Penulis :

Abdul Hamid, Agus Sjafari, Arenawati, Gandung Ismanto, Iman Mukhroman, Ipah Ema Jumiati, Kandung Sapto Nugroho, Neka Fitriyah, Rahmawati, Rangga G. Gumelar, Riny Handayani, Titi Stiawati, Yeni Widyastuti

FISIP Untirta Press

Nugroho, Kandung Sapto dan Fuad, Anis BANTENESIA Serang: FISIP Untirta Press, 2012 ix, 216 hlm, 21 cm

Hak Cipta 2012, FISIP Untirta Press ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Cetakan Pertama Februari 2012 2012 Kandung Sapto Nugroho & Anis Fuad BANTENESIA ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Hak Penerbitan Edisi Pertama Pada FISIP Untirta Press, Serang Gambar Cover : http://4.bp.blogspot.com/-tcRw83JiEiA/ TdDRr28GXSI/AAAAAAAAABQ/nRE3_YaYsEA/s1600/ 20091003082405%2540salaman_baduy.jpg ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Desain cover oleh FISIP Untirta Press ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Dicetak di Pandu Yudha Krisna Murti Offset ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ FISIP Untirta Press Jl. Raya Km. 4

Phone (0254) 280330 Ext 281254 Fax (0254) 2811254 Pakupatan Serang

Editor: KANDUNG SAPTO NUGROHO ANIS FUAD

Penulis :

Abdul Hamid, Agus Sjafari, Arenawati, Gandung Ismanto, Iman Mukhroman, Ipah Ema Jumiati, Kandung Sapto Nugroho, Neka Fitriyah, Rahmawati, Rangga G. Gumelar, Riny Handayani, Titi Stiawati, Yeni Widyastuti

FISIP Untirta Press

Nugroho, Kandung Sapto dan Fuad, Anis BANTENESIA Serang: FISIP Untirta Press, 2012 ix, 215 hlm, 21 cm

Hak Cipta 2012, FISIP Untirta Press ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Cetakan Pertama Februari 2012

Kandung Sapto Nugroho & Anis Fuad BANTENESIA ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Hak Penerbitan Edisi Pertama Pada FISIP Untirta Press, Serang Gambar Cover : http://4.bp.blogspot.com/-tcRw83JiEiA/ TdDRr28GXSI/AAAAAAAAABQ/nRE3_YaYsEA/s1600/ 20091003082405%2540salaman_baduy.jpg ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Desain cover oleh FISIP Untirta Press ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ ISBN: 9786029736540

FISIP Untirta Press Jl. Raya Jakarta Km. 4 Phone (0254) 280330 Ext 281254 Fax (0254) 2811254 Pakupatan Serang Banten

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penyusun panjatkan atas kehadirat

Allah SWT yang terus memberikan rizki dan hidayah-Nya kepada kita semua diberikan kecerahan dan keberkahan. Penyusun merasa sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas penyusunan buku

BANTENESiA guna menambah khasanah keilmuan dalam bidang ilmu sosial, berguna juga bagi para pengambil kebijakan public sepertinya lebih dikenal dengan istilah research based policy, karena ketika kebijakan yang disusun tidak berdasarkan permasalahan yang benar maka kebijakan akan gagal, sehingga sebelum sebuah kebijakan disyahkan sebaiknya dikaji dengan riset atau kajian ilmiah, sehingga dapat meminimalisir kegagalan sebuah kebijakan.

Buku ini merupakan publikasi dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan oeh para dosen di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten yang berisi lika-liku masalah social yang terjadi di Banten. Penyusunan buku ini adalah dalam rangka memberikan sumbang saran untuk perbaikan Banten ke depan, karena pada dasarnya buku merupakan ruang diskusi terbuka untuk memberikan sumbangan pemikiran dari akademisi yang akan menempakan akademisi bukan hanya sebagai menara gading ilmu pengetahuan saja dan semoga niat tulus ini direspon positif oleh

iii | B A N T E N E S i A

seluruh stakeholders. Buku ini masih jauh dari sempurna, sehingga kami tetap berupaya untuk membuka ruang kritik dan saran yang membangun melalui media email; [email protected].

Terakhir semoga buku ini bermanfaat untuk Banten ke depan. Amin.

Februari 2012

Team Editor

iv | B A N T E N E S i A

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... iii

DAFTAR ISI ...... v

DAFTAR GAMBAR ...... viii

DAFTAR TABEL ...... ix

DAFTAR MATRIK ...... xi

DAFTAR GRAFIK ...... xii

POLITISASI BIROKRASI ERA PILKADA LANGSUNG Pengalaman Beberapa Daerah Oleh : Abdul Hamid ...... 1

WAJAH PEMULUNG DI PROVINSI BANTEN Studi Kasus di TPS Desa Cilowong Oleh: Agus Sjafari ...... 27

PERAN SOCIAL MEDIA NETWORKING FOR GOV 2.0 DI Oleh : Anis Fuad ...... 53

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS PELAYANAN RSUD SERANG PROVINSI BANTEN TAHUN 2010 Oleh: Arenawati ...... 77

DASAWARSA BANTEN MEMBANGUN Sebuah Telaah Kritis Oleh : Gandung Ismanto ...... 101

ANALISIS PERILAKU KOMUNIKASI ELIT LOKAL DAN v | B A N T E N E S i A

ANGGOTA DPRD PROVINSI BANTEN PERIODE 2009-2014 Studi Kasus Atas Dugaan Manipulasi Laporan Reses Anggota DPRD Provinsi Banten Tahun Kegiatan 2010 Oleh: Iman Mukhroman ...... 121

ANALISIS LINGKUNGAN DALAM MENENTUKAN TUJUAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA BANTEN Oleh : Ipah Ema Jumiati ...... 141

”PRESTASI” BANTEN DAN PANDANGAN POLITIK MAHASISWA DALAM PEMILIHAN GUBERNUR BANTEN 2011 Oleh : Kandung Sapto Nugroho ...... 185

PENGARUSUTAMAAN GENDER VERSUS JAWARA DI BANTEN Refleksi Empat Tahun Penerapan dan Problematika Program Pengarusutamaan Gender di Provinsi Banten Oleh : Neka Fitriyah ...... 205

PROBLEMATIKA PENGELOLAAN ASSET DAERAH DAN PEMECAHANNYA DI KABUPATEN PANDEGLANG Oleh : Rahmawati ...... 233

PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN PADA MUATAN LOKAL DALAM PRESPEKTIF KOMUNIKASI ISTRUKSIONAL Studi Kasus Pelajaran Metode Penelitian Di SMA CMBBS Pandeglang Banten Oleh : Rangga Galura Gumelar ...... 263

POLA MOBILITAS MAHASISWA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA Oleh : Riny Handayani ...... 279 vi | B A N T E N E S i A

PETA MASALAH ANAK JALANAN DAN MODEL PEMECAHANNYA BERBASIS PEMBERDAYAAN KELUARGA DI KOTA SERANG PROVINSI BANTEN Oleh : Titi Stiawati ...... 289

TINJAUAN FENOMENOLOGIS PERAN STRATEGIS PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL DI PROVINSI BANTEN Oleh : Yeni Widyastuti ...... 311

LAMPIRAN

vii | B A N T E N E S i A

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. The Public Private Continum ...... 84

Gambar 2. Model Persepsi Kualitas Jasa ...... 85

Gambar 3. Peta Problematik Pengarusutamaan Gender Di

Provinsi Banten ...... 226

Gambar 4. Pemerataan dan Pemberdayaan Longwe ...... 328

viii | B A N T E N E S i A

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Persepsi Masyarakat Terhadap Kenyamanan Ruang

Tunggu ...... 87

Tabel 2. Persepsi Masyarakat Terhadap Kemampuan Memberikan

Jasa Yang Dapat Dipercaya ...... 88

Tabel 3. Persepsi Masyarakat Terhadap Ketanggapan RSUD Serang

Dalam Menangani Pasien ...... 89

Tabel 4. Persepsi Masyarakat terhadap Kompetensi yang dimiliki

Pegawai RSUD Serang ...... 90

Tabel 5. Persepsi Masyarakat terhadap keramahan dari petugas

RSUD Serang ...... 91

Tabel 6. Persepsi Masyarakat Atas Kejujuran Petugas RSUD

Serang ...... 92

Tabel 7. Persepsi masyarakat terhadap keamanan tempat parkir di

RSUD Serang ...... 93

Tabel 8. Persepsi masyarakat terhadap Keterjangkauan lokasi

RSUD ...... 94

Tabel 9. Ketersampaian Informasi Yang Disampaikan Petugas

RSUD Serang ...... 95

Tabel 10. Perhatian Petugas Terhadap Kebutuhan Pasien ...... 96 Tabel 11. Kategorisasi Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan RSUD Serang ...... 97

ix | B A N T E N E S i A

Tabel 12. Identifikasi Faktor Internal Dan Eksternal ...... 164 Tabel 13. Pengukuran Strengths-Opportunities (SO) FISIP Untirta 172 Tabel 14. Pengukuran Weaknesses-Opportunities (WO) FISIP Untirta ...... 174 Tabel 15. Pengukuran Strengths-Threaths (ST) FISIP Untirta...... 175 Tabel 16. Pengukuran Weaknesses-Threats (WT) FISIP Untirta .... 177 Tabel 17. Perbandingan Human Development Index Provinsi Banten dengan HDI Nasional ...... 188 Tabel 18. Tabulasi Silang Pilihan Politik Mahasiswa dengan Jenis Kelamin Responden ...... 200 Tabel 19. Perencanaan Asset Daerah ...... 252 Tabel 20. Penganggaran Asset Daerah ...... 253 Tabel 21. Pengadaan Asset Daerah ...... 253 Tabel 22. Penggunaan Asset Daerah ...... 254 Tabel 23. Penatausahaan Asset Daerah ...... 255 Tabel 24. Pemeliharaan Asset ...... 257 Tabel 25. Pengendalian dan Pengawasan Asset ...... 258 Tabel 26. Penghapusan Asset ...... 260 Tabel 27. Pemindahtangan Asset ...... 256 Tabel 28. Peran Strategis Perempuan di Ranah Politik ...... 329

x | B A N T E N E S i A

DAFTAR MATRIK

Matrik 1.Strengths Weaknesses Opportunites Threats ...... 149

Matrik 2. Formulasi Strategi SWOT ...... 166

xi | B A N T E N E S i A

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Grafik Distribusi Frekuensi Total Nilai Jawaban Persepsi

Responden Terhadap Kualitas Pelayanan RSUD Serang ... 97

Grafik 2. Profil Tata Pemerintahan Provinsi Banten Tahun 2007 ..... 189

xii | B A N T E N E S i A

POLITISASI BIROKRASI ERA PILKADA LANGSUNG Pengalaman Beberapa Daerah

Oleh: Abdul Hamid1

Pendahuluan

Wacana desentralisasi kerapkali mengikuti wacana demokrasi.

Karena itu ketika rezim otoriter Soeharto diruntuhaan oleh gerakan massa setelah sebelumnya dihantam krisis ekonomi, maka wacana desentralisasi mengikuti di belakangnya. Hal ini bisa dipahami karena selama 32 tahun orde baru, negara dikelola secara terpusat. Daerah diikat dengan jargon persatuan dan kesatuan. Dinamika politik lokalpun amat tidak menarik karena hanya merupakan representasi kepentingan Jakarta. Tak berhenti sebatas wacana, desentralisasi menjadi kebijakan dengan lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang

Otonomi Daerah dan UU 25 No. 1999 tentang Perimbangan Keuangan

Pusat dan Daerah.

1 Dosen Ilmu Politik pada Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 1 | B A N T E N E S i A

Sejak itulah kemudian politik lokal di Indonesia menjadi fenomena yang amat seksi bagi para pengamat dan akademisi. Selain hubungan pusat-daerah yang terus menerus tarik menarik, kompetisi aktor-aktor lokal dalam merebut kekuasaan merupakan tontonan yang seru.

Apalagi kemudian lahir UU No 32 Tahun 2004 yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memilih pemimpinnya secara langsung. Kompetisi antar aktor politik lokal berlangsung sengit untuk memperebutkan sumber daya politik yang juga berarti akses ke sumber daya ekonomi. Salah satu aktor yang amat penting diamati dan nampaknya berperan penting dalam politik lokal adalah birokrasi pemerintah daerah.

Birokrasi

Sejatinya birokrasi harusnya melayani masyarakat. Ia hadir dalam masyarakat untuk melayani kompleksitas persoalan di masyarakat modern. Secara ideal, Weber (dalam Thoha, 2003) misalnya menyajikan beberapa ciri yang harus dimiliki birokrasi, yaitu:

1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh

jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau

kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas

menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan

pribadinya, termasuk keluarganya

2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke

bawah dan ke samping. Konsekuaensinya ada jabatan atasan dan

2 | B A N T E N E S i A

bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar

dan ada yang lebih kecil

3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara

spesifik berbeda satu sama lainnya

4. Setiap jabatan mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan.

Uraian tugas masing-masing pejabat merupakan domain yang

menjai wewenang dan tanggungjawab yang harus dijalankan

sesuai dengan kontrak

5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya,

idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif

6. Setiap pejabat mempunyai gaji, termasuk hak untuk menerima

pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang

disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari

pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan

kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu

7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan

promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan

pertimbangan yang obyektif

8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan

jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi

dan keluarganya

9. Setiap pejabat berada dibawah pengendalian dan pengawasan

suatu sistem yang dijalankan secara disiplin

3 | B A N T E N E S i A

Salah satu aspek yang penting agar birokrasi tampil professional adalah dengan menjaga jarak dengan kekuatan-kekuatan politik.

Namun ini bukanlah hal mudah karena birokrasi justru dipimpin oleh pemimpin politik. Birokrasi tidak hadir dalam ruang kosong. Bulat – lonjong birokrasi banyak ditentukan oleh kekuasaan yang memayunginya.

Netralitas menjadi hal yang paling sulit dilakukan oleh birokrasi.

Thoha (2003) mendefinisikan netralitas birokrasi sebagai suatu system dimana birokrasi tidak akan berubah dalam melakukan pelayanan pelayanan kepada masternya, biarpun masternya berganti dengan master yang lain. Pemberian pelayanan tidak bergeser sedikitpun walaupun masternya berubah. Birokrasi dalam memberikan pelanan berdasarkan profesionalisme, bukan karena kepentingan politik.

Birokrasi di Indonesia, sejatinya tak pernah netral dan tumbuh menjadi birokrasi ideal seperti ciri di atas. Ia tumbuh dan berkembang melayani kekuasaan sejak diciptakan di masa pra kolonial sampai era reformasi. Birokrasi di Indonesia di awal pembentukannya memang kepanjangan tangan pemerintah kolonial, bukan diciptakan untuk melayani masyarakat. Pemerintah hindia belanda terkenal memakai dual system pemerintahan, yakni BB dan kaum priyayi, penguasa lokal dengan struktur pemerintahan yang disusun oleh Belanda. Sering sistem pemerintahan kolonial ini disebut indirect rule, pemerintahan melalui perantaraan penguasa bumiputera yang disebut pangreh praja.

4 | B A N T E N E S i A

Pangreh praja ini bukan merupakan korps pegawai yang seragam, tapi terdiri dari penguasa lokal yang sejak abad ke-19 (1830) disusun oleh Hindia Belanda. Dipertahankannya para penguasa bumiputera oleh Hindia Belanda bukan karena alasan historis, yakni aliansi Priyayi dengan VOC, tapi karena manfaat yang bisa diambil oleh dari priyayi

(Hok Ham, 2002).

Di masa kemerdekaan, pembentukan partai politik dengan maklumat wakil presiden No x 1945, membuat elit politik terbelah kedalam partai-partai politik. Elit yang menduduki jabatan politik di pemerintahan lantas menggiring bawahannya di pemerintahan untuk masuk ke golongan politik sang elit. Era orde lama merupakan masa dimana birokrasi betul-betul terpolarisasi berdasarkan partai sang pemimpin.

Setelah pemilihan umum 1955, gejala seperti itu semakin jelas.

Tidak jarang terjadi suatu departemen yang dipimpin oleh suatu menteri dari partai tertentu, maka seluruh departemen mulai dari tingkat pusat sampai ke desa menjadi sewarna politik menterinya.

Dahulu kementrian dalam negeri dari PNI, maka mulai dari pegawai di kementrian sampai lurah dan kepala desa di Indonesia adalah berpartai

PNI. Demikian pula kementerian agama yang dipimpin oleh menteri dari partai NU, maka mulai dari menteri, pejabat-pejabat di kementerian agama, sampai ke kantor urusan agama (KUA) di kecamatan semua orang NU(Thoha, 2003).

5 | B A N T E N E S i A

Hal yang sama terjadi di era orde baru. Pada masa tahun 1965 sampai dengan tahun 1998, PNS diharuskan menjadi anggota Golkar.

Keanggotaan PNS dijaring melalui mekanisme KORPRI yang berafiliasi ke Golkar. Mau tidak mau semua PNS menjadi anggota Golkar meskipun hati nuraninya menolak. (Irsyam, 2001).

Paska jatuhnya Soeharto, ada beberapa aturan yang mengharuskan PNS bersikap netral. BJ Habibie, Presiden pertama setelah lengsernya Soeharto, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999, yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun

1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU

Nomor 8 Tahun 1974. Tapi muncul juga kecenderungan parpolisasi departemen seperti era orde lama. Sekjen yang seharusnya diisi birokrat karier misalnya diisi oleh orang dekat partai seperti yang terjadi di

Departemen Kehutanan dan Perkebunan di era Kabinet Abdurahman

Wahid.

Contoh lain adalah dukung mendukung dalam pemilu dan pemilihan Presiden 2004. Misalnya adalah beredarnya surat Wakil

Bupati Subang, Maman Yudia perihal dana sukses Mega-Hasyim yang ditujukan kepada para pimpinan dinas/instansi/badan/kantor se-

Kabupaten Subang2 atau pengerahan kepala desa dan PNS oleh tim kampanye Mega-Hasyim di Tabanan, . 3.

2 Pikiran Rakyat, 17 Juni 2004 3 Pikiran rakyat, 11 Juni 2004 6 | B A N T E N E S i A

Jika selama ini kajian politisasi birokrasi lebih banyak bicara sekup nasional, maka tulisan ini justru akan bicara tentang politisasi birokrasi di daerah. Birokrasi di daerah mengalami politisasi yang cukup parah semenjak otonomi daerah diberlakukan. Apalagi semenjak pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan secara langsung. Terdapat kecendrungan birokrasi dijadikan mesin politik. Hal ini tentu saja bisa berdampak buruk kepada reformasi birokrasi yang berkeinginan mendudukkan birokrasi pada tempatnya yang ideal, melayani masyarakat. Tulisan ini memilih tidak menyajikan perdebatan teoritis, tapi lebih mengetengahkan potret gamblang politisasi birokrasi secara empiris dalam pilkada Banten 2007.

Pilkada Langsung

Pilkada langsung adalah upaya membangun demokrasi di level lokal. Selama orde baru dan di awal reformasi kepala daerah dipilih oleh DPRD dan kemudian ditetapkan oleh Pemerintah di atasnya.

Proses seperti ini pada prakteknya membuat pemilihan kepala daerah menjadi tidak demokratis. Intervensi pusat kedalam proses pilkada acapkali terjadi. Kasus terakhir yang menonjol nadalah pembatalan penetapan Alzier sebagai Gubernur Provinsi oleh Megawati, padahal yang bersangkutan mendapatkan suara mayoritas di DPRD.

Pemilihan Kepala daerah dirancang untuk mengembalikan kedulatan rakyat. Rakyat bisa memilih langsung pemimpin yang dikehendakinya, tanpa harus mewakilkan kepada wakilnya di DPRD. 7 | B A N T E N E S i A

Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada Langsung) adalah pelaksanaan dari UU No. 32 tahun 2004 yang dioperasionalisasikan melalui PP No. 6 tahun 2005. Pilkada langsung merupakan upaya menjadikan pemimpin daerah dipilih langsung oleh masyarakat.

Sebelumnya, sesuai UU No. 5 1974 di era Soeharto dan UU No. 22 tahun

1999 di awal era reformasi, pemilihan dilakukan oleh DPRD.

Menurut Departemen Dalam Negeri (2005), ada beberapa alasan mengapa pilkada langsung harus dilaksanakan, antara lain:

1. Pasal 6 A UUD 1945 presiden dan wapres dipilih langsung oleh

rakyat

2. Pasal 18 UUD 1945 Gubernur, Bupati, Walikota dipilih secara

Demokratis

3. Kepala Desa Dipilih Langsung Rakyat

4. Money Politics Lebih sulit dilakukan

5. Hubungan Checks and Balances Lebih Baik

6. Konstruksi Pemda sudah tidak Kondusif lagi untuk

menghadapi realitas persaingan

7. Kesamaan sistem dengan di Pusat

8. Lebih akuntabel, kepada rakyat

9. Stabilitas politik yang lebih kuat

Untuk mengikuti pilkada, seorang calon harus mendapatkan dukungan partai politik atau gabungan partai politik. Dalam pasal 59

UU No. 32 tahun 2004 dikatakan bahwa hanya partai politik atau

8 | B A N T E N E S i A gabungan partai politik yang mendapatkan sekurang-kurangnya 15%

(lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan yang boleh mengajukan calon kepala daerah. Sejak tahun 2008, calon perseorangan diperbolehkan mengikuti pencalonan sebagai Kepala Daerah dengan syarat dukungan dengan jumlah tertentu. Namun apakah pilkada langsung serta merta membawa kebaikan bagi semua pihak?

Bagaimana dengan pengaruhnya terhadap birokrasi di daerah?

Pilkada dan Politisasi Birokrasi

Memenangi pilkada hanya butuh satu hal, yaitu dukungan mayoritas pemilih. Partai politik sebagai kendaraan wajib dalam

Pilkada langsung seharusnya tampil sebagai mesin politik utama.

Namun, birokrasi – terutama bagi incumbent – adalah senjata yang amat tangguh.

Dengan sisem yang hierarkis dan jangkauan sampai ke pelosok dan tentu saja sumber daya yang berlimpah, siapapun yang menguasai birokrasi memiliki potensi besar memenangi pilkada langsung. Apalagi birokrasi masih sering dianggap dan menganggap dirinya di atas masyarakat.

Mengamati pilkada di berbagai tempat di Indonesia, ada beberapa bentuk politisasi birokrasi:

1. Dukungan Bagi Incumbent 9 | B A N T E N E S i A

Menjelang pilkada, biasanya muncul berbagai bentuk dukungan bagi incumbent. Di Depok, salah satu pola yang dilakukan adalah pola kedekatan personal dan getok – tular. Seorang PNS yang menjadi tim sukses akan mengajak jaringan pertemanannya menjadi tim sukses juga.

Namun hal ni bersifat tidak memaksa. Bisa dikatakan terdapat kubu- kubu dukungan di tubuh birokrasi Kota Depok dalam menghadapi

Pilkada. Pejabat di level atas seperti di level Kepala Dinas sampai Camat dan Lurah memiliki kecenderungan mendukung Badrul kamal.

Sedangkan PNS di level bawah terbelah antara mendukung Yuyun dan

Yus.4

Munculnya dukungan dari kalangan PNS ini bukan karena mobilisasi dari atasan, namun lebih karena ‚kesadaran‛ untuk mempertahankan jabatan dan meningkatkan karir. Karena itu banyak

PNS yang datang menghadap kepada kandidat untuk menyatakan dukungan dan berharap diperhatikan karirnya jika si kandidat memenangkan pilkada. Seorang pejabat di level kepala dinas bahkan mengeluarkan dana pribadi seratusan juta rupiah dalam bentuk logistic kampanye untuk keperluan pemenangan seorang kandidat5.

Hal ini diakui oleh seorang PNS di Kota Depok

Netralitas itu setipis kulit bawang. Gampang diucapkan, tapi sulit untuk dilaksanakan. PNS serba salah, netral salah, berpihak juga salah. Jika berpihak juga seperti berjudi, untung kalau yang didukung menang, kalau kalah, ya apes namanya6.

4 Wawancara konfidensial dengan dua orang PNS di Kota Depok. 5 Amri Yusra 6 Wawancara Konfidensial dengan seoran PNS di Kota Depok 10 | B A N T E N E S i A

PNS lain yang mengaku bersikap netral justru malah menyesal karena tidak berpihak dalam Pilkada tahun 2005. Karirnya macet dan ia menyaksikan bahwa birokrat yang pandai berpolitiklah yang karirnya melaju. Padahal ia memiliki prestasi menonjol yang mengharumkan nama Depok di tingkat Provinsi. Sikap frustasinya ditunjukkan dengan mengajukan pindah ke daerah lain.7

Kasus yang cukup menonjol adalah sinyalemen keberpihakan

Camat Sukmajaya terhadap kandidat Incumbent. Camat Sukmajaya mengadakan kegiatan gerak jalan pada tanggal 22 Mei 2005. Kegiatan ini diikuti oleh Badrul Kamal dan dianggap sebagai kegiatan kampanye terselubung oleh lawan-lawan politiknya. Diungkapkan juga bahwa berbagai terdapat kegiatan pengarahan oleh Camat kepada RT/RW untuk mendukung kandidat tertentu. 8

Dalam pelaksanaan kampanye, keberpihakan salah satu lurah juga disinyalir terjadi. Kampanye pasangan Nur Mahmudi – Yuyun

Wirasaputra misalnya tak mendapatkan izin untuk dilakukan di lapangan utama depan Kelurahan Pondok Petir. Hal ini dikarenakan

Lurah Pondok Petir, Anshari tak memberikan izin untuk menggunakan lapangan tersebut. Padahal, sehari-hari lapangan itu biasa digunakan untuk berbagai kegiatan, seperti pertunjukkan pasar malam atau upacara hari besar nasioal di lingkungan Pondok Petir. Lurah Anshari diketahui luas warga pondok petir sebagai ‚tim sukses‛ Badrul Kamal.

7 Wawancara Konfidensial dengan seoran mantan PNS di Kota Depok 8 Birokrat Tidak Netral, Pikiran Rakyat, 27 Mei 2005 11 | B A N T E N E S i A

Akhirnya lokasi kampanye dipindahkan ke lahan kosong yang direncanakan dibangun kompleks perumahan.9

Puncak persoalan politisasi birokrasi adalah ketika, para Lurah menyatakan dukungannya terhadap Keputusan Pengadilan Tinggi Jawa

Barat yang memenangkan Badrul Kamal, calon Incumbent dalam pemilihan Walikota Depok dan menolak keputusan Mahkamah Agung yang menganulir putusan tersebut. Sikap dukung mendukung ini memang muncul paska pilkada dalam konteks perselisihan hasil pemilu.

Hal ini memancing polemik dan protes keras dari masyarakat sebab

Lurah berstatus pegawai negeri sipil yang tidak boleh berpolitik. Kasus

Depok menjadi menarik karena pemenang pilkada ternyata bukan

Badrul Kamal, melainkan Nur Mahmudi Ismail10.

Seorang Lurah lain bahkan menyampaikan bahwa Camat terlibat dalam persoalan ini. Ia merasa dikorbankan oleh Camat selaku atasannya. Mukri Sudana, Lurah Rangkapan jaya Baru menyampaikan.

Saya disuruh Camat datang ke Rumah makan (RM) Tirta Rasa Sawangan untuk menemui Zaenudin [lurah Mampang]. Terus terang saya ditelepon tiga kali yang meminta saya menemui Zaenudin di RM Tirta Rasa. Sesampainya di sana, selain Zaenudin sudah ada Lurah Tugu yakni Tb Asnawi dan Jamhurobi [lurah Sawangan Baru]. Saya hanya 20 menit di RM itu. Saya memang tanda tangan daftar hadir tapi saya tidak tahu apaapa kecuali hanya disuruh Pak Camat ke sana. Saat itu saya tanda tangan saja, apalagi

9 Sumarno, Drama Politik Pilkada Depok. Badrul Kamal Menggugat, Nurmahmudi Menjawab. Depok: Harakatuna Publishing, 2006. p.29. 10 Baca Iberamsjah dan Abdul Hamid, Pilkada Kota Depok, (Depok, Humas Pemerintah Kota Depok: 2006) 12 | B A N T E N E S i A

di lembaran kosong itu sudah ada tanda tangan Ali Amin [lurah Cipayungjaya] dan Mulyadi dari Ratujaya. Saya juga bertanya kok camat nggak ada tanda tangannya. Zaenudin bilang camat tanda tangannya di kelompok instansi dan dinas-dinas. Yang jelas saya merasa ditipu sama Pak Camat. Saya ingin berhadapan langsung dengan camat. Saya kecewa karena sebagai pemimpin ternyata mengorbankan anak buah. Saya nggak senang dengan pernyataan camat yang bersumpah tidak memprovokasi lurah, seperti diberitakan Monde. Munafik itu orang. Saya minta camat segera mengklarifikasi karena camat yang perintahkan para lurah. Saksinya banyak.11

Pernyataan terbuka dukung mendukung seperti yang dilakukan lurah tersebut tentu saja menimbulkan beberapa masalah. Pertama, pelanggaran terhadap netralitas sebagai PNS. Kedua, mempengaruhu kualitas pelayanan publik, sulit untuk menghindari terjadinya dskiriminasi pelayanan publik berdasarkan peta dukungan. Ketiga, mempengaruhi hubungan kolegial lurah dengan PNS lain, hal ini bisa memicu ketegangan, konflik atau bahkan tekanan kepada bawahan sang lurah. Keempat, mempengaruhi pola hubungan lurah dengan atasan, apalagi jika kemudian yang terjadi adalah pihak yang didukung kalah, akan terjadi ketidakharmonisan hubungan dengan kepala daerah terpilih. Kelima, ini yang paling berbahaya, pernyataan dukungan bisa menjadi awal mobilisasi sumber daya yang dimiliki negara untuk kepentingan pemenangan kandidat yang didukung.

2. Mobilisasi Sumber Daya Negara/ Daerah untuk Incumbent

11 Warma Periksa Lurah 2 Jam, Monitor Depok, 4 Januari 2006 13 | B A N T E N E S i A

Mobilisasi sumber daya yang paling lunak adalah pemasangan spanduk bergambarkan calon – biasanya incumbent—di sudut-sudut kota dan iklan di media massa. Spanduk dan iklan berisi bermacam- macam pesan, mulai dari selamat idul fitri, selamat HUT RI, uraian keberhasilan pembangunan sampai seruan anti narkoba. Tidak masalah jika sang kandidat menggunakan uang pribadi. Tapi merupakan masalah besar jika uang yang dipakai adalah uang APBD.

Dalam kasus pilkada Banten, Incumbent memiliki seorang tim sukses yang mengoordinasi kalangan birokrasi untuk memberikan kontribusi, ia dikenal sebagai ASDA IV atau ASDA swasta12. Lebih spesifik sang ASDA IV melakukan intervensi di Biro Humas. Menurut

Bambang Santosa, Kabag Dokumentasi Biro Humas Pemprov Banten membenarkan design iklan untuk media cetak bukan murni dari Biro

Humas. Bambang Santoso mengatakan, ‛itu dari Pak Asda IV. Kami tidak bisa mengelak. Ibu kan Plt Gubernur Banten‛. Hal sama terjadi pada iklan kerja sama di 3 media cetak di Banten. Kerja sama itu mengekploitasi

Atut Chosiyah sebagai Plt Gubernur Banten. Pemanfaatan jaringan birokrasi oleh LBB13 melalui Asda IV dilihat dari anggaran Biro Humas

Pemprov Banten tiba-tiba membengkak dari Rp 1,3 miliar yang diajukan menjadi lebih Rp 2 miliar.

Sebagian besar anggaran itu untuk sosialisasi. "Semuanya didrop dari atas, bukan inisiatif dari biro itu sendiri," kata pejabat di Pemprov

12 Sebutan ini dikenal luas di kalangan birokrat dan pengusaha. Sebetulnya ASDA (Asisten Daerah) di lingkungan Pemprov Banten hanya ada III, Asda I 13 Lembaga Banten Bersatu, salah satu Think thank tim sukses Atut 14 | B A N T E N E S i A

Banten. Hal sama terjadi pada Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra) dan

Biro Perekonomian yang membengkak 250 persen dari anggaran yang diajukan. Sebagian besar anggaran itu untuk bantuan dan kegiatan sosial yang bersifat pengumpulan massa. Pemasangan spanduk, bilboard, iklan di media cetak dan elektronik justru tidak berurusan dengan pejabat di lingkungan Pemprov Banten. Padahal semuanya menggunakan logo dan mengatasnamakan Pemprov Banten.

Contohnya, spanduk Banten Gerbang Investasi yang marak di Cilegon, ucapan hari raya dan sebagainya.14

Spanduk lain berusaha memunculkan image Rt. Atut Chosiyah digambarkan sebagai ibu yang peduli AIDS, peduli Kesehatan anak melalui kampanye PIN (Pekan Imunisasi Nasional) dan Banten Sehat

2010, Perempuan relijius dengan mengucapkan selamat perayaan hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, Natal, Haji dan Kurban, digambarkan pula sebagai pendukung kegiatan-kegiatan pemuda dan pelajar seperti festival Rock se-Banten.

Pola yang lain adalah dengan memobilisasi sumber dana untuk kegiatan ‛sinterklas‛ incumbent atau bagi-bagi bantuan untuk masyarakat maupun LSM. Menjelang pilkada, dalam APBD Perubahan

2006, terdapat penambahan anggaran Biro Kesejahteraan Rakyat (Biro

Kesra) Rp 5,7 miliar untuk ormas dan profesi dengan alasan untuk memenuhi 5.800 proposal dari masyarakat yang masuk ke Pemprov

14 Banten Link, 27 Februari 2006

15 | B A N T E N E S i A

Banten. Dalih ini menggamangkan masyarakat yang telah rela uangnya dipotong pajak dan retribusi untuk dikumpulkan menjadi anggaran pemerintah. Sebab sebelumnya, Biro Kesra memperoleh alokasi anggaran Rp 64,5 miliar, di antaranya Rp 62,5 miliar untuk bantuan organisasi kemasyarakatan dan profesi. Dengan dalih ini, tersirat dana di Biro Kesra telah habis dibagi-bagikan.

Sementara, justru untuk kegiatan yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan masyarakat justru dikurangi. Dalam nota disebutkan, anggaran beberapa kegiatan yang menyentuh langsung masyarakat dipangkas. Salah satunya, anggaran program peningkatan kesejahteraan pangan dan gizi dipangkas Rp 3,2 miliar, dari Rp 13 miliar menjadi Rp 9,8 miliar.

Demikian juga anggaran pembinaan dan pengembangan usaha bidang kelautan dan perikanan dipangkas dari Rp 2 miliar menjadi Rp 1 miliar. Anggaran penanganan masalah kemiskinan juga dipangkas dari

Rp 3 miliar menjadi Rp 2 miliar, serta anggaran pendidikan dari sekitar

Rp 75 miliar menjadi Rp 72 miliar. Pemangkasan terbesar pada anggaran pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan, dari Rp

9,7 miliar menjadi Rp 1,3 miliar15.

Di lapangan, berbagai kegiatan instansi pemerintah dibuat untuk melambungkan popularitas Incumbent. Modusnya berupa pelibatan terjadi secara halus dalam bentuk kegiatan ‛Sinterklas‛. Dinas X misalnya membuat kegiatan safari pembangunan dengan kunjungan ke

15 Kompas, 13 Juni 2006 16 | B A N T E N E S i A beberapa lokasi yang dipetakan. Di lokasi Incumbent melakukan pemberian bantuan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Dana kegiatan tidak hanya diperoleh dari Dinas X tapi urunan dengan instansi lain, setiap instansi menyumbang sekitar 10-25 juta rupiah.

Total uang yang dikeluarkan Dinas X hanya sekitar 150 juta rupiah.

Tapi karena dilakukan urunan dengan instansi lain, maka hasilnya menjadi cukup signifikan. Menariknya, di desa-desa lokasi Safari

Pembangunan diklaim angka kemenagan mencapai 100% (seratus persen), ‛semua desa terpantau‛.16

Dalam Pilkada Kabupaten Tangerang tahun 2007, tercatat beberapa kasus pemanfaatan fasilitas birokrasi, mulai dari pembagian kompor gas dan minyak tanah yang diikuti kampanye incumbent, ancaman penarikan tanah kuburan jika tak mendukung incumbent sampai lomba ranking kemenangan incumbent di setiap TPS yang disponsori Lurah Pamulang Timur Kabupaten Tangerang17.

3. Trend Rolling dan Mutasi Pra Pilkada

Hasil penelitian Hamid (2006) menemukan kasus yang cukup menarik jelang pilkada Banten. Pada tahun 2005, ketika Atut menjadi

Plt Gubernur menggantikan Djoko yang diberhentikan Presiden karena tersandung korupsi, hal utama yang dilakukan adalah mengganti sekretaris daerah dari Chaeron Muchsin ke Hilman Nitiamidjaja dan

16 Wawancara konfidensial dengan Mr.X, pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten pada tanggal 10 Januari 2007 17Hasil penelitian mendalam bisa dibaca dalam Aditya Perdana (dkk), Politisasi Birokrasi Dalam Pilkada: Studi Kasus Kota Depok Dan Kabupaten Tangerang, Laporan Penelitan Strategis Nasional UI Tahun 2009 17 | B A N T E N E S i A mencopot 12 pejabat eselon 2 di lingkungan pemerintah Provinsi

Banten. Pergantian yang dilaksanakan menjelang Pilgub langsung menimbulkan banyak praduga bahwa itu adalah upaya Atut membersihkan loyalis Djoko dan menjamin mesin birokrasi berpihak padanya.

Persoalan ini sempat menjadi isu politik yang cukup kuat.

Duabelas pejabat yang diganti mengadu ke para politisi di DPRD.

Fraksi PKS bahkan membentuk tim investigasi untuk mengusut kasus ini yang hasil akhirnya merekomendasikan digunakannya hak interpelasi anggota DPRD.

Hak interpelasi kemudian diusulkan oleh 18 anggota DPRD.

Namun satu orang, Zainal Abidin Suja’i mencabut secara resmi usulannya sehingga tinggal 17 orang. Tapi kemudian upaya itu kandas.

Pasalnya dari 59 anggota dewan yang hadir dalam rapat paripurna penyampaian hak interpelasi sebanyak 44 anggota menolak interpelasi di lanjutkan dan hanya 15 anggota dewan yang setuju interpelasi diteruskan.18

DPRD Banten memang mempertanyakan hal ini kepada Menpan.

Menpan baru memberikan jawaban tertulis pada tanggal 12 Maret 2007 dengan nomor B/589/M.PAN/3/2007 lalu, Intinya, pedoman pembentukan satuan kerja di lingkungan pemerin-tah daerah harus tetap mengacu pada PP No 8/2003 dan menganggap pembentukan Staf

18 Interpelasi Gagal Dilakukan, www.dprdbanten.net diakses 20 Oktober 2006 18 | B A N T E N E S i A

Khusus Sekda di Provinsi Banten tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada19.

Sampai Bulan Maret 2007, jumlah pejabat Staf Khusus Sekda

Banten seluruhnya sebanyak 14 pejabat mereka adalah para pejabat eselon II. Para pejabat ini sebagai sudah ada yang pensiun dan juga kembali diangkat menjadi pejabat struktural dan sisanya masih menjadi pejabat Staf Khusus

Nama-nama Pejabat Staf Khusus Sekda Pemprov Banten:

1. Edi Supadiono, dari Kabupaten Lebak, saat itu menjabat sebagai

Kepala Dinas PU Lebak kemudian menjadi Staf Khusus Sekda.

2. Mudjio, tadinya sebagai Wakil Bupati Kabupaten Pandeglang

kemudian menjadi Staf Khsus Sekda yang ditugaskan di Bapedda

Provinsi Banten, serta menjadi penasehat kebijakan internal di biro-

biro Pemprov Banten.

3. Ritongga, tadinya sebagai Kepala Bawasda Banten, kemudian masih

menjadi Staf Khusus Sekda.

4. Sartono, tadinya Kepala Dinas Peridustrian, Perdagangan dan

Koperasi, kemudian menjadi staf khsus Sekda yang ditugaskan

Badan Koordinasi Penanaman Modal daerah (BKPMD) Preovinsi

Banten.

19 Atut Janji Segera Bubarkan Staf Khusus Sekda, www.bantenlink.com, 20 April 2007 19 | B A N T E N E S i A

5. Saefudin, tadinya menjabat sebagai Kepala Biro Organisasi,

kemudian menjadi Staf Khsus Sekda.

6. Rochimin Sasmita, tadinya sebagai kepala Dispenda Provinsi Banten,

setelah 2 tahun menjadi Staf Khusus Sekda, sekarang pensiun.

7. Dindin Safrudin, tadinya Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

Banten, kemudian masih menjabat sebgaia Staf Khusus Sekda.

8. Bambang Iswaji, tadinya sebagai Kepala Badan Pendidikan dan

Pelatihan Banten, setelah satu tahun setengah menjadi Staf Khusus

Sekda kemudian menjabat eselon II di STPDN.

9. Syamsul Arief, tadinya sebagai Kepala Biro Hukum, kemudian

menjabat Staf Khusus Sekda.

10. Muhamad Arslan, tadinya sebagai Kepala Biro Ekonomi setelah

menjadi Staf Khusus Sekda selama satu tahun setengah, kemudian

menjabat sebagai kepala Dinas PU Kabupaten Serang.

11. Nandi Mulya, tadinya sebagai Kepala Biro Umum Banten, kemudian

menjadi Staf Khusus Sekda yang ditugaskan di Dispenda Banten.

12. Ubaidillah, tadinya kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Banten ,

kemudian menjadi Staf Khusus Sekda.

13. Boy Tenjuri, tadinya Kepala Biro Administrasi Pembangunan,

kemudian menjadi Staf Khusus Sekda.

14. Heri Suhaeri, tadinya Kepala Biro Keuangan Banten, kemudian

menjadi Staf Khusus Sekda.

20 | B A N T E N E S i A

15. Adang Kosasih, tadinya kela Biro Administrasi Pembangunan

Banten, kemudian menajdi Staf Khusus Sekda selama 2 bulan,

sekarang pensiun.

16. Harmin Lanjumin, tadinya Kepala Bapeda Banten, setelah menjadi

Staf Khusus Sekda selama 2 bulan, dan pada akhir bulan Februari,

Harmin Lanjumin meninggal dunia.

4. Trend Rolling dan Mutasi Paska Pilkada

Pilkada langsung tampaknya menjadi ajang uji loyalitas bagi birokrat, sejauh mana mereka memiliki loyalitas terhadap sang incumbent yang memang muncul menjadi pemenang. Hal ini terlihat dari mutasi paska pilkada yang mengagetkan banyak pihak. Salah satunya adalah, seorang camat di Kabupaten Pandeglang, tiba-tiba saja melompat menjadi Kepala Biro Umum dan Perlengkapan di Provinsi

Banten. Diduga, sang camat sukses menjadi tim sukses Gubernur dalam pilkada. Padahal secara eselon, Camat hanya eselon IIIB, sedangkan

Kepala Biro di tingkat Provinsi adalah eselon IIB.

Beberapa lama kemudian diadakan juga mutasi untuk pejabat eselon III. Banyak pejabat eselon III yang bolak-balik dari jabatan sebelumnya. Contohnya, Bambang Santoso yang sebelumnya menjabat

Kabag Dokumentasi Biro Humas dipindahkan ke Biro Promosi Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata. Mutasi kali ini Bambang Santoso balik lagi ke Kabag Dokumentasi Biro Humas.

21 | B A N T E N E S i A

Hal serupa Erik Syahabudin dari Kabag di BPM dipindahkan jadi

Kabag Dikmenti Dinas Pendidikan Banten. Dia balik lagi ke BPM.

Contoh lainnya, Ajak Muslim dari Dinas Pendidikan ke BPM, balik lagi ke Dinas Pendidikan Banten. Dari 104 pejabat eselon III tersebut, hampir

50 persen mengalami nasib serupa20.

Hal serupa terjadi di Depok. Sekitar 139 pegawai negeri sipil (PNS) di pemerintahan kota Depok dimutasi oleh Wali Kota Depok

Nurmahmudi Ismail. Namun, mutasi eselon empat dan tiga ini tidak berdasarkan pertimbangan Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat

(Baperjakat). Ketua Badan Pertimbangan yang juga Sekertaris Daerah

Winwin Winantika mengatakan, mutasi dilakukan sepenuhnya oleh

Wali Kota Depok tanpa melalui pertimbangan dirinya sebagai Ketua

Baperjakat. Seharusnya, dalam mutasi PNS apalagi untuk eselon empat dan tiga, seharusnya Baperjakat dilibatkan. Badan ini akan mempertimbangkan pangkat dan jabatan PNS dalam satu bagian tersebut. Baik pangkat dan jabatan yang rendah atau tinggi. 21

Akibat dari politisasi birokrasi adalah munculnya fenomena pembelahan di tubuh birokrasi. Pembelahan di tubuh birokrasi didasarkan pada afiliasi politik yang berbeda-beda di tubuh birokrasi, terutama jika kedua incumbent (Kepala Daerah dan wakil kepala

Daerah) maju secara bersamaan. Hal ini secara mencolok bisa kita saksikan dalam kasus Pilkada Selatan. Birokrasi terbelah,

20 Lagi, Mutasi Pejabat Eselon III Diwarnai Kepentingan Politik Dan Kelompok, www.bantenlink.com, 3 Maret 2007 21 139 Pegawai di Depok Dimutasi, Koran Tempo, Jum'at, 29 Desember 2006 22 | B A N T E N E S i A sebagian mendukung Amin Syam (Mantan Gubernur) dan sebagian mendukung Syahrul Yasin Limpo (Mantan Wakil Gubernur).

Pembelahan ini mencoreng wajah birokrasi dan melukai profesionalisme mereka. Apalagi sikap dukung mendukung ditunjukkan dalam berbagai aksi demonstrasi dan mogok kerja.

Kesimpulan

Pada akhirnya bersikap netral bukan pilihan yang tepat walaupun benar dalam perspektif keselamatan karir seorang birokrat. Sementara berpihakpun seperti berjudi. Jika calon yang didukung menang karir bisa meroket, jika kalah besar kemungkinan non job atau masuk kotak.

Apa yang terjadi di lapangan betul-betul menjungkirbalikkan bagaimana seharusnya birokrasi yang ideal. Setiap pejabat seharusnya diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya melalui ujian yang kompetitif. Harusnya terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang obyektif. Namun yang terjadi adalah hubungan patron-client yang semakin menguat. Promosi karir bukan karena kompetensi, tapi lebih karena jalinan hubungan politik dan kesediaan memberikan loyalitas personal. Merit system tak berjalan, seorang pejabat bisa terhenti kariernya seketika jika dianggap tak mampu berjalan di jalur politik sang patron.

Birokrasi lokal terancam menjadi kerajaan dimana hubungan yang terjadi adalah hubungan antara Raja dan abdi dalem atau priyayi. 23 | B A N T E N E S i A

Konsep abdi dalem jelas bukan konsep birokrasi modern, karena abdi dalem mengabdi kepada Raja dan bukan kepada masyarakat. Birokrasi kembali terjerembab kedalam keterpaksaan untuk masuk kedalam wilayah politik. Yang paling dirugikan adalah masyarakat. Mereka terpaksa mendapatkan pelayanan tidak maksimal atau bahkan dialihkan haknya untuk aktivitas politik sang calon. Pilkada langsung menjadi ancaman bagi reformasi birokrasi ketika kandidat memaksakan dukungan dari kalangan birokrat. Lagi-lagi sejarah berulang, birokrasi tersandera politik, hanya formatnya saja yang berbeda.

Daftar Pustaka:

Aditya Perdana (dkk), Politisasi Birokrasi Dalam Pilkada: Studi Kasus Kota Depok Dan Kabupaten Tangerang, Laporan Penelitan Strategis Nasional UI Tahun 2009

Hok Ham, Ong. Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong, Refleksi Historis Nusantara. (Jakarta, Kompas, 2002)

Hamid, Abdul. Pilkada Gubernur Banten, Regenerasi Sebuah hegemoni dan Kuburan Jago-jago Tua. 2007. Report Research Banten Institute and Center for Southeast Asian Studies Kyoto University

Iberamsjah dan Abdul Hamid, Pilkada Kota Depok, (Depok, Humas Pemerintah Kota Depok: 2006)

Sumarno, Drama Politik Pilkada Depok. Badrul Kamal Menggugat, Nurmahmudi Menjawab. (Depok, Harakatuna Publishing: 2006)

Thoha, Miftah. Birokrasi dan Politik di Indonesia, (Jakarta,PT. raja Grafindo Perkasa: 2003)

24 | B A N T E N E S i A

Irsyam, Mahrus. Reformasi Birokrasi, dari Politik ke Profesional, Republika, Rabu, 14 Maret 2001

Bahan Sosialisasi Pilkada Langsung 2005, Departemen Dalam Negeri www.bantenlink.com www.radarbanten.com www.dprdbanten.net

Koran Pikiran Rakyat

Koran Radar Banten

Koran Monitor Depok

25 | B A N T E N E S i A

26 | B A N T E N E S i A

WAJAH PEMULUNG DI PROVINSI BANTEN Studi Kasus di TPS Desa Cilowong

oleh : Agus Sjafari

Pendahuluan

Masyarakat sebagai sebuah sistem sosial ternyata memiliki unsur- unsur yang berbeda jenis, berbeda fungsi, berbeda peran dan banyak lagi perbedaan lainnya. Sebagai sebuah sistem, perbedaan diantara unsur-unsur tersebut memiliki keterkaitan, memiliki hubungan, yang akhirnya menciptakan sebuah satu kesatuan yang terintegrasi.

Secara lebih spesifik bahwa dalam masyarakat terdapat berbagai jenis fungsi dan peran yang dimainkan dan dimiliki oleh anggota masyarakat, antara lain : peran sebagai dosen, pegawai negeri sipil, pengusaha, pengamen, pekerja sek komersial sampai dengan pekerja sebagai pemulung sampah.

Jenis pekerjaan yang terakhir di atas oleh sebagian kalangan dianggap sebagai pekerjaan yang menjijikkan dan kotor. Hal tersebut

27 | B A N T E N E S i A dikarenakan mulai dari performance dan lingkungan kerjanya di tempat yang sangat kotor. Bayangkan saja bahwa lingkungan tempat kerja para pemulung adalah lingkungan yang sarat dengan barang bekas seperti halnya botol-botol bekas, mainan bekas, plastik bekas, kayu bekas, kerta serta apa saja yang identik dengan kategori ‚bekas‛.

Meskipun demikian, sejelek apapun atatus yang melekat pada diri seorang pemulung, pada dasarnya jenis pekerjaan tersebut ternyata sangat membantu masyarakat dilihat dari konteks sistem sosial.

Ternyata dengan berperannya seorang pemulung, segala bentuk kotoran dan barang bekas rumah tangga dan pabrik-pabrik dapat dimanfaatkan kembali. Karena dengan peran pemulung tersebut proses daur ulang dapat berjalan. Tanpa adanya peran pumulung tersebut maka segala bentuk kotoran dari barang-barang bekas tersebut akan mengotori rumah tangga, kompleks-kompleks perumahan dan tidak dapat dimanfaatkan kembali. Artinya teori tentang sistem sosial yang mengatakan bahwa unsur-unsur dalam masyarakat tersebut memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya ternyata terbukti melalui contoh dari peran pemulung tersebut. Tanpa ada peran pemulung tersebut, maka akan mengganggu terhadap kesatuan masyarakat tersebut.

Salah satu yang sangat menarik dari peran pemulung tersebut adalah bahwa pemulung pada dasarnya merupakan sebuah kelompok informal yang didalamnya para anggotanya terdiri dari para pemulung

28 | B A N T E N E S i A tersebut. Adanya keterkaitan senasib dan sepenanggungan sebagai pekerja dalam bidang yang sama, kemudian diantara mereka membentuk kelompok-kelompok tersendiri. Di sisi lain yang mendukung terciptanya kelompok-kelompok pemulung tersebut, dikarenakan eksistensi manusia sebagai mahluk sosial.

Pemulung sebagai mahluk sosial, juga tidak bisa dilepaskan dari orang-orang lain, khususnya teman – teman sejawat sebagai pemulung.

Mereka pada dasarnya tidak bisa hidup sendiri-sendiri terlepas dari orang lain. Segala kebutuhan yang mereka ingin dapat terpenuhi melalui kerja sama dan interaksi dengan orang. Sebagai kelompok informal, tentunya di dalamnya juga berlangsung adanya dinamika kelompok. Artinya bahwa dalam kelompok tersebut berlaku beberapa ciri atau karakteristik dari dinamika kelompok. Meskipun beberapa karakteristik tersebut tidak seketat yang terjadi pada organisasi semi formal atau organisasi formal pada umumnya. Oleh karena itu sangatlah menarik untuk mengkaji kelompok informal pemulung tersebut dalam perspektif dinamika kelompok, guna engetahui lebih jauh tentang kelompok pemulung tersebut.

TPS Cilowong merupakan salah satu tempat pembuangan sampah terbesar untuk wilayah Provinsi Banten. Karena merupakan TPS terbesar itulah, kemudian menjadi daya tarik bagi para pemulung untuk mengais mata pencahariannya melalui sampah tersebut. TPS tersebut merupakan sumber penghidupan bagi para pemulung untuk menafkahi

29 | B A N T E N E S i A keluarganya. Sebagian besar dari mereka dengan dengan rela untuk berkotor-kotoran dan mengais rejeki melalui barang-barang bekas tersebut, kemudia masih berjuang untuk dapat mendapatkan hasil pencariannya agar dapat dijual kepada pengepul masing-masing.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh peneliti, sekitar 100-an pemulung yang menggantungkan hidupnya dengan tumpukan sampah tersebut. Artinya bahwa tumpukan sampah yang menggunung tersebut telah memberikan manfaat secara ekonomis kepada mereka. Hal yang sangat menarik untuk dianalisis adalah bahwa sebagaian besar dari mereka tetap hidup secara berkelompok, baik ketika mereka melakukan aktivitas kerjanya maupun di tempat tinggalnya, yang sebagian besar berstatus kontrakan.

Hal yang terpenting yang ingin di perdalam dalam penelitian ini adalah beberapa aspek yang terkait dengan pemulung dan keluarganya antara lain: kebutuhan bidang pendidikan, kondisi sosial budaya, kondisi ekonomi, kebutuhan fisik keluarga, dan peran organisasi eksternal dalam pemberdayaan pemulung dan keluarga. Melihat kehidupan mereka yang begitu unik tersebut, maka penulis sangat tertarik untuk mengkaji kehidupan kelompok informal para pemulung tersebut dari perspektif beberapa kebutuhan yang melekat pada diri pemulung dan keluarganya.

30 | B A N T E N E S i A

Memahami Kelompok

Manusia dilahirkan sebagai mahluk sosial (gregariousness) yang mengalami perkembangan dari dependen – independen – interdependen. Ketika lahir dan selama hidup manusia sangat membutuhkan orang lain. Berdasarkan alasan tersebut akhirnya manusia membentuk kelompok. Kelompok merupakan interaksi antar anggota yang tersetruktur. Yang dimaksud dengan tersetruktur adalah terpola, tertaur dan berkelanjutan. Selain itu terdapat aturan yang berlangsung (Margono Slamet, 2006).

Sedangkan menurut Dorwin Cartwright & Alvin Zander (1968) merupakan sekumpulan dari individu-individu yang melakukan hubungan yang terus menerus dengan individu yang lain. Jenis hubungan tersebut berwujud adanya kehendak, keinginan, ketergantungan antar anggota dan sebagainya.

Setiap kelompok selalu mempunyai pemimpin, yang bertugas menjaga keteraturan mencapai tujuan individu dan bersama supaya sejalan. Hakikat pemimpin adalah kemampuan mempengaruhi orang lain. Pemimpin pada dasarnya mampu meyakinkan orang lain Jadi kepemimpinan adalah sifat-sifat dan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin (Gannon : 1979).

Kelompok adalah dua atau lebih orang yang berhimpun atas dasar adanya kesamaan (tujuan, kebutuhan, minat, jenis) yang saling berinteraksi melalui pola/struktur tertentu guna mencapai tujuan

31 | B A N T E N E S i A bersama, dalam kurun waktu yang relatif panjang (Margono Slamet,

2006).

Lebih lanjut Margono Slamet (2006) menyatakan bahwa ciri-ciri kelompok tersebut antara lain:

1. Terdiri atas individu-individu, tidak harus selalu homogen, bisa

beragam, tetapi mempunyai kerjasama, tujuan, kebutuhan, dan minat

yang sama.

2. Saling ketergantungan antar individu. Ada kebutuhan yang dapat diisi

atau dipenuhiatas kehadiran individu yang lain.

3. Partisipasi terus menerus dari individu. Ketika partisipasi dirasakan

sebagai suatu kebutuhan, bukan keterpaksaaan, ini terjadi bila dia

berpartisipasi bermanfaat untuk orang lain, begitu juga sebaliknya

apabila orang lain berpartisipasi dan merasakan manfaatnya.

4. Mandiri, yang dimaksud adalah bagaimana kelompok mengatur dan

mengarahkan diri sendiri. Kalau kelompok mengatur diri berarti

mengatur untuk mencapai kebutuhan anggota dan menggerakkan

untuk kebutuhan itu. Agar kelompok efektif maka harus berorientasi

kedalam, bukan keluar.

5. Ciri selektif. Selektif dalam keanggotaan, tujuan, dan kegiatan.

6. Keragaman yang terbatas, homogenitas yang akan dicapai. Makin

homogen akan makin dinamis dan efektif.

32 | B A N T E N E S i A

Dinamika Kelompok

Dorwin Cartwright & Alvin Zander (1968) menyatakan bahwa “

Group dynamics is a field of inquiry dedicatd to advancing kenowledge about the nature of groups, the laws of their development, and their interrelations with individuals, other groups and larger institutions”.

Berdasarkan konsep di atas, pada dasarnya dinamika kelompok merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan tentang keadaan dari kelompok, perkembangan dari kelompok tersebut, hubungan individu dalam kelompok tersebut serta hubungan dengan kelompok lain dalam konteks yang lebih luas. Artinya bahwa dalam dinamika kelompok mengkaji semua aspek yang berkaitan dengan kelompok tersebut, baik aspek yang bersifat internal dalam kelompok maupun aspek eksternal dari kelompok tersebut, aspek individu dalam kelompok maupun aspek dari kelompok itu sendiri.

Lebih lanjut Dorwin Cartwright & Alvin Zander (1968 : 23) menyatakan bahwa terdapat beberapa asumsi dasar mengenai dinamika kelompok antara lain:

1. Bahwa keberadaan kelompok tidak bisa dihindari dan berada dimana-mana.

Artinya bahwa dalam komunitas manusia pasti akan membentuk

kelompok-kelompok baik kelompok dalam ukuran besar maupun

dalam ukuran kecil. Di sisi lain setiap manusia pasti akan

berhadapan dan berurusan dengan kelompok, karena kelompok

33 | B A N T E N E S i A

dapat mengatur setiap kebutuhan dan kepentingan dari setiap

individu;

2. Setiap kelompok akan mampu memobilisasi kekuatan yang mampu

memberikan efek yang sangat penting bagi setiap individu. Setiap individu

akan selalu mengidentifikasikan dengan kelompoknya, baik dalam

keluarganya, pekerjaannya, lingkungan sosial dan sebagainya.

Melalui kelompok, setiap individu akan meningkatkan kapasitas dan

kualitas individunya agar dapat berkembang menjadi lebih baik.

3. Setiap kelompok juga menciptakan sebuah konsekuensi yang baik maupun

yang jelek. Kompleksitas yang ada dalam setiap kelompok tentunya

memiliki konsekuensi terhadap hal-hal yang baik, tetapi di sisi lain

juga membawa konsekuensi yang jelek. Misalnya saja dalam

kelompok terdapat adanya interaksi, integrasi, konflik dan

sebagainya. Melalui kepemimpinan dan koordinasi yang baik,

kelompok tersebut mampu meminimalisasi hal-hal yang jelek dan

memaksimalkan hal-hal yang pisitif.

4. Melalui adanya pengertian yang baik dari dinamika kelompokmembawa

konsekuensi yang layak menjadikan kelompok tersebut menjadi lebih baik

(kondusif). Melalui pengertian tentang dinamika kelompok , setiap

kelompok memberikan pelayanan yang baik kepada anggotanya,

selain itu melalui pengetahuan juga akan mampu merubah perilaku

manusia bahkan lembaga-lembaga sosial. Artinya bahwa kelompok

34 | B A N T E N E S i A

memiliki kekuatan yang luar biasa untuk merubah perilaku individu

bahkan perilaku masyarakat (komunitas).

Perkembangan setiap kelompok yang dimulai dan didasari oleh beberapa asumsi di atas semakin menempatkan kelompok tersebut memiliki pengeruh yang besar terhadap setiap orang; memberikan pengaruh terhadap setiap individu serta kelompok itu sendiri bahkan terhadap masyarakat yang lebih luas.

Kelompok dibentuk untuk mempermudah anggota-anggota mencapai sebagian apa yang dibutuhkan dan/atau dinginkan. Dengan kesadaran semacam itu setiap anggota menginginkan dan akan berusaha agar kelompoknya dapat benar-benar efektif dalam menjalankan fungsinya, dengan meningkatkan mutu interaksi/kerjasamanya dalam memanfaatkan segala potensi yang ada pada anggota dan lingkungannya untuk mencapai tujuan kelompok.

Dinamika kelompok adalah suatau keadaan dimana suatu kelompok dapat menguraikan, mengenali kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam situasi kelompok yang dapat membuka perilaku kelompok dan anggota-anggotanya. Dinamika kelompok merupakan tingkat kegiatan dan tingkat keefektifan kelompok dalam rangka mencapai tujuannya (Slamet, 2006).

Lebih Lanjut Margono Slamet (2006) menyatakan bahwa dalam psikologi sosial ada disebutkan kelompok mempunyai perilaku, demikian juga anggotanya yang dipengaruhi oleh 9 faktor/unsur. Faktor

35 | B A N T E N E S i A ini berfungsi sebagai sumber energi bagi kelompok yang bersangkutan.

Adanya keyakinan yang sama akan menghasilkan kelompok yang dinamis.

Dari beberapa konsep tentang kelompok di atas menunjukkan bahwa pemulung di TPS Cilowong merupakan sebuah kelompok yang memiliki ciri – ciri dan karakteristik kelompok, meskipun belum secara ideal mampu menerapkan ciri – ciri sebagai kelompok yang terorganisir secara baik

Analisis Kebutuhan

Sebagai bagian dari entitas sosial, pemulung di TPS Cilowong tidak terlepas dari beberapa kebutuhan dasar yang melekat pada dirinya.

