1

LALAI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Kajian Tafsir Tematik)

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh: Armenia Septiarini NIM: 1113034000025

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/ 2018 M

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman Akademik

Program Strata 1 tahun 2015-2016 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. a. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan tidak dilambangkan ا b be ب t te ت ts te dan es ث j je ج h ha dengan garis di bawah ح kh ka dan ha خ d de د dz de dan zet ذ r er ر z zet ز s es س sy es dan ye ش s es dengan garis di bawah ص d de dengan garis di bawah ض t te dengan garis di bawah ط z zet dengan garis di bawah ظ koma terbalik di atas hadap kanan ´ ع gh ge dan ha غ f ef ف q ki ق

i

ii

k ka ك l el ل m em م n en ن w We و h Ha ه Apostrof ̕ ء y Ye ي b. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri

dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk

vocal tunggal, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fathah َ I Kasrah َ U Dammah َ Ada pun untuk vokal rangkap, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ai a dan i َ ي Au a dan u َ و Vokal Panjang

Ketentuan alihaksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

iii

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

Ā a dengan garis di atas ى Ī i dengan daris di atas ى ي Ū u dengan garis di atas ىُو

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan

dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti huruf ,ال huruf, yaitu syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al- diwân bukan ad-diwân.

Syaddah(Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan

,dengan sebuah tanda ( ّ ), dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata

.tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya الضرورة

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/

(lihat contoh 1 di bawah). Hal yang juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menja dihuruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh:

iv

No TandaVokal Latin Keterangan

1 Tarīqah طريقة 2 al-Jāmi’ah al-Islāmiyyah اجلامعة اإلسالميّة 3 Wahdat al-wujūd وحدة الوجود

Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alihaksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa

Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal, nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.

(Contoh: Abū Hāmid al-Ghazālī bukan Abū Hāmid Al-Ghazālī, al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alihaksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbānā; Nuruddin al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-

Rānirī.

ABSTRAK

Armenia Septiarini Lalai Dalam Perspektif Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tematik)

Bermula dari sifat manusia yang sering lupa sehingga perlu diingatkan. Lalai merupakan lawan kata dari kata dzikir sehingga menjadikan dzikir sebagai tanda iman sedangkan, lalai sebagai tanda munafik dan kufur. Akan tetapi apakah sifat lalai seluruhnya merupakan sifat munafik? Padahal sifat lalai manusia tidak terlepas dari godaan setan. Setan melihat jalan ini untuk memperdaya manusia. Lalu, penyebutan kata lalai dalam al-Qur’an disebutkan dengan berbagai macam dintaranya nisyān, sahwun dan ghaflah. Dari sinilah, penulis memfokuskan diri pada kata lalai, sehingga dapat diketahui makna masing-masing term. Terkait jenisnya, penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka Library Research yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku dan literatur-literatur yang berhubungan dengan masalah terkait. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode maudu’i yaitu metode penafsiran al-Qur’an yang berusaha menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan mengacu pada satu pokok bahasan tertentu sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang lebih sistematis. Setelah melakukan kajian tentang lalai dalam perspektif al-Qur’an dapat disimpulkan beberapa hasil dari penelitian ini: penggunaan nisyān terlihat adanya kesengajaan dari pihak yang lupa, namun pada ayat lain merupakan sifat manusia yang memang pada dasarnya akan mengalami kelalaian, menunjuk adanya kaitan dengan kesadaran diri. Jika, seseorang lalai terhadap suatu kewajiban yang seharusnya dilakukannya, maka ia tidak berdosa, karena ia kehilangan kesadaran terhadap kewajiban. Sahwun dipergunakan untuk ancaman. Ketika kata ini digabungkan dengan redaksi berbunyi “’an shalatihim”, kata “an” yang berarti tenang atau menyangkut, yang berarti sahwun tertuju kepada mereka yang lalai tentang esensi makna dan tujuan shalat. Bukan redaksi “fī sholātihim”, yaitu merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta lupa dalam shalatnya, yang berarti celakalah orang yang pada saat shalatnya, hatinya lalai, sehingga menuju kepada sesutu selain shalatnya. Dengan kata lain, celakalah orang-orang yang tidak khusu’ shalatnya. Adapun penggunaan term ghaflah dipergunakan untuk menunjuk perbuatan yang bersifat positif atau negative.

Kata kunci: Lalai, Nisyān, Sahwun, Ghaflah

v

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرمحن الرحيم Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke-hadirat Allah Swt atas segala rahmat dan kehendak-Nya, yang menyinari hamba Nya dengan cahaya al-Qur`an, dan menjadikan al-Qur`an sebagai obat penyakit hati, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang mukmin, sehingga dengan taufiq-Nya penulisan skripsi yang berjudul

“Lalai dalam Perspektif Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tematik)” ini, alhamdulillah dapat diselesaikan. Demikian juga, serta Salām semoga selalu tercurahkan untuk baginda Muẖammad Saw. Sebagai karya tulis saya yang jauh dari kata sempurna. Tentunya di dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan.

Penelitian ini merupakan wujud keingintahuan penulis terhadap beberapa objek yang kelihatannya terkesan sepele namun penting untuk dikaji, sebagai usaha mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam terkait “Lalai dalam

Perspektif Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tematik)” penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bimbingan, bantuan, arahan, motivasi dan kontribusi banyak pihak. Ucapan terima kasih yang tulus dan tak terbilang penulis haturkan kepada para dosen, keluarga, para guru kehidupan, para sahabat dan teman-teman, sehingga penulis mampu mengatasi segala hambatan yang menerpa. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih seluas-luasnya kepada:

1. Segenap civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta: Bapak Prof. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya dan Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer,

vi

vii

MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA.

Selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun

Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir.

2. Bapak Dr. Hasani Ahmad Said, MA., selaku dosen pembimbing penulis yang

telah memberikan arahan, saran dan dukungan kepada penulis, sehingga

skripsi dapat terselesaikan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama

proses bimbingan penulis banyak merepotkan. Semoga Bapak selalu sehat

dan diberikan kelancaran dalam segala urusannya. Amin.

3. Ibu Dr. Atiyatul Ulya, M.Ag, selaku dosen pembimbing akademik yang

telah membimbing penulis dari semester satu hingga selesai.

4. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, dan bapak Muslih, M.Ag, selaku dosen

penguji pada sidang skripsi penulis. Bimbingan, masukan serta kritikan yang

membangun sangat penulis rasakan untuk menghasilkan skripsi yang lebih

berkualitas.

5. Seluruh dosen pada Fakultas Ushuluddin khususnya di Program Studi Ilmu

al-Qur`an dan Tafsir atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan

wawasan dan pengalaman yang telah diberikan. Kepada seluruh staf dan

karyawan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum, Perpustakaan

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Ketiga orang tua terkasih, Bapak Subandi, Bapak Antok dan Ibu Poniyem

yang telah merangkai doa-doa indah, memotivasi, membiayai, mendidik,

mendukung, memberi semangat dan nasehat-nasehat istimewa untuk

penulis. Tak lupa juga terima kasih untuk adik satu-satunya Muna Meilani

viii

yang telah memberikan senyuman semangat kepada penulis.

8. Guru-guru penulis. Baik dari TK, SD, SMP dan MA di Perguruan Diniyyah

Putri Lampung yang telah menjadi bagian terpenting dalam perjalanan

keilmuan penulis semoga diberikan kelancaran dalam segala urusannya.

9. Teman-teman seperjuangan. Kepada seluruh teman-teman Jurusan Tafsir

Hadis angkatan 2013, khususnya TH A: Salman, cunguk, capcins dan lain-

lain, maafkan tidak dapat tertuliskan seluruh nama-nama kalian seangkatan

semoga Allah memudahkan segala urusan kalian. Amin.

10. Teman-teman sejati. Kepada Sahabat-sahabat terbaikku yang selalu bersama

dari MA dan sampai saat ini: Maryati dan Rizka Faurina terima kasih telah

banyak memotivasi penulis semoga kita menjadi sahabat selamanya.

11. Teman-teman organisasai. Terima kasih kepada seluruh kawan-kawan

Himpunan Mahasiswa Lampung (HML) khususnya Tangerang Selatan dan

Paduan Suara Lamyuzard penulis ucapkan terima kasih atas persahabatan

yang telah terbina selama berada di bangku perkuliahan.

12. Teman-Teman KKN Dandelion 184: Kebersamaan dengan kalian selama

kurang lebih sebulan semoga dapat bermanfaat bagi masyarakat Desa Klebet

Kemiri dan pelajaran berharga buat kita. Good Luck buat kita.

13. Terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu

persatu atas bantuan moril, materil dan doa sehingga saya dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Jakarta, Juli 2018

Armenia Septiarini

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...... LALAI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN (KAJIAN TAFSIR TEMATIK) ...... PENGESAHAN PANITA UJIAN ...... PEDOMAN TRANSLITERASI ...... I ABSTRAK ...... V KATA PENGANTAR ...... VI DAFTAR ISI ...... XII BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...... 10 C. Tujuan Penelitian ...... 10 D. Tinjauan Pustaka ...... 11 E. Metode Penelitian...... 13 F. Sistematika Penulisan...... 15 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG LALAI ...... 18 A. Pengertian Lalai dan Jenis-Jenis Kelalaian ...... 18 1. Pendapat Ulama dan Psikolog tentang lalai/lupa ...... 19 2. Fakta unik lupa dan ingat: ...... 34 B. Pembagian Lalai dari segi Pelakunya ...... 35 C. Faktor-faktor kelalaian ...... 39 D. Langkah-langkah Menghindari Lalai ...... 43 BAB III TERM LALAI DALAM AL-QUR’AN ...... 51 A. Dzahlān ...... 51 B. Nisyān ...... 51 C. Ghaflah ...... 56 D. Sahwun ...... 61 BAB IV TAFSIR ATAS AYAT-AYAT TENTANG LALAI ...... 103 A. Tema Ayat-Ayat Tentang Lalai ...... 104 1. Lalai dalam mengingat Allah ...... 104

xii

xiii

2. Tanda-tanda kekuasaan Allah;...... 104 3. Lalai pada hari kebangkitan ...... 104 4. Lalai dan ingkar janji secara sengaja ...... 105 5. Lalai terhadap kebenaran tanpa sengaja; ...... 105 6. Lalai disebabkan oleh godaan setan; ...... 105 7. Lalai dalam mengambil nasihat dan pelajaran dari kisah umat terdahulu ...... 105 8. Lalai terhadap ibadah (shalat); ...... 106 9. Lalai terhadap kemewahan dunia ...... 106 10.Hukum syariat ...... 106 B. Objek Nisyān, Sahwun Dan Ghaflah ...... 135 1. Lalai dalam hal ibadah yaitu shalat ...... 135 2. Lalai terhadap kepastian hari pembalasan ...... 138 3. Menolak petunjuk melalui ayat-ayat Nya dan kisah-kisah umat terdahulu ...... 139 BAB V KESIMPULAN...... 140 A. Kesimpulan ...... 140 B. Saran ...... 142

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sisi keagamaan, ingatan memegang peranan penting. Dengannya,

manusia akan selalu mengingat Allah, kekuasaan-Nya, nikmat yang berlimpah

dari-Nya di dunia, dan juga akhirat ataupun hari perhitungan dimana ia

menunggu pahala dan hukuman-Nya. Dengan mengingat hal-hal semacam

inilah, maka akan tumbuh motivasi dalam diri manusia untuk selalu bertaqwa

kepada Allah swt. dan selalu mengerjakan amal saleh serta menghiasi diri

dengan akhlak-akhlak terpuji. Dengan demikian ingatan sangat berguna untuk

merealisasikan kebaikan bagi manusia, di dunia dan akhirat.1 Banyak ayat al-

Qur’an yang memerintahkan untuk selalu ingat kepada Allah swt. dan ciptaan-

Nya.2 Juga ingat akan penjelasan dan petunjuk yang dibawa para Rasul, serta

kabar gembira dan ancaman yang mereka sampaikan.3

Pada dasarnya, manusia harus diingatkan dan dijelaskan tentang perkara-

perkara agama serta dunianya agar terdorong untuk bekerja dengan keras, ulet

dan semangat yang tinggi. Hal ini untuk mencapai tujuan sebenarnya, yang

untuk tujuan itulah Allah swt. menciptakannya (mengingat manusia terkadang

mengalami kelesuan, kealpaan, dan kelalaian. Allah berfirman:

1 Terkait dengan ingatan/lupa/lalai, ada beberapa pengungkapan kata tersebut dalam al-Qur’an diantaranya dzahlān disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak satu kali dalam Q.S. al-Hajj [22]: 2, ghahiba dan al-Aghmāu tidak ditemukan pengulangan ayat dalam al-Qur’an, nisyān disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 45 kali, ghaflah disebutkan sebanyak 31 kali dan sahwun terdapat dalam surat yaitu surat al-Dzāriyāt [51] ayat 11 dan al-Mā’un [107] ayat 5. Lihat Muhammad Fūad ‘Abd al-Bāqī, Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Qur’ān al-Karīm, (Kairo: Dār al-Hadits, t.t.), h. 277, 794, 615, 451. 2 Salah satu ayat untuk selalu mengingat Allah swt. adalah surat al-Ahzāb [33]: 21, dan al- A’lā [87]: 15. Lihat Muhammad Fūad ‘Abd al-Bāqī, Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Qur’ān al- Karīm, h. 270. 3 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al-Qur’an, Penerjemah Zaenuddin Abu Bakar (Jakarta: Pustaka Setia, 2006), h. 164.

1

2

      “Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman.” (Q.S. al-Dzāriyāt [51]: 55).

Lalai adalah salah satu penyakit yang paling berbahaya4 yang menimpa

individu dan umat Islam. Ia adalah penyakit yang amat membinasakan, yang

membunuh kebaikan dan penghancur semangat. Ia adalah pohon yang buruk,

yang disirami dengan air kebodohan dan membuahkan sū al-Khātimah. Lalai

merupakan penyakit yang keras, yang membuat seseorang kehilangan

tujuannya, dan menghabiskan energinya. Jika lalai mengenai seorang alim,

maka ia akan meninggalkanya dalam keadaan jahil. Jika lalai mengenai orang

kaya, niscaya ia akan meninggalkannya dalam keadaan miskin. Jika lalai

menimpa orang yang terhormat, niscaya ia akan mengubahnya menjadi orang

hina. Lalai juga dapat membinasakan tanpa kematian. Kesia-sian tanpa adanya

yang hilang. Hijabnya tampak lembut, kemudian bertambah tebal sedikit demi

sedikit sehingga itu pun menjadi tebal dan membuat hati menjadi

terbalik tanpa ada kebaikan padanya.5

4 Menurut Khalid bin Abdullah al-Muslih al-Qasim, 5 penyakit hati ada lima macam salah satunya adalah lalai, yaitu: Pertama, syirik baik kecil maupun besar dicantumkan dalam al-Qur’an surat al-An’ām [6]: 85, 125. Kedua, menyalahi bid’ah dan sunnah Nabi dalam hal ini, al-Fuḏail bin Iyaḏ ra. Berkata “Barangsiapa bergaul dengan pelaku bid’ah, maka Allah swt. akan menimpakan kebutaan kepadanya”, maksudnya kebutaan hati. Ketiga mematuhi kehendak nafsu dan melakukan dosa-dosa karena syahwat dan dosa-dosa penyebab utama kebinasaan dan kerusakan hati, disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Jātsiyah [45]: 23. Keempat, masalah-masalah syubhat (hal yang belum jelas) yang membutakan kebenaran dan membutakan manusia karena mampu menghapus lezatnya iman, menumbuhkembangkan bisikan setan, membuat pelakunya tidak dapat mengambil pelajaran dari al-Qur’an dan sunnah dalam hal ini Allah swt. berfirman dalam surat al- ‘Imrān [3]: 7. Kelima, lalai, oleh karenanya Allah swt. memperingatkan untuk tidak bergaul dengan orang-orang lalai, termaktub dalam surat al-A’rāf [7]: 205. Kelalaian membuat hati lupa terhadap apa-apa yang mensucikan, yang berguna, yang mensucikan dan memperbaiki dan membersihkannya. Lihat Khalid bin Abdullah al-Muslih al-Qasim, Menuju Hati yang Bersih, Penerjemah Redaksi Yufid (T.tp.: T.pn., 2011), h. 10-20. 5 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, Penerjemah Abdul Hayyie al- Kattani dan Arif Chasanul Muna (Depok: Gema Insani, 2006), h. 1.

3

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia lalai berarti kurang hati-hati; tidak

mengindahkan, tidak ingat karena melakukan sesuatu; terlupa.6

Lalai akan menambahi kerugian.7 Lalai akan menghilangkan kenikmatan

dan menghalangi pelayanan ibadah. Lalai akan menambahi rasa dengki. Lalai

akan menambahkan penderitaan dan penyesalan.

Diceritakan seorang saleh bermimpi bertemu dengan gurunya. Lalu dia

bertanya: “Kerugian manakah yang paling besar yang pernah engkau alami?”

Sang guru menjawab: “Kerugian lupa”. Diriwayatkan bahwa seorang salih

bermimpi bertemu dengan Dzun Nun al-Misrī, lalu dia bertanya: “Apa yang

dilakukan oleh Allah swt. dengan dirimu?” Dia menjawab: “Meletakkanku

dihadapan-Nya dan berfirman kepadaku: “Wahai orang yang mengaku-aku,

wahai pendusta, Engkau mengaku cinta kepada-Ku kemudian engkau

melupakan-Ku.”8

Beberapa pendapat Ulama tentang term nisyān, sahwun dan ghaflah yang

bermakna lupa/lalai diantaranya:

Secara secara bahasa term nisyān menurut Ibnu Fāris9 yaitu ada dua

pengertian yaitu, melalaikan sesuatu dan meninggalkan sesuatu.10 Secara

6 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 887. 7 Terkait hal tersebut, dalam buku “Menuju Hati yang bersih” disebutkan bahwa kelalaian adalah keteledoran yang menimpa hati dan membuatnya buta sehingga tidak dapat mengambil yang baik bagi dirinya dan meninggalkan apa-apa yang membahayakan. Kelalaian itu merupakan dasar dari segala keburukan. Allah berfirman dalam surat Yunūs ayat 92, “Dan sesungguhnya manusia benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami”. Lihat Khalid bin Abdullah al-Muslih al-Qasim, Menuju Hati yang Bersih, h. 19. 8 Mustafa Mahmud, Menangkap Isyarat al-Qur’an, Penerjemah Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 26. 9 Ibnu Faris adalah nama dari Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyya. Lahir pada tahun 329 H-395 H/ 895-981 M). Termasuk salah seorang ahli bahasa dan sastra, berasal dari Qizwain. Kemudian berpindah ke Rayyi dan wafat di sana. Diantara karyanya Maqayis al-Lughah. Raghib al-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Penerjemah Sonif (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012), h. 414. 10 Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Maqayis al-Lughah, (Dār al-Fikr, 1979), h. 392.

4

istilah menurut Rāghib al-Asfahāni11 term nisyan yaitu manusia meninggalkan

hafalannya adakalanya lemah hatinya adakalanya dia lupa.12 Menurut

al-Jurjāni13 dalam kitabnya al-Ta’rīfāt mendefinisikan term nisyān yaitu

melalaikan yang diluar sunnah.14

Sedangkan secara bahasa term ghaflah menurut Imam Ismāil bin Hammad

al-Jauhari15 di dalam kitabnya Tāj al-Lughāh wa Sahāh al-Arabiyyah

mendefinisikan term ghaflah yaitu “Melalaikan sesuatu”, dan menurut Ibnu

Fāris dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah mendefiniskan term ghaflah

yaitu “meninggalkan sesuatu karena lupa” dan terkadang lupa nya secara

sengaja.”16 Secara Istilah term ghaflah menurut Rāghib al-Asfahāni dalam

kitabnya Mufradāt Alfāz al-Qur’an mendefinisikan term ghaflah yaitu “lupa

11 Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad bin al-Mufadhal. Al- Asfahāni adalah nisbah dari tempat asalnya yaitu kota Asfahan. Akan tetapi beliau hidup di kota Bagdad. Tidak diketahui kapan beliau lahir. Beliau salah seorang pemikir abad pertengahan yang berupaya memahami al-Qur’an lewat pendalaman terhadap bahasa arab. Salah satu karya beliau yaitu Al-Mufradātu Fī Gharībi al-Qur’an yaitu kamus al-Qur’an penjelasan makna kosa kata asing (ghārib). Melalui karyanya Mu’jām al-Mufradāt Li Alfāẕ al-Qur’an beliau berpendapat bahwa sarana yang paling utama dalam memahami al-Qur’an adalah lewat penguasaan terhadap bahasa. Yang pasti, melalui karya-karya yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa beliau adalah seorang ahli sejarah dan sastra, pakar dalam ilmu balaghah (retorika) dan sya’ir. Lihat Wahyuni Shifaturrahmah, “Pemikiran Al-Rāghib al-Asfahānī tentang Al-Qur’an, Tafsir dan Tawil“ di akses pada 3 Desember 2017 pukul 18:09 WIB dari https://wahyunishifaturrahmah.wordpress.com/2010/02/16/pemikiran-al-raghib-al-asfahani- tentang-al-quran-tafsir-dan-tawil/ 12 M. Quraish Shihah dkk, Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007) h. 715-716. 13 ‘Abd al-Qāhir Abū Bakr ibn ‘Abd al-Rahman Majd al-Dīn al-Jurjāni. Lahir di negeri Jurjan, Iran dan wafat pada tahun 471 H pendapat lain mengatakan 474 H. Dalam bidang fiqh beliau bermazhab Asy’ari. Beliau berguru dengan Abu Husen Muhammad bin Hasan al-Farisi. Beliau dikenal pencetus imu balaghah. Karya karya beliau diantaranya Syarh al-Fatihah (1 Jilid), Asrar Balaghah, Dalail al-I’jaz, al-Jumal Fin Nahmi dan lain sebagainya. Julie Scott Meisami dan Paul Strakey, Encyclopedia of Arabic Lecture, Vol. 1 (London & New York: Taylor & Francis, 1988), h. 16. Lihat juga: M. Natsir Arsyad, Cendekiawan Muslim: Dari Khalili sampai Habibie (Jakarta Raja Grafindo Persada, 2000), h. 74. 14 Ali bin Muhammad al-Jurjāni, Mu’jam al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 209. 15 Al-Jauhari alias Abu Nasher Ismail bin Hamad al-Jauhari al-Farabi lahir pada tahun 398 H dan meninggal pada tahun 1007 H. Berasal dari Farab Turki, pamannya al-Farabi filsafat terkenal, penulis kitab Mu’jam al-Arabiyah. Raghib al-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, h. 410. 16 Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Maqayis al-Lughah, h. 386 dan Syauqī Ḏaif, Mu’jam al-Wasīṯ (Mesir, Māktabah Shurouq al-Dauliyah, 2011), h. 657.

5

yang menimpa manusia dari sedikitnya menjaga dari kesadaran”. Menurut

Imam al-Baghāwi17 dalam tafsir Ma’ālim al-Tanzil term ghaflah berarti

“tercegahnya manusia dalam mengerjakan suatu perkara karena lupa”.

