View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE

provided by Jurnal Balai Bahasa

PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM TIGA NOVEL INDONESIA TENTANG PERANG BUBAT

Sundanese World View in Three Indonesian Novels about Bubat War

Sarip Hidayat

Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat, Jalan Sumbawa Nomor 11 Bandung Telepon: 085860944793, Pos-el: [email protected]

Naskah masuk: 29 Maret 2015, disetujui: 10 Mei 2015, revisi akhir: 19 Mei 2015

Abstrak: Penelitian ini membahas pandangan dunia orang Sunda yang terdapat dalam tiga novel Indonesia tentang Perang Bubat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan pendekatan struktural. Melalui analisis terhadap alur dan pengaluran, penokohan, latar, serta sudut pandang, penulis menggali pandangan dunia orang Sunda yang hadir dalam ketiga novel tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam ketiga novel tersebut, para tokohnya memperlihatkan pola tindak, pola tutur, dan pola pikir yang mengarah pada pandangan dunianya tentang kepemimpinan dan harga diri; perempuan dan arti cinta, kepasrahan, serta kebahagiaan. Hal tersebut ditunjukkan oleh para tokoh setelah melalui berbagai peristiwa yang kemudian mengubah jalan hidup mereka karena terjadi konflik dalam Perang Bubat. Kata kunci: pandangan dunia, novel, orang Sunda, Perang Bubat

Abstract : This research discusses Sundanese world view in three Indonesian novels about Bubat War. This study uses qualitative methods and structural approaches. Through the analysis of plot, characterization, setting, and point of view, the author explores the Sundanese world view presented in the three novels. The results reveal that in the three novels, the characters show the act pattern , speech pattern, and mindset leading their world view on leadership and self-esteem: women as well as the meaning of love, surrender, and happiness. Those are shown by the characters through series of events changing their lives because of conflict in Bubat War. Key words : world view, novel, Sundanese, Bubat War

1. Pendahuluan Perang Bubat adalah peristiwa sejarah Dalam kitab-kitab tersebut peristiwa (Ekajati dalam Iskandar, 1991: vi) yang Perang Bubat diungkapkan dengan pernah terjadi pada tahun 1357 Masehi dan penekanan yang berbeda-beda. Hal ini melibatkan pihak Kerajaan Sunda dan dapat terjadi akibat latar belakang budaya Kerajaan . Disebut peristiwa yang berbeda dari para penulisnya. sejarah karena Perang Bubat tercatat dalam Pararaton misalnya, dibuat oleh orang Jawa beberapa sumber tradisional historiografi sehingga keberpihakannya terhadap tokoh- , seperti dalam kitab Pararaton, tokoh Majapahit lebih kentara. Hal yang Kidung Sunda , Kidung Sundayana , dan Carita sama terjadi dalam Carita Parahiyangan yang Parahiyangan. memberi penekanan lebih besar kepada

105 META SASTRA , Vol. 8 No. 1 , Juni 2015: 105—120

tokoh-tokoh Sunda. Namun demikian, pengiringnya, berangkat meninggalkan secara garis besar alur kisah dari seluruh bumi Sunda. Setelah beberapa hari kitab yang memuat peristiwa Perang Bubat perjalanan sampailah mereka di Bubat. memiliki kesamaan. Di sana Prabu Linggabuwana Berdasarkan penelitiannya terhadap beristirahat sambil menunggu utusan Carita Parahyangan , Abdurrahman dkk. yang pergi ke istana Prabu . (1991: 39—41) menceritakan kembali Prabu Linggabuwana menghendaki peristiwa Perang Bubat yang ada dalam putrinya agar dijemput sebagaimana sargah (bagian) 3 naskah tersebut seperti layaknya pengantin wanita. Namun, berikut. ketika sampai di Wilwatikta, kehendak maharaja Sunda itu ditolak oleh Patih “Dewi Citraresmi atau Dyah Pitaloka Mada (). Patih Mada adalah seorang putri yang sangat cantik beranggapan bahwa putri Sunda itu parasnya. Kecantikannya tak ada yang sebagai upeti dari Kerajaan Sunda untuk menandingi di seluruh nusantara Kerajaan Wilwatikta. Oleh karena itu, sehingga tidak heran apabila Bhre Prabu pihak Wilwatikta tidak perlu menjemput Wilwatikta Hayam Wuruk (di Jawa sang putri yang telah berada di Bubat. Timur) tergila-gila kepadanya. Siang dan malam hati Sang Prabu Hayam Wuruk Betapa berangnya Prabu tak pernah tenteram. Ia ingin sekali Linggabuwana ketika mendengar cerita memetik bunga jelita dari bumi Sunda itu. utusan itu. Ia tidak mau Kerajaan Sunda Perasaannya tak tertahankan lagi, ia pun dianggap sebagai taklukan Kerajaan mengutus Patih Madu pergi ke Kerajaan Wilwatikta. Ia merasa harga dirinya Sunda untuk melamar putri itu dan diinjak-injak oleh pihak Wilwatikta. Lalu mengundang orang Sunda. Berangkatlah Sang Prabu berunding dengan para Patih Madu menunaikan tugas dari Sang pengiringnya, dan bersepakat untuk tidak Baginda Prabu. meladeni keinginan pihak Wilwatikta. Mereka bertekad akan menjunjung tinggi Setelah menempuh perjalanan harga diri orang Sunda, kendatipun panjang, sampailah Patih Madu ke harus ditebus oleh nyawa dan Kerajaan Sunda. Maharaja Prabu pertumpahan darah. Begitu pula pihak Linggabuwana menerimanya dengan Wilwatikta yang dipelopori oleh Patih baik. Kemudian Patih Madu Mada, mereka tetap bersikeras pada mengutarakan maksud kedatangannya pendiriannya. Patih Mada merasa bahwa sesuai kehendak Prabu Hayam Wuruk. Prabu Hayam Wuruk sangat tidak pantas Lamaran Prabu Hayam Wuruk terhadap turun dari istana untuk menjemput putri Citraresmi diterima oleh Prabu Sunda, Dewi Citraresmi. Linggabuwana dengan senang hati. Adapun undangan untuk datang ke Oleh karena kedua belah pihak tetap Wilwatikta (Majapahit) mereka terima bertahan pada pendiriannya, perang pun pula. Pihak Kerajaan Sunda menganggap tak terelakkan. Pasukan angkatan bahwa undangan tersebut adalah suatu bersenjata Wilwatikta yang banyak dan isyarat untuk melangsungkan lengkap dihadapi oleh para pengiring pernikahan antara putri Sunda dengan Kerajaan Sunda dengan gagah berani. Prabu Wilwatikta. Maka dipersiapkanlah Padahal pasukan Kerajaan Sunda tidak segala sesuatunya, mulai dari pengiring seberapa jumlahnya. Mereka hanya hingga perbekalan untuk pergi ke merupakan pengawal pribadi Prabu Wilwatikta. Linggabuwana yang datang bukan untuk berperang. Pasukan pengiring raja Pada hari yang telah ditentukan, Kerajaan Sunda bertempur mati-matian Prabu Linggabuwana dengan permaisuri walaupun kian lama mereka kian dan putrinya, juga sejumlah terdesak dan banyak yang gugur.

