View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by Jurnal Balai Bahasa PANDANGAN DUNIA ORANG SUNDA DALAM TIGA NOVEL INDONESIA TENTANG PERANG BUBAT Sundanese World View in Three Indonesian Novels about Bubat War Sarip Hidayat Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat, Jalan Sumbawa Nomor 11 Bandung Telepon: 085860944793, Pos-el: [email protected] Naskah masuk: 29 Maret 2015, disetujui: 10 Mei 2015, revisi akhir: 19 Mei 2015 Abstrak: Penelitian ini membahas pandangan dunia orang Sunda yang terdapat dalam tiga novel Indonesia tentang Perang Bubat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan pendekatan struktural. Melalui analisis terhadap alur dan pengaluran, penokohan, latar, serta sudut pandang, penulis menggali pandangan dunia orang Sunda yang hadir dalam ketiga novel tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam ketiga novel tersebut, para tokohnya memperlihatkan pola tindak, pola tutur, dan pola pikir yang mengarah pada pandangan dunianya tentang kepemimpinan dan harga diri; perempuan dan arti cinta, kepasrahan, serta kebahagiaan. Hal tersebut ditunjukkan oleh para tokoh setelah melalui berbagai peristiwa yang kemudian mengubah jalan hidup mereka karena terjadi konflik dalam Perang Bubat. Kata kunci: pandangan dunia, novel, orang Sunda, Perang Bubat Abstract : This research discusses Sundanese world view in three Indonesian novels about Bubat War. This study uses qualitative methods and structural approaches. Through the analysis of plot, characterization, setting, and point of view, the author explores the Sundanese world view presented in the three novels. The results reveal that in the three novels, the characters show the act pattern , speech pattern, and mindset leading their world view on leadership and self-esteem: women as well as the meaning of love, surrender, and happiness. Those are shown by the characters through series of events changing their lives because of conflict in Bubat War. Key words : world view, novel, Sundanese, Bubat War 1. Pendahuluan Perang Bubat adalah peristiwa sejarah Dalam kitab-kitab tersebut peristiwa (Ekajati dalam Iskandar, 1991: vi) yang Perang Bubat diungkapkan dengan pernah terjadi pada tahun 1357 Masehi dan penekanan yang berbeda-beda. Hal ini melibatkan pihak Kerajaan Sunda dan dapat terjadi akibat latar belakang budaya Kerajaan Majapahit. Disebut peristiwa yang berbeda dari para penulisnya. sejarah karena Perang Bubat tercatat dalam Pararaton misalnya, dibuat oleh orang Jawa beberapa sumber tradisional historiografi sehingga keberpihakannya terhadap tokoh- nusantara, seperti dalam kitab Pararaton, tokoh Majapahit lebih kentara. Hal yang Kidung Sunda , Kidung Sundayana , dan Carita sama terjadi dalam Carita Parahiyangan yang Parahiyangan. memberi penekanan lebih besar kepada 105 META SASTRA , Vol. 8 No. 1 , Juni 2015: 105—120 tokoh-tokoh Sunda. Namun demikian, pengiringnya, berangkat meninggalkan secara garis besar alur kisah dari seluruh bumi Sunda. Setelah beberapa hari kitab yang memuat peristiwa Perang Bubat perjalanan sampailah mereka di Bubat. memiliki kesamaan. Di sana Prabu Linggabuwana Berdasarkan penelitiannya terhadap beristirahat sambil menunggu utusan Carita Parahyangan , Abdurrahman dkk. yang pergi ke istana Prabu Hayam Wuruk. (1991: 39—41) menceritakan kembali Prabu Linggabuwana menghendaki peristiwa Perang Bubat yang ada dalam putrinya agar dijemput sebagaimana sargah (bagian) 3 naskah tersebut seperti layaknya pengantin wanita. Namun, berikut. ketika sampai di Wilwatikta, kehendak maharaja Sunda itu ditolak oleh Patih “Dewi Citraresmi atau Dyah Pitaloka Mada (Gajah Mada). Patih Mada adalah seorang putri yang sangat cantik beranggapan bahwa putri Sunda itu parasnya. Kecantikannya tak ada yang sebagai upeti dari Kerajaan Sunda untuk menandingi di seluruh nusantara Kerajaan Wilwatikta. Oleh karena itu, sehingga tidak heran apabila Bhre Prabu pihak Wilwatikta tidak perlu menjemput Wilwatikta Hayam Wuruk (di Jawa sang putri yang telah berada di Bubat. Timur) tergila-gila kepadanya. Siang dan malam hati Sang Prabu Hayam Wuruk Betapa berangnya Prabu tak pernah tenteram. Ia ingin sekali Linggabuwana ketika mendengar cerita memetik bunga jelita dari bumi Sunda itu. utusan itu. Ia tidak mau Kerajaan Sunda Perasaannya tak tertahankan lagi, ia pun dianggap sebagai taklukan Kerajaan mengutus Patih Madu pergi ke Kerajaan Wilwatikta. Ia merasa harga dirinya Sunda untuk melamar putri itu dan diinjak-injak oleh pihak Wilwatikta. Lalu mengundang orang Sunda. Berangkatlah Sang Prabu berunding dengan para Patih Madu menunaikan tugas dari Sang pengiringnya, dan bersepakat untuk tidak Baginda Prabu. meladeni keinginan pihak Wilwatikta. Mereka bertekad akan menjunjung tinggi Setelah menempuh perjalanan harga diri orang Sunda, kendatipun panjang, sampailah Patih Madu ke harus ditebus oleh nyawa dan Kerajaan Sunda. Maharaja Prabu pertumpahan darah. Begitu pula pihak Linggabuwana menerimanya dengan Wilwatikta yang dipelopori oleh Patih baik. Kemudian Patih Madu Mada, mereka tetap bersikeras pada mengutarakan maksud kedatangannya pendiriannya. Patih Mada merasa bahwa sesuai kehendak Prabu Hayam Wuruk. Prabu Hayam Wuruk sangat tidak pantas Lamaran Prabu Hayam Wuruk terhadap turun dari istana untuk menjemput putri Citraresmi diterima oleh Prabu Sunda, Dewi Citraresmi. Linggabuwana dengan senang hati. Adapun undangan untuk datang ke Oleh karena kedua belah pihak tetap Wilwatikta (Majapahit) mereka terima bertahan pada pendiriannya, perang pun pula. Pihak Kerajaan Sunda menganggap tak terelakkan. Pasukan angkatan bahwa undangan tersebut adalah suatu bersenjata Wilwatikta yang banyak dan isyarat untuk melangsungkan lengkap dihadapi oleh para pengiring pernikahan antara putri Sunda dengan Kerajaan Sunda dengan gagah berani. Prabu Wilwatikta. Maka dipersiapkanlah Padahal pasukan Kerajaan Sunda tidak segala sesuatunya, mulai dari pengiring seberapa jumlahnya. Mereka hanya hingga perbekalan untuk pergi ke merupakan pengawal pribadi Prabu Wilwatikta. Linggabuwana yang datang bukan untuk berperang. Pasukan pengiring raja Pada hari yang telah ditentukan, Kerajaan Sunda bertempur mati-matian Prabu Linggabuwana dengan permaisuri walaupun kian lama mereka kian dan putrinya, juga sejumlah terdesak dan banyak yang gugur. 