupun mental.

“…Diam-diam saya berpikir orang di depan saya ini umurnya mungkin mendekati empat puluh. Pipinya mulai kempot, bergigi palsu warna keemasan yang sekali-kali mengkilat oleh pantulan sinar yang berkelebat. Kuku-kuku tangannya terpotong tak rata, seperti penderita penyakit jiwa. Cekung matanya hitam seperti pejudi yang suka begadang sepanjang malam. Payudaranya kempot, dengan tubuh kurus dan kulit penuh sembulan otot. Perempuan ini barangkali memang sedang terganggu jiwanya…” (Juwita, 2007)

Seperti dikutip di atas, penggambaran di paragraf ini bertentangan dengan citra ideal seorang pembantu yang muda, sehat, submisif, dan menggairahkan, dengan fungsi reproduktif yang baik: gigi emas yang palsu murahan, payudaranya yang kempot dengan cekung mata hitam dan potongan kuku yang tidak merata, teks tersebut

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 301 merepresentasikan Yem seperti orang gila. Penggambaran tersebut tidak hanya menentang imaj pembantu sebagai penggoda, melainkan membangkitkan imaj lain yakni imaj pembantu “setelah dipakai” sebagai penghibur lelaki yang jarang diwacanakan di karya sastra selama ini. Keadaan Yem seperti itu sebetulnya wajar saja, jika itu merupakan akibat perannya sebagai penghibur lelaki secara seksual dan reproduktif tanpa upah yang wajar. Namun, penampilan itu di mata aku tampak ganjal dan menggambarkan suatu kegagalan sebagai citra pembantu. Ini berarti bahwa sudut pandang aku secara tidak sengaja menunjukkan biasnya terhadap pembantu; meski aku sendiri seorang pembantu, dia terpengaruh mentalitas pengguna jasa pembantu yang mengharapkan pembantunya selalu sehat, cantik, muda dan dapat melayani nafsu majikannya dengan senang hati. Karena Yem tidak sesuai dengan imaj tersebut, maka aku memandang rendah pada Yem. Ini menunjukkan mekanisme bagaimana pihak yang tertekan bahkan meng-internalisasi nilai yang menekan dia sendiri.

Menciptakan/meng-inaugurasikan subyektivitas alternatif

Meskipun demikian, lama-kelamaan/seiring dengan berjalannya alur cerita, subyektivitas Yem berubah dalam pandangan aku. Untuk menunjukkan perubahan itu, teks menggunakan tiga motif, yaitu; 1) latar belakang Yem, 2)kisah eksploitasi laki-laki lokal selama perjalanan mereka berdua, dan 3) proses pertumbuhan dan penolakan solidaritas di antara keduanya.

Setelah menukar beberapa perbincangan, aku mengetahui bahwa Yem adalah janda yang ditinggalkan suami, dan telah bekerja di Arab Saudi dalam kondisi kerja yang sangat tidak manusiawi. Di samping itu, penampilan Yem yang kurang sehat itu disebabkan oleh perlakuan abusif secara mental maupun fisik yang dia terima selama bekerja sebagai BMI di Timur Tengah.

"Lihatlah, jempol kakiku hancur," katanya lagi. ... "Tertimpa kaki meja saat mempersiapkan jamuan makan malam majikan," paparnya saat mata saya tertumbuk miliknya. "Tak dibawa ke dokterkah?"

"Pakai uangnya biyungmu apa?" "Ya, uangnya majikan Mbaklah."

"Biar aku nggak dikasih makan seharian?" Tiba-tiba saya merasa iba padanya. Sebegitu pahitkah? (Juwita, 2007)

Percakapan di atas memperlihatkan proses aku yang awalnya sama sekali tidak bersimpati pada Yem lama-kelamaan memahami penderitaan yang dialaminya selama bermigrasi, yang memberikan penjelasan pada sisi yang berbeda dari imaj Yem yang digambarkan di awal teks. Perkataan Yem yang tidak menusiawi dan kekurangan profesionalisme ternyata merupakan cara pengungkapannya atas amarah dan rasa protes terhadap subordinasi yang mungkin dipaksakan kepadanya selama tugas dia sehari-hari di tempat kerjanya. Kemudian, aku mulai bisa membayangkan kewajaran amarah Yem; dia membenci anak majikannya karena dia mendapat pelakuan abusif oleh majikannya,

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 302 sehingga berkeinginan untuk membalas-dendam kepada anak asuhannya. Penggambaran seperti ini mempunyai efek yang mengalihkan sudut pandang aku pada awalnya ke perspektif yang lain. Dengan strategi naratif seperti ini, pembaca dapat mempertanyakan bahwa keadilan/kewajaran stereotip pembantu yang dari perspektif si aku di bagian awal teks sebetulnya belum tentu adil/wajar bagi Yem. Demikian, pandangan si aku mengalami pergeseran paradigma yang drastis selama alur cerita.

Membangun dan menolak solidaritas pembantu

Seiring dengan si aku yang menjadi lebih bersimpati pada Yem, aku dan Yem mengalami beberapa kejadian eksploitasi oleh laki-laki lokal selama perjalanan dengan travel yang sama. Ternyata bukan hanya selama di luar negeri bahwa pembantu perempuan dieksploitasi, namun bahkan juga di negeri sendiri mereka mengalami stigma yang sama. Namun, melalui pengalaman ini, mereka mengembangkan rasa persahabatan dan solidaritas sebagai ”babu”.

Kejadian tersebut terjadi ketika mobil travelnya tiba-tiba berhenti tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan para penumpang BMI dipaksa menukar uang yang dibawa pulang dari luar ngeri dengan nilai tukar yang jauh lebih rendah dari nilai tukar umum oleh sekelompok laki-laki.

“…"Kami membantu TKW. Karena banyak penipuan, maka kami membantu untuk menguruskan uang TKW yang masih dalam bentuk cek, dolar, riyal, atau ringgit. Bukan apa-apa, kadang uang-uang itu palsu. Kami tidak memaksa, tapi semua ini demi kebaikan TKW juga." (Juwita, 2007)

Walaupun hampir semua penumpang mentaati permintaan sekelompok laki-laki tersebut tanpa banyak bertanya, Yem dan aku tidak menurutinya dengan alasan masing- masing. Jika, Yem berterus terang menyatakan bahwa dia sama sekali tidak memiliki uang, maka aku memberikan alasan bahwa dia telah menukar semua mata uang asingnya sebelum dia berangkat dari luar negeri. Setelahnya, Yem menceritakan kepada aku bahwa dia sama sekali tidak punya uang karena majikannya menolak membayar dia sama sekali, dengan alasan bahwa dia sudah membelikan tiket pulang ke Indonesia. Karena itu, Yem terpaksa pulang tanpa uang dan persiapan lain sama sekali, hanya untuk melarikan diri dari lingkungan yang teramat eksploitatif di rumah majikannya. Penjelasan tersebut juga secara implisit menerangkan alasan Yem yang tampak “the Uncanny”; ternyata bukan karena dia kejam atau gila, tetapi itulah satu-satunya cara dia untuk melindingi sendiri dari keadaan yang sangat terlaluan. Di sini pembaca dapat melihat pemunculan sebuah agency kesedihan dan kekuatan dalam fisik dan perkataan Yem yang tersembunyi di balik citra jeleknya, yang memberi dia tenaga untuk menghadapi opresi orang lain tanpa basa- basi.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 303

Kemudian, travel mereka berhenti sekali lagi, dan kali ini para penumpang BMI disuruh membayar uang tambahan asuransi dengan ancaman terhadap keamanan mereka.

“…"Kami dari perusahaan jasa asuransi, uang yang Mbak bayarkan di bandara itu cuma asuransi untuk masa berlaku selama Mbak belum keluar Jakarta dan Jawa Barat. Setelah itu kami tidak bertanggung jawab. Kemarin sebuah mobil yang mengangkut TKW dirampok di Brebes. Barang-barangnya ludes, TKW-nya diperkosa. Kami cuma minta lima ratus ribu saja. Sudah termasuk pesangon untuk sopir dan kernet yang mengantar. Ya, tapi ini terserah Mbaklah. Mbak sayang duit atau keselamatan Mbak sendiri," laki-laki di depan saya berusaha menjelaskan niat baiknya. (Juwita, 2007)

Lagi-lagi, kedua tokoh perempuan itu berhasil menghindari penipuan oknum di atas. Kalau aku menghadapi penipunya dengan akal dan keberanian, Yem menghadapi dengan kelugasannya. Setelah melewati dua kejadian itu, aku merasakan solidaritas dengan Yem.

Di samping itu, kisah seperti ini juga menunjukkan tingkat pengetahuan dan kecerdasan dua perempuan yang melebihi para penipunya. Hal ini bertentangan dengan stereotip bahwa pembantu secara umum kurang berpendidikan maka wajar disubordinasi laki-laki yang punya akal dan moralitas lebih tinggi. Namun teksnya menggarisbawahi kemampuan para pembantu yang lebih cerdas daripada laki-laki yang bukan pembantu; misalnya, si aku dapat menarik informasi dari apa yang dia lihat secara sekilas, dan berani bernegosiasi dengan para penipu berdasarkan informasi yang diperoleh dengan penuh percaya diri. Si aku dapat mengindentifikasikan lokasi tempat dia berada saat itu berdasarkan alamat di kalender yang ditempelkan di dinding, kemudian aku berpura-pura memiliki saudara yang bekerja sebagai polisi di daerah tersebut untuk mengancam para penipu tersebut. Kecepatan daya tangkapnya menjadi antithesis yang kuat bagi fetish pembantu dalam sastra yang tersebut sebelumnya. Lebih jauh lagi, kemampuan Etik, sang pengarang, yang mampu mempresentasikan keberadaan seorang pembantu (dan perempuan secara umum) dengan cara kuat dan canggih menambah landasan pembuktian tentang tingginya kemampuan seorang pembantu dan BMI – dalam artian bahwa kemampuan si aku dan Yem, serta kemampuan Etik sebagai penulis BMI, sama- sama menampakkan agency pembantu alternatif. Tubuh dan bahasa Yem dan aku yang digambarkan dalam teks, serta tubuh dan bahasa Etik sebagai pengarang saling berkaitan dan berpengaruh satu sama lain, memunculkan agency di antara tindakan illocutionary dan tindakan perlocutionary.

Penolakan solidaritas

Namun demikian, cerita ini memperlihatkan satu lagi liku alur cerita pada titik akhir ceritanya. Ketika mobil travel tersebut sampai di rumah Yem yang sederhana, dan si aku dan Yem harus berpisah, si aku melempar pertanyaan terakhir pada Yem, dan Yem memberi jawaban yang ambigu kepada si aku.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 304

"Mbak Yem!" saya memanggilnya melalui kaca jendela yang saya sibakkan sedikit. …. "Racun tikus di susu bayi itu, benar?" "Aku bukan Yem, aku orang bebas!" katanya. Ia tersenyum. (Juwita, 2007)

Penolakan Yem di atas menunjukkan dua hal: pertama, penolakan dapat dilihat sebagai sebuah tindakan illocutionary, bahwa siapa yang selama ini dianggap Yem itu bukan Yem yang sebenarnya. Kedua, penolakannya terhadap nama Yem menunjukkan penolakannya untuk diposisikan/dikotakkan pada fetish pembantu yang mewakili nama tersebut.

Selain itu, penolakan ini juga menunjukkan bahwa dengan menolak menjawab jika dia benar-benar meracun bayi asuhannya, Yem juga menolak mengidentifikasikan diri sebagai penyiksa bayi, dan juga tidak memungkiri kemungkinan itu. Ini artinya bahwa Yem tidak gampang menerima tawaran bersolidaritas dengan BMI yang lain, namun juga tidak memungkiri kemungkinan untuk menerimanya. Dengan demikian, teks berhasil menimbulkan agency Yem yang tidak pernah dapat dikotakkan pada titik subyektivitas tertentu: Yem menyatakan bahwa dia bukan Yem – dan teks melihatkan bahwa dia tidak hanya tersubordinasi, tetapi juga bisa ter-subordinasi dalam hal tertentu; bukan sekadar obyek seksual atau obyek reproduktif; tidak abusif namun bisa juga abusif; tidak gampang menjalin solidaritas sesama wanita, sesama pembantu atau sesama orang berpendidikan rendah, namun juga terbuka pada kemungkinannya. Dengan lain kata, penolakan Yem ini yang memperluas garis langit agency BMI/pembantu dalam BY, karena dengan penolakan, teks tidak dapat membakukan posisi subyektivitas Yem, namun ini malah mempunyai fungsi untuk membebaskan agencynya untuk dipaksakan di mana pun. Demikian, BY berhasil menciptakan agency Yem yang sangat kontekstual – yang dapat diartikan dengan mencerminkan tindakan bahasa dan tubuh yang berbeda, atau dengan memanfaatkan penuh linguistic vulnerability.

Kesimpulan

Esai ini mengeksplorasi bagaimana agency bahasa dan tubuh secara berkombinasi membongkar jebakan fetish pembantu dalam sastra dan menimbulkan makna yang kaya tentang pembantu/BMI, dan bahkan membebaskannya. Julukan yang jelek kepada seseorang, seperti dinyatakan diatas, seringkali menciptakan momen untuk menjelmakan subordinasi sosial, namun itu juga dapat membuka peluang agency yang tidak terbayang sebelumnya, di sela-sela atau batasan tubuh dan bahasa. Karena itulah kita perlu terus berusaha untuk membongkar dan juga membaca momen permunculan agency dalam karya sastra, untuk mencari titik pertemuan bahasa dan tubuh yang sepertinya mustahil. Demikian, esai ini telah berusaha menggali potensi untuk menghubungkan persoalan penjulukan orang, linguistic vulnerability dan pembangkitan agency tanpa nama. Tanpa membakukan pada nama tertentu, “yang bukan Yem” berhasil menampilkan rasa

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 305 bahagia, bangga, solidaritas maupun sedih, amarah dan sesal yang terbayang di dalamnya secara sejenak. Inilah mungkin aspirasi Yem yang paling inti – yakni, menandai linguistic vulnerability dalam agency kita yang tidak akan pernah dapat “baku” tetapi akan selalu dinamis.

