STUDI PERBANDINGAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DALAM PERSPEKTIF IMAM SYAFI’I DAN UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM NEGERI MALAYSIA

SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Pensyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Disusun Oleh:

MOHD SHAFIE BIN ABD SAMAT NIM: 107044103864

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H / 2009 M

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Penguasanalam semesta yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis terutamanya dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Seterusnya selawat serta salam ke atas junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW serta keluarga, para sahabat baginda yang telah banyak berkorban dan menyebarkan dakwah Islam selama ini yang mana telah menyelamatkan umat dari alam kegelapan ke alam yang terang benderang.

Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar strata satu (S.1), dalam jurusan Ahwal Syakhshiyah, Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul : “STUDI

PERBANDINGAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DALAM PERSPEKTIF

IMAM SYAFI’I DAN UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM NEGERI

TERENGGANU, MALAYSIA”.

Untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari bahwa selesainya penulisan skripsi ini bukan semata-mata atas usaha sendiri, namun juga karena bantuan, motivasi, petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung dan tidak langsung yang terlibat dalam proses menyiapkan skripsi ini. Dalam pada itu, penulis mengucapkan penghargaan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan kesempatan untuk menimba ilmu.

2. Kepada Negara Indonesia yang telah memberikan izin tinggal untuk mencari

dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat.

3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma M.A, S.H, MM. Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dengan kewenangan

yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun

skripsi ini.

5. Drs. Basiq Djalil S.H, M.H, Drs. Kamarusdiana S.Ag, M.A, masing-masing

selaku ketua dan sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyah yang telah

banyak memberikan motivasi kepada penulis.

6. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H, M.H, selaku dosen pembimbing yang

telah banyak meluangkan waktu bersama penulis dalam rangka menyiapkan

skripsi ini. Terima kasih juga atas segala kesabaran dalam memberi tunjuk ajar

dan masukan kepada penulis hingga tuntasnya sudah skripsi ini. Hanya Allah

saja yang selayaknya membalas jasanya.

7. Seluruh staff pengajar (dosen) Program Studi Ahwal Syakhshiyah Fakultas

Syariah dan Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan tunjuk ajar

sepanjang penulis berada di sini. Selain itu, terima kasih juga kepada seluruh

staff perpustakaan dan karyawan yang telah banyak memfasilitasi penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

8. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan

Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas

kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.

9. Buat insan tersayang lagi teristimewa Ayahanda Abd Samat bin Ahmad dan

juga Ibunada Kamariah binti Mamat, terima kasih atas segala pegorbanan

mereka telah memberikan curahan kasih sayang, membesar, mendidik serta

memberi dorongan baik moril maupun materi kepada penulis, dengan penuh

kesabaran, perhatian, serta pengorbanan yang tidak terbalas, senantiasa

memberikan semangat dan harapan tanpa jemu hingga anakanda dapat

menyelesaikan pengajian. Segala jasa pengorbanan kalian akan senantiasa

terpahat diingatan. Tiada apa yang dapat dipersembahkan sebagai balasan,

melainkan hanya dengan sebuah kejayaan.

10. Buat ahli keluarga tersayang, Rosmaini, Nurul, Nor Hanida, Siti Aminah, Siti

Fatimah, Siti Rokiah, Siti Aisyah, Ramadhan, Abd Manaf, Aiman dan Nurul

Hidayah, tidak lupa juga sanak saudara yang dikasihi, begitu juga buat Ernie

Nadia, yang telah banyak memotivasi dan senantiasa memberi semangat kepada

penulis untuk mencapai kejayaan yang diimpikan.

11. Buat Ustaz Mohd Noor, selaku Pegawai Agama Daerah Hulu Terengganu, dan

juga staff Pejabat Agama, yang telah banyak meluangkan waktu untuk

diwawancara bersama penulis.

12. Kepada sahabat seperjuanganku, Faizal, Luqman, Fazrul, Ismayudin, Kamal,

Rais, Zulkifli, Ahmad Baha, Zaki, Najib, Fahmi, Muhiburahman, serta teman-

teman lain dari Malaysia angkatan 2007-2009 lelaki maupun perempuan,

begitujuga teman-teman Indonesia yang tidak sempat penulis catatkan di sini.

Terima kasih atas segala partisipasi, semangat yang diberikan serta dukungan

yang tidak putus-putus kepada penulis sepanjang menyiapkan skripsi ini.

13. Buat Guru-guru penulis yang berada di Malaysia yang banyak memberi tunjuk

ajar, sehingga penulis berjaya, semoga jasa kalian dibalas oleh Allah. Tidak

lupa juga buat semua teman-teman yang berada di Malaysia.

14. Terima kasih buat Kedutaan Besar Malaysia Jakarta, yang memberi semangat

dan bantuan selama penulis berada di sini.

Akhirnya, mudah-mudahan segala jasa dan pengorbanan akan mendapat balasan dari Allah SWT kepada semua yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu penulis dalam menyiapkan skripsi ini. Penulis mengucapkan “ Jazakumullah Khaira al-jaza”.Semoga skripsi ini dapat memberikan masukan yang positif kepada pembaca sekalian. Penulis amat menyadari bahwa di dalam penulisan skripi ini tidak luput dari kekhilafan dan kesalahan, maka kritikan dan saran yang sewajarnya sangat diharapkan di dalam rangka perbaikan dan kesempurnaan penulisan ini.

-Amin Ya Rabbal A’lamin-

Jakarta, 26 Mei, 2009 M

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………….i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………………...... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...... 10

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan...... 11

E. Sistematika Penulisan...... 12

BAB II PERKAWINAN MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Definisi dan Dasar Hukum Perkawinan...... 15

B. Rukun dan Syarat Perkawinan...... 25

C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan……………………………….....30

BAB III RIWAYAT HIDUP IMAM SYAFI'I DAN POTRET NEGERI

TERENGGANU, MALAYSIA

A. Riwayat Imam Syafi'i……………………………………………..38

1. Biografi dan Latar Belakang Pendidikan Imam Syafi'i………...38

2. Karya-karya Imam Syafi'i……………………………………...45

3. Penyebaran dan Perkembangan mazhabnya…………………..47

B. Latar belakang Atau Gambaran Umum Negeri Terengganu……..53

1. Keadaan Geografi……………………………………………...53

2. Keadaan Sosial dan Ekonomi………………………………….55

3. Mahkamah Syariah, Sejarah Pejabat Agama dan

Wewenangnya………………………………………………….58

BAB IV PERNIKAHAN WANITA HAMIL DALAM PERSPEKTIF

IMAM SYAFI’I DAN UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM

NEGERI TERENGGANU, MALAYSIA

A. Pengertian Pernikahan Wanita Hamil...... 66

1. Pengertian Pernikahan Wanita Hamil Menurut Fiqh...... 66

2. Pengertian Pernikahan Wanita Hamil Menurut Undang-undang

Keluarga Islam……………………………………………...71

3. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Penzinahan....76

B. Pendapat Imam Syafi'i mengenai Status Hukum Pernikahan Wanita

Hamil ……………………………………………………...... 80

C. Undang-Undang Keluarga Islam Terengganu Tentang Status Nikah

Wanita Hamil ………………………………………………..….84

D. Analisa Penulis ………………………………………………….89

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………….....92

B. Saran-saran ……………………………………………………….93

DAFTAR PUSTAKA ...... 95

LAMPIRAN ...... 98

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut ajaran Islam, perkawinan termasuk salah satu bagian yang

penting dalam membentuk keluarga dan masyarakat kaum muslimin, keluarga

yang diridhoi Allah dan sesuai dengan ajaran sunnah Rasulullah SAW.

Aturan tersebut dibuat Allah secara sempurna, sehingga manusia yang

mengikutnya dapat memperoleh ketenteraman dan kebahagiaan. Islam mengatur

pernikahan secara sempurna, karena pernikahan ini adalah masalah yang penting

bagi kehidupan manusia. Dengan terbentuknya keluarga yang Islami, prilaku

manusia dalam masyarakat akan mengalami ketenteraman. Oleh karena itu,

agama Islam tidak membenarkan seorang muslim menghindari pernikahan,

sekalipun dengan niat ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT.

Semua perbuatan seorang muslim selalu dikaitkan dengan keredhaan

Allah. Dengan mendasarkan perkawinan sebagai suatu ibadah berarti Allah akan

ridha kepadanya. Ibadah yang dimaksud meliputi ibadah ritual antara seorang

hamba dengan tuhannya, maupun ibadah dengan arti yang lebih luas. Dengan

terjalinnya rumah tangga, dengan sendirinya akan terjadi tolong menolong antara

kedua keluarga, saudara dan kerabatnya serta menguatkan lagi ukhwah

kekeluargaan. Buah yang dihasilkan bagi perkawinan yang didasari dengan

ibadah adalah jiwa yang tenteram. Ketenteraman dalam urusan dunia pun akan terjamin.

Di antaranya tidak terombang-ambingnya hati kepada orang lain yang bisa menjurus kepada perbuatan zina. Seorang suami hatinya akan tenteram ketika mencari nafkah di luar rumah, karena harta dan anak-anaknya ada yang menjaga. Selain itu, keamanan diri (terutama bagi istri) baik secara fisik maupun kehormatan dimasyarakat akan tetap terjaga.

Selain beribadah kepada Allah dalam arti sempit maupun luas, tujuan seorang muslim berumah tangga adalah untuk melestarikan keturunan. Tujuan untuk melestarikan tidak sekadar membuat silsilah keluarga tetap berlanjut, tapi lebih luas dari itu, dari keturunan yang dimiliki akan terbentuk generasi Qur’an yang kualitasnya lebih baik dari keluarganya. Salah satu dari hikmah perkawinan adalah untuk menjaga kesempurnaan dan kesejahteraan keturunan manusia. Allah telah menentukan bahwa manusia hanya berasal dari kedua ibu bapa, lelaki dan perempuan. Bahawa Islam mengharamkan lelaki dan perempuan hidup bersama melainkan dengan ikatan perkawinan yang syar’ie. Ini menunjukkan Islam memelihara kewujudan manusia melalui perkawinan. Sekiranya Islam mengharamkan perkawinan, maka golongan manusia akan pupus. Manakala jika

Islam mengharuskan perzinahan, maka manusia akan hidup di dalam keadaan

kebinasaan. Allah menghendaki hamba-Nya menikmati kebaikan dan dijauhkan

daripada keburukan.1 Firman Allah SWT :

 : /

Artinya:“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha penyayang kepada manusia.” (Q.S.Al-Baqarah : 2 : 134)

Untuk itulah pendidikan agama dalam keluarga sangat penting, keluarga

muslim adalah komunitas masyarakat Islam dalam sekala yang paling kecil.

Sebuah keluarga muslim yang sakinah mawaddah wa rahmah akan menjadi

simbol dan contoh yang bakal terwujudnya masyarakat yang Islami.

Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, idealnya sebuah pernikahan itu terjalin

antara pasangan yang sekufu’, laki-laki yang baik berpasangan dengan wanita

yang baik dan laki-laki yang keji berpasangan dengan wanita yang keji pula.

Ukuran baik dan buruk disini adalah dari segi aqidah, akhlaq dan tujuannya.

Islam membangun kehidupan keluarga dan masyarakat atas dasar dua

tujuan. Pertama, menjaga keluarga dari kesesatan. Untuk itu, Islam melarang

adanya hubungan intim antara lelaki dan perempuan tanpa ikatan sah

sebagaimana disyariatkan Allah SWT. misalnya perzinahan, perselingkuhan, dan

mengambil istri yang tidak halal.

1 Mustofa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho, dkk, Kitab Fikih Mazhab Syafie, Undang- undang Kekeluargaan ( Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Menentukan Keturunan, Anak Buangan ), (Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn Bhd, Disembar 2005), jil. 4, h. 731-732

Firman Allah SWT:

         :/  Artinya:“Dan (diharamkan juga kamu berkawin dengan) perempuan-perempuan istri orang, kecuali hamba sahaya yang kamu miliki. (Haramnya Segala yang tersebut itu) ialah suatu ketetapan hukum Allah (yang diwajibkan) atas kamu, dan (sebaliknya). Dihalalkan bagi kamu perempuan- perempuan yang lain daripada yang tersebut itu, untuk kamu mencari (istri). Dengan harta kamu secara bernikah, bukan secara berzina, kemudian mana-mana perempuan yang kamu nikmati percampuran dengannya (setelah ia menjadi istri kamu), maka berikanlah kepada mereka maskahwinnya (dengan sempurna), sebagai suatu ketetapan (yang diwajibkan oleh Allah) dan tiadalah kamu berdosa mengenai suatu persetujuan yang telah dicapai bersama oleh kamu (suami istri), sesudah ditetapkan maskawin itu (tentang cara dan kadar pembayarannya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.” (Q.S.An-Nis’:4:24)

Dan tujuan yang kedua ialah untuk mencipta wadah yang bersih sebagai

tempat lahirnya sebuah generasi yang berdiri di atas landasan yang kokoh dan

teratur tatanan sosialnya.2

Salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh agama Islam dengan

mensyari’atkan perkawinan ialah lahirnya seorang anak sebagai pelanjut

keturunan, bersih keturunannya, jelas bapaknya dengan perkawinan ibunya.

Dengan demikian jelaslah yang bertanggung jawab terhadap anak itu dalam

menjaga, membesar, mendidik sehingga ia menjadi anak yang saleh. Karena itu

Islam melarang segala perbuatan yang menyebabkan tidak jelasnya bapak

seorang anak, seperti perbuatan zina. Larangan ini terlihat dalam Firman Allah

SWT:

  ﺱ /   Artinya:“Dan janganlah kamu menghampiri zina, Sesungguhnya zina itu adalah satu perbuatan Yang keji dan satu jalan Yang jahat (yang membawa kerosakan).” (Q.S: Al-Isr’: 17 : 32)

Sesungguhnya sangat mengerikan kalau kita melihat pergaulan anak muda

pada zaman sekarang. Norma dan aturan Islam hampir semuanya dilanggar. Dan

para orang tua ikut setuju karena tidak mau melarang anak-anaknya dari hal yang

demikian. Bahkan di antara orang tua yang kurang paham dalam agama,

2 Abduttawat Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah Poligami Dalam Islam vs MonogamiBarat, (Jakarta : CV. Pedoman Ilmu Jaya. 1993), cet. 1, hal. 8-9

menganjurkan kepada anak-anak mereka agar meniru gaya bergaul orang barat yang hina dan tidak bermoral. Para orang tua banyak yang tidak mendidik anak- anak dengan pendidikan Islam. Akibat dari pergaulan gaya Barat tersebut adalah tersebarnya perzinahan di mana-mana dan bukan lagi menjadi masalah yang pantang larang. Kita sering mendengar anak-anak yang terlahir dari hasil hubungan luar nikah. Bahkan untuk menutupi kehamilan di luar nikah tersebut yang dilakukan justru mereka menutupnya dengan maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan. Ada yang lari ke Dokter atau ke Dukun bayi untuk menggugurkan kandungan, dan ada juga yang segera melangsungkan pernikahan dengan pasangan yang menghamilinya atau orang lain sebagai tumbal agar kehamilan tidak diketahui masyarakat sebagai kehamilan yang sah.3

Dalam masyarakat Malaysia, khususnya di Terengganu, pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam keadaan hamil akibat perzinaan, dan laki-laki itu bukan orang yang menzinahinya, bahawa dikenal dengan perkawinan menutup malu wanita itu maupun keluarganya. Dan pernikahan itu akan diadakan keramaian secara sederhana.

Ditinjau dari sudut sosiologis, karena merasa malu, maka orang tua yang kebetulan putrinya hamil di luar nikah berusaha supaya kalau cucunya lahir ada ayahnya. Untuk itu mereka berusaha menikahkan putrinya dengan seorang laki-

3 Huzaemah T. Yanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer, ( Jakarta : Mawardi Prima, 2001), cet. 1, hal. 86

laki yang menghamilinya atau bukan. Dengan terjadinya pratek-pratek seperti itu, maka sangat relevan untuk dibahas kedudukan Islam dalam masalah ini.

Menikahi wanita hamil karena zina bukanlah merupakan masalah baru, tetapi masalah yang sudah lama berlaku. Karena itu para Ulama berdasarkan pemahaman mereka, terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits, telah berijtihad menetapkan hukumnya.

Perkawinan wanita hamil akibat zina adalah salah satu hal yang menjadi perdebatan di antara para Ulama. Para Ulama Mazhab sepakat mengenai kebolehan menikahi wanita yang berzina dengan pria yang menzinahinya. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal hukum menikahinya bagi pria yang bukan menzinahinya. Dan mereka juga berbeda pendapat tentang kebolehan untuk menggauli istrinya itu sesudah akad nikah tersebut, maka dalam penelitian ini penulis batasi hanya dalam perspektif Imam Syafi’i dan difokuskan pada

Undang-undang Keluarga Islam Negeri Terengganu. Masing-masing Imam mempunyai hujjah atau dalil-dalil yang menguatkan pendapat mereka. Begitu juga di Malaysia, sekarang ini sudah ada Undang-undang Keluarga Islam disetiap

Negeri untuk menetapkan hukum. Di Malaysia Undang-undang Keluarga Islam pada setiap Negeri mempunyai perbedaan. Penulis begitu tertarik untuk membahas skripsi ini di Negeri Terengganu karena faktor politik, selepas pertukaran kerajaan Negeri kepada partai Barisan Nasional banyak penegakkan hukum Islam berkurang. Dan penulis akan dapat mengkaji dengan lebih luas permasalahan ini, dengan cara ini dapat kita ketahui pernahkan terjadinya

pernikahan wanita hamil di Negeri Terengganu dan bagaimana Undang-Undang

Keluarga Islam Terengganu menanganinya. Di Negeri Terengganu menggunakan

Enakmen 12 Tahun 1985 Enakmen Tentang Undang-Undang Pentadbiran

Keluarga Islam.

Undang-undang Keluarga Islam merinci hukum-hukum kekeluargaan bermula dengan pertunangan, perkawinan – wali, akad nikah, saksi, hak dan tanggungjawab dalam ikatan perkawinan hingga pada perceraian, nafkah, iddah dan hadanah. Ada hukum yang perlu dipatuhi dalam ikatan perkawinan seperti zihar, ila’, khiyar dan setelah berlaku perceraian seperti mut’ah dan pembagian harta, dan apabila berlaku kematian istri atau suami maka wujud hukum yang perlu yang dipatuhi seperti dalam hal perwarisan dan nafkah. Sebenarnya Islam telah menggariskan peraturan yang lengkap untuk panduan hidup berkeluarga.

Pengabaian kepada aturan yang ditetapkan boleh mendatangkan masalah dan sengketa dalam rumah tangga.

Orang-orang Islam di negeri ini telah tunduk kepada Undang-undang

Negara dan Undang-undang Keluarga Islam telah terwujud dengan kedatangan

Islam ke negeri ini pada kurun kelima belas. Undang-undang ini bukan saja ditadbirkan oleh Mahkamah Syariah akan tetapi juga oleh Mahkamah-mahkamah

Awam.4

4 Yaacob Abdul Monir, Md Supi Siti Shamsiah, Manual Undang-Undang Keluarga Islam, (Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia, 2006), cet-1, h. 1

Berdasarkan latar belakang tersebutlah yang mendorong penulis untuk

meneliti lebih lanjut permasalahan ini dalam bentuk penulisan skripsi yang

mungkin dapat menjadi patokan oleh masyarakat. Adapun judul skripsi yang

diangkat oleh penulis adalah “STUDI PERBANDINGAN PERNIKAHAN

WANITA HAMIL DALAM PERSPEKTIF IMAM SYAFI’I DAN

UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM NEGERI TERENGGANU,

MALAYSIA.”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas, karena pembahasan

masalah pernikahan wanita hamil dalam Islam sangat luas sekali, maka penulis

batasi hanya dalam perspektif Imam Syafi’i dan difokuskan pada Undang-undang

Keluarga Islam Negeri Terengganu dalam Enakmen 12 tahun 1985 Enakmen

tentang Pentadbiran Keluarga Islam. Kemudian permasalahan dapat dirumuskan

berkaitan tentang perbandingan pernikahan wanita hamil dalam perspektif Imam

Syafi’i dan Undang-undang Keluarga Islam Negeri Terengganu, yaitu: "Enakmen

yang di buat di Mahkamah Syariah Negeri Terengganu bertepatan dengan

pendapat Iman Syafi’i.”