Sementara term sahwun secara bahasa menurut Rāghib al-Asfahāni dalam

kitabnya Mufradāt Alfāz al-Qur’an mendefinisikan term sahwun yaitu

kesalahan dari kelalaian (teledor). Secara istilah menurut Rāghib al-Asfahāni

membagi dalam dua pengertian yaitu kesalahan tanpa sengaja seperti orang

gila, dan orang yang meminum khamr dengan sengaja.18 Sedangkan menurut

Ibnu Manẕur dalam kitabnya Lisan al-Arab mendefinisikan term sahwun

secara bahasa berarti melalaikan sesuatu hatinya berpaling kepada selainnya

artinya hatinya kurang perhatian.19

Lalai merupakan lawan dari dari kata dzikir20 sehingga Allah swt.

menjadikan dzikir sebagai tanda iman, sedangkan lalai sebagai tanda munafik

dan kufur. Akan tetapi, apakah sifat lalai seluruhnya merupakan sifat

munafik? Padahal sifat lupa manusia tidak terlepas dari setan. Menurut

sebagian ayat al-Qur’an,21 setan melihat bakat manusia untuk lalai sebagai

17 Al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad al-‘Allama Abu Muhammad al-Farra’ al-Baghawi lahir di Bagh, Baghshur dekat Herat. Namun lebih dikenal al-Farra’. Beliau meninggal kisaran tahun 510 M/1117 H atau 516/1122 H. Diantaranya karya beliau Masabih al-Sunnah (Perjalanan kehidupan Nabi), al-Tahdib dan Ma’alim al-Tanzil. Oliver Leaman, ed. The Qur’an: An Encyclopedia (Taylor & Francis Group: London & New York, 2006), h. 108. 18 Al-Raghib al-Ashfahāni, Mufradat Gharib al-Qur’an, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Ma’rifat, t.t.), h. 431. 19 Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, (Mesir: Dār al-Hadis. t.t.), h. 2137. 20 Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, 40 Karakteristik Mereka yang Dicintai Allah (Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah), Penerjemah Endang Saiful Aziz & Taufiq Nuryana (Jakarta: Darul Haq, 2012), h. 715-724. 21 Setan menggoda manusia dari segala penjuru terdapat dalam Q.S. al-A’rāf [7]: 17, larangan untuk mengikuti langkah-langkah setan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 168, manusia menjadi teman setan ketika melupakan Allah swt. termaktub dalam Q.S. al-Zukrūf [43]: 36, masuk anggota setan terdapat dalam Q.S. Al-Mujādilah [58]:19, selanjutnya menjadi saudara setan al-Isrā’ [17]: 27. Lihat Abu Islam Sālih bin Tāha Abdul Wāhid, Metode Setan dalam Menyesatkan Manusia Penerjemah Ummu Abdillah, (Ttp.: T.pn., 2008), h. 2-13.

6

jalan untuk mempengaruhinya.22 Bakat inilah yang kadang-kadang membuat

manusia lalai akan hal-hal penting yang bermanfaat bagi dirinya. Pun kadang-

kadang membuatnya lalai akan Allah dan mengabaikan perintah-perintah-

Nya.23 Salah satu cara setan menggoda manusia dan mendorongnya lalai akan

Allah, dan akan kebaikan dan kemanfaatan bagi dirinya pada umumnya,

adalah dengan mempengaruhi dorongan dan hawa nafsunya. Ini memang

merupakan titik kelemahan manusia. Sebab, secara alamiah manusia

cenderung untuk memenuhi dorongan-dorongannya dan merasakan kelezatan

dan kenikmatan.24 Dari aspek inilah Iblis berhasil menggoda Adam as. Iblis

menawarkan kepadanya keabadian dan kerajaan yang tidak akan binasa,

apabila ia mau makan buah pohon larangan. Ini membuat Adam lupa akan

22 Ibnu Qayyim mengatakan dalam buku Manajemen Qalbu, "Peringatan Allah swt untuk mewaspadai setan lebih banyak daripada peringatannya untuk mewaspadai nafsu dan selayaknya demikian. Sebab, bahaya dan kerusakan nafsu timbul karena godaan setan. Nafsu adalah kendaraan setan, sarang kejahatannya dan tempat di mana ia ditaati." Sejak diusirnya iblis, nenek moyang setan dari golongan jin. Ia meminta ditangguhkan kematiannya hingga hari kiamat. Kemudian iblis menyatakan perang dengan Adam dan keturunanya, serta bertekad akan menjerumuskan manusia untuk berbuat durhaka kepada Allah Swt. Manusia sering lalai terhadap musuhnya yang nyata ini, yakni setan. Banyak sekali penjelasan al-Qur'an mengenai setan, bahwa ia adalah musuh yang nyata bagi manusia. Lihat Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Manajemen Qalbu Penerjemah Ainul Haris Umar Arifin Thayib, (Jakarta: Dār al-Falah, 2005), h. 130. 23 Hasil dari pembangkangan terhadap perintah-perintah Ilahi dan lalai dari mengingat Tuhan dalam kehidupannya, konsekuensinya adalah pertemanan dengan setan, termaktub dalam surat al- Zukhrūf ayat 36. Berpaling dari mengingat Allah Swt bukan hanya merupakan sebuah kesalahan dan dosa kecil melainkan sebuah masalah yang disebabkan oleh dosa-dosa kecil dan besar yang dilakukan sepanjang waktu. Dengan kata lain, lalai dari mengingat Allah Swt. karena perbuatan- perbuatan dosa yang dilakukan adalah hasil natural dari menjauhnya ia dari Tuhan dan pertemanan dengan setan yang bertentangan dengan sifat pengasih dan rahman Tuhan. 24 Terkait hal tersebut, orang-orang yang sepenuhnya dikuasai dorongan hawa nafsu sehingga dorongan kebaikan yang ada sama sekali tidak berkutik. Dengan demikian, orang-orang seperti ini telah merapat dalam barisan tentara setan. Mereka tidak mampu melawan dorongan jahat tersebut. Merekalah ini orang-orang yang celaka karena bersedia menjadi budak nafsu dan kuda tunggangan syahwat. Kelompok ini termasuk dalam golongan yang merugi di dunia dan akhirat. Terhadap kelompok ini Allah swt. menegaskan dalam firman-Nya dalam al-Qur’an surat al-Sajdah [32]: 13. Apabila seorang manusia mampu mengalahkan hawa nafsunya dia seperti malaikat. Sebaliknya, apabila dikalahkan oleh hawa nafsunya dia menjadi seperti setan. Apabila kesabarannya dikalahkan oleh dorongan wataknya (makan, minum) maka dia menjadi seperti hewan. Qatadah menguraikan, “Allah menciptakan malaikat memiliki akal tanpa syahwat, menciptakan hewan memiliki syahwat tanpa akal, dan menciptakan manusia memiliki syahwat serta akal. Karena itulah, orang yang akalnya mengalahkan syahwatnya akan bersama malaikat. Sedangkan orang yang syahwatnya mengalahkan akalnya serupa dengan hewan. Lihat Saad Riyadh, Jiwa dalam Bimbingan Rasulullah (Jakarta: Gema Insani, 2007), h. 135 dan Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, Bekal untuk Orang-orang yang Sabar, Penerjemah Iman Firdaus (Jakarta: Qisthi Press, 2016), h. 27.

7

larangan Allah dan terjerumus dalam kesalahan. Dengan cara yang sama,

setan mempengaruhi semua manusia ketika pada diri mereka dibangkitkannya

hawa nafsu mereka yang membuat mereka terjerat olehnya dan lalai akan

Allah.25

             

 Adam tertipu dengan perkataan setan, kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Q.S. Tāhā [20]: 120).

           

             

Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan setan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)" (Q.S. al- A’rāf [7]: 20).

Mengutip penafsiran Ibnu Katsir dan al-Tabari, dikarenakan setan merasa

iri dengan Adam as. dan Hawa yang diberikan berbagai kenikmatan kecuali

memakan buah pohon khuldi sehingga menimbulkan inisiatif bagi setan atas

pelarangan memakan buah tersebut, untuk selalu menggoda keduanya.26

Tergoda dengan kehidupan kekal di surga membuat Adam as. dan Hawa

25 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al-Qur’an, h. 168. Lihat juga Abu Islam Sālih bin Tāha Abdul Wāhid, Metode Setan dalam Menyesatkan Manusia, h. 10-12. 26 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan al-Ta’wil Ayi al-Qur’an, Penerjemah Ahmad Affandi dkk, Jilid 10 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 883-884. Lihat juga: Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Qurtubi al-Maliki, Lubāb al-Tafsir min Ibnu Katsir, Penerjemah Muhammad Abdul Ghoffar, Jilid 16 (Bogor: Pustaka Imam al-Syafi’i, 2004), h. 423. h. 998.

8

terpedaya bujuk rayu setan sehingga lupa perjanjian dengan Tuhannya untuk

tidak memakan buah khuldi, dengan imbalan kekal abadi selamanya.27

Tanpa kita sadari penyakit lalai menggerogoti iman kita secara perlahan,

membuat lalai akan datangnya hari kematian, sebagaimana penulis mengutip

sebuah kalimat hikmah.

“Berlalulah waktu-waktu dan hari-hari sementara dosa telah diperoleh.

Dan datanglah utusan dan kematian sementara hati kita lalai. Kenikmatanmu

di dunia adalah tipu daya dan kerugian. Dan ratapanmu di dunia merupakan

kemustahilan dan kebatilan”.28

Lalu bagaimana agar kita terhindar dari sifat lalai ini? Menurut Mustafa

Mahmud, dalam agama lupa atau “ghaflah” dalam bingkai yang lebih luas

dari pandangan psikologi modern, yakni bingkai relasi manusia dengan Allah

swt. Barangsiapa yang dekat dengan Tuhan dan ia senantiasa berdzikir

kepada-Nya, maka daya ingatannya akan selalu dalam keadaan sempurna dan

tidak ada sesuatupun yang luput dari benaknya. Hal ini disebabkan karena

berada dalam lingkaran cahaya. Sebaliknya, barangsiapa yang jauh dari

Tuhan, maka ia akan masuk dalam lingkaran kegelapan, tenggelam ke dalam

telaga kelupaan, kebimbangan dan keterasingan. Dan akhirnya menjadi

seorang yang lalai dan pelupa.29 Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan

dzikir30 sebagai terapi penyakit lalai. Artinya, jika ingin menjadi orang yang

27 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan al-Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 17, h. 998-999. Lihat juga: Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Qurtubi al- Maliki, Lubāb al- Tafsir min Ibnu Katsir, Jilid 8, h. 361. 28 Mustafa Mahmud, Menangkap Isyarat al-Qur’an, h. 27. 29 Khoirul Amru Harahap dan Reza Pahlevi Dalimunthe, Dahsyatnya Doa & Zikir, (Jakarta: Qultum Media, 2014), h. 18-19. ,yang berarti menyebut, menjaga ذَ َك َر ـ يَ ْذ ُك ُر ـ ِذ ْك ًرا Kata al-dzikr berasal dari bahasa Arab 30 mengerti, mengingat-ingat, mempelajari, menghafalkan, peringatan. Secara harfiah, kata al-dzikr memiliki makna sebuah proses atau perilaku jiwa yang memungkinkan manusia untuk menghafal

9

segar ingatan, hendaklah senantiasa menjaga relasi harmonis dengan sang

pencipta dan senantiasa ingat kepada-Nya.

           

            “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring”. (Q.S. al- Nisā’ [04]: 103).

Sikap lalai sama sekali tidak memberikan faedah, malah membahayakan

dan membinasakan. Al-Qur’an menegaskan rusaknya kecenderungan seperti

ini dan menamakannya sebagai kelalaian.31

Penyebutan kata lalai dalam al-Qur’an disebutkan dengan berbagai macam

term. Dari sinilah, penulis memfokuskan diri pada kata lalai dengan

menggunkan term nisyān, sahwun dan ghaflah, sehingga dapat diketahui

makna masing-masing term. Dari pemaparan diatas penulis ingin mengetahui,

bagaimana makna lalai dari sudut pandang al-Qur’an dengan pendekatan

kajian tafsir tematik.32

atau menjaga pengetahuan yang diperolehnya atau bermakna menghadirkan sesuatu pada hati atau lisan. Dalam makna sempit, al-dzikr dimaksudkan untuk menyebut nama Allah swt. secara berulang-ulang agar selalu ingat kepada-Nya (al-Baqarah [2]: 152). Lihat juga: Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 448. Lihat juga: Al-Rāgib al-Asfahānī, Mu’jam Mufrodāt Li Alfāz al-Qur’ān, h. 181. Lihat Ibnu Manẕur, Lisan al-Arab (T.tp.: Dār al- Ma’arif, t.t.), h. 1508. Muhammad Khalilurrahman al-Mahfani, Keutamaan Doa & Dzikir untuk Hidup Bahagia dan Sejahtera (Jakarta: Wahyu Media, t.t.), h. 33. 31 Yang artinya, “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan akhirat adalah lalai).” Q.S. al-Rūm [30]: 7. 32 Tafsir Mauḏū’i menurut Al-Farmawi adalah tafsir yang menghimpun ayat-ayat al-Quran yang mempunyai maksud yang sama dengan kata lain sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat tersebut. Lihat Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mauḏū’i dan Cara Penerapannya, Penerjemah Rosihon Anwar (Jakarta: Pustaka Setia, 2002), h. 43-44. Dalam buku Diskursus Munasabah al-Qur’an karya Hasani Ahmad Said menjelaskan empat metode dan corak penafsiran, yaitu analitis, komparatif, global dan tematik (maudhū’i). Dan salah satu corak penafsiran yaitu adab al-ijtimā’i (budaya kemasyarakatan). Lihat juga: Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur’an (Jakarta: Lectura Press, 2014), h. 5.

10

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

Al-Qur’an merangkai begitu banyak pedoman hidup dalam segala bidang

yang tak kunjung habis untuk dikaji lebih dalam. Salah satunya adalah ayat-

ayat tentang lalai. Terdapat beberapa permasalahan yang ada dari latar

belakang diatas. Pertama, penafsiran ayat-ayat tentang lalai dalam al-Quran

yang menggunakan beberapa kosakata yaitu nisyān, sahwun dan ghaflah.

Agar penelitian dalam skripsi ini lebih terarah dan tidak meluas, maka

penulis hanya memfokuskan pada ayat-ayat tentang lalai. Karena banyak

sekali ayat yang membahas tentang lalai, maka penulis hanya menyusun tema

bahasan ayat-ayat lalai menggunakan term nisyān, sahwun dan ghaflah,

kemudian menentukan objek kajian secara singkat, lalu mengutip beberapa

pendapat para mufassirin, yaitu Tabari, Ibnu Katsir, M. Quraish Shihab,

Hamka, al-Syaukani dan lain sebagainya.

Secara lebih spesifik, rumusan masalah ini adalah: “Bagaimana penafsiran

ayat-ayat tentang lalai dalam al-Qur’an?”

C. Tujuan Penelitian

1. Mengungkapkan kemudian mendeskripsikan secara jelas pemahaman

ayat-ayat al-Qur’an tentang lalai dengan menggunakan term nisyān,

sahwun dan ghaflah dengan mengutip beberapa pendapat mufassir baik

klasik maupun kontemporer;

2. Menambah khazanah keilmuan dalam penafsiran ayat-ayat tentang lalai;

3. Untuk memenuhi syarat kelulusan program S1 Fakultas Ushuluddin

Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam

meraih gelar S. Ag. (Sarjana Agama).

11

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini adalah menelaah karya-karya tulis

seputar ayat-ayat tentang lalai baik berupa kitab, buku, skripsi ataupun tesis,

untuk kemudian penulis cari perbedaan temanya dengan karya tulis yang

sedang penulis susun. Sehingga penulis bisa menjadikan sebagai pijakan

bahwa karya tulis ini belum ada yang membuat sebelumnya. Dan memang

pantas untuk diangkat dalam bentuk karya tulis ini. Dalam mencari data-data

yang penulis butuhkan, penulis menemukan beberapa tulisan yang berkaitan

tapi tidak sama dengan kajian yang akan dibahas oleh penulis. Tulisan-tulisan

tersebut yaitu

1. Skripsi karya Muhammad Arif berjudul Makna Kata Sāhun Menurut

Mufassirin dalam skripsi tersebut dijelaskan makna sāhun (lalai) menurut

mufassir klasik (Tabāri) dan modern (Quraish Shihab);33

2. Skripsi karya Reni Kusuma Wardani yang berjudul Makna Lalai Shalat

Surat al-Mā’ūn Ayat 4-5 Menurut Quraish Shihab dan Sayyid Quṯb dalam

skripsi ini menjelaskan perbandingan makna lalai menurut Quraish Shihab

dan Sayyid Quṯb;34

3. Skripsi karya Zulaekah yang berjudul Makna Kata al-Nasy dalam Al-

Qur’an dalam skripsi ini menjelaskan makna kata al-Nasy dalam bentuk

fi’il māḏin, muḏār’i, masdar dan ism fā’il, ism maf’ūl;35

33 Muhammad Arif, “Makna Kata Sahun Menurut Mufassirin,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2011). 34 Reni Kusuma Wardani, “Makna Lalai Shalat Surat al-Mā’ūn Ayat 4-5 Menurut Quraish Shihab dan Sayyid ,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2015). 35 Zulaekah, “Makna Kata al-Nasy dalam Al-Qur’an,” (Skripsi S1Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016).

12

4. Skripsi karya Muhammad Syahrul Mubarak yang berjudul Kesadaran Diri

akan Kembali kepada Allah dalam al-Qur’an dalam skripsi ini

menjelaskan pentingnya keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat;

5. Skripsi karya Bahruddin yang berjudul Lalai dari Shalat Prespektif Al-

Qur’an dalam skripsi ini membandingkan penafsiran lalai dari shalat

prespektif al-Qur’an menurut Ibnu Katsir dan Sayyid Quṯb;36

6. Buku karya Khalif A. Mu’thi Khalif yang berjudul Nasihat untuk Orang-

orang Lalai penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani yang membahas tentang

jenis-jenis kelalaian diantaranya lalai akan hal-hal yang membinasakan,

lalai akan hal-hal yang menyelamatkan, nasihat bagi yang sering

melalaikan waktu dan umur dan sebagainya;

7. Buku karya Muhammad Utsman Najati yang berjudul Al-Qur’an &

Psikologi penerjemah Zaenuddin Abu Bakar menjelaskan ingat dan lupa

dalam al-Qur’an, definisi lupa menurut agama, dan mengatasi lupa dalam

al-Qur’an;

8. Buku karya Mustafa Mahmud yang berjudul Menangkap Isyarat al-

Qur’an penerjemah Pustaka Firdaus menjelaskan definisi lupa/lalai

menurut agama;

9. Buku karya Khalid Abdullah bin al-Muslih yang berjudul Menuju Hati

yang Bersih penerjemah Redaksi Yufid dalam buku ini dijelaskan ciri-ciri

hati yang bersih, penyakit-penyakit hati, dan kiat menuju hati yang bersih;

36 Bahruddin, “Lalai dari Shalat Prespektif Al-Qur’an,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negri Sunan Ampel Surabaya, 2008).

13

10. Buku karya Zakiah Darajat yang berjudul Psikoterapi Islami dalam buku

ini dijelaskan tentang penyebab lupa dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya menurut ilmu Psikologi;

11. Jurnal karya Wahyudi Setiawan Al-Qur’an tentang Lupa, Tidur, Mimpi

dan Kematian menjelaskan tentang memori/ingatan menurut pendekatan

psikologi. 37

Dari beberapa penelitian yang telah disebutkan diatas belum ada

pembahasan yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an tentang lalai. Penulis

menggunakan tiga term lalai dalam al-Qur’an (nisyān, sahwun dan ghaflah)

sehingga dapat diketahui makna masing-masing term.

E. Metode Penelitian

1. Pengumpulan Data

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan38

(Library Research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan melakukan

studi terhadap al-Qur’an al-Karim, kitab-kitab, buku-buku, majalah, koran

serta bahan-bahan tertulis lainnya yang ada relevansinya dengan masalah

yang dibahas.

2. Metode Pembahasan

Teknik pembahasan dalam skripsi ini adalah tematik (maudūi), yaitu

salah satu metode penafsiran al-Qur’an yang berusaha menjelaskan ayat-

ayat al-Qur’an dengan mengacu pada satu pokok bahasan tertentu

sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang lebih sistematis. Langkah-

37 Wahyudi Setiawan. “Al-Qur’an tentang Lupa, Tidur, Mimpi dan Kematian”. Al-Murabbi, Vol. 2, no. 2 (Januari 2016). 38 Metode pengumpulan data dengan mencari informasi lewat buku, ensiklopedi, kamus, jurnal, dokumen, majalah dan lain sebagainya. Lihat Nursapia Harahap, “Penelitian Kepustakaan” Iqra’, Vol. 8, No. 1 (Mei 2014), h. 68.

14

langkah atau cara kerja metode Mauḏū’i dijelaskan oleh al-Farmawi

sebagai berikut:39

a. Menetapkan atau memilih tema yang akan dikaji secara mauḏū’i;

b. Melacak dan mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan

dengan tema tersebut;

c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologis masa

turunnya, disertai pengetahuan tentang sebab-sabab (asbab al-Nuzūl)

turunnya;

d. Menjelaskan munāsabah atau korelasi ayat-ayat tersebut di dalam

masing-masing suratnya;

e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,

sempurna dan utuh (outline);

f. Melengkapi penjelasan ayat dengan hadis-hadis nabi, bila dipandang

perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan

gamblang;

g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan

cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian yang serupa,

mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khas, yang

muthlaq dengan muqayyad yang global dengan terperinci, yang nasikh

dan yang mansukh sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu

muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan

terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak

tepat;

39 Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mauḏū’i dan Cara Penerapannya, h. 51 dan M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), h. 114-115.

15

Adapun pedoman yang digunakan untuk penulisan skripsi ini mengacu

pada buku Pedoman Akademik Program Strata 1 diterbitkan oleh UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2013/2014.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membaginya dalam empat bab, dimana

setiap babnya mempunyai spesifikasi dan penekanan mengenai topik tertentu,

yaitu:

Bab pertama adalah latar belakang masalah, identifikasi pembatasan, dan

rumusan masalah, pendekatan yang digunakan untuk menganalisa masalah,

tujuan dilakukannya penelitian, kajian pustaka untuk menunjukkan penelitian

lama yang masih berkaitan dan relevan dengan penelitian yang dilakukan

penulis, hingga sistematika penulisan.

Bab kedua merupakan pembahasan mengenai gambaran umum tentang

lalai yang meliputi pengertian lalai dan jenis-jenis kelalaian, pembagian lalai

dari segi tingkatan pelakunya, faktor-faktor penyebab kelalaian dan langkah-

langkah menghindari lalai.

Bab ketiga menjelaskan arti term lalai dalam al-Qur’an yang meliputi:

nisyān, ghaflah dan sahwun dan perbedaan ketiganya.

Bab keempat menjelaskan tema ayat-ayat tentang lalai dalam al-Qur’an serta menentukan subjek dan objek kajian.

Bab kelima merupakan bab terakhir dari penelitian ini yang berisikan penutup, kesimpulan dan saran-saran.

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG LALAI

A. Pengertian Lalai dan Jenis-Jenis Kelalaian

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia Lalai memiliki beberapa arti, yaitu:

1) kurang hati-hati; tidak mengindahkan (kewajiban, pekerjaan, dsb); lengah.

2) tidak ingat karena asyik melakukan sesuatu; terlupa.