Bibliography

Anugerah Sastra Pena Kencana. (2008) 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008. Anugerah Sastra Pena Kencana. Austin, John, L. How To Do Things with Words. (1975) Oxford University Press. Butler, Judith. (1997) Excitable Speech, Routledge. Freud, Sigmund, (2003) The Uncanny, translated by David McLintock, Penguin Books. Juwita, Etik. (2007) Bukan Yem. Cerpen Terpilih dari Anugerah Pena Kencana. Anugerah Pena Kencana. Juwita, Etik (2009) Maybe not Yem. Translated by Andy Fuller, Words without Borders. http://wordswithoutborders.org/article/maybe-not-yem, accessed on 10 July 2012. Locher-Scholten, E. (2000) Women and the Colonial State: Essays on Gender and Modernity in the Indies 1900 – 1942. Amsterdam University Press. Parker, Lyn. (ed) (2005) The Agency of Women in Asia. Marshall Cavendish. Pramoedya, Ananta, Toer. (1952) Inem. in Cerita dari Blora, pp.30-40. Pramoedya, Ananta, Toer. (2003) Jongos dan Babu. Cerita dari Jakarta. Hasta Mitra. pp.33-42. Siegel, James, T. (1997) Fetish, Recognition, Revolution. Princeton University Press. Sim, Amy. (2007) Women in Transition. An unpublished PhD Thesis, The University of Hong Kong. Suryadi, Linus, Ag. Pengakuan Pariyem. (1980) Pustaka Jaya. Weix, G. G. (2000) Hidden Managers at Home: elite Javanese women running New Order Family firms. Koning, J., Nolten, M., Rodenburg, J., & Saptari, R, (eds) Women and Household in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices. Pp.299-314.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 306

PERAN KOMPENI DALAM PERCATURAN POLITIK DINASTI MATARAM: STUDI KASUS DALAM TEKS BABAD TANAH JAWI

Dr. Kundharu Saddhono, M. Hum Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia JPBS FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta [email protected]

Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran Kompeni dalam percaturan politik Dinasti Mataram berdasarkan wawasan ke-Jawaan. Kajian ini termasuk penelitian sastra dengan bentuk kualitatif deskriptif. Babad Tanah Jawi menceritakan silsilah raja-raja Jawa, dimulai sejak Nabi Adam yang menurunkan Nabi-nabi serta Dewa-dewa; turunnya para Dewa menduduki Jawa Dwipa dan berakhir sampai zaman kekuasaan Dinasti Mataram di Kartasura. Babad Tanah Jawi berfungsi untuk melegitimasi kekuasaan Kerajaan Mataram sebagai agen resmi penerus hegemoni kerajaan Jawa, yakni Majapahit. Pada masa kejayaan Kanjeng Sultan Agung Senapati Ingalaga Ngabdurrachman, Kompeni dikabarkan telah menduduki Jayakarta, ditandai dengan tarikh tahun 1571. Babad Tanah Jawi dalam batasan penelitian ini menyampaikan dua motif penting yaitu motif nujum dan motif politik mutualisme antara Kompeni dan Mataram. Keterangan dalam Babad Tanah Jawi seharusnya tidak dipandang sebagai pembelokan sejarah, melainkan harus dipandang sebagai cara pandang orang Jawa dalam mengagungkan tumpah darah dan kebesaran rajanya. Bagi orang Jawa pembacaan pralambang lebih penting daripada pembacaan faktual. Simpulan yang bisa ditangkap secara intuitif ke-Jawa-an, bukan Kompeni yang mengendalikan permainan percaturan politik kerajaan Jawa, melainkan para politikus Jawalah yang berperan sebagai penyusun sekaligus pelaku skenario politik di Jawa. Keyword : dinasti mataram, motif nujum, motif politik, Babad Tanah Jawi, Kompeni

PENDAHULUAN Babad Tanah Jawi adalah karya sastra Jawa yang dapat digolongkan sebagai karya besar secara formal. Naskah BTJ bisa diperoleh dalam beberapa versi manuskrip dan cetak yang telah diterbitkan. Naskah ini ditulis pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820) dan diturun ulang oleh pihak Belanda (Kompeni), kemudian pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka. Versi lain adalah naskah Babad Tanah Jawi Meinsma yang berbentuk prosa. Kajian ini bukanlah penelitian historis yang mencari kebenaran-kebenaran faktual. Penelitian ini merupakan penelitian sastra yang terpusat pada teks naskah Babad Tanah Jawi prosa hasil alih aksara dan terjemahan Sudibjo Z. H, selanjutnya disebut BTJ-S; yang diterbitkan oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 1980. Naskah BTJ-S ini bisa dikatakan sebagai naskah baru yang memperkaya khasanah sastra Indonesia dan Daerah. BTJ-S menceritakan silsilah raja-raja Jawa; dimulai dari Nabi Adam yang menurunkan Nabi-nabi dan Dewa-dewa. Cerita besar dalam BTJ-S masing-masing adalah riwayat Prabu Watugunung yang menjadi cikal bakal perhitungan wuku bagi masyarakat Jawa; ceritera Siyung Wanara (Banyak Wide) raja Padjadjaran; cerita Kerajaan Majapahit; cerita Kasultanan Demak; ceritera Kasultanan Pajang; cerita Kerajaan Mataram; dan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 307 diakhiri dengan ceritera dinasti Mataram di Keraton Kartasura pada pemerintahan Pakubuwana II. Dalam kajian ini difokuskan pada teks yang menceritakan peran Kompeni (Belanda) dalam percaturan politik Dinasti Mataram. Teks yang dimaksud terdapat dalam naskah BTJ-S mulai pada halaman 176 – 470. Penyebutan nama “orang-orang Belanda” dalam BTJ-S baru ada pada halaman 176, yakni pada waktu pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, dengan tarikh tahun 1571. Nama “Mataram” dalam konteks kajian ini merujuk pada dinasti keturunan Panembahan Senapati (Inggalaga) yang bertahta di Kerajaan Mataram (sekarang termasuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta). Dinasti Mataram ini nantinya akan pecah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogjakarta Hadiningrat pada 21 Februari 1755 (Poensen dalam Ricklefs, 2002: 107). BTJ-S termasuk teks sastra jenis babad. Babad adalah tulisan yang memberi makna pada hal-hal yang hakiki bagi anggota masyarakat yang bersangkutan (Teeuw, 1984a: 241). Karya sastra dan kebudayan merupakan sistem terbuka yang berkait erat karena sastra merupakan bagian integral kebudayaan. Karya sastra BTJ-S atau versi yang lain memiliki makna lebih dari sekadar sejarah. Menurut Teeuw, karya sastra sejarah seperti BTJ-S dibuat dengan tujuan menjadikan suatu narasi fiksi, sehingga memiliki nilai magis yang lebih tinggi. Geanologi yang ada di dalamnya tidak berkaitan dengan kerangka sejarah umum, melainkan hanya ada dalam kerangka struktur sastra itu saja (1988: 342-344). Kajian ini bertujuan untuk mengungkap satu permasalahan mayor, yaitu mendeskripsikan peran Kompeni Belanda dalam percaturan politik Dinasti Mataram berdasarkan keterangan teks BTJ-S. Sudut Pandang kajian ini ditekankan pada wawasan ke-Jawaan yang tersirat dalam teks BTJ-S untuk mengetahui karater teks BTJ-S. Artinya, kajian ini melihat teks yang ada di luar teks; mengingat bahwa masalah representasi masyarakat merupakan persoalan simbolik sebagai universal atau perpaduan partikular- partikular (dalam Arif, 2011: 51).

METODE PENELITIAN Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Data yang dikumpulkan di dalam kajian ini berupa kata-kata, kalimat, yang memiliki makna lebih dari sekedar angka atau frekuensi. Bentuk kualitatif mampu memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkap oleh bentuk kuantitatif (statistik). Kajian ini menggali informasi terhadap objek kajian dengan mendeskripsikan semua sistem tanda yang dapat memberikan pemahaman mendalam (Sutopo, 2002: 35). Sumber data utama kajian ini adalah teks Babad Tanah Jawi hasil alih aksara dan terjemahan bebas Sudibjo Z. H yang disampaikan dalam bentuk Prosa (Jw: gancar) berbahasa Indonesia-Jawa. Data yang digunakan dalam kajian ini adalah unsur-unsur intrinsik pembangun kebulatan teks. Kajian ini merupakan usaha untuk memanfaatkan dokumen yang padat. Teknik yang paling umum digunakan yaitu content analysis atau yang dinamakan kajian isi. Teknik tersebut digunakan untuk mendukung proses interpretasi dari teks yang diteliti. Yin menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kajian isi adalah peneliti bukan sekadar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, tetapi juga tentang maknanya yang tersirat (Sutopo, 2002: 70-71). Memang perlu dibutuhkan teknik content

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 308 analysis untuk menggali data lebih mendalam agar hasil yang diperoleh dalam sebuah penelitian benar-benar maksimal. Data penelitian ini merupakan unsur intrinsik pada karya sastra maka untuk mengumpulkannya digunakan teknik analisis struktural lanjut, yakni teori dekontruksi. Dekontruksi berarti pengurangan intensitas kontruksi itu sendiri (Kutha Ratna, 2007: 245). Artinya bahwa dalam mendekonsruksi strukturalisme adalah dengan cara pembacaan berulang-ulang dengan cara mengurangi proporsi oposisi binner sehingga unsur dominan tidak melulu mendominasi unsur yang lain. Jelasnya, semua unsur yang ada dalam teks; baik yang tersaji secara eksplisit maupun implisit diberikan perhatian secara imbang dan proporsional. Pembacaan dekonstruktif membuka masuknya “kemungkinan lain” untuk menerjemahkan ulang epistimologi yang dibangun oleh teks. Artinya, konsep-konsep pemikiran dalam tataran kultural (simbolik) selalu bisa didekonstruksi, karena mereka manifest dalam bahasa teks (Audifax, 2007: 49). Dasar analisis dekonstruktif adalah pandangan bahwa dalam ilmu-ilmu bahasa, sosial, dan filsafat akan dikepung oleh kontradiksi kategori pemikiran dan kategori bahasa pada hampir semua teks mati yang dibaca (Derrida, 2002: 41). Analisis dekontruksi digunakan untuk melihat posisi kekuatan politik Jawa dan Kompeni Belanda dalam proporsi yang sama dan setara dengan jalan penundaan pemberian makna konvensional dan pembedaan motif politik secara bersamaan untuk memberi kemungkinan tafsir lain terhadap teks.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Dekontruksi Informasi awal tentang keberadaan orang Belanda di Jayakarta (BTJ-S: 176) ditanggapi oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma dengan memerintahkan prajuritnya untuk memperingatkan posisi/status Kompeni (Belanda) di Jawa dengan kekuatan militer. Menurut keterangan teks, pasukan bantuan yang dikirim Sultan Agung bukannya kalah, melainkan memang mendapat perintah untuk menarik diri kembali ke Mataram. Naskah BTJ-S memberikan informasi bahwa Kompeni (Belanda) mulai ikut campur dalam percaturan politik Jawa sejak pemerintahan cucu Sultan Agung, yaitu Susuhunan Amangkurat II yang kemudian bertahta di Istana Kartasaura. Bahkan Amangkurat II terkenal sebagai anak Kompeni. Isu tersebut muncul karena Amangkurat menyandang gelar sebagai “Amangkurat Amral” dan suka berbusana layaknya para Kompeni. Kata “Amral” merujuk pada kata “admiral”. Terhitung sejak pemerintahan Amangkurat II inilah Kompeni mulai memainkan peranan penting dalam setiap kebijakan tata pemerintahan kerajaan Jawa (Mataram). Pembacaan teks secara apa adanya hanya akan sampai pada simpulan kebesaran Kompeni di hadapan Raja dan para bupati, adipati se-Jawa. Dalam analisis naskah BTJ-S, hipogram dituntun oleh episode-episode yang tampil dalam teks. Satuan teks BTJ-S mewujudkan tema besar yang dibangun atas beberapa motif. Motif yang ditampilkan oleh BTJ-S dalam batasan masalah kajian ini saja.