2. Perumusan Masalah

Dengan banyaknya kejadian masalah pernikahan wanita hamil,

penyelesaian menjadi suatu subjek yang penting. Dengan kondisi ini dan

berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahannya dapat dirumuskan

dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1) Apa yang dimaksudkan dengan pernikahan wanita hamil ?

2) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya pernikahan wanita hamil?

3) Bagaimanakah pendapat atau pandangan Imam Syafi’i tentang status

pernikahan wanita hamil?

4) Bagaimanakah pandangan dan status pernikahan wanita hamil ini di dalam

Undang-undang Keluarga Islam Negeri Terengganu jika terjadinya pernikahan

ini?

5) Bagaimana prosedur pelaksanaan pernikahan dalam Undang-undang Keluarga

Islam Negeri Terengganu?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor terjadinya

pernikahan wanita hamil. Begitu juga untuk mengetahui status hukum dan

perbandingan dari perkawinan wanita hamil menurut Imam Syafi’i dengan

Undang-undang Keluaraga Islam Negeri Terengganu. Dan bertujuan untuk

memperlihatkan cara-cara pelaksanaan atau penerapan hukum yang dipakai dan

ditetapkan oleh Undang-undang Keluarga Islam Negeri Terengganu. Selain itu,

skripsi ini juga bertujuan membentuk sebuah masyarakat yang memiliki

keturunan yang sah, keluarga yang jelas, maka akan terbentuklah sebuah keluarga

“Sakinah Mawaddah Wa rahmah”, menurut ajaran Islam yang betul dan diredhai

oleh Allah SWT.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1) Penelitian ini akan memperluas wawasan intelektualitas kepada umat Islam,

para pelaku akademik, dibidang hukum terutamanya tentang kasus Tinjauan

Islam Dan Undang-undang khususnya terhadap pernikahan wanita hamil. Dan

dapat mengetahui serta memahami apa yang dimaksudkan dengan pernikahan

wanita hamil.

2) Penelitian ini juga dapat memberi sumbangan karya ilmiah dan juga

sumbangan pemikiran bagi perkembangan khazanah ilmu pengetahuan dan

literasi pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

Untuk memperoleh hasil yang maksimal dari suatu karangan atau

penulisan ilmiah, maka penggunaan metode pengumpulan data yang diperlukan

untuk penulisan tersebut akan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini

sangat mempengaruhi sampai tidaknya isi penulisan itu kepada tujuan yang ingin

dicapai. Dengan demikian penggunaan metode pembahasan bagi suatu penulisan

merupakan hal yang menentukan bermutu atau tidaknya dari penulisan yang

bersangkutan.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini penulis melakukan metode

“Deskriptif dan Analisis” penelitian kepustakaan (Library Research) dan wawancara. Yaitu dengan cara mengumpul, membaca dan mengkaji buku-buku, kitab-kitab, dan kepustakaan lain yang ada hubungan dengan penulisan skripsi ini.

Penulis juga mengambil pendekatan yang digunakan kualitatif analisis adalah wawancara. Yaitu wawancara dilakukan dengan melakukan soal jawab terhadap nara sumber utama yaitu Ketua Pegawai Agama Daerah Hulu Terengganu.

Wawancara penulis adalah cara untuk mengumpul informasi yang mana ia berisi dengan pertanyaan, situasi, waktu, sejarah dan tempat. Untuk wawancara itu lebih lancar penulisan menggunakan cara bertatap muka (face to face).

Sebagai sumber primer dalam penulisan ini ialah Al-Qur’an dan Hadits, kitab berjudul al-Umm karya Imam Syafi’i dan kitab-kitab fikih yang berkaitan dengan pernikahan, Hukum-hukum keluarga Islam serta buku Undang-undang

Keluarga Islam di Malaysia, Enakmen Pentadbiran Undang-undang Keluarga

Islam Terengganu. Sedangkan data yang bersifat sekunder diperoleh lewat internet melalui situs-situs pemerintah. Juga boleh didapati melalui Koran-koran dan penulisan-penulisan ilmiah di dalam Majalah-majalah dan Jurnal-jurnal hukum.

Penyajian dan analisa dalam penulisan ini bersifat komparatif yakni pandangan Imam Syafi’i dan bagaimana penerapan hukum di Negeri Terengganu,

Malaysia tentang permasalahan yang dibahas. Adapun dalam hal penulisan,

penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi yang

dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, di mana tiap bab terdiri

beberapa sub bab. Sistematika penulisan merupakan uraian ringkas secara garis

besar mengenai hal-hal pokok yang dibahas, guna mempermudah dalam

memahami dan melihat hubungan satu bab dengan yang lainnya. Adapun uraian

pada setiap bab ialah sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan, Yang meliputi : Latar Belakang Masalah, Pembatasan

dan Perumusan Masalah, begitu juga Tujuan dan kegunaan

Pembahasan.

BAB II: Perkawinan Menurut Perspektif Hukum Islam, yang terdiri dari :

Definisi, Dasar Hukum, Hukum Perkawinan, Rukun dan Syarat

Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinan.

BAB III: Riwayat Hidup Imam Syafi’i dan Potret Negeri Terengganu, Malaysia,

yang terdiri dari : Biografi Imam Syafi’i, Karya-karya Imam Syafi’i,

Serta Penyebaran dan perkembangan mazhabnya. Begitu juga Latar

Belakang atau Gambaran Umum Negeri Terengganu, Keadaan

Geografi, keadaan Sosial, Ekonomi. Mahkamah Syariah, Sejarah

singkat Jabatan Hal Ehwal Agama Terengganu dan Wewenangnya.

BAB IV: Pernikahan Wanita Hamil Dalam Perspektif Imam Syafi’i dan

Undang-Undang Keluarga Islam Negeri Terengganu, Malaysia, yang

terdiri dari : Pengertian Pernikahan Wanita Hamil, Pendapat Imam

Syafi’i mengenai Status Hukum Pernikahan Wanita Hamil. Status-

Status Pernikahan Wanita Hamil Dalam Undang-undang Keluarga

Islam Negeri Terengganu dan Analisis Penulis.

BAB V: Penutup, Melalui Kesimpulan dari seluruh pembahasan beserta saran-

saran dan harapan penulis agar penulisan skripsi ini menjadi satu

komitmen yang berguna bagi agama, bangsa dan Negara.

BAB II

PERKAWINAN MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Definisi, Dasar Hukum, dan Hukum Perkawinan

1. Definisi Perkawinan

dan ﻥ Perkawinan menurut istilah Ilmu Fiqh dipakai perkataan

menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya dan arti ﻥ . perkataan

kiasan, arti yang sebenarnya dari “nikah” ialah yang berarti

mengumpulkan, memegang, mengenggam, menyatukan, menggambungkan,

menyandarkan, merangkul.5 Sedangkan yang berarti mengumpulkan,

menghimpun, menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun.6

Sedangkan arti kiasannya ialah yang berarti berjalan di atas, melalui,

memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau

bersenggama.7 Perkawinan atau lebih dikenali ialah Nikah dari segi bahasa ialah

bersatu dan berkumpul. Kata setengah orang Arab: “Pokok-pokok itu bernikah”,

Ia bermaksud pokok-pokok itu condong dan berhimpun rapat di antara satu sama

lain.

5 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Qamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), h. 887

6 Ibid, h. 225

7 Ibid, h.1671-1672

Dari segi syarak, nikah adalah satu akad yang menghalalkan istimta’

(bersetubuh/bersenang-senang ) di antara suami istri dengan cara yang dibenarkan oleh syarak.

Ia dinamakan nikah karena ia mengumpulkan dua manusia dan menyatukan di antara satu sama lain. Orang Arab menggunakan perkataan nikah dengan makna akad, juga dengan makna persetubuhan serta bersenang-senang.

Walaupun begitu makna hakiki bagi kalimat nikah ialah akad dan makna simboliknya ( majaz ) ialah persetubuhan. Al-Quran secara umumnya menggunakan perkataan nikah dengan makna akad dan bukan persetubuhan.8

Firman Allah SWT. :

     / Artinya:“Wahai orang-orang Yang beriman, apabila kamu berkawin Dengan perempuan-perempuan Yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu menyentuhnya, maka tiadalah kamu berhak terhadap mereka mengenai sebarang iddah”

( Q.S : Al-Ahzb: 33: 49)

8 Mustofa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho, dkk, Kitab Fikih Mazhab Syafie, Undang- Undang Kekeluargaan ( Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Membentuk Keturunan, Anak Buangan ), (Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn Bhd, Disember 2005), Jil. 4, h. 725

Kalimat menikahi perempuan yang beriman dalam ayat atas bermaksud kamu mengadakan perkawinan dengan perempuan yang beriman. Ini berpandukan firman Allah selepas itu yang bermaksud: “kemudian kamu ceraikan dia sebelum kamu menyentuhnya”. maksud menyentuh ialah menyetubuhinya.9

Terdapat banyak definisi perkawinan yang ditetapkan oleh sarjana Islam.

Menurut fukaha’.

Makna Hakiki Nikah Dalam Syariat

Penggunaan makna hakiki nikah sebagai akad dan makna kiasannya sebagai bersetubuh—meskipun kedua makna ini disebutkan dalam Al-Qur’an— disebabkan karena nikah lebih sering digunakan dalam makna akad dan bukan

ini adalah) ﺱﺏ :pada bersetubuh, yaitu dengan kita mengatakan zina, dan bukan nikah)

Sebahagian fukaha mengatakan, ketika makna kiasan lebih diutamakan atas makna sinonim, maka hal ini menunjukan makna kiasannya adalah bersetubuh. Karena itu, makna hakikat nikah dalam syariat adalah akad dan makna kiasannya adalah bersetubuh.10

Pengertian Pernikahan dalam Perspektif Imam Empat Mazhab sebagai berikut: a. Menurut Imam Abu Hanifah:

9 Ibid, h. 726

10 Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab, Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi, Ja’fari, (Jakarta: Cahaya, 2007), Cet Pertama, Rejab 1428H/Juli 2007M, h. 301- 302

ﻡیﺏﻥ 11 Artinya:“Nikah adalah suatu akad dengan tujuan memiliki kesenangan secara sengaja.” b. Menurut Imam Malik”

ﺏﻥﻡﻡﺏﻡ12

Artinya:“Nikah adalah suatu akad untuk menikmati sendiri kelezatan dengan wanita.” c. Menurut Imam Syafi’i :

ﺏﻥیﻡﺏﻥﺕیﻡ13

Artinya:“Nikah adalah suatu akad yang mengandung pemilikan “wathi” dengan menggunakan kata-kata menikahkan atau mengawinkan atau kata lain yang menjadi sinonimnya.” d. Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal:

ﺏﻥﺕیﻡﺱ14

Artinya:“Nikah adalah suatu akad dengan menggunakan lafadz nikah atau kawin untuk manfaat (menikmati) kesenangan.”

Dari beberapa pengertian yang diberikan para Imam Mazhab di atas dapat disimpulkan bahwa nikah adalah “akad antara lelaki dan wanita untuk saling

11 Abdul Rahman Al Jaziri, Al-Fiqh ’ala Mazhabil Arba’ah (Mishr: Maktabah al- Tijariyah, 1979), juz 4, h. 2

12 Ibid, h. 2

13 Ibid, h. 2

14 Ibid, h. 3

memiliki dan bersenang-senang dan menghalalkan pergaulan suami istri dalam membentuk keluarga atau sebuah rumah tangga, dengan menggunakan kata-kata menikahkan atau mengawinkan atau dengan kata lain yang sama dengan kedua kata tersebut.”

Perkawinan adalah suatu ibadah dan suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama yaitu, di antara seorang lelaki dengan seorang wanita, secara sah menurut agama Islam dan membentuk sebuah keluarga yang kasih- mengasihi, yang lebih tepat sebuah keluarga “sakinah mawaddah wa rahmah” yang diidamkan sebuah keluarga. Pernikahan adalah menjadi suatu persoalan kehidupan manusia yang banyak seginya, dan mencakupi seluruh segi dalam kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan perselisihan. Karena itu di dalam perkawinan ini sangat memerlukan kepastian hukum, yang mana telah diatur dalam agama Islam dan juga Undang-undang Keluarga. Dalam hal ini terjadinya suatu akad (perjanjian) pernikahan mudah diketahui dan mudah diadakan alat-alat buktinya, sebagai suatu kemaslahatan yang akan datang, jika terjadi sesuatu perkara yang tidak diinginkan.

Selain itu, perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dan suatu sejarah dalam kehidupan masyarakat, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan lelaki bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua. Kedua belah pihak, sudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dengan tidak mengesampingkan unsur-unsur yang terlibat dalam lingkupnya, karena satu sama lain saling ikut melengkapi demi terciptanya keharmonisan hidup.

Oleh karena peristiwa perkawinan mempunyai arti yang begitu penting, kalau di Malaysia bakal mempelai dipanggil sebagai raja sehari. Karena mereka akan mengadakan keramaian pada pasangan mempelai, maka pelaksanaannya senantiasa dimulai dengan akad nikah dan seterusnya disertai dengan berbagai upacara lengkap dengan adat istiadat yang ada dalam lingkungan tersebut.

Peristiwa perkawinan terbahagi tiga buah rentetan yang sakral yang bertujuan menjamin;15 1. Ketenangan. Dengan adanya ketenangan sebuah perkawinan yang didasari oleh perasaan suka, cinta tanpa adanya ancaman serta adanya restu dari sekelilingnya (masyarakat), maka kedua mempelai tidak perlu merasa takut akan hal-hal yang dapat mengubah kesepakatan mereka dalam menjalankan bahtera rumah tangga. 2. Kebahagiaan, perkawinan pun selalu membawa kebahagiaan di mana suami istri telah dapat hidup dengan lawan jenisnya yang dapat memberikan kebahagiaan kelak, dan 3. Kesuburan, untuk melangsungkan keturunan maka dibutuhkan suatu perkawinan, yang itu dapat dirasakan dengan hadirnya anak, kehidupan yang lebih baik dari hasil setiap perkawinan, yang menandakan akan kesuburan tersebut.

2. Dasar Hukumnya

Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an:

15 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:PT. Itermassa, 1989), h. 40.

( : / )  Artinya:“Dan di antara tanda-tanda Yang membuktikan kekuasaannya dan rahmatNya, Bahawa ia menciptakan untuk kamu (Wahai kaum lelaki), istri-istri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikannya di antara kamu (suami istri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya Yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang Yang berfikir” ( Q.S. Al-Rm : 21 : 30 )

  : /  Artinya:“Dan Allah menjadikan bagi kamu dari diri kamu sendiri pasangan- pasangan (istri), dan dijadikan bagi kamu dari pasangan kamu: anak- anak dan cucu-cicit, serta dikurniakan kepada kamu dari benda Yang baik lagi halal; maka Patutkah mereka (yang ingkar itu) percaya kepada perkara Yang salah (penyembahan berhala), dan mereka kufur pula akan nikmat Allah”

( Q.S. Al-Nahl : 16 : 72 )

Selain dari Al-Qur’an, terdapat banyak hadits dari Rasulullah SAW. yang menjelaskan lebih lanjut tentang perkawinan dalam Islam di antaranya adalah: یﺱﺹﺱﻡﺏ ﻥﻡیﻡﻡ

ﻡﺝﻥﺏیﻡ 16

Artinya :“Dari Abullah Ibn Mas’ud r.a berkata: Rasulullah Saw bersabda kepada kami: “wahai pemuda, barang siapa yang telah mampu di antara kamu untuk menikah, maka hendaklah menikah karena akan menunduk pandanganmu dan memelihara kehormatanmu, tetapi jika tidak mampu untuk berkawin berpuasalah, karena puasa itu merupakan perisai bagimu.” (HR. Muslim) 3. Hukum Perkawinan

Perkawinan mempunyai hukum yang berubah-rubah berdasarkan keadaan individu itu sendiri. Berikut dijelaskan hukum-hukum perkawinan:17 a. Sunat

Ini berlaku jika individu itu berhajat kepada perkawinan; dengan arti kata lain beliau ingin berkawin, memiliki kemampuan dari segi nafkah, mas kawin serta nafkah kehidupannya dan kehidupan istrinya dan beliau merasakan bahwa beliau tidak akan terjerumus kedalam perkara maksiat (zina) jika tidak berkawin.

Dalam keadaan ini perkawinan adalah sunat karena perkawinan itu dapat melahirkan generasi, menjaga keturunan dan membantu untuk mendatangkan maslahat.

Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata:

16 Imam Abi al- Husain Muslim Ibn. Hajjaj Qusairy an-Naisabury, Shahih Muslim, (Mishr: Darul Fikr,t. th), h. 1018

17 Mustofa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho, dkk, Kitab Fikih Mazhab Syafie, Undang- Undang Kekeluargaan ( Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Membentuk Keturunan, Anak Buangan ), (Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn Bhd, Disember 2005), Jil. 4, h. 733

“Ketika kami muda, kami berada bersama-sama Nabi SAW. dan kami tidak mempunyai apa-apa harta. Bagainda berkata kepada kami: “ Wahai para pemuda! Jika kamu mampu hendaklah kamu berkawin, sesungguhnya perkawinan itu menutup pandangan dan menjaga kemaluan. Siapa yang tidak mampu hendaklah ia berpuasa karena puasa itu adalah pendinding baginya.”

Kawin dalam keadaan ini adalah lebih baik daripada menumpukan perhatian untuk beribadah dan hidup membujang.

Di atas dasar inilah Rasulullah SAW. menunjukan sabdanya kepada sekelompok sahabat Baginda yang bernekad untuk tidak berkawin karena ingin menumpukan diri kepada ibadat.18

Perempuan mempunyai hukum yang sama dengan lelaki. Apabila dia memerlukan kepada perkawinan untuk menjaga diri, agama serta mendapatkan nafkah, maka dia juga disunatkan berkawin. b. Sunat Meninggalkannya (Makruh dan Melakukannya Dikira

KhilafulAula)

Hukum ini berlaku jika individu itu berhajat untuk berkawin tetapi tidak mempunyai kemampuan dan nafkah.

Dalam keadaan ini individu itu hendaklah beribadat dan berpuasa untuk menjaga kesucian dirinya. Ini karena kesibukan beribadat dan berpuasa akan melupakan dari memikirkan soal kawin serta mengurangkan keinginannya.

Mudah-mudahan Allah SWT. akan mengurniakan kejayaan kepadanya dari limpah kurnia-Nya.

18 Ibid, h. 733-734

Dalil hukum ini yaitu firman Allah SWT. :





( / ) Artinya:“Dan orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan berkahwin, hendaklah mereka menjaga kehormatannya sehingga Allah memberi kekayaan kepada mereka dari limpah kurniaNya.”