Kebutuhan dasar tersebut antara lain: kebutuhan fisik dan non fisik keluarga, kebutuhan ekonomi keluarga, kebutuhan pendidikan keluarga, kebutuhan sosial, serta kebutuhan yang berhubungan dengan peran lembaga eksternal yang mampu melakukan intervensi dalam memperbaiki taraf hidup keluarganya. Sebagai penjelasannya dapat dilihat dari uraian selanjutnya.

Kebutuhan Fisik Keluarga Pemulung

Gambaran secara umum mengenai kebutuhan fisik keluarga pemulung ternyata menggambarkan kondisi fisik keluarga yang tidak menkhawatirkan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi fisik rumah dan lingkungan fisik di sekitar rumah keluarga pemulung.

36 | B A N T E N E S i A

Keluarga pemulung di TPS Cilowong seperti halnya dengan keluarga lainnya membutuhkan rumah yang nyaman untuk bernaung.

Sebagian besar rumah – rumah keluarga pemulung sudah dapat dikatakan permanen, dengan perincian antara lain memiliki tembok batu bata, lantai sudah disemen dan belum dikramik, meskipun rumah tersebut belum dikategorikan sebagai rumah yang bagus. Salah satu kekurangan sebagai rumah yang sehat adalah bahwa sebagian besar rumah keluarga pemulung belum memiliki dapur yang bersih dan sarana MCK yang sesuai dengan standar kesehatan.

Meskipun konstruksi rumah sudah permanen, namun untuk bagian dapur sebagian besar rumah keluarga pemulung masih beralaskan tanah dan untuk memasak masih menggunakan tungku. Dapur bagi keluarga pemulung dipersepsikan sebagai pelengkap dalam keluarga, bagi mereka rumah hanya tempat berteduh dan tidur. Adapun alasan menggunakan tungku dan kayu bakar dibandingkan dengan memasak menggunakan kompor minyak tanah ataupun kompor gas adalah sudah terbiasa, serta secara ekonomi lebih efisien. Mereka juga mudah untuk memperoleh kayu bakar. Khusus terkait dengan kondisi fisik di sekitar rumah seperti jalan, sumber air bersih, dan sarana kesehatan dapat dijelaskan lebih lanjut.

Akses jalan raya ke Desa Cilowong tergolong sangat bagus dan sangat mudah. Hal tersebut dikarenakan kondisi jalan yang sudah bagus dan tersedianya angkutan kota yang beroperasi hingga malam

37 | B A N T E N E S i A hari. Letak TPS Cilowong sendiri bertempat di pinggir jalan raya. Untuk jalan desa, khususnya di sekitar TPS Cilowong sudah cukup baik, hal ini terlihat secara fisik sudah dilapis batu dan ada yang menggunakan paving block. Meski kondisi jalan desa belum terlalu mulus namun sangat mudah dijangkau. Berdasarkan informasi, bahwa pembangunannya berasal dari dana PNPM Mandiri.

Hal yang memprihatinkan terkait dengan kondisi fisik sekitar adalah terkait dengan kebutuhan akan air bersih. Adanya TPS Desa

Cilowong ternyata berdampak terhadap pencemaran sumber air bersih.

Pencemaran sumber air bersih yang paling parang adalah di Kampung

Pasir Gadung. Kondisi tersebut selama ini sudah ditanggulangi oleh PU bekerjasama dengan PDAM dengan menyediakan air bersih untuk memenuhi kebutuhan warga. Namun hal tersebut hanya dapat dipergunakan untuk air minum, tetapi untuk kebutuhan mandi dan memasak tidak terdapat air yang bersih. Sungai yang mereka gunakan tidaklah jernih, sedangkan mereka tidak mempunyai sumur untuk memenuhi keperluan sehari – hari. Satu – satunya sumber air bersih bagi mereka adalah sumur bor (jetpump) yang jumlahnya hanya satu .

Untuk mengambil air dari sumur tersebut, mereka harus mengeluarkan uang Rp. 3000/jam. Jumlah uang tersebut terkadang dirasa berat, dan warga terpaksa berhutang dulu untuk mendapatkan air bersih tersebut.

Warga sebenarnya ingin sekali memiliki sumber air sendiri, akan tetapi biaya untuk membuat sumur bor (jetpump) masih belum terjangkau,

38 | B A N T E N E S i A sedangkan untuk membuat sumur biasa dirasa percuma karena penggalian harus sangat dalam mengingat tempat tinggal mereka berada di dataran tinggi.

Kebutuhan Ekonomi Keluarga

Sebagian besar warga di Desa Cilowong menggantungkan hidupnya pada TPS yang berada di Desa Cilowong. TPS Cilowong ternyata memberikan penghidupan ekonomi yang menguntungkan khususnya bagi warga yang berada di sekitar TPS tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sebagian warganya yang bekerja sebagai pemulung.

Dengan penghasilan sekitar Rp. 400.000,- hingga Rp. 800.000,- perbulan yang didapatkan, terlihat bahwa pekerjaan menjadi pemulung bukanlah pekerjaan yang dianggap rendah, sebab penghasilannya dapat digolongkan cukup lumayan meskipun belum dapat mencukupi kehidupan sehari – hari warga setempat.

Kegiatan memulung yang dilakukan pemulung di Desa Cilowong dimulai pada pukul 07.00 WIB dan berakhir pada pukul 16.00 WIB.

Prosesnya dimulai dari memilah sampah – sampah plastik, sampah yang dipergunakan kembali dengan sampah – sampah lainnya. Sampah yang laku dijual adalah sampah – sampah plastik yang dihargai Rp.200 hingga Rp.600 perkiogram dan sampah kabel yang bisa dihargai hingga

Rp.60.000 perkilogramnya. Sampah yang telah dipilih dibawa ke rumah masing – masing atau ditinggalkan di dalah satu tempat di TPS tersebut untuk nantinya dijual kepada pengepul. Setelah sampah tersebut dirasa 39 | B A N T E N E S i A untuk dijual, pemulung membawa sampah – sampah tersebut ke koperasi desa untuk dijual. Koperasi tersebut sangaja dibuat dan dipimpin oleh Sekretaris Desa Cilowong dengan tujuan agar hasil kerja pemulung dapat dihargai dengan pantas dan sampah tersebut juga dapat didistribusikan dengan baik kepada pembeli. Pemulung tidak perlu bunging untuk menjual barang hasil memulungnya sebab telah disediakan koperasi ini yang dapat menampung barang hasil pulungannya. Melalui koperasi ini, sampah – sampah tersebut dipilih dan dijual kembali kepada perusahaan – perusahaan yang membutuhkan di Serang dan Tangerang. Pemulung yang ada di Desa

Cilowong sebagian besar menjadi anggota yang didirikan pada tahun

2007. Selama ini koperasi pemulung tersebut masih belum berjalan maksimal. Hal ini disebabkan karena banyaknya anggota koperasi yang mangkir dan masih tersendat – sendat dalam membayar simpanan wajib di koperasi tersebut.

Kualitas Pendidikan Keluarga Pemulung

Kegiatan pendidikan merupakan usaha terprogram melalui seberapa lama keterlibatan dalam pengalaman belajar yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik dalam memperbaiki kualitas diri, keluarga, dan masyarakat. Khusus terkait dengan kualitas pendidikan pemulung dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu (1) Tingkat pendidikan formal; dan (2) Tingkat pendidikan non formal.

40 | B A N T E N E S i A

Dilihat dari tingkat pendidikan formalnya, sebagian besar pemulung hanya mengenyam pendidikan formal sampai pada sekolah

SD dan paling tinggi SMP, bahkan banyak pula dari para pemulung yang tidak mengenyam bangku sekolah atau pendidikan formal. Bagi para pemulung yang berusia lanjut tidak mengenyam pendidikan formal (tidak bersekolah), sedangkan anak – anak atau pemuda yang tergolong produktif lebih beruntung dari orang tuanya sehingga berkesempatan untuk mengenyam pendidikan meskipun pendidikan rendah. Hanya sedikit pemulung yang mampu mengenyam pendidikan sampai ke tingkat SMA.

Sedangkan untuk pendidikan non formal ternyata lebih tragis, bahwa kebanyakan pemulung dan keluarga pemulung yang tidak pernah mengikuti pelatihan – pelatihan baik yang terkait dengan kegiatan mereka sebagai pemulung maupun pelatihan – pelatihan lainnya yang mendukung. Pekerjaan sebagai pemulung merupakan pekerjaan yang bersifat informasl yang tidak memiliki persyaratan dalam bentuk pendidikan formal serta keahlian khusus. Meskipun demikian mereka tetap membutuhkan pendidikan baik formal maupun informal dengan maksud untuk meningkatkan kecerdasan mereka, bahkan diharapkan dapat merubah nasib mereka agar tidak selamanya menjadi pemulung.

Warga yang bekerja sebagai pemulung terdorong oleh keadaan ekonomi keluarganya yang sangat terbatas. Karena di jaman yang serba

41 | B A N T E N E S i A modern ini, peluang pekerjaan bagi orang yang berpendidikan rendah sangat sulit, sehingga menjadi pemulung sebagai pilihannya. Dalam beberapa kesempatan lainnya, pekerjaan sebagai pemulung terjadi secara turun – temurun tanpa terkait dengan pendidikan. Keahlian sebagai pemulung ternyata juga ditularkan kepada anaknya, khususnya anaknya yang masih belum memiliki pekerjaan yang layak. Namun ketika ada peluang untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak, maka pekerjaan sebagai pemulung akan mereka tinggalkan.

Rendahnya kesadaran keluarga pemulung terkait dengan pendidikan formal, mengakibatkan penanaman tentang pentingnya pendidikan juga menjadi rendah. Kepala keluarga yang seharusnya bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak – anaknya, hanya sekedarnya saja dan bukan menjadi perhatian yang pokok.

Khusus terkait dengan pendidikan informal dalam keluarga, mereka lebih menekankan kepada pendidikan nilai – nilai agama misalnya melalui pengajian – pengajian, baik yang dilakukan oleh pemerintah ataupun oleh lembaga tertentu. Sedangkan rendahnya pendidikan informal yang terkait dengan peningkatan keterampilan, sehingga mereka tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk dapat bersaing di dunia kerja yang lebih baik.

Keterlibatan Dalam Kegiatan Sosial Budaya

Keterlibatan keluarga pemulung dalam kegiatan sosial budaya terbagi ke dalam beberapa kegiatan antara lain: (1) Keterlibatan dalam

42 | B A N T E N E S i A kegiatan lingkungan kemasyarakatan (sosial); dan (2) Kerja sama keluarga dengan keluarga lainnya.

Keterlibatan keluarga pemulung di Desa Cilowong dalam kegiatan sosial masih tergolong rendah. Kegiatan yang diikuti oleh keluarga pemulung berkisar pada kegiatan pengajian yang dilakukan oleh warga sekitar. Pengajian tersebut terbagi dalam dua kelompok, yaitu pengajian yang dilakukan oleh kalangan bapak – bapak dan pengajian oleh ibu – ibu. Kegiatan pengajian yang dilakukan oleh bapak – bapak dilaksanakan pada setiap malam Ju’mat, sedangkan untuk kegiatan pengajian yang dilakukan oleh ibu – ibu dilakukan setiap hari Kamis siang hari. Jumlah peserta yang mengikuti pengajian tersebut relatif sedikit, yakni berkisar antara 5 – 10 orang. Sebagian keluarga pemulung mengatakan bahwa kegiatan sosial yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar TPS Cilowong hanya kegiatan pengajian saja, untuk kegiatan yang lainnya masih terbatas.

Kegiatan kerja sama yang melibatkan keluarga pemulung dengan keluarga lainnya dapat dikategorikan cukup rendah. Kegiatan bersama yang dilakukan antar keluarga pemulung lebih banyak kepada kegiatan gotong – royong dalam hal kebersihan lingkungan serta turut serta berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi seperti mengikuti program yang digagas oleh Desa Cilowong yaitu koperasi warga desa. Kegiatan bersama lainnya yang dilakukan oleh keluarga pemulung dengan keluarga yang ada sekitarnya seperti halnya membersihkan kebun.

43 | B A N T E N E S i A

Kegiatan ini dilakukan setiap hari Minggu, mulai jam 7 pagi sampai dengan jam 11 siang.

Dalam melakukan kegiatan sosial yang melibatkan keluarga pemulung, dalam beberapa kesempatan terdapat konflik diantara mereka. Konflik tersebut terkait dengan perebutan lahan pencarian barang – barang pulungan serta terdapat praktek kotor seperti pencurian barang dari hasil pulungan yang sudah dikumpulkan oleh pemulung. Dalam menyelesaikan persoalan tersebut, bisasanya diselesaikan secara musyawarah terutama oleh pemulung yang senior untuk menengahi masalah tersebut.

Intervensi Pihak Eksternal

Melihat kondisi fisik, ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya yang melekat pada keluarga pemulung masih tergolong rendah, sebenarnya perlu adanya intervensi dari pihak eksternal guna memperbaiki beberapa kondisi tersebut. Pihak eksternal yang dimaksudkan dalam penelitian ini antara lain: pihak pemerintah, pihak

NGO, pihak swasta, dan lembaga pendidikan. Adapun peran organisasi eksternal dapat berupa pemberdayaan keluarga dan usaha keluarga baik dalam bentuk pemberian bantuan modal usaha, penyuluhan, sosialisasi kebijakan dan lain – lain. Dukungan dari pihak eksternal tidak dapat berhasil tanpa adanya dukungan dari masyarakat sendiri, misalnya saja berupa partisipasi aktif masyarakat, sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu hasil yang optimal.

44 | B A N T E N E S i A

Peran Organisasi Eksternal dalam Pemberdayaan dan Usaha Keluarga

Program pemberdayaan keluarga lebih banyak dilakukan oleh pemerintah, dibandingkan dengan organisasi eksternal lainnya meskipun intensitasnya masih sangat kecil. Beberapa program pemberdayaan keluarga yang dilakukan oleh pemerintah setempat antara lain membentuk koperasi untuk para pemulung, pengadaan air bersih, dan pengobatan gratis. Koperasi untuk para pemulung sendiri telah didirikan pada tahun 2007. Adapun nama Koperasi tersebut adalah Koperasi Muga Jaya. Koperasi tersebut didirikan dengan tujuan untuk memudahkan para pemulung dalam menjual barang – barang hasil pulungannya dan para pemulung juga dapat membeli barang kebutuhan pokok.

Dalam bidang kesehatan, pemerintah melalui Puskesmas telah membuat suatu program yaitu pengobatan gratis yang diadakan setiap

3 bulan sekali. Dengan demikian diharapkan masyarakat sekitar dapat memeriksakan kesehatan secara gratis, agar kesehatan mereka juga tetap terjaga, walaupun tempat tinggal mereka berada di sekitar TPA dan mata pencaharian mereka adalah pemulung.

Peran Organisasi Eksternal dalam Sosialisasi Kebijakan Pemerintah

Khusus terkait dengan peran organisasi eksternal dalam sosialisasi kebijakan pemerintah masih sangat kurang baik oleh organisasi swasta,

NGO, lembaga pendidikan, maupun lembaga pemerintah sekalipun.

Lembaga pemerintah maupun lembaga lainnya sangat jarang untuk 45 | B A N T E N E S i A memberikan penyuluhan dan sosialisasi terkait dengan kebijakan pemerintah. Penyuluhan dan sosialisasi dapat digolongkan tidak pernah sekalipun.

Keluarga pemulung sendiri sebenarnya memiliki harapan yang besar terhadap peran organisasi eksternal itu sendiri, dengan harapan dapat meningkatkan taraf hidup mereka dan keluarganya.

Peran Organisasi Eksternal dalam Bantuan Modal Usaha

Khusus terkait dengan bantuan modal usaha yang diberikan oleh organisasi eksternal masih sangat jarang. Lembaga ekternal yang pernah memberikan bantuan modal hanyalah pemerintah, sedangkan lembaga lainnya belum pernah memberikan bantuan modal.

Pemerintah pernah menawarkan bantuan modal melalui Program KUR, namun syarat yang diberikan untuk mendapatkan pinjaman tersebut sangat menyulitkan warga bahkan dengan menggunakan jaminanpun masih dipersulit oleh pihak bank, sehingga bantuan tersebut tidak benar

– benar sampai kepada keluarga miskin yang benar – benar membutuhkan. Untuk program – program bantuan lainnya tidak pernah ada lagi. Keluarga pemulung sangat berharap adanya bantuan dari pihak lain selain pemerintah, misalnya pihak swasta, NGO, dan lembaga pendidikan. Modal yang diberikan diharapkan dapat dipergunakan untuk mengembangkan usaha keluarga disamping pekerjaannya sebagai pemulung. Jadi mereka tidak saja bergantung

46 | B A N T E N E S i A kepada hasil pulungannya saja, tetapi ada usaha yang dapat menyangga kehidupan ekonomi keluarga.

Strategi Program Pemberdayaan Keluarga Pemulung

Pemberdayaan keluarga pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sistemik, terarah, dan terencana agar keluarga memiliki kemampuan dalam pemenuhan dan mengatasi masalah- masalah kebutuhan pokok keluarga, mampu membangun interaksi dengan lingkungan internal keluarga (yang tercermin lewat komunikasi yang positif, menjaga komitmen keluarga) dan interaksi dengan lingkungan di luar keluarga yang di dasari nilai-nilai agama yang dianut, memiliki motivasi untuk memperbaiki keluarga yang ditandai kemampuan mengatasi emosi dan didukung oleh kualitas spiritual keluarga (Sinaga, 2007).

Intervensi pemberdayaan keluarga pemulung adalah proses pelaksanaan program pemberdayaan yang dilakukan secara berkelompok oleh lembaga-lembaga formal, baik pihak pemerintah, swasta, NGO (Non Government Organization/LSM), perguruan tinggi dengan tujuan untuk mengubah pengetahuan, sikap dan keterampilan anggota keluarga miskin sehingga mampu menyelesaikan masalah- masalah yang dihadapi oleh keluarga. Proses intervensi yang dilakukan oleh pihak luar dapat dilakukan melalui beberapa indikator antara lain: proses pemberdayaan, kewenangan dalam pemberdayaan dan kegiatan fasilitasi. Aspek-aspek kelompok yang perlu diperbaiki dalam kegiatan 47 | B A N T E N E S i A interensi pemberdayaan tersebut antara lain kepemimpinan kelompok, kedinamisan kelompok dan intensitas komunikasi antar kelompok.

Aspek-aspek kelompok di atas diharapkan mampu menciptakan keberdayaan kelompok, khususnya kelompok-kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin yang pada akhirnya mampu meningkatkan keberdayaan keluarga tersebut.

Selama ini usaha-usaha pemberdayaan keluarga pemulung tersebut ternyata belum secara optimal mengubah perilaku keluarga untuk meningkatkan keberdayaan keluarga, melainkan justru memunculkan ketergantungan. Keluarga miskin selama ini sangat bergantung kepada uluran tangan pihak luar agar keluar dari jurang kemiskinan yang mereka hadapi selama ini. Program pemberdayaan yang selama ini dilakukan cenderung berorientasi kepada proyek, tidak berkelanjutan dan pada tingkat implementasi di lapangan menjadi lemah karena tidak didukung oleh pelaksana yang memahami substansi pemberdayaan itu sendiri. Orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan keluarga miskin tersebut tidak memiliki keahlian di bidang penyuluhan, sehingga pendekatan yang sering dilakukan adalah pendekatan yang sifatnya senteralistik dan top down. Pada kasus-kasus tertentu justru hasil dari kegiatan pemberdayaan tersebut sudah ditentukan sebelumnya. Hal yang paling memprihatinkan dari kegiatan pemberdayaan keluarga pemulung tersebut adalah penekanannya kepada hasil. Padahal kita tahu bahwa penekanan yang sering

48 | B A N T E N E S i A dilakukan dalam kegiatan pemberdayaan adalah kepada proses. Ketika proses pemberdayaan tersebut dilakukan dengan benar, pada akhirnya hasilnya akan menjadi baik.

Dalam pembahasan lebih lanjut terkait implementasi program pemberdayaan kelompok ini, peneliti mengutip pendapat Asngari

(2007) bahwa program pemberdayaan merupakan pernyataan tertulis mengenai keadaan atau situasi, masalah, tujuan dan cara pelaksanaannya. Dalam membahas tentang implementasi program pemberdayaan keluarga pemulung lebih lanjut akan menggunakan pendekatan sesuai dengan konsep program pemberdayaan.

Korten dalam Sinaga (2007) menyatakan bahwa perencanaan program pemberdayaan yang efektif tidak bisa dilakukan oleh sebagian orang, tetapi haruslah melalui partisipasi masyarakat. Pada sisi lain juga dipahami bahwa perbaikan yang berkelanjutan dapat berhasil apabila program pemberdayaan yang dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan keluarga dan kesejahterannya.

Berdasarkan pandangan ini maka ketika akan memulai sebuah program pemberdayaan harus dimulai dari bawah (bottom up planning).

Sebagai subyek pemberdayaan, keluarga merencanakan kegiatan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya berdasarkan potensi di dalam keluarga maupun dari lingkungan sekitarnya. Dalam tahap perencanaan dibutuhkan partisipasi masyarakat, sesuai dengan pendapat van den Ban (Sinaga,2007), yang menyatakan beberapa alasan

49 | B A N T E N E S i A yang mendasari perlunya partisipasi masyarakat yaitu: (1) Masyarakat memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan program yang berhasil, termasuk tujuan, situasi, pengetahuan, serta pengalaman dengan struktur sosial masyarakat, (2) masyarakat akan lebih termotivasi untuk bekerjasama dalam program pemberdayaan jika ikut bertanggungjawab di dalamnya, dan (3) pada masyarakat yang demokratis, mereka berhak terlibat dalam keputusan mengenai tujuan yang ingin dicapai.

Dalam konteks strategi pemberdayaan keluarga pemulung, maka keluarga dapat berpartisipasi dalam melakukan perencanaan dengan tahapan: (1) melakukan analisis situasi ; (2) menemukan masalah dan merumuskan masalah yang dihadapi, (3) menetapkan tujuan program yang akan dicapai; dan (4) menentukan cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Pada tahapan awal keluarga diharapkan mampu mengidentifikasi segala jenis sumber daya keluarga, baik fisik maupun non fisik, baik bergerak maupun tidak bergerak. Di samping itu juga, keluarga diharapkan agar merencanakan peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya keluarga dalam waktu tertentu. Misalnya saja menambah jumlah fisik keluarga mulai dari luas rumah, luas kamar, luas tanah dan mencari tempat yang strategis bagi rumah keluarga. Pada umber daya non fisik, keluarga diharapkan untuk membuat kegiatan-kegiatan bersama yang mendukung peningkatan keluarga.

50 | B A N T E N E S i A

Selanjutnya, setiap anggota keluarga diberikan tugas untuk memelihara, menjaga serta memperbaiki sumber daya fisik dan non fisik untuk meningkatkan kualitas sumber daya. Anggota keluarga diharapkan untuk meningkatkan kualitas komunikasi khususnya dengan anggota keluarga maupun juga dengan keluarga lainnya.

Selanjutnya, anggota keluarga diharapkan untuk selalu melakukan kerja sama secara intensif dalam menjalankan kegiatan keluarga. Sikap egois dan individualis yang terjadi dalam keluarga, hendaknya perlu diminimalisir bahkan kalau perlu dihilangkan dari keluarga.

Kemampuan kerja sama diantara anggota keluarga akan semakin memperkuat bahkan menambah sumber daya keluarga.

Pada akhirnya setiap anggota keluarga selalu menilai dan mengevaluasi setiap kondisi keluarga baik secara fisik maupun non fisik. Ketika pada elemen tertentu terdapat hambatan-hambatan, maka dengan sesegera mungkin dilakukan perbaikan-perbaikan. Terdapat beberapa aspek yang terkait di dalam mengembangkan sumber daya keluarga miskin.

Penutup

Keluarga pemulung di TPS Cilowong merupakan salah satu bagian dari masyarakat miskin di Provinsi Banten memerlukan adanya perhatian di dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Perhatian yang sangat dibutuhkan oleh keluarga pemulung terutama berkaitan dengan kebutuhan fisik keluarga, kebutuhan ekonomi, kebutuhan akan 51 | B A N T E N E S i A pendidikan, kebutuhan sosial budaya serta beberapa kebutuhan lainnya yang menunjang. Adanya perhatian dari pihak – pihak yang bertanggung jawab akan lebih meningkatkan kesejahteraan keluarganya.

Daftar Pustaka

Asngari, Pang. S. 2007. Perencanaan Penyuluhan Pertanian, IPB Bogor Cartwright, Dorwin, dan Alvin Zender. 1968. Group Dynamics: Reseach and Theory. New York, Evanston, London. Harper & Row, Publishers Gannon, Martin J. 1979. Organizational Behavior: A Managerial and Organizational Perspective. Boston-Toronto: Little Brown and Company. Margono Slamet, 2006. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Editor: Ida Yustina dan Adjat Sudrajat. Bogor: Penerbit IPB Press Sinaga, Astriana Baiti. 2007. ‚Keberdayaan Keluarga di Perkotaan dan Pedesaan: Kasus Keluarga di Kecamatan Duren Sawit dan Kecamatan Jasinga.” Disertasi. IPB Bogor.

52 | B A N T E N E S i A

PERAN SOCIAL MEDIA NETWORKING FOR GOV 2.0 DI INDONESIA

Oleh : Anis Fuad

Pendahuluan

Saat ini, facebook telah menjadi keseharian bagi 25,912,960 orang

Indonesia22. Namun disaat yang sama banyak orang khawatir dengan dampak yang ditimbulkan facebook. Beberapa waktu lalu media massa memberitakan ada banyak kejadian negatif yang semuanya timbul karena penyalahgunaan situs jejaring sosial terpopuler di dunia ini.

Facebook menjadi tersangka dari maraknya kejahatan seperti penculikan, penipuan, pelacuran hingga pencemaran nama baik.

Namun tentu kita juga ingat, betapa efektifnya peran media jejaring sosial (Social Media Networking) yang dimanfaatkan Barack H.

Obama sebagai alat kampanye dan penarik simpati massa di pemilihan

Presiden Amerika 2008 lalu. Facebook dan beberapa media jejaring

22 Lihat http://www.checkfacebook.com , Indonesia per 4 Juli 2010 menduduki peringkat ketiga pengguna facebook terbanyak setelah Amerika Serikat dan Inggris.

53 | B A N T E N E S i A sosial lainnya berhasil membantu memenangkan Obama menjadi

Presiden Amerika Serikat. Kelatahanpun terjadi di Indonesia. Banyak politisi memanfaatkan facebook sebagai media kampanye mereka di

Pemilu 2009 lalu dan juga berhasil. Facebook-pun telah memberikan jasa besar bagi perkembangan demokratisasi di Indonesia.

Kita tidak mungkin lupa bagaimana perjuangan Prita Mulya Sari yang dibangun para ‚facebooker‛ dan netizen menghantam ketidakadilan hukum di dunia nyata. Istilah ‚cicak dan buaya‛ menjadi terkenal didunia maya dan memunculkan Bibit-Chandra sebagai aktor utama dalam gerakan massif facebooker mendukung perjuangan gerakan anti-korupsi dan kriminalisasi KPK.

Bagi penulis, inilah potensi besar facebook dan beberapa situs jejaring sosial lainnya yang tidak pernah dilirik banyak orang dalam bidang kepemerintahan khususnya penyelenggaraan e-government (e- gov) di Indonesia. Sedikit para pelayanan publik memanfaatkan facebook untuk melayani dan mendekatkan diri pada masyarakat.

Sedikit pula para pembuat kebijakan memahami bahwa facebook bisa menjadi alat bantu untuk mengumpulkan berbagai masukan dari masyarakat dalam membuat suatu kebijakan.

Potensi besar facebook ini mengingatkan pada praktek e-gov di

Indonesia yang masih jalan ditempat karena berbagai alasan. Dana yang besar untuk membangun infra dan suprastruktur hingga keterbatasan sumber daya manusia.

54 | B A N T E N E S i A

Media jejaring sosial telah dimanfaatkan oleh banyak kalangan dan mempunyai peran penting dalam menghubungkan (interrelated) antar warga masyarakat (citizen) di Indonesia. Pertanyaan menarik adalah bagaimana peran media jejaring sosial (Social Media Networking) dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia pada saat ini?

Apakah potensi media jejaring sosial dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah di Indonesia? Faktor apa penyebabnya?

Kajian Literatur

ICT dan Electronic Government

Penggunaan ICT dalam birokrasi pemerintahan menjadi keharusan diberbagai penjuru dunia. Menurut Killian (2008), penggunaan ICT secara umum dan e-gov secara khusus di desain untuk memfasilitasi komunikasi antara pemerintah dan warga masyarakat

(citizens).

Berdasarkan beberapa hasil kajian yang telah dilakukan beberapa ahli, penggunaan ICT, khususnya e-gov mempunyai dampak yang positif terhadap bidang lain. Sudarto (2006) mencatat hasil penelitian

ITU, setiap satu persen investasi dibidang TI akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi mencapai 3 persen. Penggunaan sumberdaya alam juga menjadi hemat, karena terjadi perubahan dari perkantoran berbasis kertas menjadi tanpa kertas (paperless). Dengan demikian penggunaan ICT diharapkan mampu mempercepat upaya memperbaiki birokrasi.

55 | B A N T E N E S i A

Hasil studi Kraemer dan King (2006) menyatakan bahwa pengunaan ICT adalah sebagai katalisator dan instrument penting dalam reformasi administrasi. Kraemer dan King (mengutip Fountain,

2002; Garson, 2004; Gasco, 2003; Reinermann, 1988; Weiner, 1969) menjelaskan hubungan penggunaan ICT dalam reformasi administrasi,

“We define administrative reform as efforts to bring about dramatic change or transformation in government, such as a more responsive administrative structure, greater rationality and efficiency, or better service delivery to citizens. Toward these ends, governments historically have undertaken structural reforms, such as city-manager government; budget reforms, such as the executive; performance and program budgets; financial reforms, such as unified accounting; personnel reforms, such as merit-based employment and pay; and many others. Computing has been viewed as an instrument of such reforms and also as a reform instrument, per se. Such instruments are illustrated by urban information systems, integrated municipal information systems, computer-based models for policymaking, geographic information systems, and, most recently, e- government. The rhetoric of these computing-based reform efforts has been that computing is a catalyst that can and should be used to bring about dramatic change and transformation in government”

Fountain (2002) yang dikutip Kraemer dan King (2006) mengatakan, ‚Technology is a catalyst for social, economic and political change at the levels of the individual, group, organization and institution.‛ Di era e-gov saat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa penggunaan ICT dalam pemerintahan dapat mendorong pelaksanaan birokrasi lebih efektif. Kualitas yang baik dalam pelayanan publik, dan kemudahan

56 | B A N T E N E S i A akses publik terhadap informasi dan pelayanan yang disediakan pemerintah.

Dalam konsep reformasi manajemen publik salah satu dari sembilan reformasi manajemen Bresser-Pereira (2004) adalah mengadopsi secara luas teknologi informasi khususnya teknologi internet untuk mengaudit, pembayaran pembelian hingga berbagai macam registrasi pelayanan. Lebih lanjut Bresser-Pereira (2004) mengatakan, ‚The new information technology was the central underlying change. It reduced the costs and increased the speed of communications, enabling financial markets to work internationally in real time, and an international civil society to mobilize people for political causes.‛

Penggunaan ICT dalam penyelenggaraan administrasi dan birokrasi dalam suatu negara merupakan keniscayaan dan merupakan fenomena global dari adanya globalisasi. Hal demikian tidak terkait sebuah Negara menganut ideologi tertentu, tapi ada banyak manfaat yang diperoleh dari teknologi.

Di Serbia, salah satu negara di Eropa timur juga melihat penggunaan ICT maupun pengetahuan sebagai faktor kunci dalam keberhasilan kinerja dan produktifitas. Lilić dan Stojanović (2007) mengatakan bahwa dalam lingkungan ekonomi berbasis pengetahuan, ide e-gov sebagai dampak dari syarat efektifitas dan efisensi.

Tiga elemen dasar yang dituju dalam pelaksanaan e-governement di Serbia adalah a) menjamin pemerintah yang terbuka dan transparan

57 | B A N T E N E S i A pada aktifitas lembaga-lembaga pemerintah; b) Menyediakan pelayanan on-line yang memudahkan warga negara (citizens) menggunakan internet untuk membayar pajak, akses untuk mendaftarkan berbagai layanan (access registries), mempermudah prosedur (make applications or undertake procedures), memilih wakil rakyat (elect their representatives), memberikan kritik dan saran (express their opinions) dan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, serta c) menghubungkan berbagai lembaga pemerintah dengan lembaga pemerintah lainnya.

Berdasarkan pertimbangan di atas Lilić dan Stojanović, (2007) menyimpulkan bahwa e-gov adalah element kunci dalam reformasi birokrasi di Serbia. Mereka mengatakan,

‚The goal of e-government development is to secure an efficient path of the public administration to the 21 century and that citizens can conduct as many administrative procedures in the future through the Internet as possible. Such action would exclude unnecessary waiting and would save precious time. Within this context, e-government is the key part of public the administration reform strategy in Serbia.”

Pengalaman empiris lain dibuktikan oleh Ibei dan forje (2009) ketika ICT di pergunakan dalam administrasi dan birokrasi di

Kamerun. Mereka lebih percaya bahwa reformasi administrasi dan akuntabilitas pelayanan publik dapat berjalan di kamerun jika menerapkan penggunaan ICT dan e-gov. Ibei dan Forje menyebutkan bahwa dalam ‚The AFRICAN Governance programme‛, beberapa pilot project dibeberapa Negara Afrika sudah melakukan pengenalan e-

58 | B A N T E N E S i A administration dan beberapa negara malah sudah mengimplementasikan. Khusus dalam proyek Telemedicine dapat dikatakan sukses dalam implementasinya di Kamerun.

Artinya, kamerun sebagai bagian negara di benua Afrika yang dikenal sebagai kawasan terbelakang dan salah satu negara dunia ketiga saja dapat merasakan manfaat yang lebih dari penggunaan ICT dalam adminsitrasi dan birokrasi di negara tersebut. Di Indonesia, dimana penetrasi ICT sudah mengalami kemajuan, seharusnya dapat menggunakan ICT secara maksimal dalam penyelenggaraan administrasi dan birokrasi.

E-democracy, Social Media Networking dan Gov 2.0

Penggunaan ICT dalam pemerintahan memberikan dampak yang menggembirakan dalam proses demokratisasi dan pelayanan masyarakat. E-gov mempermudah pola hubungan antara administrasi, politik formal dan civil society lebih efektif (Gronlund: 2002). Ketika semua simpul saling berinteraksi, berdiskusi dalam ruang publik maya

(virtual public sphare) dan berkolaborasi dalam membuat keputusan maka muncullah apa yang disebut Electronic Democracy (e-democracy). E- democracy atau Virtual Democracy (Norris & James; 1998), Digital

Democracy (Hague; 1999), Democracy Online (Shane; 2004) merupakan konsep demokrasi yang berkembang saat ini dan menjadi bentuk demokrasi terpenting di masa depan. Proses demokrasi akan menjadi massif dan berjejaring kuat di tiap stakeholder dengan bantuan ICT. E- 59 | B A N T E N E S i A gov dan demokrasi melebur menjadi satu potongan puzzle e-democracy.

Dimana kampanye online, lobby, activism, berita politik, atau diskusi warga negara, politik dan tatapemerintahan (governance) hari ini menjadi online diseluruh dunia (Clift; 2003).

E-democracy merupakan jawaban dari teoritisasi Habermas mengenai masyarakat komunikatif, public discourse dan public sphare.

Tegaknya demokrasi dengan terjaminnya ruang publik yang netral, terbuka dan kolaboratif menciptakan wacana rasional yang berpengaruh pada proses-proses pembuatan kebijakan yang legitimate dan rasional pula.

Salah satu perangkat dalam menciptakan e-democracy pada masa kini adalah kehadiran media jaringan social (social media networking) yang sangat massif melibatkan banyak pihak seperti Facebook, Twitter,

Youtube, Flickr, Wikipedia, weblog, dan beberapa nama lainnya23.

Media jejaring sosial di atas merupakan perkembangan dari teknologi web 1.0 menjadi web 2.0. Web 1.0 merupakan generasi pertama dari website yang bercirikan consult, surf dan search.24 Website generasi pertama hanya berfungsi sekedar mencari atau browsing untuk mendapatkan informasi tertentu. Ciri lainnya adalah terletak pada penampilan web statis, kaku dan satu arah. Sedangkan web 2.0 mempunyai ciri penting yaitu share, collaborate dan exploit. Berbagi, kolaborasi dan mengekploitasi interaksi antar pengguna menjadi

23 Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/list_of_social_networking_websites.htm/

24 Lihat http://netsains.com/2007/07/setelah-web-20-kini-giliran-web-30/ 60 | B A N T E N E S i A keunggulan web 2.0 yang bisa ditemukan di berbagai aplikasi internet seperti yang disebutkan di atas.

Media Jejaring sosial berbasiskan web 2.0 merupakan gambaran konstruksi sosial saat ini yang diciptakan oleh kecanggihan teknologi.

Oleh karena itu web 2.0 sesungguhnya mempunyai kekuatan yang sangat potensial untuk menciptakan e-democracy yang efektif. Pada perkembangan selanjutnya Web 2.0 menjadi sarana yang tepat untuk membantu pemerintahan dimanapun dalam menjalankan e-gov yang dapat melibatkan semua stakeholder lebih dekat, murah dan demokratis. Maka muncullah istilah Government 2.0 atau Gov 2.0.

Menurut Traunmüller dan Kepler (2009) Pada sisi warga masyarakat (citizen), aplikasi Gov 2.0 menjamin terselenggaranya aktivitas warga secara online meliputi partisipasi, petisi, kampanye, monitoring, penegakan hukum, permodelan perilaku warga Negara dalam berinteraksi dengan warga Negara lainnya serta pemberian saran dan penilaian terhadap pelayanan publik.

Sedangkan di sisi administratif, aplikasi Gov. 2.0 meliputi aktifitas online berupa feedback for improvements, kolaborasi lintas instansi, good practice exchange, pembuatan peraturan dan hukum serta manajemen pengetahuan 25

25 Traunmüller, Roland and Johannes Kepler. 2009. E-Governance – Some Challenges Ahead: Social Media Spurring Participation. University of Linz, Austria di unduh dari http://www.slideshare.net/dgpazegovzpi/egovernance-some- challenges-ahead-social-media-spurring-participation pada tanggal 3 Juli 2010

61 | B A N T E N E S i A

Evidence Based Policy dan E-Cognocracy

Teknologi Web 2.0 sudah memudahkan pemerintah di seluruh dunia termasuk Indonesia untuk mengembangkan e-gov menjadi lebih mudah dan murah. Memudahkan pemerintah untuk lebih dekat dengan masyarakatnya. Kebijakan publik dengan cara melibatkan masyarakat banyak dalam proses pembuatan keputusan dapat dilakukan melalui media situs jejaring sosial, dimana salah satunya adalah dengan memanfaatkan facebook dan twitter.

Kondisi inilah yang disebut Piles, dkk (2006) serta Jimenez (2006) sebagai e-cognocracy. E-cognoracy adalah sistem demokrasi terbaru yang berfokus pada penciptaan dan penyebaran pengetahuan di masyarakat yang terkait dengan bagaimana kompleksitas masalah dapat dipecahkan secara ilmiah sehingga pembuatan keputusan publik dapat dilakukan dengan baik. E-cognocracy menawarkan formulasi khusus untuk menciptakan partisipasi warga Negara (citizen) dalam proses pembuatan keputusan dengan pendekatan Multi-criteria Decision

Making.

E-cognocracy menjadi konsep yang menjembatani kebijakan publik berbasis fakta (evidence based policy). Fakta berupa kritik, saran serta masukan dari para stakeholder termasuk masyarakat menjadi bahan baku pemerintah dalam membuat kebijakan publik yang rasional. Media jejaring social seperti facebook dan twitter menjadi alat yang efektif untuk mengumpulkan fakta-fakta tersebut.

62 | B A N T E N E S i A

Dengan demikian e-cognocracy adalah sistem demokratisasi terbaru yang bekerja untuk menciptakan peradaban baru yang lebih terbuka, transparan, dan masyarakat yang bebas. Pada waktu yang sama, setiap warga negara saling terkait dan saling terhubung dalam kondisi yang penuh partisipasi, seimbang, saling peduli dan membutuhkan.

E-Cognocracy merupakan jawaban bagi keterbatasan demokrasi tradisional. E-Cognocracy tidak saja menyediakan ruang untuk keterlibatan masyarakat secara luas didalam pemerintahan tapi juga fokus pada proses dimana pengetahuan masyarakat berelasi dengan pemecahan masalah secara ilmiah. E-cognocracy sebagai katalisator proses belajar bersama untuk menciptakan kesadaran (kognisi) politik masyarakat dalam kehidupan bersama, dan internet adalah alat komunikasi pendukungnya.

E-cognocracy adalah kombinasi dari tiga ranah ilmiah yaitu demokrasi sebagai bagian kajian teori politik, teori pengambilan keputusan dan penggunaan ICT khususnya pemanfaatan media jejaring social sebagai alat komunikasi dan mengkolaborasikan antar stakeholder (collaboration governance). E-Cognocracy mempertemukan model demokrasi representatif – dimana aktornya adalah para politisi yang ada dalam partai politik – dengan model demokrasi langsung dimana setiap warga negara berpartisipasi langsung dalam proses politik.

63 | B A N T E N E S i A

Masyarakat maya (netizen) di Indonesia merupakan masyarakat kritis yang sesungguhnya mempunyai kekuatan besar dalam menciptakan arus demokratisasi di Indonesia. E-cognocracy sebagai demokrasi digital mempunyai peran penting dalam berjalannya praktek kebijakan publik dan pemerintahan yang baik (good governance). E- cognocracy dapat mensejajarkan masyarakat dalam posisi yang seimbang dengan aktor politik dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan.

Masyarakat kritis dan saling berbagi sangat diperlukan dalam e- cognocracy. Ada banyak asupan ide sekaligus kritik bagai proses kebijakan publik berkualitas. Ada kesamaan hak disana dan kedudukan yang egaliter diantar warga negara. Facebook bukan lagi milik politisi, artis, mahasiswa dan para eksekutif muda, tapi juga tukang ojek, tukang jamu hingga pembantu rumah tangga.

Mereka dapat mengakses facebook dan twitter lewat telepon genggamnya. Disitu pula potensi demokrasi digital tumbuh dan berkembang untuk memaksa kebijakan publik lebih representatif dan partisipatif. Pemerintah-lah kemudian menjadi jembatan penghubungan bagi semuanya dan situs jejaring sosial semacam facebook-lah sebagai alat penghubung dan pengumpul aspirasi yang paling murah dan efektif.

Contoh sederhana dari praktek e-cognocracy di Indonesia – walaupun tidak disadari hal itu sebagai e-cognocracy karena

64 | B A N T E N E S i A kemungkinan pemerintah tidak menggunakan metode multi-criteria decision making – adalah ketika begitu massifnya masyarakat Indonesia khususnya di dunia maya lewat facebook. twitter dan weblog, berpartisipasi penuh kesadaran dalam memberikan masukan pada kebijakan RPM konten Multimedia yang dikeluarkan Kementerian komunikasi dan Informasi pada waktu lalu.

Ketika RPM konten Multimedia dilemparkan ke ruang publik, banyak kritik dan masukan dari berbagai stakeholder yang akhirnya dapat mempengaruhi proses kebijakan publik tersebut. Ada debat dan diskusi yang membangun di situ. Akhirnya, berrdasar kritik dan masukan berkualitas yang diciptakan oleh interaksi antar masyarakat dan stakeholder di dunia maya, Menkominfo saat itu akhirnya membatalkan RPM Konten Multimedia tersebut.

Dengan kata lain, melalui ICT – termasuk memanfaatkan situs jejaring sosial – siapapun dapat memberikan masukan, kritik dan saran terhadap suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dengan memanfaatkan situs jejaring sosial, masyarakat mempunyai kekuatan politik yang sangat besar, bukan sekedar potensi tapi juga tindakan nyata yang dapat merubah tatanan hidup suatu bangsa.

Pembahasan

Jika ditilik dari berbagai website e-gov yang ada di Indonesia, nyaris tidak ada kebijakan e-gov berbagai daerah di Indonesia untuk memanfaatkan situs media jejaring sosial (Social Media Networking) 65 | B A N T E N E S i A sebagai official account untuk melayani masyarakat secara online. Hanya sedikit instansi pemerintahan yang menggunakan media jejaring social sebagai perangkat untuk mengumpulkan fakta sebagai bahan pertimbangan kebijakan, satu di antaranya Menkominfo, Tifatul

Sembiring26. Hanya sedikit instansi pemerintahan yang menggunakan media jejaring social untuk melakukan demokratisasi.

Potensi Indonesia dalam bidang ICT dan penggunaan social media networking sangatlah besar. Menurut berbagai sumber27 per juli 2010, pengguna internet lewat PC sekitar 25 juta orang dan lewat ponsel sekitar 9 juta dari 165 juta pengguna ponsel di seluruh Indonesia.

Melonjaknya penggunaan ponsel di Indonesia salah satu penyebabnya adalah karena terjadi booming pemanfaatan media pertemanan online

(social media networking) seperti facebook dan twitter. Indonesia saat ini menduduki peringkat ketiga di dunia sebagai pengguna facebook yaitu sebanyak 25,912,960 orang. Selain itu, pengguna Twitter di Indonesia diperkirakan sebanyak 5,6 juta orang.28 Sayangnya dibidang pemerintahan hanya sedikit instansi pemerintahan dan pelayanan publik menyadari potensi tersebut.

26 Berdasarkan pemantauan penulis, account twitter dan facebook menkominfo, tifatul sembiring selalu meng-update status-nya tiap 10 menit hingga 1 jam/sekali.

27 Diolah dari berbagai sumber seperti situs http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/transaksi-bisnis-ict-di- indonesia-rp-300-triliun-per-tahun/ , http://www.detikinet.com/read/2010/05/25/130546/1363675/328/ menkominfo- soroti-maraknya-asing-di-telekomunikasi dan http://www.detikinet.com/read/2007/09/07/131313/826987/328/2010- pengguna-ponsel-indonesia-capai-separuh-populasi

28 Lihat http://virtual.co.id/blog/social-media/twitter-tembus-lima-juta-akun-di-indonesia-social-media-marketing- makin-rumit/

66 | B A N T E N E S i A

Berdasarkan penelusuran penulis, seluruh kementerian di

Indonesia memang sudah memiliki account facebook, namun keberadaan account tersebut bukan didasarkan pada kebijakan lembaga secara serius (official account) namun inisiasi dari lembaga pihak ketiga.

Sehingga pada prakteknya, account tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik.

Salah satu best practice pemanfaatan social media networking di

Indonesia berasal dari Traffic Management Center (TMC) Ditlantas

Polda Metro Jaya. Selain website, TMC Ditlantas Polda Metro Jaya menggunakan twitter dan facebook dalam melayani masyarakat di bidang lalu lintas29. Berdasarkan penelusuran penulis, account twitter dan facebook TMC Ditlantas Polda Metro Jaya sudah di manfaatkan masyarakat dengan baik. Banyak masyarakat saling berbagi informasi lalu lintas, hingga memberikan pertanyaan, kritik dan saran.

Bandingkan dengan Amerika Serikat yang mengunakan ICT di

Birokrasi pemerintah dan pelayanan publik khususnya dengan menggunakan social media networking menjadi kebijakan khusus ditiap

Negara federal.30 Ditiap situs e-gov pemerintah federal hingga pemerintah pusat Amerika Serikat, ada akun resmi (official account) di

29 Social media networking TMC Ditlantas Polda Metro Jaya dapat dikunjungi di http://twitter.com/tmcpoldametro dan http://www.facebook.com/TMCPoldaMetro

30 Perdebatan tentang kebijakan pemanfaatan social media networking dapat dibaca pada situs http://www.iq.harvard.edu/blog/netgov/2009/07/the_complexity_of_government_20.html , impact of social computing of public services at http://ipts.jrc.ec.europa.eu/publications/pub.cfm?id=2820 , http://memeburn.com/2010/06/could- social-networking-actually-be-a-threat-to-democracy, http://socialwizz.com/Is_social_media_bad_for_democracy _Social_Wizz.htm, http://blogs.gartner.com/andrea_dimaio/2010/04/18/social-media-in-government-facing-a-tsunami- with-a-teacup, http://blogs.gartner.com/andrea_dimaio/2009/11/24/government-2-0-and-the-expiry-date-of-social- networks

67 | B A N T E N E S i A tiap situs social media networking.31 Setiap instansi wajib memiliki minimal akun resmi facebook, twitter, youtube dan myspace untuk dapat melayani dan berhubungan langsung dengan masyarakatnya.

Berdasarkan fakta di atas, pertanyaan penting adalah mengapa e- gov di Indonesia khususnya pemanfaatan social media networking tidak dilakukan secara maksimal. Beberapa faktor dapat diuraikan sebagai berikut; pertama, jika kita menilik penetrasi penggunaan ICT di

Indonesia, ada lompatan besar bahwa sesungguhnya masyarakat

Indonesia sudah dapat menerima penggunaan teknologi sebagai bagian yang terpisahkan dalam kehidupan masyarakat (lihat Fuad, 2010).

Contoh terbaru, dengan adanya aplikasi jejaring sosial di Internet semacam, Friendster, Twitter dan Facebook sesungguhnya penggunaan internet dan akses terhadap teknologi ICT di Indonesia melompat tajam menjadi 600 persen atau 6 kali lipat dari sebelumnya.

Dengan kata lain dengan beberapa intervensi dan strategi tertentu, sesungguhnya masyarakat sudah siap menerima perubahan budaya dalam bidang ICT. Namun pada pelaksanaan dilapangan belum ada upaya yang khusus dan serius oleh pemerintah Indonesia dalam penggunaan ICT untuk melayani masyarakat. Masih banyak SDM dalam birokrasi yang gagap teknologi ataupun ketika banyak aparat birokrasi sudah mulai mengenal teknologi, mereka bukan memanfaatkan teknologi untuk melayani masyarakat sebagai upaya

31 Sebagai contoh, lihat situs pemerintah federal California, http://www.ca.gov/

68 | B A N T E N E S i A efektifitas dan efisiensi malah menggunakan ICT hanya sebagai sarana hiburan belaka. Situs jejaring sosial semacam facebook bukan dimanfaatkan untuk mempermudah melayani masyarakat namun menjadi sumber penurunan produktivitas kerja.

Kedua, penggunaan e-gov oleh lembaga-lembaga pemerintah hanya sebatas menggugurkan kewajiban memenuhi anjuran pemerintah pusat via kemenkominfo. Malah, dalam kondisi tertentu e-gov dipandang sebagai proyek yang menggiurkan karena merupakan program high-cost dimana membutuhkan investasi dengan dana besar sehingga membuka kesempatan bagi banyak kalangan khususnya birokrasi pelaksana untuk menjadikan lahan korupsi.

Ketiga, secara statistik, implementasi e-gov di berbagai lembaga pemerintah dan daerah, 80 persen situs e-gov hanya sebagai situs penyedia informasi dan belum pada tahap interaksi apalagi transaksi pelayanan (lihat, Rokhman, 2008). Dengan kata lain penggunaan media social networking berbasis web 2.0 di berbagai situs eg-gov di Indonesia tidak dimanfaatkan secara maksimal.

Permasalahan terbesar penyelenggaraan e-gov di Indonesia adalah pemahaman para pembuat kebijakan dalam hal ini pimpinan birokrasi yang berangggapan bahwa penyelenggaraan e-gov hanya sekedar memiliki website berisi informasi lembaganya. Website dibanyak instansi pemerintah di Indonesia baru menerapkan web 1.0 yang kaku dan tidak interaktif. Jauh dari harapan dimana pelayanan online yang

69 | B A N T E N E S i A interaktif sesungguhnya mudah untuk dilakukan. Kajian lebih jauh mengenai hambatan-hambatan e-gov di Indonesia dapat dilihat beragam komentar yang secara keseluruhan menilai negatif implementasi e-gov di Indonesia pada link ini, http://virtual.co.id/blog/internet-marketing/e-goverment-yang-abai- komunikasi-online/

Selain itu bukti ketidakseriusan penggunaan ICT dan e-gov dalam pelayanan publik di Indonesia adalah dengan melihat hasil riset lembaga penelitian Brookings tahun 2009 tentang pelayanan publik menggunakan media internet yang menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 175 dari 198 negara yang dinilai. Peringkat

Indonesia dapat dibilang mengalami penurunan dan kemunduran.

Tahun 2008, Indonesia berada di peringkat ke-170, dan tahun 2009 turun menjadi 5 level. Indonesia menjadi negara Asia Tenggara terbawah dalam pelayanan pemerintah menggunakan media internet. Sementara

Singapura menjadi yang termaju dengan menempati ranking ke-4. Atau bandingkan dengan dua negara terbelakang di Asia yaitu Afghanistan yang menduduki peringkat 76 dan Timor Leste yang berada di atas posisi Indonesia, yaitu diperingkat 156. (lihat www.yadmi.or.id).

Keempat, pemahaman, kemauan dan kemampuan pemimpin dalam memanfaat ICT sebagai visi besar dalam menjalankan roda organisasi publik yang efektif dan efisien. Menurut Kraemer dan King

(2006) permasalahan utama penggunaan ICT adalah dari sisi pimpinan

70 | B A N T E N E S i A dalam mendistribusikan teknologi secara efesien, hal ini disebabkan ketidakpahaman pimpinan atas manfaat penggunaan teknologi pada sistem birokrasi. Kraemer dan King mengatakan,

“The main problem with the claim that information technology is an instrument of administrative reform is the lack of evidence to back it up. Faced with this, proponents respond that the potential of IT to produce reform is thwarted because of top management’s failures to distribute the technology efficiently, to empower lower level staff, to re-engineer the organization along with computerization efforts, and to become hands-on knowledge executives themselves. Much of the benefit that IT could bring to organizations is lost due to poor management, but this does not explain the failure of the reform hypothesis.”

Selain itu Noveck (2009:148) juga mengungkapkan hal yang hampir sama mengenai peran pimpinan pemerintah. Noveck mengatakan sangat penting untuk mengalamatkan pada peran pemimpin politik dalam mendorong inovasi dan reformasi berbasis teknologi dalam institusi pemerintah. Sebagai contoh administrasi

Obama (The Obama Administration) memberikan nama lembaga pemerintahannya sebagai ‚the country’s first chief technology officer‛ yang meniatkan diri sebagai lembaga yang berperan secara spesifik dalam memimpin perubahan. Noveck lebih lanjut mengatakan tentang perhatian pemerintah Obama dalam memanfaatkan teknologi dalam pelayanan masyarakat, ‚Because every leader has an imperative today to apply innovative, technologically enabled approaches to solve problems on the

71 | B A N T E N E S i A policy agenda, there is not necessarily a special focus on how technology can also help to create twenty-first-century institutions of governance.‛

Jika dibandingkan dengan Indonesia, sangat sedikit pemimpin pemerintahan di Indonesia yang bervisi ke depan. Melayani masyarakat agar efektif dan efisien dengan memanfaatkan ICT khususnya memanfaatkan social media networking. Banyak pemimpin yang gagap teknologi dan ketika pemerintah Indonesia mewajibkan pelayanan masyarakat dengan memanfaatkan e-gov di tiap daerah, e-gov bukan dipandang sebagai terobosan baru pelayanan masyarakat namun menjadikan proyek yang menguntungkan. Sehingga menjadi tidak heran kualitas situs e-gov di Indonesia hanyalah berfungsi sebagai brosur online belaka, tidak lebih. Manfaat yang diperoleh lebih sedikit dari biaya yang sudah dikeluarkan.

Untuk membantu analisis ini, jika diasumsikan kisaran umur pimpinan birokrasi sebagai pemegang kebijakan sekitar pada rentang umur 55-64 tahun, maka dapat dimaklumi bahwa pemanfaatan social media networking menjadi tidak penting dan tidak disadari oleh para pembuat kebijakan. Menurut data yang dirilis situs checkfacebook.com, pengguna facebook di Indonesia dengan rentang umur 55-64 tahun hanya 0,6 Persen dari 25,912,960 pengguna facebook di Indonesia secara keseluruhan.

Faktor terakhir tidak dimanfaatkannya Social Media Networking dalam pelayanan publik di Indonesia adalah karena ketiadaan hasrat

72 | B A N T E N E S i A untuk melayani (passion for service). Secanggih dan semudah apapun alat bantu kita dalam menjalankan pelayanan publik, namun ketiadaan hasrat untuk melayani pada jiwa pelayan publik di Indonesia maka semua bentuk pelayanan tidak pernah berjalan maksimal dan memuaskan masyarakat.

Kesimpulan dan Saran

Melayani masyarakat lewat e-gov sesungguhnya tidak perlu rumit dan mahal. Faktor terpenting dalam menjalankan pemerintahan di abad ini adalah kreatif, inovatif dan berfikir efektif serta efisien. Untuk menciptakan partisipasi masyarakat yang begitu massif sesungguhnya tidak membutuhkan biaya mahal. Manfaatkan teknologi yang ada, lihat teknologi apa yang berkembang di masyarakat dan ikutilah arus mereka (masyarakat). Social Media Networking for Gov 2.0 menjawab itu semuanya.

Daftar Pustaka

Bresser-Pereira, Luiz Carlos. 2004. Democracy and Public Management Reform: Building the Republican State. New York. Oxford University Press Inc.

Clift, Steven. 2003. E-Democracy, E-Governance and Public Net-Work (Government 2.0), diunduh dari http://www.publicus.net/articles/edempublicnetwork.html

Fuad, Anis. 2010. Facebook dan E-Cognocracy. dalam Radar Banten edisi Senin, 1 Maret 2010

73 | B A N T E N E S i A

Grönlund, Åke. 2002. Electronic Government: Design, Aplication & Management. Hershey PA. Idea Group Publishing

Hague, Barry N. dan Brian D. Loader. 1999. Digital Democracy: Discourse and Decision Making in the Information Age. New York. Routledge

Ibei, John Egbe Dan John W Forje. 2009. Chalenges of Administrative Reforms and Public Service Accountability In Africa: The Case of Cameroon. Cameroon Journal On Democracy An Human Rights Vol 3. No.1 June 2009

Killian, Jerri. 2008. The Missing Link in Administrative Reform: Considering Culture dalam Jerri Killian dan Niklas Eklund (ed.). Handbook of Administrative Reform : an International Perspective, CRC Press : Florida

Kraemer, Kenneth dan John Leslie King. 2006. Information Technology and Administrative Reform: Will E-Government be Different? dalam International Journal of Electronic Government Research, 2(1). 1- 20. January-March 2006

Lilić, Stevan and Maja Stojanović. 2007. E-Government and Administrative Reform in Serbia. Masaryk University Journal of Law and Technology

Noveck, Beth Simone. 2009. Wiki Government: How Technology Can Make Government Better, Democracy Stronger, And Citizens More Powerful. Washington D.C. Brookings Institution Press

Rokhman, Ali. 2008. Potret dan Hambatan E-Government Indonesia. Jurnal Inovasi Edisi Vol.11/XX/Juli 2008 diunduh dari http://io.ppijepang.org/article.php?id=263

Shane, Peter M. (Ed.). 2004. Democracy Online: The Prospects for Political Renewal Through the Internet. New York. Routledge

Sudarto, Yudo. 2006. E-Goverment Dan Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan Yang Baik dalam Prosiding Konferensi Nasional

74 | B A N T E N E S i A

Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia. Bandung. Institut Teknologi Bandung

Traunmüller, Roland and Johannes Kepler. 2009. E-Governance: Some Challenges Ahead: Social Media Spurring Participation, University of Linz, Austria diunduh dari http://www.slideshare.net/dgpazegovzpi/egovernance-some- challenges-ahead-social-media-spurring-participation

Piles, Joan Josep, José Luis Salazar, José Ruíz dan José María Moreno- Jiménez. 2006. The Voting Challenges in e-Cognocracy dalam Robert Krimmer. Electronic Voting 2006: Lecture Notes in Informatics (LNI) – Proceedings Series of the Gesellschaft für Informatik (GI). Bonn. Gesellschaft für Informatik

Sumber internet/website: http://virtual.co.id/blog/internet-marketing/e-goverment-yang-abai- komunikasi-online/ http://www.yadmi.or.id/index.php?option=com_content&view=article& id=267:indonesia-berada-di-ranking-ke-175-dalam-e- goverment&catid=38:terkini&Itemid=69 http://en.wikipedia.org/wiki/list_of_social_networking_websites.htm http://netsains.com/2007/07/setelah-web-20-kini-giliran-web-30 http://twitter.com/tmcpoldametro http://www.facebook.com/TMCPoldaMetro http://www.iq.harvard.edu/blog/netgov/2009/07/the_complexity_of_gov ernment_20.html http://ipts.jrc.ec.europa.eu/publications/pub.cfm?id=2820 http://memeburn.com/2010/06/could-social-networking-actually-be-a- threat-to-democracy

75 | B A N T E N E S i A http://socialwizz.com/is_social_media_bad_for_democracy_social_wizz. htm http://blogs.gartner.com/andrea_dimaio/2010/04/18/social-media-in- government-facing-a-tsunami-with-a-teacup http://blogs.gartner.com/andrea_dimaio/2009/11/24/government-2-0- and-the-expiry-date-of-social-networks http://www.detikinet.com/read/2007/09/07/131313/826987/328/2010- pengguna-ponsel-indonesia-capai-separuh-populasi http://www.ca.gov/

76 | B A N T E N E S i A

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS PELAYANAN RSUD SERANG PROVINSI BANTEN TAHUN 2010

Oleh : Arenawati

Pendahuluan

Kesehatan merupakan salah satu modal pembangunan. Dengan memiliki kesehatan yang baik, masyarakat dapat bekerja, anak-anak dapat berkonsentrasi dalam belajar, sehingga akan dihasilkan produktivitas yang baik pula. Oleh karena itu kesehatan dapat menjadi tolak ukur kesejahteraan masyarakat. Di dalam sistem kesehatan masyarakat, terdapat hubungan antara negara dan masyarakat yang tercermin melalui penyelenggaraan pelayanan. Oleh karena itu, pemerintah dengan kewenangan yang dimilikinya dapat menjadi pengendali dari sumber-sumber untuk kesehatan melalui regulasi dan kebijakan yang dibuat. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa dalam sistem kesehatan masyarakat terdapat lima karakteristik utama,

77 | B A N T E N E S i A yakni : adanya peran pemerintah, masyarakat sebagai fokus program kesehatan, hubungan antara pemerintah dan masyarakat, pelayanan dan kewenangan pemerintah. (Gostin,dalam Ambar, 2009: 357)

Rumah Sakit Umum Daerah merupakan lembaga milik pemerintah yang memberikan pelayanan umum dibidang kesehatan di tingkat Kota/Kabupaten. Keberadaan Rumah Sakit Umum Daerah menjadi sangat penting karena kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia.Rumah Sakit Umum Daerah dapat menjadi pilihan bagi masyarakat luas karena mahalnya biaya pelayanan dan perawatan medis yang ditawarkan oleh Rumah Sakit Swasta.