1. Motif Nujum Motif nujum dalam BTJ-S ditampilkan dalam bentuk firasat. Firasat dalam pemahaman Jawa mengarah pada kebenaran tunggal, yakni sesuatu yang telah menjadi

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 309 kodratnya atau dengan kata lain “demikianlah yang sudah ditakdirkan” (Jawa: Jangka), dan bukan dalam kategori ramalan. Jika diperhatikan, apa alasan Sultan Agung Hanyakrakusuma untuk menarik mundur pasukan Mataram? Diceritakan bahwa pasukan Belanda di Jayakarta tinggal satu kompi saja ketika menghadapi serangan pasukan Mataram. Sesungguhnya, apabila informasi ini benar, pasukan Mataram akan dengan mudah menumpas habis orang-orang Belanda yang juga dianggap sebagai orang kafir. Penumpasan Kompeni oleh prajurit Jawa memiliki dua alasan, yakni 1) Belanda dianggap meresahkan teritorial Mataram, 2) sebagai orang yang dianggap kafir, orang-orang Belanda sudah semestinya tidak diterima keberadaannya, mengingat Sultan sendiri adalah pemimpin negara sekaligus pemimpin agama (Islam). Peristiwa penarikan pasukan perang Mataram yang dilukiskan oleh penulis Babad Tanah Jawi tersebut memberi wawasan bahwa Sultan Agung merupakan sosok bijak sekaligus waskitha atau mengetahui sesuatu sebelum terjadi. Setelah kejadian tersebut Belanda mengumpulkan orang-orangnya untuk pergi Ke Mataram memberikan hadiah- hadiah kepada Sultan karena mendapat pengampunan (BTJ-S:180). Setiap raja Jawa yang diceritakan dalam BTJ-S selalu memiliki kemampuan melihat masa yang akan datang. Selepas pertempuran menggempur Jayakarta, Sultan Agung berkata kepada Pangeran Purbaya: “Uwa, memang betul paduka (bahwa kedatangan Belanda ke Jayakarta hanya untuk berdagang). Memang sudah menjadi kehendak Tuhan bahwa orang-orang Belanda itu kelak akan membantu pada anak turun saya, yang bertahta lestari sebagai raja. Jika kelak keturunan saya ada yang kalah dalam peperangan, mereka akan ditolong oleh orang-orang Belanda” (BTJ- S:179-180). Penulis BTJ secara tidak langsung mengemukakan bahwa keberadaan Belanda di Jawa sangat dibutuhkan oleh para raja Mataram berikutnya untuk mempertahankan kedaulatannya, maka sengaja oleh Sultan Agung dibiarkan tetap tinggal di Jayakarta (Jakarta). Artinya bahwa keberadaan orang-orang Belanda di Jayakarta waktu itu tidak dianggap sebagai ancaman bagi Mataram. Raja dianggap sebagai utusan Tuhan langsung, sehingga raja-raja Jawa ini memiliki kemampuan melihat masa depan, selain juga para pertapa yang memiliki wawasan kodrati. Penganti Sultan Agung adalah putranya yang bergelar “Kanjeng Susuhunan Mangkurat Senapati Inggalaga Ngabdurrahman Sayidinpanatagama” (Mangkurat I). Awal pemerintahannya semua masih berjalan lancar, namun setelah masa tuanya, putra mahkota bekerjasama dengan pemberontak Trunajaya untuk menggulingkan sang raja. Pemberontakan Trunajaya berhasil membobol Mataram, namun pada akhirnya Trunajaya ingin menguasai Mataram sendirian. Menjelang wafatnya di pelarian (daerah Banyumas), Amangkurat I menyampaikan ‘nujumnya’ kepada putra mahkota sebagai berikut: “…karena saya sudah tidak diizinkan oleh Allah untuk menjadi raja lagi…” (BTJ-S: 223), “kelak setelah saya tiada, pergilah engkau meminta bantuan orang Belanda…orang Belanda akan menang perangnya, semua anak cucuku kelak, jik berteman dengan orang Belanda tentu akan menang perangnya…jangan lupa membawa teman orang Belanda” (BJT-S: 224). Bagi orang Jawa, semua yang terjadi adalah “kehendak Allah”. Artinya bahwa orang Jawa pasca Hinduisme masih menganut faham jangka, yakni kehendak terpusat dari Allah yang

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 310 telah diisyaratkan kepada beberapa orang linuwih. Dengan kata lain, keberadaan VOC di Jawa merupakan rencana besar cosmic untuk merintis berdirinya NKRI. Perkara terkait termasuk dalam faham kosmologi Jawa. Motif nujum seperti di atas sering ditampilkan dalam tiap-tiap episode dalam teks BTJ-S, mulai dari episode pertama sampai pada episode-episode terakhir. Pada masa pemerintahan Amangkurat II sampai pada keturunannya, Belanda memang memegang peranan penting dalam kebijakan yang diambil oleh kerajaan. Geanologi dengan motif nujum tersebut harus difahami dalam kerangka sastra, bukan kerangka sejarah, mengingat bahwa dalam sastra sejarah (babad) menampilkan keunikan-keunikan budaya dalam ketiga aspeknya, yaitu benda hasil karya, perilaku sosial, dan cara berfikir masyarakat (Koentjaraningrat, 1984:5-6).

2. Motif Politik Mutualisme Pembahasan pada motif nujum telah memberikan gambaran tentang peran penting Kompeni (Belanda) dalam ikut melestarikan hegemoni Dinasti Mataram pasca Sultan Agung. Kedatangan Kompeni Belanda di Jawa awalnya hanya berdagang saja. Dikatakan dalam teks BTJ-S bahwa Belanda sering menggempur negeri yang didatanginya dengan perang. Hanya di Jawa ini saja Belanda bersekutu dengan pemerintah (Kerajaan) yang resmi. Tujuan Belanda adalah mendapat izin usaha (dagang) dari Mataram. Belanda selalu saja meminta upah jasanya kepada raja Mataram yang berupa tanah daerah takhlukan Mataram tanpa dipungut pajak oleh kerajaan. Tujuan Kompeni berada di tanah Jawa diutarakan oleh Kapten Jaswa bahwasanya hanya untuk mengabdi dan mencari keuntungan (BTJ-S: 439). Tabiat orang Belanda juga dituturkan oleh Ki Suraadimenggala: “…Tabiat orang Kumpeni itu sangat kurang ajar; jika sudah mendapat tempat berpijak tentu naik ke bahu. Artinya, jika dituruti satu permintaannya, terus akan bertambah lagi keinginan yang lain” (BTJ-S: 366). Kompeni Belanda digambarkan begitu pandai memanfaatkan konflig antar pembesar Jawa. Sebagai contoh, Belanda mengajukan permintaan kepada Sinuhun Pakubuwana I untuk membunuh dipati Jangrana dari Surabaya, dan jika permintaan tidak dikabulkan, maka Jendral Kompeni hendak memutuskan persahabatan dengan Sinuhun dan bergabung dengan Sunan Mangkurat Mas (Mangkrat III) yang ketika itu menjadi buron Sinuhun Pakubuwana I (BTJ-S:389, 391). Pada masa pemerintahan Mangkurat II, Mataram hendak memutuskan hubungan dengan Kompeni dengan jalan menumpas habis pasukan Belanda yang berada di Jepara (BTJ-S: 290). Namun atas saran Pangeran Puger (yang kelak menjadi Pakubuwana I), agar menghadapi Kompeni jangan dengan cara terbuka. Perlawanan terhadap Kompeni secara tertutup ini dimulai dengan pertarungan Untung Surapati. Politik mutualisme yang dibangun antara pihak Mataram dengan pihak Kompeni Belanda adalah (1) Mataram membutuhkan tenaga Kompeni Belanda untuk memperkuat kekuatan militernya dalam menangani pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah Jawa, (2) Mataram membutuhkan pengakuan legal formal dari Dewan Kompeni yang ada di Betawi untuk menjaga eksistensi dan hegemoni Mataram, (3) Kompeni membutuhkan izin usaha di Jawa dari raja Mataram, (4) Kompeni hendak meraub untung usaha sebesar-

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 311 besarnya dengan jalan memonopoli perdagangan di daerah-daerah pesisir Jawa yang diminta sebagai bayaran memperbantukan kekuatan militer. Jelasnya, Kompeni hanya mau bersahabat dengan penguasa Jawa (raja Mataram) yang paling kuat. Kompeni tidak mau terlibat langsung dengan konflig perebutan kekuasaan Mataram, prinsipnya, siapapun yang mejadi raja Mataram, kepada dialah Kompeni mengabdi dan bekerjasama. Pihak Kompeni selalu menempatkan pasukan khusus untuk menjaga keamanan raja Mataram yang beristana di Kartasura. Hal ini mestinya tidak difahami sebagai cara Belanda untuk memantau pemerintahan Mangkurat dan Pakubuwana saja, namun juga harus difahami sebagai tanda bukti pengabdian Belanda ke raja Jawa. Konvensi ini berdasarkan pada kerangka pemahaman karya sastra, dan sekali lagi bukan kerangka sejarah. Dalam masalah pengawalan ini saja telah tercermin suatu bentuk politik saling mengawasi untuk kepentingan kedua belah pihak. Kedua belah pihak, antara Mataram dan Belanda sama-sama tidak menginginkan kehilangan kendali atas pihak yang lain.

B. Percaturan Politik Dinasti Mataram Ajaran “satya wacana” atau menepati janji (Jw: Sabda Brahmana Raja datan kena wola-wali) inilah yang dimanfaatkan oleh Kompeni untuk memanfaatkan kekuasaan raja- raja Jawa. Dengan mengusung perjanjian-perjanjian silam, Kompeni dengan leluasa ikut menentukan keadaan di Jawa. Usaha untuk memperbarui perjanjian dengan raja Mataram juga selalu dilakukan. Daerah-daerah yang diminta oleh Kompeni kepada raja Mataram membuat wilayah perekonomian bidang pangan dan dagang Mataram menyempit. Kekuasaan kompeni mulai menandingi kekuasan raja Mataram pasca Mangkurat I. Hal ini terbukti dengan menyerahnya Mangkurat Mas kepada kompeni, menyerahnya adipati di Madura kepada Kompeni. Kompeni dianggap mampu memberikan perlindungan dari ancaman Mataram. Namun sesungguhnya banyak disuguhkan oleh episode-episode dalam teks, siapapun yang menyerah kepada Kompeni, selalu dilaporkan juga kepada Sinuhun Mataram. Hal ini mengisyaratkan bahwa Kompeni takut akan kekuasaan raja Jawa, dengan kata lain, Kompeni juga tidak berani memutuskan kerjasama dengan raja Mataram. Episode ketika Pangeran Puger (Pakubuwana I) memberontak kepada kemenaknnya (Sinuhun Mangkurat III) mendapat bantuan sepenuhnya dari Kompeni. Dijelaskan oleh BTJ-S bahwa Kompeni tidak menyukai tabiat Pakubuwana II karena dianggap sebagi raja yang sombong, tidak seperti para pendahulunya. Sesungguhnya, dengan kekuatan dan kesetiaan pada bupati dan dipati dari Surabaya, Madura, dan seluruh pesisir utara Jawa, Pangeran Puger tidak memerlukan bantuan Kompeni untuk menjadi raja di Kartasura. Pentahbisan menjadi raja dalam BTJ-S digambarkan dengan begitu mudahnya. Asal seseorang tersebut dari keturunan Mataram, maka ia berhak mengumumkan secara sepihak bahwa ia adalah seorang raja. Legal formalnya, setelah ia berhasil membobol dan menduduki istana leluhurnya. Kondisi seperti ini membuat rakyat tidak tenteram, sebab rakyat se-Jawa kebingungan untuk mengikuti siapa majikannya. Peran Kompeni Belanda dalam percaturan Politik Jawa pertama kali dimulai ketika pasukan militer Belanda membantu Mangkurat II merebut kekuasaan Mataram dari tangan Trunajaya. Mulai saat itu Mangkurat II merasa memiliki hutang budi terhadap Kompeni. Politik hutang budi ini kemudian dimanfaankan oleh Kompeni untuk menekan Mangkurat II. Kompeni mulai berani meminta matinya para bawahan raja (Jw: sentana)

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 312 yang dianggap berbahaya bagi keberadaan Kompeni di tanah Jawa. Peran kedua, Kompeni membantu Pangeran Puger merebut takhta Mataram dari tangan Mangkurat III, ketiga Kompeni membantu Pakubuwana I memukul pemberontakan di Surabay dan Madura, keempat Kompeni membantu Pakubuwana II meredam pemberontakan- pemberontakan yang dilakukan oleh adik-adiknya. Awalnya, Kompeni menggunakan politik militer, untuk berikutnya Kompeni mulai merangsang ke politik ekonomi dengan meminta daerah-daerah bawahan Mataram yang sangat berpotensi untuk meraub keuntungan dari perdagangan. Kebijakan Kompeni di Jawa didasarkan atas beberapa hal, yaitu (1) membuat ketergantungan mutlak pemerintahan Mataram terhadap Kompeni, (2) perhitungan yang matang dalam bertindak, (2) menyenangkan hati para bangsawan (pejabat) Jawa. BTJ-S belum mengisyaratkan adanya politik devide et impera yang berarti suatu prinsip dominasi untuk memecah belah dan menjajah. Politik devide et impera diterapkan oleh Kompeni sejak pecahnya Mataram menjadi dua kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta, yakni pada awal abad 18 (ARA koleksi Van den Bosch No. 220 f. 303 dalam Hauben, 2002:148). BTJ-S memberi keterangan bahwa Kompeni tidak pernah bisa memberikan penyeleaian atas konflig-konflig yang terjadi di Jawa dan krisis dinasti Mataram (perang suksesi Jawa). Inisiatif masih dipegang oleh tokoh-tokoh politikus Jawa, yang dtangan merekalah analisis untuk menyelesaikan masalah kerajaan terpusat. Secara konvensional, raja Mataram hanyalah symbol, sedangkan urusan kenegaraan dipegang oleh sang mahapatih. Kebijakan-kebijakan diambil berdasarkan rapat anggota keluarga kerajaan dan pejabat-pejabat penting di tata pemerintahan Mataram. Ketakwenangan Kompeni dalam ikut campur masalah internal kerajaan tersurat dalam BTJ-S pada episode-episode terakhir, ketika Patih Danureja menegur komisaris Belanda bernama Dulkup yang berani mengangkat bupati Semarang tanpa meminta izin dari raja di Kartasura. Karena merasa bersalah si komisaris meminta belas kasihan ki patih agar tidak melaporkan kejadian tersebut ke Kartasura. Surat patih Danureja menegakan kedudukan serta wewenang Kompeni di Semarang, bahwa Kompeni tidak diberi wewenang untuk mengangkat seorang bupati daerah itu. Kompeni hanya berhak mengawasi dalam pekerjaan, dan apabila si bupati melakukan kesalahan, kumpeni harus melaporkan ke Kartasura. Kumpeni juga tidak berhak untuk menghukum kesalahan pejabat kerajaan. BTJ-S belum melihat keberadaan Kompeni di Jawa sebagai bahaya di masa yang akan dating. Sebagai bangsa asing, Kompeni hanya dilihat sebagai rekan politik dan rekan militer yang bisa diandalkan untuk beberapa hal. Sorotan utama yang dianggap berbahaya dalam teks BTJ-S adalah keretakan-keretakan diantara pemimpin Jawa yang sangat penting untuk disatukan demi menopang hegemoni penguasa tunggal di Jawa.