106 S ARIP H IDAYAT : P ANDANGAN D UNIA O RANG S UNDA DALAM T IGA N OVEL I NDONESIA ...

Akhirnya pasukan Kerajaan Sunda tak Dalam perkembangan selanjutnya, tersisa, semua tewas di medan perang kisah ini ternyata menarik minat sejumlah termasuk Prabu Linggabuwana. Tak sastrawan untuk menuliskannya kembali terlukiskan sakitnya hati Dewi Citraresmi dalam bentuk yang lebih modern, baik ketika menyaksikan ayah dan ibunya berupa novel maupun prosa liris. Peneliti gugur. Sang putri pun mengorbankan mencatat bahwa novel berjudul Sang dirinya ( labuh geni ) demi kehormatan Mokteng Bubat (1991) karya Yoseph Iskandar bangsa dan negaranya. adalah karya sastra pertama berbentuk Peristiwa tragis di Bubat itu terjadi novel berbahasa Indonesia yang bercerita pada tanggal 13 paro-gelap bulan tentang Perang Bubat. Setelah itu, muncul Bhadrawada tahun 1279 Saka (4 Septem- tiga novel lain yang berkisah tentang ber 1357 Masehi) dan dikenal dengan peristiwa ini. Ketiga novel tersebut masing- peristiwa “Pasunda Bubat”. Setelah masing berjudul Dyah Pitaloka: Senja di Langit peristiwa itu, nama Prabu Linggabuwana Majapahit (2005) karya Hermawan Aksan, terkenal ke mana-mana, harum bagaikan Gajah Mada: Perang Bubat (2006) karya bunga semerbak ke seantero nusantara. Langit Kresna Hariadi, dan Perang Bubat: Ia dianggap dan dijunjung sebagai Tragedi di Balik Kisah Cinta Gajah Mada dan prajurit yang teguh dalam Dyah Pitaloka (2009) karangan Aan Merdeka mempertahankan kehormatan Permana. Selain dalam bentuk novel, kisah bangsanya. Oleh karena itu, ia dikenal ini diceritakan pula dalam bentuk prosa liris dengan julukan Prabu Wangi. Selain itu oleh Edi D. Iskandar dengan judul ia dijuluki pula dengan sebutan “ Sang Citraresmi: Riwayat Menyayat Perang Bubat Lumah ing Bubat .” (2007). Dari kelima karya tersebut, tiga karya Sebagai bagian dari sejarah, peristiwa di antaranya akan menjadi objek penelitian, ini masih menyisakan misteri dan yaitu novel Sang Mokteng Bubat (1991), Dyah kontroversi. Sejumlah pertanyaan masih Pitaloka: Senja di Langit Majapahit (2005), dan membayangi para ahli sejarah maupun ahli Perang Bubat: Tragedi di Balik Kisah Cinta sastra yang berusaha mengungkap sejarah Gajah Mada dan Dyah Pitaloka (2009). Ketiga sesungguhnya dari peristiwa ini. karya berbentuk novel ini ditulis oleh tiga pertanyaan itu misalnya, mengapa pengarang yang berasal dari latar belakang peristiwa ini tidak tercatat dalam kitab budaya yang sama, yaitu budaya Sunda. Nagarakartagama yang selama ini menjadi sumber utama bagi penyusunan sejarah Novel Sang Mokteng Bubat (1991) ditulis Majapahit. Para ahli pun masih oleh Yoseph Iskandar sebagai pemenuhan mempertanyakan keabsahan sumber tertulis salah satu program dari tiga program mengenai peristiwa ini karena sejumlah tambahan yang diusulkan oleh Tim sumber tersebut menghadirkan penekanan Penggarapan Naskah Pangeran yang berbeda. Para ahli pun menyangsikan Wangsakerta. Kehadiran novel yang sumber-sumber tersebut karena ditulis ulang diterbitkan oleh Yayasan Pembangunan oleh para sarjana Belanda yang ditengarai Jawa Barat ini dimaksudkan untuk menyimpan maksud tertentu dalam menyebarluaskan informasi mengenai isi penulisan tersebut. Demikian pula dengan Naskah Pangeran Wangsakerta kepada nasib para tokohnya yang tidak jelas masyarakat. Alasan penyebarluasan diceritakan mengenai akhir hidupnya. informasi ini adalah karena isinya Bagaimana misalnya nasib Dyah Pitaloka mengandung kemungkinan-kemungkinan dan Gajah Mada sesungguhnya. Apakah positif untuk memperkaya dan benar Dyah Pitaloka terbunuh di Bubat atau mengembangkan kebudayaan, sastra, dan malah bunuh diri? Bagaimana sebenarnya sejarah di Indonesia, khususnya di Jawa sosok Gajah Mada dan kisah hidupnya? Barat (Iskandar, 1991: v).

107 META SASTRA , Vol. 8 No. 1 , Juni 2015: 105—120

Novel Dyah Pitaloka: Senja di Langit berperang. Majapahit (2005) ditulis oleh Hermawan Dalam sampul bukunya, tersaji Aksan yang selama ini dikenal sebagai salah sejumlah data yang mengungkapkan sosok satu penulis dan budayawan Sunda, tetapi pengarang, maksud penciptaan, dan lahir dan besar di wilayah Brebes, Jawa informasi lainnya mengenai novel ini. Data Tengah. Dalam novelnya ini, pengarang pertama yang dapat disebutkan adalah melampirkan silsilah Dyah Pitaloka dan bahwa pengarangnya pernah meraih Hayam Wuruk yang menjadi tokoh utama Hadiah Sastra Samsudi 2009 dari Yayasan novelnya. Dalam silsilah tersebut tergambar Rancage . Tidak semata-mata data ini bahwa kedua tokoh ini berasal dari leluhur ditampilkan dalam sampul buku jika tidak yang sama. Selain itu, pengarang juga ada maksudnya. Secara sepintas, data ini melampirkan peta yang memperlihatkan mengandung maksud bahwa pengarangnya letak dan wilayah kekuasaan kedua telah teruji menciptakan suatu karya yang kerajaan, Sunda dan Majapahit. Di dalam telah meraih penghargaan. Bagi peneliti, kisahnya, pengarang memasukkan cerita- data ini dapat mengecoh pembaca awam cerita yang berasal dari sejumlah mitologi, yang tidak mengetahui lebih lanjut seperti legenda Dayang Sumbi dan kisah- mengenai informasi tentang penghargaan ini kisah dalam Mahabharata . dan keterkaitannya dengan novel ini. Novel Perang Bubat: Tragedi di Balik Kisah Bukankah penghargaan yang diterima Cinta Gajah Mada dan Dyah Pitaloka (2009) pengarang melalui hadiah sastra ini adalah ditulis oleh Aan Merdeka Permana. Novel penghargaan saat menulis cerita anak-anak? ini dianggap kontroversial oleh beberapa Data kedua yang ditampilkan dalam kalangan karena latar sejarah yang sampul buku ini adalah sebuah tulisan yang dihadirkan dalam novel ini dianggap tidak menyebutkan bahwa novel ini mengungkap otentik. Sebenarnya, pengarangnya sendiri peristiwa dramatis yang memicu konflik sudah menyadari kontroversi tersebut Jawa-Sunda dilengkapi data sejarah. dengan menyebutkan dalam pengantarnya Penulisan bagian ini bisa jadi pemikat bagi bahwa novel ini bukanlah novel sejarah. pembacanya untuk menelusuri kisah yang Meskipun ditulis jelas dalam kata dikatakan memicu konflik tersebut. Dalam pengantarnya bahwa novel ini bukan novel hal ini, pengarang sedang berusaha sejarah, dalam novel ini ternyata menampilkan peristiwa dramatis tersebut dilampirkan juga data-data sejarah yang berdasarkan versinya sendiri. Artinya, di bahkan lebih banyak jika dibandingkan balik penulisan karya ini ada pandangan dengan data-data yang dilampirkan oleh tertentu yang ingin dibagikan kepada Hermawan Aksan. pembacanya mengenai peristiwa ini. Ada empat data yang disajikan dalam Data ketiga yang terdapat dalam novel ini, yaitu data tentang peta perjalanan sampul novel ini adalah judulnya, Perang rombongan Kerajaan Sunda ke wilayah Bubat: Tragedi di Balik Kisah Cinta Gajah Mada Majapahit, foto suatu lokasi yang ditengarai dan Dyah Pitaloka . Judul ini memberi sebagai tempat berlabuhnya kapal Kerajaan informasi kepada pembacanya bahwa kisah Sunda di wilayah Majapahit, denah keraton yang akan diungkapkan adalah sebuah Kerajaan Sunda, dan denah keraton kisah tragedi, yaitu peristiwa tragis yang Kerajaan Majapahit. Selain itu, pengarang dialami tokoh-tokohnya. Dari judul ini juga menuliskan sejumlah komentar dari tersirat pula hubungan yang tidak lazim para tokoh sejarah tentang Perang Bubat. antara Gajah Mada dan Dyah Pitaloka. Pada bagian lainnya, pengarang juga Dalam pandangan umum, yang menjadi memberikan informasi mengenai kitab Taktik penyebab terjadinya konflik antara kedua Tempur Pustaka Ratuning Bala Sariwu yang kerajaan adalah Gajah Mada. Dalam novel dalam kisah novel ini dijadikan taktik ini, Gajah Mada justru diungkapkan pertempuran oleh kedua belah pihak yang menjalin cinta dengan Dyah Pitaloka. Hal