(Q.S.An-Nr:24:33)

Jika tidak mempunyai kemampuan, meninggalkan berkawin adalah sunat baginya. c. Makruh

Hukum ini berlaku jika individu itu tidak berhajat untuk berkawin; seperti dia tidak berkeinginan sama ada disebabkan oleh faktor semula jadi, sakit atau sebab-sebab lain.

Pada masa yang sama dia juga tidak memiliki kemampuan untuk berkawin. Ini berlaku karena perkawinan menuntutnya sesuatu yang tidak mampu dilakukannya seperti menyediakan mas kawin serta memberi nafkah. Oleh itu perkawinan adalah makruh baginya. d. Afdhal Tidak Berkawin

Hukum ini berlaku jika individu itu mempunyai kemampuan tetapi dia tidak berhajat untuk berkawin karena tidak mempunyai keinginan. Pada masa itu

beliau sibuk beribadat atau menuntut ilmu. Dalam keadaan ini menumpukan

perhatian kepada menuntut ilmu dan beribadat adalah lebih baik daripada

berkawin karena perkawinan itu kemungkinan akan menghalang tumpuannya.

e. Afdhal Berkawin

Hukum ini berlaku jika individu itu tidak sibuk beribadat dan tidak sibuk

menuntut ilmu dan dia mempunyai kemampuan untuk berkawin tetapi tidak ada

keperluan untuk berkawin. Perkawinan adalah lebih baik dalam keadaan ini. Ini

adalah untuk mengelakkan dia daripada menggunakan masa lapang dengan

melakukan perkara maksiat dan mungkar. Perkawinan akan mendatangkan

maslahat, melahirkan zuriat serta membanyakkan keturunan.19

B. Rukun Dan Syarat Perkawinan

Berbicara mengenai hukum perkawinan sebenarnya kita membicarakan

berbagai aspek kehidupan masyarakat, bahwa bentuk masyarakat ditentukan atau

sekurang-kurangnya banyak dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan,

sebelum kita membicarakan tentang syarat dan rukun perkawinan tersebut

alangkah lebih baik jika kita melihat bahwa perkawinan menurut Islam dapat

ditinjau dari tiga sudut, yaitu:20

19 Ibid, h. 734-736

20 Nazwar Syamsul, Al-Qur’an Tentang Manusia dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), Cet. Ke-1, h. 159

Pertama, dari sudut hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian antara lelaki dan wanita agar dapat melakukan hubungan kelamin secara sah dalam waktu yang tidak tertentu ( lama, kekal, abadi ), Kedua, dari sudut agama perkawinan itu dianggap sebagai suatu lembaga yang suci dimana antara suami dan istri agar dapat hidup tenteram, saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, dan kasih- mengasihi antara satu terhadap yang lain dengan tujuan mengembangkan keturunan. Perkawinan adalah suatu jalan yang halal untuk melanjutkan keturunan dan dengan perkawinan itu akan terpelihara agama, kesopanan, kehormatan dan terpelihara dari melakukan maksiat. Banyak penyakit yang sembuh sesudah menjalani perkawinan umpamanya penyakit kurang darah

(anemia), dengan demikian perkawinan dapat menimbulkan keunggulan, keberanian dan rasa tanggungjawab kepada keluarga, dan juga masyarakat.

Perkawinan juga dapat mengeratkan hubungan silaturrahmi, persaudaraan dan kegembiraan dalam kehidupan masyarakat sosial. Ketiga, dari sudut kemasyarakatan bahwa orang-orang yang telah menikah atau berkeluarga telah memenuhi salah satu bagian syarat dan kehendak masyarakat, serta mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari mereka yang belum kawin. 21

Perbedaan antara Rukun dan Syarat perkawinan ialah:

Bahwa Rukun nikah sebagian dari hakikat perkawinan, seperti lelaki, wanita, wali, saksi dan aqad nikah. Semuanya itu adalah sebagian dari hakikat

21 Ibid,

perkawinan, dan tidak dapat terjadi suatu perkawinan, kalau tidak ada salah satu daripadanya, misalnya tiada lelaki atau wanitanya.

Adapun Syarat, ialah suatu yang mesti ada dalam perkawinan, tetapi tidak termasuk salah satu bagian daripada hakikat perkawinan itu, misalnya: syarat wali itu lelaki, baligh, berakal dan lain-lain.

Salah satu daripada Rukun perkawinan itu ialah sighah- aqad nikah- ijab dan Kabul. Maka perkawinan tidak sah, kalau tiada dilakukan dengan ijab Kabul.

Rukun-Rukun Nikah itu adalah sebagai berikut:22

1. Calon suami

2. Calon istri

3. Wali

4. Dua orang saksi

5. Siaghah aqad atau ijab Kabul.

Dan syarat-syaratnya:

(1) Syarat seorang suami:

- Beragama Islam.

- Nyata calon itu lelaki.

- Lelaki diketahui dan tertentu.

- Lelaki itu halal bagi calon istrinya.

- Lelaki itu mengetahui bahwa calon istrinya halal baginya.

22 Osman Bin Jantan, Pedoman Mu’amalat Dan Munakahat (Civil Transaction), (Singapore: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2001), Cet kedua, 2006, h. 143-144.

- Lelaki itu tahukan calon istrinya.

- Tidak mempunya istri yang haram dimadukan.

- Tidak dalam ihram, dan

- Tidak sedang mempunyai empat orang istri.

(2) Syarat seorang istri:

- Beragama Islam atau ahli-kitab.

- Nyata calon itu wanita bukannya khunsa.

- Wanita yang halal.

- Wanita tertentu.

- Wanita yang telah memberikan izinnya untuk dinikahkan dengan calon

suami, dan

- Wanita yang bukan dalam ihram.

(3) Syarat wali:

- Beragama Islam.

- Baligh lagi berakal.

- Waras.

- Adl dan tidak fasik ketika akad.

- Tidak dalam ihram.

- Bukan seorang safih atau orang yang dicabut wilayahnya ke atas

hartanya sebab mubazzir dan boros, dan

- Merdeka.

(4) Syarat dua orang saksi:23

- Beragama Islam.

- Lelaki.

- Baligh lagi berakal.

- Mendengar.

- Melihat.

- Waras.

- Adl tidak fasiq.

- Mempunyai maruah.

- Dia bukan wali yang melakukan akad nikah.

- Faham perkataan ijab dan kabul, dan

- Merdeka.

(5) Aqad ialah Ijab dan Kabul ketika membuat perjanjian bernikah. Syarat Ijab: - Mestilah menggunakan kalimat atau sebutan nikah atau terjemahannya

yang tepat.

- Ijab hendaklah dari walinya atau wakilnya.

- Nikah yang diakad itu bukan buat waktu yang terbatas.

- Bukan dengan kata-kata sindiran, dan

- Bukan dengan cara ta’liq-syarat yang masih tergantung.

23 Ibid, h. 144-145

Lafaz Ijab umpamanya: “Ya Osman Aku nikahkanmu dengan anakku,

Hamidah binti Bidin dengan mas kawinnya sebanyak 50 dolar, tunai.”

Syarat Kabul:

- Jangan ada kelengahan masa di antara ijab dab Kabul.

- Sesuai dengan kehendak ijab.

- Dari bakal suami atau wakilnya.

- Bukan dengan cara ta’liq.

- Nikah tidak punya batas waktu.

- Bukan dari kalimat sidiran, dan

- Sebutkan nama bakal istri atau ganti namanya.

Lafaz Kabul umpamanya: “Aku terimalah nikah Hamidah binti Bidin dengan mas kawin sebanyak yang tersebut.”

(6) Ijab dab Kabul bagi akad nikah itu, dalam hal-hal atau keadaan yang

tertentu bolehlah berlaku menurut ragam-ragam seperti berikut:

- Dengan cakap atau isyarat jika cacat bertutur atau

- Surat dari bakal suami dan/atau bakal istri menerusi walinya, atau.

- Perutusan dari mana-mana pihak atau dari kedua-duanya. Surat

hendaklah dibacakan di dalam majlis aqad oleh pihak yang berkuasa

dalam pentadbiran dan perutusan hendaklah hadir, dalam majlis

tersebut. 24

24 Ibid, h. 145-146

C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan 1. Tujuan perkawinan Tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah SWT. untuk memperoleh

pergaulan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumahtangga yang

aman, damai dan teratur,25 berdasarkan firman Allah SWT.:

 ...  ( : / )...  Artinya:“Maka berkawinlah Dengan sesiapa Yang kamu berkenan dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu bimbang tidak akan berlaku adil (di antara istri-istri kamu) maka (berkawinlah dengan) seorang sahaja.”

(Q.S.An-Nis’: 4 : 3)

Sabda Nabi SAW.:

یﺱﺹﺱﻡﺏ ﻥﻡیﻡﻡ ﻥﺏیﻡ ﻡﺝ 26

Artinya :“Dari Abullah Ibn Mas’ud r.a berkata: Rasulullah Saw bersabda kepada kami: “wahai pemuda, barang siapa yang telah mampu di

25 Jantan Osman, Pedoman Mu’amalat dan Munakahat, (Singapura: Pustaka Nasional, 2001, cet,1. H. 133-134

26 Imam Abi al- Husain Muslim Ibn. Hajjaj Qusairy an-Naisabury, Shahih Muslim, (Mishr: Darul Fikr,t. th), h. 1018

antara kamu untuk menikah, maka hendaklah menikah karena akan menunduk pandanganmu dan memelihara kehormatanmu, tetapi jika tidak mampu untuk berkawin berpuasalah, karena puasa itu merupakan perisai bagimu.” (HR. Muslim)

Maka nyatalah, bahwa Allah SWT. dan RasulNya menganjurkan perkawinan, sebab itu ummat Islam berkawin karena mengikut perintah

Allah.27Firman Allah SWT.:

   / 

Artinya:“Dan di antara tanda-tanda Yang membuktikan kekuasaannya dan rahmatNya, Bahawa ia menciptakan untuk kamu (Wahai kaum lelaki), istri-istri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikannya di antara kamu (suami istri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya Yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang Yang berfikir”. (Q.S.Ar-Rm : 30 : 21)

Menurut keterangan ayat tersebut, nyatalah tujuan perkawinan, supaya kedua belah pihak suami dan istri tinggal serumah dengan aman damai serta cinta mencintai antara satu sama lain, bergaul secara budi pekerti yang baik dan halus bertimbangrasa.28 Firman Allah SWT.:

27 Ibid, h. 134

28 Ibid, h. 134-135

 ...    : / ) ( Artinya:“Dan bergaulah kamu Dengan mereka (istri-istri kamu itu) Dengan cara Yang baik. kemudian jika kamu (merasai) benci kepada mereka (disebabkan tingkah-lakunya, janganlah kamu terburu-buru menceraikannya), kerana boleh jadi kamu bencikan sesuatu, sedang Allah hendak menjadikan pada apa Yang kamu benci itu kebaikan Yang banyak (untuk kamu)”. (Q.S.An-Nis’: 4 :19)

Perkawinan yang tidak dapat mendirikan rumahtangga dengan rukun damai dan berkasih sayang serta cinta mencintai antara keduanya, maka ia telah menyimpang jauh dari tujuan perkawinan yang sebenarnya.29

2. Hikmah Perkawinan Disyari’atkan

Islam menganjurkan perkawinan karena mempunyai banyak faedah dan hikmah, di antara hikmah pernikahan disyari’atkan yaitu: a. Menyahut seruan fitrah manusia yang telah difitrahkan oleh Allah

Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bila mana jalan keluar tidak dapat memuaskannya maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan dan kacau serta menerobos jalan yang jahat.

29 Ibid, h. 135

Dan pernikahan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan menikah badan menjadi segar, jiwa menjadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram, dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.30

b. Melahirkan keturunan yang soleh dan remaja yang berakhlak untuk

masyarakat Islam.31

Islam menggalakan umatnya supaya mempunyai keturunan yang ramai.

Islam juga menjadikan di antara matlamatnya ialah melahirkan masyarakat Islam yang ditakuti dan disegani. Sabda Rasulullah SAW. : ﻡﻥﺝﺕﺱﺹﺱ ﻡیﻥﺏ 32

Artinya: “Kawinlah perempuan yang pengasih dan mampu melahirkan ramai anak kerana aku berbangga dengan umatku yang ramai pada hari kiamat.”

30 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terjemahan; Nor Hasanuddin, dkk, (Jakarta: Pena Pundi Aksara Januari 2008), Jil. 2, Cet. 3, h. 487-489

31 Mustofa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho, dkk, Kitab Fikih Mazhab Syafie, Undang- undang Kekeluargaan ( Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Menentukan Keturunan, Anak Buangan ), (Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn Bhd, Disembar 2005), jil. 4, h. 729 32 Riwayat Abu Daud dalam Sunannya; kitab nikah, bab larangan daripada menikahi perempuan yang tidak boleh melahirkan anak, nombor 2050; An-Nasai dalam kitab nikah, bab makruh mengawini perempuan mandul, nombor 65/6

Oleh itu, Al-Qur’an menyeru manusia supaya berkawin. Masyarakat yang dipenuhi dengan remaja yang dibesarkan di bawah didikan ibu bapa yang pengasih dan penyayang serta mengetahui bagaimana membentuk akal serta kebolehan anaknya, adalah lebih baik daripada masyarakat yang dipenuhi dengan genarasi yang lahir daripada perbuatan zina. Mereka adalah generasi terbuang.

Mereka tidak pernah mengenali bapa yang mendidik dan ibu yang membelai mereka. Mereka dibesarkan dalam keadaan jiwa mereka membenci dan mendedami ibubapa, masyarakat dan manusia keseluruhannya.33 c. Mewujudkan ketenangan jiwa dan ketenteraman rohani.

Perkawinan yang syar'ie akan menghasilkan ketenangan jiwa dan ketenteraman diri. Suatu kebahagian akan lahir daripada perkawinan tersebut. d. Menjaga Akhlak Dari Runtuh Dan Rosak

Apabila manusia dilarang daripada berkawin, dia akan memenuhi keperluan nafsunya dengan cara yang haram. Semua orang mengetahui dengan jelas bahwa zina adalah perbuatan yang tidak berakhlak. Ia boleh merusakkan keharmonian rumahtangga, mencabulkan kehormatan, menyabarkan wabak penyakit serta menimbulkan tekanan jiwa dan perasaan.34

Untuk menjaga akhlak dan memeliharanya daripada rusak, Rasulullah

SAW. bersabda:

33 Al-Bugho, Kitab Fikih Mazhab Syafie, Undang-undang Kekeluargaan ( Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Menentukan Keturunan, Anak Buangan ) h. 730

34 Ibid, h. 731

ﺝﻡﺕی ﻥ ﺕﺕ 35

Artinya: "Apabila orang yang kamu redha agama dan akhlaknya datang meminang, hendaklah kamu mengahwininya. Sekiranya kamu tidak melakukannya niscaya akan timbul fitnah dan kerusakkan di atas muka bumi.” e. Menjaga Kesempurnaan Dan Kesejahteraan Keturunan Manusia.

Allah telah menentukan bahawa manusia hanya berasal dari kedua ibu

bapa, lelaki dan perempuan. Kita sedia maklum bahawa Islam mengharamkan

lelaki dan perempuan hidup bersama melainkan dengan ikatan perkawinan yang

syar'ie. Ini menunjukkan Islam memelihara kewujudan manusia melalui

perkawinan. Sekiranya Islam mengharamkan perkawinan, golongan manusia akan

pupus. Manakala jika Islam mangharuskan perzinahan, manusia akan hidup di

dalam keadaan kebinasaan. Allah menghendaki hamba-Nya menikmati kebaikan

dan dijauhkan daripada keburukan.36 Firman Allah SWT. :

 ... ( ( )... Artinya: “Sesungguhnya Allah amat menyintai dan mengasihi manusia.” (Q.S. Al-Baqarah: 2 :134) f. Meluaskan Medan Persaudaraan Dan Membina Prinsip Bekerjasama

35 Riwayat Tirmizi dalam kitab nikah.Bab apabila orang yang kamu redha agamanya datang meminang, hendaklah kamu kawinkannya, nombor 1080 daripada Abu Hatim al-Muzni r.a.

36 Al-Bugho, Kitab Fikih Mazhab Syafie, Undang-undang Kekeluargaan ( Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Menentukan Keturunan, Anak Buangan ), h. 731-732

Perkawinan meluaskan daerah persaudaraan. Dua keluarga akan bertemu dan bersatu. Persemendaan akan melahirkan satu ikatan baru dan kasih-sayang.

Perkawinan juga akan melahirkan kerjasama di antara suami istri. Istri akan membantu suaminya di dalam urusannya, Makan minum, pakaian, tempat tinggal, mendidik anak-anak serta menguruskan rumah tangga. Suami pula akan membantu istri memenuhi keperluannya, memberikan nafkah, mempertahankannya dan memelihara kehormatannya. Islam adalah agama toleransi. Oleh itu, Islam mensyari’atkan perkawinan untuk merealisasikan kesemua maslahat tersebut.37

Demikianlah definisi, dasar hukum, rukun dan syarat-syarat perkawinan yang telah diaturkan dalam agama Islam, begitujuga dengan hikmah-hikmah dan tujuan yang dapat diambil dari sebuah pernikahan, yang semua hikmah ini merupakan suatu hal yang lumrah dan dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari- hari. Semoga kelak setiap pasangan yang ingin melayari bahtera rumahtangga dapat menyedari dan memahami arti sebuah pernikahan, dan semoga bahagia di dunia dan akhirat.

37 Ibid, h. 732

BAB III

RIWAYAT HIDUP IMAM SYAFI’I DAN POTRET NEGERI

TERENGGANU MALAYSIA

A. Riwayat Hidup Imam Syafi’i

1. Biografi Imam Syafi’i

Imam Ahmad Bin Hanbal pernah mengatakan bahwa Rasulullah SAW.

pernah bersabda bahwa Allah SWT. akan menurunkan seorang pembaharu dalam

agama dalam masa tiap-tiap seratus tahun. “Umar Bin Abd Aziz diutuskan untuk

seratus tahun pertama, dan aku berharap untuk abad kedua adalah Imam Syafi’i

sendiri”, katanya. Demikian pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal sendiri sebagai

mencerminkan kebesaran dan keutamaan Imam Syafi’i.38

Nasab dari pihak Bapak: Ayahnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin

Utsman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Abid bin Abdu Yazid bin Hisyam bin Muthalib

bin Abdu Manaf bin Qusha bin Kilab bin Murrah, nasabnya dengan Rasulullah

SAW. bertemu pada Abdu Manaf bin Qushai.

Nasab dari pihak Ibu: Ibunya adalah Fathimah binti Abdullah bin Hasan bin

Husain bin Ali bin Abi Thalib. Orang-orang mengatakan bahwa mereka tidak

38 Lokman Hakim, Tokoh-Tokoh Islam Dulu Dan Masa Kini, (Johor Bahru: Bismi Publishers, August 1989), cet ke2, h. 231

mengetahui Hasyimiah melahirkan keturunan kecuali Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Syafi’i.39

Kelahiran Syafi’i: Ia dilahirkan pada tahun 150 H, bertepatan dengan tahun dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Ia dilahirkan di Gazzah, Askalan.

Tatkala umurnya mencapai dua tahun, ibunya memindahkannya ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari

Azdiyah. Keduanya pun menetap di sana. Namun ketika umurnya telah mencapai sepuluh tahun, ibunya memindahkannya ke Makkah karena khawatir akan melupakan nasabnya.