C. Fungsi BTJ-S Teks babad memiliki fungsi di luar teks. Fungsi yang pertama adalah memberikan legitimasi kepada penguasa. Dengan memberi legitimasi tersebut, babad juga menduduki fungsi sebagai magi sastra (Berg, 1985:41). BTJ-S memberikan informasi silsilah Dinasti Mataram yang berhak secara legal menduduki takhta Mataram memerintah seluruh Jawa

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 313 yang disusun dalam genealogi leluhur Mataram. BTJ-S memberikan gambaran cerdas tentang bagaimana cara pandang politkus Jawa terhadap keberadaan Kompeni di tanah Jawa. BTJ-S memberikan legitimasi terpusat, yakni legalitas pemerintahan Mataram yang memerintah seluruh Jawa. Motif-motif yang didapati dalam penelitian ini berdasarkan batasan masalah menunjukkan bahwa kekuasaan kerajan Mataram begitu besarnya sehingga mampu menguasai hampir seluruh Jawa. BTJ-S selalu mengisahkan lika-liku kehidupan manusia, keberlangsungan dinasti dan perjuangannya menghadapi diri dan lingkungannya. BTJ-S juga berfungsi sebagai ajaran untuk selalu berhati-hati dalam berpolitik; sikap waspada menghadapi orang asing, bahkan bangsa ataupun saudara sendiri. BTJ-S memberikan wawasan selayang pandang tentang bentuk pemerintahan jaman Mataram; kebijakan politik, kebijakan militer, dan kebudayaan.

PENUTUP Simpulan penelitian ini bahwa universalitas teks BTJ-S padat dengan informasi peperangan para pembesar Jawa. Penulis BTJ menunjukkan kengerian yang terjadi dalam peperangan penakhlukan wilayah dan suksesi perang Jawa memperebutkan takhta dinasti Mataram. Efek peperangan yang kunjung surut seperti ketakstabilan pangan, politik, ketentraman, dan krisis kepercayaan serta mental. Dari episode awal sampai episode terakhir, pembaca selalu disuguhi ceritera-ceritera penakhlukan, pembunuhan, dan pemberontakan. BTJ-S juga menyampaikan ajaran jiwa keprajuritan, jiwa pengabdi bagi kesatria Jawa. Peperangan yang terus-menerus terjadi membuat Belanda megalami krisis ekonomi, sampai-sampai belanda harus meminta beras kepada Pakubuwana I untuk menghidupi pasukan militernya yang berada di Kartasura. Bagi Kompeni yang terpenting adalah perdamaian dan stabilitas dengan biaya serendah-rendahnya (lihat Ricklefs, 2002:160). Peran Kompeni Belanda dalam percaturan politik Dinasti Mataram dimulai sejak Susuhunan Mangkurat II dan kerjasama ini dilanjutkan oleh raja-raja Mataram berikutnya. Kompeni dan Mataram saling mengawasi dan mengontrol dengan tujuan awal untuk saling menguntungkan. Penelitian yang mengambil objek karya sastra perlu digalakkan dengan perspektif- perspektif baru, menimbang bahwa karya sastra memiliki hubungan yang erat dengan kondisi budaya. Karya sastra babad menyimpan ide, gagasan, dan pola berpikir masyarakat pada masanya. Ide, gagasan, pola piker masa lalu inilah yang membangun kebudayaan di masa lampau, maka dengan mempelajari kebudayaan silam dapat dibangun kebudayaan masa kini.

DAFTAR PUSTAKA

Audifax. 2007. SEMIOTIKA TUHAN : Tafsir atas Pembacaan Manusia Terhadap Tuhan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher. Berg, C. C. 1985. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhatara Karya. Derrida, Jacques. 2002. Dekonstruksi Spiritual (saduran Firmansyah Argus). Yogyakarta: Jalasutra.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 314

Hartarta, Arif. 2011. Makalah: Mencerap Karya Sastra (dalam Prosiding Seminar Nasional “Peranan Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa dalam Membentuk Karakter Bangsa”). Solo: FSSR Publishing. Houben, Vincent J. H. 2002. KERATON DAN KOMPENI : Surakarta dan Yogyakarta, 1830- 1870 (terjemahan E. Setiyawati Alkhatab). Jogjakarta: Bentang Budaya. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Kutha Ratna, Nyoman. 2007. Sastra dan Cultural Studies : Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ricklefs, M.C. 2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 : Sejarah Pembagian Jawa (terjemahan Hartono Hadi Kusumo dan E. Setiyawati Alkhatab). Yogyakarta: Matabangsa. Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas sebelas Maret University Press. Sudibjo Z. H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Teeuw, A. 1984. Indonesia as a ‘Field of Literary Study’ A Case door W. L. Olthof. Dordrecht: Foris Publication. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 315

PENINGKATAN KETRAMPILAN APRESIASI SASTRA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA JAWA DENGAN MEDIA CAMPURSARI PADA SISWA KELAS XI IPA 1 SMAN 2 BANGUNTAPAN

Venny Indria Ekowati FBS Universitas Negeri Yogyakarta [email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan apresiasi sastra dalam pembelajaran bahasa Jawa pada siswa kelas XI IPA 1 SMAN 2 Banguntapan, Bantul dengan menggunakan campursari sebagai media pembelajaran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan yang dilaksanakan dalam dua siklus. Tiap siklus diadakan selama tiga-empat kali pertemuan. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 SMAN 2 Banguntapan, Bantul. Data diperoleh dari tes, angket, dan lembar pengamatan. Teknik keabsahan data yaitu expert judgement dan diskusi dengan kolaborator. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan teknik analisis deskriptif. Hasil penelitian ini adalah pembelajaran bahasa Jawa dengan menggunakan media karakter wayang Kancil dapat meningkatkan motivasi siswa, sehingga siswa lebih tertarik untuk belajar. Siswa menjadi tidak cepat bosan dalam mengikuti PBM. Sikap, perhatian, dan partisipasi siswa meningkat. Berdasarkan pengamatan peneliti, perilaku negatif siswa turun sebesar 28% dan perilaku positif naik 19% pada akhir siklus pertama. Kemudian pada akhir siklus kedua, perilaku negatif siswa kembali turun 21% dan perilaku positif naik 8 %. Prestasi belajar siswa juga mengalami peningkatan. Nilai rata-rata pretest pada awal siklus pertama adalah 38,06. Kemudian pada post-test siklus I meningkat menjadi 66,53. Rata-rata nilai yang diperoleh pada post-test siklus kedua meningkat menjadi 87,40. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan yaitu dengan menggunakan media campursari dapat meningkatkan ketrampilan apresiasi sastra dalam pembelajaran bahasa Jawa. Kata kunci: apresiasi sastra, campursari

A. PENDAHULUAN Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Nomor: 423.5/0912 tanggal 29 Maret 2005 menetapkan bahwa pelajaran bahasa Jawa harus diajarkan di SMA/SMK/MA yang berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai muatan lokal wajib. Berbagai permasalahan seputar proses belajar mengajar bahasa Jawa di SMA mengemuka dalam berbagai forum. Kondisi ini kerap menjadi rasanan ‘bahan pembicaraan’ antarguru. Berdasarkan permasalahan yang sering dikeluhkan oleh guru, guru-guru bahasa Jawa di SMA sering mengalami kesulitan dalam pengembangan bahan karena keterbatasan pengetahuan mengenai literatur yang dapat menjadi acuan. Hal ini dikarenakan sebagian besar guru bahasa Jawa di SMA bukan merupakan guru dengan latar belakang pendidikan yang sama dengan mata pelajaran yang diampunya.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 316

Selain keterbatasan literatur, guru-guru juga kesulitan untuk mendapatkan media yang sesuai dengan materi pembelajaran. Jadi sebagian guru hanya mengajar dengan sistem text book ‘menuang dari buku ajar’ kemudian disampaikan kepada para siswa. Kurangnya responsifnya siswa terhadap pelajaran yang diajarkan dikarenakan oleh berbagai faktor juga menjadi salah satu masalah yang sering dikeluhkan oleh para guru. Salah satu hal yang kerap dikeluhkan oleh guru dalam mata pelajaran bahasa Jawa adalah pembelajaran kompetensi sastra. Memang pengajaran sastra di sekolah merupakan topik hangat yang selalu mengemuka dalam berbagai diskusi maupun seminar sastra. Semua diskusi tersebut berujung pada satu kesimpulan bahwa pengajaran sastra di sekolah dianggap tidak berhasil. Banyak faktor yang dianggap sebagai biang keladi ketidakberhasilan pembelajaran sastra di sekolah. Salah satu faktor penyebabnya adalah mekanisme masih dicangkokkannya pembelajaran sastra dalam pembelajaran bahasa. Hal ini memunculkan anggapan bahwa pelajaran sastra dianggap kurang begitu penting. Selain itu, juga berimplikasi pada alokasi waktu yang sangat terbatas untuk mengajarkan sastra di sekolah (Hidayat, 2002: 106). Kesimpulan lain lebih menuding guru sebagai penyebab terupuruknya pembelajaran sastra di sekolah. Kesimpulan ini didukung oleh hasil penelitian Yus Rusyana (1999) yang menyatakan bahwa sekitar 41% guru kurang mengetahui bagaimana cara mengajarkan sastra. Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah, juga memadukan antara bahasa dan sastra. Untuk pengajaran sastra Jawa, keadaannya diperparah dengan adanya pengetahuan yang sangat dangkal dari para siswa mengenai bentuk-bentuk kesastraan Jawa. Disebabkan saat ini para siswa sendiri kurang menguasai bahasa Jawa, sehingga timbul keengganan mereka untuk membaca dan mempelajari bentuk-bentuk kesusastraannya. Kurangnya penggunaan media pembelajaran yang menarik dan atraktif juga membuat siswa bosan dan kurang bergairah dalam mengikuti pelajaran. Bentuk-bentuk sastra Jawa, dewasa ini sebenarnya muncul dalam gubahan baru. Misalnya yang dapat dijumpai pada puisi, drama, maupun cerita pendek. Bentuk-bentuk sastra Jawa juga muncul pada teks-teks lagu campursari yang populer dan dikenal luas oleh masyarakat Jawa dalam berbagai usia. Para siswa SMA juga cukup familier dengan lagu-lagu campursari. Tidak jarang mereka juga hafal lirik lagu maupun iramanya. Namun para siswa tidak sadar bahwa sebenarnya dengan tidak sengaja mereka telah menghafal bentuk-bentuk kesastraan Jawa yang digunakan dalam syair lagu campursari. Bentuk-bentuk kesastraan Jawa dalam lagu campursari cukup beragam. Misalnya yang berbentuk purwakanthi, parikan, wangsalan, pepindhan, dan lain-lain. Tentunya bentuk-bentuk sastra dalam syair lagu campursari akan lebih membekas di benak para siswa daripada bentuk-bentuk sastra ini diajarkan dengan teknik hafalan seperti biasa. Oleh karena itu, campursari bisa digunakan sebagai salah satu media pembelajaran alternatif yang menarik dalam mengajarkan sastra Jawa. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan mencobakan campursari sebagai media pembelajaran sastra di SMA. Sekolah yang akan dipakai sebagai setting penelitian adalah SMAN 2 Banguntapan yang dahulu lebih dikenal sebagai SMAN 12 Yogyakarta. SMA ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena berdasarkan diskusi dengan guru, para siswa masih kesulitan dalam menerima pelajaran mengenai sastra Jawa. Selain itu berdasarkan pengamatan, selama peneliti menjadi pembimbing PPL di sekolah ini,

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 317 guru mata pelajaran bahasa Jawa maupun siswa-siswanya cukup kooperatif dalam menerima mata pelajaran bahasa Jawa.

B. KESUSASTRAAN JAWA Kesusastraan Jawa adalah semua bentuk hasil karya adi luhung yang memuat keindahan-keindahan yang digubah dengan menggunakan bahasa Jawa. Menurut Padmosoekotjo (1953:10-11), sastra Jawa tidak terbatas pada karya yang tertulis dalam naskah-naskah maupun buku-buku, tetapi juga sastra lisan. Tidak terbatas pula pada karya yang ditulis dengan aksara Jawa, tetapi bisa ditulis pula dengan aksara Latin, Arab, maupun aksara yang lain. Selain itu, karya sastra juga tidak dibatasi pada hasil karya suku Jawa. Karya siapapun bisa disebut dengan karya sastra Jawa jika memenuhi kriteria tersebut di atas. Kasusastran Jawa dapat dibentuk dari keindahan sastra sebagai berikut: (1) tembung saroja, (2) yogyaswara, (3) tembung garba (sandi), (4) rura basa, (5) kerata basa, (6) tembung entar, (7) paribasan, (8) bebasan, (9) saloka, (10) sanepa, (11) cangkriman, (12) wangsalan, (13) dasanama, (14) purwakanthi,(15) parikan, (16) guritan, (17) ukara sesumbar, (18) gugon tuhon, (19) donga dan japa mantra, (20) isbat, (21) suluk, (22) pralambang, (23) basa paprenesan, (24) kasusastran kang tinemu ana ing gendhing, (25) pepindhan, (26) candra, (27) basa rinengga, (28) sandi asma, dan (29) sengkalan. Pembagian di atas bukan berarti bahwa sastra Jawa bisa dipisah-pisahkan. Pembagian menjadi 29 macam tersebut diumpamakan sebagai unsur-unsur pembangun suatu karya sastra Jawa. Jika hasil karya sastra Jawa diumpamakan sebagai makanan, maka 29 bentuk sastra Jawa di atas merupakan bahan-bahan mentah sekaligus bumbunya. Karya sastra Jawa yang memenuhi kriteria keindahan harus memenuhi syarat sebagai berikut: (1) memakai paramasastra ‘tata bahasa’ sebagai pedoman, (2) menggunakan bahasa indah, dan (3) menter ‘berisi’ (Padmosoekotjo, 1953: 20).