Menurut kamus Arabic English Dictionary The Hans Wehr Dictionary of

Modern Written Arabic lalai berarti kurangnya perhatian terhadap suatu

peristiwa, linglung, bingung; mengabaikan, menghilangkan, melupakan

(tertidur), kehilangan memori, pelupa 40

Sedangkan kamus Elias’ Modern Dictionary Arabic-English lalai berarti

leha, lupa yang tidak sengaja.41

Dalam Istilah psikologi lupa berkaitan daya ingat yang terlibat dalam

mengenang atau mengalami lagi pengalaman masa lalu.42

Pada umumnya psikologi menganggap bahwa peristiwa lupa adalah

merupakan segi negatif dari pada ingatan (memori), sedangkan ingat

merupakan segi positif dari ingatan seseorang.43

Sifat lupa dapat didefinisikan sebagai kelemahan alamiah pada seseorang,

baik parsial atau keseluruhan, permanen maupun tidak, untuk mengingat

40 Alias A. Elias & Ed. E. Elias, Elias’ Modern Dictionary Arabic-English (Cairo: Elias’ Modern Press, 1982), h. 322 dan 481. 41 Hans Wehr, Arabic English Dictionary The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic, editor J M. Cowan (New York: Spoken Language Services, 1976), h. 438 dan 936. 42 James Patrick Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Penerjemah Kartini Kartono Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.t.), h. 295. Frank J. Bruno & Kegan Paul, Kamus Istilah Kunci Psikologi, Penerjemah Cecilia G Samekto dkk (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 179. 43 H.M. Arifin, Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniyah Manusia (Jakarta: Bulan Bintang, 2015), h. 207.

18

19

berbagai pengetahuan atau keahlian tertentu.44 Selain itu lupa dapat diartikan

ketidakmampuan seseorang mengembalikan ingatan.45

Dari pengertian dan perincian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

lalai adalah kurangnya perhatian seseorang terhadap sesuatu sehingga

menyebabkan terlupa.

1. Pendapat Ulama dan Psikolog tentang lalai/lupa

Sementara menurut para ulama dan Psikolog tentang kelalaian adalah:

Beberapa ulama serta beberapa tafsir al-Qur’an (misalkan Syāmil al-

Qur’an), mengartikan "lalai dari shalatnya" adalah tidak menghargai serta

melalaikan pelaksanaan dan waktu-waktu shalat, seperti shalat di akhir

waktu, atau terlambat shalat.

Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Dawam Rahardjo,

Nurcholish Madjid, dan beberapa tafsir al-Qur’an (misalkan Yassarnal-

Quran), maksud "lalai" dari shalatnya dalam al-Qur’an adalah orang

tersebut menjalankan dan mengerjakan shalat, tetapi ternyata ia melalaikan

pesan-pesan, makna dan tujuan yang terkandung dalam amalan shalatnya,

di antaranya tidak mau membantu miskin serta berbuat riya. Mereka

juga berpendapat, bahwa pengertian kata "lalai", tidak menekankan kepada

orang yang lupa atau tidak melaksanakan shalat karena alasan tertidur,

kesibukan kerja, dalam perjalanan, dan sebagainya. 46

44 Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, Psikologi Dakwah (Jakarta: Prenadamedia, 2006), h. 212. 45 Agus Suyanto, Psikologi Umum (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 46. 46 Muhammad Arif, “Makna Kata Sahun Menurut Mufassirin,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2011), h. 28.

20

Mustafa Mahmud mengartikan lalai dengan sesuatu yang

menghilangkan kenikmatan dan manghalangi pelayanan ibadah, lalu

menambah rasa dengki, penderitaan dan penyesalan.47

Abdul Hayy Abdul ‘Al dalam bukunya Pengantar Imu Fikih

mengatakan bahwa lupa yaitu kondisi seseorang yang tidak dapat

menghadirkan sesuatu ketika dibutuhkan.48 Ini merupakan kondisi yang

menimpa seseorang sehingga tidak mengingat taklif yang dibebankan oleh

pembuat syariat kepadanya, atau menjadikannya tidak melaksanakan hal

ibadah hal ibadah yang telah di niatkannya, seperti orang berpuasa yang

makan karena lupa.

Sedangkan menurut beberapa Psikolog seperti Zakiah Darajat lupa

berhubungan dengan dua hal, yaitu berkaitan dengan waktu terjadinya

peristiwa dan perhatian terhadap peristiwa tersebut.49

Hamdani Bakran al-Dzaky pelupa/lalai merupakan salah satu indikasi

gangguan mental, sama halnya dengan penyakit ruhani yang dialami

manusia. Di mana, kedua hal tersebut berada pada unsur psikis manusia.50

Terkait dengan lupa/ingatan William stren51 melakukan percobaan

menunjukkan gambar-gambar setelahnya menceritakan dengan bebas dan

47 Mustafa Mahmud, Menangkap Isyarat al-Qur’an, h. 26. 48 Abdul Hayy Abdul Al, Pengantar Ilmu Fikih (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 208. 49 Zakiah Darajat, Psikoterapi Islam (J akarta: Bulan Bintang, 2002), h. 44. 50 Hamdani Bakran al-Dzaky seorang Psikoterapi Islam, menjabarkan beberapa jenis gangguan mental yang disebutnya dengan istilah tanda-tanda atau indikasi kejiwaan yang tidak stabil yaitu : 1. Pemarah 2. Dendam kesumat 3. Pendengki 4. Sombong 5. Berburuk sangka 6. Was-was 7. Pendusta 8. Serakah 9. Berputus asa 10. Pelupa/lalai 11. Pemalas 12. Kikir 13. Hilangnya perasaan malu. Lihat: Hamdani Bakran al-Dzaky, Psikoterapi Konseling Islam: Penerapan Metode Sufistik (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001), h. 329-371. 51 Louis William Stern seorang psikolog dan filsuf Jerman lahir pada 29 April 1871-27 Maret 1938. Willian Stern tercatat sebagai pelopor dalam bidang psikologi kepribadian dan kecerdasan. Dia adalah penemu konsep intelligence quotient. Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya (Jakarta: Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), h. 193.

21

menjawab pertanyaan. Hasilnya; setelah melihat gambar, menceritakan

dengan bebas meminimalisir kesalahan, daripada menjawab pertanyaan-

pertanyaan. Mengingat gambar, manusia, dan warna lebih mudah,

daripada bilangan lebih sulit. Kemudian, Ingatan perempuan lebih kuat,

meskipun demikian perempuan dalam pemberian berita lebih banyak

berdusta.

Ebbinghaus52 melakukan percobaan dengan mengingat pelajar yang

banyak, setelah beberapa waktu kemampuan mengingatnya menurun.

Hasilnya; terdapat hubungan erat antara kemampuan mengingat dengan

pengulangan, semakin banyak banyak pengulangan sedikit yang di

lupakan.

Adapun ingatan terhadap gerakan-gerakan seperti pelajaran olahraga,

menari, dan sebagai dibandingkan dengan ingatan yang non-sense syllable

(kata-kata yang tidak mengandung arti), dibuktikan oleh Harold J. Leavitt

dan Schlasberg adalah menunjukkan kurva lupa yang jauh lebih rendah

dari pada yang non-sense syllables. Hubungan ingatan dengan istirahat,

ingatan lebih lama, kemudian mengadakan istirahat.53 Kesimpulan, besar

kecilnya volume ingatan/lupa, bergantung pada intensitas pengulangan.

Berbagai eksperimen pernah dilakukan terhadap peristiwa lupa itu, di

antara hasilnya menunjukkan:

52 Herman Ebbinghaus lahir di Barmen 24 Januari 1850. Setelah membaca tulisan Fechner “Elements of Psychophisic”, Ebbinghaus tergerak untuk mengadakan penyelidikan mengenai proses mental yang lebih tinggi, dengan mengikuti petunjuk kuantitatif dari Fechner dan menemukan suku kata tak berarti (nonsense syllable) lalu menggunakan diri sendiri sebagai subjek belajar, menjelajahi proses ingatan selama tujuh tahun yang berjudul Memory: A Contribution to Experimental Psychology. Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia: Riwayat Hidup, Pokok Pikiran, dan Karya, h. 102-103. 53 H.M. Arifin, Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniyah Manusia (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 206-211.

22

a. Ada perbedaan individual antara satu orang dan lainnya tentang

mengingat, demikian pula kecepatan terjadinya lupa, terhadap apa

yang sudah terjadi.

b. Untuk mengamankan supaya jangan terjadi lupa, dicoba orang

menggunakan cara-cara tertentu, ada yang berhasil dan ada juga yang

gagal.

c. Diantara hasil eksperimen membuktikan bahwa lupa terjadi lebih cepat

pada awal, kemudian berangsur secara perlahan-lahan, akhirnya sangat

lambat.

Dari berbagai penelitian terhadap lupa, ditemukan ada yang

berhubungan dengan waktu yang terjadi suatu peristiwa, dan ada pula yang

berkaitan dengan perhatian terhadap peristiwa yang diingat tersebut.

Ada yang berpendapat bahwa orang yang banyak mempergunakan

bahan-bahan penenang, mudah terjadi padanya lupa. Di samping itu

tekanan terhadap dorongan tertentu, dapat menyebabkan terjadinya lupa.54

Diantara pakar psikologi ada yang berpendapat, bahwa lupa itu terjadi

pula karena perhatian yang berlebihan terhadap sesuatu yang diingat,

bukan karena kurang atau tidak adanya perhatian.

Bagi yang berpendapat demikian, maka lupa itu terjadi karena

bercampurnya berbagai macam kegiatan dalam waktu yang bersamaan,

karena itu anjuran supaya ada waktu istirahat sebentar, setelah selesai

54 Menurut Leavitt (1945) tingkat kemampuan mengingat banyak bergantung pada pelbagai faktor misalnya: Pertama, berartinya bahan yang harus diingat. Kedua, adanya kemauan untuk mengingat. Ketiga, tingkat penguasaan tugas. Keempat, lamanya waktu diberikan untuk mengingat. Disamping itu juga dibuktikan oleh Pubols kemampuan mengingat diperbesar dengan adanya praktek. Harold J. Leavitt dkk. Readings in Managerial Psychology (Chicago: The University of Chicago, 1989), h. 307. Lihat juga: H.M. Arifin, Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniyah Manusia, h. 203-204.

23

mengahadapi suatu masalah atau topik bahasan, sebelum memulai dengan

topik lain, agar berbagai topik itu tidak saling mengganggu atau merusak.

Ada yang menganjurkan agar setiap selesai dari satu topik, supaya tidur

sebentar, guna memudahkan mengingatnya kembali.

Perlu diingat bahwa kesadaran yang baik dalam menghadapi suatu

masalah/objek tertentu, tidak menjadi jaminan untuk terjadinya ingatan

yang baik, sebab banyak faktor yang dapat manghalangi individu dari

mengingat sesuatu, misalnya perasaan takut, emosi, goncang, rasa malu,

adanya gangguan dan hal yang tidak disukai lebih mudah terlupa dari pada

hal yang menyenangkan.

Hal-hal yang menyenangkan dapat membangkitkan semangat hidup

dan mendorong orang untuk bekerja, sedangkan hal yang menyakitkan,

mengecewakan dan menimbulkan perasaan tertekan, dapat mengurangi

semangat bekerja.55

Riset dan teori tentang memori dapat dibagi menjadi tiga bidang utama,

yaitu:56 Pertama, karya yang menetapkan basis biokimia untuk memori,

diawali pada akhir tahun 1950-an. Teori ini menyatakan bahwa RNA57

(ribonucleic acid) berfungsi sebagai mediator kimia untuk memori. RNA

diproduksi oleh senyawa DNA (deoxyribonuleic acid) yang bertanggung

jawab atas sifat-sifat genetis. Sejumlah percobaan yang dilakukan dengan

RNA mendukung bahwa RNA memang banyak berkaitan dengan cara

55 Zakiah Darajat, Psikoterapi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2002), h. 43-44. 56 Tony Buzan, Gunakan Memori Anda, Penerjemah Alexander Sindoro (Batam: Interaksara, 2006), h. 45. 57 RNA yaitu polimer rantai panjang dari nukleotida yang terdapat pada nukleus, tapi secara umum terletak pada sitoplasma sel. Fungsi RNA sebagai perantara DNA ke protein. Fungsinya adalah untuk mentransmisikan informasi genetik dari DNA ke protein. Suharsono. “Struktur dan Gen”. t.t. h. 1.

24

mengingat sesuatu. Kedua, stimulasi otak riset mengenai menstimulasi otak

pertama kali diawali oleh Wilder Penfield58 ketika melakukan kraniotomi

(mengangkat sebagian kecil otak) dalam usaha untuk mengurangi serangan

ayan. Dia menemukan bahwa menstimulasi berbagai daerah di korteks

menghasilkan berbagai tanggapan yang berbeda tetapi hanya stimulasi pada

lobus temporal yang menyebabkan pasien melaporkan pengalaman yang

berarti dan terintegrasi. Hal yang menarik dari riset yang dilakukan oleh

Penfield adalah fakta bahwa beberapa memori yang distimulasi secara

elektrik tidak dapat ditimbulkan ketika pasien berusaha mengingat kembali

secara normal. Selain itu, pengalaman otak yang distimulasi tampaknya

jauh lebih spesifik dan lebih akurat daripada mengingat kembali secara sadar

yang cenderung mengalami generalisasi. Penfield yakin bahwa otak

merekam segala sesuatu yang diperlihatkan secara sadar dan rekaman itu

bersifat permanen, meskipun kadang ”dilupakan‟ dalam kehidupan sehari-

hari.59

Ketiga, memori bukan proses tunggal, pada waktu penelitian mengenai

memori mengalami kemajuan, beberapa ahli teori lain mengatakan bahwa

penelitian seharusnya tidak hanya ditekankan pada aspek memori saja dan

lebih berkonsentrasi pada studi tentang melupakan. Karena pada

kenyataannya manusia tidak mampu mengingat sekian banyak hal dan

cenderung berangsur-angsur akan menjadi lupa. Gagasan ini

58 Wilder Penfield adalah salah satu ilmuwan terbesar Kanada. Lahir 26 Januari 1981-5 April 1976 di Montreal. Empat kali dinominasikan untuk Hadiah Nobel, Penfield dikenal di seluruh dunia karena penemuannya yang merintis dan teknik bedah. Jefferson Lewis, Something Hidden: A Biography of Wilder Penfiel (T.pn.: Formac Publishing Company, 1983), h. 59 Muhammad Noer, “Bagaimana Daya Ingat Bekerja” diakses pada tanggal 12 Desember 2017 dari http://www.muhammadnoer.com/2010/02/cara-kerja-daya-ingat/.

25

memperkenalkan teori dupleks tentang mengingat dan melupakan, yang

menyatakan bahwa terdapat dua macam cara untuk menyimpan informasi,

yakni memori jangka pendek dan memori jangka panjang.

Bruno menyatakan ingatan merupakan proses mental yang melibatkan

pengkodean, penyimpanan dan pemanggilan kembali informasi dan

pengetahuan.60 Teori awal tentang memori dikenal sebagai model asosiasi

(assosiation model) yang menyatakan memori adalah hasil koneksi mental

antara ide dengan konsep. Salah satu pendukung teori ini adalah

Ebbinghaus yang melakukan penelitian tentang dasar belajar dan

kelupaan.61 Sedangkan Suharnan berpendapat bahwa ingatan merujuk pada

proses penyimpanan dan pemeliharaan sepanjang waktu.62 Dari beberapa

pendapat tersebut dapat disimpulkan daya ingat merupakan kemampuan

seseorang untuk memanggil kembali ingatan yang telah dipelajarinya.

Proses pengingatan atau memori dapat dibedakan menjadi tiga tahap:

Pertama, tahap penyandian (encoding) atau pemasukan pesan ke dalam

ingatan, misalnya: saat berkenalan memasukkan nama, sebut saja Rini.

Setelah itu mengubah (transformasi) masukan fisik (gelombang suara)

yang bersesuain dengan ucapan namanya menjadi sandi (kode) atau

representasi yang diterima oleh memori, dan menempatkanya ke dalam

memori. Kedua, tahap penyimpanan (storage) yaitu meyimpan atau

60 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 96. 61 Romi Anshorulloh, “Efektivitas Metode Mnemonik Dalam Meningkatkan Daya Ingat Siswa Pada Mata Pelajaran Sejarah Di MTs Persiapan Negeri Kota Batu” (Skripsi S1 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2008), h. 12. 62 Romi Anshorulloh, “Efektivitas Metode Mnemonik Dalam Meningkatkan Daya Ingat Siswa,” h. 13.

26

mempertahankan nama itu selama waktu diantara dua pertemuan. Ketiga,

tahap pengambilan atau pengingatan kembali (retrieval) yaitu kita bisa

mendapatkan kembali nama itu dari penyimpanan pada saat pertemuan

yang kedua.

Tiga tahap memori tidak bekerja dalam cara yang sama pada semua

situasi. Situasi pertama dikatakan memori jangka pendek (short term

memori), walaupun dalam situasi dimana kita harus mengingat informasi

hanya untuk beberapa detik, memori melibatkan ketiga tahapan

penyandian, penyimpanan dan pengambilan. Situasi yang kedua yaitu

memori jangka Panjang (long term memory), melibatkan informasi yang

dipertahankan untuk interval tersingkat beberapa menit (seperti poin-poin

yang dibuat sebelumnya dalam suatu percakapan) atau sampai seumur

hidup (sebagai kenangan masa kanak-kanak). Dalam eksperimen tentang

memori jangka Panjang, ahli Psikologi biasanya mempelajari proses

pelupaan selama interval beberapa menit, jam dan minggu tetapi sedikit

penelitian dilakukan dalam tahun atau dasawarsa. Tidak seperti situasi

dalam memori jangka pendek, interaksi penting antara penyandian dan

pengambilan terjadi pada memori jangka Panjang.63

Adapun jenis-jenis kelalaian menurut Khalid A. Mu’thi Khalif dalam

bukunya Nasihat untuk Orang-orang Lalai64 mengatakan ada lima, yaitu:

Pertama, kelalaian dari apa yang membahayakan hamba dan membuat

turunnya kemurkaan Allah, yaitu kelalaian dari hal-hal yang

63 Nety Hartanti, dkk. Islam dan Psikologi (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), h. 78-82. 64 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 8.

27

membinasakan. Rasulullah saw. bersabda yang diriwayatkan oleh Ahmad

dan Tirmizi:

عن أيب هريرة رضيهللا عنه قال: قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم) :من أيخذ عين هؤالء الكلمات فيعمل ّهبن أو ّيعلمهن من يعمل هب ّن ؟(، قال أبو هريرة :فقلت أان اي رسول هللا، فأخذ بيدي ّفعد مخسا، قال) :اتق ّاحملارم ُتكن أعبد النّاس، وارض مبا قسم هللا لك ُتكن أغىن الن ّاس، وأ حسن إىل

جارك ُتكن مؤمن ا، وأح ّب للنّاس ما ّحتب لنفسك تكن ُمس لم ا، وال تُكثر

ّالضحك ّفإن كثرة ّالضحك ُُت ُيت القلب (رواه أمحد، والّّتمذي، ّوحسنه األلباين. “Jauhilah hal-hal yang diharamkan, niscaya engkau menjadi orang yang paling banyak ibadahnya”.65

Yang dimaksud dengan perkataan-perkataan yang mengutamakan

meninggalkan hal-hal haram daripada pengerjaan ketaatan-ketaatan, ialah

ketaatan-ketaatan yang bersifat sunnah. Jika tidak demikian, maka amal-

amal perbuatan wajib itu lebih utama daripada meninggalkan hal-hal

haram, karena amal-amal perbuatan adalah tujuan kepada dzatnya, sedang

yang diminta (dituntut) dari hal-hal haram ialah meninggalkannya. Oleh

karena itu, meninggalkan larangan-larangan tidak memerlukan niat, dan

ini berbeda dengan pengerjaan amal-amal perbuatan. Oleh karena itu pula,

65 Bagian hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, al-Tirmizi (no. 2305), dan al-Kharaithi dari jalur Abu Thariq, dari al-Hasan al-Bashri, dari Abu Hurairah ra. Dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapakah yang siap mengambil kalimat-kalimat ini kemudian mengamalkannya atau mengajarkannya kepada orang yang siap mengamalkannya?’ Aku (Abu Hurairah) berkata, ‘Aku, wahai Rasulullah,’ Rasulullah pun memegang tanganku lalu mengulang lagi sabda tersebut hingga lima kali. Setelah itu beliau bersabda, ‘Takutlah engkau kepada hal-hal haram, niscaya engkau menjadi orang yang paling hebat ibadahnya. Ridhalah dengan apa yang dibagikan Allah kepadamu, niscaya engkau menjadi orang yang terkaya. Berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi orang mukmin. Cintailah untuk manusia apa yang engkau cintai untuk dirimu, niscaya engkau menjadi orang muslim. Janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tertawa itu mematikan hati”. Lihat Abī ‘Isā Muhammad bin Saurah al- Tirmizī, Jāmi’ al-Tirmizī, Bab Shalat, Hadis no 2305, (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyyah, t.t.), h. 381.

28

terkadang meninggalkan amal-amal perbuatan itu menyebabkan kekafiran,

misalnya meninggalkan tauhid dan rukun-rukun Islam atau sebagiannya

yang telah dijelaskan sebelumnya. Ini berbeda dengan pengerjaan hal-hal

haram yang tidak menyebabkan kekafiran dengan sendirinya.66

Keadaan orang yang lalai, yang tidak merasa lalai merupakan faktor

pertama pembawa kebinasaan, bahkan sebagai sebab kebinasaan didunia

dan diakhirat. Abu Hasan al-Zayyat berkata, “Demi Allah, saya tidak

peduli dengan banyaknya bid’ah dan kemungkaran. Namun, saya khawatir

jika hati terbiasa dengannya. Segala hal ini jika sering disaksikan akan

terasa dekat oleh jiwa dan jika terasa dekat dalam jiwa, niscaya jarang

sekali orang yang tidak terpengaruh dengannya”. Ibnu al-Jauzi

mendiagnosis penyakit ini dan berkata, “Di antara siksaan yang paling

besar adalah merasa sebagai sosok yang selamat dari neraka”. 67

Kedua, kelalaian dari apa yang menyelamatkannya dari azab Allah,

kelalaian dari hal-hal yang menyelamatkan.

Bagi seorang hamba, kelalaian adalah permulaan. Jika terus berpaling

dari Allah, maka Allah juga akan berpaling darinya. Allah swt adalah Dzat

yang tidak pernah lupa “Allah melupakan-Nya”68 yaitu Allah tidak akan

memperhatikan dan mempedulikannya.69

66 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, “Laksanakan Perintah, Jauhi Larangan, dan Jangan Banyak Bertanya,” diakses pada tanggal 11 November 2017, pukul 17:52 WIB dari https://almanhaj.or.id/3489-laksanakan-perintah-jauhi-larangan-dan-jangan-banyak-bertanya.html. Lihat juga : Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 89. 67 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 21-22. 68 Q.S. al-Taubāh [9]: 67 ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۢ ۡ ّ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ٱلمَٰن فقُ ون وٱلمَٰن فَٰ ق ُت ب ع ُضُهم ّمن ب عض َ أيُمر ون بٱلم نكر وي ن ه و ن ع ن ٱلمعروف وي قب ُض ون أ يدي ُه م ن سوا َٱّلل ف ن سي ُه م إ َن ٱلمَٰن فق ني ُ ۡ ُ ُ ُ ُ ُ ُ َٰ ُهُم ٱل فسُق ون “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma´ruf dan mereka

29

Apabila kita melakukan dosa, bersegera untuk memohon ampunan-

Nya, diikuti dengan keinginan kuat untuk meninggalkan perbuatan dosa

sehingga tidak menjadi kebiasaan, niscaya Allah akan mengampuninya.70

Di antara bentuk ibadah atau ketaatan yang seringkali dilupakan dan

tidak mendapat perhatian adalah berpikir71 dan merenung.72

Ketiga, kelalaian dari modal hamba dan bekalnya di jalan, yaitu

kelalaian dari segi usia dan waktu.