Istri Imam Syafi’i: Ia menikah dengan Hamidah binti Nafi’ bin Unaisah bin

Amru bin Utsman bin Affan.40

Anak-anak Imam Syafi’i

1. Abu Utsman Muhammad, ia seorang hakim di kota Halib, Syam (Syria)

2. Fathimah

3. Zainab41

2. Pendidikan Imam Syafi’i Serta Guru-gurunya

39 Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm, terjemahan; Mohd Yasir Abd Muthalib Lc, (Jakarta: Pustaka Azzam, Januari 2005), Cet Kedua, h. 3 40 Ibid, h. 5

41 Ibid, h. 9

Imam Syafi’i sejak kecil hidup dalam kemiskinan. Ketika beliau diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak mendapatkan upah dan mereka hanya terbatas pada pengajaran. Namun setiap kali seorang guru mengajarkan sesuatu kepada murid-murid, terlihat Syafi’i kecil dengan ketajaman akal yang dimilikinya sanggup menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setiap kali gurunya berdiri untuk meninggalkan tempatnya, Syafi’i mengajar lagi apa yang didengari dan apa dipahaminya kepada anak-anak yang lain, sehingga dari apa yang dilakukannya ini Syafi’i mendapat upah. Setelah menginjak usia umur tujuh tahun, Syafi’i telah menghafal seluruh al-Qur’an dengan baik.

Syafi’i bercerita, “Ketika saya mengkhatamkan Al-Qur’an dan memasuki masjid, saya duduk di majlis para ulama. Saya menghafal hadits-hadits dan masalah-masalah fikih. Pada saat itu rumah kami berada di Makkah. Keadaan saya sangat miskin, dimana saya tidak memiliki uang untuk membeli kertas, namun saya mengambil tulang-tulang sehingga saya dapat gunakan untuk menulis.”

Ketika menginjak usia tiga belas tahun, ia juga memperdengarkan bacaan

Al-Qur’an kepada orang-orang di Masjidil Haram, ia memiliki suara yang sangat merdu. Hakim mengeluarkan hadits dari riwayat Bahr bin Nashr, ia berkata,

“Apabila kami ingin menangis, kami mengatakan kepada sesama kami, ‘pergilah kepada pemuda Syafi’i!’ Apabila kami telah sampai kepadanya, ia mulai membuka dan membaca al-Qur’an sehingga manusia yang ada disekelilingnya banyak yang berjatuhan di hadapannya karena kerasnya menangis. Kami terkagum-kagum dengan kemerduan suaranya yang dimilikinya, sedemikian

tingginya ia memahami Al-Qur’an sehingga sangat berkesan bagi para pendengarnya.”42 Beliau sangat tekun mempelajari kaedah-kaedah nahwu saraf dan untuk itu pernah mengembara dan tinggal bersama kabilah Huzail lebih kurang selama

10 tahun. Kabilah Huzail itu terkenal paling baik bahasa Arabnya dan beliau banyak menghafal syair-syair kabilah tersebut.43

Sejak dini, pada diri dan sifat Imam Syafi’i telah teserlah/tampak bakat yang luar biasa untuk menjadi seorang ilmuan. Kecerdasan dan kekuatan ingatannya yang baik dan tekun dalam belajar, membuatnya selalu berhasil dan berjaya dalam setiap pelajaran, melampaui semua teman sebayanya.

Pendidikannya diawali dengan belajar (membaca dan menghafal) al-

Qur’an diselesaikannya ketika ia masih berusia 7 tahun di Kuttab, lembaga pendidikan terendah yang ada pada masa itu. Karena ingatannya sangat kuat, ia selalu dapat menghafal setiap pelajaran yang diajarkan oleh gurunya.44 Setelah selesai mempelajari Al-Qur’an, beliau pergi ke kawasan perdesaan (bidayah) dan bergabung dengan Bani Huzai, suku bangsa Arab di kota Makkah yang paling fasih bahasanya. Semasa tinggal di kota Makkah, Imam Syafi’i menuntut ilmu dan berguru dengan ulama yang ada di kota itu, hingga beliau mendengar adanya

42 Ibid, h. 4

43 Lokman Hakim, Tokoh-Tokoh Islam Dulu Dan Masa Kini, (Johor Bahru: Bismi Publishers, August 1989), cet ke2, h. 232

44 Lahmudin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’i. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001) h. 16

seorang Ulama besar, Imam di kota Madinah yaitu Imam Malik. Saat itu, nama besar Imam Malik r.a sedang berada di puncak kemasyhurannya, sehingga banyak sekali orang yang datang kepadanya. Imam Malik ketika itu telah mencapai tingkat kepakaran dalam masalah ilmu agama terutama dalam bidang Hadits.

Imam Syafi’i berangkat ke kota Madinah dengan membawa sepucuk surat dari wali kota Makkah. Dengan kepergiannya ke kota Madinah, mulailah Imam

Syafi’i mempelajari ilmu fiqh secara total. Sewaktu Imam Malik bertemu dengan

Imam Syafi’i beliau dengan firasatnya berkata kepada sang Imam, “Ya

Muhammad, bertakwalah kepada Allah SWT. dan jauhilah maksiat.

Sesungguhnya engkau akan tumbuh menjadi seorang yang agung. Allah SWT. telah menganugerahkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu padam cahaya tersebut dengan maksiat.”45

Setelah Imam Syafi’i mempelajari kitab al-Muwaththa’ dari Imam Malik, beliau masih tetap tinggal di kota Madinah untuk menimba ilmu kepada Imam

Malik. Beliau membahas dan mempelajari fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh

Imam Malik, berkat dorongan yang diberikan oleh Imam Malik dengan mengatakan bahwa Allah SWT. telah menyinari hati beliau dengan nur-Nya dan jangan nur itu dipadamkan dengan berbuat maksiat. Imam Syafi’i giat sekali mempelajari fiqh dan hadits sampai Imam Malik wafat pada tahun 170 H

45 Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi’i; Biografi Dan Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik Dan Fiqh, diterjemahkan oleh Abdul Syukur dan Ahmad Rivia Othman, dari judul asli, Imam Syafi’i : Hayatuhu wa ‘ashruhu ara ‘uhu wa fiqhuhu (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2005), h. 27

Meskipun Imam Syafi’i selalu terus menerus menyertai Imam Malik, namun nampaknya beliau tidak pernah merasa puas dengan yang diperolehinya itu. Seringkali beliau melakukan pengembaraan ke pelbagai penjuru negeri Islam.

Dalam perjalanan ini beliau mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman, di antaranya beliau mengetahui dan memahami karakter manusia, adat istiadat disetiap daerah yang dikunjungi serta kondisi kehidupan sosial masyarakat. Di dalam pengembaraan tersebut Imam Syafi’i tidak lupa mengunjungi ibundanya tercinta di kota Makkah untuk meminta nasihatnya. Kedekatannya dengan Imam

Malik r.a. tidaklah menjadi penghalang baginya untuk menempuh perjalanan ke

Kota lain untuk menimba ilmu dari ulama lain dan kedekatannya tersebut tidak menjadi menghalang kebebasannya.

Adapun metode istidlal yang dipakai oleh Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum Islam yaitu:

a. Al-Qur’an dan As-Sunnah;

b. Ijma’;

c. Qiyas;

d. Maslahah Mursalah;

Inilah metode yang akan dipakai olah Imam Syafi’i dalam menetapkan sesuatu hukum Islam.46

46 Huzaemah T. Yanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer,( Jakarta: Al-Mawardi Prima), 2001, h.140

Guru-guru Imam Syafi’i

1. Muslim bin Khalid Az-Zanji, Mufti Makkah tahun 180 H yang bertepatan

dengan tahun 796 M, ia adalah maula (budak) Bani Makhzum.

2. Sufyan bin Uyainah Al-Hilali yang berada di Makkah, ia adalah seorang

yang terkenal ke-tsiqah-annya (jujur dan adil).

3. Ibrahim bin Yahya, salah seorang ulama Madinah.

4. Malik bin Anas. Syafi’i pernah membaca kitab Al Muwaththa’ kepada

Imam Malik setelah ia menghafalnya di luar kepala, kemudian ia menetap

di Madinah sampai Imam Malik wafat tahun 179 H, bertepatan dengan

tahun795 M.

5. Waki’ bin Jarrah bin Malih Al Kufi.

6. Hammad bin Usamah Al Hasyimi Al-Kufi.

7. Abdul Wahab bin Abdul Majid Al Bashri.47

Kedatangan Imam Syafi’i ke Mesir

Imam Syafi’i datang ke Mesir pada tahun 199 H, atau 814/815 M, pada awal masa khalifah Al-Ma’mun. kemudian beliau kembali ke Baghdad dan bermukim di sana selama sebulan, lalu kembali lagi ke Mesir. Beliau tinggal di sana sampai akhir hayatnya pada tahun 204 H, atau 819/820 M.

47 Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm, terjemahan; Mohd Yasir Abd Muthalib Lc, (Jakarta: Pustaka Azzam, Januari 2005), Cet Kedua, h. 4-5

3. Karya-karya Imam Syafi’i

Imam Syafi’i banyak menulis dalam pelbagai cabang ilmu pengetahuan.

Menurut sebahagian ahli sejarah, beliau telah menulis 13 buah buku, yaitu dalam bidang ushul fiqh, fiqh sastera dan lain-lain. Di antaran kitab Imam Syafi’i yang termasyhur juga ialah “Ar-Risalah” tentang usul Fiqh yang ditulis atas permintaan

Abdur Rahman Bin Al Mahdi, salah seorang ahli hadits di masa Imam Syafi’i.

Bagaimanapun kitab beliau yang terlengkap dalam ilmu fiqh adalah “Al-Umm”. 48

Buku-buku Karangan Imam Syafi’i yang 13 itu adalah sebagai berikut:

1. Ar-Risalah Al Qadimah (Kitab Al-Hujjah)

2. Ar-Risalah Al Jadidah

3. Ikhtilaf Al Hadits

4. Ibthal Al Istihsan

5. Ahkam Al-Qur’an

6. Bayadh Al Fardh

7. Sifat Al Amr wa Nahyi

8. Ikhtilaf Al Malik wa Syafi’i

9. Ikhtilaf Al Iraqiyin

10. Ikhtilaf Muhamad bin Husain

48 Lokman Hakim, Tokoh-Tokoh Islam Dulu Dan Masa Kini,( Johor Bahru: Bismi Publishers, August 1989), cet ke2, h. 237

11. Fadha’il Al Quraisy

12. Kitab Al Umm

13. Kitab As-Sunan49

Menurut Abu Bakar al-Baihaqy dalam kitab Ahkam al-Qur’an, bahwa karya Imam Syafi’i cukup banyak, baik dalam bentuk risalah, maupun dalam bentuk kitab. Al-Qadhi Imam Abu Hasan Ibn Muhammad al-Maruzy mengatakan bahwa Imam Syafi’i menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fiqh, adab dan lain- lain.50 Kitab-Kitab karya Imam Syafi’i dibahagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian:

1. Kitab yang ditulis Imam Syafi’i sendiri, seperti al-Umm dan al-Risalah (

riwayat dari muridnya yang bernama al-Buwaithy dilanjutkan oleh

muridnya yang bernama Rabi’ Ibn Sulaiman).

2. Kita yang ditulis oleh murid-muridnya, seperti mukhtasar oleh al-Muzany

dan Mukhtasar oleh al-Buwaithy (keduanya merupakan ikhtisar dari Kitab

Imam Syafi’i: al-Imla’ wa al-Amly).

Kitab al-Umm berisi masalah-masalah fiqh yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran Imam Syafi’i dalam al-Risalah. Selanjutnya, kitab al-

Risalah adalah kitab yang pertama yang dikarang oleh Imam Syafi’i pada usianya

49 Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm, terjemahan; Mohd Yasir Abd Muthalib Lc, (Jakarta: Pustaka Azzam, Januari 2005), Cet Kedua, h. 9

50 Huzaemah T. Yanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer,( Jakarta: Al-Mawardi Prima), 2001, h.140

yang masih muda belia. Kitab ini ditulis atas permintaan Abdur Rahman Bin Al

Mahdi di Makkah, karena beliau meminta kepada Imam Syafi’i agar menuliskan suatu kitab yang mencakup ilmu tentang arti al-Qur’an, hal-ihwal yang ada dalam al-Qur’an, naskh dan mansukh serta hadits Nabi SAW. kitab al-Risalah ini akhirnya membawa keagungan dan kemasyhuran nama Imam Syafi’i sebagai pengulas ilmu ushul fiqh dan yang mula-mula memberi asas ilmu ushul fiqh serta yang mengadakan peraturan tertentu bagi ilmu fiqh.

4. Penyebaran dan Perkembangan Mazhabnya Imam Syafi’i r.a. masih menjadi pengikut fiqh Imam Malik dan sebelum mencetuskan pemikiran fiqh baru, kecuali setelah beliau meninggalkan kota

Baghdad dalam perjalanan intelektualnya yang pertama kali menuju kota itu pada tahun 184 H. sebelum masa itu, Imam Syafi’i selalu menyebut dirinya sebagai seorang pengikut mazhab Imam Malik dan selalu membela fiqh Imam malik r.a.

Beliau sering kali melakukan dialog dengan para pengikut fiqh ahlul ra’yi, beliau selalu membela fiqh Madinah. Dengan sikapnya yang demikian, akhirnya beliau dikenal dengan gelaran Nashir as-Sunnah (Pembela Sunnah). Beliau sangat antusias dalam membela kalangan ulama hadits dan termasuk salah seorang ulama yang paling piawai dalam memaparkan hujjah kalangan ulama hadits.51

51 Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi’i; Biografi Dan Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik Dan Fiqh, diterjemahkan oleh Abdul Syukur dan Ahmad Rivia Othman, dari judul asli, Imam Syafi’i : Hayatuhu wa ‘ashruhu ara ‘uhu wa fiqhuhu (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2005), h. 30.

Setelah Imam Syafi’i menetap di kota Baghdad dalam jangka waktu yang cukup lama, beliau mulai mempelajari fiqh Ulama Iraq dari salah seorang tokohnya yang bernama Muhammad Bin Al-Hasan asy Syaibani r.a. Beliau seringkali melakukan dialog dengan Ulama yang mempunyai corak fiqh Ahlu

Ra’yi dan bertukar pendapat dengan mereka. Setelah banyak melakukan dialog, mulailah tumbuh dalam dirinya satu pemikiran untuk mencetus sebuah fiqh yang merupakan penggabungan antara fiqh Ulama Madinah dan Ulama fiqh Iraq. Dan mulai saat itulah Imam Syafi’i mengkaji dan mengoreksi Imam Malik secara kritis dan tidak lagi memposisikan dirinya sebagai pembela fiqh Ulama Madinah yang fanatik. Nampaknya ketelitian beliau dalam menyikapi fiqh Imam Malik membuatnya melihat beberapa kelemahan yang ada dalam fiqh Ulama Madinah tersebut, sebagaimana sikap kritis beliau terhadap fiqh Ulama Iraq telah membuatnya melihat sisi kelebihan dan kelemahan fiqh Ulama Iraq tersebut.

Pada tahap inilah, beliau mulai meritis jalan kearah pembentukan mazhab sendiri, suatu mazhab fiqh baru yang mula diperkenalkannya di Baghdad dan akhirnya mendapatkan wujud yang lebih sempurna setelah dikembangkannya di

Mesir.

Nahrawi membahagikan sejarah pertumbuhan dan perkembangan mazhab

Syafi’i kepada empat periode: periode persiapan, periode pertumbuhan dengan lahirnya mazhab al-Qadim, periode kematangan dan kesempurnaan pada mazhab al-Jadid, dan periode pengembangan dan pengayaan.

A. Periode Persiapan52

Persiapan bagi lahirnya Mazhab Syafi’i berlangsung sejak wafatnya Imam

Malik r.a. 179 H, sampai dengan kematangannya yang kedua di Baghdad, tahun

195 H, dimana setelah wafatnya Imam Malik, Imam Syafi’i berangkat ke Yaman untuk kerja. Dengan demikian, kehidupan keilmuannya beralih dari dunia teori ke dunia penerapan di lapangan. Keberadaan di lapangan menuntut perhatian lebih bila dibanding dengan periode menuntut ilmu. Di sini perhatian tidak mungkin lepas dari beberapa faktor, kondisi, dan stuasi ekonomi, politik, dan sosial yang ada. Dalam penerapan, teori-teori murni yang dalam kajian dinilai terbaik kadang- kadang mengalami semacam penyesuaian demi mendapatkan kemaslahatan umum sebagai tujuan syariat.

Selama di Yaman, Imam Syafi’i memperoleh banyak pengalaman yang memperkayakan khazanah keilmuannya. Disamping itu, melalui diskusi-diskusi dengan tokoh utama Mazhab Hanafi, Muhammad Bin al-Hasan al-Syaibani, ia dapat pula mengenali aliran Ahl al Ra’yi secara dekat, memperluaskan wawasan, serta mematangkan pemikiran dan keperibadiannya.

B. Periode Pertumbuhan

Tahun 195 M, pada saat kedatangan kedua di Baghdad, sampai dengan tahun 199 M, saat ia pindah ke Mesir, bisa disebut sebagai periode pertumbuhan bagi mazhab Syafi’i. Ketika Imam Syafi’i datang kembali ke Baghdad tahun 195

52 Ibid, h. 35.

M, ia datang bukan sebagai penuntut ilmu, melainkan seorang Ulama yang matang dengan konsep serta pemikiran-pemikirannya sendiri. Kini beliau memperkenalkan fiqhnya secara utuh, lengkap dengan kaidah-kaidah umum, dan pokok-pokok pikiran yang siap untuk dikembangkan. Mazhab baru ini digelarnya di Baghdad yang sejak lama telah dikuasai dan dijadikan sebagai pusat pengembangan oleh aliran Ahl al Ra’yi. Pendapat dan fatwa-fatwa fiqh yang dikemukakannya pada periode ini dikenali dengan sebutan Qaul Qadim. Selam kira-kira dua tahun berada di Baghdad, beliau berhasil menyusun dan membuat kitab al-Risalah yaitu dalam bidang Ushul Fiqh dan ah-Hujjah dalam bidang fiqh.

Kitab al-Hujjah inilah yang menjadi rujukan bagi Qaul Qadim mazhab Syafi’i yang selanjutnya diiwayatkan oleh beberapa murid yang belajar kepadanya di

Baghdad.

C. Periode Kematangan dan Kesempurnaan pada Mazhab al-Jadid

Setelah berhasil memperkenalkan mazhab barunya di Baghdad, Imam

Syafi’i kembali lagi ke Makkah dan terus mengajar serta mengembangkan pemikirannya di kota suci Makkah itu. Kemudian pada tahun 198 M sekali lagi ia berada di Baghdad, tetapi tidak lama kemudian berpindah ke Mesir.

Masa yang dilalui Imam Syafi’i di Mesir itu relative pendek, tetapi sangat berarti dalam pengembangan mazhabnya. Di sana ia sangat sibuk dengan kegiatan produktif yang menghasilkan temuan ilmiah dan istinbath hokum yang membuat hujjah serta kebesaran peribadi Imam Syafi’i sebagai seorang imam semakin nyata. Karena berbagai alasan ilmiah, ia menyatakan ruju’, meninggalkan

beberapa pendapat lama yang dikemukakan di Baghdad dan mengubah dengan fatwa yang baru. Pendapat-pendapat baru (qaul Jadid) itu dituangkan secara sistematis dalam beberapa buah kitab.