Hasil survei kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di rumah sakit yang dilakukan Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan

Informasi Sekretariat Jenderal DPR di enam kota di Indonesia, pasien miskin di rumah sakit pemerintah mengeluhkan pelayanan administrasi yang rumit, kurang informatif, dan memakan waktu berhari-hari. Selain itu, ada perbedaan pelayanan atas dasar tingkat sosial ekonomi pasien. Setiap pengguna pelayanan kesehatan harus mendapat perlindungan ,seperti disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi

IX DPR dr. Kasmawati Basalamah. Untuk melindungi hak dan kewajiban pasien maupun rumah sakit, keberadaan rumah sakit perlu diatur. Dengan adanya undang-undang, diharapkan tidak ada lagi pasien yang ditolak rumah sakit. Aturan ini juga untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. "Rumah sakit yang melanggar undang-

78 | B A N T E N E S i A undang bisa dijatuhi sanksi mulai dari peringatan sampai pencabutan izin usaha," katanya.Prinsip utama undang-undang ini adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus memegang prinsip sosial kemanusiaan, dengan mengeliminasi perbedaan perlakuan berdasarkan status sosial ekonomi. Karena itu, perlu ada pengaturan lebih lanjut tentang standar pelayanan minimal (SPM) untuk menjamin keamanan pasien. (http;www/mldi.or.id)

Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan (YPKKI)

Marius Widjajarta mengatakan bahwa pengaduan ke YPPKI sejak

November 1998 hingga Juli 2009 menunjukkan ada 528 kasus dugaan mal praktik. Sekitar 66 persen kasus terkait perilaku oknum dokter, seperti alat tertinggal dalam tubuh saat operasi dan memburuknya pasien setelah penanganan kesehatan dan sekitar 30 persen kasus berhubungan oknum dokter dan rumah sakit, misalnya tidak diberi informasi secara benar, jelas dan jujur serta penggunaan alat canggih berlebihan. Sekitar 4 persen adalah kasus lainnya yang terkait dengan obat, seperti obat ganda, berlebihan, terlalu mahal atau mengabaikan permintaan obat generik. (Kompas, 11 Desember 2009).

Pada saat ini tidak dipungkiri bahwa ‚Image‛ RSUD Serang di mata masyarakat Kota Serang dan Kabupaten Serang kurang baik.Atas kekecewaan masyarakat terhadap RSUD tersebut disampaikan oleh mahasiswa yang tergabung dalam HMI se Banten sewaktu berdemonstrasi di halaman gedung DPRD Kota Serang pada 12

79 | B A N T E N E S i A

Februari 2010. (Radar Banten, 13 Februari 2010). Bagaimana pelayanan yang diberikan RSUD Serang dapat dikaitkan dengan NDR (Neth Death

Rate) atau angka kematian bersih yaitu angka kematian lebih dari 48 jam dirawat atau angka kematian setelah dua hari dirawat mulai tahun 2005 sampai dengan 2008 selalu lebih dari 25 kematian per 1.000 penderita .

Pada tahun 2005 NDR mencapai 29 per1.000 penderita sedang pada tahun 2008 sebayak 26 penderita per 1.000 penderita. Sedangkan

Standar NDR yang ditolerir adalah kurang dari 25 per 1.000 penderita.

Dari GDR (Gross Death Rate) atau angka kematian umum yaitu angka kematian umum untuk tiap-tiap 1.000 penderita keluar. Nilai GDR yang ditolerir adalah 45 per 1.000 penderita sedangkan GDR RSUD Serang

Tahun 2008 adalah 55 per 1.000 penderita bahkan pada tahun 2006 GDR mencapai 65 per 1.000 penderita (Profil RSUD Serang 2009).

RSUD Serang pada Kamis, 11 Februari 2010 kembali mendapat sorotan DPRD, masyarakat dan elemen mahasiswa, menyusul meninggalnya bayi berusia lima bulan bernama Muhammad Aldi yang disebabkan keterlambatan penanganan dari petugas RSUD. Pihak

RSUD dinilai lamban dan diskriminatif dalam memberikan penanganan terhadap pasien yang berasal dari keluarga miskin. Bagi masyarakat hal ini bukanlah satu-satunya kasus, sudah banyak kasus serupa tetapi baru kali ini tersebar luas oleh media. DPRD dalam rapat internal komisi untuk menindaklanjuti masalah ini dan supaya pelayanan RSUD diperbaiki ( Radar Banten, 13 Februari 2010). Berdasarkan latar

80 | B A N T E N E S i A belakang masalah maka rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana persepsi masyarakat terhadap kualitas pelayanan RSUD

Serang ?

Pembahasan

Konsep Pelayanan

Terkait dengan penelitian ini, maka konsep awal yang akan menjadi perhatian adalah konsep dari pelayanan itu sendiri. Definisi Pelayanan yang sangat sederhana diberikan oleh Ivancevich, Lorenzi, Skinner dan

Crosby yaitu ‚ Pelayanan adalah produk-produk yang tidak kasat mata

(tidak dapat diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia dan menggunakan peralatannya‛ (dalam Ratminto dan Winarsih, 2008: 2).

Definisi lain tentang pelayanan disampaikan oleh Gronroos sebagaimana dikutip dibawah ini :

‚ Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksud untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan‛ (dalam Ratminto dan Winarsih, 2008: 2)

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa ciri pokok pelayanan adalah tidak kasat mata atau tidak dapat diraba dan melibatkan upaya manusia (karyawan) atau peralatan lain yang disediakan oleh perusahaan penyelenggara pelayanan.

81 | B A N T E N E S i A

Schmenner (2004) mengklasifikasikan pelayanan kedalam empat area, yaitu :

(1) Service Factory, low relative trough put time, long degree of variation (eg. Airlines, express trucking, hotels, restaurant and recreations ) (2) Service Shop, low relative through put and high degree variation ( eg hospitals, traditional restaurant ) (3) Mass Service , high relative through put time and low degree of variation (eg. Retail, banking and schools ) (4) Professional Service, high relative through put time and high degree of variation (eg. Law firms, accounting firms and medical clinics) (dalam Olorunniwo, 2006 : 108 )

Berdasarkan klasifikasi tersebut rumah sakit termasuk pada Service

Shop, dimana pekerjaannya relative rendah tetapi memiliki tingkatan variasi yang tinggi. Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit merupakan bentuk pelayanan jasa. Kotler (2003) mendefinisikan pelayanan jasa : “ A Service is any act or performance that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything. Its production may not be tied to a physical product” (dalam Arief,

2007: 13).

Menurut Kotler jasa adalah interaksi atau penampilan dari satu pihak yang diserahkan oleh kepada pihak lain dimana hal tersebut tidak berwujud dan tidak dipengaruhi oleh bentuk fisik. Philip Kotler(2003) menyebutkan bahwa pada umumnya terdapat empat karakteristik jasa yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Intangibility, karena jasa tidak berwujud, biasanya jasa dirasakan secara subyektif dan ketika jasa dideskripsikan oleh pelanggan,

82 | B A N T E N E S i A

ekspresi seperti pengalaman, kepercayaan, perasaan dan keamanan adalah tolak ukur yang dipakai. 2. Inseparability, karena jasa merupakan serangkaian aktivitas atau proses dimana produksi dan konsumsi dilakukan secara simultan, maka tidak ada pra produksi untuk mengontrol kualitas lebih awal sebelum dijual atau dikonsumsi. Misalnya jasa seorang dokter hampir s emuanya diproduksi pada saat pasien hadir dan menerima jasa tersebut. 3. Perishability, karakteristik yang menyatakan bahwa tidak memu ngkinkan untuk menyimpan jasa seperti barang. 4. Variability, karena proses produksi dan proses penyampaian dilakukan oleh manusia sedang manusia memiliki sifat yang tidak konsisten, sehingga penyampaian suatu jasa belum tentu sama terhadap tiap-tiap pelanggan (dalam Arief, 2007 : 20-21).

Pelayanan Publik

Pengertian lain dari Pelayanan Publik adalah ‚Segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik dan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan‛ (Mahmudi, 2005: 229).

Menurut Lewis (2005: 9) ruang lingkup pelayanan publik dapat dilihat dari pernyataan berikut,

“ Public Service refers to agencies and activities tending toward the public side of the continuum. In actuality there is no clear division between public and private. Public service includes quasy governmental agencies and the many non profit organization devoted to community services and to the public interest”.

Pelayanan publik mengacu pada agen dan serangkaian aktivitas yang diarahkan pada sisi publik. Sesungguhnya tidaklah jelas pembagian

83 | B A N T E N E S i A antara publik (umum) dan private. Pelayanan publik meliputi agen semi pemerintah dan banyak organisasi non profit yang mencurahkan perhatiannya pada pelayanan masyarakat dan kepentingan umum.

Posisi pelayanan publik digambarkan sebagai berikut :

Public Private

midpoint

Gambar 1. The Public Private Continum Sumber : Lewis, 2005, The Ethics Challenge in Public Service : A Problem Solving Guide Second Edition, halaman 10

Gambar di atas menunjukkan bahwa pelayanan publik bersifat semi pemerintah dan swasta. Pelayanan umum dapat juga dilakukan oleh pihak swasta, seperti rumah sakit atau pasar.

Kualitas Pelayanan

Gronroos (1984) mengidentifikasikan adanya dua komponen dasar dalam kualitas jasa, yaitu kualitas teknis dan kualitas fungsional.

Kualitas teknis adalah elemen yang relative mudah diukur secara obyektif, baik oleh konsumen maupun oleh perusahaan sebagai penyedia jasa. Sebagai contoh lamanya waktu antri, menunggu panggilan dan lain-lain. Interaksi antara konsumen dan penyedia jasa menuntut kualitas fungsional seperti lingkungan tempat mengantri, penanganan terhadap keterlambatan jadwal dan lain-lain. Setiap

84 | B A N T E N E S i A konsumen pengguna jasa akan menilai kualitas jasa yang diberikan berdasarkan kualitas teknis dan kualitas fungsional. Persepsi terhadap kualitas jasa dapat dilihat pada gambar berikut :

Expected Service Perceived Perceived Service Quality Service

Image

Technical Solution Attirudes Internal Relation Customer Contacs Behavior Know How Technical Machine Functional Quality Quality Accessibility Services Mindednes Computerized Appearance

Gambar 2. Model Persepsi Kualitas Jasa Sumber : Arief, 2007. Pemasaran Jasa dan Kualitas Pelayanan, Bayumedia Publishing, Jakarta.

Persepsi sosial menurut Faturrochman (2006 :30) adalah proses pembentukan kesan (impresi) tentang karakteristik orang lain. Tetapi pembentukan kesan tidak hanya sekedar menilai karakteristik seseorang tetapi juga terkait dengan sebuah proses. Valerie A. Zeithaml,

Parasuraman dan Leonard L.Berry dalam bukunya Delivering Quality

Service Balancing Customer Perceotuonas and Expectation (1990)

85 | B A N T E N E S i A mengemukakan penelitiannya bahwa ada sepuluh kriteria atau dimensi variable yang dapat digunakan untuk menilai kualitas pelayanan, yaitu

Ten Dimension of SERQUAL (SERvice QUALity) meliputi :

1. Fasilitas Fisik (tangible) bukti fisik yang dapat dirasakan , bias berupa fasilitas, peralatan yang digunakan,representasi fisik dari jasa. 2. Reliabilitas (reliability)/keterandalan mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability) hal ini berarti perusahan memberikan jasanya tepat sejak awal (right the first time). 3. Responsivitas (responsiveness)/ketanggapan yaitu kemauan atau kesiapan para karyawan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan. 4. Kompetensi (competency)/kemampuan, artinya setiap orang dalam suatu perusahaan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa. 5. Tata Krama (Courtesy)/kesopanan meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian dan keramahan yang dimiliki para contact personnel. 6. Kredibilitas (credibility) yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Kredibilitas mencakup nama perusahaan, reputasi perusahaan, karakteristik pribadi, contact personnel dan interaksi dengan pelanggan. 7. Keamanan (security) yaitu aman dari bahaya, resiko atau keragu- raguan. 8. Akses (acces), yaitu kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi fasilitas jasa yang mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama, saluran komunikasi yang mudah dihubungi. 9. Komunikasi (communication), artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang dapat mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan.

86 | B A N T E N E S i A

10.Perhatian pada pelanggan (understanding the customer), yaitu usaha untuk memahami kebutuhan(dalam Arief, 2007: 125-128).

Persepsi Masyarakat terhadap kualitas Pelayanan RSUD Serang

Dari hasil penyebaran kuesioner kepada 280 pengguna pelayanan

RSUD Serang pada periode bulan Apri-Mei 2010 pada pasien rawat jalan maupun rawat inap diperoleh hasil sebagai berikut :

Tangibles, Merupakan penampilan dari fasilitas fisik dalam hal ini dilihat dari kenyamanan ruang tunggu pasien, lihat table berikut :

Tabel 1 Persepsi Masyarakat Terhadap Kenyamanan Ruang Tunggu

Kategori Persepsi Frekuensi Persentase

Sangat Baik 33 11,8 % Baik 174 62,1 % Cukup 27 9,6 % Kurang Baik 44 15,7 % Sangat Kurang Baik 2 0,7 % Sumber : Data Primer Diolah

Dari tabel di atas dapat di katakan bahwa penampilan fisik yang berupa kenyamanan ruangan sudah dapat dikatakan baik karena sebagian besar yaitu sebanyak 174 atau 62,1 % responden menjawab baik. Akan tetapi masih terdapat 44 orang (15,7%) menjawab kurang baik dan 2 orang (0,7%) menjawab sangat kurang baik. Hal ini disebabkan karena keterbatasan tempat duduk di ruang tunggu.

87 | B A N T E N E S i A

Reliability/Keterandalan, Adalah kemampuan untuk memberikan jasa yang dijanjikan dengan akurat dan terpercaya, lihat table berikut :

Tabel 2 Persepsi Masyarakat Terhadap Kemampuan Memberikan Jasa Yang Dapat Dipercaya

Kategori Persepsi Frekuensi Persentase

Sangat Baik 50 17,9 % Baik 153 54,6 % Cukup 65 23,2 % Kurang Baik 10 3,6 % Sangat Kurang Baik 2 0,7 % Sumber : data primer diolah

Dari tabel tersebut dapat dikatakan bahwa persepsi masyarakat akan kemampuan RSUD Serang dalam memberikan jasa yang dapat dipercaya 50 orang (17,9 %) sangat baik, 153 orang (54,6%) adalah baik,

65 orang (23,2%) adalah cukup, 10 Orang (3,6%) kurang baik dan 2 orang (0,7%) sangat kurang baik atau buruk.Masih adanya masyarakat yang berpersepsi bahwa keterandalan RSUD Serang kurang baik bahkan sangat kurang baik, karena keterbatasan alat sehingga pasien harus dirujuk ke Rumah Sakit yang lebih besar untuk kasus-kasus tertentu.

Responsiveness/ Daya tanggap, Adalah kesediaan untuk membantu pengguna layanan dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap, lihat table berikut :

88 | B A N T E N E S i A

Tabel 3 Persepsi Masyarakat Terhadap Ketanggapan RSUD Serang Dalam Menangani Pasien

Kategori Persepsi Frekuensi Persentase

Sangat Baik 35 12,5 % Baik 130 46,4 % Cukup 74 26,4 % Kurang Baik 39 13,9 % Sangat Kurang Baik 2 0,7 % Sumber : Data Primer Diolah

Dari tabel tersebut diketahui bahwa persepsi masyarakat akan ketanggapan dalam menangani pasien 35 orang (12,5%) menyatakan sangat baik, 130 orang (46,4%) menyatakan baik, 74 orang (26,4%) menyatakan cukup, 39 orang (13,9%) menyatakan sangat kurang baik atau buruk. Masih adanya masyarakat yang menyatakan bahwa daya tanggap masih kurang baik adalah bahwa kurang tanggapnya penangan di ruang ICU, hal ini juga dapat dikaitkan dengan tingkat

GDR (Gross Death Ratio ) yang mencapai 390/1000 pasien. Jadi setiap

1000 orang yang ditangani di ICU, 390 orang meninggal dunia sebelum

48 jam ditangani.

Competence/Kompetensi, Adalah menguasai pengetahuan dan kemampuan sesuai dengan yang disyaratkan dalam memberikan pelayanan, lihat table berikut :

89 | B A N T E N E S i A

Tabel 4 Persepsi Masyarakat terhadap Kompetensi yang dimiliki Pegawai RSUD Serang

Kategori Persepsi Frekuensi Persentase

Sangat Baik 32 11,4 % Baik 176 62,9 % Cukup 61 21,8 % Kurang Baik 8 2,9 % Sangat Kurang Baik 3 1,1 % Total 280 100 %

Sumber : Data Primer Diolah

Dari tabel di atas diketahui bahwa persepsi masyarakat atas kompetensi yang dimiliki oleh pegawai RSUD Serang 32 orang

(11,4%)mengatakan sangat baik,176 orang (62,9) menyatakan baik,

61orang (21,8%) menyatakan cukup, 8 orang (2,9%) kurang baik, dan 3 orang (1,1%) menyatakan sangat kurang baik. Sebagian besar menyatakan bahwa kompetensi yang dimiliki pegawai sudah sesuai dengan pekerjaan. Hal ini karena rumah sakit adalah birokrasi professional yang menuntut adanya kompetensi yang sesuai dengan pekerjaannya.

Courtesy, Adalah kesopanan, rasa hormat, bijaksana dan bersahabat sebagai orang yang dihubungi, lihat table berikut :

90 | B A N T E N E S i A

Tabel 5 Persepsi Masyarakat terhadap keramahan dari petugas RSUD Serang

Kategori Persepsi Frekuensi Persentase

Sangat Baik 52 18,6 % Baik 205 73,2 % Cukup 19 6,8 % Kurang Baik 3 1,1 % Sangat Kurang Baik 1 0,4 % Total 280 100 %

Sumber : Data Primer Diolah

Dari tabel tersebut diketahui bahwa persepsi masyarakat terhadap keramahan dan kesopanan petugas RSUD Serang adalah 52 orang

(18,6%) adalah sangat baik, 205 orang (73,2%) adalah baik, 19 orang

(6,8%) adalah cukup, 3 (1,1) orang menyatakan kurang baik dan 1 orang

(0,4%) sangat kurang baik. Jadi sebagian besar masyarakat berpersepsi bahwa pegawai RSUD Serang melayani pasien dengan ramah.

Tingginya persepsi ini tidak terlepas dari visi dan misi RSUD yaitu terwujudnya RSUD Serang yang amanah, professional dan menuju pelayanan prima 2010, sehingga tujuan RSUD yang pertama adalah meningkatkan pelayanan ‚Prima‛ kepada masyarakat.

Credibility,Adalah layak dipercaya dan kejujuran dari pemberi pelayanan. Dalam hal ini ditanyakan kepada responden adalah kejujuran dari petugas RSUD Serang dilihat dari kesesuaian biaya pelayanan dengan Perda, lihat table berikut :

91 | B A N T E N E S i A

Tabel 6 Persepsi Masyarakat Atas Kejujuran Petugas RSUD Serang

Kategori Persepsi Frekuensi Persentase

Sangat Baik 31 11,1 % Baik 105 37,5 % Cukup 107 38,2 % Kurang Baik 31 11,1 % Sangat Kurang Baik 6 2,1 % Total 280 100 % Sumber : Data Primer Diolah

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa persepsi masyarakat atas kejujuran petugas RSUD Serang adalah 31 orang (11,1%) sangat baik,105 orang (37,5%) adalah baik, 107 orang (38,2%) menilai cukup, 31 orang

(11,1%) menilai kurang baik dan 6 orang (2,1%) menilai sangat kurang baik. Masih banyaknya masyarakat yang menilai kurang baik dan sangat kurang baik, dikarenakan tidak adanya informasi yang terbuka menyangkut biaya pelayanan dan harga obat sesuai dengan perda.

Sebagian masyarakat tidak mengetahui tarif pelayanan yang sebenarnya berdasarkan Peraturan Daerah.

Security, Adalah bebas dari segala bahaya, resiko ataupun kekecewaan. Dalam hal ini pertanyaan yang diajukan menyangkut keamanan tempat parkir, lihat table berikut :

92 | B A N T E N E S i A

Tabel 7 Persepsi masyarakat terhadap keamanan tempat parkir di RSUD Serang

Kategori Persepsi Frekuensi Persentase

Sangat Baik 37 13,2 % Baik 136 48,6 % Cukup 54 19,3 % Kurang Baik 44 15,7 % Sangat Kurang Baik 9 3,2 % Total 280 100 %

Sumber : Data Primer diolah

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa 37 orang (13,2%) menilai bahwa kemanan tempat parkir sangat baik, 136 orang (48,6%) menilai baik, 54 orang (19,3%) menilai cukup, 44 orang (15,7%) kurang baik, 9 orang (3,2) menilai sangat kurang baik. Keberadaan area parkir yang berada di luar gerbang RSUD dan tidak tampak dari pandangan pengguna layanan, menyebabkan beberapa masyarakat merasa bahwa keamanan tempat parkir masih kurang.

Acces, yakni mudah di dekati, dihubungi, keterjangkauan lokasi.

Dalam hal ini adalah bagaimana lokasi RSUD Serang mudah dijangkau dengan kendaraan umum. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap keterjangkauan lokasi dapat dilihat pada tabel berikut :

93 | B A N T E N E S i A

Tabel 8 Persepsi masyarakat terhadap Keterjangkauan lokasi RSUD

Kategori Persepsi Frekuensi Persentase

Sangat Baik 95 33,9 % Baik 166 59,3 % Cukup 9 3,2 % Kurang Baik 9 3,2 % Sangat Kurang Baik 1 0,4 % Total 280 100 %

Sumber : Data Primer Diolah

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa persepsi masyarakat atas keterjangkauan lokasi RSUD Serang adalah 99 orang (33,9%) menilai sangat baik, 166 orang (59,3%) menilai baik, 9 orang (3,2%) menilai cukup, 9 orang (3,2%) menilai kurang baik dan 1 orang (0,4) sangat kurang baik. RSUD Serang dinilai sangat baik dan baik, karena lokasinya yang memang strategis di tengah-tengah, dapat ditempuh dengan angkutan kota dari segala jurusan.

Communication, yakni memberi informasi pada pengguna layanan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan didengar, lihat table berikut :

94 | B A N T E N E S i A

Tabel 9 Ketersampaian Informasi Yang Disampaikan Petugas RSUD Serang

Kategori Persepsi Frekuensi Persentase

Sangat Baik 51 18,2 % Baik 170 60,7 % Cukup 46 16,4 % Kurang Baik 13 4,6 % Sangat Kurang Baik 0 0 Total 280 100%

Sumber : Data primer diolah

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa informasi yang disampaikan oleh petugas informasi sebagian besar dapat diterima dengan baik, hal ini dapat dilihat pada jawaban mereka. 51 orang

(18,2%) menilai sangat baik, 170 orang (60,7) menilai baik, 46 orang

(16,4%) menilai cukup, 13 orang (4,6%) menilai kurang baik. Dari 13 orang yang menilai kurang baik karena petugas RSUD dalam hal ini di bagian pendaftaran seringkali memberikan jawaban yang singkat karena sibuk. Sementara kemampuan setiap orang dalam menanggapi suatu informasi adalah berbeda, karena latar belakang pendidikan yang berbeda.

Understanding the Customer, adalah berusaha mengetahui pelanggan dan kebutuhannya, dalam hal ini adalah bagaimana perhatian petugas dalam hal ini dokter dan perawat memberikan perhatian pada pasiennya, lihat table berikut :

95 | B A N T E N E S i A

Tabel 10 Perhatian Petugas Terhadap Kebutuhan Pasien

Kategori Persepsi Frekuensi Persentase

Sangat Baik 66 23,6 % Baik 178 63,6 % Cukup 25 8,9 % Kurang Baik 11 3,9 % Sangat Kurang Baik 0 - Total 280 100%

Sumber : Data primer diolah

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar menilai bahwa perhatian dokter dan perawat terhadap pasien sudah baik. Hal ini dapat dilihat dari jawaban responden sebagai berikut, 66 orang

(23,6%) menilai sangat baik, 178 orang (63,6%) menilai baik, 25 orang

(8,9%) menilai cukup, 11 orang (3,9%) menilai kurang baik. Dari sini kita bias melihat bahwa dokter dan perawat mempunyai kemauan dan kemampuan dan hanya sedikit yang yang kurang terpuaskan.

Untuk lebih jelas bagaimana gambaran persepsi masyarakat terhadap kualitas pelayanan RSUD Serang , kita dapat lihat grafik berikut :

96 | B A N T E N E S i A

Grafik 1. Grafik Distribusi Frekuensi Total Nilai Jawaban Persepsi Responden Terhadap Kualitas Pelayanan RSUD Serang

Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas pelayanan Di RSUD Serang Tahun 2010 40

30

20

10

Count 0 18 23 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50

Kualitas pelayanan

Sumber : Data primer 2010 diolah

Berdasarkan hasil distribusi frekuensi, agar lebih informatif dalam penyampaiannya, maka persepsi masyarakat terhadap kualitas pelayanan dalam penelitian ini dibagi menjadi 5 kategori yaitu kategori yang dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 11 Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan RSUD Serang

Kategori Interval Frekuensi Persen Buruk 18 – 24 3 1,1 % Kurang Baik 25 – 31 28 10 % Cukup 32 – 38 118 42,1 % Baik 39 – 44 112 40 % Sangat Baik 45 – 50 19 6,8 % Total 280 100 % Sumber : Data primer diolah 97 | B A N T E N E S i A

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa persepsi masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang paling tinggi berada pada kategori cukup (42,1 %), kemudian pada kategori baik (40%), selanjutnya kurang baik (10%), sangat baik (6,8%), dan dalam kategori buruk (1,1). Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut masyarakat dalam hal pengguna layanan RSUD Serang menilai bahwa pelayanan RSUD sudah cukup baik dan baik. Adapun terhadap persepsi yang kurang baik ini berdasarkan pertanyaan terbuka diperoleh informasi bahwa pelayanan RSUD Serang masih dirasa lamban, seringkali dokter terlambat datang, masih ada perawat/petugas yang kurang ramah

(jutek) dalam melayani pasien,ruang tunggu dirasa kurang nyaman karena keterbatasan jumlah kursi untuk menunggu, masih ada perbedaan perlakuan atau sikap petugas terhadap pasien dikarenakan faktor kedekatan dan status sosial ekonomi.

Kesimpulan

Persepsi masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang paling tinggi berada pada kategori cukup (42,1 %), kemudian pada kategori baik (40%), selanjutnya kurang baik (10%), sangat baik (6,8%), dan dalam kategori buruk (1,1). Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut masyarakat dalam hal pengguna layanan RSUD Serang menilai bahwa pelayanan RSUD sudah cukup baik dan baik.

98 | B A N T E N E S i A

Daftar Pustaka

Arief, 2007, Pemasaran Jasa dan Kualitas Pelayanan, Bayumedia Publishing, Malang

Denhardt, Janet V, Robert B. Denhardt, 2007, The New Public Service Serving, Not Steering, M.E. Sharpe Armonk, New York

Lewis, W. Carol and Stuart C. Gilman, 2005, The Ethics Challenge in Public Service : A Problem Solving Guide Second Edition, Josey Bass A Willey Imprint, San Fransisco

Mahmudi, 2005, Manajemen Kinerja Sektor Publik, YPKN,

Ratminto, Atik Septi Winarsih, 2008, Manajemen Pelayanan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Jurnal Olorunniwo, Festus, Maxwell K. Hsu, 2006, A Typology Analysis of Service Quality, Customer Satisfaction and Behavioral Intentions In Mass Service, Managing Service Quality Journal 2006

Dokumen

Profil RSUD Serang tahun 2008

Gatra, 20 Mei 2009

Kompas, 11 Desember 2010

Radar Banten, 13 Februari 2010 http;www/mldi.or.id, diunduh pada 14 Desember 2009

99 | B A N T E N E S i A

100 | B A N T E N E S i A

DASAWARSA BANTEN MEMBANGUN Sebuah Telaah Kritis

Oleh: Gandung Ismanto

Pendahuluan

Di usianya yang telah memasuki satu dasawarsa, citra Banten tak banyak berubah dengan era sebelum menjadi provinsi. Stigma ketertinggalan, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, kekerasan, serta magic masih sangat melekat pada wajah Banten hari ini. Sejumlah data paling tidak menggambarkan relevansi stigma ini dengan kehidupan masyarakat Banten yang makin berat dan terpuruk. Keenam stigma itu memang bukan hanya identik dengan Banten, karena tidak sedikit daerah lain di Indonesia yang memiliki karakteristik yang sama.

Namun, letak Banten yang hanya ± 90 km dari Jakarta membuatnya

101 | B A N T E N E S i A tampak luar biasa dramatis sehingga layak dijadikan ikon deviasi pembangunan yang terjadi selama dasawarsa ini.

Secara obyektif stigma itu tidaklah terlalu berlebihan mengingat sejumlah fakta dan data yang merepresentasinya. Bicara ketertinggalan misalnya, 254 atau sekitar 17% desa yang ada di Provinsi Banten masih berstatus tertinggal.32 Termasuk juga adalah kualitas infrastruktur jalan, jembatan, dan irigasi yang juga jauh tertinggal dibandingkan provinsi lainnya. Menurut catatan BPS, sejumlah indikator makro menggambarkan ketertinggalan yang juga nyata di provinsi ini, misalnya: indeks pembangunan manusia (IPM) Banten terpuruk hingga peringkat 23 nasional dengan skor 70,06 pada tahun 2009, turun dari peringkat 11 pada tahun 2002 dengan skor 66,6.33 Demikian juga fakta keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan kekerasan yang masih melekat sebagai wajah Banten hari ini.

Di bidang kesehatan misalnya, sumber Kementerian Kesehatan RI

(2008-2009)34 masih menempatkan Banten sebagai provinsi dengan peringkat tertinggi (50) kejadian Tetanus Neonatorum pada bayi (2008), diikuti Jabar (41), sumsel (17), Jatim (17), dan Lampung (9), Jateng dan Sulteng (7), dan Sumber dan Sulsel (4). Banten juga tercatat sebagai peringkat tertinggi (86%) persalinan oleh dukun beranak, diikuti

32 Lihat http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/12/09/151439-ratusan-desa-di- lebak-masih-tertinggal. Lihat juga http://banten.antaranews.com/berita/13104/bupati-pandeglang-minta- antam-bantu-desa-tertinggal 33 Lihat http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=26¬ab=2 34 Lihat http://www.depkes.go.id/downloads/profil_kesehatan_2009/index.html. 102 | B A N T E N E S i A

Lampung (67%), Sumsel dan Jatim (65%), Jabar (61%), Sulteng (57%); provinsi tertinggi prevalensi kecacingan 60,7%, diikuti NAD 59,2%, NTT

27,7%, Kalbar 26,2%, dan Sumbar 10,1%; serta peringkat ke-2 kasus

Campak (1.552) setelah Jabar (3.424), diikuti Jateng (1.001), Sumsel (766),

Jatim (735), dan Sulsel (711); serta peringkat ke-5 nasional gizi buruk terbanyak yang mencapai lebih dari 176 ribu kejadian. Banten juga tercatat sebagai provinsi terrendah secara nasional yang memiliki persentase akses air minum yang aman (27,5%), diikuti NAD (30,6%) dan (33%); provinsi dengan Persentase Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terendah ke-2 secara nasional (21,37%) setelah

Barat (27,34%); Provinsi dengan rasio terrendah jumlah puskesmas per

100.000 penduduk, yang hanya sebesar 2,0; serta provinsi dengan rasio jumlah dokter paling sedikit di Indonesia, yang hanya sebesar 3,54 dokter per 100.000 penduduk. Dan dengan Angka Harapan Hidup

(AHH) yang berada pada peringkat 30 secara nasional serta masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan yang masih mencapai

252 kasus/100.000 kelahiran dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih mencapai 32 kasus/1.000 kelahiran, Banten nyata-nyata telah gagal mewujudkan visi Banten Sehat 2010 yang dulu pernah dicanangkan.35

Demikian juga fakta kemiskinan yang masih menjadi stigma

Banten. Dengan total pagu raskin mencapai 113.227 ton maka berarti ada sekitar 629.318 KK miskin yang berhak menerima raskin, atau

35 http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=61389. Lihat juga http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=53816 103 | B A N T E N E S i A sekitar 2.643.135 jiwa penduduk miskin yang berarti mencapai 26% dari jumlah penduduk.36 Sementara masyarakat selalu disuguhi data kemiskinan versi BPS yang jumlahnya hanya sebesar 758.163 jiwa atau sekitar 7,16% saja dari jumlah penduduk Banten, yang sebenarnya adalah jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Juga angka pengangguran (2010) yang tercatat sebagai angka tertinggi secara nasional (14,13%).37

Sinyal Ketertinggalan

Bila dibandingkan dengan provinsi yang seusia dengan Banten, kemajuan yang dicapai oleh Banten hari ini juga terasa sangat lambat.

IPM misalnya, menunjukkan sejumlah kelemahan yang perlu mendapat perhatian serius. Banten yang tahun 2002 berada pada peringkat 11 nasional dengan IPM 66,6 justru saat ini terpuruk pada peringkat 21 dengan IPM 69,8 (2009). Sementara Bangka Belitung (Babel) yang pada tahun 2002 berada pada peringkat 20 dengan IPM 65,4 justru kini berhasil duduk di 10 besar dengan IPM 72,19 (2008).38 Sedangkan

Gorontalo kendati tidak lebih baik dari Banten namun menunjukkan pencapaian yang konsisten dan menjanjikan walaupun sempat turun pada peringkat 28 pada tahun 2004. Secara agregat, sejak tahun 2002

Banten hanya berhasil meningkatkan IPM-nya sebesar 3,1 poin dari 66,6

36 http://korantransaksi.com/trans-ekonomi/pemprov-banten-harus-menuntaskan-kemiskinan-sampai- akar/ 37 http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=59411 38 38 Lihat http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=26¬ab=2 104 | B A N T E N E S i A menjadi 69,8, jauh dibawah yang mencapai 5,19 poin dari 64,1 menjadi 69,29, apalagi Babel yang mencapai 6,79 poin dari 65,4 menjadi

72,19 pada tahun 2008.

Dalam hal pengentasan kemiskinan, Banten juga menunjukkan gejala yang sangat tidak memuaskan.39 Secara agregat Gorontalo adalah

Provinsi yang paling berhasil menurunkan angka kemiskinannya, dengan besaran 7,12 poin dari 32,13% pada tahun 2002 menjadi 25,01% pada tahun 2009, disusul Babel sebesar 4,03 poin dari 11,62% pada tahun 2002 menjadi 7,59% pada tahun 2009. Sementara Banten hanya berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 1,58 poin dalam kurun waktu yang sama (7 tahun), dari 9,22% menjadi 7,64%. Dalam hal menekan angka pengangguran, secara agregat Banten terbukti tidak mampu menurunkan angka penganggurannya secara signifikan.

Sejumlah data resmi BPS tahun 2002-2009 mengindikasikan trend negatif sebesar -4,71, yang berarti adanya kecenderungan meningkatnya angka pengangguran setiap tahunnya, dari 10,32% pada tahun 2002 menjadi 14,13% pada tahun 2010. Berbeda dengan gorontalo yang dalam kurun yang waktu sama secara fantastis mampu menekan angka penganggurannya hingga 11,42 poin dari 13,17% menjadi 6,14%.

Demikian juga Babel yang berhasil menekan hingga 2,85 poin dari

8,99% pada tahun 2006 menjadi 5,89 pada tahun 2009. Perbandingan yang kurang lebih sama juga terjadi pada indikator LPE Banten yang

39 Ismanto, ‘Habis Gelap Terbitkah Terang’, Gong Publishing, Serang, 2010, hal.1-10 105 | B A N T E N E S i A berada di bawah 6%, jauh tertinggal dibandingkan Gorontalo yang konsisten di atas 7%, padahal Banten memiliki potensi SDA yang jauh berlimpah serta posisi geostrategis yang jauh lebih baik dibandingkan dengan Gorontalo.

Beberapa Penyebab

Keseluruhan abstraksi permasalahan di atas secara makro menggambarkan perbedaan kualitas dan kesungguhan ikhtiar antar ketiga provinsi baru dimaksud, sehingga menghasilkan capaian yang berbeda-beda pula. Kreativitas dan inovasi nampaknya menjadi kata kunci yang paling tepat untuk mewakili keberhasilan provinsi

Gorontalo dan Bangka Belitung. Di luar konteks indikator makro di atas, tiga permasalahan berikut ini nampaknya juga sangat mendasar sifatnya, yang langsung atau tidak telah berdampak terhadap efektivitas pemerintahan dan pembangunan di Banten selama ini. Pertama, tidak terjalinnya harmoni antar kepemimpinan daerah, baik antara gubernur dan wakil gubernur serta antar kepala daerah di Provinsi Banten.

Karenanya, tidak ada kesamaan visi dalam memandang persoalan mendasar di Banten antar masing-masing kepala daerah, tidak ada common platform yang memungkinkan masing-masing bersinergi menuju satu tujuan yang sama.

Tidak jelasnya pembagian peran antara Gubernur dan Wakil

Gubernur sejak awal kepemimpinannya misalnya, telah menyebabkan

106 | B A N T E N E S i A tidak optimalnya fungsi kepemimpinan daerah. Wagub sangat nampak lebih banyak berperan dalam acara-acara seremonial semata, dan kurang berperan dalam pengambilan keputusan, koordinasi, dan pengendalian pemerintahan. Kapasitas dan pengalaman Wakil

Gubernur yang sangat panjang dan paripurna tidak nampak secara signifikan dalam membantu tugas-tugas Gubernur dalam memimpin dan melakukan percepatan pembangunan daerah karena tidak adanya political will dari kepala daerah.

Masih mengemukanya polemik bantuan keuangan provinsi kepada kabupaten/kota hingga kini juga menjadi indikasi nyata masih nyatanya disharmoni antarlevel pemerintahan dalam memahami dan mengentaskan persoalan mendasar Banten. Akibatnya, tidak ada sinergi yang memadai karena masing-masing bekerja sendiri tanpa ada otoritas yang mengkoordinasikannya.

Kedua, tidak ada meritokrasi dalam birokrasi pemerintahan daerah. Indikasinya tampak dari dikedepankannya kedekatan dan loyalitas dalam penempatan pejabat pemerintah daripada kompetensi dan kapabilitas. Kepentingan politik kepala daerah juga lebih mengemuka dalam penentuan pejabat di tiap-tiap SKPD. Beberapa indikasi umum yang mengemuka tampaknya dapat menjelaskan fenomena ini, antara lain: lambatnya pengisian sejumlah jabatan struktural yang kosong, seringnya kebijakan perpanjangan masa kerja pejabat setingkat eselon II sehingga berpotensi menghambat karir PNS

107 | B A N T E N E S i A di bawahnya, serta adanya indikasi kurang dipatuhinya asas kelayakan dan kepatutan (merit system) dalam pengangkatan pegawai dan pejabat.

Kondisi ini juga menyebabkan lambannya akselerasi pembangunan di tingkat lembaga-lembaga teknis daerah karena dipimpin oleh birokrat yang kurang cakap, sementara sejumlah birokrat yang cerdas dan berpengalaman justru tidak mendapat kesempatan untuk berkarya bagi kemajuan Banten.

Ketiga, Tidak fokusnya Pemerintah Provinsi dalam mengelola urusan wajibnya sendiri serta cenderung berorientasi pada capaian- capaian yang bersifat mercusuar. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya konsistensi dalam mengimplementasikan seluruh rencana yang telah disusunnya sehingga mudah berubah di tengah jalan karena mengakomodasi usulan dan kepentingan politik tertentu. Ketiga masalah inilah yang sebenarnya bersifat fundamental, karena terkait dengan kepemimpinan dan komitmennya terhadap terselengaranya pemerintahan yang baik dan pembangunan yang berkualitas guna mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Tingginya korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sebagaimana dilansir oleh KPK melalui survey Integritas

Pemerintahan Daerah yang rendah, serta Transparansi Internasional

Indonesia melalui Indeks Persepsi Korupsi yang cukup tinggi, merupakan buah dari ketiga sebab di atas. Sejumlah perkara korupsi yang menjerat beberapa pejabat pemerintah hanyalah puncak gunung

108 | B A N T E N E S i A es dari fenomena korupsi, kolusi, dan nepotisme yang faktanya mungkin jauh lebih menggurita dibanding apa yang nampak di permukaan. Fakta ini juga nampaknya relevan dengan riset yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (2008)40 yang menyebut

Banten tengah menuju ke arah bad governance berdasarkan sejumlah indikator kepemerintahan yang hampir seluruhnya memiliki indeks <

0,4.

Sejalan dengan sejumlah data dan fakta di atas, sumber-sumber keuangan daerah disinyalir dikuasai oleh kelompok kekuasaan tertentu.

Praktek monopoli proyek-proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah daerah yang bergulir hanya dari, oleh, dan untuk kepentingan kelompok tertentu, dari waktu ke waktu makin kuat, nyata, dan terbuka.Kualitas pekerjaan yang buruk, nilai proyek yang

‘fantastis’, serta pelaksana proyek yang hanya itu-itu saja menjadi indikasi praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dimaksud. Fakta dugaan korupsi pada kasus yang menyeret mantan kepala biro perlengkapan provinsi adalah bukti praktek korupsi yang dilakukan berulang-ulang dengan modus yang sama selama ini, perampokan uang rakyat melalui manipulasi harga tanah yang berkisar antara Rp.5000-

Rp.15.000/m namun dibayar oleh Pemerintah dengan harga

Rp.365.000/m. Akibatnya, pemerintah harus membayar biaya pembebasan lahan pertanian terpadu sebesar Rp.63,9 miliar dari harga

40 Lihat kertas kerja hasil penelitian PSKK UGM dan LAN FISIP UNTIRTA. 109 | B A N T E N E S i A sebenarnya yang hanya sebesar Rp.3,1 miliar.41 Modus yang sama sebenarnya juga terjadi pada sejumlah proyek pembebasan lahan untuk kepentingan pemerintah provinsi, termasuk pembebasan lahan di

KP3B.

Dari seluruh kecenderungan disorientasi di atas, kerusakan terparah sepanjang dasawarsa provinsi ini tampaknya sangat nyata terjadi pada tatanan demokrasi lokal. Demokrasi hanya dimanfaatkan sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaan sehingga hanya berkualitas pada prosedurnya namun sangat mengabaikan nilai dan subtansinya. Demokrasi yang sejatinya harus mampu menjamin sirkulasi kepemimpinan dari, oleh, dan untuk rakyat pada kenyataannya justru melahirkan aristokrasi dan atau oligarki.

Demokrasi yang terbelenggu oleh kapitalisasi politik yang disemai di atas rakyat pemilih yang tidak cerdas karena diabaikannya pendidikan politik. Kepemimpinan politik yang dipilih melalui sistem yang demokratis, namun justru menghasilkan aristokrasi baru sebagai output- nya yang kemudian menghegemoni kekuasaan dan seluruh sumberdaya daerah sehingga membentuk rejim otoritarian yang berbaju demokrasi. Yang paling parah adalah bahwa demokrasi kita ternyata telah sangat mengabaikan kompetensi dan integritas dalam rekrutmen politiknya, sehingga melahirkan pemimpin yang tidak kredibel dan berakhlak buruk.

41 http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=62596 110 | B A N T E N E S i A

Dan atas semua kecenderungan itu, perlu perubahan mendasar guna dapat melakukan lompatan dan percepatan pembangunan.

Perubahan mendasar dimaksud tidak sekedar dimaknai dengan perubahan pemimpin atau figurnya, namun perubahan rejim beserta paradigma kepemimpinannya, perubahan haluan dalam pemerintahan, serta perubahan mendasar pada mindset para penyelenggara pemerintahan daerah. Perubahan restoratif pada hal-hal yang penting dan mendasar, yang dilakukan dalam waktu yang cepat dengan menggunakan sistem yang berlaku dan didasarkan oleh kesadaran mendalam terhadap pentingnya perubahan tersebut untuk kemajuan dan kemaslahatan bangsa dan negara di masa depan. Dan karenanya, diperlukan perubahan mendasar di tingkat lokal guna mengukuhkan perubahan pada aras kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan yang mampu meluruskan dan kembali pada semangat dan cita-cita pembentukan Provinsi Banten. Perubahan pada keseluruhan tatanan dan budaya politik, demokrasi, pemerintahan, ekonomi, dan sosial- budaya yang berkeadaban. Serta perubahan yang lebih mampu mensejahterakan rakyat dengan bersendikan kemandirian dan keberdayaan rakyat sendiri untuk mensejahterakan dirinya. Bukan perubahan yang mengandalkan kelompok elit yang hanya mampu mensejahterakan dirinya sendiri.

111 | B A N T E N E S i A

Agenda Perubahan Banten

Perubahan di Banten haruslah dilakukan dengan mengedepankan semangat dan cita-cita pembentukan Provinsi Banten. Perubahan harus dilakukan karena kesadaran terhadap sejumlah kecenderungan negatif yang dapat mendekonstruksi kualitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada tingkat lokal, yang sejumlah data dan faktanya telah dikemukakan di muka. Abstraksi dari sejumlah kecenderungan negatif tersebut dapat dirumuskan dalam 13 kecenderungan negatif sebagai berikut:

1. Adanya kecenderungan kapitalisasi politik yang telah menyebabkan

mahalnya biaya demokrasi, yang kemudian menuntut pemenangnya

untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya, membalas

jasa para pendukung politiknya, memobilisasi fasilitas negara untuk

mendukung kekuasaannya, dan mengumpulkan modal untuk

mempertahankan kekuasaannya;

2. Sentralisasi kekuasaan politik pada satu tangan melalui praktek

politik dinasti menyebabkan tidak berfungsinya check and ballances

serta melemahnya peran stakeholders dalam melakukan fungsi social

control;

3. Praktek kepemerintahan yang mengabaikan meritokrasi dalam

penempatan pejabat birokrasi pemerintahan telah menyebabkan

distorsi dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik.

Kinerja birokrasi pun melambat karena tidak adanya iklim kompetisi

112 | B A N T E N E S i A

yang sehat. Di sisi lain, need for achievement pun melemah karena

loyalitas menjadi faktor paling utama dibandingkan dengan prestasi

dan kinerja;

4. Tidak adanya common platform antar pimpinan daerah di semua level

pemerintahan menyebabkan agenda pembangunan daerah

terselenggara tanpa sinergi sehingga percepatan pembangunan guna

mengeradikasi ketertinggalan, keterbelakangan, kebodohan, dan

kemiskinan berjalan lambat dan jauh dari harapan. Kondisi ini

diperparah dengan adanya gejala disharmoni yang nyata antar

pimpinan daerah akibat perbedaan latar belakang politik serta

buruknya komunikasi politik antar pimpinan tersebut;

5. Tidak fokusnya politik anggaran dan kebijakan dalam mengentaskan

permasalahan mendasar Banten. Kondisi ini dibarengi dengan

adanya kecenderungan orientasi proyek mercusuar sebagai kosmetik

dalam mencitrakan keberhasilan pembangunan, sementara potensi

SDA yang berlimpah tidak mampu didayagunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat;

6. Rekrutmen politik dalam praktek demokrasi lokal yang mengabaikan

aspirasi masyarakat, mengabaikan kelayakan dan kepatutan, serta

kapasitas dan integritas karena mengarusutamakan hubungan

darah/kekeluargaan dan kekuatan kapital;

7. Partai politik yang tidak mampu menjalankan fungsi utamanya

dalam melakukan pendidikan politik, sosialisasi dan komunikasi 113 | B A N T E N E S i A

politik, rekrutmen politik, dan meresolusi konflik. Partai juga tidak

mampu menjalankan perannya dalam mengagregasi dan

mengartikulasi kepentingan yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat, bahkan melacurkan diri hanya menjadi ‘perahu sewaan’

dalam setiap Pemilukada;

8. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan, dibarengi dengan kurang

berfungsinya kelas menengah sebagai creative minority guna

mewakili dan menjadi trigger perubahan bagi silent majority;

9. Kemitraan yang sehat dengan para pemangku kepentingan juga

kurang terbina dengan baik sehingga kapasitas pembangunan masih

sangat terbatas. Potensi perguruan tinggi, pondok pesantren, dan

industri yang sangat besar tidak cukup diberdayakan dalam

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah;

10. Lemahnya law enforcement di daerah menyebabkan rendahnya

kepercayaan publik pada integritas pemerintah daerah. Tingginya

indeks persepsi korupsi, rendahnya integritas pemerintah daerah,

serta rendahnya akuntabilitas adalah indikasi yang sangat nyata dari

sinyalemen tersebut. Kondisi ini juga diiringi dengan lemahnya

implementasi prinsip reward and punishment dalam praktek

kepemerintahan daerah sehingga gejala pengabaian supremasi

hukum makin terjadi secara massif dan sistemik;

11. Kaum cendekiawan dan ulama kurang mendapat tempat yang 114 | B A N T E N E S i A

pantas dalam pemerintahan sehingga pemerintahan berjalan tanpa

dilandasi oleh hikmah kebijaksanaan serta tidak berciri knowledge

based government dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan

publiknya;

12. Terabaikannya nilai-nilai kearifan lokal dalam praktek politik dan

demokrasi lokal telah menyebabkan hilangnya jatidiri masyarakat

daerah. Sementara, praktek kebijakan dan pembangunan daerah

yang dilakukan juga tidak mencerminkan manifestasi dari ‚iman dan

taqwa‛ sebagai core values dari kearifan lokal tersebut;

13. Pendidikan dan Pembangunan daerah tidak mampu menjadi

wahana transformasi bagi masyarakat, sehingga kebodohan dan

perilaku kekerasan masih menjadi stigma negatif masyarakat Banten.

Kejawaraan sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat masih

berstigma negatif karena tidak mampu ditransformasikan sebagai

energi positif bagi pembangunan daerah seperti halnya transformasi

kaum Samurai pada era restorasi Meiji.

Penutup

Terdapat tiga alasan mendasar yang menggelorakan semangat pemisahan diri Banten dari provinsi Jawa Barat, yang kemudian didorong dan didesakkan oleh para tokoh masyarakat, ulama, para politisi yang berasal dari daerah ini seiring dengan menggeloranya arus reformasi.

115 | B A N T E N E S i A

Pertama, alasan ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Keterbelakangan pendidikan dan kesejahteraan ekonomi, prasana fisik berupa jalan dan gedung-gedung sekolah yang masih belum layak dan tidak terjangkau pembangunan pihak pemerintah provinsi Jawa Barat, membuat keinginan pemisahan diri menguat. Masyarakat berharap banyak perbaikan kehidupan ekonomi, tingkat kesejahteraan dan pendidikan, pembangunan berbagai prasaran fisik penunjang dapat lebih dioptimalkan paska terbentuknya provinsi Banten.

Kedua, alasan historis-sosiologis yang ingin mengembalikan kejayaan Banten masa lalu. Kesultanan Banten pernah mencapai puncak kejayaan di bawah pemerintahan Syarif Hidayatullah sekitar tahun

1525. Pada masa itu, Banten menjadi negeri mandiri dengan pelabuhan

Karangantu sebagai daya tarik utama perekonomiannya yang memberikan efek positif kesejahteraan ekonomi rakyat setempat, juga penyebaran agama Islam. Pada tahun 1526 berdiri Kadipaten Banten di

Surasowan, dan sejak 1552 dimulailah pemerintahan kesultanan, yang berakhir pada Sultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820) yang kemudian dihapus oleh Daendels. Melalui aktivitas perdagangan di pelabuhan tersebut, maka daerah ini menjadi salah satu tempat strategis dan disegani di Jawadwipa yang juga mengundang eksploitasi kaum penjajah. Aktivitas perdagangan yang melibatkan berbagai negara seperti Cina, Arab, Persia, Gujarat India, dan Melayu telah mencerminkan kota kosmopolit dengan heterogenitas kultur dan

116 | B A N T E N E S i A bahkan wajah global village sebagaimana ‚diimpikan‛ pada era globalisasi saat ini.

Ketiga, alasan politis yang menginginkan adanya pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh orang Banten sendiri yang dianggap lebih dapat memahami kepentingan masyarakat Banten. Dengan alasan ini juga bermaksud mengakomodasi perkembangan politik lokal di Banten yang tidak lagi dapat diakomodasi oleh daerah induknya, seiring dengan perubahan politik di tingkat nasional.

Keinginan untuk menciptakan kembali kejayan masa lalu, yang dicapai dengan 'kemandirian' Banten, menjadikan semangat pembentukan provinsi memperoleh dukungan luas masyarakat.

Masyarakat Banten sejak dahulu dikenal sebagai masyarakat religius yang memegang teguh Islam dalam sebagian besar kehidupan sosialnya. Kebesaran pemerintahan kesultanan Islam bukan tercatat karena kebesaran armada perangnya namun lebih esensial daripada itu adalah karena efektivitasnya dalam memberikan kesejahteraan ekonomi politik bagi rakyatnya. Agama Islam tidak hanya berfungsi an sich sebagai agama yang berdimensi vertikal, tetapi ia juga berdimensi horizontal yang mengilhami konsep-konsep kesejahteraan sosial sekaligus mengilhami sumber perlawanan terhadap penjajah yang anti-

Islam dan kemanusiaan.

Perubahan mendasar diperlukan guna mewujudkan ketiga alasan mendasar tersebut menjadi kenyataan. Dan dengan perubahan

117 | B A N T E N E S i A mendasar itu maka diharapkan akan lebih mampu memberikan jaminan bagi terbangunnya knowledge based society, masyarakat cerdas dan terpelajar, yang dengannya dapat menjadi prakondisi menuju terbangunnya masyarakat yang sejahtera (welfare), menuju terciptanya masyarakat yang berbudaya (cultured society), serta tercapainya masyarakat yang beradab (civilized society) sebagai the end of goal-nya.

Inilah sesungguhnya hakikat dari cita-cita Banten darussalam, negeri yang baldhatun thoyyibatun warobbun ghofur. Amien.

Daftar Pustaka http://korantransaksi.com/trans-ekonomi/pemprov-banten-harus- menuntaskan-kemiskinan-sampai-akar/ http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek= 26¬ab=2 http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek= 26¬ab=2 http://www.depkes.go.id/downloads/profil_kesehatan_2009/index.html. http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle &artid=61389.

------, 53816

------, 59411

------, 62596 http://www.republika.co.id/berita/breaking- news/nusantara/10/12/09/151439-ratusan-desa-di-lebak-masih- tertinggal

118 | B A N T E N E S i A http://banten.antaranews.com/berita/13104/bupati-pandeglang-minta- antam-bantu-desa-tertinggal

Ismanto, ‘Habis Gelap Terbitkah Terang’, Gong Publishing, Serang, 2010, hal.1-10

Kertas kerja hasil penelitian PSKK UGM dan LAN FISIP UNTIRTA.

119 | B A N T E N E S i A

120 | B A N T E N E S i A

ANALISIS PERILAKU KOMUNIKASI ELIT LOKAL DAN ANGGOTA DPRD PROVINSI BANTEN PERIODE 2009-2014 Studi Kasus Atas Dugaan Manipulasi Laporan Reses Anggota DPRD Provinsi Banten Tahun Kegiatan 2010

Oleh : Iman Mukhroman

Pendahuluan

Pada dasarnya proses pembentukkan Provinsi Banten sampai dengan disyahkannya menjadi suatu Provinsi tersendiri pada 4 Oktober tahun 2000 oleh DPR RI, tidak terlepas dari peran elit lokal dan media massa sebagai desiminator informasi. Pada sekitar tahun 1999-2000, para opinion leader ataupun elit Banten yang ada di wilayah keresidenan

Banten, ataupun di luar Banten, terlebih para pelaku sejarah pada tahun

1963 dari unsur pelajar-mahasiswa ketika itu, yang dimotori oleh H.

Uwes Corny (Lebak-sudah meninggal tahun 2004), memanfaatkan situasi euporia reformasi tersebut sebagai celah terbukanya ruang publik bagi masyarakat Banten untuk mewujudkan terbentuknya

121 | B A N T E N E S i A

Provinsi Banten. Dialah elit lokal yang menjadi motor penggerak dalam mengorganisasikan semua elemen masyarakat bersatu padu dan bersinergi berjuang dari satu komunitas ke komunitas lain, dari satu kota/kabupaten ke kota/kabupaten lain, dari satu media ke media lain hanya sekedar berdiskusi-bertukar pikiran membuat opini publik untuk mewujudkan Provinsi Banten sampai akhirnya disyahkan oleh DPR RI.

Pada dasarnya elit lokal mempunyai peran yang cukup signifikan dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis dan mendorong demokratisasi di tingkat lokal. Elit lokal disini adalah orang perorangan atau aliansi dari orang yang dinilai pintar dan mempunyai pengaruh di dalam masyarakat, misalnya para tokoh masyarakat, pemuka agama, dan orang-orang yang mempunyai kemampauan finansial yang relatif tinggi dibanding masyarakat umum. Atau dengan kata lain elit lokal diartikan sebagai elit non politik.

Diberlakukannya otonomi daerah (Otda) melalui Undang-undang

No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang

No.25 Tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pusat dan

Daerah, kemudian diamandemen dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, pada awalnya diyakini akan mampu mendorong percepatan terwujudnya tata pemerintahan yang baik, akan tetapi di lapangan banyak temuan yang menunjukkan bahwa otonomi daerah yang tidak dimbangi oleh perbaikan tata pemerintahan, justru merugikan kepentingan publik. Karenanya, penguatan peran dan

122 | B A N T E N E S i A kapasitas elit lokal dan lembaga nonpemerintah untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap jalannya sistem pemerintahan daerah yang pro rakyat.

Dalam konteks politik lokal, diberlakukanya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut di atas masih membuat banyak kalangan yang khawatir akan munculnya ‚raja-raja kecil’ di daerah. Di

Banten, kekhawatiran akan dugaan tersebut menjadi nyata manakala

TB. Haji Chasan Sochib dan keluarganya yang membangun sebuah kelompok yang dikenal dengan nama Kelompok RAWU — karena kantornya berpusat di daerah Rawu — telah menggurita dan menjadi kekuatan besar di Banten. Kelompok ini lah yang menjadi kumpulan elit lokal Banten yang tentunya mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat Banten. Inilah yang mungkin membuat dinasti Chasan

Sohib begitu kuat secara ekonomi dan politik, inilah yang kemudian membuat putrinya, Rt. Atut Chosiyah, terpilih menjadi Gubernur

Banten 2007-2012, setelah sebelumnya menjadi Plt. Gubernur; diikuti kemudian oleh putranya yang lain Tb. Khaerul Zaman sebagai Wakil

Walikota Serang 2009-2014, belum lagi ketika PEMILU Legislatif 2009 kemarin, yang mana istri, putra-putri, mantu, cucu, cucu-menantu terpilih menjadi anggota legislatif mulai dari DPRD kabupaten/kota,

DPRD Provinsi, DPR dan DPD RI, pada PEMILUKADA kabupaten

Serang Mei 2010, Putrinya yang lain Rt. Tatu Chasanah yang tadinya wakil ketua DPRD Provinsi Banten terpilih menjadi Wakil Bupati

123 | B A N T E N E S i A

Serang, kemudian pada PEMILUKADA kabupaten Pandeglang 2010

Ibu tirinya Gubernur Banten juga terpilih menjadi Wakil Bupati

Pandeglang, meski sempat diulang proses Pemilukadanya oleh

Mahkamah Kostitusi (MK), dan terakhir adik iparnya Gubernur, Airin

Rachmi Diani akhirnya terpilih menjadi Walikota Tangerang Selatan, setelah MK memutuskan hasil pemilukada ulang yang menempatkan

Airin sebagai peraih suara terbanyak menjadi syah.

Berkenaan dengan keberadaan para wakil rakyat di DPRD

Provinsi Banten 2009-2014 pun, sesunguhnya juga tidak terlepas dari lingkaran elit lokal, khususnya partai-partai nasionalis memiliki kecenderungan berafiliasi dengan kelompok RAWU tersebut di atas.

Kondisi ini sebenarnya bisa dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan bentuk dari partisipasi elit lokal dalam berdemokrasi. Tetapi yang menjadi masalah ketika elit lokal memanfaatkan kekuasaannya untuk memonopoli masyarakat atau masa politik dengan mengarahkan pada pilihan tertentu. Selain itu banyak juga terjadi kerusahan-kerusahan ditingkat lokal yang dipacu oleh provokasi elit lokal. Karenanya, wajar pula kalau kemudian sekarang-sekarang ini sebagian internal wakil rakyat di DPRD Provinsi Banten 2009-2014 mulai mempertanyakan kinerja anggota DPRD yang lainnya, terutama menyangkut hasil reses, yang biasanya dilakukan ketika masa persidangan per tiga bulan berakhir. Berkaca pada periode sebelumnya, diduga reses acapkali dilakukan hanya untuk konsolidasi anggota DPRD waktu itu dengan

124 | B A N T E N E S i A konstituennya untuk kampanye Plt. Gubernur waktu itu (sekarang sudah menjadi gubernur terpilih) dengan mengabaikan substansi sesungguhnya dari reses, yakni menyerap aspirasi masyarakat di daerah yang diwakilinya terhadap proses dan kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah Provinsi Banten. Hal ini lah yang kemudian masih menular ke sebagian anggota DPRD untuk tidak menganggap penting esensi reses, yang penting laporannya ada, meski tidak turun langsung terjun ke daerah pemilihannya.

Idealnya dalam masa reses kegiatan anggota DPRD di daerah pemilihannya melakukan serangkaian kegiatan dalam menyerap aspirasi masyarakat secara berkelompok dan perseorangan. Kegiatan yang dilakukan dalam bentuk dialog atau tatap muka antara wakil rakyat dan rakyat. Hal ini akan memperkuat fungsi komunikasi anggota dewan terhadap konstituen di daerah pemilihannya. Kegiatan untuk menemui konstituen dan datang ke daerah pemilihan dilakukan anggota dewan di masa reses. Dalam kegiatannya anggota dewan akan melakukan komunikasi politik dalam menyerap aspirasi masyarakat.

Namun yang terjadi selama ini diduga kegiatan anggota dewan di masa reses dilakukan tanpa ada aturan yang baku, seperti apa komunikasi politik hendaknya dilakukan oleh anggota dewan terhadap konstituen di daerah pemilihannya. Karenanya kunjungan kerja dalam masa reses ke daerah pemilihan bagi anggota DPRD seolah hanya sebatas melepas kewajiban. Inilah yang mungkin membuat kegiatan reses ini diduga

125 | B A N T E N E S i A banyak dimanipulasi dalam hal laporan yang seperti yang terjadi pada kegiatan reses anggota DPRD Provinsi Banten 2009-2014 di awal tahun kegiatan anggaran 2010.