Hak ini mengilhami Ibnu Habirah73 untuk menasehati nya Ibnu

al-Jauzi, dengan nasihat berikut ini:

“Sebenarnya waktu adalah harta termahal yang seharusnya kamu

pelihara dengan benar-benar. Namun saya lihat, waktu bagimu adalah

sesuatu yang paling mudah untuk sirna”. 74

menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik”. 69 Kerugian yang sangat besar jika Allah sudah tidak mau memperhatikan seseorang, tidak peduli lagi padanya. Bahkan Allah akan memberinya kawan, yaitu setan yang akan mengantarkannya menuju kesesatan seperti dalam firman-Nya surat al-Zukhruf [43]: 36. 70 Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Busr ra. Rasulullah saw. bersabda, “tūbā liman wajada fī sahīfatihi istighfārān katsīrān”, (“Sungguh beruntung orang yang nantinya mendapati buku catatan amalnya penuh dengan istighfar”). Lihat Abi Abdullah Muhammad bin Yazīd bin Ibnu Mājah al-Qazūnī, Sunan Ibnu Mājah, Jil. 2 (Riyādh: Dār Ihya al- Kutub al-Arabiyyah, t.t.), h. 1452. 71 Menurut Yūsuf Qardhāwī lima objek tafakkur yang terangkum dalam al-Qur’an ada lima yaitu, Pertama, berpikir tentang alam semesta seperti dalam surat al-Imrān [3]: 191. Kedua, berpikir tentang perubahan zaman dan silih bergantinya kaum, yang banyak menceritakan kisah- kisah terdahulu dijadikan sebagai sumber ilham untuk mendapatkan petunjuk dan nasihat sebagaimana disebutkan dalam surat al-A’rāf [7]: 176. Ketiga, berpikir tentang ayat-ayat tanzīliyah (wahyu) dalam surat al-Baqarah [2]: 66. Keempat, berpikir secara total ayat yang mendorong untuk berpikir surat Saba’ [34]: 46. Kelima, al-Qur’an, objek berpikir yang sangat luas tidak diketahui wujudnya dan ini tidak mungkin dipikirkan seperti dalam surat Yāsin [36]: 36. Lihat Yūsuf Qardhāwī, Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Penerjemah Abdul Hayyie al- Kattani, Salim dan Sochimien MH (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 42-47. 72 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 89. 73 Beliau seorang penulis buku yang berjudul al-Ifshāh, merupakan orang yang paling agung dan paling zuhud dalam sejarah Islam. Tokoh yang menjabat menteri pada masa pemerintahan al- Mustanjid dinasti Abbasiyah ini menganut akidah salaf, bermazhab Hambali, dan ahli hadis. ‘Aidh ibn Abdullah al-Qarni, Yakinlah, Dosa Pasti Diampuni: Sepuluh Amalan Pelebur Dosa, Penerjemah Ibnu Junaidi A. (Jakarta: Qisthi Press, t.t), h. 28. 74 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 160.

30

Para Ulama terdahulu sangat menghargai waktu, utamanya malam dan

waktu mulia lainnya. Meskipun umur dikatakan panjang namun sejatinya

pendek, seharusnya memanfaatkannya secara optimal dengan banyak

melakukan amal-amal kesalehan yang diridhai Allah swt. Menghargai

waktu, agar bisa diisi dengan hal-hal yang bermanfaaat baik untuk diri

sendiri maupun orang lain.

Tanda waktu itu begitu berharga bagi seorang muslim karena kelak ia

akan ditanya, di mana waktu tersebut dihabiskan?

ٍ ال ت ُز ُول ق د ما عب د ي و م ال قي امة حََّت ي ُ سأ ل ع ن عُ م ره ف يما أ ف ن اه ُ و ع ن عل مه ف يما

ف ع ل و ع ن ماله م ن أ ي ن اكت سب هُ وف يما أ ن ف قه ُ و ع ن ج سمه ف يما أ ب ال ه ُ “Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya”. 75

Betapa banyak waktu yang hanya digunakan untuk bersenda gurau

hingga mereka lupa tugas utamanya. Mereka nanti akan menyesal ketika

kematian dan hari perhitungan amal telah tiba, sehigga ingin kembali di

dunia untuk dipanjangkan umurnya supaya bisa beramal sholih.76 Selain

itu juga banyak surat dalam al-Qur’an yang diberi nama-nama waktu

diantaranya surat al-Lail, al-Dhuhā, al-‘Asr dan al-Fajr.77

Beberapa tips supaya tidak membuang waktu secara percuma menuruti

bujuk rayu setan, yaitu dengan mengingat kematian “siapa yang tidak

disibukkan dengan hal-hal yang baik maka akan disibukkan dengan

75 Muhammad bin ‘Isa al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, bab. al-Thib, No. 2417, (Mesir: Mustofa al-Babi al-Halabi, 1977), h. 396. 76 Q.S. al-Mu’minūn [23]: 99-100. 77 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 164.

31

dengan kebatilan”.78 Selanjutnya menggunakan kesempatan dengan

sebaik-baiknya. Selalu berusaha membekali diri dengan dengan hal-hal

yang bermanfaat. Selalu waspada jangan sampai melakukan hal-hal yang

kurang berguna dan meninggalkan hal-hal yang sebenarnya penting.79

Keempat, kelalaian dari tujuan diciptakannya manusia, yaitu kelalaian

dari misi-misi agung.

Allah swt. menciptakan manusia dan menjadikan mereka sebagai

makhluk yang paling mulia. Penghargaan dan kemuliaan ini muncul

karena ada tugas dan misi agung yang diemban oleh manusia. Allah

berfirman dalam Surat al-Ahzāb [33] ayat 72 sebagai berikut

          

          “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.

Selain itu Allah juga menunjuk manusia sebagai khalifah pemakmur

bumi,80 tidak sepatutnya manusia melupakan apalagi sampai melalaikan

tugas tersebut.

Tujuan penciptaan manusia dijelaskan oleh Allah dengan tujuan

beribadah kepada-Nya, sebagaimana dicantumkan dalam surat:

78 Lihat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madarijus Salikin, Penerjemah Kathur Suhardi, Jil. 3, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 340. Nasehat seorang sufi kepada al-Syafi’i. Makna “waktu” disitu lebih khusus, yaitu sesuatu yang secara kebetulan mendatangkan kebenaran bagi mereka, bukan apa yang mereka pilih sendiri. Artinya, mereka menerima apa yang datang dari sisi Allah swt. tanpa memilih dan menentukannya 79 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 205. 80 Allah berfiman, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (Q.S. al-Baqarah [2]: 30).

32

   .    “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (Q.S. al-Dzāriyat [51]: 56).

Ayat di atas jelas menyebutkan tujuan diciptakan manusia adalah

untuk beribadah, hanya menyembah Allah semata. Ibnu Abbas berkata:

Semua penyebutan ibadah dalam al-Quran maknanya adalah tauhid.

Artinya, jika dalam al-Quran terdapat perintah untuk beribadah kepada

Allah, maksudnya adalah tauhidkan Allah atau sembahlah (beribadahlah)

hanya kepada Allah. Karena itu, makna ayat ini adalah: Tidaklah Aku

ciptakan Jin dan Manusia kecuali agar mereka beribadah hanya kepadaKu.

Ibadah adalah penghambaan. Segala macam perbuatan atau ucapan yang

dicintai dan diridhai oleh Allah adalah ibadah. Termasuk juga amalan hati

seperti cinta kepada Allah, tunduk; menghinakan dan merendahkan diri,

takut, berharap, tawakkal, semuanya adalah ibadah.81

Sebenarnya dunia adalah sekedar jalan menuju akhirat. Namun,

terkadang manusia menganggap dunia sebagai terminal terakhir kehidupan

ini. Terkadang mereka lupa, bahwa perjalanan masih panjang, yakni

kehidupan setelah di akhirat.82

Kelima, kelalaian dari kondisi Islam dan dakwah kepada Islam.

Seorang muslim harus selalu waspada dari ancaman-ancaman eksternal

yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. Allah swt. Berfirman:

81 Imam al-Qurtūbi, Al-Jami’ li Ahkām al-Qur’an, Penerjemah Muhyiddin Mas Rida dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 193. 82 Terkait hal tersebut, banyak dari sebagian manusia yang terkecoh dengan kehidupan dunia. Banyak terbujuk rayuan setan hingga menggadaikan agama demi tercapai tujuan duniawinya. Dunia adalah tempat persinggahan sementara. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi, Ibnu Mājah dan Ahmad melalui Ibnu Mas’ud ra. Berkata, “Apa perluku dengan dunia. Keberadaanku di dunia ini seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon kemudian ia pergi meninggalkan pohon tersebut”. Lihat Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 220.

33

          ..

.. 

“..Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus..”83

Al-Qur’an menganggap bahwa lalai terhadap tanggung jawab dan

tidak peduli terhadap konflik yang sedang terjadi sebagai kelalaian yang

nyata. Hal ini sangat logis karena kelalaian tersebut memberi kesempatan

kepada kaum kafir untuk melancarkan serangan bersama-sama kepada

umat islam dengan berbagai macam cara sekaligus. Firman Allah swt,

“Mailatan wahidah”, (sekaligus: bersama-sama) menunjukkan bahwa

kaum kafir selalu bersatu untuk mengahancurkan Islam.

Kewajiban dakwah (amar ma'ruf nahi mungkar)84 bukan hanya

tanggung jawab alim ulama, tetapi yang dituju oleh Allah swt. di dalam al-

Qur’an adalah secara umum mutlak kepada setiap umat Muhammad saw.85

83 Penggalan ayat al-Qur’an surat al-Nisā [4]: 102. 84 Dalil menyuruh untuk amar ma’ruf nahi mungkar tercantum dalam al-Quran pada surat al- Imrān [3]: 104, 110, al-Nisa’ [4]: 114, al-Mā’idah [5]: 78-79, al-A’rāf [7]: 165, al-Anfāl [8]: 25 dan sebagainya.

ٍ َ َ 85 ع ن أ يب سعي د ال ُخ در ّي رض يهللاُ عن هُ ؛ ق ال: َس ع ُت ر ُس و ل هللا ص ى لهللاُ عل ي ه و سل م ي ُق وُل : » م ن رأ ى من ُك م ُمن ك را ف ل يُ غ ّ ّيهُ ». بي ده ، ف إ ن َل ي ست ط ع ف بل سانه ، ف إ ن ل م ي ست ط ع ف ب قل به ، وذ ل ك أ ضع ُف ا إلي م ان

Dari Abu Sa’îd al-Khudri ra, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. Bersabda: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaannya); jika ia tidak mampu, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman”. (HR. Muslim, Tirmizi dll). Hadits di atas menunjukkan kewajiban mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan. Pengingkaran terhadap kemungkaran hukumnya wajib, karena orang yang hatinya tidak mengingkari kemungkaran, menunjukkan iman telah hilang dari hatinya. Lihat Ibnu Rajab, Panduan Ilmu dan Hikmah Syarah Lengkap al-Arba’in al-Nawawiyyah, Penerjemah Fadhli Bahri (Jakarta: Darul Falah, t.t.), h. 245.

34

Adapun cara berdakwah menggunakan metode yang dicontohkan oleh

Rasulullah86 saw. disampaikan dengan cara yang hikmah, mau’idzah

hasanah, dan mendebat dengan cara yang terbaik.

2. Fakta unik lupa dan ingat:

Pertama, diskursus al-Qur’an, yang pada mulanya diucapkan dan

digunakan sebagai diskursus lisan (oral), kini menjadi sebuah teks.

Dengan kata lain, al-Quran turun dengan format audio (dihafal dan dicatat

agar tidak lupa).87 Pencatatan wahyu ditulis oleh beberapa sahabat yang

telah ditetapkan sebagai sekretaris pencatat wahyu. Pada saat pertama

alqur’an turun, bangsa Arab pada umumnya masih dalam keadaan tuna

aksara, hanya belasan orang yang memunyai kepandaian tulis baca,

sehingga dianjurkan untuk menghafal dan dibaca terutama pada waktu

melaksanakan shalat.88

Kedua, wahyu pertama permulaan surat al-‘Alaq, yang terjemahannya,

”Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan! Menciptakan

manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan, Tuhanmu Maha Pemurah.

Yang mengajar menulis dengan kalam. Mengajar manusia apa yang tidak

diketahuinya.” Bagi bangsa Arab, dalam kondisi lalai seperti itu, kehadiran

ayat-ayat al-Qur’an ini adalah seperti sebuah bom, dan bagi kaum

muslimin, wahyu permulaan ini mengisyaratkan tentang kewajiban

membaca dan menulis yang merupakan suatu hal yang dominasi tempat

86 Sebagaimana metode dakwah Rasul yang mengacu pada anjuran Allah yaitu “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. al-Nahl [16]: 25). 87 Susmihara & Rahmat, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Penerbit Ombak, 2013), h. 65. 88 Susmihara & Rahmat, Sejarah Islam Klasik , h. 69.

35

tertua dalam literasi hokum islam. “Keanehan” yang mungkin dapat

ditemukan, adalah tentang Nabi yang ummi (Q.S. al-A’rāf [7]: 157-158),

di mana di dalamnya terkandung fatwa pertama yang ditujukan kepada

umatnya, yang menegaskan agar umatnya tidak boleh menjadi orang

bodoh, dan hal itu hanya dapat dilakukan dengan belajar membaca dan

menulis.

Ketiga, seni membaca dan menulis terlihat dari kebijakan Rasulullah

saw. terhadap tawanan perang, dimana bagi tawanan perang yang miskin

tetapi enggan masuk islam dan tidak kuat membayar tebusan, masing-

masing diwajibkan untuk mengajari sepuluh anak muda Madinah

membaca dan menulis.89

B. Pembagian Lalai dari segi Pelakunya

Di dalam al-Qur’an lalai/lupa disebutkan menjadi 2 diantaranya adalah

sebagai berikut:

1. Lupa yang disengaja, seperti halnya kesengajaan manusia yang melupakan

ayat-ayat Allah swt. seperti dalam beberapa surat yaitu Q.S. Yāsīn [36]:

78, Q.S. al-Māidah [5]: 13-14. Surat al-A’rāf [7]: 51, yang menyebutkan

bahwa manusia yang melupakan pertemuan dengan hari kiamat, dan Allah

akan melupakan mereka dan diberinya siksa sebagai suatu

pengkhianatan, al-Ihānah90.

89 Susmihara & Rahmat, Sejarah Islam Klasik , h. 306-307.

90 Secara bahasa berarti “menghinakannya”. Berarti penghinaan luar biasa yang ditimpakan kepada pendurhaka sebagai balasan terhadap perbuatannya. Lihat juga: Ahmad Warson al- Munawwir, Kamus Munawwir, h. 1520.

36

2. Lupa yang benar-benar tidak disengaja91, seperti halnya do’a nabi dalam

surat al-Baqarah [2]: 28.

Term lupa juga banyak disebutkan oleh hadis-hadis Rasulullah saw.

terutama dalam rangka menunjukan bahwa sifat ini merupakan bagian dari

tabiat dasar manusia.

Hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

حدثن ا ُم عاذ بن ف ضالة : حدثن ا ه شامُ بن أيب ع ب د َ اّلل َالد ست واي، عن ي ي ٍ بن أ يب كث ،ّي عن أيب سل م ،ة عن أيب ُه ر ير ة، قال: رسول هللا: إ ذ ا نُود ى

ِبأل ذ ان أ دب ر الشَي ط ُان ل هُ ُض ر اط حََّت ال ي س م ع األ ذ ان ف إذ ا ق ُض ى األ ذ ُان

أ ق ب ل ف إذ ا ث ُّو ب هب ا أ دب ر ف إذ ا قُض ى التَ ث و ُيب أ ق ب ل َي طُُر ب ني ال م رء ون فسه

ي ُق ُول اذ ُك ر ك ذا اذ ُك ر ك ذا. ل ام َل ي ُك ن ي ذُك ُر حََّت ي ظ َل َالرُجل ُ إ ن ي درى ك م َ َ صلى ف إ اذ َل ي در أ ح ُدُك م ك م صلى ف ل ي س ُج د س ج د ت ني وُه و جال س “Apabila adzan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar adzan tersebut. Apabila adzan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqomah, setan pun berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, “Ingatlah demikian, ingatlah demikian untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” 92

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah memberi maaf kepada umatku terhadap hal-hal (kesalahan) yang mereka lakukan karena tidak sengaja, terlupa, maupun terpaksa.” (H.R. Ibnu Majah).93

91 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 715-716. Pembahasan lebih lanjut akan dijelaskan pada bab III. 92 Abī ‘Abdullah Muhammad bin Ismā’il bin Ibrāhīm al-Ju’fi al-Bukhārī, Shahīh Bukhāri, hadis no 1231 (Maktabah al-Rusyd, 2006), h. 166. Lihat juga: Imām Abī al-Husain Muslim bin al- Hajjāj al-Qusyairī an-Naisābūrī, Shahīh Muslim, hadis no 389 (Beirut: Dār al-Kutūb al- ‘Alamiyyah), h. 291. 93 Abi Abdullah Muhammad bin Yazīd bin Ibnu Mājah al-Qazūnī, Sunan Ibnu Mājah, Bab Thālaq, hadis no 2043 dan 2045, (Riyādh: Bait al-Afkār, t.t.), h. 221.

37

Al-Qur’an menyebutkan lupa dalam berbagai ayat. Lupa menggunakan

term nisyān mempunyai pengertian berbeda, yang secara garis besarnya

sebagai berikut:

1. Lupa yang menimpa pikiran mengenai berbagai peristiwa, nama-nama

orang dan berbagai informasi yang pernah diperoleh seseorang

sebelumnya. Lupa seperti ini adalah hal biasa (normal) yang menimpa

seseorang akibat bertumpuknya berbagai informasi. Para psikolog

menyimpulkan bahwa jenis lupa ini akibat interferensi94 informasi.

Interferensi ada dua yakni, interferensi retroaktif95 dan interferensi

proaktif96. Al-Qur’an mengisyaratkan jenis lupa ini dalam firman Allah

swt:

   .. “Kami akan membacakan (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa”. (Q.S. al-A’lā [87]: 6).

2. Lupa mengandung arti lalai (as-sahw). Misalnya, orang lupa sesuatu

disuatu tempat, atau seseorang ingin berbicara tentang berbagai hal, tetapi

yang dibicarakan hanya sebagian karena terlupa. Contohnya kisah al-

Qur’an tentang murid Musa. as:

94 Interferensi yaitu gangguan atau campur tangan. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 542. 95 Interferensi retroaktif terjadi bila ingatan kita tentang materi-materi yang telah kita pelajari menjadi lemah karena kita mempelajari materi-materi baru. Lihat juga: Frank J. Bruno & Kegan Paul, Kamus Istilah Psikologi, Penerjemah Cecilia G. Samekto dkk (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 198. 96 Interferensi proaktif timbul akibat terpengaruhnya ingatan kita tentang materi yang baru dipelajari, oleh kebiasaan, aktivitas dan informasi yang sudah terlebih dahulu dipelajari. Sebab, banyaknya informasi dan aktivitas yang sudah ada sebelumnya, menyebabkan kita sulit untuk mengingat materi yang baru dipelajari. Lihat juga: Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al- Qur’an, h. 266 dan Mario Purjono, “Teori-teori Kelupaan”, Buletin Psikologi, Volume 16, no. 2 (t.t.): h. 90-91.

38

             

        Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali" (Q.S. al-Kahf [18]: 63).

Jenis lupa ini bisa di interpretasikan sebagai akibat hambatan (interferensi)

proaktif.

3. Lupa dengan arti hilangnya perhatian terhadap sesuatu hal. Misalnya

firman Allah swt:

          

          

  “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma´ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik”. (Q.S. al-Taubah [9]: 67).

Yang dimaksud “mereka telah lupa kepada Allah” adalah bahwa

mereka meninggalkan ketaatan kepada-Nya, karena hilangnya perhatian

mereka untuk mematuhi perintah-perintah-Nya. Sedang pengertian “maka

Allah melupakan mereka ialah bahwa Allah menjauhkan karunia-Nya dari

mereka, dan meninggalkan mereka.97

97 Terkait hal tersebut Allah berfiman dalam surat al-Zukhruf [43]: 36 yaitu barang siapa yang berpaling dari mengingat Allah swt. perintah-perintah, hukum-hukum al-Qur’an dan tidak beramal dengannya, maka setan akan menjadi teman baginya. Imam Ali as. sehubungan dengan tafsir ayat ini berkata, “Barang siapa yang terkontaminasi dengan dosa maka ia akan berpaling dari Tuhan. Dan barang siapa yang tidak mematuhi orang yang diperintahkan Allah untuk dipatuhi maka akan setan akan ditentukan baginya yang akan senantiasa menyertainya.

39

            “Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat”. (Q.S. Ṭāhā [20]: 115)

Artinya bahwa hati Adam telah “lemah untuk melaksanakan perjanjian

dengan Allah, karena Adam telah lupa pada larangan Allah swt. lalu setan

menggodanya dan menjerumuskan dalam kesalahan.98

Kesimpulanya, lalai yaitu ketika lupa karena kurangnya kesadaran

yang menyebabkan seseorang berada dalam kondisi lalai.

C. Faktor-faktor kelalaian

Sikap lalai merupakan suatu perlakuan yang salah terhadap segenap

potensi dan energi yang ada. Tentunya, sikap seperti itu sama sekali tidak

memberikan manfaat bagi pelakunya, akan tetapi membahayakan dan

membinasakan.99 Al-Qur’an al-Karim menegaskan bahwa rusaknya

kecenderungan seperti ini dinamakan sebagai sikap kelalaian.100 Terkadang

pengalaman kehidupan yang telah tersimpan dengan baik di dalam memori

terkadang mengalami kegagalan dalam memunculkan kembali rekaman masa

98 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al-Qur’an, h. 166-167. 99 Termasuk dalam tujuh perkara yang membinasakan yaitu hadis dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi saw. bersabda: “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan!” yaitu “Syirik kepada Alah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan sebab yang dibenarkan oleh (syariat), memakan harta riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran, dan menuduh zina wanita beriman yang menjaga kehormatannya”. (H.R. Bukhari dan Muslim). Lihat juga: Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al- Mughirah al-Bukhari al-Ju’fi, Sahih Bukhāri, Bab al-Syirkah, Hadis no 2766, (Riyadh: Bait al- Afkar al-Dauliyyah, t.t.), h. 677. Dan Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, Bab Iman, Hadis no 89/164, (Riyadh: Bait al- Afkar al-Dauliyyah, t.t.), h. 66. 100 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an, h. 9.

40

lalu itu dengan baik, hal ini disebabkan banyak faktor.101 Diantaranya sebagai

berikut:

Kelupaan terjadi karena faktor Fisiologis (disfungsi memori), yaitu proses

kimiawi, proses penuaan, atau proses degenerasi sel otak dan saraf.

Macamnya:

1. Amnesia retrogad: lupa pada informasi-informasi yang telah lalu.

Misalnya lupa pada nama sendiri, orang-orang terdekat dan alamat rumah.

2. Amnesia anterograde: lupa pada informasi yang baru saja masuk.

Misalnya lupa bahwa tadi baru saja makan.