108 S ARIP H IDAYAT : P ANDANGAN D UNIA O RANG S UNDA DALAM T IGA N OVEL I NDONESIA ... ini mengindikasikan bahwa pengarang Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memiliki maksud-maksud tertentu dalam menemukan pandangan dunia dalam ketiga penciptaan ulang kisah ini. Maksud-maksud novel. Untuk mencapai tujuan tersebut, tertentu itu diperkuat pula dengan gambar peneliti menganalisis unsur-unsur yang ada sampul yang memperlihatkan sosok Gajah dalam tiga buah novel berbahasa Indonesia Mada. Timbul pertanyaan: Mengapa mengenai Perang Bubat. Sumber datanya sebagai orang Sunda, Aan Merdeka adalah tiga novel berikut: Permana justru mengedepankan sosok 1. Sang Mokteng Bubat karya Yoseph Gajah Mada dalam kisah ini sebagaimana Iskandar, diterbitkan oleh Yayasan tergambar dalam judul dan ilustrasi Pembangunan Jawa Barat bekerja sama sampulnya? dengan CV Geger Sunten, Bandung, Sejauh ini, penelitian terdahulu yang pada tahun 1991; membahas ketiga novel dalam satu 2. Dyah Pitaloka: Senja di Langit Majapahit penelitian belum pernah dilakukan. karya Hermawan Aksan, diterbitkan Penelitian-penelitian yang dilakukan lebih oleh C%Publishing (PT Bentang banyak memanfaatkan satu atau dua novel Pustaka), Yogyakarta, pada tahun 2005; yang kemudian diperbandingkan. 3. Perang Bubat: Tragedi di Balik Kisah Cinta Penelitian itu pun masih dalam bentuk Gajah Mada dan Dyah Pitaloka karya Aan skripsi dan tulisan di jurnal yang jika Merdeka Permana, diterbitkan oleh diamati belum mencerminkan penelitian Qanita, Bandung, pada tahun 2009. yang mendalam sebagaimana yang dapat dilihat dalam penelitian Nurrosida (2010) Adapun data penelitian ini adalah dan Asmalasari (2010). Dapat dikatakan unsur-unsur pembentuk karya sastra, yaitu bahwa penelitian ini merupakan karya tulis alur dan pengaluran, penokohan, latar, dan pertama yang membahas ketiga novel dalam sudut pandang yang ada dalam ketiga novel satu penelitian. tersebut. Terhadap ketiga novel tersebut, peneliti Objek utama penelitian ini adalah tiga akan mengkaji pandangan dunia yang hadir novel tentang Perang Bubat. Metode di dalamnya. Pandangan dunia dalam hal penelitian yang digunakan adalah metode ini bukanlah pandangan dunia yang kualitatif. Untuk menganalisis ketiga novel dimaksudkan oleh Goldman mengenai ini digunakan pendekatan struktural. pandangan dunia pengarang. Istilah Pendekatan struktural ini digunakan untuk pandangan dunia dalam penelitian ini menganalisis unsur-unsur pembangun mengacu kepada pernyataan Zaimar (2008: suatu karya sastra meliputi alur dan 43) tentang kedekatan istilah vision du monde pengaluran, penokohan, latar, tema, dan atau pandangan dunia dengan istilah sudut sudut pandang. pandang yang dimaksudkan Todorov dalam model analisis strukturalnya terhadap 2. Kajian Teori karya sastra. Dengan demikian, pandangan dunia Dalam menganalisis karya sastra secara yang akan dianalisis dalam ketiga novel ini struktural, Todorov (1985: 12—13) berhubungan dengan cara pandang tokoh- menyebutkan ada tiga aspek yang menjadi tokoh yang ada di dalam cerita terhadap acuan, yaitu aspek sintaksis, aspek semantik, persoalan yang dihadapinya. Pandangan dan aspek verbal. Ketiga aspek ini dianalisis dunia para tokoh tersebut dapat diketahui berlandaskan pada pernyataan Todorov melalui analisis terhadap pikiran, ucapan, bahwa karya sastra terbangun dari unsur- dan tindakan mereka ketika menghadapi unsur yang beragam, yaitu unsur-unsur suatu peristiwa yang bisa jadi akan yang hadir bersama dalam teks ( in praesentia ) mengubah alur ceritanya. dan unsur-unsur yang tidak hadir dalam teks ( in absentia ).

109 META SASTRA , Vol. 8 No. 1 , Juni 2015: 105—120

Mengacu pada pendapat Todorov pembaca menghubungkannya dengan tersebut, analisis terhadap hubungan unsur- unsur di luar teks tersebut. Namun, Zaimar unsur yang hadir bersama dalam teks (2008: 31) menggarisbawahi bahwa merupakan ranah penelitian aspek sintaksis. meskipun nantinya akan banyak pilihan Analisis ini diterapkan dalam mencari alur pemaknaan oleh pembaca, pilihan tetap hubungan suatu urutan peristiwa dalam tidak bisa dilakukan secara semena-mena teks, baik secara kronologis, maupun secara karena pemaknaan tersebut harus logis. Analisis terhadap hubungan antara berlandaskan pada teks, yaitu dukungan unsur yang hadir di dalam teks dengan dari bagian lain dari teks terhadap benar- unsur-unsur di luar teks merupakan ranah tidaknya pemaknaan tersebut. penelitian aspek yang berhubungan dengan Aspek verbal yang dimaksud oleh makna, yaitu aspek semantik. Dalam hal ini, Todorov mirip dengan aspek pragmatik analisis semantik lazim digunakan untuk yang dikemukakan oleh Morris (Zaimar, meneliti tokoh, latar, dan gagasan. Adapun 2008: 18). Intinya adalah bahwa aspek ver- aspek verbal mengacu pada penelitian bal berhubungan dengan pengujaran atau terhadap sarana atau alat-alat hubungan komunikasi antara pengarang pengungkapannya, seperti sudut pandang, dengan pembacanya. Adapun Alat-alat gaya, atau pengujaran (Suwondo, 2003: 67). pengungkapan pengarang dalam Untuk menganalisis alur secara menyampaikan maksud yang tersurat kronologis, cerita dipilah ke dalam sekuen- dalam karyanya dapat berupa sudut sekuen dan diurutkan sesuai dengan pandang, gaya, atau pengujaran. kemunculannya dalam teks (Zaimar, 2008: Dalam penelitian ini yang menjadi fokus 20). Sekuen-sekuen tersebut selanjutnya perhatian adalah sudut pandang dalam dianalisis kembali untuk menentukan fungsi karya. Namun demikian, sudut pandang utamanya, yaitu unsur satuan cerita yang yang dianalisis dalam penelitian ini tidak mempunyai hubungan logis dengan unsur berhubungan dengan teknik penceritaan. satuan cerita lainnya (Zaimar, 2008: 22). Sudut pandang dalam penelitian ini Analisis terhadap fungsi utama inilah yang mengacu pada pernyataan Zaimar (2008: menjadi inti dalam pembahasan mengenai 43) tentang pengertian sudut pandang yang alur cerita. Dalam analisis ini, hubungan lebih dekat pada istilah pandangan dunia sebab-akibat antarsekuen yang membentuk ( vision du monde ), yaitu keseluruhan imaji fungsi utama menjadi dasar bagi penelitian dan nilai sebagian besar tidak begitu terhadap alur. disadari, tetapi menentukan sikap, baik Tokoh, latar, dan tema dianalisis secara individu maupun kelompok. Artinya, sikap semantik karena untuk memaknainya dan perbuatan yang dilakukan para tokoh diperlukan pengetahuan mengenai dua segi dalam cerita didasarkan pada nilai-nilai makna, yaitu denotasi dan konotasi. pemahaman tertentu terhadap Mengutip pendapat Kerbrat-Orecchiuni, permasalahan atau situasi yang Zaimar (2008: 31) menyebutkan bahwa dihadapinya. dalam denotasi, makna diberikan secara eksplisit, sedangkan dalam konotasi makna 3. Hasil dan Pembahasan merupakan kesan. Informasi yang diberikannya adalah tentang sesuatu yang 3.1 Orang Sunda dan Kebudayaannya lain dan bukan tentang sesuatu yang diacu ujaran itu. Istilah orang Sunda dalam penelitian ini Dengan demikian, analisis terhadap mengacu pada pengertian yang diberikan tokoh misalnya, bukan saja mengacu pada oleh Warnaen (1987: 1) bahwa yang tindakan sang tokoh di dalam cerita, dimaksud orang Sunda adalah mereka yang melainkan makna di balik tindakan tokoh mengaku dirinya dan diakui oleh orang- tersebut. Makna itu dapat diperoleh jika orang lain sebagai orang Sunda. Orang-