Masalah dugaan manipulasi laporan kegiatan reses ini mencuat kali pertama oleh Ananta Wahana, anggota DPRD sekaligus Ketua

Fraksi PDIP DPRD Provinsi Banten 2009-2014 yang membuka kedok ketidakberesan reses anggota DPRD Provinsi di awal tahun anggaran

2010 ini, sebagaimana dilansir oleh berbagai media massa, terlebih surat kabar lokal, salah satunya sebagai berikut :

‚ Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Banten Ananta Wahana, kemarin, blak-blakan membeberkan perbuatan tidak terpuji anggota DPRD Banten. Ia menduga ada anggota yang memanipulasi laporan keuangan reses. Indikasinya, tandatangan konstituen dan kwitansi bukti reses dibuat mereka sendiri atau oleh staf Sekretariat DPRD. ‚Walaupun anggota dewan itu benar- benar reses atau tidak, tetap saja laporannya palsu,‛ ungkap Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Banten Ananta Wahana saat berdialog dengan sejumlah wartawan, Kamis (29/4). Kata Ananta, reses anggota DPRD Provinsi Banten sejak kemarin hingga Kamis (6/5)‛. (sumber HU. Radar Banten, 30 April 2010)

Kabar tersebut kemudian langsung dibantah oleh Ketua DPRD

Provinsi Banten Aeng Haerudin, yang menyatakan :

‚ Pernyataan Ketua Fraksi PDIP DPRD Banten Ananta Wahana yang menduga ada manipulasi data konstituen dan laporan keuangan reses anggota dewan dibantah mentah-mentah Ketua DPRD Banten Aeng Haerudin Bahkan Aeng menegaskan siap memberikan laporan reses 85 anggota DPRD Banten jika diminta. ‚Kalau ingin cek and ricek anggota DPRD Banten melalukan reses

126 | B A N T E N E S i A

atau tidak, ya silakan. Tapi kalau minta laporannya, selama aturan itu ada, saya rasa tidak ada yang keberatan‛. (sumber HU. Radar Banten, 01 Mei 2010)

Sejak itulah kemudian silang pendapat diantara para anggota

DPRD Provinsi bermunculan, juga pendapat, opini ataupun tanggapan masyarakat pun beragam. Para elit lokal, baik yang tua terlebih yang muda-muda terus menyuarakan adanya keterbukaan publik terhadap hasil reses DPRD Provinsi Banten tersebut. ‚Ah, Jangan-Jangan Data

Reses DPRD Banten Manipulatif?‛ begitu komentar seorang kawan,

Ikhsan Ahmad ketika menuliskan opininya di HU. Banten Raya Post.

Untuk membuktikan dugaan manipulasi laporan reses tersebut di atas, dalam menyampaikan pendapat, opini ataupun laporan perihal reses yang dilakukan anggota DPRD Provinsi Banten, dibutuhkan strategi komunikasi yang sesuai dengan perilaku komunikasi mereka agar komunikasi dapat efektif. Perilaku komunikasi elit lokal kemungkinan besar sangat bervariasi, karena motivasi dan karakteristik pribadi individu yang berbeda pula. Elit Lokal yang biasanya terdiri dari berbagai kelompok sosial ekonomi, yang masing-masing kelompok mempunyai perilaku komunikasi yang berbeda. Perilaku komunikasi disini diartikan sebagai upaya elit lokal Banten dalam menerima dan mencari informasi soal reses yang dilakukan oleh anggota DPRD

Provinsi Banten, termasuk upaya memilih saluran komunikasi yang tersedia dan sesuai dengan kondisi lingkungan sosial di tempat tinggalnya maupun dimensi waktu bagi aktivitas tersebut. Keragaman 127 | B A N T E N E S i A perilaku komunikasi berkaitan erat dengan karakteristik pribadi individu.

Berdasarkan uraian-uraian yang mengemuka pada latar belakang penelitian, penulis mencoba merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : (1) Bagaimana Perilaku Komunikasi Elit Lokal dalam mensikapi dugaan Manipulasi Laporan Reses Anggota DPRD Provinsi

Banten tahun Kegiatan / Anggaran 2010 ? (2) Apakah ditemukan perbedaan interaksi perilaku Komunikasi dari Elit Lokal Banten dalam mensikapi kasus dugaan manipulasi laporan reses Anggota DPRD tahun Kegiatan / Anggaran 2010 ?

Kerangka Pemikiran Teoritis

Pada penelitian ini peneliti menggunakan paradigma atau perspektif teori ilmu komunikasi merujuk pada pendekatan postpositivisme. Dalam hal ini, Post positivisme merupakan pemikiran yang menggugat asumsi dan kebenaran positivisme. Menurut pandangan postpositivisme, kebenaran tidaklah tunggal tetapi lebih kompleks, sehingga tidak dapat diikat oleh satu teori tertentu saja.

Muhadjir (2000:79) menyatakan bahwa karakteristik utama paradigma postpositivisme adalah pencarian makna di balik data. Miller (2005:41) menyatakan “Thus, post-postivists scholars attempt to build theory and conduct research in ways that will enhance the objectivity of the research and lead to accurate explanations of the social world.”, yang berarti orang-orang pos positivisme berusaha untuk membangun teori dan melakukan

128 | B A N T E N E S i A penelitian dengan cara yang akan meningkatkan objektivitas penelitian dan mengarah pada penjelasan yang akurat tentang dunia sosial.

Dalam Penelitian ini peneliti menggunakan landasan teori merujuk pada interaksionisme simbolik. Sebagai suatu teori, interaksi simbolik mencoba melihat realitas sosial yang diciptakan manusia.

Manusia memiliki kemampuan untuk berinteraksi secara simbolik

(Fisher, 1986:23). Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.

Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat

(Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh

Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.

Komunikasi dalam perspektif interaksi simbolik digambarkan sebagai pembentukan makna, yakni penafsiran atas pesan atau perilaku orang lain oleh para peserta komunikasi. Interaksi simbolik dilakukan dengan menggunakan bahasa, sebagai salah satu simbol yang

129 | B A N T E N E S i A terpenting dan isyarat. Akan tetapi, simbol bukan merupakan faktor yang terjadi, simbol merupakan suatu proses yang berlenjut yaitu suatu proses penyampaian makna. Dan proses penyampaian makna dan simbol inilah yang menjadi subject matter dalam interaksi simbolik.

Dalam proses ini, individu mengantisipasi reaksi orang lain, mencari alternatif-alternatif ucapan atau tindakan yang akan dilakukan.

Individu membayangkan bagaimana orang lain akan merespons tindakan mereka.

Berdasarkan pemahaman teori klasik elit bahwa dalam kehidupan demokrasi sekalipun di setiap negara dan organisasi, selalu terdapat kelompok minoritas yang membuat kebijakan. Chilcote (1981:349) menyatakan Vilfredo Pareto membagi kelas dalam dua bagian, yaitu elit dan non elit yang melampaui jauh daripada sekedar pandangan determinisme ekonomi ala Karl Marx. Gagasan Pareto tentang elit dan non elit beranjak dari kemungkinan terjadinya suatu perubahan dikalangan elit (elite circulation). Hal yang pasti adalah kelas elit mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menentukan kehidupan suatu negara dan bahkan di lingkup organisasi yang menaunginya sekalipun. Pengaruh ini tidak saja disebabkan oleh resources yang berbeda dari elit dibandingkan non elit, tetapi juga terhadap apa yang dianggap perlu dilakukan oleh kelompok besar massa itu sendiri dan di tingkat negara sekalipun, yaitu terkait dengan cara-cara yang akan dilakukannya, Meskipun Gaetano Mosca menyatakan, keharusan adanya

130 | B A N T E N E S i A dukungan massa bagi elit agar dapat establish dalam memerintah, tetapi tampaknya peranan yang sangat menentukan dari elit tetap penting diperhatikan secara cermat.

Dalam penelitian ini selain menggunakan teori interaksi simbolik, juga menggunakan teori pertukaran sosial (Social Exchange). Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang.

Thibaut dan Kelley mendasarkan teori ini pada dua konseptualisasi, yakni; satu berfokus pada sifat dasar dari individu- individu dan satu lagi mendeskripsikan hubungan antara dua orang. Mereka melihat pada pengurangan dorongan, suatu motivator internal, untuk memahami individu- individu dan juga melihat pada prinsip- prinsip permainan untuk memahami hubungan antarmanusia ( Richard West,2009 : 218).

Intinya teori ini menekankan bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya.

Pembahasan

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dugaaan manipulasi laporan reses pertama kali mencuat oleh pernyataan Ananta Wahana, anggota DPRD sekaligus Ketua Fraksi PDIP DPRD Provinsi Banten

2009-2014 yang dilansir oleh berbagai media massa lokal, yang kemudian langsung dibantah oleh Aeng Haerudin yang juga dilansir oleh berbagai media massa lokal.

131 | B A N T E N E S i A

Hal tersebut di atas tentunya memicu beragam pendapat, tanggapan, persepsi, prasangka maupun respon masyarakat, terlebih elit lokal melalui komentar maupun pendapatnya yang diekspos oleh media massa. Seperti surat kabar HU. Radar Banten dan HU. Banten

Raya Pos misalnya secara intens membahas soal dugaan manipulasi reses ini dimulai dari saat pertama kali pernyataan Ananta Wahana itu diungkap akhir bulan April (30 April 2010) sampai dengan hasil laporan reses itu diparipurnakan bulan Juni (22 Juni) 2010. Tercatat surat kabar

HU. Radar Banten memberitakan seputar dugaan masalah manipulasi laporan reses itu sebanyak 18 (delapan) belas berita, kemudian HU.

Banten Raya Pos sebanyak 10 (sepuluh) berita, dan HU. Kabar Banten, yang tidak begitu intens, hanya sebanyak 3 (tiga) berita.

Elit lokal maupun insan media massa kemudian dalam pendekatan interaksi simbolik melakukan pengelolaan kesan baik secara verbal maupun non verbal terhadap perilaku anggota DPRD ketika reses dan menganggap bahwasanya persoalan reses yang terindikasi dimanipulasi laporannya oleh Anggota DPRD menjadi menarik perhatian untuk disikapi karena bersamaan dengan berlakunya

UU. Keterbukaan Informasi Publik Tahun 2008 pada 01 April 2010.

Pengelolaan kesan elit lokal, dari sebagian elemen masyarakat kemudian diaktualisasikan melalui aksi-aksi demontrasi dari perwakilan mahasiswa ataupun lembaga swadaya masyarakat yang menuntut anggota DPRD Banten meningkatkan tanggungjawab dan

132 | B A N T E N E S i A kinerjanya dalam membangun transaparansi dalam hal pelaporan kegiatan reses, begitupun dengan media massa lokal yang selalu mengawal persoalan isu dugaan manipulasi laporan reses, dengan pemberitaan-pemberitaan yang kritis dan berimbang. Hal ini diakui oleh pihak media massa sebagai wujud fungsi kontrol dari surat kabar lokal terhadap kedisiplinan anggota DPRD Banten dalam melaksanakan reses, terlebih para anggota DPRD Banten tersebut menggunakan pembiayaan dari APBD Provinsi Banten sekitar 20 juta rupiah lebih per orang. Karenanya, sudah sewajarnyalah kemudian pihak media massa lokal mengangkat persoalan tersebut, dengan lebih mendalami persoalan tersebut melalui narasumber-narasumber yang kiranya memiliki kelayakan menguasai persoalan tersebut, disamping juga kemudian concern untuk mensikapi persoalan-persoalan seputar isu dugaan manipulasi tersebut.

Melalui narasumber-narasumber elit lokal yang terpilih tersebut kemudian pihak media massa lokal mengkonstruksi informasi tersebut menjadi suatu berita yang dimaksudkan untuk memberikan tekanan ataupun edukasi pada anggota DPRD Banten untuk bisa menunjukkan kinerja yang lebih baik lagi dalam kegiatan-kegiatan reses. Semisal dengan meminta pendapat dari akademisi lokal, seperti Ikhsan Ahmad,

Gandung Ismanto, Abdul Hamid tidak lebih untuk memberikan edukasi politik bagi anggota DPRD untuk bisa memahami bagaimana mereka seharusnya bekerja dan beraktivitas dalam kegiatan reses,

133 | B A N T E N E S i A terlebih bagaimana menggunakan dana reses itu dengan benar. Meski memang disadari oleh elit lokal dan media massa, sulit kiranya untuk mengubah sekejap pola kerja anggota DPRD yang sarat dengan kepentingan politis dengan pelaporan yang benar sesuai aturan keuangan negara, karena ada varian-varian kegiatan politik yang sulit dilaporkan.

Dalam hal perilaku komunikasi elit lokal dan anggota DPRD

Banten dalam dugaan manipulasi laporan kegiatan reses, seperti yang muncul dari persepsi, tanggapan ataupun respon elit lokal dan insan media massa lokal, merujuk pada pendapat Nimmo (2000:30) teridentifikasi menjadi tiga kategori politikus, yakni : politikus yang bertindak sebagai komunikator politik, yang diwakili oleh kalangan anggota dan pimpinan DPRD Banten; komunikator profesional dalam politik, yang diwakili oleh pakar praktisi ataupun pemerhati politik, hukum dan ilmu administrasi negara ataupun staf sekretariat DPRD dan Kades/Sekdes; serta aktivis atau komunikator paruh waktu (part time), yang diwakili oleh juru bicara perwakilan aksi massa dari elemen mahasiswa ataupun LSM.

Dalam persoalan pemberitaan dugaan manipulasi laporan hasil reses anggota DPRD Banten, media massa lokal sudah berupaya menjadi mediator antara kepentingan politik anggota DPRD dengan kepentingan politik elit lokal atau masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Mc Nair (2003 : 12) bahwa media memiliki peran penting

134 | B A N T E N E S i A dalam proses komunikasi terlebih dalam konteks komunikasi politik, baik itu sebagai penyalur komunikasi politik dan sebagai media pengirim pesan – pesan politik yang dikonstruksi oleh jurnalis. Dalam hal ini politisi setidaknya berharap melalui pemberitaan di media lah, pesan – pesannya tersampaikan kepada audience sesuai yang diharapkannya.

Kontinyuitas pemberitaan seputar isu dugaan manipulasi laporan reses anggota DPRD Banten bagi media massa lokal, tidak lepas dari kedekatan emosional dengan narasumber yang pertama kali mengungkap isu tersebut. Bagi mereka, dengan ungkapan langsung dari seorang Ananta Wahana, yang notabene ketua Fraksi PDIP Banten, tentunya memberikan nilai lebih bagi penguatan bahwa memang benar adanya di lingkungan DPRD Banten masih sarat dengan praktik-praktik laporan yang manipulatif. Begitupun dengan persepsi dan respon elit lokal persoalan tersebut juga tidak lepas dari kedekatannya dengan media massa lokal dan sumber lainnya. Dalam pendekatan teori pertukaran sosial, hubungan diantara mereka sebagai ibarat suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Individu Elit lokal melakukan interaksi komunikasi sebagai pertukaran kepentingan ide-ide ataupun gagasan elit lokal dengan Anggota DPRD Provinsi terkait dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.

135 | B A N T E N E S i A

Yang terpenting kiranya dari bagaimana perilaku elit lokal termasuk didalamya insan media massa dalam mensikapi persoalan dugaan manipulasi laporan reses anggota DPRD Banten 2009-2014 dalam tahun kegiatan / anggaran 2010 baik melalui pemberitaan di surat kabar lokal, tv lokal maupun diskusi ataupun seminar adalah adanya perubahan-perubahan yang cukup prinsipil, meski menjadi kontraproduktif, semisal soal aturan tatib yang mengatur soal reses, pada tatib DPRD Banten tahun 2009 reses masuk pada pasal 61, yang mana pada bagian point 4 dan 5nya menegaskan bahwa laporan reses selambat-lambatnya disampaikan tujuh hari setelah reses dilakukan.

Nah, pada tatib DPRD Banten tahun 2010 yang disahkan bersamaan dengan paripurna reses anggota DPRD, aturan soal reses tidak terdapat lagi pada pasal 61 tetapi masuk pada pasal 64, namun tidak ada lagi kata-kata laporan reses disampaikan selambat-lambatnya tujuh hari setelah reses dilaksanakan, sehingga bisa dimungkinkan kegiatan reses dalam tahun 2011 apabila tidak lagi dikontrol oleh elit lokal dan juga insan media massa lokal, dikhawatirkan dalam hal pelaporannya dibuat semaunya, karena tidak ada lagi batasan waktu dalam penyampaian laporan hasil reses tersebut.

Penutup

Sesuai dengan UU No.22 Tahun 2003, Anggota DPRD mempunyai kewajiban dalam masa reses untuk memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya.

136 | B A N T E N E S i A

Karenanya, dalam masa reses kegiatan anggota DPRD di daerah pemilihannya melakukan serangkaian kegiatan dalam menyerap aspirasi masyarakat secara berkelompok dan perseorangan. Kegiatan yang dilakukan dalam bentuk dialog atau tatap muka antara wakil rakyat dan rakyat. Hal ini akan memperkuat fungsi komunikasi anggota dewan terhadap konstituen di daerah pemilihannya.

Untuk itu, pihak Anggota dan Pimpinan DPRD diharapkan untuk melakukan transformasi agar kegiatan reses ini bisa berhasil dan berdaya guna dengan penggunaan anggaran yang sesuai dengan peruntukkan dan kebutuhan di lapangan. Di satu sisi kerja-kerja di lapangan politik tidak mudah untuk bisa selalu taat asas pada aturan yang berlaku, tapi pada sisi lain kerja-kerja politik pun harus mengikuti aturan Undang-undang Keterbukaan Informasi publik, manakala ada informasi yang masuk ranah publik, sudah seharusnya anggota dan

Pimpinan DPRD membuka data tersebut ke publik, termasuk didalamnya data soal reses dewan.

Bagi Elit Lokal termasuk didalamnya juga insan media massa lokal tentunya harus selalu mengawal dan mengingatkan bahwa kegiatan reses anggota DPRD Banten harus memberikan nilai tanggung jawab yang besar, sebanding dengan besaran anggaran reses yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan masa reses, yang notabene diambil dari dana

APBD.

137 | B A N T E N E S i A

Daftar Pustaka

Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana Prenada Media.

Denzin, Norman K. And Tvonna S. 1994. Lincoln (Eds), Handbooks of Qualitative Research. London : Sage.

Fisher, Aubrey, 1986, Teori-teori Komunikasi (penyunting: Jalaludin Rakmat), Bandung: Remaja Karya.

J. Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000.

LittleJhon, Stephen W and Karenn A. Foss. 2009. Theories of Communication. Ninth Edition. USA: Thomson Wadsworth.

Mc Nair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication). London : Routledge

Miller, Khaterine. 2005. Coomunication Theories, Perspectives, Processes, and Contexts. Second edition. USA : Mc. Graw Hill International

Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Yogyakarta: Rakesarasin.

Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nimmo, Dan. 2000. Komunikasi Politik. Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Surakhmad, Winarno, 2000. Pengantar Penelitian Ilmiah, Metode dan Taktik. Bandung : Tarsito

138 | B A N T E N E S i A

Tellis, Winston. 1997. Application of a Case Study Methodologi, The Qualitative Report,Volume3,Number 3, September (http://www.nova.edu/sss/QR/QR3-3/tellis2.html).

West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.

Yin, Robert K. 1994. Case Study Research: Design and Methods, (Beverly Hills: Sage Publica-tion)

Komite Pembetukan Provinsi Banten (KPPB). 1999. Pokok-Pokok Pikiran Pembentukan Provinsi Banten. Serang.

Berita HU. Radar Banten, 30 April dan 01 Mei 2010.

139 | B A N T E N E S i A

140 | B A N T E N E S i A

ANALISIS LINGKUNGAN DALAM MENENTUKAN TUJUAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA BANTEN

Oleh : Ipah Ema Jumiati

Pendahuluan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sebagai institusi yang berada dalam naungan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) dalam perjalanannya mengalami perkembangan yang pesat di bidang pendidikan tinggi. Terlebih dengan adanya perubahan status dari perguruan tinggi swasta menjadi perguruan tinggi negeri semakin memperkuat posisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sebagai kampus yang dipercaya masyarakat Banten khususnya dan masyarakat

Indonesia pada umumnya, sebagai tempat menuntut dan menimba ilmu menuju jenjang kesarjanaan.

Pada hakekatnya kesuksesan Untirta adalah juga menjadi kesuksesan semua fakultas yang ada di dalamnya, termasuk Fakultas

141 | B A N T E N E S i A

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Untuk mencapai kesuksesan tersebut tentunya banyak hal yang harus dilakukan dan menjadi pekerjaan rumah bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, diantaranya adalah perlu adanya penerapan manajemen strategis untuk senantiasa mengantisipasi perubahan baik dari lingkungan internal maupun eksternal.

Manajemen strategis adalah serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja organisasi dalam jangka panjang yang meliputi pengamatan lingkungan, perumusan strategi (perencanaan strategis atau perencanaan jangka panjang), implementasi strategi, dan evaluasi serta pengendalian. Lebih lanjut dikatakan bahwa manajemen strategis menekankan pada pengamatan dan analisis peluang dan ancaman lingkungan dengan melihat kekuatan dan kelemahan organisasi.

Pengetahuan tentang manajemen strategis sangat penting bagi kinerja organisasi yang efektif dalam lingkungan yang berubah.

Penggunaan perencanaan strategis dan pemilihan latihan-latihan alternatif dari tindakan berdasarkan penilaian faktor-faktor internal dan eksternal, merupakan bagian penting dari pekerjaan manajer.

Kemudian dorongan untuk melakukan perubahan strategis biasanya terjadi karena satu atau beberapa kejadian yang memicu, antara lain :

1) CEO (Chief Executive Officer) baru;

142 | B A N T E N E S i A

2) Intervensi oleh institusi eksternal, seperti bank;

3) Ancaman perubahan kepemilikan, pengambil-alihan; dan

4) Pengakuan manajemen terhadap kurangnya kinerja;

5) Krisis ekonomi global.

sehingga menarik untuk mengkaji aspek lingkungan dalam menentukan tujuan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Sultan Ageng

Tirtayasa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang ?

Kerangka Teori

Proses manajemen strategis meliputi empat elemen dasar: (1) pengamatan lingkungan, (2) perumusan strategi, (3) implementasi strategi, dan (4) evaluasi dan pengendalian. Langkah pertama, pengamatan lingkungan yaitu menganalisis lingkungan eksternal dan internal. Analisis Eksternal ; lingkungan eksternal terdiri dari variabel- variabel (kesempatan dan ancaman) yang berada di luar organisasi dan tidak secara khusus ada dalam pengendalian jangka pendek dari manajemen puncak. Variabel-variabel tersebut membentuk keadaan dalam organisasi dimana organisasi ini hidup. Lingkungan eksternal memiliki dua bagian: lingkungan kerja dan lingkungan sosial.

Selanjutnya analisis Internal ; lingkungan internal terdiri dari variabel-variabel (kekuatan dan kelemahan) yang ada di dalam organisasi tetapi biasanya tidak dalam pengendalian jangka pendek dari manajemen puncak. Variabel-variabel itu meliputi struktur, budaya, dan sumber daya organisasi. Struktur adalah cara bagaimana 143 | B A N T E N E S i A perusahaan diorganisasikan yang berkenaan dengan komunikasi, wewenang, dan arus kerja. Struktur sering disebut rantai perintah dan digambarkan secara grafis dengan menggunakan bagan organisasi.

Budaya adalah pola keyakinan, pengharapan, dan nilai-nilai yang dibagikan oleh anggota organisasi. Norma-norma organisasi secara khusus memunculkan dan mendefinisikan perilaku yang dapat diterima anggota dari manajemen puncak sampai karyawan operatif.

Sumber daya adalah aset yang merupakan bahan baku bagi produksi barang dan jasa organisasi. Aset itu meliputi keahlian orang, kemampuan, dan bakat manajerial, seperti aset keuangan dan fasilitas pabrik dalam wilayah fungsional. Tujuan utama dalam manajemen strategis adalah memadukan variabel-variabel internal perusahaan untuk memberikan kompetensi unik, yang memampukan perusahaan untuk mencapai keunggulan kompetitif secara terus menerus, sehingga menghasilkan laba.

Langkah kedua, perumusan strategi adalah pengembangan rencana jangka panjang untuk manajemen efektif dari kesempatan dan ancaman lingkungan, dilihat dari kekuatan dan kelemahan perusahaan.

Perumusan strategi meliputi menentukan misi perusahaan, menentukan tujuan-tujuan yang dapat dicapai, pengembangan strategi, dan penetapan pedoman kebijakan.

Misi organisasi adalah tujuan atau alasan mengapa organisasi hidup. Misi memberitahukan siapa kita dan apa yang kita lakukan.

144 | B A N T E N E S i A

Selanjutnya tujuan adalah hasil akhir aktivitas perencanaan. Tujuan merumuskan apa yang akan diselesaikan dan kapan akan diselesaikan, dan sebaiknya diukur jika memungkinkan. Pencapaian tujuan perusahaan merupakan hasil dari penyelesaian misi. Komunitas bank, sebagai contoh, akan menentukan tujuan dalam satu tahun untuk mendapatkan 10 persen tingkat pengembalian dari portofolio investasi.

Istilah sasaran (goal) sering rancu dengan istilah tujuan (objective).

Sasaran adalah pernyataan terbuka yang berisi satu harapan yang akan diselesaikan tanpa perhitungan apa yang akan dicapai dan tidak ada penjelasan waktu penyelesaian. Sebagai contoh, sasaran komunitas bank adalah meningkatkan tingkat pengembalian – pernyataan yang tidak jelas.

Kemudian Strategi merupakan rumusan perencanaan komprehensif tentang bagaimana perusahaan akan mencapai misi dan tujuannya. Strategi akan memaksimalkan keunggulan kompetitif dan meminimalkan keterbatasan bersaing. Sedangkan aliran dari strategi, kebijakan menyediakan pedoman luas untuk pengambilan keputusan organisasi secara keseluruhan. Kebijakan juga merupakan pedoman luas yang menghubungkan perumusan strategi dan implementasi.

Langkah ketiga, implementasi strategi adalah proses dimana manajemen mewujudkan strategi dan kebijakannya dalam tindakan melalui pengembangan program, anggaran, dan prosedur. Proses

145 | B A N T E N E S i A tersebut mungkin meliputi perubahan budaya secara meyeluruh, struktur dan atau sistem manajemen dari organisasi secara keseluruhan.

Selain itu implementasi strategi juga dapat dipandang dari segi penataan para pegawai dan pengarahan. Penataan staf (para karyawan) memfokuskan pada seleksi dan pemberdayaan para karyawan.

Pengarahan menekankan pada penggunaan program-program yang ada untuk menyesuaikan keinginan dan perilaku karyawan dengan sebuah strategi baru. Kemudian implementasi juga melibatkan pengarahan karyawan untuk menggunakan kemampuan dan keahlian mereka pada tingkat yang paling efektif dan efisien untuk mencapai sasaran organisasi dan untuk menghasilkan kinerja yang efektif. Sasaran itu dapat dicapai dengan cara yang lebih formal melalui perencanaan tindakan atau melalui program-program tertentu seperti Management By

Objective (MBO) dan Total Quality Management (TQM).

Berikutnya program adalah pernyataan aktivitas-aktivitas atau langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan perencanaan sekali pakai. Program melibatkan restrukturisasi perusahaan, perubahan budaya internal perusahaan, atau awal dari suatu usaha penelitian baru. Sedangkan anggaran adalah program yang dinyatakan dalam bentuk satuan uang. Setiap program akan dinyatakan secara rinci dalam biaya, yang dapat digunakan oleh manajemen untuk merencanakan dan mengendalikan.

146 | B A N T E N E S i A

Kemudian prosedur, kadang-kadang disebut Standard Operating

Procedures (SOP). Prosedur adalah sistem langkah-langkah atau teknik- teknik yang berurutan yang menggambarkan secara rinci bagaimana suatu tugas atau pekerjaan diselesaikan. Prosedur secara khusus merinci berbagai aktivitas yang harus dikerjakan untuk menyelesaikan program-program perusahaan.

Langkah yang keempat, evaluasi dan pengendalian adalah proses penilaian aktivitas-aktivitas organisasi dan hasil kinerja dimonitor dan kinerja sesungguhnya dibandingkan dengan kinerja yang diinginkan.

Para manajer di semua level menggunakan informasi hasil kinerja untuk melakukan tindakan perbaikan dan memecahkan masalah.

Walaupun evaluasi dan pengendalian merupakan elemen akhir yang utama dari manajemen strategis, elemen itu juga dapat menunjukkan secara tepat kelemahan-kelemahan dalam implementasi strategi sebelumnya dan mendorong proses keseluruhan untuk dimulai kembali.

Agar evaluasi dan pengendalian efektif, manajer harus mendapatkan umpan balik yang jelas, tepat, dan tidak bias dari orang- orang bawahannya yang ada dalam hierarkhi organisasi. Manajemen mengamati lingkungan eksternal untuk melihat kesempatan dan ancaman dan mengamati lingkungan internal untuk melihat kekuatan dan kelemahan. Faktor-faktor yang paling penting untuk masa depan perusahaan disebut faktor-faktor strategis dan diringkas dengan

147 | B A N T E N E S i A singkatan S.W.O.T. yang berarti Strenghts (kekuatan-kekuatan),

Weaknesses (kelemahan-kelemahan), Opportunities (kesempatan- kesempatan), dan Threats (ancaman-ancaman).

Dari analisis SWOT tersebut, para manajer strategis dalam organisasi selanjutnya dapat mengkonsolidasikan faktor-faktor strategis eksternal (peluang dan ancaman) serta faktor-faktor strategis internal

(kekuatan dan kelemahan) untuk menentukan posisi strategis perusahaan. Dengan mengetahui posisi strategis perusahaan berdasarkan analisis tersebut, perusahaan dapat mempertimbangkan ketepatan strategi alternatif organisasi dengan mengkombinasikan faktor-faktor eksternal dan faktor-faktor internal ke dalam matrik internal-eksternal 9 sel (nine-cell).

Setelah organisasi mampu menilai situasinya dan meninjau strategi-strategi perusahaan yang tersedia, maka langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi cara-cara alternatif sehingga organisasi dapat menggunakan kekuatan-kekuatan, khususnya untuk menggunakan kesempatan atas peluang-peluang atau untuk menghindari ancaman dan mengatasi kelemahannya. Matriks SWOT menggambarkan bagaimana manajemen dapat mencocokkan peluang-peluang dan ancaman-ancaman eksternal yang dihadapi suatu perusahaan tertentu dengan kekuatan dan kelemahan internalnya, untuk menghasilkan strategi, metode ini mengarah pada brainstorming untuk menciptakan strategi-strategi alternatif yang mungkin tidak terpikirkan oleh

148 | B A N T E N E S i A manajemen. Hal ini mendorong manajer strategis untuk menciptakan baik strategi pertumbuhan maupun pengurangan.

Berikut adalah matrix internal dan eksternal 9 sel (nine-cell) / matrix SWOT untuk menentukan strategi alternatif organisasi :

Matrik 1. Strengths Weaknesses Opportunites Threats

Internal Strengths (S) Weaknesses (W) Factors Daftarkan 5-10 Daftarkan 5-10 (IFAS) kekuatan internal kelemahan disini External disini Factors (EFAS) Opportunites (O) STRATEGI S-O STRATEGI W-O Daftarkan 5-10 Buat strategi di sini Buat strategi di sini yang peluang disini yang menggunakan memanfaatkan peluang kekuatan untuk untuk mengatasi memanfaatkan peluang kelemahan Threats (T) STRATEGI S-T STRATEGI W-T Daftarkan 5-10 Buat strategi disini Buat strategi disini yang ancaman yang menggunakan meminimalkan di sini kekuatan untuk kelemahan dan menghindari ancaman menghindari ancaman Sumber : Wheelen dan Hunger, 2003:231

Strategi SO atau strategi kekuatan-peluang menggunakan kekuatan internal organisasi untuk memanfaatkan peluang eksternal.

Sedangkan Strategi WO atau strategi kelemahan-peluang bertujuan untuk memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang eksternal. Sementara Strategi ST atau strategi kekuatan-ancaman menggunakan kekuatan perusahaan untuk menghindari atau 149 | B A N T E N E S i A mengurangi dampak ancaman eksternal. Hal ini tidak berarti bahwa organisasi yang kuat pasti selalu menghadapi ancaman frontal dalam lingkungan eksternal. Terakhir Strategi ST atau strategi kelemahan- ancaman merupakan taktik defensif yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman lingkungan. Sebuah organisasi dihadapkan pada berbagai ancaman eksternal dan kelemahan internal mungkin bahkan dalam posisi penuh resiko.

Faktanya, organisasi seperti itu mungkin harus berjuang agar dapat bertahan, merjer, penghematan, menyatakan bangkrut, atau memilih likuidasi.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat manfaat dan keunggulan dari manajemen strategis.

Manfaat dari manajemen strategis adalah :

1. Tujuan lebih jelas untuk ke depan organisasi, penentuan prioritas

dan informasi yang lebih baik dari faktor-faktor eksternal.

2. Meningkatkan proses pengambilan keputusan pada masalah-

masalah penting dan tantangan yang ada.

3. Lebih bijak dan tanggap sehingga kinerjanya lebih baik.

4. Pegawai akan dapat lebih menjalankan perannya dan tanggung

jawabnya.

Kemudian keunggulan dari manajemen strategis yaitu :

1) Memungkinkan organisasi mengantisipasi kondisi yang selalu

berubah-ubah (emmergent factor);

150 | B A N T E N E S i A

2) Menyediakan sasaran dan arah yang jelas bagi karyawan;

3) Penelitian dalam manajemen strategis melaju sedemikian rupa

sehingga prosesnya dapat membantu para manajer.

Akhirnya manajemen strategis yang memungkinkan suatu organisasi untuk lebih proaktif ketimbang reaktif dalam membentuk masa depan sendiri. Tidak hanya itu, manfaat manajemen prinsip dari manajemen strategis adalah membantu organisasi membuat strategi yang lebih baik dengan menggunakan pendekatan yang lebih sistematis, logis, dan rasional pada pilihan strategis tentunya dengan observasi, studi kepustakaan, dan wawancara.

Pembahasan

Sejarah Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang selanjutnya disingkat

Untirta ditetapkan ditetapkan sebagai perguruan tinggi negeri melalui keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 2001, tanggal 19 Maret 2001 berawal dari perguruan tinggi swasta yang bernama Universitas

Tirtayasa Banten yang didirikan oleh sebuah Yayasan yang bernama

Yayasan Pendidikan Tirtayasa pada tanggal 1 Oktober 1980 dengan akta notaris Rosita Wibowo, SH. Nomor 1 tanggal 1 Oktober 1980, yang diperbaharui dengan akta notaris Ny. Arie Soetardjo, SH. Nomor 1 tanggal 3 Maret 1986. Adapun maksud dan tujuan pendidikan Yayasan

Pendidikan Tirtayasa adalah sebagai berikut :

151 | B A N T E N E S i A

a. Membantu usaha-uasaha pemerintah dalam bidang pendidikan,

umum, yaitu mulai dari TK sampai dengan Perguruan Tinggi;

b. Mendirikan sekolah mulai dari TK sampai dengan Perguruan

Tinggi, termasuk didalamnya sekolah-sekolah kejuruan;

c. Merencanakan dan mengusahakan sarana pendidikan, termasuk

juga sarana olahraga.

Alasan mengapa menggunakan nama Sultan Ageng Tirtayasa ?

Sultan Ageng Tirtayasa adalah pahlawan nasional yang berasal dari

Kesultanan Banten yang kemudian diambil sebagai nama yayasan adalah pewaris kesultanan Banten yang keempat yang secara gigih menentang kejayaan dan keemasan Banten yang berkembang sampai sekarang.

Sebagai sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan mengawali kegiatannya dengan mendirikan :

1. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH);

2. Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP);

3. Sekolah Tinggi Teknologi (STT).

Pada tanggal 1 Oktober 1980 merupakan tanggal kelahiran STIH yang selanjutnya dijadikan sebagai cikal bakalnya atau embrio terbentuknya Universitas Tirtayasa melalui Surat Keputusan

Mendikbud RI Nomor. 0596/0/1984 tanggal 28 November 1984, dengan status akreditasi ‛terdaftar‛ ketiga sekolah tersebut digabungkan menjadi Universitas dan menjadi:

152 | B A N T E N E S i A

1. Fakultas Hukum (Sebelumnya STIH);

2. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP);

3. Fakultas Teknik (Sebelumnya STT).

Perkembangan pesat Untirta ditunjukkan dengan berdirinya

Fakultas Pertanian dan Fakultas Ekonomi berturut-turut dengan Surat

Keputusan Mendikbud RI Nomor 0123/0/1989 tanggal 8 Maret 1989 dan nomor 0331/0/1989 tanggal 30 Mei 1989, masing-masing statusnya

‛terdaftar‛. Selanjutnya pada tanggal 13 Oktober 1999 keluar surat keputusan Presiden RI Nomor 130 tentang tersiapan pendirian

Universitas Negeri Sultan Ageng Tirtayasa. Dan pada saat persiapan pernegrian berdiri sebuah Fakultas baru yaitu Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik (FISIP) dengan ijin operasional jurusan dengan SK

Mendiknas Nomor : 1179/D/T/2003 tanggal 10 Juni 2003 (selanjutnya dalam Sejarah FISIP).

Sejarah, Visi, Misi dan Tujuan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politk Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa pada tanggal 10 Juni 2003 dikeluarkan Surat Keputusan dari

DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS dengan Nomor 1179/D/T/2003 tentang izin operasional Program Studi Ilmu Administrasi Negara dan Ilmu

Komunikasi, seiring dengan operasional program studi maka Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik didirikan pada tahun akademik 2002/2003 yang mendapat legitimasi menjadi bagian dari Untirta dengan Surat

Keputusan Nomor 124/0/2004 sesuai dengan SOTK. Pada tanggal 1 153 | B A N T E N E S i A

Februari 2006 telah dikeluarkan SK 295/D/T/2006 tentang perpanjangan izin penyelenggaraan Program Studi Ilmu Administrasi Negara dan

Ilmu Komunikasi selama 4 tahun.

Visi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa adalah mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan atau profesional yang kritis dan mandiri; memiliki sikap dan kepribadian yang religius dan watak kebangsaan serta tanggungjawab sosial terhadap peningkatan kualitas kehidupan menuju Entrepreneurial University pada tahun 2020.

Adapun misi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa adalah :

1. Membina dan membekali mahasiswa dengan dasar-dasar

pengetahuan keagamaan guna menumbuhkan kesadaran diri akan

tanggungjawabnya sebagai makhluk sosial dan makhluk Tuhan; b. Menambah dan membekali mahasiswa dengan watak dan identitas

ke-Indonesia-an guna menumbuhkan kesadaran dan

tanggungjawabnya terhadap bangsa dan negara; c. Membangun dan melatih mahasiswa untuk dapat mengembangkan

watak kemandirian mahasiswa melalui pembinaan dan keterampilan

hidup (life skill) dan kewirausahaan (Entrepreneurship) dalam

kegiatan-kegiatan kurikuler maupun ekstra kurikuler;

154 | B A N T E N E S i A d. Membangun, melatih dan memperkukuh kedisiplinan guna

mengembangkan watak, sikap dan kepribadian yang luhur serta etos

kerja yang tinggi; e. Membangun dan memperkukuh wawasan, kesadaran dan

tanggungjawab mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat, guna

mewujudkan kualitas kehidupan.

Tujuan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa adalah sebagai berikut : a. Mengaktualisasikan diri sesuai dengan dasar-dasar pengetahuan dan

nilai-nilai keagamaan yang dimiliki guna menumbuhkan kesadaran

diri akan tanggungjawabnya sebagai makhluk sosial dan makhluk

ciptaan Tuhan; b. Mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan lingkungan yang

erat kaitannya dengan watak dan identitas ke-Indonesia-an guna

menumbuhkan kesadaran dan tanggungjawabnya terhadap bangsa

dan negara sesuai dengan bidang keilmuwan yang dimiliki; c. Melaksanakan tugas dan fungsi Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk

dapat mengembangkan watak kemandirian mahasiswa melalui

pembinaan dan pelatihan keterampilan hidup (life-skill) dan

kewirausahaan (Entrepreneurship) dalam kegiatan-kegiatan kurikuler

maupun ekstra kurikuler; d. Menjunjung tinggi kedisiplinan guna dapat mengembangkan watak,

sikap dan kepribadian yang luhur serta etos kerja yang tinggi;

155 | B A N T E N E S i A e. Mengembangkan wawasan, kesadaran dan moralitas kesarjanaan

sebagai bagian dari tanggungjawab masyarakat akademik, guna

mewujudkan kualitas kehidupan.

Analisis Lingkungan Internal

Analisis Kekuatan (Strengths)

A. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Terletak pada Posisi

Strategis

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa berlokasi di Serang, tepatnya Jalan Raya Jakarta Km.4 Provinsi

Banten yang berada di pusat Kota Serang. Dengan lokasi yang strategis ini memungkinkan fakultas dapat berinteraksi dan sinergi dengan pihak lain, baik dalam penelitian, pengabdian pada masyarakat maupun dalam pengembangan sumber daya manusia. Dalam upaya meningkatkan atmosfere akademik akan dibangun kampus terpadu sebagai sentral kampus (pusat).

Keberadaannya di Provinsi Banten yang terus berupaya mengembangkan dan mempercepat proses pembangunan di segala bidang, FISIP Untirta turut berperan aktif dan proaktif meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang sosial, politik, Administrasi

Publik dan sebagainya.

B. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Memiliki Kesempatan Luas

untuk Pengembangan Program Studi

156 | B A N T E N E S i A

Saat ini FISIP Untirta mempunyai dua program studi yaitu Ilmu

Administrasi Negara dan Ilmu Komunikasi. Sebagai upaya meningkatkan kualitas keilmuan, saat ini berstatus akreditasi ‛B‛ dan sedang mempersiapkan pendirian Program Diploma 3 Jurusan

Administrasi Perencanaan Pembangunan dan Diploma 3 Jurusan

Broadcasting, Program Strata 1 Ilmu Pemerintahan dan Strata 1

Komunikasi Visual, kemudian Program Strata 2 Bidang Kaji Utama

Administrasi Publik dan Strata 2 Bidang Kaji Utama Komunikasi

Pembangunan.

C. Sumber Daya Manusia

Dalam perkembangannya FISIP Untirta telah memiliki Dosen PNS sebanyak 51 orang dengan kualifikasi pendidikan S-1 dan S-2 dan telah memiliki jabatan akademik mulai dari Assisten Ahli sampai dengan

Lektor Kepala dan ditunjang dengan tenaga administrasi dengan latar belakang pendidikan yang cukup variatif mulai D-III dan S-1, dengan demikian keberadaan SDM di FISIP Untirta pada tingkat cukup memadai.

D. Dukungan Pemerintah

Dalam rangka meningkatkan kemampuan akademik lulusan,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik melakukan kerjasama dengan instansi maupun dinas-dinas yang ada di Provinsi Banten, Pemerintah

Kota Serang, Pihak Legislatif maupun Eksekutif sehingga lulusan dari

157 | B A N T E N E S i A

FISIP Untirta mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan di

Provinsi Banten dengan disiplin ilmu yang dimiliki.

E. Persepsi Masyarakat Tentang Pentingnya Pendidikan

Masyarakat Banten yang semula berbudaya agraris tradisional dengan budaya paternalistik, dewasa ini telah bergeser ke arah menjadi masyarakat agraris modern yang berdasarkan pada kebutuhan pasar, sejalan dengan dibentuknya Provinsi Banten sebagai provinsi baru. Hal ini berdampak terjadinya persepsi masyarakat Banten dari ketidakpedulian terhadap pendidikan tinggi lebih memahami akan pentingnya pendidikan tinggi.

F. Dana Pendidikan

Sebagai Perguruan Tinggi Negeri, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik mempunyai kesempatan mengelola dana SPMA (Seleksi

Penerimaan Mahasiswa) selain dari PNBP dan Rupiah Murni.

Analisis Kelemahan (Weaknesses)

A. Kualitas Mahasiswa yang Relatif Rendah

Penerimaan mahasiswa baru di FISIP Untirta sampai dengan tahun akademik 2003/2004 masih menggunakan pola seleksi lokal

(UMM) dengan standar kelulusan yang lebih rendah dengan seleksi nasional (SNMPTN). Hal ini dapat dilihat antara lain dari rata-rata nilai yang relatif rendah dari mahasiswa yang diterima melalui jalur Ujian

Masuk Mandiri (UMM) dan PMDK. Untuk UMM nilai 6 paling tinggi

158 | B A N T E N E S i A dari skala 1 sampai dengan 10 dan untuk PMDK nilai 84-70 dari skala 10 sampai dengan 100.

Kemudian pada tahun akademik 2004-sekarang seleksi penerimaan mahasiswa baru mulai mengikuti sama dengan perguruan tinggi negeri yang lain yaitu SPMB (sekarang SNMPTN) sehingga secara bertahap mampu meningkatkan kualitas mahasiswa dan pendidikannya.

B. Terbatasnya Fasilitas Pendidikan

Secara umum kualitas dan kuantitas sarana pendidikan di

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untirta belum memadai, masih terbatasnya fasilitas penting seperti perpustakaan, laboratorium, sistem informasi akademik, musholla, kantin, toilet, dapur dan ruang lobby yang sempit.

C. Terbatasnya Luas Tanah dan Bangunan

Saat ini FISIP Untirta yang terpusat di Kota Serang belum bisa mengembangkan baik luas tanah dan bangunannya sehingga menyulitkan untuk peningkatan kualitas pendidikan yang ingin dicapai karena ruangan kelas untuk kegiatan PBM masing kurang.

D. Kuantitas dan Kualitas Tenaga Dosen Terbatas

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untirta belum memenuhi standar rasio dosen dan mahasiswa serta rasio dosen (untuk Program

Studi Ilmu Komunikasi) dan sks. Keterbatasan dana dan jumlah dosen masih menyulitkan Fakultas untuk meningkatkan dan pengembangan

159 | B A N T E N E S i A kualitas dosen seperti program pendidikan lanjut/beasiswa ke jenjang S-

2 dan S-3. Idealnya 1:30 (1 kelas untuk 30 orang mahasiswa), tetapi saat ini masih 1 : 47.

E. Kuantitas dan Kualitas Staf Administrasi dan Teknisi Masih

Rendah

Jumlah staf administrasi sampai tahun akademik 2004/2005 yang dimiliki oleh FISIP Untirta sebanyak 11 orang dengan latar belakang pendidikan yang berbeda. Dengan jumlah di atas menunjukkan belum memadai ketenagaan administrasi yang ada di fakultas apalagi dengan rasio jumlah mahasiswa yang terus meningkat, maka perlu peningkatan yang intensif di masa yang akan datang. Sebagai contoh : staf akademik untuk program studi Ilmu Administrasi Negara dan program studi

Ilmu Komunikasi, masing-masing hanya ada 1 orang staf, hal ini menyebabkan pelayanan kepada mahasiswa menjadi terhambat sehingga perlu adanya penambahan jumlah staf baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

F. Sistem Informasi Akademik (SIAK) Belum Memadai

Sarana informasi akademik dan perpustakaan di FISIP Untirta dalam kondisi belum memadai dan lengkap. Pemantauan informasi untuk mendukung kegiatan akademik belum dilaksanakan secara efektif dan efisien sehingga pengembangan prasarana dan sistem informasi di kampus merupakan hal yang sangat penting untuk diwujudkan. Sebagai contoh : belum connectnya SIAK FISIP dengan

160 | B A N T E N E S i A

Universitas, misalnya nilai mahasiswa yang diperoleh dari program semester pendek belum terintegrasi dengan SIAK FISIP dan Universitas.

Analisis Lingkungan Eksternal

Analisis Peluang (Opportunities)

A. Untirta sebagai Perguruan Tinggi Negeri Baru

Sebagai Perguruan Tinggi Negeri baru, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untirta mempunyai peluang untuk mendapatkan anggaran baik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mendapatkan perhatian dari pemerintah sebagai perguruan tinggi yang mengalami perubahan status dari swasta ke negeri. Selain itu terbukanya kesempatan yang luas dalam hal : Kerja sama dengan stakeholder Kerja sama University to university di luar negeri Peningkatan status menjadi Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP) Peningkatan strata kampus dari universitas kelas 3 menjadi universitas kelas 2 karena sudah semakin banyaknya kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat yang dilakukan. Kenaikan 20 % dana pendidikan akan semakin merangsang minat dosen dalam meneliti dan menulis karya-karya ilmiah B. Penerapan Otonomi Daerah Kebijakan Pemerintah Pusat yang memberikan kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah untuk mengatur, merencanakan dan

161 | B A N T E N E S i A melaksanakan sendiri program pembangunannya. Hal ini memberi peluang yang sangat besar pada FISIP Untirta untuk meningkatkan kualitas pengabdian pada masyarakat dan penelitian melalui program kerjasama dengan pemerintah daerah untuk menggali potensi yang dimiliki Banten dan sekitarnya. C. Pendapatan Internasional Program-program pendanaan tingkat nasional maupun internasional memberikan peluang kepada FISIP Untirta khususnya untuk berpartisipasi, berkompetisi dan akademik fakultas harus menunjukkan kualitas dan kredibilitas yang membanggakan/unggul atau berkualitas. Sebagai contoh misalnya adanya bantuan dana pendidikan dari World Bank dan United Nations (Perserikatan Bangsa- Bangsa) bagi kegiatan penelitian, dosen tamu dan kegiatan seminar, baik seminar lokal, nasional maupun seminar internasional. D. Kerjasama dengan PEMDA dan PTN lainnya Civitas Akademika FISIP Untirta yang merupakan bagian dari masyarakat pemerintah baru yang lebih demokratis, harus lebih peka menangkap peluang-peluang dengan cara bekerjasama dengan PEMDA dan Perguruan Tinggi lainnya terutama untuk pengembangan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang meliputi Pendidikan, Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat dan Seminar-seminar. Untuk berpartisipasi dan bersaing dalam masyarakat global tersebut FISIP Untirta harus mengembangkan sumber daya manusia dengan cara penguasaan IPTEK dan IMTAK dan kewirausahaan.

162 | B A N T E N E S i A

E. Kebutuhan SDM berkualitas Meningkat Provinsi Banten yang sedang berbenah dan terus mengembangkan pembangunan, membutuhkan SDM yang berkualitas dan memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang yang dibutuhkan, hal ini menjadi peluang bagi FISIP Untirta ke depan.

Analisis Tantangan (Threats) A. Globalisasi Pendidikan Dinamika yang terjadi pada tantangan global, khususnya dunia pendidikan, menuntut FISIP Untirta untuk mensejajarkan diri dengan Perguruan Tinggi Negeri lainnya, baik dalam maupun luar negeri, yang akan menjadi pesaing dalam merebut pangsa pasar dunia pendidikan. Yang paling berperan penting dalam hal ini adalah kualitas lulusan (alumni) dari FISIP Untirta yang senantiasa menjadi tolak ukur keberhasilan pendidikan untuk menciptakan network, sehingga lulusan Untirta mudah untuk diterima didunia kerja dan profesional dalam tataran global. Di samping itu lulusan FISIP Untirta juga diharapkan mampu menunjukkan eksistensi dirinya di masyarakat dengan berbekal ilmu yang dimiliki selama menuntut ilmu di perguruan tinggi. B. Iklim Kompetensi dalam Penggalangan Dana Pendidikan Upaya penggalangan dana baik pemerintah maupun swasta lainnya hanya dapat diperoleh dengan cara berkompetensi menuntut FISIP Untirta untuk meningkatkan kemampuan penyusunan program yang baik sesuai dengan kriteria yang disyaratkan. Kondisi ini khususnya akan memacu Untirta untuk meningkatkan prestige kampus,

163 | B A N T E N E S i A dari universitas kelas 3 menuju universitas kelas 2 terlebih dengan adanya pro dan kontra fenomena BLU/BHP. C. Berdirinya Perguruan Tinggi Sejenis Kebutuhan akan tenaga kerja yang besar dan globalisasi pendidikan di Banten menyebabkan tumbuhnya Perguruan Tinggi sejenis yang siap bersaing dengan FISIP Untirta dalam memberikan pelayanan terbaik pada pelaksanaan program pendidikan tinggi.

Proses Pencapaian Tujuan Sebagai Strategi Operasional Organisasi, cara mencapai tujuan atau sasaran diwujudkan dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan dari setiap strategi melalui sistem dan aktivitas organisasi tersebut dengan mewujudkan adanya keterkaitan dan konsekuensi yang jelas sebagai suatu sistem operasional dari aktivitas organisasi. Kebijakan, program dan kegiatan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dirumuskan atas dasar rencana strategis pengembangan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2005-2015 sebagai berikut :

Tabel 12. Identifikasi Faktor Internal Dan Eksternal

NO. FAKTOR INTERNAL STRENGTHS WEAKNESSES S1 FISIP terletak pada posisi W1 Kualitas mahasiswa yang relatif yang strategis di pusat rendah Kota Serang Provinsi

164 | B A N T E N E S i A

Banten S2 Memiliki kesempatan luas W2 Terbatasnya fasilitas pendidikan untuk pengembangan serta terbatasnya luas tanah dan program studi bangunan S3 Sumber daya manusia W3 Kuantitas dan kualitas tenaga yang berkualitas dosen terbatas S 4 Dukungan Pemerintah W4 Kuantitas dan kualitas staf Provinsi Banten, administrasi dan teknisi masih Pemerintah Kota Serang, rendah pihak Legislatif maupun Eksekutif S 5 Persepsi masyarakat W5 Sistem Informasi Akademik tentang pentingnya (SIAK) belum memadai pendidikan NO. FAKTOR EKSTERNAL OPPORTUNITIES THREATHS O1. Untirta sebagai Perguruan T1 Globalisasi pendidikan, yang Tinggi Negeri (PTN) baru menjadi kunci adalah lulusan mendapatkan peluang FISIP Untirta (Alumni) dalam mendapatkan anggaran menciptakan Network dan dari APBN maupun APBD pangsa pasar dunia pendidikan O2. Penerapan Otonomi T2 Iklim kompetensi dalam Daerah sarana penggalangan dana pendidikan meningkatkan kualitas mengingat Untirta masih pengabdian pada tergolong universitas kelas 3 masyarakat dan penelitian melalui kerjasama dengan PEMPROV Banten untuk menggali potensi yang dimiliki Banten dan sekitarnya O3. Pendapatan Internasional T3 Berdirinya Perguruan Tinggi melalui program-program sejenis pendanaan dari World Bank

165 | B A N T E N E S i A

dan United Nations bagi kegiatan penelitian, pengabdian, dosen tamu dan seminar-seminar O4. Kerjasama dengan PEMDA dan PTN lainnya O5. Kebutuhan SDM berkualitas meningkat

Matrik 2. Formulasi Strategi SWOT

FKK INTERNAL STRENGTHS WEAKNESSES FISIP terletak pada Kualitas mahasiswa posisi yang strategis di yang relatif rendah pusat Kota Serang Terbatasnya fasilitas Provinsi Banten pendidikan serta Memiliki kesempatan terbatasnya luas tanah luas untuk dan bangunan

pengembangan program Kuantitas dan kualitas

studi tenaga dosen terbatas

Sumber daya manusia Kuantitas dan kualitas yang berkualitas staf administrasi dan Dukungan Pemerintah teknisi masih rendah Provinsi Banten, Sistem Informasi Pemerintah Kota Serang, Akademik (SIAK) belum FKK pihak Legislatif maupun memadai EKSTERNAL Eksekutif Persepsi masyarakat tentang pentingnya pendidikan OPPORTUNITIES STRATEGI SO STRATEGI WO Untirta sebagai Mempersiapkan kinerja Untuk meningkatkan 166 | B A N T E N E S i A

Perguruan Tinggi SDM bidang kualitas mahasiswa, Negeri (PTN) baru akademis/dosen-dosen diselenggarakan mendapatkan bagi perubahan seminar tentang Good peluang universitas ke arah BLU Governance setiap mendapatkan atau BHP sampai semester, dengan anggaran dari dengan bulan Februari mengundang dosen APBN maupun 2010 tamu dari Unpad dan APBD Peningkatan sarana- Monash University di Penerapan sarana PBM seperti tahun 2009 -2010 Otonomi Daerah kursi lipat (Chitose) dari Mengadakan kerjasama sarana yang ada sejumlah 441 dengan pihak swasta meningkatkan buah menjadi 1000 buah dengan memanfaatkan kualitas di bulan Maret tahun program CSR (Customer pengabdian pada 2010 Social Responsibility) di masyarakat dan Peningkatan tahun 2009-2010 untuk penelitian melalui pemasangan LCD di pengadaan sarana toilet, kerjasama dengan tiap ruangan (5 ruang) musholla, kantin, dapur PEMPROV Banten di bulan Maret Tahun dan lobby room. untuk menggali 2011 yang berasal dari Kerjasama dengan potensi yang dana SPMA Pemprov Banten dan dimiliki Banten Peningkatan pengadaan Pemerintah Kota Serang dan sekitarnya Laptop dari 10 menjadi untuk penggunaan Pendapatan 20 di bulan Februari sarana kelas di Internasional Tahun 2010 bagi lingkungan Pemprov malalui program- peningkatan kinerja Banten dan Pemerintah program Kota Serang di tiap 2 buah jurusan profile di pendanaan dari semester di tahun 2009- tahun 2010 yang World Bank dan 2010 sebanyak 5 memuat data 51 orang United Nations bagi ruangan dosen & 400 org Alumni kegiatan Penyelenggaraan Pembuatan kartu nama penelitian, pelatihan Applied dosen dan staff di tahun pengabdian, dosen Approach bagi 51 Dosen 2010 agar memperlancar tamu dan seminar- Muda (Assisten Ahli), network seminar diselenggarakan di

167 | B A N T E N E S i A

Kerjasama dengan Pengadaan E-Sap dan E- bulan Maret 2009 PEMDA dan PTN GBPP bagi 51 Dosen Pelatihan Administrasi lainnya Pengadaan SMS Gateway Perkantoran bagi 10 Kebutuhan SDM bagi penyebaran nilai orang Staff Akademik berkualitas untuk 1200 mahasiswa dan Umum di bulan meningkat Jurusan Banner dan September 2009 Jurusan Blog untuk Memperbaiki Sistem networking dan Informasi Akademik sosialisasi di tahun 2010 (SIAK) FISIP Untirta di Mail List bagi dosen dan bulan Maret 2009, alumni (400 orang untuk dengan menambah 1 2 jurusan) di tahun 2010 Software Access Penerapan ISO Menghubungkan SIAK 9000:2001 di tahun 2011 FISIP dengan portal untuk 2 Untirta di bulan Maret jurusan/program studi 2009, di domain yang sama Presentasi GBPP, SAP (www.untirta.ac.id) dan Kontrak Perkuliahan bagi Dosen Diskusi bulanan selama di tahun 2009 yang 2 tahun yang dihadiri dilaksanakan tiap oleh 51 orang dosen semester (per enam Pembuatan Buku Ajar bulan sekali) bagi 51 orang dosen (1 Kegiatan Outbound 1 dosen : Rp. 2,5 juta) per tahun sekali semester Penghematan kertas Program Magang dan dengan pengunaan SMS Job Training bagi 100 dan E-mail dalam 10 Mahasiswa Smt. VII di rapat di tahun 2009 dua Prodi bagi Efisiensi tempat sidang peningkatan wawasan dan efisiensi waktu dan skill wisuda dari 2x dalam 1 Program Talk show dan tahun menjadi 4x dalam kolom (Rubrik FISIP) di 168 | B A N T E N E S i A

1 tahun 1 Stasiun Radio dan 1 Koran Lokal selama 10 bulan di tahun 2009. Pada Akan ditingkatkan program ini di 2 Stasiun Radio dan 2 Koran Lokal di tahun 2010. Pelatihan Statistik dan SPSS bagi 51 orang dosen Kerja sama penggunaan 4 ruangan dengan program Pasca Sarjana selama 2 semester di tahun 2010 Kerja sama penelitian dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Banten sempai dengan Juni 2009 sebanyak 10 penelitian Pelaksanaan kegiatan senam pagi di tiap hari Jum’at selama satu tahun di tahun 2010 agar kesehatan jasmani terjaga Kegiatan Pengajian dan arisan setiap 2 bulan sekali di tahun 2008 sampai dengan 2011 bagi 51 Orang Dosen dan 11 orang Staff.

169 | B A N T E N E S i A

THREATHS STRATEGI ST STRATEGI WT Globalisasi Menjalin networking Mengadakan program pendidikan, yang dengan 10 ‛associate professor‛ di menjadi kunci perusahaan/BUMN di Prodi Adm. Negara dan adalah lulusan Tahun 2010, agar Komunikasi (2 Profesor FISIP Untirta Alumni FISIP Untirta bidang Adm. Negara (Alumni) dalam terjamin dan mudah dan Komunikasi) di menciptakan mendapatkan lapangan tahun 2010. Network dan pekerjaan Penelitian mandiri dan pangsa pasar Mengadakan Treasure pengabdian masyarakat dunia pendidikan Study di bulan April bersama sebanyak 100 Iklim kompetensi 2009 bagi 600 lulusan penelitian dan 50 dalam FISIP pengabdian masyarakat penggalangan Meningkatkan antar fakultas dengan dana pendidikan kerjasama dengan 3 melibatkan mahasiswa mengingat Untirta institusi pemberi dana di tahun 2010 (dibawah masih tergolong beasiswa yang telah LPPM Untirta) universitas kelas 3 terjalin (Eka Tjipta 10 Penelitian dengan Berdirinya Foundation, PT. Institusi lain di tahun Perguruan Tinggi Sampoerna, PT. Astra) 2010 – 2012 sejenis di tahun 2010 Pengadaan 1 Unit Meningkatkan Pangsa Laboratorium TV bagi mahasiswa melalui kerja Prodi Ilmu Komunikasi sama dengan 10 Camat yang memiliki jarak 10

dan 10 Kepala Desa bagi Km di tahun 2012 Program Studi Adm. Pengadaan 1 Unit Negara di tahun 2010- Laboratorium Radio 2012 bagi Prodi Ilmu Pengadaan News Letter Komunikasi yang bagi peningkatan memiliki jarak 5 Km di kualitas dan tahun 2012 kemampuan menulis/ Dialog Kebijakan critical analysis dosen Bersama Stakeholders 3

170 | B A N T E N E S i A yang berwawasan di 2 kegiatan dalam 1 tahun prodi selama 6 kali di tahun 2010 dalam setahun Pengadaan lemari dan Micro Research selama 4 meja tulis, loker bagi 51 kali dalam setahun orang dosen di tahun dengan dana 2 juta 2012 Seminar, Semiloka yang Pengadaan Kursus/Toefl diadakan setahun 2 kali (IELTS) kerja sama Kurikulum, disesuaikan dengan 1 buah Institusi dengan kebutuhan dan (Kursus) di tahun 2010 perkembangan jaman (2 Pengadaan bea siswa tahun sekali harus penulisan Tesis dan diganti) Desertasi bagi 20 Orang Penerbitan buku Dosen yang sedang setahun sekali sebanyak menempuh Program S2 4 buku dan S3 di tahun 2011 Penerbitan Jurnal ‛Good Pelatihan Emotional dan Governance‛ (5 Edisi) di Spiritual Quotion (ESQ) Tahun 2009-2014 bagi dosen dan staff (62 Orang) di tahun 2011 Evaluasi PBM dosen di 2 Prodi ( Prodi Ilmu Adm. Pengadaan Koperasi, Negara dan Ilmu Child Care (Tempat Komunikasi) setiap Penitipan Anak) di semester genap tahun 2010 terhadap 51 Orang Kunjungan ke Gedung Dosen tahun 2009-2010 MPR/DPR RI tahun 2010 pada masa sidang Sosialisasi Jurusan di 10 SMA dan SMK se- Provinsi Banten di tahun 2009 Networking dengan Bank Mandiri bagi 171 | B A N T E N E S i A

Program Wira Usaha Muda di tahun 2010 Pelatihan Penggunaan Media PBM di Kelas bagi Dosen dan Mahasiswa di Tahun 2010 Kunjungan Mahasiswa ke PT. Krakatau Steel di tahun 2010 sebanyak 40 orang mahasiswa Entrepreneurship jurusan (penjualan 2 Kodi gantungan kunci, stiker, kaos, mug, topi, payung) di tahun 2010.