A. CAMPURSARI 1. Pengertian Campursari Salah satu kesenian yang banyak menggunakanbentuk-bentuk sastra adalah campursari. Kesenian campursari merupakan jenis musik baru yang mulai dikenal pada era tahun 80-an. Campursari, dalam waktu singkat berkembang dan menyebar secara luar biasa. Bahkan sebanding dengan penyebaran pop Barat. Campursari merupakan percampuran musik yang terdiri dari beberapa unsur dasar karawitan, keroncong/ langgam, dan musik pop (Setiono, 2003: 198). Campursari pada umumnya menggabungkan instrumen diatonis dan pentatonis secara harmonis. Alat musik yang biasa dipakai adalah piano, rebab, gitar, saron, demung, kendang, dan gong. Campursari paling tidak dapat menjelma dalam lima wujud, yaitu (1) lelagon campursari, (2) Sekar Gendhing Campursari, (3) Macapat Campursari, (4) Lelagon Dolanan Campursari, dan (5) Langgam Campursari. Sesuai dengan hasil penelitian BAPEDA DIY (2004), kesenian campursari, berkembang secara pesat di masyarakat dewasa ini. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan data bahwa 100% responden, menyatakan bahwa campursari masih hidup di

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 318 lingkungan mereka. Walaupun berdasar pada bentuk kesenian tradisi Jawa yang menggunakan gamelan, namun kesenian ini dapat berpadu secara selaras dengan alat musik modern. Campursari merupakan kesenian yang sangat fleksibel sehingga mampu diterima masyarakat luas. Kesenian ini semakin berkembang, sejalan dengan maraknya industri rekaman yang mengemas produk campursari secara modern melalui format VCD, DVD, dan lain-lain yang disiarkan secara luas melalui televisi. Kehadiran televisi lokal dewasa ini juga berperan besar pada perkembangan campursari. Dalam perkembangannya yang lebih mutakhir, campursari juga berpadu dengan jenis-jenis musik yang lain seperti keroncong, dangdut, pop, dan lain-lain. Syair dan daya tarik penyanyi campursari yang kian variatif juga mendorong campursari makin mengedepan di masyarakat. Kehadiran campursari kian marak di upacara-upacara tradisi, panggung-panggung hiburan, dalam pertunjukan wayang, dan lain-lain.

2. Bentuk-Bentuk Sastra dalam Campursari Bentuk-bentuk sastra Jawa banyak diterapkan dalam campursari. Beberapa contoh penerapannya menurut Sulastiani (2001: 198-214) dalam dilihat dalam paparan berikut. a. Tembung wancahan ‘singkatan’, yaitu tembung siji kang disuda wandane sarana dibuwang, ora dianggo ‘satu kata yang dikurangi suku katanya dengan cara dibuang atau tidak dipakai. Contohnya Ndak pundi Mbak-ayu, badhe tindak pundi. Kata tindak yang terdiri dari dua suku kata, dikurangi satu suku katanya, sehingga kata tindak menjadi ndak. b. Purwakanthi Purwakanthi menurut Sutrisno (1982: 125-125), terbagi menjadi tiga, yaitu (1) purwakanthi guru swara, (2) guru sastra, dan (3) basa atau lumaksita. Purwakanthi guru swara adalah purwakanthi yang memakai swara atau vokal sebagai pedoman. Contohnya Critane wayang Ramayana, ing negara Ngalengkadiraja, ratu buta Rahwanaraja, gawe geger nyolong Dewi Sinta. Purwanthi guru sastra adalah purwakanthi yang memakai pedoman sastra atau aksara ‘bunyi konsonan’. Contoh: Pemudhi iku polatane ruruh, tandange sarta rereh, ririh, angarah-arah. Purwakanthi basa atau lumaksita adalah purwakanthi yang menggunakan basa dalam pengertian ini adalah kata, sebagai pedomannya. Jadi yang diulang adalah katanya. Contoh: jamane mas jaman edan, edan tenan jaman semana, semune katon katingal kawistara, jam-jame jaman c. Parikan Parikan yaitu salah satu bentuk sastra Jawa dengan aturan sebagai berikut: (1) satu bait terdiri dari 2 baris, (2) setiap kalimat terdiri dari dua baris, (3) baris kedua jumlah suku katanya 4 atau 8, sedangkan baris pertama selalu 4 suku kata, (4) dhong- dhing, atau bunyi pada akhir baris 1 harus runtut dengan baris 3, sedangkan bunyi akhir baris 2 harus runtut dengan baris 4 dan menggunakan purwakanthi guru swara, dan (5) kalimat pertama sebagai sampiran, kalimat kedua sebagai isi. (Padmosoekotjo, 1953: 64). Contoh parikan: pitik cilik ana ngembong, pikir dhisik lagi ngomong. Parikan dalam campursari biasanya lebih sederhana dan cenderung bebas. d. Wangsalan Wangsalan yaitu ungkapan yang mirip dengan cangkriman, tetapi biasanya tebakannya disebutkan. Tebakan tersebut tidak ditampakkan secara eksplisit, tetapi

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 319 disamarkan. Contohnya wohing aren mbok ya eling dhek semana. Wohing aren=kolang-kaling. e. Pepindhan Pepindhan yaitu ungkapan bahasa yang mengandung perbandingan dan perumpamaan. Bentukan pepindhan sering menggunakan kata umpama, kaya, lir, kadya, atau pindha (Subalidinata, 1981: 20). Contoh pepindhan contohnya umpama sliramu sekar melathi, aku kumbang nyidham sari. Umpama slirami margi wong manis, aku kang bakal ngliwati. f. Cecandran Cecandran yaitu semacam pepindhan, yaitu ungkapanyang mengandung perbandingan serta mengandung persamaan yang di dalamnya berisi perbandingan keindahan (Subalidinata, 1981: 82). Contoh cecandran dalam campursari adalah mobat- mabit mung mripatmu, damar kanginan.

B. KONDISI PEMBELAJARAN SASTRA JAWA DI SMA Pembelajaran sastra Jawa di SMA pada umumnya sama dengan pembelajaran sastra Indonesia. Hanya saja kondisi pembelajaran sastra Jawa di SMA lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pembelajaran sastra Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, di antaranya (1) siswa sudah tidak mengenal bentuk-bentuk karya sastra Jawa, (3) mayoritas siswa memilih berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, sehingga mengalami kesulitan dalam apresiasi sastra, karena terhambat dalam segi bahasa.(4) masih menggunakan metode dan teknik pembelajaran yang konvensional, (5) kurangnya media pembelajaran yang mampu menarik dan memotivasi siswa, (6) kurangnya sarana prasarana, termasuk buku-buku penunjang, dan (7) guru kurang menguasai materi, karena mayoritas guru bahasa Jawa SMA tidak mempunyai latar belakang pendidikan bahasa Jawa. Kondisi ini harus segera diperbaiki, agar mendapatkan hasil yang signifikan bagi peningkatan kualitas belajar mengajar. Dinyatakan pula oleh (Suminto, 2001: 46), bahwa (1) pembelajaran sastra harus kreatif. Cara-cara tradisional yang lebih bersifat verbalistik dan inner ideas sudah saatnya ditinggalkan, diganti cara yang dinamis dan kreatif, (2) sekolah bukan tempat menghafal, jadi pembelajaran sebaiknya lebih ditekankan pada pemahaman bukan hanya hafalan.

C. CARA PENELITIAN 1. Pendekatan Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan (classroom action research). Konsep pokok dalam penelitian terdiri dari empat komponen pokok, yaitu (1) perencanaan; (2) tindakan; (3) pengamatan; dan (4) refleksi. Hubungan keempat komponen dipandang sebagai satu siklus. 2. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 SMAN 2 Banguntapan Bantul. Tindakan akan dicobakan pada kelas XI IPA 1. Pemilihan tingkatan kelas yang akan subjek penelitian disesuaikan dengan kurikulum muatan lokal yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi DIY (2006: 7). Tertulis dalam kurikulum bahwa standar kompetensi

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 320 untuk siswa kelas XI pada semester gasal untuk ketrampilan menyimak dan berbicara adalah sebagai berikut:

Tabel 1: Kurikulum yang Memuat Materi Campursari Menyimak Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 1. Memahami dan menanggapi 1.2 Menyimak, memahami, dan berbagai wacana lisan tentang menanggapi campursari melalui bahasa, sastra, dan budaya Jawa berbagai media dari berbagai sumber

Berbicara Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 2. Mampu mengungkapkan pikiran, 2.2 Melagukan tembang campursari gagasan, dan pendapat dalam berbagai bentuk wacana lisan tentang bahasa, sastra, dan budaya Jawa, dengan menggunakan santun bhs atau unggah-ungguh bahasa sesuai dengan konteks budaya

Oleh karena itu, penelitian ini selaras dengan kurikulum dan disampaikan pada waktu dan subjek penelitian yang tepat, yaitu pada siswa kelas XI dan disampaikan pada semester gasal. 3. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan yaitu tes, lembar pengamatan, dan angket. Dasar pengamatan terdiri dari kemampuan siswa dalam mengapresiasi sastra. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berupa pre test pada awal dan post test pada akhir siklus. Pengumpulan data yang kedua dengan lembar pengamatan yang memberi pernyataan tentang hal-hal yang terjadi selama PBM. Pengumpulan data juga dilakukan dengan angket setiap akhir siklus, untuk menjaring hal-hal yang masih menjadi permasalahan seputar PBM. 5. Rencana Tindakan Penelitian berlangsung dalam 2 siklus. Setiap siklus terdiri dari perencanaan, implementasi tindakan, pengamatan, serta refleksi. a. Siklus 1: Pada tahap perencanaan, dipersiapkan langkah-langkah (tindakan) sebagai berikut: (1) Materi pembelajaran sastra yang terkait dengan identifikasi dan analisis bentuk-bentuk sastra dalam campursari (2) menyebutkan bentuk-bentuk sastra dalam campursari; (3) penerapan media campursari; (4) angket dan lembar pengamatan untuk identifikasi kesulitan dan (5) pre-test dan post-test. Pada tahap implementasi tindakan dan pengamatan, langkah-langkah yang dilakukan sebagai berikut: (1) selama kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 321 apresiasi sastra digunakan campursari; (3) mengidentifikasi dan menganalisis bentuk- bentuk sastra yang ada dalam campursari (4) belajar menulis bentuk-bentuk sastra seperti yang dicontohkan dalam campursari, (5) pre-test dan post-test. b. Siklus 2: Siklus 2 terdiri dari perencanaan, implementasi tindakan, pengamatan, serta refleksi. Pada tahap perencanaan, dipersiapkan langkah-langkah (tindakan) sebagai berikut: (1) Materi pembelajaran sastra yang kurang dikuasai siswa, yang merupakan hasil pengamatan dari refleksi siklus 1, diajarkan kembali, dan dianalisis dengan menggunakan campursari sebagai media, (2) Lebih banyak memberikan tugas kepada siswa untuk menganalisis materi mengenai bentuk bentuk sastra dalam campursari; (3) Menjelaskan kepada siswa, mengenai nilai-nilai moral yang terdapat dalam syair lagu campursari, (4) penerapan media campursari; (5) membuat angket dan lembar pengamatan untuk mengidentifikasi kesulitan yang ditemui dalam pembelajaran; dan (6) pre-test dan post-test. Pada tahap implementasi tindakan dan pengamatan, langkah-langkah yang dilakukan sebagai berikut: (1) selama kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan apresiasi sastra digunakan campursari; (3) belajar mengidentifikasi dan menganalisis bentuk-bentuk sastra yang ada dalam campursari yang diputarkan melalui VCD/ DVD oleh guru (4) belajar menulis bentuk-bentuk sastra seperti yang dicontohkan dalam campursari, (5) pre-test dan post-test. Pada tahap refleksi, setiap tindakan yang diimplementasikan di kelas direfleksi dengan langkah analisis, penjelasan, dan simpulan. 6. Analisis Data Pada penelitian tindakan ini, data dianalisis sejak tindakan pembelajaran dilakukan. Dikembangkan selama proses refleksi sampai dengan penyusunan laporan. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Data yang diperoleh dianalisis melalui tahap menyeleksi, mengklasifikasikan, mengorganisasikan, serta membuat kesimpulan makna hasil analisis.

D. PEMBAHASAN 1. Setting Penelitian Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Banguntapan merupakan sekolah alih fungsi dari SPG IKIP Negeri Yogyakarta. Awalnya sekolah ini adalah Sekolah Pendidikan Guru Percobaan yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra dan Filsafat UGM. Berdasarkan SK Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan RI Nomor 38115, tanggal 21 Oktober 1952, operasionalnya berada di bawah IKIP Yogyakarta dan berganti nama menjadi SPG IKIP Yogyakarta. SPG ini berlokasi di Bulaksumur, Sleman. Selanjutnya SPG IKIP Yogyakarta berturut-turut berubah nama menjadi SPG 3 dan SMAN 12 Yogyakarta, dan berlokasi di Panembahan Senopati Yogyakarta. Kemudian terhitung mulai 1 Juli 1995 berpindah tempat di desa Glondong, Wirokerten, Banguntapan, Bantul berdasarkan SK Mendikbud RI Nomor: 035/O/1997 tertanggal 7 Maret 1992, SMAN 12 Yogyakarta berubah menjadi SMAN 2 Banguntapan sampai sekarang. SMAN 2 Banguntapan memiliki 12 ruang kelas, dengan 4 kelas untuk masing- masing tingkatannya, dengan jumlah siswa rata-rata 40 orang per kelas. Pelaksanaan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 322 pembelajaran bahasa Jawa diberikan kepada siswa kelas X, XI, dan XII. Untuk kelas X dan XI, alokasi waktu untuk pelajaran bahasa Jawa adalah 2 jam pelajaran x 45 menit per minggu. Guru mata pelajaran bahasa Jawa hanya satu orang, dengan latar belakang pendidikan S-1 Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa. Jadwal pelajaran bahasa Jawa untuk kelas XI IPA 1 setiap hari Kamis, dilangsungkan selama 2 jam pelajaran dari pukul 08.45-09.30 WIB. Penyampaian materi pelajaran bahasa Jawa menggunakan bahasa pengantar campuran, yaitu bahasa Jawa tingkat tutur krama dan sedikit bahasa Jawa tingkat tutur ngoko, dan sesekali dengan bahasa Indonesia untuk memperjelas pemahaman materi bagi siswa yang berbahasa ibu bahasa Indonesia.