110 S ARIP H IDAYAT : P ANDANGAN D UNIA O RANG S UNDA DALAM T IGA N OVEL I NDONESIA ... orang lain itu berupa, baik orang-orang Menjelang runtuhnya Kerajaan Sunda, Sunda sendiri, maupun orang-orang yang pengaruh Islam mulai tampak di beberapa bukan orang Sunda. Adapun kebudayaan tempat, utamanya di Banten dan Cirebon. dalam hal ini diartikan sebagai seluruh Di kedua wilayah itu bahkan kemudian sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta berdiri pula kesultanan. Pengaruh karya yang dihasilkan manusia dalam kebudayaan Islam semakin menguat setelah kehidupan bermasyarakat yang dijadikan kesultanan Banten dan Cirebon berhasil miliknya dengan belajar (Koentjaraningrat, melumpuhkan Kerajaan Sunda yang pada 2003: 72). Pengertian ini hampir senada waktu itu beribu kota di Pakuan Pajajaran. dengan E.B. Tylor (1871) yang mengartikan Pada masa itu pula pengaruh kebudayaan kebudayaan sebagai kompleks yang Jawa masuk ke wilayah Sunda. Hal ini mencakup pengetahuan, kepercayaan, disebabkan oleh posisi kesultanan Banten kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan dan terutama Cirebon yang dikuasai oleh kemampuan-kemampuan lain serta Demak kemudian Mataram pada abad ke- kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh 16 sampai dengan abad ke-19. manusia sebagai anggota masyarakat. Pengaruh kebudayaan Barat terhadap Dengan kata lain, kebudayaan mencakup kebudayaan Sunda terjadi ketika masa semua yang didapatkan atau dipelajari oleh kolonial Hindia Belanda, yaitu abad ke-19 manusia sebagai anggota masyarakat. hingga pertengahan abad ke-20. Adapun Kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang kebudayaan nasional dan kebudayaan glo- dipelajari dari pola-pola perilaku yang bal mulai memengaruhi kebudayaan Sunda normatif. Artinya, budaya mencakup segala sejak pertengahan abad ke-20 sampai cara-cara atau pola-pola berpikir, dengan sekarang, yaitu ketika negara merasakan dan bertindak (Soekanto, 2004: Republik Indonesia mulai berdiri dan 172—173). hubungan dengan dunia luar mulai terbuka Jika merunut pada sejarahnya, luas. setidaknya ada enam periode yang Dari keenam periode tersebut, memengaruhi perkembangan kebudayaan kebudayaan Sunda pada zaman Kerajaan Sunda. Keenam periode perkembangan Sunda dianggap oleh orang Sunda sebagai tersebut adalah masa prasejarah, masa kebudayaan ideal dan murni. Zaman pengaruh kebudayaan Hindu—Budha, tersebut bahkan dipandang oleh manusia masa pengaruh kebudayaan Islam, masa Sunda zaman sekarang sebagai masa pengaruh kebudayaan Jawa, masa keemasan orang Sunda karena Kerajaan pengaruh kebudayaan Barat, dan masa Sunda dianggap sebagai negara ideal yang pengaruh kebudayaan nasional serta global secara keseluruhan mencerminkan masa (Ekadjati, 2009: 13). kejayaan, kemerdekaan, dan kemakmuran Pada masa prasejarah, menurut dunia tatar Sunda (Ekadjati, 2009: 14). Ekadjati (2009: 12) di tatar Sunda telah Koentjaraningrat (1985: 186—188) hidup kebudayaan yang diciptakan dan mengungkapkan bahwa kebudayaan didukung oleh masyarakat yang telah lama memiliki tiga wujud, yaitu kompleksitas ide mendiami wilayah ini, sebagaimana tampak atau gagasan, kompleksitas aktivitas atau dari peninggalan benda-benda budayanya. tindakan berpola dari manusia dalam Selanjutnya Ekadjati (2009: 13) masyarakat, dan adanya benda-benda hasil menyebutkan bahwa kebudayaan Sunda karya manusia. Ketiga wujud kebudayaan setelah masuk pengaruh kebudayaan ini menjadi satu kesatuan yang membuat Hindu—Budha terbentuk dan berkembang suatu masyarakat memiliki keunikannya pada masa Kerajaan Tarumanagara, sendiri-sendiri. Suatu kebudayaan dalam hal Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Sunda (abad ini dapat diketahui melalui penelusuran ke-5 hingga abad ke-16 Masehi). terhadap ketiga wujud kebudayaannya tersebut.