Selanjutnya, setelah penentuan Matrix SWOT Analysis di atas, proses pencapaian tujuan agar lebih jelas dan terukur dalam pemilihan strateginya, maka dilengkapi dengan pendekatan portofolio analysis sebagai berikut :

Tabel 13. Pengukuran Strengths-Opportunities (SO) FISIP Untirta

Weighted Weigth Rating Kriteria Score Mempersiapkan kinerja SDM bidang 0.1 2 0.2 akademis/dosen-dosen bagi perubahan universitas ke arah BLU atau BHP sampai dengan bulan Februari 2010 Peningkatan sarana-sarana PBM seperti kursi 0.05 3 0.15 lipat (Chitose) dari yang ada sejumlah 441 172 | B A N T E N E S i A buah menjadi 1000 buah di bulan Maret tahun 2010 Peningkatan pemasangan LCD di tiap 0.1 2 0.2 ruangan (5 ruang) di bulan Maret Tahun 2011 yang berasal dari dana SPMA Peningkatan pengadaan Laptop dari 10 0.05 3 0.15 menjadi 20 di bulan Februari Tahun 2010 bagi peningkatan kinerja 2 buah jurusan profile di tahun 2010 yang 0.05 3 0.15 memuat data 51 orang dosen dan 400 orang Alumni Pembuatan kartu nama dosen dan staff di 0.05 3 0.15 tahun 2010 agar memperlancar network Pengadaan E-Sap dan E-GBPP bagi 51 Dosen 0.1 2 0.2

Pengadaan SMS Gateway bagi penyebaran 0.1 2 0.2 nilai untuk 1200 mahasiswa Jurusan Banner dan Jurusan Blog untuk 0.05 3 0.15 networking dan sosialisasi di tahun 2010 Mail List bagi dosen dan alumni (400 orang 0.1 2 0.2 untuk 2 jurusan) di tahun 2010 Penerapan ISO 9000:2001 di tahun 2011 untuk 0.15 1 0.15 2 jurusan/program studi Presentasi GBPP, SAP dan Kontrak GO 4 Perkuliahan bagi Dosen di tahun 2009 yang dilaksanakan tiap semester (per enam bulan sekali) Kegiatan Outbound 1 tahun sekali 0.05 3 0.15

Penghematan kertas dengan pengunaan SMS GO 4 dan E-mail dalam 10 rapat di tahun 2009 Efisiensi tempat sidang dan efisiensi waktu 0.05 3 0.15 wisuda dari 2x dalam 1 tahun menjadi 4x dalam 1 tahun Jumlah 1 40 2.2

173 | B A N T E N E S i A

Tabel 14. Pengukuran Weaknesses-Opportunities (WO) FISIP Untirta

Weighted Weigth Rating Kriteria Score Untuk meningkatkan kualitas mahasiswa, 0.05 3 0.15 diselenggarakan seminar tentang Good

Governance setiap semester, dengan mengundang dosen tamu dari Unpad dan Monash University di tahun 2009 -2010 Mengadakan kerjasama dengan pihak swasta 0.05 3 0.15 dengan memanfaatkan program CSR

(Customer Social Responsibility) di tahun 2009- 2010 untuk pengadaan sarana toilet, musholla, kantin, dapur dan lobby room. Kerjasama dengan Pemprov Banten dan 0.05 3 0.15 Pemerintah Kota Serang untuk penggunaan sarana kelas di lingkungan Pemprov Banten dan Pemerintah Kota Serang di tiap semester di tahun 2009-2010 sebanyak 5 ruangan Penyelenggaraan pelatihan Applied Approach 0.1 4 0.4 bagi 51 Dosen Muda (Assisten Ahli), diselenggarakan di bulan Maret 2009 Pelatihan Administrasi Perkantoran bagi 10 0.05 2 0.1 orang Staff Akademik dan Umum di bulan September 2009 Memperbaiki Sistem Informasi Akademik 0.05 3 0.15 (SIAK) FISIP Untirta di bulan Maret 2009, dengan menambah 1 Software Access Menghubungkan SIAK FISIP dengan portal 0.2 1 0.2 Untirta di bulan Maret 2009, di domain yang sama (www.untirta.ac.id) Diskusi bulanan selama 2 tahun yang dihadiri 0.1 2 0.2 oleh 51 orang dosen Pembuatan Buku Ajar bagi 51 orang dosen (1 GO 4

174 | B A N T E N E S i A dosen : Rp. 2,5 juta) per semester Program Magang dan Job Training bagi 100 0.1 2 0.2 Mahasiswa Smt. VII di dua Prodi bagi peningkatan wawasan dan skill Program Talk show dan kolom (Rubrik FISIP) 0.05 3 0.15 di 1 Stasiun Radio dan 1 Koran Lokal selama 10 bulan di tahun 2009. Pada Akan ditingkatkan program ini di 2 Stasiun Radio dan 2 Koran Lokal di tahun 2010. Pelatihan Statistik dan SPSS bagi 51 orang 0.05 2 0.1 dosen Kerja sama penggunaan 4 ruangan dengan 0.05 3 0.15 program Pasca Sarjana selama 2 semester di tahun 2010 Kerja sama penelitian dengan Dewan 0.05 2 0.1 Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Banten sempai dengan Juni 2009 sebanyak 10 penelitian Pelaksanaan kegiatan senam pagi di tiap hari 0.05 3 0.15 Jum’at selama satu tahun di tahun 2010 agar kesehatan jasmani terjaga Kegiatan Pengajian dan arisan setiap 2 bulan GO 4 sekali di tahun 2008 sampai dengan 2011 bagi 51 Orang Dosen dan 11 orang Staff. Jumlah 1 44 2.35

Tabel 15. Pengukuran Strengths-Threaths (ST) FISIP Untirta

Weighted Weigth Rating Kriteria Score Menjalin networking dengan 10 0.1 4 0.4 perusahaan/BUMN di Tahun 2010, agar Alumni FISIP Untirta terjamin dan mudah

175 | B A N T E N E S i A mendapatkan lapangan pekerjaan Mengadakan Treasure Study di bulan April 0.05 3 0.15 2009 bagi 600 lulusan FISIP Meningkatkan kerjasama dengan 3 institusi 0.1 4 0.4 pemberi dana beasiswa yang telah terjalin (Eka Tjipta Foundation, PT. Sampoerna, PT. Astra) di tahun 2010 Meningkatkan Pangsa mahasiswa melalui 0.05 2 0.1 kerja sama dengan 10 Camat dan 10 Kepala Desa bagi Program Studi Adm. Negara di tahun 2010-2012 Pengadaan News Letter bagi peningkatan 0.1 3 0.3 kualitas dan kemampuan menulis/ critical analysis dosen yang berwawasan di 2 prodi selama 6 kali dalam setahun Micro Research selama 4 kali dalam setahun 0.1 4 0.4 dengan dana 2 juta Seminar, Semiloka yang diadakan setahun 2 0.05 2 0.1 kali Kurikulum, disesuaikan dengan kebutuhan 0.2 1 0.2 dan perkembangan jaman (2 tahun sekali harus diganti) Penerbitan buku setahun sekali sebanyak 4 0.05 2 0.1 buku Penerbitan Jurnal ‛Good Governance‛ (5 Edisi) 0.05 3 0.15 di Tahun 2009-2014 Evaluasi PBM dosen di 2 Prodi ( Prodi Ilmu 0.15 3 0.45 Adm. Negara dan Ilmu Komunikasi) setiap semester genap terhadap 51 Orang Dosen tahun 2009-2010 Jumlah 1 31 2.75

176 | B A N T E N E S i A

Tabel 16. Pengukuran Weaknesses-Threats (WT) FISIP Untirta

Weighted Weigth Rating Kriteria Score Mengadakan program ‛associate professor‛ di 0.05 3 0.15 Prodi Adm. Negara dan Komunikasi (2 Profesor bidang Adm. Negara dan Komunikasi) di tahun 2010. Penelitian mandiri dan pengabdian 0.1 4 0.4 masyarakat bersama sebanyak 100 penelitian dan 50 pengabdian masyarakat antar fakultas dengan melibatkan mahasiswa di tahun 2010 (dibawah LPPM Untirta) 10 Penelitian dengan Institusi lain di tahun 0.05 3 0.15 2010 – 2012 Pengadaan 1 Unit Laboratorium TV bagi 0.1 4 0.4 Prodi Ilmu Komunikasi yang memiliki jarak 10 Km di tahun 2012 Pengadaan 1 Unit Laboratorium Radio bagi 0.1 4 0.4 Prodi Ilmu Komunikasi yang memiliki jarak 5 Km di tahun 2012 Dialog Kebijakan Bersama Stakeholders 3 0.05 3 0.15 kegiatan dalam 1 tahun di tahun 2010 Pengadaan lemari dan meja tulis, loker bagi 0.05 2 0.15 51 orang dosen di tahun 2012 Pengadaan Kursus/Toefl (IELTS) kerja sama 0.05 3 0.15 dengan 1 buah Institusi (Kursus) di tahun 2010 Pengadaan bea siswa penulisan Tesis dan 0.1 4 0.4 Desertasi bagi 20 Orang Dosen yang sedang menempuh Program S2 dan S3 di tahun 2011 Pelatihan Emotional dan Spiritual Quotion 0.05 2 0.1 (ESQ) bagi dosen dan staff (62 Orang) di tahun 2011

177 | B A N T E N E S i A

Pengadaan Koperasi, Child Care (Tempat 0.05 2 0.1 Penitipan Anak) di tahun 2010 Kunjungan ke Gedung MPR/DPR RI tahun 0.05 2 0.1 2010 pada masa sidang Sosialisasi Jurusan di 10 SMA dan SMK se- GO 4 Provinsi Banten di tahun 2009 Networking dengan Bank Mandiri bagi 0.05 2 0.1 Program Wira Usaha Muda di tahun 2010 Pelatihan Penggunaan Media PBM di Kelas 0.05 3 0.15 bagi Dosen dan Mahasiswa di Tahun 2010 Kunjungan Mahasiswa ke PT. Krakatau Steel 0.05 2 0.1 di tahun 2010 sebanyak 40 orang mahasiswa Entrepreneurship jurusan (penjualan 2 Kodi 0.05 3 0.15 gantungan kunci, stiker, kaos, mug, topi, payung) di tahun 2010 Jumlah 1 50 3.15

Dari keempat matrix di atas, akan diperoleh hasil dengan menggunakan rumus (Jumlah Weighted Score SO + Jumlah Weighted Score

WO + Jumlah Weighted Score ST + Jumlah Weighted Score WT). Jadi diperoleh hasil 2.2 + 2.35 + 2.75 + 3.15 = 10.45. Total penjumlahan

Weighted Score dari setiap alternatif strategi tersebut, yang kemudian dibandingkan dengan institusi lainnya. Jika hasilnya lebih kecil dari institusi lainnya, maka strategi harus diganti agar lebih baik. Namun jika Penjumlahan Weighted Score lebih besar, berarti strategi organisasi sudah baik dan strategi layak dipertahankan.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

178 | B A N T E N E S i A

Penerapan manajemen strategis pada suatu organisasi, dalam hal ini adalah pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa Banten yang menggunakan tahapan-tahapan manajemen strategis model Hunger dan Wheelen (2003 : 11) merupakan salah satu contoh bahwa kebutuhan akan perubahan dan pengembangan strategi menjadi hal yang crucial dan mendesak untuk dilakukan.

Tentunya dalam pelaksanaan setiap tahapan mulai dari environmental scanning, perumusan strategi, implementasi strategi sampai pada evaluasi strategi membutuhkan cara yang sistematis, jelas, terukur dan terarah serta membutuhkan penguasaan teknologi, sumber daya manusia yang handal dan berkualitas, ketersediaan bahan-bahan baku, ketersediaan dana atau modal yang besar serta kestabilan kondisi ekonomi dan politik untuk meningkatkan iklim berinvestasi. Tanpa itu, sepertinya sulit untuk menerapkan manajemen strategis.

Selanjutnya terdapat berbagai keuntungan jika suatu organisasi menerapkan manajemen strategis di organisasinya, baik sektor publik maupun sektor privat/bisnis. Melalui studi kasus pada Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten yang menggunakan pendekatan Portofolio Analysis dengan menggunakan analisis SWOT kita dapat menentukan dimensi daya tarik institusi, menentukan kekuatan atau posisi kompetitif, menentukan plot posisi organisasi pada saat ini kemudian membuat Plot Portofolio institusi

179 | B A N T E N E S i A untuk masa yang akan datang sehingga memudahkan organisasi untuk menentukan langkah-langkah strategisnya dalam pencapaian tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Selanjutnya dalam proses evaluasi,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa Banten melakukan secara menyeluruh per bidang fungsional; mulai dari bidang Akademik, bidang Kepegawaian, bidang Fasilitas

Pendidikan, bidang Organisasi dan Manajemen, bidang penelitian dan pengembangan serta bidang Kemahasiswaan dan Alumni melalui program kerjanya per tahun dalam periode tertentu dapat menjadi contoh bagi organisasi/institusi lainnya agar praktis dan memudahkan proses evaluasi.

Terakhir, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa strategi suatu organisasi dapat dipertahankan, direformasi, diperbaiki, dirubah manakala menghadapi situasi dan kondisi tertentu (conditio sine quanon) yang mengharuskan organisasi untuk mengkaji atau mereview ulang strateginya. Untuk itulah manajemen strategis dipelajari dimana para pelaksana strategi menentukan tujuan dan membuat keputusan strategis dengan alasan manajemen strategis memungkinkan organisasi/perusahaan mengantisipasi kondisi yang selalu berubah- ubah, menyediakan sasaran dan arah yang jelas bagi karyawan, serta penelitian dalam manajemen strategis melaju sedemikian rupa sehingga prosesnya dapat membantu para pimpinan institusi.

Saran

180 | B A N T E N E S i A

Berdasarkan hasil evaluasi, maka penulis memberikan saran berupa rekomendasi agar sebaiknya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten memutuskan untuk merubah strategi institusi secara keseluruhan. Strategi tersebut didasarkan kepada pola pendekatan dan paradigma baru pendidikan tinggi yang tertuang dalam Kerangka Pengembangan Pendidikan

Jangka Panjang (KPPTJP) tahun 2005-2012 dan mengacu pada rencana operasional Universitas dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, maka pengembangannya diarahkan untuk mengantisipasi isu-isu strategis yang timbul secara internal dan eksternal. Hal ini dilakukan dengan cara :

1. Menciptakan daya saing bagi FISIP pada khususnya dan Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa pada umumnya dengan cara penanaman

nilai-nilai integritas, nasionalisme dalam menghadapi tantangan

globalisasi melalui kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat

untuk memperlancar akses ilmu pengetahuan. Selain itu untuk

mensejajarkan diri dengan Perguruan Tinggi Negeri lainnya, baik

dalam maupun luar negeri, yang akan menjadi pesaing dalam

merebut pangsa pasar dunia pendidikan.

2. Berkaitan dengan Otonomi Daerah. FISIP Untirta sebaiknya

menerapkan pola insentif, sesuai dengan anjuran pemerintah melalui

Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi (DIRJEN DIKTI) agar mampu

bersaing atau berkompetisi untuk mendapatkan dana hibah guna

181 | B A N T E N E S i A

meningkatkan kualitas, efisiensi, akuntabilitas, dan relevansi

pendidikan.

3. Menjamin kualitas untuk pencapaian standar pengelolaan perguruan

tinggi sesuai yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN)

Perguruan Tinggi. Hal ini ditujukan untuk menjamin kualitas output

dan outcome sebagai bagian dari pertanggungjawaban publik.

4. Menjamin kesehatan organisasi agar kinerja Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Untirta meningkat, dengan cara peningkatan

kemampuan sumber daya manusia dan fasilitas yang dimiliki

sehingga komunikasi dan koordinasi antar bidang berjalan dengan

lancar, salah satunya adalah melalui pengadaan lembaga Koperasi di

lingkungan FISIP Untirta.

5. Mengadakan kampus terpadu seiring berjalannya waktu dan

perkembangan jumlah mahasiswa ataupun fasilitasnya, sehingga

jumlah ruangan yang ada sesuai dengan jumlah mahasiswa dan

jumlah dosen yang ada. Oleh karena itu perlu didukung oleh

areal/tanah yang luas sesuai dengan rasio jumlah mahasiswa :

jumlah ruang : jumlah dosen. Hal tersebut juga guna mendukung

kondusifitas dan kenyamanan kegiatan belajar mengajar. Usaha

yang dapat dilakukan adalah dengan cara menyewa tempat atau

kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Banten atau Pemerintah

Kota Serang bagi keterbatasan kelas.

182 | B A N T E N E S i A

6. Menjamin kesejahteraan pegawai dengan meningkatkan kualitas

kerja dan pelayanan prima kepada mahasiswa dan stakeholders

lainnya, dengan cara mengikutsertakan seluruh pegawai pada

program asuransi kerja yang lain (misalnya : asuransi Prudential,

asuransi Takaful, asuransi Jiwasraya) selain Taspen dan Askes.

Daftar Pustaka

David, Fred R. 2004. Manajemen Strategis : Konsep. Jakarta : PT. Indeks.

Hitt, M.A., M.T. Dacin, B. B. Tyler, dan D. Park. ‛Understanding the Differences in Korean and U.S. Executives Strategic Orientations, ‚ Strategic Management Journal 18, no.2 (February 1997 : 159 : 169).

Hunger, J. David dan Wheelen, Thomas L. 2003. Manajemen Strategis. Yogyakarta : Andi.

Ivancevich, John. M. 2007. Human Resources Management, Tenth Edition. New York : McGraw-Hill.

Kotler, Philip and Lee, Nancy. 2005. Corporate Social Responsibility : Doing the Most Good for Your Company and Your Cause. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.

M. Suyanto. 2007. Strategic Management : Global Most Admired Companies (Perusahaan yang Paling Dikagumi Dunia). Yogyakarta : Andi.

Magister Manajemen Universitas Padjadjaran. 2003. Diktat Manajemen Stratejik dan Kebijakan Usaha (MSKU). Bandung : Magister Manajemen Universitas Padjadjaran.

Portofolio Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Tahun 2006.

Rencana Strategis Pengembangan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Periode 2005-2015.

183 | B A N T E N E S i A

Rosadi, Dedi. 2008. Bahan Materi Perkuliahan Manajemen Strategis. Bandung : Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.

Sintaningrum. 2008. Bahan Materi Perkuliahan Manajemen Strategis. Bandung : Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.

184 | B A N T E N E S i A

”PRESTASI” BANTEN DAN PANDANGAN POLITIK MAHASISWA DALAM PEMILIHAN GUBERNUR BANTEN 2011

Oleh: Kandung Sapto Nugroho

Pendahuluan

Dalam sejarahnya Banten pernah menjadi salah satu pusat ekonomi dunia, pusat pelabuhan dunia yang sangat strategis, jalur ekonomi dunia. Bahkan Kerajaan Banten mempunyai perwakilan semacam duta besar di London. Nampaknya sejarah Banten akan sulit terulang, manakala kader kepemimpinan di Banten tidak mempunyai visi yang kuat. Untuk mengembalikan itu semua Banten membutuhkan seorang pemimpin yang visioner, pemimpin yang mempunyai komitmen yang kuat, yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan rakyat bukan untuk memperkaya kelompoknya masing- masing.

185 | B A N T E N E S i A

Dewasa ini di era Pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia, Banten banyak mengalami kemajuan atau bahkan lebih tepatnya kemunduran bila dibandingkan Banten di masa keemasan di era Kerajaan Banten. Seiring dengan berubahnya sistem politik yang berkembang di Indonesia dari era sentralisasi ke era desentralisasi berubahnya hukum positif tersebut membawa perubahan-perubahan mendasar dalam tata hubungan pemerintahan pusat dan daerah. Pola dan model perencanaan pembangunan pun juga mengalami perubahan yang fundamental. Proses pembangunan yang berjalan tidak lagi hanya mengandalkan pemerintah pusat melainkan partisipasi pemerintah daerah maupun masyarakat itu sendiri.

Pemekaran daerah menjadi salah satu model dalam rangka pemercepatan proses pembangunan (kalau tidak boleh dikatakan pemerataan kue pembangunan). Sejak dibukanya kran desentralisasi melalui otonomi daerah dilaksanakan pada dengan Undang-undang No

22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana kemudian direvisi dengan Undang-undang No 32 Tahun 2004 baik itu dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 maupun Peraturan Pemerintah

Nomor 78 Tahun 2007 telah melahirkan begitu banyak daerah otonom baru seperti yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah

Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Johan mengatakan

Indonesia menjadi negara nomor satu yang pertumbuhan daerah otonom barunya terbanyak di dunia, Indonesia nomor wahid, 205

186 | B A N T E N E S i A daerah tumbuh selama 10 tahun sehingga berpredikat sebagai pemekaran daerah tersebur di dunia. Djohermansyah mengatakan, selama periode 1999-2009, daerah otonomi hasil pemekaran (DOHP) yang paling banyak terbentuk adalah kabupaten. Dalam kurun waktu

10 tahun, ada 164 kabupaten yang terbentuk atau sekitar 70 persen.

Tahun 1999 jumlah kabupaten tercatat sebanyak 234, menjadi 398 kabupaten pada tahun 2009. Pertumbuhan kota ada di peringkat kedua, mencapai 57,6 persen. Jumlah Kota bertambah sebanyak 34. Tahun 1999 jumlah kota tercatat 59, menjadi 93 Kota pada tahun 2009. Sedangkan pertumbuhan provinsi hanya sebesar 22 persen. Dari 27 provinsi, sekarang menjadi 33 provinsi. Djohermansyah melanjutkan, bertambahnya jumlah provinsi, kabupaten, dan kota juga berpengaruh terhadap penambahan jumlah kecamatan, kelurahan, dan desa.

"Kecamatan bertambah 18,9 persen, kelurahan 35 persen, desa 14,4 persen," tuturnya (http://www. tempointeraktif.com/hg/politik/

2011/04/28/brk,20110428-330711,id.html).

Provinsi Banten berdiri dengan disahkannya Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten setelah memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat pada masa pemerintahan

Presiden Abdurrahman Wahid. Tujuan pemekaran yang dilakukan salah satunya adalah untuk mendekatkan pelayanan public, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara geografis masyarakat di Banten memang lebih dekat secara orbitasinya dibandingkan ketika

187 | B A N T E N E S i A masih harus ke Bandung. Banten dimekarkan penuh dengan harapan tinggi akan kesejahteraan yang lebih baik.

Banten dimekarkan dengan harapan pendidikan yang lebih baik, angka partisipasi kasar, angka partisipasi murni, rata-rata lama sekolah, angka melek huruf. Banten dibangun untuk kesehatan yang lebih baik, angka harapan hidup yang semakin meningkat. Banten dimekarkan dengan harapan meningkatnya angka kesejahteraan masyarakat yang tergambar dengan pendapatan perkapita. Singkat kata Banten dimekarkan dengan tujuan meningkatkan Human Development Index.

Namun gambaran capaiannya bisa dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 17. Perbandingan Human Development Index Provinsi Banten dengan HDI Nasional

IPM Kabupaten/Kota 2006 2007 2008 1. Kabupaten Pandeglang 66,90 67,39 67,8 2. Kabupaten Lebak 66,65 66,74 67,1 3. Kabupaten Tangerang 70,04 70,71 71,1 4. Kabupaten Serang 66,80 67,45 67,8 5. Kota Tangerang 74,11 74,40 74,7 6. Kota Cilegon 74,11 74,43 74,9 7. Kota Serang - - 69,4 8. Kota Tangsel - - 75,1 Banten 69,11 69,29 69,7 Nasional 70,1 70,59 71,17 Sumber : Babar Suwarso, Kepala Bidang Perekonomian – Bappeda Provinsi Banten, Banten Yang Ideal Di Era Otonomi Daerah, Seminar Regional Keluarga Besar Bem-Fisip Untirta, Serang, 13 Oktober 2010

188 | B A N T E N E S i A

Tabel di atas adalah gambaran capaian dari Provinsi Banten dalam hal Human Development Index dimana Provinsi Banten selalu di bawah rata-rata nasional dalam segala hal, bisa dikatakan Pemerintah

Provinsi mendapatkan nilai merah untuk rapor kinerja pemerintahannya. Setidaknya terlihat dari hasil riset Pusat Studi

Kebijakan dan Kependudukan Universitas Gadjah Mada Tahun 2007 pada Pemerintahan Provinsi Banten dalam menerapkan konsep good governance dalam ketatapemerintahannya dimana salah satunya adalah tingkat transparansinya yang hanya mencapai 0,33 penegakan hukum mencapai 0,38, pengendalian korupsi dan efektifitas pemerintahan mencapai 0,39 yang terlihat dari grafik berikut ini:

Grafik 2. Profil Tata Pemerintahan Provinsi Banten Tahun 2007

BANTEN

0.7 0.6 0.6 0.47 0.5 0.42 0.44 0.44 0.39 0.4 0.38 0.39 0.4 0.33

0.3 MEAN 0.2 0.1 0

Inovasi

PERDA

Politik Kualitas

Stabilitas Info

Partisipasi Korupsi

Efektivitas

Pemerintah

Rule of Rule Law

Kapasitas

Kepercayaan Pengendalian

Transparansi Menyampaikan

INDIKATOR

Sumber: PSKK UGM, 2007

189 | B A N T E N E S i A

Namun kalau diperhatikan lebih jauh nampak bahwa rendahnya transparansi (0,33) tidak berbanding lurus dengan rendahnya stabilitas politik. Yang terjadi adalah bahwa tingkat stabilitas politiknya relatif lebih baik yakni 0,6. Hal ini sangat mungkin disebabkan eksistensinya

‚Gubernur Jenderal‛ yang sangat dominan di Banten dengan segala instrumennya, menjadi tokoh sentral yang tidak ada lawan politik sebanding, seperti halnya ketika Indonesia di Era Orde Baru, kekuatan

Soeharto yang sangat luar biasa otoriter tidak memunculkan lawan politik yang seimbang. Nampaknya hal ini terjadi juga di Banten.

Gubernur Jenderal yang tidak lain adalah Ayahanda dari Gubernur

Banten sekarang ini, akhirnya ‚memiliki akses formal‛ ke segala penjuru bidang dan menguasai akses-aksesnya baik formal maupun informal sehingga muncullah istilah Gubernur Jenderal.

Provinsi Banten ketika memekarkan diri dari Jawa Barat yang menjadi gubernur pertamanya adalah Djoko Munandar yang saat ini sudah meninggal dunia pada Jumat 5 Desember 2008 di usia 61 tahun, dengan wakil gubernurnya Rt. Atut Chosiyah yang sempat menjadi pelaksana tugas (plt), kemudian yang sekarang ini terpilih melalui

Pemilihan Gubernur pada 26 November 2005 dan akan mengikuti pemilihan gubernur masa periode kedua yang akan berlangsung 22

Oktober 2011. Provinsi Banten terus tumbuh dan berkembang siapapun pemimpinnya, Banten menjadi memegang peranan penting dalam perekonomian nasional, Banten Utara yang sangat modern menjadi

190 | B A N T E N E S i A salah satu jalur ekonomi dunia menjadi salah satu urat dalam globalisasi dunia walaupun kalau kita lihat Banten Selatan masih berekonomic tradisional. Banten mempunyai keunggulan dalam peran geostrategic terlebih pada Banten Utara, Karena dalam hal perekonomian wilayah, hingga tahun 2007, sekitar 88,90% perekonomian Provinsi Banten dihasilkan oleh aktifitas ekonomi di wilayah utara yang bertumpu pada sektor sekunder dan tersier, sedangkan 11,10% sisanya dihasilkan oleh aktifitas ekonomi di wilayah selatan yang bertumpu pada sektor primer. Namun Tingkat pengangguran dan kualitas SDM tenaga kerja lokal hingga tahun 2007 tingkat pengangguran terbuka masih sebesar 15,75%, sedangkan komposisi penduduk usia 15 tahun keatas menurut pendidikan masih menunjukkan proporsi 94,45% berpendidikan non sarjana (Babar

Suwarso, 2010).

Bagaimana dengan pengangguran di Banten ? Mengutip apa yang disampaikan oleh Dahnil Anzar S (2010) bahwa ‚Dari beberapa data yang ‚tidak ladzim‛ tersebut, saya fokus mengamati dan meneliti data persentase pengangguran terbuka. Dalam Dokumen Nota Pengantar

LKPJ 2009, di halaman 12-13 saya kutip langsung, tertulis ‚Keberhasilan lainnya pada agenda ini adalah kemampuan mempertahankan prosentase pengangguran terbuka Provinsi Banten sebesar 6,50% pada tahun 2009 dan 2008, yang menurun jika dibandingkan dengan tahun

2007 sebesar 6,71%.‛ Saya tersentak. Darimana asal data persentase ini,

191 | B A N T E N E S i A sangat bertolak belakang dengan data resmi publikasi BPS Provinsi

Banten karena saya secara rutin memperoleh data resmi publikasi seluruh indikator ekonomi Indonesia secara umum, maupun Banten.

Dalam Publikasi Biro Pusat Statistik (BPS) Banten persentase pengangguran terbuka Banten pada tahun 2009 adalah 14,97%, setara dengan 652.462 orang. Ada apa dan kenapa bisa berbeda?‛ http://ekonomi.kompasiana. com/bisnis/2010/04/30/akrobat-angka- pengangguran-banten/.

Kemudian kondisi kemiskinan pada tahun 2006, jumlah penduduk miskin di Banten mencapai puncaknya yaitu tercatat sebesar 904.300 penduduk miskin (9,79 persen) berada di bawah garis kemiskinan.

Banyaknya penduduk miskin pada tahun 2006 lebih disebabkan karena pada periode penghitungan tersebut (Juli 2005-Maret 2006), pemerintah kembali menaikkan harga BBM (tahap 2) pada bulan Oktober 2005, yang menjadi pemicu inflasi pada bulan tersebut sebesar 6,88 persen.

Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Sehingga pada tahun 2006 tercatat sebesar 904.300 penduduk miskin (9,79 persen) berada di bawah garis kemiskinan. Program-program anti kemiskinan yang digulirkan oleh pemerintah seperti BLT, PNPM Mandiri, P2KP dan lain sebagainya, membuat jumlah penduduk miskin terkoreksi dan terus mengalami penurunan pada tahun 2007 sampai dengan 2010. Pada tahun 2007

192 | B A N T E N E S i A jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 886.200 orang (9,07 persen), pada tahun 2008 menurun menjadi 816.742 orang (8,15 persen), kemudian pada tahun 2009 mengalami penurunan kembali menjadi sebesar 788.067 orang (7,64 persen), hingga pada tahun 2010 ini jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 758.163 orang atau sekitar 7,16 persen penduduk berada dibawah garis kemiskinan

(http://banten.bps.go.id/pdf/27_brs%20 kemiskinan%202010.pdf).

Tidak adil rasanya apabila membandingkan Banten dengan

Provinsi lain yang lebih mapan dan lebih lama dalam melaksanakan pemerintahannya, sebaiknya Banten dibandingkan dengan daerah pemekaran yang seangkatan. Hal ini tergambar kinerja Pemerintahan

Provinsi Banten terbaru adalah berdasarkan Keputusan Menteri Dalam

Negeri Nomor 120-277 Tahun 2011 tentang Penetapan Peringkat Penye- lenggaraan Daerah Otonom Hasil Pemekaran, peringkat pertama diraih

Provinsi Utara dengan skor 55,88. Selanjutnya disusul Provinsi

Gorontalo dengan skor 51,31, Kepulauan Bangka Belitung dengan skor

49.64, Sulawesi Barat dengan skor 46,73, Kepulauan Riau dengan skor

46,64, Banten dengan skor 44,57, dan Papua Barat dengan skor 24,99

(http://provinsibanten. wordpress.com/2011/05/05/kepemimpinan- banten-lemah/).

Salah satu penyebabnya adalah faktor kepemimpinan di Provinsi

Banten. Lemahnya kepemimpinan di Banten tercermin dalam komitmen pemimpin dalam memerangi korupsi dan penegakan hukum,

193 | B A N T E N E S i A pemimpin yang kreatif dan inovativ menjadi hal yang langka di

Pemerintah Provinsi Banten. Kepemimpinan Banten yang bergaya jawara atau lebih tepatnya bergaya ulama. Banten membutuhkan pemimpin yang mempunyai kemampuan religisitas yang tinggi, kemampuan intelektualitas yang tinggi sehingga dapat mencapai visi pembangunan Provinsi Banten 2007-2012 adalah ‚Rakyat Banten

Sejahtera Berlandaskan Iman dan Taqwa‛, dapat tercapai. Apakah kemudian ‚prestasi‛ yang sudah dicapai oleh Pemerintah Provinsi

Banten akan menjadi referensi para pemilih dari kalangan mahasiswa ?

Kepemimpinan dan Budaya Birokrasi

Kepemimpinan dan budaya organisasi birokrasi publik memiliki peranan sentral dalam memacu efektivitas kinerja dalam suatu perusahaan karena kesuksesan kinerja membutuhkan dukungan kuat dari para pemimpin transformasional dan dukungan kuat dari budaya organisasi yang kuat dan adaptif. Birokrasi lebih didorong berorientasi pada hasil bukan lagi berorientasi proses Menurut Bass (dalam Lako,

2004:72-73) hal ini disebabkan karena kepemimpinan transformasional selalu berupaya menggerakkan semua sumber daya kekuatan organisasi, menciptakan perbedaan dan perubahan besar dalam kelompok dan organisasi; membesarkan kolega-subordinat untuk mencapai kesadaran yang lebih besar atas perannya dalam organisasi. mereka juga selalu memotivasi dan menyertai followers-subordinate dalam melakukan expected efforts dan extra efforts untuk mencapai 194 | B A N T E N E S i A expected performance dan performance beyond expectation. Selain itu, kepemimpinan ini juga mempengaruhi dan berusaha melakukan transformasi budaya organisasional yang kompatibel dengan iklim organisasi terkini.

Dalam sebuah organisasi apapun bentuknya, terlebih pada organisasi public kepemimpinan merupakan faktor yang turut menentukan tercapainya tujuan organisasi secara lebih efektif dan efisien. Sartono (dalam Sulistiyani, 2004:82), mengungkapkan bahwa salah satu bukti dari pentingnya kepemimpinan adalah mengapa suatu organisasi ketika dipimpin oleh pemimpin tertentu cukup berhasil meningkatkan produktivitas dan kinerja organisasi, namun ketika diganti dengan pemimpin lain tidak berhasil meningkatkan kinerja organisasi, bahkan justru sebaliknya. Di situlah letak seni dan kualitas, kepemimpinan dapat dibuktikan. Kemampuan seorang pemimpin dalam menetapkan knowledge, attitudes dan practice yang dikombinasikan dengan pendekatan maupun gaya yang tepat akan sangat berarti dalam menentukan keberhasilan kepemimpinan. Seperti dalam olah raga sepakbola, apabila dalam serangkaian pertandingan menelan kekalahan terus menerus maka yang diganti adalah bukan pemainnya namun pelatihnya sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas kegagalan team tersebut.

Kepemimpinan merupakan faktor yang sangat krusial dalam mempengaruhi prestasi organisasi karena kepemimpinan merupakan

195 | B A N T E N E S i A aktivitas yang utama dari perencanaan, pengembangan sampai evaluasi dalam rangka menjaga agar tujuan organisasi dapat dicapai.

Dalam segala situasi organisasi, pemimpin memiliki peran yang sangat strategis, setiap pilihan tindakan yang diambil adalah pilihan pemimpin maka yang bertanggungjawab adalah sosok pemimpin tersebut.

Pemimpin merupakan simbol, panutan, pendorong, sekaligus sumber pengaruh yang dapat mengarahkan berbagai kegiatan dan sumber daya organisasi guna mencapai tujuannya. Kepemimpinan Banten harus bisa mengoptimalisasikan peran dan fungsi birokrasi untuk mengedepankan pelayanan public bukan untuk kepentingan politik, atau politisasi birokrasi untuk kekuasaan. Karena seperti yang disampaikan Lord

Acton: power tends to corrupt, absolutely power absolutely corrupt. Birokrasi haruslah berkeadilan social, berorientasi pada masyarakat bukan pada kepentingan kekuasaan.

Sebagai gambaran dari budaya organisasi di Pemerintah Provinsi

Banten semisal apa yang telah terjadi dalam pelaksanaan Pemilihan

Kepala Daerah Kabupaten Pandeglang Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan MK Nomor 190/PHPU.D-VIII/2010 diputuskan agar

KPUD Pendeglang melaksanakan pemungutan suara ulang di semua

TPS se-Kabupaten Pandeglang, dan mengikutsertakan enam pasangan calon bupati/wakil bupati Pandeglang. Selain itu, MK juga membatalkan keputusan KPU Pandeglang Nomor 29/KPU-

PDG/X/Tahun 2010 tentang penetapan rekapitulasi hasil dan

196 | B A N T E N E S i A penghitungan suara dan berikutnya pelaksanaan pemilihan kepala daerah waikota Kota Tangerang Selatan yang harus dilakukan pemilihan kepala daerah ulang 100%. Terlihat jelas budaya birokrasi yang terkooptasi dalam urusan politik yakni apa yang disampaikan oleh Komite Independent Pemantau Pemilu (KIPP) meminta Menteri

Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi untuk memberikan sanksi pada 18 pejabat di lingkungan pemerintahan Kota Tangerang Selatan karena terbukti terlibat dalam pilkada di daerah itu. "KIPP telah melaporkan ke 18 pejabat itu kepada Mendagri pada 15 Desember 2010, kita minta agar diberikan sanksi, karena berdasarkan putusan

Mahkamah Konstitusi (MK), mereka terbukti mendukung salah satu pasangan calon pada pilkada Tangsel," kata Ketua KIPP Fariz Satria

Alam di Rumah Makan Saung Jati, Serpong, Minggu. Dijelaskan Fariz, pejabat yang dilaporkan yakni Penjabat Sementara (Pjs) Wali Kota

Tangsel Eutik Suarta, Sekretaris Kota Tangsel Dudung S Diredja,

Asisten Daerah (Asda) I Tangsel Ahadi, empat kepala dinas, sejumlah camat, lurah dan Kepala Bagian Tata Usaha BKPMD Kabupaten

Tangerang Muhammad (http://www.republika.co.id/berita/breaking- news/ metropolitan /10/12/20/153347-terlibat-pilkada-mendagri- diminta-tindak-18-pejabat-tange-rang-selatan).

Persepsi.

Persepsi seseorang akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang individu tersebut, misalkan latar belakang ekonomi, status social 197 | B A N T E N E S i A ekonomi, pengalaman hidup, lingkungan, hingga pada tingkat pendidikan dan jenis keilmuan yang ditekuninya. Persepsi merupakan proses pengkonsepsian atas fenomena atau serangkaian fenomena di sekitar kita, proses pemberian label, atau proses konstruksi individu atas perihal tertentu. Persepsi merupakan proses pengenalan terhadap sesuatu yang ada dan terjadi disekitarnya, dan persepsi itu selalu dipengaruhi oleh kemampuan dan kematangan serta pengalaman seseorang. Persepsi merupakan sebuah proses diterimanya sebuah atau beberapa rangsangan (fenomena, obyek, kualitas, hubungan antar gejala maupun peristiwa) sampai rangsangan itu disadari dan dimengerti sampai pada dipahami. Jadi persepsi pimpinan, staf sebagai bawahan dan team pengawas akan berbeda terhadap obyek yang sama.

Perbedaan persepsi ini terutama dipengaruhi oleh faktor pribadi.

Pribadi seseorang dari pribadi yang lain sebagai bukti keunikan manusia sehingga faktor pribadi ini mengakibatkan perbedaan terhadap rangsangan yang sama. Namun seringkali faktanya bahwa faktor pribadi yang lebih mempengaruhi persepsi adalah motif, sikap emosi dan kerangka berfikir.

Dalam prakteknya, masyarakat sangat terikat oleh norma-norma sosial atau aturan-aturan sosial. Ikatan norma-norma sosial terhadap kehidupan masyarakat tercermin pada tingkah laku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Persepsi masing-masing individu juga timbul dan berkembang sejalan dengan waktu

198 | B A N T E N E S i A berlangsungnya proses interaksi baik antar individu maupun dengan masyarakat yang lebih besar pasti akan dibingkai dalam peraturan akan nilai-nilai universal. Persepsi akan berlangsung efektif apabila individu saling dekat atau keterdekatan dalam hubungan, atau dengan istilah lain individu telah saling kenal satu sama lain. Persepsi terhadap seseorang individu dapat diterapkan pada individu lain apabila individu lain tersebut memiliki kesamaan kepribadian dan tingkah laku dengan individu pertama sebagai proses generalisasi. Persepsi yang telah terbentuk tidak begitu saja hilang akan tetapi dengan persepsi tersebut harus bertahan lama dalam pikiran individu.

Nampak dengan jelas bahwa persepsi dapat digunakan untuk prediksi tingkah laku yang sesuai dengan tujuan interaksi yang akan dipilih oleh individu dan bisa digeneralisasi. Disinilah setiap individu dituntut untuk segera memahami makna interaksi sosial yang dijalaninya dengan individu lain melalui persepsinya. Bagaimana dengan di Banten? Banten digambarkan sebagai daerah yang kuat nuansa religiusitasnya, Banten sebagai provinsi dengan 1000 pondok pesantren, Banten identik dengan kaum Jawaranya. Pemimpin Banten yang digambarkan santun dengan kemampuan memimpin Jawara di

Banten, apakah kemudian akan menjadi preferensi pemilih pada

Pemilihan Gubernur Banten 2011 ?

Hasil pengujian dengan SPSS 17.0 menunjukkan bahwa sample sejumlah 91 mahasiswa 50,5 % berjenis kelamin perempuan dan 49,5%

199 | B A N T E N E S i A berjenis kelamin laki-laki, dan apakah jenis kelamin ikut mempengaruhi pilihan politik, karena kebetulan gubernurnya seorang perempuan?

Karena responden diberikan pertanyaan Apakah Anda akan memilih

Ibu Rt. Atut Chosiyah lagi dalam Pemilihan Gubernur Mendatang ?

Lebih jelasnya lihat tabel 18 berikut ini:

Tabel 18. Tabulasi Silang Pilihan Politik Mahasiswa dengan Jenis Kelamin Responden

Jenis Kelamin L P Total Pilihan Politik Ya Count 3 7 10 Mahasiswa % within Pilihan Politik 30.0% 70.0% 100.0% Mahasiswa % within Jenis Kelamin 6.7% 15.2% 11.0% % of Total 3.3% 7.7% 11.0% Tidak Count 42 39 81 % within Pilihan Politik 51.9% 48.1% 100.0% Mahasiswa % within Jenis Kelamin 93.3% 84.8% 89.0% % of Total 46.2% 42.9% 89.0% Total Count 45 46 91 % within Pilihan Politik 49.5% 50.5% 100.0% Mahasiswa % within Jenis Kelamin 100.0% 100.0% 100.0% % of Total 49.5% 50.5% 100.0% Sumber: Data Penelitian Diolah, 2011

Dari tabel 18 di atas Nampak sangat jelas bahwa dari 91 responden yang memilih akan memilih kembali Ibu Rt. Atut Chosiyah lagi dalam Pemilihan Gubernur Mendatang sebanyak 10 mahasiswa (terdiri dari

200 | B A N T E N E S i A laki-laki 3 mahasiswa dan 7 mahasisiwi) atau hanya sebesar 11 %, dimana responden yang berjenis kelamin perempuan kecenderungannya untuk memilih Ibu Rt. Atut Chosiyah lagi dalam Pemilihan Gubernur Mendatang sebesar 15,2 % dimana itu adalah 70 % dari sampel yang menjawab akan memilih Ibu Rt. Atut Chosiyah lagi dalam Pemilihan Gubernur Mendatang sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki yang akan memilih Ibu Rt. Atut Chosiyah lagi dalam Pemilihan Gubernur Mendatang sebesar 6,7 % dimana itu adalah 30 % dari sampel yang menjawab akan memilih Ibu Rt. Atut Chosiyah lagi dalam Pemilihan Gubernur Mendatang. Kemudian nampak sangat jelas bahwa dari 91 responden yang memilih tidak memilih kembali Ibu Rt. Atut Chosiyah lagi dalam Pemilihan Gubernur Mendatang sebanyak 81 mahasiswa (terdiri dari laki-laki 42 mahasiswa dan 39 mahasiswi) atau hanya sebesar 89 %, dimana responden yang berjenis kelamin laki-laki kecenderungannya untuk tidak memilih Ibu Rt. Atut Chosiyah lagi dalam Pemilihan Gubernur Mendatang sebesar 93,3 % dimana itu adalah 51,9 % dari sampel yang menjawab tidak memilih Ibu Rt. Atut Chosiyah lagi dalam Pemilihan Gubernur Mendatang sedangkan yang berjenis kelamin perempuan yang tidak memilih Ibu Rt. Atut Chosiyah lagi dalam Pemilihan Gubernur Mendatang sebesar 84,8 % dimana itu adalah 48,1 % dari sampel yang menjawab tidak memilih Ibu Rt. Atut Chosiyah lagi dalam Pemilihan Gubernur Mendatang. Dari hasil survey ini bisa disimpulkan bahwa responden yang memilih akan memilih Ibu Rt. Atut Chosiyah lagi dalam pemilihan

201 | B A N T E N E S i A gubernur mendatang lebih besar pada responden perempuan, sedangkan responden yang tidak memilih Ibu Rt. Atut Chosiyah lagi dalam pemilihan gubernur mendatang lebih besar pada responden laki-laki. Ini bukan merupakan akhir dari segala, tidak bisa kemudian digeneralisasi bahwa pada pemilihan gubernur mendatang incumbent akan kalah. Gambaran hasil survey di atas hendaknya dijadikan referensi untuk menggarap floating mass yang masih sangat besar padahal di Provinsi Banten terdapat 104 perguruan tinggi. Perlu diingat bahwa karakteristik responden dalam survey ini tidak menggambarkan karakteristik masyarakat Banten secara keseluruhan, karakteristik survey ini adalah para mahasiswa yang notabene mendapatkan informasi dan pendidikan politik yang lebih memadai, berpikir kritis, rasional dan analitis, inilah yang disebut dengan pemilih rasional dan kritis bukan pemilih emosional, atau mungkin justru pemilih transaksional. Herbert Simon menyatakan bahwa pilihan rasional para politikus yang memperjuangkan kepentingan pribadi atau golongan lebih utama dari kepentingan masyarakat akan secara otomatis atau alamiah dibatasi. Pembatas dari pilihan rasional para politikus berupa motivasi kepentingan pribadi adalah kenyataan bahwa masyarakat ternyata selalu ikut mengawasi perilaku para politikus dan tak segan-segan memberi ‚hukuman‛ jika memandang perilaku mementingkan diri sendiri dari para politikus itu sudah keterlaluan. Bentuk hukuman publik yang paling biasa adalah tidak memilih lagi si politikus itu pada pemilihan umum berikutnya. Oleh karena itu, menurut Herbert, dalam

202 | B A N T E N E S i A kenyataannya si politikus akan mencoba mencari keseimbangan antara memperjuangkan kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat umum, khususnya yang mereka wakili atau yang memilih mereka (http://astarhadi.blog.com/2007/12/11/teori-pilhan-rasional/). Team sukses Rt Atut Chosiyah (incumbent) hendaknya segera menggarap pemilih rasional (kelas menengah ke atas dan kaum terpelajar) dengan langkah-langkah pencitraan positif khususnya untuk masyarakat pemilih rasional dimana pemilih rasional teridentifikasi dengan tingkat pendidikan dan kelas ekonomi menengah ke atas. Karena pada karakteristik inilah pemilih objektif dengan kesadaran yang rasional atas pilihan politiknya, tidak tergadaikan dengan segala bentuk money politic dan intrik politik yang dilakukan oleh pasangan calon gubernur. Walaupun jumlah kondisi berbeda untuk PNS di lingkungan instansi vertikal yang ada di Provinsi Banten. Mayoritas PNS-nya tamatan di bawah S1 sebanyak 51,33 persen dari total 1.948 PNS instansi vertikal. PNS dengan tamatan S1 keatas hanya 39,63 persen, sedangkan PNS pemda Provinsi Banten dengan tingkat pendidikan seperti itu mencapai 59,37 persen dimana tamatan Diploma III-IV sebesar 12,34 %, kemudian yang tamatan Strata Satu (S-1) sebesar 44,79 % dan yang Strata Dua (S-2) keatas sebesar 13,25 (Banten Dalam Angka 2010), namun kita tidak berharap banyak bahwa 39,63 % tersebut menjadi pemilih rasional, dikarenakan kecurigaan akan ketidaknetralan PNS dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah berkaca dari apa yang terjadi di Kabupaten Pandeglang dan Kota Tangerang Selatan. Sehingga ke depan team sukses Rt Atut Chosiyah (incumbent) hendaknya bisa

203 | B A N T E N E S i A lebih cerdas dalam memetakan dan mengkondisikan pilihan-pilihan politik menjadi pilihan cerdas bagi pemilih di semua level untuk memberikan manfaat untuk masyarakat Banten secara lebih masif.

Daftar Pustaka

Babar Suwarso, Kepala Bidang Perekonomian – Bappeda Provinsi Banten, Banten Yang Ideal Di Era Otonomi Daerah, Seminar Regional Keluarga Besar Bem-Fisip Untirta, Serang, 13 Oktober 2010

Dahnil Anzar S,2010. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/04/30/ akrobat-angka-pengangguran-banten/. http://astarhadi.blog.com/2007/12/11/teori-pilhan-rasional/. http://banten.bps.go.id/pdf/27_brs%20kemiskinan%202010.pdf http://provinsibanten. wordpress.com/2011/05/05/kepemimpinan- banten-lemah/ http://www.republika.co.id/ berita/breaking-news/metropolitan/10/12/ 20/153347-terlibat-pilkada-mendagri-diminta-tindak-18-pejabat- tangerang-selatan. http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2011/04/28/brk,20110428- 330711,id. html.

Lako, Andreas, 2004, Kepemimpinan dan Kinerja Organisasi: Isu, Teori dan Solusi, Penerbit Amara Books, Yogyakarta.

Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan UGM, 2007. Governance Assessment at Banten Province.

Sulistiyani, Ambar Teguh ed., 2004, Memahami Good Governance Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, Gava Media, Yogyakarta

204 | B A N T E N E S i A

PENGARUSUTAMAAN GENDER VERSUS JAWARA DI BANTEN Refleksi Empat Tahun Penerapan dan Problematika Program Pengarusutamaan Gender di Provinsi Banten

Oleh: Neka Fitriyah

Pendahuluan

Mempersoalkan Pengarusutamaan Gender (PUG) dan persoalan

Jawara, di Banten merupakan pembicaraan yang menarik, terus dibahas, terus disikapi dan terus diperguncingkan. Bukan hanya bagi masyarakat Banten, tetapi perbincangan ini dalam perkembangannya diikuti juga oleh para pemerhati di luar Banten. Dua entitas ini merupakan identitas khas yang ada di Banten dan tidak dimiliki oleh daerah lain. Memiliki citra yang khas dan unik karena pergulatan dan pergumulannya berdampak pada arus dan suasana politik di Banten.

Pertama, PUG di Banten dijadikan rujukan dan pijakan dalam membuat program pembangunan, sehingga rumusan kebijkan apapun diidentifikasi agar sesuai dengan konsep dan kaidah PUG. Lebih jauh 205 | B A N T E N E S i A

PUG merupakan ekspresi dari keberadaan, kiprah dan kekuatan perempuan di Banten. Kedua, Jawara di Banten merupakan perkumpulan masyarakat, yang terus bergerak dan tumbuh mengakar sehingga disinyalir menjadi kelompok yang menentukan arah dan laju percaturan politik daerah.

Provinsi Banten memiliki Gubernur perempuan yang memiliki keberanian dalam menerapkan isu PUG dalam pembangunan. Faktanya

Provinsi Banten memang harus terus berjuang keras dalam mengimplementasikan PUG, dengan harapan semua pihak terkait dapat dengan perlahan menjadikan isu perempuan sebagai isu utama dalam pemetaan program pembangunan. Upaya-upaya pemberdayaan perempuan semakin tampak setelah Gubernur Ratu Atut Chosiyah bersama-sama dengan DPRD Banten membentuk Perda Nomor 10

Tahun 2005 tentang Pengarusutamaan Gender. Kebijakan itu disusul kemudian oleh Instruksi Gubernur Nomor 2 Tahun 2005 tentang Peng- arusutamaan Gender Pembangunan Daerah. Pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender menjadi salah satu poin dalam RPJMD

Banten periode 2007-2012. Harapannya juga, jangan sampai pula keterlibatan pemerintah dalam persoalan perempuan yang disambut antusias ini, diam-diam justru hanya untuk melanggengkan otoritasnya terhadap perempuan.

Menyikapi realitas perempuan yang makin mengemuka, bahwa persoalan keterbelakangan dan marginalisasi perempuan dinilai makin

206 | B A N T E N E S i A kompleks, makin rumit dan merugikan laju pertumbuhan pembangunan. Maka, melalui banyak kajian dan diskusi, PUG dianggap sebagai salah satu solusi penyamarataan akses pembangunan bagi perempuan. Untuk itu dewasa ini, workshop, pelatihan, seminar dan diskusi tentang PUG pun makin semarak diselenggarakan.

Termasuk tulisan ini, mencoba mengkaji bagaimana implementasi PUG di Banten ditengah-tengah dominasi Jawara.

Harapannya memang, bagaimana wacana dan persoalan ketimpangan perempuan dan Jawara dikaji dalam ruang-ruang ilmiah sehingga ditemukan strategi pemberdayaan perempuan yang dapat mengikis ketimpangan dan dapat dijadikan rekomdasi pada pihak terkait. Data-data menunjukkan bahwa setelah pelaksanaan PUG pada tahun 2008, angka buta hurup pada tahun 2009 masih dominan dialami oleh permpuan yakn 64,85%. Sedangkan angka kematian ibu berada pada titik 203.2 di tahun 2009. Adapun target PUG untuk tahun 2011 adalah terintegrasinya isu gender ke dalam Rencana Kerja (RENJA)

SKPD pada RKPD, tersusunnya pemutahiran data SKPD secara terpilah.

Fenomena lain ini adalah; bahwa implementasi PUG tidak bisa dikerjakan hanya oleh pemerintah, banyak aspek sosial kultural yang menghambat laju pertumbuhan PUG yang belum diselesaikan terlebih dahulu. Sebagai contoh adalah kultur Jawara yang melekat bagi masyarakat Banten, kultur yang merefleksikan dominasi dan keangkuhan kaum laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Kultur

207 | B A N T E N E S i A yang kuat dan mengakar ini dalam sejarahnya Sehingga kemudian, ada fenomena bahwa peemerintah sudah tidak sanggup sendiri lagi dalam merumuskan, merencanakan, dan merancang program-program keperempuan. Realitasnya, pemerintah mulai bergenit-genitan dengan kaum akademis, membicarakan dan merayu agar bagaimana implementasi PUG berbasiskan scientific research, sehingga kemudian dapat dirumuskan program strategis yang tepat sasaran. Idealnya tentu, tidak ada lagi dusta diantara kita. Setidaknya, fenomena ini harus disambut gembira, karena akan ada banyak manfaat yang bisa diambil baik oleh pemerintah maupun kaum akademis.

Sejarah dan Pengertian PUG

Stereotip terhadap perempuan disadari atau tidak, telah terinternalisasi ke dalam cara berfikir masyarakat, yang diakibatkan oleh sosialisasi sejak dini, dan terus dipertahankan secara sengaja serta dimanfaatkan oleh pihak yang menduduki posisi hegemonik untuk mempertahankan kedudukan maupun struktur kehidupan sosial itu sendiri. Hal itulah yang menjelaskan mengapa kaum perempuan tetap dan begitu mudah mengalami ketidakadilan, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, pelecehan atau perlakuan negatif lainnya

(Faqih, 2003).

Kondisi buruk yang dihadapi kaum perempuan inilah kemudian menggugah kesadaran banyak pihak bahwa memperhitungkan keberadaan perempuan di dalam setiap aspek kebijakan, merupakan

208 | B A N T E N E S i A kewajiban bagi siapapun dan kewajiban ini tidak mungkin dihindarkan.

Kaum perempuan mempunyai hak yang harus dipenuhi dan dihormati, serta berada dalam posisi setara sebagi mitra kerja kaum laki-laki di setiap aspek kehidupan dalam upaya membangun kehidupan yang lebih baik bagi semua pihak.

Dengan kata lain ada upaya untuk mendesak berbagai komponen dalam masyarakat untuk menggunakan perspektif gender dalam melihat masalah sosial. Perspektif gender dipandang sebagai suatu perangkat teoritis dalam mensikapi persoalan-persoalan yang muncul ditengah perkembangan kehidupan sosial. Langkah ini sekaligus dapat diposisikan sebagai bagaian dari upaya demokratisasi kehidupan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik dan terbebas dari struktur yang hegemonik.

Dalam realitasnya, banyak program-program pembangunan yang memberi perhatian terhadap persoalan perempuan. Pembangunan yang selama ini berjalan telah memberikan perhatian pada perempuan, meski dioerientasikan pada program peningkatan peranan keluarga. Sejak

Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1978, pemerintah

Indonesia sudah menegaskan pentingnya peningkatan kedudukan peranan perempuan dalam pembangunan nasional.

Sejak itu pemerintah mulai mengembangkan program-program untuk peningkatan peranan wanita (P2W). Program ini didasarkan pada kebijakan atau pendekatan pengintegrasian perempuan dalam

209 | B A N T E N E S i A pembangunan atau yang dikenal dengan Women in Developmen yang disingkat WID. Asumsi dasar pendekatan ini adalah dengan melibatkan perempuan dalam kegiatan ekonomis yang menguntungkan, harapannya kedudukan perempuan secara otomatis akan meningkat pula.

Program atau proyek WID secara umum memang cukup berhasil.

Setidaknya tampak dari menurunnya Total Fertility Rate dari 5,2 di tahun 1970 menjadi 2,8 di tahun 1997 (BPS, 1998). Bentuk keberhasilan lainnya, membaiknya ekonomi keluarga bagi perempuan yang berhasil ikut serta dalam program peningkatan penghasilan keluarga; perempuan desa dan kota memiliki keterampilan yang bisa dikembangkan untuk menunjuang pendapatan keluarga (Data Statistik

2003).

Namun, dibalik keberhasilan program tersebut, jika dikaji lebih mendalam justru memperkuat marginalisasi dan eksploitasi perempuan. Hal ini misalnya tercermin dalam program PKK yang hanya memperkuat posisi domestik perempuan. Sedangkan masuknya perempuan ke sektor industri atau manufaktur dengan kewajiban sama dengan kaum laki-laki di dunia kerja, justru menambah beban kerja perempuan. Mengingat kerja produktif di rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan, yang konsekuensinya perempuan memiliki beban ganda.

210 | B A N T E N E S i A

Berangkat dari kelemahan dan keterbatasan pendekatan WID,

Pada tahun 1990an lahirlah pendekatan Gender and Development atau yang disingkat GAD yakni pendekatan yang berupaya mengatasi ketimpangan gender, yang justru diperlebar oleh pendekatan WID.

Pendekatan GAD berangkat dari anggapan bahwa perlunya perencanaan pembangunan yang tanggap terhadap adanya perbedaan kebutuhan perempuan dan laki-laki. Faktanya laki-laki dan perempuan memainkan peran yang berbeda dalam masyarakat, sehingga membutuhkan instrument atau kebijakan yang responsive terhadap realitas keperempuanan.

GAD tidak hanya mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan, tetapi juga mencoba mengembangkan insiatif-inisiaif untuk menyetarakan posisi laki-laki dan perempuan dalam relasi sosialnya. Tujuan jangka panjang GAD adalah membangun kemitraan antara perempuan dan laki-laki dalam menentukan tujuan dan arah masa depan. Dalam perencanaan dan penyusunan programnya GAD didasari oleh analisis kebutuhan gender praktis dan analisis kebuhan gender strategis.

Dalam perjalannnya program GAD yang dirancang untuk menyetarakan partisipasi perempuan dalam pembangunan, ternyata tidak berbanding lurus dengan realitas dilapangan. Ada kecendrungan bahwa tingginya Human Development Index (HDI) belum tentu diikuti oleh tingginya Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment

211 | B A N T E N E S i A

Measure (GEM). Terlebih Indonesia menurut UNDP Report tahun 2008 menunjukkan bahwa HDI Indonesia pada tahun 2006 berada pada urutan ke 109 dari 179 negara. Bisa dibayangkan GDI Indonesia ada di posisi yang mana.

Setelah WID dan GAD mendapat kritikan tajam dari beberapa kalangan karena dinilai gagal mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan, munculah strategi Pengarus Utamaan Gender (PUG).

PUG merupakan strategi untuk menjamin bahwa seluruh proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi seluruh kebijakan dan proyek di seluruh sektor pembangunan telah memperhitungkan dimensi gender-yaitu melihat laki-laki dan perempuan sebagai subjek dan objek yang setara dalam akses, partisipasi dan kontrol atas pembangunan serta dalam memanfaatkan hasil pembangunan.

Definisi dari Razavi dan Miller berikut sangat tepat untuk menggambarkan apa itu sebenarnya PUG. PUG adalah sebenarnya proses teknis dan politis yang membutuhkan perubahan pada kultur atau watak oranisasi, tujuan, struktur dan pengalokasian sumber daya.