2. DESKRIPSI AWAL PARTISIPAN Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 yang berjumlah 36 siswa. Sebagian besar partisipan merupakan siswa yang berbahasa ibu bahasa Jawa, namun ada beberapa siswa yang berasal dari luar Jawa. Meskipun demikian, mayoritas partisipan belum mengetahui bentuk-bentuk sastra Jawa. Sebagian dari mereka pernah mendengar dan mempelajari bentuk-bentuk sastra Jawa di SD dan SMP, walaupun kurang memahami maksudnya. Hal tersebut seperti contoh percakapan yang dilakukan oleh peneliti yang menanyakan tentang parikan. “Mas, saged nyukani tuladha parikan boten?”, siswa tersebut tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala saja. Ada pula yang bisa mencontohkan “Wajik Klethik gula jawa, luwih becik sing prasaja”. Tetapi siswa ini hanya sekedar hafal saja satu buah parikan yang sering dicontohkan gurunya ketika SMP. Tanpa mengetahui pola, dan tidak bisa membuat contoh parikan yang lain. Selain parikan, siswa-siswa juga sudah tidak mengenal bentuk-bentuk sastra Jawa yang lain seperti tembung plutan, wancahan, pepindhan, wangsalan, tembung garba, dan lain-lain. Selain bahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi, dalam observasi juga terlihat sikap siswa terhadap mata pelajaran bahasa Jawa. Sikap dan respon para siswa terhadap mata pelajaran bahasa Jawa beragam. Beberapa siswa sangat antusias (mayoritas siswa putri), dan ada beberapa siswa putra yang duduk di bagian belakang, kurang antusias bahkan cenderung menyepelekan. Sikap-sikap negatif yang ditunjukkan oleh para siswa cukup mengganggu proses belajar mengajar di dalam kelas. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor dari guru, siswa maupun dari lingkungan belajar.

E. PEMBAHASAN Sebelum tindakan dimulai, diadakan pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa dalam mengapresiasi bentuk-bentuk sastra Jawa. Setelah siklus berakhir, diadakan post test untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa setelah diberi tindakan berupa pemakaian media campursari dalam proses belajar mengajar.

1. Perubahan Sikap Siswa dalam Proses Belajar Mengajar Media campursari efektif digunakan sebagai media pembelajaran sastra Jawa. Penggunaan media campursari juga dapat menumbuhkan semangat dan motivasi belajar siswa. Selain itu, siswa juga lebih interaktif yang ditunjukkan dengan keaktifan di dalam kelas, sikap yang lebih baik, perhatian yang lebih terfokus. Suasana di dalam kelas juga

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 323 lebih hidup karena pada saat menerima materi siswa ikut menyanyikan lagu campursari yang sedang diputar oleh guru. Perubahan sikap para siswa selama penelitian dalam siklus I tampak dalam amatan peneliti sebagai berikut.

Tabel 2: Amatan Peneliti terhadap Perubahan Sikap Siswa Setelah Siklus I

No. Deskripsi Sikap Sebelum Sesudah Kecenderungan Tindakan Tindakan A. Perilaku negatif: 1. terkadang ramai 17 12 turun 17 % 1. takut bertanya 15 6 turun 43 % 2. takut berpendapat 13 9 turun 18 % 3. pasif dalam mengikuti 20 10 turun 33% pelajaran B. Perilaku positif: 1. tenang dan 18 26 Naik 18% berkonsentrasi belajar 2. memperhatikan pelajaran 22 28 Naik 12 % 3. menyimak ketika guru 19 23 Naik 10 % bertanya dan menerangkan 4. mengerjakan tugas dari 30 34 Naik 15 % guru

Setelah dilanjutkan pada siklus II, sikap positif siswa cenderung naik, jika dibandingkan dengan sikap siswa pada siklus I. Berikut tabel hasil amatan peneliti terhadap sikap siswa. Tabel 3: Amatan Peneliti terhadap Perubahan Sikap Siswa Setelah Siklus II

No. Deskripsi Sikap Siklus I Siklus II Kecenderungan A. Perilaku negatif: 1. terkadang ramai 12 9 turun 14 % 2. takut bertanya 6 3 turun 33 % 3. takut berpendapat 9 6 turun 20 % 4. pasif dalam mengikuti 10 7 turun 18 % pelajaran B. Perilaku positif: 1. tenang dan berkonsentrasi 26 28 Naik 4 % belajar 2. memperhatikan pelajaran 28 34 Naik 10 % 3. menyimak ketika guru 23 32 Naik 16 % bertanya dan menerangkan 4. mengerjakan tugas dari 34 35 Naik 3 % guru

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 324

Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media campursari dapat meningkatkan sikap positif siswa dan menurunkan perilaku negatifnya. Perilaku negatif seperti terkadang ramai, takut bertanya, takut berpendapat, dan pasif dalam mengikuti pelajaran cenderung menurun. Walaupun belum 100% siswa mengalami penurunan, namun mayoritas kelas mampu dikuasai oleh guru dan menurun perilaku negatifnya. Sebaliknya perilaku positif naik cukup signifikan, dibandingkan pada saat awal pembelajaran. Siswa semakin tenang dan berkonsentrasi belajar, memperhatikan materi yang disampaikan oleh guru, menyimak ketika guru bertanya dan memberi tugas, serta semakin rajin mengerjakan tugas dari guru. Saat mengerjakan tugas pun para siswa masih mendendangkan lagu campursari yang baru saja diputar. Bahkan beberapa siswa sudah mencoba untuk menulis lagu campursari dengan menggunakan bentuk-bentuk sastra yang baru saja diterangkan oleh guru. Walaupun suasana saat para siswa mengerjakan tugas agak gaduh, namun tetap kondusif. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dan kolaborator, setelah diterapkan penggunaan media campursari, terdapat peningkatan kondisi siswa, terkait dengan keterampilan apresiasi sastra maupun perubahan sikap dan tingkah laku mereka, seperti yang terlihat dalam tabel berikut:

Tabel 4: Deskripsi Perubahan Kondisi Siswa No. Kondisi siswa sebelum diberi Kondisi siswa setelah diberi tindakan tindakan 1. Tidak menggunakan media Menggunakan media campursari pembelajaran campursari 2. Siswa kurang aktif dan motivasinya Siswa lebih aktif dan dan rendah untuk mengikuti pelajaran termotivasi untuk mengikuti bahasa Jawa pelajaran bahasa Jawa 3. Siswa belum mengenal dan Siswa sudah mengenal dan memahami bentuk-bentuk sastra memahami bentuk-bentuk sastra Jawa seperti parikan, tembung Jawa seperti parikan, tembung garba, tembung wancahan, garba, tembung wancahan, tembung plutan, pepindhan, dan tembung plutan, pepindhan, dan purwakanthi purwakanthi 4. Siswa belum mampu membuat Siswa sudah mampu membuat parikan, tembung garba, tembung parikan, tembung garba, tembung wancahan, tembung plutan, wancahan, tembung plutan, pepindhan, dan purwakanthi pepindhan, dan purwakanthi 5. Siswa belum mampu memahami Siswa sudah mampu memahami nilai-nilai budi pekerti yang termuat nilai-nilai budi pekerti yang termuat dalam campursari dalam campursari 6. Siswa belum mampu menggunakan Siswa sudah mampu menggunakan ejaan bahasa Jawa dengan baik ejaan bahasa Jawa dengan baik dan dan benar benar

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 325

7. Kurangnya nuansa Jawa dalam Terciptanya nuansa Jawa dalam pembelajaran bahasa Jawa di kelas pembelajaran bahasa Jawa di kelas 8. Siswa tidak berani maju secara Siswa lebih berani maju secara sukarela ke depan kelas sukarela ke depan kelas

2. Peningkatan Perolehan Hasil Test Berdasarkan hasil pre test dan post test yang diperoleh pada tindakan selama siklus I, dapat disimpulkan bahwa keterampilan bersastra siswa mengalami peningkatan. Terbukti adanya kenaikan nilai yang cukup signifikan. Sebelum diadakan tindakan, rata- rata nilai pre-test siswa adalah 38,05. Setelah diberi tindakan, rata-rata nilai siswa adalah 66,52. Sehingga terdapat peningkatan sebesar 28 poin. Seperti dalam tabel berikut.

Tabel 5: Peningkatan Nilai Rata-Rata Siswa Setelah Siklus I Jumlah Nilai Rata-Rata Siswa Pre-Test Post-Test Siklus Selisih I 36 38,06 66,53 28

Peningkatan hasil belajar siswa setelah diberi tindakan jika digambarkan dalam bentuk grafik, sebagai berikut: Diagram 1: Peningkatan Nilai Siswa Setelah Siklus I

Peningkatan Nilai Siswa

80,00 66,53 60,00

40,00 38,06 Nilai 20,00

- 1 2

Series1 38,06 66,53

Berdasarkan refleksi siklus I, didapatkan hasil bahwa masih ada beberapa materi pembelajaran yang belum tuntas dipelajari oleh para siswa. Oleh karena itu, diputuskan untuk mengadakan tindakan siklus II agar peningkatan ketrampilan apresiasi sastra lebih maksimal. Setelah siklus II dilaksanakan, peneliti bersama kolaborator kemudian mengadakan post test siklus II. Berdasarkan post-test siklus II, dapat disimpulkan bahwa keterampilan bersastra siswa semakin mengalami peningkatan. Terbukti adanya kenaikan nilai yang cukup signifikan. Setelah siklus I, nilai rata-rata siswa adalah 66,53. Setelah diberi tindakan pada siklus II, nilai rata-rata siswa adalah 87,4. Sehingga terdapat peningkatan sebesar 20,4 poin. Seperti dalam tabel berikut.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 326

Tabel 6: Peningkatan Nilai Rata-Rata Siswa Setelah Siklus II Jumlah Nilai Rata-Rata Siswa Siklus I Post-Test Siklus Selisih II 36 66,53 87,4 20,4

Peningkatan hasil belajar siswa setelah diberi tindakan pada siklus II jika digambarkan dalam bentuk grafik, sebagai berikut:

Diagram 2: Peningkatan Nilai Siswa Setelah Siklus II

Peningkatan Nilai Siswa Siklus II

100,00 87,4 80,00 66,53 60,00

Nilai 40,00

20,00

0,00 1 2 Series1 66,53 87,4

F. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan Sesuai dengan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan campursari dapat meningkatkan keterampilan bersastra siswa, khususnya pada siswa kelas XI IPA 1, SMAN 2 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Penggunaan campursari dapat meningkatkan keaktifan siswa selama PBM, meningkatkan prestasi hasil belajar siswa, meningkatkan motivasi, meningkatkan keberanian siswa untuk menunjukkan kemampuan di depan kelas, dan mempermudah siswa dalam menerima materi.

2. Saran Guru disarankan untuk lebih variatif dalam menggunakan media pembelajaran, tidak hanya berupa buku, tetapi media-media lain yang dapat mempermudah pemahaman materi siswa. Guru dapat menggunakan media campursari untuk mengajarkan materi-materi pelajaran yang lain. Tidak terbatas pada pelajaran apresiasi sastra, tetapi juga bisa digunakan untuk mengajar paramasastra, tembang, unggah- ungguh, dan lain-lain.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 327

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Ahid. 2002. “Guru dan Kakilangit Pengajaran Sastra” dalam Sastra Masuk Sekolah. (ed. Sarumpaet, Riris K. Toha). Magelang: Indonesia Tera. Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan Kasusastran Djawa. Yogyakarta: Soejadi. Dinas Pendidikan Provinsi DIY. 2006. Kurikulum Muatan Lokal: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Dinas Pendidikan Provinsi DIY. Rustaman, Nuryani K, dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Rusyana, Yus. 1999. Horison, No. 8-11 Th. XXXI, Juli 1999. Sadiman, Arif S. 1990. Media Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press. Sayuti, Suminto A. 2002. “Sastra dalam Perspektif Pembelajaran: Beberapa Catatan” dalam Sastra Masuk Sekolah. (ed. Sarumpaet, Riris K. Toha). Magelang: Indonesia Tera. Setiono, Budi. 2003. “Campursari: Nyanyian Hibrida dari Jawa Poskolonial” dalam Identitas dan Poskolonialitas di Indonesia. (ed. Budi Susanto). Yogyakarta: Kanisius. Soeparno. 1988. Media Pengajaran Bahasa. Klaten: Intan Pariwara. Subalidinata, R.S. 1981. Seluk Beluk Kesastraan Jawa. Yogyakarta: Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara Fakultas Sastra UGM. Sudjana, N. 1991. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru. Sulastiani, Sri. 2001. “Teks Lagu Pop Jawa sebagai Media Alternatif Pembelajaran Bahasa Jawa” dalam Makalah KBJ III Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia KBJ III Yogyakarta. Sutrisno, Ign. S.I. 1982. Pathining Basa Jawa. Semarang: Mutiara Pertama Widya. Suwarna, dkk. 2005. Pengajaran Mikro. Yogyakarta: Tiara Wacana. Tim Jarlit BAPEDA DIY. 2004. Pemberdayaan Bahasa, Sastra, Budaya, dan Aksara Jawa melalui Jalur Formal dan Nonformal dalam Era Multikultur di DIY. Laporan Penelitian. Yogyakarta: BAPEDA Propinsi DIY.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 328

CONTOH MATERI PEMBELAJARAN

Judul Lagu : Taman Jurug

Syair :

Neng kutha Sala, tuwa lan mudha nyang taman Jurug, ing pinggir Bengawan Sala mudha lan mudhi, awan lan bengi dha suka-suka nanging aja ngiket janji

Cahyaning bulan, nrajang pucuking cemara angin kang teka sasat nggawa gendhing tresna

Banyu bengawan sinorot cahyaning bulan

Lir sewu dian, alerap nggugah kenangan

Ngersakke apa, mung sarwa ana neng taman Jurug, taman endah kutha Sala papan kreasi, mudha lan mudhi sing tuwa-tuwa welinge ja nganti keri.