111 META SASTRA , Vol. 8 No. 1 , Juni 2015: 105—120

Sumardjo (2011: 3) mengungkapkan pedoman hidup bagi rakyat dan pemimpin bahwa pada dasarnya kebudayaan Sunda atau pejabat kerajaan untuk mencapai bersifat intangible atau tidak tampak karena kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. adanya di dalam pikiran masyarakatnya. Namun, kebudayaan itu dapat diketahui 3.2 Jati Diri Orang Sunda dari hasil-hasil tangible , yaitu semua bentuk artefak yang dihasilkan masyarakat Sunda Jika ditelusuri sejarahnya, menurut sejak adanya di wilayah Sunda. Artinya, Hardjasaputra (2007), jati diri Sunda mulai informasi mengenai kebudayaan Sunda terbentuk sejak masa kerajaan pertama pada masa kerajaan pun dapat diperoleh hadir di tanah Sunda, yaitu Salakanagara. dari berbagai peninggalan sejarah dari masa Setelah periode Salakanagara berakhir, kerajaan tersebut. Peninggalan-peninggalan kerajaan-kerajaan yang muncul di tanah sejarah yang kemudian menjadi sumber Sunda, seperti Tarumanagara, Sunda, historiografi tradisional Sunda itu berupa Galuh, dan gabungan Sunda-Galuh yang tradisi lisan, tradisi tulisan, dan benda- menjadi satu kerajaan bernama Sunda, benda budaya lainnya. menjadi akar bagi pembentukan jati diri orang Sunda. Budaya kekuasaan, budaya Berdasarkan naskah Carita Parahyangan kepemimpinan, dan budaya hidup pribadi misalnya, kita dapat mengetahui corak dan bermasyarakat di masa kerajaan kehidupan pada masa Kerajaan Sunda. tersebut menjadi sumber pemahaman bagi Abdurrahman dkk. (1991: 63) pembentukan karakter orang Sunda di mengungkapkan bahwa pada masa kemudian hari. Kerajaan Sunda corak kehidupan masyarakatnya dipengaruhi oleh ajaran Jejak kehidupan masa lalu orang Sunda agama Hindu, agama Budha, dan dari zaman kerajaan tersebut dapat kepercayaan terhadap ajaran leluhur. ditemukan oleh generasi sekarang melalui Keseluruhan ajaran agama dan etika sumber-sumber sejarah, baik berupa prasasti kehidupan itu terdapat dalam kitab yang maupun naskah kuno. Naskah Sanghyang bernama Sanghyang Siksa Kandang Karesian . Siksa Kandang Karesian adalah salah satu sumber yang menjadi rujukan terhadap tata Carita Parahiyangan dan Sanghyang Siksa aturan pada masa kerajaan. Bagian awal Kandang Karesian mengemukakan tiga naskah tersebut memuat ajaran mengenai macam himpunan peraturan yang berlaku cara mencapai kebahagiaan, yaitu dengan pada masa Kerajaan Galuh dan Kerajaan cara menjalankan pemerintahan yang Sunda. Ketiga jenis peraturan tersebut berorientasi pada kepentingan rakyat disusun berdasarkan dua sumber, yaitu (Hardjasaputra, 2007). ajaran agama Hindu, Budha, dan Jatisunda (yang merupakan sinkretisme antara ajaran Ajaran tersebut nyatanya menjadi agama Hindu, Budha, dan pemujaan pegangan bagi raja-raja di wilayah Sunda dalam memerintah kerajaannya. Hal ini terhadap arwah nenek moyang), serta ajaran leluhur: purbatisti, purbajati, patikrama dapat dibuktikan dalam sejumlah prasasti (Ekadjati, 2009: 131). yang merekam sepak terjang para raja Sunda dalam memimpin kerajaannya. Purbatisti dan purbajati adalah Secara garis besar, sifat dan sikap para raja penyebutan untuk ajaran leluhur menurut dalam menjalankan pemerintahannya Carita Parahiyangan, sedangkan patikrama dapat ditemukan pula dalam naskah Carita adalah penyebutan untuk ajaran leluhur Parahiyangan. Menurut naskah tersebut, tipe berdasarkan Amanat Galunggung . Menurut raja yang ideal adalah raja yang taat Ekadjati (2009: 181—132), makna purbatisti menjalankan agama, memelihara tradisi ialah seperti masa lalu: maksudnya ajaran leluhur, menghormati pemimpin agama, leluhur, himpunan peraturan, adat atau memakmurkan negeri, dan tradisi yang berlaku pada masa lalu. menyejahterakan serta menenteramkan Adapun patikrama bermakna tuntunan atau

112 S ARIP H IDAYAT : P ANDANGAN D UNIA O RANG S UNDA DALAM T IGA N OVEL I NDONESIA ... kehidupan rakyat. Menurut Sumardjo secara keseluruhan merupakan kesatuan (2011: 28), ungkapan tersebut merupakan yang bulat yang mencakup seluruh aspek kesatuan tiga atau dikenal dengan istilah kehidupan negara dan manusia (Ekadjati, tritangtu . 2009: 138). Dalam tulisannya tentang jati diri orang 3.3 Pola Tiga dalam Masyarakat Sunda Sunda, Hendayana (2005) menyebutkan Dalam khazanah kebudayan Sunda adanya tiga aspek yang dapat dijadikan dikenal berbagai ungkapan yang tolok ukur terhadap jati diri orang Sunda. menyiratkan adanya suatu pola. Ungkapan- Ketiga aspek tersebut adalah pola pikir, pola ungkapan berulang itu misalnya ungkapan sikap, dan pola tindak. Hendayana (2005) tekad, ucap, lampah; silih asih, silih asah silih menyebutkan bahwa indikasi apakah asuh; resi, ratu, rama; guru, ratu, wong seseorang (Sunda) masih berjati diri Sunda atuwa karo; buana nyungcung, buana atau tidak bisa dilihat dari penerapan ketiga panca tengah, buana larang (Sumardjo, aspek tersebut dalam kehidupan 2011: 28). kesehariannya. Istilah ini memang bukan hanya milik Hendayana memang tidak memberikan kebudayaan Sunda karena pada dasarnya definisi yang jelas mengenai ketiga aspek merupakan konsep masyarakat peladang. yang disebutkannya tersebut. Pengertian Dalam kepercayaan masyarakat peladang, yang lebih rinci justru dikemukakan oleh suatu keberadaan itu awalnya bersifat Sumardjo, yaitu mengenai kehendak, dualistik. Namun, semua hal yang dualistik pikiran, tindakan atau bisa pula dikatakan tersebut saling bertentangan satu sama lain, sebagai tekad, ucap, lampah, dan bagaimana beroposisi. Karena bertentangan, proses kejadiannya. kemungkinan konflik yang berujung Pada awalnya yang muncul adalah kemusnahan bisa terjadi. Untuk itu, kehendak, keresa . Kehendak ini nantinya diperlukan medium yang akan menuntut suatu tindakan. Untuk mengharmonisasikan keduanya. sampai pada tahap tindakan, diperlukan Setiap zaman akan menerjemahkan suatu tahap lagi, yaitu pikiran. Dalam hal asas tiga ini menurut kebutuhan harmoni ini, pikiran merupakan jembatan hidup bersama meskipun berbeda-beda, penghubung antara kehendak dan namun tetap satu keluarga. Ketiga tindakan. Dalam tahapan ini, suatu perbedaan itu saling melengkapi dan saling kehendak akan diproses untuk mencari jalan menyempurnakan demi kepentingan bagaimana bentuk perwujudannya dalam bersama. Dinamika perubahan terjadi perbuatan (Sumardjo, 2011: 44). dalam siklus nonlinear, yaitu dinamika Kehendak, pikiran, tindakan harus sama nonlinear. Kalau perbuatan atau lampah dengan tekad, ucap, lampah . Tekad adalah berubah maka akan berpengaruh pada cara keinginan, niat, hati nurani, atau cita-cita berpikir dan keinginannya (Sumardjo, 2011: yang muncul dari kedalaman hati nurani 279). manusia. Kontradiksi tekad adalah lampah , Sistem pemerintahan Kerajaan Sunda perbuatan, kekuatan, tenaga. Antara pada masa lalu juga didasarkan pada keinginan dan pelaksanaan keinginan itu konsep tiga ini yang disebut Tri Tangtu di dihubungkan oleh pikiran yang Bwana atau Tri Tangtu di Bumi (tiga unsur menghasilkan keputusan (Sumardjo, 2011: penentu kehidupan di dunia). Menurut 279). konsep ini, ada tiga unsur yang menjadi penentu kehidupan manusia di dunia: prebu, rama, dan resi . Tiap-tiap unsur memiliki fungsi dan tugas masing-masing, tetapi