106 S ARIP H IDAYAT : P ANDANGAN D UNIA O RANG S UNDA DALAM T IGA N OVEL I NDONESIA ... Akhirnya pasukan Kerajaan Sunda tak Dalam perkembangan selanjutnya, tersisa, semua tewas di medan perang kisah ini ternyata menarik minat sejumlah termasuk Prabu Linggabuwana. Tak sastrawan untuk menuliskannya kembali terlukiskan sakitnya hati Dewi Citraresmi dalam bentuk yang lebih modern, baik ketika menyaksikan ayah dan ibunya berupa novel maupun prosa liris. Peneliti gugur. Sang putri pun mengorbankan mencatat bahwa novel berjudul Sang dirinya ( labuh geni ) demi kehormatan Mokteng Bubat (1991) karya Yoseph Iskandar bangsa dan negaranya. adalah karya sastra pertama berbentuk Peristiwa tragis di Bubat itu terjadi novel berbahasa Indonesia yang bercerita pada tanggal 13 paro-gelap bulan tentang Perang Bubat. Setelah itu, muncul Bhadrawada tahun 1279 Saka (4 Septem- tiga novel lain yang berkisah tentang ber 1357 Masehi) dan dikenal dengan peristiwa ini. Ketiga novel tersebut masing- peristiwa “Pasunda Bubat”. Setelah masing berjudul Dyah Pitaloka: Senja di Langit peristiwa itu, nama Prabu Linggabuwana Majapahit (2005) karya Hermawan Aksan, terkenal ke mana-mana, harum bagaikan Gajah Mada: Perang Bubat (2006) karya bunga semerbak ke seantero nusantara. Langit Kresna Hariadi, dan Perang Bubat: Ia dianggap dan dijunjung sebagai Tragedi di Balik Kisah Cinta Gajah Mada dan prajurit yang teguh dalam Dyah Pitaloka (2009) karangan Aan Merdeka mempertahankan kehormatan Permana. Selain dalam bentuk novel, kisah bangsanya. Oleh karena itu, ia dikenal ini diceritakan pula dalam bentuk prosa liris dengan julukan Prabu Wangi. Selain itu oleh Edi D. Iskandar dengan judul ia dijuluki pula dengan sebutan “ Sang Citraresmi: Riwayat Menyayat Perang Bubat Lumah ing Bubat .” (2007). Dari kelima karya tersebut, tiga karya Sebagai bagian dari sejarah, peristiwa di antaranya akan menjadi objek penelitian, ini masih menyisakan misteri dan yaitu novel Sang Mokteng Bubat (1991), Dyah kontroversi. Sejumlah pertanyaan masih Pitaloka: Senja di Langit Majapahit (2005), dan membayangi para ahli sejarah maupun ahli Perang Bubat: Tragedi di Balik Kisah Cinta sastra yang berusaha mengungkap sejarah Gajah Mada dan Dyah Pitaloka (2009). Ketiga sesungguhnya dari peristiwa ini. karya berbentuk novel ini ditulis oleh tiga pertanyaan itu misalnya, mengapa pengarang yang berasal dari latar belakang peristiwa ini tidak tercatat dalam kitab budaya yang sama, yaitu budaya Sunda. Nagarakartagama yang selama ini menjadi sumber utama bagi penyusunan sejarah Novel Sang Mokteng Bubat (1991) ditulis Majapahit. Para ahli pun masih oleh Yoseph Iskandar sebagai pemenuhan mempertanyakan keabsahan sumber tertulis salah satu program dari tiga program mengenai peristiwa ini karena sejumlah tambahan yang diusulkan oleh Tim sumber tersebut menghadirkan penekanan Penggarapan Naskah Pangeran yang berbeda. Para ahli pun menyangsikan Wangsakerta. Kehadiran novel yang sumber-sumber tersebut karena ditulis ulang diterbitkan oleh Yayasan Pembangunan oleh para sarjana Belanda yang ditengarai Jawa Barat ini dimaksudkan untuk menyimpan maksud tertentu dalam menyebarluaskan informasi mengenai isi penulisan tersebut. Demikian pula dengan Naskah Pangeran Wangsakerta kepada nasib para tokohnya yang tidak jelas masyarakat.
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages16 Page
-
File Size-