MATERI:

1. Tembung Garba Yaiku tembung loro utawa luwih karangkep dadi siji kang banjur suda kehing wandane (suku katanya).

Tuladha:

nara + endra = narendra

tumujung + ing = tumujweng

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 329

Tuladha ing campursari

ana + ing = aneng = diwancah dadi neng

2. Tembung Wancahan Yaiku tembung siji kang disuda wandane (suku katanya), sarana dibuwang utawa ora dianggo.

Tuladha:

Mbakyu = dadi Yu

Kakangmas = dadi Mas

Tuladha ing campursari

Neng kutha Sala, tuwa lan mudha

nyang taman Jurug, ing pinggir Bengawan Sala

mudha lan mudhi, awan lan bengi

dha suka-suka nanging aja ngiket janji

Cahyaning bulan, nrajang pucuking cemara

angin kang teka sasat nggawa gendhing tresna

Banyu bengawan sinorot cahyaning bulan

Lir sewu dian, alerap nggugah kenangan

Ngersakke apa, mung sarwa ana

neng taman Jurug, taman endah kutha Sala

papan kreasi, mudha lan mudhi

sing tuwa-tuwa welinge ja nganti keri.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 330

Tembung Wancahan ing campursari:

No. Wancahan Menawa ora Diwancah

1. neng aneng

2. Nyang menyang

3. Dha padha

4. Ja aja

3. Pepindhan Yaiku unen-unen kang ngemu surasa pepadhan, irib-iriban, utawa emper-emperan. Dhapukaning ukarane nganggo tembung pindha, sasat, kaya, lir, kadi, kadya, memper utawa tembung liyane kang ngemu teges kaya ‘seperti, laksana, bagaikan’

Tuladha

a. Swarane kaya mbelah-mbelahna bumi b. Panase kaya mecah-mecahna gundhul c. Pasedulurane pindha banyu karo lenga d. Ireng kumpul kadi gagak areraton

Tuladha ing campursari:

Cahyaning bulan, nrajang pucuking cemara

angin kang teka sasat nggawa gendhing tresna

Tegese: swaraning angin, kaya-kaya nggawa gendhing katresnan

Banyu bengawan sinorot cahyaning bulan

Lir sewu dian, alerap nggugah kenangan

Tegese: banyu bengawan kang kasorot cahyaning bulan, yen disawang kaya cahya utawa soroting dian cacah sewu.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 331

4. Purwakanthi

Purwakanthi guru swara yaiku purwakanthi kang nganggo wewaton swara (a, i, u, o). Dadi unen-unen iku kang dikanthi utawa digandheng swarane.

Tuladha

a. sapa jujur bakal luhur (swara “u”) b. tut wuri handayani (swara “i”) c. tuwas kesel ora mecel (swara “e”)

Tuladha ing campursari

Neng kutha Sala, tuwa lan mudha (swara “a”)

nyang taman Jurug, ing pinggir Bengawan Sala

mudha lan mudhi, awan lan bengi (swara “a” lan “i”)

dha suka-suka nanging aja ngiket janji

Cahyaning bulan, nrajang pucuking cemara

angin kang teka sasat nggawa gendhing tresna (swara “a”)

Banyu bengawan sinorot cahyaning bulan

Lir sewu dian, alerap nggugah kenangan

Ngersakke apa, mung sarwa ana

neng taman Jurug, taman endah kutha Sala

papan kreasi, mudha lan mudhi (swara “a” lan “i”)

sing tuwa-tuwa welinge ja nganti keri. (swara “i”)

Purwakanthi guru sastra yaiku purwakanthi kang awewaton sastra utawa aksara. Dadi ing perangan sing buri, ana kang nunggal sastra utawa aksarane karo perangan kang ngarep.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 332

Tuladha:

a. bobot, bibit, bebet (nunggal sastra “b” lan “t”) b. sing sapa salah seleh (nunggal sastra “s”, “l”, lan “h”)

Tuladha ing campursari

Neng kutha Sala, tuwa lan mudha

nyang taman Jurug, ing pinggir Bengawan Sala

mudha lan mudhi, awan lan bengi

dha suka-suka nanging aja ngiket janji

Cahyaning bulan, nrajang pucuking cemara (nunggal sastra “ng”)

angin kang teka sasat nggawa gendhing tresna

Banyu bengawan sinorot cahyaning bulan (nunggal sastra “n”)

Lir sewu dian, alerap nggugah kenangan (nunggal sastra “n”)

Ngersakke apa, mung sarwa ana

neng taman Jurug, taman endah kutha Sala

papan kreasi, mudha lan mudhi

sing tuwa-tuwa welinge ja nganti keri.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 333

MENCARI SUMBER RUJUKAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KARYA SASTRA JAWA

Sri Harti Widyastuti, M. Hum. Fakultas Bahasa dan Seni, UNY

Abstrak Pendidikan karakter dewasa ini menjadi sorotan berbagai pihak karena dipandang mempunyai urgensi yang sangat signifikan untuk pembangunan bangsa. Banyak pihak masih tidak terlalu jelas dengan pragmatik karakter yang seperti apa yang menjadi rujukan. Pendidikan karakter dipenuhi dengan teori-teori yang tidak sinkron dengan kebutuhan pendidikan. Sastra bagian dari kebudayaan, sementara karakter adalah bagian dari kebudayaan, sementara karakter adalah bagian dari kebudayaan. Oleh karena itu sudah selayaknya pendidikan katekter mengambil rujukan dari sastra. Sementara itu sastra wulang dalam sastra Jawa merupakan karya- karya sastra yang isinya tentang piwulang adalah Serat Wulang Putri yang menceritakan tentang pedoman karakter seorang wanita utama yaitu cinta Tuhan dan ciptaanNya, kemandirian dan tanggung jawab, waspada, teliti dan hati-hati, sabar, berusaha dengan keikhlasan lahir batin, mampu melakukan tapa brata.

A. Pendahuluan Dewasa ini pendidikan karakter mengemuka kembali setelah beberapa waktu yang lampau santer dibicarakan tentang pendidikan budi pekerti. Para ahli dan akademisi merancang bagaimana mengimplementasikan pendidikan karakter tersebut dalam mata pelajaran, dan tujuan pendidikan tercapai. Dalam melaksanakan pembangunan karakter melalui pendidikan, dilakukan restrukturisasi pendidikan moral yang telah berlangsung lama di semua jenjang pendidikan di Indonesia dengan nomenklatur baru Pendidikan Karakter (Zuhdi, 2011: xv). Pemerintah perlu memasukkan persoalan karakter dalam program pemerintah karena banyaknya persoalan terkait dengan karakter bangsa yang terjadi di negara ini. Sementara itu, penyimpangan karakter tidak hanya terjadi pada rakyat kecil, namun juga terjadi pada para pemimpin. Pemimpin yang seharusnya menjadi panutan dan pengemban amanah rakyat justru pada saat sudah berada di posisi dengan kedudukan yang baik, mereka menghianati rakyat. Bentuk pengkhianatan yang dilakukan adalah melakukan korupsi dan berbagai ragam manipulasi serta nepotisme. Fenomena yang terjadi di negara ini terjadi karena lemahnya karakter baik yang dimiliki oleh para pemimpin di pusat maupun di daerah. Karakter sebagai pemimpin sudah tidak muncul lagi karena tertutup oleh nafsu ingin segera hidup mewah. Nilai-nilai kearifan lokal yang dibawa dari keluarganya sudah menipis tergantikan oleh nafsu yang muncul karena adanya lingkungan industrialis. Karakter suatu bangsa sangat penting untuk kelangsungan dan kehidupan bangsa. Perubahan-perubahan substantif masyarakat bangsa memerlukan telaah kembali tentang moralitasnya. Di tengah-tengah masyarakat yang semakin fragmentif para pembaru

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 334 progresif menekankan pentingnya komitmen terhadap rasionalitas dan ilmu pengetahuan untuk mewujudkan masyarakat nasional baru (Bellah dalam Zuhdi, 2011: 10). Selanjutnya karakter menurut Suyanto (2009) adalah suatu cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, maupun masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang dibuatnya. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Dalam UU Sisdiknas tahun 2003 dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional antara lain mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Menurut Suyanto (2009) terdapat karakter yang berasal dari nilai nilai luhur universal, yaitu (1) karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran atau amanah, serta diplomatis, (4) hormat dan santun, (5) dermawan, suka tolong menolong, serta gotong royong/kerjasama, (6) percaya diri dan pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, dan (9) karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Karakter adalah bagian dari kebudayaan. Kebudayaan diartikan sebagai semua cipta, rasa, dan karsa yang dimiliki manusia karena hasil dari belajar. Karakter manusia ada pada tataran ide dan mawujud dalam perilaku atau aktivitas berpola. Pendidikan karakter dapat dirujuk dari sastra. Sastra dan kebudayaan sangat dekat karena sastra adalah salah satu unsur kebudayaan. Sastra lahir karena kebutuhan manusia yang ada pada naluri manusia, yaitu adanya naluri akan adanya keindahan. Sastra mempunyai kawasan dan objek berupa karya tulis dan lisan. Istilah sastra menunjuk pada karya manusia yang mempunyai sifat-sifat tertentu. Sementara itu, istilah sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan. Hal itu berarti bahwa sastra adalah gejala yang universal. Namun demikian, suatu fenomena pula bahwa gejala yang universal itu tidak mendapat konsep yang universal pula (Chamamah Soeratno,2003:9)

B. Sastra Piwulang Salah Satu Sumber Pendidikan Karakter Adalah sangat sulit untuk mencari definisi sastra yang sesuai dengan semua sastra yang dihasilkan dari semua kawasan, baik itu sastra dunia, nasional, maupun sastra lokal. Kriteria ke”sastra”an yang ada pada masyarakat tidak selalu cocok dengan kriteria ke”sastra”an yang ada pada masyarakat lain. Sebagai contoh dapat dilihat pada kriteria “rekaan” pada masyarakat sastra di dunia Barat yang tidak dapat diterapkan di Arab, India, China (Idema, Plark, Teeuw, dalam Chamamah Soeratno, 2003) Sementara itu, sastra Jawa adalah semua hasil buah pikiran manusia, yang bersifat berguna atau berfungsi untuk mengajar. Pada karya sastra Jawa modern istilah rekaan bisa sesuai dengan isinya, namun istilah rekaan atau fiksi tidak bisa digunakan untuk mendefinisikan sastra Jawa klasik. Hal itu disebabkan sastra dalam karya sastra Jawa klasik adalah berwujud kearifan lokal, pengetahuan-pengetahuan praktis tentang kehidupan, mistik, sejarah tradisional, ilmu perbintangan, ilmu lam, dan piwulang. Sastra wulang dalam khasanah sastra Jawa menjadi genre tersendiri. Karya sastra wulang merupakan karya sastra Jawa Baru yang sangat terkenal dalam sejarah sastra

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 335

Jawa. Karya sastra wulang mengandung pedoman-pedoman hidup yang merupakan pandangan hidup orang Jawa. Disebut karya sastra wulang karena sebagian besar karya sastra tersebut ditulis dengan menggunakan judul wulang atau niti. Di antara sejumlah karya sastra yang berjenis niti dan wulang adalah Serat Niti Sastra, Serat Niti Sruti, Serat Wulang Putra, Serat Wulang Putri, Serat Niti Mani, Serat Wulang Reh, dan masih banyak yang lainnya. Serat-serat wulang tersebut mengandung ajaran moral yang merupakan rujukan pendidikan karakter. Menurut latar belakang penciptannya, serat-serat wulang tersebut sengaja ditulis dalam rangka pendidikan masyarakat. Raja sebagai penguasa dan pemimpin rakyat pada waktu itu merasa harus melakukan memayu hayuning bawana, yaitu menciptakan ketertiban dan ketenteraman dunia dengan menjaga tertib kosmos dan alam. Untuk itu, raja memerintahkan penulis keraton untuk menuliskan piwulang- piwulang yang harus dipatuhi rakyat agar terjadi ketertiban sosial masyarakat, terjadi harmoni dalam hubungan manusia, sehingga persoalan persoalan sosial dapat diselesaikan. Di antara karya-karya piwulang tersebut terdapat salah satu serat piwulang yang sangat terkenal, yaitu Serat Wulang Putri. Serat tersebut merupakan salah satu karya yang dihasilkan oleh Ingkang Sinuhun Pakubuwana IX dan ditulis oleh Nyai Tumenggung Adisara. Serat tersebut berupa manuskrip sebagai objek filologi maka pembicaraan terkait serat tersebut melalui studi untuk mengungkap kejelasan naskah dan teks yang dianalisis. Serat tersebut merupakan naskah jamak. Setelah dilakukan inventarisasi naskah melalui studi katalog dan pengecekan langsung ke tempat-tempat penyimpanan naskah, ditemukan 4 naskah Serat Wulang Putri yang serumpun. Naskah tersebut tiga di antaranya disimpan di Perpustakaan Museum Sonobudoyo Yogyakarta dan satu naskah disimpan di Perpustakaan Pakualaman Yogyakarta. Judul dan kode koleksi naskah yang disimpan di Perpustakaan Museum Sonobudoyo Yogyakarta, yaitu 1) Wulang Putri dengan kode koleksi PB A. 59 Rol 113 no. 6. 2) Serat Wulang Putri dengan kode koleksi SK 20 Rol 111 no. 2, dan 3) Wulang Putri dengan kode koleksi SK 172 Rol 107 no. 1. Naskah yang disimpan di Perpustakaan Pakualaman adalah Serat Wulang Putri dengan kode koleksi 54170. Sumber data berupa Serat Wulang Putri yang dianalisis dalam tulisan ini adalah Serat Wulang Putri dengan kode koleksi SK 20 Rol 111 no. 2. Naskah itu dipilih sebagai sumber data penelitian karena beberapa alasan, yaitu 1) tulisan naskah Serat Wulang Putri dengan kode koleksi SK 20 Rol 111 no. 2 lebih jelas dibanding naskah lain, sehingga dimungkinkan lebih mudah dalam transliterasi teks. 2) Kondisi jilidan naskah lebih kuat jika di banding dengan naskah lain. 3) Tiap lembar naskah ini masih utuh, sedangkan naskah lain beberapa halaman sudah merapuh/rusak dan ada sebagian teks yang hilang. Untuk menganalisis teks selanjutnya dilakukan transliterasi dan terjemahan teks terbatas pada Serat Wulang Putri. Setelah dilakukan transliterasi dan terjemahan teks Serat Wulang Putri, maka analisis dilakukan terkait pendidikan karakter yang terdapat dalam naskan tersebut. Selanjutnya, ditemukan pendidikan karakter yang terdapat dalam Serat Wulang Putri, yaitu sebagai berikut.