3. Penyakit Alzheimer: lupa karena kerusakan sel otak secara progresif akibat

kekuarangan neurotransmitter asetilkolin.

4. Sindrom Korsakoff: lupa karena minum alkohol dalam jangka waktu lama

sehingga kekurangan vitamin B1.102

Selain faktor fisiologis beberapa faktor lain yang mempengaruhi yaitu:

Pertama, mencintai dunia secara berlebihan, al-Qur’an memandang salah

satu faktor penyebab manusia lalai adalah cinta dunia dan menaruh perhatian

secara ekstrem pada dunia. Al-Qur’an menyatakan dalam surat Yūnus [10]:

7.103

Kedua, dominasi setan, salah satu faktor yang menyebabkan manusia lalai

adalah dominasi setan atas manusia. Salah satu perbuatan yang dilakukan

101 Wahyudi Setiawan. “Al-Qur’an tentang Lupa, Tidur, Mimpi dan Kematian”. al-Murabbi, Vol. 2, no. 2 (Januari 2016), h. 255. 102 Husamah, A to Z Kamus Psikologi Super Lengkap (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2015). h. 229. 103 Imam Baqir menyampaikan kepada Jabir, “Wahai Jabir! Tidak sepantasnya bagi orang beriman bersandar dan sibuk dengan urusan dunia. Ketahuilah anak-anak (dan orang-orang yang bergantung pada) dunia adalah orang-orang lalai”. Lihat juga HM. Abd. Salam al-Bugisi, “Menjaga Setan (Lalai) dan Solusinya,” artikel diakses pada 22 November 2017, pukul 01:49 WIB dari http://kajiankhazanah.blogspot.co.id/2017/09/lalai-dan-solusinya.html

41

setan adalah membuat manusia lupa akan Tuhan dan menjadikannya lalai

terdapat dalam al-Qur’an surat al-Mujādilah [58]: 19.

Ketiga, menuruti hawa nafsu, Allah swt. terkait dengan orang-orang lalai

dan mengikuti hawa nafsu, tercantum dalam al-Qur’an surat al-Kahf [18]: 28.

Keempat, panjang angan-angan,104 faktor lainnya yang membuat manusia

lalai adalah panjang angan-angan, karena panjang angan-angan yang membuat

pikiran dan hati manusia sibuk memikirkan bagaimana mencapai angan-angan

tersebut sehingga ia lalai memikirkan yang lain.105

Selain beberapa faktor diatas, kelalaian bisa terjadi karena perilaku yang

tidak sadar akibat dari faktor-faktor sebelumnya. Misalnya, banyak dosa,

terbiasa melakukan kemaksiatan, rusaknya lingkungan dan berteman dengan

orang-orang lalai. Semua hal ini bisa membuat seseorang lalai, yang dapat

mengantarkannya menjadi tidak merasakan lalai yang terjadi pada agama dan

dunianya.

Ada kesengajaan dari pelaku, yakni sengaja lalai dan memilih untuk lalai

dengan sadar. Hal ini ia lakukan karena berdzikir dan terjaga itu asing bagi

kebiasaan jiwanya yang sakit serta berkuasanya hawa nafsu yang buta. Seperti

104 Dengan kata lain tulul ‘amal yaitu harapan terhadap suatu hal yang berkaitan dengan kehidupan di dunia, seperti angan-angan untuk menjadi orang yang terkenal, angan-angan supaya menjadi orang yang kaya atau khayalan yang lain yang berkisar tentang dunia yang menyebabkan tidak sempat untuk memikirkan azab Allah swt. 105 Imam Ali as. dalam hal ini bersabda, “Ketauhilah sesungguhnya angan-angan akan membuat hati lalai. Menampakkan janji-janji (yang benar) itu sebagai dusta dan memperbanyak lalai.” Hadis serupa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Rasulullah saw. bersabda kepada Abdullah bin Umar: “Jika kamu sedang berada pada pagi hari, janganlah kamu berbicara kepada dirimu sendiri tentang petang hari nanti. Jika kamu sedang berada pada petang hari, janganlah kamu berbicara pada dirimu sendiri tentang pagi hari. Jadikan hidupmu sebagai modal untuk menghadapi kematianmu, dan jadikan sehatmu sebagai modal untuk menghadapi sakitmu. Sesungguhnya kamu, wahai Abdullah, besok sudah tidak tahu siapa namamu.”

42

orang yang mabuk yang tak ingin sadar dari mabuknya, ia tak memikirkan apapun.

Kelalaian bisa pula terjadi karena direncanakan pihak lain, yang ditunjukkan untuk mengamankan ketundukannya kepada pihak lain itu atau untuk mendapatkan sesuatu yang tidak mungkin didapatkan jika pihak yang lalai itu tersadar. Ini adalah yang dinamakan dengan proses pelalaian.

Contohnya, seperti tindakan setan yang melalaikan manusia sehingga manusia berjalan di belakang setan itu bagai kucing buta. Juga seperti tindakan musuh- musuh Islam yang sengaja membuat kaum muslimin lalai terhadap kondisi kekiniannya serta masa lalunya untuk menjamin ketundukan kaum muslimin terhadapnya dan mengambil kekayaannya.106

Adapun ciri-ciri manusia yang memiliki sifat lalai,107 adalah sebagai berikut: a. Orang yang tidak mengetahui kondisi hatinya, apakah sakit atau sehat,

adalah orang lalai; b. Orang yang tidak hati-hati terhadap tipu daya setan adalah orang lalai; c. Orang yang tidak mengetahui jalan keselamatan adalah orang lalai; d. Orang yang menyia-nyiakan usianya secara tidak berguna adalah orang

lalai; e. Orang yang tidak mau mencapai hal-hal yang tinggi dan senang perkara

yang rendah adalah orang lalai; f. Orang yang tidak memperhatikan rencana musuh terhadap umatnya

adalah orang lalai;

106 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai, h. 3. 107 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat Untuk Orang-orang Lalai. h. 5.

43

D. Langkah-langkah Menghindari Lalai

Setelah mengetahui beberapa faktor yang menyebabkan kelalaian, kita

harus tahu langkah-langkah apa saja ditinjau dari pakar psikologi dan pakar

agama agar terhindar dari sifat ini.

Zakiah Darajat dalam bukunya Psikoterapi Islami menganjurkan beberapa

cara untuk menanggulangi masalah lupa108, diantaranya: Pertama, istirahat

dan tidak berusaha mengingat sesuatu yang dirasakan perlu diingat itu,

misalnya meninggalkan saja objek tersebut dalam waktu tertentu. Kedua,

menimbulkan ingatan dengan cara mendatangi tempat terjadinya peristiwa,

misalnya membawa saksi ke tempat terjadinya kejahatan, agar dapat

merangsang ingatannya kepada peristiwa kejadian yang telah terjadi itu.

Ketiga, memusatkan perhatian pada titik tertentu di kaca untuk menimbulkan

kembali pengalamannya di masa lalu/ boleh jadi gambaran yang terbayang

olehnya tidak jelas, samar-samar dan sebagainya, namun dapat mengarah

kepada bagian dari pengalaman yang terjadi dulu, di mana bagian-bagian

tertentu dari pegalaman tersebut telah terlupakan.

Psikoterapis Islami, menangani masalah lupa dan lalai dari sudut pandang

yang lebih luas. Dan manusia dipandang sebagai keseluruhan dan tidak

terpusat pada ingatan, hafalan atau kesadaran saja, akan tetapi mereka

memandangnya dari aspek kejiwaan manusia dalam keadaan lalai dan jaga.

Psikologi Islami berpendapat bahwa lalai merupakan tempat masuknya lupa

ke dalam kebenaran dan ia menjadi sumber bagi sifat keakuan, kejahatan dan

kesesatan hati. Apabila manusia lama terlena oleh lalai, maka datanglah

108 Zakiah Darajat, Psikoterapi Islami, h. 45.

44

kemunafikan, dusta, kebatilan dan setan. Akibat lalai adalah khianat dan

tunduk hawa nafsu.

Firman Allah swt. dalam surat al-Mujādilah [58]: 19

            

     “Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka Itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi.” Q.S. al- Mujādilah [58]: 19.

Cara yang terbaik untuk mengobati lupa dan lalai itu adalah tobat109

kepada Allah swt.

Orang yang dekat dengan Tuhannya akan senantiasa ingat kepada-Nya.

Kemampuan ingatannya senantiasa sempurna, selalu hadir dan tetap siap. Ia

tidak melupakan sesuatu dan dalam perasaannya tidak pernah ada sesuatu

yang hilang karena ia senantiasa berada didalam lingkaran cahaya Ilahi,

sedangkan orang jauh dari Tuhannya, ia dimasukkan ke dalam lingkaran gelap

dan dibuat-Nya menjadi pelupa.110 Mengenai hal itu Allah telah menegaskan

di dalam firman-Nya:

            “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik”. (Q.S. al-Ḥasyr [59]: 19).

109 Menurut Ibnu Manẕur tobat memiliki arti kembali, kembali pada Allah swt. atau pulang dengan mendapatkan, ampunan dari-Nya. Menurut Imam al-Kalbi tobat yaitu istighfar dengan mulut, penyesalan dengan hati, meninggalkan dosa dengan anggota badan, serta bertekad tidak kembali berbuat dosa. Imam Ghazali menjelaskan bahwa tobat yaitu perilaku meninggalkan seketika perbuatan dosa, meninggalkannya untuk masa yang akan datang, menggantinya dengan menjalankan amal saleh. Adapun menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah tobat yakni meninggalkan sesuatu yang dibenci Allah swt. baik lahir maupun batin. Ibnu Manẕur Lisan al-Arab, h. 454. Lihat juga: Mohammad Abdul Kholiq Hasan, The Power of Tobat (Solo: Tiga Serangkai, 2009), h. 4-5. 110 Mustafa Mahmud, Menangkap Isyarat al-Qur’an, h. 48.

45

Mereka itu adalah orang-orang yang berjungkir balik di dalam kesesatan,

kelupaan, kebingungan dan kelengahan, karena manusia itu adalah makhluk

yang sering lupa dan lalai, maka Rasulullah saw. telah memerintahkan

umatnya untuk selalu membaca dan mempelajari al-Qur’an agar ia tidak

terpisah dari golongan orang yang membawa dan membaca al-Qur’an.

Untuk mengatasi lupa yang timbul akibat lalai hati kepada Allah, hanya

dapat dilakukan dengan mengingat Allah (zikrullah111) secara terus-menerus,

ingat kepada nikmat dan karunia-Nya, ingat kepada tanda-tanda kekuasaan-

Nya dan ingat kepada alam akhirat dan hari perhitungan.112 Tentang

pentingnya ingat kepada Allah dalam mengatasi lupa, al-Qur’an menyebutkan

dengan jelas firman Allah swt:

         .      

   “kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah". Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini" (Q.S. al-Kahf [18]: 24).

Bahkan al-Qur’an memuji orang-orang beriman yang selalu ingat kepada

Allah, dengan memberi mereka sebutan sebagai orang-orang yang berakal (ulul

al-bāb), merekalah yang berpikir dan mengingat113 sebagaimana firman-Nya:

111 Kata al-dzikr dengan beberapa bentuknya menurut Munawwir bermakna menyebut, menjaga, mengerti, mengingat-ingat, mempelajari, menghafalkan, peringatan. Secara harfiah, kata al-dzikr memiliki makna sebuah proses atau perilaku jiwa yang memungkinkan manusia untuk menghafal atau menjaga pengetahuan yang diperolehnya atau bermakna menghadirkan sesuatu pada hati atau lisan. Dalam makna sempit, al-dzikr dimaksudkan untuk menyebut nama Allah swt. secara berulang-ulang agar selalu ingat kepada-Nya (al-Baqarah [2]: 152). Lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 448. Lihat juga: Al-Rāgib al-Asfahānī, Mu‘jam Mufrodāt li Alfāz al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-Maktab, 1998), h. 181. 112 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al-Qur’an, h. 169. 113 Dalam buku Yūsuf Qardhāwī yang berjudul Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Imam al-Gazālī berkata, “Setiap orang yang berpikir adalah ber tadzakkur dan tiap orang yang ber tadzakkur itu berpikir. Manfaat bertadzakkur adalah mengulang kembali

46

           

          

             “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil /berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. al-‘Imrān [3]: 190- 191).

Oleh karena itu mengingat Allah merupakan cara untuk mengatasi lupa dan

lalai, Allah swt. memerintahkan kita untuk banyak mengingat-Nya, siang dan

malam, serta pagi dan sore:

            “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang”. (Q.S. al-Aḥzāb [33]: 41-42).

Dengan senantiasa ingat kepada Allah swt, maka Dia akan selalu hadir di

dalam hati manusia, dan tidak pernah melupakan sekejap pun. Pengulangan

dalam mengingat Allah swt. akan membentuk suatu kebiasaan pada diri

seseorang untuk mengingat dan mensucikan-Nya. Dan kebiasaan itu kemudian

akan terefleksi dalam tingkah lakunya, karena Allah senantiasa hadir dalam

hatinya. Keadaan seperti inilah yang ingin dicapai oleh para sufi, melalui

latihan dan riyadah rohani yang mereka lakukan berulang-ulang.114

pengetahuan yang telah didapatkan di dalam hati dan mengingat kembali apa yang dilupakan dan dilalaikan sehingga teringat kuat dalam hati dan tidak terhapus. Di samping itu, manfaat berpikir adalah memperbanyak ilmu pengetahuan dan mencari pengetahuan yang belum dikuasai. Inilah perbedaan antara tadzakkur dan tafakur” Lihat Yūsuf Qardhāwī, Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, h. 71-72. 114 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al-Qur’an, h. 170.

47

Dengan munculnya lupa dalam memori kita sebenarnya ada hikmah yang

bisa ditangkap dalam kehidupan ini. Lupa sebagai pengingat kita untuk

senantiasa tawaḍū’ dan bersikap santun dalam kehidupan bahwa kita adalah

makhluk yang lemah, yang senatiasa membutuhkan pertolongan Tuhan untuk

melaksanakan segala aktivitas kehidupan kita.115

Dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi jenis lupa nisyān dan sahwun

bisa dilakukan dengan cara mengingat berbagai informasi yang terlupakan itu

secara berulang-ulang. Yakni dengan mempelajari dan mengingatnya berkali-

kali. Dan ini merupakan cara yang telah dicapai oleh penelitian para psikolog

modern.116 Imam Ibnu Qoyim menjelaskan: "Sesuai dengan kadar kelalaian

seorang hamba dari berdzikir sejauh itu pula dirinya semakin jauh dari Allah

azza wa jalla".117 Dzikir juga memiliki beberapa faedah, diantaranya:

1. Mampu mengusir setan dari rumah;

2. Menjaga manusia dari godaan setan;

3. Menghilangkan kesusahan dan kesedihan dari hati;

4. Mendatangkan ketentraman, diselimuti rahmat dan dikelilingi para

malaikat;

5. Mendapatkan naungan Allah swt. di hari akhir;

6. Dzikir adalah bibit tanaman surga;

7. Menghidupkan hati;

8. Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang berdzikir;

115 Wahyudi Setiawan. “Al-Qur’an tentang Lupa, Tidur, Mimpi dan Kematian”. Al-Murabbi, Vol. 2, No. 2. (Januari 2016): h. 256. 116 Muhammad Usman Najati, Al-Qur’an & Psikologi, h. 169-170. 117 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Meningkatkan Dzikir & Amal Shalih, Penerjemah Hawin Murtadlo (T.tp.: al-Qowam, t.t.), h. 95.

48

9. Dzikir menjadikan doa dikabulkan.118

Bahwa siapa pun orangnya yang ingin selamat dari sifat lalai ini maka hendaknya menjauhi faktor-faktor yang tadi penulis sebutkan, kemudian perbanyak dzikir kepada Allah swt.

118 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Meningkatkan Dzikir & Amal Shalih, h. 69.

BAB III

TERM LALAI DALAM AL-QUR’AN

Ada beberapa pengungkapan kata lupa/lalai di dalam al-Qur’an diantaranya

Dzahlān, Nisyān, Ghaflah dan Sahwun sebagai berikut:

A. Dzahlān

Dalam Mu’jam al-Mufahras Li Alfāz al-Qur’an al-Karim term dzahlān dan kata-kata yang seasal dengan kata tersebut disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak satu kali119 yaitu dalam surat al-Ḥajj [22]: 2 sebagai berikut:

            

           “(Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya.”120

B. Nisyān

Secara bahasa, nisyān .نسي ينسي ـ نسيا Term nisyān berasal dari bahasa Arab artinya ‘lupa’ (tidak ingat).121 Dalam Lisan al-Arab, Ibnu Manẕur menyebutkan bahwa atau artinya banyak lupa atau pelupa.122 Menurut ن سي ن سي ا kamus al-Muhīth dan lafaz ketiga term tersebut النّ ساءُ، والنّ س وةُ، والنّ س و ُان النّ س وة ُ merupakan jama’ dari lafaz nisbahnya adalah . Lafaz yakni artinya الن سوة ن سوي ال راة ُ

meninggalkan perbuatan atau berarti seteguk air susu. (lupa) itu adalah النَس وة ُ النسي menjaga), hanya kepadanya ia melupakan. Lafaz) حفظة antonim dari lafaz artinya sesuatu yang ia lupakan.123

119 Muhammad Fūad ‘Abd al-Bāqī, Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Qur’ān al-Karīm, h. 277. 120 Surat al-Hajj (haji) surat ke-22 terdiri dari 78 ayat, termasuk dalam surat Madaniyyah. Ayat ini berkisah tentang seorang ibu yang biasanya memperhatikan anaknya, namun karena kesibukan akan guncangan sampai tidak memperhatikan lagi anaknya. Mereka tidak sadar, hatinya kosong dan penuh rasa kaget. Pada hari itu masing-masing sibuk dengan dirinya. 121 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 1416. 122 Ibnu Manẕur, Lisan al-Arab, h. 4416. 123 Muhammad bin Ya’qūb al-Fairūzābādī, Kamus al-Muhīth, h. 1338.

51

52

124 إ غ فال شيء meninggalkan dan ت رك شيء Kata nisyān juga berarti melalaikan.125 Menurut al-Asfahani, nisyān artinya ‘tertinggalnya manusia mengingat sesuatu diamanatkan kepadanya’ baik karena lemah hatinya 126 .atau disengaja sehingga hilang ingatan di hatinya غفلة ,maupun karena lalai Di dalam Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Qur’ān al-Karīm

kata nasiya dan kata-kata yang seasal dengan kata tersebut disebutkan dalam

al-Qur’an sebanyak 45 kali.127 Term nisyān terdapat empat puluh lima surat

dalam al-Qur’an yaitu surat Q.S. al-Kahf [18]: 57, Q.S. Tāhā [20]: 88, 115,

Q.S. Yāsīn [36]: 36: 78, dan Q.S. al-Zumar [39]: 8, Q.S. al -A’lā [87]: 6).

Berbentuk dalam Q.S. al-Māidah [5]: 13, 14, Q.S. al-An’ām [6]: 44, ن ُس وا Q.S. al-A’rāf [7]: 51, 65, Q.S. al-Taubah [9]: 67, Q.S. al-Furqān [25]: 18, Q.S. Sād [38]: 26, Q.S. al-Hasyr [59]: 19. Berbentuk Q.S. al-A’rāf [7]: 53, Q.S. ن ُس وه ُ

dalam Q.S. al-Kahf [18]: 61. Berbentuk ن س يا al-Mujādilah [58]: 6. Berbentuk dalam Q.S. al-Kahf [18]: 24, 63, 73. Berbentuk dalam Q.S. al-Sajdah ن س ي ت ُ م ن س ي ت [32]: 14, Q.S. al-Jātsiyah [45]: 34. Berbentuk dalam Q.S. Tāhā [20]: 126. ف ن س ي ت ه ا Berbentuk dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 286. Berbentuk dalam Q.S. al- ن س ي ن ُاك م ن س ي ن ا Sajdah [32]: 14. Berbentuk dalam Q.S. al-Taubah [9]: 67. Berbentuk ت ن س ف ن س ي ُه م dalam Q.S. al-Qasas [28]: 77. Berbentuk dalam Q.S. al-A’lā [87]: 6. ت ن س ي Berbentuk dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 237. Berbentuk dalam Q.S. al- ت ن س و ن ت ن س وا Baqarah [2]: 44, Q.S. al-An’am [6]: 41. Berbentuk dalam Q.S. al- ن ن س ُاك م Jāthiyah [45]: 34. Berbentuk dalam Q.S. al-A’rāf [7]: 51. dalam Q.S. ي ن س ي ن ن س ُاه م Tāhā [20]: 52. Berbentuk dalam Q.S. Tāhā [20]: 126. Berbentuk أ ن س ُوك م ت ُن س ي dalam Q.S. al-Mu’minūn {23]: 110. Berbentuk dalam Q.S. al-Kahf [18]: أ ن س ان يه ُ 63. dalam Q.S. Yūsuf [12]: 42. Berbentuk dalam Q.S. al-Mujādilah أ ن س ُاه م ف أ ن س اه ُ

124 Meninggalkan disini bermaksud meninggalkan karena kesibukan sehingga menyebabkan kelalaian atau meninggalkan dengan sengaja. 125 Lihat juga: Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Maqayis al-Lughah, h. 421. 126 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosakata, h. 715-716. 127 Muhammad Fūad ‘Abd al-Bāqī, Mu’jam al-Mufahras Li alfāẕ al-Qur’ān al-Karīm, h. 794.

53

[58]: 19, al-Hasyr [59]: 19. Berbentuk dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 106. ن ُن س ه ا Berbentuk dalam Q.S. al-An’am [6]: 68. Berbentuk dan dalam َم ن س ي ا ن س ي ا ي ُن س ي نَ ك .dalam Q.S. Maryam [19]: 64 نس ي ا Q.S. Maryam [19]: 23. Berbentuk

artinya ‘tertinggalnya manusia النسيان Menurut al-Asfahāni, al-nisyān mengingat sesuatu diamanatkan kepadanya’ baik karena lemah hatinya

atau disengaja sehingga hilang ingatan di غفلة maupun karena lupa, ghaflah hatinya128 terdapat dalam Q.S. Tāhā [20]: 115, Q.S. al-Sajdah [32]: 14, Q.S. al-Kahf [18]: 63, 73, Q.S. al-Mā’idah [5]: 14, Q.S. al-Zumar [39]: 8, Q.S. al- A’lā [87]: 6.

Al-Asfahāni menyebutkan bahwa kelupaan manusia, sepanjang tidak

disengaja atau karena khilaf, tidak dikenakan sanksi, namun apabila disengaja

maka balasan akan diberikan. Nisyān merupakan suatu keadaan yang berada di

luar kesanggupan manusia.

