Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

Orasi Budaya

HARMONISASI BUDAYA SUNDA-JAWA

L a u n c h i n g Nama Jalan Prabu Siliwangi & Jalan Pasundan di Kota Surabaya Surabaya, 6 Maret 2018

Pengantar

REKONSILIASI antarbudaya dan antaretnik agar berkelanjutan (sustainable) setidaknya memerlukan prasyarat utama, yaitu hubungan ​ ​ antarmanusia sejatinya adalah dasar dari pemasalahan konflik, yang dalam relasi etnik Sunda-Jawa bisa dikatakan sebuah kecelakaan sejarah, sekaligus pemulihan hubungan antarmanusia sebagai wahana solusi jangka panjang.

Dalam konteks ini, kita sebagai bangsa Indonesia harus menafsir sejarah secara kritis. Bahwa Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang sebelumnya diperkirakan ditulis di Abad-16, padahal Perang Bubat terjadi pada Abad-14, ternyata ditemukan fakta baru ditulis pada 1927 oleh Prof Dr CC Berg, seorang penulis Belanda. Patut diduga tulisan ini sebagai bagian dari politik devide et ​ impera Belanda. Karena banyak sumber-sumber lain, bahwa Tragedi Bubat itu merupakan intrik istana tentang suksesi, jika Dyah Pitaloka Citraresmi diangkat

1 menjadi prameswari. Dimana Mahapatih Gadjah Mada tidak menyadari peristiwa di balik tragedi sejarah tersebut.

Versi Lain

Kisah yang beredar selama ini, perang Bubat adalah perang yang diceritakan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja , dan mahapatihnya, . Sumber sejarah tentang Perang Bubat amat terbatas. Bahkan hingga kini tak ada satu pun dari sekitar 50 prasasti yang berasal dari masa kerajaan Majapahit dan 30 prasasti dari masa kerajaan Sunda yang menyebutkan, apalagi menguraikan, peristiwa tersebut. Yang ada hanya sumber-sumber tertulis berupa naskah atau manuskrip.

Pararaton sendiri, sebagai sumber awal mengenai peristiwa itu diragukan keakuratannya. Dari hasil pembacaan ulang atas teks Pararaton, Agung Kriswantoro, filolog Perpustakaan Nasional RI, menyebut data sejarah di dalam Pararaton sangat mungkin menyimpang dari sumber data primer. Hal ini disebabkan waktu penulisan teks dilakukan jauh setelah peristiwa sebenarnya terjadi. Bahkan Edi Sedyawati, guru besar arkeologi Universitas Indonesia, membuat perkiraan lebih jauh. Peristiwa Bubat tidak lebih dari sisipan penyalin Pararaton, atau malahan tambahan orang Belanda pertama yang menelitinya.

Tujuannya: Memersatukan Majapahit dan Sunda

Berbeda dari versi umumnya yang mengaitkannya dengan ambisi Gajah Mada, Agus Aris Munandar membuat penafsiran baru berdasarkan kisah Panji Angreni, yang ditulis pada 1801 atas perintah Pangeran Adimanggala di Palembang. Menurutnya, Gadjah Mada semula setuju dengan perkawinan itu, ​ sebagai upaya mempersatukan Majapahit dan Sunda tanpa peperangan.

Namun ayahanda Hayam Wuruk, Krtawarddhana (suami Tribhuwana ​ Tunggadewi) yang disebut sebagai penguasa Kahuripan, keberatan dengan perkawinan itu. Terlebih Hayam Wuruk telah dijodohkan dengan Indudewi, anak Rajadewi Maharajasa (adik Tribuwana) yang berkedudukan di Daha 2

(Kadiri). Maka, Krtawarddhana memerintahkan Gadjah Mada untuk ​ membatalkan perkawinan tersebut. Gajah Mada hanya perpanjangan tangan orangtua Hayam Wuruk yang khawatir kedudukan permaisuri Majapahit jatuh ke tangan Dyah Pitaloka.

Demikian dikatakan sejarahwan dari Universitas Indonesia, Agus Aris ​ Munandar (yang juga hadir sebagainarasumber) dalam acara Seminar Borobudur Writers & Cultural Festival Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Selain itu ada juga teori konspirasi. Dalam bukunya ‘Gadjah Mada ​ Biografi Politik’, Agus menuliskan konspirasi pejabat Majapahit karena pada masanya, Gadjah Mada itu terlalu cemerlang. Banyak pejabat Majapahit yang ingin menjatuhkan Gadjah Mada. Mereka pun berkonspirasi, menjadikan Gadjah Mada sebagai kambing hitam.

Soal pernikahan dengan Dyah Pitaloka, Gadjah Mada tidak bersalah. Dia hanya melaksanakan titah sang raja. Justru, sang mahapatih punya keinginan besar agar Majapahit dan Sunda bergabung menjadi satu. Sayangnya, Gadjah ​ Mada tidak tahu tentang konspirasi perjodohan Hayam Wuruk sejak kecil yang sudah dijanjikan pada sepupunya, Dewi Sekartaji. Kesalahan inilah sebab terjadinya Perang Bubat.

Penamaan Jalan

Tidak seperti peristiwa yang lain, peresmian nama jalan ini dimaksudkan untuk memutus sejarah kelam 660 tahun lalu atas Tragedi Bubat yang meretakkan hubungan antara etnik Sunda dengan Jawa hingga hari ini.

Berkaitan dengan itu, di Ygyajarta telah dilakukan perletakan nama jalan Siliwangi, Pajajaran dan Majapahit menjadi satu kesatuan menerus dalam satu jalur dari ruas Simpang Empat Pelemgurih ke Jombor, lalu diteruskan sampai di Simpang Tiga Maguwoharjo, dan dilanjutkan lagi dari ruas Simpang Tiga Janti hingga Simpang Empat Jalan Wonosari.

3

Sebagai bentuk kegiatan seri kedua, pada hari juga akan dilakukan penamaan jalan Prabu Siliwangi dan jaan Pasundan di Kota Pahlawan Surabaya yang diawali dengan dialog budaya antaretnik Sunda-Jawa dengan narasumber sejarawan yang terpercaya. Penamaan jalan ini merupakan upaya memutus dendam sejarah menuju rekonsiliai budaya yang dulu diwariskan dari generasi ke generasi kedua etnik.

Sesungguhnya penamaan jalan adalah bagian dari pembangunan arsitektur-urban, dan pembentukan identitas sebagai tetenger yang memiliki ​ ​ daya hidup sehingga mampu dikenal sepanjang jaman, karena mengakar dari dan pada struktur sosial, ekonomi, serta budaya masyarakat. Sehingga harapannya, agar penamaan jaan hari ini menjadi tonggak awal sejarah baru realisi etnik Sunda-Jawa.

Catatan Akhir

Dengan penamaan jalan ini, semoga kehadiran para Gubernur sebagai representasi rakyat Sunda di Jawa Barat dan rakyat Jawa di Jawa Timur dimana Tragedi Bubat berlangsung, secara kultural bisa memulihkan kembali tali persaudaraan sebagai satu bangsa Indonesia yang bermartabat. Karena, dalam agama apa pun kita tidak pernah mengenal adanya dosa turunan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan menunjukkan jalan lurus-Nya, sehingga kita menjadi lebih utuh sebagai satu bangsa.

Yogyakarta, 6 Maret 2018

GUBERNUR

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

HAMENGKU BUWONO X

4