D . Periode Pengembangan

Periode ini berlangsung sejak wafatnya Imam Syafi’i sampai dengan pertengahan abad kelima atau, bahkan abad ketujuh menurut pendapat sebagian ahli. Para murid dan penerus Imam Syafi’i dari berbagai generasi (Thabaqat) yang telah mencapai derajad ijtihad dalam keilmuannya terus melakukan istinbath hukum untuk masalah-masalah yang timbul pada masa mereka atau yang ditimbulkan sebagai perandaian (masa’il frdliyah). Selain itu, semangat ijtihad yang diwariskan oleh Imam Syafi’i sendiri, mereka juga melakukan tinjauan ulang terhadap fatwa-fatwa Imamnya. Dalam satu permasalahan Imam Syafi’i memberikan dua, atau lebih, fatwa yang berbeda. Mereka melakukan tarjih setelah menelusuri dalilnya masing-masing untuk mendapat pilihan yang kuat.

Mereka inilah yang kemudiannya memainkan peran penting dalam membela, melengkapi, dan meyebarkan mazhab Syafi’i sehingga bersaing dengan mazhab-mazhab lainnya yang di seluruh wilayah Islam. Selain ramai dengan kegiatan istinbath, kajian, dan diskusi antara sesamanya atau antara mereka dengan ulama dari mazhab lain, para ulama Syafi’iyyah pada periode ini juga banyak menghasilkan karya tulis. Hampir setiap ulama terkemuka menuangkan

ilmunya dalam berbagai tulisan, berupa kitab, risalah, ta’liq dan sebagainya, yang

bersesuaian dengan metode penulisan yang berkembang pada masanya.

Dari hal yang di atas dapat kita mengetahui bahwa mazhab Syafi’i

merupakan gabungan dari fiqh ulama Madinah (ahl Hadits) dan fiqh ulama Iraq

(ahl Ra’yi), dimana setelah mempelajari keduanya, ia kembali dan mengoreksi

lebih lanjut fiqh ulama-ulama tersebut. Yang akhirnya membentuk mazhab

sendiri yang awalnya diperkenalkan di Baghdad dan mendapat yang lebih

sempurna setelah dikembangkan di Mesir.53

Penyebaran mazhab Imam Syafi’i ini antara lain di Irak, lalu berkembang

dan tersiar ke Khurasan, Pakistan, Syam, Yaman, Persia, Hijaz, India, daerah-

daerah Afrika dan Andalusia sesudah tahun 300 H. Kemudian mazhab Syafi’i

tersiar dan berkembang bukan hanya di Afrika, tetapi seluruh pelosok Negara-

negara Islam, baik di Barat, maupun di Timur, yang dibawa oleh para muridnya

dan pengikut-pengikutnya dari satu negeri ke negeri lain, termasuk ke

Indonesia.54

Wafatnya Imam Syafi’i

Beliau mengidap penyakit ambeian pada akhir hidupnya, sehingga

mengakibatkan beliau wafat di Mesir pada malam Jum’at seusai shalat Maghrib,

yaitu pada terakhir di bulan Rajab. Beliau dimakamkan pada hari Jum’atnya di

53 Ibid,

54 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 2003), cet, ke-3, h. 135

tahun 204 H, atau 819/820 M. Kuburnya berada di kota Kairo, dekat Masjid

Yazar, yang berada dalam lingkungan perumahan yang bernama Imam Syafi’i. 55

B. Gambaran Umum Tentang Negeri Terengganu

1. Keadaan Geografi

Malaysia merupakan suatu negara yang luas wilayahnya sekitar 336.700

KM², terdiri dari semenanjung Malaysia, Sabah dan Serawak yang dipisahkan

oleh laut Cina Selatan yang luasnya 1.036 KM². Semenanjung Malaysia meliputi

wilayah seluas 134.680 KM², berbatasan dengan negara Thailand di Utara dan

Singapura di Selatan. Sementara Sabah dan Serawak luasnya sekitar 202.020

KM² yang berbatasan dengan wilayah Kalimantan (Indonesia).56

Negara Malaysia terbagi menjadi 13 negeri bagian, yaitu: Melaka, Negeri

Sembilan, Selangor, Terengganu, , Johor, Kelantan, Kedah, Perak, Perlis,

Pulau Pinang, Sabah dan Sarawak.57 Semenanjung Malaysia terbagi kepada dua

wilayah yaitu Pantai Barat yang terdiri daripada negeri Johor, Kedah, Melaka,

55 Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm, terjemahan; Mohd Yasir Abd Muthalib Lc, (Jakarta: Pustaka Azzam, Januari 2005), Cet Kedua, h. 9-10

56 Abdullah Jusuh, Pengenalan Tamadun Islam di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), h. xi

57http://wikisource.org/wiki/Perlembagaan_Persekutuan_Malaysia#BAHAGIAN_X_- _PERKHIDMATAN-PERKHIDMATAN_AWAM, diakses 10 Jan 2009, at 12:40.

Negeri Sembilan, Perak, Perlis, Pulau Pinang dan Selangor, dan Pantai Timur yang terdiri dari negeri Kelantan, Pahang dan Terengganu.58

Terengganu yang terletak di Semenanjung Pantai Timur luasnya kira-kira

1.295.638,3 hektar. Pantainya membentang sepanjang 225 KM dari Utara Besut ke Selatan Kemaman. Terdapat tujuh daerah (Kapupaten) di Terengganu, yaitu;

Kuala Terengganu, Kemaman, Dungun, Marang, Hulu Terengganu dan Besut, kemudian pada 1 Januari 1985, sebuah daerah baru yaitu Setiu telah dibentuk dan menjadikan daerah ketujuh di negeri Terengganu. Tiap-tiap daerah ini dikepalai oleh seorang Pegawai Daerah (Bupati). Kota-kota utama di Terengganu adalah

Bandar (Ibu Kota Negeri), (Ibu Kota Kemaman),

Kuala Besut (Besut), (Ibu Kota Dungun) dan

(Dungun).59

Terengganu berbatasan dengan Kelantan di sebelah utara, Pahang di sebelah selatan dan Laut Cina Selatan di sebelah timur.60 Iklim yang tropis membuat daerah-daerah di Terengganu menjadi subur bagi lahan pertanian dan perkebunan, sedangkan daerah persisir bagian pantai Laut Cina Selatan merupakan sektor perikanan dan pariwisata.61

58 Perangkaan Penting Malaysia, (Kuala Lumpur: Jabatan Menteri Perangkaan Malaysia, 1972), h. 5

59 Abdullah Jusuh, Pengenalan Tamadun Islam di Malaysia, Ibid, h. xii Ibid

60 Ab. Rahim Hj.Selamat, Sri Mengenal Trengganu (Darul Iman), (Singapore: Johore Central Store Sdn.Bhd, 1982) Cet, Pertama, h. 6

61 Perangkaan Penting Malaysia, h. 7

Kategori Bandar di Terengganu

Kategori ini terletak di Kategori: Bandar raya, Bandar dan kampung di

Terengganu.

Daerah - Kuala Terengganu • Hulu Terengganu • Besut • Setiu • Marang • Dungun • Kemaman Bandar raya - Kuala Terengganu (ibu negeri) Bandar - • Bandar Al-Muktafi Billah Shah • • Chukai • • Kuala Dungun • Marang • • Paka • • Rantau Abang • • Teluk Kalung • Pulau - Pulau Bidong • Pulau Kapas • Pulau Lang Tengah • Pulau Perhentian•PulauRedang • Pulau Tenggol • Pulau .62

2. Keadaan Sosial dan Ekonomi

Penduduk Terengganu bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990 penduduk Terengganu berjumlah 756.300 jiwa. Kini penduduk Terengganu melebihi 1 juta jiwa. Dari jumlah ini 90 persen adalah orang Melayu yang memeluk agama Islam dan sisanya terdiri dari orang Cina dan India. Ibu Kota

Negeri Terengganu ialah Kuala Terengganu. Kegiatan utama ekonomi ialah

62 http://ms.wikipedia.org/wiki/Kategori:Bandar_di_Terengganu, diakses 10:23, 28 Disember 2008.

perikanan dan pertanian. Selain itu hasil petrolium juga menguatkan sektor ekonomi dalam negeri.63

Daerah-daerah yang menjadi pusat sektor pertanian dan perkebunan adalah Besut, Setiu, Hulu Terengganu dan Dungun. Hasil pertanian berupa padi dan sayuran (palawija) sedangkan hasil perkebunan yang utama berupa kelapa sawit dan karet. Sedangkan sektor perikanan berpusat di Marang dan Kemaman.

Sedangkan yang menjadi daerah pusat industri adalah Kemaman.64

Dilihat dari sejarahnya, bahwa kedatangan Islam ke Terengganu sebelum

Inggris menjajah Terengganu dan pada waktu itu Terengganu belum menyatu menjadi negara Persekutuan Malaysia sekitar abad ke-8 H atau abad ke-14 M.

Sebagai buktinya adalah seperti yang tercatat dalam Batu Bersurat Terengganu, yang bertuliskan: "Tuan mendudukan tamra ini di benua Terengganu adi pertama ada Jumaat di bulan Rajab di tahun Saratan di sasanakala Baginda Rasulullah telah lalu tujuh ratus dua."

Tulisan tersebut, berdasarkan perhitungan ilmu falak (astronomi), bahwa

Batu Bersurat itu telah dibuat pada hari Jumaat tanggal 6 Rajab 702 H65 kerana

63 http://ms.wikipedia.org/wiki/Geografi_Terengganu, diakses 10:25, 28 Disember 2008.

64 Ibid.

65 Hussin Hasnah dan Nordin Mardiana, Pengajian Malaysia, (Selangor: Oxford Fajar Sdn. Bhd., 2007), h. 21, dan boleh lihat: http://ms.wikipedia.org/wiki/Batu_Bersurat_Terengganu, diakses 15:49, 10 Jan 2009.

pada tanggal tersebut bulan sedang berada dan bergerak dalam Buruj Saratan.66

Berdasarkan Kalender Hijri Istilahi (0001 H-1500 H) yang dikeluarkan oleh kerajaan negeri Terengganu dalam menyambut tahun baru 1413 H, 6 Rajab 702 H adalah bertepatan dengan 24 Febuari 1303 M. Tanggal tersebut bukanlah tanggal masuknya Islam ke Terengganu, tetapi itu adalah tanggal Pengistiharan

(pengumuman) Titah di-Raja berlakunya Hukum Syara’ dan Undang-undang

Islam di Terengganu.67

Ketika Terengganu diperintah oleh Sultan Zainal Abidin III (1881-1918),

Undang-undang Islam di Terengganu talah dilaksanakan dan dijadikan sebagai

Undang-undang negeri di mana Baginda Raja telah menyusun struktur organisasi mahkamah (lembaga peradilan), membuat Undang-undang Mahkamah dan

Perlembagaan Negeri. Undang-undang ini dibuat berdasarkan al-Qawa 'id al-

Syar'iah atau al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, yang berisi tiga belas (13) bab, meliputi tentang tugas-tugas pejabat dan pegawai mahkamah, hukuman dan dana operasional mahkamah. Secara umum, Undang-undang mahkamah ini berdasarkan sistem kehakiman Islam. Dapat dikatakan, bahwa pada masa itu

Undang-undang ini ternyata begitu lengkap dan tersusun rapi serta

66 Rumusan kertas kerja yang dibuat oleh Tuan Haji Muhammad Khair bin Haji Taib, seorang ahli falak yang terkenal di negara ini dan diulas oleh Yang Berhormat Dato' Perba di- Raja, seorang ahli falak Terengganu yang terkenal, di dalam seminar "Kedatangan Islam ke Terengganu", yang dilaksanakan oleh Yayasan Islam Terengganu pada 13-14 Rajab 1401H bersamaan 17-18 Mei 1981M.

67 Hussin Hasnah dan Nordin Mardiana, Pengajian Malaysia, h. 21

pelaksanaannya di seluruh Terengganu sesuai dengan dasar-dasar dan prinsip- prinsip kehakiman Islam.68

3. Mahkamah Syariah dan Wewenangnya

Mahkamah Syariah ialah institusi kehakiman yang menangani serta menjatuhkan hukuman kepada orang yang berperkara perdata dan pidana Islam sesuai kewenangan yang telah ditetapkan. Pada tahun 1948, Ordinan69 Mahkamah

Persekutuan dan sistem kehakiman Persekutuan memisahkan Mahkamah Syariah dari hierarki mahkamah. Pada masa pemerintahan kolonial Inggris, segala urusan agama diserahkan kewenangannya kepada raja-raja Melayu tetapi terhadap bidang yang terbatas seperti perkawinan, adat istiadat, dan agama. Pada tahun

1952, negeri Selangor Darul Ehsan yang mula-mula sekali mewujudkan Enakmen

Pentadbiran Hukum Syara’, kemudian diikuti oleh negeri-negeri lain di Malaysia

Barat (semenanjung).

Konstitusi (Perlembagaan Persekutuan Malaysia) memberikan kewenangan kepada negara-negara bagian yaitu masing-masing negara bagian diberi kuasa untuk membuat Undang-Undang Syariah, sebagaimana yang dinyatakan dalam Perlembagaan Persekutuan Jadual 9 Pasal 2 ayat (1) bahwa:

“Kecuali mengenai wilayah-wilayah Persekutuan Kuala Lumpur dan Labuan, Hukum Syarak dan Undang-Undang diri dan keluarga bagi orang yang menganut agama Islam, ternmasuk hukum Syarak berhubungan dengan

68 http://ms.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Syariah_di_Malaysia, diakses 14 Febuari 2009, at 08:30am.

69 Ordinan adalah Istilah Undang-undang yang dibuat pada waktu Inggris berkuasa, hingga saat ini istilah ini hanya digunakan oleh Negara bagian Sabah dan Serawak.

mewarisi harta wasiat dan tak berwasiat, pertunangan, perkawinan, perceraian, maskawin, nafkah, pengambilan anak angkat, taraf anak, penjagaan anak, pemberian, pembagian harta dan amanah bukan khairat; wakaf Islam dan takrif serta peraturan mengenai amanah khairat dan khairat agama, pelantikan pemegang-pemegang amanah dan perbadanan bagi orang- orang mengenai pemberian agama Islam dan khairat, yayasan, amanah. Khairat dan yayasan khaerat yang dijalankan kesemuannya sekali dalam negeri; adat istiadat melayu; zakat fitrah dan baitul mal atau hasil agama Islam yang seumpamanya; masjid atau mana-mana tempat sembahyang awam untuk orang Islam; mengadakan dan menghukum kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang menganut agama Islam terhadap rukun-rukun Islam, kecuali mengenai perkara-perkara yang termasuk dalam senerai persekutuan; keanggotaan, penyusunan dan cara bagi mahkamah-mahkamah syari’ah, yang akan mempunyai bidang kuasa hanya ke atas orang-orang yang menganut agama Islam dan hanya mengenai mana-mana perkara yang termasuk dalam perenggangan ini, tetapi tidak mempunyai bidang kuasa mengenai kesalahan-kesalahan kecuali yang diberi oleh Undang-Undang Persekutuan; mengawal pengembangan itikad dan kepercayaan antara orang- orang yang menganut agama Islam; menentukan perkara-perkara hukum syarak dan itikad dan adat istiadat Melayu.”

Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka negara-negara bagian melalui badan perundang-undangan masing-masing berkuasa membuat Undang-Undang

Syariah dan membentuk organisasi pembuat dan pelaksana Undang-undang seperti majlis-majlis agama Islam dan Mahkamah-mahkamah Syariah. Undang- undang Syariah diberikan kewenangan untuk mengatur masalah hukum keluarga

Islam (hukum perdata) dan Pidana. Untuk hukum keluarga kewenangan diberikan secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Pernikahan, mulai dari pertunangan, syarat-syarat perkawinan, maskawin,

pencatatan pernikahan, hak dan kewajiban suami isteri, perceraian, masa

iddah, rujuk, status anak, hak asuh anak, poligami, perwalian, pengangkatan

anak dan adopsi;

2. Kewarisan, berkenaan dengan ahli waris dan masing-masing bagiannya;

3. Wasiat, berkenaan dengan syarat-syarat dan yang tidak boleh menerima

wasiat serta batalnya wasiat, pengangkatan anak (adopsi), status anak, hak

asuh anak, warisan, dan wasiat;

4. Hibah;

5. Zakat, dan Wakaf.

Sedangkan dalam bidang pidana secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:70

1. Kesalahan yang berhubungan dengan ‘aqidah seperti pemujaan salah, doktrin

palsu, mengembangkan doktrin agama dan dakwaan palsu;

2. Kesalahan yang berhubungan dengan kesucian agama Islam dan institusinya,

sepert menghina ayat al-Quran atau al-Hadits dan menghina atau mengingkari

pihak berkuasa agama, tidak menunaikan sembahyang Jumaat, tidak

menghormati Ramadhan, tidak membayar zakat atau fitrah, menghasut supaya

mengabaikan kewajipan agama, berjudi dan minuman yang memabukkan.

3. Kesalahan yang berhubungan dengan kesusilaan, pelacuran, persetubuhan luar

nikah, perbuatan sebagai persediaan untuk melakukan persetubuhan luar

70 Hukuman yang diberikan atas kesalahan-kesalahan tersebut berupa denda tidak diperbolehkan melebihi 5.000 Ringgit dan atau penjara kurungan tidak lebih dari tiga tahun. Untuk lebih jelasnya mengenai Undang-undang Syari’ah yang mengatur masalah pidana tersebut dapat dilihat pada buku Undang-undang Syariah Wilayah-wilayah persekutuan, disusun oleh Lembaga penyelidikan Undang-Undang, (Selangor: International Law Book Services, tt.), h. 5-28

nikah, liwat (sodomi), khalwat, orang lelaki berlagak seperti perempuan,

perbuatan tidak sopan di tempat umum;

4. Kesalahan-kesalahan seperti memberikan keterangan, maklumat atau

pernyataan palsu, memusnahkan atau mencemarkan masjid atau surau,

pemungutan zakat atau fitrah tanpa kuasa, pembayaran tak sah akan zakat atau

fitrah, menghalang pasangan yang sudah bernikah daripada hidup sebagai

suami istri, menghasut suami atau istri supaya bercerai atau mengabaikan

kewajiban, menjual atau memberikan anak kepada orang bukan Islam, qazaf,

dan penyalahgunaan tanda halal.

Mahkamah Syariah dinamakan Mahkamah Kadi untuk menjalankan peraturan dan wewenang Undang-Undang Syariah bagi setiap negeri di Malaysia. kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Syariah adalah seperti perkawinan, penceraian, kekeluargaan serta penyelesaian harta pusaka kecil.

Mahkamah Syariah pula menjalankan tugas yang terpisah dengan Pejabat Agama.

Pejabat Agama menjalankan urusan dalam hal-hal yang bersangkut dengan masyarakat Islam seperti urusan zakat, baitulmal, dakwah, pendidikan, dan sebagainya bardasarkan kewenangan setiap negeri bagian di Malaysia. Terdapat negeri yang meletakkan Mahkamah Syariah di bawah wewenang Pejabat Agama negeri dengan bidang kuasa dan tugas yang berlainan.71

71 http://ms.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Syariah_di_Malaysia, diakses 14 Febuari 2009, at 08:20 am

Kebanyakan negeri menjadikan Majlis Mesyuarat DUN sebagai institusi yang tertinggi dan diikuti Majlis Agama & Istiadat. Ter-dapat di bawahnya

Mahkamah Syariah dan Jabatan Agama Islam. Di setiap negeri dibentuk sebuah

Jabatan Agama Islam untuk menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan

Undang-Undang Syari’ah. Mahkamah Syariah juga ditubuhkan di setiap daerah bagi kebanyakan negeri untuk memudahkan lagi menjalankan pentadbiran agama

Islam. Ketua bagi setiap daerah berkenaan dilantik seorang Kadi Daerah.72

Mahkamah Syariah Terengganu atau pun Mahkamah di setiap negeri mempunyai fungsi antara lain:73

1. Menerima dan menyelesaikan kasus-kasus yang dibawa ke Mahkamah

Syariah dengan adil dan seksama sesuai dengan hukum syara’ dan ketentuan

undang-undang;

2. Melaksanakan sistem kehakiman Islam yang teratur dan bekesan (baik);

3. Mengurus kasus-kasus rayuan (banding) syari’ah secara teratur;

4. Mengurus permohonan pembagian harta pusaka;

5. Membangun sumber daya manusia yang terlatih dan profesional;

6. Memberi pelayanan mediasi (perundingan perdamaian).

Pada tahun 2001 DUN Terengganu telah membuat suatu Undang-undang

Mahkamah Syariah yaitu Enakmen No. 3 tentang Mahkamah Syariah

72 http://ms.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Syariah_di_Malaysia, Ibid.