Hadis Hasan129 riwayat Ibnu Mājah dan al-Baihaqi yang menyatakan, “inna allaha tajāwaẕa lī ‘an ummatī al-khatā wa al-nisyāna wa māstukrihū ‘alaihi” (“Sesungguhnya Allah swt. memaafkan umatku karena aku (apa yang mereka lakukan tanpa ada kesengajaan, lupa dan apa yang mereka dipaksa untuk melakukannya”).130 Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan suatu larangan Allah atau meninggalkan sesuatu dari dari perintah Allah tanpa ada kesengajaan untuk melakukan larangan Allah atau meninggalkan perintah-Nya maka orang seperti ini tidak dicela di dunia dan tidak diazab di akhirat. Demikian pula orang yang melakukan hal-hal tadi karena lupa atau karena dipaksa. Ini dimaafkan oleh Allah sebagai nikmat dan karunia-Nya.131

128 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosakata, h. 715. 129 Al-Tirmizi menta’rifkan hadis hasan yaitu “hadis yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan hadis itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya. Hukum hadis hasan dapat diterima. Perbedaan hadis hasan dengan hadis sahih pada tingkat ke-ḏabiṯ-an rawi, yakni pada hadis hasan lebih rendah dibandingkan dengan hadis sahih. Lihat Mahmūd Tahan, Taisīr Musṯalah al-Hadīs (Jeddah: T.pn., 1985), h. 45. Lihat juga: Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 266-269. 130 Abi Abdullah Muhammad bin Yazīd bin Ibnu Mājah al-Qazūnī, Sunan Ibnu Mājah, Bab Thālaq, hadis no 2043 dan 2045, (Riyādh: Bait al-Afkār, t.t.), h. 221. 131 Muslim Abu Ishaq al-Atsari, “Tiga perkara yang Tidak Dicatat sebagai Dosa”, artikel diakses pada 20 November 2017, pukul 22.35 WIB dari https:/assalafiyahkebumen.wordpress.com/2011/01/24/tiga-perkara-yang-tidak-dicatat-sebagai- dosa/

54

Penggunaan term nisyān mempunyai beberapa makna disesuaikan dengan

konteks, objek ayat tersebut ditujukan sebagai mana berikut:

Nasiya yang digunakan untuk menggambarkan kesengajaan manusia melupakan ayat-ayat Allah dan melupakan segala sesuatu yang dikerjakan kedua tangannya terdapat Q.S. Tāhā [20]: 88, 115, Q.S. Yāsin [36]: 78 sebagai berikut;

            “Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, Maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat”. Q.S. Tāhā [20]: 88, 115

           

  “Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. Q.S. Yāsin [36]: 78.

Kelupaan yang di sengaja manusia melupakan pertemuan dengan hari kiamat, Allah akan melupakan mereka dan diberinya siksa sebagai suatu yang kekal disebutkan pada surat Q.S. al-A’raf اإلهانة penghinaan, al-ihānah [7]: 51, Q.S. al-Taubah [9]: 67, dan Q.S. al-Jatsiyah [45]: 34. Nasyān yang berarti ‘tidak berguna lagi dilupakan’ sehingga wajar

dilupakan, seperti kegelisahan Maryam ketika melahirkan Isa as tercantum

dalam al-Qur’an surat Maryam ayat 23.132

Nasiya menjelaskan lupa yang benar-benar tidak disengaja. Seperti doa

Nabi di dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 286 yang berbunyi, “rabbanā lā

tuākhidznā in nasīnā au akhṯa’nā” (“ya Tuhan kami, janganlah Engkau

132 Sebagaimana terdapat didalam Q.S. Maryam [19]: 23

              “Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan".

55

hukum kami, jika kami lupa atau kami bersalah”). Dan merupakan

kebijaksaan Allah untuk menghukum umat ini kecuali ada unsur kesengajaan

untuk bermaksiat dan menyelisihi perintah.

Nasiya di dalam konteks mengingatkan manusia agar apabila mereka

memerintahkan atau mengajak berbuat baik kepada orang lain, hendaklah

memulai dari diri sendiri seperti dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 44.

Nasiya untuk mengingatkan manusia agar tidak tergoda oleh setan sehingga melupakan larangan-larangan-Nya, yang terdapat pada Q.S. al-

’yang artinya “jangan melupakan وال تنس An’ām [6]: 68. Bentuk kata kerja digunakan dalam konteks mengingatkan manusia agar menjalani hidup dan kehidupan ini secara seimbang, diantara kehidupan duniawi dan ukhrawi, kebutuhan material dan spiritual 133 disebutkan dalam Q.S. al-Qasas [28]: 77. Adapun jumlah pengulangan kata an-nisyān dalam al-Qur’an yaitu

sebanyak 45 kali134, yang terdiri dari: Pertama, bentuk fi’il mādi

mujārrad diulang diungkapkan hingga 26 kali. Kedua, bentuk fi’il

mūdari’ yang terdiri dari mabni fa’il dan mabni majhul dengan huruf

mudara’ah ya’, ta’, nun, dan hamzah berjumlah enam belas kali. Ketiga,

bentuk masdar diulang sebanyak dua kali. Keempat, dalam bentuk ism maf’ul

hanya satu kali.

Dari banyak pengulangan kata al-nisyān dalam al-Qur’an apabila dilihat

dari segi macam-macam maknanya dapat diklasifikasi menjadi dua bagian135,

yaitu:

133 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosakata, h. 715-716. 134 Muhammad Fūad ‘Abd al-Bāqī, Mu’jam al-Mufahras Lil alfāẕ al-Qur’ān al-Karīm, h. 794. 135 Mail Qomar, “Lupa dalam al-Qur’an Kajian Ma’anil Qur’an,” artikel diakses tanggal 21 September 2017, pukul 23:15 WIB dari http://mailqomar.blogspot.co.id/2015/12/lupa-dalam-al- quran-kajian-maanil-quran.html

56

Pertama, bermakna al-tark (meninggalkan) misalnya didalam al-Qur’an

surat Tāhā ayat 115 dan al-Taubah [9]: 67.

Kedua, bermakna al-ladzi la yuhfadz (sesuatu yang tidak dijaga atau

diingat)136 misalnya dalam al-Qur’an surat al-A’lā ayat 6, kata tansa dalam

ayat tersebut bermakna (tidak ingat).

Dua macam makna nasiya dari ayat tersebut apabila ditilik dari segi siyaq

al-kalamnya akan tampak perbedaan yang mencolok, yaitu pada ayat yang

pertama kata nasiya terlihat adanya kesengajaan dari pihak yang lupa,

sedangkan yang ayat yang kedua merupakan sifat manusia yang memang pada

dasarnya pasti akan mengalami kelupaan.

Nisyān yang artinya lupa, menunjuk adanya kaitan dengan kesadaran diri.

Untuk itu, apabila manusia lupa terhadap suatu hal, disebabkan karena

kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut.137 Maka dalam kehidupan agama,

jika seseorang lupa sesuatu kewajiban yang seharusnya dilakukannya, maka ia

tidak berdosa, karena ia kehilangan kesadaran terhadap kewajiban itu. Tetapi

hal ini berbeda dengan seseorang yang sengaja lupa terhadap suatu kewajiban.

C. Ghaflah

Term ghaflah berasal dari bahasa Arab . 138 Secara bahasa, غ ف ل ي غ ُفلُ غُُفوال ghaflah berarti ‘lupa karena ingatan dan kecerdasan seseorang kurang baik’.139

artinya غ فل ة Dalam Lisan al-Arab, Ibnu Manẕur menyebutkan bahwa meninggalkan sesuatu dan melupakannya.140

136 Muhammad bin Ya’qūb al-Fairūzābādī, Al-Muhīth, h. 1338. 137 Mujiono, “Manusia Berkualitas Menurut al-Qur’an”, Hermeneutik, Vol. 7, no. 2 (Desember: 2013): h. 359. 138 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 1012. 139 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedi al-Qur’an Kajian Kosakata, h. 240. 140 Ibnu Manẕur, Lisan al-Arab, h. 4416.

57

Ibnu Faris seorang ulama ahli bahasa mengatakan: "Huruf ain, faa, dan

lam adalah satu asal yang shahih yang maknanya menunjukan telah

meninggalkan sesuatu karena lupa bahkan adakalanya meninggalkan dengan

sengaja.141

Sedangkan al-Fayumi mengatakan: "ghaflah adalah hilangnya sesuatu dari

fikiran seseorang serta tidak mengingatnya, terkadang kalimat ghaflah juga di

gunakan bagi siapa yang meninggalkan sesuatu karena menyepelekan atau

karena menolaknya142 sebagaimana hal itu tergambar dalam firman Allah swt:

        “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (dari padanya)”. (Q.S. al-Anbiyā [17]: 1).

Adapun al-Raghib al-Ashfahāni memberi pengertian dengan mengatakan

bahwa ghaflah adalah lupa yang seseorang tersebut lupa dikarenakan

sedikitnya daya ingatannya.143 Sedangkan al-Jurjani memberikan pengertian

dengan mengatakan: "ghaflah adalah memonitornya hati dari apa yang

disukainya".144

Menurut kamus al-Muhīth artinya meninggalkannya atau غ ف ل ع ن ه ُ melupakannya seperti lafaz artinya melalaikan atau mengabaikannya. ا غ فل ه ُ Sedangkan lafaz artinya adalah yang menyebabkan lupa. Dan صا ر غا ف ال غ ف ل penamaan: lafaz artinya pergerakan dengan kata lain kelalaian atau الغ فل ةُ، والغ فل ُ

141 Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Maqayis al-Lughah, h. 107. 142 Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Fathul Qadir (Al-Jami’ baina al-Riwayah wa al-Dirayah min ilm al-Tafsir, Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin, Jilid 1 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), h. 262. 143 Al-Raghib al-Ashfahāni, Mufradat Gharib al-Qur’an, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Ma’rifat, tth.), h. 156. 144 Ali bin Muhammad al-Jurjāni, Mu’jamu al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 209.

58

kelengahan.145 Sedangkan lafaz bermaksud lupa artinya pura-pura التَغافُلُ، والتَ غ ُّفل ُ lupa. Sedangkan lafaz adalah cukup bagi kamu teman yang membawamu التَغفي ل kepada kelalaian karena tidak ada faedahnya sedikitpun, seperti membanggakan diri tidak ada pikirannya sama sekali, dan penamaan lafaz tersebut diibaratkan ٍ juga seperti onta yang bodoh. Dan lafaz artinya الغُ فل ُ صبور orang yang tidak diharapkan kebaikannya, dan tidak ditakuti kejahatannya.146 Kata aghfala al-syai’a wa ahmalahu adalah satu makna (hal ini ia jika

melalaikan sesuatu dan melupakannya karena tidak mengingatnya). Kata

ghafala ‘anisyi-sya’i ghaflatan bermakna melupakannya karena kurang

mengingatnya dan kurang sadar serta dalam keadaan lalai. Aghfalasyi sya’i

bermakna membiarkannya tersia-siakan tanpa terlupakan. Taghāfala

bermakna sengaja melupakan atau pura-pura lupa. Kata istaghfalahu

bermakna menilainya lalai dan kelalaianya terlihat. Mughaffal adalah orang

yang tidak mempunyai kecerdasan. Dengan demikian, ghaflah adalah kata

yang dibawahnya termasuk semua hal yang tidak mencapai tingkat

kesempurnaan karena sibuk atau menyibukkan diri dengan apa yang lebih

rendah dari itu.147 Pendapat lain mengatakan meninggalkan sesuatu baik غ ف ل ع ن

disengaja maupun tidak.148

Al-Qur’an membicarakan fenomena ini dalam banyak tempat. Seperti

dalam firman Allah swt. sebagai berikut:

145 Barangkali ini adalah aspek orang-orang kafir untuk mendatangkan perbuatan dari perkara kelengahan yang yang telah diceritakan di dalam kitab Syarh al-Mauhūb menurut ulama-ulama kalam berasarkan kelembutan hati nabi Muhammad, yang tertera di dalam al-Qur’an: َودَّ َّال ِذ َيْن َك َف ُروا َل ْو تَ ْغفُلُ ْو َن Artinya: “Orang-orang kafir ingin kamu lemah”. 146 Muhammad bin Ya’qūb al-Fairūzābādī, Al-Muhīth, h. 1039. 147 Khalid A. Mu’thi Khalif, Nasihat untuk Orang-orang Lalai, h. 2. 148 Lihat juga: Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Maqayis al-Lughah, h. 386 dan Syauqī Ḏaif, Mu’jam al-Wasīṯ, h. 657.

59

            

 .       “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”. (Q.S. al-Kahf [18]: 28).

baik dalam bentuk tunggal maupun didalam غافلPenyebutan kata ghafil bentuk jamak, disebutkan sebanyak 31149 kali, yaitu:

1. Dalam bentuk tunggal dan didahului oleh huruf jar (kata depan) bi, disebut

sebanyak sembilan kali antara lain di Q.S. al-Baqarah [2]: 74, 85, 140 dan

144.

2. Dalam bentuk tunggal, tetapi tidak didahului kata depan bi, disebut satu

kali yaitu di dalam Q.S. Ibrāhīm [14]: 42.

3. Dalam bentuk jamak mudzakkar sālim (dengan tambahan huruf waw dan

-disebut sembilan kali, diantaranya dalam Q.S. al غافلون nun) ghāfilūn

An’ām [6]: 131.

4. Dalam bentuk jamak mudzakkar sālim (dengan tambahan huruf ya’ dan

delapan kali, antara lain dalam Q.S. al-An’ām [6]: 156 غافلني nun) ghāfilīn

dan Q.S. al-Mu’minūn [23]: 17.

5. Dalam bentuk jamak mu’annats sālim (dengan tambahan huruf alif dan

:[kata itu disebut satu kali, yaitu dalam Q.S. al-Nūr [24 غافالت ta’) ghāfilāt

23.

149 Muhammad Fūad ‘Abd al-Bāqī, Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Qur’ān al-Karīm, h. 615.

60

yang غفلة adalah ghaflah غافلKata lain yang seasal dengan kata ghāfil disebut lima kali, yaitu dalam Q.S. Maryam [19]: 39, Q.S. al-Anbiyā [21]: 1,

أغفل Q.S. al-Qasas [28]: 15 serta Q.S. Qāf [50]: 22. Dalam bentuk aghfala 97 kata itu disebut didalam Q.S. al-Kahf [18]: 28 dan dengan bentuk taghfuluna

.disebut didalam Q.S. al-Nisā’ [4]: 102 تغفلون

yang disebut dalam bentuk jamak, yaitu ghāfilū, ghāfilīn غافلKata ghāfil dan ghāfilat berkaitan dengan sifat manusia. Kata ghāfil disini mengacu dua pengertian yaitu di dalam Q.S. al-A’rāf [7]: 136 dan 146 dijelaskan bahwa orang yang sombong berpaling dan tidak mau memperhatikan tanda-tanda kebesaran Allah swt. tanpa alasan yang benar. Mereka tidak mengakui kebenaran tanda-tanda itu dan lengah di dalam mengambil i’tibar darinya.

Adapun Q.S. al-A’rāf [7]: 156 dan 172 dijelaskan bahwa tujuan penurunan kitab suci al-Qur’an dan penegasan ke maha Esaan Allah swt. antara lain, untuk menutup kemungkinan timbulnya protes dari orang-orang zalim pada hari kiamat kelak dengan mengatakan bahwa kitab suci itu hanya diturunkan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani dan bahwa mereka tidak sempat atau lalai di dalam membaca dan memperhatikan isinya. Kelalaian disini adalah sesuatu yang bersifat negatif. Inilah pengertian pertama dari kata ghafil.

Dari banyak pengulangan kata ghāfil dalam al-Qur’an apabila dilihat dari segi macam-macam maknanya dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu:

mengandung bantahan terdapat pada sembilan غافلPertama, kata ghāfil ayat pertama yang disebutkan didalam bentuk tunggal, baik didahului oleh kata depan bi maupun tidak.

61

didalam Q.S. al-Mu’minūn [21]: 17, ayat-ayat diawali غافلني Kedua, ghāfilīn

dengan berbagai macam peristiwa dan keadaan, seperti sifat hati yang dimiliki

oleh manusia, perbuatan dan ucapan mereka yang melampui batas, atau

balasan pahala atas perbuatan baik yang mereka lakukan, serta tanda-tanda

kekuasaan Allah. Di dalam Q.S. Ibrāhīm [14]: 42, Allah memperingatkan

manusia jangan sekali-kali menyangka bahwa Allah swt. lalai di dalam

mengawasi perbuatan orang yang zalim.

Akan tetapi, kata ghafilat yang terdapat di dalam Q.S. al-Nūr [24]: 23

mengandung arti positif, yaitu wanita beriman yang telah bersuami yang lalai

(tidak menduga atau terlintas di dalam benak mereka keinginan untuk berbuat

keji/hina). Di dalam ayat tersirat peringatan supaya seluruh wanita beriman

yang sudah bersuami itu menjaga pergaulan mereka sehari-hari dan menjauhi

tindakan-tindakan yang mungkin menimbulkan fitnah.150

D. Sahwun

Term sahwun berasal yang berarti lupa atau melupakan.151 س ها ي سُهو س ه وا

Menurut M. Quraish Shihab, “lalai” yakni seseorang yang hatinya menuju

kepada yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya152.

berarti melengahkannya atau سهوا Menurut kamus Al-Muhith melupakanya,153 hatinya berpaling kepada selainnya artinya hatinya kurang

150 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an, h. 240-241. 151 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, h. 674. 152 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an), h. 550. 153 Para Ulama bahasa menyamakan makna term sahwān dan nisyān, sedangkan Imam Shihāb al-Khofazi mengatakan bahwa kedua term tersebut mempunyai perbedaan lafaz sahwān artinya mudah sekali lalainya, sedangkan lafaz nisyān artinya lenyap/lupa semua atau tidak ingat sama sekali.

62

154 adalah sekali saja lupanya. Term ini hanya ditemukan dua سهوة ,perhatian kali155 dalam al-Qur’an keduanya digunakan dalam konteks celaan. Di dalam Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Qur’ān al-Karīm dituliskan

bahwa term sahwun terdapat dalam dua surat yaitu surat al-Dzāriyāt [51] ayat

11 dan al-Mā’un [107] ayat 5, yaitu:

Allah swt. berfirman di dalam surat al-Dzāriyāt [51] ayat 11

       .  “Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan lagi lalai”. (Q.S. al-Dzāriyāt [51]:10- 11)

         “Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya” (Q.S. al-Mā’un [107]: 4-5).

Kata dapat diartikan orang-orang yang meninggalkan shalat, dapat س ُاه ون diartikan dengan orang-orang yang bershalat yang tidak memahami dan memiliki apa rahasia ucapan dan perbuatan yang mereka lakukan.156 Pelaku dari perbuatan ini diancam dengan akan di masukkan ke dalam neraka wail.157 Adapun perbedaan antara term dzahlān, nisyān, ghaflah dan sahwun

sebagai berikut:158

Dzahlān, bermakna lupa dikarenakan adanya kesibukan atau terlalu repot.

154 Muhammad bin Ya’qūb al-Fairūzābādī, Kamus al-Muhīth, h. 1297-1298. Lihat juga: Ibnu Manẕur, Lisan al-Arab, h. 2137 dan Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Maqayis al- Lughah, h. 107. 155 Muhammad Fūad ‘Abd al-Bāqī, Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẕ al-Qur’an al-Karīm, h. 451. 156 Sayyid Quṯb, Tafsir Fi Dzilalil Qur’an: Dibawah Naungan al-Qur’an, Jilid 24 (Jakarta: Bina Insani Press, 2004), h. 264. 157 Menurut Ibnu Manẕur dalam kitabnya Lisan al-Arab, wail diartikan dengan siksa, datang kejelekan, musibah, bencana, h. 737. Al-Wail juga diartikan lembah neraka jahanam. Lihat Nadim Mar’asyari, Mu’jam Mufradat al-Qur’an, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), h. 573. 158 Hasan bin Abdullah al-‘Askarī, Al-Furuq al-Lughawiyyah, (Madinah: Dār al-‘Ilmiwa al- Tsaqāfah, 1997), h. 90. Lihat juga: Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Maqayis al- Lughah, h. 107.

63

Nisyān (lupa) bermakna secara umum, pelakunya disebut insan (manusia).

Waktu lupa nisyān, tidak pada pekerjaan yang sedang berlangsung, dan teringat setelah pekerjaan berlalu.

Sahwun (lupa) juga berarti untuk perkara umum, tetapi perkara itu tidak mungkin untuk dikatakan, perkara yang dimaksud merupakan perkara umum jikalau dikatakan akan mempermalukan pelakunya. Perbedaan lainnya, yakni sahwun (lupa) yang manusiawi karena kodrat manusia bersifat pelupa.

Kemudian, lupa saat melakukan sesuatu pada saat yang bersamaan.

Contohnya: Apabila seseorang lupa pada salah satu rukun shalat maka di anjurkan sujud sahwi.

Ghaflah lupa yang bersifat umum pantas untuk diungkapkan sedangkan sahwun lupa yang bersifat umum tetapi tidak pantas untuk di ungkapkan, tetapi setelah melakukan perbaikan pantas untuk diungkapkan. Contoh: setelah melakukan sujud sahwi, ketika lupa pada salah salah satu rukun shalat.

BAB IV

TAFSIR ATAS AYAT-AYAT TENTANG LALAI

Penulis menyusun tema bahasan ayat-ayat tentang lalai yang menggunakan term nisyān, sahwun dan ghaflah. Ayat-ayat ini akan dideskripsikan secara global baik dari segi munāsabah159 ayat yang berbicara tentang masalah sejenis ataupun dari segi al-nuzūl -nya160. Kemudian, menentukan objek kajian yang akan dideskripsikan secara singkat, karena pengetahuan terhadap konteks umum ayat merupakan petunjuk yang penafsirannya memberikan penjelasan-penjelasan lebih lanjut untuk mengantarkan kepada pemahaman terhadap ayat tersebut.

Selanjutnya, dalam melihat penafsiran tentang ayat-ayat lalai dengan menggunakan term nisyān, sahwun dan ghaflah penulis mengutip beberapa pendapat para mufassirin, yaitu Tabari, Ibnu Katsir, M. Quraish Shihab, Hamka, al-Syaukani dan lain sebagainya. Sehingga akan terlihat perbedaan dari pendapat mereka dalam memahami makna nisyān, sahwun dan ghaflah di dalam al-Qur’an.

artinya adanya نَسَ َب ـ يَ ْنسُ ُب ـ نسبة Secara etimologi munāsabah berasal dari akar kata 159 keterikatan antara keduanya, yakni sifat yang berdekatan dengan hukum. Yang dimaksud munāsabah al-Qur’an ialah sisi-sisi korelasi antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat-ayat lain, atau satu surat dengan surat lain. Manfaat tentang munasabah ini untuk memahami keserasian antar makna, mukjizat al-Qur’an secara balaghah, kejelasan keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya, dan keindahan gaya bahasanya. Ilmu munāsabah bisa berperan menggantikan ilmu asbāb al-nuzūl, apabila seseorang tidak mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tetapi mengetahui korelasi ayat dengan ayat lainnya. Lihat Ibnu Manẕur, Lisan al-Arab, h. 755. Lihat juga: Manna al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, Penerjemah Aunur Rafiq el-Mazni dan Abduh Zulfikar Akaha (Jakarta: Pustaka al-Kutsar, 2013), h. 119. Lihat juga: Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur’an, h. 55 dan Abu Anwar, “Keharmonisan Sistematika Al-Qur’an: Kajian terhadap Munasabah dalam al-Quran,” Al-Fikra, Vol. 7 no. 1 (Januari-Juni 2008): h. 20-21. 160 Secara etimologi asbāb al-nuzūl berasal dari kata asbab jamak dari sababa yang artinya sebab-sebab, dan nuzul artinya turun. Yang dimaksud di sini yaitu ayat al-Qur’an. Jadi, asbāb al- nuzūl adalah sesuatu yang karenanya al-Qur’an diturunkan, sebagai penjelas terhadap apa yang terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan. Mengenai hal ini, pemahaman asbab al-Nuzul menjadi penting untuk memahami makna ayat al-Qur’an. Asbab al-nuzūl sebagai penjelas, berupa peristiwa atau pertanyaan. Sebab turunnya ayat berkisar ada dua hal: Pertama, jika terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat mengenai peristiwa tersebut. Kedua, adanya sebab, Rasulullah saw. ditanya tentang suatu hukum. Lihat Manna al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, h. 94-95 dan Ridhoul Wahidi, “Asbāb al-nuzūl sebagai Cabang Ulumul Qur’an,” Syahadah, Vol. 3, no. 1 (April 2015): h. 54.