113 META SASTRA , Vol. 8 No. 1 , Juni 2015: 105—120

3.4 Pandangan Dunia Orang Sunda dalam Yang terjadi kemudian adalah sang ratu Tiga Novel bertindak sendiri dan mendorong sang rama untuk mengikuti kehendaknya. 3.4.1 Pandangan Dunia tentang Dalam hal ini, perubahan terjadi karena Kepemimpinan dan Harga Diri dalam perbedaan yang terjadi dalam pola tidak Novel Sang Mokteng Bubat menjadi satu kesatuan. Kehendak sang prabu bukan hanya sekadar menghormati Tokoh Prabu Maharaja Linggabuana adat leluhur melainkan bagaimana caranya adalah penguasa Sunda. Berdasarkan agar derajat negeri Sunda dipandang tritangtu Sunda, berarti ia adalah ratu. sebagai negeri yang memiliki derajat yang Mangkubumi Bunsora adalah resinya tinggi. Pada awalnya, sang Prabu merasa karena ia bertindak ebagai penasihat raja. bahwa dengan menyetujui perkawinan Adapun yang menjadi ramanya adalah putrinya dengan penguasa Majapahit akan rakyat Sunda yang dalam hal ini adalah membuat keinginan tersebut terwujud. para kesatria yang ikut bersama sang Prabu Ternyata hal itu tidak terlaksana karena dalam rombongan pengantin menuju kejadian tak terduga di lapangan Bubat Majapahit. Untuk menjadi satu kesatuan, mengubah segalanya. ketiga unsur tersebut harus saling berhubungan. Saat itu, sang prabu dihadapkan pada dua pilihan, menerima atau menolak usulan Dikisahkan dalam novel ini bahwa tokoh Mahapatih Gajah Mada untuk mau tokoh sang Prabu menginginkan pernikahan tunduk kepada Majapahit. Jika menerima, putrinya itu sebagai jalan untuk ia merasa bahwa harga dirinya sebagai raja mengangkat derajat negeri Sunda. Sunda menjadi hina karena dengan begitu Keinginan itu bertentangan dengan ia mengaku tunduk kepada Majapahit. Mangkubumi Bunisora karena pernikahan Untuk itu, ia memilih menolak tawaran itu dianggapnya melanggar aturan leluhur. Mahapatih Gajah Mada. Tanpa mempedulikan nasihat Bunisora, sang Prabu berangkat bersama para kesatria Keinginan sang prabu adalah menuju Majapahit. Saat di Bubat, terjadi mempertahankan harga dirinya, baik keadaan yang tidak terduga. Timbulnya sebagai raja maupun sebagai orang Sunda. perselisihan menyebabkan peperangan Keinginan tersebut kemudian dibuktikannya sampai akhirnya sang Prabu dan seluruh dalam bentuk tindakan, yaitu berperang rombongan dari Kerajaan Sunda menemui melawan prajurit Majapahit. Sebelum kematian. melakukan peperangan tersebut, terlebih dahulu sang Prabu memikirkan dampak Berdasarkan kejadian itu terlihat bahwa keinginannya tersebut, baik dan buruknya telah terjadi ketidakharmonisan hubungan serta maksud di balik keinginannya itu. antara resi, ratu, dan rama atau antara Mangkubumi Bunisora, Prabu Maharaja Dengan kata lain, itulah pandangan Linggabuana, dan para kesatria, utamanya dunia sang tokoh mengenai jati dirinya adalah antara sang Mangkubumi dan sang sebagai orang Sunda. Baginya, Prabu. Ketika kehendak tidak diikuti oleh mempertahankan harga diri Sunda adalah pikiran dan tindakan yang benar maka kewajiban yang harus dilakukan meskipun terjadilah perubahan. harus membayarnya dengan mahal. Ia tetap memegang teguh janjinya untuk Keinginan sang resi adalah agar sang mengangkat derajat negeri Sunda di mata ratu tidak melanggar aturan leluhur. negeri-negeri yang lain. Keinginan tersebut ternyata tidak dipikirkan dengan matang oleh sang ratu bahkan sang ratu memiliki keinginan sendiri yang justru bertentangan dengan kehendak sang resi.

114 S ARIP H IDAYAT : P ANDANGAN D UNIA O RANG S UNDA DALAM T IGA N OVEL I NDONESIA ...

3.4.2 Pandangan Dunia tentang kedatangannya ke Majapahit adalah untuk Perempuan dalam Novel Dyah sesuatu yang indah, bukan untuk hal yang Pitaloka mengerikan. Untuk itu, ia pun bertahan dengan pakaian pengantinnya. Tokoh yang menjadi pembicaraan Menjelmalah ia menjadi sosok perempuan dalam novel ini adalah tokoh protagonis, yang berbusana Drupadi dan bersikap bagai Putri Dyah Pitaloka. Alasan utamanya Srikandi. Sampai akhirnya dalam adalah selain tokoh ini dijadikan judul pertempuran, ia memutuskan untuk novelnya, juga karena di dalam cerita ini mengakhiri hidupnya: yang ditampilkan adalah pergulatan “Satu tetes darahku mungkin hanya pemikiran tokoh tersebut terhadap nasib berarti untuk diriku, tapi mengalirnya yang sedang dijalaninya. Pertanyaannya darahku di palagan Bubat akan terus adalah bagaimana pandangan dunia sang dikenang sebagai tanda kukuhnya orang- tokoh terhadap identitas Sunda yang orang Sunda mempertahankan diinginkannya? kehormatannya. Mungkin aku gagal Berdasarkan analisis terhadap pola tiga memenuhi cita-citaku. Namun, aku bahagia yang hadir dalam diri tokoh ini, pertanyaan karena langkah kecilku ini akan sangat tersebut dapat dijawab sebagaimana berarti bagi negeri kami.” (Aksan, 2005: 321) penjelasan berikut ini. Berdasarkan hal tersebut, pandangan Sang putri memiliki kehendak awal, dunia sang tokoh adalah bahwa keinginan yaitu ingin mengangkat derajat perempuan perempuan Sunda jangan berhenti hanya Sunda sehingga dapat sejajar dengan para untuk urusan dirinya sendiri. Kewajiban lelakinya. Kehendak itu pun dipikirkannya. berbakti kepada negeri baginya lebih utama Dalam kasus ini, kehendak dan pikiran daripada cita-cita pribadi. Untuk itu, menemukan harmonisasinya. Sejarah pengabdian kepada negeri harus dilakukan perempuan Sunda pada masa lalu meskipun nyawa taruhannya. dijadikannya pegangan untuk menemukan jati dirinya. Identitas perempuan Sunda yang 3.4.3 Pandangan Dunia tentang Arti diinginkannya bukan lagi seperti Dayang Cinta, Kepasrahan, dan Kebahagiaan Sumbi atau Purbasari. Perempuan Sunda dalam Novel Perang Bubat yang dicita-citakannya minimal seperti dirinya yang pintar menenun, luas Tokoh yang berperan menjadi pengetahuan, dan cakap dalam olah protagonis dalam novel ini adalah Putri kanuragan atau dalam pengertian menurut Dyah Pitaloka, Prabu Linggabuana, dan Ekadjati semua itu disebut ngelmu . Dengan Mahapatih Gajah Mada. Untuk itu, kata lain, perempuan Sunda yang dicita- penelusuran terhadap identitas Sunda citakan oleh sang tokoh ini adalah akan ditujukan kepada tiga tokoh ini. perempuan yang harus ngelmu . Dalam percakapannya dengan tokoh Ternyata, pikiran hanyalah sebatas Gajah Mada Muda (Ramada), Putri Dyah pikiran. Pilihan tindakan untuk Pitaloka menyampaikan harapannya. merealisasikan cita-citanya tersebut dengan Keinginannya adalah untuk tidak melihat menerima lamaran sang Prabu Hayam adanya perbedaan sebagaimana tergambar Wuruk berujung kegagalan. Kejadian yang dalam kutipan berikut. tidak terduga di Bubatlah yang menjadi penyebabnya. Kejadian itu membuatnya “Aku tak mau. Sebab kolam di mana pun harus berpikir ulang untuk tetap tetap sama. Selalu saja ditumbuhi mempertahankan cita-cita awalnya. berbagai macam ragam ikan. Ada ikan mas, ada juga ikan tak berharga. Jadinya, Ia kemudian memutuskan untuk ikut orang selalu membedakan dan berjuang membela kehormatan negerinya. membandingkan. Makanya daripada Ia pun ingin menunjukkan bahwa