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 336

1. Cinta Tuhan dan Segenap CiptaanNya

Dalam Serat Wulang Putri terdapat ajaran yeng menyebutkan agar seseorang memiliki rasa cinta kepada ciptaan Tuhan dan segenap ciptaanNya. Hal itu sesuai dengan kutipan berikut ini.

Wasita mring putraningsun/ gandrunga sira ningali/ lalakon kang molah saka/ kaki kinira Hyang Widi/ muga putrining naréndra/ pra waya nalongsèng Widi/ (Serat Wulang Putri b. 9-10)

Supaya wasipta hayu/ yuwanèng manuku manis/ ywa ngênês dulu kahanan/ lalakon dunya puniki/ mung kudu sumanggêng karya/ karsa karsaning Hyang Widi/

Terjemahan:

Nasehat terhadap anak-anakku/ Senanglah engkau mengetahui/ Kejadian yang berasal dari/ Engkau kira dari Tuhan/ Semoga anak Raja/ Pasrah terhadap takdir Tuhan/

Agar dapat selamat/ Selamat menemui kenikmatan/ Jangan sedih melihat kehidupan/ Kejadian di dunia ini/ Hanya harus mengikuti/ Mau seperti yang diinginkan Tuhan/

Petikan tersebut menyiratkan bahwa semua kejadian berasal dari Tuhan. Oleh karena itu manusia harus pasrah terhadap takdir Tuhan. Piwulang dalam teks tersebut menyerukan agar manusia cinta Tuhan. Dengan meletakkan cinta kepada Tuhan maka hidup terasa menjadi nikmat dan manusia juga akan mencintai ciptaan Tuhan.

2. Kemandirian dan Tanggung Jawab

Serat Wulang Putri tulisan Nyai Tumenggung Adisara ini dimungkinkan merupakan serat yang idenya merupakan ide dari Paku Buwana IX. Dalam teks dituliskan ajaran agar manusia hidup dapat mandiri seperti yang dilakukan oleh Paku Buwana IX ketika permaisuri wafat dengan meninggalkan putra dan putrinya. Pesan tersebut terdapat pada kutipan teks berikut ini:

Tumimbula rêningsun garwa padêmi/ tégatêmên sira/ aninggal rakaniraji/ tujuné manira bisa

Amana murnyandhak kalam gandrung nganggit/ kata wasit kama/ tumrap mring putrèngsun putri/ dhuh nggèr para putriningwang (Serat Wulang Putri, b. 24-25)

Terjemahan:

Muncullah dalam anganku tentang istriku/ tega sekali engkau/ meninggalkan suamimu sendirian/ untunglah aku bisa

Lalu mengambil alat untuk menulis/ untuk menggantikan rindu yang mendalam/ tulisan untuk anak anakku perempuan/ dhuh anakku-anakku perempuan

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 337

Dalam teks tersebut tersirat pesan agar tidak menjadi lemah atau patah semangat ketika ditinggal orang yang dicintai, gunakan waktu untuk mengisi kegiatan yang positif.

3. Waspada, Teliti dan Hati hati

Waspada, teliti dan hati hati merupakan karakter yang dituntut dari seorang putri. Dengan ketelitian maka segala sesuatu bisa dipertimbangkan dengan masak-masak. Segala sesuatu yang dilakukan dengan terburu-buru akan menyebabkan hasil tidak maksimal dan banyak kekurangannya. Dalam pikiran orang yang selalu terburu buru adalah untuk menyingkat waktu. Sesungguhnya hal itu justru boros waktu, disebabkan bila hasilnya tidak baik maka pekerjaan akan diulangi lagi. Adapun karakter teliti yang dimaksud dalam teks Wulang Putri adalah sebagai berikut:

Nini putri putraningsun/ marmanira sira sami/ krêjêting duga watara, rasakna dipunsatiti, tata kang têrang, pangroncènirèng pamikir/ kèkêrên aywa kêsusu (Wulang Putri, 5-6)

Terjemahan:

Wahai putri anakku/ semua sebab darimu/ semua hal terkait dengan perkiraan/ pikirlah dengan teliti/ ditata dan diteliti dengan jelas/ dalam berbagai susunan pemikiran/ periksalah jangan terburu buru

Karakter waspada, teliti dan hati-hati merupakan karakter yang bervarian dengan kejujuran. Orang yang mempunyai karakter waspada, teliti dan hati hati maka orang tersebut cenderung sangat mempetimbangkan baik buruk, sehingga muncul watak jujur. Untuk itu karakter tersebut bisa dimasukkan dalam varian karakter kejujuran seperti yang disampaikan oleh Suyanto (2009).

4. Sabar

Karakter sabar merupakan karakter yang banyak disinggung dalam teks-teks piwulang Jawa. Karakter sabar menjadi kunci terciptanya keharmonian hubungan antar manusia. Dengan sabar maka semua akan berjalan alamiah tidak bersifat instan atau nggege mangsa atau membuat semua serba cepat dengan. Memotong proses. Kesabaran, dalam masyarakat Jawa merupakan hal yang paling utama yang harus dimiliki oleh manusia. Oleh karena itu dalam masyarakat Jawa dikenal ungkapan tradisional sabar subur artinya orang yang mempunyai karakter sabar maka hidupya akan tenang dan nyaman. Dalam teks Wulang Putri karakter sabar tersebut terdapat pada kutipan di bawah ini:

Dihadining putri prabu/ utamèng tyas kang pinusthi/ têgêsé utama sabar/ mring ponca bayaning ngati/ tinampan sukur lan lila/ lêgawèng tyas nursing budi (Wulang Putri, 15)

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 338

Terjemahan:

Dijadikannya seorang putri raja/ keutamaan dalam hati yang sudah ditakdirkan/ yang utama adalah kesabaran/ terhadap berbagai godaan hati/ diterima dengan rasa sukur dan ikhlas/ keikhlasan dalam hati sampai dengan pikiran.

Berdasarkan cuplikan tersebut tampak bahwa sabar merupakan kunci utama dalam menghadapi persoalan hidup. Dalam menghadapi persoalan hidup perlu keikhlasan dan rasa syukur atas kenikmatan yang telah diterimanya.

5. Berusaha dengan Keikhlasan Lahir Batin

Karakter orang agar mempunyai kekuatan untuk berusaha dengan keikhlasan lahir batin menjadi hal yang penting. Dalam Wulang Putri disampaikan bahwa ketika manusia dicoba oleh Allah SWT maka tidak boleh tenggelam< apapun harus berusaha. Semua yang terjadi diteima dengan tulus dan ikhlas. Berikut ini cuplikan teks Wulang Putri yang mengandung karakter tersebut: Sumurupa ing laku kawan prêkawis/ dhihin yèn kataman/ budi têmên lan narima. Kang kapindho dhuh anggèr lakuning ati/ yèn kêtaman rundhah, lêgawa lila dèn kèsthi, kaping tri lakuning jiwa (Wulang Putri, 26-27) Terjemahan: Mengetahuilah terhadap perjalanan empat perkara/ yang pertama jika terkena/ dalam coba harus berusaha/ budi yang rajin dan ikhlas Yang kedua anakku/ perjalanan hati/ jika menyandang kesedihan/ diusahakan ikhlas lahir batin/ ketiga perjalanan jiwa. Karakter seperti yang dikemukkan di atas bisa dimasukkan pada varian karakter percaya diri dan pekerja keras (Suyanto, 2009).

6. Mampu melakukan Tapa Brata

Serat Wulang Putri adalah sebuah karya yang berisi ajaran untuk anak perempuan. Terdapat laku yang harus dilakukan oleh seorang perempuan yang mempunyai kedudukan agar menjadi seorang yang dihormati oleh sesama dan berhasil dalam memangku jabatannya. Penulis menginterpretasikan seorang putri raja adalah seorang yang mempunyai kedudukan tinggi. Putri tersebut menjadi putri yang utama bila mampu melakukan laku yang disebut sebagai tapa brata. Jadi pembentukan karakter seorang wanita yang menjadi wanita panutan tidak dengan sendirinya tanpa usaha dan prihatin.

Selanjutnya di bawah ini kutipan teks yang mengandung makna tersebut di atas:

Pinangkat putrining prabu/ kang widagda utama/ déné sadayèku nini/ kocap ngarsa linakon mawa sarana

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 339

Tapa brata puja mantra/ déné kang dipunwastan/ iya ninitapa brata/ limang prakara sayêkti/ jugaa ngingirangi/ ing bukti sarananipun/ narima nadyan nyêgah/ dhahar mênawa sirèku/ tan narima apa ing saananira

Iku sayêktiné gagar ping kalih nyunyuda guling

………kang kaping tiga/ angawisana sanggami/ srana lila ing ngati

……..Kang kaping pat sira nini/ ampêta pangandika…..

Ping lima sira ngilangna/ duka cipta srana sangking/ cahyaning locananira (Serat Wulang Putri, b. 56-61)

Terjemahan

Diangkat sebagai putri seorang raja/ yang pandai dan utama/ sedangkan semua itu nini/ harus dengan sarana

Tapa brata memuja dengan mantra (berdoa)/ adapun yang dinamakan/ tapa brata/ yaitu lima perkara/ bisalah mengurangi/ dalam makan/ narima walaupun mencegah/ makan kalau engkau/ tak mau nrima apa adanya

Itu sebenarnya gagal/ kedua kurangi tidur

…….ketiga jangan terlalu kerap melakukan sanggama/ semuanya harus ikhlas di dalam hati

….. Yang keempat engkau nini/ menahanlah berbicara

……Yang kelima engkau/ hilangkanlah perasaan marah yang kelihatan dari cahaya matamu…..

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa karakter seorang putri raja atau wanita yang mempunyai kedudukan di masyarakat harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu, dimana hal itu perlu dilakukan dengan olah tapa brata. Adapun laku pertama yang harus dikerjakan adalah mengurangi makan dan bila memang harus makan maka tidak boleh makan dengan mengada ada. Mengurangi makan dalam hal ini adalah berpuasa. Ketika harus berbuka puasa atau tidak sedang menjalankan puasa maka makan harus dengan cara tidak mengada ada atau seadanya saja. Sikap untuk tidak mengada-adakan makanan tersebut disebut dengan sikap narima. Selanjutnya karakter mau melakukan prihatin dan bersikap narima ini menjadi karakter wanita yang disarankan dari Serat Wulang Putri.

Laku kedua mau berprihati dengan melakukan berjaga diwaktu malam, sehingga masa tidur menjadi tidak banyak. Prihatin di sini bisa dimaknai dengan melakukan sholat malam, wirid, dan beribadah lain pada malam hari agar tidak tidur sepanjang malam. Ketiga cegahlah senggama yang dilakukan secara terus menerus. Selanjutnya karakter yang keempat adalah agar para putri mampu menahan pembicaraan yang terlalu panjang

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 340 dan bersifat tidak penting. Sebagian para perempuan biasanya merasa sangat senang melakukn pembicaraan atau mengobrol dengan sesama perempuan tentang hal yang tidak perlu. Hal ini dimungkinkan menimbulkan hal-hal negatif berupa saling menjatuhkan. Atau tanpa sadar telah menyakiti hati orang lain karena telah mengadu domba dengan pihak lain.

Karakter tersebut bisa dimasukkan dalam kelompok karakter baik budi dan rendah hati (Suyanto, 2009).

Demikian karakter yang diharapkan ada pada para putri. Karakter-karakter tersebut menjadi contoh piwulang yang seharusnya dilakukan oleh para putri agar menjadi seorang insan yang bisa sukses dalam hidup bermasyarakat dan seorang putri yang berbudi luhur sehingga disebut sebagai wanita utama.

Ajaran piwulang untuk para putri tersebut dapat menjadi sumber rujukan bagi pendidik karakter dewasa ini karena ajaran untuk menjadi wanita utama masih sangat relevan untuk kehidupan sekarang ini.

Kesimpulan

Berdasarkan pokok-pokok persoalan yang dibahas dalam tulisan ini maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter perlu mengadopsi dan merujuk pada budaya dan sastra Jawa terutama sastra wulang. Rujukan pendidikan karakter tidak perlu dirumuskan dengan abstrak, seperti selama ini banyak dikemukan para ahli dan bersifat teoritis. Sementara itu sastra Jawa khususmya sastra wulang mempunyai banyak sekali pedoman karakter. Pedoman karakter tersebut bersifat universal.i

Daftar Pustaka

Chamamah Soeratno, Siti. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita SK.20.Rol 11 no. 2. Serat Wulang Putri Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html Zuhdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktek. Yogyakarta: UNY Press

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012 341

i Hingga bisa digunakan untuk semua lapisan masyatakat

Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012