73 Dapat dilihat pada Profil Jabatan Kehakiman Syari’ah Terengganu (JKSTR)

(Terengganu) 2001 dan Enakmen No. 6 tentang Keterangan atau Penjelasan

Mahkamah Syariah (Terengganu) 2001. Bardasarkan Enakmen Mahkahmah ini

Mahkamah Syariah dibentuk dalam tiga tingkat yaitu: a. Mahkamah Rayuan Syariah

Mahkamah Rayuan Syariah merupakan lembaga peradilan yang berdiri sendiri, terdiri dari tiga anggota yaitu Mufti Kerajaan dan dua orang yang telah dilantik oleh Duli Yang Maha Mulia Sultan. Hanya berwenang untuk menerima dan memutuskan perkara-perkara yang telah diputuskan oleh Mahkamah Tinggi

Syariah dan tidak boleh meminta untuk mengadili. Mahkamah Rayuan Syariah adalah pengadilan tingkat kasasi dalam ruang lingkup Mahkamah Syariah.

Mahkamah Rayuan Syariah berkedudukan di Ibu kota Kuala Terengganu. b. Mahkamah Tinggi Syariah

Mahkamah Tinggi Syariah merupakan lembaga Peradilan Tingkat Tinggi yang berkedudukan di ibu kota negara bagian (provinsi) yaitu di Kuala

Terengganu. Mahkamah ini diketuai oleh seorang Hakim Besar tugasnya mengawasi dan mengatur semua Hakim yang ada di kabupaten (Mahkamah

Rendah Syariah). Sedangkan wewenangnya meliputi bidang jinayah (pidana) dan perdata yang telah diputus oleh Mahkamah Rendah Syariah dengan kata lain

Mahkamah Tinggi Syariah adalah peradilan tingkat banding. c. Mahkamah-Mahkamah Rendah Syariah Daerah-Daerah.

Mahkamah Rendah Syariah berkedudukan di setiap Kabupaten yang menangani perkara-perkara untuk wilayahnya saja sebagai pengadilan tingkat

pertama. Tiap-tiap Mahkamah Rendah Syariah Daerah diketuai oleh seorang

Hakim Mahkamah Rendah Syariah. Tugasnya adalah memproses kasus-kasus yang menjadi kewenangannya, menerima dan memutuskan kasus-kasus tersebut, dan menyediakan kertas-kertas keputusan dan laporan mahkamah. 74

4. Sejarah Singkat Pejabat Agama (Kantor Urusan Agama)

Jabatan Hal Ehwal Agama Terengganu mula ditubuhkan pada tahun 1912

M/1331 H dengan nama Pejabat Pesuruhjaya Agama Dan Keadilan. Jawatan ketua Jabatan dikenali dengan nama Shaikul Islam.

Pada 25 September 1919 nama Ketua Jabatan ditukar kepada Pesuruhjaya

Hal Ehwal Agama Terengganu. di Negeri Terengganu menggunakan Enakmen 12

Tahun 1985 Enakmen tentang Pentadbiran Keluarga Islam.

Sejarah Penepatan Bangunan JHEAT:

1. Balai Besar (dalam kawasan Istana Maziah)

2. Tapak Kantor Pos Besar

3. Tapak Wisma Darul Iman ( Pejabat Besar )

4. Bangunan Engku Bijaya Raja ( Bangunan Persatuan Sejarah sekarang )

5. Bekas Rumah Dato’ Amar

6. Rumah Syed Husin Al Bukhari ( Jalan Syed Husin )

7. Tapak Wisma Persekutuan

8. Tapak Wisma Darul Iman

74 Ibid.

9. Wisma Negeri ( 1977-1998 )

10. Kompleks Seri Iman (21 Disember 1998-sekarang ).75

Undang-undang keluarga Islam adalah dibawah cabang Undang-undang

Persendiri karena ia adalah Undang-undang yang mengawal mengenai perkawinan dan perceraian, penjagaan anak, nafkah, pengambilan anak angkat dan pengesahan tarafan anak. Ia adalah Undang-undang yang melibatkan hubungan antara individu yang mempunyai kaitan antara satu sama lain melalui perkawinan.76Bahwa Undang-undang Keluarga Islam ini hanya untuk orang yang beragama Islam saja. Setiap Negeri di Malaysia mempunyai Pejabat Agama

(KUA) dan juga Mahkamah. Segala permasalahan yang berkaitan dengan kekeluargaan, wakaf, zakat, bisa diajukan kepada Pejabat Agama. Sebenarnya

Islam telah menggariskan peraturan yang lengkap untuk panduan hidup berkeluarga. Pengabaian kepada aturan yang ditetapkan boleh mendatangkan kepincangan dan sengketa dalam rumah tangga.

75 http://www.jheat.terengganu.gov.my/SEJARAH.html, diakses 14 Disember 2008, at 01:15pm

76 Noor Aziah Mohd Awal, Wanita dan Undang-Undang, (Selangor: International Low Book Services (ILBS), Cet Pertama 2006, h. 6

BAB IV

PERNIKAHAN WANITA HAMIL DALAM PERSPEKTIF IMAM SYAFI’I DAN UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM DI NEGERI TERENGGANU

A. Pengertian Pernikahan Wanita Hamil 1. Pengertian Pernikahan Wanita Hamil menurut Fiqih

Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa pernikahan adalah satu

jalan yang sangat mulia disisi agama Islam dalam memenuhi kebutuhan naluri

manusia dan menghasilkan satu keturunan yang sah dalam agama dan

masyarakat. Begitujuga menghasilkan sebuah masyarakat yang harmonis dan

damai.

Hamil adalah merupakan suatu proses alami yang lumrah terjadi dalam

melahirkan generasi baru, dalam kehidupan kita. Sedangkan pengertian hamil

ialah keadaan mengandung janin yang apabila sebuah sel sperma laki-laki

bertemu dengan sel telur perempuan yang pada akhirnya nanti akan terjadi

pembuahan.

Adapun macam-macam kehamilan:

1. Wanita yang bersuami dan dalam keadaan hamil tidak boleh dinikahkan,

karena ia masih mempunyai suami, larangan ini berdasarkan pada firman

Allah SWT.:

 (  : / ) … 

Artinya:“Dan (diharamkan juga kamu berkahwin dengan) perempuan- perempuan istri orang, kecuali hamba sahaya Yang kamu miliki...” (Q.S.An-Nis’:4:24) 2. Wanita hamil yang diceraikan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai

karena meninggal. Wanita ini boleh dinikahi oleh laki-laki dengan syarat telah

berakhir masa iddahnya, kalau ia hamil sampai melahirkan, firman Allah

SWT.:

...   ( /: )... Artinya:“Dan perempuan-perempuan mengandung, tempoh idahnya ialah hingga mereka melahirkan anak Yang dikandungnya.” (Q.S.At-Thalq:65:4)

3. Wanita yang hamil tidak mempunyai suami yang sah, wanita hamil ini akibat

hubungannya dengan laki-laki yang mengaulinya, perbuatan ini dinamakan

zina. Terhadap wanita hamil sebab zina ini terjadi perbedaan pendapat

dikalangan Ulama, ada yang membolehkan untuk dinikahinya dan ada yang

melarang untuk dinikahinya

Berkenaan dengan bab ini, berarti bahwa wanita hamil di luar nikah ini,

adalah wanita itu mengandung akibat perzinahan dengan laki-laki tanpa akad

nikah atau suatu pernikahan yang tidak sah.

Zina diartikan dengan perbuatan bersetubuh yang tidak sah. Zina

didefinisikan sebagai perbuatan seorang laki-laki yang melakukan hubungan

seksual dengan seorang perempuan yang menurut naluriah kemanusiaan

perbuatan itu dianggap wajar, namun diharamkan syara’ karena perbuatan itu berlaku di luar pernikahan yang sah.

Menurut hukum Islam perbuatan zina yang dilakukan laki-laki dan perempuan itu tidak dilihat statusnya, apakah telah beristri atau sudah bersuami ataupun masih perawan atau perjaka, semua tetap dinamakan perzinahan.

Para ulama sepakat mengenai kebolehan menikah wanita penzina bagi orang yang menzinahi. Dengan demikian pernikahan antara lelaki dan wanita yang dihamilinya sendiri adalah sah dan mereka boleh bersetubuh sebagaimana layaknya suami istri.77

Menurut hukum Islam, Para ulama dalam memberikan definisi zina berbeda-beda dalam redaksinya, namum dalam substansinya hampir sama. Di bawah ini akan penulis kemukakan definisi menurut empat mazhab. a. Pendapat Malikiyah

Malikiyah sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah, memberikan definisi sebagai berikut:

ﻥ ﻡ ﻡ ﻡ ﺏﺕ ﺕ78

Artinya: “Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang mukalaf terhadap Farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan.”

77 Wabah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989), jilid VII., h. 148

78 Abdul Qadir Audah, al-Tasyrî‘ al-Jinâiy Al-Islâmy, Juz II, (Beirut: Dâr al-Kitâb aI- ’Arabi, tt), h. 349

b. Pendapat Hanafiyah ﻡ ﻥ ﺱ ﻡ ﺱ ﺵ ﺵ 79

Artinya: “Zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam qubul (kemaluan) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang kepadanya berlaku hukum Islam, dan wanita tersebut bukan miliknya, tidak ada ikatan pernikahan dan tidak ada syubhat dalam miliknya.” c. Pendapat Syafi’iyah

Syafi’iyah, sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah,

memberikan definisi sebagai berikut: ﻥ ی ﺏ ﻡ ﻡ ﻡ 80

Artinya: “Zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji yang diharam karena zatnya tanpa ada syubhat dan menurut tabiatnya menimbulkan syahwat.”

Dalam buku al-Umm edisi bahasa Indonesia, disebutkan bahawa: “Zina artinya persetubuhan antara laki-laki dan perempuan di luar perkawinan atau persetubuhan yang dilakukan tidak dengan nikah yang sah.

79 Wahab Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmy wa Adilatuh, Juz VI, (Damsyik: Dâr al-Fikr, 1985), h. 26

80 Abdul Qadir Audah, al-Tasyrî‘ al-Jinâiy Al-Islâmy, h. 349

Zina itu baru dapat dikatakan zina ialah apabila seseorang memasukkan kemaluannya atau kadarnya ke dalam kemaluan perempuan.81 d. Pendapat Hanabilah

ﻥ ﺏ82

Artinya: “Zina adalah melakukan perbuatan keji (persetubuhan) baik terhadap qubul (farji) maupun dubur.”

Apabila kita perhatikan maka keempat definisi tersebut berbeda dalam redaksi dan susunan kalimatnya, namun dalam intinya sama, yaitu bahwa zina adalah hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan perempuan di luar nikah.

Hanya kelompok Hanabilah yang memberikan definisi yang singkat dan umum, yang menyatakan bahawa zina adalah setiap perbuatan keji yang dilakukan terhadap qubul (farji) atau dubur dengan demikian, Hanabilah menegaskan dalam definisinya bahwa hubungan kelamin terhadap dubur dianggap sebagai zina yang dikenakan hukuman had.

Dilihat dari pelakunya, zina dapat dibedakan menjadi zina muhshan dan zina ghairu muhshan. Zina muhshan artinya perzinahan yang pelakunya telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Pezina telah dewasa;

81 Imam al-Syafi’i Abu Abdullah Muhammad ibn Idris, Mukhtashâr Kitâb al-Umm fi al- Fiqh, edisi bahasa Indonesia Ringkasan Kitab al-Umm, diterjemahkan oleh Imron Rosadi, dkk., buku ke-2, (Jakarta: Pustaka Azam, 2004), Cet. Ke- I, h. 691

82 Abdullah Ibn Muhammad Ibn Qudamah, Al-Mughni, Juz VIII, (Ttp, Dar al-Manar, 1368 H), h. 181, dapat juga dilihat dalam Abdul Qadir Audah, al-Tasyrî‘ al-Jinâiy Al-Islâmy, h. 349

b. Pezina orang yang berakal sehat;

c. Pezina termasuk orang yang merdeka; dan

d. Pezina pernah melakukan persetubuhan dalam pernikahan yang sah.

Sedangkan zina ghairu muhshan ialah perzinahan yang pelakunya tidak mencukupi persyaratan zina muhshan. Perbedaan yang prinsipil antara zina muhshan dan zina ghairu muhshan adalah terletak antara pernah mengalami senggama dengan cara yang sah dengan yang belum pernah merasakan atau memang belum pernah kawin sama sekali. Maka jika terjadi perzinahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, boleh jadi kedua-duanya telah ihshan, atau salah satunya yang sudah ihshan dan satunya lagi belum ihshan serta boleh jadi pula kedua-duanya ghair muhshan.83

2. Pengertian Pernikahan Wanita Hamil Dalam Undang-Undang Keluarga

Islam

Pengertian pernikahan wanita hamil dalam Undang-undang Keluarga

Islam. Tidak dirumus secara tekstual, yang ada hanya sangsi pidana bagi pelaku zina. Yang dimaksudkan dengan pernikahan wanita hamil ini adalah, pernikahan dengan wanita yang hamil karena hasil zina ataupun wanita yang hamil karena melakukan persetubuhan yang tidak sah dan dilarang keras dalam Islam. Wanita ini telah melakukan zina dengan sengaja ataupun rela. Sehingga hamil anak hasil

83 Asyhari Abdul Ghofar, Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil, (Jakarta: Andes Utama, 1996), Cet. Ke- III, h. 23

dari hubungan tersebut.84 Di dalam Undang-undang Keluarga Islam Terengganu, pelaku zina ini akan dikenakan sanksi pidana, bahwa dalam Undang-undang

Negeri Terengganu, zina diatur dalam bagian IV Enakmen No. 4 tentang

Kesalahan Jenayah Syariah Hudud dan Qishas Terengganu tahun 2002.85

Ketentuan hukuman zina yang diatur dalam qanun hudud dan qishas ini sama dengan apa yang terdapat dalam fiqih jinayah Islam, karena ia diambil dari hukum pidana zina dalam Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.

Hukuman (had) zina dalam enakmen tersebut terdapat dalam pasal 12–18, yaitu:86

1. Tentang zina muhshan dan ghairu muhshan disebutkan dalam pasal 12 dan 13.

pasal 12 menyatakan bahwa:

(1) Suatu kesalahan yang merupakan persetubuhan di antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang bukan pasangan suami isteri dan persetubuhan itu tidak termasuk dalam takrif watie syubhah sebagaimana persetubuhan yang dinyatakan dalam ayat (3). (2) Jika pesalah itu sudah berkawin dengan sah dan telah menikmati persetubuhan dalam perkawinan itu, maka pesalah itu dinamakan “mohsan” tetapi apabila pesalah itu belum berkawin atau sudah berkahwin tetapi belum merasai nikmat persetubuhan dalam perkawinan itu maka pesalah itu dinamakan “ghairu mohsan”.

84 Wawancara Pribadi dengan Ustaz Mohd Noor Mohamad Pegawai Pejabat Agama Daerah Hulu Terenggnu, Terengganu, 23 Feb 2009.

85 Enakmen ini biasa disebut qanun hudud dan qishas. yaitu undang-undang yang khusus mengatur tentang tindak pidana (jinayah) yang diancam dengan hukuman hudud dan qishas, sebelum qanun ini dibuat perbuatan zina dan termasuk yang tidak diancam dengan hudud dan qishas diatur dalam Enakmen Kesalahan Jinayah Syari’ah (Takzir), misalnya seperti perbuatan yang mengarah melacurkan diri, melacurkan isteri dan anak-anak, mucikari dan khlwat diatur dalam enakmen takzir.

86 Abdullah Ngah, Enakman Kesalahan Jenayah Syariah (Hudud dan Qisas), (Kuala Terengganu: Yayasan Islam Terengganu, 2002), h. 17-21

(3) Watie syubhah ialah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang lelaki dengan seorang perempuan yang bukan isterinya dan persetubuhan itu dilakukan: (b) Dalam keadaan yang meragukan dalam mana dia menyangka bahawa perempuan yang disetubuhinya itu adalah isterinya, sedangkan perempuan itu bukan isterinya; atau (c) dalam keadaan yang meragukan dalam mana dia menyangka perkawinannya dengan perempuan yang disetubuhi olehnya itu adalah sah mengikut Hukum Syarak, sedangkan pada hakikatnya perkawinannya itu adalah tidak sah.

Kemudian dalam pasal 13 disebutkan bahwa: (1) Jika pesalah yang melakukan zina itu muhsan, maka pesalah itu hendaklah dihukum dengan hukuman rejam, iaitu dilontar dengan batu yang sederhana besarnya sehingga mati. (2) Jika pesalah yang melakukan zina itu ghairu muhsan, maka pesalah itu hendaklah dihukum dengan hukuman sebat sebanyak seratus kali sebatan dan sebagai tambahan hendaklah dipenjara selama satu tahun.

Para Ulama bersepakat mengenai kebolehan menikah wanita penzina bagi orang yang menzinahinya. Dengan demikian pernikahan antara lelaki dan wanita yang dihamilinya sendiri adalah sah dan mereka boleh bersetubuh sebagaimana layaknya suami istri.87 Ini tidak bertentangan dengan isi surah an-Nr ayat 3 karena status mereka sama-sama penzina.

Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum menikahinya bagi orang yang bukan menzinahinya. Terjadinya pendapat dikalangan Ulama tersebut disebabkan oleh perbedaan mereka dalam memahami “larangan menikahan penzina” yang terdapat dalam surah an-Nr ayat 3 sebagai berikut:

87 Wahab Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmy wa Adilatuh, Juz VI, (Damsyik: Dâr al-Fikr, 1985), h. 148

      ( : / )  Artinya:“laki-laki Yang berzina (lazimnya) tidak ingin berkahwin melainkan Dengan perempuan Yang berzina atau perempuan musyrik; dan perempuan Yang berzina itu pula (lazimnya) tidak ingin berkahwin dengannya melainkan oleh lelaki Yang berzina atau lelaki musyrik. dan perkahwinan Yang demikian itu terlarang kepada orang-orang Yang beriman.” (Q.S.An-Nr:24:3) Tafsiran dari ayat ini adalah:88

Ayat ini merupakan pemberitaan dari Allah bahwa laki-laki penzina tidak mungkin melakukan hubungan badan terkecuali dengan wanita penzina juga atau dengan wanita musyrik. Maksudnya, bahwa laki-laki penzina tidak mungkin dapat memperturutkan kehendak hawa nafsunya untuk berzina, terkecuali dengan wanita penzina yang durhaka atau dengan wanita musyrik yang tidak menyakini keharamannya. Demikian pula wanita penzina tidak mungkin dapat melampiaskan hawa nafsu zinanya terkecuali dengan laki-laki penzina yang durhaka atau dengan laki-laki musyrik yang tidak menyakini keharamannya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa seorang laki- laki dari golongan mukmin meminta restu dari Nabi untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Mahzul. Ia adalah seorang wanita pelacur dan dia

88 Syaikh Shafiyyur,Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah: Tim Pustaka Ibnu Katsir, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, Juni 2008), Cet, Pertama, h. 319

menyaratkan akan memberikan nafkah dari hasil pekerjaannya kepada suaminya.