115 META SASTRA , Vol. 8 No. 1 , Juni 2015: 105—120

begitu, lebih baik aku tak lihat ikan, biar mengubahnya. Ia pun merasa iri kepada aku tak lihat perbedaan... .” (Permana, orang yang memiliki cita-cita meskipun 2009: 79) nasibnya mungkin lebih buruk daripada dirinya sebagaimana ia ungkapkan dalam Baginya semua perbedaan itu hanya kutipan berikut. akan membuatnya harus memilih, sedangkan menentukan suatu pilihan hanya “Yang membuatku tertarik, seburuk apa akan membuat hatinya terluka. Untuk itu, pun nasib Dayang Sumbi, setidaknya dia ia pun memilih untuk tidak memiliki cita- masih bisa memiliki sebuah pengharapan cita dan memilih untuk mendarmabaktikan atau cita-cita,” kata gadis berlesung pipi hidupnya hanya untuk negaranya. Ia ini namun dengan nada sendu. menyadari bahwa sebagai putri raja, tujuan (Permana, 2009: 145) utamanya adalah mengabdi kepada negara, Ia sadar bahwa belenggu pengabdian bukan hanya melaksanakan cita-cita telah mengikatnya. Hal itu membuat dirinya pribadinya. Baginya, kepentingan negara menjadi tidak bisa leluasa untuk bergerak lebih penting daripada kepentingan pribadi. seperti yang ia ibaratkan dalam kutipan Hal itu dikemukakannya dalam beberapa berikut. kesempatan sebagaimana kutipan-kutipan “Kita kaum perempuan tidak akan berikut. sebebas kelompok burung itu, Aceuk,” “Aku ini gadis istana, juga putri mahkota. desahnya sendu. (Permana, 2009: 149) Karena itu,hidupku bukan milikku. Segalanya diserahkan untuk Maka ketika kehendaknya untuk kepentingan negeri,” tuturnya. (Permana, memilih mengabdikan hidupnya untuk 2009: 81) negara, apapun yang terjadi kemudian ia hadapi dengan kepasrahan. Bahkan, ketika peristiwa yang mengubah jalan hidupnya, “Tentu saja semua orang punya cita-cita yaitu gagalnya pernikahan, tidak sendiri. Namun ada sesuatu kewajiban membuatnya mengubah keputusannya yang telah membelenggu. Kewajiban itu untuk bersikap pasrah. Apapun yang bernama pengabdian. Maka bila orang terjadi, terjadilah. Itulah hal yang harus mengabdi, mengabdilah tanpa dikatakannya dalam menghadapi berbagai memperhitungkan cita-cita dan peristiwa yang dialami sebagaimana keuntungan pribadi,” kata Putri Dyah ungkapan berikut. Pitaloka mantap. (Permana, 2009: 131) “Ya, Hyang Yang Agung, kemampuan Bagi dirinya, cita-cita itu hanya akan saya terbatas dalam memaknai kejadian mempertemukannya dengan berbagai demi kejadian. Hanya Engkau yang serba- kesulitan. Sesuai dengan tingkah-lakunya mengetahui, termasuk perjalanan hidup yang bersahaja, ia tak punya cita-cita besar. manusia. Maka, apa pun yang terjadi, Melakukan pengabdian kepada negara terjadilah,”gumam Putri Dyah Pitaloka baginya sudah merupakan sebuah sambil menyembah takzim. (Permana, kewajiban yang telah dipenuhi. 2009: 287) Menurutnya, jika pengabdian diisi dengan Berdasarkan hal tersebut, kita dapat keingian, itu pamrih namanya. Namun, ia mengatakan bahwa tokoh ini dari awal juga sadar bahwa pengabdian itu hingga akhir hidupnya memang bertekad memerlukan pengorbanan. Paling tidak cita- untuk pasrah menerima keadaan. Dalam cita pribadi harus dikesampingkan agar pikirannya, ia menyadari bahwa sebagai pengabdian utuh tak terganggu (hlm. 147). seorang putri hidupnya hanyalah untuk Pengorbanan untuk mengesampingkan mengabdi. Meskipun membelenggu, kepentingan pribadi demi kepentingan pengabdian itu harus tetap ia terima dengan negara terkadang membuatnya sadar lapang dada. Tekad untuk tetap bersikap bahwa ia tidak memiliki kekuatan untuk

116 S ARIP H IDAYAT : P ANDANGAN D UNIA O RANG S UNDA DALAM T IGA N OVEL I NDONESIA ... pasrah tersebut dijalankannya sampai yang dikemukakan oleh sang Prabu bahwa kemudian ia menyerahkan keputusannya seorang yang seperti dirinya tidak akan kepada Sang Hyang . Dengan demikian, mungkin memiliki derajat yang sama ketiga unsur dalam dirinya, yaitu kehendak, dengan kalangan istana membuatnya pikiran, dan tindakan membuat tokoh ini bertekad ingin membuktikan kekeliruan memandang bahwa manusia seharusnya anggapan tersebut. berserah diri kepada kehendak Sang Kuasa. Keinginannya pun kemudian berubah, Perbedaan yang ada dalam diri manusia yaitu meningkatkan derajatnya dari orang hanya akan menimbulkan rasa sakit. yang biasa-biasa saja menjadi orang yang Adapun pengabdian kepada negeri adalah dihormati. Ia pun berangkat ke Majapahit kewajiban yang harus dijalani tanpa harus untuk membuktikan tekadnya. Di tempat bertanya-tanya lagi. itu ia berhasil membuktikan diri dapat Hal yang berbeda ditunjukkan oleh meningkatkan derajat dirinya dengan tokoh Mahapatih Gajah Mada. mengabdi menjadi Mahapatih Majapahit. Kehendaknya adalah memiliki keinginan Saat itu, ia pun hampir berhasil dengan meskipun ia tidak tahu keinginan seperti keinginannya yang lain, mempersatukan apa yang diinginkannya. Pada awalnya, wilayah nusantara dengan keinginannya adalah untuk mendapatkan mengumandangkan sumpahnya, Amukti kebahagiaan hidup. Meskipun demikian, ia Palapa . Namun demikian, tidak semua tidak mengetahui persis kebahagiaan seperti orang menganggap bahwa ia dapat dengan apa yang ingin diraihnya. serta merta melepaskan masa lalunya Namun demikian, Ma muda bergeming sebagai orang biasa. Keberhasilan dirinya pada keinginannya sendiri. Baginya, menjadi mahapatih membuat iri orang lain, kekayaan bukan satu-satunya khususnya Patih Purwodi. Tokoh Patih kebahagiaan hidup. Ada kebahagiaan Purwodi kemudian memanfaatkan situasi yang ingin dia raih, tetapi dia sendiri pun sehingga menjerumuskan sang Mahapatih tak sanggup menerjemahkannya. ke dalam posisi yang membuat dirinya harus (Permana, 2009: 42) melepaskan jabatannya sebagai mahapatih. Kembali ia merasakan kehilangan. Untuk itu, ia berkelana ke berbagai tempat untuk meraih kebahagiaan itu. Selepas menanggalkan jabatannya Awalnya ia menganggap bahwa sebagai mahapatih, tokoh Gajah Mada kebahagiaan akan diperoleh jika ia berada kembali berpikir ulang mengenai di tempat yang tenteram, damai, dan keinginannya. Apa yang sebenarnya sentosa. Ia pun berkeinginan untuk diinginkan oleh dirinya? Apakah memang mengabdi di Tanah Sunda. Di Tanah Sunda kebahagiaan, sedangkan kebahagiaan yang itulah kemudian ia bertemu dengan Putri ia harapkan ternyata selalu sulit didapatkan. Dyah Pitaloka yang telah membuatnya Pada akhirnya ia menemukan tekadnya merasa bahagia. Ia pun kembali memiliki bahwa yang diinginkan dalam dirinya keinginan, mencintai dan dicintai. Namun adalah keinginan untuk memiliki meskipun demikian, keinginan tersebut harus apa yang berhasil dimiliki itu kemudian menemui hambatan karena sang Raja, Prabu hilang. Linggabuana menganggap dirinya tidak Pria bernama Ramada berjalan dan terus pantas untuk memiliki sang Putri. Ia pun berjalan. Dia sudah tak ingat makan. Dia merasakan ada yang hilang, dalam hal ini sudah tak ingat tidur. Haus dan dahaga kehilangan cinta dan kebahagiaan. terus menyongsong. Namun, dia tetap Akibat perlakuan yang dirasa tidak adil bertahan lantaran hatinya yang hampa tersebut membuat Gajah Mada tidak merasa tetap merasa kaya, kendati kaya oleh bahagia. Ia pun berpikir ulang untuk banyak kehilangan. mencari kebahagiaan di tempat lain. Alasan