Poltis karena bertujuan untuk mengubah alokasi sumber daya, kuasa, kesempaatan dan norma sosial. Institusi yang melembagakan dan membakukan aturan, norma dan perilaku tertentu secara sadar atau tidak telah berperan dalam mengurangi, memperkuat, atau memproduksi kultur ketidaksetaraan gender dalam praktek dan aturannya,

212 | B A N T E N E S i A

Lebih jauh PUG diartikan sebagai strategi, pendekatan atau cara yang diakui secara global untuk mencapai tujuan kesetaraan gender.

PUG bukan tujuan melainkan cara, untuk memastikan agar perspektif gender dan kesetaraan gender menjadi fokus semua proses dan siklus perencanaa, penyususnan kebijakanprogram/proyek/kegiatan, penelitian dan advokasi, perundangan dan alokasi sumber daya. PUG yang tercantum dalam Beijing Platform for Action (BPFA) ini adalah jawaban atas kegagalan berbagai upaya dan program khusus untuk perempuan dimasa lalu.

Pada prinsipnya PUG merupakan strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai kehidupan dan pembangunan (Panduan Pelaksanaan Inpres Nomor 9 tahun 2000).

Beberapa Negara dengan istilah masing-masing, sebenarnya memiliki pula program pemberdayaan perempuan. Australia misalnya, merupakan Negara pertama yang memeperkenalkan dan menerapkan program yang sensitif dan responsif gender melalui anggaran yang responsif gender pada tahun 1989. Dan pada tahun 1995 Afrika Selatan mulai memperhatikan persoalan perempuan melalui Women’s Budget nya, dimana kebutuhan dan kepentingan perempuan diberi porsi

213 | B A N T E N E S i A khusus Philipina mengembangkan program GAD Budget Policy pada tahun 1994 (Rinusu, 2003).

Program PUG penting untuk memastikan apakah perempuan dan laki-laki mempunyai akses yang sama terhadap sumber daya, dan apakah laki-laki dan perempuan dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dll. Tujuan akhir dari pengarusutamaan gender adalah mempersempit dan bahkan meniadakan kesenjangan gender yang mengantarkan pada pencapaian kesetaraan dan keadilan gender.

Sejarah dan Pengertian Jawara

Dalam penelitian Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1988, mendefinisikan Jawara adalah golongan sosial yang tidak mempunyai pekerjaan yang tetap dan seringkali melakukan kegiatan-kegiatan kriminal. Selain itu Sartono juga mengindentifikasi perbuatan kriminal

Jawara tersebut memiliki tujuan sabotase terhadap pemerintahan kolonial Belanda walaupun seringkali banyak merugikan rakyat kecil.

Karena itu, Jawara diidentikan dengan bandit sosial karena mendapat dukungan masyarakat kecil.

Dalam perjalananya, Jawara merupakan sub-kelompok masyarakat yang memainkan peran penting di Banten hingga saat ini.

Meskipun peran dan kedudukan tradisional mereka terus digerogoti arus modernisasi yang semakin hegemonik. Desakan modernisasi telah merubah tata kehidupan dan moralitas masyarakat Banten, sehingga dampaknya tidak hanya berpengaruh pada pendapatan dan produksi,

214 | B A N T E N E S i A tetapi juga pada perubahan identitas, aspirasi dan otoritas. Namun demikian, perubahan-perubahan tersebut tidak sampai menghancurkan semua kedudukan dan peran sosial mereka secara menyeluruh. Jawara sampai kini tetap merupakan salah satu orang yang diberikan tempat oleh masyarakat. Di samping tokoh-tokoh lain, seperti tokoh politik para pejabat pemerintah dan pengusaha (Tihami, 2002).

Demikian pula Jawara, selain berusaha untuk tampil lebih ramah sehingga bisa diterima masyarakat, mereka kini tidak hanya memainkan peran tradisional mereka, tetapi juga merambah pada sektor-sektor ekonomi dan politik di Banten. Apalagi setelah Banten menjadi sebuah provinsi yang mandiri, lepas dari wilayah Jawa Barat, peran Jawara dalam percaturan bidang politik dan ekonomi memainkan peran yang sangat besar. Kyai dan Jawara sebagai Elit Sosial.

Peran Sosial Jawara

Perubahan sosial yang cukup besar yang terjadi pada rakyat

Banten telah merubah persepsi masyarakat tentang peran-peran Jawara.

Bahkan, sebagian masyarakat ada yang menginginkan istilah Jawara dihilangkan, sehingga citra budaya ‚kekerasan‛ yang selama ini melekat pada ‚orang luar‛ terhadap masyarakat Banten bisa dihilangkan. Meskipun demikian, peran-peran sosial dan politik yang dimainkan oleh orang-orang yang selama ini dikenal ‚Jawara‛ saat ini sangat besar di wilayah Banten. Para tokoh Jawara, yang kini

215 | B A N T E N E S i A menamakan dirinya pendekar, menduduki sektor-sektor penting dalam bidang ekonomi, sosial dan politik di Banten (Suhaedi HS dkk, 2002).

Peran-peran tradisional sosial Jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun naik. Hal ini pula yang merubah persepsi masyarakat terhadap Jawara. Pada waktu situasi sosial yang kurang stabil, peran Jawara biasanya sangat penting, tetapi ketika masyarakat dalam keadaan damai peran mereka kurang diperlukan. Bahkan sering dipandang negatif karena perilakunya yang sering melakukan kekacauan dan kekerasan dalam masyarakat dan melakukan tindakan kriminal. Namun demikian peran-peran sosial yang sering dimainkan oleh para Jawara adalah di seputar kepemimpinan seperti menjadi jaro

(lurah), penjaga keamanan desa (jagakersa) dan guru silat dan guru ilmu magis.

Di daerah pedesaan di wilayah Banten terdapat pengurus desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa yang sering disebut jaro.

Seorang jaro memimpin sebuah kejaroan (kelurahan). Pada zaman

Kesultanan Banten, kepala desa (jaro) diangkat oleh Sultan. Tugas utama jaro adalah mengurus kepentingan kesultanan, seperti memungut upeti dan mengerahkan tenaga untuk kerja bakti. Dalam pekerjaan sehari-harinya, seorang jaro dibantu oleh pejabat-pejabat, yakni: carik (sekretaris jaro), jagakersa (bagian keamanan), pancalang

(pengantar surat), amil (pemungut zakat dan pajak), merbot atau modin

(pengurus masalah keagamaan dan mesjid) (Suhaedi HS dkk, 2002).

216 | B A N T E N E S i A

Sejarah ilmu persilatan di Banten memiliki akar yang sangat panjang. Di dalam Serat Centhini disebutkan bahwa pada masa pra-

Islam telah dikenal istilah ‚paguron‛ atau ‚padepokan‛ di daerah dekat sekitar Gunung Karang, Pandeglang. Dalam masyarakat Banten dikenal berbagai macam perguron, seperti Terumbu, Bandrong, Paku

Banten, Jalak Rawi, Cimande, Jalak Rawi, si Pecut dan sebagainya.

Setiap perguron memiliki jurus-jurus dan karakteristik yang berbeda- beda bahkan sejarah kelahirannya. Kini semua perguron tersebut ada dalam sebuah P3SBBI (Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya

Banten Indonesia) di bawah pimpinan H. Tb. Chasan Sochib. Seorang

Jawara yang terkenal biasanya selain memiliki kemampuan bela diri yang baik juga memiliki ilmu ‚batin‛ atau magis, yakni kemampuan untuk memanipulasi kekuatan supranatural untuk memenuhi keputusan praktisnya, seperti kebal dari berbagai senjata tajam, tahan dari api, juru ramal, pengusir jin atau setan, pengendali roh dan pengobatan, seperti patah tulang dan tukang pijit(Suhaedi HS dkk,

2002).

Kecenderungan terhadap kekuatan supranatural seperti di daerah

Banten ini, memang memiliki akar yang sangat dalam. Sebelum Islam datang ke daerah ini sudah ada para resi yang melakukan tapa, yakni sebuah praktik meditasi untuk mendapatkan kesaktian. Bahkan, diceritakan pula bahwa Sultan Hasanuddin sebelum menguasai daerah

Banten ini melakukan tapa di tempat-tempat yang selama ini dianggap

217 | B A N T E N E S i A sebagai pusat kosmis di Banten, yakni Gunung Pulosari, Gunung

Karang dan Pulau Panaitan sebelum ia berangkat ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji.

Bentuk-bentuk ilmu yang sering dipergunakan para Jawara adalah brajamusti (kemampuan untuk melakukan pukulan dahsyat), ziyad

(mengendali sesuatu dari jarak jauh), jimat atau rajah untuk mencari kewibawaan, kekayaan atau dicintai seseorang, putter gilling (untuk memutar kembali atau menemukan kembali orang yang hilang atau kabur), elmu (untuk menaklukan binatang yang berbisa atau berbahaya) dan sebagainya. Peran Jawara yang masih dekat dengan kesaktian adalah permainan debus. Permainan debus ini banyak dilakukan oleh para Jawara, yang dianggap sudah memiliki kesaktian yang cukup. Jadi tidak semua Jawara dapat melakukan permainan debus, karena bagi yang tidak mampu justru akan mendatangkan bencan atau kecelakaan.

Problematik Implementasi PUG dan Jawara di Banten

Perdebatan tentang apakah PUG, masih relevan sebagai strategi para feminis untuk mempengaruhi kebijakan dan praktek institusi terus bergulir. PUG dianggap sebagai depolitisasi gender. Pasalnya. Konsep gender yang menjadi terminologi kunci dalam PUG, seringkali menjadi deskripsi dan secara mudah menjadi pertanyaan tentang power relations.

Ketika relasi kekuasaan dimana laki-laki menindas perempuan menguap, dan ketika kesetaraan gender atau kesetaraan dua jenis

218 | B A N T E N E S i A kelamin ini dicoba dioperasionalkan dan dilembagakan dalam praktik dan kebijakan pembangunan, maka tulisan ini dibuat atas fenomena mengenai PUG. Tulisan ini menekankan tentang pentingnya PUG sebagai strategi untuk mengubah kebijakan, aturan main, praktek dan perilaku instituri di Negara-negara selatan khususnya Indonesia dengan catataan seluruh tujuan prosses dan cara melakukannya benar.

Menjalankan PUG berarti memahami politik institusi untuk mengatur masyarakat, menerjemahkan kebutuhan masyarakat dan mengalokasikan sumber dayanya. Perubahan institusi tersebut hanya bias dilakukan jika agen-agen feminis-pejuang hak perempuan-masuk dan berjuang untuk mengubah aturan-aturan mainnya.

PUG versus Jawara di Banten sebenarnya sebuah judul tulisan yang merupakan representasi kegelisahan penulis tentang PUG di

Banten. Perseteruan dan pergulatannya bukan persoalan pergumulan fisik, tetapi lebih pada pertarungan budaya, ideologi, tatanan sosial dan perilaku serta cara pandang terhadap perempuan. Beberapa workshop, seminar dan pelatihan gender yang telah penulis ikuti termasuk yang diselenggarakan oleh Pemprov Banten, belum sepenuhnya menyentuh aspek sosial kultural dalam penerapan PUG. Padahal membicarakan persoalan perempuan, sebenarnya membicarakan stereotype yang berakar pada ideologi dan budaya yang menempatkan perempuan sebagai subjek yang marginal. Logikanya penyelesaian persoalan

219 | B A N T E N E S i A perempuan hendaknya didasari pada optimalisasi aspek sosial budaya dam kearifan lokal daerah setempat.

Sebagai contoh program kegiatan gender di Provinsi Banten 2010, dari 20 SKPD yang dilibatkan, pendekatan yang digunakan lebih pada pendekatan struktural dan top down. Seperti program pemberdayaan melalui Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial, Peningkatan

Kapasitas Lembaga Pemerintah Daerah, Pengembangan Kemitraan dan

Kewirausahaan, program pendidikan formal dan seterusnya. Dari program-program yang ada, terlihat lebih mengedepankan strategi struktural dibandingkan dengan sosial kultural. Pendekatan sosial kultural, biasanya akan melibatkan aktor-aktor sosial dalam PUG.

Sepertiketerlibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, karang tarun, majlis taklim dll. Sehingga dalam penerapan PUG, masyarakat dilibatkan secara optimal, dalam pengertian bekerja dalam mensosialisasikan pemahaman dan ketimpangan gender. Harapannya adalah semua unsur baik pemerintah, masyarakat, tokoh masyarakat bersinergi untuk optimalisasi PUG.

Hambatan lain dalam PUG di Banten adalah aspek sosio kultural yakni budaya dan ideologi Jawara yang mengakar pada masyarakat.

Ideologi dan kultur Jawara yang cenderung mendominasi dikhawatirkan membuat perempuan lebih termarginalkan. Sampai saat ini banyak masyarakat Banten khususnya perempuan yang masih menjunjung nilai ideologi Jawara, dan disisi lain perempuan makin

220 | B A N T E N E S i A terabaikan karena kurangnya informasi dan kurangnya menyadari hak- hak mereka sebagai warga negara. Secara umum perempuan di Banten masih sedikit yang menyadari, dan memahami bahwa perempuan menghadapi persoalan yang gender spesifik, artinya persoalan yang hanya muncul karena seseorang atau satu kelompok orang menyandang gender perempuan. Masih banyak diantara perempuan dan masyarakat di Banten, yang tidak bisa mengerti mengapa persoalan perempuan harus dibahas dan diperhatikan secara khusus.

Hal ini terjadi karena kentalnya nilai-nilai partiarki yang terinternalisasi dalam ideologi Jawara. Nilai-nilai dan norma Jawara dalam masyarakat telah menetapkan bahwa sudah kodratnya perempuan merupakan ‚ratu dan pengurus rumah tangga‛, sehingga pikiran-pikiran untuk memberi kesepatan kepada perempuan untuk beraktifitas di luar rumah tangga dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi kodrat dan mengada-ada (Tjandraningsih, 1996). Mereka juga belum menyadari adanya kepentingan kesetaraan berpartisipasi dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan, yang disebabkan oleh perpanjangan keisolasian (Vitalaya, 1995). Hal ini antara lain disebabkan karena lingkungan sosial budaya yang tidak mendukung, untuk membiarkan perempuan terlibat dalam persoalan non domestik.

Selain Jawara dewasa ini diyakini menndominasi aspek sosio kultural, juga berperan dalam menentukan iklim politik daerah, dan tentu ini semakin memeprsempit ruang gerak perempuan di Banten.

221 | B A N T E N E S i A

Artinya skema pemetaan solusi untuk perempuan di Banten selayaknya disandarkan pada aspek sosial kultural dan kearifan lokal yang ada.

Sehingga kemudian program PUG apapun bentuknya tidak berbenturan lagi dengan kultur dan ideologi yang ada.

Pengadopsian PUG di Banten merupakan langkah politis baru dalam advokasi isu gender. Strategi ini bertumpu pada dua pendekatan.

Strategi ini bertumpu pada dua pendekata. Pertama, meletakkan pemerintah sebagai agent of change bagi pembangunan yang berkeadilan gender. Kedua, melakukan intervensi atau keterilbatan terhadap semua tahap proses atau siklus pembangunan, mulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi. Advokasi gender yang sudah dilakukan selama ini lebih banyak bertumpu pada pendekatan struktural. Namum begitu, dalam prakteknya banyak sekali pihak terutama kalangan pemerintah sendiri yang merasa kesulitan menerjemahkan strategi PUG dalam program pemerintah. Peluang besar yang ditawarkan oleh strategi PUG masih tetap dilakukan dengan gaya lama, baik dari strategi substansi maupun metode penyampaian. PUG yang berpeluang besarmengintervensi proses dan agenda pembangunan nasional ternyata masih berputar-putar di pinggiran (Hartian Silawati, 2006).

PUG adalah rimba raya baru, teori tentangnya dan dokumentasi keberhasilan empirisnya atau pengalaman prakteknya sangat terbatas, karena itu tulisan ini dibuat berdasarkan refleksi, teori dan pembelajaran dari berbagai sumber. Tulisan ini menekankan

222 | B A N T E N E S i A pentingnya merambah ranah non structural sebagi pusat dan medan perubahan. Ilustrasinya tantangan pelembagaan system PUG di organisasi dan system pemerintahan itu seperti perjuangan membalik, memecah, dan mencairkan sebuah gunung es. Banyak persoalan yang telah membantu dan tidak semua tampak, bahkan bersembunyi di bawah permukaan tenangnya birokrasi (Leya Catteleya,2006). Karena yang tampak dipermukaan sangat kecil, tetapi ketika dilihat lebih dalam justru banyak permasalahan dasar yang tidak teraba. Sistem budaya diyakini sebagai jurang yang paling dalam membelenggu perempuan.

Budaya yang cenderung patriarkis dilanggengkan melalui norma sosial dan kelayakan sosial, yang pada prakteknya merugikan perempuan.

Seperti anggapan masyarakat bahwa perempuan lebih baik berada di wilayah domestik dibanding wilayah publik. Aspek sosial budaya jika tidak dibenahi melalui sosialisasi atau gerakan pencerahan pemikiran hanya akan memposisikan perempuan di wilayah privat. Akibatnya akses dan partisipasi perempuan dalam wilayah publik dan politik rendah.

Pembenahan aspek sosio kultural menjadi penting dalam PUG, karena sebenarnya permasalahan dasar yang dihadapi perempuan adalah faktor budaya. Budaya Jawara yang identik dengan budaya patriarki, budaya laki-laki yang menempatkan perempuan berada dalam posisi sub-ordinat, yang kemudian memperlemah posisi perempuan. Lemahnya posisi perempuan tidak hanya mengakibatkan

223 | B A N T E N E S i A ketidakadilan, namun juga marginalisasi atau proses pemiskinan perempuan dalam ekonomi, subordinasi dalam keputusan politik, dan ketimpangan dalam bidang pendidikan. Kesempatan perempuan untuk berprestasi aktif didalam proses pembangunan masih minim. Masih ada hukum dan peraturan yang diskriminatif gender serta kebijakan dan program yang bias gender.

Hal ini tercermin dalam dominasi sistem tradisional yang diwakili oleh institusi dominan seperti Jawara, mulai dari pendidikan, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan yang sangat patriarki sehingga membatasi dan mengeluarkan perempuan dari segala aspek kegiatan publik. Michel Faocault salah satu pemikir yang berpendapat bahwa dominasi hanya akan mengahdirkan fakta dan kebenaran tunggal.

Lebih jauh Michel Foucault berpendapat bahwa ada sejumlah dominasi utama yang kerap menjadi akar diskriminasi dan kekerasan dalam masyrakat. Yakni dominasi agama, wacana dan dominasi kekuasaan.

Bahwa dominasi ideologi Jawara dalam berbagai hal disinyalir menimbulkan permasalahan dan diskriminasi terhadap perempuan, merupakan representasi kekuasaan dan wacana Jawara yang makin mengental di Banten.

Dilihat dari eksisitensinya, nilai-nilai budaya Jawara seakan memperoleh kekuatan pembenaran di kalangan masyarakat.

Dikalangan perempuan sendiri, ideologi Jawara lalu melahirkan sikap apatisme pada perempuan dan masyarakat luas. Setidaknya perempuan

224 | B A N T E N E S i A dan masyarakat di Banten merasakan dampak dari nilai Jawara.

Pentingnya meluruskan ideologi Jawara yang merugikan perempuan, merupakan pekerjaan utama semua pihak. Harapannya setelah ada pemahaman komprehensif mengenai perempuan dan Jawara, PUG dapat dilaksanakan dan membawa pencerahan bagi perempuan.

Nuansa Jawara (laki-laki) ini memang kental dalam kehidupan masyarakat Banten pada umumnya. Jawara saat ini memiliki citra yang negatif, berbeda dengan dulu. Saat ini Jawara adalah sekelompok orang yang berperilaku sombong, yang seringkali melakukan tindakan kekerasan untuk kepentingan dirinya maupun kelompoknya.

Kejawaraan di tengah-tengah usaha percepatan pembangunan ini perlu sekali dipertimbangkan akibatnya (Kartika, 2006).

Nuansa Jawara serta simbolisme religiusitas di masyarakat Banten mengembangkan pemikiran-pemikiran dan tafsir mereka sendiri tentang gender. Kekhawatiran perempuan yang maju akan tercabut dari akar kodratnya memicu debat kusir tak kunjung henti. Perspektif gender tidak bisa dijabarkan hanya dari sisi kultur. Karena kultur patriarki yang masih dominan di Banten ini, ada beberapa pengambil kebijakan yang menyepakati PUG sebagai strategi. Namun kadang ujung-ujungnya akan berkata ‚boleh PUG tapi jangan menyalahi kodrat‛ tarik menarik kemudian terjadi antara pemahaman (yang belum utuh) mengenai strategi PUG, usaha melanggengkan kultur

225 | B A N T E N E S i A sosial dan usaha melaksanakan tata pemerintahan dengan perencanaan yang response (Kartika, 2006).

PUG berusaha menghapus ketidakadilan gender menggunakan

‚karangka analisis gender‛ yaitu kerangka konseptual yang menyadari kemungkinan adanya perbedaan kapasitas, potensi, aspirasi, kepentingan dan kebutuhan antara perempuan dan laki-laki. PUG adalah strategi yang dirancang untuk menjamin bahwa seluruh proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi semua kebijakan dan program PUG telah memperhitungkan dimensi gender. Gambar dibawah ini berusaha memetakan bagaimana problematika pelaksanaan

PUG di Banten:

Tekanan Formal Struktural Pemerintahan Situasi dan kultur politik daerah

Struktur Sosial pelibatan aktor-aktor sosial Struktur Formal Tokoh masyarakat Pemerintah Proses Pengarusutamaan Tokoh agama Program PUG Gender Tokoh pemuda Provinsi Banten Majlis taklim dll

Tekanan Informal Ideologi, Budaya Keterbelakangan Relasi Kekuasaan Ideologi Jawara Perempuan di Banten antara Perempuan dan laki-laki

Gambar 3. Peta Problematik Pengarusutamaan Gender

Di Provinsi Banten Gambar di atas memetakan, beberapa aspek yang selama melingkupi problematika program PUG di Provinsi Banten. Aspek-

226 | B A N T E N E S i A aspek tersebut dalam prakteknya saling bersinggungan, berbenturan sehingga program PUG sejak tahun 2007 belum berdampak signifikan bagi keberdayaan perempuan dan masyarakat di Banten. Sebagai contoh dan yang menjadi fokus pembicaraan dalam tulisan ini adalah, tidak seiringnya aspek sosio kultural dan aspek struktural dalagm pelaksanaan PUG. Panah dua titik yang menunjukkan arah yang berbeda, mengesankan bahwa dua aspek ini berjalan masing-masing dalam koridor dan ranah yang berbeda pula. Bersebrangannya dua aspek dalam program PUG terlihat dari kurangnya keterlibatan aspek sosio kultural dalam perencanaan program dan kebijakan daerah dalam pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Provinsi Banten oleh BAPPEDA 2008. Aspek-aspek yang lebih dikedepankan adalah aspek struktural pemerintah, sehingga penekanannya hanya pada optimalisasi peran dan kinerja pemerintah dalam PUG.

Ideologi Jawara yang cenderung patriarkis, serta keterbelakangan perempuan dan masayrakat di Banten merupakan dua elemen dasar, yang mencerminkan realitas faktual kondisi sosio kultural yang ada di

Banten. Keterbelakangan perempuan Banten baik dalam hal pendidikan, partisipasi politik, pendidikan dan kesehatan diperkeruh dengan kuatnya ideologi Jawara yang cenderung patriarkis.

Probelmatika PUG di Banten sperti lingkaran tak berujung, dimana disetiap aspeknya memiliki banyak tekanan dan persoalan yang didasari pada lemahnya pemahaman tentang gender dan PUG itu

227 | B A N T E N E S i A sendiri. Setidaknya tekanan dan problematika yang ada bisa diperkecil dengan adanya pencerahan pemikiran dikalngan perempuan dan masyarakat. Pemikiran yang tidak timpang terhadap perempuan, artinya perempuan diposisikan sejajar dengan laki-laki. Baik dalam wilayah publik maupun domestik.

Kesimpulan

Ada tiga aspek mengapa perempuan tetap termarjinalkan dan berada pada posisi mengkhawatirkan walaupun banyak sentuhan program pemberdayaan termasuk PUG. Pertama, adanya pengabaian terhadap faktor sosial kultural masyarakat. Padahal kondisi sosial kultural masyarakat lah, yang secara keseluruhan melanggengkan doktrin yang bias gender terhadap perempuan dan laki-laki. Realitas ini jika tidak tertangani membuat perempuan tetap terabaikan dan diposisi marjinal. Jika pemerintah tidak melibatkan unsur sosial dan kultural dalam penanganan masalah keperempuan, artinya tidak ada upaya perombakan budaya secara informal, maka program-program yang dibuat tidak akan memiliki progress yang menggembirakan.

Kedua, pemerintah terlalu elitis dan masih memiliki ego sentris.

Memecahkan masalah perempuan bukan hanya semata menyiapkan perangkat struktural yang kuat melalui program-program yang dibuat.

Tetapi bagaimana pemerintah juga dengan senantiasa turut melibatkan para tokoh masyarakat, karang taruna, opinion leader dalam melakukan pemndampingan dan pemberdayaan. Umumnya masyarakat sudah

228 | B A N T E N E S i A terbiasa mendengar dan menuruti apa yang dituturkan oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, dan elemen yang secara aktif dekat dengan masyarakat. Dari sinilah sebenarnya perombakan kultural secara perlahan dapat dilakukan.

Ketiga, belum adanya kesamaan visi visi tentang pelaksanaan

PUG dalam pembangunan, menjadi faktor pengahambat PUG. Adanya pemahaman yang keliru di sebagian pemerintah dan masyarakat, misalnya gender masih dikonotasikan dengan perempuan, sehingga berdampak terhadap resistensi ketika eksekutif mengajukan alokasi anggaran untuk program-program yang bernuansa gender.

Melihat realitas keperempuanan masa kini dan tiga indikator di atas, maka banyak pihak yang meragukan eksistenasi PUG kini dan masa depan. Kecemasan dan kegelisahan ini terkait melemahnya kiprah dan kontribusi perempuan dalam pembangunan dan tidak adanya pendekatan secara sosio kultural. Artinya masyarakat Banten dicekoki dengan program pemberdayaan secara struktural tetapi tidak dibarengi pendekatan sosio kultural. Padahal beberapa referensi akademik dan realitas dilapangan menggambarkan perlu adanya penanganan dan perombakan budaya patriarkhis dalam masyarakat. Selama kondisi sosio kultural tidak dibenahi maka gerak laju program PUG akan sangat lambat dan sia-sia. Pertanyaannya adalah akan dibawa kemanakan program Pengarusutamaan Gender?

229 | B A N T E N E S i A

Daftar Pustaka

Data Statistik BPS 2003,http.www.bps.go.id/sector/population. www.datastatistik- indonesia.com. diakses tanggal 05 Februari 2010.

Faqih, Mansour. 2003. Analisis gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Kartodirdjo Sartono, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1988. Jakarta Pustka Jaya.

Leya Cattleya. Pelembagaan Akuntabilitas Pengarusutamaan Gender, Bukan Suatu yang Mustahil. Jakarta. Jurnal Perempuan edisi 50.

Masaaki Okamto & Rozaki Abdur 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi. Jogjakarta, IRE PRESS.

Mentri Negara Pemberdayaan Peremuan. 2000. Panduan Pelaksanaan Impres Nomor 9 tahun 2000. Meneg PP, Jakarta.

Hartian Silawati. 2006. Pengarusutmaan Gender Mulai dari Mana?. Jakarta. Jurnal Perempuan edisi 50.

Sofia Kartika. 2006. Pengarusutamaan Gender versus Jawara Lebak. Jakarta. Jurnal Perempuan edisi 50.

Suhaedi dkk. 2002. Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten. STAIN Serang-Banten.

Tihami, M.A. 1992. Kiai dan Jawara di Banten: Studi tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di Desa Pasanggrahan Serang, Banten, Tesis Jakarta: Universitas Indonesia.

Tjandraningsih Indrasari. 1996. Mengidentifikasi Persoalan Perempuan. Jurnal Analisis Sosial. Edisi 4 November. AKATIGA

230 | B A N T E N E S i A

Vitayala, A., S. H.1995. Posisi dan Peran Wanita Dalam Era Globalisasi. Makalah disampaikan pada seminar ilmiah Puslit Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.

Zulkieflimansyah 2001. Ideologi Intelektual: Upaya meleburkan Identitas Jawara dan Kiyai dalam Buku Banten Bangkit 3. Gola Gong, Rumah Dunia, Serang-Banten.

231 | B A N T E N E S i A

232 | B A N T E N E S i A

PROBLEMATIKA PENGELOLAAN ASSET DAERAH DAN PEMECAHANNYA DI KABUPATEN PANDEGLANG

Oleh : Rahmawati

Pendahuluan

Berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah memberikan kesempatan dan keleluasaan keapda daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka mewujudkan asas desentralisasi dalam menyelenggarakan pemerintahan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. otonomi daerah dapat diartikan sebagai pemberian kewenangan penuh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang salah satunya meliputi pengelolaan keuangan daerah itu sendiri. Di dalam pengelolaan keuangan daerah, pengelolaan asset merupakan salah satu bagian penting yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah.

Bertambahnya urusan yang menjadi kewenangan daerah sebagai konsekuensi dari otonomi daerah otomatis akan menimbulkan volume

233 | B A N T E N E S i A urusan terutama berkenaan dengan pengurusan atau pengelolaan asset atau kekayaan daerah. Untuk melaksanakan berbagai urusan yang menjadi kewenangan daerah tersebut diperlukan sarana dan prasarana yang memadai agar urusan yang dilaksanakan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh sebab itu asset daerah baik yang diserahkan dari pemerintah pusat menjadi milik daerah maupun asset milik daerah sendiri haruslah dikelola dengan benar sehingga dapat mendukung sepenuhnya terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Pengelolaan tersebut meliputi terjadinya kenaikan jumlah maupun nilai kekayaan

Negara yang dikuasai pemerintah daerah.

Pada dasarnya, manajemen asset di Indonesia telah memiliki dasar hukum yang jelas yaitu UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara juncto PP No.6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik

Negara/Daerah dan PP 38 tahun 2008 tentang perubahan PP No. 6 tahun 2006. Pasal 70 menyebutkan agar dilakukan inventarisasi atas

BMN/D, khusus berupa tanah dan/atau bangunan yang berada di kementerian/lembaga minimal sekali dalam 5 tahun. Sedangkan untuk selain tanah dan/atau bangunan hal itu merupakan kewenangan dan menjadi tanggung jawab masing-masing Menteri / Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Barang.

Di tingkat daerah, Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2006 ditindaklanjuti dengan Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang

Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah terutama dalam

234 | B A N T E N E S i A pengelolaan asset dalam menunjang ekonomi nasional yaitu bagaimana mengelola harga kekayaan negara agar dikelola secara optimal oleh pemerintah. Untuk itu, inventarisasi seluruh barang milik daerah yang tersebar di pelosok daerah - dalam hal ini Kabupaten Pandeglang- mutlak harus dilakukan agar terpotret secara jelas nilai asset/kekayan daerah yang saat ini berada di penguasaan masing-masing satuan kerja pemerintah daerah (SKPD). Selanjutnya setelah itu dilakukan tahap penilaian ulang (revaluasi) asset / kekayaan daerah, khususnya yang berupa tanah dan/atau bangunan oleh Pengelola Barang guna mendapatkan nilai wajar atas asset tetap tersebut. Oleh karena itu, asset daerah yang pada dasarnya merupakan bagian dari asset negara harus dikelola secara optimal dengan memperhatikan prinsip efisiesien, efektivitas, transparansi dan akuntabilitas.

Pengelolaan asset/barang milik daerah yang tidak dilakukan dengan baik memberikan dampak cukup serius bagi pemerintah daerah. Hal ini berkaitan dengan hasil penilaian Laporan Keuangan

Pemerintah Daerah (LKPD) oleh Badan Pemeriksa Keuangan, dimana masih banyak pemerintah daerah di Indonesia mendapat kategori

‚disclaimer‛ atau didiskualifikasi. Demikian juga halnya dengan pemerintah Kabupaten Pandeglang. Pada tahun 2009, laporan keuangan

Pemerintah Daerah mendapat kategori ‚disclaimer‛ karena masalah asset-asset daerah Kabupaten Pandeglang yang tidak atau belum jelas pengelolaannya.

235 | B A N T E N E S i A

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan- permasalahan pengelolaan asset daerah di Kabupaten Pandeglang serta mencoba memberikan solusi atau pemecahan terhadap permasalahan pengelolaan asset milik daerah Kabupaten Pandeglang. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis telah melakukan observasi dan wawancara dengan beberapa SKPD secara random dan juga dengan Sekretaris dan kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Asset

Daerah (DPKPA) Kabupaten Pandeglang serta penyebaran kuesioner.

Instrumen penelitian utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur. Di samping itu pula digunakan angket atau kuesioner dalam pengumpulan data tentang pengelolaan asset daerah Kabupaten Pandeglang. Dengan menggunakan skala guttman

(setuju dan tidak setuju), pilihan jawaban dalam kuesioner bukan untuk mencari interval atau tingkat (baik atau buruk), tetapi digunakan hanya untuk mengetahui bagaimana pengelolaan asset daerah selama ini dijalankan. Selain wawancara dan kuesioner sebagai alat bantu pengumpulan data utama, peneliti juga melakukan observasi dan studi kepustakaan.

Kajian Teori

Definisi Asset

Pengertian umum dari asset adalah sesuatu yang memiliki nilai. Dua elemen dari definisi tersebut - nilai dan umur manfaat - merupakan hal yang fundamental jika suatu departemen/organisasi

236 | B A N T E N E S i A mengidentifikasi dan mencatat seluruh asset. Oleh karena pembahasan Terkait dengan asset pada organisasi pemerintah

(publik) maka pendefinisiannyapun perlu merujuk pada peraturan yang berlaku. Peraturan dimaksud adalah Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

(SAP). Standar Akuntansi Pemerintahan di Indonesia telah menetapkan definisi yang tegas tentang asset. Dalam Kerangka

Konseptual Akuntansi Pemerintahan paragraf 60 (a) dan 61 diuraikan dengan jelas tentang definisi asset, yaitu bahwa:

‛Asset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber - sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.‛

Pengertian Asset atau Aset (dengan satu s) yang telah di

Indonesiakan secara umum adalah barang (thing) atau sesuatu barang

(anything) yang mempunyai;

1. Nilai ekonomi (economic value),

2. Nilai komersial (commercial value) atau

3. Nilai tukar (exchange value); yang dimiliki oleh instansi, organisasi, badan usaha ataupun individu (perorangan).

Asset (Asset) adalah barang, yang dalam pengertian hukum

237 | B A N T E N E S i A disebut benda, yang terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak, baik yang berwujud (tangible) maupun yang tidak berwujud (Intangible), yang tercakup dalam aktiva/kekayaan atau harta kekayaan dari suatu instansi, organisasi, badan usaha atau individu perorangan.

Kategori asset publik sesuai kaidah internasional antara lain :

1. Asset operasional adalah asset yang dipergunakan dalam

operasional perusahaan/pemerintah yang dipakai secara

berkelanjutan atau dan dipakai pada masa datang.

Dimiliki dan dikuasai/diduduki untuk digunakan/dipakai

operasional perusahaan/pemerintah. Bukan asset khusus. Jika asset

khusus yang berupa prasarana dan asset peninggalan sejarah yang

dikontrol oleh pemerintah tetapi secara fisik tidak harus dihuni

untuk tujuan operasional, diklasifikasikan sebagai asset operasional.

Asset operasional terdiri dari : tanah yang termasuk special property,

rumah tinggal dinas, perumahan lainnya, bangunan kantor, sekolah,

perpustakaan, gedung olah raga, golf, mess, museum dan gallery,

bengkel, kuburan, tempat parkir, peralatan, kendaraan, mesin,

computer perabotan dan peralatan.

2. Asset non operasional adalah asset yang tidak merupakan bagian

integral dari operasional perusahaan/pemerintah dan

diklasifikasikan sebagi asset berlebih. Asset berlebih adalah asset

non integral yang tidak dipakai untuk penggunaan secara

238 | B A N T E N E S i A

berkelanjutan atau mempunyai potensi untuk digunakan di masa

yang akan datang, dan karena itu bersifat surplus terhadap

persyaratan operasional.

Asset non operasional terdiri dari : tanah yang akan dibangun,

komersial property, asset investasi dan asset berlebih (surplus asset)

3. Asset infrastruktur adalah asset yang melayani kepentingan publik

yang tidak terkait, biaya pengeluaran dari asset ditentukan

kontinuitas penggunaan asset bersangkutan seperti : jalan raya,

pelabuhan/dermaga, jembatan, jalan permanen, saluran air, dan lain-

lain.

4. Community asset adalah asset milik pemerintah dimana

penggunaan asset tersebut secara terus menerus, umur ekonomis

atau umur gunanya tidak ditetapkan dan terkait kepada pengalihan

yang terbatas (tidak dapat dialihkan) seperti halaman dan tanah,

bangunan bersejarah, bangunan kesenian, museum dan kuburan

(hanya tanah)

Pengertian mengenai Barang Milik Daerah yang terbaru adalah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.17 Tahun

2007 Pasal 3, adalah sebagai berikut :

1. Barang milik daerah meliputi:

a. barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD, dan

b. barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.

2. Barang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

239 | B A N T E N E S i A

a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis

b. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari

perjanjian/kontrak

c. barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang,

atau;

d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pengelolaan barang daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas dan kepastian nilai (Pasal 4 ayat 1 Permendagri No. 17

Tahun 2007). Pengelolaan asset/barang daerah adalah rangkaian kegiatan dan tindakan terhadap barang/asset daerah yang meliputi perencanaan kebutuhan dan penganggran, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan penyaluran, penggunaan, penatausahaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian, pembiayaan dan tuntutan ganti rugi (Pasal 4 ayat 2 Permendagri No. 17

Tahun 2007)

Lingkup Pengelolaan Asset Daerah

1. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran :

Perencanaan kebutuhan barang milik daerah harus mampu

menghubungkan antara ketersediaan barang sebagai hasil dari

240 | B A N T E N E S i A

pengadaan yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan

sebagai dasar tindakan yang akan datang dalam rangka pencapaian

efisiensi dan efektivitas pengelolaan barang milik daerah.

Perencanaan asset juga memberikan arah pada tindakan-tindakan

khusus seperti membeli asset baru yang diperlukan, menjual asset

yang berlebihan, dan mengoperasikan dan memelihara asset secara

efektif. Hasil perencanaan kebutuhan tersebut merupakan salah satu

dasar penyusunan perencanaan anggaran pada Satuan Kerja

Perangkat Daerah

2. Pengadaan

Perencanaan anggaran yang mencerminkan kebutuhan riil barang

milik daerah selanjutnya menentukan pencapaian tujuan pengadaan

barang yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok

dan fungsi pemerintah.

Pengadaan barang milik daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-

prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak

diskriminatif dan akuntabel.

Pengadaan barang dan jasa dapat dilaksanakan dengan cara :1)

pembelian/pemborongan pekerjaan, 2) membuat sendiri (swakelola),

3) penerimaan (hibah atau bantuan/sumbangan atau kewajiban

pihak ketiga), 4) penyewaan, 5) pinjaman dan guna susun.

Pengadaan barang harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang

berlaku dan prinsip-prinsip sebagai berikut :

241 | B A N T E N E S i A

a) Mengutamakan barang produksi dalam negeri

b) Mengutamakan perusahaan setempat

c) Mengutamakan pengusaha golongan ekonomi lemah dan

koperasi

d) Ketentuan tentang pelelangan pengadaan/pemborongan

pekerjaan.

3. Penggunaan

Barang milik daerah digunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok

dan fungsi satuan kerja perangkat daerah. Dalam rangka menjamin

tertib penggunaan, pengguna barang harus melaporkan kepada

pengelola barang atas semua barang milik satuan kerja perangkat

daerah untuk ditetapkan status penggunaannya.

4. Pemanfaatan

Barang milik daerah dapat dimanfaatkan atau dipindahtangankan

apabila tidak digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan

daerah. Dalam konteks pemanfaatan tidak terjadi adanya peralihan

kepemilikan dari pemerintah kepada pihak lain.

Pemanfaatan barang milik daerah dalam bentuk ‚

a) Penyewaan adalah penyerahan hak penggunaan/pemakaian

barang milik daerah kepada pihak ketiga dalam hubungannya

sewa-menyewa dengan ketentuan pihak ketiga tersebut harus

memberikan imbalan berupa uang sewa bulanan atau tahunan

242 | B A N T E N E S i A

untuk masa jangka waktu tertentu, baik sekaligus maupun secara

berkala. b) Pengguna usahaan adalah pemanfaatan barang milik daerah

berupa tanah dan atau bangunan oleh pihak lain (pihak ketiga),

dengan cara pihak lain (pihak ketiga) tersebut membangun

bangunan dan atau sarana lain berikut fasilitasnya di atas tanah

tersebut, serta mendayagunakan dalam jangka waktu tertentu,

untuk kemudian menyerahkan kembali tanah dan bangunan dan

sarana lain berikut fasilitasnya tersebut berserta

pendayagunaaannya kepada daerah bersangkutan setelah

berakhirnya jangka waktu yang disepakati.

Dasar pertimbangan pengguna usahaan barang daerah, yaitu :

1. Barang daerah belum dimanfaatkan

2. Mengoptimalisasikan barang daerah

3. Dalam rangka efisiensi dan efektivitas

4. Meningkatkan pendapatan daerah

5. Menunjang program pembangunan dan kemasyarakatan

pemerintah daerah. c) Swadana adalah satuan kerja daerah tertentu yang diberi

wewenang untuk menggunakan penerimaan fungsionalnya untuk

keperluan operasionalnya sendiri secara langsung. d) Pinjam pakai adalah penyerahan penggunaan barang milik

daerah keapda pihak lain yakni instansi pemerintah dan instansi

243 | B A N T E N E S i A

lain yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan

untuk jangka waktu tertentu, tanpa menerima imbalan dan

setelah jangka waktu tersebut berakhir barang miliki daerah

tersebut diserahkan kembali kepada pemiliknya.

5. Pengamanan dan pemeliharaan

Pengamanan adalah kegiatan tindakan pengendalian dalam

pengurusan barang milik daerah dalam bentuk fisik, administrasi

dan tindakan upaya hukum. Pengamanan dititikberatkan pada

penertiban/pengamanan secara fisik dan administrasi sehingga

barang milik daerah tersebut dapat dipergunakan/dimanfaatkan

secara optimal serta terhindar dari penyerobotan pengambil alihan

atau klaim dari pihak lain.

Pemeliharaan adalah kegiatan atau tindakan agar semua barang

selalu dalam keadaan baik dan siap untuk digunakan secara berdaya

guna dan berhasil guna. Pemeliharaan dilakukan terhadap barang,

khususnya barang inventaris yang sedang dalam pemakaian dan

mengakibatkan pembebanan pada APBD, tanpa merubah,

menambah atau mengurangi bentuk maupun konstruksi asli,

sehingga dapat dicapai pendayagunaan barang yang memenuhi

persyaratan baik dari segi pemakaian maupun dari segi keindahan.

6. Penilaian

Penilaian barang milik daerah diperlukan dalam rangka

mendapatkan nilai wajar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

244 | B A N T E N E S i A

Nilai wajar atas barang milik daerah yang diperoleh dari penilaian

ini merupakan unsure penting dalam rangka penyusunan neraca

pemerintah, pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik

daerah.

7. Penghapusan adalah tindakan penghapusan barang pengguna/kuasa

pengguna dan penghapusan dari Daftar Inventaris Barang Milik

Daerah.

Dasar penghapusan barang :

Pada prinsipnya semua barang milik daerah dapat dihapuskan,

yakni :

a. Penghapusan barang tidak bergerak berdasarkan pertimbangan/

alasan-alasan sebagai berikut:

1) rusak berat, terkena bencana alam/force majeure.

2) tidak dapat digunakan secara optimal (idle)

3) terkena planologi kota.

4) kebutuhan organisasi karena perkembangan tugas.

5) penyatuan lokasi dalam rangka efisiensi dan memudahkan

koordinasi.

6) pertimbangan dalam rangka pelaksanaan rencana strategis

Hankam.

b. Penghapusan barang bergerak berdasarkan

pertimbangan/alasan-alasan sebagai berikut :

1) Pertimbangan Teknis, antara lain:

245 | B A N T E N E S i A

o secara fisik barang tidak dapat digunakan karena rusak dan

tidak ekonomis bila diperbaiki.

o secara teknis tidak dapat digunakan lagi akibat modernisasi.

o telah melampaui batas waktu kegunaannya/kedaluwarsa.

o karena penggunaan mengalami perubahan dasar spesifikasi

dan sebagainya.

o selisih kurang dalam timbangan/ukuran disebabkan

penggunaan/susut dalam penyimpanan/pengangkutan.

2) Pertimbangan Ekonomis, antara lain :

o Untuk optimalisasi barang milik daerah yang berlebih atau

idle.

o Secara ekonomis lebih menguntungkan bagi daerah apabila

dihapus, karena biaya operasional dan pemeliharaannya

lebih besar dari manfaat yang diperoleh.

3) Karena hilang/kekurangan perbendaharaan atau kerugian,

yang disebabkan:

o Kesalahan atau kelalaian Penyimpan dan/atauPengurus

Barang.

o Diluar kesalahan/kelalaian Penyimpan dan/atauPengurus

Barang.

o Mati, bagi tanaman atau hewan/ternak.

o Karena kecelakaan atau alasan tidak terduga yang sifatnya

luar biasa ( force majeure ).

246 | B A N T E N E S i A

8. Pemindahtanganan.

Pemindahtanganan barang milik daerah adalah pengalihan

kepemilikan sebagai tindak lanjut dari penghapusan.

9. Penatausahaan

Penatausahaan barang miliki daerah meliputi pembukuan,

investarisasi dan pelaporan, barang daerah yang berada di bawah

penguasaan pengguna barang/kuasa pengguna barang harus

dibukukan melalui proses pencatatan dalam Daftar Barang Kuasa

Pengguna oleh kuasa pengguna barang, Daftar Barang Pengguna

oleh pengguna barang dan Daftar Barang Milik Daerah oleh

pengelola baran. Proses inventarisasi, baik berupa pendataan,

pencatatan, dan pelaporan hasil pendatan barang milik daerah

merupakan bagian dari penatausahaan. Hasil dari proses

pembukuan dan inventarisasi diperlukan dalam melaksanakan

proses pelaporan barang milik daerah yang dilakukan oleh kuasa

pengguna barang dan pengelola barang.

10. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian

Pengendalian adalah segala usaha atau kegiatan untuk menjamin

dan mengarahkan agar pekerjaan yang sedang dilaksanakan dapat

berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan atau hasil yang

dikehendaki serta sesuai pula dengan segala ketentuan dan

kebijaksanaan yang berlaku. Sementara pengawasan adalah segala

usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang

247 | B A N T E N E S i A

sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan atau kegiatan, apakah

sesuai dengan yang semestinya atau tidak.

Pembahasan

Permasalahan Pengelolaan Asset Daerah Kabupaten Pandeglang

Kabupaten Pandeglang adalah kabupaten yang mempunyai potensi yang cukup besar mulai dari lahan pertanian, pariwisata dan lain-lain yang pelu dikelola dengan baik dan terencana sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Dengan melakukan pembenahan di sektor pengelolaan asset daerah secara lebih berdaya guna dan berhasil guna dengan kondisi dan peluang yang dimiliki oleh

Kabupaten Pandeglang.

Selama ini satuan kerja yang diserahi tanggung jawab untuk mengelola asset daerah adalah Dinas Pengelolaan Keuangan dan Asset

Daerah. Tetapi sebenarnya asset daerah berada dan menjadi tanggung jawab dari setiap satuan kerja perangkat daerah. Keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk menyediakan pelayanan sehingga upaya mengoptimalkan asset daerah merupakan hal yang penting bagi tiap

SKPD. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pemahaman sumber daya manusia di bidang manajemen asset di tiap

SKPD Kabupaten Pandeglang, dan sekaligus memahami dan mengertia betapa pentingnya konsumsi asset yang merupakan hal nyata dan menjadi biaya yang signifikan dari penyediaan pelayanan. Oleh karena

248 | B A N T E N E S i A itu perlu disusun sebuah pedoman pengelolaan asset daerah sebagai panduan/guideline bagi tiap SKPD dalam mengelola dan bertanggung jawab atas asset yang dimilikinya.

Dinas Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah Kabupaten

Pandeglang sendiri telah melakukan sosialisasi manajemen asset daerah pada bendahara barang dan pejabat pelaksana teknis se-Kabupaten

Pandeglang. Sosialisasi ini bertujuan memberikan informasi keuangan yang akuntabel dan terpercaya mengingat asset/barang milik daerah merupakan komponen penting dalam Laporan Keuangan Pemerintah

Daerah.

Berdasarkan hasil wawancara terkait dengan pengelolaan asset daerah di Kabupaten Pandeglang adalah sebagai berikut:

1) Kurangnya pengetahuan, keterampilan petugas pelaksana pengelola

barang.

2) Ketidaklengkapan dokumen pembukuan dan pelaporan

3) Terdapatnya unit-unit tertentu yang kelebihan peralatan dan

perlengkapan sedangkan di unit lain kekurangan. Sebagai contoh

kendaraan dinas di Bappeda saat ini terbatas hanya untuk eselon 2

saja, sementara eselon 3 tidak mendapatkan fasilitas mobil dinas.

Sementara untuk secretariat daerah sampai eselon 4 sudah

mendapatkan fasilitas mobil dinas.

4) Pemanfaatan kekayaan daerah berupa tanah dan gedung oleh

koperasi departemen/lembaga dan beberapa perusahaan swasta

249 | B A N T E N E S i A

untuk tujuan pure bisnis seperti toko, pasar, restoran,

perkantoran, ruang konvensi, ruang resepsi dan sebagainya dimana

secara umum hasilnya sedikit masuk ke kas daerah. Berdasarkan

hasil wawancara diketahui ada beberapa kios, sekitar 8 kios di pasar

Pandeglang yang dikelola oleh swasta, tetapi dananya tidak masuk

kas daerah. Hal ini tentu saja merugikan bagi pemerintah daerah.

5) Tidak diketahuinya dengan pasti nilai kekayaan daerah baik secara

keseluruhan maupan per instansi pemerintah. Akibat

ketidaklengkapan dokumen terkait dengan jumlah asset termasuk

masih banyak lahan/tanah milik pemerintah daerah yang belum

bersertifikat sehingga tidak diketahui dengan pasti jumlah kekayaan

daerah. Upaya yang dilakukan selama ini baru berupa pemberian

patok atau batas tanah yang memang diketahui dengan jelas

kepemilikannya merupakan asset daerah.

6) Kasus tukar guling (ruilslag) yang tidak menguntungkan bagi

daerah. Kasus tukar guling yang merugikan daerah, contohnya

adalah kasus tukar guling daerah wisata pantai yang semula dikelola

oleh dinas pariwisata Kabupaten Pandeglang, kemudian ditukar

dengan obyek wisata lain yang semula dikelola swasta. Tapi pada

kenyataannya, obyek wisata yang diruilslag tersebut ternyata

kepemilikannya sudah beralih pada orang lain. Sampai saat ini

permasalahan ruilslag pengelolaan kawasan wisata pantai belum

terselesaikan.

250 | B A N T E N E S i A

7) Kendaraan dinas yang dibawa oleh pemiliknya ketika dimutasikan

ke dinas lain.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa permasalahan dalam pengelolaan asset secara umum antara lain pada tahap perencanaan dan penganggaran asset di daerah sering dianggarkan sesuatu yang tidak dibutuhkan, sedangkan yang dibutuhkan tidak dianggarkan. Hal ini bisa terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu, seperti rente (mencari keuntungan), yang diterima oleh aparatur daerah sebelum pengadaan barang dilaksanakan. Pada tahap pengadaan merupakan tahapan yang paling sulit karena rawan dengan praktik korupsi, termasuk ancaman menjadi tersangka cukup besar. Oleh karena itu, masalah yang paling sering muncul dalam tahap pengadaan asset/barang adalah mekanisme pengadaannya penunjukan langsung, pemilihan langsung, atau tender bebas.

Sementara untuk tahap pemeliharaan asset kegiatan ini jarang sekali dijadwal dengan baik oleh SKPD bahkan berdasarkan hasil penelitian di negara-negara berkembang, terutama di Afrika dan

Amerika Latin (IMF, 2007; World Bank, 2008) fenomena ghost expenditures merupakan hal yang biasa. Artinya, alokasi untuk pemeliharaan selalu dianggarkan secara incremental meskipun banyak asset yang sudah tidak berfungsi atau hilang. hal ini terjadi karena tidak adanya transparansi dalam penghapusan dan pemidahtanganan asset- asset pemerintah. Tahap kegiatan penghapusan asset merupakan

251 | B A N T E N E S i A bentuk penghapusan dari buku besar (buku inventaris induk) dilakukan setelah kepemilikan asset tersebut tidak lagi di daerah, tetapi di pihak lain atau dimusnahkan atau dibuang.

Berikut ini hasil pengolahan kuesioner terkait dengan pengelolaan asset daerah Kabupaten Pandeglang yang selama ini dilakukan sebagai berikut.

Tabel 19. Perencanaan Asset Daerah Tidak Perencanaan Asset Daerah Setuju Setuju 1. Perencanaan kebutuhan asset disesuaikan 100 % - dengan tupoksi organisasi 2. Perencanaan kebutuhan asset disesuaikan 100 % - dengan beban kerja pegawai Sumber : hasil penelitian, 2011

Berdasarkan hasil kuesioner menunjukkan bahwa 100% responden menganggap perencanaan asset sudah baik. Sementara berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa SKPD menunjukkan bahwa perencanaan asset kurang baik dikarenakan belum adanya sisdur pengelolaan barang tentang penyusunan daftar kebutuhan barang daerah (dkbd) dan daftar kebutuhan pemeliharaan barang daerah

(dkpbd) yang bersumber dari rkbu (rencana kebutuhan barang unit) yang dilaksanakan oleh masing-masing skpd/unit kerja. Hal ini dipertegas oleh Sekretaris DPKPA yang menyebutkan bahwa

252 | B A N T E N E S i A perencanaan kebutuhan asset daerah belum berpedoman dari daftar kebutuhan barang daerah dan rencana kebutuhan barang unit.

Tabel 20. Penganggaran Asset Daerah

Tidak Penganggaran Asset Daerah Setuju Abstain setuju Penganggaran asset sepenuhnya 71,8% 23,8% 4,8% dari APBD Sumber : hasil penelitian,2010

Berdasarkan hasil kuesioner menunjukkan bahwa 71,8 % responden menjawab penganggaran asset sepenuhnya dari APBD.

Sampai dengan Oktober 2010 Penerimaan Daerah Kabupaten

Pandeglang sebesar Rp 948.122.996.816,00. Sementara untuk belanja langsung barang dan jasa sebesar Rp 62.031.248.868,00 (Bagian Belanja

DPKPA)

Tabel 21. Pengadaan Asset Daerah

Tidak Pengadaan Asset Daerah Setuju setuju 1. Pengadaan barang/asset mengalami kendala 71,4 % 28,6 % pendanaan 2. Pengadaan barang/asset baru membutuhkan 38,1 % 61,9% waktu yang lama 3. Pengadaan asset/barang melalui penyewaan 4,8% 95,2% 4. Pengadaan asset/barang melalui pinjaman dari 14,3% 85,7%

253 | B A N T E N E S i A

pihak ketiga 5. Pengadaan asset/barang melalui pinjaman dari 19 % 81% SKPD lain 6. Barang/asset yang ada dalam organisasi saya 4,8% 95,2% merupakan barang-barang baru Sumber : hasil penelitian, 2011

Pengadaan barang/asset daerah dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu swakelola dan melalui penyedia barang/jasa. Dari tabel di atas diketahui bahwa 95,2% responden menyatakan pengadaan barang/asset daerah adalah membeli.

Tabel 22. Penggunaan Asset Daerah

Tidak Penggunaan Asset Daerah Setuju Abstain setuju 1. Asset-asset yang ada dalam 95,2% 4,8% - organisasi dikelola dengan baik 2. Asset yang ada dalam organisasi 47,6% 52,4% - sudah mendukung pelaksanaan pekerjaan 3. Barang/asset yang ada sudah sesuai 33,3% 66,7% - dengan kebutuhan tiap pegawai 4. Asset-asset yang ada dalam 85,7% 4,8% 9,5% organisasi untuk melayani masyarakat Sumber : hasil penelitian, 2011

Dari tabel 22 diketahui bahwa penggunaan asset sudah dikelola dengan baik (95,2%). Tetapi selama ini asset yang ada dalam organisasi belum mendukung pelaksanaan pekerjaan (52,4%) dan asset-asset yang ada belum sesuai dengan kebutuhan tiap pegawai (66,7%). Dari hasil 254 | B A N T E N E S i A angket di atas dapat dianalisis bahwa pengadaan asset belum sesuai dengan beban kerja pegawai dan belum merujuk pada rencana kebutuhan barang unit (rkbu) serta tugas pokok dan fungsi organisasi.

Sementara 85,7% responden setuju bahwa asset-asset yang ada digunakan untuk melayani masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa SKPD adalah asset yang ada di tiap SKPD belum mendukung pelaksanaan pekerjaan dan belum sesuai dengan kebutuhan tiap pegawai. Sering kali pengadaan barang/asset, terutama fasilitas kantor dan kerja dilakukan secara seragam, sementara kebutuhan tiap instansi jelas berbeda. Hal ini yang dapat menimbulkan terjadinya keterlambatan dalam penyelesaian pekerjaan, karena keterbatasan alat atau peralatan kantor.

Tabel 23. Penatausahaan Asset Daerah

Tidak Penatausahaan Asset Daerah Setuju Abstain Setuju 1. Inventarisasi asset sudah dilakukan 66,7% 33,3% - dengan baik 2. Sudah ada kodefikasi barang/asset 90,5% 4,8% 4,8% dalam organisasi 3. Terdapat asset yang tidak jelas 47,6% 52,4% - penggunaannya 4. Organisasi saya mengalami kelebihan - 100% - asset 5. Organisasi sudah memiliki daftar 81% 19% - inventarisasi asset 6. Asset-asset bergerak dalam organisasi 33,3% 61,9% 4,8% 255 | B A N T E N E S i A

saya sukar teridentifikasi 7. Ada pelatihan/diklat pengelolaan 100% - - asset/barang daerah Sumber : hasil penelitian, 2011

Tabel 23 menunjukkan bahwa secara umum kegiatan penatausahaan asset sudah dilakukan dengan baik. Dimana 66,7% responden menyatakan inventarisasi asset sudah dilakukan dengan baik, asset-asset dalam organisasi sudah memiliki kodefikasi barang

(90,5%), sudah terdapat daftar inventarisasi asset (81%) dan sudah dilakukan diklat pengelolaan barang/asset daerah (100%).

Sementara berdasarkan hasil wawancara terbuka menunjukkan bahwa penyelenggaraan penatausahaan asset daerah di Kabupaten

Pandeglang masih kurang baik. Hal ini dapat terlihat dari beberapa indikasi seperti : Asset berupa kendaraan roda 4 sulit terindentifikasi dikarenakan apabila terjadi mutasi maka kendaraan tersebut dibawa oleh pejabat yang bersangkutan ke instansi yang baru. Kemudian masih banyaknya asset daerah yang belum legal kepemilikkannya yaitu dengan belum terbitnya sertifikat kepemilikan tanah penatausahaannya yang belum tertib, tetapi dengan adanya kerjasama dengan BPKP diharapkan penatausahaan barang di kabupaten bisa lebih tertib demi pengamanan asset daerah.

Di samping itu pula untuk kendaraan dinas misalnya kendaraan roda 4 dan roda 2 yang seharusnya di saat pemengang kendaraan itu mutasi dari SKPD yang lama ke yang SKPD baru seharusnya kendaraan

256 | B A N T E N E S i A jangan di bawa. Pada akhirnya pengelola barang mendapatkan kesulitan dalam penginventarisasian barang, karena barang tersebut masih tercatat dalam asset SKPD yang lama sementara barangnya tidak ada dan Pengelolaan Asset di Kabupaten Pandeglang masih memerlukan SDM yang profesional dalam pengelolaannya agar asset daerah dapat terjaga dan terpelihara.

Tabel 24. Pemeliharaan Asset

Tidak Pemeliharaan Asset Setuju abstain setuju 1. Organisasi sering melakukan perbaikan 81% 19% - asset 2. Organisasi sering melakukan pembaruan 61,9% 38,1% - asset 3. Asset-asset dalam organisasi terpelihara 95,2% 4,8% - dengan layak 4. Organisasi menyusun jadwal 90,5% 9,5% - pemeliharaan asset 5. Masih banyak asset berupa 71,4% 28,6% - bangunan/gedung yang tidak terawat 6. Lebih baik membeli asset baru daripada 47,6% 52,4% - memelihara asset yang ada 7. Pemeliharaan asset sukar dilakukan 42,9% 57,1% - Sumber : hasil penelitian, 2011

Pemeliharaan adalah kegiatan atau tindakan agar semua barang selalu dalam keadaan baik dan siap untuk digunakan secara berdaya guna dan berhasil guna. Pemeliharaan dilakukan terhadap barang, khususnya barang inventaris yang sedang dalam pemakaian dan

257 | B A N T E N E S i A mengakibatkan pembebanan pada APBD, tanpa merubah, menambah atau mengurangi bentuk maupun konstruksi asli, sehingga dapat dicapai pendayagunaan barang yang memenuhi persyaratan baik dari segi pemakaian maupun dari segi keindahan.

Dari tabel di atas diketahui bahwa kegiatan pemeliharaan asset sudah dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan 81% setuju bahwa organisasi sering melakukan perbaikan asset, 61,9% dilakukan pembaruan asset dan 95,2% menyatakan asset-asset dalam organisasi terpelihara dengan layak. Tetapi 57,1% responden menyatakan bahwa pemeliharaan asset sukar dilakukan dan 61,9% menyatakan asset bergerak dalam organisasi sukar teridentifikasi.