103

104

A. Tema Ayat-Ayat Tentang Lalai

Kode term A= nisyān, B= sahwun dan C= Ghaflah.

Kode untuk orang-orang yang lalai dalam hal:

1. Lalai dalam mengingat Allah;

Setelah menyusun tema ayat-ayat tentang lalai dalam mengingat

Allah swt. dapat diketahui bahwa dari 28 ayat tersebut yang kaitannya

dalam bentuk peringatan melalui ayat-ayat-Nya baik Qauliyah maupun

kauniyyah ditemukan sebanyak 18 ayat, penegasan bahwa Allah terbebas

dari sifat lalai sebanyak 5 ayat, ancaman bagi orang-orang yang menolak

terdapat 2 ayat yaitu Q.S. al-Imrān [3]: 99, Q.S. al-Baqarah [2]: 44, pelaku

termasuk dalam golongan setan ditemukan sebanyak 2 ayat Q.S.

Mujādilah [58]: 19, Q.S. al-Kāhf [18]: 24 dan balasannya berupa neraka

sebanyak 1 ayat Q.S. al-Baqarah [2]: 74.

2. Tanda-tanda kekuasaan Allah;

Dari penyusunan tema ayat-ayat tentang lalai sebelumnya dapat

diketahui bahwa ayat-ayat tentang lalai dalam mengingat Allah swt.

terulang sebanyak 18 ayat dalam bentuk peringatan, ancaman maupun

balasan melalui ayat-ayat-Nya lebih banyak dibanding ayat-ayat tentang

lalai pada tanda-tanda kekuasaan Allah swt. yang terulang sebanyak 2 ayat

yaitu berupa peringatan Q.S. al-A’rāf [7]: 136 dan celaan dalam Q.S al-

Baqarah [2]: 74.

3. Lalai pada hari kebangkitan;

Sebanyak 20 ayat-ayat tentang lalai pada hari kebangkitan, dalam

bentuk pembalasan terulang sebanyak 8 ayat yaitu Q.S. al-A’rāf [7]: 51,

105

Q.S. Tāha [20]: 126, Q.S. Hud [11]: 123, Q.S. al-Jātsiyah [45]: 34, Q.S. al-

An’am [6]: 132, Q.S. al-Dzāriyat [51]: 11, Q.S. Ibrāhim [14]: 42, Q.S. Qāf

[50]: 22, balasan dan celaan terulang sebanyak 5 ayat yaitu Q.S. al-Sajdah

[32]: 14, Q.S. Tāha [20]: 126, Q.S. al-Baqarah [2]: 140, Q.S al-An’ām [6]:

6 dan Yunūs {10]: 29, peringatan pada Q.S. al-Mujādilah [58]: 6, Q.S. al-

An’ām [60]: 131, ancaman terulang sebanyak 2 ayat pada Q.S. Sād [38]:

26, Q.S. Maryam [19]: 39, penyesalan sebanyak 2 ayat dalam Q.S. al-

A’rāf [7]: 53, Q.S al-Anbiyā [21]: 97 dan 1 ayat berupa bantahan bagi

pendurhaka terhadap hari kebangkitan Q.S. Yāsin [36]: 78.

4. Lalai dan ingkar janji secara sengaja;

Orang-orang yang lalai dan ingkar janji secara sengaja dilaknat

oleh Allah swt. serta mendapat ancaman dari-Nya terdapat dalam Q.S. al-

Māidah [5]: 13 dan 14.

5. Lalai terhadap kebenaran tanpa sengaja;

Permohonan agar tidak mendapat sanksi sebab (terlupa) terulang

sebanyak 3 kali dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 286, Q.S. al-Kāhf [18]: 73 dan

Q.S. al-A’lā [87]: 6.

6. Lalai disebabkan oleh godaan setan;

Peringatan bagi orang-orang yang lalai selain disebabkan oleh

setan juga dikarenakan kurangnya perhatian terhadap sesuatu, terdapat

dalam Q.S. al-Kāhf [18]: 61, Q.S. al-Kāhf [18]: 63, Q.S. Tāha [20]: 115

dan Q.S. al-Qasas [28]: 15.

7. Lalai dalam mengambil nasihat dan pelajaran dari kisah umat

terdahulu;

106

Terulang sebanyak 7 ayat tentang lalai pada kisah-kisah umat

terdahulu, terdapat dalam Q.S. al-Ahqāf [45]: 5, Q.S. Yāsin [36]: 6, Q.S.

Yūnus [10]: 9, Q.S. al-Qasas [28]: 77, Q.S. Maryam [19]: 23 berupa

peringatan agar mengambil nasihat serta pelajaran, serta 1 ayat ancaman

bagi orang-orang yang menolak mengambil pelajaran kisah-kisah dalam

al-Qur’an surat al-A’rāf [7]: 165.

8. Lalai terhadap ibadah (shalat);

Dapat diketahui terdapat 2 ayat kaitannya dalam konteks ibadah

yaitu Q.S. al- Mā’ūn [107]: 5 yang berupa ancaman, dan peringatan pada

Q.S. al-Nisā [4]: 102.

9. Lalai terhadap kemewahan dunia;

Peringatan bagi orang-orang yang lalai akibat mencintai dunia

dengan berlebihan sehingga sulit menerima kebenaran yaitu terdapat

dalam Q.S. al-Nahl [16]: 108, Q.S. al-Kāhf [18]: 28, Q.S. al-Rūm [30]: 7

10. Hukum syariat.

Peringatan orang-orang yang lalai memberikan setengah mahar

atau penuh bagi wanita yang dicerai sebelum bercampur. dalam Q.S. al-

Baqarah [2]: 237, ancaman bagi orang-orang lalai yang menuduh wanita

mukminah161 melakukan zina dalam Q.S. al -Nūr [24]: 23. Ketentuan

Allah melupakan dan menghapus ayat-ayat yang di kehendaki. (Q.S. al-

Baqarah [2]: 106.

161 Abdurahman Za’id bin Aslam mengatakan: “Hukumnya haram menuduh wanita mukmin baik-baik berbuat zina dan Allah melaknatnya. Kisah Aisyah contoh dalam masalah ini.” Lihat Ibnu Katsir, jil. 6, h. 30

107

Dalam beberapa ayat-ayat tentang lalai dalam al-Qur’an menggunakan

term nisyān, sahwun dan ghaflah menunjukan subjek yang berbeda-beda,

sebagaimana dalam tabel di bawah ini:

No Ayat Kode Tema Sub Tema Subjek

Lalai Peringatan bagi Mukmin       dalam orang-bagi yang dan Kafir         mengingat lalai melalui ayat- Allah swt. ayat-Nya namun       mereka tidak         mendengarkan serta       memperhatikan “Dan siapakah yang lebih sehingga tuli zalim dari pada orang yang (maknawi) akan telah diperingatkan dengan petunjuk-Nya. ayat-ayat Tuhannya lalu Dia (Q.S. al-Kahf berpaling dari padanya dan [18]: 57, Q.S. al- melupakan apa yang telah A’rāf [7]: 179) dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya A 1 1 Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan Kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama- lamanya. Q.S. al-Kahf [18]: 57

     

      .

       

108

      

      “Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. Q.S. al-A’rāf [7]: 179. Peringatan bagi Orang        orang-orang yang Mukmin       lalai akan diuji dan Zalim dengan       kesenangan   sehingga mereka bergembira lalu di “Maka tatkala mereka siksa tiba-tiba. melupakan peringatan yang (Q.S. al-An’ām telah diberikan kepada A 1 2 [6]: 44) mereka, Kamipun membukakan semua pintu- pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-

109

konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” Q.S. al-An’ām [6]: 44.

Perilaku lalai Orang       dalam mengingat Fasik       Allah sehingga “Dan janganlah kamu seperti menyebabkan orang-orang yang lupa lalai menyiapkan kepada Allah, lalu Allah bekal di akhirat menjadikan mereka lupa (Q.S. al-Hasyr kepada mereka sendiri. [59]: 19, Q.S. mereka Itulah orang-orang Tāha [20]: 126) yang fasik.” Q.S. al-Hasyr [59]: 19 A 1 3      

    “Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, Maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan". Q.S. Tāha [20]: 12

Nabi Musa lalai Kisah Nabi       akan tipu daya Musa dan      Samiri (yang Samiri. menyamakan   Allah dengan “Kemudian Samiri patung anak mengeluarkan untuk mereka lembu dengan A 1 4 (dari lobang itu) anak lembu Tuhannya. (Q.S. yang bertubuh dan bersuara, Tāha [20]: 88) Maka mereka berkata: "Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa". Q.S. Tāha [20]: 88

Perilaku lalai Orang        A 1 5 dalam mengingat Kafir

110

Allah yaitu tidak       mengamalkan al-      Qur’an, tidak bersyukur atas     kebaikan-Nya. “Mereka (yang disembah itu) (Q.S. al-Furqān menjawab: "Maha suci [25]: 18) Engkau, tidaklah patut bagi Kami mengambil selain Engkau (untuk jadi) pelindung[1059], akan tetapi Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hidup, sampai mereka lupa mengingati (Engkau); dan mereka adalah kaum yang binasa". Q.S. al-Furqān [25]: 18.

Apabila lalai Orang   .       mengucapkan Mukmin        (Insya allah), diberi    pengecualian saat “Kecuali (dengan menyebut): mengingatnya. "Insya Allah"[879]. dan (Q.S. al-Kāhf ingatlah kepada Tuhanmu jika A 1 6 [18]: 24) kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". Q.S. al-Kāhf [18]: 24

Penegasan Allah Kisah          bahwa tidak lalai Musa,     terhadap sesuatu Harun dan “Musa menjawab: pun, inilah Fir’aun A 1 7 "Pengetahuan tentang itu ada perbedaan Allah di sisi Tuhanku, di dalam dengan sebuah kitab[926], Tuhan sebaliknya. (Q.S. Kami tidak akan salah dan Tāhā [20]: 52)

111

tidak (pula) lupa; Q.S. Tāhā [20]: 52

Perilaku lalai Orang      akan ayat-ayat Kafir      Allah sebab sibuk “Lalu kamu menjadikan mencela orang- mereka buah ejekan, orang mukmin sehingga (kesibukan) kamu beribadah (Q.S.

mengejek mereka, A 1 al-Mu’minūn 8 menjadikan kamu lupa [23]: 110) mengingat Aku, dan adalah kamu selalu mentertawakan mereka”. Q.S. al-Mu’minūn [23]: 110

Perilaku Yusuf Kisah Nabi       as. lalai akan Yusuf as.      selalu mengingat ketika Tuhan, sehingga dalam       meminta penjara   pertolongan sesama makhluk “Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya (setan) oleh akan selamat diantara karenanya Yusuf A 1 9 mereka berdua: lebih lama tinggal "Terangkanlah keadaanku di penjara. (Q.S. kepada tuanmu." Maka Yūsuf [12]: 42) syaitan menjadikan Dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. karena itu tetaplah Dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya.” Q.S. Yūsuf [12]: 42.

Perilaku lalai Orang      mengingat Allah Musyrik         menyebabkan

A 1 mereka masuk 10      dalam golongan “Syaitan telah menguasai setan. (Q.S. al- mereka lalu menjadikan Mujādilah [58]:

112

mereka lupa mengingat 19) Allah; mereka Itulah golongan syaitan. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya golongan syaitan Itulah golongan yang merugi. Q.S. al-Mujādilah [58]: 19

Larangan Muhamma       berteman/bergaul d       dengan orang- orang yang suka       berdebat      memperolok-olok Allah, dalam hal   ini Nabi lalai “Dan apabila kamu melihat duduk bersama orang-orang memperolok- orang-orang olokkan ayat-ayat Kami, zalim. (Q.S. al- 11 Maka tinggalkanlah mereka A 1 An’ām [6]: 68) sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” Q.S. al- An’ām [6]:68

Penegasan bahwa Orang          Allah tidak lalai Mukmin         dengan segala dan Kafir miliknya baik     dunia maupun 12 “Dan tidaklah Kami (Jibril) A 1 akhirat. (Q.S. turun, kecuali dengan Maryam [19]: 64) perintah Tuhanmu. kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang

113

kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.” Q.S. Maryam [19]: 64

Peringatan bagi Orang     orang-orang Munafik       munafik sebab dan Bani menyuruh amar Israil      ma’ruf nahi        mungkar namun mereka sendiri   ingkar. (Q.S. al- “Orang-orang munafik laki- Taubah [9]: 67, laki dan perempuan. Q.S. al-Baqarah sebagian dengan sebagian [2]: 44) yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. mereka telah lupa 13 A 1 kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang- orang yang fasik. Q.S. al- Taubah [9]: 67

     

       “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” Q.S. al- Baqarah [2]: 44

Peringatan bagi Orang      14 C 1 orang-orang yang Mukmin        menyombongkan dan Kafir

114

diri tidak        mengindahkan       (tidak mengamalkan)        ayat-ayat Allah.       (Q.S. al-A’rāf [7]: 146) “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku)[569], mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat- ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya. Q.S. al- A’rāf [7]: 146

Peringatan bagi Orang       . orang-orang yang Mukmin        lalai mengenai dan Kafir keesaan-Nya    melalui bukti- “Kemudian saya akan bukti yang mendatangi mereka dari terdapat di alam 15 C1 muka dan dari belakang raya (kauniyyah) mereka, dari kanan dan dari (Q.S. al-A’rāf [7]: kiri mereka. dan Engkau 172, Q.S. al- tidak akan mendapati Mu’minūn: 17, kebanyakan mereka Q.S. Yūnus [10]: bersyukur (taat). Q.S. al- 7) A’rāf [7]: 172

115

Ancaman Allah Yahudi       bagi orang-orang Nasrani        yang lalai sebab menolak         kebenaran ayat-  ayat Allah. (Q.S. “Katakanlah: "Hai ahli Kitab, al-Imrān [3]: 99) mengapa kamu menghalang- 16 halangi dari jalan Allah C 1 orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, Padahal kamu menyaksikan?". Allah sekali- kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. Q.S. al-Imrān [3]: 99

Ancaman Allah Yahudi         bagi orang-orang       yang menolak pemindahan       kiblat ke Masjidil       Haram karena kedengkian dan       kekufuran walaupun        .  mengetahui Sungguh Kami (sering) " kebenaran dan 17 melihatmukamu menengadah C 1 kemuliaannya. ke langit. Maka sungguh Kami akan memalingkan Q.S. al-Baqarah

kamu ke kiblat yang kamu [2]: 144) sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah

116

benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. Q.S. al-Baqarah [2]: 144 Perintah Orang       menghadap kiblat Musyrik        ke (Masjidil- haram) untuk         mematahkan “Dan dari mana saja kamu hujah kaum keluar (datang), Maka Musyrikin Arab Palingkanlah wajahmu ke 18 C 1 menghadap ke arah Masjidil haram, Baitul Maqdis. Sesungguhnya ketentuan itu (Q.S. al-Baqarah benar-benar sesuatu yang [2]: 149) hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Q.S. al-Baqarah [2]: 149

Penegasan bagi Mukmin,       orang-orang lalai Yahudi dan        bahwa al-Qur’an Nasrani diturunkan untuk   seluruh umat “Kami turunkan Al-Quran dengan bahasa itu) agar kamu (tidak) Arab (agar mudah 19 mengatakan: "Bahwa kitab C 1 dimengerti) (Q.S itu hanya diturunkan kepada al-An’ām [6]: dua golongan saja sebelum 156) Kami, dan Sesungguhnya Kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca. Q.S. al-An’ām [6]: 156

Peringatan bagi Orang       orang-orang lalai Mukmin       bahwa al-Qur’an 20 C 1 diturunkan berupa

     wahyu dari Allah “Kami menceritakan yang sempurna kepadamu kisah yang paling dari segala segi.

117

baik dengan mewahyukan Al (Q.S. Yūsuf [12]: Quran ini kepadamu, dan 3) Sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan) nya adalah Termasuk orang- orang yang belum mengetahui. Q.S. Yūsuf [12]: 3

Etika Orang     .  mendengarkan Mukmin       pembacaan al- Qur’an dan       berdzikir dengan “Dan sebutlah (nama) tidak Tuhannmu dalam hatimu mengeraskan 21 dengan merendahkan diri C 1 suara.162 (Q.S. al- dan rasa takut, dan dengan A’rāf [7]: 205) tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang lalai. Q.S. al-A’rāf [7]: 205

Balasan Allah Kisah        kepada Fir’aun Fir’aun dan      dan pengikutnya pengikutny “Kemudian Kami dikarenakan a menghukum mereka, Maka mendustakan Kami tenggelamkan mereka ayat-ayat Nya 22 di laut disebabkan mereka C 1 dengan mendustakan ayat-ayat Kami menenggelamkan dan mereka adalah orang- mereka di laut orang yang melalaikan ayat- Merah. (Q.S. al- ayat Kami itu. Q.S. al-A’rāf A’rāf [7]: 136) [7]: 136

Celaan bagi Bani Israil 22       . C 2

162 Pada waktu itu orang Musyrik jika mendengar al-Qur’an dibcakan akan mencaci Allah dan mencaci yang membacanya. Lalu turun perintah Allah kepada Rasulullah untuk tidak mengeraskan bacaan sehinga didengar oleh musyrikin dan tidak merendahkannya sehingga tidak terdenger oleh sahabat. Kesimpulannya pertengahan (jahr dan sirr). Ibnu Katsir, Lubāt al-Tafsir. jil. 3, h. 518.

118

orang-orang lalai dan orang         melalui tanda- Mukmin        tanda kebesaran- Nya,         perumpamaan          hatinya keras bagai batu. (Q.S.      al-Baqarah [2]: “Kemudian setelah itu hatimu 74) menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. dan Allah sekali- sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Q.S. al- Baqarah [2]: 74

Lalai Peringatan bagi Orang      terhadap orang-orang lalai Mukmin         tanda- tentang tanda- dan Kafir tanda tanda kekuasaan  kekuasaan Allah. (Q.S. al- “Dan Katakanlah: "Segala puji Allah swt. Naml [27]: 93) 23 bagi Allah, Dia akan C 2 memperlihatkan kepadamu tanda- tanda kebesaran-Nya, Maka kamu akan mengetahuinya. dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan". Q.S. al-Naml [27]: 93

Lalai pada Pembalasan bagi Orang      hari orang-orang lalai Mukmin A 3 24 kebangkit yang tidak mau dan Kafir       . C 3 an beramal dan      

119

mendustakan hari     kiamat. (Q.S. al- “(yaitu) orang-orang yang A’rāf [7]: 51, menjadikan agama mereka Q.S. Tāha [20]: sebagai main-main dan senda 126, Q.S. Hud gurau, dan kehidupan dunia [11]: 123) telah menipu mereka." Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan Pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat kami. Q.S. al-A’rāf [7]: 51

     

    “Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, Maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan". Q.S. Tāha [20]: 126

Ancaman yang Orang       keras dan pedih Mukmin         bagi orang-orang dan Kafir yang lalai pada        hari perhitungan.       (Q.S. Sād [38]: 26, (Q.S. Maryam       A 3 [19]: 39) 25 “Hai Daud, Sesungguhnya C 3 Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan

120

menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang- orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. Q.S. Sād [38]: 26

Penyesalan Orang        orang-orang lalai Kafir       terdahulu (penduduk         Madinah)        menolak kebenaran        pemberitaan al- Qur’an tentang      hari perhitungan.   (Q.S. al-A’rāf [7]: “Tiadalah mereka menunggu- 53) nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Quran itu. pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu, 26 A 3 berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: "Sesungguhnya telah datang Rasul-rasul Tuhan Kami membawa yang hak, Maka Adakah bagi Kami pemberi syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi Kami, atau dapatkah Kami dikembalikan (ke dunia) sehingga Kami dapat beramal yang lain dari yang pernah Kami amalkan?". sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan. Q.S. al-A’rāf [7]: 53

121

Peringatan bagi Orang       orang-orang yang Mukmin         lalai pada catatan dan Kafir amal perbuatan     yang telah di “Pada hari ketika mereka lakukan. (Q.S. al- dibangkitkan Allah Mujādilah [58]: 6, semuanya, lalu diberitakan- A 3 Q.S. al-An’ām 27 Nya kepada mereka apa yang C 3 [60]: 131) telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, Padahal mereka telah melupakannya. dan Allah Maha menyaksikan segala sesuatu. Q.S. al-Mujādilah [58]: 6

Balasan terhadap Orang        orang-orang lalai Musyrik,       pada hari orang yang pembalasan (Q.S. melampui    al-Sajdah [32]: batas, “Maka rasailah olehmu (siksa 14, Q.S. Tāha Yahudi ini) disebabkan kamu [20]: 126, Q.S. al- A 3 melupakan akan Pertemuan Baqarah [2]: 140) 28 C 3 dengan harimu ini.