117 META SASTRA , Vol. 8 No. 1 , Juni 2015: 105—120

“Hanya orang yang ingin memiliki yang suatu peristiwa. Dalam novel SMB, tokoh harus merasa kehilangan,” bantahnya utamanya adalah Prabu Linggabuana yang kemudian. (Permana, 2009: 326) memperlihatkan keteguhan saat memimpin kerajaannya. Meskipun tahu bahwa dirinya Kebahagiaan sebagai abdi negara, rasa melanggar adat kebiasaan, ia tetap cinta, dan jabatan Mahapatih adalah bersikukuh untuk tetap berjuang demi beberapa hal yang telah dimilikinya. Meskipun pada akhirnya semua miliknya itu mempertahankan harkat dan martabat hilang, ia tetap merasa bahagia karena telah kerajaannya. pernah memperolehnya. Baginya, keinginan Dalam novel DP, tokoh utamanya untuk memiliki itulah kebahagiaan yang adalah perempuan, yaitu Putri Dyah sesungguhnya. Pitaloka yang melalui pergulatan pemikirannya menunjukkan sikapnya Dapat dikatakan bahwa tokoh ini terhadap posisi perempuan di negerinya. berusaha mengidentifikasi dirinya dengan terus mencoba dan mencoba. Tekadnya Bagi Tokoh ini, perempuan Sunda harus adalah ingin mendapatkan sesuatu yang keluar dari kungkungan yang selama ini membelenggu. Mereka harus mau dapat membahagiakannya. Untuk itu, ia mengembangkan dirinya dengan memiliki terus mencarinya meskipun sejak awal ia pengetahuan yang lebih luas agar tidak mengetahui persis apa yang dicarinya derajatnya bisa sejajar dengan laki-laki. tersebut. Kejadian demi kejadian membuatnya banyak merasakan kehilangan Adapun dalam novel PB, tokoh Gajah sampai akhirnya ia menyadari bahwa Mada memperlihatkan pandangan sesungguhnya memiliki keinginan itulah dunianya tentang makna sebuah yang membahagiakannya. Berdasarkan hal kebahagiaan. Dalam pandangannya, tersebut, tokoh ini memandang bahwa kebahagiaan diperoleh melalui perjuangan keinginan untuk memiliki sesuatu adalah yang tak kenal lelah. Sepanjang belum energi yang membuat manusia tetap hidup menemukan kebahagiaan itu, setiap risiko dan bertahan dalam kehidupannya. harus dihadapi meskipun pada akhirnya Sepanjang memiliki tekad itu, setiap kejadian kebahagiaan itu tidak diperolehnya, akan terus dimaknai sebagai bagian dari setidaknya ia tahu apa yang ingin dicarinya. proses memiliki tersebut. Pada akhirnya, penelitian ini sedikit banyak memberi gambaran kepada pembaca 4. Simpulan bahwa ketiga novel yang dianalisis memperlihatkan sudut pandang yang Perang Bubat adalah suatu kisah sejarah berbeda. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk yang menceritakan perjalanan rombongan mengetahui pandangan hidup orang Sunda pengantin Kerajaan Sunda ke Majapahit. seperti tercermin dalam ketiga novel ini. Kesalahpahaman yang terjadi antara Peristiwa Perang Bubat selama ini memang utusan Kerajaan Sunda dan prajurit telah menjadi memori kolektif orang Sunda. Majapahit membuat rencana pernikahan Perbedaan interpretasi para pengarang tersebut malah menjadi perang terbuka di dalam menafsirkan kembali peristiwa Palagan Bubat. Konflik yang terjadi antara tersebut menjadi kontribusi yang positif pihak Sunda dan pihak Majapahit pada untuk mengkaji ulang pemahaman akhirnya mengakibatkan kematian bagi terhadap peristiwa tersebut oleh generasi orang-orang Sunda. Peristiwa ini banyak sekarang dan yang akan datang. dijadikan sumber penciptaan karya sastra Terkait dengan hasil penelitian ini, modern, termasuk dalam bentuk novel. nyatanya masih banyak hal yang belum Pandangan dunia dalam ketiga novel ini terungkap. Analisis terhadap diketahui melalui analisis terhadap sepak pengembangan alur dan kompleksitas terjang para tokohnya ketika menghadapi penokohan yang disajikan dalam ketiga

118 S ARIP H IDAYAT : P ANDANGAN D UNIA O RANG S UNDA DALAM T IGA N OVEL I NDONESIA ... novel adalah beberapa hal yang belum kesundaan adalah persoalan yang patut sempat dianalisis. Kompleksitas tokoh-tokoh diangkat untuk bahan penelitian. Semoga minor yang justru sebenarnya hal ini dapat terwujud pada masa-masa menggerakkan peristiwa adalah hal yang mendatang. penting untuk diteliti lebih lanjut. Selain itu, kedudukan ketiga novel dalam wacana

Daftar Pustaka Abdurrahman dkk. 1991. Carita Parahiyangan Karya Pangeran Wangsakerta . : Yayasan Pembangunan Jawa Barat. Aksan, Hermawan. 2005. Dyah Pitaloka: Senja di Langit Majapahit . Yogyakarta: C%Publishing (PT Bentang Pustaka). Asmalasari, Devyanti. 2010. “Peristiwa Bubat dalam Novel Perang Bubat Karya Yoseph Iskandar dan Novel Gajah Mada: Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi (Kajian Sastra Bandingan)”. Artikel untuk jurnal Metasastra, Balai Bahasa Bandung. Ekadjati, Edi S. 2009. Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran. Jilid II. Jakarta: Pustaka Jaya. Hariadi, Langit Kresna. 2006. Gajah Mada: Perang Bubat . Solo: PT Tiga Serangkai. Hardjasaputra, Sobana. 2007. “Jati Diri Ki Sunda dalam Perspektif Sejarah” dalam Gentra Galuh Edisi III, Oktober 2007. Hendayana, Yayat. 2005. “Jati Diri Orang Sunda”. Bandung: HU Pikiran Rakyat, 5 September. Iskandar, Eddy D. 2007. Citraresmi Riwayat Menyayat Perang Bubat . Bandung: PT Kiblat Buku Utama. Iskandar, Yoseph. 1991. Sang Mokteng Bubat . Jakarta: Yayasan Pembangunan Jawa Barat bekerja sama dengan CV Geger Sunten. Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan . Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi. Jilid 1, cetakan kedua. Jakarta: Rineka Cipta. Nurrosida, Dewi Haniefa. 2010. “Perang Bubat dalam Novel Perang Bubat karya Yoseph Iskandar dan Dyah Pitaloka: Senja di Langit Mahapahit karya Hermawan Aksan: Sebuah Kajian Sastra Bandingan”. Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Permana, Aan Merdeka. 2009. Perang Bubat: Tragedi di Balik Kisah Cinta Gajah Mada dan Dyah Pitaloka . Bandung: Qanita. Pradotokusumo, Partini Sarjono. 1986. Kakawin Gajah Mada (Sebuah Karya Sastra Kakawin Abad Ke-20 Suntingan Naskah serta Telaah Struktur, Tokoh, dan Hubungan Antarteks . Bandung: Binacipta. Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar . Cetakan ke-37. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sumardjo, Jakob. 2011. Sunda Pola Rasionalitas Budaya . Bandung: Kelir.

119 META SASTRA , Vol. 8 No. 1 , Juni 2015: 105—120

Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra Beberapa Alternatif . Yogyakarta: Hanindita. Todorov, Tzvetan, 1985. Tata Sastra . Terj. Okke K.S. Zaimar dkk. Jakarta: Djambatan. Turabian, Kate L. 1996. A Manual for Writers of Term Papers, Theses, and Dissertations . Chicago: The University of Chicago Press. Warnaen, Suwarsih dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda . Bandung: Depdikbud. Zaimar, Okke K. S. 2008. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra . Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.

120