Laki-laki itu pun meminta izin kepada Rasulullah SAW. atau menceritakan kepada Rasul tentang calon istrinya itu. Maka Rasulullah SAW. membacakan kepadanya firman Allah, surat An-Nr ayat 3 yang berarti:“laki-laki Yang berzina

(lazimnya) tidak ingin berkahwin melainkan Dengan perempuan Yang berzina atau perempuan musyrik; dan perempuan Yang berzina itu pula (lazimnya) tidak ingin berkahwin dengannya melainkan oleh lelaki Yang berzina atau lelaki musyrik. dan perkahwinan Yang demikian itu terlarang kepada orang-orang

Yang beriman.”

Adapun Ahmad Ibn Hanbal yang mengatakan bahwa pernikahan antara orang yang baik-baik dengan seorang penzina adalah haram mereka memahami

merujuk kepada bentuk pernikahannya, sedangkan keharaman perbuatan zina sudah jelas adanya.

Huruf lam naïf baik yang terdapat pada ayat 3 surah an-Nr di atas untuk menunjukkan “ketidakadaan” artinya tidaklah seorang penzina menikah malainkan dengan seorang penzina, begitu pula sebaliknya, tidaklah orang yang baik-baik menikah malainkan dengan orang-orang yang baik-baik pula.89

Dari penjelasan di atas akan timbul pertanyaan apakah sah akad nikah yang dilakukan oleh orang baik-baik dengan seorang penzina? Selanjutnya penulis akan mencoba memaparkan dua perbandingan yaitu Imam Syafi’i dan

89 Ibid, h 321.

Undang-Undang Keluarga Islam Terengganu mengenai status hukum pernikahan dengan wanita hamil yang dilakukan oleh orang yang bukan menghamilinya.

Sebelum itu penulis akan menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya zina dan kawin hamil.

3. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perzinahan dan kawin hamil.

Di sini penulis mengeluarkan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perzinahan, dan kawin hamil di antara faktor-faktornya adalah sebagai berikut:

1. Pergaulan bebas;

2. Tiada didikan agama;

3. Tiada larangan dari orang tuanya;

4. Terpengaruh dengan budaya barat;

Kalau kita lihat pada zaman sekarang ini, yang lebih dikenali dengan zaman moderan, keadaan sosial pergaulan anak-anak muda dan remaja begitu jelas menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya, karena meraka terlalu bebas di dalam pergaulan antara pria dan wanita, malah ada yang tidak lagi merasa malu dan mereka lebih bangga berkelakuan yang tidak sehat. Mereka bebas kemana saja, tanpa ada merasa bersalah terhadap agama. Menurut penulis, kasus-kasus

zina yang ada sekarang bukan saja disebabkan amalan budaya bebas yang menular dikalangan masyarakat kita, tetapi mereka juga kurang mendapat pendidikan agama, malah boleh juga diberi alasan disebabkan kegagalan ibubapa atau penjaga mengawasi anak-anak mereka, karena pada zaman sekarang ini, kebanyakan ibubapa sibuk dengan urusan pekerjaan saja, sehingga mereka lupa memberi perhatian dan didikan agama terhadap anak-anak mereka. Dan antara faktornya lagi yaitu, terpengaruh dengan budaya barat dan juga media massa, kalau dilihat dari segi pengaruh media massa ini, banyak unsur-unsur yang negatif yang ditayangkan, yang tidak layak ditonton oleh anak-anak remaja.

Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebudayaan industri, era informasi dan globalisasi adalah samakin mencair nilai-nilai agama, kaidah- kaidah sosial dan susila. Sebagai konsekwensi logis dari pergeseran tata nilai yang dianut oleh masyarakat industri dari tatanan kehidupan yang serba komunalistik dan bertumpu pada nilai-nilai spiritual kepada pola hidup materialistik, hedonistik dan bahkan sekuler, maka tidak dapat dihindarkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan terhadap ajaran-ajaran agama Islam.

Di antara bentuk penyimpangan terhadap ajaran-ajaran Islam yang dilakukan oleh masyarakat modern adalah kehidupan free sex yang semakin meningkat dan dilakukan secara terbuka serta dengan penuh rasa bangga. Akibat dari semua itu, maka banyak terjadi kehamilan di luar nikah yang menimbulkan kepanikan, baik bagi wanita yang bersangkutan maupun keluarganya. Untuk

menghindari perasaan malu kepada masyarakat, maka mereka cepat-cepat dinikahkan dalam keadaan hamil.90

Maka pada saat ini banyak remaja melakukan hubungan heteroseksual tanpa mengenal malu atau tidak mengenal batas norma agama, bahkan mereka merasa bangga bila diperhatikan orang lain. Free sex di kalangan remaja dan masyarakat kota, kini telah membudaya bahkan telah menjalar ke desa. Maka tidak heran apabila sering kita jumpai sebuah resepsi pernikahan sepasang pengantin yang masih muda atau belum cukup umur bersanding di pelaminan akibat dari pergaulan bebas.

Untuk mengetahui latar belakang atau faktor-faktor yang lebih tepat terjadinya perkawinan sesudah hamil, mayoritas dilakukan oleh para remaja terutama hubungan penyimpangan seksualitas, pada dasarnya bukan murni tindakan dari mereka saja, malaikan ada faktor pendukung atau faktor yang mempengaruhi dari berbagai aspek, yaitu:

Faktor eksternal di antaranya, Pertama, kualitas diri remaja itu sendiri seperti, perkembangan emosional yang tidak sehat, kurang mendalami norma agama, ketidakmampuan mempergunakan masa luang, tidak mampu dalam mengatasi masalah sendiri, berada dalam kelompok yang tidak baik, dan memiliki kebiasaan yang negatif terutama di rumah atau kurang displin dalam menjalani kehidupan rumah. Kedua, kualitas lingkungan yang tidak mendukung anak untuk

90 M.Hamdan Rasyid, Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual, (Jakarta: PT, Al- Mawardi, Prima, 2003), Cet Pertama, h. 184

berlaku baik seperti, anak kurang perhatian bahkan tidak mendapat kasih sayang berarti akibat kesibukan kedua orang tua di luar rumah, dan pergeseran norma keluarga dalam mengembangkan norma positif seperti tidak adanya pendidikan dan kebisaan melakukan norma agama. Disamping itu keluarga tidak memberikan arahan tentang seks yang sehat. Ketiga, kualitas lingkungan yang kurang sehat, seperti tidak ada pengajian agama dan lingkungan masyarakat yang telah mengalami kesenjangan komunitasi antara tetangga.

Keempat, minimnya kualitas informasi yang masuk bagi kaum muda sebagai akibat globalisasi, akibatnya anak remaja sangat kesulitan atau jarang mendapatkan informasi sehat dalam hal seksualitas. Bahkan justru media masa kini terutama media ramaja cenderung mengutamakan bisnis dengan lebih banyak mengeksport seksualitas yang tidak sehat dengan penyimpangan moral.91

Sementara dari faktor internalnya adalah biologi hormonal, perkembangan moral, penundaan usia perkawinan dan penyalahangunaan obat-obatan terlarang.

Data dari berbagai Negara menunjukan bahwa golongan penyalahangunaan obat- obatan terlarang dan alkohol bersifat menggangu pertimbangan intelektual dan moral, sehingga dapat menyebabkan aktifitas seksual penggunaannya bartambah.92

91 Abu Al-Ghifari, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, (Bandung: Mujahid, 2004), cet, ke-5, h. 34-36

92 Ibid, h. 33

Dengan demikian penyimpangan seksualitas remaja yang mengakibatkan

terjadinya perkawinan sesudah hamil sampai kapan pun akan tetap mengenjala

dan dapat menjadi “budaya” sebelum terpecahkan empat masalah dan juga faktor-

faktor yang dinyatakan di atas.

B. Pendapat Imam Syafi’i Mengenai Status Hukum Pernikahan Wanita Hamil

Imam Syafi’i berpendapat, menikahi wanita hamil karena zina dibolehkan

bagi orang yang telah menghamilinya maupun bagi orang lain. ﺝﺱﻥﻡ ﻥﻡیﻥ ﻡﺝﺕﻡﺏﻡﺏﻥﻡ یﻡﻡیﺝ

Artinya:“Syafi’i berkata “kami memperolehi dalil dari Rasulullah SAW. mengenai wanita dari laki-laki yang berzina dari kaum muslimin. Kami tiada mengetahui bahwa Rasulullah SAW. mengharamkan kepada salah seorang dari keduanya, bahwa mengawini wanita tiada berzina dan laki-laki yang tiada berzina. Dan kami tiada mengetahui bahwa Rasulullah SAW mengharamkan akan salah seorang dari keduanya kepada pasangannya. Sesungguhnya telah datang kepada Nabi SAW. Maiz bin Malik, ia tiada memerintahnya pada salah satu dari berkali- kali itu bahwa ia menjauhkan istrinya, kalau ia mempunyai istri. Dan beliau tiada menyuruh istri supaya menjauhkan diri dari suaminya.” 93

Alasan dibolehkan menikahi wanita hamil akibat zina sebagai berikut:

a. Firman Allah SWT. dalam surah an-Nisa’:24 :

93 As-Syafi’i., al- Umm., (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Araby. 1983). Juz V. h. 9

    / Artinya:“Dan (diharamkan juga kamu berkahwin dengan) perempuan- perempuan istri orang, kecuali hamba sahaya Yang kamu miliki. (Haramnya Segala Yang tersebut itu) ialah suatu ketetapan hukum Allah (yang diwajibkan) atas kamu. dan (sebaliknya) Dihalalkan bagi kamu perempuan-perempuan Yang lain daripada Yang tersebut itu, untuk kamu mencari (istri) Dengan harta kamu secara bernikah, bukan secara berzina.” (Q.S.An-Nis’:4:24) b. Keumuman Hadits Aisyah Binti Abu Bakar r.a., ketika Rasulullah SAW.

ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan

kemudian laki-laki itu berniat untuk menikahinya, maka Nabi bersabda: ﺱﻥی

Artinya:“Permulaan perzinahan tetapi akhirnya adalah pernikahan, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal.”

(H.R al-Darquthni ). c. Sperma zina itu tidak dihargai dengan alasan tidak ditetapkannya

keturunan anak zina kepada ayahnya, tetapi hanya kepada ibunya saja.

Kalau sperma zina tidak dihargai, maka jelas ia tidak dapat menghalangi

apalagi membatalkan akad nikah wanita hamil karena zina tersebut.94

Menurut pendapat Imam Syafi’i lagi tentang pernikahan wanita hamil ini adalah, seorang wanita yang sedang hamil dari zina boleh dan sah dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menzinahinya, serta sesudah akad nikah mereka boleh melakukan hubungan suami istri. Argumentasi yang beliau kemukakan adalah sebagai berikut:95

1). Firman Allah SWT. dalam surah an-Nisa’ ayat 24:

  ﻥ /  Artinya:“Dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (Q.S.An-Nis’:4 :24)

Menurut Imam Syafi’i, wanita yang sedang hamil dari zina tidak termasuk dari kategori wanita-wanita yang haram dinikahi oleh umat Islam sebagaimana disebut pada surah An-Nis’ ayat 22-24. Oleh karena itu, wanita yang sedang

94 Imam al-Kabir ‘Ali Ibn Umar al-Darquthni, Sunan al-Darquthni, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 156

95 M.Hamdan Rasyid, Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual, (Jakarta: PT. Al- Mawardi, Prima, 2003), Cet. Pertama, h. 191

hamil dari zina boleh dan sah dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menzinahinya, serta sesudah nikah mereka boleh melakukan hubungan suami istri.

2). Wanita yang hamil dari zina tidak mempunyai ‘iddah, karena ‘iddah hanya

diperuntukkan bagi wanita yang dinikahi secara sah atau melakukan wathi

syubhat. Di samping itu, sperma laki-laki yang disiramkan ke rahim wanita

secara tidak sah (melalui zina), tidak akan menimbulkan hubungan nasab.96

Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. dalam hadits yang diriwayatkan

Imam Abu Daud, sebagai berikut: ﺹﺱ ﺏ 97

Artinya:“…Sabda Rasulullah SAW. Anak (Hubungan nasab) adalah bagi suami (yang menikahi secara sah). Sedangkan bagi pelaku zina memperoleh hukuman rajam (dilempari batu)”. (Riwayat Abu Daud)

Jika wanita yang sedang hamil dari anak zina tidak boleh dan tidak sah dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak mengzinahinya, maka akan menyulitkan wanita tersebut atau keluarganya, manakala laki-laki yang menghamilinya tidak

96 Ibid., h. 191-192

97 Muhamad syamsul al-Haq al-‘Adzim al-Abadi Abu at-Thoyyib, ‘Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1415), juz ke-6, h. 240

bertanggung jawab. Hal ini tentu akan menimbulkan rasa malu dan gangguan

psikologis bagi wanita tersebut dan keluarganya.98

Dari beberapa dalil di atas, Imam Syafi’i berpendapat bahwa akad nikah

itu sah dan boleh mencampurinya sebelum perempuan itu melahirkan.

Membolehkan atau menasahkan akad nikah lalu mencampurinya, karena Imam

Syafi’i berpendapat bahwa air sperma itu tidak dihargai dan hukumnya tidak

boleh dihubungkan dengan nasab. Beliau juga berpendapat bahwa sesungguhnya

tidak ada kewajiban iddah bagi wanita penzina (artinya wanita yang telah berzina

boleh langsung dinikahi tanpa Iddah) baik ia hamil tau tidak hamil dari

perzinahan itu.

C. Pandangan Undang-Undang Keluarga Islam Mengenai Status Hukum

Pernikahan Wanita Hamil

Institusi keluarga ialah institusi yang ulung dalam tamadun manusia.

Aturan yang diwujudkan adalah sebagai panduan atau tatacara hidup dalam

sebuah keluarga dan masyarakat. Bermula sejak Nabi Adam a.s. dan Islam sangat

mengambil berat tentang kehidupan rumah tangga dan keluarga. Al-Qur’an dan

Sunnah meletakkan garis panduan dan aturan yang perlu diikuti. Aturan-aturan ini

adakalanya disebut sebagai hududullah. Undang-undang Keluarga Islam

memperincikan hukum-hukum kekeluargaan bermula dengan pertunangan,

98 Rasyid, Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual, h. 193

perkawinan – wali, akad nikah, saksi, hak dan tanggungjawab dalam ikatan perkawinan sehinggalah kepada perceraian, nafkah, iddah dan hadanah. Ada hukum yang perlu dipatuhi dalam ikatan perkawinan seperti zihar, ila’, khiyar dan setelah berlaku perceraian seperti mutaah dan pembahagian harta, dan apabila berlaku kematian istri atau suami maka wujudlah hukum yang perlu yang dipatuhi seperti dalam hal perwarisan dan nafkah. Sebenarnya Islam telah menggariskan peraturan yang lengkap untuk panduan hidup berkeluarga. Pengabaian kepada aturan yang ditetapkan boleh mendatangkan kepincangan dan sengketa dalam rumah tangga.

Orang-orang Islam di negeri ini telah tertakluk kepada Undang-undang negara dan Undang-Undang Keluarga Islam telah wujud dengan kedatangan

Islam ke negeri ini pada kurun kelima belas. Undang-undang ini bukan saja ditadbirkan oleh Mahkamah Syariah akan tetapi juga oleh Mahkamah-mahkamah

Awam.99

Maka mengenai status perkawinan dengan wanita hamil hasil zina ini, bahwa di dalam Undang-undang Keluarga Islam Terengganu tidak memperuntukkan tentang pernikahan wanita hamil ini, karena di dalam Undang- undang Keluarga belum ada lagi enakman tentang perkawinan wanita hamil ini.

Dan hasil dari wawancara penulis dengan Pegawai Agama Daerah Hulu

99 Yaacob Abdul Monir, Md Supi Siti Shamsiah, Manual Undang-Undang Keluarga Islam, (Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia, 2006), cet-1, h. 1

Terengganu yaitu dengan Ustaz Mohd Noor, beliau mengatakan bahwa status pernikahan wanita hamil di dalam Undang-Undang Keluarga Islam Terengganu ini, statusnya sama saja dengan pernikahan orang biasa dan pernikahan ini dibenarkan dalam undang-undang keluarga Islam dan dikira sah di sisi Undang- undang Keluarga Islam. Sama ada dengan orang yang menzinahinya ataupun bukan. Maka prosedur pernikahan ini sama saja dengan pernikahan yang lain, dan harus memenuhi kesemua syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang- undang keluarga.100 Di sini penulis akan menulis tentang cara-cara atau prosedur perkawinan di dalam Undang-undang keluaraga Islam Terengganu, prosedur permohonan perkawinan tersebut yaitu:

Prosedur Permohonan Perkahwinan Negeri Terengganu

Perkawinan Selain Poligami/Wali Raja/Bawah Umur 1. Sebelum kebenaran perkawinan diberikan, seseorang itu perlu mengambil langkah-langkah berikut :101 1. Mendapat borang permohonan kebenaran berkawin berharga RM1.00 setiap satu daripada : Jabatan Hal Ehwal Agama Terengganu (Bahagian Undang-Undang Pentadbiran Keluarga Islam). Pejabat Agama Daerah berdekatan. Mengisi segala maklumat yang dikehendaki dalam borang tersebut dengan lengkap dan sempurna serta memastikan bahwa kedua-dua pasangan yang hendak berkawin itu tidak ada halangan dari segi syarak di samping mendapat persetujuan wali. Borang yang sudah

100 Wawancara Pribadi dengan Ustaz Mohd Noor Mohamad Pegawai Pejabat Agama Daerah Hulu Terenggnu, Terengganu, 23 Feb 2009.

101http://www.jheat.terengganu.gov.my/PROSEDUR%20PERMOHONAN%20PERKAH WINAN.html, akses 20 feb 2009, at 12.30pm.

lengkap diisi hendaklah diserahkan kepada Pendaftar di daerah masing-masing pada tempoh yang lebih awal atau sekurang-kurangnya tidak lewat satu (1) minggu (7hari) dari tarikh cadangan dilangsungkan perkawinan itu. Adalah sangat baik sekiranya wali dan pasangan terlibat serta saksi dapat ahdir sama semasa mengemukakan borang permohonan perkawinan tersebut bagi melicin dan memudahkan proses pertimbangan terhadap pemohonan perkawinan tersebut. 2. Melampirkan Kembaran-kembaran / Perakuan_perakuan berkaitan (Fotocopy 2 Salinan) : Kad Pengenalan Diri (KTP) Lelaki Permpuan Wali Dua Saksi (dalam borang) Surat Akuan Mati (Duda/Balu).* Surat Akuan Mati (Wali Akrab).* Surat Akuan Memeluk Islam (Muallaf).* Sijil (Sterfikat)/Perakuan menghadiri Kursus Pra Perkawinan MBKPPI.* Surat perakuan status Teruna atau Dara dari Majikan/Ketua Kampung/Penghulu Mukim/Imam Masjid/Akuan Sumpah.* Surat pengesahan mastautin dari Ketua Kampung/Penghulu Mukim/Imam Masjid/Akuan Sumpah.* Surat perakuan cerai (duda/janda) yang sah yang dikeluarkan di bawah Undang-Undang yang pada masa itu berkuatkuasa atau selainnya yang diperakui (disahkan benar) atau suatu perakuan yang diberikan oleh Hakim Syarie selepas penyiasatan yang wajar mengenai ststus perkawinan itu.* Surat perakuan dari Pendaftar bagi mukim atau negeri (polis/tentera) di mana lelaki itu bermastautin jika lelaki tersebut tinggal di mukim atau negeri yang berlainan dengan pihak perempuan.* Lain-lain dokumen : 4 keping gambar berukuran passport Sila pastikan nama Jurunikah Sediakan RM5.00 untuk bayaran kebenaran kahwin 3. Setelah berpuas hati, Pendaftar boleh member kebenaran berkawin dan permohonan dikehendaki menjelaskan bayaran sebanyak RM5.00 bagi maksud tersebut. *Sila kembarkan dengan sijil asal.