Sesungguhnya Kami telah melupakan kamu (pula) dan rasakanlah siksa yang kekal, disebabkan apa yang selalu kamu kerjakan. Q.S. al- Sajdah [32]: 14

Celaan dan Orang         balasan bagi Musyrik        orang-orang yang (Tidak), tetapi hanya Dialah menyekutukan A 3 29 yang kamu seru, Maka Dia Allah dengan C 3 menghilangkan bahaya yang selain-Nya. (Q.S. karenanya kamu berdoa al-An’ām [6]: 41, kepadanya, jika Dia Q.S. Yūnus [10]: menghendaki, dan kamu 29)

122

tinggalkan sembahan- sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah). Q.S. al-An’ām [6]: 41

Pembalasan bagi Orang       orang-orang yang Mukmin        lalai pada hari dan Kafir pertemuan   dengan “Dan dikatakan (kepada mereka): Tuhannya, yaitu "Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah Neraka. (Q.S. al- melupakan Pertemuan (dengan) Jātsiyah [45]: 34, harimu ini dan tempat kembalimu Q.S. al-An’am ialah neraka dan kamu sekali-kali [6]: 132) tidak memperoleh penolong"..S. A 3 30 al-Jātsiyah [45]: 34 C 3       

     “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. Q.S. al- An’am [6]: 132

Ancaman Orang       terhadap orang- Kafir “yaitu) orang-orang yang orang lalai yang terbenam dalam kebodohan 31 B 3 mendustakan hari yang lalai. Q.S al-Dzāriyat berbangkit. (Q.S [51]: 11 al-Dzāriyat [51]:

11) Peringatan bagi Orang       orang-orang lalai Mukmin      akan kepastian dan Kafir 32 C 3 Allah     memberikan azab. (Q.S. Ibrāhim “Dan janganlah sekali-kali [14]: 42, Q.S. Qāf

123

kamu (Muhammad) mengira, [50]: 22) bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang- orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. Q.S. Ibrāhim [14]: 42

      

      “Sesungguhnya kamu berada dalam Keadaan lalai dari (hal) ini, Maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, Maka penglihatanmu pada hari itu Amat tajam. Q.S. Qāf [50]: 22

Penyesalan Orang      orang-orang yang Kafir       lalai pada hari kiamat serta        mengakui   kezalimannya (Q.S. al-Anbiyā “Dan telah dekatlah [21]: 97) kedatangan janji yang benar (hari berbangkit), Maka tiba- 33 tiba terbelalaklah mata C 3 orang-orang yang kafir. (mereka berkata): "Aduhai, celakalah Kami, Sesungguhnya Kami adalah dalam kelalaian tentang ini, bahkan Kami adalah orang- orang yang zalim". Q.S. al- Anbiyā [21]: 97

Bantahan bagi Orang 34         A 3 orang-orang yang Musyrik

124

lalai terhadap hari      kebangkitan. “Dan ia membuat (Q.S. Yāsin [36]: perumpamaan bagi kami; 78) dan Dia lupa kepada

kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Q.S. Yāsin [36]: 78

Lalai dan Allah melaknat Bani Israil      ingkar orang-orang yang       janji lalai dan ingkar secara janji, secara         sengaja sengaja untuk mengikuti        Rasulullah (Q.S. al-Māidah [5]:          13)

    “(tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras 35 membatu. mereka suka A 4 merobah Perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) Senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

125

berbuat baik. Q.S. al-Māidah [5]: 13

Ancaman bagi Nasrani      orang-orang yang      lalai dan ingkar janji dengan      sengaja, sehingga       Allah timbulkan kebencian dan      permusuhan “Dan diantara orang-orang hingga kiamat. yang mengatakan: (Q.S. al-Māidah "Sesungguhnya Kami ini [5]: 14) orang-orang Nasrani", ada yang telah Kami ambil 36 Perjanjian mereka, tetapi A 4 mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; Maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan. Q.S. al-Māidah [5]: 14

Lalai Permohonan tidak Orang          terhadap mendapat sanksi Mukmin        kebenaran sebab tanpa meninggalkan         sengaja kebenaran tanpa 37       A 5 sengaja (terlupa) (Q.S. al-Baqarah         [2]: 286)

        

      

126

   “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang- orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir." Q.S. al-Baqarah [2]: 286

Permintaan Musa Nabi Musa        kepada orang as.     alim (Khidir) agar tidak “Musa berkata: "Janganlah menghukumnya 38 kamu menghukum aku A 5 sebab lupa karena kelupaanku dan dengan janjinya janganlah kamu membebani untuk menuruti aku dengan sesuatu kesulitan serta tanpa dalam urusanku". Q.S. al- bantahan. (Q.S. Kāhf [18]: 73

127

al-Kāhf [18]: 73) Pemberitahuan Nabi     dan janji Allah Muhamma “Kami akan membacakan (Al bagi Nabi bahwa d saw. Quran) kepadamu beliau terbebas (Muhammad) Maka kamu 39 A 5 dari lupa dan lalai tidak akan lupa. Q.S. al-A’la kecuali Allah [87]: 6 menghendaki.

(Q.S. al-A’la [87]: 6) Perilaku Perilaku lalai Kisah Nabi       lalai disebabkan setan Musa        disebabka dan kurangnya bertemu “Maka tatkala mereka sampai n setan perhatian. (Q.S. Khidir as. ke Pertemuan dua buah laut al-Kāhf [18]: 61, dan kisah itu, mereka lalai akan Q.S. al-Kāhf [18]: Nabi Adam ikannya, lalu ikan itu 63, Q.S. Tāha as. melompat mengambil [20]: 115) jalannya ke laut itu. Q.S. al- Kāhf [18]: 61

40 A 6       

     “Dan Sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, Maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. Q.S. Tāha [20]: 115

Penyesalan Nabi Kisah Nabi       Musa as. Musa as.       membunuh pengikut Fir’aun       41 A 6 secara tidak        sengaja sebab terpedaya setan. (        Q.S. al-Qasas [28]: 15)        

128

    “Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, Maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang ber- kelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan[1116] Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya). Q.S. al- Qasas [28]: 15

Lalai Peringatan bagi Qarun        dalam orang-orang yang       mengambi lalai untuk l nasihat mengambil        dan pelajaran dari          pelajaran kisah Qarun dari kisah untuk tujuan   umat hidup yang hakiki 42 A 7 “Dan carilah pada apa yang terdahulu sebab rizki telah dianugerahkan Allah (makanan, kepadamu (kebahagiaan) pakaian dll) negeri akhirat, dan janganlah terdapat hak bagi kamu melupakan (allah, diri, bahagianmu dari keluarga dll). (kenikmatan) duniawi dan (Q.S. al-Qasas berbuat baiklah (kepada [28]: 77)

129

orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang yang berbuat kerusakan. Q.S. al-Qasas [28]: 77

Peringatan bagi Bani Israil       orang-orang yang         lalai untuk mengambil    pelajaran dari “Maka pada hari ini Kami kisah Firaun selamatkan badanmu supaya merupakan bukti 43 kamu dapat menjadi A 7 kuasa Allah (Q.S. pelajaran bagi orang-orang Yunūs [10]: 92) yang datang sesudahmu dan Sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami. Q.S. Yunūs [10]: 92

Peringatan bagi Bangsa       orang-orang yang Arab/Kaum   lalai terhadap Qurais “Agar kamu memberi fungsi al-Quran (Muhamad) peringatan kepada kaum diturunkan 44 yang bapak-bapak mereka A 7 sebagai belum pernah diberi peringatan (Q.S. peringatan, karena itu Yāsin [36]: 6). mereka lalai. Q.S. Yāsin [36]: 6

Peringatan bagi Orang          penyembah Kafir dan        berhala sebab Musyrik 45 A 7 patung yang     disembah tidak “Dan siapakah yang lebih mampu

130

sesat daripada orang yang memberikan apa- menyembah sembahan- apa di hari kiamat sembahan selain Allah yang kelak. (Q.S. al- tiada dapat memperkenankan Ahqāf [46]: 5) (doa) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Q.S. al-Ahqāf [46]: 5

Peringatan bagi Kisah Nabi       saudara-saudara Yusuf dan        Yusuf agar tidak saudaranya lalai menjaga       Yusuf dari   binatang buas. (Q.S. Yusuf [12]: “Dan sesungguhnya Kami 13) telah membinasakan umat- umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, 46 Padahal Rasul-rasul mereka C 7 telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali- kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang- orang yang berbuat dosa. Q.S. Yusuf [12]: 13

Ketakutan Kisah      Maryam di Maryam       lupakan sebagai ahli ibadah sebab    mengandung Isa 47 “Maka rasa sakit akan A 7 tanpa suami. melahirkan anak memaksa ia (Q.S. Maryam (bersandar) pada pangkal [19]: 23) pohon kurma, Dia berkata: "Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan

131

aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan". Q.S. Maryam [19]: 23

Ancaman bagi Orang        orang-orang yang Fasik (Bani      lalai serta berbuat Israil) fasik, menolak   .   (nasihat) dan   melanggar larangan itu “Maka tatkala mereka dengan sengaja. melupakan apa yang (Q.S. al-A’rāf diperingatkan kepada [7]:165) 48 mereka, Kami selamatkan A 7 orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Q.S. al-A’rāf [7]:165

Lalai Ancaman Orang       dalam terhadap orang- mukmin “(yaitu) orang-orang yang ibadah orang yang lalai lalai dari shalatnya, Q.S. al- (shalat) terhadap esensi 49 Mā’un [107]: 5 C 8 dan tujuan shalat.

(Q.S. al-Mā’un [107]: 5)

Peringatan bagi Orang       orang-orang yang Mukmin      lalai dalam dan Kafir keadaan shalat      saat peperangan, 50      C 8 sampai meletakkan     senjata sebab musuh bisa        menyerang secara tiba-tiba. (Q.S. al-

132

Nisā’ [4]: 102)    

     

       

     

       

     “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat). Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. orang- orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata- senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena

133

kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang- orang kafir itu. Q.S. al-Nisā’ [4]: 102

Lalai Peringatan bagi Orang       terhadap orang-orang yang Mukmin      kehidupan lalai akibat terlalu dan Kafir dunia mencintai dunia   menyebabkan “Mereka Itulah orang-orang mereka tidak yang hati, pendengaran dan dapat menerima penglihatannya telah dikunci kebenaran. (Q.S. mati oleh Allah, dan mereka al-Nahl [16]: 108, Itulah orang-orang yang Q.S. al-Kāhf [18]: lalai. Q.S. al-Nahl [16]: 108 28, Q.S. al-Rūm       [30]: 7)

      

      

51         C 9       “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang- orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan

134

adalah keadaannya itu melewati batas. Q.S. al-Kāhf [18]: 28

Hukum Peringatan orang- Para suami       Syariat orang yang lalai memberikan       setengah mahar atau penuh bagi        wanita yang       dicerai sebelum bercampur. (Q.S.       al-Baqarah [2]:         237) “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu 52 sudah menentukan A 10 maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. Q.S. al-Baqarah [2]: 237

Ketentuan Allah Muhamma          melupakan dan d           menghapus (ayat) apa yang di 53 A 10    kehendaki. (Q.S. “Ayat mana saja[81] yang al-Baqarah [2]: Kami nasakhkan, atau Kami 106) jadikan (manusia) lupa

135

kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? Q.S. al-Baqarah [2]: 106 Ancaman bagi Orang     orang-orang lalai Mukmin      yang menuduh dan Kafir wanita      mukminah163 “Sesungguhnya orang-orang melakukan zina. yang menuduh wanita yang 54 C 10 (Q.S. al -Nūr baik-baik, yang lengah lagi [24]: 23) beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. Q.S. al -Nūr [24]: 23

B. Objek Nisyān, Sahwun Dan Ghaflah

Secara garis besar ayat-ayat tentang lalai dalam al-Qur’an menggunakan

term nisyān, sahwun dan ghaflah menunjukan ada tiga objek yaitu lalai dalam

ibadah shalat, mengingkari hari pembalasan dan menolak petunjuk melalui

ayat-ayat Nya dan kisah-kisah umat terdahulu, sebagaimana dijelaskan berikut

ini:

1. Lalai dalam hal ibadah yaitu shalat

163 Abdurahman Za’id bin Aslam mengatakan: “Hukumnya haram menuduh wanita mukmin baik-baik berbuat zina dan Allah melaknatnya. Aisyah contoh dalam masalah ini.” Lihat Ibnu Katsir, jil. 6, h. 30

136

Term yang dipergunakan dalam al-Quran ketika menjelaskan tentang

shalat adalah sāhūn yang diterjemahkan dengan lalai. Salah satu ayat yang

menjelaskan terkait ini adalah Q.S. al-Mā’un [107]: 4:

      “(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.”164

Konteks “Celaka bagi orang shalat” maksudnya mereka tidak

mendapatkan nilai apapun atas salat harian yang mereka lakukan, seperti

ketepatan waktu saat melaksanakan salat, syarat-syarat dan ritus-ritusnya.165

Berlaku juga bagi orang-orang yang tidak mengerjakan salat, menunda shalat

sampai membiarkan waktunya berlalu dengan kesia-siaan dalam aktivitas

tertentu, bisnis dan kesenangan duniawi hal ini senada dengan Q.S. al-Kāhf

[18]: 28. Atau, mereka yang salat untuk menunjukan kesalehan kepada orang

lain, tetapi tidak mengerjakan salat ketika sendirian.166 Karena itu shalat, tidak

164 Q.S. al-Mā’ūn [104]: 5 165 Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur’an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al-Quran, Penerjemah Rahadian M.S. Isfahan, Jilid. XX (Iran: Perpustakaan Amirul Mukminin), h. 353-354. 166 Terkait dalam hal kualitas shalat, Ibnul Qayyim al-Jauziyah mengklasifikasi orang yang shalat kedalam lima kelas. Kelima kelas tersebut antara lain: Pertama, mu’aqqab artinya disiksa. Hal ini jelas yang dimaksud dalam Q.S. al-Mā’ūn [104]: 4-6. Jelas ini shalatnya orang-orang munafik. Orang yang seperti ini merupakan orang yang tidak sempurna waktu shalatnya, kurang sempurna waktu wudhunya, serta tidak sempurna pula batas-batas dan rukun-rukunnya. Orang dalam tingkatan ini disebut-sebut akan disiksa di akhir hayat dan merupakan tingkatan terendah dalam shalat. Kedua, muhasab berarti dihisab, maksudnya adalah shalatnya diperhitungkan oleh Allah. Orang ini mampu menjaga waktu shalat, wudu, syarat-syarat dan rukun-rukun shalat, tetapi masih terbatas pada aspek ẕahiriyahnya saja. Sedangkan aspek ruhiyah (kekhusyuan) kurang diperhatikan sehingga ketika shalat dijalankan, pikirannya dipenuhi oleh lamunan-lamunan tak berarti. Ketiga, mukaffar ‘anhu artinya diampuni (dihapus) dosa dan kesalahan. Yang menempati tingkatan ini adalah mereka yang mampu menjaga shalat dan segala ruang lingkupnya, kemudian ia bersungguh-sungguh untuk melawan intervensi setan. Ia berusaha menghalau lamunan dan pikiran yang terlintas. Kempat, mutsabun tingkatan mutsabun atau yang diberi pahala memiliki ciri-ciri seperti tingkatan mukaffar ‘anhu. Lebihnya adalah ia benar-benar iqamah (mendirikan shalat). Ia hanyut dan tenggelam dalam shalat dan penghambaan kepada Allah swt. Kelima, muqarrab min Rabbihi yang terakhir adalah tingkatan yang paling hebat. Bisa dibilang ini hanya para shalat Nabi dan Rasulullah saw. Mereka yang menempati tingkatan ini adalah orang yang ketika shalat, hatinya langsung tertuju kepada Allah swt. Ia benar-benar merasakan kehadiran Allah swt. sehingga ia merasa melihat Allah (). Tingkatan ini adalah muqarrab min rabbihi (di dekatkan dari Allah swt). Orang yang berada di tingkatan ini bukan hanya menadapat pahala

137

akan bisa menumbuhkan berbagai pengaruhnya di dalam jiwa orang-orang

yang shalat tetapi lalai dalam fungsinya. Sehingga mereka enggan menolong

dengan sesuatu yang berguna. Enggan untuk memberikan bantuan, kebaikan

dan kebajikan karena memberi bantuan merupakan batu ujian untuk menguji

kebenaran ibadah yang diterima di sisi Allah swt.167

Menurut penafsiran Tabari ada dua pendapat: pertama, sebagian mereka

berpendapat bahwa orang-orang yang menunda (mengakhiri) waktu shalat,

sehingga mereka shalat setelah waktu tersebut habis (berakhir). Kedua adalah

bahwasanya mereka itu lalai, lengah terhadap shalat. Tabari berpendapat

bahwa pendapat yang lebih utama dari makna sāhūn adalah orang-orang yang

lalai, lengah terhadap waktu shalat, dan sibuk mengerjakan yang lain,

sehingga waktu shalatnya habis.168

Sebelum kata “sāhūn” diawali dengan kata “an” yang berarti tenang atau

menyangkut. Kalau ayat ini menggunakan redaksi “fī sholātihim”, maka ia

merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta lupa dalam

shalatnya, dan ketika itu ia berarti celakalah orang yang pada saat shalatnya,

hatinya lalai, sehingga menuju kepada sesutu selain shalatnya. Dengan kata

lain, celakalah orang-orang yang tidak khusu’ shalatnya. Untung ayat ini tidak

berbunyi demikian, karena alangkah banyaknya di antara kita yang demikian

dan ampunan tetapi ia pun dekat dengan Allah swt. karena shalat ia jadikan sebagai penyejuk mata dan penentram jiwa. Lihat https://alqiyamah.wordpress.com/2012/09/26/lima-tingkatan- manusia-dalam-shalat/ Al-Wabil Al-Thayyib, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, hal 25-29. 167 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dzhilalil Qur’an, Jilid 13, h. 629. Lihat juga: Imam Jalaludin al- Mahally al-Suyūti, Tafsir Jalalain, Penerjemah Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, t.t.), h. 1388. 168 Ibnu Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi al-Qur’an, h. 980-981.

138

itu halnya. Syukur bahwa ayat tersebut berbunyi “’an shalatihim” sehingga

tertuju kepada mereka yang lalai tentang esensi makna dan tujuan shalat.169

Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwan kata sahwun tidak hanya di

tafsirkan sebagai orang-orang yang lalai dengan esensi dan tujuan shalat,

tetapi kelalaian ini menunjukan bahwa keadaan mereka tidak berbeda dengan

yang mengingkari agama dan hari pembalasan, buktinya sikap riya dan

keengganan mereka membantu orang-orang yang butuh.170

2. Lalai terhadap kepastian hari pembalasan

Penyesalan orang-orang lalai yang menolak kepastian hari kebangkitan

bisa di cermati dalam Q.S. al-Anbiyā : 97,

            

       “Dan telah dekatlah kedatangan janji yang benar (hari berbangkit), Maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. (mereka berkata): "Aduhai, celakalah Kami, Sesungguhnya Kami adalah dalam kelalaian tentang ini, bahkan Kami adalah orang-orang yang zalim".

Pada ayat ini ditegaskan Allah swt. dekatnya kedatangan janji yang benar

yaitu, berbangkit dan berhisab. Kelalaian dalam dalam ayat ini menggunakan

kata ghaflah. Akibat kelalaian ini mereka mengakui kezaliman terhadap

dirinya sendiri disebabkan mendustakan para Rasul.171 Sebagaimana

dijelaskan dalam ayat sesudahnya (al-Dzāriyat ayat 11), yang artinya “mereka

bertanya: "Bilakah hari pembalasan itu?” Pertanyaan tersebut diucapkan tidak

169 M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan dalam Memahami Ayat- ayat al-Qur’an (Jakarta: Lentera, 2013), h. 80. 170 M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Cet. V, h. 647. 171 bnu Katsir, Lubāb al-Tafsir min Ibnu Katsir, Juz 17, h. 484. Tafsir Kemenag

139

lain semata-mata hanya untuk mendustakan, mengingkari, meragukan, dan

menganggap mustahil172.

3. Menolak petunjuk melalui ayat-ayat Nya dan kisah-kisah umat

terdahulu

Pada ayat ini Allah menerangkan 4 macam nasihat dan petunjuk yang

ditujukan kepada Qarun oleh kaumnya.

            

               

  “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

Barang siapa mengamalkan nasihat dan petunjuk akan memperoleh

kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Nasihat dan petunjuk tersebut adalah

pertama, orang yang di anugerahi kekayaan dan nikmat yang banyak

hendaknya memanfaatkan di jalan Allah, patuh dan taat pada perintahnya.

Kedua, janganlah meninggalkan kesenangan duniawi baik makanan,

minuman, pakaian sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama.173

Ketiga, seseorang harus berbuat baik sebagaimana Allah swt. berbuat baik

kepadanya. Keempat, larangan berbuat kerusakan di atas bumi, berbuat jahat

172 Ibnu Katsir, Lubāb al-Tafsir min Ibnu Katsir, Juz 26, h. 531. 173 Hal tersebut senada dengan hadis Nabi yang artinya “ Kerjakanlah (urusan) duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya. Dan laksanakanlah amalan akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok.” (H.R. Ibnu Asakir).

140

sesama makhluk karena Allah swt. tidak akan memberikan ridho kepada

mereka.174

Pada ayat lain disebutkan kisah-kisah umat terdahulu untuk dijadikan

pelajaran agar tidak mengikuti jejaknya dalam Q.S. Yunūs [10]: 92 yaitu

tentang kisah Fira’un yang ditenggelamkan di laut Merah, Allah menjaga

tubuh Fira’un tetap utuh walaupun tertelan lautan untuk menjadi pelajaran dan

sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya.

BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dari bahasan tentang makna lalai dalam al-Qur’an (kajian tafsir tematik)

yang sederhana ini, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

نسي ينسي ـ نسيا Kata lalai menggunakan term nisyān berasal dari bahasa Arab

berarti melupakan atau melalaikan. Menurut al-Asfahani, nisyān artinya

tertinggalnya manusia mengingat sesuatu diamanatkan kepadanya baik karena

lemah hatinya maupun karena lalai atau disengaja. Sedangkan, sahwun

mulanya berasal dari berasal yang berarti lupa atau melupakan. س ها ي سُهو س ه وا

Menurut M. Quraish Shihab, sahwun yakni seseorang yang hatinya menuju

kepada yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya.

174 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz XX, h. 128. Ibnu Katsir, Lubāb al-Tafsir min Ibnu Katsir, Juz 20, h. 300. Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, h. 169-170.

141

Sementara ghaflah berasal dari bahasa Arab . Ibnu Faris seorang غ ف ل ي غ ُفلُ غُُفوال ulama ahli bahasa mengatakan: "Huruf ain, faa, dan lam adalah satu asal yang shahih yang maknanya menunjukan telah meninggalkan sesuatu karena lalai bahkan adakalanya meninggalkan dengan sengaja.

Penggunaan nisyān terlihat adanya kesengajaan dari pihak yang lupa, namun pada ayat lain merupakan sifat manusia yang memang pada dasarnya akan mengalami kelalaian, menunjuk adanya kaitan dengan kesadaran diri.

Maka dalam kehidupan agama, jika seseorang lalai terhadap suatu kewajiban yang seharusnya dilakukannya, maka ia tidak berdosa, karena ia kehilangan kesadaran terhadap kewajiban itu. Tetapi hal ini berbeda dengan seseorang yang sengaja lalai terhadap suatu kewajiban.

Sedangkan penggunaan term sahwun dipergunakan untuk ancaman.

Ketika kata ini digabungkan dengan redaksi berbunyi “’an shalatihim”, kata

“an” yang berarti tenang atau menyangkut, yang berarti sahwun tertuju kepada mereka yang lalai tentang esensi makna dan tujuan shalat. Bukan redaksi “fī sholātihim”, yaitu merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta lupa dalam shalatnya, yang berarti celakalah orang yang pada saat shalatnya, hatinya lalai, sehingga menuju kepada sesutu selain shalatnya. Dengan kata lain, celakalah orang-orang yang tidak khusu’ shalatnya.

Adapun penggunaan term ghaflah dipergunakan untuk menunjuk perbuatan yang bersifat positif atau negative. Contoh pada Q.S. al-Nūr [24]:

23 mengandung arti positif, yaitu wanita beriman yang telah bersuami yang lalai (tidak menduga atau terlintas di dalam benak mereka keinginan untuk berbuat keji/hina). Di dalam ayat tersirat peringatan supaya seluruh wanita

142

beriman yang sudah bersuami menjaga pergaulan mereka sehari-hari dan

menjauhi tindakan-tindakan yang mungkin menimbulkan fitnah. Sedangkan

pada Q.S. al-A’rāf [7]: 156 dan 172 menunjuk pada kelalaian yang bersifat

negative, dijelaskan bahwa tujuan penurunan kitab suci al-Qur’an dan

penegasan ke maha Esaan Allah swt. antara lain, untuk menutup kemungkinan

timbulnya protes dari orang-orang zalim pada hari kiamat kelak dengan

mengatakan bahwa kitab suci itu hanya diturunkan kepada orang-orang

Yahudi dan Nasrani dan bahwa mereka tidak sempat atau lalai di dalam

membaca dan memperhatikan isinya.

B. Saran

Diharapkan dengan adanya kajian ini, semoga memperjelas makna nisyān,

sahwun dan ghaflah. Penelitian ini tentu bukanlah penelitian yang sempurna

dan tanpa kekurangan. Jika penulis benar, itulah yang penulis kehendaki. Jika

ternyata tidak demikian, penulis mohon ampun dan petunjuk kepada Allah swt

atas kesalahan dan dosa penulis. Cukuplah kiranya bagi penulis jika penulis

telah mengerahkan segala kemampuan untuk meletakkan satu bata bagi

mereka untuk menyempurnakan bangunan ini.