Berdasarkan pertanyaan terbuka terdapat beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa kegiatan pemeliharaan asset di Kabupaten

Pandeglang masih belum maksimal dikarenakan biaya pemeliharaanya belum cukup memadai dan untuk asset daerah belum sepenuhnya di dukung dengan bukti kepemilikan yang sah, yang sangat riskan apabila terjadi sengketa tanah. Dan Masih belum dikelola dengan baik, banyak asset daerah yang tidak terawat dan tertinggal

Tabel 25. Pengendalian dan Pengawasan Asset

Tidak Pengendalian dan Pengawasan Asset Setuju setuju 1. Terjadi konflik kepemilikan asset dengan 14,3% 85,7% organisasi/SKPD lain

258 | B A N T E N E S i A

2. Banyak asset daerah Kabupaten Pandeglang yang 76,2% 23,8% belum teridentifikasi 3. Banyak asset daerah Kabupaten Pandeglang yang 52,4% 47,6% masih sengketa Sumber : hasil penelitian, 2011

Berdasarkan hasil kuesioner diketahui bahwa tidak terjadi konflik kepemilikan asset dengan SKPD lain (85,7%). Tetapi masih banyak asset daerah Kabupaten Pandeglang yang belum teridentifikasi (76,2%) dan asset daerah yang masih sengketa (52,4%). Sementara berdasarkan hasil wawancara terbuka menunjukkan bahwa kegiatan pengendalian dan pengawasan asset di Kabupaten Pandeglang masih lemah dari indikasi sebagai berikut : masih terdapat asset yang tidak terinventarisasi dengan baik, personal yang mutasi masih banyak yang belum menyerahkan kendaraan Dinasnya dan asset lainnya. Sehingga perlu di adakan Regulasi mengenai kepemilikan Kendaraan dinas Sehingga

Pengamanannya Jelas dan Efektif. Asset berupa kendaraan roda 4 sulit terindentifikasi dikarenakan apabila terjadi mutasi maka kendaraan tersebut dibawa oleh pejabat yang bersangkutan ke instansi yang baru.

Kemudian masih banyaknya asset daerah yang belum legal kepemilikkannya yaitu dengan belum terbitnya sertifikat kepemilikan tanah penatausahaannya yang belum tertib

259 | B A N T E N E S i A

Tabel 26. Penghapusan Asset

Penghapusan Asset Setuju Tidak setuju Ada jadwal penghapusan asset 71,4% 28,6% Sumber : hasil penelitian, 2011

Penghapusan asset merupakan tindakan penghapusan barang pengguna/kuasa pengguna dan penghapusan dari Daftar Inventaris

Barang Milik Daerah. Dari tabel di atas diketahui bahwa organisasi sudah menyusun jadwa penghapusan asset (71,4%) dan 28,5% menyatakan belum ada jadwal penghapusan asset.

Tabel 27. Pemindahtangan Asset

Pemindahtanganan Asset Setuju Tidak setuju Organisasi menjual asset yang berlebihan - 100% Sumber : Hasil penelitian, 2011

Dari tabel di atas diketahui bahwa organisasi tidak akan menjual asset yang berlebihan (100%). Pemindahtanganan barang milik daerah adalah pengalihan kepemilikan sebagai tindak lanjut dari penghapusan.

Dari hasil kuesioner di atas dapat disimpulkan sementara bahwa pengelolaan asset daerah di Kabupaten Pandeglang masih belum optimal, masih perlu pembenahan-pembenahan terutama dalam kegiatan penatausahaan dan pengawasan asset. Oleh karena itu perlu

260 | B A N T E N E S i A ditingkatkan kemampuan tenaga teknis pengelola-pengelola asset di setiap SKPD agar penatausahaan asset sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Solusi permasalahan pengelolaan asset daerah di Kabupaten Pandeglang Masih kompleknya permasalahan dalam pengelolaan asset daerah di Kabupaten Pandeglang menyebabkan LKPD Kabupaten Pandeglang oleh BPK dinyatakan disclaimer. Untuk mengatasi permasalahan dalam pengelolaan asset di atas, berikut ini alternative yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah. 1. Membuat pedoman pengelolaan asset daerah yang dituangkan dalam peraturan daerah untuk dilaksanakan oleh seluruh instansi dan organisasi miliki daerah. 2. Membuat sistem dan prosedur proses pengelolaan barang daerah melalui instruksi kepala daerah agar setiap instansi/skpd membuat rencana kebutuhan barang unit (rkbu) sebagai bahan masukan dalam penyusunan daftar kebutuhan barang daerah (dkbd) dan daftar kebutuhan pemeliharaan daerah yang dilaksanakan oleh masing- masing SKPD/unit kerja. 3. Untuk dapat menyusun rencana kebutuhan barang unit (rkbu) sebaiknya dibentuk tim fasilitator penyusunan rkbu yang anggotanya berasal dari tiap SKPD. Kesemuanya itu harus didasarkan pada time schedule tentang tahap-tahap pembenahan pengelolaan asset daerah, yang harus ditaati oleh seluruh SKPD/unit kerja.

261 | B A N T E N E S i A

4. Membuat standarisasi sarana dan prasarana serta standarisasi harga barang/jasa agar pengadaan asset/barang daerah dilakukan secara efisien, efektif, dan transparan. 5. Memberikan pelatihan teknis tentang pengelolaan asset daerah kepada pegawai di tiap SKPD yang diserahi tugas untuk mengelola barang daerah. 6. Agar setiap SKPD menerapkan SIMBADA

Daftar Pustaka Doli, Siregar. 2004. Manajemen Asset. Satyatama Graha Tara, Jakarta

Sadewo. 1999. Pembinaan Administrasi barang Milik/Kekayaan Negara. CV Panca Usaha, Jakarta

------, 2005, Bahan Ajar: Diklat Pengadaan Barang dan Jasa, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Anggaran Departemen Keuangan.

Sulaiman, Anwar. 2000. Manajemen Asset Daerah. STIA LAN Press, Jakarta

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan barang milik Negara/Daerah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No.17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 49 Tahun 2001 Tentang Sistem Informasi Manajemen Barang Daerah (SIMBADA).

262 | B A N T E N E S i A

PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN PADA MUATAN LOKAL DALAM PRESPEKTIF KOMUNIKASI ISTRUKSIONAL Studi Kasus Pelajaran Metode Penelitian Di SMA CMBBS Pandeglang Banten

Oleh: Rangga Galura Gumelar

Pendahuluan

Tidak terelekan bahwasannya pendidikan adalah sesuatu hal yang sangat penting dimana hal ini tercermin bahwa pemerintah menganggarkan 20% dari APBN untuk alokasi pendidikan. Hal ini tentunya bukan tanpa alasan, dikarenakan saat ini pemerintah memang sedang gencar dalam pengembangan kualitas siswa. Pemerintah menyadari bahwasannya setiap daerah memiliki khasanah dan keistimewan yang berbeda-beda, maka dengan demikian pemerintah memberikan kesempatan kepada sekolah-sekolah di daerah untuk memasukan muatan lokal dalam kurikulumnya sesuai dengan kebutuhan. Selama muatan lokal ini tidak bersebrangan dan bertolak

263 | B A N T E N E S i A belakang dengan Undang-undang Republik Indonesia No 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan dan Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, maka pemerintah daerah atau sekolah-sekolah yang berada di daerah dapat mengajukannya dan memasukannya sebagai mata pelajaran yang bermuatan lokal.

Sekolah CMBBS (Cahaya Madani Banten Boarding School) adalah salah satu sekolah yang bertaraf RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf

Internasional) yang ada di Provinsi Banten tepatnya di Kab.

Pandeglang, memasukan dalam muatan lokalnya pelajaran ‚Metodelogi

Penelitian‛ (Metode Penelitian) Sekolah CMBBS merasa bahwasannya metodelogi penelitian adalah sesuatu yang sangat tepat dan sangat penting terutama bagi para siswa dan siswi yang akan melakukan suatu penelitian. Dengan keluarnya UU No.22 tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah yaitu tentang pelaksanaan otonomi daerah, tentunya member ruang yang sangat besar bagi daerah dalam menjabarkan dan menentukan sesuai dengan kondisi serta keadaan daerah tersebut. Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui bagaimana peranan mata peajaran dalam muatan lokal yang diambil oleh pihak sekolah CMBBS dalam peningkatan kualitas pendidikan para siswa.

Menurut Jujun S. Sumantri (1998:312), rumusan masalah adalah upaya untuk menyatakan secara tersurat pernyataan-pernyataan apa saja yang ingin kita carikan jawabannya, atau dengan kata lain,

264 | B A N T E N E S i A perumusan masalah merupakan pernyataan yang lengkap dan terperinci mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti.

Atas dasar latar belakang masalah yang ditulis pada bab sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan untuk dapat mengungkapkan tentang

Peningkatan Kualitas Pendidikan Pada Muatan Lokal Dalam Prespektif

Komunikasi Instruksional (Studi Kasus Pelajaran Metode Penelitian Di

SMA CMBBS Pandeglang Banten. Ada beberapa pertanyaan besar dalam penelitian ini: (1). Apakah memang terdapat suatu peningkatan kualitas pendidikan pada siswa dan siswi CMBBS melalui Mulok ini?

(2). Bagaimana peran dari pelajaran Metodelogi Penelitian dalam penelitian yang dilakukan oleh siswa dan siswi CMBBS?

Kajian Pustaka

Komunikasi Instruksional

Pada prinsipnya komunikasi adalah sebuah kemampuan dalam mengirimkan pesan dengan jelas, manusiawi, efisien dan dalam penerimaan pesan diterima secara utuh dan akurat (D.B. Curtis, 1992).

Pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial dimana dalam hidupnya manusia tidak dapat untuk tidak berkomunikasi dengan yang lain.

Dalam hal pendidikan terutama komunikasi adalah sesuatu yang wajib dan sangat penting, Bayangkan jika dalam pendidikan tidak terdapat suatu komunikasi atau komunikasi itu hanya berjalan searah antara si pengajar dan yang diajar tentunya tidak akan berjalan efektif.

Pendidikan hanya dapat berjalan melalui komunikasi (Jourdan, 265 | B A N T E N E S i A

1984:74). Dalam komunikasi instruksional tidak dapat kita katakan komunikasi dalam arti bebas, artinya memang komunikasi ini dibangun dalam kerangka dan koridor dalam pengembangan yang dikendalikan dan ditujukan pada bidang pendidikan. Contohnya seorang pengajar akan mengajar dengan menggunakan komunikasi yang baik serta dikonsep dengan baik, sehingga apa yang disampaikannya dapat diterima secara utuh.

Dalam komunikasi instruksional yang dilihat atau yang diharapkan adalah efek perubahan perilaku, yang terjadi sebagai hasil tindakan komunikasi instruksional, bisa dikontrol atau dikendalikan dengan baik. Dengan demikian berhasilnya komunikasi instruksional dapat dilihat melalui sebuah test atau evaluasi seperti melakukan penelitian ke lapangan, sesuai dengan apa yang diharapkan atau tujuan yang ingin di capai.

Kurikulum Muatan Lokal

Pengertian Kurikulum adalah seperangkat rencana pengaturan dimana di dalamnya terdapat tujuan, isi, serta bahan pelajaran dan juga cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Muatan

Lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Pada hakikatnya

266 | B A N T E N E S i A muatan lokal masih merupakan bagian dari struktur serta muatan kurikulum yang ada pada Standar Isi dan Kurikulum tingkat satuan pendidikan. Artinya ditekankan pada muatan lokal tidak berbenturan dengan kurikulum nasional dan standar kompetensi dasar yang telah di tetapkan.

Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya (Arikunto, 2002:136). Untuk mengetahui tentang peningkatan kualitas pendidikan pada muatan lokal dalam prespektif komunikasi instruksional peneliti menggunakan pendekatan kualitatif yang terjadi di lingkungan sekolah CMBBS

Pandeglang, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. pendekatan kualitatif menurut Bagdon dan Taylor dalam Moleong (2002:3) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang diamati. Dalam pendekatan kualitatif data yang dihasilkan berbentuk kata, kalimat dan gambar untuk mengeksplorasi bagaimana kenyataan sosial yang terjadi dengan mendeskripsikan variabel yang sesuai dengan masalah dan unit yang diteliti, dalam hal ini adalah bagaimana mengkaji studi kasus yang diteliti.

Pembahasan

Analisis untuk pengambilan data telah dilakukan melalui pencarian data-data yang berkaitan dengan tujuan penelitian.

Observasi, dokumentasi dan wawancara dilakukan oleh peneliti secara 267 | B A N T E N E S i A bersamaan dalam jangka waktu 10 hari dilapangan tempat objek penelitian.

Pada penelitian kali ini peneliti mengambil informan sebagai sumber informasi yang seluruhnya berjumlah 4 orang, masing – masing dapat dikategorikan sebagai sumber yang dianggap mewakili terhadap data penelitian yang dilakukan. Dua key informan merupakan dari pihak sekolah yaitu Kepala Sekolah CMBBS yaitu Bpk. Andin dan Wakil

Sekolah CMBBS bidang kurikumkulum Bpk, Muchlisin Sidiq.

Sedangkan dari pihak siswa diwakili oleh saudari Fathya Rizkiati dan

Farhanita Riziq dari kelas XI IPS.

Data hasil penelitian diperoleh dari wawancara, baik itu wawancara terstruktur maupun wawancara tidak terstruktur.

Wawancara terstruktur peneliti melakukan wawancara sebanyak 4 kali.

Wawancara kepada kepala sekolah dan wakil kepala sekolah bidang kurikulum ini berkenaan dengan kejelasan dan program pada muatan lokal yang dijalankan oleh pihak sekolah CMBSS. Sedangkan dalam wawancara kepada siswa CMBBS lebih menitik beratkan bagaimana tanggapan dan pelaksanaan tentang program muatan lokal ini. Dalam wawancara terstruktur ini peneliti menyiapkan sejumlah pertanyaan yang kemudian peneliti mencatat dan mengetik ulang jawaban- jawaban dari pertanyaan tersebut. Penentuan key informan ini dilakukan secara purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sample berdasarkan pertimbangan tertentu, sesuai dengan ciri dan kriteria yang diperlukan

268 | B A N T E N E S i A untuk memperoleh gambaran lebih rinci mengenai bagaimana penerapan mata pelajaran Metode Penelitian (Metodelogi Penelitian) dalam program mulok (muatan lokal) yang diterapkan oleh sekolah

CMBBS. Selain wawancara peneliti juga melakukan observasi dan dokumentasi. Namun walau demikian, hasil wawancara menjadi data primer penelitian, sedangkan observasi dan dokumentasi menjadi pelengkap atau data tambahan untuk memperoleh gambaran yang utuh serta relevansi antara keseluruhan yang pada akhirnya dapat menyelaraskan hasil penelitian ini.

Dari keseluruhan data yang diperoleh peneliti dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi, telah menunjukan banyaknya informasi yang diperoleh dan penting untuk diketahui sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Gambaran mengenai hasil analisisi berdasarkan pada rumusan masalah yang telah ditentukan peneliti dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai pelajaran Metode Penelitian dalam muatan lokal sebagai peningkatan kualitas pendidikan. Dalam hasil wawancara dengan pihak sekolah

CMBBS dalam hal ini diwakili oleh kepala sekolah CMBBS pada tanggal

14 April 2011 Seperti berikut:

‚Penting untuk dicermati dan diketahui adalah pelajaran Metode Penelitian yang dilaksanakan oleh sekolah CMBBS ini merupakan salah satu pelajaran yang berbasis kepada kurikulum lokal, dimana tentunya tidak bersebrangan dengan kurikulum nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Untuk mulok dengan pelajaran Metode Penelitian ini sendiri, diakui bahwa jarang sekali

269 | B A N T E N E S i A

ditemui disekolah-sekolah lain, tetapi kami dari sekolah menilai bahwasannya Metode Penelitian ini merupakan pelajaran yang dianggap penting karena dapat menumbuhkan minat menulis kepada para siswa terutama dalam hal menulis karya ilmiah yang sering dipertandingkan di berbagai ajang. Selain dari itu sekolah ini merupakan sekolah RSBI artinya memang kami dituntut memiliki dan mengarahkan kepada para siswa disini untuk menjadi siswa yang unggul tetapi islami‛.

Dari hasil wawancara di atas terlihat bagaimana sebetulnya tujuan dengan dipilihnya Metode Penelitian sebagai mulok di CMBBS adalah jelas, agar para siswa memiliki semangat dalam hal menulis karya-karya ilmiah baik yang berbasis kepada sains dan sosial. Tuntuan sebagai sekolah RSBI tentunya bukan sesuatu yang mudah untuk di lakukan.

Artinya bahwa pihak sekolah haruslah dapat menciptakan dan membentuk karakter-karakter siswa yang berkualitas tetapi islami, dikarenakan memang sekolah ini merupakan sekolah boarding school berbasis agama Islam. Tentunya pelajaran Metode Penelitian ini bukanlah merupakan sesuatu yang mudah untuk dipahami apalagi memang kalau kita telaah pelajaran Metode Penelitian ini adalah pelajaran yang diajarkan kepada para mahasiswa semester 6 biasanya serta bagaimana kaitannya antara pelajaran Metode Penelitian dalam hal peningkatan kualitas pendidikan dalam muatan local. Dalam hal ini kembali kepala sekolah menjelaskan kaitan mulok dalam hal pengembangan kualitas pendidikan:

‚Memang tidak mudah bagi siswa dalam menerima materi Metode Penelitian ini dikarenakan Metode Penelitian ini sumber

270 | B A N T E N E S i A

referensi nya biasanya untuk kalangan mahasiswa. Tetapi kami dari pihak sekolah yakin bahwasannya siswa-siswa yang diterima di CMBBS ini merupakan siswa-siswa unggulan yang telah melalui seleksi yang ketat. Artinya bahwa mereka sebetulnya memiliki kemampuan dalam hal menyerap pelajaran Metode Penelitian ini, hanya tergantung dari kemampuan guru nya dalam menerangkan pelajaran ini lah yang harus selalu di tingkatkan. Bagaimana intensitas dan cara komunikasi antara siswa dan guru yang harus selalu dijaga dengan baik. Dikarenakan memang guru yang kami perbantukan untuk pelajaran Metode Penelitian ini merupakan seorang dosen komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Alasan mengambil seorang dosen komunikasi selain memang mumpuni dalam hal metodelogi penelitian, kami pun memiliki pertimbangan dengan latar belakang komunikasi tentunya akan lebih cepat beradaptasi dan mengetahui bagaimana cara dan metode yang baik dalam melakukan pembelajaran Metode Penelitian ini‛.

Terlihat bahwasannya walaupun memang Metode Penelitian ini merupakan pelajaran yang mungkin dianggap sulit, tetapi dengan kenyataan bahwa siswa yang masuk ke CMBBS merupakan siswa unggulan tentunya hal ini bukanlah sesuatu yang merisaukan, karena memang tujuan diadakannya Metode Penelitian ini adalah peningkatan kulaitas kemapuan siswa dalam hal penulisan karya ilmiah. Untuk lebih meyakinkan penelitian ini, peneliti kemudian mewawancarai wakil kepala sekolah bidang kurikulum yaitu Bapak Muchlisin pada tanggal

14 April 2011 di tempat yang sama yaitu di CMBBS:

‚Pada dasarnya saya selaku penanggung jawab dalam kurikulum pendidikan di CMBBS selalu patuh dan mendukung terhadap langkah kebijakan yang diambil oleh sekolah. Karena memang

271 | B A N T E N E S i A

kebijakan yang diambil telah melalui tahapan dan pertimbangan yang matang. Selaku penanggung jawab kurikulum khususnya tentang Metode Penelitian ini memang banyaknya mengadopsi dari perguruan tinggi. Tetapi tentunya materi yang diajarkan haruslah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan siswa anak sma. Disinilah ditekankan bagaimana keluwesan dan metode yang digunakan oleh si pengajar dalam menerangkan materi yang diberikan kepada siswa‛.

Setelah dilakukan pengecekan kepada kurikulum yang digunakan sebagai pedoman mengajar memang semua metode dan cara diserahkan kepada pengajar. Tetapi setiap silabus dan materi yang akan diajarkan tentunya sesuai dengan arahan dan aturan dari sekolah

CMBBS. Dalam hal ini tentunya pelajaran Metode Penelitian ini memang telah sesuai dengan koridor dan aturan yang berlaku. Namun pada hakikatnya merujuk kepada teori komunikasi instruksional tentunya sebuah capaian dapat kita lihat atau kita katakan berhasil atau tidaknya itu semua harus melalui tahapan test ataupun evaluasi. Disini secara gamblang Wakasek Kurikulum menegaskan:

‚Untuk nilai Metode Penelitian yang saya terima dari guru Metode Penelitian, ternyata nilai Metode Penelitian baik dari anak kelas X, XI dan XII sangat menggembirakan. Hampir rata-rata siswa anak CMBBS mendapatkan nilah di atas rata-rata. Jika memang ada yang tidak baik atau di bawah rata-rata itu jelas ada. Tetapi jika dilihat dari angka statistik itu sangatlah kecil. Tentunya tujuan dan capaian yang diraih ini bukanlah sesuatu yang gampang, ditengah kesibukan dan kegiatan anak-anak yang begitu padat tetapi mereka masih berkonsentrasi terutama dalam pelajaran Metode Penelitian‛.

272 | B A N T E N E S i A

Dalam hal ini memang wakasek memberikan bukti daftar nilai yang diperoleh oleh siswa dan siswi CMBBS. Tentunya secara teori dapat dikatakan bahwa capain yang diperoleh melalui hasil test ini telah tercapai melihat dari hasil ujian dan test yang dilakukan kepada siswa.

Untuk lebih meyakinkan kembali terhadap capaian yang telah dicapai, peneliti merasa sangat perlu dan penting untuk dapat melakukan wawancara kepada siswa CMBBS yang kebetulan diwakili oleh dua orang siswi kelas XI. Wawancara yang dilakukan kepada siswi yang bernama Fathya dan Farhanita yang dilaksanakan dalam ruangan kelas yang bernuansa informal. Suasana ini dibangun agar para siswi ini dapat memberikan gambaran yang sejujur dan selengkapnya tanpa merasa mereka canggung dalam menjawab. Pada wawancara yang dilakukan pada tanggal 15 April 2011 ini Fathya menyatakan:

‚Pada dasarnya saya sangat tertarik dengan pelajaran Metode Penelitian ini, dikarenakan saya memang tertarik dengan tema- tema yang dapat dijadikan sebagai bahan penelitian. Sebuah penelitian tentunya sangatlah menantang bagi saya, terlebih memang mungkin sekolah ini yang ada di Banten yang memiliki mata pelajaran Metode Penelitian. Tetapi memang tidak dipungkiri bahwa pelajaran Metode Penelitian ini bukanlah perkara yang mudah, dikarenakan memang kita sebagai siswa merasa bahwa bahan yang diajarkan serta gaya bahasa buku yang kami pakai sebagai bahan referensi kami ternyata menggunakan teknik bahasa yang menurut kami tinggi. Sehingga terkadang kami sulit untuk mencoba memahaminya. Jika dikatakan sulit, tentunya sulit. Karena dengan sumber yang terbatas serta waktu

273 | B A N T E N E S i A

yang tidak banyak kami harus dapat mengerti dengan secepatnya‛.

Peryataan ini kemudian diperkuat oleh Farhanita sebagai siswi

CMBBS yang menjadi key Informan dalam penelitian ini. Pada waktu dan tempat yang sama ybs mengatakan:

‚Pada awalnya memang berat bagi kami dalam memahami dan mengerti apa guna dan sebabnya kami harus mengikuti Metode Penelitian sebagai mata kuliah berbasis muatan lokal, terlebih kami diharuskan mengikutinya dalam kesibukan kami yang juga tinggi baik dalam kegiatan yang diluar. Setelah memasuki pelajaran hitung seperti statistik yang ada dalam penelitian kuantitatif, perasaan ingin tahu dan ketertarikan untuk meneliti semakin tinggi. Kami merasa bahwa materi yang disampaikan dapat kami untuk pahami, walau memank benar ketidaksediaan dan keterbatasan sumber adalah masalah yang besar terlebih memang kami tidak dapat menggunakan internet kalau pun bisa sinyal nya tidaklah terlalu kuat. Sehingga ketika kami mengalami sesuatu hambatan, sulit bagi kami untuk dapat berdiskusi terutama dengan guru pengajarnya yang tidak tinggal di CMBBS dan berada setiap hari disininya‛.

Pada dasarnya terlihat bahwasaanya memank pelajaran Metode

Penelitian ini telah sesuai dengan harapan dan tujuan yang dicita- citakan sekolah CMBBS. Tetapi selain dari itu memang terdapat beberapa kelemahan ataupun hambatan yang mungkin secara tidak sadar luput dari perhatian sekolah.

274 | B A N T E N E S i A

Kesimpulan

Peningkatan kualitas pendidikan terutama dalam mata pelajaran

Metode Penelitian berdasarkan kurikulum berbasis muatan lockal tentunya memberikan suatu gambaran yang baik dan berbeda pada umumnya dibandingkan dengan sekolah-sekolah SMU pada umumnya.

Walaupun terdengar memang sedikit berat, tetapi jika dilihat dari indikator terhadap ujian dan test yang dihadapi oleh siswa ternyata mereka mampu, menguasai dan memahami tentang pelajaran dari

Metode Penelitian ini sendiri. Peningkatan kualitas pendidikan dalam muatan lokal yang dilakukan oleh sekolah CMBBS dikatakan berhasil, sehingga dalam pandangan prespektif komunikasi instruksional telah tercapai apa yang dicita-citakan dan diinginkan oleh sekolah dengan kenyataan dari pemahaman para siswa. Selain dari itu memang dengan diberlakukannya mata pelajaran ini tidak lantas membuat para siswa langsung menerima dan menyerapnya. Masih banyak Kendala yang harus segera ditangani oleh pihak sekolah terhadap keadaan yang ada di sekolah, dimana memang pada kenyataan tidak semua siswa pada dasarnya memahami dan memilki pemahaman yang sama. Untuk hal tersebut peneliti memberikan beberapa saran yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh pihak sekolah sebagai sebuah masukan positif.

Saran

1. Agar lebih dipertimbangkan dan disusun tentang kurikulum yang

jelas bagaimana pelajaran Metode Penelitian ini dibangun 275 | B A N T E N E S i A

berdasarkan kepentingan penelitian yang kemudian disesuaikan

dengan tingkat kemampuan rata-rata kelas anatara kelas X, XI dan

XII.

2. Mempertimbangkan agar guru ataupun pengajar Metode Penelitian

agar lebih banyak meluangkan waktu dalam hal memberikan

bimbingan kepada para siswa. Tidak selalu harus setiap hari di

CMBBS tetapi membuat suatu komunikasi yang praktis dan lebih

efisien kepada siswa nya agar setiap ada keluhan dan setiap ada

masalah dapat langsung diselesaikan dan didiskusikan dengan

secara cepat.

3. Buatlah suatu model pembelajaran yang efektiv kepada para siswa,

agar para siswa cepat memahami tentang materi yang disampaikan

dengan cara merubah bahasa yang disesuaikan dengan

kemampuan penyerapan anak SMA pada umumnya.

4. Melakukan banyak penelitian agar para siswa cepat memahami dan

mengerti terhadap maksud dan tujuan dari pelajaran Metode

Penelitian ini. Sesuai dengan harapan dari komunikasi instruksional

bahwasannya terjadi sebuah perubahan yang lebih baik. Artinya

dengan Metode Penelitian ini akan menjadikan para siswa dan

siswi CMBBS akan lebih tertarik untuk melakukan penelitian dan

menjadikannya sebagai sebuah penelitian yang baik dan menarik

yang termasuk didalamnya sebagai upaya peningkatan kualitas

pendidikan.

276 | B A N T E N E S i A

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi, ‚Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek”, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana Prenada Media.

Deddy Mulyana, ‚Metodologi Penelitian Komunikasi‛, Rosda. Bandung, 2003.

Denzin, Norman K. And Tvonna S. Lincoln (Eds), ‚Handbooks of Qualitative Research‛. London : Sage. 1994.

De Vito, Joseph A, ‚Komunikasi Antar Manusia‛, Jakarta : Profesional 1995.

Fisher, Aubrey, ‛Teori-teori Komunikasi (penyunting: Jalaludin Rakmat)‛, Remaja Karya, Bandung 1986.

Griffin, Emory A, ‚A First Look at Communication Theory, 5th edition‛, McGraw-Hill, New York, 2003.

Jalaluddin Rakhmat, ‚Metode Penelitian Komunikasi‛, dilengkapi contoh analisis statistik, 2005.

Lexy J. Meleong, ‚Metodologi Penelitian Kualitatif‛, Rosda Karya, Bandung, 1995

Miller, Khaterine. 2005. Coomunication Theories, Perspectives, Processes, and Contexts. Second edition. USA : Mc. Graw Hill International

Morissan & Andy Corry, ‚Teori Komunikasi‛, Ghalia Indonesia, 2009

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Stephen W. Littlejohn, ‚The Theories of Human Communication‛, Thomson Wadswort, USA, 2005.

277 | B A N T E N E S i A

UU Republik Indonesia No.20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional

UU Republik Indonesia No.22 Tahun 1999, Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah

278 | B A N T E N E S i A

POLA MOBILITAS MAHASISWA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

Oleh : Riny Handayani

Pendahuluan

Latar Belakang

Terdapat hubungan timbal balik antara pembangunan dengan kependudukan. Di satu pihak pembangunan mempengaruhi varaibel kependudukan, namun sebaliknya variabel kependudukan mempengaruhi pembangunan. Migrasi sebagai komponen kunci dalam dinamika penduduk telah mengakibatkan berbagai perubahan dalam masyarakat, misalnya perubahan komposisi penduduk, dan perubahan tingkat pertumbuhan penduduk.

Fasilitas Kota Serang dan banyaknya pilihan telah menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang ingin melakukan mobilitas vertikal terutama datang dari kelompok elit desa. Penduduk tidak dapat

279 | B A N T E N E S i A dicegah bermigrasi karena pada dasarnya mereka bebas melakukan perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain adalah merupakan hak setiap warganegara dan telah dijamin oleh Universal Declaration of

Human Right. Meskipun demikian pengendalian mobilitas penduduk secara langsung dapat dilakukan dengan keharusan untuk mematuhi peraturan yang ada

Selain dampak masuknya arus migrasi tenaga kerja, hal yang tidak kalah menyita perhatian adalah mobilitas penduduk karena faktor sarana pendidikan yang ada di kota Serang. Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa Serang merupakan Perguruan Tinggi Negeri yang ada di kota ini, hal ini menjadikan salah satu faktor penarik mengapa orang melakukan mobilitas menuju kota ini. sehingga sangat menarik untuk mengkaji bagaimana Pola Mobilitas Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ?

Tinjauan Pustaka

Mobilitas Penduduk

Mobilitas Penduduk adalah pergerakan atau perpindahan penduduk. Adapun perbedaannya dengan migrasi, mobilitas penduduk ini tidak dibatasi oleh ketentuan ruang dan waktu. Dalam teori ekonomi neoklasik, mobilitas penduduk dipandang sebagai mobilitas geografis tenaga kerja, yang merupakan respon terhadap ketidakseimbangan distribusi keruangan lahan, tenaga kerja, kapital dan sumberdaya alam. Ketidakseimbangan lokasi geografis faktor

280 | B A N T E N E S i A produksi tersebut pada gilirannya mempengaruhi arah dan volume migrasi (LDFE-UI, 2008)

Mobilitas Internasional

Mobilitas internasional dapat membawa dampak positif bagi negara yang didatangi maupun negara asal dan para migran itu sendiri beserta keluarganya. Bagi negara yang didatangi, kehadiran para migran ini dapat mengisi segmen-segmen lapangan kerja yang sudah ditinggalkan oleh penduduk setempat karena tingkat kemakmurannya yang semakin meningkat, seperti misalnya perkebunan dan bangunan

(konstruksi) di Malaysia yang kini banyak diisi oleh pekerja-pekerja dari

Indonesia, atau mengisi kebutuhan tenaga-tenaga terampil yang jumlahnya kurang, seperti kebutuhan akan teknisi dan jasa di negara- negara Timur Tengah.

Bagi negara asal, hal ini dapat merupakan suatu sumber penerimaan devisa dari kiriman uang hasil kerja mereka di luar negeri, sementara untuk para migran sendiri kesempatan ini merupakan

'pengalaman internasional' dan kesempatan meningkatkan keahlian serta mengenal disiplin dalam kerja di lingkungan yang berbeda.

Mobilitas Internal

Data Hasil Sensus serta Survei Penduduk Antarsensus (SUPAS) memperlihatkan bahwa mobilitas penduduk antarprovinsi dan mobilitas desa-kota memperlihatkan pola yang sangat sentris ke Pulau

281 | B A N T E N E S i A

Jawa, dan kota-kota besar saja, seperti Jabotabek, Surabaya, Bandung. Pada gilirannya hal tersebut juga telah menimbulkan masalah-masalah perkotaan, seperti perumahan kumuh, lapangan kerja, semakin menurunnya tingkat pelayanan dan prasarana perkotaan. Pola ini mencerminkan suatu disparitas wilayah, yang merupakan perwujudan kebijaksanaan pembangunan dengan orientasi yang sarat pada pertumbuhan ekonomi, khususnya industri dan jasa yang kebanyakan berlokasi di kota-kota besar dan di Pulau Jawa. Mobilitas penduduk yang dilakukan dengan jangka waktu yang pendek, misalnya berangkat pagi pulang sore dan dilakukan hampir setiap hari dikenal dengan istilah “Commuting” atau “nglaju” (I.B. Mantera, 2009). Disamping perpindahan lokal tersebut ada jenis mobilitas yang batasan waktunya lebih pendek dari migrasi sebenarnya dan tidak bermaksud menetap ditempat tujuan yaitu dikenal dengan migrasi sirkular (sircular migration), dengan jangka waktu kurang dari tiga bulan.

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa adalah sebagai Universitas berstatus Perguruan Tinggi Negeri di Provinsi Banten, memiliki 6

(enam) Fakultas dan 19 Program Studi, 2 (dua) Biro, masing-masing

Biro Administrasi Umum dan keuangan (BAUK), dan Biro Administrasi

Akademik Kemahasiswaan, Perencanaan, dan sistem informasi

(BAAKPSI). Selain itu UNTIRTA memiliki 4 (empat) Unit Pelaksanaan

Teknis (UPT) terdiri atas : UPT Perpustakaan Universitas, Fakultas dan

282 | B A N T E N E S i A

Protokol serta UPT Baru. ( Permendiknas No. 10 Tahun 2007).

Universitas Sultan Ageng tirtayasa mempunyai peluang untuk dapat mengemban visi sebagai centre of excelence dalam rangka memajukan dan meningkatkan kehidupan masyarakat Banten.

Sebagai universitas yang merupakan pilihan terutama untuk mahasiswa/i yang ada di lingkup Provinsi Banten, fenomena yang terjadi adalah banyaknya mahasiswa/i yang berasal dari luar Kota

Serang di universitas ini. Mobilitas mahasiswa/i yang dilakukan dengan jangka waktu yang pendek, misalnya berangkat pagi pulang sore dan dilakukan hampir setiap hari yang dikenal dengan istilah

“Commuting” atau “nglaju” banyak terjadi di UNTIRTA ini, belum lagi perpindahan lokal atau mobilitas yang batasan waktunya lebih pendek dari migrasi sebenarnya dan tidak bermaksud menetap ditempat tujuan yaitu dikenal dengan migrasi sirkular (sircular migration), dengan jangka waktu kurang dari tiga bulan juga banyak ditemui di wilayah ini dikenal dengan sebutan ‚anak kost‛.

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Kuantitatif Deskriptif. Untuk melihat keterkaitan antar fenomena dilakukan dengan analisis kuantitatif sederhana ditambah gambaran data yang didapat di lapangan. Adapun dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang dipergunakan adalah Sampel Acak (Random sampling) yaitu pengambilan anggota sampel yang ditetapkan secara acak dengan kans yang sama. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 50 orang dari total 700 mahasiswa/i kelas

283 | B A N T E N E S i A reguler FISIP UNTIRTA yang tercatat aktif sampai tahun ajaran 2011 ini, dengan asumsi jumlah tersebut sudah cukup mewakili untuk penggalian informasi yang dibutuhkan.

Pembahasan

Mobilitas penduduk di suatu wilayah terjadi karena adanya faktor yang mendorong dan menarik dalam suatu wilayah (push-pull factors).

Kondisi sosial ekonomi di daerah asal yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan (needs) seseorang menyebabkan orang tersebut ingin pergi ke daerah lain yang dapat memenuhi kebutuhannya. Jadi antara daerah asal dan daerah tujuan terdapat perbedaan nilai kefaedahan wilayah (place utility). Daerah tujuan harus mempunyai nilai kefaedahan wilayah yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah asal untuk dapat menimbulkan mobilitas penduduk. Dengan kata lain, jika dikaitkan dengan pembangunan, dapat dikemukakan bahwa ketimpangan pembangunan antar daerah merupakan faktor yang menjadi pemicu mobilitas penduduk.

Keputusan bermigrasi dalam konteks mahasiswa Fisip Untirta ini merupakan hasil perbandingan faktor-faktor yang terdapat di daerah asal dan di daerah tujuan. Selanjutnya, diantara dua tempat itu selalu terdapat sejumlah rintangan yang dalam keadaan-keadaan tertentu tidak terlalu berat, tetapi dalam keadaan-keadaan lain tidak dapat di atasi.

284 | B A N T E N E S i A

Sejumlah rintangan yang sama tentu dapat menimbulkan pengaruh yang berbeda-beda pada orang yang satu dengan yang lainnya, yang akan mempengaruhi keputusan bermigrasi. Akhirnya masih banyak faktor pribadi yang berpengaruh terhadap seseorang yang akan pindah, faktor-faktor itu dapat mempermudah atau memperlambat migrasi.

Dari 50 responden yang ditanyakan, 42% (21 orang) berasal dari

Kota Serang dan sekitarnya yang tinggal di rumah sendiri (tidak kost),

28% (14 orang) berasal dari luar Kota Serang ( Cilegon, Pandeglang,

Tanggerang, Ciruas) yang tinggal di rumah sendiri, dan melakukan rutinitas pulang pergi dari rumah menuju kampus UNTIRTA. 22% (11 orang) merupakan mahasiswa FISIP yang tinggal dari luar Kota Serang

( Pandeglang, Tanggerang, Lebak , Rangkasbitung dan Pamarayan) dan menjadi anak kost. Dan sisanya sebanyak 8% ( 4 orang) merupakan pendatang dari luar Provinsi Banten ( DKI Jakarta dan Bandung) yang juga berstatus sebagai anak kost.

Dikarenakan di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa tidak tersedia asrama untuk mahasiswa, maka berdasarkan pertimbangan jarak ke tempat kuliah, maka sebagian besar sampel (72% atau 11 dari 15 anak kost), memilih untuk kost di sekitar kampus dengan lokasi antara lain,

Komplek UNTIRTA, Perumahan Bumi Mutiara Serang dan Sekitar

SMUN Prisma Kota Serang, sedangkan sisanya sebanyak 4 orang memilih kost di daerah Ciceri, dan Ciracas.

285 | B A N T E N E S i A

Dari data di atas, terlihat bahwa mobilitas dalam hal ini yang terjadi adalah semuanya termasuk kategori mobilitas internal, terjadi masih dalam lingkup lokal. Tidak ditemukan terjadi mobilitas eksternal

(perpindahan penduduk dari luar negeri). Mobilitas penduduk yang dilakukan berdasarkan hasil di atas didominasi oleh mobilitas dengan jangka waktu yang pendek, misalnya berangkat pagi pulang sore dan dilakukan hampir setiap hari dikenal dengan istilah ‚Commuting‛ atau

‚nglaju‛ (I.B. Mantera, 2009), terdapat 70% atau 35 orang yang melakukan mobilitas jenis ini. Disamping perpindahan lokal tersebut ada jenis mobilitas yang batasan waktunya lebih pendek dari migrasi sebenarnya dan tidak bermaksud menetap ditempat tujuan yaitu dikenal dengan migrasi sirkular (sircular migration), dengan jangka waktu kurang dari tiga bulan, dalam kasus penelitian ini mahasiswa yang berstatus sebagai ‚anak kost‛ yang minimal pulang ke daerah asalnya minimum dua minggu sekali, terdapat sebanyak 22% atau 11 orang, sedangkan sisanya sebanyak 8% atau 4 orang juga masih termasuk kategori ini karena mereka pulang ke daerah asal minimum sebulan satu kali.

Sedangkan untuk faktor pendorong dan penarik (push and pull factors), terutama bagi mahasiswa yang berasal dari luar Kota Serang melakukan pergerakan (mobilitas) menuju daerah ini sebagian besar menjawab karena tidak tersedianya sarana pendidikan selengkap

UNTIRTA di daerah asal, sisanya menjawab kans untuk kuliah di

286 | B A N T E N E S i A

Perguruan Tinggi berstatus Negeri lebih besar di UNTIRTA, dan selebihnya menjawab mengikuti pilihan teman.

Penutup

Mobilitas penduduk merupakan hak azasi setiap individu, dan ini sesuai dengan UU Hak Azasi Manusia No. 39 Tahun 1999 bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia

Fenomena mobilitas penduduk yang diperkirakan akan meningkat dalam era otonomi daerah ini terutama di Kota Serang khususnya berkaitan dengan keberadaan kampus UNTIRTA sebagai Perguruan

Tinggi Negeri, dan diperkirakan akan menuju pada daerah-daerah tertentu, harus disikapi dengan arif dan demokratis, tanpa pembatasan yang bersinggungan dengan hak azasi manusia. Terpenting bagi daerah adalah bagaimana mengarahkan dan merangsang mobilitas penduduk ini ke arah yang memberikan dampak positif pada daerah tujuan maupun pada daerah asal dari penduduk migran tersebut. Pemerintah

Daerah Kota Serang, khususnya dituntut untuk lebih berbenah, siap menghadapi segala dampak dari mobilitas penduduk ini.

287 | B A N T E N E S i A

Daftar Pustaka

Suwartoyo , Mobilitas Penduduk Ke Kotamadya Ujung Pandang, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1999

Bandiyono, Suko ; Noveria, Mita ; Romdiati, Haning, Mobilitas Penduduk Dan Pembangunan Wilayah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2000

Prijono Tjiptoherijanto , Urbanisasi dan Perkembangan Perkotaan di Indonesia, Kompas, Senin, 8 Mei 2000

Romdiati, Haning; Mita Noveria, Mobilitas Penduduk dan Implikasi Sosial Ekonomi di Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara, 2004

288 | B A N T E N E S i A

PETA MASALAH ANAK JALANAN DAN MODEL PEMECAHANNYA BERBASIS PEMBERDAYAAN KELUARGA DI KOTA SERANG PROVINSI BANTEN

oleh : Titi Stiawati

Pendahuluan

Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi ‚masalah‛ bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.

289 | B A N T E N E S i A

Menurut UUD 1945, ‚anak terlantar itu dipelihara oleh negara‛.

Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang

Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak- hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection)

Menurut pengamatan peneliti, penanganan anak jalanan belum mempunyai model dan pendekatan yang tepat dan efektif. Keberadaan

Rumah Singgah misalnya, menurut hasil penelitian Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Depsos (2003), dinilai kurang efektif karena tidak menyentuh akar persoalan.

Pembinaan dan pemberdayaan pada lingkungan keluarga tempat mereka tinggal tampaknya belum banyak dilakukan, sehingga penanganannya selama ini cenderung ‚tambal sulam‛ dan tidak efektif.

Sementara itu, keluarga merupakan ‚pusat pendidikan, pembinaan dan

290 | B A N T E N E S i A pemberdayaan pertama‛ yang memungkinkan anak-anak itu tumbuh dan berkembang dengan baik, sehat dan cerdas. Pemberdayaan keluarga dari anak jalanan, terutama dari segi ekonomi, pendidikan dan agamanya, diasumsikan merupakan basis utama dan model yang efektif untuk penanganan dan pemberdayaan anak jalanan.

Anak jalanan di Kota Serang, sebagai salah satu kasus, berjumlah

117 anak, Selama ini penanganannya anak jalanan melalui panti-panti asuhan dan rumah singgah dinilai tidak efektif. Hal ini antara lain terlihat dari ‚pola asuh‛ yang cenderung konsumtif, tidak produktif karena yang ditangani adalah anak-anak, sementara keluarga mereka tidak diberdayakan. Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut,

Peneliti menilai penting dan strategis dilakukan penelitian mengenai:

‚Peta masalah anak jalanan dan model pemecahannya” di Kota Serang yang

Berbasis Pada Pemberdayaan Keluarga.

Tinjauan Pustaka

Konsep Anak

Konsep ‚anak‛ didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan yang beragam.

Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah.

Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 291 | B A N T E N E S i A

Untuk kebutuhan penelitian ini, anak didefinisikan sebagai seorang manusia yang masih kecil yang berkisar usianya antara 6–16 tahun yang mempunyai ciri-ciri fisik yang masih berkembang dan masih memerlukan dukungan dari lingkungannya. Seperti manusia pada umumnya, anak juga mempunyai berbagai kebutuhan: jasmani, rohani dan sosial. Menurut Abraham H. Maslow, kebutuhan manusia itu mencakup : kebutuhan fisik (udara, air, makan), kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk menyayangi dan disayangi, kebutuhan untuk penghargaan, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan bertumbuh.

Sebagai manusia yang tengah tumbuh-kembang, anak memiliki keterbatasan untuk mendapatkan sejumlah kebutuhan tersebut yang merupakan hak anak. Orang dewasa termasuk orang tuanya, masyarakat dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak anak tersebut. Permasalahannya adalah orang yang berada di sekitarnya termasuk keluarganya seringkali tidak mampu memberikan hak-hak tersebut. Seperti misalnya pada keluarga miskin, keluarga yang pendidikan orang tua rendah, perlakuan salah pada anak, persepsi orang tua akan keberadaan anak, dan sebagainya. Pada anak jalanan, kebutuhan dan hak-hak anak tersebut tidak dapat terpenuhi dengan baik. Untuk itulah menjadi kewajiban orang tua, masyarakat dan manusia dewasa lainnya untuk mengupayakan upaya

292 | B A N T E N E S i A perlindungannya agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi secara optimal.

Konsep Anak Jalanan

Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan atau di tempat-tempat umum. Anak jalanan mempunyai ciri- ciri sebagai berikut : berusia antara 6 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi.

Predikat anak jalanan umumnya mengacu pada anak penjual koran/majalah, pengemis, pengamen, pedagang asongan, penyemir sepatu, menyewakan payung dan mereka yang beroperasi di jalan raya, terminal/halte, pertigaan atau perempatan/persimpangan.

Anak jalanan merupakan komunitas yang memerlukan pandangan komprehensif untuk memahaminya. Ada dua kata di dalamnya yaitu anak dan jalanan, yang sekilas dapat berarti bahwa anak yang berada dalam jalanan. Tetapi mereka bukanlah anak yang sedang bermain bola di taman kota, duduk di kafe bersama orang tuanya atau kelompok anak dari golongan kaya yang sedang frustasi.

Anak jalanan mempunyai ciri khas yang sangat berbeda dengan anak lainnya.

Sedang batasan umur anak jalanan terdapat beberapa pendapat.

Ferry Johanes memberi batasan umur anak jalanan pada umumnya berkisar dari 0 sampai 18 tahun. Unicef (1995) menggolongkan anak 293 | B A N T E N E S i A jalanan kedalam tiga kategori berdasarkan lamanya anak jalanan berada di jalanan. Kategori itu adalah : anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya, anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan keluarganya, Anak-anak yang masih berhubungan teratur dengan orang tuanya.

Dari konsep tersebut disimpulkan bahwa anak jalanan berasal dari keluarga yang tinggal di tempat kumuh, rumah petak dan umumnya mereka bekerja di mana saja, misalnya di persimpangan jalan, pasar, stasiun kereta api dan tempat-tempat yang tidak seharusnya mereka kunjungi (tempat pelacuran). Mereka umumnya berasal dari keluarga miskin dengan ayah atau kepala keluarga yang bekerja sebagai pemulung, buruh atau petani penggarap dan ibu yang tidak bekerja

(kalaupun bekerja, jenis pekerjaan sama dengan suaminya).

Konsep Keluarga

Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta "kulawarga". Kata kula berarti "ras" dan warga yang berarti "anggota". Keluarga adalah lingkungan di mana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah. Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab di antara individu tersebut.

Keluarga adalah sejumlah orang yang bertempat tinggal dalam satu atap rumah dan diikat oleh tali pernikahan yang satu dengan lainnya memiliki saling ketergantungan. Secara umum keluarga

294 | B A N T E N E S i A memiliki fungsi (a) reproduksi, (b) sosialisasi, (c) edukasi, (d) rekreasi,

(e) afeksi, dan (f) proteksi. Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.

Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut : Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.

Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak- anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.

Pada dasarnya tugas keluarga ada delapan tugas pokok sebagai berikut :

1. Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.

2. Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.

295 | B A N T E N E S i A

3. Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan

kedudukannya masing-masing.

4. Sosialisasi antar anggota keluarga.

5. Pengaturan jumlah anggota keluarga.

6. Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.

7. Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang

lebih luas.

8. Membangkitkan dorongan dan semangat para anggotanya.

Fungsi yang dijalankan keluarga adalah :

1. Fungsi Pendidikan dilihat dari bagaimana keluarga mendidik dan

menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan

masa depan anak.

2. Fungsi Sosialisasi anak dilihat dari bagaimana keluarga

mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.

3. Fungsi Perlindungan dilihat dari bagaimana keluarga melindungi

anak sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa

aman.

4. Fungsi Perasaan dilihat dari bagaimana keluarga secara instuitif

merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain

dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota

keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam

menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.

296 | B A N T E N E S i A

5. Fungsi Agama dilihat dari bagaimana keluarga memperkenalkan

dan mengajak anak dan anggota keluarga lain melalui kepala

keluarga menanamkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini

dan kehidupan lain setelah dunia.

6. Fungsi Ekonomi dilihat dari bagaimana kepala keluarga mencari

penghasilan, mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga

dapat memenuhi rkebutuhan-kebutuhan keluarga.

7. Fungsi Rekreatif dilihat dari bagaimana menciptakan suasana

yang menyenangkan dalam keluarga, seperti acara nonton TV

bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dan

lainnya.

8. Fungsi Biologis dilihat dari bagaimana keluarga meneruskan

keturunan sebagai generasi selanjutnya.

9. Memberikan kasih sayang, perhatian,dan rasa aman diaantara

keluarga, serta membina pendewasaan kepribadian anggota

keluarga.

Pemberdayaan (empowerment) adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayan Barat utamanya Eropa. Secara umum pemberdayaan keluarga dipahami sebagai usaha menciptakan gabungan dari aspek kekuasaan distributif maupun generatif sehingga keluarga memiliki kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya.

297 | B A N T E N E S i A

Faktor Penyebab Menjadi Anak Jalanan

Menurut Tata Sudrajat (1996 :154) ada tiga tingkat yang menyebabkan munculnya fenomena anak jalanan adalah sebagai berikut :

1. Tingkat mikro ( immediate causes) yakni faktor-faktor yang

berhubungan dengan situasi anak dan keluarganya.

2. Tingkat meso (underlying causes) yakni faktor-faktor yang ada di

masyarakat tempat anak dan keluarga berada.

3. Tingkat makro (basic causes) yakni faktor-faktor yang berhubungan

dengan struktur makro dari masyarakat seperti ekonomi, politik,

dan kebudayaan.

Anak-anak Jalanan Menurut Teori Psikoanalisis

Menurut teori Sigmund Freud, manusia memiliki Id, Ego dan

Superego. Id adalah keinginan / hasrat badaniah manusia, misalnya ingin makan, ingin minum, hasrat sex, dan lain-lain. Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas yang ada diluar dirinya, mengatur kepribadian, tempat kedudukan intelegensi dan rasionalitas. Superego merupakan kode moral seseorang, yang memberikan larangan-larangan bila dianggap tidak benar.

Manusia dianggap ideal bila memiliki Id, Ego dan Superego yang sama besar, yang seimbang. Anak-anak jalanan memiliki Id yang lebih besar dari pada Superego. Ini terbentuk karena tidak adanya didikan,

298 | B A N T E N E S i A sopan santun dan tata krama dari orang tua. Seorang anak akan dimarahi dan diperingati oleh orang tua mereka bila makan sambil jalan sehingga superego mereka akan terbentuk (bahwa makan sambil jalan itu adalah sesuatu yang tidak benar) tetapi seorang anak jalanan tidak pernah ada yang memperingati mereka bila mereka kencing sambil berjalan sekalipun.

Hasil dan Pembahasan

Deskripsi Objek Penelitian

Pada tahun 2007 terjadi pemekaran wilayah Kabupaten Serang dan Kota Serang (Undang-undang Nomor 32 Tahun 2007) menjadi 28

Kecamatan di Kabupaten Serang dan 6 Kecamatan di Kota Serang.

Adapun Kecamatan yang masuk Kota Serang adalah Kecamatan Serang,

Cipocok Jaya, Taktakan, Kasemen, Curug dan Walantaka. Secara

Geografis wilayah Kabupaten Serang terletak pada koordinat 5°50’ sampai dengan 6°21’ Lintang Selatan dan 105°0’ sampai dengan 106°22’

Bujur Timur. Jarak terpanjang menurut garis lurus dari utara keselatan adalah sekitar 60 km dan jarak terpanjang dari Barat ke Timur adalah sekitar 90 km, sedangkan kedudukan secara administratif berbatasan dengan :

 Sebelah Utara dibatasi dengan Laut Jawa.

 Sebelah Timur dibatasi Kabupaten Tangerang

 Sebelah Barat dibatasi oleh Kota Cilegon dan Selat Sunda

 Sebelah Selatan dibatasi oleh Kabupaten Lebak dan Pandeglang. 299 | B A N T E N E S i A

Penduduk Kota Serang berdasarkan dari Statistik Serang tahun

2009 berjumlah 347.042 jiwa. Luas wilayah 2.492 Ha maka kepadatan penduduknya 112 jiwa/ Ha. Dari data kependudukan di atas maka Kota

Serang dapat digolongkan dalam kelas Kota sedang, dimana berdasar kriteria BPS mengenai kelas Kota Sedang adalah Kota dengan jumlah penduduk antara 100.000 sampai 500.000 jiwa.

Peta Permasalah dan faktor penyebab Anak Jalanan di Kota Serang

Berdasarkan data yang diperoleh dapat dikemukakan bahwa sesungguhnya faktor penyebab anak turun ke jalan di Kota Serang adalah sebagai berikut; mencari uang, main-main, dan hidup di jalan.

Anak jalanan pada umumnya mempunyai keluarga yang berada di lingkungannya yang biasanya keluarganya adalah keluarga dari golongan yang kurang mampu secara materi, sehingga anak-anak mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga akan tetapi sesungguhnya peran orang tua anak jalanan tidak berperan secara maksimal, hal ini dapat dilihat manakala orang tua sangat mendukung untuk anaknya bekerja.

Berdasarkan dari peta masalah anak jalanan yang berada di Kota

Serang dapat dipetakan permasalahan sebagai berikut :

a. Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi

keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk

turun ke jalan guna mencari tambahan untuk keluarga. Hal ini

300 | B A N T E N E S i A

terjadi karena ketidak berfungsian keluarga dalam memenuhi

kebutuhan keluarga.

b. Rumah tinggal yang kumuh membuat ketidak betahan anak

berada di rumah, sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu

faktor pendorong untuk anak turun ke jalan.

c. Rendahnya pendidikan orang tua anak jalanan sehingga mereka

tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga

ketidaktahuannya mengenai hak-hak anak.

d. Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke

jalan baik kebijakan dari kepolisian, Pemda, maupun Departemen

Sosial.

e. Belum optimalnya social control di dalam masyarakat.

f. Belum berperannya lembaga-lembaga organisasi sosial, serta

belum adanya penanganan yang secara multi sistem base.

Anak Jalanan Dengan Kehidupan Sosial Ekonomi Keluarga di Kota

Serang

Sebagai kota berkembang, Kota Serang tidak akan lepas dari persoalan anak jalanan. Kantong-kantong anak jalanan di Kota Serang saat ini banyak tersebar di setiap perempatan lampu merah, ada sekitar

2 sampai 3 anak jalanan. Mulai dari perempatan Kebon Jahe, Warung

Pojok, Ciceri, Sumur Pecung, dan Pisang Mas, Pasar Lama, Royal Pasar

Rawu dan terminal Pakupatan Serang

301 | B A N T E N E S i A

Seiring dengan pemekaran wilayah, jumlah anak jalanan di Kota

Serang menunjukkan peningkatan yang besar. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang, anak jalanan tersebut tidak hanya berasal Serang akan tetapi menurut data yang ada pada

Dinas Sosial Serang bahwa anak jalanan banyak berasal dari Kecamatan

Ciruas dan Kramatwatu yang masuk ke wilayah Kabupaten Serang.

Selain itu pula anak jalanan banyak berdomisili di daerah Kemang dan daerah sekitar stasiun kereta api Cilame, Kebaharan dan Pasar Rau.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial

Kabupaten Serang seiring dengan pemekaran wilayah Kabupaten

Serang menjadi Kabupaten Serang dan Kota Serang, jumlah anak jalanan di Kota Serang 117 anak sampai awal tahun 2009 jumlah ini semakin banyak, akan tetapi jumlahnya belum dapat tedata secara pasti.

Hal tersebut dikarenakan banyaknya anak-anak yang baru turun kejalanan dan berpindah-pindah tempat dalam melakukan aktivitasnya

.

Terkait dengan anak jalanan perempuan yang khususnya berada di perempatan lampu merah, mereka (rata-rata usia siswa Sekolah

Dasar ) yang setelah pulang sekolah melakukan aktifitas sebagai anak jalanan seperti mengamen, mengemis, menyemir sepatu, menjual

Koran, menjadi pemulung, dan bahkan ada yang mencuri atau mencopet, serta banyak diantara mereka yang tidak bersekolah lagi.

302 | B A N T E N E S i A

Berkaitan dengan anak jalanan di Kota Serang, umumnya mereka berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat dan ekonominya lemah

(keluarga miskin) akan tetapi tidak semua anak jalanan ini berasal dari keluarga miskin, dan usia anak jalanan ini adalah anak-anak yang berusia 6 sampai 18 tahun yang turun ke jalan untuk bekerja.

Anak jalanan tersebut tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif. Selanjutnya hubungan anak jalanan ini dengan keluarganya, berdasarkan wawancara dengan beberapa anak yang beraktivitas mengamen yang berdomisili di daerah Kemang Serang mereka tinggal hanya bersama ibunya saja dikarenakan ayahnya bekerja di kota lain, menikah lagi, atau cerai serta ada anak jalanan yang masih tinggal bersama keluarga namun ayahnya hanya bekerja sebagai tukang beca, pemulung, kuli di terminal bahkan menganggur. Disamping itu ada yang tinggal terpisah tetapi masih sering pulang ke tempat keluarga, ada yang sama sekali tak pernah tinggal bersama keluarganya atau bahkan ada anak yang tak mengenal keluarganya.

Timbulnya permasalahan ekonomi dikarenakan tidak adanya pekerjaan yang sesuai bagi mereka yang mayoritas adalah orang yang tidak berpendidikan dan tidak mempunyai keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga yang dapat mereka lakukan adalah turun ke jalan. Sesuai hasil observasi keluarga dari anak

303 | B A N T E N E S i A jalanan mayoritas berasal dari keluarga menengah ke bawah yang tidak mempunyai penghasilan tetap.

Melihat dari kondisi ekonomi keluarga yang rendah dan ditandai dengan adanya kemiskinan dari anak jalanan, mengakibatkan interaksi anak jalanan khususnya anak jalanan dengan keluarganya berjalan tidak sebagaimana mestinya. Pada umumnya mereka berangkat dari ketidak harmonisan dalam keluarga, percekcokan orangtua, salah satu dari orangtua meninggal sehingga harus menikah lagi, perceraian dan situasi kemiskinan.

Menurut hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan beberapa anak jalanan yang beraktifitas sebagai pengamen di daerah

Kemang Kota Serang, penghasilan rata-rata perhari mencapai Rp. 5.000 sampai Rp. 20.000 sedangkan anak jalanan yang beraktifitas mengemis di pusat pembelanjaan Royal Serang rata-rata sehari Rp. 5000 sampai

30.000, apalagi di bulan puasa Ramadhan dan mendekati hari raya seperti Lebaran, penghasilan mereka bisa melonjak hingga tiga kali lipat dari biasanya. Uang yang mereka peroleh biasanya digunakan untuk membeli makan dan memenuhi kebutuhan mereka yang lain, seperti membayar uang sekolah, membeli baju untuk dirinya sendiri, kebutuhan sehari- hari untuk orang tuanya, membeli telepon selular dan lain sebagainya.

Hal tersebut menyebabkan banyak anak jalanan turun ke jalanan demi memenuhi kebutuhan hidupnya, dan mereka beranggapan bahwa

304 | B A N T E N E S i A segala pekerjaan bisa dilakukan oleh anak jalanan asalkan menghasilkan uang. Selain bekerja di jalanan, ada beberapa anak jalanan yang masih melanjutkan sekolahnya. Mereka turun ke jalan setelah pulang sekolah. Meskipun hidup di jalan, satu hal yang patut dihargai adalah keinginan mereka untuk menyelesaikan sekolah. Hal tersebut ternyata tidak mudah. Mereka harus berjuang mempertahankan keinginannya bersekolah, sementara di sekeliling mereka ada banyak anak jalanan yang meninggalkan bangku sekolah dan lebih memilih untuk bekerja.

Model Pemberdayaan Anak Jalanan Berbasis Pemberdayaan Keluarga

Dengan bertitik tolak dari kondisi tersebut, kajian ini menganggap penting untuk menemukan beberapa alternatif model yang mungkin dapat digunakan untuk menangani permasalahan anak jalanan dan perlu diuji coba, tentunya dengan tidak lupa mengkaji ulang berbagai model yang telah pernah ada dalam permasalahan anak jalanan, seperti rumah singgah misalnya. Mengacu kepada kondisi yang demikian, ternyata upaya yang patut dikembangkan terus. Adapun alternatif model yang mungkin dapat di gunakan adalah sebagai berikut :

Pertama, Peta permasalahan anak jalanan di Kota Serang dapat dikategorikan menjadi enam, yaitu (1) anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan ekonomi keluarga, (2) rumah tinggal yang kumuh membuat 305 | B A N T E N E S i A ketidakbetahan anak berada di rumah sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan, (3) rendahnya pendidikan orang tua menyebabkan mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga tidak mengetahui hak-hak anak, (4) belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik dari kepolisian, Pemda maupun Departemen Sosial menyebabkan penanganan anak jalanan tidak terkoordinasi dengan baik, (5) peran masyarakat dalam memberikan kontrol sosial masih sangat rendah, dan (6) lembaga- lembaga organisasi sosial belum berperan dalam mendorong partisipasi masyarakat menangani masalah anak jalanan.

Kedua, alternatif model penanganan anak jalanan mengarah kepada 3 jenis model yaitu family base, institutional base dan multi-system base.