2. Akad Nikah – Bila boleh diadakan majlis akad nikah?102 o Majlis akad nikah bagi sesuatu perkawinan yang dicadangkan itu boleh diadakan setelah kebenaran bekawin diberi atau diluluskan.

Tempat Majlis Akad Nikah Dilangsungkan 0. Majlis akad nikah boleh diadalan hanya di dalam mukim di mana pihak perempuan itu bermastautin mengikut kehendak Enakmen Undang-Undang Pentadbiran Keluarga Islam Terengganu Bil.12 Tahun 1985, dan wajar jika majlis akad nikah itu dapat diadakan di rumah pengantin perempuan. 1. Majlis akad nikah boleh diadakan di luar mukim perempuan bermastautin samada di Terengganu atau di negeri lain dengan kebenaran Pendaftar atau Hakim Syarie (mengikut mana berkenaan) bagi negeri ini atau pihak berkuasa Negeri di mana perempuan itu bermastautin jika perempuan tersebut berasal dari negeri lain. Upacara Majlis Akad Nikah 0. Perkawinan adalah dipandang tinggi dalam Islam. Oleh itu, adalah tersangat wajar majlis akad nikah dilengsungkan dengan penuh sopan bersendikan adab dan nilai- nilai yang sesuai dengan Islam. 1. Garis panduan majlis akad nikah tersebut ada dikeluarkan oleh Jabatan Hal Ehwal Agama Terengganu. (Sila ikuti panduan tersebut apabila melangsungkan sesuatu maklis akad nikah) Orang Yang Boleh Mengakat Nikah 0. Orang yang boleh mengakat nikahkan bagi sesuatu perkawinan di negeri ini ialah : Wali dengan kebenaran Pendaftar atau Seorang jurunikah bertauliah bagi kuasan yang berkaitan Bayaran Atas Perkhidmatan Kepada Jurunikah o Bayaran atas perkhidmatan Jurunikah ditetapkan sebanyak RM30.00 Pendaftaran Perkawinan

o Dalam masa tujuh (7 hari) selepas akad nikah yang diadakan di negeri ini, perkahwinan itu hendaklah didaftarkan di bawah Enakmen ini.

102 Ibid,

o Bagi perkahwinan dan akad nikah di luar negara yang diadakan bukan di Kedutaan hendaklah dibuat dalam masa 2 bulan selepas salah satu pihak atau kedua- dua pihak itu sampai di Malaysia. o Bagi perkahwinan yang diakad nikahkan di Kedutaan Malaysia di luar negara pendaftaran perkahwinan hendaklah dibuat mengikut peraturan yang dipakai bagi pendaftaran perkahwinan yang diakad nikah dan didaftarkan di Terengganu seperti pada (7) di atas.

Surat Akuan (Sijil Nikah/Ta’liq)

o Selepas pendaftaran dan selepas dibayar RM20.00 bagi surat perakuan nikah (termasuk Ta'liq), Pendaftar hendaklah mengeluarkan surat perakuan berkenaan dalam tempoh yang secepat mungkin.

Carta Aliran Permohonan Kahwin Selain Poligami/Wali Raja/Bawah Umur

o Proses bagi memohon kebenaran berkahwin ini dapat dilihat . seperti carta berikut.

Kad Akuan Nikah

o Selain Surat Akuan/Sijil Nikah, pasangan yang berkahwin di Terengganu boleh memohon untuk mendapatkan Kad Akuan Nikah yang mudah dibawa ke mana- mana dan dikenakan bayaran RM20.00.

Perkawinan Poligami

1. Kebenaran berpoligami hendaklah dengan kelulusan bertulis dari Hakim Syarie mengikut ketetapan seksyen 21 Enakmen Undang- Undang Pentadbiran Keluarga Islam Terengganu Bil. 12 Tahun 1985. Dengan ini, pihak lelaki hendaklah terlebih dahulu mendapatkan kebenaran berpoligami tersebut dari pihak Mahkamah Syariah Terengganu (sebelum mengemukakan permohonan berkahwin kepada Bahagian Undang-Unadang Pentadbiran Keluarga Islam atau Pentadbir Daerah) dan menjelaskan bayaran di Mahkamah sebanyak RM50.00 (RM25.00 untuk kebenaran berpoligami dan RM25.00 untuk surat kebenaran berpoligami).

2. Setelah surat kebenaran berpoligami diperolehi maka pihak lelaki hendaklah melampirkan surat kebenaran melampirkan surat kebenaran tersebut di dalam borang permohonan kebenaran perkahwinan.103

Kalau dilihat dari perbahasan di atas, menunjukan bahwa status

perkawinan wanita hamil di dalam Undang-undang Keluarga Islam Terengganu,

statusnya sama saja dengan pernikahan orang biasa dan pernikahan ini dibenarkan

dalam Undang-undang keluarga Islam dan dikira sah di sisi Undang-undang

keluarga Islam. Sama ada dengan orang yang menzinahinya ataupun bukan. Maka

prosedur pernikahan ini sama saja dengan pernikahan yang lain, dan harus

memenuhi kesemua syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang

Keluarga Islam.

D. Analisis Penulis

Setelah menelusi pendapat atau pandangan Imam Syafi’i dan Undang-

undang Keluarga Islam Terengganu, penulis mencoba menganalisis kedua

pendapat tersebut di atas, sama ada di antara kedua pendapat tersebut mempunyai

persamaan ataupun tidak.

Bahwa Persamaan dalam pendapat mengenai kebolehan menikahi wanita

dalam keadaan hamil ini mempunyai pandangan yang sama, antara Imam Syafi’i

dan Undang-undang Keluarga Islam Terengganu, karena sistem Undang-undang

Keluarga Islam Terengganu menggunakan Mazhab Syafi’i. Persamaan pendapat

103 Ibid,

dari Imam Syafi’i dan UU keluarga Islam terletak pada kebolehan seseorang laki- laki zina dengan perempuan zina dan sebaliknya perempuan zina boleh kawin dengan laki-laki zina. Zina menurut mereka tidak menghalangi sahnya akad nikah

(perkawinan). Dari pendapat itulah dapat dijelaskan bahwa dengan diperbolehkannya bagi laki-laki zina dengan perempuan zina, maka perkawinan mereka pun sah, karena tidak terdapat larangan yang nyata dalam al-Qur’an dan

Hadits mengenai hal itu.

Kalau dilihat dari segi sah atau tidaknya menikahi wanita yang sedang hamil dengan laki-laki yang bukan menghamilinya. Menurut Imam Syafi’i, wanita yang sedang hamil dari zina tidak termasuk dari kategori wanita-wanita yang haram dinikahi oleh umat Islam sebagaimana disebut pada surah An-Nis’ ayat 22-24. Oleh karena itu, wanita yang sedang hamil dari zina boleh dan sah dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menzinahinya, serta sesudah nikah mereka boleh melakukan hubungan suami istri. Dan dalam UU keluarga Islam pula, perkawinan itu dibenarkan, sama ada dengan orang yang menghamilinya ataupun bukan orang yang menghamilinya. Dan sama saja dengan pandangan Imam

Syafi’i karena UU Keluarga Islam Terengganu berpegang pada mazhab Syafi’i.

Dan pada pandangan Imam Syafi’i mengenai wanita yang hamil ini mempunyai iddah ataupun tidak. Wanita yang hamil dari zina tidak mempunyai

‘iddah, karena ‘iddah hanya diperuntukkan bagi wanita yang dinikahi secara sah atau melakukan wathi syubhat. Di samping itu, sperma laki-laki yang disiramkan

ke rahim wanita secara tidak sah (melalui zina), tidak akan menimbulkan hubungan nasab.104

Imam Syafi’i berpendapat bahwa akad nikah itu sah dan boleh mencampurinya sebelum perempuan itu melahirkan. Membolehkan atau mengesahkan akad nikah lalu mencampurinya, karena Imam Syafi’i berpendapat bahwa air sperma itu tidak dihargai dan hukumnya tidak boleh dihubungkan dengan nasab. Dan berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada kewajiban iddah bagi wanita penzina (artinya wanita yang telah berzina boleh langsung dinikahi tanpa Iddah) baik ia hamil atau tidak hamil dari perzinahan itu. Dan mengenai status anak, akan ditentukan melalui usia perkawinan tersebut sehingga melahirkan. Jika usia perkawinan itu melewati enam bulan ke atas, maka anak itu dinasabkan kepada bapanya. Jika bawah dari enam bulan, maka dinasabkan kepada ibunya dan anak itu akan dibinkan Abdullah, anak itu juga tidak bisa mewarisi harta bapanya itu.

104 Ibid., h. 191-192.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis memaparkan bab demi bab dalam pembahasan skripsi

tentang Studi Perbandingan Pernikahan Wanita Hamil Dalam Perspektif

Imam Syafi’i dan Undang-Undang Keluarga Islam Negeri Terengganu,

Malaysia, maka dalam bab terakhir ini penulis dapat memberikan beberapa

kesimpulan:

1. Bahwa para ulama mazhab sepakat mengenai kebolehan menikahi wanita

hamil oleh laki-laki yang menghamilinya. Karena tidak ada dalil dari Al-

Qur’an dan Hadits yang mengharamkan menikahi wanita hamil zina ini.

Sedangkan terjadinya perbedaan pendapat pada sah atau tidaknya akad nikah

seorang wanita hamil dengan laki-laki yang bukan menghamilinya.

2. Menurut pendapat Imam Syafi’i, bahwa beliau berpendapat akad nikah itu sah

dan boleh mencampurinya sebelum perempuan itu melahirkan. Membolehkan

atau mengesahkan akad nikah lalu mencampurinya, karena Imam Syafi’i

berpendapat bahwa air sperma itu tidak dihargai dan hukumnya boleh

dihubungkan dengan nasab. Dan berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada

kewajiban iddah bagi wanita pezina (artinya wanita yang telah berzina boleh

langsung dinikahi tanpa iddah), baik ia hamil atau tidak dari penzinahan itu.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita yang hamil dari zina tidak

mempunyai ‘iddah, karena ‘iddah hanya diperuntukkan bagi wanita yang dinikahi secara sah atau melakukan wathi syubhat. Di samping itu, sperma laki-laki yang disiramkan ke rahim wanita secara tidak sah (melalui zina), tidak akan menimbulkan hubungan nasab. Menurut Imam Syafi’i, wanita yang sedang hamil dari zina tidak termasuk dari kategori wanita-wanita yang haram dinikahi oleh umat Islam sebagaimana disebut pada surah An-Nisa’ ayat 22-24. Oleh karena itu, wanita yang sedang hamil dari zina boleh dan sah dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menzinahinya, serta sesudah nikah mereka boleh melakukan hubungan suami istri. Karena tidak terdapat larangan yang nyata dari Al-Qur’an dan Hadits mengenai hal tersebut. Dan menurut UU Keluarga Islam Negeri Terengganu tentang menikahi wanita hamil ini, bahwa di dalam UU Keluarga Islam Negeri Terengganu belum memperuntukan lagi tentang penikahan wanita hamil ini, dan hasil dari wawancara pribadi penulis dengan Pegawai Agama Daerah hulu Terengganu, beliau menyatakan bahwa, akad nikah itu sah dan dibolehkan dalam UU

Keluarga Islam Negeri Terengganu, karena UU Keluarga Islam menggunakan pandangan Mazhab Syafi’i, dan statusnya sama saja dengan pernikahan biasa.

Akan tetapi perlu melalui prosedur-prosedur perkawinan yang telah di tetapkan oleh UU Keluarga Islam Negeri Terengganu.

B. Saran-saran

1. Meskipun para ulama dan juga Sistem UU Keluarga Islam membolehkan

wanita hamil akibat zina dinikahkan, bukan berarti hal itu boleh dijadikan

suatu kebiasaan. Karena zina adalah suatu perbuatan perbuatan tercela yang

secara nyata dan tegas dilarang dalam ajaran agama Islam. Karena itu, upaya

penyadaran dalam masyarakat khususnya terhadap para remaja yang hidup di

zaman serba modern ini, harus memberi penyedaran dalam hal pengamalan

ajaran agama Islam harus terus dipertingkatkan.

2. Perhatian orang tua terhadap pergaulan anak-anak hendaklah lebih

dipertingkatkan lagi, karena terjerumusnya anak-anak remaja ke dalam

perbuatan zina ini karena pengaruh pergaulan yang terlampau bebas di antara

laki-laki dan perempuan tanpa batasan.

3. Perlu adanya tindakan yang tegas dari pihak penegak hukum dalam

menangani perbuatan zina ini, khususnya bagi umat Islam. Dan bagi pihak

penegak hukum hendaklah mengambil tindakan yang tegas terhadap pihak-

pihak yang dengan sengaja menyebarkan pornografi, baik melalui media cetak

maupun elektronik karena hal tersebut baik secara langsung maupun tidak

langsung akan memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap mental

masyarakat.

4. Dalam rangka mencegah masyarakat dari perbuatan zina, pemerintah

hendaklah memperkuatkan lagi pengcegahan terhadap perbuatan zina ini,

walaupun di Malaysia khususnya dalam kesalahan jenayah syariah sudah

ditetapkan sanksi perbuatan zina ini. Dan saran penulis kepada pemerintah agar diperuntukakn di dalam Enekmen tentang pernikahan wanita hamil ini dan qanun hudud dan qishas tersebut dapat dilaksanakan. Karena hukum

Allah SWT. saja yang mampu mencegah segala perbuatan zina ini. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat merasa takut untuk melakukan perbuatan tersebut dan menjadi pengajaran. Dengan demikian, terciptalah suatu masyarakat yang bermoral, damai dan dengan keturunan yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Karim dan Terjemahan (Departemen Agama Republik Indonesia), Bandung: PT. Syamil Cipta Media, tth

Abu Zahran Muhammad., Imam Syafi’i; Biografi Dan Pemikirannya Dalam Akidah, Politik dan Fiqh, diterjemahkan dari buku “ Imam Syafi’i : Hayatuhu wa ‘asruhu wa fikruhu ara’uhu wa fiqhuhu” oleh Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2005

Al-Khin, Mustofa, Mustofa Al-Bugho, dkk, Kitab Fikih Mazhab Syafie, Undang- Undang Kekeluargaan (Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Menentukan Keturunan, Anak Buangan), (Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn Bhd, Disember 2005), Jil. 4

Al-Qusyairi, Muslim bin Hajjaj Abu Husin, Shahîh Muslim, juz, I, Beirut: Dar Ihya’ al-Turâts al-Arabi, t.th

Al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, Juz IV, Damsyik: Dâr al-Fikr, 1425 H / 2004 M, cet. III

Al-Khathib, Yahya Abdurrahman, Hukum-hukum Wanita Hamil, ( Bangil : 2003), Cet 1, h.129

Al-Ghifari, Abu, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, (Bandung: Mujtahid, 2004), Cet, Ke-5

Abd Muthalib Mohd Yasir, dkk., Ringkasan Kitab Al-Umm, (Jakarta: Pustaka Azzam, Januari 2005), Cet Kedua, Jil. Pertama

Audah, Abdul Qadir, al-Tasyrî‘ al-Jinâiy Al-Islâmy, Juz II, Beirut: Dâr al-Kitâb al ‘Arabi, tt

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta, 2007

Ghofar, Asyhari Abdu, Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil, Jakarta: Andes Utama, 1996, Cet. Ke-III

Haikal, Abduttawat, Rahsia Perkawinan Rasulullah, Poligami dalam Islam vs Monogami Barat. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993

Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Library Du Liban, Beirut, 1980 Ibrahim Mohd Ridzuan, Undang-Undang & Prosedur, (Kuala Lumpur: DRI PUBLISHING HOUSE, 2006) Cet: 2006

Jannati, Muhammad Ibrahim, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab, (Syafi’I, Hambali, Maliki, Hanafi, Ja’fari), penerjemah; Ibnu Alwi Bafaqih, Muhdhor Assegaf da Alam Firdaus, (Jakarta: Cahaya, 2007), Jil. III, cet.1

Jantan, Osman, Pedoman Mu’amalat dan Munakahat ( Civil Transaction). Singapura: pustaka Nasional PTE LTD, 2006.

Jusuh, Abdullah, Pengenalan Tamadun Islam di Malaysia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990

Jabatan Menteri Perangkaan Malaysia, Perangkaan Penting Malaysia, (Kuala Lumpur Jabatan Menteri Perangkaan Malaysia, 1972

Kamil, Awang Muhammad, The Sultan And the Constitution, terjemahan Sultan dan Pelembagaan, oleh Ashruddin, Selangor: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001

Lokman Hakim, Tokoh-Tokoh Islam Dulu Dan Masa Kini, (Johor Bahru: Bismi Publishers, August 1989), cet ke2, h. 231

Lahmudin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’i. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001)

Mohd , Zin Najabah, et al, Undang-Undang Keluarga (Islam) (Siri Perkembangan Undang-Undang Di Malaysia). Selangor: Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur, 2007.

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Cet.18, h.309

Munawwir, Ahmad Warson., Al-Munawwir Qamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984

Ngah, Abdullah, Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah (Hudud dan Qisas) Kuala Terengganu: Yayasan Islam Terengganu, 2002

Nasution, Lahmuddin, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Mazhab syafi'i, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001

Rasyid M.Hamdan, Fiqih Indonesia, Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual, (Jakarta: PT. Al-Muwardi Prima, 2003), Cet Pertama, Agustus 2003

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, penerjemah: Nor Hasanuddin, dkk, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, Mei 2006), Jil 3, Cet. 1

Syafi’i. Imam, Al-Umm, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arab, 1983

Selamat Ab.Rahim, Sri Mengenal Trengganu, ( Johor: Johore Central Store Sdn.Bhd 1982), Cet, Pertama

Sabiq, Sayyid, Fiqih as-Sunnah, Juz II, Bairut: Dar al-Kitab al-Arab, 1973

Yanggo, Huzaemah T, Prof. Dr. MA, Fiqh Perempuan Kontemporer, Jakarta: Al- Mawardi Prima, 2001

------, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 2003.

Yaacob Abdul Monir, Md Supi Siti Shamsiah, Manual Undang-Undang Keluarga Islam, ( Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), 2006), Cet Pertama, 2006.

Majalah, Koran dan Website:

Majalah As-Sunnah, Edisi 09 Th. XII, Dzulhijjah 1429/Desember 2008, (Penerbit: Yayasan Lajnah Istiqomah Sukarta http://wikisource.org/wiki/Perlembagaan_Persekutuan_Malaysia#Bahagian http://ms.wikipedia.org/wiki/Kategori:Bandar_di_Terengganu http://ms.wikipedia.org/wiki/Geografi_Terengganu http://ms.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Syariah_di_Malaysia

http://ms.wikipedia.org/wiki/Batu_Bersurat_Terengganu http://www.jheat.terengganu.gov.my/SEJARAH.html http://www.geocities.com/zek_my/news1/ut331