Family base, adalah model dengan memberdayaan keluarga anak jalanan melalui beberapa metode yaitu melalui pemberian modal usaha, memberikan tambahan makanan, dan memberikan penyuluhan berupa penyuluhan tentang keberfungsian keluarga. Dalam model ini diupayakan peran aktif keluarga dalam membina dan menumbuh kembangkan anak jalanan. Institutional base, adalah model pemberdayaan melalui pemberdayaan lembaga-lembaga sosial di masyarakat dengan menjalin networking melalui berbagai institusi baik lembaga pemerintahan maupun lembaga sosial masyarakat. Multi- system base, adalah model pemberdayaan melalui jaringan sistem yang

306 | B A N T E N E S i A ada mulai dari anak jalanan itu sendiri, keluarga anak jalanan, masyarakat, para pemerhati anak ,akademisi, aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya.

Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian ‚Peta masalah anak jalanan dan model pemecahannya yang berbasis pemberdayaan keluarga‚ maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya anak jalanan antara

lain (a) rendahnya pendapatan keluarga, (b) keluarga disharmonis,

(c) rendahnya pendidikan orang tua, (d) keluarga urban yang

tidak memperoleh sumber-sumber ekonomi di daerah asalnya, (e)

persepsi orang tua yang keliru tentang kedudukan anak dalam

keluarga.

2. Peta permasalahan anak jalanan dapat dikatagorikan menjadi 6

(enam) yaitu (a) desakan ekonomi keluarga, (b) rumah tinggal

yang kumuh membuat anak tidak betah di rumah (c) rendahnya

pendidikan orang tua (d) tidak adanya payung kebijakan

penanganan anak jalanan, (e) lemahnya kontrol sosial dan (f) tidak

berperannya lembaga-lembaga sosial.

3. Berdasarkan profil dan peta masalah dapat dirumuskan tiga jenis

alternatif model penanganan anak jalanan yaitu: family based,

institutional based dan multi-system based.

307 | B A N T E N E S i A

Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas diajukan saran sebagai berikut:

1. Mengingat bahwa fenomena masalah anak jalanan berada dalam

kompleksitas persoalan yang luas dan tidak berdiri sendiri, maka

berbagai pihak perlu melaksanakan program integratif yang

diarahkan tidak saja bagi anak jalanan, tetapi juga keluarga dan

lingkungan di mana mereka tinggal.

2. Untuk memberikan payung hukum penanganan anak jalanan

perlu diterbitkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah

(Perda) sebagai implementasi Undang-undang tentang

penggelandangan, yang mengatur teknis pelaksanaan,

koordinasi, monitoring dan evaluasi penanganan anak jalanan

serta tanggung jawab keluarga dan masyarakat.

3. Perlu dikembangkan model pengembangan penanganan anak

jalanan yang terkoordinasi, jelas tujuannya, dan tepat sasarannya

dengan melibatkan berbagai lembaga pemerintah maupun

masyarakat, serta memaksimalkan sumber-sumber yang ada.

Daftar Pustaka

Anarita, Popon, dkk, 2001, Baseline Survei untuk Program Dukungan dn Pemberdayaan Anak Jalanan di Perkotaan (Bandung), Bandung: Akatiga-Pusat analisis sosial.

Craib, Ian, 1994. ‛Teori-Teori Sosial Modern dari Parsons Sampai Habermas", Jakarta, Rajawali.

308 | B A N T E N E S i A

Garna, Yudistira, 1996, Ilmu-Ilmu Sosial Dasar dan Konsep dan Posisi, Bandung, Pascasarjana Bandung.

Goode, William J, 1995, Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bumi Aksara, Cet IV.

Irawan, Prassetya, 2004. Logika dan Prosedur Penelitian, Jakarta, STIA- LAN Press.

Johanes, Ferry, 1995. Penanganan Anak Jalanan di Indonesia, makalah dalam seminar sehari, Bandung, STKS.

Kencana, Gita dkk, 2001, Baseline Survei Untuk Program Dukungan dan Pemberdayaan Anak Jalanan di Perkotaan (Medan), Medan: Warung Sahiva USU Medan.

Koentjaraningrat, 1984. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Moleong, Alex, 2000, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Pramono, Herry, dkk, 2001 Baseline Survei Untuk Program Dukungan dan Pemberdayaan Anak Jalanan di Perkotaan (Jakarta), Jakarta: Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat UNIKA Atma Jaya.

Sarmanu, dkk, 2001, Baseline Survei Untuk Program Dukungan dan Pemberdayaan Anak Jalanan di Perkotaan (Surabaya), Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas Airlangga.

Sunarto, Agus, dkk, 1989, Buku Pedoman Pelaksanaan Santunan Keluarga, Asuhan Keluarga dan Panti Asuhan di Lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah/A’isyiah, Jakarta: PP Muhamadiyah Majelis Pembinaan Kesejahteraan Umat (PKU).

Sunusi, Makmur, 12 April 2003, Anak Terlantar Dalam Perspektif Pekerjaan Sosial, Endang WD BM, Kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta Dalam Penanganan Anak Terlantar, Makalah Dalam Seminar Nasional ‘Penanganan Anak Terlantar Berbasis Keluarga‛, Jakarta: UMJ.

309 | B A N T E N E S i A

Dokumen :

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Dinas Sosial Provinsi Banten, 2009. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial.

Dinas Sosial Jakarta, 2002, Pemberdayaan Sosial, Standarisasi Pemberdayaan Peran Keluarga.

------, 2002, Pedoman Bimbingan Keluarga Melalui Kelompok Usaha Keluarga Muda Bina Mandiri (KUBE-KMM).

310 | B A N T E N E S i A

TINJAUAN FENOMENOLOGIS PERAN STRATEGIS PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL DI PROVINSI BANTEN

oleh: Yeni Widyastuti

Pendahuluan

Masyarakat modern dewasa ini menuntut tiadanya perbedaan dalam segala aspek, artinya di masa lampau, dalam tradisi, kepercayaan dan agama, serta praktek-praktek budaya lainnya, posisi dan peranan perempuan dan laki-laki adalah sama. Namun yang sering terjadi adalah bahwa posisi perempuan masih diartikulasikan sebagaimana di masa lampau, bahwa perempuan berada dalam konteks tradisional, tercermin melalui keberadaannya yang marginal, dekat dengan keterbelakangan dan ketidakmampuan.

Untuk itu, salah satu tujuan gerakan perempuan adalah berkaitan dengan kesamaan hak-hak, sipil, ekonomi dan sosial, dengan laki-laki.

Perempuan pada saat ini telah berhasil mencapai hal ini dan perempuan

311 | B A N T E N E S i A telah mempunyai hak suara, hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki, dan sebagainya. Untuk mencapai partisipasi yang sejajar, kondisi sosial dan ekonomi harus dipenuhi, tetapi perubahan itu sendiri tidaklah mencukupi. Perempuan secara politis harus tetap aktif jika ingin mempertahankan hak-hak yang mereka peroleh serta tetap berjuang untuk memperoleh hak-haknya yang lain.

Jalan menuju persamaan atau kesetaraan ini dimulai dari adanya forum internasional seperti lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), yang dimaksudkan sebagai sebuah forum dunia untuk menciptakan kesetaraan posisi dan suara serta kesempatan yang setara pula untuk mengambil manfaat dari pendiriannya, menunjukkan adanya fakta bahwa hanya ada 4 (empat) perempuan diantara 160 (seratus enam puluh) penandatangan Piagam PBB. Sekalipun demikian empat perempuan ini berhasil memengaruhi hasil akhir rumusan Piagam PBB dengan memasukkan kata perempuan (women). Sehingga preambul

Piagam PBB yang semula pada draf awalnya tertulis “equal rights among men” berubah menjadi “equal rights among men and women”. Dengan memasukkan kata perempuan setidaknya tersurat adanya kesetaraan jenis kelamin dalam ide dasar pembentukan organisasi dunia ini.

Seperti halnya Piagam PBB, Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia

(Declaration of Human Rights) dalam konsep awal juga menyebutkan

“all men” untuk menyebutkan umat manusia. Selanjutnya setelah

312 | B A N T E N E S i A adanya desakan bahwa dalam hal perlindungan hak asasi manusia harus disebutkan secara eksplisit bahwa manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan. Maka kata “all men” diubah menjadi “all human being”.

Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut. Upaya mewujudkan Kesetaraan dan

Keadilan Gender (KKG), di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan

Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program

Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas dalam

Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender

(PUG) dalam Pembangunan Nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.

Pelaksanaan PUG diinstruksikan kepada seluruh departemen maupun lembaga pemerintah dan non departemen di pemerintah nasional, provinsi maupun di kabupaten/kota, untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan, program/proyek dan kegiatan. Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peran

313 | B A N T E N E S i A serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan belum dioptimalkan. Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak.

Cita-cita kesamaan, kesetaraan, kesederajatan atau tiadanya pembedaan, adalah juga cita-cita yang ingin diwujudkan dalam demokrasi. Semua warga negara mempunyai hak yang sama tanpa membedakan status, struktur sosial, dan lain sebagainya. Hal ini juga tertuang dalam salah satu pasal dalam UUD 1945 menyatakan bahwa

‚setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan‛ (Pasal 28 Huruf H ayat 2). Selain UUD 1945 tertuang pula dalam peraturan perundangan yang lainnya yang meregulasi peluang perempuan dalam kegiatan dan aktivitas publik.

Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.

Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan

314 | B A N T E N E S i A mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.

Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak- hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh.

Faktor penyebab kesenjangan gender yaitu:

a. Tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideology patriarki); b. Peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender; c. Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik; d. Kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen; e. Rendahnya pemahaman para pengambil keputusan di eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender.

315 | B A N T E N E S i A

Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan. Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia masa depan.

Provinsi Banten merupakan provinsi yang memiliki keterwakilan perempuan yang dianggap bersejarah karena dipimpin oleh seorang gubernur perempuan yang dipilih melalui Pilkada tahun 2006 yang lalu dan kemudian terpilih kembali untuk periode tahun 2012-2017.

Keterwakilan ini menunjukkan semakin terlibatnya perempuan ranah publik terutama dalam proses kebijakan publik. Dalam Pilkada yang terjadi sepanjang tahun 2005-2006 masyarakat juga telah menyadari untuk memilih pemimpin yang beberapa diantaranya adalah perempuan, yang menunjukkan bahwa kehidupan demokrasi di

Indonesia sangat membuka peluang terhadap partisipasi perempuan di segala bidang pembangunan. Untuk itu maka penelitian ini mengambil tema tentang ‚Tinjauan Fenomenologis Peran Strategis Perempuan dalam Kehidupan Sosial di Provinsi Banten‛. Penulis ingin mengetahui sejauhmana kiprah perempuan dengan semakin terbukanya peluang dan peraturan pendukung termasuk affirmative action.

316 | B A N T E N E S i A

Pembahasan

Kesetaraan Gender dan Peran Perempuan

Jalan panjang juga terus ditempuh untuk memasukkan agenda perempuan dalam forum PBB. Dalam kurun waktu 1960-an dan 1970-an

Komisi untuk Status Perempuan di forum PBB ini menghasilkan dua dokumen penting bagi perlindungan hak asasi perempuan yaitu

Deklarasi untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

Perempuan (1967) dan Konvensi untuk Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi terhadap Perempuan (1979).(Rubrik Fokus Swara.

Kompas, 11 Maret 2006). Konvensi ini menugaskan negara untuk menjamin persamaan hak perempuan dan laki-laki dalam hal:

a. Hak untuk memilih dan dipilih b. Hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat c. Hak untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.

Konferensi Perempuan Sedunia IV di Beijing pada tanggal 4-15

September 1995 mendeklarasikan 12 (dua belas) landasan dan sejumlah rekomendasi yang ditetapkan sebagai sasaran strategis. Landasan ini dipakai untuk memperoleh penanganan maksimal karena dalam area dimaksud perempuan secara sosiologis masih mengalami ketidaksetaraan. Landasan dimaksud adalah:

317 | B A N T E N E S i A

a. Perempuan dan Kemiskinan b. Pendidikan dan Pelatihan c. Perempuan dan Kesehatan d. Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan e. Perempuan dan Konflik Bersenjata f. Perempuan dan Ekonomi g. Perempuan dalam Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan h. Mekanisme Kelembagaan bagi Kemajuan Perempuan i. Hak Asasi Perempuan j. Perempuan dan Media Massa

Dalam perspektif kesejarahan, di Indonesia pada tahun 1928 telah diselenggarakan Kongres Perempuan I yang mewujudkan adanya pembentukan satu organisasi federasi yang mandiri. Tujuan pembentukan organisasi ini adalah untuk menjalin kesatuan semangat juang kaum perempuan bersama-sama dengan kaum laki-laki meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia serta menjadikan perempuan lebih maju. Kongres Perempuan II yang diselenggarakan tahun 1935 juga menetapkan bahwa fungsi utama perempuan Indonesia adalah sebagai Ibu Bangsa yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi baru yang lebih menyadari dan lebih mendalami rasa kebangsaanya.

Indikator baru yang digunakan dalam kerangka membangun perspektif keberpihakan dan kepedulian politik termasuk pembangunan pemberdayaan perempuan adalah Millenium

Development Goal’s (MDGs). Dalam MDGs terdapat delapan indikator yaitu:

318 | B A N T E N E S i A

a. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan b. Memenuhi pendidikan dasar untuk semua c. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan d. Menurunkan angka kematian balita e. Meningkatkan kualitas kesehatan ibu melahirkan f. Memerangi HIV/AID, malaria serta penyakit menular lainnya g. Menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup h. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Perspektif keberpihakan terhadap perempuan dalam MDGs bisa terlihat dari beberapa komponen yaitu:

a. Memiliki keterkaitan dengan gambaran berbagai masalah kesejahteraan sosial yaitu kemiskinan, ketidakberdayaan, eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi b. Komitmen dan rasa tanggung jawab c. Perlunya keterlibatan perempuan pada pengambilan keputusan mengenai berbagai kebijakan yang menyangkut kesejahteraan masyarakat d. Pemberdayaan politik perempuan sebagai sebuah pilihan bagi tercapainya tujuan pembangunan yang lebih demokratis

Peraturan perundangan dimaksud antara lain:

a. Undang-undang RI No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang antara lain menegaskan bahwa hak wanita adalah HAM b. Undang-undang RI No.31 tahun 2002 tentang Partai Politik yang menyebutkan bahwa kepengurusan Partai Politik dipilih demokratis, musyawarah sesuai dengan AD/ART dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender c. Undang-undang RI No.12 tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang menyebutkan bahwa UU ini memberikan peluang bagi perempuan untuk menjadi anggota legislatif 319 | B A N T E N E S i A

d. Undang-undang RI No.22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang menentuan bahwa komposisi keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik di tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Kecamatan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Selain itu komposisi keanggotaan Bawaslu dan Panwaslu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. e. Undang-undang RI No.10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD menunjukkan kemajuan perjuangan yang lebih signifikan karena dalam peraturan perundang-undangan ini menegaskan hal-hal sebagai berikut: (i) Daftar bakal calon anggota legislatif (caleg) paling sedikit 30% keterwakilan perempuan (pasal 53) (ii) Daftar caleg disusun berdasarkan nomor urut (pasal 55 ayat 3) (iii) Daftar caleg setiap tiga orang terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan (pasal 55 ayat 2). Ketentuan-ketentuan itu sama spiritnya dengan pasal 2 ayat 5 Undang-undang no.5 tahun 2008 tentang Partai Politik yang menegaskan persyaratan menyertakan paling rendah 30% keterwakilan perempuan kepengurusan tingkat pusat.

Namun pada kenyataannya, masih terjadi adanya ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki yang terkait dengan adanya budaya, adat istiadat, religi serta norma-norma pada tataran lokal, sekalipun dalam lingkup nasional negara menjamin kesederajatan ini dalam konstitusinya. Di Indonesia, perjuangan kaum perempuan untuk mewujudkan kesetaraan peran ini (atau lazim disebut sebagai kesetaraan jender) relatif tidak seberat dibandingkan dengan banyak negara lain di dunia. Dalam perspektif politik, bahkan perempuan

Indonesia jauh lebih cepat memperoleh hak-haknya dibandingkan

320 | B A N T E N E S i A negara lain yang lebih maju, misalnya Amerika Serikat. Di negara ini kaum perempuan memerlukan perjuangan sekitar 60 tahun untuk memperoleh hak pilih. Adapun perempuan Indonesia sejak pemilu pertama kali dilakukan pada tahun 1955 atau 10 tahun sejak merdeka tanggal 17 Agustus 1945, hak memilih sudah dimilikinya. Indonesia bahkan sudah pernah memiliki presiden perempuan, dibandingkan dengan Amerika Serikat yang baru memiliki calon presiden perempuan.

Peranan perempuan di ranah domestik dan publik, juga diperkuat dalam deklarasi yang dinyatakan sebagai berikut:

Women have a vital role to play in the promotion of peace in all sphares of life, in the family, the community, the nation, and the world. Women must participate equally with men in the decision making process which help to promote peace at all the levels (Deklarasi Konferensi Mexico, 1975)

Kelebihan atau potensi perempuan meliputi:

a. Rasa sosial, toleransi, ikatan kelompok b. Jiwa interpreneur (keseimbangan pendapatan-pengeluaran) c. Perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, terutama bagi anak-anaknya d. Perajut persatuan dan kesatuan hidup masyarakat, bangsa, dan negara e. Pendidik pertama dan utama bagi generasi penerus keluarga, bangsa, dan negara

Peningkatan Peranan Perempuan dalam Pembangunan

Kedudukan dan status wanita mulai lebih menjadi perhatian setelah terjadinya pergeseran paradigma pembangunan dari production- 321 | B A N T E N E S i A centered menuju ke people-centered development. Fenomena ini bukan menjadi monopoli Indonesia akan tetapi mempunyai validitas global.

Dalam skala global, dikenal tiga pergeseran interpretasi peningkatan peran wanita (P2W) sebagai berikut (Nugroho, 2008:74-77 dan Mosse, 2007: 205-211):

a. P2W sebagai Wanita dalam Pembangunan (Women in Development/WID) Perspektif P2W dalam kontek WID memfokuskan pada bagaimana mengintegrasikan wanita dalam berbagai bidnag kehidupan, tanpa banyak mempersoalkan sumber-sumber yang menyebabkan mengapa posisi wanita dalam masyarakat bersifat inferior, sekunder dan dalam hubungan subordinasi terhadap pria. Asumsinya, struktur sosial yang ada dipandang sudah given. Indikator integrasi wanita dalam pembangunan diukur dengan indikator seperti partisipasi angkatan kerja, akses terhadap pendidikan, hak-hak politik dan kewarganegaraan, dan sebagainya. Pendekatan WID difokuskan kepada inisiatif seperti pengembangan teknologi yang lebih baik, lebih tepat, yang akan meringankan beban kerja perempuan. WID bertujuan untuk benar-benar menekankan sisi produktif kerja dan tenaga perempuan – khususnya penghasil pendapatan – dengan mengabaikan sisi reproduktifnya. b. P2W sebagai Wanita dan Pembangunan (Women and Development/WAD) Menurut perspektif WAD yang dipelopori oleh kaum feminis- Marxist ini, wanita selalu menjadi pelaku penting dalam masyarakat sehingga posisi wanita, dalam arti status, kedudukan dan peranannya, akan menjadi lebih baik bila struktur internasional menjadi lebih adil. Asumsinya wanita telah dan selalu menjadi bagian dari pembangunan nasional. Posisi perempuan dilihat sebagai bagian dari struktur internasional dan ketidakadilan kelas , ketimbang sebagai akibat dari ideologi dan

322 | B A N T E N E S i A

struktur patriarkhi. Pendekatan WAD cenderung menitikberatkan kepada kegiatan yang mendatangkan pendapatan dan kurang mengindahkan tenaga perempuan yang disumbangkan dalam mempertahankan keluarga dan rumah tangga. c. P2W sebagai Gender dan Pembangunan (Gender and Development/GAD) Menurut perspektif GAD konstruksi sosial yang membentuk persepsi dan harapan serta mengatur hubungan antara pria dan wanita sering merupakan penyebab rendahnya kedudukan dan status wanita, posisi inferior dan sekunder relatif terhadap pria. Pembangunan berdimensi gender ditujuakan untuk mengubah hubungan gender yang eksploitatf atau merugikan menjadi hubungan yang seimbang, selaras dan serasi. Pendekatan GAD melihat semua aspek kehidupan perempuan dan semua kerja yang dilakukan perempuan – kerja produktif, reproduktif, privat dan publik – dan menolak upaya apapun untuk menilai rendah pekerjaan mempertahankan keluarga dan rumah tangga atau dikenal dengan konsep pemberdayaan (empowerment)

Dari hasil World Survey on Women in Development (dalam

Tjokrowinoto, 2004:60) dapat disimpulkan bahwa pada tingkat global, harapan konstitusional masing-masing negara dan harapan badan- badan internasional serta konferensi internasional tentang kedudukan perempuan dalam masyarakat dan peranannya dalam pembangunan, belum sepenuhnya tercapai. Secara umum dapat dikatakan bahwa :

1. Sumbangan perempuan dalam pembangunan ekonomi cukup besar; satu diantara empat karyawan industi dan empat diantara sepuluh pekerja di bidang pertanian dan jasa adalah perempuan 2. Perempuan memberikan 66 persen dari jam kerjanya, akan tetapi hanya mendapatkan 10 persen dari upahnya. Perempuan bertanggung jawab terhadap 50 persen produksi pangan dunia,

323 | B A N T E N E S i A

akan tetapi hanya menguasai 1 persen dari material goods yang ada 3. Perempuan menikmati lebih sedikit dari pria sebagai hasil kontribusinya pada produksi nasional: rata-rata upah per jamnyalebih rendah dari pria ; wanita terbatas pada buruh kasar dengan bayaran rendah; akses kepada sumber-sumber produksi lebih kecil dari pria dan sebagainya.

Salah satu tonggak bersejarah dalam perjuangan kaum perempuan pada tingkat internasional adalah dalm World Conference on International

Year of Women yang diselenggarakan oleh PBB di Mexico City tahun

1975. Dalam konferensi yang dihadiri 133 negara tersebut Indonesia dipilih sebagai salah satu wakil presiden. Konferensi ini melahirkan deklarasi tentang kesamaan perempuan dan sumbangan mereka pada pembangunan dan perdamaian. Deklarasi ini menggarisbawahi pula

Resolusi Majelis Umum PBB (3010/XXVII) yang menggariskan bahwa

Tahun Wanita Internasional 1975 diperuntukkan bagi peningkatan kegiatan yang mendorong persamaan antara laki-laki dan perempuan, pengintegrasian perempuan dalam keseluruhan kegiatan pembangunan dan peningkatan sumbangan perempuan bagi perdamaian dunia.

Deklarasi juga menekankan bahwa peningkatan partisipasi perempuan dalam semua tingkat pengambilan keputusan akan memberi sumbangan pada tercapainya laju pembangunan dan pemeliharaan perdamaian. Konferensi menyetujui Rencana Kegiatan Dunia untuk mencapai tujuan Tahun Wanita Internasional yang antara lain mencakup hal-hal berikut:

324 | B A N T E N E S i A

a. Perubahan struktural dalam bidang sosial ekonomi perlu diadakan untuk meningkatkan perwujudan persamaan hak bagi perempuan serta akses bagi mereka pada semua bidang pembangunan, pendidikan dan kesempatan kerja b. Dalam merumuskan strategi nasional dan rencana pembangunan, langkah-langkah perlu diambil agar minat dan keperluan perempuan diperhitungkan dalam penentuan skala proritas, serta upaya untuk memperbaiki keadaan dan meningkatkan sumbangan mereka pada proses pembangunan c. Upaya memperluas kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan memerlukan berbagai jenis langkah dan kegiatan dari masyarakat d. Kendala utama dalam menilai dan mengukur partisipasi perempuan dalam pembangunan ekonomi adalah kurang lengkap dan langkanya data dan indikator untuk mengetahui keadaan dan dampaknya terhadap proses pembangunan, serta dampak proses pembangunan terhadap mereka. e. Semua sensus dan survey mengenai sifat-sifat individu dan rumah tangga dan keluarga perlu dilaporkan dan dianalisis berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based analysis)

Pertemuan di Jakarta tanggal 1-6 September 1992 dari Negara- negara Non-Blok (Non Aligned Movement atau NAM) antara lain telah memutuskan hal-hal yang berkenaan dengan peningkatan status dan peranan perempuan sebagai berikut (dikutip dari Tilaar, 1997:224):

a. The important role of women in the development process as active agent and as beneficiaries and the significant contribution of women in national development b. Recognising fully women democratic rights in society c. Stregthening the role of women in development, which enable women to participate fully in partnership with man in all development activities, including in the decision making process at all level

325 | B A N T E N E S i A

Level Pemerataan Sara H.Longwe

Kriteria untuk mengukur seberapa jauh pembangunan perempuan di berbagai bidang kehidupan sosial dapat digunakan lima level pemerataan sebagaimana dikembangkan oleh Sara.H. Longwe. Kelima level pemerataan itu adalah sebagai berikut (dalam Sastriyani,dkk. 2008:

561-563):

1. Kesejahteraan (Welfare) Tingkat kesejahteraan materi pada perempuan meliputi kebutuhan dasar seperti pangan, pendapatan dan layanan kesehatan. Level pemerataan ini murni mengenai tingkat kesejahteraan relatif antara perempuan dan laki-laki dan tidak melihat lebih dalam apakah perempuan sendiri yang menjadi penghasil aktif barang atau kebutuhan mereka. 2. Akses (Access) Ini merupakan peluang dalam menggunakan atau memanfaatkan sumberdaya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Akses perempuan setara dengan laki-laki: kesetaraan akses terhadap tanah, lapangan kerja, kredit, pelatihan, fasilitas pemasaran dan semua layanan masyarakat yang tersedia dan juga manfaat-manfaatnya. Kesenjangan gender disini merujuk pada kurangnya akses perempuan. Sehingga pemerataan akses diartikan sebagai pemerataan kesempatan. Disini pemberdayaan perempuan berarti dengan memperoleh akses maka perempuan dimampukan untuk mendapat bagian yang adil terhadap faktor produksi atau sumber daya, baik dalam lingkup rumah tangga maupun publik atau yang disediakan negara. Yang perlu diingat, pembangunan perempuan tidak cukup hanya pada pemerataan akses karena kurangnya akses perempuan bukan saja merupakan isu gender tetapi juga akibat dari diskriminasi gender. Oleh karena itu, proses pemberdayaan perempuan bergerak selangkah lebih maju ke tingkat pemerataan penyadaran.

326 | B A N T E N E S i A

3. Penyadaran (Consciensation) Adalah kesadaran perempuan terhadap isu dan kebutuhan perempuan, diskriminasi terhadap perempuan, kemampuan menganalisis isu sejalan dengan hak serta kepentingan perempuan. Pemahaman terhadap perbedaan antara peranan seksual dan peranan gender, bahwa peranan gender bersifat kultural dan dapat berubah. Penyadaran juga meyakini bahwa pembagian kerja seksual seharusnya adil dan dapat diterima kedua pihak. Selain itu juga tidak ada dominasi ekonomi maupun politik oleh salah satu jenis kelamin. Persamaan antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada kesadaran gender (gender awareness) dan mndasarkan untuk partisipasi kolektif dalam proses pemberdayaan perempuan. Kesenjangan gender di sini bukan sesuatu yang empiris tetapi kesadaran akan kesenjangan menyadari bahwa kedudukan sosial ekonomi perempuan yang lebih rendah dan pembagian kerja gender yang tradisional adalah sesuatu yang sudah ditakdirkan demikian. Pemberdayaan adalah memahami hal tersebut dan menolaknya, ini berarti bahwa subordinasi perempuan bukanlah sesuatu yang normal dan bukan suatu takdir. Tetapi hal itu disebabkan oleh diskriminasi yang merupakan konstruksi sosial dan itu dapat berubah. 4. Partisipasi (Participation) Ini merupakan peran serta perempuan maupun laki-laki sebagai individu maupun kelompok dalam meningkatkan upaya untuk mencapai tujuannya. Perempuan berpartisipasi aktif artinya pemerataan partisipasi perempuan dalam proses penetapan keputusan yaitu partisipasi dalam proses perencanaan penentuan kebijakan dan administrasi. Partisipasi merupakan keterlibatan atau keikutsertaan aktif sejak dalam penetapan kebutuhan, formulasi proyek, implementasi dan monitoring serta evaluasi. Persamaan partisipasi artinya melibatkan perempuan dalam komunitas yang terkena oleh putusan kebijakan yang diambil dan melibatkan mereka pada pengembilan keputusan. Partisipasi dapat dibedakan partisipasi kuantitatif dan partisipasi kualitatif. 5. Penguasaan (Control) 327 | B A N T E N E S i A

Level ini meliputi bukan hanya partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan, akan tetapi juga penggunaan partisipasi melalui penyadaran dan mobilisasi untuk mencapai persamaan penguasaan terhadap faktor-faktor produksi dan distribusi manfaat. Persamaan kontrol berarti suatu keseimbangan penguasaan antara perempuan dan laki-laki sehingga tidak ada suatu pihak pun yang dipapankan pada posisi dominan atau subordinatif.

Peningkatan Peningkatan Pemerataan Pemampuan

Kontrol

Partisipasi/Participation

Penyadaran/Conscientisation

Akses/Access

Kesejahteraan /Welfare

(Dikutip dari: Sastriyani,dkk. 2008:563)

Gambar 4. Pemerataan dan Pemberdayaan Longwe

Fenomena di Provinsi Banten

Provinsi Banten merupakan provinsi yang memiliki keterwakilan perempuan yang dianggap bersejarah karena dipimpin oleh seorang gubernur perempuan yang dipilih melalui Pilkada tahun 2006 yang lalu.

328 | B A N T E N E S i A

Keterwakilan ini menunjukkan semakin terlibatnya perempuan ranah publik terutama dalam proses kebijakan publik. Dalam Pilkada yang terjadi sepanjang tahun 2005-2006 masyarakat juga telah menyadari untuk memilih pemimpin yang beberapa diantaranya adalah perempuan, yang menunjukkan bahwa kehidupan demokrasi di

Indonesia sangat membuka peluang terhadap partisipasi politik perempuan.

Jadi dalam konteks aspek partisipasi, di Banten sudah cukup terpenuhi dimana selain Gubernur juga terdapat beberapa jabatan politik yang dipegang oleh perempuan sebagaimana tabel di bawah ini:

Tabel 28. Peran Strategis Perempuan di Ranah Politik

No Nama Jabatan Politik 1 Hj. Ratu Atut Chosiyah, SE Gubernur Banten 2 Hj. Ratu Tatu Chasanah, SE Wakil Bupati Serang 3 Hj. Heryani Wakil Bupati Pandeglang 4 Hj. Nuraeni, S.Sos Ketua DPRD Kota Serang 5 Hj. Adde Rosi K, S.Sos Wakil Ketua DPRD Kota Serang 6 Hj. Airin Rachmi D, SH.,MH Walikota Tangerang Selatan (Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011)

Kenyataan tersebut di atas memang cukup menggembirakan. Hal ini menunjukkan untuk level akses, partisipasi, penyadaran kritis dan control, peran startegis perempuan di Banten sudah cukup baik.

Provinsi Banten juga sudah memiliki perda tentang Pengarus Utamaan

Gender (PUG) serta senantiasa meningkatkan jumlah anggaran 329 | B A N T E N E S i A responsive gender dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD).

Namun perlu menjadi perhatian kita bersama juga bahwa untuk level-level yang lainnya masih perlu adanya upaya peningkatan peran strategis perempuan. Dalam level kesejahteraan kita masih perlu membuat program pembangunan yang tepat untuk mengatasi tingginya angka kemiskinan, angka kematian ibu melahirkan serta partisipasi angkatan kerja perempuan yang belum mendapatkan tempat yang layak.

Penutup: Simpulan Dan Rekomendasi

Dalam pembangunan keterlibatan perempuan, masih lebih banyak di sektor domestik dibandingkan dalam sektor publik. Perempuan, terutama dari kalangan miskin seringkali menjadi penerima informasi kedua karena tidak pernah terlibat dalam rembug – rembug yang diselenggarakan untuk memecahkan permasalahan masyarakat.

Memang di beberapa tempat kehadiran perempuan dalam penentuan keputusan terjadi walaupun jumlahnya relatif kecil, akan tetapi seringkali suaranya kalah dengan suara laki – laki yang jumlahnya cukup besar, bahkan kadang – kadang mereka hanya ikut hadir tetapi tidak bisa memberikan suaranya. Padahal rembug – rembug yang dilakukan warga merupakan asset yang besar sebagai modal sosial untuk melibatkan masyarakat dalam proses memecahkan persoalan kehidupan mereka.

330 | B A N T E N E S i A

Perempuan harus mulai menyadari perannya dan perlu belajar dan bertindak srategis bagaimana mengawal kebijakan yang pro rakyat dan pro perempuan. Menjadi strategis melibatkan perempuan dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi , karena :

a. Penghargaan terhadap perempuan sebagai manusia yang merdeka

yang berhak untuk menentukan pemecahan masalah yang

dihadapinya.

b. Pemecahan berbagai masalah pembangunan, termasuk masalah

kemiskinan yang menyangkut perempuan akan lebih tepat apabila

dibicarakan bersama dengan perempuan karena merekalah yang

betul – betul merasakan masalah dan kebutuhannya.

c. Memberi kesempatan kepada perempuan untuk menjalankan

tanggung jawab sosialnya sebagai manusia.

d. Potensi yang besar yang dipunyai oleh perempuan, akan sangat

berarti apabila digunakan bukan hanya untuk sektor domestik

akan tetapi juga dalam sektor publik sehingga dapat dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat.

e. Keterlibatan dalam semua proses pembangunan memberikan

kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang

sama.

331 | B A N T E N E S i A

Daftar Pustaka

Arna, A. Rubrik Fokus Swara: Agenda Perempuan dan Reformasi PBB. Kompas, 11 Maret 2006

Hartiningsih, M & Mardiana, N. Rubrik Fokus Swara: Kesetaraan, Tanpa Hilangkan Persoalan Perempuan. Kompas, 10 Desember 2005

Hartiningsih, M. Rubrik Fokus Swara: ‛Rancangan‛ Kekerasan terhadap Perempuan. Kompas, 11 Maret 2006

Ivvaty, S. Rubrik Fokus Swara: Kebijakan Publik Belum Memihak Perempuan. Kompas, 24 Desember 2005

Muttaqin, F. Rubrik Fokus Swara: Mengembangkan Tafsir Sensitif Jender. Kompas, 11 Maret 2006

Pane, Farini. Rubrik Fokus Swara : Anggaran Responsif Jender. Kompas, 3 Desember 2005.

Rahmawati, E. Rubrik Humaniora: Perlu Keserasian Jender, Upaya Menembus Tradisi Patriarkhi Indonesia. Kompas, 28 Maret 2006

Sastriyani, dkk., 2008. Women in Public Sector (Perempuan di Sektor Publik). Yogyakarta: Pusat StudiWanita Universitas Gadjah Mada (PSW UGM) dan Tiara Wacana

Seri Perangkat Analisis Gender. Gender Analysis Pathway (GAP) Alat Analisis Gender untuk Perencanaan Pembangunan. Penerbit CIDA,BAPPENAS dan WSP II

Sulistiyani, Ambar T (Editor). 2004. Memahami Good Governance dalam Perspektif Sumber Daya Manusia. Penerbit Gava Media. Yogyakarta

Sumiarni, E, (2004), Jender dan Feminisme, Yogyakarta: Wonderful Publishing Company

332 | B A N T E N E S i A

BIODATA PENULIS

Abdul Hamid, lahir di Pandeglang, 10 April 1981. Bergabung di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sejak tahun 2006. Menempuh S1 Ilmu Politik di Universitas Indonesia dan S2 Ilmu Politik di Universitas Diponegoro. Beliau memiliki minat pada kajian politik dan pemerintahan lokal di Indonesia. Penelitian yang pernah dilakukan antara lain: HAM pada Masyarakat Adat, Studi masyarakat Baduy (Depkumham dan Lab Kessos UI, 2004), Pilkada Banten 2006, Regenerasi Sebuah Hegemoni dan Kuburan Jago-jago Tua (Banten Institute), Studi Implementasi UU No. 32 Tahun 2004 dalam Pembentukan Kota Serang (Penelitian Dosen Muda Untirta, 2006) , Pergeseran Kyai dalam Politik Lokal Banten (CSEAS Kyoto Unversity, 2007), Persepsi Santri perempuan Terhadap Kepemimpinan Perempuan (Penelitian Kajian Wanita, 2009), Netralitas PNS dalam Pemilu Legislatif 2009 ,Politisasi Birokrasi dalam Pilkada, 2009, dan Survey Preferensi Pemilih Pilkada Kab. Serang 2010. Tulisannya tersebar di berbagai media massa dan buku serta dipresentasikan di berbagai seminar nasional maupun internasional. Tahun 2008 dan 2010 menjadi Visiting Researcher dan pembicara seminar internasional di Center for Southeast Asia Studies Kyoto University. Salah satu tulisannya, Jawara in Power 1999 – 2007 yang ditulis bersama Okamoto Masaaki diterbitkan di Jurnal Indonesia, Cornell University Oktober 2008. Selain itu menulis dalam buku Dinamika Otonomi Daerah di Banten (Serang, Biro Humas Prov. Banten: 2006), Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi (Jakarta, CSEAS Kyoto dan IRE Press: 2005), Mencari Presiden Untuk Indonesia. (Depok, Suara Mahasiswa UI: 2009) dan Islam in Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia (Kyoto: Center for Southeast Asian Studies; Jakarta: Wahid Institute; Taipei: Center for Asia-Pacific Area Studies, 2010). Alamat email : [email protected]

Agus Sjafari, lahir di Pamekasan, 24 Agustus 1971. Beliau menyelesaikan pendidikan strata satu di Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Tahun 1995 kemudian menempuh pendidikan strata dua di Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Pandjajaran Bandung tahun 2001 dan menamatkan pendidikan strata tiga di Institute Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Tahun 2010. Tinggal di Perumahan Dukuh Zamrud Blok S.14 No.18 Kota Legenda Bekasi Timur Telp. (021)82602123. Beliau secara rutin menulis di Koran- koran harian lokal Banten maupun jurnal-jurnal ilmiah dan aktif mengajar di berbagai kampus baik di Banten maupun kampus di Jakarta. Bergabung di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 2002 sampai sekarang, saat ini dipercaya mengemban amanat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Periode 2011-2015. Aktif 331 | B A N T E N E S i A dalam banyak penelitian diantaranya adalah : Dinamika Kelompok Masyarakat Miskin Di Kabupaten Bekasi (Studi Kasus Tentang Kelompok Pemulung di TPA Bantar Gebang Bekasi), tahun 2006; Perencanaan Pembangunan Berbasis Komunitas (Kasus di Kabupaten Karawang), Tahun 2006; Pemberdayaan Keluarga Miskin Melalui Pendekatan Kelompok (Kasus di Kota Jakarta Utara Propinsi DKI Jakarta), tahun 2007; Model Perencanaan Pembangunan Di Bawasda Kabupaten Kerawang , Tahun 2005. Pada tahun 2006 Beliau sudah menerbitkan buku Community Development, pada tahun 2011 juga menjadi editor sekaligus menjadi salah satu penulis buku yang berjudul Perubahan Sosial. Alamat emailnya: [email protected]

Anis Fuad, lahir di Serang pada tanggal 8 September 1980, saat ini tinggal di Perumahan Bumi Mutiara Serang, Blok B8-9 Kecamatan Cipocok Jaya Kota Serang Provisi Banten email : [email protected] menyelesaikan pendidikan strata satu di Universitas Sebelas Maret Surakarta pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara Januari 2005, saat ini sedang menempuh pendidikan strata dua di kampus yang sama. Focus kajian yang menjadi spesialisasi beliau adalah e- gov, Sistem Informasi Manajemen, ICT serta social media network seolah kajian ini sudah menjadi keahlian yang bersangkutan. Beliau sebagai peneliti muda di Banten sudah banyak makan asam garam penelitian bahkan jauh sebelum beliau bergabung menjadi dosen di Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa tempat homebase beliau sekarang ini. Diantara penelitian beliau tahun 2008 adalah Dampak Kenaikan BBM Bulan Mei tahun 2008 terhadap Kesejahteraan Buruh (studi kasus di PT. Nicomas Gemilang Kabupaten Serang); dari tahun 2007-2009 dengan freedom institute : Survey Pandangan Masyarakat terhadap Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2009; kemudian tahun 2006-2007 dengan Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Kyoto University & Banten Institute: Penelitian Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten 2006; tahun 2007: Memahami Korupsi di Daerah (Studi Kasus dugaan Korupsi Kubangsari Cilegon); tahun 2006 bekerja sama dengan APEKSI-LBH- LIPI-KRHN, Jakarta: Permasalahan Hukum Perkara Tindak Pidana Korupsi Pemerintahan Kota dan Akibatnya Terhadap Kinerja Pemerintahan (Studi Kasus di Kota Cilegon). Beliau pada tahun 2006 juga menjadi salah satu penulis pada Buku Humas Pemprov Banten, yang berjudul Dinamika Otonomi Daerah di Banten, dimana pada tahun sebelumnya yakni tahun 2005 juga menjadi salah satu penulis buku Humas Pemprov Banten : Apa Siapa Orang Banten: Kosmologi Orang Banten. Kemudian pada tahun 2011 juga menjadi salah satu penulis buku yang berjudul Perubahan Sosial. Beliau juga aktif menulis di surat kabar dan banyak diundang dalam kegiatan-kegiatan seminar dan kegiatan kemahasiswaan.

332 | B A N T E N E S i A

Arenawati, lahir di Wates Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 10 April 1970. Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Pertama ditamatkan di Cilegon Banten. SLTA lulus tahun 1989 dari SMAN 1 Serang. Menyelesaikan S1 pada program studi Ilmu Administrasi Negara FISIP Unsoed pada tahun 1994, menyelesaikan S2 pada Magister Administrasi Publik Unsoed pada tahun 2010. Sejak tahun 2005 bergabung pada FISIP Untirta sebagai dosen LB, pada tahun 2006 telah menjadi dosen tetap pada FISIP Untirta. Sebelum bergabung dengan Untirta pernah bekerja pada Elnusa Petrofin Jakarta sebagai Procurement Administrator (1997- 1998), pernah pula menjadi sekretaris pada MEI Project Engineers Singapore untuk Castrol Project (1998-1999) dan Staff pengajar pada Prima UI Bekasi (2001-2003). Mempunyai pengalaman mengajar pada mata kuliah Sosiologi Pembangunan, Organisasi dan Manajemen, Administrasi Kepegawaian, Etika Administrasi, Psikologi Sosial, Teori Organisasi, Pengembangan dan Pelembagaan Organisasi, Administrasi Pemerintahan Daerah dan Kota, dan Administrasi Keuangan. Penelitian yang pernah dilakukan Analisis Pola Hubungan Internal dan Jaminan Sosial dengan terciptanya Hubungan Industrial Pancasila di PT. Krakatau Steel Cilegon (1993-1994), Studi Tentang Anggaran Responsiv Jender di Propinsi Banten (2006), Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Diskriminasi Terhadap Tenaga Kerja Perempuan di Kabupaten Serang(2007), Analisis Dampak Kenaikan BBM terhadap kesejahteraan Buruh di Kabupaten Serang (2008), Studi tentang Citizen’s Charter dalam Menciptakan Pelayanan Prima di Puskesmas kecamatan Serang, Kota Serang (2009), Strategi Nasional : Model Pemberdayaan Kelompok Masyarakat Miskin Melalui Konsep Pembangunan Masyarakat Di Kota Serang Propinsi Banten (2009), Hibah Bersaing Tahap I : Model Pemberdayaan Keluarga Miskin Melalui Program Bimbingan Usaha Kesejahteraan Sosial di Kota Serang Propinsi Banten (2009) ,Hibah Bersaing Tahap II : Model Pemberdayaan Keluarga Miskin Melalui Program Bimbingan Usaha Kesejahteraan Sosial (2010), Pengaruh Nilai-Nilai Kerja, Kemampuan Komunikasi dan Penanganan Keluhan Terhadap Kepuasan Masyarakat Dalam Pelayanan RSUD Serang (2009-2010). Menikah dengan Pramudi Harsono dan dikaruniai seorang anak yang diberi nama Okta Racmantya Pranadika (11 tahun). Memiliki hobi memasak, olah raga dan jalan-jalan. Saat ini bertempat tinggal di Perumahan Persada Banten Cluster Anyer Blok i1 No. 16 Serang Banten, HP. 081585140474, email: [email protected] . Motto : Memang baik menjadi orang penting, tetapi yang lebih penting adalah menjadi orang baik.

333 | B A N T E N E S i A

Gandung Ismanto, lahir di Tanjung Karang Lampung pada 7 agustus 1974 saat ini tinggal di Perumahan Taman Banten Lestari Blok D 7A No. 1. Menikah dengan Listyaningsih dan dikaruniai dua orang putra. Beliau menyelesaikan pendidikan strata satu di Universitas Diponegoro Semarang Jawa Tengah pada tahun 1999 sedangkan menyelesaikan pendidikan strata dua di universitas Suropati Jakarta tahun 2004. Beliau sering diundang di berbagai seminar-seminar, dan pernah memimpin Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Serang pada tahun 2004, Panwas Pilkada Provinsi Banten tahun 2006, karya buku diantaranya Habis Gelap Terbitkah Terang ? Mata kuliah yang menjadi keahliannya adalah Kapita Selekta Otonomi Daerah, Metode Penelitian Sosial Kuantitatif, serta Perencanaan Pembangunan. Beliau juga seorang Konsultan Perencana pada beberapa instansi pemerintah hingga kini, Sekretaris Eksekutif Dewan Riset Daerah Provinsi Banten tahun 2005-2008, Pembantu Dekan II FISIP UNTIRTA 2007-2009, anggota Senat Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Pembicara dan trainer pada sejumlah seminar, lokakarya, dan training. Host pada acara dialog interaktif “Sudut Pandang” di Banten Tv. Ketua Perkumpulan Masyarakat Informasi Banten (MIB), Anggota Dewan Pakar Nasional Demokrat Provinsi Banten, dan Wakil Ketua Tim Wartawan Pemantau Pemilu/Pemilukada Provinsi Banten. Sehari-hari berkhidmat sebagai guru pada program studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, serta aktif menulis dan meneliti untuk pengembangan ilmu sosial dan politik maupun untuk kepentingan kebijakan public. Hobi membaca, bermusik, dan fishing. Email : [email protected]

Iman Mukhroman, lahir di Bandung Iman Mukhroman, Lektor pada Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta. Lahir di Pandeglang, 02 Februari 1975. Menyelesaikan studi sarjana S1 dari Jurusan Hubungan Masyarakat Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung tahun 1997/1998. Pernah menjadi wartawan di salah satu harian Jakarta, Kemudian sejak tahun 2002/2003 diangkat menjadi Dosen PNS pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). Pada tahun 2002-2003 pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Untirta, dan tahun 2003-2008 diangkat sebagai Pembantu Dekan II FISIP Untirta serta menjadi anggota Senat Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Yang bersangkutan menyelesaikan studi S2nya di Magister Ilmu Komunikasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta 2011.. Email : [email protected]

334 | B A N T E N E S i A

Ipah Ema Jumiati, lahir di Serang, 31 Januari 1975, tinggal di Komplek Makmur Jaya RT.03 RW.09 Kelurahan Drangong, Kecamatan Taktakan, Kota Serang Banten 42162. Menempuh pendidikan strata satu di Universitas Padjajaan Bandung pada tahun 1999. kemudian menamatkan pendidikan strata dua juga di kampus yang sama pada tahun 2010. Beliau pernah menjadi seorang wartawan dan juga pernah bekerja di PT.Sanex Qianjiang Motor International, Tbk dari tahun 2001-2004 kemudian memilih menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untirta sejak 2005 pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara dengan mata kuliah spesiasilasi pada Pengantar Ilmu Administrasi Negara, Ilmu Perbandingan Administrasi Negara. Beliau focus kajian pada gender sehingga menjadi Staf Ahli Gender dan Anak, Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian dan pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dari tahun 2010-sekarang dan terlibat aktif dalam banyak penelitian diantaranya, Partisipasi Perempuan Dalam Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan di Kelurahan Serang, 2008. Kaitan Interaksi Sosial Anak Jalanan Perempuan Dengan Kehidupan Sosial Ekonomi (Studi Kasus Interaksi Antar Jalanan Perempuan Dan Keluarganya), 2009. Model Manajemen Strategis Teknologi Informasi di Kantor Pengelolaan Data dan Elektronik Provinsi Banten, Tahap Pertama, 2009-2010. Kajian Akademik Studi Kelayakan Penataan, Pemekaran Kecamatan, Kelurahan dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan di Kota Serang, 2009. Partisipasi Perempuan Dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) di Kelurahan Terondol, Kecamatan Serang, Kota Serang, 2011. Pola Mobilitas Tenaga Kerja Perempuan (Studi Kasus Desa Lebak Kepuh Kecamatan Pontang Kabupaten Serang), 2011. Evaluasi Program Terpadu Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera (P2WKSS) di Kota Serang, 2012. Email : [email protected]

Kandung Sapto Nugroho, lahir 18 September 1978 di Kulon Progo Yogyakarta, menyelesaikan pendidikan strata 1 Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto pada Januari 2001 dan menyelesaikan pendidikan strata 2 di Program Studi Magister Administrasi Publik di kampus yang sama pada Agustus 2009 dengan difasilitasi oleh Beasiswa BPPS dari Dikti Kementerian Pendidikan Nasional. Menikah dengan Susi Purwanti dan diberkahi dua orang putera/i yakni Titan Bayu Purwa Nugraha, 6 April 2003 dan Aulia Tirandita Nuzul Fajri, 21 Oktober 2005. Sekarang tinggal di Perumahan Taman Banjar Agung Indah Blok C-7 No. 4 Kecamatan Cipocok Jaya Kota Serang Banten, email [email protected] Pertama kali bergabung di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa pada pertengahan tahun 2004 di Program Studi Ilmu Administrasi Negara, mengampu beberapa mata kuliah yang menjadi spesialisasi dan focus kajiannya yakni Kebijakan Publik dan Manajemen Pelayanan Publik. Beberapa karya tulisan dipublikasikan di harian media cetak local juga terlibat aktif dalam berbagai penelitian. seperti pada tahun 2005, 335 | B A N T E N E S i A

Netralitas PNS dalam Pilkada Kabupaten Serang, Studi kasus di Sekretariat Kabupaten Serang, kemudian pada tahun 2006 terlibat aktif dalam penelitian Governance Assessment and Reform at Banten Province kerjasama antara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan Partnerships Uni Eropa, tahun 2007 terlibat aktif penelitian Studi Kelayakan Pemekaran Daerah Kabupaten Lebak sebagai bibit awal Calon Kabupaten Cilangkahan, tahun 2008 meneliti tentang Indeks Kepuasan Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, tahun 2009 melakukan dua penelitian yakni Netralitas Birokrasi Dalam Pemilu Legislatif 2009 di Dinas Pertanian Provinsi Banten serta penelitian berjudul Persepsi Santri Perempuan Tentang Kepemimpinan Perempuan di Pesantren Salafiyah di Kota Serang, kemudian tahun 2010 melakukan Survey Preferensi Pemilih Pilkada Kabupaten Serang 2010, dan Tahun 2011 melakukan survey Prediksi Pilihan Politik Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara pada Pemilihan Gubernur 2011. Beliau juga aktif dalam kegiatan seminar dan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan lainnya. pada tahun 2011 juga menjadi editor sekaligus menjadi salah satu penulis buku yang berjudul Perubahan Sosial

Neka Fitriyah, lahir di Jakarta, 11 Agustus 1977. Sekarang tinggal di : Highland Park Komplek Kelapa Gading AH 11-12 Kota Serang Baru Kota Serang Provinsi Banten. Beliau menyelesaikan pendidikan strata 1 di Komunkasi FISIP Sam Ratulangi Manado kemudian menyelesaikan strata 2 di Pasacasarjana IPB Jurusan Komunikasi Pembangunan Pertanian Pedesaan. Aktif diberbagai riset diantaranya tahun 2006 Daya Dukung Untirta dalam mewujudkan Entrepreneurial University; tahun 2007 Iklan Televisi Terhadap Perilaku Konsumtif Anak-Anak (Studi kasus pada siswa SD 13 Serang); tahun 2007 Pemberitaan Media Atas Kekerasan Tehadap Perempuan (Analisis Wacana Terhadap Haran Umum Radar Banten, Fajar Banten dan Banten Raya Post); tahun 2011 Strategi Komunikasi Dalam Penangan Konflik Pembangunan Industrial Di Kabupaten Serang; Tahun 2011 Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Masyarakat Baru. Studi Kasus gerakan Masyarakat Kec. Padarincang Terhadap pembangunan PT Aqua Danone. Yang bersangkutan juga menjadi Host dalam acara Program” Jati Diri Bangsa” di stasiun televisi Banten TV. Email : [email protected]

Rahmawati, lahir di Kota Cilegon, 25 Mei 1979 sekarang tinggal di Jl. Maulana Yusuf No.10 Rt. 01/02 Tegal Cabe Citangkil Kota Cilegon dengan alamat email : [email protected]. Menempuh pendidikan strata 1 di Universitas Diponegoro Semarang Jawa Tengah yang diselesaikan pada tahun 2001, kemudian menyelesaikan pendidikan strata 2 di Program Studi Magister Administrasi Publik Pasca Sarjana Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Jawa Tengah bulan Agustus tahun 2010. Beliau aktif di berbagai kegiatan pengabdian kepada masyarakat maupun kegiatan-kegiatan penelitian. Adapun beberapa kegiatan penelitian pada Tahun 2004 : Studi Implementasi Peraturan Daerah tentang Pedagang Kaki Lima: Studi Kasus Perda No. 5 Tahun 2003; 336 | B A N T E N E S i A

Tahun 2006: Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi terhadap Status gizi balita di Kelurahan Citankil Kota Cilegon; Tahun 2007 : Analisis kasus tindak kekerasan terhadap anak dari tinjauan fenomenologs dan Yuridis (studi kasus di Kab. Serang); Tahun 2008 : Peningkatan Pemberdayaan keluarga dalam penegahan perilaku seks bebas pada remaja (studi di Perumahan Taman Ciruas Permai); Tahun 2008: Kemiskinan dan Posisi Perempuan (Pekerja seks Komersial di Kota Cilegon); Tahun 2009: Evaluasi Pembentukan Kecamatan Citangkil Kota Cilegon; Tahun 2010: Analisis Pengaruh Kemampuan Kerja Pegawai Terhadap Kinerja Pelayanan Birokrasi di Badan Penanaman Modal Daerah Propinsi Banten; Tahun 2010: Analisis Peran Ganda Dosen Wanita di lingkungan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Adapun mata kuliah yang menjadi domain beliau adalah Mata Kuliah Administrasi Keuangan, Mata Kuliah Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah, Mata Kuliah Keuangan Negara dan Perpajakan.

Rangga Galura Gumelar, lahir di Serang, 21 February 1981. Sekarang tinggal di Taman Cilegon Indah Blok C 11 No. 21 Cilegon - Banten 42421. beliau pada tahun 2001 pernah mengenyam pendidikan Graduated from Studienkolleg München, German (München), Menyelesaikan studi strata dua di Universitas Sahid Jakarta pada tahun 2011, sekarang sedang menempuh studi strata tiga di kampus yang sama. Bergabung di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta pada tahun 2009. Beliau fasih dalam berbahasa German (Excellent), serta Bahasa English (Good). pernah bekerja Temporary employee in Manufacturing at BMW – German, München (07/2000- 09/2000), Internship at Braun Druckverlag München (2003), Internship at PT. TEMPRINT of many Divisions (Pre-Press, Print and Finishing)-Jakarta (29/09/2003-29/02/2004), Internship at PT. PERSADA UTAMA TIRTA LESTARI as Assistant Manager in Marketing and Management, Analyze Production and Management Systems and Controlling Product, Jakarta (21/02/2005-27/06/2005), Student Assistant 5th World Congress of Biomechanics, München (29/08/2005-04/08/2006), Team Project Fachhochschule München (2006), Thesis at PT. INDAH KIAT PULP & PAPER with subject “Strategic Marketing Communication in Achieving Satisfaction and Loyalty”, Serang (13/03/2007-13/05/2007), Department Manager Decal Factory at PT. Royal Doulton, (Planning, Managing and Making Report), Tanggerang (08/10/2007-10/12/2008), Hobby : Travel, Fencing, Badminton, Band, Coffee Email : [email protected]

337 | B A N T E N E S i A

Riny Handayani, lahir di Serang, 6 Januari 1976. Saat ini tinggal di Komplek Bumi Mutiara Serang Blok O No 68 Kecamatan Cipocok Jaya Kota Serang Banten alamat email : [email protected]. Menyelesaikan pendidikan S-1 di Ilmu Geografi Universitas Indonesia pada tahun 2000 dan saat ini sedang menempun pendidikan S-2 di Universitas Indonesia pada Ilmu Geografi, Jurusan Pengembangan Wilayah. Bergabung menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untirta sejak 2003 untuk yang menjadi keahliannya adalah Statistik, Metode Penelitian Sosial Kuantitatif. Beliau aktif dalam kegiatan riset diantaranya tahun 2006: Pengaruh Faktor Sosial dan Ekonomi Terhadap Status Gizi Balita di Kelurahan Citangkil Kota Cilegon; Tahun 2007: Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Staff Struktural di Lingkungan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten; Tahun 2008: Kemiskinan Dan Posisi Perempuan (Studi tentang Pekerja Seks Komersial di Kota Cilegon).

Titi Stiawati, lahir di Serang, 25 November 1970, Bergabung untuk mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untirta pada tahun 2005, dengan Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar, Antropologi, Perilaku Organisasi. Saat ini beliau menjabat sebagai Kepala Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untirta. Beliau banyak berkecimpung di penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dan mempublikasikannya diantaranya adalah : Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2003 tentang pedoman organisasi perangkat daerah oleh Pemerintah Daerah Kabupaten serang dalam meningkatkan efektivitas pelayanan masyarakat (2005); Pemberdayaan masyarakat daerah sebagai manifestasi good governance kemudian juga Patologi Korupsi di Indonesia (2006); Interaksi sosial komunitas nelayan antar etnik di Kabupaten Pandeglang (Studi kasus etnik Jawa dan etnik Bugis di Pesisir Labuan Kabupaten Pandeglang 2007); Partisipasi perempuan dalam program penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP) di Kelurahan Serang Kabupaten Serang (2008); Peningkatan pemberdayaan keluarga dalam upaya pencegahan perilaku seks bebas pada remaja studi kasus di Perumahan Taman Ciruas Permai (2009); Kaitan interaksi sosial anak jalanan perempuan dengan kehidupan sosial ekonomi (studi kasus interaksi antar anak jalanan perempuan dan keluarganya di Kota Serang 2010); Hubungan koordinasi dan motivasi dengan efektifitas kerja pegawai di Dinas Pekerjaan Umum Kota Cilegon (2011). Saat ini beliau tinggal di Jl. Kiuju Kaujon Pasar Sore No. 23 Rt. 4 Rw. 1 Serang Banten 42116. Email : [email protected]

338 | B A N T E N E S i A

Yeni Widyastuti, lahir di Pacitan, 10 Februari 1976. Menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untirta sejak 2004 untuk matakuliah Psikologi Sosial dan Etika Administrasi Negara. Alumnus FIA Universitas Brawijaya (1998) dan mendapatkan beasiswa BPPS Dikti untuk menempuh di Magister Administrasi Publik (MAP) Universitas Jenderal Soedirman (2010). Melakukan berbagai penelitian terutama terkait dengan fokus gender antara lain Studi tentang Anggaran Responsif Gender di Provinsi Banten (2006), Analisis Kasus Tindak Kekerasan Anak dari Perspektif Yuridis dan Fenomenologis (Studi Kasus di Kabupaten Serang) yang dibiayai DP2M Dikti tahun 2006, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Diskriminasi terhadap Tenaga Kerja Perempuan di Kabupaten Serang (2007). Selain itu kepeminatan lainnya adalah pemberdayaan masyarakat yang memperoleh dana Hibah Bersaing Dikti selama 2 tahun berturut-turut yaitu tentang Model Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Miskin Melalui Program Bimbingan Usaha Kesejahteraan Sosial (Studi Kasus di Kota Serang Propinsi Banten) untuk tahun 2009 dan 2010, penelitian Strategis Nasional yang berjudul Model Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Miskin Melalui Pendekatan Kelompok (Studi Kasus di Kabupaten Serang Propinsi Banten) tahun 2009 dan beragam penelitian Dosen Muda maupun Kajian Wanita di lingkungan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa antara lain Netralitas PNS dalam Pilkada Kabupaten Serang (Studi Kasus di Sekretariat Daerah Kab.Serang) tahun 2005, Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Kesejahteraan Buruh (Studi Kasus di Kabupaten Serang) tahun 2007, Indeks Kepuasan Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa tahun 2008, Studi tentang Citizen Charter’s dalam Menciptakan Pelayanan Prima di Puskesmas Kota Serang tahun 2009 yang dilanjutkan dengan implementasinya melalui sosialisasi sebagai bentuk pengabdian masyarakat bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Serang tahun 2010. Pernah dikirim sebagai peserta untuk Program Dosen Magang Dikti tahun 2007 di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, mewakili MAP Unsoed dalam Forum Rembug Nasional (FRN) Mahasiswa Pascasarjana Seluruh Indonesia di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2009. Sejak tahun 2009 menjadi anggota Satuan Pengawas Intern (SPI) Untirta dan dikirim sebagai peserta Joint Audit Dikti dengan BPKP tahun 2009 di Indramayu, Jawa Barat. Pelatihan yang pernah diikuti antara lain Applied Approach (Dikti,2006); Pengarusutamaan Gender (Pemprov Banten,2008); Gender Analysis Pathway (GAP) dan Policy Outlook Plan of Action (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Pemprov Banten, 2009), Audit Komprehensif (Ditjen Dikti,2010). Aktivitas lainnya adalah menjadi pembicara tentang gender dan administrasi pemerintahan daerah di berbagai lokasi KKM mahasiswa sejak tahun 2008 sampai dengan sekarang, anggota Lab ANE untuk Divisi Diskusi dan Publikasi yang antara lain menyelenggarakan Survey Pemilukada Kota Serang tahun 2010.

*********

339 | B A N T E N E S i A

340 | B A N T E N E S i A

341 | B A N T E N E S i A

Buku ini merupakan publikasi dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan oeh para dosen di lingkungan Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa Banten yang berisi lika-liku masalah social yang terjadi di Banten. Hadirnya buku ini adalah dalam rangka memberikan sumbang saran untuk perbaikan Banten ke depan, karena pada dasarnya buku merupakan ruang diskusi terbuka untuk memberikan sumbangan pemikiran dari akademisi yang akan menempakan akademisi bukan hanya sebagai menara gading ilmu pengetahuan saja dan semoga niat tulus ini direspon positif oleh seluruh stakeholders.

FISIP Untirta Press

342 | B A N T E N E S i A